daftar isi
Perempuan Bergerak Edisi III Juli-September 2011
warta perempuan Anggaran Responsif Gender: Implementasi Setengah Hati
14
warta komunitas Anggaran Responsif Gender di Desa Pasrujambe?
14
sosok Ermy Sri Ardhyanti: Anggaran Harus Mencerminkan Pemenuhan Kebutuhan Perempuan!
16
bedah film Anak Negeri Yang Terbengkalai rembug perempuan APBN atau APBD untuk Siapa?
3
fokus utama Perempuan dan Anggaran Negara
4
opini Anggaran Responsif Gender: Jalan Panjang Menuju Kesetaraan
7
perspektif Refleksi 11 Tahun Penerapan Anggaran Responsif Gender: Jangan Maknai Anggaran dengan Netral gender
9
perspektif Komitmen Negara Lemah dalam Penganggaran
10
18
bedah buku
20 Apakah Ada Anggaran Berkeadilan Gender di Indonesia?
puisi
22 pojok kata 23 Anggaran 23 Alokasi Anggaran 23 Anggaran Responsif Gender (ARG) 23 Pengarusutamaan Gender (PUG) 23 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 23 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 23 Pendapatan Asli Daerah (PAD) 23 Dana Alokasi Umum (DAU) 23 Dana Alokasi Khusus (DAK)
Perempuan Bergerak Penanggung Jawab: Rena Herdiyani Pemimpin Redaksi: Hegel Terome Redaktur Pelaksana: Joko Sulistyo Dewan Redaksi: Naning Ratningsih, Listyowati, Nani Ekawaty, Rakhmayuni, Ika Agustina, Enita Multina Desain visual: Joko Sulistyo Distribusi : Enita Multina Perempuan Bergerak merupakan media yang memuat pandangan-pandangan yang membangun kesadaran kritis kaum perempuan di seluruh Indonesia sehingga memberdayakan dan menguatkan mereka. Kekuatan bersama kaum perempuan yang terbangunkan itu merupakan sendi-sendi penting terdorongnya gerakan perempuan dan sosial umumnya untuk menuju masyarakat yang demokratis, setara, tidak diskriminatif dan tidak subordinatif. Redaksi menerima kritik, saran dan sumbangan berupa surat pembaca, artikel dan foto jurnalistik. Naskah, artikel dan foto jurnalistik yang diterima redaksi adalah yang tidak anti demokrasi, anti kerakyatan, diskriminatif dan bias gender. Naskah tulis diketik pada kertas A4, spasi satu, huruf Arial 12, maksimal 3 halaman dalam bentuk file atau print-out. Alamat Redaksi dan Iklan: Jl.Kaca Jendela II No.9 Rawajati-Kalibata, Jakarta Selatan 12750. Telp: 021-7902109; Fax: 021-7902112; Email :
[email protected]; Website : www.kalyanamitra.or.id Untuk berlangganan Perempuan Bergerak secara rutin, kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Redaksi menerima sumbangan pengganti biaya cetak Rp. 10.000,- dan biaya pengiriman di rekening sesuai kota tujuan. Transfer ke Rekening Bank Bukopin Kantor Kas Plaza Kalibata, No. Rekening 4206200202 a/n. Yayasan Kalyanamitra.
2
Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli - September 2011
Dalam proses penganggaran, kita kenal sebuah istilah Anggaran Responsif Gender (ARG). Anggaran yang mengakomodasi kepentingan perempuan dan laki-laki dalam memperoleh akses, manfaat, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan mengontrol terhadap sumber-sumber daya serta kesetaraan terhadap kesempatan dan peluang dalam memilih dan menikmati hasil pembangunan bangsa. Berbagai kebijakan diterbitkan untuk mendorong implementasi Anggaran Responsif Gender, misalnya Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan PUG Dalam Pembangunan, Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah, Perpres No. 21 Tahun 2009 tentang Rencana Kerja pemerintah (RKP) Tahun 2010, dan lainnya. Dasar kebijakan anggaran itu ialah bagaimana arah dan kebijakan tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) berjalan optimal, mencapai sasaran yang tepat dengan strategi pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan masalah laki-laki dan perempuan kedalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi seluruh kebijakan, program dari berbagai bidang kehidupan dan pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah. Namun kebijakan itu cenderung mengabaikan kebutuhan perempuan. Dalam banyak hal, malah meningkatkan ketimpangan gender. Secara umum, saat ini wajah APBN/APBD di berbagai kota/kabupaten belum menunjukan keberpihakan pada rakyat umumnya, khususnya perempuan dan anak-anak. Hal ini terbukti dengan minimnya alokasi untuk masyarakat (perempuan) dibandingkan alokasi untuk belanja birokrasi untuk eksekutif, yudikatif dan legislatif. Selama ini, formalnya proses perencanaan yang partisipatif akan melibatkan masyarakat, mulai dari tingkat kelurahan sampai tingkat kota/kabupaten. Dalam realitasnya, proses-proses tersebut hanya topeng karena tingkat akomodasi usulan masyarakat di APBN/APBD sangat minim dan menindas. Buletin Perempuan Bergerak edisi kali ini mengupas bagaimana politik anggaran APBN/APBD yang dikerjakan Pemerintah dan DPR/DPRD dirancang untuk kesejahteraan rakyat? Semoga terbitan ini membuka kesadaran bagi kita semua! Selamat membaca!
rembug perempuan
APBN atau APBD untuk Siapa?
Jakarta, 26 September 2011
Joko Sulistyo Redaktur Pelaksana
Edisi III | Juli - September 2011 |
Perempuan Bergerak
3
fokus utama 4
Perempuan dan Anggaran Negara
A
pa pentingnya kita membahas masalah perempuan dan anggaran? Apa kegayutannya? Pertanyaan ini akan sangat relevan manakala kita menyadari banyak orang alpa dalam menyikapi secara serius hal tersebut. Apalagi di kalangan orang awam atau masyarakat umum, miskin, dan tak mempunyai akses terhadap pendidikan dan wacana yang kritikal di seputar masalah itu. Tentu hal ini tidak akan menjadi perhatian pokok mereka, oleh karena berbagai hambatan dan tantangan yang dialami. Kita ketahui terang benderang bahwa negara Indonesia sejak lama sudah menandatangani berbagai kesepatan internasional, yang berkaitan dengan upaya peningkatan kesetaraan dan keadilan gender, seperti CEDAW, Beijing Platform for Action, MDGs, dan lainnya. Dengan meratifikasi berbagai kesepakatan itu, maka negara dan pemerintah Indonesia secara hukum internasional terikat kewajiban untuk melaksanakannya secara konsekuen, konsisten, dan bertanggungjawab. Negara Indonesia akan menerima sanksi atas ketidak-patuhan dan pengabaian terhadap keputusan yang disepakati itu. Selain demikian, di dalam negeri Negara kita juga sudah membuat banyak kebijakan dan perundang-undangan yang mendorong perlindungan terhadap perempuan. Namun demikian, dalam kenyataannya, peluang keadilan gender dan distribusi kesempatan bagi kalangan perempuan di Indonesia tidak berjalan maksimal. Ketimpangan dan penindasan serta diskriminasi terhadap perempuan terus berlangsung di ranah publik dan domestik serta dalam dimensi individual maupun kolektif.
Perempuan Bergerak |
Edisi III | Juli - September 2011
Apabila kita mencermati besaran APBN Indonesia tahun 2011, yang mencapai Rp 1345 trilyun, maka tampak bahwa belanja negara begitu besar. Belanja untuk birokrasi dan politisi sangat mubazir. Sementara subsidi negara untuk pangan, pendidikan, kesehatan, dan lainnya, tampak sangat kecil. Aspek belanja yang besar menimbulkan kecurigaan terbukanya ruang korupsi dalam birokrasi dan politisi. Kita ketahui bahwa di sisi subsidi itulah bergantung nasib dan hidup ratusan juta rakyat kelas menengah dan bawah, terutama perempuan. Kaum perempuan menempati porsi terbesar angka kebutuhan subsidi yang ada, karena mereka adalah kelompok masyarakat miskin yang mengiris tajam semua strata sosial yang ada. Dengan sendirinya, mereka akan menjadi potret kemiskinan Indonesia yang mencuat. Anggaran negara sesungguhnya tidak bebas kepentingan kelas. Anggaran negara yang merefleksikan tingkat perkembangan sosial ekonomis dan politik yang terjadi jelas milik rejim penguasa. Kaum pengusaha dan penguasa yang lebih menikmati anggaran Negara yang diciptakan, yang setiap tahun secara politis dan legal disahkan oleh DPR. Kesahan politis dan legal itu adalah sistem yang mengabdi kepada kelas penguasa dan pengusaha. Dalam sistem kenegaraan yang tidak merdeka 100 persen secara politis dan ekonomis ini, maka pengabaian terhadap eksistensi perempuan di dalam RAPBN/RAPBD menjadi hal biasa. Para politisi, pemerintah, dan ekonom yang patriarkhal akan terus mempraktikan penganggaran yang tidak adil gender dan eksploitatif. Perspektif anggaran
mereka sangatlah picik, dangkal, dan diskriminatif. Anggaran negara sebagai kebijakan penguasa yang merefleksikan tingkat perkembangan sosial ekonomi dan politik yang ada adalah area vital yang harus diperhatikan sungguh-sungguh oleh masyarakat dan kalangan perempuan, khususnya. Mereka harus jeli dan kritis menyimak proses RAPBN/RAPBD itu sendiri mulai awal sampai akhir, karena hal itu menyangkut jaminan kehidupan mereka dalam berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, proses anggaran di DPR/DPRD bukanlah wilayah yang transparan untuk diawasi oleh masyarakat umum apalagi oleh perempuan. Kerap proses rapat-rapat dan pembahasannya tidak terbuka bagi rakyat atau konstituen untuk menyaksikannya, karena aturan dan undang-undang melindungi mereka. Dengan makin tidak jelasnya perspektif para birokarasi dan kaum politisi di DPR/DPRD terhadap anggaran, maka wajar praktik-praktik kolutif, nepotis, dan koruptif merajalela di kalangan birokrasi dan politisi sejak Orde Baru berkuasa tahun 1966 hingga Orde SBY tahun 2011. Jika kita menghitung besaran uang rakyat yang dicuri atau dikorup sejak rejim Orba hingga rejim SBY, maka dapat mencapai puluhan ribu trilyunan rupiah. Mari kita hitung kerugian yang kita alami akibat praktik keji rejim tersebut. Misalnya, jumlah penduduk Indonesia sekarang 240 juta jiwa, atau sekitar 40 juta kepala keluarga. Bila dari 40 juta KK itu kita ambil sekitar 39 juta KK (karena kelas menengah dan atas mencapai 1 juta KK) dan tiap KK kita berikan asuransi sosial sekitar Rp 1 milyar, maka negara hanya memerlukan dana sekitar Rp 39.000 trilyun. Kalau setiap tahun negara dapat menyimpan dananya sebesar Rp 1000 trilyun, maka dalam waktu 66 tahun kemerdekaan kita, dapat dihasilkan Rp 66.000 trilyun. Betapa fantastisnya angka ini! Betapa makmurnya kita! Apakah demikian logika anggaran yang dibangun oleh rejim penguasa?
