EFEKTIVITAS BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) YANG DIFERMENTASI BERBAGAI JENIS KAPANG SEBAGAI PAKAN MENCIT (Mus musculus)
SKRIPSI RATNA MAHAJATI
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN RATNA MAHAJATI. D24104077. 2008. Efektivitas Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) yang Difermentasi Berbagai Jenis Kapang sebagai Pakan Mencit (Mus musculus). Skripsi. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Anita S. Tjakradidjaja, M.Rur. Sc. Pembimbing Angota : Dr. Ir. H. Suryahadi, DEA. Bungkil biji jarak pagar (BBJP) merupakan limbah dari pengolahan biji jarak yang diambil minyaknya. BBJP ini, selain dapat dijadikan sebagai pupuk dan briket kompor, dapat pula dimanfaatkan sebagai pakan ternak. BBJP memiliki protein kasar yang tinggi yaitu sekitar 45,1%. Hal ini memungkinkan BBJP dijadikan sebagai bahan makanan ternak. Namun BBJP juga mengandung zat antinutrisi yaitu curcin dan phorbolester sehingga pemakaiannya sebagai bahan makanan ternak memiliki keterbatasan. Pemberian BBJP kepada mencit yang melebihi level 5% menunjukkan gejala lesu, kehilangan nafsu makan, konsumsi ransum menurun, bobot badan yang rendah, dan terdapat cairan kuning di sekitar anus, serta tingginya angka mortalitas. Diperlukan suatu cara untuk mengatasi efek racun dari BBJP agar aman dikonsumsi oleh ternak. Salah satu cara untuk mendetoksifikasi racun BBJP yaitu dengan memfermentasikannya menggunakan kapang. Kapang yang digunakan antara lain Aspergillus niger, Rhizopus oryzae, Rhizopus oligosporus, Trichoderma viride dan Trichoderma reesei. Penggunaan kapang-kapang tersebut diharapkan mampu meningkatkan protein kasar pada substrat dan mampu menyumbangkan enzim yang dapat memecah ikatan antar fraksi serat dalam BBJP. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing pemberian BBJP yang difermentasikan dengan kapang A. niger, R. oryzae, R. oligosporus, T. viride, dan T. reesei terhadap performa, kecernaan nutrient, mortalitas mencit, dan untuk mengetahui jenis kapang yang dapat memberikan respon terbaik dalam mendetoksifikasi BBJ. Penelitian dilaksanakan dari bulan Agustus 2007 hingga Pebruari 2008 di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah dan Laboratorium Biokimia Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, IPB, Darmaga. Penelitian ini menggunakan 35 ekor mencit (Mus musculus) jantan dewasa kelamin yang dibagi dalam 7 perlakuan dan 5 ulangan dengan unit percobaan 1 ekor dan dipelihara selama 7 minggu. Ransum yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : R0 (Ransum kontrol tanpa BBJP), R1 (95% R0 + 5% BBJP tanpa fermentasi), R2 (95% R0 + 5% BBJP yang difermentasi dengan A. niger); R3 (95% R0 + 5% BBJP yang difermentasi dengan R. oryzae), R4 (95% R0 + 5% BBJP yang difermentasi dengan R. oligosporus), R5 (95% R0 + 5% BBJP yang difermentasi dengan T. viride), dan R6 (95% R0 + 5% BBJP yang difermentasi dengan T. reesei). Peubah yang diamati dalam penelitian ini, yaitu konsumsi zat makanan, pertambahan bobot badan, efisiensi penggunaan ransum, kecernaan zat makanan, serta mortalitas mencit. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL). Data yang diperoleh lalu dianalisis menggunakan analisis deskriptif, dikarenakan banyaknya mencit yang mati.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu penambahan BBJP terfermentasi kedalam ransum komersial sebanyak 5% belum dapat meningkatkan konsumsi zat makanan, pertambahan bobot badan, efisiensi ransum, dan menurunkan mortalitas mencit. Penambahan BBJP yang difermentasi oleh kapang Aspergillus niger dapat meningkatkan nilai rataan kecernaan zat makanan dibandingkan dengan penggunaan kapang lainnya, namun nilai kecernaan tersebut tidak sebanding dengan perubahan bobot badan yang didapatkan. Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui bahwa penggunaan kapang Rhizopus oligosporus lebih baik dalam menurunkan racun BBJP dibandingkan dengan kapang R. oryzae. Kata-kata kunci : Jatropha curcas, Mus musculus, fermentasi, kapang.
ABSTRACT Effectiveness of Fermented Jatropha curcas L. meal with Various Species of Mould as Mice (Mus musculus) Diets R. Mahajati, A. S. Tjakradidjaja, and Suryahadi This experiment was conducted to evaluate the effectiveness of fermented Jatropha curcas meal with Aspergillus niger, Rhizopus oryzae, Rhizopus oligosporus, Trichoderma viride, or Trichoderma reesei. Thirty five sexual matured of male mice were used in this experiment. The treatment diets were R0 (control diet without Jatropha curcas meal), R1 (95% R0 + 5% untreated J. curcas meal); R2 (95% R0 + 5% fermented J. curcas meal with A. niger); R3 (95% R0 + 5% fermented J. curcas meal with R. oryzae), R4 (95% R0 + 5% fermented J. curcas meal with R. oligosporus), R5 (95% R0 + 5% fermented J. curcas meal with T. viride), and R6 (95% R0 + 5% fermented J. curcas meal with T. reesei). Treatments were allocated in a completely randomized design with five replications. Variables observed were feed consumption, body weight gain, feed efficiency, nutrient digestibility, and mortality. The data were analyzed with descriptive analysis. The results indicate that the use of J. curcas meal fermented with various species of mould reduced feed consumption and feed efficiency. The mice had drastic body weight loss, even though the use of J. curcas meal fermented with A. niger can increase nutrient digestibility, i.e. in dry matter digestibility, organic matter digestibility, crude protein digestibility, and energy digestibility. However, it could not prevent high mortality rate of mice. The results also show that the use of R. oligosporus is better than R. oryzae in detoxification of J. curcas. Keywords : Jatropha curcas meal, Mus musculus, fermentation, mould.
EFEKTIVITAS BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) YANG DIFERMENTASI BERBAGAI JENIS KAPANG SEBAGAI PAKAN MENCIT (Mus musculus)
RATNA MAHAJATI D24104077
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
EFEKTIVITAS BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) YANG DIFERMENTASI BERBAGAI JENIS KAPANG SEBAGAI PAKAN MENCIT (Mus musculus)
RATNA MAHAJATI D24104077
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 22 Agustus 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir. Anita S. T., M.Rur.Sc. NIP. 131 624 189
Dr. Ir. H. Suryahadi, DEA. NIP. 130 933 585
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr NIP. 131 955 531
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 18 Desember 1985. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dengan ayah bernama Widodo Dwi Suharyanto dan ibu bernama Sri Mulyani. Pada tahun 1992, penulis menyelesaikan pendidikannya di TK Nugraha II Bogor, kemudian melanjutkan pendidikan dasar di SDN Polisi I Bogor. Setelah lulus dari SD pada tahun 1998, penulis melanjutkan studi ke SLTPN 3 Bogor hingga lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2004, penulis menyelesaikan studinya di SMUN 3 Bogor. Pada tahun 2004, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) di Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan dan akan menyelesaikan pendidikan sarjananya pada tahun 2008.
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur ke hadirat Allah SWT atas besarnya limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian, seminar, dan skripsi yang berjudul ”Efektivitas Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) yang Difermentasi Berbagai Jenis Kapang sebagai Pakan Mencit (Mus musculus)”. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Agustus 2007 hingga Pebruari 2008 di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah dan Laboratorium Biokimia Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing pemberian bungkil biji jarak pagar (BBJP) yang difermentasikan dengan kapang Aspergillus niger, Rhizopus oryzae, Rhizopus oligosporus, Trichoderma viride, dan Trichoderma reesei terhadap performa, kecernaan nutrient, mortalitas mencit, dan untuk mengetahui jenis kapang yang dapat memberikan respon terbaik dalam mendetoksifikasi BBJP. Penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan karya tulis ini, semoga Allah Yang Maha Pemurah dan Penyayang yang akan membalasnya. Semoga karya tulis ini bermanfaat dalam dunia pendidikan dan peternakan serta menjadi catatan amalan shaleh. Amin.
Bogor, 2008
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ..............................................................................................
ii
ABSTRACT .................................................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP ......................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................
viii
DAFTAR ISI ................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................. Perumusan Masalah .......................................................................... Tujuan ...............................................................................................
1 2 3
TINJAUAN PUSTAKA Jarak Pagar........................................................................................ Bungkil Biji Jarak Pagar ......................................................... Phorbolester ............................................................................ Curcin ...................................................................................... Upaya Detoksifikasi Bungkil Biji Jarak Pagar (BBJP) ........... Mencit ............................................................................................... Fermentasi ........................................................................................ Kapang .............................................................................................. Aspergillus niger ..................................................................... Rhizopus oryzae ...................................................................... Rhizopus oligosporus .............................................................. Trichoderma viride .................................................................. Trichoderma reesei .................................................................
4 6 7 9 9 11 13 14 15 17 19 20 21
METODE Waktu dan Tempat............................................................................ Materi ............................................................................................... Ternak ...................................................................................... Kandang dan Perlengkapan ..................................................... Ransum .................................................................................... Metode .............................................................................................. Rancangan Percobaan .............................................................. Peubah Yang Diamati .............................................................. Prosedur ............................................................................................ Pembuatan Media Kapang ....................................................... Pembuatan Kultur Kapang ......................................................
24 24 24 24 24 25 25 25 26 26 27
Fermentasi Bungkil Biji Jarak Pagar (BBJP) .......................... Pembuatan Ransum Pellet ....................................................... Pemberian Perlakuan ...............................................................
27 27 28
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Makanan Ransum Perlakuan .................................. Konsumsi Zat Makanan .................................................................... Kecernaan Zat Makanan ................................................................... Perubahan Bobot Badan Mencit ....................................................... Efisiensi Penggunaan Ransum ......................................................... Mortalitas ..........................................................................................
29 32 38 41 43 44
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ....................................................................................... Saran .................................................................................................
47 47
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................
48
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
49
LAMPIRAN .................................................................................................
56
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Perbedaan Komposisi Kimia Kernel dan Kulit Biji Jarak dari Dua Varietas Berbeda ..................................................................................
6
2. Komposisi Zat Makanan dan Fraksi Serat dari BBJP Tanpa Cangkang, dengan Cangkang dan Cangkang Biji Jarak Pagar...............................
7
3. Kandungan Zat Makanan Bungkil Biji Jarak Pagar yang Difermentasi Berbagai Kapang ..................................................................................
10
4. Sifat-Sifat Biologis Mencit (Mus musculus).........................................
12
5. Kandungan Zat Makanan Ransum Perlakuan ......................................
29
6. Konsumsi Zat Makanan Mencit Selama Penelitian .............................
33
7. Kecernaan Zat Makanan Mencit Selama Penelitian ............................
39
8. Perubahan Bobot Badan (PBB) Mencit per Ekor per Hari Selama Penelitian ..............................................................................................
41
9. Efisiensi Penggunaan Ransum (EPR) per Ekor per Hari Selama Penelitian...............................................................................................
43
10. Mortalitas Mencit Selama Penelitian ...................................................
44
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Tanaman Jarak Pagar ...........................................................................
4
2. Bagan Pemanfaatan Tanaman Jarak Pagar ..........................................
5
3. Struktur Kimia Phorbolester ...............................................................
8
4. Struktur Kimia Curcin..........................................................................
9
5. Mencit Putih .........................................................................................
11
6. Kapang A. niger ...................................................................................
16
7. Kapang R. oryzae dan R. oligosporus..................................................
19
8. Kapang T. viride dan T. reesei.............................................................
21
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Rataan Konsumsi ZM/100g BK ..........................................................
57
2. Rataan Kandungan ZM Feses ..............................................................
57
3. Rataan Kecernaan ZM .........................................................................
58
4. Rataan PBB Mencit .............................................................................
58
5. Rataan Efisiensi Ransum Mencit .........................................................
59
6. Mortalitas Mencit .................................................................................
59
PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman jarak (Jatropha curcas L.) merupakan tumbuhan liar berbentuk perdu dengan tinggi 1-7 meter, tanaman ini disebut juga dengan jarak pagar karena oleh penduduk/petani ditanam sebagai tanaman pagar (Sumanto, 2005). Jarak pagar selain bermanfaat sebagai penghasil biodiesel, juga bermanfaat sebagai obat tradisional, pelindung lingkungan, insektisida, pakan ternak, dan sumber pupuk organik. Penggunaan daun jarak sebagai pakan ulat sutera, pengganti daun murbei telah dilakukan di China. Bungkil biji jarak pagar (BBJP) merupakan limbah dari pengolahan biji jarak yang diambil minyaknya. Bungkil biji jarak ini, selain dapat dijadikan sebagai pupuk, dan briket kompor, dapat pula dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Setelah melalui proses detoksifikasi dengan perlakuan pemanasan dan kimia, kandungan protein BBJP ternyata dapat melebihi kandungan protein pada kedelai sehingga menjadikannya potensial digunakan sebagai bahan makanan inkonvensional bagi ternak (Alamsyah, 2006). Seiring dengan pemakaian bijinya sebagai sumber bahan bakar diesel, maka ketersediaan bungkil biji jarak akan semakin meningkat jumlahnya. Menurut Aderibigbe et al. (1997) dan Aregheore et al. (2003), BBJP tanpa cangkang mengandung protein kasar sebesar 53-58%, sehingga potensial untuk dijadikan pakan ternak. Namun beberapa zat antinutrisi dan toksin yang terkandung dalam BBJP, seperti saponin, tannin, phorbolester, trypsin inhibitor, lectin, curcin, dan phytate (Makkar
dan Becker,
1999; dan Aregheore et al., 2003) dapat
membahayakan kesehatan ternak, sehingga pemakaiannya sebagai bahan makanan untuk ternak memiliki keterbatasan. Fachrudin (2007) melaporkan bahwa penggunaan BBJP dengan level 15% dapat menyebabkan mencit mengalami gejala klinis seperti lesu, kehilangan nafsu makan, konsumsi ransum menurun, bobot badan yang rendah, terdapat cairan kuning di sekitar anus dan berakhir kematian. Tingkat mortalitasnya sebesar 83,33%. Level pemberian BBJP 10% memperlihatkan respon yang hampir sama dengan level penggunaan bungkil biji jarak 15%, namun tingkat mortalitasnya lebih rendah yaitu 50%. Pemberian BBJP dengan level 5% tidak menunjukkan gejala seperti mencit yang diberi BBJP dengan level 10% dan 15%.
Hal ini terjadi karena semakin rendahnya substitusi BBJP dalam ransum, maka akan semakin rendah pula zat antinutrisi yang terkandung di dalamnya, sehingga masih dapat didetoksifikasi oleh hati (liver). Diperlukan suatu cara untuk mengatasi efek racun dari BBJP agar aman dikonsumsi oleh ternak. Salah satu cara untuk mendetoksifikasi racun pada bungkil biji jarak adalah memfermentasikannya dengan kapang. Perlakuan dengan fermentasi diharapkan mampu menurunkan racun curcin dan phorbolester dan mampu menyumbangkan enzim yang dapat memecah ikatan antar fraksi serat dalam BBJP, sehingga ternak monogastrik dapat lebih mudah dalam mencernanya. Menurut Winarno (1980), substrat yang mengalami fermentasi biasanya memiliki nilai gizi yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan asalnya. Nurbaeti (2007) melaporkan bahwa BBJP yang diberi perlakuan biologis menggunakan metoda fermentasi dengan R. oligosporus dapat menghasilkan respon terbaik dalam meningkatkan efisiensi penggunaan protein dan energi metabolis pada ayam broiler. Proses detoksifikasi BBJP menggunakan metode fermentasi dengan berbagai kapang (Aspergillus niger, Rhizopus oryzae, Rhizopus oligosporus, Trichoderma viride, dan Trichoderma reesei) telah dilaksanakan oleh Tjakradidjaja et al. (2007), namun penelitian tersebut baru mempelajari pengaruh fermentasi terhadap kandungan zat makanan BBJP. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian lanjutan untuk mengetahui efek penggunaan BBJP terfermentasi kedalam ransum terhadap performans mencit. Perumusan Masalah Bungkil biji jarak pagar tanpa cangkang mengandung protein kasar sebesar 53-58%. Hal ini memungkinkan BBJP dijadikan sebagai bahan makanan ternak. Namun BBJP juga mengandung zat antinutrisi yaitu curcin dan phorbolester. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menurunkan kadar curcin dan phorbolester dalam BBJP yaitu dengan melakukan pengolahan secara biologis menggunakan perlakuan fermentasi kapang. Kapang yang digunakan antara lain Aspergillus niger, Rhizopus oryzae, Rhizopus oligosporus, Trichoderma viride, dan Trichoderma reesei. Penggunaan kapang-kapang tersebut diharapkan mampu menurunkan curcin dan phorbolester pada substrat dan mampu menyumbangkan enzim yang dapat memecah ikatan antar fraksi serat dalam BBJP, sehingga ternak monogastrik dapat lebih mudah dalam mencernanya.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian dari masingmasing bungkil biji jarak pagar yang difermentasi terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konversi pakan, kecernaan nutrien, dan mortalitas mencit. Penelitian ini dilakukan juga untuk mengetahui jenis kapang yang dapat memberikan respon terbaik dalam mendetoksifikasi BBJP.
TINJAUAN PUSTAKA Jarak Pagar Jarak pagar telah lama dikenal masyarakat di berbagai daerah Indonesia, yaitu sejak diperkenalkan oleh bangsa Jepang pada tahun 1942-an, ketika masyarakat diperintahkan untuk melakukan penanaman jarak sebagai pagar pekarangan (Hariyadi, 2005). Tumbuhan jarak pagar ini bukan merupakan tumbuhan asli Indonesia, melainkan berasal dari Amerika Tropik (Sastrapradja, 1978). Menurut Hariyadi (2005), beberapa nama daerah (nama lokal) juga diberikan kepada tanaman jarak pagar ini antara lain di daerah Sunda (jarak kosta, jarak budeg), Jawa (jarak gundul, jarak pager), Madura (kalekhe paghar), Bali (jarak pager), Nusa Tenggara (lulu mau, paku kase, jarak pageh), Alor (kuman nema), Sulawesi (jarak kosta, jarak wolanda, bindalo, bintalo, tondo utomene), dan Maluku (ai huwa kamala, balacai, kadoto). Nama ilmiah dari tanaman ini adalah Jatropha curcas. Adapun klasifikasi jarak pagar (Jatropha curcas L.) menurut Syamsuhidayat dan Hutapea (1991), yaitu : Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Jatropha
Spesies
: Jatropha curcas L.
