FERMENTABILITAS DAN KECERNAAN in vitro RANSUM YANG DIBERI KURSIN BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) PADA TERNAK SAPI DAN KERBAU
SKRIPSI MERI AFRIYANTI
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN MERI AFRIYANTI. D24104031. 2008. Fermentabilitas dan Kecernaan in vitro Ransum yang Diberi Kursin Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) pada Ternak Sapi dan Kerbau. Skripsi. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing anggota
: Dr. Ir. Komang G. Wiryawan : Ir. Anita S. Tjakradidjaja, M.Rur.Sc.
Bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan salah satu produk ikutan dari pengolahan minyak jarak sebagai biodiesel. Pengolahan biji jarak menjadi biodiesel menghasilkan bungkil biji jarak pagar (BBJP) sebanyak 0,4 ton dari satu ton biji kering dan mengandung protein cukup tinggi yaitu berkisar 50-58 %. Namun beberapa zat antinutrisi dan racun yang terkandung dalam BBJP antara lain kursin, phorbolester, trypsin inhibitor, saponin dan tanin dapat mengganggu proses pencernaan jika diberikan pada ternak secara berlebihan. Kursin atau lektin merupakan fitotoxin yang memiliki molekul protein besar, kompleks dan sangat beracun yang secara spesifik berinteraksi dengan molekul gula (karbohidrat). Senyawa ini dapat mematikan sel dan bertanggungjawab besar sebagai katalis yang mempercepat kerusakan ribosom pada sel eukariotik, namun hal ini masih belum banyak dipelajari. Keragaman mikroba rumen diantara ternak ruminansia menghasilkan kemampuan toleransi yang berbeda terhadap zat antinutrisi dan racun. Adanya keragaman toleransi terhadap zat antinutrisi dan racun pada mikroba rumen ini, kemungkinan terjadi pula terhadap kursin BBJP. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui toleransi mikroba cairan rumen ternak ruminansia (sapi dan kerbau) terhadap kursin BBJP berdasarkan fermentabilitas dan kecernaan in vitro. Penelitian ini dilaksanakan selama 7 bulan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, dan Laboratorium Terpadu, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial 4 x 2 x 2 dengan 3 ulangan dan dilakukan dua kali (duplo). Faktor A adalah tingkat pemberian ekstrak kursin dalam ransum yaitu 0%, 1%, 2% dan 3% (v/w). Faktor B adalah cairan rumen ternak sapi dan kerbau. Faktor C adalah waktu inkubasi 0 dan 3 jam. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA), jika berbeda nyata dilakukan uji ortogonal kontras. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa populasi protozoa, populasi bakteri total, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik dari rumen kerbau sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi daripada cairan rumen sapi. Penambahan taraf ekstrak kursin dalam ransum berpengaruh sangat nyata (P<0,01) menurunkan populasi protozoa total dan tidak berpengaruh pada konsentrasi amonia, konsentrasi VFA, populasi bakteri total, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik. Kesimpulan penelitian ini adalah taraf ekstrak kursin sampai 3% dalam ransum tidak mempengaruhi fermentabilitas dan kecernaan zat-zat makanan secara in vitro. Kata-kata kunci
: Jatropha curcas, kursin, fermentabilitas, kecernaan, sapi dan kerbau.
2
ABSTRACT In vitro Fermentabiliy and Digestibility of Curcin Containing Ration by Rumen Microbes of Cattle and Buffalo M. Afriyanti, K. G. Wiryawan, and A. S. Tjakradidjaja. The objective of this study was to evaluate rumen microbial activity, fermentability and digestibility in vitro as affected by curcin extract of Jatropha curcas. Curcin, purified from the seeds of Jatropha curcas, can be used as a cell-killing agent and catalytically damaging ribosomes in eucaryotic cells. This study was arranged in a factorial Randomized Block Design (4 x 2 x 2) with three replications. The first factor was level of curcin (0%, 1%, 2% and 3% v/w). The second factor was rumen fluid from cattle and buffaloes and the third factor was incubation period (0 and 3 hour). Data were analyzed using analysis of variance (ANOVA) and differences between treatments were determined with contrast orthogonal. The results showed that protozoal population, total bacterial population, dry matter and organic matter digestibilities of buffaloes rumen fluid were significantly (P<0.01) higher than those of cattle rumen fluid. In addition, curcin level significantly reduced protozoal population (P<0.01), but did not affect ammonia and VFA concentrations, bacterial populations, dry matter and organic matter digestibilities. The conclusion was that the addition of curcin from Jatropha curcas up to 3% did not have negative effects on fermentability and digestibility, but curcin was predicted to inhibit protein synthesis in eucaryotic cells by catalytically damaging ribosomes of protozoa. Key words : Jatropha curcas, curcin, fermentability, digestibility, cattle, buffalo
3
FERMENTABILITAS DAN KECERNAAN in vitro RANSUM YANG DIBERI KURSIN BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) PADA TERNAK SAPI DAN KERBAU
MERI AFRIYANTI D24104031
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
4
FERMENTABILITAS DAN KECERNAAN in vitro RANSUM YANG DIBERI KURSIN BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) PADA TERNAK SAPI DAN KERBAU
Oleh MERI AFRIYANTI D24104031
Skripsi ini telah disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 10 Juli 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Komang G. Wiryawan NIP. 131 671 601
Ir. Anita S. Tjakradidjaja, M.Rur. Sc. NIP. 131 624 189
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. NIP. 131 955 531
5
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Karawang pada hari Rabu tanggal 9 April 1986. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara dengan empat orang kakak dan satu orang adik dari pasangan bapak H.Syarifudin dan ibu Hj. Ramaini. Pendidikan penulis diawali dengan memasuki jenjang Sekolah Dasar Negeri (SDN) Adiardsa 5 Karawang pada tahun 1992 dan lulus tahun 1998, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 2 Karawang dan lulus pada tahun 2001. Setelah itu penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 1 Karawang lulus tahun 2004. Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur USMI. Selama kuliah penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan yaitu Himpunan Mahasiswa Nutrisi Ternak (HIMASITER) periode 2006-2007 sebagai Staf Biro Magang.
6
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi ini berjudul “Fermentabilitas dan Kecernaan in vitro Ransum yang Diberi Kursin Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) pada Ternak Sapi dan Kerbau”. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, Laboratorium Nutrisi Ternak Perah dan Laboratorium Terpadu, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor selama 7 bulan dari bulan Juli 2007 hingga bulan Februari 2008. Pengolahan biji jarak menjadi biodiesel menghasilkan bungkil biji jarak pagar (BBJP) sebanyak 0,4 ton dari satu ton biji kering dan mengandung protein cukup tinggi yaitu berkisar 50-58 %. Namun beberapa zat antinutrisi dan racun yang terkandung dalam BBJP dapat menghambat proses pencernaan dan kerusakan sel jika diberikan pada ternak. Keragaman mikroba rumen diantara ternak ruminansia menghasilkan kemampuan toleransi yang berbeda terhadap zat antinutrisi dan racun. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui toleransi mikroba cairan rumen ternak ruminansia (sapi dan kerbau) terhadap zat kursin pada bungkil biji jarak pagar berdasarkan fermentabilitas dan kecernaan in vitro dengan harapan bungkil biji jarak pagar dapat digunakan secara maksimal sebagai ransum ternak ruminansia. Skripsi ini memang masih jauh dari sempurna. Namun demikian semoga skripsi ini dapat bermanfaat sebagai sumber informasi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah ikut berperan serta sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Bogor, Juli 2008
Penulis
7
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN .............................................................................................
ii
ABSTRACT ...............................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ................................................................................
vii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ......................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang ............................................................................... Perumusan Masalah ....................................................................... Tujuan ............................................................................................
1 2 3
TINJAUAN PUSTAKA Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) .................................................... Kursin, Risin dan Lektin ................................................................ Phorbolester ................................................................................... Pencernaan Fermentatif dalam Rumen ............................................ Konsentrasi Amonia ....................................................................... Konsentrasi VFA ............................................................................. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik .................................
4 8 12 12 15 17 19
METODE Lokasi dan Waktu ........................................................................... Materi Bahan .................................................................................... Bungkil Biji Jarak Pagar (BBJP) ............................................ Cairan Rumen ....................................................................... Alat ....................................................................................... Rancangan Perlakuan ............................................................................... Model..................................................................................... Peubah ................................................................................... Prosedur Ekstraksi Kursin Bungkil Biji Jarak Pgar................................ Pencernaan Fermentatif .......................................................... Analisis Konsentrasi Amonia ................................................ Analisis Konsentrasi VFA ....................................................
21 21 21 21 21 22 22 23 23 24 24 25
8
Populasi Bakteri Total ............................................................ Populasi Protozoa Total.......................................................... Analisis KCBK dan KCBO ....................................................
25 26 26
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum............................................................ Konsentrasi Amonia ........................................................................ Konsentrasi VFA ............................................................................ Populasi Bakteri Total ..................................................................... Populasi Protozoa Total................................................................... Kecernaan Bahan Kering (KCBK) ................................................. Kecernaan Bahan Organik (KCBO) ...............................................
28 29 32 33 36 39 40
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .................................................................................... Saran ..............................................................................................
42 42
UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................
43
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
44
LAMPIRAN ...............................................................................................
48
9
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Komposisi Nutrien dan Fraksi Serat BBJP tanpa Cangkang, BBPJ dengan Cangkang dan Cangkang Biji Jarak Pagar ...................
7
2. Jumlah Bakteri dan Protozoa Rumen pada Sapi dan Kerbau yang Diberi Pakan Berserat Tinggi..............................................................
13
3. Kandungan Nutrien Ransum Penelitian...............................................
28
4. Rataan Konsentrasi Amonia (mM) pada Ransum yang Diberi Perlakuan Ekstrak Kursin BBJP dari 0-3 Jam Waktu Inkubasi ........................... 30 5. Rataan Konsentrasi VFA (mM) pada Ransum yang Diberi Perlakuan Ekstrak Kursin BBJP dari 0-3 Jam Waktu Inkubasi ............................
32
6. Rataan Populasi Bakteri Total (x108 CFU/ml) pada Ransum yang Diberi Perlakuan Ekstrak Kursin BBJP dari 0-3 Jam Waktu Inkubasi............ 35 7. Rataan Populasi Protozoa Total (x 105 sel/ml) pada Ransum yang Diberi Perlakuan Ekstrak Kursin BBJP dari 0-3 Jam Waktu Inkubasi............ 37 8. Rataan Kecernaan Bahan Kering (%) Ransum yang Diberi Perlakuan Ekstrak Kursin BBJP ........................................................................
40
9. Rataan Kecernaan Bahan Organik (%) Ransum yang Diberi Perlakuan Ekstrak Kursin BBJP..........................................................................
41
10
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Jatropha curcas ................................................................................
4
2. Biji dan Daun Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) ................................
5
3. Bagan Eksploitasi Tanaman Jarak Pagar ...........................................
6
4. Rumus Bangun Risin dan Mekanisme Aksi Risin ...............................
9
5. Rumus Bangun dari Lektin .................................................................
10
6. Rumus Bangun dari Phorbolester.......................................................
12
7. Alur Degradasi Protein dalam Rumen ...............................................
16
8. Skema Fermentasi Karbohidrat .........................................................
18
11
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Komposisi Pembuatan Larutan Buffer Fosfat-NaCl pH 7,2 Dingin yang Mengandung 0,2 M NaCl ................................................................... 49 2. Komposisi dan Pembuatan Garam Formalin .......................................
49
3. Komposisi dan Pembuatan Media.......................................................
49
4. Komposisi dan Cara Pembuatan Larutan McDougall..........................
50
5. Sidik Ragam Konsentrasi Amonia Perlakuan Ekstrak Kursin 0-3 Jam Waktu Inkubasi ..................................................................................
51
6. Sidik Ragam Konsentrasi VFA Perlakuan Ekstrak Kursin 0-3 Jam Waktu Inkubasi ..................................................................................
52
7. Sidik Ragam Bakteri Total Perlakuan Ekstrak Kursin 0-3 Jam Waktu Inkubasi ..................................................................................
52
8. Sidik Ragam Jumlah Populasi Protozoa Perlakuan Ekstrak Kursin 0-3 Jam Waktu Inkubasi ...........................................................................
53
9. Sidik Ragam Kecernaan Bahan Kering ..............................................
53
10. Sidik Ragam Kecernaan Bahan Organik .............................................
54
12
PENDAHULUAN Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya populasi manusia mengakibatkan tingginya kebutuhan masyarakat akan protein hewani. Ransum berupa hijauan merupakan salah satu faktor terpenting dalam menjaga kelestarian ternak ruminansia. Sementara itu ketersediaan hijauan makanan ternak yang semakin sulit secara langsung dapat menurunkan produktivitas ternak ruminansia yang memiliki peranan penting dalam penyediaan protein hewani nasional. Oleh sebab itu, perlu adanya ransum alternatif yang berkualitas tinggi, mudah didapat dalam jumlah yang besar dan memiliki harga yang relatif murah. Jarak pagar saat ini sedang marak dikembangkan di Indonesia sebagai penghasil minyak jarak pagar yang kemudian dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan bahan bakar minyak dan sebagai biodiesel. Pemerintah sedang mengembangkan biodiesel tersebut sebagai alternatif untuk mengurangi tekanan permintaan bahan bakar minyak sehingga akan menghasilkan limbah yang begitu besar. Kandungan nutrien biji jarak pagar ialah protein kasar sebesar 19-31 %, lemak 43-59 %, NDF 3,5-6,1 % dan kadar abu sebesar 3,4-5,0 %. Sedangkan gross energinya sebesar 28,5-31,2 MJ/kg. Limbah pengolahan dari industri pertanian ini berupa bungkil biji jarak pagar (BBJP) dengan kandungan protein yang cukup tinggi yaitu berkisar 50-58 % (Makkar et al., 1997) sehingga sangat baik bila dimanfaatkan sebagai ransum ternak ruminansia. Hal tersebut didukung dengan penggunaannya yang tidak bersaing dengan manusia dan tanaman ini juga memiliki tingkat adaptasi yang tinggi terhadap iklim serta keadaan tanah di Indonesia bahkan pada kondisi lahan kritis. Sejak tahun 2005, jarak pagar telah ditanam di beberapa lokasi di Indonesia. Sekitar satu ton biji kering akan menghasilkan 200-300 liter minyak jarak dan 0,4 ton BBJP sehingga tidak perlu khawatir akan ketersediaannya (Brojonegoro et al., 2005). Penggunaan BBJP sebagai ransum ternak ruminansia perlu perhatian khusus walaupun protein yang terkandung di dalamnya cukup tinggi. Hal ini dikarenakan bungkil biji jarak pagar memiliki sejumlah zat antinutrisi yang dapat menghambat penggunaannya. Zat antinutrisi tersebut yaitu kursin atau lektin, tanin, saponin, antitripsin dan phorbolester (Makkar et al., 1998). Kursin dan phorbolester tersebut
13
merupakan zat antinutrisi utama yang memiliki konsentrasi tinggi dan bersifat toksin bila dikonsumsi. Ternak ruminansia merupakan jenis ternak yang memiliki keunggulan dalam mencerna ransum, terutama hijauan. Ruminansia mempunyai mikroba rumen yang dapat memanfaatkan ransum berserat kasar tinggi dan rendah protein menjadi ransum yang bernilai gizi tinggi. Kemampuan mikroba tersebut berbeda-beda tiap jenis ruminansia. Sebagai contoh, Woodward dan Reed (1995) menyatakan bahwa keunggulan dari kerbau ialah mampu mencerna serat kasar lebih efisien dibandingkan ternak ruminansia lainnya. Mikroba rumen juga dapat beradaptasi dengan zat antinutrisi dalam ransum, namun dengan kemampuan yang berbeda-beda pada setiap jenis ternak ruminansia. Seperti pada penelitian Hakim (2002) yang menyatakan bahwa ketahanan mikroba rumen sapi paling tinggi dibandingkan ternak ruminansia lain terhadap efek negatif Acacia villosa dan asam amino 2,4diaminobutyric acid (DABA). Adanya periode adaptasi menyebabkan mikroba rumen dapat mendetoksifikasi dan membentuk resistensi terhadap kandungan toksin dalam ransum sehingga dapat memproteksi inang dari bahaya keracunan (Odenyo et al., 1999). Oleh sebab itu kemampuan mikroba tersebut diharapkan juga dapat mendetoksifikasi kursin sehingga aman digunakan dalam ransum ternak ruminansia. Perumusan Masalah Pemanfaatan bungkil biji jarak pagar sebagai ransum ternak ruminansia perlu mendapatkan perhatian serius. Bungkil biji jarak pagar diakui memiliki kandungan protein kasar yang tinggi yaitu 50-58 % (Makkar et al., 1997), namun adanya kandungan zat antinutrisi berupa kursin dan phorbolester yang merupakan senyawa toksin tersebut dapat mengganggu proses pencernaan di dalam tubuh ternak ruminansia. Mikroba rumen ternak ruminansia memiliki daya adaptasi yang tinggi dan berbeda-beda terhadap berbagai jenis zat antinutrisi dalam ransum hijauan, Ulya (2007) menyatakan bahwa perbedaan cairan rumen ternak ruminansia yang diberi BBJP secara in vitro berpengaruh terhadap konsentrasi amonia, konsentrasi VFA, populasi protozoa dan bakteri proteolitik. Sebagai upaya untuk memaksimalkan potensi pemanfaatan bungkil biji jarak pagar dan meminimalisir gangguan pencernaan yang disebabkan oleh zat antinutrisi tersebut, perlu adanya penelitian
14
mengenai taraf kursin dalam BBJP yang dapat ditolerir oleh mikroba rumen ternak ruminansia sehingga aman digunakan. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toleransi mikroba rumen yang berasal dari ternak ruminansia sapi dan kerbau terhadap kursin bungkil biji jarak pagar berdasarkan fermentabilitas rumen dan kecernaan in vitro.