Oleh karenanya, anggaran sebagai jantung keberlangsungan kehidupan sosial kita harus dikawal ketat oleh masyarakat dan kaum perempuan Indonesia. Upaya-upaya keras dan berani mati harus dilakukan untuk memaksa negara konsisten dengan semua kesepakatan internasional yang ia tandatangani untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender. Komitmen-komitmen itu harus tercermin pula dalam perombakan cara-cara berpikir dan bertindak aparat negara dan kalangan politisi partai yang patriarkhal dan korup, padahal mereka memegang kewenangan menangani anggaran negara. Presiden dan para pembantunya; departemen dan sektor-sektor di dalamnya, dan birokrasi-birokrasi mulai tingkat pusat sampai daerah harus menjalankan kebijakan anggaran yang pro rakyat dan pro perempuan. Kontrol yang ketat, mekanisme yang tegas, dan sanksi hukum yang berat harus dikenakan kepada mereka agar kepastian proses anggaran berjalan optimal. Yang terpenting, alokasi anggaran harus diprioritaskan untuk layanan publik yang maksimal, murah, bermutu seperti pendidikan, pangan, perumahan, lapangan kerja, dan lainnya, yang di dalamnya menyerap aspirasi dan kebutuhan ratusan juta perempuan di seluruh Indonesia.
Ekonomi Makro Neoliberal yang Eksploitatif Ekonomi Indonesia sangat berorientasi pasar dominan yang sangat menekankan aspek fiskal alias pasar modal. Ukuran-ukuran pertumbuhan pasar modal alias bursa-bursa saham dijadikan patokan untuk mengukur laju perkembangan ekonomi riil. Kesimpulannya ialah angka kemiskinan menurun, pangan membaik, pendapatan meningkat, dan seterusnya. Padahal dalam kehidupan ekonomi sehari-hari, angka kemiskinan terus meroket, pangan memburuk, kesehatan rakyat makin parah, dan seterusnya. Kerangka Edisi III | Juli - September 2011 |
Perempuan Bergerak
5
berpikir ekonomi makro tersebut sangatlah naïf dan cenderung mendehumanisasi serta memelaratkan orang Indonesia. Ekonomi makro hanyalah milik kaum kaya dan rejim kapitalis yang memperdagangkan modalnya di pasar-pasar dalam negeri dan internasional agar negara-negara membelinya, dengan memakai anggaran milik rakyat. Rakyat tidak memiliki kuasa atas anggaran itu, karena kaum kaya dan rejim berkuasa tak punya niat baik untuk membangun rakyat jelata di Indonesia. Oleh karena itu, rakyat jelata harus bersatu padu menyatukan semangat dan perjuangannya melawan segala bentuk eksploitasi ekonomi makro neoliberal, yang sekarang sangat disembahsembah oleh rejim penguasa Indonesia. Ekonomi ini pula yang menjadi asal mula dan biang kesengsaraan dan kemiskinan rakyat kita dan perempuan Indonesia.
Ekonomi Mikro yang Pro Rakyat Di tengah arus gila pasar dominan neoliberal, Indonesia harus memilih jalan membangun ekonomi mikro yang solid dan pro rakyat. Ekonomi mikro pro rakyat yang kuat akan mampu menggerakkan lokomotif produksi nasional, yang ikutannya berdampak sangat luas. Produksi nasional yang maju, meluas dan berkembang akan menyediakan pasar kerja yang subur bagi rakyat, sehingga partisipasi meningkat. Produksi nasional yang maju dan bermutu akan menjadi keunggulan komparatif di dalam dan di luar negeri. Potensi unggul rakyat dapat dimaksimalkan dan produksi dapat diserap pasar domestik yang makin kondusif. Apalagi bila mesin ekonomi rakyat ini berlari kencang, maka gerbong ekonomi nasional akan mampu berjajar di pasar neoliberal. Kebangunan ekonomi mikro pro rakyat dapat memuka jalan menuju kesejahteraan rakyat yang berkualitas, demikian juga keadilan sosial bagi perempuan.
Ekonomi Perempuan yang Feminis Kegagalan ekonomi makro neoliberal hendaknya menjadi cermin bagi negara untuk memperbaiki sistem tersebut. Orientasi ekonomi pada pasar modal memperlihatkan sistem ekonomi Indonesia yang kapitalistik. Negara secara disengaja melanggar tujuan berbangsa dan bernegara yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Ekonomi mikro pro rakyatlah yang harus dikembangkan, bukan ekonomi pasar modal. Paradigma ekonomi kita haruslah ekonomi Pancasila, bukan neoliberalis. Dengan berpegang teguh pada UUD 1945, maka peningkatan kesetaraan dan keadilan gender dapat diwujudnyatakan oleh negara dan didukung oleh
6
Perempuan Bergerak |
Edisi III | Juli - September 2011
masyarakat. Demikian pula dalam proses anggaran negara, apabila kita berpijak pada ekonomi konstitusi, maka ekonomi perempuan yang feminis akan memperoleh tempatnya yang nyata dan sentra. Ekonomi perempuan yang feminis akan menjadi soko guru ekonomi nasional yang kuat dan menentukan. Dengan demikian, anggaran yang adil gender akan dapat dilaksanakan secara optimal dan berkontribusi besar bagi kemakmuran perempuan.
Mengapa Gender budget? Prakarsa ini sudah lama dikenal sebagai perangkat analisis yang penting dalam menjelas kesenjangan antara komitmen negara dengan proses anggaran yang dilakukannya. Gender budget penting untuk mengatasi ketidakadilan dalam alokasi anggaran yang setara dan adil antara kebutuhan perempuan dan laki-laki di wilayah publik. Dengan sarana ini, suara dan kepentingan kemajuan perempuan dapat disalurkan. Sebagai kelompok marjinal, perempuan memperoleh wahana bagi penyelesaian kepentingannya melalui partisipasi dalam mengalokasi anggaran. Di Indonesia, masalah gender budget belum menjadi masalah maha penting, yang menjadi pokok perhatian serius aparat negara dan para politisi. Mereka menganggap hal itu tidak perlu dipikirkan apalagi dilaksanakan secara konsekuen. Hal itu karena mereka tidak paham teori dan konsepnya, serta tidak tahu manfaatnya bagi kemajuan suatu negara. Sebagian besar aparat negara dan politisi kita tidak paham apa itu gender budget dan bagaimana melaksanakan, memonitoring, dan mengevaluasinya. Untuk dapat memahaminya, maka wawasan dan perilaku adil gender harus ada di aparat negara dan kalangan politisi. Kepekaan saja tidaklah cukup untuk memaksimal kinerja gender budget, maka perubahan perilaku yang adil gender secara mendasar sangat dibutuhkan. Peran pendidikan yang intensif bagi aparat negara dan para politisi diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam menyelenggarakan anggaran adil gender. Manfaat lain gender budget ialah terjawabnya persoalan dalam mengatasi kesenjangan alokasi dan penikmatan anggaran oleh perempuan, meningkatkan efisiensi ekonomi yang berdampak pada kesejahteraan mereka, peningkatan transparansi dan akuntabilitas negara. Korupsi akan berkurang karena negara diawasi rakyatnya secara ketat dan menghukum aparatnya yang mencuri uang rakyat dengan hukuman maksimal. *****(HG)
opini
Anggaran Responsif Gender: Jalan Panjang Menuju Kesetaraan Oleh: Sofia Kartika*) “Jadi, begini bu, kita ini sudah bosen ngomong anggaran responsif gender. Kalau kita sudah melakukan ini, terus ada apa lagi?” Seorang ibu dari salah satu SKPD di salah satu provinsi mengemukakan pendapat dan pertanyaannya mengenai pelaksanaan anggaran responsif gender, yang dirasanya terlalu banyak diskusi dan koordinasi, di sisi lain, si ibu merasa sudah melakukan apa itu yang dinamakan anggaran responsif gender. Lalu apa? Dan ini diamini oleh peserta yang lain.
Pemahaman yang mengganjal “Lalu apa?” adalah rangkaian kata yang membuat saya bingung. Kenapa muncul pertanyaan seperti itu? Tidakkah anggaran responsif gender adalah pekerjaan yang berkesinambungan? Bukankah tujuan akhirnya adalah kesetaraan gender? Bukankah ARG hanyalah salah satu cara dari sekian ribu cara untuk mencapai kesetaraan gender? Pertanyaan ini sering muncul karena didasarkan atas pemahaman yang tidak utuh terhadap anggaran responsif gender, yang dianggap sebagai bagian tersendiri dari pekerjaan-pekerjaan rutin SKPD yang melakukan perencanaan, pengganggaran, pelaksanaan sampai monitoring dan evaluasi pembangunan. Pemahaman yang belum menyeluruh ini meliputi tentang gender itu sendiri dan kesenjangan gender yang terjadi dalam pembangunan, hingga tahap analisis gender dan bagaimana mengoperasionalkan gender dalam kegiatan pembangunan. “Memang, kami akui pemahaman yang beragam
mengenai gender itu masih minim, baik di tingkat pengambil kebijakan sampai di tingkat perencana dan pelaksana teknis” Fakta itu diungkapkan salah satu stakeholder pelak-
sana ARG dalam diskusi urgensi pelaksanaan PPRG (Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender) di daerah, beberapa waktu lalu. Pemahaman yang minim memang mengganjal pelaksanaan ARG baik di tingkat nasional maupun provinsi/kabupaten/kota, terutama di tingkat provinsi/kabupaten/kota masih memerlukan
perhatian yang sangat intens, sehingga dipahami bersama, bahwa pekerjaan terkait dengan ARG adalah terintegrasi di siklus pembangunan. Pemahaman mengenai ARG ini menjadi salah satu tantangan yang dicermati, SKPD (dalam hal ini, konteksnya anggaran di tingkat daerah) sebagai pemilik kuasa aggaran harus melihat tahapan pada siklus pembangunan, bahwa ARG terintegrasi di dalamnya, bukan sesuatu yang berjalan sendiri. Lalu apa? Lalu, setelah semuanya melembaga, SKPD harus memastikan apakah kegiatan pembangunannya yang sudah ‘dicap’ ARG tersebut memberikan kontribusi terhadap kesetaraan gender, MDGs, RPJMN atau tidak? Yang kesemuanya diupayakan ada dokumentasinya mulai dari proses perencanaan sampai montoring dan evaluasi.
