ISSN : 9772302748003
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah” Serang, 3 - 4 Oktober 2012
PEMBINA Dr. Agus Sjafari, M.Si (Dekan FISIP Untirta)
PENANGGUNG JAWAB Neka Fitriyah, S.Sos, M.Si (Ketua Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Untirta)
KETUA PENYUNTING Idi Dimyati, S.Ikom, M.I.kom
ANGGOTA PENYUNTING 1. Husnan Nurjuman, M.Si 2. Puspita Asri Praceka, M.I.Kom
PROSIDING : SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah” Serang, 3 - 4 Oktober 2012 Hak Cipta © Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Unirta - Banten Kata Pengantar : Neka Fitriyah, S.Sos, M.Si
Diterbitkan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Unirta - Banten Jl. Raya Jakarta Km. 4 Pakupatan, Kota Serang - Banten Telp. 0254 - 280 330 ext 228
PEMBINA Dr. Agus Sjafari, M.Si (Dekan FISIP Unirta) PENANGGUNG JAWAB Neka Fitriyah, S.Sos, M.Si (Ketua Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Unirta) KETUA PENYUNTING Idi Dimyai, S.Ikom, M.I.kom ANGGOTA PENYUNTING 1. Husnan Nurjuman, M.Si 2. Puspita Asri Praceka, M.I.Kom Tata Letak : Ade Haer Design Sampul : Ade Haer
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang menguip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku dalam bentuk apapun tanpa ijin tertulis dari pemilik hak cipta
Cetakan Pertama, November 2012 xxii + 338 hlm.; 21cm x 29 cm ISSN : 9772302748003
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
KATA PENGANTAR Setiap buku lahir dengan sejarahnya sendiri, begitu juga prosiding yang diterbitkan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi Fisip Untirta. Bukan hanya perjalanan pembuatannya yang rumit, tetapi juga terkait berbagai peristiwa dan berbagai pergumulan pemikiran yang melatarbelakanginya. Prosiding ini diterbitkan dari kumpulan makalah seminar yang dipresentasikan oleh peserta pemakalah. Harus diakui tidak sedikit peserta yang secara langsung atau tidak langsung telah memperkaya kandungan prosisding ini. Untuk itu rasa terima kasih sudah sepantasnya disampaikan kepada semua yang sudah berpartisipasi dalam prosiding ini. Penerbitan prosiding ini dilatarbelakangi oleh semangat pengembangan dan semnagat pembaharuan keilmuan komunikasi, serta semnagat untuk membawa kajian komunikasi dalam wahana yang lebih kontributif bagi pengembangan daerah. Sejak izin berdirinya Program Studi Ilmu Komunikasi Fisip Untirta pada tahun 2003, tentu kami disibukkan dengan berbagai aktivitas pembenahan dan penguatan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan pembinaan terhadap mahasiswa. Karena keterbatasan dan pengalaman yang dimiliki, tentu bagi prosiding kali ini bukan hanya sebagai buku biasa, tetapi bagi kami prosiding kali merupakan pesta pergumulan pemikiran, ide, gagasan ilmu komunikasi di Untirta, dimana semua makalah yang ada merepresentasikan kraeasi, inovasi. Dengan semangat dan wacana pembaharuan, semua makalah didasari kajian ilmiah dan disandingkan dengan realitas factual dilapangan. Sehingga pertanyaan-pertanyaan tentang ilmu komunikasi seperti “akan dibawa kemanakah ilmu komunikasi” dapat terjawab secara ilmiah dan konferehnsif dalam prosiding ini. Begitupula prosiding kali ini dilatarbelakangi oleh keterpanggilan kami dalam melihat permasalahan pembangunan yang makin jauh dari konsep pemberdayaan dan pengembangan masyarkat. sehingga penerbitan prosiding ini memiliki tujuan: untuk mengkaji problematika dan solusi alternatif permasalahan pembangunan daerah khususnya dalam proses komunikasi Tema-tema dalam buku ini menjadi menarik untuk dibahas, karena selain dapat dijadikan rujukan ilmiah juga tema-tema yang ada merepresentasikan semangat otokritik untuk membangun daerah. Tema-tema yang ada diantaranya: Peran etika Komunikasi Politik dalam Membangun Kredibilitas Pemerintah, Refresentasi Gender dalam Realitas Sosial Budaya Bangsa Indonesia, Peran dan Tantangan New Media bagi Pembangunan di Era Globalisasi, Corporate Social Responsibility (CSR) dan Pembangunan Daerah, Peran dan Pemanfaatan Media Massa dalam Pembangunan Daerah, Pemanfaatan Riset Komunikasi bagi Pembangunan Daerah, Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat. Dapat dilihat bahwa pemakalah prosiding ini terdiri dari: dosen dari berbagai disiplin ilmu dan dari bebagai pergurun tinggi, praktisi di bidang komunikasi. Sampai buku ini diterbitkan, 85% pemakalah datang dari luar Untirta dan dari berbagai perguruan tinggi ternama. Bagi kami ini adalah sebuah penghargaan yang patut kami banggakan, artinya Program Studi Ilmu Komunikasi Untirta walaupun masih belia tetapi dapat diterima dan dipercaya dalam kancah pergaulan di perguruan tinggi dan Asosiasi Perguruan Tinggi Ilmu Komunikasi. Terakhir kami mohon maaf atas kekurangan dan kelemahan dalam penulisan serta penerbitan prosiding ini, kami menyadari bahwa belajar dari kekurangan itu lebih baik daripada tidak mencoba samasekali, demikian kata pengantar dari kami, selamat membaca semoga bermanfaat. Serang, 1 November 2012 Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip Untirta
Neka Fitriyah, S.Sos., M.Si.
v
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
vi
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
DAFTAR ISI Halaman iii v
Kata Pengantar Daftar Isi Materi Pemakalah Seminar
• Etnograi Sebagai Upaya Menempatkan Kebijakan Pembangunan Berlandaskan pada Masyarakat dan Kebudayaan - Ahmad Sihabudin • Dinamika Teknologi Komunikasi dan Perubahan Sosial Masyarakat - Eddy Kurnia
vii xii
Bagian I : Peran Etika Komunikasi Politik dalam Membangun Kredibilitas Pemerintah -
Pentingnya Penciptaan dan Promosi Landmark Provinsi Banten – Ari Pandu Witantra Sinyo Harry Sarundajang: Mengatasi Konlik Maluku dan MalukuUtara dengan Pendekatan Dialogis - H. H. Daniel Tamburian Konstruksi Pluralisme Agama pada Kampanye Politik: Studi Etika Komunikasi - Husnan Nurjuman Politik dan Komunikasi Pesantren Salaiyah dalam Proses Demokratisasi di Banten - Ikhsan Ahmad Komunikator Politik Ideal dan Dramaturgi dalam Strategi Kampanye Politik - Novi Andayani Praptiningsih Stategi Pembangunan daerah Melalui Riset Komunikasi - Siti Komsiah
1 5 11 19 25 33
Bagian II : Representasi Gender dalam Realitas Sosial Budaya Bangsa Indonesia .-
Representasi Gender pada Profesi Wartawan – Darwis Sagita Peran Perempuan dalam Membangun Kesejahteraan Keluarga - Helen Diana Vida Peran Customer Relations dan Diskriminasi Perempuan - Muhammad Najih Farihanto Pemberdayaan Perempuan sebagai Agent of Change dalam Pengelolaan Lingkungan Bantaran Kali Ciliwung - Nurprati Wahyu Widyatuti Quo Vadis Pengarusutamaan Gender: Representasi Kebijakan Pemerintah dan Realitas Sosial Masyarakat Banten - Neka Fitriyah Konstruksi Perempuan Pelaku Kejahatan Kasus Melinda Dee dan Afriani Susanti - Suzy Azeharie Menggugat Kesetaraan Gender sebagai Sebuah Vision Bangsa – Yoyoh Hereyah
41 49 55 61 71 77 81
Bagian III: Peran dan Tantangan New Media bagi Pembangunan di Era Globalisasi -
Twitter “Anak” New Media yang Revolusioner: Medium Pembangun Globalisasi - Genep Sukendro dan Sisca Aulia Ponsel dan Budaya Komunikasi Masyarakat Indonesia – Idi Dimyati Kredibilitas Pemerintah Di Mata Media Online (Framing pemberitaan kredibilitas Gubernur dan Wakil Gubernur Banten di media online) - Indiwan Seto Wahyu Wibowo Transformasi Sistem Media Baru Konteks Indonesia: Aktivisme Internet oleh LSM dan Pembentukan Ruang Publik Alternatif - Lidwina Mutia Sadasri Peran Facebook dalam Menciptakan Interaksi antara Kanwil Kesehatan propinsi dengan Ibu Hamil dalam Menurunkan Tingkat Kematian Ibu Saat Melahirkan – Muhammad Adi Pribadi SMS Broadcast untuk Pemberdayaan Masyarakat - Rendra Widyatama dan Tawar Analisis McQuail Set pada Website bagi Pembangunan Kearifan Lokal Masyarakat Indonesia di Era Globalisasi - Rustono Farady Marta Media Baru dan Demokratisasi di Indonesia - Sugeng Wahjudi
vii
81 97 103 111 119 125 131 137
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Bagian IV: Corporate Social Responsibility dan Pembangunan Daerah -
Sinergi antara Social Business Enterprise dengan Pemerintah Daerah - Euis Heryati Peran Komunikasi dalam Program Investasi Sosial Perusahaan (Sebuah Analisis Praktis dari Sektor Hulu Migas) - Halida Hatta & Alfred Menayang Program Corporate Social Responsibility dalam Meningkatkan Keberdayaan Masyarakat Balongan (Kasus PT Pertamina Reinery Unit VI Balongan) - Ilona V Oisina Situmeang Adopsi Inovasi Kelestarian Lingkungan ditinjau dari Perspektif Komunikasi Pembangunan - Rahmi Winangsih Konsep Komunikasi Pemasaran Terintegrasi melalui Sister City Branding di Kota Serang - Rd Nia Kania K Program CSR sebagai Salah Satu Peranserta Perusahaan dalam Memberdayakan Masyarakat Majemuk - Riris Loisa &Yugih Setyanto Optimalisasi Program CSR dalam Pembangunan Daerah – Titi Setiawati
149 157 165 173 185 195 201
Bagian V: Peran dan Pemanfaatan Media Massa dalam Pembangunan Daerah -
Media Televisi dalam Perspektif Komunikasi Pembangunan - Doddy Salman Media Massa sebagai Sumber Kekuatan Pembangunan Daerah - Eko Harry Susanto Peran Media Massa dalam Penanganan Pencemaran Air sebagai Bagian Pembangunan Daerah Banten - Dianingtyas Murtanti Putri Pemanfaatan Media Radio sebagai Media Rakyat untuk Pembangunan Daerah - Farid Rusdi Media Massa Cetak Lokal sebagai Public Sphere Pembangunan Banten yang Bermartabat - Iman Mukhroman Media dalam Politikdan Politik Dalam Media – Rangga Galura G Kontribusi Media dalam Pembangunan di bawah Kekuasaan Konglomerat - Rangga Galura G dan Olivia Hutagaol Komodiikasi Mitologi Rakyat dalam Tayangan Mistik di Televisi - Naniek Afrilla Framanik
209 215 223 231 237 243 251 263
Bagian VI: Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat -
Peran Komunikasi Dalam Penyuluhan Pertanian – Asih Mulyaningsih Komunikasi Kelompok dan Pengembangan Potensi Masyarakat Peternak Sapi Perah di Lembang - Damayanti W Strategi Komunikasi dalam Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima - Ida Nur’aini Noviyanti Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di Kota Serang - Ipah Ema Jumiati Publik dan Media, Kawan atau Lawan: Media Literasi sebagai Sarana Penguatan Peran Publik di tengah Gempuran Ekonomi Politik Media – Mufti Nurlatifah Strategi Komunikasi: Aplikasi Metode Edukatif dalam Sosialisasi Keluarga Berencana Masyarakat Pedesaan – Nina Yuliana Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat – Tia Muthiah Umar Hubungan Karakteristik Anggota dan Efektiitas Komunikasi Organisasi Anggota KUD Mandiri Panca Usaha Palabuhanratu - Yudi L.A Salampessy
Lampiran
271 275 283 289 301 309 319 325 333
viii
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Etnograi Sebagai Upaya Menempatkan Kebijakan Pembangunan Berlandaskan pada Masyarakat dan Kebudayaan1 Ahmad Sihabudin2 Pendahuluan
Tema yang diajukan panitia seminar dan konfrensi ilmu komunikasi adalah “Budaya dan kearifan lokal sebagai khazanah dan kekuatan masyarakat dalam pembangunan”. Namun paper yang saya buat ini lebih mengarah kepada bagaimana kita memahami budaya dan masyarakat. Cara dan pendekatan apa dalam memahami budaya dan masyarakat, sehingga kebijakan pembangunan berorientasi pada masyarakat. Judul makalah yang saya ajukan dalam seminar ini adalah “Etnograi Sebagai Upaya Menempatkan Kebijakan Pembangunan Berlandaskan pada Masyarakat dan Kebudayaan”. Paper ini banyak terinspirasi oleh Pidato Pengukuhan saya sebagai Guru Besar ilmu komunikasi FISIP Untirta setahun yang lalu. Berikut paper yang dapat saya sampaikan. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan pendekatan proses “socioecological”, artinya suatu proses pembangunan yang bercirikan pemenuhan kebutuhan umat manusia seraya memperhatikan dan memelihara kualitas lingkungan hidup. Paradigma pembangunan berkelanjutan muncul pertama kali pada tahun 1980 ketika the Union for the Conservation of Nature, menerbitkan strategi pelestarian dunia dengan judul ”he World Conservation Strategy”. Dalam laporan itulah untuk pertama kalinya tampil istilah ”sustainable development”. Selanjutnya konsep tersebut menjadi istilah yang dipakai diseluruh dunia, terutama setelah diterbitkannya laporan dari the World Commission on Environment and Development (UN, 1987) , yang dibentuk oleh PBB. Pembangunan yang sesuai dengan kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya akan memberi manfaat yang maksimal bagi masyarakat, dan dengan demikian masyarakat akan mampu memeliharanya. Pola pembangunan yang sesuai dengan kondisi ekologis akan mengikuti kecenderungan siklus alamiah dan akan mendapat hambatan minimum secara alamiah, sehingga mudah dan murah memeliharanya serta dapat me-ningkatkan kemampuan ekosistem untuk mengadopsinya sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Pengalaman memberikan pelajaran bahwa sesungguhnya ekosistem itu mampu memelihara dirinya sendiri asal tidak dirusak oleh manusia sendiri. Ada dua persyaratan yang secara umum harus diperhatikan, yaitu (1) kesesuaian sosial budaya dan sosial ekonomi, dan (2) kesesuaian ekologi-alam. (Kartasasmita, 2007). Memahami Masyarakat dan Budaya dengan Etnograi Yudistira K Garna (2008) menuturkan, etnograi diarahkan pada pengertian yang kini disebut sebagai etnosains (ethno-science), dan etnometodologi (ethno-methodology) atau sering disebut entograi baru (he New Ethnography). Artinya dalam pendekatan ini kita mencoba memahami gejala sosial tidak dari sudut dirinya sebagai peneliti, melainkan dari anggapan dan pandangan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian, melalui pendekatan ini peneliti tidak bermaksud menilai apakah pandangan mereka itu salah ataukah benar, baik atau buruk, tetapi mencoba memahami dan menjelaskan pandangan mereka, yang dapat dilihat secara etik dan emik atau secara objektif dan subjektif. Dalam antropologi dan sosiologi, pendekatan ini bukanlah hal yang baru, tetapi sudah lama dikenal sebagai metode verstehen, yang biasa juga disebut kualitatif. Gerry Phillipsen dalam Littlejohn, dalam buku berjudul heories of Human Communication. (2009 : 184), menyebutkan, Ada empat asumsi etnograi komunikasi, “Pertama, para anggota budaya akan menciptakan makna yang digunakan bersama. Mereka menggunakan kode-kode yang memiliki derajat pemahaman yang sama. Kedua, para komunikator dalam sebuah komunitas budaya harus mengkordinasikan tindakan-tindakannya. Oleh karena itu di dalam komunitas itu akan terdapat aturan atau sistem dalam komunikasi. Ketiga, makna dan tindakan bersifat spesiik dalam sebuah komunitas, sehingga antara komunitas yang satu dan lainnya akan memiliki perbedaan dalam hal makna dan tindakan tersebut. Keempat, selain memiliki kekhususan dalam hal makna dan tindakan, setiap komunitas juga memiliki kekhususan dalam hal cara memahami kode-kode makna dan tindakan.” 1 2
Tulisan ini disampaikan dalam Seminar Nasional dan Konferensi Ilmu Komunikasi di FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta). Rabu, 3 Oktober 2012. Guru Besar Komunikasi Lintas Budaya FISIP Untirta.
ix
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Etnograi merupakan pengamatan tentang aktivitas suatu kelompok sosial tertentu, dan deskripsi serta evaluasi aktivitas, kegiatan seperti itu juga disebut etnograi (Garna, 2009). Artinya kajian lapangan dengan model pendektan etnograi relative lebih baik dilakukan sebelum pembangunan itu dilaksanakan, karena terjadi komunikasi dan dialog yang intensif dengan masyarakat sehingga kita dapat memahami apa yang dibutuhkan masyarakat. Deskripsi dan uraian etnograi itu biasanya ditulis dalam bentuk esei, yang diterbitkan sebagai artikel atau monograi, laporan ilmiah tentang kebudayaan suatu masyarakat ataupun aspek kebudayaan dari masyarakat tertentu. Sederhananya kajian lapangan ini dapat dilakukan oleh siapapun Kebijakan Pembangunan berlandaskan pada Masyarakat dan Kebudayaan. Kebijakan kebudayaan bukan berarti tidak pernah ada di tatanan peta politik Nusantara, pemerintah kolonial Belanda tatkala menguatkan kekuasaannya di Nusantara, menempatkan semua jabatan di wilayah yang paling gawat dalam kacamata Belanda dipercayakan kepada ahli-ahli yang tahu tentang kebudayaan dan masyarakat setempat untuk dengan bijak (lihay?) menangani masalah politik, dan sosial regional, ekonomi dan kebudayaan lokal kaum terjajah tanpa menimbulkan pemberontakan bersenjata yang akan amat mahal harganya untuk dibasmi (Garna, 2001:6), (Sihabudin, 2011). Pendekatan etnologi ketika itu amat sangat diperhatikan untuk dapat lebih mengenal dan memahami suku bangsa yang beragam di Indonesia. Pendekatan itu mendapat tempat yang utama dalam melahirkan kebijakan untuk meneguhkan kewibawaan kolonial di Nusantara melalui penelusuran Nusantara sebagai ethnologisch studiveld. Profesor De Josseline De Jong, mengungkapkan dua konsep untuk dapat memahami masyarakat di Nusantara, yaitu: Pertama, menganggap seluruh kepulauan Indonesia itu sebagai suatu lapangan penelitian etnologi, melalui konsep itu dimaksudkan satu daerah di mana tersebar banyak kebudayaan yang beraneka warna bentuknya, tetapi yang semuanya mengundang perhatian akan betapa sifat dasar itu cukup konsisten, sehingga dapat dilakukan suatu metode perbandingan antara masyarakat yang memiliki sifat dasar yang sama. Kedua, konsep mengenai pendiriannya tentang sifat dasar yang secara konsisten melandasi semua aneka warna masyarakat dan kebudayaan yang tersebar di seluruh Nusantara, dan sekaligus merupakan prinsipprinsip inti susunan dari bentuk masyarakat Indonesia, (Garna, 2001). Karena itulah melalui pendekatan tersebut, diupayakan penguasaan wilayah atau perluasan territorial dengan cara “aman”. Bagaimana dengan pelaksanaan program pembangunan di indoenesia yang cenderung tidak memperhatikan kebudayaan dan masyarakat, pembangunan yang dilaksanakan selama ini cenderung mengabaikan kebijakan yang berlandaskan pada kebudayaan. Bila kita lihat kebelakang beberapa tahun lalu, ada kelaparan penduduk di Papua. Padahal wilayah itu secara kasat mata alamnya telah menyediakan melimpah keperluan mereka; dan bukan itu saja, adanya kematian ratusan penduduk asli yang bukan sekedar berita, tetapi suatu kenyataan yang dijumpai di Mapanduma dan Timika, penyelesaian Timor Timur yang kemudian menjadi Timor Leste, Peristiwa Sanggau Ledo di Kalimantan Barat, dan kerusuhan antra-etnik di Sampit, kerusuhan di Poso, perseteruan yang tiada henti di Ambon dan Maluku, atau kerusuhan lainnya di berbagai kota di Indonesia, dan keinginan beberapa daerah membentuk provinsi atau melepaskan diri dari ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Garna, 2001:6), (Sihabudin, 2011). Semuanya itu tidaklah dapat dilepaskan dari berbagai kebijakan pembangunan yang mengabaikan kebudayaan, dan masyarakat. Dan dari pemahaman serta keinginan membentuk kebudayaan nasional sebagai pengejawantahan peradaban Indonesia (Garna, 2001). Kebijakan pembangunan memang untuk memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraan manusia, hanya sayang dalam hal ini sering lupa memperhatikan manusia manakah yang dimaksud. Dalam lingkup Indonesia dengan berbagai kebudayaan dan etnik masalah ini menjadi penting diperhatikan. Apa yang dianggap sebagai hidup yang baik oleh orang Sunda tidak selamanya cocok bagi orang Banten atau Bugis; apa yang dipandang menguntungkan oleh orang Minangkabau tidak selamanya demikian bagi orang Batak atau orang Asmat; atau apa yang bernilai bagi orang Bali belum tentu bernilai bagi orang Baduy di Banten Selatan atau orang Bima di Pulau Sumbawa. Karena itu, persoalan pembangunan untuk siapa menjadi sangat penting diperhatikan, artinya, kita tidak dapat menggunakan ukuran yang ada pada sistem nilai kita saja, yang biasa menjadi penentu ukuran penentu kebijakan itu. Dengan pemahaman ini kebijakan pembangunan dapat ditentukan dari pandangan atau pemikiran yang ada pada masyarakatnya, sehingga langkah yang akan ditentukan itu mengikuti realitas budaya yang dihadapi masyarakat.
x
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Salah satu pendekatan dan riset yang dapat menjawab permasalahan tersebut adalah etnograi komunikasi, karena berupaya mengkonstruksi tradisi dan pola komunikasi dalam suatu etnik atau komunitas tertentu. Perhatian pemerintah tersebut hanya mungkin akan menjadi efektif bila paradigma pembangunan secara keseluruhan telah digeser ke arah tercapainya pembangunan yang berpusat pada rakyat (people-centered development). Konsep ini merupakan suatu pendekatan pembangunan yang memandang inisitaf kreatif rakyat sebagai sumberdaya pembangunan utama dan memandang kesejahteraan material dan spiritual sebagai tujuan proses pembangunan. Tumpuan utamanya adalah partisipasi masyarakat secara riil sejak proses inisiasi (penggalian gagasan), implementasi (perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi) sampai dengan tahap pasca proyek yang berupa kegiatan pemeliharaan dan pelestarian. Guna menciptakan hal tersebut, diperlukan penyiapan dan pemberdayaan aparat dan masyarakat. Paradigma pembangunan berbasis rakyat ini sebenarnya bermakna dua. Pertama, sebuah paradigma yang dikembangkan bagi mereka yang kurang beruntung dalam proses pembangunan kelompok miskin, catat, terbelakang dan sebagainya. Kedua, sebagai paradigma menyeluruh yang melihat bahwa pembangunan sebagai sebuah gerak bersama yang saling terpadu dan terkait dari rakyat, baik “rakyat besar, menengah, kecil” maupun “rakyat maju, sedang dan terbelakang.” Paradigma tersebut bisa dipergunakan salah satu atau keduanya. Kematian akibat kelaparan seperti terjadi di Papua tidak bakalan terjadi, manakala pengenalan beras dan nasi sebagai makanan pokok mereka di introduksi melalui teknik bercocok tanam yang sesuai dengan tuntutan lingkungan alam mereka sendiri. Bukan kebijakan yang dipaksakan untuk penyeragaman makanan pokok Indonesia (Garna, 2001). Padahal dahulu kita pernah mendengar bahwa makanan pokok orang Papua, Maluku dan sekitarnya adalah sagu, masyarakat Madura makann pokoknya jagung. Kemudian dalam perkembangannya mulai mengalami pergeseran. Namun demikian dalam dua tahun terakhir ini kampanye dan sosialisasi makanan yang mengandung karbohidrat mulai marak di gerakkan melalaui media massa, intinya mengajak masyarakat untuk tidak tergantung pada beras (nasi). Demikian juga dengan intensiikasi pertanian di desa`Kanekes pada Orang Baduy seperti dikenalkan pemerintah itu tidak berjalan, karena selain bertentangan dengan pikukuh (adat istiadat, dan kepercayaan serta norma agama Sunda Wiwitan) yang merupakan keyakinan Orang Baduy yang mampu bertahan dari waktu ke waktu. Program itu juga tidak sesuai dengan kondisi geograis yang berbukit serta sumber atau hulu bagi sungaisungai besar yang mengalir ke Banten Utara.(Kurnia dan Sihabudin, 2010). Dalam lingkup tersebut, program pembangunan yang seharusnya memperhatikan kepentingan dan tuntutan akan kebutuhan budaya dan masyarakat lokal dalam kerangka pengembangan kebudayaan nasional, artinya dengan metode etnograi komunikasi salah satunya dapat membantu kebijakan pembangunan dengan memperhatikan kebudayaan lokal, sekaligus untuk kepentingan nasional. Dari sisi ini menunjukkan kepada kita bahwa politik penyeragaman kebudayaan yang dikemas dalam selimut kebudayaan nasional itu kini banyak digugat banyak pihak. Sehingga wujud UU No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintah daerah yang dikenal dengan otonomi daerah banyak disalah artikan yang cenderung hanya berorientasi pada kekuasaan dan pemerintahan saja, hal-hal yang terkait dengan potensi dan keunggulan lokal, budaya nyaris tidak banyak dibicarakan dan dibahas. Semangat otonomi ini di apresiasi beragam dan berlebihan oleh setiap daerah, telah banyak melahirkan sikap ingin melepaskan diri dari kekuatan-kekuatan pusat. Namum demikian, dari sudut pandang ilmu yang saya tekuni, realitas sosial-budaya yang berkembang tidak dapat dibiarkan begitu saja. Sebab, kenyataan yang berkembang itu dapat menimbulkan banyak persoalan yang terwujud sebagai akibat meningkatnya sentimen kemasyarakatan yang didasarkan pada semakin menebalnya rasa kesuku-bangsaan di setiap daerah, terutama pada tataran daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Komunikasi Lokal: Komunikasi Partisipatoris, Kebersamaan, dan Musyawarah Dari uraian tentang cara melihat kehidupan masyarakat Indonesia dan geraknya yang dinamik, yang tersimpul melalui etnograi, hal itu memberikan kemungkinan tidak hanya bermanfaat bagi pemahaman landasan ideal belaka tetapi juga bagi upaya pada tataran tertentu yang bersifat operasional Partisipasi masyarakat secara sadar, kritis, sukarela, murni, dan bertanggung jawab adalah baik, karena ada kemungkinan biaya pembangunan menjadi murah, baik karena memang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar membangun masyarakat bangsa dan negara. Tetapi kenyataannya sulit dilaksanakan. Sulitnya partisipasi xi
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
masyarakat dilibatkan, lebih banyak bersumber dari kurangnya kemauan atau itikad baik, komitmen moralitas, dan kejujuran dari sebagian para komunikator, pemimpin atau penguasa, baik kalangan pemerintahan, swasta, dan masyarakat dari semua tingakatan. (Hamijoyo, 1993:11). Ikut sertanya masyarakat secara aktif, belum tentu dapat dideinisikan sebagai partisipasi masyarakat murni. Hal ini tergantung dari dari jenis dan kualitasnya peran dan aktivitas`masyarakat. Peran yang paling berkualitas adalah partisipasi masyarakat sebagai perencana aktif, pemilik, dan pengelola program. Pengamatan dan pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa tumbuh dan berkembangnya partisipasi murni masyarakat ada hubungannya dengan faktor-faktor kultural dan struktur sosial dalam masyarakat. Indonesia di kenal dengan “gotong royong”, “mapalus” (Sulawesi Utara), “Subak” (suatu bentuk gotong royong untuk mengatur pengairan sawah di Bali). Di Srilanka ada “Smaradana”, Philipina dikenal “Bayanihan”. (Hamijoyo, 1993:13). Partisipasi murni masyarakat kenyataannya berawal dengan adanya kebersamaan (togetherness, commonality). Kebersamaan dalam mengartikan atau mempersepsikan sesuatu. Kebersamaan dalam cara memecahkan masalah atau kesulitan, yang penting bagi masyarakat yang bersangkutan. Kebersamaan dalam persepsi di kalangan suatu komunitas hanya mungkin dicapai manakala diprasyarati oleh komunikasi arus dua arah atau sirkular yang teratur, intensif, dan ektensif. “Extensif ” disini maksudnya upaya utunk memperteguh hubungan dengan lain-lain organisasi, lembaga, dan tokoh serta orang, selain kelompoknya sendiri. Menurut Hamijoyo (1993) ini penting demi kerjasama persahabatan (partnership) antar kelompok yang berbeda tujuan dan kegiatannya, yang akan memperlancar komunikasi. Sekaligus mengurangi persaingan atau ancaman suatu program dari pihak yang kurang mengerti. Konsepsi kebersamaan ini memang penting sekali, bahkan menentukan, dalam proses komunikasi. Karena komunikasi dapat berarti proses atau usaha untuk “menciptakan kebersamaan dalam makna” (the production of commonness in meaning). Yang terpenting dalam komunikasi adalah kebersamaan dalam makna itu. Menurut Hamijoyo (1993), agar komunikasi dipahami dan diterima serta dilaksanakan bersama, harus dimungkinkan adanya peran serta untuk “mempertukarkan” dan “merundingkan” makna diantara semua pihak dan unsur dalam komunikasi (“exchange” and “negotiation” of meaning). Sebagai tujuan akhir berbagai kegiatan dalam masyarakat yang kita kejar adalah harmoni dan compatability atau menurut istilah kita keselarasan dan keserasian. Pertukaran dan perundingan makna ini dalam masyarakat Indonesia ada “lembaga” yang sudah membudaya dan khas untuk itu, yaitu lembaga musyawarah. Tekniknya adalah dialog yang dapat diartikan sebagai proses untuk mengenal, membandingkan dan mempertemukan unsur-unsur yang sama dari logika yang dimusyawarahkan. Kebudayaan digunakan untuk membicarakan tentang pola tingkah laku dan perangkat kebiasaan tertentu sebagai acuan sikap dan tindakan manusia. Semua orang sebagai warga dan pendukung budaya masyarakat itu biasanya sepakat tentang nilai-nilai serta norma pokok bagi acuan berpikir dan tindakan. Akhirnya, dari situasi sosial seperti itu melahirkan peradaban Indonesia yang mengarahkan pada terciptanya sociatel state (masyarakat yang bebas dari bayang-bayang satu kekuasaan yang mengatasnamakan organisasi pemerintahan), dan kemudian lahir sebuah civil society. Berkenaan dengan kenyataan yang dihadapi ini, saya kembali menegaskan bahwa pendekatan etnograi dapat dijadikan pijakan ke arah penentuan kebijakan pembangunan untuk mencapai peradaban Indonesia sehingga cita-cita civil society menjadi nyata yang dikembangkan dari realitas kebudayaan yang memang tumbuh di bumi Nusantara ini. Kesimpulan Perkenankanlah saya menyimpulkan apa yang saya sampaikan sebagai berikut: • Memahami masyarakat melalui pendekatan etnograi merupakan strategi dalam menentukan kebijakan pembangunan dan penataan tradisi dalam sebuah komunitas masyarakat. • Pendekatan etnograi dapat dihubungkan dalam upaya mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kukuh dari Sabang sampai Merauke, kesatuan itu ialah melalui pemahaman tradisi dan pola-pola komunikasi yang berkembang dalam kelompok etnik masyarakat indonesia, yang merupakan institusi sosial yang dihasilkan oleh peradaban sebagai kebudayaan yang tersebar di Wilayah Republik Indonesia. • Pendekatan etnograi dapat meminimalkan resolusi konlik yang mengarah pada disintegrasi bangsa, perlu mempertimbangkan kebijakan kebudayaan sebagai bagian dari pembangunan. Dan, Pendekatan etnograi berkaitan dengan proses pemberdayaan kebudayaan lokal. • Demikianlah uraian saya dalam kesempatan yang berbahagia ini. Mudah-mudahan ada guna dan manfaatnya.
xii
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Daftar Pustaka Garna, Judistira K. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung. Primako Akademika : he Judistira Garna Foundation. Garna, Judistira K. 2008. Studi Perbandingan Etnograi, Bandung.Primako Akademika : he Judistira Garna Foundation. Garna, Judistira K. 2007. Sistim Budaya Indonesia. Bandung. Primako Akademika : he Judistira Garna Foundation. Garna, Judistira K. 2001. Pendekatan Etnograi Ke Arah Kebijakan Kebudayaan Dalam Perkembangan Peradaban Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Gurubesar Antropologi dan Sosiologi. Bandung. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Padjadjaran. Hamijoyo, Santoso.S. 1993. Landasan Ilmiah Komunikasi. Pidato Ilmiah. Penerimaan Jabatan Gurubesar Tetap Pada Fakultas Ilmu Komunikasi. Surabaya. Universitas DR. Soetomo. Josseline De Jong, J.P.B. 1971. Kepulauan Indonesia sebagai Lapangan penelitian Etnologi. Jakarta. Seri terejemahan karangan-karangan Belanda, kerjasama antara LIPI dan KITLV. Kurnia, Asep., dan Sihabudin, Ahmad. 2010. Saatnya Baduy Bicara. Jakarta. PT. Bumi Aksara. Kartasasmita, Ginandjar. 2007. Revitalisasi Administrasi Publik Dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan. Disampaikan pada acara Wisuda Ke 44 Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara Jakarta, 3 November 2007. Kuswarno, Engkus, 2008, Etnograi Komunikasi, Bandung. Widya Padjajaran. Liitlehjohn, Stephen W. dan Foss Karen A.2009. heories of Human Communication. Jakarta. Penerjemah. Muhammad Yusuf Hamdan. Penerbit Salemba Humanika. Sihabudin, Ahmad, 2011. Etnograi Komunikasi sebuah Pendekatan Kebijakan Pembangunan Berbasis Kebudayaan dan Pola Komunikasi Komunitas. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Serang. Yusanto, Yoki. 2011. Tradisi Komunikasi Anggota kelompok Rendangan Dengan Kepala Adat. Studi Etnograi Komunikasi Dalam Ritual Adat Bulan Purnama Opat Belas di Komunitas Adat Kesepuhan Cisungsang. Kabupaten Lebak. Banten. hesis. Bandung. Fakultas Ilmu Komunikasi. Universitas Padjadjaran.
xiii
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Dinamika Teknologi Komunikasi dan Perubahan Sosial Masyarakat Oleh:
Eddy Kurnia President Director PT Infomedia Nusantara Seminar dan Konferensi Nasional Ilmu Komunikasi UNTIRTA, 3 Oktober 2012
… New waves of pressures to government
NGO/ Pressure Group
Masyarakat
Legislatif
PEMERINTAH
Media
Environmental Degradation
xiv
Community
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Dunia Terus Berubah Cara kita berinteraksi – cara kita memandang dunia – cara kita berkomunikasi – cara kita bekerja – cara kita mendapatkan informasi – cara kita berpikir – cara kita berbelanja – cara kita berbagi informasi
Communications as we know it Government
Public
Government
Government
Public
Media
Opinion Leaders/ Influencers
Media
xv
Public
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Posisi/Peran Komunikasi Saat Ini (dalam konteks media relations) Mainstream media-based Communication
Konsumsinya terus mengalami penurunan seiring kian berkembangnya alternatif media informasi berbasis ICT
Posisi /Peran Komunikasi berada di simpang jalan antara media mainstream yang kian menurun namun masih referensial (credible), dan trend lifestyle pemakaian informasi lewat media non mainstream yang semakin meningkat. Peran Komunikasi dituntut menyikapi fase transisional ini secara tepat.
