BAB VI PENYAKIT ENDEMIS PADA SAPI PERAH DAN PENANGGULANGANNYA Eny Martindah', Yulvian Sani2 dan Susan M . Noor2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor 2 Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor
1.
PENDAHULUAN
Kesehatan ternak merupakan salah satu faktor penting yang memengaruhi produksi ternak termasuk produksi susu pada sapi perah . Penyakit infeksius maupun non infeksius merupakan hambatan dalam upaya pencapaian produksi susu yang optimal dalam usaha peternakan sapi perah di Indonesia . Penyakit infeksius seperti mastitis dan brucellosis pada sapi perah sudah endemis, demikian pula dengan penyakit non infeksius seperti penyakit metabolik (gangguan metabolisme) dan keracunan pada sapi perah juga perlu mendapat perhatian serius . Mastitis merupakan peradangan kelenjar susu yang sangat merugikan karena dapat menurunkan produktivitas dan kualitas air susu, sementara brucellosis pada sapi perah dapat mengakibatkan abortus, pedet lahir lemah atau kematian, infertilitas dan penurunan produksi susu . Penyakit metabolik pada sapi perah yang sering terjadi di antaranya milk fever (parturient hypocalcemia), grass tetany (hypomagnesaemia), asetonemia (ketosis), dan asidosis (bloat/tympany) . Kasus keracunan pada sapi perah yang sering dijumpai adalah akibat keracunan nitrat-nitrit, mineral, logam berat, dan tanaman
209
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
beracun . Oleh karena itu, kualitas pakan dan konsentrat yang diberikan pada ternak perlu diperhatikan . Bab ini membahas penyebab, prevalensi, gejala klinis, diagnosis, pengendalian serta pengobatan penyakit-penyakit yang sering terjadi pada sapi perah, antara lain mastitis, brucellosis, beberapa penyakit metabolik dan keracunan . II.
MASTITIS
Mastitis pada sapi perah merupakan salah satu penyakit yang berbahaya dan sangat merugikan, karena dapat menurunkan produktivitas dan kualitas air susu . Kerugian akibat mastitis cukup besar, karena mastitis merupakan peradangan kelenjar susu yang apabila dibiarkan dapat berkembang sehingga ambing menjadi kecil, kering, dan tidak produktif . Kerugian akibat mastitis berupa penurunan produksi susu, masa laktasi lebih pendek dan biaya pengobatan yang mahal . Penelitian menunjukkan bahwa penurunan produksi susu akibat mastitis subklinis berkisar antara 14,6% sampai dengan 19,0% per hari atau sekitar 2 liter untuk setiap ekor sapi per hari (Supar, 1997) . Jika kasus mastitis subklinis tidak dikendalikan secara intensif, kerugian ditaksir mencapai Rp8,5 miliar per tahun (Hirst et al ., 1985) . Mastitis dibedakan dalam bentuk klinis dan subklinis . Peternak umumnya belum mengetahui mastitis subklinis karena tanda-tandanya tidak tampak, dan untuk mendeteksinya perlu dilakukan uji, misalnya dengan Californian mastitis test (CMT) . Uji ini dilakukan untuk mengetahui jumlah kandungan sel somatik dalam air susu . Ada 3 tipe mastitis klinis, yaitu : (1) Perakut-kelenjar susu bengkak, panas, nyeri dan mengeluarkan sekresi abnormal disertai dengan demam serta gejala lain seperti depresi, denyut nadi lemah dan anoreksia ; (2) Akutperubahan kelenjar susu seperti pada mastitis perakut tetapi demam dan depresi lebih ringan sampai sedang ; dan (3) Subakut-tidak ada perubahan secara sistemik, perubahan pada kelenjar susu dan
210
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
sekresi yang dikeluarkan tidak begitu jelas (The Merck Veterinary Manual, 1986) . 11 .1 Penyebab dan Prevalensi Mastitis Mastitis pada sapi perah disebabkan oleh berbagai jenis mikroorganisme patogen yang masuk ke dalam ambing melalui saluran puting susu . Beberapa faktor predesposisi (pemicu) terjadinya infeksi kelenjar susu antara lain : pemerahan yang tidak higienis, manajemen pemerahan yang salah, luka pada puting susu, dan adanya mikroorganisme patogen di lingkungan kandang . Penularan mikroorganisme patogen mastitis dapat terjadi dari satu puting ke puting lainnya pada satu ambing atau antar sapi pada saat pemerahan secara manual . Hal ini dapat terjadi melalui tangan pemerah, air untuk mencuci ambing, kain lap yang dipakai untuk mengeringkan ambing sebelum dan sesudah pemerahan, atau peralatan lain . Agen penyebab mastitis sangat kompleks, di Indonesia yang paling banyak berasal dari kelompok bakteri genus streptococcus (Tabel 1) . Supar dan Ariyanti (2008) melaporkan bahwa dalam kajian pengendalian mastitis subklinis pada sapi perah telah diisolasi penyebab mastitis, yang didominasi oleh bakteri Streptococcus agalactia, Staphylococcus aureus, dan Staphylococcus epidermidis (91,5%) . Tabel 1 . Mikroorganisme patogen yang berhasil diisolasi dari sapi perah di Indonesia Mikroorganisme S. agalactiae S. dysgalactiae S. uberis S. aureus S. epidermidis Coliform Candida sp Bakteri lainnya
Sumber Hirst at al. (1984) ; Poeloengan at al. (1984) ; Rompis et al. (1985) Hirst at at. (1984) ; Poeloenqan et al. (1984) ; Rompis et al . (1985) Hirst et al. (1984) ; Poeloenqan et al. (1984) ; Rompis et al . (1985) Hirst et al. (1984) ; Poeloengan at al . (1984) ; Rompis at al. (1985) ; Budiharta dan Warudju (1985) Hirst et al. (1984) ; Poeloengan at al. (1984) ; Rompis at al. (1985) ; Budiharta dan Warudju (1985) Poeloengan et al. (1984): Budiharta dan Warudju (1985) Hastiono et al . (1983) Budiharta dan Warudju (1985)
Sumber : Supar (1997)
211
Prgfil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Meskipun pada umumnya mastitis disebabkan oleh infeksi bakteri, namun tidak jarang kasus mastitis disebabkan oleh cendawan . Mastitis yang disebabkan oleh cendawan disebut mastitis mikotik. Gejala klinis mastitis mikotik sulit diamati, karena tidak berbeda dari mastitis bakterial. Namun, sebagai pegangan dapat didasarkan atas adanya peradangan pada ambing yang bersifat kronis . Weigt (1973) (dalam Sudarwanto, 1987), melaporkan untuk pertama kali mastitis mikotik ditemukan oleh ZURN pada tahun 1877, dimana pada air susu ditemukan cendawan dari ambing sapi yang sakit . Kemudian pada tahun 1901 Klein menemukan adanya khamir di dalam air susu dari ambing yang menderita mastitis, dan diidentifikasi sebagai Cryptococcus neoformans . Biasanya, mastitis mikotik merupakan akibat lanjut dari pengobatan mastitis dengan antibiotika (penisilin, streptomisin, terramisin, dan khloramphenikol) secara intramamaria (Woloszyn et al ., 1964 dikutip Sudarwanto, 1987 ; Schalm et al., 1971) . Antibiotika diketahui sebagai perangsang pertumbuhan cendawan khususnya khamir di dalam kelenjar ambing karena tidak ada pesaing bakterial sehingga pada suatu saat akan menginfeksi kelenjar susu (Hastiono, 1984 ; Sudarwanto, 1987) . Pengobatan dengan antibiotika yang tidak teratur, atau dosis yang tidak tepat akan mengakibatkan terjadinya resistensi bakteri-bakteri tertentu . Cara pemberian antibiotika yang demikian dapat meningkatkan jumlah cendawan khususnya khamir. Kegagalan pengobatan mastitis dengan antibiotika, mengindikasikan adanya mastitis mikotik . Hal ini ditandai oleh perluasan radang, dan infeksi menjadi akut kembali . Selain itu, teknik penyuntikan antibiotika yang tidak benar dan tidak aseptik ke dalam kelenjar susu melalui puting juga dapat menyebabkan infeksi cendawan . Beberapa khamir yang telah berhasil diisolasi antara lain : Candida albicans, Candida spp . lain dan Geotrichum sp (Hastiono et al ., 1983) . Prevalensi mastitis subklinis pada sapi perah tergantung dari infeksi mikroba patogen di dalam kelenjar susu . Faktor penting yang memengaruhi prevalensi mastitis subklinnis, yaitu adanya 2 12
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
kuartir (puting susu) yang terinfeksi pada sapi perah . Pada awal laktasi, jumlah sel somatik tidak dapat dijadikan sebagai indikator kasus mastitis karena pada sapi yang tidak terinfeksi mikroba patogen jumlah sel somatik akan menurun sampai dua minggu setelah melahirkan, selanjutnya akan stabil . Sebaliknya jika terjadi infeksi, jumlah sel somatik akan terus meningkat diikuti dengan menurunnya produksi susu . Prevalensi mastitis subklinis di beberapa peternakan sapi perah di Pulau Jawa jauh lebih tinggi dari yang klinis . Mastitis subklinis berkisar antara 37% sampai 67%, sementara mastitis klinis berkisar antara 5% sampai 30% (Tabel 2) . Tabel 2 . Prevalensi mastitis ada sa i erah di Indonesia Lokasi Peternakan (Tahun)
Mastitis (%) Subklinis
Sukabumi Bandun • 1985 Sukabumi, Bandun ., Bo-or 1994 ( ) Baturaden, Jawa Ten .ah 1984 Bo olali, Jawa Ten .ah 1985 Daerah Istimewa Yo . akarta 1985
630 752 670 383 558 625 369
Minis 5 0 7,8 5,0 200 243 300 107
Sumber: Supar(1997)
11 .2 Diagnosis Mastitis Mastitis subklinis tidak memberikan tanda-tanda secara klinis karena sapi tampak sehat, nafsu makan baik sehingga peternak tidak mengetahui bahwa sapinya menderita mastitis . Pengetahuan peternak tentang penyakit, termasuk mastitis, sangat kurang . Peternak mengetahui bahwa sapinya menderita mastitis didasarkan atas perubahan fisik pada air susu, serta susu yang disetorkan ditolak oleh koperasi . Bagi peternak yang mengetahui sapinya menderita mastitis menyadari ternaknya perlu diobati . Hasil penelitian membuktikan bahwa hampir 85% sapi perah di Jawa Barat pernah mendapat pengobatan dengan berbagai antibiotika, akan tetapi sebagian besar peternak tidak mengetahui jenis obat yang diberikan . Penentuan diagnosis mastitis subklinis dapat dilakukan dengan memeriksa sel somatik yang ada di dalam air susu, baik 213
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
dengan metode secara langsung maupun tidak langsung . Secara tidak langsung, set somatik di dalam air susu dapat diuji dengan menggunakan reagen (Kit komersial) tetapi hal ini tidak banyak dilakukan oleh peternak kecuali peternakan sapi perah berskala besar, karena harga alat deteksi tersebut relatif mahal . Balai Penelitian Veteriner (sekarang BBalitvet) telah mengembangkan teknik pemeriksaan mastitis secara tidak langsung, modifikasi dari teknik aulendorfer mastitis probe (AMP) yang disesuaikan dengan kondisi peternakan di Indonesia pada umumnya . Biaya peralatan dan operasional dengan uji AMP modifikasi ini tidak terlalu mahal . Secara singkat pengujian mastitis subklinis secara AMP modifikasi adalah sebagai berikut (Supar, 1997) : 1 . Pereaksi AMP Na-doecyl hydrogn sulfate 40 gram Harnstoff Urea 240 gram Phenolphtalein 80 mg dalam aquades 50 ml Ditambah aquades sampai volume 1000 ml 2. Cara mengerjakan AMP Sebanyak 3 ml sampel susu dimasukkan ke tabung reaksi, kemudian ditambahkan pereaksi AMP yang telah dibuat sebanyak 3 ml . Campuran dikocok perlahan-lahan sampai rata, dan diamkan dalam temperatur kamar selama 24 jam . Selanjutnya dibuat garis-garis mendatar sejajar mulai skala 0 sampai 8 setinggi campuran susu tersebut dipakai untuk penilaian reaksi . 3 . Pengamatan reaksi dan penilaian Bila diamati dengan cermat, perubahan yang terjadi dalam tabung adalah terbentuk suspensi gelatinous pada dasar tabung, berwarna agak putih yang naik ke atas, bagian bawah menjadi agak jernih . Intensitas materi gelatinous tersebut berupa DNA dari set somatik yang lisis karena pengaruh deterjen pereaksi atau senyawa-senyawa protein yang sangat komplek yang diekresikan dalam susu . Materi gelatinous tersebut secara proporsional sebanding dengan intensitas peradangan dari kelenjar susu . Dalam uji AMP ini, reaksi dibaca dengan garis-garis sejajar, masing-masing unit satu 214
Pro/il Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
sentimeter, skala garis-garis sejajar diletakkan dibelakang tabung . Nilai intensitas sel radang atau sel somatik yang paling tinggi adalah 8 (hampir seluruh isi tabung tampak berisi suspensi gelatinous warna putih), yang paling rendah nilainya I (hampir seluruh tabung tampak jernih) . Dengan metode AMP ini nilai uji dapat dibedakan dari I sampai dengan 8 . Nilai 1-2 hewan sehat, nilai 3-5 hewan menderita mastitis subklinis sedang dan nilai AMP 6-8 mastitis subklinis berat, hampir mendekati klinis dan perlu pengobatan . Hasil evaluasi mastitis subklinis menggunakan metode AMP dapat menentukan apakah sapi perlu diobati atau tidak, dan secara ekonomis dapat mengurangi penggunaan obat-obatan pada sapi perah sehingga kerugian peternak akibat mastitis dapat ditekan . Selain dengan metode AMP, untuk screening/uji saring terhadap mastitis subklinis dapat menggunakan IPB-1 test, Perhitungan sel somatik (somatic cell count) berdasarkan Breed method (Sanjaya et al ., 2004) . Sampel susu ditambah IPB-1 reagen dengan jumlah volume yang sama, dicampur dan digoyang selama 15 detik. Reaksi positif ditandai dengan adanya aglutinasi dalam suspensi yang diklasifikasikan ke dalam tiga kategori : +1 : Koagulasi lemah/ringan +2 : Koagulasi sedang +3 : Koagulasi kuat yang ditandai dengan cairan jernih disekitarnya . Reaksi negatif, suspensi sampel bersifat homogen (tidak terjadi reaksi koagulasi) . Perhitungan sel somatik (somatic cell count) : - Sebanyak 0,01 ml susu disapukan ke object glass dan diwarnai dengan methiline blue loeffer . Perhitungan sel somatik dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 x 10 . Jumlah sel somatik >400 .000/ml diklasifikasikan sebagai penderita mastitis subklinis . Jika hasil uji IPB-1 menunjukkan 21 5
