Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
APLIKASI VAKSIN ENTEROTOKSIGENIK ESCHERICHIA COLI POLIVALEN PADA INDUK SAPI PERAH UNTUK MENINGKATKAN DAYA PROTEKSI KOLOSTRUM DALAM PENGENDALIAN NEONATAL KOLIBASILOSIS (The Application of Enterotoxigenic Escherichia coli Polyvalent Vaccine in Pregnant Dairy Cows for Increasing Colostral Protection to Control Neonatal Colibacillosis) TATI ARIYANTI dan SUPAR Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor ABSTRACT Enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC) strains are the cause of diarrhoea in newborn calves. The aim of this study was to evaluate the effectivity of local isolate ETEC polyvalent vaccines for controlling neonatal diarrhoea in the calves. The killed whole cell vaccines were prepared from locally isolates of ETEC K99 associated with O9 and or O101 serogroups, ETEC F41 associated with O101 serogroup, whereas ETEC containing K99F41 fimbrial antigens associated with O101 serogroup. The killed whole cell antigens were produced then adjuvanted with aluminium hydroxide gel at final concentration of 1.5 % and cell concentration was equal to the number 10 of the Mc Farland tube standard. The prevaccination visits were conducted at the areas of Bandung, Sukabumi and Bogor districts to determine the farmer respondents and the prevalence of diarrhoeal disease of calves, to collect rectal swabs and colostrum samples. Dam vaccination trials were conducted in farmer respondent. Each pregnant cow was injected subcutaneously with 5 ml of vaccine at 6 weeks and 2 weeks before the expected date of calving. The newborn calves were given colostrum from their mothers. The colostrum and milk samples were tested by ELISA against K99 and F41 fimbrial antigens. The prevalence of calves diarrhoea at prevacination was found 15.5% (932/207). ETEC K99 and F41 serotypes were isolated from diarrhoea cases of unvaccinated animal groups. Anti-K99 and -F41 antibody responses showed very high in the colostrum on the first day of post partus and decrease on several days following. Average of body weight of calves from vaccinated cow groups were better than calves from unvaccinated cow groups. The vaccination studied concluded that dam vaccinations with a local isolates of ETEC polyvalent vaccines at gestation of pregnant cows could produce a protective antibody responses against K99 and F41 fimbrial antigens, reduced ETEC K99 and F41 infection and diarrhoeal disease of calves under field conditions. Keywords: ETEC, diarrhoea, cow, vaccine ABSTRAK Enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC), menyebabkan diare dan kematian anaksapi perah serta menghambat perkembangan populasi sapi perah. Tujuan kajian penelitian ini ialah untuk mengetahui efektifitas vaksin ETEC polivalen isolat lokal untuk pengendalian diare neonatal pada anak sapi perah. Vaksin dibuat dari ETEC K99 serogrup O9 dan O101, ETEC F41 serogrup O101, ETEC K99F41 serogrup O101. Antigen vaksin dibuat dalam bentuk inaktif dan diemulsikan dalam larutan gel alumunium hidroksida pada konsentrasi akhir 1,5% dan konsentrasi sel dibuat setara dengan kekeruhan tabung standar McFarland no 10. Prasurvei dilakukan di kabupaten Bandung, Sukabumi dan Bogor untuk menentukan peternak responden, mengetahui prevalensi diare pada anak sapi, koleksi sampel ulas rektal untuk isolasi dan sampel kolostrum 510 ml post partus untuk pemeriksaan respon antibodi. Dua kali vaksinasi dengan dosis vaksin 5 ml diinjeksikan pada sapi umur kebuntingan 6 minggu dan 2 minggu sebelum perkiraan partus. Anak sapi lahir diberi kolostrum induknya masing-masing. Sampel kolostrum dan susu diperiksa secara ELISA terhadap antigen pili K99 dan atau F41. Prevalensi diare pada pengamatan prasurvei sebesar 15,5% (932/207). ETEC K99 dan ETEC F41 dapat diisolasi. Respon anti–K99 dan atau anti-F41 IgG antibodi sangat tinggi pada hari pertama post partus dan terus menurun pada beberapa hari berikutnya. Rata-rata bobot badan anak sapi lahir