Nonmainstream media-based Communication
Fakta menunjukkan konsumsi Internet di dunia terus mengalami peningkatan (great jump) Peran Komunikasi
xvi
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Customer Habit by Activities Beberapa perilaku masyarakat yang dapat dilihat dari aktivitas nya, Menonton Film, Mendengarkan musik dan belanja di Mall merupakan activity masyarakat terbesar…………
1 % hobi berolahraga 29 % hobi menonton Film 4 % hobi surfing Internet
Activity
5 % hobi menonton berkebun
27 % hobi belanja di Mall
25 % hobi mendengarkan musik
9 % hobi menonton Film
Trend of Media Consumption Habit (1/2) Tren konsumsi media yang meningkat adalah Internet, tren media yang menurun adalah Radio dan semua media cetak. Untuk yang tertinggi masih media TV. 100 99
99
99
98
99
99
99
90
Any Telev is ion (7d)
80 Any Radio (7d)
70 60
Any News paper (7d) 56 56. 00
50
Int ernet 42. 00
40
32
41. 00 32
Any Tabloid
3033. 00
30
28 27. 00
22
25 24. 00
20
Any Magaz ine 19
14
10
28. 00 26
14 6 7
13
37 4
47 3
2006
2007
12 11 4
6 4
7 6
2008
2009
10 9 5 4
8 4 3
0 2005
Source: Asteroid, Roy Morgan (Target Audience: All People, age 14+)
xvii
2010
2011
Cinema (1m)
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Trend of Media Consumption Habit (2/2) Konsumsi media tertinggi adalah TV, Outdoor dan Public Transportation ,konsumsi media yang rendah Cinema dan Pay TV, konsumsi media yang trend meningkat adalah Internet. 100 90
99 98
96
81
Terr TV (y s t )
97
96 81
80
Pay TV (y s t )
80
80 75
76
Radio (y s t )
73
75
70
NPP (daily )
60 50
50 49
49 46
MGZ (All)
48 43
46 41
TABL (All) 41
40
34
32
30
25
20
13
8
6 2. 72
2. 45 2005
2007
Out door (p1w)
7 2. 74
7 3. 17
2. 23
2006
Int ernet (p1w) 20 16 15
21 13
10
10 0
Cinema (p1m)
30 29
30
26 30
2008
Public Trans p (p1w)
2009
Source: Nielsen Media Research IMS 2009 Wave 3 (Target Audience: Female, age 25 – 49, segment AB)
Advertising Share by Medium As seen in the graphic, TV and magazine spending is having a decreased trend, while Newspaper is increasing a little. 2011
63
34
2010
63
34
2009
61
35
2008
63
33
2007
65
30
2006
69
27
2005
69
26
2004
69
26
2003
69
25
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
Gross Adv. Expenditure (%) TV
NPP
MGZ
Source : Adquest Millennium. Excluding Non Commercial Ads
xviii
Radio
90%
100%
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Total Industry Advertising Expenditure The growth based on gross advertising expenditure in 2010 to 2011 was 21 %, and the CAGR for 8 years was around 20%. 72,854 21% 60,001
23% 16% 48,730 19% 41,976
34% 34%
17% 35,237 17%
30,053
35%
33%
15% 25,629 32%
22,279
16,863
30% 27%
26% 25%
25% 69%
69%
69%
69%
65%
63%
61%
63%
63%
SOURCE: Adquest Millenium, Nielsen Media Research
12 xix
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Posisi Indonesia (Industri Broadband)
13
Pada dasarnya, praktek Komunikasi di berbagai Negara akan sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang dianut
xx
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Challenges of Communication (PR) Practices among Countries High USA
Two way Symetric model
Challenges/Pressures
Europe
Indonesia
Two way Asymetric model
India Spore Malaysia
Public Information model
China
Press agentry model
North Korea
Authoritarian
Liberal
Communication (PR) Models Model One-Way
Two-Way
Press Agentry/ Publicity
Public Information
Two-Way Asymmetric
Two-Way Symmetric
Purpose
Propaganda
Dissemination of information
Scientific persuasion
Mutual understanding
Organizational Contribution
Advocacy
Dissemination of information
Advocacy
Mediation
Nature of Communication
One-way; complete truth not essential
One-way; truth Important
Two-way; imbalanced effects
Two-way; Balanced effects
Comm. Model
Source -> Receiver
Source -> Receiver
Source -> Receiver feedback
Group -> Group
Nature of Research
Little; “counting house”
Little; readability, readership
Formative; evaluative of attitudes
Formative; evaluative of understanding
Sumber: Grunig and Hunt, Managing Public Relations (1984), sebagaimana diadaptasi oleh Wilcox at al dalam Public Relations: Strategies and Tactics (2000).
xxi
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Tantangan Praktisi Komunikasi Tinggi
Tuntutan Kualifikasi
Tuntutan terhadap kualifikasi Praktisi Komunikasi semakin tinggi seiring dengan semakin tingginya tingkat keterbukaan informasi publik sebagai konsekuensi sistem pemerintahan demokratis
Tinggi Tingkat Keterbukaan
Approaches to
Change
People
Process
Technology
xxii
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
xxiii
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Terimakasih xxiv
Bagian I : Peran Etika Komunikasi Politik dalam Membangun Kredibilitas Pemerintah
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Pentingnya Penciptaan dan Promosi Landmark Provinsi Banten Ari Pandu Witantra 1)
Abstract Landmark takes as an identity of an area. Banten Province as one of the recently born still needs a landmark that can be an important icon tourist destination. In the irst year of study will examine the icons, objects, symbols that exist in Banten to be developed into one of the candidate landmarks Banten. Quantitative research uses non-experimental approach using a correlation surveys, case studies, trend studies to describe the actual situation occurred in Banten. he indings will be obtained will be recommendations for decisionmakers to realize the creation of landmarks for the Province of Banten. his study will examine the option most appropriate method of promotion to make the proposed object being landmarks Banten province in order to be widely accepted for the Banten and tourists both local or international. Keyword : landmark, tourism, IMC Pembenaman di benak wisatawan baik lokal maupun mancanegara bahwa objek tersebut adalah icon atau landmark provinsi Banten adalah sebuah keharusan. Seringkali promosi ini ditinggalkan oleh masyarakat setelah terpilihnya sebuah objek sebagai icon atau landmark suatu daerah. Terciptanya landmark Provinsi Banten kelak akan menjadi daya tarik pariwisata agar wisatawan datang kembali ke Banten dengan tidak meninggalkan landmark tersebut sebagai salah satu tujuannya ke Banten. Pengelolaan pariwisata secara baik akan mendatangkan wisatawan yang banyak jumlahnya dan secara otomatis akan menarik investor untuk mengembangkan usahanya di Provinsi Banten. Penelitian ini memiliki tujuan untuk membantu merekomendasikan kepada pemerintah daerah sebuah icon atau landmark pilihan masyarakat banten yang sesuai dengan kaidah estetika dan syarat untuk menjadikan sebuah objek yang terdapat di Provinsi Banten menjadi Icon atau Landmark provinsi ini. Dan tak berhenti disini, penelitian ini juga akan mencoba membantu dengan mengkaji strategi promosi yang tepat bagi pengembangan dan pembenaman landmark atau icon Provinsi Banten di benak wisatawan lokal dan mancanegara. Sebagian orang menganggap icon atau landmark suatu daerah tidak begitu penting. Namun sebenarnya keberadaan suatu kota atau kawasan dapat dipengaruhi oleh citra kawasan tersebut. Secara alami, manusia akan mudah kembali mengingat tempat yang ia anggap baik, indah dan nyaman. Pencitraan sebuah objek atau tempat wisata yang baik dan nyaman akan membuat orang akan kembali mengunjunginya pada waktu yang berbeda.
1. Pendahuluan Siapa yang tak ingin melewatkan berfoto di dengan background menara Eifel di Paris atau Monas di Jakarta? Wisatawan dari luar Bandung mungkin tak akan merasa lengkap ketika ke Bandung jika belum berfoto di depan Gedung Sate. Jembatan Barelang di Batam, Jembatan Ampera di Palembang, Tugu Yogya, Borobudur di Magelang, dan banyak lagi. Tempattempat yang jadi destinasi wisata itu adalah icon atau landmark yang ada di masing-masing daerah. Bagaimana dengan Banten? Banten memiliki banyak tujuan wisata, baik sektor bahari atau sektor daratan lainnya. Banten memiliki potensi-potensi tujuan pariwisata yang bisa dijadikan landmark atau icon untuk daerahnya. Sayangnya belum ada pengelola atau pemikiran yang lebih maju yang bermaksud membuat terciptanya landmark Banten. Landmark atau icon dari suatu daerah tidak akan tercipta jika masyarakatnya tidak paham dan tidak memikirkan hal tersebut. Landmark bisa tercipta sebagai salah satu hasil pencitraan suatu daerah. banyak tempat dan bangunan di Banten yang sebenarnya dapat dikelola menjadi sebuah icon atau landmark Provinsi Banten. Jika masyarakat banten, pengelola pariwisata dan pemerintah daerah jeli dan serius mengelolanya, bukan tidak mungkin dalam waktu dekat icon atau landmark Provinsi Banten akan tercipta. Terciptanya landmark atau icon Provinsi Banten tidak bisa berhenti begitu saja begitu salah satu objek terpilih menjadi icon Provinsi Banten. Promosi perlu dilakukan secara baik, menyeluruh dan terintegrasi. Strategi promosi yang baik harus ditentukan agar pencitraan objek yang terpilih benarbenar menjadi icon atau Landmark Provinsi Banten. 1)
Dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten.
1
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Penciptaan landmark ini bukanlah hal yang mudah dilakukan walaupun tampak sederhana untuk menunjuk saja salah satu objek sebagai landmark atau icon suatu daerah. penciptaan landmark memerlukan syarat dan fungsi agar terciptanya landmark atau penanda itu benar-benar mewakilkan Banten dalam artian yang positif. Landmark juga bisa mewakilkan karakter suatu daerah, oleh karena itu penentuan landmark tidak bisa asal tunjuk. Jika salah dalam penentuan landmark, bukan tidak mungkin pencitraan daerah tersebut dapat menimbulkan kesan yang sebenarnya bukan karakter dari daerah yang dimaksud. Penciptaan landmark atau icon yang tepat dapat mempertegas ciri, kesan dan karakter suatu daerah. Proses penciptaan landmark ini tidak berhenti pada saat penunjukkan resmi suatu objek menjadi landmark Provinsi Banten. Dibutuhkan promosi yang tepat agar pencitraan Banten melalui Landmarknya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Strategi promosi harus dikaji dengan baik, tepat dan terintegrasi agar tidak terjadi kesalahan dalam menginformasikannya kepada publik. Terintegrasi adalah syarat mutlak untuk mengawasi jalannya promosi agar tidak terjadi kerancuan informasi yang didapat dari sumber yang berbeda. Selain itu strategi promosi yang baik harus dikaji secara mendalam agar tepat sasaran dan tujuannya. Penciptaan landmark baru di suatu daerah memerlukan pembenaman pemikiran di benak masyarakat luas. Merujuk pada Hermawan Kartajaya, landmark itu sendiri adalah sebuah simbol visual yg mengindentiikasikan suatu kota berdasarkan bentuk visual tertentu yang kuat karena memiliki suatu yang khas dan tidak dimiliki daerah lain serta berada pada tempat strategis sebuah kota, dimana arah atau aktivitas saling bertemu. Hal ini kemudian diperkuat oleh homas Gordon Cullen yang menyatakan bahwa landmark merupakan suatu simbol yang dibuat secara visual menarik dan ditempatkan pada tempat yang menarik perhatian, biasanya mempunyai bentuk unik atau monumental serta terdapat perbedaan skala dalam lingkungannya. Lebih lanjut dikatakannya bahwa beberapa landmark hanya mempunyai arti di daerah kecil dan hanya dapat dilihat di daerah itu atau titik yang menjadi ciri dari suatu kawasan. Heru Puboyo Hidayat dalam diskusi ilmiahnya di Banten pada 28 Maret tahun 2012 mengatakan bahwa landmark adalah suatu benda atau bangunan yang unik atau berbeda yang biasanya menjadi ciri khas bagi suatu tempat. Masih menurutnya, landmark dapat dibagi menjadi 2 kategori, Natural Landmark dan Artiicial Landmark. Natural landmark dapat ditunjuk dari konigurasi bentang alam seperti gunung, lembah, sungai, dan lainnya. Dalam kategori lain yaitu Artiicial Landmark, Hidayat menyebutkan
2. Pembahasan Banten sebagai sebuah provinsi yang masih bisa dibilang baru membutuhkan satu landmark atau icon yang dapat membuat wisatawan kembali datang untuk berkunjung. Banten sudah memiliki banyak objek wisata, objek sejarah, objek penelitian dan yang lainnya. Namun hingga saat ini belum ada satu objek yang benar-benar ditunjuk sebagai salah satu landmark atau icon provinsi banten. Marilah sejenak kita tilik apa yang terdapat di logo provinsi Banten. Logo Banten memiliki beberapa objek yang dianggap menjadi ciri khas banten. Di dalam logo Banten terdapat gambar padi dan kapas, menara dan gapura masjid Banten, Gunung Krakatau, landasan pacu Soekarno Hatta, badak bercula satu, perairan dan perindustrian.
Gambar 1. Logo Provinsi Banten
Beberapa gambar yang ada dalam logo Provinsi Banten adalah beberapa ciri khas yang ada di Banten yang beberapa diantaranya tidak terdapat di daerah lain. Jika dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin salah satunya dapat dijadikan icon atau landmark dari Provinsi Banten. Urgensi penentuan landmark ini mungkin dapat menjadi acuan bagi pengembangan pembangunan di Provinsi Banten. 2.1. Pembangunan Landmark Provinsi Banten Terciptanya landmark Provinsi Banten pada akhirnya dapat menjadi salah satu acuan untuk pengembangan pembangunan di Provinsi Banten. Jika kita lihat saat ini daerah yang paling memiliki ciri khas dalam pembangunannya ada pulau Bali. Hampir dan mungkin bahkan seluruh bangunan di Pulau Bali memiliki ciri khas Pura di salah satu bagian bangunannya. Hingga Bandara Internasional Soekarno Hatta yang ada di Banten juga memiliki bagian arsitektur dari pulau dewata ini. Mungkin suatu saat perlu di tambahkan icon atau landmark Banten di kawasan Bandara Internasional yang lebih sering dikatakan berada di kawasan Jakarta daripada Banten. 2
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
landmark atau penanda dari kategori ini merupakan obyek buatan untuk membantu menemu-kenali lokasi/petunjuk arah seperti rambu-rambu jalan, bangunan/ gedung, alun-alun, taman, patung, dan lain-lain. Menurut wikipedia Indonesia: “landmark adalah sesuatu objek geograis yang digunakan oleh para pengelana sebagai penanda untuk bisa kembali ke suatu area. Dalam konteks modern hal tersebut bisa berwujud apa saja yang bisa dikenali seperti monumen, gedung ataupun sculpture lain.” Sedangkan dalam buku Perancangan Kota Secara Terpadu (Markus Zahnd, 2006), landmark dimaknai sebagai “titik referensi seperti elemen node, tetapi orang tidak masuk ke dalamnya karena bisa dilihat dari luar letaknya. Landmark adalah elemen eksternal dan merupakan bentuk visual yang menonjol dari kota.” Keberadaan landmark suatu kawasan sangat penting saat ini. Ditengah maraknya perkembangan global lewat kebebasan informasi, gaya bangunan dan tata kota menjadi serupa satu sama lain. Gaya bangunan secara arsitektural merupakan gaya yang berlaku di seluruh dunia. Meskipun dalam aplikasinya saat ini mulai dikembalikan pada kearifan lokal, namun kemiripan gaya tersebut sedikit mengaburkan ciri khas dari suatu kawasan. 2.2. Landmark Mempermudah Manusia dalam Mengenali Tempat Berpijak Ketika kita mengunjungi suatu kawasan yang belum pernah kita kenal ataupun kita kunjungi, kita akan mencari sesuatu yang dapat kita jadikan sebagai acuan awal yang menjadi patokan kita untuk kembali apabila akan berkeliling kawasan tersebut. Acuan awal yang kita pilih pasti sesuatu yang mudah diingat, seperti tugu, taman kota, atau tempat kita pertama kali memasuki kawasan tersebut seperti gapura, bandara, terminal, dan sebagainya. Dalam perancangan suatu kawasan, keberadaan acuan tersebut sangat penting. Tidak adanya acuan yang dapat digunakan akan membawa citra kurang baik bagi kawasan tersebut. Terlebih bagi pengunjung dari luar kawasan atau lebih sering disebut turis karena akan membuat bingung ketika mereka berkeliling dalam kawasan tersebut.
jalan menuju Kraton dan juga jalan antar kota seperti jalan menuju kota Solo, Magelang, dan Wates. Tugu merupakan persimpangan ketiga arah jalan tersebut. Menurut sejarah memang Tugu Yogya digunakan pihak Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat sebagai salah satu elemen dalam pembentukan garis imajiner (garis yang tidak terlihat secara nyata) yang menghubungkan antara gunung Merapi, Tugu, Kraton Yogya, Panggung Krapyak dan Laut Kidul sebagai garis lurus. Hal ini menjadikan Tugu sebagai landmark kota Yogya mempunyai arti lebih daripada sekedar landmark kota sebagai bangunan cagar budaya. Di kawasan lain pun hal tersebut banyak dijumpai, baik dalam skala besar ataupun kecil. 2.4. Penunjuk arah Dalam suatu kawasan maju yang mempunyai penduduk padat dan banyaknya bangunan baik hunian, komersial, pendidikan dan pemerintahan dibutuhkan sesuatu yang menjadi acuan untuk menemukan arah. Adanya landmark yang lebih menonjol daripada bangunan di sekitar akan membantu untuk dapat menentukan arah tujuan. Acuan tersebut dapat berupa bangunan tinggi, jembatan layang (ly over), monumen tinggi, dan sebagainya. Aspek paling penting adalah acuan tersebut dapat terlihat menonjol daripada bangunan lainnya. Pengunjung kota Paris akan lebih cepat menemukan arah ke Menara Eifel karena ketinggian bangunan yang terlihat jelas. Begitu juga menara Petronas, World Trade Centre, dan bangunan tinggi lain di dunia. Disamping bangunan tinggi, keberadaan bukit atau gunung dari suatu kawasan akan memberi informasi arah yang jelas, seperti gunung Merapi yang berada di sebelah utara kota Yogyakarta. 2.5. Pembentuk Skyline Bangunan dalam suatu kawasan memang memberikan warna pada wajah kota. Namun hal tersebut hanya jika dilihat dari sudut pandang yang memungkinkan. Begitu juga dengan ketinggian bangunan beraneka ragam, akan membentuk skyline dari kawasan tersebut. Ketinggian bangunan yang hanya dapat dilihat puncaknya saja akan memberi nilai artistik luar biasa bagi kawasan tersebut. Keunikan dari tata bangunan dapat menjadi landmark tersendiri bagi kawasan tersebut. Selain menambah nilai artistik suatu kawasan, ketinggian bangunan yang berbeda-beda dapat memberikan informasi mengenai fungsi bangunan tersebut. Bentuk bangunan yang dapat terlihat jelas dari jarak jauh dapat mengindikasikan apakah suatu bangunan sebagai bangunan hunian, komersial, pemerintahan maupun fungsi lainnya. Dengan demikian akan mudah bagi pengunjung untuk menentukan arah dan sebagai penanda kawasan.
2.3. Hierarki suatu Wilayah Selain digunakan untuk penanda kawasan, keberadaan landmark juga sering digunakan sebagai hirarki suatu wilayah. Banyak contoh dimana suatu landmark kawasan menjadi titik penting dalam merencanakan tata kota, jalur transportasi, maupun hirarki kebudayaan. Sebagai contoh, keberadaan Tugu Yogyakarta yang saat ini menjadi ikonnya kota gudeg. Jalan-jalan utama yang dibangun di kota Yogyakarta mempunyai pusat di Tugu Yogya. Seperti 3
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
dan komunikasi ide. 2. Mendeinisikan Ruang Lingkup Marketing Komunikasi Meliputi perluasan elemen komunikasi, memberikan informasi kepada publik, dan mengevaluasi feedback. 3. Mengaplikasikan Teknologi Informasi Memanfaatkan teknologi informasi dengan membuat database manajemen untuk mengelola hubungan dengan konsumen. Di sini fokus utama dari penelitian ini lebih kepada pemanfaatan website dan pusat informasi secara online sebagai promosi potensial Landmark Provinsi Banten.
2.6. Integrated marketing communications Integrated Marketing Communication atau biasa disebut dengan Komunikasi Pemasaran Terpadu adalah sebuah proses perencanaan marketing komunikasi yang memperkenalkan konsep perencanaan komprehensif untuk mengevaluasi peranan strategis dari berbagai elemen komunikasi pemasaran, seperti public relation, advertising, direct selling, sales promotion, dan interactive marketing, untuk memberikan kejelasan, konsistensi, serta pengaruh komunikasi yang maksimum (Duncan, 2004). Komunikasi Pemasaran Terpadu sering disebut dengan IMC merupakan sebuah proses strategi bisnis dalam mengelola hubungan dengan konsumen yang intinya untuk menggerakkan brand value (Ruslan, 2008). Memasuki awal tahun 1990an, kegiatan bisnis, khususnya pemasaran tidak lagi mengacu kepada strategi pemasaran tradisional, melainkan lebih mengacu pada strategi pemasaran modern dengan konsep 4P (Product, Price, Place, Promotion) (Duncan, 2004). Kemunculan strategi 4P inilah yang menandai hadirnya komunikasi pemasaran terpadu, dengan tidak hanya menggunakan iklan melainkan juga menggunakan public relations. Pada kasus ini, bagaimana peranan Integrated Marekting Communication digunakan sebagai kerangka teori dalam melihat bagaimana komunikasi digunakan sebagai kampanye dalam mempromosikan landmark Provinsi Banten. Titik tekan kegiatan IMC di sini lebih kepada bagaimana strategi penggunaan media online dalam kegiatan promosi penanaman landmark Provinsi Banten di benak masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai IMC adalah untuk memengaruhi masyarakat dengan elemen promosinya sampai ke tingkat kognisi, afeksi, dan konasi. Elemen promosi yang digunakan terbagi atas soft sell dan hard sell. Jadi, tujuan dari penggunaan IMC di sini bukan hanya sekedar menanamkan pemikiran dan membangun minat terhadap wisata ke landmark Banten, akan tetapi juga sampai kepada bagaimana jumlah wisatawan juga dapat meningkat secara signiikan. Soft sell berupa advertising, public relation, CSR, interactive marketing yang bertujuan untuk memengaruhi konsumen ke tingkat kognisi dan afeksi. Sedangkan, hardsell berupa personal selling, direct marketing, sales promotion untuk memengaruhi konsumen ke tingkat konasi. Tahapan Integrated Marketing Communication yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut: 1. Koodinasi taktis Meliputi pengkombinasian komunikasi interpersonal dan cross-functional sebagai elemen promosi. Mampu melihat tujuan secara spesiik yang disesuaikan dengan tools promosi
3. Simpulan Jika kita tilik kembali beberapa catatan diatas, penulis merasa bahwa penciptaan landmark, khususnya di Provinsi Banten dianggap perlu. Pemerintah Daerah juga perlu memikirkan sebuah cara agar landmark Provinsi Banten ini cepat terwujud demi kemajuan perkembangan pariwisata di Banten. Selanjutnya yang tidak kalah penting, promosi landmark tersebut harus dilaksanakan dengan baik. Tak ada penjualan citra yang cepat dan baik hasilnya tanpa melakukan promosi. Terakhir, ketersediaan sarana dan prasarana ke arah penciptaan landmark juga perlu dipikirkan agar wisatawan yang datang ke landmark Provinsi Banten tidak akan jera untuk kembali datang dan mengabadikan momen terbaiknya di Provinsi Banten. Daftar Pustaka Duncan, Tom. 2004. IMC: Using Advertising & Promotion to Build Brand. First Edition. McGraw-Hill, Inc. ___________ 2005. Principles of Advertising & IMC. Second Edition. Mc. Graw Hill.Inc. Kirk, J. & Miller, M. 1986. Reliability and validity in qualitative research, Sage. Lexy J. Moleong, 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Bandung:PT. Remaja Rosdakarya Ofset Pujani V, Besra E. 2009. Model Penggunaan Website E-Commerce di Indonesia: Analisa Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta. Ruslan, Rosady. 2008. Manajemen Public Relations & Media Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Graindo Persada Sugiarto. 2001. Teknik Sampling. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Sumber Lain: http://bondanprihastomo.wordpress. com/2011/02/22/landmark-vista-dan-focalpoint/ pada Februari 2011. http://www.skyscrapercity.com/showthread. php?t=409547&page=6 pada Agustus 2011. 4
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Sinyo Harry Sarundajang: Mengatasi Konlik Maluku dan Maluku Utara dengan Pendekatan Dialogis H. H. Daniel Tamburian1) I. Pendahuluan Sebuah sistem demokrasi memiliki paradoks pada dirinya sendiri. Di satu sisi, demokrasi memberikan kepada kita kehidupan yang bebas di mana kita bisa mengembangkan dan memperkuat nilai-nilai universal seperti kemajemukan, toleransi, dan inklusivitas. Di sisi lainnya, demokrasi juga memberi kesempatan bagi munculnya ikatan primordialisme dan sikap eksklusif masyarakat. Sebuah negara yang mengembangkan nilai-nilai demokrasi bila mampu mengelola segala perbedaan yang ada akan mampu menjadi negara kuat dan maju. Singapura, sebagai contoh, adalah sebuah negara demokrasi yang terdiri dari berbagai etnik dan agama yang mampu mengelola semua perbedaan yang ada sehingga menjadikan Singapura sebagai salah satu negara kuat secara ekonomi dan maju di kawasan Asia Tenggara. Sebaliknya, Yugoslavia menjadi salah satu negara yang gagal dan akhirnya pecah dan hancur karena tidak mampu mengelola perbedaan yang ada di dalam diri mereka setelah tumbangnya rejim otoriter. Kondisi yang mirip dengan apa yang terjadi di Yugoslavia terjadi di Indonesia. Konlik agama, ras, golongan, dan suku atau biasa disebut dengan istilah SARA mencuat setelah tumbangnya Soeharto dengan rejim otoriternya Orde Baru (ORBA). Berbagai konlik terjadi di sejumlah daerah yang mengancam keutuhan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Pada 18 Februari terjadi konlik antara etnis Madura dengan etnis Dayak di kota Sampit, Kalimantan Tengah. Konlik antara etnis Madura dan Dayak sebenarnya pernah terjadi dalam skala yang besar pada akhir era Soeharto yaitu Desember tahun 1996 dan Januari 1997, namun konlik yang terjadi di kota Sampit jauh lebih besar. Konlik lain dalam skala besar adalah konlik yang terjadi di Poso. Sebenarnya konlik di Poso terjadi dalam sebanyak tiga. Konlik pertama kali muncul di akhir tahun 1998 kemudian berselang tujuh belas bulan kemudian, tepatnya April 2000 terjadi konlik kedua. Pada Sabtu, 29 Oktober 2005 kota Poso digemparkan oleh penemuan tiga tubuh siswi berseragam SMU bersimbah darah, tanpa kepala tergeletak mengenaskan di jalan setapak Bukit Bambu. Masyarakat Poso yang sebelumnya hidup rukun, damai, dan berdampingan akhirnya menjadi bermusuhan dan terpecah kedalam dua kelompok, yaitu kelompok Kristen dan kelompok Islam. Pada Januari 1999 terjadi pertikaian antara dua orang pemuda, yang seorang supir angkot yang
merupakan warga Ambon beragama Kristen dan seorang lagi warga Bugis yang beragama Islam. Peristiwa ini sebenarnya adalah murni tindakan kriminal biasa, namun kemudian berkembang menjadi sebuah kerusuhan dan konlik yang berlatarbelakang agama, yaitu Kristen dan Islam. Pecahnya kerusuhan atau konlik Ambon menunjukkan bahwa Indonesia sangat rentan dengan perpecahan. Negara Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau, budaya, dan bahasa dan beragam etnis dan agama terancam pecah dan menjadi negara gagal seperti Yugoslavia. Sementara itu di waktu yang hampir bersamaan terjadi konlik di Maluku Utara. Konlik di Maluku Utara ini seperti mengulang apa yang terjadi di Ambon dimana kelompok Kristen dan kelompok Islam bertikai dan saling membunuh satu sama lain. Berbagai konlik yang terjadi di wilayah Indonesia melahirkan kejahatan dan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Pembantaian manusia dan ancaman disintegrasi bangsa menanti di depan mata. Di tengah-tengah ancaman perpecahan bangsa karena munculnya berbagai macam konlik, muncul igur-igur yang mempersatukan dan memiliki komitmen kuat terhadap ke-Indonesiaan yang beragam. Salah seorang yang kemudian tampil menjadi tokoh pemersatu dan pembawa damai dalam mengatasi konlik yang berbau SARA adalah Sinyo Harry Sarundajang. Putra Minahasa (Manado) ini berhasil memadamkan konlik yang terjadi di propinsi Maluku dan Maluku Utara. Di tanah kelahirannya beliau juga adalah tokoh masyarakat dan pimpinan yang disegani. 2. Pembahasan 2.1. Konlik dalam Perspektif Ilmu Komunikasi Usia konlik dalam masyarakat sama tuanya dengan peradaban manusia. Kitab suci menceritakan pertama kali munculnya konlik adalah ketika Kain membunuh adiknya Habel. Kitab Kejadian menggambarkan bagaimana Kain iri hati terhadap adiknya Habel yang korban persembahannya diterima Tuhan, sementara korban persembahan dirinya ditolak. Kain tidak berbicara atau berkomunikasi dengan Tuhan mengapa persembahannya ditolak dan tidak juga berbicara dengan Habel, adiknya. Namun panas hatinya telah membakar dia dan membawa dirinya kepada sebuah amarah yang berujung kepada pembunuhan adiknya.
1 Dosen di Universitas Tarumanegara, Jakarta.
5
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
atau misinterpretation antara pengirim dan penerima pesan. Miscommunication dan misinterpretation sering terjadi disebabkan tidak jelasnya sesuatu yang dikatakan seseorang atau tidak jelasnya kepada siapa kata-kata tadi ditujukan.
Ada banyak faktor yang bisa memicu timbulnya sebuah konlik, namun umumnya konlik yang terjadi di masyarakat dapat timbul karena adanya perbedaan nilai dan atau kepentingan yang mucul. Konlik Maluku tidak lepas dari adanya benturan kepentingan elit-elit politik di dalam dan luar negeri. Sementara konlik yang terjadi di Maluku Utara sebenarnya dilatarbelakangi oleh persaingan antara dua kesultanan Ternate dan Tidore dalam memperebutkan hegemoni di wilayah Halmahera Utara dan Tengah. Kedua konlik tersebut kemudian berkembang menjadi konlik horizontal dengan latar belakang agama. Daniel Webster mendeinisikan konlik sebagai: persaingan atau pertentangan antara pihakpihak yang tidak cocok satu sama lain; keadaan atau perilaku yang bertentangan; perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan, atau tuntutan yang bertentangan. Pickering sendiri mendeinisikan konlik sebagai adanya beberapa pilihan yang saling bersaing atau tidak selaras (Pickering, 2006: 1). Sementara Wilmot & Hocker mendeinisikan konlik sebagai: “an expressed struggle between at least two interdependent parties who perceive incompatible goals, scarce resources, and interference from others in achieving their goals” (perjuangan yang diekspresikan antara sekurang-kurangnya dua pihak yang saling bergantung yang mempersepsikan tujuan-tujuan yang tidak sepadan, sumberdaya yang langka, dan campur tangan dari pihak-pihak lain dalam mencapai tujuan mereka (Tubbs & Moss, 2006: 177) Perjuangan yang dimaksud deinisi di atas menggambarkan perbedaan di antara pihak-pihak tersebut yang dinyatakan, dikenali, dan dialami. Konsep perjuangan berkaitan dengan usaha yang dirancang untuk mencapai tujuan, untuk memperoleh sumberdaya, dan untuk memperoleh imbalan yang juga tengah dicari oleh pihak lain. Kasali (2008: 222) menjelaskan bahwa konlik (krisis) dalam bahasa Cina merupakan kombinasi dari dua kata Wei-Ji yang berarti “bahaya” dan “peluang”. Konlik, dalam pengertian krisis, adalah sebuah turning point for better or worse. Dapat juga dikatakan bahwa krisis adalah suatu waktu yang krusial, atau momen yang menentukan (decisive moment). Konlik Maluku dan Maluku Utara adalah contoh bahwa sebuah konlik atau krisis merupakan peluang dan turning point for better bila ditangani dengan benar dan tepat. Dari sudut ilmu komunikasi konlik dapat terjadi karena adanya gangguan atau noise ketika komunikator mengirim pesan kepada komunikan. Menurut Weaver gangguan adalah informasi palsu dan meningkatkan ketidakpastian (Severin & Tankard, 2011: 61). Proses komunikasi terjadi ketika seseorang mengirim pesan dan di tengah jalan pesan tersebut mendapat gangguan sehingga penerima pesan tidak dapat menangkap isi pesan secara utuh. Distorsi pesan dapat terjadi karena adanya gangguan yang diterima saat pesan dikirim sehingga tercipta miscommunication
Model Komunikasi Shannon & Weaver Sumber: Werner J. Severin & James W. Tankard
Manusia tidak dapat tidak berkomunikasi karena sejatinya manusia diciptakan untuk berkomunikasi dalam rangka membangun relasi dengan sesama. Homo Homini Socius, manusia adalah makhluk yang bermasyarakat. Tidak ada satupun manusia di atas bumi ini yang dapat hidup sendiri dan tidak terkoneksi dengan anggota masyarakat lainnya. Namun, seringkali terjadi komunikasi yang dibangun tidaklah seperti yang diharapkan atau berjalan lancar. Kesalahan dalam membangun komunikasi bisa berujung pada konlik. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan latar belakang yang dimiliki oleh masingmasing partisipan. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu perbedaan karena “frame of reference” dan “ield of experience”. Wilbur Schramm mengembangkan model komunikasi yang menggambarkan bahwa hanya apa yang dialami bersama oleh komunikator dan komunikan yang benar-benar dikomunikasikan, karena hanya bagian dari sinyal itu yang dipahami, baik oleh komunikator maupun oleh komunikan. Komunikasi akan berjalan dengan baik manakala masing-masing partisipan memiliki ield of experience dan frame of reference yang sama. Sebaliknya, gangguan akan terjadi bila masing-masing partisipan memiliki ield of experience dan frame of reference berbeda.
Model Komunikasi Wilbur Schramm Sumber: Severin & James Tankard 2011
Model komunikasi yang dikembangkan oleh Wilbur Schramm di atas merupakan salah satu model yang menekankan pada partisipasi aktif kedua belah 6
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
pihak partisipan. Pada banyak model komunikasi proses menerima dan menafsirkan pesan disebut dengan decoding atau penyandian-balik. Proses ini melibatkan persepsi atau meliputi rangsangan perasaan dan proses informasi selanjutnya. Lahlry mendeinisikan persepsi sebagai proses yang kita gunakan untuk menginterpretasikan datadata sensoris (Severin & Tankard, 2011: 83). Persepsi seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor psikologis, pengalaman masa lalu, budaya, motivasi, suasana hati, dan sikap. Persepsi masing-masing orang terhadap sebuah fenomena atau peristiwa tidaklah sama. Persepsi seseorang bisa saja salah sehingga tindakan yang dia ambil pun akhirnya salah juga. Bentrokan, krisis, atau konlik bisa muncul karena adanya pertentangan atau persaingan dari beragam persepsi yang berbeda tersebut. Pada konlik yang terjadi di Maluku terlihat jelas bagaimana persepsi memainkan peran penting sehingga sebuah pertikaian dua pemuda yang murni adalah perbuatan kriminal berkembang menjadi sebuah konlik sosial yang hebat dengan latarbelakang agama dan suku. Seorang pemuda Kristen Maluku berinisial JL, yang adalah seorang sopir angkot dimintai uang oleh seorang pemuda Muslim Bugis berinisial NS. Keduanya kemudian terlibat pertikaian di mana NS kemudian lari ke desa Batu Merah. Warga Batu Merah menanyakan apa yang terjadi kepada NS yang dijawab oleh NS bahwa ia akan dibunuh oleh orang Kristen. Kronologis peristiwa ini berdasarkan apa yang diceritakan oleh Yayasan Sala Waku Maluku, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal. Sentimen agama menjadi pemicu timbulnya konlik besar-besaran tersebut.
