Makalah Seminar Departemen Agronomi Dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, 2009 EVALUASI KARAKTER MORFOLOGI PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk.) GENERASI M1 HASIL INDUKSI MUTASI SINAR GAMMA DI CICURUG DAN CIBADAK Morphology Evaluation on M1 Generation of Pruatjan (Pimpinella pruatjan Molk.) Induced by Gamma Irradiation at Cicurug and Cibadak Sri Wahyuni1, Yudiwanti2 Mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB 2 Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB 1
Abstract The objective of this experiment was to study the effect of gamma irradiation on the growth rate and phenotypic characters of M1 generation of pruatjan (Pimpinella pruatjan Molk.) grown at Cicurug Balittro experimental station (550 m above sea level) and Cibadak BB Biogen experimental station (950 m above sea level). Pruatjan is an Indonesian high value medicinal plant which grows endemically at mountainous area and has a very low genetic variability. Induced mutation through gamma irradiation was done to get low altitude tolerant genotype. This experiment was held on March 2008 until March 2009. Gamma irradiation dosages were 0 , 1, 2, 3, 4, and 5 krad. Not all of M0 generation plants could produce viable seeds of M1 generation. M0 generation plant derived from seeds treated with 0, 3, and 5 krad gamma irradiation could produce M1 generation plant at Cicurug. At Cibadak, M1 generation plant were obtain from M0 generation plant derived from seeds treated with 0, 1, 3, and 5 krad gamma irradiation. It concluded that gamma irradiation dosages were not effect the growth rate and phenotypic characters of pruatjan both on Cicurug and Cibadak, except the leave shape of 5 krad M1 generation plant at Cicurug. The growth rate on both locations were not significantly different. M1 generation plants were hard to flowering, so there is no M2 generation in the end. Keywords: Pimpinella pruatjan Molk., M1 generation, gamma irradiation, low altitude tolerant PENDAHULUAN Latar Belakang Keanekaragaman hayati darat Indonesia terdiri atas sekitar 30.000 spesies tumbuhan, dan lebih dari 2.000 spesies tumbuhan tersebut merupakan tumbuhan obat (Zuhud, 2007). Kekayaan tumbuhan obat yang sangat besar ini belum dimanfaatkan secara optimal sehingga belum dapat menjadi penyedia untuk bahan baku industri obat-obatan. Menurut Purwakusumah (2007), hanya sekitar 20 % tanaman obat hasil budidaya yang dapat memenuhi pangsa pasar, sedangkan sisanya masih berasal langsung dari alam. Salah satu komoditas tumbuhan obat yang masih sedikit dibudidayakan adalah purwoceng. Tanaman puwoceng termasuk kelas Dicotyledoneae, famili Apiaceae, marga Pimpinella, dan jenis Pimpinella pruatjan Molkenb. atau Pimpinella alpina Kds. Heyne (1987) mendeskripsikan purwoceng sebagai tanaman terna dengan tinggi antara 15 sampai 50 cm yang tumbuh pada dataran tinggi, sekitar 2.000-3.000 m dpl di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Tanaman ini memiliki nama daerah yang berbeda-beda, antara lain antanan gunung, gebangan depok, rumput dempo, atau suripandak abang. Purwoceng banyak dicari orang karena memiliki khasiat obat yang bersifat diuretik terutama digunakan sebagai afrodisiak. Dalam Rahardjo (2005) dikemukakan bahwa purwoceng juga memiliki khasiat menambah stamina tubuh, analgetika (penghilang rasa sakit), antipiretika (penurun panas), anthelmitika (obat cacing), antifungi, antibakteri, dan antikanker. Kendala dalam pembudidayaan purwoceng adalah persyaratan tempat tumbuh yang cukup tinggi. Lahan pada dataran tinggi tidak seluas dataran rendah dan penggunaannya bersaing dengan pembudidayaan komoditas hortikultura tertentu. Kelangkaan purwoceng ini menurut Cahyana (2004) menyebabkan harga jual menjadi sangat tinggi mencapai Rp 70.000,00 per kg basah. Kesulitan pembudidayaan ini juga disebabkan oleh lamanya tanaman purwoceng menghasilkan biji, yaitu sekitar satu tahun setelah tanam. Salah satu upaya untuk mengatasi masalah ini dapat dilakukan melalui program pemuliaan tanaman untuk mendapatkan tanaman purwoceng yang dapat dibudidayakan pada daerah yang lebih rendah. Makmur (1992) menyatakan bahwa tujuan utama program pemuliaan tanaman adalah untuk mendapatkan varietas yang lebih baik, misalnya pada program Revolusi Hijau, program pemuliaan tanaman digunakan untuk mendapatkan varietas baru yang melampaui daerah adaptasi geografis, secara latituda atau altituda, dari varietas yang telah ada. Purwoceng memiliki keragaman genetik yang rendah dalam sifat adaptasi geografis terhadap ketinggian tempat. Bunganya yang berukuran kecil mengakibatkan sulit dilakukan persilangan. Oleh karena itu metode yang dipilih adalah mutasi. Mutasi menurut Makmur (1992) adalah perubahan tiba-tiba pada material genetik, yaitu pada gen dari satu alel kepada alel lainnya, susunan kromosom, dan kehilangan atau penambahan bagian kromosom. Mutasi dapat
terjadi secara alami maupun buatan. Mutasi buatan dapat dilakukan menggunakan mutagen kimia atau radiasi ion. Walaupun perubahan gen atau kromosom umumnya tidak sesuai keinginan, pemuliaan tanaman dengan mutasi induksi tetap dicoba jika keragaman pada sumber plasma nutfah tidak tersedia. Iradiasi sinar gamma pada benih purwoceng telah dilakukan oleh Kusumo et al. (2007). Pulungan (2008) melaporkan keragaan karakter tanaman purwoceng hasil induksi mutasi tersebut (generasi M0). Percobaan ini merupakan kelanjutan dari percobaan tersebut.
