KAJIAN PEMANF FAATAN TANAMA AN AIR ECENG E GONDO OK (Eichoornia crasssipes (Marrt) Solms) DAN KIA AMBANG (Salviniaa molesta) UNTUK MENURU UNKAN K KADAR NUTRIEN N P PADA LIM MBAH CA AIR TAH HU
SKRIPSI
D DEVINA SA ANDRIATI F34062 2301
2010 DEPAR RTEMEN TE EKNOLOG GI INDUSTR RI PERTAN NIAN FAKULTA F AS TEKNOL LOGI PERT TANIAN INSTIT TUT PERTA ANIAN BOG GOR BOGO OR
Devina Sandriati. F34062301. Kajian Pemanfaatan Tanaman Eceng Gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms) dan Kiambang (Salvinia molesta) Untuk Menurunkan Kadar Nutrien Pada Limbah Cair Tahu. Dibawah bimbingan : Tajuddin Bantacut dan Suprihatin. 2010.
RINGKASAN Permasalahan utama industri tahu adalah minimnya sistem penanganan limbah sehingga limbah langsung dibuang ke lingkungan tanpa diolah terlebih dahulu. Pengolahan biologis dengan menggunakan Eceng Gondok dan Kiambang dapat dilakukan karena tanaman tersebut memiliki populasi yang sangat banyak dan dapat bertahan hidup dalam kondisi kritis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penurunan nutrien pada limbah tahu dengan menggunakan tanaman air Eceng Gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms) dan Kiambang (Salvinia molesta) sehingga efluen limbah cair tahu tersebut dapat aman dibuang ke lingkungan sungai. Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan, dilakukan penumbuhan Eceng Gondok dan Kiambang dengan berbagai pengenceran yaitu tanpa pengenceran, 1:1. 1:2, 1:3, 1:4, 1:5, dan 1:6 pada masing-masing kolam. Hasil terbaik yang didapat dari penelitian pendahuluan yang meliputi pengamatan secara visual dan Dissolve Oxygen (DO) akan digunakan untuk penelitian utama dimana akan dianalisis kadar nutrien yang meliputi nitrogen total, fosfat, nitrat, dan amonia, Total Suspended Solid (TSS), Chemical Oxygen Demand (COD), serta pH. Dari penelitian pendahuluan, didapatkan hasil bahwa pada pengenceran 1:2, tanaman Eceng Gondok memiliki penurunan terbesar terhadap senyawa amonia (NH3) yaitu dari 10,4 mg/l menjadi 1,45 mg/l dengan presentase penurunan sebesar 38,50%, nitrat (NO3) yaitu dari 0,339 mg/l menjadi 0,178 mg/l dengan presentase penurunan sebesar 37,19 %, nitrogen total yaitu dari 24,600 mg/l menjadi 9,800 mg/l dengan presentase penurunan sebesar 35,58%, dan fosfat (PO43-) yaitu dari 0,259 mg/l menjadi 0,015 mg/l dengan presentase penurunan sebesar 78,11%. Pada tanaman Kiambang dengan pengenceran 1:2 memiliki penurunan untuk nitrogen total yaitu dari 24,6 mg/l menjadi 12,55 mg/l dan presentase 23,10%, penurunan amonia yaitu dari 10,4 mg/l menjadi 2,4 mg/l dan presentase 31,68%, penurunan nitrat yaitu dari 0,339 mg/l menjadi 0,191 mg/l dan presentase 36,29%, serta penurunan fosfat yaitu dari 0,259 mg/l menjadi 0,026 mg/l dan presentase 76,38 %. Efektivitas penyerapan nutrien terjadi sampai hari ke-12, setelah itu efektivitas penurunan nutrien tidak signifikan lagi. Seiring dengan penurunan jumlah nutrien oleh Eceng Gondok dan Kiambang, terjadi penurunan nilai TSS dan COD namun terjadi pula peningkatan nilai DO dan pH. Penurunan TSS dan COD terbesar diperoleh pada Eceng Gondok dengan pengenceran 1:2 yaitu dari 37 mg/l menjadi 10,5 mg/l dan dari 670 mg/l menjadi 93,520 mg/l sedangkan peningkatan nilai pH dan DO terbesar terdapat pada Kiambang dengan pengenceran 1:2 yaitu dari 6 menjadi 9,3 dan Eceng Gondok dengan pengenceran 1:2 yaitu dari 0,505 mg/l menjadi 5,760 mg/l. Perancangan penanganan limbah tahu skala kecil dengan kombinasi penggabungan Eceng Gondok dan Kiambang menghasilkan reduksi nutrien yang efisien dengan HRT 8 hari. Untuk skala industri dilakukan pengolahan anaerob serta dilanjutkan dengan pengolahan kolam Eceng Gondok dan Kiambang dengan HRT 8 hari. Digester anaerob yang digunakan memiliki dimensi jari-jari digester 0,75 m, tinggi 2,8 m, dan berkapasitas 5 m3 sedangkan kolam Eceng Gondok dan Kiambang berdimensi 18,3 m x 3,7 m x 0,6 m. Setelah dilakukan pengolahan, COD yang tersisa sebanyak 100,5 mg/l. Hal tersebut sesuai dengan baku mutu limbah cair industri tahu dengan COD maksimum sebesar 150 mg/l sehingga efluen pengolahan limbah cair tahu dapat dibuang dengan aman ke lingkungan.
Devina Sandriati. F34062301. Comparison of Water Hyacinth (Eichornia crassipes (Mart) Solms) and Kariba-Weed (Salvinia molesta) in Reducing Nutrient Content of Tofu Processing Waste Water. Supervised by : Tajuddin Bantacut and Suprihatin. 2010. SUMMARY Tofu industry is producing waste water in large volume and being disposed to natural water. Biological treatment using aquatic plants can be used to remove tofu waste water. Aquatic plants such as Water Hyacinth and Kariba-Weed have rapid growth and resistance to any critical condition. The objective of this research was to determine effectiveness of nutrients removal by Water Hyacinth (Eichornia crassipes (Mart) Solms) and Kariba-Weed (Salvinia molesta) and as a result the effluent of tofu industrial waste water can be disposed safety to the environment. Experiment was divided into two stages. In the beginning of experiment, Water Hyacinth and Kariba-Weed were cultivated with several dilutions. There were 1:0, 1:1, 1:2, 1:3, 1:4, 1:5, and 1:6 in every pond. The best result covered visual research and DO (Dissolve Oxygen) will be used for the main experiment where their nutrient will be analyzed. The nutrients cover total nitrogen, phosphate, nitrate, ammonia, TSS (Total Suspended Solid), COD (Chemical Oxygen Demand), and pH. The result showed that Water Hyacinth with dilution 1:2 has the highest ammonia (NH3) removal that was from 10,4 mg/l becomes 1,45 mg/l with the percentage was amount of 38,52%. Reducing nitrate (NO3) was from 0,339 mg/l becomes 0,178 mg/l with the percentage was amount of 37,19 %, total nitrogen was from 24,6 mg/l becomes 9,8 mg/l with the percentage was amount of 35,58 %, and phosphate (PO43-) was from 0,259 mg/l becomes 0,015 mg/l with the percentage was amount of 78,11%. In Kariba-Weed with the dilution 1:2 has removed total nitrogen from 24,6 mg/l becomes 12,55 mg/l and percentage 23,10 %, ammonia removal was from 10,4 mg/l becomes 2,4 mg/l and percentage 31,68 %, nitrate removal was from 0,339 mg/l becomes 0,191 mg/l and percentage 36,29 %, also the phosphate removal was from 0,259 mg/l becomes 0,026 mg/l and the percentage 76,38 %. The effectiveness of nutrient absorption happens until the twelfth day, after it the effectiveness of nutrient is not significant anymore. Along with the amount of nutrient removal by Water Hyacinth and Kariba-Weed, it also happens to TSS and COD removal while the increasing of DO value and pH also happens. The highest TSS and COD removal received by Water Hyacinth with dilution 1:2 which removed TSS from 37 mg/l becomes 10,5 mg/l and removed COD from 670 mg/l becomes 96,52 mg/l. The highest increasing of pH value received by Kariba-Weed with dilution 1:2 which increased pH from 6 becomes 9,3 while Water Hyacinth increased DO from 0,505 mg/l becomes 0,471 mg/l. Designing of tofu processing waste water with the combination of Water Hyacinth and Kariba-Weed in laboratory plant removed high nutrient contents with 8 day of hydraulic retention time. Industrial plant design with 8 day of hydraulic retention time used anaerobic digester and Water Hyacinth and Kariba-Weed pond with 18,3 m x 3,7 m x 0,6 m of dimension to accommodate the amount of waste water as much as 5000 liters. Anaerobic digester was designed with 5 m3 holding capacity of tofu waste water, 0,75 m of digester radius, and 2,8 m of height. After treatments, the effluent can be disposed safety to the environment because it propers to the standard quality of waste water treatment with COD value as much as 100,5 mg/l left.
KAJIAN PEMANFAATAN TANAMAN AIR ECENG GONDOK (Eichornia crassipes (Mart) Solms) DAN KIAMBANG (Salvinia molesta) UNTUK MENURUNKAN KADAR NUTRIEN PADA LIMBAH CAIR TAHU
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : DEVINA SANDRIATI F34062301
2010 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi :
KAJIAN
PEMANFAATAN
GONDOK
(Eichornia
TANAMAN
crassipes
(Mart)
AIR
ECENG
Solms)
DAN
KIAMBANG (Salvinia molesta) UNTUK MENURUNKAN KADAR NUTRIEN PADA LIMBAH CAIR TAHU Nama
:
DEVINA SANDRIATI
NRP
:
F34062301
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, M.Sc
Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing
NIP. 19590503 198703 1 001
NIP. 19631221 199003 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti
NIP. 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus : 27 Oktober 2010
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Devina Sandriati
NRP
: F34062301
Departemen
: Teknologi Industri Pertanian
Fakultas
: Teknologi Pertanian
Perguruan Tinggi
: Institut Pertanian Bogor
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan judul ”Kajian Pemanfaatan Tanaman Air Eceng Gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms) dan Kiambang (Salvinia molesta) Untuk Menurunkan Kadar Nutrien Pada Limbah Cair Tahu” merupakan karya tulis saya pribadi dengan bimbingan dan arahan dari dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas rujukannya. Demikian surat pernyataan dipertanggungjawabkan
ini
saya
buat
dengan
sebenar-benarnya
dan
Bogor, November 2010
Devina Sandriati F34062301
dapat
©Hak cipta milik Devina Sandriati, tahun 2010 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak ranpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 23 Desember 1988. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara yang merupakan anak dari pasangan Bambang Himan Santoso dan Asti Setyawati. Pada tahun 1992 penulis memulai pendidikan di TK Tunas Karya dan melanjutkan pendidikan di SDN Parakansalak IV dari tahun 1994 sampai tahun 2000. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 5 Bogor dan lulus tahun 2003. Setelah lulus dari SMA Negeri 1 Bogor pada tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama masa kuliah, penulis bergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FATETA, Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN), Green Concept IPB, dan pernah menjadi duta lingkungan Fateta BEM KM IPB. Pada tahun 2009, penulis melaksanakan kegiatan Praktek Lapang di PT. Nippon Indosari Corpindo dengan topik Mempelajari Aspek Teknologi Proses Produksi Roti Manis. Penulis mengakhiri masa pendidikan di IPB dengan melaksanakan penelitian yang berjudul “Kajian Pemanfaatan Tanaman Air Eceng Gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms) dan Kiambang (Salvinia molesta) Untuk Menurunkan Kadar Nutrien Pada Limbah Cair Tahu” dibawah bimbingan Dr. Tajuddin Bantacut, M.Sc dan Dr. Suprihatin, Dipl. Ing.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur senantiasa milik Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi berjudul “Kajian Pemanfaatan Tanaman Air Eceng Gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms) dan Kiambang (Salvinia molesta) Untuk Menurunkan Kadar Nutrien Pada Limbah Tahu” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dalam pelaksanaannya penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih terutama kepada : 1. Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, Msc sebagai pembimbing akademik pertama yang telah membimbing dan membantu penulis selama menempuh pendidikan di Departemen Teknologi Industri Pertanian dan dalam penyelesaian tugas akhir. 2. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing sebagai pembimbing akademik kedua yang telah memberikan saran, arahan, dan bimbingan selama penelitian hingga tersusunnya skripsi ini. 3. Kedua orang tua saya atas doa, kasih sayang, dukungan, dan semangat baik moril maupun materil yang tak terhingga. 4. Seluruh laboran TIN, khususnya Pak Yogi, Pak Eddy, Pak Diki, Ibu Ega, Ibu Sri, Pak Gun, dan Pak Sugi, atas bantuan yang diberikan selama penelitian. 5. Dony Wahyudi dan Ulfa atas bantuan dan semangatnya. 6. Tatang Sanjaya, Azis Wildan, Praja, Tya Rachmawati, Suryana Manalu, Gabriella Vinita, Dwi Ajias, Kusuma Ratih, Nurul Pustikasari, Dwi Windiana, Eka Marliana, Wynda Julia, Amalia Widyasari, Neza Fadia, Vioni Derosya, Hergha serta teman-teman TIN 43 yang telah memberikan semangat dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi. 7. Teman-teman dari Green Concept IPB (Zai, Arsyad, Poppy, Yuly, Mustofa, serta Hendro) dan Duta Lingkungan 2009 8. BEM-FATETA kabinet Integritas Pembaharu dan Semut Merah serta sahabat MBM (Muthi, Ratih, Nyez, Yoss, Ipunk, Atsenk, Riza, Andri, Banu, dan Pandu) yang telah memberi warna baru dalam hidup. Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan bagi penulis untuk kemajuan penulis atau pihakpihak yang membutuhkan. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Wassalam Bogor, November 2010 Devina Sandriati
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................................ .. i DAFTAR ISI........................................................................................................... .. ii DAFTAR TABEL .................................................................................................. .. iv DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. .. v DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... .. vi I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG ............................................................................................ .. 1 1.2 TUJUAN .................................................................................................................. .. 2 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PROSES PEMBUATAN TAHU ........................................................................... .. 3 2.2 KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR INDUSTRI TAHU .................................... .. 5 2.3 PARAMETER FISIK DAN KIMIA LIMBAH TAHU ......................................... 5 2.3.1 Total Suspended Solid (TSS) ............................................................................... .. 5 2.3.2 pH .......................................................................................................................... 6 2.3.3 Chemical Oxygen Demand (COD) ....................................................................... 6 2.3.4 Dissolve Oxygen (DO) .......................................................................................... 6 2.3.5 Nitrogen ............................................................................................................... 6 2.3.5.1 Nitrogen Organik ...................................................................................... 7 2.3.5.2 Amonia ...................................................................................................... 7 2.3.5.3 Nitrit .......................................................................................................... 8 2.3.5.4 Nitrat ......................................................................................................... 9 2.3.5.5 Proses Penyisihan Nitrogen Secara Biologis ........................................... 9 2.3.6 Fosfor ................................................................................................................ 10 2.4 ECENG GONDOK (Eichornia crassipes (Mart) Solms ....................................... .. 11 2.4.1 Tinjauan Umum dan Morfologi Eceng Gondok ......................................... 11 2.4.2 Ciri-ciri Fisiologis Eceng Gondok .............................................................. 13 2.4.3 Manfaat Eceng Gondok .............................................................................. 14 2.4.4 Kerugian Eceng Gondok ............................................................................. 14 2.4.5 Penyerapan Oleh Eceng Gondok................................................................ 14 2.5 KIAMBANG (Salvinia molesta) ........................................................................... 15 III. METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT .............................................................................................. .. 17 3.2 METODOLOGI PENELITIAN .............................................................................. .. 17 3.2.1 Penelitian Pendahuluan ................................................................................. .. 17 3.2.2 Penelitian Utama............................................................................................ .. 18 3.2.3 Analisis Data.................................................................................................. .. 19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN........................................................................... .. 20 4.2 PENELITIAN UTAMA .......................................................................................... .. 22 4.2.1 Penurunan Parameter Fisika dan Kimia pada Limbah Tahu ........................ .. 22 4.2.1.1 Total Suspended Solid (TSS) ............................................................ 22 4.2.1.2 pH ...................................................................................................... 23 4.2.1.3 Dissolve Oxygen (DO) ..................................................................... 24 4.2.1.4 Chemical Oxygen Demand (COD) ................................................... 26
4.2.2 Penurunan Nutrien pada Limbah Tahu ......................................................... .. 4.2.2.1 Nitrogen Total ................................................................................... 4.2.2.2 Amonia .............................................................................................. 4.2.2.3 Nitrat .................................................................................................. 4.2.2.4 Fosfat ................................................................................................. 4.2.3 Pertumbuhan Eceng Gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms dan Kiambang (Salvinia molesta) ................................................................ .. V. PERANCANGAN PENANGANAN LIMBAH TAHU DENGAN ECENG GONDOK DAN KIAMBANG 5.1 LAJU PENURUNAN NUTRIEN PADA LIMBAH TAHU ..................................
28 28 29 31 33
5.2 PENANGANAN LIMBAH TAHU SKALA INDUSTRI ......................................
39
34
37
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 KESIMPULAN ....................................................................................................... ...
41
6.2 SARAN ......................................................................................................................
41
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. ...
42
LAMPIRAN............................................................................................................ ...
46
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Perkiraan kebutuhan air pada pengolahan tahu dari 3 kg kedelai………… 5 Tabel 2. Metode pengukuran parameter yang diuji .............................................. 17 Tabel 3. Perlakuan penelitian pendahuluan .......................................................... 18 Tabel 4. Karakterisasi limbah cair tahu setelah aerasi .......................................... 20 Tabel 5. Kondisi pertumbuhan tanaman (jumlah helai daun) .............................. 35 Tabel 6. Efektivitas rata-rata penurunan nitrat dan fosfat (mg/l.hari) .................. 35
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Diagram proses pembuatan tahu......... .............................................. 4 Gambar 2. Diagram siklus nitrogen dalam proses oksidasi biologi……………… 10 Gambar 3. Morfologi Eceng Gondok.................................................................. 11 Gambar 4. Morfologi Kiambang ......................................................................... 16 Gambar 5. Tata letak kolam percobaan............................................................... 18 Gambar 6. Penurunan TSS selama waktu penelitian... ....................................... 22 Gambar 7. Penurunan TSS pada pengenceran 1:2 selama waktu penelitian... .. 23 Gambar 8. Penurunan TSS pada pengenceran 1:0 selama waktu penelitian... .. 23 Gambar 9. Peningkatan nilai pH selama waktu penelitian…………………… 24 Gambar 10. Penurunan pH pada pengenceran 1:2 selama waktu penelitian... ... 24 Gambar 11. Penurunan pH pada pengenceran 1:0 selama waktu penelitian... ... 24 Gambar 12. Perubahan DO selama waktu penelitian…………………………. 25 Gambar 13. Penurunan DO pada pengenceran 1:2 selama waktu penelitian...... 26 Gambar 14. Penurunan DO pada pengenceran 1:0 selama waktu penelitian...... 26 Gambar 15. Penurunan COD selama waktu penelitian………………………… 27 Gambar 16. Penurunan COD pada pengenceran 1:2 selama waktu penelitian... 27 Gambar 17. Penurunan COD pada pengenceran 1:0 selama waktu penelitian... 27 Gambar 18. Penurunan nitrogen total selama penelitian………………… 28 Gambar 19. Penurunan nitrogen total pada pengenceran 1:2 selama waktu penelitian. 29 Gambar 20. Penurunan nitrogen total pada pengenceran 1:0 selama waktu penelitian 29 Gambar 21. Penurunan kandungan amonia selama penelitian…………………….. 30 Gambar 22. Penurunan amonia pada pengenceran 1:2 selama waktu penelitian... 30 Gambar 23. Penurunan amonia pada pengenceran 1:0 selama waktu penelitian... 31 Gambar 24. Penurunan kandungan nitrat selama penelitian………………………. 31 Gambar 25. Penurunan nitrat pada pengenceran 1:2 selama waktu penelitian... 32 Gambar 26. Penurunan nitrat pada pengenceran 1:0 selama waktu penelitian... 32 Gambar 27. Penurunan kandungan fosfat selama waktu penelitian………….. 33 Gambar 28. Penurunan fosfat pada pengenceran 1:2 selama waktu penelitian... 34 Gambar 29. Penurunan fosfat pada pengenceran 1:0 selama waktu penelitian... 34 Gambar 30. Presentase penurunan kandungan nitrat…………………………. 36 Gambar 31. Presentase penurunan kandungan fosfat………………………… 36 Gambar 32. Penurunan konsentrasi amonia dan nitrogen pada Eceng Gondok dan Kiambang……………………………………………………… 37 Gambar 33. Penurunan konsentrasi nitrat dan fosfat pada Eceng Gondok dan Kiambang………………………………………………………….. 38 Gambar 34. Neraca massa proses pembuatan tahu…………………………… 39
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8.
