daftar isi
Perempuan Bergerak
warta komunitas Pangan Lokal Dapat Bertahan
Edisi II April-Juni 2011
opini Revisi UU Pangan: Mengembalikan Sumber-Sumber Pangan Perempuan
13 14
sosok Kisah Sedih Sang Pengais Beras
16
bedah film Laut Jiwa Raga Kita
18 rembug perempuan Akses dan Kontrol atas Pangan: Di Mana Perempuan?
3
fokus utama Perempuan dan Kedaulatan Pangan: Tantangan Indonesia yang Mendesak
4
perspektif Pemerintah Harus Menjamin Hak Pangan Setiap Warganya
6
warta perempuan Akses Pangan: Di Manakah Ruang Bagi Perempuan
10
bedah buku
20 Pangan adalah Kekuasaan puisi
22 pojok kata 23 Pangan 23 Sistem Pangan 23 Keamanan Pangan 23 Produksi Pangan 23 Perdagangan Pangan 23 Gizi Pangan 23 Ketahanan Pangan 23 Kemandirian Pangan 23 Kedaulatan Pangan 23 Hak Atas Pangan
Perempuan Bergerak Penanggung Jawab: Rena Herdiyani Pemimpin Redaksi: Hegel Terome Redaktur Pelaksana: Joko Sulistyo Redaksi: Naning Ratningsih, Listyowati, Nani Ekawaty, Rakhmayuni, Ika Agustina Desain visual: Joko Sulistyo Distribusi : Enita Multina Perempuan Bergerak merupakan media yang memuat pandangan-pandangan yang membangun kesadaran kritis kaum perempuan di seluruh Indonesia sehingga memberdayakan dan menguatkan mereka. Kekuatan bersama kaum perempuan yang terbangunkan itu merupakan sendi-sendi penting terdorongnya gerakan perempuan dan sosial umumnya untuk menuju masyarakat yang demokratis, setara, tidak diskriminatif dan tidak subordinatif. Redaksi menerima kritik, saran dan sumbangan berupa surat pembaca, artikel dan foto jurnalistik. Naskah, artikel dan foto jurnalistik yang diterima redaksi adalah yang tidak anti demokrasi, anti kerakyatan, diskriminatif dan bias gender. Naskah tulis diketik pada kertas A4, spasi satu, huruf Arial 12, maksimal 3 halaman dalam bentuk file atau print-out. Alamat Redaksi dan Iklan: Jl.Kaca Jendela II No.9 Rawajati-Kalibata, Jakarta Selatan 12750. Telp: 021-7902109; Fax: 021-7902112; Email :
[email protected]; Website : www.kalyanamitra.or.id Untuk berlangganan Perempuan Bergerak secara rutin, kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Redaksi menerima sumbangan pengganti biaya cetak Rp. 10.000,- dan biaya pengiriman di rekening sesuai kota tujuan. Transfer ke Rekening Bank Bukopin Kantor Kas Plaza Kalibata, No. Rekening 4206200202 a/n. Yayasan Kalyanamitra.
2
Perempuan Bergerak | Edisi II | April - Juni 2011
Pangan adalah hak dasar tiap orang, termasuk perempuan. Pangan dibutuhkan tubuh untuk tumbuh, berkembang, beraktivitas dan berproduksi. Tentu pangan yang mempunyai nilai gizi dan terbebas dari bahan-bahan berbahaya secara fisik, biologi maupun kimia. Perempuan secara khusus membutuhkan asupan gizi yang lebih banyak daripada laki-laki, terutama bagi mereka yang sedang hamil dan menyusui.
Pola konsumsi makanan masyarakat merupakan
penyumbang terjadinya gizi
buruk
karena
dipengaruhi oleh bagaimana
mereka mengakses pangan
Perempuan sering dianggap orang yang bertanggung jawab terhadap penyediaan pangan bagi keluarganya. Ketika sumberdaya pangan terbatas, perempuan harus berpikir keras bagaimana caranya memperoleh makanan bagi keluarganya dengan cara apapun dan mencarinya di sekitar rumahnya atau lingkungannya. Sayangnya budaya patriarkat masih dianut di banyak wilayah membuat akses perempuan terhadap pangan terbatas. Ketika kebutuhan pangan dalam rumah tangga tidak tercukupi, maka perempuan adalah orang terakhir yang mengakses makanan setelah suami dan anak-anaknya. Pola konsumsi makanan masyarakat merupakan penyumbang terjadinya gizi buruk karena dipengaruhi oleh bagaimana mereka mengakses pangan. Mempercepat penurunan angka kurang gizi pada ibu dan anak turut memberikan kontribusi pada pencapaian MDGs Tujuan 1, 4, 5 dan 6, karena Indonesia sebagai negara yang turut menandatangani Deklarasi MDGs tersebut. Pada tahun 2015 Indonesia mempunyai tugas untuk mencapai tujuan tersebut. Buletin Perempuan Bergerak edisi ini mengangkat persoalan yang terjadi mengenai akses dan kontrol perempuan terhadap pangan. Walaupun sudah ada Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, namun UU tersebut lebih berpihak pada pengusaha dan menjadikan pangan hanya komoditas. Amandemen UU menjadi salah satu yang harus dilakukan agar pangan sebagai hak asasi manusia semua warga Negara, sungguh-sungguh dipenuhi Negara. Semoga wacana ini menambah dan menggugah kesadaran kita semua demi mendorong terciptanya kedaulatan Indonesia atas pangan. Selamat membaca!
rembug perempuan
Akses dan Kontrol atas Pangan: Di Mana Kepentingan Perempuan?
Jakarta, 27 Juni 2011
Joko Sulistyo Redaktur Pelaksana
Edisi II | April - Juni 2011 |
Perempuan Bergerak
3
fokus utama 4
Perempuan dan Kedaulatan Pangan: Tantangan Indonesia Yang Mendesak “Oh, lihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati. Air matanya berlinang, mas intannya terkenang. Hutan, gunung sawah lautan, simpanan kekayaan. Kini ibu sedang lara, merintih dan berdoa (N.N)”
A
pabila kita simak bait demi bait lagu tersebut, maka gundah gulanalah hati kita. Kepedihan yang mendalam menyelimuti rasa kita akan kondisi tanah air kita, Indonesia, saat ini. Betapa tidak, ratusan tahun sebelum Indonesia merdeka, ketika masih sebagai nusantara, kita sudah dalam cengkraman kolonial yang menindas. Ketika Indonesia menyatakan diri merdeka dari kolonial, tahun 1945, sisasisa kolonisasi masih bercokol di dalam jiwa raga kita. Kita belum merdeka seratus persen secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. Kita masih terjajah hingga Indonesia memasuki Orde Baru, tahun 1965-1998. Demikian pula, ketika kita memasuki Orde Reformasi tahun 1998-2011. Celakanya, Orde Baru meneruskan kolonisasi secara diam-diam, dengan menghambakan dirinya kedalam kekuasaan imperialis asing. Orde Reformasi pun kelakuannya sama! Menghamba kepada kapitalis asing! 32 tahun lebih Orde Baru berkuasa dan menindas, potret geografi, demografi, dan geopolitik Indonesia berubah centang perenang. Tanah air, hutan, gunung, dan semua sumberdaya alam, termasuk manusianya, dijual kepada kapitalis asing (imperialis). Sejumlah saudagar pribumi pun turut berkolaborasi dengan kapitalis asing, yang akhirnya menjadi kapitalis pribumi. Mereka inilah nenek-moyang elit penguasa dan pengusaha di Indonesia, yang mengangkangi rakyat semesta hingga kini. Yang pertama kali dilakukan kapitalis asing di Indonesia ketika menjajah ialah merampok sumberdaya pangan rakyat. Mereka melakukan “revolusi hijau” yang menghancur-leburkan kemampuan budidaya pertanian lokal rakyat, yang selama ratusan tahun mampu menghidupi dan menjaga kelestarian sumberdaya hidup Indonesia di ribuan pulau di Indonesia. Revolusi hijau memaksa dan menggantikan teknologi tepat guna rakyat tempatan dengan mekanisasi dan industri pertanian padat asupan kimia, yang seka-
Perempuan Bergerak | Edisi II | April - Juni 2011
rang terbukti sangatlah merusak hutan-hutan kita yang kaya akan sumber nutfah, flora dan fauna serta mineral. Tak cukup sampai di situ, di laut pun revolusi hijau mengubah pola hidup nelayan tradisional. Dengan teknologi tradisional yang selama ratusan tahun mampu menjaga kelestarian laut, kemudian digantikan dengan mekanisasi penangkapan sumberdaya laut, yang terbukti merusak laut Indonesia. Revolusi hijau pun merambah di wilayah udara kita yang sekarang mencemari kekayaan oksigen yang sangat vital bagi kehidupan makhluk hidup di Indonesia. Pangan adalah kekuasaan! Rumus ini benar adanya. Oleh karena, tak ada satu pun makhluk hidup mampu bertahan hidup di bumi ini tanpa pangan. Demikian pula dengan manusia! Manusia membutuhkan pangan untuk kelangsungan hidupnya. Masyarakat membutuhkan pangan untuk kelangsungan hidupnya. Bangsa pun membutuhkan pangan untuk kelangsungan hidupnya. Tanpa pangan yang cukup tersedia, bermutu, dan murah, suatu bangsa akan punah dengan sendirinya. Teori lama menjelaskan, bersumber dari T.R. Malthus (1766-1834), bahwa pertumbuhan penduduk dunia mengikuti deret ukur (1,2,4,8, dst.), sementara pertumbuhan pangan dunia mengikuti deret hitung (1,2,3,4, dst.). Maka jelaslah, bahwa sampai kapan pun dunia ini akan mengalami krisis pangan. Manusia takkan mampu mengelola sumberdaya alam yang tersedia sekalipun sudah mempergunakan teknologi pertanian maha canggih abad ini. Menurut statistik yang ada, dari 7 milyar penduduk dunia saat ini, kira-kira 3-4 milyar penduduk dunia secara ekstrim kekurangan pangan, 2 milyar berada dalam sedikit kecukupan pangan, dan sisanya 1 milyar ada dalam kelimpahan pangan. Namun bila kita memahami teori Malthus tersebut secara cerdas, maka setiap saat 7 milyar manusia di muka bumi ini akan terancam kelaparan. Itu pun dalam anggapan, bahwa kondisi kita tidak sedang dalam bencana alam atau faktor ekstrim lainnya. Laporan Bank Dunia (World Bank) dan Badan Pangan Dunia (Food and Agricultural Organization) menyatakan bahwa harga pangan dunia tiga tahun terakhir mencapai kenaikan 83%; dan 45% meningkat dalam indeks pangan dunia. Hampir dapat dikatakan, menurut laporan mereka, harga pangan dunia kini naik rata-rata menjadi 130%. Angka ini konkritnya
