BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat Jawa dalam kehidupannya menghasilkan kebudayaan yang tercermin dalam perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, kehidupan manusia dan masyarakat Jawa sebagai makhluk sosial juga selalu dihadapkan dengan segala bentuk permasalahan hidup, sehingga manusia selalu dituntut mencari berbagai cara untuk mengatasinya. Salah satu permasalahan yang selalu dihadapi masyarakat adalah permasalahan kesehatan. “Kesehatan dan penyakit merupakan permasalahan utama yang dihadapi umat manusia sejak awal keberadaan umat manusia itu sendiri. Berbagai cerita mengenai penyakit selalu muncul dalam setiap peradaban masyarakat dari masa ke masa” (Prasetya, 2009:13). Penyakit dalam suatu masyarakat pun menjadi suatu ancaman manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidup
dari kelompoknya, akibatnya
berbagai pengetahuan timbul untuk merespon penyakit. Manusia sebagai makhluk yang berakal akan selalu mengembangkan pengetahuannya untuk menghadapi dan merespon permasalahan hidupnya termasuk permasalahan tentang kesehatan dan penyakit. Bentuk respon oleh manusia terhadap permasalahan penyakit dalam kehidupannya bermacam-macam, ada yang dipengaruhi oleh lingkungan, ideologi dan gagasan, serta nilai-nilai yang diyakini dalam suatu kelompok masyarakat. Kosmologi semacam inilah yang turut mempengaruhi etiologi dan respon penyakit dari suatu masyarakat1. Bentuk 1
Kosmologi Jawa menurut Endraswara, (dalam Triratnawati, 2011) adalah wawasan manusia Jawa terhadap alam semesta, dan yang difokuskan dalam penelitian ini adalah pengetahuan atau
1
respon masyarakat terhadap permasalahannya tersebut secara antropologi dipengaruhi oleh kebudayaan, baik kebudayaan material maupun kebudayaan immaterial. Manusia sadar akan adanya suatu alam dunia yang tidak tampak, yang ada di luar batas panca inderanya dan di luar batas akalnya. Frazer (dalam Koentjaraningrat, 1980:221; Syam, 2011:33) mengemukakan bahwa “manusia memecahkan soal-soal hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya, tetapi akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya” yang disebut dengan teori batas akal. Persoalan-persoalan hidup yang tidak dapat dipecahkan
dengan akal
kemudian dipecahkan dengan magic atau ilmu gaib, hal ini terutama terjadi pada masyarakat pedesaaan (tradisional). Pada masyarakat tradisional, khususnya masyarakat Jawa penyakit terbagi ke dalam penyakit dalam dan luar, sehingga dalam meresponnya pun akan berbeda. Menurut Geertz (1989:131-133) semua orang Jawa berpendapat bahwa ada dua jenis penyakit yang pokok: satu jenis yang bisa ditemukan sebab-sebab fisiknya dan bisa disembuhkan dengan pengobatan dokter yang dididik secara medis Barat; yang kedua adalah penyakit yang tidak bisa ditemukan sebab-sebab secara medis, tetapi si pasien masih saja sakit, ini merupakan jenis penyakit yang hanya mampu diobati oleh para dukun. Sebagaimana
yang
dikemukakan
oleh
Suseno
(2001:181)
bahwa
“umumnya masyarakat desa Jawa mengenal dukun, begitu pula yang ada di Desa Tanggulangin Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban. Di sana ada semacam dukun berjenis kelamin laki-laki yang biasanya disebut dengan istilah dongke.
kerangka berpikir masyarakat Jawa yang dipengaruhi oleh dunia mikrokosmos dan makrokosmos yang mempengaruhi gagasan, artefak, dan tindakan manusia Jawa. Khsusnya yang mempengaruhi pemanfaatan pengobatan tradisional kepada dongke.
2
Para dongke dipercaya mampu menyembuhkan penyakit. Dongke dikenal oleh masyarakat melalui informasi (Jawa: getok tular) dari beberapa pasien dongke. Di tengah perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, masyarakat Jawa [Desa Tanggulangin] masih mempercayai kekuatan supranatural di luar kemamuan manusia. Masyarakat percaya bahwa dunia manusia juga mempunyai ketergantungan dengan dunia supranatural. Dunia Jawa dimaknai sebagai keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Akibatnya, dalam konteks kesehatan, khususnya etiologi penyakit masyarakat mengenal sakit supranatural. Sakit akibat gangguan supranatural ini biasanya direspon masyarakat ke dukun (Tanggulangin: dongke). Selain dongke digunakan sebagai praktisi penyembuh dalam medis tradisional, masyarakat juga menggunakan jasa dongke untuk mengetahui hari-hari baik dalam suatu ritus adat, misalnya ritus perkawinan, khitanan, maupun acara lain yang dinilai masyarakat mempunyai nilai sakral. Seiring perkembangan zaman yang semakin ilmiah, modern, dan rasional serta banyaknya layanan kesehatan yang tersedia di Tuban. Ternyata tidak hanya masyarakat awam saja yang menggunakan jasa dongke sebagai praktisi penyembuh dan pemimpin ritual adat. Tokoh agama pun juga masih percaya dan menggunakan jasa dongke. Uniknya, dongke sebagai praktisi penyembuh menggunakan sistem numerologi/petungan sebagai basis perhitungan Jawa. Petungan yang digunakan oleh dongke untuk pengobatan berlandaskan pada hari dan weton menurut masyarakat Jawa. Petungan-petungan tersebut biasanya digunakan untuk mengetahui sumber atau agen penyakit dan menentukan bagaimana cara merespon penyakit berdasarkan jenis penyakit. Eksistensi dongke sangat bertentangan dengan dunia modern yang berlandaskan dengan rasionalitas
3
serta bertolak belakang dengan ikon masyarakat Tuban yang dikenal sebagai kota Wali2. Dari sisi lain, terdapat fenomena yang menarik tentang pengobatan medis tradisional dalam konteks kosmologi masyarakat terkait etiologi dan pengobatan sakit yang menggunakan basis petungan Jawa. Berbicara tentang pengobatan dongke, tidak hanya berbicara mengenai sistem medis pengobatan tradisional, tetapi juga terkait dengan sistem kepercayaan, tradisi, dan magis yang akan dianalisa dalam konteks kosmologi Jawa yang menganut model keseimbangan alam antara dunia mikrokosmos maupun makrokosmos. Alasan lain dilakukannya penelitian yang bertemakan etnomedisin, yaitu untuk menggali pengetahuan lokal yang berbasis pada komunitas. Hal ini sesuai dengan kebijakan pemerintah yang ingin mensurvei secara skala nasional untuk mengetahui kearifan lokal masyarakat (Tunggal, 2012). Wawasan sebagai pengetahuan
lokal
masyarakat
Tanggulangin
yang terekspresikan
lewat
pemanfaatan dongke menjadi salah satu kajian etnomedisin yang dimaksud pemerintah.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka dapat ditarik suatu rumusan masalah, yaitu mengapa animo masyarakat Desa Tanggulangin pergi berobat ke dongke masih tinggi, seiring perkembangan zaman yang semakin ilmiah, modern, dan rasional? Mengingat pula pembangunan kesehatan yang sudah mulai membaik.
2
Masyarakat Kabupaten Tuban dikenal dengan masyarakat yang banyak wali-nya, sehingga masyarakatnya diinterpretasikan sebagai masyarakat yang religius. http://jokolelonokosti.wordpress.com/2009/10/25/wisata-tuban-nan-agamis/ di unduh 26/10/2011.
