Dikutip dari buku “MEMECAH PEMBISUAN” Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan 2011
Nadue, Saya Tak Pernah Jahat Kepada Negara!
Peristiwa 30 September 1965 meluluhlantakkan masa depan yang telah dan sedang dilakoni oleh Nadue sebagai guru perempuan muda. Prolog Rabu, 24-11-2010, kami kelompok belajar Perempuan dan Budaya, terdiri dari Ina, Pulu, dan Papa Pius menuju Kampung Keka dengan ojek. Kami menelusuri hutan jambu di sepanjang aliran Sungai Para, akhirnya kami tiba di sebuah rumah panggung yang asri. Kami menanyakan rumah mama Nadue kepada seorang ibu dan kebetulan orang yang kami tanya adalah anak dari Mama Nadue. Namanya Edo. Edo ini ternyata teman Ina waktu sekolah di SMP. Dalam perasaan kaget atas kehadiran kami, Edo langsung memanggil penyintas yang sedang mandi di sungai di depan rumahnya. Sambil menunggu penyintas kami dipersilahkan masuk dan duduk di beranda rumah panggung. Kira-kira 15 menit kemudian penyintas datang dengan baju daster bunga merah dan rambut basah. Kami bersalaman ala Sabu yaitu cium hidung. Ina memandangnya, tubuhnya kurus dan wajah, sorot matanya tajam, walau sepertinya memikul beban berat. Ia tampak tegar. Ina salah satu rombongan kami, mengatakan ia teringat semasa kecil, bahwa penyintas disebut guru yang pintar mengajar Aljabar dan Bahasa Inggris. Pertemuan ini menjadi reuni antara Nadue, Mama Ati, Ina dan Papa Pius, terutama antara Ina dan Edo yang berpisah sejak mereka tamat SMP tahun 1980. Papa Pius sebagai juru bicara kami, memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangan kami kepada Nadue. Ketika Ina memperkenalkan diri sebagai Ina beliau langsung bertanya, “Bagaimana dengan Mama Sia?” Yang dimaksud adalah mertua Ina. Dengan semangat Nadue bercerita tentang kehidupan kecilnya sejak diangkat menjadi anak oleh Keluarga Saleman berkeliling Rote, Baun dan Kupang, bahkan ia disekolahkan di SD Airnona dan Bonipoi. Melanjutkan ke Sekolah Guru Atas (SGA) di Kupang. Penyintas juga menceritakan pengalaman kekerasan yang diterima dari ibu Martha Soleman yaitu bibinya. Walaupun menderita kekerasan dari bibinya, dia tak pernah menyerah demi meraih cita-cita. Ia meneruskan studi, hingga ia tamat. Akhirnya ia minta kembali ke Sabu untuk mengabdi sebagai guru. Lalu Penyintas kembali bertanya, “Bagaimana dengan Mama Sia?” Ina mengatakan bahwa mama baik walau sudah di kursi roda sejak Oktober 2007. Usai bercerita tentang keluarga, Papa Pius masuk pada tujuan kehadiran kami, dengan memberikan surat dari lembaga kepadanya. Penyintas membaca dengan penuh ketelitian, melihat dengan seksama dua cap yang bertengger di bagian atas surat sampai akhirnya dia membuka kaca matanya yang tebal. Papa Pius, meminta kesediaan Penyintas (disapa dengan nama manis ala Sabu yakni Nadue) untuk masuk ke dalam acara wawancara sambil direkam. Kali ini, Papa Pius menyerahkan wawancara untuk dipandu oleh Ina, karena Penyintas tak perlu diwawancara dengan bahasa Sabu. Papa Pius tetap duduk bersama kami selama wawancara berlangsung. Nadue pun setuju untuk diwawancarai. Nadue tidak pernah berpikir bahwa ia akan bisa memberikan informasi yang penting kepada orang lain. Beliau dengan sangat jujur menceritakan siapa dirinya. Karena keterbukaannya itu, ketika ia menceritakan dirinya, ia menangis tersedu-sedu. Ia membagi pengalaman pahitnya akibat di-PKI-kan dan aktifis Gerwani, sehingga ia dipecat untuk selama-lamanya dari pekerjaannya sebagai guru.
