Evaluasi Kinerja Kabinet Gotong Royong: INDEF Policy Rating (INPoRat) Oleh: Iman Sugema
I.
Pendahuluan INDEF Policy Rating (INPoRat) merupakan suatu tradisi baru yang digulirkan
untuk memperkaya wacana publik terutama mengenai kinerja pemerintah. Walaupun evaluasi tahunan secara ritual diadakan dalam sidang tahunan MPR, akan tetapi evaluasi yang sifatnya obyektif oleh suatu lembaga riset independen mungkin sangat dibutuhkan sebagai suatu reference bagi masyarakat. Bahkan di beberapa negara maju, ekonom secara khusus tetapi informal membentuk semacam kabinet bayangan d i ma nas e mu ak e bi j a k a ne k on omia ka ns e na nt i a s adi kr i t i s iol e h“ me nt e r i -menteri b a y a n g a n ” . INPoRat merupakan ringkasan atas suatu review terhadap kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah selama satu tahun terakhir.
Karena INPoRat
merupakan ringkasan (summary), tentunya ia harus didukung oleh suatu seri kajian yang komprehensif sebelumnya.
INDEF memiliki seri kajian kebijakan yang
komprehensif yang meliputi Kajian Dwi Bulanan (KDB), Kajian Tengah Tahun (KTT), Proyeksi Ekonomi Indonesia (PEI), dan jurnal BEP (Buletin Ekonomi Politik). Berdasarkan seri kajian inilah INPoRat dibuat dengan menggunakan variable-variable yang terukur dan obyektif. Selain itu penentuan skor juga didasarkan atas Delphi methods antar peneliti di INDEF maupun di luar INDEF, terutama yang berkaitan dengan bidang keahlian peneliti. INPoRat rencananya akan diterbitkan setiap akhir tahun mulai tahun 2002 ini. INPoRat dirancang untuk memudahkan publik dalam memetakan permasalahan dan strategi kebijakan ekonomi sehingga kita dapat menilai apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan cara membandingkannya dengan apa yang seharusnya dilakukan. INPoRat kali ini sengaja diluncurkan di bulan Ramadhan sebagai simbol komitmen INDEF terhadap “goode c onomi cgov e r nanc e ”dan niat yang tulus untuk membantu bangsa ini secepatnya keluar dari krisis.
1
II.
Masalah: Persepsi Publik Wacana publik tentang efektifitas tim ekonomi Kabinet Gotong Royong
(KGR) dalam menghantarkan Indonesia untuk secepatnya keluar dari krisis yang telah menggerogoti ekonomi dan kehidupan social-politik selama lima tahun terakhir ini didominasi oleh pandangan bahwa anggota KGR bertindak sangat lamban dan tanpa koordinasi yang penuh. Persepsi ini secara sadar banyak digaungkan oleh kalangan akademisi dan politisi baik secara kolektif maupun secara perorangan yang pada gilirannya diterima sebagai suatu realitas oleh masyarakat.
Yang jadi masalah
kemudian adalah bahwa sejauh mana persepsi ini sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Di sinilah sebetulnya INDEF Policy Rating dapat berperan dalam
menyelaraskan persepsi dan kenyataan dengan menyuguhkan tool of analysis yang relatif sederhana dan mudah dimengerti. Akan tetapi sebelum kita melakukan mapping tentang kinerja tim ekonomi dari berbagai aspek melalui INPoRat, ada baiknya kita melakukan ulasan tentang persepsi yang berkembang di masyarakat. Berikut adalah uraiannya. Ekonomi di bawah pemerintahan yang sekarang tidak mengalami perbaikan yang nyata dibandingkan sebelumnya, meskipun kurs rupiah relatif berhasil dikendalikan oleh Bank Indonesia menjadi relatif lebih stabil. Kondisi ekonomi pada umumnya dalam keadaan tidak baik, terutama pertumbuhan ekonomi, perkembangan investasi, kondisi fiskal, serta keadaan keuangan dan perbankan. Dengan demikian, prestasi ekonomi pada tahun kedua pemerintahan sekarang ini tidak menghasilkan perbaikan ekonomi yang cukup memadai untuk sedikit saja memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan mempertahankan kesempatan kerja. Analisis yang cukup kerap dari banyak kalangan membuktikan bahwa selama ini tim ekonomi tidak mampu, menyelesaikan proses pemulihan ekonomi dan memperbaiki perekonomian secara lebih luas. Kondisi perekonomian masih terus dalam ketidakpastian, terutama karena terkait dengan masalah keamanan, seperti dalam kejadian pemboman beruntun sejak tahun 1998 sampai tahun 2002 ini. Masalah pertumbuhan ekonomi, investasi dan pengangguran adalah gambaran yang paling suram di bawah kabinet gotong royong ini. Sentuhan kebijakan ekonomi tidak jelas sehingga memberikan signal yang tidak jelas pula pada masyarakat dan 2