4
Hal ini dapat terlihat dengan fasilitas rumah kesehatan dengan adanya rumah sakit dan puskesmas di Kabupaten Tuban. Merujuk pada rumusan masalah di atas, maka peneliti menguraikannya ke dalam beberapa pertanyaan penelitian yang berguna untuk menguraikan dan membantu menjawab rumusan masalah, yaitu: 1. Bagaimana pengetahuan lokal masyarakat Desa Tanggulangin mengenai sehat, sakit, dan penyebab sakit? 2. Bagaimana masyarakat mengidentifikasi dan merespon penyakit? Dan bagaimana pencegahan terhadap penyakit? 3. Pilihan rasional yang bagaimana yang mempengaruhi masyarakat pergi berobat ke dongke? Rumusan pertanyaan di atas disusun guna mengetahui pengetahuan lokal terkait pengobatan tradisional dalam konteks kosmologi Jawa. Kosmologi semacam inilah yang akan berusaha dibaca oleh peneliti dalam menganalisis tingginya fenomena masyarakat berobat ke pengobatan sistem medis tradisional (dongke). Selain itu, juga akan dikaitkan dengan perubahan dan pilihan rasional masyarakat dalam merespon sakit.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan utama dalam penelitian ini adalah menjelaskan tingginya animo pengobatan ke dongke dalam konteks kosmologi Jawa sebagai pengetahuan lokal yang dikaitkan dengan perubahan-perubahan dan pilihan-pilihan rasional yang terjadi di Masyarakat Desa Tanggulangin. Adapun sub tujuan penelitian yang akan dilakukan, yaitu sebagai berikut:
5
1. Mengungkap pemahaman masyarakat mengenai konsep sehat-sakit dan penyebab sakit di Tanggulangin. 2. Menjelaskan cara masyarakat mengidentifikasi dan merespon penyakit serta perilaku pencegahan penyakit. 3. Mendeskripsikan perubahan-perubahan sosial dan pilihan rasional masyarakat dalam melakukan pengobatan. Selain itu, tulisan ini merupakan kerangka yang berusaha menganalisis tindakan dalam konteks kosmologi berpikir masyarakat Tanggulangin. Penelitian ini tidak hanya sekedar mendeskripsikan dan mengetahui fenomena yang ada pada masyarakat Tanggulangin, tetapi lebih jauh akan bergerak untuk mengisi khasanah keilmuah (teoritis) dalam bidang antropologi kesehatan. Apabila kajian etnomedisin
biasanya
mengungkap
sisi
pengobatan
dari
dalam
(cara
pengobatannya/teknis), maka tulisan ini berusaha mencari kerangka berpikir mengapa masyarakat melakukan suatu tindakan dengan cara melihat etnomedisin tidak dari dalam, tetapi dari luar.
1.4 Tinjauan Pustaka Kepustakaan yang dibahas dalam tulisan ini merupakan literatur yang membahas etnomedisin, yang searah dengan apa yang akan dilakukan oleh peneliti. Kepustakaan sebagai data bukan berfungsi sebagai data duplikasi, tetapi sebagai bukti keorisinalitasan peneliti dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Beberapa hasil kajian entomedisin yang peneliti gunakan untuk menunjukkan keorisinalitasan tulisan, antara lain adalah karya Riyanto (1999) yang mengkaji konstruksi sosial budaya dukun pada masyarakat Banyuwangi. Riyanto
memfokuskan
kajiannya
tentang
bagaimana
masyarakat 6
menginterpretasikan seorang dukun, bagaimana seorang dukun memberikan makna terhadap dirinya sendiri (self image), dan strategi apa yang harus dilakukan agar kehadirannya diakui oleh masyarakat. Penelitian Riyanto menghasilkan simpulan dengan melihat perbedaan dukun modern dan tradisional dari cara pengobatan seperti strategi pengiklanan yang merupakan bagian dari pengobatan, interpretasi, dukun yang membangun relasi sosial, pemaknaan dukun terhadap dirinya sendiri terkait perannya sebagai penyembuh. Hal ini hampir sama pengamatan Suwarna dan Febriane, bahwa fenomena dunia penyembuhan alternatif-supranatural di era konsumsi seperti saat ini sangat mementingkan citra. Dulu, penyembuh identik dengan orang tua yang disebut “Mbah”, namun seiring dengan perkembangan media komunikasi yang semakin maju, tidak sedikit dari para pelaku atau praktisi penyembuh tradisional mulai membangun citra dirinya melalui radio dan televisi (TV). Hal ini terbukti dengan seringnya acara pada TV dan radio dengan siaran eksklusif pengobatan alternatif dengan praktisi yang mendapat julukan Jeng (Suwarna, Budi & Sarie Febria dalam Kompas.com, 2011). Sementara
studi
lain,
yaitu
Walcott
(2004:52-54)
memfokuskan
penelitiannya pada adanya faktor dalam pemilihan pengobatan seperti faktor ekonomi, kepercayaan, dan kebudayaan yang saling berpengaruh. Berbagai jenis pengobatan alternatif, pengobatan yang berdasarkan tumbuh-tumbuhan lebih mudah diterima. Hubungan diantara pengobatan alternatif dengan pengobatan modern tidak dianggap sebagai hubungan yang bersaing. Kajian etnomedisin yang paling banyak dikaji oleh peneliti di Indonesia adalah pengobatan tradisional yang pengobatannya memanfaatkan ramuan
7
tanaman yang banyak tumbuh di masyarakat Indonesia yang dijadikan sebagai jamu.
