Sudahkah
kita
memimpin
ASEAN?
Kepemimpinan
ASEAN
bukanlah
soal
menang
atau
kalah.
Agenda
terpenting
adalah
bagaimana
mensejajarkan
kepentingan
kemajuan
bangsa
dan
liberalisasi
regional
melalui
kepemimpinan
efektif,
memiliki
visi
jelas,
dan
berwibawa
Pidato
Presiden
Yudhoyono
dalam
KTT
ASEAN
ke‐18
di
Jakarta
menyepakati
10
butir
kesepakatan
tentang
kepentingan
strategis
ekonomi
dan
politik
diantara
negara
ASEAN.
Dalam
pidatonya,
Presiden
Yudhoyono
menekankan
tiga
hal
strategis.
Pertama,
pentingnya
menciptakan
efisiensi
dan
meningkatkan
daya
saing
regional
melalui
implementasi
National
Single
Window
(NSW)
paling
lambat
2012.
Kedua,
pentingnya
komitmen
mewujudkan
Masyarakat
Ekonomi
ASEAN
(ME‐ASEAN)
tahun
2015,
dimana
konektivitas
bukan
hanya
dilihat
dari
segi
infrastruktur
fisik
melainkan
juga
masyarakat.
Untuk
itu
pembangunan
infrastruktur
telekomunikasi,
transportasi,
adalah
bagian
penting
untuk
menghubungkan
orang
per
orang
(people
to
people
contact).
Ketiga,
pentingnya
keamanan
pangan
dan
energi.
Komitmen
bersama
mengatasi
gejolak
harga
pangan
dan
energi
bertujuan
untuk
mengantisipasi
lonjakan
angka
kemiskinan,
sehingga
sinergi
ASEAN
dengan
kelompok
regional
sangat
dibutuhkan.
Sebagai
ketua
ASEAN,
Indonesia
sebagai
negara
dengan
kekuatan
ekonomi
terbesar
kawasan
jelas
memiliki
kesempatan
lebih
luas
untuk
memanfaatkan
kerjasama
tersebut.
Peran
strategis
Indonesia
sudah
selayaknya
dibutuhkan
bagi
pengembangan
nilai
tambah
regional,
dalam
arti
lain,
aspek
kepemimpinan
ekonomi
dan
politik
di
kawasan
regional
juga
harus
disertai
visi
terarah
dan
konsistensi
pelaksanaan
strategi
yang
tepat
dan
konkrit.
Indonesia
selayaknya
menjadi
contoh
teladan
bagi
negara‐ negara
ASEAN
lainnya,
pelopor
penciptaan
gagasan‐gagasan
baru,
dan
endorser
yang
efektif
bagi
kemajuan
ASEAN.
Namun,
satu
hal
yang
dikhawatirkan
selama
ini
adalah
menyangkut
kapabilitas
Indonesia
sendiri
sebagai
pemimpin
ASEAN.
Pertanyaan
besarnya
adalah
Mampukah
kita
memimpin
ASEAN
disaat
kondisi
ekonomi,
politik,
dan
hukum
domestik
masih
tergolong
carut
marut?
Mampukah
bangsa
kita
bersaing
secara
elegan
untuk
meningkatkan
harga
diri
bangsa?,
dan
Mampukah
masyarakat
kita
memiliki
kemandirian
ekonomi,
kedewasaan
politik,
dan
intelejensia
sosial
yang
cukup
untuk
dijadikan
teladan
bagi
masyarakat
ASEAN?
Ketimpangan
kapabilitas
Kesiapan
menjadi
pemimpin
ASEAN
menjadi
ironi
ketika
kita
melihat
berbagai
indikator
berikut.
Pertama,
benar
bahwa
penduduk
Indonesia
adalah
yang
terbesar
di
kawasan
ASEAN
dengan
jumlah
penduduk
mencapai
237
juta
jiwa
atau
55
kali
lebih
banyak
dibanding
Singapura
(4,3
juta
jiwa).
