“Every day may not be good... but there's something good in everyday.” (Alice Morse Earle)
I
tu quote yang tertulis di kalender yang lagi gue lihat. Kalender ini bikinan kantor, yang sengaja dibagi-
bagikan oleh bos gue, hasil design-nya sendiri, yang tiap bulan isinya words of wisdom macam itu. Mungkin maksudnya bos gue, biar semua pegawainya termotivasi untuk tetap semangat menjalani kerasnya hidup di ibukota. Nice try bos! Tapi ko ini tanggal 25 masih lama ya?? Begitulah every day gue… kantor! Sekarang udah jam 10 malam. And yeah, I’m still in the office right now! Masih terperangkap dengan tumpukan binder yang kalau gue hitung kira-kira ada sekitar 25 binder. Ya lumayan lah kalau lo lagi kesel sama orang, lempar aja tuh binder, pingsan sih kayaknya orang yang kena lemparan lo (mulai mikir barbar kelamaan lihat binder). Udah lima jam, dokumen Anggaran Dasar dalam binderbinder ini gue review, tapi sampai sekarang belum selesai juga. Ini aja baru binder kesepuluh, berarti masih sisa….. satu, dua, tiga….. banyak! Segitu jodohnya apa gue sama binder?
Ceritanya, gue lagi ngaudit suatu perusahaan nasional yang akan nerima pinjaman dari klien gue. Klien gue ini salah satu bank asing di negeri Cina sana. Sebagai lawyer-nya si bank asing, gue dapet tugas untuk periksa semua dokumen legal, salah satunya dokumen Anggaran Dasar segambreng ini. Tujuannya sih untuk make sure apakah perusahaan nasional ini layak atau engga dapetin pinjaman dilihat dari legalitas-nya. Tadinya gue pikir hari ini bakal bisa pulang cepet. Jumat malam loh ini! Taunya ya gitu deh, jangan banyak berharap lah intinya. Kalau kata anak-anak kantor, banyak berharap itu gak cuma berlaku dalam urusan cinta-cintaan, tapi juga berlaku dalam urusan jam pulang kantor. Kalau lo kerja di law firm, jangan banyak berharap lo bisa pulang tenggo kayak orang kantoran lain, banyak berharap bikin mati muda sodara-sodara. Kalau lo adalah lawyers dan status lo masih cungpret 1, don’t you ever think you can swing your happy feet like others do! It won’t happen! Pernah sih gue pulang jam 5 sore, tapi kayaknya jarang banget deh selama karier lawyering gue. Sejarang tanggal 29 di bulan Februari, yang adanya cuma pas tahun kabisat doang. Jadi, buat yang emang pengen banget jadi lawyer, buang jauh-
1
Cungpret a.k.a anak buah. Istilah ini dikenal dan digunakan di kalangan para pegawai level menengah ke bawah. Salah satu ciri utama dari cungpret adalah punya “bos” dan harus nurut sama bos, kalau gak nurut, ya hidup lo selesai.