kalangan investor di dalam maupun di luar negeri. Signal tersebut menjadi lebih buruk lagi ketika pemerintah sama sekali gagal menyediakan jasa publik yang paling mendasar, yakni keamanan. Meskipun Polisi sudah cukup sukses membongkar jaringan pelaku pemboman di Bali, tetapi kondisi keamanan sejak dua tahu terakhir ini tetap buruk. Faktor keamanan juga menjadi ganjalan serius yang menghalangi proses pemulihan ekonomi. Justru persoalannya sampai saat ini karena faktor ekonomi dan faktor nonekonomi tidak saling mendukung. Kondisi investasi di Indonesia betul-betul terpuruk. Indonesia tidak mempunyai dan tidak dapat mengkomunikasikan substansi cetak biru dari kebijakan dasar, yang secara konsisten mesti dilakukan melalui kebijakan-kebijakan yang konsisten dan berkesinambungan. Dengan demikian, masyarakat tidak melihat arah kebijaka menuju pemulihan ekonomi, kecuali apa yang disuapkan IMF dalam letter of intent, yang sudah terbukti tidak menyembuhkan selama lima tahun terakhir ini. Karena itu, sudah mulai banyak yang membandingkan tim ekonomi sekarang dengan tim ekonomi di bawah Soeharto. Sampai sekarang tim ekonomi hanya melaksanakan serpihan-serpihan kebijakan di dalam letter of intent, yang sudah kadaluarsa sejak masa akhir kejatuhan Soeharto, Habibie, maupun Gus Dur. Tidak ada perencanaan yang komprehensif. Padahal dua tahun setelah Soeharto berkuasa di tahun 1967, pemerintahan Orba keluar dengan Repelita I. Pemerintahan sekarang sudah memasuki tahun kedua. Tetapi sejauh ini tidak ada tindakan kolektif dari perencanaan yang komprehensif tersebut. Dengan sumberdaya manusia di dalam birokrasi, perguruan tinggi dan m asyarakat luas, serta pengetahuan yang jauh lebih tinggi seharusnya pemerintah sudah bekerja dengan perencanaan tersebut, yang jelas arahnya tidak lain untuk pemulihan ekonomi. Masalah yang paling ditunggu publik dan investor bukan hanya kebijakan hari per hari, minggu per minggu atau tahun per tahun, tetapi menyangkut arah serta tujuan yang jelas dan tujuan yang akan dicapai. Tetapi harapan ini tidak berhasil diperoleh karena masalah kepemipinan dan komunikasi yang sangat buruk dengan publik Faktor komunikasi pada tingkat kabinet juga sangat tidak memadai, kalau tidak hendak dikatakan buruk. Dengan demikikan, publik tidak pernah merasa diyakinkan oleh pemerintah, yang setengah acuh terhadap kebutuhan kebijakan yang
3
jelas, terutama dalam jangka pendek maupun jangka menengah dan panjang. Karena itu, tidak aneh jika tingkat kepercayaan publik justru terus merosot karena kelemahan kepemim pinan pada dua tingkat tersebut, termasuk masalah komunikasi yang payah. Sebagai contoh, investasi yang sangat buruk dan terus merosot dibiarkan begitu saja tanpa inisiatif yang berarti. Ini merupakan contoh kenaifan dalam pemerintahan, yang menghadapi persoalan berat, tetapi berperilaku secara kolektif seperti biasa-biasa saja. Tidak tampak sense of urgency selama ini sehingga masalah yang terus hadir semakin bertumpuk-tumpuk tanpa penyelesaian. Inilah yang menyebab kan kondisi ekonomi tetap tidak pasti, tumbuh rendah dan tidak mendapat dukungan kepercayaan publik.
III.
INDEF Policy Rating
Evaluasi Umum INPoRat kali ini menyuguhkan gambaran yang buram mengenai kebijakan ekonomi yang ditempuh oleh KGR. Tentunya hal ini menyiratkan bahwa persepsi yang selama ini berkembang dimasyarakat yaitu: pemerintah tak mampu berbuat maksimal atau lebih tepat lagi untuk dikatakan bahwa Kabinet Gotong Royong hanya tidur. Hal ini ditunjukan dengan skor performance (kinerja) yang hanya 4.7 dan skor effort (upaya) yang hanya 3.1 (Lihat Tabel 1). Untuk kondisi pemerintahan yang kondusif terhadap perekonomian nasional seharusnya skor performance dan effort minimal 6. Artinya skor yang sedemikian rendah menunjukan tidak terjadinya upaya yang efektif untuk menggerakan roda perekonomian untuk bisa keluar dari krisis secara sistematis. Hal yang menarik untuk dikaji adalah lebih rendahnya skala effort dibandingkan dengan performance. Hal ini menunjukan dua hal sebagai berikut. Pertama, performance yang dicapai lebih banyak tergantung pada upaya masyarakat untuk secara individual masing-masing memecahkan masalahnya. Dengan demikian roda perekonomian lebih banyak digerakan oleh kemauan dan kemampuan masyarakat untuk bangkit dari keterpurukan. Artinya selama ini pemerintah telah tidur. Kedua, skor effort yang rendah menyiratkan bahwa terdapat kecenderungan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang counter productive. Kebijakan ekonomi 4
yang cenderung menghambat misalnya adalah tidak adanya konsistensi dalam perencanaan dan implementasi baik dalam tingkat makro maupun mikro. Untuk menelaah lebih detil mengenai aspek-aspek yang menyebabkan rendahnya kedua indikator tersebut, detail penilaian disampaikan sebagai berikut. Performance diwakili oleh tiga grup yaitu growth factors, welfare dan stability. Dilain pihak effort diwakili oleh empat grup indikator yaitu stabilisasi dan stimulasi, welfare, restrukturisasi, dan konsistensi. Berikut adalah uraian detilnya. Growth Factors Growth factors dimaksudkan untuk menangkap kinerja ekonomi secara keseluruhan dan dekomposisi factor-faktor yang mengakibatkan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Growth factors meliputi tiga variabel yaitu pertumbuhan GDP, pertumbuhan total factor productivity (TFP), dan investment climate. GDP growth.
