daftar isi
Perempuan Bergerak Edisi I Januari-Maret 2011
perspektif Kesetaraan Gender: Kondisi Perempuan yang Perlu Diwujudkan
14
sosok Menguatkan Posisi Tawar Perempuan dalam Musrenbang
16
bedah film TKW: Pahlawan Devisa Tanpa Perlindungan Negara
18
bedah buku Musrenbang Milik Perempuan Lho!
20
rembug perempuan Partisipasi Perempuan di Ruang Publik Harus Tetap Didorong
3
fokus utama Pembangunan Nasional yang Adil Gender
4
opini Badan Permusyawaratan Desa: Dimana Perempuan?
6
warta perempuan Partisipasi Perempuan dalam Musrenbang
10
warta komunitas Musrenbang, Apa Itu?
12
puisi
22 pojok kata 22 Bias Gender 22 Gender 23 Kesadaran Gender 23 Kesetaraan Gender 23 Ketidak-adilan Gender 23 Subordinasi 23 Stereotipe 23 Marginalisasi 23 Musrenbang 23 Partisipasi Politik 23 Satuan Kerja Perangkat Desa (SKPD) 23 Perencanaan 23 Pembangunan Daerah
Perempuan Bergerak Penanggung Jawab: Rena Herdiyani Pemimpin Redaksi: Hegel Terome Redaktur Pelaksana: Joko Sulistyo Redaksi: Naning Ratningsih, Listyowati, Nani Ekawaty, Rakhmayuni, Ika Agustina Desain visual: Rudy Fransiskus Distribusi : Enita Multina Perempuan Bergerak merupakan media yang memuat pandangan-pandangan yang membangun kesadaran kritis kaum perempuan di seluruh Indonesia sehingga memberdayakan dan menguatkan mereka. Kekuatan bersama kaum perempuan yang terbangunkan itu merupakan sendi-sendi penting terdorongnya gerakan perempuan dan sosial umumnya untuk menuju masyarakat yang demokratis, setara, tidak diskriminatif dan tidak subordinatif. Redaksi menerima kritik, saran dan sumbangan berupa surat pembaca, artikel dan foto jurnalistik. Naskah, artikel dan foto jurnalistik yang diterima redaksi adalah yang tidak anti demokrasi, anti kerakyatan, diskriminatif dan bias gender. Naskah tulis diketik pada kertas A4, spasi satu, huruf Arial 12, maksimal 3 halaman dalam bentuk file atau print-out. Alamat Redaksi dan Iklan: Jl.Kaca Jendela II No.9 Rawajati-Kalibata, Jakarta Selatan 12750. Telp: 021-7902109; Fax: 021- 7902112; Email :
[email protected]; Website : www.kalyanamitra.or.id Untuk berlangganan Perempuan Bergerak secara rutin, kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Redaksi menerima sumbangan pengganti biaya cetak Rp. 10.000,- dan biaya pengiriman di rekening sesuai kota tujuan. Transfer ke Rekening Bank Bukopin Cabang Kalibata, No. Rekening 0103-034652 a/n. Rena Herdiyani.
2
Perempuan Bergerak | Edisi I | Januari-Maret 2011
Musrenbang adalah forum penjaringan aspirasi masyarakat yang diselenggarakan secara berjenjang dari tingkat kelurahan/desa, kecamatan, dan kabupaten/ kota. Hasil forum tersebut adalah Rencana Kerja Pemerintah Daerah, yang berfungsi sebagai dokumen perencanaan tahunan. Musrenbang diatur dalam UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Perencanaan dapat dikatakan baik kalau dalam prosesnya melibatkan partisipasi masyarakat, dari semua golongan, baik lakilaki maupun perempuan. Karena dengan demikian, akan menghasilkan sebuah perencanaan yang memang dibutuhkan oleh masyarakakat. Namun sering perempuan tidak diberikan akses untuk bepartisipasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan di Musrenbang serbagai forum perencanaan pembangunan. Sebagai akibatnya, kepentingan perempuan tidak pernah diperjuangkan dalam proses pembangunan yang ada, mulai dari tingkat nasional sampai ke daerah. Rendahnya partisipasi perempuan dalam musrenbang memperlihatkan bahwa masih terjadi ketidakadilan gender. Ketida-adilan tersebut berakar pada dominannya kekuasaan laki-laki, sehingga menutup ruang partisipasi perempuan dalam kehidupan publik. Perempuan direndahkan posisinya, yakni hanya untuk mengurus rumah tangga. Partisipasi yang rendah mengakibatkan penilaian terhadap peran laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Dengan masuknya RUU Kesetaraan gender menjadi satu RUU Prioritas tahun 2011 yang dibahas di DPR, maka harapan baru terciptanya kesetaraan gender di berbagai bidang, baik ekonomi, politik, sosial; dan di ruang publik dan ruang privat. Kesetaraan gender akan mendorong kemajuan dalam masyarakat karena tiap orang berperan aktif dalam pembangunan. Maka itu, menga wal RUU Kesetaraan gender menjadi satu hal yang penting dilakukan agar kebijakan yang dihasilkan sesuai dengan keinginan masyarakat. RUU lain yang harus dikawal adalah RUU Pedesaan, karena melalui RUU ini bisa mendorong keterwakilan 30% kuota perempuan di pemerintahan, mulai dari tingkat paling rendah (desa). Akhirnya, semoga sajian edisi kali ini mampu menambah pengetahuan bagi kita semua dan mendorong terciptanya kondisi kesetaraan gender demi meningkatnya partisipasi perempuan di masyarakat.
rembug perempuan
Partisipasi Perempuan di Ruang Publik Harus Tetap Didorong
Jakarta, Maret 2011 Joko Sulistiyo Redaktur Pelaksana Edisi I | Januari-Maret 2011 |
Perempuan Bergerak
3
fokus utama
Pembangunan Nasional yang Adil Gender Dalam alam demokrasi Indonesia yang berkembang saat ini sudah saatnya upaya-upaya pembangunan nasional dilaksanakan secara transparan, akuntabel, jujur, bersih, bermartabat, adil, dan tanpa diskriminasi (gender, ras, agama, etnis). Pembangunan yang diselenggarakan haruslah didasarkan atas kebutuhan praktis dan strategis masyarakat atau rakyat yang adil gender dan ramah lingkungan, sehingga dapat berkesinambungan.
P
engarusutamaan (gender mainstreaming) di Indonesia di dalam berbagai bidang kehidupan, utamanya dalam tata pemerintahan sejak Orde Baru, tampaknya tidak berhasil mengubah potret keadilan gender. Posisi perempuan masih termarjinalkan dalam hal akses, keputusan, dan kendali terhadap sumberdaya di ranah pribadi dan di ranah publik, dalam lingkup rumah tangga, komunitas, dan negera. Peran perempuan hanya sebatas pembantu laki-laki, bukan mitra yang sejajar dan setara. Dampaknya hingga kini, perempuan secara kuantitatif sangat minim menduduki kursi kepemimpinan, sehingga tak mampu menghasilkan keputusan-keputusan yang dapat memperjuangkan kepentingan praktis dan strategis mereka. Belum lagi dari aspek kualitas, karena peluang kemajuan tertutup bagi mereka, maka perubahan-perubahan di tingkat kesadaran kritis pun menjadi terhambat di kalangan mereka. Berkuasanya Orde Reformasi sejak tahun 1998, Indonesia diperkenalkan dengan suatu paradigma pembangunan nasional yang partisipatif. Meskipun gagasan seperti ini bukanlah hal baru, karena memang sudah diamanatkan di dalam UUD 1945 (sebelum diamandemen), namun dalam demokrasi transisional saat ini, gagasan neoliberal ini dipandang sebagai obat mujarab yang mampu menyelesaikan kerumitankerumitan dalam proses pembangunan. Dalam UU No.25 tahun 2004, di bagian Pembu-
4
Perempuan Bergerak | Edisi I | Januari-Maret 2011
kaan, kalimat “menimbang” jelaskan sebagai berikut: a. bahwa atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, Proklamasi Kemerdekaan telah mengantarkan bangsa Indonesia menuju cita-cita berkehidupan kebangsaan yang bebas, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur; b. bahwa pemerintahan negara Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia; c. bahwa tugas pokok bangsa selanjutnya adalah menyempurnakan dan menjaga kemerdekaan itu serta mengisinya dengan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan; d. bahwa untuk menjamin agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efisien, dan bersasaran maka diperlukan perencanaan pembangunan Nasional; e. bahwa agar dapat disusun perencanaan pembangunan Nasional yang dapat menjamin tercapainya tujuan negara perlu adanya sistem perencanaan pembangunan Nasional. Dalam UU ini pun diterangkan lebih lanjut, bahwa: a. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. b. Rencana Pembangunan Jangka Panjang, yang selanjutnya disingkat RPJP, adalah dokumen perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun. c. Rencana Pembangunan Jangka Menengah, yang selanjutnya disingkat RPJM, adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun. d. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (RenstraKL), adalah dokumen perencanaan Kementerian/ Lembaga untuk periode 5 (lima) tahun. e. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disebut Renstra-SKPD, adalah dokumen perencanaan Sat-
uan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 5 (lima) tahun. f. Rencana Pembangunan Tahunan Nasional, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah (RKP), adalah dokumen perencanaan Nasional untuk periode 1 (satu) tahun. g. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 1 (satu) tahun. h. Rencana Pembangunan Tahunan Kementerian/ Lembaga, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja-KL), adalah dokumen perencanaan Kementrian/Lembaga untuk periode 1 (satu) tahun. i. Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (RenjaSKPD), adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1 (satu) tahun. j. Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang selanjutnya disingkat Musrenbang adalah forum antarpelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan Nasional dan rencana pembangunan Daerah. k. Pembangunan Nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional. l. Perencanaan Pembangunan Nasional disusun secara sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap terhadap perubahan. m. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk: 1. mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; 2. menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antarDaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah; 3. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; 4. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan 5. menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Demikian sempurna uraian dan ketentuan mengenai pembangunan nasional yang dijelaskan di dalam UU tersebut, meskipun di tingkat pelaksanaan atau realisasinya belum tentu sesempurna itu. Hal ini tentu menjadi persoalan pelik pembangunan yang menuntut
partisipasi lebih luas masyarakat atau rakyat. Pembangunan nasional harusnya melalui proses bertahap mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional. Pembangunan tingkat desa mencakup setidaknya RT dan RW. Di Indonesia setidaknya ada 70 ribu desa, berarti dapat mencakup ratusan ribu RT dan RW. Statistik kependudukan memperlihatkan, bahwa jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sekitar 240 juta jiwa. Artinya, ada 60 juta rumah tangga. Apabila pembangunan nasional hendak dilaksanakan secara konsisten, maka pertanyaannya adalah, apakah 60 juta rumah tangga yang ada itu telah dilibatkan dalam musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat desa, yang mencakup RT dan RW? Sudah dapat dipastikan jawabannya, tidak akan pernah diselenggarakan secara konsisten. Masalah lain yang harus dipertanyakan ialah, apakah informasi tentang sistem perencanaan pembangunan nasional sudah tersosialisasi sampai ke 70 ribu desa di seluruh Indonesia? Apakah aparat-aparat pemerintahan atau negara mulai dari pusat sampai ke desa-desa sudah memahami sistem itu? Apabila melihat kenyataan yang ada, maka dapat dikatakan sungguh memprihatinkan. Oleh karena, sebagian besar aparat pemerintahan atau negara bahkan tidak tahu soal sistem tersebut. Apalagi untuk melakukannya, maka sulit diharapkan komitmen mereka. Belum lagi penyimpangan-penyimpangan dalam proses perencanaannya. Sebagian besar masyarakat atau rakyat di tingkat desa tidak memahami sistem pembangunan tersebut, dengan tahapan-tahapan yang mutlak harus melibatkan mereka. Karena tidak dipahami sungguh-sungguh, banyak kasus musrenbang memperlihatkan, proses perencanaannya malah tak melibatkan masyarakat. Selanjutnya, masalah pelaksanaan, penganggaran, dan evaluasinya. Kerap rencana pembangunan yang dibuat masyarakat tak pernah direalisasi, bahkan diganti dengan yang lain. Banyak alasan muncul diciptakan oleh aparat pemerintahan, yakni mulai soal tak tersedianya anggaran sampai masalah ketidak-mendesakan kebutuhan masyarakat. Hal krusial lainnya, yang terkait dengan musrenbang tersebut, ialah keterlibatan perempuan. Sejauh mana musrenbang mampu mengakomodasi perempuan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, penganggaran, dan evaluasi program pembangunan yang diselenggarakan? Banyak kasus memperlihatkan, betapa musrenbang di banyak tempat tidak pernah melihatkan perempuan di dalamnya. Kalau pun dilibatkan, posisi mereka tak lebih sebagai seksi konsumsi dalam acara musrenbang yang ada. Apakah masih ada pembangunan Indonesia yang adil gender? ***** (HG) Edisi I | Januari-Maret 2011 |
Perempuan Bergerak
5
opini
Badan Permusyawaratan Desa: Dimana Perempuan? Oleh: Yuda Irlang*
W
alaupun banyak negri kujalani,
Yang masyhur permai di rantau orang, Tetapi kampung dan rumahku, Disanalah ‘ku rasa senang, Tanahku tak kulupakan, Engkau kubanggakan...
