Mochtarram Karyoedi, “Eksternalitas dan „Transaction Costs‟ dalam Mekanisme Pasar pada, Pengembangan Lahan dan Properti di Kawasan Perkotaan-Bandung” Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.17/No.2, Agustus 2006, hlm. 1-20
EKSTERNALITAS DAN TRANSACTION COSTS DALAM MEKANISME PASAR PADA PENGEMBANGAN LAHAN DAN PROPERTI DI KAWASAN PERKOTAAN BANDUNG Mochtarram Karyoedi Kelompok Keahlian Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Kebijakan Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB Labtek IXA, Gedung PWK Jl Ganesha 10 Bandung Indonesia Email:
[email protected]
Abstract Land (and property) development should be viewed not only as physical development, or as a matter of supply-demand of property development, or it is an event-sequence of management process. It should be viewed as complexity of the events and agency involves in the process and diversity of form within in a given institutional setting. This study focus on the nature and the consequences of transaction costs economic for the land development process performance. The incident of transaction cost (approximately toward 20%) should be regarded as an indicator that there could be externalities consequences – but according to the field interview in the case of land and property development in the City of Bandung, there had been no respond of that matter. The developers viewed that they tend to refused their responsibility and leave it to the government (or the public) to solve the problem. Some developer had a good initiative by joining together with the local community to cope with the problem. Keywords: land and property development, management process, institutions, transaction costs, developer, externalities, government, public.
I. PENDAHULUAN Sejak pertama kalinya Thomas Kaarsten pada tahun 1930-an, menyusun Rencana Kota Bandung sampai saat ini kota Bandung telah melalui berbagai tahap penyusunan Rencana Tata Ruang Kota yang relatif telah maju dibandingkan dengan kota lain di Indonesia. Namun demikian upaya itu tidak menghasilkan seperti yang diharapkan di dalam pengarahan Penataan Ruang tsb. Sebagian besar kawasan perkotaan Bandung justru tumbuh dan berkembang secara spontan, ketimbang mengikuti pengarahan secara berencana. Kota Bandung, cenderung telah menjadi gelanggang adu kekuatan antara pihak yang menginginkan memberikan peran yang berbeda atau lebih besar kepada mekanisme pasar. Sementara itu di pihak lain, ada pula yang cenderung berpendapat bahwa intevensi pemerintah masih sangat perlu dan bermanfaat. Proses pengembangan lahan dan properti juga tidak
1
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 17/No.2, Agustus 2006
luput dari pergulatan tersebut, permasalahannnya merupakan tantangan yang kompleks bagi pengembangan ekonomi perkotaan – yang di dalamnya terkandung banyak hal yang diperdebatkan. Perdebatan itu terutama karena landasan kerangka konsep pemikiran yang diterapkan mungkin berseberangan di dalam pendekatan teoretik dan analisisnya. Artikel ini bermaksud untuk memahami proses yang terjadi itu, tidak saja mencakup proses transformasi dari penyiapan lahan (masih kosong, belum terbangun) menjadi properti dan kawasan perkotaan serta proses modifikasi pematangan lahan, bangunan, sarana-prasarana dan pemanfaatannya dari waktu ke waktu. Proses itu ternyata bukan hanya proses pengalihan dan perubahan materi dan teknik saja, akan tetapi seperti yang dikemukakan oleh Alexander (di dalam Buitelaar, 2002) bahwa proses itu perlu dibedakan dan dianalisis transaksi apa yang terjadi yang relevan dengan proses pengembangan lahan dan properti tsb. Artikel ini disusun berdasarkan penelitan yang melakukan ekplorasi di dalam proses pengembangan lahan dan properti, berfokus pada keberadaan eksternalitas (negatif) dan biaya transaksi. Secara teoretik, eksternalitas dan biaya transaksi dapat diintervensi oleh pemerintah manakala mencapai angka yang tinggi dan menyebabkan ketidak-efisienan secara ekonomis. Namun demikian hal itu di dalam praktik justru tidak dilakukan. Kenyataannya, tidak adanya aturan formal yang patuh dipercaya dan adanya desakan pasar justru mengidikasikan biaya transaksi yang tinggi merupakan peringatan yang perlu diwaspadai. Keadaan tersebut menggiring pada implikasi yang lebih intensif untuk melakukan pembenahan perubahan tatanan kelembagaan (institusi) secara teoretik maupun dalam tataran praktik, dalam proses pengembangan lahan dan properti khususnya dan di dalam pengelolaan Pembangunan di Kawasan Perkotaan pada umumnya. II. PENDEKATAN DAN MODEL DI DALAM PROSES PENGEMBANGAN LAHAN DAN PROPERTI. Pengembangan lahan mengacu pada upaya yang dilakukan dalam penyiapan lahan sampai kepada pembangunan yang dilakukan di atasnya yang meliputi tapak lahan beserta berbagai kegiatan yang menunjang. Karena itu kajian yang dilakukan meliputi kepemilikan/penguasaan lahan, organisasi bagaimana industri konstruksi dilakukan, finansial yang diinvestasikan, pembangunan intermediaries dari pengembang sampai ke konsultan (Healey & Barrett, 1990). Lebih lanjut, Healey (1992) mendifinisikannya sebagai: “transformasi dari bentuk fisik, status hak, dan material serta nilai simbolik yang terkandung di dalam lahan dan bangunan dari satu keadaan pada keadaan lainnya, melalui usaha yang dilakukan oleh agen yang berkepentingan dan tujuan untuk
2
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 17/No.2, Agustus 2006
mengalihkan dan memanfaatkan sumberdaya, serta mengoperasikan peraturan dengan menerapkan dan mengembangkan gagasan dan sistem nilainya”. Telah banyak studi dan model yang dilakukan di dalam pengembangan lahan, menurut Healey, (1991) ada 4 model pengembangan lahan: (1) Equilibrium Models (2) Event-sequence Models, (3) Agency Models, (4) Structure Models. Model pengembangan lahan tersebut erat kaitannya dengan falsafah ekonomi yang dijadikan latar belakang pendekatannya. Equilibrium Models merupakan pendekatan yang didasari oleh falsafah Ekonomika Neo-klasik. Structure Models berlandaskan tradisi pendekatan tradisi ekonomi Marxist yang berfokus pada kekuatan yang mengorganisasi hubungan proses pembangunan secara dinamis. Berdasarkan pada organisasi dari struktur dan dinamika produksi komoditas dan perubahannya, Structure Model ini berhubungan dengan terbentuknya harga pasar terhadap kepentingan di dalam cara pasar terstrukturkan melalui hubungan kekuasaan kapital, buruh dan pemilik lahan Kunci dari usaha pengembangan lahan adalah mengolah tapak (kawasan) dan potensi lokasi dapat meningkatkan keunggulan daya saingnya terhadap pasar yang terjadi atau sengaja diciptakan. Equilibrium Models merupakan pendekatan yang banyak dilakukan oleh pengembang real estat yang berasumsi bahwa kegiatan pembangunan terstrukturkan oleh adanya ramburambu ekonomi mengenai adanya kebutuhan efektif terhadap lahan dan properti. Sementara itu, Event-sequence Models, berfokus pada tahapan manajemen di dalam proses pengembangan lahan. Event-sequence Models, berfokus pada tahapan