1. 2.
3.
1. 2.
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: Mengevaluasi karakter morfologi purwoceng generasi M1 di Kebun Percobaan Cicurug dan Cibadak Mendapatkan genotipe-genotipe yang dapat dijadikan populasi dasar untuk mendapatkan varietas tanaman purwoceng yang dapat tumbuh baik di dataran rendah Membandingkan kadar metabolit sekunder purwoceng generasi M0 di Kebun Percobaan Cicurug dan Cibadak dengan tanaman purwoceng dataran tinggi Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Terdapat kesamaan sifat morfologi antara populasi purwoceng generasi M1 di lokasi Cicurug dan Cibadak Terdapat genotipe tanaman purwoceng yang dapat tumbuh baik dan menghasilkan benih di dataran rendah BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Percobaan Percobaan dilakukan di dua lokasi dengan ketinggian berbeda. Lokasi pertama sebagai sasaran ketinggian yang diharapkan adalah Kebun Percobaan Cicurug milik Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) yang terletak di Kabupaten Sukabumi pada ketinggian sekitar 550 m dpl dengan suhu sekitar 31-36°C. Lokasi kedua sebagai pembanding adalah Kebun Percobaan Cibadak milik Balai Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen) yang terletak di Kabupaten Cianjur pada ketinggian sekitar 950 m dpl dengan suhu sekitar 23-27°C. Percobaan dilaksanakan pada bulan Maret 2008 sampai Maret 2009. Bahan dan Alat Bahan tanaman yang digunakan adalah benih tanaman purwoceng generasi M1 yang berasal dari tanaman induk yang dipelihara di masing-masing lokasi, yaitu benih yang dihasilkan oleh tanaman generasi M0 dosis 0 (kontrol), 1, 2, 3, 4, dan 5 krad. Bahan lain yang digunakan adalah media tanam berupa campuran tanah setempat dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1, polibag kecil (diameter 10 cm), serta polibag besar atau pot (diameter 30 cm), dan paranet. Alat yang digunakan adalah alat pertanian dan alat ukur panjang secara umum, serta TLC-scanner untuk analisis kandungan metabolit sekunder.
Pelaksanaan Percobaan Setiap populasi terdiri dari tanaman yang berasal dari benih yang secara alami dibiarkan berkecambah setelah luruh dari tanaman induknya. Seluruh kecambah yang telah memiliki dua atau tiga daun tunggal dipindahkan masing-masing ke dalam satu polibag kecil. Setelah berumur sekitar 5-6 minggu di polibag kecil, tanaman muda kemudian dipindahkan ke dalam pot atau polibag besar. Sejak tanaman berkecambah sampai dewasa, seluruhnya ditempatkan di bawah naungan paranet di masing-masing lokasi. Pemeliharaan yang dilakukan adalah penyiraman dua hari sekali jika tidak hujan, serta pengendalian hama jika diperlukan. Pengamatan terhadap berbagai peubah dilakukan pada saat tanaman dipindahkan ke dalam pot atau polibag besar, yang dicatat berumur 0 minggu setelah dipindahkan (MSP). Selanjutnya pengamatan purwoceng di lokasi Cicurug dilakukan sekali tiap dua minggu sampai tanaman berbunga, sedangkan data karakter kualitatif dan perkembangan karakter kuantitatif di lokasi Cibadak dilakukan pada umur 0, 4, dan 8 MSP. Karakter kuantitatif yang diamati mencakup jumlah daun, panjang tangkai daun, diameter kanopi, dan kadar metabolit sekunder, serta karakter kualitatif tanaman yang mencakup bentuk dan warna daun serta tangkai daun, dan tipe kanopi. Pengujian nilai tengah populasi untuk hasil pengamatan dilakukan antar pasangan populasi menggunakan uji-t. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan Benih purwoceng generasi M0 yang berhasil berkecambah di lokasi Cicurug untuk digunakan dalam percobaan ini adalah benih tanaman generasi M0 kontrol, 3 krad dan 5 krad, sedangkan di lokasi Cibadak adalah benih tanaman generasi M0 kontrol, 1 krad, 3 krad, dan 5 krad. Perkecambahan benih-benih purwoceng terjadi pada waktu yang berbeda-beda karena tidak dilakukan persemaian serempak. Tanaman dikelompokkan sesuai umur untuk pengolahan data percobaan (Tabel 1 dan 2). Jumlah tanaman generasi M1 kontrol, 3 krad, dan 5 krad yang dipindahkan ke polibag besar selama percobaan di lokasi Cicurug masing-masing adalah 106, 30, dan 111 tanaman. Pada lokasi Cibadak, jumlah tanaman generasi M1 kontrol, 1 krad, 3 krad, dan 5 krad yang dipindahkan ke polibag besar pada 0-8 MSP masing-masing adalah 8, 21, 5, dan 11 tanaman. Tabel 1. Jumlah Tanaman Purwoceng Generasi M1 pada Umur yang Berbeda di Lokasi Cicurug Umur Tanaman Jumlah Tanaman (MSP) 0 krad 3 krad 5 krad 0 57 30 70 2 96 30 76 4 97 30 110 6 87 26 108 8 80 26 101 10 76 22 96 12 66 20 86 14 53 16 82 16 49 10 50 18 47 12 58 20 40 8 50 22 33 2 42 24 28 2 31 26 23 1 25 28 17 0 17 30 12 0 11 32 1 0 9 34 0 0 7 36 0 0 2 Tabel 2. Jumlah Tanaman Generasi M1 Purwoceng pada Umur yang Berbeda di Lokasi Cibadak Umur Tanaman Jumlah Tanaman (MSP) 0 krad 1 krad 3 krad 5 krad 0 3 5 5 5 4 3 13 0 11 8 8 21 0 11 Kondisi cuaca pada saat percobaan ini dilakukan sangat mempengaruhi tanaman. Pada bulan Juli hingga September 2008 terjadi kekeringan karena sangat jarang hujan dan panas terusmenerus dengan rata-rata curah hujan 54.43 mm dan 1.67 hari hujan
sehingga beberapa tanaman menjadi layu dan akhirnya mati. Selanjutnya mulai bulan November 2008 terjadi hujan dengan ratarata curah hujan 439.65 mm dan 16.5 hari hujan sehingga menyebabkan beberapa tanaman menjadi busuk dan mati. Serangan kutu daun (Aphis sp.) cukup berat disertai kelompok semut yang juga ikut mengerubungi tanaman. Hampir seluruh tanaman terserang. Pengendalian kutu daun dilakukan dengan menyemprotkan larutan furadan atau larutan deterjen, tetapi hanya dapat mengusir kutu sementara. Kutu daun menghisap cairan tanaman sehingga daun menjadi berkerut. Selain itu juga terjadi serangan sejenis nematoda yang membentuk bintil-bintil pada akar dan menghisap sari tanaman. Hama lain yang menyerang tanaman adalah belalang yang memakan daun sehingga tinggal tangkainya. Tanaman generasi M1 yang berhasil berbunga hanya satu tanaman yang hanya bertahan selama tiga minggu kemudian layu dan mati sebelum bunga mekar penuh. Tanaman-tanaman lain seluruhnya mati setelah melalui masa vegetatif yang lebih panjang dari yang lazimnya dan tidak berbunga bahkan setelah melebihi umur purwoceng yang sewajarnya berbunga. Beberapa tanaman yang sehat dan berpotensi untuk berbunga diberi perlakuan untuk menginduksi pembungaan. Karakter Kualitatif Bentuk Daun Bentuk daun purwoceng berdasarkan pengamatan tidak berbeda antar tanaman generasi M1 untuk semua dosis iradiasi. Daun awal yang muncul adalah daun tunggal. Setetah mencapai 2 MSP kemudian terbentuk daun majemuk sampai tanaman dewasa. Bentuk anak daun secara umum adalah bentuk jantung bergerigi atau bulat bergerigi. Pasangan anak daun pada daun majemuk terletak berhadapan pada tangkai daun dan pada ujung tangkai daun terdapat satu anak daun. Meskipun demikian ditemukan susunan anak daun yang berbeda pada tanaman M1/09.04.08/5 KRAD/20 di lokasi Cicurug, yaitu tangkai anak daun yang terlihat bercabang-cabang dari tangkai daun. Grosch (1965) menyatakan bahwa banyak tanaman yang diiradiasi akhirnya menghasilkan penyimpangan-penyimpangan bentuk daun. Warna Daun Pengamatan warna daun dilakukan pada daun muda dan daun tua masing-masing permukaan atas dan bawah daun. Ada dua warna yang lazim, yaitu hijau dan hijau kemerahan. Warna hijau pada daun muda terlihat lebih cerah, sedangkan pada daun tua terlihat lebih gelap. Warna kemerahan pada daun ada yang terlihat jelas dan ada yang samar atau hanya semburat. Ada beberapa kombinasi antara kedua warna ini yang ditemukan pada purwoceng yang diamati, yaitu: 