Kebutuhan Praktis-Strategis Perempuan “ Anggaran kami memang sudah mengalokasikan untuk pemberdayaan perempuan, apalagi? “ adalah pernyataan yang kerap didengar akibat pemahaman akan ARG yang belum menyeluruh. Dalam kategori anggaran responsif gender, terdapat tiga kategori: spesifik perempuan (pemberdayaan perempuan), mengurangi kesenjangan gender (kegiatan-kegiatan strategis) dan pelembagaan PUG (yang sifatnya peningkatan kapasitas). Fakta yang selalu ditemui, banyak yang memiliki konsentrasi pada anggaran pemberdayaan perempuan meskipun ini tidak salah, tetapi harus diingat komposisi anggaran untuk kegiatan pemberdayaan perempuan biasanya kecil dibandingkan kegiatan strategis yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan. Contohnya, pemberdayaan ekonomi untuk kelompok perempuan anggarannya Rp 50 juta, sedangkan anggaran strategis seperti perbaikan infrastruktur kesehatan mencapai milyaran rupiah. Hal ini memiliki pengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan praktis perempuan (memang masih diperlukan sebagai tindakan afirmatif ), tetapi kebutuhan strategis perempuan terkadang kurang menjadi perhatian, padahal kebutuhan tersebut memiliki efek jangka panjang dalam peningkatan kualitas Edisi III | Juli - September 2011 |
Perempuan Bergerak
7
hidup perempuan dan berkontribusi atas upaya meminimalisir kesenjangan gender. Dalam tataran akses, partisipasi, kontrol dan manfaat--akan lebih mudah dilihat bahwa kegiatan-kegiatan yang terkategori anggaran responsif gender sampai saat ini masih di tataran peningkatan akses dan partisipasi perempuan dalam pembangunan (dalam bentuk pelatihan, akses berkelompok, pemasaran dan lainnya), tetapi jika dilihat lebih dalam, di tataran kontrol dan manfaat belum terlihat dampaknya--misalnya di kegiatan pemberdayaan ekonomi untuk perempuan. Dinas Koperasi belum bisa melihat apakah dalam memutuskan penggunaan pinjaman sudah ada pergeseran relasi antara perempuan dan laki-laki dalam pengambilan keputusan? Apakah laba yang diperoleh dipergunakan untuk dan berapa yang digunakan bagi kebutuhan spesifik perempuan (terkait kesehatan reproduksi) dibandingkan dengan kebutuhan keluarga?
ARG dan Partisipasi Perempuan Anggaran responsif gender muncul sebagai salah satu jawaban untuk mengurangi kesenjangan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat antara perempuan dan laki-laki dalam pembangunan. Proses dalam menjalankan ARG, idealnya dilaksanakan sejak awal, yakni dari proses perencanaan (musrenbang). Peran ini kadang tidak terlihat, tertutup dengan perbincangan bagaimana SKPD melakukan proses ARG dalam dokumen penganggaran. Padahal, dokumen penganggaran tidak akan muncul serta merta jika tidak ada perencanaan yang diawali dengan musrenbang. Musrenbang adalah langkah awal yang penting untuk mengawal kebutuhan spesifik perempuan dan laki-laki. Namun, dinamika politik anggaran di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sering melemahkan kebutuhan prioritas perempuan dan laki-laki yang muncul saat musrenbang. Kondisi ini perlu dipertimbangkan bahwa perempuan sebagai penerima manfaat perlu informasi bagaimana mengawal kebutuhannya sampai di musrenbang kabupaten. Bagaimanakah caranya? Sejauh ini di beberapa kabupaten, cara yang berhasil adalah mendampingi dan memperkenalkan perempuan penerima manfaat kepada SKPD (yang sektornya terkait dengan kebutuhan perempuan) dan kepada anggota legislatif yang bekerja atas nama wilayah penerima manfaat. Upaya pemahaman lain yang kini banyak dikem-
8
Perempuan Bergerak |
Edisi III | Juli - September 2011
bangkan adalah mendampingi perempuan dan laki-laki penerima manfaat dalam membaca anggaran--mereka dikuatkan untuk dapat melihat berapa komposisi anggaran yang diperuntukkan untuk pelayanan publik, dan kemudian dipahamkan dengan cara-cara advokasi melalui kelompok masyarakat sipil, sehingga secara tidak langsung fungsi pengawasan anggaran juga sedang dijalankan.
Penguatan ARG
Komitmen
dan
Keberlanjutan
Komitmen pimpinan daerah yang ditindaklanjuti oleh Bappeda dan Badan/Biro Pemberdayaan Perempuan adalah salah satu kunci untuk menjaga keberlanjutan pelaksanaan ARG. Selain itu, dibutuhkan unsur-unsur penggerak sesuai mandat Permendagri 15 tahun 2008, yakni Bappeda dan Badan/ Biro Pemberdayaan Perempuan yang dinamis dan memiliki daya juang tinggi. Pengintegrasian ARG dalam siklus pembangunan daerah menjadi penting untuk dipahami, tidak hanya oleh SKPD tetapi juga masyarakat sipil, yang sebenarnya memiliki peran yang cukup besar dalam dinamika pelaksanaan ARG di daerah. Monitoring dan evaluasi adalah hal yang perlu dilakukan, sehingga proses pelaksanaan ARG terpantau baik oleh pemerintah maupun masyarakat sipil (termasuk penerima manfaat). Kelemahan dalam pelaksanaan monev ARG adalah dokumentasi terhadap proses pelaksanaannya, sehingga banyak daerah yang mengklaim bahwa sudah melakukan ARG, tetapi tidak dapat memberikan dokumentasi, misalnya terkait kegiatan dan jumlah anggaran yang sudah dialokasikan di tiga kategori yang disebutkan, melihat kontribusi dalam pencapaian MDGs maupun indikator kinerja pembangunan yang lain. Hal ini membuat ARG terkesan tidak ada ujungnya. Padahal, dengan dokumentasi dalam proses pelaksanaan (mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, monev) dapat menjadi acuan dalam upaya replikasi di daerah lain atau di sektor lain. Dan tentu, mendorong ARG menjadi satu upaya yang berkelanjutan dalam memacu kesetaraan dan keadilan gender. ----------*) Sofia Kartika, pegiat isu Gender dan Pembangunan, saat bekerja untuk program “ Building Better Budget for Women and the Poor ” TAF-Pattiro, Jakarta.
Jangan Maknai Anggaran dengan Netral Gender Oleh: Ika Wahyu Priaryani*)
P
encanangan perencanaan anggaran responsif gender telah diamanahkan sejak tahun 2000. Sebelas tahun sudah kemeterian dan lembaga negara begitu juga satuan kerja perangkat daerah hingga kabupaten menerapkannya. Bahkan pada tahun 2008 ditambah pula dengan peraturan Kemenkeu tentang GBS (Gender Budget Statement) yang mensyaratkan adanya analisis gender dalam setiap rancangan kegiatan yang menggunakan anggaran negara. Intinya telah banyak aturan dan kebijakan yang mensyaratkan responsif gender dalam penganggaran. Namun bagaimana wajah sebelas tahun penerapan anggaran responsif gender di Indonesia? Mari kita lihat terlebih dahulu bagaimana bunyi dari inpres no 9 tahun 2000 yang memuat tentang ARG, pada bagian yang menjadi instruksi pertaman yakni “Melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan,dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing”. Sayangnya, keluarnya instruksi presiden itu tidak disertai merata dan meluasnya pemahaman tentang konsep gender kalangan pengambil keputusan, pemerintahan baik di tingkat pusat maupun kabupaten. Kementerian Pemberdayaan Perempuan yang ditunjuk sebagai tim teknis menjadi lembaga yang mengasistensi untuk penerapan PUG ini pun mungkin bisa dipertanyakan pemahamannya. Selama memahami gender sebagai hal yang netral, tidak akan ada anggaran responsif gender. Kenetralan atau kebutaan gender ini bersifat maskulin dan tentu saja hanya akan memperkuat patriarkhi. Mari kita lihat bagaimana pendefinisian umum tentang PUG, yakni Merupakan strategi untuk menjamin bahwa seluruh proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi dari seluruh kebijakan, program dan proyek di seluruh sektor pembangunan telah memperhitungkan dimensi / aspek gender yaitu melihat laki-laki dan perem-
saya cetak tebal, saya mengajak pembaca untuk merenungkan dan melihat lagi realitas yang ada, apakah memang realitas ini yang terjadi dalam dunia dengan dominasi patriarkhi saat ini? Jelas sudah yang menjadi hambatan dalam penerapan ARG ini adalah minimnya pemahaman dan juga sensitivitas gender dari para pembuat anggaran. Anggaran dianggap sebagai sesuatu yang netral. Dimana dalam pandangan kaum feminis, netral gender ini diterjemahkan menjadi buta gender. Dengan membawa dan mengedepankan jargon keadilan dan kesetaraan kebutuhan laki-laki dan perempuan dianggap sama dan setara, sehingga dimaknai netral, tidak berpihak. Saya berpendapat, tidak ada sesuatu yang netral, bahkan ilmu pengetahuan sekalipun, apalagi dalam perencanaan ataupun pengalokasian anggaran. Dengung akan pengarusutamaan gender yang melihat kebutuhan yang sama akan laki-laki dan perempuan adalah pemahaman yang buta gender. Akhirnya, bisa dilihat banyak kegiatan dan program kementarian/lembaga paling konkrit baik dari pusat hingga daerah dengan tersedianya data pilah laki-laki dan perempuan dalam semua bidang. Dalam makna dan esensi sebenarnya tentunya bukan itu yang diharapkan dari anggaran responsif gender.****
perspektif
Refleksi 11 Tahun Penerapan Anggaran Responsif Gender:
*)Ika Wahyu Priaryani saat ini bekerja di Women Research Institute (WRI)
puan sebagai pelaku (subyek dan obyek) yang setara dalam akses, partisipasi dan kontrol atas pembangunan serta dalam memanfatkan hasil pembangunan . Dalam kalimat yang sengaja
Edisi III | Juli - September 2011 |
Perempuan Bergerak
9
perspektif
Komitmen Politik Negara Lemah dalam Penganggaran
S
alah satu persoalan dalam penerapan Anggaran Responsif Gender di Indonesia ialah komitmen politik dari negara sangat lemah, terutama di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebagai perencana pembangunan, dan Departemen Keuangan sebagai pengendali fiskal negara. Mengapa hal tersebut terjadi dan apa yang harus diperhatikan agar Anggaran Responsif Gender dapat terlaksana? Dalam perspektif ini ditampilkan hasil wawancara dengan Eva Kusuma Sundari , anggota DPR RI Komisi III, Fraksi PDIP.
