daftar isi
Perempuan Bergerak
perspektif Memaknai Kemerdekaan RI ke-65 Tahun dari Perspektif Perempuan di Sektor Buruh
Edisi III Juli - September 2010
sosok Puji Astuti: Berjuang Hidup untuk Keluarga
14 16
bedah film Ruma Maida: Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah!
18
bedah buku
20 Islam Mengapresiasi Nilai-nilai Universal HAM rembug perempuan 65 Tahun Indonesia Merdeka: Kemerdekaan Itu Milik Siapa?
3
fokus utama Masih Adakah Makna Kemerdekaan Indonesia bagi Perempuan Indonesia?
4
opini Saparinah Sadli: MDGs Harus Menjadi yang Utama
6
puisi
22 Ibu Pertiwi, Mereka Teriak Merdeka Lagi pojok kata 23 Birokrasi 23 Feodalisme 23 Fundamentalisme 23 Gerilya 23 Kemerdekaan 23 Nasionalisme 23 Reformasi 23 Revolusi
warta perempuan Perempuan Belum Merdeka!
9
warta komunitas Apa Kata Ibu-ibu tentang Merdeka?
13
Perempuan Bergerak Penanggung Jawab: Rena Herdiyani Pemimpin Redaksi: Hegel Terome Redaktur Pelaksana: Joko Sulistyo Dewan Redaksi: Naning Ratningsih, Listyowati, Nani Ekawaty, Rakhmayuni, Ika Agustina Desain visual: Joko Sulistyo Distribusi : Joko Sulistyo Perempuan Bergerak merupakan media yang memuat pandangan-pandangan yang membangun kesadaran kritis kaum perempuan di seluruh Indonesia sehingga memberdayakan dan menguatkan mereka. Kekuatan bersama kaum perempuan yang terbangunkan itu merupakan sendi-sendi penting terdorongnya gerakan perempuan dan sosial umumnya untuk menuju masyarakat yang demokratis, setara, tidak diskriminatif dan tidak subordinatif. Redaksi menerima kritik, saran dan sumbangan berupa surat pembaca, artikel dan foto jurnalistik. Naskah, artikel dan foto jurnalistik yang diterima redaksi adalah yang tidak anti demokrasi, anti kerakyatan, diskriminatif dan bias gender. Naskah tulis diketik pada kertas A4, spasi satu, huruf Arial 12, maksimal 3 halaman dalam bentuk file atau print-out. Alamat Redaksi dan Iklan: Jl. SMA 14 No. 17 RT/RW 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630. Telp: 021-8004712; Fax: 021-8004713; Email :
[email protected]; Website : www.kalyanamitra.or.id Untuk berlangganan Perempuan Bergerak secara rutin, kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Redaksi menerima sumbangan pengganti biaya cetak Rp. 10.000,- dan biaya pengiriman di rekening sesuai kota tujuan. Transfer ke Rekening Bank Bukopin Kantor Kas Plaza Kalibata, No. Rekening 4206200202 a/n. Yayasan Kalyanamitra.
2
Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli-September 2010
Setiap tanggal 17 Agustus dianggap bermakna bagi bangsa Indonesia, karena diperingati sebagai hari kemerdekaan. Tahun 2010, bangsa Indonesia memperingati kemerdekaannya yang ke-65 tahun. Dalam rentang usia demikian Indonesia harusnmya memasuki fase kematangannya dalam berbagai hal, seperti sosial ekonomi, politik, budaya, keamanan, dan lainnya. Setelah 65 tahun merdeka, apa benar kemerdekaan itu sudah dirasakan semua warga bangsa? Pertanyaan ini ditanyakan pada salah seorang anggota komunitas yang tinggal di Muara Baru. Jawaban yang diperoleh: “merdeka tapi masih susah!”
J
awaban itu memang sesuai dengan kenyataan yang ada. Kalau kita baca “perspektif” yang ditulis Ari Sunarjati dalam edisi ini; dia menyoroti kondisi riil buruh di Indonesia. Kaum buruh belum merasakan kemerdekaan. Buruh masih mengalami berbagai diskriminasi dan penindasan. Begitupun kemerdekaan dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan tiap warga bangsa belum bisa dirasakan semua warga. Belakang marak terjadi pembakaran tempat ibadah dan intimidasi kepada kelompok-kelompok tertentu dalam menjalankan ibadahnya dan keyakinannya. Memasuki usianya yang ke-65 tahun, Negara masih punya segudang tugas yang harus dikerjakan, seperti diungkapkan Saparinah Sadli dalam “opini”. Lima tahun mendatang Indonesia harus bisa mencapai target MDGs 2015, padahal hingga saat ini capaiannya masih sangat memprihatinkan! Angka kematian ibu masih sangat tinggi, 307/100.000 kelahiran. Pertanyaan kritis soal kemerdekaan juga disajikan dalam “puisi”. Apa benar kita sudah merdeka atau kemerdekaan itu hanya semu? Generasi muda harus optimis dalam mengisi kemerdekaan dengan berbuat sesuatu untuk bangsa dan tidak melupakan sejarah, seperti yang diulas dalam “bedah film”. Akhirnya, semoga terbitan ini menambah wawasan kita dalam mengisi kemerdekaan RI yang ke-65 tahun. Dan, itu bisa benar-benar dirasakan seluruh warga negara, bukan milik segelitir orang!
merdeka
rembug perempuan
65 Tahun Indonesia Merdeka: Kemerdekaan Itu Milik Siapa?
Jakarta, 30 September 2010
tapi masih
susah
Joko Sulistyo Redaktur Pelaksana
Edisi III | Juli-September 2010 | Perempuan
Bergerak
3
fokus utama
Masih Adakah Makna Kemerdekaan Indonesia bagi Perempuan Indonesia? Suatu hari tetangga saya menceritakan kepada saya bahwa tetangganya, seorang perempuan yang kos-kosan di sebelah rumahnya yang bekerja di sebuah pabrik, telah meninggal dunia akibat bayi yang dikandungnya mati di dalam rahimnya. Perempuan tersebut terlambat datang ke bidan persalinan karena tidak memiliki beaya untuk bersalin. Suaminya hanyalah seorang tukang ojek, yang pendapatannya tidak jelas dan pasti. Oleh karena terlalu lama mengambil keputusan akibat ketiadaan beaya itu, maka dia enggan ke bidan untuk melahirkan bayinya. Dia memutuskan untuk tinggal di kos-kosan saja, padahal kondisi bayinya sangat gawat. Karena tidak ada pertolongan terhadap perempuan tersebut, maka baik dirinya dan bayinya meninggal dunia.
4
Perempuan Bergerak |
Edisi III | Juli-September 2010
M
ungkin cerita pilu seperti itu tidak hanya dialami perempuan malang tersebut. Pastinya ada ribuan lagi perempuan malang yang mengalami nasib yang sama di seluruh Indonesia, akibat ketiadaan beaya untuk melahirkan. Intinya, layanan kesehatan yang layak dan memadai terhadap perempuan tidak pernah ada. Sekalipun di dalam UUD 1945 hak-hak rakyat atas pelayanan publik yang diselenggarakan dijamin sepenuhnya oleh negara, namun dalam pelaksanaannya, negara sangatlah tidak peduli, bahkan abai dan lalai. Tak hanya dalam bidang kesehatan negara dan pemerintah begitu tidak peduli, bahkan dalam bidang-bidang layanan publik lainnya, seperti pendidikan, pangan, dan seterusnya. Apabila menyimak angka kemiskinan yang ada-kita wajib mengkritisi data Badan Pusat Statistik (BPS)--maka terdapat lebih dari 100 juta orang miskin di Indonesia, dan lebih dari 50 juta korban itu dialami perempuan dan anak-anak. Kemiskinan yang mereka alami, setelah 65 tahun kemerdekaan Indonesia, bukan karena kemalasan apalagi akibat corak kepribadian tertentu, melainkan negaralah yang menciptakan kemiskinan tersebut. Negara melalui berbagai mekanisme dan sistem sosial ekonomi dan politiknya secara sistemik menyingkirkan perempuan dari akses, kontrol, dan partisipasi atas sumberdaya yang ada. Negara melahirkan banyak kebijakan dan undang-undang yang tidak properempuan. Negara melakukan penindasan gender. Perempuan hanya dieksploitasi sebagai tenaga kerja produktif dan menguntungkan, baik di ruang publik maupun di tingkat rumah tangga atau keluarga. Dari Rp 1.202 triliun belanja negara tahun 2010, semua itu hanya diperuntukkan untuk fasilitas pengayaan diri segelintir orang atau kelompok tertentu di Indonesia. Menurut catatan yang ada, dari 240 jutaan orang penduduk Indonesia, hanya ada 200 orang yang terkaya di negeri ini. Akan tetapi, kekayaan 200 orang tersebut melampaui kekayaan negara dan 200 juta orang lainnya. Sungguh ironis! Sementara itu, hutang Indonesia--yang sebagian besar adalah hutang pihak swasta (pengusaha)--sudah mencapai Rp 1.627 triliun lebih pada tahun 2010. Semua itu harus dibayar dengan mengorbankan sumberdaya alam dan manusianya kepada pemilik modal asing, sehingga tidak mungkin ada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
pengusaha Indonesia dan asing yang merusak lingkungan. Sebagai dampaknya, jutaan perempuan yang bergantung pada sumberdaya lingkungan dan alam yang tersedia, semakin dirampas kehidupannya. Mereka menjadi sangat rentan, tak berdaya, dan tersingkirkan. Di tengah kekacauan kehidupan berbangsa dan bernegara ini, rakyat kebanyakan makin dibebani ulah para elit politik, pemuka agama, dan pemuka masyarakat yang ada. Politisi di DPR misalnya, begitu bernafsu untuk membangun gedung super mewah senilai Rp 2 triliun di Jakarta, padahal mereka selama ini selalu mengatasnamakan dirinya sebagai “wakil rakyat”. Apakah benar mereka itu wakil rakyat? Rakyat yang mana? Ini harus sama-sama kita ragukan! Tak hanya itu, para elit juga merekayasa konflik horizontal di antara massa rakyat agar saling berkelahi dan terpecah belah berdasarkan ras, etnis, dan agama. Persekongkolan busuk mereka dengan kaum ekstrim fundamentalis tampak jelas dengan adanya upaya mengubah Indonesia yang bineka tunggal ika ini menjadi negara “islam” ala khilafah Arab. Kita sudah sepakat bahwa Indonesia didirikan atas dasar ideologi Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan NKRI. Indonesia bukanlah negara yang berdiri atas agama tertentu. Ini merupakan pengkhianatan terhadap kemerdekaan Indonesia pasca reformasi, yang harus diwaspadai saat ini, yang makin menguat sejak Reformasi 1998. Semua itu pasti berdampak negatif bagi kaum perempuan dan anak-anak di Indonesia, karena akan berkembang pembatasan biologis, seksualitas dan ham perempuan, atas nama moral dan agama tertentu. Apabila mutu kehidupan kaum perempuan dan anak-anak saat ini terus memburuk, maka tampak bahwa negara sudah melanggar konstitusi secara sistematis dan terencana. Negara secara jelas dan tegas menyingkirkan perempuan dalam mengisi dan memaknai kemerdekaan Indonesia, bahkan menghapuskan mereka dari jejak sejarah perjuangan yang nyata selama ini. Ruang kemerdekaan bagi perempuan bertambah sempit dan terbatas. Hanya sedikit kalangan perempuan kelas menengah ke atas yang dapat memanfaatkan ruang dan peluang yang terbuka dalam situasi yang kacau sekarang, namun demikian ratusan juta perempuan kelas menengah ke bawah justru hidupnya terlalu sibuk dengan usaha “makan apa hari ini?”. Dengan kondisi yang suram kini, kebanyakan perempuan masih ada dalam “perbudakan rumah” dan “perbudakan publik”. Pertanyaan kemudian ialah, masih adakah makna kemerdekaan Indonesia bagi perempuan di seluruh pelosok negeri ini? *****(HG)
