!
1!
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Manusia dalam melangsungkan kehidupannya, baik secara langsung maupun tidak langsung dan bahkan seringkali tanpa disadarinya akan selalu bergantung pada lingkungan fisik dan alam tempatnya hidup. Manusia dari satu segi menjadi sebagian dari lingkungan fisik dan alam tempatnya hidup, dan di sisi lainnya lingkungan fisik dan alam adalah sebagian dari diri manusia. Kerangka landasan bagi menciptakan dan membuat manusia menjadi tergantung serta menjadi bagian dari lingkungan fisik dan alam adalah kebudayannya. Suparlan (1980: 238) menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan manusia. Kebudayaan tidak begitu saja diturunkan, tetapi manusia harus mempelajari kebudayaannya melalui proses enkulturasi dan sosialisasi yang diwujudkan dalam proses pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan luar sekolah. Suparlan (1980: 239) mengatakan, bahwa pengetahuan tidak diperoleh manusia melalui warisan genetika yang ada dalam tubuhnya tetapi kedudukannya sebagai
!
2!
makhluk sosial. Ini berarti bahwa kebudayaan tersebut telah diperoleh melalui proses belajar dari lingkungannya dan dengan proses belajar ini manusia memperoleh berbagai macam pengetahuannya. Hubungan antara kegiatan manusia dengan lingkungan fisik dan alamnya dijembatani oleh pola-pola kebudayaan yang dipunyai manusia, dengan kebudayaan inilah manusia beradaptasi dengan lingkungannya, dan dalam proses adaptasi ini manusia mendayagunakan lingkungannya (Forde dalam Suparlan, 1963:463) Soemarwoto (2004: 20) menegaskan suatu sistem ekologi terbentuk oleh hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya. Hubungan timbal balik yang harmonis antara manusia dengan alam terwujud dalam etika ekosentrisme. Etika ini melihat kepentingan manusia bukan sebagai yang paling utama dan dengan penuh kesadaran melibatkan alam secara keseluruhan, sehingga menciptakan eksosistem yang seimbang. Paham ekosentrisme justru banyak dihayati oleh masyarakat bersahaja (indigenous people) yang meyakini bahwa alam dan dirinya adalah unsur yang tidak terpisahkan (inklusionisme). Ryan (1992: 29) mengatakan sebenarnya masyarakat telah melindungi sistem ekologis secara sadar selama ribuan tahun. Para petani di Asia Selatan dan Asia Tenggara dari dahulu secara tradisional selalu menganggap hutan sebagai tempat keramat dan sangat menghormatinya, mereka menaruh kepercayaan bahwa hutan merupakan tempat berkuasanya para dewa serta tempat tinggal para leluhur.
!
3!
Sekitar tahun 2000-an wacana mengenai lingkungan hangat dibicarakan karena rusaknya hutan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Food and Agriculture Organisation (FAO) memperkirakan angka kerusakan hutan di Indonesia terus meningkat. Setiap tahunnya 300.000 ha pada dekade 70-an meningkat drastis menjadi 600.000 ha pada awal tahun 80-an. FAO juga memprediksikan laju kerusakan hutan terus meningkat mencapai 1,3 juta ha/tahun (Tanah Air, 9/5/90). Majalah Buletin Lestari (9/3/06) melaporkan, sejak tahun 1990 hingga tahun 2000 laju deforestasi kawasan hutan di Indonesia mengalami peningkatan. Tahun 1997 masih sekitar 1,8 juta ha/tahun, periode 1997-2000 telah meningkat mencapai 2,8 juta ha/tahun. Saat ini diperkirakan sekitar 31.817,75 hektar atau 25 persen dari luas keseluruhan hutan daratan di Bali, yang seluas 127.271,01 hektar, mengalami konversi fungsi lahan. Perubahan fungsi lahan hutan tersebut disebabkan beberapa hal, antara lain perambahan kawasan hutan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang berdiam di dekat hutan dan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar sektor kehutanan, penebangan liar dan kebakaran, serta khusus untuk kebakaran, diperkirakan rata-rata 350 ha lahan hutan di Bali terbakar setiap tahunnya (Anonim, 2005). Berdasarkan data Dinas Kehutanan Bali pada tahun 2000, luas kawasan hutan daratan di Bali adalah 127.721,01 hektar atau hanya 22,59 persen dari luas keseluruhan kawasan daratan Bali yang seluas 563.286 hektar (Anonim, 2006). Berita terkini pada bulan Agustus sampai
!
4!
dengan Nopember 2014 kembali terjadi kebakaran hutan di lereng Gunung Batur seluas 10 hektar (Bali Post, 15/09/14 ) serta di lereng Gunung Agung seluas 15 hektar. Salah satu dampak vital dari kerusakan hutan adalah bencana kekeringan, sebab kerusakan hutan secara langsung mengganggu aktivitas hidrologi. Data di atas menunjukkan keadaan hutan yang kian memprihatinkan, sehingga menimbulkan suatu kesadaran untuk meniru pola pengelolaan hutan yang secara turun temurun dalam keadaan sengaja maupun tidak telah dipraktekkan oleh beberapa desa yang ada di Bali, salah satunya di Desa Bayung Gede, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa Bayung Gede salah satu Desa Bali Mula yang sampai saat ini masih memelihara tradisi dan nilai-nilai tradisional yang diwarisi secara turun-temurun. Masyarakat Bali Mula di Bayung Gede juga menganut sistem desa adat yang berlandaskan
awig-awig
(aturan
adat
setempat)
yang
berfungsi
untuk
menjalankan fungsi-fungsi kegiatan adat yang ada di Desa Bayung Gede. Tatanan sosial-budaya masyarakat Bayung Gede memperlihatkan bahwa desa adat merupakan simbol sakralisasi yang telah bertahan ratusan mungkin ribuan tahun, memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis. Hal ini bisa dilihat dari eksistensi politis dan sosiologis yang diperankan oleh desa adat dalam memajukan maupun mempertahankan nilai-nilai kultural masyarakat setempat (Lasmawan, 2002; Suastika, 2008). Salah satu nilai-nilai kultural tersebut adalah penguburan ari-ari dengan cara digantung di pohon bukak (Cerbera manghas)
!