manajemen di dalam proses pengembangan lahan merupakan turunan dari peranan manajemen estat dalam pengelolaan proses pembangunan. Yang menarik untuk dikaji lebih mendalam di dalam artikel ini adalah Agency Models, berfokus pada pelaku dan hubungannya yang utamanya dikembangkan oleh akademisi dari sudut pandang behavioral dan institusonal. Kemudian Healey (1992) mengembangkan model ini, dengan mengajukan Model Pengembangan Lahan Institusional yang memperhatikan peran berbagai agen, keterkaitannya, kegiatan dan event yang terlibat di dalam proses pengembangan lahan. Model yang lebih menekankan pada peranan institusi dan peran para pelakunya. Lebih lanjut, dalam hubungan untuk melakukan analisis yang kompleks terhadap kejadian (events) dan aparat (agent) yang terlibat di dalam proses dan berbagai bentuk kegiatan, Healey (1992) mengemukakan 4 tingkat analisis: (1) deskripsi kegiatan (events) yang menggabarkan proses, (2) Identifikasi peran yang dimainkan di dalam proses dan kewenangan yang berhubungan diantara mereka, (3) Penilaian strategi dan kepentingan yang membentuk peran tsb dan hal itu dibentuk oleh sumber daya, aturan dan gagasan, dan (4) Keterkaiatan diantara sumberdaya , aturan, dan masyarakat luas
3
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 17/No.2, Agustus 2006
Seperti yang diidentifikasi oleh Haryo Winarso (2000) bahwa di dalam perioda tahun-tahun 1985-1995 telah terjadi peningkatan penyediaan lahan yang berlebihan, hal itu menunjukkan betapa pendekatan “equilibrium” justru memburuknya pasar properti pada waktu itu. Equilibrium Models hanya dapat menjelaskan pemahaman proses pembangunan yang diterapkan pada proyek standard dalam kondisi ekonomi yang relatif stabil dimana pasar properti bergulir secara aktiv dimana tidak terjadi dominasi oleh beberapa pengembang besar “kelas kakap” (Healey, 1991). Apa yang terjadi di negaranegara barat menunjukkan bahwa pengusaha besar mendominasi pasar lahan lokal, di mana hal itu juga terjadi di Indonesia (Ball, 1983, Lin Leung, 1987, Haryo Winarso, 2000). Lebih lanjut, Healey (1991) mengusulkan agar perhatian perlu diarahkan kepada dimensi institusi. Sejalan dengan itu pula. Seperti yang ditunjukkan oleh Haryo Winarso’ (2000) dalam penelitiannya di wilayah Jabotabek bahwa peran pengembang lahan ternyata jauh lebih besar ketimbang adanya permintahan (demand) terhadap lahan dan properti baru.. Sejalan dengan kerangka studi dalam artikel ini, pengembangan lahan akan dibahas dipusatkan pada model pengembangan lahan dari sudut pandang institusional tersebut. Pada tataran teoretikal, permasalahan penting yang dibahas adalah keterkaitan sosial yang ditunjukkan di dalam produksi utamanya, perangkat peraturan dan ideologi yang berlaku di dalam tatanan masyarakatnya (Healey, 1992, hal.37). Atas dasar argumen itu, pembahasan akan lebih memperhatikan tatanan institusi (kelembagaan) sebagai pendekatan di dalam pengembangan lahan. Pendekatan institusional di dalam ilmu ekonomi telah mendapat tempat sebagai salah satu mashab yang disebut sebagai “institutional economics” yang kemudian berkembang pada tahun 1980-an sebagai “the new institutional economics” dan menjadi perhatian di dalam bidang ekonomi setelah dua orang tokohnya Ronald H. Coase dan Douglas C. North mendapat hadiah Nobel dalam ilmu ekonomi pada awal 1990’an. Institusi telah menjadi perangkat untuk menciptakan tatanan untuk mengurangi ketidak pastian di dalam pertukaran (exchange). Institusi memegang peranan penting – yang dapat menyiapkan struktur insentif ekonomi; begitu struktur itu bergulir, terbentuklah arahan pertumbuhan ekonomi ke arah pertumbuhan, stagnasi, atau penurunan (North, 1991). Institusi bermakna karena menetapkan aturan dasar bagi transaksi ekonomik. Sejalan dengan model Healey (1992) yang memberikan kerangka bagi analisis institusional dalam pengembangan lahan, telah mampu mengemukakan kaitan sosial yang dapat menjelaskan mengapa dalam konteks internasional proses pembangunan berbeda di dalam bentuk dan variasi waktu sehubungan dengan proses pengembangan properti tersebut. Akan tetapi Healey melewatkan alasan ekonomik dan non-ekonomik mengenai langkah-langkah strategik
4
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 17/No.2, Agustus 2006
yang dilakukan oleh para pelakunya. Kemudian lebih lanjut van der Krabben (1995), di dalam disertasi PhDnya melakukan kritisi bahwa model Healey tidak mengemukakan teori dinamika terhadap perubahan institusi yang terjadi – mengapa perubahan institusi (“institutional change”) terjadi? – walau pun hal itu tentunya dikenali (oleh Healey) sebagai variasi waktu dalam konteks institusi. Model Healey berteori tentang hubungan antara konteks institusional dengan proses pengembangan properti. Namun demikian menurut van der Krabben (1995:64) tidak masuk ke dalam konteks institutional itu sendiri. Disertasi van der Krabben (1995) bertujuan untuk mengembangkan kerangka untuk melakukan analisis institutional-economik di dalam proses pengembangan properti. Teori ekonomi kemudian dipakai secara eksplisit asumsi yang mendasari model dan berteori di dalam dinamika institusional pada tingkat ekonomi lokal dan nasional dan aksi (tindakan) ekonomi yang dilakukan oleh agen tertentu. Menurut van der Krabben, pandangan North terhadap makna dan pembentukkan institusi yang berupa konsep perubahan institusional (institutional change) dan path dependency dengan mempertimbangkan institusi berazaskan efisiensi dapat menjelaskan proses pengembangan lahan. Studi yang dilakukan oleh van den Krabben (1995) tersebut telah menjelaskan bagaimana dinamika pengembangan properti di negara Belanda yang dilakukan melalui pengamatan penataan ruang ditinjau dalam jangka waktu 25 tahun (1970-1995). Studi yang dimaksud menerapkan analisis intitusional di dalam pengembangan real estat yang mencakup beberapa aspek sbb: (1) dampak persoalan ketidak-pastian dan kurangnya informasi di dalam tindakan ekonomi, (2) asumsi bahwa pelaku ekonomi yang berbeda juga mempunyai strategi yang berbeda sesuai dengan rasionalisasinya, (3) perilaku individual terbentuk oleh berbagai “aturan informal” seperti kebiasaan, kepercayaan dan norma tertentu, (4) adanya perubahan instiusi yang kentara pada pasar real estat di dalam proses pengembangan (berpengaruh terhadap hubungan baru dalam pasar real estat, strategi alternatif terhadap segmen pasar, perspektif baru terhadap sektor kebijakan publik serta perubahan terhadap biaya pembangunan dan harga pasar), (5) path dependency ( bagaimana cara tindakan ekonomi dan sektor kebijakan publik saat ini terbentuk oleh keputusan yang telah diambil pada masa lalu) merupakan sektor kegiatan pengembangan yang harus difahami dengan tepat prosesnya sebagai pertimbangan bagaimana pasar real estat berevolusi dari waktu ke waktu. Disertasi van der Krabben (1995) itu menunjukkan pentingnya peranan institusi di dalam proses pengembangan properti khususnya aspek institusi di dalam pasar real estat dan perubahan institusi.
