Hikayat Cabe Rawit Alkisah, pada zaman dahulu hiduplah sepasang suami-isteri di sebuah kampung yang jauh dari kota. Keadaan suami-isteri tersebut sangatlah miskin. Rumah mereka beratap anyaman daun rumbia, lantai hanya berupa tanah yang diratakan, dan di dalamnya hanya ada selembar tikar terbuat dari anyaman daun pandan sebagai tempat untuk beristirahat. Suatu hari terjadi suatu percakapan serius diantara kedua suami-isteri tersebut. “Isteriku, sebenarnya apa kesalahan kita hingga setua ini belum juga dikaruniai momongan. Padahal, aku tidak pernah berbuat jahat dengan menipu atau mencuri walau kita kadang tidak mempunyai beras untuk ditanak,” kata sang suami. “Entahlah, suamiku. Aku juga tidak pernah berbuat jahat dan bahkan selalu rajin beribadah,” jawab sang isteri sambil menahan air mata. “Mungkin kita kurang berserah diri dalam beribadah. Bagaimana kalau nanti malam kita sholat tahajud sambil memohon agar dikaruniai momongan?” Tanpa mengiyakan lagi, sang isteri langsung berucap, “Kalau diberi anak, walau sebesar cabe rawit pun akan aku rawat dengan penuh kasih sayang.” Singkat cerita, beberapa minggu kemudian sang isteri mulai merasakan mual dan sakit pada bagian perutnya karena hamil. Namun, pasangan ini tidak merasa curiga dan menganggap hanya sakit perut biasa. Dan, karena datangnya sakit tidak berlangsung secara terus-menerus serta kondisi perut yang tidak membengkak seperti layaknya orang hamil, maka sang isteri tetap bekerja seperti biasa membantu suaminya mencari nafkah. Suatu ketika setelah sholat Subuh sang isteri merasakan sakit yang teramat sangat pada bagian perutnya. Hal ini membuat suaminya menjadi bingung sekaligus gelisah. Ia ingin segera membawa isterinya berobat ke tabib atau dukun terdekat, tetapi tidak mempunyai uang sepeser pun untuk membayarnya. Tidak berapa lama kemudian sakit sang isteri mulai mereda karena telah berhasil melahirkan bayinya dengan selamat. Tetapi betapa terkejutnya mereka ketika melihat kondisi fisik bayi tersebut hanya sebesar cabe rawit. Sang isteri pun menjadi bersedih hati. Ia tidak mengira kalau bakal melahirkan dan mendapatkan bayi yang ukurannya super mungil. Untuk menenangkan hati isterinya, sang suami lalu berkata, “Sudahlah isteriku, apapun kondisi bayi ini, dia adalah karunia Ilahi yang harus kita rawat dan jaga.
Masih ingatkah engkau kalau dahulu pernah berkata akan menjaga dan merawat dengan penuh kasih sayang apabila dikaruniai anak walau hanya sebesar cabe rawit?” Tanpa berkata sepatah pun, sang isteri hanya tersenyum. Sebuah senyum bahagia karena akhirnya dipercaya oleh Tuhan untuk memiliki momongan. Ia telah menjadi seorang ibu. Suatu hal yang selama ini selalu didambakan olehnya dan setiap wanita di dunia ini. Mulai sejak saat itu, sang bayi yang berjenis kelamin perempuan dirawat dengan penuh kasih sayang hingga remaja. Namun, mungkin karena sudah suratan takdir, tubuhnya tidak tumbuh besar dan tetap seperti cabe rawit. Walau begitu, ia masih bisa membantu ayahnya bekerja sebagai kuli pengangkut barang di pasar untuk mendapatkan sedikit rezeki. Suatu ketika, karena terlalu lelah bekerja sang ayah jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia. Sementara sang ibu yang merasa sangat terpukul akan kepergian suami tercintanya, setiap hari kerjanya hanya menangis saja. Dia sedih sekaligus bingung karena sang suami adalah tulang punggung keluarga. Dia tidak tahu harus berbuat apa untuk menghidupi diri dan anaknya. Hal itu membuat tubuhnya yang sudah tua semakin rentan terhadap serangan berbagai macam penyakit. Khawatir akan kesehatan ibunda tercintanya, sang anak yang diberi nama sesuai dengan ukuran tubuhnya yaitu “Cabai Rawit” berinisiatif untuk menggantikan posisi sang ayah sebagai kuli pengangkut barang di pasar. “Saya akan bekerja menggantikan Ayah, Bu,” katanya meminta izin. “Jangan Nak, nanti kalau kau terpijak orang bagaimana?” sahut sang Ibu. “Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa, Bu. Saya sudah biasa membantu Ayah di pasar,” jawab Cabe Rawit singkat. “Anakku, hanya engkau sekarang satu-satunya orang yang Ibu sayangi. Ibu tidak mau kehilanganmu Nak,” kata sang Ibu. “Yakinlah kalau semuanya akan baik-baik saja asalkan ibu mau mendoakan saya. Nanti kalau memang ternyata tidak sanggup, Saya akan langsung pulang,” desak Cabe Rawit. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya Sang Ibu luluh hatinya. “Baiklah anakku, kalau engkau memaksa. Berhati-hatilah engkau selama bekerja dan