5!
yang dipercaya oleh masyarakat setempat dapat memelihara dan melindungi bayi mereka secara magis, sehingga terhindar dari berbagai macam penyakit dan gangguan yang tidak dapat dilihat secara kasat mata. Manusia tidak pernah menghadapi lingkungan fisik secara langsung, mereka selalu mendekati alam dengan budaya, dalam berbagai sistem simbol, makna dan nilai (Sahlin, 1997). Mitologi asal-usul masyarakat Bayung Gede menyebutkan bahwa leluhur mereka berasal dari tued kayu (pangkal pohon) yang dihidupkan dengan tirta kamandalu yang dibawa dari Pulau Jawa oleh titisan Bhatara Bayu. Masyarakat Bayung Gede meyakini, bahwa asal mula mereka adalah kayu yang mendapatkan restu dari Bhatara Bayu untuk menjelma menjadi manusia. Oleh karena asal mereka dari kayu, maka ketika bayi baru lahir dari rahim ibunya harus dikembalikan kepada asalnya, yaitu kepada kayu. Pelaksanaan prosesi sistem gantung ini disimboliskan dengan menggantung ari-ari bayi atau saudara sang bayi di pohon bukak atau bungkak (Cerbera manghas). Masyarakat Bali Dataran pada umumnya akan menanam ari-ari bayi di halaman rumah keluarga yang melahirkan. Ari-ari bayi memiliki kaitan yang erat dengan kepercayaan empat saudara. Keempat saudara ini berupa unsur yeh nyom (air ketuban), getih (darah), lamad dan ari-ari yang semuanya disebut dengan Catur Sanak atau Kandapat (Eiseman, 1989:103). Catur Sanak memiliki fungsi melindungi si bayi dari penyakit, mengusir roh-roh jahat yang mengganggu si
!
6!
bayi dan menjamin si bayi dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat serta kuat. Prosesi gantung ari-ari di pohon bukak (Cerbera manghas) merupakan tradisi unik yang terkadang sulit diterima oleh akal sehat, apalagi ari-ari yang digantung di areal setra (kuburan) tidak menimbulkan bau busuk. Tradisi langka ini masih tetap dipertahankan oleh masyarakat Bayung Gede di tengah gempuran penetrasi budaya oleh Bali Dataran ( Hindu Majapahit) dan gempuran globalisasi. Pohon bukak (Cerbera manghas) sebagai tempat menggantung ari-ari bayi adalah pohon yang banyak ditemukan di Desa Bayung Gede. Pohon bukak (Cerbera manghas) dapat tumbuh dari 3 sampai dengan 10 meter dan memiliki buah yang terbelah dua, yang memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Bayung Gede. Secara filosofis pohon bukak (Cerbera manghas) diyakini merupakan ibu saudara sang bayi yang akan mengasuhnya secara magis, saudara ini dilambangakan oleh ari-ari yang lahir bersama dengan sang bayi. Prosesi upacara ari-ari dengan sistem gantung juga merupakan bentuk penghormatan terhadap nenek moyang masyarakat Bayung Gede. Dalam prosesi ini pohon dimaknai sebagai manusia yang menjaga saudara bayi (ari-ari) dari berbagai macam gangguan. Areal setra ari-ari bertempat di sebelah Selatan pusat Desa Bayung Gede dan merupakan bagian integral dari Desa Bayung Gede berdasarkan pada zona pembagian ruang desa yang tegas dan sesuai dengan awig-awig Desa Bayung
!
7!
Gede. Tempat ini merupakan sebuah hutan kecil dengan luas 60 are yang ditumbuhi berbagai jenis pohon lebat dan didominasi oleh pohon bukak (Cerbera manghas). Setra ari-ari termasuk ke dalam kawasan sakral yang dilindungi, segala jenis pohon yang berada dalam areal setra ari-ari dilarang untuk ditebang, sehingga kelestarian hutan tetap terjaga. Mengacu pada pemikiran Rappaport, bahwa masyarakat pribumi memiliki interpretasi tentang dunia, serangkaian peraturan dan ekspektasi, menghargai prinsip, konsep dan nilai yang signifikan dengan pengemban budaya individu dan mencatat mengapa dia melakukan sesuatu (Rappaport, 1968). Para penganut aliran materialisme budaya melihat kearifan ekologi sebagai logika rasionalisme yang tersembunyi di balik selubung budaya. Menurut paham aliran ini bahwa di balik berbagai bentuk kepercayaan tradisional sesungguhnya terdapat logikalogika rasional yang mencerminkan prinsip-prinsip adaptasi ekologi (Pujaastawa, 2013:4) Bali serta banyak daerah lainnya telah mengalami degradasi hubungan manusia dengan lingkungannya. Pembangunan yang pesat di satu sisi telah melupakan pentingnya memperhitungkan resapan air (biopori) yang berakibat terjadinya bencana banjir atau tanah longsor (erosi). Kawasan Gunung Batur dan sekitarnya, termasuk Bayung Gede memiliki peran yang sangat penting dalam mempertahankan ketersediaan air serta pelestarian hutan (Anonim, 2014).
!
8!
Fenomena keberadaan hutan Setra Ari-ari menarik untuk dikaji, karena hasil observasi dan wawancara dengan masyarakat Bayung Gede, menunjukkan bahwa di dalam hutan setra ari-ari terkandung logika-logika rasional yang terselubung di dalam berbagai bentuk simbol dan makna yang mencerminkan prinsip-prinsip ekologi.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian ini mengkaji kearifan ekologi masayarakat Bayung Gede dalam pelestarian hutan setra ari-ari di Desa Bayung Gede, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Bayung Gede berada pada ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut sehingga memiliki hawa sejuk. Lokasi Bayung Gede yang berada di daerah pegunungan memiliki peranan yang sangat penting dalam pelestarian hutan. Berdasarkan pada latar belakang di atas Desa Bayung Gede yang termasuk dalam Desa Bali Mula, memiliki tradisi ritual yang mengandung kearifan ekologi terutama dalam bentuk pelestarian hutan. Secara lebih eksplisit, permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Mengapa masyarakat Bayung Gede melakukan pelestarian hutan Setra Ari-ari? 2. Bagaimana makna simbolik Setra Ari-ari bagi masyarakat Bayung Gede?