5
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 17/No.2, Agustus 2006
Proses pengembangan lahan yang dihadapi di kawasan perkotaan memang benar dipengaruhi oleh adanya perubahan institusi seperti yang telah ditunjukkan van der Krabben (1995), dengan kasus pengembangan perkotaan di negara Belanda. Akan tetapi pada kasus yang dihadapi dalam pengembangan kawasan perkotaan yang berlangsung secara spontan seperti kasus di kawasan perkotaan di Indonesia keadaannya berbeda. Seperti yang dilakukan oleh van der Krabben, aspek institusi yang juga perlu dikaji dalam proses pengembangan secara spontan adalah: (1) dampak persoalan ketidakpastian dan kurangnya informasi di dalam tindakan ekonomi, keadaan ini justru yang menyebabkan reaksi para pengembang dan masyarakat bertindak secara spontan (2) asumsi bahwa pelaku ekonomi yang berbeda juga mempunyai strategi yang berbeda sesuai dengan rasionalisasinya, terutama di dalam menanggapi gejolak perubahan pasar sesuai dengan rasionalisasi agar dapat bertindak lebih cepat, (3) perilaku individual terbentuk oleh berbagai “aturan informal” seperti kebiasaan, kepercayaan dan norma tertentu, yang merupakan motivasi penting didalam mobilisasi pengembangan secara spontan (4) adanya perubahan instiusi yang kentara pada pasar real estat di dalam proses pengembangan (perubahan ini tidak banyak berpengaruh terhadap pengembangan secara spontan, tidak ada perubahan perspektif dari sektor kebijakan publik- akan tetapi terjadi perubahan biaya pembangunan dan harga pasar dengan melakukan persaingan secara ilegal dan informal – yang menyebabkan tingginya biaya transaksi dalam bentuk pengembangan spontan) (5) path dependency – dapat difahami sebagai proses evolusi pemenuhan kebutuhan yang timbul secara spontan – dan dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa pengembangan secara spontan dapat berlangsung secara fleksibel.Karena itu, untuk melengkapi analisis institusional di dalam pengembangan lahan diperlukan pendekatan yang lebih ekonomi mikro yaitu analisis biaya transaksi. 2.1 Paradigma Biaya Transaksi Biaya transaksi (Transaction Cost Economics - TCE) atau biaya tawarmenawar –menurut James A. Acheson (1994) merupakan konsep penting di dalam mashab neo-ekonomika institusional (the new institutional economics). Sejak diperkenalkan pada tahun 1937, biaya transaksi telah berkembang sebagai paradigma baru (dinyatakan oleh Dietrich, 1994 dan Cheung, 1998) di dalam bidang ekonomi-mikro dan ekonomi kesejahteraan. Gagasan “transaction cost economics” (TCE) diprakarsai oleh Ronald H. Coase (1937) dikemukakan di dalam makalahnya yang mengamati mekanisme harga – yang dapat mengalokasikan sumberdaya secara efektif – dan berargumentasi bahwa alokasi sumberdaya dapat atau tidak dapat direncanakan/diarahkan melalui kegiatan usaha (firms). Coase memberikan pemecahannya dengan mengemukakan “alasan utama mengapa mendirikan kegiatan usaha menguntungkan adalah karena cenderung adanya biaya di dalam yang
6
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 17/No.2, Agustus 2006
menggunakan mekanisme harga”. Biaya (costs) ini dapat direduksi berdasarkan pertimbangan faktor sebagai berikut : (a) biaya untuk menutup pengeluaran yang relevan dengan kegiatan usaha tsb. dan (b) biaya untuk melakukan negosiasi dan termasuk kontrak yang beragam di dalam kontrak terpisah bagi setiap kontrak transaksi pertukaran (berdasarkan kutipan dari Dietrich, 1994). Williamson (dalam Furubotn dan Richter, eds., 1991) menunjukkan bahwa pendekatan biaya transaksi menggambarkan peringatan para ilmuwan sosial untuk menghargai organisasi ekonomi berbeda dari yang biasa dilakukannya. (Williamson, 1991). Gagasan biaya transaksi telah berkembang pada perspektif yang semakin luas, tidak hanya pada dunia usaha dan pasar akan tetapi pada dasarnya berkembang pada usaha, waktu dan pengeluaran yang diperlukan untuk memperoleh “informasi penting untuk membuat pertukaran, negosiasi dan penguatan (enforce) untuk melakukan pertukaran tersebut”. Komponen yang sangat penting dalam biaya transaksi menurut Williamson (1975) adalah informasi pada pasar dan harga, asosiasi bisnis, dsb (Acheson, 1994). Lebih lanjut Alexander (1992, p.195), di dalam kaitannya dengan perencanaan (wilayah & kota) mencatat bahwa “.... teori biaya transaksi menawarkan dasar pemahaman perencanaan yang lebih penting dari rasional untuk intervensi publik”. Ringkasnya, teori biaya transaksi dalam perencanaan dijelaskannya sbb: (1) Biaya transaksi, terutama investasi “transaction-specific” merupakan insentif untuk pengembangan keterkaitan nonmarket, yang membangkitkan organisasi hirarkis dan sistem inter organisasi. (2) Keputusan kolektif di dalam pasar baik secara ekonomik ataupun politik, dibuat melalui agregasi dari keputusan perorangan secara berganda: pasar secara intrinsik tidak memerlukan perencanaan. (3) Karenanya perencanaan adalah bentuk organisasi properti nonmarket. Khususnya perencanaan diasosiasikan dengan hirarki, yang muncul di dalam bentuk yang beragam merentang dari satuan organisasi yang tunggal/mandiri sampai kepada kerangka mandat yang kompleks dan sistem inter organisasi. Biaya transaksi cenderung meningkat pada kasus ketidak-pastian (uncertainty) dan perilaku oportunistik kombinasi dengan bounded rationality dan 'sejumlah kecil relasi pertukaran’ (“behaviour assumption”). Dan lebih lanjut bahwa biaya transaksi tinggi apabila pertukaran tergantung pada seseorang yang spesifik, lokasi yang spesifik, atau aset fisik yang spesifik.