Berkomunikasi disaat krisis atau konlik tentu jauh lebih berat dan memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Tidak semua orang bisa melakukannya, apalagi melakukannya dengan sukses karena pada saat krisis atau konlik ada syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang agar mampu memenangkan hati orang lain. Dalam mengatasi konlik sesorang komunikator harus bisa bersikap netral, tidak memihak salah satu pihak sekalipun ia berasal dari salah satu pihak yang bertikai atau berkonlik tersebut. Komunikator juga harus sabar, mampu mengontrol emosinya agar tidak mudah terprovokasi oleh sikap atau tindakan dari pihak-pihak yang bertikai. Ia juga harus memiliki kemampuan mendengar dengan baik dan bersikap adil. Komunikator harus mampu memisahkan fakta dari rasa sehingga mampu bersikap tegas dan berpihak pada kebenaran. Seorang komunikator wajib memiliki kemampuan bernegosiasi dan bargaining (tawar-menawar). Kemampuan ini diperlukan untuk mencari titik temu bagi pihak-pihak yang bertikai yang nantinya akan menghasilkan kompromi. Semua syarat di atas harus bisa dikomunikasikan. Tubbs & Moss (2006: 187) memaparkan tentang bagaimana menyelesaikan konlik. Ia mengungkapkannya dalam guidelines in resolving conlict: - Pick your conlicts. Don’t argue over everything. - Develop a reputation as someone who admits when you are wrong. - Provide an alternative for ideas you oppose. Don’t knock down the ideas of others without having something else to suggest. - Let the other person speak irst. his will encourage the other person to listen better. You will also gain insight into what it takes to satisfy them. - Base your statements on facts. Avoid exaggeration. - Don’t lose your temper. - Avoid sarcasm, disbelief, and caustic humor. - Develop a win-win mentality. - Aim to meet both your needs and the other person’s. - Avoid simply trying to defend your position. - Never try to win by destroying the other person. Manusia secara alamiah diciptakan untuk berkomunikasi. Sebuah komunikasi akan terjadi bila tercipta kesepahaman di antara partisipannya. Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin communicatio yang berarti pengumuman. Akar kata communicatio adalah communis yang berarti sama, artinya sama makna atau sama arti. Hakikat sebuah komunikasi adalah pengertian (understanding) sehingga setiap orang yang berkomunikasi harus bisa saling mengerti, memahami satu sama lain. Tidak pernah akan tercipta komunikasi bila masing-masing partisipan memaksakan kehendaknya tanpa terlebih dahulu
2.2. Menyelesaikan Konlik melalui Komunikasi Dialogis 2.2.1 Komunikasi Krisis atau Konlik Berbeda dengan sistem otoriter yang lebih menekankan pada tindakan koersif dan komunikasi satu arah (monologis), sistem demokrasi sangat mengedepankan sebuah komunikasi dialogis, komunikasi dua arah. Dalam demokrasi tidak ada tempat untuk pemaksaan, semua dilakukan dengan sukarela. Kebebasan berserikat dan berpendapat dijamin dalam sebuah sistem demokrasi. Sikap, pendirian, keyakinan dan pendapat seseorang tidak bisa dipaksakan kepada orang lain. Salah satu tantangan berkomunikasi dalam sebuah negara yang menerapkan sistem demokrasi adalah bagaimana mengajak dan mengubah sikap orang tanpa melalui pemaksaan apalagi kekerasan. Seorang komunikator harus mampu memenangkan hati orang lain dengan kemampuannya berbicara atau berkomunikasi. Hal ini tentu tidaklah mudah mengingat komunikan memiliki frame of reference dan ield of experience yang berbeda dengan komunikator. 7
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
membangun kesamaan makna atau pengertian di antara mereka. Pemaksaan kehendak dengan sendirinya akan hilang bila masing-masing partisipan sepakat dengan apa yang mereka komunikasikan. Sebuah kegiatan komunikasi selalu dimaksudkan untuk mengubah perilaku seseorang sebagaimana yang diutarakan oleh Carl I. Hovland bahwa komunikasi adalah “the process by which an individual transmits stimuli (usually verbal symbols) to modify the behaviour of other individuals”. Sementara efek yang diharapkan dari komunikasi mencakup aspek kognitif (pengetahuan), afektif (perasaan), dan aspek konatif (tindakan/perbuatan). Sedangkan R. Wayne Pace, Brent D. Peterson, dan M. Dallas Burnett menyebutkan tiga tujuan komunikasi, yaitu: to secure understanding, to establish acceptance, dan to motivate action.
bersifat eksklusif dan bersaing dengan nilai-nilai yang dianggap bertentangan dengannya. Menurutnya lagi fenomena marak dan bangkitnya gerakan radikal atas nama agama, etnis, dan daerah, tak bisa dipisahkan dari terbukanya peluang bagi kelompok yang semula tidak mendapat tempat sebelum era reformasi. Kompleksitas yang dimiliki dan melekat dalam diri bangsa Indonesia menuntut kita untuk saling menghargai, menghormati, dan membuka diri serta bersikap toleran terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Disini dituntut kemampuan pemimpin dalam mengelola dan menyelesaikan konlik yang ada. Tubbs dan Moss mengatakan bahwa ada lima basic styles of conlict resolution, yaitu: 1) avoidance; 2) competition; 3) compromise; 4) accomodation; 5) collaboration (Tubbs & Moss, 2006: 181). “Model kepemimpinan yang diperlukan bukan komando, tetapi melayani dan mengayomi. Artinya, mendengar persoalan masyarakat tanpa melalui prosedur birokrasi,” begitu kata Sarundajang. Tentu saja kelima gaya di atas harus didukung dengan kemampuan komunikasi yang baik. Kemahiran dalam berkomunikasi merupakan kunci keberhasilan dalam menyelesaikan konlik. Sebagaimana dikatakan Sarundajang bahwa bukan kepemimpinan komando yang diperlukan, tapi melayani dan mengayomi. Pilihan model atau teknik komunikasi sangat menentukan berhasil tidaknya seorang pemimpin menengahi kedua pihak yang bertikai. Teknik persuasi merupakan teknik yang tepat untuk dipilih dalam menangani konlik. Persuasi berasal dari kata Latin “persuasio” yang berarti hal membujuk, mengajak, atau meyakinkan.” Kegiatan persuasi hanya dapat efektif bila dilakukan dengan cara tatap muka dan melalui dialog diantara masing-masing pihak yang terlibat. Komunikasi antarpersona dianggap oleh para ahli sebagai komunikasi yang paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pandangan atau perilaku seseorang. Hal ini karena: 1) Komunikasi berlangsung dua arah secara timbal balik; 2) Arus balik berlangsung seketika; 3) Kerangka acuan komunikan dapat diketahui segera. Dengan kata lain komunikasi antarpersona adalah sebuah komunikasi dialogis. Komunikasi antartpersona adalah bentuk komunikasi tatap muka. Sejalan dengan pendekatan dialogis ini Sarundajang mengatakan: “Dengan hati yang tulus, serta dengan hati nurani yang bersih, tidak memihak dan hadir untuk mendengarkan langsung pihak-pihak yang bertikai termasuk berdialog9, saya lakukan itu semua dengan tokoh-tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan dialog antar pemuda termasuk dengan cara mengadakan outbond dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk pemuda semuanya didasari dengan pendekatan hati nurani yang tulus.” Ia juga menambahkan: Pengalaman saya di Maluku, misalnya, menunjukkan betapa besar
2.2.2. Sarundajang: Membangun Kepercayaan Melalui Dialog Pada hari Sabtu, 14 Juli 2012 Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundajang menerima penganugerahan Doktor Honoris Causa bidang Ilmu Kepemimpinan Masyarakat Majemuk dari perguruan tinggi Islam Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN), Malang. Pemberian gelar dilakukan dalam upacara yang dipimpin Rektor UIN Prof Dr Imam Suprayogo, dan dihadiri komunitas pemimpin agama. Menurut Imam Suprayogo, pihaknya bersama komunitas ilmiah di dalam UIN menelusuri nama-nama yang dianggap berjasa dalam praktik kepemimpinan masyarakat majemuk. Dalam sambutannya rektor UIN tersebut berkata: ”Kami mendapat rekomendasi antara lain justru oleh pemimpin Laskar Jihad Ja’far Umar halib, bahwa Sinyo adalah orang yang tepat mendapat gelar doktor honoris causa.” Dipandang dari sudut komunikasi Sarundajang telah berhasil membangun jembatan komunikasi yang mampu menghubungkan dua kutub yang berbeda dan bertolak belakang. Sebagaimana sudah disebutkan di atas bahwa hakikat dari komunikasi adalah pengertian atau kesepahaman (understanding). Carl I. Hovland mengemukakan bahwa tujuan dari setiap kegiatan komunikasi adalah untuk mengubah perilaku orang lain. Sarundajang melakukan tugasnya sebagai komunikator dengan baik sehingga Ja’far Umar halib pemimpin Laskar Jihad akhirnya membubarkan sendiri organisasi yang dia pimpin dan menjadi orang yang mengusulkan Sarundajang untuk memperoleh gelar doktor honoris causa. Dalam pidato ilmiahnya Sarundajang mengatakan bahwa demokrasi memuat paradoks justru di dalam dirinya sendiri. Selain membuka peluang terbukanya nilai-nilai universal seperti kemajemukan, toleransi, dan inklusivitas, demokrasi juga memberi kesempatan pada bangkit dan munculnya primordialisme, ikatan dan loyalitas yang 8
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
tidaklah mudah bagi Sarundajang sebagaimana yang ia utarakan: “Perjalanan tugas saya di Maluku dan Maluku Utara itu tidaklah mudah tetapi cukup berat karena saya berada pada daerah yang asing dan juga saya tidak mengenal siapa-siapa disana dan saya juga tidak dikenal oleh mereka. Karena itu, saya pernah ditolak habis-habisan oleh berbagai kalangan masyarakat yang berkonlik, bahkan tekanan dan ancaman kepada saya cukup keras pada waktu itu. Tapi hanya dengan satu tekad yaitu pergi dengan membawa hati yang bersih, bersikap netral dan terjun bersama masyarakat yang bertikai dengan pendekatan hati nurani dan kasih sayang, dilakukan dengan kesungguhan hati dan mengajak orang untuk berdamai walaupun dengan berbagai resiko yang akan menimpa diri saya.” Ditinjau dari sudut teori pengelolaan identitas, Sarundajang mencoba memahami dan mengerti budaya dan karakter masyarakat setempat dengan cara membaur dengan mereka. Dala teori pengelolan identitas dikatakan bahwa sebuah hubungan dapat memperoleh identitasnya melalui komunikasi. Pertanyaan-pertanyaan tentang identitas sangat penting dalam kehidupan sosial. Siapakah saya? Siapakah kita? Apa sifat hubungan kita? Hubungan bersifat dinamis dan komunikasi adalah hal yang mengatur persamaan dan perbedaan. Dua pandangan Baxter tentang dialog: 1) hubungan dihasilkan melalui dialog; 2) dialog menghasilkan sebuah kesempatan untuk mencapai sebuah persatuan dalam perbedaan. Sarundajang menambahkan: “Sejalan dengan hasil studi dari beberapa peneliti yang meyimpulkan bahwa akar penyebab konlik di Maluku dan Maluku Utara, antara lain persoalan kesenjangan sosial, perebutan sumberdaya alam serta pertikaian elit politik dan birokrasi merupakan faktor pembungkus “konlik agama”. Ada dua hal yang saya lakukan di Maluku dan Maluku Utara yaitu; menyelesaikan konlik dengan pendekatan hati nurani dan memahami kearifan lokal yang ada di masyarakat. Bagi saya kedua hal ini merupakan hal yang hakiki, membutuhkan keberanian, kesungguhan dan ketekunan. Saya wajib mempelajari kearifan lokal di tengah masyarakat yang sedang bertikai; memahami karakter, adat dan budaya masyarakat lokal.” Pernyataan Sarundajang sejalan dengan apa yang dikatakan Mikhail Bakhtin: “hidup berarti ikut serta dalam dialog: bertanya, memperhatikan dengan seksama, merespons, setuju, dan seterusnya. Dalam dialog ini, seseorang ikut serta secara penuh dan sepanjang hidupnya: dengan matanya, bibirnya, tanganya, jiwanya, semangatnya, dengan seluruh tubuh dan perbuatannya. Ia memberikan seluruh dirinya dalam wacana dan wacana ini masuk kedalam jalinan dialog dalam kehidupan manusia, kedalam simposium dunia.” (Littlejohn, 2009: 301) Dalam pidatonya di rapat terbuka senat UIN Sarundajang mengungkapkan bahwa model
keinginan dan antusiasme masyarakat kita untuk turut mewujudkan kehidupan yang tenteram dan damai, serta sebaliknya, begitu bencinya mereka terhadap segala bentuk anarki dan tindak kekerasan. Hanya saja, masyarakat kita menunggu uluran tangan para pemimpinnya. Mereka bukan hanya ingin disapa dan didengar, melainkan juga ingin diajak bicara dan berdialog mengenai berbagai persoalan yang mereka hadapi. Mereka, yakni masyarakat kita di daerahdaerah, pada dasarnya memiliki sistem nilai dan cara sendiri untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang diwariskan secara turun-temurun oleh komunitas yang bersangkutan.” Dalam berkomunikasi setiap partisipan memiliki frame of reference yang dia bawa sejak masa kecil. Frame of reference ini meliputi budaya, keyakinan atau sistem kepercayaan, dan nilai-nilai yang dia anut. Dan dalam Seven Pillars of Communication Strategy yang dikemukakan Lawrence D. Brennan, salah satunya adalah itikad baik (goodwill). Beberapa sifat yang mendukung adanya goodwill, diantaranya adalah: kebijaksanaan, kejujuran, dan ketulusan. ”Pada dasarnya masyarakat bisa menyelesaikan persoalan sendiri atas dasar nilai dan sistem kearifan lokal, dan dibangun semangat saling percaya. Pengalaman saya di beberapa daerah, termasuk wilayah konlik, memperlihatkan bahwa pada dasarnya setiap daerah dan wilayah kita di Tanah Air memiliki sistem nilai yang bersumber dari kearifan lokal yang unik dan telah menjadi wadah kolektif bagi masyarakat setempat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di antara mereka. Selain itu, kearifan lokal yang bersifat turuntemurun tersebut seringkali bersifat lintas agama, etnis, dan daerah. Saya percaya bahwa sebelum berbagai lembaga modern seperti birokrasi, pemerintah, ataupun sistem demokrasi dikenal, masyarakat lokal di berbagai daerah telah memiliki sistem nilai dan kearifan lokal sendiri yang memungkinkan mereka bertahan serta hidup secara rukun dan damai.” ungkap Sarundajang. Sarundajang sebagai seorang pemimpin dan seorang komunikator telah menerapkan salah satu unsur dari Seven Pillars of Communication Strategy, yaitu goodwill, yang menurut Brennan mengandung unsur-unsur seperti: Attitude of helpful service, courtesy (kesopansantunan), friendliness (keramahtamahan), dan humanity (perikemanusiaan). Hal ini diakui oleh rektor UIN dalam sambutannya pada penganugerahan doktor honoris causa. Ia berkata: “Masyarakat majemuk, di tiga propinsi oleh Bapak SH Sarundayang pernah dipimpin dan dikelola secara tepat, sehingga semua merasa diajak serta, diperhatikan, dipedulikan, dihargai, dicintai, dan tepat kiranya, saya sebut di-orangkan. Itulah selanjutnya saya pahami sebagai letak kunci keberhasilan memimpin masyarakat majemuk.” Mendapatkan tugas mendamaikan pihakpihak yang berkonlik di Maluku dan Maluku Utara 9
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
kepemimpinan yang diperlukan oleh masyarakat majemuk seperti bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah semata-mata yang bersifat komando dan instruktif, tetapi justru kepemimpinan yang bersifat melayani dan mengayomi, dalam arti mau mendengar persoalan-persoalan masyarakat dari mereka secara langsung tanpa harus melalui prosedur protokoler dan birokratis. Dalam hubungan ia menegaskan 2 (dua) hal. Pertama, kita harus percaya bahwa masyarakat pada dasarnya bisa menyelesaikan persoalan mereka sendiri atas dasar sistem nilai dan kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun temurun. Kedua, harus dibangun semangat saling percaya antara pemimpin formal dan pemimpin informal –yakni para tokoh masyarakat—bukan hanya sebagai fondasi bagi penyelesaian berbagai persoalan kemasyarakatan, tetapi juga sebagai faktor penentu keberhasilan kita mewujudkan kehidupan kolektif yang adil, sejahtera, tenteram, dan damai. Hubungan bersifat dinamis dan komunikasi adalah hal yang mengatur persamaan dan perbedaan. Dua pandangan Baxter tentang dialog: 1) hubungan dihasilkan melalui dialog; 2) dialog menghasilkan sebuah kesempatan untuk mencapai sebuah persatuan dalam perbedaan. Imahori & Cupach: 3 tahapan hubungan. 1) percobaan, 2) kecocokan, 3) negosiasi ulang. Sarundajang berrpendapat bahwa jika terbangun semangat saling percaya di antara para pemimpin formal dan pemimpin informal maka dengan sendirinya akan terjalin kerjasama yang sinergis dalam merawat dan mengelola keberagaman. Melalui semangat saling percaya dan kerjasama demikian diharapkan berbagai fenomena konlik, tindak kekerasan, dan anarkisme atas nama identitas asal (agama, golongan, suku/etnik, ras, daerah) akan berkurang dengan sendirinya. Sebab salah satu faktor penting di balik maraknya konlik dan ketegangan yang bersifat primordial berakar pada rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat kita terhadap lembagalembaga negara, institusi pemerintah, termasuk para pemimpin dan penegak hukum. Pemimpin dapat mengambil peran dalam menyelsaikan konlik maupun memperparah pertikaian yang terjadi. Hal ini dijelaskan dalam Teori Dialogis/Dialektis pada hubungan. Mikhail Bakhtin menggambarkan tentang adanya 2 jenis kekuatan umum yang memengaruhi kehidupan sehari-hari, yaitu: 1) centripetal force = menjatuhkan perintah pada kekacauan yang nyata dalam kehidupan; 2) centrifugal force = mengganggu perintah tersebut. 3. Simpulan Dalam perannya sebagai pendamai konlik di Maluku dan Maluku Utara, Sarundajang telah menjadi komunikator ulung yang mampu mengaplikasikan teknik komunikasi persuasif dan dialogis dalam
menyelsaikan konlik di dua propinsi tersebut. Dialog juga membentuk kebudayaan karena setiap interaksi dialogis merupakan sebuah pandangan terhadap setiap kebudayaan dari pendirian tertentu. Secara umum, sebuah dialog adalah suara-suara berbeda yang menyatu dalam sebuah percakapan.
Daftar Pustaka Efendy, Onong U. (1992). Hubungan Masyarakat: Suatu Studi Komunikologis. Bandung: Remaja Rosdakarya. Littlejohn, Stephen W. (2009). Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Mulyana, Deddy. (2012). Cultures & Communication: An Indonesian Scholar’s Perspective. Bandung: Remaja Rosdakarya. Severin, Werner J., Tankard, James W. (2011). Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di dalam Media Massa. Jakarta: Kencana. Tubbs, Stewart L., Moss, Sylvia. (2006). Human Communication: Principles and Contexts. New York: McGraw-Hill.
10
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Konstruksi Pluralisme Agama pada Kampanye Politik: Studi Etika Komunikasi (Kajian Prasutudi Kasus Isu SARA pada PILKADA DKI Jakarta Tahun 2012) Husnan Nurjuman1) Abstract Issues of ethnic, religion, race and groups later known with SARA in political campaigns is still used as a weapon to tackle political opponents and become a tool of propaganda to inluence voters. hese issues are controversial in a nation with diversity. his paper is an initial study that aims to describe pre-study ideas for pluralism as a theoretical background in a study on the ethic to use racial issues in a political campaign, as a form of social reality construction on pluralism. he study was conducted by reviewing various online media coverage about attitude and comments of campaigners in the 2012 Jakarta Governor Election against the case of tarawih sermon presented by H. Rhoma Irama at Masjid Al-Isra, Tanjung Duren, West Jakarta, on July 29, 2012. Analysis was done relying on various theories and concepts about the construction of social reality, pluralism, and variants of Islamic thought in a frame of the study of political ethics. he study led to three conclusions. First, the use of racial issues and the controversy is a result of the process of social reality construction. Second, political communicators involved in the process of social reality construction on religious pluralism has been pass through the process of interaction with the reality of pluralism, interpretation of religious texts, the history of conlict between religions, false consciousness about interfaith harmony, euphoria of the freedom of expression and pluralism thought in the process of externalizing then later continues with objectiication and internalization. hird, the ethical study regarding the use of racial issues in political campaigns depends on point of view against pluralism that underlies the value of ethical reference. In Studies of institutive Religion group, the sermon is considered as ethical, but in the perspective of substantive Religion group, it is considered as unethical. Keywords: SARA Issues, Religious Pluralism, Construction of Social Reality 1. Pendahuluan Di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk, isu tentang suku, agama, ras dan antargolongan atau yang kemudian diistilahkan dengan SARA, selalu menjadi suatu hal yang sensitif. Isu SARA seringkali menjadi pemicu berbagai konlik horisontal yang terjadi di tengah masyarakat. Berbagai konlik tersebut tak jarang berujung pada tragedi kemanusiaan yang memilukan. Manjadi suatu pertanyaan besar, bahwa Indonesia yang telah mendeklarasikan diri sebagai satu bangsa dengan tanah air dan bahasa yang satu mengalami berbagai konlik dan tragedi kemanusiaan yang dilatari ketidakdewasaan dalam memberikan toleransi terhadap perbedaan etinis, gologan dan agama. Dalam berbagai kasus, isu SARA hanya berperan sebagai isu yang memicu konlik, bukan sebagai akar konlik. Berbagai kepentingan tertentu baik politik maupun ekonomi seringkali ditemukan
di balik berbagai konlik yang muncul di tanah air. Namun konlik tersebut diletuskan melalui berbagai rumor, gosip atau kabar burung yang terkait isu SARA. Ketika ada isu yang terkait dengan sentimen negatif tentang golongan tertentu yang berbeda, maka kecurigaan, stereotif dan prasangka begitu mudah terbakar. Begitupun untuk isu lain yang terkait dengan sentimen etnis dan golongan. Dari gambaran tersebut, dapat ditarik suatu asumsi bahwa masyarakat Indoensia masih begitu mudah diombang – ambingkan atau dipecah belah melalui isu yang terkait perbedaan etnis, golongan dan agama. Pengalaman dan sejarah yang dilalui oleh masyarakat terkait konlik masa lalau yang melibatkan golongan, etnis dan agama memperkuat berbagai sentimen, kecurigaan, prasangka dan stereotif dari suatu kelomok terhadap kelompok lain. Di sisi yang lain, dapat dinyatakan bahwa isu SARA seringkali digunakan oleh kelompok
1 Penulis adalah di Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten.
11
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
tertentu untuk membuat konlik di tengah masyarakat demi kepentingan kelompoknya. Fenomena tersebut kemudian menjadi menarik ketika ada kelompok politik tertentu yang juga memanfaatkan isu SARA sebagai bagian dari upaya kelompok politiknya dalam melakukan kampanye termasuk kampanye hitam yang menyudutkan lawan politiknya. Salah satu peristiwa yang baru terjadi terkait dengan hal tersebut adalah kasus yang terjadi pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2012. Setelah pemilihan putaran pertama yang dimenangkan oleh pasangan Joko widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahya Permana (Ahok) yang disusul oleh incumbent Fauzi Bowo (Foke) dan pasangannya Nachrowi Ramli, muncul pemberitaan di media massa bahwa penyanyi dangdut Rhoma Irama menyisipkan pesan – pesan politik bermuatan SARA dalam salah satu materi ceramahnya pada sebuah pengajian. Pesan Rhoma Irama dianggap menyudutkan pasangan Jokowi – Ahok dan mencoba menggalang dukungan bagi pasangan Foke - Nachrowi. Peristiwa tersebut memperkuat anggapan bahwa masyarakat masih bisa diarahkan, dikendalikan dan digiring melalui berbagai isu yang menyentuh perbedaan agama dan etnis. Masyarakat yang telah lama dikenalkan dengan istilah Bhineka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan berbagai istilah lain yang terkait dengan paham pluralisme etnis, golongan dan agama seolah dipaksa untuk melupakan hal – hal tersebut dan tetap membuka pintu bagi kecurigaan, sentimen, prasangka dan stereotif kepada kelompok yang berbeda secara SARA. Terkait dengan perbedaan agama, masyarakat telah pula berinteraksi dengan suatu paham yang disebut pluralisme. Pluralisme agama adalah suatu pemikiran yang menjelaskan bagaimana perbedaan agama itu harus disikapi. Secara bahasa, pluralisme berarti jamak atau lebih. Namun secara istilah, tentu banyak sudut pandang yang menyebabkan pluralisme dipahami beragam oleh para ilmuwan sosial dan agama, termasuk para pemikir agama Islam. Anis Malik Toha, memberikan pengertian pluralisme dari sudut pandang ilosois dan sosiopolitik. Dari sudut ilisois, pluralisme dipahami sebagai sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran mendasar lebih dari satu. Sedangkan dari sudut pandang sosiopolitik, pluralisme dilihat sebagai suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok dengan tetap menjunjung tinggi aspekaspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut (Malik Toha, 2005:12). Isu SARA yang terkait perbedaan agama pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012, menimbulkan berbagai respon dari berbagai pihak. Sebagian pihak memberi kecaman, menyayangkan bahkan memabawanya pada ranah hukum. Sebagian lagi melihat persoalan tersebut sebagai suatu dinamika yang terjadi karena perbedaan cara pandang dalam
mendudukan permasalahan pluralisme dan SARA. Diperlukan suatu kajian atau penelitian yang memadai untuk memahami kasus penggunaan isu SARA dalam kampanye politik sebagai wujud dari pemahaman tentang pluralisme. Suatu penelitian yang mengambarkan posisi pemahaman para pelaku kampanye politik baik dari kubu Foke maupun kubu Jokowi tentang pluralisme yang menjadi latar bagi penggunaan isu SARA dalam kampanye politik serta penyikaan dalam menghadapi isu tersebut. Lebih dalam lagi, penelitian tersbut juga diharapakan dapat memberikan kontribusi bagi kajian etika politik dalam hal kampanye di tengah realitas bangsa yang majemuk dan sensitif dengan isu yang terkait agama. Tulisan ini merupakan paparan suatu kajian awal terkait dengan penggunaan isu SARA dalam kampanye poltik. Kajian prapenelitian ini adalah analisis terhadap konstruksi pemahaman para juru kampanye politik pada pilkada DKI 2012 tentang pluralisme yang menjadi latar pemikiran mereka dalam menyikapi penggunaan isu SARA pada kampanye politik. Kajian awal ini dilakukan dengan menelusuri kasus ceramah tarawih yang disampaikan H. Rhoma Irama di Masjid Al-Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat, pada tanggal 29 Juli 2012. Analisis dilakukan berdasarkan kajian pustaka tentang Teori Konstruksi Realitas Sosial (Peter Berger dan homas Luckmann), kajian tentang pluralisme dan kajian tentang berbagai varian pemikiran tentang pluralisme. 2. Kajian Pustaka 2.1. Konstruksi Realitas Sosial Tentang Pluralisme Konstruksi realitas sosial merupakan preses terbentuknya suatu realitas pengetahuan melalui suatu proses interaksi sosial. Realitas adalah sesuatu hal yang sebenarnya diinternalisasikan oleh atau melalui suatu proses sosial (Peter L. Berger, homas Luckmann, 1966:196). Sebagaimana telah duraikan oleh Burhan Bungin dalam buku sosiologi komunikasi tentang tiga tahapan konstruksi realitas (eksternalisasi, objektiikasi dan internalisasi), maka pembahasan tentang konstruksi realitas mengenai pluralisme pun dapat dikaji berdasarkan tiga tahapan tersebut. Eksternalisasi membahas bagaimana individu – individu dalam masyarakat berinteraksi dengan realitas dan produk pemikiran yang ada mengenai agama. Objektiikasi membahas bagiamana interaksi antar individu dalam masyarakat terkait tentang pemikirannya mengenai agama dan pluralisme membentuk suatu kelompok sosial atau terinstitusionalisasi dalam suatu madzhab atau aliran pemikiran tertentu. Sedangkan pada bagian internalisasi akan dipaparkan tentang bagimana individu yang telah tergabung dengan aliran pemikiran tertentu mengenai pluralisme agama mengidentiikasikan dirinya dalam proses sosial. 12
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Jauh sebelum bangsa Indonesia mendeklarasikan dirinya sebagai suatu bangsa yang satu, masyarakat telah dihadapkan dengan realitas kemajemukan suku, bahasa, adat istiadat, budaya dan agama. Keberagaman tersebut kemudian meengkondisikan masyarakat untuk hidup berdampingan dengan keterikatan kondisi dan kebutuhan yang sama sebagai suatu bangsa. Namun, kendati hidup berdampingan dan berinterkasi, Agama merupakan suatu cara pandang utama dalam masyarakat yang menjadi sumber dari nilai – nilai yang dianut. Perbedaan agama cukup berperan dalam menimbulkan perbedaan nilai – nilai operasional yang ada di masyarakat termasuk nilai dalam melihat perbedaan agama itu sendiri. Karena agama berkembang dengan sistem dan sejarahnya masing – masing yang pada perjalanannya memproklamirkan dirinya sebagai kebenaran mutlak. Kebenaran mutlak berarti bahwa agama yang dianut adalah satu – satunya kebenaran dan meniadakan kebenaran pada agama yang lain. Pada sisi ini, pluralisme cenderung dipahami berbeda dengan pluralitas. Pluralitas adalah suatu realitas kemajemukan yang tidak bisa dibantah keberadannya, sedangkan pluralisme adalah paham yang meniadakan kebenaran mutlak agama sebagai suatu pemkiran yang membahayakan agama. Di sisi yang lain, ada juga sekelompok masyarakat yang terus mengkaji ilmu agama secara mendalam dan mencoba memahami substansi ajaran agama, menemukan cara lebih terbuka, termasuk menelusuri sejarah dari tiap agama yang kemudian menemukan cara pandang lain dalam melihat pluralisme. Mereka melihat pluralisme merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ajaran agama itu sendiri. Pemahaman mereka terhadap perbedaan agama tidak dari sisi ajaran agama secara nilai, tapi perbedaan agama dilihat sebagai akibat dari satu proses sejarah perkembangan agama. Proses pertemuan antara individu dan masyarakat dengan kedua cara pandang tersebut dalam kajian konstruksi realitas disebut dengan eksternalisasi. Suatu proses interaksi antara masyarakat dengan wacana pluralisme. Masyarakat atau individu dalam masyarakat memiliki pengalaman yang berbeda ketika mereka berinteraksi dengan wacana pluraslime. Terkait dengan proses eksternalisasi, ada individu – individu yang bertemu dan berinterkasi dengan suatu realitas pengetahuan bahwa klaim kebenaran agama merupakan suatu hal yang mutlak dan tak dapat diganggu gugat. Sehingga penerimaan terhadap pluralisme merupakan suatu hal yang salah. Agama yang dianut merupakan satu – satunya kebenaran, sehingga menurut pemikiran ini, kebenaran, kebahagiaan hakiki hanya dimiliki oleh penganut agamanya saja, sedangkan yang lainnya adalah sesat. Proses eksternalisasi juga terjadi dengan individu–individu yang lain yang berinterkasi dengan 13
pandangan bahwa pluralsime merupakan suatu hal yang nyata ada dan tak dapat dielakan, bahkan menjadi bagian dari ajaran itu sendiri. Selanjutnya, sebagai wujud hasil pertemuan antara realitas pengetahuan dan pengalaman individu–individu tersebut, terbentuklah paham tentang pluralisme dalam berbagai pemikiran yang berbeda. Manusia dengan berbagai pemikiran tersebut saling berinterksi satu sama lain. Kesamaan pemikiran beberapa individu dengan sendirinya akan membuat mereka berkelompok dan kemudian melembagakan kelompoknya manjadi satu aliran atau madzhab tertentu tentang pluralisme. Proses pelembagaan tersebut kemudian disebut dengan objektiikasi. Pada fase objektiikasi, pemikiran yang terbentuk dari proses eksternalisasi tersebut dibakukan menjadi sesuatu realitas yang telah berada di luar diri individu – individu yang terlibat sebelumnya. Realitas pengetahuan tersebut menjadi realitas yang disepakati dalam suatu isntitusi dan dijadikan sebagai dasar mengapa institusi itu ada, atau setidaknya menjadi substansi atau identitas kelompok. Institusionalisasi pemikiran tersebut telah mendorong suatu realitas yang seolah berada di atas diri individu, bahkan sanggup menjadi kontrol bagi individu tersebut. Terkait dengan pemikiran mengenai pluralisme, objektiikasi yang kemudian terjadi adalah pemikiran pluraslisme telah berkembang menjadi kelompok aliran tentang pluralisme, dan kelompok pemikiran Islam tentang pluralisme. Kelompok – kelompok tersebut secara garis besar dibagi kepada dua bagian antara lain kelompok yang melihat pluralisme sebagai pemikiran, sikap dan perilaku untuk hidup berdampingan antar pemeluk agama tanpa mennyentuh nilai kebenaran mutlak agama sebagai sistem yang absolut atau bahkan cenderung menagaggap pluralisme secara ekstrim sebagai suatu yang membahayakan agama, dan kelompok lainnya adalah kelompok yang melihat bahwa pluralisme adalah suatu hal yang tak terpisahkan dari agama itu sendiri. Mengutip paparan Dr. Anis Malik Toha Toha (Toha, 2005, 49 – 121), kelompok yang kedua ini pun terbagai dalam tiga varian yaitu teologi global (bahwa agama secara substansi adalah sama, namun secara institusi berbeda), sinkretisme (terdapat kesamaan pada agama sehingga dapat dicampuradukandalam credo,ritus dan norma), humanisme sekuler (bahwa perbedaan agama tidak menjadi persoalan selama menjaga nilai–nilai kemanusiaan). Tahap terkahir dari proses konstruksi realitas adalah internalisasi. Para penganut madzab dan aliran tentang pluralisme kemudian akan melakukan indetiikasi dirinya dengan menyesuaikan apa yang dia kerjakan, dia sikapi dengan ajaran–ajaran yang telah baku dalam kelompok atau institusi tempat dia menjadi anggotanya. Mereka akan melakukan berbagai langkah berdasarkan posisinya masing–
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
masing untuk mengamalkan nilai–nilai yang dianut oleh kelompoknya. Internalisasi tiap penganut madzhab dan varian pemikiran tentang pluralisme akan memberikan dampak dalam kehidupan mereka berinterksi sosial sehari-hari. Anggota kelompok pemikiran pertama akan cenderung bersikap eksklusif dalam hal-hal yang bersifat keagamaan dan memiliki stigma tertentu kepada kelompok agama lain. Sedangkan anggota kelompok kedua akan lebih terbuka terhadap berbagai wacana yang terkait dengan isu lintas agama.
