ESTIMASI MANFAAT DAN KERUGIAN MASYARAKAT AKIBAT KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR: Studi Kasus di TPA Bantar Gebang, Kota Bekasi
YUDI BUJAGUNASTI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN YUDI BUJAGUNASTI. Estimasi Manfaat dan Kerugian Masyarakat Akibat Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir : Studi Kasus di TPA Bantar Gebang. Dibimbing Oleh YUSMAN SYAUKAT
Penetapan Bantar Gebang sebagai TPA bagi warga Jakarta menimbulkan dampak bagi masyarakat Bantar Gebang. Dampak yang terjadi dapat berupa manfaat yang menguntungkan masyarakat sekitar maupun kerugian bagi masyarakat sekitar TPA Bantar Gebang. Apabila hal ini terus berlanjut dapat menimbulkan masalah sosial yang akan semakin sulit untuk ditangani baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk: (1)Mengidentifikasi manfaat dan kerugian yang timbul akibat keberadaan TPA Bantar Gebang, (2)Mengestimasi nilai manfaat dan kerugian yang dialami oleh masyarakat akibat keberadaan TPA Bantar Gebang, (3)Membandingkan besarnya nilai manfaat dan kerugian akibat keberadaan TPA Bantar Gebang, (4)Memberikan alternatif pilihan sistem penanganan sampah di TPA Bantar Gebang. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan responden. Data sekunder penelitian ini diperoleh dari Puskesmas Kecamatan Bantar Gebang, Kelurahan Ciketing Udik, Pustu Ciketing Udik, dan studi literatur serta sumber lainnya seperti jurnal, artikel dan pencarian data di internet. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif untuk mengidentifikasi dampak TPA Bantar Gebang bagi masyarakat, penghitungan pendapatan untuk mengestimasi manfaat yang diterima masyarakat, serta biaya kesehatan dan biaya pengganti untuk mengestimasi kerugian yang diterima masyarakat.
Manfaat yang dirasakan responden berupa peningkatan pendapatan bagi masyarakat, pemasukan bagi Pemkot Bekasi, dan menimbulkan nilai daur ulang. Manfaat berupa peningkatan pendapatan dirasakan sangat besar oleh masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah < 1 km dan masyarakat pemulung. Hal ini diakibatkan karena sumber pendapatan masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah < 1 km dan masyarakat pemulung bersumber dari TPA. Manfaat berupa pemasukan bagi Pemkot Bekasi hanya diketahui oleh sebagian masyarakat, hal tersebut dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat dan sosialisasi yang dilakukan oleh Pemkot Bekasi. Kerugian yang dirasakan oleh masyarakat akibat keberadaan TPA Bantargebang adalah berupa pencemaran air, pencemaran udara, sebagai sarang penyakit, dan pengurangan estetika. Pencemaran tanah tidak dinilai sebagai kerugian bagi masyarakat dikarenakan masyarakat masih menilai lahan diwilayah mereka belum tercemar. Kerugian yang paling besar dirasakan masyarakat adalah kerugian berupa pencemaran udara, hal tersebut dikarenakan kerugian berupa pencemaran udara sangat sulit untuk dihindari oleh masyarakat. Nilai manfaat yang didapat akibat keberadaan TPA Bantar Gebang adalah sebesar Rp 183.547.000. Nilai tersebut didapatkan dengan menjumlahkan pendapatan
masyarakat yang bekerja bersumber dari TPA Bantar Gebang. Nilai manfaat bersih yang diterima masyarakat adalah sebesar Rp170.161.700 yang didapatkan dengan mengurangkan manfaat yang diterima masyarakat dengan kerugian masyarakat (Rp 13.385.300). Pemprov DKI Jakarta bersama Pemkot Bekasi dan pengelola TPA Bantar Gebang dapat bekerjasama untuk meningkatkan manfaat yang diterima masyarakat dengan mendirikan Unit Pengelolaan Sampah seperti yang dilakukan Pemkot Depok, mendirikan yayasan seperti yang dilakukan di daerah Lhoksumawe, maupun pencegahan dengan sistem 3R (reduce,reuse,recycle) pada tingkat rumah tangga untuk mengurangi jumlah sampah dan memperbaiki sistem pengelolaan yang sudah ada.
ESTIMASI MANFAAT DAN KERUGIAN MASYARAKAT AKIBAT KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR : Studi Kasus di TPA Bantar Gebang, Kota Bekasi
YUDI BUJAGUNASTI H44053765
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ESTIMASI
MANFAAT
DAN
KERUGIAN
MASYARAKAT
AKIBAT
KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR : Studi Kasus di TPA Bantar Gebang, Kota Bekasi” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHANBAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Agustus 2009
Yudi Bujagunasti H44053765
Judul Skripsi
: Estimasi Manfaat dan Kerugian Masyarakat Akibat Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir : Studi Kasus di TPA Bantar Gebang, Kota Bekasi
Nama
: Yudi Bujagunasti
NRP
: H44053765
Menyetujui, Pembimbing
Dr.Ir.Yusman Syaukat, M.Ec NIP: 19631227 198811 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Prof. Dr. Akhmad Fauzi, M.Sc. NIP: 19620421 198603 1 003
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 November 1987. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Nasir Lundung dan Teguh Suciyati Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Kuncup Kencana Jakarta Timur pada tahun 1993, lalu melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri 03 Jakarta Timur. Pada Tahun 1999, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 102 Jakarta Selatan dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 39 Jakarta Timur pada tahun 2005. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di berbagai kegiatan kemahasiswaan sebagai Staff Divisi Usaha Mandiri, Syariah Economics Student Club (SES-C) periode 2006/2007 dan Ketua Divisi Study Research and Development, Resources and Environmental Economics Student Association (REESA) Periode 2007/2008.
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, pujian yang memenuhi seluruh nikmat-Nya bagi kemuliaan wajah-Nya dan keagungan kekuasan-Nya, serta salam dan junjungan atas Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya yang dimuliakan Allah SWT. Atas anugrah, berkat, dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul ”Estimasi Manfaat dan Kerugian Masyarakat Akibat Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir : Studi Kasus di TPA Bantar Gabenag, Kota Bekasi”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan penyelesaian Program Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengestimasi manfaat dan kerugian yang dialami oleh masyarakat di sekitar TPA Bantar Gebang. Manfaat dan kerugian tersebut dibandingkan agar dapat menjadi salah satu alat untuk menentukan sistem pengelolaan yang lebih baik di TPA Bantar Gebang bagi pengelolan maupun pemerintah yang dibantu dengan referensi sistem pengelolaan sampah di tempat lain. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam menyempurnakan skripsi ini, namun penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun guna melengkapi skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kemaslahatan umat dan bernilai ibadah dalam pandangan ALLAH SWT.
Bogor, Agustus 2009 Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH Penyusunan skripsi ini banyak dibantu oleh berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada:
1. Dr. Ir. Yusman Syaukat, M. Ec atas kesabaran dan kesediaannya membimbing sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 2. Ir. Sutara Hendrakusumaatmadja, M. Sc atas kesediaannya sebagai dosen penguji utama. 3. Novindra, SP atas kesediaannya sebagai dosen wakil dari komisi pendidikan. 4. Ibu dan bapak tercinta atas doa, dukungan, dan motivasi selama penulis menjalani masa perkuliahan. 5. Pemerintah Kota Bekasi, Kelurahan Ciketing Udik, Puskesmas Kecamatan Bantar Gebang, dan Puskesmas pembantu Ciketing Udik atas sambutan hangat dan bantuannya. 6. Frizka amalia atas doa dan dukungannya setiap saat. 7. Sahabat-sahabat ESL: Hans, Ratih, Asri, Sahata, Tri, Ani, Rani, Merry, Danti, Etha, sanjay atas persahabatannya selama penulis menjalani kuliah. Kalian membuat semuanya menjadi lebih berarti. 8. Tim perwira 51 (dadang’ers): mimi, bibob, dito, decil, dinda, fela, arisa, gladys. Tiga tahun disini sungguh menyenangkan. 9. Dan pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN...................................................................................
i
RIWAYAT HIDUP ..........................................................................
vi
KATA PENGANTAR ......................................................................
vii
DAFTAR ISI ....................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR........................................................................
x
DAFTAR TABEL ............................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................
xiii
I.
PENDAHULUAN .................................................................
1
1.1 Latar Belakang ................................................................. 1.2 Perumusan Masalah .......................................................... 1.3 Tujuan Penelitian .............................................................. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian.................................................
1 4 8 9
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................
10
2.1 Waste Economic ............................................................... 2.2 Cost of Illness dan Replacement Cost................................ 2.3 Pencemaran ..................................................................... 2.3.1 Pencemaran air ......................................................... 2.3.2 Pencemaran Udara .................................................... 2.4 Efek Sampah Terhadap Manusia dan Lingkungan............. 2.5 Tempat Pembuangan Akhir ..............................................
10 11 13 15 17 18 21
III.
KERANGKA PEMIKIRAN ................................................
24
IV.
METODE PENELITIAN .....................................................
27
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................ 4.2 Jenis dan Sumber Data...................................................... 4.3 Teknik Pengambilan dan Pengumpulan Data .................... 4.4 Identifikasi Manfaat dan Kerugian .................................... 4.5 Teknik Analisis Data ........................................................ 4.5.1 Estimasi Manfaat ...................................................... 4.5.2 Estimasi Kerugian ..................................................... 4.5.2.1 Pencemaran Air ................................................... 4.5.2.2 Pencemaran Udara .............................................. 4.5.2.3 Kerugian Sebagai sarang Penyakit ...................... 4.6 Batasan Penelitian ............................................................
27 27 28 28 29 29 30 31 33
II.
33
V.
VI.
GAMBARAN UMUM ..........................................................
35
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................. 5.1.1 Gambaran Umum Ciketing Udik ............................. 5.1.2 Kependudukan ........................................................ 5.2 Tempat Pembuangan Akhir .............................................. 5.3 Karakteristik Responden ................................................... 5.3.1 Jenis Kelamin ......................................................... 5.3.2 Usia ........................................................................ 5.3.3 Pendidikan Formal .................................................. 5.3.4 Jenis Pekerjaan ....................................................... 5.3.5 Lama Tinggal ..........................................................
35 35 36 37 41 41 42 43 43 44
PEMBAHASAN ...................................................................
46
6.1
6.2
6.3 6.4 VII.
Identifikasi Manfaat dan Kerugian Akibat Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang ................................................................ 6.1.1 Identifikasi Manfaat Akibat Keberadaan TPA Bantargebang ....................................................... 6.1.2 Identifikasi Kerugian Akibat Keberadaan TPA Bantargebang ....................................................... Estimasi Manfaat dan Kerugian Akibat Keberadaan TPA Bantargebang ........................................................ 6.2.1 Estimasi Manfaat Akibat Keberadaan TPA Bantargebang ..................................................... 6.2.2 Estimasi Kerugian Akibat Keberadaan TPA Bantargebang ..................................................... Perbandingan Antara Manfaat dan Kerugian Akibat Keberadaan TPA Bantargebang ..................................... Sistem Pengelolaan Sampah ..........................................
46 46 49 53 53 54 63 65
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................. 7.1 Kesimpulan ................................................................... 7.2 Saran .............................................................................
68 68 69
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................
71
LAMPIRAN..........................................................................
73
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1 Siklus Pencemaran ....................................................................
15
2 Kerangka Pemikiran .................................................................
26
3 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ................
42
4 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ...............................
42
5 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan formal .........
43
6 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ..............
44
7 Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Tinggal ................
45
8 Persepsi Manfaat Masyarakat Akibat Keberadaan TPA Berdasarkan Jarak dari TPA......................................................
47
9 Persepsi Manfaat masyarakat Akibat Keberadaan TPA Berdasarkan Profesi Masyarakat ...............................................
48
10 Persepsi Kerugian Masyarakat Akibat Keberadaan TPA Berdasarkan Jarak Dari TPA .....................................................
49
11 Persepsi Kerugian Masyarakat Akibat Keberadaan TPA Berdasarkan Profesi Masyarakat ...............................................
52
DAFTAR TABEL Nomor 1
Halaman
Jumlah Produksi dan Terangkut Sampah DKI Jakarta per Kotamadya (2006) ..................................................................
2
Keperluan Air Bersih Orang Indonesia Yang Bermukim di Kota per Harinya (2004) .....................................................
16
3
Penyakit Menular Melalui Air ................................................
17
4
Metode Penelitian ...................................................................
28
5
Biya Pengobatan Akibat Pencemaran Air ...............................
31
6
Biaya Pengganti Akibat Pencemaran Air ................................
32
7
Biya Pengobatan Akibat Pencemaran Udara ...........................
33
8
Biaya Pengobatan Akibat TPA Sebagai sarang Penyakit .........
34
9
Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin di Kelurahan Ciketing Udik Tahun 2008 ....................................
37
10 Struktur Mata Pencaharian Penduduk Ciketing Udik Tahun 2008 ............................................................................
38
11 Pendapatan Bersumber dari TPA Bantargebang ......................
53
12 Biaya Pengganti Untuk Sumber Minum dan Memasak Akibat Pencemaran Air Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal ...................................................................................
55
13 Biaya Pengganti Untuk Sumber Minum dan Memasak Akibat Pencemaran Air Berdasarkan Profesi ..........................
56
14 Biaya Pengganti Untuk Keperluan MCK Akibat Pencemaran Air Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal ...............
57
15. Biaya Pengganti Untuk Keperluan MCK Akibat Pencemaran Air Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal ...............
57
16 Biaya Pengobatan Penyakit Pencernaan Akibat Pencemaran Air Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal ...............
58
17 Biaya Pengobatan Penyakit Pencernaan Akibat Pencemaran Air Berdasarkan Profesi ......................................
59
18 Biaya Pengobatan Penyakit Kulit Akibat Pencemaran Air Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal .........................................
59
19 Biaya Pengobatan Penyakit Kulit Akibat Pencemaran Air Berdasarkan Profesi ................................................................
60
20 Biaya Pengobatan Penyakit Pernafasan Akibat Pencemaran Udara Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal ...........
61
2
21 Biaya Pengobatan Penyakit Pernafasan Akibat Pencemaran Udara Berdasarkan Profesi..................................
62
22 Total Kerugian Masyarakat Akibat Keberadaab TPA Bantargebang Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal ..................
63
23 Total Kerugian Masyarakat Akibat Keberadaab TPA Bantargebang Berdasarkan Profesi .........................................
63
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1 Peta Kelurahan Ciketing Udik...................................................
73
2 20 Penyakit Besar Kecamatan Bantar Gebang ...........................
74
3 Estimasi Manfaat Akibat Keberadaan TPA Bantar Gebang .......
86
4 Estimasi Biaya Pengganti Pembelian Air Minum ......................
88
5 Estimasi Biaya Pengganti Pembelian Air MCK ........................
90
6 Estimasi Biaya Pengobatan Akibat Pencemaran Air (Penyakit Pencernaan) ..............................................................
92
7 Estimasi Biaya Pengobatan Akibat Pencemaran Air (Penyakit Kulit) ........................................................................
94
8 Estimasi Biaya Pengobatan Akibat Pencemaran Udara .............
96
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Dalam menjalani aktivitas hidup sehari-hari, manusia tidak lepas dari
kebutuhannya terhadap lingkungan. Manusia memperoleh daya dan tenaga serta pemenuhan kebutuhan baik kebutuhan primer, sekunder,
tersier, serta segala
keinginan lainnya dari lingkungan. Masalah lingkungan timbul karena adanya interaksi antara aktivitas ekonomi dan eksistensi sumberdaya alam yang dapat berdampak kepada degradasi lingkungan maupun sumberdaya itu sendiri. Aktivitas ekonomi yang dilakukan tanpa memperhatikan keseimbangan ekologi dapat menyebabkan penurunan daya dukung atau bahkan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam. Aktivitas manusia berjalan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dimana penduduk dengan segala aktivitasnya merupakan salah satu komponen penting dalam timbulnya permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan yang terkait dengan aktivitas manusia adalah sampah. Aktivitas manusia akan menghasilkan sisa (buangan) yang dinamakan sampah. Sampah yang ditimbulkan dari aktivitas konsumsi masyarakat dikenal dengan limbah domestik. Di Indonesia, masalah penanganan sampah merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh pengelola perkotaan. Salah satu wilayah di Indonesia yang memberikan kontribusi sampah yang cukup besar adalah Provinsi DKI Jakarta. Menurut Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta, setiap hari sampah di Jakarta mencapai 26.444m3. Sampah yang mampu diangkut dari seluruh Jakarta berjumlah 25.904m3 dan sisa sampah yang tidak terangkut mencapai 540m3.
