daftar isi
Perempuan Bergerak Edisi II April-Juni 2010
warta komunitas 12 Perempuan Menentang Repreasi di Pasrujambe, Lumajang 12 Warga Menagih Janji PAM Palyja 13 Koperasi Perempuan Berdiri, Warga Belajar Mandiri perspektif Kekerasan Negara terhadap Perempuan Masyarakat Adat
14
sosok Rukmini Paata Toheke: Pejuang Perempuan Adat dari Ngata Toro
16 rembug perempuan Perempuan Masyarakat Adat: Alami Diskriminasi Berlapis
3
fokus utama Perempuan Masyarakat Adat dalam Tantangan
4
opini Peran dan Posisi Perempuan Masyarakat Adat dalam Memaknai Eksistensinya sebagai Warga Negara dan Aksesnya terhadap SUmber Daya Alam
6
warta perempuan Perempuan Masyarakat Adat Memperjuangkan Eksistensi
9
bedah film Hutanku: Sumber Kehidupan untuk Semua
18
bedah buku Mempersoalkan Partisipasi Politik Perempuan dalam Masyarakat Adat
20
puisi 22 Perempuan-perempuan Perkasa 22 Suku Dani dan Asmat 22 Hutan Itu pojok kata 22 Adat 22 Budaya 23 Hukum Adat 23 Kearifan Lokal 23 Kebudayaan
23 23 23 23 23
Masyarakat Adat Masyarakat Hukum Adat Pribumi Tradisi Tradisional
Perempuan Bergerak Penanggung Jawab: Rena Herdiyani Pemimpin Redaksi: Hegel Terome Redaktur Pelaksana: Joko Sulistyo Redaksi: Naning Ratningsih, Listyowati, Nani Ekawaty, Rakhmayuni, Ika Agustina Desain visual: Rudy Fransiskus Distribusi : Diana Tambunan Perempuan Bergerak merupakan media yang memuat pandangan-pandangan yang membangun kesadaran kritis kaum perempuan di seluruh Indonesia sehingga memberdayakan dan menguatkan mereka. Kekuatan bersama kaum perempuan yang terbangunkan itu merupakan sendi-sendi penting terdorongnya gerakan perempuan dan sosial umumnya untuk menuju masyarakat yang demokratis, setara, tidak diskriminatif dan tidak subordinatif. Redaksi menerima kritik, saran dan sumbangan berupa surat pembaca, artikel dan foto jurnalistik. Naskah, artikel dan foto jurnalistik yang diterima redaksi adalah yang tidak anti demokrasi, anti kerakyatan, diskriminatif dan bias gender. Naskah tulis diketik pada kertas A4, spasi satu, huruf Arial 12, maksimal 3 halaman dalam bentuk file atau print-out. Alamat Redaksi dan Iklan: Jl.Kaca Jendela II No.9 Rawajati-Kalibata, Jakarta Selatan 12750. Telp: 021-7902109; Fax: 021- 7902112; Email :
[email protected]; Website : www.kalyanamitra.or.id Untuk berlangganan Perempuan Bergerak secara rutin, kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Redaksi menerima sumbangan pengganti biaya cetak Rp. 10.000,- dan biaya pengiriman di rekening sesuai kota tujuan. Transfer ke Rekening Bank Bukopin Cabang Kalibata, No. Rekening 0103-034652 a/n. Rena Herdiyani.
2
Perempuan Bergerak | Edisi II | April-Juni 2010
Perempuan masyarakat adat masih banyak mengalami diskriminasi baik dalam keluarga, komunitas, maupun oleh negara. Dalam komunitasnya, perempuan masyarakat adat harus melawan dominasi laki-laki yang kuat, sedangkan oleh negara banyak kebijakan yang menindas mereka.
D
alam edisi Buletin Perempuan Begerak kali ini dikupas persoalan yang masih dihadapi perempuan masyarakat adat, terutama banyaknya dikriminasi yang dialami mereka oleh negara. Bila melihat amandemen UUD 1945, sebenarnya tiap warga negara harus bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan hukum terhadap perlakuan diskriminatif (Pasal 28). Indonesia telah meratifikasi konvensi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), Konvenan Internasional HakHak Sipil dan Politik dan Konvenan Internasional HakHak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang kesemuanya berisi klausul-klausul mengenai non-diskriminasi dan kesetaraan gender. Namun realitasnya, kebijakan-kebijakan yang bersifat diskriminasi terus saja ada. Negara belum sepenuhnya memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat. Demikian pula perlindungan yang
diberikan negara pada perempuan masyarakat adat masih setengah hati. Diskriminasi lain, mereka tidak bisa mencantum kan kepercayaan yang dianutnya dalam KTP dan mengalami kesulitan dalam pencatatan pernikahan sesuai dengan keyakinannya. Semua ini berdampak pada pencatatan akta kelahiran anak; hak anak untuk mendapat pendidikan agama sesuai keyakinannya, akses pekerjaan dan peluang karir yang sama. Di Indonesia, banyak aturan berdampak merugikan terhadap masyarakat, baik hak ulayat, spiritual maupun kebijakan terkait dengan kearifan lokal masyarakat adat. Akhirnya, semoga informasi kali ini bisa memberikan wacana baru mengenai perempuan masyarakat adat. Selamat membaca!
rembug perempuan
Perempuan Masyarakat Adat: Alami Diskriminasi Berlapis
Jakarta, 28 Maret 2010 Joko Sulistiyo Redaktur Pelaksana
Edisi II | April-Juni 2010 |
Perempuan Bergerak
3
fokus utama 4
Perempuan Masyarakat Adat dalam Tantangan Pengantar Masyarakat adat merupakan istilah umum yang dipergunakan di Indonesia yang paling tidak merujuk kepada empat jenis masyarakat asli yang ada di dalam negara Indonesia. Dalam ilmu hukum dan teorinya secara formal dikenal “masyarakat hukum adat”, namun perkembangan terakhir masyarakat asli Indonesia menolak dikelompokkan sedemikian mengingat perihal adat tidak hanya menyangkut hukum, melainkan mencakup segala aspek dan tingkatan kehidupan. Yang disebut masyarakat adat ialah: 1. Penduduk asli (bahasa Melayu: orang asli); 2. Kaum minoritas, dan
Perempuan Bergerak | Edisi II | April-Juni 2010
3. Kaum tertindas atau termarjinalkan karena identitas mereka yang berbeda dari identitas yang dominan di suatu negara atau wilayah; 4. Masyarakat pribumi. Singkat dapat dikatakan, bahwa secara praktis dan untuk kepentingan memahami dan memaknai Deklarasi ini di lapangan, maka kata “masyarakat/penduduk pribumi” digunakan silih berganti dan mengandung makna yang sama. Pandangan yang sama juga dikemukakan dalam merangkum konsep orang-orang suku dan populasi/orang-orang asli dari Departemen Urusan Sosial Ekonomi PBB dengan merujuk kepada Konvensi ILO 107 (1957) dan 169 (1989). Sem Karoba menyatakan dalam bukunya yang
menerjemahkan Deklarasi Hak Asasi Masyarakat Adat, menjelaskan “secara praktis ternyata mereka yang menyebut dirinya sebagai orang asli atau orang suku menyetujui agar kedua istilah ini digunakan secara sinonim: kebanyakan mereka menyebut diri sebagai ‘bumi putra’ agar mereka dapat dimasukkan kedalam diskusi-diskusi yang sedang berlangsung di tingkat PBB. Untuk tujuan praktis istilah ‘bumi putra’ dan ‘masyarat adat’ dipakai sebagai sinonim dalam sistem PBB, saat orang-orang yang bersangkutan mengidentifikasi diri mereka di bawah agenda masyarakat asli”. Masih ada debat panjang mengenai makna kedua istilah secara semantik, normatif, kronologis, politis dan sebagainya. Secara praktis, masyarakat yang merasa dirinya sedang ditangani dan dilayani melalui Deklarasi tersebut mengidentifikasi diri mereka sebagai bumi putra (indigenous). Dalam Konvensi ILO dan Deklarasi tadi disebutkan bahwa identifikasi diri sendiri dari masyarakat adalah kunci dalam menempatkan sebuah entitas sosial sebagai masyarakat adat. Identifikasi diri merupakan hak dasar yang dijamin dalam berbagai hukum universal yang sudah berlaku sejak pendirian PBB. Dalam Konvensi ILO No. 169 tahun 1986 menyatakan bahwa: “Bangsa, suku, dan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum invasi dan penjajahan, yang berkembang di daerah mereka, menganggap diri me reka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk memelihara, mengembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar keberlangsungan keberadaan mereka sebagai sukubangsa, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial, dan sistem hukum mereka”. Perempuan dalam Masyarakat Adat Masyarakat adat sebagai komunitas yang termarjinalkan menjadi kelompok masyarakat yang
paling termiskinkan dan riskan. Perkembangan saat ini memperlihatkan bagaimana proses pemiskinan itu berlangsung atas kehidupan masyarakat adat. Perampasan tanah dan perusakan hutan di mana mereka hidup dilakukan banyak perusahaan besar. Perusakan tersebut sangat massif dan menghancurkan sumberdaya yang mereka miliki. Keterbatasan itu juga berlangsung karena akses mereka terhadap pendidikan dan ekonomi sangat terbatas. Di sisi lain, pelestarian kultur mereka menjadi sasaran komersial program ekoturisme. Perempuan dalam masyarakat adat umumnya menempati posisi yang riskan, karena keterbatasan dan ketidaksetaraan dalam peran-peran kritis me reka dalam keluarga dan komunitasnya, akibat intervensi modal yang berlebihan oleh perusahaanperusahaan asing dan nasional. Berbagai faktor yang menghambat kemajuan perempuan masyarakat adat antara lain: kehilangan tanah, air dan kehancuran hutan. Tingkat pendidikan mereka pun sangat rendah sehingga tersingkirkan dari peluang pekerjaan dan pengelolaan sumberdaya komunitas yang tersedia. Intervensi penggunaan uang kontan dalam komunitas masyarakat adat mengikis kemandirian mereka sebagai penyedia pangan, penyembuh, seniman, dan spiritualis. Dan peran mereka dalam produksi, dalam ekonomi dan kehidupan komunitas semakin menurun. Mereka tersingkirkan oleh budaya patriarkhal dan kekerasan yang memenjaranya dalam ruang domestik. Perubahan dalam institusi sosial, budaya, dan politik telah mengubah aturan-aturan dan kode perilaku yang sejak lama memperkuat struktur kepekaan gender. Perempuan masyarakat adat mengalami hambatan dalam mengakses pendidikan, kesehatan, sanitasi, dan layanan dasar lainnya. Dengan arus globalisasi, kekuatan asing menghancurkan tatanan lama yang selama ini menghidupi mereka. Marjinalisasi dalam hal keputusan, kekerasan fisik dan psikis, mereka alami. Dalam hal pekerjaan, mereka kerap menjadi korban perdagangan manusia, bahkan menjadi pelacur. Tantangan ke Depan Perempuan masyarakat adat menghadapi tantangan masa depan yang sulit mengingat beban yang dipikul sangatlah berat. Beban ganda mereka sandang. Sembari memikul beban yang ada itu, mereka pun mengalami diskriminasi multi dimensi dan ketidakadilan gender. Keputusan, akses dan kontrol terhadap sumberdaya di ruang domestik dan publik terus melemah. Negara dan kekuatan modal baik dalam negeri maupun asing mendorong mereka ke posisi jurang kemiskinan yang kian dalam. Masih adakah peluang bagi mereka untuk maju dan mandiri? *****(HG) Edisi II | April-Juni 2010 |
Perempuan Bergerak
5
opini
Peran dan Posisi Perempuan Masyarakat Adat
