ESTIMASI NILAI LINGKUNGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DITINJAU DARI NERACA AIR TANAMAN KELAPA SAWIT (STUDI KASUS: PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KECAMATAN DAYUN KABUPATEN SIAK PROPINSI RIAU)
ISA TEGUH WIDODO
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN ISA TEGUH WIDODO. Estimasi Nilai Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Di Tinjau Dari Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus: Perkebunan Kelapa Sawit Di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak). Di bawah bimbingan Drs. Bambang Dwi Dasanto, MSi. Kecamatan Dayun merupakan salah satu kecamatan yang menjadi sentral perkebunan kelapa sawit di wilayah Kabupaten Siak. Salah satu perusahaan milik negara yang mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Dayun adalah PT. Perkebunan Nusantara Lima (PTPN V) dan merupakan perusahaan pertama yang mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Siak. Adanya perkebunan kelapa sawit menimbulkan berbagai dampak terhadap lingkungan, salah adalah adanya penurunan ketersediaan air yang mampu dimanfaatkan oleh stakeholder pengguna air. Penurunan ketersediaan air menyebabkan adanya biaya tambahan yang harus dikeluarkan oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar penurunan ketersediaan air di wilayah penelitian akibat adanya perkebunan kelapa sawit serta mengetahui seberapa besar biaya yang telah dikeluarkan dalam upaya pemenuhan kebutuhan air. Metode yang digunakan adalah model neraca air Thornwhite 1957 dan analisis Willinges To Pays (WTP) dengan alat analisisnya menggunakan metode Contingen Valuation Method yang berupa kuisioner. Sampel di ambil di Desa Sawit Permai, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak. Perbedaan tutupan lahan (landcover) antara sebelum dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit berpengaruh terhadap neraca air lahan yang kemudian mempengaruhi ketersediaan di wilayah Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak. Besarnya penurunan nilai ketersediaan air sebanding dengan besarnya peningkatan kebutuhan air dari landcover hutan ke landcover tanaman kelapa sawit, yaitu sebesar 67 mm/tahun. Landcover lahan dengan tanaman kelapa sawit menghasilkan nilai run off yang lebih besar di bandingkan dengan landcover hutan. Kebutuhan air tanaman kelapa sawit yang ada di Kecamatan Dayun adalah sebesar 42.728 liter/ha/hari. Besarnya kebutuhan air untuk satu batang pohon tanaman kelapa sawit adalah sebesar 0,012 m3/s per harinya. Berdasarkan hasil analisis debit estimasi, terjadi penurunan debit yang mengindikasikan adanya penurunan ketersediaan air di wilayah Kecamatan Dayun sebesar 349 m3/s per tahunnya. Estimasi nilai lingkungan perkebunan kelapa sawit dilihat dari segi konsumsi sumberdaya air adalah sebesar Rp 7.500.000, yang dihitung berdasarkan perbedaan landcover hutan dan tanaman kelapa sawit pada saat musim kemarau (JJA). Besarnya WTP rata-rata masyarakat untuk program konservasi sumberdaya air adalah Rp 26.400, dengan nilai WTP maksimumnya sebesar Rp 45.000 dan WTP minimumnya Rp 5.000. Nilai ekonomi program konservasi sumberdaya air sebesar Rp 18.850.000 per bulan. Kata Kunci: neraca air, perubahan penggunaan lahan, ETc, nilai lingkungan, CVM, WTP
iii
ABSTRAK ISA TEGUH WIDODO. The Estimation of Oil Palm Plantation Environment Value Using Crop Evapotranspiration of Oil Palm (case study: Oil Palm Plantation in Dayun, Siak). Supervised by Drs. Bambang Dwi Dasanto M.Si. Dayun is one of the center of oil palm plantations in Siak. Government company that develops the oil palm plantation in Dayun is PT. Perkebunan Nusantara Lima (PTPN V) and also the first company which develops the oil palm in Siak. The oil palm plantations cause various effects to the environment; one of them is the decreasing of water availability that can be used by the water stakeholders. The decreasing of water availability causes additional cost to the community. The objectives of this study are to determine the decreasing of water because of the oil palm plantation and cost that spent to meet the needs of water. The study uses water balance model by Thornwhite 1957 and Willingness to Pays (WTP) analysis using questionnaire of Contingent Valuation Method (CVM) in Sawit Permai, Dayun, Siak.The land cover, before and after, affect the water balance which impact the water availability in Dayun. The decreasing of water availability is comparable with the increasing of water demand in oil palm plantation, equal to 67 mm/year. Oil palm plantation has greater runoff than forest. The need of water in oil palm plantation in Dayun is 42.728 liters /ha /day, with the need of a single palm tree equal to 0,012 m3/s/day. Based on the analysis of debt estimation, there is debt decreasing which indicates the decreasing of water availability in Dayun, around 349 m3/s/year. The estimated value of the environment for oil palm plantations by water resources consumption based on the difference of forest and oil palm plantations during the dry season (JJA) is equal to Rp 7.500.000.. Average WTP for the water conservation program is Rp 26.400, with WTP maximum and minimum up to Rp 45.000 and Rp 5.000 respectively. The economic value of water conservation program is Rp 18.850.000/month. Key words: water balance, land use conversion, ETc, environment value, CVM, WTP
ESTIMASI NILAI LINGKUNGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DITINJAU DARI NERACA AIR TANAMAN KELAPA SAWIT (STUDI KASUS: PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KECAMATAN DAYUN, KABUPATEN SIAK)
ISA TEGUH WIDODO
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Pada Mayor Meteorologi Terapan
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
v
Judul Skripsi : Estimasi Nilai Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Di Tinjau Dari Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus: Perkebunan Kelapa Sawit Di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak) Nama : Isa Teguh Widodo NIM : G24061110
Menyetujui, Pembimbing
(Drs. Bambang Dwi Dasanto, M.Si) NIP : 19650919 199203 1 002
Mengetahui: Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Rini Hidayati, MS.) NIP : 19600305 198703 2 002
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmatNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam karya ilmiah ini adalah Estimasi Nilai Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Di Tinjau Dari Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus: Perkebunan Kelapa Sawit Di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2010 sampai Oktober 2010. Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini terutama Allah SWT dan Kedua orang tua tercinta, ayahanda Suparno dan Ibunda Suminah, serta semua keluarga besar ku atas semua do’a dan dukungan baik moril maupun materil, serta kepada: 1. Bapak Drs. Bambang Dwi Dasanto, M.Si selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, serta masukan yang bermanfaat selama penyelesaian skripsi ini. 2. Bapak Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si selaku dosen penguji, Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, MS sekalu dosen penguji sekaligus ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi, Bapak Ir. Idung Risdiyanto,M.Si selaku pembimbing akademik 3. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Pekanbaru, PT. Perkebunan Nusantara Lima (PTPN V) Pekanbaru, Kepala Desa Sawit Permai, yang telah bersedia memberikan data-data dalam skripsi ini. 4. Pemerintah Daerah Kabupaten Siak selaku penyandang dana beasiswa 5. Diah Ayu Kartika yang tiada henti memberikan semangat, bantuan serta perhatian. 6. Rika Alfyanti, Tri Yuli Kurniawati, Daniel Chrisendo, serta seluruh teman-teman labklim yang telah banyak memberikan masukan dan membantu penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini. Luthfi Aziz, Uji Astrono Pribadi, Dipa Pradipta, Tia Erfiyanti, dan Anang Ahmadi yang selalu menemani penulis mengerjakan karya tulis, serta keluarga besar GFM 43, terima kasih atas kebersamaan dan semua cerita indah yang selalu akan diingat. 7. Teman-teman Asrama Riau “Dang Merdu” Bogor, yang telah memberikan doa dan semangat selama tinggal bersama. 8. Pak Supono, Pak Udin, Pak Kaerun, Mas Nandang, Mas Azis, Bu Inda, Mba Icha, Mba Wanti, terima kasih atas semua bantuannya. 9. Seluruh kakak dan adik kelasku GFM, senang bisa kenal kalian semua. 10. Seluruh kakak dan adik kelasku BUD Kabupaten Siak, terima kasih untuk semua doa dan kebersamaannya. 11. Semua pihak yang telah banyak membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki segala kekurangan tersebut. Penulis juga berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.
Bogor, Februari 2011
Penulis
vii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Siak pada tanggal 10 Agustus 1988 sebagai anak ke tujuh dari tujuh bersaudara. Penulis lahir dari pasangan Suparno dan Suminah. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah dasar pada tahun 2000 di SD Negeri 034 Jayapura dan melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Bungaraya dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Siak dan lulus pada tahun 2006. Setelah lulus SMA, penulis melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Kabupaten Siak tahun 2006 dan diterima pada Mayor Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama menjalani masa studi, penulis aktif dalam organisasi Ikatan Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Riau (IKPMR) Bogor sebagai pengurus periode 2007 sampai 2010. Pada tahun 2008 sampai 2010, penulis juga dipercaya menjadi Ketua Umum Ikatan Silaturahmi Anak Negheri Agung Mahasiswa Siak (ISTANA MAS) Bogor. Penulis juga aktif dalam berbagai aktifitas kampus seperti Koperasi Mahasiswa (KOPMA) IPB pada tahun 2006, serta berbagai kegiatan Himagreto (Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi). Pada tahun 2009 penulis diberikan kesempatan magang untuk mengaplikasikan ilmu yang dimiliki di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Pekanbaru. Untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si), penulis membuat tugas akhir dengan judul Estimasi Nilai Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Di Tinjau Dari Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus: Perkebunan Kelapa Sawit Di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak dibawah bimbingan Bapak Drs. Bambang Dwi Dasanto, M.Si.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................................................
v
DAFAR GAMBAR ................................................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................................
vii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1.2 Tujuan ......................................................................................................................
1 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Nilai Ekonomi Lingkungan ……………………………………………… 2.2 Neraca Air Lahan dan Tanaman ………………………………………………….. 2.3 Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan .................................................................
1 3 4
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................................. 3.2 Alat dan Bahan ........................................................................................................ 3.3 Analisis Neraca Air ...................................................................................... 3.3.1 Neraca Air Umum ........................................................................................ 3.3.2 Neraca Air Lahan ......................................................................................... 3.3.3 Neraca Air Tanaman .................................................................................... 3.4 Kebutuhan Air Tanaman Kelapa Sawit ................................................................... 3.5 Estimasi Debit (Q) ................................................................................................... 3.6 Estimasi Nilai Ekonomi Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit ............................
6 6 7 7 7 7 8 8 9
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……………………………………………… 4.2 Analisis Neraca Air ……………………………………………………………….. 4.2.1 Neraca Air Umum ........................................................................................ 4.2.2 Neraca Air Lahan ......................................................................................... 4.2.3 Neraca Air Tanaman .................................................................................... 4.3 Kebutuhan Air Tanaman Kelapa Sawit ................................................................... 4.4 Estimasi Debit (Q) ................................................................................................... 4.5 Analisis Ekonomi Lingkungan Tanaman Kelapa Sawit .......................................... 4.5.1 Karakteristik Umum dan Kondisi Sosial Ekonomi Responden ................... 4.5.2 Nilai Ekonomi Perkebunan Kelapa Sawit .................................................... 4.5.3 Nilai Lingkungan Tanaman Kelapa Sawit ................................................... 4.5.4 Estimasi Nilai Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit ................................ 4.5.5 Analisis WTP Program Konservasi Sumberdaya Air ..................................
9 10 10 11 12 13 13 14 14 15 15 15 16
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ……………………………………………………………………….. 5.2 Saran ………………………………………………………………………………
18 18
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………
19
LAMPIRAN ………………………………………………………………………………..... 21
ix
DAFTAR TABEL Halaman 1 Besarnya rata-rata WTP yang sanggup di bayar dengan jumlah responden yang sanggup membayar pada tingkat tersebut .........................................................................
17
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Teknik valuasi non-market ............................................................................................. Surplus konsumen........................................................................................................... Hasil perhitungan neraca air umum Kecamatan Dayun ................................................. Hasil perhitungan neraca air lahan Kecamatan Dayun .................................................. Neraca Air Tanaman Sebelum Adanya Perkebunan Kelapa Sawit ................................ Neraca Air Tanaman Sesudah Adanya Perkebunan Kelapa Sawit ................................ Perbandingan Debit Antara Sebelum dan Sesudah Adanya Perkebunan Kelapa Sawit ................................................................................. Umur Rata-rata Responden............................................................................................. Pekerjaan Responden...................................................................................................... Pendidikan Responden.................................................................................................... Pendapatan Responden.................................................................................................... Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit....................................................................... Dampak Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Responden........................... Hubungan Antara Besar WTP dengan Jumlah Responden............................................. Bid Curve WTP Masyarakat Desa Sawit Permai............................................................
2 4 11 11 12 12 14 14 14 14 14 15 15 17 17
xi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Hasil Perhitungan Peluang Hujan Terlampaui ................................................................. Hasil Perhitungan Neraca Air Umum................................................................................ Hasil Perhitungan Neraca Air Tanaman Landcover Hutan............................................... Hasil Perhitungan Neraca Air Tanaman Landcover Tanaman Kelapa Sawit .................. Hasil Perhitungan Debit Estimasi ..................................................................................... Table 2 Monthly Values of I corresponding to Monthly Mean Temperature (oC) .......... Table 5 Values of unadjusted Daily Potential Evapotranspiration for Mean Temperature Above 80 oF or 26 oC................................................................... Table 7 Mean Possible Monthly Duration of Sunlight in the Southern Hemisphere Expressed in Units of 12 Hours......................................................................................................... Kuisioner Penelitian ......................................................................................................... Tabulasi Hasil Kuisioner .................................................................................................. Peta Lokasi Penelitian....................................................................................................... Peta Unit Kerja PTPN V di Kecamatan Dayun ................................................................