7
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 17/No.2, Agustus 2006
Dalam kondisi ini, kemampuan seseorang untuk tawar-menawar menjadi rendah dan oportunistik menjadi sangat tinggi (Williamson. 1975, p.40; Acheson, 1994, p.11). Gagasan yang penting sekali dari biaya transaksi di dalam pemikiran ekonomi adalah analisis Ronald H. Coase yang menjelajahi hubungannya dengan kegagalan pasar. Menurut Coase, di dunia zero transaction costs, intervensi kebijakan publik tidak hanya tidak beralasan – tetapi tidak relevan dengan efisiensi ekonomi. Gagasan ini telah dikutip selama puluhan tahun, dikenal sebagai theorema Coase, yang menyatakan bahwa apabila tidak ada dampak kekayaaan (wealth effect) atau transactions costs, maka tugas awal (initial assignment) dari hak kepemilikan (property rights) yaitu hak milik tidak akan berpengaruh terhadap alokasi akhir, akan tetapi akan berpengaruh pada bagian kekayaan yang terlibat. Betapa pun, dan hal yang sangat penting, Teorema Coase mengamati bahwa pada kenyataannya, dunia sebenarnya penuh dengan dampak kekayaan dan transactions costs, sehingga tugas awal hak pemilikan (property rights) tidak hanya berpengaruh pada dampak kekayaan, tetapi juga berpengaruh pada alokasi akhir property rights. (Heikkila, 2000) Berangkat dari Theorema Coase, para skolar telah mempertimbangkan bahwa biaya transaksi sekarang merupakan variabel penting di dalam evolusi kebijakan publik. Beberapa menganjurkan agar biaya transaksi hendaknya dimasukan pada paradigma ekonomi kesejahteraan (welfare economic paradigm); yang lain menganjurkan untuk meninggalkan kriteria efisiensi dan menggantikannya dengan kritera seleksi kebijakan yang relevan, seperti misalnya pemerataan dan keefektifan (Dawkins, 2000). Dalam kaitan dengan artikeli ini, Theorema Coase seperti yang dinyatakan Dawkins (2000) memaksa analis kebijakan penggunaan lahan untuk berfikir ulang asumsi normatif yang melandasi preskripsinya. Lebih lanjut, pertanyaan mengenai lingkup perencanaan – merencanakan atau tidak merencanakan – bukanlah berkait pada apakah intervensi perencanaan beralasan. Atau apakah suatu persoalan harus dipecahkan dengan melepaskannya pada mekanisme pasar atau paling banyak dengan berupaya memanipulasi interaksi pasar dengan memperkenalkan insentif tertentu. Ketimbang, pertanyaannya adalah apakah transactions costs merupakan keputusan kolektif jenis-pasar, apakah ekonomi atau politikal? Apakah lebih rendah atau lebih tinggi dibandingkan dengan biaya organisasi hierarhikal dan perencanaan yang sedang berlaku (Alexander, 1994)? Jawabannya terkait dengan pengaturan organisasi hierarhikal – atau struktur kepemerintahan (governance). Bahwa biaya transaksi tinggi ketika pertukaran bergantung pada orang tertentu (specific person), di lokasi khusus (special location), atau aset fisik tertentu (specific physical assets). Pada kondisi ini
8
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 17/No.2, Agustus 2006
kemampuan tawar-menawar rendah dan kesempatan untuk mendapat peluang tinggi (Acheson, 1994: p.11). Biaya transaksi cenderung meningkat di dalam kasus ketidak-pastian (uncertainty) dan perilaku opportunistik yang dikombinasikan dengan rasionalitas terbatas (bounded rationality) dan 'small-numbers exchange relations' (Williamson, 1975: p. 40). Seperti yang dicatat oleh Alexander (1994 p.17), apabila biayanya rendah, agen atau perusahaan boleh jadi didesentralisasikan, atau pelayanan masyarakat dapat diswastanisasi. Apabila menjadi tinggi, mandat legislasi dapat melakukan superimpose kerangka hirarhikal pada politikal atau ekonomi pasar, atau organisasi hirarhikal atau keterkaitan inter-organikal yang akan muncul. Apakah hal ini dilakukan oleh sektor publik atau sektor swasta atau campuran antara keduanya adalah pertanyaan lain, permasalahannya ditujukan pada proses perancangan institusi. Ekonomika biaya transaksi kemudian menjadi fokus unit analisis dasar untuk menilai dan mengukur penetapan “institusi yang tidak-efisien” dan pemilihan alternatif struktur kepemerintahan (governance) dalam proses pengembangan lahan. Indikasi “institusi yang tidak-efisien” terjadi di negara ketiga terutama disebabkan oleh tingginya biaya transaksi. Konsep bounded rationality, asset specificity, dan opportunity akan menjadi faktor pertimbangan utama di dalam analisis ekonomika biaya transaksi. 2.2 Eksternalitas Eksternalitas adalah biaya/beban (cost) atau manfaat (benefit) yang terkena kepada konsumen atau perusahaan oleh karena tindakan yang dilakukan oleh pihak lain. Eksternalitas dapat memberikan manfaat disebut eksternalitas positif atau dapat juga menyebabkan beban (cost) disebut eksternalitas negatif. Teori eksternalitas (analisis situasi, seperti misalnya polusi, dimana tindakan satu orang dapat menimbulkan beban atau manfaat) pada orang lain. Dua gagasan yang berseberangan yaitu pendekatan Pigouvian1 dan Coasian2 perlu difahami dalam penanganan dampak eksternalitas ini. Penanganan dampak eksternalitas merupakan keputusan publik, di mana pemerintah akan menerapkan suatu tindakan, salah satunya adalah dengan menetapkan pajak Pigouvian. Maksud pengenaan pajak itu adalah untuk dapat mengkonversikan biaya eksternal menjadi biaya internal (=melakukan internalisasi terhadap biaya eksternal). Untuk mencapai tujuan itu, pemerintah menetapkan pengenaan pajak/retribusi pembangunan yang harus mampu mengukur biaya untuk mengatasi eksternalitas negatif (misalnya polusi). Akan tetapi, berbeda dengan peraturan langsung, penggunaan pajak/retribusi pembangunan tersebut tidak mempersyaratkan pemerintah untuk mengukur biaya untuk mencegah eksternalitas negatif – apakah dengan memasang instalasi alat kontrol
9
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 17/No.2, Agustus 2006