1. Seluruh permukaan daun muda dan daun tua berwarna hijau 2. Permukaan bawah daun muda berwarna hijau kemerahan, sedangkan permukaan atasnya dan kedua permukaan daun tua berwarna hijau 3. Permukaan bawah daun muda dan daun tua berwarna hijau kemerahan, sedangkan permukaan atas keduanya berwarna hijau Tanaman-tanaman generasi M1 semua dosis iradiasi di lokasi Cicurug menunjukkan seluruh kombinasi warna di atas. Tanaman-tanaman generasi M1 kontrol dan 5 krad lebih banyak menunjukkan kombinasi 2, yaitu masing-masing 57 dan 95 tanaman, sedangkan tanaman-tanaman generasi M1 3 krad lebih banyak menunjukkan kombinasi 1 yaitu 27 tanaman. Kombinasi 3 terdapat pada sedikit tanaman saja, yaitu sekitar dua tanaman pada masingmasing dosis iradiasi. Tanaman-tanaman generasi M1 semua dosis iradiasi di lokasi Cibadak secara umum menunjukkan kombinasi 1. Kombinasi 2 ditunjukkan pada tiga tanaman generasi M1 kontrol, dua tanaman generasi M1 3 krad, dan dua tanaman generasi M1 5 krad. Tidak ada tanaman yang menunjukkan kombinasi 3. Pulungan (2008) menyatakan bahwa kombinasi warna daun ini bukan merupakan akibat radiasi, melainkan hanya berupa penyesuaian tanaman terhadap lingkungan. Intensitas warna kemerahan dapat bertambah atau berkurang. Pada dua bulan di akhir percobaan (Januari dan Februari 2009) ditemukan beberapa tanaman dengan kedua permukaan daun tua berwarna merah atau hijau kekuningan yang diduga disebabkan oleh faktor lingkungan misalnya cahaya. Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa sebagian besar tumbuhan membentuk pigmen antosianin pada beberapa sel terspesialisasi, dan proses ini sering terpacu oleh cahaya. Cahaya memacu sintesis pigmen tersebut pada organ yang sedikit atau sama sekali tidak berfotosintesis, misalnya pada daun yang akan gugur.
tanaman yang sulit beradaptasi terhadap lingkungan. Landsberg (1977) menjelaskan bahwa setiap proses perkembangan pada tumbuhan diatur secara genetik yang dipicu oleh mekanisme tertentu, misalnya pada pergantian dari fase vegetatif ke generatif dapat disebabkan oleh perubahan internal tumbuhan atau akibat inisiasi dari faktor eksternal seperti panjang hari (fotoperiodisme) atau suhu lingkungan.
Warna Tangkai Daun Warna tangkai daun ditentukan dengan melihat kecenderungan warna tangkai daun secara keseluruhan pada setiap tanaman. Warna yang ditemukan sama dengan warna yang ditemukan pada daun, yaitu hijau dan hijau kemerahan. Sama halnya dengan daun, intensitas warna kemerahan pada tangkai juga dapat bertambah atau berkurang. Seluruh tanaman generasi M1 di lokasi Cibadak memiliki tangkai daun berwarna hijau kecuali satu tanaman, yaitu I/1R/29-12-07/SAMPEL5 yang tangkai daunnya berwarna hijau kemerahan. Berbeda halnya dengan tanaman di lokasi Cicurug, seluruh tanaman generasi M1 semua dosis iradiasi menunjukkan salah satu dari kedua warna, namun secara umum berwarna hijau kemerahan kecuali beberapa tanaman dengan warna tangkai daun hijau, yaitu dua tanaman pada masing-masing dosis iradiasi.
Karakter Kuantitatif Perbandingan Karakter Kuantitatif Antar Dosis Iradiasi di KP Cicurug dan Cibadak Jumlah Daun Data jumlah daun didapatkan dengan menghitung seluruh tangkai daun segar dengan anak daun yang telah terbuka, baik daun tunggal maupun daun majemuk. Jumlah daun tanaman purwoceng generasi M1 semua dosis iradiasi di lokasi Cicurug ditunjukkan pada Gambar 1. Hasil uji-t karakter jumlah daun antar pasangan tanaman purwoceng generasi M1 semua dosis iradiasi menunjukkan bahwa jumlah daun tanaman generasi M1 3 krad cenderung atau nyata lebih sedikit dibandingkan jumlah daun tanaman generasi M1 5 krad dan kontrol pada semua umur. Jumlah daun tanaman generasi M1 5 krad tidak berbeda dengan tanaman generasi M1 kontrol pada semua umur.