Lagu vs Realita Kehidupan Puja-puji akan keelokan alam dengan kedam aian desa telah menjadi inspirasi para pencipta lagu sekaligus sanjungan serta wujud kecintaan kepada tanah air. Dan sepenggal syair lagu ini sangat akrab ditelinga orang Indonesia, karena mampu menggugah rasa kebanggaan akan desa di Nusantara dengan nuansa kedamaiannya. Tetapi, apakah memang hidup di desa itu damai? Tidak seindah dalam lagu! Indonesia yang sejak dulu dikenal sebagai negara agraris, pada dekade kedua milennium ini ditandai dengan semakin menyusutnya areal pertanian yang dikenal sangat subur yang dikonversikan menjadi areal pemukiman, perindustrian, rekreasi dan pariwisata, sarana dan prasana, dan lain-lain, yang semuanya mengatas-namakan pembangunan dan demi kemajuan serta kesejahteraan rakyat. Penyusutan lahan pertanian di daerah lumbung padi, seperti di Bali dan Jawa, sangat terasa dan dengan perubahan iklim yang terjadi dewasa ini, maka pekerjaan sebagai petani semakin tidak menjanjikan. Warganegara dan Keterwakilan Perempuan Konstitusi menjamin bahwa tiap warganegara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh kehidupan yang layak serta hak yang sama pula dalam hukum dan pemerintahan. Namun dalam realita kehidupan, perempuan masih harus bejuang keras untuk memperoleh haknya, khususnya hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan atau pengambilan kebijakan, seperti di Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, keterwakilan perempuan masih sangat rendah. Maka tidaklah mengherankan bila hal ini menjadikan posisi tawar perempuan Indonesia masih rendah dan menuntut kesadaran bersama semua elemen untuk melakukan perubahan secara mendasar yang harus dilakukan secara terus-menerus oleh seluruh pemangku kepentingan. Sejak Indonesia memasuki era transisi menuju demokrasi pada tahun 1998, perempuan Indonesia melalui upaya serta perjuangan keras yang tak ke-
6
Perempuan Bergerak | Edisi I | Januari-Maret 2011
nal lelah yang dilakukan oleh gerakan perempuan bersama dengan seluruh pemangku kepentingan di Indonesia telah berhasil mendapatkan payung hukum yang kuat untuk keterwakilan perempuan 30% di lembaga perwakilan pusat, provinsi serta kabupaten dan kota. Walaupun realitanya masih jauh dari harapan bersama terkait proses rekrutmen, pengkaderan dan demokratisasi di internal partai politik, tetapi pencapaian ini sudah cukup signifikan untuk jadi pembuka pintu gerbang peningkatan keterwakilan perempuan dan sekaligus merupakan bukti bahwa keterwakilan perempuan yang memang merupakan hak perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki sudah waktunya untuk diimplementasikan. Meminjam istilah Rocky Gerung, Dosen Filsafat Universitas Indonesia yang mengatakan, bahwa selama ini perempuan tertinggal dalam peradaban dan sekarang sudah saatnya laki-laki untuk membayarnya kembali kepada perempuan. Jika dulu keterwakilan perempuan merupakan sesuatu yang “unspokeable”, maka kini keterwakilan perempuan sudah “unavoidable” harus diimplementasikan. Dan ini harus terjadi di semua lini dan strata sebagai pemenuhan hak perempuan sebagai warganegara yang selama ini tidak diberikan sebagaimana mestinya. Otonomi Daerah Sebagai jawaban yang arif atas perkembangan tuntutan yang terjadi, maka dalam proses transisi menuju demokratisasi di Indonesia mulai dikenal otonomi daerah, yang merupakan penyerahan sebagian kewenangan pusat di daerah yang diatur dalam UU Pemerintahan Daerah 22 Tahun 1999, dan selanjutnya direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang dalam kaitan desa antara lain diatur di pasal 209 adanya Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Juga secara eksplisit diatur, bahwa anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah untuk mufakat; yang pimpinannya dipilih dari dan oleh anggota BPD. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih lagi untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, sedangkan syarat dan tata cara penetapan anggota dan pimpinan BPD diatur dalam Perda yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah Dalam hal ini anggota BPD yang merupakan wakil dari penduduk desa ditentukan dalam rapat wilayah
(RT/RW) oleh pimpinan wilayah, tokoh agama dan tokoh adat, yang umumnya adalah laki-laki. Dengan demikian, maka sangat jarang ditemui ada perempuan yang menjadi anggota Badan Permusyawa ratan Desa. Dan karena masa jabatan anggota BPD adalah 6 (enam) tahun, sama dengan masa jabatan kepala desa, maka sebenarnya dengan absennya perempuan berarti sudah kehilangan waktu 6 (enam) tahun untuk dapat mempunyai keterwakilan perempuan di BPD. Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat luas khususnya perempuan di seluruh Indonesia, menjadikan BPD ini sebagai lembaga yang tidak dikenal, apalagi sebagai lembaga yang diakrabi perempuan. Akibatnya, maka nyaris tidak ada anggaran yang pro perempuan. Alokasi anggaran desa yang untuk perempuan dialokasikan kepada PKK dan posyandu yang juga dianggap sebagai alokasi untuk perempuan. Partisipasi Perempuan di BPD Untuk mengetahui lebih jauh relasi perempuan dalam pengambilan kebijakan di desa, kebijakan yang dibuat serta dampaknya terhadap kesejahteraan perempuan, maka Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan (GPSP) melakukan penelitian tentang Partisipasi Perempuan Dalam Pengambilan Kebijakan di Desa tahun 2006 di kabupaten Bogor. Lokasi penelitian adalah di 2 (dua) kecamatan, yaitu Tajur Halang dan Cibinong, masing-masing keca matan dengan 3 (tiga) desa, yaitu desa : Citayam, Tajur Halang dan Sasak Panjang, serta desa Pabuaran, Karadenan dan Pakansari. Hasilnya menunjukkan bahwa perempuan absen dalam proses pengambilan kebijakan tingkat desa sejak perencanaan, pembangunan bersifat fisik dan tidak sensitif gender. Contohnya, alokasi anggaran bidang pendidikan untuk gedung sekolah (perbaikan), atau lainya seperti tempat ibadah, jalan, dll. Sedangkan yang bersifat investasi jangka panjang, seperti untuk peningkatan kualitas SDM khususnya perempuan tidak ada, contohnya untuk pelatihan peningkatan industri rumah tangga, penguatan serta akses permodalan, dll, sehingga hasil pembangunan tidak terasa ada dampaknya terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya perempuan. Tahun 2007, kembali GPSP melakukan penelitian di lokasi yang sama, dengan tema Partisipasi Perempuan dalam Monitoring Pembangunan Desa. Hasilnya masih tetap sama, tidak ada sama sekali kegiatan monitoring yang dilakukan oleh (kelompok) perempuan, karena perempuan sudah temarEdisi I | Januari-Maret 2011 |
Perempuan Bergerak
7
ginal dalam proses pembangunan desa sejak perencanaan, pelaksanaan, monitoring, termasuk juga dalam mendapatkan akses pemanfaatan hasil pembangunan. Hal ini diperparah dengan tidak adanya sosisalisasi rencana pembangunan desa (tidak transparan), di sisi lain, juga minimnya perhatian/ ketertarikan masyarakat untuk ikut serta memberikan perhatian terhadap pembangunan yang dilaksanakan di desa. Potret seperti ini terjadi secara luas di seluruh pelosok Indonesia. Oleh sebab itu sejalan dengan otonomi daerah maka untuk melakukan perubahan termasuk mendorong penguatan desa dan percepatan pembangunan desa maka perlu ditingkatkan partisipasi masyarakat didalamnya. Diawal tahun 2011 ini pemerintah telah menyiapkan sebuah (Rancangan) Undang-undang Desa yang merupakan pecahan dari UU Pemerintahan Daerah dan sudah masuk menjadi salah satu prioritas pembahasan dalam Program Legislasi Nasional tahun 2011 yang harus kita ikuti dan cermati bersama agar aspirasi yang berkembang di masyarakat sipil dapat tertampung di dalamnya. (Rancangan) Undang-undang Desa (Rancangan) UU Desa secara umum sudah relatif cukup berpihak pada masyarakat desa, seperti kejelasan partisipasi masyarakat baik melalui Badan Permusyawaratan Desa atau Lembaga Pemberdayaan Masyarakat atau dengan sebutan lainnya dan melindungi masyarakat dari kepentingan politik praktis. Fungsi BPD dalam rancangan ini diatur secara tegas dan progresif bahwa BPD berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Desa, dengan fungsi: regulasi, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat yang disampaikan secara lisan atau tertulis serta melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan desa. Untuk dapat memenuhi fungsinya, maka keanggotaan BPD adalah sekurang-kurangnya 5 (lima) orang, dan sebanyak-banyaknya 11 (sebelas) orang dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk dan kemampuan keuangan Desa, dengan masa bakti 8 (delapan) tahun, sama dengan kepala desa. Kewenangan BPD meliputi: membentuk peraturan Desa bersama Kepala Desa; membahas RAPBDes bersama kepala desa; membentuk panitia pemilihan kepala Desa; mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala Desa; menggali, menampung, menghimpun, dan merumuskan aspirasi masyarakat dan juga melakukan pengawasan kinerja pemerintah
8
Perempuan Bergerak | Edisi I | Januari-Maret 2011