Gambar 1. Tanaman Jarak Pagar Sumber : Maharshi (2006) Tanaman jarak pagar merupakan perdu atau pohon kecil dengan tinggi 2-5 m yang biasa ditanam sebagai tanaman pagar. Tanaman ini dapat tumbuh baik pada tempat-tempat yang tanahnya tidak subur dan beriklim panas, dari dataran rendah sampai 300 m dpl (Sumanto, 2005). Namun, sebaran tumbuh dapat mencapai ketinggian 1.000 m dpl dengan temperature sekitar 18,0-28,5°C (Hambali et al., 2007). Hendro (2005) juga menyatakan bahwa tanaman jarak dapat tumbuh di semua
jenis tanah, tetapi yang baik adalah tanah ringan; lempung berpasir dengan aerasi baik; pH tanah 5-6,5; dan beriklim kering. Curah hujan 300-700 mm/tahun. Suhu udara berkisar 20-26°C dan pada ketinggian 0-800 m dpl. Penampilan dari tanaman jarak pagar ini dapat dilihat pada Gambar 1. Menurut Makkar et al. (1998a), tanaman jarak pagar dikenal sebagai tanaman beracun, cepat tumbuh, dan tahan terhadap penyakit. Bijinya merupakan sumber minyak dan daging buahnya kaya akan protein, namun beracun bagi manusia dan hewan ruminansia, sehingga tidak dapat digunakan langsung sebagai bahan makanan maupun pakan ternak. Biji Jatropha curcas mengandung 30-35% minyak dengan rata-rata 33%. Susunan minyak Jatropha adalah 21% asam lemak jenuh dan 7% sisanya asam lemak tidak jenuh. Senyawa kimia lain yang terkandung dalam biji jarak, yakni protein 18,0%, lemak 38,0%, karbohidrat 1%, serat15,5%, dan abu 5,3% (Prawoto, 2006). Menurut Winkler et al. (1997), biji jarak pagar banyak digunakan untuk produksi sabun, pupuk, biodiesel, biogas, dan untuk obat-obatan. Keunggulan lain dari tanaman jarak pagar adalah minyaknya bersifat minyak non-pangan (non-edible oil), sehingga tidak bersaing dengan kepentingan manusia. Jatropha curcas Linn. Buah
Biji
Daging Buah
Minyak Biji bahan bakar minyak bakar insektisida pengobatan
Daun makanan ulat sutera antiseptic anti radang
-
Getah Protease (curcain) penyembuh luka Pengobatan lain (obat luar)
Bahan Bakar Pupuk hijau Produksi biogas Bungkil Biji pupuk bahan bakar pakan ternak produksi biogas
Cangkang Biji bahan bakar
Gambar 2. Bagan Pemanfaatan Tanaman Jarak Pagar Sumber : Prawitasari (2007)
Bungkil Biji Jarak Pagar Bungkil biji jarak pagar (BBJP) merupakan hasil ikutan dari pembuatan minyak biji jarak pagar. Bungkil jarak juga menyimpan kandungan energi tinggi, yakni 24,8% protein dan 18,17% lemak. Itulah yang membuat bungkil jarak potensial dijadikan pakan ternak, namun demikian biji jarak memiliki kadar serat 35,95% dan lignin 24,61% yang berpotensi mengandung racun. Racun tersebut harus disingkirkan melalui proses detoksifikasi (Imy, 2006). Setelah melalui proses detoksifikasi, kandungan protein BBJP dapat melebihi kandungan protein pada kedelai sehingga menjadikannya potensial digunakan sebagai bahan makanan inkonvensional bagi ternak (Alamsyah, 2006). Hasil analisis proksimat BBJP bebas minyak, menurut Brodjonegoro et al. (2005), terdiri atas 12,9% air; 10,1% abu; 45,1% protein kasar; 31,9% serat kasar, dan bahan organik tak bernitrogen. Makkar et al. (1998b) menemukan variasi yang cukup tinggi pada kandungan BBJP. Hal ini tergantung pada varietas dan geografi tempat tumbuh. Perbedaan komposisi kimia kernel dan kulit biji jarak dari berbagai varietas dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbedaan Komposisi Kimia Kernel Dan Kulit Biji Jarak Dari Dua Varietas Berbeda. Varietas Keterangan
Cape Verde
Nicaragua
Kernel
Kulit
Kernel
Kulit
96,6
90,3
96,9
90,4
Protein kasar
227
43
256
45
Lemak
578
7
568
14
Abu Energi Bruto (MJ/kg)
36
60
36
61
30,7
19,3
30,5
19,5
Bahan kering (% BK) Analisis, g/kg BK:
Sumber : Aderibigbe et al. (1997)
Tjakradidjaja et al. (2007) melaporkan bahwa komposisi zat makanan dari BBJP tanpa cangkang yang meliputi kadar abu, protein kasar dan lemak kasar lebih tinggi daripada BBJP dengan cangkang. Pengupasan biji jarak pagar sebelum proses ekstraksi minyak jarak menghasilkan produk BBJP dengan kadar serat kasar dan BeTN yang rendah. Hasil analisis fraksi serat berdasarkan Van Soest juga
menunjukkan bahwa pengupasan dapat menurunkan kadar fraksi serat pada produk BBJP secara signifikan. Adapun komposisi zat makanan dan fraksi serat dari BBJP tanpa cangkang, dengan cangkang dan cangkang biji jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi Zat Makanan dan Fraksi Serat dari BBJP Tanpa Cangkang, dengan Cangkang dan Cangkang Biji Jarak Pagar Zat makanan Bahan kering (%) Komposisi bahan kering Abu (% BK) Protein kasar (% BK) Lemak kasar (% BK) Serat Kasar (% BK) BeTN (% BK) Fraksi serat NDF (% BK) Hemiselulosa/ADS (% BK) ADF (% BK) Selulosa (% BK) Lignin (% BK) Silika (% BK)
BBJP tanpa cangkang 86,26
BBJP dengan cangkang 89,71
Cangkang biji jarak pagar 88,31
7,71 37,56 35,02 7,23 12,47
5,20 24,28 15,99 38,49 16,06
4,22 10,21 5,71 59,62 20,24
16,30 0,72 15,86 11,31 4,51 0,01
57,64 10,45 46,78 19,22 23,98 3,51
93,40 12,48 80,90 34,85 46,00 0,03
Sumber : Tjakradidjaja et al. (2007)
Bungkil biji jarak pagar memiliki kandungan nutrisi yang sangat baik untuk ternak, namun terdapat beberapa antinutrisi yang dapat menghambat penggunaannya. Kandungan antinutrisi pada BBJP ini meliputi phorbolester, polyfenol, tanin, phytat, saponin, antitrypsin dan curcin atau lectin (Makkar et al., 1998b). Namun, Brodjonegoro et al. (2005) menyebutkan bahwa senyawa racun utama yang diduga paling banyak terdapat pada jarak pagar adalah phorbolester dan curcin. Phorbolester Phorbolester merupakan senyawa organik dari tumbuhan yang merupakan anggota diterpenes (kelas dari hidrokarbon). Phorbolester disebut juga dengan diterpene ester (Wikipedia, 2006b). Diacylglycerol merupakan molekul second messenger yang terletak di dekat membran plasma dan dibentuk oleh enzim fosfolipase-C (PLC). Struktur kimia phorbolester dapat dilihat pada Gambar 3.
Menurut Asaoka et al. (1992), phorbolester diketahui dapat mengaktivasi protein kinase C (PKC) yang meniru aktivitas diacylglycerol (DAG). Protein kinase C (PKC) merupakan enzim kinase yang memodifikasi protein lain dengan menambahkan fosfat secara kimiawi. Enzim ini mempunyai efek yang sangat nyata terhadap aktivitas sel (Wikipedia, 2006d). Phorbolester dapat meningkatkan afinitas PKC Ca2+ secara dramatis dan karena phorbolester bersifat stabil dan tidak terdegradasi secara cepat setelah menstimulasi proliferasi dan diferensiasi sel yang tidak terkontrol (Asaoka et al., 1992). Menurut Makkar dan Becker (1997), phorbolester stabil terhadap panas dan dapat bertahan pada roasting temperature (temperature pemanggangan) hingga 160°C selama 30 menit, akan tetapi konsentrasi phorbolester dapat diturunkan dengan perlakuan kimiawi (pengolahan dengan NaOH dan NaOCl).
Gambar 3. Struktur Kimia Phorbolester Sumber : Wikipedia (2006c) Berbagai ester dari phorbol memiliki sifat biologis yang penting, yang paling dikenal yaitu kemampuannya sebagai pemacu tumor melalui pengaktifan protein kinase C (PKC). Bentuk phorbolester menyerupai diacylglycerols, derivat glycerol yang terdiri atas dua kelompok hidroksil dapat bereaksi dengan asam lemak untuk membentuk
ester.
Phorbolester
yang
umum
dikenal
adalah
12-O-
tetradecanoylphorbol-13-acetate (TPA), juga disebut phorbol-12-myristate-13acetate (PMA), yang digunakan sebagai alat penelitian biomedical dalam model carcinogenesis (Wikipedia, 2006c).
Curcin Curcin atau lectin merupakan fitotoxin (racun yang terdapat pada tumbuhan) yang memiliki molekul protein besar, kompleks, dan sangat beracun. Menurut Wikipedia (2006a), curcin atau lectin merupakan suatu tipe reseptor protein yang secara spesifik berinteraksi dengan molekul gula (karbohidrat) tanpa memodifikasi molekul gula tersebut.
Gambar 4. Struktur Kimia Curcin Curcin atau lectin dapat berfungsi sebagai pengikat (binding) dari glycoprotein (biomolekul yang merupakan gabungan dari protein dan karbohidrat) pada permukaan sel. Mekanisme dari curcin atau lectin ini berhubungan dengan aktivitas N-glycosidase yang kemudian dapat mempengaruhi metabolisme. Nglycosidase merupakan enzim glycosidase yang berfungsi sebagai pengatur kenormalan sel, antibakteri dan mendegradasi selulosa dari hemiselulosa. Selain itu, curcin atau lectin memiliki alat inhibitor yang kuat terhadap sintesa protein (Lin et al., 2003). Curcin atau lectin dapat diinaktifkan dengan menggunakan moist heat treatment (perlakuan pemanasan basah) pada suhu 121°C selama 30 menit (Aregheore et al., 1998). Upaya Detoksifikasi Bungkil Biji Jarak Pagar (BBJP) Aregheore et al. (2003) melaporkan bahwa pemberian bungkil biji jarak pagar segar sebagai pakan dapat menyebabkan kematian dalam waktu yang cukup singkat. Hasil penelitian Fachrudin (2007) juga menunjukkan bahwa penggunaan BBJP dengan level 15% dapat menyebabkan mencit mengalami gejala klinis seperti lesu, kehilangan nafsu makan, konsumsi ransum menurun, bobot badan yang rendah, terdapat cairan kuning di sekitar anus dan berakhir kematian. Tingkat mortalitasnya
sebesar 83,33%. Level pemberian BBJP 10% memperlihatkan respon yang hampir sama dengan level penggunaan BBJP 15%, namun tingkat mortalitasnya lebih rendah yaitu 50%. Sedangkan pemberian BBJP dengan level 5% tidak menunjukkan gejala seperti mencit yang diberi BBJP dengan level 10% dan 15%. Becker dan Makkar (1998) menjelaskan bahwa hal ini dikarenakan BBJP memiliki racun curcin dan phorbolester yang harus didetoksifikasi terlebih dahulu sebelum diberikan pada ternak. Beberapa pengolahan bungkil biji jarak yang telah dilaporkan antara lain dengan pemanasan (Makkar dan Becker, 1997; Aderibigbe et al., 1997; Aregheore et al., 1998; Lusiana, 2008; Hadriyanah, 2008), fermentasi dengan kapang Rhizopus oligosporus (Aisjah et al., 1998; Nurbaeti, 2007; Nurhikmawati, 2007), fermentasi kapang Rhizopus oryzae (Hapsari, 2008), pengolahan kimia dengan NaOH dan dengan atau tanpa NaOCl (Aregheore et al., 2003), penambahan kunyit dan alkali (NaOH dan NaOCl) (Fajariah, 2007; Hasanah, 2007), ekstraksi dengan heksan dan metanol, serta kombinasi pengolahan dengan heksan dan metanol serta pemanasan (Lusiana, 2008), pengolahan dengan metanol dan NaOH (Hadriyanah, 2008). Tabel 3. Kandungan Zat Makanan Bungkil Biji Jarak Pagar yang Difermentasi Berbagai Kapang Zat Makanan BK (%) Abu (% BK) PK (% BK) LK (% BK) SK (% BK) BeTN (% BK)
BBJP tanpa fermentasi 89,7 5,2 24,3 16,0 38,5 16,1
A. niger
R. oryzae
R. oligosporus
T. viride
T. reesei
37,6 5,6 22,1 12,6 46,6 13,1
36,9 5,7 22,2 8,8 44,0 19,3
37,8 5,8 22,6 7,9 47,5 16,3
39,2 5,6 20,1 11,9 45,7 16,8
37,3 5,9 22,2 11,2 46,6 14,1
Sumber : Tjakradidjaja et al. (2007)
Kandungan zat makanan BBJP yang didetoksifikasi menggunakan fermentasi dengan kapang Aspergillus niger, Rhizopus oryzae, R. oligosporus, Trichoderma viride, dan T. reesei yang telah dilakukan oleh Tjakradidjaja et al. (2007) disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa dengan perlakuan fermentasi terhadap BBJP, kandungan bahan kering, protein kasar, dan lemak kasar mengalami penurunan. Namun, kandungan abu dan serat kasar mengalami peningkatan, sedangkan untuk kandungan BeTN nilainya bervariasi. Kandungan BeTN pada BBJP
yang difermentasi dengan R. oryzae mengalami peningkatan, sedangkan BeTN pada BBJP yang difermentasi dengan kapang A. niger dan T. reesei nilainya lebih rendah dibandingkan BBJP tanpa fermentasi, dan kandungan BeTN untuk fermentasi menggunakan R. oligosporus dan T. viride nilainya relatif stabil. Mencit Mencit merupakan hewan percobaan yang populer digunakan dalam penelitian-penelitian di laboratorium. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), mencit laboratorium memiliki berat badan kira-kira sama dengan mencit liar, yaitu 18-20 gram. Namun setelah diternakkan secara selektif selama 80 tahun yang lalu, saat ini ada berbagai warna bulu dan timbul berbagai galur dengan berat badan berbeda-beda. Mencit sering digunakan sebagai hewan percobaan karena memiliki siklus hidup yang relative pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifatsifatnya tinggi, mudah ditangani dan sifat produksi maupun reproduksinya sama dengan hewan mamalia lainnya (Moriwaki et al., 1994). Klasifikasi mencit menurut Storer et al. (1979) yaitu : Filum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodentia
Famili
: Muridae
Genus
: Mus
Spesies
: Mus musculus
Gambar 5. Mencit Putih
Mencit putih memiliki rambut pendek halus berwarna putih. Ekor berwarna kemerahan dengan ukuran lebih panjang daripada badan dan kepala (Sumantri, 1984). Jumlah puting susu 5 pasang, yaitu 3 pasang di dada dan 2 pasang di perut. Panjang telinganya 9-12 mm dan panjang telapak kaki belakangnya 12-18 mm (Boeadi, 1979). Adapun sifat-sifat biologis mencit (Mus musculus) dapat dilihat pada Tabel 4.
