SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN BUDAYA OKTOBER 2O1 6 DENPASAR,
7.8
PROSIDING BAHASA, POLITIK, DAN KEKUASAAN DAIAM DINAMIKA KEBUDAYAAN ,i'}
Penyunting
:
I Ketut Sudewa I Wayan Teguh
EAKULTAS ILMU BUBAYA UNIVERSITAS UI}AY*NA 201,6
DAFTAR ISI
Jamu Minum Orang Pintar: Bahasa dan Kekuasaan. Prof. Dr. Faruk, SU.
1
Sejarah Lokal: Keteladanan Dalam Tindakan Sebagai Fondasi Pendidikan Karakter Prof. Dr. Nengah Bawa Atmaja, M.A
16
Nilai Pendidikan Karakter dalam “Geguritan Bagus Diarsa”. I Ketut Nama
40
Memeluk Mimpi: Ketidaknetralan Wacana Pelestarian Bali Masa Kolonial dan Masa Kini. I Nyoman Wijaya
49
Penggunaan Akronim Sebagai Jargon Politik: Studi Sejarahnya di Indonesia. I Ketut Darma Laksana
61
Bahasa dan Kekuasaan di Ranah Akademik. I Gusti Ayu Gde Sosiowati
71
Base Lame dan Base Karang di Dalam Bahasa Melayu Bali. I Nyoman Suparwa
80
Bahasa Sang Penguasa pada Cerita Rakyat Bali Kuna. P.A.A. Senja Pratiwi
93
Trauma Kekuasaan dalam Cerpen-Cerpen Terakhir Made Sangra. I Made Suarsa
104
Metafora Kekuasaan dalam Bahasa Indonesia: Kajian Linguistik Korpus. I Made Rajeg dan Kadek Sanjaya
114
Revitalisasi Rumah Pengasingan Bung Karno Di Kota Ende. Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo
126 i
Kanji dan Keseharian Orang Jepang. Renny Anggraeny
137
Makna dan Struktur Kalimat dalam Ujaran Bahasa Indonesia Ni Putu N. Widarsini dan I Made Suida
148
Kesantunan dalam Pelayanan: Studi Kasus pada Pusat Perbelanjaan Isetan. I Gede Oeinada
158
Kekuasaan dalam Bahasa: Kajian Etnolinguistik Ritual Tumpek dalam Kehidupan Masyarakat Bali. Ni Wayan Sumitri dan I Wayan Arka
165
Kesantunan Berbahasa pada Bagian Kehumasan Universitas Warmadewa. Agus Darma Yoga Pratama
183
Antara Narasi dan Eksposisi: Kemampuan Bahasa Bali Sebagai Bahasa Pengetahuan dalam Cerita Rakyat dan Buku Pelajaran Sekolah Jaman Kolonial. Ida Ayu Laksmita Sari
193
Hikikomori: Penyakit Sosial ataukah Gaya Hidup? Ngurah Indra Pradhana
204
Daya Situasi Tuturan I Nengah Sukartha
212
Glokalisasi Kerajinan Patung di Bali. Ni Luh Sutjiati Beratha, Ni Wayan Sukarini dan I Made Rajeg
225
Relasi Politik dan Perkembangan Bahasa Belanda Di Hindia Belanda Abad XIX. Sulandjari
243
Kotodama sebagai Kearifan Lokal Masyarakat Jepang dalam Berucap. Ni Putu Luhur Wedayanti
255 ii
Desa Sanur dalam Perspektif Sejarah Budaya. I Wayan Srijaya
263
Sikap Budaya dan Sikap Bahasa: Implikasinya Dalam Pemertahanan Bahasa Bali. Putu Sutama
275
Kata Keterangan dalam Bahasa Indonesia: Sebuah Kajian Subkategorisasi. I Wayan Teguh
282
Sejarah Terjadinya Republik Demokratik Timor Leste dan Bahasanya: Sekilas Lintas. Ketut Riana
293
Diskriminasi Cerita Calonarang terhadap Citra Ibu dalam Masyarakat Bali. I Nyoman Duana Sutika
308