dalam Memaknai Eksistensinya sebagai Warga Negara dan Aksesnya terhadap Sumber Daya Alam Oleh: Zohra A. Baso * Pengantar Pada 1992, tak lama setelah Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) melakukan perhelatan terbesar memilih pimpinannya, diadakan pertemuan membahas tentang konflik sumber daya alam. Di Tanah Toraja diadakan pertemuan yang diikuti peserta dari beberapa wilayah di Indonesia, terutama di wilayah yang terjadi konflik sumber daya alam, seperti Kalimantan, Sumatera Utara, Papua, Sulawesi, Maluku. Pertemuan ini tanpa izin sehingga dirancang seolaholah wisatawan masuk Tanah Toraja. Dalam pertemuan itu, dibahas persoalan yang dialami masyarakat yang wilayahnya mengalami konflik sumber daya alam, se perti di pedalaman Papua, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan lainnya. Selain itu, dibahas apa kata sepadan yang tidak menyudutkan masyarakat yang ada di wilayah itu dan seoalah-olah mereka adalah “perusak” karena selama ini mereka sering dijuluki, ”suku terasing”, ”masyarakat terpencil”, “peladang berpindah”, yang secara internasional mereka disebut “Indigenous people”. Dan dengan dialog yang panjang diputuskan penolakan terhadap istilah-istilah yang memarginalkan itu, dan diambil satu kesepakatan bahwa mereka di sebut masyarakat adat, artinya sekolompok masyarakat yang secara turun- temurun menghuni wilayah itu, memiliki tanah ulayat, adat istiadat dalam pengelolaan wilayah dan kehidupannya. Dari pertemuan itu, terbentuk organisasi yang disebut Jaringan Pembela Hak-Hak Masyarakat Adat (Japhama). Kebetulan saat awal saya menjadi Steering Committee, mewakili wilayah Sulawesi. Bertahun-tahun organisasi ini bergerak secara bergerilya, bergerak dibawa tanah walaupun sudah menerbitkan bahan-bahan kampanye seperti brosur, dll. Hampir semua pertemuan organisasi ini dilakukan secara tertutup, seperti pertemuan di Bali, Bogor dan daerah lainnya. Melalui proses yang panjang, akhirnya diadakan kongres Masyarakat Adat tahun 1999 di Hotel Indonesia dan melahirkan sebuah organisasi yang disebut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), di mana kongres ini didukung banyak NGO seperti Japhama, Walhi,YLBHI, Solidaritas Perempuan, dan lainnya. Hadir dalam pertemuan tersebut aktivis NGO dari berbagai latar belakang. Kongres Masyarakat Adat Nusantara ini pokoknya
6
Perempuan Bergerak | Edisi II | April-Juni 2010
menggugat posisi masyarakat adat terhadap Negara. Posisi Masyarakat Adat terhadap negara harus ditata ulang. Pengingkaran terhadap kedaulatan Masyarakat Adat akan dengan sendirinya melemahkan kekuasaan negara. Tuntutan utama Kongres Masyarakat Adat Nusantara adalah: 1. Menghilangkan semua penamaan terhadap Masyarakat Adat yang bersifat merugikan. Istilah-istilah seperti peladang liar, suku terpencil, masyarakat/suku terasing, perambah hutan, orang primitif harus dihilangkan dalam kehidupan sosial. Demikian pula istilah-istilah yang bermaksud menghilangkan kedaulatan Masyarakat Adat, seperti tanah negara, hutan negara, dll. 2. Kebijakan negara di bidang politik, hukum, ekonomi dan sosial budaya harus senantiasa memberikan penghargaan sepenuhnya atas keberagaman Masyarakat Adat yang ada di seantero nusantara, termasuk memberikan pengakuan, melestarikan dan mengembangkan hukum adat, pengetahuan dan kearifan lokal Masyarakat Adat. 3. Menempatkan perwakilan Masyarakat Adat dalam kelembagaan negara, sehingga kebijakan lembagalembaga negara (baik di pusat maupun di daerah) yang merugikan Masyarakat Adat bisa dicegah semenjak direncanakan. 4. Mengembalikan kedaulatan persekutuan politik Masyarakat Adat untuk mengatur kehidupan sosialekonomi, hukum dan budaya Masyarakat Adat, termasuk kedaulatan atas penguasaan dan pengelolaan tanah, kekayaan alam dan sumber-sumber penghidupan lainnya. Hal ini sebaiknya diatur melalui suatu Undang-undang mengenai kedudukan hak politik, hukum dan sosial-budaya dari Masyarakat Adat. 5. Berbagai UU yang mengingkari kedaulatan Masyarakat Adat harus dicabut atau diubah. Konsep Hak Menguasai Negara (yang terkandung di antaranya, dalam UU No. 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria, UU No. 5/1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan – Ed.: sudah dirubah dengan UU No. 41/1999, UU No. 11/1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan, UU No. 9/1985 tentang Perikanan) harus ditinjau ulang berdasarkan pengakuan sepenuhnya atas kedaulatan Masyarakat Adat. Pengakuan sepenuhnya atas kedaulatan Masyarakat Adat harus terjamin jalam UU yang baru
nanti. Dalam proses pembuatannya, Masyarakat Adat mendapat jaminan sepenuhnya untuk berpartisipasi dalam pembuatannya. 6. Merundingkan penggunaan tanah dan kekayaan alam kepunyaan Masyarakat Adat yang dipakai oleh berbagai proyek-proyek dari pemerintah maupun pe ngusaha, seperti proyek eksploitasi hutan, pertambangan, perkebunan, perikanan, dan transmigrasi. Berbagai rencana proyek baru di atas tanah dengan menggunakan kekayaan alam Masyarakat Adat harus didasari atas perundingan bersama Masyarakat Adat yang menguasainya dan dipertimbangkan dampaknya terhadap perempuan Masyarakat Adat. 7. Berbagai proyek kesejahteraan sosial, seperti pe nanggulangan kemiskinan, kesehatan, keluarga berencana, pembinaan masyarakat terasing, jaringan pengaman sosial, pendidikan dan lain-lain, harus menjamin tidak terjadinya pelanggaran hak-hak perempuan Masyarakat Adat. Tidak boleh lagi terjadi, diskriminasi dan kekerasan dalam pelaksanaan proyek-proyek itu, seperti Proyek KB yang selama ini telah menggunakan cara-cara kekerasan, terutama kekerasan terhadap perempuan. Undang-undang perkawinan dan prakteknya yang berkonflik de ngan hukum agama dan adat harus diubah, dengan memberikan pengakuan atas proses-proses perka winan berdasarkan agama dan adat yang berlaku di Masyarakat Adat se-antero nusantara. 8. Menghentikan keterlibatan militer dalam kehidupan sipil, sebagaimana ada dalam doktrin dwi-fungsi ABRI. Harus dihentikan dan tidak diulangi lagi, proyek-proyek politik dan keamanan seperti Daerah Operasi Militer dan sejenisnya, yang telah berakibat terjadinya pelanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat, seperti intimidasi, penyiksaan, pemerkosaan bahkan pembunuhan, khususnya kekerasan terhadap perempuan Masyarakat Adat haruslah dihapus. Semua aparat militer yang berada di wilayah-wilayah operasi proyek politik dan keamanan itu dikembalikan ke induk pasukannya masing-masing. 9. Para pemegang kekuasaan Negara, baik pihak le gislatif, eksekutif dan yudikatif, wajib membuat suatu penyelesaian yang arif dan bijaksana dalam rangka menghormati hak menentukan nasib sendiri dari Masyarakat Adat di dalam negara. Negara wajib merehabilitasi kedaulatan dan hak-hak Masyarakat Adat yang selama ini telah dilanggar. Semua aparat yang terlibat dalam pelanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat, terutama mereka yang menggunakan kekerasan, wajib diusut dan diadili se suai dengan hukum yang berlaku. Para korban dari perlakuan pelanggaran HAM itu harus memperoleh rehabilitasi dari negara. Negara harus mempersiapkan dana yang cukup memadai untuk rehabilitasi kedaulatan dan hak-hak tersebut. 10. Para pemegang kekuasaan Negara, baik pihak eksekutif maupun legislatif, harus mengakui dan ikut
serta menandatangani perjanjian-perjanjian internasional yang mengandung jaminan atas kedaulatan Masyarakat Adat, seperti Konvensi International Labour Organization (ILO) NO. 169 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-negara Merdeka. Pemerintah Indonesia juga harus ikut serta secara aktif dalam proses pembuatan Draft Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Masyarakat Adat (Indegenous Peoples). 11. Untuk itu, kami, Masyarakat Adat nusantara, dengan ini menyatakan/menggugat pemerintah RI karena ternyata telah melakukan peminggiran, penindasan, penghancuran secara sistematis, perampasan dan penggusuran hak Masyarakat Adat serta melakukan pelanggaran HAM (politik ekonomi dan sosial budaya). Untuk itu, kami Masyarakat Adat mendesak pemerintah Republik Indonesia: a. Mencabut peraturan dan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan kedaulatan masyarakat adat seperti: (UU Nomor 5 Tahun 1979, UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 5 Tahun 1967 – Ed.: sudah dirubah dengan UU No. 41/1999, UU Nomor 11 Tahun 1967, UU Nomor 5 Tahun 1960, UU Nomor 5 Tahun 1985) sebelum penyelenggaraan Pemilu tahun 1999; b. Meninjau kembali keberadaan Departemen Transmigrasi dan PPH; c. Mencabut dwi fungsi ABRI; d. Mencabut seluruh paket HGU, HPH, HTI dan paket-paket lain yang merugikan Masyarakat Adat; e. Harus berfungsi sebagai pelayan masyarakat bukan sebagai penguasa; f. Pemerintah mengakui keberadaan Masyarakat Adat. Posisi Perempuan Dalam kongres itu diminta seluruh wilayah yang datang melibatkan peserta perempuan kemudian dibuat pertemuan khusus untuk peserta perempuan, dan di sepakati bahwa anggota dewan adat harus ada perempuan satu orang. Namun demikian, dalam beberapa pertemuan masih tetap ada wilayah tidak menempatkan perempuan menjadi anggota dewan adat. Kini AMAN telah melakukan kongres sebanyak tiga dalam kurun waktu 10 tahun ini. Tentu harapan kita saat ini mereka lebih maju dan memiliki hak-hak dalam melaksanakan dan menjalankan hidupnya dalam arena kini yang tampaknya makin kompleks. Meskipun masih ada kelompok masyarakat adat yang belum bergabung di dalamnya. Namun demikian, dalam perjalannnya upaya-upaya menerobos kebekuan demokrasi di wilayah masyarakat adat telah berjalan. Demikian pula upaya-upaya merombak aturan negara yang merugikan mereka. Tapi sebuah catatan penting perlu direnungi kenapa hingga kini tidak terbentuk organisasi yang disebut Aliansi Perempuan Masyarakat Adat Nusantara, Edisi II | April-Juni 2010 |
Perempuan Bergerak
7
yang saat kongres pertama sudah mulai digulirkan. Mungkinkah karena dianggap sudah tak perlu atau ada hal lain yang menjadi pemikiran para anggota AMAN sehingga organissi ini secara nasional tidak terbentuk. Namun demikian yang penting kita gali bagaimana posisi perempuan masyarakat adat dalam negara. Dalam kaitan ini, tentu tidak jauh beda dengan posisi secara umum masyarakat adat yang akhirnya melahirkan pernyataan seperti di atas. Seperti kita ketahui, saat Orde Baru, kehidupan masyarakat adat sangat ter pinggirkan. Akses mereka terhadap sumber daya alam terkuras habis dengan berbagai aturan negara. Seperti UU No. 5/1960, UU No. 5/1967, UU No. 11/1967, telah memberikan kemudahan bagi pengusaha untuk mengambil tanah dan mengeksploitasi kekayaan alam kepunyaan Masyarakat Adat. Kemudian, akhirnya berdampak pada kedaulatan dan hak-hak Masyarakat Adat atas tanah dan kekayaan alamnya. Mereka sama sekali tidak memiliki daya dan diambil alih penguasaannya oleh negara dan pengusaha. Dengan demikian, negera tidak memberikan kehi dupan yang layak pada masyarakat adat, malah tanah negara atau hutan negara telah menjadi alat yang ampuh untuk melumpuhkan kedaulatan Masyarakat Adat atas tanah dan kekayaan alamnya. Sangat jelas di ingatan kita diberbagai wilayah terjadi sengketa antara pengusaha dengan masyarakat adat. Mereka yang selama bertahun-tahun hidup tenang tiba-tiba harus tergusur akibat aturan yang tidak pernah memperhitungkan kepentingan masyarakat adat. Tentu kondisi itu sangat tidak bagus bagi kaum perempuan. Kehidupan perempuan dalam Masyarakat Adat menjadi kelompok yang paling merasakan penderitaan akibat penindasan politik, ekonomi dan sosial-budaya di atas. Perempuan adat menderita lebih banyak, seperti meningkatnya beban kerja perempuan adat akibat hilangnya tanah dan kekayaan alam. Kemudian, dampak lainnya yang paling memilukan karena wilayah itu ahirnya menjadi wilayah konflik, maka kekerasan yang sifatnya pelecehan seksual dan pemerkosaan sering dialami kaum perempuan. Jadi, posisi perempuan justru lebih berat karena mengalami penindasan dua kali lipat. Selain mereka mengalami marginalisasi karena ketidakadilan negara kepada kelompok mereka, juga mengalami persoalan tersendiri dalam kelompok mereka di mana perempuan adat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dalam kelompoknya. Mereka juga terimbas budaya patrarki di lingkungannya. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh bahwa tiap kelompok masyarakat di zamanya memiliki kearifan yang menempatkan kaum perempuan sebagai pemimpin sesuai dengan kemampuannya. Di Sulawesi Selatan misalnya, zaman dulu banyak perempuan yang menjadi raja dan memimpin kerajaannya dengan baik. Di masyarakat adat Ngata Toro di Sulawesi Tengah memiliki aturan yang menempatkan perempuan se-