Desa. Strategisnya kleberadaan BPD juga tercermin dalam hak yang dimilikinya, antara lain, membentuk peraturan Desa bersama Kepala Desa; meminta keterangan kepada Pemerintah Desa; menyatakan pendapat dan tentunya memperoleh dukungan pembiayaan. Dan dalam kewajibannya melekat, BPD meneliti keabsahan hasil pemilihan kepala desa serta mengusulkan pemberhentian kepala desa. Semua ini menjunjukkan betapa strategisnya lembaga BPD. Dan masa bakti anggota BPD adalah 8 (delapan) tahun, sama dengan kepala desa. Tantangan Pemberdayaan Perempuan di Desa Indonesia sebagai negara kepulauan terlebar yang terletak di garis khatulistiwa, dengan topografi, geografi dan demografi yang demikian besar yang menjadikannya sebagai kekuatan bangsa Indonesia tetapi sekaligus juga menjadi bagian dari kelemahan yang cukup mendera. Pemerataan hasil pembangunan masih sangat timpang, terutama daerah dengan geografis yang sulit, seperti Kalimantan dan Papua yang luas tetapi berpenduduk tipis, serta daerah kepulauan, seperti: NTT, Maluku, Maluku Utara, Kepri, NTB, masyarakat masih merasakan pelayanan yang kurang layak disamping kesulitan transportasi dengan segala permasalahan serta dampaknya secara ekonimis dan sosial. Bila secara kuantitas penyandang kemiskinan sekitar 30-an juta orang de ngan kualitas kemiskinan yang semakin dalam, bisa dibayangkan kehidupan masyarakat desa di era milenium ini yang masih jauh dari layak dan masih diperparah lagi dengan meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga serta konflik horizontal, maka sesungguhnya perempuan dan anak menjadi kelompok yang paling rentan dan paling menderita. Sementara kendala kultur dan struktur masih pekat mengungkung perempuan di desa, maka wajar bila harapan percepatan perubahan digantungkan pada keberadaan BPD, namun menghadapi resistensi karena dalam hal persepsi partisipasi politik, baik masyarakat maupun perempuan sendiri masih belum selesai. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah ”siapa” perempuan yang akan didorong masuk kedalam BPD? Namun, jika kita lihat dengan cermat di semua daerah di Indonesia, maka ada kesamaan secara umum bahwa pekerjaan menyangkut masalah sosial, pendidikan, ekonomi, pembinaan keagamaan melalui majlis ta’lim dan pembinaan anak di bawah lima tahun (Balita) pada umumnya dilakukan oleh perempuan, termasuk juga menyelenggarakan PAUD, Posyandu yang juga masih menjadi strereotipe perem-
puan di ranah domistik. Sedangkan pekerjaan dan tugas menjadi ketua RT/RW yang bersinggungan dengan isu masyarakat dan pengambilan kebijakan atau ranah publik, tetap didominasi oleh laki-laki. Di semua desa di seluruh Indonesia aktivitas perempuan yang paling menonjol adalah di PKK. Dan kiprah perempuan dalam PKK ini diakui dan dipuji oleh Hillary Clinton dalam Konferensi Perempuan Sedunia di Beijing tahun 1995, tatkala masih menjadi Ibu Negara Amerika Serikat, menyatakan bahwa PKK Indonesia sebagai gerakan yang patut dicontoh oleh seluruh negara di dunia. Sesungguhnya, ada potensi perempuan di desa dan sudah teruji dalam PKK. Selain itu perempuan-perempuan pegiat ekonomi desa, Ustazah, petani, pimpinan berbagai kelompok yang ada serta semua pengurus/aktivis PKK sangat luar biasa. Mereka sudah mempunyai pemahaman, pengalaman, keterampilan serta jaringan yang luas di desa dalam mengatasi masalah di tingkat komunitas. Khusus tentang PKK, adalah sebuah gerakan dan bukan organisasi politik dan tidak akan masuk dalam kegiatan politik praktis. Tetapi dalam hal pengambilan kebijakan desa yang seharusnya juga mengedepankan aspirasi perempuan dan anak, maka peran tokoh-tokoh perempuan serta pengurus/aktivis PKK harus ditingkatkan. Unsur PKK yang biasanya diikutkan dalam Musrenbang tetapi realitanya jarang didengar (terdengar) suaranya, sehingga perempuan secara umum di desa hanya sebagai konsumen kebijakan yang dibuat oleh laki-laki. Maka yang diperlukan adalah pemahaman ulang akan makna ”politik” yang dalam kaitan ini adalah keterlibatan masyarakat khususnya perempuan, termasuk perempuan muda, dalam pembuatan kebijakan di tingkat desa untuk memajukan serta mensejahterakan seluruh masyarakat desa, baik perempuan, laki-laki, anak, remaja, dewasa dan tua, semuanya mendapat akses dan kesempatan yang sama. Pentingnya Pengawalan RUU Desa Masuknya RUU Desa dalam prioritas pembahasan Program Legislasi Nasional 2011 merupakan hal yang sangat dinantikan, namun sekaligus juga cukup menantang dalam implementasinya nanti. Untuk itu diperlukan pengawalan proses pembahasannya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar aspirasi masyarakat luas secara substantif dan dimensi gender dapat terintegrasi didalamnya, misalnya: keterwakilan perempuan 30%, syarat calon anggota BPD tidak pernah melakukan KDRT dalam
segala bentuknya. Dalam kaitan ini, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Revisi Undang-undang Politik (ANSIPOL) bekerjasama dengan semua jejaring yang ada terus-menerus melakukan pengawalan proses pembahasannya di DPR, khususnya untuk isu gender dalam UU Desa. Sesungguhnya, hal ini wajar saja diperjuangkan karena di samping Undang-undang Dasar 1945, Indonesia sudah mempunyai berbagai Undang-undang sebagai dasar hukum pemberdayaan perempuan dalam politik, khususnya UU Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Hak Sipil dan Politik yang merupakan bagian yang erat dari UU Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta berbagai kesepakatan Internasional yang sudah diratifikasi pemerintah. Selanjutnya adalah negara yang harus mengimplementasikannya den gan tanpa alasan (reserve). Demikian juga amanat Convention on the Elimination of All Form of Discriminations Against Women (CEDAW/Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan) dalam UU Nomor 7 Tahun 1984, Beijing Platform for Action (BPFA/Landasan Aksi Beijing) tahun 1995 serta Millenium Development Goals (MDGs/Tujuan Pemba ngunan Milenium), yang kesemuanya mempertegas pentingnya kesetaraan gender untuk memperoleh akses partisipasi dalam pengambilan kebijakan di semua lini dan strata sekaligus menghapus segala bentuk kemiskinan dan pemiskinan perempuan. Pendidikan Kewarganegaraan Pendekatan pendidikan kewarganegaraan merupakan bentuk pendidikan politik bagi tiap warganegera Indonesia yang menjadi kewajiban pemerintah untuk melaksanakannya, khususnya pendidikan politik bagi perempuan sebagaimana diamanatkan UUD dan berbagai Undang-undang, kovenan serta peraturan perundang-undangan yang ada. Kelembagaan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak di semua daerah harus lebih diefektifkan, didorong untuk dapat memfasilitasi kegiatan pemberdayaan perempuan terutama di desa dengan memperkuat kerjasana dan kordinasi dengan LSM setempat, akademisi, ormas dan lain-lain. Bila perempuan tertinggal dalam kepengurusan BPD kali ini, maka harus menunggu selama 8 (delapan) tahun lagi!!! *Yuda Irlang, Kordinator ANSIPOL, Sekretaris GPSP, Sekretariat : Lantai 3 Hotel Menara Peninsula, Jl. S. Parman Kav 78,Slipi – Jakbar; email: yuda_irlang@ yahoo.co.id Edisi I | Januari-Maret 2011 |
Perempuan Bergerak
9
warta perempuan 10
Partisipasi Perempuan dalam Musrenbang
P
artisipasi masyarakat dalam kegiatan pemba ngunan sangatlah penting dan, bahkan menentukan. Menurut Ginanjar Kartasasmita (1955), “Pembangunan memang dapat juga berjalan dengan mengandalkan kekuatan yang ada pada pemerintah… namun hasilnya tidak akan sama jika dibandingkan dengan pembangunan yang mendapat dukungan dan partisipasi rakyat.” Ada empat indikator partisipasi masyarakat, yakni: pengambilan keputusan (dalam perencanaan), implementasi (pelaksanaan), mendapatkan manfaat (benefit) dan evaluasi (evaluation), atau dapat pula disebutkan bahwa masyarakat harus senantiasa ikut serta dalam setiap tahapan kegiatan pembangunan. Berbicara mengenai partisipasi masyarakat, perempuan adalah bagian dari masyarakat itu sendiri. Ada beberapa dasar hukum yang melandasi partisipasi perempuan dalam pembangunan, misalnya Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan PUG dan Pembangunan Nasional, yang mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. Selain itu, juga ada Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum pelaksanaan PUG di Daerah; Perpres No. 21 tahun 2009 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2010; Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014; Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK 02/2010 tentang petunjuk penyusunan dan Penelaahan (Rencana Kerja dan Anggaran-Kementrian/Lembaga (RKA-KL) dan Pengesahan Pelaksanaan DIPA TA. 2011 Sebelumnya telah ada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 119 tahun 2009 dimana diatur bahwa menunjuk 7 kementrian yang menjadi inti (core) untuk proyek penyusunan analisis gender budgeting. Tujuh kementerian itu adalah Kementerian Keuangan, Bapenas, KNPP dan PA, Kemendiknas, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementrian Pertanian. Untuk dasar hukum internasional, ada UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW); 1994 ICPD: International Conference on Population and Development), tahun 1994; BPFA : Beijing Platform for Action, tahun 1995; MDGs, tahun 2000.
Perempuan Bergerak | Edisi I | Januari-Maret 2011
Tentang Musrenbang Berkaitan dengan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), sesuai amanat dalam UndangUndang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, pasal 1 ayat (1) menyatakan, bahwa perencanaan adalah proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia. Pengertian sumberdaya yang dimaksud adalah potensi, kemampuan, dan kondisi lokal, termasuk anggaran, untuk dikelola dan dimanfaatkan bagi peningkatan ke sejahteraan masyarakat. Sementara itu, Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa kabupaten/kota merupakan daerah otonom, dalam artian bahwa daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan partisipai, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk pemberdayaan daerah dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Musrenbang sendiri memiliki tujuan antara lain: Menampung dan menetapkan kegiatan prioritas sesuai kebutuhan masyarakat yang diperoleh dari musyawarah perencanaan yang sesuai dengan tingkatan di bawahnya; Menetapkan kegiatan yang dibiayai melalui APBD maupun sumber pendanaan lainnya. Adapun fungsi dilaksanakannya musrenbang untuk menghasilkan kesepakatan-kesepakatan antar pelaku pembangunan tentang rancangan rencana kerja pemerintah dan rancangan kerja pemerintah daerah, yang menitikberatkan pada pembahasan untuk sinkronisasi rencana kerja antar kementrian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah dan antar daerah. Bagaimana Partisipasi Perempuan? Dengan berbagai kebijakan yang sudah ada teryata tidak menjamin partisipasi perempuan dalam proses musrenbang. Perempuan masih sangat jarang dilibatkan dalam proses tersebut. Bahkan banyak sekali perempuan yang tidak tahu apa itu musrenbang. Pertanyaan mengelitik coba ditanyakan Lutri kepada peserta diskusi “Kesetaraan Gender dan Partisipasi Perempuan dalam Musrenbang”, yang diadakan Kalyanamitra bekerjasama dengan OXFAM GB, akhir Januari 2011