Edisi III | Juli-September 2010 | Perempuan
Bergerak
perspektif
Sejak Orde Baru Soeharto berkuasa mulai 1965 hingga Orde SBY, tahun 2004-2014, negara mereka pakai sebagai alat untuk memperkaya diri keluarga dan kroni-kroni mereka. Para pejabat negara mulai dari tingkat daerah sampai pusat, semuanya sibuk ber-KKN ria. Demikian pula para politisi di parlemen mulai dari tingkat daerah sampai pusat, mereka pun sibuk ber-KKN. Pada gilirannya, kejaksaan, kehakiman, dan kepolisian juga menjadi lembaga terkorup di dunia. Kemerdekaan 65 tahun Indonesia, bagi perempuan hanyalah mimpi dalam tidur, karena keesokan paginya, mereka akan berhadapan dengan realitas kemiskinan, kebodohan dan penindasan yang tiada henti dan pahit. Angka kematian ibu di Indonesia tertinggi di dunia, yakni 307 per 100.000 kelahiran. Indeks kekurangan gizi untuk ibu mengandung dan melahirkan juga tinggi di Indonesia. Belum lagi angka buta huruf dan keterbatasan kesempatan bersekolah bagi perempuan dan anak perempuan sangatlah tinggi. Di sisi yang lain, banyak perempuan terdidik yang akhirnya menganggur, kalaupun dapat bekerja, mereka hanya akan memperoleh upah yang jauh lebih rendah daripada pekerja laki-laki. Ada jutaan buruh perempuan yang bekerja di sektor tenaga kerja formal hidup di bawah standar upah yang layak dengan kondisi kerja dan promosi hak asasi manusia yang jauh dari kualifikasi. Sementara itu, jutaan perempuan lainnya yang bersandar di sektor kerja informal, justru tak pernah diperhitungkan dalam sistem perekonomian Indonesia yang kapitalistik neoliberal. Tak jelas kesejahteraan dan kepastian hidup mereka. Di Malaysia, ada 6 juta tenaga kerja Indonesia, yang separuhnya adalah perempuan. Sebagian besar mereka bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Dengan tingkat pendidikan yang tak berkualifikasi, mereka berupaya mengubah nasib dan kondisi kemiskinannya dengan bekerja apa saja. Akan tetapi, devisa yang mereka hasilkan untuk negera Indonesia mencapai lebih dari Rp 1,5 triliun per tahunnya. 65 tahun Indonesia merdeka, semakin memperburuk tingkat kehidupan rakyat pada umumnya, dan perempuan serta anak-anak khususnya. Lebih dari satu decade setelah pasca reformasi, negara dan pemerintahan SBY telah gagal melaksanakan agenda Reformasi 1998, seperti kehidupan ekonomi yang lebih baik, penegakan hukum dan keadilan, promosi ham, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan dan keadilan gender. Krisis ekonomi yang kian mendalam menciptakan kelemahan daya beli perempuan terhadap jasa dan barang yang ada, sehingga nilai uang yang dipunyai tidak berguna sama sekali. Harga kebutuhan pokok terus melambung, TDL dan transportasi melambung naik, BBM juga demikian, telah menciptakan mutu kehidupan perempuan dan anakanak yang terus merosot. Hal ini makin dipicu oleh krisis ekologis yang parah akibat eksploitasi industri milik
5
Saparinah Sadli
MDGs Harus Menjadi yang Utama
opini
O
pini kali ini menyajikan hasil wawancara Joko Sulistyo, Redaktur Pelaksana Buletin Perempuan Bergerak, dengan Saparinah Sadli, Guru Besar Psikologi UI, pendiri Program Kajian Wanita UI dan Komnas Perempuan. Wawancara ini dilakukan pada 17 Agustus 2010 di kediaman beliau, di kawasan Jakarta Selatan. Dalam wawancara ini, Saparinah Sadli lebih menyoroti MDGs dan bagaimana capaian Indonesia hingga kini. Hal itu selama ini tidak banyak media yang meliputnya. Seperti kita ketahui, pada September 2010, negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik akan menghadapi pertemuan MDGs + 10. Pertemuan tingkat tinggi ini akan mengevaluasi perjalanan MDGs sebagai komitmen global penanggulangan kemiskinan yang sudah memasuki 10 tahun dari target 15 tahun yang direncanakan. Indonesia sudah berkali-kali dalam Laporan Kemajuan MDGs kawasan Asia dan Pasifik masuk dalam kategori negara yang lamban langkahnya untuk mencapai MDGs tahun 2015. Sumber kelambanan itu yakni tingginya angka kematian ibu melahirkan, laju penularan HIV-AIDS meningkat, meluasnya deforestasi, rendahnya tingkat pemenuhan air minum dan sanitasi yang buruk serta beban utang luar negeri yang terus menggunung (MDGs Progres Report in Asia and the Pacific, UNESCAP, 2010). Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya angka kematian ibu, salah satunya adalah akses perempuan terhadap sarana dan prasarana kesehatan yang memadai. Berikut hasil wawancara dengan Saparinah Sadli, berkait dengan 65 Tahun Indonesia Merdeka dan tugas besarnya untuk mencapai target MDGs. Menurut anda, bagaimana perjuangan perempuan setelah 65 Tahun merdeka?
6
Perempuan Bergerak |
Edisi III | Juli-September 2010
Perjuangannya lebih luas. Kalau dulu perjuangannya hanya fisik, sedangkan sekarang menurut saya, perempuan sudah banyak yang aktif. Hal itu karena kita merdeka. Kalau kita tidak merdeka, tidak mungkin perempuannya maju seperti sekarang. Kalau ditinjau dari perjuangan fisik dulu, tahun 1945, lebih jelas keterlibatan mereka, seperti pahlawan-pahlawan perempuan. Mereka ikut berjuang, sedangkan sekarang, perempuan bisa bergerak diberbagai macam bidang. Perempuan Indonesia sekarang jauh lebih terbuka kesempatan-kesempatannya, meskipun masih banyak yang tidak bisa mengakses kesempatan yang sudah ada. Tapi kalau dibandingkan dengan dulu, sudah banyak perempuan yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan, yang semuanya dalam rangka mengisi kemerdekaan. Apakah negara sudah memberikan tempat bagi perempuan setelah 65 tahun kemerdekaan? Ya dan tidak, karena kita menghendaki tiap perempuan mempunyai akses dan kesempatan yang sekarang terbuka. Namun banyak perempuan yang belum bisa mengakses kesempatan tersebut. Sekarang masih banyak perempuan yang buta huruf, belum menikmati pendidikan, dan yang kesehatannya belum sebagaimana diharapkan. Tapi kemajuannya juga ada, karena saat ini sudah banyak perempuan yang berpendidikan, yang bisa mengisi berbagai peran sosial dan berhasil menduduki posisi strategis, meskipun belum sebanyak laki-laki. Menurut anda, perubahan signifikan apa yang terjadi pada perempuan Indonesia sesudah dan sebelum merdeka? Untuk saya, itu semua perubahan signifikan. Kalau dulu yang sekolah hanya perempuan yang berasal dari kelas menengah ke atas, maka kini di desa-desa perempuan juga bisa sekolah, meskipun masih banyak yang tidak. Kita harus bedakan. Kita inginnya tiap perem-
puan bisa sekolah. Sekarang belum, baik karena kemiskinan maupun letak sekolahnya yang terlalu jauh dan tidak bisa dijangkau sehingga anak-anak tidak sekolah. Sebetulnya, anak laki-laki juga banyak yang tidak sekolah, tetapi jauh lebih banyak anak perempuan yang tidak sekolah. Dari segi kesehatan, yang diperjuangkan bertahumtahun yakni angka kematian ibu yang masih tinggi. Itu sebetulnya sangat memalukan untuk Indonsia karena sejak merdeka sampai kini angka kematian ibu tetap tertinggi di Asia. Angka kematian yang tinggi, artinya keluarga kehilangan seorang pengasuh anak, sehingga angka kematian bayi bisa tinggi terjadi, karena angka kematian ibu yang tinggi.
ratifikasi 25 tahun lalu. Yang mensosialisasi hanya kelompok-kelompok tertentu, seperti saya termasuk di situ. Harusnya, semua orang tahu bahwa diskriminasi terhadap perempuan itu harus dihapus. Coba tanya dosen-dosen, belum tentu mereka tahu diskriminasi terhadap perempuan itu apa. Jadi, mereka tidak tahu kalau ada suatu masalah besar. Meskipun kita punya Undang-Undang No. 7 tahun 1984, namun diskriminasi terhadap perempuan tetap terjadi. Jadi, tidak semua orang tahu bahwa kita sudah meratifikasi, dan apa makna ratifikasi itu, mereka juga tidak paham. Kalo LSM-LSM malah banyak yang paham, tapi coba pejabat negara ditanya, mereka belum tentu paham apa CEDAW itu dan apa diskriminasi itu?
Apakah dengan Reformasi 1998 juga membawa perubahan yang signifikan bagi perempuan?
Masih banyak kebijakan yang bertentangan dengan CEDAW, misalnya dengan bermunculan berbagai Perda Diskriminatif dan masih diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang masih sangat diskriminatif terhadap perempuan, bagaimana menurut anda?
Kalau untuk saya ada. Dulu kekerasan terhadap perempuan sama sekali tidak ada data, sekarang paling tidak sudah ada data meskipun tidak lengkap dan bukan dari pemerintah, namun dari Komnas Perempuan dan badan yang bukan pemerintah yang sudah mengeluarkan data setiap tahunnya. Dengan data tersebut, maka makin bisa ditunjukan bahwa perempuan di Indonesia tetap mengalami berbagai macam bentuk kekerasan, baik yang ada di desa, di kantor-kantor, di kampus-kampus dan sebagainya. Menurut anda, apakah negara telah melahirkan kebijakan-kebijakan yang melindungi perempuan? Tidak selalu. Seperti undang-undang KDRT yang diloloskan parlemen, itu suatu kemajuan perjuangan perempuan. Namun, UU Pornografi tetap diloloskan parlemen. Saya menganggap mereka tidak bisa membedakan antara pornografi dan undang-undang yang dihasilkan. Undang-undang yang dihasilkan sebetulnya tidak melindungi perempuan. Bukan perempuan tidak anti pornografi, namun undang-undang yang dihasilkan itu mereka campur-adukan. Tak ada yang tidak setuju pornografi diatur, tetapi undang-undang ini tidak mengaturnya seperti yang kita inginkan. Yang tidak disenangi, yakni undang-undang yang sekarang ada masih menempatkan perempuan sebagai objek. Pornografi perlu ditertibkan, semua orang akan mengatakan begitu. Indonesia sudah meratifikasi banyak konvensi internasional, namun tidak ada keseriusan dari negara untuk mengimplementasikan dengan baik, bagaimana menurut anda? Kalau kita meratifikasi seharusnya tak hanya berhenti di situ, harus ada sosialisasi. seperti CEDAW, sudah di-