Pertumbuhan ekonomi secara kotor biasanya diukur dengan laju
pertumbuhan produk domestik bruto (GDP). Pertumbuhan pada triwulan pertama dan kedua tahun 2002 hanya mencapai masing-masing 2,24% dan 3,51%. Pertumbuhan pada kuartal ketiga dan keempat yang diproyeksikan oleh INDEF hanya akan berkisar antara 3,2% dan 3,5%. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi selama tahun 2002 hanya berkisar antara 3,1% sampai 3,3 %.
Perlu diketahui bahwa
pertumbuhan yang terjadi pada tahun 2001 hanya 3.3%.1 Di lain pihak, potensi pertumbuhan natural Indonesia yang telah kami estimasi berdasarkan model ekonometrik adalah sekitar 5,8%, itupun tanpa adanya investasi asing neto. Berdasarkan skala INPoRat, pertumbuhan sebesar itu hanya patut diberi skor 4 dari skala 10. Total Factor Productivity (TFP).
TFP merupakan salah satu ukuran mengenai
perkembangan produktifitas faktor produksi. TFP diukur dengan residual dari fungsi produksi neoklasik ala Solow-Swan.
Dari estimasi tersebut diperoleh gambaran
bahwa TFP growth selama 2001-2002 hanya berkisar 0.29%. Ini berarti pertumbuhan produktifitas memiliki kontribusi sebesar 0,29% saja atas total pertumbuhan ekonomi. Hal ini menggambarkan bahwa telah terjadi stagnasi dalam pertumbuhan 1
Untuk diskusi yang lebih mendetail mengenai pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dalam INDEF (2002) yang be r j ud ul“ Du ni aUs a ha ,Te r o r i s meda nPe r s a i n g a nUs a ha ” .
5
produktifitas. Di negara-negara maju, TFP growth-nya adalah sekitar 1,6%. Perlu diketahui bahwa rata-rata pertumbuhan TFP sebelum krisis adalah sekitar 0,78% per tahun. Jadi dengan rendahnya TFP growth pada 2002, skor TFP hanya layak diberi skor 4 dari skala10. Investment Climate (Iklim Investasi). Baik buruknya iklim investasi biasanya diukur melalui indikator perkembangan laju investasi dan rasio investasi domestik kotor (gross domestic investment). Pada semester pertama 2002 telah terjadi penurunan tingkat investasi bersih sebesar 38,1%. Hal ini menggambarkan bahwa iklim investasi semakin memburuk dan semakin lemahnya investor confidence. Walaupun assetasset BPPN telah dijual secara fire sale, tidak ada bukti terjadinya avalanche dalam investasi asing di Indonesia. Hal ini juga menyiratkan bahwa penjualan asset negara tidak akan mengalami perbaikan dalam beberapa periode yang akan datang. Hal ini juga diperparah oleh kondisi stabilitas keamanan pasca tragedi Bali. Dari sisi GDI, tampaknya potret investasi juga akan semakin buram. Hal ini ditunjukan dengan angka GDI yang tidak beranjak dari 18%-19% dari GDP. Padahal dalam periode sebelum krisis, angka GDI berkisar antara 27% sampai 31%. Mengingat semakin buramnya potret investasi di Indonesia, maka skor yang diberikan adalah skor 1 dari skala 10. Dengan demikian skor rata-rata untuk growth factor hanya 3.0 dari skala 10, yang secara tidak langsung menunjukan rendahnya prospek pertumbuhan ekonomi. Dari uraian di atas juga dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber pertumbuhan tidak akan berasal dari investasi baru maupun dari pertumbuhan produktifitas. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi akan melulu bersumber dari pertambahan penyerapan tenaga kerja. Hal ini konsisten dengan temuan bahwa tingkat pengangguran selama tahun 2001 menurun secara drastis, walaupun tingkat pertumbuhan ekonomi sangat rendah. Welfare Performance Aspek kesejahteraan (welfare) dikaji dari dua aspek, yaitu berkurangnya tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan. Apabila terjadi penurunan dalam kedua indikator tersebut, maka pertumbuhan ekonomi akan disertai dengan perbaikan dalam distribusi pendapatan dan tingkat kesejahteraan.