usai ibaah tarawih memunculkan kontroversi tentang pernyataa Rhoma Irama yang dilandaskan pada pemhaman terhadap Qur’an Surat An-Nisa ayat 144. Kajian terhadap varian pemikiran Islam diperlukan untuk menggambarkan pemahaman pemikiran Islam tentang pluralisme yang djadikan sandaran dalam memunculkan dan menyikapi penggunaan isu SARA dalam kampanye politik. Dr. Anis Malik Toha, memberikan pengertian pluralisme dari sudut pandang ilosois dan sosiopolitik. Dari sudut ilisois, pluralisme dipahami sebagai sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran mendasar lebih dari satu. Sedangkan dari sudut pandang sosiopolitik, pluralisme dilihat sebagai suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok dengan tetap menjunjung tinggi aspekaspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut Anis Malik Toha, 2005:12). Maka pluralisme dapat dipahami sebagai suatu kondisi yang mengakui perbedaan agama, dengan tetap membangun suatu sistem komunitas masyarakat yang didasarkan pada sistem dasar pemikiran yang lebih dari satu agama. Intinya adalah hidup berdampingan antar pemeluk agama yang berbeda dan membangun suatu komitmen sosial bersama yang berdasarkan pada ajaran-ajaran agama yang mereka anut dengan tetap tidak menghilangkan perbedaan tersebut. Nurcholis Madjid menyampaikan pandangannya bahwa pluralisme tidak lebih dari perbedaan jalan dalam mencari kebenaran menuju Tuhan. Pandangan dasar bahwa Allah telah menetapkan idiom, metode dan jalan masing-masing bahwa setiap agama dengan caranya sendiri mencoba menuju kebenaran (Nur Ahmad, 2001:4). Dengan demikian, Nurcholish Madjid menyampaikan suatu pandangan bahwa ada kebenaran dalam agama lain. Selain Islam, khususnya agama yang dibawa oleh para nabi yang diutus oleh Tuhan yang diyakini sebagai tuhan yang sama dengan Tuhan Islam. Agama-agama tersebut dinamai agama samawi. Meski pada perjalanan sejarahnya, agama-agama tersebut telah mengalami berbagai penyimpangan. Pandangan tersebut senada dengan pendapat kelompok pemikir Islam yang melihat Islam secara substantif yaitu sebagai nilai. Mencermati dua pemeikiran tesebut, sebagaimana yang elah dipaparkan pada penelitian sebelumnya (Nurjuman, 2006), dapat dilihat bahwa mengenai tema pluralisme, para pemikiran Islam terbagi kepada dua bagian. Kelompok pertama adalah kelompok yang melihat Islam sebagai institusi. Islam sebagai suatu sistem yang menjadi penentu kebenaran. Kelompok ini melihat bahwa Islam adalah satu-satunya kebenaran. Mereka mengartikan pluralisme sebagai suatu sikap hidup bersama dan saling berdampingan antara pemeluk agama yang berbeda tanpa harus merubah ciri masing-masing. Mereka menolak
2.2. Varian Pemikiran Tentang Pluralisme Secara bahasa, pluralisme berarti jamak atau lebih. Namun secara istilah, tentu banyak sudut pandang yang menyebabkan pluralisme dipahami beragam oleh para ilmuwan sosial dan agama, termasuk para pemikir agama Islam. Anis Malik Toha menguraikan bahwa pemikiran tentang pluralisme agama dapat dibagi atas tiga vareasi pemikiran, yaitu teologi global, humanisme dan sinkretisme. Teologi global adalah sebuah paham yang melihat bahwa setiap agama, khususnya agama samawi (agama yang bersumber dari wahyu melalui perantara nabi, antara lain Yahudi, Kristen dan Islam) memiliki sejarah dan sumber wahyu yang sama, dan kemudian memiliki nilai-nilai substansi yang sama. Pemikiran ini menyatakan. bahwa ketika agama berkembang menjadi suatu sistem keyakinan, sistem ritual dan norma, maka agama-agama ini memiliki sistem masing – masing yang berbeda dan tak bisa dicampuradukan. Varian kedua dalam pemikiran tentang pluralisme adalah humanisme. Pemikiran ini lebih melihat manusia sebagai pusat dari berkembangnya agama. Manusia dilihat sebagai sosok utama, dan agama adalah suatu hal yang dikembangkan untuk mengangkat nilai-nilai kemanusiaan. Maka kebenaran agama akan dilihat sejauh mana agama tersebut memberikan kontribusi bagi pengembangan nilainilai kemanuisiaan. Maka perbedaan agama menurut pemikiran ini tidak menjadi suatu persoalan pokok selama nilai-nilai kemanusiaan tetap menjadi tujuan dan pusat perhatian ajaran agama tersebut. Sedangkan sinkretisme berpandangan lebih ekstrim tentang pluralisme. Sinkretisme tidak hanya mengakui bahwa ada nilai-nilai substansi yang sama dalam setiap agama, tapi juga menyatakan bahwa kesamaan itu dapat diwujudkan dengan kebersamaan dalam satu sistem keyakinan, sistem ritual dan sistem norma. Pemikiran ini menudukung berbagai bentuk pelaksanaan yang mencampuradukan berbagai sistem agama di dalamnya. Kajian tentang varian pemikiran Islam yang dikaitkan dengan pluralisme menjadi penting dan relevan ketika kajian ini digunakan sebagai kacamata untuk melihat kasus penggunaan isu SARA ada pilkada DKI Jakarta. Kasus yang dipicu oleh ceramah agama 14
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
pluralisme dalam bentuk menyamakan semua agama. Kelompok yang kedua, adalah kelompok yang melihat Islam secara substantif. Sebagai nilai yang terkandung dalam semua ajaran agama lain. Bagi kelompok ini, agama merupakan hasil penafsiran dari irman-irman Tuhan yang menurut versi mereka sebenarnya adalah sama di tiap agama. 3. Pembahasan 3.1. Komunikator Politik dan Isu SARA sebagai Representasi Konstruksi Pluralisme Bagian lain dalam pembahasan tentang konstruksi realitas sosial mengenai pluralisme dalam kegiatan kampanye politik adalah bagaiamana kontribusi para pelaku politik dalam keseluruhan proses kontruksi realitas sosial tentang pluralisme, baik pada tahap eksternalisasi, objektiikasi maupun internalisasi. . Komunikator politik dapat diidentiikasi menjaditiga kelompok. Antara lain : 1) Politisi 2) Profesional 3) Aktivis (Nimmo, 2005). Komunikator politik meruupkan sosok strategis daalam proses interaksi daam masyarakat untuk membangun suatu realitas pengetahuan sosial, khsusunya meluai proes kegiatan kampanye politik. Pertama, komunikator politik atau dalam hal ini lebih dikhususkan para juru kampanye berperan sebagai bagian dalam masyarakat yang berinterkasi dengan suatu produk pengetahuan (eskternalisasi). Kedua, para juru kampanye menjembatani interaksi antar individu dalam masyarakat dengan pengetahuan sehingga akhirnya terbentuk suatu institusionalisasi (objektiikasi). Melalui Pesan politik yang diampaikan dalam berbagai forum komunikasi, obrolan publik, dan lain sebagainya masyarakat diarahkan untuk membentuk suatu pemikiran atau konsepsi tertentu sebagai suatu realitas yang iyakini bersama. Ketiga, Para komunikator politik atau para juru kampanye politik melakukan identiikasi diri terkait pemikiran atau pengetahuan yang telah ia pilih sebagai realitas objektif (internalisasi). Para juru kampanye dapat menyelaraskan pikiran, sikap dan perilakunya termasuk pesan – pesan politik yang ia sampaikan berdasarkan pemikiran yang telah terbentuk pada proses sebelumnya. Tim sukses Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli merupakan gabungan dari para komunikator politik yang terdiri atas fungsionaris partai, tokoh masyarakat, tokoh organasisasi kemasyarakatan berbasis kedaeraan, juga para komunikator politik profesional yang terdiri atas pekerja media dan artis. Koalisi partai besar pengusung dan pendukung Foke - Nara antara lain dari Partai Demokrat, Partai Golkar, PPP, PAN, dan PKS. Sedangkan para tokoh masyarakat yang bergabung dengan Foke – Nara di antaranya para pemimpin oganisasi kemasyrakatan yang bersifat kedaerahan khususnya masyarakat 15
betawi dan berbagai ormas lainnya. Tidak hanya itu, tim sukses Foke – Nara juga didukung oleh kalangan artis baik yang terikat dalam partai politik atau ormas maupun yang memang tampil seagai komunikator politik profesional. Seangakan tim sukses Joko Widodo dan Basuki Tjahya Permana terdiri atas fungsionaris PDI – P, Partai Gerindra, kemudian dikuatkan dengan berbagai tokoh organisasi kemasyarakatan, diantarnya berbgai forum masyarakat prantauan jawa dan kelompok etnis tionghoa. Sedangan komunikator politik profesional. Jokowi – Ahok menggaet berbagai konsultan profesional baik dalam bidang survei maupun dalam bidang media. Latar belakang para komunikator politik menjadi amat penting daam mengkaji konstruksi realitas seperti apa yang terbangun mengenai pluralisme yang mewujud dalam sikap mereka tentang isu SARA pada pilkada DKI 2012. Latar belakang tesebut akan mereka sejarah pengalaman mereka berinterkasi dengan berbagai fenomna sosial dan produk pengetahuan yang terkait dengan pluralisme. Pengunaan isu SARA alam kampanye politik berikut berbagai respon atau sikap yang mengikutinya merupakan wujud dari suatu prses konstruksi realitas tentang pluralisme. Suatu representasi pemahaman para komunikator politik tentang suatu realitas pengetahuan bernama pluralisme. Konstruksi realitas para komunkator politik yang terlibat dalan pilkada DKI 2012 tentang pluralisme adalah suatu proses yang melalui berbagai tahapan – tahapan, yaitu eksternalisasi, objektiikasi dan internalisasi. Pada proses eksternalisasi, terjadi interaksi antara berbagai pengalaman individu para komunikator politik dengan berbagai pemikiran tentang pluralisme. Berdasarkan pengembangan hasil kajian penelitian terdahulu (Jaiz, 2012) berbagai realitas pengalaman dan pengetahuan tersebut dapat diidentiikasi : 1. Realitas keberagaman agama di Indonesia. Realitas ini adalah realitas yang hampir ditemui di berbagai penjuru Indonesia sejak bangsa ini terbentuk. Tiap individu yang lahir dan tumbuh di Indonesia akan senantiasa melihat berbagai perbedaan di masyarakat dalam hal suku, bahasa, budaya termasuk agama. Mereka berinterkasi dengan realitas kemajemukan pada saat mereka bergaul di lingkungan yang heterogen, di lingkungan tempat tinggal, lingkungan pendidikan, lingkungan pekerjaan dan sebagainya. 2. Klaim kebenaran agama dan praktik penafsiran agama yang eksklusif. Ketika individu berkenalan dengan pengajaran agama baik di keluarga, di tempat pendidikan, dari buku bacaan, dan dari media massa, seringkali indivdiu menerima informasi tentang ajaran agama versi agamannya masing – masing dengan cara pandang yang menyatakan bahwa
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
3.
4.
5.
6.
moderat dan liberal. Hal tersebut juga didukung oleh membanjirnya berbagai buku referensi tentang pluralisme serta maraknya para mahasiswa yang mengkaji perbandingan agama ke luar negeri. Keenam faktor tersebut menjadi relitas yang ditemui oleh masyarakat Indonesia termasuk diantaranya para komunikator politik yang terlibat dalam Pilkada DKI 2012. Proses eksternalisasi tersebut menggiring mereka untuk memilih sikap dan pemikirannya kepada satu madzhab tertentu sebagai suaturealitas yang dianggap realitas bersama atau realitas objekif. Pertama, sebagian dari para komunikator politik ada yang melihat bahwa pluralisme dibatasi suatu bentuk pemikiran, sikap dan perilaku tentang kehidupan bersama diantara perbedaan dengan menumbuhkan toleransi agar tiap pemeluk agama yang berbeda melaksanakan ajaran agamanya secara utuh tanpa gaguan dari pihak lain. Pluralisme dalam pandangan ini adalah pluralisme yang melihat bahwa tiap agama adalah berbeda secara substansi dan institusi yang tidak mungkin dicampuradukan. Maka sikap dalam mewujudkan pluralisme adalah menghormati tiap penganut agama untuk melaksanakakan kayakinannya masing-masing. Dari prespketif kajian Islam, pemikiran pluralisme ini cenderung mempertahankan klaim kebenaran institusi agama, bahwa tidak ada agama lain yang benar kecuali agama yang dianutnya. Kelompok ini pun akan melihat pelaksanaan pluralisme secara penuh atau ekstrim bisa membahayakan ajaran tentang klaim kebenaran mutlak agama Kedua, pilihan pemikiran pluralisme yang melihat agama sebagai suatu produk sejarah dari perkmabangan ajaran-ajaran tuhan yang bertujuan untuk kemanusiaan. Maka para komunikator politik yang memahami pluralisme dengan cara pandang ini memiliki anggapan bahwa pluralisme adalah bentuk pengakuan terhada adanya kebenaran nilai yang sama dalam tiap agama yang bersumber dari wahyu tuhan. Kedua pemikiran tersebut, belum menjadi suau hal yang mewujud dalam isu SARA jika para komunikator politik tidak masuk pada fase ketiga dari konstruksi realitas sosial. Fase itu adalah internalisasi. Pada fase ini, para komunikator politik memainkan peranan yang sesuai dengan identitas madzhab pemikiran pluralismenya. Pemikiran pluralisme itu diturunkan daam sikap dan pemikiran yang terkait dengan kepemimpinan atau memilih pemimpin sebgai bagian dari pelaksanaan ajaran agama. Kelompok pertama melihat bahwa masalah memilih pemimpin sebagai bagian dari ajaran agama adalah suatu hal yang tdak boleh diganggu gugat. Tiap pemeluk agama berhak untuk menjalankan kebebasannya mengamalkan dan mengajarkan berbagai fatwa agama atau ajaran agama termasuk soal memilih pemimpin. Ketika dalam ayat qur’an surat an-nisa ayat 114 menyebutkan bahwa tak
agama yang dianutnya sebagai satu – satunya jalan kebenaran. Menurut Fiet Hizbullah dalam buku nalar kemanusiaan nalar perubahan sosial ( Khaidir, 2006, 89 - 91) Hal tersebut terjadi disebabkan tafsir yang dikembangkan oleh pihak otoritas kepemimpinan agama mengkondisikan tafsir seperti itu karena dipengaruhi faktor pemahaman pemikiran, faktor sejarah konlik agama dan kepentingan kekuasan otoritas agama. Sejarah konlik antar agama. Sejarah konlik antar agama yang sebenaranya dilatarbelakangi faktor politik dan ekonomi menimbulkan polarisasi yang mempengaruhi kehidupan beragama di seluruh dunia. Konlik tersebut memberikan dampak saling curiga dan sentimen antar pemeluk agama yang bertikai yang agama – agama tersebut juga berkembang di Indonesia. Kesadaran semu tentang pluralisme di era orde baru. Di era pemerintahan Orde baru, melalui berbagai kampanye di lingkungan pendidikan kampanye kerukunan hidup antar pemeluk agama selalu digembar – gemborkan. Namun kampanye kerukunan bergama itu tidak pernah menyentuh akar dari persoalan konlik antar pemeluk agama. Kerukunan hidup bergama hanya menjadi alat kekuasaan untuk membangun stablitas nasional yang dilakukan dengan pendekatan politik dan keamanan. Para pemuka dan pemeluk agakam dipaksa untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan melarang menjadikan agama sebagai landasan formil kehidupan. Berbagai kegiatan keagamaan tidak lepas dari pengawasan yang mlekat dari pemerintah. Kondisi tersebut membuat kehidupan yang rukun antar pemeluk agama hanyalah sebagai kesadaran semu belaka di bawah pengawasan kekuatan politik orde baru. Eufhoria kebebasan berpendapat pasca reformasi. Setelah orde baru tumbangnya orde baru, para pemeluk agama menemukan kebebasannya untuk mengkespresikan sikap keberagamaannya yang telah tertekan selama pemerintahan orde baru. Namun sikap yang diekpresikan teresebut didasari oleh pemahaman yang bersandar pada pandangan eksklusif klaim kebenaran agama sebagai dampak proses sejarah sebelumnya. Namun di sisi yang lain, pada era ini muncul juga pemikiran – pemikiran agama yang moderat bahkan liberal. Masa reformasi adalah masa yang strategis bagi kelompok intelektual agama untuk mengembangakan suatu pemkiran agama yang lebih berorientasi kepada nilai yang sebenarnya, pangkalnya telah berkembang sejak masa orde baru secara laten. Berkembangnya berbagai pemikiran tentang pluralsime. Masa reformasi memberikan peluang meluasnya berbagai forum diskusi bagi para kelompok 16
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
boleh mengangkat pemimpin dari orang kair yang kemudian diterjemahkan bahwa yang dimaksud kair itu adalah orang yang tidak beragama Islam, maka adalah hak bagi seorang muslim untuk menyebarkan dan mengamalkan ayat tersebut tanpa gangguan dari pihak lain. Wujud internalisasi dari pluralisme dalam kasus ini menurut cara pandang kelompok pertama adalah memberikan toleransi kepada pemeluk agama untuk memilih pemimipin sesuai dengan perintah agama dan klaim kebenaran agama yang dianutnya. Hal tersebut akan muncul dalam sikap mereka melihat kasus ceramah tarawih Rhoma Irama yang dikenal sebagai salah satu su SARA dalam pilkada 2012. Berbeda dengan kelompok kedua, internalisasi dari pluralisme dalam bidang politik adalah dengan mengangkat pemimpin dari kelompok agama yang berbeda, karena mereka mengakui adanya nilai kebenaran dalam tiap agama yang menjadikan perbedaan agama menjadi ukan amsalah selama aga tersebut berorentasi untuk mengangkat nilai – nilai kemanusiaan dan perbaikan soisial. Terkait isu SARA pada ceramah Rhoma Irama, kelompok ini akan menilai bahwa hal tersebut erupakan suatu wujud penolakan teradap nilai kebenaran agama - agama yang ada dan dapat mengganggu kerukunan hidup beragama. Kelompok ini akan memposisikan pernyataan Rhoma Irama sebagai bentuk ancaman terhadap pemikiran pluralisme, atau yang disebut dengan masalah SARA. 3.2. Pluralisme sebagai Rujukan Nilai dan Etika Kampanye Politik Nilai merupakan suatu ukuran atau rujukan tentang kebenaran atau kebaikan. Nilai merupakan “address of a yes” (Bertens, 2004, 139) yang menujukan bahwa suatu pemikiran, sikap atau tindaan dapat dikatakan benar atau salah, baik atau buruk, indah atau jelek. Nilai menjadi penentu berbagai perangkat etika dan norma dalam berbagai aspek kehdupan, termasuk kehidupan berpolitik. Etika politik merupakan perangkat yang berperan seagai koridor atau rel yang mengawal kegiatan politik tetap sesuai dengan nilai – nilai yang disepakati oleh masyarakat Etika politik merupakan hasil kajian terhadap nilai – nilai yang diyakini seagai landasan kehidupan yang diterapkan kepada realitas kehidupan berpolitik. Sebagai rujukan etika, nilai terbentuk dari suatu proses konstruksi realitas masyarakat. Masyarakat berinteraksi dengan berbagai pengalaman dan berbagai produk pengetahuan yang kemudian membangun cara pandang tentang benar salah, baik dan buruk, keindahan dan hal laian yang terkait. Kemudian kesemua cara pandang tersebut dinamai nilai. Pluralisme merupakan suatu pemikiran yang menjadi landasan untuk merujuk apakah suatu 17
tindakan, sikap dan pemikiran yang terkait dengan kehidupan di tengah keberagaman tersebut dapat dikanakan benar, baik, salah atau buruk. Pemikiran pluralisme yang dianut oleh masyarakat menjadi dasar nilai yang menjadi ujukan etika apakah penggunaan isu SARA dalam kampanye politik dapat dikatakan benar atau salah, baik atau buruk. Kelompok pertama, kelompok yang melihat pluralisme sebagai suatu pemikiran, sikap dan tindakan yang mengakui dan menghormati perbedaan tiap agama diiringi sikap menghormati atau toleransi agar tiap pemeluk agama dapat sebebsanya mengamalkan ajaran agama. Kelompok ini meyakini tentang klaim kebenaran agama secara institusi. Artinya tidak ada kebenaran lain selain kebenaran agama yang dianutnya. Atau dapat diistilahkan dengan kelompok agama institutif. Kelompok agama institutif melihat bahwa agama yang dianutnya sebagai satu – satunya agama yang diterima disisi tuhan yang sudah berbentuk kesatuan sistem credo, ritus dan norma. Kelompok ini memandang agama selain yang mereka anut sebagai suatu hal yang sesat dan melihat para pemeluk agama yang berbeda bukanlah orang – orang yang akan selamat di akhirat atau hari setelah kematian. Terkait dengan penggunaan isu SARA pada pilkada DKI 2012, kelompok ini melihat hal tersebut tidak melanggar etika yang berlandaskan pluralisme. Karena ceramah yang dilakukan oleh Rhoma Irama merupakan ceramah penyebaran ajaran agama yang mereka anut. Maka semua pihak harus bertoleransi dengan keyakinan umat atas ajaran Islam yang memerintahkan memilih pemimin dari kelompok Islam. Kelompok kedua, adalah kelompok yang melihat pluralisme sebagai bentuk pengakuan kepada nilai-nilai kebenaran pada agama yang berbeda – beda terutama agama samawi. Kelompok ini dinamai kelompok agama substantif. Kelompok agama substantif melihat bahwa yang dimaksud agama samawi adalah yang diajarkan kepada umat nabi Adam sampai nabi Muhammad. Walau dalam proses sejarah, ajaran para nabi tersebut berkembang menjadi agama dengan sistem keyakinan, sistem credo, ritus dan norma yang berbeda. Bagi kelompok ini perbedaan agama hanya merupakan perbedaan jalan menuju satu tuhan yang sama. Mengikuti asumsi tentang pandangan kelompok ini mengenai pluralisme, penggunaan isu SARA pada pilkada DKI diasumsikan sebagai bentuk pengingkaran pada nilai – nilai kebanaran pada tiap agama (khususnya agama samawi) yang membawa manusia kepada Tuhan yang sama. Penggunaan Isu SARA akan dilihat sebagai isu menyempitkan tujuan agama tentang pemuliaan manusia secara sosial menjadi penghambaan kepada sistem credo , ritus dan norma agama. Maka dalam kajian kelompok agama substantif, penggunaan isu SARA untuk memunculkan
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
pemimpin dari satu kelompok agama tertentu dan meminggirikan calon pemimpin dari kelompok agam lain, merupakan suatu tindakan yang tidak etis. Kampanye politik yang menggunakan isu solidaritas kelompok agama terntentu daan sentimen kepada kelompok agama yang lain merupakan tindakan yang melanggar etika yang didasari nilai – nilai pluralisme. .
Littlejohn, Stephen W. 1989 : heories of Human Communication. California: Wadsworth Inc. Littlejohn, Stephen W dan Karen A Foss, 2009. Teori Komunikasi, heories of Human Communication, Esdisi ke-9. Jakarta : Salemba Humanika . Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam : Aliran – Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Nashir, Haedar. 2007. Gerakan Islam Syariat, Reproduksi Salaiyah Ideologis di Indonesia. Jakarta : PSAP. Nimmo, Dan. 2005. Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan dan Media. Bandung : Rosdakarya Rachman, Budhy Munawar. 2007. Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid. Jakarta : PSIK Universitas Paramadina. of Inluences on Massa Media Content,New York : Longmann Publishers. Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim. 1996. Sekte –Sekte Islam. Bandung : Penerbit Pustaka. Toha, Anis Malik. 2005. Tren Pluralisme Agama. Jakarta : Gema Insani. Vardiansyah, Dani. 2004. Pengantar Komunikasi, Pendekatan Taksonomi. Bogor: Ghalia Indonesia
4. Simpulan Kajian awal terhadap fenomena penggunaan isu SARA dalam kampanye politik pada pilkada DKI 2012 telah mengantarkan pada kajian pustaka tentang konsturksi pluralisme agama sebagai landasan nilai etika kampanye poltik. Dari kajian sederhana tersebut dapat diambil beberapa konklusi sementara. Pertama, penggunaan isu SARA serta sikap mendukung dan menolaknya merupakan suatu hasil dari proses kunstruksi relitas sosial. Kedua, Para komunikator plolitik terlibat dalam proses konstruksi realitas sosial tentang pluralisme agama telah melalui proses interaksi dengan berbagai realitas kemajemukan, tafsir teks agama, sejarah konlik antar agama, kesadaran semu tentang kerukunan antar agama, eufhoria kebebasan pendapat dan pemikiran pluralisme dalam proses eksternalisasi yang kemudian berlanjut dengan objektiikasi dan internalisasi. Ketiga, Kajian etika mengenai penggunaan isu SARA dalam kampanye politik sangat tergantung dengan sudut pandang pemikiran tentang pluralisme yang melandasi nilai rujukan etika. Dalam kajian agama institutif, ceramah tersebut dianggap etis, namun dalam prespektif agama substantif, dianggap tidak etis.
Sumber lain : Tesis : Nurjuman, Husnan. 2006. Universitas Indonesia. “Konstruksi Media Islam Indonesia Tentang Pluralisme Dalam Islam”. Penelitian: Jaiz. Muhammad. Husnan Nurjuman, Yoki Yusanto. 2012. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. “Konstruksi Pemikiran Islam tentang Pluralisme dalam Film Tanda Tanya (?)”
Daftar Pustaka Ahmad Nur. 2001. Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman. Jakarta : Kompas. Berger, Peter L dan homas Luckmann, 1990, Tafsir Sosial Atas kenyataan, Jakarta : LP3ES. Bertens, 2004. Etika. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi : Teori, paradigma dan Diskurus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta : Kencana. ________________. 1996. he Social Construction of Reality. New York : Penguin Book. Efendy. Bachtiar. 2001. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta : Galang Press. Hitti, Philip K., 2010. History of Arabs. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. Hoynes, Davis Croteau dan William. 2000. Media/ Societiy Industries Images and Audiences, London: Pine Forge Press. Khaidir. Piet H. 2006. Nalar Kemanusiaan Nalar Perubahan Sosial. Jakarta : Teraju 18
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Politik dan Komunikasi Pesantren Salaiyah dalam Proses Demokratisasi di Banten Ikhsan Ahmad *1) Abstrak Peran politik dan komunikasi politik segenap elemen masyarakat menjadi bagian terpenting dalam proses demokrasi. Terutama pada tujuan menjunjung tinggi peningkatan martabat dan derajat kehidupan seluruh masyarakat yang berada dalam sistem politik tersebut. Peran politik adalah bentuk kesadaran dan tangungjawab terhadap kesertaan untuk turut memberikan kontribusi pemkiran dan partisipasi lainnya dalam proses politik, terutama yang menyangkut pembuatan kebijakan publik. Sementara komunikasi politik sarana mendasar untuk mempersamakan makna dalam proses politik tersebut. Dalam proses politik dan komunikasi politik sangat ditentukan oleh stuktur kesadaran dan mentalitas sistem dan perilaku kekuasaan didalamnya, bagaimanapun tingkat pendidikan dan derajat ekonomi yan berlaku dalam strata didalamnya. Bangunan mentalitas inilah yang diharapkan menjadi panduan nilai dalam praksis politik dan komunikasinya. Kebekuan dan kejumudan demokrasi secara nasional, khususnya di Banten, ditandai dengan proses politik transaksional, pragmatisme, dan lemahnya leadership kepemimpinan publik dalam politik menyebabkan luluh lantaknya budaya sebagai basis keberpijakan politik. Konsekuensi logisnya terjadi kegamangan proses politik dan tersendatnya persamaan makna politik dalam komunikasi yang terjalin. Dari sekian fenomena kegamangan peran politik dan komunikasi elemen-elemen masyarakat yang ada, salah satunya adalah realitas terdistorsinya peran politik dan komunikasi politik pesantren salaiyah dalam system politik, khususnya di Banten akibat kegagalan sistem politik merespon dan menyandarkan demokrasi pada suatu kebutuhan penempatan keluhuran nilai-nilai budaya lokal dan tidak terjebak pada globalisme politik. Pesantren Salaiyah adalah komunitas kelembagaan pendidikan yang lahir sejak Islam di Nusantara hadir, kini dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional dengan pandangan sebelah mata terhadap keberbeparanannya. Secara mendasar, pandangan para kyai yang tergabung dalam kategori pesantren salaiyah ini menganggap ada diskriminasi struktural pada kebijkan politik, terutama dalam concern dunia pendidikan. Diyakini bahwa bentuk concern pemerintah dan bantuan pemerintah kepada pesantren salaiyah menjadi bagian dari intervensi dan kooptasi atas visi, misi yang ada. Dalam konteks ini Komunitas pesantren salaiyah dan santrinya belum dianggap menjadi bagian dari warga Negara dan pelajar yang punya hak yang sama dalam mendapatkan perhatian dari pemerintah, padahal mereka juga adalah pembayar pajak terhadap negeri ini. Diskriminasi ini semakin terasakan dalam suatu atmosfer pemerintahan provinsi Banten yang secara substansial tidak menyentuh dasar-dasar religiusitas pada derap pembangunannya dalam moto dan slogan pembangunan yang mencantumkan iman dan taqwa. Kata Kunci: Politik, Komunikasi Politik, Pesantren Salaiyah, Demokrasi, Banten. 1. Pendahuluan Sebagai lembaga pendidikan yang telah lahir sejak 300-400 tahun lalu12, tentu saja pesantren salaiyah merasa berkepentingan dan menjadi bagian dari pondasi religiusitas dan budaya di Banten. secara Kultural mapun struktural, bagi kalangan kyai pesantren Salaiyah, pemerintah seperti yang tidak menganggap bahwa santri adalah pelajar dan pesantren adalah lembaga pendidikan. Hal ini menjadi bagian sangat mendasar mengapa masyarakat terkesan meninggalkan lembaga pendidikan pesantren salaiyah dan memilih lembaga pendidikan modern. 1*) Penulis adalah Dosen di Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Untirta, Banten. 21 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, hal 3, 2004
19
Dengan kata lain, sosialisasi pendidikan dan rujukan pemerintah yang deras pada kelembagaan pendidikan modern saat ini memberikan dampak serius terhadap keberadaan, citra dan substansi pesantren salaiyah. Hal ini juga menjadi bagian dari diskriminasi yang mendasar. Hal ini mengakibatkan pesantren salaiyah terkesan dilibatkan hanya pada eksploitasi dukung mendukung untuk mendapatkan kekuatan kultural pada politik. Secara substansial, sebenarnya pesantren salaiyah juga diperlukan dalam keterlibatan pengembangan kualitas manusia pada suatu kemajuan peradaban dalam politik. Namun komunitas “sarungan” pesantren salaiyah merasa justru terjadi diskriminasi secara sistematis oleh kebijakan pembangunan pemerintah terhadap keberadaan
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
12. IKHSAN AHMAD 13. FIRMAN SYARIF 14. H. BUNTARA 15. KH. JAMALUDIN 16. DRS.KH. MATIN SYARKOWI 17. KH. WAWANG MUNAWAR HALILI
pesantren salaiyah. Tentu saja hal ini tidak boleh terjadi jika kita merujuk pada visi, misi dan tujuan pendidikan nasional yang berdiri diatas kebhinekaan. Oleh karena itu modernisasi mesti dirujuk kembali pada deinisi yang sesungguhnya sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa modernisasi meninggalkan akar sejarah dan budaya bangsanya. Apalagi berbeda dengan akar budayanya. Permasalahan, kegelisahan dan pergolakan pesantren salaiyah adalah sesuatu yang serius dan mesti dicarikan jalan keluarnya. Setidaknya pada target diakuinya santri pesantren salaiyah sebagai pelajar dengan pemenuhan semua haknya sebagai warga Negara demikian pula dengan kelembagaan pesantrennya. Hal inilah yang kemudian semua kaum sarungan sepakat membentuk sebuah badan perjuangan bersama yang bernama Majlis Pesantren Salaiyah. Dideklarasikan pada tanggal 18 Mei 2011 di Serang Banten dengan menggelar istighozah yang dihadiri lebih dari tiga ribu orang terdiri dari santri dan kyai pengelola pesantren salaiyah. Dalam deklarasi tersebut dituangkan isi dan maksud perjuangan MPS, sebagai berikut:
KETUA UMUM MPS
DRS.KH. MATIN SYARKOWI
SEKRETARIS MPS
KH. WAWANG MUNAWAR HALILI