8
Perempuan Bergerak | Edisi II | April-Juni 2010
bagai pusat pengambilan keputusan dan sangat mengapresiasi keberadaan perempuan. Seperti ditulis Eko Bambang Subiantoro dalam Jurnal Perempuan bahwa: Perempuan dalam sejarah adat Ngata Toro sebenarnya memiliki peran yang cukup strategis. Di masa silam, perempuan Ngata Toro mempunyai tiga posisi kunci dalam kehidupan sosial masyarakat, yakni sebagai Tina Ngata (Ibu Kampung), Pobolia Ada (Pemegang Adat) dan Pangalai Baha (Pengambil kebijakan). Perempuan dalam konsep masyarakat adat Ngata Toro juga memiliki peran penting sebagai Tua Tambi (tempat Penyimpan Adat). Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, peran tersebut dijumpai dalam sistem perdagangan. Seseorang tidak dapat menjual sesuatu barang jika pelaksanaanya tidak melibatkan kaum perempuan dalam suatu keluarga. Misalkan, menjual hewan ternak, kebun dan sebagainya yang dianggap menjadi harta keluarga. Kenyataan lain yang sangat mengharukan dalam kehidupan masyarakat adat yang tinggal di pesisir yakni mereka memiliki pembagian kerja yang sangat adil antara perempuan dan laki-laki. Ambil konsep masyarakat Mandar yang dikenal dengan konsep “si wali Parri”, di mana bekerja melaut dilakukan laki-laki dan perempuan melakukan menjajakan hasil ikannya di Pasar. Demikian pula, masyarakat adat Lamalera, Nusa Tenggara Timur, laki-laki melaut mencari ikan, kemudian perempuannya yang mengerjakan untuk membersihkan, menjadikan dendeng ikannya dan menukar dengan kebutuhan lain di pasar, perempuan melakukan tugas tugas yang sangat erat kaitannya dengan persoalan kedaulatan pangan di kalangan mereka. Akan tetapi, kehidupan seperti itu sudah mulai luntur seiring dengan perubahan zaman seiring munculnya aturan negara yang mencabut mereka dari akarnya. Yang yang menarik, sebagian mereka termasuk perempuan tetap berada di wilayahnya dan mempertahankan hidup mereka. Seperti halnya Masyarakat adat Ngata Toro, kini mereka kembali menggali dan menerapkan aturan-aturannya yang menempatkan perempuan di posisi pengambil keputusan. Kemudian, di beberapa wilayah yang sebelumnya sama sekali mengabaikan hak-hak perempuan masyarakat adat, seperti di Aceh kini menempatkan perempuan ikut dalam kepengu rusan di posisi pengambil keputusan. Di sisi lain, perjuangan aktivis yang berpihak pada masyarakat adat tetap bergulir, berbagai upaya dilakukan untuk tetap mengakui hak ulayat masyarakat adat. Yang pasti, perjuangan untuk menempatkan posisi perempuan masyarakat adat berada dalam kesetaraan masih harus diperjuangkan. Seperti dengan perjuangan kaum perempuan di seluruh Indonesia, yakni keadilan dan kesetaraan masih tetap harus diteriakkan dan diperjuangkan karena budaya patriarkhal masih kuat. Namun, kata berhenti pantang diucapkan, selamat berjuang untuk mengubah budaya tidak adil menjadi budaya adil dan setara. *****
Persoalan utama mereka ialah pengakuan negara terhadap mereka tidak ada. Memang diakui dalam amandemen UUD 1945, namun pengakuan secara hukumnya yang nyata tidak ada dilaksanakan secara detail.
I
ndonesia dikenal sebagai negara kepulauan. Negara dengan beragam suku, etnis, budaya, dan kepercayaan. Keberagaman ini pula yang sering dijadikan “jualan” pemerintah untuk me raup devisa negara melalui turis-turis asing yang mengagumi khazanah budaya kita. Sebagai warga negara, kita patut bangga akan kebhinekaan ini dan turut melestarikannya sebagai aset budaya bangsa. Masyarakat adat adalah wujud keberagaman itu sendiri. Hanya eksistensi masyarakat adat yang masih dipertanyakan. Negara masih menegasi keberadaan mereka. Persoalan diskriminasi dialami masyarakat adat sampai kini, terutama terkait hambatan yang mereka hadapi dalam administrasi kependudukan, karena perbedaan perlakuan terhadap penganut kepercayaan lokal. Persoalan hak beragama dan berkeyakinan sampai saat ini terjadi di tiap propinsi dalam bentuk yang berbeda-beda. Diskriminasi terjadi dalam hal akses pencatatan sipil baik perkawinan, kelahiran anak, dan berimbas pada hal-hal perlakuan diskriminatif untuk masuk ke ABRI, PNS, karena di akte kelahiran hanya tertulis anak seorang ibu (tidak dari seorang bapak), yang memunculkan stigma anak haram atau anak diluar nikah. Nia Syarifuddin dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) menyatakan bahwa negara seharusnya menjamin kebebasan masyarakat adat dalam menjalankan kepercayaannya. “Negara seharusnya memfasilitasi persoalan-persoalan ibadah dan kebebasan mereka dalam melaksanakan agama dan kepercayaannya. Di internasional, bukan religion or believe tetapi religion and believe, kata and dan or itu beda.” Pengakuan Setengah Hati Satu persoalan mendasar yang dihadapi masyarakat adat, yakni pengakuan secara nyata dan merata. Dalam amandemen UUD 1945, negara memang mengakui namun pengakuan hukum yang nyata sangat tidak dirasakan. Dalam Undang-undang No.41 dan Undangundang Agraria pun menegaskan pengakuan ini namun bentuk pengakuannya tidak dijelaskan secara rinci. Selama ini bentuk pengakuan yang ada hanya melalui Peraturan Daerah (Perda) yang dampaknya tidak mer-
ata karena beberapa ada yang tidak sampai menyentuh akar persoalannya. Persoalan untuk mendapatkan pengakuan melalui Perda tidaklah mudah. Masyarakat harus berupaya maksimal karena diperlukan riset mendalam dan tidak murah sebelum dikategorikan sebagai masyarakat adat. Hal ini membuktikan bahwa tanggung jawab negara terhadap masyarakat adat tidaklah sepenuh hati. Suku Baduy, contoh sukses dalam mendapatkan pengakuan melalui Perda. Melalui Perda, suku Baduy telah mendapatkan pengakuan hukum dan merasakan dampaknya. Tanah mereka dilindungi oleh negara dan tidak satupun yang boleh merampas tanah mereka. Namun di beberapa daerah lain, realitasnya tidak serupa. Masyarakat adat yang lain tidak bisa diakui karena hukum tidak memihak, seperti terhadap suku Baduy. Kondisi ini menjadi tidak merata, sehingga masih banyak komunitas masyarakat adat yang status kewarganegaraannya abu-abu. Pengakuan belum sampai menyentuh persoalan dasar, hanya kelembagaan adat, sedangkan eksistensi dan tanah mereka tidak diakui. Susilaningtyas, Koordinator Program Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) mengungkapkan bahwa jika pemerintah mau serius salah maka satunya dengan meratifikasi konvensi PBB yang mengatur mengenai hak-hak masyarakat adat. Beliau menyatakan, “Konvensi PBB soal masyarakat adat, Indonesia belum meratifikasi nya; Konvensi ILO 169 UN declaration tentang hak-hak masyarakat adat, Indonesia memang menandatangani, namun itu hanya deklarasi saja.” Beliau menambahkan bahwa persoalan lain sebagai implikasi pengakuan yang tidak serius oleh negara terhadap masyarakat adat yakni dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). “Ada beberapa masyarakat adat mempunyai agama yang berbeda, tidak lima; kalau yang Dayak kebanyakan masuk ke Katolik, Islam, atau Protestan, sementara agama mereka sendiri, kaharingan tidak pernah diakui, tidak pernah ada di KTP-nya. Di Baduy juga sama. Dulu mereka tidak ber-KTP, sekarang mereka sudah mempunyai KTP. Ada beberapa yang mempunyai KTP dengan agama Sunda Wiwitan. Ini bisa dicantumkan di KTP karena mungkin baduy spesifik, lebih banyak di kenal orang dan posisi tawarnya tinggi. Tapi masyarakat lain tidak mungkin dapat. Itu salah satu perjuangan kita, janganlah kolom agama itu diEdisi II | April-Juni 2010 |
Perempuan Bergerak
warta perempuan
Perempuan Masyarakat Adat Memperjuangkan Eksistensi
9
masukan. Karena itu hak masing-masing individu”. Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Anggota DPD RI dari Yogyakarta, menyatakan bahwa pemerintah seharusnya secara sungguh-sungguh mengakui eksistensi ini, “Seharusnya memang demikian, seperti yang ada dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945. Namun banyak aturan juga yang berdampak merugikan terhadap masyarakat, baik itu hal terkait dengan hak ulayat, spiritual maupun kebijakan yang terkait dengan kearifan lokal masyarakat adat”. Beliau melanjutkan, bahwa salah satu penyebabnya karena proses kebijakan yang tidak partisipatif dan rendahnya akses keterlibatan masyarakat adat dalam proses pembuatan kebijakan, sehingga mereka kerap menjadi korban diskriminasi. Eksistensi Perempuan Adat Di Indonesia, perempuan secara umum masih menjadi subordinasi laki-laki, tak terkecuali dalam konteks masyarakat adat. Selama ini yang maju selalu lakilaki, sedangkan perempuan sangat jarang. Sebagian besar perempuan adat pada dasarnya sudah dikenal masyarakat umum, namun terkait perannya belum banyak terlibat dalam pengambilan keputusan baik di komunitas adat maupun dalam masyarakat umum. Namun di beberapa komunitas adat dan kelompok masyarakat, ada yang secara aktif melibatkan perempuan adat sebagai pengambil keputusan. Misalnya, perempuan adat Ngata Toro di Sulawesi Tengah, perempuan adat Sedulur Sikep di Pati Jawa Tengah, dan perempuan adat Dayak Iban di Kalimantan Barat. Perempuan adat Dayak Iban telah dilibatkan dalam pembahasan masalah hukum adat. Kaum perempuan muda (usia 30-40) mulai terlibat aktif dalam pembahasan hingga penyelesaian konflik. Dalam prosesnya, perempuan-perempuan dapat secara aktif dan tidak segan-segan mendebat jika dianggap tidak adil bagi kelompok perempuan. Umumnya, perempuan adat di Sulawesi cukup maju. Strata sosial dan pendidikan turut mempengaruhi eksistensi perempuan adat dalam masyarakat adat. Namun kondisi yang berbeda terjadi di beberapa wilayah, seperti Jawa. Sebagai contoh, di Kasepuhan dan Baduy, perempuan belum terlibat dalam ruang-ruang publik. Walaupun dalam masyarakat Baduy, perempuan dan laki-laki memiliki akses yang sama terhadap sumber daya alam. Dalam komunitas adat, beberapa ketentuan pelaksanaan kegiatan spiritual dilaksanakan oleh perempuan. Demikian dengan tutur bijak atau pendidikan terkait kearifan lokal yang dipertahankan, biasanya peran perempuan adat sebagai ibu terhadap anaknya. Hal ini penting sebagai transformasi untuk ketahanan atau integritas lokal, termasuk dalam mempertahankan dan mempengaruhi masyarakat luas. Hal itu membuktikan bahwa eksistensi perempuan adat tidak bisa dinilai secara umum. Tetapi ada sisisisi lain, bahwa di arena tertentu perempuan mampu