!
9!
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Uraian tentang latar belakang penelitian yang kemudian dirumuskan dalam dua permasalahan mendasar pada kajian ini, berimplikasi pada tujuan dan manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Adapun tujuan dan manfaat tersebut yakni sebagai berikut :
1.3.1
Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui kearifan ekologi masyarakat Bayung Gede dalam mengatasi masalah pelestarian hutan setra ari-ari. 2. Untuk memahami makna simbolik Setra Ari-ari bagi masyarakat Bayung Gede.
1.3.2
Manfaat Akademis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya Antropologi Ekologi. 2. Penelitian ini dapat memotivasi dan menginspirasi peneliti-peniliti lain yang tertarik untuk melihat permasalahan lingkungan hidup berbasiskan kearifan lokal.
!
1.3.3
10!
Manfaat Praktis 1. Hasil penelitian Setra Ari-ari ini, dapat dijadikan sebagai sumbangan informasi mengenai salah satu kearifan ekologi yang ada di Nusantara. 2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan bagi para pengambil keputusan dalam upaya pengembangan dan pengelolaan hutan berbasiskan kearifan ekologi.
1.4 Kerangka Teori dan Konsep 1.4.1
Kerangka Teori Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan etnoekologi dan teori interpretatif Geertz.
1.4.1.1 Pendekatan Etnoekologi Etnoekologi menjadi pendekatan antropologi ekologi yang sangat berkembang hampir dalam 2 dasawarsa terakhir. Pendekatan ini muncul setelah pendekatan ekologi budaya Julian Steward yang dinilai masih kurang memadai dalam penelitian hubungan kebudayaan dan lingkungan. Dalam kritiknya Harris melihat adanya inkonsistensi Steward dalam konsep cultural core miliknya, di samping itu Steward tidak mempertimbangkan bahwa kebudayaan mungkin dapat memengaruhi lingkungan dengan cara yang kelak akan merugikan manusia (Harris dalam Ahimsa Putra 1964: 75). Pendekatan
!
11!
dalam etnoekologi banyak berasal dari pendekatan etnosains yang melukiskan lingkungan sebagaimana dilihat oleh masyarakat yang diteliti (Arifin, 1998: 61). Pendekatan etnoekologi mendapat banyak pengaruh dari konsep etnosain yang mengacu pada paradigma kebudayaan yang menyatakan bahwa kebudayaan tidak berwujud fisik tapi berupa pengetahuan yang ada pada manah manusia. Etnosain banyak mengkaji klasifikasi untuk mengetahui struktur yang digunakan untuk mengatur lingkungan dan apa yang dianggap penting oleh suatu etnik, penduduk suatu kebudayaan. Setiap suku bangsa membuat klasifikasi yang beda atas lingkungan nya dan hal ini tercermin pula pada kata-kata atau leksikon yang mengacu benda, hal, kegiatan bahkan juga struktur sintaksis yang diperlukan untuk mempresentasikan pengalaman yang berbeda unik (Goodenough dalam Ahimsa Putra, 1964). Etnoekologi dapat diartikan sebagai upaya manusia dalam beradaptasi dengan lingkungan, cara manusia menggunakan lingkungan dan juga keselarasan hidup sosial dengan lingkungan alam manusia. Ahimsa Putra (2007) juga mengungkapkan konsep etnoekologi menelaah cara-cara masyarakat tradisional memakai ekologi dan hidup selaras dengan lingkungan alam dan sosialnya. Kehidupan masyarakat tradisional pada umumnya amat dekat dengan alam, dan manusia mengamati alam dengan baik, mengenal karakteristiknya sehingga mereka tahu bagaimana menanggapinya.
!
12!
Pendekatan etnoekologi dipandang relevan dengan permasalahan yang penulis angkat. Masyarakat Bayung Gede merupakan masyarakat Bali Mula yang masih konsisten dengan kepercayaannya untuk menjaga dan mentaati peraturan yang berkaitan dengan keberadaan Setra Ari-ari serta pelestarian hutan yang diatur dalam awig-awig Desa Adat Bayung Gede. Masyarakat Bayung Gede memiliki idea atau pemikirannya sendiri mengenai konsep hutan yang berhubungan dengan asal-usul leluhur mereka, sehingga secara tidak langsung menjaga kelestarian hutan. Fenomena ini sangat menarik untuk diungkap lebih jauh untuk mencari keterkaitan serta makna dari keyakinan masyarakat Bayung Gede.
1.4.1.2 Interpretatif Clifford Geertz Penulis menggunakan metode interpretatif dari Clifford Geertz dalam mengungkapkan pikiran masyarakat setempat mengenai setra ari-ari. Paradigma
interpretatif
Geertz
melihat
kebudayaan
sebagai
model
pengetahuan masyarakat, yang dengan model tersebut menjadi acuan masyarakat dalam mengambil keputusan terhadap lingkungan (Syam, 2007: 91). Clifford Geertz (1973:89) mengemukakan suatu definisi kebudayaan sebagai: (1) suatu sisitem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian
!
13!
mereka; (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik
tersebut
manusia
berkomunikasi,
memantapkan,
dan
mengembangkan pengetahuan mereka mengenai sikap terhadap kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik bagi pengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi. Masyarakat menggunakan simbol untuk mengekspresikan pandangan-pandangan dunianya, orientasi-orientasi nilai, etos, dan berbagai aspek budaya lain (Ortner 1983:129). Ritus-ritus dalam budaya masyarakat Bayung Gede, khususnya yang menyangkut setra ari-ari merupakan salah satu medium yang tepat untuk mencermati pandangan masyarakat tersebut terhadap alamnya. Menurut Geertz, kebudayaan pada intinya terdiri dari tiga hal utama, yaitu sistem pengetahuan atau sistem kognitif, sistem nilai atau sistem evaluatif, dan sistem simbol yang memungkinkan pemaknaan atau interpretasi. Adapun titik pertemuan antara pengetahuan dan nilai yang dimungkinkan oleh simbol ialah yang dinamakan makna (system of meaning). Dengan demikian, melalui sistem makna sebagai perantara, sebuah simbol dapat menerjemahkan pengetahuan menjadi nilai dan menerjemahkan nilai menjadi pengetahuan. Untuk memahami budaya, seorang pengkaji tidaklah
!
