EVALUASI KEBIJAKAN PENGAMBILAN DAN PEMANFAATAN AIR TANAH DI PROVINSI DKI JAKARTA
BAMBANG SISWANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Kebijakan Pengambilan dan Pemanfaatan Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2011
Bambang Siswanto H351070031
ABSTRACT BAMBANG SISWANTO. Evaluation on Policies of Groundwater Exploitation and Utilization in Jakarta Province. Supervised by MANGARA TAMBUNAN and SUHARNO.
The formulation and implementation policies have been the key factors in preventing the occurrence of groundwater depletion. Groundwater exploitation and utilization in Jakarta have been predicted to cause the decline of groundwater level, land subsidence and salt water intrusion. The policy established by the local government of DKI to handle these conditions is to establish the increase of groundwater tax. The study aimed to collect the policies regarding the groundwater use, to evaluate the impact of the increase of groundwater tax, and to compare between the costs of groundwater exploitation and utilization and the tariff of piped water supplied by PAM DKI Jakarta. The results of the research indicate that the policy instruments established by the local government of DKI included groundwater tax and retribution. Furthermore, the increase of groundwater tax has significantly reduced the use of groundwater in the areas of service coverage by PAM DKI Jakarta; however, the increase has not significantly reduced the groundwater use in areas outside its service coverage. Finally, the cost of groundwater extraction becomes more expensive compared to the tariff of surface water provided by the company. The practical implications of this research include that PAM DKI Jakarta must expand the distribution and its production capacity and non-market instruments are required especially for areas outside the service coverage of the company.
Keywords: groundwater tax, cost of groundwater extraction, groundwater use in Jakarta
RINGKASAN BAMBANG SISWANTO. Evaluasi Kebijakan Pengambilan dan Pemanfaatan Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta. Dibimbing oleh MANGARA TAMBUNAN dan SUHARNO.
Kebutuhan air bersih di Provinsi Jakarta dipenuhi dari air permukaan yang disediakan oleh PAM DKI Jakarta dan air tanah yang diambil melalui sumur bor dan sumur pantek. Kapasitas produksi dan distribusi PAM DKI Jakarta yang relatif tetap, di sisi lain pertumbuhan jumlah penduduk, urbanisasi, perkembangan bisnis, industri, dan sektor pelayanan publik terus meningkat, menyebabkan pengambilan dan pemanfaatan air tanah terus meningkat. Pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta diduga telah sampai pada tahap yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan muka air tanah, amblesan, dan intrusi air laut. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya kecenderungan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta adalah: (1) harga perolehan air tanah yang jauh lebih murah dibandingkan tarif pemakaian air Perusahaan Air Minum (PAM) DKI Jakarta; (2) pemompaan air tanah sifatnya in-situ sehingga ketersediaannya tidak tergantung pihak lain dan membuat ketersediaan air lebih terjamin; (3) rejim pengelolaan air tanah yang secara “de facto” merupakan “open access”; dan (4) implementasi dan penegakan peraturan perundangan yang masih belum optimal. Sebagian besar faktor atau penyebab diatas pada dasarnya merupakan masalah kebijakan, karena itu evaluasi kebijakan pemanfaatan dan pengambilan air tanah perlu terus dilakukan untuk penyesuaian dengan kondisi terkini. Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi kebijakan dan instrumen kebijakan pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang telah dikeluarkan di Provinsi DKI Jakarta, mengevaluasi dampak kenaikan pajak air tanah terhadap pengambilan dan pemanfaatan air tanah, dan membandingkan harga perolehan air tanah dan air PAM DKI Jakarta setelah diberlakukannya kenaikan pajak air tanah. Penelitian menggunakan data primer berupa rekening pemakaian air tanah pelanggan tahun 2008-2009 dan data sekunder berupa dokumen kebijakan dan tarif. Data primer dianalisis dengan menggunakan metode perbandingan dua ratarata, yakni rata-rata pemakaian dan pemanfaatan air tanah sebelum dan sesudah diberlakukannya pajak air tanah yang baru, sedangkan untuk analisis data sekunder digunakan metode analisis isi dokumen. Kebijakan yang ditetapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah penggunaan instrumen pasar berupa pajak dan retribusi, yakni Perda 10/1998, Perda 1/2004, Peraturan Gubernur 37/2009 yang mengatur tentang pajak air tanah
dan Perda 1/2006 yang didalamnya mengatur retribusi air tanah. Peraturan daerah dan peraturan gubernur yang mengatur tentang pajak dan retribusi air tanah dan sekarang masih berlaku di Provinsi Jakarta perlu direvisi mengacu pada peraturan perundangan yang baru, yakni UU 7/2004 tentang sumberdaya air, PP 43/2008 tentang air tanah, dan UU 28/2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Pajak air tanah adalah perkalian NPA (nilai perolehan air tanah) dengan tarif pajak. Kenaikan pajak air tanah yang mulai berlaku pada bulan Juni 2009 sebenarnya adalah kenaikan NPA, yang ditetapkan melalui Peraturan Gubernur 37/2009. Tarif pajak air tanah di Provinsi DKI Jakarta tidak berubah, yakni sebesar 20%. Perhitungan NPA ditetapkan berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 1451K/2000. Harga air tanah baku (HAB) dalam perhitungan NPA ditentukan berdasarkan konsep biaya rata-rata, yakni HAB sama dengan biaya rata-rata, dan didasarkan pada konsep alokasi statik. Metode perhitungan HAB ini berbeda dengan konsep teoritis yang menyatakan harga baku air tanah adalah biaya marjinal ekstrasi ditambah dengan nilai kelangkaan sumber daya air tanah yang besarannya ditentukan melalui alokasi dinamik. Kenaikan pajak air tanah signifikan menurunkan pengambilan dan pemanfaatan air tanah pada sumur-sumur yang terletak di dalam jangkauan pelayanan PAM DKI Jakarta, tetapi tidak signifikan menurunkan pemakaian air tanah di luar area pelayanan perusahaan tersebut. Setelah kenaikan pajak air tanah, biaya perolehan air tanah untuk semua kelompok pelanggan dan besaran pemakaian lebih besar dibandingkan biaya perolehan air bersih yang disediakan oleh PAM DKI Jakarta. Implikasi praktis dari penelitian ini adalah Pemerintah Proviinsi DKI Jakarta perlu mendorong dan membantu PAM DKI Jakarta untuk meningkatkan kapasitas produksi dan cakupan area pelayanannya. Selain itu juga diperlukan instrumen selain pajak, khususnya untuk diterapkan di wilayah di luar jangkauan pelayanan PAM DKI Jakarta.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
EVALUASI KEBIJAKAN PENGAMBILAN DAN PEMANFAATAN AIR TANAH DI PROVINSI DKI JAKARTA
BAMBANG SISWANTO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec.
Judul Tesis
: Evaluasi Kebijakan Pengambilan dan Pemanfaatan Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta
Nama
: Bambang Siswanto
NRP
: H351070031
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Suharno, M.Adev Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc
Tanggal Ujian : 10 Januari 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat anugerah dan pertolongannya tesis ini bisa diselesaikan. Penelitian ini dilakukan berdasarkan minat dan keinginan untuk mengaplikasikan disiplin ilmu ekonomi sumberdaya dan lingkungan dalam pengelolaan air tanah di Provinsi DKI Jakarta. Tesis ini selesai karena bimbingan, bantuan, dan dorongan berbagai pihak. Dengan selesainya tesis ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: (1) Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc. dan Dr. Ir. Suharno, M.Adev. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu dan mencurahkan kepakarannya selama proses persiapan, penelitian, dan penulisan tesis. (2) Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. selaku penguji luar komisi pembimbing yang secara kritis menelaah tesis ini dan memberikan masukan-masukan yang penting dan perlu. Minat untuk mengkaji air tanah sebetulnya mulai bersemi ketika penulis mengikuti kuliah Metode Penelitian Ekonomi yang beliau sampaikan. (3) Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. selaku Ketua Program Studi S2 Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan yang selalu memberi dorongan agar penulis segera menyelesaikan tugas akhir ini. Keputusan penulis untuk menekuni disiplin ilmu ekonomi sumberdaya dan lingkungan sesungguhnya ditentukan pada saat perkenalan pertama dengan beliau di acara kursus valuasi sumberdaya alam dan lingkungan. Ajakan beliau, pada saat itu juga sebagai Ketua Departemen ESL IPB, untuk menjadi mahasiswa S2 ESL IPB angkatan pertama sepertinya akan mengubah jalan hidup penulis. (4) Ir. Sahat M.H. Simanjuntak, M.Sc., dosen yang selalu mengajar dengan penuh semangat, membuka wawasan baru, dan senantiasa membangkitkan kebanggaan dan kehormatan sebagai ekonom sumberdaya dan lingkungan. Dari beliau juga penulis belajar untuk melihat hidup dan kehidupan dari sisi yang lebih menyenangkan. Terima kasih Pak Sahat.
(5) Dekan dan Wakil Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, dan seluruh dosen Departemen ESL yang selama ini telah mendidik dan mengajar penulis, dan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar dengan nyaman. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pegawai Departemen ESL, khsususnya mbak Sofi dan tim-nya, dukungan dan bantuan mereka membuat semuanya menjadi mudah dan tidak merepotkan. (6) Kepala BPLHD Provinsi DKI dan staf yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mengumpulkan data, berdiskusi, memperluas pengetahuan tentang pengelolaan sumber daya air tanah di Provinsi DKI Jakarta. (7) Prof. Dr. Rudy C. Tarumingkeng, M.F., dan Soegeng Wahyoedi, S.E., M.Ec., tempat penulis mendapatkan nasihat dan sambung rasa. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas dukungan dan pengertian seluruh dosen dan pimpinan Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Krida Wacana. (8) Sahabat dan teman sejawat mahasiswa Program S2 ESL angkatan 2007, 2008, 2009, dan 2010. Kuliah bersama, makan bersama, dan kegiatan kuliah lapang menjadi kenangan yang tidak terlupakan. (9) Orang tua penulis di Demak dan Cianjur, dan terutama isteri dan anak-anak di Ciomas. Terima kasih dan permohonan maaf disampaikan kepada Erly, Mikha, Yemima, dan Obaja. Akhir kata, penulis berharap kiranya tesis ini bisa bermanfaat, khususnya dapat menginspirasi penelitian-penelitian lanjutan tentang ekonomi air tanah di Indonesia.
Bogor, Februari 2011
Bambang Siswanto
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Demak pada tanggal 19 November 1964 sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Suntono dan Ibu Sri Haryati. Penulis menikah dengan Erly Rahayutina dan sekarang memiliki tiga orang anak, Mikha S. Erswanto, Yemima S. Kusumaningrum, dan Obaja E. Erswanto. Tahun 1983 penulis lulus dari SMA Negeri Demak dan pada tahun yang sama diterima di IPB. Tahun 1988 penulis lulus dari Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Tahun 2007 penulis melanjutkan studi di Program S2 Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB. Sejak lulus tahun 1988 penulis telah bekerja di berbagai perusahaan dan industri perkayuan, lembaga penelitian, dan konsultan. Sejak tahun 1994 sampai sekarang penulis bekerja sebagai dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta.
xiii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR GAMBAR
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
xvii
I
PENDAHULUAN
1
1.1.
Latar Belakang ………………………………………………...
1
1.2.
Perumusan Masalah …………………..………………………..
3
1.3.
Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian …………………...
7
II
TINJAUAN PUSTAKA
9
2.1.
Karateristik dan Kepentingan Air Tanah Perkotaan …………..
9
2.2.
Kebijakan dan Instrumen Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air dan Air Tanah ……………………………………………..
10
2.3.
Nilai, Harga, dan Alokasi Air Tanah …………………………..
16
2.4.
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah …………………………...
22
2.5.
Penelitian Terkait Pengelolaan Air Tanah …………………….
24
III
KERANGKA PEMIKIRAN
27
3.1.
Kerangka Teoritis ……………………………………………...
27
3.2.
Kerangka Operasional …………………………………………
28
IV
METODE PENELITIAN
31
4.1.
Waktu dan Lokasi Penelitian …………………………………..
31
4.2.
Teknik Pengumpulan Data …………………………………….
31
4.3.
Teknik Analisis Data …………………………………………..
32
4.3.1.
Analisis Isi (Content Analysis) ………………………………...
32
4.3.2.
Analisis Beda Dua Rata-rata (Comparing Means) …………….
32
4.3.3.
Uji Kolmogorov-Smirnov ……………………………………..
34
4.3.4.
Uji-t Sampel Berpasangan ……………………………………..
34
4.3.5.
Uji-z Sampel Berpasangan …………………………………….
35
4.3.6.
Uji Permutasi Sampel Berpasangan …………………………...
36
4.3.7.
The Wilcoxon Signed Ranks Test …………………………….
37
xiv
V
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
39
5.1.
Keadaan Geografi dan Iklim …………………………………..
39
5.2.
Kependudukan …………………………………………………
40
5.3.
Kapasitas Produksi dan Konsumsi Air Bersih PAM DKI Jakarta ………………………………………………………….
40
5.4.
Pemakaian Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta ………………..
43
5.5.
Penurunan Muka Air Tanah, Amblesan, dan Instrusi Air Laut di Provinsi DKI Jakarta ………………………………………..
44
VI
HASIL DAN PEMBAHASAN
47
6.1.
Kebijakan Pengelolaan Air Tanah ……………………………..
47
6.1.1.
Kebijakan Nasional Pengelolaan Air Tanah …………………..
47
6.1.2.
Kebijakan dan Kelembagaan Pengelolaan Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta …………………………………………..
42
6.2.
Retribusi Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta ………………….
55
6.3
Pajak Air Tanah ………………………………………………..
57
6.3.1.
Pajak Air Tanah Berdasarkan NPA Pergub 37/2009 ………….
58
6.3.2.
Pajak Air Tanah Berdasarkan NPA Kepgub 4554/1999 ………
62
6.3.3.
Kritik Metode Penetapan Harga Air Baku …………………….
66
6.4.
Dampak Kenaikan Pajak Terhadap Pemakaian Air Tanah ……
68
6.4.1.
Sampel Data Pemakaian Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta
68
6.4.2.
Dampak Kenaikan NPA Terhadap Pemakaian Air Tanah Pada Sampel Didalam Jangkauan PAM Jaya ……………………….
73
Dampak Kenaikan NPA Terhadap Pemakaian Air Tanah Pada Sampel Diluar Jangkauan PAM Jaya ………………………….
79
6.5.
Biaya Perolehan Air Tanah ……………………………………
83
6.5.1.
Analisis Biaya Pemompaan ……………………………………
83
6.5.1.1.
Jenis Pompa ……………………………………………………
84
6.5.1.2.
Biaya Pemompaan Pemakai Air Tanah Kategori Rumah Tangga …………………………………………………………
84
Biaya Pemompaan Pemakai Air Tanah Kategori Bisnis atau Komersial ……………………………………………………...
86
Biaya Pemompaan Pemakai Air Tanah Kategori Sosial atau Institusi ………………………………………………………...
87
6.5.2.
Analisis Biaya Perolehan Air Tanah: Data Empirik …………..
87
6.5.3.
Komparasi Biaya Perolehan Air Tanah dan Air PAM di Provinsi DKI Jakarta …………………………………………..
90
6.4.3.
6.5.1.3. 6.5.1.4.
xv
VII
KESIMPULAN DAN SARAN
95
7.1.
Kesimpulan …………………………………………………….
95
7.2.
Saran …………………………………………………………...
96
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL Halaman 1
Suplai Air Bersih dan Sumber Air Baku Untuk Kepentingan Publik di Negeri Belanda (Juta m3) ………………………………
10
2
Klasifikasi Instrumen Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan …………………………………………………… 12
3
Aplikasi Instrumen Kebijakan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam ………………………………………………………………
13
4
Suitability Instrumen Pengelolaan Air Tanah (Groundwater Level)
14
5
Suitability Instrumen Pemanfaatan (Extraction) Air Tanah ………
15
6
Metode Penetapan Harga Air dan Karateritiknya …………………
22
7
Data Penelitian …………………………………………………….
31
8
Penduduk, Rumah Tangga, dan Rata-rata Jumlah Anggota Rumah Tanah di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2007 ………………………
40
Kapasitas Produksi Air Bersih PAM DKI Jakarta Tahun 20042008 (dalam m3) …………………………………………………
41
Jumlah Pelanggan, Produksi Air Bersih PAM DKI Jakarta, dan Jumlah Air yang Terjual Tahun 2004-2008 (dalam m3) …………
42
Komposisi Pelanggan Air Bersih PAM DKI Jakarta Tahun 20042008 ………………………………………………………………..
42
12
Jumlah Pelanggan Sumur Bor dan Sumur Pantek 2004-2008 ……
44
13
Banyaknya Pemakaian Air Menurut Jenis Sumur 2004-2008 …….
44
14
Amblesan di Provinsi DKI Jakarta ………………………………
45
9 10 11
xvi
15
Struktur dan Tarif Izin Pemboran dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah di Provinsi DKI Jakarta …………………………………….
56
16
Komponen Biaya Kompensasi Pemulihan Untuk Perhitungan NPA Berdasarkan Pergub 37/2009 …………………………………… 59
17
Nilai Perolehan Air Tanah (NPA) Provinsi DKI Jakarta (Rp/m3)
60
18
Pajak Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta (Rp/m3) ………………
61
19
Rincian Subjek Pemakai Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta ……
62
20
Harga Dasar Air Tanah Berdasarkan Kepgub 4554/1999 Untuk Pengambilan Air Tanah Didalam Jangkauan PAM DKI Jakarta
63
Harga Dasar Air Tanah Berdasarkan Kepgub 4554/1999 Untuk Pengambilan Air Tanah Diluar Jangkauan PAM DKI Jakarta
64
Rincian Subjek Pemakai Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta Menurut Kepgub 4554/1999 ………………………………………
65
Perbedaan Metode Perhitungan Harga Air Baku Antara Kepmen 14551K/2000 dan Teori Penetapan Harga Air Tanah ……………
67
Sampel Subjek Pemakaian Air Tanah yang Didapatkan dari BPLHD Jakarta ……………………………………………………
69
Sebaran Sampel Sumur Air Tanah yang Dalam Rekeningnya Tertera Angka Pemakaian Setiap Bulan (Tidak Nol) Tahun 20082009 ………………………………………………………………..
70
Sebaran Sampel Sumur Air Tanah yang Tidak Digunakan Terus Menerus dan/atau Pencatatan Rekening Tidak Lengkap Tahun 2008-2009 …………………………………………………………
71
Sebaran Sampel Sumur Air Tanah yang Sudah Tidak Digunakan Tahun 2008-2009 …………………………………………………
72
Statistik Deskriptif Pengambilan Air Tanah Sampel Sumur yang Dalam Rekeningnya Tertera Angka Pemakaian Setiap Bulan (Tidak Nol) Tahun 2008-2009 (m3/bulan) ………………………
73
Rata-rata Pemakaian Air Tanah Sebelum dan Sesudah Diberlakukannya NPA yang Baru Untuk Sampel Didalam Jangkauan PAM DKI Jakarta (m3/bulan) …………………………
74
21 22 23 24 25
26
27 28
29
30
Output SPSS Uji K-S (One-Sampel Kolmogorov-Smirnov Test) Sebaran Beda Rata-rata Pemakaian Air Tanah Sebelum dan Sesudah Diberlakukannya NPA yang Baru Untuk Sampel Didalam Jangkauan PAM DKI Jakarta …………………………………… 78
xvii
31
Rata-rata Pemakaian Air Tanah Sebelum dan Sesudah Diberlakukannya NPA yang Baru Untuk Sampel Diluar Jangkauan PAM DKI Jakarta (m3/bulan) …………………………………… 31
32
Output SPSS Uji K-S (One-Sampel Kolmogorov-Smirnov Test) Sebaran Beda Rata-rata Pemakaian Air Tanah Sebelum dan Sesudah Diberlakukannya NPA yang Baru Untuk Sampel Diluar Jangkauan PAM DKI Jakarta ……………………………………
82
Biaya Rata-rata, Biaya Marjinal, dan Fungsi Biaya Total pada Berbagai Kisaran Pemakaian Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta (Rp/m3) ……………………………………………….....................
88
34
Biaya Pemakaian Air PAM DKI Jakarta …………………………
90
35
Kelompok Pelanggan Air PAM DKI Jakarta ……………………
91
36
Komparasi Pajak Air Tanah dan Biaya Pemakaian Air PAM Untuk Pelanggan Dalam Jangkauan PAM DKI Jakarta …………
92
33
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Model Penetapan Harga Air Tanah ………………………………..
21
2
Kerangka Pemikiran Penelitian ……………………………………
29
3
Bagan Alir Teknik Analisis Data Beda Dua Rata-rata ……………
13
4
TC, AC, dan MC Berdasarkan Data Empirik
89
DAFTAR LAMPIRAN 1
Data Responden Sampel Menurut Kode Tarif dan Wilayah
2
Data Empirik Pemakain dan Pajak Air Tanah Sampel
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelangkaan air tanah merupakan salah satu masalah kemanusiaan dan lingkungan hidup yang mendapat perhatian luas hampir semua negara. Pemompaan air tanah yang berlebihan dan terus-menerus untuk keperluan irigasi, industri, niaga (hotel, gedung-gedung bertingkat dan industri jasa lainnya), dan domestik (rumah tangga dan keperluan sehari-hari penduduk) mengakibatkan cadangan air tanah yang tersimpan dalam cekungan air tanah terus menipis. Pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang berlebihan dapat mengakibatkan dampak yang serius terhadap daya dukung lingkungan untuk kehidupan manusia, terutama terjadinya penurunan muka air tanah, penurunan permukaan tanah atau amblesan, intrusi air laut, dan penurunan kualitas air tanah. Babel et.al. (2006) menyatakan masalah amblesan yang disebabkan pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Bangkok telah menjadi masalah yang serius sejak sekitar tahun 1970. Pengambilan dan pemanfaatan air tanah secara intensif untuk kepentingan industri dan keperluan rumah tangga mulai sekitar tahun 1950 telah diidentifikasi oleh berbagai studi mengakibatkan penurunan mukai air tanah yang kemudian berakibat pada terjadinya amblesan. Instansi yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan air tanah di Thailand – Department of Groundwater Resources – menyatakan kota Bangkok dan 6 provinsi di sekitarnya sebagai zona kritis air tanah. Sejak tahun sekitar tahun 1960 telah dilakukan studi untuk lebih memahami permasalahan dan mengusulkan solusi masalah amblesan, penurunan muka air tanah, dan hal-hal yang berkaitan dengan pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang berlebihan. Wangsaatmaja et.al. (2006) melaporkan permasalahan yang sama terjadi di Kota Bandung. Pertumbuhan kota yang ditandai dengan peningkatan industri, bisnis, pertumbuhan jumlah penduduk, mengakibatkan ketidakseimbangan antara pengambilan dan pemanfaatan air tanah dengan laju pengimbuhan ke cekungan air tanah Bandung. Kedalaman muka air tanah turun sampai 50 meter dari kedalaman aslinya dan kemudian memunculkan wilayah-wilayah kritis air tanah, khususnya di daerah-daerah industri. Laju penurunan permukaan tanah dilaporkan
2 mencapai 2,3 – 18,4 cm per bulan. Desentralisasi kewenangan pengelolaan air tanah menyebabkan lebih banyak diterbitkannya izin pengambilan dan pemanfaatan air tanah karena memberikan kontribusi kepada pendapatan asli daerah. Perubahan kelembagaan pengaturan air tanah ini menyebabkan kegiatan konservasi air tanah menjadi semakin berkurang. Formulasi dan implementasi kebijakan merupakan faktor kunci dalam pengelolaan air tanah dan sumber daya alam lainnya. Sterner (2003) menyatakan masalah kelangkaan air tanah disebabkan oleh beberapa faktor, terutama karena kesalahan alokasi atau penggunaan, dan lemahnya manajemen dan peraturan yang terkait dengan pengambilan air tanah. Di beberapa negara, berkurangnya cadangan air tanah lebih disebabkan lemahnya kebijakan, terutama yang berkaitan dengan penetapan harga. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa pengelolaan air tanah tidak semata-mata menekankan pada pengaturan penyediaan air tanah, penetapan harga dan struktur tarif merupakan masalah yang krusial. Koundouri (2004) menyatakan terdapat keyakinan – terutama di kalangan ekonom sumber daya dan lingkungan – bahwa ketiadaan intervensi kebijakan akan mengakibatkan kesalahan alokasi sumber daya air tanah. Kebijakan atau regulasi membutuhkan instrumen. Hepburn (2006) menyatakan pemilihan instrumen kebijakan yang tepat sangat penting untuk kesuksesan regulasi. Publikasi yang menguraikan peran penting kebijakan atau regulasi dalam pengelolaan air tanah, khususnya yang berkaitan dengan penerapan instrumen ekonomi, antara lain: Olmstead dan Stavins (2008), Qureshi et.al. (2006), Kemper et.al. (2006), Hellegers dan van Ierland (2003), Chaudary et.al. (2002), Thobani (1997), dan Moncur dan Pollock (1988). Pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta diduga telah sampai pada tahap yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan muka air tanah (Tresnadi, 2007), amblesan (Djaja et.al., 2004 dan Abidin et.al., 2009) dan intrusi air laut (Schmidt, et.al. 1990 dan Delinom, 2008). Berbagai laporan dan hasil penelitian, antara lain Jakarta Dalam Angka 2006-2008 (BPS Provinsi Jakarta, 2006, 2007 dan 2008), Syaukat dan Fox (2004) menunjukkan beberapa faktor atau penyebab terjadinya kecenderungan untuk pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta, yaitu: (1) harga perolehan air tanah yang jauh lebih murah
3 dibandingkan tarif pemakaian air Perusahaan Air Minum (PAM) DKI Jakarta; (2) cakupan pelayanan PAM DKI Jakarta yang relatif belum mencukupi; (3) pemompaan air tanah sifatnya in-situ sehingga ketersediaannya tidak tergantung pihak lain dan membuat ketersediaan air lebih terjamin; (4) rejim pengelolaan air tanah yang secara “de facto” merupakan “open access”; (5) implementasi dan penegakan peraturan perundangan yang masih belum optimal. Sebagian besar faktor atau penyebab diatas pada dasarnya merupakan masalah kebijakan, karena itu evaluasi kebijakan pengambilan dan pemanfaatan air tanah perlu terus dilakukan untuk penyesuaian dengan kondisi terkini. Berkenaan dengan hal tersebut, penelitian evaluasi kebijakan, termasuk penggunaan instrumen ekonomi seperti pajak, menjadi sangat relevan.
1.2. Perumusan Masalah Kebutuhan air bersih untuk rumah tangga, industri, bisnis, dan utilitas perkotaan di Provinsi DKI Jakarta dipenuhi dari dua sumber utama, yaitu air permukaan yang disediakan PAM DKI Jakarta dan air tanah yang diekstrasi dari sumur bor dan sumur pantek. Berkaitan dengan penggunaan bersama ini, kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta adalah meningkatkan cakupan pelayanan PAM DKI Jakarta dan mengurangi proporsi pemakaian air tanah. Peningkatan cakupan pelayanan, ceteris paribus, akan menurunkan pemakaian air tanah. Situasi yang terjadi saat ini, kapasitas produksi dan cakupan pelayanan air bersih dari PAM DKI Jakarta relatif tetap, sementara kebutuhan air bersih terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan urbanisasi, perkembangan industri dan bisnis, dan peningkatan pemakaian air untuk kepentingan lainnya. Situasi ini akan menyebabkan meningkatnya pengambilan dan pemanfaatan air tanah di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Data yang dipaparkan dalam Jakarta Dalam Angka 2008 dan 2009 (BPS Provinsi DKI Jakarta 2008 dan 2009) menyebutkan air bersih PAM DKI Jakarta pada tahun 2007 dipasok dari 11 unit instalasi produksi air bersih, sedangkan tahun 2008 hanya dipasok dari 8 unit instalasi. Tahun 2003-2007 rata-rata produksi PAM DKI Jakarta sebesar 519.526.543,20 m3, produksi tertinggi terjadi pada tahun 2005 yakni sebesar 536.650.419 m3. Produksi meningkat dari tahun
4 2004-2005, selanjutnya terus menurun hingga sebesar 509.341.688 m3 pada tahun 2007. Kenyataan ini mengindikasikan produksi air bersih dari PAM DKI Jakarta sifatnya tetap. Hal ini disebabkan tidak ada penambahan unit instalasi produksi air bersih. Tahun 1990-2000 pertumbuhan penduduk Provinsi DKI Jakarta 0,15% per tahun, tahun 2000-2007 meningkat menjadi 1,11% per tahun. Jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta berdasarkan hasil estimasi Susenas 2007 sebesar 9.057.993 jiwa (BPS Provinsi DKI Jakarta 2008). Standar kebutuhan air rumah tangga (domestik) untuk penduduk kota metropolitan dengan jumlah penduduk diatas 2 juta jiwa sebesar lebih dari 210 liter/orang/hari (Pedoman Konstruksi dan Bangunan Departemen PU dalam Bappenas 2006). Jika standar tersebut digunakan, tahun 2007 kebutuhan air rumah tangga di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 694.295.163,5 m3. Dengan demikian, jika seluruh kapasitas produksi PAM DKI Jakarta dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga masih terdapat defisit sekitar 185 juta meter kubik. Defisit ini akan bertambah besar dan bisa dipastikan melebihi 200 juta m3 jika dalam perhitungan tersebut dimasukkan semua orang yang tinggal dan bekerja di wilayah Provinsi Jakarta. Kebutuhan air bersih untuk perkotaan dan industri tidak lebih sedikit dibandingkan dengan kebutuhan air rumah tangga. Kebutuhan tersebut semakin meningkat jika dimasukkan juga kebutuhan sektor lainnya seperti pertanian, peternakan, dan sebagainya. Kebutuhan air perkotaan terdiri dari komersial (pasar, mal, hotel, bioskop dan sebagainya), sosial dan institusi (universitas, sekolah, masjid, rumah sakit, perkantoran, pangkalan militer dan sebagainya), fasilitas pendukung kota (taman dan sebagainya), fasilitas transportasi (stasiun, terminal, bandara). Sebagai contoh, kebutuhan air untuk hotel – dijelaskan dalam pedoman seperti disebutkan sebelumnya – adalah 400 liter/kamar/hari untuk hotel lokal, sedangkan untuk hotel internasional sebesar 1.000 liter/kamar/hari. Jumlah kamar hotel berbintang dan melati di Jakarta tahun 2007 sebesar 33.880 kamar, jika dikalikan dengan standar hotel lokal dengan tingkat hunian dihitung 50% (dalam Jakarta Dalam Angka 2008 disebutkan tingkat hunian tahun 2007 sebesar 50,45% untuk hotel berbintang dan 59,32% untuk hotel melati), maka kebutuhan air untuk hotel adalah 6.776.000 liter per hari atau 2.473.240 m3 per tahun.
5 Kebutuhan air industri tergantung pada ukuran dan jenis industri, misalnya kebutuhan sebuah industri besar yang memproduksi minuman ringan bisa mencapai 65.000-7,8 juta liter per hari. Paparan diatas menjelaskan bahwa sampai saat ini PAM DKI Jakarta tidak mampu memenuhi kebutuhan air bersih untuk kepentingan rumah tangga, industri, perkotaan, dan aktivitas lainnya. Implikasi dari situasi tersebut adalah meningkatnya pengambilan dan pemanfaatan air tanah dari tahun ke tahun. Menurut data Jakarta Dalam Angka 2006, 2007, 2008, dan 2009 pada bulan Januari 2005 jumlah pelanggan sumur bor dan sumur pantek di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 3.571 sedangkan pada bulan Desember 2008 jumlahnya meningkat menjadi 3.959, mengalami peningkatan sebesar 10,87% atau dapat dinyatakan bahwa rata-rata setiap bulan terdapat penambahan sumur bor atau sumur pantek. Fakta tersebut lebih jelas jika ditilik dari bertambahnya sumur baru setiap tahun. Tahun 2008 tercatat 102 permohonan izin pembuatan sumur bor atau SIB dan 72 sumur pantek atau SIPA, tahun 2007 masing-masing sebanyak 84 sumur bor dan 57 sumur pantek, tahun 2006 masing-masing sebanyak 81 sumur bor dan 50 sumur pantek, sedangkan tahun 2005 masing-masing sebanyak 90 sumur bor dan 45 sumur pantek. Data tersebut menunjukkan sumur bor atau sumur pantek yang tercatat dan memiliki pencatat meter air. Selain itu terdapat sumur bor atau sumur pantek liar dan sumur-sumur yang dibuat oleh rumah tangga. Sampai saat ini sumur yang digunakan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan rumah tangga tidak dilaporkan dan tidak dikenakan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah. Uraian tersebut mengindikasikan bahwa pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang sesungguhnya jauh lebih besar dibandingan dengan yang tercatat, dan jumlahnya terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk akibat kelahiran dan urbanisasi, peningkatan kapasitas usaha komersial dan industri, ataupun berkembangnya sektor sosial dan bisnis lainnya yang membutuhkan air bersih. Biaya perolehan air tanah yang lebih murah merupakan faktor yang mendorong rumah tangga, industri, usaha komersial, dan institusi sosial lainnya mengambil dan memanfaatakan air tanah. Sebelum diberlakukannya kenaikan pajak air tanah pada bulan Juni 2009, biaya pengadaan air tanah lebih murah
6 dibandingkan dengan harga air yang disediakan oleh PAM DKI Jakarta. Pajak pengambilan air tanah hanya dikenakan kepada industri dan usaha komersial, sedangkan pengambilan air tanah oleh rumah tangga dan instansi pemerintah tidak dipungut pajak air tanah. Dengan demikian biaya pengadaan air tanah bagi rumah tangga dan instansi pemerintah hanya ongkos listrik untuk menyedot air, sedangkan untuk industri dan usaha komersial masih harus ditambah pajak pemanfaatan air tanah yang besarnya relatif kecil, hanya sekitar seperdelapan sampai sepersepuluh tarif air yang dikenakan bagi pelanggan PAM DKI Jakarta. Disparitas harga yang relatif besar ini menyebabkan rumah tangga dan industri memilih menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu terdapat faktor-faktor lainnya, yakni: (1) wilayahnya terletak diluar jangkauan pelayanan air bersih dari PAM DKI Jakarta dan (2) pengambilan dan pemanfaatan air tanah sifatnya in-situ sehingga ketersediaannya tidak tergantung pihak lain sehingga ketersediaan air lebih terjamin. Berkaitan dengan dampak negatif yang terjadi akibat pengambilan air tanah di satu sisi, dan manfaat air tanah bagi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat serta peningkatan perekonomian di sisi lainnya, perlu dilakukan pengelolaan agar terjadi keseimbangan antara biaya yang mencerminkan risiko lingkungan dan manfaat pengambilan dan pemanfaatan air tanah bagi masyarakat dan perekonomian Provinsi DKI Jakarta. Dalam perspektif ilmu ekonomi sumber daya dan lingkungan hal ini digambarkan dengan ekuilibrium antara biaya marjinal sosial (MSC) dan manfaat marjinal sosial (MSB). Titik ekuilibrium tersebut seyogyanya merupakan hasil dari berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta. Air tanah termasuk dalam subyek yang memerlukan pengaturan dalam bentuk kebijakan publik yang ditetapkan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU 7/2004) menyebutkan bahwa sumber daya air – termasuk didalamnya air tanah – dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (pasal 6 ayat 1). Penguasaan sumber daya air tersebut diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah (pasal 6 ayat 2). Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat melakukan pengaturan dengan membuat kebijakan dan
7 menetapkan berbagai instrumen untuk mengimplementasikannya. Salah satu pengaturan yang dilakukan Provinsi DKI Jakarta adalah diberlakukannya kenaikan pajak air tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 37 Tahun 2009 tentang Nilai Perolehan Air Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah (Pergub 37/2009). Berkenaan dengan hal tersebut, perlu dilakukan analisis dan evaluasi kebijakan dan instrumen kebijakan pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta untuk menjamin terwujudnya kemanfaatan air tanah yang berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dye (1992) menyatakan bahwa analisis kebijakan dilakukan untuk mengetahui apa yang dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukan hal tersebut, dan perubahan-perubahan seperti apa yang dilakukan, sedangkan evaluasi kebijakan adalah mengukur konsekuensi atau dampak kebijakan publik. Mengacu pada Dye (1992) dan uraian yang dipaparkan dalam latar belakang, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: 1). Kebijakan apa saja yang telah dilakukan pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta untuk mewujudkan kemanfaatan sumber daya air tanah yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat? 2). Bagaimana dampak kebijakan tersebut bagi kelangsungan ketersediaan air tanah (menghindari terjadinya deplesi air tanah) di Provinsi DKI Jakarta?