Peranan Karya Tulis Ilmiah dalam Bahasa Indonesia dan Analisis Permasalahan Penulisan Karya Ilmiah. Ni Wayan Arnati
322
Dewa Nini: Ikon Dewa Dewi Kesuburan dari Bali yang Semakin Langka. I Wayan Redig
334
Geguritan Sucita Mwah Subudhi: Aspek Tema dan Nilai agama Hindu. Luh Putu Puspawati
343
Menilik Pengaruh Kekuasaan Majapahit Berdasarkan Motif Hias pada Tinggalan Arkeologi. Rochtri Agung Bawono
359
Perilaku Sintaksis Kata Sifat Bahasa Bali Pada Tataran Frase. Ni Made Suryati
367
Politik dan Gender: Kajian Wacana. I Gusti Ngurah Parthama dan Ni Luh Kade Yuliani Giri Kekuasaan Tokoh-tokoh dalam Novel Doben Karya
iii
379
Maria Matildis Banda: Kajian Reseptif. Sri Jumadiah
387
Bsrêng Barong Using Kemiren: Kearifan Tradisi, Penegasan Nilai Sakral dan Identitas Diri Orang Using dalam Era Global. Ketut Darmana
400
Sasmita: Cara Mengenali Pergantian Pupuh Dalam Tembang Macapat. I Ketut Ngurah Sulibra
415
Sewa Bodha Keadaban Gelgel dalam Teks Lontar Paniti Gama Tirtha Pawitra. Ida Bagus Rai Putra
430
Perkembangan Teater di Bali melalui Sosok Dramawan Abu Bakar I Nyoman Darma Putra
456
Relasi Kuasa Dalam Novel Indonesia Bertema Bali Karya Pengarang Non-Bali I Made Sujaya
478
Arus Balik 'Tersingkap':Memikirkan Politik Dunia Nusantara bersama Pramoedya dan Heidegger Jeffrey Willever Jacobson
486
iv
MENILIK PENGARUH KEKUASAAN MAJAPAHIT BERDASARKAN MOTIF HIAS PADA TINGGALAN ARKEOLOGI Rochtri Agung Bawono Prodi Arkeologi FIB Universitas Udayana
[email protected]
Abstrak Kekuasaan Majapahit berdasarkan Kitab Negarakrtagama meliputi seluruh Nusantara, daratan Malaya, dan Brunei, tetapi wilayah inti Kerajaan Majapahit hanya meliputi sebagian Jawa Tengah dan seluruh Jawa Timur yang selalu dipimpin oleh keluarga raja, sedangkan wilayah di luar wilayah inti tidak disebutkan secara jelas penguasanya. Luasan pengaruh kekuasaan ini dapat diketahui berdasarkan motif hias yang terdapat pada tinggalan arkeologi yang diproduksi pada Masa Majapahit tersebut. Motif hias yang menjadi penciri pada Masa Majapahit yaitu surya (prabha) dan meander pita Majapahit. Pengambilan sampel tinggalan arkeologi dilakukan secara acak mewakili daerah yang kemungkinan berkaitan dengan Kerajaan Majapahit atau sesudahnya. Berdasarkan sebaran motif hias meander pita dan surya Majapahit yang terdapat pada tinggalan arkeologi diketahui bahwa konsentrasi terbanyak terdapat di Jawa Timur secara keseluruhan yang memperkuat dugaan bahwa wilayah ini mendapat pengaruh terkuat sehingga layak disebut sebagai wilayah inti Kerajaan Majapahit. Wilayah lain yang mendapat pengaruh kuat berdasarkan kedua motif hias tersebut yaitu Bali, sedangkan wilayah yang juga terdapat motif hias tersebut yaitu Cirebon, Palembang, dan Papua. Kata Kunci: motif hias, meander pita, surya Majapahit, dan kekuasaan.