yang lalu. “Sebelum saya memulai pertanyaan, saya mau bertanya ke audiens semua apakah bapak/ibu semua di sini pernah mengikuti proses musrenbang?” Jawaban yang diperoleh teryata sangat mengejutkan, dari seratus lebih peserta yang hadir, semuanya menjawab belum pernah mengikuti proses musrenbang. Hal tersebut tentu memperlihatkan bukti nyata bahwa proses musrenbang sosialisasinya sangat kurang. Teryata tidak hanya perempuan yang tidak tahu tentang musrenbang, tetapi laki-laki juga mengalami hal yang sama. Pertayaan yang kemudian muncul adalah “Bagaimana dengan di daerah, bila di Jakarta atau level nasional masyarakat masih banyak yang tidak tahu tentang musrenbang?” Kepmendagri No. 66 jelas menunjukkan juklak, juknis untuk proses musrenbang seperti apa. Bapeda harus mempunyai anggaran khusus untuk pelaksanaan musrenbang, baik di tingkat desa/kelurahan, kecamatan, dan kabupaten kota. Staf Bapeda juga harus menghadiri proses musrenbang tersebut. Aparat desa wajib memfasilitasi proses musrenbang. Dalam aturan juga disebutkan agar perempuan diberikan hak untuk bersuara, memberikan usulan. Tetapi kenyataannya sangat berbeda, masyarakat masih banyak yang belum tahu mengenai musrenbang. Mencari siapa yang harus disalahkan, bukanlah jalan terbaik menyelesaikan masalah, karena ketika berbicara mengenai kebijakan sudah banyak landasannya. Rendahnya partisipasi perempuan memperlihatkan bahwa mereka masih dianggap sebagai makluk nomor dua. Kehadirannya dalam forum-forum semacam musrenbang tidak diperhitungkan. Hal tersebut terjadi karena ada ketimpangan gender di masyarakat. Forum musrenbang dianggap sebagai forum laki-laki, karena itu ada di wilayah publik, perempuan dianggap tidak perlu ikut campur dalam proses perencanaan pembangunan, karena perempuan hanya mengurus rumah tangga. Rena Herdiyani, Direktur eksekutif Kalyanamitra dalam sambutan acara tersebut, mengatakan bahwa meskipun kesetaran gender dan partisipasi perempuan dalam musrenbang sudah lama diperjuangkan tetapi realitasnya kita masih melihat ketimpangan itu. Hal itu bisa dilihat masih rendahnya partisipasi perempuan dalam politik. “Kalau kita lihat jumlah di DPRD dan di DPR, perempuan masih sangat rendah. Demikian juga perempuan-perempuan yang memegang jabatan publik, mulai dari tingkatan terendah, mi salnya ketua RT, RW, kepala desa, bupati, gubernur, masih didominasi oleh laki-laki”, ungkap Rena Herdiyani. Hal lain yang masih terjadi adalah kepala keluarga masih identik dengan laki-laki/suami. Maka ketika rapat RT, RW atau musyawarah di desa, yang diundang adalah laki-laki. Bila perempuan datang, hanya berurusan dengan konsumsi. Rena Herdiyani menambahkan bahwa masih banyaknya masyarakat, khususnya perempuan yang belum memaha-
mi musrenbang, karena belum mendapat informasi bahkan tidak dilibatkan dan diundang dalam proses musrenbang. “Jadi kita masih harus terus mensosialisasikan soal ke setaraan gender dan partisipasi perempuan dalam musrenbang terutama ke masyarakat luas”, tambahnya. Masyarakat harus tahu bahwa mereka punya hak untuk menyampaikan kepentingan perempuan karena ketika perempuan tidak hadir, tidak terlibat dalam proses perumusan musrenbang, maka hasil perencanaan pembangunan dari mulai desa, kecamatan, kabupaten sampai nasional tidak akan mengakomodir kepentingan perempuan. Mengenai tidak diundangnya perempuan dalam forum musrenbang, Rena menyarankan agar mereka minta diundang karena itu adalah haknya. “Jadi penting sekali, bila kita tidak diundang, kita minta untuk diundang karena perempuan berhak untuk menyampaikan aspirasi dalam musrenbang”. Persoalan Musrenbang di Tingkat Lokal Terkait dengan Musrenbang dan dalam rangka pembuatan komik mengenai musrenbang, Kalyanamitra bekerjasama dengan OXFAM GB telah melakukan kajian pada pertengahan 2010 yang lalu di 2 wilayah, yakni di Aceh Utara dan Papua. Dari hasil dan temuan yang didapatkan memang tidak ada sosialisasi kepada perempuan tentang musrenbang. Kebanyakan narasumber tidak mengetahui apa itu musrenbang dan seperti apa bentuknya. Di Aceh Utara misalnya, masyarakat memahami bahwa musrenbang adalah PNPM. Sedangkan di Papua, musrenbang dipahami sebagai Respek, padahal keduanya berbeda karena respek dibeayai dengan otonomi khusus di Pa pua, sedangkan musrenbang dari APBD. Dari hal tersebut dapat dilihat, bahwa sosialisasi musrenbang di masyarakat sendiri tidak ada, apalagi untuk perempuan. Proses musrenbang sering sangat tidak partisipatif terhadap perempuan. Sebagai contoh, perempuan diundang hanya menjadi tolak ukur bahwa perempuan secara fisik hadir, tetapi dalam prosesnya perempuan tidak terlibat. Selain itu, tidak ada keakraban dari pemerintah desa kepada perempuan. Masalah lain yang ditemukan dari kajian tersebut adalah soal tranparansi anggaran yang tidak terjadi. Di dua daerah yang dikaji, keduanya sama-sama tidak menunjukan adanya transparansi anggaran. Bahkan di Aceh Utara, dari informasi yang di dapat, anggaran masih dianggap rahasia negara. Tidak adanya sosialiasi Musrenbang juga dirasakan oleh Eti, salah seorang peserta yang hadir dalam diskusi tersebut. Eti meyayangkan bahwa dana untuk pemberdayaan perempuan hanya isu karena selama ia aktif di tingkat RT maupun RW, dana yang diberikan hanya untuk kebutuhan fisik semata. Sebagai pekerja sosial, Eti juga Edisi I | Januari-Maret 2011 |
Perempuan Bergerak
11
sering diminta untuk mendata warga tidak mampu untuk mendapatkan bantuan, namun teryata tidak ada realisa sinya. “Kita sebagai tenaga sosial disuruh mendata untuk dana langsung tunai, tetapi realisasinya sampai saat ini belum ada. Banyak orang tidak mampu bertanya, kapan dana itu turun?” Desentralisasi Desentralisasi melalui otonomi daerah yang seharusnya membuka ruang bagi partisipasi perempuan juga tidak terjadi. “Ketika bicara desentralisasi akan terjadi demokratisasi, tetapi hal tersebut tidak terjadi di level lokal”, demikian disampaikan Ida Ruwaida dari Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI, yang telah melakukan kajian mengenai desentralisasi. “Desentralisasi anggaran pembangunan juga diserahkan sepenuhnya ke daerah mengikuti urusan yang ada. Ada 25 urusan wajib yang diserahkan ke daerah. Dari sisi anggaran, 1.100 trilyun APBN itu sekitar 425 lebih dise rahkan ke 33 propinsi dan 506 kabupaten kota”, ujar Arifin Rudianto, Direktur pengembangan wilayah Bapenas, yang menjadi salah satu narasumber dalam diskusi tersebut. “Desentralisasi bukan berarti pusat lepas begitu saja pengawasannya terhadap daerah. Ketika terjadi penyimpangan di lapangan, seharusnya pusat bisa mengontrol dan mengawasi proses-proses musrenbang di tingkat daerah sampai pedesaan”, demikian Ika Agustina dari Kalyanamitra memberi tanggapan berkaitan dengan desentralisasi. “Mungkin bisa membuat semacam regulasi yang memberikan sanksi kepada pemda yang tidak menjalankan musrenbang sesuai yang diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 2004. Dengan regulasi tersebut ketika ada sosialisasi yang tidak menyeluruh ke masyarakat dan partisipasi perempuan yang tidak ada, hanya kehadiran yang dihitung. Itu bisa diatasi seandainya pusat juga melakukan monitoring terhadap pemda”, Ika menambahkan. Mengenai masih rendahnya partisipasi perempuan dalam musrenbangdes, Ida Ruwaida mengatakan, bahwa itu hanya kegiatan satu tahunan, bahkan berdialog sebagai seremonial pembiasaan. Tetapi pembiasaan perempuan terlibat dalam proses pengambilan keputusan, yang sebetulnya tidak terjadi sama sekali, karena masih ada dikotomi antara ranah publik dan privat. “Pembiasaan ini perlu kita pikirkan bersama karena seperti yang disampaikan, partisipasi perempuan bukan hanya fisik, berapa orang yang ikut. Tapi, partisipasi dalam konteks bagaimana ia bisa menyuarakan kepentingannya, itu masih menjadi persoalan. Hasil studi saya menunjukkan pada pengajian bulanan sebetulnya bisa digunakan untuk menjaring suara perempuan”, demikian ungkapnya. *****(JK)
12
Perempuan Bergerak | Edisi I | Januari-Maret 2011
Musrenbang, Apa Itu?
“S
aya baru tahu kalau teryata ada Musrenbang”, demikian ungkap Mini, seorang anggota komunitas dari Muara Baru, Jakarta, usai mengikuti acara diskusi publik yang diadakan Kalyanamitra akhir Januari 2010 lalu. Walau selama ini aktif di masyarakat, ia tidak tahu kalau ada suatu forum untuk perencanaan pembangunan bagi masyarakat. Hal senada juga disampaikan Iin, dari kelompok Marlina, Jakarta. Sebagai istri seorang ketua RT, dia baru mengetahui apa itu musrenbang setelah mengikuti diskusi publik, yang diadakan Kalyanamitra. “Sebelum ikut diskusi publik yang diadakan Kalyanamitra hanya dengar saja, setelah itu baru tahu musrenbang itu apa, pantes di daerah kami tidak pernah melibatkan perempuan”, ungkapnya. Berbekal pengetahuan yang diperolehnya, maka bu Iin juga sempat menanyakan kepada ketua RW ketika diakan musrenbang di wilayahnya. “Saya tanya kok musrenbang di sini tidak melibatkan ibuibu, dari hasil diskusi yang saya ikuti, misalnya di Aceh melibatkan perempuan tapi kok di sini tidak?”, demikian katanya. Namun, dari pertanyaan itu, staf RW tidak ada yang dapat menjawabnya. “Orangorang staf RW tidak bisa bicara, katanya ini untuk laki-laki,” tambahnya. Kata “musrenbang” teryata masih sangat asing bagi perempuan, terutama anggota komunitas dampingan Kalyanamitra di Muara Baru, Jakarta Utara dan Prumpung, Jakarta Timur, wilayah yang berada di ibukota Negara. Dapat dibayangkan, bila di Jakarta demikian keadaannya, bagaimana de ngan di daerah lain yang jauh dari pusat pemerintahan? Rendahnya keterlibatan perempuan dalam musrenbang memperlihatkan bahwa mereka masih dianggap sebagai mahkluk kelas dua, yang tidak berhak terlibat dalam proses perencanaan pemba ngunan, yang selalu dilihat sebagai wilayahnya lakilaki. Dengan demikian, pembangunan yang dihasilkanpun sering jauh dari kebutuhan perempuan. Melihat rendahnya partisipasi perempuan dalam ruang publik, Eni Rochayati, salah seorang paralegal LBH APIK memberikan pendapatnya: “Ada beberapa daerah yang sudah mengakui perempuan patut diikut-sertakan, namun di beberapa daerah mereka tahu perempuan punya kapasitas dan po-
Ibu IIn (kiri) dan Iu Samiasih (kanan): Musrenbang sangat asing bagi perempuan.