Secara aktif MPS mencoba memperjuangkan dan mengkomunikasikan aspirasinya ini sesuai dengan prosedur dan system demokrasi yang ada dan tersedia. Beraudiens dengan semua fraksi dan pihak terkait di Banten. sayangnya hal ini tidak mendapatkan respon yang memadai. Dan langkah ini menjadi satu perjuangan panjang – termasuk upaya perjuangan literasi melalui tulisan ini. Perjuangan lain yang dilakukan MPS juga aktif memberikan pandangan, masukan dan respon atas setiap permasalahan yang timbul di masyarakat yang berkaitan dengan persoalan ahlak dan keagamaan dalam berpolitik. MPS lahir sebagai organisasi dengan akar sejarah yang mendalam dalam kehidupan dan dinamika perjuangan pesantren – sebagai lembaga pembelajaran – yang turut membidani kelahiran bangsa, Negara dan pendidikan di Indoensia. Pesantren juga sebagai warisan Nusantara yang digagas oleh Wali Songo; tonggak dimulainya kebesaran Islam dan peradabannya di Nusantara. Di Banten, kehidupan sosio-kultural masyarakatnya yang religius banyak diwarnai oleh pesantren. Oleh karena itu MPS menjadi bagian yang yang tak terpisahkan dari nafas keislaman di Banten. Seperti yang hendak ditunjukkan juga oleh pemerintahan Provinsi Banten yang mengadopsi symbol-simbol kebesaran Islam dalam masa keemasan pesantren, seperti Menara Masjid Banten dan Kraton Kaibon. MPS lahir dalam kerangka kebutuhan membangun toleransi sebagai sendi dasar berbangsa dan bernegara. Disamping berbgai tujuan lainnya seperti memberikan kontribusi pewarnaan pendidikan berkarakter yang dipercaya hanya bisa lahir dari pembeljaran di pesantran salaiyah. Dengan kata lain, salaiyah dengan segala macam bentuk, system dan metodenya merupakan cerminan budaya pendidikan asli Indonesia (indigeneous) yang perlu dilestarikan dan dikembangkan; Banten dengan sosio cultural religinya sudah barang tentu tidak dapat dipisahkan dengan peranan pesantren salaiyah sebagai suatu produk budaya sekaligus budaya itu sendiri. Keangotaan MPS terdiri dari pesantrenpesantren salaiyah yang berdomisili di Banten. Saat terdaftar ada sekitar 3.500 (tiga ribu lima ratus)
DEKLARASI MAJLIS PESANTREN SALAFIYAH BISMILLAHIRROHMAANIRROHIM ASYHADU ALLA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADARROSULULLAH DENGAN IZIN DAN PERTOLONGAN ALLAH SWT, HARI INI TANGGAL 18 MEI 2011 ATAU 15 JUMADIL AKHIR 1431, KAMI PIMPINAN DAN SANTRI PESANTREN SALAFIYAH DENGAN INI MENDEKLARASIKAN BERDIRINYA : MAJLIS PESANTREN SALAFIYAH SEBAGAI SARANA PERJUANGAN UNTUK MELESTARIKAN DAN MENGEMBANGKAN PESANTREN SALAFIYAH DI BANTEN. PARA DEKLARATOR 1.ABUYA KH.MUHTADI DIMYATI 2.KH. OBING SUROCHMAN 3.KH.TB. WARDI 4.KH. UMAIDI 5.KH.ARIMAN ANWAR 6.KH. HUDRI 7. KH. KURTUBI ASNAWI 8. KH. THOHIR THOHA 9.KH. MUHAMAD NASIR 10.KH.SHOBRI MAN’US 11. KH. AS’YARI AMRI 20
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
pesantren salaiyah sebagai anggota MPS yang tersebar di seantero Banten. MPS berkepntingan untuk membentuk dan menjaga karakter Banten pada jati diri Banten yang religious, dimana selama satu dasawarsa Banten berdiri belum menunjukkan wajahnya yang jelas sebagai identitas berkarakter Banten. Hal ini diperburuk oleh derasnya arus globalisasi yang merusak aspek dan karakteristik budaya asli Banten. Oleh karena itu MPS melalui pesantren salaiyah akan mendirikan berbagai upaya pemberdayaan dan penyadaran berkarakter dalam berbudaya dan berpendidikan ditengah pemaksaan penyeragaman system dan metode pendidikan oleh pemerintah. MPS juga hendak memperjuangkan keberpihakan anggaran dan perhatian pemerintah terhadap penumbuhkembangan minat masyarakat terhadap pesantren salaiyah. Oleh karena itu, MPS berkepentingan mengembangkan Tahidz (hafalan) Quran dan Kutub menjadi suatu keniscayaan diatur dalam peraturan daerah Banten. Adapun tujuan MPS sendiri adalah : Memperjuangkan pesantren salaiyah sebagai lembaga pendidikan yang memiliki karakter dan hak-hak santri sebagai peserta didik dan warga Negara Republik Indonesia tanpa diskriminasi sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku melalui pendekatan APBD yang bersifat rutin; Memperjuangkan Tahidzil Quran dan Kutub serta nilai seni membaca Al-Quran sebagai bentuk ketermapilan unggulan pendidikan non formal di Provinsi Banten; Memperjuangkan pesantren salaiyah sebagai satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal di masing-masing Kabupaten/ Kota se provinsi Banten sebagaimana diatur dalam pasal 50 ayat (5) UU nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas; Memperjuangkan terwujudnya ‘Wajah Banten’ sebagai daerah penghafal Kitab Suci (Tahidz Quran dan Kutub) melalui pendekatan regulasi dalam bentuk Perda. Berangkat dari apa yang menjadi seting kelahiran dan dasar-dasar perjuangan MPS, maka ditetapkan visi dan misi sebagai berikut : Mewujudkan system pendidikan pesantren salaiyah di Provinsi Banten sebagai budaya unggulan yang berbasis kearifan lokal berwawasan global. Melestarikan dan mengembangkan system pendidikan dan pengajaran serta pembelajaran pesantren salaiyah sesuai karakter aslinya sehingga dapat ditingkatkan kualitas pembelajarannya dan pemenuhan hak-haknya sebagaimana amanat konstitusi dasar dalam bidang pendidikan, termasuk penyetaraan bagi kelulusan santri salaiyah agar bisa mengabdikan ilmunya pada jalur-jalur formal, terutama pengembangan ekonomi syariah melalui pemberdayaan Baitul Mal. Dengan strategi memperjuangkan terbentuknya regulasi (aturan pemerintah) untuk mengokohkan peranan pesantren salaiyah sebagai budaya pendidikan unggulan; terbentuknya perda Tahidz Quran dan Kutub sebagai icon budaya Banten; memotivasi 21
masyarakat agar belajar di pesantren salaiyah. 2. Pembahasan 2.1. Wacana Pesantren. Pesantren adalah wacana yang hidup. Selagi mau, memperbincangkan pesantren senantiasa menarik, segar, aktual, dan perlu dicatat – tidak mudah. Banyak aspek yang mesti dilalui ketika diskursus pesantren digelar. Dari sisi keberadaannya saja, pesantren memilki banyak dimensi terkait (multi dimensional). Dalam lilitan multidimensional itu, menariknya, pesantren sangat percaya diri (self conident) dan penuh pertahanan diri (self defensive) dalam menghadapi tantangan di luar dirinya. Karena itu hingga sekarang, orang kesulitan mencari sebuah deinisi yang tepat tentang pesantren. Pesantren kelihatan berpola seragam, tetapi beragam; tampak konservatif, tetapi diam-diam atau terangterangan mengubah diri dan mengimbangi denyut perkembangan zamannya. Ambisi merumuskan pesantren secara tunggal, apalagi coba-coba memaksakan suatu konsep tertentu untuk pesantren, tampaknya tidak mungkin berhasil.23 Dalam konteks keberadaan pesantren pada masa sekarang, tak bisa dipungkiri, selain adanya perkembangan pesantren modern – maksudnya diakui setara dalam pendidikan nasional, yakni lembaga pendidikan madrasah; Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah34 merupakan bentuk pesanten yang digolongkan sebagai pola ke tiga. Adalah pesantren yang didalamnya program keilmuan telah diupayakan menyeimbangkan antara ilmu agama dan umum. Ditanamkannya sikap positif terhadap kedua jenis ilmu tersebut kepada santri. Selain itu ditanamkan pola pendidikan seperti kemasyarakatan, keterampilan, kesenian, kejasmanian, kepramukaan. Adapun struktur kurikulum yang dipakai mendasarkan kepada struktur madrasah negeri (pemerintah) dengan memodiikasi mata pelajaran agama, dan ada pula yang memakai kurikulum yang dibuat sendiri oleh pondok pesantren yang bersangkutan. Ada tiga pola pembagian perkembangan pesantren.45 Sedangkan pola yang kedua adalah mendasarkan kurikulumnya pada pengkajian kitabkitab klasik dengan menggunakan metode sorogan, wetonan dan hafalan. Disamping diajarkan pula ekstra kulikuler seperti keterampilan dan praktik keorganisasian. Namun tak bisa dipungkiri adanya 32 Peran Ulama Pesantren Dalam menghadapi Teorisme Global, Disampaikan pada Seminar Internasional, Peran Ulama Pesantren Dalam Mengatasi Terorisme Global oleh Drs. H. Ahmad Dahlan Jauhari, M.Si, Direktur urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementrian Agama RI, 17-03-2012 di Cirebon. 43 Pasal 17 dan Pasal 18 UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan nasional. 54 Pendidikan Islam Dalam Pendidikan Nasional, Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, MA, Prenada Media Grup, Edisi Pertama cetakan ke dua, hal.27, 2004.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
fakta dan eksistensi pesantren dengan pola kesatu, yakni pesantren yang masih terikat kuat dengan system pendidikan islam, sejak pertamakali pendidikan islam muncul di nusantara. Mendasarkan kurikulumnya kepada pengajian kitab-kitab klasik semata-mata. Memakai metode sorogan, wetonan dan hafalan. Tujuan pengajarannya adalah pendidikan untuk meninggikan moral, melatih, dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual, dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, serta menyiapkan santri untuk hidup dengan bersih hati. Persoalannya kemudian muncul disini. Pesantren dengan gambaran pola kesatu dikenal dengan pesantren salai. Pada kasus yang ingin diangkat dalam tulisan ini, sekitar 70% pesantren salaiyah masih eksis keberadaannya di Banten, tergabung dalam Majlis Pesantren Salaiyah. Perdebatan yang menarik untuk diajukan di awal adalah apakah pesantren salaiyah mampu memainkan peran politik dan komunkasinya? Apakah para santrinya memiliki kemampuan mempengaruhi kebjakan publik?” lalu apakah para kyianya memiliki pengaruh signiikan terhadap politisasi? kalau tidak bisa, tentu ada alasan argumentasi logika yang mesti ditelusuri dalam proses demokrasi dan komunikasi politiknya. Jika bisa tentu saja mengundang konsekuensi logis terhadap berbagai berbagai kebijakan politik formal. Pertanyaan – pertanyaan tersebut menjadi penting relevansinya pada tahap awal untuk menjawab apakah pesantren salaih memiliki kompetensi baik secara keilmuan dan aplikasinya? karena kompetensi menjadi rujukan utama dalam output membangun kekuatan demokrasi saat ini. Persoalan yang sama, kini muncul dalam bentuknya yang lain, Asosiasi Ma’had Ali seIndonesia (AMAI) mengusulkan agar kelembagaan ma’had ali bisa masuk ke dalam Rancangan UndangUndang Perguruan Tinggi (RUU PT) yang saat ini sedang dalam pembahasan di Komisi X DPR. Alasannya, antara lain, karena di Indonesia saat ini ada kesenjangan antara kebutuhan masyarakat dengan ahli agama. Ma’had aly adalah pendidikan tinggi berada di lingkungan pesantren yang mengkhususkan pengembangan ilmu-ilmu agama Islam setingkat perguruan tinggi. “Keberadaan ma’had ali ini sangat urgen untuk bisa masuk dalam RUU PT,” kata juru bicara AMAI Dr Abdul Jalal saat beraudiensi ke Fraksi PKB di Gedung DPR, Senayan, Jakarta. Audiensi AMAI ditemui Sekretaris Fraksi PKB Hanif Dhakiri didampingi Anggota Komisi X Abdul Hamid Wahid (Gus Hamid) dan Dedi Wahidi. Ikut menemui mereka dua anggota DPR nonPKB, yakni Nasruddin (Fraksi Golkar) dan Zaini Rahman (Fraksi PPP). Ijazah Ma’had Ali Bisa Diakui Dikatakan, Prof Dr Tolhah Hasan, mantan Menteri Agama, sebenarnya pernah mengeluarkan surat kepada Dirjen Pendidikan Islam Kemenag agar ijazah 22
Ma’had Ali bisa diakui. Tetapi karena alasan bahwa keberadaan Ma’had Ali tidak ada dalam nomenklatur UU PT, maka Dirjen Pendidikan tinggi berani mengeluarkan peraturan tentang ma’had ali. AMAI sesungguhnya mengetahui bahwa UU Sisdiknas memang mengatur soal pendidikan diniyah dan pesantren. Yang menjadi persoalan, ternyata Ma’had Ali sebagai pendidikan tinggi di pesantren tidak diatur didalamnya. “PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan dianggap cacat karena alpa memasukkan ma’had ali sebagai salah satu institusi pendidikan tinggi Islam”. Di Bawah Kemenag atau Kemendikbud. Dikatakan, selama ini alasan Dirjen Pendidikan Islam Kemenag tidak berani mengeluarkan peraturan tentang Ma’had Ali karena keberadaan Ma’had Ali tidak ada dalam nomenklatur UU PT. Karena itu, ketika persoalan Ma’had Ali masuk dalam nomenklatur UU PT, hal tersebut akan memudahkan Ma’had Ali diakui sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam dan masuk dalam kebijakan pendidikan secara nasional. Keberadaan UU secara formal mengatur dipandang mampu memberi jawaban atas status Ma’had Ali dalam system pendidikan tinggi di Indonesia. Menurut Abdul Jalal (dosen Ma’had Aly Salaiyah Syaiiyah Sukorejo Situbondo, Jawa Timur), karena kesenjangan antara kebutuhan masyarakat dan ahli agama ini, maka kemudian menginspirasi para kiai di pesantren-pesantren untuk mendirikan ma’had ali di pesantren. Alasanya, lembaga pendidikan tinggi yang ada saat ini dinilai sulit untuk mencetak kader ahli agama. “Oleh karena ini, kami sowan ke sini agar PKB membantu memperjuangkan ma’had ali diakomodir dalam RUU PT,”.56 Tidak terjelaskan secara spesiik tentang bagaimana posisi pesantren yang dimaksud dalam system pendidikan nasional yang menggolongkan pesantren, pendidikan diniyah, pasmaran, pabhaya samena dan bentuk lain yang sejenis masuk kedalam pendidikan keagamaan diluar golongan lembaga pendidikan non formal dan formal.67 Ketidak jelasan positioning in imenyebabkan satu kendala diantara banyak persoalan lainnya yang dihadapi pesantren salai. karena secara sturktural lembaga-lembaga pendidikan Islam berada dibawah naungan departeman Agama. Maka dari segi pendanaan dan concern pada upaya pendorongan kualitasnya terdapat perbedaan antara lembaga pendidikan yang dikelola oleh departemen Agama dengan Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan masalah yang bersifat kultural, lembagalembaga pendidikan Islam seperti Pesantren Salai – kendati secara hostoris menjadi soko guru pendidikan berkarakter banyak ditinggalkan masyarakat karena lemahnya partisipasi pemerintah dalam mensupport dan mendesain keberadaan pesantren salaiyah sebagai bagian dari budaya yang tidak bisa dipisahkan, 65 http://assalaiebabakan.or.id/pesantren-desak-mahad-ali-masuk-ruuperguruan-tinggi/, diposting tanggal 3-4-2012, pukul 08.35 76 Pasal 30, Pendidikan Keagamaan, UU No.20 tahun 2003.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
terutama di Banten.78 2.2. Pesantren Salaiyah di Banten Pesantren Salai sesungguhnya tak bisa dipisahkan dari pondasi mentalitas dasar di Indonesia, sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari budaya demokrasi yang emestinya diusung. Secara kelembagaan pesantren salai telah wujud sejak masuknya Islam ke Indonesia dan telah banyak memainkan peranannya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak sedikit dari tokoh-tokoh dan pemimpin nasional baik yang tergolong pendiri bangsa, maupun pemimpin bangsa yang berasal dari pesantren salai. di Indonesia sendiri keberadaan pesantren salai telah melewati tiga periode. Periode pertama sejak masuknya Islam sampai masuknya ideide pembaruan politik Islam. Pesantren Salai di Banten bisa ditelusuri dari penuturan Martin Van Bruinessen yang meneliti tentang pesantren di Indonesia. Ditemukan pesantren paling tua, terletak di sekitar gunung Karang, sebelah Barat Pandeglang. Pesantren ini termaktub dalam serat Centhini. Jika ini benar, sekitar tahun 1527 Pesantren Gunung karang sudah terkenal sebagai pusat pendidikan Islam sampai ke Baghdad.89 Hal ini menjelaskan bahwa Banten merupakan salah satu akar dari keberadaan pesantren salaiyah yang sampai kini masih ada. Sejak masa paling awal Banten telah dikenal sebagai tempat menimba ilmu dan memberikan kontribusi bagi perkembangan keilmuan di Jawa. Diantaranya adalah Nawawi al-Bantani (1220H/1815M) sebagai ulama dan tokoh Banten yang karya-karyanya telah mendunia diseantero pendidikan dan peradaban Islam saat itu. 2.3. Politik dan Komunikasi Politik Tulisan ini tidak berangkat dari suatu ruang kosong, idea tau gagasan semata-mata. Identiikasi diri yang merasa tidak merasa dipenuhi haknya oleh pemerintah dalam pemenuhan haknya sebagai pelajar dan lembaga pendidikan, membuat pesantren salaiyah di Banten menjadi persoalan berakar pada sosial – budaya masyarakat di Banten dengan segala aspek politis dan ekonomi di dalamnya. Oleh karena itu kemampuan dan keberhasilan mengidentiikasi diri kembali secara baik pesantren salaiyah dan mengkomunikasinya dengan logika serta tujuan dalam kebijakan politik sangat diharapkan mampu menempatkan setiap aspek sumber daya pembangunan nasional mampu menciptakan kemampuan kompetensi yang baik untuk mencapai derajat peradaban bangsa yang lebih berkualitas. Setidaknya terdapat kesamaan persektif antara 87 Keterangan yang diberikan oleh Ketua Majlis Pesantren Salaiyah Banten, H. Matin Syarkowi 98 Ruby Ach Baedhawy, Proil Pesantren Salaiyah, Biro Humas Provinsi Banten, tahun …..ulang tahun Banten ke-4)
23
pemerintah dan pesantren salaiyah di Banten tentang tujuan dan keradaan masing-masing pihak dalam rangka mambangun negeri. Perspektif menjadi penting dalam satu alur komunikasi sebagai suatu kebutuhan sudut pandang yang sama. Perspektif akan memandu Persepsi yang sama mencakup konteks kehidupan sosial, sehingga dikenallah persepsi sosial. Persepsi sosial merupakan suatu proses yang terjadi dalam diri seseorang yang bertujuan untuk mengetahui, menginterpretasi, dan mengevaluasi orang lain yang dipersepsi, baik mengenai sifatnya, kualitasnya, ataupun keadaan lain yang ada dalam diri orang yang dipersepsi sehingga terbentuk gambaran mengenai orang lain sebagai objek persepsi tersebut (Lindzey & Aronson). Kesamaan persepsi yang muncul diharapkan mampu menimbulkan kesamaan makna pesan atas kemampuan pesantren salaiyah sebagai bagian dari elemen kritis masyarakat dan lembaga pendidikan dalam mengemban tugas membangun kapabilitas, responsibilitas dan daya inovasi dari kurikulum salaaiyah yang diyakini sebagai akar dari pengembangan demokrasi modern yang lahir dari Barat- saat ini di Indonesia, khususnya di Banten. upaya membangun pengenalan keunggulan kompetensi salaiyah ini selakigus diarahkan sebagai upaya penelusurin kritis atas kebijakan yang telah lahir dan dijalankan. Keberhasilan dalam melihat persoalan pada tulisan ini akan memberikan dampak yang signiikan terhadap upaya perjuangan MPS memandang persoalan, kekurangan dirinya serta mengkritisi kebijakan politik yang terkait dengan eksistensi pesantren salaiyah. Oleh karena itu, capaian akhir dari tulisan ini adalah secara akademik diharapkan mampu memberikan kontribusi kepada bidang keilmuan komunikasi, khususnya pada terapan komunikasi kebijakan pembangunan, khususnya di bidang pendidkan. Sedangkan pada capaian yang lebih khusus, tulisan ini diharapan mampu menjadi landasan berpijak perjuangan MPS ke depan untuk membangun segenap kemampuan kompetensinya pada aras kepentingan yang diharapkan oleh perundang-undangan dan formal pada tingkat pemerintahan serta menjadi masukan bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan politik yang berkiatan dengan pesantren salaiyah. Sifat komunikasi adalah hadir dimana-mana (omnipresent). Termasuk dalam bahasan yang hendak diajukan oleh penulis. Oleh karena itu komunikasi bukanlah bidang ilmu yang eksklusif. Karena ilmu komunikasi merupaka perpaduan atau perlintasan berbagai cabang ilmu sosial lainnya. Oleh karena itu, tulisan ini hendak menempatkan keberperanan politik komunikasi sebagai suatu “sumber kehidupan” atau “mata rantai” utama untuk melihat, menjelaskan, menganalisa dan membangun suatu kepentingan tujuan tulisan.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Pemahaman ini memberi arti bahwa titik tolak permasalahan pada pesantren salaiyah didalam suatu lingkaran sistem politik dengan segenap persoalannya tidak hendak dipandang sebatas asumsi yang seragam, statis, maupun deretan angka semata. Tulisan in hendak menganalisis terhadap proses sejarah dan konteks kekinian yang mampu mengungkapkan struktur dan konsepsi dasar kompetensi pesantren salaiyah dalam suatu kebutuhan kritis atas proses demokrasi yang masih terkesan hegemonik terhadap keberadaan akarakar budaya serta pondasi politik dasar di dalamnya. Pengamatan dan analisa kritis inilah yang kemudian diharapkan dapat mengubah perspektif, persepsi dan intrepretasi UU No.20 Tahun 2003 terhadap upaya pengembangan pendidikan nasional yang visioner, berkeberagaman dan berkeberadaban. Secara ontologis, paradigma kritis yang hendak diterapkan dalam tulisan ini dapat memberikan gambaran sejarah yang komprehensif terhadap : realitas kompetensi pesantren salaiyah yang telah terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan sosial, budaya, politik, ekonomi di negeri ini kemudian didapat juga gambaran bagaimana negara merespon dan mengakomodasi realitas tadi dalam suatu kepentingan berbangsa. Dengan demikian, paradigm kritis ini akan mengedepankan suatu karakteristik metodelogis Participative yang akan mengutamakan analisis komprehensif, konstekstual dan multilevelanalysis yang dilakukan melalui penempatan diri penelitia sebagai aktivis atau partisipan dalam proses pemahaman masalah yang diangkat. Secara metodelogis ini pula diharapkan kualitas tulisan diharapkan mampu menjadi elemen penting dari historical situatedness dengan memperhatikan konteks historis, sosial budaya, ekonomi dan politik pesantren salaiyah.
penilaian untuk membentuk visi realiatas pesantren salaiyah dan tujuan pembangunan pendidikan nasional dalam suatu batasan konstelasi komunikasi etika dan organisasi secara historis maupun masa sekarang. Paradigma ini pada akhirnya diharapkan menjadi pandangan bagi pemerintah terhadap realitas yang dipersepsikan dalam realitas, focus dan realitas objektif pesantren salaiyah pada aspek-aspek dan struktur yang mungkin dan dapat berfungsi dan nyata dalam struktur UU yang mengatur kebijakan politik kedepan.
3. Simpulan Pada akhirnya, pesantren salaiyah sebenarnya mampu ditempatkan sebagai transformative intelectual, advokat dan aktivis yang mengedepankan nilai, etika, moral untuk mengkritisi sistem politik terhadap eksistensi dan tujuan pesantren salaiyah di Banten. Dengan demikian dapat juga berperan sebagai social empowerment. Dengan demikian, paradigma politik kedepan dapat menilai pola komunikasi pembelajaran pesnatren salaiyah dan membuat suatu struktur kompetensi pesantren salaiyah dalam suatu kelemahan tiadanya satu deinisi universal yang bisa digunakan didaamnya. Kemampuan struktur ini bisa menjelaskan fungsifungsi paradigma ilmiah terhadap proses pengelolaan pesantren salaiyah, termasuk hukum, teori, aplikasi dan instrumentasi secara bersama-sama guna menyediakan model dan komitmen yang bisa diangkat guna menjadi rujukan perspektif mendasar UU No.20 Tahun 2003. Paradigm ini juga dimaksudkan untuk mendeinisikan kembali cara berikir, persepsi,
Sumber lain:
Daftar Pustaka Creswell, Jhon W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Desaign: Chosing Among Five Tradition. housand Oaks: Sage. Daulay, Haidar Putra. 2004. Pendidikan Islam dalam Pendidikan Nasional. Jakarta: Prenada Media Grup. Littlejohn, Stephen W 1996. heories of Human Communication. Edisi ke 5 Belmont California : Wadsworth. Mastuhu.2004. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Matthew B Miles dan A Micheal Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif, Penerbit Universitas Indonesia. Moleong, Lexy J.2000. Metodelogi Tulisan Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. 2007. Metodelogi Tulisan Kualitatif, Paradigma baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Social Lainnya. Bandung: Rosda Karya. Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya
Baedhawy, Ach Baedhawy, Proil Pesantren Salaiyah, Biro Humas Provinsi Banten, tahun 2004 (ulang tahun Banten ke-4) Jauhari, Ahmad Dahlan Jauhari. Peran Ulama Pesantren dalam Menghadapi Teorisme Global. Disampaikan pada Seminar Internasional, Peran Ulama Pesantren Dalam Mengatasi Terorisme Global. Pada 17 Maret 2012 di Cirebon. UU No.20 tahun 2003 tentang Pendidikan Keagamaan. UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan nasional. http://assalaiebabakan.or.id/pesantren-desak-mahadali-masuk-ruu-perguruan-tinggi/ Wawancara dengan Ketua Majlis Pesantren Salaiyah Banten, Drs. H. Matin Syarkowi
24
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Komunikator Politik Ideal dan Dramaturgi dalam Strategi Kampanye Politik Novi Andayani Praptiningsih1*) Abstrak Kampanye dapat diartikan sebagai upaya persuasif mengajak orang lain yang belum sepaham atau belum yakin pada ide-ide yang ditawarkan, agar masyarakat bersedia bergabung dan mendukung secara sukarela. Oleh karena itu, konsep yang dilontarkan dalam strategi komunikasi kampanye politik haruslah dirumuskan dan disampaikan secara sederhana agar masyarakat mudah memahami dan menerimanya. Kejujuran (tanpa melakukan kebohongan publik) merupakan salah satu keberhasilan kampanye demokratis yang mampu merebut simpati masyarakat. Pemanfaatn media massa, baik media massa maupun media cetak dalam proses kampanye politik juga turut berpengaruh, dengan segala kekuatan dan kelemahan masingmasing media. Dramaturgi merupakan seni bagaimana orang menempatkan peran sesuai dengan situasi dan kondisi dimana dia ditempatkan. Dramaturgi adalah bentuk reaksi alamiah dari manusia untuk mempertahankan diri. Ketika seorang manusia berada di sebuah lingkungan yang menurut dia nyaman, atau ketika dia ingin memasuki sebuah lingkungan baru, adalah sebuah proses yang wajar bila dalam dirinya timbul proses tidak ingin ditolak atau tidak ingin kehilangan kenyamanan tersebut. Agar dirinya tidak mengalami penolakan maka mau tidak mau dia harus melakukan dramaturgi dalam mempersuasi dirinya agar bisa diterima oleh lingkungannya. Sehingga, wajar saja jika anda melakukan dramaturgi dengan niatan untuk di terima di lingkungan. Yang jadi masalah adalah, apabila itu dilakukan secara berlebihan maka seseorang akan kehilangan jati dirinya. Jadi tidak salah kalau seseorang bermain peran menempatkan peran yang bukan dirinya, karena semata-mata bukan karena terpaksa namun itu merupakan reaksi alamiah terhadap lingkungan sekitarnya. Dramaturgi dalam dunia Politik banyak diterapkan dan diperankan para politisi di Indonesia. Saat front stage sangat berbeda di wilayah back stage nya. Banyak politisi yang telah kehilangan idealismenya, dan hanya mementingkan diri sendiri atau kepentingan golongan saja, bukan kepentingan rakyat. Berbeda saat kampanye caleg yang banyak memaparkan program unggul serta menebar janji. 1. Pendahuluan Kegiatan kampanye politik yang demokratis mengharapkan terjadinya perpindahan kekuasaan secara damai, antara lain dengan melaksanakan aktivitas kampanye dengan tidak memunculkan nuansa permusuhan dan persaingan tak sehat apalagi hingga mengakibatkan konlik/pertikaian dengan kekerasan akibat perbedaan politik. Perebutan posisi pada pelaku politik kadang menyebabkan saling curiga dan dapat menimbulkan itnah. Yang pada akhirnya akan terjadi propaganda dan agitasi dalam bentuk perang isu. Munculnya perang isu sebagai dampak perjuangan elit politik untuk mencari posisi terbaik dalam percaturan politik demikian intens (Combs & Nimmo, 1993). Kampanye politik yang damai, tidak memunculkan kerusuhan sosial dan korban jiwa karena adanya perbedaan politik mencerminkan nuansa politis yang kondusif dan adil, yang merupakan bearometer kehidupan politik yang 1 Penulis adalah Dosen Tetap di UHAMKA Jakarta.
25
demokratis, tanpa adanya kecurangan, misalnya money politics. Kampanye sebenarnya dapat diartikan sebagai upaya persuasif mengajak orang lain yang belum sepaham atau belum yakin pada ide-ide yang ditawarkan, agar mereka bersedia bergabung dan mendukung secara sukarela (Bruce, 1999). Oleh karena itu, konsep yang dilontarkan haruslah dirumuskan dan disampaikan secara sederhana agar masyarakat mudah memahami dan menerimanya. Kejujuran (tanpa melakukan kebohongan publik) merupakan salah satu keberhasilan kampanye demokratis. Ada dua hal mendasar yang harus dilakukan dalam konteks kampanye politik yang sehat. Pertama, menyadarkan masyarakat bahwa dalam aktivitas politik dan arena demokrasi, rakyat dapat mengkoreksi kebijakan pemerintah secara konstruktif termasuk solusi yang disampaikan secara serius dan damai. Hingga puncaknya terjadi pergantian pimpinan. Negara sebagai salah satu bentuk perwujudan partisipasi rakyat
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
dalam sistem politik. Tujuan ini tercapai apabila rakyat berpikir rasional dan tidak defensif dan permisif dalam menyikapi masalah yang tengah dihadapi negara, tentunya dengan menyodorkan alternatif terbaik untuk memecahkan masalah tersebut. Kedua, menyadarkan masyarakat bahwa masyarakat tak sepenuhnya menyerahkan kedaulatan politik kepada wakil-wakil rakyat yang hendak dipilih menjadi anggota DPR/MPR. Rakyat hanya mendelegasikan kewenangan membuat keputusan. Namun rakyat masih berhak mencermati dan mengawasi jalannya pemerintahan, termasuk aktivitas mereka di DPR/MPR. Proses peyadaran tersebut tentunya tak terlepas dari perann komunikator politik dalam mengelola data dan informasi sehingga masyarakat dapat mengerti dengan jelas pesan yang akan disampaikan.
maupun media elektronik (TV, radio, ilm). Di samping itu, mengkonsumsi banyak literatur atau referensi dapat memperkaya khasanah wawasan berikir. Kecenderungan berwawasan luas dapat pula diperoleh melalui sosialisasi/interaksi dengan banyak orang dari berbagai lapisan dan tingkat sosial, ekonomi, maupun budaya. Interaksi ini dapat dilakukan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari sebagai aplikasi pendewasaan berikir dan bertindak; (b) Sinergi antara IQ (Intellegence Quotient/Kecerdasan Intelektual), EQ (Emotional Quetient/Kecerdasan Emosional), SQ (Spiritual Quotient/kecerdasan perpaduan antara ibadah, moral, etika dan akhlak mulia). Saat ini justru sinergi antara EQ dan SQ lah yang mempunyai peranan penting. Namun ternyata belum cukup, masih perlu adanya TQ (Transendental Quotient) yang merupakan aplikasi aturan-aturan Tuhan (God Rules), bukan aturan manusia (Human Rules). Kedua, Seorang komunikator politik selayaknya memiliki Power, terdiri dari : (1) Leadership (kepemimpinan) merupakan hal yang amat prinsipil dan fundamental yang dialiri nilainilai tertentu, terutama nilai moral yang melekat. Integritas, kapabilitas, dan akseptabilitas seorang pemimpin dapat diukur dari pengetahuan (knowledge), keadilan (justice), kekuasaan (power), dan kesalehannya (piety). Keseluruhan nilainilai tersebut secara komprehensif bersinergi menjadi sebuah kekuatan dan ketrampilan Art of Leadership (Majalah Suara Muhammadiyah, 2003). (2) Charismatic (kharisma), yang sulit digeneralisasikan, karena terkadang dilandasi penilaian subyektif dan individualistis. Kharisma seseorang, terutama dalam wahana politik, bisa hadir karena bawaan, tetapi juga seringkali melalui proses sosialisasi dan pendewasaan diri, misalnya aktif di organisasi sosial politik, atau melalui interaksi dan sosialisasi dengan individu lain dari berbagai usia, lapisan sosial, ekonomi, dan budaya. (3) Low Proile Oriented (kerendahan hati). Komunikator politik yang tidak arogan, mampu mengendalikan emosi pada kondisi apapun, jujur, sabar, tawadhu, bertutur kata lembut, santun, arif bijaksana dengan bahasa yang menyejukkan hati akan mempunyai magnet yang mampu memikat hati serta mempengaruhi masyarakat, yang pada akhirnya akan menciptakan suasana yang kondusif dan menyenangkan (favourable). Ketiga, seoarang komunikator politik hendaknya memiliki Attractiveness (daya tarik), terdiri dari : (1) Performance. Tampil sederhana
2. Pembahasan Komunikator Politik Ideal Dalam komunikasi politik kita kenal tiga kelompok yang berpartisipasi dalam proses politik, yakni komunikator, politik partisipan politik, dan simpatisan politik (Nimmo, 1993). Komunikator politik yang ideal layaknya memenuhi 3 (tiga) unsur kualiikasi, yakni : Credibility, Power, dan Attractiveness.