dapat dilihat dari ratusan juta penduduk dunia di banyak negara ada dalam kelaparan yang ekstrim. Namun anehnya, statistik kapitalis mereka selalu mencatat bahwa angka produksi pangan terus meningkat pula seiring dengan melajunya tingkat kelaparan penduduk dunia. Pertanyaannya, ke mana perginya hasil produksi pangan dunia yang meningkat itu? Siapa yang mengambil keuntungan dari kehancuran penduduk dunia kelas bawah? Hal yang sama, statistik BPS dan Bulog Indonesia, selalu menjelaskan kepada kita bahwa ketersediaan pangan nasional cukup bahkan surplus, sehingga harus diekspor keluar negeri untuk meningkatkan pendapatan negara. Ajaibnya, bertahun-tahun melalui teve ataupun media massa lainnya, bahkan tetangga dan keluarga kita, dilaporkan selalu kekurangan pangan. Siapa dan kelompok mana yang diuntungkan dari kondisi kemiskinan pangan rakyat Indonesia ini? Dalam krisis pangan nasional saat ini, kaum perempuan Indonesia tidaklah punya pilihan dan mereka menjadi korban paling utama dari sistem pangan dunia dan nasional yang kapitalistik ini, dan tentu saja menerpa anak-anak. Dengan hadirnya revolusi hijau, hutang Indonesia yang terus meningkat (kini mencapai 1800 trilyun), kehancuran alam dan sumberdaya (1,5 ha per jam), sistem perdagangan dunia yang menindas, maka peluang perempuan Indonesia, yang secara tradisional di dalam sistem masyarakat kita lebih banyak mengurusi rumah tangga dan keluarga, akan secara ekstrim terancam kelaparan. Negara sudah gagal menjamin pemenuhan hak pangan kaum perempuan Indonesia. Negara dan Pemerintah lebih berpihak kepada kapitalis asing yang menguasai sumberdaya pangan Indonesia! Semua ini sudah bermula sejak Orde Baru berkuasa, tahun 1966. Kehancuran sistem pangan nasional kita tak hanya mencakup sumber-sumber pangannya, tetapi juga sampai kepada budaya pangan kita. Sumber-sumber pangan yang beraneka ragam sebetulnya tersedia banyak di nusantara ini, misalnya sagu, umbi-umbian, dan lainnya, namun sejak kapitalisasi pertanian, semua orang Indonesia dipaksa hanya makan beras. Maka muncullah ekonomi beras, yang menjadi andalan rejim Soeharto dkk., yang tak lain kepentingan kapitalis pangan. Kalau saja keanekaragaman pangan itu, baik dalam sumber-sumbernya maupun budayanya masih terjaga sampai sekarang, maka ancaman kelaparan ekstrim tak akan dialami kaum perempuan di Indonesia. Di sisi budayanya, pola pangan dan kuliner kita dihapuskan dari tradisi yang sangat kaya dan majemuk, yang mampu menjaga asupan gizi yang sehat, yang dibutuhkan sehari-hari. Kini dengan kapi-
talisasi pola pangan, hampir di seluruh pelosok Indonesia, kita lebih suka makan Kentucky Chicken, atau jenis makanan cepat saji lainnya, yang harganya mahal daripada mengolah bahan pangan dengan kekayaan rempah-rempah dan herbal yang menyehatkan bangsa. Tak sedikit ibu-ibu, memulai perubahan pola tradisi pangan ini di tingkat rumah tangganya dengan cara-cara pembiasaan makan kepada anak-anak mereka, sebagai generasi muda masa kini dan mendatang. Akibatnya, sekarang di Indonesia generasi mudanya lebih mengenal makanan siap saji asing daripada belajar mengolah pangan lokal sendiri dengan pengetahuan kuliner yang ratusan tahun sudah terbukti sangat menyehatkan, oleh nenek moyang kita. Sekarang tantangannya, apabila negara sudah gagal menjamin hak pangan warganya, terutama hak pangan kaum perempuan, maka kalangan kaum perempuan sendiri haruslah mengubah cara pandangnya terhadap sistem pangan yang ada kini. Kalaulah dapat diusahakan agar kita lebih beranekaragam dalam menyediakan bahan pangan kita dengan pengolahan kuliner secara tradisional yang lebih menyehatkan, meskipun dari cara pandang kapitalis, sangatlah merepotkan. Namun seperti hukum karma dalam ajaran Buddha menyatakan, bahwa siapa yang menanam kebaikan, maka ia akan menuai kebaikan pula dalam hidupnya. Bila kita menanamkan cara pandang yang benar mengenai sistem dan budaya pangan, maka kelak kita akan terjauhkan dari ancaman kelaparan di negeri ini. Bila kita makan dari keanekaragaman pangan kita sendiri, maka lahan-lahan budidaya yang ada akan kita semai dengan benihbenih yang baik, yang akan menyediakan pangan berlimpah untuk kita dan anak cucu. Namun bila kita terus-menerus mengonsumsi beras atau gandum saja sebagai bahan pangan kita, maka perlahan-lahan kita akan membiarkan tanah-tanah kita dirampas kaum pemilik modal, kapitalis asing, oleh karena kita lebih suka membeli makanan di rumah makan cepat saji milik asing, yang pada gilirannya akan menambah pengeluaran rumah tangga dan memperbesar hutang kita, hutang masyarakat, dan hutang bangsa. Maka, kata Mahatma Gandhi, lakukanlah “swadesi” karena hal itu akan memutus mata rantai penjajahan atas diri kita, masyarakat kita, dan bangsa kita. Dan praktik mulia ini, paling cepat diajar-tularkan oleh kaum perempuan di rumah tangga atau keluarga, karena kaum perempuanlah penguasa sistem pangan dunia yang pernah ada, sebagaimana yang kita pelajari melalui catatan sejarah dunia sepanjang masa. Kaum perempuan Indonesia harus berdaulat atas pangan!!! *****(HG)
Edisi II | April - Juni 2011 |
Perempuan Bergerak
5
perspektif
Pemerintah Harus Menjamin Hak Pangan Setiap Warganya Pengantar
P
angan merupakan kebutuhan paling mendasar yang diperlukan manusia sebagai mahkluk hidup. Berbicara mengenai pangan, ada UndangUndang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. Namun, Undang-Undang ini lebih berpihak kepada sektor swasta daripada petani, di mana sektor swasta dapat menjadi produsen pangan, dan secara eksplisit, Undang-Undang ini mendukung liberalisasi pangan. Pangan dijadikan komoditas, bukan sebagai hak tiap orang untuk dapat mengaksesnya. Maka itu, amandemen Undang-Undang menjadi salah satu jalan yang diambil. Lantas, apa saja yang harus diperhatikan dalam UU Pangan yang baru dan strategi advokasi seperti apa yang harus dimainkan? Redaktur pelaksana Buletin Perempuan Bergerak, Joko Sulistyo, berkesempatan melakukan wawancara dengan Ibu Dwi Astuti, Direktur Eksekutif Bina Desa, untuk Rubrik Perspektif. Berikut hasil wawancara dengan Ibu Wiwik, demikian perempuan ini biasa disapa. Bagaimana Pendapat Anda Soal UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan? Prinsip yang dianut oleh UU No. 7 tahun 1996 adalah siapa saja boleh mengelola pangan, termasuk sektor swasta. Secara eksplisit, ada proses liberalisasi pangan dan tidak jelas definisi produsen pangan itu siapa. Jadi, dari produsen pangan skala kecil sampai besar masuk kedalamnya, dan perempuan secara spesifik tidak ada padahal sebetulnya, kalau kita lihat perempuan memiliki kontribusi yang sangat besar dalam produksi pangan. Dalam Undang-Undang tersebut, juga tidak dapat menjamin pemenuhan hak atas pangan. Berbicara mengenai hak atas pangan, ada tiga pilar yang merupakan kewajiban negara, yakni: negara wajib untuk memenuhi, melindugi dan menghormati hak atas pangan. Hal tersebut tidak terjadi, karena urusan pangan diserahkan ke industri, tentang bagaimana masyarakat atau bahkan individu dapat mengakses urusan lain,
6
Perempuan Bergerak | Edisi II | April - Juni 2011
Dwi Astuti karena ukuran yang sering dipakai oleh pemerintah ialah ketersediaan pangan. Pemerintah sendiri tidak punya blueprint tentang pangan dalam jangka panjang, jangankan kedaulatan pangan, ketahanan pangan yang dipakai oleh pemerintah itu saja tidak ada blueprint-nya. Ada tiga konsep dalam ketahanan pangan, yakni ketersediaan, distribusi dan konsumsi. Ketika bicara tentang ketersediaan tidak pernah dibahas alat produksinya. Menuju ketersediaan pangan harus dijamin dulu alat produksinya, misalnya akses petani terhadap tanah, nelayan terhadap wilayah tangkap, dan lainnya. Yang kedua, pangan belum dianggap sebagai hal mendasar atau kebutuhan hak dasar bagi tiap orang. Hal ini dapat dilihat dari apa diwacanakan dan yang dilakukan oleh pemerintah berbeda. Karena menurut mereka, pangan dapat dicukupi
dengan impor. UU NO. 7 Tahun 1996 tidak menjamin bagaimana pemenuhan pangan di daerah-daerah khusus, misalnya daerah yang sulit dijangkau transportasi, daerah konflik dan daerah bencana. Apa Peran Badan Ketahanan Pangan dan Bulog dalam Pemenuhan Pangan Rakyat? Badan ketahanan pangan sebenarnya lebih operasional, karena kebijakannya ada di Dewan Ketahanan Pangan. Persoalan di Dewan Ketahanan Pangan merupakan masalah yang laten, karena tidak ada koordinasi dari Dewan Ketahanan Pangan yang anggotanya adalah beberapa Kementerian, seperti Perdagangan, Pertanian, Kehutanan, Perindustrian dan Pekerjaan Umum, dan sebagainya. Badan Ketahanan Pangan akhirnya hanya sebagai implementator kebijakan-kebijakan Kementrian Pertanian, bukan dari Dewan Ketahanan Pangan. Kalau Bulog, terlepas dari negatifnya, sebetulnya Indonesia perlu Badan Urusan Logistik. Contoh yang bagus mengenai Bulog ada di Korea Selatan, di mana dikelola oleh Farmers Association. Petaninya sangat kuat, mempunyai posisi tawar dengan pemerintah, antara lain dalam menetapkan harga yang pas agar petani untung. Bagaimanakah Peran Pemerintah Pusat dan Daerah Berkaitan dengan Pangan? Masing-masing daerah dapat mengembangkan potensi pangannya. Kalau suatu pemerintah daerah membuat kebijakan pangannya sendiri, akan lebih sesuai dengan kondisi alam yang ada, dengan kontur tanah seperti ini, dengan kondisi pesisir yang seperti ini, kekhasan budaya, jenis pangan seperti apa yang lebih sesuai. Kedua, pemasaran di tingkat lokal menjamin kualitas lebih baik. Pangan itu makin dekat ke perut akan semakin baik; maksudnya kalau orang Jakarta idealnya makan hasil pangan dari sekitar Jakarta. Semakin jauh jarak antara pangan dan konsumennya, maka kualitasnya makin menurun karena membutuhkan waktu
