~7t/FS1 /f ·KONSELING PERKAWINAN DI BP4 KOTAMADYA JAKARTA SELATAN DALAM MENANGANI KONFLIK SUAMI ISTRI
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Disusun Oleh:
Mira Humairoh NM: 10207002648
FAKULTAS PSIKOLOGI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2007 rlll I 1428 H
KONSELING PERKAWINAN DI BP4 KOTAMADYA JAKARTA SELATAN DALAM MENANGANI KONFLIK SUAMI ISTRI
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Psikologi
Oleh:
Mira Humairoh NM: 10207002648
Di bawah Bimbingan
Pembimbing I
Pembimbing II
~f~ Bambang Suryadi, Ph.D NIP. 150326891
Gazj Saloom, M.Si
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2007 M / 1428 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul "Konseling Perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta
Selatan Dalam Menangani Konflik Suami lstri" telah diujikan dalam Sidang
Munaqasyah Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 27 Februari 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat untuk memenuhi gelar Sarjana Psikologi
Jakarta, 27 Februari 2007 SIDANG MUNAQASYAH Sekretariat Merangkap Anggota
gkap Anggota
artati-M. Si
938 Anggota Penguji II
Penguji I
ah M.Si
Pembimbing I
Ph.D
Pembimbing II
fBambang S ryadi, Ph.D NIP: 150 326 891
Gazi Saloom, M.Si
KATA PENGANTAR
~}I .;,A'"}I iJi1 ~ Al-Hamdu/illahi Rabb al-'Alamin, penulis panjatkan segala puja-puji syukur hanya kepada Allah Subhanahu Wata'ala atas limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, kemudian semoga shalawat dan salam hanya tercurah keharibaan junjungan agung nan mulia Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya, berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini, secara pribadi penulis mengucapkan terima kasih kepada segenap sivitas akademika Fakultas Psikologi UIN Jakarta baik secara kelembagaan maupun perorangan.
Ucapan terima kasih terutama penulis sampaikan kepada: 1. !bu Ora. Netty Hartati, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2. Pembantu Dekan dan para dosen yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama dalam proses pembelajaran di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 3. Bapak Bambang Suryadi, Ph.D dan Gazy Saloom, M.Si, selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingannya, seh111gga skripsi ini bisa diselesaikan dengan baik;
4. Ketua dan Staf BP4 Kotamadya Jakarta Selatan, para responden konsultan perkawinan, bapak Ahmad Nasuha, ibu Endah Nina Kurniasih dan ibu Asita R. lrisari atas kewdian waktu untuk wawancara dan informasinya, sehingga 11kripsi ini dapat diselesaikangan dengan baik; 5. Orang tuaku Umi Hj. Siti Maryam dan Baf)ak H. M. Nurdrn tercinta di Cilebut Bogar atas do'a restunya baik spi
Akhirnya hanya kepada Allah Subhanahu Wata'ala jualah penulis berdo'a semoga mereka mendapat balasan yang mulia dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan khazanah keislaman dalam konteks Psikologi Islam. Amiin Ya Rabb a/-'Alamiin. Wallahul Hadi i/aa Sabilir Rasyaad.
Ciputat, 07 Februari 2007 M 19 Muharram 1428 H
Penulis
DAFTAR ISi
JUDUL KATA PENGANTAR ............................................................................ .i DAFTAR 151. .......................................................................................iv ABSTRAKS .......................................................................................vii
BABI
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah .................................................. 1 1.2. ldentifikasi Masalah ........................................................6 1.3. Pembatasan Masalah .............................................................. 7 1.4. Perumusan Masalah ......................................................8 1.5.Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 8 1.6.Sistematika penulisan .............................................................. 10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA 2.1. Konseling ................................................................. 12 2.1.1 Pengertian Konseling .......................................... 12 2.1.2 Karakteristik Hubungan Konseling ......................... 14 2.1.3 Faktor-Faktor yang Berpengaruh Pada Keberhasilan Konseling ...................................... 17 2.1.4 Beberapa Pendekatan (Teknik) Konseling .............. 19 2.1.5 Proses Konseling .............................................. 33 2.2.
Konseling Perkawinan ................................................. 36 2.2.1 Pengertian Konseling Perkawinan .......................... 36 2.2.2 Konselor Perkawinan ........................................... 38 2.2.3 Tujuan Konseling Perkawinan ................................... 39 2.2.4 Tipe-Tipe Konseling Perkawinan .......................... .41
2.3.
Konflik .................................................................... .43 2.3.1 Definisi Konflik .................................................... .43 2.3.2 Sebab-Sebab Terjadinya Konflik .......................... .45
2.3.3 Permasalahan Suami lstri dalam Kehidupan Sehari-hari. ....................................................... 51 2.3.4 Dampak Terjadinya Konflik ................................... 55
BAB Ill
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian .................................... 60 3.2 Subyek Penelitian .........................................................63 3.2.1 Kriteria Subyek ............................................................63 3.3 Metode Pengumpulan Data ........................................... 64 3.3.1 Wawancara .................................................................64 3.3.2 Observasi. .................................................................65 3.4 lnstrumen Pengumpulan Data..... . .. . .. . . . .. . . .. . . . . ............. 65 3.4.1 Pedoman Wawancara .................................................. 66 3.4.2 Lembar Observasi.. ...................................................... 66 3.4.3 Alat Perekam (Tape Recordiwr) .......................................66 3.5 Prosedur Penelitian...... ...... .....
. ... ...
............... 67
3.5.1 Persiapan Penelitian............ . ..................................... 67 3.5.2 Pelaksanaan Penelitian....... . ....................................... 68 3.6 Analisa Data............................ . .................................68
BABIV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
4.1 Gambaran Umum Subyek Penelitian .............................. 71 4.2 Pelaksanaan Konseling Perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan ...........................................................75 4.2.1 Jen is Konseling ................................................... 76 4.2.2 Waktu Konseling ................................................. 78 4.2.3 Durasi Konseling ................................................. 79 4.3 Metode Konseling Perkawinan di BP4 Jakarta Selatan ........ 80 4.4 Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Konseling Perkawinan ................................................................82 4.5 Peranap Konseling Perkawinan dalam Menangani Konflik
Suami lstri. ................................................................ 86 4.6 Analisis Perbandingan Ketiga Konselor. ................................. 89
BABV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan .............................................................. 101 5.2 Diskusi. .................................................................... 103 5.3 Saran ...................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
: Tahapan-Tahapan Konseling Eklektik .................................... 32
DAFTAR TABEL
1. Tabel 4.1
: Gambaran um um Subyek ..........................................72
2. Tabel 4.2.2
: Jadwal konseling dan Daftar nama Konselor. ................ 78
3. Tabel 4.2.3
: Konseling Perkawinan di BP4 Jakarta Selatan ............... 80
4. Tabel 4.2.4
: Analisis Perbandingan Ketiga Konselor. .................... 100
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran 1
: Pernyataan Kesediaan
2. Lampiran 2
: Lembar Oservasi
3. Lampiran 3
: Pedoman Wawancara A
4. Lampiran 4
: Pedoman Wawancara B
5. Lampiran 5
: Surat ljin Penelitian
6. Lampiran 6
: Surat Keterangan Penelitian
7. Lampiran 7
: Data Keberhasilan Konseling
8.
Lampiran 8 : Surat Panggilan Konsultasi
9. Lampiran 9
: Berita Acara Penasehatan Suami lstri
ABSTRAKS
(A) (B) (C) (D)
Fakultas Psikologi Februari 2007 Mira Humairoh Konseling Perkawinan Di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan Dalam Menangani Konflik Suami lstri (E) xi+ 105 (F) Penjelasan Konflik yang terjadi antara suami istri dalam sebuah perkawinan muncul dalam berbagai bentuk dan beragam penyebab, dari yang berskala kecil sampai yang besar. Penyebabnya bisa terjadi karena faktor akhlak, ekonomi dan pihak ketiga. Konseling perkawinan sangat diperlukan oleh pasangan suami istri yang sedang mengalami konflik dalam perkawinan, karena pasangan yang SP.dang diianda konflik pada umumnya tidak lagi mempunyai hubungan baik dengan realitas. Dalam konteks ir.!lah konseling dibutuhkan agar suami istri dapat saling memahami dan membantu memperkokoh ikatan perkawinannya. Badan Penasehatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) merupakan satu-satunya badan semi resmi Departemen Agama di bidang penasehatan perkawinan dalam pelaksanaan konseling terhadap konflik suami istri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konseling perkawinan, metode konseling, faktcr pendukung dan penghaml:>at rlan peranan konsP.ling perkawinan dal::im menangani konflik suami istri di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dalam penelitian ini, subyek berjumlah tiga orang konselor atau konsultan perkawinan yang terlibat langsung dalam konseling perkawinan. Pengambilan subyek penelitian dilakukan dengan cara purposive sampling (sampel bertuJuan) dimana sampel penelitian diambil dari populasi yang mewakili sampel-sampel lain. lnstrumen penelitian adalah wawancara mendalam (in-dept interview) dan observasi sebagai instrumen penunjang. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa secara umum konse!ing dilakukan dengan tatap muka yang dilakukan sesuai jadwal resmi yaitu hari Senin sampai Kamis, mulai pukul 09.00-15.00 WIB. Konseling dilakukan secara individual (masing-masing pasangan) dan secara kedua pasangan secara bersamaan dengan menggunakan teknik konseling client-centered therapy. Dalam konseling perkawinan terdapat proses-proses yang dilakukan pertemuan pertama melakukan eksploras! masalah, perumusan masalah dan identifikasi masalah. Pertemuan kedua melakukan panggilan terhadap pasangan klien.
Pertemuan ketiga mempertemukan kedua pasangan secara bersama-sama untuk memecahkan masalah dan pengambilan keputusan diserahkan sepenuhnya kepada klien. Pertemuan keempat dilakukan untuk menentukan keputusan penanganan konflik, apakah mau berdamai atau diteruskan ke Pengadilan Agama. Pengambilan keputusan akhir tetap diserahkan kepada klien, konselor hanya sebagai mediator dan fasilitator terhadap keputusan klien tersebut. Faktor pendukung konseling perkawinan adalah kejujuran klien dalam mengungkapkan masalahnya, dan keinginan klien untuk bekerja sama dengan konselor. Sedangkan faktor penghambatnya adalah sikap klien yang egois, emosional dan mau menang sendiri serta tidak mau bekerja sama dengan konselor. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pelaksanaan konseling perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan memiliki peran positif dan signifikan dalam menangani konflik suami istri dengn tingkat keberhasilan di atas 50%. Diharapi
BABI PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masaiah
Dalam realitas hidup berpasangan yang terjalin dalam relasi suami istri, tentu akan membawa implikasi dan konsekuensi baik dan buruk. lmplikasi baik dan bermanfaat dapat dirasakan seperti tergambar dalam surat Ar-Rum: 21, yaitu terciptanya suasana menyenangkan, membahagiakan dan menentramkan bagi keduanya. Jadi perkawinan adalah solusi paling memungkinkan untuk memenuhi keinginan-·keinginan, baik secara material, biologis, maupun psikologis. Namun di samping membawa ketentraman dan bahagiaan, perkawinan juga berpeluang mendatangkan ketidaktentraman jika masalah dan konflik suami istri dalam rumah tangga disikapi secara tidak benar.
Tidak ada satu pun hubungan antar individu yang terbebas dari konflik. Studi tentang konflik senantiasa dipelajari pada saat kita berbicara dalam disiplin komunikasi antarpribadi, karena ia muncul seiring dengan tingginya intensitas interaksi dan komunikasi antarpribadi, namun konflikjuga dapat berkurang dan selesai melalui manajemen komunikasi yang baik antarpribadi. Jadi konflik adalah bagian dari proses komunikasi antarpribadi. Dalam konflik antarpribadi prinsip-prinsip efektivitas antarpribadi menghadapi ujian berat.
2
Selama konflik antarpribadi terjadi hampir tidak mungkin menahan diri sejenak, menganalisis situasi, dan mengevaluasi prinsip efektifitas yang mungkin paling relevan. Karena kesulitan ini, maka diperlukan manajemen konflik (Joseph A. Devito, 1997).
Ada beberapa masalah yang menyebabkan terjadinya konflik dan kehancuran rumah tangga, seperti dikemukakan oleh Florence Hellis, sebagaimana dikutip Kamal Mukhtar (1993), yaitu: 1. Ketergantungan istri atau suami kepada orang tuanya, sehingga ia tidak berani mengambil keputusan mengenai rumah tangganya tanpa terlebih dahu:u maminta pertimiJ&ngan orang t:.ianya atau meniru tindakan orang tuanya yang pernah dialami; 2. Keluarga istri atau suami yang terlalu banyak mencampuri urusan anak yang sudah berumah tangga; 3. Perbedaan latar belakang kebudayaan; dan 4. Faktor-faktor sosial ekonomi.
Gambaran perkembangan keutuhan keluarga akhir-akhir ini sungguh sangat memprihatinkan dengan tingkat angka perceraian yang jauh meningkat dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Realitas ini relevan dengan tingkat prosentase penyebab perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama seluruh Indonesia. Menurut data Direktorat Urusan Agama Islam Departemen
3
Agama, bahwa ada tiga faktor dominan penyebab perceraian yaitu: meninggalkan kewajiban 48,60 %; terus menerus berEelisih/konflik 38,77 %; dan moral 7,71 % (Direktorat Urais, 2002).
Berdasarkan data ini, terlihat bahwa konflik yang terus menerus memiliki signifikansi yang besar terhadap intensitas terjadinya perceraian. Konflik yang terjadi antara suami istri dalam sebuah perkawinan muncul dalam berbagai bentuk dan beragam penyebab, baik konflik berskala kecil sampai yang besar, dari pertengkaran k8cil sampai terjadinya perceraian dan keruntuhan rumah langga. Oleh karenanya, ketika terjadi konflik, maka ia han.;s disikapi dan dikelola seca;a baik, sehingga tidak berkepanjangan d3n menimbulkan dampak negatif bagi stabilitas perkawinan.
Ajaran Islam menganjurkan bahwa ketika terjadi konflik suami istri, maka pertama-tama harus melibatkan pihak keluarga dari kedua belah pihak sebagai mediator (hakam). Sebagaimana diisyaratkan firman Allah: .11
J' y.
G- )\..pl l..\;.r- 014J_..I if
~ J .U...1 :....,. ~ Ifail> ~ JI.A...;, ~ 0\J lp,L..).o. 015' .11 01 ~
Artinya: "Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam Guru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha mengenal" (Al-Nisa': 35).
5
Hal ini diperkuat berdasarkan keputusan Menteri Agama No.30 tahun 1977, yang menegaskan adanya pengakuan dari pemerintah bahwa BP4 merupakan satu-satunya badan penunjang sebagian tugas Departemen Agama dalam bidang penasehatan perkawinan, perselisihan rumah tangga dan perceraian. Di dalam Diktum pertimbangannya SK tersebut, disebutkan bahwa untuk melancarkan pelaksanaan UU N0.1 tahun 1974 tentang perkawinan dan segala peraturan pelaksanaan dipandang perlu menegaskan pengakuan BP4 dalam keputusan Menteri Agama No.65 tahun 1961, bagitu pula perribinaan badan tersebut sebagai satu-satunya badan yang b8rus<'lha pada bidang penasehatan perkawinan dan mengurangi perceraian dalam rangka menunjang tugas Departemen Agama di bidang bimbingan masyarakat Islam (8?4 Pusat, 1997).
Lembaga ini tidak hanya memberikan nasehat sebelum pernikahan dilangsungkan, namun juga pada saat terjadi konflik suami istri baik nerskala kecil maupun konflik yang sudah menjurus kepada perceraian. Berdasarkan data di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan, bahwa tingkat keberhasilan konseling perkawinan dalam menangani konflik suami istri sangat poi;itif dan signifikan. (Data Triwulan ke-1 2006, yang berhasil didamaikan sebanyak 53,3% dan Triwulan ke-112006, sebanyak 51,1%).Sedangkan kegagalan konseling lebih disebabkan oleh beberapa faktor, seperti pasangan suami istri datang ke BP4 pada saat konfliknya sudah parah dan mengadukan
6
konfliknya (mengajukan cerai atau menggugat cerai), tanpa melalui tahapan mediasi perdamaian dan konseling perkawinan di BP4.
Dalam konteks inilah penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang konseling perkawinan di BP4, termasuk ingin mengetahui faktor pendukung dan kendala yang dihadapi dan ingin mengetahui lebih jauh peran BP4 dalam menangani konflik suami istri. Selanjutnya penelitian ini lebih memfokuskan kajian tentang "Konseling Perkawinan di BP4 Kotatnadya Jakarta Selatan Dalam Menangani Konflik Suami lstri".
1.2 ldentifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis meng1dentifikasi beberapa masalah yang menarik untuk diangkat dalam penelitian ini, di antaranya: a. Bagaimana sejarah terbentuknya BP4 sebagai badan konseling perkawinan semi resmi pemerintah; b. BC!f!aimana peranan BP4 sebagai badan mediasi dan konseling perkawinan dalam menangani konflik suami istri; c. Apc:i faktor-faktor yang menjadi pemicu te~adinya konflik suami istri; d. Apa faktor pendukung dan penghambat dalam konseling perkawinan;
7
e. Bagaimana pelaksanaan konseling perkawinan di BP4 dalam menangani konflik suami istri; dan
f.
Apa metode dan pendekatan yang digun~ikan pada konseling perkawinan di BP4 dalam menangani konflik suami istri.
1.3 Pembatasan Masalah
Konseling adalah suatu proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli yang p1ofesional kepada individu yang sedang mengalami masalah (klien) yang bertujuan untuk membantu memecahkan masalah yang dihadapi klien. Dengan kata lain, konseling perkawinan merupakan konseling yang diselenggarakan sebagai metode pendidikan, metode penurunan ketegangan emosional, metode yang membantu partner-partner yang menikah untuk memecahkan masalah dan cara menentukan pola pemecahan masalah yang lebih baik.
Dari identifikasi masalah di atas terlihat banyak aspek yang dapat dikaji dan dianalisis mengenai pelaksanaan konseling perkawinan dalam menangani konflik suami istri, namun tentu tidak seluruhnya dapat dikemukakan menjadi permasalahan-permasalahan yang menjadi pertiatian. Penelitian ini dibatasi
8
pada masalah mengenai pelaksanaan konseling perkawinan dalam menangani konflik suami istri di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan.
1.4 Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka untuk memperjelas pokok permasalahan, penulis merumuskan masalah sebagai pertanyaan utama penelitian ini sebagai berikut: a. Bagaimana pelaksanaan konseling perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan? b. Apa metode yang digunakan dalam proses konseling perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan? c. Apa faktor-faktor pendukung dan penghambat yang dihadapi oleh BP4 Kotamadya Jakarta Selatan dalam pelaksanaan konseling perkawinan? d. Bagaimana peranan konseling perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan dalam menangani konflik suami 1stri?
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan mi~salah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian in1 adalah sebagai berikut:
9
a. Mengetahui pelaksanaan konseling perk41winan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan; b. Mengetahui metode yang digunakan dah11m proses konseling perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan; c. Mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam proses konseling perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan; dan d. Mengetahui peranan konseling perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan dalam menangani konflik suami 1stri.