Pertama, seorang komunikator politik harus memiliki Credibility (Kredibilitas), yang terdiri dari Safety Credibility dan Competence Credibility. Safety Credibility merupakan kepercayaan yang diberikan orang lain kepada kita sebagai komunikator karena kita mempunyai kemampuan atau kompetensi (capability), keahlian (skill), dan pengalaman (experience). Namun ada faktor-faktor yang cukup kuat mempengaruhi Competence Credibility seseorang, yakni : (a) Wawasan luas yang dapat diaplikasikan melalui kebiasaan kita mengkonsumsi media massa, baik media cetak (majalah, suratkabar, tabloid) 26
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
jauh dari kesan mewah, namun rapi-bersih-sopanserasi dapat membuat lebih percaya diri sebagai komunikator politik. (2) Attitude & Behavior. Ketaatan, ketaqwaan, iman yang kuat dan berakhlak mulia adalah indikasi sikap dan perilaku baik yang tampak dari kesalehan seseorang dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. (3) Speech atau Verbal Communication. Ucapan atau kata-kata lisan yang dikomunikasikan merepresentasikan jati diri, citra, dan kualitas diri seseorang. Bicara jujur namun diplomatis merupakan salah satu strategi memperlancar komunikasi politik demi merebut simpati masyarakat. Komunikasi melalui Kampanye Politik Penggunaan komunikasi dalam aktivitas politik dapat diaplikasikan melalui aktivitas kampanye politik secara komprehensif dan terintegrasi (Cavanagh, 1997). Alternatif teknik dan bentuk kampanye politik antara lain melalui : dialog (secara persuasif, argumentatif, bahkan kadang negotiatif ), spanduk, brochures (lealet, pamphlet, booklet, stiker, poster), billboard (media luar ruang), serta bulletin. Televisi sebagai salah satu media massa elektronik merupakan pilihan terbaik dan efektif dalam menyebarluaskan gagasan, ide, pandangan agar dapat memperoleh dukungan yang lebih luas. Radio juga dapat digunakan sebagai alternatifpilihan media elektronik, kaena masyarakat dapat mendengar secara langsung argumentasi dan retorika yang disampaikan. Namun sayangnya radio tak dapat mengcover bahasa non verbal (facial expression, posture, gesture) komunikator politik. Selain media massa elektronik, media lain yang dapat digunakan adalah media massa cetak, seperti suratkabar, majalah, tabloid, dan bulletin. Kelemahannya adalah informasi bersifat satu arah dan tak ada feedback (umpan balik) dari masyarakat secara langsung dalam waktu yang bersamaan, karena tak mungkin dilakukan dialog interaktif dalam media cetak. Hal yang tak kalah penting dalam penggunaan komunikasi dalam kampanye politik adalah menetapkan positioning untuk melihat segmentasi pemilih dan memposisikan tokoh politik di benak masyarakat, sehingga dukungan politik dapat tercapai secara maksimal. Dramaturgi dalam Politik Dramaturgi adalah pandangan atas kehidupan sosial sebagai serangkaian pertunjukan drama yang mirip dengan pertunjukan drama di panggung. Kebanyakan atribut, milik atau 27
aktivitas manusia digunakan untuk presentasi diri ini, termasuk busana yang kita pakai, tempat kita tinggal, rumah yang kita huni, furnitur dan perabot rumahnya, cara kita berjalan dan berbicara, pekerjaan yang kita lakukan dan cara kita menghabiskan waktu luang kita. Karya-karya Gofman melukiskan manusia sebagai manipulator simbol yang hidup di dunia simbol, mendemonstrasikan apa yang dikomunikasikan manusia kepada manusia lainnya ketika mereka berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memelihara citra diri yang stabil, orang melakukan ‘pertunjukan’ (performance) di hadapan khalayak. Pendeknya kita ‘mengelola’ pesan/ informasi yang kita berikan kepada orang lain. Kita mengendalikan pengaruh yang akan ditimbulkan busana kita, penampilan kita dan kebiasaan kita terhadap orang lain supaya orang lain memandang kita sebagai orang yang ingin kita tunjukkan. Kita sadar orang lainpun bebuat hal yang sama terhadap kita, dan kita memperlakukannya sesuai dengan citra dirinya yang kita bayangkan dalam benak kita. Jadi kita bukan hanya sebagi pelaku tetapi juga sekaligus sebagi khalayak. Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan iksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan. Meski benar, dramaturgi juga digunakan dalam istilah teater namun term dan karakteristiknya berbeda dengan dramaturgi yang akan kita pelajari. Dramaturgi dari istilah teater dipopulerkan oleh Aristoteles. Sekitar tahun 350 SM, Aristoteles, seorang ilosof asal Yunani, menelurkan, Poetics, hasil pemikirannya yang sampai sekarang masih dianggap sebagai buku acuan bagi dunia teater. Dalam Poetics, Aristoteles menjabarkan penelitiannya tentang penampilan/ drama-drama berakhir tragedi/tragis ataupun kisah-kisah komedi. Dramaturgi (Burke). Kenneth Duva Burke (May 5, 1897– November 19, 1993) seorang teoritis literatur Amerika dan ilosof memperkenalkan konsep dramatisme sebagai metode untuk memahami fungsi sosial dari bahasa dan drama sebagai pentas simbolik kata dan kehidupan sosial. Tujuan Dramatisme adalah memberikan penjelasan logis untuk memahami motif tindakan
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
manusia, atau kenapa manusia melakukan apa yang mereka lakukan (Fox, 2002). Dramatisme memperlihatkan bahasa sebagai model tindakan simbolik ketimbang model pengetahuan (Burke, 1978). Pandangan Burke adalah bahwa hidup bukan seperti drama, tapi hidup itu sendiri adalah drama. Teori Burke membandingkan kehidupan dengan sebuah pertunjukan dan menyatakan bahwa, sebagaimana dalam sebuah karya teatrikal, kehidupan membutuhkan adanya aktor, adegan, beberapa alat untuk terjadinya adegan, dan tujuan. Asumsinya adalah : 1) Manusia adalah hewan yang menggunakan simbol; 2) Bahasa dan simbol membentuk sebuah sistem yang sangat penting bagi manusia; 3) Manusia adalah pembuat pilihan. Dramatologi (Gofman). Tertarik dengan teori dramatisme Burke, Erving Gofman (11 Juni 1922 – 19 November 1982), seorang sosiolog interaksionis dan penulis, memperdalam kajian dramatisme tersebut dan menyempurnakannya dalam bukunya yang kemudian terkenal sebagai salah satu sumbangan terbesar bagi teori ilmu sosial he Presentation of Self in Everyday Life. Dalam buku ini Gofman yang mendalami fenomena interaksi simbolik mengemukakan kajian mendalam mengenai konsep Dramaturgi. Tujuan dari Presentasi dari Diri – Gofman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita, biasanya diaplikasikan dengan teknik persuasif. Dramaturgi yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Dramatugi mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat
mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgi masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgi, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “Pertunjukan dramanya sendiri”. Melalui karyanya yang berjudul he Presentation of Self in Everyday Life (1959), Gofman membagi kehidupan sosial ke dalam dua wilayah yaitu : • Panggung depan (front stage), yaitu tempat atau peristiwa sosial yang memungkinkan individu menampilkan peran formal atau bergaya layaknya aktor yang berperan. • Panggung belakang (back stage), yaitu tempat untuk mempersiapkan perannya di panggung depan, atau kamar rias pemain sandiwara bersantai untuk mempersiapkan diri atau berlatih. Rentangan Perspektif Interpretif – Obyektif dalam Dramatugi. Dramaturgi termasuk teori interpretatif, meskipun kadang ada unsur obyektifnya, tetapi peranannya lebih masuk ke pada rentangan atau tataran subyektif. Dramaturgi dianggap masuk ke dalam perspektif obyektif karena teori ini cenderung melihat manusia sebagai makhluk pasif (berserah). Misalnya : persepsi khalayak. Dramaturgi dapat masuk ke perspektif subyektif apabila dilihat dari proses dramatisasi peran manusia itu sendiri. Misalnya : analisis isi pesan, pengelolaan kesan, analisis konstruksi diri. Kritik atas pendekatan Gofman, antara lain : 1) Metodologinya dianggap longgar karena mengandalkan apapun yang tersedia, tidak memiliki metoda yang spesiik dan sistematik untuk menguji proposisi-proposisinya mengenai perilaku manusia; 2) Pandangan dianggap Gofman mereduksi kemanusiaan menjadi sekedar pertunjukkan, pandangan yang menganggap semua orang sebagai munaik dianggap terlalu berlebihan. Sedangkan pembelaan pada Dramaturgis, yakni ; 1) Tafsiran pengkritik bahwa frase “hidup sebagai teater” terlalu hariah karena Gofman 28
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
tidak pernah bermaksud demikian; 2) Geertz terjadi “pungli” dengan cara “damai” di mengatakan bahwa dramaturgis bukan suatu tempat. Saat itu Pak Polisi sedang menjalani pandangan teoritis yang tertutup melainkan suatu arena front stage. Tetapi ketika tiba di rumah, cara menguraikan perilaku manusia, dramaturgi yang bersangkutan adalah seorang suami adalah suatu pemikiran yang informatif dan yang lembut bagi istrinya, sekaligus ayah yang heuristik; 3) Dramaturgis selaras dengan hangat dari anak-anaknya (posisi back stage). pengamatan hampir setiap pandangan psikologi, sosiologi bahkan fungsionalisme struktural Kasus 2 : terutama interaksionisme simbolik sebab Dramaturgi yang bertugas menyembuhkan merupakan kajian tentang bagaimana segalal dan merawat orang sakit, diperankan oleh sesuatu dilakukan bukan mengapa segala sesuatu seorang dokter terhadap pasien, keluarga dilakukan. pasien, perawat, serta kolega sesama dokter Dramaturgi merupakan seni bagaimana (front stage). Di back stage, dia adalah manusia orang menempatkan peran sesuai dengan situasi biasa yang juga bisa mengalami sakit yang dan kondisi dimana dia ditempatkan. Seseorang sama dengan para pasiennya, termasuk memasang muka simpatik dan bersedih ketika merasakan emosi, uncovinience, chaos, dalam pemakaman seseorang, padahal pada saat uncomfortable, dan berbagai gejolah menahan yang sama anda sebenarnya sedang bergembira rasa sakit. Ada satu kasus di salah satu Rumah karena sesuatu yang lain, tapi karena tekanan Sakit di Jakarta, seorang dokter senior ahli lingkungan yang ada mengharuskan untuk spesialis ginjal di sebuah rumah sakit terkenal ikut bersedih. Situasi seperti itu normal. Sebab di Jakarta meninggal dunia karena menderita seorang psikolog bernama Kurt Lewin (1936) penyakit ginjal pula. Ironis. berkata dalam penjelasan teori medannya bahwa sesungguhnya perilaku manusia tergantung pada Kasus 3 : lingkungannya. Jadi tidak salah kalau seseorang Di sebuah acara pengadilan, kita melihat ada bermain peran menempatkan peran yang bukan Hakim, Jaksa, Pengacara/ Penasehat Hukum, dirinya, karena semata-mata bukan karena Terdakwa, Panitera, Penggugat, Tergugat, terpaksa namun itu merupakan reaksi alamiah Pemohon, Termohon, yang seluruhnya terhadap lingkungan sekitarnya. menjalankan peran front stage. Sementara di Kesimpulannya adalah bahwa : 1) Menurut back stage, mereka tak lagi berhadapan dengan Burns, pendekatan dramaturgis menawarkan pasal dan delik hukum. suatu cara berguna untuk mengamati perilaku manusia yang melalui perilakunya itu individu Kasus 4 : berusaha menjadi seseorang daripada berusaha Di arena front stage, ada seorang Pekerja Seks melakukan sesuatu; 2) Proyeksi citra diri ini Komersial (PSK), menjalani hidupnya dengan dipandang sebagai bagian dari proses sosialisasi cara mengais rezeki secara tidak halal, asusila dan ini merupakan kemenangan kemampuan dan melanggar nilai-nilai serta norma, karena kreatif manusia atas reaksi-reaksi orang lain. yang dilakukannya melanggar larangan Aplikasi Teori Dramaturgi dalam Berbagai agama. Namun kenyataannya (back stage), dia Profesi. Dramaturgi dapat direleksikan dari harus menghidupi ibunya yang sudah renta beberapa contoh kasus yang merepresentasikan dan janda, serta anaknya yang masih berumur profesi yang berbeda, antara lain : 3 tahun, ditambah lagi harus membiayai sekolah adik-adiknya. Kasus 1 : Polisi Lalu lintas dalam menjalankan tugasnya Kasus 5 : (saat menilang pelanggar di jalan raya). Terdakwa kasus korupsi Arthalyta Suryani Dalam menjalankan tugasnya harus tegas alias Ayin mencoba menarik simpati hakim dan tanpa pandang bulu, jika melanggar akan dan pengunjung di persidangan. Dimulai ditindak, untuk memberi efek jera. Tetapi bila dari bagi-bagi makanan, menjelaskan bahwa mengikuti humanisme, mungkin karena kenal dirinya seorang janda, sambil menangis. dengan pelanggar, akhirnya terjadi pembiaran Semua itu merupakan semata-mata proses atas pelanggaran disiplin berlalu lintas. Atau dramaturgi yang harus dia lakukan agar bisa saja jika iman Pak Polisi lemah, bisa dapat keringanan hukuman. Hal yang sama 29
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
juga dilakukan oleh Angelina Sondakh kesadaran, pengendalian diri, dan pengaturan dengan cara menarik simpati masyarakat ekspresi wajah dan suara. Dayat juga melalui kekerapan liputan media massa, baik melakukan tindakan yang dapat menciptakan media cetak maupun elektronik. Termasuk loyalitas dramatuargis agar penonton/audiens/ melibatkan Kak Seto yang menyatakan teman-temannya tidak mengetahui pribadi bahwa anak bungsu Anggie yang masih balita dia yang sesungguhnya. (Keanu) membutuhkan ibundanya selalu ada disisinya, sehingga mengajukan agar Kasus 7 : diperbolehkan menjadi tahanan rumah. Kasus Institusi Total, yakni institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh Kasus 6 : sebagian kehidupan atau keseluruhan Kasus mengenai sikap sosial seseorang kehidupan dari individual yang terkait dipandang dari teori dramaturgi. Seorang dengan institusi tersebut, dimana individu anak remaja (sebut saja namanya Dayat), ini berlaku sebagai sub-ordinat yang mana merupakan seorang anak dari keluarga broken sangat tergantung kepada organisasi dan home, Ia berasal dari keluarga kaya sehingga ia orang yang berwenang atasnya. Ciri-ciri terbiasa dengan gaya hidup mewah. Namun, institusi total antara lain dikendalikan oleh semenjak ayah dan ibunya bercerai, Dayat kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki tidak mengetahui keberadaan kedua orang yang jelas. Contohnya, sekolah asrama yang tuanya sehingga ia terpaksa bertahan hidup masih menganut paham pengajaran kuno dari berjualan gorengan dan tinggal di rumah (disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak neneknya. Meskipun dalam kondisi seperti militer), institusi pendidikan, penjara, pusat itu, Dayat yang saat itu duduk di kelas rehabilitasi (termasuk didalamnya rumah 1 SMP tetap berusaha mempertahankan sakit jiwa, institusi pemerintah, dan lainnya). image di depan teman-temannya. Ia selalu Dramaturgi dianggap dapat berperan baik berusaha tampil cool seolah tidak memiliki pada instansi-instansi yang menuntut masalah di rumah. Bahkan Dayat sering kali pengabdian tinggi dan tidak menghendaki mengarang cerita bahwa kedua orang tuanya adanya “pemberontakan”. Karena di dalam sedang mengerjakan tugas bisnis di luar kota institusi-institusi ini peran-peran sosial akan dan jarang pulang ke rumah. Dayat merasa lebih mudah untuk diidentiikasi. Orang perlu menyembunyikan masalah yang sedang akan lebih memahami skenario semacam dialaminya, bahkan ia sering kali mengatakan apa yang ingin dimainkan. Bahkan beberapa bahwa ia berjualan gorengan di sekolah ahli percaya bahwa teori ini harus dibuktikan hanya untuk latihan kemandirian saja dan ia dahulu sebelum diaplikasikan. Salah satu tinggal di rumah nenek karena orang tuanya kasusnya adalah : Seorang anggota Paskibraka sibuk bisnis, padahal kenyataannya orang tingkat DKI Jakarta dilaporkan mendapatkan tuanya sudah bercerai dan tidak diketahui pelecehan seksual dari seniornya. Siswi keberadaanya. tersebut diminta lari telanjang dari kamar Jika dilihat dari teori dramaturgi, di mandi ke kamar berkali-kali. Laporan panggung belakang (back stage) terdapat “tim” tersebut dilayangkan orangtua siswi tersebut. yang sengaja membuat skenario agar Dayat Menurut sumber yang terpercaya, bahwa beracting demikian. Secara teori bisa saja dayat kasus seperti di atas ternyata telah terjadi tetap menampilkan sikap dan penampilan sejak bertahun-tahun lalu dan selalu dialami seperti bagaimana adanya, namun ternyata oleh para peserta paskibraka junior. Ini adalah ada tim di dalam lingkungan Dayat yang salah satu contoh bentuk institusi total yang memaksa Dayat untuk beracting seperti di dapat mempengaruhi sikap dan kepribadian atas. seseorang. Dalam teori dramaturgi juga terdapat seni pengelolaan kesan. Dalam kasus ini, Kasus 8 : Dayat tampak melakukan pengelolaan kesan Pada kasus korupsi, koruptor menjalankan agar image dia di hadapan teman-teman perannya di lingkungan mereka yang sarat sekolahnya tetap baik. Dayat telah melakukan manipulatif. Mereka berusaha mengontrol diri disiplin dramaturgis yang meliputi : menjaga seperti penampilan, keadaan isik, dan perilaku 30
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
aktual dan gerak agar perilaku menyimpang Kasus 1 : Para anggota DPR memerankan dramaturgi. yang mereka jalani tidak dapat diketahui oleh Saat front stage sangat berbeda di wilayah lingkungan mereka. Karena mereka mengerti back stage nya. Banyak anggota yang kedudukan yang melekat pada dirinya telah kehilangan idealismenya, dan hanya semata-mata demi melayani kepentingan mementingkan diri sendiri atau kepentingan publik menjadi domain kepentingan pribadi. golongan saja, bukan kepentingan rakyat. Dengan begitu sang koruptor tak jarang Berbeda saat kampanye caleg yang banyak dapat berperan ganda, bisa berwatak baik memaparkan program unggul serta menebar dan buruk. Berperilaku “baik” merupakan janji. prasyarat mutlak untuk mendapatkan jabatan publik yang dikehendakinya. Baik itu melalui legitimasi politik, pendidikan, sosial, Kasus 2: Penerapan dramaturgi dalam praktik ekonomi yang dikemas sedemikian rupa, agar komunikasi massa atau strategi kampanye tampil sebagai sosok yang berhati peduli atau pada pemilihan presiden yang lalu. SBY dan memiliki integritas pengabdian jujur, bersih Megawati merupakan salah satu contoh bentuk dan berani. Ternyata itu hanya tipu muslihat kampanye dramaturgi yang berhasil. Sosok tuntutan peran agar dapat melanggengkan Megawati dalam membawa partainya PDI-P tujuan awal menduduki posisi jabatan publik. menuju tangga puncak pemenang pemilu Rakyat masih punya keyakinan bahwa bangsa 1999 tidak lepas dari isu yang dihembuskan ini dapat dikelola dengan baik melalui bahwa dirinya adalah pihak yang ”dizhalimi” kebijakan yang anti korupsi. Seperti kesamaan oleh rezim Orba. Simpati pun di dapat karena persepsi pada kekuasaan eksekutif, legislatif memang masyarakat pada waktu itu memang dan yudikatif untuk memberi hukuman sedang eufhoria ”kebencian” terhadap rezim seberat-beratnya pada koruptor. Hukuman Orba. Begitu juga SBY dimana dia dulu bagi para koruptor sebenarnya harus lebih menempatkan posisinya sebagai orang yang berat dan tanpa toleransi dengan mengadopsi terdzhalimi oleh rezim Megawati. Sehingga aturan dan contoh yang diterapkan di negaramasyarakat pun merasa simpati dan terbukti negara yang sudah berhasil memberantas dukungan yang mengalir tidak kalah banyak, korupsi. Barangkali China dapat menjadi serta mengantarkannya pada posisi RI-1. negara rujukan untuk belajar menghentikan Satu pertanyaan mengapa manusia sepakterjang koruptor. Penyediaan peti mati harus bermain dramaturgi? Satu jawaban bagi koruptor merupakan simbol perlawanan yang pasti adalah dramaturgi merupakan terhadap korupsi, apalagi China kerapkali suatu bentuk rekasi alamiah dari manusia menjatuhkan vonis mati kepada pelaku untuk mempertahankan diri. Ketika seorang korupsi. Adapun wacana untuk memiskinkan manusia berada di sebuah lingkungan yang koruptor perlu dipertimbangkan agar dapat menurut dia nyaman, atau ketika dia ingin menjadi bagian politik hukum bangsa ini. memasuki sebuah lingkungan baru, adalah Kemudian, para koruptor seharusnya tidak saja sebuah proses yang wajar bila dalam dirinya dijatuhi hukuman berat melalui pengadilan, timbul proses tidak ingin ditolak atau tidak tetapi juga perlu diberi sanksi social dengan ingin kehilangan kenyamanan tersebut. Agar mengasingkan mereka dari interaksi isik. dirinya tidak mengalami penolakan maka mau Sanksi social semacam itu akan lebih baik tidak mau dia harus melakukan dramaturgi jika dimulai dari pejabat atau pemimpin di dalam mempersuasi dirinya agar bisa diterima berbagai aras, apalagi masyarakat kita masih oleh lingkungannya. Sehingga, wajar saja jika berwatak paternalistic: meniru apa yang anda melakukan dramaturgi dengan niatan dilakukan petinggi. Barangkali sanksi yang untuk di terima di lingkungan. Yang jadi sangat berat akan menghentikan dramaturgi masalah adalah, apabila itu dilakukan secara sang koruptor seperti apa yang sering menjadi berlebihan maka seseorang akan kehilangan tontonan publik akhir-akhir ini. jati dirinya. Aplikasi Teori Dramaturgi dalam Politik. Dramaturgi dalam dunia politik dapat 3. Simpulan direleksikan dari 2 (dua) contoh kasus berikut Pemanfaatan strategi kampanye politik ini : tak dapat dipungkiri harus didukung oleh 31
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
peran komunikator politik yang ideal yang mampu memiliki kecakapan komunikasi secara persuasive demi menperoleh dukungan politik masyarakat sesuai criteria yang telah dijabarkan di atas. Pemilihan media massa, baik media massa maupun media cetak dalam proses kampanye politik juga turut berpengaruh, dengan segala kekuatan dan kelemahan masing-masing media. Banyak politisi memerankan dramaturgi dalam menjalankan aktivitas keseharinnya sebagai politisi. Namun masyarakat cerdas, tanggap, dan mampu menilai tokoh politik yang diharapkan dapat diberikan kepercayaan dan wewenang dalam menjalankan roda pemerintahan secara jujur, adil, dan bijaksana. Daftar Pustaka Cavanagh, David. 1997. Election Campaigning, he New marketing of Politics. Massachusetts : Blackwell Publishers Inc. Dan. 1993. Komunikasi Politik : Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung : PT Remaja Rosda Karya. -------- dan Combs, James E. 1993. he New Propaganda : he Dictatorship of palaver in Contemporary Politics. New York : Longman Publishing. Newman, Bruce I. 1999. he Mass Marketing of Politics, Democracy in an Age of Manufactured Images. London : sage Publications Inc. Suara Muhammadiyah, Majalah Tengah Bulanan No. 23 Tahun 88, 1 – 15 Desember 2003. Jakarta : Penerbit Pers Suara Muhammadiyah.
32
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Stategi Pembangunan daerah Melalui Riset Komunikasi Siti Komsiah 1*)
Abstrak Di Dalam proses perencanaan pembangunan nasional dan dalam mewujudkan otonomi daerah, Maka diperlukan kerlibatan oleh beberapa pihak baik itu oleh aparat pemerintah daerah, maupun oleh masyarakat itu sendiri. Keterlibatan semua elemen masyarakat itu bisa dilihat dalam bentuk pertisipasi masyarakat.
Rogers (1976) mengatakan komunikasi tetap dianggap sebagai perpanjangan tangan para perencana pemerintah, dan fungsi utamanya adalah untuk mendapatkan dukungan masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan rencana-rencana pembangunan. Dari pendapat Rogers ini jelas bahwa setiap pembangunan dalam suatu bangsa yang memegang peranan penting adalah masyarakat, dan karenanya pemerintah dalam melancarkan komunikasinya perlu memperhatikan strategi apa yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan sehingga efek yang diharapkan itu sesuai dengan harapan. Untuk melihat keberhasilan stategi pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, bisa dilakukan dengan melakukan riset komunikasi. Riset komunikasi ini bisa dilakukan untuk melihat partisipasi ataupun proses komunikasi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah apakah sesuai dengan harapan. Strategi pembangunan dalam bentuk riset komunikasi yang menggunakan teknik visualisasi, wawancara, dan kelompok kerja yang berbasis lapangan untuk menghasilkan/mendapatkan informasi yang digunakan untuk merancang program, materi, media dan metode komunikasi yang efektif bagi tujuan pembangunan untuk menjamin kesesuaian dan kepemilikan oleh masyarakat. Tulisan ini bermaksud untuk melihat Strategi Pembangunan Daerah melalui Riset Komunikasi.
Kata kunci : Strategi, Riset, Pembangunan, komunikasi 1.
Pendahuluan
Penelitian diterjemahkan dari kata “Research” (Inggris) yaitu re (kembali) dan search (mencari) atau mencari kembali yang kemudian para ahli menerjemahkannya sebagai riset. Hillway (1956) mengatakan bahwa penelitian tidak lain dari sesuatu metode studi yang dilakukan seseorang melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah, sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut. Sementara itu Whitney (1960) mengemukakan pengertian penelitian adalah pencarian atas sesuatu (inquiry) secara sistematis dengan penekanan bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan. Dengan demikian selain merupakan suatu proses dan metode, penelitian diharapkan mampu mencari pemecahan masalah yang diteliti (problem solving). mudjiarahardjo.com/.../140-penelitian-danpengembangan-ilmu-pen. Hal serupa juga diungkapkan oleh Kriyantono bahwa, Riset (penelitian) berarti “to search for, to ind”. Dalam bahasa latin riset berasal dari kata “re” yang artinya lagi dan “cercier” yang artinya mencari. Secara umm riset berarti “mencari informasi tentang sesuatu”(looking informations 1
*)
Dosen di Universitas Persada Indonesia YAI, Jakarta.
33
about something). Bisa juga diartikan sebagai sebuah usaha untuk menemukan sesuatu (an attempt to discover something). (Kriyantono, 2006:1). Berdasarkan pengertian diatas, maka riset (penelitian) adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mencari informasi yang dilakukan melalui suatu prosedur/aturan-aturan yang diberlakukan. Riset dalam kehidupan sangat diperlukan sebagai upaya pengembangan dan memecahkan suatu persoalan kehidupan. Pemanfaatan riset ini banyak dalam berbagai kepentingan, salah satunya adalah pemanfaatan bagi pembangunan. Pemanfaatan riset bagi pembangunan dan perkembangan suatu bangsa/daerah sangatlah penting. Berdasarkan tulisan Rahardjo dikatakan bahwa, dari berbagai literatur dan media massa, dapat diketahui bahwa ternyata tidak ada satu negara maju di dunia yang berhasil dalam pembangunan tanpa didukung oleh kegiatan penelitian. Ada anggapan (jika dilihat secara sepintas) bahwa penelitian hanya dapat dilakukan oleh negara-negara maju. Anggapan ini karena mereka mempunyai dana dan tenaga peneliti yang memadai; tetapi ternyata sebanyak 98% dari biaya penelitian di dunia ini dikeluarkan untuk penelitiaan-penelitian di negara berkembang. Besarnya biaya yang dikeluarkan
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Berdasarkan hal tersebut diatas, Riset dalam Pemerintah Daerah seharusnya dilakukan berkesinambungan dan tak berkesudahan, agar pembangunan yang dilaksanakan tepat sasaran dan sesuai dengan yang direncanakan. Salah satu penelitian yang bias dilakukan untuk kepentingan pembangunan adalah penelitian komunikasi. Penelitian (riset) komunikasi menyangkut berbagai hal mulai dari riset komunikator, pesan, media, komunikan dan efek dalam proses komunikasi tersebut.
untuk penelitian tidak hanya dapat dilihat dari jumlah uang dan tenaga yang dipergunakan tetapi yang paling penting adalah manfaat dari penelitian tersebut bagi pembangunan negara-negara berkembang. Khususnya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, peranan penelitian dalam sejarah pembangunan bangsa sudah tidak perlu diragukan lagi. Melalui penelitian-penelitian yang pernah dilakukan maka segala masalah atau potensi yang ada selama proses pembangunan berlangsung dapat diketahui. Hanya sengan penelitian sehingga informasi/ data yang relatif lengkap dapat diperoleh. Perencanaan pembangunan harus selalu didasarkan kepada data/ informasi yang diperoleh melalui penelitian. Adalah sangat tidak mungkin untuk merencanakan pembangunan tanpa penggunaan data yang terpercaya. Hasil pengujian-pengujian, evaluasi dan tinjauan kembali terhadap kegiatan pembangunan hanya dapat diketahui apabila penelitian dilaksanakan. Demikian penelitian memegang peran penting dalam setiap pengambilan keputusan atau langkah-langkah dalam segala aspek pembangunan. (mudjiarahardjo. com/.../140-penelitian-dan-pengembangan-ilmu-pen)
2. Pembahasan 2.1. Riset Komunikasi dan Pembangunan Seperti telah dibahas diatas, bahwa pentingnya riset dalam pembangunan mulai dari perencanaan sampai dengan tahap evaluasi pembangunan. Hal tersebut menunjukan bahwa, Pemerintah Daerah perlu melakukan suatu penelitian yang berkelanjutan, dan salah satu riset yang bisa dilakukan adalah dengan riset komunikasi. Komunikasi merupakan proses pertukaran tanda dan lambing dalam kehidupan manusia. Proses pertukaran tanda dan lambang ini disebut pula sebagai proses pertukaran pesan, karena pesan merupakan seperangkat tanda dan lambang yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung makna (informasi) bagi orang lain. Jadi ruang lingkup riset komunikasi berkaitan dengan produksi serta pertukaran pesan dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia (Kriyantono, 2006:12). Proses penyampaian pesan itu terjadi melalui komponen-komponen komunikasi. Pesan berpindah dari komunikator (pemberi informasi) kepada komunikan (penerima pesan) melalui media dan akibatnya akan memunculkan efek. Berdasarkan komponen-komponen komunikasi tersebut maka ruang lingkup dari riset komunikasi mencakup : 1. Studi Komunikator (who), yaitu studi mengenai penyampai pesan, dalam hal ini bisa individu ataupun institusi. Sebagai contoh dalam pembangunan riset komunikasi ini adalah riset mengenai kredibilitas seorang pemimpin, evaluasi pemimpin (Kepala Daerah), Opinion Leader, ataupun riset mengenai lembaga yang ada dalam pemerintah Daerah dalam menyampaikan pesan pada masyarakat itu dinilai seperti apa. Kajian ini pemimpin/Kepala Daerah ataupun institusi yang menyampaikan pesan tersebut. 2. Studi Pesan (Says What), Yaitu studi mengenai isi pesan, verbal maupun non verbal. Studi ini meneliti tentang efektiitas pesan, pemahaman pesan, dan opini terhadap pesan yang disampaikan. Sebagai contoh misalnya efektiitas pesan komunikasi yang disampaikan oleh Kepala Daerah yang dikaji dari isi pesan, gambar maupun warna yang digunakan dalam menyampaikan pesan tersebut. 3. Studi Media (in which Channel), yaitu studi mengenai medianya (salurannya). Kajian ini
Penelitian dan Pembangunan Daerah Penelitian dan pembangunan pada tingkat lokal adalah dua hal yang sama pentingnya. Kedua hal tersebut saling dibutuhkan dan membutuhkan dan berkaitan. Dimana Secara ideal, penelitian diinspirasi dan dilakukan untuk kepentingan pembangunan, sebaliknya pembangunan yang berhasil tentunya didasarkan pada rekomendasi-rekomendasi hasil penelitian. www.batukar.info/komunitas/.../penelitiandan-pembangunan-daerah Pentingnya Penelitian (riset) dalam pembangunan ini adalah dimaksudkan untuk mengembangkan daerah. penelitian merupakan dasar (basic) bagi pengambilan keputusan setiap langkahlangkah pelaksanaan dan perencanaan pembangunan. Melalui penelitian maka diharapkan akan diketahui kondisi suatu daerah sebelum meluncurkan keputusan atau melakukan pembangunan suatu daerah. Dengan kata lain pembangunan bisa dilakukan atau lebih tepatnya akan efektif dilakukan setelah melakukan riset. Jadi, melalui riset akan terkumpul faktafakta. Fakta-fakta ini akan dijadikan landasan dalam merencanakan program pembangunan. Kemudian Pemerintah Daerah harus memonitor perkembangan apakah yang sudah direncanakan sedang berjalan baik atau apakah perubahan perlu dibuat. Akhirnya Pemerintah Daerah dituntut mengevaluasi apa yang telah dicapai agar dapat menentukan rencana untuk masa depan. Sehingga dapat dikatakan bahwa, penelitian ini bisa dilakukan mulai dari awal perencanaan pembangunan samapi dengan tahap evaluasi pembangunan.
34
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
menyangkut penelitian terhadap media yang digunakan dalam penyampaian pesan, media apa yang digunakan, efektiitas media, jenis media yang digunakan. Sebagai contoh penelitian media bila dikaitkan dengan pembangunan adalah penelitian efektiitas media yang digunakan oleh Pemerintah Daerah dalam menyampaikan pesan mengenai partisipasi dalam Pilkada melalui media pamlet, apakah isi media dalam bentuk verbal ataupun non verbal tersebut dimengeri dan dipahami oleh masyarakat. 4. Studi Khalayak (to Whom), yaitu studi mengenai khalayak atau komunikan. Kajian ini menyangkut penelitian tentang khalayak sebagai penerima pesan, bagaimana pesan tersebut di terima oleh khalayak, opini khalayak, persepsi khalayak, minat khalayak ataupun partisipasi khalayak. Sebagai contoh adalah penelitian mengenai partisipasi khalayak pada pembangunan Daerah. 5. Studi efek (with what efect), yaitu studi mengenai terpaan pesan. Efek adalaah dampak dari terpaan pesan. Sebagai contoh adalah penelitian mengenai efek yang dimunculkan dari terpaan komunikasi mengenai isi pesan pembangunan atau efek dilihat dari media yang digunakan ataupun efek karena kredibilitas komunikatornya, bahkan efek yang dilihat dari sisi penerima pesannnya. Ke lima studi tersebut bisa dilakukan penelitian secara keseluruhan ataupun hanya pada salah satu studi saja. Studi-studi tersebut bisa diterapkan pada semua tingkatan ataupun pada berbagai kegiatan mulai dari penelitian dalam organisasi/perusahaan maupun penelitian dalam pemerintahan. Berbagai penelitian komunikasi dilakukan dalam kajian ini adalah penelitian di pemerintahan adalah bertujuan untuk memberika masukan pada pemerintah daerah dalam meningkatkan pelayanan pada masyarakat dan menjalankan tujuan pembangunan yang telah direncanakan. Berbagai penelitian komunikasi yang dilakukan juga diharapkan memberikan masukan bagi Pemerintah Daerah dalam merumuskan kebijakan daerah untuk mewujudkan kualitas layanan civil. Dan juga memberikan gambaran untuk pengambilan keputusan dan mementukan kebijakan program apa yang tepat bagi pelayanan masayrakat. 2.2. Pemanfaatan Penelitian Komunikasi bagi Pembangunan Daerah Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa penelitian dalam hal ini adalah penelitian komunikasi, merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Untuk itu perlu kita bahas berbagai penelitian komunikasi yang bisa dilakukan untuk memberikan dan menunjang pembangunan daerah. Berbagai penelitian komunikasi yang bisa dilakukan antara lain : 1. Perancangan Komunikasi Visual dalam mendukung Promosi Kawasan Wisata 35
2. Program Komunikasi Pemerintah dalam Mengkomunikasikan Wilayah Industri 3. Partisipasi Masyarakat dalam Paembangunan Daerah 4. Pemanfaatan Media Massa dalam Mempromosikan Kawasan Wisata 5. Strategi komunikasi Pembangunan dalam Pembangunan Daerah 6. Komunikasi Pembangunan Pemerintah Daerah dalam Menanggani Pemulihan lokasi Bencana 7. Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Program Pembangunan 8. Kegiatan Pemerintah Daerah dalam Periklanan Usaha Kecil dan Menengah Berikut adalah hasil penelitian komunikasi yang pernah dilakukan berkaitan dengan pembangunan daerah. 1. Penelitian dengan judul Komunikasi Pemerintah daerah dalam Program Pembangunan kembali daerah wisata Pantai Pasca bencana (Studi Komparatif Komunikasi Pembangunan Pemda Kabupaten Ciamis Jawa Barat, Pemda Kabupaten Cilacap Jawa Tengah dan Pemda Kabupaten Bantul DIY). Berdasarkan hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa; (1) Terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar atas sikap pemerintah daerah khususnya dalam pelibatan masyarakat dalam proses komunikasi pembangunan terkait dengan penyikapan menangani bencana yang melanda kawasan wisata pantai di daerahnya. Komunikasi Pembangunan Pemda Ciamis dalam menangani pemulihan lokasi wisata Pantai Pangandaran Ciamis telah berhasil menyusun program pemulihan ekonomi masyarakat dan melibatkan mereka dalam tahapperencanaan meskipun tidak terlibat lagi dalam tahap pelaksanaan dan eveluasinya, sangat berbeda dengan yang terjadi di lokasi wisata Pantai Widarapayung Cilacap dan Pantai Parang Tritis Bantul. Di Pantai Widarapayung sama sekali tidak terdapat program terpadu yang membuat lokasi wisata dan kehidupan perekonomian masyarakat menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya. Bahkan karena tiadanya komunikasi yang terjadi antara pemda setempat atas program pembangunan yang jelas menjadikan kegiatan kepariwisitaan di lokasi ini berjalan di tempat. Sementara program yang dilaksanakan pemda Bantul di Pantai Parang Tritis merupakan ide lama yang telah ada sebelum terjadi bencana. Namun kemudiandengan terjadinya bencana gempa pembangunan relokasi kegiatan usaha bagimasyarakat seolah-olah mendapatkan pemicu dan momentum untuk melaksanakannya. Keberhasilan relokasi kegiatan usaha ini didukung
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
adanyakomunikasi pembangunan yang memadai dari pemda kepada masyarakat sekitarlokasi wisata. (2). Tingkat partisipasi masyarakat dalam program komunikasi pembangunan yangterjadi sangat berbeda di tiga lokasi yang diteliti. Kesemuanya sangat tergantungdari inisiatif masing-masing pemerintah daerah dalam melakukan komunikasipembangunan terhadap masyarakatnya. Bila di Pantai Pangandaran, masyarakatdilibatkan di awal perencanaan program dan program yang disusun dilaksanakanoleh pemerintah. Maka sangat berbeda dengan yang terjadi di lokasi wisata PantaiWidarapayung. Karena tidak ada program pemulihan atau penataan ekonomimasyarakat kawasan pantai dari pemerintah daerah maka pelibatan partisipasimasayarakat menjadi mandiri dan tidak bergantung dengan bantuan pemerintah.Muncul kelompok mandiri masyarakat yaitu SIBAT yang peduli adanya bencana dikawasan wisata tempat mereka tinggal dan hidup serta berjalan tanpa proseskomunikasi yang intens dengan pemerintah daerahnya. Sementara untukmasyarakat Pantai Parang Tritis sudah dalam tahap menerima karena program initelah direncanakan pemda Bantul dua tahun sebelum dilaksanakan dan menjadipemicu dengan terjadinya bencana gempa yang melanda Kabupaten Bantul dan sekitarnya. (Bekti dan Runtiko, Agus. 2007). 2. Kegiatan Pemerintah daerah dalam Periklanan UKM (Studi Kasus Mengenai Pemerintah Daerah dalam Periklanan Usaha Kecil dan Menengah di Kabupaten. Penelitian ini didasari oleh pentingnya Pemerintah dan dunia usaha mengembangkan langkah-langkah strategis yang bersifat inovatif dalam memberdayakan UKM dengan menumbuhkan lingkungan usaha yang kondusif dan memberikan dukungan penguatan agar UKM mampu bersaing secara global.(Departemen Koperasi dan UKM, XXXX : 4). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah harus berupaya untuk menginformasikan atau mengkomunikasikan potensi yang ada di daerahnya terutama produkproduk UKM agar dikenal, diminati dan dibeli oleh konsumen lokal, nasional, regional maupun internasional. Komunikasi pemasaran merupakan usaha untuk menyampaikan pesan kepada publik terutama konsumen sasaran mengenai keberadaan produk. Komunikasi pemasaran memegang peranan yang sangat penting bagi pemasar karena tanpa komunikasi pemasaran, konsumen maupun masyarakat secara keseluruhan tidak akan mengetahui keberadaan produk di pasar. Salah satu bentuk komunikasi pemasaran adalah iklan. Mengingat pentingnya kegiatan periklanan
dalam pemasaran suatu produk termasuk produk UKM maka di era otonomi daerah ini pemerintah daerah harus menjadi fasilitator di bidang periklanan UKM agar produk-produk yang dihasilkan mampu bersaing dengan produk yang sejenis, laku terjual di masyarakat, dan selalu tercipta permintaan-permintaan baru. Keberhasilan dari kegiatan periklanan ini akan mampu meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan serta harga diri pelaku UKM maupun Pemerintah Daerah. Dari sini muncul pertanyaan tentang sejauh mana Pemerintah Daerah telah memahami hal tersebut dan bagaimana perhatian dan sikap yang tertuang dalam bentuk kebijakan dalam hal tersebut. Berangkat dari adanya beberapa fenomena di atas perlu dilakukan penelitian lebih jauh tentang kegiatan periklanan yang dilakukan Pemerintah Daerah khususnya di Kabupaten X dalam upaya pemberdayaan dan pengembangan UKM. Kajian ini penting karena hasilnya diharapkan dapat memberi gambaran bagi pihak-pihak yang berkepentingan mengenai kegiatan periklanan dan menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dalam hal pemberdayaan UKM. Selain itu sepanjang penelusuran peneliti belum terdapat penelitian yang mengkaji masalah tersebut khususnya di Kabupaten X. (gudangmakalah. blogspot.com/2010/01/kegiatan-pemerintahdaerah). Berdasarkan kedua contoh hasil penelitian tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa penelitian dapat dilakuan dalam beberapa kajian komunikasi, mulai dari permasalahan pariwisata sampi dengan permasalahan ekonomi. Berbagai kajian dalam penelitian komunikasi tersebut dapat dilakukan yang kemudaian hasilnya bisa dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah sebagai masukan dalam melaksanakan pembangunan daerah. 2.3. Strategi pembangunan Melalui Riset Komunikasi Strategi adalah suatu taktik atau cara yang digunakan untuk mencapai tujuan. Strategi itu ada dalam suatu perencanaan. Begitu pula dalam perencanaan pembangunan diperlukan suatu strategi. Dalam perencanaan pembangunan yang merupakan suatu fungsi utama Manajemen Pembangunan yang selalu diperlukan karena kebutuhan akan pembangunan lebih besar dari sumber daya (resources) yang tersedia. Melalui perencanaan yang baik dapat dirumuskan kegiatan pembangunan yang secara eisien dan efektif dapat memperoleh hasil yang optimal dalam pemanfaatan sumberdaya yang tersedia dan potensi yang ada. 36
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”. Beberapa ahli menganjurkan bahwa pembangunan suatu daerah seyogyanya mencakup tiga inti nilai (Kuncoro, 2000; Todaro, 2000): 1. Ketahanan (Sustenance): kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok (pangan, papan, kesehatan, dan proteksi) untuk mempertahankan hidup. 2. Harga diri (Self Esteem): pembangunan haruslah memanusiakan orang. Dalam arti luas pembangunan suatu daerah haruslah meningkatkan kebanggaan sebagai manusia yang berada di daerah itu. 3. Freedom from servitude: kebebasan bagi setiap individu untuk berpikir, berkembang, berperilaku, dan berusaha untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Terkait dengan perencanaan pembangunan, menurut Bintoro (1980), unsur- unsur pokok yang harus tercakup dalam perencanaan adalah: (1) adanya kebijaksanaan atau strategi dasar rencana pembangunan atau sering disebut dengan tujuan, arah, prioritas dan sasaran pembangunan; (2) adanya kerangka rencana atau kerangka makro rencana; (3) perkiraan sumber-sumber pembangunan, khususnya yang digunakan untuk pembiayaan pembangunan; dan (4) kerangka kebijakan yang konsisten. Berbagai kebijakan perlu dirumuskan dan kemudian dilaksanakan. Dalam konteks Indonesia, perencanaan pembangunan menjadi penting mengingat sumbersumber ekonomi yang semakin terbatas dan akan menjadi habis, jumlah penduduk yang sangat besar dan beragam, tingkat pendidikan dan kemampuan manajerial yang masih rendah. Dalam menjalankan pembangunan daerah, maka diperlukan strategi salah satu cara yang dilakukan adalah melalui penelitian komunikasi. Apabila kita kaitkan dengan kedua penelitian yang pernah dilakukan seperti yang telah dijelaskan tersebut diatas, menunjukan pentingnya penelitian komunikasi dalam pembangunan pemerintah Daerah. Dimana hasil penelitian yang dilakukan dapat digunakan bagi pengembangan daerah itu sendiri. Melalui penelitian komunikasi akan dapat diketahui permasalahan-permasalahan apa yang muncul dalam pembangunan. Dengan mengetahui permasalahanpermasalahan tersebut, maka akan dapat diketahui strategi apa yang bisa dilakukan oleh Pemerintah daerah dalam merencanakan pembanguanan Daerah. Dengan demikian penelitian yang dilakukan akan memberikan kontribusi dalam strategi pembangunan berikutnya. Maka dengan kata lain strategi pembangunan dapat dilakukan 37
melalui berbagai riset, dan salah satunya adalah riset komunikasi. 3. Simpulan Penelitian merupakan dasar (basic) bagi pengambilan keputusan setiap langkah-langkah pelaksanaan dan perencanaan pembangunan. Untuk itu diperlukan suatu penelitian yang bisa menunjang pelaksanaan pembangunan daerah tersebut. Salah satu bentuk penelitian yang dilakukan adalah dengan melakukan penelitian komunikasi. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa Pemerintah dapat membuat suatu strategi pembangunan daerah melalui riset komunikasi terlebih dahulu, agar apa yang menjadi tujuan pembangunan tersebut dapat dilaksanakan. Daftar Pustaka Istiyanto, Bekti dan Runtiko, Agus Ganjar. 2007. Economic Recovery Masyarakat Kawasan Objek Wisata Pangandaran Pasca Gempa dan Tsunami 17 Juli 2006. Kriyantono, Rachmat, 2008. Teknis Praktis Riset Komunikasi. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Siagian, Sondang P. 1985. Proses Pengelolaan Pembangunan Nasional. Jakarta: Gunung Agung. Tjokroamidjojo, Bintoro, 1980. Perencanaan Pembangunan. Jakarta: PT Gunung Agung. Sumber Lain: http://munawar-sijaya.blogspot.com/2012/02/ perencanaan-pembangunan-daerah.html www.batukar.info/komunitas/.../penelitian-danpembangunan-daerah mudjiarahardjo.com/.../140-penelitian-danpengembangan-ilmu-pen...
