Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli-September 2009
1
daftar isi
puisi
Perempuan Bergerak Edisi III Juli-September 2009
7
Tapak Kaki Renta Nenek Masih Muda
opini Peran Keluarga dalam Mendukung Kehidupan Perempuan Lanjut Usia
8
warta perempuan Pengelolaan Perempuan Lanjut Usia: Tantangan Indonesia ke Depan
9
reportase Perempuan Lanjut Usia: Sebuah Tantangan Bersama
10
redaksional Perempuan Manula Indonesia Nasibmu Kini
sosok Kuswanti: Berani Hidup di Usia Senja
3
11
fokus utama Perempuan Lansia dan Tanggungjawab Negara
perspektif Pelaksanaan HAM Perempuan Lansia: Apa Kabarmu Kini?
4
B
ertambahnya jumlah penduduk lansia di Indonesia di masa datang, tak bisa dipungkiri. Di satu sisi, mungkin ini sebagai keberhasilan pemerintah dalam rangka meningkatkan angka harapan hidup warga negaranya. Namun demikian, lonjakan jumlah lansia itu akan menimbulkan dampak serius apabila pemerintah tidak cepat tanggap melakukan antisipasi.
12
budaya pop Menjamin Kehidupan Hari Tua Nan Cemerlang
14
bedah buku Bagaimana Melindungi Perempuan Lansia
16
bedah film Tebaran Kasih untuk Kaum Miskin
18
Perempuan Bergerak Penanggung Jawab: Rena Herdiyani Pemimpin Redaksi: Hegel Terome Redaktur Pelaksana: Ika Agustina Redaksi: Naning Ratningsih, Iha Sholihah, Listyowati, Nani Ekawaty, Rakhmayuni, Ika Agustina, Diana Reportase: Wiwik (PMK) Desain visual: Rudy Fransiskus Distribusi : Rakhmayuni Perempuan Bergerak merupakan media yang memuat pandangan-pandangan yang membangun kesadaran kritis kaum perempuan di seluruh Indonesia sehingga memberdayakan dan menguatkan mereka. Kekuatan bersama kaum perempuan yang terbangunkan itu merupakan sendi-sendi penting terdorongnya gerakan perempuan dan sosial umumnya untuk menuju masyarakat yang demokratis, setara, tidak diskriminatif dan tidak subordinatif. Redaksi menerima kritik, saran dan sumbangan berupa surat pembaca, artikel dan foto jurnalistik. Naskah, artikel dan foto jurnalistik yang diterima redaksi adalah yang tidak anti demokrasi, anti kerakyatan, diskriminatif dan bias gender. Naskah tulis diketik pada kertas A4, spasi satu, huruf Arial 12, maksimal 3 halaman dalam bentuk file atau print-out. Alamat Redaksi dan Iklan: Jl.Kaca Jendela II No.9 Rawajati-Kalibata, Jakarta Selatan 12750. Telp: 021-7902109; Fax: 0217902112; Email :
[email protected]; Website : www.kalyanamitra.or.id Untuk berlangganan Perempuan Bergerak secara rutin, kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Redaksi menerima sumbangan pengganti biaya cetak Rp. 10.000,- dan biaya pengiriman di rekening sesuai kota tujuan. Transfer ke Rekening Bank Bukopin Cabang Kalibata, No. Rekening 0103-034652 a/n. Rena Herdiyani.
2
Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli-September 2009
Kita
ketahui bersama bahwa potret perempuan lanjut usia Indonesia begitu buram, bahkan kurang begitu dipedulikan banyak orang. Kekurang-pedulian itu bisa jadi berpangkal dari sedikitnya informasi yang menjelaskan peran dan posisi mereka dalam kehidupan sosial kita sehari-hari di Indonesia. Apabila dicermati seksama, maka kecenderungan makin bertambahnya angka perempuan yang mencapai usia lanjut cukuplah besar. Angka harapan hidup perempuan di Indonesia jauh lebih tinggi daripada laki-laki, yakni mencapai 70 tahun. Angka ini akan makin membaik apabila tingkat gizi, kesehatan, dan lingkungan turut mendukung. Walaupun di sisi lain, angka kematian ibu melahirkan di Indonesia tertinggi se-Asia, yakni 300 per 100.000 kelahiran. Fenomena lain yang tak dapat dipungkiri yakni makin cenderung perempuan lanjut usia di perkotaan yang memilih hidupnya terpisah dari anak-anak mereka atau berdiam di panti-panti wreda. Dalam konteks itu, tentu kita ingin mengungkap lebih jauh potret perempuan lanjut usia di Indonesia terkait dengan tanggung jawab negara. Bagaimanapun negara berkewajiban menjamin hak-hak hidup tiap warga negaranya. Gejala perempuan lanjut usia di perkotaan yang kian banyak memilih melalui sisa hidup mereka di panti-panti wreda tidak terelakkan lagi. Dengan kata lain, perkembangan yang ada itu kini perlu kita pahami secara tepat. Buletin edisi kali ini mencoba menggali berbagai persoalan yang terkait dengan peran dan posisi perempuan lansia, di samping menelusuri peran tanggung jawab negara atas peri kehidupan mereka. Dalam fokus utama kita teropong peran
redaksional
Perempuan Manula Indonesia Nasibmu Kini
tanggung jawab negara dalam mengelola peri kehidupan perempuan lansia melalui program pembangunan sosial dan produk kebijakan berupa UU Lansia. Meskipun program dan produk kebijakannya begitu lengkap dan menyeluruh, namun dalam tataran implementasi masih jauh dari harapan. Dalam perspektif, kita bahas peran penting anggota keluarga untuk menopang kehidupan perempuan lansia secara fisik dan psikis. Bagaimanapun kondisi perempuan lansia akan sangat membutuhkan perhatian lebih karena menurunnya tingkat kesehatan dan psikologis mereka. Penerimaan anggota keluarga akan realitas semacam itu sangatlah penting. Akhir, dalam warta kita ungkapkan berbagai realitas kehidupan perempuan lansia, yang kurang mendapat perhatian dan kepedulian negara. Mereka hidup dalam kemiskinan dan harus bekerja keras pada usia senja untuk menjamin kehidupan anak-anak mereka. Bagaimanapun realitas perbedaan kelas-kelas sosial di kalangan perempuan lansia akan terkait langsung dengan kondisi keberlanjutan mereka. Perempuan lansia dari kalangan miskin akan sulit mengembangkan kehidupan hari tua mereka daripada yang berasal dari kalangan kaya atau berkecukupan. Pemimpin Redaksi Hegel Terome
Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli-September 2009
3
fokus utama
Perempuan Lansia dan Tanggungjawab Negara Lonjakan jumlah lansia
B
ertambahnya jumlah penduduk lansia di Indonesia di masa datang, tak bisa dipungkiri. Di satu sisi, mungkin ini sebagai keberhasilan pemerintah dalam rangka meningkatkan angka harapan hidup warga negaranya. Namun demikian, lonjakan jumlah lansia itu akan menimbulkan dampak serius apabila pemerintah tidak cepat tanggap melakukan antisipasi. Terjadinya lonjakan jumlah lansia di masa datang merupakan salah satu ciri kependudukan dunia pada abad 21. Terjadi proses penuaian struktur penduduk yang ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk lansia. Tahun 2000, jumlah penduduk lansia di Indonesia sebanyak 14,4 juta jiwa atau 7,18 persen dari total jumlah penduduk. Tahun 2005 meningkat menjadi 17,6 juta jiwa (8,48 persen), dan 2020 diperkirakan mencapai 28,8 juta jiwa (11,34 persen). Lonjakan jumlah lansia yang cukup signifikan ini harus mendapat perhatian serius pemerintah bersama seluruh pihak lainnya. Antara lain, dengan memberikan perhatian, pelayanan, kesempatan, dan fasilitas. Indikasi angka harapan hidup Salah satu indikator utama tingkat kesehatan masyarakat adalah meningkatnya umur harapan hidup (UHH). Tahun 2004, UHH penduduk Indonesia adalah 66,2 tahun, kemudian meningkat menjadi 69,4 tahun pada tahun 2006. Tahun 2009, UHH diharapkan mencapai 70,6 tahun. Sensus Penduduk tahun 1990 menunjukkan jumlah penduduk berusia 60 tahun ke atas besarnya 6,4% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia, atau sekitar 11,3 juta jiwa. Berdasarkan proyeksi Biro Pusat Statistik, pada tahun 2000 jumlahnya meningkat menjadi 7,4% atau sekitar 15,3 juta jiwa. Diperkirakan pada tahun 2005-2010 jumlah penduduk usia lanjut (Usila) akan sama dengan jumlah Balita yaitu 8,5% dari jumlah penduduk atau sekitar 19 juta jiwa. Secara alamiah, proses menjadi tua mengakibatkan kemunduran kemampuan fisik dan mental. Secara umum, lebih banyak gangguan organ tubuh dikeluhkan oleh para lansia, lebih banyak pula yang menderita penyakit kronis. Dengan demikian, fokus atau pendekatan utama pelayanan atau upaya kesehatan bagi usia lanjut (usila) perlu mengakomodir
4
Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli-September 2009
dan dikaitkan dengan proses degeneratif yang dialami penduduk Usila. Dari hasil studi tentang kondisi sosial ekonomi dan kesehatan lanjut usia (Lansia) yang dilaksanakan Komnas Lansia di 10 propinsi tahun 2006, diketahui bahwa penyakit terbanyak yang diderita Lansia adalah penyakit sendi (52,3%), hipertensi (38,8%), anemia (30,7%) dan katarak (23%). Penyakit-penyakit tersebut merupakan penyebab utama disabilitas pada lansia. Pemerintah telah merumuskan kebijakan, program dan kegiatan bagi para Usila. Tujuan program Usila adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan lanjut usia agar tetap sehat, mandiri dan berdaya guna sehingga tidak menjadi beban bagi dirinya sendiri, keluarga maupun masyarakat. Aspek-aspek yang dikembangkan yakni dengan memperlambat proses menua (degeneratif). Bagi yang merasa sudah tua, perlu dipulihkan (rehabilitatif) agar tetap mampu mengerjakan kehidupan sehari-hari secara mandiri. Ini dimungkinkan dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan tentang manusia berusia lanjut (Geriatri). Seseorang dianggap dapat berhasil menjalani proses penuaan jika dapat terhindar dari berbagai penyakit, organ tubuhnya tetap berfungsi baik, serta kemampuan berpikirnya (kognitif) masih tajam. Para Usila yang berhasil mempertahankan fungsi gerak dan berpikirnya dianggap berhasil menghadapi penuaan (successful aging) sehingga tetap dapat bekerja aktif terutama di sektor informal. Mereka biasanya dapat berbagi pengalaman dan telah mencapai tahap perkembangan psikologis di mana mereka dianggap bijaksana menyikapi kehidupan dan mendalami kehidupan spiritual. Agar tetap aktif sampai tua, sejak muda seseorang perlu melakukan dan mempertahankan pola hidup sehat dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang, melakukan aktivitas fisik/olahraga secara benar dan teratur dan tidak merokok. Rencana hidup yang realistis seharusnya sudah dirancang jauh sebelum memasuki masa lanjut usia, paling tidak individu sudah punya bayangan aktivitas apa yang akan dilakukan kelak bila pensiun sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Berdasarkan prinsip tersebut maka lanjut usia merupakan usia yang penuh kemandirian baik dalam tingkah laku kehidupan seharihari, bekerja maupun berolahraga. Dengan menjaga kesehatan fisik, mental, spiritual, ekonomi dan so-
