16
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kehidupan manusia ditengah-tengah masyarakat selalu berkembang dan diikuti oleh perubahan-perubahan, hal ini disebabkan karena bergesernya kurun waktu dan semakin berkembangnya tingkat pengetahuan dan juga makin meningkatnya taraf penghidupan masyarakat. Dengan adanya peningkatan taraf penghidupan masyarakat dan meningkatnya tingkat kecerdasan serta semakin banyaknya lapangan usaha yang tersedia diberbagai bidang, maka semakin diperlukan keahlian dan administrasi yang sempurna, baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga mengakibatkan bertambah banyak permintaan akan jasa notaris sebagai pejabat umum pembuat akta yang diakui secara yuridis oleh pemerintah, sebagaimana diatur dalam Reglement op het notaris ambt in Indonesia, ordonansi 11 Januari 1860, yang mulai berlaku Tuntutan pada 1 Juli 1860. Adapun penyebab kebutuhan masyarakat akan jasa Notaris sebagai pembuat akta semakin meningkat dalam kehidupan sehari-hari, dikarenakan semakin banyaknya orang atau badan hukum melakukan perjanjian-perjanjian yang dituangkan dalam bentuk akta. Demikian juga dengan halnya suatu perjanjian, sangat memerlukan akan adanya jasa seorang Notaris. Hal ini didasarkan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat yang maju dan komplek, sehingga timbullah hak dan kewajiban mereka dan mereka menginginkan adanya aturan yang mengatur hak dan
1
Universitas Sumatera Utara
17
kewajiban tersebut demi adanya kepastian hukum, sehingga diperlukan adanya pengaturan dalam perjanjian sewa menyewa tersebut, yang mana perjanjian ini dibuat dengan akta notaris yang mempunyai kekuatan hukum yang otentik. Tuntutan kehidupan yang semakin kompleks dan modern tersebut memaksa setiap individu dalam masyarakat mau tidak mau, suka atau tidak suka menginginkan adanya kepastian, terutama kepastian hukum, sehingga setiap individu dapat menentukan hak dan kewajibannya dengan jelas dan terstruktur”1. Akta otentik sebagai alat bukti yang mengikat dan sempurna mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan meningkatnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional maupun global. Dengan demikian melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban untuk menjamin kepastian hukum. Kepastian hukum tersebut dalam masyarakat dibutuhkan demi tegaknya ketertiban dan keadilan. Ketidakpastian hukum akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, dan setiap anggota masyarakat akan saling berbuat sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri. Keberadaan seperti ini menjadikan kehidupan berada dalam suasana kekacauan sosial 2.
1
Moh.Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3S, Jakarta,2006,hal.63 2 M.Yahya Harahap, Pembahasan,Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Edisi Kedua, Jakarta, 2006, hal.76
Universitas Sumatera Utara
18
Salah satu hubungan hukum itu adalah dalam bentuk perjanjian. ”Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain untuk melakukan sesuatu”3. Perjanjian merupakan salah satu pranata hukum dalam sistem hukum Indonesia. Pranata hukum ini berfungsi sebagai alat pengikat hubungan hukum satu subjek hukum dengan subjek hukum lainnya dalam melakukan berbagai perbuatan hukum. Perjanjian diartikan sebagai suatu peristiwa dimana seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal 4. ”Notaris dikenal sebagai orang yang dipercaya para pihak untuk merumuskan isi dan maksud perjanjian yang dibuat oleh para pihak”.5 ”Adanya kesadaran manusia akan pentingnya hukum khususnya dalam hal membuat perjanjian semakin jelas yaitu dengan menuangkan semua keinginan dan perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu akta yang dibuat oleh pejabat yang ditunjuk untuk membuat perjanjian, yakni Notaris”6. ”Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”7 ”Notaris sebagai salah satu profesi hukum merupakan satu dari beberapa elemen dalam pelaksanaaan hukum yang sebagian wewenangnya adalah menerbitkan suatu dokumen yang berupa akta dengan kekuatan sebagai akta otentik.8 Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Akta otentik ialah akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau di 3
R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT.Intermassa, Jakarta,1976, hal.15 R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1992, hal.1 5 Budi Untung, Visi Global Notaris, Andi, Yogyakarta, 2001, hal.2 6 A. Kohar, Notaris dalam Praktek, Alumni, Bandung, 1983, hal. 6 7 Undang –Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris 8 A. Kohar, Op.cit hal 8 4
Universitas Sumatera Utara
19
hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta itu dibuat. Keistimewaan suatu akta otentik merupakan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya, artinya jika seseorang mengajukan akta resmi kepada Hakim sebagai alat bukti, maka hakim harus menerima dan mengganggap apa yang tertulis dan termuat dalam akta tersebut merupakan peristiwa yang sungguhsungguh telah terjadi dan hakim tidak dapat memerlukan untuk penambahan pembuktian lainnya. Apa yang diperjanjikan dan dinyatakan dalam akta tersebut seperti apa yang diperjanjikan dan dinyatakan oleh para pihak sebagai yang dilihat dan didengar oleh Notaris, terutama mengenai tanggal akta, tanda tangan didalam akta, identitas yang hadir dan tempat akta itu dibuat merupakan kekuatan pembuktian formal, sedangkan kekuatan pembuktian materil adalah menyangkut isi atau materi dari akta tersebut. 9 Akta Otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan oleh para pihak kepada Notaris. Namun demikian Notaris juga mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat dalam akta Notaris adalah sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara memberi penjelasan sehingga menjadi jelas isi akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak yang menandatangani akta tersebut. Dengan demikian para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak isi akta Notaris yang akan ditanda tanganinya.