Selanjutnya penelitian ini diharapkan menghasilkan dua manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1. Manfaat secara teoritis Untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang Psikologi sosial, khususnya yang berhubungan dengan konseling perkawinan dan penanganan konflik suami istri secara positif. 2. Manfaat Praktis Untuk memberi masukan dan rujukan kepada masyarakat secara umum, dan secara khusus kepada pasangan suami istri sebagai masukan konstruktif untuk mengelola konflik suami istri secara positif dalam membangun keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah.
10
1.6 Sistematika Penulisan
Pada umumnya, suatu pembahasan karya ilmiah diperlukan suatu bentuk penulisan yang sistematis sehingga tampak gambaran yang jelas, terarah serta logis dan saling berhubungan antara bab satu dan bab sesudahnya. Skripsi yang berjudul Konseling Perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan Dalam Menangani Konflil< Suami lstri ini, dibagi menjadi lima bab
sebagai berikut: Bab I:
Pendahuluan, merupakan landasan umum penelitian skripsi ini. Bab ini memberikan gambaran tentang manual penelitian ini dijalankan. lsinya terdiri dari Latar BEYiakang masalah kemudian dilanjutkan dengan identifikasi masal01h, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan martlaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II :
Mengetengahkan tentang kajian pust11ka tentang pengertian konseling perkawinan, pendekatan konseling, proses konseling, tujuan dan fungsi konseling, serta tipe-tipe konseling perkawinan, kemudian dilanjutkan dengan pengertian konflik, sebab-sebab terjadinya konflik, dan permasalahan suami istri dalam kehidupan sehari-hari, serta dampak terjadinya konflik.
11
Bab Ill :
Dalam bab ini menguraikan tentang metode penelitian, yang mengetengahkan pendekatan dan jenis penelitian, subyek penelitian, metode pengumpulan data, instrumen penelitian, prosedur penelitian, prosedur penelitian dan analisa data.
Bab IV :
Dalam bab ini, penulis menguraikan tentang hasil penelitian dan analisis yang berisi gambaran umum subyek penelitian, pelaksanaan konseling perkawinan d1 BP4, metode yang digunakan dan menjelaskan faktor pendukung dan penghambat serta menjelaskan peranan konseling perkawinan dalam menangani konflik suami isteri, dan analisis ketiga konselor
BabV
Sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan yang diintrodusir dari tujuan penelitian, sekaligus jawaban terhadap petanyaan yang dirumuskan dalam penelitian ini. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi dan saran konstruktif bagi lembaga BP4 dan para peneliti selanjutnya.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konseling 2.1.1 Pengertian Konseling
Kata konseling (counseling) menurut Baruth dan Robinson (1987) berasal dari kata counsel yang diambil dari bahasa Latin, counsilium, artinya "bersama" atau "bicara bersama". Pengertian berbicara "bersamasama" dalam hal ini adalah pembicaraan konselor dengan seorang atau beberapa klien (Latipun, 2005). Sedangkan menurut Maclean dalam Prayitno dan Amti (1998), konseling adalah suatu proses yang terjadi dalam hubungan tatap muka antara individu yang terganggu oleh karena masalah-masalahyang tidak dapat diatasinya sendiri dengan seorang pekerja profesional, yaitu pekerja yang terlatih dan berpengalaman membantu orang lain dalam mHmecahkan berbagai jenis kesulitan pribadi. Hornby dalam Hallen (2002) mengemukakan bahwa kata konseling berasal dari bahasa inggris, yaitu "to counsel' yang secara etimologis berarti "to give advice" (memberi nasihat/ saran).
Sementara itu kata konseling secara etimologis menurut Rogers dalam (Singgih Gunarsa, 191;)6}, yaitu suatu hubungan yang bebas dan berstruktur
13
dan membiarkan kliennya memperoleh pengertian sendiri yang membimbingnya menentukan langkah-langkah positif ke arah orientasi baru.
Syahlan, et.al., (1997), mendefinisikan konseling sebagai suatu bentuk dialog untuk menolong seseorang agar memperoleh pengertian yang lebih baik mengenai dirinya dan permasalahan yang sedang dihadapi, sehingga rnampu mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya. Menurut Depkes RI (2003) konseling adalah proses pertolongan dimana seseorang yang tulus dan jelas memberi waktu, perhatian dan keahliannya untuk membantu klien mempelajari keadaan dinnya, mengenali dan memecahkan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan. American Psychology Asociation (APA) (Baraja, 2004) merumuskan definisi konseling sebagai suatu proses untuk membantu individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangan pribadinya dan untuk mencapai perkembangan kemampuan pribadi yang dimilikinya secara optimal. Berdasarkan pengertian diatas maka dapat dik11takan bahwa konseling adalah suatu proses pemberian bantuan yang t!tl11kukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli yang profesional htpada individu yang sedang mengalami masalah (klien) yang bertujuan unlltk membantu rnernecahkan masalah yang dihadapi klien.
14
l
a. Mengetahui apa yang harus dan akan dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan; b. Merasa lebih baik, jauh dari ketegangan dan tekanan terus menerus karena persoalan;
c. Berfungsi maksimal sesuai dengan potensi yang dimiliki; d. Mencapai sesuatu yang lebih baik karem1 bersikap positif dan optimistik; dan e. Bisa hid up lebih efektif sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan menyesuaikan diri sesuai dengan tuntutan lingkungan (Gunarsa, 1996).
2.1.2 Karakteristik Hubungan Konselor
George dan Cristiani (1990) dalam Latipun (2005) mengemukakan enam karakteristik dinamika dan keunikan hubungan konseling. Keenam karakteristik itu adalah :
1. Afeksi Hubungan konselor dengan klien pada dasarnya lebih sebagai hubungan afektif daripada sebagai hubungan kognitif. Hubungan afeksi akan tercermin
15
sepanjang proses konseling termasuk dalam melakukan eksplorasi terhadap persepsi dan perasaan-perasaan subyektif klien. Hubungan yang penuh afeksi ini dapat mengurangi rasa cemas dan ketakutan pada klien, dan diharapkan hubungan konselor dan klien lebih produktif.
2. lntensitas Hubungan konseling dilakukan dengan penuh intensitas. Hubungan konselor dan klien ini diharapkan dapat saling terbuka terhadap persepsinya masingmasing. Tanpa adanya intensitas hubungan, m111ka hubungan konseling tidak akan mencapai pada hubungan yang diharapkan Konselor biasanya mengupayakan agar hubungannya dengan klien dapat berlangsung secara mendalam sejalan dengan perjalanan hubungan konsehng.
3. Pertumbuhan dan Perubahan Hubungan konseling bersifat dianamis. Hubungan konseling terus berkembang sebagaimana perubahan dan pertumbuhan yang terjadi pada konselor dan klien. Hubungan tersebut dikatakan dinamis jika dari waktu ke waktu terus terjadi peningkatan hubungan konselor dengan klien, pengalaman bagi klien dan tanggung jawabnya Dengan demikian pada klien terjadi pengalaman belajar untuk memahami dirinya sekaligus bertanggung jawab untuk mengembangkan dirinya.
16
4. Privasi Pada prinsipnya dalam hubungan konseling perlu adanya keterbukaan klien. Keterbukaan klien tersebut bersifat konfidensial, konselor harus menjaga kerahasiaan seluruh informasi tentang klien dan tidak dibenarkan mengemukakan secara transparan kepada siapapun tanpa seizin klien. Perlindungan atau jaminan ini bersifat unik dan akan meningkatkan kemauan klien membuka diri.
5. Dorongan Konselor dalam hubungan konseling memberikan dorongan (supporlive) kepada klien untuk meningkatkan kemampuan dirinya dan berkembang sesuai dengan kemampuannya. Dalam hubungan konseling, konselor juga perlu memberikan dorongan atas keinginannya untuk perubahan perilaku dan memperbaiki keadaannya sendiri sekaligus memberi motivasi untuk berani mengambil resiko dari keputusannya.
6. Kejujuran Hubungan konseling didasarkan atas saling kejujuran dan keterbukaan, serta adanya komunikasi terarah antara konselor dengan kliennya. Dalam hubungan ini tidak ada sandiwara dengan jalan menutupi kelemahan atau menyatakan yang bukan sejatinya. Klien maupun konselor harus
17
membangun hubungannya secara jujur dan terbuka. Kejujuran menjadi prasyarat bagi keberhasilan konseling.
2.1.3 Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Keberhasilan Konseling
Ada beberapa faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan konseling, faktorfaktor yang dipandang mempengaruhi hasil konseling biasanya dijadikan sebagai pertimbangan dalam memberikan konseling. Menurut Baraja (2004) terdapat lima faktor yang berpengaruh terhadap proses dan hasil konseling antara lain:
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan: - Jenis kesakitan, gangguan dan masalah - Berat, ringan suatu kesulitar., gangguan dan masalah - Konseling atau terapi sebelumnya 2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan karakteristik subyek: - Usia klien - Jenis kelamin - Tingkat pendidikan - lntelegensi - Status sosial ekonomi
19
2. Klien menilai perubahan perilaku yang telah terjadi pada dirinya; dan 3. Klien menilai proses dan tujuan konseling.
2.1.4 Beberapa Pendekatan (teknik) Konseling
Dalam literatur psikologi konseling dikenal beberapa pendekatan (teknik) konseling. Masing-masing pendekatan memiliki karakteristik tersendiri. Di bawah ini akan dikemukakan mengenai tiga pendekatan konseling dengan menitikberatkan pada perbedaan peran antara konselor dengan klien. Pendekatan-pendekatan tersebut yaitu:
1. Pendekatan Langsung (Directive Counseling) Pendekatan directive counseling dalam W.S Winkel dan M.M. Sri Hastuti (2004) disebut dengan istilah trait-factor counseling atau counselor-centered
counseling. Metode ini lebih bersifat mengarahkan kepada klien untuk berusaha mengatasi kesulitan yang dihadapi. Pendekatan ini terpusat kepada konselor, yaitu di mana konselor berperan sangat aktif dan mendominasi seluruh interaksinya dengan klien. Sebaliknya peran klien sangat pasif, cenderung menerima, dan tentunya akan diharapkan menyetujui dan melaksanakannya sesuai dengan petunjuk yang diberikan konselor (Gunarsa,
1996).
20
Pelaksanaan konseling direktif ini menuntut kematangan, pengalaman, dan latihan-latihan konselor, khusunya dalam masalah yang berat. Dengan cara ini tujuan konseling dapat dicapai, karena peranan, pimpinan dan tanggung jawab sebagian besar dipegang oleh konselor.
A. Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Dire4
Pendekatan direktif ini memiliki beberapa kelebltian, karena cara pendekatan ini menurut Yusuf Gunawan dan Chaterine Oew1 (2001) dapat rnembantu: a. Klien yang tidak mampu memulai wawaricara dan ia membutuhkan bantuan konselor untuk mengungkapkan pokok persoalannya; b. Klien yang dalam keadaan putus asa dan rnembutuhkan bantuan orang lain sebelum memulai dengan kekuatannya sendiri; c. Klien yang mau dan mampu memegang tanggung jawab dalam proses konseling berikutnya; d. Masalah klien yang sudah jelasa dan terdapat bukti-bukti yang pasti sehingga memudahkan konselor untuk menentukan langkah-langkah berikutnya; dan e. Klien yang mau dan mampu menerima hasil konseling dan tidak akan menyia-nyiakan kekuatan diri sendiri untuk ikut dalam proses konseling berikutnya.
21
Namun pendekatan ini memiliki kelemahan-kel('mahan yang berbahaya, oleh karena itu pendekatan ini tidak dapat dipakai dalam kondisi: a. Jika klien memandang cara ini sebagai bentuk perampasan tanggung jawabnya; b. Jika masalah mengandung banyak keruwetan perasaan atau gangguan perasaan, dan dengan cara ini konselor cenderung melupakan aspek penting dalam konseling; c. Jika belum terdapat bukti-bukti yang jelas dan dengan cara pendekatan ini belum jelas akhir penyelesainnya; dan d. Jika inisiatif konselor dapat rnengganggu hubungan baik antara konselor dan klien (Yusuf Gunawan dan Chaterine Dewi 2001 ).
8. Peran Konselor
Konselor yang berpegang pada pendekatan direktif (Winkel dan Hastuti, 2004) mengikuti rangkaian langkah kerja yang agak mirip dengan peiaksanaan studi kasus dan pelayanan dokter terhadap seorang pasien, yaitu analisis atau pengurnpulan data yang relevan, sintesis atau organisasi dari data itu untuk rnemperoleh gambaran yang selengkap mungkin tentang klien, diagnosis atau kesirnpulan tentang sernoo unsur pokok masalah klien dan sebab-sebabnya, prognosis atau perkiraan tentang perkernbangan klien selanjutnya serta berl?,agai implikasi dari hasil Oiagnosis. Konseling atau
22
wawancara perseorangan untuk memikirkan p~'flyelesaian terhadap problem yang dihadapi; tindak lanjut (follow-up) atau bantuan kepada klien bila timbul masalah lagi dan evaluasi terhadap efektivitas konseling.
Dalam pendekatan direktif (Yusuf Gunawan, 2001) konselor berperan sangat aktif dan mendominasi seluruh interaksinya dengan klien. Sebaliknya peran klien sangat pasif, cenderung menerima, dan tentunya akan diharapkan menyetujui dan melaksanakannya 11esuai dengan petunjuk yang diberikan konselor.
Menurut Latipun (2005) ada beberapa peranan konselor dalam hal ini, yaitu: a. Konselor lebih edukatif-direktif kepada klien, yaitu dengan jalan banyak memberikan cerita dan penjelasan, khususnya pada tahap awal; b. Mengkonfrontasikan masalah klien secara langsung; c. Menggunakan pendekatan yang dapat memberi semangat dan memperbaiki cara berpikir klien, kemudian memperbaiki mereka untuk mendidik dirinya sendiri; dan d. Menyerukan klien menggunakan kemampuan rasional daripada emosinya.
2. Pendekatan Tidak Langsung (Non Directive Counseling) ••
23
Pendekatan non direktif ini merupakan reaksi terhadap pendekatan direktif. Pendekatan ini dalam Sofyan S. Willis (2004) sering disebutjuga client-
centered therapy adalah suatu metode perawatan psikis yang dilakukan dengan cara berdialog antara konselor dengan klien, agar tercapai gambaran yang serasi antara ideal self (diri klien yang ideal) dengan actual self (diri klien sesuai kenyataan sebenarnya).
Berdasarkan pengertian di atas, tujuan pendekatan ini adalah untuk membina kepribadian klien secara integral, berdiri sendiri dan mernpunyai kernampuan untuk memecahkan masalah sendiri. Kepribadian yang integral adalah struktur kepribadiannya tidak terpecah 1utinya sesuai antara gambaran tentang diri yang ideal (ideal self) dengan kenyataan diri sebenarnya (actual self). Kepribadian yang berdiri sendiri adalah yang mampu menentukan pilihan sendiri atas dasar 1anggung jawab dan kemampuan. Tidak tergantung pada orang lain sebelum menentukan pilihan, tentu individu harus memahami (kekuatan dan tlelemahan diri), dan kemudian keadaan diri tersebut ia terima. Pendekatan ini memberikan kesempatan dan hmggung jawab kepada klien untuk mencapai tujuan konseling. Peranan utarna dipegang oleh klien, sedangkan konselor hanya berperan sebagai orang penuh penerimaan dan perhatian terhadap problem klien serta menunjukkan sikap mau membantu. Jadi dengan pendekatan ini fungsi konselor hanya sebagai pendengar yang
24
aktif dan dapat memantulkan kembali pikiran dan perasaan klien, dengan disertai perasaan konselor yang menunjukkan sikap menerima dan penuh pengertian (Yusuf Gunawan dan Chaterine Dewi, 2001)
Berdasarkan uraian di atas, maka pendekatan non direktif ini menuntut kernampuan seorang klien untuk memecahkan problemnya sendiri. Hasil yang efektif dari pendekatan ini merupakan hasil dari kekuatan klien sendiri untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan membina hubungan baik dan saling pengertian dengan seorang konselor. Dengan kondisi ini klien akan berani menyatakan perasaannya dan mengerti reaksi-reaksi serta belajar menerima diri sendiri.
A. Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Non Direktif
Menurut Yusuf Gunawan dan Chaterine (2001) pendekatan non direktif ini akan sangat efektif dalam beberapa kondisi, yaitu: a. Klien dalam keadaan tertekan yang kurang berbahaya; b. Klien mengalami kesukaran perasaan dan tidak mampu menganalisis kesukaran; c. Klien mengalami l<esulitan mengungkapkan perasaannya dan tidak mampu menganalisisnya secara rasional; d. Klien memiliki konflik perasaan yang aktual;
"
25
e. Konselor memiliki kecakapan yang baik dalam menggunakan pendekatan ini;
f.
Klien ditunut memegang kendali tanggung jawab dalam pemecahan masalah, terutama dalam pengambilan keputusan dan tindakannya;
g. Sebab-sebab kesukaran tampak samar dan masalahnya cukup kompleks.
Demikian beberapa kelebihan pendekatan ini, namun pendekatan ini memiliki keterbatasan dan kelemahan-kelemahm1, sebagaimana dijelaskan Yusuf Gunawan dan Chaterine Dewi (2001 ), ya
26
f.
Pendekatan ini menuntut sikap dewasa dari klien, karena klien harus dapat menerima diri sendiri dan dapat berdiri sendiri untuk memecahkan masalahnya sendiri;
g. Pendekatan ini kurang menghargai psikodiagnostik, karena psikodiagnostik mengobjektifkan manusia; h. Klien dapat menerima akibat yang kurang baik dan memperlemah semangatnya dari penggunaan pendekatan ini, karena klien harus menerima dan menanggung kesulitan-kesulitan diri sendiri;
i.
Pendekatan ini memiliki kesukaran bagi klien, karena tidak diarahkan kepada sutu tujuan tertentu;
j.
Pendekatan ini memiliki kesukaran bagi klien yang kesulitan mengungkapkan dirinya dengan bahasa yang baik, terutama bagi klien yang malu berbicara; dan
k. Klien akan merasa kecewa, karena ia merasa dibiarkan oleh konselor untuk memecahkan masalahnya sendiri. Padahal ia datang minta bantuan kepada konselor, karena ia sendiri tidak dapat memecahkan masalahnya.
B. Peran Konselor
Dalam pendekatan non direktif, konselor lebih hanyak memberikan kesempatan kepada ~lien untuk mengungkapk11>n segala permasalahan,
27
perasaan dan persepsinya, sementara konselor rnerefleksikan segala yang diungkapkan oleh klien. Agar peran ini dapat dipertahankan dan tujuan konseling dapat dicapai, maka konselor perlu menciptakan kondisi yang mampu menumbuhkan konseling. Menurut Latipun (2005) ada beberapa kondisi yang perlu diciptakan untuk rnembangun hubungan konseling, yaitu: a. Konselor dan klien berada dalam hubunuan psikologis; b. Klien adalah orang yang mengalami kec~masan, pernderitaan dan ketidakseimbangan; c. Konselor adalah benar-benar dirinya sejati dalam berhubungan dengan klien; d. Konselor merasa atau menunjukkan unconditional positive regard untuk klien; e. Konselor menunjukkan adanya rasa empati dan memahami tentang kerangka acuan klien serta memberitahukan pemahamannya kepada klien; dan f.
Klien menyadari usaha konselor yang menunjukkan sikap empatik berkomunikasi dan unconditioning positive regard kepada klien.