1. Pendahuluan Majapahit merupakan kerajaan terbesar di Nusantara yang dianggap memiliki wilayah sangat luas bahkan melebihi wilayah Indonesia saat ini. Berdasarkan Kitab Negarakrtagama
(Desawarnnana) wilayah
kekuasaan
Majapahit pada masa Raja Hayam Wuruk dicatat hingga Lemuri (Aceh) hingga Wanin (Papua), termasuk Buruneng (Brunei), Hujung Medini, Pahang, Kelantan, Trengganu, Johor, Kedah (Malaya), Tumasik (Singapura), dan Uda (MindanauPhilipina) (Muljana, 2006; Riana, 2009). Data pendukung luasan wilayah Majapahit yaitu kitab Pararaton, Sejarah Melayu, Kidung Sunda, dan Babad Tanah Jawi. Bila ditelisik lebih jauh, luas wilayah Kerajaan Majapahit menunjukkan hanya sebatas Provinsi Jawa Timur sekarang, dan sebagai Jawa Tengah yang
disebut sebagai kerajaan bawahan meliputi Daha, Wengker, Matahun, Lasem, Pajang, Paguhan, Kahuripan, Singasari, Mataram, Wirabhumi, dan Pawanuhan (Muljana, 2006). Seluruh kerajaan bawahan tersebut kekuasaannya dipegang oleh keluarga Raja Majapahit, sedangkan wilayah lain tersebut disebut sebagai Dwipantara atau Nusantara yang merupakan kerajaan vassal. Luasnya kekuasaan tersebut selain diketahui dari data catatan seharusnya juga didukung oleh data artefaktual yang mampu menunjukkan kehadiran pengaruhnya di wilayah tersebut. Salah satu data arkeologi yang ingin ditelusuri lebih mendalam untuk melihat pengaruh kekuasaan yaitu data ragam hias khas Majapahit yang masih dapat ditemukan di lokasi-lokasi kekuasaan sebagai bukti nyata kehadiran pengaruh Kerajaan Majapahit. Ragam hias merupakan seni dekorasi yang terdapat pada setiap hasil karya manusia. Perkembangan seni hias pada awalnya hanyalah sekedar memberikan rasa keindahan (dekoratif) saja karena adanya bidang-bidang kosong pada setiap bagian karya, tetapi pada perkembangan selanjutnya seni hias dianggap sebagai identitas sang pembuat karya bahkan sebagai simbol dan memiliki makna yang jauh lebih khusus. Setiap periode memiliki ragam hias yang berkembang dibandingkan dengan motif yang lain sehingga motif hias tersebut dapat disebut sebagai langgam atau gaya motif hias dalam satu kurun waktu. Langgam atau gaya motif hias yang berkembang dianggap sebagai penciri suatu periode atau kerajaan tertentu. Seni hias yang merupakan bagian dari langgam tersebut dapat menjadi pembeda setiap periode. Berdasarkan uraian di atas maka tulisan ini bertujuan untuk mengungkap pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit melalui motif hias yang berkembang atau periode sesudahnya.
2. Hasil Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian yang telah dilakukan diperoleh data bahwa motif hias yang sangat berkembang pada Masa Kerajaan majapahit yaitu surya (prabha) dan meander pita Majapahit (Bawono dan Zuraidah, 2015; 2016).
Surya Majapahit merupakan simbol kebesaran kerajaan Majapahit yang berupa lingkaran yang dikelilingi garis-garis atau susunan tumpak di luarnya. Bentuk tersebut dianggap sebagai simbol matahari (raja-kerajaan) yang mampu menerangi-mengayomi bumi (wilayah) dan sekaligus sebagai sumber penggerak kehidupan. Bentuk surya beserta pancarannya juga digambarkan tidak bulat tetapi memanjang ke bawah mengikuti bentuk tubuh arca dan penempatannya sebagai latar belakang arca sehingga seolah-olah sebagai sinar yang muncul dari tubuh arca dan dipahatkan di stella (sandaran arca). Pancaran surya dengan tipe ini disebut juga sebagai prabha atau sinar kewibawaan (kemuliaan). Prabha berupa surya Majapahit juga digambarkan bulat-lingkaran di belakang kepala menyerupai Sirascakra (lambang kedewataan). Motif hias kedua yaitu meander pita Majapahit yaitu lengkungan khas menyerupai patra mesir (berkembang pesat di Cina) yang digambarkan pada pinggir bidang dengan bentuk geometris yang tegas. Hiasan meander Majapahit kemungkinan besar diambil dari ide lengkung atau gelombang daun teratai, karena merupakan salah satu motif hias flora yang sering digunakan pada Masa Majapahit. Istilah lain meander pita yaitu sulur pita Majapahit karena bentuknya menyerupai sulur-suluran dengan gelombang yang teratur tetapi memiliki bentuk yang sangat khas. Kedua motif hias tersebut dianggap mewakili untuk melakukan pengamatan terhadap tinggalan yang tersebar di seluruh Nusantara berupa bangunan arsitektural atau artefak lepas. Semakin banyak motif hias surya (prabha) dan meander pita Majapahit tersebut ditemukan dan kaya ragamnya maka daerah tersebut memiliki pengaruh kekuasaan Majapahit yang sangat kuat dan dianggap sebagai wilayah kekuasaan inti.
