EFEK PEMBERIAN BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) PRODUK FERMENTASI Rhizopus oryzae DALAM RANSUM TERHADAP REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus)
SKRIPSI TRIBUANA HAPSARI
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN TRIBUANA HAPSARI. D24104015. 2008. Efek Pemberian Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Produk Fermentasi Rhizopus oryzae Dalam Ransum Terhadap Reproduksi Mencit (Mus musculus). Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing anggota
: Ir. Anita S. Tjakradidjaja, M.Rur.Sc. : Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS.
Bungkil biji jarak merupakan hasil ekstraksi minyak dari biji jarak. Indonesia merupakan penghasil tanaman jarak sejak zaman Jepang. Bungkil biji jarak terdiri dari isi dan cangkang yang dapat diekstraksi sehingga menghasilkan minyak yang dapat dijadikan biodiesel dan biji juga menghasilkan bungkil yang dapat dijadikan sebagai pakan ternak. Kandungan protein yang terdapat dalam bungkil biji jarak pagar sangat tinggi. Akan tetapi didalam biji maupun bungkil biji jarak terdapat racun curcin sehingga penggunaannya sangat terbatas untuk dijadikan pakan ternak. Bungkil biji jarak dapat dikonsumsi jika racun curcin dapat dihilangkan atau diturunkan terlebih dahulu. Jika tidak demikian maka bungkil biji jarak dapat mematikan hewan yang mengkonsumsinya. Konsumsi bungkil biji jarak saat ini masih sangat sedikit karena racun yang terdapat didalamnya sangat membahayakan hewan yang mengkonsumsinya. Upaya untuk menurunkan kandungan racun yang terdapat dalam bungkil biji jarak sudah banyak dilakukan antara lain secara biologis dengan cara fermentasi oleh berbagai kapang. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari sejauh mana efektivitas proses fermentasi dengan kapang Rhizopus oryzae pada level 2,5, 5, 7,5, dan 10% terhadap BBJP melalui evaluasi nutrisi dan reproduksi mencit. Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian ini menggunakan lima perlakuan masing-masing dengan enam ulangan. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif karena beberapa perlakuan dengan ulangannya ada yang mati semua. Substitusi BBJP dalam ransum menurunkan konsumsi ransum, litter size lahir, bobot lahir dan bobot sapih dan bobot badan seluruh mencit. Penggunaan BBJP pada taraf 2,5% dapat dikonsumsi oleh mencit jantan maupun betina, sedangkan 5% BBJP yang disubstitusi dalam ransum hanya mampu dikonsumsi tiga ekor mencit jantan. Penggunaan 7,5% dan 10% BBJP yang difermentasi dalam ransum mengakibatkan kematian 100% pada induk mencit. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengurangi taraf pemberian BBJP dalam ransum. Kata-kata kunci
: Fermentasi, Jatropha curcas L., Mus musculus, penampilan reproduksi
ABSTRACT Effect of The Use of Jatropha curcas L. Meal Fermented with Rhizopus oryzae in Diet on Reproductive Perfomance of Mice (Mus musculus) Hapsari, T, A. S. Tjakradidjaja, and P.H. Siagian This experiment was conducted to evaluate the use of Jatropha curcas meal fermented with Rhizopus oryzae at different levels (0, 2,5, 5, 7,5 and 10%) on reproductive perfomance of diet mice (Mus musculus). The variables observed were feed consumption, litter size at birth and weaning, birth and weaning weight, body weight gain and mortality rate. The data were analyzed with descriptive analysis. The results showed that Jatropha curcas seed cake detoxificated levels in ration had no significant effects on feed consumption, litter size at birth, birth and weaning weight and body weight gain.The substitution of Jatropha curcas meal up to 2,5% could still be consumed by both male and female mices, otherwise, the 5% substitution of Jatropha curcas meal in ration could only be consumed by three male mices. The 7,5% and 10% levels produced high mortality rate 100%. The high mortality rates were due to the presence of curcin and phorbolester in Jatropha curcas L. meal fermented with R.oryzae. Jatropha curcas meal can be used in mice diet if the level of Jatropha curcas L. is decreased. Key words : Fermentation, Jatropha curcas L., Mus musculus, Reproduction performance
EFEK PEMBERIAN BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) PRODUK FERMENTASI Rhizopus oryzae DALAM RANSUM TERHADAP REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus)
TRIBUANA HAPSARI D24104015
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
EFEK PEMBERIAN BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) PRODUK FERMENTASI Rhizopus oryzae DALAM RANSUM TERHADAP REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus)
Oleh TRIBUANA HAPSARI D24104015
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada Tanggal 21 Agustus 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur. Sc. NIP. 131 624 189
Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS. NIP. 130 674 521
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr. NIP. 131 955 531
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 20 Mei 1986. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dengan dua orang kakak dari pasangan Bapak H. Sugiyo dan Ibu Hj. Nuraini. Pendidikan Penulis diawali dengan memasuki jenjang Sekolah Dasar (SD) YKPP 2 Plaju Palembang pada tahun 1992 dan lulus tahun 1998, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) YKPP 1 Plaju Palembang dan lulus pada tahun 2001. Di tahun yang sama Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 4 Plaju Palembang lulus pada tahun 2004. Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui Undangan Saring Masuk IPB (USMI). Selama kuliah penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan yaitu Himpunan Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak (HIMASITER) periode 2006-2007.
KATA PENGANTAR Alhamdulillah segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Besar Muhammad
SAW, keluarga, sahabat dan para
pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana peternakan. Skripsi ini berjudul ”Efek Pemberian Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas) Produk Fermentasi Rhizopus oryzae dalam Ransum Terhadap Reproduksi Mencit (Mus musculus)”. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor selama lima bulan dari bulan Agustus 2007 hingga bulan Januari 2008. Bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas) merupakan limbah industri pertanian hasil pengolahan minyak jarak menjadi biodiesel. Pengolahan biji jarak menjadi biodiesel minyak jarak menghasilkan hasil samping sebesar 55-65% bungkil biji jarak pagar (BBJP), yang telah diteliti mengandung protein kasar tinggi, namun beberapa zat antinutrisi dan racun yang terkandung dalam BBJP dapat menghambat proses pencernaan jika diberikan pada ternak. Untuk mengurangi zat antinutrisi dan racun yang terkandung dalam BBJP perlu dilakukan detoksifikasi BBJP. Dalam penelitian ini detoksifikasi dilakukan dengan secara biologis yaitu dengan fermentasi menggunakan kapang Rhizopus oryzae yang bertujuan untuk mengikat lemak sehingga mengurangi kandungan phorbolester dalam BBJP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toleransi dan menentukan pemakaian BBJP dalam ransum mencit (Mus musculus). Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai sumber informasi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah ikut berperan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Bogor, Agustus 2008 Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN............................................................................................
ii
ABSTRACT ..............................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ..............................................................................
vii
DAFTAR ISI..............................................................................................
viii
DAFTAR TABEL .....................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang .............................................................................. Perumusan Masalah ...................................................................... Tujuan ............................................................................................
1 1 2
TINJAUAN PUSTAKA Jarak Pagar (Jatropha curcas)...................................................... . Curcin................................................................................ ... Phorbolester........................................................................... Efek Negatif Penggunaan Bungkil Biji Jarak Pagar .................... Detoksifikasi Racun Bungkil Biji Jarak Pagar .................... ........ Rhizopus oryzae............................................................................ . Mencit (Mus musculus).................................................................. Pertambahan Bobot Badan Induk Mencit ........................... Mortalitas Induk Mencit ..................................................... Litter Size Lahir Anak Mencit ............................................ Bobot Lahir Anak Mencit .................................................. Litter Size Sapih .................................................... .............. Bobot Sapih Anak Mencit ................................................... Ransum Mencit .............................................................................
3 7 10 11 13 14 18 20 21 21 21 22 23 23
METODE Waktu dan Lokasi .......................................................................... Materi ........................................................................................... Kandang dan Peralatan ...................................................... Ransum .............................................................................. Rancangan .................................................................................... Perlakuan ........................................................................... Analisa Data ....................................................................... Peubah yang Diamati .................................................................... Prosedur Persiapan Mikroorganisme ...................................................
25 25 25 25 26 26 26 27 28
Fermentasi Bungkil Biji Jarak Pagar ................................... Pembuatan Ransum Pellet ................................................... Pemberian Ransum Pellet.................................................... Persiapan Kandang ............................................................... Identifikasi dan Penimbangan Awal Mencit ........................
28 29 29 30 30
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum .............................................................................. Kondisi Ransum Penelitian ........................................................... Kondisi Mencit Selama Penelitian ................................................ Konsumsi Ransum Mencit ............................................................ Perubahan Bobot Badan Induk Mencit ......................................... Mortalitas Induk Mencit................................................................. Penampilan Reproduksi Mencit .................................................... Litter Size Lahir Mencit ...... ................................................ Bobot Lahir ................................... ...................................... Litter Size Sapih ............................................... ................... Bobot Sapih ..........................................................................
31 32 35 35 37 39 43 43 46 48 49
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .......................................................................... ......... Saran .......................................................................... ..................
51 51
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................
52
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
53
LAMPIRAN ............................................................................................
59
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman Komposisi Nutrien dan Fraksi Serat BBJP tanpa Cangkang, BBJP dengan Cangkang dan Cangkang Biji Jarak Pagar................ ........
5
2.
Beberapa Zat Antinutrisi dan Racun dalam Jatropha curcas ........
7
3.
Komposisi Zat Makanan dan Fraksi Serat Bungkil Biji Jarak Pagar yang Difermentasi Berbagai Kapang...................................
14
4.
Sifat Biologis dan Reproduksi Mencit (Mus musculus) ...............
20
5.
Kandungan Zat Makanan Ransum Perlakuan ................................
32
6.
Rataan Konsumsi Ransum dan Zat Makanan Mencit Jantan dan Betina Selama Penelitian ..............................................................
36
7.
Perubahan Bobot Badan Mencit Selama Penelitian .. ..................
38
8
Mortalitas Mencit Selama Penelitian ...........................................
39
9.
Rataan Litter Size Lahir pada R1 dan R2 Selama Penelitian .........
44
10.
Rataan Bobot Lahir pada R1 dan R2 Selama Penelitian ........... ...
47
11
Litter Size Sapih pada R1 dan R2 Selama Penelitian ....................
48
12.
Bobot Sapih pada R1 dan R2 Selama Penelitian ...........................
49
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Jatropha curcas L. (www.Biotechcitylucknow.org, 2007) ...... .....
3
2.
Bagan Eksploitasi Tanaman Jarak Pagar (Guibitz et al., 1999) ....
4
3.
Struktur Curcin (www.rni.co.id, 2006)..........................................
8
4.
Rumus Bangun Ricin dan Mekanisme Aksi Ricin (Hadi, 2008) ...
10
5.
Struktur Kimia Phorbolester (Evans, 1986)............................. ....
10
6.
Rhizopus oryzae .............................................................................
16
7.
Mencit Putih (Mus musculus) ........................ ...............................
19
8.
Tempat Pemeliharaan dan Penelitian Mencit ......... ....................
31
9.
Perbandingan Mencit Perlakuan Kontrol (a) dan Perlakuan 5% BBJP (b), 7,5% BBJP (c)dan 10% BBJP (d) yang Difermentasi dengan Kapang R. oryzae ..............................................................
40
Anak Mencit ........... ......................................................................
44
10.
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Pertambahan Bobot Badan Mencit Menurut Perlakuan.................
60
2.
Data Litter Size Lahir dan Bobot Lahir Anak Mencit Selama Penelitian ..........................................................................
62
Data Litter Size Sapih dan Bobot Sapih Anak Mencit Selama Penelitian ..........................................................................
62
4.
Hasil Analisa Proksimat ...............................................................
63
5.
Pertambahan Bobot Badan Mencit Menurut Perlakuan.................
64
3.
PENDAHULUAN Latar Belakang Bungkil biji jarak pagar (BBJP) merupakan hasil ikutan dari ekstraksi minyak biji jarak pagar (Jatropha curcas L.). Indonesia merupakan penghasil tanaman jarak sejak zaman Jepang. Bungkil biji jarak pagar terdiri dari isi dan cangkang yang dapat diekstraksi sehingga menghasilkan minyak yang dapat dijadikan biodiesel dan proses ekstraksi biji jarak pagar juga menghasilkan bungkil yang dapat dijadikan sebagai pakan ternak. Kandungan protein yang terdapat dalam BBJP sangat tinggi. Akan tetapi didalam biji maupun BBJP terdapat racun curcin sehingga penggunaannya sangat terbatas untuk dijadikan pakan ternak. Bungkil biji jarak pagar dapat dikonsumsi jika racun curcin dapat diturunkan atau dihilangkan terlebih dahulu. Jika belum dihilangkan maka BBJP dapat mematikan hewan yang mengkonsumsinya. Konsumsi bungkil biji jarak saat ini masih sangat sedikit karena hewan sangat rentan akan racun yang terdapat didalamnya. Menurut Wardoyo (2007), BBJP dapat digunakan sebagai pakan mencit sebanyak 5% dalam ransum tanpa mempengaruhi konsumsi ransum, litter size lahir, bobot lahir dan bobot sapih, tetapi dapat mengakibatkan mortalitas yang tinggi, sedangkan penggunaan BBJP pada taraf 10% dalam ransum dapat menyebabkan 50% kematian pada induk mencit dan taraf 15% BBJP menyebabkan kematian lebih cepat dan lebih tinggi. Upaya untuk menurunkan kandungan racun yang terdapat dalam bungkil biji jarak sudah banyak dilakukan antara lain secara biologis yaitu cara fermentasi dengan menggunakan berbagai kapang. Penelitian ini menggunakan hewan percobaan mencit (Mus musculus). Penggunaan mencit sebagai hewan percobaan dikarenakan siklus kehidupan mencit yang pendek sehingga menghemat waktu penelitian, mudah pemeliharaannya dan lebih murah bila dibandingkan dengan ternak kecil atau hewan yang lebih besar. Perumusan Masalah Bungkil biji jarak pagar mengandung protein kasar yang tinggi yaitu 50-58%, namun mempunyai kekurangan jika ingin dijadikan sebagai bahan pakan sumber protein yaitu keberadaan kandungan zat antinutrisi berupa curcin dan phorbolester. Zat antinutrisi bersifat senyawa toksik dan dapat mengganggu proses pencernaan
didalam tubuh ternak. Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya untuk menurunkan atau menghilangkan kandungan curcin dan phorbolester yang terdapat didalamnya. Salah satu caranya adalah memfermentasi menggunakan Rhizopus oryzae, karena kapang ini mampu menghasilkan enzim yang dapat memecah zat antinutrisi. Hasil fermentasi
tersebut
diujicobakan
pada
hewan
percobaan
untuk
melihat
efektivitasnya. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sejauh mana efektivitas proses fermentasi dengan kapang Rhizopus oryzae terhadap BBJP melalui evaluasi nutrisi dan reproduksi mencit.