1
Tidak hanya itu. Karena suami dibunuh, maka ia menjadi orang tua tunggal, menanggung dan mengerjakan semua pekerjaan dan menanggung pembiayaan rumah tangga. Anaknya dan keluarga mendapat stigma. ‘‘Rasa haru meliputi kami semua pada saat itu,‘‘ katanya sambil terbata-bata. Karena tidak tahan melihat beliau menangis maka kami pun meneteskan air mata dan menangis bersamanya. Awal dia masuk menjadi anggota Gerwani adalah karena didekati oleh ketua PKI Sabu yakni Oom Kore, yang istrinya sekampung dangan Penyintas. Penyintas berterus terang mengatakan bahwa, program PKI (partai Komunis Indonesia) dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) sangat bagus dan menyentuh kebutuhan masyarakat. Kata Penyintas, dia menjadi ketua Gerwani atas permintaan Kore. Apalagi Penyintas merupakan sumber daya potensial karena sebagai guru MIPA (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) dan menguasai bahasa asing (Bahasa Inggris, dan Jerman). Hal yang berulang-ulang dia katakan, “Ini dosa saya, sehingga saya seperti ini.“ Ia bicara dengan linangan air mata. Ina menyahut, ‘‘Ini bukan karena kesalahan Mama, tapi Mama menjadi korban dari peristiwa ini.“ Selama berlangsung wawancara Edo, puteri Nadue, juga menyampaikan bahwa ia mendapat diskriminasi sebagai anak PKI dan anak Gerwani, baik di gereja, di sekolah maupun di masyarakat. Bahkan adiknya yang menjadi pegawai negeri, dikotakkan gara-gara ibunya seorang Gerwani. Kami mengakhiri wawancara dengan berdoa. Ina memeluknya sambil berdoa. Waktu sudah menujukkan pukul 18.00 kamipun pamit pulang. Sebelum melangkah ke luar rumah, Ina teringat sesuatu untuk ditanyakan pada Penyintas. Inapun kembali memeluknya sambi bertamya, “Mama, apakah Mama mendapat cap (tato di bagian paha) sebagai ketua Gerwani?“ Ia menjawab, ‘‘Tidak, saya tidak punya cap.“ Rombongan kamipun pamit lagi untuk pulang. Atas izinnya Penyintas lebih akrab dipanggil dengan nama sanjungannya: NADUE. Nadue bercerita tentang perjalanan hidupnya sebagai berikut: Masa Kecil Nama saya waktu lahir Ati nama yang lazim bagi anak perempuan Sabu. Sehari-hari saya dipanggil dengan nama sanjungan Nadue. Waktu dibaptis saya memperoleh nama Kristen Maria.1 Saya lahir di Kampung Para, Sabtu 20 Desember 1934,2 dari ayah Daud dan ibu Linje. Saya anak ke dua dari enam bersaudara. Ayah saya tamatan SR (Sekolah Rakyat = Sekolah Dasar) di Kupang tapi memilih jadi petani karena merasa lebih bebas mengatur diri sendiri. Oom dan tante dari pihak ayah bersekolah sampai di Makassar dan Batavia saat itu. Saya sejak kecil di rumah nenek. Saya tomboy, dan selalu bermain hal-hal yang tidak wajar bagi perempuan seperti berenang di sungai saat banjir, berkelahi dengan teman sebaya, dan suka memanjat pohon. Oleh nenek dari pihak ayah, hobi saya ini dipakai sebagai alasan untuk melaporkan kepada ayah, sehingga saya mendapat hukuman berupa pukulan dari ayah. Saya lahir dan besar dalam masa penjajahan Belanda, Jepang, dan zaman kemerderkaan. Pada waktu berumur sekitar 6 tahun saya masuk Sekolah Rakyat di Nahagadai-Seba-Sabu. Waktu Jepang berada di sini, di Sabu, saya sudah kelas empat SR. Orang Jepang kalau melihat anak gadis yang cantik 1
Ati nama Sabu/kampung. Maria nama Kristen. Nadue: nama sanjungan ala Sabu.; inilah nama yang lazim dipakai sehari hari. Nadue adalah padanan kata dari Ati. (contoh: nama Rose maka padanannya adalah Nabunga artinya ibu kembang bunga rose). Penyintas setuju memakai nama sanjungannya dalam tuilsan ini yakni Nadue 2 Sekarang lokasinya di Desa Nadawawi-kecamatan Sabu Barat-Kabupaten Sabu Raijua-Provinsi NTT.