sial, seseorang dapat memilih masa tua yang lebih membahagiakan, dan terhindar dari banyak masalah kesehatan. Orientasi pembangunan sosial bagi lansia Pembangunan sebagai karya terstruktur sesungguhnya berimplikasi luas terhadap kualitas hidup manusia di Indonesia. Oleh karena konstruksi pembangunan terdiri atas serangkaian aktivitas yang direncanakan untuk memajukan kondisi kehidupan manusia. Analogi ini menyiratkan, bahwa karya terstruktur yang dilakukan melalui pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan selama ini, ternyata telah mengantarkan bangsa Indonesia memasuki milenium ketiga dengan berbagai konsekuensinya. Pembangunan kesejahteraan sosial sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional, juga terkait dalam meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia. Terdapat indikasi, bahwa sejak reformasi 1998 sampai sekarang, Indonesia ternyata belum berhasil menata dan meningkatkan kualitas hidup rakyatnya, setahap lebih maju dari tatanan kehidupan yang diwarisi menjelang akhir Orde Baru yang lalu. Seiring dengan tuntutan kemajuan di bidang kesejahteraan sosial yang berkembang di masyarakat, disadari pula bahwa keberhasilan bangsa Indonesia ternyata masih diwarnai aneka permasalahan sosial yang belum terselesaikan. Memasuki tahun 2005, bangsa Indonesia masih tetap dihadapkan pada permasalahan kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, keterpencilan, korban bencana dan tindak kekerasan; baik masalah yang bersifat primer maupun akibat/ dampak non sosial, yang belum sepenuhnya terjangkau oleh proses pembangunan kesejahteraan sosial. Pembangunan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan pemerintah pada umumnya masih memerlukan peran dan tanggungjawab pemerintah serta masyarakat yang lebih besar dalam mewujudkan kesejahteraan sosial yang makin adil dan merata. Sasaran utama program pembangunan kesejahteraan sosial adalah manusia, maka perubahan-perubahan yang secara langsung terkait dengan manusia. Terutama, permasalahan dan kebutuhannya serta ukuran-ukuran taraf kesejahteraan sosialnya, sangat berpengaruh terhadap arah, tujuan dan kegiatankegiatan program. Persoalan dan kebutuhan-kebutuhan manusia tidak terlepas dari kondisi dan perubahan lingkungan baik fisik maupun non-fisik; dalam kawasan lokal,
nasional dan global. Maka perencanaan yang lebih cermat perlu dilakukan dengan memperhatikan aspek manusia, lingkungan fisik, sosial dan lingkungan strategisnya. Hal-hal ini akan mengkaitkan pembangunan kesejahteraan sosial dengan bidang pembangunan yang lain; ekonomi, politik, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan. Dalam konteks inilah sesungguhnya posisi pembangunan kesejahteraan sosial dapat diperhitungkan sebagai bagian integral dan bagian strategis pembangunan nasional. Meskipun pembangunan kesejahteraan sosial secara nyata telah memberikan kontribusi di dalam meningkatkan kesejahteraan umum serta peran aktif masyarakat dan pemeliharaan iklim yang kondusif, namun dengan terjadinya perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, perubahan-perubahan di tataran regional dan global, maka perencanaan strategis jangka menengah yang merupakan bagian dari perencanaan jangka panjang dan acuan rencana tahunan perlu dirumuskan dengan mengedepankan prioritas-prioritas; sasaran program, lokasi dan kegiatan yang dapat segera mengurangi beban masalah, mendukung terwujudnya “rasa aman” sebagaimana dimaksud di dalam RPJMN tahun 2004-2009, yang tidak hanya ditujukan kepada masyarakat rentan dan penyandang masalah kesejahteraan sosial saja, melainkan juga pada keberperanan dan keberdayaan sosial masyarakat secara lebih komprehensif. Permasalahan kesejahteraan sosial ke depan masih didominasi oleh permasalahan “konvensional” terutama kemiskinan dan keterlantaran, kecacatan, keterpencilan dan ketertinggalan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku serta akibat bencana. Namun demikian, permasalahan “aktual” yang terkait dengan kelangsungan kehidupan kenegaraan seperti disintegrasi sosial, kesenjangan sosial, perlu memperoleh perhatian yang serius dan berkelanjutan. Demikian pula permasalahan kesejahteraan sosial “hulu” dan dampak pelaksanaan berbagai bidang pembangunan lain, secara intensif perlu ditangani melalui berbagai cara. Apabila hal ini luput dari perhatian, resiko-resiko yang potensial terjadi akan menjadi beban yang sangat berat baik terhadap meningkatnya beban “murni kesejahteraan sosial” maupun permasalahan yang bersifat lebih “makro” terkait dengan masalah pembangunan lainnya. Dalam konteks pembangunan sosial bagi Lansia, maka diperlukan penyikapan secara terfokus, profesional dan proporsional dalam wujud visi, misi, arah kebijakan, strategis, program dan kegiatan pokok indikator kinerja dan dukungan sumber yang lebih
“Sebagian kecil saja perempuan lansia yang beruntung hidup dalam kondisi berkecukupan, karena didukung keluarga mereka yang berpunya. Lainnya, harus berjuang keras mengatasi keterbatasan ekonomi mereka.” Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli-September 2009
5
jelas; agar hasil nyata pembangunan kesejahteraan sosial menjadi lebih nyata manfaatnya bagi mereka sehingga “terhitung” kontribusinya di dalam pembangunan nasional. Mengimplementasikan Undang-undang Lanjut Usia Dalam menjamin pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial bagi perempuan Lansia, maka diperlukan payung hukum yang pasti. Pemerintah melalui Undang-undang No.13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia menjelaskan peran dan tanggungjawab Negara dalam mengelola kaum lansia di Indonesia. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lansia diarahkan agar mereka dapat diberdayakan sehingga berperan dalam kegiatan pembangunan dengan memperhatikan fungsi, kearifan, pengetahuan, keahlian, keterampilan, pengalaman, usia, dan kondisi fisiknya, serta terselenggaranya pemeliharaan taraf kesejahteraan mereka. Kemudian, upaya tersebut dimaksukan pula untuk memperpanjang usia harapan hidup dan masa produktif, terwujudnya kemandirian dan kesejahteraannya, terpeliharanya sistem nilai budaya. Dalam UU tersebut dinyatakan, bahwa kaum lansia memiliki hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hakhak sosial mereka meliputi: a. Pelayanan keagamaan dan mental spiritual; b. Pelayanan kesehatan; c. Pelayanan kesempatan kerja; d. Pelayanan pendidikan dan pelatihan; e. Kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum; f. Kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum; g. Perlindungan sosial; h. Bantuan sosial. Selain hak-hak tersebut, mereka juga memiliki kewajiban antara lain: • Membimbing dan memberi nasihat secara arif dan bijaksana berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya, terutama di lingkungan keluarganya dalam rangka menjaga martabat dan meningkatkan kesejahteraannya; • Mengamalkan dan mentransformasikan ilmu pengetahuan, keahlian, keterampilan, kemampuan dan pengalaman yang dimilikinya kepada generasi penerus; • Memberikan keteladanan dalam segala aspek kehidupan kepada generasi penerus. Dalam pasal 7 UU tersebut dijelaskan, bahwa tugas negara ialah mengarahkan, membimbing, dan menciptakan suasana yang menunjang bagi terlaksananya upaya peningkatan kesejahteraan
6
Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli-September 2009
sosial lansia. Pemerintah, masyarakat, dan keluarga bertanggungjawab atas terwujudnya upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia. Dalam UU Lansia tersebut, juga dicakup masalah pemberdayaan lanjut usia. Pemberdayaan ini diperlukan agar mereka tetap dapat melaksanakan fungsi sosialnya dan berperan aktif secara wajar dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hal kesehatan, dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan dan kemampuan lansia agar kondisi fisik, mental, dan sosialnya dapat berfungsi secara wajar. Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan mencakup: a. Penyuluhan dan penyebarluasan informasi kesehatan lanjut usia; b. Upaya peyembuhan (kuratif), yang diperluas pada bidang pelayanan geriatrik/ gerontologik; c. Pengembangan lembaga perawatan lanjut usia yang menderita penyakit kronis dan/atau penyakit terminal. Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan bagi lanjut usia yang tidak mampu, diberikan keringanan beaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak hanya mendapatkan pelayanan kesehatan, kaum lansia harus juga mendapatkan layanan kesempatan kerja untuk memberi peluang mendayagunakan pengetahuan, keahlian, kemampuan, keterampilan, dan pengalaman yang mereka milikinya. Pelayanan kesempatan kerja ini dilaksanakan pada sektor formal dan non formal melalui perseorangan, kelompok/organisasi atau lembaga baik pemerintah maupun masyarakat. Pelayanan pendidikan dan pelatihan untuk lansia yakni meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, kemampuan, dan pengalaman mereka sesuai dengan potensi yang dimiliki. Pelayanan pendidikan dan pelatihan tersebut dilaksanakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat. Kaum lansia pada dasarnya mendapatkan layanan kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum dengan maksud sebagai perwujudan rasa hormat dan penghargaan. Kemudahan tersebut mencakup: • Pemberian kemudahan dalam pelayanan administrasi pemerintahan dan masyarakat pada umumnya; • Pemberian kemudahan pelayanan dan keringanan biaya; • Pemberian kemudahan dalam melakukan perjalanan; • Penyediaan fasilitas rekreasi dan olah raga khusus. Para lansia pun patut memperoleh kemudahan layanan dan bantuan hukum untuk melindungi dan memberikan rasa aman kepada mereka. Layanan dan
mereka dapat menjadi sasaran tindak kekerasan, diskriminasi layanan, terbatasnya akses terhadap sumberdaya, dan ketiadaan perlindungan hukum serta ham. Belum lagi tatanan nilai di masyarakat dan keluarga yang masih memarjinal mereka. Bagaimanapun, membaiknya angka harapan hidup perempuan sekarang haruslah dibarengi dengan perhatian, peran dan tanggungjawab pemerintah atau negara yang lebih besar. Undang-undang Lansia yang ada tersebut setidaknya dapat memperkuat dasar hukum pelaksanaan peran pemerintah. Kewajiban konstitusional pemerintah atau negara untuk memenuhi hak-hak dasar perempuan lansia harus diselenggarakan secara konsisten dan berkelanjutan. Dengan demikian, makin membaiknya angka harapan hidup penduduk Indonesia, khususnya perempuan untuk mencapai usia lanjut tidaklah menjadi beban pribadi dan keluarganya secara tersendiri, karena lepasnya peran dan tanggungjawab pemerintah dan negara.***(HG)
Tapak Kaki Renta
Nenek Masih Muda
Si renta, wajah keriput berat menyusut ia pantang surut buah dada kempis daging menipis ia tabu terkikis raga pipih rambut memutih tak akrab letih
Nenek tahu nenek sudah tua tapi nenek masih bisa baca
Si renta, kepala memikul tampah menjaja hasil sawah ditukar rupiah Panas menikam hujan menghujam semangatnya tak padam Ia berjalan perlahan tergopoh dalam kesunyian meraba tapak keadilan tak teraba, tak pernah teraba tak pernah menapak Ia kembali merenda hari tuanya dengan dua tangannya, dua kakinya, satu raganya, segunung semangatnya merenda asa di kala senja sendiri...