untuk transportasi dan lainnya. Celakanya, di otonomi daerah ada satu pasal yang mengatakan bahwa pemerintah daerah juga diberi wewenang untuk bekerja sama dengan negara lain secara langsung. Saat ini, semua kepala daerah berpikiran bagaimana dapat bekerjasama dengan negara lain untuk mendapatkan untung yang lebih banyak tanpa memikirkan bagaimana kondisi daerahnya. Hal ini juga potensi liberalisasi pangan (dari alat produksi pangan hingga distribusinya) di masingmasing daerah. Banyak Pangan dari Luar Masuk Ke Indonesia, Apa pengaruhnya bagi Ketahanan Pangan dalam Negeri? Saat ini, teryata kita banyak disuplai dengan makanan dari luar:ada buah, beras, ikan, sayuran dan sebagainya. Pengaruhnya dengan ketahanan pangan di beberapa daerah sudah mulai, karena petani dan nelayan merasa merugi, akhirnya sebagai produsen dan konsumen, mereka sebagian sudah lari menjadi net consumer, beli saja pangan instant dan murah karena akan lebih praktis. Hal itu terjadi karena mereka tidak tahan dengan persaingan yang ada. Sekali kita menjebakkan diri dalam pangan dari luar, maka akan susah kembali. Untuk mewujudkan ketahanan pangan di dalam negeri, maka perlu perlindungan pangan lokal oleh negara. Namun kita lihat, bahwa perlindungan itu tak dapat dirasakan oleh produsen kecil seperti petani dan nelayan dengan membanjirnya pangan dari luar. Tetapi kita lihat bagaimana pemerintah Jepang melindungi pangan lokalnya. Waktu saya melakukan kunjungan ke Jepang beberapa tahun lalu, bertemu dengan pemerintahnya, saya bertanya bagaimana tentang kebijakan pangan di Jepang, karena berdasarkan hasil diskusi dengan Departemen Pertanian dan Departemen Perdagangan (yang sekarang menjadi Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan), kalau Indonesia mau ekspor ke Jepang tidak dapat masuk. Mereka menjawab, beras mana pun bisa masuk ke Jepang, namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan, pertama mereka memasang tarif 400%, yang kedua kalau sanggup membayar 400% pun, makanan tersebut tidak boleh
“Untuk mewujudkan ketahanan pangan di dalam negeri, maka perlu perlindungan pangan lokal oleh negara”
Edisi II | April - Juni 2011 |
Perempuan Bergerak
7
dikonsumsi sebagai nasi, tetapi hanya sebagai pakan ternak atau bahan kue kering. Soal Amandemen UU No. 7 Tahun 1996, Siapakah Yang Menginisiasinya? Melihat kondisi yang demikian kami--kawan-kawan LSM, Ormas tani, nelayan, ormas perempuan berkumpul untuk bagaimana mengembalikan pangan sebagai hak tiap orang bukan sebagai komoditas saja, karena belakangan ini semuanya dijadikan komoditas, termasuk air. Dalam GATS (General Agreement on Trade in Services) misalnya disebutkan, bahwa hak atas air bisa ditransfer kepada pemilik modal, dengan demikian, masyarakat sipil terutama perempuan, akan makin sulit untuk mengaksesnya. Padahal air juga bagian dari pangan. Berangkat dari kondisi perpanganan yang ada, kami sesama LSM dan ormas yang bergerak di isu pangan dan pertanian pedesaan, juga melihat dengan jelas bahwa UU itu menjadi inline, dengan demikian kondisi seperti ini tidak mungkin berubah, bahkan mungkin akan makin buruk. Petani dan nelayan justru semakin deficit, yang akhirnya mereka mengambil jalan paling pragmatis dengan menjual lahannya, karena dianggap sudah tidak menguntungkan antara produksi dan hasil. Dikaitkan lagi relevansi dengan data statistik, di mana jumlah buruh tani meningkat dalam 10 tahun terakhir. Jadi, menurut kami, ada korelasi yang sangat siginifikan antara kebijakan makro yang membuka pasar pangan seluas-luasnya dengan kemiskinan petani dan anehnya lagi jumlah impor beras naik terus. Ada sesuatu yang salah, kami menemukan salah satunya tidak adanya payung hukum yang melindungi agar individu dan masyarakat punya akses dan kontrol atas pangan. Bagimanakah Peluang Advokasi dari RUU Pangan ini? Peluangnya fifty-fifty, asal kita mendorongnya dengan keras. Melihat kondisi saat ini, baik legislatif maupun eksekutif, kalau tidak melakukan advokasi dari
segala lapisan akan sangat sulit. Apalagi dalam pengambilan kebijakan, baik eksekutif maupun legislatif masih tunduk pada sektor swasta. Jadi, dalam mengadvokasi Amandemen UU Pangan ini harus bermain di semua sektor, melakukan desakan melalui media masa dan juga melalui orang dalam dan juga fraksi. Ada beberapa jalur yang bisa digunakan dalam mengadvokasi RUU Pangan ini, bisa lewat Komnas HAM, DPR, DPD dan Pemerintah. Kita mulai kampanye bagaimana perlunya hak atas pangan, kita berdialog dan mereka mengatakan bahwa akan menyusun naskah akademik dan draf RUU-nya, tetapi sampai sekarang tidak ada. Kami juga telah melakukan berbagai diskusi dengan komunitas-komunitas, dengan pakar, lalu keluarlah Naskah Akademik untuk meyiapkan RUU Pangan. Melihat kualitas anggota DPR yang saat ini ketika bertemu dengan mereka tanpa membawa bahanbahan tertulis, maka hal itu akan sulit. Apa yang Harus Dijamin dalam UU Pangan yang Baru? Ada tiga hal yang penting yang harus dijamin oleh undang-undang pangan yang baru, yakni bagaimana pemerintah memenuhi, menghormati dan menghargai hak atas pangan tiap orang. Dasarnya harus berbasis hak, karena kalau berbasis hak, tiap orang bisa memiliki akses dan kontrol, di mana perempuan memiliki hak yang sama. Ketika ingin menaikan harga, pemerintah harus dapat menjamin masyarakat dan individu mampu mengaksesnya. Yang ingin kita desakkan ialah harus ada jaminan bahwa tiap orang mampu mengakses pangan. Sebagai produsen kecil, petani dan nelayan, perempuan dan laki-laki harus dijamin memiliki alat dan input produksinya. Kalau tidak ada jaminan pemerintah, maka akan merasa bukan tanggung jawabnya. Sistem Pangan seperti Apa yang Bisa Diterapkan di Indonesia? Sistem pangan yang bisa dianut oleh Indonesia adalah sistem pangan yang berdasarkan sumberdaya
“negara wajib memenuhi, menghargai dan melindungi hak atas pangan perempuan”
8
Perempuan Bergerak | Edisi II | April - Juni 2011
lokal yang ada, yang tersedia di situ. Karena, alam mempunyai kearifannya sendiri. Seperti misalnya orang Ambon, sejak dulu sudah makan papeda, ya sudah, karena terbukti tanahnya cocoknya sagu. Demikian juga untuk tubuhnya, itulah yang harus dikembangkan. Berasisme ternyata terbukti banyak orang terkena diabetes, mungkin orang Jawa lebih cocok beras karena kondisi alamnya memang berbeda. Selain itu, perdagangan antar pulau dapat dilakukan ketika terjadi surplus, sementara di satu daerah kekurangan. Pemerintah saja belum mampu mengatasi persoalan perdagangan tiap pulau dan antar pulau, mengapa sudah melompat ke pasar dunia? Perspektif Gender seperti Apa yang harus Ditekankan dalam UU Pangan? Dalam tiga pilar tersebut, memenuhi, menghargai dan melindungi, semuanya harus dalam konteks individu sehingga secara inheren negara wajib memenuhi, menghargai dan melindungi hak atas pangan perempuan. Sering, meskipun perempuan sebagai produsen pangan namun mereka justru menjadi pihak paling dirugikan oleh kebijakan pangan. Revolusi hijau misalnya, serta merta telah menyingkirkan perempuan dari pertanian-pangan. Kita dapat melihat migrasi buruh perempuan keluar negeri sebagai akibat tersingkir dari pertanian-pangan. Kita juga ingin mengatakan kalau pangan itu diserahkan kepada industri atau pihak swasta, hal itu tidak akan menyelesaikan masalah. Justru produsen kecil, di mana perempuan memiliki peran signifikan, yang harus dijamin. Dengan produsen kecil ini mampu berproduksi teryata menjamin keberlangsungan pangan dan alam. Filosofi perempuan adalah bersinergi dengan alam, karena dalam diri mereka “aku bagian dari alam,
aku harus hidup bersama dengan alam”. Sementara cara berpikir industri berbeda, yakni “aku habiskan apa yang ada di alam”. Tantangan Apa yang akan Dihadapi dalam Mengawal RUU Pangan? Yang pasti dari swasta, karena mereka akan all out, sedangkan kita tidak dapat berharap banyak dari pemerintah dan DPR, karena mereka bukan pelindung. Tantangan paling besar yang akan dihadapi dalam mengadvokasi amandemen Undang-Undang Pangan adalah dari industri pertanian dan pangan. Sedangkan dari pemerintah, kita harus terus mengadvokasikannya, karena kalau kita kencang mereka akan memperhatikan. Makanya dari awal kita harus kencang, melalui berbagai media kampanye, sementara penguatan masyarakat produsen kecil terus dilakukan. Apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah, NGO dan Masyarakat Umum untuk Mengatasi Krisis Pangan dan menuju Ketahanan Pangan? Pemerintah harus mengubah ideologinya, ketika pangan hanya dijadikan komoditas sudah terbukti tidak mampu mengatasi kelaparan, tidak mampu mengatasi kurang pangan, justru makin memperburuknya. Selama mereka tidak mau mengubah itu, tidak melihat fakta yang sebenarnya dan menggerakkan hati nuraninya, maka tidak akan ada perubahan. Sudah tidak mungkin ideologi seperti itu tetap diteruskan. Sementara untuk NGO harus tetap bermain di dua tempat, penguatan masyarakat sipil dan lobi dengan pemerintah, yakni mengingatkan pemerintah soal tanggung jawabnya untuk menjamin pangan warganya. *****(JK)
Edisi II | April - Juni 2011 |
Perempuan Bergerak
9
warta perempuan 10
Akses Pangan: Di manakah Ruang bagi Perempuan? ”Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman” (UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan)
T