15
TINJAUAN PUSTAKA Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Jatropha curcas dikenal sebagai tanaman pagar dan umumnya ditanam sepanjang tepi jalan, oleh sebab itu dikenal dengan sebutan tanaman jarak pagar (Gambar 1). Perdu asal Amerika ini memiliki klasifikasi sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Tracheobionta Super divisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas
: Rosidae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Jatropha
Spesies
: Jatropha curcas Linn. (Biotechcitylucknow, 2007)
Gambar 1. Jatropha curcas (Biotechcitylucknow, 2007) Jatropha curcas L. (physic nut or purging nut) banyak tumbuh di negara Amerika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, India dan Afrika (Scmook dan SeraltaPeraza, 1997). Ada empat varietas Jatropha curcas yaitu varietas Cape Verde, Nicaragua, Ife-Nigeria dan non-Toxic Mexico (Makkar et al., 1997). Tanaman ini
16
dapat tumbuh dengan cepat dan baik meskipun ditanam pada tanah yang miskin hara dan tahan akan kondisi kering dan penyakit. Tinggi tanaman perdu ini berkisar 3-8 m dengan buah yang memiliki tiga ruang sebagai tempat biji yang berbentuk bulat lonjong berwarna coklat kehitaman. Daunnya berupa daun tunggal, berlekuk, bersudut tiga atau lima, tulang daun menjari dengan 5-7 tulang utama, warna daun hijau (permukaan bawah lebih pucat dibandingkan atas) dan panjang tangkai daun antara 4-15 cm (Gambar 2). Batang tanaman ini mempunyai percabangan yang tidak beraturan dengan biji jarak yang dihasilkan setiap tahun sampai 5 ton per hektar (Heller, 1996). Produktivitas jarak pagar per pohon mencapai 2-2,5 kg biji kering. Satu hektar lahan dapat ditanami 2.000 batang pohon jarak. Satu ton biji kering dapat menghasilkan 200-300 liter minyak jarak dan 0,4 ton bungkil, sehingga satu hektar lahan dapat menghasilkan 1.000 sampai 1.500 liter minyak jarak dengan 2 ton bungkil biji jarak. Sejak tahun 2005 di beberapa wilayah Indonesia telah dilaksanakan penanaman pohon jarak sekitar 3.000 hektar (Brojonegoro et al., 2005). Potensi ini cukup besar untuk menjadikan limbah minyak jarak berupa bungkil sebagai ransum ternak ruminansia.
Gambar 2. Biji dan daun Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Biji jarak pagar mengandung minyak jarak sebesar 60%. Minyak jarak ini digunakan sebagai bahan bakar diesel dan pelumas serta digunakan pula sebagai bahan pembuat sabun (kosmetik) pupuk dan obat-obatan. Sedangkan kandungan nutrien biji jarak pagar ialah protein kasar sebesar 19-31 %, lemak 43-59 %, NDF 3,5-6,1 %, kadar abu 3,4-5,0 % dan gross energinya sebesar 28,5-31,2 MJ/kg (Makkar et al., 1997). Bungkil biji jarak pagar merupakan limbah dari pengolahan minyak jarak pagar sebagai biodisel. Bungkil yang sudah tidak mengandung minyak jarak ini memiliki kandungan protein 50-58 %. Kandungan asam amino dari bungkil biji jarak
17
pagar cukup tinggi kecuali lisin sehingga sangat potensial untuk digunakan sebagai ransum ternak sumber protein. Namun kandungan antinutrisi dalam bungkil ini dapat menjadi racun bagi beberapa hewan seperti mencit, tikus dan ruminansia (Becker dan Makkar, 1998), sedangkan biji jarak pagar dapat menimbulkan iritasi, diare, mual dan nyeri pada perut. Dua buah biji jarak pagar dapat berfungsi sebagai pencahar perut dan 4-5 buah biji jarak dapat menimbulkan kematian terutama pada anak-anak (Duke dan Atchley, 1983).
Jatropha curcas -Pengendali erosi
-Kayu bakar
-Tanaman pagar
-Pelindung tanaman
Daun
Buah
Lateks
-Pakan ulat sutera -Obat-obatan -Zat anti radang Biji
Kulit Buah
-Insektisida
-Material bakaran
-Pakan ternak (varietas non-toksik)
-Pupuk hijau -Produksi biogas
Tempurung Biji
Bungkil Biji
Minyak Biji
-Material bakaran
-Pupuk
-Produksi sabun
-Biogas
-Bahan bakar
-Pakan ternak (varietas non-toksik)
-Insektisida -Obat-obatan
Gambar 3. Bagan Eksploitasi Tanaman Jarak Pagar (Guibitz et al., 1999)
18
Tabel 1. Komposisi Nutrien dan Fraksi Serat BBJP tanpa Cangkang, BBJP dengan Cangkang dan Cangkang Biji Jarak Pagar Kandungan Nurtien Bahan Kering (%) Komposisi bahan kering Abu (% BK) Protein Kasar (% BK) Lemak Kasar (% BK) Serat Kasar (% BK) Beta- N (% BK) Fraksi serat NDF (% BK) Hemiselulosa (% BK) ADF (% BK) Selulosa (% BK) Lignin (% BK) Silika (% BK)
BBJP tanpa Cangkang 86,26
BBJP dengan Cangkang 89,71
Cangkang BJP 88,31
7,71 37,56 35,02 7,23 12,47
5,20 24,28 15,99 38,49 16,06
4,22 10,21 5,71 59,62 20,24
16,30 0,72 15,86 11,31 4,51 0,01
57,64 10,45 46,78 19,22 23,98 3,51
93,40 12,48 80,90 34,85 46,00 0,03
Sumber : Tjakradidjaja et al. (2007)
Bungkil biji jarak pagar dengan cangkang memiliki kandungan abu, protein kasar dan lemak kasar yang lebih rendah daripada BBJP tanpa cangkang (Tabel 1). Pengupasan cangkang biji jarak sebelum proses ekstraksi minyak jarak menghasilkan BBJP dengan kadar serat kasar dan BETN yang rendah (Tjakradidjaja et al., 2007). Hal ini disebabkan cangkang pada biji jarak pagar mengandung kadar protein kasar dan lemak kasar yang sangat rendah, tetapi kadar serat, BETN dan komponen fraksi serat, terutama kadar NDF, ADF dan lignin, sangat tinggi (Tabel 1). Kandungan fraksi serat yang tinggi juga dapat menjadi faktor pembatas dalam ransum ternak. Pengupasan cangkang dari biji jarak pagar tidak dilakukan dalam proses ekstraksi minyak jarak karena pemisahan cangkang dari biji jarak membutuhkan tenaga dan biaya ekstra yang relatif besar. Selain itu adanya cangkang dapat membantu proses ekstraksi minyak jarak secara pengepresan sehingga dapat meningkatkan produk minyak jarak yang dihasilkan. Hasil yang diperoleh Makkar et al. (1998) berbeda dengan Tjakradidjaja et al. (2007), yaitu hasil Makkar et al. (1998) memiliki kadar protein kasar bungkil biji jarak pagar (56,4%BK) lebih tinggi, dan kadar lemak kasarnya (1,5%BK) lebih rendah. Perbedaan dalam komposisi nutrien dapat terjadi karena sampel yang digunakan berbeda sumbernya yang mengakibatkan perbedaan dalam hal asal daerah
19
yang berkaitan dengan kesuburan tanah, waktu panen buah/biji, pengupasan cangkang, dan proses pembuatan minyak jarak (Makkar et al., 1998). Pemberian biji jarak selama 23 hari kepada tikus dapat menyebabkan kematian. Anak sapi yang diberi BBJP dalam ransum dengan dosis 0,025% ; 0,1% ; 0,25% mati setelah 19 jam pemberian, sedangkan biji jarak dengan dosis 0,0025% menunjukkan gejala diare, dehidrasi dan keracunan setelah 10-14 hari dan kemudian mati (Ahmed dan Adam, 1979). Jatropha asal Mexico (Papantla) memiliki kandungan tripsin inhibitor dan lektin yang tidak berpengaruh buruk pada ikan hingga pemberian selama 35 hari. Nilai nutrien BBJP dari tanaman jarak Mexico ini cukup tinggi dan berpotensi untuk dijadikan ransum monogastrik, ikan dan mungkin manusia (Makkar dan Becker, 2004). Kursin, Risin dan Lektin Kursin yang terdapat dalam biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) hampir sama dengan lektin, risin dan abrin. Risin pertama kali ditemukan pada tahun 1888 oleh Stillmark pada ekstrak biji jarak kastrol. Hasil uji cobanya saat itu menunjukkan bahwa ekstrak biji tersebut sanggup menggumpalkan sel darah merah. Stillmark menyebutkan bahwa zat penggumpal darah tersebut merupakan protein enzim yang kini dikenal sebagai risin (Wikipedia, 2007a). Risin ditemukan pada biji tumbuhan Ricinus comunis (tumbuhan kastroli) di Indonesia lebih dikenal sebagai tumbuhan jarak pohon. Risin ditemukan di dalam produk samping dari pemanfaatan biji tumbuhan untuk produksi minyak kastrol. Minyak ini banyak dimanfaatkan untuk keperluan medis. Risin merupakan suatu protein dengan bobot molekul 66 kDa tersusun atas dua buah rantai yang saling berhubungan, yaitu rantai A (32 kDa) sejenis protein dan rantai B (32 kDa) sejenis karbohidrat. Kedua rantai penyusun risin adalah suatu glikoprotein (protein yang mengikat gugus karbohidrat). Keduanya secara kovalen dihubungkan oleh jembatan disulfida (Hadi, 2008). Ditinjau dari segi fungsinya, kedua rantai penyusun risin berbeda satu sama lain. Rantai A memiliki aktivitas toksik karena dapat menghambat sintesis protein. Sedangkan rantai B berfungsi mengikat reseptor permukaan sel yang mengandung galaktosa (Hadi, 2008).
20
Mekanisme kerja risin dalam menghancurkan sel diawali dengan pengikatan rantai B risin kepada reseptor permukaan sel. Rantai B risin ini akan menempel pada molekul glikoprotein dan glikolipid yang merupakan senyawa penyusun membran sel. Sekitar 106 sampai 108 molekul risin dapat terikat pada setiap sel. Selanjutnya, risin akan memasuki bagian dalam sel melalui mekanisme endositosis yaitu peristiwa internalisasi zat asing oleh sel. Namun, dari sekian banyak risin yang menempel pada permukaan sel, hanya satu molekul yang dapat masuk ke dalam sel target. Di dalam sel, rantai A dan B molekul risin akan terpisah. Rantai A yang bersifat toksik akan menginaktivasi pabrik pembuat protein, ribosom. Satu molekul risin yang masuk ke dalam sel sanggup menginaktivasi lebih dari 1.500 molekul ribosom per menit (Hadi, 2008). Jika ribosom tidak aktif bekerja, maka ribuan protein yang dibutuhkan untuk kehidupan sel akan berhenti diproduksi, dan akhirnya sel pun akan mati. Hal inilah yang menginspirasi pakar kedokteran untuk menggunakan risin sebagai obat antikanker yang kini telah terbukti berhasil menghancurkan sel kanker. Dosis risin yang tidak menimbulkan kematian yaitu 0,00000001% dari bobot badan yang diberi dengan cara penyuntikan (Kingsbury, 1964). Rumus bangun risin dan mekanisme aksi risin dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Rumus Bangun Risin dan Mekanisme Aksi Risin (Hadi, 2008) Penelitian selanjutnya dilakukan oleh bapak immunologi Ehrlich yang menunjukkan bahwa pemberian lektin dalam jumlah sedikit pada kelinci dapat menyebabkan keracunan dan menyebabkan reaksi antigen-antibodi. Lektin ditemukan kebanyakan pada tanamanan legum, protein ini mengikat gugus karbohidrat spesifik tertentu pada permukaan sel. Hampir sama seperti risin, lektin dapat menggumpalkan darah atau presipitasi (pengendapan) dengan glikokonjugasi, sehingga lektin dapat digunakan untuk membedakan golongan darah (A, B dan O).
21
Beberapa lektin hanya akan mengikat struktur dari residu manosa atau glukosa. Sifat lain dari lektin adalah kemampuannya untuk menyebabkan mitosis, atau perubahan biokimia lain dalam sel (Wikipedia, 2007a). Rumus bangun dari lektin dapat dilihat pada Gambar 5 (Wikipedia, 2007a).
Gambar 5. Rumus Bangun dari Lektin (Wikipedia, 2007a) Aktivitas lektin atau kursin yang tinggi terdapat pada biji jarak Kangra dari India. Lektin merupakan racun pada Jatropha curcas varietas Cape Verde dan tidak beracun pada Jatropha curcas varietas Mexico (Papantla). Bungkil jarak asal Mexico ini diketahui aman digunakan sebagai pakan tikus dan ikan karena tidak mengandung phorbolester meskipun mengandung sedikit lektin (Makkar dan Becker, 2004). Kursin merupakan fitotoxin (racun yang terdapat pada tumbuhan) yang memiliki molekul protein besar, kompleks dan sangat beracun. Wikipedia (2007a) memaparkan bahwa kursin juga merupakan suatu tipe reseptor protein yang secara spesifik berinteraksi dengan molekul gula (karbohidrat) tanpa memodifikasi molekul gula tersebut. Fungsi kursin atau lektin ini yaitu sebagai pengikat (binding) dari glikoprotein (biomolekul yang merupakan gabungan dari protein dan karbohidrat) pada permukaan sel. Mekanisme dari kursin berhubungan dengan aktivitas enzim Nglikosidase yang dapat mempengaruhi metabolisme. N-glikosidase merupakan enzim glikosidase yang berfungsi sebagai pengatur kenormalan sel, anti bakteri dan pendegradasi selulosa dan hemiselulosa. Diduga kuat mekanisme kursin hampir sama dengan risin dan lektin (Wikipedia, 2007a). Peranan lektin, kursin ataupun risin pada tanaman adalah melindungi benih tanaman dari agen patogen seperti jamur, virus dan bakteri. Namun, lektin memberikan efek racun berbahaya pada ternak karena kemampuannya mengikis
22
dinding sel, merusak membran mikrovili, mengurangi kemampuan usus halus dalam proses penyerapan, mengganggu sistem kekebalan tubuh dan memberikan efek langsung maupun tidak langsung terhadap sistem metabolisme (Wikipedia, 2007a). Kursin memiliki aksi inhibitor yang kuat terhadap sintesa protein dan dapat menjadi antitumor sama halnya dengan risin (Juan et al.,
2003).