1.3. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan diatas, tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1). Menginventarisasi kebijakan dan instrumen kebijakan pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang telah dikeluarkan di Provinsi DKI Jakarta. 2). Mengevaluasi dampak implementasi instrumen ekonomi, yakni kenaikan pajak air tanah, terhadap deplesi air tanah di Provinsi DKI Jakarta. 3). Melakukan perbandingan harga perolehan air tanah dan air PAM DKI Jakarta setelah diberlakukannya kenaikan pajak air tanah. Secara umum penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi upaya pencegahan terjadinya deplesi air tanah yang pada gilirannya akan meningkatkan
8 instrusi air laut dan penurunan muka tanah di Provinsi DKI Jakarta. Secara khusus penelitian ini diharapkan bermanfaat secara akademik dan praktis. Manfaat akademik adalah memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang analisis dan evaluasi kebijakan pengelolaan sumber daya air tanah, khususnya dari sisi implementasi instrumen ekonomi. Manfaat praktis adalah memberikan masukan dalam bentuk rekomendasi berdasarkan hasil analisis dan evaluasi kebijakan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karateristik dan Kepentingan Air Tanah Perkotaan Air tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat bernilai dan menentukan kelangsungan hidup manusia. Menurut Pipkin dan Trent (2001), sekitar 2,59% air yang tersedia di bumi merupakan air tawar dan 0,592% diantaranya merupakan air tanah, lebih banyak dibandingkan dengan air tawar yang langsung bisa diakses, seperti air danau (0,007%) dan air sungai (0,0001%). Selanjutnya Pipkin dan Trent (2001) menyatakan bahwa 37% dari seluruh air yang digunakan untuk kepentingan publik (153.000 juta liter per hari, tidak termasuk untuk kepentingan pertanian) berasal dari air tanah, sisanya dipenuhi dari air permukaan. Menurut UU 7/2004, air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Definisi tersebut menjadi rujukan peraturan perundangan lainnya, misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (PP 43/2008). Pergub 37/2009 menyatakan definisi yang sedikit berbeda, yakni air bawah tanah adalah air yang berada di perut bumi, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah. Definisi lain terkait air tanah dipaparkan dalam PP 43/2008, yakni: (a) akuifer adalah lapisan batuan jenuh air tanah yang dapat menyimpan dan meneruskan air tanah dalam jumlah yang cukup dan ekonomis; (b) cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung; (c) daerah imbuhan air tanah adalah daerah resapan. Pada dasarnya air tanah merupakan sumber daya alam yang dapat pulih karena adanya siklus hidrologi, tetapi sebagian besar literatur cenderung mengelompokkannya dalam sumber daya alam tidak pulih terutama untuk jenis air tanah dalam. Tietenberg (2006) menyatakan air, termasuk air tanah, sebagai sumber daya alam yang dapat diperbarui tetapi juga dapat mengalami deplesi. Koundouri (2004) menyatakan cadangan air tanah mengalami deplesi dan hanya kurang dari 5% yang dapat pulih melalui curah hujan dan mencairnya salju. Hartwick dan Olewiler (1998) menyatakan air tanah merupakan sumber daya
10 alam yang tidak pulih jika laju pengambilan air tanah lebih besar dari laju pengimbuhan alamiah. Air tanah perkotaan digunakan untuk berbagai keperluan, seperti sumber air untuk kebutuhan rumah tangga, niaga (komersial), dan industri. Di Negeri Belanda, air tanah merupakan sumber utama untuk perusahaan air minum, seperti ditunjukkan dalam Tabel 1. Tabel 1. Suplai Air Bersih dan Sumber Air Baku Untuk Kepentingan Publik di Negeri Belanda (Juta m3) Sumber Air Baku Tahun
Suplai Air Tanah
Air Permukaan
Air Infiltrasi
Lainnya
1990
810
258
212
16
1.280
1991
842
258
178
14
1.278
1992
834
266
173
15
1.273
1993
812
258
172
15
1.242
1994
829
261
175
14
1.266
1995
839
264
179
14
1.281
1996
814
266
188
14
1.267
1997
789
275
193
14
1.257
Sumber: Dietz dan van der Mark (2000)
2.2. Kebijakan dan Instrumen Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air dan Air Tanah Dellapenna dan Gupta (2008) menyatakan pengelolaan sumber daya air secara formal telah berlangsung lebih dari 5.000 tahun yang lalu, yaitu sejak mulai dibangunnya irigasi untuk keperluan budidaya pertanian di Mesopotamia. Kornfeld (2008) menyatakan hukum atau peraturan perundangan tentang air di Mesopotamia dikembangkan sebagai konsekuensi alokasi hak untuk sumber daya pertanian-irigasi yang terbatas. Berdasarkan berbagai peraturan perundangan yang berkembang saat itu dapat dinyatakan bahwa air adalah aset komunal, diatur dan
11 dialokasikan oleh penguasa setempat kepada masyarakat untuk kepentingan irigasi. Kitab undang-undang yang secara formal mencantumkan regulasi tentang air antara lain hukum Ur-Numma, kitab Hammurabi, The Sumerian Laws Handbook of Form, The Hittite Laws, The Middle Assyrian Laws, dan NeoBabylonian Water Law. Perkembangan hukum dan kebijakan tentang sumber daya air selanjutnya berjalan seiring dengan perkembangan budaya, agama, dan masyarakat. Naff (2008) menguraikan dimensi hukum, politik, dan sosial tentang sumber daya air dari perspektif hukum Islam, dan Laster et.al. (2008) membahas sumber daya air dalam tradisi hukum Yahudi. Hukum dan kebijakan sumber daya air berkembang di tingkat nasional, regional, dan global. Gupta dan Dellapenna (2008) menyatakan empat faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan tradisi dalam perkembangan hukum sumber daya air di tingkat nasional, yakni sebaran geografi sumber daya air, ketergantungan ekonomi, sejarah dan hidro-politik, dan ekosistem. Selain itu, mereka juga menyatakan delapan kekuatan yang menyebabkan terjadinya konvergensi hukum dan kebijakan sumber daya air domestik, yaitu peradaban, agama, penaklukan dan kolonisasi, komunisme, kodifikasi internasional, gerakan lingkungan hidup, komunitas/asosiasi, dan globalisasi. Pengaruh kekuatan tersebut akan menimbulkan implikasi pada perkembangan hukum dan kebijakan sumber daya air, misalnya penerapan prinsip hukum riparian pada koloni Inggris, sumber daya air adalah milik negara dan pembatasan pada kepemilikan pribadi sebagai implikasi kekuatan komunisme di Uni Soviet, Kuba, Cina, Angola, dan Mozambique, penerapan standar kualitas air sebagai pengaruh kekuatan gerakan lingkungan hidup, dan sebagainya. Sterner (2003) mengadaptasi publikasi Bank Dunia memaparkan klasifikasi instrumen kebijakan seperti dipaparkan dalam Tabel 2 dan 3. Jika berpedoman pada Tabel 2 dan 3, instrumen kebijakan yang sesuai untuk pengelolaan sumber daya air adalah: (1) pajak, fees, atau charges; dan (2) subsidi dan pengurangan subsidi, keduanya termasuk kategori instrumen yang didasarkan pada konsep mekanisme pasar. Holden dan Thobani (1996) menyatakan tradable right juga bisa diaplikasikan untuk air, misalnya penerapan tradable water rights di negara Chile. Thobani (1997) menjelaskan secara rinci tentang mengapa,
12 kapan, dan bagaimana menggunakan tradable water rights. Ketiga instrumen tersebut dapat diklasifikasikan lebih lanjut sebagai instrumen ekonomi. Tabel 2. Klasifikasi Instrumen Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Mekanisme Pasar
Menciptakan Pasar
Regulasi
(Using markets)
(Creating markets)
(Environmental regulations)
Melibatkan Masyarakat (Engaging the public)
Pengurangan subsidi (Subsidy reduction)
Property rights and decentralization
Standar (Standards)
Partisipasi masyarakat (Public participation)
Pajak dan pungutan lainnya (Environmental taxes and charges)
Tradable permits and right
Bans
Information disclosure
Retribusi (User charges)
International offset systems
Permits and quotas
Deposit-refund systems
Zoning
Targeted subsidies
Liability
Sumber: Sterner (2003)
13 Tabel 3. Aplikasi Instrumen Kebijakan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Instrumen Kebijakan
Pengelolaan Sumberdaya Alam (Air, Perikanan, Pertanian, Kehutanan, Pertambangan, dan Biodiversitas)
Direct provision
Provision of parks
Detailed regulation
(1) Zoning; (2) Regulation of fishing; (3) Bans on ivory trade to protect biodiversity
Flexible regulation
Water quality standards
Tradable quotas or rights
(1) Individually tradable fishing quotas; (2) Transferable rights for land development, forestry, or agriculture
Taxes, fees, or charges
(1) Water tariffs; (2) Park fees; (3) Fishing licences; (3) Stumpage fees
Subsidies and subsidy reduction
(1) Air ; (2) Perikanan; (3) Reduced agricultural subsidies
Deposit-refund schemes
Reforestation deposits or performance bonds in forestry
Refunded emissions payments
Biasanya dipakai dalam pengelolaan polusi
Creation of property rights
(1) Private national parks; (2) Property rights and deforestation
Common property resources
CPR Management
Legal mechanism, liability
Lialibility bonds for mining or hazardous waste
Voluntary agreements
Produk hasil hutan
Information provision labels
(1) Labeling of food; (2) forest products
International treaties
International treaties for protection of ozone layers, seas, climate, dan sebagainya
Macroeconomic policies
Dampak reformasi kebijakan dan kebijakan ekonomi terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup
Sumber: Sterner (2003)
Selain instrumen ekonomi, juga ditemui penerapan instrumen nonekonomi dalam pengelolaan sumber daya air, termasuk air tanah. Hellegers dan van Ierland (2003) mengevaluasi suitability berbagai instrumen kebijakan untuk
14 kepentingan pengelolaan air tanah di Negeri Belanda. Fokus penelitian adalah pengelolaan air tanah untuk kepentingan irigasi. Mereka mengelompokan instrumen tersebut sebagai instrumen ekonomi (pajak, tradable rights, dan subsidi), instrumen regulasi (ban atau standar), instrumen suasive (agreements), instrumen yang berkaitan dengan kelembagaan lingkungan (change rights). Di Negeri Belanda pemanfaatan instrumen ekonomi belum terlalu banyak dilakukan, penelitian ini mengkaji sejauh mana efektivitas atau lebih jauh suitability penggunaan instrumen ekonomi untuk mengontrol tingkat ketinggian/kedalaman air tanah (secara teknis disebut water table) dan ekstraksi/pemanfaatan air tanah. Evaluasi terhadap instrumen tersebut dipaparkan dalam Tabel 4 dan 5. Hasil analisis menunjukkan pendekatan kelembagaan dan agreement lebih efektif dibandingkan dengan instrumen ekonomi. Diantara ketiga instrumen ekonomi, tradable right relatif paling suitable. Tabel 4. Suitability Instrumen Pengelolaan Air Tanah (Groundwater Level)
Efektivitas
Efisiensi Ekonomi
Efisiensi Teknis
Kelayakan Administrasi
Equity
Acceptability
+/-
+
+
-
+/-
-
Tradable rights
+
+
+
-
+/-
+/-
Subsidi
+/-
-
-
-
-
+
Standard
+
-
-
-
+/-
-
+/-
+
+
+
+
+/-
+
+
+
+
+
+
Instrumen Pajak
Agreements Change rights
Keterangan : + artinya memiliki dampak positif; +/- artinya memiliki dampak positif atau negatif; dan – artinya memiliki dampak negatif.
15 Tabel 5. Suitability Instrumen Pemanfaatan (Extraction) Air Tanah
Efektivitas
Efisiensi Ekonomi
Efisiensi Teknis
Kelayakan Administrasi
Equity
Acceptability
+/-
+
+
-
+/-
-
Tradable rights
+
+
+
-
+/-
+/-
Subsidi
+/-
-
-
-
-
+
+
-
-
-
+/-
-
+/-
+
+
+
+
+
+
+
+
+/-
-
-
Instrumen Pajak
Ban Agreements Change rights
Keterangan : + artinya memiliki dampak positif; +/- artinya memiliki dampak positif atau negatif; dan – artinya memiliki dampak negatif.
Mekanisme pasar dan kebijakan pemerintah tidak selalu menghasilkan alokasi sumber daya yang efektif dan efisien, khususnya untuk mengelola barangbarang publik termasuk air tanah. Mekanisme pasar akan berjalan efektif dan efisien jika diberlakukan pada barang-barang privat murni (pure private goods) dan tidak terdapat asimetri informasi. Untuk barang-barang dan jasa-jasa yang tidak sepenuhnya merupakan barang privat murni, seringkali terjadi apa yang disebut sebagai kegagalan pasar, demikian juga jika terdapat asimetri informasi. Di semua negara, alokasi sumber daya tidak sepenuhnya diatur melalui mekanisme pasar tetapi juga terdapat campur tangan pemerintah melalui apa yang disebut sebagai kebijakan atau kebijakan publik. Seperti mekanisme pasar, tidak seluruhnya kebijakan pemerintah membuat alokasi menjadi lebih efisien dan efektif, seringkali yang terjadi malah sebaliknya. Situasi ini dikenal sebagai kegagalan pemerintah. Secara umum, peristiwa kegagalan pasar dan kegagalan pemerintah biasanya terjadi pada barang publik (public goods atau quasi public goods), common pool resources (CPRs), atau pada barang-barang dan jasa-jasa yang tidak bisa sepenuhnya dikategorikan sebagai barang privat. Sebagaimana dipaparkan dalam berbagai literatur, pengelolaan air tanah termasuk dalam kategori ini.
16 Untuk situasi seperti ini, Weimer dan Vining (1990) menyebutkan perlunya kebijakan generik untuk melakukan koreksi terhadap kegagalan pasar dan kegagalan pemerintah. Menurut mereka, kebijakan generik adalah berbagai tipe tindakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi problem kebijakan yang terjadi. Karena problem kebijakan biasanya kompleks dan kontekstual, maka kebijakan generik harus dibuat spesifik untuk menghasilkan kebijakan alternatif yang viable. Selanjutnya mereka mengelompokan kebijakan generik kedalam 5 kategori,
yakni:
(1) kebijakan
yang membebaskan, memfasilitasi,
dan
menstimulasi pasar; (2) kebijakan berbasis pajak dan subsidi; (3) menegakkan peraturan; (4) menyediakan barang-barang tidak melalui mekanisme pasar; dan (5) menyediakan asuransi dan bantalan ekonomi (providing insurance and cushions (economic protection)).
2.3. Nilai, Harga, dan Alokasi Air Tanah Nilai dan harga suatu barang berbeda, nilai diukur dari persepsi dan preferensi sedangkan harga terjadi karena adanya pertukaran ataupun ditetapkan. Kemper et.al. (2006) menyatakan nilai ekonomi sumber daya alam tergantung pada apa yang seseorang bisa lakukan dengan sumber daya tersebut dan tergantunng juga pada kelangkaannya dibandingkan dengan sumber daya alternatif lainnya. Dengan demikian nilai air tanah didapatkan dengan mengidentifikasi berbagai penggunaan yang bisa dilakukan terhadap sumber daya tersebut dan tergantung pada kelangkaan dan kualitasnya jika dibandingkan dengan air permukaan pada wilayah yang sama. Selanjutnya Kemper et.al. (2006) menyebutkan nilai ekonomi air tanah, yakni: (1) nilai penggunaan (use value), untuk keperluan air minum, industri, irigasi dan sebagainya; (2) diluar nilai penggunaan (non-use value) misalnya kemanfaatan untuk generasi yang akan datang; (3) nilai ekosistem, misalnya manfaat keberadaan air tanah untuk ekosistem, sungai, dan danau. Secara praktis nilai air tanah diukur dari kesediaan pemakai/pelanggan untuk membayar pengambilan dan pemanfaatan air tanah (WTP atau willingness to pay). Beberapa cara untuk mengukur WTP air tanah adalah residual value method dan hedonic pricing. Hensher (2005) melakukan penelitian untuk mengukur kesediaan
17 menbayar konsumen rumah tangga untuk layanan air minum dan air limbah rumah tangga di Canberra pada tahun 2002. Berbeda dengan penetapan nilai suatu barang, penetapan harga suatu barang seringkali ditentukan oleh banyak faktor untuk memenuhi dan memuaskan berbagai tujuan yang bisa berbeda-beda. Dalam hal penentuan harga air tanah pertimbangannya bisa bermacam-macam, seperti dipaparkan dalam Tabel 4 dan 5 misalnya efisiensi, keadilan, dan penerimaan masyarakat. Penetapan harga juga terkait dengan biaya. Kemper et.al. (2006) menyatakan biaya yang dikeluarkan pemakai/pelanggan air tanah lebih rendah dari total biaya ekonomi penggunaan air tanah yang meliputi biaya modal, biaya operasi dan pemeliharaan, pajak dan retribusi, biaya oportunitas social (social opportunity costs), dan biaya eksternal (in-situ value). Pemakai/pelanggan hanya mengeluarkan biaya modal, biaya operasi dan pemeliharaan, pajak dan retribusi, bahkan dalam beberapa kesempatan pengeluaran lebih rendah karena disubsidi atau tidak harus membayar retribusi dan pajak. Berbagai literatur menyatakan efisiensi konsumsi sumber daya alam terjadi jika harga sama dengan biaya marjinal ekstrasi sumber daya alam ditambah dengan scarcity rent (Moncur dan Pollock, 1988; Howe, 1979) atau
p
MC E
, dimana p, MCE, dan Ф, masing-masing menyatakan harga, biaya
marjinal ekstrasi dan scarcity rent. Grafton et.al. (2004) mengemukakan hal yang sama dengan menyatakan alokasi dinamik yang optimal akan menghasilkan persamaan
dimana
,
, dan
masing-masing menyatakan
manfaat marjinal, biaya marjinal, dan shadow price. Dalam teori ekonomi, transaksi terjadi pada saat harga yang dibayarkan sama dengan manfaat marjinal yang diterima, sedangkan shadow price pada dasarnya adalah harga yang harus diinternalisasi dalam kaitan dengan kelangkaan sumber daya alam. Scarcity rent dan shadow price diatas pada dasarnya tidak berbeda dan dapat disebut user cost. Komponen biaya inilah yang seharusnya dijadikan acuan untuk menentukan besarnya harga dasar air tanah. Alokasi sumber daya alam dibedakan menjadi alokasi statik dan alokasi dinamik. Alokasi statik artinya pengambilan dan pemanfaatan sumber daya alam pada masa sekarang tidak memiliki implikasi pada pengambilan dan pemanfaatan
18 sumber daya alam pada masa yang akan datang. Alokasi statik diterapkan untuk air permukaan, misalnya pengambilan dan pemanfaatan air di sungai dan danau. Siklus hidrologi menjamin sungai dan danau akan menyediakan air dalam jumlah yang relatif stabil pada masa yang akan datang. Sebaliknya alokasi dinamik artinya pengambilan dan pemanfaatan sumber daya alam pada masa sekarang memiliki implikasi pada pengambilan dan pemanfaatan sumber daya alam pada masa yang akan datang. Alokasi dinamik sesuai diterapkan untuk sumber daya air tanah karena pengambilan yang dilakukan oleh pihak ke-i pada saat sekarang akan mempengaruhi pengambilan pihak lain di masa yang akan datang. Model alokasi ini dipilih karena laju pengimbuhan air tanah selalu lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pengambilan dan pemanfaatan air tanah, sehingga cadangan air tanah menurun dari tahun ke tahun. Selain itu kualitas air yang masuk kembali ke dalam tanah biasanya lebih rendah dibandingkan air tanah yang diekstrasi, sehingga selain terjadi penurunan cadangan air tanah juga terjadi penurunan kualitas air tanah. Grafton et.al. (2004) menguraikan tahapan analisis dinamik alokasi air tanah, yang didasarkan pada model alokasi perencanaan sosial (social planner alocation) yakni: (1) Asumsikan volume cadangan air tanah pada satu waktu tertentu adalah dan laju pengimbuhan (diasumsikan konstan) adalah . (2) Pengambilan dan pemanfaatan air tanah oleh pemakai/pelanggan ke- pada waktu
adalah
dan pengambilan dan pemanfaatan secara agregat adalah
. (3) Cadangan air tanah dinamik tergantung besaran agregat relatif selisih antara pengambilan/pemanfaatan dan pengimbuhan, yakni
.
(4) Setiap pemakai/pelanggan air tanah menikmati manfaat sebesar sedangkan manfaat agregat adalah
.
(5) Setiap pemakai/pelanggan harus mengeluarkan biaya pemompaan air tanah sebesar
sedangkan biaya pemompaan agregat adalah
.
(6) Diasumsikan bahwa biaya pemompaan meningkat jika jumlah cadangan air tanah menurun, secara matematis dinyatakan
dan
,
dengan demikian pengambilan dan pemanfaatan air tanah oleh seorang
19 pemakai/pelanggan
menyebabkan
naiknya
biaya
pemompaan
pihak
pemakai/pelanggan lainnya untuk waktu sekarang ataupun waktu yang akan datang. (7) Diasumsikan semua pemakai/pelanggan menggunakan discount rate yang sama sebesar
dan jangka waktu .
(8) Berdasarkan asumsi yang dipaparkan diatas, alokasi optimal air tanah secara sosial
adalah
menentukan
rentang
waktu
untuk
pengambilan
dan
pemanfaatan agrgegat air tanah sehingga memaksimumkan nilai sekarang dari setiap pengambilan dan pemanfaatan dengan mempertimbangkan kendala hidrologi. Secara matematis, kebijakan perencanaan sosial alokasi dinamik air tanah tersebut adalah:
dengan kendala (a) (b) (9) Optimalisasi model diatas dilakukan dengan melakukan turunan pertama, dengan terlebih dahulu membentuk nilai sekarang (present value) persamaan Hamiltonian sebagai berikut: λt dimana λt adalah pengganda (multiplier) Lagrange. Untuk menyelesaikan persamaan tersebut persamaan Hamiltonian diubah dalam bentuk nilai yang berlaku (current value Hamiltonian) sebagai berikut:
dimana
.
Syarat perlu (necessary condition) yang dibutuhkan untuk optimisasi adalah: (a) (b) (c)
20 (d) (e)
(menyatakan bahwa pada akhir jangka waktu analisis cadangan atau nilai shadow price sama dengan nol)
(10) Syarat perlu diatas (bagian a dan b) dapat ditulis ulang dalam bentuk mengeliminasi indeks waktu dan notasi subscript, sehingga didapatkan: (a’)
Persamaan ini mengindikasikan bahwa ekstrasi air tanah sepanjang waktu harus mempertimbangkan situasi dimana manfaat marjinal sama dengan biaya marjinal. Biaya marjinal yang terletak pada sisi kanan terdiri dari dua komponen, yaitu biaya marjinal privat yang dikeluarkan oleh tiap-tiap pemakai/pelanggan air tanah (
) dan shadow price
cadangan air tanah yang menjelaskan bahwa kenaikan biaya pemompaan (ekstrasi) air tanah pada masa yang akan datang disebabkan berkurangnya ukuran akuifer akibat ekstrasi air tanah pada waktu yang sedang berjalan (current period). (b’) Masing-masing ruas persaman b dibagi dengan dieliminasi, maka akan dihasilkan persamaan
dan indeks waktu . Ruas kiri
menyatakan perubahan shadow price, sedangkan ruas kanan masingmasing menyatakan social discount rate dan perubahan relatif biaya pemompaan terhadap shadow price. Jika komponen kedua ruas kanan sama dengan nol, artinya pemompaan saat ini tidak mempengaruhi atau menaikkan biaya pemompaan pihak lain, maka dapat dinyatakkan artinya perubahan shadow price sama dengan social discount rate. Sebaliknya jika biaya pemompaan satu pihak mempengaruhi atau tepatnya menaikkan biaya pemompaan pihak lain, maka perubahan shadow price harus lebih besar dibandingkan dengan social discount rate.
21 Koundouri (2004) memberikan ilustrasi tentang penetapan harga air tanah yang ideal dengan menunjukkan secara jelas besarnya nilai kelangkaan air tanah (scarcity rent) yakni jarak cλ pada Gambar 1.
Harga air tanah (t)
Harga efisien Backstop cost p
λ
Steady-state user cost Biaya marjinal ekstrasi
c
qGt
qDk
Kuantitas air tanah (t)
Gambar 1. Model Penetapan Harga Air Tanah Moncur and Pollock (1988) membahas valuasi dan penetapan harga (pricing) yang berkaitan dengan kelangkaan air. Olmstead dan Stavins (2008) menyatakan pendekatan harga (price-based approaches) memiliki kelebihan dalam hal pemantauan dan penerapannya (enforcement). Berkenaan dengan metode penetapan harga air (water pricing), Tietenberg (2006) memaparkan berbagai metode penetapan harga dan karateristiknya, seperti dipaparkan dalam Tabel 6. Ia juga melakukan ulasan terhadap berbagai struktur penetapan tarif dengan mempertimbangkan variabel biaya per unit dan pemakaian. Struktur tarif yang dievaluasi adalah: uniform rate structure, declining block rate structure, inverted block rate structure, seasonal rate structure. Mengacu pada paparan yang disampaikannya, skema penetapan pajak air tanah di Jakarta menganut model volumetric, sedangkan struktur tarifnya inverted block rate structure atau bisa disebut sebagai increasing block rate.
22 Tabel 6. Metode Penetapan Harga Air dan Karateritiknya Skema Penetapan Harga
Implementasi
Efisiensi
Jangkauan Waktu Efisiensi
Kontrol terhadap permintaan
Volumetric
Complicated
First-best
Jangka pendek
Mudah
Output
Relatif mudah
Second-best
Jangka pendek
Relatif mudah
Input
Mudah
Second-best
Jangka pendek
Relatif mudah
Per-area
Paling mudah
None
n.a.
Sulit
Block-rate (tiered)
Relatif complicated
First-best
Jangka pendek
Relatif mudah
Two-part
Relatif complicated
First-best
Jangka panjang
Relatif mudah
First-best
Jangka pendek
n.a.
Water market
Difficult without preestablished institutions
Sumber : Tietenberg (2006)
2.4. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pajak daerah dan retribusi daerah di Indonesia diatur dalam Undang-udang Nomor 28 Tahun 2009 (UU 28/2009) tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Menurut undang-undang tersebut, air tanah masuk dalam ketentuan pajak daerah, tetapi tidak termasuk dalam ketentuan retribusi daerah. Meskipun demikian dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2006 masih terdapat retribusi daerah untuk air tanah, yaitu retribusi yang berkaitan dengan izin pengeboran sumur air tanah, izin juru bor air tanah dan sebagainya. Samudra (1996) menyatakan pajak daerah sebagai salah satu sumber pendapatan daerah telah berlangsung lama. Pasal 37 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 menyebutkan salah satu sumber pendapatan daerah adalah pajak dan retribusi daerah. Selanjutnya tahun 1957 dikeluarkan pula pengaturan tentang sumber pendapatan daerah, khususnya mengenai pajak daerah (Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957) dan retribusi daerah (Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1957). Pada pokoknya undang-undang darurat tentang pajak daerah menyebutkan beberapa hal, antara lain pengertian dari pajak daerah adalah
23 pungutan daerah menurut peraturan pajak yang diharapkan oleh daerah untuk pembiayaan rumah tangganya sebagai badan hukum publik. Undang-undang tersebut juga menjelaskan jenis pajak daerah provinsi dan kabupaten/kota, tetapi tidak terdapat pajak air tanah. Undang-undang darurat yang mengatur retribusi daerah juga tidak mencantumkan retribusi pengambilan dan pemanfaatan air tanah. Devas et.al (1989) menggunakan lima tolok ukur untuk menilai pajak daerah di Indonesia, yakni: (1) hasil (yield), (2) keadilan (equity), (3) daya guna ekonomi (economic efficiency), (4) kemampuan melaksanakan (ability to implement), dan (5) kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah (suitability asa local revenue source). Selanjutnya Devas et.al. (1989) melakukan penilaian beberapa jenis pajak daerah yang dianggap penting, tetapi tidak termasuk pajak air tanah. Tolok ukur yang digunakan suitability instrumen kebijakan, termasuk pajak, yang digunakan Hellegers dan van Ierland (2003) pada dasarnya tidak berbeda dengan yang digunakan Devas et.al. (1989). Definisi pajak daerah menurut UU 28/2009 adalah: “Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang teruang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal 1 ayat 10 UU 28/2009)”. Menurut UU 28/2009, pajak daerah dikelompokkan menjadi pajak provinsi dan kabupaten/kota, pasal 2 ayat 2g menyebutkan pajak air tanah termasuk jenis pajak kabupaten/kota. Untuk wilayah DKI Jakarta, pajak air tanah termasuk pajak provinsi. Pasal 67 sampai pasal 71 mengatur ketentuan tentang pajak air tanah. Beberapa ketentuan pokok yang dipaparkan dalam pasal-pasal tersebut antara lain: (1) objek pajak air tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah; (2) dikecualikan dari objek pajak air tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, peribadatan, pengambilan dan/atau pemanfaatan lainnya yang diatur dengan peraturan daerah; (3) dasar pengenaan pajak adalah NPA (nilai perolehan air tanah) yang dinyatakan dalam rupiah dan dihitung dengan mempertimbangkan jenis sumber air, lokasi sumber air, tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air,
24 volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan, kualitas air, tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air; (4) tarif pajak setinggi-tingginya 20%; (5) besaran pokok pajak air tanah adalah tarif pajak dikalikan NPA. Menurut UU 28/2009, retribusi daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Objek retribusi daerah adalah jasa umum, jasa usaha, dan perizinan tertentu. Jenis retribusi jasa umum antara lain retribusi pelayanan kesehatan, retribusi pelayanan persampahan/kebersihan, dan sebagainya seluruhnya terdapat 14 jenis retribusi. Jenis retribusi jasa usaha antara lain retribusi pemakaian kekayaan daerah, retribusi pasar grosir dan/atau pertokoan, dan sebagainya seluruhnya terdapat 11 jenis retribusi. Jenis retribusi perizinan tertentu antara lain retribusi izin mendirikan bangunan, retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol, dan sebagainya seluruhnya terdapat 5 jenis retribusi. Jumlah seluruh retribusi yang ditetentukan undang-undang sebanyak 30 jenis retribusi, dan tidak terdapat retribusi yang berkaitan dengan pengambilan dan pemanfaatan air tanah. Analisis tentang pajak air tanah dan retribusi air tanah biasanya tidak dimasukan dalam pembahasan tentang pajak daerah dan retribusi daerah karena besaran kontribusinya terhadap pendapatan asli daerah (PAD) kecil sekali dibandingkan dengan pajak kendaraan bermotor atau retribusi jasa usaha. Selain pajak kendaraan bermotor, pokok bahasan biasanya berkisar pada masalah pajak rokok, pajak hiburan, pajak hotel, retribusi pelayanan parkir, dan sebagainya.