Mencit bila diperlakukan dengan halus maka akan mudah dikendalikan, sebaliknya bila diperlakukan dengan kasar mencit akan menggigit. Mencit dapat mencapai umur 2-3 tahun, tetapi terdapat perbedaan besar dalam usia maksimum dari berbagai galur mencit terutama karena perbedaan dalam kepekaan terhadap penyakit (Malole dan Pramono, 1989). Rata-rata jumlah anak per kelahiran mencit yaitu 6 ekor bahkan dapat mencapai 15 ekor anak per induk (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Rata-rata bobot sapih mencit adalah 5,98 g/ekor (Nafiu, 1996); 7,67 g/ekor (Fitriawati, 2001); dan berkisar antara 6,98-9,68 g/ekor (Jaenudin, 2002). Wardoyo (2007) melaporkan bahwa bobot sapih anak mencit yang diberi BBJP 5% berkisar antara 7,77-17,85 g/ekor. Tabel 4. Sifat-Sifat Biologis Mencit (Mus musculus) Kriteria
Keterangan
Lama Hidup Umur Disapih Umur Dewasa Umur Dikawinkan Bobot Lahir Bobot Sapih Bobot Dewasa Jumlah Anak Kecepatan Tumbuh
1-3 tahun 21 hari (3 minggu) 35 hari (5 minggu) 56 hari (8 minggu) 0,5-1,0 g 18-20 g 20-40 g jantan; 18-35 g betina ± 6 ekor, dan dapat mencapai 15 ekor 1 g/hari
Aktivitas
nokturnal
Sumber : Smith dan Mangkoewidjojo (1988)
Kurnianto et al. (1999) melaporkan bahwa pertumbuhan pada titik peralihan (inflection point) yang menandai bobot dewasa tubuh mulai tercapai pada umur 28,5 hari dan bobot badan pada mencit jantan lebih tinggi daripada betina. Laju pertumbuhan mencit sesuai dengan analisis multiphasik kurva pertumbuhan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pada prinsipnya terdapat tiga fase pertumbuhan mencit, yaitu pertumbuhan organ-organ tubuh, otak dan sistem syaraf pada fase pertama; pertumbuhan tulang dan otot pada fase kedua; serta pertumbuhan atau pertambahan lemak pada fase ketiga. Nafiu (1996) melaporkan laju pertumbuhan tertinggi dicapai pada umur 5 minggu tanpa membedakan perlakuan dan jenis kelamin yaitu 0,77 gram/hari. Kecepatan pertumbuhan anak mencit adalah 1 gram/hari (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Pakan yang dibutuhkan oleh mencit dewasa rata-rata 5 gram dan pada mencit dewasa yang sedang bunting atau menyusui dibutuhkan pakan sekitar 7 gram atau lebih. Kebutuhan zat-zat makanan yang diperlukan dalam pemeliharaan mencit yaitu mengandung protein kasar 20-25%, kadar lemak 10-12%, pati 44-45%, serat kasar maksimal 4%, dan abu 5-6% (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Mencit membutuhkan makanan berkadar protein di atas 14%. Untuk kondisi di Indonesia, kebutuhan protein tersebut dapat dipenuhi dari makanan ayam komersial (17% protein). Mencit dewasa membutuhkan makanan sebanyak 15 gram dan 15 ml air minum per bobot badan/hari (Malole dan Pramono, 1989). Air minum untuk dikonsumsi mencit harus selalu tersedia dan bersih. Air minum yang diperlukan untuk seekor mencit setiap hari berkisar antara 4-8 ml (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Persentase mortalitas atau angka kematian pada anak merupakan salah satu pedoman yang digunakan untuk mengukur kemampuan induk dalam mengasuh anaknya. Selain itu, mortalitas mencit juga dipengaruhi oleh kualitas pakan, kepekaan terhadap penyakit, suhu dan kelembaban kandang, serta manajemen pemeliharaan mencit. Pengaruh perlakuan populasi terhadap persentase kematian anak mulai hari pertama lahir sampai umur lima minggu tidak berbeda secara nyata. Sementara itu, pengaruh ransum juga tidak nyata, kecuali setelah anak berumur 3-5 minggu (Nafiu, 1996). Hadian (2004) melaporkan bahwa mortalitas mencit dari umur 3-8 minggu sebesar 5% pada lingkungan yang normal dengan pemberian ransum berkadar protein 23%. Fermentasi Fermentasi adalah segala macam proses metabolisme dengan bantuan enzim dari mikroorganisme untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa dan reaksi kimia lainnya sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu (Saono, 1974), biasanya terjadi dalam keadaan anaerob dan diiringi dengan pembebasan gas (Sungguh, 1993). Substrat yang mengalami fermentasi biasanya memiliki nilai gizi yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan asalnya. Hal ini disebabkan adanya sifat katabolik dan anabolik mikroorganisme sehingga mampu memecah komponen yang lebih kompleks menjadi mudah dicerna. Adanya biokonversi diharapkan mampu meningkatkan laju fermentasi pakan serat di dalam rumen dimana proses ini diharapkan akan merombak struktur jaringan kimia dinding sel, pemutusan ikatan lignoselulosa dan penurunan kadar lignin (Winarno, 1980). Moeljoharjo (1979) menyatakan bahwa untuk memperoleh hasil fermentasi yang baik diperlukan kondisi fermentasi yang optimal. Artinya harus ada jaminan perkembangan mikroba yang aktif untuk menjalankan fermentasi. Kondisi yang kurang cocok bagi perkembangbiakan mikroba akan menghambat fermentasi. Bahkan bukan hanya hambatan saja yang terjadi, tetapi juga merangsang tumbuhnya mikroba lain yang tidak dikehendaki. Untuk itu, perlu diperhatikan suhu fermentasi tertentu, pH media, kecukupan air, oksigen, dan nutrient untuk tumbuhnya mikroorganisme yang diharapkan (Fardiaz, 1992).
Kapang Kapang adalah fungi multiseluler yang mempunyai filamen. Kapang terdiri atas miselium dan hifa serta memproduksi enzim sebagai biokatalis (Smith dan Walters, 1967). Fardiaz (1992) menjelaskan bahwa pertumbuhan kapang mudah dilihat karena penampakannya yang berserabut seperti kapas yang mula-mula akan berwarna putih, tetapi jika spora telah timbul akan terbentuk berbagai warna tergantung dari jenis kapang itu sendiri. Menurut Winarno et al. (1980), fermentasi kapang membutuhkan waktu dua sampai lima hari. Fermentasi kapang selama tiga hari akan menghasilkan enzim yang paling optimum (Frazier dan Westhoff, 1978). Keterbatasan penggunaan kapang sebagai inokulum fermentasi karena memiliki kadar protein yang lebih rendah (31-50%) dari mikroorganisme lainnya, yaitu khamir : 47%-53%, ganggang : 47%-63%, dan bakteri : 72%-78% (Saono, 1974) dan sifatnya yang membutuhkan suatu lingkungan pertumbuhan yang benar-benar steril. Meskipun demikian, kapang juga memiliki beberapa keuntungan, antara lain pertumbuhannya relatif mudah dan cepat, kadar asam nukleatnya relatif rendah (2,5%-6% BK) dibandingkan bakteri (>16% BK), ganggang (4%-6% BK), dan khamir (6%-11% BK) (Said, 1987), serta memiliki tekstur dan flavour yang lebih mudah diterima konsumen (Scherllart, 1975). Dunlap (1975) menyatakan bahwa terdapat empat kriteria pokok penggunaan limbah industri pertanian sebagai media biakan kapang, yaitu (1) kandungan selulosa atau karbohidratnya tinggi; (2) biaya pengadaan murah, meliputi biaya awal, pengumpulan, pengangkutan, pergudangan, dan lain-lain; (3) biodegradabilitas selulosa tinggi baik sebelum maupun sesudah proses; dan (4) faktor-faktor lain seperti kandungan bahan toksik atau logam berat, herbisida, insektisida, dan persaingan untuk penggunaan bahan lainnya.
Media yang digunakan untuk pertumbuhan inokulum adalah ekstrak tauge kacang hijau (Phaseolus radiatus L.). Tauge adalah kecambah dari biji-bijian yang mengalami perubahan fisik dan kimiawi yang disebabkan oleh proses metabolisme. Kecambah kacang hijau mempunyai kandungan nutrisi yang lebih baik daripada bentuk bijinya. Selama proses perkecambahan ini akan terjadi peningkatan konsentrasi asam amino yaitu lysina 24%, threonina 19%, alanina 29%, dan phenilalanina 7% (Winarno, 1981). Pemilihan ekstrak tauge sebagai media untuk pertumbuhan inokulum disebabkan ekstrak tauge memberikan hasil yang lebih baik untuk pertumbuhan miselium dibandingkan dengan ekstrak kentang yang selama ini lebih banyak digunakan (Kertajaya, 2000). Aspergillus niger Aspergillus niger adalah kapang yang termasuk genus Aspergillus, famili Monilliaceae, ordo Monilliales, subdivisi Deuteromycotina, divisi Eumycetes. A. niger merupakan kapang yang dapat tumbuh dengan cepat, banyak digunakan secara komersil dalam pembuatan asam sitrat, asam glukonat, dan beberapa enzim (Frazier dan Westhoff, 1978). A. niger juga dikulturkan untuk mengekstraksi enzim glukosa oksidase (GO) dan Alpha-galaktosidase (AGS). Glukosa oksidase digunakan dalam perancangan glukosa biosensor yang berhubungan dengan afinitas β-D-glukosa. Alpha-galaktosidase diproduksi dari fermentasi A. niger, yang digunakan untuk menghidrolisa ikatan α-1-6 yang ditemukan pada melibiosa, rafinosa, dan stakiosa (Wikipedia, 2008e). Menurut Gandjar et al. (1999), koloni A. niger pada medium Czapek’s Dox mencapai diameter 4-5 cm dalam 7 hari, dan terdiri dari suatu lapisan basal yang kompak berwarna putih hingga kuning dan suatu lapisan konidiofor yang lebat berwarna coklat tua hingga hitam. Spesies ini kosmopolit di daerah tropis dan subtropis, dan mudah diisolasi dari tanah, udara, air, rempah-rempah, kapas, buahbuahan, gandum, beras, jagung, tebu, ketimun, kopi, teh, coklat, dan serasah daun. Pertumbuhan kapang A. niger dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Kapang A. niger A. niger bersifat aerobic sehingga dalam pertumbuhannya membutuhkan oksigen dalam jumlah yang cukup. Suhu pertumbuhan optimumnya adalah berkisar antara 35°-37°C, sedangkan suhu untuk produksi enzim selulase adalah 25°-28°C (Frazier dan Westhoff, 1978). Kapang A. niger menghasilkan enzim urease untuk memecah urea menjadi amonia (NH3) dan CO2 yang selanjutnya digunakan untuk pembentukkan asam amino (Lehninger, 1991). Menurut Lekha dan Lonsane (1997), A. niger banyak memproduksi berbagai macam enzim seperti lipase, selulase dan tanase. Enzim tersebut membantu dalam memecahkan polimer besar menjadi bagian kecil. Purnama (2004) melaporkan A. niger yang telah diisolasi dari kulit buah kakao mampu menurunkan kandungan tanin sebesar 79,28%. Suhu optimum untuk A. niger dalam memproduksi enzim tanase adalah 28°C (Anwar, 2006). Pertumbuhan A. niger untuk menghasilkan enzim tanase juga dipengaruhi oleh pH. Hasil penelitian Anwar (2006) menunjukkan bahwa produksi tanase tertinggi pada berbagai suhu pertumbuhan diperoleh pada pH pertumbuhan 5,5 dan waktu inkubasi 3 hari. Rahma (1996) melaporkan bahwa fermentasi dedak halus dengan A. niger selama tiga hari memberikan hasil yang lebih baik dengan peningkatan protein kasar sebesar 4,62%, lemak kasar 5,75%, serat kasar 7,03%, dan penurunan kandungan asam fitat sebesar 9,02%. Penggunaan kapang A. niger dalam fermentasi legum akasia (Acacia angustissima dan Acacia villosa), kaliandra (Calliandra calothyrsus), dan lamtoro (Leucana leucocephala) dapat menurunkan kadar tanin legum tersebut secara umum sebesar 50% terutama pada legum kaliandra dan akasia. Meskipun secara statistik tidak nyata hasil percobaan in vitro menunjukkan NH3 menurun, VFA pada legum kaliandra meningkat dan legum lainnya menurun, KBK dan KBO secara
umum menurun kecuali pada legum A. angustissima (Susanti, 2002). Hasil penelitian Albanu (2002) menyebutkan bahwa penggunaan A. niger dalam fermentasi dedak sorghum ternyata tidak dapat menurunkan kandungan tanin dedak sorghum, namun dari peningkatan NH3 in vitro dapat disimpulkan bahwa A. niger mampu memutuskan ikatan antara tanin dengan protein atau komponen pakan lainnya. Rhizopus oryzae Menurut Fardiaz (1992), Rhizopus sering disebut juga sebagai kapang roti karena sering tumbuh dan menyebabkan kerusakan pada roti. Selain itu kapang ini juga sering tumbuh pada sayuran dan buah-buahan. Menurut Pelczar dan Chan (1974), ciri dari kapang R. oryzae adalah (1) miseliumnya aseptat atau senositik, (2) spora aseksual: sporangiospora kadangkadang dengan konidia, (3) spora seksual: zygospora oospora, (4) habitat alaminya di air, tanah, tumbuhan dan hewan. R. oryzae pada agar dextrose Sabouraud's memiliki koloni yang tumbuh sangat cepat pada 25°C, dengan tinggi sekitar 5-8 mm, dan memiliki beberapa kecenderungan untuk jatuh, pada awalnya warna koloni putih kemudian menjadi abu-abu kecoklat-coklatan sampai abu-abu kehitaman tergantung pada jumlah sporulasinya (Mycology Online, 2006). Pertumbuhan kapang R. oryzae dapat dilihat pada Gambar 7a. Morfologi mikroskopik dari R. oryzae adalah memiliki sporangiosphore sepanjang l500 mm dan lebarnya l8 mm, berdinding halus, bersifat non-septate, bercabang atau tunggal, timbul dari stolon dan bukan dari rhizoid, pada umumnya berkelompok terdiri dari
tiga
kelompok atau lebih. Sporangianya berbentuk
globose, penampilannya seperti ditutupi bedak keabu-abuan, dengan diameter l75 µm dan memiliki banyak spora. Columellae dan apophysis, keduanya berbentuk seperti globose, subglobose atau oval, tingginya mencapai l30 mm dan akan segera rebah seperti payung setelah pelepasan spora. Sporangiospore berbentuk angular, dari subglobose sampai ellipsoidal, dengan panjang payungnya di atas permukaan mencapai 8 mm. Kapang ini tidak dapat tumbuh pada temperatur 45°C, dan pertumbuhan optimalnya pada temperatur 40°C (Mycology Online, 2006). Diantara kapang-kapang tempe lainnya, R. oryzae memiliki aktivitas amilase terkuat sehingga dapat digunakan dalam suatu proses yang disebut amylo process yang mengubah pati menjadi gula-gula sederhana dan dalam kondisi yang sesuai
akan memproduksi sejumlah alkohol. Kapang ini juga menghasilkan protease terbanyak kedua setelah R. oligosporus (Shurleft dan Aoyagi, 1979). Kapang R. oryzae TR 32 yang diteliti Nuraida et al. (2000), ternyata berpotensi dalam memproduksi lipase. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa lipase eksraseluler dan intraseluler memiliki aktivitas hidrolisis dan esterifikasi yang tinggi diantara jenis kapang Rhizopus lain. Salleh (1993) telah menggunakan kapang R. oryzae termophilik untuk menghasilkan enzim lipase intraseluler dan ekstraseluler serta mempelajari faktorfaktor yang mempengaruhi produksinya. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa sumber karbon yang digunakan seperti glukosa, fruktosa, arabinosa, sorbitol, dan maltosa umumnya dapat meningkatkan produksi enzim lipase intraseluler R. oryzae. Penggunaan R. oryzae dalam fermentasi dedak halus selama empat hari memberikan hasil yang lebih baik dengan peningkatan protein kasar sebesar 4,94%, lemak kasar 3,85%, serat kasar 9,81% dan penurunan kandungan asam fitat sebesar 82,71% (Rahma, 1996). Yuniah (1996) melaporkan bahwa fermentasi biji sorghum coklat dengan R. oryzae sangat nyata meningkatkan kadar protein kasar pada hari keempat sebesar 0,77%, menurunkan jumlah riil protein kasar pada hari kedua sebesar 0,94 gram, hari ketiga sebesar 1,06 gram, dan hari keempat sebesar 1,62 gram, menurunkan jumlah riil serat kasar pada hari ketiga sebesar 1,17 gram dan hari keempat sebesar 2,35 gram, serta meningkatkan kadar serat kasar pada hari ketiga sebesar 1,22% dan hari keempat sebesar 2,83%.
(a) (b) Gambar 7. Kapang R. oryzae (a) dan R. oligosporus (b)
Rhizopus oligosporus Kapang Rhizopus termasuk dalam kapang yang mempunyai hifa nonseptat (hifa tidak bersekat). R. oligosporus memiliki spora seksual dan aseksual. Spora aseksual terdapat di dalam sporangiospora dan spora seksual terdapat dalam zygospora. Pertumbuhannya cepat dan dapat membentuk hifa vegetatif yang melakukan penetrasi pada substrat dan membentuk miselium seperti kapas. Rhizopus dapat membentuk hifa seperti akar yang pendek dan bercabang banyak yang disebut rhizoid (Fardiaz, 1989). Koloni kapang R. oligosporus berwarna abu-abu kecoklatan (Gambar 7b), dan mencapai tinggi sekitar 1 mm. Suhu pertumbuhan optimum kapang ini adalah 30°-35°C, minimum 12°C, dan maksimum 42°C (Gandjar et al., 1999). Rhizopus disebut juga kapang roti karena sering menimbulkan kerusakan pada roti dan buah-buahan serta sayur-sayuran. Selain merusak makanan, Rhizopus oligosporus dan R. oryzae berperan dalam proses fermentasi pada pembuatan tempe (Fardiaz, 1989). R. oligosporus memproduksi protease dan glukoamilase yang digunakan untuk menghidrolisis protein dan glukosa (Judoamidjojo et al., 1989). Nurbaeti (2007) melaporkan bahwa ransum yang mengandung bungkil biji jarak pagar yang diberi perlakuan biologis (difermentasi dengan R. oligosporus) menghasilkan retensi nitrogen paling tinggi yaitu 3,30 g dibandingkan dengan perlakuan kimia dan fisika. Hal ini diduga karena enzim protease yang dihasilkan oleh R. oligosporus aktif bekerja dalam memecah protein menjadi asam amino sehingga mudah dicerna. Gandjar (1977) menyatakan bahwa R. oligosporus bersifat proteolitik yang menghasilkan enzim protease, enzim ini akan merombak senyawa komplek menjadi senyawa yang sederhana sehingga akan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar nitrogen dan asam amino. Trichoderma viride Trichoderma viride termasuk dalam genus Trichoderma, famili Monilliaceae, ordo Monilliales, kelas fungi Imperfecti, sub divisi Eumycotina, divisi Mycotina (Frazier dan Westhoff, 1978). Di antara genus Trichoderma, T. viride merupakan spesies yang paling banyak ditemukan dan didapatkan secara luas di dalam tanah serta tidak bersifat pathogen (Umbreit, 1962).
Pembeda yang khas dalam T. viride adalah miselium berseptat, bercabang banyak, mempunyai konidiofora berseptat, berwarna hijau cerah bergerombol menjadi satu bola. T. viride mempunyai konidiofora bebas yang muncul dari miselium secara tidak teratur (Frazier dan Westhoff, 1978). Umumnya kapang ini hidup pada kayu, mudah dikenal karena pertumbuhannya yang cepat, mula-mula berwarna putih kemudian tampak seperti bintik-bintik kecil atau bantalan-bantalan yang sering menjadi hijau karena konidium yang telah terbentuk (Dharmaputra, 1989). T. viride adalah penghasil enzim selulolitik yang sangat efisien, terutama enzim yang mampu menghidrolisa kristal selulosa. Strain liar yang mempunyai keaktifan selulolitik tinggi antara lain T. viride QM 6a, T. lignorum, T. reesei dan T. koningi. Kondisi optimum fermentasi pada pembentukan selulase oleh kapang T. viride adalah empat hari, dengan suhu optimum aktivitas selulase adalah 60°C, dan pH optimum 4,5-5 (Wirakartakusumah et al., 1987). Widiyandari (2002) melaporkan bahwa penambahan starter T. viride pada jerami padi dengan taraf 0%, 1%, 3% dan 5% dari berat kering jerami, yaitu semakin tinggi taraf T. viride dapat menurunkan serat kasar jerami padi dan meningkatkan konsentrasi NH3, produksi VFA, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik secara linier (P<0,01). Hasil yang sama juga diperoleh jika jerami padi produk fermentasi disilase. Penggunaan starter T. viride sampai taraf 5% dapat menurunkan serat kasar dan meningkatkan fermentabilitas serta kecernaan jerami padi dan silasenya.
