DETOKSIFIKASI BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DAN EVALUASINYA SECARA IN VITRO DAN IN VIVO TERHADAP MENCIT (Mus musculus)
SKRIPSI
LELY RACHMA SEPTIANA
F34060799
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 1
DETOXIFICATION OF Jatropha curcas L. SEED CAKE WITH THE EVALUATION PROCESS OF IN VITRO AND IN VIVO AGAINST MICE (Mus musculus)
Dwi Setyaningsih and Lely Rachma Septiana Department of Agriculture Industrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT Jatropha curcas L. seed cake is a byproduct of the extraction process jatropha seeds to obtain oil from Jatropha (Jatropha oil). Production of jatropha oil from jatropha seeds, produces cake about 65-70% of the treated seeds. Jatropha curcas L. seed cake has very high proteins that are 56.4-63.8%. The very high protein content causes Jatropha curcas L. seed cake has the potential to be used as animal feed. However, some toxic compounds, especially phorbol ester can disrupt the digestive process and cause of death for cattle in a short time. This research aimed to obtain the best detoxification method and to determine the effects of its use in mice (Mus musculus). This research was initiated by proximate analysis on Jatropha curcas seed cake before detoxified. Detoxification consist of two methods of transesterification which includes of three treatment (transesterification followed by washing with water, transesterification followed by washing with hexane, and transesterification followed by washing with methanol) and solvent extraction includes four treatments (extraction of hexane- extraction of methanol-heating at temperature 60-80°C, extraction of hexane- extraction of methanol-autoclave at 121°C for 30 min, soaking NaOH- autoclave at 121°C for 30 min, and control autoclaved at 121°C for 30 min). Jatropha curcas seed cake which had been detoxified, then analyzed the content of phorbol ester and in vitro in rumen fluid. Jatropha curcas seed cake which contains the lowest phorbol ester then be tested in mice. Before detoxification, the phorbol ester of jatropha seed cake was about 795.78 mg / g meal. The results showed that detoxification could reduce the phorbol ester. Transesterification with methanol produced the lowest phorbol ester until 0.00 mg / g meal. Jatropha curcas seed cake result of transesterification with methanol washing was added to the diets of mice at levels of 0%, 5%, 10%, 15% and 10% containing 2.5% zeolite. The measured parameters was weight gain, mortality, food intake and digestibility, Protein Eficiency Ratio (PER) and Food Transformation Index (FTI). The results showed that the substitution of results of Jatropha curcas seed cake detoxification throughed the process of transesterification with methanol leaching into the diets of mice significantly affected the level of consumption of food substances. The best treatment was indicated by the ration with R3 treatment (15%).
Keywords : Jatropha curcas L., transesterification, phorbol ester
2
Lely Rachma Septiana. F34060799. Detoksifikasi Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dan Evaluasinya Secara in vitro dan in vivo terhadap Mencit (Mus musculus). Di bawah bimbingan Dwi Setyaningsih. 2011
RINGKASAN Bungkil biji jarak pagar (BBJP) merupakan byproduct (hasil samping) dari proses ekstraksi biji jarak pagar untuk memperoleh minyak jarak (jatropha oil). Produksi minyak jarak pagar dari biji jarak pagar menghasilkan bungkil biji jarak pagar sebesar 65-70% dari biji yang diolah. BBJP mengandung protein yang sangat tinggi yaitu berkisar 56.4-63.8%. Kandungan protein yang sangat tinggi ini membuat bungkil biji jarak pagar berpotensi dijadikan pakan ternak. Namun, beberapa senyawa toksik terutama phorbol ester dapat mengganggu proses pencernaan dan menyebabkan kematian pada ternak dalam waktu singkat. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode detoksifikasi terbaik dan untuk mengetahui efek penggunaannya pada mencit (Mus musculus). Penelitian ini diawali dengan melakukan analisis proksimat pada bungkil biji jarak pagar sebelum didetoksifikasi. Metode detoksifikasi yang dilakukan terdiri dari dua metode yaitu transesterifikasi yang terdiri dari tiga perlakukan (transesterifikasi dilanjutkan pencucian dengan air, transesterifikasi dilanjutkan pencucian dengan heksan, dan transesterifikasi dilanjutkan pencucian dengan metanol) dan ekstraksi dengan pelarut meliputi empat perlakuan (ekstraksi heksan- ekstraksi metanolpemanasan suhu 60-80°C, ekstraksi heksan- ekstraksi metanol-autoklaf suhu 121oC selama 30 menit, perendaman NaOH- autoklaf suhu 121oC selama 30 menit, dan kontrol diautoklaf). Bungkil biji jarak pagar yang telah didetoksifikasi kemudian dianalisis kandungan phorbol ester dan uji in vitro pada cairan rumen. BBJP yang memiliki kandungan phorbol ester terrendah kemudian dilakukan uji in vivo pada mencit. Kandungan phorbol ester dalam bungkil biji jarak pagar sebelum detoksifikasi sebesar 795.78 mg/g bungkil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha detoksifikasi dapat menurunkan kandungan phorbol ester. Transesterifikasi dengan pencucian metanol menghasilkan kandungan phorbol ester terrendah hingga mendekati 0.00 mg/g bungkil. BBJP hasil transesterifikasi dengan pencucian metanol ditambahkan ke dalam ransum mencit pada level 0%, 5%, 10%, 15% dan 10% yang mengandung zeolit 2.5%. Parameter yang diukur yaitu pertambahan bobot badan, angka mortalitas, konsumsi dan kecernaan bahan makanan, Protein Eficiency Ratio (PER) serta Food Transformation Index (FTI). Hasil penelitian in vivo menggunakan mencit (Mus musculus) menunjukkan bahwa substitusi BBJP hasil detoksifikasi melalui proses transesterifikasi dengan pencucian metanol ke dalam ransum mencit nyata mempengaruhi tingkat konsumsi zat makanan. Perlakuan terbaik ditunjukkan oleh ransum dengan perlakuan R3 (15%). Perlakuan ransum R3 dapat menyamai tingkat konsumsi dan kecernaan zat makanan pada R0 (ransum kontrol) namun belum dapat mengungguli atau menggantikan ransum R0.
i
DETOKSIFIKASI BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) SECARA IN VITRO DAN IN VIVO TERHADAP MENCIT (Mus musculus)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : LELY RACHMA SEPTIANA
F34060799
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
i
Judul Skripsi
:
Nama NIM
: :
Detoksifikasi Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) secara in vitro dan in vivo Terhadap Mencit (Mus musculus) Lely Rachma Septiana F34060799
Menyetujui, Pembimbing,
(Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si) NIP: 19700103 199412 2 001
Mengetahui : Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian
(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti ) NIP: 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus
:
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar – benarnya bahwa skripsi dengan judul Detoksifikasi Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dan Evaluasinya secara in vitro dan in vivo Terhadap Mencit (Mus musculus) adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam dafar pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, April 2011 Yang membuat pernyataan
Lely Rachma Septiana F 34060799
iii
© Hak cipta milik Lely Rachma Septiana, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
iv
BIODATA PENULIS Lely Rachma Septiana. Lahir di Brebes, 4 September 1988 sebagai putri kedua dari pasangan Suripno dan Siti Masitoh. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2000 di SDN Bantarkawung 03, kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Bantarkawung hingga tahun 2003. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2006 dari SMA Negeri 1 Bumiayu dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjalankan masa studinya di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan diantaranya menjadi asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) pada tahun 2008-2010 dan asisten mata kuliah Peralatan Industri pada tahun 2010. Penulis juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan Forum For Scientific Studies (FORCES), Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Alhurriyah, Ikatan Keluarga Muslim TPB (IKMT) dan Forum Mahasiswa Muslim Bumiayu (FORMMASIBUMI) wilayah bogor tahun 2006-2007. Pada tahun 2008-2010, penulis mengikuti organisasi kemahasiswaan Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (DPM FATETA) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat IPB. Dalam mengakhiri masa studinya, penulis aktif dalam kepengurusan KAMMI DAERAH BOGOR (KAMDA BOGOR) dan Forum Mahasiswa Muslim Bumiayu (FORMMASIBUMI) pusat. Pada tahun 2009 penulis melaksanakan kegiatan Praktek Lapang di PT. Liza Herbal International dengan judul ”Mempelajari Aspek Proses Produksi dan Pengawasan Mutu” di PT. Liza Herbal International, Bogor. Pada tahun 2010 penulis melaksanakan kegiatan penelitian dengan judul skripsi ”Detoksifikasi Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dan Evaluasinya Secara in vitro dan in vivo Terhadap Mencit (Mus musculus)”.
v
KATA PENGANTAR Alhamdulillah atas rahmat dan hidayah Allah SWT penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan baik. Penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dalam melaksanakan penelitian dan penulisan skripsi ini, Penulis dibantu oleh berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada segenap pihak yang membantu, khususnya kepada : 1. Ibu Dr. Ir. Dwi Setyaningsih , M.Si selaku dosen pembimbing akademik atas perhatian, kesabaran dan kebaikannya dalam memberikan bimbingan berupa arahan dan saran dalam penyusunan skripsi. 2. Ibu Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur.Sc yang sangat luar biasa dalam memberikan bimbingan kepada penulis. 3. Bapak, ibu, Mba Leni, Dek Ilham dan keponakanku tercinta, Azka dan Adwa’, yang senantiasa memberikan dukungan dan kasih sayang yang tidak ternilai harganya. 4. Drs. Purwoko, M.Si dan Dr. Ika Amalia Kartika, S.TP, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan pengarahan dan masukan yang sangat berarti untuk perbaikan skripsi ini. 5. Mb Wiwin serta staf dan karyawan SBRC yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan kebaikan lainnya kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di SBRC 6. Segenap warga Al Iffah dan rekan – rekan KAMMI yang telah memberikan semangat dan motivasinya. 7. Seluruh rekan-rekan TIN 43 atas dukungan dan kebersamaannya selama ini. 8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk perbaikan selanjutnya.
Bogor, April 2011
Penulis
vi
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... vi DAFTAR TABEL ..........................................................................................................................viii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................................... x I. PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1 1. 1. Latar Belakang ..................................................................................................................... 1 1.2. Tujuan Penelitian ................................................................................................................... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................... 3 2.1. Jarak Pagar ............................................................................................................................ 3 2.1.1. Kandungan antinutrisi dan toksik .................................................................................. 3 2.1.2. Detoksifikasi BBJP ........................................................................................................ 5 2.2. Teknik in vitro dan in vivo.................................................................................................... 7 III. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................................................. 9 3.1. Bahan dan Alat ...................................................................................................................... 9 3.2. Metode Penelitian .................................................................................................................. 9 3.3. Rancangan Percobaan dan Analisis Data ............................................................................ 14 3.3.1. Rancangan Percobaan .................................................................................................. 14 3.3.2. Analisis Data............................................................................................................... 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................................. 16 4.1. Analisis Proksimat ............................................................................................................... 16 4.2. Detoksifikasi dan Analisis Data .......................................................................................... 17 4.2.1. Analisis Proksimat Hasil Detoksifikasi ....................................................................... 17 4.2.2. Analisis Phorbol ester Setelah Detoksifikasi............................................................... 19 4.3. Analisis In vitro dengan Cairan Rumen............................................................................... 21 4.3.1. Konsentrasi NH3 .......................................................................................................... 21 4.3.2. Konsentrasi VFA ......................................................................................................... 23 4.3.3. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik ............................................................. 23 4.4. Analisis in vivo menggunakan mencit ................................................................................. 25 4.4.1. Konsumsi Bahan Segar (konsumsi ransum), Bahan Kering dan Zat Makanan ........... 26 4.4.2. Kecernaan Bahan Kering dan Zat Makanan ................................................................ 28 4.4.3. Pertambahan Bobot Badan (PBB) ............................................................................... 29 4.4.4. Protein Eficiency Ratio (PER) ..................................................................................... 31 4.4.5. Food Transformation Index (FTI) ............................................................................... 31 4.4.6. Mortalitas ..................................................................................................................... 31 V. SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................................... 33 5.1. Simpulan.............................................................................................................................. 33 5.2. Saran .................................................................................................................................... 33 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 34
vii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Komposisi Kimia Jarak Pagar ........................................................................................... 3 Tabel 2. Zat Toksik dan Antinutrisi Dalam Bungkil Kernel Jarak Pagar ........................................ 4 Tabel 3. Kandungan Kimia Contoh (%) Berdasarkan Bobot Basah ............................................. 16 Tabel 4. Hasil Proksimat Setelah Detoksifikasi ............................................................................ 17 Tabel 5. Hasil Analisis Phorbol Ester Bungkil Jarak Pagar Terdetoksifikasi ............................... 20 Tabel 6. Hasil Analisis NH3 Dan VFA pada Uji in vitro Pencernaan Fermentatif ....................... 22 Tabel 7. Hasil Analisis Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik ......................................... 24 Tabel 8. Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian ........................................................................... 25 Tabel 9. Rataan Konsumsi Bahan Segar, Bahan Kering dan Zat Makanan .................................. 27 Tabel 10. Persentase Kecernaan Bahan Kering dan Zat Makanan .................................................. 28 Tabel 11. Rataan Pertambahan Bobot Badan, PER dan TI ............................................................. 29 Tabel 12. Persentase Mortalitas Mencit selama Penelitian ............................................................. 32
viii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Struktur tetradecanoyl phorbol-13-acetate (TPA) ........................................................ 4 Gambar 2. Struktur senyawa phorbol ester dari minyak jarak pagar (Hass et al. 2002) ................. 6 Gambar 3. (a) maserasi BBJP dan (b) transesterifikasi BBJP. ..................................................... 11 Gambar 4. Kandang Penelitian Mencit ......................................................................................... 12 Gambar 5. Pemberian Ransum Terhadap Mencit .......................................................................... 12 Gambar 6. Bungkil Biji Jarak Pagar .............................................................................................. 16 Gambar 7. BBJP hasil detoksifikasi dengan maserasi (pelarut) .................................................... 19 Gambar 8. BBJP hasil detoksifikasi dengan transesterifikasi ....................................................... 19 Gambar 9. Mencit Penelitian ......................................................................................................... 26 Gambar 10. Pertambahan Bobot Badan (per minggu) .................................................................... 30 Gambar 11. Kromatogram phorbol ester BBJP perlakuan transesterifikasi dengan pencucian air (A) ............................................................................................................................... 49 Gambar 12. Kromatogram phorbol ester BBJP perlakuan transesterifikasi dengan pencucian heksan (B).................................................................................................................... 49 Gambar 13. Kromatogram phorbol ester BBJP perlakuan transesterifikasi dengan pencucian metanol (C) .................................................................................................................. 50 Gambar 14. Kromatogram phorbol ester BBJP perlakuan maserasi heksan-metanol (MA).......... 50 Gambar 15. Kromatogram phorbol ester bungkil jarak perlakuan maserasi heksan-metanol + autoklaf (MB) .............................................................................................................. 51 Gambar 16. Kromatogram phorbol ester BBJP perlakuan perendaman NaOH + autoklaf (MC) ... 51 Gambar 17. Kromatogram phorbol ester BBJP perlakuan autoklaf /Kontrol (MD) ....................... 52
ix
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Prosedur uji analisis proksimat ................................................................................. 39 Lampiran 2. Prosedur pembuatan ekstrak phorbol ester ............................................................... 41 Lampiran 3. Prosedur analisis uji in vitro ..................................................................................... 42 Lampiran 4. Analisis statistika uji keragaman ANOVA uji lanjut Duncan pada kadar air ........... 44 Lampiran 5. Analisis statistika uji keragaman ANOVA uji lanjut Duncan pada kadar lemak ...... 44 Lampiran 6. Analisis statistika uji keragaman ANOVA uji lanjut Duncan pada kadar serat ........ 45 Lampiran 7. Analisis statistika uji keragaman ANOVA uji lanjut Duncan pada kadar protein .... 46 Lampiran 8. Analisis statistika uji keragaman ANOVA terhadap kandungan phorbol ester ........ 48 Lampiran 9. Hasil Kromatogram HPLC ....................................................................................... 49 Lampiran 10. Hasil analisis statistik dengan ANOVA untuk NH3 .................................................. 53 Lampiran 11. Hasil analisis statistik dengan ANOVA untuk VFA ................................................. 53 Lampiran 12. Hasil analisis statistik dengan ANOVA untuk KCBK .............................................. 54 Lampiran 13. Hasil analisis statistik dengan ANOVA untuk KCBO .............................................. 55 Lampiran 14. Kadar proksimat standar pakan untuk beberapa hewan ternak ................................. 56 Lampiran 15. ANOVA Konsumsi Segar Ransum ........................................................................... 56 Lampiran 16. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Konsumsi Segar Ransum ......................................... 57 Lampiran 17. ANOVA Konsumsi Bahan Kering Ransum.............................................................. 57 Lampiran 18. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Konsumsi Bahan Kering Ransum ............................ 57 Lampiran 19. ANOVA Konsumsi Bahan Organik Ransum............................................................ 57 Lampiran 20. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Konsumsi Bahan Organik Ransum .......................... 58 Lampiran 21. ANOVA Konsumsi Protein Kasar Ransum .............................................................. 58 Lampiran 22. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Konsumsi Protein Kasar Ransum ............................ 58 Lampiran 23. ANOVA Konsumsi Energi Ransum ......................................................................... 58 Lampiran 24. ANOVA Kecernaan Protein Kasar (KCPK) ............................................................. 59 Lampiran 25. ANOVA Kecernaan Bahan Organik (KCBO) .......................................................... 59 Lampiran 26. ANOVA Kecernaan Bahan Bahan Kering (KCBK) ................................................. 59 Lampiran 27. Perbandingan Tingkat Konsumsi .............................................................................. 60 Lampiran 28. Perbandingan Tingkat Kecernaan ............................................................................. 60 Lampiran 29. Hasil analisis statistik dengan ANOVA terhadap pertambahan bobot badan (PBB).61 Lampiran 30. Hasil Uji Duncan pengaruh lama pengamatan (waktu) terhadap PBB ..................... 61 Lampiran 31. Hasil analisis statistik dengan ANOVA terhadap PER ............................................. 61 Lampiran 32. Hasil analisis statistik dengan ANOVA terhadap FTI. ............................................. 62
x
I. PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Jarak pagar merupakan tanaman yang tersebar luas di beberapa wilayah di Indonesia. Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan tumbuhan liar berbentuk perdu dengan tinggi 1-7 meter. Tanaman ini disebut juga dengan jarak pagar karena oleh penduduk/ petani ditanam sebagai tanaman pagar (Pambudi 2008). Jarak pagar (Jatropha curcas L.) atau juga disebut dengan physic nut merupakan tanaman yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat. Saat zaman penjajahan jepang minyak jarak pagar dipergunakan sebagai bahan pelumas dan bahan bakar pesawat terbang. Sebagian masyarakat mengenal jarak pagar sebagai penghasil biodiesel, obat tradisional, pelindung lingkungan (mencegah erosi, reklamasi lahan, meningkatkan kesuburan tanah), insektisida, pakan ternak dan sumber pupuk organik. Dewasa ini penggunaan jarak pagar lebih banyak dimanfaatkan sebagai sumber energi terbaharukan (biodiesel). Beberapa negara telah mengembangkan penanaman jarak pagar secara besar – besaran untuk menghasilkan minyak, diantaranya Brazil, Meksiko, Nikaragua, India, Thailand, Zimbabwe, Mali dan Nepal. Di Indonesia, promosi penanaman jarak pagar telah dimulai dari tahun 2005 yang dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak dunia yang sangat tinggi dan dikuranginya subsidi BBM oleh pemerintah. Pemerintah Indonesia merencanakan pengembangan 1,5 juta ha jarak pagar dan 1,5 juta ha kelapa sawit (dalam empat tahun dari 2007-2010) yang akan menghasilkan 10% biodiesel untuk substitusi minyak solar (Hasnam 2007). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan biji jarak pagar untuk pembuatan biodiesel sangat prospektif dan berdampak pada perolehan bungkil biji jarak pagar yang cukup banyak. Bagian dari tanaman jarak pagar yang menghasilkan minyak adalah bijinya. Biji jarak pagar yang terdiri dari inti biji dan cangkang memiliki kandungan minyak sebesar 25-35% sehingga masih menyisakan bagian limbah yaitu sludge dan bungkil sebesar 65-70%. Bungkil biji jarak pagar merupakan hasil samping proses pengepresan biji jarak pagar untuk mendapatkan minyak jarak. Limbah tersebut dapat diproses menjadi bahan bakar padat dan pakan ternak. Dari data tersebut, terlihat bahwa bungkil biji jarak pagar memiliki persentase yang tinggi. Seiring dengan penggunaan minyak jarak sebagai sumber bahan bakar diesel maka ketersediaan bungkil biji jarak pagar akan semakin meningkat jumlahnya. Keunggulan biji jarak pagar adalah kandungan proteinnya yang tinggi yaitu 58-64% yang lebih tinggi dibandingkan protein pada biji kedelai (Makkar et al. 1998). Namun, pemanfaatan sumber protein ini sebagai pakan ternak ini masih terkendala oleh adanya senyawa toksik (phorbol ester) dan senyawa antinutrisi (curcin) dalam bungkil jarak meskipun jumlahnya kecil namun berbahaya dan bahkan dapat menimbulkan kematian pada berbagai jenis binatang ternak. Menurut Alamsyah (2006), setelah melalui proses detoksifikasi dengan perlakuan pemanasan dan kimia, kandungan protein bungkil biji jarak pagar ternyata dapat melebihi kandungan protein pada kedelai sehingga menjadikannya potensial digunakan sebagai bahan makanan inkonvensional bagi hewan ternak. Bungkil biji jarak pagar (BBJP) merupakan sisa pengepresan biji jarak pagar. Jumlah bungkil biji jarak pagar yang dihasilkan cukup banyak yaitu mencapai 65-70% dari jumlah biji jarak yang diproses. Satu ton biji jarak pagar akan menghasilkan ± 650-700 kg bungkil biji jarak dengan kadar protein berkisar 23-24% (wb). Jika senyawa toksik dan antinutrisi dalam bungkil
1
jarak pagar dapat dihilangkan dengan cara detoksifikasi, maka potensi nutrisi dalam BBJP dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pemanfaatan bungkil biji jarak pagar sebagai bahan pakan alternatif sangat terbatas karena adanya kandungan zat antinutrisi serta racun berupa curcin dan phorbol ester yang dapat mengakibatkan kematian. Kajian penurunan kadar zat antinutrisi dan racun tersebut perlu dilakukan agar biji jarak pagar dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak tanpa mengakibatkan penurunan produksi. Upaya penurunan racun dalam bungkil biji jarak pagar telah dilakukan melalui penelitian – penelitian sebelumnya. Putra (2009) melaporkan detoksifikasi bungkil biji jarak pagar dengan pelarut organik dan gelombang mikro dapat menghasilkan respon terbaik. Kajian mengenai efek pemberian bungkil jarak pagar yang didetoksifikasi terhadap mencit telah dilakukan (Mahajati 2008; Hadriyanah 2008; Gultom 2008), hasilnya menunjukkan bahwa pemberian bungkil jarak pagar berpengaruh positif terhadap pertumbuhan mencit (Mus musculus). Namun, kajian terhadap metode detoksifikasi terbaik serta pengujian in vivo dan in vitro belum dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini diarahkan untuk mengetahui metode detoksifikasi terbaik.