Halaman Prosedur analisa ............................................................................... ... 46 Dokumentasi hasil penelitian .......................................................... ... 49 Kondisi limbah cair tahu pada penelitian pendahuluan .................. ... 52 Kondisi pertumbuhan Eceng Gondok dan Kiambang selama penelitian pendahuluan……………………………………………… 53 Efektivitas penurunan nutrien......................................................... ... 55 Perubahan kandungan nutrien selama waktu penelitian ................ 58 Baku mutu limbah cair…………………………………………… 61 Perancangan pengolahan limbah tahu………………………… 62
I. 1.1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Industri tahu adalah jenis industri pangan yang mengolah bahan baku kedelai yang menghasilkan limbah padat dan limbah cair. Limbah cair yang dihasilkan mengandung banyak zat organik yang dapat dijadikan sebagai tempat berkembangnya mikroba yang akan mencemari lingkungan sekitar. Limbah cair yang dihasilkan industri tahu banyak mengandung senyawa organik dan sedikit senyawa anorganik. Senyawa organik apabila berada pada konsentrasi tinggi akan menimbulkan pencemaran pada lingkungan perairan. Air limbah dari industri tahu memerlukan pengolahan sebelum dibuang ke badan air. Kandungan fosfor, nitrogen dan sulfur serta unsur hara lainnya dengan konsentrasi tinggi di dalam air akan mempercepat pertumbuhan tumbuhan air. Kondisi demikian lambat laun akan menyebabkan kematian biota dalam air (Alaert dan Santika, 1984). Limbah cair industri tahu adalah limbah organik yang mudah diuraikan oleh mikroorganisme secara alamiah (biodegradable). Namun, sebagian besar pemrakarsa yang bergerak dalam industri tahu adalah orang-orang yang hanya mempunyai modal terbatas, maka perhatian terhadap pengolahan limbah industri tersebut sangat kecil. Bahkan, ada beberapa industri tahu yang tidak mengolah limbahnya sama sekali dan langsung dibuang ke lingkungan. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan dan harus mendapat perhatian yang serius (Darsono, 2007). Limbah industri tahu dapat menimbulkan pencemaran yang cukup berat karena mengandung polutan organik yang cukup tinggi. Beberapa hasil penelitian menginformasikan adanya konsentrasi Chemical Oxygen Demand (COD) dalam air limbah industri tahu yang cukup tinggi yaitu berkisar antara 7000-10.000 ppm dan pH yang rendah yaitu 4-5. Berdasarkan kondisi tersebut, air limbah industri tahu merupakan salah satu sumber pencemaran lingkungan yang sangat potensial (Said dan Heru, 1999). Sampai saat ini pengolahan limbah cair industri tahu umumnya dilakukan dengan cara membuat bak penampung air limbah sehingga terjadi proses anaerob. Aplikasi dari proses biologis anaerob dapat menurunkan kandungan polutan organik dalam air limbah tetapi efisiensi pengolahan hanya berkisar antara 50%-70% saja. Jika konsentrasi COD dalam air limbah 7000 ppm, kadar COD yang keluar masih cukup tinggi yaitu sekitar 2100 ppm sehingga hal ini masih menjadi sumber pencemaran lingkungan (Said dan Heru, 1999). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menurunkan kandungan bahan pencemar pada limbah tahu. Dhahiyat (1990) mengolah limbah cair tahu dengan menggunakan tanaman Eceng Gondok. Penelitian tersebut menggunakan Eceng Gondok dengan variasi jumlah penutupan Eceng Gondok di kolam yaitu 0%, 25%, dan 50% serta adanya pengenceran limbah tahu pada penelitian pendahuluan dari 1:0 sampai 1:8. Dari hasil pengamatan disimpulkan penurunan kadar residu tersuspensi, residu terlarut, BOD, dan COD terbesar terjadi pada penutupan Eceng Gondok 50% dengan pengenceran 1:8 selama 11 hari waktu kontak. Salah satu penanganan limbah cair yang ramah lingkungan adalah menggunakan Eceng Gondok dan Kiambang sebagai biofilter penyerap berbagai zat berbahaya bagi lingkungan. Tumbuhan Eceng Gondok adalah gulma air yang mempunyai daya regenerasi yang cepat karena potonganpotongan vegetatifnya yang terbawa arus air akan terus berkembang menjadi Eceng Gondok dewasa. Eceng Gondok sangat peka terhadap keadaan dengan unsur hara yang kurang mencukupi tetapi mempunyai respon terhadap konsentrasi unsur hara yang tinggi. Akar Eceng Gondok berupa serabut yang penuh dengan bulu akar dan tudung akarnya berwarna merah. Bulu-bulu akar berfungsi sebagai pegangan atau jangkar dan sebagian besar berguna untuk mengabsorbsi zat-zat makanan dalam air (Nurhayati, 1989). Pemanfaatan tumbuhan Eceng Gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solm) pada
pengolahan air limbah telah banyak dilakukan karena Eceng Gondok mempunyai kemampuan berkembang biak dengan cepat dan kemampuan menyerap unsur hara, senyawa organik, serta unsur kimia lain dari air limbah dalam jumlah yang besar. Kiambang adalah paku air yang memiliki kemampuan untuk menyerap unsur pencemar dalam air limbah. Kiambang memiliki dua tipe daun yang sangat berbeda. Daun pertama yang tumbuh di permukaan air berbentuk cuping agak melingkar, berklorofil, dan permukaannya ditutupi rambut berwarna putih agak transparan sedangkan daun kedua tereduksi menjadi akar sehingga berfungsi sebagai penyerap makanan (Smith, 1955). Paku air ini tidak memiliki nilai ekonomi tinggi kecuali sebagai sumber humus karena pertumbuhannya yang pesat dan dapat dijadikan pupuk. Selain itu, Kiambang dapat digunakan sebagai bagian dari dekorasi dalam ruang atau sebagai tanaman hias di kolam atau akuarium (Sudarmaji, 1991). Menurut Lidiawati (2009) tanaman air Eceng Gondok dan Kiambang merupakan pilihan dalam penanganan limbah cair tahu dengan menggunakan biofilter alami yang ramah lingkungan karena merupakan makhluk hidup yang dapat melakukan simbiosis mutualisme dengan limbah cair tahu. Zat organik yang berbahaya dapat diserap oleh tanaman Eceng Gondok dan Kiambang kemudian tanaman tersebut juga dapat dimanfaatkan dalam pembuatan pupuk organik yang menyuburkan tanah. Penggunaan Eceng Gondok dan Kiambang dalam pengolahan limbah cair tahu merupakan salah satu alternatif solusi yang efisien dan efektif mengingat belum banyak industri tahu yang memiliki instalasi pengolahan limbah. Efluen dari pengolahan limbah cair tahu tersebut diharapkan dapat aman dibuang ke lingkungan karena kandungan bahan pencemarnya telah diserap secara optimal oleh Eceng Gondok dan Kiambang. Pemanfaatan Eceng Gondok dan Kiambang pasca pengolahan limbah adalah sebagai pakan ikan dan ternak serta untuk Eceng Gondok dapat dijadikan sebagai bahan baku industri kerajinan.
1.2
TUJUAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan efektivitas penurunan nutrien pada limbah tahu dengan menggunakan tanaman air Eceng Gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms) dan Kiambang (Salvinia molesta).
II. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
PROSES PEMBUATAN TAHU
Tahu merupakan makanan yang terbuat dari bahan baku kedelai dan prosesnya masih sederhana dan terbatas pada skala rumah tangga. Hartati (1994) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tahu adalah makanan padat yang dicetak dari sari kedelai (Glycine sp) dengan proses pengendapan protein pada titik isoelektriknya tanpa atau dengan penambahan zat lain yang diizinkan. Pembuatan tahu pada prinsipnya dibuat dengan mengekstrak protein, kemudian mengumpulkannya sehingga terbentuk padatan protein. Cara penggumpalan susu kedelai umumnya dilakukan dengan penambahan bahan penggumpal berupa asam. Bahan penggumpal yang biasa digunakan adalah asam cuka (CH3COOH), batu tahu (CaSO4nH2O), dan larutan bibit tahu (larutan perasan tahu yang telah diendapkan satu malam). Secara umum tahapan proses pembuatan tahu adalah sebagai berikut : a. Kedelai yang telah dipilih dibersihkan dan disortasi. Pembersihan dilakukan dengan ditampi atau menggunakan alat pembersih b. Perendaman dalam air bersih agar kedelai dapat mengembang dan cukup lunak untuk digiling. Lama perendaman berkisar 4-10 jam c. Pencucian dengan air bersih. Jumlah air yang digunakan tergantung pada besarnya atau jumlah kedelai yang digunakan d. Penggilingan kedelai menjadi bubur kedelai dengan mesin giling. Untuk memperlancar penggilingan perlu ditambahkan air dengan jumlah yang sebanding dengan jumlah kedelai e. Pemasakan kedelai dilakukan di atas tungku dan dididihkan selama 5 menit. Selama pemasakan ini dijaga agar tidak berbuih dengan cara menambahkan air dan diaduk f. Penyaringan bubur kedelai dilakukan dengan kain penyaring. Ampas yang diperoleh diperas dan dibilas dengan air hangat. Jumlah ampas basah kurang lebih 70% sampai 90% dari bobot kering kedelai g. Setelah itu dilakukan penggumpalan dengan menggunakan air asam, pada suhu 50oC, kemudian didiamkan sampai terbentuk gumpalan besar. Selanjutnya air di atas endapan dibuang dan sebagian digunakan untuk proses penggumpalan kembali. h. Langkah terakhir adalah pengepresan dan pencetakan yang dilapisi dengan kain penyaring sampai padat. Setelah air tinggal sedikit, maka cetakan dibuka dan diangin-anginkan. Proses pembuatan tahu ditunjukkan pada Gambar 1.
Kedelai
air untuk pencucian
air limbah
Pencucian
Kedelai bersih
air untuk perendaman
Perendaman
air limbah
Kedelai rendaman
Penirisan dan Penggilingan dengan penambahan air
Bubur kedelai
Air
Pemasakan
Penyaringan
ampas tahu
Susu Kedelai
Penambahan larutan pengendap sedikit demi sedikit dan diaduk perlahan
Campuran padatan tahu dan cairan
Pembuangan Cairan
Pencetakan
Tahu Gambar 1. Diagram Proses Pembuatan Tahu (Hartati, 1994)
air limbah
2.2
KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR INDUSTRI TAHU
Limbah industri tahu terdiri atas dua jenis, yaitu limbah cair dan padat. Dari kedua jenis limbah tersebut, limbah cair merupakan bagian terbesar dan berpotensi mencemari lingkungan. Sebagian besar limbah cair yang dihasilkan bersumber dari cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu pada tahap proses penggumpalan dan penyaringan yang disebut air dadih atau whey. Sumber limbah cair lainnya berasal dari proses sortasi dan pembersihan, pengupasan kulit, pencucian, penyaringan, pencucian peralatan proses, dan lantai. Jumlah limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuatan tahu sebanding dengan penggunaan air untuk pemrosesannya. Menurut Nuraida (1985) jumlah kebutuhan air proses dan jumlah limbah cair yang dihasilkan dilaporkan berturut-turut sebesar 45 dan 43,5 liter untuk tiap kilogram bahan baku kacang kedelai. Pada beberapa industri tahu, sebagian kecil dari limbah cair tersebut (khususnya air dadih) dimanfaatkan kembali sebagai bahan penggumpal (Dhahiyat, 1990). Perincian pengggunaan air dalam setiap tahapan proses dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perkiraan kebutuhan air pada pengolahan tahu dari 3 kg kedelai Tahapan Proses Kebutuhan Air (Liter) Pencucian
10
Perendaman
12
Penggilingan
3
Pemasakan
30
Pencucian ampas
50
Perebusan
20 Jumlah
135
Sumber : Nuraida (1985) Limbah cair industri tahu mengandung bahan-bahan organik kompleks yang tinggi terutama protein dan asam-asam amino dalam bentuk padatan tersuspensi maupun terlarut. Adanya senyawasenyawa organik tersebut menyebabkan limbah cair industri tahu mengandung BOD, COD dan TSS yang tinggi (Husin, 2003). Apabila dibuang ke perairan tanpa pengolahan terlebih dahulu dapat menyebabkan pencemaran.
2.3
PARAMETER FISIK DAN KIMIA LIMBAH TAHU
2.3.1
Total Suspended Solid (TSS)
Padatan tersuspensi total adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 μm) yang tertahan pada saringan millipore dengan pori-pori 0,45 μm (Effendi, 2003). Padatan tersuspensi menunjukkan bahan padat yang tidak terendapkan. Bahan ini terdiri atas bahan organik dan anorganik. Bahan-bahan tersuspensi tidak mesti bersifat toksik tetapi jika berlebihan dapat menyebabkan kekeruhan air kemudian pendangkalan pada badan air serta penurunan kualitas air akibat peruraian dari bakteri ini. Proses dekomposisi secara aerob terjadi di dalam air limbah yang terdapat oksigen (O2) dan nitrat (NO3) sebagai penerima elektron (Suryadiputra, 1994). Produk akhir dari dekomposisi secara aerob adalah karbondioksida (CO2), air, dan sel bakteri baru. Pada proses dekomposisi secara anaerob yang berperan sebagai penerima elektron adalah sulfat (SO42), karbondioksida (CO2), dan hidrogen sulfida (H2S). Produk akhir dari dekomposisi secara anaerob adalah karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan air.
Analisis terhadap kandungan padatan tersuspensi di dalam air limbah penting untuk mengontrol kondisi fisika dan biologi dari pengolahan air limbah dan pendugaan dampaknya dengan membandingkannya terhadap baku mutu. Pengendapan padatan tersuspensi yang tinggi dapat mengganggu organisme air, seperti ikan akan terganggu proses metabolismenya akibat tertutupnya insang oleh bahan-bahan tersuspensi.
2.3.2
pH
pH adalah ukuran kualitas dari air ataupun dari air limbah. Kadar yang baik adalah kadar yang masih memungkinkan kehidupan biologis di dalam air berjalan dengan baik. Air limbah dengan pH tidak netral akan menyulitkan proses biologis sehingga akan mengganggu proses penjernihannya. pH yang baik bagi air limbah adalah 7 (Sugiharto, 1987). Metcalf dan Eddy (1991) mengatakan secara umum nilai optimum pH untuk pertumbuhan bakteri aerob adalah 6,5-8,5. Perubahan pH pada pengolahan dengan tumbuhan air terkait dengan proses fotosintesis dari algae dan tumbuhan air yang tenggelam. Mara (1976) mengatakan bahwa pada proses fotosintesis berlangsung intensif (siang hari), CO2 bebas dalam air akan habis terpakai. Pada kondisi seperti ini, bikarbonat (HCO3-) berubah menjadi CO2 dan ion OH-. Dominansi oleh ion-ion hidroksil ini mengakibatkan meningkatnya nilai pH di perairan. Persamaan reaksinya adalah sebagai berikut : HCO3-
2.3.3
CO2 + OH-
Chemical Oxygen Demand (COD)
Nilai COD diperlukan untuk menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis maupun yang sukar didegradasi secara biologis menjadi CO2 dan H2O dengan bantuan oksidator kuat (kalium dikromat/K2Cr2O7) dalam suasana asam. Dengan menggunakan dikromat sebagai oksidator, diperkirakan sekitar 95-100% bahan organik dapat dioksidasi. Keberadaan bahan organik dapat berasal dari alam ataupun dari aktivitas rumah tangga dan industri (Effendi, 2003). Alaerts dan Santika (1984) menyatakan keunggulan tes COD dibandingkan dengan tes BOD yaitu, analisis COD hanya memerlukan waktu kurang lebih 3 jam sedangkan analisis BOD memerlukan waktu selama 5 hari, untuk menganalisis COD antara 50 sampai 800 mg/l tidak dibutuhkan pengenceran sampel sedangkan pada umumnya analisis BOD selalu membutuhkan pengenceran, serta gangguan dan zat yang dapat bersifat racun terhadap mikroorganisme pada tes BOD tidak menjadi masalah pada tes COD.
2.3.4
Dissolve Oxygen (DO)
Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dengan udara dan dari proses fotosintesis. Selanjutnya air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui kegiatan respirasi dari semua organisme air. Selain itu, kehadiran senyawa organik dapat menurunkan kandungan oksigen terlarut di dalam air sebagai akibat dari terjadinya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme yang berlangsung secara aerob (Barus, 2002).
2.3.5
Nitrogen
Nitrogen adalah nutrien penting dalam sistem biologis. Nitrogen mengisi sekitar 12 persen protoplasma bakteri dan 5 hingga 6 persen protoplasma kapang. Nitrogen akan terdapat sebagai nitrogen organik dan nitrogen amonia dalam air limbah, proporsinya tergantung degradasi bahan
organik yang berlangsung. Senyawa nitrogen organik dapat ditransformasikan menjadi nitrogen amonium dan dioksidasi menjadi nitrogen nitrit dan nitrat dalam sistem biologis (Jenie dan Rahayu, 1993). Menurut Davis dan Cornwell (1991), unsur nitrogen sebagai nutrien atau biostimulan karena memiliki peranan penting untuk pertumbuhan protista dan tumbuhan. Unsur tersebut harus berada dalam lingkungan perairan untuk mendukung rantai makanan. Masalah akan muncul ketika nitrogen berada dalam jumlah yang berlebih dan jaring makanan pun terganggu. Nutrien yang berlebihan akan mendorong untuk terjadinya pertumbuhan alga yang pesat yang pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan kandungan DO. Nitrogen merupakan unsur penyusun yang penting dalam sintesa protein, karena itu diperlukan data tentang nitrogen dan siklusnya agar dapat tercapai pengolahan air yang tepat (Metcalf dan Eddy, 1991). Sebagian besar dari nitrogen total dalam air dapat terikat sebagai nitrogen organik, yaitu bahan-bahan berprotein. Nitrogen juga terdapat dalam senyawa-senyawa pencemar seperti asam sianida (HCN), asam etilen tetra asetat (EDTA), atau asam nitrilotriasetat (NTA). Sumber-sumber nitrogen dalam air dapat bermacam-macam, meliputi hancuran bahan organik, buangan domestik, limbah industri, limbah perikanan, peternakan, dan pupuk. Bentuk utama nitrogen di air limbah adalah material protein dan urea. Dekomposisi oleh bakteri merubahnya menjadi amonia. Umur dari air limbah dapat ditentukan dari jumlah amonia yang ada. Bakteri dapat mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat dalam lingkungan aerobik. Jumlah nitrogen nitrat yang lebih banyak menunjukkan bahwa air limbah telah distabilkan dengan keberadaan nitrogen. Nitrat sebagai nutrien dapat digunakan oleh binatang untuk membentuk N-organik yaitu protein. Dekomposisi dari matinya tanaman ataupun binatang oleh bakteri dapat meningkatkan jumlah amonia (Metcalf dan Eddy, 1991). Nitrit dan nitrat akan dirubah menjadi N2 oleh mikroorganisme dengan proses yang disebut denitrifikasi. Molekul nitrogen atmosfer (N2) difiksasi menjadi NH3 dan kemudian amonia akan diasimilasi menjadi asam amino (Jackson dan Jackson, 2000). Senyawa-senyawa nitrogen terdapat dalam keadaan terlarut atau sebagai bahan tersuspensi. Jenis nitrogen di air meliputi nitrogen organik, amonia, nitrit, dan nitrat (Saeni, 1989). Pada sistem perairan alami, nitrat merupakan senyawa yang paling dominan dan selanjutnya berturut-turut adalah amonia dan nitrit. Semua bentuk nitrogen dapat ditemui pada berbagai jenis lingkungan karena sifatnya yang mudah dioksidasi atau direduksi oleh berbagai proses lingkungan (Waite 1984; Wiesmann, 1994). Berikut penjelasan dari berbagai bentuk-bentuk nitrogen di alam :
2.3.5.1 Nitrogen Organik Menurut Sawyer et al. (1994), semua nitrogen yang ada dalam komponen organik bisa dikatakan nitrogen organik. Nitrogen tersebut termasuk dalam asam amino, amina, amida, imida, dan turunan nitro. Metcalf dan Eddy (1991) mengatakan bahwa nitrogen organik berhubungan dengan suspended solids dalam air limbah dengan sedimentasi dan filtrasi. Nitrogen organik yang berwujud padat dapat langsung masuk ke tanah yang memiliki molekul organik kompleks yaitu karbohidrat, protein, dan lignin. Beberapa nitrogen organik dihidrolisis menjadi asam amino yang terlarut dan memungkinkan pemecahan lebih lanjut untuk melepas ion amonium (NH4+).
2.3.5.2 Amonia Menurut Metcalf dan Eddy (1991) amonia terdapat dalam larutan baik dalam bentuk ion amonium ataupun amonia, tergantung pH dari larutan tersebut. Widigdo (2000) menyatakan bahwa amonia di perairan dapat berasal dari proses dekomposisi bahan organik yang banyak mengandung
senyawa nitrogen (protein) oleh mikroba (amonifikasi), ekskresi organisme, reduksi nitrit oleh bakteri, dan penumpukan (jika ada). Jenie dan Rahayu (1993) mengatakan pada bentuk cairan amonia terdapat dalam 2 bentuk yaitu amonia bebas atau tidak terionisasi (NH3) dan dalam bentuk ion amonia (NH4+). Perbandingan amonia dalam kedua bentuk tersebut sangat dipengaruhi oleh nilai pH dan suhu. Persamaan reaksinya dapat dilihat sebagai berikut : NH3+H2O NH4+ + OHNilai pH keseimbangan sistem amonia-amonium sekitar 9,3 sehingga pada sistem alami dengan pH netral akan ditemui bahwa ion amonium merupakan bentuk yang dominan (Waite, 1984; Wiesmann, 1994). Amonia ditentukan dengan kenaikan pH dan didestilasi dengan mendidihkan sampel hingga menghasilkan uap air. Kondensasi dari uap air tersebutlah yang mengandung gas amonia. Perhitungan dapat dilakukan dengan metode kolorimetrik, titrimetrik, atau dengan elektroda ion. Kebanyakan dari amonia di alam mengalami adsorbsi sementara dengan reaksi ion exchange dalam partikel tanah. Adsorbsi amonia tersebut tersedia untuk tanaman dan mikroorganisme atau dikonversi menjadi nitrat melalui nitrifikasi biologis dalam keadaan aerobik. Kemampuan alam mengadsorbsi amonia adalah pasti adanya maka nitrifikasi dibutuhkan untuk melepas amonia dan memperbaiki lokasi adsorbsi (Metcalf dan Eddy, 1991). Menurut Jenie dan Rahayu (1993), konsentrasi amonia yang tinggi pada permukaan air dapat menyebabkan kematian ikan yang terdapat pada perairan tersebut. Keasaman air atau nilai pH-nya sangat mempengaruhi apakah jumlah amonia yang ada akan bersifat racun atau tidak. Pengaruh pH terhadap toksisitas amonia ditunjukkan dengan kondisi pH yang rendah akan bersifat racun bila jumlah amonia banyak sedangkan dengan kondisi pH tinggi, hanya dengan jumlah amonia rendah pun sudah bersifat racun. Jenie dan Rahayu (1993) menambahkan, amonia dapat mengakibatkan keadaan kekurangan oksigen pada air karena pada konversi amonia menjadi nitrat membutuhkan 4,5 bagian oksigen untuk setiap bagian amonia. Dengan keadaan tersebut, maka kadar oksigen terlarut dalam cairan akan turun yang menyebabkan makhluk biologis misalnya ikan tidak dapat hidup di sana.
