DAMPAK PENGUASAAN LAHAN DAN PEMBANGUNAN PROPERTI TERHADAP MASALAH SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KAWASAN SEGITIGA EMAS JAKARTA
OLEH ANDROMEDA ARISTI RACHMI H14104074
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN ANDROMEDA ARISTI RACHMI. Dampak Penguasaan Lahan dan Pembangunan Properti terhadap Masalah Sosial Ekonomi Masyarakat di Kawasan Segitiga Emas Jakarta (dibimbing oleh DIDIN S. DAMANHURI). Sumberdaya lahan di perkotaan memiliki masalah yang serius sebagai akibat dari keterbatasan lahan. Jumlah penduduk yang meningkat mengindikasikan bahwa penggunaan lahan juga akan semakin meningkat. Lahan di perkotaan sudah mulai terbatas karena telah banyak dimanfaatkan untuk kepentingan umum maupun kepentingan pribadi sehingga menimbulkan persaingan dalam memperoleh lahan terutama lahan yang berada di lokasi strategis pusat kota. Semakin strategis suatu kawasan maka harga lahan akan semakin tinggi. Nilai komersial lahan yang terus naik mendorong pemilik modal melakukan penguasaan lahan. Investasi di sektor lahan dipandang sangat menguntungkan karena dalam waktu yang relatif singkat bisa memberikan capital gain. Maka banyak spekulan memburu lahan-lahan yang berpotensi untuk dijadikan pusat bisnis. DKI Jakarta merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki kemajuan yang sangat pesat dengan adanya kawasan penggunaan lahan komersial untuk perdagangan dan jasa industri seperti perkantoran, pusat perbelanjaan, dll. Kawasan ini biasa disebut sebagai Kawasan Pusat Bisnis atau Central Business District (CBD). Salah satu kawasan Pusat Bisnis yang terkenal di Jakarta adalah Kawasan Segitiga Emas yang mencakup daerah Jalan Jendral Sudirman, Jalan M.H Thamrin, serta Jalan H.R Rasuna Said - Gatot Subroto. Kawasan ini cukup mewakili Kawasan Pusat Bisnis lainnya di Jakarta. Dengan infrastruktur yang sangat baik, kawasan ini menjadi barometer pertumbuhan properti di Jakarta. Dapat dilihat dengan bermunculan gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dan pusat hiburan di dalamnya. Sebagai pusat bisnis, Kawasan Segitiga Emas memang sangat mendominasi. Peluang usaha yang ditawarkan juga cukup bervariasi dan menjanjikan sehingga bisnis properti di kawasan ini banyak bermunculan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui akibat penguasaan lahan skala besar melalui mekanisme perburuan rente (rent seeking) yang dilakukan oleh konglomerat sehingga mendapatkan supernormal profit dan adanya ekonomi biaya transaksi (transaction cost) untuk pembangunan proyek properti di Kawasan Segitiga Emas Jakarta. Untuk melihat mekanisme perburuan rente dan terdapatnya biaya transaksi digunakan metode wawancara, statistika deskriptif dan koefisien korelasi rank spearman. Data yang dikumpulkan pada penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui metode wawancara mendalam dengan para informan dan 30 developer yang mengetahui masalah penguasaan lahan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi pemerintah maupun swasta seperti, Pusat Data Properti Indonesia, Pusat Studi Properti Indonesia, Badan
Pertanahan Nasional dan Kantor Kecamatan Setiabudi Jakarta Selatan. Hasil penelitian menunjukan bahwa konglomerat, sebagai pengembang properti, melakukan aktivitas perburuan rente dengan berkolusi dengan oknum pemerintah, calo, dan preman agar dimudahkan dalam proses perizinan penguasaan lahan. Untuk itu para pengembang akan mengeluarkan biaya transaksi diluar biaya modal pembangunan proyek, baik biaya legal maupun biaya ilegal, yang besarnya antara nol persen hingga 14 persen. Akibat adanya perburuan rente, rakyat pemilik lahan akan dirugikan karena pengembang membebaskan lahannya dengan harga yang rendah, sebaliknya harga jual properti di Kawasan ini sangat mahal sehingga konglomerat akan mendapatkan supernormal profit dari proyeknya tersebut.
\
DAMPAK PENGUASAAN LAHAN DAN PEMBANGUNAN PROPERTI TERHADAP MASALAH SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KAWASAN SEGITIGA EMAS JAKARTA
Oleh ANDROMEDA ARISTI RACHMI H14104074
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama mahasiswa
: Andromeda Aristi Rachmi
Nomor Registrasi Pokok
: H14104074
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Dampak Penguasaan Lahan dan Pembangunan Properti terhadap Masalah Sosial Ekonomi Masyarakat di Kawasan Segitiga Emas Jakarta
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A. NIP. 131 404 217 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2008
Andromeda Aristi Rachmi H14104074
RIWAYAT HIDUP
Penulis yang bernama lengkap Andromeda Aristi Rachmi lahir pada tanggal 31 Januari 1986 di Jakarta. Penulis anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Satriadi, S.E., M.Si. dan Etty Herawati Rachmi, S.E., M.M. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar di SD Islam Al-Azhar Pusat Jakarta pada tahun 1998, kemudian melanjutkan ke SLTP Islam Al-Azhar 1 Jakarta pada tahun yang sama dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Islam Al-Azhar 1 Jakarta dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir. Penulis masuk IPB melalui Undangan Saringan Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi HIPOTESA pada Divisi Hubungan Luar dan Eksternal Periode 2005/2006.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Judul skripsi ini adalah “Dampak Penguasaan Lahan dan Pembangunan Properti terhadap Masalah Sosial Ekonomi Masyarakat di Kawasan Segitiga Emas Jakarta”. Penguasaan Lahan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta hanya akan dilakukan oleh konglomerat, dapat menyebabkan terjadinya supernormal profit ,yaitu keadaan dimana keuntungan yang diperoleh melebihi keuntungan normal. Jika hal ini terjadi, akan berimplikasi terhadap masalah sosial ekonomi, yaitu akan ada pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan karena adanya informasi tidak sempurna terhadap harga lahan. Skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Kedua orang tua penulis, yaitu Satriadi, S.E., M.Si. dan Etty Herawati Rachmi, S.E., M.M., serta adik satu-satunya penulis yaitu Bintang Rizki Ramadhan atas doa, semangat dan dorongan materi serta moral yang sangat besar artinya bagi perjalanan hidup penulis. 2. Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A., selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah membimbing dan memberikan saran maupun kritik dalam penyelesaian skripsi ini. 3. Dr. Muhammad Findi Alexandi, M.E., selaku dosen penguji utama. Terima kasih atas saran serta masukan demi perbaikan skripsi ini dan Tony Irawan, M.App.Ec., selaku komisi pendidikan, terima kasih atas saran tata cara penulisan skripsi ini.
4. Yulianto Wibisono (Arsitektur Lanskap 41) atas doa, motivasi, dukungan, semangat dan kenangan indah selama berada di IPB. 5. Para informan, khususnya Hilda B. Alexander, Bapak Abdul Rochim, Bapak Turgison, Bapak Nandang, dan Ibu Suryani, atas informasi yang telah diberikan. 6. Seluruh staf Departemen Ilmu Ekonomi yang banyak membantu penulis dalam kelancaran seminar dan sidang. 7. Teman-teman sebimbingan, yaitu Nina,Tatu, dan Deni atas bantuan dan kerjasamanya. 8. Teman-teman terbaik penulis khususnya Puspa, Prima, Novie, Annisa, Rima, Satrio, Duvian, Putri, Mika, Risa, Priyo, Tahur, Novi, Faradilla, Fenny, Oktafiani, Iqbal dan Rossa yang selalu memberi dukungan dalam mengerjakan skripsi ini. 9. Rekan-rekan FEM khususnya Marizka, Andra, Yuliana, Rizki Pranaputra, Irma, Fitriyani, Kak Wawan dan Rama atas dukungan dan semangatnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, September 2008
Andromeda Aristi Rachmi H14104074
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii DAFTAR TABEL .............................................................................................. v DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... vii I.
PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ........................................................................... 7 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................... 8 1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................. 9
II.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ................... 10 2.1. Pengertian Sumberdaya Lahan .......................................................... 10 2.2. Teori Harga Lahan ............................................................................. 13 2.3. Teori Permintaan dan Penawaran Lahan ........................................... 14 2.4. Teori Konglomerasi ........................................................................... 16 2.5. Teori Ekonomi Perburuan Rente (Rent Seeker Economic Theory) ... 19 2.6. Teori Ekonomi Biaya Transaksi (Transaction Cost) ......................... 22 2.7. Kawasan Pusat Bisnis (Central Business District) ............................ 24 2.8. Peran Pemerintah dalam Penentuan Harga Lahan ............................. 26 2.9. Koefisien Korelasi Rank Spearman ................................................... 28 2.10. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 28
III.
METODOLOGI PENELITIAN ............................................................... 31 3.1. Wilayah Penelitian ............................................................................. 31 3.2. Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 31 3.3. Metode Analisis Data ........................................................................ 32 3.3.1. Mekanisme Rent Seeking Economic Activity........................... 32 3.3.2. Penguasaan Lahan Untuk Pembangunan Properti ................... 33 3.3.3. Dampak Sosial Ekonomi Penguasaan Lahan dan Properti...... 34
3.3.4. Peran Pemerintah dalam Penentuan Harga Lahan ................... 36 IV.
GAMBARAN UMUM WILAYAH ......................................................... 37 4.1. Perkembangan Wilayah Kawasan Segitiga Emas ............................. 37 4.2. Perkembangan Kawasan Segitiga Emas ............................................ 38 4.2.1. Kawasan Segitiga Emas Sebelum Masa Krisis ....................... 40 4.2.2. Kawasan Segitiga Emas pada Masa Krisis .............................. 41 4.2.3. Kawasan Segitiga Emas Pasca Krisis ...................................... 42
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 45 5.1. Mekanisme Rent Seeking Economic Activity pada Penguasaan Lahan ..................................................................... 45 5.1.1. Biaya Transaksi (Transaction Cost) pada Pembebasan Lahan.......................................................... 52 5.2. Penguasaan Lahan Untuk Pembangunan Properti ............................. 57 5.2.1. Pembangunan Properti oleh Grup Besar ................................. 62 5.2.2. Penguasaan Lahan dan Pembangunan Properti saat Krisis ..... 65 5.2.3. Pembangunan Properti Pasca Krisis Ekonomi ........................ 66 5.3. Dampak Sosial Ekonomi Penguasaan Lahan dan Properti ................ 72 5.4. Peran Pemerintah dalam penetapan Harga Lahan ............................. 81
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 86 6.1. Kesimpulan ........................................................................................ 86 6.2. Saran .................................................................................................. 87
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 89 LAMPIRAN ....................................................................................................... 91
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
2.1. Harga Lahan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta ................................... 14 4.1. Jenis Bangunan di Kecamatan Setiabudi Jakarta Selatan ....................... 37 4.2. Rasio Luas Bangunan Tinggi dan Luas Wilayah per Kotamadya .......... 38 4.3. Harga Lahan Kawasan Segitiga Emas Sebelum Krisis .......................... 41 4.4. Harga Lahan Kawasan Segitiga Emas ketika Krisis............................... 42 4.5. Harga Lahan Kawasan Segitiga Emas Pasca Krisis ............................... 43 5.1. Penguasaan Lahan oleh Developer Tahun 1990..................................... 58 5.2. Proyek Ketika Krisis Ekonomi ............................................................... 61 5.3. Penguasaan Lahan Skala Besar Tahun 1990 .......................................... 63 5.4. Profit Dua Pengembang Besar Tahun 1990 ........................................... 64 5.5. Nilai Kapitalisasi Proyek Kawasan Segitiga Emas ................................ 66 5.6. Proyek Properti Pasca Krisis .................................................................. 67 5.7. Pertimbangan Teknis Tata Guna Lahan Tahun 2004 - 2008 .................. 68 5.8. Rencana Pembangunan Proyek Tahun 2008 .......................................... 70 5.9. Profit Developer pada Pembebasan Lahan Skala Besar ......................... 77 5.10. Kasus Pembebasan Lahan di Tahun 1990 – 2001 .................................. 79 5.11. Penerapan NJOP Tahun 2007 ................................................................. 82
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1. Kerangka Pemikiran Operasional ........................................................... 30 5.1. Status Lahan Terhadap Transaction Cost ............................................... 48 5.2. Harga Jual Lahan Properti di Kawasan Segitiga Emas .......................... 50 5.3. Persentase Transaction Cost di Kawasan Segitiga Emas ....................... 55 5.4. Perkembangan Harga Lahan dalam Lima Tahun Pasca Pakto 1988 ...... 58 5.5. Harga Pembebasan Lahan Skala Besar................................................... 75 5.6. Perkembangan Harga Jual Lahan di Kawasan Segitiga Emas ............... 76
\
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Hasil Wawancara Mekanisme Pembebasan Lahan ...................................... 92 2. Tabel Frekuensi Transaction Cost ............................................................... 92 3. Tabel Frekuensi Status Lahan ...................................................................... 93 4. Tabel Frekuensi Harga Jual Lahan............................................................... 93 5. Tabel Frekuensi Harga Pembebasan Lahan ................................................. 93 6. Hasil Korelasi Rank Spearman .................................................................... 93 7. Daftar Informan yang Diwawancara ............................................................ 94
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Sumberdaya lahan berguna sebagai penunjang aktivitas manusia. Di perkotaan, kebutuhan akan lahan sangat tinggi baik untuk dimanfaatkan sebagai tempat tinggal, perkantoran, pusat bisnis, dan pusat hiburan. Sebagai penunjang aktivitas manusia, ketersediaan lahan relatif tetap dari waktu ke waktu. Lahan merupakan sebuah komoditi yang sangat penting perannya dalam perekonomian, khususnya dalam ekonomi perkotaan. Lahan tidak hanya menyangkut kebutuhan hidup orang banyak, tetapi juga sebagai faktor yang menentukan suatu bisnis. Seiring bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya sektor perekonomian, kebutuhan terhadap sumberdaya lahan menjadi semakin penting. Hal ini memberikan dampak meningkatnya tekanan permintaan lahan untuk berbagai keperluan yang semakin beragam. Di sisi lain persediaan lahan dalam suatu kawasan adalah inelastis, karena luas lahan tidak dapat ditambah secara cepat dan drastis. Lahan di perkotaan sudah mulai terbatas karena telah banyak dimanfaatkan untuk kepentingan umum maupun kepentingan pribadi sehingga menimbulkan persaingan dalam memperoleh lahan terutama lahan yang berada di lokasi strategis pusat kota. Terdapat dua hal yang selalu melekat pada lahan khususnya di daerah perkotaan, yaitu kelangkaan (scarcity) dan permintaan-penawaran terhadap lahan. Lahan merupakan sebuah komoditi yang sangat penting perannya dalam
perekonomian, khususnya dalam ekonomi perkotaan. Perkembangan naik turunnya harga lahan akan mempunyai dampak yang luas dari segi ekonomi maupun sosial, maka oleh karena itulah pemerintah harus benar-benar memperhatikan
masalah
perlahanan.
Indikasi
ini
menunjukkan
adanya
ketimpangan antara permintaan dan penawaran terhadap lahan sehingga mendorong masyarakat dan para pelaku ekonomi melakukan kegiatan investasi dan spekulasi terhadap lahan. Secara alamiah harga lahan akan mengalami kenaikan. Semakin strategis suatu kawasan maka harga lahan akan semakin tinggi. Nilai komersial lahan yang terus naik mendorong pemilik modal melakukan penguasaan lahan. Investasi di sektor lahan dipandang sangat menguntungkan karena dalam waktu yang relatif singkat bisa memberikan capital gain. Maka banyak spekulan memburu lahan-lahan yang berpotensi untuk dijadikan pusat bisnis. Biasanya harga lahan tertinggi ini bila lokasi berada di Central Business District (CBD). DKI Jakarta merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki kemajuan yang sangat pesat. Hal ini dapat ditunjukkan dengan pembangunan daerah yang cepat. Sebagai ibukota negara Indonesia, DKI Jakarta memiliki visi untuk lebih mensukseskan pembangunan guna tercapainya suatu kesejahteraan, yaitu dengan menjadikan DKI Jakarta sebagai kota jasa berskala internasional. Ciri-ciri kota jasa dengan skala internasional adalah dengan adanya kawasan penggunaan lahan komersial untuk perdagangan dan jasa industri yang biasa disebut sebagai Kawasan Pusat Bisnis atau Central Business District (CBD).
Pembangunan pusat bisnis Jakarta di era modern baru dimulai pada awal tahun 1960-an. Hampir bersamaan dengan pembangunan arena olahraga Istora Senayan, pusat perbelanjaan pertama Sarinah, dan Hotel Indonesia. Semuanya berada di koridor utama kota yang menghubungkan pusat pemerintahan di kawasan Monumen Nasional dengan kota satelit pertama, Kebayoran Baru. Jalan itu kemudian diberi nama Jl. M.H. Thamrin dan Jl. Jend. Sudirman. Seiring dengan perkembangan kota dan masa, pembangunan gedung-gedung perkantoran pun merambah hingga daerah Kuningan, dengan dibukanya dua jalan utama Jl. H.R. Rasuna Said dan Jl. Jend. Gatot Subroto pada akhir tahun 1970-an. Namun, pada awal tahun 1990-an terjadi booming properti dengan dikenalkannya pembangunan berkonsep superblok atau kawasan pusat bisnis multifungsi1. Salah satu kawasan pusat bisnis yang terkenal di Jakarta adalah Kawasan Segitiga Emas yang mencakup daerah Jalan Jendral Sudirman, Jalan M.H Thamrin, serta Jalan H.R Rasuna Said - Gatot Subroto. Kawasan ini cukup mewakili Kawasan Pusat Bisnis lainnya di Jakarta. Dengan infrastruktur yang sangat baik, kawasan ini menjadi barometer pertumbuhan properti di Jakarta. Dapat
dilihat
dengan
bermunculan
gedung-gedung
perkantoran,
pusat
perbelanjaan, dan pusat hiburan di dalamnya. Sebagai pusat bisnis, Kawasan Segitiga Emas memang sangat mendominasi. Peluang usaha yang ditawarkan juga cukup bervariasi dan menjanjikan sehingga bisnis properti di kawasan ini banyak bermunculan. Berdasarkan data Pusat Studi Properti Indonesia luas Kawasan Segitiga
1
Properti Indonesia, Edisi Juli 2005. Hal 26
Emas Jakarta sebesar 1.350 hektar dengan nilai pasar yang mencapai Rp 201,7 triliun. Sebanyak 347 hektar lahan di Kawasan Segitiga Emas merupakan kawasan rumah tinggal, lahan untuk perkantoran sebesar 87 hektar. Hingga tahun 2002 luas bangunan yang sudah terbangun di kawasan ini baru mencapai 9,5 juta meter persegi atau 20 persen dari luas keseluruhan kawasan Segitiga Emas2. Sebagai kawasan elit, harga lahan di kawasan ini sangat tinggi. Hal ini menimbulkan berbagai kendala-kendala institusional seperti kepemilikan, dan hak property atas lahan di kawasan Segitiga Emas yang dapat berakibat terjadinya benturan terhadap kepemilikan lahan. Para konglomerat yang menerima dana dari bank berlomba-lomba menguasai Kawasan Segitiga Emas, sehingga label konglomerat baru bisa didapat jika seorang pengusaha telah memiliki gedung di kawasan tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya spekulasi lahan. Lahan di Kawasan Segitiga Emas begitu diburu. Saat properti mengalami masa booming harga lahan rata-rata di Jl. Jend. Sudirman 3.500 dollar AS per m2. Peningkatan terjadi saat berlangsungnya pembebasan lahan besar-besaran untuk pembangunan pusat bisnis tersebut3. Ditinjau dari aspek perpajakan, harga lahan yang tinggi akan sangat menguntungkan pemerintah karena penerimaan pemerintah menjadi bertambah dari pajak. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan mempunyai peran dalam penentuan harga lahan di kawasan pusat bisnis. Masalah pertanahanan tidak hanya sebagai masalah pengorganisasian spasial karena masalahnya terletak pada hubungan-hubungan sosial. Itu sebabnya 2 3
Ibid.Hal.25. Ibid. Hal.27.
masalah lahan di perkotaan sering dipandang sebagai penyebab kontradiksi sosial serta konflik-konflik apalagi bila pemerintah ikut campur tangan dan turut bertindak seirama dengan hubungan antara kekuatan-kekuatan golongan serta kelompok-kelompok sosial dengan mendukung fraksi hagemonis golongan dominan4. Dasar hukum yang menjadi landasan kebijakan pemerintah atas lahan antara lain Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3, Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, TAP MPR RI No. IX/MPR/2001, dan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 36 Tahun 2005. Dengan adanya perangkat hukum ini, diharapkan dapat lebih berfungsi maksimal dalam menata dan mengelola lahan di perkotaan. Kebijakan ini tidak mampu mengendalikan harga lahan di perkotaan karena adanya aktivitas perburuan rente oleh para konglomerat dan para broker lahan yang mencari kesempatan mengambil keuntungan dalam spekulasi lahan. Ditinjau dari aspek ekonomi pasar, peranan pemerintah melakukan intervensi hanyalah jika pasar tidak dalam keadaan sempurna. Dalam arti ada kondisi-kondisi yang menghalangi kompetisi yang fair terjadi. Kondisi-kondisi tersebut dikenal dengan istilah market failure.