1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode detoksifikasi bungkil biji jarak pagar yang terbaik dalam rangka memanfaatkan bungkil biji jarak pagar sebagai bahan pakan ternak, serta mengetahui efek penggunaannya terhadap mencit (Mus musculus).
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Jarak Pagar Tanaman jarak pagar termasuk famili Euphorbiaceae, satu famili dengan karet dan ubi kayu. Tanaman ini berupa tanaman perdu dengan tinggi 1-7 m, bercabang tidak teratur. Batangnya berkayu, silindris dan bila terluka mengeluarkan getah (Hambali et al. 2006) Menurut Hambali et al. (2006), klasifikasi tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut . Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Jatropha Spesies : Jatropha curcas Linn. Bungkil biji jarak (Jatropha curcas L.) merupakan produk sampingan yang dihasilkan pada proses ekstraksi biji jarak pagar untuk memproduksi minyak jarak (Hambali et al. 2006). Menurut Makkar dan Becker (1997), bungkil biji jarak pagar memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu sekitar 56.4-63.8% sehingga dapat digunakan sebagai suplemen protein untuk pakan ternak jika racun – racunnya telah dihilangkan. Tabel 1 menunjukkan komposisi kimia biji jarak berdasarkan bahan kering dibandingkan dengan bungkil kedelai. Tabel 1. Komposisi Kimia Jarak Pagar
Komponen Dry Matter (bahan Kering) Protein kasar (%) Lemak (%) Abu (%) NDF (%) ADF (%) ADL (%) Energi bruto (MJ/kg)
Daging biji 94.2-96.9 22.2-27.2 56.8-58.4 3.6-4.3 3.5-3.8 2.4-3.0
Kulit biji 89.8-90.4 4.3-4.5 0.5-1.4 2.8-6.1 83.9-89.4 74.6-78.3
Bungkil biji jarak 100 56.4-63.8 1.0-1.5 9.6-10.4 8.1-9.1 5.7-7.0
0.0-0.2 30.5-31.1
45.1-47.5 19.3-19.5
0.1-0.4 18.0-18.3
Bungkil kedelai 45.7-46.5 1.8 6.4 17.2 12.2 0.0 19.4
Keterangan : NDF = Neutral Detergent Fiber ADF = Acid Detergent Fiber ADL = Acide Detergent Lignin Sumber : Makkar et al. (1997)
2.1.1. Kandungan antinutrisi dan toksik Kandungan zat antinutrisi dan racun pada bungkil biji jarak pagar merupakan kendala utama pemanfaatan BBJP. Zat antinutrisi dan racun dalam BBJP terdiri atas saponin, protease inhibitor, asam fitat, curcin dan phorbol ester (Trabi et al. 1997). Tabel 2 menunjukkan kandungan zat toksik dan antinutrisi bungkil biji jarak pagar.
3
Tabel 2. Zat Toksik dan Antinutrisi Dalam Bungkil Kernel Jarak Pagar
Kandungan zat toksik/Antinutrisi Phorbol ester a (mg/g kernel) Total phenol (% setara tannic acid) Curcin (1 mg bungkil yang menyebabkan hemagutinasi/ml media coba) Tannin (% tannic acid equivalent) Antitripsin (mg antitripsin/g bungkil)-bk Asam fitat (% dalam bungkil)-bk Saponin (% disogenin ekuivalen) Keterangan :
Varietas Toksik Non toksik 2.79 ND 0.36 0.22 51-102 51-102 0.04 21.3 9.4 2.6
0.02 26.5 8.9 3.4
a
: sebagai phorbol-12-myristate 13-acetate ND : Not detected Sumber : Makkar dan Becker (2009)
Phorbol ester merupakan ester dari tigliane diterpen. Komponen penting dari kelompok senyawa ini adalah tiglian, suatu diterpen tetrasiklik yang memiliki gugus alkohol. Hidroksilasi senyawa ini dengan berbagai posisi dan jenis asam melalui ikatan ester menghasilkan sejumlah besar senyawa yang disebut phorbol ester (Goel et al. 2007). Terdapat dua kelompok phorbol yaitu α dan β yang dibedakan berdasarkan gugus OH pada cincin C. Yang termasuk β phorbol aktif yaitu TPA (4ß-12-O-tetradecanoylphorbol-13-acetate) dan PDBU (4ß-phorbol-12,13dibutyrate).
Gambar 1. Struktur tetradecanoyl phorbol-13-acetate (TPA)
Phorbol ester bersifat mengaktifkan protein kinase C (PKC) yaitu enzim kunci pada penghantaran sinyal dan proses pertumbuhan kebanyakan sel dan jaringan. Interaksi yang berlanjut antara phorbol ester dengan PKC menyebabkan respon mitogenik dan pembentukan tumor. Phorbol ester juga menyebabkan meningkatnya proliferasi sel, aktivasi platelet darah, mitogenesis limfosit, inflamasi, produksi prostaglandin dan degranulasi neutrofil (Aitken 1986).
4
Phorbol ester diidentifikasi sebagai zat toksik utama pada jarak pagar. Kernel biji jarak pagar mengandung phorbol ester dengan konsentrasi bervariasi mulai kurang dari 1 mg/g hingga lebih dari 7 mg/g. Rata-rata 70% dari total kandungan phorbol ester berada dalam fase minyak dan sisanya ditemukan pada ampas kernel hasil ekstraksi minyak (Makkar dan Becker 2009). Haas et al. (2002) telah melaporkan 6 jenis phorbol ester dalam minyak jarak pagar, yang memiliki rantai diterpen sama yaitu 12-deoxy-16-hydroxyphorbol (Gambar 2). Phorbol ester bisa diperoleh dengan ekstraksi menggunakan pelarut metanol (Rug et al. 2006), bersifat stabil terhadap pemanasan (Wink 1993; Martinez-Herrera et al. 2006), dan dapat bertahan pada pemanasan diatas 160oC selama 30 menit (Makkar dan Becker 1997). Curcin adalah phitotoxin atau toxalbumin yang memiliki molekul protein besar, komplek dan sangat beracun, menyerupai struktur dan fisiologis racun bakteri serta dapat bertindak sebagai pencahar. Curcin tidak tahan terhadap panas dan dapat menyebabkan iritasi pada mata dan tetap terdapat pada fraksi bungkil setelah pengambilan minyak (Heller, 1996). Curcin bukan merupakan racun utama pada jarak pagar, tetapi efek toksik akan meningkat jika bergabung dengan toksin lain seperti phorbol ester. Asam fitat diketahui dapat menurunkan absorbsi dari mineral khususnya Ca, Zn dan Fe. Dengan demikian penambahan enzim phytase ke dalam pakan yang mengandung bungkil kernel biji jarak perlu dipertimbangkan untuk mengurangi efek buruk dari asam fitat. Menurut Makkar dan Becker (1997) konsentrasi phorbol ester di dalam bungkil biji jarak pagar sekitar 1.81 mg/g bahan kering. Pada inti biji berupa daging (kernel) level phorbol ester sekitar 2.7 mg/g bahan kering dan terdapat 58% minyak di dalam inti biji. Dari nilai tersebut dapat dihitung bahwa sekitar 72% dari total phorbol ester dapat terekstrak dari minyak menggunakan pelarut petroleum eter dan sisanya sekitar 28% masih berada di dalam residu bungkil biji jarak pagar yang telah bebas minyak. Hal ini menunjukkan di dalam bungkil yang telah diekstrak masih mengandung senyawa phorbol ester. Penggunaan 40% dan 50% bungkil biji jarak pagar dalam pakan mencit menyebabkan mortalitas sebesar 87% dan 67% pada periode 3-16 hari, sedangkan pada tikus dengan level pemberian bungkil biji jarak pagar yang rendah sekitar 37% dalam pakan menyebabkan mortalitas sebesar 100% pada 2-3 hari (Makkar dan Becker 1997). Toksisitas pada minyak yang terkandung dalam biji jarak pagar menyebabkan karsinogenesis pada tikus (Goel et al. 2007).
2.1.2. Detoksifikasi BBJP Detoksifikasi diartikan sebagai penghilangan bahan beracun yang ada dalam bungkil biji jarak pagar (Priyanto 2007). Adanya kandungan antinutrisi dan racun dalam BBJP mendorong suatu upaya untuk mengurangi racun dalam BBJP dan untuk meningkatkan nilai nutrisi. Aregheore et al.(2003) menyatakan bahwa pemberian bungkil biji jarak pagar segar tanpa pengolahan tidak dapat diberikan pada ternak. Hal ini disebabkan oleh beberapa racun dan antinutrisi dalam bungkil biji jarak pagar sehingga diperlukan pengolahan terlebih dahulu. Berdasarkan penelitian Aregheore et al. (2003), kadar phorbol ester dapat diturunkan menjadi 0.09 mg/g melalui proses pemanasan dan pencucian dengan metanol 92% sebanyak empat kali. Metode ini menghasilkan kadar protein kasar pada bungkil jarak pagar menjadi 68%. Angka ini menunjukkan bahwa bungkil biji jarak pagar mempunyai kadar protein kasar lebih tinggi dibandingkan biji kedelai yang memiliki kadar protein kasar sebesar 45.7%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2007) juga melaporkan bahwa usaha detoksifikasi dan uji toksisitas BBJP kepada tikus putih yang dilakukannya mengakibatkan berkurangnya tingkat toksisitas.
5
Gambar 2.Struktur senyawa phorbol ester dari minyak jarak pagar (Hass et al. 2002)
Berbagai metode detoksifikasi telah diupayakan oleh beberapa peneliti, baik perlakuan biologi, kimia, fisika maupun kombinasi. Pengolahan dengan pemanasan dapat menurunkan aktivitas curcin dan tripsin inhibitor (Aderibigbe et al. 1997; Aregheore et al. 1998). Perlakuan pemanasan yang diikuti dengan pencucian sebanyak 4 kali dengan metanol 92% dapat menurunkan kadar curcin dan phorbol ester sampai taraf yang aman bagi ternak. Kandungan phorbol ester dapat diturunkan sampai level yang dapat ditoleransi yaitu 0.09 mg/g bungkil biji jarak pagar (Aregheore et al. 2003). Pengolahan secara kimia sebagai upaya detoksifikasi bungkil jarak pagar telah dilaporkan. Aregheore et al. (2003) melakukan pengolahan kimia dengan NaOH 4% dan NaOCl 10% yang diikuti dengan pemanasan. Tehnik tersebut dapat menurunkan kadar phorbol ester varietas toksik dari 1.78 mg/g bungkil menjadi 0.13 mg/g bungkil. Sedangkan pengolahan dengan NaOH 3.5% tanpa NaOCl dapat menurunkan phorbol ester menjadi 0.18 mg/g bungkil.
6
Perlakuan secara biologi dilakukan dengan fermentasi bungkil jarak dengan kapang. Penelitian Mahajati (2008) menunjukkan bahwa penggunaan kapang Rhizopus oligosporus lebih baik dalam menurunkan racun bugkil biji jarak pagar dibandingkan dengan kapang R.oryzae. Penambahan bungkil biji jarak pagar difermentasi oleh A.niger dapat meningkatkan nilai rataan kecernaan zat makanan dibanding penggunaan jenis kapang lainnya. Namun secara umum penambahan bungkil biji jarak terfermentasi ke dalam ransum komersial sebanyak 5% belum dapat meningkatkan konsumsi zat makanan, pertambahan bobot badan, efisiensi ransum dan menurunkan mortalitas mencit. Farhanuddin (2009) melakukan fermentasi bungkil biji jarak pagar dengan R.oligosporus dan mencoba memberikan bungkil jarak terfermentasi dalam ransum ayam boiler. Hasil penunjukkan bahwa penambahan bungkil jarak terfermentasi mulai dari 3-9% sangat nyata dalam menurunkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan bobot badan.
2.2. Teknik in vitro dan in vivo Teknik in vitro dan in vivo digunakan untuk menganalisis bahan pakan sebagai petunjuk dalam menentukan kecernaan sampel yang diuji seperti ketersediaannya sebagai pakan ternak. Penggunaan teknik fermentasi in vitro memungkinkan penentuan kecernaan tanaman dari fraksi yang berbeda (McDonald et al. 2002). Metode in vitro merupakan simulasi proses metabolisme yang terjadi di luar tubuh ternak. Adapun prinsip dan kondisinya sama dengan proses yang berlangsung di dalam tubuh ternak yang melibatkan proses metabolisme rumen dan abomasum(Hungate 1996). Sebaliknya, teknik in vivo melibatkan hewan ternak atau hewan percobaan dalam menguji bahan pakan. Pengujian pemanfaatan BBJP secara in vitro menggunakan inokulum cairan rumen yang mengandung mikroba tidak dapat menggambarkan efek dari racun phorbol ester karena senyawa ini tidak memiliki antimikroba. Sehingga diperlukan pengujian secara biologis untuk melihat dampak dari pengolahan yang dilakukan dan pemanfaatan langsung pada ternak secara in vivo. (Suparjo 2008). Berdasarkan penelitian Fajariah (2007), usaha detoksifikasi yang telah dilakukannya (perlakuan pemanasan) dan penambahan BBJP terdetoksifikasi 10% dalam ransum belum bisa mencapai taraf aman untuk digunakan pada ternak. Mencit merupakan hewan mamalia hasil domestikasi dari tikus liar yang sudah diternakkan secara selektif. Saat ini, mencit terdiri atas bermacam – macam galur dan setiap galur memiliki ciri yang berbeda – beda (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Mencit sering digunakan sebagai hewan percobaan karena memiliki siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat – sifatnya tinggi, mudah ditangani dan sifat produksi maupun reproduksinya sama dengan hewan mamalia lainnya (Moriwaki et al. 1994) Klasifikasi mencit menurut Storer et al. (1979) yaitu: Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Famili : Muridae Genus : Mus Spesies : Mus musculus Kemiripan yang tinggi diantara genom mencit, sapi, babi dan manusia sehingga mencit digunakan hewan model laboratorium untuk mempelajari pengetahuan dasar genetika, genetika kuantitatif dan kualitatif dan penelitian (Schuler 2006 dalam Nanholy 2010). Kelompok mencit
7
yang berjumlah tujuh ekor dapat menghabiskan makanan sebanyak 50 g selama 2 hari sehingga dalam satu hari satu ekor mencit mengkonsumsi ransum sebanyak kurang lebih 3 g (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Ransum mencit percobaan tersedia dalam bentuk pelet dengan berbagai macam bentuk dan ukuran, atau dalam bentuk tepung yang diberikan secara ad libitum. Kebutuhan protein mencit sebesar 20-25%, lemak 10-12%, pati 45-55%, serat kasar kurang dari 4% dan abu 5-6% dan ditambahkan vitamin dan mineral (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). McDonald et al. (1995) menyatakan bahwa kecernaan adalah proporsi zat makanan yang tidak diekskresikan lewat feses dan diasumsikan diserap oleh tubuh ternak. Biasanya ini dinyatakan dalam bahan kering (BK) dan apabila dinyatakan dalam persentase maka disebut koefisien cerna (Tillman et al. 1998). Koefisien cerna merupakan selisih antara zat – zat makanan yang terkandung dalam pakan yang dikonsumsi dengan zat – zat makanan dalam yang ada dalam feses.