pengawas lingkungan atau dengan mengurangi hasil produksinya. Hal itu dilakukan oleh pengembang, yang bertindak atas kepentingannya sendiri. Apabila Pigou dianggap keras kepala dengan pendekatan intervensi pemerintah melalui pajak dan retribusi, maka Coase juga bersikeras beradvokasi akan adanya negosiasi (tawar-menawar) secara bebas antara berbagai pihak yang berpengaruh terhadap berbagai persoalan eksternalitas – yaitu dengan menghindari intervensi yang dilakukan pemerintah. Menurut Coase, selama hak milik (property rights) jelas dan selama transaksi (pembayaran) antar pihak terkait, eksternalitas dapat ditangani dan hasil optimal akan terjadi. Pihak yang terlibat masih dapat keuntungan sementara masyarakat juga memperoleh hasil yang diharapkan. Argumentasi Coase adalah bahwa tawar-menawar yang dilakukan pihak swasta dapat mengatasi dampak eksternalitas lebih efisien ketimbang yang dilakukan melalui intervensi pemerintah, Lebih lanjut prosesnya bergantung pada biaya transaksi. Apabila terjadi eksternalitas akan tetapi tidak ada biaya transaksi – tidak ada persoalan, selama berbagai pihak bersepakat untuk mencari solusi secara efisien. Ketika kita mengamati persoalan eksternalitas (atau bentuk lain dari kegagalan pasar) di dunia nyata, kita hendaknya tidak semata mempertanyakan dari mana persoalan itu berasal, akan tetapi apakah biaya transaksi itu dapat mencegah dalam bersepakat bahwa proses pengembangan akan terjadi. (Klink, 1994, Webster, 1978) III. PENELITIAN LAPANGAN Penelitian ini bermaksud untuk memahami mekanisme pasar dan bagaimana intervensi yang dilakukan oleh pemerintah kota dalam berperan pada proses pengembangan lahan dan properti. Kenyataan bahwa pengembangan lahan dan properti di kota Bandung cenderung terjadi secara spontanitas ketimbang dipandu oleh dokumen Rencana Kota (RTRW) - di mana pasar lahan dan properti (swasta) lebih merupakan alasan penting yang memacu pengembangan ketimbang panduan rencana yang berdasar pada arahan kebijakan publik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelajah (eksplorasi) interaksi yang terjadi antara institusi pemerintah, pengembang (swasta) dan komunitas, dengan fokus pada pengamatan gejala eksternalitas dan biaya transaksi. Lebih lanjut penelitian ini juga bermaksud untuk memahami peran pemerintah kota di dalam mengurangi (dampak) eksternalitas dan biaya transaksi agar proses pengembangan lahan dan properti lebih efektif dan efisien. Sejalan dengan tujuan penelitian, survey lapangan dilakukan secara wawancara dengan menggunakan kuestioner untuk menjaring informasi mengenai:
10
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 17/No.2, Agustus 2006
(1) Keberadaan Biaya Transaksi: Untuk tujuan opersional penelitian ini dilakukan identifikasi biaya transaksi seperti yang disarankan Buitelaar (2004) sebagai berikut: (a) dengan cara membedakannya dengan biaya produksi, (b) di dalam proses produksi dengan informasi yang sempurna tanpa institusi (lain) yang terlibat, semua biaya yang terjadi adalah biaya produksi, (c) segala bentuk proses pengembangan yang tidak nampak di dalam “dunia nyata”, akan tetapi membentuk rujukan yang baik menunjukkan identitas sebagai biaya transaksi. Selanjutnya fokus pada biaya pengadaan dan penggunaan (jasa) penataan secara institusional. Penataan secara institusional yang dimaksud adalah dalam rangka penataan ruang (rencana tata guna lahan dan bangunan) adalah apa yang disebut pengaturan penggunaan lahan (user right regime) – perangkat peraturan formal yang menetapkan dan peruntukkan hak pemanfaatan lahan sebagai cara untuk melakukan koordinasi perubahan pemanfaatan lahan di kawasan tertentu. Hal itu dilakukan melalui pengaturan terhadap status hak atas lahan (property rights regime) dan peraturan paenataan ruang (spatial planning regime). Untuk menelusuri keberadaan biaya transaksi diungkap informasi yang berkaitan dengan (a) biaya yang dikeluarkan untuk proyek yang termasuk biaya produksi secara fisik, (b) biaya dikeluarkan untuk proyek yang termasuk biaya administrasi, hukum dan organisasi (koordinasi institusi), (c) biaya yang dikeluarkan untuk proyek yang termasuk biaya dampak pencemaran /gangguan/polusi fisik, (d) biaya yang dikeluarkan untuk proyek yang termasuk biaya dampak gangguan sosial/budaya/mental-spiritual/moral (2) Keberadaan Eksternalitas: melalui penelusuran pengeluaran atas biaya-biaya tersebut pada (1) dilakukan identifikasi gejala-gejala apa yang kemudian dapat digolongkan sebagai dampak eksternalitas (negatif) dan juga ditanyakan bagaimana persepsi – perilaku dan sikap responden terhadap keberadaan eksternalitas, alternatif penanganan dan biaya transaksi tsb. Dari sampel yang diteliti, yang dilakukan secara purposive (dipilih) berdasarkan daftar pengusaha (formal) yang tercatat pada Kamar Dagang Kota Bandung. Informasi yng dikumpulkan telah cukup memberikan deskripsi mengenai permasalahan mekanisme pasar, pengembangan lahan dan properti dan Perencanaan Penataan Ruang Perkotaan di dalam Institusi Pengelolaan Pembangunan di Kawasan Perkotaan - Bandung khususnya untuk memahami gejala “biaya transaksi economics” dan eksternalitasnya. Dengan mengingat kekurangan dan kendala yang dihadapi, berikut ini disampaikan hasil penelitian lapangan yang diharapkan dapat memberikan ilustrasi persoalan yang dihadapi di dalam pengembangan lahan dan pembangunan kota Bandung – dan dapat digunakan sebagai langkah awal penyusunan agenda penelitian yang lebih lengkap dan menyeluruh.
11
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 17/No.2, Agustus 2006
IV. HASIL PENELITIAN Perusahaan pengembang lahan yang beroperasi di Kota Bandung berdiri di sekitar tahun 1970-an, umumnya (pengembang yang diteliti) lebih banyak bergerak di dalam bidang perumahan. Walaupun beberapa pengembang berusaha ekspansi di bidang bisnis lain ( rotan, tambak udang, peti kemas, pariwisata) akan tetapi umumnya kembali lagi ke pengembangan lahan (perumahan) karena bidang usaha ini dianggap masih dapat memberikan keuntungan. Keberhasilan perusahaan terutama apabila mereka dapat menjalankan proses pengembangan lahan sesuai dengan skedul waktu yang direncanakan. Di samping itu juga kepuasan konsumen terhadap hasil kerja perusahaan, dan adanya permintaan (demand) yang cukup tinggi (pembelian/pemesanan rumah banyak) memperkuat keberhasilannya. Di samping faktor internal perusahaan (dengan spesialisasi yang lebih terfokus), faktor eksternal yang penting adalah stabilitas ekonomi nasional dan bunga bank yang menunjang. Faktor lokasi (yang strategis) jelas merupakan alasan utama keberhasilan pengembangan lahan; dari sisi lain pengembangan lahan memberikan nilai lebih karena dapat meningkatkan pemanfaatan lahan yang produktivitasnya rendah. Sedangkan kegagalan dalam pengembangan lahan terjadi terutama sebagai akibat dari skedul yang tidak dapat dipenuhi (tidak tepat waktu) – kewajiban bunga bank tidak terbayar – dan apabila penjualan rumah/kaveling sulit. Periode yang dianggap menguntungkan adalah pada tahun-tahun 1970an sampai 1996, ketika keadaan ekonomi sangat menunjang dan harga lahan relatif masih murah dan kompetitor masih minim. Akan tetapi pada periode 1997-1999 saat Indonesia dilanda krisis moneter – permintaan/pembelian untuk rumah menurun - pasar lesu – perekonomian tidak stabil, kegiatan pengembangan lahan menurun. Mulai tahun 2000 keadaan membaik, perusahaan relatif stabil, terdapat beberapa kebijakan pemerintah yang cukup menunjang iklim pembangunan. Akan tetapi Dana Pembebasan Lahan Tinggi sementara itu pengadaan Infrastruktur oleh Pemerintah sangat lambat. Dana Pembebasan Lahan tidak disediakan oleh Bank – Bank hanya memberi bantuan dana untuk konstruksi. 