Namun,
dilihat
dari
pendapatan
per
kapita,
Indonesia
masih
tertinggal
jauh.
Singapura
adalah
yang
tertinggi
(57.238
dollar
AS
per
tahun),
disusul
Brunei
Darussalam
(42.400
per
tahun),
sedangkan
Indonesia
“hanya”
4.380
per
tahun.
Jika
dilihat
1
|
S T R A T E G I C
DEVELOPMENT INSTITUTE ©2011
ketimpangan,
rasio
Gini
kita
masih
tinggi
yaitu
0,35
(2009)
dan
hampir
60%
masyarakat
Indonesia
berada
pada
kategori
miskin
dan
nyaris
miskin
(indikator
pengeluaran
sampai
US$
2
dollar
AS
per
hari).
Dari
sisi
pertumbuhan
ekonomi,
Indonesia
relatif
standar
dibanding
negara‐negara
ASEAN
lainnya.
Tahun
2010,
Indonesia
mencatatkan
pertumbuhan
ekonomi
6.1%
atau
“hanya”
nomor
7
tertinggi
di
kawasan
regional
ASEAN,
dibawah
Singapura
(14,5%),
Thailand
(7,8%),
Laos
(7,5%),
Filipina
(7,3%),
Malaysia
(7,2%),
dan
Vietnam
(6,8%).
Indonesia
hanya
tumbuh
tinggi
ketika
periode
krisis
(2009)
yaitu
4,6%
atau
tertinggi
kedua
setelah
Laos
(7,3%),
artinya
ketika
negara‐negara
ASEAN
mengalami
kontraksi
ekspor‐impor,
kita
mengalami
pertumbuhan
karena
dukungan
konsumsi
domestik
yang
tinggi.
Sebaliknya,
ketika
perekonomian
berjalan
ke
arah
normal,
kita
jauh
tertinggal
oleh
negara
ASEAN
lainnya.
Dari
sisi
perdagangan,
terbukti
bahwa
rasio
ekspor‐impor
Indonesia
yang
“hanya”
45
persen
atau
jauh
dibawah
Singapura
(421%),
Malaysia
(192%),
Vietnam
(149%),
dan
Thailand
(139%),
artinya
peran
strategis
Indonesia
dalam
lintas
perdagangan
internasional
tidak
terlalu
signifikan.
Kedua,
salah
satu
agenda
mendesak
adalah
perkembangan
sektor
jasa
sebagai
sektor
strategis
masyakarat
ASEAN.
Liberalisasi
regional
pada
sektor
jasa
prioritas,
seperti
kesehatan,
e‐commerce,
layanan
transportasi
udara,
logistik,
dan
pariwisata,
menjadi
sia‐sia
dan
hanya
mendatangkan
kerugian
bagi
Indonesia
ketika
tidak
disertai
kesiapan
dari
sisi
infrastruktur,
fisik
dan
non‐fisik.
Target
menteri
perdagangan
RI
untuk
meningkatkan
pangsa
sektor
jasa
menjadi
70%
tahun
2015
relatif
kurang
relevan
ketika
kita
mempertanyakan
dimana
posisi
Indonesia
dan
seberapa
besar
pangsa
yang
dikuasai.
Ketimpangan
infrastruktur,
inefisiensi
birokrasi,
ketidakpastian
hukum,
dan
praktik
ekonomi
biaya
tinggi
adalah
berbagai
hambatan
strategis
yang
dapat
mengagalkan
misi
kita
sebagai
ketua
ASEAN,
yang
selayaknya
lebih
diuntungkan
dibanding
negara
ASEAN
lainnya.
Ketiga,
faktor
daya
saing
individu
merupakan
faktor
penting
lain
yang
harus
segera
ditindaklanjuti.
Berdasarkan
data
Human
Development
Report
2010,
Indeks
Pembangunan
Manusia
Indonesia
berada
di
peringkat
108
dari
169
negara.