2.5. Penelitian Terkait Pengelolaan Air Tanah Roseta-Palma (2003) menyatakan pada umumnya literatur ekonomi tentang air bawah tanah dapat dibagi menjadi dua bidang, yakni: (1) makalah yang mengevaluasi berbagai skema biaya pengelolaan akuifer (aquifer), tanpa memperhatikan kualitas air; dan (2) makalah yang berkaitan dengan masalah kontaminasi oleh berbagai bahan pencemar. Berbeda dengan kecenderungan tersebut, ia melakukan penelitian yang membahas kedua aspek tersebut, dan
25 menemukan bahwa jika kualitas dan kuantitas akuifer adalah penting, maka kebijakan yang optimal harus merefleksikan hubungan antara keduanya. Dalam artikel ini, Roseta-Palma (2003) juga memaparkan bahwa air tanah biasanya dieksploitasi berdasarkan rejim common property right, dimana akses dibatasi oleh kepemilikan lahan yang dibawahnya terdapat lapisan akuifer. Pernyataan serupa muncul atau disinggung dalam penelitian lainnya, antara lain Syaukat dan Fox (2004) menyatakan air tanah di Jakarta secara de facto dieksploitasi sebagai sumber daya alam “open acces” ketimbang sebagai aset milik negara; Rubio dan Casino (2003) menyebut pemanfaatan air tanah sebagai “common property extraction”. Posisi air tanah sebagai sumber daya alam yang bersifat “open acces” ataupun “common property right” akan mengakibatkan terjadinya pemanfaatan atau pemompaan air tanah yang tidak efisien, dan mempercepat terjadinya deplesi sumber daya alam tersebut. Roseta-Palma (2003) menyatakan pada umumnya literatur ekonomi tentang air bawah tanah dapat dibagi menjadi dua bidang, yakni: (1) makalah yang mengevaluasi berbagai skema biaya pengelolaan akuifer (aquifer), tanpa memperhatikan kualitas air; dan (2) makalah yang berkaitan dengan masalah kontaminasi oleh berbagai bahan pencemar. Berbeda dengan kecenderungan tersebut, ia melakukan penelitian yang membahas kedua aspek tersebut, dan menemukan bahwa jika kualitas dan kuantitas akuifer adalah penting, maka kebijakan yang optimal harus merefleksikan hubungan antara keduanya. Dalam artikel ini, Roseta-Palma (2003) juga memaparkan bahwa air tanah biasanya dieksploitasi berdasarkan rejim common property right, dimana akses dibatasi oleh kepemilikan lahan yang dibawahnya terdapat lapisan akuifer. Pernyataan serupa muncul atau disinggung dalam penelitian lainnya, antara lain Syaukat dan Fox (2004) menyatakan air tanah di Jakarta secara de facto dieksploitasi sebagai sumber daya alam “open acces” ketimbang sebagai aset milik negara; Rubio dan Casino (2003) menyebut pemanfaatan air tanah sebagai “common property extraction”. Posisi air tanah sebagai sumberdaya alam yang bersifat “open acces” ataupun “common property right” akan mengakibatkan terjadinya pemanfaatan atau pemompaan air tanah yang tidak efisien, dan mempercepat terjadinya deplesi sumberdaya alam tersebut.
26 Penelitian seperti ini sebelumnya pernah dilakukan, antara lain: (1) Syaukat dan Fox (2004), mengevaluasi efisiensi pengelolaan bersama (conjunctive) air permukaan dan air tanah di Provinsi DKI Jakarta; (2) Hellegers dan van Ierland (2003), mengevaluasi suitability (efektivitas, efisiensi ekonomi, efisiensi teknis, kelayakan administrasi, equity, dan acceptability) instrumen ekonomi untuk pengelolaan air tanah untuk kepentingan irigasi di Belanda; dan (3) Ebarvia (1997), tentang penetapan harga (pricing) pemanfaatan air tanah untuk industri di Manila. Perbedaan dengan Syaukat dan Fox (2004), penelitian ini hanya fokus pada pemanfaatan air tanah, sedangkan perbedaan dengan Hellegers dan van Ierland (2003) penelitian ini dilakukan untuk pemanfaatan industri. Perbedaan dengan Ebarvia (1997) adalah cakupan pembahasan yang lebih luas dan perbedaan karateristik lokasi. Mengacu pada paparan tentang berbagai instrumen kebijakan (Hellegers dan van Ierland, 2003), penerapan kebijakan generik (Weimer dan Vining, 1990), serta skema dan struktur tarif sebagaimana dipaparkan Tietenberg (2006), maka formulasi kebijakan pengelolaan air tanah di Provinsi DKI Jakarta bisa dilakukan dengan kemungkinan yang lebih variatif.
27
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis Air tanah adalah salah satu sumber daya alam yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia. Cadangan air tanah di dunia cenderung menurun, karena meskipun merupakan sumber daya alam yang bisa pulih tetapi memiliki kecenderungan mengalami deplesi (Hartwick dan Olewiler (1998), Koundouri (2004), dan Tietenberg (2006)), karena laju ekstrasi lebih besar dari laju pengimbuhan. Pada umumnya air tanah adalah sumber daya yang dimiliki negara, tetapi secara “de facto” rejim pengelolaannya adalah “open access” karena pengambilan air tanah bisa dilakukan diatas lahan yang dilindungi oleh hak milik perorangan atau badan. Pada situasi seperti ini diperlukan peran pemerintah dalam bentuk formulasi dan implementasi kebijakan untuk membatasi pengambilan dan pemanfaatan air tanah. Koundouri (2004) menyatakan tanpa kebijakan dapat terjadi kesalahan alokasi pengambilan dan pemanfaatan air tanah. Pajak dan retribusi merupakan instrumen yang banyak dipakai untuk membatasi pengambilan dan pemanfaatan air tanah. Berbagai literatur juga banyak membahas dan merekomendasikan instrumen ini, misalnya Sterner (2003) dan Kemper et.al. (2006), meskipun meskipun tidak selalu lebih baik (Hellegers dan van Ierland, 2003). Akurasi penggunaan instrumen pajak dan retribusi sangat tergantung pada seberapa tepat penetapan perhitungan harga air tanah. Penetapan harga air tanah pada umumnya hanya didasarkan pada biaya ekstrasi, tidak memasukan nilai kelangkaan sumber daya air tanah. Konsep dan praktik seperti ini menyebabkan harga air tanah menjadi lebih rendah dibandingkan harga semestinya (Howe (1979), Moncur dan Pollock (1988), Koundouri (2004), dan Grafton et.al. (2004)). Alokasi pengambilan dan pemanfaatan air tanah harus didasarkan pada analisis dinamik. Penetapan jangka waktu (time horizon) pengambilan air tanah dan penetapan discount rate, pertimbangan hidrologis terkait laju pengimbuhan harus menjadi pertimbangan utama untuk melakukan alokasi dinamik. Output alokasi dinamik memungkinkan – dan seharusnya seperti itu – terjadi perbedaan besaran harga dasar air di berbagai lokasi pengambilan dan pemanfaatan air dalam
28 satu wilayah administrasi pemerintahan. Dengan demikian dimungkinkan terjadi perbedaan penetapan besaran pajak air tanah dalam satu satuan wilayah administrasi.
3.2. Kerangka Operasional Prioritas pemenuhan kebutuhan air bersih di Provinsi DKI bersumber dari air permukaan yang disediakan oleh PAM DKI Jakarta. Prioritas ini sulit diwujudkan karena: (a) harga perolehan air tanah lebih murah dibandingkan dengan tarif air bersih PAM DKI Jakarta; (b) cakupan pelayanan PAM DKI Jakarta tidak memadai karena pertumbuhan kapasitas produksi relatif tetap sementara permintaan terus meningkat; (c) kelemahan penegakan peraturan menyebabkan rejim pengelolaan air tanah yang pada dasarnya merupakan sumber daya milik negara secara de facto merupakan open acces (Syaukat dan Fox (2004)). Pemanfaatan dan pengambilan air tanah di Provinsi DKI Jakarta diduga telah sampai pada tahap yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan muka air tanah, intrusi air laut dan amblesan (Schmidt et.al. (1990), Djaja et.al. (2004), Tresnadi (2007), Delinom (2008), dan Abidin et.al. (2009)). Sterner (2003) menyatakan masalah kelangkaan air tanah disebabkan oleh beberapa faktor, terutama karena kesalahan alokasi atau penggunaan, dan lemahnya manajemen dan peraturan yang terkait dengan pengambilan air tanah. Kebijakan pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta saat ini perlu diperbarui, khususnya disesuaikan dengan kebijakan nasional pengelolaan air tanah yang diterbitkan setelahnya. Salah satu kebijakan yang baru dikeluarkan adalah menaikkan NPA (nilai perolehan air tanah) sebagai dasar penetapan besaran pajak air tanah. Pajak air tanah adalah perkalian tarif pajak dengan NPA. Kewenangan menetapkan tarif pajak air tanah ada pada pemerintah pusat, yakni maksimal sebesar 20% seperti termaktub dalam undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Kenaikan NPA ini diharapkan menurunkan pengambilan dan pemanfaatan air tanah, khususnya sumur-sumur bor yang berada dalam wilayah dalam cakupan pelayanan PAM DKI Jakarta.
29 Pajak air tanah di Provinsi DKI Jakarta dibuat untuk pembatasan penggunaan dan konservasi air tanah. Mempertimbangkan teori dan fenomena pengelolaan air tanah diatas, dapat dinyatakan terdapat kebutuhan untuk melakukan analisis dan evaluasi kebijakan pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta. Berkenaan dengan pemahaman dan fenomena yang dipaparkan diatas, model kerangka pemikiran peneltian ini adalah sebagai berikut:
PERMASALAHAN
KEBIJAKAN DAN INSTRUMEN
ANALISIS DAN EVALUASI
Kebijakan
Analisis
Kebutuhan Air DKI Jakarta (Terus Meningkat)
Kapasitas Produksi Tetap Instrumen Non Ekonomi Instrumen Ekonomi
PAM DKI Jakarta
Kelebihan Permintaan Air Tanah
Penurunan muka air tanah
Ekstrasi Air Tanah Berlebihan
Amblesan Air Tanah
Evaluasi
Dampak thd industri dan niaga Dampak thd kelestarian air tanah (deplesi air tanah)
Intrusi Air Laut
SOLUSI
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian
Pada dasarnya kerangka pendekatan studi tersebut menggambarkan sasaran penelitian ini, yaitu pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang proporsional melalui analisis dan evaluasi kebijakan dan instrumen eksisting. Pemanfaatan air tanah yang optimal kemudian diharapkan dapat mencegah terjadinya
permasalahan lingkungan
yang memiliki
dampak luas bagi
kesejahteraan masyarakat, yakni penurunan muka air tanah, amblesan, dan intrusi
30 air laut. Analisis dan evaluasi akan didasarkan pada pendekatan ekonomi sumber daya dan lingkungan yang beranjak dari keseimbangan kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.
31
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengumpulan dan analisis data akan dilakukan selama 3 bulan, Pebruari 2010–April 2010, sedangkan penyelesaian seluruh tahapan penelitian diperkirakan memerlukan waktu selama 6 bulan sejak mulai dilakukannya kegiatan pengumpulan data. Lokasi penelitian di wilayah Provinsi DKI Jakarta.
4.2. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder yang bersumber dari instansi BPLHD (Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah) Provinsi DKI Jakarta, BPS Provinsi DKI Jakarta, PAM DKI Jakarta, dan berbagai peraturan perundangan terkait pengelolaan air tanah yang tersedia di internet. Data penelitian dikumpulkan dengan metode observasi dokumen. Data dan sumber data penelitian dipaparkan dalam Tabel 7. Tabel 7. Data Penelitian Data
Sumber
Sumur bor dan sumur pantek
BPS Provinsi DKI Jakarta
Pemakaian air tanah
BPS Provinsi DKI Jakarta
Rekening pelanggan air tanah1)
BPLHD Provinsi DKI Jakarta
Pajak Air Tanah
BPLHD Provinsi DKI Jakarta
Kapasitas produksi dan pemakaian air PAM DKI Jakarta
BPS Provinsi DKI Jakarta
Tarif Air pemakaian air PAM DKI Jakarta
PAM DKI Jakarta
Peraturan perundangan terkait air tanah
Internet
Keterangan:
1)
adalah data primer, yang lainnya data sekunder. Data primer diartikan tidak dipublikasikan.
32 4.3. Teknik Analisis Data Data yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi data kuantitatif dan teks yang bersumber dari peraturan perundangan. Uraian berikut menjelaskan beberapa teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini. 4.3.1. Analisis Isi (Content Analysis) Crowley dan Delfico (1996) menyatakan bahwa salah satu aplikasi metode analisis isi (content analysis) adalah menganalisis dokumen atau material tertulis. Teknik ini dapat digunakan oleh pemeriksa (evaluator) untuk memeriksa teks dalam berbagai material tertulis seperti laporan ataupun artikel. Metode ini dapat digunakan untuk menganalisis dan mengklasifikasikan kalimat/teks untuk kepentingan penarikan kesimpulan. Salah satu fungsi lain metode ini adalah mengklasifikasikan atau mengelompokan kata-kata yang banyak sekali kedalam kategori yang lebih kecil yang memuat inti (content) dari dokumen/material yang sedang dievaluasi. Cooper dan Schindler (1998) menyatakan metode analisis isi (content analysis) digunakan untuk menganalisis jawaban responden untuk pertanyaan-pertanyaan terbuka (open questions). Metode ini dapat digunakan untuk menganalisis dokumen tertulis, audio, dan video yang dihasilkan dari percobaan, obsrvasi, survei, ataupun analisis data sekunder. Dalam penelitian ini teknik analisis isi atau analisis isi dokumen akan dilakukan untuk mengevaluasi Pergub 37/2009 dan berbagai peraturan perundangan lainnya. 4.3.2. Analisis Beda Dua Rata-rata (Comparing Means) Analisis beda dua rata-rata digunakan untuk mengetahui perbedaan (difference atau biasa disingkat
) rata-rata pengambilan dan pemanfaatan air
tanah sebelum dan sesudah diberlakukannya peraturan gubernur tentang NPA yang baru. Prioritas metode analisis yang digunakan adalah uji-t untuk sampel berpasangan (matched paired samples). Metode ini merupakan pengujian parametrik yang didasarkan pada asumsi sampel berpasangan (paired samples) dan populasi perbedaan terdistribusi normal (normal differences). Asumsi pertama dapat dipenuhi karena penelitian ini menggunakan data sampel berpasangan. Pengujian asumsi kedua dilakukan dengan uji normalitas terhadap sebaran data
33 menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov (uji KS). Jika asumsi sebaran normal tidak dipenuhi, akan digunakan uji-z sampel berpasangan atau metode nonparametrik. Jenis dan prosedur pemilihan teknik analisis data dipaparkan dalam Gambar 3.
Apakah populasi perbedaan pengambilan dan pemanfaatan air tanah sebelum dan sesudah NPA yang baru terdistribusi normal?
Uji-t sampel berpasangan
Ya
Ya/Tidak
Tidak
Sampel besar? ( n ≥ 30 ) Uji-z sampel berpasangan
Ya
Ya/Tidak Uji Permutasi Sampel Berpasangan
Tidak
Apakah n > 12 ?
The Wilcoxon Signed Ranks Test
Ya/Tidak
Ya
Gambar 3. Bagan Alir Teknik Analisis Data Beda Dua Rata-rata
34 Untuk kepentingan perhitungan uji KS, uji-t dan uji-Wilcoxon (The Wilcoxon Signed Ranks Test) digunakan paket program komputasi SPSS. Field (2005) memaparkan prosedur komputasi dan tinjauan teori untuk uji-uji tersebut. Perhitungan uji-z dan uji permutasi dilakukan secara manual. 4.3.3. Uji Kolmogorov-Smirnov Uji Kolmogorov-Smirnov (uji K-S) digunakan untuk menguji kenormalan sebaran data, dalam penelitian ini digunakan untuk menguji apakah sebaran terdistribusi normal. Pada dasarnya prinsip kerja uji K-S adalah membandingkan bentuk sebaran data yang diobservasi dengan bentuk sebaran teoritis, dalam hal ini sebaran normal. Pengujian apakah sebaran hasil observasi terdistribusi normal atau tidak akan dilakukan dengan paket komputasi SPSS. Jika nilai statistik K-S signifikan, yakni nilai p-value ≤ 0,05 maka sebaran
tidak terdistribusi normal. Nilai
statistik K-S menjelaskan simpangan atau deviasi sebaran observasi (sebaran
)
terhadap sebaran teoritis (sebaran normal), sehingga jika statistik K-S signifikan artinya sebaran observasi signifikan menyimpang dari sebaran teoritis. Prosedur penggunaan program SPSS adalah sebagai berikut: (1) input data
pada lembar input data (SPSS Data Editor), kemudian variabel
diberi nama ; (2) Pilih Analyze – Nonparametric Tests – 1 Sample K-S. Setelah muncul kotak dialog, isikan variabel
pada kotak Test Variable List, selanjutnya pada kotak
Test Distribution pilih/centang Normal; (3) Pada lembar output lihat nilai Sig., jika nilainya kurang atau sama dengan 0,05 berarti sebaran tidak normal, sebaliknya jika nilainya lebih besar dari 0,05 berarti sebaran terdistribusi normal. 4.3.4. Uji-t Sampel Berpasangan Prosedur uji-t sampel berpasangan, sebagaimana dipaparkan dalam banyak buku statistika, misalnya Black (1997) dan Weiss (1993), adalah sebagai berikut: Menetapkan model pengujian hipotesis. Dalam penelitian ini model pengujian hipotesisnya adalah: dan
35 Hipotesis nol bermakna tidak terdapat perbedaan rata-rata pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta sebelum dan sesudah diberlakukannya NPA yang baru. Hipotesis alternatif bermakna terdapat perbedaan – dalam hal ini penurunan – rata-rata pengambilan air tanah sebelum dan sesudah diberlakukannya NPA yang baru. Menentukan tingkat signifikansi (level of significance) atau nilai penelitian ini ditetapkan
.
Menetapkan nilai kritis atau nilai
, dalam hal ini dicari dari tabel
distribusi t dengan derajat bebas
, dimana
adalah jumlah sampel.
Menghitung perbedaan untuk setiap pasangan data, yakni dan
. Dalam
. Nilai
masing-masing menunjukkan rata-rata pengambilan dan
pemanfaatan air tanah per bulan sebelum dan sesudah diberlakukannya NPA yang baru untuk masing-masing sampel. Menghitung nilai nilai
dengan rumus sebagai berikut:
dimana
dan
Menentukan keputusan, menolak atau menerima hipotesis nol. Dalam hal ini hipotesis nol ditolak jika: atau Prosedur penggunaan program SPSS untuk uji-t adalah sebagai berikut: (1) input data penggunaan air tanah sebelum dan sesudah pemberlakukan NPA yang baru pada lembar input data (SPSS Data Editor), kemudian variabel diberi nama
dan
.
(2) Pilih Analyze – Compare Means – Paired-Samples T Test. Setelah muncul kotak dialog, isikan variabel
dan
, setelah itu tekan OK.
(3) Pada lembar output lihat nilai Sig., jika nilainya kurang atau sama dengan 0,05 berarti signifikan atau tolak hipotesis nol. 4.3.5. Uji-z Sampel Berpasangan Uji-z digunakan jika asumsi normalitas pada uji-t tidak dipenuhi tetapi jumlah sampel besar (Weiss, 1993). Pengertian sampel besar adalah
30. Pada
dasarnya semua tahapan pengujian sama dengan prosedur uji-t, perbedaanya
36 hanya terletak pada penetapan statistik uji (
) dan wilayah penolakan
hipotesis nol. Nilai statistik uji dihitung dengan rumus sebagai berikut: dimana
dan
Untuk tingkat signifikansi 5% dan pengujian dua arah (two-tailed) nilai = ±1,96. Dengan demikian, keputusannya adalah menolak hipotesis nol (
) jika
1,96 atau
-1,96. Menolak hipotesis nol
artinya menerima hipotesis alternatif, yakni
.
4.3.6. Uji Permutasi Sampel Berpasangan Prosedur dan asumsi uji permutasi sampel berpasangan (the permutation test for paired replicates), sebagaimana dipaparkan dalam Siegel dan Castellan, Jr. (1988), adalah sebagai berikut: Uji ini mensyaratkan skala pengukuran data interval. Nilai
dalam penelitian
ini memenuhi persyaratan tersebut. Menetapkan model pengujian hipotesis. Dalam penelitian ini model pengujian hipotesisnya adalah: dan Hipotesis nol bermakna tidak terdapat perbedaan rata-rata pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta sebelum dan sesudah diberlakukannya NPA yang baru. Hipotesis alternatif bermakna terdapat perbedaan – dalam hal ini penurunan – rata-rata pengambilan air tanah sebelum dan sesudah diberlakukannya NPA yang baru. Menentukan tingkat signifikansi (level of significance) atau nilai sampel. Dalam penelitian ini ditetapkan
dan jumlah
= 0.05 dan jumlah sampel N.
Menyusun daftar pasangan sampel dan menghitung perbedaannya ( ), kemudian mencari nilai
.
Menentukan sebaran sampel, yakni semua kemungkinan
untuk semua
kemungkikan permutasi tanda . Jumlah kemungkinan sebaran sampel ditentukan dengan rumus
,
.
Menentukan daerah penolakan hipotesis nol dengan rumus pengujian dua arah (two-tailed), jumlah nilai ekstrim
. Untuk
terbesar (largest)
37 dan nilai ekstrim
terkecil (smallest) dihitung dengan rumus
dibagi 2. Menentukan keputusan menolak atau menerima hipotesis nol. Dalam hal ini hipotesis nol ditolak jika nilai
terletak diantara kelompok nilai-nilai
ektrim terbesar atau terkecil. Menurut Siegel dan Castellan, Jr. (1988) untuk sampel besar, misalnya , jumlah semua kemungkinan adalah 213 = 8.192 kemungkikan. Jika ditetapkan
= 0.05, maka didapatkan total 410 kemungkinan nilai
ektrim. Perhitungan semua kemungkinan nilai
ektrim akan sangat
melelahkan, untuk itu Siegel dan Castellan, Jr. (1988) mngusulkan digunakan uji The Wilcoxon Signed Ranks Test. 4.3.7. The Wilcoxon Signed Ranks Test Prosedur dan asumsi The Wilcocon Signed Rank Test (dalam penelitian ini selanjutnya disebut uji Wilcoxon), sebagaimana dipaparkan dalam Kiess (2002), adalah sebagai berikut: Langkah 1, menetapkan model pengujian hipotesis. Dalam penelitian ini model pengujian hipotesisnya adalah: dan Hipotesis nol bermakna tidak terdapat perbedaan rata-rata pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta sebelum dan sesudah diberlakukannya NPA yang baru. Hipotesis alternatif bermakna terdapat perbedaan – dalam hal ini penurunan – rata-rata pengambilan air tanah sebelum dan sesudah diberlakukannya NPA yang baru. Menentukan tingkat signifikansi (level of significance) atau nilai penelitian ini ditetapkan
. Dalam
.
Menetapkan nilai kritis atau nilai
, dalam hal ini dicari dari tabel nilai
kritis uji-Wilcoxon (Lampiran 3.1.). Nilai
dicari sesuai dengan nilai
dan . Menghitung nilai
dengan cara sebagai berikut:
- Menghitung perbedaan untuk setiap pasangan data, yakni Nilai
dan
.
masing-masing menunjukkan rata-rata pengambilan dan
38 pemanfaatan air tanah per bulan sebelum dan sesudah diberlakukannya NPA yang baru untuk masing-masing sampel. - Mencari nilai
dan kemudian mengurutkannya (ranked) dari mulai dari
nilai paling kecil sampai yang terbesar. Nilai analisis, sehingga nilai
0 tidak dimasukan dalam
untuk mencari
adalah nilai jumlah sampel
setelah dikurangi jumlah sampel yang memiliki nilai - Hasil pengurutan
0
kemudian diberi tanda + atau – sesuai dengan nilai
perbedaan ( ) yang telah dihitung sebelumnya. - Jumlahkan hasil pengurutan (signed rank) berdasarkan tandanya, sehingga akan didapatkan nilai penjumlahan ranking positif (
atau
selanjutnya ditulis
atau
selanjutnya ditulis
dan penjumlahan ranking negatif ( .
- Bandingkan nilai absolut kedua nilai bandingkan dengan nilai Keputusan, jika
, pilih yang paling kecil dan
. kesimpulannya tolak
Untuk sampel besar, menurut Freund (1984) jika
atau terima
.
15, distribusi sampel
akan mendekati distribusi normal. Mengacu pada prosedur yang dipaparkan Freund (1984), untuk sampel besar prosedur uji-Wilcoxon dihitung sebagai berikut: Rata-rata dan standar deviasi -
adalah sebagai berikut:
dan
Mencari nilai
dengan rumus sebagai berikut:
Untuk tingkat signifikansi 5% dan pengujian dua arah (two-tailed) nilai = ±1,96. Dengan demikian, keputusannya adalah menolak hipotesis nol (
) jika
1,96 atau
-1,96.
39
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Keadaan Geografi dan Iklim Kota Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata ±7 meter diatas permukaan laut, terletak pada posisi 6º12’ LS dan 106º48’ BT. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 1227 tahun 1989 adalah berupa daratan seluas 661,52 km2 dan berupa lautan seluas 6.977,5 km2. Wilayah Jakarta memiliki tidak kurang dari 110 buah pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu, dan sekitar 27 sungai/saluran/kanal yang digunakan sebagai sumber air minum, usaha perikanan dan usaha perkotaan. Dari sejumlah sungai/kanal yang ada, hanya terdapat 3 sungai yang peruntukannya adalah untuk air baku air minum, yaitu Krukut, Mookervart, dan Kalibaru Barat. (BPS Provinsi DKI Jakarta, 2008). Wilayah administrasi Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah kota administrasi dan satu kabupaten administratif, yaitu Kota Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Kabupaten Kepulauan Seribu masing-masing dengan luas daratan 141,27 km2, 188,03 km2, 48,13 km2, 129,54 km2, 146,66 km2, dan 8,70 km2. Daerah di sebelah selatan dan timur Jakarta terdapat rawa/situ dengan total luas mencapai 121,40 Ha. Kedua wilayah ini cocok digunakan sebagai daerah resapan air, dengan iklimnya yang lebih sejuk sehingga ideal dikembangkan sebagai wilayah pemukiman penduduk. Adapun wilayah Jakarta Barat masih tersedia cukup lahan untuk dikembangkan sebagai daerah perumahan. Kegiatan industri lebih banyak terdapat di daerah Jakarta Utara dan Jakarta Timur sedangkan untuk kegiatan usaha dan perkantoran banyak terdapat di Jakarta Barat, Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Secara umum Jakarta beriklim panas dengan rata-rata suhu udara maksimum berkisar 34,1ºC pada siang hari dan minimum berkisar 23,5ºC pada malam hari. Kelembaban udara maksimum rata-rata sebesar 88,0% dan minimum rata-rata sebesar 71,8%, dengan rata-rata curah hujan sepanjang tahun sebesar 174,8 mm2.
40 5.2. Kependudukan Jumlah penduduk DKI Jakarta, berdasarkan hasil estimasi Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2007 penduduk DKI Jakarta sebanyak 9,06 juta jiwa. Dengan luas wilayah 662,33 km2 berarti kepadatan penduduknya mencapai 13,7 ribu/km2, sehingga menjadikan provinsi ini sebagai wilayah terpadat penduduknya di Indonesia.Dari jumlah tersebut penduduk perempuan lebih banyak dari penduduk laki-laki, seperti yang tampak dari Sex Ratio yang kurang dari 100 yaitu 99,49. Pertumbuhan penduduk mengalami peningkatan dari 0,15 persen pada periode 1990-2000 menjadi 1,11 persen pada periode 2000-2007. Hal ini bukan berarti program KB dinilai kurang berhasil, namun dengan jumlah penduduk yang sudah terlampau besar serta pendatang baru yang cenderung terus bertambah, maka pengaruh keberhasilan program KB tersebut tidak terlihat nyata hasilnya. Tabel 8 memaparkan data kependudukan Provinsi DKI Jakarta. Tabel 8. Penduduk, Rumah Tangga, dan Rata-rata Jumlah Anggta Rumah Tangga di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2007
Penduduk
Jakarta Selatan
2.100.930
522.288
4,02
Jakarta Timur
2.421.419
617.952
3,92
Jakarta Pusat
889.680
226.800
3,92
Jakarta Barat
2.172.878
535.296
4,06
Jakarta Utara
1.453.106
357.696
4,06
19.980
4.480
4,46
9.057,993
2.264.512
Kep. Seribu Jumlah
Rumah Tangga
Rata-rata Anggota Rumah Tangga
Kota/Kabupaten
Sumber: Jakarta Dalam Angka 2008
5.3. Kapasitas Produksi dan Konsumsi Air Bersih PAM DKI Jakarta PAM DKI Jakarta belum mampu melayani seluruh kebutuhan air bersih di Provinsi DKI Jakarta dan hanya memiliki jangkauan pelayanan (service coverage) kurang dari 50%. Kapasitas produksi air bersih PAM DKI Jakarta dari tahun 2004
41 sampai 2008 relatif tidak berubah seperti ditunjukkan dalam Tabel 9, hal ini disebabkan jumlah dan kapasitas produksi instalasi produksi air bersih juga tidak berubah. Tabel 9. Kapasitas Air Bersih PAM DKI Jakarta Tahun 2008 (dalam m3) Instalasi
2004
2005
2006
2007
2008
Pejompongan I
48.379.753
54.795.195
55.583.504
57.004.060
57.266.263
Pejompongan II
89.853.290
103.036.160
99.422.690
95.264.240
95.569.580
Cilandak
10.324.974
11.920.650
9.933.805
9.064.908
10.727.336
Pulo Gadung
121.024.980
120.889.910
119.994.420
116.993.480
117.371.440
Buaran
158.377.660
154.393.490
160.767.072
137.103.210
149.268.640
4.511.350
5.102.529
3.209.972
203.174
-
-
-
-
-
-
Ciburial
2.072.295
1.350.538
603.464
78.417
-
Cengkareng
2.208.304
2.565.954
2.662.372
2.413.972
-
32.355
31.770
12.399
13.596
30.076
Cisadane (DCR-4)
50.648.690
53.605.595
52.666.874
55.892.063
60.401.744
Cisadane (DCR-5)
31.556.694
28.916.517
30.130.678
25.726.597
24.459.914
518.990.345
536.608.308
534.987.250
495.757.717
515.094.993
Taman Kota Condet
DW Rawabambu
Total
Sumber: Jakarta Dalam Angka 2005-2009
Sampai akhir tahun 2008 jumlah pelanggan PAM DKI Jakarta sekitar 778.044 pelanggan dan kubikasi air terjual sekitar 258.939.302, seperti ditunjukkan dalam Tabel 10. Jumlah air yang hilang, dalam artian tidak menghasilkan pendapatan atau NRW (non-revenue water) dari tahun ke tahun cukup besar, kurang lebih sekitar separuh dari jumlah air yang diproduksi. Pelanggan air PAM DKI Jakarta terdiri dari kelompok sosial, non niaga, niaga, industri, khusus/rumah susun, dan kelompok lain-lain. Pada tahun 2008, pelanggan terbesar adalah non niaga dan niaga. Rincian jenis pelanggan tahun 2004 sampai 2008 dipaparkan dalam Tabel 11.
42 Tabel 10. Jumlah Pelanggan, Produksi Air Bersih PAM DKI Jakarta, dan Jumlah Air yang Terjual Tahun 2004-2008 (dalam m3) Tahun
Jumlah Pelanggan
Produksi
Jumlah Air Terjual
NRW (%)
2004
705.890
518.990.345
270.908.257
47,80
2005
708.919
536.608.308
267.080.481
50,23
2006
725.441
534.987.250
266.221.436
50,24
2007
755.555
499.757.717
252.017.908
49,57
2008
778.044
504.194.835
258.939.302
48,64
Sumber: Jakarta Dalam Angka 2005-2009
Tabel 11. Komposisi Pelanggan Air Bersih PAM DKI Jakarta 2004-2008 Jenis Pelanggan
2004
2005
2006
2007
2008
1. Sosial
5.529
5.594
5.480
7.976
7.998
A. Sosial Umum
5.151
5.210
5.087
7.630
7.651
B. Sosial Khusus
378
384
393
346
347
634.044
635.709
650.604
662.495
679.490
632.680
634.296
649.174
659.661
676.648
70
131
127
129
126
1.294
1.282
1.303
2.705
2.716
61.467
62.855
64.420
82.442
87.917
A. Niaga Kecil (a)
24.450
25.341
25.637
19.842
22.632
B. Niaga Kecil (b)
2.392
2.421
2.481
23.284
23.695
C. Niaga Besar (a)
34.339
34.790
35.979
38.969
41.234
D. Niaga Besar (b)
286
303
323
347
356
1.254
1.246
1.260
1.648
1.675
A. Industri Kecil
299
289
295
342
374
B. Industri Besar
955
957
965
1.306
1.301
5. Khusus/Rumah Susun
2.321
2.312
2.424
33
34
6. Lain-lain
1.275
1.203
1.253
961
930
705.890
708.919
725.441
755.555
778.044
2. Non Niaga A. Rumah Tangga B. Kudutaan C. Instansi Pemerintah 3. Niaga
4. Industri
Total
Sumber: Jakarta Dalam Angka 2005-2009
43 Kapasitas produksi PAM DKI Jakarta yang relatif tidak bertambah dan jumlah pelanggan yang terus bertambah, seperti ditunjukkan dalam Tabel 11 dan 12, akan menimbulkan kelebihan permintaan yang terus bertambah dari tahun-ke tahun sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk, perkembangan niaga, industri, sosial, dan urbanisasi pada umumnya. Jika situasi ini tidak berubah, pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta juga akan terus meningkat dari tahun ke tahun.