Umur Berbunga Rahardjo (2005) menyatakan bahwa purwoceng mulai berbunga pada umur lima bulan. Namun pada percobaan ini tanaman di lokasi Cicurug baru berbunga ketika berumur 22 MSP, yaitu sekitar tujuh bulan. Hanya ada satu tanaman yang berbunga, yaitu M1/05.07.08/3krad/18. Tanaman ini bertahan hidup sekitar tiga minggu setelah munculnya tandan bunga, sehingga diduga tidak ada bunga yang mengalami penyerbukan. Hal ini disebabkan oleh kondisi 24 22
21.33
20 17.7
18
18.42
Jumlah Daun (tangkai)
16 14.66 14
15.5 13.92 14.38
12.62
0 krad
13.2 12
3 krad
10.62
5 krad
10.88
9.3
10 8.03 8
8.55
6.45 6 4
6.82
5.26 3.93 3.37
4.66 4.1
4.4
2
4
5.58
5.92
6
8
2 0 0
10
12
14
16
18
20
22
Umur Tanaman (MS P)
Gambar 1. Jumlah Daun Purwoceng Generasi M1 di Lokasi Cicurug Tabel 3. Jumlah Daun Purwoceng Generasi M1 di Lokasi Cibadak Umur Tanaman Nilai Tengah Jumlah Daun (tangkai) (MSP) 0 krad 1 krad 3 krad 5 krad 0 4.62 4.57 4.60 4.00 4 5.67 5.77 5.09 8 6.67 9.40 6.80 Tabel 4. Hasil Uji-t Jumlah Daun Purwoceng Generasi M1 di Lokasi Cibadak Umur Tanaman (MSP) Perlakuan t-hitung Peluang 0 0 krad vs 1 krad 0.16 tn 0.874 0 krad vs 3 krad 0.07 tn 0.946 0 krad vs 5 krad 1.78 tn 0.096 1 krad vs 3 krad -0.09 tn 0.930 1 krad vs 5 krad 1.85 tn 0.077 3 krad vs 5 krad 1.77 tn 0.107 4 0 krad vs 1 krad -0.13 tn 0.904 0 krad vs 5 krad 0.74 tn 0.511 1 krad vs 5 krad 1.15 tn 0.263 8 0 krad vs 1 krad -2.60 * 0.048 0 krad vs 5 krad -0.14 tn 0.893 1 krad vs 5 krad 2.48 * 0.042 Keterangan: *berbeda nyata pada taraf 5% tn tidak berbeda nyata pada taraf 5%
Jumlah daun tanaman purwoceng generasi M1 semua dosis di lokasi Cibadak ditunjukkan pada Tabel 3. Hasil uji-t karakter jumlah daun antar pasangan tanaman purwoceng generasi M1 semua dosis iradiasi ditunjukkan pada Tabel 4. Jumlah daun tanaman generasi M1 1 krad nyata lebih banyak dibandingkan jumlah daun tanaman generasi M1 5 krad dan kontrol pada umur 8 MSP. Kondisi jumlah daun tanaman generasi M1 di lokasi Cicurug dan Cibadak ini diduga merupakan akibat dari faktor lingkungan. Pada percobaan yang dilakukan Pulungan (2008) menunjukkan pada 4-8 MSP hasil uji-t antara tanaman generasi M0 kontrol dengan tanaman generasi M0 1 krad, 3 krad, dan 5 krad, maupun antara kombinasi pasangan lainnya, keenam pasangan tersebut tidak menunjukkan jumlah daun yang berbeda. Panjang Tangkai Daun Data panjang tangkai daun purwoceng didapatkan dari tangkai daun terpanjang, yaitu dengan mengukur panjang dari pangkal tangkai daun yang tepat di atas permukaan tanah sampai di tempat munculnya anak daun terbawah. Panjang tangkai daun tanaman purwoceng generasi M1 semua dosis di lokasi Cicurug ditunjukkan pada Gambar 2, terlihat bahwa ketiga tanaman generasi M1 semua dosis iradiasi memiliki tangkai daun terpanjang secara bergantian pada umur yang berbeda dari awal sampai akhir pengamatan.
22 19.63 19.91
20 18.19 17.83
18
18.72
16 Panjang Tangkai Daun (cm)
14.96 13.57
14
13.03 13.23 13.31
12.78
12 10.65
13.64 14.02 13.4 0 krad 3 krad
11.82
10
5 krad 9.89 7.63
8 5.82
8.35
6.33
6
6.35 5.36
4
4.52
2 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
Umur Tanaman (MS P)
Gambar 2. Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M1 di Lokasi Cicurug Hasil uji-t karakter panjang tangkai daun antar pasangan tanaman purwoceng generasi M1 semua dosis menunjukkan bahwa pada umur 12-22 MSP tangkai daun tanaman generasi M1 5 krad cenderung atau nyata lebih panjang dibandingkan dengan tangkai daun tanaman generasi M1 3 krad dan kontrol. Pada awal pengamatan (0 dan 2 MSP) tangkai daun tanaman generasi M1 kontrol nyata lebih panjang dibandingkan tangkai daun tanaman generasi M1 5 krad, tetapi selanjutnya pada 4-8 MSP tangkai daun tanaman generasi M1 3 krad nyata lebih panjang dibandingkan tangkai daun tanaman generasi M1 5 krad.
