Efek Samping Statin dan Penatalaksanaannya 1. Abstrak Statin (3-hidroksil-3-metilglutaril koenzim A/HMG ko-A reduktase inhibitor) merupakan salah satu obat hipolipidemik yang umum digunakan di seluruh dunia. Obat golongan ini banyak dipergunakan untuk indikasi pencegahan primer dan sekunder terhadap penyakit arteri koroner.1 Permasalahan efek samping menjadi salah satu kendala dalam mengatur pemberian statin. Untuk itu pengenalan terhadap efek samping, apa saja yang perlu diperiksa, dan bagaimana menindaklanjutinya; penting diketahui oleh kalangan medis. Dalam tulisan ini akan dibahas tiga jenis efek samping utama statin; yaitu efek samping terhadap otot, efek samping terhadap hati, dan efek teratogenisitas.
Abstract Statin (3-hydroxyl-3-methylglutaryl coenzyme A/HMG-coA reductase inhibitor) is a commonly-used lowering-lipid medication worldwide. These drugs are commonly prescribed for primary and secondary prophylaxis against coronary artery disease. Adverse events problem has become one of major concern in prescribing statin. That is why recognizing what are the adverse events, what are needed to be examined from the patients, and how to handle the problem; are necessary for all physicians. In this publication, three major statin’s adverse events will be discussed: muscle-related adverse events, hepatotoxicity problem, and teratogenicity issue.
2. Sekilas mengenai statin Statin bekerja terutama terhadap lipoprotein LDL. Inhibisi terhadap enzim HMG-koA reduktase akan menghambat langkah pertama dalam jalur mevalonat pada sintesis kolesterol. Statin juga dapat menurunkan trigliserida (melalui penghambatan sintesis trigliserida di hepar) serta menaikkan lipoprotein HDL (diduga melalui aktivasi PPAR, peroxisome proliferator-activated receptor); namun efeknya tidak terlalu menonjol dibandingkan penurunan LDL.2 Prototip golongan statin yaitu lovastatin, disetujui pengedarannya sejak 1987. Statin klasik (lovastatin, pravastatin, dan simvastatin) menurunkan LDL 25-39%, menurunkan trigliserida 8-12%, dan menaikkan HDL 6-8%. Sedangkan statin modern (atorvastatin dan rosuvastatin) yang dikembangkan kemudian, memiliki potensi hipolipidemik lebih kuat. Kedua statin tersebut menurunkan LDL 55%, menurunkan trigliserida 20%, dan menaikkan HDL 10%.2 Statin yang dikembangkan paling akhir yaitu cerivastatin juga memiliki potensi hampir sama. Cerivastatin menurunkan LDL 35.6-41.8%, menurunkan trigliserida 29.5%, dan menaikkan HDL 13.2%.3 Sedangkan pitavastatin, statin hidrofilik kedua setelah pravastatin; hanya menurunkan LDL 37%, menurunkan trigliserida 8%, namun tidak menaikkan HDL.4 Seluruh statin sebaiknya dikonsumsi sebelum makan, kecuali simvastatin dan rosuvastatin. Seluruh statin juga melewati metabolisme first-pass ekstensif; kecuali pravastatin. Metabolisme dilakukan oleh sitokrom P450 isoform 3A4 (atorvastatin, lovastatin, simvastatin) dan 2C9 (fluvastatin). Karena itulah atorvastatin berinteraksi dengan antifungal azol, makrolid, dan kalsium antagonis. Sementara fluvastatin dengan omeprazole, antifungal azol, dan ritonavir.5
3. Statin dan Efek Sampingnya Statin memiliki sejumlah efek samping yang dikenal luas; yaitu efek hepatotoksik, efek samping terhadap otot, dan efek teratogenik. Efek-efek yang tidak diharapkan ini, tampaknya lebih jarang ditemukan pada
penggunaan statin hidrofilik. Hal ini disebabkan karena distribusi dan akumulasi statin lipofilik di jaringan lebih kuat daripada statin hidrofilik.5
3.1. Efek samping terhadap otot 3.1.1. Definisi Dalam mendeskripsikan gejala-gejala otot akibat pemakaian statin, American College of Cardiology/American Heart Association/National Heart Lung and Blood Institute (ACC/AHA/NHLBI), National Lipid Association (NLA), dan United States Food and Drug Administration (FDA) memberikan definisi masing-masing sesuai dengan tabel berikut ini (Tabel 1).
3.1.2. Hipotesis patogenesis7 Mekanisme terjadinya miopati pada terapi statin belum diketahui pasti, namun para ahli telah membuat beberapa hipotesis untuk menjelaskan sifat miotoksik dari statin. 1.
2.
3.