9
I.G.Rai Widjaya, Merancang suatu kontrak ( contract drafting), Edisi REVISI, Kesain Blanc, Bekasi- Indonesia, 2004, hal 13
Universitas Sumatera Utara
20
Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 telah mengatur secara rinci mengenai jabatan umum yang dijabat oleh Notaris, dan dalam Undang-undang tersebut juga mengatur tentang bentuk dan sifat akta Notaris, serta tentang Minuta Akta, grosse Akta,dan salinan akta, maupun Kutipan Akta Notaris. Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak bersifat mengikat bagi para pihak yang membuatnya dan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka. Sifat otentik dari akta inilah merupakan unsur yang memenuhi keinginan terwujudnya kepastian hukum tersebut. Di dalam akta otentik itu sendiri mengandung pernyataan atas hak dan kewajiban seseorang atau individu (dalam bidang perdata) dan oleh karena itu melindungi seseorang dalam kepentingan tersebut. Salah satu dari banyaknya perjanjian yang dituangkan dalam suatu akta otentik yang dibuat oleh Notaris adalah perjanjian sewa menyewa rumah. “Perumahan adalah kebutuhan dasar dan penting bagi manusia, tetapi tidak semua masyarakat, khususnya yang memiliki keterbatasan dana dapat memiliki tempat tinggal, Salah satu alternatif bagi mereka adalah dengan menyewa rumah”10. Untuk menjamin kepastian hukum, sewa menyewa rumah dilakukan dengan perjanjian sewa menyewa. Di masyarakat, perjanjian sewa menyewa rumah meliputi perjanjian di bawah tangan dan perjanjian dengan akta Notaris. Sewa menyewa diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian sewa menyewa ini diatur dalam Bab Ketujuh Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
10
Sudargo Gautama, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Perumahan dan Peraturan Sewa Menyewa, Alumni, Bandung, 1984, hal.2
Universitas Sumatera Utara
21
Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi :”Sewa menyewa adalah satu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya menikmati dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak lain yang tersebut itu disanggupi pembayarannya”. Sebagaimana perjanjian lainnya, pada perjanjian sewa menyewa juga menimbulkan hak dan kewajiban para pihak. Sewa menyewa seperti halnya dengan jual beli dan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya dia sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokok, yaitu barang dan harga. Kewajiban pihak yang satu, menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini, membayar harga sewa. Jadi barang itu diserahkan tidak untuk dimiliki tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati kegunaannya. Dengan demikian penyerahan tadi hanya bersifat menyerahkan kekuasaan belaka atas barang yang disewa itu. “Hubungan sewa menyewa umumnya tercipta karena adanya kata sepakat antara para pihak pemilik dan penyewa. Suatu perjanjian merupakan dasar yang umum untuk hubungan sewa menyewa”11. Perjanjian sewa menyewa adalah suatu persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang masing-masing berjanji untuk menaati apa yang telah diatur dalam perjanjian selama perjanjian belum berakhir.