TINJAUAN PUSTAKA Jarak Pagar (Jatropha curcas) Jatropha curcas termasuk famili Euphorbiaceae. Tanaman ini termasuk tanaman yang banyak kegunaan, berasal dari Mexico dan Amerika Tengah. Tanaman ini banyak tumbuh di negara tropis. Jatropha curcas merupakan tanaman yang dapat memproduksi minyak. Biji yang dihasilkan dapat mencapai lima ton per tahun dari satu hektar tanaman. Tanaman jarak diperlihatkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Jatropha curcas L. (www.Biotechcitylucknow. org, 2007) Jatropha curcas dikenal sebagai tanaman pagar dan umumnya ditanam sepanjang tepi jalan, oleh sebab itu dikenal dengan sebutan tanaman jarak pagar. Tanaman perdu asal Amerika ini memiliki klasifikasi (Anonim, 2006) sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Tracheobionta Super divisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas
: Rosidae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Jatropha
Spesies
: Jatropha curcas
Bungkil biji jarak pagar (BBJP) menghasilkan protein kasar yang tinggi yaitu 58-60%BK. Jatropha curcas juga mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi sebagai pakan ternak jika toksin yang ada dapat dihilangkan. Kandungan protein kasar sangat tinggi sebesar 55-64%BK meskipun varietas Jatropha curcas berbeda. Kandungan asam amino dari BBJP cukup tinggi kecuali lisin sehingga sangat potensial digunakan untuk ransum ternak sebagai sumber protein. Namun kandungan antinutrisi dalam bungkil ini dapat menjadi racun bagi beberapa hewan seperti mencit, tikus dan ruminansia. Sedangkan kandungan lemak yang dimiliki sangat rendah sekitar 27-32%BK (Makkar and Becker, 1998). Dua buah biji jarak pagar dapat berfungsi sebagai pencahar perut dan 4-5 buah biji jarak dapat menimbulkan kematian terutama pada anak-anak (Duke dan Atchley, 1983). Gambar 3 menjelaskan manfaat dari tanaman Jatropha curcas. Jatropha curcas -Pengendali erosi -Tanaman pagar
Daun
-Kayu bakar -Pelindung tanaman
Buah
Lateks
-Pakan ulat sutera -Obat-obatan -Zat anti radang Biji
Kulit Buah
Insektisida Pakan ternak (varietas non-toksik)
Material bakaran Pupuk hijau Produksi biogas
Tempurung Biji
Bungkil Biji
Minyak Biji
Material bakaran Biogas Pakan ternak (varietas non-toksik)
Pupuk
Produksi sabun Bahan bakar Insektisida Obat-obatan
Gambar 2. Bagan Eksploitasi Tanaman Jarak Pagar (Guibitz et al., 1999)
Bungkil biji jarak pagar mengandung trypsin inhibitor, aktivitas lectin, saponin dan phytat. Curcin yang terdapat dalam biji jarak hampir sama dengan yang biasa dikenal dengan lectin, ricin dan abrin. Aktivitas lectin yang tinggi terdapat pada biji jarak Kanga dari India. Kandungan phorbolester yang paling tinggi terdapat dalam biji jarak asal Kenya dan Kitui, sedangkan phorbolester tidak terdeteksi pada biji jarak Papantla dan Mexico (Makkar et al., 1997). Lectin dapat diinaktifkan dengan cara pemanasan, sedangkan phorbolester tetap aktif meskipun dilakukan pemanasan (Aregheore et al., 2003). Tabel 1. Komposisi Nutrien dan Fraksi Serat BBJP tanpa Cangkang, BBJP dengan Cangkang dan Cangkang Biji Jarak Pagar Kandungan Nutrien Bahan Kering (%) Komposisi bahan kering Abu (% BK) Protein Kasar (% BK) Lemak Kasar (% BK) Serat Kasar (% BK) Beta- N (% BK) Fraksi serat NDF (% BK) Hemiselulosa (% BK) ADF (% BK) Selulosa (% BK) Lignin (% BK) Silika (% BK)
BBJP tanpa Cangkang 86,26
BBJP dengan Cangkang 89,71
Cangkang BBJP 88,31
7,71 37,56 35,02 7,23 12,47
5,20 24,28 15,99 38,49 16,06
4,22 10,21 5,71 59,62 20,24
16,30 0,72 15,86 11,31 4,51 0,01
57,64 10,45 46,78 19,22 23,98 3,51
93,40 12,48 80,90 34,85 46,00 0,03
Sumber : Tjakradidjaja et al. (2007) Keterangan : BBJP = Bungkil Biji Jarak Pagar; BK= Bahan Kering; NDF= Neutral Detergent Fiber; ADF= Acid Detergent Fiber
Bungkil biji jarak pagar dengan cangkang memiliki kandungan abu, protein kasar dan lemak kasar yang lebih rendah daripada BBJP tanpa cangkang (Tabel 1). Pengupasan cangkang biji jarak sebelum proses ekstraksi minyak jarak menghasilkan BBJP dengan dengan kadar serat kasar dan BETN yang rendah (Tjakradidjaja et al., 2007). Hal ini disebabkan cangkang pada biji jarak pagar mengandung kadar protein kasar dan lemak kasar yang sangat rendah, tetapi kadar serat, BETN dan komponen fraksi serat, terutama kadar NDF, ADF dan lignin, sangat tinggi (Tabel 1). Kandungan fraksi serat yang tinggi juga dapat menjadi faktor pembatas dalam ransum ternak. Pengupasan cangkang dari biji jarak pagar tidak dilakukan dalam proses ekstraksi minyak jarak karena pemisahan cangkang dari biji jarak
membutuhkan tenaga dan biaya ekstra yang relatif besar. Selain itu adanya cangkang dapat membantu proses ekstraksi minyak jarak secara pengepresan sehingga dapat meningkatkan produk minyak jarak yang dihasilkan. Hasil penelitian Makkar et al. (1998) menyatakan memiliki kadar protein kasar biji jarak pagar (56,4%BK) lebih tinggi, dan kadar lemak kasarnya (1,5%BK). Perbedaan dalam komposisi nutrien dapat terjadi karena sampel yang digunakan berbeda sumbernya yang mengakibatkan perbedaan dalam hal asal daerah sehingga berkaitan dengan kesuburan tanah, waktu panen buah/biji, pengupasan cangkang, dan proses pembuatan minyak jarak (Makkar et al., 1998). Jatropha curcas juga terkenal dengan produksi toksin (bersifat racun). Minyak dari tanaman tersebut merupakan toksin, namun dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk mesin diesel. Akan tetapi bungkil dari biji jarak pagar tidak sesuai digunakan sebagai bahan pakan ikan, ruminansia, dan monogastrik (Makkar dan Becker, 1999). Bungkil biji jarak yang diberikan pada anak kambing Nubian dengan dosis 0,25 g/kg/hari dan 1 g/kg/hari dapat menyebabkan kematian antara 7-21 hari. Tanda-tanda keracunan adalah berak darah, dyspnea, dehidrasi, dan terbaring lemah lalu mati (Gadir et al., 2003). Dua hari setelah pemberian bungki biji jarak pada kambing Nubian dapat menyebabkan biopsy hati dan mata cekung (Adam dan Magzoub, 1975). Domba gurun yang diberikan bungkil biji jarak dengan dosis 0,05 g/kg/hari; 0,5 g/kg/hari dan 1g/kg/hari menunjukkan gejala klinis dan luka pada organ saluran pencernaan (Aregheore et al., 2003). Zat antinutrisi dan racun yang terdapat dalam BBJP dapat dilihat pada Tabel 2. Kandungan lectin lebih tinggi dibandingkan dengan phorbolester (Tabel 2). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengurangi kandungan lectin dan phorbolester yang terdapat dalam BBJP, agar penggunaan BBJP lebih dapat ditolerir oleh hewan. Salah satu contoh penelitian yang telah dilakukan untuk mengurangi kandungan phorbolester maupun lectin adalah dengan cara biologis yaitu perlakuan fermentasi yang menggunakan berbagai kapang (Tjakradidjaja et al., 2007). Biji jarak pagar mengandung acro-nacrotic, beracun terhadap manusia dan sapi yang dapat digunakan untuk melawan kanker dan kutil. Jarak pagar mengandung phorbolester (Inga et al., 2002).
Tabel 2. Beberapa Zat Antinutrisi dan Racun dalam Jatropha curcas Toxic variety
Non-toxic variety
Phorbolesters (mg/g kernel)
2,79
0,11
Total phenols (% tannic acid equivalent)
0,36
0,22
Tannins (% tannic acid equivalent)
0,04
0,02
Phytates (% dry matter)
9,40
8,90
Saponins (% diosgenin equivalent)
2,60
3,40
Komponen
Trypsin inhibitor (mg trypsin inhibited per g sample) Lectins (1/mg of meal that produced haemaglutination per ml of assay medium) Sumber : Francis et al. 2006
21,3
26,5
102
51
Aderibigbe et al. (1997), Aregheore et al. (2003), dan Martinez-Herrera et al. (2006) berpendapat lectin dapat dihilangkan dengan pemanasan pada suhu 121°C (25 menit) atau 160ºC, pemanasan basah pada suhu 100ºC (60 menit, kadar air 67%) atau 130°C (30 menit, kadar air 80%) dan penggunaan berbagai pelarut organik yang dikombinasikan dengan pencucian. Nurhikmawati (2007) menyatakan terjadinya penurunan kandungan curcin dari 0,09% menjadi 0,03% pada perlakuan fisik (pemanasan suhu 121○C selama 30 menit), 0,02% pada perlakuan kimia (penambahan 4% NaOH) dan 0,07% pada perlakuan biologis (fermentasi dengan Rhizopus oligosporus). Curcin Curcin adalah sejenis racun lectin yang terdapat pada jarak pagar (Jatropha curcass L.). Lectin pertama kali ditemukan tahun 1888 oleh Stillmark pada ekstrak biji jarak. Lectin mempunyai sifat mampu menyebabkan mitosis, atau perubahan biokimia lain dalam sel (Wikipedia, 2006). Secara sederhana lectin adalah protein yang secara spesifik mengikat karbohidrat (glikoprotein). Protein ini mengenal dan mengikat secara spesifik monosakarida dan diklasifikasikan dengan gula yang dikenalnya. Peran lectin dalam tanaman adalah melindungi benih tanaman dari agen patogen seperti jamur, virus dan
bakteri dengan mengikat pada permukaan mikroorganisme melalui residu gula dan menghambat pertumbuhannya. Sedangkan peran ternak adalah mengikat cairan ekstraseluler dan interseluler glikoprotein. Efek racun lectin terhadap usus adalah tahan terhadap proteolisis usus, mengikis dinding sel, merusak membran mikrovili, pergantian sel, mengurangi kemampuan usus halus dalam proses penyerapan, menambah endositosis dan pergantian sel epitel dan memberikan efek langsung maupun efek tidak langsung terhadap hormon pada sistem metabolisme. Lectin adalah protein keras yang tidak mudah rusak. Lectin dapat mengikat pada dinding usus, merusak dan merubah permeabilitas usus sehingga menyebabkan alergi. Pengikatan ini mungkin sebuah reaksi antigen-antibodi yang diawali oleh keracunan autoimun (Wikipedia, 2006). Struktur bangun curcin disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur Curcin (www.rni.co.id, 2006) Aktivitas lectin atau curcin yang tinggi terdapat pada biji jarak Kangra dari India. Lectin merupakan racun pada Jatropha curcas varietas Cape Verde dan tidak beracun pada Jatropha curcas varietas Mexico (Papantla). Bungkil jarak asal Mexico ini diketahui aman digunakan sebagai pakan tikus dan ikan karena tidak mengandung phorbolester meskipun mengandung sedikit lectin (Makkar dan Becker, 2004). Curcin merupakan fitotoxin (racun yang terdapat pada tumbuhan) yang memiliki molekul protein besar, kompleks dan sangat beracun. Wikipedia (2007) memaparkan bahwa curcin juga merupakan suatu tipe reseptor protein yang secara spesifik berinteraksi dengan molekul gula (karbohidrat) tanpa memodifikasi molekul gula tersebut. Fungsi curcin atau lectin ini yaitu sebagai pengikat (binding) dari glikoprotein (biomolekul yang merupakan gabungan dari protein dan karbohidrat) pada permukaan sel. Mekanisme dari curcin berhubungan dengan aktivitas enzim
N-glikosidase yang dapat mempengaruhi metabolisme. N-glikosidase merupakan enzim glikosidase yang berfungsi sebagai pengatur kenormalan sel, anti bakteri dan pendegradasi selulosa dan hemiselulosa. Diduga kuat mekanisme curcin hampir sama dengan ricin dan lectin. Aderibigbe et al. (1997) menyatakan bahwa lectin merupakan racun utama yang terdapat dalam tanaman jarak pagar dan lectin dapat dikurangi dengan perlakuan panas. Kandungan curcin didalam Jatropha curcas tidak sebesar kandungan ricin dalam Ricinus comunis (Aregheore et al., 2003). Curcin dapat menjadi inaktif dengan perlakuan pemanasan dan pemanasan kering akan jauh lebih baik daripada pemanasan basah (Aregheore et al., 1998). Mekanisme kerja ricin dalam menghancurkan sel diawali dengan pengikatan rantai B ricin kepada reseptor permukaan sel. Rantai B ricin ini akan menempel pada molekul glikoprotein dan glikolipid yang merupakan senyawa penyusun membran sel. Sekitar 106 sampai 108 molekul ricin dapat terikat pada setiap sel. Selanjutnya, ricin akan memasuki bagian dalam sel melalui mekanisme endositosis yaitu peristiwa internalisasi zat asing oleh sel. Namun, dari sekian banyak ricin yang menempel pada permukaan sel, hanya satu molekul yang dapat masuk kedalam sel target. Didalam sel, rantai A dan B molekul ricin akan terpisah. Rantai A yang bersifat toksik akan menginaktivasi pabrik pembuat protein yaitu ribosom. Satu molekul ricin yang masuk kedalam sel sanggup menginaktivasi lebih dari 1.500 molekul ribosom per menit (Hadi, 2008). Jika ribosom tidak aktif bekerja, maka ribuan protein yang dibutuhkan untuk kehidupan sel akan berhenti diproduksi, dan akhirnya sel pun akan mati. Hal inilah yang menginspirasi pakar kedokteran untuk menggunakan ricin sebagai obat antikanker yang kini telah terbukti berhasil menghancurkan sel kanker. Dosis ricin yang tidak menimbulkan kematian yaitu 0,00000001% dari bobot badan yang diberi dengan cara penyuntikan (Kingsbury, 1964). Rumus bangun ricin dan mekanisme aksi ricin dapat dilihat pada Gambar 4. Ditinjau dari segi fungsinya, kedua rantai penyusun ricin berbeda satu sama lain. Rantai A memiliki aktivitas toksik karena dapat menghambat sintesis protein. Sedangkan rantai B berfungsi mengikat reseptor permukaan sel yang mengandung galaktosa (Hadi, 2008). Rumus bangun dan mekanisme aksi ricin sendiri dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Rumus Bangun Ricin dan Mekanisme Aksi Ricin (Hadi, 2008) Phorbolester Phorbolester merupakan senyawa organik dari tumbuhan yang merupakan anggota diterpenes. Phorbolester disebut juga dengan ester. Phorbolester dapat larut dalam larutan organik yang bersifat polar. Berbagai ester dari phorbol memiliki sifat biologis yang penting, khususnya kemampuannya sebagai pemacu tumor (Wikipedia, 2007). Phorbolester merupakan komponen toksik dalam Jatropha curcas yang diperoleh dengan ekstraksi menggunakan pelarut metanol (Rug et al., 2006). Sifat fisiologis yang paling dikenal dari phorbolester adalah kemampuannya sebagai penyebab tumor atau kanker. Phorbolester merupakan analog dari diacyglycerol (DAG) dan merupakan pemacu tumor yang menyebabkan berbagai fisiologis ketika berada didalam sel dan jaringan (UniProt, 2007). Struktur kimia phorbolester dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur Kimia Phorbolester (Evans, 1986)
Bentuk phorbolester menyerupai diacyglycerol, turunan gliserol yang diperoleh dari dua kelompok hidroksil yang telah bereaksi dengan asam lemak membentuk ester dan bersifat karsinogenik. Bentuk phorbolester yang paling terkenal yaitu phorbolester disebut juga dengan 12-0-tetradecanoylphorbol-13acetate (TPA). Rumus kimia TPA adalah C20H28O6 dengan berat molekul 364,44 g/mol yang dapat mencair pada suhu 25-251ºC atau dapat juga disebut dengan phorbol-12-myristate-13-acetate (PMA) (Wikipedia, 2007). Phorbolester diketahui dapat mengaktivasi protein kinase C (PKC) yang meniru aktivitas diacygliserol (DAG). Protein kinase C (PKC) merupakan enzim kinase yang memodifikasi protein lain dengan menambahkan fosfat secara kimiawi dan memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap aktivitas sel. Phorbolester dapat meningkatkan afinitas PKC Ca2+ secara dramatis dan bersifat stabil dan tidak dapat terdegradasi secara tepat setelah menstimulasi PKC, sehingga menyebabkan aktivitas yang mengarah pada respon fisiologis seperti proliferasi dan diferensiasi sel yang tidak terkontrol (Asaoka et al., 1992). Phorbolester diketahui berperan dalam mengakibatkan sakit perut, efek iritasi kulit dan pemacu tumor karena phorbolester merangsang PKC yang dibutuhkan dalam sinyal transduksi dan proses perkembangan seluruh sel dan jaringan (Makkar dan Becker,1997b). Phorbolester (phorbol-12-myristate-13-acetate) pada biji jarak diidentifikasi sebagai zat toksik utama (Makkar dan Becker, 1997a; Becker dan Makkar, 1998). Hal ini dikarenakan phorbolester stabil terhadap pemanasan (Wink, 1993; Martines-Herrera et al., 2006) dan dapat bertahan pada pemanasan diatas suhu 160ºC selama 30 menit (Makkar dan Becker, 1997b). Hasil penelitian Aregheore et al. (1998) menduga bahwa pemberian bungkil biji jarak yang diberi perlakuan panas dapat menyebabkan kematian tikus. Efek Negatif Penggunaan Bungkil Biji Jarak Pagar Penggunaan BBJP dalam ransum dapat memberikan efek negatif pada hewan yang mengkonsumsinya pada taraf pemberian yang tinggi Wardoyo (2007) menyatakan bahwa penggunaan 5% BBJP tanpa detoksifikasi masih mungkin digunakan, sedangkan penggunaan 10% BBJP menyebabkan kematian sebesar 50% dalam waktu 40 hari dan 15% BBJP menyebabkan kematian 100% dalam waktu 29 hari.