Tabel 1. Jumlah Produksi dan Terangkut Sampah Jakarta per Kotamadya (2006) Kotamadya Produksi/hari Terangkut/hari 5.489 5.341 Jakarta Selatan 5.576 5.508 Jakarta Timur 5.466 5.383 Jakarta Pusat 5.500 5.279 Jakarta Barat 4.413 4.393 Jakarta Utara Total 26.444 25.904 26.264 25.446 2005 27.966 25.925 2004 25.687 24.675 2003 25.192 24.162 2002 Sumber : Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta (2007)
Sisa 148 68 83 221 20 540 818 2.041 1.012 1.750
Sampah yang dihasilkan wilayah DKI Jakarta dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantargebang Bekasi yang memiliki luas areal sebesar 108 hektar1. Setiap harinya sekitar 6000 ton sampah di buang ke TPA Bantargebang, maka di tempat tersebut terdapat gunungan sampah yang tingginya mencapai 25 meter2. Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar TPA mengalami berbagai macam dampak akibat keberasaan TPA tersebut. Dampak yang dirasakan dapat berupa manfaat dan kerugian. Manfaat yang dapat timbul dari keberadaan TPA adalah terbukanya lapangan pekerjaan baru. Masyarakat dapat hidup dari sampah yang menumpuk di TPA. Pemulung dapat mengambil sampah yang dapat didaur ulang seperti besi, kaca, plastik. Usaha pengumpulan sampah ini dapat memberikan nilai positif bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar TPA karena sampah tersebut memiliki nilai ekonomi.
1
Ester Lince Napitupulu. “Menanti Kepastian Nasib TPA Bantar Gebang”. 12 Desember 2003. www.kompas.com 2 Jonder Sithotang. “TPA Bantar Gebang Sebaiknya Dijadikan Kawasan Industri Sampah. 6 Desember 2003. www.sinarharapan.com
Selain manfaat yang diberikan oleh kehadiran sampah di TPA terdapat pula kerugian yang terjadi akibat kehadiran TPA. Kehadiran sampah dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan sumberdaya yang cukup besar. Lingkungan dan sumberdaya yang berada tidak jauh dari lokasi TPA dapat tercemar, baik itu udara, air, maupun tanah sehingga sumberdaya tersebut tidak layak untuk digunakan sebagai pendukung aktivitas manusia yang terus-menerus meningkat. Tidak hanya itu penetapan TPA juga dapat menimbulkan konflik sosial antara masyarakat dan pemerintah yang menyebabkan kehidupan masyarakat tidak harmonis. Selain berbahaya bagi lingkungan, sampah juga dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Sampah dapat menjadi sumber bau yang dapat menyebabkan penyakit saluran pernafasan seperti TBC, bronchitis, dan penyakit saluran pernafasan lainnya. Sampah juga dapat menjadi tempat berkembang biaknya bibit penyakit yang dapat menyebar dan menyebabkan wabah penyakit bagi manusia maupun mahluk hidup lainnya yang berada si sekitar TPA. Kondisi seperti ini tidak dapat dibiarkan. Pihak-pihak yang terkait dengan TPA tersebut harus mencari pemecahan masalah pencemaran yang terjadi. Sistem pengelolaan sampah yang selama ini dijalankan perlu dievaluasi dan dilihat tingkat keberhasilannya dalam mengatasi masalah sampah. Apabila sistem pengelolaan yang selama ini berjalan dianggap banyak menimbulkan kerugian maka pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengadopsi sistem pengelolaan sampah baru yang lebih efektif sehingga dapat mengurangi kerugian yang dialami masyarakat. Berdasarkan keadaan tersebut peneliti merasa perlu adanya studi yang mengkaji mengenai dampak yang timbul akibat keberadaan TPA.
1.2.
Perumusan Masalah Meningkatnya jumlah penduduk memberikan dampak meningkatnya
volume sampah. Upaya mengatasi volume sampah terus dilakukan oleh pemerintah terutama pengelola kota. Karena itu pemerintah khususnya pemerintah DKI Jakarta memerlukan tempat untuk penampungan sampah yang memadai dan memenuhi kriteria ambang batas lingkungan hidup. Pemerintah DKI Jakarta akhirnya menetapkan salah satu di wilayah kecamatan Bantar Gebang sebagai TPA Sampah. Areal ini merupakan lahan bekas galian tanah untuk kepentingan pembangunan beberapa perumahan di daerah Jakarta seperti Sunter, Podomoro, dan Kelapa Gading serta perbaikan jalan di Narogong pada tahun 1986 (Anwar. A, 2003). Penetapan Bantar Gebang sebagai TPA sudah berjalan lebih dari 15 tahun. Kewenangan pengelolaan sampah di TPA Bantar Gebang dipegang oleh Pemerintah Kota Bekasi sejak 1 Januari 2004. Sementara pengolahan sampah sebelum sampai TPA Bantar Gebang menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pengelolaan sampah yang ada selama ini dapat dikatakan belum terlaksana secara optimal karena masih banyak sampah yang tidak terkelola. Salah satu penyebabnya adalah volume sampah yang masuk ke TPA Bantar Gebang melebihi kapasitas yang seharusnya. Sampah yang dapat ditampung oleh TPA Bantar Gebang adalah sebesar 1.500 – 2000 ton/hari, sedangkan volume sampah yang masuk TPA Bantar Gebang setiap harinya sebesar 6000 ton. Penetapan Bantar Gebang sebagai TPA bagi warga Jakarta menimbulkan dampak bagi masyarakat Bantar Gebang. Dampak yang terjadi dapat berupa
manfaat yang menguntungkan masyarakat sekitar maupun kerugian bagi masyarakat sekitar TPA Bantar Gebang. Apabila hal ini terus berlanjut dapat menimbulkan masalah sosial yang akan semakin sulit untuk ditangani baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Manfaat yang ditimbulkan oleh keberadaan TPA Bantar Gebang antara lain terbukanya lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar TPA Bantar Gebang. Masyarakat di sekitar TPA mengambil kesempatan untuk memilah sampah organik dan anorganik. Pemulung mengambil sampah seperti plastik, besi, botol bekas, kaca dan bahan-bahan yang dapat didaur ulang. Kontribusi dari pemulung amat besar dalam proses pemilahan sampah yang membantu mempermudah proses sanitary landfill dari TPA Bantar Gebang. Usaha pengumpulan sampah anorganik ini menberikan nilai positif bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar TPA Bantar Gebang karena limbah ini merupakan komoditi yang bernilai ekonomi. Penetapan TPA Bantar Gebang juga menjadi sumber pemasukan bagi Pemerintah Kota Bekasi. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan dana bantuan kepada pemerintah kota bekasi sebagai biaya kompensasi TPA Bantar Gebang. Dana yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat mencapai Rp.1,4 Milyar per tahunnya. Sebesar 70 persen dibagikan kepada masyarakat sekitar TPA Bantar Gebang sebagai kompensasi sedangkan sisanya dikelola oleh Pemerintah Kota Bekasi3. Di balik manfaat yang ditimbulkan oleh TPA Bantar Gebang terdapat kerugian yang jauh lebih besar. Keberadaan TPA Bantar Gebang menimbulkan 3
Widya Siska. “ Kompensasi Bantar Gebang Jangan Disunat”. 29 Juni 2006 www.vhrmedia.net
kerusakan lingkungan yang besar. Hal ini dirasakan oleh masyarakat di sekitar wilayah TPA Bantar Gebang. Keberadaan sampah yang menumpuk di TPA ini juga menuai konflik sosial antara masyarakat dan pemerintah, dimana masyarakat meminta biaya penggantian (kompensasi) akibat kerugian yang mereka terima. Hal ini mencerminkan belum baiknya pengelolaan sampah di TPA Bantar Gebang. Selain menimbulkan masalah sosial volume sampah yang besar menyebabkan dampak buruk kepada lingkungan karena dari sebagian sampah tersebut tidak semuanya dapat diatasi oleh manusia dari lingkungannya (Anwar. A, 1985), sehingga akan menimbulkan : 1. Sampah yang berasal dari berbagai sumber terutama dari pemukiman sebagian besar berupa sisa makanan, daun-daunan, dan sisa buah-buahan mudah mengalami proses pembusukan. Sampah model ini dapat menjadi sumber pembiakan penyakit. Di samping itu sampah yang membusuk dapat menimbulkan bau yang sangat menganggu. 2. Dari segi keindahan, adanya sampah yang berserakan atau bahkan menggunung menjadikan lingkungan tersebut tidak sedap dipandang mata, bahkan secara umum mengurangi keindahan kota. 3. Sampah yang menggunung dapat menghasilkan air limpasan maupun mengeluarkan gas atau panas yang sangat mengganggu. Sebagai contoh kerugian bagi lingkungan yang ditimbulkan oleh TPA Bantar Gebang antara lain adalah timbulnya bau yang tidak sedap yang dapat tercium sampai daerah Kemang Pratama, Kranji, Pekayon, dan wilayah-wilayah lain yang berjarak 10 KM dari lokasi TPA Bantar Gebang. Hal tersebut tidak
hanya mengganggu tetapi juga berpotensi menjadi sumber penyakit pernafasan seperti TBC, bronchitis, dan penyakit pernafasan lainnya. Kualitas air sumur warga di wilayah sekitar TPA menurun akibat tercemar oleh sampah yang berada di TPA Bantar Gebang. Masyarakat mengeluhkan tercemarnya air tanah sehingga hanya dapat digunakan untuk keperluan mandi dan mencuci saja, sedangkan untuk kebutuhan air minum masyarakat harus membelinya seharga Rp 2.500
per gallon4. Apabila masyarakat tetap
mengkonsumsi air tanah yang tercemar tersebut tidak menutup kemungkinan untuk terjangkit penyakit seperti diare dan masalah pencernaan lainnya. Pada tahun 1991, 1992, 1993 dan 1994 telah dilakukan penelitian terhadap kondisi kimia dan fisik air (Hendrawan, 1996). Perubahan sifat fisik dan kimia air terjadi
sebelum dan sesudah melewati sungai Ciketing Udik
yaitu desa yang termasuk dalam lokasi TPA. Keadaan ini dibuktikan dengan tingginya kandungan COD yang memperlihatkan kebutuhan terhadap oksigen yang tinggi untuk mereaksikan zat-zat kimia yang terlarut dalam air. Kadar amonia
di atas baku mutu menggambarkan aktifitas dekomposer akibat zat-zat
organik yang terlarut dalam air sungai. Kondisi ini diperkuat oleh data yang memperlihatkan kadar BOD yaitu kebutuhan oksigen mikroorganisme di dalam air di atas baku mutu. Dengan kondisi seperti di atas menunjukkan pengelolaan drainase dan sanitary landfill di TPA Bantar Gebang kurang mendapat perhatian. Pencemaran yang terjadi di TPA Bantar Gebang tidak terlepas dari buruknya pengelolaan sampah yang dijalankan TPA Bantar Gebang. Selama ini TPA Bantar Gebang melaksanakan sistem sanitary landfill tetapi dalam 4
Gilang dan Rubiyanto. “Bantar Gebang Siap Menuai Tuah”. 3 November 2000 www.pdpersi.co.id
pelaksanaannya sering didapati pengelola TPA Bantar Gebang melaksanakan sistem open dumping. Sistem open dumping ini dapat mengancam keselamatan masyarakat apabila timbunan sampah yang ada mengalami longsor5. Sistem yang berjalan selama ini dirasa tidak dapat mengatasi permasalahan sampah yang ada selama ini. Karena pengelolaan sampah hanya sebatas angkut dan buang tanpa adanya solusi pengelolaan yang lebih baik sehingga dapat mengurangi volume sampah dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Berdasarkan uraian diatas, beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian meliputi: 1. Apa saja manfaat dan kerugian akibat keberadaan TPA Bantar Gebang? 2. Berapa besar manfaat dan kerugian yang ditimbulkan akibat keberadaan TPA Bantar Gebang? 3. Bagaimana sistem pola penanganan sampah yang telah ada dapat mengatasi permasalahan sampah? 1.3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi manfaat dan kerugian yang timbul akibat keberadaan TPA Bantar Gebang 2. Mengestimasi nilai manfaat dan kerugian yang dialami oleh masyarakat akibat keberadaan TPA Bantar Gebang. 3. Membandingkan besarnya nilai manfaat dan kerugian akibat keberadaan TPA Bantar Gebang. 5
Sujud D Pratisto, Bahaya Karena Kurang Biaya. 16 September 2006. www.digilib-ampl.net
4. Memberikan alternatif pilihan sistem penanganan sampah di TPA Bantar Gebang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan sampah di TPA Bantar Gebang, terutama dalam bidang ekonomi sumberdaya. 1.4. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini hanya menghitung dampak yang bersifat langsung terhadap masyarakat yang berada di sekitar TPA Bantar Gebang. Pada penelitian ini manfaat yang diestimasi hanya pendapatan yang diterima oleh masyarakat dari keberadaan TPA Bantar Gebang. Kerugian yang diestimasi pada penelitian ini hanya kerugian berupa pencemaran air dan udara karena dua kerugian tersebut dianggap sangat berpengaruh dampak biayanya terhadap masyarakat.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Waste Economic Residu atau limbah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
aktivitas manusia dan akan meningkat sejalan dengan peningkatan aktivitas tersebut. Oleh karenanya pencemaran adalah fenomena yang akan tetap ada sebagai akibat dari aktivitas manusia. Dalam sudut ekonomi sumberdaya, jalan terbaik dalam menangani pencemaran adalah bagaimana mengendalikan pencemaran tersebut ke tingkat yang paling efisien (Fauzi, 2006). Biaya untuk melakukan akitivitas pengurangan
pencemaran disebut
abatement cost. Untuk analisis ekonomi pencemaran, akan lebih mudah jika mengunakan pengukuran marjinal, yakni Marginal Abatement Cost (MAC) yang menggambarkan penambahan biaya akibat pengurangan satu unit pencemaran atau biaya yang dihemat apabila pencemaran ditingkatkan satu unit (Fauzi, 2006). Biaya tersebut didasari konsep bahwa mengurangi emisi/pencemaran dapat mengurangi kerusakan yang diderita orang akibat polusi lingkungan, sedangkan di sisi lain, mengurangi emisi/pencemaran membutuhkan sumberdaya yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lainnya (opportunity). Menurut Bernstein (1992), terdapat tiga macam pengenaan biaya yang dapat dikenakan dalam proses pengumpulan dan pembuangan sampah yaitu biaya pengguna, biaya pembuangan, dan biaya produk. Biaya pengguna pada umumnya dikenakan pada pelayanan pengumpulan dan pemeliharaan sarana pemerintah dalam mengelola sampah dan dianggap sebagai biaya pelayanan yang wajar. Biaya pengguna dikenakan untuk menutupi total biaya operasional dan tidak mencerminkan biaya marjinal sosial dampak lingkungan. Biaya pembuangan
adalah biaya yang dikenakan dalam layanan pembuangan sampah, sedangkan biaya produk dikenakan pada sampah yang sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi. Namun, pengalaman di beberapa negara di Eropa, biaya produk mempunyai dampak insentif aktual yang kecil karena secara umum biaya produk tidak nyata berkontribusi pada perubahan kebijakan preventif pada pola masyarakat dalam mengelola sampah. Beban biaya yang ditanggung oleh pemerintah daerah dalam mengelola sampah domestik cukup berat. Pemerintah daerah di negara berkembang mengalokasikan anggaran pengelolaan sampahnya terutama pada proses layanan pengumpulan dan pengangkutan (Pagiola et al. 2002). Biaya operasional yang semakin tinggi dan semakin sulitnya ruang yang pantas untuk pembuangan juga menjadi masalah dalam penanganan sampah perkotaan. Efisiensi ekonomi menjadi hal penting dalam suatu pengelolaan pencemaran. Efisiensi ekonomi adalah suatu kriteria yang dapat diterapkan pada beberapa tingkatan input untuk mencerminkan suatu tingkatan output tertentu. Efisiensi ekonomi pengelolaan sampah salah satunya dinilai dari manfaat bersih yang dihasilkan. Manfaat bersih dapat berupa selisih antara manfaat yang diterima masyarakat dengan biaya yang dalam hal ini adalah kerugian yang diterima oleh masyarakat. 2.2.