11
ibid hal 14
Universitas Sumatera Utara
22
Sewa menyewa dapat juga dikatakan suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberi kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan berbagai jenis barang, baik tetap maupun bergerak12. Perjanjian sewa menyewa rumah mengikat kedua belah pihak dan berlaku sebagai Undang-Undang (Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata) dan sewa menyewa juga tidak dapat diputuskan atau berakhir dengan dijualnya rumah atau barang yang disewa kecuali telah diperjanjikan sebelumnya, hal ini dipertegas dalam Pasal 1576 ayat (1) KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “ Dengan dijualnya barang yang disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya, tidaklah diputuskan kecuali apabila telah diperjanjikan pada waktu penyewaan barang.13 Perjanjian sewa menyewa khusunya dalam hal ini sewa menyewa didalam kenyataannya meskipun perjanjian sewa menyewa rumah yang dibuat telah memenuhi syarat-syarat terpenuhinya suatu perjanjian dan mengikuti prosedur pada umumnya yaitu membuat perjanjian sewa menyewa rumah dihadapan Notaris, dengan dihadiri oleh dua orang saksi setelah terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak, namun didalam prakteknya permasalahan menyangkut sewa menyewa masih sering terjadi. “Tidak semua perjanjian termasuk perjanjian sewa menyewa rumah dalam pelaksanaannya berjalan sesuai dengan isi perjanjian”14. Kita ketahui bahwa didalam suatu perjanjian masih ada terjadi wanprestasi yang dilakukan para pihak salah satunya yang menyangkut masalah pengosongan rumah. Pengosongan rumah merupakan salah satu masalah krusial yang terjadi. Di dalam pelaksanaannya dapat saja terjadi wanprestasi dari salah satu pihak, Misalnya Kedudukan pihak yang 12
Wardah Yuspin, Penerapan Prinsip Syariah Dalam Pelaksanaan Murabahan, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2003, hal.124 13 Moegeni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979, hal 24 14 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1974, hal. 49
Universitas Sumatera Utara
23
menyewakan dirugikan oleh pihak penyewa atau Kedudukan pihak penyewa dirugikan oleh pihak yang menyewakan. Salah satu upaya yang dilakukan masyarakat yang semakin cerdas untuk mengantisipasi adanya hal-hal yang tidak diinginkan terjadi dari perjanjian tersebut yaitu dengan memilih Asuransi sebagai salah satu lembaga keuangan yang kedudukannya telah diatur didalam Undang-undang. Dalam perkembangan kehidupan manusia masa kini, semakin banyak kebutuhan hidup baik yang terencana maupun tidak. Sebagian masyarakat memilih melakukan penyimpanan uang dalam lembaga keuangan tertentu dalam bentuk yang terlihat (jumlah simpanan dapat diketahui besarnya) atau dengan kata lain dalam bentuk tabungan. Namun sebagian lagi memilih menyimpan uangnya dalam bentuk asuransi, yang meyakinkan mereka bahwa kebutuhan mereka (yang tidak terduga) akan terpenuhi sejalan dengan jumlah yang mereka simpan pada jasa (asuransi) tersebut. Asuransi merupakan transaksi pertanggungan, yang melibatkan dua pihak, tertanggung dan penanggung. Dimana penanggung menjamin pihak tertanggung, bahwa ia akan mendapatkan penggantian terhadap suatu kerugian yang mungkin akan dideritanya, sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadi atau yang semula belum dapat ditentukan saat/kapan terjadinya15. Sebagai kontraprestasinya si tertanggung di wajibkan membayar sejumlah uang kepada si penanggung, yang besarnya sekian persen dari nilai pertanggungan, yang biasa disebut “premi”.
15
Agus Prawoto, Hukum Asuransi dan Kesehatan Perusahaan Asuransi, BPFE, Yogyakarta,
hal.37
Universitas Sumatera Utara
24
Asuransi sebagai salah satu produk perbankkan, cukup diminati oleh para penggunanya. Karena dengan membayar asuransi, berarti membayar jumlah kecil saat ini untuk menjamin resiko besar yang memerlukan pembiayaan besar yang mungkin akan terjadi di waktu mendatang. Dengan kata lain, berjaga-jaga dari kemungkinan terburuk yang mungkin akan terjadi. Pada hakikatnya kehidupan dan kegiatan manusia mengandung berbagai hal yang menunjukkan sifat “tidak kekal”. Sifat yang tidak kekal merupakan sifat alami yang tidak dapat dipastikan, kepastian tersebut dapat berwujud dalam berbagai bentuk dan peristiwa yang belum tentu menimbulkan rasa tidak aman dalam diri manusia, misalnya rumahnya terbakar, barang-barangnya dicuri dan lain-lain, “Asuransi kebakaran bertujuan untuk mengganti kerugian yang disebabkan oleh kebakaran. Dalam hal ini pihak perusahaan menjamin resiko yang terjadi karena kebakaran”16. Oleh karena itu perlu dibuat suatu kontrak (perjanjian) antara pemegang polis (pembeli asuransi) dengan perusahaan asuransi. Perjanjian dibuat sedemikian rupa, agar kedua belah pihak tidak merasa dirugikan. “Setiap benda objek asuransi kebakaran harus jelas terletak di mana dan berbatasan dengan apa. Setiap benda objek asuransi kebakaran harus jelas dipakai dan digunakan untuk apa”17. Syarat pemakaian atau penggunaan ini ada hubungannya dengan syarat perubahan tujuan penggunaan yang merupakan pemberatan resiko (Pasal 293 KUHD) 16
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, Hal. 159 17 Ibid, hal. 161
Universitas Sumatera Utara
25
Bahaya-bahaya penyebab timbulnya kebakaran yang menjadi tanggungan penanggung diatur dalam Pasal 290 KUHD. Penanggung menerima sebagai tanggung jawabnya semua kerugian yang ditimbulkan oleh terbakamya benda asuransi. “Motif untuk berjaga-jaga atau mengantisipasi resiko/kejadian yang mungkin atau tidak akan terjadi, merupakan salah satu cara manusia atau masyarakat kebanyakan saat ini untuk menghindari akan adanya kemungkinan menanggung kerugian yang cukup besar di masa yang akan datang”18. Oleh karena itu manusia Sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berakal budi selalu berupaya untuk menghindari resiko yang membuatnya merasa tidak aman sehingga dapat menjadi aman. “Perjanjian asuransi sebagai lembaga pengalihan dan pembagian resiko mempunyai
kegunaan
positif
baik
bagi
masyarakat,
perusahaan
maupun
pembangunan Negara”19. Mereka yang menutup perjanjian asuransi akan merasa tentram sebab mendapat perlindungan dari kemungkinan terjadinya/ tertimpa suatu kerugian. Mengingat banyaknya sewa menyewa rumah yang terjadi di masyarakat sekarang ini dan mengingat permasalahan yang kemudian terjadi antara penyewa dan yang menyewakan , Dengan latar belakang inilah penulis merasa tertarik untuk mengadakan suatu penelitian yang berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Akta Sewa Menyewa Rumah Yang Dibuat Dihadapan Notaris (Study Di Kantor Notaris)”.