libat, apalagi ketika bicara soal anggaran, ia merasa itu hanya sosialisasi saja, tidak mengajak perempuan untuk bermusyawarah. “Tetapi kalau saya melihat hal tersebut, di situ membicarakan anggaran-anggaran, bapak kepala desa hanya mensosialisasikan saja, di situ kita tidak merasa dilibatkan dalam perencanaan tersebut, mereka hanya melakukan sosialisasi dan kita secara tidak langsung harus menyetujui”. Mengenai keterlibatan perempuan, Samiasih mengungkapkan bahwa keterlibatannya sebenarnya tidak ada, perempuan yang dihadirkan dalam forum musyawarah hanya untuk memenuhi kuota semata. “Untuk keterlibatan perempuan, saya rasa tidak ada, kita hanya dijadikan pemenuhan kuota. Sebenarnya, untuk kegiatan-kegiatannya tidak pernah dilibatkan”. Pasrujambe merupakan bagian dari Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Sebagai wilayah pedesaan, partisipasi perempuan masih sangat rendah, apalagi untuk dapat menjadi pejabat pemerintah desa. “Memang di sana perempuan tidak pernah dianggap dapat jadi pemimpin, budaya di sana sangat kuat mempengaruhi kalau perempuan di belakang, yang di depan mesti laki-laki, jadi budaya itu sangat kuat mempengaruhi orang-orang di sana, bahwa perempuan tidak bisa jadi pemimpin” demikian ungkap Samiasih. Melihat kondisi yang demikian, Sani, salah satu anggota komunitas yang ada di Desa Pasrujambe memberikan terobosan terbaru di wilayahnya. Setelah aktif diorganisasi dan mengetahui hak-haknya, dan melihat pentingnya perempuan harus mengambil keputusan, akhirnya Sani pun mencalonkan diri menjadi Kepala Dusun. Mengenai hal tersebut, Samiasih berpendapat, “Mbak Sani sebenarnya cukup berani, karena dia juga terlahir dari organisasi, dia sangat kuat dan peduli dengan perempuan-perempuan, karena faktor budaya dilemahkan dari situ, sehingga tidak terpilih”. Hal yang sama juga dilakukan oleh Kurniati, seorang anggota komunitas dampingan Kalyanamitra di Prumpung. Melihat minimnya partisipasi perempuan di ruang publik dan rendahnya keterwakilan perempuan di pemerintahan, mulai dari tingkat paling bawah sampai dengan level Kementrian, maka tahun 2009 yang lalu Kurniati ikut mencalonkan diri menjadi Ketua RT di wilayahnya. Masih banyaknya masyarakat yang meragukan kepemimpinan perempuan membuatnya tidak dapat meraih jabatan tersebut. Apa yang dilakukan oleh Sani maupun Kurniati adalah salah satu strategi yang digunakan agar perempuan tampil ke depan, merebut posisi-posisi strategis di tingkat pemerintahan, mulai dari RT sampai tingkat paling tinggi. Ke depan harus semakin banyak perempuan yang berani seperti mereka. *****(JK) Edisi I | Januari-Maret 2011 |
Perempuan Bergerak
warta komunitas
tensi untuk dalam musyawarah, akan tetapi para lelaki nya malu untuk mengakui hal itu”. Ketika tidak ada dukungan, maka perempuan mempunyai kapasitas untuk berpartisipasi di ruang publik maupun mencalonkan diri sebagai pejabat publik. Akhirnya, mereka tidak berani menunjukan kemampuannya, seperti yang dirasakan oleh Eni: “…hal tersebut bahkan terjadi pada diri saya sendiri, kita perempuan kan punya hak untuk maju juga, seperti mereka lelaki, tetapi mereka tidak mau mengakui kalau kita punya kelebihan. Dan itu, kita kurang dapat dukungan juga dari beberapa kawan kita yang tidak mendukung, tidak yakin dengan kemampuan kita”. Bicara tentang musrenbang, Eni ternyata juga sama dengan Iin dan Mini, ia tidak tahu apa itu musrenbang. “Tidak tahu, pernah dengar tapi tidak pernah disosialisasikan ke bawah. Musyawarah seharusnya tidak hanya melibatkan aparat, tapi juga warga karena untuk perkembangan daerah itu sendiri. Kata Musrenbang di kuping kita masih asing”, demikian jawaban yang ia berikan ketika ditanyai tentang musrenbang. Hal berbeda dirasakan Samiasih dari Pasrujambe, Lumajang, Jawa Timur, yang juga merupakan komunitas yang didampingi Kalyanamitra. Setelah aktif berorganisasi, ia mengetahui mengenai apa itu musrenbang dan pernah mengikutinya. “Musrenbang kalau sepengetahuan saya ialah musyawarah rencana pembangunan. Hal tersebut terjadi dan pernah ikut”. Sebelum aktif di organisasi, Samiasih tidak pernah mengetahui apa itu musrenbang. Dengan keterlibatannya di organisasi yang aktif di desanya, ia mengetahui banyak tentang musrenbang. “Prosesnya sebelum ikut organisasi tidak pernah diajak dan tidak pernah tahu musrenbang itu apa, setelah ikut organisasi pernah diajak dua kali”. Namun walaupun terlibat dalam proses musrenbang, Samiasih merasa tidak sepenuhnya ter-
13
perspektif 14
Kesetaraan Gender: Kondisi Perempuan yang Perlu Diwujudkan Oleh: Estu R. Fanani* Latar Belakang
D
alam Konstitusi, Pasal 28 I (2) UUD 1945 menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Hal ini berarti bahwa secara filosofis, Indonesia menjamin dan melindungi tiap warga negaranya dari sikap atau tindakan diskriminatif tanpa membeda-bedakan status sosial, ras, suku, budaya, agama, maupun jenis kelamin. Karena tindakan diskriminatif yang menyebabkan penguasaan dan dominasi terhadap salah satu kelompok warga tertentu merupakan sikap yang tidak berperikemanusiaan dan berperikeadilan, sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Dalam kenyataannya, masih ada diskriminasi dan pembedaan terhadap perempuan baik sebagai warga negara maupun sebagai manusia. Ini tergambar dalam pengakuan Indonesia di ranah Internasional bahwa memang terdapat diskriminasi dalam berbagai bentuk terhadap perempuan. Pengakuan tersebut dilakukan dengan ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on Elimination of All Form of Discrimination Against Women/CEDAW) dalam bentuk UU No. 7 Tahun 1984. Indonesia merupakan salah satu negara dari sekitar 182 negara di dunia yang telah meratifikasi Konvensi itu. Arti pengakuan bahwa masih ada diskriminasi terhadap perempuan ini berlatar belakang buruknya kondisi perempuan, dari sisi kesehatan dengan masih tingginya angka kematian ibu dan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan baik di ranah keluarga maupun komunitas; belum diakuinya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan sehingga kepentingannya tidak terwakili, dan lain-lain kondisi yang menyebabkan perempuan dalam kondisi yang tertinggal atau tidak setara dibandingkan dengan laki-laki. Padahal perempuan sudah memberikan sumbangan besar bagi kesejahteraan keluarga dan pembangunan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan terjadinya ketidakadilan
Perempuan Bergerak | Edisi I | Januari-Maret 2011
gender yang merupakan akibat dari budaya patriarkhi yang masih kuat berkembang di masyarakat dan dilanggengkan dalam berbagai kehidupan melalui praktikpraktik nilai-nilai budaya, sosial dan nilai-nilai kehidupan lainnya, telah membawa pembedaan akses, peminggiran, stereotype, beban yang berlebih, hingga pada kekerasan terhadap perempuan. Dampak tersebut terjadi di berbagai bidang kehidupan karena budaya patriarkhi sudah menginternal dalam pikiran-pikiran setiap individu anggota masyarakat yang seringkali berwujud pada tindakan-tindakan mereka ketika mereka berada di ranah publik maupun domestik karena kerja-kerjanya. Ketika ketidakadilan gender ini dibiarkan berlangsung terus menerus, maka akan menghambat perkembangan kemakmuran masyarakat dan menambah sukarnya perkembangan sepenuhnya dari potensi kaum perempuan dalam pengabdiannya terhadap negara dan terhadap umat manusia. Dan kondisi akan semakin parah bagi perempuan, ketika kemiskinan mendera, yang akhirnya menempatkan perempuan pada posisi yang paling sedikit mendapat kesempatan untuk memperoleh makanan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, pelatihan, maupun untuk memperoleh kesempatan kerja dan lain-lain kebutuhan. Oleh karenanya, kondisi ketidakadilan gender yang menimbulkan diskriminasi pada perempuan ini harus dirubah dan dihapuskan dengan langkah tindak sebagaimana yang dimandatkan dalam UU No. 7 Tahun 1984 beserta lampirannya. Dimana dalam UU tersebut pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk mempromosikan, memenuhi dan melindungi hak-hak perempuan di berbagai bidang kehidupan sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian Negara berkewajiban melakukan segala upaya untuk memberikan perlindungan, penjaminan dan pemenuhan hak untuk hidup aman, setara dan adil bagi warganegaranya, terutama bagi warganegara perempuan yang masih mengalami ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender di berbagai bidang kehidupan terutama di perdesaan. Peraturan tentang Kesetaraan Gender Upaya pengaturan dan jaminan secara hukum terhadap hak-hak perempuan di berbagai bidang kehidupan, merupakan salah satu upaya yang diharapkan dapat di-
lakukan oleh negara-negara pihak dari Konvensi CEDAW tersebut. Saat ini, ada sekitar 45 negara yang sudah mempunyai peraturan perundang-undangan tentang kesetaraan gender dalam berbagai bentuk peraturan. Secara umum, terdapat dua model pengaturan tentang kesetaraan gender ini. Yang pertama, peraturan yang isinya mencakup 16 pasal dalam CEDAW; yang kedua, peraturan yang bertujuan khusus mengatur satu atau dua bidang penting dalam CEDAW, misalnya tentang kekerasan berbasis gender, pendidikan atau diskriminasi terhadap perempuan. Peraturan tentang kesetaraan gender yang pertama di dunia adalah Peraturan tentang Kesetaraan Seks (Law on Sex Equality) yang dikeluarkan oleh Republik Rakyat Demokratik Korea pada 1946. Kemudian Undang-Undang tentang Kesetaraan Upah (Equal Pay Act) pada 1970 di UK dan Undang-Undang tentang Diskriminasi Seks (Sex Discrimination Act) pada 1975 di UK. Ketiganya merupakan peraturan sebelum ada konvensi CEDAW. Setelah ada konvensi CEDAW, terdapat Undang-Undang Diskriminasi Seks (Sex Discrimination Act) pada 1984 di Australia. Setelah itu, mulai diterbitkanlah peraturan maupun undang-undang sejenis di beberapa negara di Asia, Afrika dan Eropa. Indonesia merupakan salah satu negara yang saat ini sedang menggagas keberadaan perlunya pengaturan secara khusus yang menjamin kesetaraan gender. Pada periode legislasi nasional 2010-2014, pemerintah mengusulkan pembahasan RUU tentang Keadilan dan Kesetaraan Gender. Dan pada 2011 ini, RUU tersebut menjadi salah satu RUU prioritas pembahasan legislasi dan masuk dalam agenda pembahasan di Komisi VIII. Dan hingga Maret 2011 ini, ada dua versi draft yakni pertama, RUU tentang Kesetaraan Gender yang diusulkan dan disusun oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Kedua, RUU tentang Pengarus Utamaan Gender yang diusulkan dan disusun oleh Komisi VIII DPR-RI. Namun sampai sekarang belum dimulai pembahasan RUU tersebut. Saat ini, masyarakat sipil sedang menggagas untuk masukan dan kritisi terhadap dua draft yang ada. Karena berangkat dari filosofi kepentingan yang berbeda, maka Jaringan Advokasi Kesetaraan Gender bersepakat melalui workshop 11 Maret 2011 untuk membuat sandingan secara keseluruhan komsep pengaturan tentang kesetaraan gender. Hal ini karena draft RUU dari pemerintah dan DPR lebih menunjukkan pengaturan tentang tata kelola mainstreaming gender di Indonesia. Dan jika melihat lebih jauh, hak-hak perempuan yang spesifik belum menjadi hal penting dalam pengaturannya karena diletakkan pada penjelasan pasal dan belum jelasnya
kewajiban siapa dalam menjamin pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan dalam berbagai bidang. Oleh karena itu, beberapa usulan penting yang perlu diatur dalam RUU Kesetaraan Gender kelak adalah: 1) kewajiban negara dalam menjamin pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan; 2) perlu mengidentifikasi area pemenuhan dan perlindungan, apakah satu atau dua area tertentu, atau multi area dalam arti mengatur hak-hak perempuan diberbagai bidang; 3) perlu mengatur jelas tanggung jawab pihak-pihak terkati seperti lembaga negara, swasta maupun peran serta masyarakat dalam pemenuhan dan perlindungan hak perempuan; 4) perlu mendefinisikan secara jelas kesetaraan gender, ketidakadilan gender maupun diskriminasi gender termasuk didalamnya dampak dari ketidakadilan gender; 5) mekanisme pemenuhan dan perlindungan termasuk didalamnya mekanisme kelembagaan dan pembiayaan; 6) sanksi administratif maupun pidana bila terjadi pelanggaran terhadap hak-hak perempuan ataupun terjadinya diskriminasi akibat perbedaan jenis kelamin. Selain itu, RUU Kesetaraan Gender ini merupakan RUU yang sangat penting bagi perlindungan hak-hak perempuan di berbagai bidang, sehingga perlu dukungan dari semua pihak, tidak hanya dari kelompok perempuan, tetapi juga dari masyarakat, akademisi, penegak hukum, scientist, jurnalis maupun dari tokoh agama dan adat. Karena mereka merupakan stakeholder dalam RUU ini. Jadi sangat diperlukan sosialisasi secara terbuka dan membuka pintu selebar-lebarnya bagi partisipasi masyarakat dalam pembahasan nantinya, sebagaimana ketika dilakukan pembahasan UU No. 21/2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dengan adanya peraturan yang komprehensif melindungi hak asasi perempuan di berbagai bidang kehidupan, dan mengatur mekanisme perwujudan ke setaraan gender melalui berbagai langkah tindak dalam upaya pembangunan pembangunan nasional termasuk dalam proses pembentukan hukum dan peraturan perundangan, pengawasan keuangan negara, dan proses penegakkan hukum, maka hal ini merupakan pemenuhan prinsip kewajiban negara secara de jure dan de facto dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Disinilah kemudian jaminan konstitusi negara Indonesia bagi warga negaranya dapat diwujudkan, karena konstitusi tersebut perlu diturunkan dalam aturan dan jaminan pelaksanaan yang lebih detil lagi melalui peraturan perundang-undangan dibawahnya. Semoga cita-cita mewujudkan tatanan masyarakat yang berdasar pada kesetaraan dan keadilan gender dapat segera terwujud.***** *) Sekretaris di Sekretariat CWGI Edisi I | Januari-Maret 2011 |
Perempuan Bergerak
15
sosok
Menguatkan Posisi Tawar Perempuan dalam Musrenbang
S
iti Asmah, akrab di sapa Kak Asmah, dua tahun berinteraksi dengan masyarakat untuk memberikan pemahaman terkait Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), terutama di tingkat desa/ gampong di Aceh. Dia harus memastikan keterlibatan perempuan agar hak-hak perempuan dapat diakomodir dalam usulan Musrenbang. Perempuan yang lahir di Dompu, Nusa Tenggara Barat ini, menamatkan pendidikan sarjananya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Veteran Republik Indonesia tahun 1992. Pendampingan masyarakat telah digelutinya sejak tahun 1995 saat menjadi tenaga pendamping untuk desa tertinggal di Nusa Tenggara Barat. Saat ini Kak Asmah beraktifitas sebagai program manager di Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Aceh, dan terlibat dalam program Raising Her Voice (RHV) untuk mendorong keterlibatan perempuan dalam tata kelola pemerintahan. Melalui program tersebut, ia sering memfasilitasi dan memberikan pelatihan mengenai kesetaraan gender dan partisipasi perempuan dalam Musrenbang. Terkait Musrenbang, Asmah memberikan pandangannya mengenai kesetaraan gender dan partisipasi perempuan di Aceh yang masih sangat minim akibat masih kentalnya budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan. Selain itu, ia menyoroti kebijakan pemerintah Aceh yang bias gender, sehingga melemahkan ruang gerak dan posisi tawar perempuan. Berikut hasil tanya-jawab staf Kal yanamitra dengan Siti Asmah: Menurut anda, bagaimana kondisi kesetaraan gender di Indonesia dilihat dari kehidupan sosial, ekonomi dan budaya? Pada dasarnya, saya melihat bahwa kesetaraan gender dari segi apapun di Indonesia belum terintegrasi dengan baik. Hal ini akibat pengaruh budaya patriarkhi yang cukup kuat. Di daerah seperti di Aceh, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan masih sangat jauh. Hal ini juga akibat budaya dan pemahaman tentang syariat Islam yang beragam, bahkan ada beberapa desa/gampong sangat menolak istilah kesetaraan gender, karena pemahaman mereka bahwa perempuan tidak akan boleh setara dengan laki-laki. Namun bagi desa/gampong yang sudah ada intervensi program, seperti program Raising Her Voice (RHV), sedikit demi sedikit terjadi perubahan, walaupun tingkat kesetaraannya belum seimbang, namun minimal mulai diterapkan secara pelan-pelan tentang kesetaraan gender. Apa saja yang mendasari masih adanya ketimpangan gender di Indonesia?