Cost of Illness dan Replacement Cost Untuk mengestimasi kerugian yang diakibatkan oleh keberadaan TPA
ditempuh melalui dua metode yaitu metode cost of illness (biaya kesehatan) dan replacement cost (biaya pengganti). Kedua metode tersebut dinilai dapat mengestimasi kerugian yang diderita masyarakat berupa biaya yang dikeluarkan
oleh masyarakat baik untuk mengganti kebutuhan mereka dengan bahan alternatif maupun biaya untuk pengobatan. Menurut Champ. P. A (2003) Metode biaya kesehatan tidak mengestimasi surplus konsumen atau harga marjinal. Metode biaya kesehatan secara sederhana berusaha untuk mengukur biaya kesehatan secara penuh, termasuk biaya perawatan. Biaya perawatan didasarkan kepada keputusan individu atau masyarakat mengenai level dari kepedulian individu atau masyarakat tersebut akan kesehatan. Biaya kesehatan terdiri dari dua jenis, yang pertama adalah biaya langsung dan kedua adalah biaya tidak langsung. Biaya langsung itu sendiri terbagi menjadi medical cost dan non-medical cost. Biaya yang termasuk medical cost adalah biaya perawatan medis pasien itu sendiri yang besarnya dapat berbeda setiap pasiennya, sedangkan yang termasuk non-medical cost antara lain biaya perjalanan pasien untuk menempuh perjalanan sampai kepada tempat pengobatan, biaya logistik dan akomodasi pasien yang besarnyapun dapat bervariasi. Biaya tidak langsung terkait dengan hilangnya sumberdaya yang hilang akibat penyakit tersebut, antara lain opportunity cost akibat hilangnya produktivitas pasien (pendapatan) yang terkena penyakit tersebut. Biaya pengganti adalah menilai aset yang didasari oleh biaya untuk mengganti aset tersebut apabila dibutuhkan pada saat sekarang. Biaya pengganti dapat digunakan untuk menentukan nilai suatu aset pada saat ini, atau diaplikasikan dengan menggunakan faktor inflasi. Metode index inflasi adalah metode yang paling sering digunakan.
Metode biaya pengganti memiliki beberapa keunggulan antara lain dapat mengatasi kesalahan penghitungan akutansi yang menggunakan nilai saat ini, berpotensial untuk digunakan secara transparan, sangat cocok digunakan untuk menilai suatu aset saat terjadi inflasi yang tinggi, dan dapat menjadi dasar penentuan keputusan untuk memasuki suatu pasar. Kekurangan yang dimiliki oleh biaya pengganti adalah menjadi subjektif dikarenakan nilai saat ini sulit untuk ditentukan, membutuhkan penghitungan yang akurat apabila menggunakan nilai sekarang apabila terjadi pergantian teknologi, mengabaikan sifat keoptimalan, dapat terjadi overestimate dari suatu aset yang dinilai. 2. 3.
Pencemaran Dewasa ini permasalahan lingkungan atau umumnya pencemaran semakin
meningkat khususnya pencemaran air yang menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian lebih dari berbagai pihak, agar kualitas air dapat terjaga sesuai dengan baku mutu tertentu. Pencemaran menurut SK Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/1998: Pencemaran adalah termasuk atau dimasukannya mahluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam air/udara, dan/atau berubahnya tatanan (komposisi) air/udara oleh kegiatan manusia dan proses alam sehingga kualitas air/udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya. Pencemaran terjadi bila dalam lingkungan terdapat bahan yang menyebabkan timbulnya perubahan yang tidak menyebabkan perubahan yang tidak diharapkan baik yang bersifat fisik, kimiawi, maupun biologis sehingga mengganggu kesehatan eksistensi manusia, dan aktivitas manusia serta organisme lainnya. Bahan penyebab pencemaran tersebut disebut sebagai bahan pencemar
atau pollutan. Polusi disebabkan terjadinya faktor-faktor tertentu yang sangat menentukan ialah (1) jumlah penduduk, (2) jumlah Sumberdaya alam yang digunakan setiap individu, (3) jumlah Polutan yang dikeluarkan oleh setiap jenis sumberdaya alam, (4) teknologi yang digunakan. Menurut Daryanto (2004) pencemaran merupakan suatu siklus yng selalu berputar dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Pada hakikatnya antara aktivitas manusia dan timbulnya pencemaran terdapat hubungan melingkar. Agar dapat hidup dengan baik manusia beradaptasi dengan lingkungannya dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia mengembangkan teknologi. Akibat sampingan dari pengembangan teknologi adalah bahan pencemar yang menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan ini merupakan stimulus agar manusia menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Tiap pencemaran memiliki derajat pencemaran atau tahap pencemaran yang berbeda didasarkan pada (1) konsentrasi zat pencemar, (2) waktu tercemarnya, (3) lamanya kontak antara bahan pencemar dan lingkungan. Siklus tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Untuk mencegah terjadinya pencemaran pada lingkungan oleh berbagai aktivitas manusia maka diperlukan pengendalian terhadap pencemaran lingkungan dengan menetapkan baku mutu lingkungan. Baku mutu lingkungan adalah batas kadar yang diperkenankan bagi zat atau bahan pencemar terdapat di lingkungan dengan tidak menimbulkan gangguan pada mahluk hidup maupun benda lainnya. Pada saat ini pencemaran pada lingkungan berlangsung dimana-mana dengan laju yang sangat cepat. Sekarang ini beban pencemaran dalam lingkungan sudah semakin berat dengan masuknya berbagai macam limbah ataupun sampah.
Pencemaran dapat dibagi menjadi (1) pencemaran air, (2) pencemaran udara, (3) pencemaran tanah. Ketiga pencemaran di atas terjadi di tempat penelitian. Stimulasi dari lingkungan sekitarnya
Pencemaran
Bahan Pencemar
Manusia beradaptasi
Perkembangan teknologi
Gambar 1. Siklus Pencemaran Sumber : Daryanto (2004)
2.3.1. Pencemaran air Air merupakan salah satu sumber alam yang mulai terasa pengaruhnya pada kehidupan manusia. Air sebagai sumberdaya kini lebih disadari merupakan salah satu unsur penentu dalam mencapai keberhasilan pembangunan dan peningkatan kualitas kesehatan manusia. Pada masa sekarang ini nampaknya sangat sulit untuk mendapatkan air yang betul-betul murni. Manusia sebagai mahluk hidup yang melakukan aktivitas berperan besar sebagai penyebab timbulnya masalah-masalah pencemaran sumberdaya air. Air merupakan salah satu suber kehidupan manusia. Apabila air telah tercemar maka kehidupan manusia akan terganggu. Hampir semua mahluk hidup di muka bumi ini membutuhkan air. Tanpa air tiada kehidupan di muka bumi ini. Air yang tercemar dapat mengakibatkan kerugian yang besar bagi manusia.
Kerugian yang disebabkan oleh pencemaran air berupa air menjadi tidak bermanfaat lagi dan air menjadi penyebab timbulnya penyakit (Wardhana. 2004). 1. Air menjadi tidak bermanfaat lagi Air yang tidak dapat dimanfaatkan lagi akibat pencemaran merupakan kerugian yang dirasakan secara langsung. Air tidak dapat lagi digunakan untuk keperluan rumah tangga dan penunjang kehidupan. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial yang sangat luas dan butuh waktu lama untuk memuluhkannya. Gambaran air bersih yang diperlukan orang Indonesia yang tinggal di kota untuk setiap orang per hari dapat dilihat pada Tabel 2. Selain itu air juga sudah tidak dapat lagi digunakan untuk keperluan industri. Air yang tercemar juga tidak dapat digunakan untuk keperluan pertanian sebagai sumber irigasi, kolam perikanan karena adanya senyawa-senyawa organik yang menyebabkan perubahan drastis pada pH air. Tabel 2.
Keperluan Air Bersih Orang Indonesia Yang Bermukin di Kota per Harinya (2004)
Keperluan
Air yang dipakai (Liter)
Minum Memasak, kebersihan dapur Mandi, kakus Cuci pakaian Air wudhu Air untuk kebersihan rumah Air untuk menyiram tanaman Air untuk mencuci kendaraan Air untuk keperluan lain-lain Total
2,0 14,5 20,0 13,0 15,0 32,0 11,0 22,5 20,0 150,0
Sumber : Wardhana (2004)
2. Air menjadi penyebab penyakit Air yang tercemar akan mudah sekali menjadi media berkembangnya berbagai macam penyakit. Penyakit yang diakibatkan pencemaran air dapat terjadi karena berbagai macam sebab antara lain karena alasan-alasan seperti air
merupakan tempat berkembangnya mikroorganisme termasuk mikroba patogen. Air yang tercemar tidak dapat lagi digunakan sebagai alat pembersih, sedangkan air
bersih
sudah tidak
mencukupi
sehingga
kebersihan
manusia
dan
lingkungannya tidak terjamin yang pada akhirnya menyebabkan manusia mudah terserang penyakit. Jenis-jenis penyakit yang diakibatkan oleh air yang tercemar dapat dilihat pada Tabel 3. 2.3.2. Pencemaran Udara Pencemaran udara dapat diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zatzat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan udara dari keadaan normalnya. Kehadiran zat tersebut dalam waktu lama tentunya akan mengganggu kehidupan mahluk hidup. Tabel 3. Penyakit menular melalui air Jenis Mikroba Virus : Rota Virus Virus Hepatitis A Virus Poliomyelitis
Penyakit Diare Hepatitis A Poliomyelitis
Bakteri : Vibrio cholerae Escheria choli Salmonela paratyphi Salmonella typhi Shigella dysenteriae
Cholera Diare/dysentri Patrathypus Typus abdominale Dysentri
Protozoa : Entaamoeba histolytica Balantidia coli Giardia Lamblia
Dysentri amoeba Balantidiasis Giardiasis
Metazoa : Ascaris lumbricoides Clonorchis Sinensis Diphyllobothorium latum Tawenia saginata/solium Schistosoma Sumber : Wardhana (2004)
Ascaris Clonorchiasis Diphylobothriasis Taeniasis Schistosomiasis
Secara umum penyebab pencemaran dapat dibagi menjadi dua, yaitu karena faktor internal dan karena faktor eksternal. Apabila tetap dibiarkan maka dapat menimbulkan penyakit kepada tubuh manusia antara lain penyakit Silikosis, penyakit Asbestosis, penyakit Bisinosis, penyakit Antrakosis, penyakit Beriliosis (Wardhana. 2004). 2.4.
Efek Sampah Terhadap Manusia dan Lingkungan Sampah memberikan banyak sekali dampak, baik terhadap manusia
(terutama kesehatan) maupun lingkungan. 1) Dampak terhadap kesehatan Lokasi pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan sampah tidak terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisme dan menarik bagi berbagai macam binatang seperti lalat dan nyamuk yang dapat menjangkit penyakit. Potensi bahaya penyakit yang ditimbulkan adalah sebagai berikut : a.
Penyakit diare, kolera, dan tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari sampah yang dikelola dengan cara yang tidak tepat dapat bercampur dengan air minum. Penyakit deman berdarah dapat juga meningkat dengan cepat di daerah yang pengelolaan sampahnya kurang memadai.
b.
Penyakit jamur, misalnya jamur kulit.
c.
Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Misalnya penyakit yang dijangkit oleh cacing pita.
d.
Penyakit yang diakibatkan oleh sampah beracun. Misalnya sampah yang sudah terkontaminasi air raksa.
2) Dampak terhadap lingkungan Cairan rembesan sampah yang masuk ke dalam drainase atau sungai akan mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan akan mati sehingga beberapa spesies akan lenyap dan menyebabkan perubahan ekosistem biologis perairan. Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilakan asam organik dan gas cair organik seperti gas metana. Gas cair organik ini memiliki bau yang tidk sedap dan dapat meledak pada suhu yang tinggi. 3) Dampak terhadap keadaan sosial dan ekonomi a.
Pengolahan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang kurang menyenangkan bagi masyarakat antara lain dengan bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buruk karena sampah yang menumpuk dan berserakan.
b.
Memberikan dampak negatif bagi kepariwisataan.
c.
Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat dan menimbulkan pembiayaan secara langsung (untuk mengobati orang sakit) dan pembiyaan secara tidak langsung (tidak masuk kerja, rendahnya produktivitas).
d.
Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan akan memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan, jembatan drainase, dan lain-lain. Sementara itu, Hadiwijoto (1983) mengungkapkan bahwa sampah
memiliki dampak positif dan negatif dalam kehidupan manusia, terutama yang
tinggal di sekitar tempat pembuangan sampah. Dampak-dampak tersebut adalah sebagai berikut: 1)
Dampak negatif a. Tumpukan sampah dapat menimbulkan kondisi fisik dan kimia yang tidak sesuai dengan lingkungan yang normal. Biasanya dapat menyebabkan kenaikan suhu dan perubahan pH tanah. Keadaan ini mengganggu kehidupan di sekitarnya. b. Tumpukan sampah dapat menjadi media berkembang biak dan tempat mencari makan bagi lalat atau tikus dan pada akhirnya menjadi tempat berkembangnya bibit penyakit. c. Sampah dapat menimbulkan pencemaran udara karena selama proses pembusukan dihasilkan gas-gas beracun, bau yang tidak sedap, dan daerah yang becek dan berlumpur terutama pada musim hujan. d. Terjadi kekurangan oksigen di tempat pembuangan sampah. Keadaan ini disebabkan selama proses perombakan sampah menjadi senyawa sederhana, diperlukan oksigen yang diambil dari udara sekitarnya. e. Kontak langsung dengan sampah yang mengandung kuman penyakit, misalnya sampah yang berasal dari rumah sakit. f. Pasokan air minum yang mengalami kontaminasi dengan bahan kimia beracun dari sampah yang dibuang ke dalam air dapat merusak kesehatan. g. Keadaan fisik sampah, seperti kaleng bekas, paku, pecahan kaca, dan sebagainya dapat mengakibatkan kecelakaan pada manusia. h. Dapat mencemari tanah atau pengotoran
i.
Sampah yang dibuang ke badan air dapat menghambat aliran air sehingga pada musim hujan akan mengakibatkan banjir.
j.
Dapat menjadi sumber kebakaran.
k. Secara estetika, sampah dapat digolongkan sebagai bahan yang dapat mengganggu pemandangan dan keindahan. l.
Mencerminkan nilai sosial, budaya, dan martabat bangsa.
m. Mengurangi minat wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. 2)
Dampak positif a. Sampah dapat dipakai untuk menimbun tanah. b. Dapat digunakan untuk pupuk sebagai penyubur tanah dan mempercepat pertumbuhan tanaman. c. Dapat digunakan sebagai pakan ternak. d. Gas-gas yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomi karena dapat dikonversi menjadi tenaga listrik. e. Proses pengolahan sampah dapat membuka lapangan kerja.
2.5.
Tempat Pembuangan Akhir Pengolahan sampah dengan metode pembuangan akhir dilakukan dengan
teknik penimbunan sampah. Tujuan utama penimbunan akhir adalah menyimpan sampah padat dengan cara-cara yang tepat dan menjamin keamanan lingkungan, menstabilkan sampah (mengkonversi menjadi tanah), dan merubahnya ke dalam siklus metabolisme alam. Ditinjau dari segi teknis, proses ini merupakan pengisian tanah dengan menggunakan sampah. Lokasi penimbunan harus memenuhi kriteria ekonomis dan dapat menampung sampah yang ditargetkan,
mudah dicapai oleh kendaraan-kendaraan pengangkut sampah, dan aman terhadap lingkungan sekitarnya. Terdapat dua teknik yang termasuk dalam TPA yaitu teknik open dumping dan sanitary landfill (Salvato, 1982 dalam Amurwaraharja, 2003). Teknik open dumping merupakan cara pengelolaan yang sederhana, yaitu sampah dihamparkan di suatu lokasi tertentu dan dibiarkan terbuka begitu saja. Teknik ini sering menimbulkan masalah yaitu timbulnya bau busuk, pemandangan yang tidak indah, bahaya kebakaran, serta menimbulkan pencemaran air. Teknik sanitary landfill adalah cara penimbunan sampah padat pada suatu daerah tertentu dengan memperhatikan keamanan lingkungan karena telah ada perlakuan terhadap sampah. Pada teknik ini sampah dihamparkan sampai pada ketebalan tertentu lalu dipadatkan kembali. Pada bagian atas timbunan sampah tersebut dihamparkan lagi sampah yang kemudian ditimbun lagi dengan tanah. Demikian seterusnya sampai terbentuk lapisan sampah dan tanah. Pada bagian dasar konstruksi sanitary landfill dibangun suatu lapisan kedap air yang dilengkapi dengan pipa-pipa pengumpul dan penyalur air lindi (leachate) serta pipa penyalur gas yang terbentuk dari hasil penguraian sampah-sampah organik yang ditimbun. Penimbunan sampah yang sesuai dengan persyaratan teknis akan membuat stabilisasi tanah lebih cepat tercapai. Dasar dari pelaksanaannya adalah meratakan setiap lapisan sampah, memadatkan sampah dengan menggunakan compactor, dan menutupnya setiap hari dengan tanah yang juga dipadatkan. Ketebalan lapisan sampah pada umumnya sekitar dua meter, namun masih diizinkan lebih atau kurang tergantung dari karakteristik sampah itu sendiri, metode penimbunan,
peralatan yang digunakan, topografi lokasi penimbunan, pemanfaatan tanah bekas penimbunan, kondisi lingkungan sekitarnya, dan sebagainya. Fungsi lapisan penutup dalam teknik sanitary landfill adalah sebagai berikut: a. Mencegah berkembangnya vektor penyakit b. Mencegah penyebaran debu dan sampah ringan c. Mencegah tersebarnya bau dan gas yang timbul d. Mencegah kebakaran e. Menjaga agar pemandangan tetap indah f. Menciptakan stabilisasi lokasi penimbunan sampah g. Mengurangi volume air lindi Sehubungan dengan teknik sanitary landfill dalam pengolahan sampah, terdapat beberapa jenis bahan pencemar di lahan penimbunan sampah yaitu: a. Air lindi Air lindi keluar dari dalam tumpukan sampah karena masuknya rembesan air hujan ke dalam tumpukan sampah lalu bersenyawa dengan komponenkomponen hasil penguraian sampah. b. Pembentukan gas Penguraian bahan organik secara aerobik akan menghasilkan gas karbondioksida, sedangkan penguraian bahan organik pada kondisi anaerobik akan menghasilkan gas metana, H2S, dan NH3. Gas metana perlu ditangani karena merupakakn salah satu gas rumah kaca yang sifatnya mudah terbakar, sedangkan gas H2S, dan NH3 merupakan sumber bau yang tidak enak.