18 19
Agus Prawoto, Opcit, Hal. 97 Abdulkadir Muhammad, Opcit, Hal. 159
Universitas Sumatera Utara
26
B. Perumusan Masalah Dari latar belakang sebagaimana yang diuraikan diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan klausul akta sewa menyewa yang dibuat di hadapan Notaris? 2. Bagaimana pengaturan mengenai pengosongan dalam akta sewa menyewa rumah? 3. Perlindungan apakah yang diberikan dalam perjanjian sewa menyewa terhadap penyewa dan yang menyewakan? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengaturan klausul akta sewa menyewa yang dibuat di hadapan Notaris. 2. Untuk mengetahui pengaturan mengenai pengosongan dalam perjanjian sewa menyewa rumah. 3. Untuk mengetahui bentuk perlindungan yang diberikan dalam perjanjian sewa menyewa terhadap penyewa dan yang menyewakan. D. Manfaat Penelitian Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan yang sangat berarti antara lain, yang diharapkan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
27
1. Secara Teoritis Secara Teoritis, kegiatan penelitian diharapkan dapat memberi manfaat dalam Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata khususnya dalam hal yang berkaitan dengan perjanjian sewa menyewa rumah yang di buat di hadapan Notaris. 2. Secara Praktis Secara Praktis diharapkan dapat bermanfaat bagi praktisi hukum khususnya Notaris dalam menangani perjanjian sewa menyewa yang terjadi dalam praktek. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya pada program Studi Magister Kenotariatan, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan, penelitian yang berhubungan dengan perjanjian sewa menyewa telah ada dilakukan oleh : 1. Nama
: Mahmud Khaiyath
NIM
: 037011048
Judul Tesis
: Pembatalan Perjanjian Sewa Menyewa Rumah secara Sepihak Menurut Hukum Perjanjian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Kelas I-A Medan).
Permasalahan
:
1. Faktor- faktor apa sajakah yang menimbulkan pembatalan perjanjian sewa menyewa rumah secara pihak?
Universitas Sumatera Utara
28
2. Bagaimanakah pembatalan perjanjian sewa menyewa rumah secara sepihak sebelum jangka waktu sewa berakhir? 3. Bagaimanakah
akibat
hukum
terhadap
pihak
yang
melakukan
wanprestasi? 2. Nama
: Indah Mulyanti
NIM
: 087011142
Judul Tesis
: Suatu Tinjauan Perjanjian Sewa Menyewa Rumah Berjangka Pendek Sehubungan dengan Pekerja Kontrak (Studi Kasus Di Kota Batam).
3. Nama
: Lila Meutia
NIM
: 097011127
Judul Tesis
: Penyerahan Hak Sewa Sebagai Jaminan Hutang Di Bank (Studi Di Kantor Notaris Medan)
Dari ketiga judul yang menyangkut perjanjian sewa menyewa rumah tersebut, permasalahan, fokus dan kajiannya serta literatur yang digunakan tidak persis sama. Oleh karena itu penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Akta Sewa Menyewa Rumah Yang Dibuat Di hadapan Notaris (Study Di Kantor Notaris)” belum pernah dilakukan. Dengan demikian penelitian ini adalah asli adanya dan dapat di pertanggung jawabkan secara akademis. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Universitas Sumatera Utara
29
Adanya perbedaan pandangan dari berbagai pihak terhadap suatu objek, akan melahirkan teori-teori yang berbeda, oleh karena itu dalam suatu penelitian termasuk penelitian hukum, pembatasan-pembatasan (kerangka) baik teori maupun konsepsi merupakan hal yang penting agar tidak terjebak dalam polemik yang tidak terarah. ”Pentingnya kerangka konsepsional dan landasan atau kerangka teoritis dalam penelitian hukum, dikemukakan juga oleh Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, bahkan menurut mereka kedua kerangka tersebut merupakan unsur yang sangat penting20. “Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”21. ”Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep” 22 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati, dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka kerangka teori diarahkan secara khas ilmu
hukum, maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami
perjanjian sewa menyewa rumah yang dibuat oleh Notaris.