Lusiana
(2007)
menyatakan
bahwa
efektivitas
penggunaan
BBJP
terdetoksifikasi dalam ransum dan adanya fase recovery terhadap performa ayam broiler mengalami kematian sebanyak 22 ekor (12,57%) dari 175 ekor total ayam penelitian. Menurut Fajariah (2007) bahwa puncak mortalitas mencit yang disebabkan BBJP terdetoksifikasi terjadi pada hari ke-6 sampai dengan hari ke-14. Mortalitas pada hari ke-15 mengalami penurunan. Pada hari ke-27 sampai akhir penelitian (hari ke-28) tidak ada mortalitas. Mahajati (2008) menunjukkan bahwa mencit dewasa kelamin jantan untuk BBJP tanpa fermentasi dalam ransum, 5% BBJP yang difermentasi Aspergillus niger dan 5% BBJP difermentasi Trichoderma viridae dalam ransum mengakibatkan tingkat mortalitas yang tinggi yaitu sebesar 100%. Sedangkan 5% BBJP yang difermentasi R. oryzae dalam ransum, 5% BBJP yang difermentasi R. oligosporus dalam ransum, 5% BBJP yang difermentasi T. reesei dalam ransum mortalitas yang dihasilkan sebesar 80%. Kematian mencit dimulai pada minggu pertama sebesar 40% dengan penambahan 5% BBJP yang difermentasi dengan kapang R. oryzae. Hadriyanah (2008) menyatakan
bahwa
mortalitas pada mencit jantan sebesar 20% dan mencit betina tidak mengalami kematian dengan pemberian 5% BBJP detoksifikasi menggunakan metanol dalam ransum kontrol, sedangkan 5% BBJP detoksifikasi dengan NaOH 4% dalam ransum kontrol mencit jantan maupun betina tidak mengalami kematian hingga akhir penelitian. Dua hari setelah pemberian bungkil biji jarak pada kambing Nubian dapat menyebabkan biopsy hati dan mata cekung (Adam dan Magzoub, 1975). Domba gurun yang diberikan bungkil biji jarak dengan dosis 0,05 g/kg/hari; 0,5 g/kg/hari dan 1g/kg/hari menunjukkan gejala klinis dan luka pada organ saluran pencernaan (Aregheore et al., 2003). Toksin yang diisolasi dari bungkil biji jarak pada kelinci dapat menyebabkan reaksi iritasi diikuti oleh nekrosis (Gandhi et al., 1995). Tikus yang diberikan bungkil biji jarak selama 23 hari akan mati. Anak sapi yang diberi bungkil biji jarak dengan dosis 0,25 g/kg ; 1 g/kg ; 2,5 g/kg akan mati 19 jam setelah pemberian, sedangkan yang diberikan pada dosis 0,025 g/kg menunjukkan gejala keracunan setelah 10-14 hari pemberian dan kemudian anak sapi mati (Aregheore et al., 2003). Pemberian bungkil biji jarak pada ransum ayam broiler dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan dan mortalitas yang tinggi (Hidayah, 2007). Hasil penelitian Fajariah (2007) menunjukkan bahwa pemberian BBJP yang
terdetoksifikasi kepada mencit menyebabkan penurunan bobot badan drastis dan diakhiri dengan kematian. Nurbaeti (2007) menyimpulkan dari hasil penelitiannya efisiensi penggunaan BBJP yang difermentasi dengan kapang R.oligosporus adalah perlakuan yang terbaik dibandingkan dengan perlakuan yang diolah secara fisik dan kimia. Adam (1974) menyatakan bahwa pemberian J. curcas dalam ransum mengakibatkan terjadinya perubahan patologi pada usus halus, hati, jantung, ginjal dan pembuluh darah. Wardoyo (2007), juga menyatakan bahwa mencit mengalami pendarahan usus (enteritis) yang terjadi karena peradangan pada usus halus akibat banyaknya racun curcin dan phorbosleter dalam BBJP yang diserap usus halus. Racun tersebut kemudian dibawa oleh darah kedalam hati, lalu menyebabkan kerusakan hati untuk menetralisir racun yang terakumulasi didalamnya. Zat makanan yang tidak bermanfaat bagi tubuh dikeluarkan oleh hati ke ginjal, sehingga terjadi pendarahan (hipermi) dan pembesaran kapiler darah (kongesti) di ginjal mengakibatkan kematian pada mencit. Detoksifikasi Racun Bungkil Biji Jarak Pagar Setelah melalui proses detoksifikasi, kandungan protein bungkil biji jarak dapat melebihi kandungan protein pada kedelai sehingga menjadikannya potensial digunakan sebagai bahan makanan tidak konvensional bagi ternak (Alamsyah, 2006). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengurangi kandungan lectin dan phorbolester yang terdapat dalam BBJP, agar penggunaan BBJP dapat ditolerir oleh hewan. Salah satu contoh penelitian yang telah dilakukan dengan cara biologis yaitu perlakuan fermentasi menggunakan berbagai kapang (Tjakradidjaja et al., 2007). Nurbaeti (2007) menyimpulkan bahwa pengolahan BBJP secara biologis difermentasi dengan kapang R. oligosporus adalah perlakuan yang terbaik dibandingkan dengan perlakuan yang diolah secara fisik dan kimia. Tabel 3 menunjukkan bahwa kandungan protein kasar yang tertinggi dimiliki oleh BBJP cangkang yang difermentasi dengan kapang R. oligosporus. Komposisi zat makanan dan fraksi serat BBJP yang difermentasi berbagai kapang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Zat Makanan dan Fraksi Serat Bungkil Biji Jarak Pagar yang Difermentasi Berbagai Kapang Zat Makanan BK (%)
BBJP dengan Fermentasi BBJ Tanpa Fermentasi A. niger 89,7 37,6
R. oryzae R.oligosporus 36,9 37,8
T. viridae 39,2
T. reesei 37,3
Abu (%BK)
5,2
5,6
5,7
5,8
5,6
5,9
PK (%BK)
24,3
22,1
22,2
22,6
20,1
22,2
LK (%BK)
16,0
12,6
8,8
7,9
11,9
11,2
SK (%BK)
38,5
46,6
44,0
47,5
45,7
46,6
BeTN (%BK)
16,1
13,1
19,3
16,3
16,8
14,1
Sumber : Tjakradidjaja et al. (2007) Keterangan : BBJP= Bungkil Biji Jarak Pagar; BK= Bahan Kering; PK= Protein Kasar; LK=Lemak Kasar; SK= Serat Kasar; BETN= Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen
Ansori (1989) menyatakan bahwa kapang dapat menghasilkan enzim protease selama proses fermentasi (proteolitik) yang dapat merombak protein menjadi senyawa yang lebih sederhana yang menyebabkan terjadinya peningkatan kadar nitrogen dan asam amino. Gejala peracunannya, yaitu diare berat, muntah, pusing, kolaps, dan lain lain. Hasil detoksifikasi BBJP dengan cara fermentasi berbagai kapang dapat dilihat pada Tabel 3. Bungkil biji jarak pagar yang difermentasi dengan Rhizopus spp. kemungkinan akan lebih baik untuk menghilangkan kandungan curcin dan phorbolester didalamnya. Meskipun demikian, produk fermentasi BBJP dengan berbagai kapang perlu dikaji lebih dalam lagi untuk penggunaannya sebagai pakan ternak (Tjakradidjaja et al.,2007). Rhizopus oryzae Fardiaz (1992) mendefenisikan fermentasi sebagai proses pemecahan karbohidrat dan asama amino. Fermentasi oleh berbagai kapang, khamir dan bakteri dapat terjadi secara anerobik fakultatif. Senyawa yang dapat dipecah dalam proses fermentasi adalah karbohidrat, sedangkan asam amino hanya dapat difermentasi oleh beberapa jenis bakteri tertentu. Aktivitas metabolisme mikroorganisme pada proses fermentasi ditentukan oleh faktor-faktor eksternal seperti pH, suhu, tekanan oksigen dan konsentrasi substrat. Bagian terbesar dari substrat akan terfermentasi setelah mikroorganisme hampir menyempurnakan pertumbuhan maksimumnya. Fermentasi
oleh bakteri digunakan untuk mengubah dan memberi flavor, bentuk dan tesktur yang bagus dari bahan yang difermentasi (Buckle et al., 1987). Menurut Suhartono (1989), spesies Rhizopus dikenal juga sebagai “wet weather fungi”, karena kapang ini menyebabkan kerusakan pada sayuran dan buahbuahan dengan cara menumbuhi bagian yang lembab dan rusak. Kerusakan oleh kapang ini menimbulkan “fermentatif odor”. Rhizopus oryzae digunakan sebagai mikroba pemfermentasi karena selain dapat memecah protein dan lemak, Rhizopus oryzae juga dapat menguraikan protein sebagai bahan pengemulsi yang terdapat dalam santan dan memecah emulsi santan sehingga terjadi pemisahan fraksi air, minyak dan protein. Analisa kualitatif minyak kelapa hasil proses fermentasi dengan Rhizopus oryzae dilakukan sesuai dengan syarat mutu Standar Industri Indonesia (SNI) yang meliputi kotoran, kadar air, bilangan Iod, bilangan penyabunan, peroksida, asam lemak bebas dan minyak pelikan. Dari hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa minyak kelapa dapat dibuat secara fermentasi dengan Rhizopus oryzae dan karakteristik fisika kimia minyak kelapa hasil proses fermentasi dengan Rhizopus oryzae memenuhi SNI (Pujianti, 2007). Menurut Wang et al. (1978), pertumbuhan miselium pada kapang tergantung kepada lingkungan fisikokimianya. Miselium dapat berbentuk panjang dan melebar, pendek dan bercabang, atau suatu campuran dari keduanya. Bila kapang ditumbuhkan pada suatu permukaan, miselianya akan tumpang tindih dan membentuk lapisan tebal. Sedangkan pada kultur terendam miselia akan tersebar atau membentuk pellet dengan diameter 0,1-10 mm. Lapisan dan pellet miselium sangat penting untuk pertumbuhan karena pada saatnya akan mempengaruhi lingkungan fisikokimia individual sel-sel tersebut. Kapang adalah kelompok mikroba yang tergolong dalam fungi. Selain kapang, mikroorganisme lain yang tergolong fungi dan penting dalam mikrobiologi pangan adalah khamir (yeast) dan jamur (mushroom). Perbedaan utama dari antara organisme yang tergolong fungi, misalnya khamir dan kapang merupakan fungi multiseluler yang mempunyai filamen, sedangkan khamir merupakan fungi tunggal tanpa filamen (Fardiaz, 1992). Pertumbuhan kapang R.oryzae dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Rhizopus oryzae Rhizopus oryzae tumbuh pada kisaran 5-37ºC, dan optimum pada suhu 25ºC. Beberapa spesies dari genus ini memproduksi asam fumarat, suksinat, dan asam laktat serta memproduksi berbagai jenis enzim seperti glukoamilase, pektinase, protease dan lipase. Beberapa spesies juga dapat memfermentasi pati menjadi alkohol (Cousin, 1987). Alkohol merupakan hidrokarbon berikat tunggal. Salah satu atom hidrogennya merupakan gugus OH yang bersifat tidak berwarna. Berdasarkan senyawa organik yang berikatan dengan gugus hidroksil senyawa alkohol terdiri atas R-OH primer (R-CH2-OH), sekunder ((R)2CH-OH), dan tersier ((R)3C-OH). Alkohol dapat dihasilkan dari peragian atau fermentasi karbohidrat (gula dan pati). Prinsip pembentukan alkohol adalah pelepasan energi yang tersimpan pada bahanbahan organik, yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi, dengan bantuan mikroba sebagai fermentor. Terdapat sejumlah jenis mikroba yang memiliki kemampuan untuk memfermentasikan alkohol, diantaranya khamir dan bakteri. Proses pembentukan alkohol dengan perantara mikroba tersebut berlangsung secara anaerobik. Secara sederhana, proses fermentasi merupakan penguraian karbohidrat menjadi alkohol (etanol) dan gas karbondioksida (CO2) dengan bantuan enzim. Jika tahapan proses anaerobik ini dihentikan pada tahapan fermentasi saja, yakni tahapan sebelum pembentukan gas metana, maka dapat dihasilkan alkohol yang memiliki nilai kalori tinggi. Dalam proses pembentukan alkohol untuk skala produksi besar yang mampu memenuhi kebutuhan industri, diperlukan perencanaan teknis yang sistematis untuk membangun reaktor anaerobik yang dapat lebih mudah dimonitor dan dikontrol (Balitbang, 2006). Alkohol adalah derivat dari hidroksi yang mempunyai ikatan langsung maupun rantai cabang dari alifatik hidrokarbon. Bentuk rantai alkohol yang sering ditemukan adalah yang mengandung tiga gugus hidroksil dengan ikatan satu gugus
hidroksi dalam satu rantai karbon. Sedangkan jenis alkohol lainnya ialah alkohol yang mengandung lebih dari satu gugus hidroksi dalam satu atom karbon. Jenis alkohol yang kedua inilah yang bersifat toksik yaitu ethanol (ethyl alkohol), methanol (methyl alkohol) dan isipropanol (isoprophyl alkohol). Pada umumnya semakin panjang rantai karbon maka semakin tinggi daya toksisitasnya. Tetapi ada kekecualian dalam teori ini yaitu methanol lebih toksik daripada ethanol (Geocities, 2008). Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), galur Aspergilus dan Rhizopus dapat menghasilkan enzim glukoamilase. Tergantung pada organisme asalnya, enzim tersebut memiliki sifat-sifat kimia enzim yang dapat menghidrolisis pati secara sempurna menjadi glukosa. Enzim glukoamilase bersifat eksoamilase, yaitu dapat memutuskan rantai pati menjadi molekul-molekul glukosa pada bagian yang tidak mereduksi dari molekul tersebut. Mahajati (2008) menyatakan bahwa penggunaan 5% BBJP difermentasi kapang R.oligosporus dalam ransum masih dapat ditolerir oleh mencit. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nurbaeti (2007) bahwa perlakuan biologis dengan penggunaan fermentasi R.oligosporus dapat menghasilkan respon terbaik dalam meningkatkan efisiensi penggunaan protein dan energi metabolis pada ayam broiler. Astawan (2008) menyatakan bahwa proses fermentasi merupakan tahap terpenting dalam proses pembuatan brem. Proses fermentasi meliputi empat tahap penguraian. Tahap pertama, molekul-molekul pati akan dipecah menjadi dekstrin dan gula-gula sederhana. Proses ini merupakan hidrolisis enzimatis. Tahap kedua, gula yang terbentuk akan diolah menjadi alkohol. Tahap ketiga, alkohol kemudian diubah menjadi asam organik oleh bakteri Pediococcus dan Acetobacter melalui proses oksidasi alkohol. Tahap keempat, sebagian asam organik akan bereaksi dengan alkohol membentuk cita rasa yang khas, yaitu ester. Enzim yang mampu mengubah glukosa menjadi alkohol dan karbondioksida selama fermentasi adalah enzim zimase yang dihasilkan oleh khamir Saccharomyces cereviseae. Dalam proses fermentasi, selain alkohol, juga terbentuk asam piruvat dan laktat. Asam piruvat adalah produk antara yang terbentuk pada hidrolisis gula menjadi etanol dan dapat diubah menjadi etanol atau asam laktat. Perubahan asam piruvat menjadi asam laktat dikatalisis oleh bakteri Pediococcus pentasaeus.
Menurut Darmono (2008), toksisitas etanol relatif lebih rendah daripada metanol ataupun isopropanol. Mekanisme penyerapan etanol didalam tubuh mencit yaitu didalam usus kecil dan kurang efisien didalam lambung dan usus besar. Walaupun etanol mempunyai berat molekul yang kecil, agak lama etanol terlarut dalam lemak dan proses pelarutannya adalah secara difusi pasif. Proses oksidasi enzimatik etanol pertama terjadi dalam hati kemudian dalam ginjal. Proses metabolisme melibatkan tiga jenis enzim. Pada proses pertama etanol dioksidasi menjadi acetaldehyd oleh enzim “alkohol dehydrogenase” dan memerlukan kovaktor (NAD) nicotinamid adenin dinucleotida. Enzim alkohol dehydrogenase dalam hati adalah enzim yang tidak spesifik, enzim ini juga mengubah alkohol primer lainnya menjadi aldehyd, begitu juga pada alkohol sekunder dan keton. Pada tahap kedua acealdehyd diubah menjadi asam asetat oleh enzim aldehyd dehydrogenase juga dibantu oleh kovaktor NAD. Tahap berikutnya diubah lagi menjadi acetyl coenzim A (CoA), yang kemudian CoA masuk kedalam siklus Krebs dan mengalami metabolisme menjadi CO2 dan H2O. Menurut Hendriks dalam Astawan (2008) menyatakan bahwa konsumsi alkohol dalam takaran tertentu akan menurunkan resiko tersumbatnya saluran arteri darah dari peradangan, pembekuan darah, dan sejumlah asam lain yang ada pada darah. Alkohol juga dapat meningkatkan dehydroepiandrosterone (DHEAS) yang bermanfaat memperlancar aliran darah. Terdapat bukti yang konsisten bahwa alkohol meningkatkan resiko kanker dibeberapa bagian tubuh tertentu, termasuk mulut, kerongkongan, tenggorokan, laring, dan hati. Alkohol memicu terjadinya kanker melalui berbagai mekanisme. Salah satunya, alkohol mengaktifkan enzim-enzim tertentu yang mampu memproduksi senyawa penyebab kanker. Alkohol dapat pula merusak DNA, sehingga sel akan berlipat ganda (multiplying) secara tidak terkendali. Mencit (Mus musculus) Storer et al. (1979) menyatakan bahwa mencit termasuk Filum Chordata, Kelas Mamalia, Ordo Rodentia, Famili Muridae, Genus Mus dan Spesies Mus musculus. Mencit merupakan hewan yang paling banyak digunakan untuk hewan percobaaan
yaitu
sebesar
40–80%,
karena
mencit
sangat
produktif
dan
pengelolaannya mudah. Mencit liar atau mencit rumah adalah hewan semarga dengan mencit laboratorium. Semua galur mencit laboratorium yang ada pada waktu ini merupakan turunan dari mencit liar sesudah melalui peternakan selektif. Bulu mencit liar berwarna keabu-abuan, dan warna perut sedikit lebih pucat. Mata berwarna hitam dan kulit berpigmen. Berat badan bervariasi, tetapi umumnya pada umur empat minggu berat badan mencapai 18-20 gram. Mencit liar dewasa mencapai 30–40 gram pada umur enam bulan atau lebih. Mencit lebih suka pada suhu lingkungan yang tinggi (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Mencit merupakan hewan yang prolifik. Kelahiran mencit biasanya berlangsung satu sampai empat jam. Mencit betina akan menjilat vulvanya sebelum anaknya lahir, kemudian mencit itu akan menolong proses kelahiran dengan menarik anaknya keluar menggunakan mulutnya. Setelah itu mencit induk akan memakan plasenta sebelum memijat atau menjilat anaknya sampai kering. Mencit betina biasanya akan mengelompokkan anaknya setelah anaknya keluar semua kemudian akan menyusui anak-anaknya (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Menurut Malole dan Pramono (1989), mencit apabila diperlakukan dengan lembut akan mudah dikendalikan. Sebaliknya jika diperlakukan dengan kasar maka mencit akan menjadi agresif dan bahkan menggigit. Bila pejantan baru dicampurkan kedalam kelompok yang susunan hierarkinya sudah stabil, mencit akan berkelahi untuk menentukan siapa pemimpin kelompok tersebut. Contoh mencit putih yang dipakai dalam penelitian ini diperlihatkan pada Gambar 7 dengan sifat biologis dan reproduksi yang tertera pada Tabel 4.
Gambar 7. Mencit Putih (Mus musculus)
Tabel 4. Sifat Biologis dan Reproduksi Mencit (Mus musculus) Kriteria
Keterangan
Lama hidup Lama produksi dan ekonomis Lama bunting Kawin sesudah beranak Umur disapih Umur dewasa Umur dikawinkan Berat dewasa Jantan Betina Berat lahir Berat sapih Jumlah anak Suhu tubuh Suhu rektal Komposisi air susu Kadar Gula Kadar Lemak Kadar Protein Kadar Air Jumlah puting susu Kecepatan tumbuh
1-3 tahun 9 bulan 19-21 hari 1-24 jam 21 hari 35 hari 8 minggu 20-40 gram 18-35 gram 0,5-1,0 gram 18-20 gram rata-rata 6-15 ekor 35-39° C rata-rata 37-40° C 3% 10-12% 10% 75% 5 pasang 1 gram/hari
Sumber : Smith dan Mankoewidjojo (1988)
Jumlah puting susunya lima pasang, yaitu terletak pada dada dan perut masing-masing dan dua pasang. Panjang telinganya 9-12 mm dan panjang telapak kaki belakangnya 12-18 mm (Boeadi, 1979). Pertambahan Bobot Badan Induk Mencit Petumbuhan dapat terjadi dengan penambahan jumlah sel (hyperlasia) dan penambahan
ukuran
tubuh
(hypertrophy)
(Anggorodi,1984).