iap mahkluk hidup membutuhkan pangan, begitu juga dengan manusia. Selain untuk tumbuh dan berkembang, pangan merupakan sumber tenaga bagi manusia untuk tetap sehat, sehingga mampu bergerak, beraktifitas dan berproduksi. Untuk memperoleh semua itu, maka tubuh manusia membutuhkan pangan yang mempunyai nilai gizi dan terbebas dari bahan-bahan yang berbahaya baik secara fiksik, biologi maupun kimia yang memungkinkan kebutuhan akan zat gizi. dan PA, Kemendiknas, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementrian Pertanian. Menurut Ayib Abdullah, dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), dalam konteks sosial budaya, pangan tidak hanya bernilai gizi, karena di masyarakat pangan memiliki dimensi dan nilai yang tinggi. Pangan merupakan alat sosial dalam kehidupan masyarakat. Kerap kali pangan menjadi alat perekat bagi suatu komunitas sekaligus identitas. Semisal sagu, menjadi identitas masyarakat adat Papua. Indonesia mengatur kodisi perpanganannya melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996, namun sayangnya undang-undang ini tidak memberikan perlindungan terhadap produsen kecil (baca: petani), terutama perempuan, karena undang-undang ini cenderung berpihak pada pihak pengusaha (swasta) dan menjadikan pangan hanya sebagai komoditas bukan kebutuhan pokok warga negara. Masalah pangan juga menjadi persoalan negaranegara di dunia, hal tersebut bisa dilihat dari salah satu target dalam Milinium Development Goals (MDGs), yang Indonesia juga turut menandatanganinya dan harus dicapai ditahun 2015, yakni mengurangi jumlah penduduk yang menderita kelaparan hingga setengahnya (Tujuan 1, Target B)
Perempuan Bergerak | Edisi II | April - Juni 2011
Hanya empat tahun lagi target tersebut harus dicapai, sedikit indikator yang masih on the track bahkan memerlukan perhatian khusus, seperti misalnya prevelensi balita gizi buruk, yang merupakan indikator dari Target B, Tujuan 1. Pola konsumsi makanan oleh masyarakat merupakan salah satu penyumbang terjadinya gizi buruk yang dipengaruhi pula dengan bagaimana mereka mengakses pangan. Mempercepat penurunan angka kurang gizi terhadap ibu dan anak turut memberikan kontribusi bagi pencapaian MDGs ke-1 (Mengentaskan Kemiskinan Ekstrim dan Kelaparan), MDGs ke-4 (Mengurangi Tingkat Kematian Anak), MDGs ke-5 (Meningkatkan Kesehatan Ibu) dan MDGs ke-6 (Memerangi HIV/AIDS dan penyakir menular lainnya)
Tidak Adanya Keberagaman Pangan Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kontur tanah yang beragam, di mana beragam pula tumbuhan yang hidup di dalamnya. Tetapi sayang, politik Orde Baru telah mendoktrinisasi bahwa pangan adalah beras, maka dengan demikian keberagaman pangan yang ada menjadi hilang, karena adanya sistem pangan homogen. ”Jika melihat esensi utama pangan sebagai sumber gizi untuk hidup sehat, maka pangan sangatlah luas dan kaya sumbernya. Namun di Indonesia, pangan dimaknai sebagai bahan pangan pokok. Dan karena pangan pokoknya beras, jadilah seolah-olah ketika muncul kata pangan sama artinya dengan beras”, demikian Ayip mengungkapkan. Kekeliruan lain ketika berbicara pangan terkait soal teritori, sering hanya soal daratan semata (baca: pertanian). Padahal pangan berasal dari nabati dan hewani. Untuk sumber pangan hewani, Indonesia merupakan
salah satu negara dengan sumber yang melimpah karena dikelilingi oleh lautan. Namun sayang, potensi itu pun belum dioptimalkan. ”Pangan yang dibicarakan masih kebanyakan yang di darat, yang merupakan hasil dari pertanian, belum dari sektor perikanan”, demikian ungkap Mida Saragih, dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Adanya indoktrinisasi pangan adalah beras di seluruh wilayah Indonesia telah mengubah pangan-pangan lokal yang sebelumnya ada. “Dahulu, beberapa pulau di Indonesia bagian timur memiliki makanan pokok bukan beras. Misalnya Papua banyak mengkonsumsi umbi-umbian, di NTT makan jagung, Sulawesi makan sagu atau singkong, dan lainnya. Karena tanaman inilah yang dapat tumbuh dengan baik di wilayah itu di mana memiliki lahan dengan karakteristik kering, berbatu, kurang subur, tidak banyak air. Di wilayah Jawa dan Indonesia bagian Barat makanan utama adalah beras, karena lahannya relatif subur dan banyak air maka padi dapat tumbuh dengan baik”, demikian pendapat Kodar Tri Wusananingsih, dari Seknas Pemberdayaan Perempuan Kepala Rumah Tangga (PEKKA). Karena kondisi yang demikian, Ayip melihat bahwa perlahan namun pasti, konsumsi pokok menjadi homogen, yakni BERAS. “Homogenitas itu menciptakan konsekuensi yang luar biasa. Pertama, adanya tuntutan untuk terus menjaga produksi beras memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Sehingga, menjadi logis segala kebijakan dan program diarahkan kepeningkatan produksi beras.”, demikian ungkapnya. Ketika beras sulit di produksi, karena lahan subur semakin hilang dan pangan dianggap hanya sebagai komoditas, serta beras dimaknai superior dibanding pangan lainnya, maka ketika terjadi krisis pangan, impor beras menjadi pilihan, dan sayangnya kebijakan itu tidak berpihak kepada rakyat kecil, semua orang--hanya kepada pengusaha/swasta--akhirnya berlomba-lomba untuk mengimpor beras tanpa memperhatikan produsen kecil (petani).
Akses Perempuan Terhadap Pangan Perempuan kerap dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap penyediaan pangan bagi keluarganya sehari-hari. Maka ketika sumberdaya pangan terbatas, perempuan yang harus berpikir keras bagaimana caranya mendapatkan makanan bagi keluarganya, dengan cara bekerja apa saja dan mencari bahan makanan apa saja, yang ada di sekitar rumahnya
atau lingkungannya. Seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Barat, di salah satu wilayah dampingan PEKKA, pada musim panen ibu-ibu Pekka (Perempuan Kepala Keluarga) yang masih muda dan kuat banyak yang bekerja di sawah memanen padi sampai pergi ke kecamatan atau kabupaten lain dan menginap berhari-hari. Mereka menginap di tengah sawah, karena tidak ada pilihan lain. Untuk ibuibu Pekka yang tua dan tidak bisa memburuh lagi akan memungut sisa-sisa gabah yang menempel di tangkai atau jatuh di sawah. Kemudian memilahkannya dari tangkainya atau dari tanah dan batu yang tercampur. Dari hasil seperti ini, mereka dapat hidup 1-3 hari untuk dirinya. Sementara itu di wilayah Pekka yang kondisi alamnya tidak subur, maka banyak laki-laki yang pergi merantau meninggalkan isteri dan anaknya di rumah. Maka beban pengadaan pangan dan seluruh kebutuhan pangan keluarga bertumpu pada perempuan. “Perempuan yang menanam, merawat, memanen dan mengolah pangan untuk dirinya dan keluarganya. Pada saat pangan hasil kebun sendiri tidak cukup, perempuan maka akan bekerja apa saja untuk menghidupi keluarganya, dan ini tidak mudah, karena peluang terbatas” demikian ungkap Kodar. Budaya patriarkat yang masih berlaku di berbagai daerah, membuat perempuan mengakses pangan terakhir setelah suami dan anak-anaknya, ketika kebutuhan pangan dalam rumah tangga tidak tercukupi. Padahal, ketika bicara soal asupan gizi, maka perempuan sangat membutuhkan, apalagi ketika ia sedang hamil atau menyusui. Ketika akses perempuan terhadap pangan tidak terpenuhi, perempuan tidak memperoleh asupan gizi yang cukup, maka akan turut mempengaruhi gizi buruk, kematian ibu dan kematian anak. “Akses pangan adalah Hak Asasi Manusia, maka perempuan mempunyai akses yang sama besarnya dalam hal pangan, dalam kondisi-kondisi tertentu seperti saat perempuan hamil dan menyusui, maka akses perempuan terhadap pangan harus lebih diutamakan”, ungkap Islah dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup). Perempuan sering tidak diperhatikan pengetahuan dan keterampilannya dalam mengelola sumber daya pangan, padahal keterlibatan perempuan di situ sangat besar. Melihat hal ini, Jumi Rahayu dari WALHI berpendapat, bahwa karena naluri tersebut sudah melekat dalam diri perempuan. “Perempuan tidak diperhatikan pengetahuan dan keterampilannya dalam mengelola sumber daya pangan, karena hal itu dianggap sebagai
Edisi II | April - Juni 2011 |
Perempuan Bergerak
11
sesuatu yang naluriah saja, kaitannya dengan peran gender perempuan sebagai pengurus rumah tangga dsb”. Karena adanya kerusakan lingkungan, dalam beberapa kasus, peran perempuan dalam memenuhi kebutuhan air dan pangan menjadi tidak berdaya. Islah mencoba memberikan gambaran tentang apa yang terjadi di NTT, akibat penghancuran hutan yang dilakukan, kebun-kebun sayur untuk kebutuhan sehari-hari menjadi kekeringan dan perempuan harus memikul air berkilo-kilo meter karena sumber air kering yang akibat hutan mereka di bakar Dinas Kehutanan (TTS, 2008). “Kalau ditanyakan mengapa perempuan tidak dilihat sebagai yang memiliki pengetahuan dalam mengelola sumberdaya pangan, maka jawabannya adalah pola produksi pangan “modern”-lah yang menghancurkan peran-peran perempuan dalam menghasilkan pangan”, demikian Islah menjelaskan. Sampai saat ini, tidak ada yang membantah bahwa perempuan adalah sejatinya produsen pangan. Keterlibatan perempuan tidak hanya dalam hal produksi, distribusi bahkan konsumsi. “Dalam hal produksi padi misalnya, 80% proses produksi perempuan terlibat didalamnya. Dalam hal konsumsi, perempuan merupakan aktor utamanya. Namun sayang, besarnya kontribusi perempuan pada proses-proses produksi-distribusikonsumsi pangan tidak serta merta meningkatkan posisi dan aksesnya terhadap sumber pangan”, jelas Ayip. Selama ini, perempuan masih dipandang sebelah mata. Padahal dengan keterlibatan perempuan dalam pangan menunjukkan mereka sebagai pihak yang kaya akan pengetahuan, pengalaman dan keterampilan. Sampai kini, perempuan masih dipinggirkan. Akses akan pengetahuan dan sumber pangan masih terbatas. Peminggiran ini dapat dengan mudah dilihat dalam pengembangan teknologi produksi pangan yang bias laki-laki. Dalam berbagai program dan kebijakanpemerintah dengan mudah dijumpai desain yang lebih banyak memperhitungkan laki-laki ketimbang kesetaraan yang memungkinkan perempuan terlibat di dalamnya. Walaupun terakhir sudah ada program yang khusus untuk perempuan tani, namun dalam implementasinya masih jauh dari yang diharapkan.
