BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kota akan selalu mengalami perkembangan fisik seiring dengan perubahan waktu. Kota tidak bersifat statis, akan tetapi selalu bergerak, berkembang dan berubah. Seperti halnya makhluk hidup, apabila kondisi alamnya kondusif, maka kota juga akan mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Perkembangan kota dipengaruhi oleh beberapa faktor, namun secara umum sangat dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor kependudukan (demografis) dan faktor aspek-aspek kependudukan (Yunus, 1987). Faktor demografi yang paling berpengaruh terhadap perubahan fisik kota adalah jumlah penduduk, sedangkan faktor aspek-aspek demografis yang berpengaruh adalah politik, sosial, ekonomi dan juga teknologi. Faktor jumlah penduduk memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan fisik perkotaan. Kota-kota yang berjumlah penduduk relatif padat cenderung mengalami perubahan fisik yang lebih cepat dibanding dengan kota yang berpenduduk sedikit. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan penduduk akan mendorong pertumbuhan bangunan untuk menampung aktifitas penduduk tersebut. Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di daerah perkotaan mengalami kenaikan yang cukup signifikan akhir-akhir ini. Menurut data BPS (2013), pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di daerah perkotaan mencapai 49,8 %. Jumlah ini mengalami kenaikan pada tahun 2015 menjadi 53,3 %. Diperkirakan jumlah persentase ini akan terus mengalami kenaikan
1
menjadi 56,7 % pada tahun 2020, dan 60 % pada tahun 2025. Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia di daerah perkotaan ini, tentu saja akan mempengaruhi wajah perkotaan Indonesia. Aspek-aspek demografis seperti politik, ekonomi, sosial dan teknologi tentu saja sangat mempengaruhi perubahan kota. Kota pada umumnya merupakan pusat kegiatan politik, ekonomi , sosial dan teknologi. Perubahan pada tiap aspek tersebut akan mempengaruhi wajah perkotaan. Kota sebagai pusat aktivitas masyarakat, seiring dengan waktu, akan diisi dengan berbagai macam bangunan sesuai dengan kebutuhan aktivitas tersebut. Pada awalnya bangunan-bangunan akan memenuhi daerah pusat kota. Ketika daerah pusat kota tersebut sudah terisi penuh oleh bangunan, pembangunan akan beralih ke daerah yang lebih luar dari pusat kota tersebut. Bersamaan dengan waktu bangunanbangunan akan mengisi lahan-lahan yang kosong di daerah luar pusat kota tersebut. Kota, yang memiliki wilayah administrasi terbatas, suatu saat tidak mampu lagi menampung bangunan-bangunan di wilayahnya. Oleh karena hal tersebut, pembangunan fisik kota akan beralih ke arah yang lebih luar lagi yakni di luar wilayah administrasinya. Wilayah luar kota ini sering disebut wilayah pinggiran kota atau urban fringe atau daerah peri urban (Yunus, 2008). Perkembangan fisik kota ke arah luar atau pinggiran kota akan mengakibatkan beralihnya fungsi-fungsi kekotaan ke daerah pinggiran tersebut. Hal ini ditandai dengan perembetan penampakan fisik kota ke arah pinggiran kota dan munculnya fasilitas-fasilitas umum kota di daerah tersebut. Fasilitas kota yang dimaksud dapat berupa sekolah, pasar, kampus, terminal, dan industri.
2
Peristiwa perembetan fisik kota ke arah luar ini dikenal dengan istilah urban sprawl. Urban sprawl mengakibatkan penampakan fisik kota menjadi melebar, melebihi wilayah administrasinya. Istilah urban sprawl sangat berkaitan dengan definisi konurbasi, dimana Jhonston (2009) menyatakan bahwa konurbasi merupakan suatu istilah yang diperkenalkan oleh Patrick Geddes (1854-1932) untuk menerangkan suatu daerah atau area yang terbangun yang terjadi karena perpaduan pemukiman-pemukiman yang terpisah antara satu dengan lainnya, dengan ditandai bangunan yang berjajar di sepanjang jalan utama antara daerah urban dengan daerah pinggirannya. Lebih lanjut, Jhonston (2009) menyatakan bahwa dengan urban sprawl yang lebih luas, maka istilah konurbasi telah banyak digantikan dengan istilah metropolis dan megapolis dimana telah terjadi penggabungan bangunanbangunan fisik kekotaan yang terjadi secara terus-menerus dalam luasan yang sangat besar. Definisi ini menegaskan bahwa konurbasi merupakan suatu daerah yang terbangun yang dicirikan dengan bangunan yang berjejer atau bergabung dari daerah kota ke daerah pinggiran. Konurbasi bukan saja mengakibatkan berdirinya bangunan-bangunan di wilayah pinggiran, akan tetapi juga menyebabkan beralihnya fungsi-fungsi perkotaan di daerah pinggiran tersebut. Hal ini akan memicu proses densifikasi penduduk dan transformasi sosial, yang jika berlangsung secara terus menerus, akan mengakibatkan wilayah pinggiran tidak lagi mampu menampung aktifitas warganya sehingga menyebabkan pergeseran pembangunan wilayah ke arah yang lebih luar lagi. Kejadian ini jika berlangsung secara terus-menerus, dapat mengakibatkan perkembangan fisik perkotaan yang sangat jauh dari wilayah administrasinya.