21 21 21 22 22 23 24
25 26 28 30 30
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkebunan kelapa sawit (oilpalm plantation) merupakan perkebunan yang tengah berkembang di Kabupaten Siak. Data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Siak menyebutkan luas areal perkebunan kelapa sawit pada tahun 2008 mencapai 186.819 Ha. Luas areal perkebunan kelapa sawit akan terus berkembang di wilayah ini mengingat masih banyaknya hutan-hutan sekunder yang berpotensi untuk dijadikan perkebunan. Kecamatan Dayun merupakan sentral pertumbuhan dan perkembangan utama areal perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Siak. Luas areal perkebunan kelapa sawit di kecamatan ini mencapai 21.949 Ha pada tahun 2008 (BPS Kab. Siak 2008). Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit berdampak nyata terhadap lingkungan diantaranya adalah semakin berkurangnya ketersediaan air. Tanaman kelapa sawit secara ekologis merupakan tanaman yang paling banyak membutuhkan air dalam proses pertumbuhannya. Perkebunan kelapa sawit merupakan perkebunan yang diterapkan secara monokultur pada suatu lahan. Adanya perubahan penggunaan lahan dari hutan alami ke sistem tanaman monokultur seperti perkebunan kelapa sawit akan merubah sistem dan tatanan neraca air yang ada di wilayah tersebut. Karena mekanisme tanamannya yang monokultur, baik langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap neraca air lahan dan ketersediaan air di wilayah tersebut. Estimasi nilai lingkungan dilakukan untuk melihat seberapa besar nilai kerugian lingkungan yang terjadi akibat adanya perkebunan kelapa sawit. Nilai lingkungan perkebunan kelapa sawit dalam penelitian ini di dekati sebagai nilai konsumsi sumberdaya air oleh perkebunan kelapa sawit pada suatu lahan yang diperoleh melalui perhitungan neraca air tanaman kelapa sawit. Besarnya kebutuhan air perkebunan kelapa sawit kemudian di nilai dalam bentuk rupiah dengan tujuan untuk memudahkan dalam hal perbandingan antara total nilai ekonomi perkebunan kelapa sawit yang diterima oleh masyarakat dengan total nilai lingkungan yang harus di tanggung oleh masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit.
Program konservasi sumberdaya air dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan bencana kekeringan dan kelebihan air yang mungkin timbul akibat adanya alih fungsi lahan. Keikutsertaan masyarakat dalam mendukung adanya program konservasi sumberdaya air ini sangat dibutuhkan. Dukungan masyarakat dalam mendukung program konservasi sumberdaya air terlihat melalui Willingess To Pays (kemauan membayar) dari masyarakat dalam program konservasi sumberdaya air. Besarnya nilai WTP dari masyarakat dapat ditentukan berdasarkan survei langsung yang dilakukan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit. Hasil nilai WTP kemudian digunakan untuk melihat seberapa besar nilai manfaat lingkungan yang akan diperoleh masyarakat dengan adanya program konservasi sumberdaya air. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menghitung serta menganalisis neraca air lahan sebelum dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit 2. Menghitung besarnya kebutuhan air perkebunan kelapa sawit 3. Mengestimasi nilai ekonomi lingkungan tanaman kelapa sawit 4. Menganalisis WTP masyarakat untuk program konservasi sumberdaya air
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Nilai Ekonomi Lingkungan Konsep nilai didefinisikan sebagai tingkat kepuasan (utilitas) yang diperoleh seorang konsumen dari kegiatan mengkonsumsi suatu barang dan jasa. Menurut Fauzi (2004) pengertian nilai atau value khususnya yang menyangkut dengan barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan memang bisa berbeda jika dipandang dari berbagai disiplin ilmu. Salah satu tolak ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama dari berbagai disiplin ilmu adalah pemberian price tag (harga) pada barang dan jasa yang dihasilkan sumberdaya alam dan lingkungan dan kemudian disebut sebagai nilai ekonomi sumberdaya alam. Bagi suatu individu nilai dari suatu barang atau jasa adalah keinginan dan kemampuannya untuk berkorban terhadap barang atau jasa tersebut. Berkorban yang dimaksud adalah kemampuan dan keinginan membayar lebih terhadap suatu
barang atau jasa yang dibutuhkan oleh individu tersebut. Setiap orang/individu akan memiliki kemampuan dan keinginan membayar yang berbeda-beda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat kesejahteraan dari setiap individu yang menginginkan barang/jasa tersebut. Kemampuan atau keinginan membayar dari setiap individu tersebut biasanya dinyatakan dalam bentuk WTP (Willingness To Pays). Dalam WTP dihitung seberapa jauh kemampuan setiap individu atau masyarakat secara agregat untuk membayar atau mengeluarkan uang dalam rangka memperbaiki kondisi lingkungan sesuai dengan standar yang diinginkannya. Kesediaan membayar setiap individu didasarkan atas pertimbangan biaya dan manfaat yang akan diperoleh, dalam hal ini WTP merupakan nilai kegunaan potensial dari sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Penghitungan WTP yang dikaitkan dengan peningkatan kualitas dan degradasi lingkungan dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan sebagai berikut: 1. Menghitung biaya yang bersedia dikeluarkan oleh individu untuk mengurangi dampak negatif pada lingkungan karena adanya suatu kegiatan pembangunan. 2. Menghitung pengurangan nilai atau harga dari suatu barang akibat semakin menurunnya kualitas lingkungan. 3. Melalui suatu survei untuk menentukan tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar dalam rangka mengurangi dampak negatif pada lingkungan ataupun untuk mendapatkan kondisi lingkungan yang lebih baik. Secara umum teknik valuasi ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan (non market valuation) dapat digolongkan kedalam dua kelompok, yakni teknik langsung dan teknik tidak langsung. Secara skematis teknik valuasi non-market tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Kelompok pertama adalah teknik valuasi tidak langsung, yang mengandalkan harga implisit dimana WTP terungkap melalui model yang dikembangkan. Teknik ini disebut teknik yang mengandalkan revealed WTP (keinginan untuk membayar yang terungkap). Beberapa teknik yang termasuk kelompok ini adalah Travel Cost Method, Hedonic Pricing, dan teknik yang relatif baru disebut Random Utility Model. Kelompok kedua adalah teknik valuasi langsung, yang didasarkan pada survei dimana keinginan membayar atau WTP diperoleh
langsung dari responden yang langsung diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Teknik penilaian yang cukup popular adalah Contingent Valuation Method (CVM) dan Discrete Choice Model (DCM).
Gambar 1 Teknik Valuasi Non-Market. Besarnya WTP dari setiap individu dapat ditentukan melalui metode valuasi langsung (contingen valuation method). Metode valuasi langsung adalah suatu metode survei untuk menanyakan penduduk tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan. Menurut Haab dan McConnell (2002) Contingent Valuation adalah sebuah metode dalam mengumpulkan informasi mengenai preferensi atau kesediaan membayar (WTP) dengan teknik pertanyaan secara langsung. Kesedian membayar merupakan gambaran dari tingkat preferensi dan pendapatan individu (Pearce et al 1994). Tujuan dari CVM adalah untuk mengukur keinginan membayar individu (WTP) untuk perubahan kuantitas atau kualitas dari barang dan jasa lingkungan. Pendekatan CVM disebut contingent (tergantung) karena pada prakteknya informasi yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesis yang dibangun. Pendekatan CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan teknik eksperimental melalui simulasi dan permainan. Kedua, dengan teknik survei. CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui: pertama, keinginan membayar (WTP) dari masyarakat, misalnya terhadap perbaikan kualitas lingkungan (air, udara, dan lainnya) dan kedua, keinginan menerima (Willingness To Accept atau WTA) kerusakan suatu lingkungan perairan (Fauzi 2004). Hanley dan Spash (1993) menyebutkan bahwa langkah-langkah dalam penggunaan CVM terdiri dari:
3
1. Menyusun Hypothetical market 2. Penentuan besarnya penawaran/lelang (bid curve) 3. Menghitung rataan WTP dan/atau WTA 4. Menjumlahkan data 5. Mengevaluasi perhitungan CVM Secara prinsip, metode ini memiliki kemampuan dalam menilai keuntungan dari penyediaan barang lingkungan dan juga mampu menentukan pilihan estimasi pada kondisi yang tidak menentu. Prinsip yang mendasari metode ini adalah bahwa bagi orang yang memiliki preferensi tetapi tersembunyi terhadap seluruh jenis barang lingkungan, kemudian diasumsikan bahwa orang tersebut mempunyai kemampuan mentransformasi preferensi ke dalam bentuk nilai moneter atau uang. Asumsi selanjutnya, orang tersebut akan bertindak seperti yang dikatakan ketika situasi hipotesis yang disodorkan menjadi kenyataan pada masa yang akan datang. Asumsi tersebut menjadi dasar metode ini untuk menanyakan berapa jumlah tambahan uang yang ingin dibayar oleh seseorang atau rumah tangga untuk memperoleh peningkatan kualitas lingkungan. Pertanyaan tersebut digunakan untuk menentukan suatu pasar hipotesis terhadap perubahan lingkungan yang diinginkan. Tujuan dari CVM adalah untuk menghitung nilai atau penawaran yang mendekati, jika pasar dari barang-barang lingkungan tersebut benar-benar ada. Oleh karena itu, pasar hipotesis harus sebisa mungkin mendekati kondisi pasar yang sebenarnya. Responden harus mengenal dengan baik kondisi yang ditanyakan dalam kuisioner dan alat hipotetik yang dipergunakan untuk pembayaran. Pendekatan CVM dilakukan dengan cara menentukan kesediaan membayar (WTP) dari konsumen. Pendekatan ini dapat diterapkan pada keadaan yang dapat menimbulkan kesenangan (estetic) seperti pemandangan alam, kebudayaan, historis dan karakteristik lain yang unik. Penilaian lingkungan secara langsung dapat dilakukan dengan menggunakan teknik penentuan nilai hipotesis dari barang lingkungan yang ingin di nilai (Hufschmidt et al 1987). Metode ini lebih fleksibel dan diakui bersifat judgment value, sebab pertanyaan diperoleh dari pertanyaan hipotesis. Namun, dalam pelaksanaannya, CVM mempunyai kelemahan yang perlu diperhatikan dalam penerapannya. Kelemahan utamanya adalah munculnya bias. Bias terjadi jika terdapat nilai yang kurang dari nilai yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat ataupun nilai yang melebihi dari nilai yang
sebenarnya diinginkan. Sumber-sumber bias menurut Fauzi (2004) ditimbulkan oleh dua hal utama, yaitu: 1) Bias yang timbul karena strategi yang keliru. Ini terjadi misalnya jika kita melakukan wawancara dan dalam kuisioner kita nyatakan bahwa responden akan dipungut biaya untuk perbaikan lingkungan, sehingga timbul kecenderungan responden untuk member nilai kurang dari yang sebenarnya. Sebaliknya, jika kita nyatakan bahwa wawancara semata-mata hanya hipotesis belaka, maka akan timbul kecenderungan responden untuk memberikan nilai yang lebih dari sebenarnya. 2) Bias yang ditimbulkan oleh rancangan penelitian. Bias ini bisa terjadi jika informasi yang diberikan pada responden mengandung hal-hal yang kontroversial. Misalnya, responden ditawari bahwa untuk melindungi kawasan wisata alam dari pencemaran limbah oleh pengunjung, karcis masuk harus dinaikkan. Hal tersebut tentu saja akan memberikan nilai WTP yang lebih rendah daripada jika alat pembayaran dilakukan dengan cara lain (misalnya melalui yayasan, trust fund, dan sebagainya). Surplus konsumen timbul karena konsumen menerima lebih dari yang dibayarkan dan bonus ini berakar pada hukum utilitas marginal yang semakin menurun. Sebab timbulnya surplus konsumen karena konsumen mampu membayar untuk tiap unit berdasarkan nilai unit terakhir. Surplus konsumen mencerminkan manfaat yang diperoleh karena dapat membeli semua unit barang pada tingkat harga rendah yang sama. Secara sederhana, surplus konsumen dapat diukur sebagai bidang yang terletak diantara kurva permintaan dan garis harga (Samuelson dan Nordhaus 1990, dalam Djijono 2003). Besarnya surplus konsumen dapat dilihat pada gambar berikut, yaitu area atau bidang di bawah kurva permintaan dan diatas garis harga (Gambar 2). 2.2. Neraca Air Lahan dan Tanaman Neraca air lahan merupakan suatu estimasi ketersediaan air yang berada pada suatu lahan tertentu dengan jenis tutupan tertentu. Ketersediaan air yang berada dibumi merupakan suatu sistem yang dinamik, artinya selalu berubah dari waktu ke waktu.
Gambar 2
Surplus konsumen (Sumber: Samuelson dan Nordhaus 1990).
Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1979) neraca air merupakan penjelasan tentang hubungan keseimbangan antara aliran yang masuk (inflow) dan aliran yang keluar (outflow) dari air di suatu hamparan lahan pada periode tertentu. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Hillel (1972), dimana neraca air lahan merupakan rincian perubahan simpanan air yang terdapat pada suatu lingkungan tertentu selama periode tertentu. Neraca air lahan dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan air suatu tanaman. Metode yang lebih spesifik yang digunakan dalam menentukan kebutuhan air suatu tanaman adalah dengan neraca air agroklimat. Secara spesifik, Doorenbos dan Pruitt (1976) menjelaskan kebutuhan air merupakan jumlah atau tinggi air yang dibutuhkan untuk mengimbangi kehilangan air melalui evapotranspirasi tanaman sehat, tumbuh di lahan yang luas pada kondisi air tanah dan kesuburan tanah tidak dalam keadaan terbatas serta dapat mencapai produksi potensial pada lingkungan pertumbuhannya. Dengan mengabaikan jumlah air yang digunakan dalam kegiatan metabolisme maka evapotranspirasi dapat disamakan dengan kebutuhan air tanaman. Oleh karena itu, Sasrodarsono dan Takeda (1978) menyatakan bahwa kebutuhan air disebut juga evapotranspirasi. Ketersediaan air tanah (Total Available Water, TAW) merupakan jumlah air yang tersedia diantara kapasitas lapang dan titik layu permanen dari jenis tanah tersebut. Kapasitas lapang adalah keadaan tanah yang cukup lembab yang menunjukkan air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya tarik gravitasi. Titik layu permanen adalah kondisi dimana akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air tanah. Titik kritis adalah batas minimum air tersedia yang dipertahankan agar tidak habis
mengering diserap tanaman hingga mencapai titik layu permanen. Titik kritis ini berbeda untuk berbagai jenis tanaman, tanah, iklim serta diperoleh berdasarkan penelitian di lapangan (Benami dan Offen 1984, dalam Yanwar 2003). Kandungan air antara kapasitas lapang dan titik kritis disebut RAW (Readily Available Water). Perbandingan antara RAW dengan total air tanah yang tersedia dipengaruhi oleh iklim, evapotranspirasi, tanah, jenis tanaman dan tingkat pertumbuhan tanaman (Raes 1988). Berdasarkan penelitian Harahap dan Darmosarkoro (1999), yang melakukan pendugaan kebutuhan air untuk pertumbuhan kelapa sawit, diketahui bahwa kebutuhan air untuk pertumbuhan kelapa sawit di lapang berkisar antara 4 – 4,65 mm/hari atau sekitar 120 – 140 mm/bulan. Pemberian air melalui sistem irigasi secara umum dilakukan pada akhir Juli sampai akhir Oktober. Air yang dibutuhkan sistem irigasi saluran terbuka berkisar antara 1.960 – 2.460 m3/ha/bulan, dengan puncaknya pada Agustus (2.460 m3/ha/bulan). Air yang dibutuhkan sistem irigasi tertutup (sprinkler dan drip) berkisar antara 1570 – 1970 m3/ha/bulan, dengan puncaknya pada Agustus (1.970 m3/ha/bulan). Jumlah kebutuhan air ini setara dengan 0,9 liter/detik/ha, yang hampir sama dengan kebutuhan air untuk irigasi padi sawah. 2.3 Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Pengaruh langsung akibat adanya konversi lahan dari hutan menjadi tanaman monokultur adalah adanya penurunan debit serta meningkatnya air larian permukaan (surface runoff) (Onrizal 2005). Penurunan debit dan volume air serta peningkatan keragamannya kemungkinan disebabkan oleh penurunan curah hujan dan perubahan tataguna lahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Pawitan (1999) yang menyatakan bahwa perubahan pola penggunaan lahan berdampak pada penurunan ketersediaan air wilayah akibat meningkatnya fluktuasi musiman dengan gejala banjir dan kekeringan yang semakin ekstrim. Ukuran DAS dan kapasitas storage DAS baik di permukaan (tanaman, sawah, rawa, danau, waduk dan sungai) maupun bawah permukaan (lapisan tanah dan air bumi), merupakan faktor dominan yang menentukan kerentanan dan daya dukung sistem sumberdaya air wilayah terhadap perubahan iklim. Pawitan (2002) juga mengemukakan bahwa perubahan penggunaan lahan dengan memperluas
5
permukaan kedap air menyebabkan berkurangnya infiltrasi, menurunkan pengisian air bawah tanah (recharge) dan meningkatkan aliran permukaan (run off). Penurunan muka air tanah secara langsung mempengaruhi penurunan debit dan peningkatan run off secara langsung mempengaruhi peningkatan debit. Konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit terus berlangsung sampai saat sekarang walaupun di Indonesia sudah tersedia lahan kritis dan lahan terlantar dalam skala yang sangat luas, sekitar 30 juta hektar, sebagai akibat aktifitas pembukaan dan/atau eksploitasi hutan untuk berbagai keperluan (Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan 2000). Perkebunan kelapa sawit mulai berkembang pesat sejak tahun 1978 dengan laju pertumbuhan luas per tahun yang sangat tinggi, yaitu 21,7% (perkebunan swasta), 2,9% (perkebunan negara) dan 19,3% (perkebunan rakyat). Untuk mendapatkan lahan yang dibutuhkan, cara yang paling sering ditempuh oleh pengusaha adalah melakukan konversi kawasan hutan, karena mekanisme untuk mendapatkannya relatif mudah dan mereka memperoleh keuntungan dari hasil tebangan kayu. Kondisi ini menyebabkan hampir seluruh perkebunan kelapa sawit yang ada merupakan areal pertanaman baru (new planting) dari areal hutan produksi yang dapat dikonversi. Salah satu elemen hutan tanaman industri (HTI) yang masih produktif adalah hutan alam dan besarnya rata-rata 22 % dari seluruh kawasan hutan yang dikelola. Besarnya hutan alam yang dikonversi dalam pembangunan HTI sampai pada Juni 1998 adalah seluas 1 Juta Ha. Hal ini berarti kerusakan hutan alam yang terjadi merupakan salah satu dampak pembangunan HTI (Kartodiharjo dan Supriono 2000). Dampak negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah serius karena dalam prakteknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga dibangun pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi (Manurung 2000, Potter and Lee 1998). Beberapa studi telah menemukan penurunan jumlah 80% untuk tanaman dan 80 - 90% (untuk mamalia, burung, dan reptilia) dalam keragaman hayati sebagai akibat konversi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Perkembangan perkebunan kelapa sawit sangat berkorelasi positif dengan tingginya kasus illegal loging yang begitu marak sejak tahun 1998 - 2007. Selain itu, pembangunan perkebunan kelapa sawit turut bertanggung jawab sebagai salah satu penyebab utama bencana kebakaran hutan dan lahan seluas 10 Juta ha pada tahun 1997 - 1998. Total kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997 - 1998 diperkirakan mencapai US$ 9,3 Milyar (Bappenas 2000). Menurut data Sawit Watch tahun 2004, luas kebun sawit di Indonesia saat ini berjumlah 7,4 Juta ha yang menghasilkan 18,7 Juta ton minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO). Seperempat bagian atau 4,5 Juta ton dari minyak sawit mentah tersebut digunakan untuk konsumsi domestik, sedangkan sisanya ditujukan untuk pasar ekspor. Secara ekonomi, ada nilai tambah yang diperoleh dari minyak sawit, namun ada nilai yang tak terhitung besarnya akibat kerusakan alam yang ditimbulkannya. Adapun beberapa dampak yang timbul akibat perluasan dan pengembangan perkebunan kelapa sawit, diantaranya: a. Kebakaran hutan Sejak tahun 1997 sampai awal tahun 2008, bencana kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan juga gambut untuk membuka kebun sawit terus saja terjadi, terutama di pulau Sumatra dan Kalimantan. Ada ribuan masyarakat yang mengidap penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) akibat pembakaran lahan dan hutan. Lebih dari seribu jiwa di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, terkena ISPA (Kompas 2008). Jumlah penderita yang tak jauh berbeda juga didapati di Kota Pekanbaru, Jambi, Palangkaraya dan Samarinda. b. Bencana banjir Penebangan hutan secara Illegal yang menjadi daerah resapan air ketika dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit menjadi penyebab utama terjadinya banjir. Secara ekologis, tanaman sawit sangat banyak membutuhkan air, namun tidak mampu menangkap air dalam jumlah besar. Artinya perkebunan kelapa sawit bukan areal yang bisa dijadikan tangkapan air (Manurung 2000). c. Kesulitan air bersih dan pencemaran air Secara ekologis, kelapa sawit membutuhkan 10-12 liter air per hari untuk menopang hidupnya yang berakar serabut. Kebutuhan air perkebunan kelapa sawit dalam
jumlah besar secara tidak langsung membuat sungai-sungai yang ada disekitar perkebunan kelapa sawit mengalami penurunan jumlah debit air bahkan sebagian sungai mengalami kondisi kekeringan. Hal ini menyebabkan akses masyarakat terhadap air bersih semakin sedikit dan sulit. Selain itu, pabrik-pabrik pengolahan tandan buah sawit membuang limbah langsung ke sungai yang letaknya dekat dengan pabrik, tanpa mengolahnya terlebih dahulu. Pembuangan limbah pabrik tersebut banyak didapati di sepanjang daerah aliran sungai antara lain DAS Sungai Siak (Riau) dan Sungai Kapuas (Kalimantan Barat) (Gindho 2009). Kondisi ini membuat penduduk yang memanfaatkan sungai sebagai sumber mata air mengalami gangguan kesehatan, terutama penyakit kulit. Menurujuk data World Bank (1992), sekurangnya 850 juta orang yang tinggal di desa-desa di negara berkembang tidak memiliki akses guna mendapatkan air bersih untuk minum, masak, dan mencuci. Sumber-sumber air telah terkontaminasi dengan bahan kimia beracun, dan metal berat yang sudah sulit untuk dihilangkan dengan menggunakan teknik purifikasi biasa (standard). Penggunaan air yang tercemar telah menyebabkan jutaan orang meninggal dan lebih dari satu milyar orang sakit setiap tahun (World Bank 1992). Penurunan tingkat kesuburan tanah Jumlah pupuk yang dibutuhkan untuk menyuburkan perkebunan kelapa sawit mencapai 2,5 Juta ton dari lahan perkebunan kelapa sawit seluas 7,4 Ha. Selain pupuk, 1,5 juta liter pestisida juga disemprotkan untuk menjaga hama dan gulma pada perkebunan kelapa sawit. Kondisi ini mengakibatkan menurunnya kemampuan tanah untuk memproses nutrisi mencari bahan yang berguna bagi tanaman (Dirjennas Perkebunan 2008 dalam Gindho 2009). d.
Penurunan tingkat keanekaragaman hayati akibat pengerusakan hutan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2005-2006 kerusakan hutan tropis yang telah mencapai 59,3 juta Ha dari 127 juta Ha total luas hutan Indonesia telah menyebabkan punahnya 30% spesies flora dan fauna hutan tropis. Penelitian tadi masih dilanjutkan oleh lembaga Perserikatan Bangsa-Banga dimana para peneliti memperkirakan bahwa empat sampai delapan persen dari species yang masih hidup di hutan tropis akan punah dalam 25 tahun e.
mendatang (Reid 1992 dalam Gindho 2009). Proses alih lahan yang paling berpengaruh terhadap hilangnya beberapa spesies burung adalah pada saat pembukaan lahan (land clearing). Kegiatan pembukaan lahan melalui proses land clearing menyebabkan musnahnya habitan burung dan terjadinya fragmentasi habitat serta timbulnya habitat burung yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Kegiatan peremajaan perkebunan menyebabkan keanekaragaman burung menjadi menurun bahkan menghilang (Yoza 2000).
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan diwilayah perkebunan kelapa sawit milik PT. Perkebunan Nusantara V (PTPN V) yang berada di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Propinsi Riau. Estimasi nilai ekonomi lingkungan perkebunan kelapa sawit dilakukan di Desa Sawit Permai, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak. Desa ini merupakan Desa Binaan dan hampir seluruh masyarakatnya merupakan petani sawit. Pengambilan data primer berupa kuisioner dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Juli tahun 2010. Pengolahan data dilaksanakan dari bulan Juli sampai Oktober tahun 2010 di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian adalah: a) Seperangkat komputer lengkap dengan software MS. word dan MS. excel 2007 b) Satu berkar kuisioner Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian berupa data primer dan data sekunder. Adapun data primer yang digunakan adalah data hasil kuisoiner dari responden yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit di Desa Sawit Permai, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Riau. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: a) Data curah hujan tahun 1979-2009 dari Stasiun Meteorologi Simpang Tiga Pekanbaru b) Data suhu tahun 1979-2009 dari Stasiun Meteorologi Simpang Tiga Pekanbaru
7
c) Data Siak Dalam Angka Kabupaten Siak tahun 2008 dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Siak d) Data jenis tanah, TLP, dan KL dari PTPN V Pekanbaru e) Data Luas Area Perkebunan Kelapa Sawit dari PTPN V Pekanbaru dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Siak Tahun 2009 3.3 Analisis Neraca Air 3.3.1 Neraca Air Umum Analisis neraca air umum dilakukan untuk melihat sebaran potensi hujan yang turun setiap bulannya secara rata-rata. Metode yang digunakan adalah model neraca air yang dikembangkan oleh Thornwhite dan Matter (1957). Model ini menggunakan data-data klimatologis dan bermanfaat untuk mengetahui berlangsungnya bulan basah dan bulan kering. Data iklim yang dibutuhkan dalam metode ini adalah data suhu dan curah hujan bulanan rata-rata dalam rentang waktu 30 tahun (1979-2009). 3.3.2 Neraca Air Lahan Model ini merupakan penggabungan data-data klimatologis dengan data-data jenis tanah terutama data kadar air pada Kapasitas Lapang (KL), kadar air tanah pada Titik Layu Permanen (TLP), dan Air tersedia (WHC = Water Holding Capacity). Kapasitas lapang adalah keadaan tanah yang cukup lembab yang menunjukan jumlah air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya tarik grafitasi. Air yang dapat ditahan tanah tersebut akan terus menerus diserap akar tanaman atau menguap sehingga tanah makin lama makin kering. Pada saat itu akar tanaman tidak lagi mampu menyerap air sehingga tanaman menjadi layu. Titik layu permanen adalah kondisi kadar air tanah dimana akarakar tanaman tidak mampu lagi menyerap air tanah, sehingga tanaman layu. Data yang diperoleh dari PTPN V untuk KL di wilayah penelitian adalah sebesar 200 mm, sedangkan TLP adalah sebesar 80 mm, dengan jenis tanahnya adalah Podsolik Merah Kekuningan (PMK) atau menurut klasifikasi USDA berjenis Ultisol. Air tersedia adalah banyaknya air tersedia yang mampu digunakan oleh tanaman, dimana besarnya adalah selisih antara KL dan TLP. 3.3.3 Neraca Air Tanaman Model ini merupakan penggabungan data klimatologis, data tanah, dan data jenis tutupan lahan yang ada. Data tanaman yang
digunakan adalah data koefisien tanaman (Kc). Tanaman tutupan lahan (Landcover) dibagi kedalam dua bagian, yaitu sebelum dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk landcover sebelum adanya perkebunan kelapa sawit berupa hutan primer sedangkan landcover sesudah adanya perkebunan kelapa sawit berupa tanaman kelapa sawit dan tidak ada tanaman lain yang tumbuh pada lahan perkebunan kelapa sawit tersebut. Asumsi berikutnya adalah faktor intersepsi tajuk oleh pohon kelapa sawit tidak dimasukan kedalam perhitungan kebutuhan air serta besarnya limpasan yang terjadi. Kebutuhan air dan limpasan dihitung berdasarkan persamaan empiris yang digunakan dalam penelitian ini. Model neraca air yang dikembangkan oleh Thornwhite menggunakan sistem tata buku dengan kaidah analisisnya sebagai berikut: 1. Data Suhu (T) Suhu yang digunakan dalam analis neraca air ini berupa data suhu bulanan rata-rata selama 30 tahun, yaitu periode 1979 - 2009. 2.