6
Unemployment rate (tingkat pengangguran). Tingkat pengangguran pada tahun 2001 menunjukkan penurunan sebesar 0,6%, yaitu dari 6,1% pada tahun 2000 menjadi 5,5% pada tahun 2001. Penurunan yang lebih drastis ditunjukkan oleh angka pengangguran terselubung dari 35,2% pada tahun 2000 menjadi 30,6% pada tahun 2001. Perlu dicatat bahwa penurunan angka pengangguran tersebut terjadi pada saat pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 3,3%. Artinya, pertumbuhan yang rendah tersebut didistribusikan kepada tenaga kerja dengan proporsi yang lebih besar. Apabila kecenderungan tersebut terus berlangsung selama tahun 2002 yang pertumbuhannya diproyeksikan akan berada pada level 3,1% - 3,3%, maka penurunan jumlah angka pengangguran yang terjadi pada tahun 2002 akan kurang lebih sama dengan tahun 2001. Mengingat hal tersebut, maka pertumbuhan ekonomi dicirikan dengan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi berasiosiasi dengan pengurangan jumlah pengangguran. Berdasarkan fakta tersebut dan dengan menggunakan skala INPoRat, maka skor yang dicapai adalah skor 6 dari skala 10. Tingkat Kemiskinan. Selama krisis telah terjadi peningkatan jumlah orang miskin dari sekitar 13% pada tahun 1996 menjadi sekitar 25% pada tahun 1999. Pada tahun 2001 jumlah orang miskin telah berkurang secara drastis menjadi hanya sekitar 17%, termasuk didalamnya kategori vulnerable. Walaupun terjadi pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah, tetapi ternyata jumlah orang miskin mampu dikurangi secara signifikan. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan untuk menekan inflasi yang merupakan salah satu faktor yang menentukan biaya hidup (cost of living). Pada tahun 2002, tingkat inflasi diperkirakan akan berada di bawah sepuluh persen seperti halnya pada tahun 2001. Karena kemiripan tingkat pertumbuhan dan inflasi pada kedua tahun tersebut, maka jumlah orang miskin pada tahun 2002 juga akan berkurang seperti halnya pada tahun 2001. Berdasarkan hal tersebut, maka skor yang diberikan untuk pengurangan tingkat kemiskinan adalah skor 7 dari skala 10. Dari uraian di atas terdapat suatu paradoks yaitu pertumbuhan yang rendah tetapi diikuti dengan perbaikan kesejahteraan yang sangat signifikan. Hal ini dapat menunjukkan dua hal sebagai berikut. Pertama, roda ekonomi lebih banyak digerakkan oleh sektor-sektor yang intensif tenaga kerja, sehingga pertumbuhan diikuti dengan penyerapan tenaga kerja yang lebih banyak. Kedua, sektor UKM yang
7
sampai saat ini tidak pernah disentuh secara favourable oleh kebijakan pemerintah, ternyata mampu menyelamatkan perekonomian Indonesia dari kemungkinan yang lebih buruk, yaitu tingginya tingkat pengangguran secara persistent. Stability. Stabilitas perekonomian diukur melalui 4 (empat) indikator, yaitu inflasi, nilai tukar, keseimbangan eksternal dan kesinambungan fiscal. Walaupun masih banyak indikator stabilitas yang lainnya yang juga perlu diperhitungkan, Indef memandang keempat faktor inilah yang paling krusial. Inflasi. Inflasi merupakan alat ukur meningkatnya biaya hidup, atau dengan kata lain tingkat inflasi memiliki implikasi sosial, yaitu dari sudut meningkatnya angka pengangguran, terutama yang disebabkan oleh jatuhnya kategori orang yang berada di sekitar garis kemiskinan menjadi di bawah garis kemiskinan. Angka inflasi pada tahun 2002, dari bulan Januari sampai dengan bulan September (9 bulan) hanya sekitar 6,2%. Kalau seandainya kecenderungan ini terus berlanjut, maka tingkat inflasi sampai dengan akhir tahun 2002, mungkin akan berada tetap dalam single digit. Secara historis angka inflasi di Indonesia sebelum krisis berkisar antara 9% sampai dengan 11%. Angka inflasi yang berada di bawah 5%, seperti halnya negara-negara tetangga, Singapura, Malaysia dan Thailand, secara historis sulit untuk dicapai Indonesia. Oleh karena itu, menekan inflasi di bawah 10% merupakan prestasi tersendiri. Dengan demikian skor untuk Inflasi adalah skor 6 dari skala 10 atau sedikit di atas rata-rata. Exchange Rate (Nilai Tukar). Nilai tukar selama masa krisis, terutama tahun 1998 menunjukkan fluktuasi yang sangat tajam. Dalam perkembangannya nilai tukar selama tahun 2001 dan tahun 2002, menunjukkan stabilitas walaupun arah pergerakannya secara day to day masih sulit untuk diprediksi secara akurat. Akan tetapi fluktuasinya semakin rendah yang ditunjukkan oleh koefisien variasi yang semakin menurun. Bahkan setelah tragedi Bali, secara mengejutkan fluktuasi harian tidak lebih dari 3%. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen nilai tukar telah mengalami perbaikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Tekanan terhadap nilai tukar bisa dikurangi, karena otoritas moneter telah berhasil untuk mengendalikan pertumbuhan uang beredar. Pertumbuhan base money sampai bulan
8