jauh harapan kalian untuk bisa pulang kantor sebelum matahari tenggelam, kecuali lo yang punya kantor. Sebenernya, normal working hours-nya sama aja kayak kantor lain, yaitu nine to five. Kalau jam 5 udah selesaiin kerjaan atau kerjaannya emang gak harus selesai hari ini, ya bolehboleh aja pulang tenggo. Tapi ini jarang! Sekali lagi gue ingatkan, JARANG! Policy di kantor gue, at least, harus punya 8 Billable Working Hours (BW) sehari, jadi dalam setaun, punya sekitar 1400-1600 BW. BW itu adalah total waktu yang dipakai untuk kerja, yang harus di-input dalam suatu software khusus. Anak-anak kantor biasanya bilang “isi timesheet.” Contohnya gini, misalnya sehari ini gue nge-draft agreement 4 jam, terus legal research 2 jam, dan review Anggaran Dasar 2 jam. Nah, berarti kalau ditotal, gue udah punya 8 BW sehari. Jumlah 8 BW itu yang akan ditagih ke klien, semakin banyak BW, nunjukin semakin produktif kerja. Semakin produktif kerja, semakin tinggi kesempatan untuk naik gaji dan dapet bonus yang bisa bikin berasa anaknya Sultan Brunei. Sebaliknya, semakin gabut, semakin sedikit BW yang ke collect, semakin bikin berasa anak Abah sama Emak, dan kakak-nya Ara yang hilang. Gue pengen pulang cepet hari ini, soalnya udah janji mau minum-minum cantik bareng
si Raya. Bukan miras ya
maksudnya, karena gue anak salehah yang anti minumminuman beralkohol. Duileh! Jam 5 sore, gue udah selesai nge re-touch make up gue. Rambut pun udah blow maksimal. Angin jenis apapun juga gak akan bisa bikin rambut gue berantakan. Udah paten! Dress udah super kece. Pake dress andalan warna biru, dress termahal yang gue punya, itu pun gue beli pas diskon. Kalau gak diskon gak akan gue beli. Tapi tiba-tiba nih, di injury time, handphone gue bunyi, layar handphone nunjukin serangkaian nomor yang gue pengen banget lupa dan selalu bikin trauma, yaitu nomor telepon klien! Telepon klien itu bak makan buah simalakama guys. Kalau film Warkop DKI sih mungkin udah bilang: maju kena, mundur kena. Untuk beberapa detik gue bimbang, antara sok budeg alias gak diangkat atau sok berdedikasi dengan angkat telepon. Gue timbang-timbang, diangkat dan gak diangkat sama-sama berisiko. Risiko gak diangkat adalah si klien akan ngomel ke bos dan bos akan ngomelin lo dengan bilang not reliable. Risiko diangkat, say good bye to your Friday night hangout! Dalam hati gue berdoa, Tuhan, jika tumpukan binder ini adalah jodohku, dekatkanlah, jika bukan, jauhkanlah. Dan jawaban Tuhan gak pake lama, tiba-tiba Tuhan ingetin gue atas status gue yang masih cungpret plus cicilan-cicilan yang belum lunas.
Oke, itu bagian dari petunjuk Tuhan, jawaban dari doa gue. Berarti gue harus angkat telepon si klien ya? Harus banget nih diangkat? “Hi Tom,” sapa gue, sok antusias. Namanya Tom Finlay, legal manager-nya si bank asing. Padahal sebenarnya ngarep tiba-tiba ada gangguan telepon yang bikin telepon mati. Atau tiba-tiba si klien abis pulsa, which itu gak akan mungkin kejadian, karena klien bukan mama minta pulsa. Mulai gak lucu. “Hi Alana,” sapa suara berat penuh keambisiusan yang udah gue kenal, karena orang ini sering nelpon dan biasanya end-up ngerepotin gue. “Alana, I have few comments on the draft agreement you sent yesterday. I am going to email them after this call. Could you please take a look at it and send your comments today?” Hah? Apa barusan dia bilang? “TO-DAAAYY?” nada gue udah naik! Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali. “Yes, today. ‘Cause tommorrow I have a meeting with the debtor.” diucapkan dengan nada penjajah. Jeda beberapa detik, karena gue ambil napas dulu. Namaste. “Ok Tom, will do!” kata gue sok tegar, padahal lemes.