Kita
tertinggal
oleh
Singapura
(peringkat
27),
Brunei
(37),
Malaysia
(57),
Thailand
(92),
dan
hanya
unggul
sedikit
dibanding
Vietnam
(113),
artinya
kualitas
pertumbuhan
ekonomi
Indonesia
masih
jauh
dibawah
standar.
Jika
faktor
ukuran
yang
menjadi
alasan
pembenar,
kita
seharusnya
takjub
melihat
China,
yang
bahkan
memulai
reformasi
ekonomi
lebih
lambat
dibanding
Indonesia.
Dengan
penduduk
hampir
1,3
miliar
juta
jiwa,
China
mampu
mentransformasi
era
kelaparan
(pasca
Mao
Zedong)
menjadi
era
kemakmuran
(kepemimpinan
Deng
Xiaoping
dan
Hu
Jintao),
membentuk
kekuatan
ekonomi
nomor
2
di
dunia
setelah
AS,
dan
berhasil
meningkatkan
kualitas
manusia
(berperingkat
89).
Kesiapan
masyarakat
Indonesia
menciptakan
daya
saing
dan
menghadapi
persaingan
regional
masyarakat
ASEAN
tersandera
oleh
kebijakan
ekonomi
politik
yang
lebih
menguntungkan
elite
minoritas
penguasa
dan
para
kapitalis
(pengusaha).
Kastanisasi
pendidikan
yang
semakin
masif
meniadakan
pilihan
bagi
rakyat
kecil
untuk
mengakses
2
|
S T R A T E G I C
DEVELOPMENT INSTITUTE ©2011
pendidikan
dan
memperbaiki
kualitas
intelektual
melalui
sistem
pendidikan.
Alokasi
anggaran
APBN
mencapai
20%
setiap
tahunnya
harus
dipertanyakan
tentang
akuntabilitas,
transparansi,
responsibilitas,
dan
efektifitasnya
mencapai
tujuan
pembangunan
nasional,
karena
sampai
saat
ini,
program
pendidikan
9
tahun
terasa
tidak
akan
cukup
membentuk
masyarakat
berpengetahuan
Indonesia.
Disamping
itu,
kita
seakan
sulit
mematahkan
lingkar
kemiskinan
Nurske.
Tingkat
pengangguran
yang
masih
relatif
tinggi
(8,3%)
tentunya
diproyeksikan
semakin
meningkat
ketika
terjadi
miskoordinasi
dan
ketimpangan
pembangunan
ekonomi
nasional.
Sebagai
catatan,
rata‐rata
pertumbuhan
sektor
non‐ tradable
selama
(2004‐2009)
adalah
8,8%
atau
jauh
lebih
tinggi
dibanding
sektor
tradable
yang
hanya
tumbuh
rata‐rata
3,3%
per
tahun.
Sektor
transportasi
dan
telekomunikasi
mencatat
pertumbuhan
tertinggi
yaitu
14,6%,
diikuti
sektor
listrik,
air,
dan
gas
(9,4%),
konstruksi
(7,9%),
jasa
keuangan
dan
perusahaan
(6,7%),
perdagangan,
hotel,
dan
restoran
(6,33%),
dan
jasa
lainnya
(6,08%).
Padahal,
sebagian
besar
tenaga
kerja
Indonesia
terfokus
pada
sektor
pertanian
dan
industri.
Saat
ini,
sektor
pertanian
menyerap
lebih
dari
41%
dan
sektor
industri
menyerap
14%
tenaga
kerja.
Dilihat
dari
produktifitas,
rasio
nilai
tambah
per
pekerja,
sektor
pertanian
hanya
sebesar
0,4
kali,
atau
jauh
dibanding
sektor
industri
dan
keuangan
yang
masing‐masing
sebesar
1,8
dan
3,4
kali
(Basri,
2011).