14!
berangkat dari pikirannya sendiri, tetapi harus berdasar atas apa yang diketahui, dirasakan, dialami oleh pelaku budaya yang dikajinya “to grasp the native’s point of view, his relation to life, to realize his vision of his world (Malinowski dalam Lahajir, 2001:27) yang merupakan hakikat dari pemahaman antropologis.
1.4.2
Konsep
1.4.2.1 Kearifan Ekologi Kearifan Ekologi ialah logika masyarakat yang tanpa disadari telah mendukung pelestarian lingkungan. Kearifan ekologi dapat ditemukan dalam mitosmitos dan tabu yang diyakini memiliki nilai kebenaran oleh masyarakat setempat. Kearifan ekologi termasuk dalam bentuk kearifan local (local genius). Mengutip dari Kementrian Lingkungan Hidup, kearifan lokal ialah nilai-nilai luhur (sistem pengetahuan, sistem sikap dan perilaku, pengetahuan dan kegiatan pelestarian lingkungan hidup dan ingatan kolektif) yang berlaku di dalam masyarakat untuk antara lain melindungi serta mengelola lingkungan hidup secara lestari. Hal yang sama dikemukakan oleh Astika (2008: 39) bahwa local genius atau kearifan lokal sebenarnya memberi arti pada keseluruhan ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat atau bangsa sebagai hasil pengalaman mereka di masa lampau. 1.4.2.2 Masyarakat Bali Mula di Bayung Gede
!
15!
Konsep Bali Mula merupakan sebutan bagi masyarakat Bali Asli yang tinggal di pegunungan sehingga masyarakat ini juga seringkali disebut dengan Bali Aga. Aga secara etimologi berasal dari bahasa Jawa yakni arga yang berarti gunung dan dalam bentuk rusak menjadi aga (Danandjaja, 1980: 1). Masyarakat Bali Mula merupakan masyarakat pra Hindu dari desa-desa yang menolak pengaruh dan budaya termasuk juga praktek-praktek keagamaan dari kerajaan Majapahit yang tinggal di area pegunungan bagian Utara Bali (Dalton, 1989: 406). Wikarman (1998:45) dalam bukunya “Leluhur Orang Bali: Dari Dunia Babad dan Sejarah” menyebutkan bahwa orang-orang Bali Mula atau Bali Asli adalah orang-orang keturunan Austronesia yang dari jaman Megalitik telah mengenal sistem organisasi sosial yang diaktualisasikan lewat persekutuan masyarakat yang disebut dengan thani atau Banua (Wanua), dipimpin secara kolektif oleh 16 Jero dan oleh para ahli disebut sebagai Republik Desa. Persekutuan kepemimpinan ini masih tetap dipertahankan di desa-desa Bali Mula terutama dalam bidang adat. Persekutuan kepemimpinan orang-orang Austronesia ini telah merata di seluruh wilayah di Bali dan menjadi cikal bakal desa-desa di Bali. Orang-orang Austronesia ini dianggap sebagai leluhur sebagian orang Bali Mula yang berarti orang-orang Bali Asli. Adanya sebutan Bali Mula adalah untuk membedakannya dengan orang-orang yang leluhurnya datang belakangan ke Bali yang umumnya dari Jawa. Pada jaman Megalitik orang-orang Bali Mula ini belum beragama, mereka hanya menyembah leluhur yang mereka sebut sebagai Hyang, dari pandangan spiritual, mereka masih
!
16!
hampa. Oleh karenanya pulau Bali ketika itu oleh purana-purana dikatakan masih kosong dan keadaan ini berlangsung sampai abad ke-4 Masehi. Rsi Markandya yang mengetahui keadaan Pulau Bali yang hampa berkeinginan untuk memajukan Bali dalam berbagai sektor kehidupan. Menurut purana, Rsi Markandya adalah seorang rsi yang berasal dari India, yaitu dari garis keturunan Markandya. Rsi Markandya datang ke kepualauan Nusantara untuk menyebarkan Agama Hindu dari sekte Waisnawa. Di Jawa beliau mendirikan asrama di wilayah pegunungan Dieng, yang kemudian ber-dharmayatra ke timur dan sampai di Gunung Raung di Jawa Timur dan kembali membuka asrama dengan muridmuridnya dari Wong Aga (orang Aga). Beberapa tahun kemudian Rsi Markandya pergi ke Timur, ke pulau Bali tepatnya di wilayah Taro, di sana Rsi Markandya juga membangun Pura Gunung Raung untuk mengenang asrama beliau di Gunung Raung Jawa Timur. Murid-murid beliau kemudian berbaur dengan orang-orang Bali Asli atau Bali Mula dan mengajarkan berbagai pengetahuan sehingga mereka dapat berbaur dengan baik. Istilah Bali Aga dan Bali Mula seringkali menimbulkan kerancuan, perbedaan ini dapat dilihat dari silsilah dan latar belakang historisnya. Orang Bali Mula adalah orang-orang Bali Asli yang dalam analisis arkeologis berasal dari Tonkin, Cina Selatan, namun diterima dan disepakati sebagai leluhur orang Bali Mula, sedangkan orang Bali Aga adalah orang-orang keturunan atau murid dari Rsi Markandya yang datang ke Bali dan membaur dengan penduduk asli Bali.
!
17!