2
mereka berusaha mengambilnya untuk dijadikan selir. Kemudian orang Jepang juga mengusir penduduk dari rumahnya supaya mereka bisa tinggal di rumah tersebut. Ayah saya dipanggil oleh tentara Jepang karena berani menegur barisan berkuda Jepang yang menyebabkan kerusakan padi di sawahnya. Waktu itu kami hanya berdoa, apakah ayah pulang atau tidak, sebab kita semua tahu toh, kejamnya Jepang. Situasi perang dunia ke dua di Sabu sangat terasa. Terdengar suara ledakan bom sekutu yang jatuh di Pelabuhan Seba tahun 1942. Ketika kapal Jepang ada yang berlabuh, semua rumah penduduk terbakar. Warga di sekitar pelabuhan Seba berlarian mencari tempat aman baik di gedung sekolah rakyat Seba, maupun di tempat lainnya. Ada yang menggali lubang perlindungan. Situasi perang tersebutlah yang membuat saya berhenti bersekolah. Masa Pendidikan Satu tahun kemudian, saudari perempuan ayah, Mama Soleman datang ke Sabu dan meminta kepada ayah, untuk membawa saya ikut dengan mereka ke Kupang. Tante saya ini, tamatan sekolah dari Makassar. Suaminya, Soleman , orang Rote, Mantri Polisi. Saya dibawa oleh mereka ke Rote. Di Rote, saya bersekolah di SR Ba’a. Sekolahnya jauh sekali dari Desa Oemau tempat tinggal kami. Tiap hari saya berjalan kaki sendirian ke kota Ba’a. Pulang-pergi harus naik turun gunung. Waktu itu sekolah SR Rote dekat rumah sakit dan penjara. Kepala sekolahnya: Pak Bartels. Dari Kampung Oemau, hanya saya sendiri yang bersekolah ke Ba’a. Jarak jauh dan sendirian membuat saya takut karena di jalan-jalan ada kumpulan laki-laki yang mabuk. Saya selalu berdoa di dalam hati, semoga saya selamat. Dan benar saya terhindar dari kejahilan mereka. Suatu hari para pemabuk itu membakar sarang tawon, saat saya lewat di jalan itu, saya diserang dan digigit tawon, badan saya bengkak. Situasi itu, tidak menurunkan minat saya untuk bersekolah. Tahun 1947, orang tua asuh saya pindah kerja ke Baun-Amarasi karena waktu itu Bapa Soleman dipecat dari jabatannya sebagai Mantri Polisi di Rote. Bapak asuh saya melamar dan diterima sebagai pegawai di kantor Swapraja Amarasi Timor- NTT. Tak lama kemudian dari Baun, kami pindah lagi ke kota Kupang. Kami tinggal di kampung Fontain satu kilo dari pusat kota Kupang. Di Kota Kupang saya masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di Kampung Airnona, empat kilometer dari rumah. Di Kupang kehidupan saya berubah. Tante saya, mulai ringan tangan dan membebani saya dengan pekerjaan yang lebih berat. Seluruh pekerjaan rumah tangga saya kerjakan mulai dari pikul air dari sungai ke rumah untuk kebutuhan rumah tangga. Jalan dari sungai ke rumah sangat mendaki. Saya juga harus masak, bersihkan halaman dan buang sampah. Seisi rumah mandi, cuci, siram tanaman dari air yang saya pikul. Saya harus menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum dan sesudah pulang dari sekolah. Kekerasan lain yang pernah saya alami antara lain, saya pernah dipukul tante di batang hidung sampai berdarah. Bekas luka itu masih ada sampai sekarang. Tetapi bapak asuh sangat baik kepada saya. Meski tugas di rumah banyak serta berjalan kaki jauh untuk ke sekolah, tidaklah mengurangi minat saya untuk bersekolah. Tahun 1952 saya lulus dari SLTP Airnona-Kupang. Saya melanjutkan bersekolah dengan mendaftar di SMA Negeri Kupang, yang kepala sekolahnya Pak Simon Kitu Tibu Luji, orang dari Sabu juga. Beliau juga merangkap menjadi kepala Sekolah Guru A. Ketika sekolah itu dibuka di Kupang, waktu itu saya sudah kelas dua Sekolah Menengah Atas (SMA), tetapi saya mengikuti tes untuk masuk SGA. Saya lulus tes dan pindah ke SGA. Karena kurikulum berbeda, saya mulai dari kelas satu di SGA dan tamat tahun 1957.