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah lama mau diubah, tapi belum bisa dilakukan. Undang-undang ini masih menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Di Al-Qur’an memang begitu, tetapi interpretasinya sekarang berbeda. Dalam undangundang itu kepala keluarga selalu laki-laki padahal di Indonesia ada berjuta-juta kepala keluarga perempuan, artinya mereka bekerja susah payah untuk mendapat hal-hal yang sama dengan laki-laki sebagai kepala keluarga. Negara telah melakukan pelanggengan diskriminasi terhadap perempuan, bagaimana menurut anda? Angka kematian ibu sudah bertahun-tahun tertinggi di Asia sampai sekarang. Kalau itu dikaitkan dengan Undang-undang HAM, hak akan hidup telah dilanggar. Hal itu terjadi bertahun-tahun, di manamana tidak hanya di Jakarta, tetapi di berbagai daerah dan pemerintah membiarkannya. Sebenarnya negara tidak sepenuhnya membiarkan, mereka mencoba mengurangi agar angka kematian ibu bisa ditekan sebagaimana seharusnya, namun upaya itu belum maksimal. Pembiaran yang dilakukan negara tergolong dalam kejahatan kemanusiaan. Banyak masyarakat tidak mendapatkan akses pelayanan kesehatan dengan baik, bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Sebenarnya layanan itu ada dan terus ditingkatEdisi III | Juli-September 2010 | Perempuan
Bergerak
7
kan, namun tidak bisa diakses oleh tiap perempuan. Departemen Kesehatan bukan tidak melakukan apa-apa. Mereka melakukan banyak hal. Namun agar pelayanan itu bisa sampai ke sasaran, harus ada kerjasama dari berbagai pihak. Misal dalam hal sarana dan prasarana, Departemen Pekerjaan Umum harus membantu dalam membuat prasaranya. Hal tersebut karena sebagian masyarakat Indonesia tinggal di pegunungan atau di pulau terpencil, kalau tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, setiap perempuan tetap tidak akan bisa mengakses pelayanan kesehatan karena kondisi geografi yang begitu sulit. Yang juga perlu dilakukan adalah merubah tradisi, yang masih terjadi saat ini, misalnya ketika terjadi kehamilan masih ada anggapan kalau tidak terjadi apa-apa tidak perlu diperiksa. Dari berbagai persoalan yang ada, lantas apa yang utama yang menjadi tugas pemerintah untuk melakukan pembenahan terlebih dahulu? Saya tidak tahu apa yang paling utama untuk dibenahi, tapi paling tidak angka kematian ibu harus bisa dicapai sesuai dengan MDGs. MDGs itu semua perempuan, tidak hanya kesetaraan gender, karena ketika kita bicara HIV/AIDS lebih banyak perempuan yang menjadi korban, ketika kita membicarakan kerusakan lingkungan itu menimpa semua perempuan, siapa yang harus mencari air bersih? Kan perempuan. MDGs tidak pernah diangkat berwajah perempuan padahal MDGs dibuat sebagai paradigma baru tentang mengurangi kemiskinan. Untuk itu ada tujuan-tujuan yang harus dicapai. Tujuan itu semuanya menyangkut perempuan, namun tidak pernah dilihat begitu. Semua tujuan MDGs harus dikerjakan dari segala bidang, tidak bisa hanya menjadi tugas satu departemen. Karena itu, paradigma baru tentang bagaimana mengurangi kemiskinan harus ada. Kalau tiap orang sekolah paling sedikit mereka bisa baca tulis. Sekarang lebih banyak perempuan yang tidak bisa baca tulis. Oke mereka katakan itu perempuan-perempuan yang sudah tua, memang betul, tapi ada anak-anak yang tidak sekolah, mereka akan buta huruf. MDGS tinggal 5 tahun lagi, menurut Anda bagaimana capaiannya hingga saat ini? Menurut saya, masih jauh sekali dari target, meskipun mereka mengatakan pendidikan masih berjalan, angka kematian bayi masih berjalan, makronya memang begitu, tetapi angka-angka itu
8
Perempuan Bergerak |
Edisi III | Juli-September 2010
tidak sesuai dengan kenyataan. Karena seperti pendidikan tidak ada angka yang pasti, yang ada hanya angka pendidikan orang yang bersekolah tetapi tidak ada angka yang tidak sekolah. Demikian juga dengan drop out, tidak ada angka sama sekali. Kalau tidak ada perubahan paradigma di pemerintah, menurut saya, MDGs tidak bisa tercapai, meskipun dilaporan tercapai. Sekarang mereka baru mengatakan sulit mencapai target MDGs tentang angka kematian ibu, hanya baru itu yang dikeluarkan. Jadi mengapa itu tidak dikerjakan secara bersama-sama supaya bisa tercapai, tidak hanya menjadi kewajiban dari Departemen Kesehatan. Saya tidak setuju kalau hanya dari bidang kesehatan karena mereka setiap kali sudah ada peningkatan pelayanan, dengan membuat pusat-pusat pelayanan, tetapi ada berbagai faktor yang turut mempengaruhinya misalnya dokternya yang tidak cukup, perawatnya yang tidak cukup. Memang ada penambahan alat-alat, tetapi juga harus disertai dengan orang-orang yang bisa menangani itu. Strategi apa yang bisa dilakukan masyarakat untuk mendorong pemerintah agar bisa mencapai target MDGs? Saya pikir orang-orang yang tahu harus lebih vokal, karena dengan demikian terlihat bahwa banyak yang memikirkan tentang itu. Selama ini, mereka hanya menulis di koran. Menurut saya, sayang sekali karena banyak yang punya pendapat bagus tentang MDGs tetapi tidak dicermati oleh pemerintah. Seperti sekarang diributkan tentang angka laju kependudukan yang terlalu tinggi. Mereka hanya mengatakan KB-nya harus ditingkatkan. Ada orang yang bilang oke KB ditingkatkan, namun jangan perempuan saja yang diburu. Itu kan baik, peryataan begitu, tetapi tidak ada yang bicara. Tentang KB, sudah jelas semua orang, seperti PRT saya itu anaknya hanya dua. Mereka tidak usah disuruh anak harus dua, sudah ada nilai itu. Sekarang, yang menjadi pekerjaan rumah adalah bagaimana KB itu bisa diakses bagi tiap perempuan yang memerlukan, termasuk yang belum kawin. Kita mungkin hanya sedikit yang tahu kalau sekarang Wapres menjadi “jendral”nya kemiskinan. Jadi, dia yang harus bertanggung jawab mengenai MDGs. Dia tidak bisa hanya mengatakan laju kependudukan harus di kurangi dan KB harus ditingkatkan. Memang KB harus dilakukan, menurut saya tidak bisa tanpa KB, namun dia harus mengerti bahwa kontrasepsi itu juga bisa bocor. ***** (JK)
Setiap 17 Agustus, kita dipenuhi dengan kemeriahan dan suka cita. Kita seakan larut dalam semarak kemerdekaan yang diproklamirkan Soekarno-Hatta pada 66 tahun silam itu. Beragam acara diselenggarakan untuk mengenangnya setiap tahun. Alhasil, hanya seremoni belaka. Tanpa refleksi terhadap kondisi masyarakat dan bangsa ini maka kita tidak sadar bahwa penjajahan masih berlangsung.
E
nam puluh enam tahun Indonesia merdeka tidak menjamin bahwa negara akan memberikan kemerdekaan bagi tiap warga negaranya. Berbagai persoalan masih menghujam negeri ini. Dari masalah penegakan keadilan hukum, KKN, ekstrem fundamentalis agama, moral politik, dan ketidakadilan gender. Perlindungan tidak diberikan negara terhadap rakyatnya secara maksimal. Pemenuhan hak tidak dikerjakan Negara. Penghormatan kebebasan tiap individu tidak dijalankan negara. Negara sibuk mengeruk kekayaan sumber daya alam Indonesia melalui tangan-tangan pemodal pribumi dan asing. Pun, disibukkan dengan politik pencitraan agar rakyat memandang baik dan menunduk hormat atas segala apa yang dilakukan, meskipun makin menyengsarakan. Dalam perjalanannya, Negara melahirkan berbagai kebijakan yang bertentangan dengan keadilan dan kesejahteraan rakyatnya. Kebijakan-kebijakan yang ada tidak diimplementasi secara konsisten dan benar. Negara puas dengan hasil di atas kertas dan lalai dengan pengerjaan di lapangan. Oleh sebab itu, perlindungan dan pemenuhan hak warga Negara menjadi sangat minim. Bahkan peran dan posisi negara lebih banyak tak berpihak pada rakyat, apalagi perempuan. Sampai kini, perempuan masih dikondisikan sebagai warga negara kelas dua yang tak terpenuhi dan terlindungi hak-haknya. Perempuan belum secara bebas mengekspresikan ide, kepentingan, ambisi, bahkan keyakinan dan kepercayaannya. Berbagai kebijakan dikembangbiakan untuk mengungkung kemerdekaan perempuan. Juga dalam bentuk peraturan daerah yang diskriminatif. Pelecehan Keberagaman Kebhinekaan Indonesia kembali terancam dengan maraknya kekerasan yang dilakukan kelompok ekstrem fundamentalis terhadap kelompok lainnya atas nama agama. Hal ini membahayakan stabilitas nasional karena tidak mengakui UUD 1945, Pancasila, dan Negara kesatuan, yang menjunjung tinggi kebebasan beragama. Namun pemerintah melakukan pembiaran dan tidak konsisten dalam penegakan keadilan hukum menghadapi persoalan ini. Pemerintah cenderung memihak gerakan-gerakan atau kelompok yang meleceh-
kan semboyan bhineka tunggal ika. Penegakkan ideologi Pancasila sejatinya harus dikerjakan Negara secara konsisten, mandiri, adil, dan tegas. Gerakan perjuangan kelompok fundamentalis saat ini justru merupakan kesinambungan sejarah masa lalu mereka yang hendak mendirikan Negara Islam atau bahkan Negara khilafah. Negara pluralis akan dihancurkan dan didirikan Negara singularis yang berbasis shariah. Ironisnya, gerakan fundamentalis ini bukan merupakan ekspresi mayoritas Islam di Indonesia, jadi hanya segelintir orang dan kelompok kecil, yang menyusupi pemerintahan dan menekan pemerintah. Era otonomi daerah dimanfaatkan kelompok fundamentalis untuk menguatkan gerakannya. Otonomi dipahami bahwa daerah mempunyai kekuasaan mutlak dan memutus hubungan pemerintah pusat. Gerakan fundamentalis menyelusupi pemerintahan daerah untuk memproduksi beragam Peraturan Daerah (Perda) berbasis shariah yang diskriminatif terhadap perempuan. Negara pun kehilangan kontrol dan menyetujui berbagai Peraturan Daerah tersebut. Hukum nasional menjadi mandul karena Peraturan Daerah yang berbicara. Rakyat pun menjadi boneka permainan negara. Perda-perda berbasis keagamaan ini akan menjadi ancaman disintegrasi bangsa. Kebijakan-kebijakan yang mengancam pluralitas akan berdampak pada kehidupan perempuan karena perempuan menjadi sasarannya. Perempuan dianggap sumber maksiat dan sumber amoral. Melalui Perda diskriminatif, perempuan makin ditutup aksesnya untuk menikmati kebebasan dan hak-haknya. Perempuan terbelenggu tidak hanya fisik, namun psikologisnya menjadi terganggu. Perempuan menjadi takut dan tak memiliki kebebasan untuk dekat dengan Tuhan bahkan di rumah sendiri. Selain itu, perempuan akan makin dipersulit dalam mengakses pelayanan publik. Rubby, dari The Asian Muslim Action Network (AMAN), menyatakan bahwa persoalan perempuan harusnya menjadi nomor satu sebab ia adalah pilar negara. “Perempuan adalah pilar negara, maka harus diperhatikan kualitas gizi, kesehatan reproduksi, fasilitas kesehatan, dan sebagainya. Sebab untuk menjadi pilar yang tangguh, dibutuhkan kekuatan penuh yang menopang hidupnya. Perempuan harus dibanEdisi III | Juli-September 2010 | Perempuan
Bergerak
warta perempuan
Perempuan Belum Merdeka!