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
negatif dan dengan perhitungan sl somatik <400 .000/ml sapi dinyatakan sehat . 11 .3 Pengendalian dan Pengobatan Mastitis Program pengendalian mastitis akan berhasil jika mastitis subklinis dapat dikontrol dan dikendalikan . Derajat mastitis subklinis tiap kuartir ambing perlu selalu dipantau sehingga langkah pengobatan yang tepat dan hemat dapat diupamakan . Pengendalian mastitis diutamakan dengan meminimalkan terjadinya infeksi silang antara puting susu yang terinfeksi ke puting susu yang sehat pada satu ternak atau antar ternak, diikuti dengan pengobatan sapi yang terinfeksi pada saat kering kandang . Tindakan mencegah terjadinya infeksi silang perlu segera dilakukan jika di suatu peternakan terdapat mastitis klinis atau mastitis subklinis berat . Pengobatan mastitis klinis sangat dianjurkan, dan pilihan antibiotik untuk kasus yang disebabkan oleh streptococcus sp dan staphylococcus sp yang tidak resisten adalah penisilin . Namun, sebagian besar isolat staphylococcus telah resisten terhadap penisilin sehingga semi-sintetis penisilin seperti cloxacillin lebih effektif . Pengobatan mastitis akan memberikan basil terbaik jika dilakukan saat kering kandang (The Merck Veterinary Manual, 1986) . Hal ini telah dibuktikan oleh Supar dan Ariyanti (2008), di mana sapi penderita mastitis subklinis yang diobati dengan cloxacillin pada saat kering kandang, memiliki rataan produksi 1615 liter selama 90 hari/ekor, sementara yang tidak mendapat perlakuan memiliki rataan produksi 1320 liter dalam 90 hari/ekor . Tergantung dari jenis antibiotika yang digunakan, air susu setelah pemberian antibiotik agar tidak dikonsumsi, untuk itu rekomendasi 'withdrawal time' harus diperhatikan dengan baik . III . BRUCELLOSIS PADA SAP[ PERAH
Brucellosis merupakan penyakit infeksi kronis pada sapi yang menyebabkan terjadinya abortus, pedet lahir lemah atau 216
Prgfil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
kematian pedet, infertilitas dan penurunan produksi susu (Enright, 1990) . Sap] pada semua umur peka terhadap brucellosis dan infeksi ini dapat berlangsung bertahun-tahun . Pada sapi betina abortus merupakan gejala klinis yang utama, umumnya terjadi pada umur kebuntingan antara 5 dan 7 bulan . Pada hewan jantan brucellosis dapat mengakibatkan infeksi pada testis . Brucellosis juga merupakan salah satu penyakit zoonosis yang dapat menginfeksi manusia (Young, 1983) . Brucellosis pada sapi perah banyak ditemukan di banyak negara, termasuk di Indonesia dengan tingkat kejadian yang bervariasi . Kontrol brucellosis terbukti dapat mengurangi tingkat kejadian penyakit secara signifikan di beberapa negara seperti lnggris, Skandinavia, Australia (1989) dan New Zealand pada tahun 1986 . Brucellosis di Indonesia telah menyebar di beberapa provinsi . Survei secara serologis menunjukkan prevalensi tinggi brucellosis di Indonesia Bagian Timur dan Sulawesi Selatan dan prevalensi rendah di Kalimantan dan Sumatra . Brucellosis di Pulau Jawa dilaporkan pada sapi perah . Brucellosis merupakan salah satu penyakit yang termasuk dalam golongan penyakit hewan menular strategis berdasarkan Surat keputusan Dirjen Peternakan tahun 1997 . Oleh karena itu, penyakit ini menjadi prioritas untuk dikendalikan dan diberantas . 111.1 Sejarah Brucellosis di Indonesia Brucellosis di Indonesia dikenal sebagai penyakit keluron menular pada sapi disebabkan oleh infeksi bakteri Brucella abortus . Brucellosis pada sapi perah di Pulau Jawa telah dikenal sejak tahun 1925 sebagai penyakit keluron ketika Kirschner berhasil mengisolasi kuman brucella dari janin sapi perah abortus di Bandung (Sudibyo dan Ronohardjo, 1989) . Pada tahun 1927, brucellosis di diagnosis di Aceh dan Sumatra Utara (Kraneveld, 1927) dan sampai akhirnya penyakit ini semakin menyebar terutama di peternakan sapi perah di Jawa Barat, Jawa 217
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di. Indonesia
Tengah dan Jawa Timur (Soeroso dan Taufani, 1972 ; Alton, 1984) . Brucellosis pada sapi saat ini telah menyebar di 26 provinsi di Indonesia, kecuali Bali dan Lombok yang baru dinyatakan bebas penyakit brucellosis pada tahun 2002 (Direktorat Jenderal Peternakan, 1981) . Prevalensi brucellosis pada sapi perah sangat bervariasi dari 1% hingga 40% (Sudibyo dan Ronohardjo, 1989 ; Sudibyo et al., 1991 ; Sudibyo et al., 1997) . Brucellosis digolongkan sebagai salah satu penyakit hewan menular strategis di Indonesia karena penularannya relatif cepat, antar daerah dan lintas batas serta memerlukan pengaturan lalulintas ternak yang ketat . Kerugian ekonomi akibat brucellosis dilaporkap mencapai Rp138,5 - miliar setiap tahun, akibat terjadinya keguguran, pedet lahir mati atau lahir lemah, infertilitas dan sterilitas (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006) . 111 .2 Penyebab Pada sapi, brucellosis disebabkan oleh infeksi bakteri Brucella abortus . Sapi betina yang terinfeksi dapat mengakibatkan keguguran di atas 90% terutama pada kelompok sapi yang peka . Brucellosis juga dapat menyebabkan sterilitas, infertilitas, anomali dan kematian dim pedet serta penurunan produksi susu . Secara morfologi kuman B. abortus bersifat gram negatif, tidak bergerak, tidak berspora, berbentuk kokobasilus dengan panjang 0,6pm-1,5pm . Sel kuman terlihat sendiri-sendiri, berpasangan atau membentuk rantai pendek . Koloni kuman berbentuk bulat, halus, permukaan cembung dan licin berkilau serta tembus cahaya . Pada kondisi ideal kuman B. abortus dapat hidup pada feses, cairan abortus dan susu selama 6 bulan dan mungkin dapat bertahan hidup dalam fetus abortus sampai 8 bulan (Geering et al ., 1995) . Kuman B. abortus sangat peka terhadap panas, sinar matahari langsung, pasteurisasi dan juga terhadap
218
Pi•gfil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
semua desinfektan . Tabel 3 menunjukkan kemampuan hidup (viabilitas) kuman B. abortus di dalam lingkungan . tahan hidu Medium Sinar matahari Air Air Tanah Tanah Sumber : Nicolleti (1980)
viahilitas kurnan B. abortus di Temperatur 4,5 jam < 31 °C 114 had -4 °C Suhu ruang 77 had < 4 hari Kerinq 66 hari Basah
dalarn fin kun an Viabilifas
Secara biokimia species brucella ada 7 macam biotipe, yaitu biotipe I sampai 6 dan biotipe 9 (Alton et al ., 1988) . Penyebab brucellosis pada sapi di Indonesia adalah B. abortus biotipe I (Setiawan dan Ronohardjo, 1992) . Berdasarkan hasil laporan Sudibyo (1989), kuman penyebab brucellosis pada sapi perah di daerah DKI Jakarta terdiri dari B. abortus biotipe 1 (77,6%), biotipe 2 (13,2%) dan biotipe 3 (9,2%) . Mengingat Indonesia mengimpor sapi perah dari beberapa negara seperti Australia, Amerika, dan New Zealand maka tidak menutup kemungkinan adanya biotipe lain yang dapat menyerang sapi sehingga perlu diteliti kemungkinan adanya B. abortus biotipe lainnya . 111 .3 Penularan Brucellosis pada sapi bersifat kronis dengan fase bakterimia yang subklinis . Predeleksi bakteri tersebut terutama pada uterus sapi betina . Penularan penyakit biasanya terjadi melalui makanan atau saluran pencernaan, selaput lendir mata (Plomet dan Plomet, 1988), kulit yang luka, ambing, inseminasi buatan dengan semen yang tercemar dan plasenta (Blood dan Handerson, 1979) . Sapi dewasa dan terutama sapi yang sedang bunting sangat peka terhadap infeksi B. abortus, sedangkan pada dara dan sapi tidak bunting banyak yang resisten terhadap infeksi (Edington dan Donham, 1939) . Penularan melalui inhalasi juga dilaporkan terutama ketika ternak sehat dan ternak
219
Proflu Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
yang mengalami abortus ditempatkan dalam satu kandang yang padat dengan sanitasi buruk (Alton, 1984) . Kuman B. abortus dalam jumlah besar dapat dikeluarkan oleh sapi perah yang terinfeksi dan mengalami abortus . Selain itu juga secara intermiten dapat mengeluarkan kuman ke dalam colostrum dan susu . Feces, urine, dan cairan hygroma juga berperan sebagai sumber penularan penyakit . Leleran dari organ genitalia akan terus mengandung kuman B . abortus dengan jumlah besar dalam beberapa minggu setelah parturisi normal atau setelah mengalami abortus . Ternak yang terinfeksi abortus dapat bertindak sebagai karier (reservoir) penularan ke ternak sehat lainnya melalui plasenta dart janin yang gugur, kotoran sapi, air, pakan, dan peralatan kandang yang terinfeksi . Lalulintas perdagangan sapi juga berperanan dalam penyebaran penyakit tersebut . Sapi jantan dapat terinfeksi brucellosis jika terjadi abortus dalam peternakan tersebut. Sekali terinfeksi, tnaka kuman akan berlokasi di testis dan akan diekskresikan dalam jumlah besar melalui semen pada fase akut . Sapi jantan yang terinfeksi juga dapat mengekresikan kuman melalui feces, urin, dan cairan hygroma . Kuman abortus dapat diekskresikan dalam semen sehingga perkawinan alam dart sapi jantan yang terinfeksi dapat menularkan penyakit pada betina pasangannya, begitu juga perkawinan inseminasi buatan dengan menggunakan semen yang terkontaminasi abortus. 111.4 Gejala Minis Masa inkubasi kuman setelah infeksi pada sapi bervariasi dari 15 hari sampai beberapa bulan tergantung pada jalan masuknya infeksi dan banyaknya kuman yang menginfeksi . Gejala klinis utama brucellosis pada sapi betina adalah terjadinya abortus pada kebuntingan trimester akhir (5-7 bulan). Geering et al. (1995) melaporkan bahwa 30-80% abortus terjadi pada sapi-sapi yang peka dan beberapa kasus endometritis dan retensi plasenta juga dilaporkan . Sapi yang terinfeksi dapat 220
Pro/il Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
melahirkan pedet yang Iemah atau kematian pedet, retensi plasenta, dan penurunan produksi susu . Sapi yang terinfeksi brucellosis dalam waktu lama dapat mengakibatkan infertilitas sampai dengan sterilitas, sedangkan pada sapi jantan, brucellosis dapat menyebabkan orchitis dan epididimitis . 111.5 Diagnosis Diagnosis brucellosis pada sapi berdasarkan atas pemeriksaan bakteriologi dan serologi . Kuman B abortus dapat diisolasi dari plasenta, tetapi untuk mendapatkan kultur yang murni dapat diisolasi dari lambung dan paru-paru dari fetus abortus . Selain itu, dapat pula dilakukan kultur dari beberapa sistem reticuloendothelial, khususnya supramammary lymph nodes, dan kelenjar susu. Ketepatan diagnosis brucellosis secara serologis merupakan faktor yang sangat penting untuk mencapai keberhasilan program pengendalian dan pemberantasan brucellosis . Serum agglutinasi test telah digunakan sebagai metode diagnosis standard . Uji agglutinasi dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi dalam susu, semen, dan plasma . Teknik ELISA juga telah dikembangkan untuk mendeteksi antibodi dalam susu dan serum . Jika menggunakan uji serum agglutinasi maka agglutinasi serum yang terjadi pada pengenceran 1 :100 atau lebih dari sapi yang tidak divaksinasi dan pengenceran 1 :200 pada sapi yang divaksinasi pada umur 4 dan 12 bulan dianggap sebagai positif dan sapi dinyatakan sebagai reaktor . Pengamatan kasus brucellosis pada kelompok sapi perah dapat ditentukan dengan cara pengambilan contoh secara bertingkat . Diagnosis awal dilakukan dengan uji penyaringan, yaitu uji milk ring test (MRT) (Gambar 1) pada contoh air susu (bulk) . Uji MRT ini digunakan untuk deteksi awal atau skrening infeksi brucella pada sekelompok sapi perah biasanya dilakukan pada sampel susu bulk. Apabila hasil uji MRT pada susu positif selanjutnya diagnosis diperkuat secara serologis, yaitu dengan pengambilan 22 1
Profil Usaha Pe/ernakan Sapi Perah di Indonesia
contoh darah dari individu sapi pada sekelompok tersangka untuk diuji dengan rose bengal plate test (RBPT) . Serum yang bereaksi positif RBPT dilanjutkan dengan uji pengikatan komplemen atau complement fixation test (CFT) atau enzymelinked immunosorbent assays (ELISA) sebagai uji penentu diagnosis .