8
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji jarak pagar toksik yang diperoleh dari kebun jarak pagar, varietas IP-2P. Bahan kimia yang digunakan antara lain pelarut (heksan, metanol teknis), KOH, bahan-bahan adsorben (zeolit, arang aktif, bentonit), kultur mikroba, cairan rumen sapi, mencit, serta ransum komersial. Peralatan yang digunakan adalah HPLC, GC-MS, autoklaf, penyaring, mesin screw press, pompa vakum, tanur, oven, kandang dan peralatan hewan percobaan, kertas saring, serta peralatan untuk analisis.
3.2. Metode Penelitian Metode yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri atas lima tahap yaitu analisis proksimat (karakterisasi bungkil biji jarak pagar) sebelum dan setelah detoksifikasi, detoksifikasi bungkil biji jarak, analisis senyawa toksik sebelum dan setelah detoksifikasi, uji in vitro pada cairan rumen (analisis kecernaan dan konsentrasi VFA), dan uji in vivo pada mencit (meliputi analisis kecernaan, konsumsi ransum, uji mortalitas, pertambahan bobot badan, PER dan FTI). Biji jarak pagar kering yang digunakan dalam penelitian diekstrak minyaknya terlebih dahulu menggunakan screw press untuk mendapatkan bungkil biji jarak pagar (BBJP). 1.
Analisis Proksimat BBJP
BBJP dihaluskan dengan alat penggiling sehingga membentuk serbuk. Serbuk ini digunakan untuk analisis proksimat sampel sebelum dan setelah perlakuan. Analisis proksimat meliputi penentuan kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar serat kasar (Lampiran 1). 2.
Detoksifikasi Bungkil Biji Jarak Pagar
Metode detoksifikasi yang dilakukan melalui dua cara, yaitu detoksifikasi dengan transesterifikasi \dan detoksifikasi dengan pelarut yang dikombinasikan dengan pemanasan. a)
Transesterifikasi 1) Perlakuan A (Transesterifikasi dengan pencucian air) Sebanyak 200 g BBJP dimasukkan ke dalam labu leher tiga ditambah dengan metanol 800
g (BBJP : metanol = 1:4) dan KOH sebanyak 0.5% dari bobot bungkil. Setelah itu direaksikan selama 2 jam pada suhu 60°C pada pengadukan 500 rpm. Bungkil hasil proses transesterifikasi kemudian dilakukan pencucian dengan air hangat sebanyak 3 kali. Setelah pencucian bungkil dikeringkan dalam oven selama 3-5 jam pada suhu 80°C.
9
2) Perlakuan B (Transesterifikasi dengan pencucian heksan) BBJP sebanyak 200 g dimasukkan ke dalam labu leher tiga ditambah dengan metanol 800 g (BBJP : metanol = 1:4) dan KOH sebanyak 0.5% dari bobot bungkil. Setelah itu direaksikan selama 2 jam pada suhu 60°C pada pengadukan 500 rpm. Bungkil hasil proses transesterifikasi kemudian dilakukan pencucian dengan heksan sebanyak 3 kali. Setelah pencucian bungkil dikeringkan dalam oven selama 3-5 jam pada suhu 80°C. 3) Perlakuan C (Transesterifikasi dengan pencucian metanol) BBJP sebanyak 200 g dimasukkan ke dalam labu leher tiga ditambah dengan metanol 800 g (BBJP : metanol = 1:4) dan KOH sebanyak 0.5% dari bobot bungkil. Setelah itu direaksikan selama 2 jam pada suhu 60°C pada pengadukan 500 rpm. Bungkil hasil proses transesterifikasi dilakukan pencucian dengan metanol sebanyak 3 kali. Setelah pencucian bungkil dikeringkan dalam oven selama 3-5 jam pada suhu 80°C. b) Detoksifikasi dengan Pelarut Organik (Maserasi) Detoksifikasi BBJP menggunakan pelarut menerapkan metode ekstraksi maserasi yaitu proses perendaman sampel menggunakan pelarut organik pada temperatur ruangan. BBJP yang telah digiling dicampur dengan heksan dengan perbandingan (1:4). Kelompok perlakuan yang dicobakan adalah : 1) Perlakuan MA (Maserasi tanpa autoklaf) BBJP sebanyak 200 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer ditambah dengan pelarut heksan sebanyak 800 ml. Ekstraksi dengan maserasi selama 24 jam. Kemudian dipisahkan dengan menggunakan penyaringan vakum. BBJP yang telah disaring diangin – anginkan. Selanjutnya BBJP tersebut ditambah dengan metanol sebanyak 800 ml untuk metode ekstraksi maserasi selama 24 jam. Kemudian BBJP kembali dipisahkan dengan penyaringan vakum. BBJP yang telah dipisahkan dari metanol dikeringkan pada oven dengan suhu 60-80°C hingga kering (2-3 jam). 2) Perlakuan MB (Maserasi dan autoklaf) BBJP sebanyak 200 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer ditambah dengan pelarut heksan sebanyak 800 ml. Ekstraksi dengan maserasi selama 24 jam. Kemudian dipisahkan dengan menggunakan penyaringan vakum. Bungkil jarak yang telah disaring diangin – anginkan. Selanjutnya BBJP tersebut ditambah dengan metanol sebanyak 800 ml untuk metode ekstraksi maserasi selama 24 jam. Kemudian bungkil jarak kembali dipisahkan dengan penyaringan vakum. Bungkil jarak yang telah dipisahkan dari metanol dipanaskan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC, 30 menit dilanjutkan dengan pengeringan pada oven dengan suhu 60-80°C selama 2-3 jam. 3) Perlakuan MC (Maserasi dengan NaOH dan autoklaf) Ekstraksi BBJP dengan menggunakan NaOH dimulai dengan pembuatan larutan NaOH 4%. Sebanyak 800 ml NaOH 4% ditambah dengan BBJP yang telah dihaluskan sebanyak 200 g. Kemudian campuran NaOH dan BBJP tersebut direndam selama 24 jam. Selanjutnya dipisahkan dengan menggunakan kain saring. BBJP yang diperoleh kemudian dibilas dengan aquades
10
sebanyak 4 kali. Proses dilanjutkan dengan pemanasan menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 30 menit. Kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 60-80°C selama 2-3 jam. 4) Perlakuan MD (BBJP hanya autoklaf) BBJP sebanyak 200 g melalui proses pemanasan basah dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 30 menit. Kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 60-80°C selama 2-3 jam. Proses maserasi dan transesterifikasi terhadap sampel BBJP dapat dilihat pada Gambar 3.
(a) (b) Gambar 3. (a) maserasi BBJP dan (b) transesterifikasi BBJP. 3.
Analisis Senyawa Toksik (Phorbol ester)
Analisis phorbol ester dilakukan terhadap BBJP awal dan bungkil hasil detoksifikasi. Perhitungan phorbol ester dalam sampel didasarkan pada kromatogram HPLC. Prosedur pembuatan ekstrak phorbol ester dalam sampel dapat dilihat pada Lampiran 2. Peak – peak yang muncul pada kromatogram HPLC dihitung sebagai phorbol ester yang terdistribusi dari menit ke 4-10. Konsentrasi phorbol ester dalam sampel ditentukan dengan membandingkan area phorbol ester dalam sampel dengan area standarnya. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: konsentrasi yang tidak diketahui dari peak phorbol ester dalam sampel (U) daerah yang diketahui dari peak phorbol ester (A1) Konsentrasi peak phorbol ester dalam standar daerah yang diketahui dari peak standar (S2) Konsentrasi peak phorbol ester dalam standar yang digunakan adalah 1000 µg/ml. Dengan demikian, konsentrasi yang tidak diketahui dari peak phorbol ester dalam sampel, U (µg/ml) = (A1 x 1000 µg/ml)/S2 Konsentrasi phorbol ester dalam sampel (mg/g) =
U (µg/ml) * Fp Bobot sampel (g) * 1000
4.
Uji in vitro pada cairan rumen Uji fermentabilitas in vitro cairan rumen meliputi konsentrasi NH3 dan VFA total. Setelah in vitro pada cariran rumen, dilakukan perhitungan terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik. Uji in vitro pada cairan rumen dilakukan terhadap BBJP awal dan bungkil hasil detoksifikasi.
11
Analisis in vitro dilakukan dengan metode Tilley dan Terry (1963). Prinsipnya adalah sampel bungkil biji jarak pagar dimasukkan ke dalam fermentor dengan ditambahkan larutan saliva buatan dan cairan rumen. Setelah proses fermentasi selesai, konsentrasi NH3 dan VFA (Volatile Fatty Acid) diukur. Pengukuran kecernaan bahan kering dan bahan organik (KCBK dan KCBO) dilakukan dengan metode Tilley dan Terry (1963). Tahapan analisis sama seperti yang dilakukan pada fermentasi in vitro, hanya saja waktu inkubasi dilanjutkan hingga 24 jam. Prosedur analisis in vitro dapat dilihat pada Lampiran 3. Kecernaan zat makanan didefinisikan sebagai bahan yang tidak diekskresikan dalam feses, dimana bagian lainnya diasumsikan diserap oleh tubuh ternak dan dinyatakan dalam persen dari bahan kering yang terkonsumsi (McDonald et al. 2002). Hal ini dinyatakan sebagai bahan kering(BK) 5.
Uji in vivo pada mencit Uji in vivo pada mencit dilakukan terhadap sampel BBJP yang menunjukkan hasil terbaik pada analisis phorbol ester dan uji in vitro pada cairan rumen. Pemeliharaan mencit dilakukan selama 5 minggu di dalam kandang mencit, dimulai dengan periode preliminary selama satu minggu dan dilanjutkan dengan pemberian perlakuan serta pengamatan selama 4 minggu berikutnya. Sebelum perlakuan, mencit ditimbang terlebih dahulu. Selanjutnya, setiap minggu mencit ditimbang untuk mengetahui pertambahan bobot badannya setelah pemberian perlakuan. Pakan diberikan secara ad libitum. Kandang mencit dan pemberian ransum perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5.
Gambar 4. Kandang Penelitian Mencit
Gambar 5. Pemberian Ransum Terhadap Mencit
12
Parameter yang diamati yaitu: 1. Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan dihitung berdasarkan selisih bobot badan awal dengan bobot badan akhir pada setiap minggunya selama pemeliharaan (gram/ekor/hari). 2. Angka Mortalitas Angka mortalitas diperoleh dari seluruh jumlah hewan percobaan yang mati dibagi dengan jumlah hewan percobaan di awal penelitian dikalikan 100%. Jumlah kematian (mortalitas) dicatat setiap hari. 3. Konsumsi segar ransum (mg/ekor/minggu) Konsumsi segar ransum diperoleh dengan cara mengurangi jumlah ransum yang diberikan dengan ransum sisa setiap minggu. 4. Konsumsi Bahan Kering Ransum (g/ekor/minggu) Konsumsi bahan kering ransum dihitung berdasarkan perkalian antara konsumsi segar dengan kadar bahan kering ransum. 5. Konsumsi Bahan Organik Ransum (g/ekor/minggu) Konsumsi bahan kering ransum dihitung berdasarkan perkalian antara konsumsi segar, kadar bahan kering ransum dan bahan organik ransum. 6. Konsumsi Protein Kasar (g/ekor/minggu) Konsumsi protein kasar dihitung berdasarkan perkalian antara konsumsi segar, kadar bahan kering ransum dan protein kasar ransum. 7. Konsumsi Energi (kal/ekor/minggu) Konsumsi energi dihitung berdasarkan perkalian antara konsumsi segar, kadar bahan kering ransum dan energi dalam persen bahan kering ransum. 8. Kecernaan Bahan Kering (%) Kecernaan Bahan Kering dihitung berdasarkan selisih antara bahan kering yang dikonsumsi dengan bahan kering sisa yang dikeluarkan feses dibagi dengan bahan kering yang dikonsumsi dikali 100%. 9. Kecernaan Bahan Organik (%) Kecernaan Bahan Organik dihitung berdasarkan selisih antara bahan organik yang dikonsumsi dengan bahan organik sisa yang dikeluarkan feses dibagi dengan bahan organik yang dikonsumsi dikali 100%. 10. Kecernaan Protein Kasar (%) Kecernaan Protein Kasar dihitung berdasarkan selisih antara protein kasar yang dikonsumsi dengan protein kasar sisa yang dikeluarkan feses dibagi dengan protein kasar yang dikonsumsi dikali 100%. 11. Protein Eficiency Ratio (PER) Protein Eficiency Ratio (PER) ransum dihitung dengan cara membagi pertambahan bobot badan dengan jumlah protein ransum yang dikonsumsi. 12. Food Transformation Index (FTI) Food Transformation Index ransum dihitung dengan cara membagi konsumsi ransum dengan pertambahan bobot badan.
13
3.3. Rancangan Percobaan dan Analisis Data 3.3.1. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penentuan metode detoksifikasi terbaik dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas delapan perlakuan dengan dua kali pengulangan. Perlakuan tersebut adalah sebagai berikut : K = BBJP Kontrol A
= Transesterifikasi dengan pencucian air
B
= Transesterifikasi dengan pencucian heksan
C
= Transesterifikasi dengan pencucian metanol
MA
= Maserasi tanpa autoklaf
MB
= Maserasi dan autoklaf
MC
= Maserasi dengan NaOH dan autoklaf
MD
= BBJP hanya autoklaf
Model rancangan percobaannya adalah sebagai berikut : Yij = μ + Ai + εij Keterangan: Yij μ Ai εij
= Nilai pengamatan akibat pengaruh faktor A taraf ke-i, pada ulangan ke-j = Nilai rata-rata = Pengaruh faktor A pada taraf ke-i = Pengaruh kesalahan percobaan
Dalam pengujian secara in vivo (kecuali pengamatan terhadap pertambahan bobot badan) digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas lima perlakuan dengan lima kali pengulangan. Perlakuan tersebut adalah sebagai berikut : R0 = Ransum Kontrol (tanpa diberi BBJP) R1 = 95% R0 + 5% BBJP R2 = 90% R0 + 10% BBJP R3 = 85% R0 + 15% BBJP R4 = 85% R0 + 10% BBJP yang mengandung 2.5% Zeolit. Model rancangan percobaannya adalah sebagai berikut : Yij = μ + Ai + εij Keterangan: Yij μ Ai εij
= Nilai pengamatan akibat pengaruh faktor A taraf ke-i, pada ulangan ke-j = Nilai rata-rata = Pengaruh faktor A pada taraf ke-i = Pengaruh kesalahan percobaan
Pengamatan terhadap pertambahan bobot badan (PBB) menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor yang terdiri atas sepuluh kali ulangan. Faktor pertama yaitu lama pengamatan (waktu) dengan 4 taraf yaitu minggu I, II, III dan minggu IV. Faktor kedua yaitu jenis ransum yang diberikan dengan 5 taraf yaitu sebagai berikut:
14
R0 R1 R2 R3 R4
= Ransum Kontrol (tanpa diberi BBJP) = 95% R0 + 5% BBJP = 90% R0 + 10% BBJP = 85% R0 + 15% BBJP = 85% R0 + 10% BBJP yang mengandung 2.5% Zeolit.
Model rancangan percobaannya adalah sebagai berikut : Yijk = μ + Ai + Bj + ABij + εijk Keterangan: Yijk = Nilai pengamatan akibat pengaruh faktor proses taraf ke-i, faktor konsentrasi taraf-j pada ulangan ke-k μ = Nilai rata-rata Ai = Pengaruh faktor waktu pada taraf ke-i Bj = Pengaruh faktor jenis ransum pada taraf ke-j ABij = Pengaruh interaksi antara faktor waktu ke-i dengan faktor jenins ransum taraf ke-j εijk = Pengaruh kesalahan percobaan
3.3.2. Analisis Data Analisis data hasil penelitian yang dilakukan terhadap analisis proksimat setelah detoksifikasi, metode detoksifikasi, analisis senyawa toksik, hasil uji in vitro dan pertambahan bobot badan (PBB) meliputi uji keseragaman ANOVA dilanjutkan uji pembeda Duncan sedangkan hasil uji in vivo (kecuali PBB) menggunakan analisis data yang meliputi uji ANOVA dengan uji lanjut kontras ortogonal.
15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Proksimat Hasil analisis proksimat contoh bungkil biji jarak pagar (BBJP) sebelum perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Analisis proksimat BBJP
parameter
Kadar (% BB)
Kadar (% BK)
8.75
-
22.63
24.80
4.16
4.56
Protein
23.07
25.28
Serat
35.70
39.12
Air Lemak Abu
Keterangan : BB = Bobot Basah, BK = Bahan Kering.