Indeks Panas (I) Data indeks panas disesuaikan berdasarkan data suhu bulanan yang mengacu pada tabel indeks panas yang terdapat pada buku Thornwhite.
3.
ETP belum disesuaikan (ETP Unadj) Perhitungan ETP Unadj mengacu pada tabel indeks panas berdasarkan data suhu udara yang ada. Tabel ETP Unadj mengacu pada buku Thornwhite.
4.
ETP disesuaikan (ETP adj) Langkah ini dibagi kedalam dua bagian: a. Mencari Faktor Koreksi Faktor koreksi merupakan nilai tetapan yang diperoleh berdasarkan informasi nilai lintang wilayah kajian. Data faktor koreksi terhadap posisi lintang terdapat pada lampiran. b. Menetapkan ETP disesuaikan (ETP adj) ETP adj diperoleh dengan cara mengalikan nilai ETP Unadj dengan faktor koreksi.
5.
6.
Curah Hujan (CH) Data curah hujan yang digunakan merupakan data curah hujan bulanan selama 30 tahun dengan peluang terlampaui 70%. Periode hujan yang digunakan adalah curah hujan bulanan tahun 1979-2009. Adapun persamaan yang digunakan untuk menghitung peluang hujan terlampaui 70% = CH rata-rata – (0,53*SD CH)…(1) CH-ETP adj Langkah ini adalah langkah mengurangkan nilai CH bulan tertentu dengan nilai ETP adj pada bulan tersebut.
7.
Kehilangan Air Potensial Terakumulasi (APWL) Langkah ini adalah mengisi data CHETP adj yang bernilai negatif dan diakumulasikan sampai bertemu dengan data CH-ETP adj yang bernilai positif.
8.
KAT atau WHC Langkah ini adalah memasukan data KL dan TLP dari jenis tanah yang ada. Nilai KAT didapat dengan menggunakan rumus: KAT = KL exp (APWL/KL)………. .(2)
9.
∆KAT (Perubahan Kadar Air Tanah) ∆KAT merupakan selisih kandungan air tanah antara satu periode dengan periode sebelumnya secara berurutan. Nilai ∆KAT yang positif menunjukkan terjadinya penambahan kandungan air tanah. Penambahan ini akan terhenti setelah KL terpenuhi.
10. ETA (Evapotranspirasi Aktual) Mengisi kolom ETa dengan catatan sebagai berikut: Apabila CH > ETp, maka ETa = ETp………………….(3) Apabila CH < ETp, maka ETa = CH + KAT………...(4) Pada kondisi CH < ETp, maka tanah akan mulai mengering dan ETa menjadi lebih rendah dari nilai evapotranspirasi potensialnya (ETp). 11. Defisit Mengisi kolom defisit dengan menghitung selisih antara ETp dengan ETa. Defisit berarti berkurangnya air untuk keperluan evapotranspirasi
potensial. Nilai defisit merupakan jumlah air yang perlu ditambahkan untuk memenuhi keperluan ETP tanaman. 12. Surplus Mengisi kolom surplus dengan menggunakan persamaan berikut: S = CH – ETP - ∆KAT…………(5) Surplus merupakan suatu keadaan dimana air mencapai kapasitas lapang pada saat terjadi kelebihan curah hujan. 13. Run off (Limpasan) Run off menunjukan besarnya air yang mengalir dipermukaan tanah. Adapun cara perhitungannya menggunakan persamaan: Ro1 (Januari) = 50% x S1, Ro2 (Februari) = 50% x 50% x S1 (Januari) + 50% x S2 (Februari), dan seterusnya sampai pada Ro12 (Desember). 3.4 Kebutuhan Air Tanaman Kelapa Sawit Menurut Doorenbos dan Pruitt (1976), kebutuhan air suatu tanaman merupakan jumlah atau tinggi air yang dibutuhkan untuk mengimbangi kehilangan air melalui proses evapotranspirasi tanaman, sehingga jumlah kebutuhan air suatu tanaman akan sebanding dengan nilai evapotranspirasi tanaman (ETc). Kebutuhan air tanaman kelapa sawit ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut: ETc = Kc x ETp………………..(6) Untuk tanaman kelapa sawit, berdasarkan penelitian Harahap dan Darmosarkoro (1994) nilai crop coefisien untuk tanaman kelapa sawit berkisar antara 0,82 pada (untuk LAI< 2) sampai 0,93 (untuk LAI> 5). Kelapa sawit dengan kelompok umur >7 tahun memiliki nilai LAI berkisar antara 4,9-5,1. Umur ratarata tanaman kelapa sawit yang terdapat di wilayah penelitian saat ini lebih dari >7 tahun (PTPN V 2010). Oleh karena itu, nilai crop coefisien yang digunakan dalam perhitungan kebutuhan air tanaman pada penelitian ini adalah sebesar 0,93. Hasil ETc tanaman kelapa sawit kemudian di konversi kedalam satuan m3/s, yang didapatkan dengan mengalikan ETc dengan data luas area perkebunan kelapa sawit. 3.5 Estimasi Debit (Q) Perhitungan estimasi debit menggunakan metode neraca air yang dikembangkan oleh FJ. Mock (1973).
9
Perhitungan ini membutuhkan data Curah run off dan Surplus. Kedua data ini telah didapatkan dari analisis neraca air sebelumnya dengan menggunakan metode neraca air Thornwhite. Adapun Persamaan yang dikembangkan oleh Mock untuk menduga besarnya debit estimasi adalah sebagai berikut: Q=
…………………..(7)
Ro = Bf + DRO Bf = I x Vn Vn = [0.5 x (1+k) x I] I=Sxi Dimana: I = infiltrasi, S = surplus, i = koefisien infiltrasi, Vn = simpanan air tanah, Bf = merupakan aliran dasar, Ro = aliran permukaan/limpasan, Q = estimasi debit (m3/s), CA = luas DAS (m2), dan N = jumlah hari dalam satu bulan. Nilai i berkisar antara 0,3 untuk dataran rendah dan lebih dari 0,5 untuk dataran tinggi, sedangkan nilai k berkisar antara 0,5 untuk dataran rendah dan 0,6 untuk dataran tinggi. 3.6 Estimasi Nilai Ekonomi Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Estimasi nilai lingkungan perkebunan kelapa sawit didekati dengan menghitung jumlah air yang hilang yang dibutuhkan oleh tanaman kelapa sawit dalam satu hektar lahan perkebunan. Adapun persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: Nilai Lingkungan = (ETc Sawit – ETc Hutan) x Harga Air x Luas Lahan Nilai Ekonomi = Pendapatan rata-rata per hektar per bulan x 12 Nilai Lingkungan dan Nilai Ekonomi dihitung dalam satuan rupiah (Rp). Hasil perbandingan antara nilai ekonomi dan nilai lingkungan kemudian digunakan untuk mengestimasi apakah perkebunan kelapa sawit memberikan keuntungan atau memberikan kerugian berdasarkan besarnya kebutuhan air yang digunakan oleh perkebunan kelapa sawit. Alat analisis yang digunakan adalah CVM (contingen valuation method) yang berupa kuisioner yang langsung ditujukan kepada individu/masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit. Output dari CVM berupa dampak lingkungan perkebunan kelapa sawit yang dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit. Dalam metode ini, kuisioner di desain sampai kepada taraf perbaikan lingkungan melalui program konservasi
sumberdaya air. Analisis yang digunakan adalah WTP (Wilingness to Pays). WTP merupakan kemampuan atau kesediaan membayar dari setiap individu untuk mendapatkan perbaikan kualitas lingkungan akibat adanya ekstraksi sumberdaya. Adapun langkah-langkah analisis yang digunakan untuk menilai program konservasi sumberdaya air adalah sebagai berikut: 1.
Menetapkan harga bayangan kerusakan lingkungan Diperoleh dengan persamaan: Nilai lingkungan (per bulan) / jumlah KK
2.
Menentukan nilai rata-rata WTP Diperoleh dari hasil kuisioner, yang berupa Nilai Max. WTP, Nilai Min WTP, dan Nilai Rata-rata WTP dari responden
3.
Menetapkan Bid Curve Merupakan hubungan anatara harga bayangan dengan rata-rata WTP
4.
Mengagregatkan data Merupakan tabulasi hasil kuisioner dan perhitungan manfaat ekonomi dari program perbaikan lingkungan.
Besarnya nilai program perbaikan lingkungan melalui upaya konservasi sumberdaya air merupakan hasil perkalian antara nilai WTP rata-rata dari responden dengan jumlah penduduk yang terdapat di wilayah kajian. Sampel di ambil di Desa Sawit Permai, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak. Jumlah warga yang tinggal di desa ini sebanyak 4393 jiwa, dengan jumlah KK sebanyak 1034 jiwa. Sampel diambil sebanyak 200 KK di desa tersebut. Jumlah sampel dinilai sudah cukup untuk mewakili seluruh penduduk yang ada diwilayah ini. Kriteria yang digunakan dalam pemilihan sampel adalah warga masyarakat yang telah lama tinggal di daerah tersebut, dengan lama tinggal kurang lebih 20 tahun sejak perkebunan tersebut ada.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Dayun merupakan pemekaran dari Kecamatan Siak setelah terbentuknya Kabupaten Siak berdasarkan
Perda No. 13 Tahun 2001. Kecamatan ini terletak 24 km dari ibukota kabupaten dengan jarak tempuh sekitar ¼ jam ke arah barat daya dari Siak Sri Indrapura. Kecamatan Dayun merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Siak. Kecamatan ini merupakan tempat pertama untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Siak oleh PT. Perkebunan Nusantara Lima yang telah dimulai sejak tahun 1985. Secara geografis wilayah Kecamatan Dayun terletak pada posisi 1o18’21’’LU - 0o14’49’’LU dan 105o50’20’’ BT - 102o10’59’’BT. Kecamatan Dayun memiliki Luas 1373,34 Km2 dengan batasbatas wilayahnya adalah sebagai berikut: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Mempura dan Kecamatan Siak 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kerinsi Kanan dan Kabupaten Pelalawan 3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sungai Apit 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Koto Gasib dan Tualang Jumlah penduduk Kecamatan Dayun, pada tahun 2008 sebanyak 24.266 jiwa, yang tersebar pada 11 desa. Desa-desa yang ada berasal dari Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) dari PTPN V yang mengembangkan komoditas kelapa sawit, para pendatang karyawan dan sub-kontraktor pada PT CPI. Kondisi meteorologi dan klimatologi Kecamatan Dayun untuk curah hujan, termasuk ke dalam tipe curah hujan Equatorial, dimana dalam setiap bulan terjadi kejadian hujan, dengan puncak musim hujannya pada bulan Februari dan November. Curah hujan rata-rata yang turun dalam setahun di wilayah ini adalah sebesar 2657 mm/tahun, dengan suhu udara rata-rata bulanannya sebesar 26,8 oC. Kecamatan Dayun sebagian besar terdiri dari dataran rendah di bagian timur dan sebagian dataran tinggi di sebelah barat. Secara umum ketinggian wilayahnya berada antara 1-103 m dpl. Pada umumnya struktur tanah terdiri dari tanah Podsolik Merah Kekuningan dari batuan, alluvial serta tanah organosol dan gley humus dalam bentuk rawa-rawa atau tanah basah. Dengan kondisi wilayah dan iklim seperti ini, wilayah ini sebagian besar sangat cocok untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. PT. Perkebunan Nusantara Lima merupakan salah satu perusahaan milik negara yang mengembangkan perkebunan kelapa
sawit di Kecamatan Dayun. Perkebunan ini telah dimulai sejak tahun 1985 di dua tempat, yaitu kebun Sei Buatan dan kebun Lubuk Dalam. Luas area perkebunan milik PTPN V di Kecamatan Dayun saat ini adalah sebesar 3276,63 Ha. Perkebunan kelapa sawit di kecamatan ini mengalami perkembangan pesat, yang dilakukan baik oleh masyarakat, pemerintah daerah, maupun oleh pihak swasta. Beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit milik swasta yang berada di wilayah ini antara lain adalah PT. Sinar Mas, PT. Astra, PT. Teguh Karsa, dan beberapa perusahaan lainnya. Pemerintah Daerah Kabupaten Siak cukup serius dalam usaha pengembangan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Dayun. Data dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Siak menyebutkan dimana perkebunan kelapa sawit milik pemda yang tengah dikembangkan di wilayah ini adalah sebesar 7500 Ha pada program pengembangan perkebunan kelapa sawit tahap satu (I) tahun 2008. 4.2 Analisis Neraca Air 4.2.1 Neraca Air Umum Analisis neraca air umum memberikan informasi mengenai hubungan yang terjadi antara besarnya curah hujan yang terjadi dengan besarnya nilai evapotranspirasi yang terjadi. Neraca air umum juga memberikan informasi pola hujan yang terjadi pada suatu wilayah. Informasi ini berfungsi untuk melihat apakah ketersediaan air pada suatu lahan mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air melalui proses evapotraspirasi (ETp). Data hujan yang digunakan dalam analisis ini merupakan data hujan bulanan dalam jangka waktu 30 tahun (periode 1979-2009) dengan peluang 70%. Peluang 70% dinilai lebih realistis untuk terjadi diwilayah ini mengingat besarnya fluktuasi curah hujan bulanan pertahunnya yang cukup besar. Berdasarkan hasil ploting data hujan, dalam setiap bulannya terjadi kejadian hujan dengan besar yang berbeda setiap bulannya. Artinya tidak ada bulan-bulan dengan curah hujan nol. Hal ini sesuai dengan posisi lintang dari wilayah ini, dimana Kecamatan Dayun terletak di wilayah khatulistiwa, sehingga menurut klasifikasi iklim Koppen, wilayah Kecamatan Dayun termasuk kedalam tipe iklim Af. Besarnya curah hujan rata-rata dengan peluang 70% berdasarkan hasil analisis adalah sebesar 1989 mm/tahun. Hasil analisis yang dilakukan pada penelitian ini memberikan informasi pola hujan yang terjadi di
11
Kecamatan Dayun termasuk kedalam kategori equatorial dengan puncak hujannya pada bulan April dan bulan November, masingmasing besarnya adalah 227 mm dan 241 mm, dan curah hujan minimumnya terjadi pada bulan Juni sebesar 99 mm (Gambar 3).