Berkaitan dengan peran konselor ini, maka dalam memahami perilaku klien, konselor menggunakan pendekatan internal frame of reference klien seniri. Kemudian untuk menpiptakan kondisi tersebut, teknik yang dapat
,---_,_ '
f
8
-·--------P?C,ff P!f..;~- rl, f1· :------/ •
./ WN Sl'.41111 . ' ' ' : ----
2
· •111!
. iK1Ji?7~ I ----- -~--·------ --·-·----~-~~~:~~~,/
dikembangkan adalah verbalisasi, teknik non verbal, membuka diri dan ekspresi emosi (Latipun, 2005).
C. Tahapan Konseling Setelah penulis menguraikan kelebihan dan kelemahan pendekatan non direktif ini, maka selanjutnya akan dijelaskan proses dan tahapan pendekatan non direktif. Menurut Boy dan pine (1981) dibagi menjadi dua tahap, yaitu: pertama, tahap membangun hubungan terapetik, menciptakan kondisi fasilitatif dan hubungan yang substantif seperti empati, kejujuran, ketulusan, penghargaan, dan sikap positiftanpa syarat. K"dua, tahap kelanjutan yang disesuaikan dengan efektivitas hubungan kons~iling dan disesuaikan dengan kebutuhan klien.
Sedangkan menurut Corey (1988) jika dilihat drui segi pengalarnan klien dalam proses hubungan konseling dapat dibag1 rnenjadi empat tahap, yaitu: a. Klien datang ke konselor dalam kondisi hdak kongruensi, mengalami kecemasan, atau kondisi penyesuaian dtti yang tidak baik; b. Saat klien menemui konselor dengan penuh harapan dapat memperoleh bantuan, jawaban atas permasalahan yang sedang dialami, dan menemukan jalan atas kesulitan-kesulitannya; c. Pada awal konseling, klien menunjukkan perilaku, sikap dan perasaannya yang kaku. Pada tahap aw11l ini klien cenderung 1.
29
menginternalisasi perasaan dan masalalmya, serta rnungkin bersikap dipensif. Karena kondisi yang diciptakan konselor kondusif dengan sikap empati, penghargaan dan konselm terus membantu klien untuk mengeksplorasi dirinya secara lebih terbuka, sehingga ditandai dengan sikap yang lebih menyatakan diri yang sesungguhnya; dan d. Klien yang mulai menghilangkan sikap dan perilaku yang kaku, membuka diri terhadap pengalamannya, dan belajar untuk bersikap lebih matang dan teraktualisasi, dengan jalan menghilangkan pengalaman yang didistorsinya.
3. Pendekatan Eklektik
Munculnya pendekatan eklektik ini karena beberapa alasan, antara lain karena lemahnya penggunaan model tunggal untuk semua kasus yang pada kenyataannya tidak mudah untuk diterapkan pada semua orang . Padahal kehidupan dan keberadaan bahkan persoalan pada setiap orang berbedabeda. Untuk mengatasi hal itu maka harus dicoba secara kreatif memilih bagian-bagian dari beberapa pendekatan yang relevan. Kemudian secara sintesis-analitik diterapkan kepada kasus yang dihadapi. Pendekatan seperti ini dinamakan Creative-synthesis-Analytic (CSA).
30
Allen E. Ivey (1980) dalam Sofyan S. Willis (2004) menyebutkan pendekatan CSA ini dengan nama eclectic approach yaitu memilih secara selektif bagianbagian teori yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan konselor. Peran konselor dalam pendekatan ini bersifat k·indisional disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan klien. Dalam pendekatan eklektik, konselor kadangkala bisa sebagai penentu pemecahan rmisalah, kadangkala sebagai partner klien, psikoanalisis dan sebagainya. Pe•an konselor yang kondisional ini menurut Latipun (2005) terjadi karena perannya tidak terdefinisi secara khusus dan ditentukan oleh jenis pendekatan yang digunakan. Tahapan konseling eklektik sebenarnya menganut tahapan-tahapan yang spesifik sebagai berikut:
i. Tahap eksplorasi masalah Pada tahap ini yang terpenting adalah konselor menciptakan hubungan baik dengan klien, membangun saling kepercayaan, menggali pengalaman klien pada perilaku yang lebih rnendalam, mendengarkan apa yang menjadi perhatian klien, menggali pengalaman-pengalaman klien dan merespon klien, perasaan dan arti dari apa yang dibicarakan klien. 2. Tahap perumusan masalah Masalah klien baik afeksi, kognisi, maupun tingkah laku diperhatikan oleh konselor. Setelah itu konselor dan klien, merumuskan dan membuat kesepakatan masc;tlah apa yang sedang dihadapi. Masalah sebaiknya
31
dirumuskan dalam terminologi yang jelas. Jika rumusan masalahnya tidak disepakati perlu kembali ke tahap pertama. 3. Tahap identifikasi masalah Konselor bersama klien mengidentifikasi alternatif-alternatif pemecahan dari rumusan masalah yang telah disepakati, alternatif yang diidentifikasi adalah sangat mungkin dilakukan, yaitu yang tepat dan realistik. Konselor dapat membantu klien menyusun daftar alternatif-alternatif, dan klien memiliki kebebasan untuk memilih alternatif yang ada. Dalam hal ini konselor tidak boleh menentukan alternatif yang harus dilakukan klien. 4. Tahap perencanaan Jika klien telah menetapkan pilihan dari sejumlah alternatif, selanjutnya menyusun rencana tindakan. Rencana tindakan ini menyangkut tindakan apa saja yang akan dilakukan dan sebagainya. Rencana yang baik jika realistik, bertahap, tujuan setiap tahap juga 1elas dan dapat dipahami oleh klien. Dengan kata lain, rencana yang dibuat bersifat tentatif sekaligus pragmatis. 5. Tahap tindakan atau komitmen Tidak berarti operasionalisasi rencana yang disusun. Konselor perlu mendorong klien untuk berkemauan melaksanakan rencana-rencana itu. Usaha klien untuk melaksanakan rencana s<mgat penting bagi keberhasilan konseling karena tanpa ada tir>dakan nyata proses konseling tidak ada artinya. ,
32
6. Tahap penilaian dan umpan balik Konselor dan klien perlu mendapatkan umpan balik dan penilaian tentang keberhasilannya. Jika ternyata ada kegagalan m~ka perlu dicari apa yang menyebabkan klien harus bekerja mulai mulai dari tahap yang mana lagi. Mungkin diperlukan rencana-rencana baru yang sesuai dengan keadaan klien dan perubahan-perubahan yang dihadapi klien. Jika ini yang diperlukan maka konselor dan klien secara fleksibel menyusun alternatif atau rencana yang lebih tepat.
Cara kerja tahapan-tahapan konseling eklektik sebagaimana dikemukakan Carkhuff secara sistematik dapat dilihat pada g111mbar berikut (latipun, 2005):
I Eksplorasi masalah
II
Perumu san mas alah
III Identifika si masalah
IV Percnca naan
v Aksi/kom itmen
VI Assesm ent dan um pan balik
I I I I I I Berdasarkan elaborasi yang panjang lebar tentang ketiga pendekatan dalam konseling, maka dapat dilihat bahwa pendekatan konseling yang relevan dan dilakukan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan adalah pendekatan non direktif atau sering disebut juga client-centered therapy adalah suatu metode
33
perawatah psikis yang dilakukan dengan cara berdialog antara konselor dengan klien, agar tercapai gambaran yang serasi antara ideal self (diri klien yang ideal) dengan actual self (diri klien sesuai kenyataan sebenarnya). Pendekatan ini memberikan kesempatan dan tanggung jawab kepada klien untuk mencapai tujuan konseling. Peranan utama dipegang oleh klien. sedangkan konselor hanya berperan sebagai orang penuh penerimaan dan perhatian terhadap pmblem klien serta menunjukkan sikap mau rnembantu. Jadi dengan pendekatan ini fungsi konselor hanya sebagai pendengar yang aktif dan dapat rnemantulkan kembali pikiran d111n perasaan klien, dengan disertai perasaan ernpati konselor yang menun,ukkan sikap menerima dan penuh pengertian.
2.1.5 Proses Konseling
Kata proses dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya runtutan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu; rangkaian tindakan perbuatan (Moeliono, et.al.,1998). Dalam kamus Dewan, proses diartikan sebagai perubahan atau peristiwa yang berlaku dalam perkembangan sesuatu (Othman, et.al., 1991 ).
Menurut Baraja (2004) proses konseling merupakan suatu cara atau langkahlangkah agar kegiatai;i konseling berjalan sehingga dapat mengungkapkan
34
dan memecahkan masalah klien, maka dalam proses konseling perkawinan diharapkan dapat terungkap masalah/konflik yang dihadapi suami isteri sehingga terjadi perdamaian diantara mereka dan selain itu akan bisa dirumuskan strategi pemecahan masalah-masalahnya.
Menurut Brammer (1979) dalam Sofyan S.WilliS (2004) proses konseling adalah peristiwa yang tengah berlangsung dan memberi makna bagi peserta konseling tersebut (konselor dan klien). Proses konseling terlaksana karena hubungan konseling berjalan dengan baik.
Menurut Sofyan S. Willis (2004) secara umum proses konseling dibagi atas tiga tahapan: 1. Tahap Awai Konseling Adapun proses konseling tahap awal yang dilakukan konselor sebagai berikut: a. Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien; b. Memperjelas dan mendefinisikan masalah; c. Membuat penaksiran dan penjajakan; dan d. Menegosiasikan kontrak.
2. Tahap Pertengahan Berangkat dari definisi masalah klien yang disepakati pada tahap awal, maka kegiatan selanjutnya adalah memfokuskan pada aspek:
35
a. Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah, isu, dan kepedulian klien lebih jauh; b. Menjaga agar hubungan klien tetap selal\J terpelihara; dan c. Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak;
3. Tahap Akhir Konseling (Tahap Tindakan) Pada tahap akhir konseling ditandai dengan beberapa hal, yaitu: a. Memutuskan perubahan sikap dan perilaku yang memadai; b. Terjadinya transfer of learning pada klien; c. Melaksanakan perubahan perilaku; dan d. Mengakhiri hubungan konseling
Proses konseling perkawinan dalam hal ini akan merujuk pada pendekatan yang dikemukakan oleh Carkhuff, seorang teontikus pendekatan eklektik. Carkhuff (Winkel dan Sri Hastuti, 2004) yang mengemukakan model konseling sistematis yang menjamin efisiensi dan efektifitas dari proses konseling serta menghasilkan perubahan positif yang nyata pada diri klien, yaitu dengan melewati tiga fase pokok dalam proses konseling adalah fase eksplorasi (exploration), pemahaman diri (understanding), dan bertindak (action).
36
2.2 Konseling Perkawinan 2.2.1 Pengertian Konseling Perkawinan
Adapun mengenai konseling perkawinan terdapat beberapa istilah, yaitu
couples counseling, maniage counseling, dan marital counseling. lstilahistilah ini dapat digunakan secara bergantian dan memiliki makna yang sama (Latipun, 2005).
Menurut Klemer (1975) dalam Latipun (2005) konseling perkawinan merupakan konseling yang diselenggarakan sebagai metode pendidikan, metode penurunan ketegangan emosional, metode yang membantu partnerpartner yang menikah untuk memecahkan masalah dan menentukan pola pemecahan masalah yang lebih baik.
Dikatakan sebagai metode pendidikan, karena 1
Penurunan ketegangan emosional dimaksudkan bahwa konseling perkawinan dilakukan biasanya saat kedua belah pihak berada pada situasi
37
emosional yang sangat berat (akut). Dengan konseling, pasangan dapat melakukan ventilasi, dengan jalan membuka emosinya sebagai katarsis terhadap tekanan-tekanan emosional yang dihadapi (Latipun, 2005).
Menurut Latipun (2005) ada tiga asumsi yang mendasari konseling perkawinan, yaitu: 1. Konseling perkawinan lebih menekankan pada hubungan pasangan, bukan kepada kepribadian masing-masing partner. Konse!or tidak menekankan untuk mengetahui secara mendalam kepribadian setiap klien yang datang. Dia akan menekankan tentang bagaimana hubungan yang terjadi selama ini diantara pasangan tersebut. Konselor dibolehkan melihat ke belakang tentang aspek kepribadian, termasuk riwayat-riwayat masa lalunya, namun yang ditekankan adalah bagaimana sifat kesulitan yang dihadapi menyangkut hubungan kedua belah pihak;
2. Masalah yang dihadapi kedua belah pihak dalam kondisi mendesak (akut), sehingga konseling perkawinan dilaksanakan dengan pendekatan iangsung untuk memecahkan masalah; dan
3. Masalah-masalah yang dihadapi pasangan adalah masalah-masalah yang normal, b,"ukan kasus ekstrim yang bersifat patologis. Masalah
38
normal adalah masalah yang umum dialami dalam kehidupan keluarga, hanya saja pasangan suami istri mengalami kesulitan mengatasi konflik-konfliknya.
2.2.2 Konselor Perkawinan
Konselor perkawinan di Sadan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4 Pusat, 1997) harus memenutii kualifikasi sebagai berikut:
1. Konselor atau penasehat perkawinan diangk11t dan diberhentikan oleh pengurus masing-masing tingkatan organisa111 2. Konselor perkawinan harus: a. Berkelakuan baik dan beramal saleh, terutama dalam kehidupan berkeluarga; b. Menyimpan rahasia orang yang berkepentingan; c. Sudah mengikuti pelatihan sebagai konselor perkawinan; d. Berumur sekurang-kurangnya 30 tahun dan telah kawin; dan e. Memiliki pengetahuan dan keterampilan lentang konseling perkawinan dan keluarga.
Di samping itu konselor juga diharapkan memillki beberapa aspek (BP4 Pusat, 1997):
,,
39
a. Rasa pengabdian yang tinggi. Jika rasa pengabdian itu tidak tertanam pada diri konselor, maka jangan harap ia akan ikhlas dalam beramal. Bahkan sebaliknya setiap tindakannya d1dasarkan pada keuntungan; b. Motivasi yang kuat. Para konselor akan cepat putus asa dalam mengatasi perselisihan yang berat dalam perselisihan suarni istri; dan c. Mampu menerapkan metode yang baik. Para konselor harus memiliki dan pandai menerapkan metode yang baik, karena metode yang diterapkan berpengaruh pada berhasil atau tidaknya dalam menangani suatu masalah;
2.2.3 Tujuan Konseling Perkawinan
Pelaksanaan konseling perkawinan tidak memiliki orientasi untuk mempertahankan suatu keluarga. Konselor berpandangan bahwa dirinya tidak memiliki hak untuk memutuskan cerai atau tidak sebagai solusi terhadap masalah yang dihadapi pasangan. Brammer dan Shostrom (1962) mengemukakan bahwa perhatian utama konseling perkawinan adalah berorientasi untuk membantu klien-kliennya dalam mengaktualisasikan diri; apakah dengan jalan bercerai atau tidak.
Pada hakikatnya tujuan konseling perkawinan 11dalah untuk clapat mempengaruhi sikap,,, tingkah laku, pikiran, pen1saan dan terutama cara
40
mengambil keputusan. Penasehatan perkawim~n terutama yang sedang mengalami masalah (merital conflik) lebih bertl!fuan agar pasangan perkawinan dapat mengambil sikap lebih dewa111a dan berfikir positif. Menurut Deva (1989) pasangan perkawinan yang sedang mengalami konflik marital umumnya tidak lagi mempunyai hubungan yang baik dengan realitas. Dalam hal ini penasehatan dibutuhkan agar suami dan istri, masing masing dapat berdiri sendiri, bersedia untuk saling membantu dan memperkokoh ikatan perkawinannya. Menurut Masdani (1980) penar.ehatan juga bertujuan untuk mengurangi ketegangan dan untuk menolong suami istri agar dapat mengembangkan perilaku yang efektif dalam menghadapi konflik marital. Dalam hal ini penasehatan yang diberikan diharapkan dapat membantu mereka memperoleh pengertian yang obyektif tentang keadan yang dihadapinya. Keadaan ini akan membawa mereka mengenal dan mampu mengungkapkan perasaannya sehingga dapat mengurangi ketegangan dan deritanya hingga mereka akan dapat berfikir realistis (BP4 Pusat, 1997).
Dalam konseling perkawinan, konselor membantu klien untuk melihat realitas yang dihadapi dan mencoba menyusun keputusan yang tepat bagi keduanya. Keputusannya dapat berbentuk menyatu kembali, berpisah, bercerai, untuk mencari kehidupan yang lebih harmonis, dan menimbulkan rasa aman bagi keduanya.
'
41
Secara lebih rinci tujuan jangka panjang konseling perkawinan menurut Huff dan Miller dalam Latipun (2005) adalah sebagai berikut: a. Meningkatkan kesadaran terhadap dirinya dan dapat saling empati diantara para partner; b. Meningkatkan kesadaran tentang kekuatan dan potensinya masingmasing; c. Meningkatkan keinginan untuk saling membuka diri; d. Meningkatkan hubungan yang lebih intim; dan e. Mengembangkan keterampilan komunikasi, pemecahan masalah, dan mengelola konflik.
2.2.4 Tipe-Tipe Konseling Perkawinan
Untuk memahami lebih lanjut tentang pelaksan111m konseling perkawinan, rnaka diklasifikasikan empat tipe konseling pert.awinan, yaitu: concurrent,
collaborative, conjoint, dan couples group counseling (Latipun, 2005). a. Concurrent Marital Counseling Konselor yang sama melakukan konseling seC<11ra terpisah pada setiap partner. Metode ini digunakan ketika salah seorang partner memiliki masalah psikis tertentu untuk dipecahkan tersendiri. Dalam pendekatan ini konselor mempelajari kehidupan masing-masing pasangan yang dijadikan bahan
42
dalam pemecahan masalah "pribadi" maupun masalah yang berhubungan dengan perkawinannya.
b. Collaborative Marital Counseling Setiap partner secara individual menjumpai konselor yang berbeda. Konseling ini terjadi ketika seorang partner lebih suka menyelesaikan masalah hubungan perkawinannya. Sementara konselor yang lain menyelesaikan masalah-masalah lain yang juga menjadi perhatian kliennya. Konselor kemudian bekerja sama membandingl
c. Conjoint Marital Counseling Suami istri secara bersama-sama datang ke seorang atau beberapa konselor. Pendekatan ini digunakan ketika kedua partner dimotivasi untuk bekerja dalam hubungan, penekanan pada pemahaman dan modifikasi hubungan. Pada tipe ini, konselor secara simultan melakukan konseling terhadap kedua partner.
d. Couples Group Counseling Beberapa pasangan suami istri bersama-sama datang kepada seorang atau beberapa konselor. Pendekatan ini digunakan sebagai pelengkap conjoint
counseling. Metode ini dapat mengurangi kedalaman situasi emosional antara pasangan, selanjutnya mereka belajar dan memelihara perilaku yang lebih rasional dalam kelompok.
44
yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan". Sementara menurut Roxane S. Lulofs. dan Dudley D. Cahn (2000), "Konflik adalah dua atau lebih reaksi yang bertentangan terhadap suatu peristiwa, atau perbedaan antara dua individu, adanya saling permusuhan antara kelompok, atau adanya suatu masalah yang harus diselesaikan". Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan konflik adalah adanya suatu kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang membawa ketidakharmonisan baik dari individu atau kelompok.