Pertumbuhan
merupakan suatu perubahan yang meliputi peningkatan ukuran sel-sel tubuh dimana pertumbuhan tersebut mencakup tiga komponen utama yaitu peningkatan berat otot, ukuran skeleton dan jaringan lemak tubuh (Rose,1997). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yang menyatakan bahwa kecepatan rata-rata seekor mencit adalah satu g/hari. Pertumbuhan dapat terhambat karena kekurangan protein, sedangkana kelebihan protein oleh tubuh dijadikan sebagai sumber energi dalam keadaan kekurangan energi dari karbohidrat dan lemak.
Mortalitas Induk Mencit Mortalitas adalah perbandingan antara jumlah seluruh ternak mati dengan jumlah total ternak yang dipelihara (Eisen dan Durrant, 1980). Semakin meningkatnya taraf pemberian BBJP dalam ransum mencit menyebabkan mortalitas mencit semakin tinggi (Wardoyo, 2007). Fajariah (2008) menyatakan bahwa mortalitas mencit akibat penggunaan BBJP dalam ransum terjadi kematian mulai hari keempat sampai dengan hari ke-26 penelitian. Mortalitas yang tinggi terjadi pada ransum ayam broiler sebesar 34,29% dengan penggunaan 4% BBJP tanpa perlakuan (Lusiana,2008). Litter Size Lahir Anak Mencit Menurut Eisen dan Durrant (1980), litter size lahir adalah jumlah total anak yang dilahirkan oleh induk mencit baik hidup maupun mati. Jumlah anak per kelahiran mencit rata-rata berjumlah enam ekor anak bahkan dapat mencapi 15 ekor anak per induk (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Menurut Kon dan Cowie (1961), jumlah anak per kelahiran juga bergantung pada umur dan ukuran tubuh induk, sedangkan nutrisi induk akan menentukan ukuran tubuh atau rataan bobot lahir anak. Faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi jumlah kelahiran antara lain kualitas dan kuatintas pakan yang diberikan pada induk, musim kawin, jumlah sel telur yang dihasilkan serta tingkat kematian embrio yang sangat berpengaruh terhadap jumlah anak kelahiran (Toelihere,1979) dan jumlah sel telur yang dihasilkan dan tingkat awal pertumbuhan embrio (Warwick et al., 1983). Day et al., (1989) menyatakan bahwa penurunan fertilitas dan jumlah anak per kelahiran terjadi pada mencit yang mempunyai siklus estrus tidak teratur pada umur setengah tua, sehingga menurunkan jumlah blastosit normal pada hari kelima kebuntingan. Bobot Lahir Anak Mencit Bobot lahir adalah bobot badan suatu individu pada saat dilahirkan. Pertumbuhan foetus sebelum lahir atau sebelum pertumbuhan selama didalam kandungan induknya menentukan bobot lahir ternak (Hafez dan Dyer, 1969). Toelihere (1979) menyebutkan bahwa pertumbuhan selama didalam kandungan induk dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya mutu genetik ternak, umur serta bobot badan induk yang melahirkan, pakan induk dan suhu lingkungan selama
kebuntingan yang kurang baik dapat menyebabkan bobot lahir rendah dan anak yang dilahirkan menjadi lemah. Malnutrisi pada induk juga menyebabkan kurang terpenuhinya nutrisi fetus sehingga dapat mengurangi bobot lahir dan viabilitas anak (McDonald et al., 1995). Hasil penelitian Jaenuddin (2002) menyatakan bahwa dengan perlakuan stimulan monogastrik menghasilkan rataan bobot lahir 1,67 g/ekor. Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa bobot lahir anak mencit berkisar antara 1 g/ekor. Menurut Arrington (1972), suhu optimum untuk memelihara mencit berkisar antara 21-22°C, dengan kelembaban udara 45-55%. Suhu lingkungan mempengaruhi bobot lahir ternak secara langsung dapat mempengaruhi konsumsi pakan. Pada kondisi suhu yang tinggi dapat menyebabkan penurunan nafsu makan, sehingga memungkinkan tejadinya defisiensi zat makanan yang diperlukan foetus. Keadaan tersebut menyebabkan bobot lahir rendah. Kon dan Cowie (1961) menyatakan bahwa bobot litter secara keseluruhan akan meningkat seiring dengan menigkatnya litter size, akan tetapi rataan bobot lahir tiap anak menjadi lebih rendah. Bobot lahir anak mencit dipengaruhi oleh pertumbuhan foetus selama dalam kandungan induknya.
Litter Size Sapih Litter size sapih adalah jumlah anak yang hidup hingga umur disapih yang sangat dipengaruhi oleh umur induk, konsumsi pakan, kondisi induk, sistem perkawinan, dan kualitas pejantan (Quijandria et al., 1983). Menurut Malole dan Pramono (1989), sistem perkawinan monogami dan poligami pada mencit berbeda pengaruhnya terhadap jumlah anak waktu sapih. Jumlah anak yang disapih akan meningkat bila program pembiakan dilakukan dengan sistem perkawinan poligami atau harem. Pada sistem ini anak-anak baru dipisahkan menjelang kelahiran berikutnya, karena betina memanfaatkan estrus postpartum sehingga anak-anak mengalami kematian selama menyusu. Mencit betina pada sistem perkawinan ini tidak mengalami estrus postpartum sehingga produksi susu yang dibutuhkan oleh anak lebih banyak dan jumlah anak yang disapih tinggi karena mengalami sedikit kematian anak selama menyusu.
Hasil penelitian Wardoyo (2007) menyatakan bahwa rataan litter size sapih yang dihasilkan dengan perlakuan kontrol tanpa adanya penambahan BBJP sebesar 7,67 ekor. Rataan litter size sapih yang dihasilkan pada penelitian Hermawan (2007) dengan penggunaan 3% zeolit dalam ransum sebesar sembilan ekor. Bobot Sapih Anak Mencit Bobot sapih adalah bobot badan ternak saat dipisahkan dari induknya untuk disapih. Besarnya bobot sapih dipengaruhi oleh jenis kelamin, bobot badan induk, umur induk, keadaan pada saat lahir, kemampuan induk untuk menyusui anak, kuantitas dan kualitas makanan yang diberikan serta suhu lingkungan (Hafez dan Dyer, 1969). Toelihere (1977) menyatakan bahwa penyapihan adalah umur paling muda dimana anak dapat dipisahkan dari induk tanpa pengurangan berat badan. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), bobot sapih mencit berkisar antara 18-20 g/ekor dan anak mencit dapat disapih pada umur 21 hari. Induk yang memiliki produksi air susu yang tinggi akan menghasilkan anak dengan bobot sapih yang tinggi. Eisen (1975) menyatakan bahwa anak mencit betina memiliki bobot sapih tinggi, cenderung lebih cepat mengalami dewasa kelamin. Menurut Malole dan Pramono (1989), kehilangan bobot badan pada mencit dapat disebabkan oleh dehidrasi, kelaparan dan berbagai macam penyakit menular maupun yang tidak menular. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rataan bobot sapih mencit adalah 14,07 g/ekor dengan penambahan zeolit dalam ransum (Hermawan, 2007), 17,85 g/ekor dengan penambahan 5% BBJP dalam ransum (Wardoyo, 2007) dan penambahan ampas kunyit 9% menghasilkan rataan bobot sapih 7.55 g/ekor (Dian, 2007). Ransum Mencit Ransum adalah makanan yang diberikan pada ternak selama 24 jam dan dapat diberikan sekali atau beberapa kali dalam kurun waktu 24 jam. Ransum sempurna adalah kombinasi beberapa bahan makanan yang dikonsumsi secara normal dan mensuplai zat-zat yang penting kedalam tubuh ternak dengan perbandingan jumlah atau bentuk yang sedemikian rupa sehingga fungsi fisiologis dalam tubuh berjalan dengan normal (Parakkasi, 1999). Zat-zat yang dibutuhkan mencit untuk pertumbuhan hampir sama dengan manusia yaitu karbohidrat yang terdiri dari pati,
selulosa, gula, minyak, atau lemak terutama linolenat, protein terutama asam amino esensial, mineral-mineral mikro, vitamin-vitamin baik yang larut dalam air maupun dalam lemak (Muchtadi, 1989). Tingkat energi dalam ransum menentukan banyaknya ransum yang dikonsumsi (Mujiasih, 1999). Ransum yang tinggi kandungan energinya harus diimbangi dengan protein, mineral, vitamin yang cukup untuk ternak, tidak mengalami defisiensi protein, vitamin, dan mineral. Pellet adalah bahan pakan atau ransum yang dibentuk dengan cara menekan dan memadatkannya melalui lubang cetakan secara mekanis. Proses pembentukan pakan campuran konsentrat atau ransum komplit menjadi silinder disebut pelleting (Pathak, 1997). Proses pembuatan pellet terbagi menjadi tiga tahap yaitu 1) Pengolahan pendahuluan meliputi pencacahan, pengeringan dan penggilingan, 2) Pembuatan pellet meliputi pencetakan pendinginan dan pengeringan dan 3) Perlakuan akhir meliputi sortasi, pengepakan, dan penggudangan. Tujuan pembuatan pellet yaitu untuk mengurangi sifat debu, meningkatkan palatabilitas, mengurangi pakan yang terbuang, mengurangi voluminous, dan mempermudah penanganan saat penyimpanan dan transportasi. Mencit membutuhkan makanan berkadar protein 22%. Untuk kondisi di Indonesia protein tersebut dapat dipenuhi dari makanan ayam pedaging dengan kadar protein 19%. Seekor mencit dewasa membutuhkan 15 gram per 100 g bobot badan/hari dengan kadar protein diatas 14% dan 15 ml air minum per 100 g bobot badan/hari bervariasi menurut temperatur kandang, kelembaban, kualitas makanan, kesehatan dan kadar air dalam makanan (Malole dan Pramono, 1989). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), seekor mencit dewasa dapat mengkonsumsi ransum 3-5 g/hari dengan komposisi ransumnya protein 17%, lemak 15%, serat kasar 5% dan abu 4-5%. Sedangkan pada mencit dewasa yang sedang bunting dibutuhkan pakan sekitar 7 g/ekor/hari atau lebih. Kebutuhan zat-zat makanan yang diperlukan untuk pemeliharaan mencit adalah protein kasar 20-25%, kadar lemak 10-12%, pati 44-45%, serat kasar maksimal 4% dan abu 5-6%. Juga harus mengandung vitamin A, vitamin D, alfa-tokoferol, piridoksin, dan inositol. Status protein untuk ransum mencit yaitu 12-21% bahan kering (BK), penggunaan makanan dengan kandungan protein 17% akan menghasilkan pertumbuhan yang sama dengan makanan yang mempunyai protein 19% dan 21% (NRC, 1995).
METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2007 sampai dengan Januari 2008, di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah dan Laboratorium Biokimia Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 60 ekor mencit putih (Mus musculus) yang terdiri dari 30 ekor jantan dan 30 ekor betina (dewasa kelamin) dengan perkiraan bobot badan awal mencit yang dipelihara 18-25 g per ekor. Kandang masing-masing beralaskan sekam dan penutup kawat, serta dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum. Kandang dan Peralatan Kandang mencit menggunakan baki yang mempunyai ukuran 36 x 28 x 12 3
cm untuk sepasang mencit atau kandang yang beralaskan sekam padi sebanyak 100 gram/baki. Kandang yang digunakan sejumlah 30 buah. Peralatan yang digunakan adalah timbangan elektrik, tempat pakan, kotak kaca untuk penimbangan mencit, drum penampungan air, sikat botol, gunting, sarung tangan, masker, pinset dan alat tulis. Ransum Ransum yang digunakan adalah pakan ayam broiler komersial dengan penambahan 0, 2,5, 5, 7,5 dan 10% BBJP yang telah difermentasi dengan kapang Rhizopus oryzae. Penambahan BBJP dalam ransum ayam broiler komersial dilakukan secara substitusi. Bungkil biji jarak pagar berasal dari Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) IPB. Interval dosis level yang diberikan pada penelitian ini dari 2,5% sampai 10% berdasarkan penelitian sebelumnya mencit yang diberikan pada taraf 10% masih dapat bertahan hidup sebanyak 50% (Wardoyo, 2007). Pakan dalam bentuk pellet diberikan setiap hari. Air minum yang diberikan dalam penelitian ini berasal dari Perusahaan Air Minum (PAM). Ransum dan air minum diberikan ad libitum (selalu tersedia).
Rancangan Perlakuan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan, masing-masing enam ulangan, yang terdiri dari : R1 : Ransum basal 100% (tanpa pemberian kapang bungkil biji jarak) R2 : 97,5% R1 + 2,5% bungkil biji jarak yang difermentasi Rhizopus oryzae R3 : 95% R1 + 5% bungkil biji jarak yang difermentasi Rhizopus oryzae R4 : 92,5% R1 + 7,5% bungkil biji jarak yang difermentasi Rhizopus oryzae R5 : 90% R1 + 10% bungkil biji jarak yang difermentasi Rhizopus oryzae Model matematika yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai
berikut (Steel dan Torrie, 1993) :
Yij = µ+ αi + εij Keterangan : Yij
: Nilai pengamatan (konsumsi pakan induk, efisiensi pakan induk, litter size lahir, bobot lahir, litter size sapih, bobot sapih, pertambahan bobot badan anak mencit, dan mortalitas)
µ
: Nilai rataan umum perlakuan
αi
: Pengaruh pemberian ransum dengan bungkil biji jarak yang difermentasi R. oryzae dengan taraf ke-i ; i = 1, 2, 3, 4, 5
εij
: Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j ;
i
: Penambahan 0; 2,5; 5,0; 7,5 dan 10% bungkil biji jarak yang difermentasi dengan kapang R. oryzae
j
: Ulangan ke – j ; j = 1, 2, 3, 4, 5, 6
Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis secara deskriptif. Analisis secara deskriptif dilakukan karena mencit betina yang diberi ransum R3, R4 dan R5 mengalami mortalitas mencapai 100%, sementara untuk mencit jantan dengan ransum R3 mengalami kematian sebanyak 50%.
Peubah yang Diamati Dalam penelitian ini peubah yang diamati adalah pertambahan bobot badan induk, mortalitas induk, konsumsi pakan induk, litter size lahir, bobot lahir, litter size sapih, dan bobot sapih Pertambahan Bobot Badan Induk Mencit (g/ekor) Penimbangan bobot badan mencit jantan dan betina pada penelitian ini dilakukan setiap satu minggu sekali dan juga mencit yang mati lebih awal yang kandang yang sama. Perhitungan pertambahan bobot badan induk mencit dilakukan dengan mengurangkan bobot badan awal dari bobot badan akhir mencit. Mortalitas Induk Mencit (%) Mortalitas induk mencit adalah jumlah induk mencit yang mati dari seluruh populasi mencit yang ada. Mortalitas diperoleh dengan menghitung jumlah mencit yang mati selama penelitian. Konsumsi Ransum Mencit (g/ekor) Konsumsi ransum adalah jumlah pakan (g) yang dimakan oleh seekor mencit setiap hari. Perhitungan dilakukan setiap tujuh hari sekali dan juga bila seekor mencit mengalami kematian lebih awal. Konsumsi ransum diperoleh dari selisih antara jumlah pakan awal dengan jumlah sisa dengan pemberian pakan ad libitum. Litter Size Lahir (ekor) Litter size lahir diketahui dengan melakukan perhitungan jumlah anak mencit yang lahir hidup dari setiap ekor induk mencit yang beranak. Bobot Lahir (g/ekor) Rataan bobot anak mencit pada saat dilahirkan, pengukurannya dilakukan dengan menimbang seluruh anak yang lahir dari induk per kelahiran (g) dibagi dengan jumlah anak mencit (ekor) yang ditimbang. Litter Size Sapih (ekor) Litter size sapih diperoleh dengan menghitung dari jumlah anak yang disapih dari setiap ekor induk mencit yang menyapih. Bobot Sapih (g/ekor) Rataan bobot sapih diperoleh dengan menimbang (g) seluruh anak yang masuk masa disapih dari induk yang sama dibagi dengan jumlah anak (ekor) yang ditimbang.
Prosedur Persiapan Mikroorganisme Rhizopus oryzae ditumbuhkan pada agar-agar miring dalam tabung reaksi dan diinkubasikan pada suhu 30ºC selama tujuh hari, kemudian kedalam tabung reaksi tersebut ditambahkan lima ml air steril. Larutan spora yang diperoleh dengan cara tersebut digunakan untuk inokulasi pada proses fermentasi bungkil biji jarak. Konsentrasi spora dalam larutan tersebut adalah 107 spora/ml. Fermentasi Bungkil Biji Jarak Pagar a. Pembuatan Media Kapang Tauge ditimbang sebanyak 250 gram, lalu ditambah dengan aquades sebanyak satu liter. Campuran ini kemudian dipanaskan hingga mendidih, kurang lebih selama satu jam. Selama proses pemanasan, volume medium dijaga agar tetap satu liter. Setelah mendidih, medium disaring dengan kain kasa, filtrat diambil dan tauge dibuang. Filtrat ekstrak tauge (100 ml) yang telah ditambah Agar Bacto (dua gram) dipanaskan pada suhu 100ºC hingga media menjadi bening. Medium ini kemudian dimasukkan kedalam 10 tabung reaksi masing-masing sebanyak tiga ml. Tabungnya kemudian ditutup dengan kapas aluminium foil, lalu diautoclave pada suhu 121ºC selama 15 menit, setelah itu medium didinginkan dalam posisi dimiringkan. b. Pembuatan Kultur Kapang. Setelah media miring Ekstrak Tauge Agar (ETA) didinginkan, maka tahap selanjutnya adalah mensterilkan aquades dengan autoclave. Aquades sebanyak 10 ml dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi kultur stock, lalu diaduk dengan pengaduk kaca sampai hancur supaya spora miseliumnya lepas yang ditunjukkan dengan warna larutan menjadi keruh. Ose dicelupkan lalu ditempelkan kedalam agar dengan cara zig-zag yang selanjutnya diinkubasi selama tiga hari. c. Fermentasi Bungkil biji jarak pagar yang telah diinkubasi dengan aquades steril sebanyak enam ml, lalu diaduk hingga warna larutan keruh. Sementara itu, bungkil biji jarak dicampur aquades dengan perbandingan 1 : 0,5, diaduk sampai homogen,
lalu diautoclave. Setelah didinginkan, bungkil biji jarak pagar tersebut diletakkan dalam baki plastik, diratakan dengan sendok steril, lalu diinokulasi dengan kultur kapang sebanyak tiga ml untuk setiap 50 g BBJP dan tutup plastik dilubangi dengan jarum steril agar cukup oksigen (aerob). Campuran difermentasi selama enam hari, sehingga diperoleh produk bungkil biji jarak yang siap dicampurkan kedalam ransum basal. Pembuatan Ransum Pellet Bungkil biji jarak tanpa fermentasi maupun bungkil biji jarak hasil fermentasi dikeringkan terlebih dahulu didalam oven 60oC selama 24 jam. Setelah kering, kedua jenis bungkil biji jarak tersebut dihaluskan dengan cara digiling sampai menjadi tepung. Kemudian dicampur dengan bahan makanan lain menggunakan mixer hingga homogen, lalu dimasukkan kedalam mesin pellet. Pellet yang baru keluar dari mesin pellet diangin–anginkan terlebih dahulu, lalu disimpan dalam kantong plastik yang telah diberi tanda sesuai dengan perlakuan. Pembuatan pellet dilakukan di Laboratorium Nutrisi Pakan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pemberian Ransum Pellet Pemeliharaan mencit dilakukan selama delapan minggu dengan periode preliminary selama satu minggu dan selama tujuh minggu berikutnya dilakukan penerapan perlakuan serta pengumpulan feses. Pakan diberikan ad libitum setiap dua hari sekali dengan berpatokan pada sisa pakan. Air minum diberikan ad libitum, dan setiap minggu dilakukan pergantian. Konsumsi pakan dihitung setiap satu minggu sekali. Ransum perlakuan ditimbang sebanyak 56 g dan dimasukkan kedalam kantong untuk persediaan satu minggu. Ransum dalam kantong dan dalam wadah serta yang tercecer dihitung sebagai sisa ransum. Sampel ransum yang diberikan dan sisa ransum dikeringkan didalam oven dengan suhu 1050C selama 24 jam, untuk digunakan dalam perhitungan konsumsi bahan kering ransum. Pada awal percobaan mencit ditimbang. Penimbangan dilakukan seminggu sekali. Setiap minggu mencit diukur bobot badannya dengan menggunakan timbangan, dan wadah plastik bertutup sebagai alat bantu dalam penimbangan mencit.
