Electronic Government: Sudahkah Memberi Manfaat? Oleh: Mas Wigrantoro Roes Setiyadi *)
Electronic Government (e-gov) dibangun untuk memberikan manfaat. Wacana dan upaya membangun e-gov di Indonesia sudah berjalan sekitar lima tahun. Sejumlah besar dana telah dibelanjakan oleh instansi pemerinntah pusat dan daerah untuk membangun e-gov. Tak terbilang seminar, kegiatan sosialisasi dan edukasi masyarakat telah diselenggarakan guna meyakinkan pembuat keputusan agar bersedia mendanai pembangungan e-gov. Persoalannya sekarang, apakah e-gov yang telah dibangun di berbagai instansi pemerintah di Republik Indonesia ini sudah memberi manfaat? Pertanyaan ini penting dijawab, tidak hanya berkenaan dengan pertanggung-jawaban penggunaan dana publik, namun juga akan menentukan masa depan e-gov itu sendiri, apakah masih perlu dilanjutkan atau cukup sampai di sini. Evaluasi menyeluruh secara nasional guna melihat kinerja e-gov yang telah dibangun, mungkin belum pernah dilakukan. Namun demikian, sekedar untuk melihat manfaat yang sudah diberikan, pengamatan secara acak terhadap beberapa sampel yang dianggap cukup representatif dapat dilakukan.
Ukuran Keberhasilan Wacana e-gov tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun hampir di seluruh dunia. Pemerintah Singapura mengubah layanan publik pemerintahan yang semula secara manual menjadi otomatis, jarak jauh, melayani diri sendiri. Tahun 2001 Singapura sudah berhasil menyediakan 150 jenis layanan publik melalui satu portal. Di sebelah selatan, Australia telah lama menjalankan 75% dari laporan perpajakan dilakukan melalui Internet. Dubai, negara kecil di teluk Arab, setiap hari setidaknya 8,000 dokumen perngiriman barang melalui kapal diproses oleh instansi bea cukai secara online. Penduduk Uppsala di Swedia sudah dapat mengakses rekaman medis yang yang tersimpan di rumah sakit melalui fasilitas Internet dan Wireless Access Protocol (WAP). Estonia di awal dekade 90an tergolong negara yang penetrasi komputer-nya paling rendah di Eropa, saat ini, sudah berhasil masuk kelompok Top 20 negara yang paling tinggi kesediaan infrastruktur informasinya.
Daftar keberhasilan implementasi e-gov di negara – negara lain masih sangat banyak. Bagaimana dengan Indonesia? Studi IptekNet, unit pelaksana teknis di bawah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), pada tahun 2001 menyajikan laporan sebagian besar e-gov yang telah dibangun pada waktu itu hanya berwujud website instansi pemerintah. Uji sampling secara acak, yang penulis lakukan terhadap 10 website pemerintah (pusat dan daerah) menunjukkan tidak banyak perbedaan dengan temuan IptekNet. Artinya, setelah lima tahun diwacanakan, dibangun ternyata belum ada perubahan signifikan dalam membangun gov di Indonesia.
Namun demikian, dapatkah hal tersebut digolongkan sebagai kegagalan? Belum tentu juga? Mengapa? Jawabnya, bisa jadi karena ukuran keberhasilan yang diharapkan berbeda. Bila negara – negara lain mengukurnya dari output yang langsung dirasakan oleh masyarakat, jangan – jangan para pengelola e-gov di Indonesia belum tahu pasti bagaimana cara mengukurnya, sehingga membiarkan saja tanpa ada perubahan mendasar.
Kesalahan Mendasar Sementara di negara – negara lain e-gov dibangun dengan falsafah dasar: untuk memotong biaya sehingga diperoleh efisiensi; memenuhi harapan warga negara sehingga terjadi peningkatan kualitas hubungan antara pemerintah dan warga negara; serta memfasilitasi pembangunan ekonomi; falsafah serupa, meski di atas kertas diikuti oleh pejabat publik pembuat e-gov di Indonesia, namun pada prakteknya di lapangan realitanya sangat berbeda.