Analisis proksimat merupakan analisis kandungan makro zat dalam suatu bahan makanan. Analisis proksimat adalah analisis yang dapat dikatakan berdasarkan perkiraan saja, tetapi sudah dapat menggambarkan komposisi bahan yang dimaksud (Sumartini dan Kartasubrata 1992). Winarno (2008) menjelaskan bahwa bahan makan (sekitar 96%) terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur – unsur mineral. Unsur mineral dikenal sebagai kadar abu, yaitu zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. BBJP yang dianalisis memiliki kandungan abu sebesar 4.56%, angka ini sesuai dengan literatur yang ditunjukkan oleh Makkar et al. (1997) yang menunjukkan angka 3.6-4.3 pada biji jarak pagar. Kadar lemak BBJP contoh menunjukkan angka 24.80% sedangkan Makkar et al. (1997) menyampaikan untuk bijinya nilai kadar lemak sebesar 56.8-58.4%, kulit sebesar 0.5-1.4% dan bungkil sebesar 1.0-1.5%. Begitu juga pada protein kasar contoh yang menunjukkan angka 25.28%. Makkar et al. (1997) menganalisis kandungan protein pada tiap bagian biji jarak pagar yaitu bungkil sebesar 56.4-63.8%, kulit sebesar 4.3-4.5% dan biji sebesar 22.2-27.2%. Nilai protein kasar dan lemak pada BBJP contoh yang kecil ini disebabkan oleh kandungan bungkil sisa hasil pengepresan biji jarak pagar yang merupakan perpaduan antara nilai pada biji, kulit, dan bungkil biji jarak pagar. Kulit biji jarak pagar mengandung kadar serat yang tinggi sehingga mengakibatkan nilai protein kasar dan lemak yang kecil. Bungkil biji jarak pagar hasil pengepresan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Bungkil Biji Jarak Pagar
16
4.2. Detoksifikasi dan Analisis Data 4.2.1. Analisis Proksimat Hasil Detoksifikasi Hasil proksimat setelah perlakuan detoksifikasi dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4, detoksifikasi dapat mempengaruhi parameter analisis proksimat. Berdasarkan analisis statistika menggunakan uji keragaman (anova satu arah), kadar air BBJP antara sebelum dan setelah detoksifikasi menunjukkan perbedaan yang nyata (sig <0.05) (Lampiran 4). Penurunan kadar air ini disebabkan adanya pemanasan yang dilakukan setelah detoksifikasi menggunakan oven. Kadar air yang berbeda nyata dengan kadar air awal ditunjukkan oleh kelompok perlakuan C (transesterifikasi pencucian metanol), B (transesterifikasi pencucian heksan), MB (maserasi dan autoklaf), dan MD (BBJP hanya di autoklaf). Tabel 4. Kandungan kimia BBJP setelah detoksifikasi (%BK)
Sampel1)
Kadar air2)
Kadar lemak2)
Serat kasar2)
Protein2)
Bungkil awal (K) Cuci air (A)
8.75c
24.80c
39.12ab
25.28d
8.15c
13.50b
48.48bc
20.97b
Cuci heksan (B)
3.29a
2.74a
45.11abc
24.86cd
Cuci metanol (C)
2.47a
14.17b
34.93a
21.07bc
Maserasi (MA)
6.93b
3.93a
45.19ab
30.57e
Maserasi + autoklaf (MB)
3.46a
2.55a
40.67ab
25.87d
Maserasi NaOH (MC)
6.70b
4.79a
56.96c
4.02a
Otoklaf (MD)
3.73a
24.19c
38.38ab
20.73bc
1)
Keterangan : K=Bungkil awal, A=Transesterifikasi dengan cuci air, B= Transesterifikasi dengan cuci heksan, C= Transesterifikasi dengan cuci metanol, MA=Maserasi tanpa autoklaf, MB= Maserasi dan autoklaf, MC=Maserasi dengan NaOH dan autoklaf, MD= BBPJ hanya di autoklaf. 2) Superskript yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan posisi pada subset yang sama
Pada uji kadar lemak contoh setelah detoksifikasi menunjukkan nilai signifikasi sebesar 0.00 (sig<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa detoksifikasi efektif dalam menurunkan kadar lemak contoh. Hasil analisis proksimat sebelum detoksifikasi pada uji kadar lemak menunjukkan nilai sebesar 24.80% sedangkan kelompok perlakuan yang memiliki nilai kadar lemak terkecil (berbeda nyata) adalah MB (maserasi autoklaf) sebesar 2.55%, B (transesterifikasi dengan pencucian heksan) sebesar 2.74%, MA (maserasi tanpa autoklaf) sebesar 3.93%, dan MC (maserasi dengan NaOH autoklaf) sebesar 4.79%. Penurunan kadar lemak contoh ini disebabkan karena lemak larut dalam pelarut organik. Girindra (1990) menyampaikan bahwa lemak adalah senyawa yang tidak larut dalam air tapi larut dalam pelarut organik nonpolar seperti kloroform, eter, dan benzena. Protein merupakan senyawa polimer yang tersusun dari satuan – satuan molekul yang saling berikatan. Satuan molekul itu disebut asam amino. Masing – masing asam amino saling dihubungkan oleh suatu ikatan kovalen yang disebut ikatan peptida (Sumartini & Kartasubrata, 1992). Detoksifikasi juga berpengaruh nyata terhadap kadar protein pada contoh. Kadar protein pada contoh sebelum detoksifikasi sebesar 25.28%. Nilai kadar protein yang berbeda nyata dengan contoh sebelum detoksifikasi terjadi pada perlakuan MA (maserasi tanpa autoklaf) sebesar 30.57%, MB (maserasi dengan autoklaf) sebesar 25.87%, dan B (transesterifikasi dengan pencucian heksan) sebesar 24.86%. Kenaikan kadar protein ini disebabkan adanya penurunan
17
kadar lemak dan kadar air, sehingga persentase kadar protein meningkat. Sedangkan penurunan kadar protein terjadi pada MC, A, MD dan C. Penurunan ini terjadi karena adanya pemanasan dan penggunaan NaOH (pada perlakuan MC) yang menyebabkan perubahan struktur protein (denaturasi). Winarno (2008) menyebutkan bahwa perubahan struktur protein (denaturasi protein) dapat terjadi akibat beberapa faktor diantaranya adalah panas, pH, bahan kimia, mekanik, urea, garam guanidina, dan sebagainya. Putra (2009) menyebutkan bahwa terdapat dua tipe perubahan yang terjadi, yaitu (1) Interaksi antara rantai – rantai (diantara rantai samping polipeptida) yang menghasilkan ikatan, agregasi, flokulasi, koagulasi dan presipitasi, (2) Interaksi antara rantai dan pelarut (antara molekul pelarut dan grup rantai samping) yang menghasilkan solubilitas, disosiasi, pembengkakan dan denaturasi. Makanan dengan kadar serat tinggi cenderung meningkatkan bobos feses, menurunkan waktu transit di dalam saluran cerna, dan dapat mengontrol metabolisme glukosa dan lipid (Almatsier 2002 dalam Endra 2006). Kalangan ahli gizi mengatakan bahwa serat biasa dibedakan menjadi serat larut dan serat tidak larut (serat kasar). Serat larut, seperti pektin (yang biasanya lekat pada tangan) akan mengalami fermentasi di usus dan menghasilkan produk akhir yang biasanya memiliki efek yang baik bagi kesehatan. Serat tidak larut, misalnya selulosa dan lignin membantu penyerapan air pasif, membuat feses lebih menggumpal dan mempersingkat perjalanannya di usus besar. Serat kasar (crude fiber) tersusun atas selulosa, gum, hemiselulosa, pektin dan lignin. Pati merupakan polisakarida terpenting dalam tumbuh – tumbuhan karenanya merupakan zat paling penting dalam ransum ternak. Serat berfungsi sebagai sumber energi, sumber protein, sumber vitamin, dan mineral (Putra 2009). Kadar serat kasar contoh sebelum perlakuan adalah 39.12%. Kadar serat kasar contoh setelah perlakuan yaitu (A) transesterifikasi dengan pencucian air sebesar 48.48%, (B) transesterifikasi dengan pencucian heksan sebesar 45.11%, (C) transesterifikasi dengan pencucian metanol sebesar 34.93%, (MA) maserasi tanpa autoklaf sebesar 45.19%, (MB) maserasi dengan autoklaf sebesar 40.67%, (MC) maserasi dengan NaOH autoklaf sebesar 56.96%, (MD) BBJP kontrol di autoklaf sebesar 38.38%. Berdasarkan hasil analisis statistika uji keseragaman (ANOVA satu arah) terhadap kadar serat menunjukkan bahwa sampel BBJP sebelum dan setelah perlakuan detoksifikasi baik dengan maserasi maupun transesterifikasi berbeda nyata (P<0.05) (Lampiran 6). Kadar serat kasar tertinggi dimiliki oleh sampel bungkil terdetoksifikasi dengan metode peredaman NaOH (MC). Tingginya kadar serat dalam sampel MC lebih disebabkan karena kandungan protein, minyak dan air dalam bahan yang rendah sehingga persentase serat meningkat. Selain itu proses perendaman dalam NaOH juga akan melarutkan lignin dalam bungkil sehingga fraksi serat dalam sampel cenderung tinggi. Sampel BBJP yang telah didetoksifikasi mengalami perubahan warna seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7 dan 8. Sampel BBJP hasil maserasi dengan penambahan NaOH mengalami perubahan warna menjadi hitam. Perubahan ini disebabkan adanya penambahan NaOH yang mengakibatkan terjadinya dekomposisi pada BBJP yang memiliki kandungan polisakarida tinggi. Menurut Soeharsono (1978), larutan basa encer pada suhu kamar akan mengubah sakarida. Perubahan ini terjadi pada atom C anomerik dan atom C tetangganya tanpa mempengaruhi atomatom C lainnya. Jika D-glukosa dituangi larutan basa encer maka sakarida itu akan berubah menjadi campuran: D-glukosa, D-manosa, D-fruktosa. Perubahan menjadi senyawaan tersebut melalui bentuk-bentuk enediolnya. Bilamana basa yang digunakan berkadar tinggi maka akan terjadi fragmentasi atau polimerisasi sehingga monosakarida akan mudah mengalami dekomposisi (Soeharsono 1978).
18
Sampel BBJP yang hanya autoklaf mengalami warna kecoklatan diduga disebabkan rusaknya struktur protein akibat pemanasan pada suhu tinggi (suhu 1210C). Pengaruh penambahan pelarut organik baik pada proses maserasi maupun transesterifikasi tidak mengubah warna secara signifikan, namun setelah mengalami pengeringan pada oven suhu 600C warna sampel berubah menjadi lebih terang (Gambar 7 dan 8).
Gambar 7. BBJP hasil detoksifikasi dengan maserasi (pelarut)
Cuci Air
Cuci Heksan
Cuci Metanol
Gambar 8. BBJP hasil detoksifikasi dengan transesterifikasi
4.2.2. Analisis Phorbol Ester Setelah Detoksifikasi Hasil uji analisis phorbol ester dilakukan terhadap sampel yang telah didetoksifikasi. Hasil pengujian analisis phorbol ester dengan menggunakan HPLC dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini. Berdasarkan analisis data statistika menggunakan uji keragaman satu arah (ANOVA) terhadap sampel yang didetoksifikasi menunjukkan nilai sig 0.00 (P<0.05) sehingga dapat disimpulkan
19
bahwa usaha detoksifikasi efektif dalam menurunkan kadar phorbol ester dalam sampel (Lampiran 8). Tabel 5. Rataan hasil analisis phorbol ester bungkil jarak pagar terdetoksifikasi Sampel 1)
Phorbol ester dalam sampel (mg/g) 2)
Bungkil awal (K)
795.78±0.00 d
Cuci air (A)
18.98±13.03 b
Cuci heksan (B) Cuci metanol (C) Maserasi (MA)
1.04±0.26 a ND a
3)
18.91±12.54 b
Maserasi + autoklaf (MB)
0.78±0.23 a
Maserasi NaOH (MC)
1.14±0.70 a
Autoklaf (MD) Keterangan :
73.92±8.12 c
1)
K=Bungkil awal, A=Transesterifikasi dengan cuci air, B= Transesterifikasi dengan cuci heksan, C= Transesterifikasi dengan cuci metanol, MA=Maserasi tanpa autoklaf, MB= Maserasi dan autoklaf, MC=Maserasi dengan NaOH dan autoklaf, MD = BBPJ hanya di autoklaf. 2) Superskript yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan posisi pada subset 3) yang sama. ND = Not Detected
Nilai kadar phorbol ester terkecil didapat oleh perlakuan transesterifikasi dengan pencucian metanol (C). Nilai phorbol ester dalam sampel C tidak terbaca oleh HPLC karena nilainya sangat kecil, yaitu hampir mencapai 0.00. Selain perlakuan C, perlakuan MB berada pada subset yang sama dan memiliki nilai kadar phorbol ester yang kecil juga yaitu 0.78. Penurunan kadar phorbol ester yang tinggi dalam proses transesterifikasi dengan pencucian metanol disebabkan karena metanol yang bersifat polar mampu mengekstraksi phorbol ester yang juga bersifat polar sehingga menjadi terlarut dalam metanol. Penggunaan KOH sebagai katalis basa juga berpengaruh terhadap kadar phorbol ester. Senyawa kimia tersebut (KOH) mampu merusak struktur phorbol ester. Proses maserasi yang dilakukan sampel menyebabkan terjadinya pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Dengan adanya prinsip maserasi ini, sampel yang telah dimaserasi mengalami penurunan kadar lemak. Phorbol ester dapat larut dengan pelarut organik saat perendaman menggunakan pelarut. Senyawa Phorbol ester merupakan metabolit sekunder yang terdapat pada bungkil biji jarak pagar yang terlarut dalam pelarut organik karena adanya perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel sehingga menyebabkan terjadinya pemecahan dinding dan membran sel. Berdasarkan hasil perhitungan, kadar phorbol ester bungkil jarak pagar terdetoksifikasi berkisar dari tidak terdeteksi (ND) hingga 73.92 mg/g bungkil jarak. Nilai ini jauh dibawah kadar phorbol ester dalam bungkil awal yang mencapai 795.78 mg/g bungkil. Untuk sampel C (transesterifikasi dengan pencucian methanol) kadar phorbol ester dalam sampel menunjukkan nilai yang paling kecil karena bentuk peak phorbol ester tidak jelas hanya berupa noise dalam kromatogram. Kadar phorbol ester tertinggi dimiliki oleh BBJP dengan perlakuan autoklaf saja (MD). Hasil kromatogram HPLC menunjukkan keberadaan phorbol ester dalam sampel dapat dilihat pada Lampiran 9. Phorbol ester merupakan senyawa organik dari tumbuhan yang merupakan anggota diterpene ester. Phorbol ester merupakan komponen toksik utama dalam Jatropha curcas (Makkar
20
et al. 1998) yang dapat diperoleh dengan ekstraksi menggunakan pelarut metanol (Rug et al. 2006). Phorbol ester dapat larut dalam larutan organik yang bersifat polar dan dalam air (Ahmed dan Salimon 2009). Hal inilah yang menyebabkan kadar phorbol ester dalam sampel yang dimaserasi ataupun dicuci dengan metanol cukup rendah. Kelarutan phorbol ester dalam metanol jauh lebih tinggi dibandingkan kelarutan dalam air. Hal ini terlihat dari kadar phorbol ester bungkil jarak pagar perlakuan transesterifikasi yang dicuci dengan metanol (0.00 mg/g bungkil) jauh lebih rendah dibandingkan kadar phorbol ester dalam bungkil yang dicuci dengan air (18.98 mg/g bungkil). Penurunan kadar phorbol ester yang besar dalam proses transesterifikasi disebabkan karena metanol yang bersifat polar mampu mengekstraksi phorbol ester yang juga bersifat polar sehingga menjadi terlarut dalam metanol. Penggunaan KOH sebagai katalis basa juga berpengaruh terhadap kadar phorbol ester. Senyawa kimia tersebut mampu merusak struktur phorbol ester. Perlakuan pencucian setelah proses transesterifikasi menggunakan heksan mampu membuat kadar phorbol ester menjadi 1.04 mg/g. Hal ini dikarenakan heksan mampu melarutkan minyak yang masih mengandung phorbol ester dalam bungkil sehingga kadar phorbol ester semakin berkurang. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji duncan (Lampiran 5) terhadap kadar phorbol ester pada usaha detoksifikasi yang memiliki nilai signifikasi sebesar 0.00(P<0.05). menunjukkan bahwa sampel C (transesterifikasi dengan pencucian metanol) memiliki kadar phorbol ester terendah dan tidak berbeda nyata dengan MB, B dan MC akan tetapi berbeda nyata dengan sampel MA, A, MD dan K. Ekstraksi pelarut merupakan cara yang banyak digunakan untuk menghilangkan phorbol ester pada jarak pagar. Perlakukan panas yang diikuti dengan ekstraksi pelarut untuk menghilangkan senyawa phorbol ester dapat mengeliminasi banyak senyawa racun dan antinutrisi dari varietas jarak yang beracun (Makkar dan Becker 1997). Perlakukan panas yang dikombinasikan dengan perlakukan kimia dengan NaOH dan sodium hypochlorite dapat menurunkan kandungan phorbol ester hingga 75%. Kajian deasidifikasi minyak jarak dengan NaOH dan KOH dan proses bleaching dengan beberapa bahan dapat mengurangi phorbol ester hingga 55%, dan proses degumming dan deodorisasi dapat menurunkan kadar phorbol ester menjadi lebih rendah (Hass et al. 2002). Phorbol ester alami tidak stabil dan rentan terhadap oksidasi, hidrolisis transesterifikasi dan epimerization selama prosedur isolasi (Hass et al. 2002). Kandungan phorbol ester pada biji dan kernel jarak pagar sangat dipengaruhi oleh varietas. Makkar et al. (1998) melaporkan kandungan phorbol ester untuk empat varietas jarak pagar yang berbeda. Varietas toksik Cape Verde yang diperoleh dari Nicaragua mengandung phorbol ester paling tinggi yaitu 2.7 mg/g kernel, sedangkan varietas non toksik Mexico paling rendah yaitu 0.11 mg/g kernel. Makkar juga menemukan bahwa biji dari buah muda (belum matang) mengandung senyawa phorbol ester yang lebih tinggi.
4.3. Analisis In vitro dengan Cairan Rumen 4.3.1. Konsentrasi NH3 Amonia dalam cairan rumen merupakan produk antara dalam degradasi protein oleh mikroba dan sintesis protein. Apabila pakan defisien akan protein atau protein sulit didegradasi, maka konsentrasi amonia dalam rumen akan rendah dan pertumbuhan mikroba akan lambat. Produksi amonia dipengaruhi oleh waktu setelah makan dan umumnya produksi maksimum dicapai pada 2-4 jam setelah pemberian pakan tergantung pula pada sumber protein yang digunakan serta mudah tidaknya protein tersebut di degradasi (McDonald et al. 2002).