(a) (b) Gambar 8. Kapang T. viride (a) dan T. reseei (b)
Trichoderma reesei Trichoderma reesei (dikenal juga sebagai Hypocrea jecorina) yaitu suatu mesophilic fungus yang merupakan salah satu dari penghasil xylanase dan selulase yang paling efisien. Strain T. reesei dapat memproduksi protein hingga 100 g/l (Cherry dan Fidantsef, 2003). Klasifikasi T. reesei menurut Frazier dan Westhoff (1978) adalah divisi Thallophyta, kelas Deuteromycetes, famili Monilliaceae dan ordo Monilliales. Koloni kapang yang tua berwarna hijau tua dan bentuknya bolabola konidia yang berwarna hijau yang melekat satu sama lain. Ciri spesifik kapang ini adalah : 1) miselium septat, 2) konidia bercabang banyak, septat dan ujung percabangannya merupakan sterigma, membentuk konidia bulat atau oval, berwarna hijau terang dan berbentuk bola-bola (Fardiaz, 1992). Menurut Jaelani (2007), kapang T. reesei dapat tumbuh baik pada suhu ruang 28°C dengan pH awal 5,95. Pada 24 jam pertama sudah terlihat hifa berwarna putih dan mampu tumbuh secara cepat, hingga dicapai pertumbuhan optimum pada 60 jam umur pertumbuhan dengan jumlah koloni 2,13 x 106 CFU/cc. Enari (1983) menyebutkan bahwa pH optimal untuk pertumbuhan T. reesei adalah sekitar 4 dengan suhu optimal sekitar 32°-35°C, sedangkan pH optimal untuk produksi enzim selulase adalah 3 dan suhu optimal 25°-28°C. T. reesei sering digunakan sebagai organisme penghasil enzim dalam jumlah yang banyak untuk berbagai kegiatan industri karena kemampuannya yang efisien dan mudah dalam pengkultivasiannya. T. reesei juga dapat digunakan untuk memproduksi heterologous protein dalam jumlah besar (Hui et al., 2001). Menurut Enari (1983), kapang yang paling baik untuk memproduksi enzim selulase adalah Trichoderma reesei, T. viride, T. niger, dan Peniccilium verruculosum. Jaelani (2007), fermentasi bungkil inti sawit (BIS) oleh T. reesei menyebabkan kenaikan kandungan ADF dan protein kasar, namun terjadi penurunan NDF dan hemiselulosa serta penyusutan bahan kering. Penyusutan bahan kering berkisar antara 1,42 – 3,57 gram. Banyaknya penyusutan bahan kering disebabkan pada saat proses fermentasi berlangsung, kapang membutuhkan nutrisi seperti karbon, nitrogen dan oksigen yang terdapat pada BIS. Kapang akan memanfaatkan nutrisi pada media berdasarkan mudah atau sulitnya bahan tersebut dirombak. Bahan
yang sulit didegradasi akan mendapat giliran paling akhir setelah nutrisi yang ada pada media dimanfaatkan (Jaelani, 2007). Peningkatan kandungan protein kasar BISF (bungkil inti sawit fermentasi) berkisar antara 23,29%-24,37%. Peningkatan ini disebabkan dengan semakin banyaknya konsentrasi kapang maka pertumbuhan kapang pada media BIS akan lebih besar. Ketebalan media sampai 2cm dapat meningkatkan kandungan PK sampai dengan 24,31% (Jaelani, 2007). Penurunan NDF BISF berkisar antara 58,57%-72,42%. Kandungan NDF yang lebih dari 52% mengindikasikan bahwa bahan tersebut tinggi akan komponen dinding sel. Penurunan NDF ini mengindikasikan bahwa kapang T. reesei mampu mendegradasi dinding sel BIS dengan memproduksi enzim yang mampu menghidrolisis dinding sel (mannanase, selulase, dan β-glukosidase), menjadi oligosakarida dan monosakarida seperti mannosa, glukosa, xylosa, dan galaktosa (Jaelani, 2007). Peningkatan kandungan ADF BISF berkisar 40,54%-53,00%. Kenaikan nilai ADF disebabkan komponen yang ada pada BIS yang tidak terdegradasi. Komponen serat dan nutrien yang mudah dicerna, dimanfaatkan lebih dahulu oleh kapang dan yang tersisa adalah yang benar-benar tidak dapat dicerna, sehingga secara proporsional terjadi peningkatan nilai ADF. Hal ini diperkuat dengan nilai total gula terlarut pada BISF jauh lebih tinggi (2,38%) dibandingkan dengan total gula terlarut pada BIS (1,29%). Hal ini menunjukkan bahwa komponen serat yang memiliki daya cerna lebih baik, dimanfaatkan oleh kapang dalam proses fermentasi (Jaelani, 2007). Kandungan
hemiselulosa
BISF
berkisar
12,15%-23,39%.
Penurunan
kandungan hemiselulosa merupakan aktivitas enzim mannanase. Aktivitas kapang pada waktu fermentasi lebih cenderung pada pembentukan selulosa daripada hemiselulosa. Penurunan kandungan hemiselulosa merupakan aktivitas enzim mannanase. Aktivitas kapang pada waktu fermentasi lebih cenderung pada pembentukan selulosa daripada hemiselulosa (Jaelani, 2007).
METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah dan Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, IPB, Darmaga, dimulai dari bulan Agustus 2007 hingga Pebruari 2008. Materi Ternak Penelitian ini menggunakan 35 ekor mencit (Mus musculus) jantan berumur ± 28 hari dengan rataan bobot badan 22,77 ± 4,95 gram per ekor, yang dipelihara selama 7 minggu. Kandang dan Perlengkapan Kandang yang digunakan adalah kandang yang berbentuk kotak, terbuat dari bahan plastik berukuran 36 cm x 28 cm x 12 cm sebanyak 35 petak dan ditutupi oleh kawat, dilengkapi dengan tempat makan dan tempat air minum, serta diberi alas sekam padi. Ransum Ransum yang digunakan selama penelitian adalah ransum komersial ayam broiler periode starter (BR 1 CP 511, PT. Charoen Pokphand) dan berbentuk pellet. Penambahan BBJ diberikan sebanyak 5% dari ransum kontrol. Perlakuan ransum yang diberikan adalah sebagai berikut : R0
: Ransum Kontrol
R1
: 95% R0 + 5% BBJ tanpa fermentasi
R2
: 95% R0 + (5% BBJ - A. niger)
R3
: 95% R0 + (5% BBJ - R. oryzae)
R4
: 95% R0 + (5% BBJ - R. oligosporus)
R5
: 95% R0 + (5% BBJ - T. viride)
R6
: 95% R0 + (5% BBJ - T. reesei)
Metode Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) (Steel dan Torrie, 1993) dengan 7 perlakuan dan 5 ulangan dengan unit percobaan 1 ekor. Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yij = μ + τi + εij Keterangan : Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ke-j μ = Nilai rataan umum
τi = Efek perlakuan ke-i εij = Error perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan analisa deskriptif. Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah : 1. Konsumsi zat makanan (gram/ekor/hari) Pakan diberikan dalam bentuk pellet. Pakan yang dikonsumsi dihitung dari seluruh total pakan yang diberikan dikurangi dengan total sisa pakan pada setiap minggunya. Perhitungan ini dilakukan selama penelitian. Konsumsi ransum segar kemudian dikalikan dengan kandungan bahan kering ransum untuk mendapatkan nilai konsumsi bahan kering. Nilai konsumsi zat makanan yang lain didapatkan dari hasil konsumsi bahan kering dikalikan dengan kandungan zat makanan yang ingin diamati. 2. Kecernaan zat makanan, meliputi : a. Kecernaan Bahan Kering Kecernaan bahan kering merupakan persentase selisih antara bahan kering yang dikonsumsi dengan bahan kering sisa yang dikeluarkan melalui feses dibagi dengan bahan kering yang dikonsumsi. b. Kecernaan Bahan Organik Kecernaan bahan organik hasil dari perhitungan selisih antara bahan organik yang dikonsumsi dengan bahan organik sisa yang dikeluarkan melalui feses dibagi dengan bahan organik yang dikonsumsi.
c. Kecernaan Protein Kasar Kecernaan protein didapat dari hasil menghitung selisih protein kasar yang dikonsumsi dengan protein feses dibagi dengan protein kasar yang dikonsumsi. d. Kecernaan Energi Kecernaan energi didapat dari menghitung selisih energi yang dikonsumsi dengan energi feses dibagi dengan energi yang dikonsumsi. 3. Perubahan bobot badan (PBB) PBB dihitung dari selisih bobot badan akhir dengan bobot badan awal selama pemeliharaan pada setiap minggunya (gram/ekor/hari). 4. Efisiensi penggunaan ransum (%) Efisiensi penggunaan ransum didapat dari perbandingan pertambahan bobot badan terhadap konsumsi ransum dalam seminggu. Semakin tinggi angka efisiensi pakan maka penggunaan pakan semakin efisien. 5. Mortalitas (%) Mortalitas dicatat setiap hari. Angka mortalitas diperoleh dari seluruh jumlah ternak yang mati dibagi dengan jumlah ternak di awal penelitian dikalikan 100%. Prosedur Pembuatan Media Kapang Tauge sebanyak 250 gram direbus dengan 1 liter air selama 1 jam. Air rebusan kemudian disaring dan diambil sebanyak 100 ml, lalu ditambah tepung agar sebanyak 2 gram dan gula pasir sebanyak 6 gram. Setelah itu, direbus dengan menggunakan labu Erlenmeyer sampai warna larutan tersebut agak bening, sehingga didapatkan media ekstrak tauge (Ekstrak Tauge Agar/ETA). Media ETA dimasukkan ke dalam 10 tabung reaksi masing-masing sebanyak 3 ml, lalu ditutup dengan kapas dan aluminium foil. Media ETA tersebut kemudian disterilisasi dengan autoclave pada suhu 121°C selama 15 menit. Setelah itu, didinginkan sambil dimiringkan (Lestari, 2006).
Pembuatan Kultur Kapang Setelah media miring ETA didinginkan, maka tahap berikutnya adalah mensterilisasi aquadest dengan autoclave pada suhu 121°C selama 15 menit. Sebanyak 10 ml aquadest dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi kultur stock, diaduk dengan pengaduk kaca steril hingga hancur agar spora dan miselium kapang terlepas. Terlepasnya spora dan miselium ini ditunjukkan dengan berubahnya warna larutan menjadi keruh. Media ETA kemudian diinokulasi dengan masingmasing kultur stock kapang A. niger, R. oryzae, R. oligosporus, T. viride, dan T. reesei yang telah dilarutkan dengan aquadest tersebut. Inokulasi dilakukan dengan menggunakan ose. Ose dicelupkan, lalu digoreskan pada media agar. Setelah itu diinkubasi selama 3 hari hingga kapang tumbuh (Lestari, 2006). Fermentasi Bungkil Biji Jarak Pagar (BBJP) Kultur yang telah diinkubasi diencerkan dengan aquadest steril sebanyak 6 ml, lalu diaduk hingga didapat larutan yang berwarna keruh. Sementara itu, BBJP dimasukkan ke dalam plastik tahan panas dan ditambahkan aquadest hingga kadar airnya mencapai 60%, lalu diaduk hingga homogen, kemudian dimasukkan ke dalam autoclave. Setelah dingin, BBJP tersebut diletakkan pada baki plastik dan diratakan menggunakan sendok steril. BBJP tersebut diinokulasi dengan larutan kultur kapang sebanyak 3 ml untuk setiap 50 gram BBJP. BBJP yang telah diinokulasi ditutup dengan plastik wrep, dan didiamkan selama 24 jam. Setelah 24 jam, maka tutup plastik tersebut dibuka dan dilubangi dengan jarum steril agar cukup oksigen (aerob). Campuran difermentasi selama 6 hari hingga diperoleh BBJP fermentasi yang siap dicampurkan dalam ransum komersil ayam broiler starter (Lestari, 2006). Kandungan zat makanan BBJP yang telah difermentasi dengan berbagai kapang dapat dilihat pada Tabel 3. Pembuatan Ransum Pellet BBJP fermentasi dikering-udarakan terlebih dahulu di bawah sinar matahari selama satu hari, kemudian dikeringkan dalam oven 60°C selama 24 jam. Setelah kering, BBJP hasil fermentasi tersebut dicampur dengan ransum komersil menggunakan mixer sampai homogen. Campuran ini kemudian dimasukkan ke dalam mesin pellet. Pellet yang baru keluar dari mesin pellet diangin-anginkan terlebih dahulu sebelum dimasukkan dalam plastik yang telah diberi tanda sesuai
jenis perlakuan. Ransum yang telah berbentuk pellet ini lalu siap untuk diberikan kepada mencit sebagai hewan percobaan. Pemberian Perlakuan Pemeliharaan mencit dilakukan selama 7 minggu, dimulai dengan periode preliminary selama satu minggu dan pemberian perlakuan serta pengumpulan feses selama 6 minggu berikutnya. Sebelum digunakan, mencit ditimbang terlebih dahulu. Selanjutnya, setiap minggu mencit ditimbang untuk mengetahui pertambahan bobot badannya setelah pemberian perlakuan. Pakan diberikan ad libitum setiap hari dengan berpatokan pada sisa pakan. Air minum juga diberikan ad libitum, dan dilakukan penggantian setiap minggunya. Konsumsi pakan dihitung setiap satu minggu sekali. Ransum perlakuan dimasukkan dalam plastik, masing-masing sebanyak 28 gram untuk lima ulangan sebagai persediaan satu minggu. Sisa ransum dihitung dari ransum yang tersisa dalam plastik, dalam tempat pakan dan yang tercecer dalam kandang. Sampel ransum yang diberikan dan sisa ransum dikeringkan dengan oven 105°C selama 24 jam, untuk digunakan dalam perhitungan konsumsi bahan kering ransum.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Makanan Ransum Perlakuan Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum komersial ayam broiler starter yang ditambahkan dengan bungkil biji jarak pagar (BBJP) yang telah difermentasikan dengan berbagai kapang, yaitu kapang Aspergillus niger, Rhizopus oryzae, R. oligosporus, Trichoderma viride dan T. reesei. Perubahan komposisi zat makanan pada ransum komersial yang ditambahkan bungkil biji jarak pagar (BBJP) disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Kandungan Zat Makanan Ransum Perlakuan Kandungan ZM BK (%) Abu (% BK) BO (% BK) PK (% BK) LK (% BK) SK (% BK) BeTN (% BK) Ca (% BK) P (% BK) GE (kal/g BK)1
R0
R1
91,98 6,20 93,80 24,53 8,39 2,34 58,55 0,04 0,10 4408,57
90,08 5,63 94,37 24,40 7,13 5,06 57,78 0,04 0,09 4601,47
Ransum Perlakuan R2 R3 R4 92,24 6,50 93,50 25,80 7,94 4,37 55,39 0,05 0,11 4185,82
92,92 6,11 93,89 24,21 6,52 4,72 58,43 0,05 0,08 4100,30
95,42 5,31 94,69 24,67 6,46 5,43 58,13 0,05 0,08 4211,91
R5
R6
88,90 4,68 95,32 24,51 7,21 4,45 59,15 0,06 0,08 4466,82
87,68 5,86 94,14 25,01 6,91 5,66 56,56 0,08 0,05 4639,60
Keterangan : BK = Bahan Kering, BO = Bahan organik, PK = Protein kasar, LK = Lemak kasar, SK = Serat kasar, BeTN = Bahan ekstrak tanpa nitrogen, Ca = Calsium, P = Phosphor; R0 = Ransum kontrol, R1= 95% R0 + 5% BBJP tanpa fermentasi, R2 = 95% R0 + (5% BBJP - A. niger), R3 = 95% R0 + (5% BBJP - R. oryzae), R4 = 95% R0 + (5% BBJP R. oligosporus), R5 = 95% R0 + (5% BBJP - T. viride), R6 = 95% R0 + (5% BBJP - T. reesei). 1 Hasil analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (2008).