Kajian-kajian
tersebut
masih
belum
memperhatikan
kemampuan
supranatural orang yang melakukan penyembuhan. Pengkajian semacam itu, dapat dilihat dalam beberapa artikel tentang pengobatan yang ditulis diberbagai media seperti (Anonim, 1980:57-59; Lum, 1984:111; Supardi, Jamal, & Badan, 2005192-198; Prastika, 2011:1-18; Kuntorini, 2005:25-36; Limananti dan Triratnawati, 2003:11-20). Selain itu juga dapat ditemukan dalam buku Jawa Serat Centhini (Sudardi, 2002:13; Kasniyah, 1997). Beberapa kajian etnomedisin yang mencoba menggali pengetahuan lokal masyarakat dan kondisi praktisi sistem medis tradisional salah satunya dilakukan oleh Iskandar (2007) yang mengkaji pengetahuan sando tentang etiologi dan metode penyembuhan di Desa Pakuli Provinsi Sulawesi Tengah. Iskandar belum menggali pengetahuan lokal dengan mendalam, tetapi mengklasifikasikan praktisi sistem medis tradisional. Menurutnya ada dua tipe sando, yaitu sando perahu dan sando pengenalan. Sando perahu lebih konservatif terhadap perubahan pola-pola pengobatan (Jawa: duku tiban). Sementara sando pengenalan lebih terbuka untuk memodifikasi dan mengembangkan metode pengobatannnya. Deskripsi lain yang dapat saya interpretasikan adalah sebutan untuk sando bisa dianalogikan dengan dukun sebagaimana sebutan praktisi kesehatan pada masyarakat Jawa. Hal ini terlihat pada pendeskripsian Iskandar bahwa sando juga bisa mengobati patah tulang (sando koto atau mpeonju) dan menangani persalinan, ini mirip dengan dukun sangkal putung dan dukun bayi pada masyarakat Jawa. Selain itu, struktur masyarakat yang diteliti oleh Iskandar juga kurang dijelaskan di dalamnya. Menurut
saya,
kaitan
antara
struktur
sosial-budaya
masyarakat
akan
8
mempengaruhi pola pikir dan respon terhadap sistem sakit yang ada pada masyarakat (hubungan kausalitas), sehingga keberadaannya jangan diabaikan. Beberapa studi di atas, menurut peneliti masih belum mengungkap secara mendalam pengetahuan lokal terkait dengan konsep sehat-sakit, penyebab dan pencegahan sakit, cara masyarakat merespon dan mengidentifikasi sakit. Beberapa diantaranya belum ada yang menghasilkan etnografi yang mengkaitkan pengetahuan dan pilihan pengobatan dengan alam pikiran masyarakatnya (kosmologinya). Selain itu, penelitian tentang etnomedisin masih banyak yang membahas dari dalam (cara pengobatan/teknis), tidak melihat kosmologi berpikir mengapa masyarakat melakukan suatu tindakan. Kekosongan yang demikianlah yang akan berusaha peneliti ungkap melalui tulisan ini. Selain itu, yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang sebelumnya adalah upanya peneliti melihat perubahan pengetahuan lokal dan gejala penyakit yang menyerang pasien yang akan digali dengan konteks kekinian dan kelokalan. Selain itu, menurut Geertz elemen yang sangat terpenting dalam sebuah pengobatan tradisional adalah kondisi pemberi obat (condition of the performer) yang dikaitkan dengan etiologi penyakit masyarakat (Geertz, 1989:123-127). Hal inilah yang juga kurang diperhatikan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Dari penelitian-penelitian di atas, maka peneliti tertarik dan akan menganalisa lebih komprehensif
kajian etnomedisin dengan pendekatan
etnosains. Selain untuk melihat klasifikasi-klasifikasi, pendekatan ini juga untuk mengalisis pengetahuan lokal terkait pilihan rasional dalam pengobatan pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan.
9
Guna mendukung dan memberikan arah dalam penelitian, literatur tambahan dipakai untuk mempertegas dan menunjukkan keaslian penelitian yang akan dilakukan. Hal ini merupakan landasan berpijak peneliti ketika akan menguraikan hasil penelitian untuk dapat mendeskripsikan hubungan-hubungan yang terjadi dengan data yang diperoleh di lapangan, antara lain: 1.4.1 Sistem Medis Tradisional pada Masyarakat Jawa Sistem medis tradisional akhir-akhir ini lebih menarik perhatian dan mungkin lebih banyak yang memanfaatkannya dibanding masa-masa sebelumnya. Artinya bahwa akhir-akhir ini pengobatan tradisional ada kecenderungan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang menderita suatu penyakit. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional di tahun 2010 dan 2011 didapatkan bahwa pengobatan penyakit dari masyarakat yang terserang sakit dengan pengobatan sendiri baik pengobatan modern maupun tradisional sebanyak 68,41 % (2010:38) dan 68,70 % (2010:11). Sementara dari pengobatan yang dilakukan dengan cara medis tradisional sebanyak 22,26% di tahun 2008; 24,24% di tahun 2009; dan 27,58% di tahun 2010 (2011:149). Prosentase ini menunjukkan bahwa angka pengobatan yang dilakukan secara mandiri dan pilihan pengobatan medis tradisonal mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pengobatan dengan menggunakan sistem medis tradisional seperti inilah yang justru menjadi pilihan masyarakat. Menurut ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bahri, sebelum adanya pengobatan modern, masyarakat dulu memanfaatkan jasa dukun yang kemudian dikembangkan menjadi pengobatan alternatif. Pada zaman modern pun banyak juga masyarakat yang lebih mendahulukan berobat ke dukun daripada ke dokter. (Bahri, 2012).
10
Jauh sebelum mengenal dokter, masyarakat Indonesia sudah mengenal pengobatan tradisional. Djauzi (2011) menjelaskan, pada praktiknya di masyarakat, pengobatan tradisional terbagi ke dalam dua fungsi, yaitu pengobatan alternatif dan pengobatan komplementer dengan tujuan yang sama, yaitu untuk menjaga dan mendapatkan kesehatan masyarakat. Diterima atau tidak, nyatanya pengobatan alternatif hidup di tengah masyarakat. Hal ini juga didukung oleh ketidaksembuhan semua pasien yang pergi berobat ke medis modern (Suwarna, Budi dan Yulia Septhiani dalam Kompas.com, 2011). Lebih lanjut menurut Gould (dalam Sciortino, 1999:164) pengobatan tradisional masih didukung dan dipilih oleh masyarakat yang mempunyai tingkat sosial-ekonomi dan pendidikan yang lebih rendah. Sementara masyarakat yang mempunyai tingkat sosial-ekonomi dan pendidikan yang lebih tinggi lebih mendukung pengobatan biomedis. AhimsaPutra (dalam Triratnawati, dkk 2005:16) menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh dokter juga melengkapi apa yang dilakukan oleh kajian kesehatan dalam perspektif sosial-budaya, dan begitu pula sebaliknya. Pengobatan pada umumnya dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu pengobatan modern dan pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional yang ada sering disebut dengan berbagai macam istilah. Hal ini sangat tergantung pada kehidupan sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Kepustakaan antropologi mengistilahkan pengetahuan pengobatan tradisional disebut sebagai etnomedisin dengan praktisi yang disebut shaman (penyembuh). Sementara di beberapa daerah pengobatan yang dilakukan oleh praktisi tradisional misalnya di masyarakat Kaili disebut dengan sando, Jawa pada umumnya dengan dukun, Cina Shinsei, di India dengan tabib, begitu pula dengan masyarakat Tuban yang menyebutnya dengan
11
istilah dongke. Beberapa istilah lain yang sama dengan etnomedisin adalah pengobatan non-medis, pengobatan lokal, pengobatan alternatif, pengobatan pribumi, pengobatan non-barat, pengobatan asli Indonesia, pengobatan sistem medis tradisional (lihat, Sciortino, 1999: Triratnawati, 2005: Foster dan Anderson, 2006). Berdasarkan pengelompokannya, sistem medis tradisional yang ada pada masyarakat Desa Tanggulangin tergolong sistem medis lokal3. Sesuai dengan penyebutannya, sistem medis lokal hanya berkembang dan dikenal di dalam lokal atau daerah tertentu saja. Apabila ada persamaan dalam pemikiran dan praktik pengobatan antara pengobatan medis lokal satu dengan yang lainnya, lebih disebabkan pada temuan sendiri atau akibat adanya kontak budaya yang saling berpengaruh antara daerah satu dengan daerah yang lainnya. Sistem medis tradisional sebagai sistem medis lokal lahir tidak terlepas dengan etiologi penyakit dan alam pikiran masyarakatnya. Menurut Clement (dalam Soehardi, 2000:114) ada lima macam penyebab utama etiologi penyakit dalam masyarakat non-industri, yaitu tenung/santet (sorcery), hilang semangat (soul lost), melanggar tabu, gangguan benda berpenyakit, dan gangguan roh atau makhluk halus. Etiologi semacam ini dapat dijumpai pada masyarakat yang masih tradisional. Sementara menurut Foster dan Anderson (2006:63-64) membagi etiologi sakit menjadi dua, yaitu sebagai berikut: 1) Sistem-Sistem Personalistik
3
Lihat tulisan Joyomartono, 2003: 63) secara geografis dan setting budaya sistem medis dapat dikelompokkan dalam tiga gabungan, yang terdiri dari sistem medis lokal, sistem medis regional, dan sitem medis kosmopolitan.