Dalam bahasa Arab menurut Munir al-Ba'labakiy dalam kamus al-Maurid (1994), kata konflik bisa disebut dengan niza'un atau khilaf. Niza' berasal dari kata naza'a yang dalam al-Qur'an disebutkan dalam berbagai bentuk (Muhammad Fu'ad al-Baqiy, tt.th), kata naza'a memiliki beberapa arti di antaranya: 1. Pertentangan, perselisihan (Q.S. Ali lmron/3:152) 2. Berbantah (Q.S. al-Anfal/8:46) 3. Menarik (Q.S. Asy-Syu'ara/26:33) 4. Mencabut (Q.S.Huud/11 :9) 5. Berlainan pendapat (Q.S. an-Nisa/4:59) 6. Melenyapakan (Q.S. al-Hijr/15:47) 7. Menggelimpangkan (Q.S. al-Qamar/54:10) 8. Memperebutkqn (Q.S. ath·Thur/52:23)
dalam mendefinisikan konflik, yaitu "Suatu keadaan dimana terdapat pertentangan baik secara fisik atau non fisik, olch kelompok atau perorangan".
2.1.2 Sebab-Sebab Terjadinya Konflik
Dalam upaya penanganan konflik secara baik dan benar, maka diperlukan pengenalan yang baik terhadap akar timbulnya konflik tersebut. Banyak aspek yang menyebabkan timbulnya konflik, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Sebelum penulis membahas tentang objek sumber konflik, maka penulis ingin memaparkan bahwa ada lima aspek yang memiliki keterkaitan dan saling mempengaruhi dalam kehidupan seseorang. Kelima aspek tersebut adalah pikiran, suasana hati, perilaku, reaksi fisik dan lingkungan (Dennis Greenberger dan Christine A. Padesky, 2004). Di samping kelima aspek tersebut, Siti Zainab (2005) menambahkan bahwa faktor agama juga memiliki peran yang signifikan untuk mempengaruhi pola perilaku pasangan suami istri dalam konteks penyebab timbulnya konflik.
46
Konflik suami istri dalam kehidupan rumah tangga bisa terjadi karena beberapa sebab. Terkadang penyebabnya hanya satu, namun ada juga yang penyebabnya lebih dari satu. Bahkan penyebab pertama bisa mendatangkan penyebab berikutnya.
Pada penelitian ini, penulis akan menjelaskan enam faktor penyebab konflik yang diambil dari obyek atau pelakunya yang saling kait mengait dan saling mempengaruhi dalam kehidupan sesorang, sehagaimana dikemukakan oleh Dennis Greenberger dan Christine A. Padesky (2004) serta oleh Siti Zainab (2005). Adapun penyebab terjadinya konflik ter111ebut adalah: a.Agama. Faktor agama yang dimiliki oleh suami istri
se~lum
dan sesudah menikah
sangat mempengaruhi kondite sebuah rumah langga. Agama dapat dikatakan sebagai peta atu kompas sebagai petunjuk bagi pasangan suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Seringkali konflik terjadi karena ketidaksiapan atau ketidakmampuan suami istri dalam mengurus rurnah tangga serta ketidaktahuan akan hak dan kewajiban sumai istri yang telah ditentukan oleh hukum agama (Shaleh Ghanim, 2001).
47
Pemahaman dan pengamalan agama yang baik membimbing kepada jalan yang benar. Demikian sebaliknya pemahaman dan pengalaman agama yang minim dan parsial, berakibat pada perilaku, suasana hati maupun reaksi fisik yang tidak benar. Dan akhirnya semuanya akan bermuara pada masalah hubungan suami istri, baik antara mereka berdua, keluarga mereka, bahkan berdampak pada lingkungan dimana mereka tinggal. Dalam konteks ini terlihat relevansi petunjuk Rasulullah saw. dalam memilih pasangan hidup (suami istri) bahwa faktor agama merupakan faktor yang sangat signifikan dalam membina rumah tangga. b. Pikiran Pikiran yang buruk (negatifthinking) dan prasangka berlebihan kepada pasangan atau keluarganya, maupun lingkungannya karena terjadinya misscommunication, sangat berbahaya karena akan mengakibatkan terjadinya konflik dan disharmonis hubungan manusia dalam setiap lini kehidupan bahkan hubungannya dengan Allah. Selain berbahaya prasangka buruk juga merupakan dosa bagi pelakunya, sebagaimana firman Allah: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu ada/ah dosa" (Al-Hujurat: 12).
48
Kecenderungan seorang istri lebih banyak berpraduga kepada suami, karena secara alamiah perempuan lebih banyak atau 10ering berpikir yang berlebihan daripada laki-laki. Seperti riset selama 20 tahun oleh Susan Nolen-Hoeksema menunjukan makin banyak perempuan yang b1011ikir secara berlebihan. Di sisi lain perempuan terlahir sebagai orang yang cenderung berfikir terlalu banyak dan menganalisa secara berlebihan (Tabloid Awa, 2004). Berpikir secara berlebihan akan menjadi masalah jika menjadi sebuah tuntutan tanpa kompromi, demikian juga pikiran berlebihan dalam melihat masalah yang terjadi dalam keluarga baik dengan pasangan secara langsung ataupun tidak langsung memberi peluang mendatangkan konflik, atau mempengaruhi konflik yang telah ada. c. Suasana hati.
Suasana hati kurang stabil, sedikit banyak berpengaruh pada perilaku dan reaksi fisik terhadap stimulus yang diterima dari luar, dengan atau tanpa pemikiran terlebih dahulu. Jika hal tersebut tidak dipahami oleh pasangan suami istri, maka dapat menimbulkan kesalahpahaman dan berujung pada terjadinya konflik, baik besar maupun kecil.
49
Menurut hasil penelitian, sekitar 70 % perempuan menderita sindrom pramenstruasi -premenstrual syndrom (PMS) sampai tingkat tertentu. Pada tingkat paling ringan, PMS menyebabkan mudah marah, menangis dan kembung. Tapi 1 diantara 20 perempuan menderita kondisi yang membuat lemah, yang dapat mempengaruhi suasana hati, harga diri, hubungan interpersonal dan pekerjaan (Tabloid Aura, 2004). d. Perilaku Perilaku yang buruk disebabkan kurangnya pemahaman agama tentang hak dan kewajiban suami istri atau karena pengaruh lingkungan yang tidak kondusif. Perilaku yang buruk, seperti suka menuntut yang berlebihan, menghina, cemburu yang berlebihan, sombong, tidak bisa menghargai orang lain, tidak melaksanakan kewajiban suami istri, melakukan perbuatan maksiat, keras kepala, kikir, bores, berkhianat, materiali11tik, dan lain sebagamya. Contoh perilaku istri yang berkhianat diilustrasikan dalam firrnan Allah: Artinya: "Allah membuat istri nabi Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang yang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shaleh di antara hamba-hamba kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya, maka kedua suaminya itu ti111da dapat mernbantu mereka sedikitpun dari siksa Allah; dan dikatakan kepada keduanya: "Masuklah ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk neraka" (At-Tahrim:10).
50
Di samping itu, konflik juga terjadi !<arena kesalahan dalam berkomunikasi, bagaimana menerima dan mengirim pesan. Proses komunikasi memang sangat kompleks. Pesan yang diterima bukan saja dari telinga, namun yang sangat berpengaruh bagaimana mengartikan pesan yang didengar, selanjutnya bagaimana mengartikan pesan yang diterima sangat tergantung kepada latar belakang masing-masing pasangan sebelum perkawinan. Dalam sebuah studi yang diterbitkan di Journal of Marriage and Family, Gettman dan para koleganya melihat bahwa kebanyakan konflik diawali oleh pertengkaran suami istri yang seringkali dicetuskan oleh istri dengan nada pembicaraan yang meninggi (Tabloid Aura, 2003). Fenomena ini dapat dipahami, karena secara fitrah, perempuan sangat mudah dikuasai oleh emosi, sehingga tidak lagi mampu mengendalikan dirinya dengan logika dan akal sehat (Muhammad Thalib, 2002). e. Reaksi Fisik Pikiran yang destruktif menimbulkan reaksi fisik yang destruktif pula. Reaksi aktif destruktif, seperti kekerasan bisa berupa bentakan, pemukulan, penyiksaan, dan pembunuhan adalah hal-hal yang sering dilakukan oleh suami terhadap istri dalam menyelesaikan masalah.
51
Namun sebaliknya reaksi pasif destruktif adalah dengan menyiksa diri sendiri dengan berbagai cara, dan yang paling fatal adalah bunuh diri. Reaksi tersebut tidak menyelesaikan masalah, bahkan mempengaruhi dan menambah permasalahan konflik baru. Sementara bagi perempuan yang agresif sering melakukan reaksi fisik secara berlebihan, seperti suka melempar barang ketika terjadi pertengkaran, membanting pintu, bahkan melakukan kekerasan kepada suami atau keluarga yang lain.
2.3.3 Permasalahan Suami lstri dalam
kehid~Jpan
Sohari-Hari
Adapun permasalahan konflik suami istri menurut Siti Zainab (2005) biasanya dipicu oleh bebrapa faktor, yaitu:
1. Perselingkuhan
Perselingkuhan memang kata-kata yang tidak asing didengar pada saat ini. Perselingkuhan bisa terjadi dimana saja terutama di kota-kota besar. Bentuknyapun beragam, dari perselingkuhan dengan teman kantor atau atasan, dengan tetangga, dengan anak kos dan sebagainya.
52
Pelaku perselingkuhan pun sekarang tidak saja didominasi oleh suami, namun dari pihak istri pun mulai meningkat. lni adalah fenomena perkawinan yang sangat ironis dan mencemaskan dalam kmhidupan rumah tangga. Faktor penyebab dari perselingkuhan bermacam-macam, seperti, adanya peluang dan kesempatan, konflik dengan pasangan, seks yang tidak terpuaskan, abnormalitas atau animalistis seks, iman yang hampa karena hilangnya rasa malu dan sebagainya (Abu al-Ghifari, 2003). Perselingluhan dengan alasan apapun bisa membawa akibat yang fatal, yaitu terjadinya perceraian atau putusnya hubungan suami istri. Hal tersebut terjadi karena kebanyakan pasangan sangat sulit memaafkan dan menerima kembali pasangannya yang telah melakukan perselingkuhan.Secara medis akan mendatangkan penyakit kelamin (kalau sampai melakukan zina) dampaknya bisa aborsi. Dari sudut pandang sosial jelas perselingkuhan akan mendatangkan aib, gunjingan dan hinaan dari lingkunganya. Secara psikologis mengakibatkan depresi dan frustras1. Dan yang paling penting dalam konteks ajaran Islam, adalah termasuk suatu perbuatan maksiat, apalagi kalau sampai terjerumus pada perzinahan. 2. Keuangan atau kemiskinan
5.1
Masalah keuangan rentan menimbulkan konfli~ suami-istri. Apalagi pada masa sekarang, naiknya harga kebutuhan po~ok dan banyaknya PHK yang berakibat pada pengangguran, membuat para keluarga kehilangan keseimbangan, tidak saja menimbulkan kekarauan keuangan, namun juga menimbulkan kekacauan psikis, bahkan kegoyohan pada keyakinan. Masalah keuangan tidak hanya terkait dengan kemiskinan. Banyak orang yang sudah mapan secara materi, namun masth berambisi untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa melihat halal haramnya. Semua waktu tersita sampai melupakan kewajlbannya, baik sebagai hamba Allah maupun kewajiban kepada manusia. Sehingga hubungan keluarga dan sosialnya terganggu dan berdampal< pada hubungan yang tidak harmonis. 3. Kekerasan Tingkat kekerasan yang dialami perempuan di Indonesia cukup tinggi dari jumlah penduduk Indonesia yang hampir 217 iuta jiwa, 11,4% atau sekitar 24 juta perempuan, terutama di pedesaan, mengaku pernah mengalami tindak kekerasan. Sebagian besarnya adalah di dalarn rumah tangga, seperti pelecehan seksual, penganiayaan, perkosaan, atau perselingkuhan yang dilakukan oleh pihak suami (Zaitunah Subhan, 2004).
54
Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga bisa berupa kekerasan fisik, psikologis, kekerasan ekonomi dan kekerasan seksual. Jika dicermati jenis kekerasan diatas, maka terjadinya kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga sangat rentan, apalagi bagi pihak istri. Karenanya hal tersebut tidak saja perlu penanganan yang serius, juga diperlukan tindakan prepentif.
Secara sederhana faktor yang menimbulkan kekerasan terbagi dua, yaitu: faktor eksternal adalah berkaitan dengan hubungan kekuasaan suami istri dan diskriminasi gender di kalangan masyarakat. Dan faktor internal yaitu karena kondisi psikis dan kepribadian suami s1wbagai pelaku kekerasan (Fathul Jannah, 2003). 4. Gangguan seksual Kasus yang berkenaan dengan gangguan sek11ual yang mendatangkan konflik terhadap suami istri sangat beragam, d111ngan darnpak dan akibat yang bervariasi pula. Sepe1ti ketidakmampuan suam1 atau istri memberi nafkah batin kepada pasangannya, adanya perilaku y.. ng menyimpang dalam melakukan kegiatan seksual dan sebagainya. Para psikiater mengakui, banyak gangguan mental dan syaraf yang berawal dari problem seksual.Gangguan-gangguan seksual juga dapat menimbulkan berbagai penyakit psikomatis yang akhirnya mengakibatkan gangguan fisik.
55
Sehingga kesehatan emosional juga terkait kepada pengelolaan yang bijaksana dari aspek seksual (Abu al-Ghifari, 2003). Ketidakmampuan mengatasi masalah seksual sering berasal dari masalah komunikasi.
Hal
tersebut
dikarenakan
berbedanya
pria
dan
wanita
menaggapi masalah seks ini. Pria menginginkan cinta dan cenderung menunjukan cintanya dengan memulai hubungan seks. Sedangkan wanita cenderung lebih siap memulainya dengan ungkapan komunikasi non-seksual. Disinilah sering terjadi kesalahpahaman, kar11ma masing-masing pasangan merasa ditolak oleh pasangannya (Dewi L.O, 1995).
Melihat efek dari ketidakpuasan seksual dalam rumah tangga, maka penyelesaian masalah seksual sangat penting. Diperlukan keterbukaan dan kepercayaan dari kedua belah pihak untuk mengatasi hal tersebut. Sehingga bisa jadi perasaan ketidakpuasan dan kekecewaan yang terpendam, membawa kepada perilaku yang mendatangkan konflik terselubung.
2.3.4 Dampak Terjadinya Konflik
Adapun dampak dari terjadinya konflik suami-istri menurut Siti Zainab (2005) adalah sebagai berikut: 1. Akibat Positif
56
a. Konflik suami istri tidak saja mendatangkan kesadaran untuk mengintrospeksi diri pada pasangannya, namun juga introspeksi hubungannya dengan Allah, yang kemud1an mendatangkan keinginan untuk memperbaiki diri dari kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan, juga bertaubat dan membiasakan diri untuk beristighfar (Iman Sulaiman, 2004)
Dengan adanya kesadaran untuk introspeksi din dari kedua belah pihak, maka hal tersebut bisa:
1. Mengilhami kedua belah pihak untuk mengubah cara berpikir, merasa ke arah yang inovatif dan menguntungkan; 2. Menambah atau meningkatkan komitmen dari masing-masing pihak di dalam suatu hubungan (orang merasa lebih terikat); 3. Setelah konflik terselesaikan, masing-masing pihak akan menjadi lebih akrab satu sama lain; dan 4. Dari konflik yang terjadi, pihak-pihak yang berhubungan berusaha untuk mengembangkan suatu aturan main untuk dapat menyelesaikan konflik di masa datang (Budyatna dan Nina Mutmainnah, 2002).
Konflik suami istri bisa menjadi wujud kasih sayang Allah, sebagai proses seleksi dan ujian bagi hambanya. Allah SWT berfirman:
57
"Apakah manusia mengira, mereka akan dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?" (QS. Al-Ankabut:2)
Ujian yang Allah berikan berupa konflik diantara suami istri yang jika disikapi secara benar akan memberikan banyak keuntungan lainnya, seperti rnemberikan sifat sabar dan menumbuhkan rasa bersyukur yang akan mendatangkan pahala serta meningkatkan derajat mereka.
2. Akibat Negatif Konflik bisa menghambat tumbuh dan berkembangnya suatu hubungan dalam beberapa hal: a. Menimbulkan perasaan negatif; b. Konflik seringkali menghabiskan energi. Terutama ketika upaya penyelesaiannya menggunakan strategi konflik yang tidak produktif; c. Konflik menyebabkan menutup dirinya dari pihak lain. Hal tersebut dapat menyebabkan berkurangnya keintiman dan kesempatan untuk berinteraksi secara pribadi; dan d. Akibat yang paling sering dari terjadinya konflik adalah rnelemahkan konsep diri seseorang (Budyatna dan Nina Mutmainnah, 2002).
Selain itu menurut Ahmad Bahjat (2002) damp~k dari konflik perkawinan ini jika dilihat dari pengaruh secara tidak langsung akan berakibat pada beberapa aspek diantaranya adalah:
58
a. Dampak bagi suami istri. Dampak yang sangat umum adalah terjadinya rllsharmonis hubungan suami istri seperti hilangnya rasa kasih sayang, pengt1r1ian, dan harapan yang tidak jarang berujung kepada perceraian. Sedangkan dampak positifnya ialah makin kokohnya ikatan perkawinan, kepercayaan, kebersamaan yang akhirnya menjadikan keluarga yang sakinah.
b. Dampak terhadap anak. Dampak terhadap anak-anak ini tergantung bagaimana orang tua mereka bereaksi terhadap konflik. Hasil penelitian memmjukkan bahwa kematian orang tua dalam peperangan tidak hanya mempengaruhi kehidupan anak pada masa selanjutnya, bahkan mungkin kesedihan tersebut bisa membantu mereka menyadari dan memahami kesedihan orang lain. Akan tetapi, konflik dalam rumah tangga yang dialami seorang anak menghancurkan mental rnereka dan diliputi suasana yang penuh kegelisahan. Kondisi tersebut bisa membekas sampai mereka dewasa (Ahmad Bahjat, 2002).
Dari penelitian tersebut, maka jelas bahwa bagaimana suami istri dapat menangani konflik yang terjadi sangat berpengaruh terhadap jiwa anak. Jika mereka bersikap secara dewasa, maka anak-anak akan belajar bagaimana mereka bereaksi secara baik jika terjadi konflik. Secara psikologis anak-anak akan menjadi pribadi,yang tenang, logis, tidak tergesa-gesa dan tidak mau
59
menang sendiri jika kenyataan tidak seperti yang diinginkan. Membuat anakanak dapat beradaptasi dengan lingkungan, dan tentunya bisa menjadi pribadi yang menyenangkan. Akan tetapi jika penanganan konflik dari orang tuanya tidak baik, apalagi sampai terjadi perceraian, maka secara psikologis anak akan terganggu. Akibatnya anak merasa tidak aman, tertekan, bahkan bisa merasa frustrasi yang pada akhirnya membawa kepada penderitaan. Jika anak mengalami ketidaknyamanan dan frustrasi, maka anak bisa terjerumus kepada perilaku menyimpang dan melakukan kemaksiatan, seperti penggunaan narkoba, minuman keras, bahkan perzinahan.
c. Dampak bagi lingkungan sosial. Dampak bagi lingkungan sosial ini bisa berkaib•n dengan hubungan keluarga dari kedua belah pihak (terlepas letak secara g.,ografis dekat maupun jauh), tetangga dan lingkungan sosial dimana merek<1 tinggal.