Sejumlah contoh klasik dari kondisi market failure antara lain: eksternalitas (misalnya pencemaran dan kerusakan lingkungan), informasi yang
4
Patrick McAuslan.1986. Lahan Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata. PT Gramedia, Jakarta. Hal. 23.
tidak simetris, biaya transaksi, kepastian institusional serta masalah dalam distribusi5. Terbukanya peluang penguasaan dan pemanfaatan lahan, hendaknya tidak semakin mempertajam polarisasi antara pihak yang kuat dengan pihak yang lemah. Kegiatan ekonomi terdiri dari tiga pelaku di dalamnya, yakni pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat yang masing-masing memiliki bargaining positions yang berbeda dalam akses terhadap modal dan akses politik berkenaan dengan sumber daya lahan yang terbatas. Kedudukan yang tidak seimbang dalam posisi tawar-menawar di antara masyarakat dan pihak swasta lebih ditegaskan dengan adanya kewenangan pembuat kebijakan untuk merancang kebijakan yang bias terhadap kepentingan sekelompok kecil masyarakat tersebut dalam upaya penguasaan dan pemanfaatan lahan. Lahan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta hanya akan dikuasai oleh konglomerat yang sama dan pihak konglomerat nantinya yang menentukan market price atas lahan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta. Penguasaan terhadap Kawasan Pusat Bisnis oleh para pemain lama properti akan menyebabkan terjadinya keuntungan di atas normal yang akan berimplikasi terhadap masalah sosial ekonomi, yaitu akan ada pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan karena adanya informasi tidak sempurna terhadap harga lahan. Penggunaan lahan di Kawasan Segitiga Emas dikhawatirkan tidak lagi bermanfaat bagi masyarakat sehingga pembangunan properti dapat menggusur penduduk miskin dari kota. 5
Ari A. Perdana. 2001. Peranan “Kepentingan” Dalam Mekanisme Pasar dan Penentuan Kebijakan Ekonomi di Indonesia[Jurnal]. Economics Working Paper Series CSIS. Hal. 2.
1.2. Perumusan Masalah Sumberdaya lahan di perkotaan memiliki masalah yang serius sebagai akibat
dari
keterbatasannya
lahan.
Jumlah
penduduk
yang
meningkat
mengindikasikan bahwa penggunaan lahan juga akan semakin meningkat. Sebagian besar penduduk di perkotaan menginginkan lokasi lahan yang strategis dan dekat dengan CBD. Kawasan Segitiga Emas Jakarta merupakan salah satu superblok lama yang multifungsi. Seperti diketahui, harga lahan di kawasan Segitiga Emas Jakarta sangat tinggi. Peluang usaha di kawasan ini sangat menjanjikan sehingga banyak konglomerat yang berinvestasi di kawasan Segitiga Emas Jakarta untuk dijadikan gedung-gedung bertingkat dan pusat bisnis. Hal ini tentu saja akan menggeser pemukiman yang ada di sekitarnya. Nantinya terdapat pihak yang diuntungkan dan ada pihak yang dirugikan dalam proses pembangunan di kawasan ini karena adanya spekulasi lahan dari para pemburu rente dan pihak yang memiliki kepentingan dalam penguasaan lahan di kawasan itu. Pihak konglomerat ini biasanya merupakan pemain lama yang sebagian menguasai berbagai aspek perekonomian Indonesia. Para konglomerat inilah yang sudah dan akan menguasai lahan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta. Penguasaan secara sepihak oleh para konglomerat akan menyebabkan terjadinya supernormal profit. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan seyogyanya melakukan intervensi dalam masalah penetapan harga lahan sehingga tercapai keadilan (fairness).
Harga lahan yang ditetapkan biasanya berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Akan tetapi pada praktiknya transaksi yang berlangsung berdasarkan harga di pasar lahan (market price). Namun adanya informasi yang tidak sempurna dengan harga pasar yang terbentuk tersebut menimbulkan masalah sosial ekonomi. Akan timbul salah satu pihak yang diuntungkan dan pihak lainnya dirugikan, bahkan secara ekstrem. Yakni terjadi pemusatan kekayaan di tangan segelintir orang (konglomerat) dengan korbanan tergusurnya banyak rakyat miskin.
1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui dominasi konglomerat dalam penguasaan lahan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta. 2. Mengetahui mekanisme aktivitas perburuan rente di Kawasan Segitiga Emas Jakarta. 3. Mengetahui perkembangan pembangunan properti di Kawasan Segitiga Emas Jakarta. 4. Mengetahui dampak sosial ekonomi akibat penguasaan lahan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta.
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi perencanaan dan pemerintah dalam menetapkan kebijakan atas lahan, khususnya dalam hal penetapan pajak, dan harga lahan. 2. Sebagai bahan masukan bagi pemilik lahan dalam memperkirakan nilai ekonomi lahannya agar tidak terjadi informasi yang tidak sempurna. 3. Sebagai bahan referensi penelitian-penelitian selanjutnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Pengertian Sumberdaya Lahan Menurut Hartwick dan Olewiler (1986) pengertian sumberdaya lahan ialah menyangkut seluruh permukaan, termasuk segala yang terkandung dalam lahan itu yang berguna bagi budidaya atau produksi pertanian, selain itu juga menyangkut juga bahan-bahan organik dan air yang terkandung6. Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya yang penting untuk menopang segala aktivitas manusia, baik sebagai sumberdaya yang dapat diolah maupun sebagai tempat tinggal atau rekreasi, jalan-jalan (transportasi) dan sebagainya serta menunjukkan bagaimana memanfaatkan sumberdaya lahan secara optimal untuk kemakmuran rakyat. Menurut Barlowe (1986) dalam Hasanah (2004) dikatakan bahwa pengertian atau konsep tentang lahan dapat dibagi menjadi beberapa konsep, yaitu7 : 1. Lahan sebagai suatu ruang, yaitu bahwa lahan merupakan suatu ruang yang terdapat kehidupan di dalam dan di permukaannya. Dalam hal ini sumberdaya lahan adalah tetap dalam kuantitasnya dan tidak dapat ditingkatkan. 2. Lahan sebagai alam, yaitu bahwa lahan merupakan sumberdaya alam yang dapat dimodifikasi sebagai sumberdaya. 6
John M. Hartwick dan Nancy D. Olewiler. 1986. The Economics of Natural Resources Use. Harper&Row, New York. Hal 39.
7
Florin Hasanah.2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan Permukiman di Kecamatan Lahan Sareal, Kota Bogor [Skripsi].Faperta IPB.
3. Lahan sebagai faktor produksi, yaitu lahan bersama-sama dengan faktor produksi lainnya seperti tenaga kerja, kapital, dan manajemen sebagai suatu kesatuan faktor produksi dalam perekonomian. 4. Lahan sebagai barang konsumsi, yaitu lahan tidak hanya dimiliki sebagai kebanggaan karena tidak hanya dapat menambah produksi tetapi juga memiliki nilai sebagai barang konsumsi di dalam hak miliknya. 5. Lahan sebagai situasi, yaitu mempunyai peran dalam pasar, karena nilai dan penggunaan lahan ditentukan oleh kepentingan dalam perekonomian modern dan dunia politik. 6. Lahan sebagai suatu milik, yaitu diperhatikan sebagai suatu areal yang dimiliki oleh individu, kelompok, atau kekuatan tertentu yang digunakan secara bertanggung jawab terhadap lahan yang dimilikinya. 7. Lahan sebagai kapital dalam perekonomian. Berikut ini Empat karakteristik fisik yang paling abstrak yang membedakan lahan perkotaan dengan entitas ekonomi lainnya8: 1. Berdimensi ruang (Space) Karakteristik dimensional dari sebuah lahan mungkin merupakan karakteristik fisik yang terpenting. Jadi kuantitas lokasi yang terdapat pada sebuah lahan adalah secara kritis amat penting dalam pemahaman kita akan utilitas ekonomi dari sebuah lahan perkotaan.
8
Michael Goldberg dan Peter Chinloy.1984.Urban Land Economics. John wiley & Sons, Inc., Canada. Hal.37.
2. Tidak dapat dihancurkan (Indestructibility) Lokasi fisik lahan dapat diciptakan atau dimusnahkan. Pemahaman mengenai suatu lokasi muncul dari suatu struktur yang diciptakan untuk membuatnya berguna bagi masyarakat. Sifat tidak dapat dihancurkan dari lahan, ini berarti bahwa lahan perkotaan memiliki sebuah karakteristik jangka panjang yang secara signifikan berbeda dari jenis barang dan jasa ekonomi lainnya. Hal tersebut juga mengimplikasikan bahwa jumlah persediaan fisik lokasi secara absolut adalah tetap, meskipun struktur dari ketahanan yang tidak lama mempengaruhi penawaran efektif dari properti riil yang tersedia pada suatu titik waktu tertentu. 3. Tidak dapat bergerak atau dipindahkan (Immobility) Lokasi pada permukaan bumi tidak dapat dipindahkan dengan cara apapun. Lahan secara permanen besifat tetap dengan lokasi fisik yang melingkupinya. 4. Keunikan (Uniqueness) Setiap unit dari properti adalah unik. Hanya ada satu dari setiap lokasi pada permukaan bumi ini. Lebih lanjut lagi, setiap unit lahan dikarakteristikkan dengan kemiringannya, aspek-aspeknya, ketinggiannya, kesuburannya,
mineralisasinya,
unit
lahan
di
sekelilingnya
dan
karakteristiknya, dimensinya, bentuknya, iklimnya dan seterusnya Keempat karakteristik diatas membedakan lahan dengan kuantitas ekonomi lainnya dan membutuhkan pengaturan khusus.
2.2. Teori Harga Lahan McAuslan (1986) menyatakan bahwa semua lahan memiliki nilai. Nilai itu tergantung dari nilai barang dan jasa yang dapat dihasilkan di atas lahan tersebut. Tetapi sulit untuk menemukan dan menggunakan suatu cara untuk menilainya kecuali melalui pasar9. Pengertian harga lahan yang menyangkut segi keuangan yaitu harga lahan di pasaran. Harga lahan dapat dilihat dari dua segi : 1. Harga lahan sebagai pasar, yaitu harga lahan yang disetujui pada saat penjualannya. 2. Harga lahan sebenarnya (assessed value), yaitu harga yang diperkirakan oleh seseorang yang ahli menilai lahan (assessor) baik swasta maupun umum. Harga ini tergolong opportunity cost untuk masa depan. Penentuan harga lahan lebih didominasi oleh harga pasar dan sangat memungkinkan terjadinya spekulasi lahan karena harga lahan akan terus meningkat dengan semakin berkembangnya sektor properti di kawasan itu. Berdasarkan survei Properti Indonesia10. Pada akhir tahun 2003 terjadi peningkatan harga lahan di kawasan ini, setelah sempat terpuruk akibat krisis moneter lalu. Banyak properti yang dibangun, khususnya di kawasan Kuningan sehingga harga lahan cepat meningkat.
9
Patrick McAuslan.Op.Cit. Hal.10
10
Properti Indonesia. Loc.Cit.
Tabel 2.1. Harga Lahan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta Kawasan Segitiga Emas Jakarta
Sebelum Krisis
Saat Krisis
Pasca Krisis
Jl. Jend. Sudirman
Rp 10 juta per m2
Jl. M.H. Thamrin
Rp 8,75 juta per m2
Jl. H.R. Rasuna Said Jl. Gatot Subroto
Rp 8 juta per m2
Rp 6,3 juta per m2 Rp 12 juta – Rp 14 juta per m2 2 Rp 6 juta per m Rp 15 juta – Rp 16 juta per m2 Rp 5,2 juta – Rp Rp 11 juta – 2 5,9 juta per m Rp 12,5 juta per m2
Sumber : Properti Indonesia, 2005.
Berdasarkan Tabel 2.1. ternyata harga lahan di Kawasan Segitiga Emas pernah mengalami penurunan pada saat krisis moneter. Akhir tahun 1997 pasar masih bisa menyerap 88 persen dari 2,99 juta m2, tapi dalam waktu setahun angka ini terus menurun hingga penyerapannya hanya sebesar 65 persen atau sebesar 2,1 juta per m2. Krisis yang mendera membuat angka penyerapan tidak berubah11. Akibat krisis, para konglomerat yang dulu memburu Kawasan Segitiga Emas banyak yang bermasalah sehingga masuk dalam Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Aset-aset yang mereka miliki di kawasan ini akhirnya diambil alih oleh BPPN menyusul hancurnya perbankan nasional.
2.3. Teori Permintaan dan Penawaran Lahan Kelangkaan terjadi ketika penawaran bertemu unsur lain seperti harga dan permintaan, maka akan terjadi kelangkaan atau kelimpahan. Penawaran sangat dipengaruhi oleh harga, sehingga menimbulkan elastisitas harga terhadap
11
Ibid.Hal.27.
penawaran12. Di kota-kota besar Indonesia, penawaran lahan menjadi semakin langka yang disebabkan permintaan dari tahun ke tahun yang semakin besar. Karena ketersediaan prasarana yang lebih baik dibandingkan dengan daerah lain, maka kota-kota besar seperti Jakarta berkembang menjadi pusat investasi yang memerlukan lahan luas, yang akhirnya mendorong perluasan atau pengembangan areal kota. Semua ekspansi investasi tersebut menyebabkan para investor harus bersaing dengan kebutuhan masyarakat terhadap lahan untuk permukiman. Permintaan lahan untuk permukiman, investasi, bisnis menyebabkan harga lahan mengalami peningkatan tajam. Hartwick dan Olewiler menyatakan bahwa permintaan akan lahan secara fisik berarti keinginan, kebutuhan atau persyaratan terhadap fasilitas tertentu, seperti perumahan, rekreasi, sekolah, dan merupakan ruang publik13. Permintaan lahan secara ekonomi merupakan keinginan dan minat masyarakat untuk membeli suatu lahan. Sedangkan penawaran secara ekonomi adalah porsi atau bagian dari penawaran fisik lahan yang digunakan oleh manusia yang secara aktual dimanfaatkan, dibutuhkan sehingga ada nilai di atasnya. Harga lahan di suatu lokasi tidak hanya ditentukan oleh jaraknya terhadap pusat kota, tetapi juga oleh kekuatan antara permintaan dan penawaran Permintaan dan penawaran lahan ditentukan oleh karakteristik lahan pada suatu lokasi tertentu14.
12 13 14
Ibid.Hal.40. John M. Hartwick dan Nancy D. Olewiler.Loc.Cit.
Guritno Mangkoesoebroto. 1994. Kebijakan Ekonomi Publik di Indonesia: Substansi dan Urgensi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal. 182.
Usaha pemerintah untuk mengendalikan harga lahan di Kawasan Segitiga Emas yang akan mengandung konsekuensi sebagai berikut : 1. penetapan harga lahan akan menjadi sangat arbitrary, 2. adanya kemungkinan pasar gelap (black market), 3. sistem administrasinya lebih sulit.
2.4. Teori Konglomerasi Menurut
Priasmoro,
konglomerasi
adalah
menyatunya
berbagai
perusahaan dalam satu grup sehingga seluruh kebijakan manajemen pokok ditentukan oleh satu pusat saja yang dapat mengalahkan dan merebut pesaingnya. Perusahaan akan bertambah besar lagi dan mudah mengatur harga transaksi antar perusahaan untuk menghindari pajak dan memiliki bargaining power15. Saat bank begitu mudah mengucurkan kredit, para konglomerat yang menerima dana dari bank akan berlomba-lomba menguasai Kawasan Segitiga Emas. Konglomerat ini akan melakukan spekulasi atas lahan di kawasan ini. Tidak mengherankan jika banyak grup konglomerat yang mengembangkan superblok di Kawasan Segitiga Emas. Misalnya saja Kawasan Niaga Terpadu SCBD yang dikembangkan PT Danayasa Arthatama, Superblok Mega Kuningan dikembangkan oleh PT Rajawali Nusantara Indonesia. Melalui PT Kuningan Persada, Grup Salim membangun superblok
seluas
57
hektar.
Tidak
ketinggalan
Grup
Ciputra
turut
mengembangkan Superblok Satrio di Jl. H.R. Rasuna Said16.
15
Priasmoro.1994. Konglomerasi Ekonomi Indonesia dalam Rangka Persatuan dan Kesatuan Bangsa. LPSI, Jakarta. Hal. 17.
16
Properti Indonesia. Op.Cit. Hal. 27
Sebagai pelaku ekonomi dengan adanya konglomerasi akan memberi dampak bagi pembangunan perekonomian Indonesia. Dampak positif yang timbul akibat konglomerasi adalah adanya bargaining power yang kuat, adanya peningkatan perekonomian, dan berkembangnya pembangunan di Indonesia. Walaupun begitu, dampak negatif yang dihasilkan akibat konglomerasi pun cukup banyak, yaitu17 : 1. kekuatan ekonomi menjurus pada pembentukan monopoli/oligopoli maka akan menimbulkan ketidakefisiensian sehingga masyarakatlah menjadi korban, 2. ketidakadilan terhadap masyarakat karena konglomerat mendapat fasilitas pemerintah berupa kredit murah dari bank-bank negara, 3. proses pembangunan kurang merata karena hanya terkonsentrasi di wilayah Jakarta dan Pulau Jawa, 4. banyaknya WNI Cina yang berperan penting dalam konglomerasi. Kekuasaan
ekonomi
golongan
nonpribumi
di
berbagai
sektor
perekonomian telah terkonsolidasi dengan sangat kokoh melalui pembentukan konglomerasi-konglomerasi dalam berbagai jenis kegiatan ekonomi, mulai dari perdagangan, industri, perbankan, hingga properti18. Peran konglomerat di Indonesia menimbulkan polemik karena di satu sisi banyak anggapan negatif terhadap para konglomerat yang sering mendapat sorotan dengan adanya penguasaan di sebagian besar sektor perekonomian
17 18
Priasmoro. Loc.Cit.
Sritua Arif.1990. Dari Prestasi Pembangunan Sampai Ekonomi Politik. UI-Press, Jakarta. Hal.182
Indonesia. Tetapi ada sisi positif yang ditimbulkan. Kwik Kian Gie menyatakan: Konglomerat merupakan kumpulan profit centre yang dimiliki oleh satu orang atau perkongsian dari sekelompok orang. Bisa dikatakan yang menjadi batas apakah perusahaan itu merupakan profit centre atau tidak adalah bila sebuah organisasi yang bersangkutan bertransaksi melalui mekanisme pasar atau tidak19. Ciri dari suatu profit centre bila perilaku perkongsian selalu tunduk pada persaingan dan mekanisme pasar, walaupun berhubungan dengan kelompoknya sendiri karena kepemilikan yang sama. Permasalahan yang timbul dari konglomerat adalah monopoli karena para konglomerat menguasai banyak perusahaan, mulai dari hulu ke hilir, dari jenis produk tertentu sehingga akan mematikan pesaingnya. Para pesaingnya harus membeli bahan baku dari konglomerat dengan harga yang tidak wajar. Jika ini dibiarkan, akan menimbulkan keuntungan di atas normal (supernormal profit). Kesan kuat yang timbul di masyarakat bahwa para konglomerat mendapatkan kesempatan begitu luas dan besar dengan fasilitas yang begitu banyak. Sementara para pengusaha biasa harus puas dengan apa yang ada, dalam bentuk eksperimentasi yang tidak terfokus pada terbukanya akses yang sama. Para konglomerat yang sebagian besar merupakan golongan nonpribumi biasa lebih diberikan keleluasan dalam sistem perkreditan di Indonesia. Dalam penguasaan properti, khususnya Lippoland dan Citraland, sektor ini mengandung berbagai macam tingkat spekulasi yang tinggi dan sistem financing yang bervariasi.
19
Kwik Kian Gie. 1994. Analisis Ekonomi Politik Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama dan STIE IBII, Jakarta. Hal. 234.
Menurut Sjahrir, pentingnya eksistensi konglomerat dilihat dari dua segi, yaitu20: 1. kehadiran konglomerat sebagai suatu unit ekonomi yang efisien, 2. diterimanya eksistensi konglomerat secara politis. Kedua hal ini bisa saja sejalan ataupun bertentangan satu sama lainnya. Jika para konglomerat ingin diterima sebagai unit ekonomi yang efisien, mereka harus mampu mentransformasikan basis kekuatannya dari kekuatan politik menjadi kekuatan pasar. Hal ini memungkinkan terjadinya penetapan harga sepihak, terabaikannya kepentingan konsumen, serta munculnya berbagai macam praktik inefisiensi pasar yang sengaja dilakukan demi tercapainya supernormal profit bagi para konglomerat.