Walaupun demikian
kandungan kursin di dalam Jatropha curcas tidak sebesar kandungan risin dalam Ricinus comunis (Aregheore et al., 2003). Kursin yang memiliki bobot molekul sebesar 28,2 kDa bersifat anti kanker karena dapat mematikan/menghancurkan sel dan bertanggungjawab besar sebagai katalis yang mempercepat kerusakan ribosom pada sel eukariotik seperti mekanisme risin (Juan et al., 2002). Kursin juga tidak tahan terhadap panas, dapat menyebabkan iritasi pada mata dan tetap terdapat dalam bungkil biji jarak setelah dilakukan pengeluaran minyak (Heller, 1996). Namun, kursin dapat menjadi inaktif dengan pemanasan dan perlakuan dengan pemanasan basah akan jauh lebih baik daripada pemanasan kering (Aregheore et al., 1998). Makkar et al. (1997) menyatakan bahwa kandungan racun dari biji jarak berbeda-beda tergantung dari tempat ditanamnya pohon jarak tersebut. Kandungan lektin sekitar 0,85-6,85 mg/ml sampel biji jarak yang berasal dari berbagai daerah yang berbeda. Hal ini menandakan bahwa kondisi lingkungan baik iklim maupun kandungan zat hara dalam tanah ikut berperan penting dalam penyusunan komposisi nutrisi tanaman. Tanaman jarak pagar di Indonesia paling banyak terdapat di daerah Lampung, Kebumen dan Lombok Timur. Beberapa penelitian mengenai kursin BBJP telah dilakukan di Indonesia. Diantaranya Hasanah (2007) melaporkan bahwa BBJP asal Lampung, Kebumen dan Lombok Timur memiliki kandungan kursin masingmasing sebesar 0,72%, 0,70% dan 0,67% sedangkan setelah didetoksifikasi dengan cara pemanasan pada suhu 121 ºC selama 30 menit, kandungan kursin menjadi 0,25%, 0,3% dan 0,1%. Nurhikmawati (2007) menyatakan terjadinya penurunan kandungan kursin dari 0,09% menjadi 0,03% pada perlakuan fisik (pemanasan suhu 121○C selama 30 menit), 0,02% pada perlakuan kimia (penambahan 4% NaOH) dan 0,07% pada perlakuan biologis (fermentasi dengan Rhizopus oligosporus). Nurbaeti (2007) menyatakan bahwa perlakuan biologis pada BBJP dengan fermentasi
23
Rhizopus oligosporus hanya menurunkan 0,02% kursin dalam BBJP namun menghasilkan konsumsi ayam broiler dan asupan protein paling tinggi dibandingkan perlakuan fisik maupun kimia yang dapat menurunkan kadar kursin sebesar 0,06% dan 0,07%. Penurunan kadar kursin dalam percobaan biologis tersebut disebabkan oleh adanya enzim protease dari Rhizopus oligosporus yang mempercepat proses pemecahan protein (kursin) menjadi peptida dan asam amino, sehingga walaupun kandungan kursinnya lebih banyak dari perlakuan fisik dan kimia, namun kursin pada perlakuan biologis lebih terhidrolisis dan mengakibatkan lebih mudah dicerna di saluran pencernaan. Phorbolester Selain kursin yang merupakan senyawa berbahaya dalam bungkil biji jarak pagar, phorbolester merupakan senyawa yang lebih mematikan. Phorbolester merupakan anggota diterpenes disebut juga diterpene ester (Wikipedia, 2007b), dan rumus bangun phorbolester dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Rumus Bangun dari Phorbolester (Wikipedia, 2007b) Berbagai ester dari phorbol memiliki sifat biologis penting dan berbahaya, salah satunya adalah kemampuan sebagai pemacu tumor. Konsentrasi phorbolester yang paling tinggi terdapat dalam biji jarak asal Kenya dan Kitui, sedangkan phorbolester tidak terdeteksi pada biji jarak Papantla dari Mexico (Makkar and Becker, 1997). Berbeda dengan lektin dan kursin, phorbolester akan tetap aktif meskipun dilakukan pemanasan (Aregheore et al., 2003). Pencernaan Fermentatif dalam Rumen Ternak ruminansia memiliki perut majemuk yang terdiri dari rumen, retikulum, omasum dan abomasum. Rumen merupakan struktur terbesar yang
24
tersusun dari 1/7 sampai 1/10 massa ternak. Pada bagian ini merupakan tempat berlangsungnya proses fermentasi terbesar. Kondisi dalam rumen adalah anaerobik dengan suhu 38-42 ○C. Tekanan osmosis pada rumen mirip dengan tekanan aliran darah, pH dipertahankan oleh buffer karbonat dari saliva karena adanya VFA dan amonia. Saliva yang masuk ke dalam rumen berfungsi sebagai buffer dan membantu mempertahankan pH tetap pada 6,8. Selain itu saliva juga berfungsi sebagai zat pelumas dan surfaktan yang membantu dalam proses mastikasi dan ruminasi (Arora, 1995). Tabel 2. Jumlah Bakteri dan Protozoa Rumen pada Sapi dan Kerbau yang Diberi Pakan Berserat Tinggi Mikrobiata
Sapi
Kerbau
Selulolitik
2,58
6,86
Proteolitik
0,41
0,54
Amilolitik
8,63
11,05
Total Bakteri
13,2
16,20
1,15
1,59
Bakteri (x 108 sel/ml)
Protozoa(x 105 sel/ml) Total Protozoa Sumber : Pradhan (1994)
Rumen dihuni tidak kurang dari empat jenis mikroba yaitu : bakteri, protozoa, fungi dan virus (Preston dan Leng, 1987). Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa jumlah bakteri total kerbau (16,20 x 108 sel/ml) lebih tinggi daripada sapi (13,20 x 108 sel/ml). Persentase bakteri selulolitik dari total bakteri, pada kerbau (42,3 %) lebih tinggi daripada sapi (19,5 %). Hal ini sejalan dengan Kosakoy et al. (1978) yang melaporkan bahwa aktivitas bakteri selulolitik dalam cairan rumen kerbau lebih tinggi daripada cairan rumen sapi. Akibatnya laju degradasi dan kecernaan benang kapas pada cairan rumen kerbau jauh lebih cepat daripada cairan rumen sapi sehingga kecernaan pada cairan rumen kerbau lebih tinggi. Sama seperti populasi bakteri total, jumlah protozoa rumen pada kerbau (2,8 x 105 sel/ml) lebih tinggi dibandingkan sapi (1,5 x 105 sel/ml) (Pradhan, 1994). Hal inilah yang membuat tingkat efisiensi kecernaan ransum pada kerbau lebih tinggi dibandingkan sapi (Ruangprim et al., 2007).
25
Bakteri pencerna pati yaitu Streptococcus bovis, Ruminobacter amylophilus, Prevotella ruminicola, Succinomonas amylophilus dan Selenomonas ruminantium. Sedangkan bakteri pencerna selulosa adalah Ruminococcus flavefaciens, R. albus, F. succinogenes dan B. fibrisolvens. Bakteri tersebut mempunyai enzim yang mampu menghancurkan karbohidrat kompleks menjadi glukosa dan VFA (Freer dan Dove, 2002). Arora (1995) menyatakan bahwa pertumbuhan populasi bakteri di dalam rumen sangat dipengaruhi oleh konsentrasi amonia dan VFA yang merupakan sumber kerangka karbon untuk pertumbuhan dan pembentukan protein mikroba. Sutardi (1979) menyatakan bahwa adanya bakteri dan protozoa yang hidup dalam rumen menyebabkan ruminansia dapat mencerna ransum yang mengandung serat kasar tinggi. Pernyataan ini didukung pula oleh Arora (1995) yang menyatakan bahwa protozoa berperan dalam pola fermentasi rumen dengan cara mencerna partikel-partikel pati sehingga dapat mempertahankan pH dan menghasilkan konsentrasi VFA rendah, selain itu protozoa juga memangsa bakteri untuk memenuhi kebutuhannya karena kemampuan protozoa untuk mensintesis vitamin B kompleks dan asam amino sangat rendah. Penghuni terbesar dalam cairan rumen adalah bakteri yaitu 1010-1012 sel/ml cairan rumen dan populasi terbesar kedua diduduki oleh protozoa yang populasinya mencapai 105-106 sel/ml cairan rumen (Hungate, 1966). Fardiaz (1992) menyatakan bahwa protozoa merupakan golongan protista tinggi yang mempunyai sifat lebih menyerupai hewan daripada tanaman atau yang biasa dikenal dengan eukariotik. Berbeda dengan bakteri yang digolongkan ke dalam prokariotik dan memiliki struktur yang lebih sederhana. Perbedaan antara eukariotik dan prokariotik terletak pada inti selnya. Eukariotik mempunyai inti sel sejati yaitu suatu struktur yang dikelilingi membran inti (nukleus) dimana didalamnya terdapat kromosom. Didalam nukleus terdapat nukleolus yang mempunyai kandungan RNA sangat tinggi. Nukleolus merupakan tempat sintesis RNA ribosom, sedangkan prokariotik tidak punya inti sejati dan komponen keturunannya terdapat di dalam molekul DNA tunggal yang terletak bebas dalam sitoplasma. Odenyo et al. (1999) menyatakan bahwa beberapa faktor antinutrisi seperti asam amino non-protein, glikosida, polyphenolics, alkaloid dan saponin bersifat racun terhadap mikroba rumen. Saponin merupakan agen anti protozoa yang dapat
26
menurunkan populasi protozoa dalam rumen dan saponin merupakan salah satu senyawa yang terdapat dalam bungkil biji jarak pagar (Aregheore et al., 1998). Contoh lain adalah hasil penelitian Hakim (2002) yang menyatakan ketahanan mikroba rumen sapi paling tinggi dibandingkan ternak kerbau, kambing dan domba terhadap efek negatif dari zat antinutrisi pada A. villosa dan asam amino DABA. Hasil tersebut menunjukkan bahwa mikroba pada berbagai rumen ternak ruminansia memiliki respon yang berbeda-beda dalam mencerna ransum dan mikroba pada rumen sapi memiliki ketahanan paling baik terhadap zat antinutrisi dari A. villosa. Hermawan (2001) memaparkan bahwa kandungan tanin dalam A. villosa dan A. angustissima juga dapat mengikat dinding sel mikroba rumen dan mengganggu permeabilitas sel mikroba, sehingga sel mudah mati, akibatnya populasi bakteri total dapat berkurang drastis. Hal ini mengkibatkan terhambatnya proses degradasi pakan dalam rumen, konsentrasi amonia dan VFA yang merupakan hasil degradasi protein dan karbohidrat juga akan berkurang, karena mikroba rumen berperan penting dalam proses degradasi pakan. Ulya (2007) juga menambahkan bahwa populasi bakteri proteolitik pada cairan rumen kambing lebih tinggi dibandingkan cairan rumen domba, sapi dan kerbau yang diberi BBJP sebagai ransum tunggal, sedangkan bakteri selulolitik mampu bertahan secara baik dalam cairan rumen sapi dan kerbau yang diberi bungkil biji jarak pagar secara in vitro. Juniastica (2008) juga melaporkan bahwa bakteri selulolitik, amilolitik dan proteolitik pada cairan rumen sapi yang diberi ekstrak kursin BBJP dalam ransum lebih tinggi daripada kerbau. Hal ini menunjukkan bahwa produk fermentasi pakan dari bungkil biji jarak pagar secara optimal dapat dimanfaatkan oleh bakteri untuk pertumbuhannya. Konsentrasi Amonia Amonia merupakan sumber nitrogen utama bagi mikroba rumen karena amonia yang dibebaskan dalam rumen sebagian dimanfaatkan oleh mikroba untuk sintesis protein mikroba (Arora, 1995). Sekitar 3,5-14 mM amonia digunakan oleh mikroba rumen sebagai sumber N untuk proses sintesis selnya. Enzim proteolitik mikroba rumen akan menghidrolisis protein menjadi oligopeptida yang kemudian
27
menjadi asam amino dan diserap melalui dinding rumen yang secara cepat mengalami deaminasi menjadi amonia, metan dan CO2 (Sutardi, 1979). Amonia hasil fermentasi tidak semuanya disintesis menjadi protein mikroba, sebagian akan diserap ke dalam darah. Amonia yang tidak terpakai dalam rumen akan dibawa ke hati diubah menjadi urea, sebagian dikeluarkan melalui urin dan yang lainnya dibawa ke kelenjar saliva. Konsentrasi amonia yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 6-21mM (McDonald et al., 2002). Alur degradasi protein dalam rumen dapat dilihat pada Gambar 6 (Sutardi, 1979). Protein pakan Oligopeptida Prot. makanan
NH3
Asam Amino
Prot.tubuh Prot. mikroba
Asam keto alfa
Protein mikroba
CO2 & CH4
VFA
Gambar 6. Alur Degradasi Protein dalam Rumen (Surtardi, 1979) Konsentrasi amonia dipengaruhi oleh adanya zat antinutrisi didalam ransum. Sebagai
contoh
hasil
penelitian
Hakim
(2002)
memperlihatkan
adanya
kecenderungan penurunan konsentrasi amonia pada pemberian 50% A. villosa dalam ransum ternak ruminansia. Hal ini dikarenakan pengaruh zat antinutrisi berupa tanin dalam A. villosa dapat membentuk komplek dengan protein menyebabkan protein sulit didegradasi di dalam rumen sehingga menjadi protein bypass dan akan menurunkan konsentrasi amonia. Hartati (2002) juga menjelaskan bahwa ternak domba yang terbiasa memakan berbagai jenis legum lebih toleran terhadap zat antinutrisi seperti tanin dalam legum A. villosa. Hal ini menandakan bahwa perbedaan adaptasi dari ternak mempengaruhi proses degradasi ransum dalam
28
rumen. Konsentrasi amonia juga berbeda-beda diantara jenis ternak ruminansia tergantung kemampuan mikroba rumennya. Ulya (2007) menyatakan bahwa konsentrasi amonia pada kerbau lebih tinggi dibandingkan sapi yang diberi BBJP secara in vitro. Hal ini menandakan bahwa proses degradasi protein pada ternak kerbau lebih baik daripada sapi. Konsentrasi VFA Ransum yang diberikan kepada ternak ruminansia sebagian besar terdiri dari karbohidrat. Di dalam rumen, polisakarida dihidrolisa menjadi monosakarida oleh enzim-enzim mikroba rumen. Kemudian monosakarida tersebut, seperti glukosa, difermentasi menjadi VFA (Volatile Fatty Acid) berupa asetat, propionat dan butirat, serta gas-gas CH4 dan CO2. VFA yang terbentuk akan diserap melalui dinding rumen dan gas CH4 serta CO2 akan hilang melalui eruktasi (McDonal et al., 2002). Proses ini disebut juga glukoneogenesis yaitu diserapnya VFA ke dalam sistem peredaran darah yang kemudian VFA diubah oleh hati menjadi gula darah. Gula darah inilah yang akan mensuplai sebagian besar kebutuhan energi bagi ternak ruminansia (Lehninger, 1982). Menurut Arora (1995), peranan VFA sangat penting sebagai sumber energi utama bagi ternak dan merupakan produk akhir fermentasi gula. Namun, selain itu VFA juga merupakan sumber kerangka karbon bagi pembentukan protein mikroba. Nilai VFA sebagai sumber energi hanya berbeda sedikit, akan tetapi keefisienannya sebagai kerangka karbon jauh berbeda (Sutardi et al., 1980). Konsentrasi VFA tergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi (McDonal et al., 2002), sedangkan konsentrasi VFA yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal mikroba rumen, yaitu 80-160 mM (Sutardi, 1979). Skema pembentukan VFA dapat dilihat pada Gambar 7 (McDonal et al., 2002). Zat antinutrisi dalam tanaman dapat pula mempengaruhi konsentrasi VFA. Konsentrasi VFA dapat menurun dengan penggunaan A. angustisima karena mengandung senyawa sekunder yang dapat menahan fermentasi mikroba rumen (Odenyo, 1999). Penambahan A. villosa dalam ransum juga mengakibatkan penurunan konsentrasi VFA. A. villosa mengandung zat antinutrisi berupa DABA dan tanin terkondensasi yang bebas dan tidak berikatan dengan protein yang akan menghambat fermentasi karbohidrat sehingga akan mengurangi konsentrasi VFA
29
(Hakim, 2002). Perbandingan konsentrasi VFA yang dihasilkan antara penggunaan A. villosa lebih baik dibandingkan A. angustissima. Hal ini disebabkan oleh kandungan tanin dalam A. angustissima lebih besar dibandingkan A. villosa (Hermawan, 2001). Selulosa
Pati
Selobiosa
Maltosa
Glukosa-1-fosfat
Isomaltosa
Glukosa Glukosa-6-fosfat
Pektin
Sukrosa
Asam Uronat Fruktosa-6-fosfat
Hemi selulosa
Fruktosa
Fruktan
Pentosa
Pentosan
Fruktosa-1,6-difosfat Asam Piruvat
Format
Asetil CoA
Laktat
Oksalasetat
Metilmalonil CoA
Malonil CoA CO2
H2
Asetoasetil CoA β-Hidroksil CoA
Metan
Laktil CoA
Malat
Acrilil CoA
Fumarat
Propionil CoA
Succinate
Asetil Fosfat Crotonil CoA
Succinyl CoA
Butiril CoA Asetat
Butirat
Propionat
Gambar 7. Skema Fermentasi Karbohidrat (McDonal et al., 2002)
30
Konsentrasi VFA selain dipengaruhi oleh jenis ransum yang dikonsumsi, dipengaruhi juga oleh jenis ternak ruminansia tersebut. Ulya (2007) memaparkan bahwa konsentrasi VFA pada ternak sapi lebih kecil daripada ternak kerbau, kambing dan domba. Hal ini disebabkan oleh mikroba ternak sapi kurang mampu memfermentasi karbohidrat pada BBJP. Didukung oleh Pradhan (1994) yang menyatakan bahwa populasi bakteri total dalam cairan rumen sapi lebih rendah daripada kerbau sehingga enzim yang dihasilkan mikroba pada cairan rumen kerbau lebih banyak dibandingkan sapi. Enzim sangat berguna dalam memecah karbohidrat kompleks menjadi molekul yang sederhana seperti VFA. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Kecernaan adalah perubahan fisik dan kimia yang dialami ransum dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut berupa penghalusan ransum menjadi butir-butir atau partikel kecil. Kecernaan bahan organik merupakan faktor penting yang menentukan kualitas ransum. Setiap jenis ternak ruminansia memiliki mikroba rumen dengan kemampuan
yang
berbeda-beda
dalam
mendegradasi
ransum,
sehingga
mengakibatkan perbedaan kecernaan dalam rumen (Sutardi, 1979). Kecernaan ransum didefinisikan sebagai bagian ransum yang tidak diekskresikan di dalam feses sehingga diasumsikan bagian tersebut diserap oleh tubuh hewan. Kecernaan dinyatakan dengan dasar bahan kering (McDonald et al., 2002).