2.3.5.3 Nitrit Nitrit relatif stabil dan mudah teroksidasi menjadi nitrat. Sawyer et al. (1994) mengemukakan bahwa nitrit nitrogen jarang sekali berada dalam konsentrasi lebih besar dari 1 mg/l bahkan di efluen penanganan limbah. Konsentrasi di air permukaan dan air dalam tanah adalah di bawah 0,1 mg/l. Menurut Metcalf dan Eddy (1991), konsentrasi yang kecil bukan berarti tidak berbahaya terhadap lingkungan karena sangat beracun terhadap ikan dan spesies air lainnya. Alaerts dan Santika (1987) menambahkan, nitrit biasanya tidak bertahan lama dan merupakan keadaan sementara proses oksidasi antara amonia dan nitrat. Nitrit membahayakan kesehatan karena dapat bereaksi dengan hemoglobin dalam darah sehingga darah tidak dapat mengangkut oksigen lagi. Keadaan ini disebut sebagai methemoglobinemia atau yang disebut sebagai penyakit bayi biru (baby blue diseases). Akibatnya dapat menyebabkan kematian. Konsentrasi nitrit yang tinggi dapat mereduksi aktivitas bakteri nitrifikasi pada kondisi asam. Daya racun nitrit yang tinggi dipengaruhi oleh bentuk persenyawaan nitritnya, yaitu bila terdapat bentuk asam (HNO2) maka akan lebih toksik daripada bentuk ion nitrit. Dalam larutan, nitrit akan terdisosiasi sehingga tercapai bentuk keseimbangannya, seperti ditunjukkan oleh persamaan berikut : NO2- + H3O+ HNO2 + H2O
Keseimbangan tersebut sangat dipengaruhi oleh keasaman larutan yaitu pada kondisi asam maka konsentrasi asam nitrit akan meningkat bila dibandingkan dengan keadaan netral (Jenie dan Rahayu, 1993). Menurut Fardiaz (1992), tinggi rendahnya nilai kandungan nitrit ini disebabkan oleh faktorfaktor seperti waktu retensi, kandungan oksigen terlarut, suhu, pH, dan konsentrasi amonia atau nitrit itu sendiri. Waktu retensi menunjukkan waktu yang dibutuhkan bakteri untuk merombak amonia. Semakin banyak jumlah bakteri nitrifikasi maka semakin banyak kandungan nitrit yang terbentuk. Begitu juga dengan kandungan oksigen terlarut, konsentrasi amonia atau nitrit, suhu, dan pH. Semakin optimum faktor-faktor tersebut maka kandungan nitrit yang terbentuk semakin bertambah.
2.3.5.4 Nitrat Nitrat nitrogen yang merupakan turunan dari nitrit adalah bentuk nitrogen yang paling teroksidasi dalam limbah. Nitrat merupakan nutrien utama untuk pertumbuhan tanaman air. Nitrat jika tidak dihilangkan melalui tanaman atau denitrifikasi, dapat mencemari air bawah tanah (Metcalf dan Eddy, 1991). Nitrat merupakan jenis nitrogen yang paling dinamis dan menjadi bentuk paling dominan pada sungai, keluaran air tanah, dan deposisi atmosfer ke laut (Kirchman, 2000). Menurut Alaerts dan Santika (1987), nitrat adalah bentuk senyawa yang stabil. Nitrat merupakan salah satu unsur penting untuk sintesis protein dalam tumbuhan dan hewan. Akan tetapi, nitrat pada konsentrasi yang tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan ganggang berlebih sehingga air kekurangan oksigen terlarut yang menyebabkan kematian ikan. Nitrat dapat ditangkap tanaman, tetapi penangkapan hanya terjadi di sekitar akar selama pertumbuhan. Jika ingin menghilangkan nitrat, maka tanaman tersebut harus dipanen dan dipindahkan dari sistem. Jika tanaman tetap dibiarkan dalam sistem, nitrat akan masuk kembali dalam sistem sebagai nitrogen organik. Kisaran nilai nitrat sebagai N adalah 15-20 mg/l dalam efluen limbah (Metcalf dan Eddy, 1991).
2.3.5.5 Proses Penyisihan Nitrogen Secara Biologis Nitrogen dalam berbagai bentuk di alam (NH3, NH4+, NO2-, dan NO3- terkecuali gas N2) merupakan nutrien yang harus dibatasi jumlahnya dari air buangan. Transformasi dan penghilangan nitrogen di alam melibatkan proses dan reaksi yang kompleks. Mekanisme penghilangan nitrogen dari air limbah tergantung dari bentuk nitrogen yang ada, sebagai nitrat, amonia, atau nitrogen organik. Penyisihan nitrogen dapat dicapai baik secara kimiawi (air striping, breakpoint chlorination, dan ion exchange) ataupun biologis (nitrifikasi dan denitrifikasi) (Davis dan Cornwell, 1991). Menurut Metcalf dan Eddy (1991), diantara metode-metode penyisihan yang ada, nitrifikasi dan denitrifikasi merupakan metode terbaik karena efisiensi penyisihan yang tinggi, reabilitas dan stabilitas proses yang tinggi, pengontrolan proses yang mudah, kebutuhan lahan yang minim, dan biaya yang relatif murah. Proses penyisihan limbah secara biologis terbagi menjadi tiga jenis berdasarkan kebutuhan proses terhadap keberadaan oksigen terlarut, yaitu : 1. Oksidasi bahan-bahan organik menggunakan oksigen sebagai akseptor elektron merupakan mekanisme untuk menghasilkan energi kimiawi bagi mikroorganisme yang berperan dalam proses pengolahan secara aerobik 2. Oksidasi bahan-bahan organik menggunakan pengoksidasi selain oksigen seperti karbondioksida, senyawa-senyawa organik yang telah teroksidasi sebagian sulfat dan nitrat dapat digunakan oleh kelompok mikroorganisme yang berperan dalam proses pengolahan secara anaerobik
3.
Proses pengolahan limbah yang menggunakan mikroorganisme yang bersifat obligat aerob dan anaerob atau fakultatif. Mikroorganisme-mikroorganisme tersebut dapat melakukan metabolisme terhadap bahan-bahan organik secara sempurna dengan adanya oksigen terlarut (Jenie dan Rahayu, 1993). Prinsip penyisihan nutrien secara biologis didasarkan pada perubahan siklus perubahan senyawa nitrogen sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2. Nitrogen Organik sintesa Bahan Organik + O2 + NH3
Sel CH2O +O2 +H2O
Sel + CO2 + H2O Otooksidasi
NH3 + CO2 + H2O
NO2 Nitrifikasi NO3 Denitrifikasi + CH2O
N2 + N2O Gambar 2. Siklus Nitrogen dalam proses oksidasi biologi (Eckenfelder, 1989).
2.3.6
Fosfor
Fosfat yang dijumpai di air merupakan hasil pelapukan dan melarutnya mineral fosfat, karena erosi tanah, pupuk, proses asimilasi dan disimilasi tumbuhan, detergen, serta limbah industri dan limbah domestik (Stumm dan Morgan, 1970). Lebih lanjut dijelaskan bahwa fosfat dalam perairan terdapat dalam bentuk terlarut dan tidak terlarut. Fosfor terlarut pada perairan alami berada dalam bentuk ortofosfat, fosfat anorganik terkondensasi (tripolifosfat dan trimetafosfat), ortofosfat organik, fosfat organik terkondensasi, dan pestisida yang mengandung fosfor. Bentuk fosfat yang tidak larut di perairan alami dapat berupa mineral-mineral tanah batuan dalam bentuk fase campuran dan dalam bentuk tersuspensi. Fosfor yang dapat diserap oleh jasad nabati adalah dalam bentuk ortofosfat sedangkan total fosfat berperan sebagai sumber (potensi) tersedianya ortofosfat. Dalam perairan yang belum tercemar, bentuk-bentuk fosfat tersebut berada dalam keadaan berimbang (Sastrawijaya,1991). Fosfor juga disimpan dalam sel sebagai polifosfat. Siklus fosfor dari sedimen, degradasi fosfat
organik, dan hidrolisis polifosfat menjadi ortofosat merupakan sumber P untuk alga (Porcella dan Bishop, 1975). Fosfat merupakan unsur hara kunci dalam produktivitas primer perairan dan kesuburan perairan dipengaruhi bentuk senyawa fosfat yang ditemukan. Fosfat dalam perairan alami terdapat dalam jumlah sedikit sehingga fosfat sering merupakan faktor pembatas bagi produktivitas perairan (Hutchinson, 1967). Tingkat kerawanan (critical level) fosfat bagi perkembangan populasi alga adalah pada konsentrasi 0,55 mg per meter kubik air. Kerugian yang ditimbulkan oleh adanya kandungan fosfat yang tinggi dalam air melebihi kebutuhan normal organisme nabati adalah terjadinya keadaan lewat subur (eutrofikasi) sehingga pada akhirnya terjadi pertumbuhan ganggang yang berlebihan (blooming). Hal ini akan menyebabkan berkurangnya hara dengan sangat drastis dan pada akhirnya menyebabkan kematian tumbuhan itu sendiri. Pembusukan akan terjadi dan keadaan ini akan menyebabkan pembentukan zat-zat beracun seperti N-NO2, N-NH3, H2S, dan CO2 dalam air akan meningkat sedangkan kandungan oksigen menurun akibatnya akan terjadi kematian massal organisme termasuk ikan (McNeely et al. 1979).
2.4
ECENG GONDOK (Eichornia crassipes (Mart) Solms)
2.4.1
Tinjauan Umum dan Morfologi Eceng Gondok Menurut Gopal dan Sharma (1981) klasifikasi Eceng Gondok :
Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies Nama Lokal Nama Lain Tipe tumbuhan
: Spermatophyta : Monocotyledone : Farinosae : Pontederiaceae : Eichhornia : Eichhornia crassipes (Mart) Solms. : Bengkok, Eceng Gondok, Eceng Padi, Gendet : Water Hyacinth : Mengapung (floating)
F1
B L
I F S
R
rh rc
Gambar 3. Morfologi Eceng Gondok (Rudiyanto. F, 2004) Keterangan : B:helai daun (Leaf blade); F1: bunga (Flower); L: ligula (Ligule); F: gabus pengapung; I: leher daun (Isthmus); R: akar; S: stolon; rc: ujung akar; rh: akar rambut
Orang lebih banyak mengenal tanaman ini tumbuhan pengganggu (gulma) diperairan karena pertumbuhannya yang sangat cepat. Awalnya didatangkan ke Indonesia pada tahun 1894 dari Brazil untuk koleksi Kebun Raya Bogor, ternyata dengan cepat menyebar ke beberapa perairan di Pulau Jawa. Dalam perkembangannya, tanaman keluarga Pontederiaceae ini justru mendatangkan manfaat lain, yaitu sebagai biofilter cemaran logam berat, sebagai bahan kerajinan, dan campuran pakan ternak. Tumbuhan ini berbatang dengan buku pendek, mempunyai garis tengah 1-2,5 cm, panjang 130 cm, dan lebar 5-25 cm. Eceng Gondok berakar serabut, tidak bercabang, dan tidak berbulu dengan panjang 0,30-0,50 m. Akarnya sangat kuat dan dibungkus oleh semacam zat tanduk dan berat akarnya adalah 20-50 % dari berat tumbuhan Eceng Gondok (Sculthorpe, 1967). Bagian akar Eceng Gondok ditumbuhi dengan bulu-bulu akar yang berserabut dan berfungsi sebagai pegangan atau jangkar tanaman. Sebagian besar peranan akar untuk menyerap zat-zat yang diperlukan tanaman dari dalam air. Pada ujung akar terdapat kantung akar yang mana di bawah sinar matahari kantung akar ini berwarna merah, susunan akarnya dapat mengumpulkan lumpur atau partikel-partikal yang terlarut dalam air (Ardiwinata, 1950). Menurut Gopal dan Sharma (1981) Eceng Gondok yang tumbuh pada air yang kaya akan unsur hara akan mempunyai petiole (batang) yang panjang hingga lebih dari 100 cm dan akar yang pendek kurang dari 20 cm sedangkan Eceng Gondok yang tumbuh pada air yang miskin hara, panjang petiole kurang dari 20 cm dan berbentuk bulat namun akarnya lebih dari 60 cm. Tanaman ini mempunyai stolon dengan garis tengah 0,5-2 cm, panjang sampai 40 cm atau lebih pendek bila tumbuh rapat. Tangkai daun panjangnya hingga 30 cm (Soerjani, 1975) berbatasan dengan helai daun yang menyempit dan sifatnya mendangkalkan dan menimbulkan spon yang menggelembung seperti gondok yang di dalamnya penuh dengan udara yang berperan untuk mengapungkan tanaman di permukaan air. Lapisan terluar petiole adalah lapisan epidermis, kemudian dibagian bawahnya terdapat jaringan tipis sklerenkim dengan bentuk sel yang tebal disebut lapisan parenkim, kemudian didalam jaringan ini terdapat jaringan pengangkut xylem dan phloem. Rongga-rongga udara dibatasi oleh dinding penyekat berupa selaput tipis berwarna putih (Pandey, 1980). Daun Eceng Gondok berbentuk bulat dan lebar serta tulang daun melengkung rapat dengan panjang 7-25 cm. Daun paling bawah mempunyai helaian kecil dan pelepah yang berbentuk tabung sedangkan daun yang teratas berbentuk tabung. Daun Eceng Gondok tergolong dalam makrofita yang terletak di atas permukaan air, yang di dalamnya terdapat lapisan rongga udara dan berfungsi sebagai alat pengapung tanaman. Zat hijau daun (klorofil) Eceng Gondok terdapat dalam sel epidemis. Di permukaan atas daun dipenuhi oleh mulut daun (stomata) dan bulu daun. Rongga udara yang terdapat dalam akar, batang, dan daun selain sebagai alat penampungan juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan O2 dari proses fotosintesis. Oksigen hasil dari fotosintesis ini digunakan untuk respirasi tumbuhan dimalam hari dengan menghasilkan CO2 yang akan terlepas kedalam air (Pandey, 1980). Bunga Eceng Gondok berwarna ungu muda seperti mahkota yang terbesar berbecak kuning di tengah (Soerjani, 1980), tersusun melingkar poros pada suatu kelompok yang berbentuk bulir dan bertangkai panjang. Bunga terdapat di ujung batang, berada pada tangkai dengan dua daun pelindung, dan dalam satu karangan bunga berjumlah 10-35 (Widjaja, 2004). Benang sari berjumlah enam dan bengkok serta tiga benang sari lebih besar dari yang lain. Besarnya kepala sari kerap kali berbeda dan dapat berbunga secara serempak sepanjang tahun. Eceng Gondok setiap tahun berbunga dan setelah 20 hari terjadi penyerbukan, kemudian buah masak, lepas dan pecah sampai akhirnya biji tersebut masuk ke dalam air (biji dapat mencapai 5-6 ribu per tanaman dengan masa hidupnya kurang lebih 15 tahun).
Eceng Gondok berkembang biak dengan cara vegetatif (stolon) dan generatif. Perkembangbiakan secara vegetatif memegang peranan penting dalam pembentukan koloni. Perkembangbiakan tersebut yaitu dengan melalui perpanjangan stolon yang pada ujungnya akan tumbuh tunas baru dan dapat terlepas setelah tumbuhan tersebut menjadi dewasa. Perkembangbiakan bergantung kepada kadar oksigen yang terlarut dalam air dan pada konsentrasi 3,5-4,8 ppm perkembangbiakan dapat berlangsung cepat. Eceng Gondok dapat hidup mengapung bebas di atas permukaan air dan berakar di dasar kolam atau rawa jika airnya dangkal. Kemampuan tanaman inilah yang banyak digunakan untuk mengolah air buangan karena dengan aktivitas tanaman ini mampu mengolah air buangan domestik dengan tingkat efisiensi yang tinggi. Eceng Gondok dapat menurunkan kadar BOD, partikel suspensi secara biokimiawi dan mampu menyerap logam-logam berat seperti Cr, Pb, Hg, Cd, Cu, Fe, Mn, dan Zn dengan baik, serta kemampuan menyerap logam persatuan berat kering Eceng Gondok lebih tinggi pada umur muda dari pada umur tua (Widianto, 1986 dalam Mukti, 2008). Faktor lingkungan yang menjadi syarat untuk pertumbuhan Eceng Gondok adalah sebagai berikut: 1. Cahaya matahari, pH, dan Suhu Pertumbuhan Eceng Gondok sangat memerlukan cahaya matahari yang cukup dengan suhu optimum antara 25oC- 30oC. Hal ini dapat dipenuhi dengan baik di daerah beriklim tropis. Di samping itu untuk pertumbuhan yang lebih baik, Eceng Gondok lebih cocok terhadap pH 7,0 - 7,5, jika pH lebih atau kurang maka pertumbuhan akan terlambat (Dhahiyat, 1974). 2. Ketersediaan nutrien pH air Pada umumnya jenis tanaman gulma air tahan terhadap kandungan unsur hara yang tinggi sedangkan unsur N dan P sering kali merupakan faktor pembatas. Kandungan N dan P kebanyakan terdapat dalam air buangan domestik. Jika pada perairan kelebihan nutrien ini maka akan terjadi proses eutrofikasi. Eceng Gondok dapat hidup di lahan yang mempunyai pH air 3,5 - 10. Agar pertumbuhan Eceng Gondok menjadi baik, pH air optimum berkisar antara 4,5 – 7. Pemilihan tanaman Eceng Gondok didasarkan pada pertimbangan – pertimbangan berikut ini : 1. Tanaman Eceng Gondok merupakan jenis tanaman yang banyak dijumpai di Indonesia. 2. Dari segi ekonomi, tanaman Eceng Gondok harganya relatif murah. 3. Tidak memerlukan perawatan khusus dan pemeliharaan sangat mudah.
2.4.2
Ciri-ciri Fisiologis Eceng Gondok
Eceng Gondok memiliki daya adaptasi yang besar terhadap berbagai macam hal yang ada disekelilingnya dan dapat berkembang biak dengan cepat. Eceng Gondok dapat hidup ditanah yang selalu tertutup oleh air yang banyak mengandung makanan. Selain itu daya tahan Eceng Gondok juga dapat hidup ditanah asam dan tanah yang basah (Gopal dan Sharma, 1981). Kemampuan Eceng Gondok untuk melakukan proses-proses sebagai berikut : 1. Transpirasi Jumlah air yang digunakan dalam proses pertumbuhan hanyalah memerlukan sebagian kecil jumlah air yang diadsorbsi atau sebagian besar dari air yang masuk kedalam tumbuhan dan keluar meninggalkan daun dan batang sebagai uap air. Proses tersebut dinamakan proses transpirasi. Sebagian menyerap melalui batang tetapi kehilangan air umumnya berlangsung melalui daun. Laju hilangnya air dari tumbuhan dipengaruhi oleh kuantitas sinar matahari dan musim penanaman. Laju transpirasi akan ditentukan oleh struktur daun Eceng Gondok yang terbuka lebar yang memiliki
stomata yang banyak sehingga proses transpirasi akan besar dan beberapa faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, udara, cahaya, dan angin (Gopal dan Sharma, 1981). 2. Fotosintesis Fotosintesis adalah sintesis karbohidrat dari karbondioksida dan air oleh klorofil menggunakan cahaya sebagai energi dengan oksigen sebagai produk tambahan. Dalam proses fotosintesis ini tanaman membutuhkan CO2 dan H2O dan dengan bantuan sinar matahari akan menghasilkan glukosa dan oksigen dan senyawa-senyawa organik lain. Karbondioksida yang digunakan dalam proses ini berasal dari udara dan energi matahari (Sastroutomo, 1991). 3. Respirasi Sel tumbuhan dan hewan mempergunakan energi untuk membangun dan memelihara protoplasma, membran plasma dan dinding sel. Energi tersebut dihasilkan melalui pembakaran senyawasenyawa. Dalam respirasi molekul gula atau glukosa (C6H12O6) diubah menjadi zat-zat sederhana yang disertai dengan pelepasan energi (Tjitrosomo, 1983).