Gambar 1 . Susu positif MRT ditandai dengan adanya cincin berwaran biru pada permukaan susu
Penggunaan teknologi molekular polymerase chain reaction (PCR) untuk diagnosis brucellosis pada sapi saat ini juga telah dikembangkan . Teknik PCR tersebut dapat mendeteksi DNA dari abortus pada jaringan dan cairan tubuh (darah, sus, dan jaringan limfatik) walaupun dengan jumlah kuman yang sangat rendah (Leary et al ., 2006), dan dapat digunakan untuk membedakan vaksin B. abortus strain S19 dan RB51 (Bricker and Hailing, 1995) . Selain itu, diagnosis brucellosis melalui teknik PCR ini dapat mengurangi tingkat risiko penularan kepada pekerja laboratorium (acquired infection) . 111.6 Patologi Perubahan secara patologi brucellosis pada sapi betina yang utama pada bagian endometrium dari uterus dan plasenta . Intercotyledon plasenta umumnya membengkak dengan cairan gelatin kekuningan dan terlihat adanya ulcer serta terlihat cairan 222
Profrl Usaha Peternakan Sapi Perah dl Indonesia
mucus atau fibrino purulent pada permukaannya . Co ledon plasenta tampak hiperemik, nekrosis dan tertutup oleh eksudat kental kecokelatan . Selain itu, ditemukan pula banyak sel mononuclear dan beberapa neutrofil serta koloni bakteri pada sel epitel . Fetus abortus tampak membengkak dan terlihat akurnulasi darah pada subkutan dan di dalarn rongga tubuh, tali pusat mungkin membengkak dan menebal . Lesi utama yang terlihat pada fetus adalah pneumonia kataral atau fibrinous . Secara mikroskopik akan terlihat paru-paru mengalami bronchitis dan bronchopneumonia . Pada sapi jantan brucellosis dapat mengakibatkan pembengkakan pada testis, yang berakibat terjadinya fokal nekrosis . Kuman abortus dapat ditemukan pada carpal dan cairan hygroma . 111.7 Patogenesis Infeksi brucellosis pada sapi biasanya disebabkan oleh masuknya kuman B . abortus ke dalam tubuh . Dalam tubuh sapi, kuman dapat menetrasi ke dalam epitel mukosa dari saluran pencernaan dan masuk ke sel phagocytic ke limfoglandula regional dan kemudian rnenyebar ke berbagai organ tubuh lainnya, persendian dan bursa . Fase bakterimia bersifat subklinis dan memakan waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan . Kuman dapat masuk ke dalam uterus sapi yang sedang bunting, kelenjar susu, testis, dan glandula sapi jantan . Pada sapi betina, membran chorioallantois membengkak dan terjadi ulcer, bakteri dapat menyebar melalui darah ke fetus dan plasenta . Pada sapi bunting pengaruh erythriol yang dihasilkan oleh plasenta akan merangsang multiplikasi bakteri (Acha et al., 1989) . Pada sapi betina dewasa yang tidak bunting, kuman akan berlokasi di ambing tanpa menunjukkan gejala klinis dan tanpa lesi . Kuman B. abortus akan bereplikasi dalam makrofag pada kelenjar susu atau dalam phagoc-yte yang merupakan sumber utama untuk terjadinya reinfeksi sumber penularan pada manusia melalui susu . 223
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di indonesia
111.8 Pengendalian Brucellosis pada sapi sulit diobati karena kuman bersifat intraseluler sehingga pengobatan tidak efektif . Beberapa agen pengobatan telah dikembangkan untuk treatmen brucellosis, yaitu dengan long acting oxytetracyclin dan streptomycin yang diberikan secara intramuskular dan infus secara intramamary dan pengobatan dilakukan dalam waktu 6 minggu, namun hasilnya tidak cukup efektif untuk eliminasi kuman abortus tersebut (Radwan et al., 1993) . Pencegahan penyakit di peternakan sapi perah dapat dilakukan secara higiene dan sanitasi, vaksinasi dan penyingkiran sapi reaktor . Sanitasi dan higienik merupakan faktor yang sangat penting untuk pencegahan brucellosis pada suatu kelompok ternak . Sapi reaktor sebaiknya di potong, dan pemasukan bibit/sapi baru ke dalam suatu peternakan sebaiknya dipisahkan atau dikarantina terlebih dahulu, dan jika ada kasus abortus maka fetus dan plasenta yang digugurkan harus dikubur atau dibakar dan dilakukan desinfeksi pada tempat yang terkontaminasi dengan hypoklorid, ethanol 70% maupun 2% formaldehid . Pengendalian dan pemberantasan brucellosis pada sapi dapat dilakukan hingga mencapai titik terendah sehingga suatu zona ataupun negara dapat dinyatakan bebas brucellosis . Pengendalian brucellosis pada daerah dengan prevalensi tinggi dilakukan melalui program vaksinasi dan kontrol pergerakan penyakit secara ketat, sedangkan pada daerah dengan prevalensi rendah pengendalian penyakit dilakukan melalui test and slaughter (potong bersyarat), yaitu dengan cara menguji serum sapi dengan RBT yang kemudian dilanjutkan dengan CFT atau ELISA, apabila hasil uji positif maka sapi tersebut dilakukan pemotongan (Alton et al., 1984) . Vaksin yang biasa digunakan untuk pengendalian brucellosis di beberapa negara adalah vaksin aktif B. abortus S19 yang dibuat dari strain B. abortus halus/smooth (Nicoletti, 1990), hanya saja vaksin tersebut dilaporkan mempunyai 224
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
beberapa kelemahan, yaitu keguguran pada sapi bunting yang divaksin (Nicoletti et al., 1977), infeksi permanen (Corner et al., 1987) dan adanya residu antibiotik yang berkepanjangan sehingga mengacaukan diagnosis pada saat potong bersyarat (Morgan, 1977 dan Mac Milland et al ., 1990) . Pemakaian vaksin B. abortus S19 dalam pengendalian brucellosis pada sapi adalah banyaknya .false positive (positif palsu) apabila vaksin diberikan pada sapi setelah dewasa (biasanya lebih dari 10 bulan), atau karena divaksinasi 2 kali (Bundle et al ., 1987) . Istilah "false positive" ini adalah secara serologis pada pemeriksaan laboratorium positif tetapi hewan tidak sakit . Lipopolisachharida (LPS) dari B . abortus S19, mengandung komponen perosarnin rantai 0 (Bundle et al., 1987) yang merupakan antigen paling dominan yang terdeteksi pada hewan maupun manusia yang terinfeksi abortus . Adanya aglutinasi antibodi yang dideteksi pada uji serologi standar brucellosis adalah spesifik untuk perosamine O-chain (Diaz et al ., 1968 ; Schurig et al., 1981) . Kuatnya respons kekebalan humoral yang timbul dengan adanya O-chain inilah yang mengakibatkan adanya masalah untuk diagnosis serologi karena mengakibatkan residu antibodi yang berkepanjangan sehingga menyulitkan uji serologi antara sapi yang divaksin dan sapi yang terinfeksi secara alami . Oleh karena itu, sejak tahun 1991 telah dikembangkan vaksin RB51 yang diderivasi dari koloni B . abortus strain 2308 (Schurig et al., 1991) . Vaksin RB51 ini merupakan vaksin mutan strain B. abortus yang tidak mengakibatkan cross reacting antibodies pada sapisapi yang divaksinasi sehingga vaksin RB51 ini dapat mengurangi jumlah sapi yang false positif, atau sapi-sapi yang divaksinasi dengan RB51 akan tetap negatif pada pengujian serologis . Pengendalian brucellosis pada sapi di Indonesia telah dilakukan bertahun-tahun, namun tingkat prevalensi penyakit brucellosis masih cukup tinggi . Beberapa permasalahan yang
225
ProJil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
dapat diidentifikasi sebagai penyebab sulitnya mengendalikan brucellosis pada sapi di Indonesia, yaitu : 1) Sap] yang terinfeksi brucellosis umumnya tidak menunjukkan gejala klinis, produksi susu tetap tinggi dan terjadinya abortus biasanya satu kali pada kebuntingan pertama sehingga mengakibatkan peternak enggan untuk melakukan pemotongan . 2) Pemberian kompensasi terhadap ternak yang dipotong oleh pemerintah menghadapi kendala berupa tidak sesuainya jumlah ternak yang dipotong dengan nilai kompensasi . Turunnya dana kompensasi tidak bersamaan dengan basil uji serologis sehingga memungkinkan terjadi penularan brucellosis . 3) Pengawasan lalu lintas ternak antar wilayah di Pulau Jawa sangat kompleks sehingga sangat sulit untuk melakukan pengawasan pergerakannya . 4) Pengujian test and slaughter belum dapat dilakukan secara serentak dan optimal . 5) Adanya pemakaian vaksin B. Abortus S19 di beberapa daerah yang mengakibatkan kesulitan untuk membedakan dengan infeksi alam . Program pengendalian brucellosis di Indonesia yang dilakukan oleh Pemerintah saat ini adalah dengan program eradikasi brucellosis secara gradual melalui pendekatan pulau ke pulau, seperti pembebasan brucellosis di Pulau Lombok pada tahun 2002, Pulau Sumbawa pada 2006 dan diikuti oleh Pulau Kalimantan tahun 2008 dan Sumatra . Sedangkan program pengendalian brucellosis pada sapi perah di Pulau Jawa dilakukan melalui program vaksinasi mulai tahun 2006-2012 . Vaksinasi dilakukan pada ternak sap] umur 6-12 bulan dan ternak dewasa lebih dari 1 tahun dengan menggunakan vaksin B. abortus RB51 dan S 19 (Direktorat Jenderal Peternakan, 2000) .