3
Usai tamat, saya diminta untuk membantu urusan rumah tangga dari kakak angkat saya yang sudah menikah. Hati saya berkata, `Masa sekolah capai-capai hanya jadi pembantu?` Suara hati mendorong saya untuk mencari informasi pekerjaan. Saya memperoleh informasi bahwa di kampung saya, Sabu, telah dibuka sebuah Sekolah Menengah Pertama yakni SMP Nasional sejak tahun 1955. Saya pergi menemui seorang tokoh Sabu di Kupang, yaitu Pak E.R. Here Willa untuk menyampaikan kerinduan saya menjadi tenaga pengajar. Dalam pertemuan itu saya berkata kepada beliau begini, “Bapak, saya sudah tamat SGA tapi belum ada penempatan. Kalau bisa saya mengajar di Sabu sekalipun belum diangkat menjadi PNS.” Beliau bilang, “Kalau begitu bagus, kebetulan tenaga guru di sini masih kurang.” Beliau memberikan surat pengantar mengajar. Dengan senang hati saya kembali ke rumah dan pamit ke orang tua asuh saya. Mereka keberatan dan menganggap saya orang yang tidak tahu diri sebagaimana yang dikatakan kepada saya “Kalo anjing itu tahu kipas ekor, tapi ini manusia tidak. Kalo sekarang dia sudah jadi orang, dia (saya) pergi bujuk dia punya orang tua supaya kembali ke kampung halaman, Sabu.” Tekad telah membara, apapun halangan saya ingin mengabdi sebagai guru. Masa Mengajar Saya berangkat dengan perahu dari Kupang menuju Sabu tahun 1957. Dengan bekal surat pengantar dari penggagas sekolah tersebut, E.R. Saya melaporkan diri kepada kepala sekolah SMP Nasional; yakni Leopol Lay. Saya diterima sebagai guru honor. Sayalah guru perempuan pertama mengajar Hitung Dagang, Aljabar dan Sejarah. Saya juga punya kemampuan berbahasa Inggris. Kemudian, seorang guru perempuan masuk sehingga kami berdua orang yakni Naema, orang itu masih hidup sekarang. Lokasi SMPN dan SGB satu lokasi, berjarak 300 meter dari Pelabuhan Seba.3 Minat anak perempuan dan laki-laki untuk bersekolah waktu itu sangat tinggi dan berimbang. Angkatan pertama siswa di SMP Nasional jumlahnya 12 laki-laki dan 12 perempuan. Misalnya anakanak dari kampung-kampung yang walaupun berjarak kurang lebih 30 kilometer pergi pulang dari Seba, mereka tabah dan mau bersekolah. Jarak tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk bersekolah. Kehadiran siswa perempuan lebih banyak di SGB (Sekolah Guru B) karena usai tamat langsung bisa bekerja sebagai guru. Teman teman guru terdiri dari orang Sabu, Jawa, dan Bali. Sungguh luar biasa pengabdian mereka, guru-guru tersebut membangun dunia pendidikan masa depan bangsa dan negara di Sabu. Pernikahan Pada tahun 1960, saya menikah dengan teman guru karena kami saling mencintai. Pemuda yang saya pilih jadi suami namanya Rohi, angkatan pertama siswa SGB Sabu. Ia mengajar sebagai guru di sekolah dasar milik Gereja Masehi Injil di Timor (GMIT) di Kampung Lobodei, Kecamatan Sabu Timur waktu itu. Pernikahan dengan sesama guru waktu itu lazim, karena kami sering bertemu, guru sangat dihormati, sumber ilmu pengetahuan. Suami saya, lebih muda dari saya, tapi orangnya baik, suka senyum. Lokasi pengajar kami berbeda. Saya di bagian barat dan suami di bagian timur. Itu tidak menjadi halangan bagi pernikahan kami. Tapi, tak lama sesudah kami menikah, suami saya pindah dari SD GMIT Lobodei ke SD GMIT Ei Wou dekat dengan rumah kami di Keka.