5.4. Pemakaian Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta Pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta dilakukan melalui sumur bor dan sumur pantek. Definisi sumur bor menurut Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 1998 adalah sumur yang pembuatannya dilakukan dengan cara pemboran dengan kedalaman lebih dari 40 meter dan menggunakan pipa berdiameter 4 inchi (10 cm) atau lebih, sedangkan sumur pantek adalah sumur yang pembuatannya dilakukan dengan manual pemboran dengan kedalaman tidak lebih dari 40 meter dan menggunakan pipa diameter maksimal 3 inci (7½ cm). Sampai bulan akhir tahun 2008 jumlah pelanggan sumur bor dan sumur pantek 3.959 sumur, terdiri dari pelanggan/kode tarif sebagai berikut: instansi pemerintah dan sosial 239 sumur, non niaga 251 sumur, niaga kecil 384 sumur, industri kecil 59 sumur, niaga besar 2.381 sumur, dan industri besar 645 sumur. Jumlah pelanggan sumur bor dan sumur pantek setiap bulan dari tahun 2004 sampai 2008 dipaparkan dalam Tabel 12. Sampai akhir tahun 2008 jumlah pemakaian air tanah sebesar 21.879.412 m3, terdiri dari pemakaian melalui sumur bor sebesar 18.805.854 m3 dan pemakaian melalui sumur pantek sebesar 3.073.558 m3. Pemakaian air tanah dari tahun 2004 sampai 2008 dipaparkan dalam Tabel 13.
44 Tabel 12. Jumlah Pelanggan Sumur Bor dan Sumur Pantek 2004-2008 Bulan
2004
2005
2006
2007
2008
Inst. Pemerintah dan Sosial
206
206
219
223
239
Non Niaga
226
226
237
245
251
Niaga Kecil
353
354
371
371
384
55
55
56
56
59
1.915
1.915
1.994
2.079
2.381
118
118
121
129
64
64
69
66
626
625
607
619
Industri Kecil Niaga Besar Hotel Bintang 1,2, dan 3 Hotel Bintang 4 dan 5 Industri Besar Sumber
645
: Jakarta Dalam Angka berbagai tahun (BPS Provinsi DKI Jakarta)
Keterangan
: Mulai tahun 2008 hotel bintang 1, 2, dan 3 masuk kelompok niaga kecil sedangkan hotel bintang 4 dan 5 masuk kelompok niaga besar.
Tabel 13. Banyaknya Pemakaian Air Tanah Menurut Jenis Sumur, 2004-2008 Tahun
Sumur Bor
Sumur Pantek
Jumlah
2004
17.675.841
3.164.272
20.840.113
2005
17.384.128
3.178.498
20.562.626
2006
19.912.660
2.880.378
22.793.038
2007
19.561.704
2.643.649
22.205.353
2008
18.805.854
3.073.558
21.879.412
Sumber: Jakarta Dalam Angka berbagai tahun (BPS Provinsi DKI Jakarta)
5.5. Penurunan Muka Air Tanah, Amblesan dan Instrusi Air Laut di Provinsi DKI Jakarta Air tanah di Provinsi DKI Jakarta terdapat dalam cekungan air tanah Jakarta. Tresnadi (2007) menyatakan muka air tanah cekungan Jakarta terus mengalami perubahan sesuai dengan berjalannya waktu. Pada tahun 1992 air tanah tak tertekan (kedalaman < 40 m) terletak pada kedalaman 2,49 m bml
45 (dibawah permukaan laut) dan pada tahun 1994 mengalami penururnan terdalam menjadi 3,48 – 3,50 m bml. Untuk air tanah tertekan atas (kedalaman 40 – 140 m), pada tahun 1992 terletak pada kedalaman 18,64 – 35,50 m bml dan pada tahun 1994 turun menjadi 31,78 – 56,90 m bml. Penurunan muka air tanah juga terjadi pada air tanah tertekan bawah (kedalaman > 140 m). Djaja et.al. (2004) menyatakan bahwa di Provinsi Jakarta telah terjadi amblesan berdasarkan pemantauan GPS yang dilakukan pada bulan Desember 1997, Juni 1999, Juni 2000, Juni 2001, dan Oktober 2001. Laju penurunan permukaan tanah atau amblesan yang terpantau melalui GPS rata-rata bervariasi antara 7,5 cm sampai 32,8 cm selama empat tahun periode pengamatan. Pemantauan terhadap penurunan muka air tanah pada sumur-sumur yang terletak berdekatan dengan lokasi GPS menunjukkan korelasi positif, sehingga dapat disimpulkan bahwa amblesan juga disebabkan oleh pengambilan air tanah. Abidin et.al. (2009) menyatakan telah terjadi amblesan di Jakarta, seperti ditunjukkan dalam Tabel 14. Tidak seluruh amblesan disebabkan pengambilan air tanah, tetapi juga disebabkan beban konstruksi bangunan, konsolidasi alamiah tanah aluvial, dan tektonik. Amblesan menyebabkan beberapa kerugian diantaranya keretakan pada bangunan gedung dan jalan, rusaknya sistem drainase, memperluas daerah banjir, dan memicu terjadinya intrusi air laut.
Tabel 14. Amblesan di Provinsi DKI Jakarta Metode
Tahun
Amblesan (cm/tahun)
1982-1991
0–9
1991-1997
0 – 25
GPS Surveys
1997-2008
0 – 25
InSAR
2006-2007
0 – 12
Leveling Surveys
Sumber : Abidin et.al. (2009)
Delinom (2008) menyatakan intrusi air laut telah terjadi di beberapa kota pantai di Indonesia, termasuk Jakarta. Terjadinya intrusi air laut yang
46 mengakibatkan tingginya salinitas air tanah juga dinyatakan oleh Schmidt et.al. (1990).
47
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Kebijakan Pengelolaan Air Tanah 6.1.1. Kebijakan Nasional Pengelolaan Air Tanah Kebijakan nasional yang secara eksplisit berkaitan dengan air tanah dan masih berlaku sampai saat ini adalah: (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU 7/2004); (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (PP 43/2008); dan (3) Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1451K/10/MEM/2000 (Kepmen 1451K/2000). Peraturan perundangan lain yang terkait dengan pajak dan retribusi air tanah adalah Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU 28/2009). Undang-undang yang pertama berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (UU 11/1974). Salah satu pertimbangan dibuatnya undang-undang tersebut adalah Algemeen Wattereglement Tahun 1936 pada dasarnya tidak berlaku untuk seluruh Indonesia, hanya mengatur masalah sumber daya air khususnya masalah irigasi di Jawa dan Madura. Pertimbangan lainnya adalah ketentuan-ketentuan peraturan perundangan lain yang berkaitan dengan pengairan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan keadaan dewasa ini. Undang-undang tersebut mengacu pada konstitusi UUD 1945, sehingga menempatkan sumber daya air dikuasai negara, atau secara lebih tegas milik negara. Dalam pasal 1 tentang pengertian tidak dibuat ayat khusus tentang air tanah, hanya dimasukkan dalam ayat yang mendefinisikan pengertian air (ayat 3) dan sumber-sumber air (ayat 4). Undang-undang tersebut secara eksplisit sudah mengatur masalah konservasi, preservasi, dan pengusahaan air. Tahun 2004 dibuat undang-undang baru menggantikan UU 11/1974, yakni UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, pada pasal 1 ayat 4 menjelaskan pengertian air tanah secara eksplisit. Selain itu dalam pasal-pasal yang lain diatur tersendiri tentang air tanah. Salah satu
latar
belakang
dikeluarkannya
undang-undang
ini
adalah
adanya
48 ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang semakin menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat. Menurut UU 7/2004, sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya (pasal 1), sedangkan air terdiri dari air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat (pasal 2). Pada dasarnya undang-undang tersebut mengatur masalah pengelolaan sumber daya air. Pengelolaan sumber daya air adalah pelaksanaan fungsi manajemen untuk penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air (pasal 7). Pengambilan dan pemanfaatan air tanah termasuk dalam kegiatan pendayagunaan sumber daya air. Secara implisit, UU 7/2004 memuat ketentuan tentang pengelolaan air tanah secara menyeluruh. Secara eksplisit, kata “air tanah” muncul dalam pasal-pasal sebagai berikut: (1) pasal 1 ayat 4 tentang definisi air tanah; (2) pasal 1 ayat 12 tentang definisi cekungan air tanah; (3) pasal 12 ayat 2 tentang cekungan air tanah sebagai dasar pengelolaan air tanah; (4) pasal 12 ayat 3 tentang peraturan pemerintah untuk pengelolaan air tanah; (5) pasal 13 ayat 1 tentang Keputusan Presiden sebagai dasar hukum penetapan cekungan air tanah; (6) pasal 13 ayat 2 tentang cekungan air tanah ditetapkan oleh Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Sumber Daya Air Nasional; (7) pasal 13 ayat 4 tentang cakupan cekungan air tanah yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden; (8) pasal 13 ayat 5 tentang peraturan pemerintah yang mengatur kriteria dan tata cara penetapan cekungan air tanah; (9) pasal 14 tentang wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat untuk pendayagunaan cekungan air tanah lintas provinsi dan lintas negara; (10) pasal 15 tentang wewenang dan tanggung jawab pemerintah provinsi untuk pendayagunaan cekungan air tanah lintas kabupaten/kota; (11) pasal 26 ayat 5 tentang prinsip keterpaduan pendayagunaan air hujan, air permukaan, dan air tanah dengan mengutamakan pendayagunaan air permukaan;
49 (12) pasal 35 tentang pengembangan atau pendayagunaan air tanah pada cekungan air tanah; (13) pasal 37 ayat 1 tentang air tanah sebagai sumber daya yang langka dan kerusakannya dapat mengakibatkan dampak yang luas serta pemulihannya sulit dilakukan; (14) pasal 37 ayat 2 tentang pengembangan atau pendayagunaan air tanah pada cekungan air tanah dilakukan secara terpadu dengan pengembangan sumber daya air pada wilayah sungai; (15) pasal 37 ayat 3 tentang peraturan pemerintah untuk mengatur pengembangan atau pendayagunaan air tanah; (16) pasal 58 ayat 1 tentang pengendalian daya rusak air perlu dilakukan untuk air tanah; dan (17) pasal 58 ayat 2 tentang peraturan pemerintah untuk mengatur pengendalian daya rusak sumber daya air pada air tanah. Sebagai tindak lanjut undang-undang ini kemudian diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (PP 43/2008). Dalam peraturan pemerintah ini secara rinci dijelaskan tentang kebijakan dan strategi pengelolaan air tanah. Kebijakan pengelolaan air tanah ditujukan sebagai arahan dalam penyelenggaraan konservasi air tanah, pendayagunaan air tanah, pengendalian daya rusak air tanah, dan sistem informasi air tanah yang disusun dengan memperhatikan kondisi air tanah setempat. Kebijakan pengelolaan air tanah disusun dan ditetapkan secara terintegrasi dalam kebijakan pengelolaan sumber daya air, yakni kebijakan nasional sumber daya air, kebijakan pengelolaan sumber daya air pada tingkat provinsi, dan kebijakan pengelolaan sumber daya air pada tingkat kabupaten/kota. Bentuk kongkrit dari integrasi tersebut adalah kebijakan teknis pengelolaan air tanah nasional yang dikeluarkan oleh menteri, kebijakan teknis air pengelolaan tanah tingkat provinsi yang dikeluarkan oleh gubernur, dan kebijakan teknis pengelolaan air tanah tingkat kabupaten/kota yang dikeluarkan oleh bupati/walikota. Strategi pengelolaan air tanah yang dimaksudkan dalam PP 43/2008 merupakan kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan konservasi air tanah, pendayagunaan air tanah, dan
50 pengendalian daya rusak air tanah pada cekungan air tanah. Strategi ini disusun dan ditetapkan secara terintegrasi dalam pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota, lintas kabupaten/kota, lintas provinsi, lintas negara, dan strategis nasional. Kepmen 1451K/2000 pada dasarnya merupakan pedoman teknis berkaitan dengan pengelolaan air tanah yang seharusnya dijadikan acuan oleh DPRD dan pemerintah kabupaten/kota yang menerbitkan kebijakan pengelolaan air tanah di wilayahnya. Keputusan menteri ini memiliki 11 lampiran yang menjelaskan secara teknis segala hal yang berkaitan dengan pengelolaan air tanah, yakni: (1) pedoman teknis evaluasi potensi air tanah; (2) pedoman teknis perencanaan pendayagunaan air tanah; (3) pedoman teknis penentuan debit pengambilan air tanah; (4) prosedur pemberian izin eksplorasi air tanah; (5) prosedur pemberian izin pengeboran dan izin pengambilan air tanah; (6) prosedur pemberian izin penurapan dan izin pengambilan mataair; (7) prosedur pemberian izin perusahaan pengeboran air tanah; (8) prosedur pemberian izin juru bor air tanah; (9) pedoman teknis pengawasan pelaksanaan konstruksi sumur produksi air tanah; (10) pedoman teknis penentuan nilai perolehan air dari pemanfaatan air tanah dalam perhitungan pajak pemanfaatan air tanah; dan (11) pedoman pelaporan pengambilan air tanah. 6.1.2. Kebijakan dan Kelembagaan Pengelolaan Air Tanah Provinsi DKI Jakarta Pengambilan dan pemanfaatan air tanah merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengelolaan air tanah. Kebijakan pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI difokuskan pada pengendalian dampak negatif ekstraksi air tanah terhadap lingkungan hidup, yakni penurunan muka air tanah, amblesan, dan intrusi air laut. Output kebijakan tersebut adalah regulasi yang didasarkan pada pemanfaatan instrumen ekonomi, yaitu pajak dan retribusi. Prinsip tersebut dapat disimak dari pertimbangan dikeluarkannya regulasi tersebut, yakni peraturan daerah dan peraturan pelaksanaannya. Kebijakan pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah, peraturan gubernur, keputusan
51 gubernur, dan instruksi gubernur. Kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan air tanah yang pernah diterbitkan adalah sebagai berikut: (1) Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 10 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan dan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (Perda 10/1998); (2) Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (Perda 1/2004); (3) Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2006 tentang Retribusi Daerah (Perda 1/2006); (4) Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor: 37 Tahun 2009 tentang Nilai Perolehan Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah (Pergub 37/2009); (5) Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 165 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (Pergub 165/2009); (6) Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor: 88 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan dan Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Kepgub 88/1999); (7) Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor: 4554 Tahun 1999 tentang Harga Dasar Air Bawah Tanah dan Air Permukaaan (Kepgub 4554/1999), sudah tidak berlaku sejak diterbitkannya Pergub 37/2009. (8) Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor: 42 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 88 Tahun 1999 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan dan Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Derah Khusus Ibukota Jakarta (Kepgub 42/2001); (9) Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor: 1662/2004 tentang Mekanisme Pemungutan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah (Kepgub 1662/2004);
52 (10) Instruksi Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Nomor 134 Tahun 1998 tentang Penghentian Pungutan Beberapa Jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DKI Jakarta (Ingub 134/1998). Lampiran 2 instruksi ini menghapuskan retribusi izin pemboran dan pemakaian air tanah. Ketentuan tentang pemungutan pajak air tanah mulai diberlakukan sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU 18/1997). Sebelum diberlakukannya undang-undang ini pengambilan air permukaan tidak dikenakan pajak dan retribusi, sedangkan pengambilan air tanah di Provinsi DKI Jakarta dikenakan retribusi daerah yang diatur berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 1994. Sejak diberlakukannya UU 18/1997 diberlakukan pajak untuk air tanah dan air permukaan. Untuk merespon undang-undang tersebut dikeluarkan Perda 10/1998 tentang pajak air tanah dan air permukaan di Provinsi DKI Jakarta. Selain pertimbangan diberlakukannya UU 18/1997, dikeluarkannya perda ini juga dilatarbelakangi situasi semakin meningkatnya pemanfaatan air tanah dan air permukaan yang pada gilirannya bisa menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian sumber air dan lingkungan. Di wilayah Provinsi DKI Jakarta, diterbitkannnya perda ini merupakan awal diberlakukannya instrumen ekonomi pajak air tanah. Perda 10/1998 masaih berlaku sampai sekarang, dan kemudian dilengkapi dengan berbagai peraturan lainnya, antara lain Perda 1/2004 dan ketentuan teknis tentang besaran pajak air tanah yang baru, yaitu Pergub 37/2009. Perda 1/2004 merupakan pengaturan kembali sebagian ketentuan yang berlaku dalam Perda 10/1998 akibat diberlakukannya undang-undang yang baru tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Perda 1/2004 menyebutkan bahwa pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan tidak semata-mata dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah, akan tetapi lebih diutamakan lagi untuk kepentingan pengendalian lingkungan dan mempertahankan ekosistem akibat pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Pergub 37/2009 dikeluarkan dalam rangka pengendalian pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang saat ini berindikasi dapat menyebabkan menurunnya permukaan tanah dan terganggunya konservasi air tanah. Kebijakan pengambilan
53 dan pemanfaatan air tanah yang difokuskan pada konservasi air tanah dan pengendalian daya rusak air tanah menunjukkan perubahan paradigma dalam menempatkan posisi sumber daya air tanah. Air tanah tidak lagi ditempatkan semata-mata sumber daya pertambangan yang diekstraksi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tetapi ditempatkan sebagai elemen ekosistem yang pengelolaannya lebih mengedapankan aspek konservasi dan pengendalian dampak lingkungan hidup. Secara kelembagaan perubahan paradigma ini dilakukan dengan perpindahan institusi pengelola air tanah dari Dinas Pertambangan kepada BPLHD (Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah) Provinsi DKI Jakarta. Perubahan kewenangan pengelolaan air tanah mulai diberlakukan dengan dikeluarkannya Peraturan Gubernur Nomor 165 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (Pergub 165/2009). Peraturan gubernur tersebut menempatkan pengelolaan sumber daya air tanah dibawah kewenangan Kepala Bidang Pencegahan Dampak Lingkungan dan Pengelolaan Sumberdaya Perkotaan. Selain pajak air tanah, retribusi air tanah juga masih diberlakukan yakni diatur dalam Perda 1/2006 yang mengatur semua ketentuan yang terkait dengan retribusi, termasuk didalamnya retribusi izin pemboran dan pemanfaatan air tanah. Dengan diberlakukannya perda ini, maka ketentuan yang pernah menghapuskan retribusi izin pemboran dan pemakaian air tanah seperti diatur dalam Ingub 134/1998 tidak berlaku lagi. Dengan diberlakukannya UU 7/2004, UU 28/2009, dan PP 43/2008, seharusnya semua peraturan daerah dan peraturan gubernur yang berkaitan dengan pajak air tanah dan retribusi air tanah di Provinsi DKI Jakarta harus direvisi. Peraturan daerah dan peraturan gubernur yang dibahas diatas masih mengacu pada peraturan perundangan yang lama. Berkaitan dengan hal ini, Kepmen ESM 14551K/2000 juga harus direvisi karena masih mengacu peraturan perundangan yang lama. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada output kebijakan lain diluar penggunaan instrumen pajak dan retribusi. Penggunaan instrumen non-ekonomi, misalnya penegakan peraturan, ekstensifikasi data pengguna air tanah dan intensifikasi pencatatan meter air tanah, pada dasarnya dilakukan dalam upaya
54 meningkatkan efektivitas instrumen pajak air tanah. Pasal 3 ayat 2 huruf q, r, s, t Pergub 165/2009 yang menguraikan fungsi BPLHD berkenaan dengan sumber daya air tanah juga fokus pada masalah perizinan pemanfaatan dan penerimaan retribusi air tanah. Penggunaan instrumen ekonomi dalam pengelolaan air tanah di Provinsi DKI sejalan dengan apa yang dikemukakan berbagai literatur, seperti Sterner (2003) dan Koundouri (2004). Matriks instrumen kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan berbagai contoh kasus pengelolaan di berbagai negara seperti Kuwait, Uni Emirat Arab, Chile, Afrika Selatan, dan Boswana yang dipaparkan Sterner (2003) menunjukkan bahwa pajak dan retribusi merupakan instrumen yang sesuai untuk manajemen sumber daya air tanah (Tabel 2 dan 3). Koundouri (1998) mengungkapkan pendapat yang sama dengan menyatakan bahwa keuntungan penerapan instrumen pajak air tanah adalah meningkatkan efisiensi ekonomi dan teknis. Pendapat Koundouri (1998) sebetulnya disampaikan dalam konteks penggunaan air tanah untuk kepentingan irigasi, tetapi pada hakekatnya secara teoritis tidak berbeda jika diterapkan untuk penggunaan air tanah perkotaan. Meskipun demikian khusus untuk penggunaan air tanah untuk kepentingan irigasi pertanian rakyat di Provinsi Jakarta perlu dikemukakan bahwa instrumen pajak air tanah tidak diberlakukan. Ketentuan ini dipaparkan dalam pasal 3 ayat 2 huruf c Perda 1/2004 yang menyatakan pengambilan dan pemanfaatan air tanah untuk kepentingan pengairan pertanian rakyat dikecualikan dari objek pajak. Pengertian pajak air tanah tidak diberlakukan tidak berarti pajak air tanah tidak meningkatkan efisiensi ekonomi dan teknis. Meskipun penerapan pajak dan retribusi air tanah relatif meningkatkan efisiensi ekonomi dan teknis pengelolaan air tanah, penerapan instrumen nonekonomi perlu diwujudkan khususnya untuk wilayah-wilayah yang tidak memiliki alternatif lain diluar pengambilan dan pemanfaatan air tanah karena keterbatasan cakupan pelayanan PAM DKI Jakarta. Instrumen pajak dan retribusi tidak akan efektif diberlakukan di wilayah ini. Kajian pengelolaan air tanah untuk kepentingan irigasi yang dilakukan Hellegers dan van Ierland (2003) dan hasilnya menyatakan pendekatan kelembagaan dan agreement lebih efektif dibandingkan dengan instrumen ekonomi dan instrumen ekonomi tradable right lebih efektif
55 dibandingkan pajak, perlu dielaborasi dan dipertimbangkan penerapannya untuk konteks pengelolaan air tanah di Provinsi DKI Jakarta.
6.2. Retribusi Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta Biaya perolehan air tanah di Provinsi DKI Jakarta terdiri dari retribusi izin pemboran air tanah, retribusi izin pengambilan atau pemanfaatan air tanah, dan pajak air tanah. Ketentuan ini tidak berlaku untuk pengambilan air tanah untuk kepentingan rumah tangga yang semata-mata diperuntukan memenuhi kebutuhan pokok rumah tangga. Ketentuan biaya perolehan air tanah diatas hanya berlaku pada kelompok yang disebut sebagai subjek pemakai air tanah, yakni kelompok non-niaga, niaga, dan industri. Retribusi izin pemboran dan pemanfaatan air tanah diatur melalui Perda 1/2006 tentang Retribusi Daerah. Istilah yang digunakan dalam peraturan daerah ini adalah air bawah tanah. Pengertian air bawah tanah yang dimaksudkan dalam peraturan daerah ini adalah air tanah, sebagaimana didefinisikan dalam UU 7/2004. Pasal 2 ayat 4 peraturan daerah diatas menyatakan retribusi izin pemboran dan pemanfaatan air bawah tanah termasuk retribusi bidang ekonomi, golongan retribusi jenis tertentu, kelompok pelayanan pertambangan dan energi. Pasal 55 ayat 5 menyatakan prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi izin pemboran dan pemanfaatan air bawah tanah adalah dengan memperhatikan biaya perencanaan, biaya sosialisasi, biaya pengumpulan/pengolahan dan analisa data hidrogeologi, biaya analisa air, biaya pemeriksaan, biaya meter air, biaya segel, biaya konservasi, biaya penertiban, kemampuan masyarakat serta aspek keadilan. Struktur dan besarnya tarif retribusi pelayanan izin pemboran dan pemanfaatan air bawah tanah diatur dalam pasal 56, seperti dipaparkan dalam Tabel 15. Retribusi daerah ini pernah dihapuskan melalui Ingub 134/1998. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun Anggaran 2007 dan 2008 yang dilakukan oleh BPK menunjukkan bahwa pada tahun anggaran 2008 tercatat realisasi pendapatan retribusi izin pemboran dan pemanfaatan air bawah tanah sebesar Rp. 488.700.000,00 (realisasi 84,48% dari target). Retribusi ini merupakan bagian dari retribusi perizinan tertentu. Jika dibandingkan dengan realisasi penerimaan
56 seluruh retribusi perizinan tertentu (Rp. 258.802.748.833,00) proporsi retribusi izin pemboran dan pemanfaatan air tanah hanya sekitar 0,19%, sedangkan jika dibandingkan dengan total realisasi penerimaan retribusi Provinsi DKI Jakarta tahun 2008 (Rp.395.639.567.901,00) proporsinya hanya 0,12%. Selanjutnya jika dibandingkan dengan penerimaan PAD tahun 2008 (Rp. 10.455.565.540.756,03) proprosi penerimaan retribusi izin pemboran dan pemanfaatan air tanah hanya sebesar 0,00467% saja. Data penerimaan retribusi izin pemboran dan pemanfaatan air tanah tahun 2007 tidak tercantum dalam laporan pemeriksaan diatas. Tabel 15. Struktur dan Tarif Izin Pemboran dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah di Provinsi DKI Jakarta Jenis Izin
Biaya (Rupiah)
Izin Pemboran Air Bawah Tanah 1. Instansi Pemerintah dan Sosial
Rp. 0
2. Non Niaga
Rp. 1.000.000,- / 3 bulan
3. Niaga Kecil
Rp. 2.500.000,- / 3 bulan
4. Industri Kecil
Rp. 3.000.000,- / 3 bulan
5. Niaga Besar
Rp. 4.000.000,- / 3 bulan
6. Industri Besar
Rp. 5.000.000,- / 3 bulan
Izin Pengambilan atau Pemanfaatan 1. SIPA Pantek
Rp. 100.000,- / 3 tahun
2. SIPA Bor
Rp. 500.000,- / 3 tahun
Izin Perusahaan Pemboran Air Bawah Tanah (SIPPAT)
Rp. 500.000,- / 3 tahun
Izin Juru Bor Air Bawah Tanah
Rp. 100.000,- / 3 tahun
Izin Kartu Pengenal Instalasi Bor
Rp. 500.000,- / 3 tahun
Sumber: Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2006 tentang Retribusi Daerah Keterangan : Jika periode izin telah berakhir, izin diperpanjang untuk periode dan biaya yang sama
57 6.3. Pajak Air Tanah Pajak air tanah adalah pajak daerah. Ketentuan tentang pajak air tanah diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pajak air tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah (pasal 1 ayat 33) dan termasuk jenis pajak kabupaten/kota (pasal 2 ayat 2). Ketentuan tentang pajak air tanah diatur dalam pasal 67 sampai 71. Pengertian operasional pajak air tanah adalah biaya yang harus dibayarkan setiap bulan oleh subjek pemakai untuk setiap meter kubik pengambilan air tanah. Jumlah pemakaian air tanah per bulan tertera dalam alat pencatat meter (meteran air), seperti lazim digunakan oleh pelanggan air PAM atau PDAM. Petugas pencatat air akan datang setiap bulan mencatat pemakaian air selama satu bulan, tagihan pemakaian air pada bulan tersebut akan jatuh tempo dua bulan selanjutnya. Pajak air tanah dihitung dengan rumus:
Tarif pajak air tanah ditetapkan paling tinggi sebesar 20% sesuai dengan pasal 70 ayat 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 dan ditetapkan dengan peraturan daerah (pasal 70 ayat 2). Tarif pajak tersebut tidak berbeda dengan ketentuan pada undang-undang sebelumnya, yakni Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Realisasi penerimaan pajak air tanah berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun Anggaran 2007 dan 2008 yang dilakukan oleh BPK adalah sebesar Rp. 58.834.575.609,00 pada tahun 2007 dan Rp. 60.597.213.743,00 pada tahun 2008. Jika dibandingkan dengan realisasi total penerimaan pajak daerah sebesar Rp. 7.202.527.438.121,02 (tahun 2007) dan Rp. 8.751.273.782.037,00 (tahun 2008) maka proporsi realisasi penerimaan pajak air tanah untuk tahun 2007 dan 2008 masing-masing sebesar 0,82% dan 0,69%. Sedangkan proporsi realisasi penerimaan pajak pemanfaatan air bawah tanah terhadap realisasi penerimaan PAD Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp. 8.731.096.244.967,96 (tahun 2007) dan Rp. 10.455.565.540.756,03 (tahun 2008), masing-masing sekitar 0,67% dan
58 0,56%. Realiasi penerimaan pajak pemanfaatan air bawah tanah diatas adalah situasi pada saat belum diberlakukannya NPA yang baru, masih didasarkan pada NPA berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 4554/1999. Realisasi dan proporsi diatas diperkirakan naik dengan diberlakukannya kenaikan NPA.
6.3.1. Pajak Air Tanah Berdasarkan NPA Pergub 37/2009 Perhitungan pajak air tanah Provinsi DKI Jakarta mulai bulan Juni 2009 ditentukan berdasarkan NPA yang ditentukan melalui Pergub 37/2009. Sebelumnya NPA ditentukan berdasarkan Kepgub 4554/1999. Perhitungan NPA berdasarkan Pergub 37/2009 – dalam penelitian ini disebut NPA baru – adalah sebagai berikut: (1) dimana
adalah volume air yang diambil dan dihitung dalam satuan kubik (m3)
dan
adalah harga dasar air. Volume air yang diambil dibedakan berdasarkan
progresif jumlah kubikasi air yang diambil dan/atau dimanfaatkan sebagai berikut: (1) 0 m3 s.d. 50 m3; (2) 51 m3 s.d. 500 m3; (3) 501 m3 s.d. 1.000 m3; (4) 1.001 m3 s.d. 2.500 m3; dan (5) > 2.500 m3. Pembedaan ini didasarkan pada ketentuan pasal 2 ayat 5 Pergub 37/2009, tetapi dalam pasal 6 ayat 6 klasifikasi pembagian ini berbeda. Penelitian ini akan mengikuti klasifikasi sebagaimana ditentukan dalam pasal 6 ayat 6 untuk menyesuaikan dengan lampiran peraturan gubernur ini. (2) dimana
adalah faktor nilai air dan
adalah harga air baku. Pasal 4
ayat 3 ditentukan harga air baku sebesar Rp. 14.583,00/m3. Faktor nilai air memuat komponen sumber daya alam (SDA) bobot 60% dan komponen kompensasi pemulihan, peruntukan, dan pengelolaan bobot 40%. Bobot komponen SDA kemudian dikalikan dengan angka 5 jika pengambilan air tanah dilakukan didalam area jangkauan PAM DKI Jakarta atau dikalikan 3 jika dilakukan diluar area jangkauan PAM DKI Jakarta. Komponen pemulihan, peruntukan dan pengelolaan dikaitkan dengan besarnya pemanfaatan dan/atau pengambilan air dan kemudian ditetapkan seperti Tabel 16 (pasal 6 ayat 6):
59 Tabel 16. Komponen Biaya Kompensasi Pemulihan Untuk Perhitungan NPA Berdasarkan Pergub 37/2009 Subjek Pemakai
0-50
51-250
251-500
501-750
751-1000
> 1000
Non Niaga
0.1
0.1
0.2
0.2
0
0
Niaga Kecil
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
Industri Kecil
5
5.3
5.6
5.9
6.2
6.5
Niaga Besar
7
7.4
7.8
8.2
8.6
9
Industri Besar
10
10.5
11
11.5
12
12.5
Sumber : Pergub 37/2009
(3) Contoh perhitungan NPA untuk pemakaian air tanah sebesar 51 m3 s.d 250 m3 didalam jangkauan PAM DKI Jakarta dan subjek pemakai niaga kecil
(4) Contoh perhitungan NPA untuk pemakaian air tanah sebesar 51 m3 s.d 250 m3 diluar jangkauan PAM DKI Jakarta dan subjek pemakai niaga kecil
(5) Selanjutnya dengan cara yang sama didapatkan NPA dan pajak air tanah untuk pemakaian air tanah per kubik seperti dipaparkan dalam Tabel 17, 18, dan 19. Pajak air tanah didalam jangkauan lebih mahal dibandingkan dengan harga diluar jangkauan PAM Jakarta, perbedaanya sekitar Rp. 3.500,- per meter kubik. Perbedaan ini menunjukkan kebijakan pemerintah agar pelanggan mengutamakan menggunakan air permukaan, dalam hal ini yang disediakan oleh PAM DKI Jakarta. Harga air baku sebesar Rp. 14.583,00/m3 dihitung berdasarkan Lampiran 10 Kepmen 14551K/2000 tentang pedoman perhitungan nilai perolehan air tanah. Pada dasarnya harga air baku adalah harga rata-rata (AC), seperti didefinisikan dalam lampiran tersebut, yaitu harga air baku (HAB) adalah harga rata-rata bawah tanah per satuan volume di suatu daerah yang besarnya sama dengan nilai investasi untuk mendapatkan air bawah tanah tersebut dibagi dengan volume
60 produksinya. Lampiran tersebut memberikan ilustrasi perhitungan harga air baku sebagai berikut: Misalkan di suatu daerah untuk mendapatkan air baku digunakan sumur bor dalam dengan perincian harga eksploitasi sebagai berikut: Biaya pembuatan sumur bor kedalaman 150 m sebesar Rp. 150.000.000,00, biaya operasional selama 5 tahun Rp. 60.000.000,00, umur produksi sumur bor tersebut dimisalkan 5 tahun, debit sumur 50 m3/hari, sehingga volume pengambilan selama 5 tahun =
.