2.4.3
Manfaat Eceng Gondok
Little (1968) dalam Moenandir (1990) serta Sukman dan Yakup (1991) menyebutkan bahwa Eceng Gondok banyak menimbulkan masalah pencemaran sungai dan waduk, tetapi mempunyai manfaat sebagai berikut : 1. Mempunyai sifat biologis sebagai penyaring air yang tercemar oleh berbagai bahan kimia buatan industri. 2. Sebagai bahan penutup tanah dan kompos dalam kegiatan pertanian dan perkebunan. 3. Sebagai sumber gas yang antara lain berupa gas amonium sulfat, gas hidrogen, nitrogen, dan metan yang dapat diperoleh dengan cara fermentasi. 4. Bahan baku pupuk tanaman yang mengandung unsur NPK yang merupakan tiga unsur utama yang dibutuhkan tanaman. 5. Sebagai bahan industri kertas dan papan buatan. 6. Sebagai bahan baku karbon aktif.
2.4.4
Kerugian Eceng Gondok
Kondisi merugikan yang timbul sebagai dampak pertumbuhan Eceng Gondok yang tidak terkendali di antaranya : 1. Meningkatnya evapotranspirasi. 2. Menurunnya jumlah cahaya yang masuk kedalam perairan sehingga menyebabkan menurunnya tingkat kelarutan oksigen dalam air 3. Mengganggu lalu lintas (transportasi) air, khususnya bagi masyarakat yang kehidupannya masih tergantung dari sungai seperti di pedalaman Kalimantan dan beberapa daerah lainnya. 4. Meningkatnya habitat bagi vektor penyakit manusia. 5. Menurunkan nilai estetika lingkungan perairan.
2.4.5
Penyerapan Oleh Eceng Gondok
Tumbuhan ini mempunyai daya regenerasi yang cepat karena potongan-potongan vegetatifnya yang terbawa arus akan terus berkembang menjadi Eceng Gondok dewasa. Eceng Gondok sangat peka terhadap keadaan yang unsur haranya di dalam air kurang mencukupi tetapi responnya terhadap kadar unsur hara yang tinggi juga besar. Proses regenerasi yang cepat dan
toleransinya terhadap lingkungan yang cukup besar, menyebabkan Eceng Gondok dapat dimanfaatkan sebagai pengendali pencemaran lingkungan (Soerjani, 1975). Sel-sel akar tanaman umumnya mengandung ion dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari pada medium sekitarnya yang biasanya bermuatan negatif. Penyerapan ini melibatkan energi sebagai konsekuensi dan keberadaannya, kation memperlihatkan adanya kemampuan masuk ke dalam sel secara pasif ke dalam gradien elektrokimia, sedangkan anion harus diangkut secara aktif kedalam sel akar tanaman sesuai dengan keadaan gradien konsentrasi melawan gradien elektrokimia (Foth, 1988). Di dalam akar, tanaman biasa melakukan perubahan pH kemudian membentuk suatu zat khelat yang disebut fitosiderofor. Zat inilah yang kemudian mengikat logam kemudian dibawa kedalam sel akar. Agar penyerapan logam meningkat, maka tumbuhan ini membentuk molekul rediktase di membran akar sedangkan model tranportasi di dalam tubuh tumbuhan adalah logam yang di bawa masuk ke sel akar kemudian ke jaringan pengangkut yaitu xylem dan phloem, ke bagian tumbuhan lain. Lokalisasi logam pada jaringan bertujuan untuk mencegah keracunan logam terhadap sel, maka tanaman akan melakukan detoksifikasi misalnya menimbun logam ke dalam organ tertentu seperti akar. Menurut Fitter dan Hay (1991), terdapat dua cara penyerapan ion ke dalam akar tanaman : 1. Aliran massa, ion dalam air bergerak menuju akar gradien potensial yang disebabkan oleh transpirasi. 2. Difusi, gradien konsentrasi dihasilkan oleh pengambilan ion pada permukaan akar. Dalam pengambilan ada dua hal penting yaitu pertama, energi metabolik yang diperlukan dalam penyerapan unsur hara sehingga apabila respirasi akan dibatasi maka pengambilan unsur hara sebenarnya sedikit. Kedua, proses pengambilan bersifat selektif dan tanaman mempunyai kemampuan menyeleksi penyerapan ion tertentu pada kondisi lingkungan yang luas (Foth, 1988).
2.5
KIAMBANG (Salvinia molesta)
Menurut Sastrapradja dan Bimantoro (1981), Kiambang (dari ki: pohon, tumbuhan, dan ambang: mengapung) adalah nama umum bagi paku air dari genus Salvinia. Tumbuhan ini biasa ditemukan mengapung di air menggenang, seperti kolam, sawah, dan danau atau di sungai yang mengalir tenang. Klasifikasi Kiambang adalah: Kingdom Subkingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies (Storey, 2006)
: Plantae : Traceobionta : Pteridophyta : Filicopsida : Hydropteridales : Salviniaceae : Salvinia : Salvinia molesta
daun daun tereduksi (akar)
Gambar 4. Morfologi Kiambang (Anonim, 2009). Kiambang memiliki dua tipe daun yang sangat berbeda. Daun yang tumbuh di permukaan air berbentuk cuping agak melingkar, berklorofil sehingga berwarna hijau, dan permukaannya ditutupi rambut berwarna putih agak transparan. Rambut-rambut ini mencegah daun menjadi basah dan juga membantu Kiambang mengapung. Daun tipe kedua tumbuh di dalam air berbentuk sangat mirip akar, tidak berklorofil dan berfungsi menangkap hara dari air seperti akar. Orang awam menganggap ini adalah akar Kiambang. Kiambang sendiri akarnya (dalam pengertian anatomi) tereduksi. Kiambang tidak menghasilkan bunga karena masuk golongan paku-pakuan (Smith, 1955). Sebagaimana paku air (misalnya semanggi air dan azolla) lainnya, Kiambang juga bersifat heterospor, memiliki dua tipe spora yaitu makrospora yang akan tumbuh menjadi protalus betina dan mikrospora yang akan tumbuh menjadi protalus jantan. Tumbuhan ini mempunyai daun berbulu yang diperkirakan sebagai akar. Selama daur hidupnya, Kiambang melalui tiga tahap yang jelas secara morfologi. Tahap pertama, terjadi selama periode permulaan dari kolonisasi daunnya terletak datar di permukaan air. Tahap kedua, daunnya menggulung ke atas sepanjang rusuk tengahnya. Bila ruang semakin sempit atau terbatas, pelipatan akan terus berlangsung sampai dua sisi dari belahan daun bersatu (mengatup). Tahap ketiga, sporocarp infertil (tidak subur) berkembang dalam segmen-segmen daun tenggelam yang bermodifikasi. Untuk mempermudah, daun yang tenggelam disebut “akar” (Widjaja, 2004). Paku air ini tidak memiliki nilai ekonomi tinggi, kecuali sebagai sumber humus karena tumbuhnya pesat dan orang mengumpulkannya untuk dijadikan pupuk. Selain itu, dipakai juga sebagai bagian dari dekorasi dalam ruang atau sebagai tanaman hias di kolam atau akuarium (Sudarmaji, 1991).
III. 3.1
METODE PENELITIAN
BAHAN DAN ALAT
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah whey dari pengolahan tahu sebanyak 29,53 liter serta tanaman air yang meliputi Eceng Gondok dan Kiambang. Jumlah helai tiap rumpun Eceng Gondok yang digunakan adalah 14 helai atau 2 rumpun serta tinggi rata-rata batang 710 cm sedangkan untuk Kiambang, jumlah helai Kiambang yang digunakan adalah 70-80 helai daun. Bahan kimia yang digunakan untuk pengujian meliputi akuades, Ferro Alumunium Sulfat (FAS), pereaksi H2SO4 (asam COD), larutan K2Cr2O7, indikator ferroin, NaOH 50%, H2SO4 pekat, CuSO4, Na2SO4, asam borat jenuh, H2SO4 0,02 N, larutan amonium molibdat, larutan SnCl2, larutan NaCl, larutan H2SO4, pH buffer, dan reagen brusin sulfanilat. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah akuarium berukuran 25 cm x 50 cm x 35 cm sebanyak 8 buah, atap plastik, aerator dengan tangki air, spektrofotometer HACH, spektrofotometer DR 2000, labu erlenmeyer 250 ml, labu erlenmeyer 100 ml, gelas piala 200 ml, gelas piala 1000 ml, gelas piala 500 ml, labu kjeldahl, kompor, kertas milipore, DO meter, pH meter, COD reaktor, tabung ulir, timbangan digital, penangas, buret, dan destilator.
3.2
METODOLOGI
3.2.1
Penelitian Pendahuluan
Pada penelitian pendahuluan dilakukan proses aerasi terhadap limbah cair tahu dengan menggunakan aerator yang bertujuan untuk menurunkan kadar senyawa organik yang terkandung dalam limbah cair tahu. Setelah dilakukan aerasi pada limbah cair tahu, tahap selanjutnya adalah karakterisasi limbah cair tahu yang meliputi pengukuran beberapa parameter yaitu pH, DO, nitrat (NO3), amonium (NH3), Total Kjeldhal Nitrogen (TKN), fosfat, dan COD. Metode analisis yang digunakan ditunjukkan pada tabel berikut. Tabel 2. Metode pengukuran parameter yang diuji No Parameter Satuan Metode Analisis
Alat
Referensi
1
pH
-
Potensiometrik
pH meter
APHA (1992)
2
DO
mg/l
Potensiometrik
DO meter
SNI (1991)
3
Amonia
mg/l
Spektrofotometrik
Spektrofotometer
APHA (1992)
mg/l
Spektrofotometrik
Spektrofotometer
APHA (1992)
(NH3) 4
Nitrat (NO3)
5
TKN
%
Titrimetrik
Kjeldahl
APHA(1992)
6
COD
mg/l
Titrimetrik
COD Reaktor
APHA (1992)
7
Fosfat
mg/l
Spektrofotometrik
Spektrofotometer
APHA (1992)
Setelah aerasi kemudian dilakukan pengenceran air limbah yang akan digunakan sebagai media tanam Eceng Gondok dan Kiambang. Kemudian dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman Eceng Gondok dan Kiambang. Pengenceran tersebut bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan pertumbuhan Eceng Gondok dan Kiambang pada tiap-tiap limbah cair tahu yang telah
diencerkan yang kemudian menjadi dasar bagi percobaan penyerapan oleh Eceng Gondok dan Kiambang. Pada tahap ini, limbah cair tahu diencerkan dengan pengenceran 1 sampai 6 kali, kemudian tanaman Eceng Gondok dan Kiambang di tanam pada media tersebut dan dilakukan pengukuran pH, DO, jumlah helai daun, COD, nitrat, TKN, amonia, fosfat, dan TSS pada awal pengamatan. Selanjutnya, dilakukan pengamatan terhadap kemampuan tumbuh tanaman Eceng Gondok dan Kiambang serta kondisi proses yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman seperti pH, DO, dan jumlah helai daun yang mengindikasikan tingkat kemampuan tanaman untuk bertahan hidup dalam kondisi masing-masing media sehingga dapat dijadikan standar media untuk penelitian utama. Tabel 3 menunjukkan tingkat pengenceran limbah cair tahu pada penelitian pendahuluan. Tabel 3. Perlakuan Penelitian Pendahuluan Perlakuan
Perbandingan
EK
100% air limbah
KK
100% air limbah
E1
1:1
K1
1:1
E2
1:2
K2
1:2
E3
1:3
K3
1:3
E4
1:4
K4
1:4
E5
1:5
K5
1:5
E6
1:6
K6
1:6
3.2.2
Penelitian Utama
Hal yang dilakukan dalam penelitian utama adalah memberikan perlakuan terhadap air limbah untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman Eceng Gondok dan pengaruhnya terhadap efisiensi penyerapan nutrien yaitu nitrat (NO3), amonia (NH3), TKN, dan fosfat oleh tanaman Eceng Gondok dan Kiambang. Kolam yang digunakan adalah kolam akuarium yang dibagi menjadi empat bagian dengan dua kali ulangan. Pengisian limbah yang telah diencerkan tersebut dilakukan secara batch loading (pengisian sekaligus). Tata letak kolam percobaan pada penelitian utama ditunjukkan pada Gambar 5.
ECK
KiK
ECK
KiK
EC
Ki
EC
Ki
Gambar 5. Tata Letak kolam percobaan
Keterangan : ECK KiK EC Ki
:Eceng Gondok Pengenceran 1:0 : Kiambang Pengenceran 1:0 : Eceng Gondok Pengenceran 1:2 : Kiambang Pengenceran 1:2
3.2.3
Analisis Data
Data hasil pengujian yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan pendekatan grafis berdasarkan hubungan antara lamanya waktu pengujian dengan nilai penurunan parameter-parameter yang diuji. Analisis data diolah dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 dan hasil pengolahan disajikan dalam grafik hubungan antara x dan y, x adalah waktu pengujian dan y adalah konsentrasi dari parameter-parameter yang diuji.
IV. 4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
PENELITIAN PENDAHULUAN
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi Eceng Gondok dan Kiambang mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah cair tahu yang diperoleh dari industri tahu tersebut cenderung menimbulkan bau busuk yang merupakan hasil degradasi mikroba yang hidup dalam air limbah. Menurut Wardhana (2001) mikroba yang hidup di dalam air akan mengubah bahan buangan organik, terutama gugus protein terdegradasi menjadi bahan yang mudah menguap dan berbau. Bau busuk, senyawa organik yang belum terdekomposisi, dan nilai pH yang rendah yaitu 3,4 sampai 4 yang terkandung dalam limbah cair tahu akan menghambat pertumbuhan Eceng Gondok dan Kiambang. Oleh karena itu, sebelum dilakukan pengenceran dan menjadi media tanam bagi Eceng Gondok dan Kiambang, perlu dilakukan aerasi untuk menaikkan pH serta menguraikan senyawa organik menjadi senyawa anorganik. Menurut Suriawiria (2008) fungsi aerasi ini adalah untuk menguraikan secara sempurna senyawa organik yang berasal dari buangan di dalam perioda waktu yang relatif singkat. Penguraian dilakukan oleh sejumlah mikroba terutama bakteri. Proses aerasi yang dilakukan membuat pH limbah menjadi naik sampai 6. Hal ini merupakan standar minimum untuk menumbuhkan Eceng Gondok dan Kiambang pada air limbah sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa kisaran pH optimum untuk pertumbuhan Eceng Gondok adalah 6-8 (Gopal dan Sharma, 1981). Pada tahap selanjutnya dilakukan karakterisasi terhadap limbah cair tahu yang telah diaerasi. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, diperoleh data karakterisasi awal limbah cair tahu sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Karakterisasi limbah cair tahu setelah aerasi (pra perlakuan) Parameter
Satuan
Nilai
Fosfat (PO4 )
mg/l
0,259-0,281
Nitrat (NO3)
mg/l
0,339-0,346
Amonia (NH3)
mg/l
10,4-11,2
TKN
mg/l
24,6-30
COD
mg/l
670
TSS
mg/l
37-59
pH
-
6
3-
Berdasarkan Tabel 4, diketahui bahwa limbah cair tahu yang telah diaerasi selama 3 minggu memiliki jumlah amonia (NH3) serta nilai TKN yang cukup tinggi. Tingginya jumlah amonia (NH3) dan TKN ini disebabkan oleh bahan baku tahu yaitu kedelai yang mengandung protein tinggi. Bahan berprotein tersebut dinyatakan sebagai nitrogen organik yang merupakan nitrogen total yang terikat dalam air sehingga masuknya limbah cair tahu ke lingkungan perairan dapat meningkatkan total nitrogen. Nilai amonia yang tinggi pada karakterisasi awal disebabkan oleh adanya proses dekomposisi bahan organik yang banyak mengandung senyawa nitrogen (protein) oleh mikroba (amonifikasi) yang terjadi saat proses aerasi berlangsung.
Nilai COD yang diuji pada karakterisasi awal menunjukkan nilai yang tinggi juga. Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik yang secara alamiah dapat di oksidasi melalui proses mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air. Kandungan fosfat dan nitrat pada limbah tahu tergolong sedang namun tetap dapat mencemari lingkungan. Nitrat terbentuk dari proses nitrifikasi dan membutuhkan peran bakteri nitrobakter dan nitrosomonas dengan pH optimum 7,5-8 (Laraspedi, 2004). Namun, pada kondisi ini, limbah cair tahu yang diproses tersebut memiliki kondisi asam sehingga menyebabkan amonia belum secara maksimal di oksidasi untuk menjadi nitrat. Fosfat yang terdapat dalam limbah terdiri atas fosfat organik dan fosfat anorganik. Penjumlahan kedua fosfat tersebut dinyatakan sebagai total fosfat. Nilai total fosfat yang yang dihasilkan tersebut menunjukkan bahwa fosfat yang terdapat dalam limbah cair tahu merupakan fosfat yang bersifat anorganik. Kondisi pH sebelum dilakukan aerasi menunjukkan kondisi asam. Setelah dilakukan proses aerasi, nilai pH naik menjadi 6. Hal ini menunjukkan bahwa limbah berasal dari senyawa organik seperti protein yang kemudian didekomposisi menjadi amonia (NH3) sedangkan nilai TSS menunjukkan nilai yang tidak terlalu tinggi namun tetap dapat mencemari perairan karena bahan tersuspensinya dapat menghambat pertumbuhan biota air. Setelah dilakukan karakterisasi, langkah selanjutnya adalah melakukan pengenceran terhadap limbah cair tahu sebagai media tanam Eceng Gondok dan Kiambang. Pengenceran dilakukan hingga 6 kali. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui titik kritis awal tanaman dapat tumbuh dengan baik. Pengamatan yang dilakukan terhadap pertumbuhan Eceng Gondok dan Kiambang meliputi pH, DO, dan jumlah helai daun. Tanaman Eceng Gondok dan Kiambang yang digunakan berasal dari lingkungan sekitar yang distabilkan terlebih dahulu pada air bersih selama satu hari sebelum ditanam di kolam. Hasil pengamatan pada penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan hasil pengujian pada penelitian pendahuluan, nilai pH berada dalam kisaran normal sehingga pada pH tersebut Eceng Gondok masih dapat tumbuh dan berkembang biak. Selain itu, nilai DO menunjukkan titik kritis yang memungkinkan biota air untuk hidup. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya nilai nitrogen total serta amonia yang terkandung dalam limbah. Kondisi pertumbuhan Eceng Gondok dan Kiambang selama penelitian pendahuluan ditunjukkan pada Lampiran 4 dan dapat dilihat bahwa Eceng Gondok dan Kiambang dengan media limbah cair tahu yang tidak diencerkan lebih cepat layu, mengering, dan akhirnya mati. Pertumbuhan tanaman pada kolam percobaan ini lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman yang di tanam di kolam percobaan yang lain. Pada kolam ini, tanaman Eceng Gondok dan Kiambang tidak dapat berkembang biak dengan baik sampai akhir pengamatan. Hal ini disebabkan oleh kadar amonia (NH3) yang tinggi. NH3 memiliki ukuran molekul yang kecil sehingga dapat menembus sel membran dengan cepat melalui proses difusi tanpa diserap (Gopal dan Sharma, 1981). Berdasarkan pengamatan terhadap pertumbuhan Eceng Gondok dan Kiambang disimpulkan bahwa Eceng Gondok dan Kiambang mulai dapat tumbuh dengan baik pada pengenceran 1:2. Perbandingan ini kemudian dijadikan dasar dalam penelitian utama yang akan dilakukan. Selain itu, pada penelitian utama limbah cair tanpa pengenceran pun digunakan juga sebagai pembanding antara limbah cair pengenceran 1:2 dengan tanpa pengenceran. Penanaman Eceng Gondok dan Kiambang tersebut diharapkan dapat menjadi agen hayati untuk mereduksi nutrien pada limbah cair tahu.
4.2 4.2.1
PENELITIAN UTAMA Penurunan Parameter Fisika dan Kimia pada Limbah Cair Tahu
4.2.1.1 Total Suspended Solid (TSS) Parameter fisika TSS merupakan parameter yang mengindikasikan kekeruhan dari suatu limbah cair. TSS ini terbentuk karena banyaknya partikel terlarut baik organik maupun anorganik dalam limbah sehingga limbah pun berwarna keruh. Hasil pengujian untuk TSS pada limbah cair tahu yang ditanami oleh Eceng Gondok dan Kiambang ditunjukkan pada Gambar 6. 70
ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:2 KIAMBANG PENGENCERAN 1:2 ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:0 KIAMBANG PENGENCERAN 1:0
TSS (mg/l)
60 50 40 30 20 10 0 0
4
8 12 16 WAKTU (HARI)
20
24
Gambar 6. Penurunan Kandungan TSS Selama Waktu Penelitian pada Perlakuan dengan Eceng Gondok dan Kiambang Gambar 6 memperlihatkan bahwa TSS pada limbah cair tahu mengalami penurunan. Penurunan terbesar diperoleh saat hari ke-12 untuk Eceng Gondok dan Kiambang pada kolam pengenceran 1:2 dan tanpa pengenceran. Penurunan nilai TSS tersebut berkorelasi dengan tingkat kejernihan air limbah karena adanya penyerapan bahan-bahan tersuspensi oleh Eceng Gondok dan Kiambang. Pada hari ke-12 terlihat bahwa warna dari limbah cair tahu tersebut menjadi lebih jernih dari sebelumnya. Perubahan warna limbah tahu disertai dengan penurunan nilai TSS menunjukkan bahwa Eceng Gondok dan Kiambang memiliki kemampuan untuk menyerap padatan-padatan tersuspensi sehingga perairan pun menjadi lebih jernih dibandingkan sebelumnya. Presentase perubahan penurunan terbesar diperoleh pada tanaman Eceng Gondok dengan pengenceran 1:2 yaitu 69,36 %. Hal tersebut pun sejalan dengan efektivitas rata-rata tanaman Eceng Gondok dalam menurunkan nilai TSS selama 24 hari yaitu dari 37 mg/l menjadi 10,5 mg/l (Lampiran 6). Efektivitas penurunan TSS tersebut disebabkan adanya aktivitas pengikatan padatan-padatan tersuspensi yang terdapat pada limbah oleh sistem perakaran Eceng Gondok yang lebat dan kemudian diuraikan oleh bakteri sehingga menghasilkan kualitas air yang lebih jernih.
ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:2
TSS (mg/l)
50
KIAMBANG PENGENCERAN 1:2
40 30 20 10 0 0
4
8
12 16 WAKTU (HARI)
20
24
Gambar 7. Penurunan TSS pada Pengenceran 1:2 Selama Waktu Penelitian (Error Bar Menunjukkan Standar Deviasi)
TSS (mg/l)
ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:0
70 60 50 40 30 20 10 0
KIAMBANG PENGENCERAN 1:0
0
4
8
12 16 WAKTU (HARI)
20
24
Gambar 8. Penurunan TSS pada Pengenceran 1:0 Selama Waktu Penelitian Gambar 7 dan 8 menunjukkan penurunan TSS pada pengenceran 1:2 dan 1:0 selama penelitian yang dilengkapi dengan rentang pengukuran. Penurunan hari ke-4 memiliki rentang pengukuran dan standar deviasi terbesar antara Eceng Gondok dan Kiambang. Penurunan hari ke-4 hingga hari ke-24 menunjukkan bahwa antara Eceng Gondok dan Kiambang memiliki pola yang relatif sama.
4.2.1.2 pH Air merupakan kombinasi dari hidrogen (H) dan oksigen (O) dengan perbandingan 2 atom hidrogen dan 1 atom oksigen. Atom-atom tersebut membentuk muatan atau ion, yaitu ion hidrogen positif (H+) dan ion hidroksil negatif (OH-). Nilai pH atau potential hidrogen merupakan perbandingan dari ion-ion tersebut (Lesmana, 2001). Nilai pH selama penelitian, baik pada perlakuan tumbuhan air dengan 100% persen limbah maupun limbah dengan pengenceran 1:2, menunjukkan nilai yang terus meningkat tiap waktu pengamatan yang ditunjukkan pada Gambar 9 dan Lampiran 6. Nilai awal pH air limbah adalah sebesar 6 kemudian meningkat terus hingga mencapai nilai 9,5 pada hari ke-24.
12
ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:2 KIAMBANG PENGENCERAN 1:2 ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:0
10 pH
8 6 4 2 0 0
4
8 12 16 WAKTU (HARI)
20
24
Gambar 9. Peningkatan Nilai pH Selama Waktu Penelitian pada Perlakuan dengan Eceng Gondok dan Kiambang Gambar 9 menunjukkan pola yang terjadi yaitu seiring bertambahnya waktu, nilai pH pun meningkat. Peningkatan nilai pH tersebut disebabkan adanya konsumsi karbondioksida bebas di dalam air yang digunakan untuk proses fotosintesis, baik oleh tumbuhan air maupun oleh algae yang berada dalam limbah. Dalam kolam percobaan tidak hanya tanaman air yang melakukan fotosintesis, algae pun tumbuh dengan berikatan dengan tanaman air serta melakukan fotosintesis. Adanya algae tersebut terlihat dari warna air limbah yang berwarna agak hijau. Menurut Effendi (2003), pertumbuhan algae yang pesat dapat mengurangi keberadaan karbondioksida hingga lebih kecil dari konsentrasi kesetimbangan karbondioksida di air dengan di udara, selanjutnya dapat meningkatkan nilai pH menjadi lebih tinggi lagi. 12 10 pH
8 6
ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:2
4 2 0 0
4
8
12 16 WAKTU (HARI)
20
24
Gambar 10. Peningkatan Nilai pH Pada Pengenceran 1:2 Selama Waktu Penelitian 12 10 pH
8 6
ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:0
4 2 0 0
4
8
12 16 WAKTU (HARI)
20
24
Gambar 11. Peningkatan Nilai pH Pada Pengenceran 1:0 Selama Waktu Penelitian
Pada Gambar 10 dan 11 menunjukkan peningkatan pH pada pengenceran 1:2 dan 1:0 selama penelitian yang dilengkapi dengan rentang pengukuran. Peningkatan nilai pH pada hari ke-4 hingga hari ke-24 menunjukkan bahwa antara Eceng Gondok dan Kiambang memiliki pola yang relatif sama.
4.2.1.3 Dissolved Oxygen (DO) DO merupakan nilai kandungan oksigen terlarut di dalam air. Sumber oksigen terlarut di dalam air pada sistem tertutup dapat berupa difusi dari atmosfer maupun dari proses fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Nilai rata-rata DO yang ditunjukkan pada Lampiran 6 menunjukkan nilai yang meningkat kemudian menurun pada hari ke-24. Peningkatan tertinggi diperoleh perlakuan tanaman Eceng Gondok dengan pengenceran 1:2 pada hari ke-12 yaitu 8,52 mg/l. Perubahan oksigen terlarut yang terkandung pada limbah cair tahu selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 12.
10
ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:2
DO (mg/l)
8 6
KIAMBANGPENG ENCERAN 1:2
4 2 0 0
4
8
12 16 20 WAKTU (HARI)
24
Gambar 12. Perubahan Nilai DO Selama Waktu Penelitian pada Perlakuan dengan Eceng Gondok dan Kiambang Gambar 12 mengindikasikan perubahan peningkatan oksigen terlarut selama penelitian. Selama 24 hari, terjadi peningkatan nilai DO sehingga memperlihatkan kemampuan tumbuhan air dalam mengoksigenasi air limbah melalui sistem perakarannya serta melepaskan oksigen dari proses fotosintesis. Peningkatan nilai DO mencapai puncaknya pada hari ke-12 untuk masing-masing jenis tanaman. Peningkatan tersebut dikarenakan bahan organik yang tersisa dalam air limbah tinggal sedikit sehingga oksigen yang diperlukan untuk proses dekomposisi juga sedikit dan oksigen pun disuplai ke perairan. Menurut Brix dan Schierup (1987) dalam Khiatuddin (2003), akar tumbuhan akuatik dapat mengeluarkan oksigen yang berasal dari bagian batang setelah berdifusi dari atmosfer melalui pori-pori daun. Pelepasan oksigen oleh akar tumbuhan air menyebabkan air di sekitar rambut akar memiliki kadar oksigen lebih tinggi dibandingkan air yang tidak terdapat tumbuhan air.
ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:2
10 DO (mg/l)
8 6 4 2 0 0
4
8
12 16 WAKTU (HARI)
20
24
Gambar 13. Perubahan Nilai DO Pada Pengenceran 1:2 Selama Waktu Penelitian
ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:0
12 DO (mg/l)
10 8 6 4 2 0 0
4
8
12 16 WAKTU (HARI)
20
24
Gambar 14. Perubahan Nilai DO Pada Pengenceran 1:0 Selama Waktu Penelitian Pada Gambar 13 dan 14 menunjukkan peningkatan DO pada pengenceran 1:2 dan 1:0 selama penelitian yang dilengkapi dengan rentang pengukuran. Eceng Gondok pada hari ke-8 dan hari ke-12 memiliki rentang pengukuran dan standar deviasi terbesar. Perubahan nilai DO selama 24 hari menunjukkan bahwa antara Eceng Gondok dan Kiambang memiliki pola yang relatif sama.
4.2.1.4 Chemical Oxygen Demand (COD) Nilai COD merupakan indikator pencemaran di badan air. Nilai tersebut menunjukkan keberadaan zat-zat organik yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui proses mikrobiologis sehingga mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di perairan. Semakin tinggi nilai COD berarti jumlah bahan organik semakin banyak dan akan membawa pencemaran ke tingkat yang lebih tinggi (Marlina, 2004). Nilai COD mengalami penurunan seiring dengan pertambahan waktu seperti ditunjukkan pada Lampiran 6. Perubahan nilai COD pada pengenceran 1:2 untuk Eceng Gondok dan Kiambang adalah dari 670 mg/l menjadi 93,52 mg/l dan dari 670 mg/l menjadi 110,29 mg/l serta pengenceran 1:0 untuk Eceng Gondok dan Kiambang adalah dari 775 mg/l menjadi 237,1 mg/l dan dari 775 mg/l menjadi 217,1 mg/l. Dari data tersebut diketahui penyisihan COD tertinggi diperoleh pada perlakuan tanaman Eceng Gondok dengan pengenceran 1:2 yaitu dari 670 mg/l menjadi 93,52 mg/l dengan presentase sebesar 73,24%.
1000 ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:2 KIAMBANG PENGENCERAN 1:2 ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:0 KIAMBANG PENGENCERAN 1:0
COD (mg/l)
800 600 400 200 0 0
4
8
12 16 20 WAKTU (HARI)
24
Gambar 15. Penurunan Kandungan COD Selama Waktu Penelitian pada Perlakuan dengan Eceng Gondok dan Kiambang
COD (mg/l)
Pada Gambar 15 diketahui bahwa pola penurunan nilai COD selama 24 hari menunjukkan pola yang fluktuatif namun mengacu pada penurunan nilai COD. Penurunan nilai COD diduga disebabkan oleh aktivitas dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme yang terdapat pada akar tanaman air yang diawali dengan adanya proses penyerapan bahan organik yang cukup banyak oleh akar tanaman sehingga secara bertahap mikroorganisme merombak bahan organik tersebut. Semakin banyak mikroorganisme yang melakukan perombakan maka semakin efektif pula penurunan yang didapatkan. Dalam hal ini Eceng Gondok memiliki efektivitas tertinggi karena tanaman Eceng Gondok memiliki akar yang lebat sebagai tempat mikroorganisme berkembang biak sehingga aktivitas perombakan mikroorganisme pun semakin tinggi dan penurunan COD pun semakin besar. 800 700 600 500 400 300 200 100 0
ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:2
0
4
8
12 16 WAKTU (HARI)
20
24
Gambar 16. Penurunan COD Pada Pengenceran 1:2 Selama Waktu Penelitian
COD (mg/l)
1000
ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:0 KIAMBANG PENGENCERAN 1:0
800 600 400 200 0 0
4
8
12 16 WAKTU (HARI)
20
24
Gambar 17. Penurunan COD Pada Pengenceran 1:0 Selama Waktu Penelitian
Gambar 16 dan 17 menunjukkan penurunan COD pada pengenceran 1:2 dan 1:0 selama waktu penelitian yang dilengkapi dengan rentang pengukuran. Eceng Gondok dan Kiambang pada hari ke- 4 memiliki rentang pengukuran dan standar deviasi terbesar. Penurunan nilai COD dari hari ke-4 hingga hari ke-24 menunjukkan bahwa antara Eceng Gondok dan Kiambang memiliki pola yang relatif sama.
4.2.2 Penurunan Nutrien pada Limbah Cair Tahu 4.2.2.1 Nitrogen Total
NITROGEN TOTAL (mg/l)
Unsur nitrogen dalam perairan dapat berbentuk gas nitrogen (N2), amonia (NH3) terlarut atau senyawa amonium (NH4+), nitrit (NO2), dan nitrat (NO3) yang merupakan mata rantai daur (siklus) nitrogen dalam perairan alami (Rahmaningsih, 2006). Nitrogen total adalah gambaran nitrogen dalam bentuk organik dan anorganik pada air limbah (Davis dan Cornwell, 1991). Nitrogen total merupakan penjumlahan dari nitrogen anorganik yang berupa N-NO3, N-NO2, dan N-NH3 yang bersifat larut, dan nitrogen organik yang bersifat partikulat yang tidak larut dalam air (Mackereth et al. 1989 dalam Rahmaningsih, 2006). Nilai nitrogen total mengalami penurunan selama 24 hari seperti ditunjukkan pada Lampiran 6. Nilai penurunan nitrogen total pada pengenceran 1:2 dan pengenceran 1:0 untuk Eceng Gondok dan Kiambang adalah dari 24,6 mg/l menjadi 9,8 mg/l, dari 24,6 mg/l menjadi 12,55 mg/l, dari 30 mg/l menjadi 14,9 mg/l, dan dari 30 mg/l menjadi 14,2 mg/l. Penurunan nitrogen total terbesar terdapat pada perlakuan tanaman Eceng Gondok pengenceran 1:2 dengan nilai penurunan dari 24,6 mg/l menjadi 9,8 mg/l dan presentase penurunan sebesar 35,58%. Penurunan jumlah nitrogen total selama 24 hari ditunjukkan pada Gambar 18.
35
ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:2 KIAMBANG PENGENCERAN 1:2 ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:0 KIAMBANG 1:0
30 25 20 15 10 5 0 0
4
8
12 16 WAKTU (HARI)
20
24
Gambar 18. Penurunan Nilai Nitrogen Total Selama Waktu Penelitian pada Perlakuan dengan Eceng Gondok dan Kiambang Pada Gambar 18 terjadi penurunan nilai nitrogen total pada hari ke-4 dan hari ke-8 kemudian mengalami kenaikan pada hari ke-12 dan hari ke-16. Namun, pada hari ke-20 hingga hari ke-24 mengalami penurunan. Adanya penurunan nitrogen total menyebabkan perubahan senyawa-senyawa nitrogen yang lain di antaranya amonia dan nitrat. Perubahan nitrogen total disebabkan oleh adanya proses reaksi pada kolam percobaan, di antaranya reaksi nitrifikasi yang mendekomposisi nitrogen menjadi nitrat menyebabkan perubahan pada kandungan nitrat dalam kolam percobaan. Hal ini didukung dengan adanya nilai DO yang mencukupi untuk reaksi nitrifikasi. Adapun mekanisme yang terjadi pada kolam percobaan termasuk ke dalam mekanisme reaksi kolam aerobik karena jumlah DO yang terdapat didalam air lebih dari 3 mg/l sehingga pada kondisi ini tidak terjadi reaksi denitrifikasi.
NITROGEN TOTAL (mg/l)
Apabila nilai kandungan oksigen terlarut tidak sesuai dengan kebutuhan reaksi nitrifikasi, maka kolam berada dalam kondisi anaerob dan senyawa nitrogen yang terbentuk didalamnya adalah senyawa amonia (NH3) sehingga jumlah nitrogen total akan berkurang dan jumlah senyawa amonia akan mengalami peningkatan. Efektivitas dalam menurunkan nilai nitrogen total diperoleh pada perlakuan tanaman Eceng Gondok dengan pengenceran 1:2. Degradasi bahan organik dalam proses nitrifikasi pada tanaman tersebut lebih besar dibandingkan yang lain karena Eceng Gondok memiliki resistensi yang tinggi dalam kondisi lingkungan dengan nutrien yang banyak sehingga dengan kondisi beban nitrogen yang tinggi, Eceng Gondok tetap dapat mendegradasi nutrien dengan baik. ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:2 KIAMBANG PENGENCERAN 1:2
30 25 20 15 10 5 0 0
4
8 12 WAKTU (HARI)
16
20
24
Gambar 19. Penurunan Nitrogen Total Pada Pengenceran 1:2 Selama Waktu Penelitian
NITROGEN TOTAL (mg/l)
35
ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:0 KIAMBANG PENGENCERAN 1:0
30 25 20 15 10 5 0 0
4
8 12 WAKTU (HARI)
16
20
24
Gambar 20. Penurunan Nitrogen Total Pada Pengenceran 1:0 Selama Waktu Penelitian Gambar 19 dan 20 menunjukkan penurunan nitrogen total pada pengenceran 1:2 dan 1:0 selama penelitian yang dilengkapi dengan rentang pengukuran. Kiambang dan Eceng Gondok pada hari ke-16 memiliki rentang pengukuran dan standar deviasi terbesar. Dari gambar tersebut terlihat bahwa perlakuan jenis tanaman Eceng Gondok dan Kiambang pada pengenceran 1:2 dan 1:0 memiliki pola yang relatif sama terhadap laju penurunan kandungan nitrogen total.
4.2.2.2 Amonia Penanaman Eceng Gondok dan Kiambang pada kolam percobaan memberikan pengaruh terhadap kandungan amonia. Selama penelitian berlangsung, terjadi perubahan kandungan amonia pada air kolam percobaan. Tanaman Eceng Gondok dengan pengenceran 1:2 memiliki penurunan kandungan amonia terbesar yaitu dari 10,4 mg/l menjadi 1,45 mg/l serta presentase penurunan amonia
terbesar yaitu 38,50%. Gambar 21 menunjukkan penurunan yang terjadi pada kandungan amonia selama penelitian seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 6.
AMONIA (mg/l)
14
ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:2 KIAMBANG PENGENCERAN 1:2 ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:0 KIAMBANG 1:0
12 10 8 6 4 2 0 0
4
8
12 16 WAKTU (HARI)
20
24
Gambar 21. Penurunan kandungan amonia selama penelitian pada Perlakuan dengan Eceng Gondok dan Kiambang Pada Gambar 21 tersebut diketahui bahwa pola perubahan kandungan amonia selama 24 hari menunjukkan penurunan kandungan amonia pada masing-masing perlakuan. Peningkatan amonia terlihat pada hari ke-12 kemudian diikuti dengan penurunan terus hingga hari ke-24. Semua perlakuan menunjukkan pola yang sama yaitu penurunan pada hari ke-24. Peningkatan amonia yang terjadi pada hari ke-12 disebabkan oleh kondisi kolam yang tidak diberi tambahan sistem aerasi. Selain itu, peningkatan ini dapat pula disebabkan oleh banyaknya nitrat yang diserap oleh akar tanaman untuk pertumbuhan tanaman Eceng Gondok dan Kiambang lalu diubah menjadi amonia (amonifikasi). Tingginya kandungan amonia dapat pula disebabkan oleh limbah cair yang sebagian besar terdiri atas bahan organik berupa protein dan nitrogen yang berada dalam bentuk organik atau nitrogen, protein, dan amonia (Abel, 1989) Efektivitas penurunan terbesar kandungan amonia diperoleh pada tanaman Eceng Gondok dengan pengenceran 1:2. Hal tersebut disebabkan oleh aktivitas absorbsi amonia oleh Eceng Gondok untuk proses metabolisme tanaman. Ketika pH air limbah meningkat dan amonia pun meningkat, mikroorganisme terbanyak yang terdapat pada akar Eceng Gondok menguraikannya sehingga terjadilah penurunan kandungan amonia yang paling efektif pada tanaman Eceng Gondok. 14
ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:2 KIAMBANG PENGENCERAN 1:2
AMONIA (mg/l)
12 10 8 6 4 2 0 0
4
8
12 16 WAKTU (HARI)
20
24
Gambar 22. Penurunan Amonia Pada Pengenceran 1:2 Selama Waktu Penelitian
AMONIA (mg/l)
16 14 12 10 8 6 4 2 0
ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:0 KIAMBANG PENGENCERAN 1:0
0
4
8
12 16 WAKTU (HARI)
20
24
Gambar 23. Penurunan Amonia Pada Pengenceran 1:0 Selama Waktu Penelitian Gambar 22 dan 23 menunjukkan penurunan amonia pada pengenceran 1:2 dan 1:0 selama waktu penelitian yang dilengkapi dengan rentang pengukuran. Kiambang pada hari ke-20 dan Eceng Gondok pada hari ke-16 memiliki rentang pengukuran dan standar deviasi terbesar. Penurunan nilai amonia selama 24 hari menunjukkan bahwa perlakuan jenis tanaman Eceng Gondok dan Kiambang memiliki pola yang relatif sama.
4.2.2.3 Nitrat Kandungan nitrat dan nitrit dapat digunakan sebagai indikator perairan. Parameter ini dalam perairan sangat tergantung pada ketersediaan DO, sumber dan tipe bahan organik, serta tipe dan kondisi perairan (Uhlman, 1979 dan Abel, 1989). Nitrat merupakan senyawa penting karena dalam bentuk nitrat lebih mudah diserap oleh tanaman air dan digunakan dalam fotosintesis. Apabila dibandingkan dengan senyawa yang lain, nitrat tersedia dalam jumlah yang paling banyak dan sumber nitrat berasal dari difusi udara dan oksidasi nitrit. Selain itu, nitrat mewakili produk akhir dan pengoksidasian zat yang bersifat senyawa nitrogen sehingga jumlah nitrat menunjukkan lajunya pembenahan menuju oksidasi lengkap (Mahida, 1986). Perlakuan jenis tanaman dan waktu (hari) tersebut berpengaruh terhadap nilai kandungan nitrat pada kolam percobaan. Penurunan kandungan nitrat terbesar yaitu dari 0,339 mg/l menjadi 0,178 mg/l dengan presentase penurunan sebesar 37,19% diperoleh Eceng Gondok dengan pengenceran 1:2 yang ditunjukkan pada Lampiran 6. Gambar 24 menunjukkan pengaruh perlakuan jenis tanaman terhadap kandungan nitrat. ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:2 KIAMBANG PENGENCERAN 1:2 ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:0
NITRAT (mg/l)
0,4 0,3 0,2 0,1 0 0
4
8 12 16 20 WAKTU (HARI)
24
Gambar 24. Pengaruh perlakuan Eceng Gondok dan Kiambang Terhadap Kandungan Nitrat (NO3) Selama Waktu Penelitian
NITRAT (mg/l)
Gambar 24 menunjukkan bahwa laju penurunan nitrat sejalan dengan penurunan nitrogen total pada kolam percobaan. Namun, kondisi ini berbanding terbalik dengan perubahan kandungan amonia pada kolam percobaan. Pada hari ke-8 terlihat bahwa terjadi penurunan kandungan nitrat yang besar dari kolam percobaan. Setelah itu, pada hari berikutnya yaitu hari ke-12 hingga ke 24, nitrat berada pada kondisi dimana tidak terjadi penurunan dalam jumlah yang besar. Hal ini menunjukkan tingkat kemampuan tanaman dalam menyerap nitrat dan diketahui bahwa nitrat yang terdapat dalam limbah tidak dapat dihilangkan secara sempurna. Adanya penurunan kandungan nitrat dalam kolam percobaan sejalan dengan pertambahan amonia yang terdapat pada masing-masing kolam percobaan. Efektivitas penurunan kandungan nitrat tertinggi yaitu pada Eceng Gondok mengindikasikan bahwa pada akar Eceng Gondok terdapat aktivitas penyerapan kandungan nitrat yang digunakan sebagai nutrien utama untuk tumbuh. Akar Eceng Gondok yang terdiri atas bulu-bulu halus yang lebat dan kuat menyebabkan penyerapan yang terjadi lebih besar dibandingkan yang lain sehingga menghasilkan efektivitas yang besar pula.