Gambar 3
tanah yang ada. Berdasarkan data yang diperoleh dari PTPN V, jenis tanah yang terdapat di Kecamatan Dayun adalah jenis tanah PMK (Podzolik Merah Kuning) atau menurut klasifikasi USDA termasuk kedalam kategori jenis tanah Ultisol. Nilai Kapasitas Lapang untuk jenis tanah ini adalah sebesar 200 mm, sedangkan nilai Titik Layu Permanen untuk jenis tanah ini adalah sebesar 80 mm. Hasil perhitungan neraca air lahan terlihat pada gambar berikut.
Hasil Perhitungan Neraca Air Umum Kecamatan Dayun
Pada bulan JJA (Juni, Juli, Agustus), besarnya curah hujan yang terjadi lebih kecil dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Artinya periode musim kemarau untuk wilayah Kecamatan Dayun terjadi pada bulan JJA, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan Oktober-April. Besarnya ETPadj (evapotranspirasi terkoreksi) berdasarkan hasil perhitungan neraca air umum pada Gambar 3 adalah sebesar 1677 mm/tahun. Pendugaan besarnya ETPadj dilakukan melalui pendekatan persamaan empiris dengan Metode Thornwhite. Analisis data iklim yang digunakan dalam persamaan empiris ini adalah data suhu rata-rata bulanan. Besarnya ETPadj dalam setiap bulannya hampir sama, namun pada bulan Februari besarnya ETPadj yang terjadi lebih kecil dibandingkan dengan besarnya ETPadj pada bulan-bulan lainnya. Hal ini lebih disebabkan oleh besarnya faktor koreksi lintang wilayah Kecamatan Dayun pada bulan Februari lebih kecil dan jumlah hari pada bulan Februari juga lebih sedikit jika dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Oleh karena itu, besarnya ETPadj pada bulan Februari lebih kecil dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. 4.2.2 Neraca Air Lahan Analisis neraca lahan merupakan analisis lanjutan dari analisis neraca umum. Analisis neraca air lahan berfungsi untuk melihat ketersediaan air pada suatu lahan disertai dengan periode defisit dan surplus pada lahan tersebut. Pada analisis neraca air lahan digunakan faktor KL dan TLP dari jenis
Gambar 4
Hasil Perhitungan Neraca Air Lahan Kecamatan Dayun
Curah hujan yang turun pada bulan Juni, Juli, dan Agustus besarnya lebih kecil dibandingkan dengan besar ETPadj yang terjadi. Kondisi ini mengakibatkan adanya defisit pada lahan, karena besarnya curah hujan yang terjadi mengakibatkan adanya perbedaan antara ETPadj dengan evapotranspirasi aktual (ETA). Besarnya ETA yang terjadi dalam setahun berdasarkan hasil analisis yang dilakukan adalah sebesar 1655 mm. Besarnya defisit yang terjadi adalah sebesar ETPadj – ETA. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, besarnya defisit air pada ke tiga bulan tersebut secara kumulatif mencapai 22 mm. Dengan demikian, bulan JJA termasuk kedalam kategori musim kemarau untuk wilayah Kecamatan Dayun. Periode surplus terjadi pada bulan selain bulan JJA. Besarnya Surplus kumulatif dari bulanbulan selain bulan JJA dalam setahun adalah sebesar 412 mm (Gambar 4). Hal ini akan berpengaruh terhadap jenis tanaman yang ada diwilayah ini. Apabila wilayah ini dirancang untuk tanaman pertanian, maka pada bulan JJA diperlukan suplai air tambahan untuk memenuhi kebutuhan air pada saat terjadinya defisit air, seperti adanya irigasi. Namun apabila wilayah ini dirancang untuk perkebunan, maka perlu memperhatikan faktor solum (kedalaman
perakaran) dari jenis tanaman yang akan dikembangkan. Secara umum, kedalamn perakaran untuk tanaman perkebunan adalah sebesar 60 cm. Pada bulan JJA, besarnya curah hujan yang turun lebih kecil dibandingkan dengan nilai KL yang ada. Namun, besarnya curah hujan yang terjadi pada ketiga bulan tersebut masih berada diatas nilai TLP dari jenis tanah yang ada sehingga masih mampu mencukupi kebutuhan evapotranspirasi baik potensial maupun aktual, sehingga nilai kadar air tanah dan water holding capacity tidak akan mengalami gangguan. 4.2.3 Neraca Air Tanaman Neraca air tanaman merupakan salah satu pendekatan untuk menetukan besarnya kebutuhan air suatu tanaman. Berdasarkan literatur yang ada, kebutuhan air suatu tanaman dapat dihitung berdasarkan jumlah air yang dievapotranspirasikan oleh tanaman itu sendiri (crop evapotranspiration, ETc). Setiap tanaman memiliki koefisien tanaman (crop coeficien) yang akan mempengaruhi besarnya ETc yang terjadi. Pada penelitian ini, tutupan lahan yang ada mengalami perubahan, dimana tutupan lahan sebelum adanya perkebunan kelapa sawit adalah berupa hutan alami dan setelah adanya perkebunan kelapa sawit menjadi tanaman kelapa sawit. Nilai Kc rata-rata untuk jenis hutan adalah sebesar 0,87-0,89 (Shuttleworth 1988, dalam Van der Wert 1994), sedangkan untuk tanaman kelapa sawit adalah sebesar 0,93 untuk tanaman kelapa sawit yang berumur lebih dari 7 tahun (Harahap 1999). Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, besarnya ETc untuk tanaman kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan besarnya ETc untuk hutan. Besarnya ETc untuk tanaman kelapa sawit adalah 1560 mm/tahun, sedangkan besarnya ETc untuk hutan adalah 1492 mm/tahun. Perubahan tutupan lahan antara landcover hutan dengan landcover tanaman kelapa sawit meningkatkan kebutuhan air tanaman sebesar 67 mm/tahun. Adanya peningkatan ETc dari lahan sebelum konversi (landcover hutan) dan setelah konversi (landcover tanaman kelapa sawit) akan mempengaruhi ketersediaan air yang ada pada lahan tersebut. Perbedaan landcover antara sebelum adanya perkebunan kelapa sawit (Gambar 5) dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit (Gambar 6) menyebabkan adanya penurunan nilai surplus air yang ada pada lahan tersebut. Besarnya penurunan surplus akibat adanya perbedaan landcover antara sebelum dan
sesudah adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 50 mm per tahun.
Gambar 5
Neraca Air Tanaman Sebelum Adanya Perkebunan Kelapa Sawit.
Gambar 6
Neraca Air Tanaman Sesudah Adanya Perkebunan Kelapa Sawit.
Penurunan surplus akan mempengaruhi besarnya debit yang terjadi. Debit pada penelitian ini dihitung berdasarkan pendekatan persamaan empiris yang dikembangkan oleh FJ. Mock 1973. Debit estimasi antara sebelum dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit mengalami penurunan, dimana besarnya debit sebelum adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 2708 m3/s dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 2359 m3/s. Perhitungan debit estimasi menggunakan inputan nilai surplus dan nilai run off hasil analisis dengan menggunakan metode neraca air Thornwhite. Penurunan debit berarti berkurangnya nilai air tersedia yang mampu dimanfaatkan oleh berbagai stakeholder pengguna air, dan salah satunya adalah sektor domestik. Pengaruh lain dari adanya alih fungsi lahan dari hutan menjadi tanaman perkebunan monokultur seperti perkebunan kelapa sawit adalah adanya peningkatan nilai run off (limpasan permukaan). Berdasarkan hasil penelitian mengenai erosi seperti yang dijelaskan pada buku Siklus Hidrologi Indonesia, nilai koefisien limpasan permukaan
13
untuk landcover hutan adalah sebesar 3 % dari surplus air yang ada, sedangkan untuk perkebunan kelapa sawit, nilai koefisien limpasanya adalah sebesar 40% dari surplus air yang ada. Penelitian ini menggunakan asumsi dimana intersepsi oleh tajuk tanaman kelapa sawit tidak diperhitungkan dan lahan perkebunan kelapa sawit hanya berupa tanaman kelapa sawit itu sendiri. Pada Gambar 5 dan Gambar 6, dapat dilihat dimana besarnya run off untuk landcover perkebunan kelapa sawit lebih besar dibandingkan dengan besarnya run off untuk landcover hutan. Besarnya run off untuk landcover hutan adalah sebesar 16 mm, sedangkan besarnya run off untuk landcover perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 200 mm. Artinya landcover hutan mampu menahan air limpasan pada saat terjadinya hujan dan menyimpan air lebih banyak sehingga mampu dimanfaatkan untuk sektor kebutuhan air lainnya. Kemampuan hutan untuk menahan laju aliran permukaan lebih besar dibandingkan dengan tanaman kelapa sawit. Hal ini disebabkan hutan memiliki serasah yang padat serta akar dari tanaman di hutan cenderung mampu menahan laju aliran, sehingga laju aliran permukaan dapat dihambat. Hutan berfungsi sebagai pengatur tata air pada sistem neraca air yang terdapat pada suatu lahan. Fungsi ini akan hilang pada saat terjadi konversi lahan ke tanaman monukultur seperti perkebunan kelapa sawit. Secara umum, perbandingan kondisi hidrologi suatu wilayah dengan adanya hutan dan tanpa adanya hutan adalah sebagai berikut: • Terjadi peningkatan erosi dan sedimentasi • Peningkatan volume limpasan • Peningkatan intensitas banjir dan kemarau Kondisi ini sejalan dengan paparan Menteri Pekerjaan Umum pada Seminar Pelestarian dan Penyelamatan DAS Siak Tahun 2007 dimana terdapat fluktuasi debit yang besar antara musim hujan dan kemarau (Qmaks: 1.700 m3/detik, Qmin: 45 m3/detik, Qmaks/Qmin: 37,8). Angka ini menjelaskan dimana pada saat musim hujan, jumlah air yang ada akan berlebihan dan menyebabkan terjadinya banjir. Namun, pada saat musim kemarau tiba, jumlah air yang ada akan sangat kurang dan berada di bawah batas lestari sungai. Oleh karena itu, hutan sangat berperan penting dalam menjaga tata air pada sistem neraca air pada suatu lahan.
4.3 Kebutuhan Air Tanaman Kelapa Sawit Kebutuhan air tanaman kelapa sawit didapatkan dari hasil analisis neraca air tanaman kelapa sawit. Hasil analisis neraca air tanaman kelapa sawit menjelaskan dimana dalam setahun, kebutuhan rata-rata perkebunan kelapa sawit mencapai nilai 1560 mm/tahun. Nilai ini kemudian dikonversi berdasarkan data luas area perkebunan kelapa sawit yang terdapat di Kecamatan Dayun. Data dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Siak Tahun 2008 menjelaskan dimana luas areal perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Dayun mencapai 21.949 Ha. Dari data luas area tersebut, maka total kebutuhan air untuk perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Dayun mencapai 42.728 liter/ha/hari. Kebutuhan air ini diperkirakan akan semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di kecamatan ini serta adanya peningkatan luasan areal perkebunan kelapa sawit di wilayah ini. Dalam satu hektar lahan perkebunan kelapa sawit, berdasarkan data yang diperoleh dari PTPN V, jumlah batang pohon kelapa sawit sebanyak 143 batang/pokok. Dengan jumlah ini, maka dapat diestimasikan jumlah kebutuhan air untuk satu pohon kelapa sawit dalam sehari mencapai 0,012 m3/s per harinya 4.4 Estimasi Debit (Q) Model neraca air lahan yang dikembangkan oleh Thornwhite hanya mampu mengestimasi neraca air sampai pada taraf run off yang terjadi pada suatu lahan. Untuk menghitung jumlah debit yang terjadi digunakan pendekatan yang di kembangkan oleh FJ. Mock (1937). Metode Mock menggunakan pendekatan luas DAS dalam analisis perhitungan debit. Menurut Hariadi (2006) yang telah melakukan penelitian mengenai potensi ketersediaan air di wilayah Kabupaten Siak, luas DAS Siak yang terletak di wilayah Kecamatan Dayun (DAS Buatan) memiliki luas sebesar 2050 km2. Besarnya debit perhitungan antara sebelum dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit mengalami penurunan seperti yang terlihat pada Gambar 7. Pola debit estimasi yang terjadi berdasarkan hasil analisis dengan Metode Mock mengikuti pola curah hujan rata-rata yang ada. Pada bulan-bulan dengan curah hujan tinggi, debit yang terjadi juga tinggi, begitu juga dengan sebaliknya. Dengan hasil ini, pendekatan perhitungan debit estimasi dengan Metode Mock dapat digunakan untuk menetukan
jumlah ketersediaan air di wilayah Kecamatan Dayun
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, umur responden berada pada kisaran 37 tahun sampai 59 tahun dengan ratarata umurnya 50 tahun. b.