Proses fermentasi BBJP dengan berbagai kapang menyebabkan adanya variasi pada kandungan bahan kering ransum. Pada ransum R2 (BBJP terfermentasi oleh A. niger), R3 (BBJP terfermentasi oleh R. oryzae), dan R4 (BBJP terfermentasi oleh R. oligosporus) terjadi peningkatan kandungan bahan kering, sedangkan ransum R5 (BBJP terfermentasi oleh T. viride) dan R6 (BBJP terfermentasi oleh T. reesei) mengalami penurunan kandungan bahan kering. Kandungan bahan kering ransum tertinggi terdapat pada ransum R4 (95,42% BK) dan terendah pada ransum R6 (87,68% BK). Perbedaan kandungan bahan kering ransum perlakuan diduga disebabkan oleh proses pemanasan dan pengeringan yang terjadi selama proses
pelleting sehingga mengakibatkan kondisi ransum menjadi berbeda tingkat kekeringannya. Kandungan abu pada ransum perlakuan memiliki nilai yang bervariasi dan berkisar antara 4,68%-6,50%. Nilai kandungan abu ini telah sesuai dengan kebutuhan mencit yaitu 5%-6% (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Pemberian BBJP terfermentasi oleh A. niger (R2) kedalam ransum menyebabkan adanya peningkatan kandungan abu sebesar 6,50% BK, sedangkan untuk ransum R1, R3, R4, R5, dan R6 terjadi penurunan kandungan abu, dengan penurunan tertinggi terdapat pada ransum R5. Kandungan abu BBJP, baik yang terfermentasi maupun yang tidak, nilainya tidak terlalu berbeda yaitu sekitar 5,2%-5,9% (Tjakradidjaja et al., 2007). Rendahnya nilai kandungan abu R5 diduga akibat pencampuran BBJP terfermentasi dengan ransum komersial kurang homogen. Peningkatan kandungan abu pada ransum dipengaruhi oleh terjadinya penurunan persentase bahan organik, dengan meningkatnya kandungan abu pada ransum R2, maka kandungan bahan organiknya mengalami penurunan yaitu sebesar 93,50%. Berbeda halnya dengan kandungan bahan organik untuk perlakuan R1, R3, R4, R5, dan R6 yang mengalami peningkatan setelah ditambahkan BBJP kedalam ransumnya. Bahan organik terdiri atas protein, karbohidrat dan lemak yang dimanfaatkan oleh kapang untuk keperluan pertumbuhan dan pembentukan massa sel kapang yang pada akhirnya menghasilkan CO2, H2O dan energi (Fardiaz, 1989). Perlakuan fermentasi terhadap BBJP dengan berbagai jenis kapang tidak mengakibatkan perubahan yang berarti terhadap kandungan protein kasar ransum perlakuan. Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa kandungan protein kasar berkisar antara 24%-25%. Dengan demikian, ransum perlakuan ini telah mencukupi kebutuhan protein mencit seperti yang disarankan oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1988) sebesar 20%-25%. Nilai kandungan protein kasar ransum perlakuan ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan protein kasar ransum perlakuan Fachrudin (2007) dan Wardoyo (2007) yang menambahkan BBJP tanpa pengolahan sebanyak 0%-15% kedalam ransum mencit, yaitu masing-masing sebesar 19%-20% dan 13%-14%. Tabel 5 memperlihatkan bahwa kandungan lemak kasar ransum perlakuan yang berkisar antara 6-8% lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan mencit
menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu sebesar 10-12%. Kandungan lemak kasar untuk ransum R3 dan R4 lebih rendah dibandingkan dengan ransum perlakuan lain. Hal ini diduga disebabkan oleh berkurangnya kadar phorbolester yang terikat dalam lemak setelah BBJP difermentasi. Penurunan kadar lemak kasar pada ransum tersebut terkait oleh rendahnya kandungan lemak kasar BBJP yang difermentasi oleh kapang Rhizopus. Adanya reaksi penyabunan yang terjadi pada lemak oleh alkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi mengakibatkan terjadinya ikatan ester dari asam lemak dan alkohol. Penurunan kandungan lemak kasar ini juga diduga akibat aktivitas enzim lipase yang dimiliki oleh kapang dalam memecah trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak. Menurut Tillman et al. (1991), lemak dapat terhidrolisis dengan bantuan enzim lipase menghasilkan campuran mono- dan digliserida dan juga asam-asam lemak bebas. Penelitian Efendi (2001) yang mempelajari tentang karakteristik enzim lipase intraseluler dengan aktivitas esterifikasi dari kapang R. oryzae TR 32, menjelaskan bahwa aktivitas esterifikasi tertinggi pada asam stearat menunjukkan bahwa enzim lipase intraseluler R. oryzae TR 32 lebih spesifik terhadap asam lemak jenuh atau tidak memiliki ikatan rangkap dibandingkan dengan asam lemak jenuh (memiliki ikatan rangkap). Semakin banyak jumlah ikatan rangkap dari asam lemak, maka kemampuan dari enzim lipase untuk melakukan reaksi sintesis ester semakin rendah. Asam lemak rantai lurus (jenuh) akan lebih mudah berikatan dengan enzim lipase dibandingkan asam lemak tidak jenuh. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya ikatan rangkap sehingga membentuk struktur asam lemak yang lebih bulky dan menyebabkan enzim lipase tidak terikat secara sempurna terhadap substrat asam lemak karena terhalang oleh struktur asam lemak tersebut. Kandungan serat kasar ransum perlakuan yang ditambahkan BBJP sedikit lebih tinggi dibandingkan yang disarankan oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu maksimal 4%. Kandungan serat kasar ransum perlakuan mengalami peningkatan yang disebabkan oleh tingginya kandungan serat kasar BBJP yang ditambahkan, baik BBJP tanpa fermentasi maupun BBJP terfermentasi, yaitu sekitar 38,5%-47,5% BK (Tjakradidjaja et al., 2007). Kandungan serat kasar tertinggi terdapat pada ransum R6 sebesar 5,66% BK. Hal ini terkait dengan tingginya serat kasar BBJP terfermentasi oleh T. reesei sebesar 46,6%. Menurut Sunanto (1995)
yang meneliti pengaruh lama fermentasi dan jenis kapang terhadap perubahan komposisi zat makanan limbah asam sitrat, terjadinya peningkatan serat kasar selama proses fermentasi pada penggunaan kapang R. oryzae pada masa inkubasi hari kedua disebabkan oleh terbentuknya benang-benang miselia kapang. Secara umum, kandungan serat kasar produk fermentasi dipengaruhi oleh pertumbuhan miselia kapang, aktifitas kapang dalam melakukan biokonversi dan kehilangan bahan kering. Perubahan kandungan BeTN yang terjadi pada produk fermentasi dipengaruhi oleh perubahan komponen media yang meliputi protein kasar, abu, lemak kasar, dan serat kasar (Susanto, 1995). Rendahnya kandungan BeTN pada ransum R2 dan R6 dibandingkan dengan ransum perlakuan lainnya disebabkan oleh kandungan BeTN BBJP terfermentasi oleh kapang A. niger dan T. reesei juga rendah sehingga berpengaruh terhadap persentase BeTN dalam ransum perlakuan. Tabel 5 memperlihatkan bahwa dengan penambahan BBJP kedalam ransum dapat meningkatkan kandungan mineral kalsium, namun untuk mineral phosphor nilainya bervariasi. Kandungan mineral kalsium dan phosphor ransum perlakuan yang masing-masing berkisar antara 0,04%-0,08% dan 0,05%-0,11% lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan mencit yaitu untuk kalsium berkisar antara 1,0%-1,5% dan untuk phosphor 0,5%-1,0% (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Rendahnya kandungan mineral kalsium dan phosphor dalam ransum diduga akibat kurang homogen dalam pengambilan sampel. Kandungan GE ransum perlakuan bervariasi, antara 4100,30 - 4639,60 kal/g BK. Nilai kandungan GE tertinggi terdapat pada ransum R6 sebanyak 4639,60 kal/g BK. Menurut Parakkasi (1987), kandungan energi dipengaruhi oleh kandungan bahan organik. Diantara bahan organik tersebut, lemak memiliki kandungan energi yang paling besar yaitu 2,25 kali lebih besar dibandingkan dengan protein dan karbohidrat. Konsumsi Zat Makanan Ransum merupakan makanan yang disediakan bagi ternak untuk memenuhi kebutuhannya selama 24 jam (Anggorodi, 1984). Ransum mencit yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk pellet. Menurut Amrullah (2004b), bentuk ransum berupa pellet memiliki beberapa keuntungan yaitu konsumsi menjadi lebih banyak, efisiensi lebih tinggi, sedikit yang terbuang, lebih mudah dimakan karena bentuknya
butiran, vitamin-vitamin yang larut dalam lemak lambat teroksidasi dan beberapa bakteri dan virus sudah dihancurkan. Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi oleh hewan bila makanan tersebut diberikan ad libitum dalam jangka waktu tertentu. Amrullah (2004b) menyatakan bahwa ransum yang dikonsumsi pada berbagai umur adalah tidak tetap, sesuai dengan laju pertumbuhan dan tingkat produksi. Tingkat energi dalam ransum akan menentukan jumlah ransum yang dikonsumsi. Semakin tinggi energi ransum maka akan menurunkan konsumsi. Kandungan serat yang tinggi juga dapat menyebabkan konsumsi ransum menurun, karena serat bersifat bulky. Nilai konsumsi bahan kering ransum diperoleh dari perhitungan konsumsi ransum segar dikalikan dengan kandungan bahan kering ransum perlakuan. Nilai konsumsi bahan organik, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BeTN dan energi diperoleh dari perkalian antara konsumsi bahan kering dengan kandungan zat makanan tersebut dalam persentase bahan kering. Pengaruh pemberian bungkil biji jarak pagar (BBJP) terfermentasi terhadap konsumsi zat makanan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Konsumsi Zat Makanan Mencit Selama Penelitian Peubah Konsumsi bahan segar (g/e/hr) Konsumsi BK (g/e/hr) BO (g/e/hr) PK (g/e/hr) LK (g/e/hr) SK (g/e/hr) BeTN (g/e/hr) Energi (kal/g/e/hr) n minggu
Ransum Perlakuan R2 R3 R4
R0
R1
R5
R6
3,91 ± 0,70
1,48 ± 0,29
2,03 ± 0,30
1,60 ± 1,08
2,62 ± 0,95
2,31 ± 1,08
1,87 ± 0,54
3,60 ± 0,64
1,34 ± 0,26
1,87 ± 0,28
1,49 ± 1,01
2,50 ± 0,91
2,05 ± 0,96
1,64 ± 0,47
3,38 ± 0,60
1,26 ± 0,24
1,75 ± 0,26
1,40 ± 0,94
2,37 ± 0,86
1,96 ± 0,91
1,54 ± 0,45
0,88 ± 0,02
0,33 ± 0,06
0,48 ± 0,07
0,36 ± 0,24
0,62 ± 0,22
0,50 ± 0,23
0,41 ± 0,12
0,30 ± 0,05
0,10 ± 0,02
0,15 ± 0,02
0,10 ± 0,07
0,16 ± 0,06
0,15 ± 0,07
0,11 ± 0,03
0,08 ± 0,02
0,07 ± 0,01
0,08 ± 0,01
0,07 ± 0,05
0,14 ± 0,05
0,09 ± 0,04
0,09 ± 0,03
2,11 ± 0,38
0,77 ± 0,15
1,04 ± 0,16
0,87 ± 0,59
1,46 ± 0,53
1,21 ± 0,57
0,93 ± 0,27
158,72 ± 28,40
61,46 ± 11,92
78,36 ± 11,75
60,94 ± 41,26
105,4 ± 38,29
91,62 ± 42,80
75,94 ± 21,94
5 1 1 1 1 3 1 6 5 6 6 6 3 6 Keterangan : BK = Bahan Kering, BO = Bahan organik, PK = Protein kasar, LK = Lemak kasar, SK = Serat kasar, BeTN = Bahan ekstrak tanpa nitrogen; R0 = Ransum kontrol, R1= 95% R0 + 5% BBJP tanpa fermentasi, R2 = 95% R0 + (5% BBJP - A. niger), R3 = 95% R0 + (5% BBJP - R. oryzae), R4 = 95% R0 + (5% BBJP - R. oligosporus), R5 = 95% R0 + (5% BBJP - T. viride), R6 = 95% R0 + (5% BBJP - T. reesei).
Rataan konsumsi bahan segar dari mencit penelitian berkisar antara 1,48-3,91 gram/ekor/hari. Nilai rataan konsumsi ini juga tidak jauh berbeda dengan hasil yang didapatkan oleh Fachrudin (2007), yaitu berkisar antara 1,68-3,04 gram/ekor/hari. Nilai rataan konsumsi bahan segar yang diperoleh dari penelitian lebih rendah dibandingkan nilai konsumsi bahan segar menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) sebesar 3-5 gram makanan per harinya. Penambahan BBJP sebanyak 5% kedalam ransum dapat menurunkan nilai konsumsi bahan kering (BK). Perlakuan fermentasi oleh kapang terhadap BBJP dapat sedikit memperbaiki nilai konsumsi BK dari ransum. Nilai konsumsi BK tertinggi pada ransum yang mengandung BBJP terfermentasi yaitu terdapat pada perlakuan
R4
(BBJP
terfermentasi
oleh
R.
oligosporus)
sebanyak
2,50
gram/ekor/hari. Perlakuan R5 (BBJP terfermentasi oleh T. viride) juga menghasilkan nilai konsumsi yang cukup tinggi yaitu sebesar 2,05 gram/ekor/hari. Tingginya konsumsi ransum R4 diduga dikarenakan ransum ini lebih palatable dibandingkan dengan ransum perlakuan lainnya, selain itu kandungan bahan kering dari ransum R4 ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan ransum perlakuan lain. Nilai rataan konsumsi BK pada perlakuan R3 (BBJP terfermentasi oleh R. oryzae) menunjukkan nilai yang paling rendah dibandingkan dengan perlakuan penambahan BBJP terfermentasi yang lain, yaitu sebesar 1,49 gram/ekor/hari. Berbeda halnya dengan hasil yang didapatkan Hapsari (2008) dengan menggunakan BBJP terfermentasi oleh kapang R. oryzae sebanyak 5%, rataan konsumsi BK ransum (4,26 gram/ekor/hari) lebih tinggi dibandingkan dengan rataan konsumsi BK yang didapat dari penelitian ini. Perbedaaan ini dapat disebabkan oleh management pemeliharaan yang berbeda dan individu dari mencit yang digunakan. Nilai konsumsi bahan organik (BO) ransum mencit setelah diberi penambahan BBJP menunjukkan adanya penurunan. Tabel 6 memperlihatkan bahwa mencit yang diberi ransum R1 mengalami penurunan konsumsi BO sebesar 1,26 gram/ekor/hari, namun nilai konsumsi BO tersebut mengalami peningkatan pada mencit yang diberi ransum dengan BBJP terfermentasi. Konsumsi BO ransum dengan penambahan BBJP terfermentasi dari yang tertinggi hingga terendah berturut-turut adalah R4>R5>R2>R6>R3, dengan nilai masing-masing yaitu R4 : 2,37 gram/ekor/hari, R5 : 1,96 gram/ekor/hari, R2 : 1,75 gram/ekor/hari, R6 : 1,54
gram/ekor/hari, dan R3 : 1,40 gram/ekor/hari. Konsumsi ransum dipengaruhi oleh kualitas makanan dan kebutuhan energi ternak. Semakin baik kualitas ransumnya, maka makin tinggi konsumsi ransum ternak tersebut. Selain konsumsi ransum, ternak yang berkualitas baik ditentukan juga oleh fisiologi ternak tersebut (Parakkasi, 1998). Mencit pada perlakuan R3 memiliki konsumsi BO yang rendah. Hal ini diduga disebabkan kandungan zat antinutrisi masih tinggi yang dapat mengganggu proses fisiologis pencernaan sehingga mengakibatkan penurunan status kesehatan mencit, dengan menurunnya status kesehatan mencit maka konsumsi ransum juga akan menurun (Fajariah, 2007). Mencit yang diberi ransum perlakuan dengan penambahan BBJP tanpa fermentasi (R1) sebanyak 5% mengalami penurunan konsumsi protein kasar (PK) sebesar 0,33 gram/ekor/hari. Pemberian ransum yang mengandung BBJP terfermentasi menunjukkan adanya sedikit peningkatan terhadap konsumsi PK. Nilai rataan konsumsi PK tertinggi terdapat pada ransum R4 (BBJP terfermentasi oleh R. oligosporus) sebesar 0,62 gram/ekor/hari. Sedangkan nilai rataan konsumsi PK terendah terdapat pada ransum R3 (BBJP terfermentasi oleh R. oryzae) sebesar 0,36 gram/ekor/hari. Meskipun kapang yang digunakan pada perlakuan R3 dan R4 samasama dari jenis kapang Rhizopus, ternyata terjadi perbedaan dalam konsumsi protein kasarnya. Hal ini dikarenakan kapang R. oligosporus menghasilkan enzim protease yang lebih banyak dibandingkan dengan kapang R. oryzae (Shurleft dan Aoyagi, 1979), sehingga asam amino yang dipecah oleh enzim ini menjadi lebih mudah dicerna oleh mencit. Semakin banyak enzim protease yang bekerja dalam merombak protein menjadi asam amino maka akan semakin mempermudah mencit dalam memenuhi kebutuhan tubuhnya akan protein. Nilai rataan konsumsi lemak kasar (LK) ransum dengan penambahan BBJP sebanyak 5% mengalami penurunan dibandingkan dengan ransum kontrol (R0). Rataan konsumsi LK untuk ransum dengan BBJP tanpa fermentasi (R1) memiliki nilai yang relatif sama dengan ransum menggunakan BBJP terfermentasi oleh R. oryzae (R3) yaitu 0,10 gram/ekor/hari dan BBJP terfermentasi oleh T. reesei (R6) yaitu 0,11 gram/ekor/hari. Begitu pula halnya dengan ransum R2 dan R5 yang memiliki nilai rataan konsumsi LK yang sama, yaitu sebesar 0,15 gram/ekor/hari. Nilai rataan konsumsi LK ransum R4 sedikit lebih tinggi dibandingkan ransum yang
lain yaitu sebesar 0,16 gram/ekor/hari. Hal ini diduga akibat rendahnya kandungan lemak kasar pada ransum perlakuan dengan penambahan BBJP sehingga konsumsi LK juga menjadi rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan konsumsi serat kasar (SK) ransum perlakuan memiliki nilai yang bervariasi. Nilai konsumsi SK tertinggi terdapat pada ransum R4 (0,14 gram/ekor/hari). Rataan konsumsi SK pada ransum R0 dan R2 memiliki nilai yang sama yaitu 0,08 gram/ekor/hari. Begitu pula dengan ransum yang mengandung BBJP terfermentasi oleh kapang Trichoderma (R5 dan R6) sebesar 0,09 gram/ekor/hari, dan untuk konsumsi SK pada ransum mengandung BBJP tanpa fermentasi (R1) dan BBJP terfermentasi oleh R. oryzae (R3) memiliki nilai yang sama sebesar 0,07 gram/ekor/hari. Peningkatan konsumsi serat kasar pada ransum R5 dan R6 diduga dikarenakan kandungan serat kasar dalam BBJP telah dirombak oleh enzim selulase dari kapang Trichoderma menjadi komponen yang lebih mudah dicerna, meskipun nilai, terjadi peningkatan rataan konsumsi BeTN. Rataan konsumsi BeTN tertinggi kandungan serat kasarnya lebih tinggi dibandingkan dengan ransum kontrol. Nilai konsumsi BeTN mengalami penurunan pada ransum yang diberi penambahan BBJP. Namun, setelah BBJP difermentasi pada ransum yang mengandung BBJP terfermentasi yaitu pada ransum R4 (1,46 gram/ekor/hari) dan diikuti oleh ransum R5 (1,21 gram/ekor/hari), sedangkan nilai BeTN terendah terdapat pada ransum R3 (0,87gram/ekor/hari). Perbedaan nilai BeTN yang terjadi dipengaruhi oleh kandungan bahan kering, abu, protein kasar, lemak kasar, dan serat kasar dari ransum. Konsumsi BeTN ransum R3 yang rendah diduga disebabkan oleh rendahnya konsumsi bahan kering, abu, protein kasar, lemak kasar, dan serat kasar dari ransum. Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa konsumsi energi ransum perlakuan mengalami penurunan setelah ditambahkan BBJP. Perlakuan fermentasi terhadap BBJP, ternyata dapat sedikit meningkatkan konsumsi energi. Namun, nilai rataan konsumsi energi pada ransum R3 masih lebih rendah dibandingkan dengan ransum mengandung BBJP tanpa fermentasi (R1). Rendahnya konsumsi energi pada ransum R3 diduga dikarenakan rendahnya kandungan energi dalam ransum serta rendahnya nafsu makan mencit terhadap ransum tersebut. Ransum dengan energi yang rendah