10
Perempuan Bergerak | Edisi II | April-Juni 2010
mempengaruhi keputusan tersebut; mampu mempertanyakan dan bisa mendiskusikan persoalan-persoalan yang dihadapi, bahkan mengambil keputusan secara bersama. Perempuan Adat dan Sumber Daya Alam Dalam berbagai hal di komunitas adat, biasanya ada pembagian peran yang sama penting antara lakilaki dan perempuan untuk pengelolaan sumber daya alam. Hal ini mempengaruhi keberlangsungan hidup komunitas. Air menjadi salah satu sumber daya alam yang sangat dekat dengan perempuan. Perempuan memiliki fungsi penting terkait dengan perawatan dan pengelolaan kebutuhan pokok. Jika di daerah agraris, bagian dari pembibitan, penyemaian dan pengambilan hasil menjadi tugas utama perempuan. Berbagai pengelolaan sumber daya alam menggunakan kearifan tradisional melalui pengetahuan mereka yang ada. Walaupun tidak secara umum, di beberapa daerah perempuan mengambil alih pengelolaan sumberdaya alam, namun di tempat lain tidak. Seperti di Papua, laki-laki dan perempuan punya akses yang sama. Namun di masyarakat adat di Sulawesi, hanya laki-laki yang dapat mengakses dengan mudah, sedangkan perempuan diam di rumah. Sekarang banyak pengelolaan sumber daya alam yang ditangani perusahaan swasta asing dan nasional. Dari modal asing banyak yang ditentang masyarakat adat karena bertentangan dengan nilai kearifan lokal. Tak jarang, dalam penyelesaian konflik ini menggunakan pendekatan keamanan yang mengakibatkan korban. Perempuan dan anak-anak menjadi korban utama. Ini pula yang berpotensi mengancam eksistensi dan keberlangsungan kehidupan masyarakat adat. Perempuan Adat dan Tantangan Tantangan yang dihadapi perempuan adat relatif sama dengan yang dihadapi laki-laki adat, seperti perampasan-perampasan tanah untuk proyek-proyek perusahaan swasta. Perampasan tanah akan dibarengi dengan perampasan sumber daya alam. Ini menjadi persoalan serius. Beban laki-laki secara otomatis menjadi beban pula bagi perempuan karena berkait dengan keberlanjutan kehidupan mereka. Beban ganda tentu akan dialami perempuan, karena harus menghadapi ancaman kehidupan dan dihadapkan pada kenyataan keberlanjutan pendidikan anak-anaknya yang suram, serta kerja-kerja rumah tangga yang makin berat. Selain itu, perempuan adat masih dihadapkan dengan masalah konstruksi budaya yang merendahkan harkat, martabat dan derajat mereka. Perempuan adat rentan menjadi korban arus globalisasi dan pasar bebas. Terkait masalah akses sumber daya alam terjadi tatkala kerusakan alam meluas akibat eksploitasi sumber daya alam yang tak terkendali.
Pekerjaan Rumah Bersama Banyak masyarakat adat penganut kepercayaan lokal terdiskriminasi. Di antaranya, sulit mencantumkan kepercayaan yang dianutnya dalam KTP dan dalam pencatatan pernikahan sesuai dengan keyakinannya. Semua ini berdampak pada pencatatan akta kelahiran anak, hak anak untuk mendapat pendidikan agama sesuai dengan keyakinan, serta akses memperoleh pekerjaan dan peluang karir yang sama. Diskriminasi ini berbasis aturan-aturan yang tidak mengacu pada jaminan negara terhadap kebebasan beragama sebagaimana dalam pasal 29 UUD 1945. Negara masih membuat dikotomi perbedaan antara agama dan penganut kepercayaan dalam PP Adminduk di mana untuk pencatatan pernikahan, penganut kepercayaan harus terdaftar dalam sebuah lembaga atau organisasi. Tentu ini bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945 karena berorganisasi/berserikat adalah sebuah hak bukan keharusan. Jika ini terus diabaikan, maka menjadi bentuk kekerasan negara terhadap mereka. Pembiaran itu juga akhirnya melanggengkan stigma sesat yang terus terjadi pada masyarakat adat. Pemerintah, dalam hal ini, harus menjalankan tugas sesuai dengan konstitusi sehingga tidak ada lagi warga negara yang diabaikan hak-hak asasinya dengan alasan apapun. Pemerintah harus mempunyai orientasi dan melaksanakan pembangunan yang sesuai dengan mandat mereka sebagai pelaksana consensus nasional berupa konstitusi (UUD 1945) dan nilai-nilai Pancasila serta memperhatikan keberagaman (Bhinneka Tung-
gal Ika). Begitu juga dengan fungsi pengawasan yang dilakukan parlemen, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komnas Anak dan lainnya harus ekstra perhatian terhadap kasus pelanggaran yang masih terjadi pada masyarakat adat. Untuk LSM, sebagai bagian dari masyarakat sipil terutama yang bekerja untuk HAM, harus lebih memahami persoalan masyarakat adat dan ikut mengadvokasi dan mempromosikan persoalan ini agar menjadi perhatian Negara. Untuk mendorong hal tersebut, kelompok masyarakat sipil seperti ANBTI, ILRC, dan LBH Jakarta serta lainnya tengah gencar melakukan advokasi penghapusan diskriminasi tersebut. Ini harus terus diperkuat sebagai perjuangan bersama supaya tujuan negara mensejahterakan masyarakat bisa terwujud. Terkait persoalan yang dihadapi perempuan adat saat ini maupun ke depan, perlu upaya penyadaran hak yang sama antara perempuan dan laki-laki. Perempuan harus terlibat dalam ruang-ruang adat di komunitas dan publik mulai dari perencanaan sampai pengambilan keputusan. Informasi yang diberikan harus merata terkait dengan persoalan yang dihadapi, hak dan kewajiban, dan tentu pemahaman bahwa perempuan adat adalah warga negara Indonesia bukan second citizen; baik dalam konteks negara maupun masyarakat adat sendiri. Selain itu, diperlukan pemberdayaan terhadap masyarakat adat terutama perempuan adat, sehingga mereka sadar akan persoalan mereka sendiri kemudian memperjuangkan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. *****(IK/JK) Edisi II | April-Juni 2010 |
Perempuan Bergerak
11
warta komunitas
Perempuan Menentang Represi di Pasrujambe, Lumajang
P
enambangan pasir di dusun Pasrepan Pasrujambe Lumajang sudah berjalan cukup lama. Material dari Gunung Semeru yang melimpah, membawa berkah tersendiri bagi warga sekitarnya. Tak mengherankan aktivitas penambangan pasir menjadi mata pencaharian sebagian besar warga dusun. Belakangan aktivitas warga menjadi terganggu sejak masuknya mesin pengeruk pasir di dusun mereka. Penghasilan warga menjadi menurun akibat sering tidak mendapat pasir sama sekali karena aliran air yang membawa pasir mengalir ke lubang yang dibuat mesin itu. Ini tentu sangat meresahkan warga Pasrepan, terutama mereka yang menggantungkan hidupnya pada hasil tambang pasir. Berbagai upaya dilakukan warga termasuk oleh anggota kelompok dampingan Gema Palu yang menjadi mitranya Kalyanamitra, di Lumajang. Yang dilakukan anggota kelompok Kartini, yang diwakili oleh Turiyah, Samiasih dan Simah adalah mendatangi langsung kepala desa Pasrujambe, Junaedi. Mereka bermaksud mengadukan persoalan terkait dengan kerugian yang diderita sejak masuknya mesin pengeruk (beco) di dusun mereka. Menurunnya penghasilan menjadi kerugian paling besar bagi mereka. Penghasilan mereka turun drastis Rp 5000 sampai Rp 15000 per hari. Sebelum masuknya mesin, penghasilan mereka mencapai Rp 20.000 sampai Rp 80.000 per hari. Sikap Junaedi yang sebelumnya dikenal bijak dan memperjuangkan kepentingan masyarakat desa, ternyata di luar dugaan. Penolakan Junaedi disertai perlakuan kasar terhadap tiga orang anggota kelom-
pok Kartini. Dia nyata telah menunjukan arogansinya. Junaedi tidak hanya membentak ketiga perempuan tersebut, namun mengeluarkan pernyataan bahwa ketiga perempuan adalah pemberontak dan provokator. Yang menciderai harkat dan martabat warga yakni Junaedi mengatakan bahwa tanpa dipilih mereka bahkan seluruh warga dusun Pasrepan, dia pasti bisa jadi Kepala Desa. Junaedi juga menyatakan akan mendatangkan 100 beco dan mengisi seluruh jalur yang biasa dilalui penambang tradisional untuk fasilitas truk pengangkut pasir dengan beco, jika diperlukan. Menurut Junaedi, mengizinkan beco masuk ke wilayah tambang tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat. Junaedi juga mengancam akan membubarkan GemaPalu sebagai LSM yang selama ini melakukan pemberdayaan dan pendampingan bagi warganya. Bahkan isteri Junaedi mengatakan, bahwa GemaPalu pekerjaannya adalah meracuni otak dan pikiran perempuan-perempuan di desa Pasrujambe. GemaPalu terlalu jauh mencampuri urusan pemerintah desa. Hal ini tentu melukai perasaan ketiga perempuan selaku warga. Mereka tidak mendapatkan rasa aman dari kades selaku pengayom masyarakat. Mereka juga mendapat perlakuan kasar dan fitnah dengan sebutan ”pemberontak dan provokator” oleh orang yang ha rusnya membantu warga mendapatkan keadilan. Dengan kejadian tersebut, membuat GemaPalu dan Kalyanamitra sebagai organisasi perempuan makin tertantang untuk terus mendorong kaum perempuan baik di desa maupun di kota kain maju, berpikiran cerdas dan kritis. *****(NR)
Warga Menagih Janji PAM Palyja
M
uara Baru wilayah padat penduduk. Miskin, kumuh, pengap, dan bau busuk menyengat menjadi kenyataan sehari-hari yang tersaji di sepanjang Muara Baru, Jakarta Utara. Di wilayah ini ada empat kelompok yang empat tahun didampingi Kalyanamitra dalam penguatan hak asasi perempuan. Muara Baru berdekatan dengan laut. Wilayah ini rendah karena ada di ketinggian 0-200 meter di atas permukaan laut. Tak heran, kawasan ini sering dilanda banjir rob. Mengingat wilayahnya sangat kumuh dan letaknya sangat berdekatan dengan laut, maka akses air bersih tentu menjadi kendala tersendiri bagi warga. Kualitas air di Muara Baru begitu buruk. Selain airnya bau busuk, juga berwarna sehingga tak layak konsumsi. Untuk me-
12
Perempuan Bergerak | Edisi II | April-Juni 2010
menuhi kebutuhan air bersih, warga banyak memasang air PAM. Meskipun, ini menambah jatah pengeluaran mereka per bulannya. Masalah muncul ketika terjadi privatisasi air oleh perusahaan PAM JAYA, yang akhirnya dikelola perusahaan swasta PAM Lyonnaise Jaya (Palyja). Warga mengeluhkan buruknya kualitas air dan pelayanan yang diberikan. Lima tahun belakangan, warga Muara Baru kian kesulitan memperoleh air bersih. Aliran air PAM sering tak lancar bahkan tidak mengalir sama sekali. Jika mengalir, kualitas airnya sangat buruk. “Airnya bau, kadangkadang warnanya kecoklatan dan bau got”, ungkap Sofi, 33 tahun, ibu rumah tangga. Yang mengherankan, meski air lama tidak mengalir