Kecernaan
in
vitro dipengaruhi oleh pencampuran ransum, cairan rumen, pH, pengaturan suhu fermentasi, lamanya waktu inkubasi, ukuran partikel sampel dan larutan penyangga (Selly, 1994). Derajat keasaman atau pH cairan rumen merupakan faktor penting dalam pemanfaatan bahan organik pada sistem pencernaan ruminansia (Driwanti, 1999). Sedangkan faktor yang mempengaruhi degradasi ransum di dalam saluran pencernaan ruminansia adalah struktur makanan, ruminasi, produk saliva dan pH optimum (Kaufman et al., 1980). Adanya zat antinutrisi dalam ransum mengakibatkan perbedaan dalam kecernaan ransum. Hal ini tercermin dari penelitian Hermawan (2001) yang menyatakan bahwa adanya zat antinutrisi seperti tanin dalam legum akasia berkorelasi negatif terhadap kecernaan pakan, karena tanin dapat menghambat aktivitas mikroba dalam mendegradasi bahan kering. Didukung juga dengan hasil penelitian Hakim (2002) yang menyebutkan bahwa pemberian A. villosa dalam
31
ransum dapat menurunkan kecernaan bahan organik. Hal ini dikarenakan zat antinutrisi dalam A. villosa seperti asam amino DABA yang merupakan asam amino non protein juga dapat mengganggu aktivitas pepsin, sehingga dapat menurunkan kecernaan. Kisaran nilai KCBK berkisar 55% pada cairan rumen sapi yang diberi BBJP tanpa cangkang (Hasanah, 2007). Nilai ini lebih tinggi dibandingkan kisaran KCBK BBJP dengan cangkang pada penelitian Dewi (2007) yang hanya sekitar 33%. Cangkang pada BBJP diketahui memiliki kandungan serat kasar yang tinggi (Tjakradidjaja et al., 2007) sehingga sulit didegradasi oleh mikroba rumen dan mengakibatkan kecernaan menurun.
32
METODE
Penelitian
Lokasi dan Waktu ini dilakukan di Laboratorium
Biokimia,
Fisiologi
dan
Mikrobiologi Nutrisi, Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, dan Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian ini berlangsung dari bulan Juli 2007 sampai bulan Februari 2008. Materi Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bungkil biji jarak pagar, cairan rumen sapi dan kerbau, ekstrak kursin bungkil biji jarak pagar,
ransum
(rumput : jagung : konsentrat = 50% : 25% : 25%), larutan ethyl ether, larutan buffer fosfat NaCl 0,005 M pH 7,2 dingin (mengandung 0,2 M NaCl), larutan McDougall, gas CO2, larutan pepsin 0,2 %, larutan HgCl2 jenuh, asam borat (H3BO3) berindikator (merah metil/MR dan hijau bromo kresol/BCG), larutan Na2CO3 jenuh, vaselin, larutan H2SO4 0,005 N, larutan H2SO4 15 %, larutan NaOH 0,5 N, larutan HCl 0,5 N, aquadest, phenolptalein, larutan garam formalin (formal saline), media BHI (Brain Heart Infusion), dan media putih. Bungkil Biji Jarak Pagar (BBJP) Bungkil biji jarak pagar yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari industri pembuatan minyak jarak tanpa mengupas cangkang bijinya (BBJP dengan cangkang). Komposisi nutrien BBJP yang digunakan pada penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 1. Cairan Rumen Cairan rumen ternak sapi diperoleh dari Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Madya Bogor di Kebon Pedes dan RPH Fakultas Peternakan IPB. Cairan rumen kerbau diperoleh dari kerbau berfistula di BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional). Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi pestel, mortar, tabung fermentor, otoklaf, kantong plastik tahan panas, shaker water bath, inkubator, sentrifuse, tabung sentrifuse, cawan Conway, pipet, buret, labu Erlenmeyer, pendingin Liebig, seperangkat alat destilasi, pompa vakum, cawan porselin, kertas
33
saring, timbangan digital, sendok, gelas ukur, tabung reaksi, tabung Hungate, kertas saring, oven 105 oC, tanur, dan eksikator. Rancangan Perlakuan Penelitian ini menggunakan 2 perlakuan sumber inokulum, yaitu cairan rumen ternak sapi dan ternak kerbau dan 4 macam perlakuan ransum berdasarkan taraf ekstrak kursin yang diberikan pada masing-masing sumber inokulum yaitu sebagai berikut : R0
= Ransum + 0% ekstrak kursin bungkil biji jarak pagar
R1
= Ransum + 1% ekstrak kursin bungkil biji jarak pagar
R2
= Ransum + 2% ekstrak kursin bungkil biji jarak pagar
R3
= Ransum + 3% ekstrak kursin bungkil biji jarak pagar
Model Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial dengan 4 perlakuan ransum pada 2 cairan rumen sapi dan kerbau dengan waktu inkubasi 0 dan 3 jam, diulang dalam 3 kelompok atau blok dan masing-masing dilakukan dua kali (duplo). Adapun model matematik yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Yijkl = µ + ρi + αj + βk +γl + αβjk + αγjl + βγkl + αβγjkl + εijkl Keterangan : Yijkl
= Efek blok ke-i, tingkat pemberian kursin ke-j, sumber cairan rumen ke-k dan waktu inkubasi ke-l
µ
=
Rataan umum
ρi
=
Efek blok (kelompok) ulangan ke-i
αj
=
Efek utama taraf pemberian kursin ke-j
βk
=
Efek utama sumber cairan rumen ke-k
γl
= Efek utama waktu inkubasi ke-l
αβjk
= Efek interaksi tingkat pemberian kursin ke-j dengan sumber cairan rumen ke-k
αγjl
= Efek interaksi tingkat pemberian kursin ke-j dengan waktu inkubasi ke-l
βγkl
= Efek interaksi sumber cairan rumen ke-k dengan waktu inkubasi ke-l
34
αβγjkl = Efek interaksi tingkat pemberian kursin ke-j dengan sumber cairan rumen ke-k dan waktu inkubasi ke-l εijkl
= Error (galat) dari blok ke-i perlakuan tingkat pemberian kursin ke-j, sumber cairan rumen ke-k dan waktu inkubasi ke-l Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan ANOVA dan untuk
mengetahui perbedaan antara perlakuan dilakukan uji ortogonal kontras (Steel dan Torrie, 1993). Peubah Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Konsentrasi NH3 (Amonia) yang diukur dengan menggunakan metode Mikrodifusi Conway (General Laboratory Procedure, 1966) 2) Konsentrasi VFA (Volatile Fatty Acids) yang diukur dengan menggunakan Teknik Destilasi Uap (General Laboratory Procedure, 1966) 3) Populasi bakteri total yang dihitung dengan metode Ogimoto dan Imai (1981) 4) Populasi protozoa total yang dihitung dengan metode Ogimoto dan Imai (1981) 5) Kecernaan bahan kering dan bahan organik yang diukur dengan metode Tilley dan Terry (1963). Prosedur Ekstraksi Kursin Bungkil Biji Jarak Pagar Ekstraksi kursin dilakukan berdasarkan metode Stirpe et al. (1976). Bungkil biji jarak pagar sebanyak 250 g diekstrak dengan 250 ml ethyl ether didalam pestel dan mortar. Ethyl ether berfungsi sebagai penghilang lemak yang tersisa pada bungkil biji jarak pagar. Penyaringan kemudian dilakukan untuk membuang larutan ethyl ether dari residunya. Proses tersebut diatas diulangi pada residu sebanyak 8 kali. Residu yang sudah kering diekstrak kembali dengan menggunakan 1 liter 0,005 M larutan buffer fosfat NaCl pH 7,2 dingin yang mengandung 0,2 M NaCl, larutan ini berfungsi untuk melarutkan produk kursin. Selanjutnya campuran dihomogenkan dengan pengaduk magnet selama 3 jam dan dibiarkan selama satu malam, kemudian disentrifuse untuk mendapatkan supernatan yang selanjutnya ditambahkan ke dalam ransum sesuai perlakuan.
35
Pencernaan Fermentatif Percobaan in vitro dilakukan dengan metode Tilley dan Terry (1963). Sebanyak 1 g sample perlakuan, 12 ml larutan McDougall dan 8 ml cairan rumen dimasukkan ke dalam tabung fermentor sambil dialiri gas CO2 selama 30 detik dan ditutup dengan menggunakan karet berventilasi. Tabung fermentor tersebut dimasukkan ke dalam shaker water bath dengan suhu 39 ○C dan diinkubasi selama 0 dan 3 jam. Setelah 0 dan 3 jam waktu inkubasi, tabung fermentor diambil dan tutup karetnya dibuka untuk mengambil 1 ml cairan sebagai sample protozoa, 0,05 ml untuk sample perhitungan bakteri dan sisanya ditambahkan 0,2 ml HgCl2 untuk mematikan mikroba rumen sehingga proses fermentasi terhenti. Campuran dalam tabung fermentor disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit dan supernatan yang dihasilkan digunakan untuk analisa VFA dan NH3. Analisis Konsentrasi Amonia Analisis Amonia dilakukan dengan metode Mikrodifusi Conway (General Laboratory Procedure, 1966). Bibir cawan Conway dan tutupnya diolesi dengan vaselin. Sebanyak 1 ml supernatan ditempatkan pada salah satu sisi sekat cawan dan sisi yang lain ditempatkan 1 ml larutan Na2CO3 jenuh (kedua bahan tidak boleh bercampur sebelum tutup cawan ditutup rapat). Sebanyak 1 ml asam borat berindikator merah metil dan hijau bromo kresol pada pH 5,5 dipipet dan dimasukkan ke cawan kecil yang terletak ditengah cawan Conway. Cawan Conway ditutup rapat dengan permukaan (tutup) cawan, kemudian digerakkan hingga supernatan dan Na2CO3 jenuh tercampur rata dan dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar. Setelah 24 jam, tutup cawan dibuka, asam borat berindikator dititrasi dengan H2SO4 0,005 N sampai warnanya berubah dari biru menjadi kemerah-merahan. Konsentrasi amonia dapat dihitung dengan rumus : Konsentrasi amonia (mM)
=
ml H2SO4 x N H2SO4 x 1000 Berat ransum x %BK Ransum
Analisis Konsentrasi VFA Analisis VFA dilakukan dengan teknik Destilasi Uap (Steam Destilation) (General Laboratory Procedure, 1966). Sebanyak 5 ml supernatan dimasukkan ke
36
dalam tabung destilasi, lalu ditambahkan 1 ml H2SO4 15 % dan tabung segera ditutup. Proses destilasi dilakukan dengan cara menghubungkan tabung dengan labu yang berisi air mendidih. Uap air panas akan mendesak VFA dan akan terkondensasi di dalam pendingin. Destilat ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0,5 N sehingga volumenya mencapai 250-300 ml. Setelah itu ditambahkan indikator phenolptalein sebanyak 2 tetes dan dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai warna titrat berubah dari merah jambu menjadi bening. Konsentrasi VFA dapat dihitung dengan rumus : Konsentrasi VFA (mM)
=
(a-b) x N HCl x 1000/5 ml Berat ransum x %BK Ransum
Keterangan : a = volume titran blanko (ml) b = volume titran sampel (ml) Populasi Bakteri Total Populasi bakteri total dihitung dengan metode pencacah koloni bakteri hidup (Ogimoto dan Imai, 1981). Prinsip perhitungannya adalah cairan rumen diencerkan secara serial lalu dibiakkan dalam tabung Hungate. Langkah pertama adalah membuat media tumbuh bakteri seperti BHI, yaitu dengan cara : bahan-bahan media dicampur, kemudian dimasukkan ke dalam botol yang telah di otoklaf. Campuran tersebut dipanaskan perlahan-lahan sambil dialiri gas CO2 sampai terjadi perubahan warna coklat menjadi merah dan berubah lagi menjadi coklat muda, lalu didinginkan. Selanjutnya media dimasukkan ke dalam tabung Hungate masing-masing sebanyak 5 ml yang sebelumnya telah diisi agar bacto sebanyak 0,150 g. Media lalu disterilkan dalam otoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit dengan tekanan 1,2 kgf/cm3. Setelah siap digunakan untuk pembiakan bakteri, media agar dimasukkan ke dalam penangas air. Menurut Ogimoto dan Imai (1981), contoh cairan yang akan dikulturkan diencerkan terlebih dahulu, dengan media pengenceran. Pengenceran dilakukan sebagai berikut : 0,05 ml cairan rumen dimasukkan ke dalam 4,95 ml media pengencer. Selanjutnya diambil kembali 0,05 ml lalu dimasukkan ke dalam 4,95 ml media pengencer berikutnya, perlakuan tersebut dilakukan sampai 4 kali (4 seri tabung). Selanjutnya dari masing-masing seri tabung pengenceran diambil sebanyak 0,1 ml lalu ditransfer ke media agar lalu diputar sambil dialiri air, sehingga media
37
dapat memadat secara merata pada dinding tabung dalam. Tabung diinkubasi selama 3 hari. Perhitungan jumlah bakteri dilakukan dengan cara sebagai berikut : Populasi bakteri = n x 10x / 0,05 x 0,1 CFU (Colony Forming Unit)/ml Keterangan : n = jumlah koloni yang tedapat pada tabung seri pengenceran ke-x. Populasi Protozoa Total Penghitungan populasi protozoa dilakukan pada counting chamber dengan larutan garam formalin (formal saline) (Ogimoto dan Imai (1981). Larutan ini dibuat dari campuran formalin ditambah dengan larutan NaCl fisiologis. Protozoa yang dihitung adalah total dari protozoa yang terdapat dalam counting chamber. Cairan rumen yang baru diambil dan dicampur dengan larutan garam formalin dengan perbandingan 1 : 1 atau sebanyak 1 ml cairan rumen ditambah 1 ml larutan garam formalin. Kemudian sebanyak 2 tetes campuran tersebut ditempatkan pada counting chamber dengan ketebalan 0,1 mm, luas kotak terkecil 0,0625 mm2 yang terdapat 16 kotak dan jumlah kotak yang dibaca sebanyak 5 kotak. Perhitungan populasi protozoa dilakukan dengan mikroskop pada pembesaran 40 kali, dapat dihitung dengan rumus : Protozoa/ml cairan rumen = Keterangan : C FP
1 (0,1 x 0,0625 x 16 x 5)
x 1000 x C x FP
= Jumlah protozoa terhitung dalam counting chamber = Faktor pengenceran
Analisis KCBK dan KCBO Pengukuran kecernaan bahan kering dan bahan organik (KCBK dan KCBO) dilakukan dengan metode Tilley dan Terry (1963). Tahapan analisis sama seperti yang dilakukan pada fermentasi in vitro, hanya saja waktu inkubasi dilanjutkan hingga 24 jam. Setelah 24 jam fermentasi in vitro, tutup karet dibuka dan ditambahkan 2 tetes HgCl2 jenuh. Campuran disentrifuse pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang, kemudian ke dalam tabung ditambahkan 20 ml larutan pepsin HCl 0,2 %. Inkubasi dilanjutkan 24 jam secara aerob. Sisa pencernaan disaring menggunakan kertas saring dan dibantu dengan pompa vakum. Hasil saringan dimasukkan ke dalam cawan porselin dan dikeringkan di dalam oven 105 oC selama 24 jam untuk mengetahui residu bahan kering dan diabukan dalam tanur 600 oC selama 6 jam untuk menghitung bahan organiknya.