akan menyebabkan jumlah konsumsi energi dibatasi oleh kapasitas alat pencernaan. Menurut Amrullah (2004a), ransum yang tinggi kandungan serat kasarnya akan lebih bulky (amba) sehingga umumnya lebih rendah nilai energinya. Keambaan oleh serat kasar secara fisiologis diperlukan untuk mempertahankan gerak peristaltik yang normal karena menjaga distensi internal dari usus. Rataan konsumsi zat makanan pada ransum R1 (BBJP tanpa fermentasi) lebih rendah dibandingkan dengan ransum yang mengandung BBJP terfermentasi. Hal ini disebabkan oleh kandungan curcin dan phorbolester yang masih tinggi dalam BBJP tanpa fermentasi. Sesuai dengan pernyataan Becker dan Makkar (1998) dan Aregheore et al. (2003), bahwa BBJP tidak dapat diberikan pada ternak dalam bentuk segar atau tanpa pengolahan terlebih dahulu. Hasil penelitian Wardoyo (2007) menjelaskan bahwa pemberian BBJP dalam bentuk segar sebanyak 10-15% menyebabkan mencit mengalami tingkat mortalitas yang tinggi akibat adanya lectin atau curcin yang mengikat molekul gula (karbohidrat) pada dinding sel atau membran kemudian merubah fisiologi membran tersebut hingga mengakibatkan penggumpalan, mitosis, atau perubahan biokimia lain dalam sel, sehingga mengakibatkan pendarahan usus (enteritis), kerusakan hati, pendarahan ginjal (hiperemi), dan pembesaran kapiler darah pada ginjal (kongesti). Pengolahan secara fermentasi merupakan salah satu upaya pendetoksifikasian racun BBJP. Pemberian BBJP yang difermentasikan dengan kapang R. oligosporus (R4) ternyata menghasilkan rataan konsumsi zat makanan yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan fermentasi menggunakan kapang yang lain. Besarnya nilai rataan konsumsi zat makanan pada ransum R4 diduga dikarenakan ransum tersebut lebih palatable daripada ransum lainnya. Namun, tingginya konsumsi zat makanan pada ransum tidak sebanding dengan bobot badan yang dicapai oleh mencit. Rendahnya bobot badan yang dicapai diduga disebabkan rendahnya penggunaan nutrisi di dalam saluran pencernaan (Makkar dan Becker, 1999) sehingga nutrisi yang dibutuhkan mencit untuk pertumbuhannya menjadi berkurang. Jika dilihat dari jenis kapang yang digunakan dalam fermentasi BBJP, kapang pemecah serat dari jenis Trichoderma (R5 dan R6) menghasilkan konsumsi zat makanan yang relatif lebih baik dibandingkan kapang jenis Aspergillus (R2). Sutopo
(1987) menyebutkan bahwa kapang Trichoderma sp. memiliki kemampuan untuk membentuk enzim selulase yang lengkap, sehingga dapat mendegradasi serat kasar. Menurut Hardjo et al. (1989), enzim yang dihasilkan oleh kapang T. viride memiliki komponen yang lengkap dibandingkan kapang lain yang menghasilkan enzim selulase, yaitu karena adanya C1 (Selobiohidrolase) yang aktif menghidrolisis selulosa alami, Cx (Endoglukanase) yang aktif merombak selulosa terlarut dan βglukosidase menghidrolisis selobiosa menjadi glukosa. Hal inilah yang menyebabkan rataan konsumsi zat makanan ransum R5 lebih baik dari ransum R2 dan R6. Sedangkan dari jenis kapang pemecah protein, penggunaan kapang R. oligosporus (R4) mampu menghasilkan konsumsi zat makanan yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan kapang R. oryzae (R3). Hal ini disebabkan kapang R. oligosporus mampu menghasilkan enzim protease yang lebih banyak dibandingkan dengan kapang R. oryzae (Shurleft dan Aoyagi, 1979). Semakin banyak enzim protease yang bekerja dalam merombak protein menjadi asam amino maka akan semakin mempermudah mencit dalam memenuhi kebutuhan tubuhnya akan protein. Dengan demikian, maka konsumsi zat makanan lainnya juga akan meningkat. Kecernaan Zat Makanan Kecernaan merupakan perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan makanan dalam alat pencernaan, meliputi penghalusan bahan makanan menjadi butir-butir atau partikel-partikel kecil, atau penguraian molekul besar menjadi molekul kecil yang siap diserap dan digunakan tubuh (Sulaeman, 2001). Faktorfaktor yang dapat mempengaruhi kecernaan zat makanan antara lain, spesies hewan, bentuk fisik pakan, komposisi kimia, tingkat pemberian pakan, dan temperatur. Sebagai contoh, bahan pakan sumber serat memiliki kecernaan yang rendah bila diberikan pada hewan monogastrik, tetapi akan memiliki kecernaan lebih baik jika diberikan pada hewan ruminansia (Ranjhan, 1977 dan Parakkasi, 1986). Nilai kecernaan zat makanan mencit selama penelitian disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan kecernaan zat makanan setelah mencit diberi perlakuan penambahan BBJP sebanyak 5%. Peningkatan kecernaan tersebut tidak sejalan dengan banyaknya zat makanan yang dikonsumsi oleh mencit. Seharusnya dengan semakin banyaknya ransum yang dikonsumsi maka semakin banyak zat makanan yang dicerna dalam saluran pencernaan. Namun hal
yang terjadi pada hasil penelitian tidak demikian. Ransum yang lebih banyak dikonsumsi (ransum kontrol), nilai kecernaannya lebih rendah dibandingkan ransum yang lebih sedikit dikonsumsi (ransum penambahan BBJP terfermentasi). Hal ini diduga karena zat makanan dalam ransum yang mengandung BBJP terfermentasi telah melalui proses fermentasi sehingga terjadi perombakan komponen zat makanan oleh enzim yang dihasilkan dari kapang menjadi lebih mudah untuk dicerna dalam saluran pencernaan. Menurut Winarno et al. (1980), proses fermentasi dapat menyebabkan terjadinya pemecahan oleh enzim-enzim tertentu terhadap bahanbahan yang tidak dapat dicerna, misalnya selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana. Ransum yang mengandung bahan hasil fermentasi (BBJP) memiliki laju alir pakan yang lebih lambat sehingga zat makanan yang dicerna akan semakin banyak dan akan lebih sedikit zat makanan yang terbuang dalam bentuk feses. Tabel 7. Kecernaan Zat Makanan Mencit Selama Penelitian Peubah
Ransum Perlakuan R2 R3 R4
R0
R1
R5
R6
91,68
89,56
93,34
70,72
89,04
80,53
82,28
± 1,24
± 1,44
± 1,70
± 45,84
± 2,19
± 22,85
± 5,90
94,60
95,38
97,20
87,60
94,07
92,50
90,78
± 0,80
± 0,64
± 0,71
± 19,41
± 1,19
± 8,81
± 3,07
92,30
93,57
95,92
80,19
91,63
89,16
88,04
± 1,14
± 0,88
± 1,04
± 31,01
± 1,68
± 12,72
± 3,98
Kecernaan BK (%) BO (%) PK (%) Energi (%)
93,62
94,61
96,36
82,79
92,31
90,60
89,81
± 0,95
± 0,74
± 0,93
± 26,95
± 1,54
± 11,03
± 3,40
n minggu
5 1 1 1 1 3 1 6 5 6 6 6 3 6 Keterangan : R0 = Ransum kontrol, R1= 95 % R0 + 5 % BBJP tanpa fermentasi, R2 = 95% R0 + (5% BBJP - A. niger), R3 = 95% R0 + (5% BBJP - R. oryzae), R4 = 95% R0 + (5% BBJP - R. oligosporus), R5 = 95% R0 + (5% BBJP - T. viride), R6 = 95% R0 + (5% BBJP - T. reesei).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan BBJP sebanyak 5% kedalam ransum dapat menurunkan kecernaan bahan kering (KCBK). Namun demikian, penambahan BBJP yang difermentasi oleh kapang A. niger (R2) dapat memperbaiki nilai KCBK ransum yaitu sebesar 1,66% dari ransum kontrol (R0). Nilai KCBK dari ransum dengan penambahan BBJP terfermentasi oleh kapang lain masih belum dapat meningkat. Hal ini diduga disebabkan oleh terganggunya fungsi
fisiologis saluran pencernaan mencit oleh racun yang masih tersisa dalam ransum mengandung BBJP terfermentasi sehingga kandungan bahan kering dari ransum yang dicerna oleh ternak menjadi lebih sedikit. Berdasarkan Tabel 7, nilai kecernaan bahan organik (KCBO) ransum dengan penambahan BBJP tanpa fermentasi (R1) dapat meningkat. Begitu pula dengan nilai KCBO pada ransum dengan penambahan BBJP yang difermentasi oleh A. niger (R2) sebesar 97,20%. Berbeda halnya dengan nilai KCBO yang terjadi pada mencit yang diberi perlakuan penambahan BBJP terfermentasi dengan kapang lain, yaitu nilainya lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (R0) dan R1. Nilai KCBO untuk perlakuan R3 (BBJP terfermentasi oleh R. oryzae) memiliki nilai KCBO terendah dibandingkan dengan keempat perlakuan yang menggunakan BBJP terfermentasi. Rendahnya KCBO pada ransum R3 diduga akibat bahan organik ransum yang dikonsumsi lebih banyak yang terbuang dalam feses, sehingga bahan organik yang dicerna dalam saluran pencernaan menjadi berkurang. Penambahan BBJP ke dalam ransum tanpa fermentasi (R1) menyebabkan terjadinya peningkatan kecernaan protein kasar (KCPK) dibandingkan dengan ransum kontrol (R0). Pemberian BBJP terfermentasi oleh A. niger (R2) juga mengalami peningkatan terhadap nilai KCPK, yaitu sebesar 95,92%. Sedangkan pada ransum R3, R4, R5, dan R6 terjadi penurunan nilai KCPK. Nilai KCPK terendah terdapat pada ransum R3 sebesar 80,19%. Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa ransum R3 dan R4 memiliki nilai KCPK yang jauh berbeda. Ransum R3 memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan ransum R4, meskipun BBJP yang digunakan difermentasi oleh kapang dengan genus yang sama, yaitu Rhizopus. Hal ini diduga karena kapang R. oligosporus menghasilkan enzim protease yang lebih banyak daripada kapang R. oryzae. Dengan demikian, protein yang dipecah menjadi asam amino oleh enzim protease akan lebih mudah dicerna oleh mencit. Selain itu, dengan dilakukannya proses fermentasi terhadap BBJP maka alkohol yang terbentuk akan menyebabkan terjadinya denaturasi protein sehingga kandungan protein pada BBJP akan menurun. Hadriyanah (2008) juga menyebutkan bahwa detoksifikasi terhadap BBJP dengan menggunakan methanol dan NaOH 4% dapat menurunkan kandungan protein kasar. Hal ini disebabkan adanya proses denaturasi oleh metanol dan NaOH yang kemudian diikuti dengan proses pemanasan dengan
autoclave sehingga kandungan protein BBJP menurun. Kandungan protein yang semakin menurun diduga dapat menyebabkan kandungan curcin yang terdapat pada BBJP juga ikut berkurang sehingga protein yang dikonsumsi oleh mencit menjadi lebih mudah untuk dicerna. Semakin mudah mencit dalam mencerna protein, maka nilai KCPK akan semakin besar. Sama halnya dengan nilai KCBO dan KCPK, nilai kecernaan energi untuk ransum dengan penambahan BBJP tanpa fermentasi (R1) mengalami peningkatan, yaitu sebesar 94,61%. Nilai kecernaan energi untuk ransum mengandung BBJP terfermentasi oleh A. niger adalah yang tertinggi dibandingkan dengan fermentasi BBJP menggunakan kapang lain. Tingginya kecernaan energi disebabkan oleh zat makanan yang dikonsumsi mencit lebih mudah dicerna akibat adanya produksi enzim oleh kapang yang dapat membantu memecah komponen pakan menjadi senyawa yang lebih mudah dicerna sehingga energi yang dibutuhkan untuk mencerna zat makanan tersebut menjadi berkurang. Perubahan Bobot Badan Mencit Perubahan bobot badan merupakan salah satu cara dalam mengukur pertumbuhan ternak. Diharapkan dengan semakin meningkatnya konsumsi ransum maka bobot badan yang dicapai juga akan meningkat. Rataan perubahan bobot badan mencit selama penelitian terlihat pada Tabel 8. Tabel 8. Perubahan Bobot Badan (PBB) Mencit per Ekor per Hari Selama Penelitian Peubah BB awal (g/e) BB akhir (g/e) PBB (g/e/hr) n minggu
Ransum Perlakuan R2 R3 R4
R0
R1
24,80 ± 3,70 32,60 ± 10,69 0,19 ± 0,19
22,80 ± 4,15 13,20 ± 2,49 -0,47 ± 0,17
22,60 ± 3,13 13,40 ± 2,30 -0,43 ± 0,21
19,60 ± 7,77 14,20 ± 4,66 -0,45 ± 0,30
5 6
1 5
1 6
1 6
R5
R6
26,00 ± 5,52 20,00 ± 5,57 -0,44 ± 0,45
21,40 ± 4,39 14,40 ± 1,67 -0,48 ± 0,29
22,20 ± 4,92 14,40 ± 2,88 -0,54 ± 0,26
1 6
3 3
1 6
Keterangan : R0 = Ransum kontrol, R1= 95 % R0 + 5 % BBJP tanpa fermentasi, R2 = 95% R0 + (5% BBJP - A. niger), R3 = 95% R0 + (5% BBJP - R. oryzae), R4 = 95% R0 + (5% BBJP - R. oligosporus), R5 = 95% R0 + (5% BBJP - T. viride), R6 = 95% R0 + (5% BBJP - T. reesei).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan BBJP dalam ransum ternyata belum dapat meningkatkan bobot badan mencit. Meskipun BBJP sudah
diberi perlakuan fermentasi, namun konsumsi ransum mencit cenderung menurun sehingga bobot badannya juga semakin menurun. Penurunan konsumsi ransum ini sudah mulai terjadi sejak minggu pertama pemberian perlakuan, lalu semakin menurun hingga akhirnya mencit mengalami kematian. Mekanisme pertahanan diri dari senyawa yang dianggap beracun bagi tubuh ditandai dengan menurunnya konsumsi ransum (Amrullah, 2004). Penurunan konsumsi ransum ini diduga disebabkan oleh adanya kerusakan pada saluran pencernaan mencit akibat racun curcin dan phorbolester yang terserap oleh usus. Oleh karena itu, meski nilai kecernaan zat makanan yang didapatkan relatif tinggi, namun tidak mampu menaikkan bobot badan mencit. Adanya racun curcin dan phorbolester yang masih tersisa dalam BBJP dan dikonsumsi secara terus-menerus menyebabkan hati mencit menjadi tidak mampu untuk mendetoksifikasi sebagaimana fungsinya, sehingga racun tersebut akan lolos masuk ke aliran darah dan merusak sel (Fajariah, 2007). Asaoka et al. (1992) juga menjelaskan bahwa adanya curcin dan phorbolester akan mempengaruhi metabolisme dan menghambat sintesa protein di dalam tubuh mencit. Apabila metabolisme dan sintesa protein terganggu, maka zat-zat makanan yang diperlukan oleh tubuh, terutama protein, akan semakin sedikit yang dapat diserap dan dimetabolisir sehingga menyebabkan terjadinya defisiensi nutrisi dan menurunnya kesehatan pada mencit (Fachrudin, 2007). Wardoyo
(2007) menyebutkan
bahwa mencit yang
diberi ransum
mengandung BBJP mengalami pendarahan usus (enteritis) yang terjadi karena peradangan pada usus halus akibat banyaknya racun curcin dan phorbolester dalam BBJP yang diserap usus halus. Dengan adanya peradangan usus yang dialami mencit maka nafsu makannya menjadi menurun akibat rasa sakit yang ditimbulkan. Pertambahan bobot badan mencit perlakuan jauh lebih rendah dibandingkan dengan
pertambahan
bobot
badan
mencit
normal
menurut
Smith
dan
Mangkoewidjojo (1988), yaitu sebesar 1 gram/hari. Hasil penelitian Fajariah (2007) juga menyebutkan bahwa pertumbuhan harian mencit berkisar antara -1,07 hingga 0,22 gram/ekor/hari. Menurut Fajariah (2007) yang melakukan detoksifikasi BBJP dengan menggunakan pemanasan dan penambahan kunyit serta penggunaan NaOH 4% dan NaOCl 10%, penurunan bobot badan pada mencit yang diberi ransum BBJP disebabkan oleh kandungan phorbolester BBJP terolah masih tinggi. Kandungan
phorbolester yang tinggi menyebabkan ternak mengurangi konsumsi sehingga intake nutrien tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup pokok yang menyebabkan ternak mengalami kematian dalam waktu yang singkat ditandai dengan kehilangan bobot badan yang banyak. Efisiensi Penggunaan Ransum Efisiensi penggunaan ransum (EPR) merupakan perbandingan antara pertambahan bobot badan dan konsumsi ransum. Sama halnya dengan konversi penggunaan ransum, EPR juga dipengaruhi oleh faktor kualitas ransum, angka mortalitas, dan teknik pemberian makan. Nilai dari EPR juga dapat mempengaruhi keuntungan yang akan didapatkan oleh peternak, baik dari segi teknik maupun ekonomi. Pemberian ransum kontrol (R0) pada mencit memiliki nilai EPR yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian ransum perlakuan yang mengandung BBJP, baik tanpa fermentasi maupun dengan fermentasi. Hal ini dikarenakan, jumlah konsumsi ransum mencit sejalan dengan pertambahan bobot badan yang dihasilkan. Berbeda halnya dengan ransum perlakuan dengan penambahan BBJP, meskipun konsumsi bahan keringnya mengalami peningkatan dengan perlakuan fermentasi terhadap BBJP, namun pertambahan bobot badan yang dicapai relatif sama. Semakin tinggi penurunan bobot badan, maka nilai EPRnya pun akan semakin rendah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Efisiensi Penggunaan Ransum (EPR) per Ekor per Hari Selama Penelitian Peubah
Ransum Perlakuan R2 R3 R4
R0
R1
R5
R6
PBB (g/e/hr)
0,19 ± 0,19
-0,47 ± 0,17
-0,43 ± 0,21
-0,45 ± 0,30
-0,44 ± 0,45
-0,48 ± 0,29
-0,54 ± 0,26
Konsumsi BK (g/e/hr)
3,60 ± 0,64
1,34 ± 0,26
1,87 ± 0,28
1,49 ± 1,01
2,50 ± 0,91
2,05 ± 0,96
1,64 ± 0,47
EPR (%)
4,68 ± 4,27
-35,58 ± 12,25
-22,58 ± 8,93
-38,16 ± 31,65
-32,00 ± 52,64
-25,10 ± 13,00
-35,26 ± 16,55
n minggu
5 1 1 1 1 3 1 6 5 6 6 6 3 6 Keterangan : R0 = Ransum kontrol, R1= 95 % R0 + 5 % BBJP tanpa fermentasi, R2 = 95% R0 + (5% BBJP - A. niger), R3 = 95% R0 + (5% BBJP - R. oryzae), R4 = 95% R0 + (5% BBJP - R. oligosporus), R5 = 95% R0 + (5% BBJP - T. viride), R6 = 95% R0 + (5% BBJP - T. reesei).