Perhitungan harga air baku dalam Pergub 37/2009 didasarkan pola perhitungan diatas, tetapi dalam penelitian ini belum didapatkan informasi rincian perhitungan sehingga didapatkan harga air baku sebesar Rp. 14.583,00/m3. Tabel 17. Nilai Perolehan Air Tanah (NPA) Provinsi DKI Jakarta (Rp/m3) Pemakaian (m3)
0-50
51-250
251-500
501-750
751-1000
> 1000
Lokasi didalam jangkauan PAM DKI Jakarta Non Niaga
44.332
44.332
44.916
44.916
43.749
43.749
Niaga Kecil
49.582
50.749
51.915
53.082
54.249
55.415
Industri Kecil
72.915
74.665
76.415
78.165
79.915
81.665
Niaga Besar
84.581
86.915
89.248
91.581
93.915
96.248
102.081
104.998
107.914
110.831
Industri Besar
113.747 116.664
Lokasi diluar jangkauan PAM DKI Jakarta Non Niaga
26.833
26.833
27.416
27.416
26.249
26.249
Niaga Kecil
32.083
33.249
34.416
35.583
36.749
37.916
Industri Kecil
55.415
57.165
58.915
60.665
62.415
64.165
Niaga Besar
67.082
69.415
71.748
74.082
76.415
78.748
Industri Besar
84.581
87.498
90.415
93.331
96.248
99.164
Sumber : Pergub 37/2009
61 Tabel 18. Pajak Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta (Rp/m3) Pemakaian (m3)
0-50
51-250
251-500
501-750
751-1000
> 1000
Lokasi didalam jangkauan PAM DKI Jakarta Non Niaga
8.866,40
8.866,40
8.983,20
8.983,20
8.749,80
8.749,80
Niaga Kecil
9.916,40
10.149,80
10.383,00
10.616,40
10..849,80
11.083,00
Industri Kecil
14.583,00
14.933,00
15.283,00
15.633,00
15.983,00
16.333,00
Niaga Besar
16.916,20
17.383,00
17.849,60
18.316,20
18.783,00
19.249,60
Industri Besar
20.416,20
20.999,60
21.582,80
22.166,20
22.749,40
23.332,80
Lokasi diluar jangkauan PAM DKI Jakarta Non Niaga
5.366,60
5.366,60
5.483,20
5.483,20
5.249,80
5.249,80
Niaga Kecil
6.416,60
6.649,80
6.883,20
7.116,60
7.349,80
7.583,20
Industri Kecil
11.083,00
11.433,00
11.783,00
12.133,00
12.483,00
12.833,00
Niaga Besar
13.416,40
13.883,00
14.349,60
14.816,40
15.283,00
15.749,60
Industri Besar
16.916,20
17.499,60
18.083,00
18.666,20
19.249,60
19.832,80
Sumber : Hasil perhitungan
62 Tabel 19. Rincian Subjek Pemakai Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta Kelompok Non Niaga: Institut/Perguruan/Lembaga Kursus, Kantor Pengacara, Lembaga Swasta Non Komersial, Rumah Tangga Mewah dengan Sumur Bor. Kelompok Niaga Kecil: Usaha kecil yang berada dalam rumah tangga, usaha kecil/losmen, rumah makan/restoran kecil, Rumah Sakit Swasta/Poliklinik/Laboratorium/Praktik Dokter, Hotel Melati/Non Bintang, dan Perdagangan Niaga Kecil lainnya. Kelompok Industri Kecil: Perikanan, Peternakan, Hotel Bintang 1, 2, 3, Perdagangan Industri Kecil lainnya, Rumah Susun Sederhana. Kelompok Niaga Besar: Hotel Bintang 4, 5, Apartemen, Steamboath dan Salon, Bank, Night Club/Bar/Café/Restoran Besar, Bengkel Besar/Service Station, Perusahaan Terbatas/BUMN/BUMD, Real Estate. Kelompok Industri Besar: Pabrik Es, Pabrik makanan/minuman, Pabrik Kimia/Obat-obatan/kosmetik, Gudang Pendingin, Pabrik Tekstil, Pabrik Baja, industri lainnya. Sumber : Pergub 37/2009
6.3.2. Pajak Air Tanah Berdasarkan NPA Kepgub 4554/1999 Perhitungan pajak air tanah tidak diuraikan secara rinci dalam Kepgub 4554/1999 tetapi langsung dinyatakan dalam bentuk lampiran yang menyatakan harga dasar air untuk area didalam dan diluar jangkauan PAM DKI Jakarta, seperti ditunjukkan dalam Tabel 19 dan 20. Nilai perolehan air tanah dihitung dengan rumus:
dimana Q adalah pemakaian air (m3),
nilai FnAir ditetapkan sebesar 6 dan HDA seperti dipaparkan dalam Tabel 20 dan 21. Rincian subjek pemakai dipaparkan dalam Tabel 22.
63 Tabel 20. Harga Dasar Air Tanah Berdasarkan Kepgub 4554/1999 Untuk Pengambilan Air Tanah Didalam Jangkauan PAM DKI Jakarta Pemakaian (m3) Kode Tarif Non-Niaga 1a 1b 1c 1d Niaga Kecil 2a 2b 2c 2d 2e 2f 2g Industri Kecil 3a 3b Niaga Besar 4a 4b 4c 4d 4e 4f 4g 4h 4i 4j Industri Besar 5a 5b 5c 5d 5e 5f 5g Sumber : Kepgub 4554/1999
1-50
51-500
501-1.000
1.001-2.500
>2.500
1.000 524 542 0
1.104 604 604 833
1.208 667 667 917
1.333 750 750 1.000
1.458 833 833 1.125
1.167 1.167 1.333 1.333 1.333 1.333 1.333
1.292 1.292 1.458 1.458 1.458 1.458 1.458
1.417 1.417 1.583 1.583 1.583 1.583 1.583
1.583 1.583 1.750 1.750 1.750 1.750 1.750
1.750 1.750 1.917 1.917 1.917 1.917 1.917
1.458 500
1.583 667
1.750 833
1.917 1.000
2.083 1.167
2.083 2.083 2.083 2.083 2.083 2.083 2.083 2.083 2.083 2.292
2.292 2.292 2.292 2.292 2.292 2.292 2.292 2.292 2.292 2.500
2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.750
2.750 2.750 2.750 2.750 2.750 2.750 2.750 2.750 2.750 3.042
3.042 3.042 3.042 3.042 3.042 3.042 3.042 3.042 3.042 3.333
2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500
2.750 2.750 2.750 2.750 2.750 2.750 2.750
3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000
3.333 3.333 3.333 3.333 3.333 3.333 3.333
3.667 3.667 3.667 3.667 3.667 3.667 3.667
64 Tabel 21. Harga Dasar Air Tanah Berdasarkan Kepgub 4554/1999 Untuk Pengambilan Air Tanah Diluar Jangkauan PAM DKI Jakarta Kode Tarif Non Niaga 1a 1b 1c 1d Niaga Kecil 2a 2b 2c 2d 2e 2f 2g Industri Kecil 3a 3b Niaga Besar 4a 4b 4c 4d 4e 4f 4g 4h 4i 4j Industri Besar 5a 5b 5c 5d 5e 5f 5g Sumber : Kepgub 4554/1999
Pemakaian (m3) 1-50
51-500
501-1.000
1.001-2.500
>2.500
667 333 333 0
750 375 375 542
833 417 417 625
1.000 458 458 708
1.083 500 500 833
792 792 833 833 833 833 833
917 917 958 958 958 958 958
1.042 1.042 1.083 1.083 1.083 1.083 1.083
1.167 1.167 1.208 1.208 1.208 1.208 1.208
1.292 1.292 1.333 1.333 1.333 1.333 1.333
1.000 333
1.125 500
1.250 667
1.375 833
1.500 1.000
1.375 1.375 1.375 1.375 1.375 1.375 1.375 1.375 1.375 1.667
1.542 1.542 1.542 1.542 1.542 1.542 1.542 1.542 1.542 1.875
1.708 1.708 1.708 1.708 1.708 1.708 1.708 1.708 1.708 2.083
1.917 1.917 1.917 1.917 1.917 1.917 1.917 1.917 1.917 2.292
2.083 2.083 2.083 2.083 2.083 2.083 2.083 2.083 2.083 2.500
2.083 2.083 2.083 2.083 2.083 2.083 2.083
2.292 2.292 2.292 2.292 2.292 2.292 2.292
2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500
2.750 2.750 2.750 2.750 2.750 2.750 2.750
3.042 3.042 3.042 3.042 3.042 3.042 3.042
65 Tabel 22. Rincian Subjek Pemakai Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta Menurut Kepgub 4554/1999 Kelompok Non Niaga 1a
Kedutaan/konsul/Kantor Perwakilan Asing
1b
Institut/Perguruan/Kursus
1c
Lembaga Swasta Non Komersial
1d
Rumah Tangga Mewah dengan Sumur Bor
Kelompok Niaga Kecil 2a
Usaha kecil yang berada dalam rumah tangga
2b
Usaha kecil/losmen
2c
Rumah makan/restoran kecil
2d
Rumah Sakit Swasta/Poliklinik/Laboratorium/Praktik Dokter
2e
Kantor pengacara
2f
Hotel melati/non bintang
2g
Perdagangan Niaga Kecil lainnya: koperasi, bengkel kecil/pencucian mobil, kantor konsultan menengah ke bawah, percetakan kecil, pencelupan tekstil dan sebagainya
Kelompok Industri Kecil 3a
Industri tahu-tempe, industri furnitur, pencucian baju, industri rumah tangga
3b
Perikanan dan peternakan
Kelompok Niaga Besar 4a
Hotel bintang 1, 2, 3
4b
Apartemen
4c
Steamboath dan Salon
4d
Bank
4e
Night Club/Bar/Café/Restoran Besar
4f
Bengkel Besar/Service Station
4g
Perusahaan Terbatas/BUMN/BUMD
4h
Perdagangan besar lainnya: lapangan golf, supermarket dan toserba besar, fitness centre, pusat perkantoran, pusat pertokoan, percetakan besar, pool/garasi kendaraan umum
4i
Real Estate
4j
Hotel bintang 4, 5
66 Lanjutan Tabel 22 Kelompok Industri Besar 5a
Pabrik es
5b
Pabrik makanan/minuman
5c
Pabrik kimia/obat-obatan/kosmetik
5d
Gudang pendingin
5e
Pabrik tekstil
5f
Pabrik baja
5g
Industri lainnya: pabrik perakitan mobil/kendaraan lainnya, pabrik sepatu, pabrik konveksi, pabrik kertas/tissue, pabrik ban, batching plan, pabrik pengecoran logam, pabrik kaca/glass/keramik
Kenaikan pajak air tanah yang berlaku mulai bulan Juni 2009 pada dasarnya adalah perbedaan nilai NPA berdasarkan peraturan gubernur dan keputusan gubernur diatas. Berikut adalah ilustrasi perbandingan nilai pajak air tanah sebelum dan sesudah NPA yang baru: (1) Pemakaian 50 m3, didalam jangkauan PAM DKI Jakarta, kode tarif niaga kecil: Lama: Baru: Harga baru nilainya 6,33 kali lebih besar dibandingkan harga lama. (2) Pemakaian 50 m3, diluar jangkauan PAM DKI Jakarta, kode tarif niaga kecil: Lama: Baru: Harga baru nilainya 5,65 kali lebih besar dibandingkan harga lama.
6.3.3. Kritik Metode Penetapan Harga Air Baku Perbedaan perhitungan besaran pajak air tanah di Provinsi DKI Jakarta dengan teori penetapan harga air tanah, seperti dipaparkan dalam Howe (1979), Moncur dan Pollock (1988), Koundouri (2004), dan Grafton et.al. (2004), terletak pada penetapan besaran harga air baku. Penetapan harga air baku dalam Pergub 37/2009 yang mengacu pada Kepmen 14551K/2000 – seperti telah diuraikan di bagian 6.3.1. – didasarkan pada biaya rata-rata, analisis statik, dan hanya
67 mempertimbangkan biaya ekstraksi tidak memasukan komponen nilai air lainnya. Secara ringkas perbedaan dengan teori dengan praktik penetapan harga air baku di Provinsi DKI Jakarta atau Kepmen 14551K/2000 dipaparkan dalam Tabel 23. Tabel 23. Perbedaan Metode Perhitungan Harga Air Baku Antara Kepmen 14551K/2000 dan Teori Penetapan Harga Air Tanah Kriteria
Kepmen 14551K/2000
Teori
Pendekatan
Didasarkan pada konsep harga air tanah
Didasarkan pada konsep nilai dan harga air tanah
Jangkauan analisis
Perhitungan didasarkan konsep statik, model yang dipakai untuk alokasi air permukaan
Perhitungan didasarkan konsep dinamik, model yang lebih sesuai untuk air tanah
Konsep biaya
Harga air ditetapkan berdasarkan biaya rata-rata
Harga air ditetapkan berdasarkan biaya marjinal
Kelangkaan SDA
Tidak secara eksplisit memasukkan nilai kelangkaan sumber daya air
Secara eksplisit memasukan nilai kelangkaan sumber daya air dalam bentuk scarcity rent
Rumus
Perbedaan metode perhitungan ini akan mengakibatkan: (1) harga air tanah di Provinsi DKI Jakarta berada dalam posisi under pricing karena dua alasan, yaitu: (a) pada kasus sumber daya air tanah biaya marjinal akan selalu lebih besar dibandingkan biaya rata-rata dengan berjalannya waktu, dan (b) tidak memasukan nilai user cost atau scarcity rent ( ); dan (2) kemungkinan deplesi air tanah akan lebih cepat karena dengan asumsi pendekatan statis adalah pengambilan pada saat sekarang tidak mempengaruhi pengambilan di masa yang akan datang. Biaya marjinal, pada dasarnya merupakan biaya pemompaan, akan berbeda tergantung pada kedalaman muka air tanah dan akan terus meningkat dengan berjalannya waktu karena pada faktanya volume pengimbuhan lebih kecil dibandingkan dengan volume pengambilan dan pemanfaatan air tanah. Berdasarkan fakta tersebut, seharusnya pajak air tanah adalah scarcity rent dan besarannya berbeda mernurut lokasi dan waktu dan ditetapkan sedemikian rupa sehingga tidak ada perbedaan dengan harga perolehan air PAM DKI Jakarta untuk kualitas air yang sama.
68 6.4. Dampak Kenaikan Pajak Terhadap Pemakaian Air Tanah 6.4.1. Sampel Data Pemakaian Air Tanah di Provinsi DKI Jakara Sampel data pemakaian air tanah didapatkan dengan cara mengajukan permohonan data pemakaian air tanah kepada BPLHD Provinsi DKI Jakarta. Data yang diminta adalah pengambilan atau pemakaian air tanah periode sebelum dan sesudah diberlakukannya kenaikan NPA (Nilai Perolehan Air Tanah) berdasarkan Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 37 Tahun 2009. Kenaikan NPA mulai diberlakukan pada pemakaian air tanah bulan Juni 2009, sehingga data yang didapatkan adalah periode pengambilan air tanah tahun 2008 dan 2009. Sampel yang didapatkan adalah 552 rekening subjek pemakai air tanah. Subjek pemakai air tanah adalah institusi dan/atau perusahaan yang mendapatkan ijin pembuatan sumur untuk pengambilan air tanah. Setiap satu sumur memerlukan satu izin, sehingga setiap sumur diperlakukan sebagai satu subjek pemakai air tanah dan untuk itu diterbitkan nomor rekening pemakaian air tanah. Sumur-sumur sampel tersebut tersebar di semua wilayah administrasi kota – kecuali Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu – di Provinsi DKI Jakarta, 400 sumur (72,46%) terletak di wilayah dalam jangkauan pelayanan PAM DKI Jakarta dan sisanya sebanyak 152 sumur (27,54%) terletak diluar jangkauan pelayanan PAM DKI Jakarta. Sampai dengan bulan Desember 2008 jumlah pelanggan sumur bor dan sumur pantek di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 3.959 (Jakarta Dalam Angka 2009). Jika dibandingkan dengan jumlah pelanggan sumur tersebut, intensitas sampling sebesar 13,94%. Rincian sebaran sampel menurut kelompok tarif dan wilayah dipaparkan dalam Tabel 24, sedangkan kode sampel, daftar nama dan alamat sampel dipaparkan dalam Lampiran 1.
69 Tabel 24. Sampel Subjek Pemakai Air Tanah yang Didapatkan dari BPLHD Jakarta Subjek Pemakai
Wilayah Jumlah
Kode
Kelompok Tarif
SAP
SAT
SAB
SAU
SAS
1
Non Niaga
5
3
29
5
9
51
2
Niaga Kecil
14
1
13
2
13
43
3
Industri Kecil
0
0
8
2
5
15
4
Niaga Besar
56
35
86
37
57
271
5
Industri Besar
0
94
28
8
6
136
11
Instansi Pemerintah
9
6
5
1
15
36
84
139
169
55
105
552
Jumlah Keterangan:
SAP, SAT, SAB, SAU, dan SAS masing-masing singkatan dari Sumur Artetis Pusat, Timur, Barat, Utara, dan Selatan yang menunjukkan wilayah dimana subjek pemakai air tanah berdomisili, yakni Kotamadya Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan.
Evaluasi pencatatan pemakaian air tanah setiap bulan pada semua rekening sampel menunjukkan tiga kategori sumur air tanah, yaitu: (1) sumur yang dalam rekeningnya tertera angka pemakaian air tanah (tidak nol) setiap bulan pada tahun 2008 dan 2009, jumlahnya 145 sumur atau 26,27% dari total sampel; (2) sumur yang tidak digunakan terus menerus dalam tahun 2008 dan 2009 dan/atau pencatatatan setiap bulannya tidak lengkap misalnya terdapat bulan yang pemakaiannya nol sementara bulan sebelum dan sesudahnya terjadi pemakaian air tanah, jumlahnya 198 sumur atau 35,87% dari total sampel; dan (3) sumur yang sudah tidak digunakan (catatan pemakaian air tanah tahun 2008-2009 sebesar nol), jumlahnya 209 sumur atau 26,27% dari total sampel; Sebaran sampel berdasarkan evaluasi pencatatan rekening pemakaian air tanah, kelompok tarif, cakupan layanan PAM DKI Jakarta, dan wilayahnya dipaparkan dalam Tabel 25, 26, dan 27.
70 Tabel 25. Sebaran Sampel Sumur Air Tanah yang Dalam Rekeningnya Tertera Angka Pemakaian Setiap Bulan (Tidak Nol) Tahun 2008-2009 Wilayah Kode Tarif
Jumlah SAP
SAT
SAB
SAU
SAS
1D
1
0
5
0
4
10
2D
4
0
5
2
1
12
3D
0
0
2
0
3
5
4D
11
4
11
11
18
55
5D
0
17
5
1
0
23
11D
0
0
0
0
1
1
1L
0
1
1
0
0
2
2L
0
0
2
0
1
3
3L
0
0
0
0
1
1
4L
0
2
8
1
0
11
5L
0
10
8
2
0
20
11L
0
0
0
0
2
2
Total
16
34
47
17
31
145
Keterangan:
Huruf D pada kode tarif menunjukkan sumur berada di dalam jangkauan pelayanan PAM DKI Jakarta (106 sumur), sedangkan huruf L menunjukkan sumur berada di luar jangkauan pelayanan PAM DKI Jakarta (39 sumur). Arti kode tarif seperti tertera pada Tabel 24.
71 Tabel 26. Sebaran Sampel Sumur Air Tanah yang Tidak Digunakan Terus Menerus dan/atau Pencatatan Rekening Tidak Lengkap Tahun 2008-2009 Wilayah Kode Tarif
Jumlah SAP
SAT
SAB
SAU
SAS
1D
1
1
3
4
1
10
2D
5
0
2
0
4
11
3D
0
0
0
2
1
3
4D
23
7
14
20
24
88
5D
0
28
3
3
3
37
11D
4
1
2
1
4
12
1L
0
0
1
0
1
2
2L
0
1
2
0
0
3
3L
0
0
2
0
0
2
4L
0
5
11
0
0
16
5L
0
6
3
2
0
11
11L
0
0
1
0
2
3
Total
33
49
44
32
40
198
Keterangan:
Jumlah sumur di dalam jangkauan pelayanan PAM DKI Jakarta 161 dan di luar jangkauan pelayanan PAM DKI Jakarta 37.
72 Tabel 27. Sebaran Sampel Sumur Air Tanah yang Sudah Tidak Digunakan Tahun 2008-2009 Wilayah Kode Tarif
Jumlah SAP
SAT
SAB
SAU
SAS
1D
3
0
14
1
3
21
2D
5
0
1
0
5
11
3D
0
0
3
0
0
3
4D
22
10
24
4
10
70
5D
0
11
3
0
2
16
11D
5
3
1
0
3
12
1L
0
1
5
0
0
6
2L
0
0
1
0
2
3
3L
0
0
1
0
0
1
4L
0
7
18
1
5
31
5L
0
22
6
0
1
29
11L
0
2
1
0
3
6
Total
35
56
78
6
34
209
Keterangan:
Jumlah sumur di dalam jangkauan pelayanan PAM DKI Jakarta 133 dan di luar jangkauan pelayanan PAM DKI Jakarta 76.
Analisis dampak kenaikan NPA (Nilai Perolehan Air Tanah) terhadap pemakaian air tanah dilakukan dengan menggunakan sampel sumur air tanah yang dalam rekeningnya tertera pemakaian air tanah (tidak nol) pada periode pemakaian tahun 2008-2009 (sampel sumur air tanah yang dideskripsikan pada Tabel 25). Analisis deskriptif rekening pemakaian air tanah tidak nol dipaparkan dalam Tabel 28.
73 Tabel 28. Statistik Deskriptif Pengambilan Air Tanah Sampel Sumur yang Dalam Rekeningnya Tertera Angka Pemakaian Setiap Bulan (Tidak Nol) Tahun 20082009 (m3/bulan) Kode
Subjek Pemakai
N
Rata-rata
Stdev
Mak.
Min.
Range
Dalam Jangkauan Layanan PAM DKI Jakarta (D) 1D
Non Niaga
10
502,54
949,13
4.500
8
4.492
2D
Niaga Kecil
12
886,19
1.262,91
6.648
7
6.641
3D
Industri Kecil
5
284,73
153,89
612
61
551
4D
Niaga Besar
55
956,96
1.119,49
10.415
2
10.413
5D
Industri Besar
23
1.051,51
1.858,30
13.378
2
13.376
11D
Instansi Pemerintah
1
757,04
371,33
1.538
267
1.271
Diluar Jangkauan Layanan PAM DKI Jakarta (L) 1L
Non Niaga
2
1.199,23
1.277,88
4.515
27
4.488
2L
Niaga Kecil
3
92,03
106,65
541
2
539
3L
Industri Kecil
1
21,17
12,53
47
3
44
4L
Niaga Besar
11
1.290,09
1.914,57
12.171
10
12.161
5L
Industri Besar
20
1.409,16
3.119,24
19.892
18
19.874
11L
Instansi Pemerintah
2
1.433,25
815,74
4.007
127
3.880
Jumlah Sampel
145
Keterangan: n adalah jumlah sampel, stdev adalah standar deviasi (simpangan baku), range adalah selisih antara nilai terbesar (Mak.) dengan nilai terkecil (Min.).
6.4.2. Dampak Kenaikan NPA Terhadap Pemakaian Air Tanah Pada Sampel Didalam Jangkauan PAM Jaya Analisis dampak kenaikan NPA terhadap pemakaian air tanah dilakukan dengan menggunakan sampel sumur air tanah yang dalam rekeningnya tertera Pemakaian air tanah sebelum, sesudah, dan selisihnya dipaparkan dalam Tabel 29.
74 Tabel 29. Rata-rata Pemakaian Air Tanah Sebelum dan Sesudah Diberlakukannya NPA yang Baru Untuk Sampel Didalam Jangkauan PAM DKI Jakarta (m3/bulan) No.
Kode Tarif
Wilayah
No. Rekening
x_sebelum
x_sesudah
1
1D
SAP 01
2
1D
3
x_beda
151
258,59
222,86
35,73
SAB 02
422
123,06
62,00
61,06
1D
SAB 02
518
193,53
175,29
18,24
4
1D
SAB 02
519
63,59
57,86
5,73
5
1D
SAB 02
540
548,94
508,71
40,23
6
1D
SAB 02
547
61,41
57,14
4,27
7
1D
SAS 04
907
79,29
48,43
30,87
8
1D
SAS 04
1045
3.432,59
1.900,29
1.532,30
9
1D
SAS 04
1057
159,41
185,43
-26,02
10
1D
SAS 04
1123
579,65
654,71
-75,07
11
2D
SAP 01
61
185,53
146,14
39,39
12
2D
SAP 01
108
1.918,18
5.085,14
-3.166,97
13
2D
SAP 01
130
1.871,65
1.520,86
350,79
14
2D
SAP 01
288
599,35
559,29
40,07
15
2D
SAB 02
322
136,24
105,43
30,81
16
2D
SAB 02
526
210,88
184,14
26,74
17
2D
SAB 02
536
80,94
71,14
9,80
18
2D
SAB 02
552
13,35
16,29
-2,93
19
2D
SAB 02
600
137,24
97,29
39,95
20
2D
SAU 04
929
2.550,88
1.831,14
719,74
75 Lanjutan Tabel 29 No.
Kode Tarif
Wilayah
No. Rekening
x_sebelum
x_sesudah
21
2D
SAU 04
22
2D
23
x_beda
930
2.501,35
1.537,00
964,35
SAS 04
1066
164,24
122,57
41,66
3D
SAB 02
446
369,71
350,86
18,85
24
3D
SAB 02
464
148,94
169,57
-20,63
25
3D
SAS 04
1044
512,12
497,00
15,12
26
3D
SAS 04
1134
134,76
76,57
58,19
27
3D
SAS 04
1187
298,06
232,71
65,34
28
4D
SAP 01
40
455,41
541,29
-85,87
29
4D
SAP 01
120
689,00
510,57
178,43
30
4D
SAP 01
121
521,94
103,86
418,08
31
4D
SAP 01
124
3.124,35
1.962,57
1.161,78
32
4D
SAP 01
166
409,24
298,43
110,81
33
4D
SAP 01
173
572,29
478,29
94,01
34
4D
SAP 01
216
209,00
157,57
51,43
35
4D
SAP 01
268
175,12
175,00
0,12
36
4D
SAP 01
281
204,24
140,00
64,24
37
4D
SAP 01
293
150,94
82,86
68,08
38
4D
SAP 01
294
305,18
137,57
167,61
39
4D
SAT 01
133
993,12
1.009,29
-16,17
40
4D
SAT 01
141
895,35
1.022,57
-127,22
41
4D
SAT 01
146
167,41
67,29
100,13
42
4D
SAT 01
255
274,00
287,71
-13,71
43
4D
SAB 02
343
1.064,59
494,57
570,02
44
4D
SAB 02
407
2.194,65
1.801,14
393,50
45
4D
SAB 02
411
36,82
20,00
16,82
46
4D
SAB 02
436
103,53
105,14
-1,61
47
4D
SAB 02
444
189,35
215,57
-26,22
48
4D
SAB 02
459
908,94
337,14
571,80
49
4D
SAB 02
480
1.790,94
1.587,43
203,51
76 Lanjutan Tabel 29 No.
Kode Tarif
Wilayah
No. Rekening
x_sebelum
x_sesudah
50
4D
SAB 02
51
4D
52
x_beda
481
1.988,88
1.764,86
224,03
SAB 02
543
186,71
209,43
-22,72
4D
SAB 02
566
1.026,18
950,71
75,46
53
4D
SAB 02
594
132,29
88,43
43,87
54
4D
SAU 04
904
3.027,47
3.445,43
-417,96
55
4D
SAU 04
908
674,71
574,14
100,56
56
4D
SAU 04
909
2.661,12
2.724,71
-63,60
57
4D
SAU 04
918
2.680,12
2.757,57
-77,45
58
4D
SAU 04
922
2.192,06
2.881,57
-689,51
59
4D
SAU 04
934
95,12
69,29
25,83
60
4D
SAU 04
935
1.597,82
599,57
998,25
61
4D
SAU 04
937
534,47
643,57
-109,10
62
4D
SAU 04
940
145,59
159,86
-14,27
63
4D
SAU 04
942
126,12
145,29
-19,17
64
4D
SAU 04
945
50,65
53,57
-2,92
65
4D
SAS 04
908
911,65
629,43
282,22
66
4D
SAS 04
918
796,53
342,71
453,82
67
4D
SAS 04
1020
53,82
27,29
26,54
68
4D
SAS 04
1022
448,76
313,86
134,91
69
4D
SAS 04
1042
906,12
1.330,43
-424,31
70
4D
SAS 04
1043
3.623,41
2.567,71
1.055,70
71
4D
SAS 04
1062
1.934,12
1.025,14
908,97
72
4D
SAS 04
1071
933,06
1.028,43
-95,37
73
4D
SAS 04
1106
446,35
393,29
53,07
74
4D
SAS 04
1127
1.546,24
889,00
657,24
75
4D
SAS 04
1141
143,41
160,71
-17,30
76
4D
SAS 04
1148
2.412,71
1.004,71
1.407,99
77
4D
SAS 04
1151
275,47
255,71
19,76
78
4D
SAS 04
1160
307,94
220,71
87,23
79
4D
SAS 04
1161
848,06
448,57
399,49
80
4D
SAS 04
1162
4.724,35
3.847,43
876,92
77 Lanjutan Tabel 29 No.
Kode Tarif
Wilayah
No. Rekening
x_sebelum
x_sesudah
81
4D
SAS 04
82
4D
83
1179
2.343,59
1.041,71
1.301,87
SAS 04
1190
747,35
427,86
319,50
5D
SAT 01
50
1.336,94
688,71
648,23
84
5D
SAT 01
66
406,88
354,14
52,74
85
5D
SAT 01
75
169,71
130,57
39,13
86
5D
SAT 01
80
1.318,12
516,71
801,40
87
5D
SAT 01
82
391,88
403,43
-11,55
88
5D
SAT 01
87
418,00
294,14
123,86
89
5D
SAT 01
93
8.368,82
8.146,14
222,68
90
5D
SAT 01
119
724,35
598,00
126,35
91
5D
SAT 01
184
260,35
34,00
226,35
92
5D
SAT 01
206
750,24
168,86
581,38
93
5D
SAT 01
209
1.927,29
1.248,29
679,01
94
5D
SAT 01
224
1.361,71
788,71
572,99
95
5D
SAT 01
233
3.983,82
1.524,86
2.458,97
96
5D
SAT 01
237
244,29
314,43
-70,13
97
5D
SAT 01
246
1.352,18
909,00
443,18
98
5D
SAT 01
251
623,29
582,29
41,01
99
5D
SAT 01
252
447,47
411,43
36,04
100
5D
SAB 02
301
32,41
31,57
0,84
101
5D
SAB 02
302
32,47
31,29
1,18
102
5D
SAB 02
410
139,41
49,57
89,84
103
5D
SAB 02
453
245,65
58,00
187,65
104
5D
SAB 02
454
876,59
1.362,57
-485,98
105
5D
SAU 04
938
823,06
558,86
264,20
106
11D
SAS 04
1025
744,12
788,43
-44,31
Rata-rata (
)
Simpangan Baku (
x_beda
181,53 )
545,45
Keterangan: (1) x_sebelum adalah rata-rata pemakaian air tanah bulan Januari 2008-Mei 2009, sedangkan x_setelah adalah rata-rata pemakaian air tanah bulan Juni 2009-Desember 2009. (2) x_beda adalah selisih x_sebelum dan x_setelah, menunjukkan besaran penurunan pemakaian air tanah. Nilai negatif menunjukkan kenaikan pemakaian air tanah setelah diberlakukannya kenaikan pajak.
78 Prosedur analisis dilakukan mengacu pada bagan alir yang dipaparkan dalam Gambar 3. Langkah pertama adalah melakukan pengujian normalitas data dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov (uji K-S). Output SPSS uji Kolmogorov-Smirnov (K-S) sebaran beda (x_beda) pemakaian air tanah sebelum dan sesudah dibelakukannya NPA yang baru dipaparkan dalam Tabel 30. Nilai tingkat signifikansi (Asymp. Sig.) sebesar 0.000 mengindikasikan sebaran signifikan menyimpang dari sebaran teoritis, dalam hal ini sebaran normal. Dengan demikian dapat disimpulkan sebaran x_beda dari 106 sampel pada Tabel 29 tidak terdistribusi normal.
Tabel 30. Output SPSS Uji K-S (One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test) Sebaran Beda Rata-rata Pemakaian Air Tanah Sebelum dan Sesudah Diberlakukannya NPA yang Baru Untuk Sampel Didalam Jangkauan PAM DKI Jakarta D N
106
Normal Parameters
Most Extreme Differences
Mean
181.5263
Std. Deviation
545.45076
Absolute
.240
Positive
.204
Negative
-.240
Kolmogorov-Smirnov Z
2.476
Asymp. Sig. (2-tailed)
.000
Langkah kedua adalah mempertimbangkan jumlah sampel. Dalam penelitian ini jumlah sampel 106, memenuhi kriteria sampel besar (
,
dengan demikian dilakukan uji-z sampel berpasangan. Model pengujiannya hipotesinya adalah sebagai berikut: (1)
(tidak terdapat perbedaan pemakaian air tanah sebelum dan sesudah kenaikan NPA pada sumur air tanah dalam jangkauan PAM DKI Jakarta),
(2)
(terjadi penurunan pemakaian air tanah setelah diberlakukannya NPA yang baru pada sumur air tanah dalam jangkauan PAM DKI Jakarta).
79 Pada model diatas
dan
masing-masing menyatakan rata-rata pemakaian air
tanah sebelum dan sesudah diberlakukannya NPA yang baru pada sumur-sumur air tanah dalam jangkauan PAM DKI Jakarta. Dalam penelitian ini ditetapkan tingkat signifikansi ( ) sebesar 5%, sehinga pengambilan keputusan menolak atau menerima hipotesis nol adalah sebagai berikut: (1)
keputusannya menolak
(2)
keputusannya menerima Berdasarkan data Tabel 29 dapat dihitung nilai statistik uji (
), yakni:
. Dengan demikian keputusannya adalah menolak
, artinya pada tingkat kepercayaan (level of confidence) 95% cukup
bukti untuk menyatakan terjadi penurunan pemakaian air tanah pada sumur-sumur dalam jangkauan PAM DKI Jakarta dengan dilakukannya kenaikan NPA. Hasil analisis menunjukkan bahwa instrumen ekonomi berupa kenaikan pajak air tanah efektif menurunkan penggunaan air tanah di Provinsi DKI Jakarta.