12
Suatu sistem dimana penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi agen aktif berupa makhluk supranatural (dewa), makhluk bukan manusia (hantu, roh leluhur/roh jahat) maupun makhluk manusia (tukang sihir/tenung). 2) Sistem-Sistem Naturalistik Penyakit (illness) dijelaskan dengan istilah-istilah sistemik yang bukan pribadi. Sistem-sistem naturalistik, mengakui adanya suatu model keseimbangan, sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetap dalam tubuh, seperti panas, dingin, cairan tubuh (humor atau dosha), yin dan yang, dalam keadaan menurut usia dan kondisi individu dalam lingkungan alamiah dan sosialnya. Apabila keseimbangan ini terganggu, maka akan muncul penyakit. Selain di atas, maka Foster dan Anderson juga menambahkan sebab sakit akibat percampuran konsep personalistik dan konsep naturalistik, seperti jenis penyakit yang datangnya dari roh jahat yang menimbulkan gangguan pada keseimbangan cairan dalam tubuh (Bakta, 1991:189). Selain faktor antropologis, ternyata menurut Jones dan Bartlett, secara psikologis dan sosial juga dapat menyebabkan timbulnya sakit, misalnya stres yang dialami oleh manusia. Stres dapat meningkatkan denyut jantung, tekanan darah meningkat, tegangan otot meningkat, dan aktivitas metabolik meningkat (2004:4). Penyebab Stres ini dapat terjadi karena faktor organisasional, individu, dan lingkungan (2004:7). Bahkan dalam analisanya menyatakan di awal tahun 1970-an dari semua penyakit dan kesakitan yang terjadi, 60 % berkaitan dengan stres. Dari hasil temuan barunya sekitar 80 % semua masalah yang berkaitan dengan kesehatan disebabkan atau diperburuk dengan stres (2004:29). Sementara menurut Hendranata ada lima hal yang perlu diperhatikan untuk menjaga kesehatan, yaitu dengan menjaga
13
keharmonisan pikiran, perkataan, teman, lingkungan, dan pekerjaan (2005:8). Akibatnya tekanan karena stres juga mampu menjadi faktor penyebab kondisi kesehatan seseorang. Masyarakat Jawa menyebut penyakit sebagai akibat gangguan faktor supranatural atau personalistik sebagai penyakit “ora lumrah” atau “ora sabaene” (tidak wajar atau tidak biasa). Hal ini penyembuhannya berdasarkan pengetahuan secara supernatural, misalnya melakukan upacara dan sesaji. Upacara ini dimaksudkan untuk menetralisir atau membuat keseimbangan agar sebab sakit dapat dikembalikan pada asalnya, sehingga orang tersebut sehat kembali. Sementara konsep naturalistik, penyebab penyakit bersifat natural dan mempengaruhi kesehatan tubuh, misalnya karena cuaca, iklim, makanan, racun, bisa, kuman atau kecelakaan. Di samping itu ada unsur lain yang mengakibatkan ketidakseimbangan dalam tubuh, misalnya dingin, panas, angin atau udara lembab. Oleh masyarakat Jawa hal ini biasa disebut dengan penyakit “lumrah” atau biasa. Masyarakat Jawa sangat menjaga keseimbangan alam, antara dunia makrokosmos dan mikrokosmos. Keseimbangan ini dijaga dengan berbagai aktivitas, baik dalam ranah ide, maupun dengan serangkaian aktivitas, seperti ritual religi. Keharmonisan alam dan tubuh manusia akan tetap seimbang apabila manusia selalu menjaga energi keharmonisan alam dengan badan, jiwa, dan hati (emosi). Menurut Hendranata keseimbangan merupakan penyembuhan alami ketika manusia mengalami kesakitan, selain karena alam pula manusia memperoleh peristiwa sakit (2005:12). Keseimbangan ini telah lama terbentuk dalam masyarakat Jawa dalam konteks kosmologi masyarakat Jawa. Hal
14
terpenting yang tidak bisa ditinggalkan adalah pengetahuan masyarakat itu sendiri tentang pemahaman sehat-sakit, penyebab sakit, dan pemaknaannya terhadap lingkungan (alam dan sosial). Menurut Galanti (2008:21) terdapat 3 model penyakit yang disebut dengan health belief models yang diidentifikasi oleh ahli antropologi kesehatan, yaitu magico reliogius model, biomedical model, dan holistic model. Berdasarkan ketiga model tersebut, maka pengobatan yang dilakukan dongke termasuk pada magico religius model (penyakit dilihat sebagai akibat religi, melanggar tabu, melawan dewa, yang ditafsirkan oleh pihak ketiga) dan holistic model (penyakit terjadi karena adanya ketidakseimbangan). Magico reliogius dan holistic model, juga menjadi ciri model penyakit bagi negara-negara yang sedang berkembang, termasuk pedesaan Jawa, dibandingkan biomedical model yang dominan di negara maju. Pengetahuan tentang pengobatan sistem medis tradisional dalam pelaksanaannya bisa bersifat umum dan khusus. Kategori umum pengetahuan pengobatan bisa dilakukan sendiri, seperti apabila sedang masuk angin maka pengetahuan akan pengobatan sakit itu cukup dengan kerokan atau minumminuman dari obat-obatan tradisional yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan (Triratnawati, 2005; Hull, 1979; www:http//Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995). Sedangkan pada kategori khusus, gejala atau penyakit yang diderita dalam pengobatannya tidak bisa dilakukan sendiri atau sembarang orang. Dalam hal ini, maka biasanya masyarakat Jawa pergi berobat kepada praktisi pengobatan sistem medis tradisional yang disebut dengan dukun.
15
Pernyataan ini seperti apa yang sudah dijelaskan oleh Koentjaraningrat dalam Purwadi dan Geertz 4. Pengobatan dukun juga dikenal
konsep cocog-kesesuaian-yang begitu
penting dalam ramalan, angka memainkan peranan penting juga di sini. Seorang dukun yang terkenal dan pintar belum tentu mampu mengobati pasien, ini artinya ia tidak cocog. Seseorang apabila terserang sakit, ia mencoba dukun demi dukun sampai kepada dukun yang benar-benar mampu menolongnya (Geertz, 1989:122123). 1.4.2 Konsep Sehat, Sakit, dan Sembuh 1.4.2.1 Konsep Sehat Konsep “sehat” dapat diinterpretasikan orang berbeda-beda, berdasarkan komunitas dan pengalaman medis modern (peneliti) dan masyarakat. Sehat berdasarkan pendekatan oleh peneliti, sebagaimana yang yang dikemukakan oleh Linda Ewles & Ina Simmet (dalam Dumatubun, 2002:46) mencakup 6 kompunen, yaitu: konsep sehat dilihat dari segi jasmani, mental, emosional, sosial, aspek spiritual, dan societal.