Hipotesis yang paling umum diterima yaitu bahwa efek samping miopati disebabkan karena statin yang menghambat produksi asam mevalonat. Statin menghambat enzim HMG-koA reduktase yang mengkatalisasi konversi dari 3-hidroksil-1,3-metilglutaril koenzim A menjadi asam mevalonat. Asam mevalonat merupakan prekursor isoprenoid; yaitu zat yang penting bagi modifikasi protein-lipid jaringan, sintesis RNA transfer, koenzim Q10, heme, dan lain-lain yang semuanya penting bagi rantai respirasi sel. Akibat berkurangnya kadar koenzim Q10; maka transpor elektron, fungsi antioksidan, dan fungsi pembentukan ATP akan terganggu. Sel-sel lebih mudah mengalami kerusakan membran akibat serangan radikal bebas. Termasuk pula sel-sel otot. Hipotesis kedua yaitu disfungsi selenoprotein. Penghambatan terhadap HMG-koA reduktase dianggap dapat mengganggu pembentukan RNA transfer-selenocysteine; sehingga selenoprotein akan terganggu. Selenoprotein ini penting untuk mempertahankan susunan miofibrilar yang normal. Hipotesis lainnya yaitu bahwa miopati disebabkan oleh penurunan kadar kolesterol itu sendiri yang menyebabkan sintesis membran sel terganggu. Kolesterol juga penting bagi fungsi penghantaran sinyal interseluler, fungsi pompa ion, kontraksi-relaksasi sel, dan transduksi reseptor.
3.1.3. Predisposisi6 Sejumlah faktor dapat mempengaruhi kecenderungan timbulnya efek samping otot pada penerima statin. Untuk faktor yang terkait pasien, faktor-faktor yang berpengaruh antara lain: 1) Usia lanjut; 2) jenis kelamin wanita; 3) ukuran tubuh yang kecil; 4) penyakit multi-organ (terutama gangguan fungsi hati, ginjal, atau keduanya); 5) hipotiroidisme; 6) alkoholisme; 7) masa pemulihan pascabedah; 8) riwayat miopati pada keluarga, termasuk sejarah miopati akibat statin; 9) riwayat sering mengalami kram otot. Sedangkan di luar faktor-faktor tersebut; ada pula kemungkinan efek samping otot timbul karena faktor pengobatan statin itu sendiri (dosis besar) ataupun faktor interaksi obat (konsumsi bersama fibrat, antifungal, HIV protease inhibitor, amiodarone, verapamil, makrolid, dan sebagainya). Meskipun fenofibrat memiliki risiko 15 kali lebih rendah daripada gemfibrozil (0.58 vs 8.6 kasus per 1 juta peresepan); seluruh fibrat hendaknya digunakan berhati-hati apabila ingin dikombinasikan dengan statin. Risiko miopati lebih rendah pada pravastatin, karena pravastatin tidak dimetabolisasi oleh sistem sitokrom P450, melainkan dimetabolisme langsung di ginjal. Polimorfisme DNA pada gen SLCO1B1 yang mengkode polipeptida transporter anion organik berkaitan dengan kejadian miopati terkait simvastatin. Fenomena ini tidak ditemukan pada kasus serupa akibat terapi atorvastatin.
3.1.4. Diagnosis6 Jika penderita datang dengan keluhan nyeri otot, lakukan anamnesis secara menyeluruh untuk mengetahui apakah ada kaitan secara langsung antara nyeri otot dengan terapi statin. Yakinkan bahwa penderita tidak sedang dalam pengobatan tertentu; misalnya antiviral atau glukokortikoid. Singkirkan riwayat trauma, kejang, penyakit pembuluh darah tepi, penyakit tulang atau sendi, infeksi virus, dan kelainan tiroid. Sesuai dengan definisi masing-masing entitas efek samping otot terkait pemakaian statin, pemeriksaan kreatin kinase (CK) merupakan pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan dalam keadaan tertentu. Meskipun demikian belum ada pedoman yang menganjurkan uji CK secara rutin. Alasannya adalah karena peningkatan CK sangat nyata yang disebabkan semata-mata oleh terapi statin sangat jarang ditemukan. Seringkali CK meningkat oleh karena sebab lain (misalnya: aktivitas fisik berlebihan, alkoholisme, trauma fisik, sedang dalam pengobatan antipsikotik atau amfetamin, neuropati, dan sebagainya).