6.4.3. Dampak Kenaikan NPA Terhadap Pemakaian Air Tanah Pada Sampel Diluar Jangkauan PAM Jaya Pemakaian air tanah sebelum, sesudah, dan selisihnya pada sumur-sumur sampel diluar jangkauan pelayanan PAM DKI Jakarta dipaparkan dalam Tabel 31. Uji
normalitas
sebaran
data
beda
pemakaian
sebelum
diberlakukannya NPA yang baru dipaparkan dalam Tabel 32.
dan
sesudah
80 Tabel 31. Rata-rata Pemakaian Air Tanah Sebelum dan Sesudah Diberlakukannya NPA yang Baru Untuk Sampel Diluar Jangkauan PAM DKI Jakarta (m3/bulan)
No.
Kode Tarif
Wilayah
No. Rekening
1
1L
SAT 01
2
1L
3
x_sebelum
x_sesudah
x_beda
248
1.991,71
2.184,43
-192,72
SAB 02
355
332,06
395,43
-63,37
2L
SAB 02
555
194,12
46,57
147,55
4
2L
SAB 02
557
27,94
30,14
-2,20
5
2L
SAS 04
1137
115,00
51,29
63,71
6
3L
SAS 04
1188
17,00
31,29
-14,29
7
4L
SAT 01
178
6.543,12
4.578,86
1.964,26
8
4L
SAT 01
244
2.781,65
2.847,29
-65,64
9
4L
SAB 02
334
1.121,24
711,71
409,52
10
4L
SAB 02
353
101,59
99,57
2,02
11
4L
SAB 02
383
153,47
13,43
140,04
12
4L
SAB 02
412
1.922,94
1.052,86
870,08
13
4L
SAB 02
420
849,88
634,14
215,74
14
4L
SAB 02
441
23,41
19,71
3,70
15
4L
SAB 02
484
52,18
136,86
-84,68
16
4L
SAB 02
586
88,00
88,00
0,00
17
4L
SAU 04
915
1.565,53
1.550,86
14,67
18
5L
SAT 01
19
7.531,76
7.356,71
175,05
19
5L
SAT 01
20
4.019,94
5.867,86
-1.847,92
20
5L
SAT 01
23
7.164,59
7.850,29
-685,70
21
5L
SAT 01
139
834,59
568,00
266,59
22
5L
SAT 01
154
222,47
257,29
-34,82
23
5L
SAT 01
182
188,53
189,00
-0,47
24
5L
SAT 01
218
336,88
473,29
-136,40
25
5L
SAT 01
269
161,59
144,14
17,45
26
5L
SAT 01
274
2.778,41
2.502,43
275,98
27
5L
SAT 01
286
525,88
476,43
49,45
28
5L
SAB 02
337
781,76
349,57
432,19
29
5L
SAB 02
568
31,53
32,43
-0,90
81
Lanjutan Tabel 31 No.
Kode Tarif
Wilayah
No. Rekening
30
5L
SAB 02
31
5L
32
x_sebelum
x_sesudah
569
33,53
31,86
1,67
SAB 02
570
32,35
31,71
0,64
5L
SAB 02
571
31,71
31,71
-0,01
33
5L
SAB 02
572
31,88
32,14
-0,26
34
5L
SAB 02
593
45,88
47,43
-1,55
35
5L
SAB 02
598
757,24
549,86
207,38
36
5L
SAU 04
907
2.329,65
2.029,29
300,36
37
5L
SAU 04
925
63,29
41,00
22,29
38
11L
SAS 04
1118
1.795,00
1.354,00
441,00
39
11L
SAS 04
1119
1.051,71
1.560,57
-508,87
Rata-rata (
)
Simpangan Baku (
x_beda
78,72 )
635,83
Keterangan: x_sebelum adalah rata-rata pemakaian air tanah bulan Januari 2008-
Mei 2009, sedangkan x_setelah adalah rata-rata pemakaian air tanah bulan Juni 2009-Desember 2009. Nilai x_beda positif menunjukkan terjadinya penurunan pemakaian air tanah, sedangkan nilai negatif menunjukkan kenaikan pemakaian air tanah.
82 Tabel 32. Output SPSS Uji K-S (One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test) Sebaran Beda Rata-rata Pemakaian Air Tanah Sebelum dan Sesudah Diberlakukannya NPA yang Baru Untuk Sampel Diluar Jangkauan PAM DKI Jakarta d N
39
Normal Parameters
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
61.0651 503.72504
Absolute
.258
Positive
.189
Negative
-.258
Kolmogorov-Smirnov Z
1.611
Asymp. Sig. (2-tailed)
.011
Uji K-S menunjukkan sebaran data beda pemakaian air tanah sebelum dan sesudah kenaikan NPA tidak terdistribusi normal. Untuk sampel sebanyak 39 sumur, maka uji yang dilakukan adalah uji-z, yakni perbandingan dua rata-rata dengan menggunakan sampel besar. Model pengujiannya hipotesinya adalah sebagai berikut: (1)
(tidak terdapat perbedaan pemakaian air tanah sebelum dan sesudah kenaikan NPA pada sumur air tanah diluar jangkauan PAM DKI Jakarta),
(2)
(terjadi penurunan pemakaian air tanah setelah diberlakukannya NPA yang baru pada sumur air tanah diluar jangkauan PAM DKI Jakarta).
Pada model diatas
dan
masing-masing menyatakan rata-rata pemakaian air
tanah sebelum dan sesudah diberlakukannya NPA yang baru pada sumur-sumur air tanah diluar jangkauan PAM DKI Jakarta. Dalam penelitian ini ditetapkan tingkat signifikansi ( ) sebesar 5%, sehinga pengambilan keputusan menolak atau menerima hipotesis nol adalah sebagai berikut: (1)
keputusannya menolak
(2)
keputusannya menerima
83 Berdasarkan data Tabel 31 dapat dihitung nilai statistik uji ( yakni:
),
. Dengan demikian keputusannya
adalah menerima
, artinya pada tingkat kepercayaan (level of confidence) 95%
tidak cukup bukti untuk menyatakan terjadi penurunan pemakaian air tanah pada sumur-sumur diluar jangkauan PAM DKI Jakarta dengan dilakukannya kenaikan NPA. Dengan kata lain dapat disimpulkan tidak ada perbedaan pemakaian air tanah sebelum dan sesudah diberlakukannya kenaikan NPA pada sumur-sumur diluar jangkauan PAM DKI Jakarta. Hasil analisis menunjukkan penggunaan instrumen ekonomi berupa kenaikan pajak pemanfaatan air tanah tidak efektif dalam menurunkan penggunaan air tanah pada sumur-sumur diluar jangkauan layanan PAM DKI Jakarta. Hal tersebut dapat dimengerti, karena air tanah menjadi satu-satunya sumber air bersih bagi kelompok pelanggan di wilayah ini. Mengacu pada hasil analisis tersebut, kebijakan yang sesuai untuk pengelolaan air tanah pada sumur-sumur diluar jangkauan PAM DKI adalah tidak menggunakan instrumen ekonomi. Seperti telah diuraikan dalam tinjauan pustaka, kebijakan berupa penerapan standard, agreements, dan ban bisa diterapkan. Secara teknis kebijakan tersebut dapat dijabarkan dalam bentuk kuota pemakaian air tanah dengan menerapkan teknologi yang dapat membatasi debit penyedotan air tanah. Misalnya dengan memodifikasi meter air tanah sehingga jika pemakaian melebihi kuota segel pada meter air akan rusak dan pelanggan dikenakan denda. Besarnya denda ditentukan berdasarkan surat keputusan gubernur setelah dilakukan studi yang mendalam.
6.5. Biaya Perolehan Air Tanah 6.5.1. Analisis Biaya Pemompaan Biaya perolehan air tanah adalah di Provinsi DKI Jakarta terdiri dari biaya pemompaan dan pajak air tanah. Biaya pemompaan pada dasarnya adalah ongkos pemakaian daya listrik yang digunakan untuk menyedot air tanah. Besarnya ongkos pemakaian listrik ditentukan oleh efisiensi teknis mesin pompa air dan tarif dasar listrik yang harus dibayar. Berikut adalah ilustrasi biaya pemompaan untuk ketegori pemakai rumah tangga dan bisnis.
84 6.5.1.1. Jenis Pompa Pompa air yang digunakan dalam ilustrasi perhitungan ini adalah pompa jetpump untuk sumur dalam, yakni (1) Merek Wasser Model PC 255 EA; (2) Merek Wasser Model PC 380 EA; dan (3) Merek Wasser Model PC 500 EA. Spesifikasi masing-masing tipe adalah sebagai berikut: (a) Model Wass PC 255 EA: tipe pompa jet-pump untuk sumur dalam dengan daya hisap dan daya pancar maksimum 30 meter, kapasitas 75 liter/menit, tegangan listrik 220 Volt, daya listrik 250 Watt, diameter pipa hisap 1,25 inch dan diameter pipa dorong 1 inch. Harga pompa Rp. 1.278.000,(b) Model Wass PC 380 EA: tipe pompa jet-pump untuk sumur dalam dengan daya hisap dan daya pancar maksimum 40 meter, kapasitas 90 liter/menit, tegangan listrik 220 Volt, daya listrik 375 Watt, diameter pipa hisap 1,25 inch dan diameter pipa dorong 1 inch. Harga pompa Rp. 1.395.000,(c) Model Wasser PC 500 EA: tipe pompa jet-pump untuk sumur dalam dengan daya hisap dan daya pancar maksimum 50 meter, kapasitas 60 liter/menit, tegangan listrik 220 Volt, daya listrik 500 Watt, diameter pipa hisap 1,25 inch dan diameter pipa dorong 1 inch. Harga pompa Rp. 2.325.000,6.5.1.2. Biaya Pemompaan Pemakai Air Tanah Kategori Rumah Tangga Besaran pemakaian air rumah tangga ditentukan berdasarkan standar pedoman konstruksi dan bangunan yang dikeluarkan Departemen Pekerjaan Umum, yakni untuk jenis kota metropolitan dengan jumlah penduduk lebih besar 2.000.000 kebutuhan air adalah > 210 liter/orang/hari (Bappenas, 2006). Biaya pemakaian listrik didasarkan pada besaran tarif dasar listrik (TDL) yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2010 tentang Tarif Tenaga Listrik Yang Disediakan Oleh Perusahaan Perseroan (Persero) P.T. Perusahaan Listrik Negara. Jika digunakan pompa model Wasser PC 225 EA maka dapat dibuat ilustrasi biaya pemompaan pengambilan air untuk rumah tangga. (1) Rumah tangga dengan anggota 4 orang, menggunakan sumur pantek kedalaman kurang dari 40 meter, dan batas daya 450 VA.
85 TDL: Rp. 169/kWh untuk pemakaian 0 - 30 kWh; Rp. 360/kWh untuk pemakaian diatas 30 sampai 60 kWh; dan Rp. 495/kWh untuk pemakaian diatas 60 kWh. Kebutuhan air:
. Untuk memenuhi
kebutuhan 840 liter tersebut dibutuhkan waktu pemompaan sebesar: . Untuk memenuhi kebutuhan air selama 1 bulan dibutuhkan 336 menit atau 5,6 jam. Dengan demikian dapat dihitung kebutuhan daya listriknya, yaitu atau 1,4 kWh per bulan. Biaya pemompaan per bulan . Situasi diatas terjadi jika diasumsikan peralatan pompa air bekerja secara optimal seperti kondisi yang tertera pada spesifikasi produk dan tidak ada perbedaan kebutuhan daya listrik pada saat pompa dinyalakan dengan kebutuhan daya listrik pada saat pompa sedang menyala. Asumsi tersebut dirasa kurang realistis, oleh karena itu dipandang perlu menerapkan faktor koreksi dengan mengasumsikan kapasitas pompa beroperasi sebesar 60%, dengan demikian kapasitas pompa menjadi 45 liter/menit. Dengan demikian dapat dihitung ulang waktu pemompaan yakni
.
Untuk memenuhi kebutuhan 1 bulan dibutuhkan 560 menit atau 9,33 jam. Dengan demikian kebutuhan daya listrik per bulan adalah atau 2,3325 kWh. Biaya pemompaan per bulan
.
Biaya pemompaan ini sepertinya kecil sekali, tetapi sebenarnya bisa dibandingkan dengan daya listrik yang dibutuhkan untuk menyalakan lampu pijar. Jika diasumsikan sebuah lampu pijar di rumah keluarga sederhana menyala selama 4 jam per hari, sebulan 120 jam, jika daya listrik lampu 100 Watt, maka kebutuhan daya listrik per bulan 12000 Watt jam atau 12 kWh. Jika tagihan listrik keluarga tersebut sebulan Rp. 60,000,- maka biaya pemompaan tersebut menjadi realistis, karena tagihan listrik tersebut untuk
86 alokasi pembayaran biaya Rp. 11.000,-, sejumlah titik lampu, daya untuk barang-barang elektronika dan sebagainya. Perhitungan biaya pemompaan diatas tidak memperhitungkan biaya beban, jika biaya beban tidak ingin dihitung tetapi pada dasarnya sudah dicakup dalam TDL, maka bisa digunakan tarif listrik prabayar. TDL pra bayar Rp. 415 per kWH, dengan demikian biaya pemompaan sebesar Rp. 967,99 per bulan. (2) Rumah tangga dengan anggota 4 orang, menggunakan sumur pantek kedalaman kurang dari 40 meter, dan batas daya 900 VA listrik prabayar. Dengan asumsi kapasitas pompa sebesar 60%, maka dapat ditentukan biaya pemompaan per bulan sebesar: .
(3) Rumah tangga dengan anggota 6 orang, menggunakan sumur pantek kedalaman kurang dari 40 meter, dan batas daya 900 VA listrik prabayar. Dengan asumsi kapasitas pompa sebesar 60%, maka dapat ditentukan biaya pemompaan per bulan sebesar:
6.5.1.3. Biaya Pemompaan Pemakai Air Tanah Kategori Bisnis atau Komersial Besaran pemakaian air untuk keperluan bisnis atau komersial menurut standar pedoman konstruksi dan bangunan yang dikeluarkan Departemen Pekerjaan Umum, misalnya hotel lokal adalah 400 liter/kamar/hari sedangkan hotel internasional 1000 liter/kamar/hari. Sebagai ilustrasi dihitung biaya pemompaan hotel lokal dengan 60 kamar, memakai listrik dengan batas daya 2.200 – 5.500 VA listrik prabayar. Untuk kategori ini biaya TDL Rp. 905 per kWh. Jika tingkat hunian rata-rata per bulan 80% dan menggunakan pompa model Wasser PC 500 EA dengan faktor koreksi kapasitas 60%, maka biaya pemompaan per bulan dapat dihitung sebagai berikut:
87
6.5.1.4. Biaya Pemompaan Pemakai Air Tanah Kategori Sosial atau Institusi Besaran pemakaian air untuk keperluan sosial dan institusi menurut standar pedoman konstruksi dan bangunan yang dikeluarkan Departemen Pekerjaan Umum, misalnya sebagai berikut: universitas kebutuhan air 20 liter/mahasiswa/hari, sekolah kebutuhan air 15 liter/siswa/hari, rumah sakit kurang dari 100 tempat tidur kebutuhan air 340 liter/tempat tidur/hari rumah sakit dengan lebih 100 tempat tidur kebutuhan air 400-450 liter/tempat tidur/hari. Sebagai ilustrasi dihitung biaya listrik untuk pemompaan air sebuah universitas dengan 3.000 mahasiswa + 250 staf akademik dan non-akademik, hari efektif/kerja 25 hari per bulan, memakai listrik dengan batas daya 3.500 VA – 200 kVA listrik prabayar, mesin pompa mode Wasser PC 500 EA dengan faktor koreksi kapasitas 60%. Biaya listrik untuk pemompaan per bulan dapat dihitung sebagai berikut:
6.5.2. Analisis Biaya Perolehan Air Tanah : Data Empirik Analisis ini didasarkan di Kampus UKRIDA II Jalan Terusan Arjuna Kebon Jeruk Jakarta Barat mulai bulan November 2004 sampai Agustus 2009. Rincian jumlah pemakaian, besarnya pajak air tanah yang harus dibayar dipaparkan secara rinci pada Lampiran 2. Tagihan pajak atau harga air tanah pada dasarnya merupakan biaya bagi pemakai. Pengeluaran untuk membayar pajak air tanah adalah salah satu komponen biaya untuk memberikan jasa pendidikan (suplai). Dengan demikian dari perspektif pemakai/konsumen kemudian bisa
88 dibuat biaya rata-rata, biaya marjinal, dan selanjutnya bisa didapatkan fungsi biaya total. Rata-rata besarnya pajak air tanah berdasarkan data Nopember 2004 sampai Mei 2009 adalah Rp. 441,28/m3. Sejak diberlakukannya NPA yang baru berdasarkan Pergub 37/2009 rata-rata besarnya pajak air tanah adalah Rp. 5366,60/m3 dihitung berdasarkan pemakaian Juni sampai Agustus 2009, mengalami kenaikan sebesar 1.116,14% atau besarnya pajak yang baru 12,16 kali lipat harga yang lama. Dari data empirik tersebut juga didapatkan besarnya biaya marjinal untuk berbagai kisaran pemakaian pada tarif pajak lama atau sebelum diberlakukannya Pergub 37/2009, seperti dtitunjukkan dalam Tabel 33. Tabel 33. Biaya Rata-rata, Biaya Marjinal, dan Fungsi Biaya Total pada Berbagai Kisaran Pemakaian Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta (Rp/m3) Kisaran Pemakaian (Q)
AC
MC
Fungsi TC
42 – 81 m3/bulan
409,24
439,66
TC = 439,66Q
81 – 455 m3/bulan
437,60
450,00
TC = 450Q
455 – 527 m3/bulan
446,13
468,90
TC = 468,90Q
527 – 919 m3/bulan
457,56
500,40
TC = 500,40Q
919 – 1.652 m3/bulan
486,64
544,16
TC = 544,16Q
Selanjutnya dari MC bisa didapatkan TC, yakni untuk MC = 439,66 maka
, misalnya . Sesuai dengan
keputusan gubernur yang mengatur pajak air tanah, dalam hal pemakaian air tanah tidak dipungut biaya abonemen atau biaya tetap, sehingga pada saat tidak ada pemakaian (
), maka
sehingga
, dengan demikian
. Gambar 4 menunjukkan TC, AC, dan MC pada semua kisaran pemakaian air tanah berdasarkan data empirik diatas.
89
Gambar 4. TC, AC, dan MC Berdasarkan Data Empirik
90 Pada semua kisaran pemakaian, yang menunjukkan kenaikan jumlah pemakaian, tampak MC > AC, hal ini menunjukkan model tarif yang dipakai adalah increasing block tariff atau kenaikan satuan biaya pemakaian seiring dengan kenaikan jumlah pemakaian. 6.5.3. Komparasi Biaya Perolehan Air Tanah dan Air PAM di Provinsi DKI Jakarta Biaya pemakaian air PAM DKI Jakarta ditentukan berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2007 tanggal 15 Januari 2007 tentang Penyesuaian Tarif Otomatis (PTO) Air Minum Semester I Tahun 2007 di DKI Jakarta berlaku terhitung bulan Februari 2007. Biaya pemakaian air PAM DKI Jakarta berlaku sama untuk wilayah timur dan barat. Biaya pemakaian air PAM DKI Jakarta berdasarkan kelompok pelanggan dipaparkan dalam Tabel 34 dan 35. Tabel 34. Biaya Pemakaian Air PAM DKI Jakarta Blok Pemakaian dan Tarif Air (Rp/ m3) No.
Kelompok Pelanggan 0-10 m3
11-20 m3
> 20m3
1
Kelompok I
1.050,-
1.050,-
1.050,-
2
Kelompok II
1.050,-
1.050,-
1.575,-
3
Kelompok IIIA
3.550,-
4.700,-
5.500,-
4
Kelompok IIIB
4.900,-
6.000,-
7.450,-
5
Kelompok IVA
6.825,-
8.150,-
9.800,-
6
Kelompok IVB
12.550,-
12.550,-
12.550,-
7
Kelompok V/Khusus
14.650,-
14.650,-
14.650,-
91 Tabel 35. Kelompok Pelanggan Air PAM DKI Jakarta Kelompok I: Tempat Ibadah, Hidran dan Ledeng Umum, Asrama Badan Sosial, dan Rumah Yatim Piatu, Kelompok II: Rumah Sakit Pemerintah, Rumah Tangga Sangat Sederhana, dan Rumah Susun Sangat Sederhana. Kelompok IIIA: Rumah Tangga Sederhana, Rumah Susun Sederhana, dan Stasiun Air dan Mobil Tangki. Kelompok IIIB: Rumah Tangga Menengah, Rumah Susun Menengah, Kios/Warung, Bengkel Kecil. Usaha Kecil Dalam Rumah Tangga, Lembaga Swasta Non Komersial, dan Usaha Kecil. Kelompok IVA: Rumah Tangga di atas Menengah, Kedutaan/Konsulat, Kantor Instansi Pemerintah, Kantor Perwakilan Asing, Lembaga Swasta Komersial, Institusi Pendidikan/Kursus, Instansi TNI, Usaha Menengah, Usaha Menengah Dalam Rumah Tangga, Tempat Pangkas Rambut, Penjahit, Rumah Makan/Restoran, RS Swasta/Poliklinik/Laboratorium, Praktek Dokter, Kantor Pengacara, Hotel Melati/Non Bintang, Industri Kecil, Rumah Susun di atas Menengah, Bengkel Menengah. Kelompok IVB: Hotel Berbintang 1,2,3/Motel/Cottage, Steambath/Salon Kecantikan, Night Club/Kafe, Bank, Service Station, Bengkel Besar, Perusahaan Perdagangan/Niaga/Ruko/Rukan, Hotel Berbintang 4, 5, Gedung Bertingkat Tinggi, Apartemen/Kondominium, Pabrik Es, Pabrik Makanan/Minuman, Pabrik Kimia/Obat/Kosmetik, Pabrik/Gudang Perindustrian, Pabrik Tekstil, Pergudangan/Industri Lainnya, Tongkang Air, P.T. Jaya Ancol,. Kelompok V/Khusus: BPP Tanjung Priok
Komparasi biaya pemakaian air bersih yang disediakan PAM DKI Jakarta dengan pajak air tanah dipaparkan dalam Tabel 36. Tarif air PAM DKI Jakarta dan pajak air tanah disusun dengan konsep yang sama, yakni increasing block tariff, yakni tarif pemakaian air atau pajak air berbeda untuk setiap subjek pemakai (kelompok pelanggan) dan besarannya meningkat seiring dengan jumlah pemakaian yang semakin besar. Perbedaan pada keduanya adalah klasifikasi kelompok pelanggan dan batasan jumlah pemakaian yang berbeda. Secara
92 kelembagaan sebenarnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki kewenangan untuk diterapkannya klasifikasi pelanggan dan batasan pemakaian yang sama, hal ini akan memudahkan pemantauan ataupun komparasi tarif kedua jenis sumber air tersebut. Tabel 36. Komparasi Pajak Air Tanah dan Biaya Pemakaian Air PAM Untuk Pelanggan Dalam Jangkauan PAM DKI Jakarta No. 1
2
3
4
Subjek Lembaga Swasta Non Komersial
Pajak Air Tanah Lama
Pajak Air Tanah Baru
Tarif Air PAM
Non Niaga
Non Niaga
IIIB
Pemakaian 10 m3/bulan
6.504,00
88.664,00
49.000,00
Pemakaian 20 m3/bulan
13.008,00
177.328,00
64.900,00
Pemakaian 50 m3/bulan
32.520,00
443.320,00
288.400,00
Non Niaga
Non Niaga
IVA
Pemakaian 10 m3/bulan
6.288,00
88.664,00
68.250,00
Pemakaian 20 m3/bulan
12.576,00
177.328,00
149.750,00
Pemakaian 50 m3/bulan
31.440,00
443.320,00
443.750,00
Niaga Kecil
Niaga Kecil
IIIB
Pemakaian 20 m3/bulan
28.008,00
198.328,80
109.000.00
Pemakaian 50 m3/bulan
70.020,00
495.822,00
332.500.00
Pemakaian 250 m3/bulan
380.100,00
2.525.775,60
1.748.000.00
Rumah Sakit Swasta, Praktek Dokter
Niaga Kecil
Niaga Kecil
IVA
Pemakaian 20 m3/bulan
31.992,00
198.328,80
149.750,00
Pemakaian 50 m3/bulan
79.980,00
495.822,00
443.750,00
Pemakaian 250 m3/bulan
429.900,00
2.525.775,60
2.305.750,00
Institusi pendidikan/Lembaga Kursus
Usaha kecil dalam rumah tangga
93 Lanjutan Tabel 36 No. 5
6
7
8
Subjek
Pajak Air Tanah Lama
Rusun sederhana
Pajak Air Tanah Baru
Tarif Air PAM
Industri Kecil
IIIA
Pemakaian 20 m3/bulan
-
291.660,00
82.500,00
Pemakaian 50 m3/bulan
-
729.150,00
247.500,00
Pemakaian 250 m3/bulan
-
3.645.750,00
1.292.500,00
Niaga Besar
Industri Kecil
IVB
Pemakaian 20 m3/bulan
49.992,00
291.660,00
251.000,00
Pemakaian 50 m3/bulan
124.980,00
729.150,00
627.500,00
Pemakaian 250 m3/bulan
675.060,00
3.715.748,40
3.012.000,00
Niaga Besar
Niaga Besar
IVB
Pemakaian 20 m3/bulan
55.008,00
338.325,60
251.000,00
Pemakaian 50 m3/bulan
137.520,00
845.814,00
627.500,00
Pemakaian 250 m3/bulan
737.520,00
4.322.401,20
3.137.500,00
Pemakaian 500 m3/bulan
1.487.520,00
8.784.799,20
6.275.000,00
Industri Besar
Industri Besar
IVB
Pemakaian 50 m3/bulan
150.000,00
1.020.810,00
627.500,00
Pemakaian 250 m3/bulan
810.000,00
5.220.714,00
3.137.500,00
Pemakaian 500 m3/bulan
1.635.000,00
10.616.424,00
6.275.000,00
Pemakaian 750 m3/bulan
2.535.000,00
16.157.964,00
9.412.500,00
Pemakaian 1.000 m3/bulan
3.435.000,00
21.845.334,00
12.550.000,00
Pemakaian 2.000 m3/bulan
7.434.600,00
45.178.134,00
25.100.000,00
Hotel Bintang 1, 2, 3
Hotel Bintang 4 dan 5
Pabrik tekstil
Komparasi biaya seperti ditunjukkan dalam Tabel 36 menunjukkan biaya perolehan air tanah (diluar biaya listrik) lebih murah dibandingkan biaya perolehan air PAM DKI Jakarta (diluar biaya tetap dan biaya-biaya administrasi lainnya). Hal ini sudah sesuai dengan prinsip pengelolaan sumber daya alam, yakni mendahulukan pemakaian sumber daya yang sifatnya dapat pulih
94 (renewable resources). Selain itu hal ini juga sejalan dengan kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk lebih mengutamakan pemakaian air permukaan ketimbang air tanah.
95
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan (1) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya menggunakan pajak dan retribusi air tanah sebagai kebijakan untuk membatasi pemakaian dan pemanfaatan air tanah di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Pajak dan retribusi air tanah adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Kontribusi pajak dan retribusi air tanah terhadap pendapatan asli daerah sangat kecil dibandingkan dengan pajak daerah dan retribusi daerah yang lain. Fungsi instrumen pajak dan retribusi air tanah adalah pembatasan pemakaian dan konservasi air tanah. (2) Kelembagaan pengelola air tanah telah berubah dari sebelumnya dikelola Dinas Pertambangan sekarang dikelola oleh Badan Pengelola Lingkunan Hidup Daerah. Perubahan ini menunjukkan pergeseran paradigma dari fokus pengambilan dan pemanfaatan menjadi konservasi dan pengendalian pengambilan dan pemanfaatan air tanah. (3) Metode perhitungan harga air baku dalam penentuan nilai perolehan air tanah (NPA) di Provinsi DKI Jakarta yang didasarkan pada Lampiran 10 Keputuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 14551 Tahun 2000 perlu direvisi karena belum sesuai dengan teori penetapan harga air tanah yang lazim digunakan dalam disiplin ilmu ekonomi sumberdaya dan lingkungan. Jika mengacu pada lampiran tersebut, penetapan harga air baku menjadi lebih rendah dari harga semestinya, implikasi selanjutnya kemungkinan bisa menyebabkan deplesi air tanah lebih cepat. (4) Kenaikan pajak air tanah yang dilakukan dengan cara menaikkan NPA efektif menurunkan pemakaian air tanah sumur-sumur di dalam jangkauan pelayanan PAM DKI Jakarta, sebaliknya tidak efektif untuk sumur-sumur diluar jangkauan pelayanan PAM DKI Jakarta. (5) Biaya perolehan air tanah setelah ditetapkannya NPA yang baru (tahun 2009) lebih besar dibandingkan dengan biaya perolehan air PAM DKI Jakarta untuk semua kelompok pelanggan dan jumlah pemakaian. Sebelum kenaikan NPA biaya perolehan air tanah lebih rendah dibandingkan air bersih yang disediakan PAM DKI Jakarta.
96 (6) Peraturan daerah dan keputusan gubernur yang berkaitan dengan pajak air tanah dan retribusi air tanah perlu direvisi untuk menyesuaikan dengan peraturan perundangan yang baru. (7) Untuk memenuhi prinsip keadilan dan kelestarian pemakaian air tanah diperlukan kebijakan lain diluar instrumen pajak, yaitu kebijakan-kebijakan yang termasuk kategori instrumen non-ekonomi seperti standard, agreement, ataupun pemasangan meter air tanah pada semua sumur bor ataupun sumur pantek. Kebijakan ini terutama sangat diperlukan untuk melakukan pembatasan pemakaian air tanah untuk wilayah diluar jangkauan pelayanan PAM DKI Jakarta.
7.2. Saran (1) Implikasi kebijakan kenaikan pajak air tanah di Provinsi DKI Jakarta adalah kenaikan pengeluaran sektor bisnis/niaga dan industri untuk kepentingan pemakaian air tanah. Pada wilayah-wilayah yang berada diluar jangkauan pelayanan PAM DKI, kenaikan pajak air tanah akan berdampak pada pada kenaikan biaya produksi per unit untuk setiap produk barang dan jasa yang dihasilkan ataupun kenaikan biaya overhead perusahaan/organisasi. Sampai sejauh ini belum ada dampak signifikan tentang kenaikan pajak air tanah, misalnya dampak pada kenaikan harga barang. Kemungkinan dampak akan terjadi pada jenis-jenis perusahaan atau usaha niaga yang banyak menggunakan air dalam proses produksinya ataupun sebagai bahan baku, misalnya pabrik tekstil, industri minuman dan bir, ataupun hotel. Untuk mengetahui lebih detail implikasi kenaikan pajak air tanah pada sektor niaga dan industri perlu dilakukan penelitian yang mendalam tentang proporsi biaya air dalam penetapan harga pokok produksi. (2) Implikasi lain dari kenaikan pajak air tanah adalah perluasan jaringan dan peningkatan kapasitas produksi PAM DKI Jakarta. Solusi dari pemenuhan kebutuhan air di Provinsi DKI Jakarta adalah tersedianya sumber air permukaan dalam jumlah yang cukup. Kebijakan menaikkan pajak air tanah dipandang sudah tepat dalam artian konservasi dan preservasi di satu sisi dan upaya mendorong peningkatan kinerja PAM DKI Jakarta di sisi yang lain.
97 Pemerintah Provinsi DKI perlu mendesak dan menentukan tenggat waktu untuk meningkatkan cakupan pelayanan PAM DKI Jakarta dengan prioritas di wilayah-wilayah dimana sumur bor dan sumur pantek yang memiliki izin berada. Jika upaya untuk meningkatkan cakupan pelayanan PAM DKI Jakarta tidak bisa dipenuhi ataupun peningkatan efektivitas distribusi air bersih tidak terlaksana, maka harus diupayakan kebijakan lain yang lebih komprehensif, misalnya dengan mempertimbangkan kembali tata ruang, penataan ulang pemukiman, menekan urbanisasi, atau memindahkan sebagian aktivitas bisnis dan industri ke areal lain diluar daerah cekungan air tanah Jakarta. Konsep penataan ruang berdasarkan cekungan air tanah relevan dilakukan untuk daerah perkotaan, seperti penataan wilayah perdesaan dan alokasi sumber daya berdasarkan DAS. (3) Kebijakan penggunaan instrumen ekonomi seperti pajak perlu dipertahankan dalam pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta, khususnya untuk wilayah dalam jangkauan pelayanan PAM DKI Jakarta. Meskipun demikian kebijakan yang didasarkan pada standard dan agreements perlu diterapkan untuk pemanfaatan air tanah pada sumur-sumur diluar pelayanan PAM DKI Jakarta. (4) Biaya perolehan air tanah setelah kenaikan pajak air tanah menjadi lebih mahal dibandingkan dengan biaya perolehan air PAM DKI Jakarta. Dalam perspektif konservasi dan pembatasan pengambilan air tanah situasi ini sudah sesuai. Dari perspektif analisis ekonomi sumber daya dan lingkungan, situasi yang ideal adalah kondisi dimana harga air tanah dan air PAM DKI Jakarta dengan kualitas dan jaminan ketersediaan yang sama berada pada besaran yang sama, sehingga bagi pelanggan/pemakai memakai air tanah ataupun air PAM DKI Jakarta tidak ada perbedaan (indifference). Situasi ideal ini akan tercapai jika upaya konservasi air tanah dan peningkatan kapasitas produksi dan cakupan pelayanan PAM DKI Jakarta berhasil dengan baik. (5) Penelitian lebih lanjut berkaitan dengan penetapan nilai dan harga air tanah secara komprehensif perlu dilakukan. Selain itu juga perlu dilakukan penelitian untuk memantau dampak kenaikan pajak air tanah menggunakan data runtun waktu yang lebih panjang dan penelitian untuk investigasi
98 pemakaian air tanah yang tidak tercatat. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan penetapan harga air baku yang lebih tepat. Model yang dihasilkan melalui penelitian lanjutan ini dapat diusulkan untuk melakukan revisi model penetapan nilai perolehan air secara nasional.