239
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
dari kelompok induk divaksinasi lebih cepat dan lebih tinggi dibanding anak sapi lahir dari induk yang tidak divaksinasi. Disimpulkan bahwa aplikasi vaksin ETEC polivalen isolat lokal menstimulir respon antibodi protektif terhadap pili K99 dan F41, menurunkan kasus infeksi ETEC K99 F41 dan diare di lapang. Kata kunci: Vaksin, ETEC, diare, sapi perah
PENDAHULUAN Ternak sapi perah merupakan sumber penghasil susu, yang dapat diupayakan dan ditingkatkan, sehingga kontinuitas produksi susu dalam negeri dapat tercapai. Salah satu kendala penting yang dapat mempengaruhi produksi dan produktivitas sapi perah ialah penyakit, yang dapat menginfeksi sejak periode neonatal. Seperti halnya ternak lain, sapi perah rentan terhadap infeksi penyakit. Patogen enterik yang sering ditemukan ialah bakteri, virus dan protozoa. Umur kerentanan anak sapi terhadap patogen tersebut berbeda-beda (RADOSTIDS, 1985; TZIPORI, 1985). Dilaporkan bahwa penyakit diare neonatal yang disebabkan oleh infeksi enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC) yang dapat terjadi beberapa saat setelah anak sapi dilahirkan hingga umur 1-2 minggu, dengan masa inkubasi penyakit hanya 6-18 jam. ETEC sering diisolasi sebagai penyebab tunggal pada anak sapi penderita diare umur 3 hari (RADOSTIDS, 1985; SUPAR, 1986b). Sedangkan patogen lain rotavirus, corona virus, bovine virus diare menyerang sapi pada umur 10-15 hari. Sedangkan Salmonella spp, Cryptosporidium dan coccidia menyerang anak sapi pada usia yang lebih tua yaitu setelah umur 20 hari. Oleh karena itu pada kejadian infeksi campuran ETEC dan patogen lain dapat memperpanjang waktu terjadinya diare (RADOSTIDS, 1985) Kolibasilosis merupakan salah satu penyakit penting pada industri peternak babi dan sapi perah di Indonesia. Penyakit kolibasilosis neonatal tersebut disebabkan oleh infeksi bakteri enterotoksigenik E. coli yang mempunyai antigen perlekatan K99, F41 (SUPAR, 1986a; 1986b; SUPAR et al., 1989). Anak sapi perah yang terinfeksi ETEC menderita diare terus menerus (profus), tinja encer seperti air berwarna putih kekuningkuningan. Hewan neonatal yang menderita diare profus mengalami dehidrasi, kehilangan cairan elektrolit tubuh yang berlebihan, kemudian mati. Akan tetapi, anak sapi yang
240
terinfeksi E. coli enterotoksemik, anak sapi dapat mati mendadak tanpa disertai tandatanda klinis diare (MOON, 1978; BEVERIDGE, 1983). Prevalensi diare pada anak sapi perah sampai pada umur 2 minggu pada peternakan sapi perah di daerah pengembangan sapi perah di Bogor, Sukabumi dan Bandung berkisar antara 14-40%, sedangkan kematiannya antara 20-30% (SUPAR et al., 1989). Infeksi ETEC yang menyebabkan diare dan kematian anak sapi tersebut merupakan salah satu penyebab kerugian ekonomi. Dalam periode dua dekade terakhir ini, obat-obat antibiotika banyak dipakai di lapangan untuk pengobatan kasus diare pada anak sapi atau anak babi, tetapi hasilnya kurang menggembirakan, karena angka kematian ternak neonatal atau ternak muda tetap tinggi, walaupun sudah diinjeksi obat antibiotika. Dari kajian sensitivitas antibiotika terhadap 500 isolat ETEC K88, K99, F41 dan 987P dari anak babi dan anak sapi menunjukkan resistensi yang tinggi, resistensi terhadap ampisilin 28%, streptomisin 62%, neomisin 54%, oksitetrasiklin 96%, eritromisin 23%, kanamisin 45%, trimetoprim + sulfamethoxazol 23%. Hampir semua isolat ETEC menunjukkan multipel