Peran Negara dalam Memenuhi Pangan Ketika bicara hak, maka akan ada pihak lain yang seharusnya berkewajiban memenuhi hak rakyat tersebut, dalam hal ini mestinya pemerintah. Pemerintah melalui kebijakan dan peraturan yang ada dapat memastikan
12
Perempuan Bergerak | Edisi II | April - Juni 2011
bahwa tiap warga rakyat di Indonesia dapat tercukupi kebutuhan pangannya baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Pemerintah berkewajiban membentuk seperangkat sistem yang dapat menjamin kecukupan pangan bagi warganya. Hak atas pangan sesungguhnya tidak hanya berkait dengan persoalan ketersediaan dan cadangan, tetapi soal akses/distribusi, dan konsumsi. Lebih jauh, hak atas pangan juga menyangkut penerimaan secara budaya, kebijakan bantuan pangan kepada kelompok khusus (kelompok rentan: perempuan; ibu hamil, anak-anak; manula, dan lainnya) dan untuk situasi khusus (rentan: bencana alam; konflik) serta penyadaran tentang gizi. Oleh karenanya, pemenuhan hak atas pangan mensyaratkan adanya sinkronisasi antara kebijakan yang terkait pangan seperti perikanan, peternakan, pertanahan, industri, perdagangan, keuangan, kesehatan, dengan pendidikan serta jaminan sosial. Menurut Islah, ada satu hal yang mengkuatirkan dari kebijakan pemerintah saat ini, yakni paradigma mereka dalam pemenuhan pangan. Pemerintah memakai paradigma “ketahanan pangan” yang cenderung mementingkan ketersediaan pangan tidak peduli dari mana asalnya, siapa dan bagaimana diproduksinya. “Untuk memenuhi ketersediaan pangan, maka pemerintah berusaha menggenjot produksi dan areal pertanian, tetapi sialnya, pemerintah menyerahkan urusan tersebut pada perusahaan-perusahaan pertanian besar, swasta dan asing (Food estate). Apa dampaknya? Dengan skema food estate, mungkin ketersedian pangan tercukupi namun akses pangan makin jauh dari rakyat, karena harga pangan akan terus mengikuti harga pasar, sementara rakyat miskin di indonesia (petani berlahan sempit, buruh dan KMK) tidak mampu mengaksesnya”, lanjut Islah. Menyikapi kondisi demikian, menurut Ayip, tidak ada jalan lain kecuali mendorong kedaulatan pangan. “Ketahanan dan kemandirian saja tidaklah cukup, diperlukan sikap politik yang kuat sebagai bentuk kedaulatan bangsa ini atas pangan. Tanpa kedaulatan pangan, maka hak atas pangan akan sulit diwujudkan, yang gilirannya justru menjadikan negera ini sebagai bulan-bulanan pasar pangan global”, demikian ungkapnya. Dalam mewujudkan kedaulatan pangan, ada empat hal yang semestinya didorong kuat, yakni reforma agraria, perdagangan yang adil, konsumsi pangan lokal dan sistem pertanian yang berkelanjutan, menjadi prasyarat utama untuk mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia.*****(JK)
S
ebagai desa yang terletak di lereng kaki Gunung Semeru, Pasrujambe tidak hanya memiliki hasil tambang, namun juga kekayaan alam lainnya. Tanah yang subur dapat untuk hidup beragam tanaman, misalnya kopi, jagung, pisang, talas, yang banyak terdapat di desa ini. Dengan alasan bahan baku yang melimpah, dan untuk memanfaatkan hasil-hasil alam tersebut, kelompok-kelompok perempuan yang tersebar di enam dusun telah berhasil mengembangkan produk makanan dari bahan pisang, kopi, jagung dan talas. “Karena di dusun Plambang banyak terdapat tanaman kopi, maka kelompok kami memilih mengembangkan produk kopi jambe, kopi dengan campuran herbal” ungkap Santi, 34 tahun, seorang pengurus kelompok Arimbi. Senada dengan Santi, Wiwit, seorang anggota kelompok Kartini juga mengungkapkan bahwa karena pisang melimpah maka kelompok mengolahnya menjadi keripik pisang. “Sakjane nengkene ki akeh pisang mbak, jadi yo wis kelompok nggawe iki wae keripik pisang (sebenarnya di sini banyak pisang, maka kelompok membuatnya menjadi keripik pisang)” ungkapnya. Salah satu tanaman yang tumbuh subur di daerah ini adalah jagung. Namun sayang, jagung belum dimanfaatkan dengan baik. Bahkan di beberapa daerah sudah jarang memanfaatkan jagung sebagai sumber pangan. Politik Orde Baru yang mengindoktrinisasi masyarakat bahwa pangan adalah beras telah mengubah pola konsusmsi masyarakat, bahwa makanan pokok hanyalah beras. Sementara sebelumnya, jagung pun makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat pedesaan. Dengan pemahaman makanan pokok adalah beras, maka sering jagung hanya dimanfaatkan sebagai pangan ternak. Tidak banyak yang mengetahui, bahwa jagung mempunyai manfaat yang sangat banyak, salah satunya adalah obat diabetes, karena si penderita harus menghindari makanan yang manis, yang terdapat di beras. Dengan produk jagung yang melimpah, maka kelompok memanfaatkan jagung untuk diolah menjadi makanan pokok berupa gerit jagung sebagai makanan alternatif bagi penderita diabetes.
“Selain banyak dan murah, gerit jagung ini juga dipakai untuk orang yang kena diabetes. Mereka kan tidak boleh makan gula berlebihan, penggantinya ya bisa makan gerit jagung ini” ujar Sudarti, 39 tahun, seorang anggota kelompok KKM. Kenapa kelompok memilih memproduksi dan mengkonsumsi bahan-bahan pangan lokal? Jumiati (24th), Sekretaris PPARI mengatakan, dengan mengolah dan mengkonsumsi panganan lokal, maka kita sudah menghargai kerja keras masyarakat setempat. “Sebagai orang desa bagusnya kita juga memanfaatkan apa-apa yang terdapat di desa. Kalau bukan kita yang memanfaatkan, siapa lagi?” ujarnya. Senada dengan Jumiati, Santi juga mengatakan bahwa sebagai orang desa yang tidak punya penghasilan, perempuan harus pintar-pintar memanfaatkan potensi yang terdapat di desa. “Sebagai perempuan yang hidup di desa, kita harus pintar-pintar memanfaatkan bahan baku yang ada di sini. Karena persedian di sini melimpah. Selain karena, perempuanlah yang paling banyak memutar otak untuk mencari alternatif seperti itu ” terangnya. Selain memproduksi jenis-jenis makanan berbahan baku lokal, penduduk di desa ini juga mengolah bahan-bahan lokal tersebut menjadi panganan alternatif pengganti makanan pokok sehari-hari. “Untuk menghemat beras, terkadang saya membuat nasi sawut yang terbuat dari campuran singkong” ujar Sulianawati (40th), seorang anggota kelompok Jinggosari. Serupa dengan yang disampaikan Suliana, Sudarti juga memanfaatkan jagung dan talas sebagai camilan sehari-hari. “Ya daripada beli, mendingan buat aja sendiri kan bahan-bahannya banyak” jelasnya. Ketika ditanya tentang apakah kelompok optimis bahan panganan lokal ini dapat bertahan? Hampir semuanya menjawab optimis. “Melihat jumlahnya yang melimpah, saya optimis makanan-makanan lokal seperti ini akan tetap bertahan” ujar Santi mengakhiri. *****(NR)
Edisi II | April - Juni 2011 |
Perempuan Bergerak
warta komunitas
Pangan Lokal Dapat Bertahan
13
opini
Revisi UU Pangan:
Mengembalikan Sumber-Sumber Pangan Perempuan Oleh: Tini Sastra* erasi seperti yang akan lahir bila mereka dilahirkan oleh perempuan-perempuan yang kurang gizi.
Kelaparan di Negeri Agraris
T
erjadinya kasus-kasus kelaparan, kurang gizi, dan gizi buruk di beberapa wilayah Indonesia harus dipandang sebagai persoalan serius. Situasi tersebut sebagai indikasi adanya rawan pangan atau krisis pangan di Indonesia. Kasus kelaparan terjadi secara merata dari Sabang sampai Merauke, seperti Aceh, Riau, Tangerang, Jawa Timur, Makassar, NTT, dan Papua. Yang memprihatinkan, fenomena rawan pangan dan krisis pangan ini lebih sering terjadi di pedesaan ketimbang di perkotaan, meskipun beberapa kasus kelaparan juga dialami di wilayah urban perkotaan. Data menunjukkan bahwa di negara agraris yang subur dan limpahan kekayaan alam ini, 13,8 juta jiwa atau sekitar 6% dari jumlah penduduk menderita rawan pangan (World Development Indicator, 2007). Data sebelumnya mengatakan bahwa Peta Kerawanan Pangan Indonesia tahun 2005 menunjukkan adanya 100 kabupaten rawan pangan dari 265 kabupaten di Indonesia. Ada 5,1 juta balita bergizi buruk dengan 54 persen atau 2,6 juta jiwa terancam kematian. Sementara SUSENAS 2003 mencatat adanya sekitar 5,1 juta (27,5%) anak balita yang kekurangan gizi. Demikian dengan Departemen Kesehatan yang mencatat adanya 2,5 juta (40,1%) ibu hamil dan 4 juta (26,4%) perempuan usia subur yang menderita anemia. Kondisi dan situasi di atas menunjukkan bahwa negara telah gagal dalam memenuhi hak warga negara dalam hal ini hak atas pangan. Sudah seharusnya negara menjamin dan memenuhi hak-hak warga negaranya sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Dan memang dasar filosofi berdirinya sebuah negara adalah untuk memakmurkan warga negara. Apalagi bila dilihat fenomena di atas bahwa perempuan paling sering menjadi korban dalam kasus-kasus kelaparan, kurang gizi dan bahkan kematian. Padahal kita tahu bahwa dari rahim perempuanlah lahir generasi penerus. Bisa dibayangkan gen-
14
Perempuan Bergerak | Edisi II | April - Juni 2011
UU Pangan No.7/1996: Diskriminatif dan Melemahkan Perempuan Saat ini kita memang telah memilki UU Pangan No. 7/1996, tetapi undang-undang ini belum mampu menjamin warga negara dalam mengakses pangannya. UU ini secara substansi tidak memuat kewajiban negara untuk ‘menghormati, melindungi dan memenuhi hak pangan rakyatnya. Apalagi untuk kelompok-kelompok rentan seperti perempuan, balita, janda, lansia yang tak punya keluarga yang dalam kondisi dan situasi tertentu membutuhkan perhatian khusus dari negara. UU ini masih sangat lemah unsur perlindungan hak bagi warga negara untuk dapat mengakses pangan. Hak rakyat atas pangan memang tidak menjadi isu yang diangkat dalam ketentuan umum dalam UU ini. UU ini lebih banyak mengatur ketentuan-ketentuan teknis terkait industry pangan dan seluk beluknya. Bisa dimaklumi karena lahirnya undang-undang ini mengikuti konsep ketahanan pangan FAO dalam World Food Summit yang diselenggarakan Badan Pangan PPP (Food and Agriculture Organizations/FAO) pada tahun 1996, yang secara prinsip ketahanan pangan sebuah negara bisa diserahkan pada mekanisme pasar. Prinsip inilah yang kemudian memberi peluang bagi TNC’s untuk menjadikan sektor pertanian sebagai peluang bisnis yang menguntungkan.
Ketika Pangan Menjadi Barang Komoditas Sebagai sebuah bangsa dapat dikatakan kita tidak berdaulat atas pangan kita sendiri. Dapat dikatakan, saat ini negera telah menyerahkan pemenuhan pangan warganya kepada mekanisme pasar. Artinya, pangan hanya dapat diakses bagi mereka yang mampu membeli. Meskipun di suatu tempat secara ketersediaan pangan cukup, tapi sangat mungkin terjadi kasus kelaparan bagi warga miskin yang tidak mampu menjangkau atau membeli pangan. Undang-undang yang ada saat ini be-
lum mengatur kewajiban negara dalam mengendalikan atau mengontrol harga pangan agar tetap terjangkau masyarakat dengan penghasilan minimum. Akibatnya, para spekulan dengan seenaknya mempermainkan harga pangan pokok tanpa ada sanksi sama sekali. Padahal perbuatan para spekulan menimbulkan keresahan dalam masyarakat dan gejolak ekonomi. Di tingkat makro pun, kebijakan pemerintah sama sekali tidak berpihak pada petani sebagai produsen pangan. Masuknya Indonesia menjadi anggota Badan Perdagangan Dunia (WTO) dan beberapa kesepakatan bilateral dalam Free Trade Agreement dengan beberapa negara seperti China, Jepang, Amerika Serikat, India, dan Australia telah memberi peluang bagi perusahaanperusahaan trans-nasional menggantikan peran petani tradisional dalam menyediakan pangan dunia. Indonesia pun di serbu pangan impor, baik itu gandum, beras, kedelai, susu, daging, maupun buah-buahan. Peran petani dalam negeri sebagai penyedia pangan pun tergusur dan digantikan oleh perusahaan-perusahaan agrobisnis besar.