16
Perempuan Bergerak | Edisi I | Januari-Maret 2011
Budaya patriarkhi yang sangat kental membuat lambannya proses penyadaran terhadap masyarakat, baik penyadaran terhadap laki-laki maupun perempuan. Bahkan ada sebagian masyarakat perempuan yang tidak menerima tentang kesetaraan gender. Ini karena minimnya pemahaman perempuan tentang kesetaraan gender. Pemahaman dan asumsi tentang agama yang cukup beragam juga mempengaruhi ketimpangan gender, misalnya di Aceh masih banyak pihak tertentu menganggap bahwa perempuan tak layak menjadi pemimpin dengan alasan, bahwa perempuan tidak bisa menjadi imam bagi laki-laki. Mengaitkan antara pemimpin dan imam, dapat mempengaruhi posisi perempuan untuk menjadi pemimpin. Asumsi ini sering dijadikan senjata bagi para ulama dan masyarakat yang tidak menginginkan perempuan menduduki posisi strategis baik di pemerintahan maupun struktur organisasi lokal. Di Aceh, pengaruh ulama cukup tinggi dan hal ini menjadi tantangan bagi lembaga-lembaga yang bekerja pada isu partisipasi perempuan. Apakah negara telah mendorong lahirnya kesetaraan gender dalam kehidupan masyarakat? Negara sudah mulai mendorong, namun belum sepenuhnya dapat terintegrasi dengan baik (masih setengah hati). Ini terbukti dengan tidak seriusnya negara menjamin kesetaraan gender, misalnya rendahnya alokasi dana untuk peningkatan kesejahteraan perempuan. Peran Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak masih sangat lemah, sehingga berpengaruh pada kekuatan struktur kelembagaan sampai ke tingkat Kabupaten. Rata-rata Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengelola anggaran sangat minim, sehingga tak mampu melakukan perubahan untuk kesetaraan gender. Selain itu, kuota 30% keterwakilan perempuan di lembaga pengambil kebijakan belum mampu mendorong adanya perubahan yang serius. Ini akibat negara ini belum ikhlas untuk melakukan upaya tersebut, karena baru sekadar himbauan dan keprihatinan, bukan upaya nyata yang harus diterapkan, sehingga jangan heran bila di tingkat masyarakat upaya kesetaraan gender sulit untuk diimplementasikan. Bagaimana dengan kebijakan yang sudah ada? Secara nasional, upaya kesetaraan gender sudah diterapkan. Ini dibuktikan dengan lahirnya kebijakan-kebijakan yang mampu mengakomodir kebutuhan laki-laki dan perempuan, walaupun belum menjamin kesetaraan gender. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya posisi tawar
perempuan terhadap lembaga-lembaga pengambil kebijakan, misalnya rendahnya perempuan menduduki posisi strategis baik di lembaga eksekutif maupun di lembaga legislatif Otonomi daerah juga membuat kebijakan tidak terintegrasi dengan baik sampai di tingkatan yang terendah. Misalnya, Otonomi khusus yang terjadi di Aceh membuat para pemangku kebijakan mengeluarkan aturan sesuai kehendak mereka tanpa mempertimbangkan nilai kesetaraan gender dari aturan tersebut. Sebagai contoh, aturan tentang syariat Islam di Aceh yang mewajibkan berbusana muslim bagi perempuan dengan tanpa memahami standar busana muslim seperti apa. Hal ini menjadikan ruang gerak perempuan sangat diatur oleh mereka yang membuat kebijakan dengan standar asumsi-asumsi yang ada dalam pikiran mereka, misalnya terjadi pemerkosaan disebabkan karena pakaian perempuan yang tidak islami, bahkan masih banyak asumsi yang memang tujuannya untuk melemahkan posisi perempuan. Bagaimana peluang perempuan dalam partisipasi di ruang publik? Kebijakan seperti apa yang seharusnya dilahirkan agar partisipasi perempuan di ruang publik meningkat? Sebenarnya, dari segi potensi perempuan memiliki potensi yang cukup baik dan tidak kalah dengan laki-laki. Yang paling penting bagaimana ruang partisipasi bagi perempuan betul-betul dibuka lebar, sehingga mereka dengan aman dan nyaman menikmati ruang tersebut. Tetapi, kenyataan selama ini menunjukan bahwa kesempatan itu diberikan kepada perempuan hanya pada kesempatankesempatan tertentu, yang sebetulnya tidak menguntungkan bagi mereka. Namun ketika ruang itu menguntungkan bagi perempuan, justru sering diabaikan malah peran perempuan sering dipersulit dan dipersempit. Bagaimanakah keterlibatan perempuan dalam Musrenbang? Di Aceh pada masa konflik, partisipasi perempuan sangat minim untuk terlibat dalam proses Musrenbang, bahkan cukup banyak desa di Aceh belum melakukan mekanisme Musrenbang sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri), apalagi melakukan Musrenbang partisipatif. Program Raising Her Voice (RHV) mencoba mendorong aparatur pemerintah mulai dari tingkat gampong sampai tingkat kabupaten untuk melakukan Musrenbang partisipatif. Hasil yang dicapai yakni 12 desa dampingan program RHV telah melakukan Musrenbang partisipatif dan melahirkan RPJMG (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Gampong) dan RKPG (Rencana Kerja Pembangunan Gampong) yang partisipatif. Pandangan saya, keterlibatan perempuan dalam proses Musrenbang masih sangat minim, kecuali desa-desa tertentu, yang ada intervensi program seperti yang dilakukan oleh program RHV sekarang. Maka penting, menurut saya, untuk kita dorong secara bersama-sama tentang partisipasi perempuan dalam proses Musrenbang.