3. Pembahasan Pusat atau ibukota Kerajaan Majapahit berdasarkan penelitian para ahli terletak di Trowulan Kabupaten Mojokerto Provinsi Jawa Timur. Bahkan Henry Maclaine Pont telah melakukan pengamatan langsung terhadap tinggalan purbakala
dan
menetap
di
Trowulan
antara
tahun
1921-1924
untuk
merekonstruksi istana Majapahit. (Sidomulyo, 2007; Munandar, 2008; Tim PATI,
2011; Rangkuti, 2012). Hingga saat ini wilayah Trowulan memiliki dan ditemukan banyak tinggalan purbakala berupa candi, nisan, kolam, struktur bangunan, keramik, terakota, logam, prasasti, yoni, dan arca. Temuan batu berpahatkan surya Majapahit ditemukan di Trowulan dengan berbagai variasi, diantaranya merupakan koleksi Pusat Informasi Majapahit (PIM) dan Museum Nasional Jakarta. Surya Majapahit koleksi PIM memiliki sudut delapan mengelilingi lingkaran yang dipahatkan dewa penguasa 9 arah mata angin, sedangkan surya Majapahit koleksi Museum Nasional berbentuk lingkaran bersudut delapan menyerupai bentuk teratai dengan 8 dewa di antara helai sudut pancarannya. Bentuk serupa juga ditemukan di Candi Cetho-Lereng Gunung Lawu Jawa Tengah dengan bentuk bulat bersudut 9 dan terdapat untaian mutiara yang melingkar pada bagian tengahnya. Bentuk lain surya Majapahit yang dipahatkan pada bangunan juga ditemukan di Candi Angka Tahun dan Candi Rekonstruksi Panataran-Blitar, Candi Sawentar-Blitar, Candi Jawi-Malang, Candi Kebo Ireng-Pasuruan, Candi Bangkal-Mojokerto, dan Candi Rimbi-Jombang. Surya Majapahit ternyata juga mempengaruhi ragam hias Islam khususnya pada nisan terdapat pada nisan-nisan Troloyo dan kompleks makam Sunan Bonang. Menarik untuk dilihat bahwa di luar wilayah tersebut, Bali memiliki banyak hiasan surya Majapahit terutama pada bangunan-bangunan pura dan artefak-artefak pendukung lainnya. Bahkan sebagian besar hiasan pada puri-puri (istana) di Bali ditemukan unsur surya Majapahit. Hal ini disebabkan adanya kepercayaan bahwa seluruh puri-puri di Bali merupakan keturunan dari Majapahit. Surya Majapahit dalam bentuk prabha pada arca hampir ditemukan di seluruh wilayah Jawa Timur antara lain arca Parwati (Perwujudan Tribhuwana)Jombang, arca berpasangan-Tulungagung, arca pengendara-Tigowangi Kediri, dan hampir seluruh arca koleksi PIM dan Museum Nasional yang berasal dari Periode Majapahit sebagian besar memiliki prabha dimaksud. Motif hias meander Majapahit merupakan bentuk khas kemungkinan besar yang merupakan adopsi patra mesir yang berkembang di Cina, sering digambarkan pada keramik dan artefak lepas lainnya. Meander dengan patra mesir
bentuknya patah-patah atau kaku, sedangkan meander pita Majapahit bentuknya lebih dinamis menyerupai bentuk lengkungan. Bentuk yang dinamis tersebut seolah-olah mengikuti bentuk lengkung pinggiran daun teratai. Ragam seni hias berbentuk teratai sangat terkenal dan popular digunakan pada benda-benda seni Kerajaan majapahit, bukan hanya benda-benda untuk kebutuhan istana, tetapi masyarakat juga menggunakan motif teratai untuk menghiasinya. Meander pita Majapahit dalam perkembangannya berbeda dengan seni hias lainnya. Motif ini dianggap sebagai motif sacral dan hanya dijumpai pada bangunan-bangunan suci (candi), arca dewa atau perwujudan, dan benda-benda khusus untuk kalangan istana. Motif ini tidak dijumpai disemua temuan arkeologi sehingga motif meander pita kemungkinan adalah simbol kebangsawanan atau khusus untuk kalangan keluarga raja. Motif meander pita Majapahit dapat dijumpai pada sebagian besar candicandi Periode Majapahit antara lain kompleks Candi Panataran-Blitar, Candi Bajangratu-Trowulan, Candi Surowono-Kediri, Candi Jabung-Probolinggo, Candi Rimbi-Jombang, Candi Jago-Malang, Candi Tigawangi-Kediri, Candi SurowonoKediri, Candi Penampihan (Asmorobangun)-Kediri, Candi Mirigambar-Kediri, Jandi