Tersingkirnya Perempuan dari Sektor Pertanian Di negara agraris seperti Indonesia, perempuan pedesaan tidak dapat dipisahkan dari dunia pertanian. Mereka terlibat dari proses produksi, pengolahan, penyimpanan, sampai pemasaran. Bisa dibayangkan ketika saat ini dan pada waktu yang akan datang, pangan disediakan oleh perusahaan-persuhaan agrobisnis besar. Perempuan-perempuan yang tadinya bekerja di sektor pertanian akan kehilangan mata pencaharian mereka. Mekanisasi dan intensitifikasi pertanian sejak tahun 70an telah menggusur mereka dari peran-peran produksi di sektor pertanian. Lahan pertanian keluarga yang makin menyempit karena sistem pembagian warisan keluarga juga menyebabkan lahan pertanian mereka tidak lagi dapat dijadikan gantungan hidup di saat biaya hidup makin mahal karena krisis ekonomi, inflasi dan pencabutan subsidi kesehatan, pendidikan, BBM, dan tentu saja subsidi pertanian yang makin mengurangi pendapatan mereka. Dalam situasi seperti di atas, menjadi ‘petani’ tentu saja tidak dapat lagi diandalkan di jaman ‘ekonomi uang’ ini. Alternative yang mereka lakukan untuk bertahan hidup pun mencari pekerjaan lain. Bila para laki-laki berurbanisasi ke kota menjadi buruh bangunan maka para perempuan banyak yang menjadi pekerja rumah tangga, pedagang kali lima di kota, buruh pabrik atau buruh migrant ke luar negeri. Atau di beberapa wilayah mereka menjadi buruh di perkebunan karet atau sawit.
Atau menjadi buruh tani di perusahaan agrobisnis besar. Jelas bahwa pertanian lokal sebagai produsen pangan tergusur dan digantikan oleh perusahaan-perusahaan besar yang padat modal baik dari dalam maupun modal asing. Dan petani yang sebelumnya menjadi produsen pangan, sekarang hanya menjadi buruh. Kondisi inilah yang dikatakan bahwa saat ini kita tidak berdaulat atas pangan kita sendiri.
Revisi UU Pangan: Mengembalikan Sumbersumber Pangan Perempuan Pangan adalah kebutuhan dasar setiap individu dan menjadi hak dasar bagi setiap warga negara yang harus dipenuhi oleh negara. Hak atas pangan ini menjadi bagian dari Hak Ekonomi Sosial Budaya dan dijamin dalam instrument-instrumen internasional seperti DUHAM dan CEDAW. Sebagai negara yang turut meratifikasinya, maka Indonesia wajib menjadikan instrument-instrumen internasional itu dasar setiap undang-undang atau kebijakan yang ada. Dasar filosofi sebuah kebijakan semestinya untuk menjamin segala hak rakyat terjamin dan terpenuhi. Bukan untuk mengatur bagaimana kepengtingan-kepentingan asing terakomodir. Logika sederhana ini seharusnya dipahami para pembuat kebijakan dan pemangku negara. Fenomena kelaparan, kurang gizi, harga pangan yang tak terjangkau bagi rakyat miskin, petani tergusur, dan lain-lain merupakan indikasi bahwa undang-undang yang ada saat ini tidak memadai untuk menjamin hak rakyat atas pangannya. Tidak ada cara lain yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah mengevaluasi keberadaan undang-undang tersebut dan segera merevisi. Tentu saja dalam proses revisi pun para pembuat kebijakan wajib mengakomodir suara-suara masyarakat sipil dan melihat pengalaman-pengalaman petani, nelayan, perempuan, dan rakyat termarjinal lainnya yang terkena dampak dari kebijakan-kebijakan sebelumnya yang masih tidak berpihak pada rakyat kecil. Secara substansi dan prinsipil, UU Pangan mendatang sudah seharusnya membuat rakyat berdaya dalam memproduksi, mendistribusi, dan mengkonsumsi pangannya sendiri sesuai dengan kondisi sosial, budaya, kearifan lingkungan dan kearifan lokalnya. Ini yang disebut rakyat berdaulat atas pangannya. Untuk mewujudkan kedaulatan tersebut maka pembaharuan agaria harus menjadi solusi mendasar dalam undangundang pangan. Dengan adanya pembaharuan agraria maka rakyat baik laki-laki ataupun perempuan dapat mengakses sumber-sumber produksi pangan. Dengan adanya pembaharuan agaria maka negara juga wajib melindungi produsen pangan dalam negeri dari ceng-
Edisi II | April - Juni 2011 |
Perempuan Bergerak
15
keraman produsen pangan asing skala besar demi prinsip sebuah ‘perdagangan yang adil’. Selain itu, pemerintah juga harus memaksimalkan fungsi lembaga seperti Bulog atau Badan Ketahanan Pangan dalam mengatur kemanan cadangan pangan dan lancarnya distribusi pangan di seluruh wilayah Indonesia. ‘Kekuasaan’ pemerintah sudah seharusnya juga ditujukan kepada para spekulan yang seringkali menyebabkan harga pangan tidak stabil dan naik tak terkendali. Tentu saja harus ada klausul yang mengatur sanksi bagi para spekulan ini. Hal ini mengingat bahwa kasus-kasus kelaparan, kurang gizi dan kematian karena kelaparan disebabkan oleh mahalnya harga pangan yang tak terjangkau oleh rakyat miskin. Jadi sangat mungkin di sebuah wilayah melimpah hasil pangan ada kasus kelaparan. Hal terpenting yang wajib menjadi prinsip dalam UU Pangan adalah tidak boleh melemahkan, memarjinalkan dan menimbulkan ketidakadilan bagi perempuan. Untuk itu, UU ini nantinya harus mencantumkan CEDAW dan UU No.7.1984 menjadi salah satu konsideran. Dengan begitu dalam implementasi semua ketentuan pasal-pasal dan klausul dalam undang-undang akan mengacu pada keadilan gender dan tidak diskriminatif terhadap perempuan. Misalnya, dalam akses terhadap sumber-sumber produksi, perempuan juga mendapat hak yang sama dengan laki-laki, seperti akses tanah, modal, informasi, berorganisasi, dan lain-lain. Hal penting lainnya adalah, UU ini sudah semestinya mengakomodir pengalaman perempuan sebagai kelompok yang sangat dekat dengan pangan, baik sejak produksi, pengolahan, penyimpanan dan pemasaran pangan. Dalam pasal UU Pangan yang ada maupun Draft Revisi UU Pangan, banyak klausul dan pasal-pasal terkait dengan standardisasi dan sertifikasi pangan yang berpotensi merugikan dan mematikan, bahkan bisa mengkriminalisasikan industry kecil pangan local yang note bene dijalankan oleh perempuan. Di atas hanyalah beberapa poin yang harus menjadi pertimbangann dalam merevisi UU Pangan yang selama ini terbukti belum mampu menjamin hak pangan rakyat. Secara prinsipil, revisi UU Pangan hendaknya mendorong terwujudnya kedaulatan rakyat atas pangnnya dan menjamin adanya perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak pangan atas rakyat. *****
*Tini Sastra adalah Ketua Divisi Perempuan dan Kedaulatan Pangan--Solidaritas Perempuan
16
Perempuan Bergerak | Edisi II | April - Juni 2011
Kisah Sedih Sang Pengais Beras
S
ering kita mendengar Indonesia disebut sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduknya adalah petani. Namun hal itu berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada saat ini, karena seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, jumlah lahan pertanian malah semakin sempit dengan adanya konversi lahan pertanian menjadi pemukiman dan lahan industri. Hal itu pula yang menyebabkan tingginya harga beras dipasaran yang tidak dapat dijangkau oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Tidak jarang kita mendengar kasus nasi aking dimana masyarakat kelas bawah menjadikannya sebagai makanan pokok pengganti nasi karena tidak mampu membeli beras. Masyarakat pun terkadang enggan berpaling ke sumber makanan pokok lainnya seperti nasi jagung karena mereka berpendapat sudah terbiasa makan nasi dan nasi lebih mengenyangkan. Selain itu, ada pula orang-orang yang mengumpulkan beras sisa atau yang berjatuhan ketika pengemasan beras di pasar induk beras, baik untuk dijual maupun untuk dikonsumsi. Adalah Eka (29 tahun), seorang pemungut beras di pasar induk Cipinang yang juga menjadi salah satu korban atas tidak terpenuhinya hak atas pangan oleh negara. Eka memiliki seorang suami (31 tahun) dan dua orang anak. Pekerjaan sehari-hari suaminya adalah penjual barang asongan di Kota, penghasilannya pun beragam “kadang sehari bisa sampai Rp 50.000,- dan kadang juga cuma Rp 20.000,-, apalagi kalau jualannya tidak laku ya.. tidak dapat apa-apa tapi yang penting ada uang untuk bayar kontrakan rumah sebesar Rp 300.000,- per bulan” tuturnya. “Karena itu, kalau dagangan suami sedang tidak laku, saya yang bantu cari uang dengan mengumpulkan beras di pasar induk”, lanjutnya. Pekerjaan itu pun ia lakukan untuk menyambung hidup sehari-hari. Butuh waktu 4-5 hari untuk mengumpulkan beras sampai 10 liter agar bisa dijual untuk mendapatkan uang dan itu pun kalau laku ia jual kepada tetangganya. Kalau tidak laku, maka disimpan untuk konsumsi sendiri. Itu pun dimasak hanya 1 liter per hari karena ia tetap berharap akan ada yang membeli berasnya. Peran perempuan dalam hal ini menjadi sangat penting karena seperti posisi ibu Eka, ketika setiap hari suami bekerja, ia harus menjaga anak, menyiapkan makanan, dan melakukan pekerjaan rumah lainnya yang dibebankan sepenuhnya kepada perempuan. Disela menjaga anak dan melakukan pekerjaan rumah pun, ia harus bekerja
sosok Ibu Eka dan Anaknya untuk menopang ekonomi keluarga dengan mengumpulkan beras, kemudian harus kembali ke rumah sebelum anak pertamanya pulang sekolah dan suaminya pulang. Dengan kondisi yang serba kekuarangan, Eka harus menghadapi kenyataan bahwa anak keduanya (perempuan) hampir menderita gizi buruk. Hal tersebut terjadi karena pola konsumsi makanan yang kurang teratur dan juga asupan gizi anak-anak yang sangat kurang. Bila pola hidup yang tidak baik terus dilakukan, maka kemungkinan buruk itu akan terjadi lagi. Bagaimana anaknya tidak terkena gizi buruk jika makanan yang dikonsumsi sehari-hari hanya membeli di warung makanan jadi yang tidak terjamin kebersihan dan gizinya. Selain itu, jajanan untuk anak-anak di lingkungan rumahnya pun sangat tidak ramah terhadap kesehatan, seperti penggunaan pewarna, pengawet, dan bahan-bahan lainnya yang berakibat buruk bagi kesehatan. Ibu Eka dan keluarga selalu mengkonsumsi beras dan tidak pernah beralih ke makanan pokok lainnya seperti jagung atau singkong. Hal itu dijawabnya dengan “kan selalu ambil beras di pasar induk jadi selalu makan nasi.