20
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.7 21 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 6 22 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 19
Universitas Sumatera Utara
30
Dalam menjawab rumusan permasalahan yang ada kerangka
teori yang
digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah teori kepastian hukum. Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibabankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan23. Hukum memang pada hakikatnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak, meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud kongkrit. Oleh karenanya pertanyaan tentang apakah hukum itu senantiasa merupakan pertanyaaan yang jawabannya tidak mungkin satu. Dengan kata lain, persepsi orang mengenai hukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya. Kalangan hakim akan memandang hukum itu dari sudut pandang mereka sebagai hakim, kalangan ilmuwan hukum akan memandang hukum dari sudut profesi keilmuan mereka, rakyat kecil akan memandang hukum dari sudut pandang mereka dan sebagainya. Di dalam Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. “Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian
23
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2008, hal 158
Universitas Sumatera Utara
31
harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik di kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing”.24 ”Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk mengikatkan diri satu sama lain”25. Menurut Pasal 1320 KUHPerdata perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya, hal tersebut adalah : 1. Kesepakatan para pihak 2. Kecakapan untuk membuat Perjanjian (misalnya : cukup umur, tidak dibawah pengampuan dll) 3. Menyangkut hal tertentu 4. Adanya kausa yang halal Dua hal yang pertama disebut sebagai syarat subyektif dan dua hal terakhir disebut syarat objektif. Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada syarat subjektif akan memiliki konsekuensi untuk dapat dibatalkan (vernietigbaar). 1) Kesepakatan para pihak “Sepakat maksudnya adalah bahwa dua belah pihak yang mengadakan perjanjian setuju atau seia sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian, dengan kata lain mereka saling menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik”26
24 25
R.Setiawan, Pokok –Pokok Hukum Perikatan,cet 4, Bina Cipta, Bandung,1987 Wardah Yuspin, Op.cit. hal.125
Universitas Sumatera Utara
32
Adanya kemauan dan kehendak kedua belah pihak yang membuat perjanjian, jadi tidak boleh hanya karena kemauan satu pihak saja, ataupun terjadinya kesepakatan oleh karena tekanan salah satu pihak yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak. Dalam hal suatu kesepakatan, ada beberapa teori yang menyatakan kapan kesepakatan itu terjadi antara lain yaitu Teori Pengetahuan (veernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima dan Teori Kepercayaan (vetrowenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan27. Kesepakatan itu ditatanya bebas, artinya tidak ada paksaan, tekanan dari pihak manapun, betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak. Berpedoman kepada ketentuan KUHPerdata Pasal 1312 bahwa tiada sepakat yang sah apabila diberikan karena : a. Kekhilafan atau kekeliruan (dwaling) “Kesepakatan yang diberikan karena salah pengertian atau kekhilafan, paksaan, penipuan memperlihatkan adanya kecacatan dalam kesepakatan itu (wilsgebrik)”.28 Terhadap persetujuan yang demikian para pihak atau yang bukan batal demi hukum. Kekhilafan yang dapat batal demi hukum adalah mengenai hal pokok atau hal yang essensial dalam persetujuan tersebut, hal ini terdapat dalam Pasal 1322 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa : 26
R.Subekti, Hukum Perjanjian, cetakan ke IV, PT Intermasa, Jakarta, 1976, Hal 17 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-PRESS, Jakarta, 1984, hal. 120 28 Wirjono Prodjodikoro, Opcit hal 45 27
Universitas Sumatera Utara
33
Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan. Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu persertujuan. Kecuali jika persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut M.Yahya Harahap mengatakan bahwa dwaling atau kekhilafan atau salah pengertian yang menyebabkan lenyapnya persetujuan harus mengenai : 1. Pokok atau maksud obyek persetujuan 2. Kedudukan hukum subjek yang membuat suatu persetujuan 3. Hak subjek hukum yang bersangkutan. 29 b. Pemerasan atau paksaan ( dwang ) Pemaksaan (dwang) terjadi apabila orang yang dipaksa itu tidak mempunyai pilihan hukum lain kecuali harus menyetujui persetujuan tersebut. Wiryono Projodikoro mengatakan dalam Pasal 1324 Kitab Undang-undang Hukum Perdata paksaan itu sepantasnya menakutkan suatu pihak terhadap suatu ancaman, bahwa apabila ia tidak menyetujui perjanjian yang bersangkutan, maka ia akan menderita suatu kerugian yang nyata. Perumusan dari Pasal 1324 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menurut beliau belum sempurna harus ditambahkan bahwa yang diancam itu harus merupakan hal yang tidak diperbolehkan oleh hukum.30 c. Penipuan (bedrog ) “Dalam hal penipuan, menurut M. Yahya Harahap bahwa satu macam pembohongan saja tidaklah cukup untuk adanya penipuan, melainkan harus ada suatu rangkaian pembohongan yang dalam hubungannya satu dengan yang lainnya merupakan suatu tipu muslihat.”31
29
M.Yahya Harahap, Op.cit hal 7. Wiryono Prodjodikoro, Asas- Asas hukum perjanjian,Bale, Bandung, 1989, hal 3 31 M.Yahya Harahap, Op.cit hal 27. 30
Universitas Sumatera Utara
34
2) Kecakapan untuk membuat perjanjian “Untuk sahnya suatu perjanjian memerlukan kecakapan dari subyek yang mengadakan perjanjian. Dengan kata lain setiap orang yang sudah dewasa , waras akal budinya adalah cakap menurut hukum”32. Pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa yang tidak cakap membuat suatu perjanjian adalah : a. Orang yang belum dewasa b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-Undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu. d. Orang yang belum dewasa yang dimaksud dalam hal ini adalah seperti yang ditunjuk oleh pasal 330 KUHPerdata yakni mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin. Pasal 433 KUHPerdata menentukan mereka yang ditaruh di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap atau terlalu boros sehingga tidak mampu bertanggung jawab atas kepentingan sendiri karena itu dalam melakukan suatu perbuatan hukum mereka diwakili oleh pengampunya ( curator).