3.1.5. Tindak Lanjut6 Menurut ACC/AHA/NHLBI, apabila ditemukan CK yang meningkat lebih dari 10 kali ambang atas normal, meskipun pasien tidak menunjukkan gejala (asimtomatik), terapi statin harus segera dihentikan. Statin baru boleh mulai diberikan kembali (dengan dosis lebih kecil) saat CK sudah mencapai nilai normal. Untuk penderita dengan CK 3-10 kali ambang atas normal, cukup dilakukan pemantauan gejala dan pemeriksaan CK lebih sering. Beberapa strategi yang dilakukan untuk melaksanakan terapi statin pada penderita yang mengalami efek samping otot yaitu: 1. Mengganti statin (terutama lovastatin, atorvastatin, dan simvastatin) dengan tipe yang lebih jarang menimbulkan risiko miopati (fluvastatin, pravastatin, dan rosuvastatin). 2. Memberikan atorvastatin atau rosuvastatin dalam dosis selang sehari. Atorvastatin memiliki waktu paruh 15-20 jam. Selain itu atorvastatin 10 mg selang sehari juga sudah terbukti memberikan efikasi penurunan LDL yang setara dengan atorvastatin 10 mg/hari; tetapi dengan efek samping otot lebih ringan. Untuk rosuvastatin, dosis yang diberikan adalah 5-10 mg 3 kali seminggu. 3. Penambahan ezetimibe atau colesevelam (resin pengikat empedu). Ezetimibe bekerja melalui transporter NPC1L1 dan menghambat absorbsi kolesterol dari saluran cerna; sehingga tercapai penurunan HDL sekitar 18%. Sedangkan colesevelam bekerja dengan menghambat siklus enterohepatik asam empedu pada ileum terminalis. Colesevelam menurunkan LDL sekitar 1526%. 4. Penambahan koenzim Q10 dan vitamin E. Penambahan koenzim Q10 100 mg per hari dan vitamin E 400 IU per hari terhadap terapi statin dapat membantu mengurangi efek samping otot. Meskipun demikian koenzim Q10 belum dianjurkan secara resmi mengingat tidak semua kasus miopati berhasil diatasi dengan suplementasi ini.
3.2. Efek samping terhadap hati 3.2.1. Patogenesis8 Efek samping utama statin terhadap hati adalah peningkatan aminotransferase (SGOT dan SGPT) asimtomatik. Biasanya efek samping ini ditemukan dalam waktu 12 minggu sejak dimulainya terapi. Timbulnya efek samping ini belum jelas mekanismenya. SGPT (atau alanine aminotransferase, ALT) merupakan indikator yang lebih reliabel daripada SGOT (atau aspartate aminotransferase, AST) untuk menilai efek hepatotoksisitas. Jika pemeriksaan histopatologi, umumnya tidak ditemukan cedera selular pada jaringan hati. Karena itu kondisi ini sering pula disebut transaminitis. 3.2.2. Diagnosis8
Langkah pertama menegakkan diagnosis hepatotoksisitas akibat statin adalah melakukan anamnesis untuk menyingkirkan sebab-sebab lain yang mungkin. Catat riwayat penyakit hati yang pernah diderita dan obat-obatan yang dikonsumsi. Obat-obatan yang dimetabolisme lewat sistem sitokrom sering berinteraksi dengan statin dan memperberat hepatotoksisitas. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium, antara lain pemeriksaan darah, uji fungsi hati, dan jika memungkinkan lakukan pemeriksaan pencitraan hati. Umumnya ditemukan peningkatan kadar statin 3-10 kali ambang atas normal. Apabila ditemukan peningkatan ALT lebih dari 10 kali ambang atas normal, perhatikan kembali riwayat penyakit hati dan obat-obatan karena statin sendiri jarang meningkatkan ALT sedemikian tinggi. Dalam kasus yang amat jarang, statin dapat memicu terjadinya gagal hati akut, namun ini digolongkan sebagai reaksi idiosinkrasi. Efek samping transaminitis ditemukan lebih sering pada grup terapi statin dosis tinggi (simvastatin 40 mg ke atas, atorvastatin 80 mg ke atas, dan lovastatin 40 mg ke atas). Menurut analisis dari Chalasani et al, jumlah penerima atorvastatin dan simvastatin mengalami peningkatan ALT derajat ringan-sedang adalah 1.9-6.4%; dan yang berat 0.2-0.6%. Menurut analisis dari Vuppalanchi et al, jumlah penerima lovastatin dengan laboratorium serupa masing-masing 3.0-11.0% dan 0.0-3.0%. 3.2.3. Tindak Lanjut8 Tindak lanjut untuk penderita yang mengalami efek samping hati akibat statin mengikuti algoritma dari Calderon et al (2010) (Gambar 1).