9
gun karena kedaulatan perempuan adalah kedaulatan bangsa ini.” Indonesia adalah negara hukum dan berideologi Pancasila, bukan negara yang berlandaskan agama tertentu. Kebebasan berkeyakinan dan beragama tiap warga harus dijunjung tinggi dan dilindungi negara, sehingga memberi kenyamanan hidup dan beribadah di negeri ini. Menurut Rubby, hal penting yang harus dilakukan adalah dengan memasukkan pendidikan pluralisme dalam pendidikan formal untuk mengajarkan bagaimana hidup berdampingan dengan orang yang berbeda. “Kita kehilangan karakter di pendidikan formal sehingga penting untuk memulai pendidikan pluralisme. Kalau perlu semua murid punya kesempatan yang sama untuk belajar agama yang berbeda, bukan berarti mengajari untuk harus pindah agama, tetapi dengan lebih tahu isi banyak agama lain akan menciptakan jiwa-jiwa yang inklusif. Kita tidak tahu orang lain karena kita tidak mau belajar tentang agama lain, tidak mau belajar tentang etnik lain, sehingga merasa bahwa agama sendiri atau etnik sendiri yang paling benar.” Hak Asasi Perempuan Semakin Dikebiri Banyak hal belum seuntuhnya dinikmati kaum perempuan di Indonesia. Akses terhadap kesehatan, lapangan kerja, keadilan hukum, dan sebagainya terasa jauh dari jangkauan mereka. Berbagai persoalan menimpa kaum perempuan setiap hari baik terkait hak-hak sipil politik maupun ekonomi sosial budaya. Di satu sisi, ada pengakuan negara terhadap hakhak perempuan dalam Undang-undang, seperti UU No. 39/1999 tentang HAM dan Undang-undang No.7/1984 tentang CEDAW. Sebagian kecil perangkat hak tersebut telah diturunkan dalam tiap RANHAM. Hanya, implementasi prinsip HAM internasional tersebut belum dirasakan langsung oleh kaum perempuan. Akbar Tanjung, dari Human Rights Working Group (HRWG), mengungkapkan bahwa sampai kini peran negara terhadap penegakan hak asasi perempuan hanya pengakuan di atas kertas. “Yang harus didesakkan sekarang adalah langkah-langkah implementatif pelaksanaan dan pemenuhan hak-hak tersebut. Dalam konteks internasional, kita perlu mengajukan sebuah pertanyaan kepada negara yaitu seberapa besar Indonesia telah melaksanakan rekomendasi Komite CEDAW, CERD, atau CAT yang di dalamnya juga menyinggung hak-hak perempuan?” Padahal, menurut Akbar, peran perempuan sangatlah besar. Ia mencontohkan, ada 80.000 perempuan Indonesia yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga di Hongkong yang turut membangun sendi-sendi perekonomian Indonesia melalui remiten-nya. Sumbangsih perempuan buruh migran itu tidak dibarengi den-
10
Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli-September 2010
Ruby, The Asian Muslim Network (AMAN) gan langkah-langkah konkrit negara dalam memberikan perlidungan terhadap hak-hak mereka. “Misalnya dalam level internasional, negara masih tidak mau meratifikasi Konvensi PBB Perlindungan terhadap Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Padaha,l Konvensi ini menjamin perlindungan hak-hak buruh migran. Bahkan pemerintah Indonesia, melalui Menakertrans menolak pembentukan sebuah Konvensi ILO tentang Pekerja Rumah Tangga.” Memperkuat perjuangan perempuan Indonesia sangat diperlukan untuk lebih memajukan mereka, terutama dalam memberikan perlindungan. Untuk itu, seluruh ruang advokasi harus dipakai oleh perempuan. Tak hanya di tingkat daerah dan nasional, tapi juga di tingkat internasional. Selain itu, penting untuk memperkuat advokasi di tingkat regional, yakni ASEAN. Sebab di tingkat ASEAN terdapat Badan khusus tentang Perempuan dan Anak (ACWC), yang dapat dimaksimalkan perempuan-perempuan Indonesia dan negara Asean lainnya untuk memperkuat advokasi. Perempuan dan sumber daya alam: “Emang gue pikirin” Perempuan adalah entitas komunitas dalam masyarakat. Dalam pengelolaan sumber daya alam, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Perempuan berhak mengakses dan menikmati sumber daya alam untuk keberlanjutan hidup diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat dan komunitas yang tinggal di sekitarnya. Bagi perempuan di pedesaan, alam adalah tempat belajar. Mereka memiliki pengetahuan dan kearifan lokal untuk mengelola alam dengan bijak, sebab alam adalah sumber penghidupan. Sehingga dapat dibayangkan, apabila sumber daya alam dibatasi dan dijauhkan aksesnya dari kehidupan perempuan, otomatis sumber kehidupan perempuan hilang. Sejak Orde Baru, perempuan di kawasan sumber daya alam telah direbut kemerdekaan haknya dalam mengakses sumber daya alam. Tonggak penghilangan hak perempuan tersebut sejak dikeluarkan UU Pertambangan No. 11 tahun 1967 dan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penana-
man Modal Asing. Kekayaan alam Indonesia digadaikan ke perusahaan-perusahaan asing dan dieksploitasi habis-habisan. Sumber kehidupan perempuan menjadi tergeser. Ruang dan kesempatan perempuan untuk mengelola sumber daya alam makin jauh. Dampaknya, perempuan dihadapkan pada dua pilihan untuk bertahan hidup: berpindah ke kota mencari pekerjaan, atau menjadi buruh migran. Saat ini, hampir seluruh daerah di Indonesia sudah mengarah kepada kantongkantong buruh migran karena sumber daya alam telah digusur oleh industrilisasi. Pertambangan adalah kegiatan yang merusak bumi yang berdampak terhadap akses sumber daya alam oleh perempuan. Tak hanya beresiko pada kesehatan fisik, namun juga kesehatan reproduksi akan terganggu. Industri ini sama sekali tidak memperimbangkan perempuan dalam ruang perlindungannya. Menurut Maemunah dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), sikap negara dalam melihat kondisi perempuan di kawasan pertambangan sama dengan satu kalimat: emang gue pikirin! Telah empat dekade perempuan makin dimiskinkan, ditindas, dan tidak memperoleh perlindungan. Kebijakan pemerintah justru memiskinkan dan menyengsarakan perempuan. “Ini menunjukan, bahwa kebijakan menjadi mesin yang sangat produktif untuk menghancurkan ruang-ruang hidup perempuan yang akhirnya tidak cuma hilang mata pencahariannya, rusak kawasan tinggalnya, tetapi juga terancam kesehatannya dan menjadi miskin. Kebijakan saat ini seperti itu, dan diikuti oleh mesin-mesin kebijakan yang lain yang tidak cuma sektor pertambangan. Banyak Undang-undang yang terkait dengan sumber daya alam yang tidak menghitung ruang perempuan.” Kemerdekaan Indonesia yang dirayakan setiap tahun, bagi Maemunah tidak bermakna apa-apa. Banyak konflik di sekitar pertambangan yang terkait dengan perempuan tidak dipedulikan negara. Misalnya, empat tahun kasus Lapindo tidak ada penanganan khusus oleh negara terhadap perempuan. Padahal, tinggal di kawasan tersebut sangat beresiko bagi kelangsungan hidup dan kesehatan perempuan. Negara tidak pernah mengakui telah mengurus dengan sangat buruk rakyatnya. “Usia kemerdekaan hanyalah memperpanjang persoalan dan penderitaan perempuan. Tidak ada sebuah momentum dari negara untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Negara makin tidak punya hati mengurus rakyatnya. Kita punya jaman kemerdekaan, orde lama, orde baru, orde reformasi, ruang-ruang bagi perempuan di kota mungkin terbuka, tapi kalau dikontraskan dengan situasi pemiskinan perempuan di pedesaan, sangat jelas kelihatan bahwa sebenarnya makin panjang umur makin memperpanjang masalah terhadap perempuan dan terus bertambah, karena kebijakan yang muncul sekarang tidak memberikan per-
lindungan terhadap perempuan.” Ia pun merasa prihatin sebab banyak kelompok perempuan lebih fokus kepada isu-isu urban, seperti KDRT dibandingkan isu di sumber daya alam. Pada satu tingkat, negara semakin tidak punya hati akan kondisi perempuan di kawasan sumber daya alam. Di tingkat lain, kelompokkelompok perempuan tidak men-sinergikan advokasi perempuan pada masalah-masalah di sekitar kawasan yang kaya sumber daya alam. Dengan demikian, melupakan masalah-masalah perempuan yang signifikan. Oleh karena, di kawasan-kawasan itu mesin modal untuk pengurusan negeri ini terus berjalan, dan berkaitan juga dengan perempuan urban. Menurutnya, konstalasi kekerasan di kawasan sumber daya alam makin meningkat. Pelakunya tak lagi bangsa asing, tetapi sudah bangsa sendiri. Perempuan tidak diberi harapan akan kesejahteraan di hari ini dan di masa depan. Ukuran pertumbuhan ekonomi yang disimpulkan pemerintah sangatlah kontradiktif, jika dibandingkan dengan masalah-masalah perempuan di sekitar kawasan sumber daya alam yang pelan-pelan makin miskin. Saat ini, perbedaannya makin massif. Ada perubahan konstalasi pemainnya, tetapi korbannya tidak berubah. Malah bertambah buruk karena tidak ada jaminan untuk pulih, sementara kawasan-kawasan baru akan di eksploitasi sudah jelas petanya. Perempuan di pedesaan sangat bergantung pada alamnya. Berbeda dengan penduduk di perkotaan, yang kehidupannya bersandar pada uang tunai. Negara harusnya belajar dari perempuan dalam mengelola sumber daya alam. Makin perempuan mengurus sumber daya alam yang berkelanjutan, maka negara akan tidak bergantung pada luar negeri. Ini kebalikan dari cara negara mengurus rakyatnya saat ini. Negara mengurus dengan sangat bergantung pada luar negeri melalui utang bahkan kehilangan kedaulatannya. Negara mesti belajar dari cara perempuan di pedesaan mengurus sumber daya alam, sehingga menjadi mandiri. Harusnya itu menjadi panduan penting bagi pemerintah. Masih menurut Maemunah, ada tiga hal penting yang bisa dilakukan negara untuk menangani persoalan ini. Pertama, memperbaiki cara pandang atau perspektif dalam memperlakukan warga negara dan sumber daya alam, dalam artian perempuan juga pelaku yang memiliki hak yang sama dan harus diproteksi. Kedua, memperbaiki perspektif memperlakukan sumber daya alam tidak sebagai barang dagangan, sebab memiliki keterbatasan, barang tidak terbarukan, dan di saat yang sama, menopang hidup masyarakat. Jika dieksploitasi habis, maka akan mengancam kelangsungan hidup ke depan. Kalaupun dijadikan sumber devisa, maka sebagian besar diutamakan untuk kebutuhan mendesak rakyat. Ketiga, dari konteks pengurusan sumber daya alam harus disesuaikan. Artinya, kebutuhan dan eksploitasi mendesak dengan bertangEdisi III | Juli-September 2010 | Perempuan
Bergerak
11
gungjawab harus dipisahkan. Jika mendesak untuk kebutuhan rakyat, maka hentikan pemberian izin eksploitasi sumber daya alam dan mengkaji izin-izin lama yang bermasalah. Menghitung jumlah kebutuhan, dan perlu ada pembatasan-pembatasan. Perempuan Belum Bebas dari Segala Ketidakadilan Kemerdekaan perempuan sejatinya adalah bebas dari berbagai ketidakadilan yang diakibatkan oleh berbagai kondisi sosial, ekonomi dan politik. Di usia Indonesia ke-66 tahun tampak bahwa situasi perempuan masih berada di kondisi yang bernama kemiskinan atau feminisasi kemiskinan di berbagai lapisan masyarakat, berbagai sektor, dan berbagai isu. Perempuan jauh dari keadilan, masih terkungkung, bahkan dikontrol oleh negara. Negara justru memperkuat cengkramannya terhadap perempuan melalui perda-perda diskriminatif, baik dalam ruang pengambilan keputusan, mobilitas, dan atas tubuh mereka. Risma Umar dari Solidaritas Perempuan mengungkapkan, bahwa kemerdekaan pada akhirnya hanya dimaknai secara simbolik, “Kita sering merayakan hari kemerdekaan dan sering pula melupakan hal-hal yang sifatnya filosofsi, artinya menanyakan kepada rakyat kecil apakah mereka betul-betul merasakan makna dari kemerdekaan, atau kemerdekaan hanya sebatas simbolik. Kita perlu menanyakan kembali makna kemerdekaan Republik Indonesia, karena kemerdekaan hakiki adalah kemerdekaan yang dirasakan oleh rakyat dan terbebas dari berbagai situasi penindasan dan ketidakadilan.” Menurutnya, peran negara untuk menyejahterakan rakyatnya dan membebaskannya dari segala ketidakadilan tidak dilakukan, bahkan dikatakan tidak ada. Sebab segala payung kebijakan tidak lahir dari niat baik Negara, melainkan hasil perjuangan gerakan perempuan atau human right. “Misalnya UU PKDRT, UU Trafiking, dan UU Kewarganeraan, tiga undang-undang ini bisa dijadikan titik tolak bahwa negara menciptakan ruang, tetapi tidak muncul begitu saja, melainkan hasil perjuangan berat para perempuan dan aktifis human right. Selebihnya,
Risma Umar, solidaritas Perempuan
12
Perempuan Bergerak |
Edisi III | Juli-September 2010