Secara geokultural, orang-orang Bali keturunan Majapahit tinggal di daerah Bali dataran yang berlimpah dengan air. Sehingga, mereka mengenal sistem pengairan (subak) dan juga menganut sistem apanage. Secara politis, orang Bali dataran lebih memilih sistem kepemimpinan tunggal dan monolitik. Mereka mengenal Puri dan Grya sebagai pemegang otoritas ekonomi-politik dan kultural. Sebaliknya, orang Bali Mula tinggal di wilayah pedalaman yang berbukit-bukit. Secara ekologis, mereka sangat tergantung pada alam dan sumber daya hutan. Secara politis, mempunyai sistem sosial yang komunal dan kepemimpinan kolektif (Dwipayana, 2007: 1). Perbedaan orang Bali Mula dengan orang Bali belakangan (Bali Majapahit), tampak sekali pada upacara kematiannya. Orang Bali Mula melaksanakan upacara kematiannya dengan mendhem atau menanam, yang disebut bea tanem. Orang Bali Mula merupakan keturunan orang-orang Austronesia dari zaman perundagian (Megalithikum) yang memiliki tradisi menguburkan dalam upacara kematian. Tradisi ini begitu mendarah daging dan sulit diubah. Orang Bali Mula menerima kepercayaan Agama Hindu yang datang belakangan, namun tradisi asli tetap mereka pertahankan. Salah satu kepercayaan yang mereka terima adalah upacara ngaben, tetapi tidak seperti orang Bali Dataran mereka tidak membakar mayat, mereka hanya menerima upacara dan upakaranya saja. Sistem bea tanem sampai sekarang masih dilaksanakan oleh orang-orang Bali Mula. Ciri lainnya yang memperlihatkan keturunan orangorang Austronesia dari zaman Megalithikum adalah ketika ngaben, mereka tidak
!
18!
berani menghias wadahnya dengan kertas, perasbaan, kapas, dan lain-lainnya. Mereka hanya mempergunakan bahan-bahan lokal, seperti ambu, padang-padang, plawa, dan lain-lainnya (Singgih, 1998: 12-13). Salah satu ciri unik dalam tradisi penguburan masyarakat Bayung Gede sebagai salah satu Bali Mula adalah tradisi penguburan ari-ari. Tradisi penguburan ini masih bertahan, karena konsep dan ideanya berkaitan erat dengan mitologi asal usul masyarakat Bayung Gede yang masih dipercayai hingga kini.
1.4.2.3 Hutan Hutan menurut pemerintah berdasarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967 adalah “suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati, alam lingkungannya dan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan”.Food and Agriculture Organization (FAO 2010) menyatakan hutan adalah “Lahan yang luasnya lebih dari 0,5 hektar dengan pepohonan yang tingginya lebih dari 5 meter dan tutupan tajuk lebih dari 10 persen, atau pohon dapat mencapai ambang batas ini di lapangan. Tidak termasuk lahan yang sebagian besar digunakan untuk pertanian atau permukiman”. Setra Ari-ari adalah kawasan hutan kecil seluas 60 are atau 0,6 hektar yang terletak di sebelah selatan Desa Bayung Gede . Hutan ini ditumbuhi banyak pepohonan yang didominasi oleh pohon bukak (Cerbera manghas) yang memiliki ketinggian dari 3 sampai dengan 10 meter. Pohon ini dipergunakan sebagai sarana
!
19!
menggantung ari-ari, karena mencegah timbulnya bau busuk, sehingga setiap pepohonan yang tumbuh di areal setra ini dilindungi oleh peraturan adat setempat.
1.4.2.4 Setra Ari-ari Orang Hindu menganggap plasenta bayi yang lahir bersamaan dengan sang bayi sebagai saudara si bayi, sehingga tidak boleh dibuang sembarangan, tetapi harus dikubur secara layak dan dilakukan dengan rangkaian upacara (Putra, 1988). Desa Bali Mula Bayung Gede memiliki tradisi penguburan plasenta yang unik. Pada umumnya plasenta bayi akan dikuburkan di pekarangan rumah orang yang melahirkan, tetapi di Bayung Gede plasenta akan dikuburkan di tempat khusus yang disebut dengan setra ari-ari. Setra atau sema adalah areal kuburan, sedangkan ari-ari adalah plasenta. Setra ari-ari memiliki pengertian sebagai tempat penguburan plasenta bayi yang baru lahir. Ari-ari ini akan digantung di sebuah pohon yang disebut dengan pohon bukak (Cerbera manghas) dan dibungkus di dalam tempurung kelapa bersama dengan rempah-rempah. Prosesi upacara ari-ari dengan sistem gantung ini didasarkan pada sejarah yang dipercayai dan diyakini oleh masyarakat Bayung Gede.
1.4.2.5 Konsep Simbol Simbol-simbol adalah garis-garis penghubung antara pemikiran manusia dengan kenyataan yang ada di luar, yang dengan mana pemikiran harus selalu
!
20!
berhubungan atau berhadapan; dan yang dalam hal ini pemikiran manusia dapat dilihat sebagai “suatu bentuk sistem lalu lintas dalam bentuk simbol-simbol yang signifikan (Geertz, 1973: 93). Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia. Bentuk primer dari simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi manusia juga berkomunikasi dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian, musik, arsitektur, mimik wajah, gerak-gerik, postur tubuh, perhiasan, pakaian, ritus, agama, kekerabatan, nasionalitas, tata ruang, pemilikan barang, dan banyak lagi lainnya. Manusia dapat memberikan makna kepada setiap kejadian tindakan, atau objek yang berkaitan dengan pikiran, gagasan dan emosi (Geerzt 1973: 93). 1.4.2.6 Konsep Makna Geertz melihat kebudayaan sebagai suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka (1973:89). Penelitian ini mempergunakan konsep makna Roland Barthes (2007) yang menjelaskan konsep makna denotatif dan konotatif. Makna denotatif adalah makna yang digunakan untuk mendeskripsikan makna definisional, literal, gamblang atau common sense dari sebuah tanda. Makna konotatif mengacu pada asosiasi-asosiasi budaya sosial dan personal berupa ideologis, emosional dan lain sebagainya (Barthes, 2007:303-304). Konsep makna Barthes mencerminkan konsep kebudayaan yang diungkapkan Geertz mengenai
!
21!
definisi dunia dan ekspresi perasaan berdasarkan pada apa yang diinterpretasikan oleh masyarakat setempat.
!
22!
1.5
Model Penelitian Permasalahan yang diangkat dalam penelitian akan lebih mudah dipahami
dengan model seperti pada gambar di bawah ini : Masyarakat Bayung Gede Kepercayaan Mitologi
Sistem Adat
Ulu Apad dan awig-awig desa
Pelestarian Hutan Setra Ari-ari
Pandangan masyarakat, simbol dan ritual
!