(Ika Agustina, 15-09-2009)
Nenek tahu nenek sudah renta tapi nenek masih punya mata Bukan. Bukan membaca dengan mata tapi membaca nyata
puisi
bantuan hukum tersebut antara lain: a. Penyuluhan dan konsultasi hukum; b. Layanan dan bantuan hukum di luar dan/atau di dalam pengadilan. Dari berbagai penjelasan yang termaktub dalam UU Lansia, maka pemerintah atau negara dituntut serius untuk berperan dan bertanggungjawab terhadap lansia. Dalam realitas yang berkembang saat ini, banyak lansia, khususnya perempuan lansia tidak terjamin kondisi hidup mereka. Perempuan lansia yang masih produktif, yang menjadi tulang punggung kehidupan keluarga, banyak yang berada dalam situasi kemiskinan. Sebagian kecil saja perempuan lansia yang beruntung hidup dalam kondisi berkecukupan, karena didukung keluarga mereka yang berpunya. Lainnya, harus berjuang keras mengatasi keterbatasan ekonomis mereka. Pengelolaan perempuan lansia jelas memerlukan strategi tersendiri, karena dalam kenyataannya,
Kita masih dijajah, sayang kita masih berperang dengan pemerintah, sayang karena keadilan tak kunjung tandang Sudah tidak perlu bambu runcing untuk apa pula peluru itu yang kita butuh, keberanian yang runcing ah iya, dan hati yang satu Keberanian akan memandu hati yang satu membuka pintu kelak, keadilan bukan lagi seperti ratu tapi seperti selimutmu Nenek sudah tua, sayang apa? nenek masih muda? haha.. nenek juga merasa demikian (Ika Agustina, 15-09-2009) Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli-September 2009
7
opini
Peran Keluarga dalam Mendukung Kehidupan Perempuan Lanjut Usia Tatiana SP. Basuki *
P
8
eningkatan jumlah penduduk lansia di seluruh dunia, dan khususnya di Indonesia, memunculkan permasalahan tersendiri, terutama dari sisi kesiapan pemerintah serta masyarakat untuk mendukung kehidupan dan menjamin kesejahteraan lansia. Masa lanjut usia sering dikatakan identik dengan menurunnya kemampuan-kemampuan manusia, seperti kognitif, fungsi-fungsi inderawi, kehidupan yang tidak bahagia dan berarti, serta meningkatnya keluhan-keluhan dan penyakit-penyakit fisik maupun mental. Sebagian lansia pun mengalami keputusasaan dalam menjalani masa tuanya. Selain itu, faktor-faktor eksternal berupa perubahan-perubahan pada tingkat demografi, lingkungan, dan sosial pun dapat menempatkan lansia pada posisi yang sulit. Beberapa contoh misalnya adanya peningkatan pada jumlah lansia yang hidup sendiri, meningkatnya perpindahan domisili dari anak-anak para lansia karena urbanisasi, atau alasanalasan lainnya serta keharusan lansia tinggal di pantipanti wreda. Faktor-faktor internal dan eksternal ini dapat mempengaruhi kondisi mental dan fisik pada lansia sehingga mempengaruhi kehidupan masa tua mereka. Keluarga, sebagai bagian dari suatu komunitas masyarakat, merupakan lingkaran sosial yang terdekat dan merupakan sumber utama dari dukungan sosial yang dimiliki lansia. Walaupun demikian, bagi anak yang harus menjaga dan mengurus orang tua yang sudah lansia tidaklah mudah, dan sering kali menimbulkan kecemasan dan tekanan. Ada dua sumber tekanan bagi keluarga yang harus mengurus lansia. Pertama, kesulitan menghadapi kenyataan menurunnya kemampuan orang tua, terutama bila melibatkan penurunan kemampuan kognitifnya. Bila keluarga tidak memahami penyebabnya, ketidaktahuan ini akan menimbulkan kecemasan, ambivalensi, serta sikap antagonis terhadap orang tua yang sudah lansia. Kedua, bila situasi membuat lansia merasa terkungkung, atau sampai mengganggu peran serta tanggung jawab anak (misalnya sebagai istri/ suami, orang tua, karyawan), maka akan menimbulkan perasaan marah dan rasa bersalah, di samping kecemasan dan depresi, baik bagi lansia itu sendiri maupun anak atau keluarga yang mengurusnya. Kebanyakan lansia tidak menginginkan untuk tinggal di tempat-tempat khusus, begitu pula dengan keluarga mereka. Bila terpaksa harus dimasukkan ke dalam institusi penitipan lansia, mereka akan merasa tidak dibutuhkan dan ditolak. Bagi pihak keluarga pun terasa berat dan akan merasa bersalah jika harus menitipkan orang tua mereka ke rumah khusus. Walaupun demikian, terkadang keluarga tidak dapat mengelak karena
Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli-September 2009
hal ini merupakan solusi terbaik, terutama bila kondisi keluarga anak-anaknya sulit untuk menampung orang tua yang sudah lansia. Keputusan untuk memasukkan lansia ke dalam tempat khusus perlu pertimbangan yang masak serta diskusi terbuka antara semua anggota keluarga. Peran keluarga dalam mendukung kehidupan para lansia antara lain belajar memahami dan mencari tahu masalah fisik dan mental yang dihadapi atau dialami lansia melalui berbagai macam media informasi maupun dari para ahli. Bagaimana interaksi antara lansia dan anak-anaknya yang sudah dewasa sangat ditentukan oleh kualitas hubungan mereka di masa lalu. Untuk menghindari timbulnya atau mengatasi konflik berkaitan dengan pengasuhan orang tua lansia, semua anggota keluarga seyogyanya berupaya untuk menjalin komunikasi secara terbuka dan jujur. Salah satu faktor yang mendukung kesejahteraan psikologis lansia adalah dengan mempertahankan, bahkan memperluas jejaring sosial yang mereka miliki. Ada tiga jenis dukungan sosial menurut Kahn dan Antonucci (1980): • Dukungan instrumental/pertolongan: berupa bantuan praktis, seperti membantu tugas-tugas di rumah, kebun, dan sebagainya; bantuan finansial dan informasi. Dukungan jangka panjang biasanya diberikan oleh anggota keluarga terdekat, sedangkan untuk jangka pendek biasanya dilakukan oleh tetangga atau teman-teman. • Dukungan emosional: termasuk empati, kepercayaan, kasih sayang, kepedulian. Dukungan ini berperan dalam membantu para lansia mempertahankan identitas, rasa percaya diri, selain menawarkan kesempatan untuk saling berbagi pengalaman, bahkan advis. Rekan sebaya juga berperan untuk membantu menormalisasikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi lansia, seperti kesedihan atau ketidakberdayaan karena kondisi kesehatan/fisik yang menurun. Hal ini dapat membuat lansia lebih dapat menerima dan menghadapi tantangan-tantangan yang mungkin terjadi di usia lanjut. • Pengakuan: termasuk penerimaan yang dapat memperkuat identitas dan kepercayaan diri lansia. Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, pihak keluarga diharapkan melakukan upaya membantu lansia memperluas jejaring sosialnya, karena lansia yang dapat mempertahankan serta aktif berinteraksi dengan lingkungan pergaulannya akan merasa lebih sehat dan bahagia.*** *Konsultan personal, psikolog yang memberi pelayanan intervensi sosial, kelompok, dan individu.