Ketimpangan
kapabilitas
lain
juga
tercermin
dari
daya
saing
infrastruktur
Indonesia,
sebagai
prasyarat
efisiensi
industri
dan
peningkatan
nilai
tambah
yang
berkelanjutan.
Saat
ini,
peringkat
daya
saing
infrastruktur
Indonesia
kalah
dibanding
negara‐negara
lain.
Berdasarkan
data
Badan
Perencanaan
Pembangunan
Nasional
(Bappenas),
pada
tahun
2010
peringkat
daya
saing
infrastruktur
Indonesia
berada
pada
posisi
82,
jauh
tertinggal
dibanding
China
menduduki
posisi
50,
Thailand
35,
Malaysia
30
dan
Korea
Selatan
pada
peringkat
18.
Rendahnya
peringkat
tersebut
karena
anggaran
infrastruktur
yang
minim.
Dari
kebutuhan
pembangunan
infrastruktur
2010‐2014
yang
sebesar
Rp
1.923
triliun,
pemerintah
hanya
sanggup
membiayai
sebesar
Rp
595
triliun
atau
21%
saja.
Dari
berbagai
indikator
diatas
sudah
terlihat
jelas
bahwa
ketimpangan
kapabilitas
menjadi
isu
strategis
yang
harus
dicermati
dan
ditindaklanjuti
oleh
pemerintah
Indonesia
demi
menjaga
efektifitas
peran
dan
wibawa
kepemimpinan
di
ASEAN.
Mencegah
kepemimpinan
(negara)
gagal
Ketika
Indonesia
dituntut
memaksimalkan
perannya
sebagai
pemimpin
negara
ASEAN,
pada
saat
bersamaan
Indonesia
juga
harus
berjuang
menghindari
predikat
sebagai
negara
gagal.
Kondisi
saat
ini
telah
menunjukkan
bahwa
ada
tanda‐tanda
menuju
kegagalan
negara
(failed
state).
Pesannya
sederhana,
kegagalan
arah
pembangunan
adalah
ekses
dari
kegagalan
struktural
pengembangan
negara
pada
tiga
dimensi
utama
yaitu
politik,
ekonomi,
dan
sosial.
Diskriminasi
dan
standar
ganda
praktik
hukum,
ketidakpastian
legislasi
tanah,
dan
perilaku
aparat
penegak
hukum
yang
jauh
dari
standar
integritas
dan
moralitas
merupakan
gambaran
keseharian
hukum
di
Indonesia.
Dari
sisi
ekonomi,
perangkat
ekonomi
kerakyatan
tidak
berfungsi
dengan
baik,
berakibat
pada
tingginya
penetrasi
kepentingan
kapitalis
3
|
S T R A T E G I C
DEVELOPMENT INSTITUTE ©2011
sebagai
pihak
yang
menjalankan
praktik
pengembangbiakan
uang
(money
farm)
melalui
kerjasama
dengan
elite
penguasa
sebagai
pengambil
kebijakan
publik.
Kooptasi
politik
bukan
barang
langka
dan
merugikan
kepentingan
bangsa.
Tindakan
inkonstitusional
adalah
fenomena
masif
yang
terjadi
dimana
saja,
disetiap
dimensi
kehidupan
politik,
ekonomi,
dan
sosial.
Moralitas
sangat
jauh
dari
filosofi
Pancasila
sebagai
ide
dasar
bangsa.
Minimnya
moral
para
wakil
rakyat,
kepala
daerah,
dan
para
penegak
hukum
seakan
menjadi
momok
menakutkan
yang
dapat
membawa
kita
semakin
cepat
menuju
kegagalan
negara.
Membiarkan
negara
tanpa
strategi
adalah
sama
dengan
menghukum
dan
membunuh
eksistensi
negara
itu
sendiri.
Kita
harus
mencegah
peralihan
sindrom
negara
gagal
kepada
generasi
penerus,
khususnya
untuk
menghadapi
persaingan
regional
dan
global
yang
terus
berkembang.