Kearifan lokal
Makna
Keterangan Model Masyarakat Bayung Gede adalah masyarakat Bali Mula yang memiliki tatanan sosial budaya yang berbeda dari Bali Dataran. Masyarakat Bayung Gede memiliki sistem adat atau yang disebut dengan drestasima yang mengandung aturan-aturan dan
!
23!
sanksi-sanksi adat yang mengatur pola tingkah laku masyarakat. Sistem adat di Bayung Gede secara khusus mengatur pola tingkah laku masyarakat yang berkaitan dengan lingkungan, seperti pola pemukiman dan pembagian zona desa serta peraturan pemanfaatan hutan adat terutama kawasan hutan setra ari-ari yang berpengaruh terhadap lingkungan fisik Desa Bayung Gede. Sistem adat ini juga dilandasi oleh suatu sistem pemerintahan yang hanya ditemukan di Bali Mula dan disebut dengan sistem pemerintahan Ulu Apad yang bertugas untuk menjalankan adat keagamaan serta penegakan awig-awig atau peraturan adat di Desa Bayung Gede. Sejarah orang Bayung Gede tidak bisa dipisahkan dari mitologi dan kepercayaan yang menyangkut asal-usul leluhur masyarakat. Mitologi masyarakat Bayung Gede berangkat dari kepercayan animisme dan dimanisme, kepercayaan ini mengisahkan bahwa leluhur mereka terlahir dari tued kayu atau pangkal pohon yang diperciki tirta atau air suci oleh kera putih putra Betara Bayu dalam perjalanannya menuju Gunung Agung. Kepercayaan yang diwariskan secara lisan ini telah melekat pada pemikiran masyarakat, sehingga mempengaruhi konsep kosmologi mereka terhadap alam semesta. Masyarakat Bayung Gede percaya bahwa mereka adalah refleksi dari alam semesta yang terkandung dalam ajaran bhuana alit (mikrokosmos atau alam manusia) dan bhuana agung (makrokosmos atau alam semesta), serta kepercayaan mereka terhadap Catur Sanak yang memberikan kehidupan pada manusia. Ajaran ini diaplikasikan di dalam pola pemukiman serta sikap mereka dalam pelaksanaan ritual untuk tumbuhan dan hewan. Ajaran ini juga menjadi
!
24!
landasan dalam ritual penggantungan ari-ari di setra ari-ari yang berkaitan erat dengan mitologi tued kayu yang mereka percayai. Ritual penggantungan ari-ari ini mengandung makna bahwa keempat saudara atau Catur Sanak akan dikembalikan pada unsur alam semesta yang disimbolkan dengan pohon bukak sebagai ibu niskala dari Catur Sanak. Berkaitan dengan kawasan hutan setra ari-ari, kepercayaan mitologi ini mengandung pandangan hidup, simbol-simbol dan makna yang mengandung kearifan ekologi. Kearifan ekologi ini terutama ditemukan di dalam penggunaan buah bukak (Cerbera manghas) sebagai sarana ritual penggantungan ari-ari yang berpengaruh pada pelestarian hutan. Mitologi dan sistem adat yang dianut oleh masyarakat Bayung Gede sekaligus juga melindungi kawasan hutan setra ari-ari. Keberadaan setra ari-ari menunjukkan hubungan antara kepercayaan (idea), sistem adat (mengatur pola tingkah laku) dan lingkungan (wujud fisik). Prosesi menggantung ari-ari di setra ari-ari menurunkan dua permasalahan pokok yang menarik untuk dikaji. Dua permasalahan ini adalah kearifan ekologi yang ada di Desa Bayung Gede dan makna simbolik dari setra ari-ari bagi masyarakat Bayung Gede.
1.6
Metode Penelitian Penelitian ini mengacu kepada keseluruhan upaya memperoleh data, dari mana
data diperoleh, dan bagaimana data itu diolah. Hal ini penting dikemukakan karena ia memperlihatkan aspek metodologis yang merupakan jaminan keandalan dan
!
25!
keakuratan data. Penelitian setra ari-ari ini mempergunakan model penelitian etnografi yang termasuk ke dalam penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15). Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007:3) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Etnografi merupakan ragam pemaparan penelitian budaya untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati dalam kehidupan sehari-hari. Etnografi lazimnya bertujuan untuk menguraikan budaya tertentu secara holistik, yaitu aspek budaya baik spiritual maupun material. Etnografi bertujuan menguraikan suatu budaya secara menyeluruh, yakni semua aspek budaya baik yang bersifat material, seperti artefak budaya dan yang bersifat abstrak, seperti pengalaman, kepercayaan norma, dan sistem nilai kelompok yang diteliti. Model etnografi mendeskripsikan kebudayaan sebagaimana adanya atau to grasp the native’s point of view, his relation to life to realize his vision of his world (Malinowsky dalam Lahajir, 2001:27 ). Metode etnografi membuktikan bahwa sebagai metode penelitian kualitatif, ia mampu melakukan analisis yang lebih
!
26!
mendalam serta menyajikan refleksi kritis secara detil dalam lingkup mikro sebuah kehidupan manusia (Spradley, 1997). 1.6.2
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Bayung Gede, Kecamatan Kintamani,
Kabupaten Bangli, Bali yang secara khusus memfokuskan sasaran kepada masyarakat Bali Mula yang ada di Desa Bayung Gede. Pemilihan Desa Bayung Gede didasari oleh adanya berbagai kepercayaan dan tradisi yang mengatur hubungan masyarakat Bayung Gede dengan lingkungannya. Kondisi alam Bayung Gede juga memiliki daya tarik tersendiri yang juga berhubungan dengan kepercayaan mereka, daya tarik ini adalah Setra Ari-ari yang menunjukkan adanya prinsip-prinsip ekologi yang mengandung kearifan dalam pelestarian hutan.
1.6.2 Jenis dan Sumber Data Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari referensi yang relevan dengan topik permasalahan yang dibahas dan observasi lapangan. Jenis data yang diperoleh berupa data primer dan sekunder yang bersifat kualitatif. Data primer dalam penulisan ini bersumber dari informan-informan yang terpilih. Selanjutnya, sumber data sekunder yang menunjang penelitian ini diperoleh dari buku-buku teks dan dokumen serta monografi desa bersangkutan. Sumber data utama dari penelitian kualitatif budaya adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Data penelitian dapat berupa human sources dan non
!