3
Sekarang SLTP N I Seba- Kabupaten Sabu Raijua
4
Kami dikarunia tiga orang anak: Rihi, lahir tanggal 3 Agustus 1961; Edo, pada tanggal 8 Pebruari 1964; Idje, pada Januari 1966. Tahun kelahiran Rohi, 1961, menjadi berkat bagi saya, karena tahun itu saya mendapat surat keputusan dari Jakarta sebagai guru sekaligus kenaikan berkala. Perkenalan dengan PKI dan Gerwani Perkenalan kami berdua dengan PKI dan Gerwani dimulai dari pertemanan dalam dunia guru. Pada tahun 1960-an partai-partai politik nasional sudah ada di Sabu. Pengurus partai kebanyakan dari guru dan pegawai. Salah satu pengurus inti mungkin ketua PKI adalah guru Om Kore. Dia sering datang ke rumah bercerita tentang program PKI. Jujur, suami saya simpatisan PKI, karena programnya menyentuh kebutuhan masyarakat seperti soal: tanah, pendidikan dan pendampingan rakyat bila susah melalui pemberian bantuan pertanian, dan pangan. Berdiskusi di rumah, di keluarga seusai jam sekolah adalah salah satu cara Oom Kore membagi informasi partai kepada kami. Setelah suami saya masuk sebagai simpatisan partai, Oom Kore bercerita lagi tentang program untuk memajukan hidup perempuan kepada saya. Saya menerima bahan tentang AD/ART Gerwani, dan bagi saya cukup bagus dan menarik. Oom Kore juga mengatakan, bahwa setiap istri anggota PKI mesti masuk Gerwani. Tema kemajuan perempuan dalam program Gerwani yang dibawakan oleh Oom Welem membakar birahi meraih masa depan yang lebih baik dalam diri saya selain sebagai guru perempuan. Melihat realitas hidup perempuan yang buta huruf, masih terbelakang serta informasi kemajuan perempuan dari Gerwani; sadar atau tidak sadar telah membawa saya untuk menerima dengan ikhlas apa yang diminta oleh Oom Kore untuk menjadi pengurus Gerwani Sabu, yaitu sebagai ketua. Oom Kore yang memilih sendiri saya menjadi ketua. Wakil ketua Susi Med’o dan sudah lupa yang anggota pengurus di saat awal pembentukan Gerwani. Masyarakat Sabu memiliki struktur masyarakat matrilineal, di mana para perempuan bersama saudara laki-laki tertua berperan mengatur organisasi sosial kelompok. Pembagian masyarakat menurut klan perempuan (hubi artinya mayang palem betina) yang sulung dan bungsu lebih dahulu lahir sebelum pembentuk klan laki laki (udu artinya tumpukan). Organisasi perempuan dinamai rumah tegid’a (ammu tegid’a) dimana secara tahunan mereka berkumpul memperbaharui relasi, memperbaharui pengetahuan di sekitar menenun, keturunan dan tokoh perempuan dalam klan, pangan, kelahiran serta etika kelompok. Misalnya anak-anak laki-laki hanya boleh menikah dengan perempuan dari klan ibunya. Organisasi ini dipimpin oleh seorang perempuan yang dianggap mampu oleh klannya. Keterlibatan perempuan Sabu dalam organisasi sosial sudah biasa dalam budaya, bukan sesuatu hal yang aneh dan baru. Mungkin hal ini membuat suami saya tak keberatan saya menjadi ketua Gerwani meski anak anak masih kecil. Apalagi melihat kesungguhan Om Kore dalam membawakan program Gerwani bagi kemajuan perempuan. Pada suatu hari Om Kore meminta saya untuk membawakan pidato pada hari ulang tahun Republik Indonesia dan PKI di sebuah lapangan. Saya lupa tahunnya. Supaya saya dapat hadir dalam kegiatan ulang tahun tersebut dan berpidato, maka anak saya Rohi dan Edo saya titipkan kepada tetangga. Saya masih ingat sedikit isi pidato itu antara lain: “Perempuan Indonesia itu jangan hanya 3M: Melahirkan anak, Mengasuh anak, dan Masak ke dapur. Tapi harus berjuang mendampingi suami untuk kemajuan perempuan Indonesia. Kalau dulu tugas utama perempuan hanya kawin, urus anak dan urus dapur, sekarang tidak lagi.”