apa yang diberikan negara, tidak ada.” Angka kemiskinan Indonesia tidak bergeser. Pemerintah tidak menjalankan komitmen dalam MDGs. Ironisnya, pemerintah membuat tingginya angka kemiskinan, utamanya untuk mendesain kebijakan atau program dalam mendapatkan pinjaman luar negeri. Negara tidak pernah melakukan refleksi terhadap berbagai situasi warga negaranya. Pemenuhan hak-hak perempuan diabaikan dan minim perlindungan. Lanjut Risma, pemerintah harus berkomitmen dan konsisten dalam memegang prinsip bahwa sebagai institusi yang diberikan mandat oleh rakyat untuk menjalankan tanggungjawab mengurus rakyat, termasuk membebaskan perempuan dari berbagai ketidakadilan. “Yang harus dilakukan sederhana saja, yakni implementasi CEDAW dengan baik. Pemerintah harus serius menjalankan mandat-mandat rekomendasi CEDAW. Selain itu, di tataran pemerintah perlu dilakukan sosialisasi CEDAW sampai ke DPR. Di tingkat masyarakat juga perlu dilakukan sosialisasi untuk memberi penyadaran kepada masyarakat bahwa setiap individu diakui, dilindungi, dan dijamin haknya dalam konvensi ini. Kalau pemerintah tidak paham CEDAW, bisa meminta bantuan dari NGO atau masyarakat sipil untuk bersama-sama membicarakan strategi impementasinya. Sehingga, perlu dibangun peran antara pemerintah dan NGO terkait strategi kerjanya.” Hal lain adalah melakukan upaya-upaya di tingkatan NGO dan masyarakat. Apabila mainstream pemerintah tidak berubah, NGO harus berada di posisi yang kritis. Artinya, tetap melakukan penyadaran dan pemberdayaan secara kritis di masyarakat baik politik maupun ekonomi. Tetapi, di sisi lain, NGO juga perlu terus-menerus memantau kebijakan-kebijakan yang diproduksi oleh negara, karena biasanya tanpa sadar muncul kebijakan yang tidak jelas, sehingga makin menambah beban masyarakat. Pemerintah harus menciptakan ruang-ruang bagi rakyat untuk memantau. Supaya masyarakat dapat memantau kinerja negara dalam mengurus warga negaranya. Adalah tugas NGO untuk melakukan pendidikan kritis di masyarakat, di samping memperjuangkan untuk kebutuhan praktisnya (makan, minum, kesehatan, dll.); terus- menerus mendesakan kebutuhan strategis, bahkan kritik ideologis. Dengan begitu, pemerintah tidak akan sewenang-wenang karena masyarakat kian cerdas, kritis, dan berani. Perempuan bisa memperjuangkan dan membawa kepentingannya sebagai perempuan dengan melihat realitas yang dialami nya. Makna kemerdekaan harus direnungkan oleh negara untuk memberikan makna sesungguhnya bagi rakyatnya. Negara bertanggung jawab untuk memenuhi dan melindungi hak-hak tiap warga negara baik ekonomi, sosial, budaya maupun sipil politik. *****(IK/JK/NT)
S
etelah 65 tahun merdeka, bagaimana kaum perempuan yang berada di tingkat menengah ke bawah memaknainya? Apakah mereka benar-benar merasakan kemerdekaan dalam arti sesungguhnya? Berikut penuturan para perempuan yang tinggal di kawasan kumuh Muara Baru, Jakarta Utara dan penduduk Prumpung, Jakarta Timur, tentang makna kemerdekaan. Ibu Puji, penjaga sekolah TK, mengatakan, “Kalo udah merdeka harusnya kan enak ya, tapi masih enakan waktu jamannya presidennya pak Harto, apa-apa gak mahal”. Lain lagi yang diungkapkan Ibu Mini, seorang pedagang, “Buat saya sih belum merdeka sepenuhnya ya. Buat saya yang seorang perempuan masih banyak batas-batas, gak bisa begini gak bisa begitu. Buat mencari pekerjaan susah, apalagi buat saya yang janda. Apa-apa mahal, merdeka tapi kok tetep susah”. “Merdeka sih merdeka, tapi kalo untuk perekonomian sih kayaknya belum merdeka”, demikian Ibu Aisyah, seorang guru TK. Hal senada juga disampaikan Ibu Rohati, seorang guru, “Merdeka mungkin cuma buat pejabat, buat kita yang masyarakat bawah ya tetep aja gini, susah”. Bagi ibu-ibu yang tinggal di kantong-kantong kemiskinan di Jakarta, merdeka adalah kondisi keadilan bagi masyarakat bawah dan kebebasan untuk semua hal, termasuk bebas dari himpitan ekonomi. “Katanya merdeka tapi sering banget masyarakat kecil mengalami ketidakadilan. Itu maling ayam, masih aja digebukin kalo ketangkep, coba pejabat yang korupsi kan malah enakenakan tuh. Saya sih kasihan aja waktu lihat bapak yang
Ibu Puji: “Harapan saya, harga-harga tidak naik terus”
jalan kaki dari Malang ke Jakarta karena mau nyari keadilan sama presiden..kok sampai segitunya ya, padahal katanya merdeka”, kata Ibu Sari Dewi. “Karena udah merdeka, ya maunya sejahtera, biaya anak sekolah gratis, harga-harga gak pada naik. Kalo ibu-ibu kan yang dipikirinnya itu. Kalo apa-apa serba naik dan mahal, ya kita jadi repot. Maunya kita ya merdeka itu bebas lah dari kesulitan ekonomi”, timpal Emi, ibu rumah tangga. “Saya gregetan lihat anggota DPR mau bangun gedung lagi. Padahal uangnya kan bisa untuk masyarakat yang kelaparan ya, yang masih makan nasi tiwul atau anak yang busung lapar..apa iya itu namanya sudah merdeka?”, ujar Ibu Ririn. Bagi mereka masyarakat kecil, tidak terlalu mulukmuluk berharap pada kemerdekaan. Harapan mereka sederhana,yakni kehidupan yang lebih baik, perekonomian tidak memberatkan dan kepedulian dari pemerintah terhadap nasib rakyat kecil, sebagaimana diungkapkan Ibu Puji dan Ibu Rohati berikut: “Harapan saya sih, saya bisa dagang dengan lancar dan harga-harga tidak naik terus. Kalo bahan-bahan makanan mahal, saya juga bingung jualnya”. “Ya hidup bisa lebih sejahtera. Ada keadilan bagi masyarakat kecil seperti saya”. “Pemerintah memperhatikan lah nasib rakyat kecil..jangan sebentar-bentar harga naik..sebentar-bentar listrik naik..Kami masyarakat juga pusing, belum lagi sekarang banyak tabung gas meledak sementara minyak tanah mahal”.*****(NR)
Ibu Ririn: “Saya gregetan liat DPR mau bangun gedung lagi”
warta komunitas
Apa Kata Ibu-ibu tentang Merdeka?
Ibu Mini: “Maunya kita, merdeka itu bebas dari kesulitan ekonomi”
Edisi III | Juli-September 2010 | Perempuan
Bergerak
13
perspektif 14
Memaknai Kemerdekaan Republik Indonesia ke-65 Tahun dari Perspektif Perempuan di
Sektor Buruh
Oleh: Ari Sunarjati*)
I.
Pengantar
MERDEKA !!! Pekik merdeka itu begitu bermakna ketika diteriakan pada 17 Agustus 1945, suatu pertanda bahwa kita telah bebas/merdeka dari cengkeraman penjajah Belanda yang menjajah bangsa Indonesia selama 350 tahun (angka ini masih dalam perdebatan). Sejarah mengatakan, betapa optimisnya para pemuda-pemudi pada masa itu bergerak terusmenerus tanpa lelah mempersiapkan kemerdekaan. Berpacu dengan semangat luar biasa, bersenjatakan bambu runcing siap untuk menang. Menang dimaknai bukan sekedar lepas dari keangkaramurkaan penjajah Belanda, namun juga membangun bangsa dengan etiket yang baik, membuat masyarakat adil dan makmur. Para pendahulu kita masa itu benar-benar negarawan-negarawan sejati. Mereka menanamkan peletakan batu pertama yang benar, yakni dengan landasan ideologis Pancasila dan konstitusi negara Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang mengakomodir semua kepentingan bangsa, antara lain tertuang dalam pasal 27 (2)” Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, ini bukti bahwa pendiri negeri ini telah memikirkan masakmasak bahwa rakyat berhak mendapatkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 33 (1): “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. (3) “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya demi kemakmuran rakyat”. Pasal 34 “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara” Petikan 3 pasal naskah asli UUD 1945 di atas mencerminkan pikiran-pikiran jernih para negarawan masa itu, bahwa kepentingan rakyat adalah yang utama yang harus diperhatikan, diperjuangkan dan harus dicapai. Dan, gerakan buruh Indonesia sejak lahirnya tahun 1927, ikut berjuang untuk mencapai kemerdekaan. Setelah 3 tahun merdeka, pemerintah Indonesia berhasil menerbitkan Undang-Undang No. 12 Tahun 1948, tentang Undang-Undang Kerja, yang mengatur
Perempuan Bergerak |
Edisi III | Juli-September 2010
perlindungan pekerja mulai dari jam kerja, lembur, istirahat di hari kerja, istirahat mingguan, istirahat tahunan, istirahat panjang bagi buruh yang telah bekerja 6 (enam) tahun berturut-turut, meski istirahat panjang ini belum diberlakukan saat itu atau masih perlu negosiasi dengan pengusaha jika hendak memberlakukan. UU Kerja ini juga mengatur perumahan buruh, dan hak-hak buruh lainnya. Tahun 1956, pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO No. 98, dengan UU No. 18 Tahun 1956, tentang Hak Berorganisasi dan Berunding Bersama. Bukti bahwa pemerintah pada saat itu memandang penting kehadiran Serikat Buruh sebagai penyeimbang kekuatan modal atau tepatnya pengusaha. Memang benar pada kenyataan masa itu serikat buruh tumbuh pesat kendati dibawah naungan partai politik, contoh Partai Nasionalis Indonesia (PNI) mempunyai Koalisi Buruh Marhaen (KBM), Partai Nahdatul Ulama mempunyai SARBUMUSI (Serikat Buruh Muslimin Indonesia), Partai Katholik mempunyai SOB PANCASILA dan masih banyak lagi partai lain yang mempunyai Serikat Buruh. Banyaknya serikat buruh menggambarkan masa itu demokratisasi sedang berlangsung dengan baik. Pada tahun 1956 juga pemerintah membuat rumusan untuk menetapkan upah minimum yang dinamakan Kebutuhan Fisik Minimum selanjutnya disingkat KFM. Nilai riil upah 1 (satu) hari (KFM) jika dibelikan beras kualitas sedang memperoleh 7 (tujuh) kg. Sedangkan upah buruh hari ini, 30 Agustus 2010, sehari jika untuk membeli beras kualitas yang sama hanya dapat 5 kg. secara mudah dapat terlihat, bahwa nilai riil upah buruh mengalami kemerosotkan yang tajam. Tahun 1957, pemerintah meratifikasi konvensi ILO No. 100 dengan UU No. 80 Tahun 1957 tentang persamaan upah bagi perempuan dan laki-laki untuk pekerjaan yang sama nilainya. Jelas ini merupakan indikasi, bahwa pemerintah masa itu juga telah berpihak kepada kepentingan pekerja/buruh perempuan. Disusul dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1957, tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, 7 (tujuh) tahun kemudian terbit lagi UU No. 12 Tahun 1964, tentang Pemutusan Hubungan Kerja bagi Buruh di Perusahaan Swasta. Kebijakan-kebijakan itu menggambarkan betapa serius para penyelenggara negara memenuhi kewajiban mereka dan lagi isi UU dimaksud juga cukup melindungi pekerja/buruh. Serikat Buruhnya juga memiliki posisi tawar terhadap pengusaha, sehingga nasib pekerja/buruh tidak terlalu buruk. Keadaan ini begitu bermakna bagi
kaum pekerja/buruh juga dimanaknai sebagai buah dari kemerdekaan. Nah, bagaimana kenyataan selanjutnya, masa berganti masa nasib buruh apakah semakin membaik atau semakin memburuk? Penulis mencoba menuliskan secara runtut agar pembaca dapat mengikuti dan merefleksi apa gerangan yang terjadi di dunia perburuhan kita ini. II. Kenyataan kehidupan kaum buruh saat ini Hakekat MERDEKA bagi kaum pekerja/buruh adalah jika dapat memilih pekerjaan yang sesuai dengan minat, bakat, dan keahliannya serta dapat tawar-menawar, mengenai upah yang layak, syarat-syarat dan kondisi kerja serta jaminan sosial, kesejahteraan sosial, dan fasilitasfasilitas lain yang membuat kaum pekerja/buruh benarbenar terpenuhi kebutuhan lahir bathin. Kebutuhan yang dimaksud bukan saja kebutuhan primer tetapi juga kebutuhan-kebutuhan tahap-tahap selanjutnya. Namun apa yang sesungguhnya terjadi dengan buruh dan keluarganya saat ini? Merdeka hanya sebatas kata-kata, sulit diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Di tempat kerja saja, jika ada seorang buruh yang menyatakan tidak mau kerja lembur, langsung mendapat tegoran keras dan bahkan tidak jarang berakhir dengan pemutusan hubungan kerja terhadap buruh tersebut, meski menurut peraturan, lembur itu sukarela bukan wajib. Ini artinya hidup pekerja/buruh BELUM MERDEKA. Mengapa belum merdeka dan posisi pekerja/buruh begitu lemah? Pertama, jumlah pengangguran jauh lebih besar jika dibanding dengan kesempatan kerja yang tersedia. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; a. Pilihan industrialisasi pemerintah Indonesia tahun 1970-an adalah industri pengolahan (manufacturing) sedang Indonesia negara berbasis agraris dengan wilayah Negara 2/3 adalah lautan. Indonesia tidak menggali potensi yang telah ada yakni agraris dan kelautan akan tetapi malah memilih pembangunan industri bahan mentahnya tidak ada di Indonesia. Contoh, industri otomotif Indonesia hanya menjadi perakit dengan tenagatenaga ahlinya tetap orang-orang Jepang. Industri pakaian jadi (garment), tekstil, sepatu pindahan dari Negara maju yang di negara asal industri ini sudah masuk sunset industri, tutup atau tidak lagi memberi keuntungan. Indonesia seperti buangan industri yang sudah sunset di negara asal. Industri tekstil, garmen dan sepatu sempat menjadi andalan Indonesia dalam mencetak devisa negara terbesar ke II setelah minyak dan gas selama 3 dekade lebih. Hasil produksi tersebut di-export ke Amerika Serikat, Eropa, Australia, Kanada, Timur Tengah, dimana Indonesia mempunyai hutang yang sangat besar di Negaranegara tersebut. Jadi devisa dari hasil export tadi dibuat membayar hutang setidaknya dapat membayar bunga