Mengapa perlu Anggaran Responsif Gender? Anggaran responsif gender adalah anggaran yang responsif terhadap kebutuhan laki-laki dan perempuan serta memberi manfaat kepada lakilaki dan perempuan secara setara. Anggaran ini perlu karena ada kesenjangan antara laki-laki dan perempuan terhadap akses, partisipasi, kontrol dan manfaat pembangunan dalam berbagai bidang. Perencanaan dan penganggaran responsif gender bertujuan mewujudkan anggaran yang berkeadilan dan bukan proses yang terpisah dari sistem yang sudah ada, dan bukan pula penyusunan rencana dan anggaran khusus untuk perempuan yang terpisah dari laki-laki. Karena merujuk pada kebutuhan spesifik individu, maka anggaran tersebut dapat dipakai untuk merespon kebutuhan anak, orang cacat, petani, petambang bahkan penduduk perkotaan dan pedesaan, termasuk untuk merespon masalah regional dan kesenjangan ekonomi sektoral.
Menurut anda sudahkan anggaran kita responsif gender? Belum, karena dasar pemahaman gender dan adil gender umumnya belum dimiliki penganggar. Anggaran responsif gender masih sebatas katakata, karena faktanya gender gap makin melebar sejak tahun 2004. Lihatlah angka Human Development Index kita yang menurun, termasuk Gross Domestic Product dan Gender Empowerment Measure (GEM).
10
Perempuan Bergerak |
Edisi III | Juli - September 2011
Eva Kusuma Sundari
Persoalan apa yang dihadapi dalam penerapan anggaran responsif gender di Indonesia? Ada problem komitmen politik dari negara dalam penganggaran yang lemah, utamanya Bappenas sebagai perencana pembangunan nasional dan Departemen Keuangan sebagai pengendali fiskal Negara. Hal ini merupakan akibat kegagalan Kementerian Negara Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA) yang harus menjadi lokomotif pelaksanaan pengarusutamaan gender (PUG) dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan negara. KPP&PA tidak mempunyai strategi dan sumberdaya yang mumpuni untuk mengintervensi mainstream kedua lembaga vital tersebut, termasuk di kementerian dan lembaga negara lainnya. Hal ini kontras dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan Australia yang sukses dengan Women Budgetnya (5%) maupun Kementerian Pemberdayaan Perempuan Filipina yang sukses dengan GRAnya.
Apa saja yang perlu diperhatikan dalam alokasi anggaran responsif gender? Anggaran responsif gender bermula dari penganggaran dan perencanaan yang responsif gender. Terlebih dahulu harus (1) paham konsep gender, (2) konsep dan persyaratan penyusunan anggaran responsif/berkeadilan gender, (3) memahami dasar hukum keadilan dan kesetaraan gender, (4) memahami hak keterlibatan dalam proses penyusunan anggaran
mulai dari perencanaan, pelaksanaa, dan monitoring evaluasi, (5) memahami siklus pengelolaan keuangan daerah/pusat.
Bagaimana praktiknya dalam kebijakan anggaran baik di pusat maupun daerah? Apa saja yang menjadi penanda kondisi ini? Umumnya, pemerintah pusat dan daerah merasa sudah menjalankan kewajibannya menyisihkan anggaran untuk pemberdayaan perempuan karena telah menganggarkan kegiatan seperti PKK, Majlis ta’lim, dsb. Namun komponen itu sangat jauh dari upaya mencapai keadilan gender di masyarakat. Penanda dapat mudah dilihat atau juga lebih rumit. Ada beberapa penanda yang umum menjadi rujukan, seperti tingkat kematian ibu pasca melahirkan, tingkat angka melek huruf perempuan, gender development index. Penanda yang lebih rumit antara lain bagaimana kemampuan membuat keputusan oleh perempuan di tingkat ekonomi rumah tangga dan akses perempuan kepada sumber daya penghidupan.
Bagaimanakah komitmen pemerintah dalam pengalokasian gender budget dalam setiap pembangunan? Sejak ada kebijakan pengarusutamaan gender dari pemerintah pada tahun 2000 isu gender dalam pembangunan mulai mendapat perhatian dan ruang pengembangan yang lebih luas dibandingkan dulu. Kebijakan ini memaksa jajaran birokrasi untuk lebih berperspektif gender dan juga mendorong lembaga donor internasional untuk mendukung keterlibatan organisasi masyarakat mempercepat pergerkan isu gender. Isu gender rami diwacanakan tetapi karena mindset yang konservatif dan kelemahan penguasaan teknis PUG, maka PUG gagal diintregrasikan ke dalam perencanaan pembangunan. Di beberapa daerah menunjukkan kesuksesan tetapi karena faktor individu pemimpin daerah (Kabupaten Bantul, AKI hanya 56/100.00 kelahiran), namun tidak ada jaminan keberlanjutan. Sistem belum terbangun secara menyeluruh untuk Anggaran Responsif Gender.
Kemanakah alokasi anggaran biasanya diperuntukan? Komposisi atau struktur alokasi anggaran belanja negara maupun daerah biasanya kurang lebih sama struktur pengalokasiannya, yakni sekitar 70% untuk belanja rutin, yang meliputi bayar hutang dan beaya operasional seperti bayar gaji PNS. Di RAPBN 2012,
hanya 12% untuk belanja pembangunan (membeayai program-program pembangunan).
Adakah kebijakan untuk mendorong kesetaraan posisi perempuan dan laki-laki di ruang publik? Salah satunya adalah Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender, yang sedang berproses menjadi RUU.
Bagaimana mendorong keterwakilan perempuan dalam segala proses penganggaran? Paling tidak dengan dua cara: (1) strategi kultural: pendidikan politik dan pemahaman anggaran yang adil kepada perempuan dan laki-laki; (2) strategi sistem: membuka akses dan kontrol masyarakat (laki dan perempuan) dalam siklus peanggaran.
Bagaimana dengan dokumen anggaran, apakah bisa diakses oleh publik? Mengapa? Tidak semua dokumen anggaran dapat diakses publik. Dokumen anggaran yang diakses publik adalah umum dan tidak mendetil memuat rincian kegiatan dan alokasi beayanya. Bukan tidak mungkin untuk meminta rincian anggaran, jika ada relevansi kepentingan oleh publik yang membutuhkannya, untuk tujuan-tujuan yang baik (menegakkan keadilan/ hukum). Idealnya, transparansi semua perencanaan (sampai satuan 3) dan penggunaan anggarannya (laporan BPK). Untuk memudahkan akses publik, pemerintah meng-upload keduanya di website Departemen Keuangan, misalnya. Sayang, hingga saat ini belum terwujud walaupun sudah dipidatokan sejak beberapa tahun lalu.
Apa prinsip utama anggaran publik? 4E: efisien, efektif, ekonomis dan ekuitas
Mengapa perlu anggaran untuk perempuan secara spesifik? Karena ada kebutuhan perempuan yang secara kodrati lebih spesifik daripada laki-laki, seperti melahirkan, menstruasi, kesehatan reproduksi perempuan, dan lainnya.*****(JK)
Edisi III | Juli - September 2011 |
Perempuan Bergerak
11
warta perempuan 12
Anggaran Responsif Gender: Implementasi Setengah Hati
A
da banyak persoalan yang dihadapi dalam pemberdayaan perempuan, misalnya masalah diskriminasi, kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat dan partisipasi dalam pembangunan yang menyebabkan rendahnya kualitas hidup mereka. Persoalan lain yang dihadapi yakni masih rendahnya peran dan partisipasi perempuan di bidang politik, jabatan-jabatan publik dan bidang ekonomi serta rendahnya kesiapan perempuan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim, krisis energi, dan krisis ekonomi. Untuk itu, diperlukan upaya penurunan ketimpangan, salah satunya melalui sisi Anggaran Responsif Gender (ARG), yakni anggaran yang responsif terhadap kebutuhan laki-laki dan perempuan serta memberi manfaat kepada kedua pihak secara setara. “ARG perlu karena ada kesenjangan antara lakilaki dan perempuan atas akses, partisipasi, kontrol dan manfaat pembangunan di berbagai bidang,” ungkap Eva Kusuma Sundari, Anggota DPR RI Komisi III dari PDIP. Untuk memajukan implementasi anggaran responsif gender, pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan, seperti Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan PUG Dalam Pem-
Perempuan Bergerak |
Edisi III | Juli - September 2011
bangunan, Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah, Perpres No. 21 tahun 2009 tentang Rencana Kerja pemerintah (RKP) Tahun 2010, Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014, serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK 02/2010 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan (Rencana Kerja dan Anggaran-Kementerian/Lembaga (RKA-KL) dan Pengesahan Pelaksanaan DIPA TA 2011. Dalam kebijakan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2010-2014, kebijakan pengarusutamaan gender merupakan landasan operasional bagi seluruh pelaksana pembangunan dan menjadi jiwa serta semangat yang mewarnai berbagai kebijakan pembangunan di tiap bidang pembangunan.
Penerapan Anggaran Responsif Gender di Indonesia Dalam rangka penerapan ARG tahun 2010, Pemerintah menetapkan 7 Kementerian/Lembaga sebagai pilot project , yaitu: Departemen Pendidikan Nasional; Departemen Pekerjaan Umum; De-
partemen Kesehatan; Departemen Pertanian; Departemen Keuangan; Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas; dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. Adapun maksud pilot project bagi ketujuh Kementerian/ Lembaga adalah sebagai pengenalan lebih mendalam mengenai ARG yang dilengkapi petunjuk cara penyusunan dan cara penelaahannya. Harapannya ketujuh Kementerian/Lembaga itu, dapat menyusun ARG secara praktis. Namun, banyak kebijakan yang mendukung tidak serta-merta mendorong pengalokasian anggaran yang responsif gender. Misalnya, alokasi anggaran Kementerian Kesehatan yang dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2011 sebesar Rp 26,2 triliun. Jumlah tersebut belum memenuhi amanat Undang Undang nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, seperti yang tertuang dalam pasal 171 ayat (1) UU Kesehatan berbunyi: “Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji”. Pada ayat (2) : “Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji”. Bila melihat belanja negara dalam RAPBN 2011 sebesar Rp 1.202 triliun, seharusnya alokasi beaya kesehatan sesuai UU Kesehatan adalah Rp 60,1 triliun (5 persen). Belum adanya anggaran negara yang responsif gender, menurut Eva Kusuma Sundari, karena dasar pemahaman adil gender umumnya belum dimiliki para banggar di DPR dan pemerintah pusat dan pemda. Fakta yang ada ketimpangan gender makin lebar sejak tahun 2004. Eva berpendapat bahwa ARG masih sebatas omong kosong. Hal tersebut terlihat dari angka Human Development Index (HDI) yang menurun, termasuk Gross Domestic Product (GDP) dan Gender Empowerment Measure (GEM). “Ada problem komitmen politik negara dalam penganggaran yang lemah, utamanya Bappenas sebagai perencana pembangunan, dan Departemen Keuangan sebagai pengendali fiskal negara,” demikian Eva menjelaskan mengenai soal yang dihadapi dalam penerapan ARG di Indonesia. Selain itu, Eva melihat kegagalan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang harusnya menjadi lokomotif pelaksanan PUG dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan negara. “KPP&PA tidak mempunyai strategi dan sumberdaya yang mumpuni untuk intervensi mainstream kedua lembaga vital tersebut, termasuk di kementerian dan lembaga negara lainnya. Ini kon-
tras sekali dengan KPP Australia yang sukses dengan Women Budgetnya (5%) maupun KPP Philipina yang sukses dengan GRA-nya,” jelas Eva. Belum adanya penerapan ARG di semua instansi pemerintah, telah mendorong KPP&PA untuk melakukan analisis gender budget pada tahun 2010. Dari hasil analisis tersebut, seperti yang disampaikan oleh Sally Astuty Wardhani (Asisten Deputi Gender dalam Pendidikan, Deputi Bidang PUG Bidang Polsoskum), ada beberapa persepsi yang selama ini masih berlaku dalam penerapan anggaran, di antaranya: Anggaran Responsif Gender hanya untuk kegiatan PUG; Anggaran Responsif Gender hanya terdapat di program pemberdayaan perempuan; Kegiatan selama ini hanya berkutat seputar sosialisasi pengarusutamaan gender. Sally menambahkan, bahwa dibutuhkan banyak syarat untuk dapat menerapkan anggaran responsif gender, di antaranya: kemauan politik (terdapat dalam prioritas pemerintah); ketersediaan data yang terpilah menurut jenis kelamin; sumberdaya manusia yang mampu melakukan analisis gender (perencana di Kementerian/Lembaga); monitoring dan evaluasi.