Bagaimana perempuan terlibat dalam proses advokasi kebijakan? Peran perempuan dalam melakukan advokasi kebijakan sudah mulai kelihatan, bahkan semangat untuk mendorong perubahan cukup tinggi. Terbukti dengan mening katnya jumlah organisasi perempuan dan banyaknya isu yang diperjuangkan. Misalnya di Aceh, saat ini gerakan perempuan sering melakukan advokasi terhadap kebijakan yang merugikan perempuan seperti dibatasinya hak perempuan untuk menjadi pemimpin, advokasi anggaran, dan lain-lain. Walaupun perubahan sulit untuk dilakukan, namun kepedulian perempuan cukup tinggi untuk melakukan advokasi. Menurut anda, peran kunci dan kontribusi apa yang dapat dikerjakan pemerintah, LSM, dan lainnya untuk mendorong partisipasi perempuan di ruang publik? Pertama, adanya kebijakan pemerintah yang serius terhadap isu partisipasi, kemudian mengawal kebijakan tersebut, apakah sudah terlaksana dengan baik dan tepat sasaran. Kemudian melakukan pendampingan dan pendidikan kritis terhadap masyarakat baik laki-laki maupun perempuan. Dan terakhir, mendorong pemerintah untuk mengalokasikan anggaran yang responsif gender. Apa saja yang menjadi tantangan perempuan untuk dapat berpartisipasi di ruang pablik? Bagaimana mengantisipasinya? Dari diri perempuan sendiri, tingkat pendidikan dan kepercayaan diri yang masih rendah membuat perempuan tidak percaya diri untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan. Kesibukan perempuan di ranah domestik juga mempengaruhi partisipasi mereka di ruang publik. Budaya patriarkhi yang cukup tinggi di Indonesia sangat melemahkan posisi tawar perempuan di ruang publik, misalnya asumsi yang terjadi di Aceh bahwa perempuan tidak perlu ikut musyawarah, tetapi cukup mendengar informasi dari laki-laki, karena mereka beranggapan bahwa musyawarah di tingkat gampong adalah ruang bagi lakilaki. Penafsiran agama yang berbeda-beda pun mempengaruhi perempuan untuk beraktivitas. Cara mengantisipasinya dengan melakukan penyadaran terhadap perempuan itu sendiri, melakukan pendidikan kritis, dan melakukan penyadaran bagi laki-laki, serta mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang adil gender. Apa strateginya yang dapat dilakukan? Strategi yang dapat dilakukan adalah melakukan komunikasi dan koordinasi dengan para pihak, memperluas jaringan kerja, mengidentifikasi lembaga dan institusi yang memiliki kepedulian yang sama tentang isu kesetaraan gender, melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat atau tokoh kunci lainnya yang memiliki pengaruh kuat dan memiliki kesepahaman yang sama terhadap isu keadilan gender. *****(IK) Edisi I | Januari-Maret 2011 |
Perempuan Bergerak
17
bedah film
TKW: Pahlawan Devisa Tanpa Perlindungan Negara “Memangnya jadi TKW itu cita-citamu? Mentang-mentang sebutannya pahlawan devisa terus kamu dihargai sama negara?” Dialog kritis dan tajam ini terjadi di penampungan calon TKW yang merupakan adegan pembuka film Minggu Pagi di Victoria Park. Film ini mengkisahkan sebagian kehidupan lebih dari 8 juta TKW yang bekerja di luar negeri. Meskipun mereka menyumbang penerimaan devisa negara lebih dari 6 milyar dolar dan disebut sebagai pahlawan devisa, namun kehidupannya sangat tragis. Sayangnya, tidak semua calon TKW berpikiran kritis melihat sesuatu yang terjadi. Menjadi seorang TKW mungkin memang bukan citacita sebagian besar perempuan Indonesia, yang mengadu nasibnya ke negera orang. Apalagi terpikir sebelumnya, bahwa ia akan tinggal jauh dari keluarga, bahkan meninggalkan anak-anak yang masih balita. Ketika lapangan kerja sudah tidak bisa didapat dan himpitan ekonomi terus menekan, tak ada pilihan, hidup jauh di negara orang akhirnya harus dijalani. Sering sesuatu yang telah menjadi pilihan itu tak memberikan banyak pilihan karena lapangan kerja yang tersedia hanyalah di sektor informal atau domestik, yakni menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Hal tersebut seakan-akan memberikan penegasan bahwa ruang domestik adalah ruang bagi perempuan dan publik adalah ruang bagi laki-laki. Seperti yang dialami Mayang, tokoh utama di film
Minggu Pagi di Victoria Park. Bekerja di Hong Kong, memang bukan pilihannya, namun dia terpaksa pergi ke Hong Kong atas desakan bapaknya. Tanpa sepengetahuannya, bapaknya sudah mendaftarkan dia untuk bekerja di luar negeri. Dua tahun sebelumnya, Sekar, adiknya juga telah pergi ke Hong Kong, dia rajin mengirimkan uang sehingga bapaknya bisa membuat rumahnya bagus, bisa beli kulkas, bisa kredit sepeda motor dan lain sebagainya. Keberhasilan Sekar menjadi kebanggan tersendiri bagi bapaknya, yang akhirnya memandang sinis pekerjaan sebagai buruh pabrik tebu yang telah bertahun-tahun Mayang jalani. “Pirang-pirang tahun kerjo ning kebon tebu gak ono hasile, seje karo Sekar, baru beberapa bulan kerja sudah bisa bikin rumahku bagus, aku iso tuku kulkas, kredit sepeda motor, ternak kambing”, demikian katanya. Sementara, ibunya, sosok perempuan desa yang harus selalu nurut terhadap suami dan tidak bisa ikut mengambil keputusan dalam rumah tangga. Walaupun dia tidak setuju, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Segala keputusan yang diambil oleh suaminya harus dilaksanakan, tidak boleh diganggu gugat. Persoalan yang dihadapi oleh ibunya Mayang adalah gambaran bagaimana perempuan di pedesaan masih sangat lemah dan tidak bisa ikut mengambil keputusan. Dari kecil perempuan selalu harus nurut terhadap bapaknya, ketika sudah bekeluarga, dia pun harus patuh dengan Judul Sutradara Penulis Produser Produksi Durasi Pemain
18
Perempuan Bergerak | Edisi I | Januari-Maret 2011
: Minggu Pagi di Victoria Park : Lola Amaria : Titien Wattimena : Sabrang Mowo Damar Panuluh & Dewi Umaya Rachman : Pic[k]lock Production : 97 menit : Lola Amaria, Titi Sjuman, Donny Alamsyah, Donny Damara, Imelda Soraya, Permatasari Harahap
suaminya. Hal tersebut yang kemudian menjadikan peran perempuan di ruang publik tidak ada. Bisa dibayangkan, dalam tataran rumah tangga saja dia tidak diberi hak untuk mengeluarkan pendapat, lantas bagaimana dengan tataran yang lebih luas, tingkat masyarakat? Masih lemahnya posisi perempuan baik di keluarga, komunitas maupun masyarakat menjadikan posisi perempuan rentan. Perempuan sering dianggap tidak punya hak atas dirinya, dia tidak bisa mengambil keputusan bahkan untuk tubuhnya sendiri. Kasus yang dialami Mayang, mungkin juga dialami oleh perempuan-perempuan lain yang berada di luar negeri, mereka berada di sana bukan atas kehendaknya, melainkan atas keinginan orang-orang terdekatnya. Lebih tragis lagi, beberapa orang dari mereka mungkin adalah korban trafficking. Saat ini, Tenaga Kerja Indonesia tersebar di 30 Negara. Mereka menyumbang pemasukan bagi negara totalnya, tahun 2009, sekitar U$ 6.615.719.900,56. Sementara itu, 97,2% TKI di luar negeri adalah perempuan. Jika separuhnya adalah ibu rumah tangga yang memiliki 2 orang anak, maka ada sekitar 8,5 juta anak Indonesia yang tidak merasakan dekapan ibunya selama bertahuntahun. Dan ada 66% TKI di luar negeri yang bekerja di sektor informal. Nyaris semuanya perempuan yang bekerja sebagai PRT. Sebutan sebagai pahlawan devisa tidak diiringi dengan perlindungan hukum bagi mereka. Dialog-dialog kritis yang dikemas ringan sering terjadi dalam film ini. Misalnya, ketika Mayang dan Sari, dua orang tenaga kerja wanita asal Indonesia sama-sama pergi mengantarkan anak majikannya sekolah, mereka membicarakan mengenai sebutan pahlawan devisa bagi mereka. “Orang-orang asyik namain kita macam-macam, kayak mereka yang paling tahu artinya. Mereka berkoar-koar tentang kita, tapi tidak pernah ngelakuin apa-apa juga, padahal mereka yang makan duit kita yang kita kasih ke negara ya lewat devisa itu tadi”, ungkap Sari dengan nada kesal, karena minimnya perlindungan yang diberikan negara terhadap warganya, yang bekerja di negara orang. Victoria Park yang menjadi judul dari film ini adalah salah satu wilayah di Hong Kong, di mana setiap hari minggu--ketika tenaga kerja wanita dibebastugaskan--mereka berkumpul dan bercengkrama di tempat itu. Pekerja di Hong Kong mungkin lebih beruntung bila dibandingkan dengan pekerja di negara lain, misalnya di Arab Saudi atau di Malaysia, karena di Hong Kong setiap hari minggu mereka mendapatkan libur, sementara di negara lain hal tersebut masih diperjuangkan. Di samping itu, kehidupan glamour yang sangat mengoda, dengan beaya tinggi menjadi satu daya tarik tersendiri bagi TKW. Ingin merasakan kehidupan mewah
di negeri orang menjadi cita-cita yang akhirnya muncul. Namun sebagai TKW, sering mereka terikat kontrak tidak menerima gaji selama 7 bulan pertama. Berpikir bahwa setelah itu akan mendapatkan gaji yang lumayan besar, maka meminjam uang di super kredit misalnya, menjadi pilihan. Padahal meminjam uang di tempat seperti itu dikenakan bunga yang sangat besar, bahkan ketika seseorang tak dapat membayarkannya hutangnya, bunganya lebih tinggi dari hutangnya. Hal itu yang dialami oleh Sekar. Untuk membahagiakan kedua orang tuanya, ia rajin mengirimkan uang ke kampung halamannya, yang akhirnya membuatnya terjerat dalam lingkaran hutang. Dia pun tidak bisa meninggalkan Hong Kong karena paspornya dipegang oleh pihak pemberi hutang. Kerja serabutan, seperti mencuci piring, mengantarkan orang tua jalan-jalan, bahkan menjadi pelacur, adalah pekerjaan yang terpaksa harus jalankan. Walaupun begitu, dia tetap tidak dapat membayar hutangnya, karena bunganya sangat tinggi. Mayang mungkin salah satu TKW yang beruntung, karena dia mendapatkan majikan yang sangat baik. Film ini memang tidak mengungkap tentang kekerasan yang sering dialami TKW. Film ini memberikan gambaran bahwa tidak semua TKW menderita, ada TKW-TKW yang sukses dan mendapatkan majikan yang sangat baik. Namun sebagai pekerja rumah tangga, yang tinggal dalam lingkup domestik, ketakutan-ketakutan itu tentu ada. Seperti salah satu adegan, ketika majikan lakilakinya pulang mendadak pada siang hari, dimana saat itu tidak ada orang lain selain dirinya, rasa cemas akan terjadi sesuatu menghantuinya. Sehingga, ketika bekerja pun dihantui rasa tidak aman. Hal tersebut sering dialami oleh TKW-TKW lainnya, dimana di dalam rumah majikannya mereka tidak mempunyai posisi tawar, sehingga ketika terjadi sesuatu, seperti kekerasan ataupun pelecehan seksual hingga perkosaan, mereka tidak bisa berbuat banyak. Selain masalah terjerat hutang, oleh super kredit misalnya, para TKW juga sering dimanfaatkan oleh laki-laki. Mereka diminta untuk memenuhi kebutuhan sang pacar dan menjadi mesin pencetak uang bagi sang pacar. Seperti yang dialami oleh Sari, ia dimanfaatkan oleh pacarnya dengan harus membelikan barang-barang dengan harga mahal. Sementara, sang pacar tidak benar-benar mencintainya dia hanya menginginkan uangnya. Sari baru tersadarkan akan hal tersebut setelah dia mendapatkan kekerasan dari pacarnya. Ternyata, apa yang selama ini ia lakukan, pengorbanannya tidak berarti apa-apa. Dalam film ini, penonton disajikan tata sinematografi yang cukup menarik mengenai lingkungan sekitar Hong Kong yang memberikan tambahan mengenai bagaimana kehidupan para TKW kita di negara orang. *****(JK) Edisi I | Januari-Maret 2011 |
Perempuan Bergerak
19
bedah buku
Musrenbang Milik Perempuan Lho!