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
38
Bagian II : Representasi Gender dalam Realitas Sosial Budaya Bangsa Indonesia
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Dinamika Kerja Wartawan Perempuan (Studi Deskriptif Mengenai Wartawan Perempuan dalam Menjalankan Profesinya) Darwis Sagita1*)
Abstrak Tugas wartawan tidak mengenal waktu kerja layaknya pekerja di profesi lain, ia harus siap terjun ke lapangan di segala waktu karena terjadinya sebuah peristiwa yang tidak bisa dibatasi waktu. Waktu kerja dan ketahanan isik dalam peliputan membuat profesi wartawan lebih identik dengan laki-laki daripada perempuan. Perempuan seringkali dianggap dengan stereotype lemah, gambaran ini muncul tidak hanya dari masyarakat atau kaum pria, tetapi juga dari para perempuan yang tidak yakin dengan kemampuannya. Penelitian ini berusaha untuk melihat dinamika kerja wartawan perempuan, apa yang menjadi motivasi ia bekerja, pandangan wartawan perempuan terhadap kerja wartawan profesional, serta perilaku wartawan perempuan. Metode yang digunakan adalah studi deskriptif dengan menggunakan Teori Tindakan Sosial dari Weber. Temuannya adalah wartawan perempuan lebih mudah untuk mendekati narasumber dalam mencari data, namun ia juga seringkali mendapatkan perilaku negatif dari narsumber. Maskipun harus profesional, ketiganya sepakat bahwa keterbatasan isik sebagai perempuan membuat mereka harus diberi keistimewaan, diantaranya pulang lebih awal atau jam kantor yang berbeda. Pertama adalah pekerjaan sebagai wartawan dianggap sebagai ranah laki-laki. Ini terlihat dari jumlah wartawan perempuan di Provinsi Banten jauh lebih sedikit dibanding perempuan. Jam kerja yang tidak menentu dan sampai larut malam membuat munculnya pandangan negatif dari masyarakat, dimana masih ada penilaian bahwa perempan yang keluar malam bukanlah perempuan baik-baik. Kata Kunci: Wartawan profesional, wartawan perempuan, motivasi, prilaku. 1. Pendahuluan Wartawan bertugas untuk mengabarkan sebuah peristiwa atau kejadian untuk disampaikan kepada khalayak melalui media massa. Tugas wartawan tidak mengenal waktu kerja layaknya pekerja pada jenis profesi lain. Ia harus siap terjun ke lapangan di segala waktu karena terjadinya sebuah peristiwa yang tidak bisa dibatasi waktu. Waktu kerja dan ketahanan isik dalam peliputan membuat profesi wartawan lebih identik dengan laki-laki daripada perempuan. Perempuan seringkali dianggap dengan stereotype lemah, gambaran ini muncul tidak hanya dari masyarakat atau kaum pria, tetapi juga dari para perempuan yang tidak yakin dengan kemampuannya. Wartawan perempuan dianggap kaum dengan mobilitas rendah, tidak tahan terhadap deadline yang tinggi, serta sulitnya meninggalkan rumah terutama jika sudah menikah dan memiliki anak. Kinerja wartawan ini penting dimiliki, karena wartawan adalah koki dalam perusahaan pers. Ia bertugas mengelola fakta, opini, atau peristiwa yang terjadi agar dapat diketahui dan dinikmati masyarakat luas. Dalam posisinya sebagai penyebar informasi, wartawan harus bertindak profesional karena ia membawa suara masyarakat dan memegang hak masyarakat untuk 1*)
tahu (people right to know). Sebuah pekerjaan dapat dinyatakan sebagi profesi jika memiliki empat hal, yaitu (1) harus terdapat kebebasan dalam pekerjaan tersebut; (2) harus ada panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan itu; (3) harus ada keahlian (expertise); (4) harus ada tanggung jawab yang terikat pada kode etik pekerjaan (Assegaf,1987). Kode etik yang kini dipakai oleh wartawan Indonesia adalah KEWI yang disepakati pada tahun 2005. Tuntutan bekerja secara profesional juga ditekankan kepada wartawan perempuan, namun pada kenyataan di lapangan masih ada perilaku bias gender pada wartawan perempuan. Tahun 2009 AJI melakukan penelitian yang hasilnya beberapa wartawan perempuan kerap mengalami pelecehan seksual dari narasumber, entah itu berupa tindakan meraba atau rayuan, bahkan ada juga yang mendapat ajakan kencan. Penelitian ini juga mengungkap kenyataan bahwa perekrutan terhadap jurnalis perempuan oleh media semata sebagai siasat untuk mendekati narasumber laki-laki. Disamping harus memiliki persyaratan isik menarik- baik wajah maupun tubuh- sesuai standar industri (terutama di
Penulis adalah Dosen di Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten.
41
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
industri televisi).12 Bias gender juga sering ditemukan pada pemberitaan di media massa tentang perempuan, dimana perempuan hanya dijadikan sebagai objek terutama jika ada berita soal pemerkosaan. Terkait dengan wartawan perempuan, AJI pada 2011 merekomendasikan kepada perusahaan agar memberikan hak-hak kesehatan reproduksi seperti cuti haid, cuti melahirkan serta menyusui di samping menyediakan ruangan bagi jurnalis yang menyusui. Perempuan yang melakukan peliputan malam hari, diberikan fasilitas antar jemput. AJI menilai hal ini belum diberikan oleh perusahaan, padahal perempuan secara kodrati diberikan anugrah untuk mengandung dan menyusui anak, hal ini tidak bisa digantikan oleh peran laki-laki. Hal inilah yang mendasari peneliti untuk melihat bagaimana dinamika kerja wartawan perempuan terkait dengan profesionalisme mereka. Berikir mengenai dirinya sendiri adalah aktivitas manusia yang tidak terhindarkan. Identitas diri seseorang terdiri dari sekumpulan keyakinan dan sikap terhadap diri yang terorganisasi. Identitas sosial seorang wartawan akan terkait dengan perilaku wartawan tersebut. Oleh karena itu penelitian ini akan berfokus kepada dinamika kerja wartawan terkait profesionalismenya.
tugas analisis sosiologi terdiri dari “penafsiran tindakan menurut makna subjektifnya” (Weber, 1968: 8). Dalam Teori Tindakan Sosialnya ini Weber memfokuskan perhatian pada individu, pola dan reuglaritas tindakan, bukan pada kolektivitas. Weber menggunakan metodologi tipe idealnya untuk menjelaskan makna tindakan, dan mengklasiikasinya menjadi empat tipe tindakan dasar, yang dibedakan dalam konteks motif para pelakunya: Tipe pertama adalah Tindakan Rasionalitas Sarana-Tujuan yang berorientasi kepada tujuan atau penggunaan. Tindakan “yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku objek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain; harapan-harapan ini digunakan sebagai ‘syarat’ atau ‘sarana’ untuk mencapai tujuantujuan aktor lewat upaya dan perhitungan yang rasional” (Weber, 1921/1968: 24). Sebagai contoh pemikiran yang menyatakan bahwa tindakan pencarian berita seperti ini paling eisien untuk mencapai tujuan penulisan berita, dan inilah cara yang terbaik untuk mencapainya. Tipe kedua adalah Tindakan Rasionalitas Nilai. Tindakan ini merupakan tindakan yang ditentukan oleh keyakinan penuh kesadaran akan nilai perilaku-perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain, yang terlepas dari prospek keberhasilannya” (Weber, 1921/1968;24-25). Contoh perilaku ini adalah pemikiran yang menyatakan bahwa seorang wartawan hanya tahu satu satu cara melakukan pencarian berita. Tipe ketiga adalah Tindakan Afektif. Tindakan ini ditentukan oleh kondisi emosi aktor. Misalnya “Apa boleh buat, maka saya lakukan”. Sedangkan tipe keempat adalah Tindakan Tradisional dimana merupakan tindakan yang ditentukan oleh cara bertindak aktor yang sudah terbiasa dan lazim dilakukan. Misalnya wartawan melakukan sebua tindakan karena ia selalu melakukannya. Tindakan Tradisional biasa kita lihat karena kebiasaan hidup masyarakat, misalnya upacara adat pernikahan, perayaan maulid nabi dan lain-lain yang memang sudah biasa dilakukan oleh masyarakat. Sedangkan jika tindakan afektif seolah-olah pelaku terpaksa melakukan sebuah kegiatan. Hal ini akibat tidak adanya pilihan lain yang harus dilakukan atau adanya unsur tekanan dari pihak tertentu sehingga muncul keterpaksaan. Sedangkan tipe rasionalitas nilai dan rasionalitas sarana-tujuan lebih menekankan kepada orientasi yang ada didalam masyarakat, mulai dari nilai hingga tujuan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Bagi Weber (dalam Mulyana, 2004:61), jelas bahwa tindakan manusia pada dasarnya bermakna, melibatkan penafsiran, berpikir, dan kesengajaan. Tindakan sosial baginya adalah tindakan yang disengaja, disengaja bagi orang lain dan bagi sang
2. Kajian Teori dan Konsep Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif. Dalam paradigma kualitatif teori digunakan sebagai guidance atau peta penunjuk arah penelitian. Guidance ini akan digunakan pada saat penelitian dan pembahasannya. Adapun teori yang menjadi guidance dalam penelitian ini adalah Teori Tindakan Sosial Dalam Teori Tindakan Sosial ini Weber menyatakan bahwa manusia melakukan sesuatu karena mereka memutuskan untuk melakukannya. Hal ini ditujukan untuk mencapai apa yang mereka inginkan atau kehendaki. Setelah memilih sasaran, manusia memperhitungkan keadaan lalu memilih tindakan. Menurut Weber, manusia bisa membandingkan struktur beberapa masyarakat dengan memahami alasan-alasan mengapa mereka bertindak, kejadian historis yang mempengaruhi karakter mereka dan memahami tindakan para pelakunya yang hidup di masa kini. Namun hal ini tidak mungkin mengeneralisasi semua masyarakat atau semua struktur sosial. Weber memusatkan perhatiannya pada tindakan yang jelas-jelas melibatkan campur tangan proses pemikiran (dan tindakan bermakna yang ditimbulkan olehnya) antara terjadinya stimulus (pemacu, penggerak) dengan respon (reaksi). Baginya 21 http://tere616-blissfull.blogspot.com/2010/08/perempuan-oh-nasibmu.html diakses pada 12 Maret 2012 pukul 10.52
42
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
aktor sendiri, yang pikiran-pikirannya aktif saling menafsirkan perilaku orang lainnya, berkomunikasi satu sama lain, dan mengendalikan perilaku dirinya masing-masing sesuai dengan maksud komunikasinya. Bagi Weber, masyarakat adalah suatu entitas aktif yang terdiri dari orang-orang berpikir dan melakukan tindakan-tindakan sosial yang bermakna. Wartawan Profesional Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Ia bebas memilih organisasi wartawan bagi dirinya. Bersamaan dengan itu, Wartawan juga bebas memilih untuk tidak menjadi anggota organisasi wartawan. Untuk menjamin pelaksanaan profesinya sebagai wartawan tetap menjunjung tinggi moral, etika dan hukum. Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik, yaitu berupa himpunan etika profesi kewartawanan yang disepakati oleh organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. Hanya profesi wartawanlah yang kode etiknya secara tegas dimasukkan ke dalam undang-undang (UU Pers). Itu artinya, memahami UU Pers tidak bisa dipisahkan dari kode etik wartawan. Kode etik menjadi satu kesatuan dengan UU Pers. Selain itu, kerja profesi jurnalistik diamanahkan secara tegas oleh UU Pers, dengan sebutan PERS Nasional. Artinya, asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranan Pers Nasional yang diperankan oleh wartawan ditegaskan dalam UU Pers. Konsep Perilaku Wartawan Bandura (dalam Rahmat, 205:240), kita belajar bukan saja dari pengalaman langsung, tetapi dari peniruan dan peneladanan. Bandura mendeinisikan perilaku sebagai hasil faktor-faktor kognitif dan lingkungan. artinya kita mampu memiliki keterampilan tertentu, jika ada jalinan positif antara stimuli yang kita amati dengan karateristik diri kita. Perilaku akan terbentuk jika seseorang mempunyai sikap terhadap objek. Sikap dapat terbentuk karena adanya reaksi akibat perilaku tersebut, juga karena adanya pengetahuan tehadap manfaat objek tersebut. Sumber pengetahuan bermacammacam, misalnya sekolah, kursus, pelatihan dan lainlain, yang merupakan hasil interaksi sosial diantara manusia. Sebagaimana diketahui bahwa sikap bukan merupakan hasil keturunan, tetapi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Perilaku biasanya juga dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya dan kadang-kadang bersumber kepada sisitem budaya yang ada di masyarakat. perilaku seseorang juga ditentukan oleh faktor sosial ekonominya karena apa yang didengar dan dilakukan seseorang tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan orang-orang di lingkungannya. Dengan demikian, faktor sosial ekonomi yaitu tingkat pendidikan, pendapatan dan pengetahuan seseoranf 43
sangat menentukan orang tersebut dalam perilaku. Perilaku secara sederhana dapat diartikan suatu perbuatan yang dilakukan individu. Salahsatu yang mendasari suatu perilaku, menurut Newcomb, Turner dan Carter adalah sikap. Sikap-sikap membantu menetapkan tingkah laku dalam situasi. Sikap merupakan keadaan – keadaan yang mengantarai, sedangkan keadaan sendiri ditentukan oleh keseluruhan situasi masa lampau yang pernah dijalanai individu (Newcomb, 1985:112). Meskipun sikap sangat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku individu namun masih ada faktor lain yaitu peran situasi lingkungan. Komponen perilaku terdiri dari motivasi, cara berikir dan bertindak serta cara berinteraksi. Teori Motivasi dari Abraham Maslow menunjukkan bahwa kebutuhan manusia yang paling dasar adalah kebutuhan isiologis. Jika kebutuhan dasar telah dipenuhi maka manusia cenderung akan beranjak ke tingkatan kebutuhan diatasnya. Maslow mengemukakan Teori Motivasi “Hirarkhi Kebutuhan”\ Bagaimana dinamika wartawan perempuan dalam emnjalankan profesinya? Penelitian ini akan membahas dengan melihat motivasi apa yang dimiliki wartawan perempuan dalam menjalankan profesinya, pandangan wartawan perempuan terhadap konsep wartawan profesional dan perilaku wartawan perempuan dalam menjalankan profesinya 3. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan studi deskriptif, Sebuah penelitian memerlukan sebuah metode yang dapat menuntun secara sistematis ke arah penelitian itu sendiri. Penelitian pada umumnya bertujuan untuk menemukan kebenaran atau kejelasan dari objek yang diteliti. Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menguji sebuah hipotesis maupun teori tertentu, namun merupakan sebuah upaya untuk menampilkan dinamika wartawan perempuan dalam profesinya. Unit analisis dalam penelitian ini adalah wartawan perempuan yang bekerja di Provinsi Banten. Wartawan yang dipilih diutamakan lulusan baru atau bahkan belum menyelesaikan studinya agar dapat membandingkan konsep perilaku wartawan profesional di bangku kuliah dengan kenyataan di lapangan. 4. Pembahasan 2.1. Motivasi Wartawan Perempuan Dalam Menjalankan Profesinya Motivasi menjadi wartawan dari ketiga informan yang ditemui dalam penelitian ini relatif sama, yaitu mengaplikasikan ilmu yang didapat di kampus. Informan 1 menyatakan bahwa menjadi wartawan adalah idamannya sejak dulu walaupun kini ia masih berstatus mahasiswa di Jurusan Ilmu Komunikasi. Latar belakang sebagai mahasiswa konsentrasi Jurnalistik membuat Informan 1 tidak
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
mengalami kesulitan dalam bekerja. Walaupun penghasilan yang didapat jika dibandingkan dengan pegawai di televisi nasional jauh lebih kecil, namun dengan statusnya sebagai seorang lajang dan dibiayai orang tua sehingga ia merasa tidak memiliki beban dalam bekerja. Selain itu Informan 1 juga memiliki motivasi untuk mengembangkan daerahnya, ia melihat potensi daerah tempat tinggalnya begitu besar namun tidak dapat berkembang. Dengan menjadi jurnalis, Informan 1 berharap dapat memperbaiki hal tersebut. Informan kedua pun tidak jauh berbeda. Informan 2 menjadi wartawan sejak duduk di bangku semester tiga. Latar belakangnya yang senang menulis cerita iksi sejak SMA membuat dunia kewartawanan menjadi sesuatu yang menyenangkan untuknya. Apalagi ia ditempatkan dalam rubrik dengan segmentasi remaja. Informan ketiga yang ditemui menyatakan bahwa menjadi seorang jurnalis merupakan hal yang sudah ia perkirakan sebelumnya. Informan 3 merupakan mahasiswa konsentrasi jurnalistik, ia menjadi jurnalis di tempat ia melakukan job training. Menjadi seorang jurnalis adalah ajang ia mengaplikasikan ilmu yang selama ini ia dapat di bangku kuliah. Informan 3 menganggap gaji yang ia dapat saat ini sangat tidak mencukupi, namun motivasi bekerjanya sangat besar karena ia harus menghidupi seorang anak berumur 2,5 tahun sendirian. Menurut hasil penelitian, motivasi wartawan perempuan dalam menjalankan profesinya antara lain keinginan mengaplikasikan ilmu yang didapat di bangku kampus, meneruskan hobi menulis, berontribusi untuk pembangunan serta ekonomi. Dari semua faktor yang muncul, faktor keinginan mengaplikasikan ilmulah yang dinilai paling berpengaruh.
hobi untuk menulis, yang dikuatkan dari latar belakang keilmuan yang diperoleh dari perkuliahan. Bagi mereka menjadi wartawan perempuan adalah sebuah pekerjaan yang sangat bernilai. Dimana dalam menjalankannya mereka menghadapi hambatan, gangguan atau bahkan pelecehan. Hal ini senada dengan Teori Motivasi dari Maslow yang dikemukakan oleh Goble (1987, 77-92), yaitu poin keenam: kebutuhan/hasrat untuk tahu dan memahami; kebutuhan ini ditandai dengan dorongan untuk berburu pengetahuan walaupun menantang bahaya besar, tertarik pada hal-hal yang penuh rahasia, yang tak kenal, dan tak dapat dijelaskan, menyibukkan diri dalam suatu kegiatan yang mereka anggap bernilai. Ternyata dari belajar dan menemukan sesuatu itu menimbulkan rasa puas dan bahagia. Sedangkan motivasi ekonomi yang muncul pada satu informan, tidak dianggap dominan karena informan tersebut memiliki latar belakang kehiduan berbeda dengan dua informan lainnya. Pada informan ketiga, kebutuhan isiologis yaitu untuk membiayai anaknya menjadi dasar utama mengapa ia tetap bertahan menjadi wartawan. Dalam Teori Tindakan Sosial Weber menyatakan bahwa manusia melakukan sesuatu karena mereka memutuskan untuk melakukannya. Menjadi seorang wartawan sudah diputuskan oleh ketiganya. Hal ini ditujukan untuk mencapai apa yang mereka inginkan atau kehendaki. Tujuan akan sangat terkait dengan motivasi. Motivasi ketiganya akan menpengaruhi alasan-alasan mengapa mereka bertindak, kejadian historis yang mempengaruhi karakter mereka dan memahami tindakan para pelakunya yang hidup di masa kini 2.2. Pandangan Wartawan Perempuan terhadap Konsep Wartawan Profesional Wartawan profesional adalah wartawan yang mengerjakan pekerjaannya sesuai kode etik yang berlaku. Setidanya itulah jawaban senada yang didapatkan dari tiga informan yang diwawancarai. Sebagai wartawan yang bekerja di media lokal yang belum besar, informan pertama menyadari bahwa konsep wartawan profesional sulit dijalankan. Salahsatu pasal dalam kode etik wartawan menyatakan bahwa wartawan dilarang menerima imbalan apapun dari narasumber. Namun dengan gaji yang kecil dan belum membawa mereka pada kesejahteraan maka istilah wartawan amplop masih ditemui. Bahkan Beberapa waratawan justru berharap untuk mendapatkan peluang mendapatkan amplop tersebut. Wartawan perempuan menurut Informan 1 dengan keterbatasannya tetap harus professional. Harus tetap membela kepentingan masyarakat dan sensitive terhadap permasalahan di masyarakat. Walaupun ia mengakui kondisi di lapangan belum seideal yang diharapkan. Informan 1 satu-satunya wartawan perempuan bersama tiga rekan wartawan
Bagi mereka sebagai wartawan perempuan terkait motivasi jawaban yang diberikan cenderung bervariasi, namun bukan jawaban khusus terkait diri mereka sebagai wartawan perempuan. Motivasi tersebut adalah keinginan untuk membangun daerah atau tempat tinggal, dikarenakan bekerja sebagai wartawan seperti Yusi Ainforman 1a. Atau didasari 44
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
lainnya yang merupakan laki-laki. Bagi Informan 1 menjadi satu-satunya wartawan perempuan bukanlah suatu hambatan yang berarti. Sebaliknya, dia merasa lebih mudah dalam mendapatkan informasi dari narasumber. Dengan alasan, wartawan perempuan, lebih mudah berinteraksi dengan narasumber dibandingkan wartwan laki-laki. Namun dikarenakan laki-laki lebih punya stamina yang lebih dibandingkan perempuan, maka wartawan laki-lakilebih diandalkan dibandingkan perempuan di tempat dia bekerja. Wartawan profesional menurut Informan 2 adalah wartawan yang mengerjakan pekerjaannya dengan baik. Aturan yang diterapkan mengenai penerimaan amplop sudah cukup ketat. Namun senada dengan Informan 1, kesejahtaraan wartawan lokal yang kurang diperhatikan menjadi hal utama terjadinya tindakan pelanggaran. Informan 2 menceritakan bahwa sudah menjadi rahasia umum wartawan daerah belum mendapatkan gaji yang sesuai dengan jerih payahnya. Informan 2 menambahkan, ketika bertemu dengan wartawan dari Jakarta dia sempat mendapat informasi bahwa wartawan dari daerah pada umumnya lebih mudah untuk “kong kalikong” dengan pihak yang punya kepentingan tertentu. Informan 2 berpendapat menjadi wartawan perempuan memang ada perbedaannya dengan wartawan laki-laki. Wartawan perempuan biasanya akan terbentur dengan kondisi biologis, seperti cuti melahirkan atau kondisi isik yang tidak sekuat wartawan laki-laki. Namun disisi lain, menjadi wartawan perempuan juga dirasakan memiliki kelebihan. Kelebihan tersebut dirasakan ketika mencari berita atau ketika mewawancarai narasumber laki- laki. Ketika narasumbernya laki-laki, wartawan perempuan lebih mudah dekat dan diterima. Informan 3 juga memiliki pandangan serupa dengan dua informan sebelumnya mengenai tugas wartawan. Ia juga mengakui bahwa gaji yang diberikan kantornya bekerja tiak bisa mencukupi kebutuhannya. Oleh karena itu ia memilih mencari tambahan dengan mencari iklan dan menerima honor penulisan (yang ia istilahkan gaji) dari pemerintah Kota Cilegon. Besarnya dana yang ia dapatkan ini, jauh lebih besar dibandingkan gajinya per bulan. Ia menyadari bahwa ini bukan tindakan yang profesional, karena dari ilmu yang selama ini ia adapatkan di kampus wartawan tidak bertugas mencari iklan. Kondisi ini juga membuat dirinya bingung saat menulis berita karena tidak boleh menyinggung klien. Sebagai seorang perempuan, Informan 3 merasa dirinya memiliki keterbatasan. Olehkarena itu ia meminta keistimewaan dari kantor tempat ia bekerja untuk hanya masuk pada Senin, Rabu dan Jum’at. Sisa hari lainnya ia akan mengirimkan berita via email. Informan 3 juga mengakui sebagai wartawan perempuan ia lebih mudah mendekati narasumber. Namun tidak jarang juga mendapatkan perlakuan 45
neatif seperti diajak makan berdua atau dibelikan berbagai macam barang. Menurut hasil penelitian, pandangan mengenai wartawan profesional dimata wartawan perempuan adalah yang mengerjakan tugasnya dengan baik dan sesuai kode etik. Namun saat berbenturan dengan jenis kelamin mereka sebagai perempuan, ketiga wartawan ini sepakat bahwa sebagai perempuan mereka lebih mudah mendekati narasumber. Namun tidak jarang mereka juga mendapatkan perlakuan negatif. Maskipun harus profesional, ketiganya sepakat bahwa keterbatasan isik sebagai perempuan membuat mereka harus diberi keistimewaan, diantaranya pulang lebih awal atau jam kantor yang berbeda.
Sebuah pekerjaan dapat dinyatakan sebagi profesi jika memiliki empat hal, yaitu (1) harus terdapat kebebasan dalam pekerjaan tersebut; (2) harus ada panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan itu; (3) harus ada keahlian (expertise); (4) harus ada tanggung jawab yang terikat pada kode etik pekerjaan. (Assegaf,1987). Wartawan adalah sebuah pekerjaan yang menuntut profesionalisme yang tinggi terkait kemudahannya dalam mempengaruhi orang banyak. Ketiga informan sama-sma memiliki panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan sebagai wartawan. Mereka juga memiliki keahlian yang diadapat selama bangku kuliah. Hal ini membuat pandangan mereka terhadap konsep wartawan profesional cenderung sama. Menurut kode etik, UU Pers dan UU Penyaran, wartawan yang profesional diharapkan independen, memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani. Menyajikan berita yang akurat, menghormati hak narasumber tidak menjiplak, tidak menerima suap, berimbang, tidak membuat berita bohong, tidak menyalahgunakan profesi, memiliki tanggungjawab pada masyarakat serta fokus pada tugasnya yaitu pencarian berita. 2.3. Perilaku Wartawan Perempuan Dalam Menjalankan Profesinya Sebagai seorang wartawan, baik di media elektronik ataupun cetak, memiliki tugas mencari meliput, mengolah dan mneyebarkan sebuah pesan
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
kepada masyaraat melalui media massa. Hal ini disadari betul oleh ketiga informan yang ditemui dalam penelitian ini. Informan 3 yang bekerja di Banten Pos (saat laporan ini dibuat, ia sudah memutuskan untuk keluar) harus mencari isu dan kemudian daingkat menjadi berita dengan daerah liputan Cilegon. Ia yang tingal di Anyer, harus menempuh perjalanan cukup jauh untuk meliiput di Cilegon, dan datang ke kantor di Serang. Seringkali Informan 3 harus pulang larut malam terkait dengan pekerjaannya ini. Menyadari kondisinya sebagai perempuan dan ibu satu anak, Informan 3 kemudian meminta keringanan hanya datang ke kantor pada Senin, Rabu dan Jum’at saja. Kode etik wartawan melarang seorang wartawan menerima imbalan, namun hal ini terpaksa tidak diindahkan Informan 3. Dengan penghasilannya yang kecil, Informan 3 harus mencari tambahan dari berbagai sumber diantaranya iklan dan honor penulisan dari narasumber. Sedangkan Informan 2 saat meliput harus membawa bukti berlangganan dari tempat ia melakukan wawancara. Informan 1 tidak mengalami hal yang serupa karena dirinya lebih banyak berada di dalam studio. Stereotype perempuan sebagai kaum lemah seringkali datang dari masyarakat, atau kaum pria. Hal ini dialami oleh informan ketiga yang merasa dianggap sebagai wartawan kelas dua dengan pengetahuan dibawah wartawan pria. Namun saat ia melontarkan penyataan kritis, hal ini dianggap sebagai sebuah hal yang jarang terjadi. Sesuai dengan catatan AJI perbandingan antara wartawan lakilaki dan perempuan berkisar 3:1, hal tersebut dapat tercermin dari tiga narasumber dalam penelitian ini. Informan 1 dan Informan 3 adalah satu-satunya wartawan perempuan yang bekerja di kantor mereka. Sedangkan Informan 2 meskipun bukan satu-satunya wartawan perempuan di Radar Banten namun jumlah wartawan perempuan jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Jam kerja yang tidak menentu dan deadline yang menuntut wartawan bekerja hingga larut malam juga tidak jarang memberikan pandangan negatif dari masyarakat yang menilai bahwa perempuan yang pulang malam hari bukan perempuan baik-baik. Bias gender juga terjadi dari narasumber yang memberikan ajakan kencan terlebih dahulu sebelum memberikan informasi. Namun ketiganya setuju bahwa menjadi wartawan perempuan memberikan mereka kemudahan untuk mendekati sumber berita. Bias gender juga bisa datang dari masyarakat yang menilai bahwa perempuan yang pulang malam bukan perempuan baik-baik. Padahal sistem kerja wartawan harian menuntut mereka untuk pulang larut malam. Hal yang sama tidak berlaku untuk wartawan pria, yang meskipun pulang malam tidak menjadi bahan
pergunjingan masyarakat. Wartawan perempuan melihat dirinya seseorang yang berbeda dibandingakan dengan wartawan laki-laki. Oleh karena itu mereka meminta beberapa keistimewaan
Wartawan adalah makhluk sosial, bagian dari masyarakat yang menciptakan sebuah kenyataan atau realitas Perilaku wartawan dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Menurut hasil penelitian, perilaku wartawan Radar Banten dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat, bias gender, ekonomi serta tuntutan dari perusahaan pers itu sendiri Dari semua faktor yang muncul, ekonomilah yang dinilai paling berpengaruh. Bandura (dalam Rahmat, 205:240) menyatakan bahwa, kita belajar bukan saja dari pengalaman langsung, tetapi dari peniruan dan peneladanan. Bandura mendeinisikan perilaku sebagai hasil faktor-faktor kognitif dan lingkungan. artinya kita mampu memiliki keterampilan tertentu, jika ada jalinan positif antara stimuli yang kita amati dengan karateristik diri kita. Ketiga informan berperilaku sebagai wartawan karena meniru kondisi di sekkitarnya. Meskipun mendapatkan pengetahuan tentang wartawan ideal dan profesional dari kampus, namun saat terjun ke dunia kerja banyak wartawan yang melakukan praktek tidak profesional, seperti menerima imbalan, mencari iklan dan lain sebagainya. Permasalahan di lapangan, bukan menjadi rahasia umum bahwa gaji wartawan daerah masih kecil. Hasil penelitian Wina Armada Sukardi dari Dewan Pers yang dilakukan pada April sampai Oktober 2008 di 21 provinsi dan 21 kota di Indonesia. Hasilnya dari 584 responden yang berpartisipasi, golongan gaji wartawan besar yaitu 39,21% berpenghasilan dibawah 1 juta rupiah per bulan. Sementara itu tidak ada satu pun wartawan yang gaji resminya di atas 5 juta.