2.5. Teori Ekonomi Perburuan Rente (Rent Seeking Economic Theory) Berbagai masalah ekonomi yang melanda Indonesia merupakan cermin dari rusaknya sistem ekonomi politik dan kebijakan publik di Indonesia. Kebijakan yang rasional dan bertanggung jawab tidak dapat diwujudkan apabila pengaruh langsung maupun tidak langsung dari suatu kekuasaan yang terlalu kuat karena tidak ada mekanisme kontrol yang sehat. Eksistensi ruang lobi politik yang tidak transparan merupakan wahana yang tumbuh subur bagi para pemburu rente. Ciri utama demokrasi perwakilan adalah dorongan dan kekuatan politis yang dapat dimiliki para pelakunya untuk meloloskan peraturan yang dapat
20
Sjahrir.1995. Ekonomi Politik Konglomerasi Indonesia. Warta Ekonomi, Jakarta.Hal.11.
meningkatkan kekayaan mereka. Sistem persaingan yang sehat tidak tercipta karena tatanan untuk membangun sistem bisnis yang jujur sengaja tidak diciptakan agar perburuan rente ekonomi semakin luas21. Perburuan rente (rent seeking) dapat didefinisikan sebagai upaya individual atau kelompok untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi pemerintah untuk menghambat penawaran atau peningkatan permintaan sumberdaya yang dimiliki22. Individu atau kelompok tersebut memperoleh pendapatan tanpa secara aktual meningkatkan produktivitas atau malah mengurangi produktivitas tersebut. Hal ini berkaitan dengan konglomerat yang memiliki kepentingan khusus yang mempengaruhi suatu instansi untuk menyetujui kebijakan para konglomerat terhadap penggunaan fasilitas-fasilitas pasar dan penguasaan lahan. Para pemburu rente (rent seekers) akan melakukan pengalihan sumberdaya dari penggunaan produktif untuk melakukan pengalihan kepada aktivitas lain yang lebih fokus kepada pemindahan pendapatan23. Sumber ketidakefisienan dan eksternalitas tidak saja diakibatkan oleh kegagalan pasar tetapi juga kegagalan pemerintah (government failure). Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan tarikan kepentingan pemerintah sendiri atau kelompok tertentu (interest groups), dalam hal ini konglomerat, yang tidak mendorong efisiensi. Kelompok tertentu ini memanfaatkan pemerintah untuk 21
Didik J. Rachbini.1999. Diagnosa Ekonomi dan Kebijakan Publik. PT Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Hal.7.
22
Ahmad Erani Yustika.2006. Ekonomi Kelembagaan : Definisi, Teori dan Strategi. Bayumedia Publishing, Jatim. Hal.147.
23
Priasmoro. Op. Cit. Hal 22.
mencari rente (rent seeking) melalui proses politik dengan mempengaruhi kebijakan. Aksi perburuan rente ini bisa diaplikasikan dalam bentuk24 : 1. rent seekers yang mempunyai kepentingan agar diberikan kemudahan dalam melakukan penguasaan lahan yang akan menguntungkan mereka, 2. praktik mencari keuntungan, bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri seolah-olah secara sah. Misalnya memberlakukan proteksi berlebihan untuk barang-barang tertentu, 3. praktik mencari keuntungan yang dilakukan oleh aparat atau oknum terkait yang memiliki otoritas tinggi. Pihak yang berkepentingan bisa memberikan transaction cost berupa uang sogokan untuk keperluan tertentu. Ini bertujuan untuk menghindari resiko yang lebih besar. Praktik mencari keuntungan ini menimbulkan alokasi sumberdaya tidak efisien karena peraturan tidak berjalan semestinya. Praktik jenis ini mendorong terjadinya eksternalitas. Pada akhirnya akan ada pihak yang dirugikan akibat adanya informasi yang tidak sempurna. Aktivitas perburuan rente akan berimplikasi buruk karena : 1. tidak adanya kontribusi nilai tambah (value added), 2. akan memiskinkan rakyat, 3. rusaknya
ekologi
karena
pembangunan
yang
tidak
berwawasan
lingkungan25.
24
Addinul Yakin. 1997. Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan. Akademika Persindo, Jakarta. Hal.60.
25
Ibid. Hal.61.
Aktivitas perburuan rente dilakukan oleh para konglomerat yang ingin menguasai kawasan pusat bisnis di Jakarta. Para konglomerat akan mencari informasi kawasan yang memiliki prospek menguntungkan. Biasanya informasi tersebut didapat dari instansi yang terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta. Jika informasi telah didapat maka para konglomerat tersebut akan mengeluarkan transaction cost untuk mempermudah mendapatkan rente. Akan tetapi, tindakan ini menimbulkan eksternalitas negatif bagi pihak lain. Yang sering dirugikan dalam masalah ini adalah penduduk sekitar karena kurangnya informasi. Praktik perburuan rente mengindikasikan tidak adanya mekanisme pasar. Sejalan dengan perspektif ekonomi liberal bahwa pemburu rente ini berusaha memaksimalkan rente ekonomi yang bisa mereka peroleh dengan cara menghindari persaingan di pasar. Menurut tradisi pandangan ekonomi klasik dan neoklasik, mekanisme pasar mengimplikasikan adanya persaingan terbuka antara pencari keuntungan. Jika persaingan berlangsung terbuka, keuntungan untuk tiap pelaku secara individu hanya akan terjadi dalam tingkat minimal. Sebaliknya, tanpa adanya persaingan, tiap-tiap pelaku usaha bisa memperoleh keuntungan di atas normal (supernormal profit)26.
2.6. Teori Ekonomi Biaya Transaksi (Transaction Cost) Menurut North, biaya transaksi merupakan ongkos untuk menspesifikasi dan memaksakan (enforcing) kontrak yang mendasari pertukaran, sehingga dengan sendirinya mencakup semua biaya organisasi politik dan ekonomi yang
26
Ari A. Perdana. Loc. Cit.
memungkinkan kegiatan ekonomi mengutip laba dari perdagangan (pertukaran)27. Biaya transaksi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : biaya transaksi sebelum kontrak (ex-ante) dan setelah kontrak (ex-post). Biaya ex-ante terjadi jika salah satu pihak transaksi memiliki informasi yang terbatas tentang pembelian atau penjualan. Tetapi kerugiannya dapat dihilangkan setelah transaksi itu lengkap. Sedangkan biaya transaksi ex-post terjadi saat salah satu pihak transaksi memiliki informasi yang terbatas dibandingkan pihak lain bahkan setelah transaksi tersebut terjadi28. Biaya transaksi ini terjadi karena adanya rasionalitas terbatas (bounded rationality) dan perilaku oportunis (opportunistic), yang bertujuan untuk menghindari kerugian (adverse selection), penyimpangan moral (moral hazard), penipuan, melalaikan kewajiban, dan bentuk-bentuk perilaku strategis lainnya29. Pada kasus Kawasan Segitiga Emas, biaya transaksi dikeluarkan oleh pengembang karena adanya informasi yang tidak sempurna. Jika ingin menguasai lahan, mereka harus mengetahui informasi yang akurat mengenai lahan yang akan dikuasai dan dibebaskannya. Untuk itu dibutuhkan informasi dari berbagai pihak. Biaya transaksi yang dikeluarkan dapat berupa biaya resmi maupun tidak resmi. Biaya transaksi resmi dalam penghitungan pajak adalah biaya-biaya yang dikeluarkan developer dalam rangka melakukan prosedur perizinan yang ditunjang oleh tanda terima pembayaran resmi, seperti biaya kepengurusan perizinan, biaya formulir perizinan, biaya notaris, biaya konsultan, dll. Sedangkan 27
Ahmad Erani Yustika. Op.Cit. Hal. 107.
28
Ibid. Hal.112.
29
Williamson dalam Ahmad Erani Yustika. Ibid. Hal.113.
biaya ilegal yang harus mereka keluarkan meliputi biaya informasi dari oknum pemerintah, biaya preman pembebasan lahan, dan biaya ‘ucapan terima kasih’ untuk para aparat pemerintah. Biasanya biaya ilegal ini nilainya jauh lebih besar dibandingkan biaya resminya jika pada proses perizinan terjadi hal-hal yang menyimpang dari aturan yang berlaku, misalnya jika para developer ingin mempercepat proses perizinannya.
2.7. Central Business District (Kawasan Pusat Bisnis) Kawasan Pusat Bisnis dianggap sebagai pusat dari perdagangan dan jasa. Pusat ini bisa hanya satu atau lebih. Batasan pusat usaha ini menurut beberapa penelitian menunjukan ada yang menyebar luas dan di lain kota ada yang malah berkurang. Perluasan menuju ke arah pemukiman kelas atas, sedangkan penurunan luas pusat kota terjadi dengan berubahnya daerah yang mendekati industri. Pusat-pusat kota di negara maju, seperti di Inggris pada tahun 1980 dicirikan dengan keadaan fisik yang buruk, tidak tersedianya tempat pejalan kaki yang baik, dan ketika malam berubah menjadi gurun tanpa budaya. Paling utama adalah kawasan ini tidak memiliki mekanisme ekonomi yang menguntungkan bagi perekonomian lokal. Namun sejak tahun 1990 terjadi perubahan dengan perbaikan fisik dan peningkatan budaya di pusat kota30. Penelitian dari Murphy dan Vance dalam Waugh (2003) untuk kota-kota Amerika Serikat menunjukkan bahwa ada beberapa ciri KPB. Pertama terdapat
30
David Waugh. 2003. The New Wider World. Nelson Thornes, United Kingdom. Hal.30.
toko-toko pengecer utama, memiliki proporsi tertinggi dalam perkantoran, konsentrasi gedung tinggi, konsentrasi jumlah pejalan kaki yang tinggi, konsentrasi volume kendaraan, dan memiliki nilai sewa lahan tertinggi. Dari uraian mengenai pusat kegiatan usaha atau KPB ini asumsi yang dipakai adalah salah satu ciri pusat kota yang diuraikan Murphy dan Vance, yakni konsentrasi gedung tinggi yang membutuhkan penduduk sekitar yang besar untuk dapat bersaing dalam mendapatkan lokasi terbaik. Konsentrasi gedung-gedung tertinggi atau pertumbuhan vertikal tertinggi yang diakibatkan oleh sewa yang tinggi sebagai akibat dari pesaingan atas tanah. Hal ini tidak terlepas dari adanya pemusatan atau aglomerasi di kawasan pusat bisnis. Aglomerasi ekonomi adalah berkumpulnya aktivitas-aktivitas kegiatan ekonomi pada satu lokasi. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat berupa kegiatan produksi yang menghasilkan barang atau kegiatan penjualan barang yang berada pada satu lokasi31. Untuk kasus Kawasan Segitiga Emas, terjadi aglomerasi kawasan pusat bisnis yang memang sengaja dirancang oleh pemerintah untuk mengumpulkan segala aktivitas perekonomian pada satu lokasi. Aglomerasi di Kawasan Segitiga Emas ini menyebabkan terjadinya pengelompokan gedung-gedung bertingkat pada satu kawasan tertentu.
31
D.S Priyarsono dan Sahara. 2006. Modul Mata Kuliah Ekonomi Regional. Bogor. Hal. 38.
2.8. Peran Pemerintah dalam Penentuan Harga Lahan di Perkotaan Kepemilikan lahan merupakan salah satu bentuk portofolio yang sering menimbulkan polemik. Di satu pihak, banyak yang memiliki lahan yang luas untuk permukiman tetapi di lain pihak ada kelompok masyarakat yang menjadikan lahan tersebut sebagai alat spekulasi. Prinsip ekonomi yang diterapkan pelaku ekonomi adalah untuk mencapai tingkat kesejahteraan tertinggi yang mungkin dicapai, dengan berbagai kendala yang ada. Setiap orang akan berusaha mencapai kesejahteraan ekonominya yang tertinggi dan dengan demikian akan meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat walaupun bukan tujuan utama mereka32. Lahan merupakan salah satu alternatif bentuk kekayaan yang memberikan kepuasan maksimal bagi pihak tertentu. Jika informasi sempurna maka setiap orang akan mencapai kepuasan maksimal dalam kepemilikan lahan. Namun pada kenyataannya, terdapat berbagai masalah dalam hal penguasaan dan pemilikan lahan karena informasi yang tidak sempurna. Masyarakat sering tidak mengetahui tata guna lahan dan harga lahan yang berubah-ubah sehingga fenomena ini sering dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mengambil alih lahan untuk mencari keuntungan. Badan Pertanahan Nasional (BPN) diberi kewenangan dalam penentuan besarnya nilai lahan. Dalam hal ini, dibentuk sebuah Panitia Pengadaan Tanah (PPT) yang terdiri dari sembilan orang. Tugasnya adalah menentukan besarnya nilai tanah, khususnya ketika pelaksanaan ganti rugi33.
32
Adam Smith dalam Oser dan Blanchfield. 1975.The Evolution of Economic Thought. Edisi ke-3. Hartcourt Brace Jovanovich , New York. Hal. 68. 33 Maria S.W. Sumardjono. 2007. Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi dan Implementasi. Kompas, Jakarta. Hal. 75.
Berikut ini beberapa aspek perpajakan dari pengendalian harga lahan : 1. di satu sisi, timbul masalah kesulitan penetapan harga dasar lahan oleh pemerintah. Penetapan harga dasar yang harus dilakukan secara terusmenerus dan mempertimbangkan semua faktor penentu harga, akan menyebabkan biaya penentuan harga lahan menjadi besar, 2. penetapan harga dasar lahan di bawah harga pasar akan menyebabkan penerimaan pemerintah dari pajak kekayaan akan berkurang. Selanjutnya penerimaan pajak juga tidak mengimbangi laju kenaikan harga pasar lahan. Ditinjau dari aspek perpajakan, harga lahan yang tinggi akan sangat menguntungkan pemerintah, karena meningkatkan pajak. Agar tidak ada pihak yang dirugikan maka ada suatu cara pragmatis untuk menentukan harga dasar lahan, yaitu yang berlandaskan pada prinsip self assessment of property value. Dalam sistem ini, pemilik lahan bersertifikat diharuskan mengisi pernyataan mengenai nilai lahan mereka. Nilai lahannya tidak boleh lebih rendah dari NJOP. Kesulitan yang akan timbul dalam pelaksanaannya adalah penilaian mengenai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. NJOP meliputi nilai jual permukaan bumi beserta kekayaan alam yang berada di atas maupun di bawahnya dan bangunan yang melekat di atasnya. Dampak positif yang ditimbulkan dalam self assessment of property value ini akan dirasakan oleh banyak pihak34.
34
Guritno Mangkoesoebroto.Loc.Cit. Hal 185
2.9. Koefisien Korelasi Rank Spearman Menurut Walpole, koefisien korelasi rank spearman merupakan suatu ukuran non-parametrik bagi hubungan antara dua peubah35. Koefisien korelasi Rank Spearman adalah analisis untuk mengetahui hubungan yang terjadi antara dua variabel ekonomi sehingga dapat diketahui pengaruh dari suatu aktivitas ekonomi dengan aktivitas ekonomi lainnya. Pada penelitian ini koefisien korelasi Rank Spearman menjadi salah satu alat analisis yang dipakai karena data yang digunakan berupa data ordinal. Analisis ini bertujuan untuk mengukur keeratan hubungan antara harga lahan yang dibeli oleh para konglomerat kepada pemilik lahan dengan harga lahan setelah pembangunan properti.
2.10. Kerangka Pemikiran Harga lahan merupakan nilai lahan di pasar yang bersumber dari total keuntungan lahan atas masing-masing sifat instrinsik yang dimiliki lahan. Sifat intrinsik yang dimiliki lahan terdapat aspek fisik, lokasi, sosial, dan kependudukan serta faktor lingkungan. Meningkatnya harga lahan merupakan manifestasi dari peningkatan keuntungan lahan di lokasi tersebut. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi tingkat harga lahan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta. Peningkatan keuntungan lahan disebabkan oleh adanya berbagai keterbatasan dan kelangkaan kondisi lingkungan lahan yang dihadapkan oleh permintaan lahan yang tidak terbatas. 35
Ronald E. Walpole. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-6. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal. 451.
Kawasan Segitiga Emas, yang sejak dahulu dijadikan barometer pusat bisnis di Jakarta, telah membuat banyak pihak berlomba-lomba menguasai lahan di sana. Pihak yang mendominasi adalah pihak konglomerat dan pemerintah. Melalui Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta, pemerintah telah memberikan keleluasaan bagi para konglomerat untuk membangun propertinya di kawasan ini. Keadaan ini telah dimulai sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno. Para konglomerat bersaing memperebutkan lahan. Pengajuan izin penguasaan lahan segera dilakukan sehingga sering bermunculan perburuan rente. Para konglomerat tidak perlu berlama-lama menunggu keluarnya mekanisme perizinan untuk menguasai dan membebaskan lahan. Para konglomerat tersebut segera melakukan pembebasan lahan skala besar di sana. Pembebasan lahan skala besar tersebut menimbulkan pro dan kontra bagi banyak pihak karena akan ada yang diuntungkan dan yang dirugikan. Jika hal ini terjadi, yang akan dirugikan adalah rakyat pemilik lahan. Terdapatnya informasi yang tidak sempurna membuat pemilik lahan harus merelakan lahannya dijual kepada developer dengan harga yang rendah. Pemilik lahan tidak mengetahui bahwa harga lahannya akan segera meningkat berkali-kali lipat dari harga yang mereka jual kepada pengembang. Para pengembang yang telah menguasai lahan lalu membangun propertinya dan menjualnya kepada konsumen dengan harga yang tinggi.
Lahan perkotaan
Perumahan
CBD
Hiburan
Harga Lahan Tinggi
Konglomerasi
Penguasaan lahan
Pembangunan Properti
Supernormal profit
Implikasi : Pihak diuntungkan Pihak dirugikan
Solusi
Keterangan :
: lingkup pembahasan : lingkup analisis Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Operasional
Perburuan rente
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Wilayah Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta yang mencakup wilayah Jl. Jend. Sudirman, Jl. M.H. Thamrin, Jl. H.R Rasuna Said, Jl. Gatot Subroto Jakarta. Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan Kawasan Segitiga Emas Jakarta merupakan salah satu superblok multifungsi yang menjadi pusat aktivitas perekonomian DKI Jakarta. Penelitian di lapang dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2008.
3.2. Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan pada penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui metode wawancara mendalam dengan para informan dan 30 developer yang mengetahui masalah penguasaan lahan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta. Penguasaan lahan yang dianalisis adalah seberapa kuat peran konglomerat dalam menguasai properti di Kawasan Segitiga Emas Jakarta dan mekanisme para konglomerat itu melakukan pembebasan lahan skala besar untuk membangun properti tersebut. Data sekunder merupakan data relevan yang meliputi peta-peta wilayah, penggunaan lahan, status lahan, data properti di Kawasan Segitiga Emas Jakarta, Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK), data-data properti, dan data lain yang relevan dengan penelitian ini. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi pemerintah maupun swasta seperti, Kantor Bappeda DKI Jakarta, Badan
Pertanahan Nasional, Pusat Studi Properti Indonesia, Pusat Data Properti Indonesia, Kantor Kecamatan Setiabudi Jakarta, dan REI Jakarta.
3.3. Metode Analisis Data Analisis yang digunakan merupakan analisis deskriptif dan kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan menyajikan data-data properti yang berada di Kawasan Segitiga Emas Jakarta dan para penguasa properti di Kawasan tersebut. Penguasaan lahan di Kawasan Segitiga Emas yang dilakukan oleh para konglomerat telah menggeser permukiman warga di sekitarnya. Para konglomerat dengan mudah melakukan pembebasan lahan secara besar-besaran di Kawasan ini. Hal ini diduga karena adanya praktik rent-seeking economic activity yang dilakukan antara para oknum pejabat dengan konglomerat agar dimudahkan dalam proses pembebasan lahan. Tentu saja hal ini membutuhkan transaction cost yang besar dari para konglomerat. Untuk mendapatkan keuntungan maksimal, para konglomerat bekerjasama dengan oknum pemerintah melakukan pembebasan lahan skala besar. Pemerintah berdalih bahwa pembebasan ini dilakukan untuk kepentingan masyarakat luas. Tetapi, pada kenyataannya hal ini hanya akan merugikan pihak warga saja karena penggantian uang yang mereka dapatkan tidak sebanding dengan keuntungan yang nantinya diperoleh oleh para konglomerat.