4
Koentjaraningrat (dalam Purwadi, 2004:13) mengemukakan bahwa dukun mempunyai arti sangat luas. Bukan hanya orang yang ahli dalam ilmu pengetahuan saja yang mendapat sebutan seperti itu, tetapi juga orang yang menjalankan praktik penyembuhan tradisional, ilmu gaib, dan ilmu sihir. Sebutan dukun bahkan tidak hanya untuk orang yang melakukan aktivitas ilmu gaib saja, melainkan juga untuk orang yang ahli dalam membantu wanita pada waktu melahirkan, yaitu dukun bayi, ahli pijat yang disebut ahli pijat, ahli sunat yang dinamakan dukun calak, atau ahli rias pengantin yaitu dukun paes. Geertz (1989:116) yang menyatakan bahwa ada beberapa dukun: yaitu meliputi dukun bayi, dukun pijet, dukun prewangan (medium), dukun calak (tukang sunat), dukun wiwit (ahli upacara panen), dukun temanten atau ahli upacara perkawinan, dukun petungan (ahli meramal, dengan angka), dukun sihir atau juru sihir, dukun susuk (spesialis yang mengobati dengan menusukkan jarum emas di bawah kulit), dukun japa (tabib yang mengandalkan mantra), dukun jampi (tabib yang menggunakan tumbuh-tumbuhan dan berbagai obat asli), dukun siwer spesialis dalam mencegah kesialan alami (mencegah hujan kalau orang sedang mengadakan pesta besar, mencegah supaya piring tidak pecah pada pesta dan sebagainya), dukun tiban, tabib yang kekuatannya temporer dan merupakan hasil dari kesatuan roh.
16
Konsep sehat yang dikemukakan oleh Wold Health Organization (WHO) maka itu berarti bahwa: Sehat itu adalah “a state of complete physical, mental, and social well being, and not merely the absence of disease or infirmity” (WHO dalam Dumatubun, 2002:46-47). Pada dimensi ini jelas terlihat bahwa sehat itu tidak hanya menyangkut kondisi fisik, melainkan juga kondisi mental dan sosial seseorang. Rumusan yang relativistik mengenai konsep ini dihubungkan dengan kenyataan akan adanya pengertian dalam masyarakat bahwa ide kesehatan adalah sebagai kemampuan fungsional dalam menjalankan peranan-peranan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Helman (dalam Joyomartono, 2003:12) pada masyarakat non industri pada umumnya mengartikan sehat sebagai suatu keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan supranatural. Sementara pada masyarakat Barat, kondisi sehat diartikan mencakup aspek-aspek fisik psikologis dan perilaku. Hal ini juga senada dengan hasil penelitian Dumatubun (2002:47) bahwa seseorang secara medis modern dinyatakan tidak sehat, tetapi masih dapat melakukan aktivitas sosial lainnya, ini berarti orang tersebut dapat menyatakan dirinya sehat. Jadi kondisi seseorang dapat dikatakan sakit tergantung parameter yang digunakan, sebab persepsi seseorang terhadap kondisi kesehatannya dipengaruhi oleh kebudayaannya. 1.4.2.2 Konsep Sakit Menurut Supardi dan Susyanty, keluhan sakit (illness) berbeda dengan penyakit (disease). Pengertian sakit berkaitan dengan gangguan psikososial yang dirasakan seseorang dan bersifat subjektif, sedangkan pengertian penyakit berkaitan dengan gangguan yang terjadi pada organ tubuh berdasarkan diagnosis
17
medis dan bersifat objektif. Hal ini senada dengan Sarwono bahwa penyakit (disease) diartikan sebagai gangguan fungsi fisiologis dari suatu organisme sebagai akibat terjadinya infeksi atau tekanan dari lingkungan, jadi penyakit itu bersifat obyektif. Sebaliknya sakit (illness) adalah penilaian individu terhadap pengalaman menderita suatu penyakit (Sarwono, 1993:31). Fenomena subjektif ini ditandai dengan perasaan tidak enak. Sementara menurut Hardon dalam (Triratnawati, 2005:161-162) menjelaskan bahwa disease, illness, dan sickness itu berbeda. Disease merupakan problem kesehatan yang didefinisikan oleh ahli kesehatan, illness menunjuk pada pengalaman pasien, dan sickness adalah peran sosial yang melekat pada penderita yang mengalami masalah kesehatan dan peran itu dipengaruhi oleh masyarakat pada umumnya. Menurut Koos (Foster dan Anderson, 2006:173) “Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kelas sosial, perbedaan suku bangsa, dan budaya”5. 1.4.2.3 Konsep Sembuh Banyak dari masyarakat yang ketika terserang sakit menginginkan cepat sembuh. Akibatnya ketika gejala sakit menyerang, individu yang terserang sakit langsung meresponnya sesuai dengan gejala sakit yang dirasakannya (Sudiyanto, 2009:1). Menurut teori health belief model menyatakan bahwa seseorang akan mencari atau melakukan tindakan untuk menyembuhkan penyakit jika dia benarbenar merasa terancam oleh suatu penyakit (Sarwono, 2004).
5
Menurut Hendranata (2005:8) stres dan gaya hidup juga mempengaruhi kondisi kesehatan seseorang.
18
Secara umum menurut Sorensen (2009) kriteria kesembuhan terbagi menjadi tiga, yaitu kesembuhan sosial, psikologis, dan medis. Secara rinci tentang uraiannya, yaitu: 1. Kesembuhan sosial berhubungan dengan penerimaaan oleh masyarakat di mana seseorang hidup. Jika orang-orang di sekitar tidak mempunyai suatu masalah dengan penderita, hal itu sudah menunjukkan bahwa penderita sudah mencapai kesembuhan sosial. Kita menjadi anggota yang produktif dari masyarakat dan bisa berperan untuk struktur sosial dalam struktur masyarakat. Artinya individu yang sebelumnya sakit dan tidak mampu menjalankan peran sebagaimana mestinya, sudah sehat dan mampu menjalankan peran-peran sosialnya di dalam masyarakat. 2. Kesembuhan psikologis dapat tercapai ketika seseorang yang setelah sakit mampu menjadi pendengar yang baik bagi orang yang berada di sekelilingnya. Selebihnya kesembuhan dapat dirasakan ketika pasien bisa tidur nyenyak karena merasa badannya enak dan ringan. 3. Kesembuhan medis merupakan salah satu kategori kesembuhan yang menggunakan standar yang pasti. Standar yang digunakan jelas, yaitu berdasarkan diagnosa uji laboratorium dengan menggunakan gejala dan tanda dari dunia medis modern. 1.4.3 Praktisi Penyembuh dalam Pengobatan Tradisional Berdasarkan
etiologi
penyakit,
maka
terdapat
beberapa
praktisi
penyembuh menurut Linda-Stone (dalam Bakta 1991:184), yaitu shaman, ahli ramuan, dan pengobatan tradisional lain seperti dukun beranak, dukun patah tulang, dan dukun pijat. Praktisi penyembuh pada masyarakat Jawa sering disebut
19