21
Tabel 6. Hasil analisis NH3 dan VFA pada uji in vitro pencernaan fermentatif Sampel Bungkil 1)
mM NH3
VFA (mM) C2
C3
1C4
nC4
iC5
nC5
Total VFA
K
34.94
71.02
23.44
3.56
9.41
5.72
3.2
116.36
A
23.19
21.93
9.33
3.24
2.34
2.18
0
39.01
B
28.75
47.81
21.88
4.8
5.23
5.16
1.91
86.79
C
29.13
37.51
15.74
4.01
4.14
3.97
3.25
68.61
MA
29.37
34.15
14.41
3.19
3.06
3.41
0
58.22
MB
26.09
40.93
15.03
5.00
3.38
2.96
0
67.28
MC
17.25
30.07
12.25
2.35
3.58
2.48
0
50.74
MD
20.62
42.33
17.22
3.39
2.59
4.06
1.36
49.78
Keterangan :
1)
K=Bungkil awal, A=Transesterifikasi dengan cuci air, B= Transesterifikasi dengan cuci heksan, C= Transesterifikasi dengan cuci metanol, MA=Maserasi tanpa autoklaf, MB= Maserasi dan autoklaf, MC=Maserasi dengan NaOH dan autoklaf, MD= BBPJ hanya di autoklaf. 2) Beberapa jenis asam lemak terbang atau volatile fatty acid (VFA) (asam asetat, propionat, butirat, gas metan, gas C02)
Hasil analisis menunjukkan bahwa konsentrasi NH3 tertinggi dimiliki oleh bungkil biji jarak pagar dengan perlakuan maserasi heksan dan metanol yaitu sebesar 29.37 mM, sedangkan konsentrasi terendah dimiliki oleh bungkil jarak dengan perlakuan perendaman dalam NaOH 4% yaitu sebesar 17.25 mM. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji duncan terhadap konsentrasi NH3 pada tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) (Lampiran 10) menunjukkan bahwa kelompok perlakuan yang berada pada subset tertinggi dalam perolehan konsentrasi NH3 adalah sampel MA (maserasi), C (transesterifikasi pencucian metanol), B (transesterifikasi pencucian heksan), MB (maserasi dengan autoklaf). Arora (1989) menjelaskan bahwa makanan dengan kandungan serat kasar rendah mudah dicerna dan memerlukan waktu yang pendek per satuan berat. BBJP dengan kandungan serat kasar yang tinggi akan sulit didegradasi karena mikroba rumen memerlukan yang lama untuk mendegradasinya, namun cukup untuk memenuhi kadar amonia normal untuk mendukung pertumbuhan mikroba rumen yaitu 5-17.65 mM (McDonald et al. 2002). Ammonia merupakan sumber nitrogen utama bagi mikroba rumen karena ammonia yang dibebaskan dalam rumen sebagian dimanfaatkan oleh mikroba untuk sintesis protein mikroba (Arora 1995). Konsentrasi NH3 mencerminkan jumlah protein ransum yang banyak dominan di dalam rumen dan nilainya sangat dipengaruhi oleh kemampuan mikroba rumen dalam mendegradasi protein ransum. Tanpa mempertimbangkan kandungan senyawa toksik ataupun antinutrisi, maka semakin tinggi kandungan protein dalam bahan maka konsentrasi NH3 akan meningkat. Hal ini terlihat dari sampel MC (perendaman NaOH) yang memiliki kadar protein terendah (3.75%) memiliki konsentrasi NH3 yang paling rendah juga (17.25 mM). Dengan mempertimbangkan kadar senyawa toksik dalam bungkil, maka terlihat bahwa semakin rendah kandungan phorbol ester maka konsentrasi NH3 akan meningkat, sebagaimana terlihat pada sampel C (transesterifikasi pencucian metanol). Efek senyawa antinutrisi dalam bungkil biji jarak pagar terhadap konsentrasi NH3 telah diteliti oleh Juniastica (2008) dan Afriyanti (2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi amonia pada cairan rumen sapi dan kerbau tidak dipengaruhi oleh penambahan antinutrisi kurcin BBJP sampai taraf 3% dalam ransum.
22
4.3.2. Konsentrasi VFA VFA (Volatile Fatty Acid) merupakan hasil pencernaan karbohidrat dalam rumen yang merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia. VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat berupa asetat, propionat, dan butirat serta gas CH4 dan CO2 sebagai hasil samping (Arora 1989). Bersama – sama amonia (NH3), VFA merupakan bahan utama pembentukan protein mikroba (Sutardi 1980). Hasil pengukuran produksi VFA total (Tabel 6) menunjukkan bahwa produksi VFA tertinggi dimiliki oleh BBJP kontrol yaitu sebesar 116.36mM. Tingginya nilai VFA yang dimiliki BBJP kontrol disebabkan adanya kandungan asam asetat yang sangat tinggi sehingga mempengaruhi kadar VFA total. Tingginya konsentrasi asetat dalam cairan rumen berhubungan dengan tingginya proporsi hijauan atau pakan berserat yang dikonsumsi (McDonald et al. 2002). Berdasarkan hasil analisis statistik dengan ANOVA (Lampiran 11) diketahui bahwa perlakuan detoksifikasi berpengaruh nyata terhadap produksi VFA total. Berdasarkan pada Tabel 6, usaha detoksifikasi terbaik berdasarkan kandungan VFA tertinggi dimiliki oleh perlakuan transesterifikasi disertai pencucian dengan heksan (B) sebesar 86.79 mM, sedangkan produksi VFA total terendah dimiliki oleh BBJP dengan perlakuan transesterifikasi disertai pencucian dengan air (A) yaitu sebesar 39.01 mM. Kadar VFA optimal /normal untuk pertumbuhan mikroba rumen adalah sebesar 80-160 mM (Sutardi 1979). Dari uji fermentabilitas in vitro pada cairan rumen, menunjukkan bahwa usaha detoksifikasi tidak mempengaruhi kandungan VFA total. Pengujian pemanfaatan BBJP secara in vitro menggunakan inokulum cairan rumen yang mengandung mikroba tidak dapat menggambarkan efek dari racun phorbol ester karena senyawa ini tidak memiliki antimikroba. Sehingga diperlukan pengujian secara biologis untuk melihat dampak dari pengolahan yang dilakukan dan pemanfaatan langsung pada ternak secara in vivo (Suparjo 2008).
4.3.3. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Persentase KCBK dan KCBO merupakan salah satu ukuran dalam menentukan kualitas pakan. Semakin tinggi kecernaan bahan kering maka zat – zat makanan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak juga semakin tinggi (Sutardi 1979). Kecernaan bahan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya : 1) adanya enzim yang mempengaruhi lingkungan fisiologis rumen, 2) komposisi nutrien bahan pakan dan antinutrisi yang terkandung dalam pakan dan 3) kapasitas saluran pencernaan ternak (Church 1979). Nilai rata-rata KCBK BBJP terdetoksifikasi berkisar dari 17.31 – 45 g/100 g sedangkan rata-rata nilai KCBO BBJP adalah 21.08 – 46.42 g/100 g. Perlakuan yang menunjukkan nilai KCBK dan KCBO tertinggi dimiliki oleh sampel MD (Autoklaf), sedangkan nilai terendah dimiliki oleh sampel MC (Perendaman NaOH dan autoklaf). Hasil analisis kecernaan bahan kering dan organik bungkil biji jarak terdetoksifikasi disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji duncan (Lampiran 12) terhadap nilai KCBK dengan signifikansi 0.00 (P<0.05) menunjukkan bahwa sampel MC (perendaman NaOH) memiliki nilai KCBK terendah, tidak berbeda nyata dengan sampel A dan MB, akan tetapi berbeda nyata dengan sampel B, MA, C dan MD. Analisis statistik dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji duncan terhadap nilai KCBO pada tingkat dengan signifikansi 0.00 (P<0.05) menunjukkan bahwa sampel MC (perendaman NaOH) memiliki nilai KCBO terendah, tidak berbeda nyata dengan sampel A akan tetapi berbeda nyata dengan sampel lainnya.
23
Tabel 7. Hasil Analisis Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik
Sampel Bungkil
g/ 100 g KCBK
g/ 100 g KCBO
Bungkil awal (K)
45.36
47.47
Cuci air (A )
29.61
31.58
Cuci heksan (B)
39.48
39.70
Cuci metanol (C)
42.79
45.53
Maserasi (MA)
39.65
38.65
Maserasi + autoklaf (MB)
35.44
36.57
Maserasi NaOH (MC)
17.31
21.08
Autoklaf (MD)
45.00
46.42
Keterangan :
K=Bungkil awal, A=Transesterifikasi dengan cuci air, B= Transesterifikasi dengan cuci heksan, C= Transesterifikasi dengan cuci metanol, MA=Maserasi tanpa autoklaf, MB= Maserasi dan autoklaf, MC=Maserasi dengan NaOH dan autoklaf, MD= BBPJ hanya di autoklaf.
Komposisi bahan pakan berpengaruh tingkat kecernaan bahan. Tingginya nilai KCBK dan KCBO dari sampel bungkil awal dan sampel MD dapat disebabkan oleh tingginya kadar bahan organik dalam bahan seperti kadar minyak dan kadar protein yang bisa tercerna. Kandungan serat kasar sangat berpengaruh terhadap nilai kecernaan, semakin tinggi kandungan serat, maka kecernaan akan semakin rendah karena pencernaan serat sangat tergantung pada kemampuan mikroba rumen. Rendahnya nilai KCBK dan KCBO disebabkan karena kandungan lignin dari cangkang BBJP yang cukup tinggi. Menurut Tillman et al. (1989), lignin sangat tahan terhadap setiap degradasi kimia termasuk juga degradasi enzimatik. Nilai kecernaan bahan organik dari bungkil terdetoksifikasi berkisar 21.08 – 46.42 g/100 g. Nilai ini lebih rendah dibanding bungkil kernel biji jarak pagar yang mencapai 77.3-78% (Makkar dan Becker 2009). Sedangkan kecernaan bahan organik untuk bungkil kedelai adalah sebesar 87.9%. Berdasarkan analisis terhadap serangkaian uji seperti analisis proksimat, uji phorbol ester, dan uji fermentabilitas in vitro pada sampel BBJP dipilih satu perlakuan untuk diujikan secara in vivo terhadap mencit (Mus musculus) yaitu sampel C (transesterifikasi dengan pencucian metanol). Pemilihan sampel C didasarkan atas rendahnya kandungan phorbol ester (menunjukkan nilai terrendah) ditunjang dengan kadar protein yang tinggi dan kadar serat yang cukup rendah dibandingkan sampel lainnya. Selain itu, kadar VFA, NH3 dan nilai kecernaan (KCBK dan KCBO) menunjukkan nilai yang cukup baik dibandingkan sampel perlakuan lainnya. Waktu proses yang lebih singkat dan kebutuhan energi proses yang dianggap lebih rendah (pemanasan selama 2 jam, suhu 60oC) pada perlakuan transesterifikasi dengan pencucian metanol menjadi pertimbangan tersendiri. Kadar proksimat contoh hasil transesterifikasi dengan cuci metanol menunjukkan bahwa contoh tersebut berada pada kisaran standar pakan untuk sapi potong induk dan sapi perah dara. Kadar serat contoh lebih tinggi daripada kadar serat standar pakan sapi perah dara. Namun dengan kadar serat tersebut, ampas bungkil jarak pagar masih cocok digunakan untuk pakan ruminansia seperti kambing, sapi dan kerbau (Makkar dan Becker 1999). Hal ini dikarenakan ruminansia memiliki bakteri rumen yang menghasilkan enzim selulase sehingga serat (termasuk selulosa) dapat dicerna (Putra 2009). Kadar proksimat pakan ternak (ayam petelur, ayam ras pedaging, sapi perah dara dan sapi potong induk) dapat dilihat pada Lampiran 14.
24
4.4. Analisis in vivo menggunakan mencit Analisis in vivo dilakukan dengan menggunakan 65 ekor mencit jantan (Mus musculus) yang masih berumur 2 minggu dengan rataan bobot badan ± 10 gram. Ransum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari ransum mencit komersial yang telah disubsitusi dengan BBJP pada taraf yang berbeda (0%, 5%, 10%, 15%, 10%+2.5% zeolit). BBJP yang digunakan adalah BBJP yang telah mendapat perlakuan detoksifikasi dengan metode transesterifikasi dengan pencucian metanol. Analisis ransum komersial dan ransum yang telah disubstitusi dengan BBJP terdetoksifikasi disajikan pada Tabel 7. Pengamatan yang dilakukan meliputi tingkat mortalitas, pertambahan bobot badan, konsumsi dan kecernaan bahan makanan. Dalam mengamati tingkat mortalitas mencit, jumlah mencit yang diamati adalah 65 ekor mencit sedangkan pengamatan terhadap Pertambahan Bobot Badan sebanyak 50 ekor mencit (10 ekor x 5 ransum), Konsumsi dan Kecernaan Bahan dilakukan teknik sampling yang hanya melibatkan 25 ekor mencit sebagai sampelnya (5 ekor x 5 ransum). Tabel 8. Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian Kode
BK (%)
Abu (%)
PK (%)
SK (%)
LK(%)
BETA-N (%)
EB
R0
80.13
10.52
26.33
12.08
4.80
26.39
5.080.49
R1
85.75
9.92
25.70
15.15
3.22
31.76
4.665.89
R2
85.03
10.21
26.04
11.74
4.40
32.65
4.661.88
R3
86.11
9.22
24.63
14.41
3.93
33.92
4.498.90
R4
85.74
9.33
23.29
15.22
2.48
35.41
4.617.45
Keterangan : R0=Ransum Kontrol (tanpa diberi BBJP), R1=95% R0 + 5% BBJP, R2 = 90% R0 + 10% BBJP, R3 = 85% R0 + 15% BBJP, R4 = 85% R0 + 10% BBJP yang mengandung 2.5% Zeolit. BK=Bahan Kering, PK= Protein Kasar, SK= Serat Kasar, LK= Lemak Kasar, BETA-N = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen, EB= Energi Bruto
Analisis proksimat menggolongkan komponen yang ada pada bahan pakan berdasarkan komposisi kimia dan fungsinya, yaitu air, abu, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (Suparjo 2008). Hasil analisis proksimat digunakan sebagai acuan dalam menentukan kualitas nutrisi bahan makanan dan dalam menghitung komponen zat makanan. Kualitas nutrisi bahan makanan merupakan faktor utama dalam pemilihan dan penggunaan bahan makanan tersebut sebagai sumber zat makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksinya (Herman 2003). Pada Tabel 8 terlihat bahwa pencampuran BBJP ke dalam ransum dapat mengubah komposisi zat makanan ransum kontrol. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa semakin tinggi BBJP terdetoksifikasi akan menaikkan kandungan bahan kering(BK), serat kasar (SK) dan bahan ekstrak tanpa nitrogen(BETA-N) kecuali pada R2. Kenaikan SK pada ransum yang disubstitusi BBJP disebabkan oleh tingginya kandungan SK pada BBJP yaitu sebesar 43.78%. Penurunan kadar bahan kering dan SK pada R2 diduga disebabkan oleh ketidakhomogenan saat proses pembuatan pakan dan membuat kandungan nutrien tidak tersebar rata pada seluruh bagian pakan. Zat nutrisi lain seperti kandungan abu dan protein kasar (PK) cenderung mengalami penurunan. Penurunan kandungan nutrien tersebut disebabkan tingginya kandungan serat kasar yang dimiliki bungkil biji jarak pagar (BBJP). Ransum yang sempurna harus memiliki kandungan protein yang cukup agar asam amino yang diperlukan dapat dipenuhi, cukup zat organik yang dapat dicerna untuk mendapatkan energi
25
yang dibutuhkan, asam amino harus seimbang, cukup zat vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh ternak (Anggorodi 1984). Selanjutnya, Anggorodi (1984) menyatakan bahwa ransum yang seimbang adalah ransum yang mengandung semua zat makanan dalam jumlah yang cukup dan dalam perbandingan yang tepat untuk keperluan proses tubuh. Ransum juga harus bebas dari faktor toksik atau faktor – faktor lain yang merugikan. Pada ransum R4 ditambahkan zeolit sebesar 2.5% dari 10% BBJP ke dalam ransum. Penambahan zeolit ini bertujuan untuk meningkatkan daya cerna terhadap makanan. Panda (2007) menyebutkan bahwa penambahan zeolit dalam ransum dapat menurunkan kandungan serat kasar dalam ransum. Serat kasar yang semakin rendah di dalam ransum menyebabkan ransum atau bahan makanan semakin mudah untuk dicerna oleh tubuh sehingga penyerapan bahan makanan dalam saluran semakin tinggi dan pembuangan atau pengeluaran zat – zat nutrisi yang penting bagi tubuh semakin sedikit. Pada Tabel 8 menunjukkan bahwa penambahan zeolit pada ransum (R4) menyebabkan peningkatan pada bahan kering ransum, kadar serat ransum dan BETA-N serta penurunan pada protein kasar dan lemak kasar. Hal ini diduga disebabkan kemampuan zeolit yang dapat menyerap senyawa protein dan lemak dari ransum.
4.4.1. Konsumsi Bahan Segar (konsumsi ransum), Bahan Kering dan Zat Makanan Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi oleh mencit bila ransum tersebut diberikan secara ad libitum dalam jangka waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidup pokoknya dan berproduksi. Tabel 9 memperlihatkan bahwa konsumsi bahan segar (konsumsi ransum) mencit berkisar antara 60.21-74.00 g/ekor/minggu. Berdasarkan uji keragaman (ANOVA) dengan selang kepercayaan 99% (α=0.01) menunjukkan bahwa perlakuan R0, R1, R2, R3, dan R4 memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi segar, bahan kering, bahan organik, dan protein kasar ransum perlakuan (Lampiran 15-22).
Gambar 9. Mencit Penelitian
Konsumsi bahan segar merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi mencit selama penelitian. Konsumsi bahan segar biasanya dihitung berdasarkan as fed. Berdasarkan data dalam Tabel 9 konsumsi bahan segar mencit berkisar antara 59.47-74.00 g/ekor/minggu. Rataan konsumsi ransum mencit yang diperoleh selama penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi mencit selama penelitian sangat tinggi karena berdasarkan pernyataan Smith dan Mangkoewidjaja (1988), seekor mencit dapat mengkonsumsi ransum sekitar 3-5 g/ekor/hari atau 21-35 g/ekor/minggu.
26
Tabel 9. Rataan Konsumsi Bahan Segar, Bahan Kering dan Zat Makanan Ransum
KONSUMSI (g/ekor/minggu) Bahan segar
Bahan Kering a
a
Konsumsi Energi
Bahan organik
Protein Kasar
a
a
(kal/ekor/minggu)
RO
74.00 ± 26.69
59.29 ± 21.39
53.05 ± 19.14
15.69 ± 5.68
301.234.31 ± 62469.87
R1
60.21 ± 29.53c
51.63 ± 25.32c
46.50 ± 22.81c
13.11 ± 6.46c
240.890.93 ± 44916.49
R2
b
b
b
b
267.864.51 ± 39168.77
a
282.543.44 ± 38279.53
d
235.430.94± 70702.22
R3 R4
67.57 ± 31.16
a
72.93 ± 21.00
c
59.47 ± 24.36
57.46 ± 26.50
a
62.80 ± 18.08
c
52.87 ± 21.38
51.59 ± 23.79
a
57.01 ± 16.41
c
44.33 ± 18.93
13.95 ± 6.15 15.47 ± 4.45 10.70 ± 4.71
Keterangan : R0=Ransum Kontrol (tanpa diberi BBJP), R1=95% R0 + 5% BBJP, R2 = 90% R0 + 10% BBJP, R3 = 85% R0 + 15% BBJP, R4 = 85% R0 + 10% BBJP yang mengandung 2.5% Zeolit.