Jawi-Pasuruan,
Candi
Kedaton-Probolinggo,
dan
Candi-candi
di
Penanggungan. Motif hias tersebut menghiasi pelipit candi, pinggiran panil, pembatas antarrelief dalam satu panil, atau hiasan relief yang menyerupai awan, air, atau batuan. Berbeda dengan kasus di Bali, meander pita yang dipahatkan pada beberapa bangunan suci lebih menggunakan meander dengan tipe patra Mesir yang berkembang di Cina. Walaupun demikian pengaruh meander tersebut kemungkinan besar selain dari unsur seni Cina yang kuat juga pengaruh seni Majapahit juga berpengaruh. Bentuk meander pita Majapahit tidak hanya dipahatkan pada bangunan tetapi juga pada benda seni lainnya. Temuan 4 yoni naga di Klinterejo, Lebak Jabung, Japanan Sedah, dan Badas-Tugu (tersimpan Museum Nasional?) yang dianggap sebagai batas Kota Majapahit terdapat hiasan meander pita Majapahit dengan pemahatan yang mewah. Jika benar yoni tersebut dianggap batas resmi negara maka motif hias meander pita Majapahit tersebut sangat layak dipahatkan pada sisi-sisinya. Yoni lain yang terdapat hias meander pita ditemukan pula di
Krasaan-Probolinggo. Demikian temuan 4 umpak besar yang ditemukan di Komplek Candi Penataran juga dipahatkan meander pita Majapahit tersebut. Meander pita Majapahit pada unsur-unsur di Kompleks Candi Penataran menjadi penting karena candi tersebut merupakan candi kerajaan yang selalu dikunjungi oleh raja-raja Majapahit. Arca-arca yang dibuat pada masa Majapahit terdapat meander (sulur) pita Majapahit pada bagian-bagian tertentu menggantikan atau menyerupai hiasan pita-kain. Demikian juga meander pita ini menjadi kekhasan terutama pada bagian lipatan ujung kain di pinggang yang dipahatkan dalam arca. Arca-arca tersebut antara lain arca yang terdapat di Candi Penataran, arca Wisnu-Kediri, arca perwujudan Raden Wijaya, arca perwujudan Tribhuwana, Arca Suhita, dan masih banyak arca lainnya di wilayah Jawa Timur. Demikian juga pada logam-logam berupa arca, senjata, maupun perhiasan yang dibuat pada Masa Majapahit sebagian menggunakan motif meander pita. Misalnya hiasan cakra temuan Kebonsari-Pasuruan (koleksi Museum Nasional) juga menggunakan hiasan meander pita Majapahit mengelilingi lingkar dalam cakra. Sebuah perak di Palembang juga ditemukan dengan motif hias meander pita, kemungkinan merupakan pengaruh seni hias Majapahit. Meander pita Majapahit juga ditemukan melimpah pada terakota baik pada selongsong pilar ataupun wadah terakota. Meander ini memiliki tipe yang beragam baik berupa patra Mesir ataupun meander awan yang sering dipahatkan pada bangunan-bangunan suci. Kemelimpahan tinggalan terakota dengan ragam hias meander pita Majapahit sangat mendukung data bahwa Trowulan dianggap sebagai pusat kerajaan atau Ibokota Majapahit. Sebuah kotak kayu kuno dari Cirebon juga memiliki hiasan awan-awan yang dikenal pula sebagai meander pita tetapi dalam bentuk yang sedikit berbeda, hiasan seperti itu terdapat pula pada candi-candi di Jawa Timur dari Periode Majapahit. Seluruh pinggir papan kayu tersebut terdapat meander pita Majapahit dengan menyerupai seni gaya Bali. Bentuk sejenis juga terdapat pada warangka keris kuno dari Cirebon yang digambarkan seperti batu-batuan sehingga berbeda dengan meander awan yang biasanya diletakkan di pinggir. Meander ini terletak di tengah-tengah warangka dan menyatu dengan sulur-suluran tanaman.