pinjaman. Industri inipun sekarang juga telah mengalami sunset, pindah ke Vietnam, RRC, dan lainnya. b. Masuk era globalisasi Indonesia tidak siap sehingga tidak mempunyai kiat-kiat untuk mengantisipasi bencana yang bakal menimpa kaum pekerja/buruh yang telah berjasa mencetak devisa Negara. Indonesia tahun 1995 telah menandatangani persetujuan untuk menjadi anggota World Trade Organization (WTO). Salah satu perjanjiannya adalah, tahun 2005 setuju berlakunya penghapusan quota untuk produksi pakaian jadi, sepatu dan tekstil. Maka terhitung sejak tahun 2005 Indonesia tidak mendapat quota lagi jadi harus bersaing untuk mendapatkan order pembeli dari nike, adidas, GAP dan masih banyak merek lainnya. Sudah tentu dampak dari perjanjian ini mengakibatkan penurunan order, dengan sendirinya terjadi PHK dimana-mana. Kesempatan ini juga digunakan oleh pengusaha yang nakal untuk menutup pabriknya, meski tidak ada kaitannya dengan quota. Ternyata para pengusaha yang “nakal” ini relokasi ke Sukabumi, Kerawang, Purwakarta. Sesungguhnya sudah sejak krisis ekonomi pertengahan 1997, banyak pabrik yang tutup. c. Kehendak politik pemerintah tidak berpihak kepada kaum pekerja/buruh, lebih berpihak kepada ekonomi pasar ketimbang melindungi nasib pekerja/buruh. Sesungguhnya hal yang sama juga di alami oleh Negara miskin seperti Amerika Latin, Afrika. Tetapi kehendak politik (political will) pemerintah Amerika Latin dan Afrika berpihak kepada kepentingan rakyat kecil/buruh, maka mereka satu sikap antara pemerintah dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/ SB) untuk menghadapi investor. Ketika pemerintah dengan SP/SB satu langkah menyatukan kekuatan mempunyai posisi tawar terhadap investor. Di Amerika Latin dan Afrika tidak ada investor yang berani hengkang, tetapi banyak hengkang dari Indonesia. Mengapa hengkang dari Indonesia tentu bebas quota bukan satu-satunya alasan. Lalu alasan apa lagi? Antara lain, suka bunga bank investasi di Indonesia sangat tinggi 16-18 % per tahun, sedang di Malaysia cuma 3% per tahun, perijinan biaya tinggi dan lama tidak terbit, biaya siluman sulit dihindari. Kedua, era reformasi yang pada awalnya seolah-olah menjanjikan perbaikan nasib bagi orang kecil termasuk kaum pekerja/buruh ternyata lebih buruk keadaannya. Pemerintah era reformasi lebih pro kepada pasar bebas dan sangat tergantung perekonomian kepada pinjaman luar negeri. Ekonomi riil tidak diperhatikan sehingga tidak bergerak sama sekali. Padahal yang dapat menghidupi rakyat ketika ekonomi riil ini bergerak sehingga ada rotasi roda perekonomian bergerak dapat mendinamisir ekonomi rakyat. Parahnya lagi otonomi daerah masih dimaknai sebagai kemerdekaan penguasanya baik bupati/walikota yang dapat berkuasa dengan bebas termasuk menempatkan pejabat di area ketenagakerjaan yang bukan orang karier ketenagakerjaan. Penempatan seorang camat, seorang dari dinas pemakaman, seorang dari dinas pemadam kebakaran dipromosi menjadi kepala dinas tenagakerjaan dan transmigrasi suatu kabupaten yang poEdisi III | Juli-September 2010 | Perempuan
Bergerak
15
tensi industri. Tidak “the right person in the right place”. Ketiga, lemahnya pengawasan dari pejabat pengawas ketenagakerjaan dan transmigrasi yang bertugas sebagai penyidik dari pegawai negeri sipil. Selain mutu pengawasannya rendah juga jumlah pegawai pengawasnya lebih sedikit daripada jumlah perusahaan yang harus diawasi. Alasan klise, beaya melatih pengawas itu mahal sekali, pengawas yang ada di daerah sejak otonomi daerah juga banyak yang dipromosi untuk memegang jabatan yang lebih tinggi di tempat lain yang bukan ranah ketenagakerjaan. Keempat, jumlah Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) semakin banyak membuat para buruh jadi bingung hendak bergabung dengan SP/SB yang mana karena semua mempunyai proganda yang hebat-hebat. Meski kemudian terjadi proses yang menguji SP/SB berpihak kepada kepentingan buruh atau kepada yang lain. Terujinya melalui pembelaan-pembelaan ketika anggota mengalami kasus atau perjuangan perbaikan nasib. Jika SP/SB tersebut ternyata tidak dapat membela anggota, maka dengan cepat para anggota segera meninggalkan SP/SB untuk bergabung kepada SP/SB yang lain. Antara SP/SB sulit untuk bersatu atau tepatnya bersaing, tidak saling menghormati, yang ada hanya saling mencari kelemahan satu dengan yang lain atau persaingan tidak fair. Kelima, praktik outsourcing yang semakin hari semakin banyak dan tanpa pernah ditindak oleh pejabat pengawas ketenagakerjaan. Dampak dari praktek-praktek yang penulis uraikan diatas membuat buruh tidak mempunyai keamanan kerja (job security), selalu merasa terancam sewaktu-waktu akan di terjadi PHK atas diri mereka.
III. Penutup Pekerja/buruh memaknai kemerdekaan ini sebagai penderitaan yang tiada akhir. Karena sebagai warga negara Republik Indonesia, hanya dibuktikan dengan sebuah Kartu Penduduk saja. Saudara-saudara kita pekerja/buruh ini tidak pernah dapat menggunakan hak kemerdekaannya, seperti memilih pekerjaan yang layak supaya mempunyai penghasilan yang layak bagi diri dan keluarganya. Tidak dapat merasa aman karena bekerja hingga masa pensiun, selain belum mempunyai jaminan pensiun juga ancaman PHK sewaktu-waktu bakal tiba. Hakikat kemerdekaan yang benar-benar hakiki bagi pekerja/buruh saat ini hanya sebuah fatamorgana, seakan dekat tetapi sangat sulit untuk diraihnya. Kendati pekerja/buruh berjuang bukan hanya untuk kelangsungan hidup, namun jelas pekerja/buruh ini telah dan selalu menopang ekonomi negara, melalui pajak pendapatan mereka, utamanya buruh perempuan yang selalu dianggap lajang dengan demikian potongan pajaknya lebih tinggi daripada yang dihitung berkeluarga. Hasil produksi yang mereka buat dikirim ke negara-negara maju menjadi devisa negara dibuat membayar hutang atau bunga hutang. Jelas apa yang diberikan buruh kepada negara, tetapi sebaliknya apa yang diberikan negara kepada buruh? Hanya selalu kesengsaraan yang sistemik. ***** --------*) Aktivis buruh di Jakarta.
sosok
Puji Astuti: Berjuang Hidup untuk Keluarga
65
tahun sudah Indonesia merdekaa, tetapi apakah arti kemerdekaan itu sebenarnya? Apakah semua orang Indonesia telah merasakan arti kemerdekaan itu? Suatu hal yang perlu ditelusuri dan diangkat sebagai sebuah proses pembelajaran sejarah di Indonesia. Jangan sampai arti kemerdekaan yang sesungguhnya hanya dirasakan oleh kelompok atau golongan tertentu saja. Bagaimana kemudian dengan kalangan masyarakat kecil atau grassroot yang selama ini sering menjadi objek pembangunan, bukan subyek pembangunan? Banyak orang berpendapat bahwa hidup di Jakarta atau kota besar lainnya sangat keras. Kehidupan ekonomi
16
Perempuan Bergerak |
Edisi III | Juli-September 2010
selalu mengalami kesulitan bahkan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Juga selalu merasakan kebingungan setiap tahun ketika harus membayar sewa rumah. Salah seorang yang mengalami hal itu ialah Puji Astuti. Perempuan paruh baya ini, 46 tahun, namun tampak lebih tua dari umurnya. Puji Astuti atau Mbak Uji, seorang yang kuat bertahan di kota besar bersama keluarga tanpa ada kepastian penghasilan dari suami maupun dari diri sendiri. Mbak Uji lebih dari 10 tahun bekerja sebagai tukang cuci dari rumah ke rumah, sedangkan suaminya menjadi tukang ojek. Penghasilannya hanya Rp 400 ribu/bulan ditambah upah suaminya sebagai tukang ojek. Mbak Uji harus terus memutar otak untuk mencari uang agar dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Penghasilan yang mereka peroleh kadang hanya cukup untuk makan, sedangkan untuk yang lain harus gali lobang tutup lobang alias utang sana sini untuk menutupi utang yang lain. Ketika ditanya mengenai arti 65 tahun kemerdekaan bagi dirinya, sambil tertawa kecil dijawab: “Saya masih begini-begini aja…kagak ada perubahan. Kerja masih jadi buruh cuci. Dari dulu begini, sekarang begini, tetap jadi buruh cuci. Jadi menurut saya, belum merdeka”. Harga-harga sembako yang mahal menjadi ukuran bagi Mbak Uji untuk melihat arti kemerdekaan. Selama ini, perempuan yang sering latah ini, belum merasakan kebebasan dan kemerdekaan yang sesungguhnya. Hidupnya terus mengalami kesulitan. Dengan 4 orang anak yang dimilikinya hanya satu yang mampu selesai sekolah sampai SMA, sedangkan yang lain hanya tamat SMP. Karena tuntutan hidup, mereka memilih bekerja menjadi tukang ojek. Selain masalah ekonomi, yang sering dihadapi orang “kecil” seperti Mbak Uji, masalah pendidikan dan kesehatan juga. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan kartu Gakin untuk pengobatan bagi orang miskin, tetapi itu tidak efektif. Ada pengalaman, menurut Mbak Uji sangat menyakitkan dan menyebalkan sebagai orang bawah, yakni penggunaan kartu Gakin saat berobat. Sudah dua kali Mbak Uji mencoba menggunakan kartu itu untuk berobat, namun perlakukan tidak sopan, tidak bersahabat dan meremehkan dalam pelayanan oleh pihak rumah sakit membuat Mbak Uji harus membayar sendiri pengobatan tersebut. Hal ini menjadi penilaian buruk masyarakat terhadap pemerintah. “Kalau pake mobil aja dilayani baik-baik…”, ungkap Mbak Uji dengan nada memendam kekesalan. Begitulah kehidupan yang masih dialami sebagian besar masyarakat, hingga Indonesia berusia 65 tahun. Kehidupan terasa semakin sulit, beaya hidup yang tinggi, seperti pangan, pendidikan, listrik, transportasi, dll. Lain halnya dengan mereka yang di atas: “Sekarang enak-enakan bikin bangunan baru, yang
di bawah pada nangis.Semua pada enak-enakan yang di atas. Yang senang tambah senang, yang susah tambah susah” keluh Mbak Uji. Menurut Mbak Uji, suaminya dulu lumayan punya penghasilan sebagai tukang ojek. Sekarang paling dapat Rp 40.000/hari. Itu pun kalau lagi ramai. Hal ini terjadi sejak banyak orang memiliki motor dengan cara mengkredit. Kalau mau ditelusuri, produksi motor yang sangat besar menjadi alternatif bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah untuk memiliki alat transportasi. Kita semua tahu beaya transportasi di kota besar semakin mahal. Ternyata, hal itu mempunyai dampak negatif bagi kehidupan masyarakat lainnya terutama yang bekerja sebagai tukang ojek. Meskipun kehidupan yang dihadapi begitu susah, namun Mbak Uji adalah orang yang suka tertawa dan bercanda. Manurutnya, untuk menghilangkan stress daripada memikirkan harga-harga mahal, cara mudah untuk tidak stress bagi kalangan bawah adalah tertawa dan bercanda. Tidak banyak harapan yang diinginkan orang-orang seperti Mbak Uji ini terhadap pemerintah, yakni ingin dimurahkan harga-harga kebutuhan pokok agar hidup sejahtera. “Harga-harga murah dan rakyat sejahtera, cari duit enak. Itu baru merdeka...”, cetus Mbak Uji sambil tertawa. Tidak seperti sekarang, apa-apa mahal dan banyak orang makan nasi angking. Ingatan Mbak Uji kembali ke tahun 1998 ketika krisis terjadi. Dia pernah ikut mengantri minyak tanah selama berjam-jam, namun hanya dapat 2 liter yang cukup untuk satu hari. Setiap hari harus mengantri untuk mendapatkan minyak. Saat ini minyak susah dicari kemudian diganti dengan kompor gas. Kompor gas banyak yang meledak dan merusak rumah warga, bahkan menelan korban jiwa. Keadaan ini menurut Mbak Uji menjadi makin sulit, dan pemerintah tidak berhasil dalam tugasnya. Keputusasaan sering terdengar dalam suara Mbak Uji ketika Tanya jawab berlangsung, terutama kalau berbicara tentang pemerintah. “Ya..harapan apa? Udah lama tetap begini. Cuma janji muluk-muluk. Kayak sekarang dijajah mulu kayak Belanda. Pemerintah gak lihat yang kelaparan, busung lapar. Yang di atas sana enak-enakan. Yang di bawah nangis-nangis karena gak bisa makan”. Penyataan jujur seorang perempuan yang memiliki peran sangat besar di negara ini dalam upaya membesarkan generasi muda Indonesia. Apakah kondisi ini akan tetap terjadi sampai 100 tahun kemerdekaan Indonesia ke depan? Inilah cerminan pembangunan yang belum berhasil. Sampai kapan kita menunggu dan bisa mendengar kelompok masyarakat miskin dapat mengatakan KITA SUDAH MERDEKA karena HARGA-HARGA SUDAH MURAH DAN RAKYAT SEJAHTERA?*****(LS)
Edisi III | Juli-September 2010 | Perempuan
Bergerak
17
bedah film
Ruma Maida: Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah!