Pada Tabel di atas nilai konsumsi ransum mencit selama penelitian dari terbesar hingga terkecil secara berturut – turut yaitu R0, R3, R2, R1, R4. Hasil uji lanjut kontras ortogonal konsumsi ransum mencit selama penelitian menunjukkan bahwa ransum kontrol (R0) dan penambahan BBJP sebanyak 15% (R3) memberikan dampak yang sama terhadap konsumsi bahan segar ransum (R0=R3) sedangkan ransum pada perlakuan R1, R2, dan R4 memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan ransum kontrol karena memiliki nilai yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan ransum kontrol (Lampiran 16). Tingginya konsumsi bahan segar ransum pada perlakuan R3 diduga disebabkan oleh tingginya kadar BETA-N. Sesuai yang disampaikan Anggorodi (1979) bahwa bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETA-N) dalam butiran – butiran dan dalam sebagian besar bahan makanan penguat lebih dapat dicerna daripada serat kasar. Pada perlakuan R4 memiliki nilai konsumsi ransum terendah karena penggunaan zeolit 2.5% sangat berpengaruh terhadap penurunan konsumsi ransum selama penelitian. Penurunan tersebut terjadi karena penambahan zeolit dalam ransum dapat berperan sebagai penyerap nutrisi bahan makanan sehingga dapat mengakibatkan laju pencernaan lebih lambat dalam saluran pencernaan. Laju bahan pakan yang lambat dalam saluran pencernaan dapat membuat hewan tersebut merasa kenyang lebih lama sehingga tingkat konsumsi hewan tersebut akan menurun. Konsumsi bahan kering mencit selama penelitian berkisar antara 51.63-62.80 g/ekor/minggu. Rataan konsumsi BK pada Tabel 9 menunjukkan bahwa konsumsi BK tertinggi berada pada mencit yang diberi ransum perlakuan R3. Hasil uji lanjut kontras ortogonal menunjukkan bahwa R3 dan R0 memiliki superskript yang sama. Hal ini berarti perlakuan penambahan BBJP 15% ke dalam ransum (R3) dan ransum kontrol (R0) tidak berbeda nyata. Ransum pada perlakuan R1, R2, dan R4 memiliki superskript yang berbeda dengan R0 dan R1sehingga dapat dikatakan bahwa R1, R2, dan R4 berbeda nyata dengan R0 dan R1 (Lampiran 18). Dari Tabel 9 diketahui bahwa perlakuan R1, R2, dan R4 memiliki tingkat konsumsi BK yang rendah. Data tersebut mengindikasikan bahwa penambahan BBJP sebesar 15% ke dalam ransum (R3) lebih baik dibandingkan dengan perlakuan R1, R2, R4 dan memiliki kesetaraan dengan ransum kontrol. Konsumsi bahan organik mencit selama penelitian berkisar antara 44.33-57.01 g/ekor/minggu. Rataan konsumsi BO pada Tabel 9 menunjukkan bahwa konsumsi BO tertinggi berada pada mencit yang diberi ransum perlakuan R3. Dari Tabel 9 diketahui bahwa perlakuan R1, R2, dan R4 memiliki tingkat konsumsi BO yang rendah. Hasil uji lanjut kontras ortogonal terhadap konsumsi bahan organik menunjukkan adanya kesamaan denga uji pada konsumsi bahan kering (Lampiran 20). Chotimah (2002) menyatakan bahwa konsumsi BO pada ternak berbanding lurus dengan konsumsi BK dari ternak tersebut. Jika konsumsi BK tinggi, maka akan tinggi pula konsumsi BO nya.
27
Rataan konsumsi protein kasar (PK) selama penelitian berada dalam kisaran 10.70-15.69 g/ekor/minggu. Berdasarkan Tabel 9 konsumsi protein kasar pada perlakuan penambahan BBJP dan zeolit (R1, R2, R3, R4) menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan ransum kontrol. Namun, hasil uji lanjut kontras ortogonal menunjukkan bahwa perlakuan R3 dan R0 tidak berbeda nyata dalam konsumsi protein kasar (Lampiran 22). Rendahnya konsumsi protein kasar pada R1,R2,R4 dibandingkan ransum R0 dan R3 disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya yaitu rendahnya konsumsi bahan segar ransum dan rendahnya kandungan protein pada ransum. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan ANOVA menunjukkan bahwa penambahan BBJP pada ransum kontrol dengan taraf tertentu tidak memberikan pengaruh nyata terhadap konsumsi energi ransum perlakuan (Lampiran 23). Data konsumsi energi pada Tabel 9 menunjukkan bahwa kisaran konsumsi energi selama penelitian adalah 235,430.94-301,234.31 kal/ekor/minggu. Tingkat konsumsi energi tertinggi dimiliki oleh ransum perlakuan R0 (ransum kontrol). Rendahnya tingkat konsumsi energi pada ransum perlakuan diduga karena rendahnya konsumsi bahan kering. Tingkat energi hanya dapat mempengaruhi tingkat pertambahan bobot badan (Parakkasi 1999). Sumber energi adalah karbohidrat, protein dan lemak; mineral dan vitamin bersama dengan zat – zat lainnya sebenarnya tidak dapat dipisahkan dalam metabolisme energi. Dari hasil pengamatan terhadap konsumsi, perlakuan R3 (penambahan BBJP sebesar 15%) memberikan nilai terbaik jika dibandingkan dengan perlakuan R1, R2, dan R4. Namun, nilai konsumsi pada perlakuan R3 tidak berbeda jauh dengan ransum kontrol. Perbandingan kelima perlakuan terhadap tingkat konsumsi dapat dilihat pada lampiran 27.
4.4.2. Kecernaan Bahan Kering dan Zat Makanan Kecernaan pakan didefinisikan sebagai jumlah pakan yang dicerna oleh tubuh ternak yang tidak diekskresikan melalui feses dan diasumsikan dapat diserap oleh tubuh ternak (McDonald et al., 1995). Tingkat kecernaan bahan kering dan zat makanan disajikan dalam Tabel 10. Berdasarkan analisis statistik dengan uji ANOVA, perlakuan penambahan BBJP terhadap ransum kontrol tidak mempengaruhi kecernaan bahan kering (KCBK), kecernaan bahan organik (KCBO) dan kecernaan protein kasar (KCPK) (Lampiran 24-26). Tabel 10. Persentase Kecernaan Bahan Kering dan Zat Makanan
Kecernaan (%) Ransum
Bahan Kering
Bahan Organik
Protein Kasar
R0
87.24 ± 6.73
88.27 ± 6.07
87.01 ± 5.93
R1
89.61 ± 5.58
88.03 ± 4.54
85.65 ± 6.68
R2
87.64 ± 6.82
88.41 ± 6.17
85.37 ± 8.40
R3
88.58 ± 4.01
89.31 ± 3.62
87.29 ± 2.93
R4
86.83 ± 5.31
89.5 ± 2.15
84.32 ± 7.28
Keterangan : R0=Ransum Kontrol (tanpa diberi BBJP), R1=95% R0 + 5% BBJP, R2 = 90% R0 + 10% BBJP, R3 = 85% R0 + 15% BBJP, R4 = 85% R0 + 10% BBJP yang mengandung 2.5% Zeolit.
Pada Tabel 10 nilai KCBK (kecernaan bahan kering) dan KCBO (kecernaan bahan organic) secara berturut – turut berkisar antara 86.83-89.61% dan 88.03-89.5% sedangkan kisaran
28
nilai KCPK (kecernaan protein kasar) yaitu 84.32-87.29%. Nilai KCBK tertinggi dimiliki oleh R1 yaitu sebesar 89.61% Menurut Aggorodi (1984) efektivitas suatu makanan dapat dilihat dari besarnya protein yang diserap oleh tubuh, semakin sedikit tingkat penyerapannya maka tingkat protein yang terbuang akan semakin tinggi. Kadar protein berhubungan erat dengan kadar air dalam tubuh. Semakin tinggi jumlah protein dalam ransum akan mempertinggi kebutuhan air bagi ternak sehingga dapat mengakibatkan sebagian protein akan terbuang melalui kotoran dan urin. Tabel 10 menunjukkan nilai KCPK tertinggi dimiliki oleh ransum R3 dan nilai terendah dimiliki oleh ransum R4. Tingginya nilai KCPK pada mencit yang mengkonsumsi R3 disebabkan karena tingginya konsumsi protein kasar mencit tersebut. Ransum perlakuan R4 yang memiliki nilai KCPK terendah berlawanan dengan pernyataan yang disampaikan. Panda (2007) bahwa zeolit dapat meningkatkan kecernaan protein. Rendahnya KCPK pada perlakuan R4 diduga karena zeolit yang ditambahkan masih memiliki zat – zat pencemar di dalamnya. Karakteristik dan mutu zeolit dari berbagai lokasi tidak sama. Zeolit memiliki unsur – unsur pencemar sehingga untuk meningkatkan mutunya diperlukan metode untuk menghilangkan pencemar – pencemar tersebut (Panda 2007). Selain itu, konsumsi protein yang rendah juga dapat menyebabkan persentase kecernaan yang rendah. Sutarti dan Rachmawati (1994) dalam Panda (2007) menyatakan bahwa zeolit yang ditambahkan dalam ransum dapat membantu proses penyerapan bahan makanan dalam saluran pencernaan dan meningkatkan selera makan hewan. Zeolit memiliki kemampuan dalam mengikat amoniak sehingga dapat mengurangi kemungkinan ternak mengalami keracunan NH4+ dan meningkatkan pH dalam saluran pencernaan sehingga ternak tersebut dapat merasakan kenyamanan dalam mencerna yang akan meningkatkan selera makan (Mumpton dan Fishman 1977). Zeolit yang ditambahkan dalam ransum ternak memiliki peranan memperlambat laju makanan dalam saluran pencernaan sehingga penyerapan zat – zat makanan akan lebih banyak terjadi (Soejono dan Santoso 1990). Penggunaan zeolit dalam ransum ternak juga berfungsi untuk menurunkan kadar protein kotoran ternak. Kadar protein kotoran dapat digunakan sebagai gambaran efisiensi penggunaan protein dalam ransum. Dengan demikian, hal tersebut menunjukkan bahwa zeolit mampu mengefisiensikan penggunaan protein oleh tubuh ternak.
4.4.3. Pertambahan Bobot Badan (PBB) Tabel 11. Rataan Pertambahan Bobot Badan, PER dan TI
Ransum
PBB (g/minggu)
PER
FTI
RO
2.45 ± 1.20
0.18
8.50
R1
1.86 ± 1.17
0.13
23.98
R2
2.32 ± 1.22
0.15
6.59
R3
2.46 ± 1.65
0.31
17.34
R4
2.51 ± 2.20
0.21
15.56
Keterangan : R0=Ransum Kontrol (tanpa diberi BBJP), R1=95% R0 + 5% BBJP, R2 = 90% R0 + 10% BBJP, R3 = 85% R0 + 15% BBJP, R4 = 85% R0 + 10% BBJP yang mengandung 2.5% Zeolit. PBB= Pertambahan Bobot Badan, PER= Protein Efisiensi Rasio, FTI= Food Transformation Index
Pertambahan Bobot Badan badan (PBB) merupakan salah satu ukuran yang menggambarkan perubahan bobot badan pada setiap individu ternak. Dengan dilakukannya
29
pengukuran pertambahan bobot badan (PBB) ternak dalam kurun waktu tertentu maka dapat dilihat pertumbuhan dari ternak tersebut. Secara umum, dengan mengukur PBB dapat diketahui respon ternak terhadap ransum penelitian (Pratiwi 2010). Rataan PBB mencit selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan Pengukuran terhadap PBB yang dilakukan selama penelitian diperoleh kisaran PBB mencit yaitu 1.86-2.51 g/minggu. Nilai terendah diperoleh pada ransum R1 sebesar 1.86 g, sedangkan nilai tertinggi diperoleh pada ransum R4 sebesar 2.51 g. Hasil analisis keragaman (ANOVA) dengan selang kepercayaan 99% (α=0.01) diketahui bahwa faktor lama pengamatan (waktu) berpengaruh sangat nyata terhadap PBB sedangkan jenis ransum dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap PBB (Lampiran 29). Uji lanjut Duncan dilakukan untuk melihat apakah setiap taraf dari faktor lama pengamatan berbeda secara signifikan atau tidak. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa faktor minggu IV berbeda nyata dengan faktor minggu I, II dan III. Begitu juga dengan faktor minggu II berbeda nyata dengan faktor minggu I,III dan IV. Faktor minggu I berbeda nyata dengan minggu II dan IV, namun tidak berbeda nyata dengan minggu III (Lampiran 30). Histogram hubungan antara lama pengamatan dengan jenis ransum terhadap Rataan Pertambahan Bobot Badan ditunjukkan pada Gambar 10. 6.00
PBB (g)
5.00 4.00 I
3.00 2.00
II
1.00
III
0.00
IV RO
R1
R2
R3
R4
Ransum Gambar 10. Pertambahan Bobot Badan (per minggu)
Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat adanya kecenderungan yang sama antar masing – masing perlakuan (jenis ransum) terhadap lama pengamatan. Pada minggu kedua, semua ransum perlakuan menunjukkan penurunan PBB dari minggu sebelumnya. Hal ini menunjukkan adanya penyesuaian mencit terhadap ransum yang dikonsumsi. Pada minggu selanjutnya yaitu minggu ketiga terjadi kenaikan pada semua ransum penelitian. Kondisi ini menunjukkan adanya fase recovery yang dialami mencit akibat ransum yang dikonsumsi. Peningkatan PBB pada ransum penelitian kecuali ransum R0 juga terjadi pada minggu keempat. Peningkatan yang cukup signifikan pada minggu keempat terjadi pada ransum R1, R3 dan R4. Hal ini disebabkan tingginya penyerapan zat makanan (bahan kering, bahan organik dan protein kasar) oleh mencit yang ditunjukkan dengan kecernaan yang tinggi seperti disajikan pada tabel 10. Dasril (2006) menyatakan bahwa penggunaan zeolit dapat menurunkan konsumsi BK ransum, konsumsi PK, konversi pakan, kadar air feses dan sangat nyata (P<0.01) meningkatkan pertambahan bobot badan. Hal ini sesuai dengan mencit yang mengkonsumsi ransum R4, dengan konsumsi zat makanan yang rendah namun penyerapannya cukup tinggi akibat ditambahkan zeolit menyebabkan PBB yang tinggi pula.
30
4.4.4. Protein Eficiency Ratio (PER) Nilai Protein Eficiency Ratio (PER) diperoleh dari membagi pertambahan bobot badan dengan jumlah protein ransum yang dikonsumsi. Perhitungan PER ransum merupakan metode termudah dan sering digunakan dalam melihat kualitas protein ransum (Wahju 1997). Kualitas protein ransum yang baik ditandai dengan nilai PER yang besar. Hal tersebut menggambarkan efisiennya protein ransum yang dimanfaatkan oleh tubuh untuk pertumbuhan (Tanuwiria 1994). Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa ransum kontrol yang disubstitusi dengan BBJP tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai PER ransum mencit selama penelitian (Lampiran 30). Namun, kualitas ransum yang paling baik dapat dilihat pada ransum R3 yang memiliki nilai PER tertinggi yaitu 0.31 sedangkan nilai PER terkecil ditunjukkan oleh ransum R1 yaitu 0.13. Ransum R3 memiliki nilai PER lebih tinggi dari ransum kontrol (0.18). Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa semakin tinggi taraf penambahan BBJP cenderung dapat meningkatkan nilai PER ransum walaupun secara statistik tidak nyata. Hal ini memberikan petunjuk bahwa penambahan BBJP dapat memperbaiki kualitas ransum.
4.4.5. Food Transformation Index (FTI) Nilai Food Transformation Index (FTI) diperoleh dari membagi konsumsi ransum dengan pertambahan bobot badan. FTI adalah satuan untuk melihat jumlah makanan yang dikonsumsi untuk menghasilkan satu satuan bobot badan. Dalam ilmu nutrisi ternak, cara untuk menghitung FTI sama dengan cara untuk menghitung nilai konversi pakan (ransum). Menurut Wahju (1997), konversi ransum adalah jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit pertambahan bobot badan, semakin besar dan tua ternak maka nilai konversi akan semakin tinggi, semakin tinggi nilai konversi maka akan memberikan indikasi bahwa ternak tersebut tidak efisien lagi. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa ransum kontrol yang disubstitusi dengan BBJP tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai FTI ransum mencit selama penelitian (Lampiran 31). Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui nilai FTI ransum berkisar antara 6.59-23.98. ransum yang memiliki nilai FTI terrendah adalah ransum R2 yaitu sebesar 6.59 sedangkan ransum dengan nilai FTI tertinggi ditunjukkan oleh ransum R1 yaitu sebesar 23.98.
4.4.6. Mortalitas Mortalitas merupakan jumlah atau persentase ternak yang mati dalam suatu populasi ternak tersebut berada. Menurut Blakely dan David ( 1991), mortalitas mencit dapat dipengaruhi oleh kualitas pakan, kepekaan terhadap penyakit, suhu dan kelembaban serta manajemen pemeliharaan mencit. Persentase mortalitas mencit berkisar antara 0-23.08%. Angka mortalitas terkecil ditunjukkan oleh ransum perlakuan R0 dan R2 sedangkan angka mortalitas tertinggi ditunjukkan oleh ransum perlakuan R4 yaitu 23.08% atau sebanyak 3 ekor selama penelitian. Mencit yang mati pada perlakuan R1 dan R3 sebanyak 1 ekor selama penelitian berlangsung atau memiliki tingkat mortalitas sebesar 7.69%. Mencit yang mati pada perlakuan R1 terjadi pada minggu ke 1 sedangkan mencit yang mati pada perlakuan R3 terjadi pada minggu ke 3. Hal ini menunjukkan bahwa kematian yang terjadi pada mencit R3 diduga bukan akibat mengkonsumsi ransum melainkan karena faktor lain seperti kondisi lingkungan yang kurang memungkinkan untuk mencit tersebut.
31
Tabel 12. Persentase Mortalitas Mencit selama Penelitian
Perlakuan
Mortalitas (%)
Minggu ke-
Jumlah mencit yang mati (ekor)
R0
0
-
-
R1
7.69
1
1
R2
0
-
-
R3
7.69
3
1
R4
23.08
4
3
Keterangan : R0=Ransum Kontrol (tanpa diberi BBJP), R1=95% R0 + 5% BBJP, R2 = 90% R0 + 10% BBJP, R3 = 85% R0 + 15% BBJP, R4 = 85% R0 + 10% BBJP yang mengandung 2.5% Zeolit.