226
Prgfrl Usaha Pelernakan Sapi Perah di Indonesia
111.9 Diferensial Diagnosis Diferensial diagnosis brucellosis adalah infectious bovine rhinotracheitis (IBR), trichomonas foetus, neospora caninum, campylobacter foetus, listeria monocytogenes, sarcosporidia, dan leptospira species serta infeksi yang disebabkan oleh jamur . IV . PENYAKIT METABOLIK
Penyakit metabolik (gangguan metabolisme) merupakan penyakit yang sering ditemukan pada sapi perah selama periode awal laktasi terutama pada saat produksi susu tertinggi . Penyakit ini disebabkan karena proses metabolisme yang sangat berlebihan sehingga terjadi ketidakseimbangan antara input (asupan) pakan terhadap output (sekresi) untuk menjaga proses kebuntingan dan laktasi (Blowey, 1988 ; Payne, 1989) . Sindroma penyakit ini meliputi : (a) milk fever (parturient hypocalcaemia), (b) hypomagnesaemia (grass tetany), (c) ketosis (acetonaemia) dan (d) fitty liver syndrome (sindroma perlemakan hati) . Umumnya, penyakit metabolik didefinisikan sebagai gangguan keseimbangan homeostasis internal yang disebabkan karena terjadinya perubahan abnormal dalam proses metabolisme . Oleh karena itu, metabolit utama yang berperan dalam penyakit ini adalah kalsium, magnesium dan glukosa yang secara klinis ditandai dengan milk fever, grass tetanv, asetonaemia dan ketosis . Sedangkan sistem metabolisme lainnya seperti air, mineral dan mikro-mineral, elektrolit, protein dan energi mengalami ketidakseimbangan menimbulkan keragaman dalam gejala klinis penyakit ini . IV . 1 Milk Fever (Parturient hypocalcemia) Milk fever secara teknis disebut sebagai parturient hypocalcemia atau parturient paresis yang berarti penurunan kadar kalsium darah pada saat melahirkan . Penyakit ini biasanya disertai dengan penurunan suhu tubuh menjadi subnormal . Kejadian penyakit berlangsung secara akut yang diikuti dengan 22 7
Prgfzl Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
penurunan kadar kalsium darah (hipokalsemia) secara cepat dari normal (9,5 mg/dl) menjadi S5 mg/dl . Gejala paresis muncul seiring dengan penurunan kadar kalsium darah dan diikuti dengan comatose (pingsan) . Umumnya, penyakit ini muncul dalam tiga hari setelah melahirkan . IV.2 Mekanisme penyakit Blowey (1988) menyatakan bahwa induk sapi secara normal memiliki cadangan kalsium yang cukup dalam tulangnya (6 .000 g) maupun dari asupan pakan melalui saluran pencernaan (100 g) serta hanya dalam jumlah kecil terdapat di dalam sirkulasi darah (8 g) . Cadangan kalsium tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pedet bila terjadi perubahan yang drastis pada akhir kebuntingan (5 g/hari) dan untuk menghasilkan susu pada masa awal laktasi (25 g/kg). Secara normal, setiap hari selalu terjadi kehilangan kalsium melalui ekskresi urin dan feces yang tidak dapat dihindari oleh induk sapi perah . Kondisi ini semakin parah karena kolostrum mengandung kalsium dua kali lebih banyak daripada susu (2 g/liter berbanding I g/liter) sehingga terjadi kehilangan kalsium yang drastis dalam cairan tubuh . Oleh karena itu, pada saat melahirkan, kebutuhan kalsium akan meningkat tinggi secara mendadak yang mengakibatkan induk sapi mengalami penurunan kadar kalsiurn dalam darah . Secara fisiologis, pengaturan kadar kalsium darah dilakukan oleh beberapa organ tubuh yang saling berinteraksi, yaitu hati, kelenjar parathyroid, ginjal dan tulang . Sapi mendapatkan vitamin D 3 dari diet atau melalui sintesis vitamin D 3 pada kulit dibawah pengaruh sinar ultra-violet yang berasal dari sinar matahari . Vitamin D 3 pertama kali mengalami aktivasi untuk berubah menjadi 25 hidroksi D3 [= 25(OH)D 3] di dalam jaringan hat] . Menurunnya kadar kalsium darah akan merangsang pelepasan hormon parathyroid yang terdapat di dalam kelenjar parathyroid. Hormon ini memiliki kemampuan untuk merangsang pelepasan kalsium dan fosfor dari tulang . Metabolit vitamin D 3 [= 25(OH)D3] yang disinstesis di dalam hati menjadi 2 28
Profll Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
bentuk yang sangat aktif hingga 1,25 dihidroksi vitamin D3 [1,25 (OH) 2D3] di dalam ginjal . Senyawa 1,25 (OH) 2D3 ini bertanggung jawab dalam penyerapan kalsium dari tulang dan khususnya saluran pencernaan, dimana usus halus merupakan sumber utama kalsium selama melahirkan, karena mobilisasi kalsium dari tulang memerlukan waktu yang lama, yaitu antara 10-14 hari (Payne, 1989) . Kondisi in] menjadi penting, karena otot usus halus sangat peka terhadap kadar kalsium rendah yang dapat menurunkan aktivitas usus halus sehingga menimbulkan gejala milk fever . Rendahnya kadar kalsium akan menurunkan motilitas rumen sehingga mengurangi asupan nutrisi dan selanjutnya penurunan aktivitas intestinal akan mengurangi absorpsi kalsium dari saluran pencernaan . Sapi pada umumnya akan mengalami peningkatan kadar hormon parathyroid dan 1,25 (OH)2D3 pada saat melahirkan, namun beberapa di antaranya tidak mampu mencapai tingkat yang cukup untuk mencegah timbulnya milk fever . Aktivitas kedua hormon ini dirangsang oleh keberadaan magnesium di dalam ginjal . Oleh karena itu, bila terjadi penurunan asupan magnesium selama periode kering kandang dapat meningkatkan kejadian milk fever . Hormon estrogen dapat menghambat mobilisasi kalsium dan kadar estrogen biasanya meningkat pada saat melahirkan . Sapi perah dewasa (tua) lebih peka terhadap milk fever daripada sapi muda (dara) karena cadangan kalsiumnya lebih rendah . Oleh sebab itu, sapi dara (belum beranak) tidak pernah mengalami milk fever dan penyakit ini jarang dijumpai pada induk sapi beranak kedua . Sapi yang pernah mengalami milk fever pada saat melahirkan akan lebih peka pada kelahiran berikutnya . Faktor lain yang dapat menimbulkan penyakit ini adalah bangsa sapi (sapi Jersey lebih peka daripada bangsa lainnya), cekaman (stress) lingkungan dan produksi susu (semakin tinggi produksi susu maka semakin sering kejadian milk fever) (Payne, 1989) .
229
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
IV.3 Penyebab penyakit Kegagalan homeostasis kalsium pada awal laktasi merupakan penyebab utama milk fever . Kebutuhan yang mendadak terhadap kalsium (Ca) untuk sintesis kolostrum di dalam kelenjar ambing yang berlaktasi merupakan faktor penyebab kegagalan homeostasis Ca . Perubahan pola pemberian pakan dan proses pencernaan pada saat melahirkan akan mengganggu keseimbangan metabolisme mineral di dalam tubuh . Foetus menyerap Ca dari plasenta sebesar 0,2 gam dan akan berhenti pada saat lahir, tetapi kebutuhan Ca tersebut akan terns meningkat dengan berlangsungnya proses laktasi sebesar 1 g Ca/jam . Pada sapi dengan produksi susu yang tinggi dapat mencapai 2 g Ca/jam . Sapi umumnya akan beradaptasi dengan cara mengatur kecepatan aliran masuk (inflow) dan keluar (outflow) dari Ca, tetapi proses adaptasi ini berlangsung tidak sempurna karena adanya hypokalsemia sementara (transient) sebagai penyebab turunnya Ca normal dari 9,5 mg/d1 menjadi 7,0 mg/dl, terutama pada sapi yang lebih tua pada saat kelahiran ketiga dan berikutnya . Keparahan hypokalsemia hanya bergantung pada output (keluarnya) Ca melalui susu pada hari pertama laktasi . Akan tetapi, hal terpenting adalah beberapa sapi dapat menderita hypokalsemia yang lebih parah dibandingkan sapi lainnya bahkan dengan tingkat produksi susu yang sama . Tingkat kritis Ca plasma adalah 6,5 mg/dl, karena kadar Ca pada hypokalsemia ini terlihat tidak sebanding dengan motilitas saluran pencernaan . Kondisi stasis pada saluran pencernaan akan menghambat pasokan Ca dari pakan dan sapi akan segera mengalami hypokalsemia yang parah, menurun sekitar 4,5 mg/dl, dimana gejala klinis mulai terlihat . Banyak faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya gejala klinis milk fever pada sapi perah, antara lain (Payne, 1989) : 1) Tingkat produksi susu : Sapi perah dengan tingkat produksi susu yang rendah, jarang sekali mengalami kematian bahkan pada sapi yang dimamaerectomy tidak menunjukkan 230
Prgfil Usaha Pelernakan Sapi Perah di Indonesia
hypokalsemia pada saat melahirkan . Sebaliknya sapi dengan tingkat produksi susu yang sangat tinggi sering mengalami parturient hypocalcaemia . 2) Umur : Bertambahnya umur seekor hewan akan menurunkan tingkat metabolisme umum . Sapi yang lebih tua akan mengalami penurunan pergantian mineral tulang dan begitu pula kapasitas penyerapan Ca oleh lambung. Tingkat aliran makanan melewati saluran pencernaan juga akan menurun pada sapi yang berumur tua, sehingga sapi yang lebih tua menghadapi risiko tinggi terhadap parturient hypocalcaemia. 3) Asupan (intake) diet kalsium sebelum kelahiran : Sapi yang mendapatkan diet Ca yang berlebihan akan lebih peka dibandingkan yang menerima diet Ca yang rendah . Mekanisme hormonal mungkin berperan dalam kasus penyakit ini, terutama dalam kondisi disfungsi kelenjar parathyroid. Intake Ca yang berlebihan dapat merangsang sel C-thyroid untuk mengsekresi kalsitonin . Kalsitonin akan aktif pada sapi perah setiap harinya karena sapi mengonsumsi terlalu banyak Ca. Begitupula, bila kalsitonin ekstra disuntikan secara intravena ke dalam tubuh hewan akan menimbulkan hypocalcaemia parah bahkan sampai gejala klinis muncul . Oleh karena itu, diet kalsium tinggi merupakan penyebab utama terpengaruhnya metabolisme mineral oleh kalsitonin . 4) Stasis saluran pencernaan : Proses laktasi pada sapi perah bergantung pada kondisi fungsional saluran pencernaan dan bila terjadi gangguan dapat menimbulkan hypocalcaemia Minis . Stasis saluran pencernaan umumnya terjadi dalam 2 jam pada saat melahirkan . Dilaporkan pula bahwa hypocalcaemia dapat merangsang timbulnya stasis saluran pencernaan . Faktor lain yang dapat menimbulkan stasis saluran pencernaan antara lain rumput dan pakan yang sangat mudah tercerna dan interaksi hormonal seperti estrogen . 5) Keseimbangan diet : Keseimbangan diet merupakan faktor predisposisi parturient hypocalcaemia, sebagai contohnya status "asam" atau "basa" (pH) dari total diet . Status tersebut 23 1
Prgfzl Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
merujuk pada proporsi non-metabolizable kation terhadap anion . Sebagai contohnya, sodium bikarbonat terdiri dari non-metabolizable kation (sodium) dan metabolizable anion (bikarbonat) . Bila diet mengandung berlebihan nonmetabolizable anion balk kalsium, magnesium, potasium maupun sodium akan menimbulkan penurunan mobilisasi cadangan kalsium . Sebaliknya, diet yang asam diketahui sebagai bahan profilaktik untuk milk fever dan pemberian suplemen amonium khlorida berguna untuk mencegah milk fever . Faktor lain dalam keseimbangan diet yang dapat menimbulkan milk fever adalah defisiensi magnesium . Defisiensi magnesium dapat menghambat mobilisasi Ca karena adanya pengaruh langsung pada metabolisme di dalam tulang . Sebaliknya, intake magnesium yang berlebihan dapat juga menimbulkan parturient hypocalsemia, karena akan memengaruhi absorpsi Ca dari saluran pencernaan dan bahkan merangsang sekresi calcitonin yang pada akhirnya dapat menurunkan kadar Ca darah . IV.4 Gejala Minis Rendahnya kadar Ca darah dapat menimbulkan hipersensitivitas pada membran syaraf serta otot dan kemudian terjadi hipereksibilitas dan grass tetany . Namun, pada stadium akhir milk fever akan terjadi paralisis otot bukan tetany. Hal ini disebabkan karena hypokalsemia akan meningkatkan permeabilitas sel terhadap kation sehingga potasium akan mengalir ke luar sel dan sodium masuk ke dalam sel sehingga terjadi paralisis kontraksi otot . Peningkatan permeabilitas sel juga akan mengakibatkan fosfat mengalir keluar sel yang dapat mengakibatkan nekrosis serabut otot . Hal ini dapat menjadi faktor predisposisi untuk penyakit "downer cow" syndrome ketika sapi tidak mampu berdiri kembali sekalipun diobati dengan Ca boroglukonat . Milk fever umumnya terjadi secara akut dalam waktu yang singkat, yaitu tiga hari setelah parturisi .