Gambar 7
Perbandingan Debit Antara Sebelum dan Sesudah Adanya Perkebunan Kelapa Sawit
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, besarnya debit estimasi hasil perhitungan yang terjadi di Kecamatan Dayun sebelum adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 2708 m3/s dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 2359 m3/s. Adanya perubahan landcover pada suatu lahan dari hutan ke perkebunan kelapa sawit secara tidak langsung akan mempengaruhi besarnya debit yang terjadi. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan kebutuhan air antara hutan dan tanaman kelapa sawit yang akan mempengaruhi nilai surplus air yang ada, yang pada akhirnya nilai surplus akan mempengaruhi besarnya debit yang terjadi. Dari hasil analisis ini terjadi penurunan debit yang mengindikasikan adanya penurunan ketersediaan air di wilayah Kecamatan Dayun sebesar 349 m3/s per tahunnya. 4.5 Analisis Ekonomi Lingkungan Tanaman Kelapa Sawit Estimasi nilai ekonomi lingkungan dilakukan dengan menggunakan metode Contingent Valuation Method (CVM) alat analisis berupa kuisioner yang diberikan kepada masyarakat yang tinggal disekitar perkebunan kelapa sawit. Sampel diambil di Desa Sawit Permai, dengan jumlah 200 KK dari 1034 KK yang ada di desa ini. 4.5.1 Karakteristik Umum dan Kondisi Sosial Ekonomi Responden a.
Umur
Gambar 9 Pekerjan Responden. Secara umum, pekerjaan responden adalah petani kelapa sawit. Namun, sebanyak 27 % dari total responden merupakan wiraswasta. c.
Pendidikan
Gambar 10 Pendidikan Responden. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan, tingkat pendidikan responden adalah sebagai berikut: SD 29 %, SMP 38,5 %, SMA 28,5 %, dan Sarjana 4 %. d.
Pendapatan
Gambar 11 Pendapatan Responden. Pendapatan rata-rata responden berdasarkan hasil kuisioner dalam sebulan sebesar Rp 3.080.500. Pendapatan maksimumnya sebesar Rp 4.500.000 dan pendapatan minimumnya sebesar Rp 1.500.000. e.
Gambar 8 Umur Rata-rata Responden.
Pekerjaan
Perkembangan perkebunan kelapa sawit Sebanyak 67,5% dari total responden yang ada menyatakan bahwa perkembangan perkebunan kelapa sawit di wilayah ini sangat berkembang, 31,5% responden menyatakan
15
cukup berkembang, dan sebanyak 1% responden menyatakan tidak berkembang secara baik (Gambar 12)
menurun dan terjadi kekurangan air pada saat musim kemarau. b.
Perubahan cuaca Sebanyak 17% dari responden yang ada memberikan pendapat bahwa perubahan cuaca terjadi saat setelah adanya perkebunan, terutama suhu udara yang dirasakan semakin meningkat sejak adanya perkebunan ini. c.
Gambar
12 Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit.
4.5.2 Nilai Ekonomi Kelapa Sawit a.
b.
Perkebunan
Biaya pemeliharaan tetap per bulan Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, biaya tetap yang umumnya dikeluarkan oleh petani sawit di desa ini adalah pupuk dan pembayaran buruh waktu pemanenan. Jasa buruh dalam pemanenan Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, sebanyak 79,5 % responden menggunakan jasa buruh waktu pemanenan TBS (Tandan Buah Segar). Upah yang dikeluarkan sebesar 10% dari harga TBS yang dikeluarkan baik oleh perusahaan maupun dari pasar.
4.5.3 Nilai Lingkungan Tanaman Kelapa Sawit Dampak lingkungan yang dirasakan oleh responden yang tinggal di sekitar perkebunan akibat adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebagai berikut:
Gambar 13 Dampak Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Responden. a.
Ketersediaan air Sebanyak 22% dari total responden menyatakan bahwa sejak adanya perkebunan kelapa sawit kondisi ketersediaan air semakin
Kondisi tanah Sebanyak 24% dari responden memberikan pendapat bahwa kondisi tanah sejak ditanami tanaman kelapa sawit menjadi tandus dan gersang. Kondisi ini mengakibatkan para penduduk kesulitan untuk bisa menanam tanaman lain selain tanaman kelapa sawit. d.
Keanekaragaman hayati Sebanyak 20% dari responden memberikan pendapat bahwa adanya konversi lahan dari hutan alami ke perkebunan kelapa sawit telah menghilangkan beberapa spesies baik flora maupun fauna yang ada di wilayah tersebut. e.
Kesulitan menanam tanaman lain Sebanyak 17% dari responden memberikan pendapat bahwa sejak adanya perkebunan kelapa sawit mengalami kesulitan untuk menanam jenis tanaman lain, terutama jenis tanaman pangan. Hal ini disebabkan kondisi tanah yang telah digunakan untuk perkebunan cenderung lebih gersang sehingga tanaman lain tidak mampu tumbuh di tanah tersebut. 4.5.4 Estimasi Nilai Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Nilai ekonomi lingkungan perkebunan kelapa sawit didekati sebagai dampak langsung yang diterima oleh masyarakat sekitar perkebunan akibat adanya perkebunan kelapa sawit. Penelitian ini memfokuskan penilaian ekonomi lingkungan berdasarkan penurunan ketersediaan air oleh perkebunan kelapa sawit. Nilai lingkungan perkebunan kelapa sawit akan terasa pada saat musim kemarau. Musim kemarau di Kecamatan Dayun terjadi pada bulan JJA. Perbedaan ETc dari perubahan landcover hutan ke perkebunan kelapa sawit menyebabkan adanya perbedaan jumlah defisit, dimana landcover perkebunan kelapa sawit memberikan nilai defisit yang lebih besar dibandingkan dengan landcover hutan. Perbedaan landcover ini adalah sebesar 5 mm
yang merupakan kumulatif dari tiga bulan (JJA). Berdasarkan data yang diperoleh dari PDAM Kab. Siak, rata-rata harga air per liter mencapai Rp 150. Nilai lingkungan yang dihasilkan adalah sebesar Rp 7.500.000. Nilai pendapatan petani sawit selama tiga bulan secara rata-rata adalah sebesar Rp 9.241.500. Nilai pendapatan petani sawit kemudian diasumsikan sebagai nilai ekonomi perkebunan kelapa sawit. Pada saat musim kemarau, perkebunan kelapa sawit merugikan terhadap lahan karena besarnya kebutuhan air perkebunan kelapa sawit menyebabkan meningkatnya nilai defisit air, namun pada saat musim penghujan, perkebunan kelapa sawit akan menguntungkan karena dapat mengurangi resiko banjir yang terjadi di wilayah setempat. Namun demikian, ada kemungkinan bencana banjir terjadi bukan di wilayah kecamatan ini melainkan di kecamatan lain yang topografinya lebih rendah dari kecamatan Dayun, sehingga air limpasan dari perkebunan kelapa sawit akan menimbulkan banjir di wilayah kecamatan lainnya. Hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan kebenarannya. Hasil ini sejalan dengan kondisi yang terjadi dilapangan. Dalam rentang tahun 19862005 penduduk sekitar sedikitnya telah melakukan pendalaman sumur rata-rata 3 kali. Artinya dalam skala waktu 6 tahun sekali, para penduduk akan melakukan pendalaman sumur. Saat ini kedalaman sumur milik penduduk Desa Sawit Permai Kecamatan Dayun Kabupaten Siak mencapai 15 meter. Biaya yang dikeluarkan untuk pendalaman sumur sebesar Rp 150.000 per meter kedalaman. Untuk memperbaiki dan mengantisipasi masalah kekurangan ketersediaan air di wilayah ini, maka diperlukan adanya program konservasi air secara baik serta alokasi sumberdaya air berdasarkan kebutuhan yang ada. Dalam kuisioner yang diberikan kepada responden, responden diberikan gambaran kondisi lingkungan apabila terjadi penambahan jumlah luasan areal perkebunan kelapa sawit, maka secara langsung para responden juga harus menanggung kerugian lingkungan berupa kelangkaan sumberdaya air dan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk memenuhi kebutuhan air. Upaya konservasi yang dapat dilakukan adalah peremajaan kembali hutan alam sebagai media konservasi alami. Sebanyak 73 % dari total responden setuju dengan adanya program peremajaan
hutan di wilayah ini. Alasan terbanyak dari responden adalah hutan memiliki fungsi penting dalam mengatur suplai air pada saat musim hujan dan musim kemarau (39,7%). Alasan lain adalah untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang ada (38,3%). Alasan terakhir adalah hutan berfungsi dalam pengembalian keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna di wilayah ini (21,9%). Sebanyak 27% responden tidak setuju dengan adanya program peremajaan hutan di wilayah ini. Alasanya terbesarnya adalah hutan dalam fungsinya tidak mampu menambah nilai pendapatan dari masyarakat sekitar (17,8%). Pendapat lainnya adalah perkebunan kelapa sawit memberikan nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ekonomi yang dihasilkan dari hutan (41,8%). Pendapat berikutnya adalah membuka hutan berarti menambah lapangan pekerjaan dan penghasilan, sedangkan meremajakan hutan berarti berkurangnya lapangan perkerjaan yang ada (40,4%). 4.5.5 Analisis WTP Program Konservasi Sumberdaya Air a. Harga Bayangan Kerusakan Lingkungan Kerusakan lingkungan akibat perkebunan kelapa sawit yang dirasakan oleh responden berdasarkan kuisioner diantaranya adalah kesulitan mendapatkan air. Hasil analisis CVM menyebutkan dimana dalam waktu 6 tahun, sedikitnya penduduk sekitar melakukan pendalaman sumur untuk mendapatkan air guna memenuhi kebutuhan air untuk keperluan domestik. Adanya alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit menyebabkan adanya peningkatan kebutuhan air sebesar 67 mm/tahun. Artinya apabila terjadi penambahan luasan perkebunan kelapa sawit sebanyak 1 hektar, maka jumlah air yang hilang adalah sebanyak 67 mm/tahunnya atau setara dengan 670.000 liter/ha/tahun. Harga air berdasarkan data dari PDAM Tirta Siak adalah sebesar Rp 150/liter. Nilai air yang hilang apabila terjadi peningkatan luas perkebunan kelapa sawit seluas satu hektar adalah sebesar Rp 100.500.000 per tahunnya atau setara dengan Rp 8.375.000 per bulannya. Jumlah KK yang terdapat di Desa Sawit Permai adalah sebanyak 1.034 KK. Dengan demikian, total kerugian yang harus dibayar oleh setiap KK di desa Sawit Permai adalah sebesar Rp 8.100/KK/ha/bulan.
17
b. Rata-Rata WTP Penduduk Desa Sawit Permai Berdasarkan hasil kuisioner yang diberikan kepada responden, sebanyak 73% dari responden setuju dengan adanya program konservasi sumberdaya air di wilayah ini. Dukungan dan keikutsertaan masyarakat dalam upaya pengelolaan sumberdaya air di wilayah ini terlihat dari keinginan membayar (Willingness To Pays) untuk program ini. Besarnya WTP dari setiap individu dapat ditentukan melalui contingen valuation method. Hubungan antara total WTP yang sanggup dibayarkan oleh masyarakat sekitar perkebunan dengan jumlah KK yang sanggup membayar WTP terlihat pada Gambar 14. Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, nilai rata-rata WTP masyarakat Desa Sawit Permai untuk program reboisasi hutan sebesar Rp 26.400, dengan nilai WTP maksimumnya sebesar Rp 45.000, dan WTP minimumnya Rp 5.000.
Gambar 14
Hubungan Antara Besar WTP dengan Jumlah Responden.
Hasil analisis data menyebutkan bahwa 53% dari responden nilai WTP nya berada dibawah nilai rata-rata WTP dan 47% dari responden nilai WTP nya berada diatas nilai rata-rata WTP. c. Menetapkan bid curve Bid curve merupakan hubungan antara nilai riil total kerusakan lingkungan yang harus di bayarkan oleh setiap KK dengan total kemampuan membayar (WTP) dari setiap KK. Berikut hubungan antara nilai riil total kerusakan lingkungan dengan kemampuan membayar dari setiap KK di Desa Sawit Permai. P merupakan garis/tingkat harga. Wilayah II merupakan wilayah total kerugian yang seharusnya dibayar oleh setiap KK, sedangkan wilayah I merupakan wilayah kemampuan yang mampu dibayar oleh setiap KK di Desa Sawit Permai (Gambar 15).