32
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan Usaha detoksifikasi terbaik ditunjukkan oleh perlakuan dengan transesterifikasi dengan pencucian metanol. Detoksifikasi melalui proses transesterifikasi dengan pencucian metanol berpengaruh nyata (P<0.05) menurunkan kandungan proksimat sampel seperti kadar air, lemak, dan serat kasar serta kadar phorbol ester. Detoksifikasi melalui proses transesterifikasi dengan pencucian metanol terbukti dapat menurunkan kandungan phorbol ester dalam BBJP hingga mendekati 0.00%(Not Detected). Substitusi bungkil biji jarak pagar (BBJP) hasil detoksifikasi melalui proses transesterifikasi dengan pencucian metanol ke dalam ransum mencit nyata mempengaruhi tingkat konsumsi zat makanan namun tidak berpengaruh terhadap tingkat kecernaan makanan, PER (Protein Eficiency Ratio) dan FTI(Food Transformation Index). Ransum kontrol yang disubstitusi dengan BBJP tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap Pertambahan Bobot Badan (PBB) mencit selama penelitian. Namun, lama pengamatan terhadap PBB mencit memberikan pengaruh yang nyata terhadap PBB. Semakin lama pengamatan maka semakin meningkat PBB mencit. Perlakuan terbaik berdasarkan tingkat konsumsi zat makanan, tingkat kecernaan zat makanan, PBB, dan mortalitas yaitu ransum dengan perlakuan R3. Perlakuan ransum R3 (penambahan BBJP dengan taraf 15%) dapat menyamai tingkat konsumsi zat makanan pada R0 (ransum kontrol) namun belum dapat mengungguli atau menggantikan ransum R0.
5.2. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan taraf BBJP dalam ransum sehingga dapat menjadi pakan ternak seutuhnya.
33
DAFTAR PUSTAKA Aderibigbe, A. O., Johnson, C. O. L. E., Makkar, H. P. S. and Beckerm K. 1997. Chemical composition and effect of heat on organic matter and nitrogen degradability and some antinutritional components of Jatropha meal. Anim. Feed Sci. Technol. 67, 223-243. Afriyanti, M. 2008. Fermentabilitas Dan Kecernaan In Vitro Ransum yang Diberi Kursin Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Pada Ternak Sapi Dan Kerbau. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ahmed, W.A and Salimon, J. 2009. Phorbol Ester as a Toxic Constituents of Tropical Jatropha curcas Seed Oil. European Journal of Scientific Research. Vol.31 No.3 (2009), pp.429436. Aitken, A. 1986. The biochemical mechanism of action of phorbol esters. Di dalam: Evan, F.J. (Ed.), Naturally Occuring Phorbol Esters. Alamsyah, A.N. 2006. Yang beracun, yang berfaedah. http://groups.yahoo.com/group/agromania [30 Mei 2010] Anggorodi, R. 1984. Ilmu makanan ternak umum. PT Gramedia, Jakarta. Aregheore, E. M., Makkar, H. P. S. and Becker, K., 1998. Assessment of lectin activity in a toxic and a non-toxic variety of Jatropha curcas using latex agglutination and haemagglutination methods and inactivation of lectin by heat treatments. J. Sci. Food Agric. 77, 349-352 Aregheore, E.M., Becker, K., Makkar, H.P.S. 2003. Detoxification of a toxic variety of Jatropha curcas using heat and chemical treatments, and preliminary nutritional evaluation with rats. S. Pac. J. Nat. Sci. 21, 50-56. Arora, S.P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Blakely, J. and H. E. David. 1991. Ilmu Peternakan 4th Ed. Gajah Mada University, Yogyakarta. Chotimah, D. C. 2002. Kecernaan bahan kering, bahan organik dan protein kasar ransum yang mengandung ampas teh pada kelinci persilangan lepas sapih. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Church, D.C. 1979. Livestock Feed and Feeding. Printed by Durham and Doroney, Inc. 711 S.W. 14th Avenue. Portland, Oregon 97205 Dasril, R. 2006. Pengaruh Pemberian Zeolit Dalam Ransum Terhadap Performans Mencit (Mus musculus) Lepas Sapih.[Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Endra, Y. 2006. Analisis Proksimat dan Komposisi Asam Amino Buah Pisang Batu (Musa balbisiana Colla).[Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor Fajariah, N. 2007. Uji Biologis Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) Terdetoksifikasi Menggunakan Mencit (Mus musculus) Sebagai Hewan Coba.[Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Farhanuddin. 2009. Pengaruh Pemberian Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Terfermentasi Rhizopus oligosporus dalam Ransum Terhadap Performa Broiler. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Girindra, A. 1990. Biokimia I. PT Gramedia, Jakarta.
34
Gultom, C. 2008. Evaluasi in vitro Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) produk detoksifikasi perlakuan kombinasi pemanasan dengan larutan basa. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Haas, W., H., Sterk, and M. Mittelbach, 2002. “Novel 12-Deoxy-16-hydroxyphorbol Diesters Isolated from the Seed Oil of Jatropha curcas” J. Natural Product. 65: 1334-1440. Hadriyanah. 2008. Respon Konsumsi Dan Efisiensi Penggunaan Ransum Pada Mencit (Mus musculus) Terhadap Pemberian Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) Yang Didetoksifikasi.[Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Hambali, E., A. Suryani,Dadang, Hariyadi, H. Hanafie, I.K. Reksowardjojo, M. Rivai, M. Ihsanur, P. Suryadarma, S. Tjitrosemito, T.H. Soerawidjaja, T. Prawitasari, T. Prakoso dan W. Purnama. 2006. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta. Hasnam. 2007. Status perbaikan dan penyediaan bahan tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.). Prosiding Lokakarya II : Status Teknologi Tanaman Jarak Pagar, (Jatropha curcas L.), 7-16. Bogor, 29 November 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Heller, J. 1996. Physic nut. Jatropha curcas L. Promoting the conservation and use of underutilized and neglected crops 1. Institute of Plant Generics and Crop Plant Research, Gatersleben/International Plant genetic Resources Institute, Rome. Herman, R. 2003. Budidaya ternak ruminansia kecil. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hungate, R.E. 1996. The Rumen and its Microbes. New York: Academic press. Juniastica. 2008. Fermentabilitas Ransum Ternak Ruminansia Besar yang Diberi Ekstrak Curcin Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.).[Skripsi]. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mahajati, R. 2008. Efektivitas bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang difermentasi berbagai jenis kapang sebagai pakan mencit (Mus musculus).[Skripsi]. Bogor : Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Makkar, H.P.S., A.O. Aderibigbe, and K.Becker. 1998. Comparative evaluation of non-toxic and toxic varieties of Jatropha curcas for chemical composition, digestibility, protein degradability and toxic factors. Food Chemistry. 62(2) : 207-215. Makkar, H. P. S. and K. Becker. 1997. Potential of Jatropha curcas seed meal as a protein suplement to live stock feed, constraints to its utilization and possible strategies to overcome constraints. Symposium jatropha 97. Australian ministry of foreign affairs, Managua. Makkar, H.P.S and K. Becker. 2009. Review Article : Jatropha curcas, a promising crop for the generation of biodiesel and value-added coproducts. Eur. J. Lipid Sci. Technol. 2009, 111, 773–787 McDonald, P.R., A. Edwards, J.F.D.Greenhalg and C.A. Morgan. 2002. Animal Nutrition 6th Edition. LongmanScientific and Technical Co. Published in the United State with John Willey and Sons Inc., New York. McNamara, J. P. 2006. Principles of Companion Animal Nutrition. Pearson education. Upper Saddle River, New Jersey. Moriwaki , K., T. Shirosi and H. Yonekawa. 1994. Genetic in Wild Mice. Its Application to Biomedical Research. Tokyo: Japan societies press, Karger. Mumpton, F.A. and P.H. Fishman 1977. The Application of Natural Zeolites in animal Science and aquaculture.J. Anim. Sci. 45 (5): 1188-1203.
35
Nanholy, P. C. 2010. Dosis Toksik Dari Ekstrak dan Residu Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Menggunakan Pelarut Metanol pada Mencit (Mus musculus).[Skripsi]. Bogor : Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pambudi, A. N. 2008. Potensi Jarak Pagar Sebagai Tanaman Energi Di Indonesia. http://www.chem-is-try.org. [13 Mei 2010] Panda, R. 2007. Pengaruh Taraf Penambahan Zeolit Dalam Ransum Terhadap Performa Produksi sMencit (Mus musculus) Lepas Sapih Hasil Litter Size Pertama.[Skripsi]. Bogor : Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi Dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Pratiwi, A. S. 2010. Respon Tikus Putih (Rattus novergicus) Yang Dikontaminasi Radikal Bebas Terhadap Pemberian Tepung Delima (Punica granatum L.) sebagai Sumber Antioksidan.[Skripsi]. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Priyanto, U. 2007. Menghasilkan Biodiesel Jarak Pagar Berkualitas. Agromedia Pustaka, Jakarta. Putra, S. 2009. Detoksifikasi Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dengan Pelarut Organik dan Gelombang Mikro.[Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rug, M., F. Sporer, M. Wink, S. Y. Liu, R. Henning and A. Ruppel. 2006. Molluscicidal of Jatropha curcas against vector snails of the human parasites Schistosoma mansoni and S. Japonicum. Schuler, L. 2006. Model animals and quantitative genetics. Makalah kuliah umum. Fakultas peternakan IPB, Bogor. Smith, J. B. dan S. Mangkuwidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI Press. Soeharsono. 1978. Petunjuk Praktikum Biokimia. PAU Pangan dan Gizi, UGM Yogyakarta Soejono, M. dan K. A. Santoso. 1990. Pemanfaatan zeolit di bidang peternakan. Makalah seminar Zeo Agroindustri. Panghegar, Bandung. Sumartini, S. dan Kartasubrata J. 1992. Analisis Proksimat 1 dan 2. Kursus teknik kimia pangan, bandung 13-21 Januari 1992 Suparjo. 2008. Evaluasi pakan secara in vivo http://jajo66.files.wordpress.com [2 Agustus 2010] Sutardi, T. 1979. Ketahanan protein bahan makanan terhadap degradasi oleh mikroba rumen dan manfaatnya bagi peningkatan produktivitas ternak. Proceeding seminar dan penunjang peternakan, Lembaga Penelitian Peternakan, Bogor. Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi I. Fakultas Peternakan, IPB Bogor Sutarti, M. dan M. Rachmawati. 1994. Zeolit. Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, jakarta. Storer, T.I., R. L. Usinger, R.C. Stebbins and J.W. Nybaken. 1979. General Zoology 6th edition. McGraw Hill Book Company, New York. Tanuwiria, U. H. 1994. Penggunaan zeolit dan arang batok dalam ransum terhadap prestasi produksi dan kondisi hati serta usus halus itik mojosari jantan.[Tesis]. Bogor: Program pascasarjana, IPB.
36
Tilley, J. M. A. and R. A. Terry. 1963. A two stage technique for the in-vitro digestion of forage crops. Journal of British Grassland Soc. 18: 104-111. Trabi, M., G. M. Gubitz, W. Steiner and N. Foil. 1997. Fermentation of Jatropha curcas seeds and press cake with Rhyzopus oryzae. Dalam: Gubitz, G. M.,; Mittelbach 2002 M.; Biofuel and Industrial Product from Jatropha curcas. DBV-Verlag, Graz. Wahju. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Wardoyo, W. 2007. Pengaruh Taraf Penggunaan Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dalam Ransum Terhadap Penampilan Reproduksi (Mus musculus).[Skripsi]. Bogor : Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wulandari, L. D. 2007. Detoksifikasi dan uji toksisitas akut limbah bungkil biji jarak pagar terhadap tikus putih.[Skripsi]. Fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam.
37
LAMPIRAN
38
Lampiran 1. Prosedur uji analisis proksimat 1. Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sampel ditimbang dengan seksama sebanyak 1 – 2 gram pada sebuah botol timbang bertutup yang sudah diketahui bobotnya. Sampel dikeringkan dalam oven suhu 105°C selama 3 jam. Kemudian sampel didinginkan dalam desikator. Lalu sampel ditimbang. Pekerjaan diulangi hingga diperoleh bobot tetap. Perhitungan: Kadar air = w1 – w2
x 100%
w1 w1 = bobot sampel awal, dalam gram w2 = bobot sampel akhir setelah dikeringkan, dalam gram 2. Kadar Abu (SNI 01-2891-1992) Sampel ditimbang dengan seksama sebanyak 2 – 3 gram contoh ke dalam sebuah cawan porselen (atau platina) yang telah diketahui bobotnya. Untuk contoh cairan, sampel diuapkan di atas penangas air sampai kering. Kemudian diarangkan di atas nyala pembakar, lalu abukan dalam tanur listrik pada suhu maksimum 550°C sampai pengabuan sempurna (sekali-kali pintu tanur dibuka seedikit, agar oksigen bisa masuk). Lalu dinginkan dalam eksikator, kemudian timbang hingga diperoleh bobot tetap. Perhitungan: Kadar Abu = W1 – W2 x 100% W W = bobot contoh sebelum diabukan (gram) W1 = bobot contoh + cawan sesudah diabukan (gram) W2 = bobot cawan kosong (gram)
3. Kadar Lemak (SNI 01-2891-1992), Sampel ditimbang dengan seksama sebanyak 1 – 2 gram, lalu dimasukkan ke dalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas. Selongsong kertas berisi contoh disumbat dengan kapas, dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 80°C selama lebih kurang satu jam, kemudian dimasukkan ke dalam alat Soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah dikeringkan dan telah diketahui bobotnya. Ekstrak dengan heksana atau pelarut lemak lainnya selama lebih kurang 6 jam. Sulingkan heksana dan keringkan ekstrak lemak dalam oven pengering pada suhu 105°C. Dinginkan dan timbang. Pengeringan diulangi hingga tercapai bobot tetap. % Lemak = W2 – W1 x 100% W Keterangan :
W = bobot contoh (gram) W1 = bobot labu lemak kosong(gram) W2 = bobot labu lemak dan ekstrak (gram)
39
4. Kadar Serat (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 300 mL kemudian tambahkan 100 mL H2SO4 0.325 N. Bahan selanjutnya dimasukkan ke dalam otoklaf pada suhu 1050C selama 15 menit. Bahan didinginkan, kemudian ditambahkan 50 mL NaOH 1.25N,dimasukkan ke dalam otoklaf pada suhu 1050C selama 15 menit. Bahan disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah dikeringkan. Setelah iyu, kertas dicuci dengan campuran air panas dan 25 mL aseton atau alkohol. Residu beserta kertas saring dikeringkan dalam oven pada suhu 1100C selama 1-2 jam. Kadar serat (%) = (a-b) x N H2SO4 X 1000 w
Keterangan :
a = bobot residu dalam kertas saring yang telah dikeringkan (g) b = bobot kertas saring kosong (g) w = bobot sampel (g)
5. Kadar Protein (SNI 01-2891-1992) Pada pengujian kadar protein bungkil biji jarak ini digunakan metode kjeldhal yang dibagi menjadi tiga tahap yaitu: a) Destruksi Sampel ditambahkan H2SO4 pekat, sebelum sampel didekstruksi tambahkan campuran selen sebagai katalisator. Selen membantu proses oksidasi dan meningkatkan titik didih H2SO4 sehingga proses ini dapat dipercepat. Proses destruksi dilakukan hingga larutan kehijau-hijaun setelah dipanaskan. b) Destilasi Sampel yang telah didekstruksi dibiarkan dingin lalu diencerkan ke labu ukur 100 ml, pipet 5 ml dan masukkan ke labu kjeldhal serta tambahkan beberapa tetes indicator PP, 5 ml NaOH 30%. c) Titrasi Destilat dititrasi oleh HCl 0,01 N, titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna biru menjdi merah muda. Kadar protein kasar = (b-a) x N x 0.014 x 6.25 x 100% w Keterangan :
a = volume H2SO4 untuk titrasi blanko (mL) b = volume H2SO4 untuk titrasi contoh (mL) N = normalitas H2SO4 w = bobot sampel (mL)
40
Lampiran 2. Prosedur pembuatan ekstrak phorbol ester 1. Ekstraksi Phorbol Ester dari bungkil jarak (Modifikasi metode Makkar.et.al:1997) 1) Sebanyak 2-5 g bungkil jarak yang telah digiling dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse volume 50 ml, ditambah 15 ml methanol (100%) kemudian disonikasi pada 240W selama 3 menit pada suhu dingin dilanjutkan dengan sentrifugasi pada 3000 rpm selama 8 menit pada suhu ruang. 2) Supernatan dipisahkan dan proses ekstraksi diulang dua kali. Supernatan yang dihasilkan digabungkan dan siap dikeringkan. 3) Pelarut metanol dihilangkan menggunakan rotary evaporator pada tekanan vakum dan suhu tidak lebih dari 40 oC. 4) Segera setelah pemisahan pelarut, 2 ml metanol ditambahkan ke dalam labu yang berisi residu kering, labu disonikasi selama 3-4 menit dan cairan dipindahkan ke dalam tabung. Sebanyak 2 ml dan 1 ml metanol dipipet kembali dan ditambahkan ke dalam labu, labu disonikasi kembali dan cairan digabungkan dalam tabung hingga diperoleh 5 ml cairan. 5) Cairan metanol disentrifuse pada 10.000 rpm selama 10 menit. 6) Supernatan yang dihasilkan dilewatkan dalam 0,2 µm teflon atau nylon filter dan didiinjeksi (20 µm) ke dalam HPLC
Kuantifikasi Phorbol Ester dari bungkil jarak Metode Ahmed and Salimon, 2009) Instrument HPLC dan sistem pelarut yang dapat digunakan untuk kuantifikasi phorbol ester yaitu: Instrument : HPLC yang digunakan adalah HPLC-Shimadzu dengan Evaporator Light Scattering (ELS) detector dan auto injeksi. Packed C18 Column 5µm X120Å 4.6x250 mm(Germany). Kondisi kerja yang digunakan adalah : -
Suhu 35oC.
-
Mobile phase menggunakan acetone : acetonitril (20:80)
-
Flow rate 1 ml/min selama 30 menit.
-
Tekanan = 2,2 bar
41
Lampiran 3. Prosedur analisis uji in vitro 1.
Pengukuran KCBK dan KCBO •
Tabung fermentor yang telah di isi dengan 0.5 gr sampel, di tambahkan 40 ml larutan MC Dougall.
•
Tabung di masukan ke dalam shaker bath dengan suhu 39oC, kemudian diisi cairan rumen 10 ml,tabung di kocok dengan di aliri CO2 selama 30 detik, cek pH ( 6,5 – 6,9 ) dan kemudian di tutup dengan karet berfentilasi, dan di fermentasi selama 48 jam.
•
Setelah 48 jam, buka tutup karet tabung fermentor, teteskan 2 -3 tetes HgCl2 untuk membunuh mikroba.
•
Masukan tabung fermentor ke dalam centrifuge, lakukan centrifuge dengan kecepatan 4.000rpm selama 10 menit. Substrat akan terpisah menjadi endapan di bagian bawah dan supernatant yang bening berada di bagian atas.
•
Supernatan dibuang dan endapan hasil sentrifuge pada kecepatan 4.000 rpm selama 15 menit di tambahkan 50ml larutan pepsin-HCl 0.2%. Campuran ini lalu di inkubasi kembali selama 48 jam tanpa tutup karet.
•
Sisa pencernaan di saring dengan kertas saring whatman no 41 ( yang sudah diketahui bobotnya ) dengan bantuan pompa vacum. Endapan yang ada di kertas saring di masukan ke dalam cawan porselen, setelah itu dimasukkan ke dalam oven 105⁰C selama 24 jam.