dengan dukun. Menurut Kasnodihardjo (2005:58), ada beberapa kategori dukun yang secara tradisional umumnya dikenal atau dianggap dapat menyembuhkan penyakit, yaitu: dukun bayi, dukun pijat, dukun klenik, dan dukun mantra. Jenis terapi tradisional dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori besar. Kategori pertama, terdiri dari terapi teknis-sekuler yang menggunakan „ilmu lahir‟ (ilmu luar, teknis atau alami) seperti pengobatan mandiri dengan jamu-jamuan dan pijit serta dukun bayi, dukun atau tukang pijat, dan penjual jamu. Semua spesialis ini menerapkan metode-metode pengobatan yang bersifat teknis ketika melakukan pengobatan. Kategori kedua, terdiri dari terapi-terapi yang menggunakan „ilmu batin; (ilmu spiritual) seperti dukun „prewangan‟ dan dukun kebatinan. Pengobatan selalu menggunakan kekuatan batin si dukun atau pembantu supernaturalnya meskipun dapat pula dokombinasikan dengan praktik yang bersifat teknik seperti pijit atau jamu-jamuan. Agar mampu melakukan pengobatan semacam ini, seseorang harus mempunyai pengetahuan yang melampaui pemahaman rasional mengenai dunia nyata melalui meditasi dan puasa (Sciortino, 1999). 1.4.4 Perubahan Sosial dan Perubahan Pilihan-Pilihan Rasional Masyarakat dalam Pengobatan Sebelum masyarakat mengenal pengobatan medis modern, masyarakat sudah mengenal dan memanfaatkan sistem medis tradisional6. Namun seiring dunia yang semakin modern dan berbagai penemuan dalam teknologi, telah banyak mempengaruhi sistem medis itu sendiri yang mendorong pada
6
Djauzi (2011) ibid
20
perkembangan medis modern. Perubahan ini disambut positif oleh masyarakat, sehingga mendorong pengobatan medis modern berkembang dengan pesat. Dengan
adanya
perubahan-perubahan
ini,
maka
mengakibatkan
pengobatan medis modern dipandang lebih ampuh, ilmiah, dan rasional apabila dibandingan dengan pengobatan sistem medis tradisional. Kecenderungan yang pertama dialami oleh negara-negara maju. Sementara di negara-negara yang sedang berkembang, meskipun sudah ada pembangunan medis modern, namun pengobatan tradisional tidak dapat dipandang sebelah mata. Di Indonesia sebagai negara yang sedang bekembang, pembangunan yang demikian mengakibatkan masyarakatnya dihadapkan pada pilihan-pilihan, khususnya masyarakat pedesaan Jawa. Satu posisi masih menggunakan medis tradisional, tetapi juga menggunakan teknik komplementer dengan medis modern7. Pilihan-pilihan yang mendua ini dipengaruhi perubahan sosial dan pilihan rasional yang dihubungkan kondisi dari masyarakat untuk mencapai tujuannya8. Kondisi yang demikian karena masyarakat sedang mengalami perubahan, dari tradisional9 menuju modern. Namun sebelum mencapai suatu masyarakat yang modern, terlebih dahulu
7
Suwarna, Budi dan Yulia Septhiani dalam Kompas.com, 2011; Sciortino, 1999:164; AhimsaPutra (dalam Triratnawati, dkk 2005:16) menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh dokter juga melengkapi apa yang dilakukan oleh kajian kesehatan dalam perspektif sosial-budaya, atau sebaliknya. 8 Kimin menjelaskan bahwa obat baru sebagai produk dari dunia rasional belum tentu menjamin aman bagi konsumennya. „Jangan abaikan obat lama, dan jangan anggap obat yang baru beredar sebagai obat paling baik,” demikianlah nasihat ahli farmakologi yang sering dikumandangkan. Pendapat ini untuk menggugah masyarakat agar lebih rasional dalam mengkonsumsi obat. Dari hal ini masyarakat mulai beralih ke tradisional-komplementer. 9 Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama, ditandai masyarakat yang masih tergantung dengan alam, dan berorientasi pada masyarakat kota [modern].
21
masyarakat akan mencapai suatu titik yang dinamakan sebagai masyarakat transisi10 (Ifzanul, 2009). Menurut Sulistiana (2011) model teori pilihan rasional melihat individu dalam latar belakang sosial dan membuat pilihan tindakan atau keputusan berdasarkan kepercayaan dan tujuan. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa model pilihan rasional menyediakan aturan berdasarkan pengalaman dan praktek atau petunjuk praktis, ”rule of thumb” tentang bagaimana (mekanisme) suatu tindakan itu dipilih. Teori ini melihat penentuan pilihan sebagai sebuah proses untuk mengoptimalkan dan mengefisienkan tujuan11. Lebih lanjut Heckathorn (dalam Sulistiana, 2011) juga menjelaskan bahwa teori pilihan rasional mempunyai struktur umum yang mencakup terminologi teoritik yaitu, sebagai berikut; (1) sekumpulan aktor yang berfungsi sebagai pemain dalam sistem, (2) Alternatifalternatif yang tersedia bagi masing-masing aktor, (3) Seperangkat hasil yang mungkin diperoleh dari sejumlah alternatif yang tersedia bagi aktor, (4) Pemilihan kemungkinan hasil oleh aktor, dan (5) Harapan aktor terhadap akibat dari parameter-parameter sistem. Coleman menjelaskan orientasi pilihan rasional bahwa "orang-orang bertindak untuk mencapai tujuan yang dibentuk oleh nilai-nilai atau preferensi", tetapi Coleman kemudian berpendapat bahwa untuk kebanyakan tujuan teoritis, ia
10
Masyarakat transisi ialah masyarakat yang mengalami perubahan dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lainnya. Misalnya masyarakat pedesaan yang mengalami transisi ke arah kebiasaan kota, yaitu pergeseran tenaga kerja dari pertanian, dan mulai masuk ke sektor industri. Dengan ciri mengalami perubahan ke arah kemajuan, adanya pergeseran dalam bidang tertentu, dan biasanya terjadi pada masyarakat yang sudah memiliki akses ke kota melalui jalan raya. 11 Roen (2011) yang menjelaskan bahwa aktor merupakan manusia yang mempunyai tujuan dan tindakannya tertuju pada upaya mencapai tujuan itu. Gagasan dasarnya ialah “tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi). Selanjutnya, ia pun berargumen bahwa untuk sebagian besar tujuan teoritis, dihubungkan juga dengan ekonomi, yakni aktor akan memaksimalkan keuntungan atau pemuasan kebutuhan dan keinginannya.
22
akan memerlukan konseptualisasi yang lebih tepat terhadap aktor rasional yang berasal dari ekonomi, yang melihat aktor yang memilih tindakan-tindakan itu yang akan memaksimalkan utilitas, atau kepuasan kebutuhan dan keinginan mereka. Bagi Coleman bahwa teori rasional juga sangat dipengaruhi oleh proses internalisasi keluarga, sehingga proses pilihan rasional juga secara tidak langsung akan dipengaruhi oleh cara berpikir yang sudah ditanamkan dari kecil oleh anggota
keluarga.
Coleman
melihat
internalisasi
norma-norma
sebagai
pembentukan sistem sanksi internal; orang memberi sanksi dirinya sendiri bila mereka melanggar norma. Oleh karena itu, demi kepentingan satu set aktor untuk meminta yang lain menginternalisasi norma dan dikendalikan oleh mereka. Dia merasa bahwa ini adalah rasional "ketika upaya tersebut dapat efektif untuk mencapai tujuan (dalam Sulistiana, 2011).