38
Kecernaan bahan kering (KCBK) dan bahan organik (KCBO) dapat dihitung dengan rumus : KCBK (%)
=
KCBO (%)
=
BKsampel(g) – (BKresidu(g) – BKblanko(g)) BKsampel(g) BOsampel(g) – (BOresidu(g) – BOblanko(g)) BOsampel(g)
x 100%
x 100%
Keterangan : BK = Bahan Kering BO = Bahan Organik
39
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Ransum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 50% rumput gajah, 25% jagung dan 25% konsentrat. Rumput gajah diperoleh dari laboratorium lapang agrostologi IPB. Sedangkan konsentrat diperoleh dari konsentrat ransum sapi perah di kandang koperasi pemeliharaan sapi perah IPB. Sutardi (1980) menyatakan bahwa hijauan segar dari jenis rerumputan unggul seperti rumput gajah nilai gizinya cukup terjamin, volumenya lebih banyak dan daya cernanya lebih tinggi dibandingkan dengan rerumputan liar. Kandungan nutrien ransum penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kandungan Nutrien Ransum Penelitian Taraf Ekstrak Kursin dalam Ransum
Kandungan Nutrien 0%
1%
2%
3%
Bahan Kering (%)1
89,66
85,22
83,41
84,36
Abu (%BK)1
9,09
9,74
9,29
9,83
3,16
3,31
2,83
3,14
13,98
14,87
15,26
15,56
Serat Kasar (%BK)
18,64
19,98
20,79
19,82
BETN (%BK)
55,13
52,1
51,83
51,65
TDN (%BK)
68,71
67,77
66,75
67,86
Kursin (ppm)2
0
1
2
3
Lemak (%BK)1 1
Protein Kasar (%BK) 1
Keterangan : BETN (Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen) = 100% - (Kadar Abu + PK + LK + SK) TDN (Total Digestible Nutrient) = 70,6 + 0,259PK + 1,01LK - 0,76SK + 0,0991BETN (Sutardi, 2003 dalam Irawan 2002) Sumber : 1 Hasil Analisis Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (2008) 2 Hasil Analisis Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian (2008)
Ekstrak kursin yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu sebanyak 370 ml dari 250 g BBJP yang digunakan. Ekstrak tersebut diberikan dengan perbandingan volum / berat sampel ransum (ml/g). Jika ransum diberi 1% ekstrak kursin, artinya 1 g ransum diberi 0,01 ml ekstrak kursin. Setelah dilakukan perhitungan konversi terhadap pemakaian BBJP dalam ransum maka taraf ekstrak kursin 1%, 2% dan 3% masing-masing memiliki arti 0,67%; 1,33% dan 1,99% BBJP dalam ransum. Nilai
40
pemberian kursin ini lebih tinggi dibandingkan penelitian Ahmed dan Adam (1979) yang menggunakan 0,25% BBJP. Ekstrak kursin yang diperoleh mengandung saponin (Uji Kualitatif Laboratorium Biofarmaka, 2008). Saponin dalam ekstrak kursin berasal dari BBJP. Makkar et al. (1997) menyatakan bahwa kandungan saponin dalam biji jarak cukup tinggi, berkisar 1,8-3,1% (equivalent diosgenin), sehingga sangat mungkin bila saponin ikut terekstrak dalam proses ekstraksi kursin. Kandungan protein kasar dan TDN dalam penelitian ini berkisar 13,98 15,56% dan TDN 66,75 - 68,71%. Kandungan ini cukup dalam memenuhi kebutuhan akan protein pada ternak sapi perah dengan bobot badan ± 400 kg yaitu berkisar 11 17% dengan TDN 59,30 - 70,00% (NRC, 2001). Meningkatnya kandungan protein kasar seiring dengan bertambahnya taraf ekstrak kursin dalam ransum dikarenakan kandungan kursin yang merupakan glikoprotein memiliki molekul protein besar dan kompleks (Wikipedia, 2007a), sehingga protein ransum yang meningkat tersebut merupakan sumbangan dari molekul protein kursin. Konsentrasi Amonia Amonia merupakan sumber nitrogen utama bagi mikroba rumen karena amonia yang dibebaskan dalam rumen sebagian dimanfaatkan oleh mikroba untuk sintesis protein mikroba (Arora, 1995). Konsentrasi amonia tidak dipengaruhi oleh perbedaan cairan rumen ternak dan taraf kursin, akan tetapi dipengaruhi oleh waktu inkubasi. Efek interaksi perlakuan taraf kursin dengan perbedaan cairan rumen, taraf kursin dengan waktu inkubasi, perbedaan cairan rumen dengan waktu inkubasi dan interaksi ketiga faktor tidak berbeda nyata. Hasil sidik ragam (Tabel 4) menunjukkan rataan konsentrasi amonia tidak berbeda nyata antar perlakuan taraf ekstrak kursin maupun antara cairan rumen sapi dan kerbau. Hal ini mengindikasikan bahwa secara garis besar mikroorganisme dalam cairan rumen sapi dan kerbau yang mempengaruhi laju fermentabilitas ransum memiliki toleransi yang sama terhadap ekstrak kursin BBJP hingga taraf 3% dalam ransum. Konsentrasi amonia pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Ulya (2007) yang melaporkan bahwa konsentrasi amonia pada cairan rumen sapi dan kerbau yang diberi BBJP yaitu sebesar 10 mM dan 14 mM. Hal ini dikarenakan BBJP yang digunakan pada penelitian Ulya (2007) sebagai ransum
41
tunggal, sedangkan pada penelitian ini menggunakan ransum berupa konsentrat dan rumput gajah. Konsentrat memiliki kelarutan yang lebih cepat dan lebih optimal untuk didegradasi terutama oleh bakteri proteolitik. Makkar et al. (1998) melaporkan protein BBJP lebih sulit untuk didegradasi, karena kandungan serat kasar yang tinggi dan proses pemanasan saat ekstraksi minyak kemungkinan mengubah struktur protein (denaturasi) sehingga BBJP lebih sulit dicerna dibandingkan konsentrat. Konsentrasi amonia antara ternak sapi dan kerbau tidak berbeda nyata. Hal ini menandakan bakteri rumen kedua ternak tersebut memiliki kemampuan yang sama dalam mendegradasi protein. Ulya (2007) menyatakan bahwa jumlah populasi bakteri proteolitik yang diberi BBJP pada cairan rumen sapi dan kerbau tidak berbeda nyata. Bakteri proteolitik sangat berperan dalam proses degradasi protein dalam rumen untuk menghasilkan amonia. Tabel 4. Rataan Konsentrasi Amonia (mM) pada Ransum yang Diberi Perlakuan Ekstrak Kursin BBJP dari 0-3 Jam Waktu Inkubasi Taraf Ekstrak Kursin dalam Ransum
Faktor Perlakuan
Rataan ± SD
0%
1%
2%
3%
Sapi 0 jam
16,91 ± 7,05
18,78 ± 6,57
19,87 ± 6,57
21,59 ± 7,78
19,29 ± 1,96
Sapi 3 jam
24,62 ± 2,86
23,68 ± 3,00
23,83 ± 2,78
23,77 ± 2,14
23,97 ± 0,44
Rataan ± SD
20,77 ± 5,46
21,23 ± 3,46
21,85 ± 2,80
22,68 ± 1,54
21,63 ± 0,83
Kerbau 0 jam
15,67 ± 3,00
16,77 ± 4,25
17,20 ± 3,36
18,18 ± 4,88
16,96 ± 1,04
Kerbau 3 jam
27,29 ± 5,65
25,80 ± 2,12
25,49 ± 1,78
25,23 ± 3,87
25,95 ± 0,92
Rataan ± SD
21,48 ± 8,22
21,29 ± 6,38
21,35 ± 5,87
21,71 ± 4,99
21,46 ± 0,19
0 jam Waktu Inkubasi 3 jam
16,29 ± 0,87
17,78 ± 1,42
18,53 ± 1,89
19,88 ± 2,41
18,12 ± 1,50A
25,96 ± 1,89
24,74 ± 1,50
24,66 ± 1,18
24,50 ± 1,04
24,96 ± 0,67B
Taraf Kursin
21,12 ± 6,84
21,26 ± 4,92
21,60 ± 4,33
22,19 ± 3,26
21,54 ± 0,48
Cairan Rumen
Rataan ± SD
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom dan faktor perlakuan yang sama berbeda sangat nyata pada (P<0,01)
Perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) terjadi antara 0 dan 3 jam waktu inkubasi
(Tabel 4).
Di dalam rumen protein mengalami hidrolisa menjadi
42
oligopeptida oleh enzim protease yang dihasilkan bakteri rumen. Sebagian oligopeptida tersebut dihidrolisa lebih lanjut menjadi asam amino yang kemudian dirombak menjadi amonia (Sutardi, 1979). Semakin lama ransum diproses dalam saluran pencernaan maka semakin banyak amonia yang dihasilkan akibat perombakan protein, sehingga konsentrasi amonia pada waktu inkubasi 3 jam lebih tinggi daripada 0 jam. Ulya (2007) menyatakan peningkatan konsentrasi amonia yang diberi BBJP secara in vitro paling tinggi terjadi pada saat 3 jam waktu inkubasi dibandingkan 6, 9 dan 12 jam waktu inkubasi. Hal tersebut dikarenakan pada awal waktu inkubasi (3 jam) protein dalam ransum masih banyak, sehingga mikroba rumen dapat merombak protein dengan bebas dan amonia yang terbentuk akan lebih banyak dibandingkan setelah 3 jam waktu inkubasi, karena jumlah protein ransum semakin berkurang dan dengan sendirinya amonia yang terbentuk akan lebih sedikit. Oleh sebab itu dalam penelitian ini pengukuran konsentrasi amonia dilakukan pada 0 dan 3 jam waktu inkubasi, dengan harapan diperoleh hasil amonia yang maksimum. Produksi amonia sendiri dipengaruhi oleh waktu setelah makan, umumnya produksi maksimum dicapai pada 2-4 jam setelah pemberian ransum tergantung pula kepada sumber protein yang digunakan serta mudah tidaknya protein tersebut didegradasi. Konsentrasi amonia yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 6-21 mM (McDonald et al., 2002). Amonia yang terbentuk dalam penelitian ini cukup tinggi. Peningkatan konsentrasi amonia yang tinggi dikarenakan dalam percobaan in vitro tidak terjadi penyerapan amonia oleh dinding rumen, N-recycling, pembuangan melalui urin dan terjadi lisis mikroba rumen yang dapat menambah jumlah amonia dalam tabung fermentor sehingga amonia terakumulasi. Sedangkan blanko (cairan rumen tanpa ransum) dari kedua jenis terbak sapi dan kerbau menghasilkan nilai konsentrasi amonia yang tidak jauh berbeda. Hal ini dapat disebabkan cairan rumen sapi berasal dari RPH dimana ternak tersebut telah dipuasakan terlebih dahulu selama 2 hari sebelum dipotong, sedangkan cairan rumen kerbau yang digunakan pada penelitian ini berasal dari ternak berfistula yang diberi pakan rumput dan sedikit konsentrat, dari hal tersebut maka kemungkinan pengaruh dari pakan sebelumnya yang berbeda antara kedua jenis ternak sapi dan kerbau sangat kecil.