Hubungan keluarga kedua belah pihak tentu
s~ngat
berpengaruh dengan
adanya konflik yang terjadi. Jika konflik tersebu1 besar dan tidak terselesaikan dengan baik, maka hubungan keluarga bisa renggang atau disharmonis, bahkan kemungkinan terburuk bisa terputus. Sebaliknya konflik yang ditangani secara baik, maka akan tercipta rasa memiliki dan saling menolong, sehingga menciptakan hubungan keluarga yang lebih dekat dan harmonis.
BAB Ill METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian ini menggunakan metode kualitatif.. Pemilihan pendekatan kualitatif ini didasarkan pada pertimbangan untuk menjawab masalah dan tujuan penelitian, yaitu mengetahui pelaksanaan konseling perkawinan di BP4 dalam menangani konflik suami istri.
Penggunaan pendekatan kualitatif dipergunakan atas tiga pertimbangan pokok. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan gejala yang kompleks. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Lexy Moleong, 2000).
Sehubungan dengan pendekatan ini, maka pendekatan kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Pendekatan ini diarahkan pada setting individu dalam latar tersebut secara menyeluruh.
61
Pertimbangan lainnya mengapa pendekatan kualitatif ini dipilih adalah karena: 1. Peneliti dapat memahami realitas dalam domain pengalarnan masyarakat yang dikaji; 2. Pendekatan kualitatif secara langsung nwenyajikan hakikat hubungan antara peneliti dan informannya; 3. Pendekatan kualitatif lebih dapat beradaptasi dengan keterkaitan polapola tingkah laku dan nilai-nilai yang menjadi latar belakangnya; 4. Desain penelitian kualitatif bersifat fleksihel dan lentur dalam arti secara terus menerus disesuaikan dengi~n kenyataan di lapangan; dan 5. Konsepsi tentang realitas sosial lebih merupakan proses dan realitas yang merupakan produk konstruksi sosial.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang dilakukan di kantor Sadan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Kotamadya Jakarta Selatan.
Adapun karakteristik penelitian kualitatif antara lain adalah ia akan berlangsung dalam latar belakang yang alamiah, peneliti sendiri merupakan alat pengumpul data yang utama, analisis datanya dilakukan secara induktif. Ditinjau dari tujuannya penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif analitis. Penulis berusaha menggambarkan fenomena sosial tertentu secara sistematis, faktual dan akurat (Mohammad Nasir, 1998), kemudian dianalisis
62
secara rinci dan kritis. Dalam konteks ini berarti penulis menyajikan data-data yang telah diperoleh tentang konseling perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan dalam menangani konflik suami istri.
Penelitian data dilakukan dengan dua cara: a. Penelitian Kepustakaan (Ubrary Research) Penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan penulis dengan me!akukan riset kepustakaan dan mengumpulkan data sumber-sumber primer dan sekunder. Selanjutnya untuk memudahkan penulisan dalam penelitian kepustakaan ini, maka penulis menggunakan dua metode, yaitu: 1) metode seleksi sumber (source selection), yaitu dengan menyeleksi bukubuku yang menjadi inti dalam penelitian ini, dan 2) metode analisis inti
(content analysis), yakni dengan membaca dan menyelidiki serta mencermati isi buku-buku dan dokumen yang akan diteliti, sehingga dapat rnemudahkan penulis dalam mengemukakan ide dan persepsr.
b. Penelitian Lapangan (field research) Dalam mengumpulkan data penulis
mengguna~
an teknik interview yaitu
teknik wawancara !angsung untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dari subyek penelitian atau orang yang terlibat 111 da!amnya.
63
3.2 Subyek Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, menurut Strauss dalam Rosenthal dan Rosnow (2004) tidak ada ketentuan baku mengenai jumlah minimal subyek penelitian yang harus dipenuhi. Apabila data yang diperoleh telah cukup memadai dan mendalam, maka dapat diambil subyek dalam jumlah kecil, misalnya pada penelitian yang menggunakan wawancara mendalam. Dalam penelitian ini, subyek berjumlah tiga orang konselor. Pengambilan subyek penelitian dilakukan dengan cara purposive sampling (sampel bertujuan) dimana sampel penelitian diambil dari populasi yang mewakili sampel-sampel lain.
3.2.1 Kriteria Subyek
Dalam kajian pustaka telah disinggung mengenai pengertian konselor, kualifikasi konselor perkawinan dan lain sebagainya, untuk keperluan penelitian ditetapkan kriteria subyek penelitian.
Adapun kriteria subyek I responden adalah: 1. T elah mengikuti pelatihan konseiing perkawinan 2. Merupakan pegawai BP4 yang menjabat sebagai konsultan perkawinan 3. Telah melakukan konseling perkawinan pada pasangan suami istri
64
4. Telah menangani lebih dari tiga orang klien. Penentuan ini didasarkan bahwa konselor tersebut telah memiliki pengalaman dalam menangani klien, serta memahami karakteristik dan psikologis klien.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalarn penelitian ini. akan digunakan metode wawancara mendalam (in-dept interview) dan metode observasi sebagai penunjang.
3.3.1 Wawancara
Menurut Bugin (2001) wawancara merupakan pmses percakapan dengan rnaksud untuk mengkonstruksi mengenai orang kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi, perasaan, dan lain sebagmnya yang diiakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewet) dengan yang diwawancarai
(interviewee).
Pada penelitian ini akan dilakukan wawancara semi terstruktur dan bersifat terbuka, sehingga pada proses wawancara akan dapat menggali informasi yang banyak berdasarkan pedoman wawancam yang telah tersusun, tetapi bersifat luwes, bebas irama serta ada komunikasi yang baik antara
65
pewawancara dengan yang diwawancarai karena proses wawancara bersifat terbuka.
3.3.2 Observasi
Observasi menurut Wayan Nurkancana (1993) merupakan suatu cara pengumpulan data dengan menggunakan pengamatan langsung terhadap suatu obyek dalam suatu periode tertentu dan mengadakan pencatatan secara sistematis tentang hal-hal yang diamati. Pengamatan langsung yang dimaksud dapat berupa kegiatan melihat, mendengar atau kegiatan indera lainnya. Observasi dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi ruang konseling serta fasilitas pendukungnya. Observasi dilakukan secara terbuka, yaitu peneliti menyatakan langsung akan kehadiran peneliti untuk mengadakan penelitian.
3.4 lnstrumen Pengumpulan Data
Untuk memudahkan peniJmpulan data, maka ponulis menggunakan beberapa instrumen sebagai alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian, yaitu pedoman wawancara, lembar observasi dan alat perekam.
66
3.4.1 Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara digunakan agar proses wowancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Selain 1tu, pedoman wawancara juga digunakan sebagai alat bantu untuk melak1>anakan kate9orisasi jawaban sehingga memudahkan dalam melakukan anali1>1s.
3.4.2 Lembar Observasi
Lembar observasi digunakan untuk mencatat sotiap keadaan yang ada dalam penelitian seperti gambaran tempat pelaksanaan penelitian, waktu penelitian, kondisi ruang konseling serta fasilitas pendukungnya.
3.4.3 Alat Perekam (Tape Recorder)
Alat perekam berfungsi sebagai alat bantu agar tidak ada data atau informasi yang terlewatkan dalam wawancara. Disamping itu, alat perekam dapat memungkinkan penulis untuk dapat melakukan konsentrasi pada saat wawancara. Alat perekam juga membantu penulis dalam mengulang kembali hasil wawancara agar diperoleh data yang utuh, sesuai dengan apa yang disampaikan oleh responden dalam penelitian, sehingga mampu
67
meminimalisasi kemungkinan bias yang akan terjadi karena subyektivitas dan keterbatasan penulis. Alat ini digunakan dengan seizin responden.
3.5 Prosedur Penelitian Prosedur penelitian dilakukan dengan tujuan agar pelaksanaan penelitian dapat dilakukan dengan sistematis atas dasar perencanaan yang matang. Prosedur penelitian dimulai dengan tahapan persiapan penelitian yang dilanjutkan dengan tahap pelaksanaan penelitian.
3.5.1 Persiapan Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Peneliti menghubungi kantor BP4 Kotarnadya Jakarta Selatan untuk mempertimbangkan kemungkinan dilakui.;unnya penelitian. b. Membuat pedoman wawancara dan lemllar obsflrvasi yang disusun berdasarkan teori yang relevan dengan PH1salah. c. Melakukan konsultasi dengan dosen pernbirnbing untuk mendapatkan masukan-masukan.
68
d. Melakukan revisi berupa perbaikan atau tambahan yang diperlukan dalam penyusunan pedoman wawancara.
3.5.2 Pelaksanaan Penelitian Setelah persiapan untuk melakuka penelitian telah dilakukan, kemudian peneliti melakukan langkah selanjutnya, yaitu : a. Peneliti menghubungi kembali pihak konselor BP4 Kotamadya Jakarta Selatan untuk menentukan dan meminta kesediaan responden untuk menjadi subyek penelitian. b. Membuat kesepakatan dengan responden mengenai waktu dan tempat pelaksanaan wawancara. c. Melakukan wawancara dengan responden berdasarkan pedoman wawancara yang dibuat dan dibantu lembar observasi serta alat perekam.
3.6 Analisa Data
Karena penelitian ini bersifat kualitatif, maka analisa datanya bersifat iteratif (berkelanjutan) dan dikembangkan sepanjang penelitian berlangsung.
70
Dalam proses reduksi data, penulis menganalisis bahan-bahan yang telah terkumpul, menyusunnya secara sistematis, dan menonjolkan pokok-pokok permasalahannya.
Tahap berikutnya adalah penyajian data dalam konteks ini, penulis menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Data yang telah dipolakan, difokuskan dan disusun secara sistematis tersebut diambil kesimpulan, sehingga makna data dapat ditemukan. Namun kesimpulan itu bersifat sementara saja dan masih bersifat umum. Agar kesimpulan diperoleh secara final maka data lainnya perlu dicari. Data baru tersebut bertugas melakukan pengujian terhadap berbagai kesimpulan tentatif tadi.
BABIV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
;~;,-z
4.1 Gambaran Umum Subyek'Penelitian
Subyek penelitian ini adalah tiga.•,--)!_,,; ,111.rang konselor dari lima orang konselor perkawinan (yaitu mereka yang melakukan konseling perkawinan terhadap pasangan suami istri yang menghadapi konflik perkawinan). Konselor yang dipilih sebagai responden adalah mereka yang telah memiliki pengalaman sebagai konsultan perkawinan.
Responden berusia antara 40-63 tahun. Dua orang responden adalah wanita dan seorang responden lagi adalah laki-laki. Latar belakang pendidikan mereka yaitu satu orang pascasarjana (S2), dua orang sarjana (S1). Mereka telah berpengalaman menjadi konselor perkawinan antara 6 hingga 15 tahun. Mereka telah menangani 50 hingga 130 klien. Diantara mereka, dua orang rnenjadi konselor profesional dan dosen dan satu orang di samping konselor juga berprofesi sebagai da'i.
72
Tabel 4.1 Gambaran Umum Subyek Nama
Usia
Jen is
Pendidikan
Pekerjaan
Pengalama
Klien yang
n menjadi
telah
konselor
ditangani
,f,4\i\·,
kelamin
I A.N
IAR E.N
63
51
42
Pria
Wanita
Wanita
8~
Konselor &
8yari'ah
Da'r
81
Konselor&
Psikologi
Dasen
82
Konselor &
Dakwah
Dost'n
-···--- - ··-- \..------
15 Tahun
130 klien
·-10 Tahun
100 klien
6 Tahun
--·-·
··-·-
·-------.---------··----
----
------·------·-··---
70 klien
Responden pertama adalah A.N. pria kelahiran Jepara 63 tahun silam ini adalah lulusan fakultas 8yari'ah IAIN 8yarif Hid,~yatullah Jakarta. la memulai kiprahnya sebagai konselor sejak 15 tahun yar11,1 lalu. la memiliki pengalaman dan jam terbang yang tinggi memberikan konsEl'l111g perkawinan dalarn menangani konflik suarni istri sesuai dengan tu1,1as'nya di bidang penyuluhan u;usan agama Islam dan pernah beberapa kali menjadi kepala KUA kecamatan di OKI Jakarta. Aktivitas konseling perkawinan yang dijalaninya selama ini dipandang sebagai amal shaleh untuk membantu sebagai penengah suami istri yang sedang menghadapt konflik.
73
Bapak yang memiliki 9 anak ini merupakan sosok yang ramah, bersahabat dan penuh empati sehingga klien yang datang kepadanya bisa lebih tenang untuk melakukan konseling kepadanya dengan pendekatan agama dan hubungan interpersonal yang baik. Di samping sebagai konselor, ia juga masih aktif berdakwah. Hingga saat ini subyek telah menangani lebih dari 100 klien.
Responden kedua bemama A.R., wanita kelahiran Jakarta, 4 November 1955 ini masuk menjadi konselor perkawinan di BP4 sejak tahun 1995 atau sudah 11 tahun mengabdi di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan. Selain menjadi konselor di BP4, ia juga seorang konsultan perkawinan (marriage counseling) di lembaga swasta. Adapun faktor yang melatar belakanginya menjadi konselor adalah karena ia seorang psikolog, senang bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang banyak, dan akhimya menjadi hoby untuk mengenal bermacam-macam karakter orang, sehingga dalam proses konseling diterapkan beberapa pendekatan sesuai dengan karakter klien yang dihadapi. lbu tiga orang anak ini juga memiliki pengalaman belajar di Amerika Serikat dan ia berujar bahwa: "Saya melihat bahwa konseling perkawinan di Indonesia belum begitu popular menjadi kebutuhan, berbeda misalnya dengan di Amerika yang menganggap bahwa marriage counseling merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan".
74
Sebelum menjadi konselor perkawinan di BP4, ia mengajar di fakultas Psikologi UI Depok. Hingga saat ini subyek telah menangani kasus100 klien.
Responden ketiga bernama E.N., wanita kelahiran Jakarta, 2 .Juni 1964 ini masih tampak awet muda walaupun memiliki 6 orang anak, dan ia sangat ramah dalam menghadapi klien. Wanita yang h·>bi mernbaca dan mendengarkan musik ini menyelesaikan SI di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan 82 di llQ Jakarta. la secara resmi masuk
tl•~rgabung
sebagai konselor
BP4 Kotamadya .Jakarta Selatan sejak tahun 2000.
Aktivitas konseling perkawinan yang selama ini dijalaninya dijadikan sebagai tempat untuk selalu belajar dan memperbaiki diri sendiri karena banyak hikmah yang dapat dijadikan pelajaran dari pengalaman hidup dan masalah orang lain. Sebelum bergabung sebagai konselor, ia bertugas di bidang penyuluhan agama Islam dan sebagai dosen btlberapa universitas di Jakarta. Hingga saat ini subyek sudah menangani 70 knsus dan menurut pengakuannya: "Al-Hamdulillah kasus konflik suami istri yang saya tangani lebih banyak ke arah perbaikan (ishlah).
75
4.2 Pelaksanaan Konseling Perkawinan di BP4 Jakarta Selatan
Pelaksanaan konseling perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan sama artinya dengan nasehat perkawinan. Nasehat perkawinan (marriage counseling) adalah suatu proses pertolongan yang diberikan kepada pria atau wanita, sebelum dan sesudah perkawinan agar mereka memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan dalam perkawinan dan kehidupan keluarganya (BP4 Pusat, 1997).
Konseling perkawinan sebelum kawin (pre marital counseling) pada dasarnya diberikan kepada pemuda dan pemudi atau calon-calon suami istri agar mereka memahami secara obyektif peranannya dalam perkawinan dan memahami tanggung jawab masing-masing pasangan suami istri dalam membina keluarga bahagia dan sejahtera. Konseling jenis ini dilakukan di BP4 KUA Kecamatan.
Sementara konseling perkawinan sesudah
per~awinan
pada dasarnya
bersifat pemeliharaan hubungan perkawinan dan kekeluargaan supaya tetap berada pada suasana rukun dan harmonis yanl1 rnenjadi syarat mutlak bagi kebahagiaan kehidupan perkawinan dan keluarga. Dan manakala terjadi konflik dalam rumah tangga, rnaka konseling
p~.rkawinan
diwujudkan dalam
bentuk usaha-usaha pertolongan dan perbaikan dan pengernbalian kondisi
76
yang harmonis bagi kelangsungan rumah tangga pasangan yang bersangkutan. Konseling jenis inilah yang dilakukan di BP4 tingkat Kotamadya/Kabupaten. "'Jadi.. bantuan konseling di BP4 itu ada dua yattu konseling sebelum perkawinan yaitu dengan layanan konseling dan pelatihan bagi para calon pengantin, biasanya setelah dia mendaftar nikah lalu diundang untuk mengikuti pelatihan, materinya seputar keluargn sakinah, ilmu kesehatan yang mengisi acaranya biasanya, da'i, psikolog, bidan dari puskesmas dan itu dilaksanakan di Tingkat Kecamatan. Semenlara untuk konseling sesudah menikah tempatnya ya di BP4 Kotamadya yaitu untuk membantu pasangan suami istri yang sedang menghadapi konflik dalam rumah tangganya ... " (wawancara dengan Bapak A.N., Kamis 9 Nov1~mber 2006}.
Tugas pokok BP4 adalah melaksanakan penasehatan /konseling perkawinan yang bertujuan untuk membantu pasangan suami istri yang menghadapi konflik, dan menyelamatkan perkawinan dari kehancuran serta turut membina terwujudnya sebuah perkawinan yang sakinah mawadah wa rahmah.
4.2.1 Jenis Konseling yang dilakukan
Konseling perkawinan secara umum dilakukan dengan cara konseling tatap muka (face to face counseling) yaitu konseling yang prosesnya secara langsung antara konselor dengan klien di ruangan khusus konsultasi BP4 Kotamadya Jakarta Selatan Jl.Buncit Raya No.2 Pejaten Pasar Minggu Jakarta Selatan.
77
Konseling tatap muka dilakukan dengan terlebih dahulu klien mendaftarkan diri untuk berkonsultasi ke sekretariat BP4, maka pada hari itu juga klien dipersilahkan masuk ke ruang konsultasi perkawinan. "Konseling dilakukan dengan cara tatap muka saja, caranya klien yang datang ke BP4 membawa surat keterangan dari kecamatan dan mengisi form pendaftaran untuk berkonsultasi dan pada hari 1tu juga dapat konsultasi" (Wawancara dengan lbu A.R., Kamis 9 November 2006).
Dalam konteks ini BP4 dapat dikatakan sebaga1 klinik perkawinan (maniage clinic), dimana suami istri yang mengalami konflik perkawinan dapat meminta
bantuan dan pertolongan untuk memperbaiki hubungan perkawinan mereka.
Selanjutnya prosedur untuk mendapatkan kesempatan berkonsultasi dan rnelakukan proses konseling perkawinan di BP..u Kotamadya Jakarta Selatan sangat mudah dan sederhana. Pihak yang berkepentingan dalarn hal ini, suami atau istri dapat rnengisi formulir pendafta
78
mencari solusi terhadap konflik yang dihadapinya dengan bantuan para konselor yang kompeten di bidangnya.
4.2.2 Waktu Pelaksanaan Konseling
Pelayanan konseling perkawinan secara formal dilakukan pada hari Senin sampai Karnis dari pukul 09.00-15.00 WIB. Berikut ini adalah jadwal pelaksanaan konseling.