232
Prof l Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Sapi perah yang menderita milk fever umumnya melalui tiga stadium, yaitu : 1) Stadium pertama mungkin tidak terlihat karena penyakit berlangsung dengan cepat . Pada stadium ini akan terlihat reaksi hiperaktif dan hipersensitif yang diikuti dengan tremor otot, peregangan otot, dan daun telinga terkulai . Kaki belakang kaku dan sulit digerakan, sapi menyendiri kemudian terjatuh dan berbaring dengan posisi yang tidak nyaman . 2) Stadium kedua ditandai dengan berbaring pada sternal (sternal recumbency) . Sapi mengalami depresi dan hampir pingsan, tidak mampu mengangkat dan menggoyanggoyangkan mulut ke bagian perutnya . Kemudian terjadi hypothermia serta stasis ruminal dan konstipasi mulai terlihat . 3) Stadium ketiga melibatkan kolaps dan koma . Sistem kardiovaskuler mengalami kegagalan fungsi ditandai dengan denyut dan suara jantung yang lemah . Dalam beberapa jam kematian sapi dapat terjadi bila tidak diobati . Kematian sapi umumnya disebabkan karena kegagalan pernapasan akibat bloat, tetapi kolaps jantung umumnya merupakan akhir dari proses penyakit. IV .5 Pengobatan dan pencegahan Pengobatan milk fever diarahkan untuk mengembalikan kadar Ca darah pada kondisi normal tanpa penundaan serta mencegah terjadinya kerusakan otot dan syaraf akibat hewan berbaring terlalu lama. Keberhasilan pengobatan tergantung pada serveilan yang dilakukan secara terus-menerus khususnya terhadap stadium awal penyakit . Kalsium boroglukonat adalah obat standar untuk milk fever yang diberikan melalui injeksi secara intravenous sebanyak 25% larutan . Payne (1989) melaporkan bahwa pemberian sebanyak 9 g Ca merupakan dosis optimum yang dapat mengobati milk fever, tetapi pemberian sebanyak 6 g Ca kurang cukup karena penyakit cenderung muncul kembali, dan 12 g Ca terlalu berlebihan . Penyuntikan kalsium secara intravena dapat 233
Prgfil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
menaikan kadar Ca darah sampai melebihi batas normalnya dan menimbulkan detak jantung tidak teratur yang dapat dideteksi dengan cepat. Namun, toksisitas akut untuk kalsium boroglukonat adalah rendah karena kation Ca berikatan dengan anion boroglukonat sehingga tetap dalam bentuk inaktif . Kasus lapangan milk fever biasanya merupakan penyakit yang kompleks, oleh karena itu larutan Ca boroglukonat dapat ditambahkan magnesium dan/atau dektrosa . Selanjutnya, suatu percobaan menunjukkan bahwa injeksi ganda dart Ca boroglukonat yang diberikan secara intravena dan subkutan dapat membantu pengobatan milk fever. Pemberian kalsium secara intravena menghasilkan pengaruh langsung, sedangkan depot Ca di bawah kulit (penyuntikan subkutan) akan memberikan pengaruh yang lambat tetapi memberikan penyembuhan yang lama (Payne, 1989) . Kebanyakan hewan akan sembuh dengan cepat setelah pengobatan . Dalam 5-10 menit sapi mampu mengangkat kepalanya, feses akan keluar dan mulai berusaha untuk berdiri . Bila penyakit kambuh kembali, biasanya terjadi dalam 24 jam maka diperlukan pengobatan kedua . Lumpuh berulang dapat dihentikan dengan meniup udara ke dalam kelenjar ambingnya agar menghambat sekresi kalsium ke dalam susu dan kehilangan kalsium . Strategi pencegahan penyakit bergantung pada kondisi peternakan (tingkat kejadian penyakit), musim pada saat calving dan kondisi hijauan pakan ternak . Kasus penyakit milk fever biasanya tinggi pada kelahiran musim hujan (basah) dan hijauan pakan ternak yang basah . Hal tersebut disebabkan karena (a) rumput mengandung Ca yang tinggi, (b) rumput mengandung magnesium yang rendah, dan (c) selama kelahiran biasanya terjadi periode stasis lambung dan hal ini akan menurunkan kemampuan sap] mengabsorbsi Ca. Oleh karena itu, strategi pencegahan penyakit dilakukan berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut : a) Menghindari pemberian rumput yang basah selama musim hujan tiga minggu masa kebuntingan terakhir . 234
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
b) Memberikan asupan kalsium rendah selama periode kering kandang . c) Menghindari pemberian pakan yang berlebihan sebelum melahirkan . d) Memberikan diet magnesium dan fosfor yang cukup . e) Memberikan suplemen dengan hay, straw, atau silase . f) Menyediakan diet mudah tercerna untuk menjaga rasa sebelum dan segera setelah parturisi . g) Memberikan derivat vitamin D3 melalui injeksi . h) Memberikan campuran vitamin D dengan 100-500 g Ca khlorida, baik melalui pakan maupun melalui air minum selama 4 atau 5 hari sebelum melahirkan . i) Bila terjadi wabah atau beberapa induk sapi pernah mengalami milk ' fever, berikan 400 ml 20% larutan Ca (sebaiknya dengan kandungan rendah magnesium dan fosfor) secara subkutan, segera setelah melahirkan .
IV.6 Grass tetany (Hypomagnesemia)
Grass tetany disebut juga hypomagnesaemia akut, hypomagnesaemia tetany, laktasi tetany dan grass staggers . Penyakit ini bersifat fatal pada ruminansia yang berlangsung secara cepat tanpa gejala klinis sebelum kematian hewan pada lokasi dimana ditemukan terjatuh . Grass tetany sering dijumpai pada hewan yang digembalakan di lapang di mana sapi yang sedang laktasi paling peka terhadap penyakit Mi . Gambaran diagnostik penyakit ini adalah hypomagnesemia yang terjadi penurunan kadar magnesium di dalam darah dari tingkat normal 2,5 mg/dl menjadi <_0,5 mg/dl . Perawatan hewan perlu dilakukan bila mendapatkan hasil analisis darah yang mengindikasikan terjadi penurunan kadar magnesium darah . Sapi yang mengalami hypomagnesemia umumnya memperlihatkan gejala klinis dalam waktu bersamaan dengan hypokalsemia, hal ini penting dalam mendiagnosis penyakit karena munculnya gejala tetany dilaporkan diakibatkan penurunan kadar Ca dalam darah secara mendadak . Bahkan dalam jangka waktu pendek 235
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
hewan dipuasakan atau dalam keadaan stress sudah dapat merangsung timbulnya hypokalsemia . Sebagai contoh, pada situasi hewan ditransportasikan, perjalanan hewan di lapang penggembalaan, perubahan mendadak terhadap diet dan indigesti . Grass tetany tidak sama dengan milk fever, karena tidak berkaitan langsung dengan parturisi . Akan tetapi, sapi yang berlaktasi peka terhadap penyakit ini karena meningkatnya kebutuhan magnesium untuk sintesis susu sehingga dapat memengaruhi homeostasis magnesium . IV.7 Penyebab penyakit Grass tetany disebabkan karena menurunnya (defisiensi) kadar magnesium dalam darah sapi yang digembalakan di lapangan . Sapi yang dikandangkan dan diberi ransum konsentrat serta rumput kering jarang mengalami grass tetany . Masa laktasi dapat meningkatkan kebutuhan magnesium sehingga sapi laktasi menjadi berisiko untuk mengalami grass tetany . Masalah utama adalah tidak cukupnya asupan magnesium dari pakan yang disertai dengan beberapa faktor lainnya karena terbatasnya penyerapan magnesium dari usus . Timbulnya grass tetany pada sapi dapat diilustrasikan sebagai berikut : Kebutuhan harian magnesium pada seekor sapi untuk kondisi normal adalah 10 g dan untuk laktasi diberlukan 18 g per hari . Oleh karena itu, total kebutuhan magnesium pada sapi yang berlaktasi mencapai 28 g per hari . Rumput umumnya mengandung sekitar 0,1% magnesium dalam pakan kering (dry matter) . Apabila seekor sapi mengkonsumsi rumput 18 kg DM hanya akan mendapatkan 18 g magnesium, sehingga bila sapi dalam masa laktasi akan mengalami kekurangan 10 g magnesium per hari . Sementara itu, sapi tidak memiliki cadangan magnesium di dalam tubuhnya sehingga sapi tersebut harus mendapatkan intake harian secara reguler untuk menghindari timbulnya hypomagnesemia . Pemberian pupuk yang sangat tinggi akan menurunkan kadar magnesium pada rumput pakan temak . Kadar magnesium pada rumput dapat pula 236
Proftl Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
menurun karena tingginya kandungan kalium dan rendahnya pH tanah, karena kedua kondisi ini dapat mengurangi penyerapan magnesium oleh rumput . Sebaliknya, rendahnya pH rumen dan usus dapat merangsang penyerapan magnesium (dan kalsium) oleh tubuh hewan (Blowey, 1988) . Walaupun demikian, rumput yang tumbuh subur dan basah dapat menimbulkan peningkatan pH rumen sampai 6,5-6,7 yang hal ini merupakan alasan hypomagnesemia sering dijumpai pada musirn hujan . Secara umum, beberapa faktor yang perlu diperhatikan pada penyakit grass tetany ini, antara lain : 1) Rumput muda mengandung magnesium yang lebih rendah dibandingkan dengan rumput tua atau kering . 2) Rumput dengan daun tunggal dan ramping mengandung magnesium lebih rendah daripada rumput dengan daun jamak (multiple) dan lebar. 3) Pemupukan rumput dengan nitrogen dan kaliurn dapat menghambat penyerapan magnesium oleh tanaman dan juga mencegah penyerapan magnesium oleh mukosa usus . 4) Diet kalsium yang berlebihan dapat menghambat absorbsi magnesium, dan oleh sebab itu pengapuran lahan rumput dapat meningkatkan potensi tetany pada sapi yang digembalakan . 5) Pakan yang mengandung protein tinggi yang meningkat-kan kandungan amonia dalam rumen dapat menghambat penyerapan magnesium, akibat terjadinya presipitasi magnesium amonium forsfat. 6) Beberapa jenis pengikat mineral (magnesium) terdapat di dalam saluran pencerapan hewan, seperti asam ketobutirat atau asam transakonitat . IV.8 Gejala klinis Kejadian penyakit ini berlangsung secara akut (sangat cepat), sapi terlihat menderita sangat parah atau mati tanpa gejala klinis . Sapi umumnya dijumpai mati di tempat hewan mengalami kolaps dengan gejala tetany . Sapi terlihat berlari-lari 23 7
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
secara liar dan kemudian jatuh dengan gejala konvulsi . Bila kesembuhan sementara terjadi dapat diikuti dengan konvulsi yang lebih parah kemudian kematian . Gejala akut lainnya yang mungkin terlihat adalah hyperthermia, kontraksi otot yang parah berkaitan dengan tetany serta detak jantung yang tidak teratur dan berbunyi . Pada kasus kronik, terlihat sapi akan mengalami gangguan, gagal makan dan hipersensitif . Sapi akan terlihat galak serta sulit untuk dipegang dan gejala ini akan berlangsung untuk beberapa hari sampai memasuki stadium konvulsi . IV.9 Pengobatan dan pencegahan Pengobatan sangat diperlukan untuk diberikan segera pada hewan yang diduga menderita grass tetany. Sapi perah perlu dicegah dari timbulnya spasmus dan tetany (kekejangan) dengan memberikan terapi magnesium . Larutan magnesium sulfat 25% sebanyak 400 in] dapat diberikan secara oral . Larutan ini dapat pula diberikan secara subkutaneus bila hewan dapat dipegang atau diikat, dan hindari pemberian secara intravenus karena dapat mempercepat timbulnya serangan jantung yang bersifat fatal . Pada saat yang sama, terutama bila terlihat gejala spasmus, dapat diberikan sedativa untuk menenangkan hewan dan mengurangi risiko serangan jantung, kemudian diberikan kombinasi preparat magnesium dan garam Ca secara perlahan melalui intravena . Pencegahan diarahkan untuk meningkatkan intake magnesium . Strategi pencegahan penyakit umumnya dilakukan dengan memberikan suplemen magnesium pada masa-masa kritis seperti pada musim hujan dan penggembalaan pada rumput yang basah . Suplementasi magnesium dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain : 1) Meningkatkan kadar calcined magnesite (MgO) di dalam konsentrat menjadi 60 g setiap 5,5 kg konsentrat (1,09%) . 2) Menggunakan bolus magnesium yang diberikan secara oral .