III. KERANGKA PEMIKIRAN Wilayah DKI Jakarta yang terbagi menjadi lima kota (Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara) setiap harinya menghasilkan sampah sebesar 6000 ton yang berasal dari berbagai aktivitas manusia, baik itu dari aktivitas rumah tangga, pembangunan, gedung, perdagangan, perkantoran, industri, dan jalan raya. Jumlah sampah wilayah DKI Jakarta yang sangat besar tidak diimbangi dengan alokasi wilayah untuk pengelolaan sampah. Wilayah DKI Jakarta tidak memiliki TPA untuk sampah yang mereka hasilkan. TPA Bantar Gebang ditunjuk oleh Pemprov DKI Jakarta sebagai TPA wilayah DKI Jakarta. Pengelolaan TPA Bantar Gebang sejak 1 Agustus 2004 telah diserahkan kepada pemerintah Kota Bekasi dan diolah dengan teknologi sanitary landfill dan Pemkot bekasi menunjuk PT PBB sebagai pihak swasta untuk mengelola TPA , namun mulai Desember 2008 pengelolaan sudah berpindahtangan kepada PT Gudang Tua Jaya sampai dengan tahun 2023. Dalam pelaksanaan pengelolaan, banyak terjadi penyimpangan antara lain terdapat beberapa zona pembuangan di TPA Bantar Gebang yang menggunakan sistem open dumping. Selain itu banyak terjadi kebocoran-kebocoran pipa yang menyalurkan air lindi sehingga menyebabkan pencemaran air. Jumlah sampah masuk yang terlalu banyak juga menjadi salah satu permasalahan TPA Bantar Gebang. Dampak dari keberadaan TPA Bantar Gebang sangat dirasakan oleh masyarakat sekitar TPA Bantar Gebang. Dampak yang dirasakan dapat berupa manfaat yang memberikan pendapatan bagi masyarakat di sekitar TPA
Bantargebang yang berprofesi sebagai pemulung. Namun kerugian yang dirasakan oleh masyarakat di sekitar TPA Bantar Gebang berupa pencemaran air sehingga masyarakat di sekitar TPA Bantar Gebang tidak dapat mengkonsumsi air sumur mereka lagi. Dampak yang diakibatkan oleh keberadaan TPA Bantar Gebang terlebih dahulu diidentifikasi. Identifikasi yang dilakukan termasuk identifikasi manfaat yang diakibatkan oleh keberadaan TPA Bantar Gebang maupun kerugian yang diakibatkan oleh keberadaan TPA tersebut. Dampak yang terjadi kemudian di estimasi dengan perhitungan pendapatan untuk manfaat yang diakibatkan oleh TPA Bantargebang dan dengan pendekatan cost of illness dan replacement cost untuk kerugian yang terjadi akibat keberadaan TPA Bantar Gebang bagi masyarakat di sekitar TPA Bantar Gebang. Estimasi manfaat dan kerugian yang diterima masyarakat di sekitar TPA Bantar Gebang akan dibandingkan untuk menentukan sistem pengelolaan sampah yang lebih baik. Studi literatur juga dilakukan sebagai pembanding sistem pengelolaan yang dilakukan oleh TPA selain TPA Bantar Gebang. Hal tersebut dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atau pihak PT Gudang Tua Jaya sebagai pengelola TPA. Alur berfikir penelitian ini dapat dilihat melalui Gambar 2.
Permasalahan sampah Pemprov DKI Jakarta : - Jumlah sampah yang terus meningkat - Tidak tersedianya tempat pengelolaan di Jakarta
Bantar Gebang sebagai TPA Jakarta : Jumlah sampah yang terlalu banyak Sistem pengelolaan yang konvensional
-
Dampak
-
Manfaat : Peningkatan pendapatan masyarakat Pemasukan Pemkot Bekasi Memiliki nilai daur ulang
-
Kerugian : Pencemaran air Pencemaran udara Pencemaran tanah Sarang penyakit Pengurangan estetika
Estimasi manfaat Estimasi kerugian
Perbandingan antara manfaat dan kerugian Pembelajaran penanganan sampah yang ada pada TPA lain
Studi literatur
IV.penanganan Metode Penelitian Sistem sampah di TPA Bantar Gebang yang lebih tepat dan baik Gambar 2. Kerangka pemikiran Sumber : Penulis (2009)
IV. METODE PENELITIAN
4.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di RW 04 Kelurahan Ciketing Udik,
Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi. Pemilihan lokasi tersebut ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa sebesar 65,74% dari luas wilayah TPA Bantar Gebang merupakan wilayah milik Kelurahan Ciketing Udik dan wilayah RW 04 yang menyatu dengan TPA Bantar Gebang. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei-Juni 2009. 4.2.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dengan cara wawancara kepada responden dan dengan observasi lapang. Responden merupakan satu orang individu wakil dari rumah tangga yang berada di wilayah RW 04 di sekitar TPA Bantar Gebang . Data sekunder pada penelitian ini diperoleh dari berbagai sumber yang relevan, diantaranya buku referensi, laporan kegiatan, internet, serta informasi dan sumber dari instansi terkait, seperti puskesmas pembantu Kelurahan Ciketing Udik, pusekesmas Kecamatan Bantar Gebang dan Dinas Kebersihan Kota Bekasi. Untuk lebih jelasnya, jenis sumber, dan metode yang digunakan disajikan pada Tabel 4. 4.3.
Teknik Pengambilan dan Pengumpulan Data Data primer diambil dengan teknik panduan wawancara dan responden
yang dipilih berdasarkan judgement/purposive sampling. Sampel penelitian berjumlah 48 orang yang akan dibagi menjadi tiga zona utama yaitu zona 1 yang berjarak < 1 km dari TPA, zona 2 yang berjarak 1-2 km dan zona 3 yang berjarak >2 km dari pusat TPA Bantar Gebang. Penentuan zona-zona tersebut didasari oleh
penelitian yang dilakukan oleh BKLH mengenai AMDAL bahwa tidak boleh ada pemukiman penduduk yang berjarak kurang dari 1 KM. Responden juga dibagi berdasarkan dengan profesi yang ditekuni, yaitu berupa masyarakat pemulung dan masyarakat non-pemulung untuk melihat perbandingan dampak yang diterima masyarakat. Tabel 4. Metode Penelitian Tujuan Identifikasi manfaat dan kerugian akibat TPA Bantar Gebang
Estimasi manfaat
Estimasi kerugian
Sistem pengelolaan
Data yang diperlukan Persepsi masyarakat mengenai manfaat dan kerugian akibat TPA Bantar Gebang Data pendapatan masyarakat yang bekerja bersumber dari TPA Bantar Gebang Data penyakit, pembelian air minum dan air untuk MCK, harga air minum, harga air PAM, biaya pengobatan, intensitas penyakit Sistem pengelolaan pada TPA lain
Sumber data
Metode
Data primer
Analisis deskriptif
Data primer
Penghitungan pendapatan
Data primer dan sekunder
Replacement cost (biaya pengganti) dan cost of illness(biaya kesehatan)
Data Sekunder
Studi Literatur
Sumber : Penulis (2009)
4.4.
Identifikasi manfaat dan kerugian Identifikasi dilakukan untuk mengetahui dampak apa saja yang dialami
oleh masyarakat akibat keberadaan TPA Bantar Gebang, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar TPA Bantar Gebang. Identifikasi ini dilakukan dengan cara kuesioner dan wawancara kepada masyarakat sebagai responden penelitian ini. Pertanyaan yang disampaikan berupa pertanyaan mengenai dampak apa yang mereka terima sebagai akibat keberadaan TPA di lingkungan tempat tinggal mereka. Dampak yang diterima masyarakat dapat berupa manfaat dan kerugian.
Manfaat yang diidentifikasi antara lain adalah berupa peningkatan pendapatan masyarakat, pemasukan Pemkot Bekasi, dan nilai daur ulang. Kerugian yang diidentifikasi pada penelitian ini antara lain pencemaran air, pencemaran udara, pencemaran tanah, sebagai sarang penyakit, dan pengurangan estetika Kota Bekasi. 4.5.
Teknik analisis data Penelitian ini menggunakan metode penghitungan pendapatan untuk
mengestimasi manfaat akibat keberadaan TPA Bantar Gebang yang berupa peningkatan pendapatan masyarakat akibat keberadaan TPA Bantar Gebang. Metode cost of ilness (biaya kesehatan)dan replacement cost (biaya pengganti) digunakan sebagai metode untuk mengestimasi kerugian yang dirasakan masyarakat di sekitar TPA Bantar Gebang akibat pencemaran. 4.5.1. Estimasi Manfaat Estimasi manfaat yang didapat oleh masyarakat dihitung melalui perhitungan pendapatan dengan menjumlahkan pendapatan yang didapat oleh masyarakat di sekitar TPA Bantar Gebang yang berprofesi sebagai pemulung. Estimasi dapat diketahui dengan menjumlahkan pendapatan rata-rata pemulung tiap tahunnya. Data pendapatan pemulung didapat dari wawancara dengan pemulung yang beroperasi di TPA Bantar Gebang dan tinggal di zona yang telah ditentukan. Pendapatan ditentukan dengan mengetahui jenis sampah apa saja yang dikumpulkan oleh pemulung tersebut, berapa banyak jumlah sampah yang dikumpulkan lalu dikonversikan ke dalam nilai ekonomi dengan mengalikan jumlah sampah yang telah dikumpulkan berdasarkan jenisnya dengan harga dari
sampah sesuai dengan jenisnya. Sehingga dapat ditentukan pendapatan pemulung yang berasal dari TPA Bantar Gebang. Estimasi total manfaat dari pemulung dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini : Estimasi total manfaat = I1+I2+…+In Ii = rata-rata pendapatan pemulung ke-i Manfaat juga dapat dirasakan oleh pegawai dari TPA Bantar Gebang yang bertempat tinggal di zona yang telah ditentukan. Untuk menentukan besarnya manfaat ini dilakukan wawancara dengan menanyakan berapa besar upah yang mereka terima sebagai pegawai dari TPA Bantar Gebang. 4.5.2. Estimasi Kerugian Kerugian yang diterima masyarakat diestimasi berdasarkan biaya kesehatan dan biaya pengganti, maka dilakukan analisis terhadap data-data yang telah dikumpulkan. Pencemaran dilihat dari asumsi pertama yaitu, biaya kesehatan akan dikeluarkan oleh masyarakat di sekitar TPA Bantar Gebang akibat dari mengkonsumsi air sumur dan menghirup udara di sekitar TPA Bantar Gebang. Biaya kesehatan juga dikeluarkan masyarakat untuk pengobatan akibat kerugian TPA sebagai sarang penyakit. Kedua, biaya pengganti akan dikeluarkan oleh masyarakat sebagai akibat dari penggantian konsumsi air karena air sumur mereka sudah tercemar akibat keberadaan TPA Bantar Gebang. Adapun analisis data yang dilakukan antara lain: 4.5.2.1. Pencemaran Air Kerugian akibat pencemaran air dilihat dari dua parameter. Pertama, terganggunya kesehatan masyarakat akibat tetap mengkonsumsi air sumur yang telah tercemar sampah yang berasal dari TPA Bantar Gebang yang akan
diidentifikasi dengan penyebaran kuesioner dan data sekunder dari puskesmas terdekat. Kedua, penggunaan sumber air lain akibat telah tercemarnya air sumur warga yang akan diidentifikasi dengan penyebaran kuesioner. Terganggunya kesehatan masyarakat akibat pencemaran air akan diestimasi dengan menggunakan metode biaya kesehatan yang ditanggung oleh masyarakat maupun stakeholders. Informasi yang akan digali menyangkut : (1) jenis penyakit, yaitu jenis peyakit apa yang diderita oleh responden akibat mengkonsumsi air sumur yang telah tercemar dan apakah penyakit tersebut merupakan penyakit keturunan atau tidak, (2) tingkat mengalami penyakit, yaitu seberapa sering responden mengalami penyakit, (3) biaya, yaitu seberapa besar biaya yang dikeluarkan oleh responden untuk mengobati penyakit yang diderita. Untuk memudahkan data ditabulasikan pada Tabel 5. Tabel 5 berisi data jenis penyakit, intensitas menderita penyakit, biaya pengobatan, total biaya pengobatan. Tabel 5. Biaya pengobatan akibat pencemaran air Wilayah / profesi
Jumlah Penderita (orang)
Biaya Pengobatan* (Rp)
Intensitas Penyakit dalam Satu Tahun*
Total Biaya Pengobatan /tahun (Rp)
Total *Puskesmas pembantu Kelurahan Ciketing Udik
Penggunaan sumber air lain akibat tercemarnya air sumur warga akan diestimasi dengan menggunakan metode biaya pengganti. Informasi yang akan digali menyangkut : (1) sumber air pengganti, yaitu darimana sumber air pengganti responden untuk kebutuhan rumah tangganya, (2) jumlah konsumsi air
pengganti, yaitu berapa besar jumlah konsumsi air pengganti yang gunakan responden, (3) biaya, yaitu berapa besar biaya yang dikeluarkan responden untuk mendapatkan sumber air pengganti. Untuk memudahkan data akan ditabulasikan ke dalam Tabel 6. Tabel 6 berisi sumber air pengganti, harga air pemgganti, jumlah konsumsi air pengganti, dan total biaya per sumber air. Tabel 6. Biaya pengganti akibat pencemaran air Wilayah / profesi
Jumlah Masyarakat Membeli Air (Orang)
Biaya Pembelian/minggu (Rp)
Biaya Pembelian/tahun (Rp)
Total
4.5.2.2. Pencemaran udara Kerugian akibat pencemaran udara dilihat dari terganggunya kesehatan masyarakat akibat terganggunya kesehatan masyarakat akibat menghirup udara yang telah tercemar. Hal tersebut diestimasi dengan metode biaya kesehatan yang ditanggung oleh masyarakat maupun stakeholders. Informasi yang akan digali menyangkut : (1) jenis penyakit, yaitu jenis peyakit apa yang diderita oleh responden akibat menghirup udara yang telah tercemar dan apakah penyakit tersebut merupakan penyakit keturunan atau tidak, (2) tingkat mengalami penyakit, yaitu seberapa sering responden mengalami penyakit, (3) biaya, yaitu seberapa besar biaya yang dikeluarkan oleh responden untuk mengobati penyakit yang diderita. Untuk memudahkan data akan ditabulasikan ke dalam Tabel 7. Tabel 7 berisi data jenis penyakit, intensitas menderita penyakit, biaya pengobatan, total biaya pengobatan.