resistensi terhadap 2-9 macam antibiotika (SUPAR et al., 1990). Dengan pola resistensi tersebut dan adanya sifat multipel resistensi yang tinggi 40-60%, memberikan indikasi bahwa obat-obat antibiotika tidak efektif lagi untuk pengobatan dan kontrol kolibasilosis pada anak sapi perah. Anak sapi dilahirkan tanpa mendapat maternal antibodi dari induknya, sehingga sangat tergantung kepada antibodi maternal pada kolostrum (LARSON et al., 1980). Pada kedua jenis ternak tersebut tidak terjadi pemindahan antibodi (IgG) dari induk ke fetus melalui plasenta (TIZARD, 1982). Oleh karena itu antibodi dalam kolostrum merupakan zat protektif bagi anak sapi yang baru lahir terhadap patogen enterik. Pencegahan dan pengendalian kolibasilosis neonatal pada anak sapi dapat dilakukan dengan meningkatkan
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
kekebalan pada induk yang bunting dengan vaksin ETEC yang mengandung serotipe K99 dan F41 pada usia kebuntingan 6 minggu dan diberi booster 2 minggu sebelum perkiraan partus (ACRES et al., 1979) yang disertai dengan perbaikan manajemen anak sapi. Pada kesempatan ini akan dikemukan hasilhasil penelitian tentang penerapan vaksin ETEC pada sapi perah untuk menekan kematian anak sapi. MATERI DAN METODE Kajian ini dipilih Provinsi DT I Jawa Barat, untuk lokasi pengkajian, meliputi kabupaten Bandung, Sukabumi dan Kabupaten Bogor, yang mewakili daerah dataran tinggi (Bandung), dataran sedang (Sukabumi) dan dataran rendah (Bogor). Kajian ini merupakan bagian dari seri kegiatan penelitian pengembangan vaksin ETEC untuk sapi dan untuk babi dari tahun 1991 (vaksin) sampai dengan aspek kesmavet verotoksigenik E. coli tahun 2001. Kajian aplikasi vaksin untuk pengendalian neonatal kolibasilosis terdiri atas: kajian laboratorik dan kajian lapangan, yang akan diuraikan sebagai berikut: Pembuatan vaksin Penelitian laboratorium meliputi pengembangan metode pembuatan dan produksi antigen whole cell yang mengandung pili K99, F41 dan K99 dari E. coli isolat lokal dari hasil-hasil penelitian sebelumnya. Isolat E. coli yang dipakai terdiri dari ETEC K99 tergolong dalan serogrup O9 dari anak sapi penderita diare di Cicurug kabupaten Sukabumi, demikian halnya ETEC K99 F41 tergolong dalam serogrup O101. Sedangkan ETEC F41 termasuk dalam serogrup O101. Untuk produksi vaksin, bakteri kandidat vaksin ditumbuhkan pada media agar Minca+Iso Vitalex (Oxoid). Antigen vaksin diinaktivasi dengan formalin 0,1%. Setelah sel mati vaksin dibuat dengan mencampur beberapa jenis suspensi sel tersebut dengan konsentrasi sel setara dengan kekeruhan tabung standar McFarland no. 10. Selanjutnya diemulsikan dengan gel alumunium hidroxida pada konsentrasi akhir 1,5%. Vaksin dikontrol sterilitasnya secara in vitro selanjutnya diuji toksisitasnya pada hewan kelinci, setelah
diketahui aman dipakai untuk vaksinasi induk sapi perah bunting. Pelaksanaan penelitian di lapangan Prasurvei dilakukan untuk mengetahui dan mengidentifikasi masalah pada tingkat peternakan dilakukan pada bulan Juli (1995). Setelah diketahui permasalahannya, selanjutnya memilih peternak yang akan dijadikan percontohan dalam pengendalian kolibasilosis sebagai responden. Untuk selanjutnya ditentukan peubah-peubah dan informasi yang diperlukan, serta penentuan jumlah contoh yang akan dipakai. Setelah itu, dilakukan penerapan teknologi aplikasi vaksinasi ETEC pada induk sapi bunting (Agustus - Oktober 1995). Vaksinasi induk pada umur kebuntingan 6-7 minggu sebelum partus (pada saat sapi bunting kering kandang), dosis injeksi 5 ml aplikasi sub kutan di daerah leher. Empat minggu berikutnya sapi diinjeksi vaksin booster dosis dan aplikasi seperti sebelumnya. Tiap lokasi peternak responden ditentukan juga induk