3.3.1. Mekanisme Rent Seeking Economic Activity Aktivitas ekonomi perburuan rente (rent seeking economic activity) ini biasanya selalu melibatkan pihak pemerintah yang mempunyai wewenang dalam
membuat suatu kebijakan. Para konglomerat memanfaatkan informasi yang tidak sempurna dari masyarakat untuk mendapatkan keuntungan di atas normal dengan memberikan uang pelicin kepada oknum pejabat yang terkait. Untuk mengungkap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya rent seeking economic activity dan membuktikan ada atau tidaknya mekanisme para pemburu rente dalam pembebasan lahan skala besar di Kawasan Segitiga Emas Jakarta, maka dibutuhkan narasumber yang akurat. Oleh karena itu, dilakukanlah wawancara mendalam kepada informan-informan yang mengetahui masalah para pemburu rente tersebut, seperti pakar properti, pihak developer , dan pihak akademisi yang menunjang. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan snowball sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dengan mengajukan pertanyaan kepada informan untuk mengidentifikasi suatu masalah yang mungkin bisa diteliti lebih mendalam36. Snowball sampling ini dilakukan karena tidak semua orang bersedia mengungkap masalah rent seeking economic activity sehingga dibutuhkan para informan yang akurat untuk menggali informasi yang akurat terhadap masalah tersebut. Wawancara dilakukan dengan mengambil sampel enam informan yang mengetahui secara lengkap permasalahan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta.
3.3.2. Penguasaan Lahan untuk Pembangunan Properti Sejak dahulu Kawasan Segitiga Emas Jakarta merupakan kawasan superblok bergengsi. Para konglomerat berlomba-lomba menguasai lahan untuk
36
Lisa Harrison. 2007. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana. Hal.25.
dijadikan pusat bisnis, perkantoran, dan pusat perbelanjaan. Sehingga analisis yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan analisis deskriptif untuk membuktikan beberapa hal, yaitu kontribusi pihak swasta (developer) dalam pembangunan properti dan lokasi yang dikuasai. Analisis ini ditunjang pula dengan data-data properti dan masterplan di kawasan tersebut. Untuk memperkuat analisis hubungan antara harga pembebasan lahan, harga jual oleh developer, dan status lahan, dilakukanlah perhitungan koefisien korelasi Rank Spearman karena data yang digunakan berupa data ordinal. Perhitungan Rank Spearman dilakukan untuk melihat kuat tidaknya hubungan antara harga pembebasan lahan, harga jual developer dan status lahan. Adapun perhitungan koefisien korelasi Rank Spearman sebagai berikut :
1
∑
Dimana : di
= selisih antara harga beli ketika pembebasan lahan dengan harga jual lahan dan status lahan.
n
= banyaknya data, yakni 30 data. Korelasi positif artinya searah atau jika variabel pertama besar, maka
variabel kedua semakin besar juga . Korelasi negatif yang artinya berlawanan atau jika variabel pertama besar, maka variabel kedua semakin mengecil.
3.3.3. Dampak Sosial Ekonomi Penguasaan Lahan dan Properti Aktivitas para pemburu rente ini menimbulkan dampak yang negatif. Mekanisme perburuan rente umumnya dilakukan para pengusaha dalam
melakukan bisnis dengan segala cara, antara lain mengeluarkan biaya sebelum aktivitas bisnis dimulai, termasuk mengeluarkan biaya-biaya apapun agar target memperoleh keuntungan semaksimal mungkin. Biaya-biaya sebelum bisnis dimulai dikenal dengan transaction cost. Biaya ini terdiri dari tiga kategori, yaitu37: 1. biaya pencarian dan informasi, 2. biaya negosiasi dan keputusan atau mengeksekusi kontrak, 3. biaya pengawasan, pemaksaan, dan pelaksanaan. Biaya transaksi diperlukan untuk mendapatkan kemudahan dalam pembebasan lahan dengan harga yang rendah sehingga nantinya akan mudah untuk melakukan penguasaan lahan dan pembangunan properti di Kawasan Segitiga Emas Jakarta. Dampak yang ditimbulkan dari penguasaan lahan oleh para konglomerat dapat diketahui dengan wawancara mendalam kepada informan yang akurat dan sangat mengerti mengenai besarnya harga lahan di Kawasan Segitiga Emas sebelum proses bisnis dan pada tahap pembebasan lahan skala besar dengan besarnya harga lahan setelah dibangunnya properti-properti bergengsi. Selisih keduanya merupakan besarnya kerugian yang terjadi pada warga yang menjual lahannya kepada para konglomerat dan bagi kalangan konglomerat pada gilirannya merupakan peluang mendapatkan supernormal profit. Implikasi terjadinya proses pemiskinan terhadap para pemilik lahan karena adanya assimetric information sebagai akibat adanya keterbatasan informasi 37
Ahmad Erani Yustika.2006. Op.Cit Hal.107.
penjual lahan. Pada akhirnya pemilik lahan hanya menerima harga yang rendah dengan konsekuensi tersingkirnya mereka ke pinggiran kota. Terhadap adanya implikasi sosial ekonomi ini, akan dilakukan interpretasi teoritis yang menjelaskan fenomena tersebut.
3.3.4. Peran Pemerintah dalam Penentuan Harga Lahan Pemerintah sebagai pembuat kebijakan tentunya telah membuat berbagai macam aturan mengenai penetapan harga lahan dasar, yaitu berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Tetapi mekanisme NJOP ini terkadang justru merugikan rakyat pemilik lahan karena tidak adanya aturan yang tegas dari pemerintah. NJOP tidak dapat menjadi acuan yang nyata karena harga lahan terbentuk dari mekanisme pasar. Nilai NJOP yang ada jauh lebih kecil dibandingkan nilai lahan di pasaran. Pemerintah cenderung memihak kepada developers sehingga rakyat pemilik lahan tidak mempunyai pegangan hukum yang kuat. Oleh karena itu, dilakukan wawancara mendalam kepada berbagai pihak termasuk notaris untuk mengetahui peran pemerintah atas harga lahan di Indonesia dan wawancara pihak studi properti untuk mengetahui hukum-hukum pertanahan di berbagai negara yang telah diterapkan selama bertahun-tahun dan terbukti efektif dalam menekan harga lahan.
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH
4.1. Perkembangan Wilayah Kawasan Segitiga Emas Struktur kota yang paling mudah dilihat adalah kawasan gedung tinggi. Kawasan gedung tinggi merupakan ciri khas dari kota besar. Kawasan gedung tinggi ini menjadi identitas suatu pusat kota-kota besar di berbagai negara. DKI Jakarta, sebagai salah satu kota besar di Indonesia, juga memiliki suatu kawasan bangunan tinggi yang menjadi pusat aktivitas perekonomian yang dinamakan kawasan pusat bisnis. Salah satu kawasan pusat bisnis yang terkenal ialah Kawasan Segitiga Emas yang terletak Jalan Jendral Sudirman, Jalan M.H Thamrin, serta Jalan H.R Rasuna Said - Gatot Subroto. Walaupun disebut Kawasan Segitiga Emas, tetapi kawasan ini sebenarnya berbentuk trapesium. Kawasan Segitiga Emas Jakarta ini terletak di jakarta Selatan yang masing-masing terdiri dari beberapa kecamatan, yaitu kecamatan Setiabudi. Kecamatan Setiabudi ini memiliki jumlah gedung sebanyak 136 bangunan,seperti yang tertera pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Jenis Bangunan di Kecamatan Setiabudi Jakarta Selatan No
Kelurahan
1. Karet Semanggi 2. Kuningan Timur 3. Karet Kuningan 4. Karet 5. Menteng Atas 6. Pasar Manggis 7. Guntur 8. Setiabudi Jumlah
Gedung Pabrik Gudang Perkantoran Lt. 10+ 17 18 11 14 2 8 60
3 2 5
Sumber : BPS Kodya Jakarta Selatan, 2006.
-
13 16 9 22 11 71
Berdasarkan Tabel 4.1. dapat dilihat bahwa kecamatan Setiabudi memiliki jumlah bangunan yang banyak dan tersebar hampir di setiap kelurahan, kecuali kelurahan Pasar Manggis. Bangunan yang mendominasi di kecamatan ini adalah perkantoran sebanyak 71 bangunan dan gedung lt. 10+ sebanyak 60 bangunan. Luasnya persebaran gedung tinggi, walau berada pada kecamatankecamatan yang saling berbatasan di tengah-tengah posisi geografis Jakarta, menunjukkan kecenderungan bahwa DKI Jakarta memiliki lebih dari satu pusat kegiatan usaha. Luas bangunan tinggi di DKI Jakarta sebesar 37,9 km2, sedangkan di Jakarta Pusat seluas 18,3 km2. Tabel 4.2. Rasio Luas Bangunan Tinggi dan Luas Wilayah per Kotamadya No. 1. 2. 3. 4. 5.
Wilayah Kotamadya Jakarta Barat Jakarta Pusat Jakarta Utara Jakarta Selatan Jakarta Timur
Rasio 77,4 persen 33,8 persen 30,5 persen 25,8 persen 11,7 persen
Sumber: Dinas P2K, 2007.
Berdasarkan Tabel 4.2. dari data pembagian luas bangunan tinggi dengan luas daerah administrasi kotamadya maka Jakarta Barat memiliki perbandingan tertinggi. Jakarta Pusat yang memiliki gedung terbanyak memiliki angka perbandingan yang dekat dengan angka untuk keseluruhan DKI Jakarta. Sedangkan yang terkecil adalah di Jakarta Timur.
4.2. Perkembangan Kawasan Segitiga Emas Jakarta Pada awal kemerdekaan republik Indonesia, pusat perdagangan dan jasa terletak di daerah Glodok, Pancoran, Pasar Pagi, dan sekitarnya. Daerah ini sering
juga disebut dengan Pecinan. Daerah ini lebih dekat ke pelabuhan internasional di Tanjungpriok, pelabuhan antarpulau di Pasar Ikan, begitu juga dengan pelabuhan udara yang waktu itu berada di Kemayoran, serta stasiun kereta api Beos sehingga mudah terhubung dengan kota-kota lain di Pulau Jawa. Adapun daerah Menteng merupakan kawasan perumahan masyarakat menengah atas, diplomat, pejabat tinggi pemerintah, dan konglomerat. Pembangunan perkotaan telah diwacanakan sejak masa pemerintahan presiden Soekarno dalam rangka menyambut Asian Games tahun 1962. Wilayah yang diprioritaskan dalam pembangunan skala kota ini adalah koridor Jl. Jendral Sudirman dan koridor Jl. M.H. Thamrin. Sejak saat itu gedung-gedung bertingkat mulai bermunculan, seperti Wisma Metropolitan dan BBD Plaza. Seiring dengan berkembangnya waktu, banyak investor dan developer mulai berminat memiliki properti di kedua koridor tersebut. Pada masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, terjadi aglomerasi pengembangan pusat bisnis di koridor Jl. Jendral Sudirman, koridor Jl. M.H. Thamrin, dan koridor Kuningan. Tetapi proses pengembangan ketiga koridor ini tidak serentak dilaksanakan. Koridor Kuningan mulai dikembangkan pada tahun 1970 setelah kedua kawasan lainnya berkembang. Ketiga koridor ini dinamakan Kawasan Segitiga Emas karena letaknya yang berdekatan dan menyerupai bentuk segitiga. Semua kantor pusat bank, perusahaan nasional dan internasional, dan kantor-kantor badan internasional serta diplomatik berlokasi di segitiga emas. Kawasan ini sudah menjadi pusat bisnis negara, bukan lagi kota Jakarta. Pengembangan kawasan ini secara besar-besaran mulai terjadi pada tahun 1990.
4.2.1. Kawasan Segitiga Emas Sebelum Masa Krisis Kawasan Segitiga Emas Jakarta merupakan salah satu kawasan pusat bisnis yang bergengsi di DKI Jakarta. Kawasan ini telah ada sejak pemerintahan Gubernur DKI Ali Sadikin. Fenomena gedung bertingkat di Jakarta diawali sekitar tahun 1960-an dengan berdirinya Hotel Indonesia di Jalan M. H. Thamrin. Berdasarkan data Dinas Pengawasan Pembangunan Kota (P2K) Provinsi DKI Jakarta, setelah berjalan 35 tahun, jumlah gedung bertingkat di Jakarta mencapai angka diatas 400 unit untuk bangunan di atas sembilan lantai, dan sekitar 600 unit untuk bangunan diatas tujuh lantai. Penyebaran gedung bertingkat tentunya akan mengikuti pola penyebaran tertentu. Bisa tersebar secara acak, atau mengelompok secara merata di seluruh DKI Jakarta. Jakarta yang memiliki luas 650 km² dengan jumlah luas bangunan sekitar 20,25 km², pola penyebaran yang mengelompok dapat menjadi indikator bahwa kawasan tersebut merupakan Central Business District. Pada awalnya, pembangunan sejumlah gedung perkantoran dan apartemen sangat direspon pasar karena kawasan ini sangat meningkatkan prestige para konglomerat, sejumlah perusahaan terkemuka di Indonesia memilih berkantor di Kawasan Segitiga Emas. Apalagi kemudian sejumlah infrastruktur modern dibangun di Kawasan Segitiga Emas, seperti aksesibilitas jalur jalan tol dalam kota, bahkan untuk pengembangan transportasi umum, pemerintah kota Jakarta sangat terfokus di kawasan ini. Akibatnya, semua gedung perkantoran, apartemen dan pusat belanja pun berharga tinggi. Menurut riset Jones Lang LaSalle38,
38
Properti Indonesia .Op.Cit. Hal. 24.
permintaan ruang kantor paling tinggi berada di koridor Thamrin-Sudirman. Posisi kedua ditempati daerah Kuningan, dan posisi terakhir ditempati koridor Gatot Subroto. Selain itu, pertambahan ruang rata-rata mencapai 275 ribu m2 per tahun dengan jumlah perkantoran sebanyak 123 gedung, 14 apartemen, dan 18 hotel bertaraf internasional. Lahan di Kawasan Segitiga Emas begitu diminati sehingga harga lahan di kawasan ini melambung tinggi. Harga rata-rata lahan di Jl. Jend. Sudirman sebesar 3.500 dollar AS per m2. Jika disetarakan dengan nilai tukar Rp 2.500,00 berarti harga lahan tersebut Rp 8.750.000,00 per m2, bahkan di beberapa lokasi utama harga sudah mencapai angka Rp 10.000.000,00 per m2. Peningkatan terutama terjadi saat berlangsung pembebasan lahan skala besar oleh pemerintah untuk pembangunan superblok-superblok tersebut. Seperti yang terlihat pada Tabel 4.3. sebagai berikut. Tabel 4.3. Harga Lahan Kawasan Segitiga Emas Sebelum Krisis No. 1. 2. 3.
Kawasan Segitiga Emas Jl. Jendral Sudirman Jl. M.H. Thamrin Jl. H.R. Rasuna Said – Jl. Jend. Gatot Subroto
Harga Lahan per m2 Rp 10 juta per m2 Rp 8,75 juta per m2 Rp 8 juta per m2
Sumber : Pusat Data Properti Indonesia, 2007.
4.2.2. Kawasan Segitiga Emas pada Masa Krisis Saat krisis ekonomi tahun 1997-1998 melanda Indonesia, banyak sekali sektor perekonomian yang mengalami keterpurukan. Krisis ini pun berdampak buruk bagi sektor properti Indonesia, khususnya di kawasan pusat bisnis Kawasan Segitiga Emas.
Banyak perusahaan yang gulung tikar atau beralih ke luar Kawasan Segitiga Emas. Banyak perkantoran yang menjadi kosong. Kondisi ini membuat harga lahan dan sewa ruang perkantoran menurun drastis. Tabel 4.4. Harga Lahan Kawasan Segitiga Emas Saat Krisis No. 1. 2. 3.
Kawasan Segitiga Emas Jl. Jendral Sudirman Jl. M.H. Thamrin Jl. H.R. Rasuna Said – Jl. Jend. Gatot Subroto
Harga Lahan per m2 Rp 6,3 juta per m2 Rp 6 juta per m2 Rp 5,2 juta – Rp 5,9 juta per m2
Sumber : Pusat Data Properti Indonesia, 2007.
Tabel 4.4. menerangkan bahwa harga lahan mengalami penurunan cukup tajam. Hal ini terjadi karena pada saat krisis relatif tidak ada transaksi dan turunnya angka penyerapan pasar pada urban commercial property yang sedang dibangun. Turunnya nilai lahan di kawasan pusat bisnis Jakarta ini akibat praktik spekulasi oleh para pengusaha besar sebelum terjadi krisis ekonomi. Akibat krisis ini pula, para konglomerat yang tadinya berjaya dan menguasai kawasan tersebut mulai tersandung masalah sehingga banyak aset-aset yang mereka miliki akhirnya diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Pembelian lahan tersebut menggunakan dana jangka pendek dari perbankan. Sedangkan investasi di sektor properti dan lahan, bersifat jangka panjang, sehingga terjadi mismatch. Karena itu begitu bank pemberi kredit bangkrut maka pengusaha terkena dampaknya.
4.2.3 Kawasan Segitiga Emas Pasca Krisis Setelah sempat terpuruk akibat krisis ekonomi, perlahan-lahan Kawasan Segitiga Emas mulai meningkat kembali. Walaupun peningkatannya tidak
signifikan. Perbaikan keadaan ini terjadi menjelang akhir tahun 2002 dengan pembangunan beberapa gedung di kawasan tersebut. Berbeda dengan saat sebelum krisis, pada saat pasca krisis ini dipenuhi oleh pembangunan pusat-pusat perbelanjaan, dan sejumlah apartemen. Hal ini dikarenakan masih banyaknya ruang perkantoran yang masih layak dan kegiatan usaha yang belum pulih sepenuhnya. Selain itu, sejumlah gedung beralih kepemilikan ke tangan konglomerat baru. Beberapa konglomerat ada yang memilih untuk membangun lahan-lahan yang masih kosong dibandingkan meneruskan proyek yang terbengkalai. Adapula konglomerat yang meneruskan proyeknya saat sudah memiliki dana lagi, seperti pembangunan apartemen SCBD Suites yang konstruksi awalnya merupakan bangunan Hotel Marcopolo di SCBD, Hotel Indonesia dan Hotel Ina Wisata yang dirombak menjadi Grand Indonesia. Berdasarkan survei Properti Indonesia pada akhir tahun 2003, harga lahan di Kawasan segitiga emas beranjak naik. Seperti yang tertera pada Tabel 4.5. di bawah ini. Tabel 4.5. Harga Lahan Kawasan Segitiga Emas Pasca Krisis No. 1. 2. 3.
Kawasan Segitiga Emas Jl. Jendral Sudirman Jl. M.H. Thamrin Jl. H.R. Rasuna Said – Jl. Jend. Gatot Subroto
Harga Lahan per m2 Rp 12 juta – Rp 14 juta per m2 Rp 15 juta – Rp 16 juta per m2 Rp 11 juta – Rp 12,5 juta per m2
Sumber : Pusat Data Properti Indonesia, 2007.