“Thanks Alana.” Telepon ditutup. Gagal lah sudah rencana gue malam ini. Damn you Tom!! Monyong! Kenapa kaga dari tadi siang aja lo minta maliiiihhhhh! Kan udah dari kemarin gue kirim itu draft loan agreement. Rrrrrrrr. Mendadak pengen banting telepon. Eh tapi lupa, itu telepon fasilitas kantor. Setelah beberapa menit sumpah serapah ngatain si Tom, akhirnya gue sadar kalau binder adalah jodoh gue malam ini. Gue berusaha ikhlas meratapi nasib gue dengan buka satu demi satu lembaran-lembaran binder Anggaran Dasar gara-gara comments-nya si Tom itu, dengan iringan lagu dari Pots of Goldnya Mama’s Gun. I don't wanna waste a lifetime chasing pots of gold I don't wanna miss the sunshine standing in the cold I don't wanna be the one who's left behind I wanna catch a glimpse of life Kejadian kayak gini bukan sekali dua kali, dan sebenarnya bukan hal yang aneh di keseharian gue. Ini tuh kejadian yang kesekian kalinya. Seharusnya reaksi gue juga gak harus lebay kayak gini sih. Tapi tetep aja nyebelin, karena artinya gue gagal kongkow barengan si Raya malam ini. Raya adalah teman kuliah gue di Bandung dan sekarang kerja di bank sentral tanah
air. Dia ditempatin di Denpasar dan jarang banget pulang ke Jakarta, setahun sekali palingan pas Lebaran doang. Makanya, gue pengen banget ketemu dia malam ini. Dan gagal! Cian ya. Bukannya nakutin, tapi risiko lainnya kalau mau jadi lawyer, selain lo gak bisa pulang sebelum matahari tenggelam seperti gue bilang, lo juga harus legowo untuk menomorduakan kesenangan pribadi lo. Masalah pulang malam sih udah gak aneh. Sabtu dan Minggu kerja juga hal yang lumrah. Bahkan nginep di kantor pun juga bukan karena kurang kerjaan, tapi kelebihan kerjaan sodara-sodara! Bayangin, gue pernah tiga hari nginep di kantor, kantor udah kayak apartment gue. Tidur, mandi, makan tiga kali, semuanya gue lakuin di kantor. Kalau buka isi lemari gue di kantor, ada selimut, baju, handuk, dan perlengkapan mandi, termasuk shower cap juga ada. Lengkap! Contoh teladan rajin bekerja lainnya adalah ceritanya Ken. Habis solat Idul Adha dan salaman sama Ayah-Ibunya, Ken pergi ke kantor karena salah satu bank umum hits Indonesia yang mau IPO2 kepengen submission ke Indonesia Stock Exchange 2
IPO atau Initial Public Offering, atau bahasa Indonesia-nya adalah penawaran umum perdana. Maksudnya adalah suatu perusahaan yang tadinya merupakan perusahaan tertutup berubah status menjadi perusahaan terbuka, karena ada keikutsertaan pemegang saham publik di perusahaan tersebut. Gampangnya, untuk tahu apakah perusahaan tersebut tertutup atau terbuka, tinggal lihat di belakangnya ada tulisan Tbk atau engga. Kalau ada tulisan Tbk, berarti perusahaan itu sudah IPO dan merupakan perusahaan terbuka.
(IDX), besoknya banget setelah Idul Adha. Bahkan si Ken gak sempet lihat tradisi potong hewan kurban yang gak boleh dia lewatin dari tahun ke tahun. Besoknya, setelah Idul Adha, kebetulan gue datang pagi ke kantor, soalnya gue ada meeting jam 8. Pas gue lewatin breakout area, kok ada cowo lagi anteng makan sate (makan sate pagipagi??) dengan kostum baju koko. “Ngapain lo Ken kok pake baju koko?” “Habis pengajian gue.” Mukanya bete. “Serius lo? Emang pengajian apaan?” tanya gue bloon. “Habis nginep kelleussssss,” kata Ken kesel. “Trus kenapa lo pake baju koko?” “Abis solat Ied, gue langsung ngantor. Trus gak bawa baju ganti, karena gue pikir
gak akan sampe nginep! Eh
taunyaaaaaa…” Ken ngomel. Dan gue pun ketawa ngakak dengerinnya. “Siapa aja?” “Bang Gary sama gue doang.” “Terus kenapa pagi-pagi lo makan sate?” tanya gue bingung. “Dibawain Ibu gue tadi pagi, katanya biar masih berasa Idul Adha-nya,” jawabnya sambil ngunyah sate. Gue gak tahan pengen ketawa lihat mukanya yang udah senggol bacok.