Sangat menarik untuk didalami lebih lanjut yaitu temuan benda-benda ukir berbahan kayu di Papua yang memahatkan motif hias meander pita Majapahit pada seruit besar, haluan perahu dari Papua Utara, dan Pelenting dari Teluk Tanah Merah (van der Hoop, 1949). Pemahatan meander pada ukiran-ukiran kayu mengingatkan kembali pada kekuasaan Majapahit hingga Wanin (Papua) seperti yang tertera dalam Negarakrtagama. Adanya motif hias meander pita Majapahit mendukung pernyataan bahwa pengaruh kekuasaan Majapahit terbentang hingga Papua yang merupakan bagian ujung timur dari Nusantara.
4. Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa wilayah yang memiliki motif hias surya (prabha) dan meander pita Majapahit paling banyak yaitu wilayah Jawa Timur dan sebagian timur Jawa Tengah baik yang terpahatkan pada bangunan candi, struktur bangunan, dan artefak lepas. Kemelimpahan dan keragaman kedua motif hias tersebut terdapat di TrowulanMojokerto sehingga menunjukkan bahwa daerah tersebut merupakan pusat kebudayan Majapahit sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjuk sebagai Ibukota Majapahit. Wilayah lain seperti Pasuruan, Probolinggo, Malang, Kediri, Blitar, Tulungagung, Jombang, dan Karanganyar merupakan wilayah inti kerajaan Majapahit karena terdapat pahatan kedua motif pada bangunan suci dan arca dewa-perwujudan, sehingga wilayah ini selalu menjadi tempat keluarga inti memimpin di kerajaan bawahan tersebut. Wilayah Bali merupakan wilayah yang mendapat pengaruh kedua motif hias tersebut sangat besar selain Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pengaruh ini tidak menjadikan Bali di pimpin oleh keluarga inti raja Kerajaan Majapahit tetapi masih menganggap sebagai keturunan langsung dari orang Majapahit. Tinggalan kedua motif hias juga dijumpai di Palembang, Cirebon, dan Papua menunjukkan bahwa pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit menjangkau daerah tersebut.
Daftar Pustaka Bawono, RA dan Zuraidah. 2015. “Identifikasi dan Modifikasi Motif Hias pada Benda Cagar Budaya Periode Majapahit sebagai Desain Pengembangan
Usaha Batik”. Laporan Penelitian-Tahun Kedua. Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana Bawono, RA dan Zuraidah. 2016. “Ragam Seni Hias Majapahit: Penciri Hasil Budaya Majapahit” disampaikan dalam Seminar Nasional Seri Bahasa, Sastra, dan Budaya di Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana pada tanggal Senin, 29 Februari 2016 Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Jakarta: LKiS Yogyakarta. Munandar, Agus Aris. 2008. Ibukota Majapahit, Masa Jaya dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu Rangkuti, Nurhadi. 2012. “Batas Kota Majapahit”. Majapahit Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Hal: 4-21. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. Riana, I Ketut. 2009. Kakawin Desa Warnnana uthawi Nagara Krtagama, Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Kompas. Sidomulyo, Hadi. 2007. Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Tim PATI I. 2011. Laporan Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia I. Jakarta: FIB UI. Van der Hoop, A.N.J.Th. 1949. Ragam-ragam Perhiasan Indonesia. Koninklijk Bataviaasch Genootschap.
tldayana lJniversity Press
rsBr{ 9?8-602-294-143-9
llll il lt lilll]ilillllllt ilil gttt B6OZ?ttg h1 43gtt