Sektor properti kembali berkembang seiring dengan mulai membaiknya kondisi perekonomian Indonesia. Walaupun kondisi ini meningkat sedikit demi sedikit, permintaan akan sektor properti di Kawasan Segitiga Emas pun
meningkat. Para developer mulai membenahi proyeknya yang sempat terlantar saat krisis ekonomi. Keadaan ini membuat harga lahan di Kawasan Segitiga Emas kembali meningkat. Proyek-proyek properti pun banyak yang dibangun dan dikembangkan. Semakin terbatasnya lahan perkotaan, developer menawarkan suatu konsep bangunan baru mixed-use development yang mencakup perkantoran, perbelanjaan, dan apartemen dalam satu bangunan.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Mekanisme Rent Seeking Economic Activity pada Penguasaan Lahan Pembangunan Kawasan Segitiga Emas sudah terkonsep sejak dahulu dan hingga kini pemerintah DKI Jakarta masih mengembangkan kawasan ini. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta yang dikeluarkan setiap lima tahun tetap berorientasi pada pembangunan Kawasan Segitiga Emas menjadi kawasan pusat bisnis yang semakin modern. Penguasaan lahan yang dilakukan oleh para konglomerat tergantung dari Rencana Tata Ruang Wilayah. Untuk dapat menguasai lahan di Kawasan Segitiga Emas, para konglomerat harus mengikuti prosedur-prosedur perijinan yang dikeluarkan Pemerintah DKI Jakarta. Sebelum para pengembang dapat membebaskan dan menguasai lahan, mereka harus mengajukan izin prinsip. Izin prinsip merupakan prosedur perizinan yang pertama kali diajukan para pengembang kepada pemerintah. Jika tujuan penguasaan lahan dan konsep pembangunan properti sesuai dengan rencana tata ruang yang ada, maka perizinan akan lebih mudah diberikan. Pada kenyataannya, pembangunan properti sering menyimpang dari tata ruang yang sudah ada. Hal ini terjadi karena para pengembang melihat kondisi faktual perekonomian dan potensi pasar yang berkembang saat ini. Seperti yang pernah terjadi pada tahun 1962. Konversi lahan untuk pusat bisnis dan komersial pertama kali dilakukan di kawasan Senayan dengan didirikannya Hotel Atlet Century. Tujuannya adalah untuk mengakomodasi para atlet yang akan bertanding
di Asian Games. Akan tetapi, pembangunan hotel ini menyalahi masterplan yang telah ada karena seharusnya pembangunan komersial tidak boleh dilakukan di dalam kawasan fasilitas olahraga dan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Namun pemerintah tidak menindak tegas pelanggaran yang terjadi karena melihat keadaan aktual kawasan tersebut. Fenomena yang terjadi pada proses penguasaan lahan adalah terdapatnya para pemburu rente (rent seekers) yang dilakukan oleh para pengembang. Dalam kasus penelitian ini, rent seekers mencari kesempatan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya melalui pemanfaatan regulasi pemerintah untuk menghambat penawaran atau peningkatan permintaan sumberdaya yang dimiliki39. Proses rent seeking ini diawali dengan pencarian informasi mengenai kawasan yang akan dibangun dan sesuai dengan rencana pembangunan pemerintah. Kegiatan mencari rente dapat didefinisikan sebagai upaya individual atau kelompok untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi pemerintah. Para pengusaha mencari rente ekonomi ketika menggunakan kekuasaan
pemerintah
untuk
menghambat
penawaran
atau
peningkatan
permintaan sumber daya yang dimiliki. Perilaku mencari rente dianggap sebagai pengeluaran sumber daya untuk mengubah kebijakan ekonomi, agar dapat menguntungkan bagi para pencari rente. Setelah perijinan prinsip dan lokasi didapatkan, para developer harus memiliki surat izin penggunaan lahan. Tujuannya agar mengetahui penggunaan
39
Ahmad Erani Yustika. Op.Cit. Hal.147.
lahan dengan jelas dan menghindari praktik spekulasi lahan. Lahan yang telah dikuasai skala besar tidak boleh dibiarkan kosong, tetapi harus dimanfaatkan sesuai dengan izin yang diperoleh. Pemerintah menetapkan sanksi kepada para developer yang menyalahgunakan izin penggunaan lahan. Hal ini terjadi mengingat pada tahun 1997 saat terjadinya krisis ekonomi, para konglomerat yang tadinya menguasai lahan skala besar tiba-tiba saja collapse sehingga lahan-lahan tersebut diambil alih oleh BPPN. Agar kejadian itu tidak terulang kembali, maka pemerintah mengantisipasi dengan memberikan perizinan hukum yang tegas. Setelah memperoleh surat keputusan izin lokasi dari Pemerintah Daerah sesuai dengan peruntukkannya, maka dimulailah proses panjang pembebasan lahan. Proses ini dimulai dari meneliti kavling-kavling di lapangan, kelengkapan administrasi sebagai bukti hak atas tanah, meneliti pemilik lahan dan ahli waris, negosiasi harga, pengukuran, pematokan, dan transaksi. Semua tahap tersebut, selain memakan biaya, juga membutuhkan tenaga dan waktu yang tidak singkat. Selama mekanisme pasar berjalan semestinya dan tidak adanya intervensi dari pihak luar, maka konflik itu tidak akan terjadi. Ir. Nugroho Suksmanto, mantan direktur sebuah perusahaan properti terkenal, mengatakan bahwa dengan pendekatan yang baik antara pihak developer dengan pemilik lahan tidak akan terjadi konflik karena para developer juga memberikan biaya ganti-rugi yang layak kepada pemilik lahan. Selain masalah aktivitas perburuan rente, harga lahan dapat melambung sangat tinggi jika dalam proses pembebasan lahan terdapat calo. Menurut Ir. Nugroho Suksmanto, masalah percaloan dalam pembebasan lahan secara konkrit
pernah terrjadi ketikaa mengerjaakan proyek k Grand Kuningan K paada tahun 1990. Proyek inii dinilai sebbagai salah satu contoh h penerapann participatoory development, karena paada saat itu i banyakk sekali para calo yang y meribbutkan maasalah pembebasan lahan di kawasaan Kuning gan. Para calo ingin mendap patkan keuntungaan yang besar dengaan pembebasan lahann skala besar di kaw wasan 4 Kuningan40 .
Akkar permasaalahan terjaadi jika stattus kepemilikan lahann tidak jelass dan bila beruppa Letter C41. Para pem mburu rente akan mencaari peluang untuk men ndapat keuntungaan yang besar dengan berkolusi b beersama oknuum pemerinntah.
20% %
30% % Tidak jeelas Letter C
20% %
0%
Girik SHM
3 30% Sumber : Data D Primer, diolah.
Gambaar 5.1. Statuus Lahan terrhadap Trannsaction Coost
40
Dalam wawancara w yanng dilakukan pada tanggall 4 Juni 20088 terhadap H Hilda B. Alex xander, seorang warrtawan Properrti Indonesia dan aktivis LSM, L untuk mengetahui m keepiawaian devveloper dalam kasuus pembebasaan lahan skaala besar di Kawasan Seegitiga Emas. Informan pernah p mewawancaarai Ir. Nugrohho Suksmantoo yang ketika itu menjabat sebagai direkktur PT Abadii Guna Papan. 41
Letter C merupakan suurat tanah yanng dianggap sebagian oranng menjadi buukti hak atas tanah. Biasanya beerupa catatan tertulis di kantor k kelurah han yang diannggap sebagaai bukti pengu uasaan tanah. Tetappi surat ini bellum menunjukkan bukti kepemilikan lahaan secara sah kkarena tidak adanya a sertifikat ataas tanah.
Kepemilikan lahan secara hukum yang sah dapat mengurangi praktik rent seeking. Lahan yang bermasalah biasanya membutuhkan biaya transaksi yang lebih banyak dibandingkan lahan dengan status hukum yang jelas. Pemilik lahan yang memiliki status kepemilikkan lahan secara sah dalam hukum, biasanya dapat bernegosiasi kepada para developer mengenai harga yang layak mereka dapatkan sehingga mekanisme transaksi ganti-rugi sesuai dengan musyawarah mufakat. Pada praktiknya, masih saja terdapat rent seekers yang mengambil keuntungan walaupun status lahan dari pemiliknya telah jelas, yakni berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) yang langsung dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pada Gambar 5.1. terlihat bahwa praktik rent seeking dapat terjadi pada 20 persen developer atau sebanyak enam developer karena harus berurusan dengan para calo pada saat pembebasan lahan. Semakin lemah status hukum kepemilikan lahan, maka semakin mudah praktik perburuan rente ini dilakukan. Sebagian besar developer tidak ingin berurusan dengan lahan yang masih dalam status sengketa karena prosedurnya semakin berbelit-belit dan pastinya para calo semakin merajalela. Masalah pembebasan lahan skala besar menimbulkan kerumitan tersendiri. Perilaku rent seeking itu terjadi tidak hanya dari pengusaha dan oknum-oknum terkait saja, tetapi bisa dilakukan oleh pemilik lahan itu sendiri. Lahan yang sudah dilepaskan hak, diakuinya kembali. Ada pula yang meminta ganti-rugi lagi. Selain itu, kerap dijumpai pihak lain yang mengaku pemilik lahan padahal haknya telah dibayarkan. Status kepemilikan lahan juga bisa digandakan. Hal seperti itu pernah dialami oleh PT Danayasa Arthatama, Tbk. saat membebaskan lahan seluas 45
hektar unttuk proyek Kawasan Niaga N Terpaadu Sudirmaan. Ketika ddilakukan proses p pembebasan lahan, pihak p PT Danayasa D Arrthatama, Tbk. T sempatt membayaar dua kali ganti-rugi untukk kepemilikkan lahan yang y sama. Solusinyaa adalah deengan b transaaksi pembaayaran dilakkukan, lalu lahan memfoto setiap pemiilik lahan begitu yang telahh dipindah tangan keppada develop per harus segera s diberri tanda. Hal H ini dilakukan untuk menghindari klaaim. 3 3% 20% 40%
Rp 5.000.000 5 - Rp R 7.49 99.000 Rp 7.500.000 7 - Rp R 9.99 99.000 Rp 10.000.000 1 - Rp 12.4 499.000 >Rp p 12.500.000
37% Sumber : Data D Primer, diolah.
Gaambar 5.2. Harga H Jual Lahan Prop perti di Kaw wasan Segitiiga Emas Gaambar 5.2. menunjukka m an adanya perilaku p rennt seeking inni berakibatt pada bertambahhnya biaya yang harus dikeluarkaan para penggembang unntuk melolo oskan proyek peembangunann propertinyya. Tentu saja s ini mennyebabkan harga jual lahan properti naantinya akaan sangat tinnggi, khusussnya di Kaw wasan Segittiga Emas. Harga H jual di Kaawasan Segitiga Emas sudah men ncapai lebihh dari Rp 122.500.000,0 00 per m2. Sebesar 40 persenn atau sekittar 12 develloper menjuual lahan prropertinya di d atas Rp 12.5000.000,00. Harga H paling tinggi beerada di kaw wasan Sudirman. Biassanya developer memberikkan harga sekitar s Rp 24.700.0000,00 per m2. Sebanyaak 11 m lahaan propertinnya pada kkisaran harg ga Rp developer atau 37 peersennya menjual
10.000.000,00 hingga Rp 12.499.000,00 per m2. Harga lahan ini mendominasi di kawasan Kuningan. Tetapi ada juga developer yang menjual lahan propertinya dengan harga Rp 7.500.000,00 sampai dengan Rp 9.999.000,00 per m2, yakni sebesar 20 persen developer dan sebanyak tiga persen developer menjual lahannya sebesar Rp 5.000.000,00 sampai dengan Rp 7.499.000,00 per m2. Para developer yang menjual lahan properti dengan harga kurang dari Rp 10.000.000,00 per m2 karena lahan yang mereka kuasai tidak berada tepat pada koridor utama Kawasan Segitiga Emas, tapi di pinggir kawasan itu atau letaknya kurang strategis. Untuk lebih memperkuat hasil penelitian, maka dilakukanlah uji korelasi rank spearman. Berdasarkan hasil pengujian koefisien korelasi spearman antara harga beli saat pembebasan lahan dengan harga jual developer (lampiran 6), didapatkan nilai estimasi 0,579 pada α = 0,01. Nilai ini mengindikasikan bahwa terdapat hubungan yang cukup kuat antara harga beli ketika pembebasan lahan dengan harga jualnya. Jika developer harus mengeluarkan banyak uang untuk pembebasan lahan, maka mereka akan menjual lahan dan propertinya dengan harga yang lebih tinggi karena biaya investasi yang dikeluarkannya lebih besar. Harga pembebasan lahan yang mereka berikan juga relatif lebih kecil dibandingkan dengan harga pembebasan lahan di koridor utama. Aktivitas perburuan rente menjadi salah satu penyebab tingginya harga jual lahan properti oleh para pengembang akibat adanya biaya transaksi yang besar. Para pengembang, selaku rent seekers, ingin menguasai lahan skala besar dengan berbagai cara agar dimudahkan dalam proses penguasaan lahan sehingga dibutuhkan informasi yang sempurna, negosiasi dan kerjasama dengan
pemerintah. Untuk itu para pengembang membutuhkan biaya tambahan untuk mempercepat proyeknya yang menyebabkan biaya investasi proyek semakin bertambah. Hal ini terjadi karena biaya tambahan yang harus dikeluarkan selama proses perizinan hingga pelaksanaan proyek semakin besar. Para pengembang yang menginginkan keuntungan di atas normal akan berkolusi dengan oknum pemerintah agar dimudahkan dalam pembebasan lahan. Jika hal ini terjadi maka pengembang akan memperoleh keuntungan di atas normal yang besar karena pada saat penjualan properti nantinya akan dikenakan harga yang sangat mahal. Praktik perburuan rente ini sebenarnya dapat diantisipasi oleh pemerintah dengan menghilangkan hambatan informasi dengan cara : 1. adanya
good
governance
untuk
menghilangkan
hambatan
informasi agar tercipta transparansi informasi. Misalnya dapat dilakukan dengan membuat suatu website pelayanan pertanahan dan informasi mengenai harga lahan, 2. keterbukaannya birokrasi pemerintah untuk mengurangi prosedur.
5.1.1. Biaya Transaksi (Transaction Cost) pada Pembebasan Lahan Mekanisme penguasaan lahan untuk pembangunan properti harus melalui berbagai prosedur. Pengembang harus mengetahui perencanaan wilayah suatu kawasan. Untuk mendapatkannya dibutuhkan informasi yang akurat mengenai karakteristik lokasi dan keadaan lahan. Oleh karena itu, para pengembang harus mengeluarkan berbagai macam biaya selama proses pencarian informasi
berlangsung. Pengembang mencari informasi untuk mengetahui wilayah yang akan dikembangkan. Informasi tersebut tentunya didapat dari banyak pihak. Sesuai dengan tinjauan pustaka pada bab II, maka developer akan mengeluarkan transaction cost. Biaya transaksi awalnya dikenal dalam teori ekonomi sebagai biaya exchange untuk barang dan jasa antara produsen dan konsumen. Biaya ini timbul akibat dari imperfect market dan asymetric information sehingga muncul pihak ketiga sebagai middleman yang nantinya menyebabkan ekonomi biaya tinggi42. Transaction cost ini dapat timbul karena adanya praktik perburuan rente yang dilakukan para pengembang. Biasanya informasi didapat dari oknum-oknum pemerintah daerah. Pelaku rent seeking akan berkolusi dengan oknum tersebut agar diberikan informasi yang akurat mengenai suatu kawasan. Untuk mendapatkan itu tidaklah murah karena dibutuhkan biaya tambahan. Biaya selama proses negosiasi ini tergolong biaya transaksi ex-ante. Biaya ex-ante yang dikeluarkan pihak pengembang bisa berupa biaya resmi (legal) maupun tidak resmi (ilegal), tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak. Menurut informan yang diwawancara, biaya negosiasi dapat lebih tinggi dari biaya resminya jika terjadi penyimpangan. Setelah informasi didapatkan, maka mereka mulai mengajukan proposal kepada BPN agar diberikan izin, selanjutnya terjadilah proses panjang pengurusan izin yang juga membutuhkan biaya ekstra yang tidak sedikit. Biaya ini meliputi biaya-biaya resmi yang dikeluarkan pihak pemerintah ataupun biaya tidak resmi untuk meloloskan proses 42
William M. Evan 1993. Organization Theory : Research and Design. New York : MacMillan Publishing Company.Hal. 12.
perizinan dari para pengembang. Biaya ini termasuk biaya ketika transaksi menyimpang dari prosedur. Jika semua proses perizinan telah selesai dilakukan maka dimulailah kegiatan pembebasan lahan. Setiap perizinan memerlukan biaya. Di setiap wilayah besarnya biaya berbeda-beda. Sebenarnya pemerintah telah memberikan aturan biaya pengurusan izin secara resmi. Namun pada praktiknya, jika mengikuti proses perizinan secara resmi dibutuhkan waktu yang lama. Para pengembang biasanya ingin mendapatkan izin secara mudah dan singkat. Untuk itu diperlukan biaya tambahan sebagai jalan mempercepat proses birokrasi tersebut. Biaya ini sering disebut dengan biaya sogokan. Biaya sogokan ini merupakan salah satu transaction cost secara ilegal yang dikeluarkan pengembang. Besarnya biaya ini tergantung dari oknum aparat yang menangani masalah perizinan dan tingkat kebutuhan akan penggunaan lahan oleh para pengembang. Menurut pengakuan 30 developer yang diwawancarai dan pernah membebaskan lahan skala besar di Kawasan Segitiga Emas, mereka harus mengeluarkan transaction cost dalam mengerjakan proyek pembangunan properti.
33% % 0% - 4% % 5% - 9% % 10% - 14% 64% %
3%
Sumber : Data D Primer, diolah.
Gam mbar 5.3. Persentase P T Transaction Cost di Kaw wasan Segittiga Emas Beerdasarkan Gambar 5.33. transactiion cost yaang dikeluarrkan oleh setiap s developer bervariasi nilainya. Untuk U Kaw wasan Segittiga Emas, para deveeloper umumnyaa mengeluarrkan biaya transaksi sebesar lim ma persen hhingga sem mbilan persen daari total biaaya keseluruuhan proyeek pembanggunan propperti di kaw wasan tersebut, yakni y mencaapai 64 perrsen atau seb banyak 19 developer yyang diantaranya sembilan developer harus h menggeluarkan biaya b transaaksi di kaw wasan Kuningan, n tiga developer di kaawasan Thaamrin. tujuh deveeloper di kawasan Suddirman, dan Menurut developer, d r range lima persen hing gga sembilaan persen m merupakan biaya transaksi yang massih wajar karena ad da beberappa developper yang harus mengeluarrkan biaya di atas rannge tersebu ut, yakni 100 persen hingga 14 peersen. Sebesar 33 persen attau sebanyaak 10 develloper yang diwawancaarai, diantarranya empat devveloper di kawasan k Kuuningan, tig ga developerr di kawasaan Sudirman n dan Thamrin. Traansaction cost ini harus h dikelluarkan peengembang ketika mereka m memulai mencari m lokkasi yang berpeluang b untuk dikeembangkan dan berpro ospek
cerah.
Menurut
pengakuan
pengembang,
biaya
transaksi
resmi
dalam
penghitungan pajak adalah biaya-biaya yang dikeluarkan developer dalam rangka melakukan prosedur perizinan yang ditunjang oleh tanda terima pembayaran resmi, seperti biaya kepengurusan perizinan, biaya formulir perizinan, biaya notaris, biaya konsultan, dll. Sedangkan biaya ilegal yang harus mereka keluarkan meliputi biaya informasi dari oknum pemerintah, biaya preman pembebasan lahan, dan biaya ‘ucapan terima kasih’ untuk para aparat pemerintah. Biasanya biaya ilegal ini nilainya jauh lebih besar dibandingkan biaya resminya jika pada proses perizinan terjadi hal-hal yang menyimpang dari aturan yang berlaku, misalnya jika para developer ingin mempercepat proses perizinannya. Untuk kasus itu dibutuhkan biaya ilegal yang lebih besar. Berdasarkan informasi yang didapat dari beberapa informan, besarnya nilai transaction cost yang dikeluarkan oleh para developer ini terjadi karena melihat prospek Kawasan Segitiga Emas yang sangat baik dan banyaknya developer yang berminat untuk menguasai lahan dan membangun properti di kawasan tersebut. Terkadang beberapa developer mengeluarkan biaya transaksi ketika mereka ingin membangun properti yang menyimpang dari tata ruang yang ada. Misalnya jika menurut rencana tata ruang suatu kawasan itu direncanakan suatu pembangunan residential area, tetapi pengembang ingin membangun suatu commercial area karena melihat prospek komersil yang lebih baik, maka tentu saja menyalahi aturan RTRW. Oleh karena itu, para developer tersebut biasanya menyogok oknum pemerintah untuk melakukan konsolidasi dengan para pengembang.
5.2.
Penguasaan Lahan untuk Pembangunan Properti DKI Jakarta merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki
kemajuan yang sangat pesat. Hal ini dapat ditunjukkan dengan pembangunan daerah yang cepat. Sehingga sebagai ibukota negara Indonesia, DKI Jakarta memiliki visi untuk lebih mensukseskan pembangunan guna tercapainya suatu kesejahteraan, yaitu dengan menjadikan DKI Jakarta sebagai kota jasa berskala internasional. Aglomerasi pusat bisnis di Jakarta mulai terjadi ketika pemerintahan Gubernur Ali Sadikin dengan dikembangkannya kawasan pusat bisnis di tiga koridor utama yang saling berdekatan, yaitu Jalan Jendral Sudirman, Jalan M.H. Thamrin, dan Kuningan. Kawasan ini lalu dinamakan Kawasan Segitiga Emas karena letak ketiga koridor tersebut saling berdekatan dan harga lahannya relatif lebih mahal dibandingkan kawasan lain di Jakarta. Sejak ditetapkannya Kawasan Segitiga Emas sebagai pusat bisnis pertama di Jakarta, telah terjadi alih fungsi lahan yang tadinya berfungsi sebagai penunjang aktivitas manusia kini menjadi komoditas ekonomi. Terbukanya peluang pengalihan hak atas lahan telah menjadikan lahan sebagai komoditi yang dapat ditransaksikan. Bagi banyak developer, lahan merupakan raw material yang siap diolah untuk kemudian dipasarkan. Booming properti terjadi setelah dikeluarkannya Pakto 1988. Kala itu bank-bank mengalir uang yang perlu segera disalurkan, tingkat suku bunga yang rendah, dan prosedur pencairan kredit begitu mudah. Suasana ini melanda bisnis properti. Para developer berlomba-lomba menguasai lahan dan membangun
proyek di kawasan pusat bisnis untuk dapat merebut peluang pasar. Rp 7.000.000 Rp 6.000.000 Rp 5.000.000 Rp 4.000.000
Rasuna Said
Rp 3.000.000
Gatot Subroto
Rp 2.000.000
Sudirman-Thamrin
Rp 1.000.000 Rp 0 Tahun 1988
Tahun 1989
Tahun 1990
Tahun 1991
Tahun 1992
Sumber : Panangian & Associates, 1994.