Kalau lauk dan jajanan anak-anak memang selalu beli. Ibu RT juga jual beras murah, Rp 10.000,-/5 liter. Tapi saya tidak pernah beli”. Yang muncul dibenak saya ketika bu Eka mengutarakan hal itu adalah mungkin karena kualitas beras tersebut kurang baik sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Kebijakan mengimpor beras khusus untuk beras miskin juga salah satu bentuk perhatian dari pemerintah yang memprihatinkan karena kebutuhan sebagian besar masyarakat akan beras dipolitisasi oleh kelompok kepentingan. Kebijakan tersebut sebenarnya sangat menyulitkan petani karena harga jual beras impor yang lebih murah. Bahkan karena untuk kalangan tidak mampu, kualitas beras pun sangat tidak manusiawi karena berwarna sedikit hitam, banyak gabah, batu kerikil, dan remuk. Tidak sedikit masyarakat yang menerima beras miskin ini menjualnya kembali karena memang tidak layak untuk dikonsumsi. Dengan adanya kebijakan tersebut semakin membuat masyarakat kurang mampu bergantung kepada pemerintah karena dalam hal ini, pemerintah selalu memberikan ikan bukan kail.****(NT)
Edisi II | April - Juni 2011 |
Perempuan Bergerak
17
bedah film
Laut Jiwa Raga Kita
I
ndonesia adalah Negara Kepulauan terbesar di dunia, dengan 17.504 pulau yang luas wilayah perairannya 5,8 juta km2, dan panjang pantai 95,181 km. Indonesia juga nomor empat terpanjang pantainya di dunia dan 75% wilayahnya adalah lautan. Masuk akal apabila laut menjadi sandaran hidup utama sebagian besar masyarakat atau penduduknya, apalagi mereka yang tinggal di daerah pesisir. Suku Bajo di Sulawesi Tenggara, mereka menyandarkan hidupnya kepada laut. Di laut mereka mencari sumber pangan. Melaut menjadi denyut pekerjaan yang digeluti masyarakat Suku Bajo, yang mencitrakan mereka sebagai manusia bahari atau laut. Bagi masyarakat Bajo, laut merupakan ladang, dari lautlah mereka makan dan memenuhi kehidupan lainnya sepanjang masa. Suku Bajo sendiri bermukim di atas lautan. Kisah tentang suku Bajo dan laut inilah yang diangkat dalam film berjudul The Mirror Never Lies. Sebuah film karya Kamila Andini yang ber-setting di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Film yang dibintangi oleh Atiqah Hasiholan dan Reza Rahadian ini menampilkan 3 anak suku Bajo yakni Gita Lovalista, Eko dan Zainal. Selain mengambarkan keindahan daerah
Wakatobi dengan terumbu karangnya dan kehidupan masyarakat pesisir, film ini juga membuka gambaran bahwa laut sebagai cermin besar yang mampu memberi kenikmatan, namun terkadang ganas merenggut milik manusia. Film ini bercerita tentang kegelisahan anak perempuan, bernama Pakis (Gita Lovalista), usia 12 tahun yang tak pernah lelah untuk menanti bapaknya kembali ke rumah. Bapaknya yang melaut bak lenyap ditelan masa. Pakis yakin sang bapak masih hidup dan akan kembali menemui dirinya dan ibunya. Bahkan, Pakis melakukan ritual khusus sukunya dengan menggunakan cermin, yang dipercaya mampu melihat bayangan orang yang hilang di laut. Namun upaya Pakis selalu ditentang oleh ibunya, Tayung (Atiqah Hasiholan). Ibunya selalu menganggap bahwa upaya Pakis adalah sia-sia. Tayung kerap marah ketika Pakis membicarakan soal ayahnya. Pakis tak putus asa, ia bersama Lumo (Eko), sahabatnya selalu menanti dan berharap kembalinya sang bapak. Keadaan makin rumit ketika hadirnya Tudo (Reza Rahadian), seorang peneliti lumba-lumba dari Jakarta yang tinggal di rumahnya. Konflik pun terjadi di an-
Judul Sutradara Penulis Produser Produksi
Durasi Pemain
18
Perempuan Bergerak | Edisi II | April - Juni 2011
: The Mirror Never Lies : Kamila Andini : Kamilia Andini dan Dirmawan Hatta : Garin Nugroho dan Nadine Chandrawinata : Set Film dan World Wide Fund for Nature Indonesia (WWF Indonesia) didukung oleh Pemda Wakatobi : 100 menit : Atiqah Hasiholan, Reza Rahadian, Gita Lovalista, Eko, Zainal, Halwiyah, Darsono
tara mereka. Tayung di dalam film ini tampil sebagai sosok perempuan yang kuat, namun gamang. Sehari-harinya selalu memoles mukanya dengan bedak tebal dari tepung. Tidak jelas mengapa hal itu dilakukan, apa karena budaya setempat atau kebiasaannya saja. Dengan segala upaya ia mencari nafkah di laut, dengan mengumpulkan kerang atau ikan, kemudian menjualnya ke pasar untuk dibarter dengan bahan makanan lainnya, selain untuk dimakan sendiri. Juga mengumpulkan rumput laut yang mudah untuk diolah. Kecuali keindahan alam Wakatobi, film ini pun memancarkan berbagai acara adat suku Bajo. Salah satunya, acara adat Kabuenga, yakni acara cari jodoh bagi suku Bajo. Tak hanya itu, pesan-pesan turut mewarnai film yang berlokasi syuting seluruhnya di Wakatobi ini. Misalnya, ketika Pakis mencuri ikan yang masih kecil hasil tangkapan nelayan, lalu ia melepaskan ikan itu kembali ke laut. Mereka telah membuat aturan bahwa ikan yang masih kecil tidak boleh ditangkap. Sebagai masyarakat pesisir, maka suku Bajo secara bersama-sama menjaga laut mereka. Karena, laut merupakan kehidupannya. Dengan keterbatasan sarana pendidikan yang ada, maka mereka berhasil melukiskan bagaimana seharusnya manusia mencintai dan menjaga alamnya. Dalam bermasyarakat, suku Bajo berhubungan erat dengan warga yang tinggal di Pulau Kaledupa, yang berlokasi tak jauh dari perkampungan Bajo. Mereka kerap bertukar mata pencaharian. Warga suku Bajo menjaring ikan dan ditukarkan dengan bahan makanan pokok di Pulau Kaledupa. Pulau ini termasuk pulau besar yang berada di wilayah Kepulauan Wakatobi.
Selain kerasnya penghidupan di laut, film ini juga mengkisahkan kehidupan sosial lainnya, seperti masalah pendidikan. Dalam film ini digambarkan anakanak harus mengarungi laut untuk menempuh sekolah formal dengan fasilitas seadanya. Soal pendidikan masih kurang menjadi perhatian bagi masyarakat suku Bajo. Anak-anak suku Bajo lebih senang mencari ikan daripada sekolah. Kesadaran orang tuanya pun masih minim. Berdasarkan data yang ada, minat mereka terhadap pendidikan sangat rendah, hanya sekitar 0,5% dari 46% angka partisipasi sekolah di Sulawesi Tenggara. Persoalan lain yang dihadapi adalah sumber air bersih. Sebagai masyarakat yang tinggal di laut, mereka harus mencari sumber air bersih atau air tawar ke gunung atau membelinya di pesisir. Untuk mendapatkan air di gunung, maka mereka harus mendaki mengisi jerigen-jerigen yang ada kemudian dinaikan ke kapal kecil dan dibawa ke rumah yang berada di atas laut. Air tawar ini biasa digunakan untuk memasak atau minum. Film ini juga menyuratkan bahwa makanan pokok tak hanya beras. Di beberapa adegan film ini tampak bahwa beras bukan satu-satunya makanan pokok suku Bajo. Masyarakat suku Bajo lebih sering makan kasuami dan kasuami pepe yang merupakan makanan khas Wakatobi yang berasal dari singkong. Bentuk kasuami mirip dengan tiwul di Pulau Jawa. Kasuami dan kasuami pepe biasa disantap bersama dengan ikan hasil tangkapan.*****(JK)
Edisi II | April - Juni 2011 |
Perempuan Bergerak
19
bedah buku
Pangan adalah Kekuasaan Kelaparan bukanlah kodrat Tuhan. Kelaparan diciptakan dan dipelihara oleh keputusan manusia, dalam hal ini oleh sekelompok minoritas yang mengambil keuntungan dari keterbelakangan orang lain.
B
uku yang ditulis oleh Susan George ini memperlihatkan secara jelas berbagai fakta, mitos produksi, sekaligus jawaban kritis berkaitan dengan dunia pangan. Secara ringkas, bahasan buku ini mencakup pada pra-pasca produksi pertanian, populasi, lingkungan, kolonialisme dan bentuk-bentuk eksploitasi baru, serta dimensi-dimensi lain yang berkaitan. Bagian penting yang ingin diungkap oleh penulis disini adalah mengenai kelaparan yang justru terjadi di pusat-pusat produksi pangan berjalan. Pada akhirnya buku ini ingin menjabarkan sejarah terjadinya peralihan kekuasaan pangan dari rakyat ke sistem kapital. Sistem yang hanya menguntungkan pemilik modal. Sistem yang menciptakan kemiskinan massal di seluruh dunia. Susan George mengawali dengan kehidupan manusia pada jaman berburu dan meramu. Dengan hanya segelintir orang per mil persegi menjadikan sistem berburu dan meramu menjadi sebuah sistem yang baik pada zamannya. Kemudian, sekitar 5000 tahun kemudian, sistem ini tergantikan oleh sistem pertanian, walaupun menurut penulis terdapat proses transisi dari peralihan tersebut, bahkan di beberapa belahan dunia masih dilakukan bersamaan (seperti di Indian Amerika). Bahkan di beberapa tempat, kelompok pemburu dan peramu harus bersaing dengan para petani untuk memperoleh lahan. Dan petani selalu menang.