Panjang tangkai daun tanaman purwoceng generasi M1 semua dosis di lokasi Cibadak ditunjukkan pada Tabel 5. Hasil uji-t karakter panjang tangkai daun antar pasangan tanaman purwoceng generasi M1 semua dosis iradiasi tidak menunjukkan panjang tangkai daun yang berbeda. Kondisi panjang tangkai daun tanaman generasi M1 di lokasi Cicurug dan Cibadak ini diduga juga merupakan akibat dari faktor lingkungan. Pada percobaan yang dilakukan Pulungan (2008) menunjukkan pada 4-8 MSP hasil uji-t antara tanaman generasi M0 kontrol dengan tanaman generasi M0 1 krad, 3 krad, dan 5 krad, maupun antara kombinasi pasangan lainnya, keenam pasangan tersebut tidak menunjukkan panjang tangkai daun yang berbeda.
Tabel 5. Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M1 di Lokasi Cibadak Nilai Tengah Panjang Tangkai Daun (cm) Umur Tanaman (MSP) 0 krad 1 krad 3 krad 5 krad 0 5.50 5.60 5.20 6.23 4 7.33 9.35 8.95 8 14.00 15.40 17.00
Diameter Kanopi Data diameter kanopi purwoceng didapatkan dengan mengukur jarak dua ujung daun terluar yang letaknya berhadapan. Diameter kanopi tanaman purwoceng generasi M1 semua dosis di lokasi Cicurug ditunjukkan pada Gambar 3, terlihat bahwa ketiga tanaman generasi M1 semua dosis iradiasi memiliki diameter kanopi terpanjang secara bergantian pada umur yang berbeda dari awal sampai akhir pengamatan.
70 63.7
65 60.29
61.4
60 55.8 53.9
55 50
49.9
Diameter Kanopi (cm)
45.7 45
47.9 47.3
44.7 45.1
40 40
0 krad
35
33
35.4
5 krad
30
26.9 27.3
25 19.2
20 15
21.73 13.79 11.57
10 5
3 krad
36.4
14.85 12.43
8.43
0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
Umur Tanaman (MS P)
Gambar 3. Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M1 di Lokasi Cicurug
Tabel 6. Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M1 di Lokasi Cibadak Umur Tanaman Diameter Kanopi (cm) (MSP) 0 krad 1 krad 3 krad 5 krad 0 13.19 12.81 12.00 14.14 4 14.833 21.46 21.64 8 29.17 31.30 36.90
18 Panjang Tangkai Daun (cm)
16
15.5
14 12 10.06
10 8.14
Cibadak
8 6 4
Cicurug
5.643 5.88
5.007
2 0 0
4
8
Umur Tanaman (MS P)
Gambar 5. Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M1 di Lokasi Cicurug dan Cibadak pada 0-8 MSP 35 33.04 30 27.27 Diameter Kanopi (cm)
Sama halnya dengan karakter panjang tangkai daun, hasil uji-t karakter diameter kanopi antar pasangan tanaman purwoceng generasi M1 semua dosis menunjukkan bahwa pada 10 MSP antara tanaman generasi M1 kontrol dengan tanaman generasi M1 3 krad dan 5 krad, maupun antara tanaman generasi M1 3 krad dengan 5 krad, tidak menunjukkan diameter kanopi yang berbeda. Pada umur 12-22 MSP tanaman generasi M1 5 krad memiliki diameter kanopi yang cenderung atau nyata lebih besar dibandingkan dengan tanaman generasi M1 3 krad dan kontrol. Pada awal percobaan (0 MSP) antara tanaman generasi M1 kontrol dengan tanaman generasi M1 3 krad dan 5 krad, maupun antara tanaman generasi M1 3 krad dengan 5 krad, menunjukkan diameter kanopi yang berbeda nyata dan diameter kanopi tanaman generasi M1 kontrol adalah yang terbesar. Selanjutnya pada 2 dan 8 MSP diameter kanopi tanaman generasi M1 kontrol masih nyata lebih besar dibandingkan tanaman generasi M1 5 krad, tetapi pada umur 4 dan 6 MSP diameter kanopi tanaman generasi M1 3 krad nyata lebih besar dibandingkan tanaman generasi M1 5 krad. Diameter kanopi tanaman purwoceng generasi M1 semua dosis di lokasi Cibadak ditunjukkan pada Tabel 6. Hasil uji-t karakter diameter kanopi antar pasangan tanaman purwoceng generasi M1 semua dosis (Tabel 7) menunjukkan bahwa diameter kanopi tanaman generasi M1 kontrol sangat nyata lebih kecil dibandingkan tanaman generasi M1 1 krad dan 5 krad pada umur 4 MSP, tetapi selanjutnya pada 8 MSP kembali tidak berbeda.