“Saya sudah tidak punya keluarga lagi. Suami dan anak-anak saya meninggal waktu zaman PKI. Sekarang saya memilih untuk tinggal di panti sampai saya mati”, ungkap Siti Zubaedah, perempuan berusia 74 tahun. Hal yang senada juga diungkapkan Jumiyem, yang usianya sudah 80 tahun: “Saya sudah sepuluh tahun di sini. Saya punya anak satu, dia tinggal di Jogja bersama keluarganya. Dia pernah menengok sekali ke sini, dulu waktu saya baru pindah, tapi sesekali dia juga telpon ke sini.” Penggalan kisah dan curahan hati itu diungkapkan kedua perempuan lanjut usia, yang tinggal di sebuah Panti Werda di kawasan Cipayung, Jakarta Timur. Mereka hidup bersama dengan ratusan perempuan lansia lainnya, yang mungkin memiliki aneka ragam cerita sedih mengenai keberadaan mereka di sana, menikmati sisa hidupnya. Menurut data Departemen Sosial, saat ini terdapat 278 panti yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah ini meningkat sekitar 54,7 persen dari tahun sebelumnya. Menurut Dra. Ernita Kaban, Kasubdit Pelayanan Sosial dalam Panti Departemen Sosial, peningkatan jumlah panti ini akibat adanya jumlah populasi lansia yang juga meningkat setiap tahunnya. Masih menurut Ernita, tahun 2010 diperkirakan jumlah lansia di Indonesia akan mencapai 23,9 juta jiwa atau mengalami peningkatan sebesar 9,77 persen. Dari jumlah tersebut, sebagian besar lansia tersebut adalah perempuan. Berdasarkan data sensus penduduk Indonesia, yang dirilis Departemen Sosial, tahun 2000 terdapat sekitar 7,55 juta jiwa lansia perempuan dan 6,89 juta jiwa lansia laki-laki. Para lansia perempuan dengan status menikah sekitar 41,37 persen dan 52,08 persen statusnya bercerai mati, sedangkan 84,98 persen lansia laki-laki berstatus menikah. Apabila dilihat dari data itu, maka kecenderungan perempuan hidup seorang diri pada masa tuanya lebih besar daripada lansia laki-laki. Kondisi ini pula yang menyebabkan mengapa sekarang kebanyakan para lanjut usia adalah perempuan. Mengapa memilih tinggal di panti? Bergesernya paradigma masyarakat perkotaan terhadap keberadaan panti, yang selama ini sebagai tempat pembuangan, kini tidak lagi berlaku. Sekarang banyak keluarga di kotakota yang menitipkan ibu, nenek ataupun saudaranya yang lain, untuk tinggal di panti-panti jompo. Selain hal itu, Ernita dari Departemen Sosial mengatakan, ada banyak alasan mengapa perempuan lanjut usia banyak yang memilih tinggal di panti: “Dari hasil kajian yang kami lakukan, setidaknya ada enam alasan mengapa lansia lebih memilih tinggal dipanti daripada di rumahnya. Pertama, karena mereka merasa ada teman sebaya untuk berbagi cerita; kedua, mereka
merasa lebih aman jika tinggal dipanti; ketiga, karena mereka sering tidak sepaham dengan anggota keluarga lainnya; keempat, mereka tidak mau merepotkan keluarganya; kelima, karena mereka tidak mempunyai keluarga lagi atau keluarganya sudah tidak mampu membeayainya lagi, dan keenam, karena anak-anaknya sibuk sehingga mereka merasa tidak diperhatikan,” ungkapnya ramah. Dengan meningkatnya jumlah populasi perempuan lanjut usia, tentu membawa konsekuensi tersendiri terhadap meningkatnya kebutuhan dan pelayanan terhadap mereka. Menurut Kamala Chandrakirana, Ketua Komnas Perempuan, ada banyak kebutuhan yang diperlukan perempuan lanjut usia, antara lain jaminan kesehatan, jaminan kesejahteraan sosial dan lain-lain. Namun yang lebih penting, menurutnya, harus ada perlindungan terhadap mereka secara hukum. “Perempuan lanjut usia sangat rawan tindakan eksploitatif, yang dilakukan pihak-pihak yang punya kepentingan ekonomi terhadap aset mereka. Tindakan kekerasan dan intimidasi bisa terjadi terhadap perempuan lansia yang hidup sendiri, sehingga mereka perlu juga untuk dilindungi,” ujarnya. Namun begitu, ungkap Kamala, kurangnya data yang komprehensif dalam melihat realitas tersebut membuat kepentingan mereka tidak menjadi prioritas. Sehingga dengan ketiadaan data tersebut, maka tidak ada landasan pemahaman untuk membuat sebuah kebijakan yang tepat oleh pemerintah yang harus memenuhi seluruh tanggung jawab negara atas hak asasi manusia, khususnya terhadap kaum perempuan. Lebih jauh Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan ini menyatakan, sekarang belum banyak institusi yang memberikan perhatian terhadap keberadaan perempuan lansia. Hal ini disikapi Kamala sebagai suatu tantangan bersama yang harus dikelola bangsa Indonesia ke depan, “Sebagai elemen yang memperjuangkan hak-hak perempuan, kita pun harus mengangkat persoalan ini secara konsisten dan sistematis serta mempunyai landasan informasi yang cukup. Karena tanpa landasan informasi dan data yang komprehensif dan berkelanjutan, kita sulit menjaga daya tekan terhadap lembaga- lembaga yang berwenang. Jadi, saya kira ini tantangan untuk kita semua”. ***(NR/WK)
warta perempuan
Pengelolaan Perempuan Lanjut Usia: Tantangan Indonesia ke Depan
Kiri: Kamala Chandrakirana, Ketua Komnas Perempuan. Kanan: Dra. Ernita Kaban, Kasubdit Pelayanan Sosial dalam Panti Depsos. Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli-September 2009
9
reportase
Perempuan Lanjut Usia: Sebuah Tantangan Bersama “Saya sudah tidak punya keluarga lagi. Suami dan anak-anak saya meninggal waktu jaman PKI. Sekarang saya memilih untuk tinggal di panti sampai saya mati.” (cerita Siti Zubaedah, 74 tahun) “Saya sudah sepuluh tahun disini. Saya punya anak satu, dia tinggal di Jogja bersama keluarganya. Dia pernah menengok sekali kesini, dulu waktu saya baru pindah, tapi sesekali dia juga telepon ke sini.“ (cerita Jumiyem, 80 tahun) enggalan kisah di atas adalah curahan hati para perempuan lanjut usia yang tinggal di sebuah panti werda di kawasan Cipayung, Jakarta Timur. Mereka tinggal bersama ratusan perempuan lanjut usia lainnya yang juga mempunyai ragam cerita haru tentang keberadaan mereka di sana. Menurut data Departemen Sosial, saat ini terdapat 278 panti yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah ini meningkat sekitar 54,7% dari tahun sebelumnya. Menurut Dra.Ernita Kaban, Kasubdit Pelayanan Sosial Dalam Panti Departemen Sosial, peningkatan jumlah panti ini diakibatkan karena adanya jumlah populasi lanjut usia yang juga meningkat setiap tahunnya. Masih menurut Ernita, pada tahun 2010 diperkirakan jumlah lansia di Indonesia berjumlah 23,9 juta jiwa atau mengalami peningkatan sebesar 9,77%. Dari jumlah tersebut sebagian besar lanjut usia tersebut adalah perempuan. Berdasarkan data sensus penduduk Indonesia yang disampaikan oleh Departemen Sosial, pada tahun 2000 terdapat sekitar 7,55 juta jiwa lansia perempuan dan 6,89 juta jiwa lansia laki-laki. Para lansia perempuan dengan status menikah sekitar 41,37% dan 52,08% statusnya bercerai mati, sedangkan 84,98 % lansia laki-laki berstatus menikah. Jika dilihat dari data ini kecenderungan perempuan hidup seorang diri pada masa tuanya lebih banyak daripada lansia laki-laki. Kondisi ini pulalah yang menyebabkan saat ini kebanyakan para lanjut usia adalah perempuan. Mengapa perempuan lanjut usia banyak memilih tinggal di panti? Bergesernya paradigma masyarakat perkotaan terhadap keberadaan panti, membuat anggapan bahwa panti sebagai tempat pembuangan tidak lagi berlaku. Hingga sekarang ini banyak keluarga di kota, yang menitipkan ibu, nenek maupun saudaranya yang lain untuk tinggal di panti-panti. Selain hal tersebut Ibu Ernita dari Departemen Sosial mengatakan ada banyak alasan mengapa perempuan lanjut usia banyak yang memilih ting-
P
10
Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli-September 2009
gal dipanti. “ dari hasil kajian yang kami lakukan, setidaknya ada enam alasan mengapa lansia lebih memilih tinggal di panti daripada di rumahnya. Pertama karena mereka merasa ada teman sebaya untuk berbagi cerita, kedua mereka merasa lebih aman jika tinggal di panti, ketiga karena mereka sering tidak sepaham dengan anggota keluarga lainnya, keempat mereka tidak mau merepotkan keluarganya, kelima karena mereka tidak mempunyai keluarga lagi atau keluarganya sudah tidak mampu membiayainya lagi dan keenam karena anak-anaknya sibuk sehingga mereka merasa tidak diperhatikan,” ungkapnya dengan ramah. Dengan meningkatnya jumlah populasi perempuan lanjut usia tentunya membawa konsekuensi terhadap meningkatnya kebutuhan dan pelayanan terhadap mereka. Menurut Kamala Chandrakirana, Ketua Komnas Perempuan, ada banyak kebutuhan yang diperlukan oleh perempuan lanjut usia, antara lain jaminan kesehatan, jaminan kesejahteraan sosial dan lain-lain. Namun yang lebih penting, menurutnya harus ada perlindungan terhadap mereka secara hukum. “ perempuan lanjut usia sangat rawan tindakan eksploitatif yang dilakukan oleh pihak-pihak yang punya kepentingan ekonomi terhadap asetnya.Tindakan kekerasan dan intimidasi bisa terjadi terhadap perempuan lansia yang hidup sendiri, sehingga mereka perlu juga untuk dilindungi” ujarnya. Namun menurut Kamala, kurangnya data yang komprehensif dalam melihat realitas ini membuat kepentingan mereka tidak menjadi prioritas. Sehingga dengan ketiadaan data tersebut berarti tidak ada landasan pemahaman untuk membuat sebuah kebijakan yang tepat dari pemerintah yang bisa memenuhi seluruh tanggung jawab Negara atas Hak Azasi Manusia, khususnya terhadap kaum perempuan. Lebih lanjut Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ini menyatakan sekarang ini belum banyak institusi yang memberikan perhatian terhadap keberadaan perempuan lansia. Hal ini disikapi Kamala sebagai sebuah tantangan bersama.. “Sebagai elemen yang memperjuangkan hak hak perempuan, kita pun harus mengangkat persoalan ini secara konsisten dan sistematis serta mempunyai landasan informasi yang cukup. Karena tanpa landasan informasi dan data yang komprehensif dan berkelanjutan, kita sulit menjaga daya tekan terhadap lembaga- lembaga yang berwenang. Jadi saya kira ini tantangan untuk kita semua.” *** (NR)
sosok
Kuswanti:
Berani Hidup di Usia Senja “Saya sebenarnya capek tapi mau apalagi. Kalau saya berhenti kerja nggak ada yang kasih saya makan. Kecuali, kalau anak saya sudah besar-besar. Kalau tidak bekerja, mau minta pada siapa? Lebih baik saya mandiri, bekerja sendiri, dan berusaha tetap sehat!” uswanti, itulah nama ibu lanjut usia yang tampak masih bugar. Disela-sela pekerjaannya, ketika kami tanya berapa umurnya, sembari tersenyum mengembang, menjawab dengan balik bertanya: ”… umur saya berapa ya?” Sejurus baru ia ingat bahwa dirinya lahir sekitar tahun 50-an. Ibu tua ini dengan senang hati menerima kami untuk melakukan wawancara. Memasuki usianya yang senja, Kuswanti tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan enam orang di rumahnya. Kuswanti memiliki sembilan orang anak dan dua orang anak pungut. Setiap hari Kuswanti bekerja sebagai buruh cuci baju dan setrika di beberapa rumah di sekitar rumahnya. Sementara suaminya yang berusia hampir 70 tahun, kadang kala berkeliling berjualan burung. Itu pun, kata Kuswanti, kalau lagi ada modal. Kalau tidak ada uang, maka suaminya itu tidak berjualan. Dia hanya mengandalkan uang upah Kuswanti. Saat ditanya mengapa Kuswanti tidak pulang saja ke kampung halamannya di Semarang, ia menjawab bahwa di kampung mereka juga memiliki kehidupan yang susah. Meskipun dua orang anak Kuswanti sudah berkeluarga, namun dia tidak ingin membebani kehidupan anakanaknya. Anak-anaknya juga hidup sangat pas-pasan. Berulang kali Kuswanti mengatakan, “Pokoknya pedes mbak!” sambil menitikkan air mata, yang menggunung di bola matanya. Kuswanti dan keluarga saat ini tinggal di rumah yang tampak kumuh dan kusam di tengah-tengah pekarangan rumah orang lain. Menurut Kuswanti, mereka dibolehkan tinggal di situ oleh pemiliknya sampai tanah tersebut laku terjual. Kalau sudah laku, maka Kuswanti dan keluarga harus pindah dari pekarangan itu. Dan Kuswanti tidak tahu, apabila suatu hari harus pindah ke mana, karena selama 16 tahun lebih tinggal di Jakarta, Kuswanti dan keluarga belum punya tempat tinggal yang tetap. Mereka harus berpindah-pindah, dari gubuk