Alokasi Anggaran dalam RAPBN 2012 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara harus mengacu pada Pasal 23 UUD 1945, di mana anggaran negara ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kalau melihat rancangan RAPBN 2012, hal tersebut belum dapat terlaksana dengan baik. Itu terlihat dari porsi APBN dimana sebesar 70 persen hanya untuk pengeluaran rutin, seperti gaji pegawai pemerintah dan subsidi. Dalam Pidato Penyampaian Nota Keuangan RAPBN 2012, tanggal 16 Agustus 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa RAPBN 2012 disusun sesuai amanat konstitusi, disusun sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kenyatannya, postur RAPBN 2012 tidak jauh berbeda dengan APBN-P 2011 yang mengandung catat konstitusional karena belum berorientasi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal tersebut ditunjukkan dengan besarnya belanja pegawai yang mencapai Rp. 215,7 trilyun atau meningkat Rp. 32,8 trilyun untuk 4,7 juta pegawai, sementara anggaran untuk kemiskinan yang notabene mencakup 31 juta penduduk miskin, justru tetap dikisaran Rp. 50 trilyun. Postur tersebut menggambarkan, bahwa orientasi APBN rezim SBY lebih mengutamakan kesejahteraan aparat birokrasinya dibandingkan kesejahteraan rakyEdisi III | Juli - September 2011 |
Perempuan Bergerak
13
at miskin. Reformasi birokrasi yang seharusnya mampu membuat belanja birokrasi makin efisien justru membengkak setiap tahunnya. Begitu pula dengan anggaran kesehatan, meskipun menjadi prioritas, namun dalam RAPBN 2012 hanya dialokasikan Rp. 14,4 triliun atau 1% dari belanja negara alias masih jauh dari amanat undang-undang sebesar 5%. Selain itu, belanja modal dibandingkan belanja pegawai, hanya meningkat Rp. 27,1 trilyun atau menjadi Rp. 168,1 trilyun. Sebesar 61% RAPBN 2012 tidak ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu, tanggal 25 Agustus 2011 yang lalu, Koalisi APBN untuk Kesejahteraan rakyat yang terdiri dari gabungan beberapa NGO di antaranya: Indone-
sian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS); Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA); Prakarsa Masyarakat untuk Negara Kesejahteraan dan Pembangunan Alternatif (PRAKARSA); Koalisi Anggaran Independen (KAI); Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK); Publish What You Pay; Koalisi Anti Utang dan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) melakukan Judicial Review atau uji Materi terhadap Undang-undang APBN perubahaan No.11 tahun 2011 karena inkonstitusional, alias berbenturan dengan UU dasar 1945. Bentuk gugatan koalisi APBN untuk kesejahteraan rakyat ialah legal standing dan gugatan warganegara. Alasan Koalisi tersebut melakukan uji materi terhadap undang-undang APBN Perubahan No.11 Tahun 2011 sebab APBN perubahaan 2011 banyak diperuntukan kepada pemerintah dan DPR daripada dipersembahkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hal tersebut terlihat dari beberapa argumentasi berikut: 1. Alokasi anggaran dalam APBN perubahan 2011, yang seharusnya untuk kemakmuran rakyat malah dipakai untuk pengadaan dan pembelian green aircraft pesawat kepresidenan, pembangunan gedung DPR yang dialokasikan Rp. 2,5 trilyun sampai tahun 2013 serta kunjungan kerja keluar negeri anggota DPR. Dan yang menyakitkan, anggaran untuk pembelian pesawat berasal dari utang atau anggaran BA 999.08 (belanja lain-lain) yang terdapat di Sekretariat Negara sebesar Rp.92 milyar. Sedangkan tahun anggaran 2012, alokasi anggaran senilai Rp. 339.296.000.000 diperoleh dari bentuk utang Promissory Note yang akan dialokasi kepada pengadaan green aircraft, pesawat kepresidenan. 2. Anggaran kesehatan tak sesuai dengan ketentuan Pasal 171 ayat (1) UU No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, yang dengan jelas telah mewajibkan alokasi anggaran Negara minimal 5% dari belanja
14
Perempuan Bergerak |
Edisi III | Juli - September 2011
APBN untuk alokasi kesehatan. Padahal, pemerintah dan DPR hanya mengalokasikan total Belanja Kesehatan di luar komponen gaji, sebesar Rp. 24,98 trilyun (hanya sekitar 1,89 % dari APBN 2011). 3. Dana alokasi umum yang diberikan pemerintah kepada daerah dalam APBNP 2011 sebesar Rp. 225,5 trilyun. Dan seharusnya menurut UU No.33 tahun 2004, pemerintah dan DPR mengalokasikan kepada daerah sebesar Rp. 277,8 trilyun. Jadi, terdapat selisih Rp. 53,3 trilyun jika APBNP menggunakan perhitungan berdasarkan UU No. 33 tahun 2004. 4. Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) sebesar Rp. 7.7 trilyun pada tahun 2011 tidak memperhatikan asas keadilan bagi daerah, di mana dalam perencanaan dan pengalokasian anggarannya, DPR dan pemerintah bukan di daerah orang miskinnya mayoritas dan kapasitas fiscalnya rendah. Tetapi, anggaran DPID banyak dialokasikan di daerah yang orang miskinnya sedikit dan kapasitas fiscalnya relatif kuat. Di samping itu, alokasi DPID tersebut jelas bertentangan dengan pasal 18A ayat (2) UUD 1945 karena tak adil dan tak selaras undang-undang organik, yakni Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, serta Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, tidak dikenal istilah Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah. Selain bertentangan dengan ketentuan tersebut, membuka potensi korupsi anggaran yang mengakibatkan tidak terpenuhinya amanat konstitusi demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. *****(JK).
D
esa Pasrujambe, terletak di lereng kaki gunung Semeru, Jawa Timur. Berada kurang lebih 23 km ke Selatan Kota Lumajang. Pasrujambe dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor kurang lebih 1 jam. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian tani. Problem yang dihadapi kaum perempuan ialah masalah akses layanan kesehatan, pengetahuan dan kesadaran tentang kesehatan, dan sarana penunjang layanan. Persoalan bidan yang sering berhalangan hadir, karena hanya tiga orang untuk 11 dusun, dan puskesmas tidak buka 24 jam. Selain sarana kesehatan sangat minim, jarak dari sarana kesehatan juga jauh. Kebijakan anggaran yang responsif gender di tingkatan lokal tampaknya menjadi jawaban penting untuk menyelesaikan persoalan itu. Sebab, anggaran adalah alat penting yang dimiliki negara untuk menjalankan kewajibannya menyejahterakan rakyat. Bagaimanapun perempuan punya kontribusi yang besar. Mereka adalah penyumbang utama pendapatan asli daerah (PAD). Harusnya, perempuan dilibatkan dalam segala bentuk perencanaan penganggaran di tingkatan lokal. Apakah hal tersebut terjadi di desa Pasrujambe? Apakah perempuan terlibat dalam proses musrenbang, yang membahas anggaran di dalamnya? Menurut Setyo Darma, pendamping kelompok di Pasrujambe, perempuan jarang dilibatkan dalam masalah penganggaran di desa. Bahkan dalam forum musrenbang, keterlibatan perempuan sangat minim. “Keterlibatan perempuan sangat kurang. Saya juga tidak melihat sama sekali program musrenbang membantu pemberdayaan perempuan. Yang ada hanya membicarakan persoalan fisik dan itu tidak secara langsung mengena ke perempuan,” ungkapnya. Mengenai masalah itu, dia menambahkan: “Masalah pendanaan sebaiknya terbuka dan masyarakat harusnya dilibatkan dalam menangani”. Santi, ibu 2 anak yang juga pendamping kelompok, mengungkapkan bahwa perempuan jarang dilibatkan untuk membicarakan pendanaan. Jangankan untuk tahu jumlahnya berapa dan untuk apa. Menurutnya, transparansi dana maupun keterlibatan perempuan sebaiknya dilakukan dengan lebih maksimal. “Perempuan harus lebih banyak dilibatkan. Perempuan harus lebih bersuara dan dana jangan dikorupsi,” tegasnya.