sapi bunting yang tidak dilakukan vaksinasi sebagai pembanding Anak sapi lahir diberi kolostrum dari induknya masing-masing. Pengamatan pasca vaksinasi meliputi pengamatan diare dan kematian anak sapi, penimbangan berat badan anak sapi pada saat lahir dan penimbangan tiap dua minggu, baik dari anak sapi lahir dari induk yang di vaksinasi atau yang nonvaksinasi. Koleksi sampel ulas rektal atau feses anak sapi lahir dari kelompok induk yang divaksinasi maupun non vaksinasi. Beberapa sampel kolostrum dan susu diambil untuk pemeriksaan respon tanggap kebal terhadap antigen protektif pili K99 dan F41. Isolasi, identifikasi E. coli dan serotyping Isolasi bakteri E. coli dari sampel ulas reaktal anak sapi penderita diare yang dikumpulkan pada penelitian lapang pra-survei dan post vaksinasi mengikuti prosedur yang ditulis oleh SUPAR (1986a; 1986b; 1990). Pemeriksaan anti-K99 -F41 IgG antibodi dalam kolostrum Pada pemeriksaan tanggap kebal anti-K99 dan anti-F41 antibodi dilakukan secara enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Dengan
241
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
ELISA untuk deteksi respon anti-K99 atau anti-F41 antibodi dalam kolostrum mengikuti prosedur dalam deteksi antibodi anti K99, K88, F41 atau 987P antibodi dalam kolostrum babi (SUPAR, 1990). Sebelum diuji secara ELISA, sebanyak 1,5 ml kolostrum, ditambah 2 tetes suspensi rennet 10%, diinkubasi 370C selama 15 menit, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 13.000 rpm selama 5 menit.
menggunakan antigen pili K99 dan atau F41. E. coli K99 (B41) dan E. coli F 41 ditumbuhkan pada medium agar Minca + Isovitalex yang disiapkan dalam cawan petri, diinkubasikan pada suhu 370C selama satu malam. Setelah inkubasi sel pada permukaan agar dibilas dengan larutan garam NaCl steril. Suspensi sel yang kekeruhannya setara dengan tabung standar McFarland no 10, dipanaskan 600C selama satu jam, setelah dingin disentrifugasi pada kecepatan 6000 rpm, selama 30 menit. Supernatan dipisahkan, 10 ml masing-masing supernatan tersebut kemudian ditambah ammonium sulfat jenuh sama banyak, kemudian diinkubasikan pada suhu 40C (lemari es) selama satu malam. Esok harinya disentrifugasi pada kecepatan 6000 rpm selama 20 menit, supernatan dibuang, endapan (pili) dilarutkan dalam larutan NaCl fisiologis. Suspensi dimasukkan dalam kantong dialisis, kemudian didialisis melawan larutan NaCl. Setelah dialisis suspensi pili dapat langsung dipakai untuk coating cawan ELISA.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan pra-survei (pravaksinasi) dilakukan untuk mengetahui permasalahan diare pada anak sapi perah pada bulan Juli 1995 di Kabupaten Bandung, Sukabumi, dan Bogor. Prevalensi diare dengan satu kali pengamatan rata-rata sebesar 15,5%. Penyebaran kasus diare pada anak sapi tersebut ditemukan pada peternak responden baik peternakan rakyat maupun pada perusahaan, secara keseluruhan tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengamatan kasus diare pada periode pra-vaksinasi Lokasi (Kabupaten) Bandung Sukabumi Bogor Total Rataan
Jumlah anak sapi yang diamati dan prevalensi diare Jumlah anak sapi Anak sapi diare Diare (%) 101 15 14,8 58 10 17,2 48 7 14,6 207 32 46,6 15,5
Banyaknya peternak 42 17 23 82
Tabel 2. Isolasi E. coli dari sampel feses (ulas rektal)
Lokasi (Kabupaten) Bandung Sukabumi Bogor
Pengambilan sampel ulas rektal
Jumlah sampel
pra vaksinasi post vaksinasi pra vaksinasi post vaksinasi pra vaksinasi post vaksinasi
15 28 10 24 7 8 92
Jumlah
Pemeriksaan secara bakteriologik sampel feses atau ulas rektal yang dikumpulkan pada saat prasurvei dan pasca vaksinasi secara ringkas tertera pada Tabel 2. Dari 32 sampel ulas rektal anak sapi diare dapat diisolasi E.