25 20
Cicurug
18.24
Cibadak
15
13.31
13.11 10
10.06
5 0
Tabel 7. Uji-t Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M1 di Lokasi Cibadak Umur Tanaman (MSP) Perlakuan t-hitung Peluang 0 0 krad vs 1 krad 0.20 tn 0.842 0 krad vs 3 krad 0.67 tn 0.516 0 krad vs 5 krad -0.38 tn 0.709 1 krad vs 3 krad 0.61 tn 0.548 -0.60 tn 0.556 1 krad vs 5 krad 3 krad vs 5 krad -1.00 tn 0.335 4 0 krad vs 1 krad -3.94 ** 0.002 0.009 0 krad vs 5 krad -3.21 ** 1 krad vs 5 krad -0.07 tn 0.948 8 0 krad vs 1 krad -0.88 tn 0.419 -2.49 tn 0.055 0 krad vs 5 krad 1 krad vs 5 krad -1.54 tn 0.166 Keterangan: **berbeda nyata pada taraf 1% tn tidak berbeda nyata pada taraf 5% Kondisi diameter kanopi tanaman generasi M1 di lokasi Cicurug dan Cibadak ini sama halnya dengan kondisi panjang tangkai daun, diduga juga merupakan akibat dari faktor lingkungan. Percobaan yang dilakukan Pulungan (2008) menunjukkan pada 4-8 MSP hasil uji-t karakter diameter kanopi tanaman generasi M0 3 krad nyata lebih kecil dibandingkan dengan tanaman generasi M0 kontrol, tetapi pada kombinasi pasangan lainnya tidak menunjukkan diameter kanopi yang berbeda. Perbandingan Karakter Kuantitatif Antar Lokasi 8 7.075 6.735
Jumlah Daun (tangkai)
7 6 5.38 5 4
4.89
4.408
Cicurug Cibadak
3.703 3 2 1 0 0
4
8
Umur Tanaman (MS P)
Gambar 4. Jumlah Daun Purwoceng Generasi M1 di Lokasi Cicurug dan Cibadak pada 0-8 MSP
0
4
8
Umur Tanaman (MS P)
Gambar 6. Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M1 di Lokasi Cicurug dan Cibadak pada 0-8 MSP Gambar 4, 5, dan 6 menunjukkan perbandingan jumlah daun, panjang tangkai daun, dan diameter kanopi tanaman purwoceng generasi M1 kontrol, 3 krad, dan 5 krad pada umur 0, 4, dan 8 MSP di lokasi Cicurug dan Cibadak. Hasil uji-t ketiga karakter kuantitatif antar lokasi pada umur tersebut tidak menunjukkan nilai yang berbeda. Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman M0 Purwoceng di Beberapa Lokasi Analisis kandungan metabolit sekunder yaitu saponin dan fitosterol dilakukan terhadap sampel tanaman purwoceng generasi M0 berumur 6 bulan dari lokasi Cibadak dan Cicurug, serta pada sampel tanaman dari lokasi Tawang Mangu dan Dieng sebagai pembanding. Analisis dilakukan terpisah antara akar dengan batang dan daun. Uji statistik terhadap data yang diperoleh tidak dapat dilakukan karena analisis hanya dilakukan terhadap sampel tunggal. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar metabolit sekunder akar atau batang dan daun purwoceng di lokasi Cibadak dan Cicurug terlihat tidak lebih rendah atau bahkan dapat lebih tinggi dibandingkan purwoceng dari Tawang Mangu dan Dieng yang merupakan habitat aslinya. Kadar saponin pada akar serta batang dan daun tanaman dari lokasi Cicurug tidak lebih rendah dibanding kadar saponin pada akar serta batang dan daun tanaman yang berasal dari lokasi lain (Gambar 7) demikian juga dengan kadar fitosterol pada akar serta batang dan daun (Gambar 8). Perbandingan kadar metabolit sekunder tersebut tidak dapat digunakan untuk menduga kadar zat saponin dan fitosterol dalam bagian akar serta batang dan daun untuk populasi lain karena merupakan data sampel tunggal. Namun data tersebut dapat menunjukkan bahwa metabolit sekunder pendukung khasiat obat tanaman purwoceng terkandung dalam tanaman yang dipindahkan ke lokasi Cibadak dan Cicurug.