23 8
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
3) Suplementasi preparat magnesium melalui air minum dengan dosis 60 g/ekor/hari . 4) Memberikan akses mineral magnesium kadar tinggi . 5) Penyemprotan rumput dengan calcined magnesite setiap dua atau tiga hari . 6) Perbaikan kandungan magnesium pada rumput melalui penggunaan campuran legum, penambahan calcined magnesium pada tanah berpasir dan pH rendah, menghindari penggunaan pupuk yang mengandung kalium tinggi dan pengapuran tanah secara teratur . 7) Memberikan rumput kering (hay atau straw) setiap hari sebelum rumput mengalami kekeringan . IV.9 .1 Asetonemia (Ketosis) Asetonemia juga disebut ketosis atau hypoglisemia ketosis yang sering ditemukan pada sapi perah pada mesa awal laktasi . Ketosis disebabkan karena ketidakseimbangan antara input dan output energi metabolisme . Penyakit in] merupakan gangguan metabolisme yang terjadi pada awal laktasi dan berkaitan erat dengan hypoglisemia, ketonaemia, ketonuria, hilang nafsu makan, kehilangan berat badan dan inkoordinasi (Blowey, 1988) . Gejala neural dapat timbul pada beberapa sapi perah berupa lethargy dan kekejangan . Penyebab penyakit Mekanisme asetonemia diawali dengan gangguan metabolisme karbohidrat untuk menghasilkan energi . Pakan yang mengandung karbohidrat tinggi dipecah oleh mikroorganisme rumen menjadi asam propionat dan kemudian dibawa ke dalam hati untuk digunakan menghasilkan glukosa . Fungsi utama glukosa adalah untuk mensintcsa susu dan pada kenyataannya kecepatan dalam memproduksi susu ditentukan oleh kecepatan dalam memasok glukosa ke dalam kelenjar ambing . Propionat berfungsi pula dalam metabolisme lemak terutama untuk menghasilkan energi yang berasal dari lemak . 239
Proflu Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Sapi pada masa awal laktasi umumnya tidak mampu mengonsumsi cukup energi dari diet pakannya untuk mencukupi kebutuhan energi dalam menghasilkan susu dan oleh karena itu tubuh mendapatkan energi dari cadangan lemak . Lemak dipecah menjadi asam lemak kemudian melalui aliran darah dibawa ke jaringan hati . DI dalam hati, asam lemak dipecah menjadi asam asetat dan kemudian menghasilkan sejumlah energi . Namun, degradasi asam asetat menjadi karbon dioksida (C02) dan air (H2 0) yang disertai dengan pelepasan energi membutuhkan interaksi dengan propionat . Sedangkan pakan yang mengandung fiber tinggi akan didekomposisikan oleh mikroba rumen menjadi asetat dan butirat, dan kedua senyawa ini dibawa ke dalam hati untuk dimetabolisme . Butirat diubah menjadi asam asetat sehingga meningkatkan kebutuhan sapi perah akan propionat . Bila seekor sapi diberi pakan maka produksi total propionatnya akan dikonversi menjadi glukosa dan digunakan untuk memproduksi susu . Pada kondisi ii)i masih terjadi mobilisasi lemak untuk menghasilkan energi, akan tetapi karena tidak tersedianya propionat maka metabolisme lemak tidak dapat berlanjut secara sempurna sehingga hanya menghasilkan asam asetat . Kelebihan asam asetat akan terakumulasi di dalam hati sampai jaringan hati tidak mampu lagi mengakumulasi asam asetat . Untuk mengeluarkan asam asetat ini, maka dua molekul asam asetat akan berikatan untuk menghasilkan aseton . Aseton keluar dari hati melalui aliran darah dan akan mengintoksikasi sapi yang menimbulkan gejala asetonernia . Gejala Minis Gejala awal dari asetonemia adalah penurunan produksi susu dan bau aseton dari pernapasan, susu, dan urin sapi penderita . Selanjutnya sapi tidak mau mengonsumsi konsentrat meskipun tetap mengonsumsi rumput kering atau silase . Bulu terlihat kusam dan sapi mengalami lethargy yang diikuti dengan berhentinya ruminasi dan penurunan produksi susu secara drastis . Aseton dapat pula memengaruhi otak akibatnya sapi 2 40
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
menjadi liar, keluar busa dari mulut, menjilati berbagai benda disekitarnya dan berdiri dengan menjulurkan kepala ke atas . Pengobatan dan pencegahan Pengobatan penyakit dapat dilakukan melalui tiga tahapan pengobatan, yaitu : 1) Penyuntikan obat untuk meningkatkan kadar glukosa darah dan mempercepat metabolisme hati . Obat yang digunakan umumnya anabolik steroid atau kelompok glukokortikoid . 2) Obat yang diberikan secara oral untuk meningkatkan kadar gula darah dan memperbaiki metabolisme seperti sodium propionat dan gliserol . 3) Perawatan individual secara terpisah pada hewan yang sakit dengan memberikan pakan khusus seperti molases . Pencegahan penyakit diarahkan untuk tetap menjaga pemberian diet pakan yang benar. Ransum harus mengandung energi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme dalam masa produksi . Tahapan pencegahan penyakit yang dapat dilakukan, antara lain : 1) Menghindari kelebihan lemak pada masa akhir laktasi . Skor tubuh <4 saat lahir . 2) Mencegah kelebihan lemak selama periode kering kandang . 3) Meningkatkan intake pakan secara bertahap untuk laktasi . 4) Meningkatkan konsentrat secara bertahap sesuai tingkat produksi susu . 5) Menggunakan rasio konsentrat yang seimbang dan mengandung tidak lebih dari 16-18% protein . 6) Setelah masa puncak laktasi, karbohidrat yang mudah tercerna dapat diganti secara bertahap dengan pakan yang lebih murah. 7) Menjaga palatibilitas hijauan pakan ternak .
24 1
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
IV.9 .2 Metabolik Asidosis (BloatlTympany) Metabolik asidosis pada sapi perah umumnya disebabkan karena intake berlebihan dari karbohidrat mudah terfermentasi . Fermentasi karbohidrat berlangsung sangat cepat di dalam rumen dan menghasilkan asam laktat dalam jumlah besar dimana terjadi perubahan keasaman di dalam rumen secara mendadak sehingga hewan kehilangan nafsu makan dan indigesti serta asidosis sistemik. Karbohidrat difermc .atasi di dalam rumen akan menghasilkan campuran asam lemak terbang, asetat, propionat dan butirat . Asam laktat juga dapat drhasilkan di dalam tubuh, tetapi dalam jumlah yang kecil dan sementara (Seawright, 1989) . Namun, apabila sapi memakan terlalu banyak pakan yang mudah terfermentasi maka pertumbuhan bakteria penghasil asam laktat akan meningkat dan mendominasi mikroflora rumen . Kelebihan asam laktat kadangkadang dapat terakumulasi yang menyebabkan korosi pada dinding rumen, nekrosis sel epitel dan menimbulkan asidosis metabolik . Asidosis dapat berlangsung secara akut maupun yang kronik . Bentuk akut terjadi karena mengonsumsi karbohidrat mudah tercerna misalnya pati dalam jumlah yang berlebihan. Bentuk kronik sering terjadi pada sapi penggemukan karena diberi diet yang tidak seimbang mengandung minimal (tidak mudah tercerna) rumput yang diikuti dengan pakan konsentrat tinggi . Penyebab penyakit Asidosis sering disebabkan karena mengonsumsi karbohidrat mudah tercerna yang tinggi . Toksisitasnya bergantung pada kecepatan proses fermentasi, di mana pakan yang digiling halus cenderung lebih berbahaya dibandingkan whole grain . Penyebab utama asidosis adalah akumulasi asam laktat secara berlebihan di dalam rumen . Mekanisme asidosis adalah sebagai berikut :
242
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
1) Dalam beberapa jam setelah mengonsumsi pakan yang mudah terfermentasi, populasi mikroba rumen akan berubah sehingga menurunkan pH rumen menjadi asam . 2) Kelebihan asam laktat akan meningkatkan osmolaritas rumen sehingga air akan keluar dari darah dan menimbulkan dehidrasi . 3) Sapi akan berusaha untuk menyangga (buffer) keasaman rumen dengan saliva dan mengeluarkan bikarbonat dari plasma darah . 4) Fermentasi ruminal menghasilkan bentuk D- dan I .-asam laktat . L-asam laktat kurang berbahaya karena dengan cepat akan dimetabolisme sehingga meninggalkan D-asam laktat untuk berakumulasi . 5) Asam laktat bersifat korosif pada dinding rumen sehingga dapat menimbulkan kematian sel (nekrosis) dan terkelupas . 6) Keracunan ringan asam laktat dapat menimbulkan stasis rumen . 7) Histamin atau endotoksin bakteri bersifat toksik dan dapat menimbulkan asidosis ruminal . Gejala Minis Keparahan penyakit bergantung pada jumlah pakan yang mudah terfermentasi dikonsumsi oleh hewan . Gejala klinis utama yang terlihat adalah pembesaran rumen dan spasmus abdominal serta hewan berhenti melakukan ruminasi . Dalam kurun waktu 24 jam, sapi penderita akan mengalami stagger dan kolaps. Hewan kelihatan mabuk, buta asimetris dengan denyut jantung tinggi, dan selanjutnya hewan mengalami anoreksi, depresi dan dehidrasi . Pengobatan dan pencegahan Pengobatan asidosis bergantung pada bentuk asidosisnya apakah asidosis ruminal atau sistemik . Walaupun demikian, tindakan pertama dalam pengobatan asidosis ini adalah mengurangi tekanan yang disebabkan akibat pembentukan gas 24 3
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
sebelum terjadi kegagalan jantung . Obat-obatan bloat dapat diberikan secara intraruminal seperti larutan magnesium oksida untuk mendispersi gas di dalam rumen . Dalam hal mi dapat diberikan cairan minyak seperti minyak kelapa dan minyak sayuran sebanyak 500 ml . Pada kasus bloat parah, perlu dilakukan trokar untuk mengeluarkan gas rumen . Trokar dan kanula dimasukan ke dalam rumen pada sisi kiri hewan, 5 cm di belakang tulang iga terakhir dan 15 cm di bawah tulang spinus . Teknik alternatif lain untuk mengeluarkan gas rumen dapat dilakukan dengan menggunakan sonde lambung . Asidosis sistemik dapat diobati dengan menggunakan infusi cairan isotonik (1,3%) sodium bikarbonat yang diinjeksikan secara intravena . Bila hewan juga mengalami kelumpuhan akibat paresis atau hypokalsemia, maka Ca boroglukonat dapat diberikan untuk penyembuhannya . Pencegahan diarahkan untuk mencegah terjadi pembesaran rumen . Sapi dapat diberikan ransum berupa'biji-bijian secara bertahap . Kandungan rumput kering dalam ransum perlu dijaga keseimbangannya dengan balk untuk mencegah terjadinya pembesaran rumen . Larutan penyangga (buffer) dapat dicampurkan ke dalam diet seperti sodium bikarbonat, dimana antibiotik dapat menekan pertumbuhan bakteria penghasil asam laktat . (bloat)
V.