32
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, Hal.73
Universitas Sumatera Utara
35
3) Suatu Hal tertentu ”Didalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur.” 33 Dalam hal ini undang-undang menentukan bahwa objek yang diperjanjikan haruslah dapat ditentukan, paling tidak jenisnya. Lebih lanjut Pasal 1333 KUH Perdata menjelaskan bahwa tidaklah menjadi halangan jumlah barang yang belum tentu, asal saja jumlah itu pada kemudian dapat ditentukan atau dihitung. ”Menurut M.Yahya tentang objek/prestasi perjanjian harus dapat ditentukan adalah suatu yang logis atau praktis. Tak akan ada arti dari perjanjian jika undang-undang tidak menentukan hal demikian.”34 ”Dengan demikian dapat dimengerti, agar perjanjian itu memenuhi kekuatan hukum yang sah, bernilai dan mempunyai kekuatan yang mengikat, prestasi yang menjadi objek perjanjian harus tertentu sekurang-kurangnya jenis objek itu harus tertentu.”35 4) Suatu Sebab Yang Halal Untuk sah nya suatu perjanjian, undang-undang mensyaratkan adanya kausa yang halal. Undang-undang tidak memberikan penjelasan tentang kausa, yang
33
A.Qiram Syamsuddin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Liberty, Yogyakarta,, 1985, Hal.10 34 M.Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, Hal. 10 35 Wiryono Projodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung, 1989, Hal.40
Universitas Sumatera Utara
36
dimaksud dengan kausa bukan hubungan sebab akibat, tetapi isi atau maksud dari perjanjian. ”Isi dari perjanjian pada hakikatnya mencerminkan tujuan atau maksud yang akan dicapai oleh para pihak. Maksud atau tujuan ini merupakan tafsir dari sebab (kausa).”36 ”Menurut Subekti, yang dimaksud dengan sebab atau kausa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.”37 Dalam bahasa yang praktis dapat dikatakan, menurut undang-undang suatu sebab yang halal itu apabila tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan. Dengan kata lain sebab atau kausa yang melahirkan perjanjian adalah suatu sebab atau kausa yang sah dan halal.38 Pengertian hubungan sewa menyewa diatur dalam Pasal 1548 Kitab UndangUndang Hukum Perdata yaitu : Sewa menyewa ialah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya. Dalam hubungan sewa menyewa yang menyewakan memberi hak pemakaian saja kepada penyewa dan bukan hak milik. Perjanjian sewa menyewa tidak memberikan suatu hak kebendaan, tetapi hanya memberi suatu hak perseorangan, terhadap yang menyewakan ada hak “persoonlijk” terhadap pemilik, akan tetapi hak orang yang menyewakan ini mengenai juga suatu benda, yaitu suatu barang yang disewakan39 Dari defenisi pasal 1548 Kitab Undang- undang Hukum Perdata dapat dilihat bahwa ada tiga unsur yang melekat, yaitu :
36
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, hal.27 Wiryono Prodjodikoro, Op.Cit hal.28 38 Ibid, hal.35 39 Ibid, hal.36 37
Universitas Sumatera Utara
37
1. Barang 2. Jangka waktu 3. Pembayaran Untuk menunjukan bahwa itu merupakan perjanjian sewa menyewa, maka penyewa yang diserahi barang yang dipakai, diwajibkan membayar harga sewa atau uang sewa kepada pemilik barang. Pada hakekatnya sewa menyewa tidak dimaksud berlangsung terus menerus, melainkan pada saat tertentu pemakaian dari barang tersebut akan berakhir dan barang akan dikembalikan lagi kepada pemilik semula, mengingat hak milik atas barang tersebut tetap berada dalam tangan pemilik semula. Walaupun dalam Pasal 1548 KUHPerdata dikatakan bahwa sewa menyewa itu berlangsung selama waktu tertentu, yang berarti bahwa dalam perjanjian sewa menyewa harus selalu ditentukan tenggang waktu tertentu, tetapi dalam perjanjian sewa menyewa itu dapat juga tidak ditetapkan suatu jangka waktu tertentu, asal sudah disetujui harga sewa untuk satu jam, satu hari, satu bulan, dan lain-lain. Jadi para pihak bebas untuk menentukan berapa lama waktu tersebut. Dalam praktek pada umumnya perjanjian sewa menyewa ini diadakan untuk jangka waktu tertentu, sebab para pihak menginginkan adanya suatu kepastian hukum. ”Dalam perjanjian sewa menyewa terdapat dua belah pihak yang selalu mengikatkan diri untuk berprestasi satu sama lain. Pihak inilah yang menjadi subjek
Universitas Sumatera Utara
38