Proses penghapusan sistem berburu dan meramu terus terjadi bahkan sepanjang hidup kita sendiri. Jadi, pertanian bisa dikatakan menjadi fenomena yang sangat baru pada sejarah manusia kala itu. Pada masa sistem pertanian, menjadi awal mula praktek-praktek penguasaan atas pangan terjadi. Terutama oleh raja, pemuka agama, kepala suku, tuan tanah yang feodal, atau petani yang kaya. Dalam sistem ini pula mulai dikenal pembagian kerja (labour of division), dimana kelompok yang kehilangan tanahnya menjadi budak, penggarap, buruh di tanahnya sendiri. Penguasaan atas produksi pangan sumber daya bagaimanapun bentuknya menjadi penyebab utama kelaparan. Kehilangan tanah pertanian, banyak petani yang kemudian bekerja atau meminjam untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarganya. Petani meminjam uang atau makanan dari tuan tanah, kemudian harus membayar kembali beserta bunganya. Maka sepanjang hidup, kaum tani miskin akan terjerat hutang tuan tanah. Kebanyakan kaum tani kecil memproduksi pangan (dengan peralatan sederhana dan tenaga kerja dari keluarga sendiri) untuk dikonsumsi sendiri. Namun, mereka pun mempunyai kewajiban untuk membayar hutang kepada tuan tanah atau “pemegang kekuasaan”. Disebut “pemegang kekuasaan” bergantung pada seberapa kuat menggunakan berbagai tindakan untuk memeras dan mengeksploitasi kekayaan dari orang-orang di pedesaan. Oleh sebab itu, kelaparan terjadi dimana-mana karena kaun tani tidak dapat menikmati hasil garapan sendiri. Secara historis, berbagai macam praktek pengaturan kepemilikan tanah dan penguasaannya masih terjadi sampai hari ini. Jadi, ada seratus satu cara yang berbeda untuk
Judul Penulis Penerbit Cetakan Halaman ISBN
20
Perempuan Bergerak | Edisi II | April - Juni 2011
: Food for Beginners : Susan George : Writers and Readers Publishing : 1982 : 76 halaman; il : 0 906495 85 7
menjadi miskin dan kelaparan. Hal ini terjadi di pada para petani di Irlandia. Para petani menghasilkan pangan hanya untuk di kuasai oleh tuan lahan. Sedangkan petaninya sendiri tidak menikmatinya, walaupun keluarganya kelaparan. Karena, di beberapa bagian Negara Irlandia kelaparan massal terjadi. Minimnya lahan pekerjaan membuat penduduk tak dapat mengakses pangan. Hal ini mengakibatkan terjadi emigrasi besar-besaran ke berbagai Negara besar lain seperti Amerika, Inggris, dan Skotlandia. Untuk konteks saat ini, kelaparan berarti Dunia Ketiga. Dimana Negara Dunia Pertama mendominasi Dunia Ketiga. Negara yang termasuk Dunia Ketiga adalah Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yang disebut juga Negara “terbelakang” atau “terdominasi”. Amerika Utara, Eropa, Jepang, Oseania adalah Dunia Pertama, atau disebut Negara “industri”, “berkembang”, “pusat”, atau “mendominasi”. Terdominasi dan mendominasi adalah gambaran paling akurat perbedaan antara Dunia Ketiga dan Dunia Pertama. Di beberapa Negara berkembang pengendalian kelahiran juga erat kaitannya dengan ketahanan pangan. Menjaga populasi menjadi satu strategi agar kemerataan pangan dapat dikendalikan. Sebab Dunia Pertama meyakini bahwa pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dapat memperburuk situasi pangan dan mengakibatkan kelaparan. Padahal sesungguhnya hal tersebut bukan merupakan penyebabnya. Susan George mendefinisikan kelaparan sebagai suatu kondisi seseorang yang tidak memiliki kekuasaan atas tanah dan pendapatan. Baik sedikit lahan atau bahkan tidak ada, sedikit pendapatan atau tidak punya sama sekali dan terkadang disertai dengan pemusnahan secara fisik terhadap suatu populasi secara simultan. Hal ini dapat disebabkan adanya hubungan antara kelas yang mendominasi/kuat dengan terdominasi/tak berdaya, yang berbeda dalam setiap masyarakat dan periode sejarah. Kelaparan juga terjadi akibat ketiadaan pekerjaan. Tidak ada pekerjaan berarti tidak memiliki uang yang berarti tidak tersedia pangan. Adanya Revolusi Industri yang terjadi pada abad ke-18 memang membuka ruang-ruang pekerjaan baru. Bahkan, dalam rangka penyediaan tenaga kerja di industry, para petani dialihkan menjadi buruh industry dengan upah murah. Akan tetapi, dengan munculnya teknologi dalam industry mengancam kelangsungan pekerjaan para buruh yang telah menjadi sumber penghidupan. Susah George mengemukakan pendapatnya mengenai beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menangani kelaparan. Pertama, menurut bantuan pangan jangka panjang bukan jawaban yang tepat untuk
penanganan kelaparang. Pangan haruslah diberikan secara berlimpah, dan yang terpenting cepat. Banyak bantuan pangan sengaja diarahkan untuk mengubah kebiasaan makanan, seperti memperkenalkan roti ke Afrika, atau untuk konteks Indonesia misalnya membuat warga Papua mau memakan nasi. Hal ini sebenarnya merupakan startegi menciptakan pasar komersial baru dengan penyeragaman pangan. Negara-negara miskin yang terpancing akan mengikuti arus yang berarti mengimpor pangan yang harganya sangat mahal. Impor pangan menjadi keharusan. Di sisi lain, komitmen lembaga-lembaga bantuan pun seperti PBB dan Bank Dunia patut dipertanyakan. Sebab lebih sering program yang dicanangkan tidak tepat sasaran. Malah membuat kesenjangan yang kaya dan miskin semakin besar. Kedua, menguatkan yang lemah dan melemahkan yang kuat. Dalam artian, memulai memperjuangkan kedaulatan pangan dari lingkungan tempat tinggal sendiri. Yaitu dengan cara memahami bagaimana minoritas mengontrol sistem pangan masyarakat di komunitas dan mengungkapkan bentuk-bentuk penindasan tersebut untuk menggalang kekuatan massa. Dengan demikian, akan menghapuskan kekuatan minoritas terhadap mayoritas. Dan tujuan perubahan pun dapat dicapai. Ketiga, membangun aliansi. Artinya, para pekerja, petani kecil dan konsumen pada dasarnya memiliki kepentingan yang sama dan musuh yang sama. Akan tetapi, mereka tidak selalu bisa melihat ini dengan jelas. Yang bisa dilakukan adalah dengan membantu memperkuat yang lemah di negara-negara yang terdominasi dengan pembentukan organisasi seperti NGO, dll. Selain itu, dalam konteks Dunia Ketiga, sudah saatnya tidak lagi bergantung pada kekuatan Dunia Pertama. Mengacu pada perkataan Bertolt Brencht yakni, “Musuh-musuh dari orang-orang adalah mereka yang tahu apa yang mereka butuhkan”, maka sesungguhnya rakyatlah yang berhak mendefinisikan kebutuhan tersebut. Lingkungan lokal, keterampilan lokal, dan pengaturan sosial setempat dapat dijadikan kekuatan untuk keluar dari dominasi bangsa Dunia Pertama. Tidak menggunakan pengetahuan dari Barat bukan berarti hidup dalam kegelapan. Memahami realitas dapat menyedihkan, karena kebanyakan berwujud penindasan. Tapi di sana kita dapat membantu satu sama lain untuk menjaga. Jadi, sesuai dengan kutipan terakhir di dalam buku ini yang berasal dari pemikir Marxis Italia, Gramsci, yang ditulis dalam penjara Fasis: “Pessimism of the mind, optimism of the will”.****(IK)
Edisi II | April - Juni 2011 |
Perempuan Bergerak
21
puisi
Lapar
Nyanyian Sunyi Kemiskinan
(Puisi untuk Korban Kelaparan Makassar) Oleh: DG. LIMPO
Oleh: Bayu Gautama
tuan, dimanakah harus kucari sesuap nasi untuk kusantap hari ini menghiba kami minta dikasihani agar lepas rasa lapar satu hari karena janin ini tidak mengerti mengapa harus menderita begini tuan, perih perut kami bertapa habis parau suaraku meminta badanku lemas perutku meronta anak dalam kandunganku merana hanya tulang terbalut kulit derita setiap hari meminum air mata tuan, jika dapat aku memilih ini jangan biarkan anakku lahir disini negeri apakah ini, kami dibiarkan mati padahal kami hanya ingin sesuap nasi begitu mahalkah sesuap nasi dibandingkan nyawa kami berdua ini? tuan, begitu pedih jawaban yang kau beri kau katakan kami adalah para pemalas negeri lihatlah hidup kami, sejak ayam berkokok pagi suami pergi menarik becak di kota anging mammiri pagi hingga malam hari tak ada penumpang lagi tiga hari kami menanti datangnya rezeki namun apadaya kami hanya bisa begini inilah ketentuan yang harus kami jalani agar manusia punya peduli dan empati tuan, perih perut kami menahan lapar ini lebih perih hati kami sebagai manusia bumi kelaparan dinegeri yang subur makmur ini toto tentrem kertoraharjo gemah ripah loh jinawi lalu mati dilumbung beras sulawesi tuan, disini aku menantimu dipintu pengadilan hakiki di hari pembalasan nanti dirimu yang tak peduli untuk kumintakan keadilan abadi kepada Tuhan, Pengadil yang Suci
22
Perempuan Bergerak | Edisi II | April - Juni 2011
Tadi malam buta Setelah matahari tidur Aku mengadaikan nyawaku Pada seorang lintah darat Yang biasa mencekik orang-orang di kampungku Aku pagi nanti Setelah matahari bangun Aku bisa pergi ke pasar Cicadas Membeli tahu Kangkung Juga beras Yang harganya semakin sombong Tidak mau lagi bersahabat dengan orang-orang sepertiku Tapi setelah pulang dari pasar aku pasti bingung Uangku habis Dan lusa esok Nyawaku pasti sudah dijual lintar darat Dan dibeli saudagar kaya Dengan harga lebih tinggi
P
angan adalah segala sesualu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalarn proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.
Sistem pangan
S
istem pangan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan, pembinaan, dan atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi pangan dan peredaran pangan sampai dengan siap dikonsumsi manusia.
Keamanan pangan
K
eamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
Ketahanan Pangan
K
etahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan merupakan sistem yang terdiri atas subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Subsistem distribusi berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Sedangkan subsistem konsumsi berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, kemananan dan kehalalannya.
Kemandirian Pangan
K
emandirian pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan tanpa adanya ketergantungan pada pihak luar dan mempunyai daya tahan tinggi terhadap perkembangan dan gejolak ekonomi dunia.
Produksi pangan
Kedaulatan Pangan
P
K
roduksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan atau mengubah bentuk pangan.
Perdagangan pangan
P
erdagangan pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penjualan dan atau pembelian pangan, termasuk penawaran untuk menjual pangan, dan kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindah tanganan pangan dengan memperoleh imbalan.
Gizi pangan
G
izi pangan adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri alas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta turunannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan rnanusia.
pojok kata
Pangan
edaulatan Pangan adalah hak tiap orang, masyarakat dan negara untuk mengakses dan mengontrol aneka sumberdaya produktif serta menentukan dan mengendalikan sistem (produksi, distribusi, konsumsi) pangan sendiri sesuai kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya khas masing-masing (Hines, 2005 dalam: Khudori, 2008).
Hak Atas Pangan
H
ak atas pangan adalah hak untuk mendapatkan akses yang teratur, tetap dan bebas, baik secara langsung atau dengan cara pembelian atas pangan yang memadai dan cukup, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, yang berhubungan secara langsung pada tradisi masyarakat dari mana suatu konsumen itu berasal, dan dengan itu memastikan bahwa kehidupan fisik maupun mental, individu maupun kolektif, yang penuh dan bermartabat serta bebas dari ketakutan.*****(JK)
Edisi II | April - Juni 2011 |
Perempuan Bergerak
23