Tabel 7. Biaya pengobatan akibat pencemaran udara Wilayah /profesi
Jumlah Penderita (orang)
Biaya Pengobatan* (Rp)
Intensitas Penyakit dalam Satu Tahun*
Total Biaya Pengobatan /tahun (Rp)
Total *Puskesmas pembantu Kelurahan Ciketing Udik
4.5.2.3. Kerugian Sebagai Sarang Penyakit Kerugian sebagai sarang penyakit diestimasi dengan metode biaya kesehatan yang ditanggung oleh masyarakat maupun stakeholders. Kerugian tersebut berupa biaya-biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk mengobati penyakit yang mereka derita akibat nyamuk, tikus, maupun sumber-sumber penyakit lain yang berasal dari TPA selain pencemaran udara dan pencemaran air. Untuk memudahkan data akan ditabulasikan ke dalam Tabel 8. Tabel 8 berisi data jenis penyakit, biaya pengobatan, intensitas menderita penyakit, dan total biaya pengobatan. Tabel 8. Biaya pengobatan akibat TPA sebagai sarang penyakit Wilayah Jumlah Biaya Intensitas Penyakit /profesi Penderita Pengobatan* dalam Satu Tahun* (orang) (Rp)
Total *Puskesmas pembantu Kelurahan Ciketing Udik
Total Biaya Pengobatan /tahun (Rp)
4.6. Batasan Penelitian Asumsi-asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Wilayah penelitian adalah Kelurahan Ciketing Udik. 2. Responden adalah warga Kelurahan RW 04 Ciketing Udik. 3. Warga RW 04 Kelurahan Ciketing Udik merasakan dampak akibat keberadaan TPA Bantargebang. 4. Penelitian diestimasi dalam kurun waktu satu tahun. Asumsi satu tahun adalah 52 minggu. 5. Semakin jauh jarak tempat tinggal maka dampak yang dirasakan juga semakin kecil. 6. Manfaat yang diestimasi hanya manfaat yang berupa pendapatan masyarakat akibat keberadaan TPA. 7. Kerugian yang diestimasi hanya kerugian yang berupa pencemaran air, pencemaran udara, dan kerugian berupa TPA sebagai sarang penyakit karena dianggap berdampak langsung terhadap biaya yang dikeluarkan masyarakat. 8. Biaya kesehatan yang diestimasi hanya biaya medis, sedangkan biaya nonmedis tidak diestimasi. 9. Kesehatan dianggap tidak mempengaruhi produktivitas pekerjaan. 10. Masyarakat yang menderita sakit berobat di Puskesmas pembantu Kelurahan Ciketing Udik atau Puskesmas Bantar Gebang I.
V. GAMBARAN UMUM 5.1.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
5.1.1. Gambaran Umum Ciketing Udik Kelurahan Ciketing Udik merupakan salah satu dari delapan kelurahan yang berada di bawah Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi. Tujuh kelurahan lainnya yaitu Kelurahan Sumur Batu, Padurenan, Cikiwul, Bantargebang, Mustika Jaya, Mustika sari, dan Cimuning. Secara administratif, Kelurahan Ciketing Udik berbatasan dengan Kelurahan Cikiwul di sebelah utara, Kabupaten Bogor di sebelah barat dan selatan, dan Kelurahan Sumur Batu di sebelah timur. Kelurahan Ciketing Udik memiliki luas areal sebesar 343,340 ha dan terbagi menjadi sembilan rukun warga (RW) 6. Jarak Kelurahan Ciketing Udik dari Kecamatan Bantar Gebang adalah 3 km dan letaknya tergolong strategis karena dapat dicapai melalui berbagai jalur, yaitu Cileungsi, Bekasi, dan Pondok Gede. Kelurahan Ciketing Udik berada di wilayah Pangkalan V dan dilewati berbagai macam jenis kendaraan seperti motor, mobil, bis antar kota, dan truk. Pemukiman penduduk Ciketing Udik terbagi menjadi
tiga kelompok,
yaitu pemukiman umum (tersebar di wilayah RW 01- RW 07), pemukiman komplek semi real estate (berada di wilayah RW 08 dan RW 09), dan pemukiman pemulung (berada di wilayah RW 04 dan RW 05). Sarana pendidikan yang ada di Kelurahan Ciketing Udik yaitu Sekolah Dasar Negeri (SDN) dan satu Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN). Selain itu, sarana kesehatan juga disediakan berupa satu pusat kesehatan masyarakat (PUSKESMAS) pembantu yang
6
Monografi Kelurahan Ciketing Udik, 2008
merupakan cabang dari PUSKESMAS Bantar Gebang dan melayani masyarakat Ciketing Udik tanpa pungutan biaya. Sarana olahraga yang ada di Ciketing Udik terdiri dari lapangan sepak bola dan lapangan voli. Sementara itu, juga terdapat masjid dan mushola di setiap rukun tetangga (RT) sebagai sarana peribadatan. 5.1.2. Kependudukan Menurut data yang diperoleh dari Kelurahan Ciketing Udik (2008), jumlah penduduk yang tercatat yaitu sebesar 17.534 jiwa yang terdiri dari 4.860 kepala keluarga (KK). Jumlah penduduk laki-laki terdiri dari 9.155 jiwa dan jumlah penduduk perempuan terdiri dari 8.379 jiwa. Kepadatan penduduk di Ciketing Udik yaitu sebesar 5.107 jiwa/km2. Rekapitulasi jumlah penduduk dapat dilihat pada Tabel 9. Penduduk Ciketing Udik terdiri dari dua golongan masyarakat, yaitu masyarakat umum dan masyarakat pemulung. Mata pencaharian penduduk Ciketing Udik yang tergolong masyarakat umum bertumpu pada sektor jasa dan perdagangan (85,07%). Penduduk yang bekerja di sektor ini termasuk pegawai negeri, pegawai swasta dan buruh pabrik, tukang kayu, tukang batu, penjahit, tukang cukur, jasa konstruksi angkutan sepeda motor, angkutan kendaraan umum, warung,dan toko. Selain itu terdapat pula penduduk yang bermata pencaharian di sektor pertanian (3,24%), peternakan (10,43%), industri rumah tangga (0,19%), dan industri besar (1,07%). Struktur mata pencaharian penduduk Ciketing Udik dapat dilihat pada tabel 10. Sementara itu, penduduk Ciketing Udik yang tergolong masyarakat pemulung berjumlah 8.000 jiwa 7 dan sifatnya musiman sehingga tidak dapat diduga dengan baik.
7
Hasil wawancara dengan Ketua Forum Masyarakat Pemulung Ciketing Udik
Tabel 9. Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin di Kelurahan Ciketing Udik Tahun 2008 Golongan Umur (Tahun) 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-35 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 ≥65 Total (orang)
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 823 827 682 638 773 741 803 683 719 708 574 592 847 773 641 585 667 613 638 547 587 472 571 526 436 349 394 325 9.155 8.379
Total (orang) 1.650 1.320 1.514 1.486 1.427 1.166 1.620 1.226 1.280 1.185 1.059 1.097 785 719 17.543
Sumber: Laporan Kependudukan Kelurahan Ciketing Udik (Sepetember 2008)
Sektor pertanian masih dijadikan mata pencaharian, tetapi bukan mata pencaharian utama, karena kualitas lahan pertanian Ciketing Udik yang sudah menurun dan mengakibatkan lahan pertanian tidak dapat memberikan hasil yang optimal. Pertanian yang masih dilakukan masyarakat meliputi pertanian tanaman perkebunan, buah-buahan, dan pertanian tanaman pangan. Sektor peternakan diminati juga oleh masyarakat sebagai mata pencaharian sampingan. Usaha industri RT yang dilakukan masyarakat seluruhnya merupakan industri makanan ringan, sementar industri sedang meliputi industri daur ulang limbah dan industri makanan ringan. 5.2.
Tempat Pembuangan Akhir Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang berlokasi di Kota
Bekasi dan merupakan satu-satunya tempat pembuangan sampah yang dimiliki pemprov DKI Jakarta. Jarak TPA dari Jalan Raya Narogong adalah 2 km. sebelumnya pernah ada TPA Kapuk Kamal, tetapi TPA tersebut ditutup
operasinya semenjak tahun 1993. Selain itu, pemerintah juga pernah mencanangkan akan membuka TPA di Tangerang, tetapi sampai saat ini belum ada realisasi, demikian dengan rencana pembukaan TPA Bojong Gede. Tabel 10. Struktur Mata Pencaharian Penduduk Ciketing Udik Tahun 2008 Struktur Mata Pencaharian Pertanian Peternakan Usaha Industri RT Usaha Industri Sedang Jasa dan Perdagangan Jumlah
Jumlah (orang)
Persentase (%) 175 563 10 58 4.594 5.400
3,24 10,43 0,19 1,07 85,07 100
Sumber: Daftar Isian Potensi Daerah (2008)
Kontur tanah asal dari TPA merupakan lahhan kritis (tanah bekas galian). Pembebasan lahan dilakukan pada tahun 1986-1987 dengan luas lahan mencapai 108 ha yang berada di wilayah Kelurahan Ciketing Udik, Sumur Batu, dan Cikiwul. Pada awal pendirian TPA Bantar Gebang telah dilakukan studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) oleh BKLH DKI Jakarta dan BKLH Jawa Barat dan ditetapkan dalam radius 1 km dari TPA tidak diperbolehkan ada pemukiman penduduk, tetapi pada prakteknya, bahkan sampai radius 50 m dari TPA masih terdapat pemukiman penduduk. TPA Bantar Gebang memiliki lima zona pembuangan sampah yang penggunaannya disesuaikan dengan ketetapan perencanaan periode. Zona 1 memiliki luas 25 ha (luas efektif sebesar 18,8 ha) dan digunakan pada tahun 19881991. Zona 2 memiliki luas total sebesar 23 ha (luas efektif sebesar 20 ha) dan digunakan pasa periode waktu 1993-1997. Zona 3 memiliki luas total sebesar 34 ha (luas efektif sebesar 23,3 ha) yang dipergunakan pada periode waktu tahun 1994-1997. Zona 4 digunakan pada tahun 1988-2000 dengan luas total sebesar 13 ha (luas efektif sebesar 11,5 ha), dan zona 5 yang dipergunakan pada tahun 20012002 memiliki luas total sebesar 12 ha (luas efektif sebesar 9,5 ha).
Pada awal penggunaannya, TPA Bantar Gebang dikelola langsung oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta dengan sistem open dumping. Tetapi, terhitung mulai tanggal 1 Agustus 2004, atas kesepakatan Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi, ditunjuk suatu perusahaan swasta yaitu PT Patriot Bangkit Bekasi (PT PBB) untuk melakukan pengolahan sampah yang masuk ke TPA Bantargebang.Pemprov DKI Jakarta membayar tipping fee kepada PT PBB sebesar Rp 52.500 sebagai biaya pengelolaan untuk setiap ton sampah yang masuk ke TPA. Biaya tersebut mencakup biaya dana kompensasi yang harus diserahkan sebagai ganti rugi kepada warga yang bertempat tinggal di sekitar wilayah TPA Bantar Gebang. Kontrak pengelolaan TPA Bantar Gebang telah pindah tangan semenjak Desember 2008 yang diserahkan kepada PT Gudang Tua Jaya yang kontraknya akan berakhir sampai pada tahun 2023. Pengelolaan sampah di TPA Bantar Gebang dilakukan dengan sistem sanitary landfill. Dengan tahapan pengoperasian TPA adalah sebagai berikut: 1. Sebelum dioperasikan, setiap zona TPA terlebih dulu di konstruksi. Tahapan konstruksi lahan: a. Lahan 0% b. Cut dan fill c. Pembentukan tanggul d. Pemadatan landasan lahan e. Pemasangan geomembran dan galian jalur pipa air lindi f. Pelapisan geotekstil g. Pelapisan tanah pelindung, pekerjaan pasir, pemasangan pipa air lindi, dan pekerjaan koral
h. Lahan siap pakai 2. Air lindi dialirkan ke kolam-kolam pengolahan IPAS dengan sistem pipanisasi. 3. Proses pemusnahan sampah: a. Penimbangan (akibat kerusuhan Desember 2001, jembatan tiang mengalami ganguan teknis) b. Pembongkaran (penurunan sampah dengan menggunakan excavator) c. Penyebaran dan pemadatan (perataan sampah oleh bulldozer dan pemadatan dengan landfill compactor) d. Penutupan akhir Air lindi yang dihasilkan sampah dialirkan ke kolam-kolam penampungan Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS). Di TPA Bantar Gebang terdapat empat IPAS yang beroperasi. Setiap IPAS memiliki enam kolam penampungan yang melakukan tahapan pengolahan air lindi yangberbeda-beda yaitu: 1. Ekualisasi (persamaan konseentrasi) dan proses aerisasi. Terdapat tiga tahap ekualisasi, yaitu penghilangan amoniak, penurunan kadar BOD (biochemical Oxygen Demand), dan penurunan kadar COD (chemical Oxygen Demand). 2. Proses kimia. Tahapan dalam proses kimia yaitu netralisasi asam-basa, koagulasi, dan flokulasi. 3. Chemical clarifier (pemisahan antara cairan dengan lumpur) 4. Oksidasi 5. Biologocal clarifier (sedimentasi) 6. Polisingpod dan cleanwater
Setelah itu sampah diolah sesuai tahapan tersebut, kemudian akan dihasilkan air yang sesuai dengan standar layak baku mutu dan dapat dialirkan ke badan air (sungai). Standar layak baku mutu air meliputi: 1. pH berkisar antara 6-9 2. konduktivitas tidak terlalu tinggi (di bawah 30 µs/Nm) 3. kadar BOD 150 mg/l 4. kadar COD 300 mg/l 5.3.
Karakteristik Responden Karakteristik umum responden di Kelurahan Ciketing Udik diperoleh
berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 48 wakil dari setiap rumah tangga RW 04 Kelurahan Ciketing Udik. Karakteristik umum ini terdiri dari beberapa variabel meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan formal, jenis pekerjaan, dan lama tinggal di Ciketing Udik. 5.3.1. Jenis Kelamin Sebagian besar responden yang masuk dalam survei adalah laki-laki, yaitu berjumlah 31 orang (65%), sedangkan responden perempuan berjumlah 17 orang (35%). Dominasi responden laki-laki dikarenakan pada umumnya kepala keluarga sebagai pengambil keputusan dalam suatu rumah tangga adalah laki-laki sehingga untuk menjawab pertanyaan yang diajukan dalam survei laki-laki lebih berperan. Perbandingan antar responden laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada Gambar 3.
Jenis Kelamin 35% Laki-laki Perempuan
65%
Gambar 3. Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin Sumber : Dikumpukan penulis dari hasil survey (2009)
5.3.2. Usia Tingkat usia responden tergolong bervariasi dengan distribusi usia antara kurang dari 24 tahun sampai dengan lebih dari 50 tahun. Jumlah responden teringgi berada pada selang umur lebih 30-34 tahun, yaitu berjumlah 10 orang (21% ). Responden yang berusia < 24 tahun memiliki jumlah responden yang paling sedikit yaitu berjumlah 4 orang. Perbandingan distribusi usia responden dapat dilihat pada Gambar 4.
Usia
< 24
8%
10%
25-29
15%
19%
30-34 35-39
40-44 21%
13% 15%
45-49 >50
Gambar 4. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Sumber : Dikumpulkan penulis dari hasil survey (2009)
5.3.3. Pendidikan Formal Tingkat pendidikan responden bervariasi, mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai dengan jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), tetapi ada
beberapa responden yang tidak mengikitu proses pendidikan formal. Sebanyak 6 responden (13%) tidak menempuh pendidikan formal, sebanyak 11 orang responden (23%) menempuh pendidikan sampai jenjang SD, 9 orang responden (19%) menempuh pendidikan sampai jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan 22 orang responden (46%) menempuh pendidikan sampai pada jenjang SMA. Responden penelitian ini tidak ada yang mencapai tingkat pendidikan pada jenjang perguruan tinggi, karena kesadaran mereka akan pendidikan yang tergolong rendah. Selain itu, faktor lemahnya kondisi ekonomi juga menjadi alasan sehingga tidak ada biaya untuk sekolah. Perbandingan persentase tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 5.
Tingkat Pendidikan 13% Tidak Bersekolah
46%
23%
SD SMP SMA
19%
Gambar 5. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Sumber : Dikumpulkan penulis dari hasil survey (2009)
5.3.4. Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan responden Ciketing Udik bervariasi, mulai dari responden yang bekerja dari TPA, responden yang bekerja pada sektor jasa, ibu rumah tangga, dan terdapat sebagian responden yang tidak bekerja. Responden yang bekerja bersumber dari TPA termasuk pemulung, pengumpul plastik, penyobek plastik, pengumpul besi dan kayu. Responden yang bekerja pada sektor jasa mencakup pegawai swasta, buruh pabrik, penjual sayur, pedagang kelontong.
Mayoritas pekerjaan responden adalah pekerjaan yang bersumber dari TPA, hal ini mengingat jarak yang dekat dengan TPA dan tingkat pendidikan dari responden yang tergolong rendah. Perbandingan persentase jumlah responden pada setiap jenis pekerjaan dapat dilihat pada Gambar 6.