Persiapan Kandang Kandang dan semua peralatan yang digunakan dicuci bersih dengan menggunakan sabun cuci dan disterilkan dengan menggunakan alkohol 70%, kemudian alas kandang dilapisi dengan sekam padi sebanyak 100 gram tiap kandang. Pergantian sekam padi dilakukan pada saat penimbangan mencit atau pada saat terjadi kematian pada salah satu mencit didalam kandang. Identifikasi dan Penimbangan Awal Mencit. Setiap ekor mencit diidentifikasi jenis kelaminnya kemudian disatukan dalam satu kandang. Semua kandang berjumlah 30 buah dimana setiap kandang masingmasing terdapat satu ekor jantan dan satu ekor betina. Penimbangan awal dilakukan setelah proses identifikasi dan pengelompokan mencit berdasarkan jenis kelaminnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Lantai Dasar, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang terletak di Kecamatan Darmaga, Kotamadya Bogor. Laboratorium ini dapat digunakan untuk memelihara mencit dengan jumlah tidak begitu banyak. Laboratorium ini terdiri dari beberapa ruangan, yaitu ruangan pemeliharaan mencit, tempat penyimpanan pakan dan sekam. Ruangan yang digunakan juga memiliki dua AC (air conditioner). Sistem ventilasi ruangan kurang baik disebabkan dinding sangat tebal dan bagian pintu terdiri dari tiga bagian. Kelembaban dan suhu udara merupakan faktor lingkungan yang sangat penting diperhatikan dalam memelihara hewan ternak. Rataan suhu lingkungan pada pagi dan siang hari adalah 25-29ºC. Malole dan Pramono (1989) menyatakan bahwa suhu dan kelembaban lingkungan yang ideal untuk pemeliharaan mencit masing-masing berkisar antara 2129ºC dan 30-70%. Keadaan dan letak kandang mencit selama pemeliharaan dan penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Tempat Pemeliharaan dan Penelitian Mencit Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa suhu didalam ruangan selama penelitian cukup stabil dan sesuai dengan suhu optimal untuk pemeliharaan mencit meskipun kadang-kadang terjadi perubahan setiap hari. Jika ruangan terasa berkelembaban lebih tinggi maka AC dinyalakan, hal ini dimaksudkan untuk mengurangi cekaman panas dalam ruangan. Namun hal ini tidak membuat mencit menjadi stress karena didalam ruangan tersebut memiliki sirkulasi udara yang baik dengan adanya AC tersebut. Selain itu, mencit merupakan hewan nocturnal yang
aktivitas kehidupannya lebih banyak dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari banyak digunakan untuk beristirahat (Malole dan Pramono, 1989). Kondisi Ransum Penelitian Ransum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari ransum ayam broiler komersial dan bungkil biji jarak pagar (BBJP) yang difermentasi dengan kapang R. oryzae. Ransum ayam broiler komersial disubstitusi dengan BBJP fermentasi pada taraf yang berbeda (0%, 2,5%, 5%, 7,5% dan 10%). Bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) segar yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) IPB yang masih berbentuk bahan mentah (belum mendapatkan perlakuan panas maupun kimiawi) dan masih bertekstur kasar (berserat), aromanya kuat, terasa pahit, dan berwarna hitam. Hasil analisa proksimat perlakuan ransum (tanpa dan dengan BBJP fermentasi) yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Kandungan Zat Makanan Ransum Perlakuan Zat Makanan BK (%)2 Abu2 PK2 LK2 SK2 BETN2 GE (kal/gBK)1 Ca2 P2
R1 91,98 6,20 24,53 8,39 2,34 58,55 4408,57 0,04 0,10
Ransum Perlakuan (% BK) R2 R3 R4 91,46 92,92 92,67 5,49 6,11 5,64 24,57 24,21 24,83 7,27 6,52 6,96 3,36 4,72 5,38 59,32 58,43 57,18 3989,72 4100,30 4319,63 0,05 0,05 0,05 0,10 0,08 0,05
R5 91,63 5,66 24,95 7,61 5,13 56,65 4280,26 0,04 0,08
Keterangan : R1= Ransum kontrol, R2= 97,5 % R1 + 2,5 % BBJP fermentasi R.oryzae, R3 = 95% R1 + 5% BBJP fermentasi R.oryzae, R4 = 92,5% R1 + 7,5% BBJP fermentasi R. oryzae, R5 = 90% R1 + 10% BBJP fermentasi R. oryzae, BK= Bahan Kering, PK= Protein Kasar, SK= Serat Kasar, BETN= Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen, GE= Gross Energi, 1 Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, 2 Hasil Analisa Laboratorium Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor.
Komposisi zat makanan dari ransum kontrol (R1) dan substitusi BBJP yang difermentasi dengan kapang R.oryzae (R2 sampai R5) mempunyai kadar BK yang tinggi berkisar antara 91,46 (R2) hingga 92,92% (R3). Hal ini menjelaskan bahwa sampel yang kering dapat memudahkan dalam penyimpanannya. Perlakuan substitusi 2,5% BBJP yang difermentasi dengan kapang R. oryzae (R2) mempunyai kandungan
serat kasar, abu dan energi yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya kecuali kandungan serat kasar R1 yang lebih rendah. Serat kasar ransum R2 adalah 3,36% kandungan BETN yang paling tinggi dan kandungan phospornya sama dengan ransum kontrol (R1) yaitu 0,10%. Fermentasi BBJP dengan kapang R.oryzae yang ditambahkan dalam ransum menunjukkan terjadinya peningkatan protein kasar dan serat kasar, sedangkan energi menurun dibandingkan dengan perlakuan R1 (tanpa pemberian BBJP dalam ransum). Hal ini sesuai dengan pendapat Winarno (2002), bahwa substrat yang mengalami fermentasi biasanya memiliki nilai gizi yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan asalnya. Kadar abu pada perlakuan R1, R2, R3, R4, dan R5 masing-masing sebesar 6,2; 5,49; 6,11; 5,46 dan 5,66%. Kadar abu masing-masing perlakuan sedikit lebih tinggi daripada kadar abu yang direkomendasikan oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1988), yakni 4-5%. Kadar abu terlihat menurun dengan meningkatnya taraf BBJP fermentasi dalam ransum, namun penurunannya tidak teratur. Ketidakteraturan ini mungkin disebabkan oleh ketidakhomogenan saat pengambilan sampel. Namun, kadar abu yang dihasilkan pada perlakuan R3 dan R5 dalam penelitian ini lebih baik dibandingkan dengan penelitian Wardoyo (2007) yang menyatakan bahwa kadar abu yang dihasilkan pada perlakuan R1 (5% BBJP) dan R2 (10% BBJP) masing-masing 8,46 dan 7,64 %. Kadar lemak kasar pada setiap perlakuan dengan BBJP fermentasi (6,527,27%) mengalami penurunan dibandingkan dengan kontrol. Akan tetapi hasil ini masih lebih tinggi daripada lemak kasar yang direkomendasikan oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu 5%. Fermentasi menggunakan kapang dapat menurunkan kadar lemak kasar dari setiap perlakuan. Hal ini sesuai dengan hasil percobaan Tjakradidjaja et al. (2007) yaitu kadar lemak BBJP cangkang yang difermentasi oleh berbagai kapang menunjukkan penurunan lemak kasar. Kadar lemak BBJP dengan cangkang yang difermentasi dengan R. oryzae dan R. oligosporus lebih rendah dibandingkan dengan kadar lemak BBJP cangkang yang difermentasi oleh berbagai jenis kapang lainnya (Tabel 4). Wardoyo (2007) menyatakan bahwa kadar lemak kasar pada perlakuan R1 (5% BBJP) dan R2 (10% BBJP) masing-masing 8,34 dan 8,33%. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan
hasil penelitian yang diperoleh pada taraf yang sama yaitu perlakuan R3 (6,52%) dan R5 (7,61%) karena penelitian Wardoyo (2007) menggunakan BBJP tanpa fermentasi sedangkan penelitian ini menggunakan BBJP yang difermentasi dengan R.oryzae yang mampu memecah lemak yang terdapat didalam BBJP sebagaimana juga dinyatakan Suhartono (1989). Serat kasar dari masing-masing ransum perlakuan, mengalami peningkatan dengan
semakin meningkatnya taraf substitusi BBJP fermentasi dalam ransum
kecuali pada R5 (5,13%) terjadi penurunan dari R4 (5,38%) yang merupakan kandungan serat kasar tertinggi. Dari semua ransum perlakuan, kebutuhan serat kasar pada R4 dan R5 masing-masing 5,38 dan 5,13% sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan yang direkomendasikan oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1988), yakni 5%. Serat kasar dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Wardoyo (2007) yaitu berkisar antara 6,18-9,03%. Peningkatan serat kasar yang tinggi diduga disebabkan oleh adanya cangkang didalam BBJP. Serat kasar memiliki sifat bulky (voluminous) sehingga mencit yang mengkonsumsinya dapat merasa cepat kenyang dan dapat mengurangi konsumsi ransum harian. Kandungan BETN dalam ransum perlakuan yang disubstitusi dengan BBJP fermentasi mengalami penurunan dengan meningkatnya taraf substitusi dan lebih tinggi daripada perlakuan kontrol (R1) kecuali R2 yang mempunyai kandungan BETN lebih tinggi. Kandungan energi mengalami peningkatan pada masing-masing ransum perlakuan setelah difermentasi dengan R.oryzae meskipun GE ransum kontrol (R1) masih lebih tinggi dibandingkan dengan ransum lainnya. Kandungan GE tertinggi terdapat pada ransum dengan substitusi BBJP fermentasi adalah 7,5% BBJP (R4) yaitu 4319,63 kal/gBK. Kadar Ca dalam penelitian ini selalu lebih rendah daripada kandungan P kecuali perlakuan R5 dengan kadar yang sama (0,05%BK) dan kandungan Ca dalam ransum perlakuan adalah stabil yaitu antara 0,04-0,05%. Kandungan Ca pada ransum perlakuan ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang direkomendasikan oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1988), bahwa mineral dalam makanan mencit khususnya kandungan kalsium adalah 1,0-1,5% Kadar P dalam masing-masing ransum perlakuan lebih berfluktuasi daripada kandungan Ca dengan kisaran antara 0,05-0,10%. Kisaran P yang terdapat dalam
ransum penelitian ini lebih rendah daripada yang direkomendasikan Smith dan Mangkoewidjojo (1988), yaitu sekitar 0,5-1,0%. Kondisi Mencit Selama Penelitian Jumlah mencit yang digunakan dalam penelitian adalah 60 ekor yang terdiri dari 30 ekor betina dan 30 ekor jantan dewasa kelamin yang berumur 35 hari. Mencit ini dimasukkan didalam satu kandang yang terdiri sepasang mencit yaitu jantan dan betina, mencit diberi ransum perlakuan BBJP sesuai dengan taraf yang berbeda setelah masa adaptasi selama delapan hari. Pemberian ransum perlakuan R3, R4, dan R5 mengakibatkan mencit mengalami kematian lebih awal. Mortalitas yang terjadi mencapai 100% baik pada perlakuan 7,5% BBJP fermentasi (R4) maupun 10% BBJP fermentasi (R5) sehingga dalam penelitian ini data yang didapatkan dapat dianalisis secara deskriptif disebabkan tingginya mortalitas pada kedua perlakuan tersebut. Konsumsi Ransum Mencit Rataan konsumsi bahan segar (BS) ransum perlakuan mempunyai kisaran antara 2,78-5,39 g/ekor/hari dengan rataan umum adalah 4,18 g/ekor/hari, sedangkan rataan bahan kering (BK) berkisar antara 2,58-4,95 g/ekor/hari (Tabel 6). Hasil ini jauh lebih rendah daripada konsumsi yang direkomendasikan oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu tujuh gram/ekor/hari. Bahan kering (BK) dari ransum yang diberi perlakuan berupa BBJP fermentasi (R2-R5) mengalami penurunan jika dibandingkan denga ransum kontrol (R1). Menurut Yuniah (1996), penyusutan BK dapat terjadi akibat adanya proses fermentasi oleh kapang yang memecah zat makanan untuk pertumbuhannya dan menghasilkan sejumlah air sebagai produk fermentasinya. Perhitungan konsumsi induk mencit dilakukan setiap minggu sekali dan dilakukan juga pada saat seekor mencit mengalami kematian lebih awal, dimana sisa konsumsi ransum langsung dihitung berdasarkan masa hidupnya mencit. Pemberian ransum selama penelitian adalah 8 g/ekor/hari, karena diperkirakan kebutuhan konsumsi mencit akan cukup tinggi dalam sehari.