•
Setelah 24 jam, cawan porselen+kertas saring+residu dikeluarkan, dimasukkan kedalam eksikator dan ditimbang untuk mengetahui kadar bahan keringnya.
•
Selanjutnya bahan dalam cawan di pijarkan atau di abukan dalam tanur listrik selama 6 jam pada suhu 450 – 600oC, kemudian ditimbang untuk mengetahui kadar bahan organiknya.
•
Sebagai blanko di pakai residu asal fermentasi tanpa bahan pakan. % KCBK= BK asal – (BK residu – BK blanko) x 100% BK asal
Keterangan :
% KCBO= BK asal – (BO residu – BO blanko) x 100% BO asal KCBK : kecernaan bahan kering KCBO : kecernaan bahan organik BK : bahan kering BO : bahan organik
2. Pengukuran konsentrasi NH3 ( Metoda mikrodifusi Conway ) •
Bibir cawan Conway dan tutupnya di olesi dengan vaselin,
•
Supernatan yang berasal dari proses fermentasi di ambil 1.0 ml kemudian di tempatkan pada salah satu ujung alur cawan Conway,
•
Larutan Na2CO3 jenuh sebanyak 1.0 ml di tempatkan pada salah satu ujung cawan Conway bersebelahan dengan supernatant ( tidak boleh campur ),
•
Larutan asam borat berindikator sebanyak 1.0 ml di tempatkan dalam cawan kecil yang terletak di tengah cawan Conway,
42
•
Cawan conway yang sudah di olesi vaselin di tutup rapat hingga kedap udara, larutan Na2CO3 di campur dengan supernatant hingga merata dengan cara menggoyang – goyangkan dan memiringkan cawan tersebut,
•
Setelah itu di biarkan selama 24 jam dalam suhu kamar,
•
Setelah 24 jam suhu kamar di buka, asam borat berindikator di titrasi dengan H2SO4 0.005 N sampai terjadi perubahan warna dari biru menjadi merah. Konsentrasi amonia (mM)= ml H2SO4 x N H2SO4 X 1000 Berat pakan x BK Pakan Ketengan : BK : bahan kering
3. Pengukuran Konsentrasi VFA ( Steam Destilation Method ) • Isi presscooker dengan aquadest sampai tanda MAX, • Kemudian pastikan air dari kran mengalir yang berfungsi sebagai pendingin, • Nyalakan kompor gas, sehingga aquadest yang ada dalam panic presscooker tersebut mendidih dan menghasilkan uap yang akan masuk ke tabung-tabung destilasi, dimana hal ini menandakan bahwa kita bias memulai analisis VFA, • Supernatan yang sama dengan analisa NH3 di ambil sebanyak 5 ml, kemudian di masukan kedalam tabung destilasi, • Tempatkan Erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0.5 N dibawah selang tampungan. • 1 ml H2SO4 15% di tambahkan ke tabung destilasi yang sudah ada larutan sampel, kemudian segera tutup penutup kacanya, • Bilas dengan aquadest secukupnya, • Uap air panas akan mendesak VFA dan akan terkondensasi dalam pendingin, • Air yang terbentuk di tampung labu Erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0,5N sampai mencapai 300 ml, • Indikator PP ( Phenol Pthalin ) di tambah sebanyak 2 – 3 tetes dan di titrasi dengan HCl 0,5N sampai warna titrat berubah dari merah menjadi tidak berwarna (bening). • Catatan : HCl 0,5 N sebagai titrant harus distandarisasi sehingga didapat konsentrasi dengan 4 digit dibelakang koma. Konsentrasi VFA (mM)=
Keterangan :
(a-b) x N H2SO4 X 1000 Berat pakan x BK Pakan
a = volume titran blanko (mL) b = volume titran contoh (mL)
43
Lampiran 4. Analisis statistika uji keragaman ANOVA uji lanjut Duncan pada kadar air Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Kadar.Air Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
585.785a
8
73.223
79.664
.000
Anprok
585.785
8
73.223
79.664
.000
Error
7.353
8
.919
Total
593.138
16
a. R Squared = ,988 (Adjusted R Squared = ,975) Kadar.Air Uji Lanjut Duncan Subset Perlakuan
N
1
2
3
C
2
2.4700
B
2
3.2900
MB
2
3.4550
MD
2
3.7300
MC
2
6.6950
MA
2
6.9250
A
2
8.1500
K
2
8.1500 9.5350
Sig.
.251
.184
.187
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,919. Lampiran 5. Analisis statistika uji keragaman ANOVA uji lanjut Duncan pada kadar lemak Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:kadar.lemak Source
Type III Sum of Squares
Model
2891.415
a
df
Mean Square
F
Sig.
8
361.427
279.941
.000
DETOKSIFIKASI
2891.415
8
361.427
279.941
.000
Error
10.329
8
1.291
Total
2901.743
16
a. R Squared = ,996 (Adjusted R Squared = ,993)
44
kadar.lemak Uji Lanjut Duncan Subset Detoksifikasi
N
1
2
3
MB
2
2.4600
B
2
2.6500
MA
2
3.6550
MC
2
4.4700
A
2
12.4000
C
2
13.8200
K
2
22.6300
MD
2
23.2900
Sig.
.135
.247
.577
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1,291. Lampiran 6. Analisis statistika uji keragaman ANOVA uji lanjut Duncan pada kadar serat Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:kadar.serat Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
28928.826
a
8
3616.103
224.449
.000
detoksifikasi
28928.826
8
3616.103
224.449
.000
Error
128.888
8
16.111
Total
29057.714
16
a. R Squared = ,996 (Adjusted R Squared = ,991)
45
kadar.serat Uji Lanjut Duncan Subset Detoksifikasi
N
1
2
3
C
2
34.93
MD
2
38.38
38.38
K
2
39.12
39.12
MB
2
40.67
40.67
B
2
45.11
45.11
45.11
MA
2
45.19
45.19
45.19
A
2
48.48
48.48
MC
2
\
56.96
Sig.
.057
.119
.057
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 16,111. Lampiran 7. Analisis statistika uji keragaman ANOVA uji lanjut Duncan pada kadar protein Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:PROTEIN Source
Type III Sum of Squares
Model
7498.191
a
df
Mean Square
F
Sig.
8
937.274
527.188
.000
DETOKSIFIKASI
7498.191
8
937.274
527.188
.000
Error
14.223
8
1.778
Total
7512.414
16
a. R Squared = ,998 (Adjusted R Squared = ,996)
46
PROTEIN Uji Lanjut Duncan Subset Detoksifikasi
N
1
2
3
4
5
MC
2
A
2
20.97
MD
2
20.73
20.73
C
2
21.07
21.07
B
2
K
2
25.28
MB
2
25.87
MA
2
Sig.
4.02
24.86
24.86
30.57 1.000
.380
.056
.208
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1,778.
47
Lampiran 8. Analisis statistika uji keragaman ANOVA terhadap kandungan phorbol ester
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:phorbol ester Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
8
159862.748
3.248E3
.000
1278901.983
8
159862.748
3.248E3
.000
Error
393.694
8
49.212
Total
1279295.678
16
Model
1.279E6
detoksifikasi
a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = ,999)
phorbol ester Uji Lanjut Duncan Subset Detoksifikasi
N
1
2
3
C
2
.0000
MB
2
.7850
B
2
1.0350
MC
2
1.1450
MA
2
18.9100
A
2
18.9850
MD
2
K
2
Sig.
4
73.9200 7.9578E2 .881
.992
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 49,212.
48
Lampiran 9. Hasil Kromatogram HPLC
Gambar 11. Kromatogram phorbol ester BBJP perlakuan transesterifikasi dengan pencucian air (A)
Gambar 12. Kromatogram phorbol ester BBJP perlakuan transesterifikasi dengan pencucian heksan (B)
49
Gambar 13. Kromatogram phorbol ester BBJP perlakuan transesterifikasi dengan pencucian metanol (C)
Gambar 14. Kromatogram phorbol ester BBJP perlakuan maserasi heksan-metanol (MA)
50
Gambar 15. Kromatogram phorbol ester bungkil jarak perlakuan maserasi heksan-metanol + autoklaf (MB)
Gambar 16. Kromatogram phorbol ester BBJP perlakuan perendaman NaOH + autoklaf (MC)
51
Gambar 17. Kromatogram phorbol ester BBJP perlakuan autoklaf /Kontrol (MD)
52
Lampiran 10. Hasil analisis statistik dengan ANOVA untuk NH3 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:NH3 Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
8956.273
a
7
1279.468
542.162
.000
detoksifikasi
8956.273
7
1279.468
542.162
.000
Error
16.520
7
2.360
Total
8972.792
14
a. R Squared = ,998 (Adjusted R Squared = ,996) NH3 Uji Lanjut Duncan Subset Detoksifikasi
N
1
2
3
4
MC
2
17.2500
MD
2
20.6150
A
2
MB
2
B
2
28.7500
C
2
29.1250
MA
2
29.3650
20.6150 23.1900
23.1900 26.0900
Sig.
.065
.138
.101
26.0900
.084
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 2,360.
Lampiran 11. Hasil analisis statistik dengan ANOVA untuk VFA Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:VFA Source
Type III Sum of Squares
Model
60646.000
a
df
Mean Square
F
Sig.
7
8663.714
30.816
.000
DETOKSIFIKASI
60646.000
7
8663.714
30.816
.000
Error
1968.000
7
281.143
Total
62614.000
14
a. R Squared = ,969 (Adjusted R Squared = ,937)
53
VFA Uji Lanjut Duncan Subset Detoksifikasi
N
1
2
3
A
2
38.5000
MD
2
49.5000
49.5000
MC
2
50.5000
50.5000
50.5000
MA
2
57.5000
57.5000
57.5000
MB
2
67.0000
67.0000
67.0000
B
2
86.0000
86.0000
C
2
93.0000
Sig.
.155
.081
.050
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 281,143.
Lampiran 12. Hasil analisis statistik dengan ANOVA untuk KCBK Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:KCBK Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
18837.442a
7
2691.063
46.522
.000
DETOKSIFIKASI
18837.442
7
2691.063
46.522
.000
Error
404.912
7
57.845
Total
19242.354
14
a. R Squared = ,979 (Adjusted R Squared = ,958)
54
KCBK Uji Lanjut Duncan Subset Detoksifikasi
N
1
2
MC
2
17.3050
A
2
29.6050
29.6050
MB
2
35.4400
35.4400
B
2
39.4800
MA
2
39.6450
C
2
42.7950
MD
2
45.0000
Sig.
.056
.101
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 57,845.
Lampiran 13. Hasil analisis statistik dengan ANOVA untuk KCBO
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:KCBO Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
20149.079a
7
2878.440
83.037
.000
Detoksifikasi
20149.079
7
2878.440
83.037
.000
Error
242.652
7
34.665
Total
20391.731
14
a. R Squared = ,988 (Adjusted R Squared = ,976)
55
KCBO Uji Lanjut Duncan Subset Detoksifikasi
N
1
2
MC
2
21.0750
A
2
31.5750
MB
2
36.5650
MA
2
38.6450
B
2
39.7000
C
2
45.5250
MD
2
46.4150
Sig.
31.5750
.118
.052
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 34,665.
Lampiran 14. Kadar proksimat standar pakan untuk beberapa hewan ternak SNI 3148.3:2009
SNI 3148.1:2009
ayam petelur (%)
SNI 3148.5:2009 ayam ras pedaging (%)
sapi perah dara (%)
SNI 3148.2:2009 sapi potong induk (%)
air
maks 14
maks 14
maks 14
maks 14
abu
maks 35
maks 5
maks 10
maks 12
Lemak
maks 5
3,0-8,0
maks 7
maks 6
Protein
min 30
min 36
min 15
min 6
serat
maks 8
maks 8
maks 30
maks 35
parameter
Lampiran 15. ANOVA Konsumsi Segar Ransum SK Perlakuan Error Total Keterangan :
db
JK 4 20 24
KT 793.72 486.89 1.280.61
198.43 24.34 53.36
Fhit 8.15*
F0.05
F0.01
2.87
4.43
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0.05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0.05) F0.01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0.01) Tanda * menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0.05)
56
Lampiran 16. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Konsumsi Segar Ransum db R0R3 vs R1R2R4 R0 vs R3 R2 vs R1R4 R1 vs R4 Keterangan :
JKC
KTP
1 1 1 1
638.63 2.82 146.99 5.27
Fhit
638.63 2.82 146.99 5.27
F0,05
26.23* 0.12 6.04** 0.22
F0,01
4.35 4.35 4.35 4.35
8.10 8.10 8.10 8.10
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0.05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0.05) F0.01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0.01) Tanda * menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0.01) Tanda ** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0.05)
Lampiran 17. ANOVA Konsumsi Bahan Kering Ransum SK
db
Perlakuan Error Total Keterangan :
JK 4 20 24
KT
Fhit
424.47 353.25 777.72
106.12 17.66 32.41
F0.05
6.01*
F0.01
2.87
4.43
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0.05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0.05) F0.01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0.01) Tanda * menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 18. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Konsumsi Bahan Kering Ransum db
JKC
KTP
Fhit
F0.05
F0.01
R0R3 vs R1R2R4
1
299.32
299.32
16.95*
4.35
8.10
R0 vs R3
1
30.81
30.81
1.74
4.35
8.10
R2 vs R1R4
1
90.51
90.51
5.12**
4.35
8.10
1
3.84
3.84
0.22
4.35
8.10
R1 vs R4 Keterangan :
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0.05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0.05) F0.01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0.01) Tanda * menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0.01) Tanda ** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0.05)
Lampiran 19. ANOVA Konsumsi Bahan Organik Ransum SK Perlakuan Error Total Keterangan :
db
JK
KT
Fhit
4
350.41
87.60
20
288.10
14.40
24
638.51
26.60
F0.05 6.08*
F0.01 2.87
4.43
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0.05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0.05) F0.01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0.01) Tanda * menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0.01)
57
Lampiran 20. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Konsumsi Bahan Organik Ransum db
JKC
KTP
Fhit
F0.05
F0.01
R0R3 vs R1R2R4
1
242.39
242.39
16.83*
4.35
8.10
R0 vs R3
1
39.15
39.15
2.72
4.35
8.10
R2 vs R1R4
1
63.76
63.76
4.43**
4.35
8.10
1
5.11
5.11
0.35
4.35
8.10
R1 vs R4 Keterangan :
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0.05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0.05) F0.01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0.01) Tanda * menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0.01) Tanda ** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0.05)
Lampiran 21. ANOVA Konsumsi Protein Kasar Ransum SK
db
JK
Perlakuan Error Total Keterangan :
KT
Fhit
4
63.17
15.79
20
22.70
1.14
24
85.87
3.58
F0.05
13.91*
F0.01 2.87
4.43
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0.05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0.05) F0.01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0.01) Tanda * menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 22. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Konsumsi Protein Kasar Ransum Perlakuan
db
R0R3 vs R1R2R4 R0 vs R3 R2 vs R1R4 R1 vs R4 Keterangan :
JKC 1 1 1 1
KTP
45.86 0.13 9.69 7.49
45.86 0.13 9.69 7.49
Fhit
F0.05
40.40* 0.11 8.53* 6.60**
F0.01
4.35 4.35 4.35 4.35
8.10 8.10 8.10 8.10
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0.05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0.05) F0.01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0.01) Tanda * menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0.01) Tanda ** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0.05)
Lampiran 23. ANOVA Konsumsi Energi Ransum
SK Perlakuan Error Total Keterangan :
db
JK 4 20 24
db Fhit F0.05 F0.01
KT 8.86 199.02 207.88
Fhit 2.21 9.95 8.66
F0.05 0.22
2.87
= derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0.05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0.01)
58
Lampiran 24. ANOVA Kecernaan Protein Kasar (KCPK)
SK
db
Perlakuan Error Total Keterangan :
db Fhit F0.05
JK
KT
Fhit
4
30,06
7,51
20
582,92
29,15
24
612,97
25,54
F0,05 0,2578113
2,87
= derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0.05)
Lampiran 25. ANOVA Kecernaan Bahan Organik (KCBO) SK
db
Perlakuan Error Total Keterangan :
db Fhit F0.05
JK
KT
Fhit
4
8,86
2,21
20
199,02
9,95
24
207,88
8,66
F0,05 0,22
2,87
= derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0.05)
Lampiran 26. ANOVA Kecernaan Bahan Bahan Kering (KCBK) SK
db
Perlakuan Error Total Keterangan :
db Fhit F0.05
JK
KT
Fhit
4
25,04
6,26
20
378,71
18,94
24
403,75
16,82
F0,05 0,33
2,87
= derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0.05)
59
Lampiran 27. Perbandingan Tingkat Konsumsi
persentase (%)
80 60 bahan segar
40
Bahan Kering 20
Bahan Organik
0
Protein Kasar RO
R1
R2
R3
R4
Perlakuan
Kal/ ekor/minggu
Gambar 10. Diagram Batang Konsumsi Zat makanan 350,000.00 300,000.00 250,000.00 200,000.00 150,000.00 100,000.00 50,000.00 0.00
ENERGI
R0
R1
R2
R3
R4
Perlakuan Gambar 11. Diagram Batang Konsumsi Energi
Lampiran 28. Perbandingan Tingkat Kecernaan
PERSENTASE(%)
92 90 88 86
Protein Kasar
84
Bahan Kering
82
Bahan Organik
80 R0
R1
R2
R3
R4
Perlakuan Gambar 12. Diagram Batang Tingkat Kecernaan
60
Lampiran 29. Hasil analisis statistik dengan ANOVA terhadap pertambahan bobot badan (PBB).
Sumber keragaman
DF
JK
KT
F HIT
Signifikansi
Waktu (Ai)
3
239.91
79.97
12.11*
<.0001
Jenis Ransum (Bi)
4
7.79
1.95
0.30
0.88
12
102.35
8.53
1.29
0.23
Error
180
1188.34
6.60
Total
199
1538.40
Interaksi (AiBi)
Keterangan :
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data Tanda * menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 30. Hasil Uji Duncan pengaruh lama pengamatan (waktu) terhadap PBB Duncan Grouping
Mean
N
Minggu
A
3.7860
50
IV
B
2.1560
50
I
B
2.0520
50
III
C
0.6960
50
II
Keterangan :
Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Lampiran 31. Hasil analisis statistik dengan ANOVA terhadap PER
SK Perlakuan Error Total Keterangan :
db
JK 4 20 24
db Fhit F0.05
KT 0.11 0.84 0.95
0.03 0.04 0.04
Fhit 0.65
F0.05 2.87
= derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0.05)
61
Lampiran 32. Hasil analisis statistik dengan ANOVA terhadap FTI.
SK
db
Perlakuan Error Total Keterangan :
db Fhit F0.05
JK
KT
Fhit
4
318.60
79.65
20
21,048.19
1,052.41
24
21,366.79
890.28
F0.05 0.08
2.87
= derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0.05)
62