Tabel 4.2.2 Jadwal Pelaksanaan Konseling dan Daftar Nama Konselor Hari
No
-
Konselor - ---·-··-·
1
Ors. H. Farhan
2
Ora. Hj. Endah Nina Kurmasih, MA
rselasa
1
Ors. H. A. Nasuha
Ra bu
1
Ors. H. Endang lsmai-1-
Kam is
1
Hj. Asita--R. lrisari, S.Psy
2
Ors. H. Nasuha
Sen in
--
Waktu
I
09 00-15.00 WIB
- - - - · ··-·-- ·--··-·
-----------· ......
09 00-15.00 WIB
·-- ----
09.00-15.00 WIB
--- ..
------·
··----
..
....
-
09 00-15.00 WIB
79
4.2.3 Durasi Konseling
Dalam proses pelaksanaar. konseling dilakukan dalam jumlah durasi yang bervariasi. Hal ini tergantung pada masalah dan kebutuhan yang dihadapi klien. Pelaksanaan konseling perkawinan biasanya dilaksanakan dalam tiga sampai empat sesi pertemuan. Pertemuan pertama lebih menitikberatkan pada pada pembentukan hubungan baik antara konselor dengan klien, abstraksi konflik dan identifikasi masalah klien yang melapor. Pertemuan kedua adalah pertemuan konselor dengan pasangan klien untuk membina hubungan baik dan mengecek dan mengkompi1masi laporan dari kiien yang pertama. Pertemuan ketiga adalah mempertemukan kedua pasangan klien untuk melakukan mengkonfrontir informasi kedua pasangan suami istri serta menentukan alternatif penanganan konflik yang diputuskan sendiri oleh klien dengan fasilitasi konselor, apakah mau melakukan perdamaian (is/ah) atau diteruskan kasusnya ke Pengadilan Agama untuk mendapatkan ketetapan hukum. Sedangkan pertemuan keempat adalah kelanjutan dari pertemuan ketiga yang diinginkan klien untuk menuntaskan penyelesaian masalahnya.
Sementara itu durasi konseling dalam setiap sesi pertemuan bervariasi tergantung berat ringannya masalah, namun biasanya berkisar antara 60 menit (satu jam) sampai 90 menit (satu setengah jam).
80
Tabel 4.2.3 Pelaksanaan Konseling Perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan Uraian
Jen is
·---
a. Jenis konseling
a. Tatap muka (facu to face)
b. Teknik
b. Konseling individu bagi pasangan suami istri
I
secara bergiliran dan konselin9 kelompok bagi keduanya s.,cara bersamaan dengan pendekatan clierit centered tlwmpy
counseling c. Tempat
c. Ruang konsultam BP4 Kota Jakarta Selatan
d. Waktu
d. Jadwal konselinu setiap hari senin sampai kamis pada pukul 09.00-15.00 WIB
I I
I
e. Jumlah sesi pertemuan
I f. Durasi waktu
e. Biasanya pertemuan antara 1-3 kali atau lebih sampai 4 kali set'i pertemuan f. Face to face: anhua 1 jam - 1,5 jam
Lpertemuan
4.3 Metode Konseling Perkawinan di BP4 Jakarta Selatan
Metode yang digunakan dalam konseling perkawinan adalah metode non derektif (metode yang bersifat tidak mengarahkan), yaitu cara untuk
82
masalah yang sedang dihadapi. Hal ini dilakukl'1n agar tercipta kemandirian klien dalam menyelesaikan masalahnya sendin "Metode konseling yang saya terapkan disini adalah metode non direktif, yaitu curhatan-curhatanlah antara klien dengan konselor, kita tanya apa keluhannya, lalu klien saya biarkan untuk bercerita mulai sejak awal perkenalan, pacaran lalu sampai dalam pernikahan dia merasa tidak ada keharmonisan dalam perkawinannya. Lalu kam1 sebagai konselor mencatat point-point penting mengenai masalahnya dan dari situlah kelihatan mana yang menyimpang dari aturan syari'at, itulah yang kita harus luruskan. Jadi upayanya supaya tetap terjalin dalam kehidupan berkeluarga itu keluarga yang sakinah mawaddah warahmah" (Wawanc1.1ra dengan Bapak AN., Kamis 9 November 2006).
"Pada pertemuan pertama yang datang biasanya yang merasa terdzolimi, misalnya si istri sendiri lalu pada pertemuan kedua kami melakukan panggilan kepada pihak suami dan melakukan re chek. Maka pada pertemuan ketiga keduanya istri dan suaminya kami pertemukan untuk mengkonfrontir satu sama lain dan membahas permasalahannya kalau bisa sekaligus menentukan alternatif pemecahan masalahannya."(Wawancara dengan ibu AR., Kamis 9 November 2006).
4.4 Faktor pendukung dan penghambat dalam Konseling Perkawinan.
Berdasarkan penelitian dan wawancara yang penulis lakukan terhadap konselor, maka dapat dipaparkan di sini bahwa ada beberapa hal yang menjadi faktor pendukung dan penghambat dalam proses konseling perkawinan dan cara mereka mengatasi hambatan tersebut, antara lain: a. Faktor pendukung dalam pelaksanaan konseling
83
Faktor pendukung dalam pelaksanaan konseling perkawinan ada dua, yaitu faktor konselor dan klien. Faktor konselor meliputi: 1. Kemampuan dan keterampilan konselor dalam melakukan konseling; 2. Kesabaran, pengertian dan motivasi yang mendalam dari konselor dalam memberikan bantuan kepada klien yang memerlukan; dan 3. Mampu menerapkan metode yang tepat. Konselor harus mampu menerapkan metode yang baik dan tepat, karena penerapan metode akan berpengaruh pada berhasil tidaknya pelaksanaan konseling. "Menurut saya, seorang konselor itu harus memiliki pengetahuan dan keterampilan. Di samping ia juga harus memiliki kesabaran dan motivasi yang kuat sehingga dapat melakukan konseling dengan baik" (wciwa:icara der.ga11 ibu AR., Kar11is, S November 2006).
Sedangkan faktor klien meliputi: 1.
Niat atau keinginan klien untuk mencari solusi konflik secara baik dan ada kemauan untuk tetap mempertahankan dan mewujudkan rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah yang membawa kemaslahatan bagi semua;
2. Kejujuran dan keterbukaan klien dalam mengungkapkan masalahnya serta tetap berpikir positif dalam mencari penyelesaian konflik; dan 3. Dapat menjalin hubungan dan kerja sama secara baik dengan konselor sesuai dengan kesepakatan dan harapan bersama.
84
Faktor pendukung lain adalah konflik sekecil apapun harus dikelola dengan baik dan cepat ditangani secara baik, sehingga konfliknya tidak membesar dan merembet ke mana-mana.
Di samping itu, faktor pendukung lain adalah tersedianya sarana prasarana yang memadai bagi keberhasilan proses konseling, seperti ruang konsultasi yang nyaman, tenang dan sejuk, sehingga klien dapat merasa tenang dan
at
home di dalamnya.
"Faktor pendukungnya tentu saja bila ada niat atau kemauan klien untuk tetap mempertahankan rumah tangganya, mau jujur melihat kekurangan diri dan mau memperbaikinya, datang secara teratur berdua dan tidak memaksakan kehendak" (Wawancara dengan lbu E.N., Senin 13 Oktober 2006).
b. Faktor penghambat dalam pelaksanaan konseling Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan, pada umumnya faktor penghambat berasal dari klien, diantaranya adalah sikap klien yang tertutup, tidak mau mengungkapkan masalah yang dihadapi, salah satu pasangan tidak memenuhi panggilan atau tidak koperatif, bersikap egois, memonopoli percakapan, pasangan tidak diberi kesempatan untuk bicara, tidak jujur, mengancam pasangannya dan memaksakan kehendak, tidak ada niat untuk mempertahankan rumah tangga kembali, dan menganggap dirinya paling benar dan paling pintar, mengedepankan emosinya, sehingga tidak mau mendengar masukan dan nasehat dari konselor.
85
Faktor pengharnbat lain yang cukup dorninan yaitu pada urnurnnya klien yang datang ke BP4 rnernbawa rnasalah/konflik yang sudah parah dan akut, bahkan pasangan suarni istri sudah lama pisah rnnjang "Harnbatannya kalau lagi diperternukan secara nnrsama-sama terkadang salah satu pasangan rnemonopoli percakapan. !Klak mau memberi kesernpatan pasangannya untuk bicara, tidak n1au rnenerirna masukan dari kami karna rnerasa paling pintar, egois, tidak k(1peratif bahkan pernah ada suarni yang rnengancam pasangannya dan rne11gancam bunuh diri sampai mengeluarkan senjata tajam kalau istrinya tetap rninta cerai, dan umurnnya rnasalah klien sudah sangat parah" (Wawancarn denuan lbu E. N., Sen in 13 November 2006).
Sedangkan dari pihak konselor sendiri berdasarkan wawancara yang penulis lakukan tidak ditemui hambatan yang signifikan. karena mereka menjalani profesi konselor ini sebagai bentuk pengabdian yang dijalani dengan ikhlas, di sarnping sudah rnenjadi hoby, sehingga tidak ada perasaan jenuh. Namun secara berkelakar mereka menyinggung tentang peningkatan kesejahteraan para konselor agar mereka dapat melaksanakan tugas secara maksimal. "Kami sebagai konselor merasa tidak memiliki hambatan atau kejenuhan dalam menjalani profesi ini, karena kami ikhlas menjalaninya kerena Allah dan dalarn rangka membantu sesama. Namun secara manusiawi kami mengharapkan agar pemerintah memperhatikan kesejahteraan konselor, hee ... hee .... " (Wawancara dengan Bapak A.N. Kamis, 9 November 2006).
c. Strategi dalam mengatasi hambatan
Untuk mengatasi hambatan yang berasal dari klien yang tertutup, maka para konselor berusaha meyakinkan kepada klien bahwa ia bersedia sharing dan
86
membantunya untuk mencari alternatif pemecahan masalah secara baik serta menjamin kerahasiaannya tetap terjaga, sehingga dapat membuat klien merasa nyaman dan terbuka untuk mengungkapkan konflik yang dihadapinya. Apabila klien dalam kondisi emosional, seperti sedih, marah, maka konselor berusaha menenangkannya dengan obrolan-obrolan ringan dan rileks untuk mencairkan suasana dan cooling down. Sementara untuk klien yang bersikap egois, merasa paling benar dan pintar, maka konselor berusaha memberikan pandangan-pandangan positif solusi alternatif untuk memecahkan masalah, dan konselor tetap memberikan kesempatan klien untuk dapat mengambil keputusan secara mandiri.
4.5 Peranan Konseling Perkawinan dalam Menangani Konflik Suami lstri
Pada hakikatnya tujuan konseling adalah untuk rnempengaruh1 sikap, tingkah laku, pikiran, perasaan dan terutama cara klien mengambil keputusan. Pelaksanaan konseling pada pasangan suami 10>tri yang sedang mengalami konflik lebih bertujuan agar pasangan itu dapal rnengarnbil sikap lebih dewasa dan berfikir positif. Konselor harus da1)±tt menjadi fasilitator yang memberikan support kepada mere!
87
Dengan demikian, maka klien tersebut akan dapat lebih bertanggung jawab terhadap masalah yang sedang dihadapinya.
Pada dasarnya konseling perkawinan merupakan konseling yang diselenggarakan sebagai metode pendidikan, metode penurunan ketegangan emosional, metode membantu partner-partner yang menikah untuk memecahkan masalah dan menentukan pemecahan masalah yang lebih baik.
Dikatakan sebagai metode pendidikan , karena konseling perkawinan memberikan pemahaman kepada pasangan yang berkonsultasi tentang dirinya, pasangannya dan masalah-masalah hubungan perkawinan yang dihadapi serta cara-cara yang dapat dilakukan dalam mengatasi masalah perkawinannya.
Penurunan ketegangan emosional dimaksudkan bahwa konseling perkawinan dilakukan biasanya saat kedua belah pihak berada pada situasi emosional yang sangata berat (akut). Dengan melakukan konseling, pasangan suami istri dapat melaku!
Dari sinilah konselor memegang peranan sebagai mediator dan fasilitator dalam proses konseling pasangan suami istri yang sedang mengalami konflik
88
perkawinan. Konselor dikatakan sebagai seorang mediator, karena ia memediasi konflik dan sebagai komunikator yang dapat mengkumunikasikan informasi dan alternatif solusi secara tepat dan berimbang kepada pasangan suami istri. Sedangkan sebagai fasilatator, konselor bertugas memfasilitasi kiien untuk membuat MoU perdamaian jika klie11 memilih berdamai, sebaliknya jika klien memilih bercerai, maka konselor meneruskan kasusnya ke Pengadilan Agama. "Dalam prosesnya saya tidak banyak bicara, tapi klien yang banyak bicara, jadi saya hanya mendengarkan saja dan saya •umya memberi penekananpenekanan misalnya klien bilang ... ibu suami s&ya kurang perhatian deh sama saya maka yang saya katakan oh .. suami 1bu kurang perhatian ya .dan pertanyaan biasanya sesuai dengan alur yang 111ceritakan klien saja agar akar masalahnya jelas dan yang terpenting ad111lah kita harus menunjukan rasa empati, sehingga hubungan kita dengan kllen terjalin dengan baik sehingga dia mau curhat sama kita. Dalam kon~eling ini saya hanya sebagai pe.nyampai apa maunya istri apa maunya suami lalu kita sampaikan biasanya dia baru tahu oh ... istri saya pengennya saya seperti itu, jadi akhirnya biasanya klien mengatakan ooh .. saya baru tahu dari ibu"(Wawancara dengan ibu Nina, 13 November 2006) .
Dapat disimpulkan bahwa konflik yang terjadi antara suami-istri akan menimbulkan suasana tegang dan ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Oleh sebab itu konseling perkawinan sangat diperlukan oleh pasangan perkawinan yang sedang mengalami konflik marital, menurut Deva (1989). Pasangan suami istri yang sedang mengalami konflik marital umumnya tidak lagi mempunyai hubungan yang baik dengan realitas.Dalam hal ini konseling perkawinan dibutuhkan agar suami dan istri, masing-masing dapat berdiri sendiri, bersedia untuJ< membantu dan memperkokoh ikatan perkawinannya.
89
Menurut masdani (1980). Konseling perkawinan juga bertujuan untuk meredakan ketegangan dan menolong suami atau istri agar dapat mengembangkan perilaku yang efektif dalam menghadapi konflik marital. Dalam hal ini konseling yang diberikan diharapka11 dapat menolong mereka memperoleh pengertian yang obyektif terhadap kondisinya. Keadaan ini akan membawa mereka mengenal dan mampu mengungkapkan perasaannya sehingga dapat mengurangi ketegangan, sehingga mereka akan dapat berpikir realistis (BP4 Pusat, 1997).
4.6. Analisis Perbandingan Ketiga Konselor
Berdasarkan hasil eksplorasi data faktual lapangan selanjutnya dilakukan proses analisa data. lnterpretasi data akan dilakukan dengan proses analisis data terhadap ketiga konselor.
Konselor 1 Konselor 1 menggunakan pendekatan non direktif atau lebih dikenal sebagai client centered therapy, yaitu suatu metode konseling perkawinan yang dilakukan dengan berdialog antara konselor dengan klien untuk mencapai gambaran yang serasi antara diri klien yang ideai dengan diri klien yang sesuai kenyataan.
90
Konflik suami istri yang terjadi biasanya karena adanya pertentangan antara gambaran rumah tangga yang ideal dengan kePyataan rumah tangga yang sebenarnya. Peran konselor dalam konteks ini .11dalah sebaga1 pendengar yang aktif dan dapat memantulkan kembali pikir an dan perasaan klien, dengan disertai perasaan konselor yang menun1ukkan sikap menerima dan penuh pengertian mengingatkan gambaran ideal rumah tangga sesuai dengan ajaran Islam, sehingga klien kembali sadar akan hak dan tanggung jawabnya dalam sebuah ikatan perkawinan, dan sekaligus memantulkan kesadaran kepada klien bahwa apapun keputus.an yang akan diambil klien; apakah mau berdamai atau bercerai, harus dilakukan secara baik.
Konselor 1 selalu menekankan pertimbangan aspek ajaran Islam ketika memberikan tanggapan, masukan dan advis kepada klien dalam proses konseling. Hal ini dapat dipahami karena ia memiliki latar belakang pendidikan Islam (syari'ah). di samping ia juga sebagai seorang da'i. "Metode konseling yang saya terapkan disini adalah metode non direktif, yaitu curhatan-curhatanlah antara klien dengan konselor, kita tanya apa keluhannya, lalu klien saya biarkan untuk bercerita mulai sejak awal perkenalan, pacaran lalu sampai dalam pernikahan dia merasa tidak ada keharmonisan dalam perkawinannya. Lalu saya sebagai konselor mencatat point-point penting mengenai masalahnya dan dari situlah kelihatan mana yang menyimpang dari aturan syari'at, itulah yang kita harus luruskan. Jadi upayanya supaya tetap terjalin dalam kehidupan berkeluarga itu keluarga yang sakinah mawaddah warahmah" (Wawancara dengan subyek, Kamis 9 November 2006).
91
Dalam pelaksanaan konseling perkawinan, maka tidak akan lepas dari sebuah proses yang dilakukan. Bahwa proses konseling merupakan suatu cara atau langkah-langkah agar kegiatan konseling dapat berjalan sehingga dapat mengungkapkan masalah dan memecahkan masalah klien.
Proses konseling di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan dilakukan dalam beberapa tahap pertemuan. Pertemuan pertama lebih menitikberatkan pada pada pembentukan hubungan baik antara konselor dengan klien, abstraksi konflik dan identifikasi masalah klien yang melapor. Pertemuan kedua adalah pertemuan konselor dengan pasangan klien unluk membina hubungan baik dan mengecek dan mengkompirmasi laporan d1u1 klien yang pertama. Pertemuan ketiga adalah mempertemukan kedua pasangan klien untuk melakukan mengkonfrontir informasi kedua pas.angan suami istri serta menentukan alternatif penanganan konflik yang diputuskan sendiri oleh klien dengan fasilitasi konselor, apakah rnau melakullan perdamaian (is/ah) atau diteruskan kasusnya ke Pengadilan Agama unh1k mendapatkan ketetapan hukum. Sedangkan pertemuan keempat adalah kelanjutan dari pertemuan ketiga yang diinginkan klien untuk menuntaskan penyelesaian masalahnya. "Adapun tahapan atau proses konseling di BP4 adalah sebagai berikut: pertama klien datang ke sekretariat dan mengis1 form konseling perkawinan, kemudian langsung masuk ke ruang konsultasi dan konselor menanyakan kepada klien apa masalah yang sedang dihadapi dalam kehidupan rumah tangga klien. Kemudian klien saya biarkan untuk bercerita rnulai dari awal pernikahannya bahkan disinggung juga waktu pacaran, sampai akhirnya dalam perkawinannya terasa tidak ada keharmonisan. Dari situlah saya
92
sebagai konselor mencatat point-ponit permasalahannya. Dari gambaran ini kelihatan mana yang menyimpang dari aturan syari'at, itu yang harus saya luruskan. Pada pertemuan pertama ini saya tidak terlalu banyak komentar, saya hanya menyuruh klien untuk merenungi, introspeksi diri dan kalau sudah mantap saya mempersilahkan klien datang bersama pasangannya. Pada pertemuan kedua suami dipaggil lalu kita tanyakan sebenarnya apa masalah yang terjadi dalam perkawinan saudara sekaligus mengkonfrontasikan apakah benar rnasalahnya seperti ini. .. seperti yang diadukan istri, lalu kalau dia mau jujur mau mengakuinya, saya tanya saudara rnaunya apa .. masih sayang sama istri dan anak-anak ... coba dipikirkan lagi, introspeksi diri, jadi saya lebih menyuruh klien untuk mawas diri, merenungi awal dulu ia menikah dan masa depan anak-anak. Lalu saya sarankan untuk melakukan sholat istikhoroh minta petunjuk Allah untuk mengambil keputusan mau damai atau cerai. Pada pertemuan ketiga kita pertemukan keduanya saya tanya bagimana perkembangannya, sudah mantap dengan keputusan yang akan diambil. Dalam konteks ini kita kembali membahas masalahnya, diklarifikasi masalahnya dan meluruskan suatu pengaduan dari klien sesuai norma agama dan moral. Lalu saya tanya bagaimana sekarang keputusan ditangan saudara. Kalau klien tetap memilih cerai dinasehati dulu dan diberi rekomendasi untuk dilanjutkan ke Pengadilan Agama. Kalau klien memilih damai ada syarat-syarat perjanjian kedua belah pihak, kalau ada yang dilanggar diadukan lagi minta cerai ya sudah bisa cerai. Jadi intinya, saya sebagai konselor BP4 tetap menekankan bahwa apapun keputusan yang diambil klien; baik damai maupun cerai harus dilaksanakan secara baik berdasarkan ketentuan Hukum Islam dan Undang-Undang perkawinan" (Wawancara dengan subyek, Kamis, 9 Januari 2006).