KERACUNAN PADA SAM PERAH
Keracunan pada sapi perah bergantung pada kualitas pakan dan konsentrat yang diberikan . Seiring dengan pola peternakan sapi di Indonesia yang menerapkan sistem pengandangan ternak dan cut and carry, hijauan pakan ternak menjadi sumber utama timbulnya keracunan pada sapi perah . Umumnya, kasus keracunan yang sering dijumpai pada sapi perah terdiri dari keracunan nitrat-nitrit, mineral, logam berat, dan tanaman beracun . Keracunan pada sapi perah umumnya menimbulkan gejala klinis yang sama, yaitu kekusaman, kehilangan nafsu makan, rasa sakit pada abdominal dan beberapa di antaranya 2 44
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
dapat menimbulkan gejala syaraf sehingga diagnosis penyakit akan sulit dilakukan . Konfirmasi penyebab keracunan umumnya dilakukan dengan uji laboratorium secara kimiawi . Selain itu, pengobatan untuk keracunan juga mengalami kesulitan kecuali mengurangi atau menghilangkan gejala klinis yang ditimbulkan . V.1 Fluorosis Fluorosis adalah keracunan kronik yang umiimnya disebabkan karena mengonsumsi sejumlah kecil fluorine dari diet pakan atau air minum . Fluorin berasal dari kegiatan industri yang dapat mengontaminasi rumput di sekitar pabrik . Secara alamiah fluorin banyak terdapat di dalam batu atau cadas dan sering dikaitkan dengan fosfat sehingga tanah dan sumber air dapat mengandung fluorin dalam jumlah yang besar bahkan sampai 8,7 ppm di dalam sumber air (Seawright, 1989) . Kontaminasi rumput oleh fluorida dari proses industri atau pemberian kapur fosfat pada lahan dilaporkan dapat menimbulkan fluorosis pada sapi bila mengonsumsi rumput dari lahan tersebut . Fluorin yang terkonsumsi oleh sapi akan disimpan di dalam tulang dan gigi hewan, dan gejala klinis tidak akan terdeteksi kecuali pemaparan berlangsung terus selama beberapa bulan . Salah satu gejalanya adalah kelumpuhan yang mungkin disebabkan karena adanya fraktura tulang pada kaki hewan atau adanya eksostosis (penonjolan) pada persendian tulang kaki . Abnormalitas pada gigi dapat pula terjadi pada keracunan fluorin terutama pada hewan muda berupa keretakan dan terkelupasnya email gigi sapi . V.1 .1 Penyebab penyakit Fluorosis pada sapi perah berlangsung secara kronik akibat mengonsumsi diet pakan dan air minum yang terkontaminasi fluorin. Fluorin dapat dijumpai pada batu-batuan yang sering dihubungkan dengan fosfat sehingga tanah dan air disekitarnya terkontamonasi fluorin . Meskipun air permukaan mengandung 245
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
sedikit fluorin, tetapi pada air sumur atau artesis dapat mengandung fluorin lebih banyak. Tanaman hanya mengabsorbsi fluorin dalam jumlah kecil sehingga hanya sedikit pula fluorin yang masuk ke tubuh hewan melalui hijauan . Pengapuran lahan tanam untuk rumput dengan kapur fosfat merupakan penyebab umum dari fluorosis dan jumlah yang lebih besar dapat tertelan oleh sapi bila pakan ternak disuplementasi dengan batuan fosfat yang murah . Polusi oleh asap dan debu dari industri dapat mengontaminasi rumput, lahan, dan air disekitar pabrik tersebut. V.1 .2 Gejala klinis Fluorin adalah racun untuk seluruh jaringan tubuh . Jika tertelan dalam jumlah besar fluorin dapat menimbulkan kematian hewan akibat iritasi lambung karena bentuk asam hidrofluorat . Gejala syaraf dan tetany dapat terjadi akibat penurunan kadar kalsium dalam serum bila kalsium fluorida inaktif terbentuk . Pembekuan darah juga dapat terhambat . Pada kasus intoksikasi kronik menimbulkan hilangnya nafsu makan akibat penurunan aktivitas rumen ; bercak-bercak pada gigi dan eksostoses pada persendian tulang . Kadar normal fluorin darah mencapai 0,2 mg/dl dan 2-6 ppm dalam urin . V.1 .3 Pengobatan dan pencegahan Pengobatan hanya dapat dilakukan dengan mengeluarkan hewan dari padang rumput yang terkontaminasi atau tidak memberikan rumput tercemar, kemudian dapat diberikan vitamiun A dan D agar fluorin diekskresikan secara perlahan . Garam kalsium dapat diberikan secara intravena untuk menggantikan kalsium terpresipitasi di dalam serum . Pemberian kalsium dan fosfat dalam jumlah yang cukup dapat membantu penyimpanan fluorin di dalam tulang . Pencegahan dilakukan dengan cara menguji kadar fluorin air minum secara laboratorium . Jika kadar fluorin cukup tinggi maka dapat ditatnbahkan kapur untuk mengurangi kandungan 246
Prgfil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
fluorin di dalam air. Penaburan kapur fosfat pada lahan rumput dan penambahan batu fosfat dalam pakan barns dihindarkan . Tembaga (Cu) Senyawa cuprum (Cu) digunakan secara luas dalam kegiatan pertanian dan veteriner sebagai fungisida, bakterisida, moluskisida dan anteihementika yang setiap saat menjadi sumber keracunan pada hewan . Tembaga merupakan elemen esensial untuk kesehatan, sedangkan keracunan pada hewan merupakan akibat pengobatan terhadap defsiensi tembaga melalui suplementasi Cu secara berlebihan (Seawright, 1989) . Sapi mampu mengatasi intake tembaga dalam jumlah besar dengan cara menyimpannya di dalam hati, tetapi bila mencapai stadium ketika hati tidak mampu lagi menampung tembaga akan terjadi gangguan fungsi hati . Pada kondisi tersebut akan timbul jaundice parah, perih lambung dan haematuria ; sedangkan kematian merupakan hal yang umum terjadi . Keracunan tembaga biasanya terjadi dalam periode lama untuk intake tinggi, sebagai contohnya sapi mengonsumsi tanaman yang disemprot dengan garam tembaga, atau suplementasi tembaga secara berlebihan ke dalam ransum . V .3 Toksisitas Cuprum yang masuk ke dalam tubuh hewan melalui mulut diabsorbsi dari saluran pencemaan, kemudian disimpan di dalam hati dan diekskresikan melalui empedu . Pada ruminansia, jumlah tembaga yang diabsorbsi dan disimpan dikendalikan oleh jumlah molybdenum dan sulfat dalam diet . Jumlah ion cupric yang berlebihan bersifat iritan secara lokal di dalam saluran pencernaan dan menimbulkan muntah, salivasi, mual, nyeri abdominal, konvulsi, paralisis, kolap dan mati . Bila terdapat khlorofil di dalam saluran pencernaan maka tembaga akan memengaruhi isi usus berupa warna hijau dari senyawa cuprumkhlorofil. Dosis toksik akut secara oral pada sapi dewasa adalah 200 mg/kg . 247
Projil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
V.3 .1 Penyebab penyakit Keracunan tembaga dapat disebabkan karena mengonsumsi garam tembaga secara berlebih melalui pakan yang terkontaminasi . Tanaman dapat terkontaminasi oleh penyemprotan fungisida dan air mungkin mengandung tembaga akibat parasitisida atau pada saat tindakan eradikasi siput berlangsung . Rumput dapat juga mengandung tembaga berlebihan setelah pemupukan dengan garam tembaga untuk memperbaiki defisiensi cuprum . Pada kawasan industri, polusi oleh cuprum memungkinkan terjadi . V.3 .2 Gejala Minis Garam tembaga merupakan koagulan protein maka konsumsi garam tembaga secara berlebihan akan mengakibatkan iritasi pada mukosa saluran pencernaan . Maka gastroenteritis parah yang diikuti dengan nyeri abdominal dan diare parah merupakan gejala klinis yang langsung terlihat . Selanjutnya hewan akan mengalami shock parah diikuti dengan penurunan suhu tubuh dan peningkatan denyut jantung . Kolaps dan kematian dapat terjadi dalam 24 jam setelah gejala klinis pertama terlihat . Pada anak sapi yang mampu bertahan hidup akan terlihat hemoglobinuria dan hemoragi masif . Jumlah kecil konsumsi tembaga dalam waktu lama hanya sedikit berpengaruh, tetapi tembaga akan terakumulasi di dalam jaringan hati . Keadaan dapat berlangsung selama enam bulan sehingga akumulasi cuprum mencapai tingkat maksimum, bila cuprum dilepas masuk ke aliran darah maka sapi akan mengalami sakit yang bersifat akut dan kematian dalam waktu singkat . Pada kasus ini biasanya tidak terjadi gangguan fungsi saluran pencernaan, tetapi timbul haus, hemoglobinuria, dan jaundice secara mendadak . Kematian ternak disebabkan karena anemia akut dan nephrosis haemoglobinuria . Methemoglobin sering terdeteksi dan packed cell volume (PCV) mangalami penurunan dari 40% menjadi 10% dalam 48 jam (Seawright, 1989) . 248
Profl Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
V .3 .3 Pengobatan dan pencegahan
Pengobatan pada kasus keracunan akut dianjurkan untuk dan pengobatan memberikan sedativa gastrointestinal mengalami keracunan akut dapat simptomatik . Ternak yang diobati dengan molybdenum sulfat untuk membatasi penyerapan cuprum dari saluran penyerapan dan merangsang mobilisasi dari hati dan ekskresi melalui urin . Pemberian 50-500 mg arnonium molybdat dan 0,3-1 g sodium sulfat setiap hari secara oral selama 3 minggu dianjurkan untuk mencegah terjadinya fase akut penyakit ini . Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menghindari pemberian preparat cuprum secara berlebihan baik sebagai tindakan pengobatan maupun memasukkan tembaga pada lahan rumput dalam rangka memperbaiki defisiensi cuprum . Perlu menghindari pemberian pakan biji-bijian yang diberi perlakuan dengan agen antijamur atau tanaman terkontaminasi oleh penyemprotan fungisida mengandung senyawa cuprum . Air yang mengandung fungisida dapat berisi cuprum dalam jumlah toksik . V .4 Selenium (Se) Keracunan selenium (Se) sering terjadi pada daerah dengan kadar Se tinggi di dalam tanah, tanaman yang tumbuh di atas tanah tersebut memiliki kemampuan menyerap (akumulator) Se dari tanah atau terjadi akibat pemberian Se secara berlebihan (Seawright, 1989) . Hewan yang terintoksikasi mengalami kebutaan dan menunjukkan gejala syaraf seperti menundukan kepala, emasiasi, lumpuh, dan rontok bulu . V .4 .1 Penyebab penyakit
Keracunan Se disebabkan karena kandungan tinggi Se di dalam tanah dimana beberapa tanaman yang terdapat pada lahan tersebut mampu mengabsorbsi Se dalam jumlah besar, seperti 249
Profrl Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Acacia sp . Toksisitas Se dipengaruhi oleh status cobalt (Co) dan protein pada hewan . Bila salah satunya mengalami defisiensi maka akan terjadi peningkatan kepekaan terhadap Se . Sapi kurang peka terhadap Se dibandingkan domba, tetapi Se yang terdapat di dalam pakan ternak tidak boleh lebih dari 5 ppm bahan kering dan pemberian pakan yang mengandung Se sebesar 25 ppm bahan kering selama beberapa minggu dapat menimbulkan keracunan Se kronik . Keracunan akut Se dapat terjadi bila hewan digembalakan pada lahan yang mengandung 2.000-3 .000 ppm Se. DI samping itu, keracunan Se dapat pula terjadi bila sapi diberikan preparat Se secara berlebihan khususnya untuk pengobatan penyakit enzootic muscular dystrophy . V .4.2 Gejala Minis Kasus keracunan Se akut memperlihatkan gejala sulit bernapas, diare encer, demam dan tacchycardia . Sering pula dijumpai gerakan dan postur abnormal dan diikuti dengan kematian mendadak. Nekropsi memperlihatkan pembendungan dan nekrosis hati serta pembendungan pada medulla ginjal, ulserasi pada rumen dan kerusakan jaringan yang luas pada hat], paru-paru dan myocardium . Pada keracunan Se kronik terdapat dua bentuk gejala keracunan, yaitu : (1) "blind stagger" yang memperlihatkan gejala syaraf seperti langkah kaku, kebutaan, paralisis dan mati akibat kegagalan pernapasan ; dan (2) "ill-thrift" yang menunjukkan gejala kekusaman bulu, emasiasi, kulit keras dan rontok bulu serta tidak aktif. Pada kondisi ini sering juga dijumpai abnormalitas tapak kaki dan kepincangan biasanya bersifat parah . Nekropsi terlihat atrophy dan dilatasi jantung, nekrosis hati dan glomerulonephritis . V.4 .3 Pengobatan dan pencegahan Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian diet protein tinggi dan pemberian preparat tembaga secara oral . Pencegahan 250
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
dilakukan dengan menghindari pemberian hijauan yang mengandung Se tinggi (akumulator) dan berhati-hati dalam penyuntikan preparat Se dalam mengatasi defisiensi Se pada ternak . V .5 Cobalt (Co) Cobalt (Co) adalah komponen penting dari vitamin B 12 yang disintesa oleh bakteria di dalam rumen . Vitamin B12 dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mencerna selulosa . Kelebihan vitamin ini akan diabsorbsi oleh sapi dan berperan penting dalam metabolisme energi . Perubahan pada defisiensi cobalt menyebabkan ketidakmampuan hewan untuk memanfaatkan energi pada diet pakannya sehingga sindrom penyakit ini disebut juga sebagai "pine" . Domba lebih peka terhadap defisiensi Co dibandingkan sapi, tetapi kedua ternak ini akan memperlihatkan gejala yang sama seperti pertumbuhan buruk, anemia, dan peningkatan kepekaan terhadap infeksi . Sapi perah dilaporkan dapat mengalami penurunan produksi susu dan infertilitas (Seawright, 1989) . V .5 .1 Penyebab penyakit Penyakit ini dapat disebabkan karena tanah tempat tumbuhnya rumput atau hijauan pakan ternak mengalami defisiensi Co sehingga tanaman tersebut juga akan mengalami defisiensi Co. V .5 .2 Gejala klinis Gejala klinis untuk defisiensi Co tidak begitu nyata seperti defisiensi mineral lainnya . Gejala yang umum terlihat adalah penurunan nafsu makan, kehilangan bobot badan, pica dan diare . Hewan penderita sering pula menunjukkan gejala anemia dan hypoglysemia.