Nilai rataan EPR terendah terdapat pada perlakuan R3 sebesar -38,16%. Rendahnya nilai rataan EPR R3 selain disebabkan oleh rendahnya konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan, juga disebabkan oleh kematian mencit yang banyak terjadi sejak minggu pertama pemberian ransum perlakuan. Sedangkan nilai rataan EPR tertinggi setelah ransum ditambahkan BBJP terdapat pada perlakuan R2, sebesar -22,58%. Hal ini dikarenakan mencit perlakuan R2 memiliki peningkatan kecernaan zat makanan dan diikuti dengan perubahan bobot badan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ransum perlakuan dengan penambahan BBJP lainnya. Mortalitas Mencit Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa dengan penambahan BBJP terfermentasi ke dalam ransum, mortalitas mencit masih cukup tinggi. Hal ini terlihat dari adanya kematian mencit sejak minggu pertama penelitian. Namun, kematian mencit pada minggu pertama ini diduga masih dipengaruhi oleh faktor individu dari setiap mencit. Tabel 10. Mortalitas Mencit Selama Penelitian Ransum Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4 R5 R6
Mortalitas mencit per minggu (%)
Total (%)
1
2
3
4
5
6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
40
40
20
0
100
0
0
40
20
20
20
100
40
20
20
0
0
0
80
20
0
0
60
0
0
80
0
40
60
0
0
0
100
20
40
20
0
0
0
80
Keterangan : R0 = Ransum kontrol, R1= 95 % R0 + 5 % BBJP tanpa fermentasi, R2 = 95% R0 + (5% BBJP - A. niger), R3 = 95% R0 + (5% BBJP - R. oryzae), R4 = 95% R0 + (5% BBJP - R. oligosporus), R5 = 95% R0 + (5% BBJP - T. viride), R6 = 95% R0 + (5% BBJP - T. reesei).
Mortalitas mencit untuk ransum perlakuan R1 (BBJP tanpa fermentasi), R2 (BBJP dengan fermentasi A. niger), dan R5 (BBJP dengan fermentasi T. viride) sebesar 100% dengan awal waktu kematian, masing-masing pada minggu ketiga untuk perlakuan R1 dan R2, serta pada minggu kedua untuk perlakuan R5. Kematian mencit pada ketiga perlakuan tersebut diduga disebabkan oleh kandungan phorbolester yang terikat dengan lemak masih tinggi dalam ransum, sehingga mengganggu proses fisiologis pencernaan; menurunkan kecernaan nutrien;
menyebabkan kerusakan pada organ-organ tubuh, seperti hati, ginjal, dan paru-paru; serta merusak membran usus (Makkar dan Becker, 1997a, 1997b). Dengan terganggunya proses fisiologis pencernaan maka dapat menyebabkan nafsu makan mencit menjadi hilang. Adam (1974) menjelaskan bahwa pemberian J. curcas dalam ransum mengakibatkan terjadinya perubahan patologi pada usus halus, hati, jantung, ginjal, dan pembuluh darah. Wardoyo (2007) juga menyebutkan bahwa mencit mengalami pendarahan usus (enteritis) yang terjadi karena peradangan pada usus halus akibat banyaknya racun curcin dan phorbolester dalam BBJ yang diserap usus halus. Racun tersebut kemudian dibawa oleh darah ke dalam hati, lalu menyebabkan kerusakan hati akibat dari ketidakmampuan hati untuk menetralisir racun tersebut yang terakumulasi di dalamnya. Kemudian zat makanan yang tidak bermanfaat bagi tubuh dikeluarkan oleh hati ke ginjal, sehingga terjadi pendarahan (hiperemi) dan pembesaran kapiler darah (kongesti) di ginjal hingga mengakibatkan kematian pada mencit. Kematian mencit yang diberi ransum perlakuan mengandung BBJP ditandai dengan mencit terlihat lesu, hilangnya nafsu makan, penurunan konsumsi ransum, penurunan bobot badan, dan di sekitar anusnya terdapat lendir berwarna kuning kecoklatan dan kadang disertai dengan darah. Hasil penelitian Fachrudin (2007) dan Fajariah (2007), juga menyebutkan bahwa kondisi mencit yang akan mengalami kematian menunjukkan gejala-gejala, seperti lesu, bobot badan menurun drastis, konsumsi ransum menurun, bulu tampak kusam, terdapat cairan kuning kecoklatan di sekitar anus, anus menjadi bengkak dan berwarna merah, serta feses cair (diare). Mekanisme pertahanan diri dari senyawa yang dianggap beracun bagi tubuh ditandai dengan menurunnya konsumsi ransum. Bahan atau ransum yang tidak palatable jika tertelan maka saluran pencernaan akan berusaha mengeluarkannya. Laju pengeluaran dipercepat yang ditandai dengan ternak mengalami diare (Amrullah, 2004). Penurunan konsumsi ransum akibat berkurangnya nafsu makan mencit diduga disebabkan oleh penurunan kondisi kesehatan mencit. Terjadinya gangguan proses fisiologis pencernaan yang disebabkan oleh mekanisme phorbolester dan curcin mengakibatkan mencit menjadi tidak nafsu makan. Lusiana (2008) melaporkan bahwa penurunan konsumsi ransum pada ayam broiler dapat disebabkan
saluran pencernaan telah mengalami kerusakan akibat adanya akumulasi racun yang semakin tinggi sejalan dengan peningkatan konsumsi ransum. Salah satu organ yang berperan dalam detoksifikasi racun adalah hati. Hati ternak yang mengalami keracunan akan menunjukkan perubahan dari karakteristik normal seperti perubahan warna, ukuran dan bentuk. Ternak yang mengalami keracunan memiliki persentase bobot hati yang lebih besar dibandingkan ternak normal. Menurut Fajariah (2007), hati mencit yang diberi ransum mengandung BBJP berwarna hitam dan terlihat rapuh. Terjadinya perubahan fisiologis tersebut dikarenakan adanya racun dalam BBJP terutama phorbolester yang sangat tinggi konsentrasinya sehingga hati tidak mampu untuk mendetoksifikasi sebagaimana fungsinya, dengan demikian racun tersebut akan lolos masuk ke aliran darah dan merusak sel. Akibatnya ternak akan mati. Perubahan warna hati menjadi hitam dikarenakan terjadinya penyumbatan sel darah dalam hati sehingga sirkulasi O2 terhambat.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penambahan bungkil biji jarak terfermentasi oleh berbagai kapang sebanyak 5% kedalam ransum belum dapat meningkatkan konsumsi zat makanan, pertambahan bobot badan, efisiensi penggunaan ransum, dan menurunkan mortalitas mencit jika dibandingkan dengan ransum kontrol. Namun demikian, mencit yang diberi ransum BBJP terfermentasi oleh kapang Aspergillus niger memiliki nilai kecernaan zat makanan yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan fermentasi dengan kapang lainnya, namun nilai kecernaan tersebut tidak sebanding dengan perubahan bobot badan yang didapatkan. Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui bahwa penggunaan kapang Rhizopus oligosporus lebih baik dalam menurunkan racun BBJP dibandingkan dengan kapang R. oryzae. Saran Perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut setelah BBJP difermentasi dengan melakukan pencucian menggunakan bahan yang bersifat alkali.
UCAPAN TERIMA KASIH Assalamualaikum wr. wb Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Penyayang. Segala Puji dan syukur untuk-Mu Allah Yang Maha Agung atas segala Rahmat-Mu. Terima kasih penulis sampaikan kepada Ir. Anita S. Tjakradidjaja, M.Rur. Sc. selaku dosen pembimbing utama skripsi dan Dr. Ir. H. Suryahadi, DEA. selaku dosen pembimbing anggota skripsi, yang telah berbagi ilmu dan meluangkan waktu serta kesabaran untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi. Terima kasih kepada Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A., MSc. selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingannya selama penulis menjalani perkuliahan. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sumiyati, M.Sc. selaku penguji seminar dan Dr. Ir. M. Ridla, M.Agr. serta Tuti Suryati, S.Pt. Msi. selaku penguji sidang. Serta semua staf pengajar yang telah mengantarkan penulis hingga menyelesaikan studi S1. Semoga ditinggikan derajatnya. Kepada sahabatku Rizal (thanks untuk nasehatnya), QQ, Dewi, Delon, Nia, Yuli, Sadako, Dede (thanks untuk support, motivasi, dan sharing-nya), semoga Allah SWT melapangkan jalanmu. Terima kasih penulis ucapkan kepada keluarga besar INTP41, adik dan kakak angkatan yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan kebersamaannya selama ini. Bu Yani (thanks untuk kesabaran, ilmu, sumbang saran dan pikirannya selama di Lab), serta semua pihak yang telah membantu dan memberi semangat kepada penulis. Dengan segala kerendahan hati ucapan terima kasih ini penulis persembahkan pula untuk Keluarga tercinta, Papa, Mama, Mbak Reni, Mas Dimas, Diah atas segala doa, kasih sayang, ketulusan hati, keikhlasan, pengertian, harapan, pengorbanan, motivasi, dan fasilitas. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin. Wassalamualaikum wr. wb. Bogor, 2008
Penulis
DAFTAR PUSTAKA Adam, S.E.I. 1974. Toxic effect of Jatropha curcas in mice. Toxicology 2(1) : 67-76. Aderibigbe, A.O., C.O.L.E. Johnson, H.P.S. Makkar, K. Becker, N. Foidl. 1997. Chemical composition and effect of heat on organic matter- and nitrogendegradability and some antinutritional components of Jatropha meal. Anim. Feed Sci. 67 : 223-243. Aisjah, T. 1998. Pendekatan bioteknologi bungkil biji jarak melalui fermentasi dalam rangka meningkatkan kualitas bahan pakan ternak. Hibah Bersaing. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Alamsyah, A.N. 2006. Yang beracun, yang berfaedah. Trubus. http://www.trubusonline.com. [2 April 2007]. Albanu, J. 2002. Evaluasi in vitro peningkatan kualitas dedak sorghum (Sorghum bicolor L.) melalui fermentasi dengan Aspergillus niger. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Amrullah. I.K. 2004a. Nutrisi Ayam Broiler. Seri Beternak Mandiri. Lembaga Satu Gunungbudi, Bogor. Amrullah. I.K. 2004b. Nutrisi Ayam Petelur. Seri Beternak Mandiri. Lembaga Satu Gunungbudi, Bogor. Anwar, Y.A.S. 2006. Produksi dan karakterisasi enzim tanin hasil hidrolase dari Aspergillus niger. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Aregheore, E. M., H.P.S. Makkar and K. Becker. 1998. Assessment of lectin activity in a toxic and a non-toxic variety of Jatropha curcas using latex agglutination and haemugglutination methods and inactivation of lectin by heat treatments. J. Food Agriculture Sci. 77(3) : 349-352. Aregheore, E.M., K. Becker, and H.P.S. Makkar. 2003. Detoxification of a toxic variety of Jatropha curcas using heat and chemical treatments, and preliminary nutritional evaluation with rats. S. Pac. J. Nat. Sci. 21 : 50-56. Asaoka, Y., S. Nakamura, K. Yoshida dan Y. Nishizuka. 1992. Protein kinase C, calcium and phospholipids degradation. Trends Biochem. Sci. 17 : 414-417. Becker, K. dan H.P.S. Makkar. 1998. Effects of phorbolester in carp (Cyprinus carpio L.). Vet. Human Toxicology 40 : 82-86. Boeadi. 1979. Mengenal Beberapa Jenis Hama Tikus. Bagian Mammalogi, Museum Zoologica Bogoriense. Lembaga Biologi Nasional, Bogor. Brodjonegoro, T. P., I.K. Reksowardjojo dan T.H. Soerawidjaja. 2005. Jarak pagar, sang primadona. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1005/13/ cakrawala/utama02.htm. [2 Mei 2007]. Cherry JR, Fidantsef AL. 2003. Directed evolution of industrial enzymes: an update. Curr. Opin. Biotech. 14 : 438-443
Dharmaputra, O.S. 1989. Mikologi Dasar. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dunlap, C.E. 1975. Production of Single Cell Protein from Insoluble Agricultural Wastes by Mesophilles. In : Tannembaum, S.R and D.I.C. Wang (ed). Single Cell Protein II. MIT Press, Cambridge, Massachussets. Efendi, S. 2001. Karakterisasi enzim lipase intraseluler dengan aktivitas esterifikasi dari kapang Rhizopus oryzae TR 32. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ekawati, I. G. A. 1993. Pemanfaatan bonggol pisang untuk produksi enzim selulase dari Aspergillus niger dan Trichoderma reesei. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Enari, T.M. 1983. Microbial cellulose. Dalam : W. M. Fogarty. 1985. Microbial enzymes and biotechnology. Appl. Sci. Publ., New York. Fachrudin, A. 2007. Pengaruh taraf penggunaan bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) dalam ransum terhadap penampilan produksi mencit (Mus musculus). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fajariah, N. 2007. Uji biologis bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) terdetoksifikasi menggunakan mencit (Mus musculus) sebagai hewan percobaan. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fardiaz, D. 1989. Fisiologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas dan Lembaga Swadaya Informasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fitriawati, N. 2001. Kajian penambahan ekstrak buah dan daun pare (Momordica charantic l.) pada sifat-sifat reproduksi mencit betina (Mus musculus albinus). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Frazier, W.C. and D.C. Westhoff. 1978. Food Microbiology. McGraw Hill Book Company, New York. Gandjar, I. 1977. Fermentasi biji Mucuna pruriens D.C. dan pengaruhnya terhadap kualitas protein. Disertasi. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Gandjar, I., R.A. Samson, K. van den Tweel-Vermeulen, A. Oetari, I. Santoso. 1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Hadian, S. 2004. Performa hasil silangan mencit agouti dan mencit putih pada penambahan tepung kunyit (Curcuma domestica) dalam ransum. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hadriyanah. 2008. Pemanfaatan bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas) yang telah didetoksifikasi terhadap konsumsi dan efisiensi penggunaan ransum mencit (Mus musculus). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hambali, E., A. Suryani, Dadang, Hariyadi, H. Hanafie, I.K. Reksowardojo, M. Rivai, M. Ihsanur, P. Suryadarma, S. Tjitrosemito, T.H. Soerawidjaja, T. Prawitasari, T. Prakoso, W. Purnama. 2007. Jarak Pagar. Tanaman Penghasil Biodiesel. Cetakan 4. Penebar Swadaya, Jakarta.
Hapsari, T. 2008. Pemberian bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) produk fermentasi Rhizopus oryzae dalam ransum terhadap reproduksi mencit (Mus musculus). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hardjo, S., N.S. Indarti dan T. Bantacut. 1989. Biokonversi : Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hariyadi. 2005. Budidaya Tanaman Jarak (Jatropha curcas) Sebagai Sumber Bahan Alternatif Biofuel. Focus Grup Diskusi (FGD) Tema Prospektif Sumberdaya Lokal Bioenergi pada Deputi Bidang Pengembangan SISTEKNAS, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Puspiptek Serpong. 14-15 September 2005. http://www.ristek.go.id [15 Februari 2008]. Hasanah, P. 2007. Kandungan nutrisi, fermentabilitas, dan kecernaan in vitro bungkil biji jarak pagar (Jatroha curcas L.) terdetoksifikasi. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hendro S. 2005. Budidaya Jarak. Trubus 432. November 2005 : 81. Hui J, Lanthier P, White TC, McHugh SG, Yaguchi M, Roy R, Pierre T. 2001. Characterization of cellobiohydrolase I (Cel7A) glycoforms from extracts of Trichoderma reesei using capillary isoelectric focusing and electrospray mass spectrometry. J. Chromatography B. 752 : 349-368 Imy,
N. 2006. Minyak Jarak Pagar. Republika. http://www.republika.co.id [2 April 2007].
10
Agustus
2006.
Jaelani, A. 2007. Peningkatan kualitas Bungkil Inti Sawit oleh kapang Trichoderma reesei sebagai pendegradasi polisakarida mannan dan pengaruhnya terhadap penampilan ayam pedaging. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jaenudin. 2002. Respon reproduksi dan pertumbuhan mencit (Mus musculus) dengan penambahan stimulan monogastrik. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Judoamidjojo, R., E. Gumbira dan L. Hartato. 1989. Biokonversi. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kertajaya, M. 2000. Pengaruh penambahan ekstrak kecambah kacang hijau (tauge), ekstrak kentang, dan ekstrak kayu karet terhadap produksi massa miselium jamur Cing zhi (Ganoderma lucidium). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kurnianto, E., A. Shinjo and D. Suga. 1999. Multiphasic analysis of growth curve of body weight in mice. Asian- Aus. J. Anim. Sci. 12 (3) : 331-335. Lehninger, A.L. 1991. Dasar-dasar Biokimia. Jilid 1. Penerbit Erlangga, Jakarta. Lekha, P.K. and B.K. Lonsane. 1997. Production and application of Tannin Acyl Hydrolase. Avi Applied Microbiology 44 : 222-223.