Faktor pendukung dalam konseling perkawinan adalah kejujuran dan keterbukaan klien dalam mengungkapkan masalahnya serta tetap berpikir positif dalam mencari penyelesaian konflik. "Menurut saya, faktor pendukungnya adalah kalau klien mau jujur mengungkapkan masalahnya, dan mau mendengar nasehat dari kami, dan sebaliknya penghambatnya adalah jika klien yang egois tidak mau menerima nasehat dari kami, klien tertutup tidak mau menceritakan masalah sebenarnya ... ini yang susah, berbohong hanya alasan untuk bercerai biasanya kelihatan dari gaya bicaranya. pernah juga suami istri malah ribut saat proses konseling" (Wawancara dengan subyek, kamis 9 November 2007).
9]
Adapun peranan konselor dalam konteks ini adalah sebagai mediator dan fasilatator dalam menangani konflik suami istri. "Tugas saya memediasi konflik suami istri supaya is/ah dan rnengingatkan akan hak dan kewajibannya masing-masing, tapi kalau mereka tetap ngotot maka saya memfasilitasinya untuk dilanjutkan ke l'.'engadilan Agama" (Wawancara dengan subyek, sabtu 16 desemb•~r 2006)
Konselor 2 Konselor 2 juga menggunakan pendekatan non direktif atau leb1h dikenal sebagai client centered therapy dalam pelaksanaan konseling perkawinan. 'Metode yang saya gunakan adalah pendekatan client centered therapy Carl Rogers yang bertujuan untuk membina kepribadian klien secara integral, berdiri sendiri, dan kemarnpuan untuk memecahkan masalahnya sendiri" (Wawancara dengan subyek, Kamis 9 November 2006). Adapun proses konseling dengan pendekatan non direktif ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu: 1) klien datang kepada konselor atas kemauan sendiri; 2) konselor harus mernberikan motivasi kepada klien agar ia mampu mengemukakan perasaan dan rnasalahnya; 3) konselor harus bersikap ramah, bersahabat dan menerima kllen apa ad<mya; 4) konselor harus berusaha agar klien dapat memahami dan menerima keadaan dirinya; 5) klien menentukan pilihan sikap dan keputusan yang akan diambilnya. "Bagi saya, proses konseling dengan pendekatan non direktif ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu pertarna klien datang ke BP4 dengan kemauan sendiri menemui konselor untuk mengadukan konflik rumah tangganya. Saya sebagai konselor menampung, rnengapresiasi dan meyakinkan klien agar mau mengemukakan masalahnya secara jujur dan terbuka. Kedua, saya akan meyakinkan kepada klien bahwa saya dapat memahami dan rnenerima klien apa adanya dan siap membantunya. Ketiga, sikap penerirnaan ini akan
94
saya tunjukkan kepada klien secara verbal maupun non verbal. seperti tatap ramah, empati dan bersahabat. Keempat, saya akan memotivasi dan meyakinkan klien agar ia memiliki kemandirian dan berani mengambil keputusan secara mandiri (Wawancara dengan subyek, Kamis, 9 November 2006).
Faktor pendukung dalam pelaksanaan konseling perkawinan adalah kemampuan dan keterampilan konselor dalam melakukan konseling, di samping kesabaran, pengertian dan motivasi yang mendalam dari konselor dalam memberikan bantuan kepada klien yang memerlukan. "Menurut saya, faktor pendukung keberhasilan sebuah konseling terletak pada konselor. Seorang konselor itu harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dan menerapkan metode yang tepat. Di samping ia juga harus memiliki kesabaran dan motivasi yang kuat sehingga dapat melakukan konseling dengan baik" (Wawancara dengan subyek, Kamis, 9 November 2006).
Sedangkan faktor penghambatnya adalah sikap klien yang tidak jujur, egois, merasa lebih pintar dan kuasa serta konfliknya sudah parah clan akut. "Ada beberapa kasus konflik suami istri yang s11lah satu pasangannya adalah seorang yang memiliki pendidikan tinggi dan btlfkedudukan sebagai pejabat merasa lebih pintar dan sok kuasa, sehingga terjadi handicap terhadap proses konseling" (Wawancara dengan subyek Kamis, 9 November 2006).
Peranan konselor dalam menangani konflik sucmii istri adalah memaharni dan menerima klien apa adanya secara netral dan l'ltlmbenkan bantuan kepada arah yang diinginkan klien. "Saya memberikan apresiasi kepada klien untuFi mengambil keputusannya secara mandiri, dan saya memberikan bantuan untuk itu, misalnya mau berdamai atau bercerai. Bagi saya, perceraian nu bukan sebuah indikator
95
kegagalan konseling perkawinan, karena ini merupakan suatu pilihan yang tepat menurut klien, karena boleh jadi kalau perkawinan tetap dipertahankan sementara konflik dan masalah masih ada, maka dampaknya akan lebih buruk, baik secara fisik maupun psikis" (Wawancara dengan subyek, kamis, 9 November 2006)
Konselor 3 Konselor 3 juga menggunakan pendekatan non direktif yaitu penekanan keaktipan dan kemandirian pada klien dengan interview yang terpola, sehingga mampu mengungkapkan problematika klien. "Pendekatan yang saya gunakan adalah non direktif, yakni menekankan keaktifan dan kemandirian klien. Saya hanya berusaha menumbuhkan power dan rasa percaya dirinya klien sehingga ia mampu menemukan apa yang harus dilakukan ketika menghadapi masalah dan saya hanya memberi nasehat yang sesuai dengan kebutuhan klien. Metode yang saya terapkan biasanya dikenal dengan metode "Satu-Tujuh" yaitu fase ke-1: Sa: salam, yaitu memberi salam dan menyambut klien dengan hangat dan ramah. l
Dalam konseling perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan dibagi dalam empat fase tahapan, yaitu: pertama, tahap permulaan dimulai dengan
96
menjalin hubungan yang baik dan menumbuhkan rasa saling percaya antara konselor dengan klien (membentuk rapport) termasuk di dalamnya konselor memperkenalkan diri, dan memberikan gambaran mengenai proses konseling. Kedua, tahap pertengahan, setelah komunikasi awal terbangun dengan baik, maka selanjutnya konselor dapat meminta klien untuk mengungkapkan apa permasalahan yang mesti dipecahkan bersama atau kadangkala klien sendiri yang langsung mengungkapkan masalahnya kepada konselor. Ketiga, tahap pertengahan, yaitu setelah ditentukan masalah rnana yang menjadi fokus pembahasan, maka pada fase in1 adalah menerjemahkan tilikan insight untuk mencari alternatif-alternatif pamecahan masalahnya. Dalam menentukan pemecahan masalah, selak' diutarnakan agar klien sendiri yang mengambil keputusannya. Semenlara konselor hanya sebagai fasilitator yang membantu klien mencari alternat1f pemecahan masalahnya. Tahap keempat, fase akhir yaitu mendefinisikan kembali problem klien dan membantu membuat keputusan dan memfasilitasi klien untuk mencapai kemandirian ketegasan diri dalam pengambilan keputusan. "Berdasarkan pengalaman saya dalam melakukan konseling perkawinan ada empat fase yang harus dilalui, yaitu fase permulaan yang berisi perkenalan dan membentuk hubungan baik dengan klien y1mg bertujuan untuk menumbuhkan rasa saling percaya dan keterbukaan. Kedua fase pertengahan untuk mengungkapkan permasalahan yang dihadapi klien. Terus ketiga fase untuk menentukan alternatif-alternatif pemecahan masalah. kemudian yang terakhir adalah fase pengambillm keputusan oleh klien" (Wawancara dengan subyek, senin, 13 November 2006).
98
bahkan sampai menangis dan saya menyuruh rnereka untuk bersalaman dan berpelukan. Dan itu tergantung masalahnya kal01u masalahnya ringan biasa damai tapi kalau masing-masing pasangan tida~ rnau mengakui kesalahannya biasanya mereka tidal< mau berdllrnai, maka dilanjutkan kepengadilan agama (PA) dan biasanya ini ma~alah yan9 sudah beratnya ... .ibaratnya penyakit yang sudah akul (Wawancara dengan subyek, senin, 13 November 2006)
Selanjutnya berdasarkan analisis terhadap masmg-masing subyek di atas dapat dikatakan bahwa ketiga konselor memilik1 kesamaan dan perbedaan serta memiliki kekurangan dan kelebihan. Dalarn konteks penerapan metode pada proses konseling sebenarnya tidak ada pt"bedaan dari ketiga konselor, mereka sama-sama menggunakan metode non direktif atau clien centered
therapy. Namun perbedaannya terletak pada praktek dan keterampilan setiap konselor dalam membangun hubungan hubungan (rapport) dengan klien, di samping pengalaman dan latar belakang ilmu yang dimilikinya.
Untuk konselor AN pendekatan konseling yang diberikan lebih banyak merujuk pada penekanan aspek ajaran islam, karena menurutnya faktor dominan terjadinya konflik suami istri terletak pada kurangnya pemahaman dan pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan rumah tangga, sehingga ikatan pernikahan mudah goyah dan rentan terhadap konflik. Jika ajaran Islam dijadikan sebagai dasar dan pegangan dalam membangun sebuah rumah tangga, maka akan dapat menjadi benteng bagi keutuhan rumah
99
tangga, karena pernikahan itu sendiri dalam ajaran Islam disebut sebagai
mitsaqan ghalizhan (ikatan perjanjian yang kuat). Sementara untuk konselor A.R dalam proses konseling lebih menekankan pada pendekatan psikologi, karena menurutnya konflik suami istri biasanya terjadi karena adanya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan dalam perkawinan. Secara teoritik, konselor memiliki pengetahuan ilmu psikologi yang memadai, namun dalam prakteknya, terlihat konselor kurang bisa membangun hubungan (rapport) dengan klien secara baik, terutama pada aspek empati dan attending, karena konselor menerapkan metode client
. centered secara teks book dan ketat. Di samping itu, konselor juga memiliki performance dengan style sikap tegas dan vokal suara yang keras, sehingga kiien merasa kurang mendapat empati dan attending yang memadai.
Sedangkan untuk konselor E.N. dalam konselingnya lebih menggunakan pendekatan teaching heart (pendekatan dari hr*ti ke hati), karena menurutnya, konflik biasanya terjadi karena suami istri mene4<<1nkan perbedaan dan ego masing-masing, sehingga persamaan dan kom~men yang dibangun menjadi terlupakan. Dalam konteks inilah pendekatan dari hati ke hati menjadi penting, karena berusaha mencari titik persamaan sehirigga konflik bisa diminimalisir. Pendekatan ajaran Islam juga memegang peran yang signifikan, karena secara fitrah, manusia lebih menyukai perdamam (is/ah) daripada konflik atau perceraian.
100
Tabel 4.6 Analisis Perband1ngan Ketiga Konselor Keterangan
I
I
Konselor A.N
Metode konselinq Proses konseling
Non direktif /client-centered theraov Tahap awal meliputi: 1. Empati dan membina Rapport 2. Attending 3. Refleksi Tahap pertengahan meliputi: 1 . Mengarahkan 2. Konfrontasi 3. menyimpulkan Tahap akhir meliputi: 1. Mendorong 2. Menilai 3. mengakhiri
Faktor pendukung & penghambat
Faktor pendukung yaitu: 1. Kejujuran mengungkapkan masalahnya 2. Berfikir positif dalam mencari penyelesaian konflik 3. Sarana dan prasarana di BP4 Faktor penghambat meliputi: 1. Masalahnya sudah kompleks, parah dan akut 2. Egois, sombong dan tidak kooperatif
Konselor A.R
Konselor E.N
Non direktif I Client-centered Non direktif I Client-centered therapy theraov Tahap awal meliputi: Tahap awal meliputi: 1. Membangun rapport 1. Membentuk rapport 2. Me11definisikan masalah 2. Mendefinisikan masalah 3. Menegosiasikan kontrak 3. Refleksi Tahap pertengahan meliputi: Tahap pertengahan meliputi: 1. Mengeksplorasi masalah 1. Mengeksploeasi masalah 2. Konfrontasi 2. Konfrontasi 3. Memberi nasehat 3. Menerjemahkan tilikan insight Tahap akhir meliputi: Tahap akhir meliputi: 1. Transfer of learning 1. Mendorong 2. Melaksanakan perubahan 2. Memfasilitasi kemandirian perilaku 3. Menilai dan mengakhiri 3. Mengakhiri konseling Faktor pendukung yaitu: Faktor pendukung yaitu: 1. Kejujuran mengungkapkan 1. Sikap klien yang kooperatif masalah 2. Kemampuan konselor 2. Kemampuan konselor dalam menerapkan metode konseling melakukan konseling 3, Tersedinya sarana prasarana 2. Kesabaran,dan motivasi kuat untuk menunjung konselng kepada klien Faktor penghambat yaitu: Faktor penghambat yaitu: 1. Sikap egois, memaksakan 1. Sikap klien yang plin-plan, kehendak kepada egois, merasa lebih pintar pasangannya 2. Konflik sudah parah dan akut 4. Tidak kooperatif dengan
101
Peranan konselor
1. Mediator, yaitu untuk menangani konflik suami istri 2. Fasilitator, yaitu untuk meneruskan oerkaranva ke PA
1. Memahami klien apa adanya secara netral 2. Memberikan bantuan kepada an:ih yang diinainkan klien
konselor 1. Mediator atau penengah yang netral 2. Fasilitator yang membantu menyelesaikan konflik ke PA
BABV PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pelaksanaan konseling perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan merupakan suatu proses konseling yang diberikan kepada pasangan suami istri yang sedang mengalami konflik perkawinan, yang bertujuan untuk meredakar. ketegangim dan menolong klien agar dapat mengembangkan perilaku yang efektif dan obyektif dalam menghadapi konflik marital. Secara umum konseling dilakukan dengan cara tatap muka dalam satu sampai empat kali pertemuan antara konselor dengan klien yang dibagi dalam em pat fase tahapan, yaitu: 1) membangun rapport; 2) mengeksplorasi masalah; 3) menentukan alternatif pemecahan masalah; dan 4) memfasilitasi klien untuk mencapai kemandirian diri dalam pengambilan keputusan.
Metode yang yang digunakan dalam konseling perkawinan adalah metode non direktif yang sering disebut dengan client-centered therapy, yaitu suatu metode perawatan psikis yang dilakukan dengan cara berdialog antara konselor dengan klien, agar tercapai gambaran tentang diri yang ideal (ideal
self) dengan kenyataan diri sebenarnya (actual self) yang bertujuan untuk
103
membina kepribadian klien secara integral, berdiri sendiri dan mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah sendiri.
Faktor pendukung dalam pelaksanaan konseling perkawinan ini terletak pada keinginan dan mctivasi konselor dan klien untuk menyelesaikan konflik dengan baik dan dapat menjalin hubungan dan kerja sama sesuai dengan kesepakat;::n dan harapan bersama. Di samping itu, konflik sekecil apapun harus dikelola dengan baik dan cepat ditangani, sehingga konfliknya tidak membesar dan merembet ke mana-mana.Sedangkan faktor psnghambatnya adalah sikap klien yang tertutup, egois, emosional dar. tidak mau menerima nasehat, karena merasa paling pintar dan merasa paling benar.
Peranan konseling perkawinan ya11g dilakukan BP4 Kotamaciya Jakarta Selatan memiliki manfaat yang positif dan signifikan, yaitu keoerhasilannya dalam mem:ngani konflik suami istri, mencegah terjadinya perceraian sewenang-wenang di'!n tetap mendorong terwujudnya keluarga sakinah
mawadah warahmah. Jadi peranan BP4 adalah sepagai mediator perdamaian untuk meredakan konflik suami istri dan sekaligus sebagai fasilitator untuk meneruskan kasusnya ke Pengadilan Agama untuk memperoleh ketetapan hukum.
104
5.2 Diskusi
Konseling perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan menggunakan metode non direktif dengan mengacu pada teknik client-centered therapy yang dikembangkan oleh Carl R. Rogers (Gunarsa, 1996). Kelebihan dari teknik ini adalah adanya kebebasan dan keleluasaan pada klien dalam menentukan sendiri strategi pemecahan masalah yang dihadapinya. Jadi klien lebih banyak bercerita (katarsis) mengenai masalahnya.
Sementara tipe konseling perkawinan di BP4 termasuk ke dalam tipe
concurrent marital counseling dan conjoint marital counseling (Latipun, 2005). Pendekatan ini digunakan untuk mengurangi ketegangan emosional antara pasangan dan memodifikasi hubungan, selanjutnya mereka belajar dan memelihara perilaku yang lebih rasional dalam kelompok.
Adapun faktor terjadinya konflik sebagaimana data dari BP4 ada tiga yaitu akhlak, ekonomi dan pihak ke-3. Dari ketiga faktor tersebut yang lebih dominan adalah adanya pihak ke-3 yaitu perselingkuhan dan campur tangan pihak keluarga pasangan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Risa Rosmita (2005). Bahwa konflik yang terjadi antara suami istri yang disebabkan oleh perselingkuhan akan menyebabkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga bahkan rnengakibatkan perceraian.
105
Konflik yang terjadi antara suami istri juga menimbulkan suasana tegang dan tidak harmonis dalam rumah tangga. Oleh sebab itu konseling perkawinan sangat diperlukan oleh pasangan perkawinan yang sedang mengalami konflik marital (Deva, 1989). Pasangan perkawinan yang sedang mengalami konflik marital umumnya tidak lagi mempunyai hubungan yang baik dengan malitas. Dalam hal ini konseling perkawinan dibutuhkan agar suami dan istrl, masingmasing dapat berdiri sendiri, bersedia untuk membantu dan memperkokoh ikatan perkawinannya. Menurut Masdani (1980). Konseling perkawinan juga bertujuan untuk meredakan ketegangan dan menolong suami atau istri agar dapat mengembangkan prilaku yang efektif dalam menghadapi konflik marital. Dengan konseling diharapkan dapat menolong mereka memperoleh pengertian yang ohyektif tentang keadaan yang dihadapinya. Keadaan ini akan membawa
me~eka
mengenal dan mampu mengungkapkan
perasaannya sehingga dapat mengurangi ketegangan dan deritanya hingga mereka akan dapat berpikir realistis.