1.5 Landasan Teori Pendekatan yang akan digunakan untuk menganalisa pengetahuan lokal pada masyarakat Desa Tanggulangin adalah pendekatan etnosains. Peneliti menggunakan pendekatan etnosains untuk mengungkap pengetahuan lokal mengenai sistem medis tradisional yang mengacu pada rumusan masalah di atas. Hal ini dilakukan, karena selama ini dalam sistem pengobatan masih mengabaikan sistem pengetahuan lokal terutama yang berangkat dari perbedaan konsep sehatsakit yang berimplikasi pada cara pengobatannya. Sistem pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan lokal tineliti tentang praktik pengobatan dongke sebagai pengobatan sistem medis tradisional. Dengan kajian ini, maka peneliti akan menggali secara mendalam dan komprehensif mengenai permasalahan penelitian. Melalui pendekatan ini pula, akan memperoleh hasil 23
penelitian yang bersifat komprehensif dan mempunyai representasi yang tinggi terhadap hasil etnografi. Pada kajian antropologi, pendekatan etnosains berasal dari pendekatan fenomenologi yang dalam penjelasannya menggunakan model linguistik. Menurut Warner dan Fento (dalam Ahimsa-Putra, 1985:110) mengenai istilah etnosains sendiri ada yang menyebutnya dengan “the new ethnography”, cognitive anthropology”, dan “ethnography semantic” serta “descriptive semantics”. Sementara kata ethnoscience secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, ethnos yaitu bangsa, dan kata Latin scientia, pengetahuan. Maksudnya dalam kajian ini yang lebih ditekankan adalah pengetahuan lokal dari tineliti dengan tujuan menggali pengetahuan lokal mengenai hal tertentu yang dipandang unik dan khas yang berbeda dari sistem masyarakat yang lainnya. Ahimsa-Putra (1985) mempertegas bahwa etnosains merupakan pendekatan antropologi
yang
menekankan makna yang menghasilkan klasifikasi-klasifikasi yang berusaha mengetahui sistem pengetahuan yang mendasari tingkah-laku individu dalam masyarakat. Hal ini senada dengan pendapat Marzali (dalam Spradley, 1997). Oleh sebab itu, etnosains merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu komunitas budaya12. Darmana mengatakan bahwa pendekatan etnosains itu mempelajari atau mengkaji sistem pengetahuan dan tipe-tipe kognitif budaya tertentu yang menekankan pada pengetahuan asli dan khas dari suatu komunitas budaya (Darmana, 2008:4). Kajian etnosains, tidak lagi memandang budaya dari aspek peneliti, melainkan berlandaskan pengalaman empiris. Budaya diangkat 12
Etnosains akan memusatkan usahanya untuk menemukan bagaimana masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan.
24
berdasarkan pendapat dari pemilik budaya, tanpa campur tangan peneliti yang berarti. Peneliti tidak bermaksud menilai atau mengeklaim apakah pandangan mereka benar atau salah, tepat atau tidak tepat menurut pandangan luar (outsider), tetapi mencoba memahami dan menjelaskan pandangan-pandangan masyarakat yang diteliti (insider). Tugas peneliti lebih ke arah menjelaskan kepada publik tentang pandangan-pandangan mereka. Peneliti bertugas mensistematiskan pandangan mereka ke dalam bentuk laporan hasil penelitian (Ahimsa-Putra, 1985:104-111; Darmana, (2008:5). Penutur penduduk asli kemungkinan akan mengungkapkan bahasa asli dan keyakinan asli dengan pengetahuan yang dimilikinya, itulah yang diangkat oleh peneliti. Peneliti sependapat dengan Ahimsa-Putra (1997:55) mengenai pengungkapan makna dari tineliti yang diungkap dengan wawancara, memahami kategori lingkungan dan aturan sebab makna tersebut tersimpan dalam bahasa. Maka yang akan peneliti lakukan adalah mengadakan observasi dan wawancara dengan tineliti terkait masalah yang akan disajikan dalam tesis ini.
1.6 Metode Penelitian 1.6.1.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada masyarakat Desa Tanggulangin, Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Alasan peneliti tertarik kajian ini, karena banyaknya peneliti yang mengabaikan cara pikir masyarakat yang mendorong dilakukannya pengobatan. Terutama dalam konteks kosmologi dari masyarakat lokal, khususnya Jawa (Tanggulangin). Hal yang juga kurang diperhatikan adalah pengungkapan secara mendalam pengetahuan lokal terkait konsep sehat-sakit, etiologi penyakit yang mempengaruhi pilihan berobatan. 25
Kalaupun ada hasil penelitian yang menggali konsep sehat-sakit, tetapi masih sangat jarang yang menghubungkannya dengan etiologi sakit dan pemilihan sumber pengobatan pada masyarakat lokal. Selain itu, etnomedisin yang ada di Kabupaten Tuban masih dapat dikatakan belum tersentuh oleh para peneliti sebelumnya. Kajian ini menjadi menarik ketika mampu menjadi pembeda dan melengkapi literatur tentang etnomedisin itu sendiri. Terlebih ketika dihubungkan dengan berbagai perubahan dan pilihan-pilihan rasional masyarakat dalam mencari pengobatan yang akan dianalisa dari luar (tidak melihat teknis pengobatan yang dilakukan oleh dongke). Berdasarkan hasil pengamatan bulan Januari 2012, masih banyak masyarakat yang masih memanfaatkan dongke sebagai tenaga medis tradisional dalam menangani sakit yang diderita masyarakat. Penelitian ini, selain dilakukan pada tataran masyarakat, juga dilakukan di instansi pemerintah lokal, dalam hal ini adalah aparatur Desa Tanggulangin seperti kepala desa dan kaurnya. Pengumpulan data secara resmi dilakukan pada bulan Januari 2013 sampai Maret 2013. 1.6.1.2 Pemilihan Informan Pemilihan informan penting dilakukan agar data yang didapat nantinya sesuai dengan tujuan penelitian serta bisa mendeskripsikan jawaban atas permasalahan penelitian. Berdasarkan rumusan masalah penelitian, informan terdiri atas (1) pasien yang memanfaatkan jasa dongke dan dongke, (2) aparatur pemerintah lokal, dan (3) masyarakat secara umum yang tahu tentang pengobatan dongke, termasuk yang berobat ke sistem medis modern.
26
1.6.1.3 Pengumpulan Data Analisa yang digunakan mengacu pada pendekatan etnosains yang memfokuskan pada sistem pengetahuan yang mendasari perilaku dan maknamakna yang diberikan oleh individu terhadap tindakannya dan juga terhadap sistem klasifikasi yang ada pada masyarakat. Atas dasar pertimbangan itu, maka penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kualitatif. Menurut Ahisam-Putra data kualitatif (2005),13 merupakan data yang berupa pernyataanpernyataan mengenai isi, sifat, ciri, keadaan, antara sesuatu dengan sesuatu lain. Data kualitatif ini biasanya mengenai nilai-nilai, norma-norma, dan aturan-aturan; kategori-kategori sosial dan budaya; ceritera; percakapan; pola perilaku dan interaksi sosial; organisasi sosial; dan lingkungan fisik. Secara garis besar, data kualitatif dapat digali dari sumber data primer (melalui observasi partisipasi dan wawancara) dan data sekunder (sumber pustaka tertulis dan dokumentasi). Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan yang menekankan pada pengetahuan dan pengalaman lokal tineliti. Terkait hal ini, maka peneliti melakukan wawancara kepada masyarakat, pasien, dan dongke serta para aparatur desa setempat. Studi ini menggunakan metode pengumpulan data kualitatif yang akan dioperasikan melalui analisis deskriptif. Secara fundamental, dapat dikatakan bahwa sebuah deskripsi adalah representasi objektif terhadap fenomena yang dikaji. Oleh karena itu, peneliti harus mengontrol diri untuk tidak bertindak terlalu subjektif. 13
Ukuran data kualitatif adalah logika dalam menerima atau menolak sesuatu yang dinyatakan berupa kalimat, yang dirumuskan setelah mempelajari sesuatu itu secara cermat. Data kualitatif tidak memiliki pembanding yang pasti, karena kebenaran yang ingin dibuktikan bersifat relatif. Bentuknya dapat berupa pandangan atau pendapat, konsep-konsep, keterangan, kesan-kesan, tanggapan-tanggapan dan lain sebagainya tentang sesuatu atau keadaan yang berkaitan dengan kehidupan manusia (Hadari Nawawi dalam Dzulkarnain, 2006).