“Hidup emang berat ya Ken…” goda gue sambil tepuktepuk bahu Ken, yang dibales dengan lirikan sinis menuju anarkis. Gue kabur sebelum gue dijadiin hewan kurban beneran. Itulah satu dari sekian banyak curhatan tentang betapa kerasnya lawyering. Terkadang gue juga bingung harus jelasin ke orang-orang, kenapa sih bisa sampai pulang pagi atau bahkan gak pulang? Ya gimana ya, ya karena kerjaannya emang sebanyak itu. Sebanyak itu! Sampai kadang-kadang lo bingung mau kerjain yang mana dulu saking banyaknya. Ibu gue pernah nanya, “Emangnya kamu tuh ngapain aja sih di kantor, sampe nginep-nginep gitu?” Dan gue biasanya cuma bilang, “Ya kerjalah Bu,” karena males berpanjang lebar. Trus Ibu gue, yang tentunya belum puas dengan jawaban gue, akan nanya lagi “Ya Ibu tahu kamu kerja, tapi kerja apa gitu sampai nginep-nginep?” Dan biasanya gue akan bilang “Kayak Sangkuriang Bu. Bikin perahu sehari semalam!” Terus ngeloyor pergi, biar gak ditanya macem-macem lagi, soalnya ribet jelasinnya. Dan Ibu gue tercinta paling cuma geleng-geleng kepala lihat kelakuan gue. Mungkin di dalam hatinya, dia nyesel ngizinin gue masuk Fakultas Hukum. Makin jago ngeles. Kalau di compare, kerjaan gue dan temen-temen di law firm itu bak satpam, bahkan di dunia per-satpam-an aja masih shift-
shiftan, sedangkan dunia per-lawyering-an, maneee adeee shiftshiftan. Ditelepon klien rese misalnya jam 1 malam, disaat mata lo baru aja merem, ya lo harus ikhlas banget angkat telepon, trus ala-ala Putri Indonesia jawabnya juga harus manis. Atau tiba-tiba, lo terima email jam 3 pagi, trus si klien minta lo jawab secepatnya, itu juga lo harus ikhlas! Yang lo harus ikhlas juga, ketika lo sadar bahwa yang bangunin lo bukan alarm, bukan morning call dari pacar atau gebetan lo, tapi telepon si klien yang minta ini itu di pagi buta. Kenapa gak dimatiin aja handphone-nya? Ya coba aja, palingan besok lo adalah bagian dari para tuna karya. Pasti lo pikir gue bak gak punya kehidupan ya? Engga kok, gak sengeri itu keadaannya. Karena extraordinary crime kayak gini gak tiap hari. Biasanya sih kalau kebetulan lagi ada project yang timeline nya tight banget, atau anak-anak kantor biasanya nyebut Project Rara Jonggrang3. Atau lo emang apes banget aja dapet klien yang demanding, sabar-sabar aja kalau dia repotin mulu. Mungkin selama ini lo kurang amal.
3
Diceritakan kalau Rara Jonggrang itu putri cantik jelita dari Kerajaan Baka. Kecantikannya memikat hati seorang pangeran dari Kerajaan Pengging, namanya Bandung Bondowoso yang kemudian melamarnya. Namun, Rara Jonggrang ngasih beberapa syarat ke si pangeran, kalau mau diterima lamarannya, si pangeran harus buat 1000 candi dalam satu malam. Sulit ya mau deketin cewe zaman dulu!