Jenis Pekerjaan 21% 33% Bersumber dari TPA Jasa Ibu rumah tangga 23%
Tidak bekerja 23%
Gambar 6. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan Sumber : Dikumpulkan penulis dari hasil survey (2009)
5.3.5. Lama Tinggal Responden dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan lamanya responden berdomisili di RW 04 Kelurahan Ciketing Udik, yaitu penduduk asli dan penduduk pendatang. Mayoritas responden adalah penduduk asli karena sudah tinggal di wilayah RW 04 Kelurahan Ciketing Udik lebih dari 10 tahun. Sebagian responden yang nerupakan penduduk pendatang datang ke RW 04 Kelurahan Ciketing Udik karena adanya TPA yang menjadi sumber pendapatan, tetapi ada pula penduduk yang terpaksa tinggal di RW 04 Kelurahan Ciketing Udik karena terpaksa (ikut dengan suami, harga tanah di tempat lain yang mahal, dan alasan-alasan lainnya). Persentase perbandingan jumlah responden berdasarkan lama tinggal dapat dilihat pada Gambar 7.
Lama Tinggal 17% 8%
< 5 tahun 5-10 tahun > 10 tahun
75%
Gambar 7. Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Tinggal Sumber : Dikumpulkan penulis dari hasil survey (2009)
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Identifikasi Manfaat dan Kerugian Akibat Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang Keberadaan tempat pembuangan akhir memberikan dampak kepada masyarakat. Dampak yang diberikan dapat berupa manfaat dan kerugian. Dampak yang dirasakan masyarakat akibat keberadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) diidentifikasi dengan analisis persepsi masyarakat. Pada saat pelaksanaan penelitian, para responden diberi pilihan mengenai dampak keberadaan TPA terhadap masyarakat. Manfaat antara lain : peningkatan pendapatan masyarakat, salah satu sumber pendapatan pemerintah Kota Bekasi, memiliki nilai daur ulang. Pilihan untuk kerugian antara lain: pencemaran air, pencemaran udara, pencemaran tanah, sarang penyakit, dan pengurangan estetika Kota Bekasi. 6.1.1. Identifikasi Manfaat Akibat Keberadaan TPA Bantar Gebang Hasil penelitian menunjukkan bahwa pihak responden memberikan persepsi bahwa keberadaan TPA memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar TPA. Persepsi dari masyarakat mengenai manfaat dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8 menunjukkan bahwa menurut masyarakat manfaat yang timbul akibat keberadaan TPA adalah peningkatan pendapatan, salah satu sumber pendapatan pemerintah Kota Bekasi, dan memiliki nilai daur ulang. Seluruh masyarakat memberikan persepsi bahwa keberadaan TPA Bantar Gebang memberikan manfaat berupa pendapatan bagi masyarakat. Hal tersebut dikarenakan masyarakat menilai bahwa banyak masyarakat yang bekerja bersumber dari TPA Bantar Gebang. Pekerjaan yang ditekuni masyarakat antara lain adalah pemulung, penyobek plastik, pengumpul plastik, pengumpul besi, pengumpul kayu, dan lain-lain.
Nilai daur ulang
6% 0% 6% 81%
Pemasukan PemKot Bekasi
> 2 km
19% 0%
1-2 km 100% 100% 100%
Peningkatan pendapatan
0%
20%
40%
60%
80%
< 1 km
100% 120%
Gambar 8. Persepsi Manfaat Masyarakat akibat Keberadaan TPA Berdasarkan Jarak Dari TPA Sumber : Dikumpulkan penulis dari survey (2009)
Dalam hal manfaat keberadaan TPA sebagai salah satu sumber pendapatan pemerintah Kota Bekasi masyarakat yang bertempat tinggal > 2 km memberikan penilaian paling besar (81%), masyarakat yang bertempat tinggal 1-2 km (19%), sedangkan masyarakat yang bertempat tinggal < 1 km tidak menilai keberadaan TPA memberikan manfaat sebagai salah satu pemasukan bagi pemerintah Kota Bekasi. Banyaknya masyarakat yang tidak mengetahui bahwa pemerintah DKI Jakarta membayar kepada pemerintah Kota Bekasi menjadi salah satu penyebab masyarakat tidak memberikan penilaian ini sebagai manfaat dari TPA. Nilai daur ulang hanya diberikan penilaian oleh masyarakat yang tinggal < 1 km dan > 2 km sebagai manfaat dengan persentase yang sama yaitu 6%. Hasil penelitian juga menunjukkan perbedaan persepsi mengenai manfaat yang diberikan akibat keberadaan TPA Bantar Gebang antara masyarakat yang berpendapatan berasal dari TPA dengan masyarakat yang berpendapatan bukan dari TPA. Perbedaan tersebut didasari dengan adanya perbedaan profesi yang ditekuni oleh masyarakat. Masyarakat dengan profesi sebagai pemulung kurang
mengetahui manfaat yang terjadi karena sebagian besar masyarakat pemulung tersebut adalah pendatang. Persepsi masyarakat mengenai manfaat akibat keberadaan TPA Bantar Gebang berdasarkan profesi dapat dilihat pada Gambar 9.
4% 4%
Nilai daur ulang
Pendapatan tidak bersumber dari TPA Pendapatan bersumber dari TPA
54%
Pemasukan Pemkot Bekasi
13% 100% 100%
Peningkatan pendapatan
0%
50%
100%
150%
Gambar 9. Persepsi Manfaat Masyarakat akibat Keberadaan TPA Berdasarkan Profesi Sumber : Dikumpulkan penulis dari survey (2009)
Pada Gambar 9 seluruh masyarakat yang berpendapatan berasal dari TPA (masyarakat pemulung) maupun masyarakat yang berpendapatan tidak berasal dari TPA (masyarakat non-pemulung) menilai manfaat yang diberikan TPA Bantar Gebang berupa peningkatan pendapatan. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat bekerja berasal dari TPA, sehingga masyarakat merasakan dampak langsung dengan mendapatkan pendapatan dari TPA Bantar Gebang ataupun hanya melihat dan mendengar cerita. Manfaat TPA Bantar Gebang sebagai salah satu pemasukan Pemkot Bekasi diberi penilaian sebesar 13% oleh masyarakat pemulung dan 54% oleh masyarakat non-pemulung. Hal tersebut terjadi akibat masyarakat pemulung yang sebagian besar adalah masyarakat pendatang (madura, wonogiri, indramayu, bogor, dll) sehingga mereka tidak mengetahui mengenai manfaat berupa pemsukan bagi Pemkot Bekasi. Masyarakat
pemulung dan non-pemulung sama-sama memberikan persepsi sebesar 4% untuk manfaat TPA Bantar Gebang menimbulkan nilai daur ulang. 6.1.2. Identifikasi Kerugian Akibat Keberadaan TPA Bantar Gebang Keberadaan TPA juga dinilai masyarakat memberikan dampak berupa kerugian
kepada mereka yang bertempat tinggal di sekitar TPA. Persepsi
masyarakat mengenai kerugian yang dirasakan dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10 menunjukkan bahwa kerugian yang dirasakan oleh masyarakat adalah terjadinya pencemaran air, pencemaran udara, menjadi sarang penyakit, dan pengurangan nilai estetika. Pencemaran tanah tidak dirasakan oleh masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar TPA karena masyarakat masih dapat memanfaatkan lahan untuk menanam, bahkan ada beberapa masyarakat yang menanam padi.
88%
Pengurangan Estetika
100%
0% 38% 38%
Sarang penyakit 0%
> 2 km 100%
Pencemaran udara
88% 94%
1-2 km < 1 km
38%
Pencemaran air
88% 94% 0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
Gambar 10. Persepsi Kerugian Masyarakat Akibat Keberadaan TPA Berdasarkan Jarak Sumber : Dikumpulkan penulis dari hasil survey (2009)
Pencemaran air dirasakan paling besar oleh masyarakat yang bertempat tinggal < 1 km (94%), pencemaran air juga dirasakan oleh masyarakat yang
bertempat tinggal antara 1-2 km (88%) dan > 2 km (38%). Warga yang bertempat tinggal < 1 km paling besar merasakan pencemaran air karena lokasi wilayah tempat tinggal mereka yang menyatu dengan wilayah TPA, bahkan air yang berasal dari wilayah < 1 km secara fisik sudah berbau dan berwarna sehingga masyarakat tidak dapat memanfaatkannya lagi sebagai sumber minum sehari-hari. Udara yang bercampur dengan bau yang ditimbulkan oleh sampah yang berada di TPA sangat dirasakan masyarakat, hal ini dapat dilihat dari penilaian masyarakat dari pencemaran udara yang terjadi akibat keberadaan TPA. Pencemaran udara dirasakan paling besar oleh masyarakat yang bertempat tinggal > 2 km (100%), lalu < 1 km (94%), dan 1-2 km (88%). Masyarakat yang bertempat tinggal > 2 km merasa paling terganggu dengan pencemaran udara, apalagi saat tiba musim penghujan dimana sampah yang datang semakin banyak sehingga bau yang ditimbulkan bertambah dan arah angin yang bertiup akan menambah bau tersebut. Tetapi beberapa masyarakat merasa sudah biasa dengan bau tersebut sehingga menilai bau tersebut bukan sebagai kerugian akibat keberadaan TPA. Berbagai penyakit dirasakan muncul akibat keberadaan TPA tersebut. Terlihat dari penilaian masyarakat yang bertempat tinggal antara 1-2 km dan > 2 km yaitu sebesar 38%. Masyarakat menilai bahwa keberadaan TPA menyebabkan banyaknya nyamuk yang muncul sebagai akibat dari menumpuknya sampah apalagi pada musim-musim tertentu, sehingga TPA dinilai sebagai sarang penyakit yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Sementara masyarakat yang bertempat tinggal < 1 km tidak melihat hal tersebut sebagai kerugian karena
mereka telah terbiasa dengan kondisi lingkungan tersebut, karena wilayah tempat tinggal mereka yang berdempet dengan TPA. Pengurangan estetika dirasakan pula oleh masyarakat sebagai kerugian yang diakibatkan oleh keberadaan TPA. Kerugian ini dirasakan paling besar oleh masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah 1-2 km (100%), > 2 km (88%). Masyarakat merasa terganggu dengan kondisi sampah yang menumpuk sehingga tidak sedap dipandang mata. Masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah < 1 km tidak memandang keberadaan TPA mengurangi estetika lingkungan tempat tinggal mereka. Hal ini dikarenakan mereka merasa bahwa TPA tersebut sudah menjadi bagian dari lingkungan tempat tinggal mereka sehingga mereka telah terbiasa dengan kondisi lingkungan tersebut. Berdasarkan profesi yang ditekuni masyarakat, terjadi pula perbedaan persepsi terhadap kerugian yang dirasakan. Masyarakat yang berprofesi sebagai pemulung menilai bahwa kerugian yang dirasakan jauh lebih kecil dibandingkan dengan manfaat yang diterima, sedangkan masyarakat non-pemulung menilai bahwa kerugian yang diterima jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diterima. Persepsi masyarakat mengenai kerugian akibat keberadaan TPA Bantar Gebang berdasarkan profesi dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11 menunjukkan masyarakat pemulung memberikan penilaian kerugian berupa pencemaran air akibat keberadaan TPA Bantar Gebang sebesar 92%, sedangkan masyarakat non-pemulung sebesar (54%). Hal ini terkait dengan jarak pemukiman masyarakat pemulung yang hampir seluruhnya berdempet dengan lokasi TPA, sehingga pencemaran air sangat dirasakan oleh masyarakat pemulung. Kerugian masyarakat berupa pencemaran udara diberi penilaian oleh
masyarakat pemulung sebesar 88% dan oleh masyarakat non-pemulung sebesar 100%. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar masyarakat pemulung telah terbiasa dengan udara di sekitar TPA yang menimbulkan bau yang cukup menyengat.
83%
Pengurangan Estetika
42% Pendapatan tidak bersumber dari TPA
38%
Sarang penyakit
13%
Pendapatan bersumber dari TPA
100% 88%
Pencemaran udara
54%
Pencemaran air
92% 0%
50%
100%
150%
Gambar11 : Persepsi Kerugian Masyarakat Akibat Keberadaan TPA Bantargebang Berdasarkan Profesi Sumber : Dikumpulkan penulis dari hasil survey (2009)
Sarang penyakit sebagai kerugian akibat keberadaan TPA Bantar Gebang dinilai oleh masyarakat pemulung sebesar 13% dan masyarakat non-pemulung 38%. Sebagian besar masyarakat pemulung tidak menganggap hal tersebut sebagai kerugian akibat keberadaan TPA Bantar Gebang dikarenakan mereka telah terbiasa dengan kondisi lingkungan TPA yang juga menjadi lahan mereka bekerja. Pengurangan estetika juga dinilai kecil oleh masyarakat pemulung (42%), sedangkan oleh masyarakat pemulung sebesar 83%. Hal tersebut dikarenakan masyarakat pemulung telah menganggap TPA sebagai bagian dari tempat tinggal mereka, karena pada umumnya masyarakat pemulung tinggal di sekitar TPA.
6.2.
Estimasi Manfaat dan Kerugian Akibat Keberadaan TPA Bantar Gebang
6.2.1. Estimasi Manfaat Akibat Keberadaan TPA Bantar Gebang Keberadaan TPA Bantar Gebang sedikit banyak memberikan manfaat bagi masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar TPA tersebut, antara lain pembukaan lapangan pekerjaan baru sehingga mereka mampu mendapatkan penghasilan dari bekerja di TPA tersebut. Pekerjaan tersebut dapat berupa menjadi pemulung, penyobek plastik, pemungut kayu, sampai dengan pemilik lapak. Manfaat yang berupa penerimaan pendapatan masyarakat dapat diestimasi melalui seberapa besar masyarakat di sekitar wilayah TPA Bantar Gebang yang bekerja bersumber dari TPA tersebut seperti menjadi pemulung, penyobek plastik, penggepeng kaleng (besi), pengumpul. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, masyarakat mendapatkan penghasilan dari TPA Bantar Gebang sebagai penyobek plastik, pengumpul plastik, dan penggepeng besi. Manfaat yang dirasakan masyarakat dapat dilihat dari Tabel 11. Tabel 11. Pendapatan Bersumber dari TPA Bantar Gebang Wilayah < 1km
Pendapatan/minggu (Rp) 2.006.750
Pendapatan/tahun (Rp) 104.351.000
1-2 km
1.523.000
79.196.000
>2 km
0
0
3.529.750
183.547.000
Total (Rp) Sumber : Dikumpulkan penulis dari survey (2009)
Dari Tabel 11 manfaat yang dirasakan oleh masyarakat sebesar Rp 183.547.000. Nilai ini didapat dari penjumlahan pendapatan rata-rata total
masyarakat yang bekerja bersumber dari TPA selama satu tahun dengan rata-rata waktu bekerja mereka adalah 6-7 hari dalam satu minggu dan dengan asumsi 52
minggu dalam satu tahun. Nilai tersebut bisa saja menjadi lebih besar apabila seluruh responden bekerja bersumber dari TPA Bantar Gebang. Manfaat terbesar dirasakan oleh masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah < 1 km (Rp104.351.000) dalam satu tahun, hal tersebut dikarenakan jarak wilayah < 1 km yang berdempet dengan TPA Bantar Gebang sehingga orientasi pekerjaan masyarakat di wilayah < 1 km bersumber dari TPA. Pada wilayah 1-2 km, masyarakat mendapatkan manfaat dari peningkatan pendapatan adalah sebesar Rp 79.196.000 dalam satu tahun. Masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah >2 km tidak mendapatkan manfaat (Rp 0), hal ini dikarenakan tidak adanya responden yang bertempat tinggal di wilayah > 2 km yang bekerja bersumber dari TPA. 6.2.2. Estimasi Kerugian Akibat Keberadaan TPA Bantar Gebang Kerugian yang dialami oleh masyarakat akibat keberadaan TPA Bantar Gebang dinilai dengan dua metode yaitu biaya pengganti dan biaya pengobatan. Biaya pengganti dikeluarkan oleh masyarakat akibat pembelian sumber air karena sumber air yang biasa mereka gunakan tercemar akibat keberadaan TPA Bantar Gebang. Pengeluaran biaya pengganti akibat keberadaan TPA Bantar Gebang untuk sumber air minum dapat dilihat pada Tabel 12. Pada Tabel 12 didapat nilai sebesar Rp12.168.000. Nilai tersebut didapat dari nilai pembelian responden atas sumber air pengganti untuk sumber air minum. Untuk sumber minum dan memasak responden membeli air galon(air minum dalam kemasan) sebagai pengganti air sumur yang biasa mereka gunakan untuk kebutuhan minum dan memasak sehari-hari.