43
Konsentrasi VFA Hasil pencernaan karbohidrat dalam rumen adalah VFA yang merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat berupa asetat, propionat, dan butirat serta gas CH4 dan CO2 sebagai hasil samping (Arora, 1995). VFA merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia melalui proses glukoneogenesis yaitu diserapnya VFA (khususnya propionat) ke dalam sistem peredaran darah yang kemudian diubah oleh hati menjadi gula darah. Gula darah inilah yang akan mensuplai sebagian besar kebutuhan energi bagi ternak ruminansia (Lehninger, 1982). Bersama-sama amonia, VFA merupakan bahan utama pembentukan protein mikroba (Sutardi,1980). Tabel 5. Rataan Konsentrasi VFA (mM) pada Ransum yang Diberi Perlakuan Ekstrak Kursin BBJP dari 0-3 Jam Waktu Inkubasi Taraf Ekstrak Kursin dalam Ransum
Faktor Perlakuan
Rataan ± SD
0%
1%
2%
3%
Sapi 0 jam
135,24 ± 35,19
140,30 ± 16,60
145,90 ± 20,09
153,99 ± 27,33
143,86 ± 8,04
Sapi 3 jam
155,86 ± 8,07
161,20 ± 23,61
163,93 ± 4,50
169,09 ± 31,87
162,52 ± 5,51
Rataan ± SD
145,55 ± 14,58
150,75 ± 14,78
154,92 ± 12,75
161,54 ± 10,67
153,19 ± 6,76
Kerbau 0 jam
146,08 ± 27,11
153,96 ± 20,57
155,12 ± 12,48
162,46 ± 23,84
154,41 ± 6,71
Kerbau 3 jam
162,08 ± 10,79
167,62 ± 12,25
171,77 ± 10,74
173,85 ± 14,94
168,83 ± 5,19
Rataan ± SD
154,08 ± 11,32
160,79 ± 9,66
163,45 ± 11,77
168,15 ± 8,05
161,62 ± 5,87
0 jam
140,66 ± 7,66
147,13 ± 9,66
150,51 ± 6,52
158,23 ± 5,99
149,13 ± 7,31a
Waktu Inkubasi 3 jam
158,97 ± 4,40
164,41 ± 4,54
167,85 ± 5,55
171,47 ± 3,37
165,68 ± 5,32b
149,82 ± 12,95
155,77 ± 12,22
159,18 ± 12,26
164,85 ± 9,36
157,40 ± 6,29
Cairan Rumen
Taraf Kursin
Rataan ± SD
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom dan faktor perlakuan yang sama berbeda nyata pada (P<0,05)
Hasil sidik ragam menunjukkan tidak ada pengaruh yang nyata antara penambahan ekstrak kursin dalam ransum, perbedaan antara cairan rumen ternak sapi dan kerbau, namun perbedaan waktu inkubasi berpengaruh nyata terhadap konsentrasi VFA, sedangkan efek interaksi perlakuan taraf kursin dengan perbedaan cairan rumen, taraf kursin dengan waktu inkubasi, perbedaan cairan rumen dengan waktu inkubasi dan interaksi ketiga faktor tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan antara ternak kerbau dan sapi baik penambahan ekstrak kursin sampai taraf 3%
44
ataupun tanpa pemberian ekstrak kursin memberikan respon yang sama untuk menghasilkan VFA. Mikroba ternak sapi dan kerbau mampu mentolerir keberadaan kursin BBJP dalam ransum sampai taraf 3% ekstrak kursin atau setara dengan pemberian 1,99% BBJP dalam ransum. Nilai ini ternyata lebih kecil daripada percobaan Makkar et al. (1998) yang membuktikan bahwa penggunaan BBJP sebanyak 0,65 g varietas Cape Verde tidak berpengaruh terhadap laju fermentabilitas mikroba rumen secara in vitro. Konsentrasi VFA cairan rumen sapi tidak berbeda nyata dengan konsentrasi VFA cairan rumen kerbau (Tabel 5). Padahal bila ditinjau dari populasi bakteri total cairan rumen sapi sangat nyata lebih rendah dibandingkan kerbau (Tabel 6). Hal ini dapat dikarenakan VFA sudah digunakan oleh bakteri untuk pertumbuhannya, sehingga jumlah konsentrasinya tidak berbeda nyata. Penggunaan VFA oleh bakteri untuk pertumbuhannya pada cairan rumen kerbau lebih banyak dibandingkan sapi. Hal tersebut merupakan suatu yang wajar karena bakteri total pada rumen kerbau sangat nyata lebih banyak daripada bakteri total dalam rumen sapi (Tabel 6), sehingga VFA yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri rumen kerbau akan lebih banyak juga. Arora (1995) menjelaskan bahwa VFA dan amonia sangat diperlukan untuk sintesis protein pada pertumbuhan bakteri, karena sintesis protein dan asam amino sangat membutuhkan gugus karboksil dan amino, kedua gugus tersebut dapat diperoleh dari VFA dan amonia. Kisaran nilai VFA pada penelitian ini yaitu 130-165 mM, nilai ini cukup untuk menunjang pertumbuhan optimal mikroba rumen yaitu 80160 mM (Sutardi, 1979). Hasil analisis data menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) terjadi pada waktu inkubasi 0 dan 3 jam. Sama halnya seperti amonia, semakin lama ransum didegradasi dalam rumen maka VFA yang dihasilkan akan semakin banyak. Hasil ini sejalan dengan Ulya (2007) yang menyatakan bahwa kosentrasi VFA yang diberi BBJP secara in vitro semakin meningkat seiring dengan meningkatnya waktu inkubasi. Populasi Bakteri Total Mikroorganisme yang ada di dalam rumen dapat hidup dan melakukan aktivitasnya apabila kondisi lingkungannya mendukung. Populasi mikroba rumen secara umum ditentukan oleh tipe ransum yang dikonsumsi ternak. Adanya bakteri
45
dalam rumen menyebabkan ruminansia dapat mencerna ransum berkadar serat kasar tinggi, mampu mengubah NPN seperti urea menjadi protein berkualitas tinggi (Sutardi, 1980). Hasil sidik ragam (Tabel 6) menunjukkan bakteri total dalam cairan rumen tidak dipengaruhi oleh taraf kursin dalam ransum, namun dipengaruhi oleh perbedaan cairan rumen ternak dan waktu inkubasi. Efek interaksi perlakuan taraf kursin dengan perbedaan cairan rumen, taraf kursin dengan waktu inkubasi, perbedaan cairan rumen dengan waktu inkubasi dan interaksi ketiga faktor tidak nyata. Rataan populasi bakteri total tidak berbeda nyata antar perlakuan ekstrak kursin dalam ransum. Hasil ini menunjukkan bahwa mikroba rumen dapat mentolerir ekstrak kursin BBJP sampai taraf 3% dalam ransum. Kursin diduga memiliki mekanisme yang sama seperti risin yaitu dapat menempel pada membran sel yang mengandung glikolipid dan glikoprotein (Hadi, 2008). Walaupun bakteri memiliki membran sel yang mengandung glikolipid dan glikoprotein sama halnya seperti eukariotik, namun komponen membrannya tidak sama. Membran sel prokariotik terdiri dari asam lemak jenuh yang lebih stabil, sedangkan eukariotik terdiri dari asam lemak tak jenuh yang mudah berikatan. Hal inilah yang mengkibatkan kursin tidak menyerang sel bakteri, karena kursin hanya akan mengikat struktur spesifik tertentu (Wikipedia, 2007a). Hal ini diperkuat oleh Lehninger (1982) yang menyebutkan sel prokariotik seperti bakteri memiliki kemampuan kemotaksis yaitu tertarik ataupun menjauh dari senyawa kimia tertentu, sehingga bakteri akan bergerak menjauhi senyawa toksik, dengan sendirinya bakteri terbebas dari infeksi rusaknya ribosom oleh kursin. Namun ada kemungkinan lain yaitu adanya periode adaptasi bakteri rumen terhadap kursin sehingga meningkatnya resistensi sekaligus dapat mendetoksifikasi racun kursin tersebut (Odenyo et al., 1999). Hal tersebut dapat pula terjadi mengingat pada penelitian Nurbaeti (2007) memaparkan bahwa BBJP yang difermentasi dengan Rhizopus oligosporus menghasilkan asupan protein paling tinggi dibandingkan BBJP dengan perlakuan fisik dan kimia. Hal ini menandakan bahwa enzim protease yang dimiliki Rhizopus oligosporus (enzim tersebut juga dihasilkan oleh bakteri proteolitik pada rumen) dapat mendegradasi kursin dan tidak membahayakan bakteri saluran
46
pencernaan. Makkar dan Becker (2004) juga menyebutkan bahwa BBJP asal Mexico yang tidak mengandung phorbolester, namun masih mengandung lektin tidak berpengaruh buruk sebagai pakan ikan. Nilai nutrien BBJP dari tanaman jarak Mexico ini cukup tinggi dan berpotensi untuk dijadikan pakan monogastrik dan ikan. Tabel 6. Rataan Populasi Bakteri Total (x108 CFU/ml) pada Ransum yang Diberi Perlakuan Ekstrak Kursin BBJP dari 0-3 Jam Waktu Inkubasi Taraf Ekstrak Kursin dalam Ransum
Faktor Perlakuan
Rataan ± SD
0%
1%
2%
3%
Sapi 0 jam
0,31 ± 0,21
0,24 ± 0,14
0,23 ± 0,15
0,21 ± 0,14
0,25 ± 0,04
Sapi 3 jam
0,36 ± 0,21
0,29 ± 0,18
0,25 ± 0,13
0,21 ± 0,17
0,27 ± 0,06
Rataan ± SD
0,33 ± 0,03
0,26 ± 0,04
0,24 ± 0,01
0,21 ± 0,00
0,26 ± 0,05A
Kerbau 0 jam
0,56 ± 0,33
0,51 ± 0,28
0,61 ± 0,42
0,40 ± 0,21
0,52 ± 0,09
Kerbau 3 jam
2,68 ± 0,84
2,41 ± 1,95
0,92 ± 0,43
1,03 ± 0,84
1,76 ± 0,92
Rataan ± SD
1,62 ± 1,50
1,46 ± 1,35
0,76 ± 0,22
0,72 ± 0,44
1,14 ± 0,47B
0 jam
0,43 ± 0,18
0,37 ± 0,19
0,42 ± 0,27
0,31 ± 0,14
0,38 ± 0,06A
Waktu Inkubasi 3 jam
1,52 ± 1,65
1,35 ± 1,50
0,58 ± 0,47
0,62 ± 0,58
1,02 ± 0,49B
0,98 ± 0,77
0,86 ± 0,69
0,50 ± 0,11
0,46 ± 0,22
0,70 ± 0,26
Cairan Rumen
Taraf Kursin
Rataan ± SD
Keterangan: Superskrip huruf yang berbeda pada kolom dan faktor perlakuan yang sama berbeda sangat nyata pada (P<0,01)
Secara keseluruhan dilihat dari rataan bakteri total cairan rumen sapi sangat nyata (P<0,01) lebih rendah daripada cairan rumen kerbau. Hasil ini sudah terlihat jelas dari awal 0 jam waktu inkubasi kedua cairan rumen ini memiliki jumlah populasi bakteri total yang sangat berbeda. Hal tersebut menandakan bahwa kerbau lebih toleran terhadap kursin BBJP. Ruangprim et al. (2007) menyatakan bahwa populasi bakteri total dalam cairan rumen sapi lebih rendah daripada populasi bakteri total dalam cairan rumen kerbau. Hal tersebut terjadi juga dalam penelitian Ulya (2007) yang menyebutkan bahwa bakteri proteolitik dalam rumen kerbau yang diberi BBJP cenderung lebih tinggi dibandingkan bakteri proteolitik rumen sapi, dan pada penelitian Dewi (2007) yang menggunakan BBJP sebagai ransum tunggal
47
secara in vitro menyebutkan bahwa terjadinya peningkatan populasi bakteri total dalam rumen kerbau, sedangkan dalam rumen sapi terjadi penurunan setelah 24 jam waktu inkubasi. Hal tersebut menandakan bahwa kerbau lebih toleran terhadap antinutrisi dalam BBJP. Pradhan (1994) menambahkan bahwa aktivitas bakteri total, proteolitik dan amilolitik pada cairan rumen kerbau lebih tinggi daripada cairan rumen sapi. Populasi bakteri total yang lebih banyak dapat mempercepat proses adaptasi ransum terhadap racun kursin dan meningkatkan laju degradasi ransum. Setelah 3 jam waktu inkubasi sangat nyata (P<0,01) meningkatkan populasi bakteri total. Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum bakteri total dalam cairan rumen sapi dan kerbau mampu memanfaatkan amonia dan VFA untuk pertumbuhannya. Hasil ini tercermin dari konsentrasi VFA pada 0 jam waktu inkubasi nyata (P<0,05) lebih rendah daripada 3 jam waktu inkubasi (Tabel. 5). Hal tersebut saling berkaitan erat karena bakteri yang semakin banyak dapat mempercepat proses degradasi ransum sehingga hasil degradasi berupa VFA akan turut meningkat. Arora (1995) menjelaskan bahwa amonia dan VFA merupakan sumber utama bagi bakteri rumen untuk pembentukan protein bakteri. Seiring dengan semakin banyaknya VFA yang terbentuk akan meningkatkan jumlah bakteri. Populasi Protozoa Total Peranan protozoa saat ini masih dipertanyakan keberadaannya di dalam sistem pencernaan. Sebagian ahli nutrisi ruminansia menganggap bahwa protozoa dan bakteri bersaing dalam menggunakan ransum. Protozoa akan memangsa bakteri sebagai sumber protein untuk kehidupannya sehingga jumlah bakteri sebagai pencerna partikel ransum dalam rumen akan berkurang (Arora, 1995). Namun sebagian ahli berpendapat lain, yaitu protozoa penting keberadaannya karena dapat menstabilkan pH saat fermentasi berlangsung sehingga dapat berfungsi sebagai penyangga, karena mempunyai kemampuan memecah pati lebih lama dibandingkan dengan bakteri (Jouany dan Ushida, 1989). Jumlah populasi protozoa pada cairan rumen ternak sapi dan kerbau di Thailand secara normal berkisar 105 sel/ml (Ruangprim et al., 2007). Kisaran ini sama dengan kisaran jumlah populasi protozoa cairan rumen sapi dan kerbau dalam penelitian ini. Populasi protozoa dipengaruhi oleh taraf kursin, dan perbedaan cairan rumen ternak, sedangkan waktu inkubasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Efek
48
interaksi perlakuan taraf kursin dengan perbedaan cairan rumen, taraf kursin dengan waktu inkubasi, perbedaan cairan rumen dengan waktu inkubasi dan interaksi ketiga faktor tidak berbeda nyata. Tabel 7. Rataan Populasi Protozoa Total (x 105 sel/ml) pada Ransum yang Diberi Perlakuan Ekstrak Kursin BBJP dari 0-3 Jam Waktu Inkubasi Taraf Ekstrak Kursin dalam Ransum Faktor Perlakuan
Cairan Rumen
Waktu Inkubasi Taraf Kursin
Rataan ± SD 0%
1%
2%
3%
Sapi 0 jam
0,66 ± 0,47
0,49 ± 0,31
0,41 ± 0,23
0,33 ± 0,17
0,47 ± 0,14
Sapi 3 jam
0,69 ± 0,36
0,48 ± 0,18
0,41 ± 0,18
0,35 ± 0,21
0,48 ± 0,15
Rataan ± SD
0,68 ± 0,02
0,48 ± 0,00
0,41 ± 0,00
0,34 ± 0,01
0,48 ± 0,15A
Kerbau 0 jam
0,83 ± 0,29
0,77 ± 0,28
0,70 ± 0,24
0,70 ± 0,20
0,75 ± 0,06
Kerbau 3 jam
0,93 ± 0,28
0,83 ± 0,19
0,75 ± 0,15
0,67 ± 0,11
0,80 ± 0,11
Rataan ± SD
0,88 ± 0,07
0,80 ± 0,05
0,72 ± 0,03
0,69 ± 0,02
0,77 ± 0,08B
0 jam
0,74 ± 0,12
0,63 ± 0,20
0,56 ± 0,20
0,51 ± 0,26
0,61 ± 0,10
3 jam
0,81 ± 0,16
0,66 ± 0,25
0,58 ± 0,24
0,51 ± 0,23
0,64 ± 0,13
0,78 ± 0,05Aa
0,64 ± 0,02Ab
0,57 ± 0,02Bc
0,51 ± 0,00Bc
0,62 ± 0,11
Rataan ± SD
Keterangan:
Superskrip huruf besar yang berbeda pada kolom dan faktor perlakuan yang sama berbeda sangat nyata pada (P<0,01) Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris dan faktor perlakuan yang sama berbeda pada nyata (P<0,05)
Hasil sidik ragam menunjukkan populasi protozoa semakin menurun seiring dengan bertambahnya taraf ekstrak kursin ke dalam ransum. Uji kontras ortogonal memperlihatkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) antara perlakuan ekstrak kursin. Penurunan populasi protozoa kemungkinan dapat disebabkan oleh kandungan kursin yang semakin banyak dalam ransum mengakibatkan protozoa tidak mampu bertahan. Mekanisme kursin hampir sama dengan risin yaitu adanya dua rantai yang saling berikatan dimana rantai pertama berperan untuk mengikat senyawa sejenis glikoprotein atau glikolipid. Sebagaimana telah diketahui bahwa protozoa merupakan jenis makhluk protista tinggi atau yang biasa dikenal dengan eukariotik yang memiliki membran dengan komposisi glikoprotein dan glikolipid tak jenuh sehingga
49
lebih mudah berikatan (Fardiaz, 1992). Rantai pertama dari kursin akan masuk dan berikatan dengan membran sel, sedangkan rantai kedua akan terlepas dari rantai pertama dan berikatan dengan ribosom. Tidak seperti rantai pertama, rantai ke dua bersifat “sangat jahat”. Rantai kedua tersebut akan menginaktivasi ribosom sehingga sintesis protein tidak akan berlangsung, dengan demikian sel akan segera mati (Hadi, 2008). Hal ini diperkuat dengan kemampuan sel eukariotik memakan lebih banyak zat makanan serta tidak memiliki kemampuan kemotaksis yang tinggi seperti bakteri (Lehninger, 1982). Hal senada dipaparkan juga oleh Juan et al. (2002) yang menyebutkan bahwa kursin merupakan senyawa toksin dari tanaman yang dapat menghambat sintesis protein pada sel eukariotik dan menjadi katalis perusak ribosom. Terbukti dalam penelitian ini bahwa semakin banyak kursin diberikan ke dalam ransum maka sangat nyata semakin banyak protozoa yang tidak mampu bertahan hidup yang disebabkan senyawa kursin secara kuat merusak ribosom sehingga menghambat sintesis protein (Tabel 7). Penurunan protozoa diakibatkan oleh kandungan saponin yang tinggi dalam biji jarak yang ikut tercampur dalam ekstrak kursin BBJP (Makkar et al., 1998). Saponin merupakan steroid yang terbukti dapat menurunkan populasi protozoa walaupun hanya sebanyak 0,1% dalam ransum. Saponin dapat meningkatkan tegangan permukaan dari membran protozoa yang mengandung kolesterol, sehingga membran rusak dan mengakibatkan lisisnya protozoa. Namun beberapa penelitian mengungkapkan bahwa setelah 10 hari pemberian ransum yang mengandung saponin maka populasi protozoa akan kembali normal akibat adanya proses adaptasi (Becker et al., 2005). Hasil dari penelitian ini yaitu rataan populasi protozoa cairan rumen kerbau sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibandingkan cairan rumen sapi. Protozoa dalam cairan rumen kerbau memiliki ketahanan yang lebih kuat terhadap ekstrak kursin BBJP daripada protozoa rumen sapi. Hasil ini dikarenakan pada cairan rumen awal jumlah populasi protozoa rumen kerbau sudah lebih banyak daripada rumen sapi, sehingga dapat mempercepat proses adaptasi terhadap kursin. Bhatia et al. (1980) menyatakan bahwa jumlah populasi protozoa cairan rumen kerbau lebih tinggi