kan untuk membeli air. Padahal kalau PAM nyala setiap bulan, saya hanya bayar Rp 45 ribu. Itu pun tergantung pada pemakaian”, ungkap Sofi. Hal senada diungkap Lasuti. Dia menyayangkan layanan PT. PALYJA yang tidak serius. “Dulu ketika masih dikelola PDAM, airnya lancar, tidak pernah matimati. Airnya juga bagus, bening, dan harganya tidak semahal sekarang. Sejak oleh PALYJA, jadi kayak gini”, protesnya. Air PAM sejak 2005 sampai kini, tidak lancar meskipun berbagai upaya dilakukan warga. Dari menemui PALYJA sampai aksi protes di jalanan yang dilakukan warga dan NGO juga pernah dilakukan. Namun, hingga kini upaya tersebut belum membuahkan hasil. Sebagai bentuk perlawanan warga terhadap PALYJA, warga sekarang memboikot tidak membayar tagihan apapun oleh PALYJA. Warga beralasan merugi kalau harus tetap bayar, karena air sama sekali tidak mengalir. *****(NR)
Koperasi Perempuan Berdiri, Warga Belajar Mandiri
warta komunitas
namun warga masih mendapat tagihan oleh PT. PALYJA. “Sejak lama air tidak ngalir, tapi saya tetep dapet surat tagihan. Kata saya, apa yang harus dibayar, airnya mati terus?” ungkap Lasuti, warga Muara Baru yang merupakan anggota kelompok dampingan. Akibat ketiadaan air bersih dari PAM, maka banyak warga yang dirugikan, khususnya ibu-ibu rumah tangga. Setiap hari, mereka harus mencuci dan memasak untuk keperluan rumah tangga. Padahal pasokan air bersihnya terkendala. Mereka harus berusaha keras mendapatkan air bersih. Salah satunya dengan membeli air pikulan oleh tukang air keliling. Diakui Sofi dan Lasuti, kehidupan mereka makin berat. Setiap hari, mereka membutuhkan sekitar 20 dirijen air bersih, dengan harga 1 pikul Rp. 1500. sehingga, rata-rata harus mengeluarkan uang Rp. 15000 per hari untuk kebutuhan air bersih saja. “Berat sih…,dalam sebulan kurang lebih tiga ratus ribu harus saya keluar-
H
ampir dua bulan Koperasi Perempuan Prumpung Mandiri (KPPM) berjalan. Selama itu pula 30 perempuan sudah merasakan manfaat dengan memperoleh pinjaman modal dari koperasi. Anggota kelompok yang mendapat pinjaman modal yakni Ela, pedagang sembako di pasar Gembrong, Jatinegara. Perempuan berusia 35 tahun ini mendapat pinjaman untuk menambah modal usaha. “…walaupun pinjaman tidak sesuai permintaan, namun ini sangat membantu saya untuk menambah modal”, ujarnya. Awalnya Ela berjualan ikan asin di salah satu kios di kawasan pasar Gembrong. Kini usahanya mulai ditambah dengan beberapa jenis sembako, seperti mie, gula, cuka dll. Menurutnya, penambahan ini demi memenuhi permintaan pelanggan, dan hasilnya cukup lumayan. Setiap hari Ela berjualan mulai subuh hingga jam 11 siang. Setiap hari pula perempuan berambut pendek ini berjalan kaki menuju pasar yang letaknya cukup jauh dari rumahnya. Ini demi mengurangi biaya transpor, ungkapnya. Dua hari sekali Ela berbelanja ikan asin ke kawasan Muara Angke, Jakarta Utara. Menurutnya, meski berjualan ikan asin keuntungannya cukup lumayan. Namun, terkadang tidak bisa berbelanja banyak karena tidak punya cukup modal. “…maka saya bersyukur ada koperasi yang didirikan Kalyanamitra, jadi saya bisa kebantu untuk nambah modal”, ungkapnya. Saat ini, Ela berencana ingin kembali mengajukan pinjaman untuk menambah jenis dagangannya, mengingat sebentar lagi akan memasuki bulan Ramadhan. “Biasanya kalo bulan puasa dagangan saya laku banyak. Ikan asin biasanya harus banyak jenisnya, tidak
hanya ini-ini saja”, jelasnya. Anggota koperasi lain yang telah merasakan manfaat adanya koperasi KPPM, yakni Magdalena. Perempuan berusia 42 tahun ini, kesehariannya berjualan kelontongan di rumahnya. “Kalo dagang begini kan tidak tentu. Kadang hasilnya tidak bisa dipake belanja lagi. Maka saya mengajukan pinjaman modal sama koperasi”, jelasnya. Sekarang, warung kelontong yang di depan rumahnya itu terlihat penuh dengan aneka jenis barang dagangan, seperti sabun, sampoo, pasta gigi dan jajanan anak-anak. Menurut perempuan berperawakan tinggi besar ini, di lingkungannya banyak anak-anak maka yang jenis dagangannya banyak makanan anak-anak. Selain berjualan kelontongan, Magdalena juga mengembangkan usaha aneka kue kering untuk dititipkan ke warung-warung lain. “…lumayan untuk menambah penghasilan”, ujarnya. Dengan adanya KPPM, menurutnya, cukup membantu anggota seperti dirinya yang kadang tidak punya uang untuk menambah modal usaha. Meski pinjaman yang diberikan tidak sepenuhnya sesuai dengan yang diajukan, namun tak mengurangi manfaat yang dirasakannya. “…dengan pinjaman segini aja udah banyak membantu kok”, ungkapnya. *****(NR) Edisi II | April-Juni 2010 |
Perempuan Bergerak
13
perspektif
Kekerasan Negara terhadap Perempuan Masyarakat Adat
D
ari 370 juta populasi masyarakat adat di dunia, antara 150 sampai 200 juta orang berada di Asia. Untuk di Indonesia sebagai negara kepulauan, jumlah masyarakat adatnya diperkirakan sekitar 40-50 juta, dari lebih 10.000 kelompok etnis dan sub-etnis yang menyebar di seluruh wilayah nusantara. Lebih dari separuh jumlah tersebut adalah perempuan. Keberadaan masyarakat adat memperkaya keberagaman dan keanekaan peradaban serta budaya bangsa Indonesia. Siapakah masyarakat adat ini? Masyarakat adat sering dipandang sebagai kelompok yang berbeda penampilan, perilaku, dan perikehidupannya di masyarakat. Menurut Jose Martinez Cobo, pelapor khusus PBB, definisi masyarakat adat, menyangkut 3 unsur utama, yaitu : (1) Kesinambungan sejarah sejak masa sebelum penaklukan dan sebelum terbentuknya masyarakat pra-kolonial; (2) Identifikasi diri sebagai masyarakat adat; (3) Keanggotaan kelompok. Di Asia, masyarakat adat dikenal dengan berbagai sebutan, seperti suku-suku pegunungan, kelompok minoritas, masyarakat asli, komunitas adat, orang gunung, dan suku minoritas. AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), sebuah organisasi masyarakat sipil berskala nasional yang fokus pada advokasi hak-hak masyarakat adat, mendefinisikan masyarakat adat sebagai sekelompok penduduk yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai dan sosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya, serta mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat.1 Di berbagai belahan dunia, masyarakat adat mengalami penderitaan oleh ketidakadilan sebagai akibat dari: penjajahan dan pencerabutan atas tanah-tanah, wilayah, dan sumber daya mereka. Masyarakat adat menjadi korban proses pembangunan yang berorientasi pada industrialisasi dan modernisasi yang mendorong munculnya kelas sosial baru di masyarakat. Kepemilikan kolektif/ komunal di masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam berubah menjadi kepemilikan individual dan perusahaan/industri. Masyarakat adat, khususnya perempuan mengalami kekerasan, diskriminasi, dan marjinalisasi. Kemiskinan yang parah, perda gangan perempuan dan anak, buta huruf, kehilangan lapangan kerja dan sumber penghidupan keluarga, kurangnya pelayanan kesehatan dan pendidikan, serta praktik-praktik adat yang diskriminatif ter hadap perempuan, menjadi persoalan yang mereka
hadapi. Di Indonesia, masyarakat adat menjadi kelompok paling rentan akibat dampak negatif pembangunan. Negara melakukan diskriminasi dan kekerasan ter hadap masyarakat adat, khususnya perempuan. Hakhak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam masyarakat adat tidak diakui oleh kebijakan negara. Bahkan pemerintah Indonesia memberikan kemudahan bagi pemodal asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia (UU Penanaman Modal Asing), termasuk di wilayah-wilayah masyarakat adat. Atas nama pembangunan, komunitas masyarakat adat kerap digusur dan dipaksa pindah dari lahan mereka sendiri karena negara mengalihkan kepemilikan tanah adat mereka kepada perusahaan-perusahaan industri swasta, seperti perusahaan pertambangan, hutan tanaman industri, pemegang hak pengusahaan hutan (HPH), perusahaan perkebunan, dan industriindustri lain. Pengambil-alihan tanah adat ini sering dilakukan tanpa menerapkan proses Free, Prior, and Informed Consent (FPIC)2. Akibatnya, masyarakat adat kehilangan kedaulatan hak atas tanah, wilayah adat, dan sumber daya. Negara dalam hal ini telah melakukan pelanggaran HAM terhadap kelompok masyarakat adat karena menghilangkan hak-hak kolektif mereka. Tindakan negara ini melanggar konstitusi dan prinsip-prinsip Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat yang menjadi salah satu standar minimum internasional untuk perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM masyarakat adat.3 Deklarasi ini memberi pe negasan bahwa masyarakat adat memiliki hak kolektif, antara lain: hak atas menentukan nasib sendiri, hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam, hak atas identitas budaya dan kekayaan intelektual hak atas Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), dan hak atas penentuan model dan bentuk-bentuk pembangunan yang sesuai dengan mereka sendiri. Berdasarkan Deklarasi ini, masyarakat adat tidak boleh dipindahkan secara paksa dari tanah atau wilayah mereka. Tidak boleh ada relokasi yang terjadi tanpa persetujuan bebas dan sadar, tanpa paksaan, dari masyarakat adat yang bersangkutan, dan hanya boleh setelah ada kesepakatan perihal ganti kerugian yang adil dan memuaskan, dan jika memungkinkan, dengan pilihan untuk kembali lagi. Penerapan sejumlah proyek pertambangan yang dilegalkan oleh pemerintah di wilayah masyarakat adat, kerap menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan yang berdampak buruk bagi kesehatan perempuan adat. Proyek-proyek pem-
“Potret Perempuan Adat Asia”, diterbitkan oleh AMAN, Asian Indigenous Women’s Network (AIWN), dan Rights & Democracy. Free, Prior, and Informed Consent maksudnya masyarakat harus diberi informai sejelas-jelasnya mengenai rencana suatu proyek secara lengkap termasuk dampak-dampaknya (misalnya rencana proyek pembangunan, manfaat dan dampak negatif, sumber pendanaan dan sebagainya. Komunitas berhak menyatakan setuju atau menolak terhadap sebuah rencana proyek. 3 Deklarasi ini diadopsi oleh Dewan HAM PBB pada 29 Juni 2009, dan kemudian disyahkan dalam Sidang Umum PBB pada 13 September 2007. 1 2
14
Perempuan Bergerak | Edisi II | April-Juni 2010