242
Negatif isolat E. coli K99/F41 Non Hemolitik hemolitik 8 3 3 19 6 2 4 20 3 1 0 8 24 53
Positif isolat E. coli K99/F41 Non hemolitik K99 F41 3 1 0 0 1 1 0 0 1 2 0 0 7 8
coli K99 dan F41 dari Kabupaten Bandung dan Sukabumi. Dengan perolehan tersebut memberikan indikasi bahwa ETEC K99 dan F41 masih dapat terdeteksi dari hospes/anak sapi pada peternakan di daerah yang disurvei
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
dan merupakan patogen yang potensial, sewaktu-waktu dapat menyebabkan wabah. Berdasar pada hasil temuan isolat ETEC pada prasurvei di atas dan hasil penelitian sebelumnya (SUPAR, 1986a; SUPAR et al., 1990) kemudian disusun formula vaksin ETEC inaktif terdiri beberapa serotipe, yaitu: E. coli K99 tergolong serogrup O9 dan 101, E. coli F41 serogrup O101 dan E. coli K99F41 serogrup O101. Pada sapi perah bunting pembentukan antibodi atau imunoglobulin di dalam kelenjar mamae terjadi pada tingkat akhir kebuntingan (STOTT et al., 1979). Kajian penggunaan vaksin ETEC K99, F41 polivalen pada induk sapi perah bunting menunjukkan bahwa aplikasi 2 kali vaksinasi tidak menimbulkan keguguran atau efek samping yang negatif terhadap kondisi kebuntingan. Aplikasi vaksin ETEC tersebut dapat menimbulkan respon antifimbrial antibodi dalam kolostrum. Antibodi dalam kolostrum berperan penting dalam kehidupan awal anak sapi setelah dilahirkan.
Antibodi tersebut berfungsi sebagai zat proteksi pasif terhadap infeksi yang terjadi melalui permukaan usus pada anak sapi yang menyusu pada saat segera dilahirkan (SUPAR, 1996). Pemeriksaan kolostrum secara ELISA menunjukkan kenaikan respon anti fimbrial antibodi (IgG) K99 dan antibodi F41 pada induk yang mendapat vaksinasi ETEC K99 F41 sebaliknya pada induk yang tidak divaksinasi, respon antifimbrial antibodi K99 F41 sangat rendah. Secara ringkas pemeriksaan kolostrum yang dikoleksi pada hari ke-1 sampai ke-5 dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. Respon anti–K99 dan atau anti-F41 IgG antibodi sangat tinggi pada hari pertama post partus dan terus menurun pada beberapa hari berikutnya. Penggunaan dosis tunggal atau dengan satu kali vaksinasi pada 2 minggu sebelum partus menunjukkan respon antifimbrial antibodi lebih rendah dibandingkan dengan dua kali vaksinasi yang dilakukan 6 minggu dan 2 minggu sebelum partus.
2.5 2 1.5 OD 1 0.5 0 1
2
3 Periode (hari ke-) NV
V I
4
5
V II
Keterangan: NV: induk non vaksinasi V I : induk dengan 1 x Vaksinasi VII : induk dengan 2x Vaksinasi
Gambar 1. Respon anti K99 antibodi dalam kolostral whey
243
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
2 1.8 1.6 1.4 1.2 OD 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 1
2
3
4
5
Periode (hari ke-) NV
V I
V II
Keterangan: NV: non vaksinasi V I : 1 x Vaksinasi VII : 2x Vaksinasi
Gambar 2. Respon anti F41 antibodi dalam kolostral whey
60 50 40 Bobot badan (kg)30 20 10 0 0
2
4
6
Periode (minggu) NV
V
Keterangan: NV : anak dari induk non vaksinasi V: anak dari induk vaksinasi
Gambar 3. Pertambahan bobot badan anak sapi lahir dari induk yang divaksinasi ETEC K99, F41 polivalen inaktif dan induk yang tidak divaksinasi
244
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Dari monitoring terhadap pertambahan bobot badan anak sapi yang lahir dari induk yang divaksinasi menunjukkan pertambahan bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak sapi lahir dari induk yang tidak divaksinasi. Rata-rata pertambahan bobot badan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil tersebut memperlihatkan adanya dampak positif dari penggunaan vaksin ETEC pada induk bunting. Pada anak yang diberi kolostrum dari induk yang divaksinasi memiliki daya tahan terhadap infeksi ETEC. Pertambahan bobot badannya lebih cepat dan lebih tinggi dibandingkan dengan anak sapi yang mengalami diare