Berbagai
langkah
strategis
sudah
selayaknya
diarahkan
pada
tiga
cakupan
utama.
Pertama,
penciptaan
kemandirian
struktural.
Peter
Drucker
mengungkapkan
bahwa
“People
work
within
structure”,
artinya
peningkatan
kemampuan
dan
produktifitas
orang
dapat
dilakukan
melalui
pembentukan
struktur
yang
tepat,
baik
pada
tingkat
korporasi
ataupun
birokrasi
negara.
Reformasi
birokrasi
selayaknya
diarahkan
pada
peningkatan
interkonektisitas
dan
sinergi
antar
kementrian
dengan
mengurangi
sikap
opportunistik
masing‐masing
kementerian.
Perbaikan
perangkat
infrastruktur
fisik
juga
harus
disertai
sistem
pengembangan
manusia
(human
development),
pengelolaan
pemerintah
yang
baik
(good
government),
serta
pembentukan
indikator
kinerja
berkelanjutan.
Kedua,
kedaulatan
pangan
dan
energi.
Menjadikan
liberalisasi
sebagai
solusi
adalah
benar,
namun
membiarkan
liberalisasi
mengusik
kedaulatan
adalah
kekeliruan.
Dibalik
perdagangan
bebas,
kedaulatan
negara
adalah
yang
utama.
Tentunya,
kita
juga
sebaiknya
bersikap
seperti
layaknya
pemimpin
dalam
mengatasi
permasalahan
pangan
dan
energi.
Benar
bahwa
penetrasi
pertumbuhan
penduduk
sudah
jauh
melampaui
ketersediaan
pangan,
dalam
arti
lain,
hukum
Malthus
berlaku
kembali.
Benar
bahwa
energi
tak
terbarukan
sudah
tidak
cukup
untuk
memenuhi
kebutuhan
energi
sebagai
akibat
tingginya
aktivitas
sosial
dan
teknologi
dunia.
Namun,
satu
hal
yang
tidak
boleh
terlupakan
adalah
bagaimana
kita
menerapkan
strategi
agroindustri
yang
tepat
dengan
petani
sebagai
aktor
utama
pembaharuan.
Dukungan
pemerintah
akan
membantu
proses
adopsi
teknologi
pertanian
agar
menjadikannya
lebih
efisien
dan
produktif.
Impor
barang
modal
sebaiknya
diarahkan
pada
barang
modal
pertanian
produktif
dan
jika
perlu
disubsidi
secara
langsung
oleh
pemerintah,
sehingga
petani
mampu
mandiri,
meningkatkan
nilai
tambah,
dan
meneruskan
generasi
kepetaniannya.
Selanjutnya,
metode
bertani,
akses
pasar,
stabilisasi
harga,
insentif
pertanian,
dan
interkoneksi
sektor
pertanian
dan
industri
dapat
ditindaklanjuti
secara
strategis
dan
konsisten.
Kuncinya
adalah
adanya
komitmen
pemerintah
mengembangkan
infrastruktur
fisik
pertanian
di
desa
dan
mengajak
mitra
swasta
bekerjasama
secara
produktif
membangun
sistem
agrikultur
bernilai
tambah.
Selain
itu,
langkah
konkit
pemerintah
di
bidang
energi,
terbarukan
dan
tidak
terbarukan,
dibutuhkan
dalam
proses
legislasi
tanah,
prasyarat
kontrak
kerja
migas
dan
batubara,
dan
4
|
S T R A T E G I C
DEVELOPMENT INSTITUTE ©2011
pengembangan
energi‐energi
terbarukan
berbasis
lokal
dengan
pemikiran
dan
akses
internasional.
Peran
pemerintah
dibutuhkan
terutama
untuk
meninjau
kembali
peraturan
dan
kontrak
karya
yang
berlaku
agar
lebih
mementingkan
kepentingan
domestik
dan
kemandirian
energi.