bangunan skala besar, seperti bendungan, hutan tanaman industri, atau perusahaan perkebunan dalam wilayah masyarakat adat telah menimbulkan perubahan sistem ekonomi masyarakat adat dan peminggiran terhadap corak kehidupan tradisional seperti pertanian subsisten yang biasanya dikontrol oleh perempuan. Akibatnya, peran perempuan adat sebagai penjaga dan penerus pengetahuan tentang kearifan tradisi dan pengelolaan sumber daya alam, menjadi hilang. Sumber penghidupan perempuan adat yang diperoleh dari pekerjaan pertanian subsisten dan bercocok tanam tradisional berganti de ngan pekerjaan di bidang industri yang didominasi kaum laki-laki. Pada akhirnya, peran perempuan adat kembali ke ranah domestik atau karena ke terbatasan lapangan pekerjaan, banyak perempuan adat mengambil pilihan menjadi buruh migran tanpa bekal ketrampilan dan informasi yang cukup. Kondisi ini menyebabkan perempuan adat rentan menjadi korban trafficking. Sebagai bagian dari warga negara Indonesia, seharusnya pemerintah memberikan perhatian serius terhadap persoalan yang dihadapi kelompok masyarakat dan perempuan adat. Hal ini dijamin dalam konstitusi RI dimana setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlin dungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu (Pasal 28 D ayat (2) Amandemen Kedua UUD 1945). Namun sayang, alih-alih diperhatikan serta mendapat pengakuan dan perlindungan negara, kelompok masyarakat adat ini malah menjadi korban dari kebijakan negara yang diskriminatif. Beberapa produk perundangan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian HAM internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI melalui UU No.29 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Ras dan Etnis dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Salah satu produk hukum yang melanggar HAM masyarakat dan perempuan adat adalah UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/Atau Penodaan Agama (UU PNPS) yang menunjukkan adanya pembedaan dan atau pengutamaan terhadap 6 agama (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu). UU tersebut bertentangan dengan Konstitusi, mengancam kebebasan beragama, dan berpotensi melakukan kriminalisasi terhadap penganut agama minoritas dan kepercayaan. UU tersebut tidak mengakui kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh masyarakat adat. Hal ini membuat mereka kehilangan hak untuk mengekspresikan budaya tradisional, adat, dan kepercayaannya. Begitu juga perkawinan yang dilakukan menurut tata aturan kelompok adat dan kepercayaan, sampai sekarang tidak diakui oleh negara. Akibatnya, hak-hak perdata perempuan adat dalam perkawinan tidak dilindungi secara hukum. Persoalan lain yang dihadapi perempuan adat,
terutama yang tinggal di daerah terpencil atau pulau-pulau kecil, adalah kurang mendapat akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduktif karena terbatasnya ketersediaan tenaga medis (dokter kandungan dan bidan) dan fasilitas kese hatan. Demikian juga akses dan kesempatan perempuan adat untuk mengenyam pendidikan tinggi, terhambat oleh kultur dan kemiskinan. Sistem dan nilai sosial budaya masyarakat adat di beberapa wilayah Indonesia telah melanggengkan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Seperti halnya adat di Papua, tindak kekerasan terhadap perempuan tidak lepas dari cara pandang masyarakat terhadap perempuan yang dianggap mahluk subordinat. Pe nempatan perempuan di posisi subordinat ini antara lain bersumber dari adat pemberian mas kawin oleh keluarga laki-laki kepada pihak perempuan. Mas kawin dianggap sebagai sumber kekayaan bagi orang tua. Seluruh keluarga klen suami kadang terlibat dalam pembayaran mas kawin tersebut. Jika keluarga laki-laki membayar mas kawin kepada istri, maka perempuan memiliki posisi tawar yang sangat lemah karena posisi perempuan sebagai milik keluarga laki-laki/suami. Akibatnya perempuan dianggap sebagai budak yang harus bekerja melayani suami, anakanak, mertua, dan seluruh klen keluarga pemberi mas kawin, tanpa pamrih.4 Walaupun dalam beberapa kelompok masyarakat adat, peran dan posisi perempuan sangat dihargai. Namun ada juga nilai-nilai dan praktik adat yang diskriminatif terhadap perempuan. Perempuan adat sering tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan di keluarga dan desanya. Keputusan-keputusan penting yang mempengaruhi masa depan desa dan keluarganya dibuat tanpa melibatkan perempuan. Sering perempuan tidak dilibatkan dalam proses negosiasi ketika lahan-lahan mereka akan dijual/ diambil alih oleh perusahaan-perusahaan swasta. Keputusan-keputusan politik di kelembagaan adat atau kelompok lainnya di masyarakat didominasi oleh laki-laki. Akibatnya, kepentingan perempuan adat sering diabaikan. Sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi CEDAW (Konvensi tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan) berkewajiban untuk menghapus segala bentuk pola-pola sosial dan budaya (termasuk kebiasaan adat) yang didasarkan atas inferioritas atau superioritas jenis kelamin atau peran-peran stereotype laki-laki dan perempuan. Terkait dengan sejumlah persoalan perempuan adat di atas, Negara Indonesia harus mengubah paradigma pembangunan yang sensitif terhadap kepentingan perempuan adat. Pembangunan memang penting dilakukan dalam rangka proses pemajuan peradaban suatu bangsa, namun apalah artinya pembangunan jika hak kolektif atas tanah dan sumber daya alam masyarakat dan perempuan adat dirampas. Atas nama pembangunan, perempuan dan masyarakat adat dikorbankan dan tersingkir karena kehilangan sumber penghidupan. *****(RH)
“Belenggu Adat dan Kekerasan terhadap Perempuan di Papua”, Hasil Penelitian dari Pusat studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, dan Ford Foundation,Yogyakarta, 2002. 4
Edisi II | April-Juni 2010 |
Perempuan Bergerak
15
sosok
Rukmini Paata Toheke: Pejuang Perempuan Adat dari Ngata Toro
T
ak banyak perempuan masyarakat adat yang dikenal luas apalagi mereka yang mampu menyuarakan hak-haknya. Hanya sebagian kecil mereka yang dikenal masyarakat. Itu pun hanya di kalangan aktivis atau NGO yang berkonsentrasi dengan masyarakat adat. Hal tersebut memperlihatkan bahwa eksistensi perempuan masyarakat adat selama ini belum banyak dikenal masyarakat luas. Sebagian besar mereka hanya dikenal di wilayahnya. Terlebih karena adat sendiri sering tidak memberikan kesempatan kepada perempuan untuk bisa berkiprah di ruang publik. Anggapan bahwa perempuan hanya untuk urusan domestik masih banyak terjadi di banyak daerah. Dari beberapa wawancara yang dilakukan dengan aktivis dan NGO yang berkonsentrasi pada masyarakat adat diperoleh dua nama perempuan masyarakat adat yang sering disebut-sebut, yakni Ibu Den Upa dan Ibu Rukmini. Dan sudah pasti, mereka berada jauh dari Jakarta karena memang berkonsentrasi di daerahnya masing-masing. Ketika sedang bepikir bagaimana bisa menghubungi salah satu ibu tersebut untuk bisa diangkat dalam rubrik sosok di buletin edisi ini, kabar baik pun akhirnya kami terima dari AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nasional), bahwa Ibu Rukmini akan ke Jakarta untuk mengikuti beberapa kegiatan. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan yang ada, kami pun segera meminta untuk bisa membuat janji bertemu dengan beliau. Ternyata waktu yang dimiliki Ibu Rukmini di Jakarta pun tidak terlalu banyak, yang tadinya direncanakan selama dua minggu harus diperpendek menjadi tiga hari saja karena harus segera pulang kembali ke Sulawesi Tengah, akibat anaknya masuk rumah sakit. Di sela-sela kesibukannya tersebut, Ibu Rukmini tetap memberikan kesempatan kepada kami untuk menemuinya, walaupun malam hari. Rukmini Paata Toheke, demikian nama yang beliau miliki. Lahir di Ngata Toro, Sulawesi Tengah, 39 tahun yang lalu. Perempuan tamatan Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA-setingkat SMA) di Donggala Sulawesi Tengah ini dikenal sebagai tokoh perempuan yang kreatif dan agresif. Pada kongres AMAN tahun 1999, Ibu Rukmini terpilih di Dewan AMAN, tapi karena beliau berpikir ingin lebih fokus untuk mengurus komunitas yang telah dibangunnya maka beliau tidak menjalankaan fungsi Dewan AMAN dengan baik. Kongres AMAN tahun 1999 juga telah memotivasinya hingga melahirkan Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro (OPANT) pada 2001. Prinsip
16
Perempuan Bergerak | Edisi II | April-Juni 2010
yang ia anut adalah melakukan perjuangan masyarakat adat untuk membela keadilan masyarakat dan fokus pada perempuan adat. “Kalau awalnya kenapa tergerak, saya terpanggil sebagai perempuan adat karena sebelumnya ketika kita berjuang memperjuangkan wilayah adat, kami hanya sebagai penonton, ketika kami bicara tidak didengarkan, kami tidak bisa ikut mengambil keputusan karena lembaga adat di dominasi laki-laki”, demikian Ibu Rukmini mengungkapkan kegelisahannya yang mendasari perjuangannya Berdasarkan sejarah, adat yang ada di Ngata Toro sebenarnya sangat menghargai perempuan, namun realitanya tidak demikian. Perempuan tidak pernah dilibatkan dalam proses-proses pengambilan keputusan apabila itu berkaitan dengan permasalahan adat. Ketika itu, ruang-ruang yang diberikan untuk perempuan hanya dalam PKK ataupun LKMD, namun tetap perempuan tidak mempunyai hak suara. Berangkat dari semua itu, akhirnya dibangun perjuangan untuk pengakuan secara bersama-sama mendorong perempuan adat supaya bisa mengakses ruang pengambilan keputusan. Untuk mengetahui sejarah adat yang sebenarnya, Ibu Rukmini mencoba melakukan pendokumentasian aturan-aturan adat dan kearifan lokal Toro dari berbagai sumber. Dari hasil pendokumentasian tersebut, akhir
nya didapatkan bahwa sebenarnya posisi perempuan di Ngata Toro dihargai. Dalam sejarahnya, dalam adat Kulawi ada tiga peran penting perempuan yaitu: tina ngata (ibu kampung), pobolia ada (penyimpan adat), dan pangalai baha (pengambil kebijakan). Ibu Rukmini kemudian menyampaikan temuannya kepada Lembaga Adat Toro. Lembaga itu pun sepakat mendukung pengembalian hak-hak tina ngata, termasuk mengakuinya sebagai anggota Lembaga Adat. Dan akhirnya pada tahun 2001, perjuangan mendapatkan pengakuan dari lembaga adat. Sistem dijodohkan pun sebenarnya masih beliau alami. Ibu Rukmini menikah pada usia 20 tahun, namun bukan dengan orang yang dijodohkan untuknya. Sistem perjodohan adalah salah satu yang beliau tentang. Akhirnya, beliau pun mencari jodohnya sendiri. Hal lain yang juga mendasarinya menolak sistem perjodohan adalah soal mahar atau mas kawin. Mahar sangat berpengaruh dalam perkawinan, karena ketika lakilaki sudah merasa membayarkan maharnya cukup mahal, maka dia bisa berlaku sewenang-wenang. Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di masyarakat adat karena mahar. Padahal dalam konteks yang sebenarnya, mahar adalah penghargaan terhadap perempuan dan bisa tidak semua dibayar lunas, walaupun dia mampu. Dalam perjuangannya, Rukmini pernah menerima sanksi adat. Beliau ingat sekali peristiwa yang pernah dialamainya, yakni pada 11 Maret 2003, ketika ada sekitar 66 bapak-bapak yang berkumpul, sedang melakukan musyawarah, beliau hadir tanpa diundang. Akibat perbuatannya tersebut, beliau mendapatkan sanksi satu ekor kerbau, yang akhirnya tetap tidak dibayarkan. Kenekatan beliau ini, mempunyai tujuan untuk mengingatkan lembaga adat karena hampir semua adat tidak memberikan peran kepada perempuan untuk duduk bersama dalam pengambilan keputusan adat, sementara hampir 80% persoalan kasus adat, baik kasus tanah, persoalan asusila masih diurus lembaga adat. Bukan hanya itu, tantangan yang beliau dapatkan dan banyak dihadapi yakni dari tokoh agama. Karena banyak tantangan dari tokoh agama, akhirnya beliau melakukan diskusi dengan menghadirkan ibu-ibu dalam forum pengajian. Ada lebih 200 ibu yang hadir dengan harapan bisa memberikan sugesti bahwa perjuangannya adalah kebutuhan bersama. Selain tokoh agama, ada pertanyaan pemerintah, misalnya di tingkat kecamatan dan kabupaten yang mempersoalkan ada organisasi seperti OPANT, karena sudah ada organisasi perempuan di desa yang diwadahi dalam PKK. Atas pertanyaan itu, Rukmini menjawab dengan tegas bahwa selama ini PKK hanya mengurusi masalah domestik saja. Nama Rukmini Toheke tidak hanya dikenal di tingkat lokal maupun nasional, namun terdengar di tingkat internasional. Berbagai pertemuan tingkat internasional telah diikutinya antara lain: peserta Equator