K
yang satu ke gubuk yang lain, atau dari tanah kosong yang satu ke tanah kosong lainnya. Di tengah maraknya pemerintah mempromosikan BLT, malah ironisnya Kuswanti dan keluarga belum pernah menerimanya. Ketika kami tanyakan lebih jauh, Kuswanti juga tidak tahu mengapa. Padahal keberadaan Kuswanti dan keluarga diketahui aparat pemerintahan setempat. Demikian halnya dengan sumbangan-sumbangan, seperti beras, dan lainya. “Ibaratnya, Mbak, kalau dikasih ya saya terima. Kalau nggak, ya tidak apaapa!” ungkap Kuswanti polos. Soal beaya sekolah, hal ini membuat Kuswanti dan keluarga pusing tujuh keliling. Suatu hari, ketika anaknya yang duduk di SMK Swasta di sekitar Jakarta Selatan belum membayar uang gedung dan sekolahnya, padahal menjelang kenaikan kelas, maka suami Kuswanti waktu itu datang ke sekolah meminta keringanan pada pihak sekolah. Tak disangka, salah seorang guru menjawab permintaan suami Kuswanti dengan berkata: “Pinjam saja ke tetangga kek atau jual apa kek. Kalau nggak punya, ya harus niat kalau nyekolahin anak!” Kuswanti tidak pernah habis pikir mengapa ada guru yang demikian tak pantas ucapannya, “Kok guru ngajarin kayak gitu ya? Gimana muridnya?” ungkap Kuswanti terheran-heran. Membayangkan bagaimana kehidupan Kuswanti tersebut, kami yakin pastilah banyak Kuswanti lainnya yang di usia tuanya masih harus bekerja keras dan terus mengalami diskriminasi, karena ketidakmampuan ekonomi mereka. Di samping itu, masalah kehidupan lanjut usia, khususnya bagi perempuan, sering begitu terlupakan oleh banyak pihak. Banyak yang berpikir bahwa makin tua orang, maka kian menyusahkan orang lainlah mereka. Hal itu mulai saat ini harus dipikirkan serius oleh berbagai pihak, seperti keluarga, masyarakat, dan negara. Pemerintah saat ini harus lebih memperhatikan kehidupan perempuan lanjut usia. Negara mempunyai kewajiban untuk mewujudkan situasi dan kondisi yang memungkinkan orang-orang lanjut usia, khususnya kalangan perempuan, dapat hidup layak, bebas dari diskriminasi, mandiri, sehat, dan ceria. Semoga!***(LS) Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli-September 2009
11
perspektif
Pelaksanaan HAM Perempuan Lansia: Apa Kabarmu Kini?
P
erjuangan hidup Ibu Kuswanti dalam kolom “Sosok” buletin Perempuan Bergerak yang anda baca ini, contoh kasus bahwa usia senja bukan waktu untuk berleha-leha. Dalam usia rentanya, Ibu Kuswanti harus berjuang agar keluarga yang dicintainya tetap dapat bertahan hidup. Demikian tuturan Ibu Siti Zubaedah dalam “Warta Perempuan” yang memilih tinggal di panti jompo sampai akhir hayat. Akan ada banyak kisah hidup perempuan lansia lainnya jika kita ungkap satu persatu, yang menjalani usia tua dengan perjuangan. Banyak pula dari antara mereka yang ditelantarkan. Manusia lanjut usia di Indonesia saat ini juga tidak sedikit. Ada sekitar 16,5 juta jiwa lansia, menurut Departemen Sosial, menghuni negeri kita. Jika ditarik garis lurus, hanya satu kata yang menjadi masalah mereka hingga akhirnya para lansia memilih untuk tetap berurai peluh di penghujung usia, yakni “kesejahteraan”. Kata tersebut dalam realitasnya dirasa jauh dari kehidupan perempuan lansia, apapun jenis kelaminnya. Apalagi jika kemiskinan telah bergelayut sejak pra lanjut usia (45-60 tahun). Dengan demikian,
“Saya sudah tidak punya keluarga lagi. Suami dan anak-anak saya meninggal waktu zaman PKI. Sekarang saya memilih untuk tinggal di panti sampai saya mati.” Siti Zubaedah, 74 tahun
12
Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli-September 2009
menjadi lanjut usia bagi mereka yang tingkat kesejahteraannya rendah akan menjadi momok. Oleh karena, masih ada anggapan bahwa memasuki usia lanjut banyak orang merasa tidak berguna dan beban bagi keluarga. Pergeseran budaya telah menciderai kaum muda hingga terjadi penurunan rasa hormat terhadap orang tua dan menipisnya kesadaran bahwa persoalan yang dihadapi lansia tidaklah mudah. Masalah mereka saling mengait satu sama lain. Mereka harus berjuang semampu tenaga untuk menghancurkan rantai persoalan tersebut. Atau paling tidak, mengupayakan agar energi kehidupan tetap tersisa di jantung kehidupan mereka sehingga mampu melewati hari-hari yang tersisa. Realitasnya, para lansia sekarang harus bergelut dengan kompleksitas masalah kesehatan, ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikan, aksesibilitas, hukum, lingkungan. Bagi para lansia yang ditelantarkan oleh negara, masyarakat, dan keluarga, kesejahteraan masih menjadi harapan besar sebagai hak asasi yang seharusnya diwujudkan. Bahwa penduduk lanjut usia di Indonesia jumlahnya lebih besar perempuan, tentu melahirkan pro-
blem tersendiri. Hal ini implikasi dari angka harapan hidup perempuan yang lebih tinggi dibanding lakilaki. Kondisi perempuan lansia Indonesia hampir bisa dipastikan mengalami diskriminasi. Selain itu, mereka merasakan ketidakadilan di segala lini kehidupan. Hal ini terjadi akibat struktur sosial dan budaya masyarakat yang memarjinalkan mereka. Hak-hak yang terlanggar baik sebagai perempuan dan lansia harus menjadi agenda strategis pembangunan manusia Indonesia. Perlindungan yang dituangkan dalam kebijakan-kebijakan harus secara nyata dapat dilaksanakan, mulai dari perkotaan sampai di pedesaan. Dalam UU No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, hal itu telah dimandatkan. Dalam Pasal 1 ayat (1), tertulis “kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial baik material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak dan kewajiban asasi manusia sesuai dengan Pancasila”. Rumusannya begitu panjang, namun tidak berimplikasi apapun bagi kehidupan perempuan lansia. Kesejahteraan, yang rumusannya sangat canggih itu, ternyata kurang bermanfaat bagi mereka. Oleh karena, sebagai hak dasar yang harus dipenuhi oleh keluarga, masyarakat, maupun pemerintah, jarang direalisasikan. Perlakuan yang mereka terima jauh dari harapan. Padahal, Pasal 5 ayat (1) dinyatakan dengan jelas bahwa lansia mempunyai hak yang sama, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kebijakan yang dibangun dan diciptakan belum menjamah kebutuhan dan kepentingan perempuan lansia. Perlindungan yang dijanjikan belum maksimal, karena tidak menjangkau pelosokpelosok daerah. Senada pula dalam Undang-undang No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi: rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Kesejahteraan sosial merambah ranah lansia, di mana jaminan sosial yang dimaksudkan untuk mereka. Janji yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (1) tersebut semestinya dipertanggungjawabkan dan diimplementasikan dan dimasyarakatkan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, kebijakan yang dibuat untuk rakyat dan atas biaya rakyat itu tidak menjadi dokumen pajangan yang memenuhi rak-rak buku pembuatnya. Namun, harus menjadi semangat dan gairah untuk melaksanakannya. Hal itu tentu bukan pekerjaan rumah yang harus tuntas dalam sekejap oleh satu pihak, melainkan merangkul banyak pihak agar secara bersamaan mampu mematahkan rantai masalah yang membelit perempuan lansia. Termasuk dalam hal pember-
“Tak adil rasanya bila membebankan penyelesaian problematika lansia ini kepada satu pihak. Pembagian peran di keluarga, masyarakat dan pemerintah diperlukan agar satu sama lain dapat saling menguatkan. Bila satu pihak tidak konsisten, maka akan cacat pula hasil akhirnya. dayaan mereka. Sangat penting untuk terus merangsang keaktifan dan keproduktifan lansia, meskipun tidak akan se-enerjik ketika mereka muda. Upaya memberdayakan lansia, terutama perempuan, tetap harus dilakukan. Hak lansia untuk terus dapat mengaktualisasikan diri. Tak adil rasanya bila membebankan penyelesaian problematika lansia ini kepada satu pihak. Pembagian peran di keluarga, masyarakat, dan pemerintah diperlukan agar satu sama lain dapat saling menguatkan. Bila satu pihak tidak konsisten, maka akan cacat pula hasil akhirnya. Dalam hal ini, peran pemerintah yang bertanggung jawab untuk melindungi warga negaranya dirasakan belum maksimal. Sistem perlindungan yang dibangun belum optimal menyasar akar persoalan. Pemerintah telah menciptakan program-program yang disasarkan untuk menyejahterakan lansia, namun akar masalahnya tidak diteliti dan dibenahi. Akhirnya, banyak hak asasi yang terlanggar. Ketidakadilan gender, kekerasan terhadap perempuan, dan diskriminasi masih kuat mereka alami. Jika masalah itu belum tuntas, maka diskriminasi di masa tua akan semakin kuat. Akhirnya, kurang optimal dan implementatif peran pemerintah. Juga unit-unit yang dibangun, masyarakat dan keluarga akan terhambat peran-perannya. Sangat diharapkan pemerintah melalui aparaturaparaturnya, mampu menjabarkan berbagai kebijakan yang ditetapkan ke dalam program-program nyata di segala lini pembangunan, yang berdampak langsung terhadap lansia hingga terjadi perubahan yang lebih baik. Hak tiap individu untuk hidup bahagia dan sejahtera. Hal itu menjadi cita-cita dan keinginan tiap lansia. Perlakuan dan kehidupan yang layak, terbebas dari segala diskriminasi. Idealnya, lansia tidak harus banting tulang hanya untuk bertahan hidup, karena tanggung jawab itu sudah diambil alih pemerintah. Pilihan untuk menyongsong hari tua, bahagia atau tidak bahagia, tergantung pada usaha dalam mempersiapkannya. Namun, menjadi tugas dan kewajiban pemerintah dan generasi muda untuk memberikan perlindungan dan kenyamanan hidup bagi lansia.***(IK) Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli-September 2009
13
budaya pop
Menjamin Kehidupan Hari Tua Nan Cemerlang
T
iap manusia tentu akan menjadi tua, laki-laki maupun perempuan. Lanjut usia kerap disamamiripkan dengan kian banyaknya persoalan kesehatan tubuh yang dialami. Turunnya tingkat kesehatan itu bagi para lanjut usia cenderung dipandang sebagai beban hidup dan serba ketergantungan individual. Lanjut usia tak lagi diterima sebagai peluang individual yang memiliki kebutuhan intelektual, spiritual, dan emosional, tetapi ditempatkan pada situasi pribadi yang sakit-sakitan, yang akhirnya memiliki ketergantungan hidup pada orang lain (kelompok usia muda). Menurut UU Kesejahteraan Lansia No. 13 tahun 1998, Lanjut usia (lansia) ialah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Dari sisi produktivitas, kemampuan para lansia memang akan melemah, bersamaan dengan penurunan tingkat kesehatan fisikal mereka. Akan tetapi, problema yang dialami lansia tidak hanya di seputar hal produktivitas dan kesehatan. Kompleksitas masalah yang mereka alami dipengaruhi pula oleh perubahan situasi yang ada. Populasi lansia di Indonesia setiap tahun terus meningkat. Hal ini akibat makin membaiknya usia harapan hidup penduduk. Jumlah lansia di Indonesia saat ini mencapai 16,5 juta jiwa dari seluruh jumlah penduduk (mencapai lebih dari 225 juta jiwa). Dalam pidato kenegaraannya baru-baru ini, Presiden RI, Soesilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa selama lima tahun angka harapan hidup manusia Indonesia naik dari 68,6 tahun menjadi 70,7 tahun. Entah harus bersikap gembira atau sedih melihat angka tersebut, yang pasti meningkatnya jumlah lansia di Indonesia tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan sosial penduduk. Yang terjadi kini, angka harapan hidup meningkat, jumlah lansia bertambah, namun kesejahteraan sosial berjalan di tempat. Kenyataannya, banyak lansia yang menghadapi masa tuanya dengan penuh keprihatinan. Jika keadaan itu berlangsung terus, bagaimana
“Yang terjadi kini, angka harapan hidup meningkat, jumlah lansia bertambah, namun kesejahteraan sosial berjalan di tempat. Kenyataannya, banyak lansia yang menghadapi masa tuanya dengan penuh keprihatinan.”