M
usrenbang atau Musyawarah Perencanaan Pembangunan sendiri diatur dalam UndangUndang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Musrenbang, menurut UU ini, adalah wadah bertemunya pemerintah/pemerintah daerah dan masyarakat untuk menyusun rencana pembangunan nasional dan daerah. Pertemuan ini terbuka bagi seluruh warga, baik laki-laki maupun perempuan, untuk memberikan masukan terhadap rencana pembangunan tersebut berdasarkan kebutuhan desa/kampung/warga. Tujuan Musrenbang adalah menampung dan menetapkan kegiatan prioritas sesuai kebutuhan masyarakat, yang diperoleh dari musyawarah perencanaan sesuai dengan tingkatan di bawahnya dan menetapkan kegiatan-kegiatan tersebut apakah akan dibiayai oleh APBD (Anggaran Perencanaan Belanja Daerah) atau sumber dana lainnya. Mengenai anggaran/pendanaan tiap kegiatan tersebut harus diketahui oleh masyarakat, karena dalam Musrenbang ada tahapan penyusunan dan pembahasan anggaran. Untuk melaksanakan Musrenbang, setidaknya 7 hari sebelumnya, undangan harus dibagikan ataupun diu-
mumkan oleh kepala kampung, RT/RW kepada seluruh warga agar warga punya waktu untuk mendaftarkan diri. Tidak berhenti sampai di tingkat desa, masyarakat harus tetap mengawasi pelaksanaan Musrenbang tingkat kecamatan sampai kabupaten agar usulan warga tetap masuk dalam program di dinas atau pemerintah dan tidak dihapus di tengah jalan. Selain itu, karena penentuan jadi atau tidaknya program yang diusulkan warga justru saat Musrenbang di Kabupaten. Di atas semua itu, yang paling penting dalam proses Musrenbang adalah partisipasi seluruh warga, khususnya perempuan yang selama ini sangat jarang berada di ruang publik. Oleh karena adanya pembedaan gender oleh masyarakat dan dilanggengkan yang menyebabkan hubungan laki-laki dan perempuan menjadi timpang. Hubungan yang timpang tersebut mengakibatkan posisi perempuan yang seharusnya sejajar/setara dengan laki-laki, ditempatkan lebih rendah dari laki-laki dan membuat ruang gerak perempuan menjadi sempit/terbatas. Oleh sebab itu, perempuan hanya ditempatkan untuk kegiatan di dalam rumah (ruang privat), seperti mengurusi rumah tangga, melakukan pekerjaan rumah tangga, dan pekerjaan rumah
Judul Tim Kreatif Editor Penerbit Cetakan Halaman
20
Perempuan Bergerak | Edisi I | Januari-Maret 2011
: - Musrenbang: Dari Kitong untuk Kampung - Meretas Perubahan dari Bawah - Kesetaraan Gender : Arifadi Budiarjo, dkk. : Hegel Terome, dkk. : Yayasan Kalyanamitra dan OXFAM : 2010 : v+56 hlm, v+64 hlm, v+64 hlm
lainnya. Kalau pun berada di ruang publik, itu hanya membantu pekerjaan suami atau bekerja untuk mencari nafkah untuk membantu suami. Dalam posisi itu, perempuan tetap tidak memiliki posisi tawar yang baik, seperti mengambil keputusan di keluarga. Perempuan dianggap tidak rasional melainkan emosional, sehingga tidak mampu untuk mengambil keputusan. Keterlibatan perempuan dalam Musrenbang diharapkan tidak hanya menjadi pemanis atau penghidang jamuan rapat, tetapi benar-benar terlibat aktif untuk memperjuangkan kebutuhan kampung karena perempuanlah yang sehari-hari mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat. Musrenbang: Dari Kitong Untuk Kampung Komik “Musrenbang: Dari Kitong untuk Kampung” adalah judul komik yang berlatar belakang pedalaman Papua. Kampung Kenari adalah kampung kecil di balik perbukitan tanah Papua. Dan hamparan Danau Paniai yang indah merupakan latar belakang cerita komik. Digambarkan dalam komik ini bagaimana kehidupan warga Kampung Kanari yang sangat sederhana. Kesejahteraan warganya masih kurang, banyak anak kecil tidak mendapatkan gizi yang cukup. Begitu pula dengan layanan publik seperti sekolah, puskesmas, jauh dari memadai. Namun, perempuan di desa Kanari merupakan sosok perempuan yang hebat. Selain mengurus rumah tangga, sehari-hari mereka juga bekerja di kebun untuk memenuhi kehidupannya. Mama Emaria adalah tokoh perempuan yang diceritakan dalam komik tersebut. Cerita bermula dari kepulangan Joan, anak perempuan Mama Emaria yang adalah seorang mahasiswi Universitas Cenderawasih. Joan resah melihat kondisi desanya dimana posyandu tidak aktif dan sekolah tidak ada gurunya. Joan pun bertanya kepada mamanya kenapa hal tersebut bisa terjadi dan kenapa tidak diusulkan melalui musrenbang. Mendengar ternyata ada forum semacam musrenbang, dimana bisa digunakan untuk mengajukan kebutuhan kampungnya, Mama Emaria sangat bersemangat. Akhirnya, dia menyebarkan informasi tersebut kepada warga. Pelatihan tentang musrenbang pun akhirnya dilaksanakan, walaupun awalnya mendapatkan perlawanan dari laki-laki yang ada di desa tersebut. Di akhir cerita, masyarakat sangat bahagia karena bisa mengikuti proses musrenbang dan mengusulkan apa yang menjadi kebutuhannya. Meretas Perubahan dari Bawah Aceh pasca tsunami merupakan latar yang diam-
bil dalam cerita komik ini. Setelah enam tahun pasca tsunami, Gampong Bungong Jeumpa, di dataran rendah Aceh Utara, walaupun tidak parah, namun gampong tersebut juga terkena tsunami. Sarana umum dan rumah penduduk telah dibangun kembali, begitu pun kegiatan ekonomi telah pulih. Namun ada persoalan lain yang luput dari perhatian, yakni sumber air bersih warga yang belum tersentuh perbaikan. Di samping itu, letaknya jauh dari pemukiman warga dan airnya selalu keruh dan kotor. Selain air bersih, layanan pendidikan dan kesehatan di gampong tersebut juga jauh dari memadai. Bangunan sekolah dan polindes yang tidak layak, serta tenaga guru dan petugas medis jumlahnya sangat terbatas. Perbaikan sarana umum pernah diajukan kepada pemerintah desa, namun belum juga diperbaiki. Keresahan-keresahan tersebut yang mendorong perempuan-perempuan di wilayah ini ingin mengetahui lebih banyak soal musrenbang, setelah sebelumnya hanya mengetahui sekilas tentang itu dari salah satu aktivis LSM. Akhirnya melalui Yusma, salah satu tokoh di komik tersebut, perempuan-perempuan di gampong tersebut bisa belajar banyak soal musrenbang dan ikut dalam proses musrenbang. Kesetaraan Gender Komik ini berbicara mengenai konsep dasar dari gender itu sendiri. Kata gender mungkin selama ini sudah sering didengar melalui banyak media, tetapi sering kata tersebut tidak pernah dipahami. Gender kerap dipahami sebagai jenis kelamin, padahal gender adalah perbedaan sifat dan peran pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh masyarakat. Perbedaan itu diterima dan diyakini benar adanya oleh masyarakat, kemudian keyakinan dan kebenaran itu diproduksi secara masif dalam keluarga, komunitas, maysrakat dan negara, sehingga menjadi langgeng. Komik ini dibagi menjadi 4 bab; bab 1 bercerita mengenai mengenal gender, bab dua berbicara mengenai Ketidakadilan gender, bab 3 berbicara mengenai strategi untuk perubahan dan bab 4 berbicara mengenai kepemimpinan perempuan. Ketiga komik tersebut merupakan satu rang kaian, karena ketika berbicara mengenai partisipasi perempuan di dalam musrenbang, masyarakat harus memahami mengenai kesetaraan gender dan penyebab-penyebab mengapa terjadi ketidakadilan gender. Setelah masyarakat mempunyai kesadaran akan kesetaraan gender, maka ruang-ruang partisipasi perempuan baik dalam ranah privat maupun publik dapat terbuka lebar dan tidak ada lagi dikriminasi terhadap perempuan terjadi. *****(NT) Edisi I | Januari-Maret 2011 | Perempuan Bergerak
21
puisi
Negeriku Sayang, Negeriku Kacau, Negeriku Terpuruk Oleh: Budiyah Berabad sudah kau berdiri Dari ribuan tetes darah pahlawan Berjuang tuk raih merdeka Bagi tunas-tunas putra bangsa Berpendar harap meraih langit Gapai bintang dalam genggaman Negara merdeka sudah dikumandangkan Gelegar pekik memekakan telinga Jutaan asa berharap, negeri impian kan terwujud Miris rasa dalam hati Melihat ibu bertiwi berderai tangis Tak kulihat senyum itu Yang tlah hilang ditelan zaman
Awal Kebangkitan Perempuan Oleh: Eni Rochayati Malam mulai larut Rasa kantuk tak lagi tertahan Namun….. Tiba-tiba terjaga Ingat akan apa yang dapat diperbuat Pikiranku berlari cepat Semangat menggebu, berlari Mengejar semangat Mencipta angan
mengajak
Bangkit dan bangkit Wahai perempuan Kini saat untuk kau bangkit Bangun dan berkarya Mencipta apa yang mau Kebebasan telah kau miliki
Perempuan Oleh: Eni Rochayati Perempuan! Kau tak lagi sendiri Kau tak lagi bermimpi Berkacalah Ketika keterpurukan negeri ini Belalaklah matamu Apa yang bisa kau lakukan Demi diri Ukirlah karyamu Himpunlah kekuatanmu Ciptakanlah keinginanmu hiduplah dirimu Dari karyamu Esok….tak lagi terdengar rengekan Rintihan, dan tangis darimu Perempuan Kau telah mampu bangkit dan mencipta Karyamu pembangkit generasi
Carut marut disegala penjuru Bencana datang tak terhitung Masihkan diri berbangga hati Jadi bangun negeri ini
pojok kata
(puisi-puisi hasil workshop menulis kreatif pada 18 hingga 26 November 2010 di Kalyanamitra)
22
Bias Gender
Gender
B
G
ias Gender adalah pandangan dan sikap yang mengutamakan salah satu jenis kelamin. Bias gender lebih sering merugikan perempuan daripada laki-laki karena pemahaman yang dianut adalah perempuan lebih lemah dibandingkan laki-laki, sehingga dianggap tidak mampu melakukan segala hal yang dapat dilakukan oleh laki-laki.
Perempuan Bergerak | Edisi I | Januari-Maret 2011
ender adalah perbedaan sifat dan peran pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh masyarakat. Perbedaan itu diterima dan diyakini benar adanya oleh masyarakat. Kemudian keyakinan dan kebenaran itu diproduksi secara massif dalam keluarga, komunitas, masyarakat dan negara sehingga menjadi langgeng. Gender dibentuk oleh masyarakat, maka bukanlah kodrat, melainkan tatanan yang dapat diubah dan dipertukarkan. Maka, sifat dan peran lakilaki dan perempuan dapat diubah dan dipertukarkan.
K
esadaran gender adalah kesadaran mengenai persamaan peran, fungsi, dan hak antara laki-laki dan perempuan dalam tatanan keluarga, komunitas, masyarakat, dan negara. Kesadaran ini harus ditanamkan sejak kecil agar menghambat ketimpangan gender dalam tatanan tersebut. Menumbuhkan kesadaran ini menjadi cara efektif untuk menghapuskan ketidak-setaraan antara perempuan dan laki-laki.
Kesetaraan Gender
K
esetaraan Gender artinya kesamaan peluang, kesempatan, dan hak antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, politik, sosial; dan di ruang publik maupun privat. Kesetaraan gender akan mendorong kemajuan dalam masyarakat karena tiap orang dapat berperan aktif dalam pembangunan. Kesetaraan gender harus dibangun mulai dari pembagian peran di rumah tangga sampai di tingkat negara.
Ketidak-adilan Gender
K
etidak-adilan gender berarti tidak ada keseimbangan peran, hak dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan di dalam rumah tangga, komunitas, masyarakat, dan negara. Ketidak-adilan ini berakar pada dominannya kekuasaan laki-laki sehingga menutup ruang partisipasi perempuan dalam kehidupan publik. Perempuan direndahkan posisinya hanya untuk mengurus rumah tangga. Partisipasi yang rendah mengakibatkan penilaian terhadap peran laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Subordinasi
S
ubordinasi berarti menempatkan atau memposisikan perempuan lebih rendah kedudukannya daripada laki-laki. Dalam hal ini, laki-laki menjadi pelaku yang mengendalikan perempuan. Subordinasi mengakibatkan perempuan kehilangan akses dan posisi tawarnya.
Stereotipe
S
tereotipe adalah anggapan mengenai individu, kelompok, atau objek tertentu. Stereotipe dilekatkan berdasarkan ciri dan sifat yang terbangun dan terbentuk oleh masyarakat. Ciri dan sifat yang baik cen derung dilekatkan pada laki-laki, sehingga membentuk
kelompok yang unggul, sedangkan ciri dan sifat perempuan cenderung dilekatkan secara negatif.
Marginalisasi
M
arginalisasi adalah proses peminggiran. Dalam hal ini, peminggirian perempuan dari akses sumberdaya untuk pemenuhan hak-hak asasinya. Margi nalisasi terhadap perempuan terjadi akibat ketimpangan kuasa antara laki-laki dan perempuan. Juga terjadi akibat pola hubungan (sistem) yang lebih mengutamakan keuntungan golongan tertentu dibandingkan akses dan kontrol perempuan terhadap sumber daya.
pojok kata
Kesadaran Gender
Musrenbang
M
usrenbang, kependekan dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan, sejatinya adalah forum penjaringan aspirasi masyarakat yang diselenggarakan secara berjenjang dari tingkat kelurahan, kecamatan, dan kota/kabupaten. Hasilnya adalah Rencana Kerja Pemerintah Daerah yang berfungsi sebagai dokumen perencanaan tahunan. Di tingkat nasional, untuk menyusun Rencana Kerja Pemerintah Pusat yang berfungsi sebagai dokumen perencanaan tahunan nasional.
Partisipasi Politik
P
artisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.
Satuan Kerja Perangkat Desa (SKPD)
S
atuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) adalah Unit Kerja Pemerintah Daerah yang mempunyai tugas mengelola anggaran dan barang daerah.
Perencanaan
P
erencanaan adalah proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang ada.
Pembangunan Daerah
P
embangunan daerah adalah perubahan yang dilakukan secara terus-menerus dan terencana oleh seluruh komponen di daerah untuk mewujudkan visi daerah. *****(JK) Edisi I | Januari-Maret 2011 |
Perempuan Bergerak
23