27!
human sources. Kedua sumber data tersebut memiliki kedudukan sama dan saling mendukung. 1.6.3 Teknik Pengumpulan Data 1.6.3.1 Teknik Penentuan Informan Informan dalam penelitian kualitatif menggunakan teknik purposive sampling, yaitu cara penentuan informan yang ditetapkan secara sengaja atas dasar kriteria atau pertimbangan tertentu. Pemilihan informan, terutama informan kunci adalah masyarakat asli Bayung Gede yang dipilih berdasarkan kriteria dan kategori tertentu yang dapat merepresentasikan kondisi objek penelitian, baik dalam dimensi umur, status dan peran sosial, pengetahuan agama, maupun kategori lainnya. Spradley (1997:61), secara lebih khusus memaparkan kriteria informan yaitu : (1) enkulturasi penuh (mengetahui budayanya dengan baik secara alami), dalam hal ini penulis memilih informan yang memiliki pengetahuan budaya lokal dan memiliki pengaruh dalam tradisi adat di Bayung Gede. Jero Kebayan Muncuk adalah informan kunci yang dipilih oleh penulis, karena pengetahuannya mengenai adat Bayung Gede tidak diragukan lagi serta sebagai pemuka adat beliau memiliki pengetahuan lokal Bayung Gede yang diwariskan secara turun-temurun; (2) keterlibatan langsung, penulis memilih informan yang secara langsung terlibat di dalam tradisi ritual yang diteliti, salah satu informan utama adalah Jero Kebayan Muncuk, selain itu warga masayarakat Bayung Gede yang pernah mengalami sekaligus menjalani tradisi ritual yang diteliti juga memberikan informasi penting, segala yang terlibat dan memiliki
!
28!
kaitan dengan objek yang diteliti bagi penulis penting untuk dimasukkan ke dalam fieldnote penelitian; (3) suasana budaya yang tidak dikenal (informan berasal dari luar daerah peneliti), penulis berasal dari daerah Ubud yang memiliki jarak cukup jauh dengan tempat penelitian. Memerlukan waktu paling lama satu jam dan paling cepat 40 menit untuk mencapai Bayung Gede, peneliti hanya memiliki pengetahuan berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di Bayung Gede, oleh karena itu proses pencarian data menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi penulis, karena begitu banyak pengetahuan baru serta perlakukan masyarakat Bayung Gede yang ramah dan terbuka dalam memberikan informasi, hal ini juga mencegah penulis untuk tidak terlalu memihak objek penelitian, sehingga tidak timbul romantisme budaya yang berlebihan dan data yang direpoleh merupakan kombinasi penelitian emik dan etik; (4) waktu yang cukup, penulis berusaha secara maksimal memanfaatkan waktu yang dimiliki di sela-sela kegiatan lain selain penelitian, tetapi tentu saja penelitian ini menjadi prioritas utama, kesulitan yang paling sering terjadi adalah memilih waktu yang tepat untuk melakukan wawancara dengan warga Bayung Gede, sehingga penulis memiliki jadwal khusus untuk bertemu dengan beberapa informan dan melakukan wawancara random yang dilakukan dengan santai, tanpa mengganggu aktifitas informan, penulis juga memberikan batas waktu dalam proses penelitiannya, terutama apabila telah mencapai data jenuh agar proses penelitian tidak melewati batas waktu yang ditentukan; (5) non-analitis (informan menggunakan teori penduduk asli “folk theory” untuk menginterpretasikan kejadian, penulis dalam
!
29!
mencari data yang berkaitan dengan makna, melakukan proses wawancara yang mendalam, agar apa yang diungkapkan oleh informan dapat diinterpretasikan dengan baik, penulis juga berusaha untuk tidak mengintervensi dan menginterupsi informan selama wawancara berlangsung, agar apa yang diungkapkan oleh informan murni dari apa yang mereka pikirkan dan merupakan ungkapan dari hati nurani mereka berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki. Proses penelitian ini membutuhkan waktu selama hampir delapan bulan. Penelitian ini diawali dengan pendekatan terhadap perangkat desa untuk mencari sumber data awal, seperti monografi desa serta pengetahuan umum mengenai desa Bayung Gede. Kemudian penulis melakukan pendekatan dengan informan kunci yang dipilih secara purposif melalui teknik pemilihan informan dari Spradley dan dalam penelitian ini jumlah informan kunci 10 orang, karena pengetahuan mereka dalam sistem adat dan keagamaan di Bayung Gede. Pemilihan informan lainnya yaitu informan biasa yang berjumlah 11 orang dilakukan dengan santai dan acak, tidak terburu-buru karena pendapat setiap informan yang relevan dengan tujuan penelitian ini sangat penting. Pendekatan juga dilakukan dengan perlahan, agar data yang didapat bisa mendetail dan akurat sesuai dengan kebutuhan penelitian.
1.6.3.2 Teknik Observasi-Partisipasi Metode etnoekologi memerlukan teknik pengumpulan data yang tepat untuk mencapai hasil yang maksimal, yaitu sedalam mungkin melihat suatu fenomena pada
!
30!
suatu masyarakat melalui perspektif masyarakat tersebut. Teknik observasipartisipasi adalah teknik yang relevan dengan pendekatan etnoekologi. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara terjun langsung ke lokasi penelitian dan melakukan interaksi guna memperoleh data. Peneliti melakukan pengamatan dengan cara ikut langsung dalam keseharian masyarakat Bayung Gede, salah satu kegiatan utama di Bayung Gede adalah berkebun di kebun jeruk. Masyarakat Bayung Gede adalah masyarakat yang ramah dan terbuka, di sela-sela kegiatan, mereka menyempatkan diri untuk wawancara yang dilakukan dengan santai. Peneliti tidak hanya mengamati serampangan saja, melainkan ikut terlibat dan menghayati sebuah fenomena. Peneliti juga merekam secara visual selama proses observasi yang dilakukan dengan berkeliling desa untuk mengamati kegiatan keseharian dari warga Bayung Gede, terutama kegiatan yang relevan dengan tujuan penelitian ini. Dengan cara ini, akan terjadi interaksi sosial, psikologis, dan kultural antara subjek penelitian dan peneliti. Hal ini sekaligus untuk mendekatkan peneliti kepada hal yang diteliti, sehingga subjek penelitian merasa lebih simpatis. Vredenbregt (1978: 72) menyebutkan bahwa, walaupun untuk para antropolog dari generasi 70-an metode observasi dan partisipasi tidak dinilai begitu mutlak, namun metode tersebut tetap sangat penting artinya. Dalam metode ini juga disertakan fieldnote yang lengkap, sehingga hasil laporan akan menyeluruh untuk meneliti masyarakat Bayung Gede.