5
Biasanya pada perayaan ulang tahun kemerdekaan sangat ramai dengan segala pertunjukkan tarian, permainan sabung ayam serta pasar dadakan. Semua sekolah, pegawai negeri di berbagai instansi, pengurus partai politik hadir memenuhi perayaan besar ini. Saya bayangkan betapa banyak mata memandang saya, bingung dengan isi pidato saya, atau heran, marah… entahlah. Saya telah melakukan tugas saya, menyampaikan sebuah gagasan penting tentang kemajuan perempuan di luar tugas kodratnya. Mungkin isi pidato saya, menjadi bahan percakapan di masyarakat, di sekolah, dan di gereja. Tapi kehadiran itu membawa bencana pada hidup saya selanjutnya. Usai pidato di lapangan pada Hari Ulang Tahun RI dan PKI, saya kembali ke rumah menikmati tugas rutin sebagai ibu dan guru. Saya tidak pernah mencari anggota atau melakukan pertemuan di rumah-rumah seperti banyak yang diisukan dan dituduhkan orang. Pada tahun 1964-1965 Sabu dilanda kemarau panjang dan kelaparan luar biasa. Hidup sebagai pegawai negeri membuat keluarga saya masih lebih beruntung dari masyarakat kebanyakan. Masyarakat beramai-ramai mencari apa saja yang dapat dimakan seperti buah lontar, biji asam dan tumbuhan lainnya. Masa Kelam yang Menguburkan Impian Pada akhir tahun 1965, saya berangkat ke Kupang mengunjungi keluarga. Saat itu saya sedang hamil anak bungsu, Imanda. Di Kupang saya mendengar dari radio bahwa terjadi peristiwa G30S. Beberapa hari kemudian saya mendapat informasi dari keluarga di Sabu, agar jangan pulang ke Sabu sebab keadaan kacau. Keluarga juga menyampaikan bahwa di Sabu beredar isu dan gosip, bahwa saya membawa bom di saku celana panjang. Padahal saya tidak pernah memakai celana panjang. Berita sedih ini, membuat saya banyak pikiran, tapi bagaimanapun saya mesti pulang ke Sabu, kepada keluarga saya. Dalam keadaan hamil tua, di bulan Desember 1965, saya menumpang perahu menuju Sabu bersama penumpang lainnya. Tiba di pelabuhan Seba-Sabu saya turun, juga penumpang lainnya. Saya melihat massa telah menunggu, mereka menggeledah, menghajar, menteror seorang laki laki yakni Toi Tari. Entah ke mana mereka membawa laki-laki itu. Untung saya tidak mendapat kekerasan fisik. Saya juga tidak sempat ditahan seperti saudara-saudara lainnya, atau seperti suami saya; sehingga ada yang iri hati dan berkata, “Wah dia enak sekali bisa tinggal di rumah.” Mengapa saya tidak masuk penampungan, karena saat aparat mengambil saya, saya minta izin kepada mereka untuk menghadap Camat Hire untuk membicarakan kehamilan saya. Saya bertanya kepada Camat, “Bagaiamana kalau saya melahirkan di tahanan?” Lalu Camat berkata, “Boleh kamu di rumah, usai melahirkan baru masuk tahanan.” Benar, usai melahirkan anak bungsu saya, seingat saya, sore kira-kira pukul lima, aparat bersama massa datang ke rumah dan membawa saya ke kompleks rumah sakit dan penjara. Saya dijemput tanpa ada penjelasan atau surat penangkapan. Saya hanya mengikuti saja. Saya bawa bayi saya sambil keluarga mengikutinya, karena perasaan saya, ini hari kematian saya. Saya minta keluarga ikut, agar saat saya dibunuh, saya serahkan bayi saya untuk dibawa pulang ke rumah oleh keluarga. Anak pertama dan ke dua di rumah. Saya tidak ada harapan untuk hidup lagi. Dalam perjalanan dengan kawalan aparat negara, saya berpapasan dengan Pdt. Kana Lomi yang di-PKI -kan Beliau memberi isyarat pada saya dengan: tangannya memotong lehernya, tanda bahwa suami saya sudah dibunuh. Isyarat ini menjadi alat komunikasi karena kami disuruh diam alias tutup mulut. Gerakan diam ini, membuat kami seperti orang bisu dan hanya bisa saling memandang. Hati saya teriris-iris sambil menahan ledakan tangisan duka atas berita kematian suami dan ayah anak anak saya. Hidup