September 2002 mampu ditekan menjadi 9,12% dari kondisi sebelumnya yang selalu berada di atas 15%. Mengingat hal ini maka skor yang diberikan untuk manajemen nilai tukar adalah skor 8 dari skala 10. Keseimbangan Eksternal. Keseimbangan eksternal dalam kasus ini diukur dengan posisi balance of payments (BOP). Perkembangan BOP ditandai dengan defisit dalam transaksi modal dan surplus dalam neraca transaksi berjalan. Akan tetapi perbedaan antara keduanya menunjukkan kecenderungan yang semakin menyempit. Dalam ekonomi terbuka dengan sistem nilai tukar yang mengambang (floating rate), keseimbangan BOP akan sama dengan nol. Oleh karena itu, apabila keseimbangan tersebut tercapai tanpa intervensi dari pemerintah, maka BOP berada pada keseimbangan yang normatif. Kondisi defisit merupakan deviasi negatif dari kesimbangan normatif. Pada tahun 2002, diperkirakan defisit BOP akan mencapai 0,5% dari GDP. Kondisi defisit ini diperkirakan akan disebabkan oleh melemahnya ekspor dan meningkatnya kewajiban pembayaran hutang luar negeri. Mengingat hal tersebut, skor yang diberikan untuk keseimbangan eksternal adalah skor 5 dari skala 10. Fiscal Sustainability (Kesinambungan Fiskal). Kesinambungan fiskal merupakan aspek terpenting dalam menjamin stabilitas ekonomi makro dan kepastian investasi. Kondisi yang tidak sinambung akan menciptakan resiko ekonomi makro dan rendahnya pengeluaran investasi publik. Untuk menguji kesinambungan fiskal, Indef telah melakukan uji ekonometrik yang menunjukkan bahwa posisi fiskal pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2004, akan selalu dibayang-bayangi oleh kemungkinan terjadinya krisis likuiditas fiskal. Hal ini disebabkan oleh masih tingginya beban pembayaran hutang luar negeri dan dalam negeri. Debt service ratio (DSR) pada tahun 2002 dan tahun 2003 diperkirakan akan mencapai 7,95% dan 7,29%. Namun kondisi ini akan lebih buruk lagi pada tahun 2004 yang diperkirakan akan mencapai sekitar 8,1% dari GDP. Kalau DSR dihitung berdasarkan ratio terhadap penerimaan domestik maka angkanya akan mencapai sekitar 43% sampai dengan 45%. Mengingat hal tersebut, dalam tiga tahun ke depan ada resiko bahwa pendapatan pajak akan terus dinaikkan sementara anggaran pembangunan dan subsidi akan semakin dipotong lebih besar. Karena kondisi fiskal dalam tiga tahun mendatang tidak berkesinambungan, maka skor yang diberikan untuk kesinambungan fiskal adalah skor 3 dari skala 10.
9
Dari uraian di atas, tampak bahwa terdapat dua factor yang mendukung terwujudnya stabilitas ekonomi makro, yaitu rendahnya inflasi dan semakin stabilnya nilai tukar. Akan tetapi dari sudut fiskal kemungkinan terjadi instabilitas ekonomi makro masih akan mengancam selama tiga tahun mendatang. Hal ini menggambarkan bahwa stabilitas ekonomi makro secara umum masih menjadi suatu tanda tanya besar. Stabilisasi dan Stimulasi Manajemen ekonomi makro pada periode krisis dimulai dengan stabilisasi yang kemudian diikuti dengan program-program yang mendukung stimulasi ekonomi untuk mempercepat terjadinya recovery ekonomi. Program-program tersebut dilakukan melalui instrumen moneter dan fiskal. Fiskal. Kebijakan fiskal yang tepat untuk dilaksanakan adalah yang berorientasi pada Keynesian Reflationary. Pada intinya kebijakan tersebut bertujuan untuk mendorong perekonomian dari sisi permintaan dengan memberikan injeksi berupa peningkatan anggaran belanja pemerintah. Oleh karena itu indicator yang digunakan untuk menunjukkan apakah kebijakan tersebut diadopsi atau tidak adalah dengan melakukan pengujian terhadap efek kontraksi atau ekspansi dari anggaran. Indikator yang paling banyak digunakan adalah primary balance, yaitu defisit anggaran dikurangi beban pembayaran bunga utang. Walaupun dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2002, overall balance selalu menunjukkan adanya defisit anggaran antara 1,5% sampai dengan 3,7% dari GDP, namun hal ini tidak menunjukkan adanya efek ekspansioner dari anggaran. Sebaliknya primary balance selalu menunjukkan angka surplus 1% sampai dengan 2,8% untuk periode yang sama . Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan fiskal yang selama ini dianut bersifat kontraktif, atau dengan kata lain tidak menunjang terhadap proses percepatan pemulihan ekonomi. Sehingga skor yang diberikan untuk stimulasi fiskal adalah hanya skor 2 dari skala 10. Moneter. Kebijakan moneter dalam system ekonomi terbuka dan floating exchange rate
sebetulnya meruapakan kebijakan yang paling efektif untuk stabilisasi dan
stimulasi ekonomi makro. Akan tetapi data empiris menunjukkan bahwa kebijakan moneter tidak sepenuhnya digunakan untuk mencapai hal tersebut. Hal ini tampak dari 3 (tiga) indicator berikut ini. Pertama, terms structure (TS) menunjukkan adanya gejala peningkatan selama tahun 2002 dibandingkan dengan tahun 2001. Pada tahun
10
2001 nilai TS hanya sekitar 2,2%, tetapi pada Agustus 2002 telah mencapai 4,1%. Hal ini menunjukkan bahwa ekspektasi pelaku pasar cenderung memberikan sinyal akan adanya peningkatan suku bunga dalam jangka panjang. Apabila hal ini benar terjadi, maka kemungkinan pemulihan ekonomi akan sedikit terhambat oleh kenaikan suku bunga. Kedua, Interest Diferential (ID) menunjukkan tingkat persistensi yang relatif tinggi, walaupun suku bunga domestik dan internasional menunjukkan kecenderungan penurunan dalam jangka pendek. Hal ini menggambarkan bahwa investasi di Indonesia masih sangat beresiko, sehingga penurunan ID relatif sulit untuk dilakukan. Ketiga, Commercial Spread (CS) yaitu selisih antara suku bunga kredit dengan suku bunga simpanan menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Pada tahun 2001, CS hanya berkisar 1,9%, tetapi pada Agustus 2002 CS telah mencapai 4,2%. Peningkatan CS menunjukkan adanya peningkatan resiko kredit yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap investasi dan penyaluran kredit perbankan. Ketiga indicator tersebut menunjukkan bahwa stimulus moneter menjadi sulit untuk dilakukan walaupun otoritas moneter telah mengupayakan hal tersebut. Jadi skor yang dapat diberikan untuk stimulus moneter adalah skor 5 dari skala 10. Welfare Effort. Upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat diukur