Ada pemerintah daerah yang awalnya merintis e-gov, walau hanya berupa situs resmi pemda setempat. Di suatu Pemda di Pulau Jawa, ada sekelompok pejabat eselon tiga yang berinisiatif membangun website yang mereka klaim sebagai cikal bakal e-govt. Dua contoh yang tergolong baik di tahap awal ini ternyata memudar setelah usaha mereka berjalan tiga tahun menyusul mutasi dan pergantian pejabat. Pelajaran yang dapat dipetik, e-gov tidak akan berhasil jika pembangunan dan pengelolaannya masih bergantung pada figur, bukan pada tata kelola sistem pemerintahan yang baik.
Contoh lain, seorang Bupati di wilayah Indonesia Bagian Timur, dengan gaya berapi – api menjelaskan keinginannya agar e-gov yang dibangunnya dapat digunakan untuk meningkatkan investasi di daerah yang dipimpinnya. Ketika ditanya investasi dari mana yang diharapkan, jawabnya tegas: investor asing. Sayang beliau lupa bahwa tidak semua investor asing paham bahasa Indonesia (bahasa yang digunakan dalam website pemdanya). Kisah – kisah yang menunjukkan masih adanya kesalahan mendasar dalam memandang e-gov yang dialami oleh pemimpin instansi pemerintah
masih banyak.
Beberapa di antaranya, masih adanya anggapan bahwa e-gov identik dan cukup hanya sekedar memiliki website resmi yang dikelola oleh pemda. Atau, e-gov sama dengan otomatisasi administrasi pelayanan masyarakat, sehingga dari pemahaman ini yang muncul adalah elektronisasi layanan perizinan.
E-gov bukan hanya upaya komputerisasi dan menyediakan sambungan Internet, sehingga instansi pemerintah dapat menyajikan informasi apa saja yang dimauinya dalam situs Internet. Dalam tataran ideal, dan pada akhirnya menjadi tujuan-antara yang ingin dicapai, e-gov merupakan upaya transformasi penyelenggaraan tata pemerintahan dengan menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagai alat bantunya. Tujuan akhir, bukan pada tersedianya e-gov, namun justru pada tersedianya layanan publik yang terjangkau oleh segenap masyarakat termasuk kalangan pengusaha, terciptanya tata pemerintahan yang bersih, transparan dan profesional. Kelemahan yang banyak terjadi, yang menjadi tujuan justru e-gov itu sendiri, bukan pada keberhasilan proses transformasi tata laksana pemerintahan.
Penerima Manfaat Memperhatikan hal-hal di atas, menjadi menarik ketika ditanyakan siapa yang telah memperoleh manfaat dari dibangunnya e-gov di Indonesia? Golongan pertama yang sudah menerima manfaat terbesar adalah kelompok vendor dan atau konsultan pembangunan e-gov. Mereka inilah yang sudah menangguk keuntungan dari jasa merancang dan membangun aplikasi e-gov serta menyediakan perangkat keras dan lunak serta akses Internet. Penerima manfaat berikutnya dalam besaran yang lebih kecil adalah
kelompok pemberi kerja yang nota bene adalah konum pejabat pemerintah yang berperan memutuskan siapa yang akan diberi pekerjaan membangun e-gov. Sesuai kelaziman praktek bisnis dengan pemerintah yang belum juga berubah, meski sudah ada upaya pemberantasan korupsi, kelompok ini setidaknya memperoleh manfaat hingga 30% dari nilai proyek (angka ini mengacu pada pendapat Prof. Sumitro Djojohadikusumo Alm, bahwa 30% proyek pemerintah mengelami kebocoran masuk ke kantong pribadi).