jangan terlalu memaksakan diri. Ibu tidak mau hal serupa yang terjadi pada Ayahmu terulang kembali pada dirimu.” Setelah mendapat restu dari Ibunya, tanpa bekal apapun Cabe Rawit segera berangkat ke pasar. Ketika sampai di sebuah perempatan jalan dia berpapasan dengan seorang pedagang pisang. Karena tubuhnya sangat kecil, sang pedagang tidak melihat sehingga raga pisangnya nyaris mengenai tubuh Cabe Rawit. “Awas Pak, raga pisangmu hampir mengenai tubuhku,” teriak Cabe Rawit. Sepontan sang pedagang pisang menghentikan langkahnya sambil celingakcelinguk melihat ke samping dan belakang. “Awas Pak, raga pisangmu hampir mengenai tubuhku,” teriak Cabe Rawit lagi. Sang pedagang pisang kembali celingak-celinguk untuk mencari sumber suara tadi. Tetapi tidak ada sesosok manusia pun dijumpainya. “Raga pisangmu hampir menghimpit tubuhku,” teriak Cabe Rawit kesal. Sang pedagang pisang yang tetap tidak dapat melihat siapa yang sedang berteriak akhirnya menjadi ketakutan. Tanpa berpikir panjang, dia langsung saja ambil langkah seribu dan meninggalkan dagangannya begitu saja karena mengira ada makhluk halus yang ingin mengganggunya. Dagangan yang ditinggalkan itu lalu diambil oleh Cabe Rawit untuk dibawa pulang ke rumah. Pikirnya, daripada diambil orang atau dimakan hewan ternak, lebih baik pisang-pisang itu ia bawa ke rumah untuk dimakan bersama ibunya sebagai pengganti nasi. Keesokan harinya ketika berjalan di tempat yang sama Cabe Rawit hampir dilindas oleh seseorang yang sedang bersepeda sambil membawa beras. Karena kaget, Si Cabe Rawit lalu berteriak, “Hati-hati, ban sepedamu dapat menggilas tubuhku!” Sama seperti pedagang pisang kemarin, orang yang ternyata pedagang beras tersebut langsung menghentikan laju sepedanya sambil celingak-celinguk mencari sumber suara yang didengarnya. Namun, karena tidak ada orang disekitarnya sang pedagang beras langsung mengayuh sepedanya dengan meninggalkan beberapa karung berasnya agar lebih ringan. Sepeninggal pedagang beras, Cabe Rawit langsung membawa beras yang ditinggalkan untuk dibawa pulang ke rumah. Sesampainya di rumah dia
langsung menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. “Tadi di perjalanan menuju pasar saya berpapasan dengan seorang pedagang beras. Waktu itu ban sepedanya hampir saja melindas. Tetapi ketika saya berteriak, dia malah melarikan diri dan meninggalkan berasnya begitu saja. Daripada diambil orang atau dimakan burung, sebagian beras itu saya bawa pulang. Bukankah kita sudah tidak memiliki beras lagi, Bu?” Hal serupa juga terjadi pada keesokan harinya, namun kali ini dengan seorang pedagang ikan. Dan sama seperti pedagang pisang maupun beras, sang pedagang ikan juga lari tunggang langgang dengan meninggalkan dagangannya begitu saja. Ikan-ikan itu juga dibawa pulang oleh Cabe Rawit dengan alasan dari pada dimakan kucing atau binatang lain pemakan daging. Begitulah, setiap hari Cabe Rawit selalu saja berpapasan dengan para pedagang, mulai dari pedagang makanan, pakaian, hingga perhiasan. Mereka semua ketakutan dan meninggalkan barang dagangannya, sehingga Cabe Rawit selalu membawa pulang berbagai macam barang tanpa harus bekerja sebagai kuli angkut di pasar. Lama-kelamaan, karena Ibu Cabe Rawit semakin makmur hidupnya, para tetangga menjadi curiga. Mereka mengira kalau Ibu Cabe Rawit melakukan halhal yang dilarang agama sehingga membuat dirinya kaya tanpa harus bekerja membanting tulang. Oleh karena itu, diketuai oleh kepala kampung, para warga berbondong-bondong mendatangi rumah Ibu Cabe Rawit untuk meminta penjelasan. Setelah bertemu dengan Ibu Cabe Rawit, Sang Kepala Kampung sebagai juru bicara langsung bertanya, “Dari mana engkau mendapatkan kekayaan, padahal tidak bekerja dan tidak ada orang yang memberimu nafkah lagi?” Ibu Cabe Rawit hanya diam seribu bahasa sehingga Sang Kepala Kampung mengulangi pertanyaannya lagi, “Tolong jawab pertanyaanku agar warga desa di sini tidak curiga terhadapmu.” Tiba-tiba dari dalah rumah terdengar suara, “Tolong jangan ganggu Ibuku. Kalau kalian ingin menyakiti, sakitilah aku. Ibuku tidak bersalah.” Orang-orang yang mendengar suara itu sontak terkejut. Mereka hanya mendengar suara namun tidak melihat orangnya sehingga suasana menjadi tegang. Kecurigaan penduduk semakin bertambah besar sehingga Ibu Cabe Rawit akhirnya menjelaskan suara siapa yang keluar dari dalam rumahnya. Dia tidak hanya menjelaskan asal muasal Cabe Rawit, tetapi juga bagaimana ia bisa hidup sejahtera selama ini walau tidak bekerja.
Penjelasan itu akhirnya membuat seluruh penduduk mahfum dan berbalik menjadi simpatik. Mereka pun lalu sepakat untuk membuatkan rumah yang lebih layak bagi Cabe Rawit dan ibunya. Selain itu, mereka juga memberikan segala keperluan untuk hidup sehingga Cabe Rawit tidak perlu lagi pergi ke pasar dan menakuti para pedagang untuk mendapatkan makanan.