6
saya gelap gulita oleh perasaan duka. Sedangkan saya sendiri digiring seperti penjahat tanpa tahu salahnya apa. Di rumah sakit, saya menerima perlakukan yang sungguh luar biasa, rambut saya dipotong. Pada zaman itu, rambut panjang bagi perempuan adalah kehormatan. Tanpa alasan, rambut saya dipotong pendek dan semrawut oleh seorang aparat, tentara. Peristiwa rambut perempuan dipotong saat itu, menjadi stigma sampai saat ini, bila perempuan rambut pendek diplesetkan jadi Gerwani. Usai rambut dipotong sebagai hukuman tanpa tahu kesalahan saya, saya diwajibkan lagi untuk lapor diri. Saat wajib lapor, saya ditanyakan hal –hal yang aneh seperti ini: “Pernah dengar peristiwa berdarah? Apakah kau tidak dengar dari suamimu? Kalau kau laki saja, saya sudah pukul! “ Ekor pari diayun-ayunkan di depan muka saya. Saya tetap menjawab setiap pertanyaan dengan tidak tahu, karena memang saya tidak tahu apaapa. Selain teror, saya juga dipaksa membersihkan WC dan kamar mandi, di kantor polisi, di kantor kecamatan, di gereja, dan di rumah dinas. Suatu hari saat saya dengan yang lainnya membersihkan kompleks Gereja Seba Kota peninggalan Belanda, mantan murid saya yang sudah jadi camat saat itu, memimpin hukuman bagi kami. Ia berkata dengan angkuh, “Kenapa wanita-wanita itu pulang semua?” Camat yang adalah mantan murid saya, berlaku seolah-olah dia tahu seluk beluk sejarah yang menimpa saya. Tidak lama berselang, saya diberhentikan dari pekerjaan sebagai guru oleh kepala SLTP Negeri Sabu. Saya tak puas, saya berangkat ke Kupang mencari tahu status saya pada pejabat di Dinas Pendidikan. Saya bertemu dengan Pak Adjip. Saya ke kantor, terus menjumpai Pak Ajip di Kantor Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) dan dia panggil saya, “Hey..... sekarang kamu mengajar di mana?” “ Tidak mengajar lagi, Oom.” “ Heeeeee… kenapa tidak mengajar lagi? Saya kasih tahu kamu Ati, kamu punya SK (Surat Keterangan) sudah ada besok pergi ambil di kantor dan pulang ke Sabu.” Lalu saya menemui Pak Dan juga pegawai P dan K di rumahnya; dengan ramah beliau menyambut saya dan berkata, “Besok kamu datang ya (ke kantor).” Saya kembali ke Sabu, dan menghadap kantor P dan K Kecamatan. Jawaban yang saya terima: tidak bisa alias ditolak. Hati saya menjerit atas kenyataan bahwa informasi yang berbeda antara kantor P dan K di Kupang dan di Sabu. Tahun 1972, saya coba lagi berangkat ke Kupang dan mencari tahu hak saya di kantor P dan K. Saya temui teman sekolah di SGA, antara lain Pak Piga Rade. Inilah ungkapannya, “Maaf, ibu tidak bisa lagi. Ibu tahu sendiri persoalan politik sekarang. Ibu sudah usia 40-an tahun sekarang jadi tidak usah lagi”. Mendengar jawaban itu, harapan saya pupus. Saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Saya hanya berpikir bagaimana nasib anak-anak. Saya sudah menjadi orang tua tunggal tapi tidak punya penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga, khususnya anak-anak.