14
Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli-September 2009
kondisi penduduk Indonesia masa yang akan datang? Tahun 2025, penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 273 juta jiwa, yang hampir setengahnya (sekitar 62,4 juta jiwa) tergolong kelompok manusia lansia. Padahal kesejahteraan sosial bagi kelompok lansia selama ini masih minim.Tak hanya oleh pemerintah, masyarakat juga kerap menempatkan kelompok lansia sebagai beban pembangunan, sehingga jaminan sosial penghidupan yang layak terkesan tidak diperhatikan. Perlindungan terhadap lansia telah diamanatkan dalam Undang-undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia; Undang-undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial; dan Undang-undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan sosial. Lagi-lagi amanat tersebut kurang maksimal diterapkan meskipu tahun 2004 pemerintah telah membentuk Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia) yang salah satu tugasnya, yakni membantu Presiden dalam mengoordinasikan pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan sosial lansia. Secara statistik, baik jumlah lansia maupun usia harapan hidup perempuan cenderung lebih tinggi dibanding laki-laki. Usia harapan hidup perempuan mencapai 74 tahun, sedangkan laki-laki mencapai usia 67 tahun. Banyak lansia perempuan menghadapi persoalan nyata lebih kompleks daripada lansia laki-laki. Halhal yang menyangkut kehidupan perempuan yang terdomestikasi di Indonesia melahirkan kecenderungan tersebut. Hal ini berdampak pada kehidupan usia lanjut mereka, karena peran sosialnya yang demikian. Hal itu berkembang karena perempuan lansia tidak memiliki akses yang sama dengan lansia lakilaki untuk memperoleh layanan di ranah publik. Akan bertambah masalah yang muncul kemudian apabila kemampuan mereka secara ekonomis menurun. Turunan masalah ekonomis dapat menumbuhkan banyak cabang persoalan lainnya, seperti kesehatan yang tidak memadai, dan terus bekerja di usia senja. Kehidupan lansia di perkotaan berbeda dengan di pedesaan. Perubahan pola hubungan kekeluargaan sedikit banyak berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup lansia. Di pedesaan, relasi kekeluargaan masih sangat kuat ditambah adat istiadat yang melekat di mana yang sepuh harus lebih dihormati, maka kemungkinan besar keberlangsungan hidup di usia lanjut akan tetap terjamin. Masalah lain yang muncul adalah ketika terjadi urbanisasi, karena desakan ekonomi, yang mengakibatkan banyak orang tua yang harus hidup sendiri. Lain halnya dengan di perkotaan,
para lansia kerap dianggap sebagai beban tambahan, sehingga banyak di antaranya yang “diungsikan” ke panti-panti jompo. Padahal secara psikologis, terutama lansia perempuan, lebih senang untuk tinggal bersama keluarga dan masyarakat. Berbeda halnya dengan lansia yang terlantar. Mereka harus memikul sendiri beban hidupnya. Kebanyakan mereka berlabuh di tempat-tempat umum sebagai pengemis dan tuna wisma. Data Pusdatin Kesos tahun 2008 menyebutkan jumlah lansia yang terlayani kurang lebih lima persen dari jumlah lansia terlantar sebesar 1,6 juta orang. Maka 95 persen lainnya tidak terlayani, dalam artian mereka melayani dirinya sendiri. Tidak jauh-jauh, di tempat-tempat seperti stasiun, terminal, dan lampu merah kita kerap menemukan para lansia yang menggantungkan hidupnya dari uluran para dermawan. Tentu tidak serta merta mereka melakukan pekerjaan seperti itu. Segala sesuatu pasti dilatarbelakangi oleh sesuatu. Dan di sini, persoalan kemiskinan belum tertangani oleh pemerintah. Apa yang harus dilakukan?
D
alam Resolusi No. 46 Tahun 91 United Nation Principles for Older Persons, mengandung himbauan tentang hak dan kewajiban lanjut usia yang dikelompokan dalam lima hak, yaitu: kemandirian, partisipasi, pelayanan, pemenuhan diri, dan martabat. Sedangkan dalam Resolusi PBB No 37/1982 International Plan of Action on Aging mengajak negara-negara bersama-sama atau sendiri untuk mengembangkan dan menerapkan kebijakan guna meningkatkan kehidupan lanjut usia, sejahtera lahir batin, damai, sehat, dan aman. Himbauan serta ajakan ini bisa diterjemahkan menjadi indikator dalam pemenuhan jaminan kesejahteraan sosial bagi lansia. Peran aktif berbagai kalangan: keluarga, masyarakat, dan pemerintah, sangat diperlukan dalam memberikan perlindungan serta hidup yang layak. Menempatkan kesehatan dalam prioritas utama bagi lansia sangat penting dilakukan. Karena kesehatan merupakan kunci utama untuk menunjang keberlangsungan hidup. Lansia yang sehat secara kontinyu akan terus aktif dalam berkegiatan. Walaupun bukan usia produktif lagi, namun tetap potensial jika diberi ruang untuk mewujudkan kemandirian dan kepercayaan diri. Dalam hal ini, peran pemerintah sangat dibutuhkan dengan memberikan medical service bagi lansia dengan harga terjangkau dan dapat diakses dengan mudah. Selain itu, lansia secara aktif diberikan pembinaan usaha sosial ekonomi produktif yang terarah. Sasarannya yakni kelompok lansia golongan menengah ke bawah. Sehingga, mereka pun masih bisa terus berkarya di usia senja. Bukan hanya memberdayakan kelompok lansia, namun secara nyata menekan angka kemiskinan yang melanda.