Prize Finalist 2004, menghadiri Convention on Biological Diversity 7th Meeting of The Conference of Parties di Kuala Lumpur Malaysia, peserta Convention on Biological Diversity Asia Regional Consultation on Traditional Knowledge AIM Training Center di Baguio City, Filipina, peserta Workshop on Traditional Knowledge di Serawak, peserta Training CEDAW di Filipina dan mengikuti pertemuan perempuan di India. Sebagai peserta Equator Prize Finalist 2004, ini perjalanan pertamanya keluar negeri. Pertemuan ini dihadiri 26 Negara walaupun tidak mendapatkan predikat sebagai pemenang, namun Rukmini mendapatkan prestasi sebagai presentasi terbaik. Ketika ditanya kegiatan dari tahun 1993 sampai tahun 2003, Rukmini tidak melihat buku. Hal itu yang kemudian oleh peserta dari Negara lain, presentasinya dipilih sebagai presentasi terbaik. “Kalau keluar negeri saya anggap bonus dari Tuhan, karena tidak ada dalam sejarah, mimpi sampai ke sana. Saya pikir saya tidak akan pernah mampu, ke Jakarta pun saya tidak pernah berpikir. Namun semua saya anggap hadiah karena saya selalu berpikir semua itu saya melakukan ini niatnya memang untuk kepentingan orang banyak, terutama untuk perempuan”, demikian beliau ungkapkan ketika disingung partisipasinya di luar negeri. Berkat kerja kerasnya sudah hadir 14 Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro (OPANT) di Kabupaten Poso. Kehadiran organisasi seperti OPANT sudah menjadi kebutuhan. Bahkan, ada permintaan-permintaan dari daerah lain untuk bisa membangun OPANT. Karena keinginannya ingin lebih banyak merawat organisasi yang cukup membantu kelompok perempuan yang ada di Sulawesi Tengah, memotivasi kelompok perempuan yang lain, maka walaupun saat ini beliau bertanggung jawab pada Direktorat Pemberdayaan Perempuan di AMAN, namun tetap memilih tinggal di daerah. Dari perjalanan yang dilaluinya, menurutnya, sebenarnya hukum adat bersifat fleksibel, bisa berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan. Beliau memberikan contoh, dulu ketika ada pelanggaran asusila dan dianggap mencoreng nama kampung, dia harus dibunuh, tidak boleh hidup. Namun sekarang diberikan seperti hukum moral, ditegur dan disuruh membayar misalnya satu ekor kerbau untuk mencuci kampung atau pembersih aib kampung. Berbicara soal tantangan lainnya, hampir semua budaya patriarkhal menjadi tantangan. Maka itu, pelatihan gender seharusnya tidak dilakukan untuk perempuan saja, tetapi harus diberikan juga untuk laki-laki. Dan hal tersebut, yang mulai dia lakukan dengan mengajak kepala kampung untuk memberikan contoh pada warganya, misalnya pekerjaan mencuci tidak hanya pekerjaan perempuan, tetapi laki-laki pun bisa melakukannya. Karena menurutnya, perjuangan kesetaraan gender harus dimulai dari tingkat keluarga dan harus selesai terlebih dahulu. *****(JK) Edisi II | April-Juni 2010 |
Perempuan Bergerak
17
bedah film
Hutanku: Sumber Kehidupan untuk Semua
F
ilm dokumenter ini dibuat tahun 2008. Film ini menceritakan tentang masyarakat adat Sungai Utik, di Kalimantan Barat, dalam upayanya mempertahankan kelestarian hutan mereka. Awal film menyuguhkan gambar balok-balok kayu yang ada di sepanjang jalan maupun sungai di daerah Kalimantan. Balok-balok tersebut hasil illegal logging yang siap dijual. Illegal logging atau pembalakan liar merupakan kegiatan penebangan, pengangkutan, dan penjualan kayu yang tidak sah atau tak memiliki izin otoritas setempat. Praktik pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian telah mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya. Banjir yang melanda sebagian besar tempat yang ada di Indonesia adalah salah satu akibat penebangan liar.
Sejak tahun 1980-an masyarakat Sungai Utik menolak berbagai perusahaan yang ingin mengekploitasi hutan adat mereka. Namun tahun 19992005, kawasan di sekitar wilayah adat Sungai Utik telah dirambah praktik illegal logging Masyarakat di Sungai Utik bukan tidak perlu uang, karena memang tidak kaya. Tapi mereka tidak ingin merusak hutan demi mendapatkan uang. Hutan adalah sumber kehidupan mereka, maka harus tetap dijaga. Menurut Bandi ‘Apai Janggut’, orang tertua di rumah panjang Sungai Utik mengatakan bahwa orang-orang di Sungai Utik tidak mau membuka lahan karena mereka ingin mempertahankan kelestarian hutannya. “Ada suatu masa ketika hutan kami didatangi perusahaan penebangan kayu, orang Sungai Utik sakit hati. Kami melakukan demo dua kali ke PT Benua Indah (perusahaan penebangan kayu)”, demikian ungkap Bandi ‘Apai Janggut’ menceritakan
Judul : We Won’t Ask for More and We Won’t Get Less Sutradara : Nanang Sujana Pemain : Bandi ‘Apai Janggut’, Concordius Kanyan, Abdon Nababan, Aditya Bayunanda Musik : Uyung Mahagenta Produksi : Gekko Studio, 2008 Asosiasi dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Lembaga Ekolabel Indonesia, Forest Watch Indonesia, Lembaga Bela Bela Banua Talino, SHK Kalbar Cuplikan : Een Irawan Putra Teropong/Telapak, Illegal Logging tahun 2000 Durasi : 20 menit
18
Perempuan Bergerak | Edisi II | April-Juni 2010
keresahan masyarakat akibat masuknya perusahan-perusahaan yang merambah hutan mereka. Kegelisahan warga tentu mempunyai alasan yang kuat. Oleh karena saat musim hujan datang, sungai banjir, namun kala musim kemarau masyarakat tidak bisa meminum air. Pada saat Tuan Ajai dari Malaysia, bos penebangan kayu dan Mr. Wong pimpinan lapangan, Bandai ‘Apai Janggut” mengatakan “Bapak ini sebenarnya kurang ajar, karena Bapak ini tidak tahu batas wilayah orang, Bapak ini numpang pekerjaan di sini”. Akhirnya warga pun bersepakat untuk mengusir perusahaan tersebut. Perlakuan tersebut dianggap sepadan karena sudah memasuki wilayah adat. Air adalah hal utama bagi masyarakat di Sungai Utik, karena kalo tidak ada air tidak ada pendingin badan, tidak ada darah, inilah yang di jaga oleh masyarakat adat Sungai Utik, karena semua uang bagi masyarakat, “tanah kami adalah uang, kayu, sungai, ikan, binatang, semuanya uang bagi kami” demikian ungkap Bandi ‘Apai Janggut. Concordius Kanyan dari Lembaga Bela Banua Talino menuturkan bahwa ketika bicara hutan tak hanya soal kayu,tetapi termasuk sungai, bahkan yang penting hubungan spiritual dengan alamnya. Itu yang menjadi dasar bagi masyarakat adat Sungai Utik kenapa hutannya masih lestari. Menurutnya, masyarakat Sungai Utik melihat hutan tak hanya sebatas komoditas namun ada nilai-nilai, ada jiwa bagi mereka. Menurut Abdon Nababan, Sekretaris Umum AMAN, masyarakat adat itu bercita-cita untuk berdaulat secara politik. Ia melihat bahwa kampung Sungai Utik memang memelihara kedaulatannya. Mereka secara kompak, secara bersama-sama, selalu bermusyawarah untuk mengambil keputusan hal-hal apa yang terbaik buat mereka, dan mereka mempunyai kemampuan secara bersama-sama juga untuk menolak pihak-pihak lain yang punya keinginan melakukan sesuatu di kampungnya. Masyarakat bisa mengatakan tidak ketika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Cita-cita lain masyarakat adat adalah mandiri secara ekonomi. Di kampungnya makanan cukup, energi cukup, mandi di tempat air yang sangat bersih, rendam di sungai sangat nyaman, tidak ada yang kurang. Jadi, mandiri secara ekonomi bisa dilihat. Kampung di Sungai Utik memiliki hukum adat yang kuat bisa menjaga kemandirian ekonomi. Masyarakat adat di Sungai Utik terlihat sangat bermartabat secara budaya, di mana mereka masih bisa menari diiringi oleh gong yang mereka mainkan sendiri. Mereka juga masih membuat tikar yang cantik, menenun kain yang motifnya sangat bagus. Mereka masih bangga dengan semua itu. Mereka masih bangga dengan tattoo. Mereka
masih bangga dengan segala yang mereka punya. Kampung Sungai Utik seharusnya menjadi salah satu contoh bagaimana sesungguhnya perjuangan masyarakat adat di Indonesia, bahkan mungkin seluruh dunia. Ketika ditanya mengapa mereka melakukan semua ini, jawabannya sangat sederhana “Kami tidak minta lebih dan kami pun tidak mau kurang’ artinya apa hak-hak mereka itulah yang sesungguhnya mereka ingin jaga. Mereka tidak meminta lebih dari pada yang memang sudah menjadi hak mereka, tetapi mereka juga tidak mau hak-hak mereka dikurangi”. Setelah berjuang puluhan tahun, masyarakat adat Sungai Utik akhirnya mendapatkan sertifikat ecolabel untuk pengelolaan hutan adat. Tanggal 7 Agustus 2008, sertifikat diserahkan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, MS. Kaban. Masyarakat Adat Sungai Utik adalah masyakat yang pertama kali mendapatkan sertifikasi. Hal tersebut disampaikan MS. Kaban ketika menyerahkan penghargaan. Hal ini menjadi penting dalam sejarah pengelolaan hutan lestari oleh masyarakat adat. Pemerintah harus memberikan jaminan dan perlindungan hukum atas pengelolaan hutan. Sertifikat tersebut menjadi langkah awal dan M.S. Kaban berharap orang-orang Sungai Utik menjadi contoh untuk masyarakat adat lainnya di Indonesia. Dengan penyerahan sertifikat ecolabel, masyarakat sendiri memang merasa senang dan banyak pertanyaan besar apa hubungannya antara sertifikat dengan keberadaan mereka sekarang. Dari lain sisi, mereka merasa ada sesuatu yang hadir, soal solidaritas dari berbagai pihak, perhatian-perhatian dari berbagai pihak tentang kehidupan yang mereka jalani sehari-hari. Aditya Bayunanda dari Indonesian Ecolabeling Institut menceritakan bahwa mereka mulai membangun diskusi-diskusi awal tahun 2004. Jadi, saat itu boleh dikata terjadi kebuntuan di mana pengelolaan hutan oleh masyarakat adat mendapat kesulitan mendapat pengakuan formal, sehingga terpikirkan bagaimana untuk Sungai Utik dicoba disertifikasi pengelola hutan lestari. Kalau mereka mendapat sertifikat, maka pengakuan di publik akan mudah diperoleh. Dengan pengakuan formal itu, maka pengelolaan hutan adat di Sungai Utik akan aman, tidak diganggu lagi dengan sawit, tidak diganggu oleh HPH dan sebagainya. Masyarakat Sungai Utik harus menjadi contoh buat seluruhnya. Mestinya para pemimpin dunia sekarang ini lebih cerdas di tengah krisis pangan dan energi. Harusnya mereka datang ke Sungai Utik belajar bagaimana memelihara alam, dengan menjadi bagian dari alam, pangan tercukupi, dan energi akan tercukupi. *****(NE/JK) Edisi II | April-Juni 2010 |
Perempuan Bergerak
19
bedah buku
Mempersoalkan Partisipasi Politik Perempuan dalam Masyarakat Adat
M