DAFTAR PUSTAKA Abidin HZ, Andreas H, Gumilar I, Gamal M, Fukuda Y, Deguchi T. 2009. Land Subsidence and Urban Development in Jakarta (Indonesia). 7th FIG Regional Conference, Hanoi. Babel MS, Gupta AD, Domingo NDS. 2006. Land Subsidence: A Consequence of Groundwater Over-Exploitation in Bangkok, Thailand. International Review for Environmental Strategies Vol. 6 No. 2. Bappenas. 2006. Laporan Akhir Buku 2: Identifikasi Masalah Pengelolaan Sumber Daya Air di Pulau Jawa. Direktorat Pengairan dan Irigasi Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta. Black K. 1997. Business Statistics Contemporary Decision Making, Second Edition. West Publishing Company. Minneapolis. BPS Provinsi DKI Jakarta. 2009. Jakarta Dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. Jakarta. BPS Provinsi DKI Jakarta. 2008. Jakarta Dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. Jakarta. BPS Provinsi DKI Jakarta. 2007. Jakarta Dalam Angka 2007. Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. Jakarta. BPS Provinsi DKI Jakarta. 2006. Jakarta Dalam Angka 2006. Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. Jakarta. Chaudhary V, Jacks G, Gustafsson, J-E. 2002. An Analysis of Groundwater Vulnerability and Water Policy Reform in India. Environmental Management and Health Vol. 13 No. 2. Cooper DR, Schindler PS. 1998. Business Research Methods, Sixth Edition. McGraw-Hill International Editions. Crowley BP, Delfico JF. 1996. Content Analysis: A Methodology for Structuring and Analyzing Written Material. United States General Accounting Office (GAO), Program Evaluation and Methodology Division. Dellapenna JW, Gupta J. 2008. The Evolution of Global Water Law dalam The Evolution of the Law and Politics of Water edited by J.W. Dellapenna and J. Gupta. Springer, Earth System Governance, and Global Water System Project. Delinom RM. 2008. Groundwater Management Issues in the Greater Jakarta Area, Indonesia. Bull. TERC, Univ. Tsukuba, No.8, Supplement, No. 2. Devas N, Binder B, Booth A, Davey K, Kelly R. 1989. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia (Diterjemahkan oleh Masri Maris). Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Dietz, E. and R. van der Mark. 2000. Water companies and the protection of the environment and nature, 1990-1997. Task Force on SERIEE Meeting of 11-12 September 2000. Statistical Office of The European Communities.
Djaja R, Rais J, Abidin HZ, Wedyanto K. 2004. Land Subsidence of Jakarta Metropolitan. 3rd FIG Regional Conference, Jakarta. Dye TR. 1992. Understanding Public Policy, Seventh Edition. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Ebarvia, MCM. 1997. Pricing for Groundwater Use of Industries in Metro Manila, Philipines. EEPSEA Research Report Series. EEPSEA, Singapore. Field A. 2005. Discovering Statistics Using SPSS, Second Edition. Sage Publications. Freund JE. 1984. Modern Elementary Statistics. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Grafton RQ, Adamowicz W, Dupont D, Nelson H, Hill RJ, Renzetti S. 2004. The Economics of the Environment and Natural Resources. Blackwell Publishing. Gupta J, Dellapenna JW. 2008. The Challenges for the Twenty-First Century: A Critical Approach edited by J.W. Dellapenna and J. Gupta. Springer, Earth System Governance, and Global Water System Project. Hartwick JM, Olewiler ND. 1998. The Economics of Natural Resource Use, Second Edition. Addison-Wesley. Hellegers P, van Ierland E. 2003. Policy Instruments for Groundwater Management in the Netherlands. Environmental and Resource Economics Vol. 26. Hepburn C. 2006. Regulation by Prices, Quantities, or Both: A Review of Instrument Choice. Oxford Review of Economic Policy Vol. 22 No. 2. Hensher D, Shore N, Train K. 2005. Households’ Wiilingness to Pay for Water Service Attributes. Environmental and Resources Economics Vol. 32. Holden P, Thobani M. 1996. Tradable Water Rights, A Property Rights Approach to Resolving Water Shortages and Promoting Investment. Policy Research Working Paper 1627, Latin America and the Caribbean Technical Department, Economic Adviser’s Unit. The World Bank, Washington D.C.. Howe CW. 1979. Natural Resource Economics: Issues, Analysis, and Policy. John Wiley & Sons. Kemper K, Foster S, Garduño H, Nanni M, Tuinhof A. 2006. Economic Instruments for Groundwater Management, Using Incentives to Improve Sustainability. Sustainable Groundwater Management: Concepts and Tools. Briefing Note Series. Note 7. The World Bank. Kornfeld IE. 2008. Mesopotamia: A History of Water and Law dalam The Evolution of the Law and Politics of Water edited by J.W. Dellapenna and J. Gupta. Springer, Earth System Governance, and Global Water System Project. Koundouri P. 2004. Current Issues in the Economics of Groundwater Resource Management. Journal of Economic Surveys Vol 18 No. 5. Laster R, Aronovsky D, Livney D. 2008. Water in the Jewish Legal Tradition edited by J.W. Dellapenna and J. Gupta. Springer, Earth System Governance, and Global Water System Project.
Moncur JET, Pollock RL. 1988. Scarcity Rent for Water: A Valuation and Pricing Model. Land Economics Vol. 64 No. 1. Naff T. 2008. Islamic Law and Politics of Water dalam The Evolution of the Law and Politics of Water edited by J.W. Dellapenna and J. Gupta. Springer, Earth System Governance, and Global Water System Project. Olmstead SM, Stavins RN. 2008. Comparing Price and Non-price Approaches to Urban Water Conservation. Discussion Paper RFF DP 08-22. Resources For the Future. Pipkin BW, Trent DD. 2001. Geology and the Environment, Third Edition. Brooks/Cole, Thomson Learning. Qureshi ME, Qureshi SE, Goesch T, Hafi A. 2006, Preliminary Economic Assessment of Groundwater Extraction Rules. Economic Papers Vol. 25 No. 1. Roseta-Palma C. 2003. Joint Quantity/Quality Management of Groundwater. Environmental and Resource Economics Vol. 26. Rubio SJ, Casino B. 2003. Strategic Behavior and Efficiency in the Common Property Extraction of Groundwater. Environmental and Resource Economics Vol. 26. Samudra AA. 1995. Perpajakan di Indonesia: Keuangan, Pajak, dan Retribusi Daerah. Penerbit P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Schmidt G, Soefner B, Soekardi P. 1990. Possibilities for Groundwater Development for the City of Jakarta. IAHS Publ. No. 198, 1990. Siegel S, Castellan, Jr. NJ. 1988. Nonparametric Statistics for the Behavioral Sciences, Second Edition. McGraw-Hill Book Company. Sterner T. 2003. Policy Instruments for Environmental and Natural Resource Management. Resources For The Future, The World Bank, and Swedish International Development Cooperation Agency. Syaukat Y, Fox GC. 2004. Conjunctive Surface and Ground Water Management in The Jakarta Region, Indonesia. Paper No. 01073 of the Journal of the American Water Resources Association. Thobani M. 1997. Formal Water Markets: Why, When, and How to Introduce Tradable Water Rights. The World Bank Research Observer Vol. 12 No. 2. Tietenberg T. 2006. Environmental Natural Resource Economics, Seventh Edition. Pearson Addison Wesley. Tresnadi H. 2007. Dampak Kerusakan yang Ditimbulkan Akibat Pengambilan Air Tanah yang Berlebihan di Jakarta dan Bandung. Alami Vol. 12 No. 2. Wangsaatmaja S, Sutadian AD, Prasetiati MAN. 2006. A Review of Groundwater Issues in the Bandung Basin, Indonesia: Management and Recommendations. International Review for Environmental Strategies Vol. 6 No. 2. Weimer DL, Vining AR. 1990. Policy Analysis, Concepts and Practice, Second Edition. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. Weiss NA. 1993. Elementary Statistics, Second Edition. Addison-Wesley Publishing Company.
Lampiran 1. Data Responden Sampel Menurut Kode Tarif dan Wilayah Responden Rekening Lengkap (Pemakaian Setiap Bulan Tercatat) No.
Kode Tarif
Wilayah
No. Rek.
Nama
Alamat
1
1D
SAP 01
151
Ir. Krisna Noor
Jl. Diponegoro No. 20-22
2
1D
SAB 02
422
Yayasan Lia
Jl. S. Parman no. 64
3
1D
SAB 02
518
Yayasan Penguburan Elim
Jl. KS Tubun II/39
4
1D
SAB 02
519
Ir. Krisman Karel Lie
Jl. Green Garden Blok D2/25
5
1D
SAB 02
540
Tarsius II/Y. Bundahatikds
Jl. Batu Sari no. 12
6
1D
SAB 02
547
Ir. Rizwan Halim
Jl. S. Parman Blok G-12
7
1D
SAS 04
907
Fery Lukman
Jl. Kebayoran Lama no. 59
8
1D
SAS 04
1045
Embassy of India
Jl. HR. Rasuna Said
9
1D
SAS 04
1057
Ny. Sisca Wijaya
Jl. Bukit Golf Utama PA 5 1
10
1D
SAS 04
1123
Ir. Budi Brazli
Jl. Bukit Golf Utama
11
2D
SAP 01
61
RS. Kramat Lima
Jl. Kramat V no. 6
12
2D
SAP 01
108
RS. STCarolus
Jl. Salemba Raya no. 11
13
2D
SAP 01
130
Wisma Fairbanks
Jl. Pintu I Senayan
14
2D
SAP 01
288
Yayasan Pemeliharaan Kes
Jl. Lombok no. 46
15
2D
SAB 02
322
Pundi Pusaka
Jl. Sejahtera no. 25 Cengkareng
16
2D
SAB 02
526
Ikawati Budiarto
Jl. KS Tubun II/C no. 30
17
2D
SAB 02
536
PT. Komet
Jl. Kemanggisan/ Batu Sari
18
2D
SAB 02
552
Hero Palmerah Motor
Palmerah Utara no. 76
19
2D
SAB 02
600
Kafilah Hotel
Jl. Sukardjo Wiryo Paranoto
20
2D
SAU 04
929
PT. Mandara Medika Utama
Jl. Pantai Indah Utara 3 K
21
2D
SAU 04
930
PT. Mandara Medika Utama
Jl. Pantai Indah Utara
22
2D
SAS 04
1066
PT. Istana Kebun Raya Motor
Jl. RS. Fatmawati 21 Jakarta
23
3D
SAB 02
446
Jaya Laundry
Jl. Kayu Besar no. 33
24
3D
SAB 02
464
Victory Laundry Service
Jl. Duri Tool Rt 05/01
25
3D
SAS 04
1044
Pabrik Kaos Asli
Jl. Prof Sutomo SH. No. 22
26
3D
SAS 04
1134
Laundry dan Cleaning
Jl. Tebah II no. 31-33
27
3D
SAS 04
1187
Exelcion Furniture
Jl. RS. Fatmawati no.6A
28
4D
SAP 01
40
Hotel Menteng
Jl. Gondangdia Lama no. 28
29
4D
SAP 01
120
Hotel Sari Pasifik
Jl. MH. Thamrin
30
4D
SAP 01
121
Hotel Sari Pasifik
Jl. MH. Thamrin
31
4D
SAP 01
124
PT. Gramedia
Jl. Palmerah Selatan No. 24
32
4D
SAP 01
166
Hotel Menteng
Jl. Gondangdia Lama
33
4D
SAP 01
173
Hotel Menteng
Jl. Cikini Raya
34
4D
SAP 01
216
Kebayoran Golf Curses
Jl. Asia Afrika
35
4D
SAP 01
268
PT. Astra Internatinal INC
Jl. Sultan Syahrir 27
36
4D
SAP 01
281
Restoran Paramount
Jl. Gondangdia Lama no. 35
37
4D
SAP 01
293
Hotel Prapatan
Jl. Prapatan No. 28
38
4D
SAP 01
294
PT. Bank Umum Nasional
Jl. Cikini Raya no. 38
39
4D
SAT 01
133
PT. Mapdi
Jl. Raya Cakung KM 23,4
40
4D
SAT 01
141
PT. Superior Coach
Jl. Letjen MT. Haryono no. 9
41
4D
SAT 01
146
Jakarta Golf Club
Jl. Rawamangun
42
4D
SAT 01
255
Metro Dev/ By Pass Inn
Jl. Jend. A. Yani - Pulo Mas Utara
43
4D
SAB 02
343
Garuda Indonesia Airways
Jl. Duri Kosambi
44
4D
SAB 02
407
PT. Wisma Galindra
Jl. S. Parman Kav 76
45
4D
SAB 02
411
PD. Pasar Jaya
Jl. Tanjung Duren
46
4D
SAB 02
436
Hotel Transit Tomang
Jl. Raya Kedoya. Kb. Jeruk
47
4D
SAB 02
444
PT. Intra Maju Jaya
Jl. Blustru
48
4D
SAB 02
459
PT. Pelangi Indah Can Indo
Daan Mogot KM 4 no. 700
49
4D
SAB 02
480
Rajawali Citra Televisi I
Jl. Lap Bola Kebon Jeruk
50
4D
SAB 02
481
Rajawali Citra Televisi I
Jl. Lap Bola Kebon Jeruk
51
4D
SAB 02
543
Grogol Inn
Daan Mogot KA
52
4D
SAB 02
566
PT. Pembangunan Jaya RE
Jl. S. Parman Kav 17-18
53
4D
SAB 02
594
PT. Gerak Maju Abadi
Jl. Blustru
54
4D
SAU 04
904
Praja Puri Indah
Jl. Mangga Dua Raya Pademangan
55
4D
SAU 04
908
PT. Parkasa Internusa Mandiri
Jl. Lodan Raya no. 2 Pademangan
56
4D
SAU 04
909
PT. Mandiri Dipta Cipta
Jl. Gunung Sahari Raya no. 1
57
4D
SAU 04
918
PT. Mandiri Dipta Cipta
Jl. Gunung Sahari Raya no. 1
58
4D
SAU 04
922
PT. Praja Puri Indah R.E
Jl. Gedung Pusat Perdagangan Ancol
59
4D
SAU 04
934
SPBU 34-14208
Jl. Boulovard Artha Gading .A
60
4D
SAU 04
935
BKS Pasar Pagi ITCD Mangga Dua
Jl. Mangga Dua Raya Blok D
61
4D
SAU 04
937
PT. Red Ribbon Indonesia
Jl. Muara Baru Ujung Prasa
62
4D
SAU 04
940
PT. Udhimix Precost Indonesia
Jl. Sunter Muara Rt 14/05 Sunter
63
4D
SAU 04
942
SPBU 34-14411
Jl. Kapuk Kamal Raya Rt 01/02
64
4D
SAU 04
945
PT. Smart Tbk.
Jl. Pombo no. 3 Pelabuhan T.
65
4D
SAS 04
908
PT. Toyota Astra
Jl. Jagorawi
66
4D
SAS 04
918
PT. Graha Cipta Darma
Jl. HR. Rasuna Said Kav. C10
67
4D
SAS 04
1020
PT. Hang Tuah Jaya
Jl. RS. Fatmawati no.33 H
68
4D
SAS 04
1022
CV. Putra Kalimantan
Jl. Gatot Subroto Kav 13
69
4D
SAS 04
1042
PT. Jakarta Setiabudi Prop
JL. HR. Rasuna Said
70
4D
SAS 04
1043
Wisma Metropolitan
Jl. Jendral Sudirman
71
4D
SAS 04
1062
Wisma Bakrie
Jl. HR. Rasuna Said Kav. B1
72
4D
SAS 04
1071
PT. Inter Bumi Nugraha
Jl. Jendral Sudirman
73
4D
SAS 04
1106
PT. Prabu Motor
Jl. Gatot Subroto Kav 50-52
74
4D
SAS 04
1127
PT. Krakatau Steel
Jl. Gatot Subroto Kav 54
75
4D
SAS 04
1141
PD. Majuan
Jl. Karet Pedurenan Rt 01/08 no. 14
76
4D
SAS 04
1148
PT. Bumi Mulia Perkasa
Jl. Rasuna Said Kav C11-14
77
4D
SAS 04
1151
PT. Menjangan Sakti
Jl. Rasuna Said Persil 36
78
4D
SAS 04
1160
PT. Metropolitan Kencana
Jl. Metro Duta Niaga PD. Indah
79
4D
SAS 04
1161
PT. Sumit Mas
Jl. Jendral Sudirman Kav 61/62
80
4D
SAS 04
1162
PT. Dutaangga Dainti Pertambangan
Jl. Kel. Bangka
81
4D
SAS 04
1179
PT. Bumi Mulia Perkasa
Jl. Rasuna Said Kav C11-14
82
4D
SAS 04
1190
PT. Sumit Mas Property
Jl. Jendral Sudirman Kav 61
83
5D
SAT 01
50
PT. Tobu Indonesia Steel
Jl. Raya Bekasi Km 21
84
5D
SAT 01
66
PT. Indonesia Acid Indt
Jl. Bekasi Raya Km. 21
85
5D
SAT 01
75
PT. Kabel Ind
Jl. Raya Bekasi
86
5D
SAT 01
80
PT. Yamaha Indo Motor MFG
Jl. Raya Ternate
87
5D
SAT 01
82
PT. Indonesia Acid Indt
Jl. Bekasi Raya Km. 21
88
5D
SAT 01
87
PT. Pabrik Pipa Indonesia
Jl. Raya Bekasi Km 21
89
5D
SAT 01
93
PT. Frisian Flag Indonesia
Jl. Jakarta Bogor Km. 26
90
5D
SAT 01
119
PT. Yamaha Motor Indonesia
Jl. Raya Bekasi Km. 23
91
5D
SAT 01
184
PT. Bitratex Industries
Jl. Raya Bekasi
92
5D
SAT 01
206
PT. Nala Vinieka Beverages
Jl. Raya Bekasi Km. 22,5
93
5D
SAT 01
209
PT. Aneka Tambang
Jl. Pemuda. Pulogadung
94
5D
SAT 01
224
PT. Yamaha Indo Motor MFG
Jl. Raya Ternate
95
5D
SAT 01
233
PT. The First Nat Glassware
Jl. Pulo Lentut no. 11
96
5D
SAT 01
237
PT. Yamaha Motor Indo
Jl. Raya Bekasi Km. 23
97
5D
SAT 01
246
PT. Yamaha Indo Motor MFG
Jl. Raya Bekasi
98
5D
SAT 01
251
PT. Mahkota Ind
Jl. Raya Bekasi
99
5D
SAT 01
252
PT. Lion Metal
Jl. Raya Bekasi
100
5D
SAB 02
301
CV. Gemilang
Jl. Kebayoran Lama no. 15 A
101
5D
SAB 02
302
CV. Gemilang
Jl. Kebayoran Lama no. 15 A
102
5D
SAB 02
410
Surya Barutama Mandiri
Jl. Daan Mogot Km. 12/9
103
5D
SAB 02
453
PT. Surya Baru Industri
Jl. Daan Mogot Km. 12-9
104
5D
SAB 02
454
PT. Mulia Knitting Factory
Jl. Daan Mogot Km. 16
105
5D
SAU 04
938
PT. Diamond Cold Storage
Jl. Pasir Putih Raya Kav. I
106
11D
SAS 04
1025
Kanwil Dirjen Pariwisata
Jl. KH. Abdul Rohim
107
1L
SAT 01
248
Asrama Haji
Jl. Pondok Gede
108
1L
SAB 02
355
Yayasan Bina Nusantara
Jl. Syahdan/ Palmerah
109
2L
SAB 02
555
PD. Lima Jaya
Jl. Dharma Wanita V /8
110
2L
SAB 02
557
Apotik Kebon Jeruk
Jl. Taman Kebon Jeruk
111
2L
SAS 04
1137
P.M.D Aneka Buana
Jl. RS. Fatmawati no. 15
112
3L
SAS 04
1188
Treca Furniture
Jl. RS. Fatmawati no. 6
113
4L
SAT 01
178
Perum Pelud Bandara LPK
Halim Perdana Kusuma
114
4L
SAT 01
244
Perum Pelud Jkt-Cengkareng
Halim Perdana Kusuma
115
4L
SAB 02
334
PT. Muruco
Jl. Raya Semanan
116
4L
SAB 02
353
PT. Rifi Sempana
Jl. Way Besi no. 1
117
4L
SAB 02
383
PT. Bella Prima Perkasa
Jl. Semanan Cengkareng Km. 16
118
4L
SAB 02
412
PD. Dharma Jaya
Jl. PPHB Kapuk Jagal Sapi
119
4L
SAB 02
420
PT. Prima Makmur
Jl. Daan Mogot. Gg Pelita I
120
4L
SAB 02
441
PT. Dragon Phonix/ Pundi PS
Sejahtera no. 25
121
4L
SAB 02
484
CV. Dwi Jaya Indah
Jl. Semanan Raya No. 51
122
4L
SAB 02
586
Pabrik Kulit "Sugih Harta"
Jl. Menceng Raya no. 36
123
4L
SAU 04
915
PT. Punniar Sarana Raya
Jl. Inspaksi Cakung Drain Clcin
124
5L
SAT 01
19
PT. Centex
Jl. Ciracas Pasar Rebo Km 27
125
5L
SAT 01
20
PT. Centex
Jl. Ciracas Pasar Rebo Km 27
126
5L
SAT 01
23
PT. Centex
Jl. Ciracas Pasar Rebo Km 27
127
5L
SAT 01
139
PT. Duto Megah Matra Keramik
Jl. Raya Bekasi Km. 23,3
128
5L
SAT 01
154
PT. Tosan Prima Murni
Jl. Pulogadung
129
5L
SAT 01
182
PT. Super Steel Indonesia
Jl. Gapura Muka
130
5L
SAT 01
218
PT. Miwon
Jl. Raya Bekasi
131
5L
SAT 01
269
PT. Sinar Abadi
Jl. Industri Cijantung
132
5L
SAT 01
274
PT. Pfizer
Jl. Raya Bogor
133
5L
SAT 01
286
PT. Indonesia Carpet MFG
Jl. D.I. Panjaitan
134
5L
SAB 02
337
PD. United Can Coy Ltd
Jl. Daan Mogot Km. 17
135
5L
SAB 02
568
CV. Gemilang
Jl. Kebayoran Lama no. 15 A
136
5L
SAB 02
569
CV. Gemilang
Jl. Kebayoran Lama no. 15 A
137
5L
SAB 02
570
CV. Gemilang
Jl. Kebayoran Lama no. 15 A
138
5L
SAB 02
571
CV. Gemilang
Jl. Kebayoran Lama no. 15 A
139
5L
SAB 02
572
CV. Gemilang
Jl. Kebayoran Lama no. 15 A
140
5L
SAB 02
593
Aneka Plastik
Jl. Keb. Jambu no. 5 B/Kapuk
141
5L
SAB 02
598
PT. United Can Coy Ltd
Jl. Daan Mogot Km. 17
142
5L
SAU 04
907
PT. Bina Busana Internusa
Jl. Inspeksi Cakung Drain Sempa
143
5L
SAU 04
925
PT. Boga Victory Makmur
Jl. Raya Kapuk Kamal no. 19 Rt 01/02
144
11L
SAS 04
1118
Setjen Dep. Pertanian
Jl. Harsono RM 03 Ragunan
145
11L
SAS 04
1119
Setjen Dep. Pertanian
Jl. Harsono RM 03 Ragunan
Nama
Alamat
Rekening Pencatatan Tidak Lengkap No.
Kode Tarif
Wilayah
No. Rek.
1
1D
SAP 01
79
Embassy Of Japan
Jl. MH. Thamrin no. 24
2
1D
SAT 01
219
Lembaga Indonesia Amerika
Jl. Pramuka no. 30
3
1D
SAB 02
445
Ukrida
Jl. Tanjung Duren
4
1D
SAB 02
447
Universitas Tarumanegara
Jl. S. Parman no. 1
5
1D
SAB 02
463
Universitas Tarumanegara
Jl. S. Parman no. 1
6
1D
SAU 04
905
Bina Bangsa School
Jl. Walet Elok 8 Pantai Indah Kapuk
7
1D
SAU 04
914
Yayasan Citra Bangsa
Jl. Sunter Muara Blok A no. 2
8
1D
SAU 04
948
Yayasan BPK Penabur Jakarta
Jl. Layar Permai 6/Blok SD
9
1D
SAU 04
957
PT. Badan Pendidikan Kristen
Jl. Bolevart Bukit Gading
10
1D
SAS 04
1125
Kedutaan Swiss
Jl. HR. Rasuna Said
11
2D
SAP 01
175
RS. Cikini
Jl. Raden Saleh
12
2D
SAP 01
182
Rudy Jaya Laksana/ BK Mobil
Jl. KH. Zainul Arifin 25 A
13
2D
SAP 01
207
Patrice Lumumba Service
Jl. Patrice Lumumba
14
2D
SAP 01
256
BK. Service Widjaya
Jl. Palmerah Utara IV / 27
15
2D
SAP 01
264
PT. Jakarta Foto
Jl. KH. Agus Salim
16
2D
SAB 02
330
RS. Harapan Kita
Jl. S. Parman
17
2D
SAB 02
370
PT. Metropolitan Development
Jl. Daan Mogot Gg Macan
18
2D
SAS 04
1095
Kapsalon Nona Ricci
Pert. Selmis no. 2-3 Bukit Duri
19
2D
SAS 04
1093
CV. Apotik Melawai
Jl. Melawai Raya no. 191
20
2D
SAS 04
1147
Mandala Baru/Ny. Penawati
Jl. Tebah III no. 36
21
2D
SAS 04
1183
Surya Kurniawan
Jl. Tendean no. 80
22
3D
SAU 04
956
Tirta Cipta Busana
Jl. Raya Cakung Cilincing
23
3D
SAU 04
958
PT. First Marine Seafood
Jl. Muara Baru Ujung
24
3D
SAS 04
1136
Laundry dan Cleaning
Jl. Tebah no. 31-33
25
4D
SAP 01
3
Hotel Sari Pasifik
Jl. MH. Thamrin no. 24
26
4D
SAP 01
8
PT. Wisma Nusantara
Jl. MH. Thamrin no. 59
27
4D
SAP 01
9
PT. Wisma Nusantara
Jl. MH. Thamrin no. 59
28
4D
SAP 01
29
Hotel Indonesia
Jl. MH. Thamrin
29
4D
SAP 01
62
Pertamina
Jl. Abdul Muis no. 52-54
30
4D
SAP 01
68
PT. Jaya Realty
Jl. MH. Thamrin
31
4D
SAP 01
85
N.V. Mass
Jl. Jendral Sudirman
32
4D
SAP 01
93
Hotel Marcopolo
Jl. Cik Ditiro no. 17-19
33
4D
SAP 01
99
BAPINDO
Jl. Gondangdia Lama no. 2-4
34
4D
SAP 01
118
Yayasan Wisma Pembinaan BNI 46
Jl. S. Parman Slipi
35
4D
SAP 01
133
Hotel Kartika Plaza
Jl. MH. Thamrin
36
4D
SAP 01
155
NV. Gang Chase
Jl. Gajah Mada no. 19-26
37
4D
SAP 01
157
Wisma Rajawali
Jl. Jendral Sudirman
38
4D
SAP 01
161
PN. Pertamina
Jl. Merdeka Timur
39
4D
SAP 01
169
Hotel Gama Gundaling
Jl. Pal. Putih no. 197 A
40
4D
SAP 01
177
PT. Ratu Sayang INT
Jl. Jendral Sudirman
41
4D
SAP 01
178
PT. Ratu Sayang INT
Jl. Jendral Sudirman
42
4D
SAP 01
181
PT. Hamida Jaga Inter
Jl. Pangkalan Asem no. 14
43
4D
SAP 01
191
PT. Graha Pustaka
Jl. Kebon Sirih no. 4
44
4D
SAP 01
209
Hotel Sintara
Jl. H. Samanhudi no. 32-34B
45
4D
SAP 01
210
PT. Tufin Raya
Jl. Mangga Dua Dalam no. 155 B
46
4D
SAP 01
273
Pelita Air Service
Jl. Abdul Muis no. 56 A
47
4D
SAP 01
289
Gedung Cik's
Jl. Cikini Raya 84-86
48
4D
SAT 01
47
Pertamina
Jl. Raya Bekasi
49
4D
SAT 01
52
Pasar Induk Cipinang
Jl. Cipinang
50
4D
SAT 01
129
Wira Mustika Indah
Jl. Kamp. Baru Cakung
51
4D
SAT 01
147
Jakarta Golf Club
Jl. Rawamangun
52
4D
SAT 01
173
PT. Hutama Karya
Jl. Letjen MT. Haryono
53
4D
SAT 01
250
Wira Mustika Indah
Jl. Kamp. Baru Cakung
54
4D
SAT 01
256
PT. Pabrik Rokok Djarum
Jl. Dewi Sartika no. 184
55
4D
SAB 02
319
Bank Perkembangan Asia
Jl. Hayam Wuruk no. 102
56
4D
SAB 02
332
PT. Hayam Wuruk Sakti
Jl. Hayam Wuruk no. 108
57
4D
SAB 02
393
PT. Perkasa Makmur Amara
Jl. Hayam Wuruk Ek Kosek
58
4D
SAB 02
396
Perum Listrik Negara
Jl. KS. Tubun I no. 2
59
4D
SAB 02
438
Perusahaan Roti Han's
KS Tubun II no. 33
60
4D
SAB 02
461
RM. Furama International
Jl. Hayam Wuruk no. 72
61
4D
SAB 02
490
PT. Bimantara Tangkas Sakti
Jl. Perun Green Ville
62
4D
SAB 02
491
PT. Djarum
Jl. KS Tubu IIC/ 57
63
4D
SAB 02
492
PT. Djarum
Jl. KS Tubu IIC/ 57
64
4D
SAB 02
493
PT. Djarum
Jl. KS Tubu IIC/ 57
65
4D
SAB 02
497
Bintang Buaksana
Jl. Palmerah VII no. 22
66
4D
SAB 02
512
PT. Readymix
Jl. Daan Mogot
67
4D
SAB 02
544
Komet Indonesia
Jl. Menceng Raya no. 45
68
4D
SAB 02
576
PT. Hayam Wuruk Sakti
Jl. Hayam Wuruk Sakti
69
4D
SAU 04
901
Swadaya Pandu Artha
Jl. Komp Sentra Bisnis Artha Gading
70
4D
SAU 04
910
PT. Mandiri Dipta Cipta
Jl. Gunung Sahari Raya no. 1
71
4D
SAU 04
911
PT. Mandiri Dipta Cipta
Jl. Gunung Sahari Raya no. 1
72
4D
SAU 04
919
PT. Mandiri Dipta Cipta
Jl. Gunung Sahari Raya no. 1
73
4D
SAU 04
923
PT. Griya Emas Sejati
Jl. Pluit Raya no. 1 Penjaringan
74
4D
SAU 04
926
PT. Jakarta Propertindo
Jl. Taman Pluit Kencana
75
4D
SAU 04
928
PT. Siola Sandi Mas
Jl. Danau Sunter Utara Blok G7
76
4D
SAU 04
931
PT. Griya Emas Sejati
Jl. Pluit Raya no. 1 Penjaringan
77
4D
SAU 04
933
PT. Griya Emas Sejati
Jl. Pluit Raya no. 1 Penjaringan
78
4D
SAU 04
939
PT. Puniar Sarana Raya
Jl. Inspeksi Cakung Drain
79
4D
SAU 04
941
PT. Ciscomas Scuritama
Jl. Yos Sudarso no. 8L
80
4D
SAU 04
943
PT. Jakarta Propertindo
Jl. Pluit Raya no. 1 Penjaringan
81
4D
SAU 04
944
PT. Smart Tbk.
Jl. Pombo no. 3 Pelabuhan. T
82
4D
SAU 04
947
PT. Adi Yudha Pertiwi
Jl. Boulevart Barat
83
4D
SAU 04
949
PT. Dua Kuda Indonesia
Jl. KBN Unit Usaha Marunda
84
4D
SAU 04
951
PT. Sarana Multiland Mand.
Jl. Lodan Raya no. 2 A Ancol
85
4D
SAU 04
952
PT. Sarana Multiland Mand.