terus-menerus. Pedet yang lahir dari induk yang tidak divaksinasi ETEC tidak memperoleh perlindungan terhadap infeksi ETEC K99 F41 sehingga dapat terserang diare profus dan bobot badan terus menurun (SUPAR et al., 1998). KESIMPULAN Aplikasi vaksin ETEC polivalen isolat lokal menstimulir respon antibodi protektif terhadap pili K99 dan F41, menurunkan kasus infeksi ETEC K99 F41 dan diare di lapang Anak sapi lahir dari induk yang divaksinasi ETEC K99 dan ETEC F41 polivalen, perkembangannya lebih cepat karena tidak terjadi diare. DAFTAR PUSTAKA ACRES S. D., R. E. ISAACSON, L. A. BABIUK and R. A. KAPITANY. 1979. Immunization of calves against enterotoxigenic colibacillosis by vaccinating dams with purified K99 antigen and whole cell bacterins. Infect. Immun 25: 121-126. BEVERIDGE, W. I. B. 1983. Animal health in Australia. Bacterial Disease of cattle, sheep, and goats. Vol 4. Australian Publishing Service. PP: 86-92. LARSON B. L., H. L. HARRY JR and J. E. DEVEY. 1980. Immunoglobulin production and transport by mammary gland. J. Dairy Sci. 63: 665-671. MOON H. W. 1978. Mechanism in pathogenesis of Diarrhoea; A review. J. Vet. Med. Ass. 172: 443-448.
RADOSTIDS, O. M. 1985. A. Veterinary Clinician’s perspective of diarrhoea on neonatal food producing animals. In: TZIPORI. S. 1985 (Ed.). Infectious diarrhoea in the young. Strategies for control in human and animals. Proceedings of an International Seminar on Diarrhoeal diseases in South East Asia and Western Pacific Region”. Geelong, Australian. pp : 918. STOTT G. H., D. B. MARX, B. E. MENEFEE and G. T. NIGHTINGALE. 1979. Colostral immunoglobulin transfer in calves: I. Period of absorption. J. Dairy Sci. 62: 1632-1638. SUPAR. 1986a. Studi tentang Escherichia coli pada anak sapi dan anak babi: Isolasi dan deteksi Escherichia coli K99 dan K88. Fakultas Pasca sarjana IPB. Tesis S2 (Magister Sains). SUPAR. 1986b. Penggunaan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk deteksi antigen pili K99, K88 pada Escherichia coli dari anak sapi dan anak babi diare. Penyakit Hewan. 25 (46): 114-119. SUPAR, R. G. HIRST and B. E. PATTEN. 1989. The detection of enterotoxic Escherichia coli with F41 fimbrial antigen from pigs in Indonesia. Penyakit Hewan. Vol. 21 (37): 13-17. SUPAR. 1990. Enteric collibacillosis in pigs (and calves) in Indonesia. PhD Thesis. James Cook University of North Queensland. SUPAR, R. G. HIRST and B. E. PATTEN. 1990. Studies on the epidemiology of neonatal colibacillosis in food producing animals in Indonesia. Proceedings of the National Seminar on Veterinary Epidemioogy. 6th December 1990. pp:103-132. SUPAR. 1996. Kolibasilosis pada anak sapi perah di Indonesia. Wartazoa 5 (1) : 26-32. SUPAR, KUSMIYATI dan M. B. POERWADIKARTA. 1998. Aplikasi vaksin enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC) K99, F41 polivalen pada induk sapi perah bunting dalam upaya pengendalian kolibasilosis dan kematian pedet neonatal. JITV 3 (1) : 27-33. TIZARD. I. 1982. An introduction to the vererinary immunology. Second edition W. B. SAUNDERS Company, Philadelphia, London, Taronto. pp: 154-177. TZIPORI, S. 1985. A comparative study on importance pathogens causing diarrhoea in calves and piglets. In: TZIPORI. S. (Ed.). Infectious diarrhoea in the young. Strategies for control in human and animals. Proceedings of an International Seminar on Diarrhoeal
245
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
diseases in South East Acia and Western Pacific Region”. Geelong, Australian. pp: 371379.
DISKUSI Pertanyaan: Apakah antigen vaksin tidak perlu dimurnikan dulu sebelum dapat diaplikasikan pada sapi, mengingat pada persiapan antigen digunakan formalin? Jawaban: Perlu dilakukan pemurnian antigen vaksin sebelum diaplikasikan pada sapi (sudah dilengkapi dalam metodologi).
246