melalui 4 (empat) indicator, yaitu program employment generation, social safety net, social transfer dan keberpihakan. Keempat dindikator tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Employement generation. Penciptaan lapangan kerja merupakan aspek yang paling strategis dalam mengurangi dampak negatif dari krisis yang berkepanjangan. Program-program padat tenaga kerja yang disponsori oleh lembaga pemerintah, biasanya merupakan prioritas yang dilakukan oleh pemerintah di berbagai negara untuk menghindari pengangguran terbuka yang membahayakan stabilitas social politik. Akan tetapi di Indonesia program semacam ini sama sekali tidak mendapat perhatian. Hal ini sangat boleh jadi disebabkan oleh rendahnya kapasitas fiskal untuk membiayai program-program tersebut. Sebagaimana diulas sebelumnya posisi fiskal berada pada ambang yang tidak berkesinambungan, karena masalah beban utang yang sangat besar. Di lain pihak, data ternyata menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja mengalami peningkatan pada tahun 2001 dan tahun 2002. Hal ini berarti bahwa secara social ada mekanisme di luar pemerintahan untuk berbagi kesulitan dalam
11
menghadapi krisis. Oleh karena rendahnya upaya pemerintah, maka skor yang diberikan untuk factor penciptaan lapangan kerja hanya skor 4 dari skala 10. Social Safety Net. Program Jaring Pengaman Social (JPS) merupakan suatu mekanisme yang dapat melindungi kelompok miskin dan vulnerable dari keterpurukan yang lebih dalam akibat krisis. Namun sayangnya di Indonesia, program JPS ini tidak dapat berlanjut karena masalah fiduciary dan transparansi. Akibatnya hanya operasi-operasi JPS yang bersifat terbatas yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Sampai saat ini program JPS hanya terbatas pada pemberian subsidi beras untuk kelompok miskin di daerah tertentu melalui Operasi Pasar Swadaya Mandiri (OPSM). Dengan demikian upaya pemerintah untuk mengembangkan JPS ini hampir tidak ada. Karena itu skor yang diberikan untuk factor Social Safety Net hanya skor 2 dari skala 10. Social Transfer. Selain JPS yang sangat rentah terhadap manipulasi dan korupsi, program perlindungan masyarakat dapat dilakukan melalui social transfer secara tidak langsung, yaitu berupa subsidi tidak langsung atas komoditi-komoditi strategis. Akan tetapi karena rendahnya kapsitas fiskal, justru yang terjadi adalah pengurangan subsidi untuk BBM, dan non-BBM. Artinya, komitment pemerintah untuk melindungi sebagian penduduk yang kurang beruntung menjadi semakin rendah. Dengan demikian skor yang diberikan untuk factor social transfer adalah skor 2 dari skala 10. Keberpihakan. Perlindungan terhadap kelompok miskin dapat juga dilakukan melalui program-program pembangunan dan atau kebijakan pembangunan yang berpihak pada kelompok dimaksud. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan insentif bagi pengembangan sektor-sektor yang didominasi oleh Usaha Kecil (mikro). Akan tetapi justru yang dilakukan oleh pemerintah kurang menunjukkan keberpihakannya pada kelompok tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya skema khusus yang secara efektif berjalan. Karena rendahnya komitmen pemerintah, maka skor yang diberikan adalah skor 2 dari skala 10. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa upaya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan terutama perlindungan terhadap kelompok miskin dan vulnerable tidak ditunjukkan secara serius melalui program-program yang efektif. Secara keseluruhan welfare effort pemerintah hanya bernilai skor 2,5 dari skala 10.
12
Restrukturisasi Ekonomi Program restrukturisasi ekonomi bertujuan untuk menciptakan struktur ekonomi yang lebih
sehat
dan
memberikan
landasan
bagi
pertumbuhan
yang
lebih
berkesinambungan. Restrukturisasi yang diadopsi pemerintah dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) program, yaitu restrukturisasi perbankan, divestasi saham pemerintah dan restrukturisasi korporasi. Restrukturisasi Perbankan. Ada tiga alasan pokok untuk menilai bahwa restrukturisasi perbankan yang dilakukan oleh BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) telah gagal total. Pertama, kinerja bank-bank yang direkapitalisasi tidak menunjukkan kinerja yang memuaskan. Hal ini tampak dari memburuknya kondisi finansial dan kecukupan modal (CAR) beberapa bank yang dimerger menjadi Bank Permata. Selain itu secara rata-rata Bank BUMN dan Bank Swasta yang telah direkapitalisasi menunjukkan adanya peningkatan NPL (non performing loans), penurunan modal, dan penurunan pendapatan atau NIM (net interest margin). Kedua, LDR (loan to deposit ratio) sampai saat ini tidak mengalami peningkatan yang berarti pada bulan Agustus 2002, LDR hanya mencapai 40% saja dibandingkan dengan periode sebelum krisis yang dapat mencapai 86%. Artinya dengan rekapitalisasi, fungsi intermediasi perbankan belum sepenuhnya dapat dipulihkan. Ketiga, penjualan asset-asset perbankan yang dikuasai BPPN cenderung mengalami penurunan harga. Artinya semakin lama asset dikuasai BPPN semakin memburuk nilainya atau value added yang diberikan BPPN atas asset adalah negatif. Berdasarkan kinerja BPPN, maka effort untuk restrukturisasi perbankan hanya diberi skor 3 dari skala 10. Divestasi Saham. Upaya untuk melakukan pengurangan peran pemerintah dalam menggerakkan roda perekonomian biasanya dilakukan melalui upaya privatisasi BUMN. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan struktur ekonomi yang lebih kompetitif dan berbasis pada ekonomi pasar.