25 1
Profzl Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
V .5 .3 Pengobatan dan pencegahan
Pengobatan dan pencegahan defisiensi Co dapat dilakukan dengan memberikan suplementasi Co secara oral kemudian diikuti dengan penyuntikan vitamin B 12 secara parenteral . Preparat Co direkomendasikan untuk ditambahkan ke dalam diet sapi sebesar 0,07 mg/kg bahan kering . V .6 Nitrat-nitrit Nitrat di dalam rumen akan diubah menjadi nitrit . Senyawaan ini diabsorbsi dari saluran pencernaan untuk dialirkan melalui darah dan akan berikatan dengan hemoglobin sehingga mencegah masuknya oksigen . Keracunan nitrat-nitrit merupakan masalah dalam peternakan ruminansia yang disebabkan karena konsumsi urea secara berlebihan dan mendadak . Kondisi yang sama juga sering terjadi pada saat ternak mendapatkan pakan hijauan yang * segar dengan kandungan protein terlarut yang tinggi sehingga dapat difermentasi dengan cepat . Masalah lain yang berkaitan dengan keracunan nitrat adalah bila ternak digembalakan atau diberi rumput yang diberi pupuk dengan kandungan nitrat tinggi, terutama pada saat musim kering . V .6.1 Penyebab penyakit
Biji-bijian umumnya mengandung nitrat dalam jumlah yang toksik, terutama setelah dilakukan pemupukan lahan dengan menggunakan senyawa nitrogenus . Beberapa tanaman tertentu dapat mengandung nitrat dalam jumlah yang lebih besar terutama tanaman muda, gandum dan jerami . Beberapa tanaman lainnya dapat mengakumulasi nitrat dalam jumlah yang berbahaya bagi kesehatan ternak seperti rumput Urochloa panicoides . Sementara itu, air sumur yang dalam dilaporkan dapat mengandung nitrat hingga 1 .700-3 .000 ppm (Seawright, 1989) .
252
Profil Usalza Peternakan Sapi Peralz di Indonesia
V.6 .2 Gejala klinis Gejala klinis utama dari keracunan nitrat adalah dyspnoea diikuti dengan pernapasan yang cepat akibat anoxia . Anoxia disebabkan karena pembentukan methemoglobin pada saat nitrit diabsorbsi . Nitrit juga bertindak sebagai vasodilatator sehingga menimbulkan anoxia pada jaringan . Gejala klinis ini juga diikuti oleh gangguan sistem syaraf pusat seperti salivasi, tremor, inkoordinasi dan kematian ternak . Absorbsi nitrit ke dalam darah mengakibatkan terikatnya nitrit dengan hemoglobin yang dapat menghambat darah untuk membawa oksigen sehingga gejala klinis yang ditimbulkan meliputi sesak napas, menggigil, megap-megap dan kolaps . Munculnya gejala klinis dapat tertunda hingga enam jam karena memerlukan waktu untuk mengubah nitrat menjadi nitrit . Gejala awal yang dapat dilihat adalah nyeri perut, diare, muntah dan salivasi . Kematian sapi dapat terjadi bila kadar .methemoglobin darah mencapai 9 g/100 ml darah (Seawright, 1989) . V .6 .3 Pengobatan dan pencegahan Pengobatan dapat dilakukan dengan cara menyuntikan methylene blue secara intravena sebanyak 20 mg/kg pada sapi . Bila bahan toksik yang dikonsumsi lebih banyak, penyuntikan perlu diulangi kembali dalam kurun waktu 6-8 jam . Pencegahan penyakit dilakukan dengan cara memberikan diet pakan yang cukup karbohidrat dan menghindari dari pemberian hijauan yang mengandung nitrat tinggi atau tanaman akumulator untuk nitrat . Begitupula dengan pemberian jerami dan silase perlu dibatasi karena jenis pakan ini dapat mengandung nitrat yang cukup tinggi .
253
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Acha, P . and B . Szyfres . 1989 . Brucellosis . In : Acha P .N ., Szyfres B . eds . Zoonosis and Communicable Disease Common to Man and Animals . Washington : Pan American Health Organization . Alton, G .G . 1984 . Report on Consultancy in Animal Brucellosis in Indonesia . Alton, G ., L .M . Jones, R .D . Angus and J .M . Verger. 1988 . Techniques for the Brucellosis Laboratory . INRA, Paris . Badan Pusat Statistik . 2006 . Statistik Indonesia 2005/2006 . Sub Direktorat Publikasi Statistik . Blood, D .C . and J .A . Handerson . 1979 . Veterinary Medicine 5"' ed . Bailliere Tindall . London . Blowey, R. W . 1988 . A Veterinary Book for Dairy Farmers . Farming Press Limited . Pp : 157-179 . Bricker, B .J . and S .M . Hailing . 1995 . Enhancement of the Brucella AMOS PCR Assay for Differentiation of Brucella abortus Vaccine Strains S19 and RB 51 . American Society for Microbiology. 33 (6) : 1640-1642 . Budiharta S dan B . Warudju . 1985 . Mastitis di Daerah Istimewa Yogyakarta .1I . Isolasi Bakteri Penyebab dan Resistensi terhadap Beberapa Antibiotika . Hemarazoa . 72(1) : 58-68 . Bundle, D .R ., J .W . Cherwonogrodsky, M . Caroff and M .B . Perry . 1987 . The Lipopolysacharides of Brucella abortus and B . militensis . Ann . Inst . Pasteur . Microbiol . 138 : 92-98 . Corner, L . A . ; Alton, G . G and lyer, H . 1987 . Distribution of Brucella abortus in Infected Cattle . Aust . Vet. Journal . 64 : 241-244 . Diaz, L . Jones, D . Leong and J . Wilson . 1968 . Diagnosis of. Brucellosis by Serology . Veterinary Microbiology . Direktorat Jenderal Peternakan . 1981 . Penyakit Keluron Menular (Brucellosis) . Pedoman Pengendalian Penyakit Menular. Bina Direktorat Kesehatan Hewan . Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta . Direktorat Jenderal Peternakan . 2000 . Program dan Pedoman Teknis Pemberantasan Brucellosis pada Sapi Perah di Pulau Jawa . Direktorat Bina Kesehatan Hewan . Departemen Pertanian .
Direktorat Jenderal Peternakan . 2006 . Buku Statistik Peternakan, Ditjen Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta .
254
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia Edington, B .H . and C .R . Donham . 1939 . Infection and Reinfection Experiment with Bang's Disease . Journal Agric . Res . 59 : 609-618 . Enright, F . M . 1990 . The Pathogenesis and Pathobiology of Brucella Infection in Domestic Animals . In : K . Nielsen and J . R . Duncan (ed .), Animal brucellosis . CRC Press, Inc ., Boca. Raton, Fla . Geering WA, J .A . Forman and M .J . Nunn . 1995 . Exotic Diseases of Animals : A Field Guide for Australian Veterinarians, Australian Government Publishing Service, Canberra . Hastiono, S ., D . Gholib, Sudarisman, P . Zahari dan L . Natalia . 1983 . Mastitis Mikotik pada Sapi Perah . Penelitian Pendahuluan . Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar, Cisarua, 6-9 Desember 1982 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hastiono, S . 1984 . Mastitis Mikotik, Radang Kelenjar Susu oleh Cendawan pada Ternak Perah . Wartazoa 1 (4) : 9-12 . Hirst, R .G ., Supar, J . Emins, Y . Setiadi and Supartono . 1984 . Report and Milk Examination for Clinical and Subclinical Mastitis at Baturraden, Purwokerto, Central Java . Hirst, R .G ., A . Nurhadi, A . Rompis, J . Emins, Supartono and Y . Setiadi . 1985 . The Detection Subclinical Mastitis in the Tropic and the Assessment of Associated Milk Production Losses . Proceedings of the Third AAAP Animal Science Congress . Seoul, Korea . Vol . 1 : 498500 . Kraneveld . 1927 . Over Een Gewrichlijden bij Runderenter Sumater`s Ooskust . N .I .B . V. Dierge . 39 :105 . Leary, S .O ., M . Sheahan and T . Sweeney. 2006 . Brucella abortus Detection by PCR Assay in Blood, Milk and Lymp Tissue of Serologically Positive Cows . Research in Veterinary Science . 81 : 170-176 .
Macmillan, A .P ., 1, Greiser-Wilke, V . Moenning and L .A . Mathiadis . 1990 . A Competitive Enzyme Immunoassay for Brucellosis Diagnosis . Deutche Tierarztliche Wochenschrift . 97 : 83-85 . Morgan, W .J .B . 1977 . The Diagnosis of Brucella abortus Infection in Britain . In : R .P . Crawford and R .J . Hidalgo (Editors), Bovine Brucellosis . An International Symposium . Texas A & M Press . College Station . Nicoletti P . 1980 . The Epidemiology of Brucellosis . Adv . Vet . Sci . Comp . Med . 24 : 69-98 .
25 5
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia Nicoletti P . 1977 . A Preliminary Report on the Efficacy of Adult Cattle Vaccination using Strain 19 in Selected Dairy Herds in Florida . Proceedings 80 °i Annu . Met. US Animal Health Assoc . 91-100 . Nicoletti P . 1990 . Vaccination . In : K . Nielsen and J. R . Duncan (ed.), Animal Brucellosis . CRC Press, Inc., Boca Raton, Fla . p . 283-300 . Payne, J .M . 1989 . Metabolic and Nutritional Diseases of Cattle . Blackwell Scientific Publications . Pp : 1-40 . Plomet . M . and A .M . Plomet . 1988 . Virulence of Brucella : Bacterial Growth and Decline in Mice . Annales de Recherces Veferinaires. 19(1) : 65-67 . Poeloengan, M ., E .D . Setiawan dan S . Hardjoutomo . 1984 . Inventarisasi Bakteri dari Kejadian Mastitis pada Sapi Perah di Daerah Bogor dan Sekitarnya . Penyakit Hewan Vol . 16 (28) : 221-223 . Radwan Al, S .I . Bekairi, A .M . Al-Bokrny, P .V . Prasad, O .M . Mohammad and S .T . Hussain . 1993 . Successful Therapeutic Regimens for Treating Brucella melitensis and Brucella abortus Infections in Cows . Review Scientific Techniques (OIE) 12(3) : 909922 . Romphis, A ., A . Nurhadi, R .G. Hirst, Supartono, Y . Setiadi and J . Emins . 1985 . Proceedings of the third AAAP Animal Science Congress . Seoul, Korea . Vol . 1 : 510-512 . Sanjaya, A .W ., I .W .T . Wibawan, M . Sudarwanto, S . Widodo and H . Enbergs . 2004 . Using Homeopathica Drugs Combination at Peripartal Phase in Preventing Bovine Subclinical Mastitis . Med Journal Indonesia . 221-226 . Schalm, O . W ., E .J . Carroll and N .C . Jain . 1971 . Bovine Mastitis . Lea & Febiger, Philadelphia, USA . Schurig, G .G ., AT . Pringle, and S .S . Bresse . 1981 . Localization of Brucella Antigens that Elicit a Humoral Immune Response in Brucella abortus Infected Cattle . Infect . Immun . 34 : 1000-1007 . Schurig, G .G ; R .M . Roop ; T . Bagchi ; S . Boyle ; D . Buhrman and N . Sriranganathan . 1991 . Biological Properties of RB51 ; a Stable Rough Strain of Brucella abortus . Vet . Microbiol . 28 : 171-188 . Seawright, A .A . 1989 . Animal Health in Australia. Chemical and Plant Poisons. Vol 2, 2" a edition . HIm : 195-232 . Setiawan, E,D . 1992 . Studi Tentang Beberapa Sifat Biologis Brucella abortus Isolat Lapang . Disertasi Doktor. Program Pascasarjana . Institut Pertanian, Bogor. 2 56
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia Sudarwanto, M . 1987 . Mastitis Mikotik pada Sapi-sapi Perah di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur, Jawa Barat . Penyakit Hewan Vol . XIX No . 34 . Sudibyo, A dan P . Ronohardjo . 1989 . Brucellosis pada Sapi Perah di Indonesia. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Sudibyo, A ., P . Ronohardjo, B . Patten dan Y . Mukmin . 1991 . Status Brucellosis pada Sapi Potong di Indonesia . Penyakit Hewan . 23 (41) : 18-22 . Sudibyo A ., E .D . Setiawan dan S . Bahri . 1997 . Evaluasi Vaksinasi Brucellosis pada Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur . Laporan Penelitian Tahun Anggaran 1996/1997 . Balai Penelitian Veteriner, Bogor . Soeroso, M dan F .M . Taufani . 1972 . Brucellosis di Indonesia . Bull . LPPH . Vol . 3 No . 3-4 : 24-30 . Supar. 1997 . Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Indonesia : Masalah dan Pendekatannya . Wartazoa Vol 6 (2) : 48-52 . Supar dan T . Aryanti . 2008 . Kajian Pengendalian Mastitis Subklinis pada Sapi Perah . Prosiding Prospek Industri Sapi Perah menuju Perdagangan Bebas 2020 . Jakarta, 21 April 2008 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.
The Merck Veterinary Manual . 1986 . A Handbook of Diagnosis, Theraphy and Disease Prevention and Control for the Veterinarian . Sixth Edition . Ed . H .E . Amstutz et al ., Merck & Co., Inc ., Rahway ., N .J . USA .
Young E .J . 1983 . Human Brucellosis . Rev . Infect . Dis . 5 : 821-824 .
257