A
dalah perjuangan yang panjang yang mengantarkan Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaannya. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1945 kini telah menginjak usia ke-65 tahun. Penting bagi kita sebagai generasi penerus bangsa untuk memaknai Kemerdekaan dengan memberikan sumbangsih nyata bagi kemajuan bangsa dan masyarakat. Belajar dari sejarah untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dapat kita wujudkan melalui sikap nasionalisme dan optimisme bahwa negara ini dapat melangkah maju! Study the past if you would define the future adalah kalimat bijak Confucius yang mengajak kita untuk men-
genal dan mengetahui sejarah agar dapat merengkuh masa depan. Untuk menggapai masa depan Indonesia yang lebih cemerlang, kita pun harus mengenali dan mengetahui sejarah bangsa sendiri. Hal ini pula yang ditegaskan oleh Soekarno dengan slogannya yang sampai kini sering kita dengar: JAS MERAH ( jangan sekali-kali melupakan sejarah!) Karena dari sejarahlah kita dapat belajar mencintai negeri ini. Pendidikan adalah modal dasar pembangunan, demikian kata Bung Hatta. Dunia pendidikan adalah pintu bagi kita untuk mengetahui sejarah panjang negeri ini dan belajar daripadanya untuk kehidupan bangsa yang lebih maju. Hanya dalam dunia pen-
RUMA MAIDA Judul Film : Rumah Maida Sutradara : Teddy Soeriaatmadja Penulis Skrip : Ayu Utami Produksi : Lamp Pictures & Karuna Pictures Produser : P. Setiono, Teddy Soeriaatmadja Durasi : 95 menit Pemain : Atiqah Hasiholan, Yama Carlos, Davina Veronica Hariadi, Imelda Soraya, Nino Fernandez, Wulan Guritno, Frans Tumbuan, Verdy Solaiman
18
Perempuan Bergerak |
Edisi III | Juli-September 2010
didikan, kita kerap diidentikkan dengan menghafal peristiwa, tokoh, dan tanggal, tanpa dimaknai dengan jelas. Kita, tidak belajar dari sejarah, tetapi menghafal sejarah. Ini yang kemudian melahirkan generasi yang tidak menghargai bangsa sendiri dan mengabaikan nilai-nilai historis peradaban. Pola berpikir bergeser ke arah hidup yang modern, dan lebih parah dari itu yakni meraup keuntungan untuk kepentingan diri sendiri. Rumah Maida adalah film yang menyoroti hal itu. Film yang mengedepankan nilai-nilai kebangsaan dengan menghargai sejarah negeri dengan tidak memusnahkannya. Film ini juga mengetengahkan persoalan yang dikerap dilakukan oleh kaum kapitalis, yakni penggusuran bangunan bernilai historis untuk dijadikan pusat pertokoan. Berkisah tentang Maida, seorang mahasiswi idealis yang menyulap sebuah bangunan kosong dan tua menjadi sekolah gratis untuk anak jalanan. Sudah dua tahun Maida mendirikan sekolah tersebut. Perlengkapan belajar mengajar ia buat dari barang-barang bekas. Walaupun dengan perlengkapan terbatas, namun anak jalanan yang dididiknya tetap bersemangat untuk belajar. Bangunan tua tempat Maida mendirikan sekolah tersebut ternyata memiliki nilai historis yang berkaitan dengan perjuangan kebangsaan dan Kemerdekaan Indonesia. Bangunan tersebut menjadi saksi bisu kisah cinta tragis Ishak Pahing, seorang musisi dan Nani Kuddus, seorang penyanyi, yang samasama tergabung dalam Orkes Sumpah Pemuda. Sosok Ishak Pahing pun ia jadikan sebagai judul dari skripsi yang sedang disusunnya. Maida harus berhadapan dengan Dasaad Muchlisin, seorang pengusaha yang tidak menyukai sejarah dan segala sesuatu yang bersifat klasik. Dasaad Muchlisin mengklaim bahwa tanah di mana Rumah Maida berdiri adalah miliknya. Sehingga ia akan merobohkan bangunan tersebut dan diganti dengan pusat pertokoan yang modern. Ia pun telah membayar seorang arsitek untuk merealisasikan rencananya. Maida ingin mempertahankan bangunan tersebut, karena di sanalah tempat ia bisa membantu anak-anak jalanan mendapatkan pendidikan untuk memberikan impian akan masa depan yang cerah. Ia berjuang dan berusaha untuk bertemu dengan Dasaad Muchlisin. Sambil Maida berusaha, sedikit demi sedikit, ia dapat membuka tabir misteri sejarah bangunan tersebut. Dengan bantuan teman ibunya, ia mendapatkan banyak petunjuk yang menuntun ia ke kenyataan yang mengejutkan. Ishak Pahing ternyata adalah ayah dari Dasaad Muchlisin, yang bernama asli Fajar Putra, yang merupakan nama pemberian Soekarno. Akibat pemberontakan yang dilakukan oleh Tan Hong Boen lah yang
akhirnya memisahkan Fajar Putra dan orangtuanya. Tan Hong Boen adalah mata-mata jepang yang menyamar menjadi fotografer. Ishak Pahing diceritakan meninggal pada tahun 1947 karena tertembak oleh Belanda dalam pesawat Dakota yang membawa bantuan obat-obatan ke Yogyakarta. Film berdurasi 95 menit ini menyuguhkan kisah yang hidup nan penuh makna. Walaupun Nani Kuddus dan Ishak Pahing merupakan tokoh imajiner namun sosok mereka terasa seakan benar-benar ada dalam sejarah. Kedua tokoh tersebut dihadirkan sebagai penghubung untuk mengetahui sisi lain dari Soekarno yang mencintai seni. Di akhir cerita digambarkan, bahwa kemudian Dasaad Muchlisin sadar. Ia pun menjadi bagian sejarah dari bangunan yang ingin digerusnya itu. Sebagai penghargaan terhadap usaha dan karya yang dilakukan oleh Maida, rumah tersebut diresmikan menjadi Balai Sekolah Maida. Sekolah gratis yang dikhususkan untuk anak-anak jalanan. Maida adalah salah satu contoh sosok yang memaknai kemerdekaan dengan melakukan sesuatu yang ia mampu lakukan, yakni memberikan pendidikan kepada anak-anak yang dimiskinkan oleh Negara. Ia tahu bahwa masih banyak anak-anak lain yang membutuhkan pendidikan. Yang ia didik, hanya bagian kecilnya. Menjadi tugas kitalah untuk melakukan hal serupa. Mengisi dan memaknai kemerdekaan dengan perbuatan, bukan hafalan. Berbuat, namun tetap menggugat tanggungjawab negara dalam menyejahterakan rakyatnya, salah satunya dengan memberikan pendidikan yang layak dan gratis bagi anak-anak miskin. Setidaknya ada tiga pelajaran penting yang dapat dipetik dari film yang cerita dan naskahnya ditulis oleh Ayu Utami ini: pertama, sejarah adalah catatan bermakna sebagai pijakan untuk melangkah ke depan yang lebih baik. Dan Maida pun dengan lantang menyerukan: JAS MERAH,(jangan sekali-kali melupakan sejarah!); kedua, menghargai kekayaan historis warisan, pusaka dan arsitektur bangsa dengan tidak merusak dan menghancurkan untuk kepentingan bisnis kita semata; ketiga, pendidikan adalah modal dasar dalam pembangunan. Oleh sebab itu, negara harus memberikan kemudahan akses bagi tiap warga negaranya tanpa kecuali. Mengutip kalimat Maida di penghujung film ini: “Dunia manusia, orang per orang, bisa merdeka adalah dengan pendidikan, dengan pendidikan bisa membuat merdeka dari dalam jiwa kita”. Semoga 65 Tahun Kemerdekaan Indonesia dapat dimaknai oleh negara bukan untuk memundurkan pendidikan dan pembodohan terhadap kehidupan bangsanya dan masyarakatnya.*****(IK) Edisi III | Juli-September 2010 | Perempuan
Bergerak
19
bedah buku
Islam Mengapresiasi Nilai-nilai Universal HAM
B
uku yang ditulis aktivis HAM ini, Siti Musdah Mulia, membicarakan persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) secara praktis dan komprehensif. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dengan tema hak asasi manusia yang telah disajikan di sejumlah forum di berbagai tempat. Pergumulan penulis dalam isu HAM bermula dari aktivitas penulis selama kurang lebih 20 tahun (1980-2000) di dalam organisasi Fatayat NU. Dari sejumlah pelatihan HAM di berbagai negara, seperti Thailand, Bangladesh, Swedia, Australia,dan Amerika, penulis makin yakin bahwa persoalan HAM adalah persoalan semua manusia, dan nilai-nilai HAM adalah universal. Adalah kewajiban negara melindungi dan memenuhi hak-hak asasi warganya, khusunya terkait dengan hak hidup, hak sosial-politik, serta hak ekonomi dan budaya. Konsep HAM berakar dari penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk berharga dan bermartabat. Konsep HAM menempatkan manusia sebagai subyek, bukan obyek dan memandangnya sebagai makhluk yang dihargai dan dihormati tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin biologis maupun sosial (gender), suku bangsa, bahasa, maupun agamanya. Manusia memiliki sejumlah hak dasar yang wajib dilindungi, seperti hak hidup, hak beropini, hak berkumpul, dan hak kepercayaan. Nilai-nila HAM mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi itu dilindungi dan
dimuliakan. HAM dipandang sebagai konsep etika politik modern dengan gagasan inti adanya tuntutan moral menyangkut bagaimana manusia wajib memberlakukan manusia secara manusiawi sehingga secara potensial amat kuat untuk melindungi orang dan kelompok yang lemah terhadap kesewenangan mereka yang kuat karena kedudukan,usia, jenis kelamin, status sosial dan lainnya. Karena itu, hak asasi manusia bukan hanya sekedar konsep, melainkan lebih mengarah pada penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang. Rujukan Indonesia mengenai hak asasi manusia adalah sila kedua Pancasila; Kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam kesatuannya dengan sila-sila Pancasila lainnya. Sehingga secara ideologis, politik, dan konseptual hak asasi manusia dipahami sebagai implementasi dari sila-sila Pancasila yang merupakan dasar negara serta pandangan hidup bangsa Indonesia. Meskipun istilah HAM belum dikenal ketika Islam turun pada masyarakat Arab abad ke-7 Masehi, namun prinsip-prinsip penghormatan dan penghargaan pada manusia dan kemanusiaan sudah diajarkan Islam secara tegas. Bahkan lebih jauh dari retorika, Nabi sudah mengimplementasikan prinsip-prinsip persamaan dan penghormatan kepada manusia dalam masyarakat Madinah yang sangat heterogen sebagaimana tertuang dalam Piagam Madinah. Piagam tersebut intinya menggaris-bawahi lima hal pokok sebagai dasar bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pertama, prinsip persaudaraan. Kedua, prinsip saling menolong dan melindungi penduduk Madinah. Ketiga, prinsip melindungi yang lemah dan teraniaya. Keempat, prinsip saling menasihati. Kelima, prinsip kebebasan beragama. Untuk meyakinkan bahwa ajaran Islam akomodotif terhadap kemaslahatan manusia, Imam al Ghazali mencoba merumuskan tujuan dasar syariat Islam (maqashid al syari’ah), yakni pertama, Islam menjamin
Judul Penulis Editor Penerbit Cetakan Halaman
20
Perempuan Bergerak |
Edisi III | Juli-September 2010
: Islam dan Hak Asasi Manusia; Konsep dan Implementasi : Siti Musdah Mulia : Deni Al-Asy’ari : Naufan Pustaka : Juli 2010 : 360 hal+XVII