7
Pengalaman mencari keadilan yang tak pernah saya peroleh, membuat saya putus asa dan hilang harapan. Dalam keadaan putus asa, saya membakar semua dokumen yang berhubungan dengan pekerjaan sebagai guru. Saya tidak mempunyai ketrampilan bertani atau menenun seperti perempuan Sabu umumnya. Keadaan memaksa untuk saya beralih tempat mengais hidup dari bertani. Ekonomi yang tak menentu, melahirkan berkat di mana keluarga bersedia menolong biaya pendidikan anak-anak bahkan mengasuh mereka. Saya merasa seperti benalu dan tak berarti apa-apa, menjadi beban bagi orang lain, sambil mempersalahkan diri sendiri dalam keluhan, ini dosa saya? Meski tak mengerti mengapa saya merasa berdosa. Mungkin juga keluarga bahkan anak-anak seperti yang saya lakukan: diam-diam mempersalahkan saya sebagai biang kerok dari malapetaka ini. Sebab akibatnya bukan saja pada saya, tapi juga pada hidup anak-anak dan keluarga besar. Kepada semua keluarga, saya minta dimaafkan. Ini bukan salah saya, ini sesuatu yang tak pernah saya tahu mengapa saya alami semua kepahitan ini. Juga terima kasih atas dukungan bagi saya melalui anak anak. Suatu hari Rohi dipermalukan oleh oknum Polisi waktu ia mau tes Polisi, Tibe lay bilang, “Lu pung bapa PKI ang? Sebantar baru lu liat e...” Rohi pulang, lalu menangis. Rohi bilang “Kenapa kita punya bapa masuk itu barang PKI? Akhirnya kita jadi korban.” Kalau ada apa-apa di Gereja atau di masyarakat, mereka selalu bilang, “Ini gara-gara mereka PKI!” Anak-anak saya selalu mendengar dan mengalami stigma. Kepercayaan Diri Sudah 45 tahun, saya simpan sejarah bisu kejahatan negara kepada saya dan keluarga. Tiba tiba, ada orang yang datang mencari dan ingin mendengar saya. Itu tak mungkin. Ketika pada 24 November 2010 mendengar ada yang meneliti, saya curiga mendengar maksud kedatangan mereka ke rumah saya. Mereka memberi surat, saya melihat dan membaca dengan teliti. Mereka teman guru saya, Pa Pius, Ina, anak teman saya, teman Edo waktu SMP dulu, dan Pulu, juga gadis Sabu. Hati saya ikhlas mencurahkan tragedi ini, yang sudah penuh sesak di hati saya, karena terlalu lama disimpan sampai kadaluarsa. Lalu, saya berkesempatan untuk hadir di Kupang. Dengan penuh tantangan, seperti sakit hari tua, rasa takut berkecamuk akhirnya saya bisa hadir di Kupang. Anak anak serta cucu saya yang sedang kuliah teologi di salah satu kampus di Jakarta mendorong saya untuk datang ke Kupang. Di dampingi Edo kami terbang menuju Kupang dan di bandara El Tari kami disambut oleh tim serta Pak Putu Oka serta putra saya Rohi. Pertemuan penuh persahabatan akhir Maret 2011 di Kupang membongkar luka luka di hati saya dan Edo melalui cerita yang dibagi, tangisan, desahan napas serta rangkulan dalam doa, serta sepakat untuk mengekspos sejarah hidup saya oleh tim dan juga Pak Putu Oka. Ternyata, saya masih berarti, masih ada orang yang mau mendengar sejarah pahit ini, mempercayai kebenaran pada saya, dan lebih membahagiakan kami bertemu dengan teman-teman dari Alor, Kupang, Soe, Sumba, Jakarta. Ternyata, bukan saya saja yang menderita oleh kejahatan negara, tapi masih banyak orang. Saat ini, saya menemukan harga diri sebagai manusia. Mimpi saya, saya pulang ke Sabu, menolong teman, saudara dengan informasi yang saya dapat di Kupang, kita korban kejahatan negara. Benar suara hati saya yang selalu berbicara, “Saya tak berbuat apa-apa melawan bangsa dan negara ini.”
8
Sekarang saya hidup dengan tenang karena pencerahan dalam pertemuan itu. Saya jadi manusia baru dalam rasa damai sambil menikmati hidup anak-anak yang sudah berkeluarga, ada pegawai sipil, dan swasta. Bersama Edo dan keluarga yang rela kembali ke Sabu menjadi sahabat, mendampingi saya di hari tua; sebuah kebahagian menikmati umur panjang dari Yang Kuasa. Doakan saya supaya saya tabah dalam melangkah sebelum Tuhan memanggil saya untuk kembali ke pangkuan-Nya. Supaya saya siap terima semuanya itu dengan tabah, penuh penguasaan diri karena saya emosional. Supaya saya terima kenyataan ini dengan tabah. Apa pun yang terjadi saya tetap mengharapkan doa daripada Ina. Biarlah Tuhan mengampuni dosa anak-anak kandung saya dan keluarga saya. Biarlah Tuhan memberi kami hidup rukun saudara bersaudara. *** Pewawancara dan penulis transkrip
: Pius, Ina dan Pulu
Penulis feature
: Ina dan Pulu
9