Benarkah masyarakat luas termasuk kelompok ketiga penerima manfaat pembangunan egov? Jawabnya, bisa ya, bisa tidak, tergantung pada kelompok masyarakat mana. Mereka yang tinggal di wilayah perkotaan yang sudah tersedia infrastruktur telekomunikasi serta memiliki akses kepsada Internet, dapat digolongkan ke dalam kelompok penerima manfaat e-gov. Namun kelompok masyarakat yang belum memiliki akses kepada Internet, jelas – jelas belum dapat dikategorikan sebagai penerima manfaat e-govt. Kelompok kedua ini persentasenya jauh lebih besar dari kelompok masyarakat pertama. Artinya, sesunggguhnya masyarakat yang dalam proposal pembangunan e-gov selalu dikatakan sebagai penerima manfaat terbesar, pada kenyataannya posisinya menjadi terbalik dan menjadi terkecil. Yang sedikit menerima porsi terbesar, sementara yang jumlahnya ratusan juta orang hanya menerima porsi yang jauh lebih kecil dari kelompok pertama. Inikah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
Dukungan Kepemimpinan Banyak negara yang berhasil dalam implementasi e-gov karena didukung oleh pimpinan nasionalnya. Negara – negara tersebut sekarang sudah memasuki fase kedewasaan dalam siklus hidup e-gov, yang berangsur akan sampai pada governance government. Peran pemimpin nasional sangat dibutuhkan pada setiap tahapan implementasi e-gov. Sejarah membuktikan sejak maraknya wacana e-gov di tahun 1999 hingga hari ini, dukungan nyata pemimpin nasional terhadap e-gov masih tergolong minimal. E-gov belum berhasil dan bahkan mungkin tidak akan pernah menjadi Agenda Nasional. Yang muncul inisiatif sporadis oleh banyak kepala daerah atau pimpinan instansi pemerintah untuk membangun sarana komunikasi publik yang kemudian dinyatakan sebagai e-gov. Akibatnya e-gov yang berkembang di Indonesia bercorak selera pejabat. Upaya membuat kerangka acuan
pembangunan e-gov pernah dilakukan, namun seiring dengan perubahan pemerintahan, kabar lanjut dari upaya tersebut semakin sayup – sayup terdengar dan akhirnya entah bagaimana nasibnya.
Solusi Menunjukkan permasalahan tanpa mengusulkan solusi sama saja dengan praktek dukun palsu. Karena bukan dukun palsu, beberapa alternatif solusi diajukan di sini. Memperhatikan kenyataan e-gov dalam wujud website sudah telanjur banyak dibangun, sementara kebutuhan good governance dan layanan publik yang efisien sudah menjadi tuntutan, kini saatnya pimpinan instansi pemerintah membuat keputusan untuk masuk ke tahap kedua, menyelenggarakan interactive services dengan pengguna e-gov melalui layanan publik secara elektronik. Untuk membangun aplikasi seperti ini relatif mudah, yang sulit adalah melakukan perubahan tata kelola, sikap dan perilaku karyawan, dan mengubah standar operating procedure (SOP). Ketiga hal inilah yang sebetulnya menjadi tantangan terbesar bagi keberhasilan e-gov.
Chile, Malaysia, Pakistan, Mexico, Costa Rica, Taiwan, dan beberapa negara berkembang lain yang setara dengan Indonesia mampu melaksanakan e-gov dengan tolok ukur yang mudah dilihat dan dirasakan. Diakui atau tidak, kita masih jauh dari keberhasilan yang sudah diraih negara – negara tersebut di atas. Kendala utama kelambatan pembangunan e-gov, terletak pada faktor manajemen manusianya. Akankah kita sebagai manusia Indonesia, akan terus membiarkan diri tertinggal dari negara – negara yang dulu justru jauh tertinggal di belakang?
*) Direktur INSTEPS (Institute for Technology and Economic Policy Studies)
.