Tabel 6. Rataan Konsumsi Ransum Perlakuan dan Kandungan Zat Makanan Mencit Jantan dan Betina Selama Penelitian Ransum Perlakuan
Peubah
Rataan
R1
R2
R3
R4
R5
BS (g/e/hr)
5,39±0,93
4,45±0,51
4,58±0,82
2,78±1,35
3,72±1,08
4,18
BK (g/e/hr)
4,95±0,88
4,07±0,47
4,26±0,76
2,58±1,25
3,41±0,99
3,85
BO (g/e/hr) PK (g/e/hr)
5,08±0,88
4,23±0,49
4,32±0,77
2,64±1,28
3,53±1,02
3,96
1,22±0.21
1,00±0,11
1,03±0,18
0,64±0,31
0,85±0,25
0,95
145,91±42,28
162,52
Energi (kal/g/e/hr)
218,39±39,67
162,41±18,66 174,56±31,56 111,34±53,92
Keterangan : R1= Ransum kontrol, R2= 97,5 % R1 + 2,5 % BBJP fermentasi R.oryzae, R3 = 95% R1 + 5% BBJP fermentasi R.oryzae, R4 = 92,5% R1 + 7,5% BBJP fermentasi R. oryzae, R5 = 90% R1 + 10% BBJP fermentasi R. oryzae. BS=Bahan Segar, BK= Bahan kering, BO= Bahan organik, PK= Protein kasar
Jumlah BBJP yang difermentasi pada masing-masing ransum adalah 0,2-0,8 g/ekor/hari dari jumlah pakan yang diberikan, hasil ini lebih rendah dibandingkan batas toleransi penggunaan BBJP yang direkomendasikan oleh Aregheore et al. (2003) yang menyatakan bahwa batas toleransi pemakaian Jatropha curcas adalah 16% dari jumlah pakan yang diberikan, dengan kosentrasi phorbolester 0,13 mg/g. Hasil tersebut didapat setelah J. curcas mengalami perlakuan kimia dengan pemberian 4% NaOH + 10% NaOCl lalu diikuti perlakuan panas pada suhu 121ºC selama 30 menit. Hal ini dikarenakan terdapatnya racun yang berasal BBJP yaitu curcin dan phorbolester (Brodjonegoro et al., 2005), sehingga menyebabkan ransum tidak palatabel. Rataan kandungan bahan organik (BO) dari ransum perlakuan secara umum adalah 3,96 g/ekor/hari. Kandungan BO yang diperoleh dari semua ransum perlakuan selama penelitian mengalami penurunan dibandingkan dengan ransum kontrol (R1). Kandungan BO terendah adalah pada ransum perlakuan R4 yaitu sebesar 2,64±1,28 g/ekor/hari. Rendahnya kandungan BO pada ransum R4 diduga karena pencampuran dalam pembuatan ransum tidak homogen sehingga pengambilan sampel kurang mewakili ransum tersebut dan hal ini dapat diakibatkan oleh proses pengepresan atau proses pemisahan minyak jarak. Rataan konsumsi protein kasar (PK) dari ransum perlakuan selama penelitian juga mengalami sedikit penurunan dengan penambahan BBJP setelah difermentasi. Protein kasar BBJP mengalami denaturasi akibat adanya pemanasan pada suhu
121ºC dengan waktu 15 menit. Denaturasi diduga disebabkan adanya pemanasan akibat pelleting dan kandungan alkohol yang dihasilkan oleh fermentasi dapat merubah struktur protein itu sendiri, meskipun pemanasan itu bertujuan untuk mengurangi kandungan curcin yang terdapat dalam BBJP yang disubstitusikan kedalam ransum. Rataan energi yang dihasilkan dari masing-masing ransum yang mendapatkan BBJP fermentasi (R2-R5) mengalami penurunan dibanding dengan R4. Rataan energi yang terendah dimiliki oleh ransum perlakuan R4 (111,34±53,92 kal/ekor/hari). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), tingkat konsumsi ransum dipengaruhi oleh kandungan ransum, jenis kelamin, ukuran tubuh, tingkat produksi, temperatur lingkungan, kecepatan pertumbuhan, keseimbangan zat-zat makanan dalam ransum dan cekaman. Perubahan Bobot Badan Induk Mencit Pertumbuhan merupakan suatu perubahan yang meliputi peningkatan ukuran sel-sel tubuh, mencakup tiga komponen utama yaitu peningkatan berat otot, ukuran skeleton, dan jaringan lemak tubuh (Rose, 1997). Taraf pemberian BBJP yang difermentasi dengan R.oryzae dalam ransum mempengaruhi pertumbuhan mencit betina maupun jantan. Berdasarkan Tabel 7, diketahui bahwa ransum dengan substitusi BBJP fermentasi (R2-R5), ternyata ransum dengan pemberian 10% BBJP fermentasi dalam ransum R5 menghasilkan pertambahan bobot badan tertinggi pada mencit jantan (0,50±0,65 g/ekor/hari) dan mencit betina dengan R4 (0,47±0,69 g/ekor/hari). Mencit yang diberi ransum BBJP yang difermentasi R.oryzae umumnya mengalami penurunan bobot badan pada mencit jantan maupun betina dengan meningkatnya penggunaan BBJP fermentasi bahkan terdapat pertumbuhan negatif yaitu R3 jantan (-0,08 g/ekor/hari) R4 jantan (-0,15 g/ekor/hari) dan R5 betina (-0,34 g/ekor/hari). Penimbangan bobot badan dilakukan seminggu sekali, penimbangan seluruh mencit dimulai pada delapan hari setelah perlakuan. Penimbangan mencit betina dan jantan dilakukan secara terpisah selama penelitian, mencit yang mati langsung ditimbang untuk mengetahui perubahan bobot badan yang terakhir. Ketika induk mencit sudah bunting penimbangan dilakukan seperti biasanya. Data perubahan bobot badan mencit selama penelitian selengkapnya disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Perubahan Bobot Badan Mencit Selama Penelitian Perlakuan R1 R2 R3 R4 R5
Perubahan Bobot Badan (g/e/h) Betina (B) Jantan (J) 0,34±0,05 0,42±0,10 0,19±0,13 0,33±0,04 0,12±0,24 -0,08±0,48 0,47±0,69 -0,15±0,36 -0,34±0,48 0,50±0,65
Keterangan : R1= Ransum kontrol, R2= 97,5 % R1 + 2,5 % BBJP fermentasi R.oryzae, R3 = 95% R1 + 5% BBJP fermentasi R.oryzae, R4 = 92,5% R1 + 7,5% BBJP fermentasi R. oryzae, R5 = 90% R1 + 10% BBJP fermentasi R. oryzae
Mencit perlakuan mulai mengalami penurunan bobot badan yang sangat drastis pada minggu kedua setelah diberi ransum perlakuan, selanjutnya terjadi penurunan bobot badan yang lambat dan diakhiri dengan kematian. Pada perlakuan R5 dari setiap ulangan, semua mencit mengalami peningkatan bobot badan dari bobot awal pada minggu pertama, akan tetapi pada minggu kedua setelah perlakuan, mencit mengalami penurunan 20-50% bobot badannya. Penurunan bobot badan ini dapat disebabkan tingkat konsumsi ransum dengan kadar phorbolester didalamnya. Semakin tinggi kadar phorbolester yang terdapat dalam ransum maka penurunan bobot badan mencit juga semakin tinggi. Pertumbuhan bobot badan mencit jantan pada perlakuan R1, R2 dan R5 lebih tinggi dibandingkan dengan bobot badan mencit betina dengan perlakuan yang sama, hal ini disebabkan daya tahan mencit jantan berbeda dibandingkan dengan mencit betina. Hal ini sesuai dengan pernyataan Smith dan Mangkoewidjojo (1988), bahwa mencit jantan memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan mencit betina. Berdasarkan penelitian Anantyo (2006), rataan pertumbuhan bobot badan jantan lebih tinggi dibandingkan bobot badan betina yaitu sebesar 0,39 gram/ekor/hari. Pada minggu ketujuh, pertumbuhan mencit mulai berkurang hal ini disebabkan mencit membutuhkan energi yang semakin tinggi untuk keperluan hidupnya, sehingga tingkat konsumsi protein semakin tinggi, kelebihan protein dalam tubuh akan disimpan sebagai cadangan makanan dalam bentuk lemak. Hadriyanah (2008) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan mencit umur empat minggu mengalami peningkatan dengan pemberian 5% BBJP yang didetoksifikasi menggunakan metanol maupun dengan detoksifikasi NaOH 4%, tetapi bobot badan mencit jantan lebih tinggi dibandingkan bobot badan betina.
Mortalitas Induk Mencit Mortalitas merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam suatu usaha pengembangan peternakan dan merupakan salah satu pedoman yang digunakan untuk mengukur kemampuan induk mengasuh anak, karena tingkat keberhasilan suatu usaha peternakan salah satunya ditentukan dengan tingkat mortalitas yang rendah. Kematian mencit selama penelitian adalah 33 ekor (55%) dari 60 ekor total mencit penelitian (Tabel 8) yang terdiri dari jantan 15 ekor (25%) dan betina 18 ekor (30%). Puncak kematian mencit jantan R5 dan R4 terjadi pada minggu kedua dan minggu ketiga masing-masing empat ekor, sedangkan mencit betina R5 dan R3 puncak kematiannya terjadi minggu ketiga dan minggu keempat masing-masing enam ekor. Persentase mortalitas mencit jantan dan betina dari semua perlakuan selama penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Mortalitas Mencit Selama Penelitian Jenis Ransum Kelamin Perlakuan
Jantan (J)
Betina (B)
R1 R2 R3 R4 R5 R1 R2 R3 R4 R5
Mortalitas Induk Mencit Pada Minggu Ke- (Ekor) 1 2 3 4 5 6 7 8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 0 0 0 0 0 4 2 0 0 0 0 0 4 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 2 0 0 0 0 0 2 2 2 0 0 0 0 0 6 0 0 0 0 0
Total Ekor 0 0 3 6 6 0 0 6 6 6
% 0 0 50 100 100 0 0 100 100 100
Keterangan : R1= Ransum kontrol, R2= 97,5 % R1 + 2,5 % BBJP fermentasi R.oryzae, R3 = 95% R1 + 5% BBJP fermentasi R.oryzae, R4 = 92,5% R1 + 7,5% BBJP fermentasi R. oryzae, R5 = 90% R1 + 10% BBJP fermentasi R. oryzae
Hasil penelitian ini lebih baik dibandingkan penelitian Wardoyo (2007), dimana mortalitas mencit dengan penggunaan BBJP tanpa fermentasi sebesar adalah 58,58%. Akan tetapi hasil ini tidak lebih baik dibandingkan dengan penelitian Lusiana (2008) yang juga menggunakan BBJP 4% tanpa perlakuan dengan mortalitas yang dihasilkan adalah 34,29%, bahkan penggunaan BBJJP yang diekstraksi dengan heksan dan metanol hasil mortalitas ayam hanya sebesar 2,86%. Tabel 8 menunjukkan bahwa perlakuan 7,5 dan 10% BBJP fermentasi masing-masing R4 dan
R5 keduanya yang disubstitusi didalam ransum menyebabkan mencit semuanya mati atau mortalitas 100% baik mencit jantan maupun betina. Gambar 9 memperlihatkan perbandingan kondisi mencit yang mati dari masing-masing perlakuan.
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 9. Perbandingan Mencit Perlakuan Kontrol (a), Perlakuan 5% BBJP (b), 7,5% BBJP (c) dan 10% BBJP (d) yang Difermentasi dengan Kapang R.oryzae Mortalitas yang tinggi pada penelitian ini disebabkan oleh adanya racun yang terdapat dalam BBJP. Persentase mortalitas pada perlakuan R4 dan R5 mencapai 100% baik pada mencit jantan maupun mencit betina. Kematian mencit jantan dengan pemberian 10% BBJP yang difermentasi (R5) dalam ransum mengalami kematian lebih awal yaitu pada minggu kedua sebanyak empat ekor (33,33%) dari 12 ekor mencit yang ada setiap perlakuan dan hanya mampu bertahan sampai dengan minggu ketiga setelah perlakuan. Mencit jantan dengan perlakuan R5 mengalami kematian lebih awal yaitu lima hari setelah perlakuan diberikan yaitu pada ulangan pertama, keempat, kelima dan keenam secara bersamaan pada hari yang sama. Mencit yang mati langsung ditimbang, dipisahkan dengan mencit lainnya dan juga dilakukan pembelahan organ
dalam mencit untuk mengetahui pengaruh pemberian BBJP yang difermentasi dalam ransum. Mencit yang diberi perlakuan R1 (kontrol) tidak mengalami perubahan pada organ dalamnya, hal ini dapat dilihat pada Gambar 9(a), sementara untuk mencit yang diberi perlakuan R3 (Gambar 9(b)) organ dalam mencit yaitu sekitar usus dan hati mengalami perubahan warna yaitu menjadi merah kehitaman serta mengalami penurunan bobot badan drastis. Mencit yang diberi perlakuan R4 (Gambar 9(c)) dan R5 (Gambar 9(d)) lebih hitam dibandingkan dengan perlakuan R3, hal itu disebabkan kandungan BBJP dalam ransum R4 dan R5 lebih tinggi dibandingkan dengan R3. Sementara mencit betina dengan ransum R5 kematian terjadi secara menyeluruh atau sebesar 100% pada minggu ketiga. Kematian mencit ditandai dengan menurunnya asupan nutrien yang menyebabkan penurunan bobot badan dan diakhiri dengan kematian. Penurunan asupan nutrien disebabkan adanya kandungan phorbolester dan curcin yang terdapat dalam BBJP. Kandungan BBJP yang tinggi menyebabkan tingginya kandungan phorbolester dalam ransum. Kandungan phorbolester yang masih terdapat dalam ransum disebabkan tidak dilakukannya pencucian BBJP setelah fermentasi, karena fermentasi sendiri menghasilkan produk alkohol yang mampu menjadi toksik tersendiri didalam ransum. Hal ini sesuai dengan pernyataan Astawan (2008) yang menyatakan bahwa alkohol dapat meningkatkan resiko kanker pada beberapa bagian tubuh tertentu, termasuk mulut, kerongkongan, tenggorokan, laring, dan hati. Alkohol memicu terjadinya kanker melalui berbagai mekanisme. Salah satunya, alkohol mengaktifkan enzim-enzim tertentu yang mampu memproduksi senyawa penyebab kanker. Alkohol dapat pula merusak DNA, sehingga sel akan berlipat ganda (multiplying) secara tidak terkendali. Selain phorbolester dan curcin yang bekerja, alkohol yang dihasilkan dari fermentasi dapat mengganggu saluran reproduksi mencit itu sendiri. Penggunaan alkohol didalam fermentasi bertujuan untuk mengikat lemak yang terdapat dalam BBJP agar kandungan phorbolester yang terdapat didalamnya menurun. Selain curcin yang mengakibatkan sistem kekebalan tubuh terganggu karena adanya reaksi intolerance yakni ketidakmampuan sel untuk mendeaktifkan racun lectin. Pengikatan curcin pada sel menyebabkan reaksi antigen-antibody yang berakibat pada kekacauan sistem kekebalan tubuh (Hadi, 2007).
Kematian mencit baik jantan maupun betina ditandai dengan melemahnya tubuh (tidak terjadi aktivitas normal mencit), bobot badan menurun drastis, bulu menjadi kusam, mata menjadi sayu, konsumsi pakan menurun, diare, dan mulai terdapat darah disekitar lubang anus. Hal yang sama juga terjadi pada penelitian Wardoyo (2007), kematian mencit dapat ditandai dengan terjadinya iritasi pada lambung dan usus yang menyebabkan sakit perut akut dan sensasi terbakar pada tenggorokan setengah jam setelah pemberian BBJP yang diikuti diare dan mual. Menurut Fajariah (2007), kematian mencit yang diberikan BBJP ditandai dengan menurunnya bobot badan, bulu menjadi kusam, anus bengkak dan berwarna merah, dan feses cair (diare). Tanda-tanda perubahan patologi yang paling dikenal setelah mengkonsumsi BBJP adalah pengikisan mukosa usus, penyumbatan dan pendarahan di usus, jantung dan pembuluh darah (Adam, 1974). Perlakuan yang diberi BBJP 5% dalam ransum setelah difermentasi dengan kapang R. oryzae (R3) mengakibatkan kematian mencit betina lebih awal dibandingkan dengan mencit jantan. Kematian mencit betina terjadi pada minggu ketiga setelah perlakuan namun ada yang mampu bertahan hidup sampai dengan minggu ketujuh dan akhirnya demikian kematian mencit betina sebesar 100%, sedangkan kematian mencit jantan sebesar 50%. Kematian mencit yang terjadi pada penelitian ini diakibatkan tingginya kadar penggunaan BBJP dalam ransum atau jauh lebih tinggi daripada batas toleransi penggunaan BBJP yang direkomendasikan oleh Aregheore et al. (2003) yaitu 0,0208 g/ekor/hari pada mencit, sehingga terjadi keracunan dan menyebabkan kematian yang lebih cepat. Pemberian BBJP yang aman dikonsumsi oleh mencit jantan maupun betina dalam penelitian ini hanya 2,5% dengan cara substitusi pada ransum pedaging komersial. Hasil ini lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Wardoyo (2007), dimana BBJP mampu dikonsumsi sampai dengan taraf 5% dan 10% BBJP yang diberikan kepada mencit tanpa fermentasi dengan kematian 50%, sedangkan dalam penelitian Istichomah (2007), pemberian 3% BBJP yang difermentasi dengan R.oligosporus menyebabkan kematian ayam (satu ekor) pada umur 26 hari, sedangkan pemberian 6% BBJP yang terfermentasi menyebabkan kematian pada umur 13 hari. Penggunaan 9% BBJP terfermentasi dalam ransum menyebabkan
kematian paling cepat dibandingkan perlakuan lain. Adam (1974) menyatakan bahwa biji J. curcas diketahui beracun bila diberikan kepada mencit dan tikus. Pemberian 5% BBJP fermentasi dalam ransum (R3) pada mencit jantan mengakibatkan mortalitas 50%, hasil ini lebih baik dibandingkan dengan penelitian Mahajati (2008), dengan perlakuan yang sama pada mencit dewasa kelamin dengan mortalitasnya adalah 80%. Akan tetapi hasil ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian Hadriyanah (2008), yang memberikan perlakuan ransum dengan 5% BBJP detoksifikasi dengan menggunakan metanol menghasilkan mortalitas sebesar 20% untuk mencit betina dan tidak ada kematian untuk jantan, sedangkan dengan 5% BBJP detoksifikasi dengan menggunakan NaOH 4% mencit tidak mengalami kematian hingga akhir penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aregheore et al. (2003), bahwa pengolahan dengan metanol maupun etanol 92% yang diikuti dengan pemanasan dapat menurunkan phorbolester ke taraf yang dapat ditoleransi ternak. Percobaan yang dilakukan pada tikus terbukti tidak menunjukkan adanya gangguan pertumbuhan. Pengolahan kimia dengan NaOH 4% tanpa NaOCl diikuti dengan pemanasan dapat menurunkan kadar phorbolester varietas toksik. Penampilan Reproduksi Mencit Penampilan reproduksi mencit yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi pertambahan bobot badan induk, mortalitas induk mencit, litter size lahir, bobot lahir, litter size sapih, dan bobot sapih selama penelitian. Data yang didapat selama penelitian dibahas secara deskriptif, hal ini karena pemberian BBJP fermentasi menyebabkan kematian yang tinggi, bahkan ada yang mencapai 100% yaitu R3 dan R4 serta R5 baik jantan maupun betina. Litter Size Lahir Mencit Litter size lahir adalah jumlah total anak yang hidup dan mati pada waktu dilahirkan, dan rataan liter size lahir selama penelitian adalah 7,25±3,77 ekor dengan kisaran antara 2-11 ekor dari empat induk yang beranak (Tabel 9). Hasil kisaran ini lebih luas daripada rataan litter size lahir menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), yaitu 5-6 ekor. Contoh anak mencit yang dilahirkan dalam penelitian ini diperlihatkan pada Gambar 10.
Gambar 10. Anak Mencit Rataan litter size pada mencit yang diberi BBJP yang tidak difermentasi (R1) dan 2,5% BBJP fermentasi (R2) masing-masing adalah sebesar 7,25±3,77 ekor dari empat ekor induk yang beranak dan 2,00±0,00 ekor dari satu ekor induk yang beranak (Tabel 9). Hasil litter size lahir pada ransum perlakuan R1 lebih rendah dibandingkan hasil litter size dari enam induk yang melahirkan pada penelitian Wardoyo (2007) dengan perlakuan yang sama yaitu 7,58±3,00 ekor. Rataan litter size lahir mencit selama penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Rataan Litter Size Lahir pada R1 dan R2 Selama Penelitian Perlakuan R1(0% BBJP) R2(2,5%BBJP) Rataan
Jumlah Induk Beranak (ekor) 4 1
Liiter Size Lahir Ekor KK (%) 7,25±3,77 52,07 2,00±0,00 0 4,63±1,89 26,04
Keterangan: R1= Ransum kontrol atau tanpa BBJP, R2= 97,5 % R1 + 2,5 % BBJP difermentasi R.oryzae
Litter size lahir dari induk dengan ransum 2,5% BBJP fermentasi (R2) memiliki keragaman sebesar 0% karena hanya satu ekor induk yang beranak. Hal ini dapat disebabkan respon induk terhadap ransum yang diberikan 2,5% BBJP yang fermentasi (R2) kurang disukai. Penggunaan BBJP yang difermentasi dengan kapang R.oryzae pada taraf 2,5, 5, 7,5, dan 10% dalam ransum dapat menyebabkan penurunan jumlah sel telur yang dihasilkan oleh mencit betina sehingga terjadi penurunan fertilitas induk. Apabila induk yang fertil bunting dan melahirkan anak namun jumlah anaknya hanya sedikit. Hal ini terbukti pada perlakuan R2 (2,5% BBJP fermentasi) dimana hanya satu ekor yang mampu beranak dengan menghasilkan litter size dua ekor saja. Menurut Dian (2007), litter size lahir yang rendah dapat disebabkan semakin rendahnya jumlah kolesterol yang berfungsi sebagai prekusor hormon-hormon reproduksi sehingga dapat menganggu proses pembentukan sperma pada jantan.