Senada dengan Santi, Siati, warga Suco, merasakan pentingnya keterlibatan perempuan dalam mengikuti kegiatan perencanaan musrenbang. Menurutnya, kebutuhan perempuan banyak berbeda dengan laki-laki. Misalnya kesehatan reproduksi, kesehatan ibu dan anak, serta sarana dan prasarana kesehatan. Baiknya perempuan mengusulkan sendiri kebutuhannya. “Harusnya perempuan terlibat lebih banyak, karena selama ini yang ambil keputusan hanya laki-laki,” jelasnya. Dengan demikian, perempuan akan tahu programprogram yang akan dilakukan dan berapa anggarannya. Hal yang lebih tegas diungkapkan Sukari, warga Plambang. Menurutnya, pendanaan yang jelas akan membuat program-program yang dihasilkan juga jelas. Seperti program pembangunan jalan dan kesehatan perempuan, menurutnya, tidak lepas dari masalah pendanaan yang juga harus memperhatikan kebutuhan perempuan dan laki-laki. “Saya pikir perempuan itu banyak berperan. Harusnya banyak perempuan daripada laki-laki yang diperhatikan kebutuhannya,” paparnya. Karena dalam proses rencana anggaran perempuan tidak terlibat secara langsung, maka harapannya agar mereka kritis dan mengambil peranan yang lebih. Salah satunya dengan melibatkan diri dalam tiap forum musyawarah di desanya, seperti musrenbang. Setelah mengetahui mekanisme rencana penganggaran, tentu dapat dilihat celah mana yang dapat diterobos untuk menyampaikan kepentingan mereka. “Yang paling penting, perempuan harus lebih banyak bersuara dan diberi banyak kesempatan,” ujar Misiati kembali menegaskan harapannya. *****(NR)
Edisi III | Juli - September 2011 |
Perempuan Bergerak
warta komunitas
Anggaran Responsif Gender di Desa Pasrujambe
15
sosok
Ermy Sri Ardhyanti: Anggaran harus Mencerminkan Pemenuhan Kebutuhan Perempuan!
S
ebuah kebijakan negara atau pemerintah harus bermanfaat bagi segala lapisan masyarakat. Namun teryata, kebijakan yang dibuat mempunyai dampak yang berbeda terhadap perempuan dan laki-laki. Pejabat pembuat kebijakan tidak dapat melihat hal tersebut dengan baik. Tidak adanya partisipasi perempuan dalam pembahasan kebijakan dan kontrol serta akses dan manfaat pembangunan, membuat perempuan Indonesia tertinggal di belakang. Hal ini karena pembuat kebijakan menerapkan kebijakan yang sama bagi perempuan dan laki-laki yang menimbulkan ketimpangan. Hal tersebut kemudian mendorong Ermy Sri Ardhyanti, atau biasa dipanggil Memi, tergerak ikut mengadvokasi anggaran berbasis gender di beberapa kabupaten/ kota sejak tahun 2004. Awal karir perempuan kelahiran Semarang 1 Mei 1978 ini ketika bergabung dengan Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Surakarta. Bersama dengan PATTIRO Surakarta, Ermy mengkritisi APBD kota Surakata. Salah satu temuannya adalah dalam APBD Kota Surakarta tahun 2006, alokasi anggaran untuk Persatuan Sepak Bola Indonesia Surakarta (Persis) mencapai Rp 3 milyar, sedangkan untuk ibu hamil hanya Rp 154 juta. Selain itu, dia pernah melaporkan anggota DPRD Solo periode 1999-2004 ke Polwil Surakarta, dalam kasus dugaan korupsi, dalam bentuk kunjungan kerja fiktif. Ermy mengatakan bahwa apa yang dilakukan anggota DPRD periode itu merupakan kejahatan korupsi serta memberikan keterangan tak sebenarnya kepada masyarakat, karena pura-pura melakukan kunjungan kerja dengan menggunakan dana APBD. Semasa kuliah di FISIP UNS Surakarta (2003), Ermysudah aktif berorganisasi. Salah satunya menjadi anggota DEMA UNS, Ketua Himpunan Mahasiswa Administrasi Negara (HIMAGARA) UNS, dan Pengurus Cabang HMI Kota Surakarta. Banyak pengalaman kerja yang dirasakan ibu satu anak ini, antara lain sebagai Konsultan Disaster Management di GTZ-GLG untuk Kabupaten Magelang (20072008); Program Officer Oxfam (2005-2007) serta Program Officer PATTIRO Surakarta (2003-2005); sejak tahun 2008 sebagai Direktur PATTIRO Magelang. Dalam proses mengadvokasi gender budget, Ermy pernah menulis beberapa buku di antaranya: Membedah Ketimpangan Anggaran: Studi Kasus Kota Surakarta, Tangerang dan Semarang (PATTIRO-TAF) Tahun 2005; Kita
16
Perempuan Bergerak |
Edisi III | Juli - September 2011
Bisa Awasi APBD (PATTIRO Magelang-NDI) tahun 2008. Berikut hasil wawancara Redaktur Pelaksana Buletin Perempuan Bergerak, Joko Sulityo, dengan perempuan yang saat ini menjabat Project Officer di PATTIRO Institute.
Mengapa mengadvokasi isu gender budget dan sejak kapan mengadvokasinya? Kebijakan, mulai dari perencanaan hingga menjadi output, ternyata berdampak berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Terjadi ketimpangan mulai dari partisipasi, kontrol, akses dan manfaat pembangunan, karena perempuan menjadi tertinggal jauh, akibat pembuat kebijakan menerapkan kebijakan yang sama. Hal tersebut menjadi alasan saya mengadvokasi gender budget, sejak tahun 2004.
Tantangan apa yang dihadapi dalam mengadvokasi isu tersebut? Pertama, pengetahuan dan kesadaran pembuat kebijakan masih kurang. Kedua, kesadaran mengorganisasi diri di kalangan perempuan masih lemah. Ketiga, secara instrumen, gender budget pada awal advokasi masih percobaan, sehingga banyak tambal sulamnya.
Mengapa perlu Anggaran Responsif Gender? Karena anggaran adalah cermin prioritas kebijakan pemerintah yang dikontribusi melalui pajak rakyat (baik perempuan dan laki-laki), namun disusun dan berdampak berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Anggaran yang adil harus mencerminkan pemenuhan kebutuhan sepenuhnya, baik bagi laki-laki dan perempuan. Hingga tahun 2011, beberapa perubahan terapan anggaran responsif gender di Pemerintah Pusat, mulai ada mandat pembuatan dokumen perencanaan dan penganggaran di 7 Kementrian/Lembaga kemudian ke Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Permasalahan apa yang dihadapi dalam penerapan anggaran responsif gender di Indonesia? Pertama, gender budget, oleh pemerintah sering dimaknai parsial sebagai anggaran perempuan, yang persentasenya sangat kecil dibandingkan keseluruhan alokasi. Kedua, kelembagaan PUG di pemerintah dibentuk namun sering tidak mendapatkan anggaran, sehingga tidak ada progres implementasinya. Ketiga, peraturan belum menerapkan insentif dan dis-insentif pada pemerin-
tah/daerah yang menerapkan anggaran responsif gender.
Apa saja yang perlu diperhatikan dalam pengalokasian anggaran responsif gender? Pertama, memastikan bahwa perempuan dan laki-laki punya akses dan kesempatan yang sama dalam partisipasi menyusun kebijakannya. Kedua, instrumen penganggaran menggunakan analisa gender, sehingga penerima manfaat akan sesuai dengan gender budget statementnya. Ketiga, mengawasi Pemerintah dan DPR/D untuk mengalokasikan gender budget, terutama saat pembahasan anggaran.
Bagaimana praktiknya dalam kebijakan anggaran baik di pusat maupun daerah? Apa saja yang menjadi penanda kondisi ini? Praktik baiknya adalah beberapa daerah berinisiatif mengatur keterwakilan perempuan dalam Musrenbang, namun karena secara umum output Musrenbang yang diakomodasi dalam APBD kecil, maka efek yang muncul belum kuat dalam mengubah alokasi. Kedua, institusi ad hoc seperti Focal Point, Kelompok Kerja PUG, dan kelembagaan yang memperkuat dan mengadvokasi kekerasan terhadap perempuan dan anak serta perlindungan anak sudah banyak terbentuk walaupun masih belum maksimal, karena alokasi anggaran kecil. Ketiga, organisasi perempuan dan LSM yang makin kuat menjaga keberlangsungan advokasi dan tetap “in watch”.
Bagaimanakah komitmen pemerintah dalam pengalokasian gender budget dalam tiap pembangunan? Komitmen kebijakannya sudah ada (Permendagri dan Permenkeu), namun karena level otonomi ada di Kabupaten/Kota (dan yang terdekat dengan masyarakat), maka secara implementatif belum terasa dampaknya, seperti pada sektor utama layanan publik pendidikan (yang mandat alokasinya terbesar di tiap daerah). Di sektor kesehatan lebih banyak, karena secara sejati (genuine) mengurusi KIA, KB, Kespro yang notabene adalah kebutuhan spesifik perempuan.
Mengapa alokasi anggaran gender minim? Kemanakah alokasi anggaran biasa diperuntukan? Karena hitungannya di urusan pemberdayaan perempuan, sedangkan porsi terbesar ada di sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Jika advokasinya pada isu gender yang umum, seperti anggaran pemberdayaan perempuan, larinya ke alokasi belanja hibah organisasi perempuan, maka akan sangat kecil. Menurut saya, penting untuk mulai merambah sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur yang responsif gender, akan lebih berdampak besar pada perbaikan kualitas hidup perempuan.
Adakah program dan anggaran untuk mendorong kesetaraan posisi perempuan dan laki-laki di ruang publik? Ada, namun jarang, seperti peningkatan kapasitas perempuan untuk mencapai keterwakilan perempuan di parlemen. Biasanya menjelang Pemilu, padahal kualitas adalah akumulasi proses bertahun-tahun.
Menurut anda, sudahkah perempuan dilibatkan dalam proses penganggaran? Belum, bukan hanya perempuan yang tidak dilibatkan, namun juga laki-laki karena proses penganggaran hanya melibatkan Tim Anggaran Pemerintah Pusat dan DPRD. Artinya masih bias elite.
Bagaimana mendorong keterwakilan perempuan dalam segala proses penganggaran? Sampai saat ini, belum ada undang-undang yang menyatakan masyarakat terlibat dalam penganggaran, pelibatan masyarakat hanya sampai di perencanaan sehingga tidak ada kontrol publik, apakah usulan diakomdasi/tidak. Advokasi yang paling mungkin ada di pembahasan di DPRD, di mana ada rapat-rapat komisi dan paripurna di mana kelompok perempuan dapat terlibat dan menyatakan usulannya. Perlu mempunyai anggota-anggota DPRD yang kritis sebagai mitra strategis untuk menggolkan usulan kelompok perempuan.
Bagaimana dengan dokumen anggaran, apakah bisa diakses oleh publik? Mengapa? Dokumen perencanaan seperti RPJMD, RKPD lebih mudah diakses daripada dokumen penganggaran, seperti RKA-SKPD dan DPA-SKPD karena masih dianggap sebagai “jeroan” yang tidak semestinya diketahui publik.
Bagaimana kesempatan perempuan dalam mengakses anggaran? Akses dimulai dari perencanaan, kemudian pelaksanaan dan monitoring evaluasi. Pada perencanaan, perempuan ada keterlibatan walaupun kecil, dan semakin kecil pada pelaksanaan dan terkecil ada pada siklus monev.