Tabel 12. Biaya Pengganti Untuk Sumber Minum Akibat Pencemaran Air Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal Wilayah
1-2 km
Jumlah Masyarakat Membeli Air (Orang) 14 4
Biaya Pembelian Air Minum/minggu (Rp) 201.000 33.000
Biaya Pembelian Air Minum/tahun (Rp) 10.452.000 1.716.000
>2 km
0
0
0
234.000
12.168.000
< 1km
Total (Rp) Sumber : Dikumpulkan penulis dari survey (2009)
Masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah < 1 km hampir seluruhnya (14 orang) menggunakan air galon untuk sumber air minum dan keperluan memasak mereka. Hal ini disebabkan karena air sumur di lingkungan mereka sudah tidak layak untuk digunakan sebagai keperluan minum karena secara fisik sudah tercemar (berwarna dan berbau). Masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah antara 1- 2 km hanya sebesar 4 orang yang menggunakan air galon sebagai pengganti sumber air minum, hal ini dikarenakan hanya sebagian wilayah 1-2 km yang baru tercemar akibat keberadaan TPA selain karena wilayah penelitian antara 1-2 km yang lebih tinggi dibanding wilayah TPA Bantargebang. Masyarakat yang bertempat tinggal pada wilayah
> 2 km tidak ada yang
menggunakan sumber air pengganti untuk keperluan minum dan memasak karena masyarakat menilai air sumur di wilayah mereka dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari. Berdasarkan profesi yang ditekuni masyarakat, sebagian besar masyarakat pemulung menggunakan sumber air pengganti untuk sumber air minum. Hal ini diakibatkan sumber air yang dimiliki masyarakat pemulung telah tercemar, karena masyarakat pemulung bertempat tinggal di sekitar TPA Bantar Gebang. Masyarakat non-pemulung hanya sebagian kecil yang menggunakan sumber air
pengganti sebagai sumber air minum, karena jarak tempat tinggal mereka yang cukup jauh dan lebih tinggi dari TPA Bantar Gebang. Pengeluaran biaya pengganti untuk sumber air minum berdasarkan profesi dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Biaya Pengganti Untuk Sumber Minum Akibat Pencemaran Air Berdasarkan Profesi Profesi
Pemulung
Jumlah Masyarakat Membeli Air (Orang) 16
Biaya Pembelian Air Minum/minggu (Rp) 194.000
10.088.000
2
40.000
2.080.000
234.000
12.168.000
Non-pemulung Total (Rp)
Biaya Pembelian Air Minum/tahun (Rp)
Sumber : Dikumpulkan penulis dari survey (2009)
Pada Tabel 13 terlihat bahwa masyarakat pemulung lebih banyak mengeluarkan biaya untuk membeli sumber air pengganti sebagai sumber air minum mereka. hal tersebut dikarenakan sumber air mereka yang sudah tidak dapat dikonsumsi sebagai air minum karena secara fisik sudah tidak layak untuk digunakan, sedangkan masyarakat non-pemulung hanya sebagian kecil yang menggunakan sumber air pengganti sebagai sumber air minum. Pada Tabel 13 terlihat pula bahwa kerugian akibat keberadaan TPA lebih besar dirasakan oleh masyarakat pemulung dibandingkan masyarakat non-pemulung. Untuk keperluan MCK (mandi, cuci, kakus) hanya sebanyak 2 masyarakat yang menggunakan sumber air pengganti. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat masih menilai bahwa air yang berada di wilayah mereka masih aman digunakan untuk keperluan MCK walaupun air di wilayah mereka sudah berwarna dan berbau. Biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk keperluan MCK akibat tercemarnya sumber air masyarakat akibat keberadaan TPA Bantar Gebang dapat
dilihat pada Tabel 14. Biaya untuk pembelian sumber air pengganti untuk keperluan MCK ditentukan berdasarkan jumlah konsumsi air penduduk kota menurut Wardhana (2004) dengan berbagai penyesuaian dan dikalikan dengan harga air perm3 yang berlaku di Kota Bekasi. Tabel 14. Biaya Pengganti Untuk Keperluan MCK Akibat Pencemaran Air Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal Wilayah < 1 km
Jumlah Masyarakat Membeli Air (orang) 2
Biaya/bulan (Rp) 60.275
Biaya/tahun (Rp) 723.300
1-2 km
0
0
0
>2 km
0
0
0 723.300
Total Sumber : Dikumpulkan penulis dari survey (2009)
Berdasarkan profesi yang ditekuni masyarakat, hanya sebagian kecil masyarakat pemulung yang menggunakan sumber air pengganti untuk keperluan MCK, sedangkan masyarakat non-pemulung tidak menggunakan sumber air pengganti untuk keperluan MCK. Biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk keperluan MCK akibat tercemarnya sumber air masyarakat berdasarkan profesi akibat keberadaan TPA Bantar Gebang dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Biaya Pengganti Untuk Keperluan MCK Akibat Pencemaran Air Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal Profesi Pemulung
Jumlah Masyarakat Membeli Air (orang) 2
Non-pemulung
0
Biaya/bulan (Rp) 60.275
Biaya/tahun (Rp) 723.300
0
0
Total
723.300
Sumber : Dikumpulkan penulis dari survey (2009)
Kerugian yang ditimbulkan oleh keberadaan TPA Bantar Gebang akibat pencemaran air tidak hanya membuat masyarakat mengeluarkan biaya untuk mengganti sumber air yang biasa mereka gunakan tetapi juga
berpengaruh
terhadap kesehatan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar TPA. Pencemaran air yang terjadi membuat masyarakat menderita penyakit akibat air yang tercemar tersebut antara lain penyakit pencernaan, kulit, dan pernafasan. Kerugian yang dialami masyarakat akibat penyakit pencernaan berdasarkan jarak tempat tinggal dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Biaya Pengobatan Penyakit Pencernaan Akibat Pencemaran Air Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal Wilayah
Jumlah Penderita (orang)
Biaya Pengobatan (Rp)
< 1 km
1
26.000
Intensitas Penyakit dalam Satu Tahun 3
Total Biaya Pengobatan /tahun (Rp) 78.000
1-2 km
2
26.000
3
156.000
>2 km
0
26.000
3
0
Total
234.000
Sumber : Dikumpulkan penulis dari survey (2009)
Pada Tabel 16 kerugian akibat penyakit pencernaan yang diakibatkan oleh keberadaan TPA Bantargebang adalah sebesar Rp 234.000. Nilai tersebut didapat dari biaya pengobatan masyarakat yang terkena penyakit pencernaan selama satu tahun. Penyakit pencernaan yang diderita oleh masyarakat adalah diare. Masyarakat yang menderita penyakit pencernaan tersebut dikarenakan masih menggunakan air sumur sebagai keperluan minum dan memasak sehari-hari. Penyakit pencernaan dialami oleh masyarakat yang berempat tinggal < 1 km dan antara 1-2 km, hal tersebut dikarenakan sumber air masyarakat yang tinggal pada jarak tersebut telah tercemar air lindi yang dihasilkan TPA Bantar Gebang. Berdasarkan pekerjaan yang ditekuni masyarakat, masyarakat pemulung yang menderita panyakit pencernaan sebesar 2 orang, sedangkan masyarakat nonpemulung sebesar 1 orang. Hal tersebut diakibatkan karena sebagian besar masyarakat pemulung masih menggunakan air sumur mereka untuk kebutuhan
memasak mereka sehingga tidak menutup kemungkinan untuk terkena pwnyakit pencernaan . Kerugian masyarakat berupa penyakit pencernaan akibat keberadaan TPA Bantar Gebang berdasarkan profesi dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Biaya Pengobatan Penyakit Pencernaan Akibat Pencemaran Air Berdasarkan Profesi Profesi
Jumlah Penderita (orang)
Biaya Pengobatan (Rp)
Pemulung
2
26.000
Intensitas Penyakit dalam Satu Tahun 3
Non-pemulung
1
26.000
3
Total
Total Biaya Pengobatan /tahun (Rp) 156.000 78.000 234.000
Sumber : Dikumpulkan penulis dari survey (2009)
Selain penyakit pencernaan, pencemaran air juga mengakibatkan penyakit kulit. Penyakit kulit yang diderita responden sebagian besar adalah gatal-gatal. Hal tersebut diakibatkan responden tetap menggunakan air sumur yang sudah tercemar untuk keperluan MCK. Kerugian masyarakat yang diderita akibat penyakit kulit yang diderita masyarakat dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 menunjukkan nilai sebesar Rp 52.000 yang didapat dari biaya pengobatan masyarakat yang menderita penyakit kulit selama satu tahun. Masyarakat yang menderita penyakit kulit adalah masyarakat pendatang yang belum lama tinggal di sekitar daerah TPA Bantar Gebang, sehingga kondisi tubuh mereka yang masih belum dapat beradaptasi seperti masyarakat asli pada umumnya. Berdasarkan profesi yang ditekuni masyarakat, penyakit kulit hanya dialami oleh masyarakat pemulung. Hal tersebut dikarenakan tempat tinggal pemulung yang umumnya berjarak lebih dekat dengan TPA Bantar Gebang sehingga tingkat air yang tercemar lebih tinggi. Hal ini juga didukung dengan kondisi dimana hampir seluruh masyarakat pemulung adalah masyarakat
pendatang sehingga kekebalan tubuh mereka yang masih sulit beradaptasi dengan sumber air yang ada. Kerugian masyarakat berupa penyakit kulit akibat pencemaran air oleh TPA Bantar Gebang berdasarkan profesi dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 18. Biaya Pengobatan Penyakit Kulit Akibat Pencemaran Air Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal Wilayah
Jumlah Penderita (orang)
Biaya Pengobatan (Rp)
< 1 km
1
26.000
Intensitas Penyakit dalam Satu Tahun 2
Total Biaya Pengobatan/tahun (Rp)
1-2 km
0
26.000
2
0
>2 km
0
26.000
2
0
52.000
52.000
Total Sumber : Dikumpulkan penulis dari survey (2009)
Kurangnya perhatian pengelola TPA Bantar Gebang mengenai sanitasi menjadi salah satu penyabab tercemarnya air sumur warga. Bocornya air limpasan hasil dari tumpukan sampah dari TPA yang merembes masuk ke dalam tanah menjadi penyebab utama tercemarnya air sumur masyarakat di dekitar TPA Bantar Gebang. Rendahnya kesadaran masyarakat akan sanitasi
manjadi
pendukung penyebab munculnya penyakit yang dialami masyarakat. Tabel 19. Biaya Pengobatan Penyakit Kulit Akibat Pencemaran Air Berdasarkan Profesi Profesi
Jumlah Penderita (orang)
Biaya Pengobatan (Rp)
Pemulung
1
26.000
Intensitas Penyakit dalam Satu Tahun 2
Non-pemulung
0
26.000
2
Total
Total Biaya Pengobatan/t ahun (Rp) 52.000 0 52.000
Sumber : Dikumpulkan penulis dari survey (2009)
Pencemaran udara akibat bau yang dihasilkan oleh TPA Bantar Gebang yang berasal dari sampah yang menumpuk dinilai mengganggu oleh masyarakat.
Lebih jauh, hal tersebut dapat menimbulkan penyakit pernafasan bagi yang menghirup udara yang tercemar tersebut. Penyakit yang dapat ditimbulkan oleh bau tersebut antara lain adalah penyakit batuk dan sesak nafas. Untuk mengatasi penyakit tersebut masyarakat harus mngeluarkan biaya untuk mengobati penyakit yang mereka derita. Biaya yang dikeluarkan masyarakat akibat pencemaran udara berdasarkan jarak tempat tinggal dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Biaya Pengobatan Penyakit Pernafasan Akibat Pencemaran Udara Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal Wilayah
< 1 km
Jumlah Penderita (Orang) 0
Biaya Pengobatan (Rp) 26.000
Intensitas Penyakit dalam Satu Tahun 4
1-2 km
0
26.000
4
0
>2 km
2
26.000
4
208.000
Total
Total Biaya Pengobatan/tahun (Rp) 0
208.000
Sumber : Dikumpulkan penulis dari survey (2009)
Masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah < 1 km dan 1-2 km tidak menderita penyakit pernafasan. Hal ini disebabkan karena mereka telah terbiasa dengan udara yang sehari-hari mereka hirup. Hal tersebut juga menyangkut dengan sistem kekebalan tubuh manusia, tubuh manusia akan menjadi terbiasa (kebal) apabila terus-menerus menerima zat-zat yang tercemar. Penyakit pernafasan hanya diderita pada masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah > 2 km, apalagi pada musim hujan dimana banyak angin yang bertiup ke arah wilayah > 2 km sehingga bau yang ditimbulkan juga semakin besar yang sampai dapat menimbulkan sesak nafas bagi yang menghirupnya. Berdasarkan profesi yang ditekuni masyarakat, penyakit pernafasan hanya dialami oleh masyarakat non-pemulung. Masyarakat non-pemulung mengalami penyakit pernafasan akibat dampak dari bau yang diakibatkan oleh keberadaan
TPA Bantar Gebang. Masyarakat pemulung tidak menderita penyakit pernafasan karena mereka telah terbiasa dengan udara di sekitar mereka yang tercemar. Hal tersebut karena hampir setiap hari mereka menghirup udara tersebut sehingga kekebalan tubuh mereka terhadap pencemaran udara telah meningkat. Kerugian masyarakat berupa biaya pengobatan penyakit pernafasan berdasarkan profesi dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Biaya Pengobatan Penyakit Pernafasan Akibat Pencemaran Udara Berdasarkan Profesi Profesi
Pemulung Nonpemulung
Jumlah Penderita (Orang) 0
Biaya Pengobatan (Rp) 26.000
Intensitas Penyakit dalam Satu Tahun 4
Total Biaya Pengobatan/tahun (Rp) 0
2
26.000
4
208.000
Total
208.000
Sumber : Dikumpulkan penulis dari survey (2009)
Masyarakat tidak menderita kerugian berupa TPA sebagai sarang penyakit. Hal tersebut dikarenakan masyarakat tidak menderita sakit yang diakibatkan sumber-sumber penyakit yang berasal dari TPA dalam kurun waktu satu tahun terakhir sehingga kerugian yang diderita masyarakat adalah RP 0. Total kerugian masyarakat akibat keberadaan TPA Bantar Gebang diestimasi dengan menjumlahkan semua kerugian yang dialami. Kerugian masyarakat yang diestimasi berupa biaya pengganti dan biaya kesehatan yaitu biaya pengganti untuk sumber air minum dan memasak, biaya pengganti untuk MCK, biaya pengobatan penyakit pencernaan, biaya pengobatan penyakit kulit, biaya pengobatan penyakit pernafasan dan biaya pengobatan penyakit masyarakat dimana peran TPA sebagai sarang penyakit. Total estimasi kerugian masyarakat berdasarkan jarak tempat tinggal dapat dilihat pada Tabel 22. Kerugian paling besar dirasakan oleh masyarakat dengan jarak tempat tinggal < 1 km, dikarenakan
jarak tempat tinggal mereka yang berdempet dengan TPA menyebabkan kerugian yang semakin besar pula. Tabel 22. Total Kerugian Masyarakat Akibat Keberadaan TPA Bantar Gebang Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal Wilayah
< 1 km
Biaya Pengganti (Replacement cost) (Rp) 11.175.300
Biaya Kesehatan (Cost of Illness) (Rp) 130.000
1-2 km
1.716.000
156.000
1.872.000
>2 km
0
208.000
208.000
12.891.300
494.000
13.385.300
Total (Rp)
Total (Rp) 11.305.300
Sumber : Dikumpulkan penulis dari survey (2009)
Berdasarkan profesi masyarakat, kerugian paling besar dialami oleh masyarakat pemulung. Hal tersebut dikarenakan interaksi masyarakat pemulung yang lebih intensif dengan sampah dan TPA, selain itu sebagian besar tempat tinggal masyarakat pemulung yang berdempet dengan TPA menyebabkan sumber-sumber air mereka tercemar dan tidak dapat digunakan. Total estimasi kerugian masyarakat akibat keberadaan TPA berdasarkan profesi dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Total Kerugian Masyarakat Akibat Keberadaan TPA Bantar Gebang Berdasarkan Profesi Profesi
Biaya Pengganti (Replacement cost) (Rp) 10.811.300
Biaya Kesehatan (Cost of Illness) (Rp) 208.000
11.019.300
Non-pemulung
2.080.000
286.000
2.366.000
Total (Rp)
12.891.300
494.000
13.385.300
Pemulung
Total (Rp)
Sumber : Dikumpulkan penulis dari survey (2009)
6.3.