4.1 Biaya Proyek Di dalam penelitian ini, biaya transaksi mengikuti cara identifikasi seperti yang dilakukan Buitelaar (2004): yaitu dimulai dengan cara membedakannya dengan biaya produksi. Karena itu kuestioner dirancang untuk meliput informasi mengenai pengeluaran biaya produksi untuk (1) bahan bangunan, (2) lahan, (3) tenaga kerja dan (4) lainnya (transport dan pemasaran). Di luar biaya itu dapat digolongkan sebagai “biaya transaksi” yang akan diliput di dalam kuestioner berikutnya “biaya koordinasi” dan biaya eksternalitas (negatif)
12
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 17/No.2, Agustus 2006
Proporsi dalam pengeluaran untuk Proyek Pengembangan Properti yang termasuk biaya produksi (yang dimaksud adalah (rata-rata) untuk proyekproyek fisik yang pernah dikerjakan, di luar biaya eksternalitas.) adalah: (a) Bahan bangunan – yang tertinggi- diperkirakan sampai mencapai 45%, (b) Lahan, yang kedua - diperkirakan sampai mencapai 34% (Tidak termasuk biaya “administrasi, hukum, sosial”: ganti rugi, pengalihan hak, sertifikat lahan, dll.), (c) Tenaga Kerja - diperkirakan sampai mencapai 12%, (d) Biaya lainnya (Angkutan/transport, Pemasaran dan lain-lain) relatif kecil terhadap biaya tsb, di atas) . Selain dari biaya tersebut di atas, terdapat biaya Administrasi. Hukum, Organisasi yaitu biaya (eksentralitas) lain seperti yang tersebut di bawah ini: (a) Biaya yang tertinggi adalah untuk pembebasan lahan & pengalihan hak atas tanah, (b) administrasi perizinan, (c) koordinasi pelaksanaan proses pengembangan lahan, (d) pengumpulan informasi dan (e) biaya untuk pembuatan kontrak/kerja-sama san biaya hukum lainnya Biaya-biaya tersebut perlu diperhitungkan tersendiri karena biaya tsb. “tidak dapat diabaikan”, walaupun tidak dapat diperkirakan tetapi tetap harus diperhitungkan. Betapapun perijinan sangat mempengaruhi biaya produksi, walaupun mau tidak mau biaya perijinan tsb harus dipenuhi. Biaya Biaya transaksi yang diabaikan untuk koordinasi, perolehan informasi dan kontrak karena biaya relatif kecil; akan tetapi biaya Biaya transaksi yg tidak dapat diabaikan adalah biaya perijinan dan pembebasan lahan. Harga (jual) pasar properti diakibatkan oleh biaya produksi (fisik bangunan dan lahan) ditambah biaya tersebut di atas. Biaya transaksi cukup besar dibandingkan dengan biaya produksi, mencakup kurang lebih 20% dari seluruh biaya. Responden berpendapat bahwa biaya transaksi cenderung makin besar karena: (a) ketidak pastian peraturan-perundangan, (b) buruknya aparat pemerintah, walaupun peraturan cukup jelas, (c) Ketentuan informal lebih menentukan, (d) Peraturan tidak dapat mengendalikan biaya transaksi- tergantung pada kesepakatan antara Pemda dan pengembang. (e) Ada indikasi bahwa Biaya transaksi diserahkan pada mekanisme pasar. Biaya perizinan yang cukup besar – yang besarnya sangat variatif – dalam beberapa hal besarnya dapat “ditentukan” oleh developer melalui proses negosiasi dengan aparat pelaksana. Dalam hal terjadi dampak lingkungan, dampak sosial & pencemaran dapat diatasi - contohnya pengembang memberikan subsidi melalui kelurahan atau langsung kepada masyarakat di sekitar proyek yang dikerjakan.
13
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 17/No.2, Agustus 2006
Sikap terhadap keberadaan biaya Administrasi, Hukum, Organisasi, para responden berkesimpulan sbb.: Biaya administrasi dll. dianggap cukup wajar pengenaannya oleh pemerintah daerah demi keteraturan penataan ruang, lingkungan dan menjamin kepentingan publik: (1) prosedurnya sudah cukup jelas dan adil, walau pun sosialisasi terhadap prosedur tersebut kurang memadai, (2) akan tetapi masih terdapat prosedur yang kurang adil, dan merugikan pengembang, untuk itu diusulkan adanya deregulasi birokrasi; (3) prosedurnya cukup adil tetapi pelaksanaannya buruk, karena adanya biaya tambahan di luar biaya tetap, bahkan kadang-kadang pengembang harus mengeluarkan biaya di luar prosedur; (4) Namun demikian hal itu masih dapat diperhitungkan oleh responden, dalam kalkulasi proyek, selama masih sejalan dengan prosedur yang berlaku. Dari segi biaya pengenaannya, responden masih merasa keberatan karena terlalu besar: (1) Biaya formal tidak besar tetapi biaya informalnya besar; (2) Dalam banyak hal biaya informal tidak masuk akal. Karena pengembang sudah merasa cukup banyak mengeluarkan biaya untuk perijinan (prosedur) akan tetapi masih sulit (keluarnya lama). Karena itu responden berpendapat bahwa masih perlu perbaikan di dalam: (1) Prosedur yang lebih adil: standar prosedur sudah baik, namun pelaksanaan seringkali melenceng dari prosedur. (2) Biaya pengenaan yang masuk akal: standar biaya perlu ditetapkan secara lebih adil dan mengikuti prosedur masuk akal, sehingga masih dapat diperhitungkan di dalam proses pelaksanaan pengembangan lahannya. (3) Pembenahan kelembagaan: perlu diupayakan agar prosesnya berjalan lebih cepat, terutama capacity building para aparat pelaksananya, (4) Kelembagaan perlu disederhanakan: khususnya dengan adanya adanya Otonomi Daerah yang lebih besar – hendaknya diperhatikan agar tidak lagi terjadi tumpang tindih wewenang (terutama dengan pemerintah propinsi dan pemerintah pusat). Pengembang/responden merasa terlalu banyak dirugikan, karena mereka berpendapat bahwa biaya-biaya itu seharusnya sudah termasuk di dalam perhitungan pengenaan pajak. Hal lain yang mengurangi efisiensi di dalam pengenaan biaya ini adalah: (1) Biaya-biaya informal terlalu besar (khususnya dalam memperoleh informasi yang berkaitan dengan kebijakan lahan, penataan ruang dan lingkungan), (2) Responden berpendapat bahwa pelayanan yang diberikan belum baik, kurang aksesibel dan tidak transparan. Perlu ditingkatkan, khususnya dalam kualitas sumber daya manusianya.