50
daripada cairan rumen sapi dan aktivitas enzim dari mikroba rumen kerbau lebih tinggi daripada sapi (Pradhan, 1994). Perbedaan waktu inkubasi tidak berbeda nyata, namun rataan menunjukkan tidak terjadi penurunan populasi protozoa setelah 3 jam waktu inkubasi. Hal ini menandakan protozoa masih dapat mentolerir keberadaan kursin karena tidak mengalami penurunan setelah 3 jam waktu inkubasi. Hasil ini sejalan dengan Ulya (2007) yang menyatakan bahwa pemberian BBJP ke dalam cairan rumem sapi dan kerbau tidak menurunkan populasi protozoa setelah 3 jam waktu inkubasi. Kecernaan Bahan Kering (KCBK) Kecernaan bahan kering merupakan salah satu indikator untuk menentukan kualitas ransum. Semakin tinggi kecernaan bahan kering maka semakin tinggi pula peluang nutrisi yang dapat dimanfaatkan ternak untuk pertumbuhannya. Rataan nilai kecernaan bahan kering dari ransum yang diberi perlakuan kursin BBJP dapat dilihat pada Tabel 8. Nilai kecernaan bahan kering (KCBK) tidak dipengaruhi oleh perlakuan taraf ekstrak kursin dalam ransum tetapi dipengaruhi oleh perbedaan sumber cairan rumen ternak. Adapun interaksi antara perlakuan taraf ekstrak kursin dengan cairan rumen ternak tidak berbeda nyata. Tidak berpengaruhnya kursin dalam ransum menunjukkan bahwa secara in vitro kursin BBJP tidak mempengaruhi lajunya kecernaan ransum oleh mikroba rumen. Bakteri total dalam rumen cenderung mengalami peningkatan populasi selama 3 jam inkubasi. Setelah 3 jam waktu inkubasi populasi bakteri total stabil sehingga nilai KCBK tidak mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan adanya penyesuaian atau adaptasi mikroba rumen terhadap ekstrak kursin. Odenyo et al. (1999) membuktikan bahwa periode adaptasi menyebabkan mikroba rumen dapat mendetoksifikasi dan membentuk resistensi terhadap kandungan toksin dalam ransum. Kisaran nilai KCBK dalam penelitian ini cukup rendah. Berbeda dengan penelitian Hasanah (2007), nilai KCBK BBJP secara in vitro yaitu 50-62% dengan kandungan serat kasar 2-5%. Hal ini dikarenakan serat kasar pada ransum penelitian cukup tinggi sehingga menyulitkan mikroba rumen untuk melakukan degradasi secara maksimal (McDonald et al., 2002). Serat kasar pada ransum penelitian ini berkisar 18,64-20,79%, sebagian besar berasal dari pemakaian hijauan berupa
51
rumput gajah yang diketahui memiliki kandungan serat kasar sekitar 34%. Namun secara keseluruhan kisaran nilai KCBK dalam penelitian ini masih cukup normal, karena dengan perbandingan hijauan dan konsentrat yang seimbang secara in vitro nilai KCBK cairan rumen sapi dan kerbau dapat mencapai kisaran 38% hingga 46% (Hakim, 2002) Tabel 8. Rataan Kecernaan Bahan Kering (%) Ransum yang Diberi Perlakuan Ekstrak Kursin BBJP Taraf Ekstrak Kursin dalam Ransum
Cairan Rumen
Rataan ± SD
0%
1%
2%
3%
Sapi
37,78 ± 4,12
36,97 ± 5,68
32,41 ± 7,17
33,78 ± 6,68
35,23 ± 2,56A
Kerbau
45,46 ± 2,29
41,94 ± 2,66
40,25 ± 3,36
41,94 ± 3,01
42,40 ± 2,19B
Rataan ± SD
41,62 ± 5,43
39,45 ± 3,52
36,33 ± 5,55
37,86 ± 5,78
38,82 ± 2,26
Keterangan:
Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda sangat nyata pada (P<0,01)
Perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) terjadi pada KCBK antara cairan rumen sapi dan cairan rumen kerbau. Nilai KCBK cairan rumen kerbau lebih tinggi daripada nilai KCBK cairan rumen sapi. Hal ini berkaitan dengan jumlah populasi bakteri pada cairan rumen kerbau yang lebih tinggi daripada jumlah populasi bakteri pada cairan rumen sapi. Semakin banyak bakteri dalam cairan rumen maka enzim yang dikeluarkan bakteri untuk mendegradasi ransum akan semakin tinggi konsentrasinya sehingga kecernaan bahan kering meningkat. Kecernaan Bahan Organik (KCBO) Seperti halnya kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik atau KCBO juga dapat dijadikan tolok ukur dalam menilai kualitas ransum. Sama halnya dengan KCBK, ekstrak kursin tidak mempengaruhi nilai KCBO. Nilai KCBK akan sesuai dengan KCBO karena sebagian bahan kering dalam ransum terdiri dari bahan organik (Sutardi, 1980). Perlakuan taraf ekstrak kursin tidak mempengaruhi nilai KCBO seperti halnya KCBK. Nilai KCBO pada cairan rumen kerbau sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi daripada cairan rumen sapi. Adapun interaksi antara perlakuan taraf ekstrak kursin dengan cairan rumen ternak tidak berbeda nyata. Nilai KCBO kerbau lebih tinggi
52
dikarenakan pada cairan rumen kerbau jumlah bakteri total lebih banyak daripada cairan rumen sapi, sehingga kemampuan dalam mencerna bahan organik ransum lebih meningkat. Tabel 9. Rataan Kecernaan Bahan Organik (%) Ransum yang Diberi Perlakuan Ekstrak Kursin BBJP Taraf Ekstrak Kursin dalam Ransum Cairan Rumen
Rataan ± SD
0%
1%
2%
3%
Sapi
35,37 ± 3,69
33,94 ± 5,99
29,07 ± 6,26
30,54 ± 7,31
32,23 ± 2,92A
Kerbau
44,57 ± 2,15
40,67 ± 3,69
39,42 ± 2,21
38,90 ± 1,37
40,89 ± 2,56B
Rataan ± SD
39,97 ± 6,50
37,30 ± 4,76
34,24 ± 7,32
34,72 ± 5,91
36,56 ± 2,64
Keterangan:
Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda sangat nyata pada (P<0,01)
Kosakoy et al. (1978) melaporkan bahwa aktivitas bakteri selulolitik dalam cairan rumen kerbau lebih tinggi daripada cairan rumen sapi, sehingga laju degradasi benang kapas pada cairan rumen kerbau jauh lebih cepat daripada cairan rumen sapi. Didukung pula dengan penelitian Ulya (2007) yang menyatakan populasi bakteri selulolitik yang diberi bungkil biji jarak pagar secara in vitro mampu bertahan secara baik. Hal ini menunjukkan bahwa produk fermentasi ransum berupa bungkil biji jarak pagar secara optimal dapat dimanfaatkan oleh bakteri selulolitik untuk pertumbuhannya. Nilai KCBK dan KCBO penelitian ini lebih tinggi dibandingkan penelitian Dewi (2007) yang menggunakan BBJP secara in vitro. Hal ini dikarenakan pada penelitian Dewi (2007) digunakan BBJP sebagai ransum tunggal yang memiliki kandungan serat kasar yang tinggi yaitu sebesar 38,49%, sehingga proses degradasi ransum lebih lambat.
53
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Ekstrak kursin BBJP sampai taraf 3% dalam ransum tidak mempengaruhi fermentabilitas dan kecernaan in vitro berdasarkan populasi bakteri total, konsentrasi amonia dan VFA, namun terjadi penurunan populasi protozoa seiring bertambahnya kursin dalam ransum. Populasi bakteri total dalam cairan rumen kerbau yang lebih tinggi mengakibatkan tingginya nilai KCBK dan KCBO dibandingkan cairan rumen sapi. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kemungkinan mikroba rumen dapat melakukan detoksifikasi atau hanya menghindar dari senyawa kursin BBJP dan perlu juga dilakukan penelitian dengan penambahan taraf ekstrak kursin yang lebih tinggi dalam ransum untuk mengetahui respon terhadap bakteri rumen. Selain itu, perlu penelitian untuk mengetahui ketahanan mikroba rumen pada ternak kambing dan domba terhadap kursin BBJP juga perlu dilakukan sehingga dapat diketahui respon mikroba rumen terhadap kursin BBJP baik pada ruminansia besar maupun ruminansia kecil.
54
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah, puji dan syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya dengan karunia, rahmat dan pertolongan-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Terima kasih kepada
Dr. Ir. Komang G. Wiryawan dan Ir. Anita S.
Tjakradidjaja, M.Rur.Sc. selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa mendidik, membantu dari penyusunan proposal, jalannya penelitian hingga penulisan skripsi dan memberi ilmu yang luar biasa besar manfaatnya bagi penulis. Terima kasih kepada Ir. Sudarsono Jayadi, M.Agr.Sc. sebagai pembimbing akademik, Dr. Ir Nuraeni Sigit, MS. selaku dosen penguji seminar, Ir. Widya Hermana Msi. selaku panitia seminar, Dr. Ir. Jajat Jachja M.Agr. dan Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr. selaku dosen penguji sidang yang telah memberikan kritik, saran dan sumbangan pemikiran serta masukan dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih atas masukan ilmu selama penelitian dari Mba Gilang, Mba Ulya dan Mba Evrin. Kepada Bu Yani, Pak Rahmat, Bu Dian, Bu Fauziah dan Mba Lela yang telah banyak membantu saat penelitian. Sahabat-sahabat yang senatiasa membantu dan memberi motivasi selama penelitian (Tika, Dede, Lili, Imel, Siska, Shinta, Wayan, Aan, Ucup, Joko, Riki, dan temen satu angkatan 41 yang tidak bisa disebutkan satu per satu). Sahabat-sahabat terdekat (Fany, Sevrin, Qia, Dayu, Diva, Uvi, Tahira) terima kasih atas rasa kekeluargaan. Penulis mengucapkan terima kasih atas doa dan semangat dari keluarga besar tercinta Teh Iyet, Bang Ichan, A Indra, Teh Henny, A Hendri, Uni Rini, Uni Peppy, Yulia, Adisty, Nouval dan Devan. Kepada Nugraha terima kasih atas doa, semangat dan motivasinya kepada penulis. Terakhir, spesial ku persembahkan karya ini untuk pahlawanku tersayang, Bapak (H. Syarifudin) dan Mama (Hj. Ramaini) yang senantiasa menjadi pemicu semangat disetiap saat. Terima kasih atas segala dukungan, kesabaran, nasehat, doa dan kasih sayang yang tak terbatas. Bogor, Juli 2008
Penulis
55
DAFTAR PUSTAKA Ahmed, O. M. M. and S. E. I. Adam. 1979. Effects of Jatropha curcas on calves. Vet. Pathol. 16 : 476-482. http://www.vetpathology.org/misc/terms. [17 Mei 2008] Arora, S. P. 1995. Pencernaan Mikroba pada Hewan Ruminansia. Penerjemah : R. Muwarni. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Aregheore, E. M., K. Becker and H. P. S. Makkar. 1998. Assesment of lectin activity in a toxic and a non-toxic variety of Jatropha curcas using latex aglutination and haemagglutination methods and inactivation of lectin by heat treatment. J. Food Agric. Sci. 77 : 349-352. Aregheore, E. M., K. Becker and H. P. S. Makkar. 2003. Detoxification of a toxic variety of Jatropha curcas using heat and chemical treatments, and preliminary nutritional evaluation with rats. J. South Pacific Nat. Sci. 21 : 50-60. Becker, K. and H. P. S. Makkar. 1998. Effect of phorbholester in carp (Cyprinus carpio L.). Vet. Human Toxicology. 40 : 82-86. Becker, K., E. Wina and S. Muetzel. 2005. The impact of saponins or saponincontaining plant materials on ruminant production. Institute for Animal Production, Hohenheim University and Indonesian Research Institute, Bogor. Bhatia, S. K., K. Pradhan and R. Singh. 1980. Ammonia anabolizing enzymes in cattle and buffalo fed varied nonprotein nitrogen and carbohydrates. J. Dairy Sci. 63 : 1104-1108. Biotechcitylucknow. 2007. Jatropha curcas. http://www.biotechcitylucknow. [2 Desember 2007] Brodjonegoro, T. P., I. K. Reksowardjojo dan T. H Soerawidjaja. 2005. Jarak pagar, sang primadona. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1005/13/cakrawala/tama02.htm [2 Desember 2007] Dewi, G. S. 2007. Evaluasi in vitro mikroba rumen berbagai ternak ruminansia terhadap pemakaian bungkil biji jarak pagar (Jatropa curcas L.). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Driwanti, F. 1999. Pengaruh tingkat pemberian pakan, protein pakan dan waktu pemberian suplemen energi terhadap karakteristik cairan rumen domba lokal. Skripsi. Fakultas peternakan. Universitas Cendrawasih, Manokwari. Duke, J. A. and A. A. Atchley. 1983. Proximate Analysis. In : Chriestie, B. R (Editor). The Handbook of Plant Sci. in Agric. CRC Press, Inc., Boca Raton, FL. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Freer, M. and H. Dove. 2002. Sheep Nutrition. CABI and CSIRO Publishing, Canberra. General Laboratory Procedures. 1966. Department of Dairy Sci. University of Wisconsin, Madinson.
56
Guibitz, G. M., M. Mittelbach and M. Trabi. 1999. Exploitation of The Tropical Oil Seed Plant Jatropha curcas L. Bioresource Tech. Hadi, S. N. 2008. Risin, Bioteroris yang juga bisa bersahabat. www.chem-istry.org/sect=artikel&ext=74 [20 April 2008] Hakim, R. S. 2002. Evaluasi in vitro respons mikroba rumen ternak ruminansia terhadap penambahan DABA (2,4 – diaminobutyric acid) dan lamtoro merah (Acacia villosa) dalam ransum. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hartati, E. 2002. Evaluasi in vitro ketahanan mikroba rumen domba yang berbeda masa adaptasinya pada Acacia villosa terhadap penambahan DABA (2,4 – diaminobutyric acid). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hasanah, P. 2007. Kandungan nutrisi, fermentabilitas dan kecernaan in vitro bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) terdetoksifikasi. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Heller, J. 1996. Physisc nut Jatropha curcas L. Promoting the conservation and use of underutilized and neglected crops. Institute of Plant Genetics and Crop Plant Research, Gartesleben, International Plant Genetic Resources Institute, Rome. Hermawan, D. E. 2001. Peningkatan fermentabilitas daun akasia (Acacia villosa dan Acacia angustissima) dengan penambahan polyetihylen glycol (PEG). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hungate, R. E. 1966. The Ruminant and Its Microbes. Academic Press, New York. Irawan, B. 2002. Suplemen Zn dan Cu organik pada ransum berbasis agroindustri untuk memacu pertumbuhan domba. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jouany, J. P. and K.Ushida. 1989. Protozoa in the Fibre Digestion in the Rumen. Japan Sci. Soc. Press, Tokyo. Juan, L., C. Yu, X. Ying, Y. Fang, T. Lin and C. Fang. 2002. Cloning and expression of curcin, a ribosome-inactivating protein from the seeds of Jatropha curcas. http://www.bioline.org.br [2 Desember 2007] Juan, L., F. Yan, L. Tan and Chen. 2003. Antitumor effect of curcin from seeds of Jatropha curcas. Acta Pharmacol Sin. 24 (3) : 241-246. www.chinaphar.com /167-4083/24/241.htm. [25 Desember 2007] Juniastica. 2008. fermentabilitas ransum ternak ruminansia besar yang diberi ekstrak curcin bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.). Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kaufmann, W. H., Hagemier and G. Dirksen. 1980. Adaptation to changes in dietary compotition level and frequency of feeding. Kingsbury, J. M. 1964. Poisonous Plant of the United State and Canada.