elalui buku ini, Yayasan Sada Ahmo (YSA), lembaga swadaya masyarakat yang sejak 1990 mulai bekerja di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, mengungkapkan hasil studi mengenai sulitnya perempuan melaksanakan hak politiknya dalam lingkungan masyarakat adat. Studi kasus ini muncul atas respon terhadap isu kuat yang sedang berkembang di wilayah Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, yakni dengan pemekaran wilayah menjadi dua kabupaten: Kabupaten Pakpak Barat dan Kabupaten Dairi. Pertanyaan yang muncul, bagaimana dengan partisipasi dan representasi kepentingan perempuan? Kepentingan siapa yang diperjuangkan? Kalau memang kepentingan rakyat, maka bagaimana dengan partisipasi perempuan dalam perencanaan? Berlatar belakang soal itu, Yayasan Sada Ahmo melakukan diskusi panel sehari yang menghadapkan kelompok ide pemekaran kabu-
Judul Penyusun Penerbit Cetakan Halaman
20
: Etnis Pakpak dalam Fenomena Pemekaran Wilayah : Wahyudhi, Dina Lumbantobing, Lister Berutu : The Asia Foundation & Yayasan Sada Ahmo : Agustus, 2002 : v + 122 halaman
Perempuan Bergerak | Edisi II | April-Juni 2010
paten Dairi yang sangat memahami seluk-beluk masyarakat dan geografis Pakpak dengan kelompok yang mengkritisi esensi ekonomi pemekaran wilayah, kondisi Dairi dan partisipasi perempuan, khususnya perempuan Pakpak. Sudah diketahui, bahwa kehidupan masyarakat adat sangatlah partriakhal, sehingga tidak mudah memperjuangkan partisipasi politik perempuan dalam masyarakat tersebut. Buku ini sebuah bungai rampai paparan narasumber dan proses diskusi panel sehari yang berbicara banyak mengenai masyarakat adat Pakpak dan pemekaran Dairi yang dari berbagai sudut pandang dan partisipasi perempuan. Sangat menarik untuk dibaca, karena memberikan gambaran nyata tentang kondisi dan peran perempuan dalam kehidupan masyarakat adat Pakpak. Etnis Pakpak menjadi bagian dari sub-etnis Batak. Ini berdasar pada kemiripan dan kesa-
maan bahasa, struktur sosial dan sistem kekerabatan. Masyarakat Pakpak juga menganut prinsip patrilinieal, yang sama dengan masyarakat Batak. Secara geografis, sub-etnis Pakpak berbatasan langsung dengan sub-etnis Batak. Wilayah Pakpak dapat dikatergorikan kedalam lima sub atau dalam bahasa setempat dikenal dengan nama Pakpak selima suak, yakni Suak Pakpak Simsim, Suak Pakpak Keppas, Suak Pakpak Pegagan, Suak Pakpak Kelasen dan Suak Pakpak Boang. Ternyata salah satu Suaknya yakni suak Pakpak Boang berwilayah administrasi di wilayah Aceh (Aceh Selatan dan Aceh Singkel). Berdasarkan data statistik, Pakpak adalah suku minoritas di Kabupaten Dairi. Ketidakpercayaan dan ketidakkonsistenan masyakarakat Pakpak dalam mempertahankan identitas diri suku Pakpak justru memperkuat posisi minoritasnya daripada masyarakat di Kabupaten Dairi lainnya. Contoh, pemakaian bahasa asli Pakpak. Orang Pakpak ketika berada di luar Pakpak dengan sukarela menggunakan bahasa orang lain dibanding memperkenalkan bahasanya sendiri atau pencantuman nama marga. Jarang orang Pakpak menggunakan marga asli Pakpak. Pasti ada penggantian nama marga. Demikian halnya dengan adat perkawinan Pakpak sudah mulai pudar, karena orang Pakpak tidak pernah menggunakan adatnya ketika melakukan perkawinan. Jika dilihat dari sisi positifnya, mereka orang yang mudah beradaptasi. Dari sisi negatifnya, mudah kehilangan identitas diri dan budaya. Dengan kondisi itu timbul pemikiran masyarakat bagaimana cara mencapai kemajuan, maka harus ada percepatan dan pemerataan pembangunan di segala bidang. Pemekaran wilayah adalah solusi, menurut mereka. Ini didasarkan pada kebijakan pemerintah tentang Pemerintahan dan otonomi daerah. Tekad masyarakat Pakpak menjadi kabupaten sendiri untuk meningkatkan atau memperpendek rentang kendali pemerintahan sehingga efesien dalam pembangunan dan pelayanan pada masyarakat. Meskipun dari tingkat SDM, orang Pakpak memerlukan peningkatan kapasitas. Dari sisi lain, Pakpak mempunyai kekuatan SDA yang bagus (hasil hutan dalam APBD 2,5 milyar pada 2002). Akan tetapi, masalah utama yang disoroti dalam upaya pemekaran ini hanyalah penguasaan sumberdaya antara daerah dan pusat, kembalinya kekuasaan pemerintahan daerah ke tangan masyarakat adat, dll. Masalah otonomi perempuan seakan-akan luput bahkan tidak mendapatkan prioritas dalam upaya pemekaran. Meskipun posisi dan peran perempuan di masyarakat adat Pakpak sangat minim.
Pendampingan YSA selama 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa posisi perempuan Pakpak marginal. Karena mengalami bentuk kekerasan dan diskriminasi karena memandang lakilaki lebih penting daripada perempuan. Salah satunya, partisipasi politik perempuan dalam pemerintahan daerah. Di Dairi diakui oleh anggota Komite Pemekaran bahwa belum ikutnya perempuan dalam rencana pemekaran. Sangat jelas para pencetus kebijakan di Dairi umumnya, Masyarakat Pakpak khususnya, tidak mempunyai perhatian terhadap isu kesetaraan dan keadilan gender. Dalam pelaksanaan pemerintahan, tidak pernah melibatkan perempuan secara aktif. Perempuan hanya dilibatkan secara pasif. Suara perempuan tidak pernah didengar dalam proses pengambilan keputusan. Dukungan perempuan diperoleh secara significant bila perempuan dilibatkan secara aktif dalam proses pemekaran. Perbelakuan otonomi daerah memiliki makna penting bagi kehidupan politik perempuan. Perempuan diberikan kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses politik pemerintahan di daerah masing-masing. Akan tetapi, yang terjadi jauhnya posisi dan peran perempuan dalam prose situ. Untuk itu, dituntut kemauan politik Pemerintahan Daerah untuk mengubah paradigma dan sikap yang sesuai dengan democratic governance yakni semangat yang mendorong partisipasi warga perempuan dan laki-laki dalam proses pengambilan keputusan publik. Kasus yang terjadi di Dairi yakni tidak adanya transparansi dan akuntabilitas proses-proses politik pemerintahan daerah, missal proses pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa (BPD). Perempuan tidak pernah tahu dan tentu tidak dilibatkan partisipasinya dalam proses pemilihan tersebut. Mereka hanya mengetahui hasil pemilihannya tanpa mengetahui siapa calonnya. Dalam hal ini, partispasi politik perempuan telah dikebiri dengan jelas. Pertanyaan yang muncul oleh narasumber dalam discus itu: akankah sama dalam pelaksanaan? Bagaimana komitmen para pencetus pemekaran wilayah terhadap kaum perempuan? Buku ini memberikan gambaran kasus nyata tentang kuatnya sistem partriarkhal dalam kehidupan masyarakat adat. Diskriminasi dan peminggiran kaum perempuan jelas terjadi. Dukungan dan bantuan berbagai pihak sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan kapasitas dan kemampuan perempuan di masyarakat adat Pakpak khususnya dan masyarakat adat lain umumnya, sehingga mereka akan mampu memperjuangkan hak-hak politiknya. *****(LS) Edisi II | April-Juni 2010 |
Perempuan Bergerak
21
puisi
Perempuan-perempuan Perkasa Oleh: Hartojo Andangdjaja perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta dari manakah mereka ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa sebelum peluit kereta pagi terjaga sebelum hari bermula dalam pesta kerja perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta kemanakah mereka di atas roda-roda baja mereka berkendara mereka berlomba dengan surya menuju ke gerbang kota merebut hidup di pasar-pasar kota perempuan-perenpuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa.
Suku Dani dan Asmat Oleh: Saderi Seberkas cahaya memancar di Eropa, di Amerika dari tangan-tangan kasar pemahat dan pengukir pewaris koteka dan kapak batu.. Apakah kini ada orang-orang yang peduli Mewariskan ilmu dan teknologi tanpa menggilas budaya agar cahaya lebih memancar di sela-sela rimba dan belukar.
Hutan Itu Oleh: Sapardi Djoko Damono Hutan itu Gericik air dari bukit sana Bermuara di gelas dan cangkir kita Hutan itu Desah udara melintas cakrawala Lewat paru-paru dan pori-pori kita Hutan itu Tempat tinggal Adam kakek kita Terlempar dari surga
pojok kata
Kita ke sana saudara
22
Adat Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah. Apabila adat ini tidak dilaksanakan akan terjadi kerancuan yang menimbulkan sanksi tak tertulis oleh masyarakat setempat terhadap pelaku yang dianggap menyimpang. Di Indonesia kata Adat baru digunakan pada sekitar akhir abad 19. Sebelumnya kata ini hanya dikenal pada masyarakat Melayu setelah Perempuan Bergerak | Edisi II | April-Juni 2010
pertemuan budayanya dengan agama Islam pada sekitar abad 15-an. Kata ini antara lain dapat dibaca pada Undang-undang Negeri Melayu.
Budaya Budaya adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat is-
tiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya juga merupakan pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Hukum Adat Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang serta dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Kearifan Lokal Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal berupa tradisi, petatah-petitih dan semboyan hidup. Misalnya ungkapan alon-alon waton kelakon (biar lambat asal tujuan tercapai) dalam budaya Jawa. Atau semboyan marsiadap ari (saling membantu dalam melakukan suatu pekerjaan) dalam budaya Batak. Kearifan lokal merupakan salah satu wujud nyata slogan “kembali ke alam” (back to nature) yang sering kita dengar. Setiap kelompok masyarakat memiliki cara yang khas dalam mengungkapkan kandungan kearifan lokalnya, yang mencerminkan cara pandangnya tentang dunia.
Kebudayaan Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan bendabenda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat Adat Masyarakat adat merupakan istilah umum yang dipakai di Indonesia untuk paling tidak merujuk kepada empat jenis masyarakat asli yang ada di dalam negara-bangsa Indonesia. Dalam ilmu hukum dan teori secara formal dikenal masyarakat adat, tetapi dalam perkembangan terakhir, masyarakat asli Indonesia menolak dikelompokkan sedemikian mengingat perihal adat tidak hanya menyangkut hukum, tetapi mencakup segala aspek dan tingkatan kehidupan.
Masyarakat Hukum Adat Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Pribumi Pribumi atau penduduk asli adalah setiap orang yang lahir di suatu tempat, wilayah atau negara, dan menetap di sana. Pribumi bersifat autochton (melekat pada suatu tempat). Secara lebih khusus, istilah pribumi ditujukan kepada setiap orang yang terlahir dengan orang tua yang juga terlahir di suatu tempat tersebut. Pribumi memiliki ciri khas, yakni memiliki bumi (tanah atau tempat tinggal yang berstatus hak miliki pribadi).
Tradisi Tradisi (Bahasa Latin: traditio, “diteruskan”) atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.
Tradisional Tradisional adalah aksi dan tingkah laku yang keluar alamiah karena kebutuhan dari nenek moyang yang terdahulu. Tradisi adalah bagian dari tradisional namun bisa musnah karena ketidamauan masyarakat untuk mengikuti tradisi tersebut. *****(JK) Edisi II | April-Juni 2010 |
Perempuan Bergerak
23