Gambar 5.4. Perkembangan Harga Lahan Pasca Pakto 1988 Pada Gambar 5.4. terlihat bahwa harga lahan yang tadinya hanya berkisar antara Rp 100.000,00 hingga Rp 300.000,00 per m2 segera melonjak tajam mencapai jutaan rupiah. Kawasan Sudirman menempati angka tertinggi dalam perkembangan harga jual lahan dalam 5 tahun. Tabel 5.1. Penguasaan Lahan oleh Developer Tahun 1990 Nama Perusahaan
Nama Proyek
Pemilik
Penguasaan Lahan
Ciputra Grup dan Metropolitan Grup Lippo Grup PT Danayasa Arthatama, Tbk. PT Bakrie Investido
Wisma Metropolitan I,II,III
Ir. Ciputra dan Ir. Budi Brasali
20,5 hektar
Sudirman Tower SCBD
James T. Riady Tommy Winata
1,5 hektar 45 hektar
Renovasi GOR Sumantri Brojonegoro Mega Kuningan
Aburizal Bakrie
1,5 hektar
Konsorsium
51 hektar
PT Abadi Guna Papan
Sumber : Pusat Data Properti Indonesia, 2000.
Pelopor penguasaan lahan dan pembangunan properti adalah Ir. Ciputra. Melihat kondisi yang demikian baik, Ciputra segera merebut peluang. Berbagai proyek di kawasan bisnis sudah dikuasainya. Tidak ada sektor properti yang tidak di kuasainya. Mulai dari perumahan, pusat perbelanjaan, perkantoran, hotel, apartemen, dan lapangan golf. Lahan di Kawasan Segitiga Emas yang telah dikuasainya seluas 20,5 hektar yang terbagi menjadi dua grup usaha, yakni 13,5 hektar dikuasai oleh Ciputra Grup dan tujuh hektar dikuasai oleh Metropolitan Grup, yang bekerjasama dengan Ir. Budi Brasali. Konglomerat lainnya yang bermunculan pada awal tahun 1990 adalah James T. Riady, putra pemilik Grup Lippo Muchtar Riady. Gebrakan Lippo yang mengejutkan adalah ketika peluncuran perdana Sudirman Tower pada tahun 1992. Penguasaan lahan yang dilakukannya di Kawasan Segitiga Emas sebesar 1,50 hektar. Grup lain yang memiliki pengaruh besar pada penguasaan lahan dan pembangunan properti di Kawasan Segitiga Emas ialah PT Danayasa Arthatama dibawah kendali Tommy Winata. Perusahaan ini mempunyai proyek yang luar biasa di sepanjang ruas koridor Sudirman. Dengan total luas pembebasan lahan sebesar 45 hektar di Sudirman, PT Danayasa Arthatama harus bernegosiasi dengan 6.616 kepala keluarga. Prosesnya tidak memerlukan waktu yang panjang karena para pemilik lahan di sana menyetujui ketetapan harga ganti rugi yang ditawarkan43.
43
Dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 18 Juni 2008 terhadap Hilda B. Alexander, seorang wartawan Properti Indonesia dan aktivis LSM, untuk melihat peta bisnis konglomerat besar di Indonesia.
Tidak ketinggalan, Aburizal Bakrie di bawah bendera PT Bakrie Investido ikut meramaikan pembangunan properti di kawasan Kuningan. Proyek pertamanya di sana ialah renovasi GOR Sumantri Brojonegoro, Kuningan. Kelompok usaha Bakrie pun sukses membangun belasan menara apartemen. Menurut Direktur Utama Bakrieland Development Marudi Surachman, grup usaha ini akan membangun gedung opera paling nyaman, stasiun televisi yang spektakuler, dan gedung pencakar langit berarsitektur fantastis setinggi 50 lantai. Selain itu, di kawasan Kuningan juga dibangun proyek Mega Kuningan di bawah bendera PT Abadi Guna Papan, sebuah perusahaan yang bekerjasama dengan Bimantara Grup. Lahan yang dikuasainya seluas 51 hektar. Nantinya, Mega Kuningan ini akan dikembangkan menjadi kawasan diplomatik, perkantoran, apartemen, dan pusat belanja. Pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia, para penguasa lahan di Kawasan Segitiga Emas sebagian besar terjerat hutang. Lahan-lahan yang sebagian besar telah dikuasai para konglomerat, banyak yang tidak terbangun. Proyek-proyek pembangunan pun terhenti seketika. Hal ini disebabkan karena para konglomerat sebagian besar terjerat hutang. Asset-asset berupa lahan yang berada di Kawasan Segitiga Emas beralih kepemilikan ke tangan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Aset-aset lahan itu mayoritas masuk dalam pengelolaan BPPN, yang kini bersalin rupa jadi Perusahaan Pengelola Aset.
Tabel 5.2. Proyek Ketika Krisis Ekonomi Nama Grup Usaha PT Putera Surya Perkasa Grup Bentala Sanggrahan PT Abadi Guna Papan PT Danayasa Arthatama, Tbk.
Nama Proyek
Luas Lahan
Keterangan
Apartemen M.T. Haryono Kota Kasablanka
2,9 hektar
Mega Kuningan
51 hektar
Kawasan Niaga Terpadu Sudirman
45 hektar
Diakuisisi oleh Grup Agung Podomoro Diakuisisi oleh Grup Pakuwon 65persen terbengkalai, restrukturisasi hutang Sewa tenants pada jangka pendek
9,5 hektar
Sumber : Pusat Data Properti Indonesia, 2007.
Tabel 5.2. menunjukan PT Putera Surya Perkasa dengan lahan yang dikuasainya seluas 2,9 hektar cukup lama berada di tangan BPPN, sebelum akhirnya telah diakuisisi oleh pengembang Grup Agung Podomoro. Serupa dengan Grup Bentala Sanggrahan kendati pondasi dan konstruksi basement Kota Kasablanka-nya sudah berdiri, namun tak bisa menghindari krisis yang menerpa Indonesia. Mereka tidak mampu meneruskan proyek ini karena melonjaknya harga bangunan dan ketidaksanggupan melunasi kredit bank. Hingga akhirnya Kota Kasablanka diambil alih pula oleh BPPN. Pada tahun 2007 lalu, Grup Pakuwon merekonstruksi aset yang dimiliki PT Bentala Sanggrahan. Mega Kuningan yang telah terjual 65 persen oleh para investor, dibiarkan terbengkalai. PT Abadi Guna Papan harus merustrukturisasi hutang-hutangnya. Berbeda dengan PT Danayasa Arthatama ketika krisis melanda, mereka melakukan
evaluasi
pasar,
yakni
memunculkan
tenants
yang
mampu
mendatangkan likuiditas jangka pendek untuk untuk membiayai pemeliharan SCDB. Bagi lahan yang tidak terjual, PT Danayasa Arthatama, Tbk. menyewakan
lahannya berjangka waktu tiga hingga lima tahun. Keadaan ini terjadi hingga awal tahun 2000. Pada awal tahun 2001, Kawasan Segitiga Emas mulai bangkit kembali dari keterpurukan. Para konglomerat yang telah membenahi hutang-hutangnya mulai mengembangkan proyeknya kembali di kawasan ini. Ada yang memilih untuk membeli lahan kosong yang pernah dikuasai pengembang lain, ataupun melanjutkan proyek-proyek yang sempat terbengkalai saat krisis. Nama-nama konglomerat dengan perusahaan-perusahaan baru pun bermunculan. Pemainpemain baru siap bersaing menguasai lahan di Kawasan Segitiga Emas.
5.2.1. Pembangunan Properti oleh Grup Besar Pada tahun 1970, Ir. Ciputra yang bekerjasama dengan Ir. Budi Brasali dan Ismail Sofyan membangun gedung perkantoran pertama di koridor Sudirman yang dinamakan Wisma Metropolitan I, II, III. Pembangunan gedung ini merupakan solusi terhadap kebutuhan ruang perkantoran yang meningkat saat itu. Terdapat empat kawasan pusat bisnis pertama di Jakarta yang dirintis sejak dahulu, yaitu Sudirman Central Business District, Mega Kuningan, Thamrin, dan Kota Baru Bandar Kemayoran. Dari keempat kawasan tersebut, Kota Baru Bandar Kemayoran mengalami kemunduran karena daerahnya yang rawan sehingga kurangnya kepercayaan dari para investor untuk menanamkan modalnya di sana. Pembangunan Kawasan Segitiga Emas mulai berkembang pesat pada awal tahun 1990. Pada saat itu ketiga koridor tersebut menjadi kawasan yang prestisius. Banyak konglomerat yang bersaing memperebutkan lahan di Kawasan Segitiga
Emas. Tabel 5.3. menyajikan data mengenai jumlah pengusaan lahan oleh konglomerat dan luas penguasaan lahan tahun 1990. Tabel 5.3. Penguasaan Lahan Skala Besar Tahun 1990 Nama Proyek Luas Lahan Kawasan Niaga Terpadu 45 hektar Sudirman Mega Kuningan 51 hektar
Pengembang PT Danayasa Arthatama, Tbk. PT Abadi Guna Papan
Sumber : Pusat Data Properti Indonesia, 2005.
Konsep kawasan pusat bisnis pertama yang didirikan adalah Kawasan Niaga Terpadu Sudirman yang mulai dikembangkan tahun 1992. Kawasan ini dibangun dengan aliran dana yang kuat oleh pengembangnya, yaitu PT Danayasa Arthatama, Tbk. yang berada di bawah kendali Grup Artha Graha milik Tommy Winata. Dengan penguasaan lahan seluas 45 hektar telah dibagi menjadi 25 lot dengan kebutuhan pembangunan properti yang berbeda. Pada tahun 1994, PT Rajawali Nusantara Indonesia sebagai BUMN di bawah kendali Departemen Keuangan memasarkan proyek superblok Mega Kuningan seluas 51 hektar. Kawasan Mega Kuningan memiliki konsep awal sebagai kawasan pusat bisnis yang mencakup perkantoran, perdagangan, 120 kavling untuk landed house serta 60 kavling untuk kawasan kedutaan-kedutaan besar asing. Kedua superblok ini mendominasi penguasaan lahan di kawasan ini. Dengan hadirnya kedua superblok ini sangat menarik minat para investor. Untuk Kawasan Niaga Terpadu Sudirman, 25 lot yang telah disediakan itu tidak dijual kepada investor melainkan dilakukan kerjasama.
Tabel 5.4. Profit Dua Pengembang Besar Tahun 1990 Nama Pengembang PT Danayasa Arthatama,Tbk.
Nilai Investasi Awal Rp 750 Miliar
Nilai Akhir
PT Abadi Guna Papan
Rp 160 Miliar
Rp 1,632 Triliun Rp 1,472 Triliun
Sumber Keterangan
Profit Pengembang
Rp 2,475 Triliun Rp 1,725 Triliun
: Data Primer, diolah. : Harga Konsolidasi Lahan Rp 3.200.000,00 per m2.
Tabel 5.4. menjelaskan kasus dua pengembang yang menguasai lahan terbesar, yakni PT Danayasa Arthatama,Tbk. dengan luas lahan sebesar 45 hektar dan PT Abadi Guna Papan dengan luas lahan sebesar 51 hektar. Dengan modal yang dimiliki oleh PT Danayasa Arthatama,Tbk. sebesar Rp 750 miliar ternyata mampu menghasilkan nilai jual propertinya sebesar Rp 2,475 triliun. Sehingga pihaknya memperoleh keuntungan sebesar Rp 1,725 triliun atau sebesar 70 persen dari nilai akhir proyek propertinya. Sama halnya dengan PT Abadi Guna Papan yang memiliki modal awal sebesar Rp 160 miliar, ternyata mampu menghasilkan nilai jual akhir proyeknya sebesar Rp 1,632 triliun, sehingga pihak PT abadi Guna Papan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 1,472 triliun atau sebesar 90 persen. Keuntungan yang diperoleh kedua pengembang besar ini merupakan supernormal profit karena keduanya memiliki keuntungan sebesar 70 persen dan 90 persen dari nilai jual keseluruhan proyeknya. Pada tahun 1990, kedua pengembang ini yang mendominasi penguasaan lahan di Sudirman dan Kuningan. Supernormal profit terjadi pada keadaan monopoli karena adanya hambatan bagi perusahaan lain untuk masuk. Dalam kasus penelitian ini adalah tindakan para konglomerat sebagai pengembang yang ingin menguasai lahan dan properti di Kawasan Segitiga Emas. Hal ini terjadi karena adanya peluang bagi
pengembang untuk dapat meraih keuntungan di atas normal karena mudahnya kolusi antara pengembang dengan oknum pemerintah.
5.2.2. Penguasaan Lahan dan Pembangunan Properti Ketika Krisis Pada saat terjadi krisis ekonomi, kawasan ini tidak lagi bersinar. Para konglomerat tidak ada yang menanamkan modalnya di kawasan ini. Sebagian besar dari mereka terjerat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan hingga kini menjadi konglomerat hitam. Harga lahan di kawasan ini pun sempat mengalami penurunan yang cukup berarti. Para investor beralih untuk menanamkan modalnya di kawasan lain yang lebih murah. Beberapa gedung pun mulai berpindah hak kepemilikan, bahkan ada juga yang terbengkalai. Secara fisik, memang gedung-gedung yang berada di kawasan Sudirman-Thamrin-Kuningan itu tidak ada yang berubah sejak badai krisis
moneter
menerpa
Indonesia.
Krisis
ekonomilah
yang
kemudian
menghentikan semua pembangunan itu. Sejumlah proyek pun beralih status menjadi proyek macet. BDNI Tower, Hotel Le Meridien II yang berlokasi di Jalan Sudirman, lalu ada pula Menara Bakrie, Apartemen Kuningan Square dan Adhi Karya di wilayah Kuningan. Padahal, total nilai kapitalisasi dari proyek-proyek macet tersebut pun cukup besar mencapai Rp 8,6 triliun. Berdasarkan Tabel 5.5. terdapat 8 investor di kawasan Segitiga Emas yang memegang nilai kapitalisasi pasar senilai lebih dari Rp 25 triliun.
Tabel 5.5. Nilai Kapitalisasi Proyek Kawasan Segitiga Emas Grup
Nama Proyek
Grup Mulia
Nilai Kapitalisasi Pasar Rp 6,7 triliun
Menara Mulia, Sentra Mulia, Wisma GKBI, Hotel Mulia Grup Artha Graha SCBD Grup Liman & Salim Plaza Sentral, Wisma BCA, BNI Tower, Wisma 46, Hotel Shangrila Grup Duta Anggada Chaze Plaza, Bapindo I dan II, Plaza Great River Grup Bakrie Pasar Festival, Apartemen Taman Rasuna, Wisma Bakrie Grup Duta Pertiwi ITC Grup Sahid Hotel Sahid Grup Lippo Sudirman Tower
Rp 2,06 triliun Rp 1,5 triliun Rp 1,5 triliun
Grup Duta Pertiwi Grup Sahid Grup Lippo
Rp 2,06 triliun Rp 1,5 triliun Rp 1,5 triliun
ITC Hotel Sahid Sudirman Tower
Rp 1,9 triliun Rp 2,9 triliun Rp 2,6 triliun Rp 2,5 triliun
Sumber : Pusat Studi Properti Indonesia, 2004.
Perbedaan yang sangat mencolok di Kawasan Segitiga Emas sejak krisis moneter adalah pada kemampuan sewa-menyewa. Tingkat hunian gedung-gedung perkantoran dan apartemen yang sebelumnya nyaris penuh, selama krisis moneter ini menurun drastis. Penyebabnya adalah karena turunnya minat penyewa dan penghuni sebagai akibat meningkatnya harga sewa.
5.2.3. Pembangunan Properti Pasca Krisis Ekonomi Setelah sempat terpuruk saat krisis ekonomi 1997, Kawasan Segitiga Emas di Jakarta kini kembali menggeliat. Sejumlah pembangunan proyek properti hadir kembali di wilayah ini, baik yang sama sekali baru maupun yang sempat tertunda. Tabel 5.6. Proyek Properti Pasca Krisis
Wilayah Perkantoran Kuningan Menara Jamsostek
Perbelanjaan ITC Kuningan
Sudirman Sampoerna Strategic Square
Plaza Semanggi, Pacific Place
Apartemen Bellagio Residences, Apartemen Airlangga Apartemen Da Vinci
Hotel Hotel Crown
Hotel Ritz Carlton
Sumber : Pusat Data Properti Indonesia, 2008.
Beberapa proyek yang kini sudah memasuki pasaran, di antaranya Paviliun Setiabudi, ITC Kuningan, STC Senayan, Menara Jamsostek, Plaza Semanggi, Crown Hotel, Apartemen Da Vinci yang bersebelahan dengan Hotel Sahid Jaya, dan yang terbaru adalah proyek prestisius Bellagio Residences, Apartemen Airlangga, Hotel Ritz Carlton, yang ketiganya berlokasi di kawasan Mega Kuningan, berdekatan dengan Hotel JW Marriot. Walaupun kawasan ini belum sepenuhnya bangkit, tetapi telah menunjukan potensinya kembali sebagai kawasan pusat bisnis terbaik di Jakarta. Menurut pakar properti dari Pusat Studi Properti mengatakan pada awal tahun 2001, pasar properti kembali bergairah. Pembangunan proyek SCBD dan Mega Kuningan kembali terjadi. Strategi pembangunan pun berubah dengan melihat potensi pasar. Kawasan Mega Kuningan tidak lagi berkonsep pada pembangunan diplomatik, tetapi kawasan komersial saja. Pengembang baru yang menanamkan modalnya di Mega Kuningan adalah Tan Kian, sekaligus menjadi benchmark dengan membangun hotel J.W. Marriot dan apartemen Sailendra. Menyusul kemudian, Grup Gapura Prima dan Metropolitan yang telah membangun Bellagio Mansion dan Bellagio Residences. Sama
halnya
dengan
SCBD,
kawasan
ini
kembali
bersinar
dengan
dikembangkannya The Capital Residences oleh Grup Mahaka, Pacific Place, dan Graha Millenia Office. Kegiatan properti kini menunjukan hasil yang meningkat. Seperti yang tertera pada Tabel 5.7. mengenai rencana penggunaan lahan yang perizinannya di keluarkan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta dari tahun 2004 hingga 2008. Tabel 5.7. Pertimbangan Teknis Tata Guna Lahan Tahun 2004-2008 Rencana Penggunaan Lahan Perkantoran
Luas (m2)
29.449,4430
Sudirman
Apartemen, hotel, kantor Apartemen
38.354,0430
Sudirman
Perkantoran
8.156,8520
Kuningan
Perkantoran
6.943,1000
Kuningan
Perkantoran
6.338,3350
Kuningan
Perkantoran
6.137.8190
Kuningan
Perkantoran
6.988,5850
Kuningan
Mixed-use development Apartemen
44.783,8940
Tahun Pemohon
Lokasi
2004
PT Wiratara Prima
Kuningan
2005
PT Arah Sejahtera Abadi PT Bumi Daya Makmur PT Graha Metropolitan Nuansa PT Karya Graha Nusantara PT Mitrasraya Adhi Jasa PT Mulia Karya Gemilang PT Nagadi Walujo
Kuningan
2007 2007 2007 2007 2007 2007 2008 2008
PT Jakarta Setiabudi Internasional,Tbk. PT Windas Development
Kuningan
7.345,6420
16.080,0000
Sumber : Kanwil BPN DKI Jakarta , 2008.
Pembangunan properti setelah krisis lebih mendominasi di koridor Kuningan. Hal ini terjadi karena pada dasarnya kawasan Sudirman dan Thamrin telah dibangun terlebih dahulu, lalu harga lahan di kawasan Kuningan relatif lebih murah dibandingkan kedua koridor lainnya.
Tahun 2007 sebagai tahun kebangkitan properti di Indonesia. Berbagai rencana untuk tiga tahun ke depan telah dipersiapkan. Para pengembang melihat potensi pasar yang ada pada para konsumen. Properti yang sekarang ini sedang menjamur adalah apartemen dan pusat perbelanjaan sedangkan untuk perkantoran masih tidak banyak. Developer melihat adanya keterbatasan lahan tinggal bagi sebagian besar warga Jakarta, kemacetan yang hampir di semua ruas jalan, dan tingginya tingkat konsumsi masyarakat. Proyek paling megah adalah proyek Grand Indonesia di Bundaran Hotel Indonesia. Hotel Indonesia yang diresmikan Presiden Soekarno pada tanggal 5 Agustus 1962 tidak diubah wujud fisiknya tetapi hanya direnovasi dan ditambahkan pusat perbelanjaan mewah dan megah yang melingkari hotel tersebut. Grup Djarum bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui penerapan Build Operate and Transfer (BOT). Selama 25-30 tahun Grup Djarum berhak atas Grand Indonesia. Kewajiban terhadap pemerintah hanya dalam bentuk pajak di luar kesepakatan BOT tersebut. Tidak dapat dihitung besarnya pendapatan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena pembagiannya dikonversikan menjadi kepemilikan saham kepada pemerintah44. Tahun 2008, walaupun diterpa isu kenaikan harga minyak dunia, melemahnya ekonomi AS, dan hiruk-pikuk menjelang pemilu 2009 yang dikhawatirkan berdampak terhadap sektor properti, tetapi ternyata tidak mempengaruhi pembangunan properti di Kawasan Segitiga Emas. Proyek-proyek
44
Ibid
baru segera dibangun. Para pengembang dari berbagai grup konglomerat mulai merencanakan pembangunan properti. Tabel 5.8. Rencana Pembangunan Proyek Tahun 2008 Grup Gapura Prima Ciputra Agung Podomoro
Pemilik Gunarso Susanto Margono Ir. Ciputra Trihatma Kusuma Haliman
Nama Proyek Victoria Tower Ciputra World Mega Kuningan Land
Sumber : Pusat Data Properti Indonesia, 2008.