27
Bagi antropolog, melakukan penelitian merupakan kerangka menuju pembuatan etnografi. Menurut Geertz (1973:6) mengerjakan etnografi dapat dilakukan dengan menetapkan hubungan-hubungan, menyeleksi informan, menafsirkan teks-teks, menarik hubungan genealogis, memetakan lapangan, menulis buku harian sebagai usaha untuk mendapatkan deskripsi yang mendalam. Berdasarkan hal ini, maka peneliti mengerjakan etnografi berdasarkan studi tentang manusia dalam setting yang berlangsung secara wajar, maka penelitian dilakukan dengan ikut berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat guna melihat, mendengar, dan bertanya kepada seseorang (wawancara). Secara rinci, tahap-tahap pengumpulan data dapat dilakukan sebagai berikut: tahap awal, yaitu studi pustaka. Pemfokusan penelusuran sumber sekunder sebagai data pendukug tesis, yaitu mengenai pengobatan tradisional. Pencarian data yang dimaksud dapat diperoleh dari jurnal, buku, surat kabar, skripsi, tesis, disertasi, dan internet. Sebagai studi etnografi maka pergi ke lapangan untuk mendapatkan data dari informan langsung (data primer) mutlak dilakukan, dengan melakukan kerja lapangan. Hasil dari kerja lapangan ini kemudian dibandingakan hasil studi pustaka yang sudah diperoleh. Tahap kedua, yaitu observasi. Peneliti mengobservasi kondisi geografis, sosial, ekonomi, dan budaya tineliti. Selain itu juga memfokuskan keadaan (sosial, ekonomi, dan pendidikan) dari perilaku pasien dongke. Sementara dari praktisi dongke juga diobservasi terkait perilaku praktik penyembuhan dan saranaprasarana yang digunakan sebagai media penyembuhan. Perolehan data melalui tahap ini, peneliti lakukan dengan berinteraksi dengan masyarakat lokal yang diteliti, karena peneliti tinggal bersama dengan tineliti. Selama melakukan
28
penelitian, peneliti juga melakukan beberapa hal yang biasanya masyarakat lakukan, sehingga penelitian ini dapat dikatakan sebagai penelitian yang menggunakan teknik partisipasi observasi. Waktu pengumpulan data, peneliti melakukan teknik observasi sekaligus wawancara (terbatas). Maksudnya, ketika melakukan pengamatan juga kadang diselingi dengan pertanyaan kepada masyarakat terkait dengan penampakan fenomena sosial budaya yang terkait dengan kondisi masyarakat dan pengobatan medis tradisional yang dilakukan oleh dongke. Pada tahap ini, peneliti masih terfokus pada pengamatan saja, namun dari apa yang peneliti dapatkan selama observasi juga bisa dimanfaatkan oleh peneliti sebagai bahan penelitian (wawancara) selanjutnya. Tahap ketiga, yaitu wawancara. Beradasarkan kajian dan data yang diperoleh dari tahap di atas, maka peneliti selanjutnya melakukan wawancara mendalam kepada masyarakat, pasien, dan dongke sebagai praktisi sistem medis tradisional. Sistem wawancara yang peneliti gunakan, mengacu pada satu prinsip saturation. Apabila data yang diperoleh dari informan sudah tidak memberikan kebaruan informasi atau sudah jenuh, maka wawancara dihentikan karena sudah dianggap cukup (Schensul, Schensul, & LeCompte, 1999:262). Sumber data primer (observasi dan wawancara) ini akan didukung dengan sumber data sekunder (kajian pustaka) dalam penyusunan laporan tesis. Wawancara peneliti lakukan dengan informan dengan situasi yang santai. Artinya wawancara berlangsung ketika informan sedang istirahat di sore hari setelah bekerja. Wawancara berlangsung terkadang sembari melihat TV yang menjadi tayangan favorit informan, meskipun ketika selama wawancara
29
berlangsung tayangan TV menjadi teralihkan dengan pertanyaan peneliti atau jawaban dari informan lain. Wawancara semacam ini dihadiri beberapa informan dengan adanya keterwakilan dari kategori informan, seperti pasien, masyarakat yang tahu tentang pengobatan dongke dan aparatur desa setempat. Dapat dikatakan kegiatan wawancara semacam ini sebagai FGD (Focus Group Discussion). Dengan demikian kegiatan wawancara bisa mengalir tanpa ada penekanan dari peneliti. Selain itu kegiatan wawancara juga dilakukan dengan wawancara terfokus. Kegiatan wawancara terfokus dilakukan untuk mengetahui bagaimana pendapat informan ketika sedang santai sembari melihat TV dan santai saat fokus dilakukan wawancara. Tahap akhir dari penelitian ini adalah seleksi data dan penulisan tesis. Pada tahap seleksi data, peneliti melakukan reduksi data. Selain itu, juga memeriksa terhadap kekurangan data yang diperoleh selama penelitian, baik waktu observasi, wawancara, maupun kajian literatur. Setelah semua dirasa cukup, langkah terakhir adalah penyusunan tesis (etnografi) dalam bentuk deskripsi (teks) sesuai dengan permasalahan. Data yang diperoleh dalam penelitian ini terbagi atas studi literatur dan studi lapangan. Studi literatur dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder berupa buku, tesis, jurnal, berita koran (on-line), khususnya yang membahas tentang kajian pengobatan tradisional. Studi literatur juga digunakan oleh peneliti agar tidak terjadi pengulangan representasi dalam kajian etnografi. Hal ini dilakukan oleh peneliti untuk kesahihan data dan mendukung data temuan lapangan selama membuat representasi hasil penelitian. Sementara data yang
30
termasuk studi lapangan termasuk data hasil wawancara dan observasi selama penelitian lapangan. 1.6.1.4 Analisis Data Pada proses analisis data terdapat komponen-komponen utama yang harus benar-benar dipahami, yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (Sutopo dalam Rachman, 1999:34). Untuk menganalisis berbagai data yang sudah ada, peneliti menggunakan metode deskriptif analitik. Analisis data dilakukan secara induktif kualitatif bersamaan dengan proses pengumpulan data. Menurut Miles dan Huberman (1992:20) tahap analisis data yang saling interaktif melalui tahapan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan pengambilan kesimpulan. Selain itu, penelitian ini menggunakan analisis berdasarkan analisis kontekstual yang digunakan untuk menganalisis data sesuai dengan konteks di mana data diperoleh. Maksudnya, yaitu melihat faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi pengobatan dongke sebagai fenomena sosial-budaya. Hal ini digunakan untuk melihat bagaimana faktor sosial budaya masyarakat serta berbagai perubahannya yang terjadi di Tanggulangin, serta analisis tematik untuk menganalisis hasil penelitian sesuai dengan tema yang diteliti dan menjadi pokok pembahasan dalam penelitian, yaitu tentang kajian Antropologi Kesehatan yang memfokuskan kajiannya pada etnomedisin.
31