5.3 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Untuk memeberikan akses yang lebih luas terhadap pelayanan konseling perkawinan di BP4 agar lebih dikembangkan dan
106
disesuaikan dengan perkembangan zaman, seperti adanya hotline service, konseling via internet dan home visit. 2. BP4 sebagai badan konseling semi resmi pemerintah harus lebih pro aktif melakukan sosialisasi program dan advokasi kepada masyarakat untuk membina kehidupan rumah tangga yang sakinah mawadah wa rahmah. 3. Untuk mengatasi faktor penghambat dalam konseling, seperti sikap klien yang tertutup, egois dan apatis, maka konselor harus dapat membangun hubungan baik dengan pendekatan empati dan persuasif. Di samping itu pemerintah juga harus meningkatkan kesejahteraan konselor dan memberikan training dan pelatihan secara berkala untuk meningkatkan komptensi dan loyalitas konselor. 4. Dalam proses konseling perkawinan, konselor harus bisa memadukan metode atau pendekatan agama dengan psikologi, sehingga akar konflik dapat ditangani secara baik, bukan hanya sekedar memberikan nasehat untuk meluruskan masalah secara syariat, namun lebih jauh dapat memberikan alternatif solusi dalam menangani konflik secara komprehensif dengan perspektif psikologi. 5. Diharapkan bagi para peneliti selanjutnya agar mengembangkan hasil penelitian ini dengan pendekatan kuantitatif dan memfokuskan klien sebagai subyek penelitiannya agar dapat diketahui bagaimana persepsi klien terhadap peran konseling perkawinan di BP4.
107
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Baqiy, Muhammad Fuad. (t.th). al-Mu]am al-Mufahras Ii alfadz alQur'an al-Karim. Jakarta: Maktabah Dahlan. Al-Ba'labakiy, Munir. (1994). Kamus al-Maurid. Beirut: Dar al 'llm Iii Malayin Alwi, Hasan. et.al. (1988). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Balai Pustaka. Ed.3. Cet-1 Arifin, M. (1998). Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling Agama. Jakarta: Golden Press. Cet ke-6 Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta, Edisi Revisi V. Cet-2 Bahjat, Ahmad (2002). Hakikat Cinta Menuju Rumah Tangga Ideal. Bandung: Pustaka Hidayah. Bakran, M. Hamdani. t\dz-Dzakaky. (2002). Kcnse/ing dan Psikoterepi Islam. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Cet-2 Baraja, Abu Bakar. (2004). Psikologi Konseling dan Teknik Konseling. Jakarta: Studia Press. Cet-1 BP4 Pusat. (1997). BP-4, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: BP4 Pusat Cet-1 BP4 Pusat. (1998). Hasil Munas BP-4 Ke-11. Jakarta: 1998 Budyatna dan Nina Mutmainah. (2002). Komunikasi Antar Pribadi. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. Candra, I. Robby. (1992). Konflik dalam Hidup Sehari-hari. Jogjakarta: Kanisius Capuzzi, dan Gross. (1991). Introduction To Counseling. Needham Heights: Allyn and Bacon. Chaplin J.P. (1985). Dictionary of Psychology. Newyork Laurel.
108
Corey, G. (1988). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Eresco Depag RI. (1985). Al-Qur'an dan Terjemahannya. Jakarta: Depag RI Devito, Joseph A. (1997). Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: Professional Book Dewi L.O. (1995). Gejolak Emosi yang Dinamis, Langkah-langkah Memperbaiki Hubungan sebelum memutuskan untuk berpisah. Jakarta: Abdi Tandur Greenberger, Dennis dan Padesky A. Christine. (2004). Manajemen Pikiran: Metode Ampuh Menata Pikiran untuk Mengatasi Depresi, Kemarahan, Kecemasan dan Perasaan Merusak Lainnya. Bandung: Kaifa. Cet-1 Gunawan, Yusuf dan Chaterine Dewi. (2001). Pengantar Bimbingan dan Konseling. Jogjakarta: Kanisius Haryono, Rudy. (2001). Seuntai Harapan Mertua dan Menantu. Surabaya: Putra Pelajar. Hasan, Muflihun. dan Ahnan, Maftuh.(2003). Menyelami Dinamika Rumah ............ Tangga. Surabaya: Putra Pelajar. Haqani, Luqman. (2004). Prahara Rumah Tangga Karena Lidah Tak Bertulang. Bandung: Pustaka Ulumuddin. Jones, Richard Nelson. (1996). Human Relationship Skill, (Cara Membina Hubungan Baik dengan Orang Lain. Jakarta: Bumi Akasara. Cet-2 Klemer, R.H. (1965) Counseling in marital and sexsual problem: A Physician's Handbook. Baltimore: The Williams & Wilkins Co. Latipun. (2005). Psikologi Konseling. Malang: UMM Press. Mahmud, Nabil. (2004). Problematika Rumah Tangga dan Kunci Penyelesaiannya. Jakarta: Qisthi Press. Moleong, Lexi J. (2002). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Pickering, Peg. (2001). Kiat Menangani Konflik. Jakarta: Erlangga. Edisi.111
109
Shaleh, Ghanim. (2001). Al-Nusyuz, (Jika Suami lsteri Berselisih Bagaimana Menghadapinya?). Jakarta: Gema lnsani Press. Cet-5 Simon Fisher et. All. (2000). Mengelola Konflik Ketrampilan dan Strategi Untuk Bertindak. Jakarta: The British Council. Singgih, Gunarsa. (1996). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Gunung Mulia. Thalib, Muhammad. (2002). 35 Fitrah Wanita dan 20 Keistimewaannya. Bandung: lrsyad Baitus Salam. Cct-1 Team Penyusun BP4 Pusat. (1997). Problema pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dan Pembinaan Keluarga. Jakarta: BP4 Pusat Winkel, W.S. dan M.M. Sri Hastuti. (2004). Bimbingan dan Konseling. Yogyakarta: Media Abadi Willis, S. Soyan. (2004). Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta. Cet-1 Lulofs, Roxane S. dan Dudley D. Gahn. (2000). Conflict from Theory to Action.
Tabloid
Tabloid Aura. (2004).edisi 28-29. 5 Agustus-11 Agustus Skripsi dan Tesis:
Yayan Rohiyat .(2005) .Konseling HIV/AIDS (Koseling Dukungan Odha). Jakarta: Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatulloh. Risa Rosmalita. (2005). Konflik dan Strategi Coping lstri Menghadapi Perselingkuhan Yang Dilakukan Suami. Jakarta: Fak. Psikologi UIN Syarif Hidayatullah. Siti Zainab. (2005). Manajemen Konflik Suami lstri Dalam Perspektif Al-qur'an. Tesis. Jakarta: Dakwah dan komunikasi UIN syarif Hidayatullah. Nuri Rohmatika. (2005). Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling Islam di BP4 Dalam Mencegah Terjadinya Perceraian. Jakarta: Fak. Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah.
Lembar Observasi Subyek
: 1/2/3
Wawancara/observasi
: 1/2/3
Tempat ·ranggal Jam 1. Keadaan tempat wawancara, cuaca, dan kehadiran pihak lain disekitar tempat wawancara. 2. Kondisi ruang konseling 3. Fasilitas pendukung 4. Gangguan dan hambatan selama wawancara 5. Catatan khusus selama wawancara
Pedoman Wawancara A
Pengalaman Konselor
/
1. Apa y~ motivasi menjadi konselor perkawinan? 2. Apa pekerjaan sebelum menjadi konselor? 3. Apa pekerjaan selain menjadi konselor? 4. Pernahkah perasaan jenuh, bosan atau bahkan stres menjadi konselor? 5. Bagaimana strategi mengatasinya? 6. Apa saja kendala dan handicap dari klien selama konseling berlangsung? 7. Bagaimana cara mengatasinya?
Pedoman llVawancara. ~
A. Gambaran Umum Konseling Perkawinan di BP4 Kotamadya Jakarta Selatan 1. Apa Metode dan jenis konseling yang digunakan dalam konseling perkawinan? 2. Di mana tempat konseling perkawinan berlangsung? 3. Apa teknik konseling yang digunakan (individu/kelompok)? 4. Siapa
yang
paling
dominan
dalam
pelaksanaan
konseling?
(konselor/klien)? 5. Berapa durasi waktu dalam 1 kali sesi pertemuan? 6. Berapa jumlah (seluruh) sesi pertemuan konseling (pada umumnya) 7. (mohon jelaskan tiap sesinya)
B. Proses Konseling Perkawinan 1. Bagaimana cara membina hubungan yang baik dalam menumbuhkan kepercayaan terhadap klien? 2. Bagaimana strategi yang dilakukan ketika klien sangat tertutup atau ada klien yang tidak jujur memberi keterangan dan klien yang resisten? 3. Apa faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan konseling? 4. Bagaimana mengatasi hambatan-hambatan tersebut? 5. Apa konflik yang biasa diadukan suami atau istri? 6. Bagaimana tahapan dalam pelaksanaan konseling? 7. Bagaimana Peran konselor dalam menangani konflik suami istri ketika keduanya dipertemukan? 8. Apa solusi I nasehat yang diberikan kepada pasangan suami istri yang sedang dilanda konflik? 9. Apa yang dilakukan konselor apabila salah satu pasangan tidak memenuhi panggilan? ·10. Bagaimana peran konselor dalam proses konseling?
11. Siapakah yang lebih berperan dalam pengarrbilan keputusan? 12.Apa saja yang menjadi faktor penyebab terja
BADAN PENASIHATAN, PEMBINAAN DAN PELESTARIAN PERKAWINAN (BP4) KOTAMADYA JAKARTA SELATAN JI. Buncit Raya No. 2 Pejaten Pasar Minggu Telp.: 7983255 - 79198073 Jakarta Selatan
SURAT KETERANGAN Nomor : 6095/9-P/BP4/JS/Xl/2006
Sehubungan de ngan surat Universitas Islam ( UI N )Syarif Hidayatullah Jakarta tanggal, 22 September 2006, Nomor : Ft.71/0T.01.7/1097/IX/2006, Perlhai : lzin Penelltlan, maka dengan inl Ketua BP4 Kola Jakarta Selatan menerangfkan bahwa :
Nam a Mahasiswa Jurusa n Nomor pokok Tahun Akade mik Program A I a m a t rum ah
: Mira Humairoh : Universitas Islam Negeri (UI N) Syarif Hidayatullah Jakarta : Fakultas Psikologi : 102070026048 : 2006 12007 : Strata 1 (S.1) : JI. Semanggl Ill R!.002/03 Ciputat
Telah mengadakan wawancara, rise! dan penelitian di Kantor kami mengenai" Pelaksanaan l
Demikian, agar menjadi maklum adanya.
Jakarta, 17 'jopem ber 2006
1_;\PORAN OP:f'A PEJ\lfl.Slr-IATAN
SJ\D.£1.N PENi.\S!t"lttiP.i'A PEl\o1BlNAf1i'4 DP.J~ PELESTARIPJ·I PERKA'NJNAN (S? ..\)
r<~)?'4SJJL1·Pi.Sl
PERKA\f'JlMAN
-·-- ;f;i~A.-~~-;.1~-~iZeT:·-<~ia~;;rl:Pebr, r1·1arei}-ii:i06-
----------KOTi":JiW:'ARTi\ SELATAt.f ________ ---
---1----------------1------ i-~~·.iLAH SEU;R•il-iN\~A---- -- . - - - - -------BAN YAK!l'I' fl.-------------,---PROSENTASE 1
. Mo-_! SATLlAN l
·:~_:. ::~s~J-~~:~--~ =~:~:[·~~~0-::~:-lt-~;~~;;J:~~;I~j~:U~IJK-Jr~~:IfJr:.;;; p:.t :2::.:=a~,-C!---K-ET__·
I \SN Mp.Praµatan
'
2 j'3P4 Ps.Mir.ggu
--l
j. I
I
232 f./'.
'
i
:
-
Il
·
i
I
I
I
·i !SP4 Keo.Lama
j
f,7•;
j
J
-:;. l 'J
!
I
32:)
I
232
c.n :l20
Il
I
I
I \
\
:'.'.48
:;.:1"'.
·_~;j~
l_
1'.I
1,~
':.1.1 '~
·
I I
I
1 I
/
I
I
i
I
2 ,;
I
...... ----·---
I
I
• \ I 1 I, ·• \ ii , .. _l_ ..___ ,,....0.-----------J.----..---..;---------·---------------i 1
-
\
24·
i
i
2'l -
-
C:..::it;:1l<:Hl .
- Dal:! TIC dizunbil d~ii Pen~F1dil;.u1 Ag:oirn•:i .l<'•k· '.::i·e:l
8F''i
Kot~> j~~ka1tc:
·
I
,':)
~~'>:'.:!HJ\lf\JS
·
i
.\.:'
, :I
·
I
?. I'.)
J
i.c:;~·1~. '"?'.!Jtci:
·
II
LEIP4 Pancor:an
'
'
i
':'AJ
:> I ap4 ,Jas1ak:irsa
I i•
£.79
I
j
5 fBP.:t Ciiandak
1
·7
I
j
I
I
~ 8?4 Setiabudl
I
1·
3 /SP4 t<eb.Saru
5
-------
::;;1. :l:::il;:11: 0
.....
~~~
I,
9.7''1-0
l
53.3~/r.
- · - - - - - · - · •..•. - -
l
-
!
.L-··--····-··· -·-·-··.!
BA.DAN
PENAS!HA.TPtl~ :PE!v16H~r\AN
P;;LEST;.\RIA:N
PC:R_K'..l\t1~iNr7J,;':'4
LP.Po<;~AN Ofl,T~\ ?'.:'..Nf.:,-:rl~lf~TAN
O.,!!.N
;3?,q
KONsu;_Tf<,S1 PEilJ\/\\;\'10!.AN
-···-----i
---··- -:r1:1.;~-u1·;· ;.;··:~e-t 1: ...U\;; ;i1:Ni :ti~.:i tlt1i ·1· 2 (1 ·os·-
.:
.~n;:
'H) \BP4 TO?bet
f·-----'-----------------·-----------+----------.. ;........... ---·
i L
·J -1 i BP4 Kata .Jak-Se! ••••
~·
j
SG·1 ~;
'l l) 'l
'.~·Pi
++-.L••-'---·-•·---·-·-·-----·••-•• _!.. ___ ··--·--··'--•• ··--••••• ------··• J::~~;;;'!!i
'.·i
!·)en£11_u1.1s p;: ...~
01
.It~:\ 2('1(1!<
i
J;1b'11!i:
~·~':L~!.: 0 1
Ketua
~~
-= ._;.yarifudin, S.Pd
·:::a!z:!an : "Data TIC dia1nbil dari PengacJilan Ag<1r<1a Jal-:.-Sei
BADAN PENASIHATAN, PEMBINMN DAN PELESTARIAN PERKAWINAN (BP4) KOTAMADYA JAKARTA SELATAN JI. Bunclt Raya No. 2 Pejaten Pasar Mlnggu Telp.: 7983255 • 79198073 Jakarta Selatan
Nomor Sifat Perihal
: .......... /5-P/BP4/JS/ ........ /2006 : Penting : Panggilan Konsultasi
Jakarta, ......................... 2006
Kepada Yth. Sdr.................................. ..
JAKARTA Assalamu'alaikum Wr. Wb. Sehubungan dengan masalah keluarga (rumah tangga) Saudara yang perlu kita bicarakan, mal
: Jam 09.30 WIB
Acara
: Konsultasi
Tempat
: Kantor BP4 Kata Jakarta Salatan JI. Buncit Raya No. 2 Pejatan Ps. Minggu Jakarta Selatan (Belakang Harian Republil
Keluarga
(Rumah
Tangga)
Demikian, atas kehadirannya kami ucapkan terima kasih. Wass a I am, Ketua,
H. JAWAD!, S.Ag/ Ternbusan Yth. : 1............................................. (Konsultan) 2............................................. (Konsultan)
BADAN PENASIHATAN PEMBINAAN DAN PELESTARIAN PERKAWINAN (BP4) KOTA JAKARTA SELATAN JI. Pejaten Raya, Pasar Minggu Jakarta Selalan Telp. 7983255, 79198073
BERITA ACARA PENASIHATAN SUAMI IS'tERI KRISIS RUMAH TANGGA
!.
SUAMI
Nama
............................... bin ..................................... .
Umur
......... tahun, Peke1Jnan: .................................... .
Kelahiran
II.
ISTRI
Pendldlkan
. Agam1t: .............................. .
KTP, No.
.Alamat: .............................. .
Nama
. ............................... bint! ................................. ..
Umur
......... tahun, Pekerjaan : ................................... ..
Kelahiran Pendidikan
................................ Agatna: .............................. .
KTP, No.
o o o o O o 0 0 O o O O I 0 f Of O t O O 0 O 0 0 0 O 0 0 , o
.Alaina t :
0 0 0 0 0 0 t 0 0 0 0 0 I 0 0 0 0 0 0 I 0 0 0 0 I 0 0 0 0 0 0
III. Nikah di KUA Kecamatan : ......................... tgl, .................. No. : ............... ..
rv.
Sm·at Pengantar dari Pengad!lan Agama : ..................... tgl, ............. No ..... ..
V.
Dalam Perkawinan in! sudah/belum mendapat anak berjumlah ............ orang
VI. SEBAB-SEBAB TERJADINYA KRISIS RUMAH TANGGA :
a. Ura!an singkat suami/istri :
.............................................................................. ......... .. ............................................................ ..... . '
f
t
t
o o o o o o o o o o o o ' o ' o 0 o
t
o o o o o o o o
t
t
o o
t
t
0
t
0
t
0 t
I
t
t
o
t
t
t
0
t
0
t
0
t
t
t
t
t
0 0 t
t
t
t
I
t
o o 0 o 0 f 0 f o 0 o
.............................................................................. ........ ... .. .......... .. .................... ............................... . ............... ............................................................... ............. ................................. ................................ ....... ............. ......................... ............................... . '
o o o o o 0 o o o o o o t o ' o o ' o o o o o o o o o 0 t 0
t
o o o o o o 0 f o f I
t
t
t
o 0
t
t
o o o o o o o o o o o o o o t t o o o o 0 o 0
t
o
t
o
t
o
.............................................................................. ..............................., ............................................. . ................. .............................................................
b. Uraian singkat isteri/suami:
·················································································································· ······································································································ ·················································································································· .................................................................................................................. ·················································································································· ............................................................................................................ ········································································································· ············································································································ ............................................................................................................. ······························································································ ········································································ ···································································
I. MATEm PENASIHATAN:
............................. ., .......................................................................... .
Ill. HASIL PENASIHATAN: Damai/tidak damai *)
Kalau tidak terjadi perdamaian, maka disepakat1 hal·hal scbag;o i berikut a. Meneruskan ke PA, BP4/Instansi yang bersani;lrntan. b. Lain-lain :
................................................... ,, ................... . ..................................................... ..................... ............ . ..................................................... ......................................... .. Jaka1ta, .............. .
!{ctua BP4
20 ....
Penasihat
.......................... .......... I
( ......................... I
............. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ) Suan1i Corel yang tidak perlu
lstcri