2.5
2
2 Kadar Saponin (%)
Kadar Saponin (%)
2.5
1.5
1
0.5
Dieng 1.5
T awang Mangu Cibadak
1
Cicurug
0.5 Cicurug Cibadak T awang Mangu Dieng
0 0 krad 1 krad
2 krad 3 krad Dosis Iradiasi
4 krad
0 0 krad 1 krad 2 krad
3 krad 4 krad Dosis Iradiasi
5 krad
5 krad
Cicurug Cibadak T awang Mangu Dieng Lokasi Asal Tanaman
3
3
2.5
2.5 Kadar Fitosterol (%)
Kadar Fitosterol (%)
Gambar 7. Kadar Saponin Purwoceng Generasi M0 dari Empat Lokasi pada Bagian Akar (kiri) serta Batang dan Daun (kanan)
2 1.5 1
2
Dieng T awang Mangu
1.5
Cibadak Cicurug
1 0.5
0.5 Cicurug Cibadak T awang Mangu Dieng
0 0 krad 1 krad
2 krad 3 krad Dosis Iradiasi
4 krad
5 krad
0 0 krad 1 krad
2 krad 3 krad Dosis Iradiasi
4 krad
5 krad
Cicurug Cibadak T awang Mangu Dieng Lokasi Asal Tanaman
Gambar 7. Kadar Fitosterol Purwoceng Generasi M0 dari Empat Lokasi pada Bagian Akar (kiri) serta Batang dan Daun (kanan) KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Kesimpulan Perlakuan iradiasi sinar gamma 3 krad tidak mempengaruhi karakter-karakter kualitatif (bentuk dan warna daun, warna tangkai daun, dan tipe kanopi) maupun kuantitatif (jumlah daun, panjang tangkai daun, dan diameter kanopi) pada tanaman purwoceng generasi M1 di lokasi Cicurug. Dosis iradiasi 5 krad berpengaruh terhadap bentuk daun salah satu tanaman generasi M1, tetapi tidak mempengaruhi karakter-karakter lainnya. Perlakuan iradiasi sinar gamma 1, 3, dan 5 krad tidak mempengaruhi karakterkarakter kualitatif dan kuantitatif tanaman generasi M1 di lokasi Cibadak. Perbandingan karakter kuantitatif tanaman purwoceng generasi M1 kontrol, 3 krad, dan 5 krad pada umur 0, 4, dan 8 MSP di lokasi Cicurug dan Cibadak tidak menunjukkan nilai yang berbeda. Pertumbuhan vegetatif tanaman generasi M1 yang cukup baik tetapi sulit untuk berbunga menunjukkan bahwa tanaman generasi M1 belum dapat beradaptasi jika ditanam sejak awal di dataran rendah. Hasil analisis terhadap sampel tunggal menunjukkan bahwa kadar metabolit sekunder akar atau batang dan daun purwoceng generasi M0 di lokasi Cibadak dan Cicurug terlihat tidak lebih rendah atau bahkan dapat lebih tinggi dibandingkan purwoceng dari Tawang Mangu dan Dieng yang merupakan habitat aslinya.
Cahyana, D. 2004. Mengejar laba dari pembangkit gairah. Trubus XXXV(410):16-17.
Saran Induksi mutasi melalui iradiasi sinar gamma untuk memunculkan mutan yang toleran hidup di dataran rendah perlu dicari dosis yang tepat. Pembuktian pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap pertumbuhan tanaman perlu dilakukan melalui pengukuran bobot tajuk dan akar, juga penghitungan jumlah anak daun yang merupakan faktor yang mempengaruhi bobot dan kerebahan tajuk. Selain itu perlu dilakukan penghitungan kecepatan tumbuh sehingga diketahui pola pertumbuhan tanaman di lingkungan tempat hidupnya.
Purwakusumah, E. J. 2007. Keutamaan tanaman obat. Makalah Seminar Tanaman Obat HIMAKOVA IPB. Auditorium Rektorat IPB.
Grosch, D. S. 1965. Biological Effects of Radiations, 1st edition. Blaisdell Publishing Company. Massachusetts. 293 p. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III, cetakan I (terjemahan). Badan Litbang Departemen Kehutanan. Jakarta. 2521 hal. Kusumo, Y. W. E., I. Darwati, I. Roostika, Rosita S. M. D., dan M. Y. Pulungan. 2007. Perakitan Varietas Unggul Tanaman Obat Kuat Purwoceng yang Toleran Dataran Rendah. IPB Bekerjasama dengan Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 37 hal. Landsberg, J. J. 1977. Effects of weather on plant development, p. 289-307. In: J. J. Landsberg and C. V. Cutting (Eds.). Enviromental Effects on Crop Physiology. Academic Press. London. Makmur, A. 1992. Pengantar Pemuliaan Tanaman, cetakan III. PT Rineka Cipta. Jakarta. 79 hal. Pulungan, M. Y. 2008. Keragaan karakter purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) hasil induksi mutasi sinar gamma di tiga lokasi. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. 49 hal.
Rahardjo, M. 2005. Purwoceng Budidaya dan Pemanfaatan untuk Obat Perkasa Pria, cetakan I. Penebar Swadaya. Depok. 58 hal. Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan, Jilid 3 (terjemahan). Penerbit ITB. Bandung. 343 hal. Zuhud, E. A. M. 2007. Potensi dan prospek tumbuhan obat hutan tropika Indonesia. Makalah Seminar Tanaman Obat HIMAKOVA IPB. Auditorium Rektorat IPB.