Terganggunya proses reproduksi diduga menurunkan jumlah sel telur dan sel sperma sehingga litter size lahir yang didapatkan menjadi lebih rendah. Menurut Toelihere (1979), banyaknya jumlah anak per kelahiran dipengaruhi oleh bangsa ternak, umur ternak, musim kawin, makanan, silang dalam dan kondisi lingkungan. Umur yang terlalu tua atau muda menyebabkan penurunan jumlah anak per kelahiran karena berkaitan dengan kesiapan uterus menerima implantasi. Uterus pada mencit yang terlalu muda belum siap menerima implantasi dan menyebabkan sedikit litter size yang didapat. Selain itu, serat kasar juga memiliki sifat menarik atau mengikat segala macam lemak yang ada di saluran pencernaan sehingga mengurangi jumlah lemak (termasuk kolesterol) yang diserap oleh usus dari ransum yang diberikan. Hal ini mengakibatkan kadar lemak (termasuk kolesterol) didalam tubuh berkurang dan mengganggu proses atau siklus reproduksi sehingga didapatkan litter size yang rendah. Penambahan ampas kunyit (Curcuma domestica) dalam ransum mencit misalnya dapat menurunkan kolesterol baik pada jantan maupun betina. Terganggunya proses reproduksi tersebut diduga menurunkan jumlah sel telur dan sel sperma sehingga litter size yang didapatkan menjadi lebih rendah (Dian, 2007). Litter size lahir yang dihasilkan dari induk mencit dengan perlakuan R2 ulangan ketiga adalah dua ekor anak. Selama periode kebuntingan hingga beranak dalam kondisi sehat, namun setelah beranak kondisi induk dan anak yang dilahirkan mengalami sakit. Hal ini diduga disebabkan adanya racun curcin dan phorbolester yang secara tidak langsung dikonsumsi oleh anak mencit melalui air susu induk (ASI), yang menyebabkan keracunan, lalu mati dan anak yang dilahirkan tersebut hanya mampu bertahan pada hari pertama setelah lahir. Konsumsi ransum dari induk yang bunting hingga menyusui lebih tinggi daripada induk yang tidak bunting. Hal ini didukung oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1988), yang menyatakan bahwa mencit bunting atau menyusui memerlukan pakan yang lebih banyak. Tingginya konsumsi ransum dari induk menyusui karena diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi induk mencit dan menghasilkan energi. Semakin tinggi konsumsi ransum saat induk menyusui maka semakin tinggi pula jumlah BBJP terfementasi yang dikonsumsi sehingga BBJP tersebut terakumulasi dalam tubuh induk mencit pada saat tertentu, dengan jumlah
BBJP yang terakumulasi banyak dalam tubuh mencit yang bunting maka akan mengalami gejala-gejala keracunan seperti induk yang diberikan BBJP 2,5% (R2) pada penelitian ini dan akhirnya mati sehari pasca melahirkan. Selain adanya kandungan curcin dan phorbolester dalam BBJP, diduga tingginya kosentrasi alkohol akibat dari fermentasi, juga memacu kematian atau tingginya alkohol dalam BBJP dapat menyebabkan racun terhadap tubuh mencit itu sendiri. Hasil penelitian Wardoyo (2007) juga membuktikan bahwa pemberian 5% BBJP dalam ransum dapat mempengaruhi produksi ASI, karena adanya pengaruh curcin dan phorbolester dalam ransum yang diberikan dan ditambah adanya cekaman panas sintesa ASI oleh induk, sehingga berdampak pada kematian anak mencit yang cukup tinggi. Bungkil biji jarak pagar 10% menyebabkan kematian yang lebih tinggi saat 18 hari setelah beranak. Bobot Lahir Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ransum perlakuan kontrol (R1) dan 2,5% BBJP yang difermentasi R.oryzae dalam ransum (R2) mempunyai rataan bobot lahir masing-masing 2,45±1,70 dan 1,25±0,00 g/ekor dengan rataan umum 1,85±0,85 g/ekor (Tabel 10). Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan pendapat Malole dan Pramono (1989), yang menyatakan bahwa bobot lahir mencit berkisar antara 0,5-1,5 g/ekor. Bobot lahir yang dihasilkan dalam penelitian ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan pernyataan Smith dan Mangkoewidjojo (1988), yaitu 0,5-1,0 g/ekor. Rataan bobot lahir yang diperoleh dari induk mencit yang diberi ransum perlakuan yang sama yaitu ransum kontrol (R1) adalah 2,45 g/ekor, hasil ini lebih tinggi dibandingkan hasil bobot lahir penelitian Wardoyo (2007) yaitu 1,42±0,12 g/ekor. Tabel 10 menunjukkan bahwa bobot lahir dari induk yang mendapat ransum 2,5% BBJP yang difermentasi R.oryzae (R2) memiliki koefisien keragaman 0%. Hal ini memperlihatkan pada perlakuan R2, induk mencit yang mampu melahirkan hanya satu ekor dengan dua ekor anak lahir dari enam ulangan yang ada. Bobot lahir yang dihasilkan induk mencit pada perlakuan R2 sangat kecil yaitu 1,25 g/ekor dibandingkan kontrol (R1). Tingginya bobot lahir mencit pada perlakuan kontrol (R1) disebabkan perlakuan R1 ulangan kelima menghasilkan bobot lahir 5 g/ekor dengan litter size sapih dua ekor ( Lampiran 2).
Tabel 10. Rataan Bobot Lahir pada R1 dan R2 Selama Penelitian Perlakuan R1(0% BBJP) R2(2,5%BBJP) Rataan
Jumlah Induk Beranak (ekor) 4 1
Bobot Lahir g/ekor KK (%) 2,45±1,70 40,00 1,25±0,00 0 1,85±0,85 20,00
Keterangan : KK= Koefisien keragaman (%)
Jumlah induk mencit yang beranak pada perlakuan R2 hanya seekor saja diduga disebabkan oleh adanya zat racun curcin, phorbolester dan adanya alkohol hasil dari fermentasi BBJP. Konsumsi ransum yang tinggi oleh mencit mengakibatkan gangguan reproduksi mencit itu sendiri yang mengakibatkan kerusakan organ-organ pada induk. Meskipun bobot lahir pada perlakuan R2 lebih kecil dibandingkan kontrol, tetapi hasil tersebut masih sesuai dengan pernyataan Malole dan Pramono (1989), yang menyatakan bahwa bobot lahir mencit berkisar antara 0,5-1,5 g/ekor, hal ini disebabkan oleh tingkat konsumsi ransum pada induk tersebut masih tinggi yaitu 4,45±0,51 g/ekor/hari. Konsumsi ransum yang tinggi disebabkan adanya kebutuhan induk dan fetus yang harus terpenuhi, karena masa kebuntingan merupakan masa dimana induk membutuhkan tambahan energi untuk memelihara fetus dan persiapan laktasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kon dan Cowie (1961), bahwa bobot litter secara keseluruhan akan meningkat seiring dengan meningkatnya litter size, akan tetapi rataan bobot lahir tiap anak menjadi lebih rendah. Bobot lahir anak mencit dipengaruhi oleh pertumbuhan foetus selama dalam kandungan induknya. Pertumbuhan selama didalam kandungan induk dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya mutu genetik ternak, umur serta bobot badan induk yang melahirkan, pakan induk dan suhu lingkungan selama kebuntingan yang kurang baik dapat menyebabkan bobot lahir rendah dan anak yang dilahirkan menjadi lemah (Toelihere, 1979). Rataan bobot lahir yang rendah pada penelitian ini dipengaruhi oleh litter size yang banyak. Arrington (1972), menyatakan bahwa semakin banyak jumlah anak mencit lahir maka bobot lahir anak cenderung semakin ringan.
Litter Size Sapih Litter size sapih adalah jumlah anak yang hidup hingga umur disapih yang sangat dipengaruhi oleh umur induk, konsumsi pakan, kondisi induk, sistem perkawinan dan kualitas pejantan (Quijandria et al., 1983). Litter size sapih yang diperoleh dalam penelitian ini berkisar antara 2-8 ekor dengan umur penyapihan 21 hari. Rataan litter size sapih yang dihasilkan selama penelitian 1,23±0,85 ekor dan semuanya terjadi pada ransum perlakuan kontrol (R1) sementara dari induk dengan ransum perlakuan lainnya tidak ada anaknya yang hidup saat penyapihan. Dengan perkataan lain dari satu ekor induk yang mendapat ransum R2 dengan anak lahir dua ekor semua mati sebelum mencapi umur sapih. Tidak adanya anak sapihan yang dihasilkan pada perlakuan R2 disebabkan anak mencit yang bertahan hidup sangat rendah, bahkan anak mencit mengalami kematian satu hari setelah lahir. Tabel 11. Litter Size Sapih pada R1 dan R2 Selama Penelitian Perlakuan R1(0% BBJP) R2(2,5%BBJP) Rataan
Jumlah Induk Beranak (ekor) 4 1
Liiter Size Sapih (Ekor) KK (%) 2,45±1,70 69,93 0 0 1,23±0,85 34,67
Keterangan : KK= Koefisien keragaman
Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan Wardoyo (2007) yang menyatakan bahwa dengan pemberian 0% BBJP dan 5% BBJP mempunyai litter size sapih masing-masing 7,60±2,29 dan 1,0±0,0 ekor. Rendahnya litter size sapih yang dihasilkan pada perlakuan R1 diakibatkan adanya sifat kanibalisme sebelum masa penyapihan. Pada perlakuan R1 ulangan keempat dimana kematian terjadi sebanyak 11 ekor akibat terjadinya kanibalisme. Sifat kanibalisme yang terjadi disebabkan induk mengalami stress setelah beranak. Sifat kanibalisme muncul dapat dimungkinkan karena adanya defisiensi nutrisi, faktor genetik, dan adanya stres (Harianto, 2006). Pada perlakuan R2 terjadi kematian pasca kelahiran yang disebabkan bobot badan yang terlalu kecil dibandingkan dengan kontrol. Hal ini disebabkan adanya kandungan curcin, phorbolester dan alkohol yang ada didalam air susu induk. Kandungan curcin dan phorbolester yang masih terdapat didalam BBJP nampaknya belum dapat dihilangkan dengan fermentasi R.oryzae. Hal ini disebabkan hasil akhir
dari fermentasi berupa alkohol diharapkan dapat menurunkan kandungan phorbolester yang terdapat didalam lemak, akan tetapi
ternyata tidak mampu
dihilangkan, oleh karena pencucian setelah fermentasi tidak dilakukan sehingga alkohol dan phorbolester yang terdapat dalam BBJP juga dapat menjadi racun. Bobot Sapih Bobot sapih adalah bobot badan mencit saat dipisahkan dari induknya untuk disapih. Tabel 12 menunjukkan bahwa rataan bobot sapih mencit yang dihasilkan selama penelitian adalah 8,00±6,93 g/ekor yang seluruhnya diperoleh dari perlakuan kontrol (R1) saja, karena perlakuan R2 yang menerima substitusi BBJP fermentasi (2,5%) tidak ada induk yang sampai menyapih. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Wardoyo (2007) dengan perlakuan yang sama R1 (kontrol) yaitu 7,92±0,66 g/ekor. Tabel 12. Bobot Sapih pada R1 dan R2 Selama Penelitian Perlakuan
Jumlah Induk Beranak (ekor)
R1(0% BBJP) R2(2,5%BBJP) Rataan
4 1
Bobot Sapih g/ekor KK (%) 8,00±6,93 86,66 8,00±6,93 86,66
Keterangan : KK= Koefisien keragaman (%)
Tingginya bobot sapih anak dari induk perlakuan R2 (5% BBJP fermentasi) menunjukkan bahwa pemberian 5% BBJP fermentasi tidak mempengaruhi atau menganggu hormon estrogen yang mampu merangsang pertumbuhan saluran-saluran susu dalam kelenjar susu dan alveoli kelenjar susu serta hormon prolaktin yang dapat meningkatkan sekresi air susu. Rendahnya litter size lahir pada induk mencit mempengaruhi bobot sapih anak mencit yang dihasilkan, karena semakin rendah litter size lahir maka semakin cepat pula anak mencit mencapi bobot maksimal. Bobot sapih yang tinggi menunjukkan bahwa induk mampu menyediakan air susu yang dapat mencukupi atau bahkan melebihi air susu induk anak mencit (Wardoyo, 2007). Bobot sapih erat kaitannya dengan jumlah anak sapih dimana jumlah anak sapih yang rendah (R1) ulangan kelima sejumlah dua ekor menghasilkan bobot sapih yang tinggi yaitu 16 g/ekor atau lebih tinggi dibandingkan dengan R1 ulangan ketiga
yang menghasilkan bobot sapih adalah 3,75 g/ekor. Semakin banyak jumlah anak yang disusui maka jumlah air susu yang didapatkan setiap individu anak mencit akan menjadi lebih sedikit sehingga pertambahan bobot badan anak menjadi rendah dan akhirnya dapat menurunkan bobot sapih mencit. Sebaliknya, semakin sedikit jumlah anak yang disusui maka kemungkinan anak yang dihasilkan lebih berat karena kebutuhan anak mencit dapat terpenuhi dengan baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hafez dan Dyer (1969), faktor yang mempengaruhi bobot sapih antara lain jenis kelamin, bobot badan induk, umur induk, keadaan pada saat lahir, kemampuan induk untuk menyusui anak dan suhu lingkungan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pemberian BBJP yang difermentasi dengan kapang R. oryzae secara substitusi kedalam ransum komersial belum dapat memperbaiki peubah yang diamati, namun pemberian substitusi 2,5% BBJP yang difermentasi R.oryzae masih dapat ditolerir oleh mencit. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjut dengan menurunkan taraf penggunaan BBJP fermentasi dalam ransum untuk mengetahui penggunaan maksimal BBJP sebagai pakan ternak.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT dengan karunia dan rahmatnya
telah
melimpahkan
nikmat
tak
terhingga
dan
hanya
dengan
pertolongannya skripsi ini dapat terselesaikan. Terima kasih kepada Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing, mengarahkan dan membantu penyelesaian penyusunan proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi. Terima kasih juga Penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Asep Sudarman, MRur.Sc. sebagai pebimbing akademik selama Penulis menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Terima kasih kepada Ir. Lilis Khotijah, MSi. selaku dosen penguji seminar dan panitia seminar. Terima kasih kepada Dr. Ir. Dwierra Evvyerni, MS. MSc. dan Ir. Salundik, MSi. selaku dosen penguji sidang yang telah memberikan kritik, saran dan sumbangan pemikiran serta masukan dalam penulisan skripsi ini. Penulis ucapkan terima kasih kepada civitas akademika Fakultas Peternakan IPB. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya. Ucapan terima kasih kepada Ratna Mahajati teman seperjuangan dalam penelitian ini, Lili, Meri, Imel, Eva, Kang Ucup, Tresnia, Joko, Subhan, Akra, Tefi, Alfian, Sinta, Wayan dan Nutrisionist ’40-41 yang telah banyak memberikan arti kebersamaan yang tidak akan pernah dilupakan Penulis. ”Club Tangga” yang selalu ceria dan semangat. Kepada Bu Yani dan Pak Rahmat di Lab BFMN, Bu Dian dan Mas Iwan di Lab NTP, Kang Dadang di Lab TIP dan Mas Yosi di Lab Nutrisi Ikan (FPIK) yang telah membantu saat penelitian. Teman-teman di ”WISMA SAS” atas rasa kekeluargaan dan keceriaan saat penulisan skripsi hingga Penulis lulus. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ayahanda H. Sugiyo, Hj. Nuraini, Alm. Nadia Purwanti (kakak), Pandu Lesmana, A.Md. (kakak) dan keluarga Surabaya yang telah memberikan dan mencurahkan kasih sayang, motivasi, semangat dan doa yang tiada henti kepada penulis. Terima kasih juga kepada Bambang Kasiyanto, ST (suami) yang telah memberikan perhatian dan semangat yang besar serta telah bersedia memberikan waktu dalam suka maupun duka. Bogor,
Agustus 2008
Penulis
DAFTAR PUSTAKA Ahmed, O. M. M. and S. E. I. Adam. 1979. Effects of Jatropha curcas on calves. Vet. Pathol. 16 : 476-482. http://www.vetpathology.org/misc/terms. [17 Mei 2008] Adam, S. E. I. 1974. Toxic effect of Jatropha curcas in mice. Toxicology, 2 (1) : 6776. Adam, S. E. I. and M. Magzoub. 1975. Toxicity of Jatropha curcas for goats. Toxicology 4(3) : 388-389. Aderibigbe, A. O., C.O.L.E. Johnson, H.P.S Makkar, and K Becker, 1997. Chemical composition and effect of heat on organic matter and nitrogen degradbility and some anti-nutritional component of jatropha meal. Anim. Feed Sci 67 : 223-243. Alamsyah, A.N. 2006. Yang Beracun, Yang Berfaedah. Trubus. http://www.trubusonline.com. [5 April 2007]. Anantyo. 2006. Performans mencit (Mus musculus) lepas sapih dengan perbedaan taraf penggunaan zeolit dalam ransum. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Peternakan Bogor. Bogor. Anggorodi, R. 1984. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia, Jakarta. Ansori. 1989. Pengantar Teknologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas. Insitut Pertanian Bogor. Bogor. Aregheore, E. M., K. Becker and H. P. S. Makkar. 1998. Assesment of lectin activity in a toxic and a non-toxic variety of Jatropha curcas using latex aglgutination and haemagglutination methods and inactivation of lectin by heat treatment. J. Food Agriculture Science. Aregheore, E. M., K. Becker, and H. P. S. Makkar, 2003. Detoxification of a toxic variety of Jatropha curcas using heat and chemical treatments and preliminary nutritional evaluation with rats. South Pacific Journal of Natural Sciance 21: 50-56. Arrington, L. R. 1972. Introductory Science Laboratory Animal. The Breeding, Care and Management of Experimental Animal Science. The Interstate Printers and Publishing, Inc. New York. Asaoka, Y., S. Nakamura, K. Yoshida and Y. Nishizuka. 1992. Protein Kinase C, calcium and phospholipid degradation. Trends in Biochem. Sci., 17:414-417. Astawan, M. 2008. Manfaat dan Mudarat Brem. www.geocities.com/farm_forensik/ Narkoba-Alkohol/alkohol.doc. [26 Juli 2008]. Balitbang Jatim. 2006. Rekayasa Teknologi www.balitbangjatim.com. [20 Juli 2008].