Pengalaman berharga apa yang didapat dalam mengadvokasi isu tersebut? Advokasi gender budget tidak semata belajar anggaran dan kebijakan pemerintah, namun juga mendalami kebutuhan spesifik. Belajar mengurai benang kusut ketimpangan gender merupakan salah satu kunci soal kemiskinan, yang sebagian besar milik perempuan. Yang pendidikannya rendah, dan derajat kesehatan belum memadai.*****(JK)
Edisi III | Juli - September 2011 |
Perempuan Bergerak
17
bedah film
Anak Negeri Yang Terbengkalai
S
uatu batas dapat kita artikan sebagai titik puncak atau titik maksimum suatu kondisi yang tidak dapat dilampaui. Keadaan maksimum ini memberi dua kemungkinan, yakni proses anti klimaks atau tetap bertahan di titik tersebut. Batas berarti garis yang menuntun kita untuk tidak bertindak semaunya. Tanpa batas, kita akan bertindak sesuka hati atau tak menentu. Bataslah yang menggiring kita menuju jalan yang benar. Tapi, apakah akan sama pengertiannya dengan ‘batas’ yang dipakai sebagai istilah pada tanda pemisah dua teritorial? Bagaimana dengan garis batas antara Indonesia dan Malaysia, yang kerap penuh dengan persoalan? Walaupun demikian, negara Indonesia sering tidak peduli dengan masalah yang terjadi di daerah perbatasan, terutama kehidupan sosial sosial ekonomi dan politik masyarakatnya. Berbagai soal mudah kita temukan di desa pelosok pedalaman yang langsung berbatasan dengan negara tetangga. Mulai dari masalah pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan pada umumnya. Pendidikan hampir tidak ada, karena akses sangat tidak tersedia. Gedung sekolah dan guru tidak memadai. Akhirnya, masyarakat di daerah itu memilih bersekolah ke negara
tetangga, karena tersedia asrama dan beasiswa. Di negeri sendiri bahkan tidak dapat sekolah sama sekali. Pangan pun menjadi persoalan pelik di daerah perbatasan, karena masyarakat perbatasan harus belanja di negara tetanga untuk membeli bahan pangan. Hal ini terjadi karena lebih dekat dan akses jalan lebih mudah dibandingkan ke pusat kota. Masalah lainnya adalah sarana transportasi yang tidak tersedia, seperti jalan dan jarak yang jauh. Jalan setapak rusak berat, jembatan hancur, dan lainnya. Belum ada listrik masuk desa. Kalangan tertentu saja yang menikmatinya dengan menggunakan genset tenaga matahari, yang membutuhkan dana yang besar. Di sisi lain, sarana kesehatan seperti posyandu, puskesmas, tenaga kesehatan (perawat, bidan) tak tersedia kemudian turut menciptakan besarnya angka kematian ibu dan anak serta gizi buruk. Hal itu diperburuk dengan alokasi anggaran daerah yang sangat minim, sehingga segala persoalan semakin bertumpuk. Masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan. Tak salah kalau masyarakat diperbatasan melihat bahwa negara tetangga adalah ‘surga’, karena kesejahteraan mudah mereka peroleh. Batas walaupun hanya dipisahkan oleh sebatang
Judul Sutradara Penulis Produser Pemain Musik Sinematografi Editing Durasi Produksi
18
Perempuan Bergerak |
Edisi III | Juli - September 2011
: Batas; Antara Keinginan dan Kenyataan : Rudi Soedjarwo : Slamet Rahardjo Djarot (screenplay), Lintang Sugianto (Story) : Marcella Zalianty : Marcella Zalianty, Arifin Putra, Piet Pagau, Jajang C Noer, Ardina Rasti, Marcell Domits, Alifyandra, Otig Pakis, Tetty Liz Indriati : Thoersi Argeswara : Edi Michael : Wawan I Wibowo : 115 menit : SKeana Productions & Communication
tiang, tetaplah perbatasan. Siapa pun tidak boleh melanggarnya, demikian hukumnya. Kenyataannya, batas wilayah negeri kita tidak didukung sarana pos penjagaan yang memadai. Misalnya, garis batas antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan sepanjang 2004 km hanya tersedia 54 pos penjaga. Hal itu dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab dan mencari keuntungan dari kondisi perbatasan yang demikian. Jangan heran kalau kasus perdagangan perempuan sangat tinggi. Demikian pula kasus TKI illegal biasa diselundupkan melalui daerah itu. Kisah pilu di perbatasan itu diangkat dalam film ‘Batas’. Film ini disutradari oleh Rudy Soedjarwo, produser oleh Marcella Zalianty serta penulis naskah Slamet Rahardjo Djarot dan Lintang Sugianto. Film ini mengungkap kondisi desa pedalaman di Entikong, tempat yang dikelilingi hutan lebat. Di sini garis batas antara negara Indonesia dan Malaysia hanya ditandai dengan balok kayu yang bertuliskan angka-angka. ‘Batas’ bukan soal meributkan perbatasan antara kedua negara, namun menyingkap apa yang terjadi di sebuah desa pedalaman, yang tempatnya hanya beberapa kilometer dari garis batas. Ketika seorang asing masuk mendobrak batasan yang ada, maka keinginannya untuk mengubah kenyataan tumbuh. Meskipun jalan menuju perubahan itu sangatlah sulit. Film ini dibuka dengan adegan diburunya seorang gadis (Ardina Rasti) di tengah hutan oleh beberapa laki-laki. Tak lama ketegangan berakhir, karena perjumpaan gadis itu dengan sejumlah laki-laki lain yang membantunya. Di tengah alur cerita baru diketahui, bahwa gadis itu adalah korban perdagangan perempuan (trafficking), yang melarikan diri dari negara tetangga. Ubuh, demikian nama yang diberikan kepada gadis tersebut, oleh masyarakat desa. Karena trauma dan ketakutan, Ubuh tidak mau didekati oleh siapapun. Saat malam menjelang, ia akan menangis dengan suara yang menyayat hati. Sebagai isyarat pilu hati
yang sangat dalam dan derita yang dialaminya. Film ini juga menyoroti kondisi jalan yang rusak berat. Awal kisah diperlihatakan perjalanan Jaleswari (Marcella Zalianty) ke desa tujuan. Jalan penuh lubang dan tidak terawat, serta melewati hutan yang berbukit-bukit yang ditempuh untuk menuju desa pedalaman itu. Dengan keadaan itu, perjalanan memakan waktu hingga berhari-hari dari pusat kota dengan bahaya yang mengancam setiap saat. Film tersebut berkisah tentang Jaleswari yang ditugaskan oleh pemimpin perusahaannya untuk menyelidiki tidak berjalannya kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan mereka. Kegiatan ini berupa pendidikan di sebuah perkampungan di Entikong, Kabupaten Sangau, Kalimantan Barat. Layaknya perempuan kota dengan gaya hidup yang modern, Jaleswari berharap tidak tertahan lama di kampung itu. Dia hanya bertahan selama 2 minggu sesuai waktu tugasnya. Dengan perjalanan lama dan rintangan khas wilayah pedalaman, tiba juga Jales di lokasi, yang langsung disambut oleh Adeus (Marcell Domits), guru dari penduduk tempatan. Adeus menyangka Jales adalah guru yang ditugaskan di kampungnya menggantikan guru-guru sebelumnya, yang tak bertahan lama. Merasa bukan guru, tentu Jales menolak. Namun dia iba melihat keadaan anak-anak yang berhasrat besar untuk belajar. Akhirnya, terpaksa dia berperan sebagai guru untuk anak-anak Dayak itu. Satu hal yang ditanamkan Jales adalah bahwa mereka tidak boleh bergantung pada negara tetangga, yang langsung berbatasan dengan kampong mereka. Jales mengajak mereka untuk mandiri dan bangga dengan negeri sendiri. Ternyata ada pihak-pihak yang tidak menghendaki penduduk setempat untuk maju berkembang. Merekalah yang selalu menggagalkan kegiatan CSR perusahaan Jales, yakni pendidikan di kampung tersebut. Karena ada agenda lain dari kelompok yang dipimpin oleh Otig (Otig Pakis), yakni kegiatan perdagangan perempuan. Oleh sebab itu, Otig tak ingin penduduk kampung pintar agar mudah dibodohinya. Seperti yang dilakukannya terhadap para guru sebelumnya, ia pun mengirimkan teror serupa kepada Jales. Di tengah konflik dengan Otig dan kelompoknya, timbul tautan hati antara Jales dengan seorang polisi perbatasan yang ditemuinya sejak awal, yakni Arif (Arifin Putra). Ariflah yang banyak membantu Jales terutama dalam ketakutannya menghadapi Otig. Bersama Arif, Jales berhasil membongkar ulah Otig. Dengan Arif pula Jales bangkit dari keterpurukannya setelah ditinggal suaminya, yang dibebani tugas berat memasuki hutan Borneo. *****(JK) Edisi III | Juli - September 2011 |
Perempuan Bergerak
19
bedah buku
Apakah Ada Anggaran Berkeadilan Gender di Indonesia?
A
khir-akhir ini, bangsa Indonesia terkacaukan dengan segudang kasus korupsi, yang ramai dibahas. Satu yang mencuat yakni kasus Nazarudin. Ia mencuri Anggaran Negara (AN) untuk kenikmatan pribadi. Jika kita lihat lebih jeli sebenarnya banyak kasus perampokan anggaran sampai ke pelosok daerah terpencil. Anggaran yang seharusnya dipakai untuk kemakmuran rakyat dan pembangunan daerah miskin malah diselewengkan memperkaya diri, keluarga, dan kerabatnya. Para penguasa menganggap rakyat, apalagi perempuan, tak tahu apa-apa tentang anggaran negara. Hal itu menghambat pembangunan perempuan dan daerah baik secara fisik maupun manusianya, seperti: ketersediaan air bersih, pengadaan pelayanan kesehatan yang baik, hingga menurunkan jumlah Angka Kematian Ibu (AKI) dan gizi buruk. Masalah pokok penyebab, selain ketidak-pedulian penguasa, karena ketidak-pahaman perencana dan pembuat anggaran tentang Anggaran Berkeadilan Gender, sehingga nilai-nilai keadilan dan kesetaraan tidak dipikirkan, berdasarkan pola hubungan yang tidak diskriminatif menurut kelas sosial, agama, kelompok budaya, suku bangsa, dan jenis kelamin. Oleh karena itu, perlu pengawasan masyarakat atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, sampai evaluasi. Terdapat hubungan isu gender dengan anggaran. Anggaran ialah alat untuk mendukung pelaksanaan aksi/kebijakan sebagai respon terhadap isu gender (persoalan yang timbul sebagai akibat ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat). Anggaran (kebijakan anggaran) merupakan refleksi sejauh mana penguasa memprioritaskan penanganan isu gender. Anggaran merupakan wujud akuntabilitas penguasa dalam melaksanakan pengarusutamaan gender. Selain itu, anggaran adalah alat pemerintah dalam meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi menangani isu-isu gender. Anggaran tercerminkan sejauh mana pemerintah mengedepankan prinsip-prinsip equity (kesetaraan), keadilan, efisiensi, dan hak asasi manusia dalam rangka menangani persoalan-persoalan gender yang ada.1 Buku yang ditulis oleh Aris Arif Mundayat, Edriana Noerdin, Sita Aripurnami ini memperlihatkan secara
1
http://www.ksg.averroes.or.id/gender/anggaran-responsifgender.html diakses pada Selasa, 16 Agustus 2011 pukul 14.30 WIB.