0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0
ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:2
0
4
8
12 16 WAKTU (HARI)
20
24
NITRAT (mg/l)
Gambar 25. Penurunan Nitrat Pada Pengenceran 1:2 Selama Waktu Penelitian 0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0
ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:0
0
4
8 12 16 WAKTU (HARI)
20
24
Gambar 26. Penurunan Nitrat Pada Pengenceran 1:0 Selama Waktu Penelitian Gambar 25 dan 26 menunjukkan penurunan nitrat pada pengenceran 1:2 dan 1:0 selama waktu penelitian yang dilengkapi dengan rentang pengukuran. Eceng Gondok pada hari ke-4 dan Kiambang pada hari ke-20 memiliki rentang pengukuran dan standar deviasi terbesar. Walaupun demikian, secara keseluruhan pada Gambar 25 dan 26 menunjukkan kecenderungan nilai standar deviasi yang kecil. Penurunan nilai nitrat selama 24 hari menunjukkan bahwa perlakuan jenis tanaman Eceng Gondok dan Kiambang memiliki pola yang relatif sama.
4.2.2.4 Fosfat Fosfat merupakan unsur hara kunci dalam produktivitas primer perairan dan kesuburan perairan dipengaruhi oleh bentuk senyawa fosfat yang ditemukan. Fosfat dalam perairan alami terdapat dalam jumlah sedikit sehingga fosfat sering merupakan faktor pembatas bagi produktivitas perairan (Hutchinson, 1967). Hasil pengujian yang dilakukan terhadap limbah cair tahu dengan perlakuan Eceng Gondok dan Kiambang ditunjukkan pada Lampiran 6. Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa terdapat pengaruh perubahan nilai kandungan fosfat yang diperoleh Eceng Gondok pada pengenceran 1:2 dengan presentase sebesar 78,11% dan penurunan dari 0,259 mg/l menjadi 0,015 mg/l. Penurunan kandungan fosfat ditunjukkan pada Gambar 27. 0,3 ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:2 KIAMBANG PENGENCERAN 1:2
FOSFAT (mg/l)
0,25 0,2
0,15 0,1
0,05 0 0
4
8 12 16 WAKTU (HARI)
20
24
Gambar 27. Perubahan Kandungan Fosfat Selama Penelitian pada Perlakuan dengan Eceng Gondok dan Kiambang Pada Gambar 27 diketahui bahwa terdapat pola penurunan kandungan fosfat dari awal pengamatan hingga akhir pengamatan. Penurunan terbesar diperoleh pada hari ke-12 kemudian terjadi peningkatan sedikit dan kembali menurun sampai akhir pengamatan. Penurunan tersebut disebabkan oleh adanya proses penyaringan oleh jaringan batang dan akar pada Eceng Gondok dan Kiambang selama lima hari (Haller et al. 1970 dalam Gopal dan Sharma, 1981). Dijelaskan lebih lanjut oleh Clock (1938) dalam Gopal dan Sharma (1981) bahwa Eceng Gondok dapat menurunkan fosfat hingga 61% pada kolam percobaan berisi limbah. Pada lampiran 6 ditunjukkan bahwa presentase penurunan fosfat terbesar mencapai 78,11%. Peningkatan fosfat pun terjadi pada hari ke-16 karena diduga terdapat beberapa helai daun yang mati sehingga meningkatkan nilai fosfat di kolam percobaan. Efektivitas penurunan kandungan fosfat terbesar diperoleh pada Eceng Gondok. Hal tersebut didukung oleh adanya penyerapan oleh akar Eceng Gondok untuk memenuhi kebutuhan unsur hara dalam jumlah banyak serta adanya kecepatan transpirasi yang lebih cepat dari tanaman lain sehingga meningkatkan efektivitas penurunan nutrien oleh Eceng Gondok.
FOSFAT (mg/l)
0,3 ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:2
0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 0
4
8 12 16 WAKTU (HARI)
20
24
Gambar 28. Penurunan Fosfat Pada Pengenceran 1:2 Selama Waktu Penelitian
FOSFAT (mg/l)
0,3
ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:0
0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 0
4
8
12 16 WAKTU(HARI)
20
24
Gambar 29. Penurunan Fosfat Pada Pengenceran 1:0 Selama Waktu Penelitian Gambar 28 dan 29 menunjukkan penurunan kandungan fosfat pada pengenceran 1:2 dan 1:0 selama waktu penelitian yang dilengkapi dengan rentang pengukuran. Eceng Gondok pada hari ke-8 dan Kiambang pada hari ke-4 memiliki rentang pengukuran dan standar deviasi terbesar. Penurunan nilai fosfat selama 24 hari menunjukkan bahwa perlakuan jenis tanaman Eceng Gondok dan Kiambang memiliki pola yang relatif sama.
4.2.3
Pertumbuhan Eceng Gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms ) dan Kiambang (Salvinia molesta)
Kemampuan tanaman Eceng Gondok dan Kiambang untuk tumbuh di dalam air sangat bervariasi tergantung pada kandungan hara yang terdapat di dalamnya. Seperti halnya tumbuhan lain, unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman Eceng Gondok dan Kiambang terdiri atas unsur makro : N, P, K, Ca, Mg, Fe, serta unsur mikro : Zn, Mn, Cu (Gopal, 1987). Eceng Gondok dan Kiambang masih dapat tumbuh dalam keadaan miskin unsur hara dan pada perairan yang subur tanaman ini dapat berkembang biak dengan cepat (Rahmaningsih, 2006). Berdasarkan pengamatan terhadap pertumbuhan Eceng Gondok dan Kiambang, semua Eceng Gondok dan Kiambang yang ditanam di kolam percobaan mengalami perubahan jumlah helai daun. Kondisi ini dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Kondisi pertumbuhan tanaman (jumlah helai daun) Waktu Perlakuan (hari) 0 4 8 12
16
20
24
ECENG GONDOK1:2
14
17
19
22
23
24
25
KIAMBANG 1:2
78
88
108
130
154
186
256
GONDOK1:0
14
16
18
20
20
21
21
KIAMBANG 1:0
71
82
88
122
133
140
123
ECENG
Pertambahan jumlah Eceng Gondok terbanyak terdapat pada Eceng Gondok dan Kiambang dengan pengenceran 1:2. Adanya peningkatan jumlah helai daun menunjukkan bahwa tanaman Eceng Gondok dan Kiambang mampu berkembang biak selama waktu pengamatan serta memiliki kemampuan untuk menyerap unsur hara dalam kolam percobaan sehingga terjadi perubahan yaitu dengan pertambahan jumlah helai daun. Selain karena tanaman memperoleh nutrisi untuk pertumbuhannya terdapat faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman Eceng Gondok di antaranya adalah terdapat cahaya yang cukup yang dibutuhkan oleh tanaman untuk tumbuh. Hal ini disebabkan kolam percobaan diletakkan pada lingkungan yang terbuka sehingga cahaya dapat masuk dan membantu pertumbuhan tanaman. Efektivitas rata-rata menunjukkan kemampuan Eceng Gondok dan Kiambang dalam menurunkan nutrien sebagaimana diilustrasikan pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6, efektivitas ratarata penurunan nutrien pada umumnya menurun dengan meningkatnya waktu kontak untuk parameter nitrat dan fosfat, meskipun demikian presentase penurunan nutrien mengalami peningkatan (Gambar 30 dan 31). Efektivitas rata-rata parameter lain disajikan pada Lampiran 5. Dari Tabel 6 serta Gambar 30 dan 31 dapat disimpulkan bahwa efektivitas rata-rata berbanding terbalik dengan presentase penurunan nutrien. Tabel 6. Efektivitas rata-rata penurunan nitrat dan fosfat (mg/l.hari) Waktu (hari)
Perlakuan FOSFAT
NITRAT
0
4
8
12
16
20
24
ECENG GONDOK1:2
0,000
0,039
0,023
0,019
0,013
0,010
0,010
KIAMBANG 1:2
0,000
0,034
0,018
0,019
0,014
0,010
0,010
ECENG GONDOK1:0
0,000
0,024
0,027
0,022
0,015
0,012
0,010
KIAMBANG 1:0
0,000
0,039
0,026
0,020
0,014
0,011
0,009
ECENG GONDOK1:2
0,000
0,003
0,016
0,012
0,009
0,008
0,007
KIAMBANG 1:2
0,000
0,002
0,016
0,013
0,009
0,007
0,006
ECENG GONDOK1:0
0,000
0,007
0,015
0,012
0,009
0,006
0,005
KIAMBANG 1:0
0,000
0,009
0,016
0,012
0,009
0,007
0,006
PRESENTASE PENURUNAN (%)
100 80 ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:2 KIAMBANG PENGENCERAN 1:2 ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:0 KIAMBANG PENGENCERAN 1:0
60 40 20 0 0
4
8
12
16
20
24
WAKTU (HARI) Gambar 30. Presentase Penurunan Kandungan Nitrat pada Perlakuan dengan Eceng Gondok dan Kiambang
PRESENTASE PENURUNAN (%)
50 40 ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:2 KIAMBANG PENGENCERAN 1:2 ECENG GONDOK PENGENCERAN 1:0 KIAMBANG PENGENCERAN 1:0
30 20 10 0 0
4
8
12 16 20 WAKTU (HARI)
24
Gambar 31. Presentase Penurunan Kandungan Fosfat pada Perlakuan dengan Eceng Gondok dan Kiambang
V. PERANCANGAN PENANGANAN LIMBAH CAIR TAHU DENGAN ECENG GONDOK DAN KIAMBANG 5.1
LAJU PENURUNAN NUTRIEN PADA LIMBAH TAHU
PENURUNAN KONSENTRASI NUTRIEN (mg/l)
Pengolahan limbah cair tahu dengan menggunakan Eceng Gondok dan Kiambang menghasilkan efluen yang baik untuk dibuang ke lingkungan. Hal ini terlihat dari penurunan nutrien limbah dengan pengenceran 1:0 dan pengenceran 1:2 yang ditunjukkan pada Gambar 6 sampai Gambar 29. Berdasarkan hasil penelitian di atas, penurunan nutrien menggunakan Eceng Gondok dengan pengenceran 1:2 menghasilkan penurunan nutrien yang lebih baik dibandingkan dengan Kiambang. Reduksi nutrien pada Eceng Gondok dan Kiambang dengan pengenceran 1:2 dan pengenceran 1:0 membutuhkan Hydraulic Retention Time (HRT) selama 12 hari. Menurut Husin (2008), HRT adalah periode waktu rata-rata penahanan limbah berada di dalam sistem. HRT merupakan landasan desain dan parameter operasi proses anaerobik. Semakin tinggi HRT, cairan semakin lama berada di dalam sistem, akibatnya waktu kontak antara biomassa dengan substrat dalam aliran umpan semakin lama. Dengan demikian, diharapkan proses degradasi biologis anaerob berlangsung semakin baik. Akan tetapi, dalam operasional bioreaktor, HRT yang tinggi akan membutuhkan volume reaktor yang besar. Oleh karena itu, untuk memperoleh efisiensi pengolahan yang efektif, nilai HRT harus ditentukan serendah mungkin dengan konversi setinggi mungkin. Variasi penanganan limbah cair tahu dibutuhkan untuk mengoptimalkan efisiensi penurunan nutrien. Penggunaan Eceng Gondok dan Kiambang secara bersamaan merupakan salah satu variasi penanganan limbah cair tahu. 35,000
AMONIA PENGENCERAN 1:2
30,000
NITROGEN TOTALPENGENCERAN 1:2 AMONIA PENGENCERAN 1:0
25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0,000 0
4
8
12
16
20
24
WAKTU (HARI)
Gambar 32. Penurunan Amonia dan Nitrogen Total Untuk Eceng Gondok dan Kiambang
PENURUNAN KONSENTRASI NUTRIEN (mg/l)
0,400 0,350 0,300 0,250 0,200 0,150 0,100 0,050 0,000
NITRAT PENGENCERAN 1:2 NITRAT PENGENCERAN 1:0 FOSFAT PENGENCERAN 1:2
0
4
8
12
16
20
24
WAKTU (HARI)
Gambar 33. Penurunan Nitrat dan Fosfat Untuk Eceng Gondok dan Kiambang Ketika dilakukan penggabungan variasi Eceng Gondok serta Kiambang dengan pengenceran 1:2 dan dibandingkan dengan pengenceran 1:0 terjadi perubahan HRT untuk penurunan nitrat, fosfat, amonia, dan nitrogen total. Berdasarkan Gambar 32 dan 33, HRT berkisar antara 4 hari dan 8 hari dengan penurunan amonia dan nitrogen untuk pengenceran 1:0 adalah dari 11,2 mg/l menjadi 10,8 mg/l dan dari 30 mg/l menjadi 19,8 mg/l sedangkan untuk pengenceran 1:2 adalah dari 10,4 mg/l menjadi 11,5 mg/l dan dari 24,6 mg/l menjadi 19,8 mg/l. Penurunan fosfat dan nitrat untuk pengenceran 1:0 adalah dari 0,281 mg/l menjadi 0,155 mg/l dan dari 0,315 mg/l menjadi 0,222 mg/l sedangkan untuk pengenceran 1:2 adalah dari 0,260 mg/l menjadi 0,108 mg/l dan dari 0,350 mg/l menjadi 0,208 mg/l. Setelah hari ke-8 penurunan nutrien berlangsung konstan. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya penggabungan antara Eceng Gondok dan Kiambang untuk tiap pengenceran berkorelasi dengan semakin cepatnya penurunan kandungan nutrien pada limbah. HRT pada perlakuan Eceng Gondok dan Kiambang tanpa penggabungan menunjukkan waktu penurunan optimal selama 12 hari. Perbedaan HRT antara perlakuan dengan penggabungan Eceng Gondok dan Kiambang serta perlakuan tanpa penggabungan dipengaruhi oleh kadar nutrien yang menjadi makanan bagi tanaman serta penyerapan nutrien oleh tanaman. Menurut Husin (2008), reduksi total nutrien meningkat sejalan dengan HRT. Semakin lama HRT, semakin lama limbah berada di dalam sistem sehingga waktu kontak antara biomassa dengan substrat juga semakin lama. Oleh karena itu, proses degradasi biologis anaerob berlangsung semakin baik sehingga presentase penurunan total nutrien juga meningkat. Hal tersebut berlaku untuk perlakuan Eceng Gondok dan Kiambang tanpa penggabungan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6 hingga Gambar 29 sedangkan pada penggabungan, reduksi nutrien terbesar terjadi pada hari ke-4 hingga hari ke-8. Peningkatan HRT yang tinggi disebabkan oleh adanya penyerapan nutrien yang cepat oleh gabungan Eceng Gondok dan Kiambang. Selama 8 hari, Eceng Gondok dan Kiambang menyerap nutrien pada limbah sehingga menyebabkan nutrien pun tereduksi secara cepat. Setelah hari ke-8, Eceng Gondok dan Kiambang tetap melakukan aktivitasnya dalam menyerap nutrien pada limbah namun, reduksi nutrien berjalan konstan. Semakin berkurangnya nutrien yang terkandung dalam limbah menyebabkan Eceng Gondok dan Kiambang berkompetisi untuk mendapatkan makanan. Hal ini terlihat dari Gambar 32 dan 33, penurunan nutrien mulai hari ke-12 dan seterusnya berjalan konstan. Dampak dari hal tersebut adalah jumlah Eceng Gondok dan Kiambang yang tidak mengalami pertambahan dan cenderung mengalami kematian.
5.2
PERANCANGAN PENGOLAHAN LIMBAH SKALA INDUSTRI
Pengolahan limbah cair tahu skala kecil dengan menggunakan Eceng Gondok dan Kiambang dengan pengenceran 1:2 dan pengenceran 1:0 menghasilkan suatu kesimpulan bahwa Eceng Gondok dengan pengenceran 1:2 merupakan perlakuan terbaik untuk mereduksi nutrien dengan HRT selama 12 hari sedangkan penggabungan antara Eceng Gondok dan Kiambang menghasilkan HRT selama 4 hingga 8 hari. Apabila dilakukan perancangan penanganan limbah tahu skala industri, hal pertama yang harus diketahui adalah neraca massa dalam proses pembuatan tahu sehingga dapat diperoleh data volume limbah cair tahu yang harus ditangani. Bahan baku (input)
Teknologi
Energi
Kedelai 100 Kg Air
2700 Liter
Manusia
Hasil (output) Tahu 160 Kg
Manusia
Proses Air buangan : 1102,5 Liter Ampas tahu : 140 kg Whey : 1397,5 kg
Gambar 34. Neraca Massa Proses Pembuatan Tahu (Indrasti dan Anas, 2009) Industri tahu skala sedang memproduksi tahu dengan kapasitas 200 kg kedelai perhari. Beban limbah cair yang dihasilkan dari pengolahan tahu tersebut adalah 5000 m3/hari. Limbah industri tahu tersebut terdiri atas whey yang merupakan limbah dari proses penggumpalan ekstrak susu kedelai dan air buangan. Pengolahan limbah cair tersebut dimulai dari tahap pengolahan secara anaerob dengan menggunakan digester (reaktor biogas) dan dilanjutkan dengan pengolahan dengan kolam Eceng Gondok dan Kiambang selama 8 hari. Efluen yang dihasilkan dapat langsung dialirkan ke lingkungan. Pengolahan anaerob merupakan pengolahan awal limbah yang bertujuan untuk menguraikan zat-zat organik menjadi zat anorganik yang merupakan nutrien bagi tanaman air. Pengolahan anaerob menghasilkan biogas dari limbah cair tahu segar. Hasil pengolahan digester berupa biogas yang dapat digunakan untuk bahan bakar pengganti minyak tanah atau kayu bakar dan ampas (sludge) yang dapat dimanfaatkan untuk pupuk organik. Air hasil dari pengolahan anaerob dialirkan ke kolam Eceng Gondok dan Kiambang dengan nilai penyisihan COD dari 3100 mg/l menjadi 670 mg/l. Pada tahap ini, Eceng Gondok dan Kiambang akan menyerap zat anorganik pada limbah dengan waktu tinggal selama 8 hari. Kemudian, air limbah hasil olahan tidak dibuang semua ke lingkungan, tetapi digunakan untuk pengenceran limbah pada kolam Eceng Gondok dan Kiambang sehingga dihasilkan efluen yang aman dibuang ke lingkungan sesuai dengan baku mutu limbah cair pada Lampiran 8. Hasil pengolahan limbah tersebut dapat dialirkan secara aman ke lingkungan karena berdasarkan penelitian Arsil dan Supriyanto (2007), reduksi COD limbah tahu rata-rata mencapai dengan kolam Eceng Gondok serta Kiambang dan menghasilkan reduksi nutrien hingga 85%. Berdasarkan penelitian Bayuseno (2009) diasumsikan digester yang digunakan adalah tipe fixed dome atau reaktor biogas skala tetap dengan dimensi jari-jari digester 0,75 m, tinggi 2,8 m, dan berkapasitas 5 m3. Pengaliran limbah ke kolam dilakukan selama proses pembuatan tahu berlangsung sehingga termasuk ke dalam pola aliran sesaat. Limbah tahu hasil olahan dari reaktor anaerob
dialirkan ke kolam Eceng Gondok dan Kiambang selama 8 hari dengan dimensi kolam Eceng Gondok dan Kiambang diasumsikan 18,3 m x 3,7 m x 0,6 m (BPPT, 2009). Setelah dilakukan pengolahan, efluen dapat dibuang dengan aman ke lingkungan sesuai dengan baku mutu limbah tahu dengan COD yang tersisa sebanyak 100,5 mg/l. Perancangan pengolahan limbah cair tahu ditunjukkan pada Lampiran 9.