Gambar 15 Bid curve WTP Masyarakat Desa Sawit Permai Total kerusakan lingkungan yang seharusnya dibayar oleh penduduk di desa sawit permai adalah sebesar Rp 8.375.000/ha/bulan. Kemampuan penduduk Desa Sawit Permai untuk membayar kerusakan lingkungan ini adalah sebesar Rp 27.300.000/ha/bulan. Dengan demikian didapatkan nilai surplus konsumen penduduk untuk program konservasi sumberdaya air sebesar Rp 18.850.000/ha/bulan. Nilai surplus konsumen ini menunjukan besarnya nilai manfaat ekonomi dari adanya program konservasi sumberdaya air yang di inginkan oleh penduduk di Desa Sawit Permai Kecamatan Dayun Kabupaten Siak. d. Mengagregatkan data Data yang di agregatkan merupakan data hasil kuisioner mengenai jumlah WTP rata-rata yang sanggup di bayarkan oleh setiap KK untuk program konservasi sumberdaya air di wilayah penelitian. Adapun tabulasi hasil kuisioner mengenai WTP rata-rata dengan jumlah responden yang sanggup membayar pada tingkat tersebut terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Besarnya Rata-Rata WTP Yang Sanggup Dibayar dengan Jumlah Responden WTP (Rp) 5000-10000 10001-15000 15001-20000 20001-25000 25001-30000 30001-35000 35001-40000 40001-45000
Rata-rata (Rp) 7500 12500.5 17500.5 22500.5 27500.5 32500.5 37500.5 42500.5
Responden
%
10 20 24 23 26 24 15 4 146
6.8 13.7 16.4 15.8 17.8 16.4 10.3 2.7
Besarnya nilai ekonomi program konservasi sumberdaya air yang diberikan oleh penduduk desa sawit permai merupakan hasil perkalian antara rata-rata WTP dengan jumlah KK yang ada di desa tersebut. Nilai ekonomi perbaikan lingkungan berupa
Nilai (Rp) 75000 250010 420012 517511.5 715013 780012 562507.5 170002 3490068
program reboisasi dari penduduk di Desa Sawit Permai adalah sebesar Rp 3.500.000 /ha/bulan. Besaranya nilai ekonomi program konservasi sumberdaya air memberikan nilai manfaat ekonomi sebesar Rp 18.850.000/ha/bulan. Perhitungan estimasi nilai lingkungan diatas merupakan perhitungan nilai lingkungan yang terjadi pada kondisi dimana wilayah tersebut mengalami kekurangan sumberdaya air. Kondisi saat ini menjelaskan dimana nilai lingkungan perkebunan kelapa sawit terhadap sumberdaya air belum dirasakan oleh warga sekitar perkebunan kelapa sawit, mengingat sumberdaya air belum menjadi barang yang langka, artinya ketersediaan air masih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Dayun. Kemungkinan lain yang terjadi adalah nilai lingkungan ini dirasakan oleh penduduk lain yang tinggal di wilayah yang dekat dengan perkebunan ini, seperti di kecamatan lain yang merasakan adanya dampak lain berupa banjir yang menjadi lebih sering terjadi setelah adanya perkebunan kelapa sawit. Namun demikian, hasil ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk melihat apakah perkebunan kelapa sawit merupakan penyebab utama terjadinya banjir yang menjadi lebih sering terjadi di wilayah Kabupaten Siak.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kondisi neraca air umum di wilayah Kecamatan Dayun memberikan informasi dalam setiap bulannya terjadi kejadian hujan dengan besar yang berbeda setiap bulannya. Besarnya curah hujan rata-rata dengan peluang 70% berdasarkan hasil analisis adalah sebesar 1989 mm/tahun, dengan puncak hujannya pada bulan April dan bulan November, masing-masing besarnya adalah 227 mm dan 241 mm. Periode musim kemarau untuk wilayah Kecamatan Dayun terjadi pada bulan JJA, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan Oktober-April. Besarnya ETPadj (evapotranspirasi terkoreksi) berdasarkan hasil perhitungan neraca air adalah sebesar 1677 mm/tahun. Periode defisit di Kecamatan Dayun terjadi pada bulan JJA. Besarnya defisit air pada ke tiga bulan tersebut secara kumulatif mencapai 22 mm. Perbedaan landcover antara sebelum adanya perkebunan kelapa sawit dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit menyebabkan
adanya penurunan nilai surplus air yang ada pada lahan tersebut sebesar 50 mm per tahun. Debit estimasi antara sebelum dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit mengalami penurunan, dimana besarnya debit sebelum adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 2708 m3/s dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 2359 m3/s. Adanya alih fungsi lahan dari hutan ke tanaman monokultur seperti perkebunan kelapa sawit berpengaruh terhadap peningkatan aliran limpasan langsung (run off). Besarnya run off untuk landcover hutan adalah sebesar 16 mm, sedangkan besarnya run off untuk landcover perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 200 mm. Kebutuhan air tanaman kelapa sawit yang ada di Kecamatan Dayun adalah sebesar 42.728 liter/ha/hari. Besarnya kebutuhan air untuk satu batang pohon tanaman kelapa sawit adalah sebesar 0,012 m3/s per harinya. Berdasarkan hasil analisis debit estimasi, terjadi penurunan debit yang mengindikasikan adanya penurunan ketersediaan air di wilayah Kecamatan Dayun sebesar 349 m3/s per tahunnya. Estimasi nilai lingkungan perkebunan kelapa sawit dilihat dari segi konsumsi sumberdaya air adalah sebesar Rp 7.500.000, yang dihitung berdasarkan perbedaan landcover hutan dan tanaman kelapa sawit pada saat musim kemarau (JJA). Besarnya WTP rata-rata penduduk Desa Sawit Permai Kecamatan Dayun adalah Rp 26.400, dengan nilai WTP maksimum dan minimumnya masing-masing sebesar Rp 45.000 dan Rp 5.000. Besarnya surplus konsumen yang menunjukan nilai manfaat dari adanya program konservasi sumberdaya air adalah Rp 18.850.000/Ha/bulan. Nilai surplus konsumen ini menunjukan besarnya nilai manfaat ekonomi dari adanya program konservasi sumberdaya air yang di inginkan oleh penduduk di desa Sawit Permai Kecamatan Dayun Kabupaten Siak. 5.2 Saran Penelitian ini masih bersifat tahap awal sehingga dianjurkan terdapat penelitian lebih lanjut mengenai nilai ekonomi lingkungan perkebunan kelapa sawit. Masalah lingkungan menjadi esensial di masa mendatang sehingga penelitian mengenai dampak lingkungan suatu sumberdaya masih sangat dibutuhkan. Parameter nilai lingkungan dalam penelitian ini hanya berasal dari konsumsi sumberdaya air. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian lanjutan dengan memasukan parameter
19
lingkungan lainnya untuk melihat berapa besar nilai lingkungan yang timbul akibat adanya konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit. Metode penilaian lingkungan untuk mengestimasi besarnya nilai kerugian lingkungan akibat adanya perkebunan kelapa sawit seperti Hedonic Pricing, Travel Cost, dan berbagai metode penilaian ekonomi lingkungan lainnya dapat diterapkan untuk penelitian selanjutnya. Hal itu bermanfaat untuk menilai sejauh mana manfaat ekonomi dan lingkungan dengan adanya perkebunan kelapa sawit yang tengah menjadi trend di Riau Khususnya dan di negara Indonesia pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan. 2000. Bahan ceramah dan diskusi. Komitmen Indonesia dan isu-isu internasional tentang kehutanan dan perkebunan. D-5. Rakernas 2000. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 26-29 Juni 2000. Bappenas. 2000. Kerugian Ekonomi Kebakaran Hutan Tahun 1997-1998. Jakarta BPS Kab. Siak. 2008. Siak Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Siak. Chang J. 1968. Climate and Agriculture an Ecological Survey. Aldine Publishing Company: Chicago. 304p Dinas Pekerjaan Umum. 2005. Penataan Ruang Daerah Aliran Sungai (DAS) Siak Provinsi Riau. Paparan Menteri Pekerjaan Umum pada acara Seminar Penyelamatan dan Pelestarian DAS Siak 6 Agustus 2005, Pekanbaru. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Siak. 2009. Luas Area Perkebunan Kelapa Sawit Di Kabupaten Siak. Siak Djijono. 2003. Valuasi Ekonomi Menggunakan Metode Travel Cost Taman Wisata Hutan Di Taman Wan Abdul Ranchman, Propinsi Lampung. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Doorenbos R J dan Pruit W O. 1976. Agrometeorological Field Station Irrigation and Drainage. Paper no 27. FAO: Rome. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Gindo N. 2009. Harga Yang Mesti Dibayar Akibat Perkebunan Kelapa Sawit Skala Besar. Artikel. www.kpsmedan.org. [12 September 2009] Haab T C & Mc Connell K E. 2003. Valuing Environmental And Natural Resources: The Economic Of Non-Market Valuation. Edward Elgar. USA Hanley N & Spash C L. 1993. Cost-Benefit Analysis And The Environment. Edward Elgar Publishing. USA Harahap I Y dan Darmosarkoro W. 1999. Pendugaan Kebutuhan Air Untuk Pertumbuhan Kelapa Sawit Di Lapang Dan Aplikasinya Dalam Pengembangan Sistem Irigasi. Jurnal Pusat Penelitian Kelapa Sawit 1 April 1999 volume 7 no 2. Hariadi. 2006. Kajian Potensi Air Sungai Siak Untuk Penyediaan Air Baku di Kabupaten Siak Propinsi Riau. [Tesis]. Teknik Lingkungan. Institut Teknologi Bandung. Hillel D. 1972. The Field Water Balanced and Water Use Efesiensy. In: D hillel (ed) Optimizing the Soil Physical Enviroment Toward Greater Crop Yields. Academic Press: New York. Hufschmidt M M, James D E, Meister A D, Bower B T, dan Dixon J A. 1987. Lingkungan, Sistem Alami, dan Pembangunan: Pedoman Penilaian Ekonomis. Penerjemah, Sukanto R. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Kartodiharjo H dan Supriono A. 2000. Dampak Pembangunan Sektoral Terhadap Konversi dan Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan perkebunan di Indonesia. CIFOR Occasional Paper No. 26 (1) CIFOR. Bogor Manurung E G T dan Mirwan. 1999. Potret Pembangunan Industri Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Yayasan WWF Indonesia, Nopember 1999: Jakarta. Manurung E G T. 2000. Mengapa Konversi Hutan Alam Harus Dihentikan? Makalah disampaikan pada acara Seri Lokakarya Kebijakan Kehutanan, Topik 1: "Moratorium Konversi Hutan Alam dan Penutupan Industri Pengolahan Kayu Sarat Hutang." Diselenggarakan oleh Dephutbun bekerja sama dengan NRMP. Jakarta, 8-9 Agustus 2000.
Mock F J. 1973. Land Capabilty Appraisal Indonesia, Water Availability Appraisal. Bogor. UNDP-FAO Murdiyarso D. 1991. Hubungan Air Tanaman dalam Kapita Selekta Dalam Agrometeorologi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor Nasir A. 2002. Neraca Air Agroklimatik. Makalah Pelatihan Bimbingan Pengamanan Tanaman Pangan dan Bencana Alam. Bogor. Onrizal. 2005. Hutan dan Pengaturan Tata Air. [Skripsi]. Jurusan Kehutanan. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatra Utara. Pawitan H. 1999. Penilaian Kerentanan Dan Daya Adaptasi Sumber Daya Air Terhadap Perubahan Iklim. Makalah Lokakarya Nasional – Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta, Februari 1999 ________. 2002. Hidrologi DAS Ciliwung dan Andilnya Terhadap Banjir di Jakarta. Makalah disajikan dalam Lokakarya Pendekatan DAS dalam Menangglangi Banjir Jakata, Lembaga Penelitian IPB bekerjasama dengan Andersen Consult, Jakarta, 8 Mei 2002. Pearce D W, Turner R K, and Bateman I. 1994. Economics of Natural Resources and the Environment. Harvester Wheatsheaf. New York Potter L, Lee J and Manurung. 1998a. Tree Planting In Indonesia: Trends, Impacts And Directions. CIFOR Occasional Paper No. 18. CIFOR. Bogor. Raes D, Herman L, Paul V A, Matman, dan Martin V B. 1987. Irrigation Schedulling Information Sistem. Katholike Universiteit Leuven. Leuven. Sasrodarsono S dan Takeda K. 1978. Hidrologi Untuk Pengairan. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Sawit Watch. 2004. Deforestasi Akibat Pengembangan Sawit Tak Terbantahkan. www.sawitwatch.or.id [05 July 2009] Sihite J. 2001. Evaluasi Dampak Erosi Tanah, Model Pendekatan Ekonomi Lingkungan Dalam Perlindungan DAS: Kasus Sub DAS Besai-DAS Tulang Bawang, Lampung. [Disertasi]. Jurusan Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor.