14
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 17/No.2, Agustus 2006
4.2 Biaya Dampak Pencemaran/Gangguan Biaya lain yang mungkin muncul adalah sebagai dampak pencemaran atau gangguan secara fisik:dari proyek/kegiatan yang terjadi terhadap kawasan di sekitarnya. Jenis Pembiayaan yang diperkirakan muncul adalah: (1) kemacetan lalulintas, (2) polusi udara, (3) polusi air limbah/buangan cair, (5) gangguan kebisingan, (6) buangan limbah padat/sampah . Umumnya responden kurang memperhatikan dampak biaya ini - peranannya di dalam proses produksi dianggap kecil hingga sedang. (Hal yang relatif dianggap terpenting adalah buangan limbah padat/sampah). Namun demikian responden berpendapat bahwa biaya tersebut tidak dapat “diabaikan” dan di”internalisasikan” di dalam biaya produksi; perlu diperhitungkan tersendiri. Biaya lain yang juga mungkin timbul adalah untuk dampak sosia-budaya, mental-spiritual terhadap masyarakat disekitarnya. Jenis Pembiayaan yang diperkirakan muncul adalah: (1) dampak meningkatnya kejahatan, (2) keresahan dan “gejala sosial”, (3) penjagaan keamanan, (4) bimbingan masyarakat : peningkatan moral, (5) bimbingan masyarakat: spiritual, agama. Umumnya responden juga kurang memperhatikan dampak biaya ini peranannya di dalam proses produksi dianggap kecil hingga sedang. (Hal yang relatif terpenting adalah penjagaan keamanan). Para responden tidak sepakat dengan berpendapat bahwa biaya tersebut tidak dapat “diabaikan” dan di”internalisasikan” di dalam biaya produksi; perlu diperhitungkan tersendiri. Hal tsb. menunjukkan bahwa dampak biaya ini tidak mendapat perhatian yang serius dari para pengembang. Sikap terhadap penangan dampak eksternal dan pembiayaannya – umumnya mereka berpendapat: (1) Para responden tidak sepakat apabila dampak itu sebaiknya ditanggung penangannnya oleh pengembang: (a) Agak keberatan apabila diperhitungkan sebagai resiko perusahaan, karena biayanya tidak pasti (b) Juga meragukan apabila dilakukan sebagai bagian dari pelayanan masyarakat – secara sukarela (c) Akan tetapi apabila hal itu telah ditetapkan di dalam UU/peraturan daerah – para responden menyetujui akan tetapi dengan pengarahan dan bantuan pemerintah (2) Para responden cenderung lebih setuju apabila dampak itu sebaiknya menjadi tanggung jawab penuh pemerintah: (a) Karena sudah membayar pajak, retribusi dan perizinan, (b) Sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah saja (c) Pengembang membantu seperlunya
15
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 17/No.2, Agustus 2006
(3) Para responden meragukan apabila dampak itu sebaiknya ditanggung oleh masyarakat setempat, beberapa hal yang meragukan adalah (a) Apakah masyarakat menerima apabila dampak itu merupakan resiko yang ditanggung masyarakat? (b) Keraguan dapat dikurangi apabila ada inisiatif dari masyarakat dan pemerintah memberikan bantuan dan dorongan, atau (c) Inisiatif dari masyarakat dan pengembang bersedia memberikan bantuan (d) Atau mencari bantuan dari berbagai sponsor (4) Akan tetapi para responden umumnya sepakat apabila dampak itu sebaiknya ditanggung bersama: (a) Negosiasi dengan masyarakat, pemerintah dan pengembang merupakan persyaratan yang mutlak. (b) Dilaksanakan oleh pemerintah, pengembang membayar pajak pemerintah dan pengembang (walau pun masih meragukan kemampuan birokrasi dan kapasitas pelayanan pemerintah), (c) Dilaksanakan oleh masyarakat, dana dari pengembang. Dengan pengarahan dari pemerintah (walaupun masih meragukan peran “gotong royong” dan partisipasi masyarakat), (d) Dilakukan oleh pengembang, dengan partisipasi masyarakat dan bantuan dana & pengarahan pemerintah (walaupun diragukan keefektivan oraganisasinya) (e) Bergantung pada mekanisme pasar (5) Hal itu menyebabkan harga (jual) properti menjadi mahal karena adanya biaya transaksi yang cukup besar. Hal ini menyebabkan timbulnya sikap pengembang untuk: (a) karena biaya perijinan besar maka, dalam proses pembebasan lahan akan menguntungkan apabila luas lahan yang akan dibebaskan tidak kecil (luas lahan yang besar/kecil biaya perijinannya tetap tinggi, maka untuk menutupi kerugian tsb pengembang membuat strategi dengan memperluas lahan yang akan dikembangkan. (b) Pengembang masih mencari perolehan keuntungan dari harga lahan (c) Untuk mengatasi persoalan ini pengembang memerlukan bantuan REI sebagai mediator untuk negosiasi dengan pemerintah, sehubungan dengan: (c1) kemudahan perijinan, (c2) ketegasan dan konsistensi dari pemerintah (c3) kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah dalam perekonomian (makromaupun mikro) (c4) Diharapkan adanya peningkatan profesionalisme aparat – harus benar-benar konsisten dan berlaku sesuai dengan prosedur. V. KESIMPULAN, PERTANYAAN DAN AGENDA PENELITIAN Pengembangan lahan dan properti menunjukan fluktuasi yang dramatis sejak tahun 1970an ketika hampir semua pengembang lahan dan properti memulai kegiatan bisnisnya. Selama perioda “deregulasi” ekonomi Indonesia – di mana privatisasi telah mendapat dukungan penuh dengan adanya kebijakan fiskal yang kondusif terhadap pengembangan lahan dan properti – bisnis pengembangan lahan dan properti telah berkembang dengan pesat. Akan
16
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 17/No.2, Agustus 2006
tetapi pada perioda 1997-2000 ketika Indonesia dilanda krisis moneter – bisnis pengembangan lahan dan properti mengalami penurunan. Terlepas dari meningkatnya bahan bangunan (terutama disebabkan oleh inflasi, biaya transport - BBM yang tinggi, dan tenaga kerja yang meningkat) menarik untuk mengkaji biaya pengembangan lahan dan properti yang disebabkan oleh komponen biaya di luar biaya produksi (fisik). Di luar biaya produksi terdapat “co-ordination costs atau “institutional costs” dan eksternalitas (negatif) seperti polusi fisik maupun non-fisik. Hal ini didefinisikan sebagai biaya transaksi, di mana dalam hal ini meliput juga keberadaan suatu biaya yang tidak dapat diperkirakan sebab relatif kecil akan tetapi dapat dianggap sebagai faktor penting dalam kaitan apakah bisnis akan berlangsung atau terhenti. Komponen biaya tertinggi adalah (a) di dalam proses mengajukan rencana untuk memperoleh izin pengembangan lahan dan properti, (b) pada proses pembebasan lahan. (c) spesifikasi aset di lokasi menyebabkan komponen itu makin tinggi dan konsekuensinya adalah harga lahan dan properti juga menjadi lebih tinggi. Pengembang juga melakukan ”strategi jual-beli lahan”: (a) Membeli atau membebaskan lahan lebih dahulu dengan maksud untuk berspekulasi bila ada konsumen yang berminat membeli lahan di kawasan tertentu. (b) Memanfaatkan lahan yang tidak produktif – agar pembebasan lahan lebih mudah/tidak bermasalah dan harganya lebih murah. Bunga Deposito Bank yang rendah menyebabkan konsumen lebih banyak yang membeli properti. Bisnis properti tidak akan pernah mati karena kebutuhan akan properti akan selalu ada dan meningkat sejalan dengan tingkat pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonominya. Bisnis properti yang paling banyak diminati para konsumen adalah permahan sederhana. Biaya-biaya di luar produksi biasanya sudah dialokasikan sebelumnya, sehingga dengan demikian pengembang dapat menekan harga jual kepada konsumen akan tetapi juga mengupayakan kelancaran proses pengembangan lahannya. Besarnya alokasi ini sangat bervariasi bergantung pada karakteristik lokasi, jenis dan skala proyek pengembangan. Biaya transaksi merupakan salah satu komponen penting di dalam hal ini. Dampak eksternalitas yang ditimbulkan dalam proses pengembangan ini cenderung tidak diatasi melalui intervensi pajak Pigouvian akan tetapi nampaknya pemerintah kota cenderung melakukan pendekatan Coasian; di mana penanganan eksternalitas diambangkan dalam proses negosiasi antar berbagai fihak (sesuai dengan mekanisme pasar) – sehingga biaya transaksi kemudian menjadi indikasi penting berlangsungnya proses ini. Penelitian ini mengidentifikasikan bahwa biaya transaksi di dalam pengembangan lahan dan properti berkisar pada 20%. Sebenarnya