“Secara psikologis, seorang lansia akan lebih nyaman hidupnya di tengah keluarganya sendiri. Mereka lebih banyak membutuhkan perhatian dari keluarga di masa-masa tuanya.” Keberadaan panti jompo memang membantu dari sisi keberlangsungan hidup. Namun, hidup seperti apa? Apakah hidup terasing dari masyarakat, atau hidup karena “ditelantarkan” keluarga? Secara psikologis, seorang lansia akan lebih nyaman hidupnya di tengah keluarganya sendiri. Mereka lebih banyak membutuhkan perhatian dari keluarga di masamasa tuanya. Dalam perkembangannya, pergeseran budaya yang modern, ditambah semakin melesatnya kebutuhan hidup, mengakibatkan orang tua di keluarga diasingkan ke panti-panti jompo. Tanpa ada kepastian apakah akan terus ada keterikatan atau didamparkan begitu saja. Kekhawatirannya yakni makin banyaknya panti jompo, maka kian tinggi ketergantungan tiap keluarga untuk menyerahkan orang lanjut usianya pada panti jompo. Entah sebagai upaya melepaskan diri dari beban tanggung jawab atau sekadar merasa risih akan keberadaannya.Diperlukan keaktifan pemerintah untuk memberikan pembinaan hubungan antar generasi tak hanya di lingkungan keluarga, tetapi masyarakat dan negara. Pelayanan kesejahteraan sosial lansia yang berbasiskan masyarakat, pembinaan terhadap kelompok lanjut usia dalam kegiatan pendidikan, kesenian, kebudayaan, pengisian waktu luang serta rekreasi dan wisata merupakan upaya strategis. Dengan begitu, lansia akan tetap aktif dan mandiri apabila ditunjang dengan kesehatan fisik yang kuat serta kebahagiaan batin yang berlimpah. Dengan demikian, kehidupan hari tua tidak hanya menunggu menutup mata, tetapi tetap berkarya sampai ajal tiba. ***(IK) Bacaan: 1. Jumlah Lansia Di Indonesia 16,5 Juta Orang. 22 Mei 2009. Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. http://www.depkominfo. go.id/2009/05/22/jumlah-lansia-di-indonesia165-juta-orang/ 2. Yes! Angka Harapan Hidup Indonesia Naik. Banjarmasin Post. 19 Agustus 2009. http://www.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/19771/yes-angkaharapan-hidup-indonesia-naik 3. Perempuan Lansia. Jurnal Perempuan edisi 25. 2002 4. Lansia Indonesia Tercepat. Suara Merdeka. Sabtu, 29 Mei 2004. http://www.suaramerdeka.com/ harian/0405/29/opi04.htm Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli-September 2009
15
bedah buku
Bagaimana Melindungi Perempuan Lansia
D
engan makin meningkatnya penduduk lanjut usia, dibutuhkan perhatian semua pihak dalam mengantisipasi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan penuaan penduduk. Penuaan penduduk membawa berbagai implikasi baik dari aspek sosial, ekonomi, hukum, politik dan terutama kesehatan. Akibat usia harapan hidup perempuan lebih tinggi daripada laki-laki, maka jumlah penduduk lansia di Indonesia lebih didominasi oleh perempuan. Oleh karena itu, permasalahan lanjut usia secara umum di Indonesia sebenarnya tidak lain adalah permasalahan yang lebih didominasi oleh perempuan. Perempuan lanjut usia di Indonesia berpontensi mengalami diskriminasi ganda, baik karena statusnya sebagai perempuan maupun karena sebagai penduduk yang usianya sudah lanjut. Perempuan terdiskriminasi akibat struktur sosial dan budaya masyarakat sejak usia muda, bahkan sejak masa bayi maupun anak-anak. Diskriminasi juga sering terjadi karena dianggap sudah tidak berguna dan menjadi beban bagi masyarakat dan kelompok penduduk usia yang lebih muda. Permasalahan yang dihadapi pada saat menjadi lansia yakni: kesehatan, sosial, ekonomi, pendidikan, mental spiritual, budaya, lingkungan, askesibilitas, hukum dan politik. Upaya untuk memahami sistem perlindungan lansia khususnya perempuan, menjadi suatu agenda yang penting dan strategis untuk diangkat menjadi wacana
Sistem Perlindungan Perempuan Lansia Penerbit Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Cetakan Tahun 2008 Tebal buku 119 halaman
16
Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli-September 2009
pembangunan, sehingga menjadi perhatian semua pihak. Dengan demikian, perlindungan lansia tidak hanya terbatas pada upaya memberikan perlindungan dari ancaman pihak luar (kekerasan dan kriminalitas), tetapi lebih pada upaya pemberdayaan dan pelayanan untuk meningkatkan kualitas hidup, sehingga masa lansia dapat dijalani dengan sejahtera dan bahagia. Kelompok sasaran sistem perlindungan perempuan lansia dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan: (1) Penduduk yang telah memasuki lanjut usia, yakni usia 60 tahun ke atas, dikenal dengan istilah usila (usia lanjut); (2) Penduduk yang akan segera memasuki masa lanjut usia (disebut masa pralanjut usia), yakni usia 45 tahun- 64 tahun tahun, dan (3) Penduduk usia muda, yakni dibawah usia 45 tahun. Upaya perlindungan perempuan lansia di Indonesia dilakukan banyak pihak, yakni oleh individu lanjut usia itu sendiri (baik sejak pralanjut usia maupun setelah menjadi lanjut usia), keluarga, masyarakat dan pemerintah. Hal ini sesuai dengan amanat Undangundang No.13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat dan keluarga bertanggung jawab atas terwujudnya upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia. Peran pemerintah dalam perlindungan perempuan lansia pada umumnya dapat diperhatikan sejauh mana mereka melalui jajaran aparaturnya
menjabarkan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan kedalam program dan kegiatan-kegiatan yang nyata. Kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan ke dalam program dan kegiatan-kegiatan yang nyata adalah berikut: 1. Melakukan kerja sama berasas kemitraan dengan instansi terkait, swasta dan LSM serta organisasi kemasyarakatan; 2. Menggerakkan peran serta dan peran aktif keluarga dan masyarakat dalam pembinaan kesehatan lanjut usia; 3. Pembinaan lanjut usia bersifat holistik melalui pendekatan sistem; 4. Melakukan pelayanan kesehatan lanjut usia secara komprehensif (promotif, prevensif, kuratif, rehabilitatif); 5. Pelayanan kesehatan lanjut usia dilaksanakan dengan menitikberatkan pada pemberi kesehatan primer(swasta/pemerintah), misalnya Puskesmas santun lanjut usia; 6. Pelayanan kesehatan santun usia dilaksanakan secara terkendali baik mutu, biaya tanpa mengesampingkan standar prosedur tetap pelayanan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah dalam bidang kesehatan: 1. Pendataan dan pemetaan kesehatan lanjut usia; 2. Menyosialisasikan hak dan kewajiban pemerintah dan masyarakat bagi lanjut usia; 3. Mengembangkan model-model pelayanan kesehatan lanjut usia; 4. Melatih tenaga kesehatan (dokter umum, spesialis penyakit dalam, dokter keluarga, perawat puskesmas atau rumah sakit) tentang geriatrik dan gerontologi; 5. Melatih relawan, care giver dan keluarga; 6. Meningkatkan aksesibilitas pelayanan kesehatan bagi lanjut usia; 7. Pembiayaan. Program yang dilakukan pemerintah dalam bidang kesehatan tersebut yakni: 1. Pengembangan Puskesmas santun lanjut usia. Puskesmas santun lanjut usia adalah puskesmas yang melakukan pelayanan kepada lanjut usia dengan mengutamakan aspek promotif dan preventif, di samping aspek kuratif dan rehabilitatif, proaktif, sopan dan memberikan kemudahan serta dukungan bagi lanjut usia. 2. Peningkatan upaya rujukan kesehatan bagi lanjut usia ke poligemiatri di RS Strata II dan III. Pelayanan kesehatan Strata II di RS Kabupaten dan Starata III di RS Provinsi, sebagai upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. 3. Peningkatan pemberdayaan masyarakat melalui kelompok lanjut usia. Pemerintah perlu mengembangkan pembiayaan
melalui sistem jaminan kesehatan. Pembeayaan bersumber dari: pembayaran mandiri, subsidi pemerintah, bantuan sosial, yayasan lanjut usia, dana sehat, dana sosial, dan lainnya. Peran pemerintah dalam bidang sosial perlindungan perempuan lansia terutama ditangani oleh Departemen Sosial dengan jajarannya dari pusat hingga daerah. Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2004 tentang upaya pelaksanaan kesejahteraan sosial lanjut usia telah menetapkan program: 1. Pelayanan sosial di dalam panti 2. Pelayanan sosial di luar panti 3. Kelembagaan sosial dan perlindungan sosial dan Aksesibilitas Selain bidang kesehatan dan sosial, pemerintah pun memberikan perlindungan pada perempuan lansia dalam bidang mental spiritual, bidang pendidikan, bidang ekonomi dan lainnya. Untuk bidang lainnya, pemerintah memberikan potongan harga 20 persen tiket pesawat, kereta api dan kapal bagi lansia dengan menunjukkan KTP saat pembelian. Dalam pelayanan umum, pemerintah memberikan fasilitas KTP seumur hidup bagi lansia. Dalam dunia usaha, didorong untuk menjalankan program perlindungan hari tua bagi karyawan peserta jamsostek atau mengikutkan karyawan pada program asuransi kesehatan. Individu, keluarga, lingkungan warga, LSM, Ormas mempunyai fungsi masing-masing dalam perlindungan dan pelayanan bidang Kesehatan, sosial, ekonomi, pendidikan, mental spiritual, budaya, lingkungan, aksesibilitas/transportasi, hukum dan politik. Salah satu peran lingkungan warga, LSM, Ormas dalam bidang kesehatan: - Menyelenggarakan dan mengaktifkan posyandu lansia - Mendirikan klinik kesehatan santun lansia - Mengkampanyekan perilaku hidup sehat - Membantu agar lansia mendapatkan pelayanan gratis atau potongan harga. Untuk LSM, peran yang dapat dilakukan dalam upaya perlindungan perempuan lansia umumnya lebih komprehensif. Perhatian tidak terbatas hanya pada satu aspek perlindungan, tetapi hampir semua aspek. Bentuk kegiatan pun beragam. Dari yang paling sederhana dengan memberikan santunan, menyediakan makanan, membentuk perkumpulan, menyediakan pusat kegiatan sampai dengan mendirikan panti. LSM atau ormas juga dapat berperan secara tidak langsung dengan cara memberikan dorongan kepada keluarga-keluarga agar memiliki kepedulian dan meningkatkan pengetahuan yang cukup dalam merawat perempuan lanjut usia. Peran masyarakat dalam perlindungan lansia terbukti dari banyaknya panti yang diusahakan dan diselenggarakan oleh masyarakat saat ini sudah mencapai 165 panti.***(DT/RH) Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli-September 2009
17
bedah film 18
Tebaran Kasih untuk Kaum Miskin
C