Lestari, E.S. 2006. Absorpsi mineral dan kadar lemak darah pada tikus yang diberi serat ampas teh hasil modifikasi melalui fermentasi dengan Aspergillus niger. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lin, J., Yan F., Tang L. and Chen F. 2003. Antitumor effects of curcin from seeds of Jatropha curcas. Acta Pharmacol. Sin. 24 (3): 241-246. Lusiana, E.A. 2008. Efektivitas penggunaan bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas Linn.) terdetoksifikasi dalam ransum dan adanya fase recovery terhadap performa ayam broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Maharshi, A. 2006. Growing Diesel Fuel Plant. Cultivation for Bio Diesel Production. Centre for Jatropha Promotion. http://www.jatrophaworld.org [2 Mei 2007]. Makkar, H.P.S., and K. Becker. 1997. Potential of Jatropha curcas seed meal as a protein supplement to livestock feed, constraints to its utilitation and possible strategies to overcome constraints. Proceedings of Jatropha 97 : International Symposium on Biofuel and Industrial Products from Jatropha curcas and other Tropical Oil Seed Plants. Managua, Nicaragua, Mexico, 23-27 Februari 1997. Makkar, H.P.S., K. Becker, dan B. Schmook. 1998a. Edible provenances of Jatropha curcas from Quintna Roo State of Mexico and effect of roasting on anti nutrient and toxic factors in seeds. Institute for Animal Production in The Tropics and Subtropics (480). University of Hokenheim. D-70593 Stutgart, Germany. Makkar, H.P.S., K. Becker, F. Sporer dan M. Wink. 1998b. Studies on nutritive potential and toxic constituents of different provenances of Jatropha curcas. J. Agric. Food Chem. 45 (8): 3152-3157. Makkar, H.P.S. dan K. Becker. 1999. Plant toxins and detoxification methods to improve feed quality of tropical seeds. J. Anim. Sci. 12(3) : 467-480. Malole, M.B.M. dan C.S.U. Pramono. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Moeljoharjo, D.S. 1979. Pengantar Biokimia. Departemen Biokimia. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Moriwaki, K., T. Shiroshi and H. Yonekawa. 1994. Genetic in Wild Mice. Its Aplication to Biomedical Research. Japan Societies Press, Karger, Tokyo. Mycology Online. 2006. Rhizopus oryzae. http://www.mycology.adelaide.edu.au. [23 April 2007]. Nafiu, L.O. 1996. Kelenturan fenotipik mencit (Mus musculus) terhadap ransum berprotein rendah. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nuraida, L., R. Dewanti, P. Hariyadi, S. Budijanto. 2000. Eksplorasi, karakterisasi, dan produksi enzim lipase dengan aktivitas esterifikasi tinggi dari kapang
indigenus. Laporan tahun pertama Penelitian Hibah Bersaing VIII perguruan Tinggi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nurbaeti. 2007. Efisiensi penggunaan protein dan energi metabolis ransum ayam broiler yang mengandung bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas) yang diolah secara fisika, kimia, dan biologis. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nurhikmawati, I. 2007. Pengaruh pemberian bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) terfermentasi dalam ransum terhadap berat karkas, organ dalam serta histopatologi hati dan ginjal ayam broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Parakkasi, A. 1986. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Monogastrik. Vol. IB. Penerbit Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pelczar, M.J., R.D. Reid dan E.S.C. Chan. 1974. Microbiology. 4th Ed. Tata McGraw Hill Pub. Co. Ltd, New Delhi. Prawitasari, T. 2006. Analisis usaha tani jarak pagar (Jatropha curcas L.). Dalam: Prosiding Lokakarya II. Status Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.). 29 November 2006 : 305-313, Bogor. Prawoto, A.A. 2006. Studi banding produksi jarak pagar (Jatropha curcas L.) sebagai sumber bioenergi di India. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 22 (1) : 9-19. Purnama, I.N. 2004. Kajian potensi isolate kapang pemecah ikatan tanin pada kulit buah kakao (Theobroma cacao L.). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rahma, S.N. 1996. Evaluasi kandungan zat makanan dedak halus yang difermentasi dengan Aspergillus niger¸ Aspergillus oryzae dan Rhizopus oryzae. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ranjhan, S.K. 1977. Animal Nutrition and Feeding Practical in India. Vikas Publishing House PVT. Ltd., New Delhi. Said, E.G. 1987. Bioindustri : Penerapan Teknologi Fermentasi. PT. Medyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Salleh, A.B. 1993. Extra- and intracellular lipases from a thermophilic Rhizopus oryzae and factors affecting their production. Can J. Microbiol 39: 978-981 Saono, S. 1974. Pemanfaatan jasad renik dalam pengolahan sampingan atau sisa-sisa produksi pertanian. Berita Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia 18 (4) : 1-11. Sastrapradja, S. 1978. Tumbuhan Obat. Lembaga Biologi Nasional. Hal : 42-43. Scherllart, J.A. 1975. Fungal Protein from Corn Waste Eflluents. University of Wagenigen, Wagenigen. Shurtleff W. and Aoyagi A. 1979. The Book of Tempeh : A Super Soy Food from Indonesia. Harper & Raw, New York.
Smith, D.B. dan A.H. Walters. 1967. Introductory Food Science. Harrison and Sons Ltd., London. Smith, J.B. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan. Cetakan Ke-3. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Storer, T.I., R.L. Usinger, R.C. Stebbins and J.W. Nybaken. 1979. General Zoology. 6th edition. McGraw. Hill Book Company, New York. Sulaeman, A. 2001. Produksi mikroba pakan langsung dari kapang dan pengaruhnya terhadap aktivitas fermentasi dan kecernaan ransum ruminant (in vitro). Tesis. Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sumantri, C. 1984. Aspek genetik beberapa sifat produksi mencit (Mus musculus). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sumanto. 2005. Manfaat tanaman jarak pagar sebagai tanaman obat dan bahan baku industri minyak biodiesel yang potensial. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 11 (1) : 21-23. Sunanto, S. 1995. Pengaruh lama fermentasi dan jenis kapang terhadap perubahan komposisi zat makanan limbah asam sitrat. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sungguh. 1993. Kamus Lengkap Biologi. Gaya Media Pratama, Jakarta. Susanti, F. 2002. Peningkatan manfaat Akasia (Acacia sp), Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan Lamtoro (Leucana leucocephala) dengan fermentasi kapang Aspergillus niger. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Susanto, H. 1995. Pengaruh jenis kapang dan lama fermentasi terhadap perubahan komposisi zat makanan limbah pengalengan nenas. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutopo, T. 1987. Pemanfaatan jerami padi pada fermentasi Trichoderma viride untuk menghasilkan selulase. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syamsuhidayat, S.S. dan J.R. Hutapea. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (I). Departemen Kesehatan RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajahmada University Press, Yogyakarta. Tjakradidjaja, A.S., Suryahadi dan Adriani. 2007. Fermentasi bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas, L.) dengan berbagai kapang sebagai upaya penurunan kadar serat kasar dan zat antinutrisi. Proceeding Konferensi Jarak Pagar menuju Bisnis Jarak Pagar yang Fleksibel. Selasa, 19 Juni 2007. Institut Pertanian Bogor. Hal 1-10.
Umbreit, W.W. 1962. Modern Microbiology. W.H. Freeman and Sons, San Francisco. Wardoyo, W. 2007. Pengaruh taraf penggunaan bungkil biji jarak (Jatropha curcas L.) dalam ransum terhadap penampilan reproduksi mencit (Mus musculus). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Widiyandari, N.D. 2002. Manfaat fermentasi oleh Trichoderma viride dan ensilasi terhadap mutu nutrisi jerami padi. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wikipedia. 2006a. Lectin. The free encyclopedia. http://en.wikipedia.org/wiki/lectin. [5 Mei 2007]. Wikipedia. 2006b. Phorbol. The free encyclopedia. http://en.wikipedia.org/wiki/ phorbol. [5 Mei 2007]. Wikipedia. 2006c. Phorbol. The free encyclopedia. http://en.wikipedia.org/wiki/ Phorbol_ester. [25 Mei 2008]. Wikipedia. 2006d. Protein kinase. The free encyclopedia. http://en.wikipedia.org/ wiki/proteinkinase. [5 Mei 2007]. Wikipedia. 2008e. Aspergillus niger. The free encyclopedia. http://en.wikipedia.org/ wiki/Aspergillus_niger. [15 Juni 2008]. Winarno, F.G. 1980. Microbial Conversion of Lignocellulosa into Feed, Straw and Other Fibrious by Product as Feed. Elsevier, Amsterdam, Oxford, New York. Winarno, F.G., S. Fardiaz, dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia, Jakarta. Winarno. 1981. Dari Nilai Gizi Tauge sampai Noda Bitot. Kumpulan Pikiran dan Gagasan Tertulis (1980-1981). Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Winkler, E., G.M. Gubitz, N. Fuidl, R. Staubmann dan W. Steiner. 1997. Use of enzymes for oil extraction from Jatropha curcas seeds. http://www.jatropha.de/ conferences/abstracts-Jatropha97.htm. [5 Mei 2007]. Wirakartakusumah, A., M. Thenawidjaja, B.S.L. Jenie, J. Pontoh, L. Nuraida, A. Bahar, M. Suprayatmi, Marwini, I. Hairita, S. Soekopitojo. 1987. Isolasi dan karakterisasi enzim dari Aspergillus niger serta pemanfaatan dalam pembangunan industri gula cair. Laporan akhir. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Xiong, Hairong. 2004. Production and characterization of Trichoderma reesei and Thermomyces lanuginosus xylanases. Dissertation. Helsinki University of Technology, Espoo, Finland. Yuniah, Y. 1996. Pengaruh fermentasi biji sorghum coklat dengan Aspergillus niger, Aspergillus oryzae, atau Rhizopus oryzae terhadap perubahan komposisi zat-zat makanan. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Rataan Konsumsi ZM/100g BK Perlakuan
Konsumsi (g/e/hr)
BK (g/e/hr)
BO (g/e/hr)
PK (g/e/hr)
LK (g/e/hr)
SK (g/e/hr)
BeTN (g/e/hr)
Energi (kal/g/ e/hr)
R0
3,91 ± 0,70
3,60 ± 0,64
3,38 ± 0,60
0,88 ± 0,16
0,30 ± 0,05
0,08 ± 0,02
2,11 ± 0,38
158,72 ± 28,40
KK (%)
17,89
17,89
17,89
17,89
17,89
17,89
17,89
17,89
R1
1,48 ± 0,29
1,34 ± 0,26
1,26 ± 0,24
0,33 ± 0,06
0,10 ± 0,02
0,07 ± 0,01
0,77 ± 0,15
61,46 ± 11,92
KK (%)
19,40
19,40
19,40
19,40
19,40
19,40
19,40
19,40
R2
2,03 ± 0,30
1,87 ± 0,28
1,75 ± 0,26
0,48 ± 0,07
0,15 ± 0,02
0,08 ± 0,01
1,04 ± 0,16
78,36 ±11,75
KK (%)
14,99
14,99
14,99
14,99
14,99
14,99
14,99
14,99
R3
1,60 ± 1,08
1,49 ± 1,01
1,40 ± 0,94
0,36 ± 0,24
0,10 ± 0,07
0,07 ± 0,05
0,87 ± 0,59
60,94 ± 41,26
KK (%)
67,71
67,71
67,71
67,71
67,71
67,71
67,71
67,71
R4
2,62 ± 0,95
2,50 ± 0,91
2,37 ± 0,86
0,62 ± 0,22
0,16 ± 0,06
0,14 ± 0,05
1,46 ± 0,53
105,43 ± 38,29
KK (%)
36,31
36,31
36,31
36,31
36,31
36,31
36,31
36,31
R5
2,31 ± 1,08
2,05 ± 0,96
1,96 ± 0,91
0,50 ± 0,23
0,15 ± 0,07
0,09 ± 0,04
1,21 ± 0,57
91,62 ± 42,80
KK (%)
46,71
46,71
46,71
46,71
46,71
46,71
46,71
46,71
R6
1,87 ± 0,54
1,64 ± 0,47
1,54 ± 0,45
0,41 ± 0,12
0,11 ± 0,03
0,09 ± 0,03
0,93 ± 0,27
75,94 ± 21,94
KK (%)
28,90
28,90
28,90
28,90
28,90
28,90
28,90
28,90
Lampiran 2. Rataan Kandungan ZM Feses Perlakuan
Feses (g/e/hr)
BK (g/e/hr)
BO (g/e/hr)
PK (g/e/hr)
R0 KK (%)
7,77 ± 1,40 17,97
0,30 ± 0,05 17,97
0,18 ± 0,03 17,97
0,07 ± 0,01 17,97
Energi (kal/g/e/hr) 10,04 ± 1,80 17,97
R1 KK (%)
2,64 ± 0,93 35,35
0,14 ± 0,02 18,00
0,06 ± 0,01 18,00
0,02 ± 0,00 18,00
3,28 ± 0,59 18,00
R2 KK (%)
2,63 ± 0,98 37,25
0,13 ± 0,04 35,67
0,05 ± 0,02 35,67
0,02 ± 0,01 35,67
2,89 ± 1,03 35,67
R3 KK (%)
2,54 ± 1,66 65,42
0,18 ± 0,11 59,91
0,07 ± 0,04 59,91
0,03 ± 0,02 59,91
4,42 ± 2,65 59,91
R4 KK (%)
4,68 ± 2,23 47,73
0,26 ± 0,09 35,60
0,14 ± 0,05 35,60
0,05 ± 0,02 35,60
7,82 ± 2,79 35,60
R5 KK (%)
3,55 ± 2,02 56,83
0,32 ± 0,26 83,18
0,12 ± 0,10 83,18
0,04 ± 0,04 83,18
6,82 ± 5,67 83,18
R6 KK (%)
3,29 ± 0,99 29,96
0,28 ± 0,12 42,26
0,14 ± 0,06 42,26
0,05 ± 0,02 42,26
7,57 ± 3,20 42,26
Lampiran 3. Rataan Kecernaan ZM Perlakuan R0 KK (%)
KcBK (%) 91,68 ± 1,24 1,35
KcBO(%) 94,60 ± 0,80 0,85
KcPK(%) 92,30 ± 1,14 1,24
KcEnrgi (%) 93,62 ± 0,95 1,01
R1 KK (%)
89,56 ± 1,44 1,60
95,38 ± 0,64 0,67
93,57 ± 0,88 0,94
94,61 ± 0,74 0,78
R2 KK (%)
93,34 ± 1,70 1,82
97,20 ± 0,71 0,73
95,92 ± 1,04 1,08
96,36 ± 0,93 0,96
R3 KK (%)
70,72 ± 45,84 64,82
87,60 ± 19,41 22,16
80,19 ± 31,01 38,67
82,79 ± 26,95 32,55
R4 KK (%)
89,04 ± 2,19 2,46
94,07 ± 1,19 1.26
91,63 ± 1,68 1,83
92,31 ± 1,54 1,67
R5 KK (%)
80,53 ± 22,85 28,37
92,50 ± 8,81 9,52
89,16 ± 12,72 14,26
90,60 ± 11,03 12,17
R6 KK (%)
82,28 ± 5,90 7,17
90,78 ± 3,07 3,38
88,04 ± 3,98 4,53
89,81 ± 3,40 3,78
Lampiran 4. Rataan PBB mencit Lama hidup (minggu) 6
Perlakuan
n
BB awal (g/e)
BB akhir (g/e)
PBB (g/e/hr)
R0 KK (%)
5
24,80 ± 3,70 14,92
32,60 ± 10,69 32,79
0,19 ± 0,19 100,70
R1 KK (%)
1
22,80 ± 4,15 18,19
13,20 ± 2,49 18,86
-0,47 ± 0,17 -35,99
5
R2 KK (%)
1
22,60 ± 3,13 13,85
13,40 ± 2,30 17,18
-0,43 ± 0,21 -49,53
6
R3 KK (%)
1
19,60 ± 7,77 39,62
14,20 ± 4,66 32,81
-0,45 ± 0,30 -66,56
6
R4 KK (%)
1
26,00 ± 5,52 21,24
20,00 ± 5,57 27,84
-0,44 ± 0,45 -103,11
6
R5 KK (%)
3
21,40 ± 4,39 20,53
14,40 ± 1,67 11,62
-0,48 ± 0,29 -60,71
3
R6 KK (%)
1
22,20 ± 4,92 22,16
14,40 ± 2,88 20,01
-0,54 ± 0,26 -49,23
6
Lampiran 5. Rataan Efisiensi ransum mencit Perlakuan
n
PBB (g/e/hr)
R0 KK (%)
5
0,19 ± 0,19 100,70
Konsumsi BK (g/e/hr) 3,60 ± 0,64 17,89
R1 KK (%)
1
-0,47 ± 0,17 -35,99
1,34 ± 0,26 19,40
-35,58 ± 12,25 -34,44
5
R2 KK (%)
1
-0,43 ± 0,21 -49,53
1,87 ± 0,28 14,99
-22,58 ± 8,93 -39,56
6
R3 KK (%)
1
-0,45 ± 0,30 -66,56
1,49 ± 1,01 67,71
-38,16 ± 31,65 -82,96
6
R4 KK (%)
1
-0,44 ± 0,45 -103,11
2,50 ± 0,91 36,31
-32,00 ± 52,64 -164,48
6
R5 KK (%)
3
-0,48 ± 0,29 -60,71
2,05 ± 0,96 46,71
-25,10 ± 13,00 -51,81
3
R6 KK (%)
1
-0,54 ± 0,26 -49,23
1,64 ± 0,47 28,90
-35,26 ± 16,55 -46,94
6
Efisiensi harian 4,68 ± 4,27 91,12
Lama hidup (minggu) 6
Lampiran 6. Mortalitas mencit Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4 R5 R6
1 0 0 0 40 20 0 20
2 0 0 0 20 0 40 40
% Mortalitas minggu 3 4 0 0 40 40 40 20 20 0 0 60 60 0 20 0
Total (%) 5 0 20 20 0 0 0 0
6 0 0 20 0 0 0 0
0 100 100 80 80 100 80