3
Konurbasi menyebabkan batas fisik administrasi perkotaan menjadi sulit untuk dikenali. Selain batas adminsitrasi yang semakin tidak dapat dikenali, dampak yang paling sering terjadi akibat konurbasi adalah semakin berkurangnya lahan pertanian dan daerah resapan air. Perkembangan kota mengakibatkan peralihan penggunaan lahan-lahan yang memiliki harga relatif murah berupa lahan pertanian menjadi perumahan, perkantoran, pembangunan kampus-kampus pendidikan dan peruntukan non pertanian lainnya. Kota Yogyakarta mengalami perkembangan fisik yang sangat cepat pada akhir-akhir dekade ini. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai bangunanbangunan yang mencirikan modernisasi kota seperti pusat perbelanjaan, hotel-hotel, perumahan, pasar swalayan, pusat hiburan dan lainnya. Kota
Yogyakarta,
yang
merupakan
aglomerasi
(pusat)
kegiatan
perekonomian di Provinsi DIY sudah tidak sanggup lagi menampung kegiatan penduduknya. Hal ini menyebabkan terjadinya perkembangan fisik keluar daerah administrasinya menuju daerah pinggiran atau wilayah peri urban. Kotamadya Yogyakarta dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Sleman dan Bantul. Wilayah di sekeliling kota Yogyakarta ini disebut juga dengan wilayah peri urban. Salah satu ciri wilayah peri urban adalah kenampakan fisikal kekotaan dan kedesaan yang bercampur. Pada suatu sisi, di wilayah ini sudah muncul ciri-ciri kekotaan seperti munculnya fasilitas umum, namun disisi lain ciri kedesaan seperti lahan pertanian juga masih ada. Selain itu, yang menjadi ciri khas wilayah peri urban adalah perubahan yang sangat cepat di wilayah ini (Yunus, 2008).
4
Perubahan pemanfaatan lahan dari pertanian ke non pertanian di wilayah ini terjadi dengan sangat cepat. Diperkirakan setiap tahunnya terjadi perubahan fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian seluas 40 hektar di kabupaten Bantul (Suara Merdeka, 2009) dan 100 hektar di daerah kabupaten Sleman (Kompas, 2011). Hal ini mengakibatkan terancamnya lahan pertanian produktif yang berfungsi sebagai sumber penghasil bahan pangan bagi masyarakat. Situasi ini bukan saja berdampak bagi provinsi DIY, akan tetapi Indonesia secara keseluruhan karena daerah Sleman dan Bantul merupakan salah satu lumbung padi di Indonesia. Selain itu perkembangan kota Yogyakarta juga telah mengakibatkan berkurangnya daerah tangkapan air terutama di wilayah utaranya. Hal ini dapat mengakibatkan berkurangnya pasokan air bagi masyarakat kota Yogya dan kabupaten Bantul yang berada di bawahnya. Menurut RTRW Provinsi DIY, daerah utara kabupaten Sleman terutama di kecamatan Ngaglik, Pakem, Turi dan Cangkringan merupakan daerah resapan air. Hal ini didasari karena secara geografis daerah tersebut memiliki ketinggian yang lebih dibanding daerah lainnya. Hal inilah yang mendasari kenapa penelitian tentang Perkembangan Konurbasi Kota Yogyakarta penting untuk dilaksanakan. Pengaruh Perkembangan Fisik Kota Yogyakarta berupa penjalaran bangunan fisik kekotaan (Konurbasi Kota Yogyakarta) akan berpengaruh terhadap perubahan pemanfaatan lahan. Lahan-lahan pertanian yang subur dan daerah resapan air akan berganti dengan bangunanbangunan kota. Informasi terkini mengenai konurbasi ini sangat penting untuk diketahui.