Pemurnian
Alkohol.
Becker, K. and H. P. S. Makkar. 1998. Effect of phorbholester in carp (Cyprinus carpio L.). Veterinary Human Toxicology. 40 : 82-86.
Biotechcitylucknow. 2007. Jatropha curcas. http://www.biotechcitylucknow. [2 Desember 2007] Boeadi. 1979. Mengenal Beberapa Jenis Hama Tikus. Bagian Mammologi, Museum Zoologica Bogoriense. Lembaga Biologi Nasional, Bogor. Brodjonegoro, T. P., I. K. Reksowardjojo dan T. H Soerawidjaja. 2005. Jarak pagar, sang primadona. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1005/13/cakrawala/tama02.htm [2 Desember 2007] Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan : H. Purnomo dan Adiono. UI Press, Jakarta. Cousin, M. A. 1987. Molds Importance in Food. Purdue University dalam Ansori Rahman, (1990) Kapang dan Produk Kapang dalam Industri. Laboratorium Mikrobiologi Pangan. PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Darmono. 2008. Toksisitas Alkohol. http://www.geocities.com/farm_forensik/Narkoba-Alkohol/alkohol.doc. [ 19 Juli 2008] Day, J. R., P. S. Lapolt, T. H. Morales, and J. K. H. Lu. 1989. An abnormal pattern of embrionic development during early pregnancy in aging Rats. Biology Reproduction. 41: 933-939. Dian, A. C. 2007. Penambahan Ampas Kunyit (Curcuma domestica) dalam Ransum terhadap Sifat Reproduksi Mencit Putih (Mus musculus). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Peternakan Bogor. Bogor. Duke, J. A. and A. A. Atchley. 1983. Proximate Analysis. In : Chriestie, B. R (Editor). The Handbook of Plant Science in Agriculture. CRC Press, Inc., Boca Raton, FL. Eisen, E. J. 1975. Influence of presence on sexual maturation, growth and feed eficiency of female mice. J. Anim. Sci. 40: 816-825. Eisen, E.J. and B. S. Durrant. 1980. Effect of maternal enviroment and selection for litter size on body weight biomass and feed efficiency in mice. J. Anim. Sci. 50 (40): 667-679. Evans, F. J. 1986. Naturally occurring phorbol esters. Boca Raton, FL: CRC Press. Francis, G., H. P. S. Makkar, and K. Becker. 2006. Product from little researched plants as aquaculture feed ingredients. http://www.fao.org/DOCREP/article/ AGRIPPA/551_EN.HTM. [26 september 2007] Fajariah, N. 2007. Uji biologis bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) terdetoksifikasi menggunakan mencit (Mus musculus) sebagai hewan percobaan. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Gandhi, V. M., K.M. Cherian dan M. J. Mulky. 1995. toxicological studies on Ratanjyot oil. Food and Chemical Toxicology 33(1) ; 39-42.
Geocities. 2008. Toksisitas alkohol. www.geocities.com/farm_forensik/NarkobaAlkohol/alkohol.doc. [ 20 Juli 2008]. Guibitz, G. M., M. Mittelbach and M. Trabi. 1999. Exploitation of The Tropical Oil Seed Plant Jatropha curcas L. Bioresource Tech. Hafez, E. S. E. and L. A. Dyer. 1969. Animal growth and nutrition. Lea and Febiger. Philadelphia. Hadi, S. N. 2008. Risin, bioteroris yang juga bisa bersahabat. www.chem-istry.org/sect=artikel&ext=74 [25 Mei 2008]. Hadriyanah. 2008. Pemanfaatan bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang telah didetoksifikasi terhadap konsumsi dan efisiensi penggunaan ransum mencit (Mus musculus). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hidayah, L. N. 2007. Pengaruh pemberian bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas Linn) dalam ransum terhadap performa ayam broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hermawan, A. 2007. Penampilan reproduksi mencit putih (Mus musculus) pada litter size kedua dengan penambahan zeolit dalam ransum. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Inga, K., J. Siemsa, R.A. Ibarrac, W.G. Berendsohnd. U. Bienzlee dan E. Eicha. 2002. In vitro antiplasmodial investigation of medical plant from El Savador.www. Znaturforsch.com/57c/s57c0277.pdf. [9 Juli 2007]. Istichomah, N. 2007. Pengaruh pemberian bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) terfementasi dalam ransum terhadap berat karkas, organ dalam serta histopatologi hati dan ginjal ayam broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jaenudin. 2002. Respon reproduksi dan pertumbuhan mencit (Mus musculus) dengan penambahan stimulan monogastrik. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kingsbury, J. M. 1964. Poisonous Plant of the United State and Canada. Kon, S. K., and A.T. Cowie.1961. The Mammary Gland and Its Secretion. Vol. I. Academic Press, New York. Lusiana, E.A. 2008. Efektivitas penggunaan bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) terdetoksifikasi dalam ransum dan adanya fase recovery terhadap performa ayam broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mahajati, R. 2008. Efektivitas bungkil biji jarak (Jatropha curcas L.) yang difermentasi berbagai jenis kapang sebagai pakan mencit (Mus Musculus). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Makkar, H. P. S., K. Becker, F. Sporer, and M. Wink. 1997. Studies on nutritive potential and toxic constituent of different provenances of Jatropha curcas. Journal of Agriculture and Food Chemistry 45, 3152-3157.
Makkar, H. P. S. and K. Becker. 1997a. Jatropha curcas Toxicity: Identification of Toxic Principle(s). Dalam : T. Garland dan A. C. Barr (Editor). Toxic Plant and Other Natural Toxicant. Proceedings 5th International Symposium on Poisonous Plants, San Angelo, Texas, USA, CAB International, New York, pp 554-558, 19-23 Mei 1997. Makkar, H. P. S. and K. Becker. 1997b. Potential of J. Curcas Seed Meal as a Protein Supplement to Livestock Feed, Constraints to its utilitizion and Possible Strategies to Overcome Constraints. Proceedings of Jatropha 97; International Symposium on Biofuel and Industrial Products from Jatropha curcas and Other Tropical Oil Seed Plants. Managua, Nicaragua, Mexico, 2327 Februari 1997. Makkar, H. P. S., A. O. Aderibigbe, and K. Becker. 1998. Comparative Evaluation of Non-toxic and Toxic Varieties of Jatropha curcas for Chemical Compotition, Digestibility and Toxic Factors. Food Chemistry 62(2) : 207-215. Makkar, H. P. S., and K. Becker. 2004. Nutritional Studies On Rats and Fish (Carp cyprinus carpio) Fed Diets Containing Unheated and Heated Jatropha curcas Meal of a Non- Toxic Provenance. Plant Foods For Human Nutrition 53: 183192. Malole, M.B. dan C.S. Pramono. 1989. Penggunaan Hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Tinggi. Pusat Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Martinez-Herrera, T., P. Siddhuraju, G. Francis, G. Davilla-Ortiz, and K. Becker, 2006. Chemical composition, toxic/antimetabolic constituents, and effects of different treatments on their levels, in four provenances of Jatropha curcas L. From Mexico. Food Chemistry 96 : 80-89. McDonald, D. P., R. A. Edwards, J. F. Greendhalgh, and C. A. Morgan. 1995. Animal Nutrition. 5th.Edit. Longman Scientific and Technical Copublished with John Wiley and Sons, Inc., New york. Muchtadi, 1989. Teknik evaluasi nilai, gizi dan protein. Tesis. Program Studi Ilmu Pangan. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mujiasih, 1999. Performa ayam broiler yang diberi antibiotik zinc, probiotik Bacillus Sp dan level Cerenive dalam ransumnya. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nurbaeti. 2007. Efisiensi penggunaan protein dan energi metabolis ransum ayam broiler yang mengandung bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas) yang diolah secara fisika, kimia dan biologis. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nurhikmawati, I. 2007. Pengaruh perlakuan fisika, kimia, biologi terhadap komposisi kimia dan kandungan racun curcin Bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.). Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nutrient Requirements of Council. 1995. Nutrient Requirement of Laboratory. National Academic Press, Wangshinton DC.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Ruminan. UI Press. Jakarta. Pathak, N. 1997. Text Book of Feed Processing Technology. Vikus Publishing House Ltd, NewDelhi. Pujianti, E. 2007. Pembuatan dan Karateristik Sifat Fisika Kimia Minyak Kelapa Hasil Proses Fermentasi dengan Rhizopus oryzae. http://adln.lib.unair.ac.id. [20 Juni 2007]. Quijandria, B., L. C. de Zaldivar dan O. W. Robinson. 1983. Selection in guinea pigs: Estimation of genetics parameters for litter size and body weight. J. Anim. Sci. RNI. 2007. Curcin. www. rni.co.id/detail-Jatropha. [ 29 Desember 2007]. Rose, S. P. 1997. Principle of Poultry Science. CAB International, New York. Rug, M., F. Sporer, M. Wink, S. Y. Liu, R. Henning and A. Ruppel. 2006. Molluscisidal properties of Jatropha curcas againts vector snails of the human parastites Schitosoma mansoni and S. Japonicum. http://jatropha.org/rug1-nic.htm. [27 November 2007]. Steel, R.G. D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan Bambang Soemantri. Cetakan Kedua. PT Gramedia Pustaka, Jakarta. Smith, B.J. and S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Storer, T.I, R.L. Usinger, R.C. Stebbin and J.W. Nybaken. 1979. General Zoology. 6th edition, McGraw, Hill Book Company, New York. Suhartono, M. 1989. Enzim dan Bioteknologi. PAU Bioteknologi IPB , Bogor. Tjakradidjaja, A. S., Suryahadi dan Adriani. 2007. Fermentasi bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L) dengan berbagai kapang sebagai upaya penurunan kadar serat kasar dan zat antinutrisi. Proceeding Konferensi Jarak Pagar Menuju Bisnis Jarak Pagar yang Fleksibel, Selasa, 19 Juni 2007. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tjokroadikoesoemo, P. S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Gramedia, Jakarta. Toelihere, M. R. 1979. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung. UniProt. 2007. Phorbol-ester binding. http://expasy.org/cgi-bin/getentries?KWphorbol-ester%20binding. [23 januari 2008]. Wang, D. I. C., C. L. Cooney, A. L Demain, P. Dunhill, A. E. Humprey and M. D. Lilly. 1978. Fermentation and Enzyme Technology. John Wiley and Sons Inc, New York. Wardoyo, W., 2007. Pengaruh taraf pemberian bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) dalam ransum terhadap penampilan reproduksi mencit (Mus muculus). Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Warwick, E.J., J. M. Astuti dan W. Hardjosubroto. 1983. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wikipedia. 2006. Lectin. The free encyclopedia. http://en.wikipedia.org/wiki/lectin. 7 Juli 2007. Wikipedia. 2007. Phorbol. The free http://en.wikipedia.org/wiki/Phorbol. [29 Desember 2007].
encyclopedia.
Winarno. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wink, M. 1993. Forschung bericht zum project “Nutzung pflanzlicher Ole als Krafstofe” Consultan’s prepared for GTZ, Germany. Yuniah, Y. 1996. Pengaruh fermentasi biji shorgum coklat dengan Aspergillus niger, Aspergillus oryzae dan Rhizopus oryzae terhadap perubahan komposisi zatzat makanan. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Pertambahan Bobot Badan Mencit Menurut Perlakuan Perlakuan
Ulangan
R1
1 2 3 4 5 6 rataan deviasi KK(%)
Perlakuan
Ulangan
R2
1 2 3 4 5 6 rataan deviasi KK(%)
Perlakuan
Ulangan
R3
1 2 3 4 5 6 rataan deviasi KK(%)
Betina PBB 0,30 0,38 0,27 0,38 0,33 0,39 0,34 0,05 14,19 Betina PBB 0,19 0,02 0,37 0,09 0,31 0,16 0,19 0,13 69,77 Betina PBB 0,05 0,24 -0,04 -0,06 -0,04 0,55 0,12 0,24 201,27
Ulangan 1 2 3 4 5 6
Ulangan 1 2 3 4 5 6
Ulangan 1 2 3 4 5 6
Jantan PBB 0,59 0,34 0,32 0,40 0,41 0,45 0,42 0,10 23,07 Jantan PBB 0,32 0,28 0,30 0,34 0,39 0,32 0,33 0,04 12,01 Jantan PBB 0,26 0,38 -0,56 -0,71 -0,21 0,36 -0,08 0,48 -586,17
Perlakuan
Ulangan
R4
1 2 3 4 5 6 Rataan Deviasi KK(%)
Perlakuan
Ulangan
R5
1 2 3 4 5 6 rataan deviasi KK(%)
Betina PBB 1,47 1,21 0,04 0,24 -0,20 0,07 0,47 0,69 146,36 Betina PBB -0,06 -0,22 -0,05 -0,27 -1,29 -0,13 -0,34 0,48 -141,07
Ulangan 1 2 3 4 5 6
Ulangan 1 2 3 4 5 6
Jantan PBB -0,03 0,12 0,07 -0,02 -0,15 -0,86 -0,15 0,36 -247,34 Jantan PBB 1,50 -0,22 -0,02 0,50 1,00 0,25 0,50 0,65 129,34
Keterangan : R1= Ransum kontrol, R2= 97,5 % R1 + 2,5 % BBJP fermentasi R.oryzae, R3 = 95% R1 + 5% BBJP fermentasi R.oryzae, R4 = 92,5% R1 + 7,5% BBJP fermentasi R. oryzae, R5 = 90% R1 + 10% BBJP fermentasi R. oryzae
Lampiran 2. Data Litter Size Lahir dan Bobot Lahir Anak Mencit Selama Penelitian Perlakuan
Ulangan
R1
1 2 3 4 5 6 Rataan Deviasi 3 Rataan
R2
Waktu Lahir ( Hari Ke- ) 44 44 31 25 36 8,28 58 58
Litter Size Lahir (ekor) 8 11 2 8 7,25 3,77 2 2
Bobot Lahir (gram/Ekor) 1,63 1,55 5,00 1,63 2,45 1,70 1,25 1,25
Keterangan : R1= Ransum kontrol, R2= 97,5 % R1 + 2,5 % BBJP fermentasi R.oryzae
Lampiran 3. Data Litter Size Sapih dan Bobot Sapih Anak Mencit Perlakuan
Ulangan
R1
1 2 3 4 5 6 Rataan Deviasi 3 Rataan
R2
Litter Size Sapih (ekor) 8 2 8 6 3,46 -
Bobot Sapih (gram/Ekor) 3,75 16 4,2 8,00 6,93 -
Keterangan : R1= Ransum kontrol, R2= 97,5 % R1 + 2,5 % BBJP fermentasi R.oryzae
Lampiran 4. Hasil Analisa Proksimat Komposisi Nutrien Ransum KA (%) BK (%) BS Abu(%) BK BS LK(%) BK BS PK(%) BK BS SK(%) BK BS Ca(%) BK BS P(%) BK Energi BETN BO
(kal/g) (kal/g BK) BS BK BS BK
R1 8,02 91,98 5,7 6,2 7,72 8,39 22,56 24,53 2,15 2,34 0,04 0,50 0,09 1,12
Perlakuan R2 R3 R4 8,54 7,08 7,33 91,46 92,92 92,67 5,02 5,68 5,23 5,49 6,11 5,64 6,65 6,06 6,45 7,27 6,52 6,96 22,47 22,50 23,01 24,57 24,21 24,83 3,07 4,39 4,99 3,36 4,72 5,38 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,09 0,07 0,05 0,1 0,08 0,05
R5 8,37 91,63 5,19 5,66 6,97 7,61 22,86 24,95 4,7 5,13 0,04 0,04 0,07 0,08
4055 3649 3810 4003 3922 4408,57 3989,72 4100,30 4319,63 4280,26 53,85 54,25 54,29 52,99 51,91 58,55 59,32 58,43 57,18 56,65 94,3 94,98 94,32 94,77 94,81 102,52 103,85 101,51 102,27 103,47
Rataan Deviasi 92,13 5,36 5,82 6,77 7,35 22,68 24,62 3,86 4,19 0,05 0,14 0,07 0,29
0,64 0,31 0,31 0,63 0,71 0,24 0,29 1,21 1,29 0,01 0,20 0,02 0,47
3887,8 4219,7 53,46 58,02 94,636 102,72
162,38 170,64 1,01 1,08 0,308 0,943
Keterangan : BK = Bahan Kering, BS = Bahan Segar, KA = Kadar Air, LK = Lemak Kasar, PK= Protein Kasar, SK= Serat Kasar, BO = Bahan Organik
Lampiran 5. Rataan Konsumsi Ransum dan Zat Makanan Mencit Jantan dan Betina Selama Penelitian Ransum Perlakuan
Peubah
R1
R2
R3
R4
R5
BS (g/e/hr)
5,39±0,93
4.45±0,51
4,58±0,82
2,78±1,35
3,72±1,08
BK (g/e/hr)
4.95±0,88
4,07±0,47
4,26±0,76
2.58±1,25
3,41±0,99
BO (g/e/hr)
5,08±0,88
4,23±0,49
4,32±0,77
2,64±1,28
3,53±1,02
PK (g/e/hr)
1,22±0.21
1,00±0,11
1,03±0,18
0,64±0,31
0,85±0,25
Energi (kal/g/e/hr)
218,39±39,67 162,41±18,66 174,56±31,56 111,34±53,92 145,91±42,28
Rataan 4,18 ±0.98 3,85±0.90 3,96±0.92 0,95±0.22 162,52±39.25
Keterangan : R1= Ransum kontrol, R2= 97,5 % R1 + 2,5 % BBJP fermentasi R.oryzae, R3 = 95% R1 + 5% BBJP fermentasi R.oryzae, R4 = 92,5% R1 + 7,5% BBJP fermentasi R. oryzae, R5 = 90% R1 + 10% BBJP fermentasi R. oryzae. BS=Bahan Segar, BK= Bahan kering, BO= Bahan organik, PK= Protein kasar