20
Perempuan Bergerak |
Edisi III | Juli - September 2011
jelas hubungan antara gender dan anggaran. Buku ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Women Research Institute (WRI) di enam (6) wilayah di Indonesia, yakni Surakarta, Surabaya, Mataram, Kupang, Yogyakarta, dan Makasar. Wilayah tersebut dipilih, karena LSM mitra Partnership di masing-masing kabupaten atau kota telah melakukan advokasi anggaran berkeadilan gender dan telah menjalin kerjasama dengan aparatur pemerintah, baik eksekutif maupun legislative, sehingga mereka dapat memberi andil pada proses penganggaran dan mengidentifikasi tahapan dan dampak program. Buku ini diawali dengan serangkaian peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengarusutamaan gender, seperti: Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2003, yang mana Inpres ini adalah dasar hukum bagi Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam segala bidang pembangunan nasional; Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah. Untuk menjalankan PUG, ada beberapa peraturan perundang-undangan yakni Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, khususnya Bab 12 yang berisi peningkatan kualitas hidup perempuan serta kesejahteraan dan perlindungan anak. UU itu dijabarkan dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009. Kemudian, pemerintah mengeluarkan rencana kerja tahunan, misalnya Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2005 yang berada di bawah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2004 yang menyebutkan perlunya analisis gender bagi kebijakan pembangunan. Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2005 yang menjadi dasar RKP 2006 menegaskan bahwa PUG ditetapkan sebagai salah satu strategi yang perlu dilakukan semua bidang pembangunan agar kebijakan atau program atau kegiatan pembangunan responsif terhadap isu gender. Jauh sebelum peraturan itu, ada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All forms of Discrimination; CEDAW).
Judul Penulis Penerbit Cetakan Halaman ISBN
Meskipun banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang PUG, namun hal itu tidak menjamin perempuan mendapatkan hak yang layak untuk diikutsertakan dalam proses perencanaan dan penganggaran. Hal itu terlihat dari jumlah perempuan yang terlibat, tidak hanya datang namun juga memberikan masukan, dalam proses Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang). Buku ini berisikan pengalaman LSM di Surakarta, Surabaya, Mataram, Kupang, Yogyakarta, dan Makasar dalam memberikan penyadaran kepada masyarakat khususnya perempuan tentang Anggaran Berkeadilan Gender. Dalam melakukan advokasi pun tidak selalu menemukan kemudahan, seperti: beragamnya pemahaman tentang anggaran berkeadilan gender, yang dibagi dalam 3 (tiga) kelompok besar, yakni mengarah pada anggaran yang tidak memisahkan laki-laki dan perempuan; women budget; pro poor budget, yang sangat mempengaruhi penyusunan program advokasi anggaran tiap organisasi dalam merespon berbagai kendala, pelaksanaan program, dan dalam memilih strategi yang sesuai. Anggaran berkeadilan gender merupakan wacana yang relatif baru, sehingga belum dikenal baik oleh para pelaku anggaran yang terlibat. Karena itu, budaya birokrasi menghalangi kemampuan inovasi para aparat yang telah mendapatkan penyadaran kesetaraan gender, karena dianggap menyimpang dari kebiasaan politik yang berlaku selama ini. Sedangkan dari sisi masyarakat, mereka selalu menganggap bahwa perencanaan pembangunan adalah urusan elit, mulai dari RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, provinsi, dan nasional. Perempuan pun enggan untuk menghadiri pertemuan yang membahas mengenai perencanaan pembangunan, malah mereka meminta pengurus PKK untuk menjadi wakil dalam pertemuan tersebut. Selain itu, dalam penelitian ini ditemukan fakta
: Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender : Aris Arif Mundayat, Edriana Noerdin, Sita Aripurnami : Women Research Institute (WRI) : Tahun 2006 : 191 halaman : 979-99305-5-3
bahwa sebagian besar LSM yang menangani isu anggaran hanya terpaku pada pembahasan soal-soal alokasi anggaran belanja, sedangkan masalah pendapatan belum menjadi prioritas, bahkan luput dari perhatian. Padahal masalah pendapatan juga merupakan hal penting untuk dijadikan dasar atau bahan pertimbangan bagi pengalokasian dana pembangunan untuk masyarakat karena masyarakat juga berperan penting dalam memberikan kontribusi bagi sumber pendapatan negara selain sumber perekonomian yang dikelola oleh negara atau swasta. Sebagai bagian dari masyarakat, perempuan turut memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara, seperti pasar tradisional yang banyak dikelola oleh perempuan. Oleh karena itu, perempuan memiliki hak untuk mendapatkan bagian dalam pengalokasian belanja negara. Sekalipun LSM yang berada wilayah penelitian memiliki perbedaan dalam melakukan advokasi anggaran berkeadilan gender, namun hal tersebut berguna untuk menemukan strategi yang lebih efektif dalam menjalankan kerja-kerja advokasi. Dampak yang terlihat dari program advokasi yang dilakukan adalah adanya pengetahuan tentang gender budget, adanya partisipasi kelompok dampingan dalam proses perencanaan dan penganggaran, adanya perubahan pada alokasi belanja untuk kepentingan rakyat terutama kaum perempuan, dan adanya kebijakan berkeadilan gender yang dilahirkan dari advokasi tersebut. Di bagian akhir dalam penelitiannya, WRI memberikan rekomendasi yang cukup penting yang dibagi ke dalam beberapa bagian, yakni rekomendasi substansi, rekomendasi mengenai sistem data dan indikator, rekomendasi kelembagaan, dan rekomendasi kebijakan.*****(NT)
Edisi III | Juli - September 2011 |
Perempuan Bergerak
21
puisi
Peringatan
Sajak Suara
jika rakyat pergi ketika penguasa pidato kita harus hati-hati barangkali mereka putus asa
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam mulut bisa dibungkam namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku suara-suara itu tak bisa dipenjarakan di sana bersemayam kemerdekaan apabila engkau memaksa diam aku siapkan untukmu: pemberontakan!
Oleh: Wiji Thukul
Oleh: Wiji Thukul
kalau rakyat sembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalahnya sendiri penguasa harus waspada dan belajat mendengar bila rakyat tidak berani mengeluh itu artinya sudah gawat dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversif dan menganggu kemananan maka hanya ada satu kata: lawan!
Bunga dan Tembok Oleh: Wiji Thukul
seumpama bunga kami adalah bunga yang tak kau kehendaki tumbuh engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah seumpama bunga kami adalah bunga yang tak kau kehendaki adanya engkau suka membangun jalan raya dan pagar besi seumpama bunga kami adalah bunga yang dirontokan di bumi sendiri jika kami bunga tapi di tubuh tembok itu telah kami sebar biji-biji suatu saat kami akan tumbuh bersama dengan keyakinan: engkau harus hancur! dalam keyakinan kami di mana pun – tirani harus tumbang!
22
Perempuan Bergerak |
Edisi III | Juli - September 2011
sesungguhnya suara itu bukan perampok yang ingin merayah hartamu ia ingin bicara mengapa kau kokang senjata dan gemetar ketika suara-suara itu menuntut keadilan? sesuangguhnya suara itu akan menjadi kata ialah yang mengajari aku bertanya dan pada akhirnya tidak bisa tidak engkau harus menjawabnya apabila engkau tetap bertahan aku akan memburumu seperti kutukan
Sampai di Luar Batas Oleh: Wiji Thukul
kau lempar aku dalam gelap hingga hidupku menjadi gelap kau siksa aku sangat keras hingga aku makin mengeras kau paksa aku terus menunduk tapi keputusan tambah tegak darah sudah kau teteskan dari bibirku luka sudah kau bilurkan ke sekujur tubuhku cahaya sudah kau rampas dari biji mataku derita sudah naik seleher kau menindas sampai di luar batas
A
nggaran merupakan sejumlah uang yang dihabiskan dalam periode tertentu untuk melaksanakan program atau pembangunan. Anggaran belanja umumnya merujuk pada daftar rencana seluruh beaya dan pendapatan. Proses penyusunan anggaran menjadi hal penting dalam sebuah proses perencanaan.
Alokasi Anggaran
M
engalokasikan anggaran, berarti melakukan pembagian dana secara sistematis berdasarkan keseluruhan anggaran yang dimiliki untuk melangsungkan program atau pembangunan.
Anggaran Responsif Gender (ARG)
A
nggaran Responsif Gender bukanlah anggaran yang terpisah bagi laki-laki dan perempuan, melainkan strategi untuk mengintegrasikan isu gender kedalam proses penganggaran, dan menerjemahkan komitmen pemerintah untuk mewujudkan kesetaraan gender kedalam komitmen anggaran. Anggaran responsif gender terdiri atas seperangkat alat atau instrumen dampak belanja dan penerimaan pemerintah terhadap gender. Anggaran responsif gender dibuat dengan mempertimbangkan aspek peran, akses, manfaat, dan kontrol yang dilakukan secara setara antara perempuan dan laki-laki.
Pengarusutamaan Gender (PUG)
P
engarusutamaan Gender adalah strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia (rumah tangga, masyarakat dan negara), melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki kedalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Prinsip-prinsipnya adalah menghargai keragaman, pluralitas, bukan pendekatan dikotomis, melalui proses pemampuan sosialisasi dan advokasi, dan menjujung nilai HAM dan demokrasi.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
A
nggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN, Perubahan APBN, dan Pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang.
pojok kata
Anggaran
rah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
P
endapatan Asli Daerah, adalah pendapatan yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan milik daerah, dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan serta lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Dana Alokasi Umum (DAU)
D
ana Alokasi Umum (DAU) adalah sejumlah dana yang dialokasikan kepada tiap Daerah Otonom (provinsi/kabupaten/kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan. DAU merupakan salah satu komponen belanja pada APBN, dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD. Tujuan DAU adalah sebagai pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah Otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Alokasi Khusus (DAK)
D
ana Alokasi Khusus (DAK) adalah alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada provinsi/ kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Pemerintahan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK termasuk Dana Perimbangan, di samping Dana Alokasi Umum (DAU).****(JK)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
A
nggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daeEdisi III | Juli - September 2011 |
Perempuan Bergerak
23