hak kelangsungan hidup (hifz al-nafs). Kedua, Islam menjamin hak kebebasan beropini dan berekspresi (hifz al-aql). Ketiga, Islam menjamin hak kebebasan beragama ( hifz ad-din). Keempat, islam menjamin hak dan kesehatan reproduksi (hifz an-nasl) untuk menjaga kelangsungan hidup. Kelima, Islam menjamin hak property (hifz al-maal), hak-hak mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak dan memperoleh jaminan perlindungan dan kesejahteraan. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasioanl, jauh sebelum Deklarasi Universal tersebut ada, telah dengan tegas menyatakan komitmennya terhadap upaya perlindungan dan pemajuan HAM. Hal itu, antara lain dinyatakan dalam Mukaddimah UUD 1945: “Sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Hanya saja, komitmen ini sering gagal diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga dirasakan perlunya dirumuskan komitmen baru bagi upaya perlindungan dan penegakan HAM. Untuk itu, pemerintah melalui TAP MPR Bo. XVII tahun 1998 tentang HAM telah merumuskan Piagam Hak Asasi Manusia yang terdiri dari 10 bab dan 44 pasal. Dalam ketetapan MPR tersebut dinyatakan, bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrat, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa. Hak-hak tersebut meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan. Semua hak yang disebutkan itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapa pun. Disamping itu, manusia juga mempunyai hak dan tanggungjawab yang timbul sebagai akibat perkembangan kehidupannya dalam masyarakat. TAP MPR tersebut juga menjelaskan bahwa hak-hak manusia bukanlah hak yang diberikan oleh negara atau masyarakat, melainkan hak-hak yang melekat pada diri seseorang karena ia manusia. HAM lahir bersama manusia untuk menjadikan manusia bermartabat. Definisi HAM di atas berbeda dengan definisi yang dirumuskan oleh PBB. Ada penekanan bahwa HAM itu merupakan anugerah Tuhan YME, sehingga terkesan tidak sekular. Hal ini mungkin untuk menepis anggapan bahwa yang melihat HAM sebagai nilai-nilai sekular. Setahun setelah Piagam HAM tersebut, disusunlah suatu undang-undang khusus mengenai HAM, yaitu Undang-Undang No. 39 tahun 1999 yang terdiri dari 11 bab dan 106 pasal. Undang-Undang tersebut secara rinci mengatur tentang hak untuk hidup, hak berkeluarga, dan melanjutkan keturunan, hak
mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak-hak asasi kaum perempuan, dan hak perlindungan anak. Selain tentang hak-hak manusia, diatur pula mengenai kewajiban dasar manusia, kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dalam penegakan HAM, serta fungsi dan tugas Komnas HAM. Undang-Undang itu juga merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang HAM. Oleh karena itu, pelanggaran HAM secara langsung atau tidak langsung, dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Upaya untuk pencegahan bagi terjadinya pelanggaran HAM harus dimulai dari pemahaman terhadap HAM itu sendiri. Pemahaman yang baik terhadap HAM akan membawa kepada timbulnya kesadaran manusia akan hak dan kewajibannya yang pada gilirannya akan mencegah dirinya dari melakukan pelanggaran HAM. Meskipun tetap harus diakui, bahwa ada sejumlah faktor lainnya yang harus dimiliki agar seseorang atau masyarakat betul-betul sadar untuk tidak melakukan pelanggaran HAM. Musuh utama rakyat yang hidup di nusantara yang kemudian menggabungkan diri dalam sebuah organisasi yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah kemiskinan dan kebodohan. Kemiskinan dan kebodohan yang dialami rakyat itu diasumsikan sebagai akibat penjajahan yang dilakukan orangorang Eropa selama ratusan tahun. Para penjajah telah mengeksploitasi sumber daya alam yang dimiliki oleh rakyat yang hidup di nusantara. Bertolak dari asumsi tersebut, para pendiri negara ini kemudian merumuskan visi dari negara yang didirikan itu adalah untuk mensejahterakan dan mencerdaskan rakyat Indonesia, seperti terbaca dalam pembukaan UUD 1945. Akan tetapi, setelah perjalanan panjang yang dilewati negara ini, dan setelah berganti-ganti orde; mulai dari Orde Lama ke Orde Baru dan sekarang melewati Orde Reformasi, ternyata musuh utama rakyat Indonesia itu bukan hanya tidak mampu dilumpuhkan, melainkan dirasakan semakin kuat berakar di dalam organisasi negara Indonesia. Mayoritas rakyat tetap hidup dalam kemiskinan dan kebodohan, hanya sebagian kecil di antaranya yang bisa menikmati pendidikan dan taraf hidup yang layak. Namun harus pula dipahami, bahwa pemerintah dengan segala keterbatasan dan kelemahan yang dimilikinya tidak mungkin dapat memenuhi hak-hak seluruh rakyat. Karena itu, dibutuhkan partisipasi dan keikutsertaan rakyat itu sendiri untuk pemenuhan hak-hak dimaksud. Artinya, pemerintah dan rakyat hendaknya bahu membahu, bergandengan tangan menyusun kekuatan untuk menumpaskan musuh berEdisi III | Juli-September 2010 | Perempuan
Bergerak
21
sama negara, yaitu kebodohan dan kemiskinan. Tuntutan rakyat pada hakikatnya mengarah pada penguatan civil society, yakni masyarakat yang mandiri yang di dalamnya seluruh hak asasi warga dilindungi dan dihormati, termasuk hak-hak politik warga negara. Civil Society adalah seluruh unsur yang tergabung dalam masyarakat, termasuk kaum perempuan. Kaum perempuan sebagai bagian mutlak warga bangsa yang jumlahnya lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia, dan 57% dari jumlah pemilih harus diperhitungkan dan keikutsertaan. Lebih khusus lagi, dalam rangka membangun civil society yang berkesetaraan dan berkeadilan gender, perempuan merupakan kelompok strategis dan partisipasinya merupakan komponen kunci dalam membangun demokrasi. Pentingnya penguatan civil society, terutama berkaitan dengan upaya membangun partisipasi
Ibu Pertiwi, Mereka Teriak Merdeka Lagi Hari Ini!
puisi 22
dan kontrol rakyat terhadap pemerintah, sehingga tercipta kondisi yang seimbang antara rakyat dan pemerintah. Kondisi yang seimbang itu dapat menghalangi timbulnya otoritarisme akibat melemahnya masyarakat. Selama ini, posisi dan kesadaran rakyat untuk berpartisipasi dan melakukan kontrol sudah secara sistematis dilemahkan oleh negara. Oleh karena itu, diperlukan sebuah gerakan sistematis pula untuk mencoba melakukan penyadaran pada masyarakat dengan upaya-upaya strategis sehingga mampu menjadi kekuatan efektif yang bisa mengimbangi dan melakukan kontrol terhadap penggunaan anggaran Negara, misalnya. Dengan ungkapan lain, dibutuhkan masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan memadai dan tingkat kesejahteraan yang optimal agar mereka dapat bepartisipasi secara maksimal dalam seluruh proses pembangunan bangsa. *****(RK)
Oleh: Sugianto Parulian Simanjuntak Ibu pertiwi, mereka teriak merdeka lagi hari ini. Sungguhan. Begitu banyak bendera merah putih. Juga kata-kata HUT RI Ke-65. Tapi kami tidak mengerti maknanya. Ibu pertiwi, tolong jelaskan kenapa mereka teriak merdeka lagi hari ini. Ibu pertiwi, lihat anak-anak negeri di Papua. Mereka berbahasa Indonesia lebih baik dari anak cucumu di Jawa, tetapi masa depan mereka telah dibelenggu AIDS. Bahkan 144 prajurit yang dititipin bendera merah putih di sana sudah dijajah oleh virusnya. Sudah merdekakah mereka? Entahlah. Ibu pertiwi, lihat NTT. Lihat NTB. Angka kematian Ibu dan Anak mereka tertinggi di Indonesia. Bagaimana mau teriak merdeka kalau masih dibelenggu rantai penyakit? Ibu pertiwi, lihat Kalimantan. Kapan mereka bisa merdeka menikmati listrik PLN sampai ke desa-desa? Ibu pertiwi, lihat Jakarta. Katanya ibukota, tapi kapan bandaranya merdeka dari calo? Kapan tanahnya merdeka dari banjir? Kapan jalannya merdeka dari kemacetan? Ibu pertiwi, banyak daerah lainnya yang menyedihkan untuk diceritakan. Ibu pertiwi, menangislah untuk putera-puteri negeri ini. Kami belum merdeka untuk berdaulat. TKI diperkosa di negeri asing, dan kami tidak bisa berbuat
Perempuan Bergerak |
Edisi III | Juli-September 2010
apa-apa. Petugas DKP ditangkap polis marin negeri jiran dan kami hanya maklum adanya. Kami belum merdeka kemaksiatan, para selebritis beradegan porno, mereka dibela dan kami semua menontonnya. Kami belum merdeka dari korupsi dan pencuri: PNS rendahan bisa merampok miliaran dan tetap hidup padahal pencuri kecil bisa dikeroyok sampai mati. Kami belum merdeka dalam beribadah. Wong tempat ibadah saja bisa dibumihanguskan. Kami belum merdeka dalam mendapatkan berita. Puteramu mengklaim Indonesia negara demokrasi terbesar dunia setelah India dan Amerika. Lalu kenapa banyak wartawan yang dizalimi, banyak informasi yang disembunyikan? Bahkan kami tidak boleh tahu kenapa, bagaimana dan dimana pejabat tertinggi kepolisian boleh menghilang. Hehe… Ibu pertiwi, kapan kami merdeka dari hutang 1.627 triliun? Ibu pertiwi, kapan kami merdeka mengibarkan merah putih di bulan? Ibu pertiwi, banyak yang ingin kami pertanyakan. Kami ingin curhat habis-habisan. Tapi kami hanya meminjam negeri ini. Sebanyak 237,6 juta putera-puterimu sudah disensus tahun 2010 ini dan semuanya tidak pernah memiliki negeri ini. Kami, ah, kami, kapan merdeka? (Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2010/08/17/ ibu-pertiwi-mereka-teriak-merdeka-lagi-hari-ini/)
Kemerdekaan
irokrasi adalah organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, di mana lebih banyak orang berada di tingkat bawah daripada tingkat atas; biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer. Pada rantai komando ini, tiap posisi dan tanggungjawab kerjanya dideskripsikan dengan jelas dalam organigram. Organisasi ini memiliki aturan dan prosedur ketat sehingga cenderung kurang fleksibel. Ciri lainnya, biasanya terdapat banyak formulir yang harus dilengkapi dan pendelegasian wewenang harus dilakukan sesuai dengan hirarki kekuasaan.
emerdekaan adalah saat di mana sebuah negara meraih hak kendali penuh atas seluruh wilayah bagian negaranya. Bisa juga kemerdekaan adalah saat di mana seseorang mendapatkan hak untuk mengendalikan dirinya sendiri tanpa campur tangan orang lain, dan atau tidak bergantung pada orang lain lagi.
Feodalisme
asionalisme adalah paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.
B
F
eodalisme adalah struktur pendelegasian kekuasaan sosiopolitik yang dijalankan kalangan bangsawan/monarki untuk mengendalikan berbagai wilayah yang diklaimnya melalui kerjasama dengan pemimpin-pemimpin lokal sebagai mitra.
Fundamentalisme
F
undamentalisme adalah gerakan dalam aliran, paham atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fondasi). Karena kelompok-kelompok yang mengikuti paham ini sering berbenturan dengan kelompok-kelompok lain, bahkan yang ada di lingkungan agamanya sendiri. Mereka menganggap diri sendiri lebih murni dan dengan demikian juga lebih benar daripada lawan-lawan mereka yang iman atau ajaran agamanya telah “tercemar”. Kelompok fundamentalis mengajak seluruh masyarakat luas agar taat terhadap teks-teks Kitab Suci yang otentik dan tanpa kesalahan. Mereka juga mencoba meraih kekuasaan politik demi mendesakkan kejayaan kembali ke tradisi mereka.
Gerilya
G
erilya adalah salah satu strategi perang yang dikenal luas dan banyak digunakan selama perang kemerdekaan di Indonesia pada periode 1950-an.
K
Nasionalisme
pojok kata
Birokrasi
N
Reformasi
R
eformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Reformasi adalah menata kembali keadaan yang tidak baik menjadi lebih baik, mengubah sedikit demi sedikit perilaku yang tidak baik yang ada pada diri kita menjadi lebih baik dan begitu seterusnya. Di Indonesia, kata Reformasi umumnya merujuk kepada gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto atau era setelah Orde Baru.
Revolusi
R
evolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama. *****(DT)
Edisi III | Juli-September 2010 | Perempuan
Bergerak
23