VI. 6.1
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Eceng Gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms) dan Kiambang (Salvinia molesta) memiliki kemampuan untuk menurunkan nutrien pada limbah cair tahu dengan cara menyerap nutrien tersebut melalui akar. Aktivitas penyerapan tersebut berbanding lurus dengan pertambahan jumlah helai daun pada Eceng Gondok dan Kiambang serta lama waktu kontak antara akar dengan nutrien. Pada pengenceran 1:2, tanaman Eceng Gondok memiliki penurunan terbesar terhadap senyawa amonia (NH3) yaitu dari 10,400 mg/l menjadi 1,450 mg/l dengan presentase penurunan sebesar 38,50%, nitrat (NO3) yaitu dari 0,339 mg/l menjadi 0,178 mg/l dengan presentase penurunan sebesar 37,19 %, nitrogen total yaitu dari 24,600 mg/l menjadi 9,800 mg/l dengan presentase penurunan sebesar 35,58%, dan fosfat (PO43-) yaitu dari 0,259 mg/l menjadi 0,015 mg/l dengan presentase penurunan sebesar 78,11%. Pada tanaman Kiambang dengan pengenceran 1:2 memiliki penurunan untuk nitrogen total yaitu dari 24,600 mg/l menjadi 12,550 mg/l dan presentase 23,10%, penurunan amonia yaitu dari 10,400 mg/l menjadi 2,400 mg/l dan presentase 31,68%, penurunan nitrat yaitu dari 0,339 mg/l menjadi 0,191 mg/l dan presentase 36,29%, serta penurunan fosfat yaitu dari 0,259 mg/l menjadi 0,026 mg/l dan presentase 76,38 %. Efektivitas penyerapan nutrien terjadi sampai hari ke-12, setelah itu efektivitas penurunan nutrien tidak signifikan lagi. Seiring dengan penurunan jumlah nutrien oleh Eceng Gondok dan Kiambang, terjadi penurunan nilai TSS dan COD namun terjadi pula peningkatan nilai DO dan pH. Penurunan TSS dan COD terbesar diperoleh pada Eceng Gondok dengan pengenceran 1:2 yaitu dari 37 mg/l menjadi 10,5 mg/l dan dari 670 mg/l menjadi 93,520 mg/l sedangkan peningkatan nilai pH dan DO terbesar terdapat pada Kiambang dengan pengenceran 1:2 yaitu dari 6 menjadi 9,3 dan Eceng Gondok dengan pengenceran 1:2 yaitu dari 0,505 mg/l menjadi 5,760 mg/l. Perancangan penanganan limbah tahu skala kecil dengan kombinasi penggabungan Eceng Gondok dan Kiambang menghasilkan reduksi nutrien yang efisien dengan HRT 8 hari. Untuk skala industri dilakukan pengolahan anaerob serta dilanjutkan dengan pengolahan kolam Eceng Gondok dan Kiambang dengan HRT 8 hari. Digester anaerob yang digunakan memiliki dimensi jari-jari digester 0,75 m, tinggi 2,8 m, dan berkapasitas 5 m3 sedangkan kolam Eceng Gondok dan Kiambang berdimensi 18,3 m x 3,7 m x 0,6 m. Setelah dilakukan pengolahan, COD yang tersisa sebanyak 100,5 mg/l. Hal tersebut sesuai dengan baku mutu limbah cair industri tahu dengan COD maksimum sebesar 150 mg/l sehingga efluen pengolahan limbah cair tahu dapat dibuang dengan aman ke lingkungan.
6.2
SARAN
Kombinasi pengolahan anaerob dan kolam Eceng Gondok dan Kiambang merupakan salah satu solusi untuk memperbaiki kualitas efluen sebelum dibuang ke lingkungan. Pada penelitian ini telah dilakukan perancangan dimensi pengolahan anaerob serta kolam Eceng Gondok dan Kiambang sehingga untuk merealisasikannya diperlukan penyempurnaan desain dan faktor-faktor yang mempengaruhi serta kondisi industri tahu.
DAFTAR PUSTAKA Abel PD. 1989. Water Pollution Biology. London: Ellis Horwood Limited. Alaerts G, SS Santika. 1987. Metode Penelitian Air. Surabaya : Usaha Nasional. [APHA] American Public Health Association. 1992. Standard Method for the Examination of Water and Wastewater. 18th ed. Washington DC : American Public Health Association. Anonim. 2009. Kiambang. http://wikipedia.com [21 Oktober 2010]. Ardiwinata RO. 1950. Musuh Dalam Selimut di Rawa Pening. Bandung : Vorking. Arsil P, Supriyanto. 2007. Pengolahan limbah cair dari industri kecil pengolahan tahu secara biofiltrasi menggunakan Eceng Gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms). http://iirc.ipb.ac.id/jspui/handle/123456789/8384. [22 September 2010]. Barus TA. 2002. Pengantar Limnologi. Medan : Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara. Bayuseno, Athanasius P. 2009. Penerapan dan pengujian model teknologi anaerob digester untuk pengolahan sampah buah-buahan dari pasar tradisional. Rotasi 11(2) : 5. [BPPT] Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2009. Produk badan pengkajian dan penerapan teknologi fitoremediasi. http://repositori.bppt.go.id/ubuntu/index.php?action=download. [14 November 2010]. Brix H, Schierup HH. 1987. Soil Oxygenation in Constructed Reed Beds The Role of Macrophyte and Soil. In : Khiatuddin, M. 2003. Melestarikan Sumberdaya Air dengan Teknologi Rawa Buatan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Clock RM. 1938. Nitrogen and Phosporus Removal From a Secondary Sewage Treatment Effluent. [Dissertation] In: Gopal. B, Sharma. KP. 1981. Water-hyacinth (Eichornia crassipes). Most Troublesome Weed of The World. Delhi, India : Hindasia Publications. Darsono V. 2007. Pengolahan limbah cair tahu secara anaerob dan aerob. Jurnal Teknologi Industri Vol. XI (1): 9-29. Davis ML, DA Cornwell. 1991. Water Resourse and Environment Engineering. New York : Mc Graw-Hill. Dhahiyat Y. 1990. Kandungan Limbah Cair Pabrik Tahu dan Pengolahannya dengan Eceng Gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms). [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pascasarjana IPB. Eckenfelder WW. 1989. Industrial Water Pollution Control. In : Marlina, R. 2003. Pengaruh Kandungan Amonia dan Laju Alir Terhadap Efisiensi Penyisihan Nitrogen Secara Biologis Dalam Limbah Industri Perikanan Menggunakan Reaktor Unggun Tetap Bermediakan Zeolit. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya Lingkungan Perairan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Fitter AH, Hay RKM. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. Foth HD. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta : Gajah Mada University Press. Gopal B, Sharma KP. 1981. Water-Hyacinth (Eichornia crassipes (Mart) Solms). Most Troublesome Weed of The World. Delhi, India : Hindasia Publications. Gopal B. 1987. Water Hyacinth. Amsterdam : Elsevier Science Publishers. Haller WT, EB Knipling, SH West. 1970. Phosporus absorbtion by and distribution in water-hyacinth. Soil and Crop Sci Soc Proc 30 : 64-68. In : Gopal B, Sharma KP. 1981. Water-Hyacinth (Eichornia crassipes). Most Troublesome Weed of The World. Delhi, India : Hindasia Publications.
Hartati S. 1994. Pemanfaatan Eceng Gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms) dan Kayambang (Salvinia molesta) Sebagai Biofilter Dalam Menurunkan BOD5 dan COD Pada Limbah Cair Tahu. [Skripsi]. Purwokerto : Fakultas Biologi UNSOED. Husin A. 2003. Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu Menggunakan Biji Kelor (Moringa oleifera seeds) Sebagai Kooagulan. Laporan Penelitian Dosen Muda. Medan : Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Husin A. 2008. Pengolahan Limbah Cair dengan Biofiltrasi Anaerob Dalam Reaktor Fixed-Bed. [Tesis]. Medan : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Hutchinson GE. 1967. A Treatise Of Limnology. New York : John Wiley and Sos Inc. Indrasti NS, Anas MF. 2009. Produksi Bersih. Bogor : IPB Press. Jackson ARW, JM Jackson. 2000. Environmental Science: The Natural Environment and Human Impact. London : Prentice Hall. Jenie BSL, WP Rahayu. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Yogyakarta : Kanisius. Khiatuddin M. 2003. Melestarikan Sumberdaya Air dengan Teknologi Rawa Buatan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Kirchman DL. 2000. Microbial Ecology of The Oceans. New York : Wiley-Lis. Laraspedi G. 2004. Kajian Penurunan Nitrogen Amonia Pada Proses Nitrifikasi Dalam Pengolahan Limbah Cair Industri Perikanan. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Lesmana DS. 2001. Kualitas Air Untuk Ikan Hias Air Tawar. Depok : Penebar Swadaya. Lidiawati S, Tusani. 2009. Penurunan Konsentrasi Warna Limbah Tekstil Menggunakan Tanaman Air. Surabaya : Pusat Studi Lingkungan Ubaya. Little ECS. 1968. Handbook of Utilization of Aquatic Plants. In : Moenandir, J. 1990. Fisiologi Herbisida. Jakarta : Rajawali Press. Mackereth FJH, Heron, JF Talling. 1989. Water Quality Source Book A Guide to Water Quality Parameter. In : Rahmaningsih, HD. 2006. Kajian Penggunaan Eceng Gondok (Eichornia crassipes) pada Penurunan Senyawa Nitrogen Efluen Pengolahan Limbah Cair PT Capsugel Indonesia. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mahida UN. 1986. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Jakarta : CV Rajawali. Mara D. 1976. Sewage Treatment In Hot Climate. London : A Willey-Interscience Publication. Marlina R. 2004. Pengaruh Kandungan Amonia dan Laju Alir terhadap Efisiensi Penyisihan Nitrogen Secara Biologis Dalam Limbah Industri Perikanan Menggunakan Reaktor Unggun Tetap Bermediakan Zeolit. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Mattjik AA, Made S. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid I. Bogor : IPB Press. Metcalf and Eddy. 1991. Wastewater Engineering Treatment and Reuse. 3rd ed. New York : McGrawHill. Mc Neely RN, VR Neimanis, L. Dawyer. 1979. Water Quality Sourcebook, A Guide to Water Quality Parameters. Ottawa, Canada : Inland Water Directorates, Water Quality Branch. Nuraida L. 1985. Pengamatan Terhadap Rangkaian Produksi Tahu pada Industri Kecil Tahu di Bondongan Kodya Bogor. Bogor : Laporan KKN FATETA IPB. Nurhayati D. 1989, Pengaruh Kepadatan Eceng Gondok Terhadap pH, BOD, Dan Zat Organik. Yogyakarta : APK-TS. Pandey BP. 1980. Plant Anatomi. New Delhi : S Chard and Co. Ltd
Porcella DB, AB Bishop. 1975. Comprehensive Management of Phosphorus Water Pollution. Michigan : Ann Abror Science Publishers. Rahmaningsih HD. 2006. Kajian Penggunaan Eceng Gondok (Eichornia crassipes) Pada Penurunan Senyawa Nitrogen Efluen Pengolahan Limbah Cair PT Capsugel Indonesia. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rudiyanto F. 2004. Tingkat Kemampuan Eceng Gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms) Dalam Memperbaiki Kualitas Limbah Cair Hasil Deadifikasi Nata De Coco. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Saeni M.S. 1989. Kimia Lingkungan. Bahan Pengajaran. Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, PAU-IPB. Said NI, Heru DW. 1999. Pengolahan Air Limbah Tahu-Tempe Dengan Proses Biofilter Aerob dan Anaerob. Jakarta: Kelompok Teknologi Pengelolaan Air Bersih dan Limbah Cair, Direktorat Teknologi Lingkungan, Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, Material, dan Lingkungan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Sastrapradja S, R. Bimantoro. 1981. Tumbuhan Air. Bogor : Lembaga Biologi Nasional-LIPI. Sastrawijaya AT. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta : Rineka Cipta. Sastroutomo SS. 1991. Ekologi Gulma. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Sawyer CN, PL McCarty, GF Parkin. 1994. Chemistry For Environmental Engineering. New York : Mc Graw-Hill. Sculthorpe CD . 1967. The Biology of Aquatic Vascular Plants. London : Edward Arnold. Smith GM. 1955. Cryptogamic Botany Briophyta and Pteridophyta. 2nd ed. New York : McGraw-Hill. Soerjani M. 1975. Aquatic weed problems and control in southeast asia. Hyacinth Control J 13: 2-3. Storey M. 2006. Integrated taxonomic information system. http://www. itis.usda.gov. [22 September 2010]. Stumm W, JJ Morgan. 1970. Aquatic Chemistry An Introduction Emphasizing Chemical Equilibria in Natural Waters. New York : Wiley Interscience. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1991. Metode Pengujian Kualitas Fisika Air. Jakarta : SNI. Sudarmaji, 1991. Petunjuk Praktikum Kualitas Air. Yogyakarta: Laboratorium Hidrologi dan Kualitas Air Fakultas Geografi UGM. Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. Sukman Y, Yakub. 1991. Gulma dan Teknis Pengendaliannya. Jakarta : Rajawali. Suryadiputra INN. 1994. Pengolahan Air Limbah dengan Metoda Biologi. Bogor : Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Tjitrosomo SS. 1983. Botani Umum II. Bandung : Angkasa Uhlman D. 1979. Hydrobiology. Chichester : John and Willey and Sons. Waite TD. 1984. Principle of Water Quality. In : Akbar, AA. 1996. Kinerja Reaktor Kolom. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Insitut Pertanian Bogor. Wiesmann U. 1994. Biological nitrogen removal from wastewater. Adv Biochem Eng Biotechnol 51:113-54. Widigdo B. 2000. Limnologi. Bogor : Laboratorium Limnologi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Widianto LS. 1986. The Effect Of Heavy Metal On The Growth Of Water Hyacinth. Proceed Syimposium on Pest Ecology and Pest management. Seameo-Biotrop, Bogor, Indonesia. In : Mukti, AM. 2008. Penggunaan Tanaman Eceng Gondok (Eichornia crassipes) Sebagai Pre-Treatment Pengolahan Air Minum Pada Air Selokan Mataram. Yogyakarta: Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia.
Widjaja F. 2004. Tumbuhan Air. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur analisis 1.
Pengukuran pH (APHA, 1992) Pengkalibrasian alat pHmeter dengan menggunakan larutan buffer pH harus dilakukan sebelum alat pHmeter digunakan. Setelah alat dikalibrasi, elektroda gelas yang telah dibersihkan dengan air suling dicelupkan ke dalam sampel kolam percobaan. Setelah itu nilai skala pH dapat dibaca melalui angka pada layar pHmeter. 2. Pengukuran Total Suspended Solid (SNI, 1991) Kertas millipore (0,45 μm) dikeringkan dalam oven dengan suhu 100-105oC selama 10 menit. Kemudian, dilakukan penimbangan dan pencatatan berat awal millipore (a). Pompa vakum dan wadah penyaring TSS dihubungkan ke erlenmeyer penampung, lalu millipore disisipkan dalam wadah penyaring dan pompa dihidupkan. Sebanyak 10 ml sampel dimasukkan perlahan ke dalam wadah penyaring. Millipore dengan endapan hasil saringan dikeringkan pada suhu 100-105oC selama 1 jam. Kemudian, berat akhir millipore (b) ditimbang dan dicatat. Perhitungan: Konsentrasi sel (g/ml) = (b-a) ml sampel 3. Pengukuran Total Kandungan Nitrogen (APHA, 1992) Sebanyak 0,1 gram contoh dimasukkan ke dalam labu kjeldahl lalu ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat, 1 gram katalis, dan beberapa batu didih. Larutan didestruksi hingga menghasilkan larutan jernih kemudian didinginkan. Larutan hasil dekstruksi dipindahkan kea lat destilasi dan ditambahkan 15 ml NaOH 50%. Labu erlenmeyer yang berisi 25 ml HCl 0,02 N dan 2-4 tetes indikator mengsel (campuran metil merah 0,02% dalam alkohol dan metil biru 0,02% dalam alkohol 2:1) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di dalam larutan HCl. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer mencapai 2 kali volume awal. Ujung kondensor dibilas dengan akuades. Larutan yang berada dalam erlenmeyer dititrasi dengan H2SO4 0,02 N hingga diperoleh perubahan warna dari hijau menjadi ungu. Setelah itu dilakukan penetapan blanko. 0,014 1000 Kadar Nitrogen a = ml NaOH untuk titrasi blanko b = ml NaOH untuk titrasi sampel N = normalitas H2SO4 0,02 N W= volume sampel (ml) 4. Pengukuran Chemical Oxygen Demand (APHA, 1992) A. Standarisasi Ferro Alumunium Sulfat (FAS) Sebanyak 2,5 ml akuades dimasukkan ke dalam tabung COD mikro. Kemudian, ditambahkan 1,5 ml larutan K2Cr2O7 dan 3,5 ml pereaksi H2SO4 (asam COD). Larutan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml dan ditambahkan indikator ferroin 2 tetes. Kemudian dititrasi dengan FAS 0,1 M hingga warna kecoklatan. Molaritas FAS = Volume K2Cr2O7 0.0167 M (ml) x 0,1 Volume FAS untuk titrasi (ml) B. Analisis Utama Sebanyak 1 ml sampel yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam tabung COD mikro. Kemudian, ditambahkan 1,5 ml larutan K2Cr2O7 dan 3,5 ml pereaksi H2SO4 (asam COD). Setelah itu dipanaskan dengan COD reaktor pada suhu 148oC selama 2 jam dan didinginkan. Larutan dimasukkan
ke dalam erlenmeyer 100 ml dan ditambahkan indikator ferroin 2 tetes. Kemudian dititrasi dengan FAS 0,1 M hingga warna kecoklatan. Kadar COD (mg/l) = [(a-b) x M x 8 x 1000] xP ml sampel 5. Pengukuran Fosfat (APHA, 1992) A. Pembuatan Kurva Kalibrasi Larutan standar PO4 diencerkan hingga 0,0; 0,5; 1,0; 1,5; dan 2,0 mg/l. Dari masing-masing konsentrasi larutan dipipet 25 ml. Kemudian, ditambahkan 1 ml ammonium molibdat dan 3 tetes SnCl2, lalu kocok merata dan didiamkan selama 10 menit. Kemudian, diukur absorbansinya pada λ=660-690 nm. Setelah itu, kurva kalibrasi dibuat dari hubungan konsentrasi dan absorbansi larutan standar. Lalu, akan didapatkan persamaan regresi linier dari kurva kalibrasi. B. Analisis Utama Sebanyak 25 ml sampel ditambahkan 1 ml ammonium molibdat dan 3 tetes SnCl2. Larutan dikocok secara merata dan didiamkan selama 1 menit. Kemudian, diukur absorbansinya pada λ=660690 nm. Kadar ortofosfat ditentukan dengan memasukkan nilai absorbansi sampel ke dalam persamaan regresi linier dari kurva kalibrasi. 6. A.
Pengukuran Nitrat (NO3) (APHA, 1992) Pembuatan Kuva Kalibrasi Larutan standar PO4 diencerkan hingga 0,0; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1,0 mg/l. Dari masingmasing konsentrasi larutan dipipet 10 ml lalu ditambahkan 2 ml NaCl 30% dan 10 ml H2SO4. Kemudian diaduk dan dibiarkan hingga dingin. Setelah itu, ditambahkan 0,5 ml reagen brusin-asam sulfanilat dan dipanaskan pada penangas air bersuhu 95oC selama 20 menit lalu didinginkan. Intensitas warna diukur dengan spektrofotometer (λ= 410 nm). Kurva kalibrasi dibuat dari hubungan konsentrasi dan absorbansi larutan standar. Lalu, akan didapatkan persamaan regresi linier dari kurva kalibrasi. B. Analisis Utama Sebanyak 10 ml sampel dimasukkan ke erlenmeyer lalu ditambahkan 2 ml NaCl 30% dan 10 ml H2SO4. Kemudian diaduk dan dibiarkan hingga dingin. Setelah itu, ditambahkan 0,5 ml reagen brusin-asam sulfanilat dan dipanaskan pada penangas air bersuhu 95oC selama 20 menit lalu didinginkan. Intensitas warna diukur dengan spektrofotometer (λ= 410 nm). Kadar nitrat ditentukan dengan memasukkan nilai absorbansi sampel ke dalam persamaan regresi linier dari kurva kalibrasi. 7.
Pengukuran Amonia (NH3) (APHA, 1992) Sebanyak 0,1 gram contoh dimasukkan ke dalam labu kjeldahl lalu ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat, dan 1 gram katalis kemudian dibiarkan dingin. Larutan dipindahkan ke alat destilasi dan ditambahkan 15 ml NaOH 50%. Labu erlenmeyer yang berisi 25 ml HCl 0,02 N dan 2-4 tetes indikator mengsel (campuran metil merah 0,02% dalam alkohol dan metil biru 0,02% dalam alkohol 2:1) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di dalam larutan HCl. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer mencapai 2 kali volume awal. Ujung kondensor dibilas dengan akuades. Larutan yang berada dalam erlenmeyer dititrasi dengan H2SO4 0,02 N hingga diperoleh perubahan warna dari hijau menjadi ungu. Setelah itu dilakukan penetapan blanko. 0,014 6,25 100% Kadar Amonia
a = ml NaOH untuk titrasi blanko b = ml NaOH untuk titrasi sampel N = normalitas H2SO4 0,02 N W= volume sampel (ml) 8. Pengukuran Dissolve Oxygen (DO) (SNI, 1991) Alat DO meter yang telah dikalibrasi dibuka bagian yang mengandung membran kemudian dicelupkan ke dalam sampel sambil ditekan tombol on. DO meter akan bekerja mencari nilai DO yang sesuai. Setelah nilai DO dimunculkan dalam layar, dicatat hasilnya. Kemudian dilakukan pembersihan membran dengan cara mencelupkannya ke akuades sampai bersih. Dalam keadaan basah, bagian membran tersebut langsung dimasukkan ke tempatnya.
Lampiran 2. Dokumentasi hasil penelitian 1.
Kondisi Tanaman Eceng Gondok Selama 24 Hari a. Tanpa Pengenceran
Hari ke-0
b.
2.