alcutta, India, tahun 1946 cerita fim ini dimulai. Dengan latar belakang kondisi kemiskinan, kelaparan, dan kekerasan yang terjadi di masyarakat, seperti permusuhan antara masyarakat Hindu dan Islam, Suster Teresa yang berasal dari Albania tinggal di Biara Loreto. Sudah 17 tahun lamanya ia menjadi pengajar, sebagai guru geografi. Suatu hari, Suster Teresa mendapat kabar dari tukang masak bernama Hadi, bahwa persediaan makanan di Biara Loreto sudah menipis. Hal ini akibat tidak ada yang memasok makanan ke Biara tersebut, karena terjadi kerusuhan di Calcutta. Ini tak bisa dibiarkan, karena murid-murid di Biara Loreto bisa kelaparan. Dengan keberaniannya, Suster Teresa segera bertindak. Dengan di dampingi suster Gabriella, mereka mendatangi gudang beras, namun tak ada orang di sana yang membukakan pintu. Saat yang bersamaan, beberapa orang dengan membawa kayu pemukul berlari-lari menuju suatu tempat. Aparat keamanan dengan mobil berusaha mengejar mereka, namun di jalan aparat keamanan melihat Suster Teresa. Kemudian membantunya untuk membuka gudang dan mengambil karung beras dan mengantar mereka kembali ke Biara Loreto. Dalam perjalanan, Suster Teresa terharu melihat situasi yang menyedihkan karena perang mengakibatkan keadaan buruk bagi rakyat dalam sejarah India, yakni kemiskinan yang terjadi di masyarakat bawah. Banyak orang kelaparan dan salah seorang dari mereka, yakni pak tua yang memandang meminta makan ke Suster Teresa, namun dia tidak bisa memberi apa-apa ke orang tersebut. Di sini dia berpikir betapa masih beruntungnya Biara, karena ada perlakuan khusus. Padahal, di mata Tuhan mereka semua sama. Sesampai di Biara Loreto, Suster Teresa disambut para murid dan suster karena berhasil membawa bahan makanan. Tetapi tanpa di duga, ada laki-laki terluka dan jatuh, masuk ke Biara Loreta. Suster Teresa mendatanginya dan mencoba memberi pertolongan ke orang tersebut. Salah seorang pelajar memberitahukan Suster Teresa bahwa seharusnya tidak menolong orang itu, karena ia berasal dari komunitas Islam. Namun Suster Teresa menjawab, bahwa tidak ada perbedaan bagi Tuhan terutama dalam menolong orang yang kesulitan. Suster Teresa mulai berpikir untuk bekerja di luar Biara Loreta, sehingga banyak hal yang bisa dilakukan untuk menolong kaum miskin/papa. Keinginan ini disampaikan kepada Bapa Verru, tetapi dia malah berpikir bahwa keinginan Suster Teresa itu akibat tertekan dan terkejut melihat kondisi masyarakat sekitar yang begitu membuatnya trenyuh. Sehingga, disarankan oleh Bapa Verru untuk berlibur lebih awal dari yang di rencanakan dan untuk menyegarkan pikiran. Dengan ditemani Sus-
Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli-September 2009
ter Gabriella, Suster Teresa pergi berlibur menggunakan kereta api. Di stasiun kereta api, ia banyak melihat orang dengan kondisi yang memprihatinkan terutama di gerbong ekonomi (kelas 3). Dalam perjalanan berlibur ini panggilan hatinya untuk menolong kaum termiskin dari yang miskin/papa semakin kuat, Kemudian ia menemui Bapa Verru untuk mengungkapkan kesungguhan hatinya bekerja di luar Biara. Permintaan Suster Teresa ini disampaikan oleh Bapa Verru ke Pimpinan Biara yang kemudian didiskusikan. Pimpinan Biara berkata Suster Teresa tidak bisa meninggalkan Biara, karena harus memegang sumpahnya sebagai Suster Biara. Dan akhirnya dengan bantuan Bapa Verru bicara kepada Pimpinan Biara, Suster Teresa perlu menulis surat ke Pimpinan Biara setahun lagi atau harus melepaskan status biarawatinya. Selama setahun Suster Teresa menunggu. Dan, kini setahun telah berakhir, Ketua Biara setuju untuk membawa surat Teresa ke Roma, namun dengan satu syarat “bahwa kau memohon untuk hal duniawi” kata Bapa Verru. Suster Teresa pun kaget karena harus melepas perintah, karena hanya cara itu Ketua Biara akan memikirkan permintaannya. “Jika pergi, kau akan pergi sebagai wanita biasa bukan Biarawati”, kata Bapa Verru. Suster Teresa pun menjelaskan bahwa dia telah menjadi Biarawati selama 17 tahun dan tak bisa hidup dengan cara yang lain. “Ini rencana Tuhan Bapa, bukan aku. Aku akan tetap menulis surat”, tegas Teresa. Setiba di Gereja, Suster Teresa ditemui oleh Bapa Verru dan menyerahkan surat balasan dari Pimpinan Biara. Setelah dibaca suratnya ternyata permintaan Suster Teresa dikabulkan untuk bekerja di luar duniawi dan tetap menjaga sumpah (sebagai Biarawati) selama 1 tahun dengan catatan supaya semua kegiatan yang di lakukan untuk membantu kaum miskin/papa dicatat. Suster Teresa pun sangat gembira: “Tuhan tahu apa yang aku inginkan”, katanya. Akhirnya, Suster Teresa meninggalkan Biara untuk mewujudkan rencananya melayani kaum miskin Islam dan Hindu. Untuk pertama kalinya, dia berpakaian sari putih dengan penutup kepala putih bergaris biru. Suster Teresa memiliki keinginan bekerja di perkampungan kumuh Moti Jihl di Calcuta untuk mencoba meningkatkan hidup perkampungan tersebut. Ia mendatangi rumah Tuan Goma mengutarakan keinginannya mulai bekerja di Moti Jihl dan menanyakan tempat di mana ia bisa tinggal. Ternyata di rumah Goma ada ruang kosong yang bisa ia tempati, selama ia melakukan tugas. Suster Teresa mendatangi perkampungan kumuh Moti Jihl dan mencoba mencari tahu apa yang akan ia lakukan. Ketika Suster Teresa melihat ada beberapa anak sedang berkumpul, kemudian ia memulai dengan bercerita tentang sesuatu kepada anak-anak. Anak-anak
tersebut tertarik, kemudian diajar juga cara membaca dan menulis dengan memberi hadiah bagi yang berhasil melakukannya. Anak-anak menjadi senang. Metode ini berhasil karena banyak orang tua mengizinkan anakanaknya untuk belajar. Ada juga warga yang tidak suka dengan kehadirannya. Seharian bekerja, Ia masih sempat mengunjungi satu keluarga yang semuanya sakit dan belum pernah ia lihat kejadian ini sebelumnya. Suster Teresa jatuh pingsan, kemudian ditolong dan dirawat oleh Suster Stephanie utusan Bapa. Suster Stephanie menyarankan jika ingin membantu orang lain, ia pun juga harus memperhatikan kondisi kesehatan badannya. Suster Stephanie bercerita bahwa ia juga pernah membantu masyarakat miskin di suatu daerah dibantu misi kedokteran di Patna. Berdasarkan informasi itu, Suster Teresa ingin belajar tentang kesehatan dari misi kedokteran di Patna. Dan, Suster Teresa diajarkan merawat dan mengobati luka warga yang sakit. Dengan kondisi yang sehat dan ilmu yang dipelajarinya, Suster Teresa kembali bekerja di Calcutta. Suatu hari, ada seorang anak menangis sendirian kemudian ia menggendongnya. Tiba-tiba ibu anak itu muncul dengan marah dan menuduh Suster Teresa ingin menculik anaknya, dan mengusirnya dari tempat itu tanpa mendengarkan penjelasan Suster Teresa. Beberapa warga yang tidak setuju langsung mendukung ibu anak tersebut dengan ramai-ramai mencoba mengusir SusterTeresa. Pada saat genting itu, muncul anak muda yang menolong untuk mencoba memberikan penjelasan siapa Suster Teresa. Anak muda itu bernama Jyoti yang pernah di tolongnya di Biara Loreto saat terluka ketika terjadi kerusuhan antar pemeluk agama. Jyoti tinggal di daerah ini. Dengan bantuan Jyoti, Suster Teresa minta disediakan rumah kosong untuk dijadikan tempat merawat orang-orang sakit yang memerlukan pertolongan. Setelah mendapat rumah, kemudian mereka membersihkan debu, kotoran dan mengecat rumah tersebut. Rumah kosong yang sudah bersih itu menjadi tempat perawatan bagi orang miskin yang menderita berbagai macam penyakit seperti kusta, lepra, dan lainnya. Inilah awal lahirnya misi amal (Missionaries of Charity). Beberapa mantan muridnya dari Biara Loreto datang dan bergabung membantu kegiatan Suster Teresa. Suster Teresa mengunjungi suatu tempat peristirahatan Brahmana, tempat sakral dan kuno di Calcutta yang bisa dijadikan rumah sakit. Untuk hal ini, Suster Teresa menemui tuan Komisaris memohon agar dapat diberikan izin tempat peristirahatan itu bisa dijadikan rumah sakit. Setelah mendapat izin, mereka membersihkan dan mengecat rumah tersebut. Di sisi lain, Suster Teresa terkadang merasa sendiri karena telah meninggalkan ibu, kakak dan adiknya dan merasa sedih karena ibu, kakak dan adiknya ditolak untuk meninggalkan Albania. Oktober 1950, Suster Teresa menerima surat bahwa
Mother Teresa: In the Name of God’s Poor Sutradara Kevin Connor Penulis Dominique Lapierre, Jan Hartman Produser Peter Shepherd Durasi 120 menit Pemain Geraldine Chaplin, Keene Curtis, Helena Carrol, David Byrd, William Katt, Sangeetha Weeraratne, Ravindra Randeniya
kegiatan Missionaries of Charity diterima di Keuskupan Agung Calcutta, dan Suster Teresa diberkati menjadi Bunda Teresa (Mother Teresa). Berita tentang kegiatan Bunda Teresa telah menarik perhatian wartawan bernama Harry Harper. Ia datang ke Calcutta untuk mewawancarai Bunda Teresa tentang kegiatan amalnya. Bunda Teresa merasa bahwa ia sendiri tidak perlu diwawancarai karena sibuk dengan pekerjaanya, namun memberi kesempatan kepada Harry untuk memperhatikan kejadian di sekitarnya. Di samping memberikan keterangan, ia juga menyampaikan beberapa idenya bagi rumah sakit ini. Harry Harper sendiri juga berusaha memahami pekerjaan Bunda Teresa. Kegiatan misi amal ini bagi sebagian orang, banyak yang tidak setuju. Oleh karena merupakan tempat sacral dan menolak kerja-kerja misi amal. Dan, mereka sering melakukan aksi di depan rumah sakit. Tuan komisaris datang akibat aksi ini dan bermaksud untuk mengusir Bunda Teresa. Tuan Komisaris diajak melihat kondisi masyarakat yang sesungguhnya, dan ia menjadi terenyuh bahwa banyak korban yang masih hidup di rawat di tempat ini. Oslo, Norwegia Desember tahun 1970, Bunda Teresa datang di penganugerahan Nobel Perdamaian Internasional dan memberikan kata sambutan atas penganugerahan yang ia terima. Penghargaan ini diterima untuk kemuliaan Tuhan dan atas nama yang kelaparan, cacat, tidak punya rumah, dan lainnya. Bunda Teresa adalah orang yang tidak mementingkan diri sendiri, memiliki keberanian, pekerja keras, dan mempunyai kemampuan berorganisasi. Misioner Bunda Teresa beroperasi di lebih 100 negara dengan 4.000 anggota. Setiap tahun, yayasan ini memberi makan 500.000 keluarga, mengajar lebih dari 40.000 anak terlantar, merawat hampir 100.000 pengidap lepra dan penderita AIDS. Rumah untuk penyembuhan alkoholik, tempat bagi wanita korban, penganiayaan dan pelecehan. Membangun hancurnya kepercayaan, dari tempat yang paling tidak disukai di dunia. Juni 1997, Medali penghargaan untuk kebebasan diberikan kepada Bunda Teresa.***(NN/ RK) Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli-September 2009
19
20
Perempuan Bergerak | Edisi III | Juli-September 2009