Thornwhaite C W, Mather J R. 1957. Instruction and Tables for Computing Potential Evapotranspiration and The Water Balance. Drexel Institute of Technology, Laboratory Climatology, Centerton, New Jersey, USA. Van der Weert R. 1994. Siklus hidrologi Indonesia. SMK Grafika Desa Putera, Jagakarsa. Jakarta Selatan. Why. 2008. Dampak Kabut Asap, Pasien ISPA Meningkat. www.kompas.com [22 Januari 2008]. World Bank (1992) World Development Report 1992. Oxford University Press. New York, NY. Yanwar M J P. 2003. Teknik Irigasi Permukaan. Diktat Kuliah. Program Studi Teknik Pendayagunaan Lahan dan Air. Fateta. IPB. Yoza D. 2000. Dampak Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Keanekaragaman Jenis Burung Di Areal Perkebunan PT. Ramajaya Pramukti, Kabupaten DATI II Kampar Propinsi DATI I Riau. [Skripsi]. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
21
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Perhitungan Peluang Hujan Terlampaui Peluang Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Jumlah
rata-rata
200
192
255
276
207
133
157
170
206
264
328
269
2657
96
124
114
92
86
64
97
91
96
117
163
121
1262
P 70%
149
126
194
227
161
99
105
122
155
202
241
205
1989
P 75%
134
128
179
196
140
79
99
110
139
187
239
191
1819
P 80 %
119
88
159
199
135
79
75
94
125
166
191
168
1597
P 90%
79
35
111
160
99
52
34
55
84
117
123
117
1067
TLP
80
80
80
80
80
80
80
80
80
80
80
80
960
KL
200
200
200
200
200
200
200
200
200
200
200
200
2400
SD
Lampiran 2 Hasil Perhitungan Neraca Air Umum Unsur Iklim Jan Feb Mar Apr Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Jumlah
Suhu
26.1
26.6
26.8
27.0
27.3
27.0
26.8
26.9
26.9
26.7
26.5
26.3
26.8
Indeks Panas (I)
12.2
12.6
12.7
12.9
13.1
12.9
12.7
12.8
12.8
12.6
12.5
12.4
152.0
ETP Unadj
4.5
4.5
4.6
4.6
4.7
4.6
4.6
4.6
4.6
4.6
4.6
4.5
FK ETP adj
31.2
26.2
31.2
30.3
31.2
30.3
31.2
31.2
30.3
31.2
30.3
31.2
ETP adj
140
118
144
139
147
139
144
144
139
144
139
140
1677
CH
149
126
194
227
161
99
105
122
155
202
241
205
1989
CH-ETP adj
9
8
51
88
15
-40
-38
-21
15
59
102
65
312
APWL
0
0
0
0
0
-40
-78
-100
0
0
0
0
-219
200
200
200
200
200
164
135
121
200
200
200
200
2220
0
0
0
0
0
-36
-28
-14
0
0
0
0
-79
140
118
144
139
147
135
133
136
139
144
139
140
1655
Defisit
0
0
0
0
0
4
11
8
0
0
0
0
22
Surplus
9
8
51
88
15
0
0
0
15
59
102
65
412
Ro Hit
4
6
29
58
37
18
9
5
10
34
68
67
345
RO Tw
37
23
37
62
39
19
10
5
10
34
68
67
410
ETc Hutan
125
105
128
124
131
124
128
128
124
128
124
125
1492
ETc sawit
131
110
133
130
136
130
133
133
130
133
130
131
1560
KAT dKAT ETA
23
Lampiran 3 Hasil Perhitungan Necara Air Tanaman Landcover Hutan Unsur Iklim Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt
Nov
Des
Jumlah
ETc Hutan
125
105
128
124
131
124
128
128
124
128
124
125
1492
CH
149
126
194
227
161
99
105
122
155
202
241
205
1989
24
21
66
103
31
-25
-22
-6
31
75
117
80
496
0
0
0
0
0
-25
-47
-53
0
0
0
0
-125
200
200
200
200
200
176
158
153
200
200
200
200
2288
0
0
0
0
0
-24
-19
-4
0
0
0
0
-47
125
105
128
124
131
123
124
126
124
128
124
125
1486
Defisit
0
0
0
0
0
1
3
2
0
0
0
0
6
Surplus
24
21
66
103
31
0
0
0
31
75
117
80
549
Ro Hit
12
17
42
72
52
26
13
6
18
47
82
81
468
RO Tw
45
33
50
76
54
27
13
7
19
47
82
81
533
CH-ETP adj APWL KAT dKAT ETA
Lampiran 4 Hasil Perhitungan Necara Air Tanaman Landcover Tanaman Kelapa Sawit Unsur Iklim Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov
Des
Jumlah
ETc Sawit
131
110
133
130
136
130
133
133
130
133
130
131
1560
CH
149
126
194
227
161
99
105
122
155
202
241
205
1989
19
17
61
98
25
-31
-28
-11
25
69
112
75
429
0
0
0
0
0
-31
-59
-71
0
0
0
0
-161
200
200
200
200
200
171
149
141
200
200
200
200
2261
0
0
0
0
0
-29
-22
-8
0
0
0
0
-59
131
110
133
130
136
128
127
130
130
133
130
131
1548
Defisit
0
0
0
0
0
2
6
3
0
0
0
0
11
Surplus
19
17
61
98
25
0
0
0
25
69
112
75
499
Ro Hit
9
13
37
67
46
23
12
6
15
42
77
76
423
RO Tw
42
29
45
71
48
24
12
6
15
42
77
76
488
CH-ETP adj APWL KAT dKAT ETA
Lampiran 5 Hasil Perhitungan Debit Estimasi Unsur Iklim Jan Feb Mar Apr Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Jumlah
Surplus
8.9
8.3
50.7
87.9
14.8
0.0
0.0
0.0
15.2
58.9
102.0
64.9
411.5
I
2.7
2.5
15.2
26.4
4.4
0.0
0.0
0.0
4.6
17.7
30.6
19.5
123.5
DRO
6.2
5.8
35.5
61.5
10.4
18.3
9.1
4.6
10.6
41.2
71.4
45.4
320.0
Vn
2.0
1.9
11.4
19.8
3.3
0.0
0.0
0.0
3.4
13.2
22.9
14.6
92.6
Bf
5.3
4.6
173.4
521.8
14.8
0.0
0.0
0.0
15.6
233.8
701.9
284.3
1955.6
RO
11.5
10.4
208.9
583.4
25.2
18.3
9.1
4.6
26.2
275.0
773.3
329.8
2275.6
9.1
8.2
165.2
461.4
19.9
14.4
7.2
3.6
20.7
217.5
611.6
260.8
1799.8
Q
25
Lampiran 6
Lampiran 7.
27
Lampiran 8.
Lampiran 9. Kuisioner Penelitian
LEMBAR KUISIONER PENELITIAN ESTIMASI NILAI EKONOMI LINGKUNGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DITINJAU DARI NERACA AIR TANAMAN KELAPA SAWIT (Studi Kasus: Perkebunan Kelapa Sawit di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Riau ) Contingen Valuation Method Nomor Kuisioner : Umur
:…………………………………….
Pekerjaan
:…………………………………….
Pendidikan
: SD / SMP/ SMA / Perguruan Tinggi
KONDISI SOSIAL EKONOMI RESPONDEN 1. 2.
3.
4.
5.
Apakah mata pencaharian bapak sehari-hari berasal dari tanaman kelapa sawit: a) Iya b) tidak Bagaimana stastus perkebunan yang bapak miliki: a) milik sendiri b) bekerja pada perusahaan pemerintah (PTPN V) c) bekerja pada perusahaan swasta Berapa pendapatan bapak dari hasi menanam sawit perbulan: a) <2 juta b) Antara 2-5 juta c) >5 juta d) …….. Sudah berapa lama bapak tinggal diwilayah ini; a) < 5 tahun b) Antara 5-15 tahun c) >15 tahun Bagaimana perkembangan perkebunan kelapa sawit diwilayah ini: a) Sangat berkembang b) Cukup berkembang c) Tidak berkembang
PANDANGAN UMUM TENTANG SUMBERDAYA AIR 6.
7.
Menurut bapak seberapa pentingkah nilai air untuk kehidupan: a) Sangat penting b) Penting c) Tidak penting Apa manfaat air yang bapak rasakan selama ini:
29
a) Memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (mandi, masak, mencuci, minum) b) Sebagai usaha (kolam, tambak ) c) Menunjang kehidupan tanaman 8. Selama bapak tinggal diwilayah ini apakah bapak pernah merasakan kesulitan dalam mendapatkan air: a) Pernah b) tidak pernah 9. Jika pernah pada saat kapan bapak merasakan kesulitan dalam mendapatkan air: a) Pada saat musim kemarau b) Pada saat musim hujan c) Pada setiap musim 10. Apakah bapak memiliki sumur tanah dirumah bapak: a) Iya b) tidak 11. Jika iya, apakah bapak pernah melakukan pendalaman sumur selama bapak tinggal diwilayah ini: a) Pernah, berapa kali…… b) tidak pernah PEMANFAATAN SUMBER DAYA AIR UNTUK TANAMAN KELAPA SAWIT 12. Menurut bapak apakah tanaman kelapa sawit boros terhadap air tanah: a) Iya b) tidak 13. Apakah bapak mengalami kesulitan untuk mendapatkan air sejak adanya perkebunan kelapa sawit: a) Iya b) tidak 14. Jika iya, bagaimana solusi untuk mengatasi masalah tersebut: a) Tidak menanam kelapa sawit lagi b) Mencari sumber air baru (membeli air ke PDAM ) c) Menyerahkan sepenuhnya kepada pihak pemerintah daerah NILAI EKONOMI TANAMAN KELAPA SAWIT 15. Dari pendapatan yang bapak peroleh, biaya apa saja yang bapak keluarkan setiap bulannya untuk keberlangsungan perkebunan milik bapak?(1)…..(2)……(3)….(4)… 16. Apakah bapak menggunakan tenaga buruh pada saat pemanenan? a) Iya b) tidak 17. Berapakah besar upah buruh yang bapak berikan pada saat pemanenan?............. NILAI LINGKUNGAN TANAMAN KELAPA SAWIT 18. Apakah bapak merasakan kesulitan untuk mendapatkan air sejak perkebunan ini ada? a) Iya b) tidak 19. Apakah bapak merasakan perubahan iklim dan cuaca baik suhu maupun curah hujan diwilayah ini sejak perkebunan ini ada: a) Iya b )tidak 20. Apakah bapak merasakan bahwa sejak adanya perkebunan kelapa sawit ini bapak kesulitan untuk menanam tanaman jenis lain, baik sayuran maupun buah-buahan: a) Iya b) tidak 21. Apakah bapak merasakan bahwa kondisi tanah semakin lama semakin gersang sejak ditanami kelapa sawit: a) Iya b) tidak 22. Apakah bapak merasakan bahwa keanekaragaman hayati diwilayah ini semakin berkurang sejak adanya perkebunan kelapa sawit. a) Iya b) tidak 23. Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang ditanam dengan sistim monokultur. Baik secara langsung maupun tidak langsung hal ini akan berpengaruh terhadap neraca air lahan diwilayah ini. Oleh karena itu saat ini perlu dilakukan penghentian luasan area perkebunan kelapa sawit dan peremajaan kembali hutan alam
sebagai media penyeimbang kehidupan di bumi. Alasan konversi hutan mengingat manfaat hutan yang sangat besar dalam perannya sebagai pengatur kebutuhan air baik pada saat musim hujan maupun pada saat musim kemarau. Apakah bapak setuju jika dilakukan peremajan hutan diwilayah ini: a) Setuju b) tidak setuju Alasan setuju: a.
Hutan memiliki nilai yang penting dalam hubunganya sebagai pengatur suplai air baik pada saat musim hujan maupun pada saat musim kemarau b. Kondisi lingkungan sekarang akan lebik baik jika peran hutan sebagai penyeimbang kehidupan kembali difungsikan c. Mengembalikan nilai biodiversity dari hutan Alasan tidak setuju: a. b.
Hutan tidak mampu menambah nilai ekonomi Membuka dan mengolah hutan merupakan langkah untuk menambah lapangan pekerjaan c. Nilai ekonomi perkebunan kelapa sawit lebih tinggi dari nilai ekonomi hutan 24. Apakah bapak bersedia membayar untuk program peremajaan hutan ini: a) Bersedia b) tidak bersedia Alasan bersedia: a.
Langkah awal untuk mendapatkan lingkungan yang asri adalah dengan mengembalikan fungsi hutan sebagai konservasi b. Akan ada manfaat lebih dari pelaksanaan program ini c. Untuk pengelolaan sumberdaya air diwilayah ini agar bencana-bencana seperti banjir bandang dan kekeringan tidak terjadi Alasan tidak bersedia: a.
Mengembalikan fungsi hutan sama dengan mengurangi pendapatan dan kehilangan mata pencaharian b. Kondisi ekonomi saat ini akan lebih bertambah berat jika harus membayar program ini c. Pengelolaan sumberdaya adalah sepenuhnya tanggung jawab pemerintah daerah termasuk dampak yang ditimbulkannya 25. Seberapa besar bapak mau membayar untuk program ini: a. Rp 10000 - Rp 25000 tepatnya Rp……………………… b. Rp 25000 – Rp 50000 tepatnya Rp……………………… c. Rp 50000 – Rp100000 tepatnya Rp……………………… Lampiran 10. Tabulasi Hasil Kuisioner A. Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Umur Responden
jumlah
%
30-40
41
20.5
41-50
61
30.5
51-60
98
49
200
100
Wiraswasta
54
27
Petani sawit
146
73
jumlah Pekerjaan Responden
31
jumlah
200
100
SD
58
29
SMP
77
38.5
SMA
57
28.5
8
4
200
100
<2 juta
2
1
2-4 juta
184
92
>4 juta
12
6
200
100
Sangat Berkembang
135
67.5
Cukup Berkembang
63
31.5
Tidak Berkembang
2
1
200
100
Pendidikan Responden
S1 jumlah Pendapatan Perbulan
jumlah Perkembangan Luas Area Perkebunan Kelapa Sawit
jumlah B. Pandangan Umum Responden Terhadap Sumberdaya Air Seberapa penting nilai manfaatair dalam kehidupan sangat
157
78.5
penting
43
21.5
0
0
200
100
180
90
16
8
4
2
200
100
153
76.5
67
33.5
tidak jumlah Pemanfaat sumber daya air oleh responden Domestik Usaha Tanaman jumlah Pernah merasakan/mengalami kesulitan mendapatkan air pernah tidak
jumlah
200
100
146
73
6
3
48
24
200
100
200
100
0
0
200
100
193
96.5
7
3.5
200
100
Pada saat kapan responden merasakan kesulitan air kemarau hujan semua musim jumlah Apakah responden memiliki sumur di rumahnya Ya Tidak jumlah Pernah melakukan pendalaman sumur pernah tidak jumlah C. Pemanfatan Sumberdaya Air Untuk Tanaman Kelapa Sawit Kesulitan mendapatkan air sejak adanya perkebunan kelapa sawit Ya Tidak Jumlah
128
64
72
36
200
100
0
0
182
91
18
9
200
100
Solusi responden untuk mengatasi kekurangan air tidak menanam sawit lagi mencari sumber air baru menyerahkan kpd pemerintah Jumlah D. Nilai Ekonomi Tanaman Kelapa Sawit Biaya tetap yang dikeluarkan perbulan Pupuk
146
100
upah buruh
146
100
146
100
Jumlah E. Nilai Lingkungan Tanaman Kelapa Sawit Kesulitan mendapatkan air sejak adanya perkebunan
33
Ya Tidak Jumlah
136
68
64
32
200
100
103
51.5
97
48.5
200
100
105
52.5
95
47.5
200
100
148
74
62
31
200
100
118
59
82
41
200
100
Perubahan cuaca sejak adanya perkebunan Ya Tidak Jumlah Kesulitan menanam tanaman lain sejak adanya perkebunan Ya Tidak Jumlah Kondisi tanah semakin gersang sejak adanya perkebunan Ya Tidak Jumlah Keanekaragaman hayati semakin berkurang sejak adanya perkebunan Ya Tidak Jumlah
Lampiran 11. Peta Lokasi Penelitian
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Siak
Lampiran 12. Peta Lokasi Wilayah Kerja PTPN V Pekanbaru
Sumber: PTPN V Pekanbaru