sewa menyewa. Subjek sewa menyewa merupakan subjek hukum dan subjek hukum ini ada dua yaitu : orang pribadi dan badan hukum ”40. Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Menurut R.Suroso subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum berhak/ berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap bertindak dalam hukum, sesuatu pendukung hak (rechstbevoegdheid) dan merupakan sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban 41. Manusia bukanlah satu-satunya subjek hukum. Dalam lalu lintas hukum diperlukan sesuatu hal lain yang bukan manusia yang menjadi subjek hukum. ”Sudikno Mertokusumo menyatakan disamping orang dikenal juga subjek hukum yang bukan manusia yang disebut badan hukum. Badan hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu dapat menyandang hak dan kewajiban” 42 Dalam perjanjian sewa menyewa ditemui adanya sesuatu yang menjadi objek. Pada dasarnya apa yang menjadi objek sewa menyewa adalah apa yang merupakan objek hukum. Jadi objek sewa menyewa adalah objek hukum. ”Objek hukum (rechtsubject) adalah segala sesuatu yang bermanfaat dan dapat dikuasai oleh subjek hukum serta dapat dijadikan objek dalam suatu hubungan hukum”43 Dalam penelitian ini, yang menjadi objek perjanjian sewa menyewa adalah rumah. 40
Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perdata Tentang Perikatan, Fakultas Hukum USU, Medan, 1996, hal. 3 41 R.Suroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hal. 223 42 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1999, hal. 68 43 Ibid, Hal 69
Universitas Sumatera Utara
39
Dalam perjanjian sewa menyewa juga dikenal adanya wanprestasi, dan yang dimaksud dengan “wanprestasi adalah apabila seorang debitur tidak melakukan prestasi sama sekali atau melakukan prestasi yang keliru atau terlambat melakukan prestasi, maka dalam hal-hal yang demikian inilah yang disebut seorang debitur melakukan wanprestasi”.44 ”Wanprestasi atau cidera janji itu ada kalau seseorang debitur tidak dapat membuktikan, bahwa tidak dapat dilakukan prestasi adalah diluar kesalahannya atau dengan kata lain debitur tidak dapat membuktikan adanya “overmacht”.45 Jadi dalam hal ini debitur jelas bersalah. Wanprestasi dapat timbul dari dua hal : a). Kesengajaan, maksudnya perbuatan itu memang diketahui atau dikehendaki oleh debitur. b). Kelalaian, maksudnya debitur tidak diketahui adanya kemungkinan bahwa akibat itu akan timbul46. 2. Kerangka Konsepsi ”Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analistis” 47.
44
A.Qirom Syamsudin Meliala Pokok, -pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 26 45 Djohari Santoso dan Achmad Ali, Hukum Perjanjian Indonesia, Perpustakaan Fakultas Hukum Universiatas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1989, hal. 63 46 A.Qirom Syamsudin Meliala, Op.Cit, hal. 29 47 Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal 21
Universitas Sumatera Utara
40
Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi untuk dapat menjawab permasalahan penelitian, yaitu sebagai berikut : Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberi kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan berbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak (Pasal 1548 KUHPerdata). Perjanjian sewa menyewa merupakan perjanjian mana pihak yang satu dengan pihak yang lain mengikatkan dirinya dalam hal menyewakan kepada orang lain untuk memanfaatkan apa yang menjadi miliknya untuk atau dalam jangka waktu tertentu dengan kata lain, bahwa “perjanjian sewa ini satu pihak menginginkan kenikmatan suatu barang dan pihak lain menghendaki uang” 48. ”Sewa menyewa rumah adalah keadaan dimana rumah dihuni oleh bukan pemilik berdasarkan perjanjian sewa menyewa”49. ”Harga sewa adalah jumlah atau nilai baik dalam bentuk uang maupun dalaam bentuk lain yang telah disepakati oleh pemilik dan penyewa, dan oleh penyewa dibayar kepada pemilik sebagai pembayar atas penghunian dalam jangka waktu tertentu”50
48
Wardah Yuspin, Op.Cit hal. 7 Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 1994, Penghunian Rumah Oleh Bukan Pemilik, Pradnya Paramitha, Bandung, 2000, hal. 12 50 Ibid,hal 13 49
Universitas Sumatera Utara
41
”Pemilik adalah seseorang atau badan yang menempati atau memanfaatkan rumah secara sah, baik untuk tempat tinggal maupun untuk keperluan lain dalam rangka pengembangan kehidupan dan penghidupan keluarga”51. Undang- Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris, Pasal 1 huruf (1) juncto Pasal 15 ayat (2) Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta Pasal 1 angka 7 UUJN menguraikan defenisi dari akta Notaris sebagai akta otentik yang dibuat oleh/ dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Pengertian tersebut membawa konsekuensi bagi setiap Notaris dalam pembuatan akta agar memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam UUJN. Akta otentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata diartikan sebagai suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh/ dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk maksud tersebut, dan di tempat dimana akta tersebut dibuat. Menurut R. Subekti : Akta otentik merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar, selama ketidak benarannya tidak dibuktikan. Dan ia 51
Ibid, hal 14
Universitas Sumatera Utara
42