5
1.2. Permasalahan Penelitian
Perkembangan kota Yogyakarta yang terjadi dengan cepat telah mengubah wajah dan penampilannya. Pertumbuhan fisik kota yang merambat ke segala arah telah membuat penampilan fisik kota yang sangat luas melebihi wilayah administrasinya. Perkembangan kota yang tidak terkendali ini menyebabkan beberapa kerugian pada beberapa aspek. Ditinjau dari aspek lingkungannya, perkembangan ini akan menyebabkan berkurangnya wilayah serapan air dan lahan pertanian. Dimana perkembangan fisik perkotaan ini akan mengokupasi lahan pertanian produktif sehingga dapat mengurangi produksi pangan. Perubahan pemanfaatan lahan dari pertanian ke non pertanian di wilayah ini terjadi dengan sangat cepat. Diperkirakan setiap tahunnya terjadi perubahan fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian seluas 40 hektar di kabupaten Bantul (Suara Merdeka, 2009) dan 100 hektar di daerah kabupaten Sleman (Kompas, 2011). Hal ini mengakibatkan terancamnya lahan pertanian produktif yang berfungsi sebagai sumber penghasil bahan pangan bagi masyarakat. Situasi ini bukan saja berdampak bagi provinsi DIY, akan tetapi Indonesia secara keseluruhan karena daerah Sleman dan Bantul merupakan salah satu lumbung padi di Indonesia. Selain itu perkembangan kota Yogyakarta juga telah mengakibatkan berkurangnya daerah tangkapan air terutama di wilayah utaranya. Hal ini dapat mengakibatkan berkurangnya pasokan air bagi masyarakat kota Yogya dan kabupaten Bantul yang berada di bawahnya. Menurut RTRW Provinsi DIY, daerah utara kabupaten Sleman terutama di kecamatan Ngaglik, Pakem, Turi dan Cangkringan merupakan daerah
6
resapan air. Hal ini didasari karena secara geografis daerah tersebut memiliki ketinggian yang lebih dibanding daerah lainnya. Oleh karena itu, pembangunan yang tidak terkendali ini sudah sewajarnya diantisipasi sejak dini. Untuk mengantisipasi hal tersebut data atau informasi mengenai perembetan fisik perkotaan merupakan salah satu yang dibutuhkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sampai sejauh mana konurbasi kota Yogyakarta dan apa faktor-faktor penyebabnya.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui sejauh mana Perkembangan Konurbasi Kota Yogyakarta 2. Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab perkembangan konurbasi
Kota
Yogyakarta.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan karena dapat memberikan rmanfaat bagi pemerintah daerah maupun bagi ilmu pengetahuan. Manfaat penelitian bagi Pemerintah Daerah Yogyakarta adalah memberikan informasi dan masukan mengenai Konurbasi Kota Yogyakarta yaitu sejauh mana perkembangan fisikal kekotaan Yogyakarta ke daerah peri urbannya dan faktor-faktor apa yang menjadi penyebabnya, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengelola wilayah peri urban tersebut. Sedangkan manfaat bagi ilmu pengetahuan adalah menambah perbendaharaan
7
penelitian tentang konurbasi, sehingga dapat merangsang penelitian lebih lanjut tentang konurbasi baik di wilayah kota Yogyakarta maupun di kota-kota lainnya.
1.5. Keaslian Penelitian Penelitian tentang ”Perkembangan Konurbasi Kota Yogyakarta (Tahun 19972015)” merupakan karya sendiri dan sepanjang pengetahuan penulis belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Sebagai pembanding, telah ada penelitian terdahulu, yaitu :
Tabel 1. Daftar Judul Penelitian Terdahulu No 1.
Peneliti Erizon, 1997
Judul Konurbasi Kota Yogyakarta
2.
Suwarno, 2001
Kajian Terhadap Terjadinya Kawasan Tumbuh Cepat Wilayah Perkotaan Yogyakarta,
Yogyakarta
3.
Tatag Wibiseno, 2002
Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak
4.
Sri Mulyati, 1996 Triana Wahyuningsih, 2005 Anna Yustina Ade Endang Setiarini, 2005
Kajian Perubahan Penggunaan Lahan Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak Sebagai Kawasan Pinggiran Kota Semarang Perkembangan Kota Yogyakarta Tahun 1756-1824 Pola Spasial Layanan Pasar di Kawasan Kabupaten Sleman Bagian Barat Pengaruh Terminal Terhadap Timbulnya Kegiatan Pelayanan dan Perubahan Guna Lahan, Studi Kasus di Daerah Istimewa Yogyakarta
5.
6.
Lokasi Penelitian Yogyakarta
8
Yogyakarta
Metode Metode Deduktif dengan pendekatan ekploratif Metode Dokumenter dengan analisis induktif dan deduktif Metode Survey
Sleman, DIY
Metode Observasi Metode Deduktif
Yogyakarta
Metode Deduktif