3.3. Efek samping pada ibu hamil Seluruh obat anggota grup statin digolongkan dalam FDA Pregnancy Safety Index X (penelitian pada hewan atau manusia telah menunjukkan bukti abnormalitas fetus dan/atau ada bukti positif adanya risiko terhadap fetus berdasarkan data reaksi sampingan dari penelitian ataupun pengalaman para pengguna; dan risiko ini jelas-jelas melebihi manfaat yang dapat diberikan oleh obat yang bersangkutan. Meskipun demikian, data teratogenisitas dari uji preklinis tidak konsisten. Simvastatin dan atorvastatin (dalam dosis terapeutik) tidak memperlihatkan efek teratogenik pada tikus dan kelinci; namun efek tersebut terlihat pada pemberian lovastatin, cerivastatin, dan fluvastatin.9 Selama trimester pertama kehamilan, HMG-koA reduktase sangat diperlukan untuk perlekatan dan perkembangan plasenta normal, serta biosintesis hormon yang penting untuk mempertahankan kehamilan. Penghambatan terhadap enzim ini, secara teoritis dapat menghambat proliferasi selular, pertumbuhan, metabolisme, dan seluruh metabolisme janin.9 Efek ini tidak hanya terbatas pada statin yang bersifat lipofilik, namun juga pada statin hidrofilik (pravastatin, rosuvastatin).5 Hal ini didukung dengan laporan dari FDA terhadap adanya 20 dari 178 kehamilan terpapar statin yang berakhir dengan malformasi janin sejak 1987-2001.9 Berdasarkan uraian di atas, statin apapun (termasuk yang hidrofilik) tidak dianjurkan untuk diberikan kepada ibu hamil; karena risiko yang dapat timbul melebihi manfaat maksimal yang dapat diberikan oleh statin.
Referensi 1. 2. 3.
Kalra S, Agrawal N, Kalra B, et al. The role of Coenzyme Q10 in statin-associated myopathy. Electronic Physician 2009; 1: 2-8. Lardizabal JA, Deedwania PC. Benefit of statin therapy and compliance in high risk cardiovascular patients. Vascular Health and Risk Management 2010; 6: 843–853. Insull W Jr, Isaacsohn J, Kwiterovich P, et al. Efficacy and safety of cerivastatin 0.8 mg in patients with hypercholesterolaemia: the pivotal placebo-controlled clinical trial. Cerivastatin Study Group. J Int Med Res 2000; 28(2): 47-68. [abstract only]
4.
5.
6. 7. 8.
9.
Kawai T, Tokui M, Funae O, et al. Efficacy of Pitavastatin, a New HMG-CoA Reductase Inhibitor, on Lipid and Glucose Metabolism in Patients With Type 2 Diabetes. Diabetes Care 200; 28 (12): 2980-2981. Hulisz D. Which Statin is Right for My Patient? Medscape Pharmacist, Ask The Experts (Pharmacotherapy). Available from http://www.medscape.com/viewarticle/561128 (last updated 2007 August 28; accesssed 2010 October 18). Joy TR, Hegele RA. Narrative Review: Statin-Related Myopathy. Ann Intern Med 2009; 150: 858868. Wortmann RL. Dose-related statin myopathy: Is it an issue? Cleveland Clinic Journal of Medicine 2005; 72 (9): 751-754. Calderon RM, Cubeddu LX, Goldberg RB, et al. Statins in the Treatment of Dyslipidemia in the Presence of Elevated Liver Aminotransferase Levels: A Therapeutic Dilemma. Mayo Clin Proc 2010; 85 (4): 349-356. Kazmin A, Garcia-Bournissen F, Koren G. Risks of Statin Use During Pregnancy: A Systematic Review. J Obstet Gynaecol Can 2007; 29 (11): 906-908.
Tabel dan Gambar Tabel 1. Definisi entitas miopati terkait statin6* Entitas klinis Miopati
Mialgia Miositis
Rabdomiolisis
ACC/AHA/NHLBI
NLA
FDA
Istilah umum untuk penyakit pada otot
Gejala-gejala mialgia, yaitu nyeri otot, kelemahan, atau kram; dan CK > 10 kali ambang atas normal
CK 10 kali ambang atas normal atau lebih
Tidak didefinisikan
Tidak didefinisikan
Tidak didefinisikan
Tidak didefinisikan
CK > 10.000 IU/L atau CK > 10 kali ambang atas normal ditambah peningkatan kreatinin serum, atau diperlukan hidrasi intravena
CK > 50 kali ambang atas normal dengan tanda kerusakan organ, termasuk penurunan fungsi ginjal
Nyeri pada otot atau kelemahan tanpa peningkatan CK Nyeri pada otot atau kelemahan dengan peningkatan CK Nyeri pada otot atau kelemahan dengan peningkatan CK > 10 kali ambang atas normal, dengan mioglobinuria
CK = kreatin kinase *Dengan modifikasi oleh penulis
Gambar 1. Algoritma manajemen transaminitis sebelum dan selama terapi statin. ULN = upper limit of normal, ambang atas normal.8