Ketiga,
persiapan
masyarakat
Indonesia
menghadapi
persaingan
regional
dan
global.
Tidak
ada
kesiapan
tanpa
persiapan.
Langkah
persiapan
harus
disertai
perencanaan
dan
implementasi
strategi
yang
terstruktur
dan
sistematis.
Masalah
utama
dari
Indonesia
ada
pada
sisi
manusia.
Kita
tidak
mengalami
degradasi
intelektual
yang
sangat.
Jumlah
orang
cerdas
dan
pintar
Indonesia
luar
biasa
besar.
Potensi
penduduk
juga
tergolong
besar.
Namun,
kita
kekurangan
visi,
karakter,
dan
moralitas
pemimpin
dan
masyarakat
yang
dapat
dijadikan
sebagai
model
acuan
(role
model).
Kepemimpinan
sangat
penting
dalam
hal
ini.
Bagaimanapun
strateginya,
kepemimpinan
merupakan
aspek
utama
dan
terpenting,
karena
tanpa
pemimpin,
organisasi
atau
negara
tak
ubahnya
seperti
lokus
tak
terdefinisi
(undefinetly
locus).
Peran
pemimpin
lintas
eksekutif,
legislatif,
dan
yudikatif
di
tingkat
pusat
dan
daerah
sangat
krusial
bagi
pembentukan
daya
saing
dan
nilai
tambah
masyarakat,
karena
salah
satu
tujuan
strategis
selain
konektivitas
yang
juga
tidak
boleh
dilupakan
adalah
menciptakan
masyarakat
ASEAN
yang
berpengetahuan
luas
(wide
knowledge
society).
Masyakarat
ASEAN
kini
harus
menjadi
lebih
mandiri,
berwawasan
luas,
cerdas,
serta
memiliki
integritas
dalam
proses
pengembangan
dan
pembangunan
ekonomi
politik
regional.
Perkembangan
masyarakat
menghasilkan
nilai
tambah
bagi
tata
kelola
regional
(regional
governance)
yang
bermanfaat
bagi
semua
pihak.
Dunia
juga
tidak
memandang
sebelah
mata
kekuatan
ASEAN,
khususnya
dalam
menghadapi
arus
globalisasi
dan
perdagangan
bebas
global.
Masyarakat
ASEAN
harus
memiliki
jati
diri
sebagai
kekuatan
alternatif
selain
blok
klasik
AS
dan
Uni
Eropa
serta
Blok
kekuatan
dunia
baru
B‐R‐I‐C‐A
(Brazil,
Russia,
India,
China,
dan
Afrika
Selatan).
Indonesia
harus
mengambil
peran
strategis
dalam
kepemimpinannya
di
ASEAN,
jika
tidak,
wibawa
sebagai
bangsa
akan
kembali
terusik
dan
dipertanyakan,
bahkan
tragisnya
adalah
ketika
mulai
banyak
orang
mempertanyakan
eksietensi
dan
kepantasan
kepemimpinan
Indonesia,
karena
dianggap
gagal
membangun
dan
mengambil
simpati
masyarakatnya
untuk
berjuang
bersama
menciptakan
dan
mengembangkan
daya
saing
dan
nilai
tambah
berkelanjutan.
Jangan
sampai
kita
menjadi
“Failed
state”,
atau
yang
lebih
ironis
lagi
“Stateless”.
Pemimpin
adalah
katalisator
pembentukan
dan
pengembangan
bangsa.
Efektifitas
kepemimpinan
merupakan
faktor
kunci.
Tanpa
efektifitas,
kepemimpinan
hanyalah
slogan
tanpa
makna.
Salam
Strategi,
Aji
Jaya
Bintara,
MSM
Founder
of
Strategic
Development
Institute
5
|
S T R A T E G I C
DEVELOPMENT INSTITUTE ©2011