Tetapi untuk kasus Indonesia
pertimbangan tersebut menjadi kurang relevan, karena privatisasi lebih didorong oleh kebutuhan pemerintah untuk menutup defisit anggaran. Oleh karena itu privatisasi mungkin tidak diikuti dengan perbaikan struktur pasar. Deviasi semacam ini menyebabkan skor yang diberikan untuk factor divestasi saham hanya skor 3 dari skala 10.
13
Restrukturisasi Korporat. Ada 3 (tiga) alasan pokok yang menyebabkan Indef menilai bahwa program restrukturisasi korporasi tidak berjalan mendukung pemulihan ekonomi. Pertama, restrukturisasi utang luar negeri swasta berjalan secara mandiri oleh swasta, tanpa dukungan pemerintah. Kebanyakan restrukturisasi yang berhasil adalah melalui negoisasi langsung antara swasta Indonesia dengan kreditur Asing. Kedua, INDRA (Indonesian debt restructuring agency) tidak berfungsi secara efektif, karena skema yang ditawarkan tidak lebih atraktif dibandingkan dengan skema yang diperoleh melalui negoisasi langsung antara debitur dan kreditur. Ketiga, BPPN melakukan restrukturisasi utang korporasi secara sangat lamban dan penuh dengan praktek merugikan negara, bahkan akhir-akhir ada kecenderungan bahwa BPPN menjual asset kreditnya secara as is atau tanpa restrukturisasi . Dengan demikian skor yang diberikan untuk restrukturisasi korporat adalah hanya sekitar skor 3 dari skala 10. Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa upaya untuk melakukan restrukturisasi ekonomi dalam rangka menciptakan struktur ekonomi yang lebih tangguh,
tampaknya
tidak
dilakukan
secara
sungguh-sungguh,
sehingga
mempengaruhi kinerja ekonomi baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Dengan demikian secara keseluruhan upaya pemerintah untuk hal tersebut diberikan nilai adalah skor 3 dari skala 10. Konsistensi Kebijakan Untuk menjaga agar kebijakan ekonomi dapat diimplementasikan secara efektif perlu adanya konsistensi baik dalam lingkup makro maupun mikro. Ada 4 (empat) aspek penting yang mempengaruhi konsistensi kebijakan, yaitu aspek koordinasi, konsistensi fiskal-moneter, konsistensi makro-mikro, dan konsistensi antar kebijakan mikro. Koordinasi. Terdapat kesan kuat bahwa dalam Kabinet Gotong Royong tidak terjadi koordinasi yang sinergis antar anggota kabinet. Ada beberapa indikasi yang menunjukkan hal tersebut. Pertama, statement resmi dari seorang Menteri terkadang dianulir oleh Menteri yang lainnya. Kedua, Rapat Kabinet pada umumnya hanya berisi laporan dari masing-masing Menteri yang bersifat searah tanpa ada diskusi yang intensif untuk membahas hal yang paling pokok. Ketiga, kebijakan yang ditetapkan oleh suatu Departemen atau Kementerian seringkali lebih menunjukkan “v e s t e d
14
i n t e r e s t ”dari kroni-kroni Menteri yang bersangkutan. Dengan demikian nilai yang diberikan untuk factor koordinasi kebijakan adalah hanya skor 3 dari skala 10. Konsistensi Fiskal-Moneter. Bauran kebijakan moneter dan fiskal yang tepat merupakan satu syarat agar stabilisasi ekonomi makro dapat efektif. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa kebijakan yang muncul tidak sinkron dan terintegrasi sebagaimana mestinya. Contohnya adalah kelambatan otoritas moneter untuk menurunkan tingkat suku bunga yang mengakibatkan beban bunga obligasi masih relatif tinggi. Karena itu nilai yang diberikan untuk factor konsistensi kebijakan fiskal-moneter ini adalah skor 4 dari skala 10. Konsistensi Makro-Mikro. Untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif perlu dilakukan stabilisasi ekonomi makro yang bertujuan untuk mengurangi resiko pasar. Secara umum tidak dapat disimpulkan bahwa kebijakan makro sangat mendukung terjadinya iklim usaha yang menunjang pemulihan sektor riil. Sebagai contoh, tingkat suku bunga pinjaman riil pada bulan Agustus 2002 masih sekitar 13% lebih atau kirakira sama dengan setahun yang lampau. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain dimana tingkat suku bunga riil telah mencapai angka sebesar 2% sampai dengan 3%, maka suku bunga di Indonesia sama sekali tidak kondusif bagi investasi swasta di sektor riil. Di lain pihak, manajemen nilai tukar telah mampu menurunkan volatilitas nilai tukar. Sehingga resiko valuta asing semakin menurun. Karena ada sisi negatif dan positif dari manajemen ekonomi makro, maka nilai yang diberikan pada factor konsistensi makro-mikro adalah skor 5 dari skala 10. Konsistensi Mikro. Kebijakan mikro sangat boleh jadi merupakan kebijakan pemerintah yang paling tidak konsisten. Hal ini merupakan refleksi dari rendahnya koordinasi dan kapasitas para anggota Kabinet serta tingginya pengaruh vested interest dalam pengambilan keputusan. Beberapa contoh kebijakan yang tidak konsisten antara lain adalah : (a) restrukturisasi kredit UKM; (b) Kelangkaan Pupuk; (c) Ekspor Pasir Laut; (d) Impor Paha Ayam; (e) Cukai Rokok; dan (f) subsidi gula. Inkonsistensi ini yang terlalu banyak dan parah menyebabkan nilai yang diberikan terhadap factor kebijakan mikro ini hanya skor 2 dari skala 10. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak adanya konsistensi kebijakan baik di level makro maupun di level mikro, sehingga sangat mempengaruhi kinerja Kabinet Gotong Royong secara keseluruhan. Nilai dari faktor konsistensi secara ratarata hanya mencapai skor 3,5 dari skala 10. Artinya 65% dari pengambilan keputusan di tingkat Kabinet tidak mencerminkan koordinasi yang diperlukan dalam rangka pemulihan ekonomi.