memberikan suatu bukti yang sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. Ia merupakan alat bukti yang mengikat dan sempurna52 Kekuatan pembuktian akta otentik, demikian juga akta Notaris, adalah akibat langsung yang merupkan keharusan dari ketentuan perundang-undangan bahwa ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh undang-undang kepada pejabat-pejabat atau orang-orang tetentu. ”Dalam pemberian tugas ini terletak kepercayaan kepada para pejabat tersebut dan pemberian kekuatan pembuktian kepada akta-akta yang dibuat mereka”53 G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian Meneliti pada hakekatnya berarti mencari, yang dicari dalam penelitian adalah kaedah, norma, Das sollen, bukan peristiwa, perilaku dalam arti fakta atau Das Sein. Penelitian ini bersifat Deskriptif analistis, artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan akta sewa menyewa rumah yang dibuat oleh Notaris. 2. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode peneltian yuridis normatif terutama untuk mengkaji peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekuatan hukum yang mengatur tentang akta sewa menyewa rumah. Terutama untuk mengetahui 52 53
R. Subekti (1), Op.Cit, hal. 27 G.H.S Lumban Tobing , Perturan Jabatan Notaris, Cetakan ke-5, Erlangga, Jakarta, 1999,
hal 2
Universitas Sumatera Utara
43
landasan legalitas yang ada telah memadai untuk mengatur hal tersebut , disamping itu untuk mendukung hasil penelitian ini agar lebih baik juga dilakukan dengan pendekatan secara yuridis empiris. ”Pendekatan empiris adalah penelitian dengan melihat kepada aspek hukum ditengah masyarakat”54. 3. Objek Penelitian dan Lokasi Penelitian Objek penelitian dalam tesis ini adalah akta sewa menyewa rumah yang di buat oleh Notaris. Dengan demikian, lokasi ini adalah di kantor Notaris di Kota Medan. 4. Sumber dan Data 1. Bahan utama dari penelitian ini adalah data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa : a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain berupa: 1. Peraturan Perundang-Undangan yang berhubungan dengan akta sewa menyewa rumah yang di buat oleh notaris. 2. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku seperti KUHPerdata. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain : Tulisan atau pendapatan para
54
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal.
89
Universitas Sumatera Utara
44
pakar hukum dibidang hukum pertanahan terutama mengenai akta sewa menyewa rumah yang dibuat oleh notaris. c. ”Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain : 1). Kamus besar bahasa Indonesia 2). Ensiklopedia Indonesia 3). Berbagai masalah hukum yang berkaitan dengan sewa menyewa 4). Kamus hukum 5). Surat kabar dan internet juga menjadi tambahan bagi penulisan yang ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan.55 2. Penelitian Lapangan Untuk melengkapi data yang ada maka dilakukan penelitian lapangan dengan menghimpun informasi dari nara sumber yang dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) agar lebih terfokus dan sistematis. 5. Tehnik Dan Alat Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : a. Studi kepustakaan (Library research) yang dilakukan dalam memperoleh data sekunder yang bertujuan untuk menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian. b. Data yang diperoleh dengan penelitian di lapangan dalam bentuk pengumpulan data skunder berupa akta sewa menyewa dari beberapa Notaris yang ada dikota Medan. 55
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI PRESS, Jakarta, 1986, Hal. 25
Universitas Sumatera Utara
45
Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : 1. Studi Dokumen Untuk memperoleh data skunder, maka perlu dilakukan studi dokumentasi yaitu : Dengan cara mempelajari berbagai peraturan dan teori yang ada hubungannya dengan objek atau permasalahan yang harus diteliti. 2. Wawancara Agar memperoleh data yang relevan dengan objek yng diteliti maka instrument yang utama adalah melalui wawancara, dimana dilaksanakan dengan daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya (wawancara berpatokan). Pedoman wawancara yaitu mengadakan serangkaian Tanya jawab secara lisan, bebas dan terstruktur dengan bentuk pertanyaan yang telah dipersiapkan mengenai masalah yang akan diteliti. Pihak-pihak yang akan diwawancarai meliputi Notaris. 6. Analisis Data Adapun kegiatan yang akan dilakukan dalam analisis data ini adalah : Setelah data primer dan data sekunder diperoleh, selanjutnya data tersebut diseleksi, disusun dan dianalisis secara kualitatif yaitu tanpa mempergunakan rumus-rumus statistik, data tersebut kemudian diterjemahkan secara logis sistematis dengan menggunakan metode deduktif sehingga kegiatan analisis ini diharapkan dapat menghasilkan kesimpulan yang sesuai untuk memberi jawaban dari permasalahan dan tujuan penelitian, serta disajikan dalam bentuk deskriptif.
Universitas Sumatera Utara