Hari ke-16 Pengenceran 1:2
Hari ke-4
Hari ke-20
Hari ke-0
Hari ke-4
Hari ke-16
Hari ke-20
Hari ke-8
Hari ke-12
Hari ke-24
Hari ke-8
Hari ke-12
Hari ke-24
Kondisi Tanaman Kiambang Selama 24 Hari a. Tanpa Pengenceran
Hari ke-0
Hari ke-4
Hari ke-8
Hari ke-12
b.
Hari ke-16 Pengenceran 1:2
Hari ke-20
Hari ke-0
Hari ke-4
Hari ke-16
Hari ke-20
Saung yang digunakan 3.
Pengujian yang dilakukan 1) Pengujian DO
Hari ke-24
Hari ke-8
Hari ke-24
Hari ke-12
2) Pengujian Nitrogen Total dan Amonia
Kjeldahl Method 3) Pengujian Nitrat
4) Pengujian Fosfor
5) Pengujian COD
Sampel
Sebelum dititrasi
COD Reaktor
Setelah dititrasi
Hasil reaksi
Lampiran 3. Kondisi limbah cair tahu pada penelitian pendahuluan a. Eceng Gondok Kolam
pH
DO
Waktu (hari)
Waktu (hari)
0
4
8
12
16
20
24
0
4
8
12
16
20
24
E1
6
6,7
8
7,9
8,2
8,5
8,6
2,3
2,34
2,54
2,6
2,2
2,19
2,15
E2
6
6,6
7,9
7,9
9
8,4
8,6
2,2
2,3
2,3
2,4
2
1,8
1,7
E3
6
6,5
7,6
7,5
8,3
8,3
8,5
2
2,4
2,5
2,56
2,4
2,4
2,55
E4
6
6,7
7,4
7,3
7,8
8
8,2
2,1
2,12
2,43
2,46
2,3
2,13
1,98
E5
6
6,5
7,5
7,4
7,8
8
8,1
2,2
2,43
2,6
2,8
2,7
2,5
2,33
E6
6
6,5
7,4
7,2
7,7
8,1
8,4
2,1
2,23
2,41
2,69
2,4
2,34
2,28
E7
6
6,4
7,1
7,0
7,5
8
8,1
2,2
2,36
2,34
2,46
2,2
2,15
2
b. Kiambang Kolam
pH
DO
Waktu (hari)
Waktu (hari)
0
4
8
12
16
20
24
0
4
8
12
16
20
24
E1
6
6,7
7,3
7,8
8
8,3
8,5
2,3
2,4
2,54
2,7
1,9
1,9
1,75
E2
6
6,8
7,4
7,7
8
8,4
8,5
2,2
2,23
2,3
2,4
2
1,9
1,8
E3
6
6,5
7,6
7,6
8,3
8,7
8,8
2
2,2
2,26
2,33
2,2
2
1,85
E4
6
6,6,
7,4
7,5
7,9
8,4
8,4
2,1
2,12
2,23
2,46
2,3
2,2
1,88
E5
6
6,5
7,5
7,7
8,1
8,4
8,5
2,2
2,43
2,56
2,78
2,6
2,5
2,43
E6
6
6,5
7,6
7,7
8,1
8,6
8,7
2,1
2,23
2,31
2,59
2,3
2,2
2,18
E7
6
6,5
7,4
7,5
8,1
8,4
8,4
2,2
2,27
2,34
2,46
2,2
2,1
2
Lampiran 4. Kondisi pertumbuhan Eceng Gondok dan Kiambang selama penelitian pendahuluan Waktu
Perlakuan
Kondisi Eceng Gondok dan Kiambang
(Hari) 4
E1
Pada permukaan daun timbul bintik-bintik, beberapa daun layu berwarna kekuningan dan kering
E2
Beberapa daun mulai layu, tidak terdapat daun yang mati
E3
Eceng Gondok dan Kiambang dapat tumbuh baik, tidak ada daun yang kering dan layu. Tumbuh satu buah daun baru Eceng Gondok dan tumbuh sepuluh daun baru pada Kiambang
E4
Tidak ada daun yang kering dan layu
E5
Tidak ada daun yang kering dan layu
E6
Tidak ada daun yang layu dan kering, Eceng Gondok dan Kiambang dapat hidup dengan baik
E7
Tidak ada daun yang layu dan kering, Eceng Gondok dan Kiambang dapat hidup dengan baik
8
E1
Beberapa daun mulai layu dan kering, terdapat 3 daun yang kering untuk Eceng Gondok dan 12 daun yang kering untuk Kiambang
E2
5 daun rusak dan ujungnya kering, terdapat bintik-bintik pada hampir semua permukaan daun Eceng Gondok sedangkan Kiambang, terdapat 15 daun yang kering
12
E3
Eceng Gondok dan Kiambang dapat hidup dengan baik
E4
Tidak ada daun pada Eceng Gondok dan Kiambang yang kering dan layu.
E5
Pada Eceng Gondok tumbuh 2 daun baru dan pada Kiambang tumbuh 16 daun baru
E6
Pada Eceng Gondok tumbuh 2 daun baru dan pada Kiambang tumbuh 17 daun baru
E7
Pada Eceng Gondok tumbuh 2 daun baru dan pada Kiambang tumbuh 20 daun baru
E1
Pada Eceng Gondok, 2 daun mati dan kering sedangkan pada Kiambang banyak daun yang mati
E2
Pada Eceng Gondok2 daun layu dan kering. Pada Kiambang terdapat 10 daun yang mati
E3
Eceng Gondokmasih dapat tumbuh baik, 2 daun baru tumbuh. Pada Kiambang, tumbuh 12 daun baru
16
E4
Eceng Gondok dan Kiambang masih dapat tumbuh dan tidak ada daun yang mati
E5
Pada Eceng Gondok tumbuh 2 daun baru dan pada Kiambang tumbuh 10 daun baru
E6
Pada Eceng Gondok tumbuh 2 daun baru dan pada Kiambang tumbuh 10 daun baru
E7
Pada Eceng Gondok tumbuh 2 daun baru dan pada Kiambang tumbuh 15 daun baru
E1
Terdapat 3 daun Eceng Gondok yang kering serta banyak daun yang kering dan layu pada Kiambang
E2
Pada Eceng Gondok terdapat 2 daun yang layu dan kering serta terdapat banyak daun
Lanjutan Kiambang yang layu. E3
Eceng Gondok dan Kiambang masih bisa tumbuh, tidak terdapat tanaman yang mati, serta tumbuh 2 daun baru pada Eceng Gondok dan 10 daun baru untuk Kiambang
20
E4
Eceng Gondok dan Kiambang masih dapat tumbuh dan tidak ada daun yang mati
E5
Pada Eceng Gondok tumbuh 2 daun baru dan pada Kiambang tumbuh 10 daun baru
E6
Pada Eceng Gondok tumbuh 2 daun baru dan pada Kiambang tumbuh 15 daun baru
E7
Pada Eceng Gondok tumbuh 2 daun baru dan pada Kiambang tumbuh 15 daun baru
E1
Terdapat 2 daun Eceng Gondok yang kering serta banyak daun yang kering dan layu pada Kiambang
E2
Pada Eceng Gondok terdapat 2 daun yang layu dan kering serta terdapat banyak daun Kiambang yang layu.
E3
Eceng Gondok dan Kiambang masih bisa tumbuh, tidak terdapat tanaman yang mati serta tumbuh 1 daun baru pada Eceng Gondok dan tumbuh daun baru pada Kiambang
E4
Pada Eceng Gondok tumbuh 2 daun baru dan pada Kiambang tumbuh 10 daun baru
E5
Pada Eceng Gondok tumbuh 2 daun baru dan pada Kiambang tumbuh 10 daun baru
E6
Pada Eceng Gondok tidak tumbuh 2 daun baru dan pada Kiambang tumbuh 10 daun baru
24
E7
Pada Eceng Gondok tumbuh 2 daun baru dan pada Kiambang tumbuh 10 daun baru
E1
Terdapat 4 daun Eceng Gondok yang kering dan mati serta banyak daun yang mati pada Kiambang
E2
Pada Eceng Gondoktidak tumbuh kembali daunnya kering dan mati serta terdapat banyak daun Kiambang yang mati.
E3
Satu batang Eceng Gondokberwarna kuning dan kering serta 10 daun Kiambang kering
E4
Pada Eceng Gondok dan Kiambang tidak tumbuh daun baru dan dua batang Eceng Gondokberwarna kuning.
E5
Pada Eceng Gondok dan Kiambang tidak tumbuh daun baru dan dua daun Eceng Gondoklayu
E6
Pada Eceng Gondok dan Kiambang tidak tumbuh daun baru dan satu batang Eceng Gondokberwarna kuning
E7
Pada Eceng Gondok dan Kiambang tidak tumbuh daun baru
Lampiran 5. Efektivitas penurunan nutrien 1.
Efektivitas Penurunan Total Suspended Solid (TSS) (dalam mg/l.hari) PERLAKUAN WAKTU (HARI)
Eceng
Kiambang
Eceng
Kiambang
Gondok1:2
1:2
Gondok1:0
1:0
0
0.000
0.000
0.000
0.000
4
3.875
2.875
5.875
5.875
8
3.188
3.125
3.563
5.563
12
2.667
2.625
3.917
3.500
16
1.813
1.813
2.875
2.531
20
1.350
1.365
2.225
2.000
24
1.104
1.167
1.813
1.625
2.
Efektivitas Peningkatan pH (dalam mg/l.hari) PERLAKUAN WAKTU (HARI)
3.
Eceng
Kiambang
Eceng
Kiambang
Gondok1:2
1:2
Gondok1:0
1:0
0
0,000
0,000
0,000
0,000
4
0,450
0,625
0,625
0,600
8
0,350
0,363
0,375
0,325
12
0,258
0,267
0,292
0,250
16
0,200
0,213
0,219
0,200
20
0,175
0,175
0,170
0,155
24
0,154
0,138
0,146
0,133
Efektivitas Peningkatan Dissolve Oxygen (DO) (dalam mg/l.hari) PERLAKUAN WAKTU (HARI)
Eceng
Kiambang
Eceng
Kiambang
Gondok1:2
1:2
Gondok1:0
1:0
0
0,000
0,000
0,000
0,000
4
0,996
1,148
0,414
0,498
8
0,863
0,746
0,288
0,814
12
0,609
0,668
0,575
0,624
16
0,366
0,335
0,288
0,319
20
0,260
0,236
0,234
0,319
24
0,219
0,135
0,171
0,175
4.
Efektivitas Penurunan Chemical Oxygen Demand (COD) (dalam mg/l.hari) WAKTU (HARI)
5.
Kiambang 1:0
0
0,000
0,000
0,000
0,000
4
92,350
104,875
116,955
101,925
8
62,875
54,943
59,325
57,630
12
39,133
36,907
40,368
38,977
16
31,438
32,273
31,320
30,175
20
26,152
27,822
25,390
27,060
24
24,020
23,321
22,415
23,246
Efektivitas Penurunan Kandungan Nitrogen Total (dalam mg/l.hari) WAKTU (HARI)
6.
Eceng Gondok1:2
PERLAKUAN Kiambang Eceng 1:2 Gondok1:0
Eceng Gondok1:2
PERLAKUAN Kiambang Eceng 1:2 Gondok1:0
Kiambang 1:0
0
0,000
0,000
0,000
0,000
4
1,450
1,250
2,488
2,313
8
0,759
0,769
1,250
1,269
12
0,467
0,012
0,654
0,642
16
0,566
0,259
0,563
0,625
20
0,560
0,345
0,535
0,543
24
0,617
0,502
0,629
0,658
Efektivitas Penurunan Kandungan Amonia (NH3) (dalam mg/l.hari) WAKTU (HARI)
Eceng Gondok1:2
PERLAKUAN Kiambang Eceng 1:2 Gondok1:0
Kiambang 1:0
0
0,000
0,000
0,000
0,000
4
0,113
0,050
0,037
0,063
8
0,175
0,138
0,097
0,063
12
0,142
0,200
0,083
0,092
16
0,347
0,150
0,234
0,288
20
0,320
0,255
0,228
0,295
24
0,373
0,333
0,350
0,413
7.
Efektivitas Penurunan Kandungan Nitrat (NO3) (dalam mg/l.hari) WAKTU (HARI)
8.
Eceng Gondok1:2
PERLAKUAN Kiambang Eceng 1:2 Gondok1:0
Kiambang 1:0
0
0,000
0,000
0,000
0,000
4
0,003
0,002
0,007
0,009
8
0,016
0,016
0,015
0,016
12
0,012
0,013
0,012
0,012
16
0,009
0,009
0,009
0,009
20
0,008
0,007
0,006
0,007
24
0,007
0,006
0,005
0,006
Efektivitas Penurunan Kandungan Fosfat (PO43-) (dalam mg/l.hari) WAKTU (HARI)
Eceng Gondok1:2
PERLAKUAN Kiambang Eceng 1:2 Gondok1:0
Kiambang 1:0
0
0,000
0,000
0,000
0,000
4
0,039
0,036
0,024
0,039
8
0,023
0,018
0,027
0,026
12
0,019
0,019
0,022
0,020
16
0,012
0,014
0,015
0,014
20
0,009
0,010
0,012
0,011
24
0,010
0,009
0,009
0,009
Lampiran 6. Perubahan kandungan nutrien selama waktu penelitian
1. Perubahan TSS Selama Waktu Penelitian (dalam mg/l) Perlakuan
Waktu (Hari)
Presentase Penurunan
0
4
8
12
16
20
24
37
21,5
9
5
12
10
10,5
69,36%
KIAMBANG 1:2
37
25,5
12
5,5
8
9,7
9
68,60%
ECENG
59
35,5
30,5
12
16
19,5
27,5
60,17%
59
35,5
17
14,5
20,5
17,5
18
65,25%
ECENG GONDOK1:2
GONDOK1:0 KIAMBANG 1:0
2. Nilai pH selama waktu penelitian Perlakuan
Waktu (Hari) 0
4
8
12
16
20
24
6,0
7,8
8,8
9,1
9,2
9,2
9,4
KIAMBANG 1:2
6,0
8,5
8,9
9,2
9,4
9,4
9,5
ECENG
6,0
8,5
9,0
9,5
9,5
9,4
9,5
6,0
8,4
8,6
9,0
9,2
9,1
9,2
ECENG GONDOK1:2
GONDOK1:0 KIAMBANG 1:0
3. Nilai rata-rata DO (mg/l) selama penelitian Perlakuan
Waktu (Hari)
0
4
8
12
16
20
24
0,505
4,490
7,400
7,810
6,360
5,710
5,760
KIAMBANG 1:2
0,505
5,090
6,470
8,520
5,870
5,220
3,740
ECENG
0,505
2,160
2,800
7,410
5,100
5,180
4,600
0,505
2,490
7,010
7,990
5,600
6,880
4,710
ECENG GONDOK1:2
GONDOK 1:0 KIAMBANG 1:0
4.
Nilai COD Limbah Cair Tahu Selama Waktu Penelitian (dalam mg/l)
Perlakuan
Waktu (Hari)
Presentase Penurunan
0
4
8
12
16
20
24
670
300,6
167
200,4
167
146,96
93,52
73,24%
KIAMBANG 1:2
670
250,5
230,46
227,12
153,64
113,56
110,29
72,99 %
ECENG
775
307,2
300,4
290,58
273,88
267,2
237,1
63,95%
775
367,3
313,96
307,28
292,2
233,8
217,1
62,76%
ECENG GONDOK1:2
GONDOK1:0 KIAMBANG 1:0
5. Penyisihan Nitrogen Total (mg/l) Selama Waktu Penelitian Perlakuan Waktu
Presentase
0
4
8
12
16
20
24
Penurunan
24,6
19
20
19
14,6
13,4
9,8
35,58%
KIAMBANG 1:2
24,6
19,6
18,45
24,75
20,45
17,7
12,55
23,10%
ECENG
30
18,8
18,52
24,8
22,3
19,3
14,9
34,77%
30
20,75
19,85
25
22,55
19,15
14,2
32,41%
ECENG GONDOK1:2
GONDOK1:0 KIAMBANG 1:0
6. Perubahan kandungan amonia (mg/l) selama waktu penelitian Perlakuan Waktu (Hari)
Presentase
0
4
8
12
16
20
24
Penurunan
10,4
10,85
11,8
12,1
4,85
4
1,45
38,50%
KIAMBANG 1:2
10,4
10,95
11,2
12,3
6,6
5,3
2,4
31,68, %
ECENG
11,2
11,05
11,97
12,2
7,45
6,65
2,8
27,52%
11,2
10,6
11,5
13,05
9,3
6,35
3,7
24,89%
ECENG GONDOK1:2
GONDOK1:0 KIAMBANG 1:0
7.
Penurunan kandungan nitrat (mg/l) selama waktu penelitian
Perlakuan
Waktu (Hari)
Presentase Penurunan
0
4
8
12
16
20
24
0,339
0,352
0,208
0,192
0,189
0,183
0,178
37,19%
KIAMBANG 1:2
0,339
0,348
0,208
0,186
0,189
0,191
0,191
36,29%
ECENG GONDOK
0,346
0,318
0,225
0,204
0,206
0,217
0,215
33,21%
0,346
0,311
0,219
0,206
0,206
0,204
0,213
34,46%
ECENG GONDOK1:2
1:0 KIAMBANG 1:0
8. Pengaruh perlakuan terhadap kandungan fosfat (mg/l) selama waktu penelitian Perlakuan Waktu (Hari)
Presentase Penurunan
0
4
8
12
16
20
24
0,259
0,104
0,074
0,028
0,060
0,062
0,015
78,11%
KIAMBANG 1:2
0,259
0,112
0,113
0,030
0,035
0,051
0,026
76,38%
ECENG
0,281
0,184
0,064
0,02
0,042
0,042
0,048
76,15%
0,281
0,125
0,074
0,03
0,057
0,061
0,054
75,75%
ECENG GONDOK1:2
GONDOK1:0 KIAMBANG 1:0
Lampiran 7. Baku mutu limbah cair
1.
Standar Baku Mutu Limbah Cair Industri Tahu
2.
Standar Baku Mutu Limbah Cair Untuk Industri Jenis C
Lampiran 8. Perancangan pengolahan limbah tahu
200 kg Kedelai
Industri tahu
Limbah Cair Tahu (Beban = 5000 liter/hari) COD = 3100 mg/liter Biogas = 3159 liter CH4/hari r = 0,75 m (Bayuseno, 2009)
Digester h = 2,8 m (Bayuseno, 2009)
V = 5 m3
Kolam Eceng Gondok dan Kiambang (BPPT, 2009) Sludge
COD = 670 mg/liter Limbah Cair Tahu
Efluen P = 18,3 m ;
L = 3,7 m ; T = 0,6 m
Q = 5 m3/hari t = 8 hari Recycling
Perhitungan perancangan: 1.
Perhitungan biogas Diketahui : COD
= 3100 mg/l
Q
= 5000 l/hari
Asumsi volume gas metana (CH4) per liter COD removed = 0,26 liter CH4/gram COD removed
y
Jari-jari digester limbah buah-buahan pasar (r1) = 0,2675 m Tinggi digester limbah buah-buahan pasar (H1) = 1 m = 5 m3/hari
Volume digester limbah tahu Ditanyakan : a. Volume gas CH4 yang diproduksi?
b. Dimensi digester (reaktor biogas) limbah tahu? Jawaban : a.
COD yang tersisihkan
= 3100 mg/l – 670 mg/l = 2430 mg/l
Beban
= 2430 mg/l x 5000 l/hari x 1 g/1000mg = 12.150 g/hari COD removed
Volume CH4
= 0,26 l CH4/g COD removed x 12.150 g/hari COD removed = 3159 l CH4/hari
b.
Dimensi Digester limbah buah-buahan pasar berdasarkan Bayuseno (2009) Volume digester = ∏.r2.H V = ∏. (0,2675)2. 1 = 0,224 m3 Perbandingan antara Volume digester limbah buah-buahan pasar dengan Volume digester limbah tahu adalah V1
=
(∏.r2.H)1
V2
=
(∏.r2.H)2
0,224
=
3,14. (0,2675)2. 1
5
=
3,14. r2. 3,73r
r
=
0,75
H
=
2,8
Dimensi digester r = 0,75 m ; H = 2,8 m 2.
Perhitungan kolam Eceng Gondok dan Kiambang Diketahui : Q = 5000 liter/hari T = 8 hari H = 0,6 m
P kolam fitoremediasi BPPT (2009) (P1) = 0,5 m L kolam fitoremediasi BPPT (2009) (L1) = 2,5 m T kolam fitoremediasi BPPT (2009) (T1) = 0,6 m Perbandingan dimensi kolam fitoremediasi P = 5 L Ditanyakan : a.
Volume kolam?
b.
Dimensi kolam? Jawaban:
a.
V
= Q/T = 5000 liter/hari x 8 hari = 40.000 liter = 40 m3
b.
Dimensi kolam mengacu pada BPPT (2009) V
= P.L.T = 0,5 m. 2,5 m. 0,6 m = 0,75 m3
Perbandingan antara Volume kolam fitoremediasi BPPT (2009) dengan Volume kolam Eceng Gondok dan Kiambang adalah V1
=
P1. L1. T1
V2
=
P2. L2. T2
0,75
=
0,5. 2,5. 0,6
40
=
5 L2. L2. 0,6
L2
=
3,7
P2
=
18,3
Dimensi kolam Eceng Gondok dan Kiambang adalah P = 18,3 m ; L = 3,7 m ; T = 0,6 m 3.
Recycling air limbah yang digunakan adalah rasio antara limbah segar dengan pengencer dari limbah olahan sebanyak 1/3 bagian limbah segar dan 2/3 bagian pengencer.