Makanya ikhlas aja lah ya tadi ditelepon si Tom. Lumayan juga buat nambahin BW tahun ini, kali aja bisa jalan-jalan ke Inggris, terus papasan di jalan sama Paul McCartney dan diangkat cucu sama doi. Kenapa harus Opa Paul? Karena Opa Paul bisa nyanyi, bisa nulis lagu, multi-instrumentalist, dan pastinya sebagai cucunya, hidup gue pasti terjamin! Ngarep lagi aje. Seharusnya sebelum jam 12 bisa sih ini agreement gue selesaiin. Kayaknya revisian agreement-nya gak terlalu banyak yang harus di-adjust sama Anggaran Dasar. Malu dong sama notes yang sengaja gue pasang di board depan meja gue, tulisannya gini: I am not a lady, I am a lawyer! Gue heran sendiri, kemasukan setan apa gue dulu, bisabisanya ada notes sosok wanita ibukota pekerja keras kayak gitu. Ya maklumlah, awal masuk law firm, ceritanya masih on fire dan pengen jadi rising star, sampe masang wording motivasi macam begitu di ruangan. Dan sekarang gue geleng-geleng kepala liatnya dan senyum-senyum sendiri, dan ngomong dalam hati kayaknya gue gila deh dulu. Walaupun kerjaan gue ini terkadang bikin patah hati, tapi gue cinta sama kerjaan ini. Gue memang pengen banget jadi lawyer. Gue selalu lihat kalau jadi lawyer itu sebagai sosok yang smart and sharp. Duileh, pisau daging kali tajem. Kalau sekarang mungkin bisa lihat sosok-nya Harvey Specter yang diperanin
Gabriel Macht di serial Suits. Salah satu quote-nya si ganteng ini adalah “That’s difference between you and me, you wanna lose small, I wanna win big.” Dulu belum ada serial Suits, jadi yang benar-benar bikin gue sepengen itu jadi lawyers gara-gara nonton film Erin Brockovich. Film sekitar tahun 2000, yang diperanin Julia Robert. Erin ini sebenarnya bukan lawyer, dia cuma file clerk4 di suatu law firm kecil. Gara-gara effort-nya yang luar biasa dalam investigasi atas kasus pro bono5 terkait pencemaran air di daerah Hinkley, dia berhasil bikin perusahaan raksasa Pacific Gas & Electric (PGE) kalah. PGE dianggap bertanggung jawab atas gangguan kesehatan masyarakat setempat akibat pencemaran air tersebut. Adegan terkeren dalam film itu menurut gue adalah ketika Erin ngundang settlement meeting Lawyers PGE untuk omongin ganti kerugian yang harus dibayar PGE ke masyarakat setempat. Di meeting itu, Erin sengaja kasih air minum yang diambil dari sumur di daerah Hinkley. Karena mungkin haus kali ye, tuh Lawyers PGE mau minum tuh air. Eh pas banget udah pegang gelas, tiba-tiba Erin bilang: “By the way, we had that water brought in especially for you, folks. It came from a well in
4 5
File clerk adalah seseorang yang kerja di bagian pengarsipan. Pro bono adalah pemberian layanan hukum dengan cuma-cuma, alias gratis. Biasanya diberikan untuk masyarakat yang kurang mampu yang sedang terkena kasus hukum.