1.6.3.3 Teknik Wawancara
!
31!
Mengutip dari Vredenbregt (1978: 89), kalau untuk tujuan penelitian kita ingin mengetahui sesuatu mengenai kehidupan dan kelakuan manusia, maka salah satu cara yang tepat ialah mengajukan pertanyaan mengenai masalah tersebut kepada orang yang bersangkutan. Sejalan dengan pengertian di atas Koentjaraningrat (1977: 129) menegaskan metode wawancara meliputi cara yang digunakan untuk tujuan tugas tertentu mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seseorang responden dan dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu. Teknik wawancara (interview) digunakan sebagai pendukung teknik observasi-partisipasi. Interview dalam pandangan Vredenbregt sekurang-kurangnya dibagi menjadi 2 tipe, antara lain unstructured dan structured. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan wawancara unstructured yang memungkinkan peniliti melakukan probing. Jenis wawancara yang lainnya wawancara mendalam yang sejalan dengan wawancara unstructured. Wawancara mendalam biasanya dinamakan wawancara baku etnografi atau wawancara kualitatif. Wawancara dilakukan dengan santai, informal, dan masing-masing pihak seakan-akan tidak ada beban psikologis. Selama proses wawancara ini peneliti mencatat di dalam fieldnote serta merekam secara visual dan audiovisual. Teknik perekaman ini dilakukan agar tidak ada data yang tercecer serta mempermudah peneliti di dalam penyusunan data, hasil rekaman visual ini dimanfaatkan peneliti dalam pembuatan film pendek yang mengangkat tema sesuai dengan judul penelitian.
!
32!
1.6.3.4 Studi Pustaka Dalam rangka menunjang data primer yang sudah dikumpulkan dari lapangan, bahan bacaan yang relevan sebagai data sekunder, dari berbagai buku, majalah, jurnal dan surat kabar adalah penting untuk diikutsertakan. Melalui kajian-kajian tersebut peneliti dapat mengembangkan konsep-konsep dan teori baru tanpa meninggalkan konsep atau teori yang telah dikemukakan terlebih dahulu.
1.6.4 Analisis Data Maryaeni (2005: 75) mendefinisikan analisis data sebagai kegiatan pengurutan data sesuai dengan rentang permasalahan atau urutan pemahaman yang ingin diperoleh; pengorganisasian data dalam formasi, kategori. Menggunakan metode observasi-partisipasi didukung dengan teknik wawancara unstructured akan menghasilkan data-data deskriptif kualitatif. Analisis data kualitatif dilakukan secara deskriptif etnografik. Analisis ini berusaha mendeskripsikan subjek penelitian dan cara mereka bertindak serta berkata-kata. Model analisis dapat menggunakan model interaktif yang ditawarkan Haberman dan Miles (1994:429) yang melalui tiga proses : reduksi data atau data reduction, penyajian data atau data display, dan penarikan serta pengujian kesimpulan atau drawing and verifying conclucion.
!
33!
Langkah reduksi data melibatkan langkah-langkah editing, pengelompokan, dan meringkas data baik yang diperoleh dari studi pustaka atau melalui observasi yang dilakukan di Bayung Gede. Pertama-tama peneliti mengumpulkan data fieldnote serta rekaman audiovisual yang kemudian dicatat kembali dalam bentuk catatan etnografi yang lengkap. Setelah itu peneliti menyusun kode dan catatan mengenai berbagai hal yang berisikan gagasan atau ungkapan yang mengarah pada teorisasi berkenaan dengan data yang ditemui. Pada tahap akhir peneliti menyusun rancangan konsep serta penjelasan berkenaan dengan tema, pola atau kelompok data yang bersangkutan. Penelitian ini adalah bentuk penelitian ekologi yang memfokuskan pada pelestarian hutan. Pengumpulan dan penyusunan data tidak hanya dilakukan dengan wawancara informan, tetapi juga dibarengi dengan mencari berbagai referensi dan literatur yang berkaitan dengan tumbuhan dan kehutanan. Peneliti juga melakukan beberapa wawancara di luar dari informan Desa Bayung Gede. Informan ini adalah dosen dari Fakultas Biologi Universitas Udayana yang memberikan banyak penjelasan serta referensi yang mendukung keakuratan data peneliti, terutama yang berkaitan dengan klasifikasi tumbuhan dan hutan. Tahap penyajian data melibatkan langkah-langkah mengorganisir data, yakni menjalin kelompok data yang satu dengan yang lainnya sehingga seluruh data yang dianalisis benar-benar dilibatkan dalam satu kesatuan karena dalam penelitian kualitatif, data biasanya beraneka ragam perspektif sehingga penyajian data diyakini sangat membantu proses analisis. Penelitian ini merupakan penelitian multidisipliner,
!
34!
oleh karena itu penyajian data adalah proses yang paling sulit, karena peneliti harus cermat menyajikan data secara sistematis sehingga tujuan dari penelitian ini dapat tercapai dan pembaca dapat menangkap apa yang dimaksud oleh penulis. Penulisan data ini diawali dengan gambaran umum setra ari-ari untuk mengetahui kearifan ekologi yang terkandung di dalamnya, kemudian peneliti berusaha menemukan berbagai simbol dan makna yang terkandung di dalam setra ari-ari serta prosesi ritualnya, sehingga didapatkan jawaban dari dua rumusan masalah penelitian. Proses terakhir adalah penarikan dan pengujian kesimpulan, penarikan kesimpulan ini dilakukan setelah semua data tersusun secara sistematis. Hasil penelitian ini berupa pelukisan dan verifikasi data yang telah diperoleh selama proses penelitian berlangsung. !