17
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 17/No.2, Agustus 2006
menurut para pengembang angka ini memang cukup tinggi, akan tetapi biaya itu tidak dapat dihindari dan dalam beberapa hal masih dapat ditanggulangi – demi keberlangsungan kegiatan usaha. Willy Irawan (2006) melakukan indikasi bahwa para pengembang masih dapat mempertimbangkan keberlangsungan usahanya apabila biaya transaksi yang masih dibawah 30%. Besarnya biaya transaksi ini merupakan indikasi dalam kebijakan publik saat yang tepat untuk melakukan intervensi agar proses pengembangan lahan dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Keberadaan biaya transaksi menimbulkan beberapa permasalahan penelitian sbb.: (a) Rasionalisasi apa yang mendasari pengenaan biaya transaksi agar pengenaannya tidak berdampak terhadap kelancaran proses pengembangan lahan- khususnya di dalam menangani dampak eksternalitas pengembangan lahan, (b) Memahami perilaku pengembang, aparat pemerintah dan masyarakat – khususnya bagaimana karakteristik mereka pada waktu menjalani proses itu. Apakah ada hal-hal yang menghambat karena adanya perilaku yang oportunistik, yaitu sifat yang mementingkan diri sendiri, menghalalkan segala cara, melakukan praktik tercela (berbohong, menipu, korupsi dll) yang sama sekali tidak menghiraukan kepentingan publik. (c) Mempelajari aspek hukum dan hubungan kerja antar pelaku-pelaku bisnis pengembangan lahan yang menjalani proses interaksi, kontrak kerja dan prosedur pelaksanaan proses pengembangan lahan. Khususnya mempelajari peran dan kewenangan institusi yang menangani proses tersebut. (d) Mengkaji dan mengukur besaran Biaya transaksi untuk mengetahui apakah proporsinya tidak terlalu besar sehingga dengan demikian proses masih dapat berlangsung secara efisien. Kisaran angka 20% yang terjadi saat ini apakah masih bisa ditekan agar lebih efisien? Dan sampai mencapai angka berapa biaya transaksi menjadi indikator bahwa tingkat efisiensi sudah tidak bisa dicapai sehingga diperlukan intervensi instutusi (pemerintah dan atau kepemerintahan) yang dapat mempengaruhi besarnya biaya transaksi tsb. Hendaknya disadari bahwa gejala Biaya transaksi telah memberikan informasi yang berharga dalam (a) merupakan indikasi apakah proses pengembangan lahan dapat berlangsung secara efisien, (b) merupakan indikasi tingkat ketidak-efisienan akibat dari eksternalitas negatif, (c) merupakan indikasi apakah institusi pemerintah harus melakukan intervensi pasar atau melepaskannya pada mekanisme pasar.
Catatan Kaki: 1. Pajak yang dikenakan berdasar nama pencetusnya: Arnold C. Pigou – yang merupakan gagasan untuk melakukan intervensi terhadap kegagalan pasar ataupun mencegah penyebarannya secara lebih luas. 2. Salah satu pelopor ekonomika institusional : Ronald H. Coase yang mendapat Noble Prize untuk ekonomi pada tahun 1991
18
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 17/No.2, Agustus 2006
VI. DAFTAR PUSTAKA Acheson, James. Welcome to Nobel Country: a Review of Institutional Economics. Ed. in Acheson, J., Anthropology and Institutional Economics,. Maryland and London: University Press of America, Inc., 1994. Alexander, Ernest R. 1986, Approaches to Planning – Introducing Current Planning Theories, Concepts and Issues. (New York: Gordon & Breach Science Publication). ____________ 1992. A transaction cost theory of planning. Journal of the American Planning Association 58, 2: 190-200 _____________1994. To plan or not to plan, that is the question: Transaction cost theory and its implications for planning. Environment and Planning B 21: 341-52. Bovaird, Tony 1993. "Analysing Urban Economic Development." Urban Studies vol.30 nos 4/5. 631-658 Buitelaar, Edwin. 2002 “New institutional economics and planning. A different perspective on the market versus government debate in spatial planning”, Nijmegen, Nijmegen School of Management Spatial planning Buitelaar, Edwin. 2004. A Transaction-cost Analysis of the Land Development Process. Urban Studies, Vol. 41, No. 13, 2539–2553, December 2004 Coase, Ronald H. 1960. The problem of social cost. Journal of Law and Economics 3 (October): 1-44. Dahlman, Carl J. 1979. The problem of externality. Journal of Law and Economics 22: 141-62. Dawkins, Casey J. 2000. Transaction Costs and the Land Use Planning Process Journal of Planning Literature, Vol. 14, No. 4 (May 2000). Dietrich, Michael, 1994. Transaction Cost Economic and Beyond – toward a new economics of firms. London & New York, Routledge Furubotn, E.G. & R. Richter (1991), The new institutional economics: an assessment. In: E.G. Furubotn & R. Richter (eds.), The new institutional economics: a collection of articles from the Journal of institutional and theoretical economics, 1-32. Tübingen: Mohr. Hart, Oliver. 1990. An economist’s perspective on the theory of the firm. In Organization theory: From Chester Barnard to the present and beyond, Oliver E. Williamson, ed. New York: Oxford University Press. Haryo Winarso, 2000. “Residential Land Developers’s Behaviour in JABOTABEK, Indonesia, PhD thesis, University College London, University of London Healey, Patsy, 1991. "Models of the Development Process: a review." Journal of Property Research 8. 1991. 219-238. _____________1992. "An institutional model of the development process." Journal of Property Research 9. . 33-44. Healey, P. and Barrett, S.M.. 1990. "Structure and Agency in land and property development process." Urban Studies 27. 89-104 Heikkilla, E. J. 2000. The Economics of Planning. New Brunswick, NJ: Center for UrbanPolicy Research. 35, pp. 53–75 Klink, F.A. 1994. Pigou and Coase reconsidered, Land Economics; Aug 1994; 70, 3; ABI/INFORM Global pg. 386
19
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 17/No.2, Agustus 2006
Medema, Steven G. 1996. Coase, costs, and coordination. Journal of Economics Issues 30, 2: 571-78. Mochtarram Karyoedi, 2006. Mekanisme Pasar, Pengembangan Properti dan Perencanaan Penataan Ruang Perkotaan di dalam Institusi Pengelolaan Pembangunan di Kawasan Tengah Kota Bandung (melalui Perspektif Pendekatan Transaction Cost Economics). Riset ITB – Kelompok Keahlian Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Kebijakan, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB. Needham, Barrie and George de Kam. 2004 Understanding How Land is Exchanged: Co-ordination Mechanisms and Transaction Costs Urban Studies, Vol. 41, No. 10, 2061–2076, September 2004 North, Douglas C.. Institutions, Institutional change and economic Performance. Cambridge, N.Y. et al.: Cambridge Univercity Press , 1991. Pigou, A. C. 1929. The economics of welfare. London: Macmillan. Shelanski, Howard A., and Peter G. Klein. 1995. Empirical research in transaction cost economics: A review and assessment. Journal of Law, Economics, and Organization 11, 2: 335-61. Webster, Christopher J. 1998. “Public Choice, Pigouvian and Coasian Planning Theory” Urban Studies, Vol. 35, No. 1, 53- 75, Willy Irawan, 2006, Identifikasi Biaya Transaksi dalam Proses Pengembangan pada Koridor Komersial Jalan LRE Martadinata (Riau) – Kota Bandung, Tugas Akhir – Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK, ITB.
20