Hinkley.” Keren kan, dia bilang “It came from a well in Hinkley,” area yang lagi dipermasalahin karena pencemaran oleh PGE. Dan tentunya Lawyers PGE gak jadi minum tuh air. Berarti secara gak langsung, Lawyers PGE juga ngakuin kalau PGE udah mencemari air di Hinkley. Saking gak tahu harus ngapain lagi, akhirnya Lawyers PGE pergi dari ruangan dan bilang: “I think this meeting is over.” Pinter banget kan si Erin ini. Ya, jadi begitulah, salah satu alasan gue kenapa ambil jurusan Fakultas Hukum, biar bisa kayak Erin, smart and sharp, keren aja liatnya. Plus almarhum Ayah gue adalah dosen Fakultas Hukum, jadi dari kecil gue emang udah familiar sama dunia hukum ini. So, doain lah ya gue bisa jadi kayak Erin suatu hari nanti. Amiiin yang kenceng. “Woy! serius bener!” Tiba-tiba seseorang nepuk bahu gue. Bak makhluk gaib yang gak berasa keberadaannya, dia udah berdiri di samping kursi gue. Dia cengengesan dan bawa mug, yang kalau dari baunya sih kayaknya latte. FYI, bos gue yang kelamaan tinggal di Oz, merasa perlu untuk bawa coffee maker-nya ke kantor, alhasil sorak sorai lah anak-anak kantor, karena mereka gak perlu lagi pergi ke coffee shop untuk nikmatin latte dengan harga 40 ribuan. Cukup bikin di kantor dengan modal biji kopi dan susu cair (yang semuanya pun punya si bos, yang secara keterlaluan suka diambilin anak-anak kantor dengan membabi buta, alias gak bersisa) dan hasilnya
gak beda jauh dengan kopi beli di coffee shop. Lumayan banget kan sodara-sodara untuk penghematan. “Ngagetin gue aja lo!” Gue nengok ke arah Abyan, oknum yang mukul bahu gue ini. “Lagian serius banget. Mata lo udah mau keluar tuh. Pelototin layar PC!” “Duh bau latte lo ganggu banget deh. Sini gue minta.” Gue rebut mug latte warna putih itu dari tangannya. “Dasar maling!” katanya pasrah, merelakan mugnya ke tangan gue. Enak juga nih latte. Gue abisin aja ah… “Eh apaan nih, latte gue jangan lo abisin!” Baru sadar dia kalau latte-nya tinggal sedikit, Abyan narik mug latte-nya dari tangan gue. “Yaaah, abis lagi!” katanya shock, menatap nanar mug latte yang berhasil dia rebut dari tangan gue. Gue nyengir gorila. “Ya udah sana lo pergi! Latte lo udah abis. Gak ada gunanya lagi lo disini anak muda!” usir gue seenaknya dan kembali liatin layar PC. “Ibu tiri!” katanya. Gue ketawa. “Lo ngerjain apaan sih?” tanya Abyan, ngintip ke layar PC.
“Revise loan agreement!” “Harus malam ini banget?” tanyanya sok kaget, sok sedih, sok prihatin dengan keadaan gue yang masih kerja. Cih. Fake! “Palsu lo kayak bulu mata!” jawab gue asal. Abyan noyor kepala gue. “Abyan, ganggu deh!” Berusaha bales untuk noyor kepalanya juga, tapi berhubung tinggi gue 155 cm aja gak nyampe, yah gak mungkin dong bales noyor. Segitu aja gue udah usaha banget sampe jinjit. Dia cuma ketawa-ketawa kesenengan bisa gangguin gue. Seperti biasa, gangguan itu kemudian berlanjut dengan seperangkat gangguan lainnya, yaitu ritual nyanyi-nyanyi dia yang gak jelas dan sebagainya. Malam ini dia milih salah satu lagu hits di tahun 90-an. Jump Around-nya House of Pain. Kebayang gak lo, malammalam di kantor nyanyi Jump Around dan loncat-loncat kayak anak kodok. Kurang sarap apalagi coba bocah ini. I came to get down So get out your seats and jump around Jump around Jump up, jump up and get down Sadar konser solonya gak berhasil, kemudian dia nyoleknyolek tangan gue, goyangin kursi gue, pokonya ngelakuin hal yang gak bantu gue sama sekali.
“Na, hoy!” katanya berulang kali. “Na!” Masih gue diemin. Lima belas menit kemudian… “Na!” Lama-lama ganggu juga ya ini manusia. Udah gue diemin masih aja gak sadar. Balik kek ke ruangannya. Kan jadi gak konsen gue. Gak selesai-selesai nih kerjaan! “Na, kalau gue pencet Ctrl Alt Delete gimana?” coleknya. Gue nengok ke arahnya, ngambil satu binder terdekat dan ngacungin tuh binder ke arah dia. “Pergi gak lo?” Dia kemudian lari tunggang langgang, lintang pukang, ninggalin ruangan gue. Takut dilempar binder.