Tabel 5.8. menjelaskan Grup Gapura Prima, yang dimiliki oleh Gunarso Susanto Margono, sedang merencanakan pembangunan di kawasan Mega Kuningan yang dinamakan perkantoran Victoria Tower. Selain itu, grup ini juga tengah mempersiapkan Initial Public Offering (IPO) sejumlah anak usahanya untuk memperkuat konstruksi finansial grup Gapura Prima. Grup Ciputra, setelah merestrukturisasi hutangnya pada tahun 2006, kini tengah mempersiapkan proyek raksasanya Ciputra World yang dibagi menjadi tiga tahap. Ciputra World ini rencananya dibangun di lahan seluas 12 hektar di kawasan Kuningan. Grup Agung Podomoro, yang dimiliki oleh Trihatma Kusuma Haliman, yang sepanjang tahun 2002-2006 menjadi pemain tunggal properti di Kawasan Segitiga Emas, juga sedang mempersiapkan proyek terbarunya yang menghabiskan dana Rp 2,2 triliun, yakni Mega Kuningan Land. Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, akan merestrukturisasi ulang pembangunan kawasan pusat perbelanjaan Satrio Shopping Belt di Kuningan yang telah dirintis Gubernur DKI Jakarta Suryadi Sudirja. Grup Agung Podomoro dan PT Ciputra Property, Tbk., akan segera merealisasikan megaproyek Kuningan City dan Ciputra World Jakarta, sebagai partisipasi membangun pusat sentra perdagangan ini. Menyusul Grup Asiatic yang membangun Asiatic Tower dan
agresifitas PT Duta Pertiwi, Tbk. yang telah lebih dulu menggarap Ambassador Superblok. Proyek tersebut mulai dibangun pada 2000 dan resmi beroperasi 2003. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa PT Duta Pertiwi Tbk dan Grup Asiatic, pengembang pertama yang mampu merampungkan komitmennya dalam merintis Satrio Shopping Belt ini. PT Ciputra Property, Tbk. merupakan salah satu pelopor yang telah memberikan konfirmasi untuk bergabung dalam proyek ini. Hanya baru sebagian kecil yang terwujud karena terkena krisis ekonomi tahun 1997. Mereka baru merampungkan Somerset Grand Citra Serviced Apartment pada 1995. Kompleks apartemen ini berlokasi di kavling satu (lot 1) Jl. Dr. Satrio yang menempati lahan seluas 1,1 hektar. PT Ciputra Property, Tbk., Grup Asiatic dan PT Duta Pertiwi, Tbk., tergabung dalam sembilan pengembang yang mendapat ijin membangun di koridor Satrio Shopping Belt yang diresmikan mantan Gubernur DKI Suryadi Sudirja, pada 31 Agustus 1997 silam. Enam pengembang lainnya adalah, PT Danamon, PT Mega Kuningan, PT Jakarta Setiabudi International, Tbk., PT Putera Surya Perkasa, Jakarta Land, serta Hatmohadji dan Kawan Group (Grup Haka).
5.3. Dampak Sosial Ekonomi Penguasaan Lahan dan Properti Pergeseran fungsi lahan diwarnai pula oleh tarik-menarik antara berbagai kepentingan sehingga menimbulkan masalah yang menjadi salah satu topik politik nasional. Penyediaan lahan untuk pembangunan seringkali bertolak belakang
dengan perlindungan hak-hak rakyat pemilik lahan. Hal ini disebabkan banyak pihak telah melihat lahan dari fungsi ekonomi yang dapat memberikan keuntungan yang berlipat ganda. Pemerintah memberikan peluang kepada para pengembang swasta untuk membangun Kawasan Segitiga Emas dengan memberikan izin lokasi. Melalui instrumen ini, peran swasta dalam pembangunan meningkat sehingga mulai bermunculan kawasan bisnis yang terencana mengikuti kaidah planologi. Lahan di Indonesia tidak pernah luput dari berbagai permasalahan. Persoalan pokoknya berawal dari penetapan ganti rugi dalam pembebasan lahan. Pemberian ganti rugi sering tidak transparan sehingga memunculkan berbagai spekulasi yang memicu melonjaknya harga lahan. Mekanisme pasar yang semula berfungsi mendistribusikan lahan secara efisien dan merata menjadi tidak terkontrol. Akibatnya beberapa kalangan yang memiliki bangunan yang besar dan menguasai lahan seluas-luasnya, di sisi lain banyak kalangan yang tidak mampu memiliki lahan. Esensi permasalahan terletak pada kebutuhan yang terus meningkat, sementara persediaannya relatif tetap sehingga harga terus meningkat dari tahun ke tahun. Perilaku pertanahan di Indonesia dalam praktiknya ditentukan oleh kelompok-kelompok yang menguasai lahan dan end users. Pihak yang mendominasi dalam penguasaan lahan adalah pemerintah dan swasta.
Pada akhirnya, mesin permintaan dan penawaran tidak lagi dikendalikan oleh mekanisme pasar bebas, melainkan dikendalikan oleh sekelompok monopsonis yang mendapat perlindungan hukum dari pemerintah melalui hak khusus yang dinamakan izin lokasi. Pemerintah begitu mudahnya memberikan izin lokasi dalam skala luas ratusan sampai ribuan hektar atas dalih pembangunan suatu kawasan terpadu. Walaupun secara fisik lahan belum seluruhnya dikuasai oleh developer, tetapi secara yuridis hak pembebasan lahan sudah digenggam oleh pemegang izin lokasi yang mengakibatkan terkuncinya mekanisme penawaran lahan di pasar bebas. Izin lokasi yang semula dimaksudkan menjadi instrumen pengendali harga lahan berubah menjadi penyebab kenaikan harga tanpa kendali. Penyalahgunaan izin lokasi oleh sebagian pengembang bertujuan untuk menguasai lahan dan berspekulasi. Hal ini mengakibatkan mekanisme tidak berjalan baik sebab pemilik lahan yang berada di area izin lokasi, sebetulnya tidak bisa lagi menjual lahannya melalui transaksi pasar bebas, kecuali kepada developer pemegang izin. Rakyat pemilik lahan sering merasa terpojokkan bila berhadapan dengan developer besar pemegang izin lokasi. Informasi pembebasan lahan yang kurang transparan, kurangnya profesionalisme tenaga pembebasan lahan yang ditempatkan developer, adanya unsur-unsur penekanan oleh developer sering menyebabkan timbulnya sikap antipati rakyat kepada developer45.
45
Ibid
Sumber yang digunakan sebagai acuan dalam penetapan harga lahan bermacam-macam, yakni : 1. harga ganti rugi yang ditetapkan oleh Panitia Pengadaan Tanah BPN, 2. harga pasar yang dikenal dengan NJOP dalam penetapan PBB, 3. harga yang ditetapkan swasta, 4. harga pasar yang ditetapkan notaris dalam kasus jual beli lahan. Wacana pembebasan lahan skala besar di Kawasan Segitiga Emas pertama kali dilakukan pada tahun 1970 di era pemerintahan Gubernur Ali Sadikin. Tetapi, rencana itu tidak terealisasi sepenuhnya. Pembangunan gedung-gedung bertingkat pun telah dilakukan hanya jumlahnya masih tidak banyak. Pembebasan lahan skala besar di Kawasan Segitiga Emas ini terfokus di beberapa kelurahan, yaitu kelurahan Guntur, kelurahan Karet Kuningan, kelurahan Setiabudi, dan kelurahan Karet. Kelurahan Guntur ini dulunya merupakan permukiman kumuh dan liar yang dihuni berbagai warga pendatang dari luar Jakarta. Sedangkan tiga kelurahan lainnya sebagian besar merupakan perkampungan warga Betawi. Keempat kelurahan ini sengaja difokuskan sebagai kawasan pusat bisnis. Proses pembebasan lahan skala besar ini baru terealisasi pada tahun 1990 dengan masuknya banyak pengembang yang ingin menguasai lahan. Selama proses pembebasan lahan skala besar, para pengembang harus menyelidiki terlebih dahulu pemilik lahan yang sah sehingga informasi yang didapat oleh pengembang merupakan informasi yang sempurna. Para pengembang pun mempunyai tolak ukur penetapan ganti rugi. Biasanya pihak pengembang
swasta beertujuan meengejar keuuntungan, berprinsip b u untuk mem mbeli murah h dan menjual dengan d hargga yang maahal. Hal in ni membuatt semua haarga berdasarkan perkiraan yang diwarrnai masingg-masing keepentingan. Harga transsaksi bebas yang d fairr market value (hargaa pasar waajar) belum m bisa dalam teoori sering disebut berjalan. g rugi pemilik p lah han tidak mempunyai m alat ukur untuk u Paada proses ganti menetapkaan nilai gannti rugi atass lahannya. Dengan addanya kebuttuhan mend desak, terkadang rakyat pem milik lahann tersebut dengan d muddahnya mellepaskan haaknya kepada peemilik proyeek.
13%
0% Rp 100.00 00 - Rp 499.0 000
3% % 40%
Rp 500.00 00 - Rp 999.0 000 Rp 1.000.0 000 - Rp 1.499.000 Rp 1.500.0 000 - Rp 1.999.000
44% %
Sumber : Data D Primer, diolah.
Gambbar 5.5. Harga Pembebaasan Lahan Skala Besaar Gaambar 5.5. menunjukkkan bahwa sebanyak 44 persen atau sekitaar 13 pengembaang membeli lahan di Kawasan Segitiga S Em mas sebesarr Rp 500.00 00,00 hingga Rpp 999.000,000 per m2. Sekitar 12 pengembanng atau 40 persen mem mbeli lahan denggan harga yang y lebih rendah r lagii, yaitu sebeesar Rp 1000.000,00 hingga Rp 499.0000,00 per m2. Hanya 16 1 persen attau sekitar lima pengeembang mem mbeli lahan sebeesar Rp 1.0000.000,00 hingga h Rp 1.999.000,0 1 0 per m2. B Berdasarkan n hasil
wawancara dari pengembang, harga pembebasan lahan sekitar Rp 100.000,00 hingga Rp 500.000,00 per m2 terjadi di kawasan Kuningan karena harga lahan yang lebih murah dibandingkan harga lahan di Sudirman. Sedangkan di kawasan Sudirman dan Thamrin harga pembebasan lahan adalah sebesar Rp 500.000,00 hingga Rp 1.999.000,00 per m2. Rp 12.000.000 Rp 10.000.000 Rp 8.000.000 Rp 6.000.000 Rp 4.000.000 Rp 2.000.000
Rasuna Said Gatot Subroto Sudirman-Thamrin
Rp 0
Sumber : Panangian S. & Associates, 1997. Gambar 5.6. Perkembangan Harga Jual Lahan di Kawasan Segitiga Emas Jika melihat Gambar 5.6. harga lahan pada tahun 1990 ketika terjadi pembebasan lahan telah berkisar antara Rp 2.800.000,00 hingga Rp 5.500.000,00. Sedangkan harga ganti rugi yang diberikan hanya sekitar Rp 100.000,00 hingga Rp 1.999.000,00. Untuk kasus permukiman liar, dengan adanya pembebasan lahan skala besar akan memberi dampak positif dan negatif. Dampak negatifnya, pengembang hanya memberikan ganti rugi Rp 200.000,00 sampai dengan Rp 600.000,00.
Tabel 5.9. Profit Developer Pasca Pembebasan Lahan Skala Besar Jumlah Developer 4 1 13 12 Sumber Keterangan
Profit Developer per m2 Rp 3.501.000,00 – Rp 4.000.000,00 Rp 4.001.000,00 – Rp 4.500.000,00 Rp 4.501.000,00 – Rp 5.000.000,00 Rp 5.001.000,00 – Rp 5.400.000,00 : Data Primer, diolah. : Asumsi harga jual lahan Rp 5.500.000,00 per m2 .
Tabel 5.9. menjelaskan bahwa sebanyak 25 pengembang mendapatkan keuntungan berkisar antara Rp 4.501.000,00 hingga Rp 5.400.000,00 per m2 atau sebesar 81 persen hingga 99 persen dari harga jual lahan pada tahun 1990. Sebanyak lima pengembang meraih keuntungan sebesar Rp 3.501.000,00 hingga Rp 4.000.000,00 per m2 atau sebesar 64 persen sampai dengan 74 persen dari harga jual lahan per m2. Dengan keuntungan yang berkisar antara 64 persen hingga 99 persen, pengembang mendapatkan keuntungan di atas normal hingga mencapai dua kali lipat dari harga pembebasan lahan per m2. Hal ini terjadi di Kelurahan Guntur yang memang pada saat itu merupakan perkampungan liar dan kumuh. Latar belakang para pemilik lahan tidak jelas. Sebagian besar dari mereka adalah warga pendatang yang mengadu nasib di ibukota. Tidak adanya status lahan menyebabkan para pengembang mengambil alih keputusan penetapan harga ganti rugi. Terdapatnya informasi yang tidak sempurna, mengakibatkan pemilik lahan tidak mengetahui dengan pasti seberapa besar harga lahan itu di pasaran dan prospek lahan itu di masa yang akan datang sehingga mereka terpaksa menyetujui besarnya ganti rugi yang ditetapkan, apalagi sebagian besar warga permukiman liar tersebut merupakan keluarga miskin yang tidak memiliki penghasilan yang tetap.
Hal ini tentunya akan memberi dampak negatif bagi para pemilik lahan. Mereka akan terpinggirkan dari kawasan sentral Jakarta. Di satu pihak, dampak positif yang ditimbulkan dengan dilakukannya pembebasan lahan di permukiman liar tersebut dapat membenahi struktur tata ruang kota yang tadinya tidak baik menjadi lebih tertata rapi dan sesuai dengan AMDAL. Di lain pihak, jika rakyat pemilik lahan memiliki status hukum yang jelas maka mereka dapat bernegosiasi dengan pihak pengembang mengenai kesepakatan harga pembebasan lahan. Hasil korelasi peringkat spearman (lampiran 6) menunjukan adanya hubungan yang cukup kuat antara harga pembebasan lahan dengan status hukum lahan dengan nilai estimasi sebesar 0,513 pada α = 0,01. Dengan adanya status hukum kuat, pemilik lahan bisa mempertahankan lahannya hingga diperoleh harga yang tepat atau paling tidak, sesuai dengan NJOP yang berlaku. Pemilik lahan bisa mengajukan keberatan kepada developer jika nilai ganti rugi yang ditetapkan di bawah NJOP dan dapat melaporkannya ke BPN. Karena itu, sebagian besar rakyat pemilik lahan yang memiliki Sertifikat Hak Milik tidak akan dirugikan. Seperti yang tertulis sekilas di Majalah Properti Indonesia Edisi Juli 2005: Pemilik-pemilik tanah warga Betawi asli menjadi kaya mendadak setelah menerima uang penggusuran yang tinggi. Kerugian lain yang ditimbulkan setelah penggusuran yakni adanya permainan spekulasi lahan oleh developer. Hal ini muncul karena izin pembebasan lahan dan penguasaan lahan telah didapatkan. Sisa lahan yang ada didiamkan hingga harga lahan bergejolak naik. Hingga saat ini berdasarkan hasil
riset PSPI dari 1.350 hektar lahan Kawasan Segitiga Emas yang telah dikuasai para developer lahan potensial yang masih belum dikembangkan sebanyak 729 hektar, tetapi telah dikuasai oleh pengembang46. Tabel 5.10. Kasus Pembebasan Lahan di Tahun 1990-2001 No. Kasus Alasan Penggusuran 1. 6.616 KK dan 34.514 Lahan akan dijadikan jiwa kehilangan tempat lokasi bisnis. tinggal.
Keterangan Penggusuran disertai dgn kekerasan & pembakaran yg melibatkan aparat pemda, preman, banpol, polisi dan TNI.
2.
6.588 rumah dan 5 sekolah dihancurkan, 52 orang kehilangan pekerjaan, 19 orang tewas, 67 orang terluka, 50 orang sakit, 1000 orang depresi.
Penyerobotan lahan oleh warga pendatang dan pembersihan warga pendatang yang tidak memiliki KTP.
Warga mendapat ganti rugi sebesar Rp 200.000,00 hingga Rp 600.000,00.
3.
Pembebasan lahan peternakan sapi di Kuningan. Rencana pembebasan Sekolah Dasar Negri.
Lahan akan dijadikan pusat bisnis.
Belum terealisasi karena tidak adanya kesepakatan. Belum terealisasi karena penolakan dari orangtua murid dan para guru.
4.
Lahan akan dijadikan pusat bisnis dan keadaan sekolah yang tidak kondusif.
Sumber : FAKTA, 1990 - 2001.
Tabel 5.10. menjelaskan terdapat beberapa kasus ketika terjadi pembebasan lahan di beberapa kelurahan dengan permasalahan yang sama, yakni harga pembebasan lahan yang rendah. Di kawasan Kuningan saat ini masih terdapat satu peternakan sapi perah yang tersisa. Pemiliknya tetap bertahan untuk meneruskan usaha peternakanya walaupun kondisi lingkungan sekitarnya sudah 46
Dalam wawancara terhadap Turgison, Asisten Bagian Informasi dan Data Panangian & Associates, pada tanggal 4 Juni 2008 untuk mengetahui penggunaan lahan di Kawasan Segitiga Emas.
tidak kondusif lagi. Sampai saat ini, banyak developer yang mengincar lahan tersebut. Pemilik lahan itu berdalih bahwa usaha peternakan sapi perahnya merupakan warisan turun-temurun sejak dahulu sehingga mereka tidak akan berpindah tempat. Hanya saja banyak tekanan yang timbul dengan sikap bertahannya pemilik lahan tersebut. Sering terdapat beberapa ancaman dari pihakpihak yang tidak dikenal. Tetapi, sampai saat ini mereka masih tetap berusaha bertahan di kawasan Kuningan. Selain itu pada Tabel 5.10. dipaparkan kasus lain yang terjadi yaitu terdapat satu-satunya Sekolah Dasar Negri yang diapit oleh banyak gedung bertingkat. Beberapa tahun lalu, di kawasan ini masih terdapat banyak perkampungan relatif kumuh, Sekolah Menengah Pertama Negri, dan Sekolah Dasar Negri. Tetapi telah digusur oleh developer dan pemerintah dengan dalih pembangunan properti untuk kepentingan publik. Akhirnya hanya Sekolah Dasar Negri saja yang tersisa. Walaupun begitu, menurut beberapa informan yang di wawancara, para pengembang sudah merencanakan akan membangun properti baru di tempat itu. Sehingga nasib sekolah tersebut masih tidak jelas. Lain halnya dengan kasus penggusuran besar-besaran perkampungan liar di Kawasan Segitiga Emas pada tahun 1990. Banyak warga pendatang yang bermukim di sana. Sebagian besar warga pendatang tersebut tidak memiliki identitas yang jelas, bahkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja tidak ada. Ketika itu, kawasan ini akan dibangun properti besar-besaran. Pemerintah, yang saat itu memang ingin membangun Kawasan Segitiga Emas, bekerjasama dengan para pengembang untuk mengadakan pembebasan
lahan skala besar di kawasan tersebut. Pemilik lahan tidak memiliki wewenang untuk menolak pembebasan lahan tersebut karena mereka bermukim secara liar yang membuat lingkungan sekitar menjadi kumuh dan kotor, dan mereka pun tidak memiliki KTP. Dengan begitu mereka terpaksa menerima perlakuan dari pihak pemerintah dan developer. Hal ini sebenarnya menjadi polemik yang berkepanjangan. Di satu sisi, pemilik lahan di permukiman liar itu memang telah menyalahi aturan karena mendirikan bangunan tanpa izin yang jelas. Di sisi lain, pemerintah tidak pernah menegakkan peraturan yang berkaitan dengan masalah warga pendatang yang tidak memiliki izin tinggal. Dengan adanya warga permukiman liar ini justru membuka peluang bagi oknum pemerintah untuk memaksa mereka membayar berbagai macam retribusi, baik yang legal maupun ilegal. Kasus penggusuran yang terjadi sangat ekstrem dan bersifat memaksa. Seperti yang tertera pada Tabel 5.10. sebanyak 34.514 jiwa menjadi korban ketidakadilan pihak pemerintah dan pengembang. Pemerintah dan developer tidak peduli dengan nasib warga tersebut. Justru pihak pemerintah menyudutkan warga pendatang karena tidak adanya identitas diri dan keberadaan mereka hanya membuat kotor dan kumuh. Sejak masa pemerintahan camat Rustam Effendi, terjadi pembenahan pada struktur wilayah kecamatan Setiabudi yang sebagian besar daerahnya berupa permukiman liar (slum area). Melihat banyaknya kasus penggusuran paksa di kawasan tersebut, Rustam Effendi ingin melakukan perubahan pola pembebasan lahan dengan kekeluargaan. Para pemilik lahan yang menempati perkampungan
liar akan mendapat ganti rugi yang lebih baik agar mereka dapat bermukim di tempat yang lebih layak47.