Jl. Lodan Raya no. 2 A Ancol
86
4D
SAU 04
953
Grahatama Persada Realty
Jl. Bunyamin Sueb Blok D 7
87
4D
SAU 04
959
PT. Heinz ABC Indonesia
Jl. Dn. Sunter Utara Blok N I
88
4D
SAU 04
960
PT. Astra International
Jl. Danau Indah RY no. 1 SU
89
4D
SAS 04
903
PT. Blue Bird
Jl. Raya Ciputat no. 123
90
4D
SAS 04
979
PT. Rudi Sutadi
Rasuna Said Kav. 10
91
4D
SAS 04
1021
Bank Eksim Indonesia
Jl. Mataram I no. 3
92
4D
SAS 04
1040
Satay House Senayan
Jl. Pakubuwono VI/6
93
4D
SAS 04
1055
Drs. Santono Harsokusumo
Jl. Rasuna Said Kav B6
94
4D
SAS 04
1072
PT. Metro Supermarket
Jl. Melawai Raya
95
4D
SAS 04
1073
PT. Metro Supermarket
Jl. Melawai Raya
96
4D
SAS 04
1074
PT. Puri Matari
Jl. Rasuna Said Kav E 1-2
97
4D
SAS 04
1094
PT. H Prima/ B M Perkasa
Jl. HR. Rasuna Said
98
4D
SAS 04
1100
Dept. Energi dan Sumber Daya
Jl. HR. Rasuna Said Kav B5
99
4D
SAS 04
1104
PT. Temprint
Jl. Palmerah Barat no. 8
100
4D
SAS 04
1114
PT. Daya Sakti Perdika
Jl. Gatot Subroto Kav 22
101
4D
SAS 04
1116
PT. Bumi Mulia Perkasa/ ED
Jl. Rasuna Said Kav B10
102
4D
SAS 04
1120
PT. Jakarta Setia Budi INTE
Jl. HR Rasuna Said
103
4D
SAS 04
1121
Hotel Tebet
Jl. Dr. Supomo no.23
104
4D
SAS 04
1124
PT. Tiva Arum Realty
Jl. Abdul Rohim
105
4D
SAS 04
1139
PT. Tropika Selaras
Jl. Gatot Subroto 35/36
106
4D
SAS 04
1149
PT. Bumi Mulia Perkasa
Jl. Rasuna Said Kav 11-14
107
4D
SAS 04
1150
PT. Paramita Citra Murni Abadi
Jl. Rasuna Said Kav C 17
108
4D
SAS 04
1163
PT. Duta Anggada
Jl. Jendral Sudirman 21
109
4D
SAS 04
1173
Wisma Indonesemen
Jl. Sudirman
110
4D
SAS 04
1189
PT. Mugi
Jl. Duren Tiga no.99
111
4D
SAS 04
1191
Super Loundry
Jl. RS. Fatmawti no. 41
112
4D
SAS 04
1193
PT. Bina Karya Nugraha
Jl. MT. Haryono Kav 7
113
5D
SAT 01
6
PT. Frieshe Flag Ind
Jl. Jakarta Bogor Km. 23
114
5D
SAT 01
9
PT. Merck Indonesia
Jl. Raya TB Simatupang no. 8
115
5D
SAT 01
11
PT. Guru Indonesia
Jl. Raya Jakarta Bogor Km. 26
116
5D
SAT 01
12
PT. Metin Box
Jl. Raya Bekasi Km. 19,3
117
5D
SAT 01
37
PT. Panasonic Manufacturing
Jl. Gandaria Pekayon
118
5D
SAT 01
41
PT. Mahkota Indonesia
Jl. Raya Bekasi Km. 21
119
5D
SAT 01
43
Hoechst Pharmct Ind PT
Jl. Jendral A. Yani
120
5D
SAT 01
46
PT. Dairy Ville
Jl. Pekayon
121
5D
SAT 01
67
PT. Yamaha Motor Indonesia
Jl. Raya Bekasi Km. 23
122
5D
SAT 01
79
PT. Yamaha Ind. Motor MFG
Jl. Raya Ternate
123
5D
SAT 01
88
PT. Pabrik Pipa Indonesia
Jl. Raya Bekasi Km. 21
124
5D
SAT 01
103
Jl. Raya Jakarta Bogor Km. 26
125
5D
SAT 01
128
PT. Frisian Flag Indonesia PT. Ciba Geigy/ PT. Huntsman Indonesia
126
5D
SAT 01
160
S.C.T.I
Jl. Ciracas Ps. Rebo
127
5D
SAT 01
162
S.C.T.I
Jl. Ciracas Ps. Rebo
128
5D
SAT 01
163
S.C.T.I
Jl. Ciracas Ps. Rebo
129
5D
SAT 01
164
S.C.T.I
Jl. Ciracas Ps. Rebo
130
5D
SAT 01
166
PT. Jakarta Kyoei Steel
Jl. Rawa Ternate II no. 1
131
5D
SAT 01
185
PT. Tunggal
Jl. Jendral A. Yani
132
5D
SAT 01
186
PT. Century Batteries Ind
Jl. Raya Bekasi Km. 25
133
5D
SAT 01
210
PT. Findeco Jaya
Jl. Raya Bekasi Km. 21
134
5D
SAT 01
211
PT. Findeco Jaya
Jl. Raya Bekasi Km. 21
135
5D
SAT 01
222
PT. Soho Industri Farmasi
Jl. Kawasan Industri P. Gadung no. 6
136
5D
SAT 01
243
PT. Tristara Makmur
Jl. Raya Bogor Km. 24,8
137
5D
SAT 01
261
PT. Frisian Flag Indonesia
Jl. Raya Bogor Km. 26
138
5D
SAT 01
275
PT. Yamaha Ind. Motor MFG
Jl. Raya Bekasi
139
5D
SAT 01
277
PT. Panasonic Manufacturing
Jl. Raya Bogor
140
5D
SAT 01
278
PT. Panasonic Manufacturing
Jl. Raya Bogor
141
5D
SAB 02
310
PT. Pasir Sari Raya
Jl. Daan Mogot
142
5D
SAB 02
427
PT. Zebra Asaba Industries
Jl. Kapuk Raya no. 62
Jl. Raya Jakarta Bogor
143
5D
SAB 02
431
PT. International Chemical
Jl. Daan Mogot Km. 11
144
5D
SAU 04
927
PT. Indofood Sukses Makmur
Jl. Raya Cilinang Kalibaru
145
5D
SAU 04
954
PT. Indofood Sukses Makmur
Jl. Raya Cilinang Kalibaru
146
5D
SAU 04
955
PT. Agbice dan Fisheries
Jl. Dermaga Baru Kav I
147
5D
SAS 04
906
PT. Mecosin
Jl. Kemandoran VI no. 1
148
5D
SAS 04
985
PT. Sepatu Bata
Jl. Pahlawan Kalibata
149
5D
SAS 04
987
PT. Sepatu Bata
Jl. Pahlawan Kalibata
150
11D
SAP 01
75
RS. Cipto Mangunkusumo
Jl. Diponegoro no. 71
151
11D
SAP 01
107
Badan Pemeriksa Keuangan
Jl. Jendral Gatot Subroto
152
11D
SAP 01
265
Dept. Keuangan R.I
Jl. Lap. Banteng Timur no. 2
153
11D
SAP 01
299
Dept. Keuangan Pusat
Jl. Lap. Banteng Timur
154
11D
SAT 01
125
Dept. P dan K
Jl. Daksinapati Barat IV
155
11D
SAB 02
340
Perumahan Sekretaris Negara
Jl. Kemanggisan Ilir
156
11D
SAB 02
582
Panti Usada Mulia
Jl. Cendrawasih Sumur Bor
157
11D
SAU 04
936
Rumah Susun Kapuk Muara
Jl. Raya SMP 122
158
11D
SAS 04
919
PDII LIPI
Jl. Gatot Subroto
159
11D
SAS 04
1060
BKPM
Jl. Gatot Subroto no. 6
160
11D
SAS 04
1061
Gedung Peradilan
Jl. HR. Rasuna Said
161
11D
SAS 04
1098
LIPI Widyagrama
Jl. Gatot Subroto
162
1L
SAB 02
308
Ny. Alice Baros
Jl. Kemanggisan Utama Raya 19
163
1L
SAS 04
1111
Yayasan Prasetya Mulya
Jl. Jagorawi Lebak Bulus
164
2L
SAT 01
234
165
2L
SAB 02
376
Toko Kemanggisan Ilir Raya no. 15
166
2L
SAB 02
542
Rumah Makan Serba Senang
Jl. Kedoya no. 12
167
3L
SAB 02
587
Matahari Laundry
Jl. Persatuan no. 20
168
3L
SAB 02
589
Central Laundry
Jl. AA 21 Sukabumi Udik
169
4L
SAT 01
49
PT. Jaya Ready Mix
Jl. DI Panjaitan, Kebon Nanas
170
4L
SAT 01
134
PT. Jaya Ready Mix
Jl. DI Panjaitan, Kebon Nanas
171
4L
SAT 01
137
PT. Kartika Naya
Jl. Raya Bekasi Km. 26
172
4L
SAT 01
239
PT. Multicentral Arya Guna
Jl. MT. Haryono
173
4L
SAT 01
284
PT. Sinar Kasih
Jl. Dewi Sartika no. 136 D
174
4L
SAB 02
307
CV. Maxfas Industries
Jl. Rawa Buaya Cengkareng
175
4L
SAB 02
377
PT. Jasa Marga
Jl. Tol Jakarta Tangerang
176
4L
SAB 02
451
PT. Penta Valent
Jl. Daan Mogot Gg Macan
177
4L
SAB 02
468
PT. Prima Karya
Jl. Raya Kamal
178
4L
SAB 02
470
PT. Prima Karya
Jl. Raya Kamal
179
4L
SAB 02
478
PT. Sastra Tjitra
Jl. Daan Mogot Km. 16
180
4L
SAB 02
482
PT. Asri Indah Melati R
Jl. Persatuan no. 18
181
4L
SAB 02
495
PT. Indonakano Gum
Jl. Kedoya Raya
182
4L
SAB 02
551
PT. Indoplat
Jl. Menceng no. 23
183
4L
SAB 02
559
PT. Dharma Jaya
Jl. Kapuk Rt 03/07
184
4L
SAB 02
567
PT. Al Kautsar Putra Ind
Jl. Raya Kebayoran Lama no. 26
185
5L
SAT 01
24
PT. Centex
Jl. Ciracas Ps. Rebo
186
5L
SAT 01
38
PT. BOC Gases Indonesia
Jl. Bekasi Timur Raya Km. 21
187
5L
SAT 01
83
PT. Binasatwa
Jl. Suci
188
5L
SAT 01
148
PT. Wheelock Marden Ind
Jl. Raya Jakarta Bogor Km. 28
189
5L
SAT 01
151
PT. Sinar Sosro
Jl. Raya Bekasi Km. 27
190
5L
SAT 01
268
PT. Newcrown Metal Work
Jl. Industri Cijantung
191
5L
SAB 02
338
PT. Sarinco Jaya Marmer
Jl. Daan Mogot Km. 18
192
5L
SAB 02
405
PT. Tjahaya Aluminium Ind
Jl. Rahayu IV no. 11
193
5L
SAB 02
486
PT. Setia Agung
Jl. Pesing Poglar
194
5L
SAU 04
912
PT. Jaya Ready Mix
Jl. Sempar Kebantenan Cilincing
195
5L
SAU 04
913
PT. Usaha Kita Makmur Bersama
Jl. Kalibaru Barat II B Cilincing
196
11L
SAB 02
578
Panti Werdha II Din Sos
Jl. Sumur Bor
197
11L
SAS 04
1001
Diklat Ahli Usaha Perikanan
Rawa Bambu Pasar Minggu
198
11L
SAS 04
1112
Arsip Nasional R.I
Jl. Ampera Raya Cilandak
Rekening Pemakaian Nol No.
Kode Tarif
Wilayah
No. Rek.
Nama
Alamat
1
1D
SAP 01
137
Kedubes Saudi Arabia
Jl. Teuku Umar no. 36
2
1D
SAP 01
200
PT. Plaza Indonesia Realty
Jl. MH. Thamrin
3
1D
SAP 01
272
Jarnadi Lizar
Jl. Semboja no. 32 Rt 05/06
4
1D
SAB 02
318
Adrian. S
Jl. Ratu Nusa Indah n0. F 1 A
5
1D
SAB 02
325
Susanto. D
Jl. Gg Macan Blok L V no. 5
6
1D
SAB 02
326
Ny. Tendean
Jl. Sunrise Garden Blok V6 no. 17
7
1D
SAB 02
327
Mulyadi. B
Jl. Sunrise Garden Blok V IX. No. 19
8
1D
SAB 02
365
Sudjana
Jl. Macan Blok Q 14
9
1D
SAB 02
366
Broery FO Away
Jl. Sunrise Garden Blok IV A no. 1
10
1D
SAB 02
369
Jasman Lim
Jl. Teluk Gong Gg. D/88
11
1D
SAB 02
388
Rudy Hermawan
Jl. Palmerah Utara no. 92
12
1D
SAB 02
417
Wenady Hartanto
Ratu Cempaka Barat no. 90
13
1D
SAB 02
460
Universitas Trisakti
Jl. Kyai Tapa
14
1D
SAB 02
520
Asikin Widjaya
Jl. Green Garden Blok 4/ 15
15
1D
SAB 02
521
Alimudin Tanuwidjaya
Jl. Green Garden Blok F2/ 2
16
1D
SAB 02
558
Renata Daeng
Jl. Kompi Sunrise Garden VX no. 5
17
1D
SAB 02
563
Rudy Budiono
Jl. Sunrise Garden VI no. 10
18
1D
SAU 04
946
Yayasan Sosial Mawar Saron
Jl. Hibrida Timur III
19
1D
SAS 04
978
Edwin Surajaya
Jl. Denpasar Raya Blok 2/1
20
1D
SAS 04
1113
Ir. H. Ismail Sofyan
Jl. Bukit Golf Utama Kav 3 PA. 29
21
1D
SAS 04
1198
Kedubes Republik Aljazair
Jl. H. Rasuna Said
22
2D
SAP 01
16
RS. ST. Carolus
Jl. Salemba Raya no. 33 A
23
2D
SAP 01
22
Sari Buah Fajar
Jl. Palmerah Selatan no. 149
24
2D
SAP 01
164
RS. Pertamina
Jl. Jendral Sudirman
25
2D
SAP 01
189
B.M . Mega Motor
Jl. KH. Ashari no. 10
26
2D
SAP 01
238
P. Kacang Asia
Jl. Palmerah Utara II / 213
27
2D
SAB 02
401
RS. Harapan Kita
Jl. S. Parman
28
2D
SAS 04
1016
Erwin / Laba-laba
Jl. Panglima Polim Raya 44
29
2D
SAS 04
1047
RS. Pusat Pertamina
Jl. Kyai Maja no. 43
30
2D
SAS 04
1103
RS. Bersalin Asih
Jl. Panglima Polim III/1-5
31
2D
SAS 04
1122
YayasanPatra Bina Krida
Jl. Perumahan Pertamina Simpruk
32
2D
SAS 04
1174
Wahyudi F/ Auto Center
Jl. Warung Buncit no. 77
33
3D
SAB 02
368
Yatmatama/ PT. Marisa
Jl. Pesanggrahan no. 2
34
3D
SAB 02
483
Batik HR
Jl. Palmerah Utara IV no. 29
35
3D
SAB 02
539
Konveksi Trisi
Jl. Palmerah Utara II/ 30A
36
4D
SAP 01
1
PT. Toyota Astra Motor
Jl. Jendral Sudirman no. 5
37
4D
SAP 01
5
Hotel Kartika Plaza
Jl. MH. Thamrin no. 10 A
38
4D
SAP 01
13
PT. Plaza Indonesia Realty
Jl. MH. Thamrin no. 28-30
39
4D
SAP 01
21
Hotel Jakarta
Jl. Hayam Wuruk no. 35
40
4D
SAP 01
28
Hotel Indonesia
Jl. MH. Thamrin
41
4D
SAP 01
63
Pertamina
Jl. Merdeka Timur no.13
42
4D
SAP 01
95
Astra Repair Service STTN
Jl. KH. Asyim Ashari no.29
43
4D
SAP 01
103
Pusat Grafika Indonesia
Jl. Jendral Gatot Subroto no. 42-43
44
4D
SAP 01
115
Jakarta Theater
Jl. MH. Thamrin no.9
45
4D
SAP 01
122
PT. Nugraha Kencana Jaya
Jl. S. Parman no. 106
46
4D
SAP 01
140
PT. Metro SP. Market Real
Jl. KH. Samanhudi
47
4D
SAP 01
145
PT. Jaya Mandarin Agung
Jl. MH. Thamrin
48
4D
SAP 01
147
Wisma Rajawali
Jl. Jendral Sudirman
49
4D
SAP 01
149
PT. Muzatek Jaya
Jl. Sukarjo Wiryopranoto no. 30-36
50
4D
SAP 01
152
PT. Dept. Store Ind Sarinah
Jl. MH. Thamrin
51
4D
SAP 01
171
PT. Zindo Utama
Jl. Letjen Suprapto
52
4D
SAP 01
172
PT. Metro SP. Market Real
Jl. KH. Samanhudi
53
4D
SAP 01
208
PT. Standart Stamping
Jl. Industri no. 19
54
4D
SAP 01
263
PT. Imora Motor
Jl. Pangeran Jayakarta no. 50
55
4D
SAP 01
271
PT. Panca Niaga
Jl. Kramat Raya no. 94-96
56
4D
SAP 01
286
NG Ang Sik/ PT. Baliwig
Jl. KS. Tubun no.35
57
4D
SAP 01
298
Gajah Mada Plaza
Jl. Gajah Mada
58
4D
SAT 01
4
Perusahaan Film Negara
Jl. Otto Iskandar Dinata no. 125-127
59
4D
SAT 01
70
Perum Indofarma
Jl. Tambak no. 2
60
4D
SAT 01
193
PT. Artha Wiskon
Jl. Jendral A. Yani no. 2
61
4D
SAT 01
197
PN PDD
Jl. Letjen Sutoyo
62
4D
SAT 01
198
PN PDD
Jl. Letjen Sutoyo
63
4D
SAT 01
202
PT. Textra
Jl. Suci Kel. Susukan Ciracas
64
4D
SAT 01
221
PT. Pangas Nusantara Unit II
Jl. Rawa Gelam II no. 9
65
4D
SAT 01
223
PT. Perdana Bangun Pusaka
Jl. Pulo Lentut no. 12 Kawindpg
66
4D
SAT 01
235
PT. Colgate Palmolive Ind
Jl. Jendral A. Yani
67
4D
SAT 01
294
Lucky Print
Jl. Cawang II
68
4D
SAB 02
323
Prov. Pengembangan Jasa Giro
Jl. Daan Mogot
69
4D
SAB 02
333
PT. Hotu Citra Lestari
Jl. Toko nga Seberang no. 23
70
4D
SAB 02
363
Pertamina Village Tomang
Jl. Patra Jasa
71
4D
SAB 02
406
PT. Asuransi Jiwa Sraya
Jl. S. Parman Kav 82
72
4D
SAB 02
409
PT. Maju Terus Jaya
Jl. Jembatan Genit
73
4D
SAB 02
416
PT. Tigaka
Keb. Lama no. 396
74
4D
SAB 02
423
PT. Sila Rezeki
Jl. Keb. Lama no. 56 A
75
4D
SAB 02
443
PN GIA/ Pusdiklat Garuda
Duri Kosambi
76
4D
SAB 02
448
Gajah Mada International
Gajah Mada no. 27 A
77
4D
SAB 02
449
Polytron/ PT. Hartono
Jl. KS. Tubun II no. 6
78
4D
SAB 02
458
Batik Dagang Negara
Jl. Daan Mogot Pesing
79
4D
SAB 02
465
PD. Pasar Jaya
Jl. Perniagaan
80
4D
SAB 02
472
Hotel Paripurna
Jl. Hayam Wuruk
81
4D
SAB 02
476
Pertamina Jasa Jakarta
Jl. Stasion Radio Tomang
82
4D
SAB 02
489
Coffe House Harapan Inn
Jl. Jayakarta no. 2 A/ 45
83
4D
SAB 02
496
Coffe House Harapan Inn
Jl. Jayakarta no. 2 A/ 45
84
4D
SAB 02
529
PT. Exssa International
Jl. Tomang Raya
85
4D
SAB 02
532
PT. Elnusa
Jl. S. Parman no. 105
86
4D
SAB 02
550
PT. Gemini Sinar Pekasa
Jl. Mangga Besar no. 81
87
4D
SAB 02
556
PT. Cahaya Aman Abadi
Jl. Daan Mogot no. 59
88
4D
SAB 02
583
PT. Hartono Raya Motor
Jl. Daan Mogot no. 93
89
4D
SAB 02
584
PT. Joker
Jl. Daan Mogot II no. 22
90
4D
SAB 02
590
PT. Gemini Sinar Pekasa
Jl. Mangga Besar no. 81
91
4D
SAB 02
597
PT. Bank Dewi Rutji
Jl. Tanjung Duren
92
4D
SAU 04
902
Swadaya Pandu Artha
Jl. Komp Sentra Bisnis Artha Gading
93
4D
SAU 04
916
PT. Mandiri Dipta Cipta
Jl. Gunung Sahari Raya no. 1 Ancol
94
4D
SAU 04
917
PT. Mandiri Dipta Cipta
Jl. Gunung Sahari Raya no. 1 Ancol
95
4D
SAU 04
920
PT. Mandiri Dipta Cipta
Jl. Gunung Sahari Raya no. 1 Ancol
96
4D
SAS 04
975
PT. Gaya Favourit Press
Jl. Rasuna Said Blok B Kv 32
97
4D
SAS 04
1051
Perum Peruri
Jl. Lebak Bulus I
98
4D
SAS 04
1077
PT. Papan Sejahtera
Jl. HR. Rasuna Said
99
4D
SAS 04
1097
PT. Jamsostek (Persero)
Jl. Jend. Gatot Subroto no. 79
100
4D
SAS 04
1101
Team Foresty Centre
Jl. Gatot Subroto
101
4D
SAS 04
1126
PT. Partra Jasa
Jl. Lebak Bulus I
102
4D
SAS 04
1131
PT. Nusa Cipta Rencana INCR
Jl. MT. Haryono
103
4D
SAS 04
1138
Dana Pens. Bank Bumi Daya
Jl. Gatot Subroto 31
104
4D
SAS 04
1164
PT. Toserba Sarinah Jaya
Jl. Iskandarsyah II
105
4D
SAS 04
1165
PT. Ajinomoto IND
Jl. Metro Pondok Indah Blok TH 6
106
5D
SAT 01
39
PT. Scanchemie
Jl. Letjen Haryono MT
107
5D
SAT 01
40
PT. Tempo
Jl. Letjen Haryono
108
5D
SAT 01
59
PT. Dana Paints Indonesia
Jl. Pemuda Pulogadung
109
5D
SAT 01
118
PT. Sharp Electronics Indo
Jl. Swadaya Pulogadung
110
5D
SAT 01
120
PT. Panasonic Manufacturin
Jl. Raya Bogor Km. 29, Jakarta
111
5D
SAT 01
176
PT. Kayaba
Industrial Estate
112
5D
SAT 01
177
PT. Young Ind. Textile Indt.
Jl. Blok II F 7-8, Pulogadung
113
5D
SAT 01
181
PT. Jakarta Kyoei Steel
Jl. Rawa Ternate II no.1
114
5D
SAT 01
204
PT. Estu
Jl. Budi
115
5D
SAT 01
212
PT. Wira Mustika Indah
Jl. Lingkar Raya Bekasi, Cakung
116
5D
SAT 01
225
PT. Young Ind. Textile Indt.
Jl. Blok II F 7-8, Pulogadung
117
5D
SAB 02
350
PT. Parama Raya
Jl. Daan Mogot Km. 17
118
5D
SAB 02
457
PT. Pasir Sari Raya
Jl. Daan Mogot Km. 4
119
5D
SAB 02
511
PT. Menjangan Jaya
Jl. Daan Mogot no. 52
120
5D
SAS 04
986
PT. Sepatu Bata
Jl. Pahlawan Kalibata
121
5D
SAS 04
1143
PT. Pharos Indonesia
Jl. Lino no. 40
122
11D
SAP 01
180
Televisi R.I
Jl. Pintu VIII Senayan
123
11D
SAP 01
218
TVRI
Jl. Pintu VIII Senayan
124
11D
SAP 01
260
Sek. Neg. R.I
Jl. Salemba II no.10
125
11D
SAP 01
266
Dirjen Anggaran
Jl. Lap. Banteng Timur II
126
11D
SAP 01
267
Dept. keuangan R.I.
Jl. Lap. Banteng Timur II
127
11D
SAT 01
61
Makodam V Jaya
Jl. Sutoyo Cawang
128
11D
SAT 01
189
RS. Persahabatan
Jl. Persahabatan, Rawamangun
129
11D
SAT 01
245
Kantor Perwakian BPKP DKI Jakarta
Jl. Pramuka
130
11D
SAB 02
336
Dirjen Pajak
Jl. Mangga Besar no.52
131
11D
SAS 04
1049
Ditjen Pajak Kanwil
Jl. Rasuna Said Kav. B8
132
11D
SAS 04
1052
Akademi Gizi Jakarta
Jl. Hang Jebat III Keb. Baru
133
11D
SAS 04
1105
Dit. Listrik & Energi Baru
Jl. Rasuna Said Blok X/2 Kav 7 P8
134
1L
SAT 01
297
Asrama Haji
Jl. Pondok Gede
135
1L
SAB 02
391
Lilis Setyayanti
Jl. Kemanggisan no. 5
136
1L
SAB 02
392
Wargono
Daan Mogot Gg. Macan Blok 5Y no. 8
137
1L
SAB 02
429
Ricki Christianto
Jl. Kembangan no. 45
138
1L
SAB 02
474
PT. Teratai Indah Sari
Jl. Daan Mogot no. 115
139
1L
SAB 02
599
Yayasan Swana Santa
Jl. Melati Raya no. 31, Pedongkelan
140
2L
SAB 02
595
Jhon Wenas
Meruya Ilir Tmn. K. Jeruk E2/3 4
141
2L
SAS 04
1018
Angkasa Motor
Jl. Raya Pasar Minggu no. 16A
142
2L
SAS 04
1028
Royal Service Motor
Jl. Raya Pasar Minggu
143
3L
SAB 02
435
Yatmatama/ PT. Marisa
Jl. Pesanggrahan no. 2
144
4L
SAT 01
17
PT. Standard
Jl. Bekasi, Pulogadung
145
4L
SAT 01
26
PT. Bambu Mas Indah
Jl. Pondok Bambu
146
4L
SAT 01
213
Perum Pelud Bandara HPK
Jl. Halim Perdana Kusuma\
147
4L
SAT 01
214
Perum Pelud Bandara HPK
Jl. Halim Perdana Kusuma\
148
4L
SAT 01
232
PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya
Jl. Jakarta Barat no. 114
149
4L
SAT 01
240
PT. Multi Central Arya Guna
Jl. Kit. Haryono
150
4L
SAT 01
241
PT. Fair Child
Jl. Raya Bogor
151
4L
SAB 02
315
PT. Cengkareng Permai
Jl. Kapuk Kamal no. 40
152
4L
SAB 02
367
PT. Muroko
Jl. Daan Mogot Km. 16
153
4L
SAB 02
375
PT. Pioneer Industrial
Jl. Daan Mogot Km. 14 no. 31 70
154
4L
SAB 02
378
PT. Jasa Marga
Jl. Tol Jakarta Tangerang
155
4L
SAB 02
390
PT. Supreme Aluradin
Jl. Raya Semanan
156
4L
SAB 02
439
Orchid Hotel
Letjend S. Parman
157
4L
SAB 02
440
Orchid Hotel
Letjend S. Parman
158
4L
SAB 02
498
PT. Intan Sari Citra Utama
Jl. Persatuan no. 34
159
4L
SAB 02
499
PT. Purnama Karya Sakti
Jl. Daan Mogot Km. 18
160
4L
SAB 02
505
Pusdiklat PLN
Jl. Kamal Raya
161
4L
SAB 02
522
PT. Rapiko
Jl. Dharma Wanita V/I
162
4L
SAB 02
525
PT. Shunti Sepuri
Jl. KS. Tubun II/ 30
163
4L
SAB 02
527
PT. Marga Jaya
Jl. Meruya Ilir no. 19
164
4L
SAB 02
528
PT. Paramita Karya Sentosa
Jl. Meruya Ilir
165
4L
SAB 02
546
CV. Surya Jaya
Jl. Komp Rt 12/6, Kalideres
166
4L
SAB 02
573
CV. Cengkareng Permai
Jl. Kapuk Kamal VII no. 40
167
4L
SAB 02
574
PD. Pasar Jaya
Jl. Pasar Cengkareng
168
4L
SAB 02
585
PT. Laksana Plasindo
Jl. Kebon Jambu no. 5A
169
4L
SAU 04
903
PT. Waringin Mulya Cipta
Kp. Kamal no. 40 Penjaringan
170
4L
SAS 04
1017
Rumah Makan Sate Pancoran
Jl. Raya Pasar Minggu no. 42
171
4L
SAS 04
1030
Bintaro Permai Comite
Jl. Bintaro Permai
172
4L
SAS 04
1033
Bintaro Permai Comite
Jl. Bintaro Permai
173
4L
SAS 04
1070
PD. Pasar Jaya
Jl. Raya Pasar Minggu
174
4L
SAS 04
1156
PT. Kemang Jaya Raya
Jl. Raya Kemang
175
5L
SAT 01
21
PT. Centex
Jl. Ciracas, Ps Rebo
176
5L
SAT 01
22
PT. Centex
Jl. Ciracas, Ps Rebo
177
5L
SAT 01
53
PT. Menara Jaya Industri
Jl. Ciracas Raya Bogor Km. 26
178
5L
SAT 01
56
PT. Pupar
Jl. Raya Bekasi Km. 21,5
179
5L
SAT 01
65
PT. Moon Lion Indt
Jl. Raya Bekasi Km. 21
180
5L
SAT 01
94
PT. Radio F Communication
Jl. Pekayon Gandaria
181
5L
SAT 01
98
PT. Intirub
Jl. Cililitan Besar no. 454
182
5L
SAT 01
99
PT. Intirub
Jl. Cililitan Besar no. 454
183
5L
SAT 01
100
PT. Intirub
Jl. Cililitan Besar no. 454
184
5L
SAT 01
104
PT. Radio F Communication
Jl. Pekayon Gandaria
185
5L
SAT 01
112
PT. Putera Toppan
J. Raya Bekasi Km. 21,5
186
5L
SAT 01
126
PT. Inkali
Jl. Raya Bekasi Km. 26,5
187
5L
SAT 01
130
PT. Patal Indo Baru
Jl. Raya Bekasi
188
5L
SAT 01
161
S.C.T.I
Jl. Ciracas, Ps Rebo
189
5L
SAT 01
170
PT. Bumi Karya Steel
Jl. Kawasan Industri P. Gadung
190
5L
SAT 01
187
PT. Kangar
Jl. Raya Bekasi Km. 24,5
191
5L
SAT 01
220
PT. Industri Pharmasi Aurel
Jl. Raya Bogor - Pulogadung no. 6
192
5L
SAT 01
254
PT. Putik Permana
Jl. Raya Bekasi
193
5L
SAT 01
258
PT. Pupar
Jl. Raya Bekasi Km. 21,5
194
5L
SAT 01
271
PT. Good Faith
Jl. Raya Bekasi
195
5L
SAT 01
272
PT. Unifractum
Jl. Rawa Gelam I / 8
196
5L
SAT 01
300
PT. Tan Sri Gari
Jl. Ciracas
197
5L
SAB 02
328
PT. Sarinco Jaya Marmer In
Jl. Daan Mogot Km. 18 Kalideres
198
5L
SAB 02
398
PT. Tembaga Muda Semanan
Jl. Daan Mogot Km. 16
199
5L
SAB 02
425
PT. Penta Valent
Daan Mogot 66 Macan no. 4
200
5L
SAB 02
456
PT. Migro Brothers
Jl. Daan Mogot
201
5L
SAB 02
560
PT. Duta Ford Indonesia
Jl. Daan Mogot
202
5L
SAB 02
564
PT. Basf Indonesia
Jl. Daan Mogot Km. 14
203
5L
SAS 04
1117
PT. Merck Indonesia
Jl. Raya Benda Dedurenan
204
11L
SAT 01
201
Dinas Pemadam Kebakaran
Jl. Raya Bogor
205
11L
SAT 01
216
Dept. Perdagangan R.I.
Jl. Raya Bogor
206
11L
SAB 02
394
Direktorat Jendral Imigrasi
Jl. Kali deres
207
11L
SAS 04
983
Perumahan Bank Indonesia
Jl. AUD / Pasar Minggu
208
11L
SAS 04
1023
Dinas Pertanian R.I.
Jl. Ragunan Pasar Minggu
209
11L
SAS 04
1108
Ditjen Bangdes
Jl. Pasar Minggu
Lampiran 2. Data Empirik Pemakaian dan Pajak Air Tanah Sampel Bulan
Pemakaian (m3)
Pajak Air Tanah (Rp)
Rata-rata (Rp./m3)
Nopember 2004
294
129.780
441.43
Desember 2004
177
77.130
435.76
Januari 2005
236
103.680
439.32
Pebruari 2005
216
94.680
438.33
Maret 2005
116
49.680
428.28
April 2005
198
86.580
437.27
Mei 2005
83
34.830
419.64
Juni 2005
110
46.980
427.09
Juli 2005
42
16.783
399.60
Agustus 2005
205
89.730
437.71
September 2005
302
133.380
441.66
Oktober 2005
275
121.230
440.84
Nopember 2005
262
115.380
440.38
Desember 2005
208
91.080
437.88
Januari 2006
81
33.930
418.89
Pebruari 2006
201
87.930
437.46
Maret 2006
182
79.380
436.15
April 2006
136
58.680
431.47
Mei 2006
93
39.330
422.90
Lanjutan Lampiran 2 Bulan
Pemakaian (m3)
Pajak Air Tanah (Rp)
Rata-rata (Rp./m3)
Juni 2006
315
139.230
442.00
Juli 2006
645
295.038
457.42
Agustus 2006
864
404.625
468.32
September 2006
527
235.991
447.80
Oktober 2006
317
140.130
442.05
Nopember 2006
423
187.830
444.04
Desember 2006
333
147.330
442.43
Januari 2007
351
155.430
442.82
Pebruari 2007
140
60.480
432.00
Maret 2007
214
93.780
438.22
Aprilo 2007
446
198.180
444.35
Mei 2007
406
180.180
443.79
Juni 2007
567
256.006
451.51
Juli 2007
295
130.230
441.46
Agustus 2007
722
333.569
462.01
September 2007
612
278.525
455.11
1.652
831.019
503.04
Desember 2007
530
237.492
448.10
April 2008
455
202.230
444.46
Mei 2008
288
127.080
441.25
Oktober 2007
Lanjutan Lampiran 2 Bulan
Pemakaian (m3)
Pajak Air Tanah (Rp)
Rata-rata (Rp./m3)
Juni 2008
291
128.430
441.34
Juli 2008
279
123.030
440.97
Agustus 2008
217
95.130
438.39
September 2008
269
118.530
440.63
Oktober 2008
186
81.180
436.45
Nopember 2008
225
98.730
438.80
Desember 2008
215
94.230
438.28
Januari 2009
378
167.580
443.33
Pebruari 2009
216
94.680
438.33
Maret 2009
237
104.130
439.37
April 2009
919
432.148
470.24
Mei 2009
167
72.630
434.91
Juni 2009
156
837.190
5366.60
Juli 2009
176
944.522
5366.60
Agustus 2009
55
295.163
5366.60