15
IV.
PENUTUP
Dari diskusi dalam bagian III, ada beberapa hal yang dapat ditarik sebagai bahan pelajaran. Pertama, InPoRat telah menyediakan informasi bahwa persepsi masyarakat mengenai ketidakmampuan Kabinet Gotong Royong dalam mengatasi masalah-masalah ekonomi adalah benar adanya. Kedua, rendahnya effort pemerintah dalam memberikan stimulus bagi percepatan pemulihan ekonomi menunjukkan bahwa sebagian besar pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama ini bukan disebabkan oleh adanya bauran kebijakan ekonomi yang efektif, melainkan lebih disebabkan oleh kemampuan masyarakat untuk secara mandiri mengatasi persoalannya masing-masing. Ketiga, terdapat beberapa titik-titik lemah kinerja yang sebetulnya bisa diperbaiki melalui kemampuan yang didukung oleh kemauan yang kuat dari pengambil keputusan di tingkat puncak. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Berdasarkan analisis Radar pada Gambar 1, kinerja ekonomi yang paling kritis untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang lebih berkesinambungan adalah penciptaan iklim investasi, dan keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability). Pembenahan iklim investasi yang memungkinkan tercapainya sasaran investasi dan pertumbuhan ekonomi perlu mendapat prioritas utama. Selain itu pencapaian keberlanjutan fiskal memerlukan upaya-upaya yang non konvensional dalam mengurangi pembayaran utang dalam dan luar negeri. Dalam hal effort (Gambar 2) titik-titik yang paling lemah adalah dalam bidang rendahnya kapasitas fiskal dan inkonsistensi kebijakan. Kapasitas fiskal yang rendah telah mengakibatkan berkurangnya kemampuan anggaran untuk menciptakan stimulus bagi pertumbuhan dan untuk membiayai program-program yang berorientasi pada social protection. Pada intinya pemecahan masalah fiskal akan memberikan stimulus dan kemampuan untuk membiayai program social. Selain itu konsistensi kebijakan ekonomi telah dinodai oleh lemahnya koordinasi, kentalnya konflik kepentingan dan kemampuan manajerial para anggota Kabinet Gotong Royong. Dengan demikian dapat disimpulkan sangat kuat bahwa Kabinet Gotong Royong sulit bangkit dari permasalahan keterpurukan ekonomi.
16
Tabel 1. Indef Policy Rating (INPoRat) Policy Rating Performance (Kinerja) Growth factors:
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10
GDP growth (Pertumbuhan ekonomi) Total Factor Productivity Investment climate Welfare (Kesejahteraan): Unemployment rate Tingkat kemiskinan Stability: Inflation Exchange rate Keseimbangan external Fiscal sustainability Effort (Upaya) Stabilisasi dan stimulasi Fiskal Moneter Welfare Employment generation Social safety net Social transfer Keberpihakan Restrukturisasi Restrukturisasi perbankan Divestasi Restrukturisasi korporasi Consistency (Konsistensi) Koordinasi Konsistensi Fiskal - Moneter Konsistensi Makro - Mikro Konsistensi Mikro Sumber : Indef, 2002.
17
Gambar 1. Radar Performance Kebijakan Pemerintah
GDP growth 10 Fiscal sustainability
Total Factor Productivity 5
Keseimbangan external
Investment climate 0
Exchange rate
Unemployment rate
Inflation
Tingkat kemiskinan
2002
Normatif
18
Gambar 2. Radar Effort Kebijakan Pemerintah
Fiskal
10 Konsistensi Mikro
Moneter
Konsistensi Makro - Mikro
Employment generation
5
Konsistensi Fiskal - Moneter
Social safety net
0
Koordinasi
Social transfer
Restrukturisasi korporasi
Keberpihakan Divestasi
2002
Restrukturisasi perbankan
Normatif
19