5.4. Peran Pemerintah dalam Penetapan Harga Lahan Pengendalian pasar lahan di Indonesia dapat dilakukan dengan membentuk suatu pusat data dan informasi yang dikelola oleh suatu badan yang sekaligus melaksanakan penilaian harga lahan sesuai dengan prinsip fair market value. Walaupun Badan Pertanahan Nasional telah memiliki Panitia Pengadaan Tanah yang berfungsi untuk melakukan penilaian terhadap harga tanah, tetapi saat ini harga lahan disesuaikan melalui mekanisme pasar. Harga yang menjadi acuan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang ditetapkan oleh Ditjen Pajak berdasarkan harga transaksi untuk memperoleh pemasukan bagi negara. Walaupun setiap tahun nilai NJOP selalu mengalami peningkatan yang disesuaikan dengan harga pasar. Namun pada kenyataannya, NJOP lebih rendah dari nilai pasar sesungguhnya. Padahal NJOP menjadi patokan dalam penentuan harga ganti rugi, sesuai dengan Kepres No. 55 tahun 1993. Tabel 5.11. Penerapan NJOP 2007 Nama Jalan Jl. Jend. Sudirman Jl. H.R. Rasuna Said Jl. M.H. Thamrin
NJOP Rp 22.005.000,00 Rp 18.375.000,00 Rp 18.375.000,00
Harga Pasar Rp 24.700.000,00 Rp 19.600.000,00 Rp 20.800.000,00
Sumber : Kecamatan Setiabudi, 2007.
Terlihat pada Tabel 5.11. bahwa nilai NJOP jauh di bawah harga pasar. Selisih keduanya lebih dari Rp 2.000.000,00 per m2. Tentu saja jika saat ini
47
Wawancara dilakukan terhadap Abdul Rohim,Kepala Kecamatan Setiabudi Jakarta, pada tanggal 28 Mei 2008 untuk mengetahui sejarah perkembangan Kawasan Segitiga Emas.
dilakukan penggusuran dengan ketentuan berdasarkan NJOP, maka rakyat akan dirugikan. Padahal pihak pemerintah selalu berdalih bahwa proyek penggusuran dilakukan demi kepentingan rakyat. Akan tetapi, untuk kasus ini justru rakyatlah yang menjadi korban. Pemerintah cenderung berpihak kepada pengembang swasta. Dengan mudahnya Pemda mengeluarkan izin pembebasan lahan kepada developer demi keuntungan pihak-pihak tertentu saja, tanpa memperhatikan kondisi rakyat. Pengalaman beberapa negara dalam proses pembebasan lahan perlu diperhatikan dan dijadikan contoh. Pembebasan lahan untuk kepentingan umum yang dikenal sebagai compulsory purchase diatur dalam undang-undang yang disebut Land Acquisition Act. Compulsory Purchase, yaitu pembelian properti yang berlawanan dengan keinginan pemilik, khususnya untuk kepentingan umum. Di Inggris, pembebasan lahan untuk kepentingan pemerintah diatur dalam Land Compensation Act 1961, lalu diubah menjadi Local Government 1980 dan menjadi Planning and Land Act 1980. Di Amerika pembebasan lahan dilakukan sebagai pelaksanaan eminent domain, negara berwenang menguasai untuk kepentingan umum yang diatur dalam Land Compensation Act 1961. Di Malaysia ada istilah adequate compensation yang diatur dalam Land Acquisition Act 196048. Ketiga negara ini merujuk pada fair market value, yang pengaturannya jelas secara transparan dalam undang-undang. Selain itu, ketiga negara ini mempunyai lembaga yang dikenal dengan valuation office yang berada dalam pengawasan Departemen Keuangan. 48
Dalam wawancara tanggal 31 April 2008 terhadap Suryani , notaris dan PPAT di wilayah Setiabudi Kuningan, untuk mengetahui peraturan-peraturan pertanahan di negara lain.
Setiap tahunnya, lembaga-lembaga tersebut mengeluarkan informasi harga lahan yang disebut land price index dan building price index untuk residential, commercial dan industrial property. Data ini menjadi acuan ketika terjadi pembebasan lahan oleh swasta untuk menentukan harga penawaran dalam bernegosiasi dalam proses jual beli. Keterbukaan dalam patokan harga lahan ini merupakan awal efisiensi pasar properti di negara maju. Hasilnya infrastruktur berkembang dan investasi perkotaan berjalan lancar. Dengan adanya nilai lahan yang diakui pemerintah dan masyarakat, maka berbagai kasus ganti rugi yang selama ini menjadi masalah dapat diredam. Pasar lahan akan semakin efisien karena adanya transparansi informasi harga pasar. Kegiatan spekulasi di balik perbedaan nilai harga lahan dapat dikendalikan. Selain itu pajak-pajak lainnya dapat dikontrol, dan sewaktu-waktu pemerintah dapat melakukan intervensi untuk mencegah spekulasi serta mengendalikan alokasi pemanfaatan lahan secara efisien dan merata. Indonesia masih belum dapat menerapkan peraturan pengawasan harga lahan. Berdasarkan hasil observasi, peraturan ini masih belum bisa diterapkan karena pemerintah lebih berpihak kepada developer yang memberi banyak keuntungan. Terdapat beberapa oknum pemerintah yang justru melakukan tindakan pemerasan kepada para pengembang dan warga pemilik lahan. Seperti kasus adanya mark-up uang ganti rugi masyarakat ketika adanya pembebasan lahan di untuk pembangunan fasilitas umum pada tahun 1990. Selama 18 tahun berjalan, kasus ini baru diungkap kembali oleh Badan Pemeriksa Keuangan sehingga
banyak pejabat yang pada masa itu terlibat, kini harus diperiksa oleh pihak yang berwajib49. Kasus ini diusut kembali karena banyaknya laporan masyarakat mengenai adanya pembebasan lahan secara ganda, yaitu pada tahun 1970 telah dilakukan pembebasan skala besar, tetapi pada tahun 2006 terjadi pembebasan lahan di lokasi yang sama. Selain itu, terdapat juga sertifikasi ganda pada SHM yang menimbulkan sengketa.
49
Wawancara dilakukan pada tanggal 22 Juli 2008 terhadap Etty Herawati yang menjabat sebagai kasubag dan sekretaris Wakil Gubernur Pemprov DKI Jakarta. Kasus mark-up ini sedang dibuka kembali mengingat banyaknya laporan warga kepada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Hal ini juga diutarakan oleh Abdul Rochim yang menjabat sebagai Kepala Kecamatan Setiabudi yang menerima laporan keluhan masyarakat. Masalah ini masih diproses pada tingkat Wakil Gubernur untuk diteruskan dan ditindaklanjuti.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan masalah yang ada, tujuan yang ingin dicapai, dan hasil pembahasan yang telah dilakukan. Maka dari penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu : 1. Aktivitas perburuan rente selalu menjadi bagian dalam proses pembebasan lahan dan penguasaan lahan. Hal ini terjadi karena para pengembang menggunakan kekuasaan pemerintah melalui proses perizinan dengan mengeluarkan biaya transaksi yang besar. Untuk dapat menguasai lahan dan membangun properti di Kawasan Segitiga Emas, para developer harus mengeluarkan biaya transaksi hingga 14 persen dari nilai proyek untuk memudahkan dalam proses perizinan dan pembebasan lahan yang tergantung dari strategis atau tidaknya lahan. 2. Sejak diaglomerasikannya Kawasan Segitiga Emas sebagai pusat bisnis multifungsi, banyak pengembang yang mengincar lahan yang berada di sana. Sebagian besar developer merupakan konglomerat-konglomerat besar yang sudah mendominasi penguasaan lahan dan properti. Pada masa booming properti tahun 1990, grup-grup yang mendominasi adalah PT Danayasa Arthatama, PT Abadi Guna Papan, dan Grup Ciputra dengan penguasaan lahan mencapai ratusan hektar. Saat terjadi krisis ekonomi 1997, para konglomerat mengalami collapse karena melonjaknya harga bahan baku dan hutang bank yang meningkat sehingga lahan-lahan yang
dikuasai pun diambil alih oleh BPPN. Pada awal tahun 2000, kebangkitan sektor properti pun terlihat. Setelah para konglomerat merestrukturisasi hutang-hutangnya, pembangunan properti mulai nampak kembali. Penguasaan lahan pun berganti kepemilikan. Diantara grup yang mulai giat aktivitas proyeknya adalah Grup Agung Podomoro, Grup Gapura Prima, Grup Pakuwon, dan Grup Duta Pertiwi. 3. Adanya pembebasan lahan skala besar telah menggusur warga permukiman liar di Kawasan Segitiga Emas. Tindakan penggusuran dilakukan tanpa melihat aspek kemanusiaan karena terdapatnya aksi kekerasan, pembakaran, dan pelecehan seksual sehingga banyak warga permukiman liar di kawasan tersebut yang menjadi korban. 4. Pemerintah cenderung berpihak pada pengembang swasta dalam hal penguasaan lahan dan pembangunan properti karena kurangnya lembagalembaga pengendali harga lahan.
6.2. Saran Berdasarkan pendahuluan hingga kesimpulan yang telah dibuat, maka beberapa saran yang bisa direkomendasikan, yaitu : 1. Diharapkan adanya good governance melalui transparansi informasi dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat karena timbulnya perilaku perburuan rente (rent seeking) dalam masalah lahan, mengindikasikan masih lemahnya prosedur perizinan atas lahan dan rentannya praktik percaloan karena sebagian besar oknum pemerintah masih menerima uang
sogokan dari para developer dan kurangnya hukum yang tegas untuk menindak para calo. 2. Para developer diharapkan tidak hanya mengembangkan proyeknya di Kawasan Segitiga Emas saja, tetapi juga mulai membuka peluang untuk berinvestasi di kawasan pusat bisnis lainnya di Jakarta. 3. Pemerintah diharapkan bersikap tegas dalam menegakan peraturan untuk melarang warga pendatang bermukim liar di suatu kawasan dan merelokasi warga permukiman liar ke tempat yang lebih baik, misalnya rusunawa. Di sisi lain, pemerintah juga tidak boleh mengambil kesempatan dengan menarik berbagai macam retribusi dan pungutan liar dari para warga di permukiman liar. 4. Pemerintah dapat mencontoh negara lain dalam pengendalian harga lahan dengan dibuatnya Land Acquition Act sehingga penilaian harga lahan dapat lebih baik. 5. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti penguasaan lahan dan mekanisme pembebasan lahan di kawasan pusat bisnis lainnya yang sedang gencar-gencarnya dikembangkan oleh para konglomerat sehingga dapat diperoleh perbandingan antar kawasan pusat bisnis yang ada saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, Hilda B., Juli 2005. “Kawasan Segitiga Emas Masih Diburu”. Properti Indonesia : Hal.34. Arif, Sritua.1990. Dari Prestasi Pembangunan Sampai Ekonomi Politik. UI-Press, Jakarta. Badan Pertanahan Nasional. 2008. Pertimbangan Teknis Tata Guna Lahan Tahun 2004-2008. Kanwil BPN DKI Jakarta, Jakarta. Cahyono, Bambang Tri.1983. Ekonomi Pertanahan. Liberty, Yogyakarta. Dinas Perencanaan dan Pengembangan Kota. 2007. Rasio Luas Bangunan Tinggi dan Luas Wilayah per Kotamadya. P2K DKI Jakarta, Jakarta. Evan, William M.1993. Organization Theory : Research and Design. MacMillan Publishing Company, New York. Fakta. 1990-2001. Kasus Pembebasan Lahan di Tahun 1990-2001. LSM Fakta, Jakarta. Gie, Kwik Kian.1994. Analisis Ekonomi Politik Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama dan STIE IBII, Jakarta. Goldberg, Michael dan Peter Chinloy.1984. Urban Land Economics. John Wiley and Sons, Canada. Hasanah, Florin.2004. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan Permukiman di Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor [Skripsi]. Faperta IPB. Harrison, Lisa.2007. Metodologi Penelitian Politik. Kencana, Jakarta. Hartwick, John M. And Nancy D. Olewiler.1986. The Economics of Natural Resources Use. Harper and Row, New York. Juanda, Bambang.2007. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press, Bogor. Mangkoesoebroto, Guritno.1994. Kebijakan Ekonomi Publik di Indonesia : Substansi dan Urgensi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
McAuslan, Patrick.1986.Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Oser dan Blanchfield.1975. The Evolution of Economic Though. Hartcourt Brace Jovanovich, New York. Perdana, Ari A.2001. Peranan “Kepentingan” dalam Mekanisme Pasar dan Penentuan Kebijakan Ekonomi di Indonesia [Jurnal]. Economics Working Paper Series CSIS. Pohan, Rusdin.2007. Metodologi Penelitian Pendidikan. Ar-Rijal Institute, Jakarta. Priasmoro. 1994. Konglomerasi Ekonomi Indonesia dalam Rangka Persatuan dan Kesatuan Bangsa. LPSI, Jakarta. Priyarsono, D.S. dan Sahara. 2006. Modul Mata Kuliah Ekonomi Regional. Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Manajemen IPB, Bogor. Pusat Data Properti Indonesia. 1997. Perkembangan Harga Lahan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta. Properti Indonesia, Jakarta. Pusat Studi Properti Indonesia. 1997. Perkembangan Harga Jual Lahan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta. Panangian and Associates, Jakarta. Rachbini, Didik J. 1999. Diagnosa Ekonomi dan Kebijakan Publik. PT Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Sjahrir. 1995. Ekonomi Politik Konglomerasi Indonesia. Warta Ekonomi, Jakarta. Sumardjono, Maria S.W.2007. Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi dan Implementasi. Kompas, Jakarta. Walpole, Ronald E.1995. Pengantar Statistika.Edisi ke-6. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Waugh, David.2003. The New Wider World. Nelson Thornes, United Kingdom. Yakin, Addinul.1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Akademika Persindo, Jakarta. Yustika, Ahmad Erani.2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi. Bayumedia Publishing, Jatim.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Wawancara Mekanisme Pembebasan Lahan Lokasi Lahan Sudirman Thamrin Thamrin Sudirman Kuningan Sudirman Sudirman Kuningan Kuningan Kuningan Kuningan Thamrin Thamrin Sudirman Kuningan Kuningan Thamrin Kuningan Sudirman Sudirman Sudirman Kuningan Sudirman Kuningan Kuningan Sudirman Thamrin Sudirman Kuningan Kuningan
Harga Pembebasan Lahan 500000 - 999000 500000 - 999000 500000 - 999000 1500000 -1999000 1500000 - 1999000 500000 - 999000 100000 - 499000 100000 - 499000 500000 - 999000 100000 - 499000 500000 - 999000 1500000 -1999000 100000 - 499000 1500000 -1999000 500000 - 999000 100000 - 499000 100000 - 499000 100000 - 499000 100000 - 499000 500000 - 999000 500000 - 999000 100000 - 499000 500000 - 999000 100000 - 499000 100000 - 499000 500000 - 999000 500000 - 999000 500000 - 999000 100000 - 499000 100000 - 499000
Biaya Transaksi 5%-9% 5%-9% 10%-14% 10%-14% 5%-9% 10%-14% 0%-4% 5%-9% 10%-14% 5%-9% 5%-9% 10%-14% 5%-9% 5%-9% 5%-9% 10%-14% 5%-9% 5%-9% 5%-9% 10%-14% 5%-9% 10%-14% 5%-9% 5%-9% 5%-9% 5%-9% 10%-14% 5%-9% 10%-14% 5%-9%
Harga Jual Pengembang >12500000 10000000 – 12499000 10000000 – 12499000 >12500000 7500000 – 9990000 >12500000 10000000 – 12499000 7500000 – 9990000 10000000 – 12499000 5000000 – 7490000 10000000 – 12499000 >12500000 >12500000 >12500000 10000000 – 12499000 7500000 – 9990000 10000000 – 12499000 7500000 – 9990000 >12500000 >12500000 >12500000 10000000 – 12499000 >12500000 7500000 – 9990000 7500000 – 9990000 >12500000 10000000 – 12499000 >12500000 10000000 – 12499000 10000000 - 12499000
Sumber : Data Primer.
Lampiran 2. Tabel Frekuensi Transaction Cost Valid 0 % − 4% 5%−9% 10 % − 14 % Total
Frequencies 1 19 10 30
Percent 3,3 63,3 33,3 100,0
Valid Percent 3,3 63,3 33,3 100,0
Cumulative Percent 3,3 66,7 100,0
Status Lahan Tidak jelas SHM Girik SHM SHM SHM Letter C Letter C SHM Girik SHM SHM SHM SHM Letter C Girik Letter C Letter C Letter C SHM Girik Tidak jelas Girik Tidak jelas Tidak jelas Letter C Girik Letter C Tidak jelas Letter C
Lampiran 3. Tabel Frekuensi Status Lahan Valid Tidak jelas Letter C Girik SHM Total
Frequencies 9 9 6 6 30
Percent 30,0 30,0 20,0 20,0 100,0
Valid Percent 30,0 30,0 20,0 20,0 100,0
Cumulative Percent 30,0 60,0 80,0 100,0
Lampiran 4. Tabel Frekuensi Harga Jual Lahan Valid Frequencies Percent Valid Percent 5000000 − 7490000 1 3,3 3,3 7500000 − 9990000 6 20,0 20,0 10000000 – 11 36,7 36,7 12499000 > 12500000 12 40,0 40,0 Total 30 100,0 100,0
Lampiran 5. Tabel Frekuensi Harga Pembebasan Lahan Valid Frequencies Percent Valid Percent 100000 − 499000 12 40,0 40,0 500000 – 999000 13 43,3 43,3 1000000 − 1499000 1 3,3 3,3 1500000 − 1999000 4 13,3 13,3 Total 30 100,0 100,0
Cumulative Percent 3,3 23,3 60,0 100,0
Cumulative Percent 40,0 83,3 86,7 100,0
Lampiran 6. Hasil Korelasi Spearman Spearman’s rho
Harga Beli Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Harga Jual Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Status Correlation Lahan Coefficient Sig. (2-tailed) N
Harga Beli 1,000 . 30
Harga Jual 0,579** 0,001 30
0,579* 1,000 * . 0,001 30 30 0,513* 0,253 * 0,178 0,004 30 30
Status Lahan 0,513* *
0,004 30 0,253 0,178 30 1,000 . 30
**.
Correlation is significant at the 0,01 level (2-tailed)
Lampiran 7. Daftar Informan yang Diwawancara Nama Informan
Jabatan
Tanggal Wawancara 31 April 2008
Suryani, S.H.,M.H.,
Notaris PPAT di Setiabudi
Hilda B. Alexander
Wartawan & 4 Juni 2008 Aktivis LSM 18 Juni 2008 Lingkungan Hidup
Turgison, S.H.
Asisten Bagian Informasi dan Data Panangian Simanungkalit & Associates
Abdul Rochim
Kepala Kecamatan 28 Mei 2008 Setiabudi
Etty Herawati R.
Kasubag dan Sekretaris Wakil Gubernur Pemprov DKI Jakarta
4 Juni 2008
22 Juli 2008
Alasan Pernah melakukan pembuatan akte tanah warga di Kuningan dan mengetahui sejarah kawasan Kuningan Mengetahui sejarah Kawasan Segitiga Emas dan berpengalaman meliput masalahmasalah pertanahan, kenal dekat dengan pengembang Peneliti kasus pertanahan dan mengetahui proyek-proyek pembangunan properti Mengetahui harga lahan di pasaran dan kasus mark-up penjualan lahan Menangani pelaporan keluhan masyarakat mengenai masalah lahan
Lampiran 8. Daftar Pengembang Nama Pengembang Grup Agung Podomoro Grup Agung Sedayu Grup Bentala Sanggrahan Grup Ciputra Grup Gapura Prima Grup Haka Grup Intercon Grup Jayakarta Grup Lippo Grup Metropolitan Grup Pakuwon Grup Pudjiadi Grup Sahid Grup Sinarmas Grup Summarecon
Nama Pengembang PT Abadi Guna Papan PT Bakrie Investido PT Bangun Cipta Pratama PT Bangun Cipta Sarana PT Benua Biru Nusa PT Danayasa Athatama, Tbk. PT Duta Anggada PT Duta Pertiwi PT Jakarta Land PT Jakarta Setiabudi Properti PT Metropolitan Kencana PT Pembangunan Djaja PT Skyline Building PT Graha Menteng Indah PT Duta Makmur