57
Kosakoy, S., E. Henny, dan T. Sutardi. 1978. Laju degradasi benang kapas dalam cairan rumen kerbau dan sapi. Bull. I. M. T. 3 : 202. Lehninger, A. L. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Penerjemah : M. Thenawidjaja. Erlangga, Jakarta. Makkar, H. P. S and K. Becker. 1997. Jatropha curcas toxicity: Identification of toxic principle(s). In : 5th International symposium on poisonous plants. San Angelo. Makkar, H. P. S., A. O. Aderibigbe and K. Becker. 1998. Comparative evaluation of non-toxic varieties of Jatropha curcas for chemical composition, digestibility, protein degradability and toxic factors. J. Food Chem. 62 : 3136. Makkar, H. P. S and K. Becker. 2004. Nutritional studies on rats and fish (carp Cyprinus carpio) fed diets containing unheated and heated Jatropha curcas meal of a non-toxic provenance. J. Chem. and Material Sci. 52 (3) : 183-192. http://www.springerlink.com [17 Mei 2008] McDonald, P. R., A. Edwards, J. F. D. Greenhalg dan C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition 6th Edition. Longman Scientific and Technical Co. Published in The United States with John Willey and Sons Inc, New York. Nurbaeti. 2007. Efisiensi penggunaan protein dan energi metabolis ransum ayam broiler yang mengandung bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas) yang diolah secara fisika, kimia dan biologis. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor Nurhikmawati, I. 2007. Pengaruh perlakuan fisika, kimia, biologi terhadap komposisi kimia dan kandungan racun curcin Bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.). Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nutrient Requirements of Dairy Cattle. 2001. Seventh Revised Edition. Nat. Academic Press. http://www.nap.edu/catalog/9825.html [2 April 2008]. Odenyo, A. A., P. O. Osuji and Negassa. 1999. Microbial evaluation of fodder tree leaves as ruminant feed. J. Anim. Sci. 12 (5) : 708-714. Ogimoto. K and S. Imai. 1981. Atlas of Rumen Microbiology. Japan Sci. Soc. Press, Tokyo. Pradhan, K. 1994. Rumen ecosystem in relation to cattle and buffalo nutrition. In: Wanapat, M. and K. Somniart (Editor). Proc. First Asian Buffalo Association Congress. Preston, T. R and R. A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production System with Available Resources in Tropic. Penambul Books, Armidale. Ruangprim, T., C. Chantalakhana, P. Skunmun, P. Prucsasri and M. Wanapat. 2007. Rumen microbes and ecology of male dairy, beef cattle and buffalo. Kasetsart University, Nakhon Pathom. Schmook, B and L. Seralta-Peraza. 1997. Jatropha curcas distribution and uses in the Yucatan Peninsula of Mexico. In : G. M. Gubitz, M. Mittelbach. and M. Trabi (Editor). Biofuels and industrial products from Jatropha curcas.
58
Selly. 1994. Peningkatan kualitas pakan serat bermutu rendah dengan amoniasi dan inokulan digesta rumen. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Steel, R. G. D. dan J. H Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Penerjemah : M. Syah. Edisi ketiga. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Stirpe, F., A. Pession-Brizzi, E. Lorenzoni, P. Strocchi, L. Montanaro and S. Sperti. 1976. Studies on the proteins from the seeds of Croton tiglium and Jatropha curcas. J. Biochem. 156 : 1-6. Sutardi, T. 1979. Ketahanan protein bahan makanan terhadap degradasi oleh mikroba rumen dan manfaatnya bagi peningkatan produktivitas Ternak. Proceeding seminar dan penunjang peternakan. Lembaga Penelitian Peternakan, Bogor. Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi I. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tilley, J. M. A dan R. A. Terry. 1963. A two stage technique for the in-vitro digestion of forage crops. J. British Grassland Soc. 18 : 104-111. Tjakradidjaja, A. S., Suryahadi dan Adriani. 2007. Fermentasi bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L) dengan berbagai kapang sebagai upaya penurunan kadar serat kasar dan zat antinutrisi. Proceeding Konferensi Jarak Pagar Menuju Bisnis Jarak Pagar yang Fleksibel, Selasa, 19 Juni 2007. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ulya, A. 2007. Kajian in vitro mikroba rumen berbagai ternak ruminansia dalam proses fermentasi bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.). Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wikipedia. 2007a. Lectin. The Free Encyclopedia. http://en.wikipedia.org/wiki/lectin [27 Desember 2007] Wikipedia. 2007b. Phorbol. The Free Encyclopedia. http://en.wikipedia.org/wiki/ phorbol. [27 Desember 2007] Woodward, A and J. D. Reed. 1995. Intake and digestibility for sheep and goats consuming supplementary Acacia brevispica and Sesbania sesban. J. Anim. Feed. Sci. and Tech. 56 : 207-216.
59
LAMPIRAN
60
Lampiran 1. Komposisi Pembuatan Larutan Buffer Fosfat-NaCl pH 7,2 Dingin yang Mengandung 0,2 M NaCl K2HPO4
0,2177 g
KH2PO4
0,3402 g
NaCL
11,68 g
Aquades
1000
ml
Cara Pembuatan : K2HPO4 dan KH2PO4 masing-masing dilarutkan dalam 500 ml aquades. Kedua bahan yang telah larut dicampurkan dan ditambah NaCl hingga homogen. Kemudian cek pH sampai 7,2 dan diletakkan didalam refrigerator.
Lampiran 2. Komposisi dan Pembuatan Garam Formalin Formalin 35%
10
ml
Tripan Blue
0,3
g
NaCl
8
g
Aquades
90
ml
Cara Pembuatan : larutkan NaCl dalam aquades beberapa ml, campurkan seluruh bahan dan homogenkan hingga larut.
Lampiran 3. Komposisi dan Pembuatan Media 1. Media BHI (Brain Heart Infusion) BHI powder
3,70
g
Glukosa
0,05
g
Selobiosa
0,05
g
Selulosa
0,05
g
Starch
0,05
g
Cystein
0,05
g
Hemin (0,05 %)
0,5
ml
Resazurin
0,05
ml
Aquades Cara pembuatan : semua bahan dimasukkan kecuali cystein ke dalam botol Scotch. Kemudian ditambahkan aquades sampai volume 100 ml. Larutan tersebut dimasak sampai mendidih dan didinginkan sambil dialiti gas CO2. setelah latutan dingin, cystein dimasukkan. Larutan dicek pH yaitu pH4 dan pH 7 sampai media
61
pH 7, kemudian dialiri gas CO2 hingga berubah warna dari merah menjadi kuning. 2. Media Pengenceran Larutan Mineral I
7,5
ml
Larutan Mineral II
7,5
ml
Cystein
0,05
g
Na2CO3
0,3
g
Resazurin (0,1 %)
0,1
ml
Aquades
100
ml
K2HPO4
0,6
g
Aquades
100
ml
KH2PO4
0,6
g
NaCl
0,25
g
CaCl2
0,12
g
(NaH4)2SO4
1,2
g
MgSO4.7H2O
0,25
g
Aquades
100
ml
a. Larutan Mineral I
b. Larutan Mineral II
Lampiran 4. Komposisi dan Cara Pembuatan Larutan McDougall a. Larutan Mikromineral CaCl2.2H2O
13,2
g
MnCl2.4H2O
1,0
g
CoCl2.6H2O
1,0
g
FeCl3.6H2O
8,0
g
Aquades
100
ml
NH4HCO3
4,0
g
NaHCO3
35,0
g
Aquades
1000
ml
b. Larutan buffer rumen
c.
Larutan Makromineral
62
Na2HPO4
5,7
g
KH2PO4
6,2
g
MgSO4.7H2O
0,6
g
Aquades
1000
ml
d. Larutan Resazurin 0,1 % (w/w) e. Larutan Pereduksi NaOH Na2S.9H2O Aquades
4
ml
625
mg
95
ml
Cara pembuatan : sebanyak 400 ml aquades ditambahkan 0,1 ml larutan mikromineral, 200 ml larutan buffer rumen, 200 ml larutan makromineral, 1,0 ml larutan resazurin dan 40 ml larutan pereduksi (campuran ini disiapkan sebelum pengambilan cairan rumen), lalu dialiri gas CO2 dan direndam dalam shaker waterbath pada suhu 39 oC. Agar homogen larutan diaduk dengan magnetic stirer hingga terjadi perubahan warna dari biru menjadi merah dan tidak berwarna.
Lampiran 5. Sidik Ragam Konsentrasi Amonia Perlakuan Ekstrak Kursin 03 Jam Waktu Inkubasi SK
db
JK
KT
Fhitung
F0,05
F0,01
Ket
Blok
2
66,33047
33,16524
1,606899
3,31583
5,390346
tn
Cairan Rumen (A)
1
0,366599
0,366599
0,017762 4,170877
7,562476
tn
Taraf Kursin (B)
3
8,195783
2,731928
0,132365 2,922277
4,50974
tn
Waktu Inkubasi (C)
1
561,9832
561,9832
27,22883 4,170877
7,562476
**
Interaksi AB
3
4,768613
1,589538
0,077015 2,922277
4,50974
tn
Interaksi BC
3
40,37535
13,45845
0,65208 2,922277
4,50974
tn
Interaksi AC
1
55,74708
55,74708
2,701019 4,170877
7,562476
tn
Interaksi ABC
3
0,38795
0,129317
0,006266 2,922277
4,50974
tn
Eror
30
619,1782
20,63927
Total
47
1357,333
28,87943
Keterangan :
** * tn
1,399247
: Berbeda Sangat Nyata (P<0,01) : Berbeda Nyata (P<0,05) : Tidak Nyata
63
Lampiran 6. Sidik Ragam Konsentrasi VFA Perlakuan Ekstrak Kursin 0-3 Jam Waktu Inkubasi SK
db
JK
KT
Fhitung
F0,05
F0,01
Ket
Blok
2
165,8682
82,93412
0,184916
3,31583
5,390346
tn
Cairan Rumen (A)
1
852,533
852,533
1,900874
4,170877
7,562476
tn
Taraf Kursin (B)
3
1425,248
475,0827
1,059281
2,922277
4,50974
tn
Waktu Inkubasi (C)
1
3284,.344 3284,344
7,323029
4,170877
7,562476
*
Interaksi AB
3
17,70251
5,900838
0,013157
2,922277
4,50974
tn
Interaksi BC
3
45,61305
15,20435
0,033901
2,922277
4,50974
tn
Interaksi AC
1
53,78276
53,78276
0,119918
4,170877
7,562476
tn
Interaksi ABC
3
13,19016
4,396721
0,009803
2,922277
4,50974
tn
Eror
30
13454,86
448,4953
Total
47
19313,14
410,9179
Keterangan :
** * tn
Lampiran 7
0,916214
: Berbeda Sangat Nyata (P<0,01) : Berbeda Nyata (P<0,05) : Tidak Nyata
Sidik Ragam Bakteri Total Perlakuan Ekstrak Kursin 0-3 Jam Waktu Inkubasi
SK
db
JK
KT
Fhitung
F0,05
F0,01
Ket
Blok
2
1, 309783
0, 654892
4,642043
3,31583
5,390346
*
Cairan Rumen (A)
1
1,677645
1,677645
11,89158 4,170877
7,562476
**
Taraf Kursin (B)
3
0,44634
0,14878
1,05459
2,922277
4,50974
tn
Waktu Inkubasi (C)
1
2,369235
2,369235
16,79375 4,170877
7,562476
**
Interaksi AB
3
0,035915
0,011972
0,084859 2,922277
4,50974
tn
Interaksi BC
3
0,153824
0,051275
0,363448 2,922277
4,50974
tn
Interaksi AC
1
0,041226
0,041226
0,292224 4,170877
7,562476
tn
Interaksi ABC
3
0,08355
0,02785
0,197408 2,922277
4,50974
tn
Eror
30
4,23235
0,141078
Total
47
10,34987
Keterangan :
** * tn
0,22021 1,560906
: Berbeda Sangat Nyata (P<0,01) : Berbeda Nyata (P<0,05) : Tidak Nyata
64
Lampiran 8. Sidik Ragam Jumlah Populasi Protozoa Perlakuan Ekstrak Kursin 0-3 Jam Waktu Inkubasi SK
db
JK
KT
Fhitung
F0,05
F0,01
Ket
Blok
2
0,363113
0,181556
7.41617
3,31583
5,390346
**
Cairan Rumen (A)
1
0,762417
0,762417
31,14302
4,170877
7,562476
**
Taraf Kursin (B)
3
0,257349
0,085783
3,504036
2,922277
4,50974
*
0%,1% vs 2%,3%
1
0,623899
0,623899
25,48488
4,170877
7,562476
**
0%vs1%
1
0,167844
0,167844
6,85606
4,170877
7,562476
*
2% vs3%
1
0,026647
0,026647
1,08846
4,170877
7,562476
tn
Waktu inkubasi (C)
1
0,009669
0,009669
0,394972
4,170877
7,562476
tn
Interaksi AB
3
0,061639
0,020546
0,839271
2,922277
4,50974
tn
Interaksi BC
3
0,004985
0,001662
0,067877
2,922277
4,50974
tn
Interaksi AC
1
0,000214
0,000214
0,008728
4,170877
7,562476
tn
Interaksi ABC
3
0,000698
0,000233
0,009497
2,922277
4,50974
tn
Eror
30
0,734435
0,024481
Total
47
2,194518
0,046692
Keterangan :
** * tn
1,907258
: Berbeda Sangat Nyata (P<0,01) : Berbeda Nyata (P<0,05) : Tidak Nyata
Lampiran 9. Sidik Ragam Kecernaan Bahan Kering SK
db
JK
KT
Fhitung
Blok
2
47,16079
23,5804
4,353385
Cairan Rumen (A)
1
94,88201
94,88201
17,517
Taraf Kursin (B)
3
38,41184
12,80395
Interaksi AB
3
2,961452
0,987151
Eror
14
75,83193
5,416566
Total
23
259,248
11,27165
Keterangan :
** * tn
F0,05
F0,01
Ket
3,738892 6,514884
*
4,60011
8,861593
**
2,363849
3,343889 5,563886
tn
0,182247
3,343889 5,563886
tn
2,080959
: Berbeda Sangat Nyata (P<0,01) : Berbeda Nyata (P<0,05) : Tidak Nyata
65
Lampiran 10. Sidik Ragam Kecernaan Bahan Organik SK
db
JK
Blok
2
41,6846569
Cairan Rumen (A)
1
Taraf Kursin (B)
F0,05
F0,01
Ket
20,84233 3,847886
3,738892
6,514884
*
163,7065234
163,7065
30,2233
4,60011
8,861593
**
3
46,22865717
15,40955 2,844893
3,343889
5,563886
tn
Interaksi AB
3
4,063662252
1,354554 0,250076
3,343889
5,563886
tn
Eror
14
86,24997056
6,160712
Total
23
341,9334703
14,86667 2,744667
Keterangan :
** * tn
KT
Fhitung
: Berbeda Sangat Nyata (P<0,01) : Berbeda Nyata (P<0,05) : Tidak Nyata
66