Perbandingan Antara Manfaat dan Kerugian Akibat Keberadaan TPA Bantar Gebang Manfaat dan kerugian yang diakibatkan oleh keberadaan TPA Bantar
Gebang tentunya dapat dikendalikan baik oleh pemilik, pengelola, maupun
masyarakat. Hal tersebut tentunya akan meningkatkan manfaat yang telah dihasilkan akibat keberadaan TPA Bantar Gebang menjadi lebih besar. Hal tersebut tentunya juga dapat mengurangi kerugian yang dirasakan masyarakat akibat keberadaan TPA Bantar Gebang. Manfaat yang dirasakan masyarakat adalah sebesar Rp183.547.000 sebagian besar dirasakan oleh masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah yang berjarak < 1 km, sedangkan untuk masyarakat yang bertempat tinggal yang jaraknya > 2 km manfaat yang berupa peningkatan pendapatan tidak dirasakan sepenuhnya. Hal tersebut tentunya akan menimbulkan kesenjangan antara masyarakat yang mendapatkan manfaat secara langsung berupa pendapatan dengan masyarakat yang tidak memanfaatkan pendapatan. Pengelola sebaiknya memberikan solusi untuk memberikan manfaat yang sebanding antara masyarakat yang tempat tinggalnya berjarak < 1km dengan > 2 km. Total estimasi kerugian yang dialami oleh masyarakat adalah sebesar Rp13.385.300. Kerugian yang dirasakan oleh masyarakat berupa biaya yeng dikeluarkan untuk mengganti kebutuhan air mereka sehari-hari dan biaya pengobatan yang diakibatkan oleh pencemaran yang terjadi di sekitar lingkungan masyarakat. Biaya yang dikeluarkan masyarakat tergolong dinilai masih kecil dibandingkan dengan pencemaran yang terjadi. Hal tersebut diakibatkan kepedulian masyarakat yang masih rendah terhadap kebersihan air dan kesehatan, sehingga sebagian besar masyarakat tetap mengkonsumsi air sumur yang sudah tercemar akibat keberadaan TPA Bantar Gebang. Selain itu, sistem tubuh manusia yang dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar juga menjadi salah satu penyebab minimnya kerugian yang dirasakan masyarakat. Terlihat dari sedikitnya
jumlah masyarakat yang menderita penyakit pencernaan, kulit, maupun pernafasan akibat pencemaran yang diakibatkan TPA. Masyarakat sudah menganggap pencemaran itu hal yang wajar terjadi di lingkungan tempat tinggal mereka. Dari estimasi yang telah dilakukan maka nilai manfaat bersih yang dihasilkan akibat keberadaan TPA Bantar Gebang dapat ditentukan dengan pengurangan antara manfaat dengan kerugian yang telah dihasilkan. Manfaat bersih yang dihasilkan oleh keberadaan TPA Bantar Gebang adalah sebesar Rp 170.161.700. Nilai tersebut menunjukkan nilai yang positif, maka keberadaan TPA Bantar Gebang memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang dirasakan oleh masyarakat. Manfaat tersebut berupa peningkatan pendapatan masyarakat bagi masyarakat di sekitar TPA Bantar Gebang. Nilai manfaat bersih yang positif dikarenakan dampak yang diterima masyarakat berupa kerugian akibat keberadaan TPA Bantar Gebang bersifat komulatif. Kerugian yang diderita oleh masyarakat tidak hanya dirasakan di masa sekarang, tetapi juga akan dirasakan di masa yang akan datang yang efeknya akan semakin besar dari waktu ke waktu. Hal tersebut didukung dengan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap masalah lingkungan dan kesehatan akan dirinya sendiri sehingga kerugian yang dirasakan masyarakat pada saat ini dinilai sangat kecil. Hal ini dapat menjadi sinyal peringatan bagi masyarakat bahwa manfaat yang diterima akibat keberadaan TPA Bantar Gebang pada saat sekarang dapat menjadi jauh lebih kecil dibandingkan dengan kerugian yang akan diterima oleh masyarakat akibat keberadaan TPA Bantar Gebang di masa yang akan datang.
6.4.
Sistem Pengelolaan dan Penanganan Sampah Besarnya manfaat yang dihasilkan akibat keberadaan TPA Bantar Gebang
bagi masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar TPA seharusnya dapat mendorong pengelola, pemerintah, dan masyarakat untuk memperbesar manfaat yang dihasilkan. Manfaat dapat dioptimalkan dengan memberdayakan masyarakat sekitar yang tidak bekerja sehingga manfaat yang dihasilkan dapat lebih besar dan merata. Pengelolaan sampah yang masih mengandalkan pengelolaan secara sanitary landfill menjadi salah satu penghambat tidak maksimalnya manfaat yang diterima masyarakat. Sistem pengelolaan secara sanitary landfill hanya fokus bagaimana mengatasi sampah yang ada tanpa adanya pengolahan yang lebih lanjut. Potensi yang besar dimiliki oleh sampah tersebut apabila dikelola dengan baik. Sistem pengelolaan sampah dengan cara pengelolaan sampah dan menjadikannya barang daur ulang menjadi salah satu solusi pengelolaan sampah yang memberikan manfaat yang cukup besar. Sistem pengelolaan tersebut telah digunakan oleh Pemerintah Kota Depok melalui program Unit Pengelolaan Sampah (UPS) yang berada di sekitar wilayah TPA Cipayung. Pemkot Depok telah mencoba program UPS dengan pilot project pada daerah Cipayung, sistem pengelolaan dengan sistem UPS tentunya menimbulkan manfaat bagi masyarakat sekitar. Terlihat dari keuntungan yang didapat dari pelaksanaan sistem UPS tersebut sebesar Rp 51.634.264 pertahun dalam skala UPS. Manfaat tersebut tentunya manambah manfaat bersih akibat keberadaan TPA Bantar Gebang,
karena bahan baku dalam pelaksanaan UPS yang berupa sampah dan dapat berasal dari TPA Bantar Gebang. Pelaksanaan pengelolaan sampah dengan skala UPS juga dapat dilaksanakan pada tingkat hulu, yaitu dilaksanakan pada tingkat masyarakat Jakarta selaku penghasil sampah di TPA Bantar Gebang. Masyarakat dapat mendirikan unit-unit pengelolaan sampah di sekitar tempat tinggal mereka untuk mengurang jumlah sampah organik yang mereka hasilkan. Hal ini tentunya akan mengurangi berbagai macam biaya, seperti biaya pengangkutan dan dapat membantu mengurangi dampak negatif yang diterima oleh masyarakat di sekitar TPA Bantar Gebang, serta mengasilkan manfaat bagi masyarakat Jakarta itu sendiri. Pengelola maupun Pemprov DKI Jakarta beserta Pemkot Bekasi dapat membentuk suatu yayasan seperti yang telah dilakukan di daerah Lhoksumawe (Palapa Plastic Recycle Foundation) yang kini telah dilirik oleh perusahaan pendaur ulang plastik terbesar di dunia (Fukotomi). Berbeda dengan agen barang bekas,
yayasan
ini
memberikan pengetahuan kepada
pemulung
untuk
membedakan sampah plastik secara ekonomis. Yayasan ini mendorong para pemulung untuk memisahkan jenis plastik berdasarkan unsur kimianya. Sampah yang dijual para pemulung dapat meningkat berkali-kali lipat apabila sampah plastik telah dipisahkan dibanding dengan sampah plastik yang masih bercampur baur8. Palapa Plastic Recycle Foundation (PPRF) memiliki tempat penampungan dan pengolahan plastik. Pabrik ini berfungsi untuk mengubah bentuk plastik
8
http://laguna-bumihijau.blogspot.com/2009/03/daur-ulang-sampah-plastik-di.html
menjadi cacahan plastik atau plastic chips, plastik dalam bentuk ini harganya jauh lebih mahal lagi. Perwakilan fukotomi asal Korea mendatangi pihak PPRF dan meminta untuk dikirimkan plastic chips sebanyak dua kontainer, hal ini dapat dilakukan karena kapasitas dari pabrik pengolahan plastik PPRF yang dapat mencapai 150 ton dalam satu bulan. PPRF tentunya dapat menjadi inspirasi bagi pemerintah untuk meningkatkan manfaat bagi masyarakat di sekitar TPA, ditambah dengan pembukaan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar untuk tenaga kerja pabrik pengelolaan sampah plastik. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat melakukan pengelolaan sampah lebih awal ditingkat rumah tangga. Pemprov DKI Jakarta dapat menerapkan sistem 3R (reduce, reuse, recycle) sehingga jumlah sampah dapat ditekan dari sumbernya. Salah satu program yang dapat dilakukan adalah pengomposan yang telah banyak dilakukan di tinggkat rumah tangga. Teknik pembuatan yang mudah dan manfaat pupuk yang dihasilkan seharusnya menjadi motivasi masyarakat untuk memanfaatkan sampah pada tingkat rumah tangga. Pemerintah provinsi DKI Jakarta juga dapat menerapkan sistem pembayaran yang didasari dengan jumlah sampah anorganik yang dibuang oleh masyarakat (penghasil sampah). Biaya pembuangan sampah akan semakin besar apabila sampah anorganik yang mereka hasilkan semakin besar. Hal ini tentunya akan memnerikan insentif bagi masyarakat untuk mengurangi jumlah sampah yang mereka hasilkan sehingga dapat mengurangi jumlah sampah yang masuk di TPA Bantargebang. Pemkot Bekasi sebaiknya memberlakukan pembentukan zona penyangga dan zona budidaya terbatas. Zona penyangga adalah zona yang berjarak sampai
dengan 500m dari TPA, pada zona tersebut seharusnya ditempati dengan tanaman keras maupun tanaman perdu yang berfungsi
menyerap racun untuk
meminimalkan terjadinya pencemaran lingkungan. Zona budidaya terbatas adalah zona yang berjarak antara 500-1000m yang difungsikan sebagai pertanian nonpangan maupun hunian bersyarat. Pengenaan sanksi bagi pengelola TPA Bantar Gebang dapat diterapkan oleh Pemkot Bekasi sebagai salah satu insentif untuk tetap menjaga kualitas lingkungan di Sekitar TPA Bantar Gebang. Kriteria pengenaan sanksi dapat merujuk kepada kondisi air tanah yang tidak sesuai dengan standar baku mutu, tingginya perkembangan vektor penyakit yang diduga kuat berasal dari TPA Bantar Gebang, buruknya kualitas udara, dan dampak-dampak negatif lain yang ditimbulkan oleh TPA Bantar Gebang (Dinas Pekerjaan Umum, 2000). Pemberlakuan sistem penangan sampah di TPA Bantar Gebang dengan mengadopsi sistem penanganan sampah pada TPA lain harus menyesuaikan dengan kondisi di TPA Bantar Gebang itu sendiri, baik kondisi lingkungan maupun sosial masyarakat. Pelaksanaan pilot project diperlukan untuk menentukan apakah sistem pengelolaan yang akan diterapkan dapat sesuai dan berjalan lancar di TPA Bantar Gebang sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Penetapan TPA Bantar Gebang sebagai TPA Wilayah DKI Jakartauntuk mengatasi masalah sampah Kota Jakarta yang jumlahnya semakin banyak. Penetapan TPA Bantar Gebang menimbulkan berbagai macam dampak bagi masyarakat di sekitar TPA Bantar Gebang. Berdasarkan penelitian tentang estimasi manfaat dan kerugian akibat keberadaan TPA Bantar Gebang diperoleh hasil sebagai berikut : 1. Kerugian yang dirasakan oleh masyarakat akibat keberadaan TPA Bantar Gebang dalah berupa pencemaran air, pencemaran udara, sebagai sarang penyakit, dan pengurangan estetika. Pencemaran tanah tidak dinilai sebagai kerugian bagi masyarakat dikarenakan masyrakat masih menilai taah diwilayah mereka belum tercemar. Kerugian yang paling besar dirasakan masyarakat adalah kerugian berupa pencemaran udara, hal tersebut dikarenakan kerugian berupa pencemaran udara sangat sulit untuk dihindari oleh masyarakat. 2. Nilai manfaat yang didapat akibat keberadaan TPA Bantar Gebang adalah sebesar Rp 183.547.000. Nilai tersebut didapatkan dengan menjumlahkan pendapatan masyarakat yang bekerja bersumber dari TPA Bantar Gebang. 3. Nilai manfaat bersih yang diterima masyarakat adalah sebesar Rp170.161.700 yang didapatkan dengan mengurangkan manfaat yang diterima masyarakat dengan kerugian masyarakat (Rp 13.385.300). 4. Pemprov DKI Jakarta bersama Pemkot Bekasi dan pengelola TPA Bantar Gebang dapat bekerjasama untuk meningkatkan manfaat yang diterima
masyarakat dengan mendirikan Unit Pengelolaan Sampah seperti yang dilakukan Pemkot Depok, mendirikan yayasan seperti yang dilakukan di daerah Lhoksumawe, maupun pencegahan dengan sistem 3R pada tingkat rumah tangga maupun pemberlakuan insentif untuk mengurangi jumlah sampah. 7.2. Saran 1. Pengelola dan pemerintah bekerja sama untuk menyediakan sumber air bersih bagi masyarakat yang dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, sehingga masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya untuk kebutuhan air mereka. 2. Pengelola TPA Bantar Gebang sebaiknya memberdayakan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar TPA Bantar Gebang dengan membuka usahausaha pendaurulangan sampah untuk memperbesar manfaat yang diterima masyarakat. 3. Pemerintah Kota Bekasi sebaiknya menerapkan dengan tegas larangan untuk membuat pemukiman di wilayah sekitar TPA Bantar Gebang (< 1 km). Hal tersebut dapat mengurangi kerugian yang diterima masyarakat akibat keberadaan TPA Bantar Gebang berupa pencemaran air dan udara. 4. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengukur manfaat dan kerugian akibat keberadaan TPA Bantar Gebang yang mencakup seluruh aspek yang dimulai semenjak TPA Bantar Gebang ditetapkan sampai pada masa sekarang.
DAFTAR PUSTAKA Anwar, A. 2003. Konflik Sampah Kota. Komunitas Jurnal Bekasi. Amurwaraharja, I.P.2003. Analisis Teknologi Pengolahan Sampah dengan Proses Hierarki Analitik dan Metoda Valuasi Kontingansi (Studi Kasus di Jakarta Timur). Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Badan Pusat Statistik. 2007. Jakarta dalam Angka. Jakarta, Indonesia. Bernstein, J. D. 1992. Alternative Approach to Pollution Control and Waste Management. UNDP/UNCHS/World Bank Publication. Washington D.C, USA. Champ, P. A, Boyle, K. J, & T. C, Brown. 2003. A Primer Non-market Valuation. Kluwer Academic Publisher. New York. Daryanto. 2004. Masalah Pencemaran. Tarsito. Bandung. Devi, R. S. 2008. Evaluasi Ekonomi dan Sosial UPS Kota Depok. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Dinas Pekerjaan Umum. 2000. Pedoman Pemanfaatan Kawasan Sekitar TPA Sampah. Jakarta. Indonesia. Fauzi, A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan : Teori dan Aplikasi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hadiwiyoto, S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Yayasan Idahu. Jakarta. Haddix A. C, Teutsch, S. M., & P. S , Corso. 2003. Prevention Efectiveness, A GuideTo Decision Analysis and Economic Valuation. Oxford University Press. New York. Hendrawan, I. D. 1996. Dampak Lokasi Pembuangan Akhir (LPA) Sampah Sanitary Landfill Terhadap Pencemaran Lingkungan (Studi Kasus di Bantar Gebang Bekasi). Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pagiola, Stefano et. al. 2002. Generating Pulic Sector Resources to Finance Sustainable Development (Revenue and Incentive effects). World Bank Technical Paper No.538 :60-63. Environment Series (Washington D. C, USA). Pemerintah Kota Bekasi. 2008. Monografi Kelurahan Ciketing Udik 2008. Bekasi : Pemkot Bekasi.
Puskesmas Kecamatan Bantargebang. 2008. Laporan Tahunan Puskesmas Kecamatan Bantargebang 2008. Bekasi. Puskesmas Kelurahan Ciketing Udik. 2008. Laporan Bulanan Puskesmas Pembantu Kelurahan Ciketing Udik 2008. Bekasi. Wardhana, Wisnu arya. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan (Edisi Revisi). Andi Offset. Yogyakarta.
Lampiran 1. Peta Kelurahan Ciketing Udik
Lampiran 2. 20 Penyakit Terbesar Kecamatan Bantar Gebang