46
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Hal ini mendorong perilaku wartawan menjadi permisif terhadap amplop, imbalan atau pencarian iklan. perilaku wartawan inilah yang emudian diserap oleh watawan perempuan muda yang baru saja terjun ke lapangan. Tugas jurnalis di media lokal jauh lebih berat dibanding jurnanis media nasional. Hal ini dikatakan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Ikrar Nusa Bakti. Alasannya, gaji jurnalis media lokal lebih rendah, sedang tantangan dan ancamannya jauh lebih besar dibanding jurnalis media nasional. Sebagai perbandingan TransTV memberikan jurnalis muda posisi gaji sekitar Rp 1.500.000. Ini adalah gaji awal seorang karyawan di bidang media. Bila sudah bekerja lebih dari lima tahun kemungkinan skala gajinya bergerak antara Rp 3.000.000 sampai Rp 5.000.000. Gaji itu belum tunjangan lainnya apakah kesehatan, pendidikan, transportasi. Sementara itu Gatra memberikan gaji pada wartawannya sebesar Rp.2.100.000 per bulan belum termasuk biaya transport liputan. Menurut kode etik, UU Pers dan UU Penyaran, wartawan yang profesional diharapkan independen, memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani. Menyajikan berita yang akurat, menghormati hak narasumber tidak menjiplak, tidak menerima suap, berimbang, tidak membuat berita bohong, tidak menyalahgunakan profesi, memiliki tanggungjawab pada masyarakat serta fokus pada tugasnya yaitu pencarian berita. Dalam Teori Tindakan Sosial, Weber menyatakan bahwa manusia melakukan sesuatu karena mereka memutuskan untuk melakukannya. Menjadi seorang wartawan sudah diputuskan oleh ketiganya. Hal ini ditujukan untuk mencapai apa yang mereka inginkan atau kehendaki. Tujuan akan sangat terkait dengan motivasi. Motivasi ketiganya hampir sama yaitu mengaplikasikan ilmu yang didapat di kampus, mengembangkan kemampuan menulis, serta faktor ekonomi. Alasan-alasan mengapa mereka bertindak, 47
kejadian historis yang mempengaruhi karakter mereka dan memahami tindakan para pelakunya yang hidup di masa kini. Komponen perilaku terdiri dari motivasi, cara berikir dan bertindak serta cara berinteraksi. Teori Motivasi dari Abraham Maslow menunjukkan bahwa kebutuhan manusia yang paling dasar adalah kebutuhan isiologis. Jika kebutuhan dasar telah dipenuhi maka manusia cenderung akan beranjak ke tingkatan kebutuhan diatasnya. Berdasarkan teori Maslow tersebut terdapat implikasi yang dapat diterapkan dalam mengamati perilaku wartawan dalam menjalankan profesinya, antara lain: 1) Wartawan merupakan individu yang memiliki berbagai kebutuhan. Tiga informan yang dijadikan bahan penelitian memiliki berbagai kebutuhan, diantaranya kebutuhan ekonomi, kebutuhan eksistensi diri, kebutuhan pengembangan pengetahuan. 2) Wartawan akan termotivasi apabila level kebutuhannya belum terpenuhi, sebaliknya , apabila level kebutuhannya telah terpenuhi maka level kebutuhan itu tidak akan memotivasi wartawan yang bersangkutan. Kebutuhan yang lebih rendah harus dipenuhi, sebelum kebutuhan yang tinggi diaktivasi untuk dimunculkan sebagai suatu perilaku untuk memotivasi. 3) Perilaku wartawan dalam menjalankan profesinya akan dipengaruhi oleh motivasi yang ada dalam dirinya. Perilaku imdividu akan berbeda-beda satu sama lainnya ketika berhadapan dengan objek atau peristiwa tertentu, karena motif penggerak perilaku juga berbeda-beda. Ada empat tipe tindakan menurut Weber, Tipe pertama adalah Tindakan Rasionalitas Sarana-Tujuan yang berorientasi kepada tujuan atau penggunaan. Tipe kedua adalah Tindakan Rasionalitas Nilai. Tindakan ini merupakan tindakan yang ditentukan oleh keyakinan penuh kesadaran akan nilai perilakuperilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain, yang terlepas dari prospek keberhasilannya” (Weber, 1921/1968;24-25). Tipe ketiga adalah Tindakan Afektif. Tindakan ini ditentukan oleh kondisi emosi aktor. Misalnya “Apa boleh buat, maka saya lakukan”. Sedangkan tipe keempat adalah Tindakan Tradisional dimana merupakan tindakan yang ditentukan oleh cara bertindak aktor yang sudah terbiasa dan lazim dilakukan. Tindakan yang dilakuan oleh wartawan perempuan dalam penelitian ini termasuk tindakan afektif, yang ditentukan oleh kondisi emosi aktor. Mereka mengetahui bahwa perilaku wartawan di lapangan tidak sesuai dengan kode etik yang berlaku, namun karena mereka tidak bisa melakukan hal lain maka mereka terpaksa melakukan hal ini. Ada beberapa temuan dalam penelitian
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
lebih sedikit dibanding perempuan. Jam kerja yang tidak menentu dan sampai larut malam membuat munculnya pandangan negatif dari masyarakat, dimana masih ada penilaian bahwa perempan yang keluar malam bukanlah perempuan baik-baik. Beberapa saran yang diberikan antara lain, perlunya diberikan pembekalan kode etik dan pola kerja wartawan yang baik kepada wartawanwartwan di Provinsi Banten.Perlunya diberikan pemahaman kepada wratawan perempuan tentang hak dan kewajiban kerja mereka terkait bias gender di masyarakat. Penelitian ini hanya dilakukan sebatas pada wartawan perempuan yang baru saja lulus kuliah, sehingga belum bisa mncerminkan seluruh populasi wartawan perempuan di Provinsi Banten. Sebaiknya dilakukan penelitian dengan skala yang lebih luas.
ini. Pertama adalah pekerjaan sebagai wartawan dianggap sebagai ranah laki-laki. Ini terlihat dari jumlah wartawan perempuan di Provinsi Banten jauh lebih sedikit dibanding perempuan. Jam kerja yang tidak menentu dan sampai larut malam membuat munculnya pandangan negatif dari masyarakat, dimana masih ada penilaian bahwa perempan yang keluar malam bukanlah perempuan baik-baik. 5. Simpulan dan Saran Motivasi wartawan perempuan dalam menjalankan profesinya antara lain keinginan mengaplikasikan ilmu yang didapat di bangku kampus, meneruskan hobi menulis, berontribusi untuk pembangunan serta ekonomi. Dari semua faktor yang muncul, faktor keinginan mengaplikasikan ilmulah yang dinilai paling berpengaruh. Dalam Teori Tindakan Sosial Weber menyatakan bahwa manusia melakukan sesuatu karena mereka memutuskan untuk melakukannya. Menjadi seorang wartawan sudah diputuskan oleh ketiganya. Hal ini ditujukan untuk mencapai apa yang mereka inginkan atau kehendaki. Tujuan akan sangat terkait dengan motivasi. Motivasi ketiganya akan menpengaruhi alasan-alasan mengapa mereka bertindak, kejadian historis yang mempengaruhi karakter mereka dan memahami tindakan para pelakunya yang hidup di masa kini Pandangan mengenai wartawan profesional dimata wartawan perempuan adalah yang mengerjakan tugasnya dengan baik dan sesuai kode etik. Namun saat berbenturan dengan jenis kelamin mereka sebagai perempuan, ketiga wartawan ini sepakat bahwa sebagai perempuan mereka lebih mudah mendekati narasumber. Namun tidak jarang mereka juga mendapatkan perlakuan negatif. Maskipun harus profesional, ketiganya sepakat bahwa keterbatasan isik sebagai perempuan membuat mereka harus diberi keistimewaan, diantaranya pulang lebih awal atau jam kantor yang berbeda. Perilaku wartawan perempuan cenderung sama dengan wartawan laki-laki, namun mereka meraskaan beberaa kelebihan diantaraya mudah mendekati narasumber. Tidak jarang wartawan perempuan dipandang sebelah mata dan diperlakuakn negatif oleh narasumber. Wartawan adalah makhluk sosial, bagian dari masyarakat yang menciptakan sebuah kenyataan atau realitas Perilaku wartawan dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Menurut hasil penelitian, perilaku wartawan Radar Banten dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat, bias gender, ekonomi serta tuntutan dari perusahaan pers itu sendiri Dari semua faktor yang muncul, ekonomilah yang dinilai paling berpengaruh. Tindakan yang dilakuan oleh wartawan perempuan dalam penelitian ini termasuk tindakan afektif, yang ditentukan oleh kondisi emosi aktor. Ada beberapa temuan dalam penelitian ini. Pertama adalah pekerjaan sebagai wartawan dianggap sebagai ranah laki-laki. Ini terlihat dari jumlah wartawan perempuan di Provinsi Banten jauh
Daftar Pustaka Cresswell, W, John. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design Choosing Among Five Traditions, California: Sage Publications, Inc. Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel. 2003. Sembilan Elemen Jurnalisme. Jakarta: Pantau Kreitner, Robert & Angelo Kinicki, 2003. Perilaku Organisasi, Jakarta: Salemba Empat Masduki, 2004. Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Yogyakarta: UII Press Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. 2005. Nuansa-Nuansa Komunikasi Bandung: Rosda. Pers, Dewan. 2009. Etika, Berita Dewan Pers No.76 Edisi Agustus 2009, Jakarta: Dewan Pers Sumber Lain: h t t p : / / m e d i a . k o m p a s i a n a . c o m / m a i n s t re a m media/2012/02/05/jumlah-jurnalisperempuan-masih-minim/ diakses pada 11 Maret 2012 pukul 15.52 http://digilib.petra.ac.id/viewer.php?page=1&submit. x=17&submit.y=24&submit=next&qual=hi gh&submitval=next&fname=%2Fjiunkpe% 2Fs1%2Feman%2F2008%2Fjiunkpe-ns-s12008-31404230-11736-jawa_pos-chapter1. pdf diakses pada 11 Maret 2012 pukul 16.23 http://tere616-blissfull.blogspot.com/2010/08/ perempuan-oh-nasibmu.html diakses pada 12 Maret 2012 pukul 10.52 http://ilsafat.kompasiana.com/2010/07/19/sedikittentang-max-weber/ akses pada 10 Januari 2012 http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita. detail&id=58002> [10/04/11] h t t p : / / w w w. j o u r n a l i s t - a d v e n t u r e . com/?p=43&cpage=4#comments akses pada 10 Oktober 2010
48
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
PERAN PEREMPUAN DALAM MEMBANGUN KESEJAHTERAAN KELUARGA Helen Diana Vida 1*) Abstract Nation development based on the family welfare. Family is the smallest social environment in society. Women in her role as a wife and mother is not only take care her husband and their children. She should also help her husband to reach their family welfare, especially in inancial matters. To help the family inances, women do not have to work at oice, but they could join in business done from their house. In family the most important thing is good communication between husband and wife. Keywords: Role of Women, Family Welfare, Communications Family 1. Pendahuluan Sebagai mahluk hidup yang mengakui keberadaan Tuhan sebagai pencipta langit dan bumi, manusia mempercayai bahwa Tuhan menciptakan lakilaki dan perempuan untuk saling melengkapi satu sama lain. Dilihat dari konsep gender, perempuan sering digambarkan lemah-lembut, emosional atau keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa (Fakih, 2006: 8). Gender mengisyaratkan bahwa kategori laki-laki dan perempuan merupakan konstruksi sosial yang membentuk identitas laki-laki dan perempuan (Ibrahim, 1998: xxvi). Kasiyan (2008: 34) mengatakan bahwa ide tentang perempuan yang menyatakan secara kodrat lebih lemah jika dibandingkan dengan laki-laki, sejak awal memang sudah dikonsepsikan, disosialisasikan dan terus-menerus dipertahankan, tidak saja oleh masyarakat awam, tetapi juga oleh sebagian besar ahli ilsafat, seperti Aristoteles yang menulis bahwa perempuan adalah laki-laki yang tidak lengkap, sedangkan Schopenhauer menggambarkan perempuan sebagai ras rendah, berbahu sempit, pinggul lebar, kaki pendek, kekanak-kanakan, sembrono dan berpikiran pendek. Ollenburger & Helen (2002: 1) mengutip pernyataan Ehrlich yang mengatakan bahwa dalam sosiologi, perempuan banyak diabaikan sebagai suatu objek studi. Hanya di bidang perkawinan dan keluarga ia dilihat keberadaannya. Kedudukannya dalam sosiologi, dengan kata lain bersifat tradisional sebagaimana ditugaskan kepadanya oleh masyarakat yang lebih besar, bahwa tempat kaum perempuan adalah di rumah. Menurut Suhardiman (Verdiansyah, 2007: 4), ada beberapa sifat kodrati laki-laki dan perempuan yang berbeda. Kaum laki-laki lebih menitikberatkan pada keperkasaan, kewibawaan, kewenangan dan kekuasaan, namun hati laki-laki bersifat lentur. Sedangkan kaum perempuan mengutamakan
keagungan, keanggunan, kelembutan, kebijaksanaan, tetapi hatinya keras seperti baja. Perempuan sebagai mitra laki-laki harus mampu mewujudkan tiga peran sekaligus. Yakni sebagai Ibu, sahabat dan kekasih bagi pria, baik dalam lingkungan keluarga maupun profesi dan sosial kemasyarakatan. Peran demikian merupakan citra perempuan Indonesia secara tradisional. Perempuan tidak mungkin lagi hanya mendasarkan diri pada paham-paham klasik, yang memungkinkan masyarakat menerima begitu saja kegiatan perempuan karena kewanitaannya. Masyarakat kini berkembang lebih rasional, sehingga memilih mana yang berguna dan mana yang tidak. Penguasaan profesi juga akan mengubah pandangan masyarakat terhadap perempuan. Jika kaum perempuan mampu menunjukkan profesionalisme, anggapan masyarakat mengenai lemahnya perempuan akan terhapus secara bertahap. Berdasarkan sifatnya yang kemudian dikonstruksi secara sosial, perempuan seringkali tidak menyadari potensi apa saja dalam dirinya yang dapat dikembangkan. Dalam masyarakat tradisional agraris di pedesaan, misalnya kesadaran perempuan terpusat pada “Pengabdian diri pada keluarga” (family devotion). Sebaliknya dalam masyarakat modern – industrial perkotaan, fokus kesadaran perempuan terletak pada “Perwujudan cita-cita” (self actualization) sesuai dengan martabatnya. Maka nilai yang mendasari kerja kerasnya adalah demi pengembangan martabat / personal growth (Hardjana et al, 1998: 91). Menurut Djarkasi (Sastriyani, 2008: 119) dalam perkembangannya, kehidupan kaum perempuan mulai mengalami perubahan. Pada Abad ke – 18, di Prancis muncul gerakan perempuan yang didorong oleh ideologi pencerahan (Aufklarung), yang menyatakan manusia diberi kesempatan mencari kebenaran dengan menggunakan akal, oleh sebab itu laki–laki dan yang merupakan mahluk rasional sama-sama berhak untuk mencari kebenaran melalui
1 *) Penulis adalah Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Indonesia.
49
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
tinggi dan standart kesejahteraan keluarga pun semakin tinggi. Perempuan yang berperan sebagai istri turut mengambil peran untuk membangun dan meningkatkan kesejahteraan keluarga dengan berbagai cara, diantaranya dengan bekerja dan ber-bisnis. Pemerintah menyadari peran penting perempuan dalam pembangunan sehingga menerbitkan Inpres No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, sebagai acuan memaksimalkan potensi perempuan dalam pembangunan (radarlampung.co.id). Hal ini semakin menguatkan bahwa peran perempuan dalam pembangunan tidak bisa dipandang sebelah mata dan perempuan tidak dinilai memiliki kedudukan dibawah laki-laki melainkan sejajar dan merupakan partner dalam pembangunan. Berkaitan dengan pembangunan nasional yang didasari pembangunan kesejahteraan dalam keluarga, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran perempuan dalam pembangunan kesejahteraan keluarga.
pendidikan. Di dunia Barat, terutama Amerika, gerakan perempuan muncul pada tahun 1848 dalam konvensi di Seneca dan dianggap sebagai awal gerakan perempuan secara terorganisir Djajanegara (2003: 1). Gerakan perempuan di Jepang dimulai abad ke – 19 yang menuntut persamaan hak dalam keluarga dan masyarakat (Djarkasi, 2008: 119). Di Indonesia gerakan perempuan terjadi sekitar abad ke – 20 pada era R.A. Kartini. Pada masa tersebut, sebagian besar kehidupan perempuan berputar di kehidupan rumah tangga. Tujuan perempuan, seakan-akan hanya menikah dan membentuk keluarga. Sesudah menikah, hampir seluruh kehidupan perempuan di dalam rumah tangga. Dalam keadaan seperti ini, perempuan jadi tergantung pada laki-laki secara ekonomi, karena pekerjaan yang dilakukan di rumah tangga tidak menghasilkan gaji (Kasiyan, 2008: 58). Menurut Heryanto (Ibrahim, 1998: 39) seiring perkembangan jaman, perempuan mulai bisa memasuki dunia pendidikan dan bekerja layaknya laki-laki. Namun demikian tetap terjadi diskriminasi pada pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Hanya dalam masyarakat industrial yang berkembang, pria dan wanita bersaing memperebutkan lowongan kerja yang sama, bangku sekolah, kekuasaan yang sama dan upah yang sama. Perempuan dalam sistem pembagian kerja secara seksual, cenderung selalu di tempatkan dalam wilayah domestik atau rumah tangga, dengan serangkaian kerja yang sifatnya reproduktif seperti melahirkan, mengurus anak serta mengurus rumah tangga. Pada sisi lain, karena laki-laki menyandang serangkaian stereotip maskulinitasnya, yang seringkali selalu berkonotasi positif, maka laki-laki menempati posisi di wilayah publik yang sifatnya produktif seperti bekerja dan menghasilkan uang (Kasiyan, 2008: 55). Hal ini juga diakui oleh Lie (2005:21), yang menulis bahwa pembagian pekerjaan pun dilakukan bukan karena alasan efektivitas dan efesiensi demi tercapainya tujuan bersama antara laki-laki dan perempuan, melainkan karena perempuan dianggap tidak mampu, bodoh, dan tidak cakap untuk memikirkan hal lain diluar pekerjaan rumah tangga. Pada kondisi pembangunan Indonesia yang terus berkembang dan tuntutan kebutuhan hidup yang semakin tinggi serta beragam, perempuan dan laki – laki terutama yang telah terikat dalam pernikahan, harus saling bahu membahu untuk bisa bertahan hidup. Pembangunan nasional dimulai dari lingkungan terkecil dalam kehidupan sosial, yaitu keluarga. Masyarakat selama ini mengkonstruksikan perempuan sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam mengelola keluarga, dalam hal ini perempuan memiliki tanggung jawab mengurus suami dan anak. Sedangkan laki-laki memiliki tanggung jawab sebagai kepala keluarga yang harus bekerja keras dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Namun berkaitan dengan perkembangan jaman dan pembangunan yang semakin pesat, tingkat kebutuhan hidup semakin
2. Tinjauan Pustaka 2.1. Peran Perempuan Peran perempuan dalam pembangunan di Indonesia dibawa pada nilai-nilai modernisasi yang berorientasi pada produktivitas, eisien dan rasional seperti di negara-negara industri (Astuti, 2008: 109). Dalam pembangunan saat ini, perempuan memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam segala hal, namun demikian keberadaan perempuan masih menyimpan dilema. Di satu sisi perempuan dituntut bersikap elegan dan memiliki penguasaan diri yang tinggi saat berhadapan dengan publik, sedangkan di sisi lain dalam ruang domestik perempuan dituntut menjadi ibu rumah tangga yang penuh cinta kasih, pengabdian dan setia, bahkan harus rela hanya menjadi orang kedua setelah suami yang merupakan kepala rumah tangga (Pembayun, 2009: 91). Peran perempuan tidak hanya dilihat dari perannya mengurus rumah dan anak, namun juga kegiatan dan usaha yang dilakukan untuk membangun kesejahteraan keluarga terutama dalam bidang keuangan. Dalam rangka membangun kesejahteraan keluarga, perempuan bisa menggunakan berbagai cara seperti bekerja kantoran atau pun masuk ke dunia bisnis. Mengikuti perkembangan jaman, saat ini aktiitas kerja ataupun bisnis tidak lagi di batasi oleh ruang dan waktu. Mukadis (Verdiansyah, 2007: 121) berpendapat bahwa teknologi yang saat ini tersedia di Indonesia memungkinkan orang untuk bekerja dan beraktiitas bahkan berbisnis dari rumah, atau yang dikenal dengan small oice-home oice (SOHO). Licuanan, seperti dikutip oleh Pembayun (2009: 92) berpendapat bahwa terjadinya dan terbukanya kesempatan-kesempatan yang besar dalam mengembangkan kreatiitas perempuan berimplikasi pada dunia kepemimpinan yang semula 50
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
menganut model command-control menjadi model inspire-communication. Model kepemimpinan inspirecommunication ini membuat banyak perempuan lebih memilih berwirausaha daripada berkutat di ruang publik atau perusahaan. Wiraswasta adalah jalan terbaik bagi para perempuan untuk bisa menunjukkan kemampuan terbaiknya pada dunia. Semakin kompleksnya kehidupan perempuan yang berkarier di luar rumah, semakin menyadarkan mereka bahwa ruang publik sangat mempengaruhi dunia privatnya. Betapa tidak, seorang perempuan yang bekerja dikantor tentunya lebih rumit membagi waktu dan perhatian dengan anggota keluarga di rumah, terutama untuk anakanaknya (Pembayun, 2009: 93). 2.2. Kesejahteraan Keluarga Pemerintah Indonesia menyadari kesejahteraan merupakan hal yang penting dalam pembangunan. Hal ini tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Dalam pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya ( www.menkokesra.go.id ). Secara umum, kriteria keluarga sejahtera tidak berbeda dengan pengertian kesejahteraan sosial, dimana keluarga sejahtera adalah keluarga yang kebutuhan material, spiritual dan sosial tercukupi. Kesejateraan keluarga dapat tercipta apabila kondisi keluarga harmonis, keuangan keluarga tercukupi dan komunikasi dalam keluarga dapat terjalin dengan baik. 2.3. Komunikasi Keluarga Keluarga merupakan bagian terkecil dalam lingkungan sosial. Keluarga terbentuk dari penyatuan dua individu (laki-laki dan perempuan) yang mengikat diri dalam satu lingkungan sosial yang memiliki kekuatan hukum dan disahkan secara agama. Keluarga dalam konstruksi sosial di mayoritas masyarakat Indonesia yang menganu budaya patriarkhi memiliki hirarki tersendiri, dimana suami di tempatkan sebagai kepala keluarga dan istri sebagai orang kedua setelah kepala rumah tangga. Dalam keluarga komunikasi merupakan hal yang sangat penting, tanpa komunikasi hubungan yang ada dalam keluarga tidak dapat terjalin dengan baik, sebab banyak masalah dalam keluarga yang timbul dari masalah komunikasi dalam keluarga itu sendiri. Kuntaraf dan Kuntaraf (1999: 1) menunjukkan bahwa berdasarkan hasil penelitian, 70% dari waktu bangun digunakan untuk berkomunikasi, apakah itu dalam bentuk berbicara atau mendengar, membaca atau menulis. Sedangkan 33% dari waktu tersebut digunakan untuk berbicara, ini merupakan elemen waktu yang sangat penting sebab pembicaraan merupakan sarana yang mempererat hubungan 51
keluarga. Komunikasi dalam hubungan keluarga (suami dan istri) bukan hanya sekedar pertukaran informasi. Melalui pembicaraan suami dan istri bisa menyatakan perasaan hati, memperjelas pikiran dan menyampaikan ide. Hal ini merupakan cara yang menyenangkan untuk belajar mengenal satu sama lain, melepaskan ketegangan serta menyamaikan pendapat. Dengan demikian, tujuan dari komunikasi keluarga bukanlah sekedar menyampaikan informasi melainkan membentuk hubungan dengan orang lain. Sebab itu kualitas dari hubungan tersebut tergantung kepada kesanggupan seseorang untuk menyatakan diri kepada orang lain. Mereka yang tidak dapat berkomunikasi secara konstruktif, jujur dan terbuka, akan menemui kesulitan hidup dalam suatu keluarga (Kuntaraf & Kuntaraf, 1999: 2). 3. Metodologi Metodologi penelitian dapat disimpulkan sebagai suatu usaha atau proses untuk mencari jawaban atas suatu pertanyaan atau masalah dengan cara yang terencana, sistematis dan dengan cara ilmiah, dengan tujuan untuk menemukan fakta-fakta atau prinsipprinsip, serta mengembangkan dan menguji kebenaran ilmiah suatu pengetahuan (Soewadji, 2003: 11). Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Kountur (2007: 191), data kualitatif adalah data yang tidak dapat dianalisis dengan teknik statistik. Data kualitatif pada umumnya berbentuk pernyataan katakata atau gambaran tentang sesuatu yang dinyatakan dalam bentuk penjelasan dengan kata-kata atau tulisan. Data penelitian kualitatif pada umumnya berupa informasi kategori substansif yang sulit dinumerasikan. Secara garis besar data dalam penelitian kualitatif dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu: data yang diperoleh dari interview, data yang diperoleh dari observasi, dan data yang berupa dokumen, teks, atau karya seni yang kemudian dinarasikan (Pawito, 2008: 96). Analisis data kualitatif menyangkut identiikasi apa yang menjadi perhatian dan apa yang merupakan persoalan (Kountur, 2007: 192). Metode deskriptif adalah metode yang melukiskan secara sistematis fakta-fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu, baik berupa keadaan, permasalahan, sikap, pendapat, kondisi, prosedur atau sistem secara faktual dan cermat (Soewadji, 2003: 11). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara secara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara. Wawancara mendalam dilakukan untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat. Hasil wawancara yang didapat menjadi data primer dalam penelitian ini. Selain melalui wawancara, sumber data (data sekunder) dalam penelitian ini menggunakan referensi dan bahan-bahan publikasi, seperti: buku dan internet.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
pokok dapat di penuhi dari hasil bisnis online dan jasa terjemahan. AP merasa senang karena dia dapat membantu BD dalam hal keuangan keluarga dan BD sangat mendukung kegiatan bisnis yang dijalankan AP.
4. Temuan dan Analisis Penelitian ini memfokuskan peranan perempuan sebagai istri atau ibu rumah tangga yang ikut berperan dalam mendukung perekonomian keluarga melalui kegiatan wiraswasta (bisnis) yang dikerjakan dari rumah.
Responden 2: MH (35 tahun) yang memiliki suami HR (34 tahun) menikah pada tahun 2007. Saat ini mereka memiliki dua anak perempuan yang berusia 4 tahun dan 2,5 tahun. Latarbelakang pendidikan MH adalah sarjana hukum, sedangkan HR sarjana pertanian. Saat ini HR bekerja di sebuah bank pemerintah dengan penghasilan 6 juta perbulan. Mulai pertengahan tahun ini, anak pertama mereka sudah masuk taman kanakkanak. Penghasilan HR setiap bulannya habis untuk memenuhi kebutuhan pokok, sehingga mereka tidak memiliki tabungan. Oleh sebab itu MH memutuskan untuk membuka bisnis online (tas dan pembalut perempuan) dengan menggunakan fasilitas handphone BlackBerry. Alasan MH masuk ke dunia bisnis adalah untuk membantu keuangan keluarga, karena penghasilan HR setiap bulan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi MH dan untuk tabungan keluarga. Sejak menikah, MH memutuskan untuk tidak bekerja, karena dia ingin fokus mengurus keluarga. Oleh sebab itu untuk membantu HR dalam hal keuangan , MH memutuskan untuk berbisnis. Menurut MH, bisnis yang dia jalani saat ini sangat membantu keuangan keluarga, sehingga apabila tibatiba anak-anak mereka sakit atau ada kebutuhan mendadak, pendapatan MH dari berbisnis bisa membantu. Keputusan untuk membuka bisnis online sudah terlebih dahulu didiskusikan antara MH dan HR. HR setuju dan mendukung keputusan MH dengan alasan kegiatan tersebut tidak mengganggu tugas utama MH mengurus anak-anak mereka, selain itu HR berpendapat bahwa MH yang sebelum menikah sangat aktif bekerja tentunya akan merasa jenuh apabila hanya mengurus anak. Bagi MH dan HR, keluarga mereka sudah cukup sejahtera karena penghasilan HR dan pendapatan dari bisnis MH bisa memenuhi kebutuhan pokok keluarga mereka dan kebutuhan-kebutuhan lain diluar kebutuhan pokok. MH merasa senang dan bangga karena dapat membantu keuangan keluarga melalui bisnis yang dia jalani, sehingga dia tidak dipandang sebelah mata. Meskipun hanya sebagai ibu rumah tangga, namun dia bisa menghasilkan uang dan membantu keuangan keluarga.
4.1. Temuan Sesuai permintaan responden, serta untuk menghormati dan menjaga kerahasiaan identitas responde, maka penulis tidak menggunakan nama asli responden dan hanya mencantumkan inisial nama saja. Responden 1: AP adalah perempuan berusia 31 tahun yang menikah dengan BD (35 tahun), usia pernikahan mereka saat ini 2 tahun 2 bulan. Pasangan ini memiliki anak laki-laki berusia 1 tahun 5 bulan dan saat ini AP sedang mengandung 5 bulan anak kedua. AP memiliki latarbelakang pendidikan Sarjana Ilmu Komunikasi, sedangkan BD adalah lulusan Magister Manajeman. BD sebagai kepala keluarga memiliki penghasilan antara 5-7 juta perbulan, dengan pengeluaran untuk kebutuhan pokok kelaurga BD dan AP rata-rata perbulan sebesar 4 juta. Pendapatan perbulan tidak hanya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pokok rumah tangga BD dan AP, tabungan dan rekreasi minimal satu kali dalam satu bulan, namun juga untuk membantu keuangan keluarga orangtua BD. Dari awal menikah sampai awal tahun 2012, AP bekerja disebuah perusahaan swasta. AP memutuskan untuk keluar dari pekerjaan karena tdak ada yang bisa menjaga anaknya selama dia dan suami bekerja. AP mengakui ada perubahan dalam keuangan sejak dia tidak lagi bekerja. Saat ini AP harus memikirkan kebutuhan-kebutuhan yang utama sebelum dia berbelanja untuk kebutuhan pribadinya. Setelah berdiskusi dengan BD, AP akhirnya memutuskan untuk membuka bisnis online (baju dan kosmetik) dengan menggunakan fasilitas handphone BlackBerry dan menerima jasa terjemahan bahasa Inggris. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa BD bekerja untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya bersama AP dan anaknya, serta kebutuhan keluarga orang tua BD, namun untuk kebutuhan pribadi AP harus mencari uang sendiri. AP memutuskan membuka bisnis online dan jasa terjemahan dengan tujuan agar kebutuhan pribadi AP dapat dia penuhi sendiri tanpa mengganggu penghasilan BD dan ia bisa memiliki tabungan pribadi yang merupakan hasil dari usaha AP untuk kebutuhan mendadak dan diluar kebutuhan pokok. Selain itu, AP juga merasa membutuhkan aktiitas lain selain mengurus anak dirumah. Bagi AP dan BD, mereka merasa keluarga mereka sudah cukup sejahtera karena penghasilan BD bisa memenuhi kebutuhan pokok keluarga mereka, sedangkan untuk kebutuhan pribadi AP dan kebutuhan-kebutuhan lain diluar kebutuhan
Responden 3: DW (36 tahun) menikah dengan IB (36 tahun) pada tahun 2003. Saat ini mereka memiliki dua anak perempuan yang berusia 7 tahun dan 2 tahun. Latarbelakang pendidikan DW dan IB adalah sarjana ekonomi. Saat ini IB bekerja di sebuah perusahaan swasta dengan penghasilan 5 juta perbulan. Anak pertama mereka sudah bersekolah di sekolah dasar swasta. 52
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Penghasilan IB setiap bulannya dialokasinya untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga, sehingga tidak ada uang yang dialokasikan untuk tabungan ataupun kebutuhan lain diluar kebutuhan seharihari. Melihat kebutuhan keluarga yang semakin tinggi terutama sejak anak pertama mereka masuk sekolah, DW memutuskan untuk membuka toko pakaian anak-anak digarasi rumahnya. Hal ini merupakan hasil diskusi DW dan IB dengan pertimbangan DW bisa berbisnis untuk menambah keuangan keluarga tanpa harus meninggalkan rumah. Kondisi keuangan DW dan IB saat ini cukup baik dan DW merasa keluarga mereka cukup sejahtera sejak dirinya memutuskan membuka toko pakaian. DW pun merasa senang karena dengan membuka toko pakaian dirumah, dia tetap bisa mengurus rumah dan anak-anak, serta teman-teman dan para tetangga sering datang kerumahnya sehingga dia tidak merasa kesepian. 4.2. Analisis Pembanguan secara merata di Indonesia merupakan program pemerintah yang selalu dicanangkan setiap tahunnya. Dalam rangka menciptakan pembangunan secara nasional, maka pembangunan haruslah dimulai dari lingkup sosial terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga. Pembangunan bisa berjalan dengan baik apabila kesejahteraan sosial bisa tercipta dan kesejahteraan sosial dalam lingkup paling dasar adalah kesejahteraan keluarga. Tingkat kesejahteraan setiap keluarga memang berbeda-beda. Saat ini secara umum keluarga sejahtera tidak hanya yang mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan, namun juga harus memenuhi kebutuhan tersier dan juga kebutuhan pendukung seperti hiburan dan rekreasi. Melalui penelitian ini, penulis melakukan wawancara kepada tiga pasang responden. Masingmasing responden memiliki kesamaan, para istri yang memiliki tingkat pendidikan sarjana memilih untuk menjadi Ibu rumah tangga dan meninggalkan pekerjaan yang selama ini dijalani dengan alasan ingin fokus mengurus keluarga. Seorang perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak, cenderung memilih untuk tidak bekerja dan berkomitmen untuk fokus mengurus keluarga. Namun demikian dalam era pembangunan saat ini, perempuan tidak hanya bergantung pada suami untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Perempuan memiliki kesadaran untuk ikut membantuan mensejahterakan keluarga secara inansial. Seiring perkembangan jaman dan pembangunan disegala bidang secara tidak langsung mempengaruhi kesejahteraan keluarga. Tuntutan hidup yang semakin tinggi dan standart kesejahteraan yang juga semakin meningkat mengakibatkan kehidupan perekonomian dalam keluarga seringkali mengalami kesulitan dalam memenuhi tuntutan hidup tersebut. Pendapatan suami seringkali tidak lagi bisa menutupi kebutuhan53
kebutuhan pribadi sang istri ataupun kebutuhan rekreasi keluarga. Para istri dengan pendidikan yang baik (sarjana) tidak membuat mereka lupa dengan tanggung jawab dan panggilan sebagai ibu. Sebagai perempuan dan seorang istri serta ibu dari anak-anak mereka, para istri berusaha untuk mencari solusi dari tuntutan kesejahteraan yang semakin meningkat. Mereka melihat peluang berbisnis atau wiraswasta merupakan cara yang paling tepat untuk membantu membangun kesejahteraan keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat Pembayun (2009: 93) yang mengatakan bahwa wiraswasta adalah jalan terbaik bagi para perempuan untuk bisa menunjukkan kemampuan terbaiknya kepada lingkungan sosialnya. Semakin kompleksnya kehidupan perempuan yang berkarier di luar rumah, semakin menyadarkan mereka bahwa ruang publik sangat mempengaruhi dunia privatnya. Betapa tidak, seorang perempuan yang bekerja dikantor tentunya lebih rumit membagi waktu dan perhatian dengan anggota keluarga di rumah, terutama untuk anakanaknya. Melihat peluang wiraswasta yang ada, para istri memutuskan untuk menjadi kreatif dan berusaha memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan pribadi dengan berbisnis dari rumah. Dengan kemajuan teknologi saat ini, sangat membantu para istri untuk mengelola bisnisnya tanpa harus meninggalkan rumah ataupun harus meenghabiskan modal banyak untuk membuka toko. Blackberry Massanger (BBM) ataupun online shop yang lain saat ini cukup digemari oleh kaum perempuan, karena tidak membutuhkan modal besar dan interaksi serta transaksi bisa dilakukan kapan saja dan dimanasaja. Keputusan untuk berwiraswasta bukanlah keputusan sepihak dari para istri, namun mereka sudah mendiskusikan terlebih dahulu kepada suami mereka. Dengan dukungan para suami dan komunikasi yang terjalin dengan baik, para istri dapat menikmati kesibukan mereka untuk berwiraswasta selain dari kesibukan sehari-hari mengurus anak-anak dan suami. Komunikasi yang terjadi dalam keluarga mereka tidak hanya sebatas masalah sehari-hari keluarga, namun juga seingkali terjadi diskusi berkaitan dengan bisnis sang istri. Tidak jarang para suami ikut memberikan saran dan masukan bagi kemajuan bisnis sang istri. Selain membantu pembangunan kesejahteraan keluarga melalui wiraswasta, para istri juga mampu membangun interaksi sosial yang luas. Hal ini disebabkan adanya kesempatan bagi mereka untuk mengenal banyak teman-teman baru melalui aktiitas bisnis mereka, baik melalui media online ataupun interaksi dengan bertatap muka secara langsung. 5. Kesimpulan Dalam program pembangunan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan Indonesia secara keseluruhan, tidak lepas dari peran pembangunan
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
kesejahteraan dalam keluarga. Membangun keluarga sejahtera tidak bisa hanya dilakukan oleh suami atau istri saja, melainkan kerjasama antara keduanya. Saat ini para suami diberi tugas untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga dengan bekerja di luar rumah, sedangkan para istri berkontribusi untuk mencari tambahan uang untuk pemenuhan kebutuhan pendukung dalam keluarga. Peran perempuan dalam pembanguan memegang peranan yang tidak kalah pentingnya dengan laki-laki. Terutama dalam pembangunan keluarga sejahtera yang merupakan lingkungan terkecil dalam kehidupan sosial. Tuntutan hidup yang semakin tinggi dan standart kesejahteraan yang juga semakin meningkat mengakibatkan kehidupan perekonomian dalam keluarga seringkali mengalami kesulitan dalam memenuhi tuntutan hidup tersebut. Perempuan sebagai istri dalam perannya sebagai pendamping suami, harus mampu mendukung dan mengatur perekonomian keluarga dengan baik. Seorang istri harus bisa mengelola keuangan keluarga dengan sebaik-baiknya dan harus bisa membuat skala prioritas dalam pengaturan keuangan. Tidak jarang seorang istri harus mengalah dalam pemenuhan kebutuhan pribadinya dikarenakan harus memprioritaskan pemenuhan kebutuhan anakanaknya. Namun demikian, seorang istri meskipun dia tidak berkarier dan tidak memiliki pekerjaan tetap, namun dia tetap memiliki tanggungjawab untuk bisa mensejahterakan keluarganya. Sebagai kontribusi dalam mensejahterakan keluarga, saat ini para istri memiliki kreatiitas dalam mencari tambahan pendapatan bagi keluarga. Berbisnis atau wirausaha merupakan pilihan yang paling banyak di ambil oleh kaum perempuan untuk menambah pendapatan keluarga. Mereka mengunakan berbagai cara dan fasilitas teknologi yang ada untuk mengembangkan bisnis mereka tanpa harus meninggalkan rumah dan menelantarkan perannya sebagai istri maupun seorang ibu. Dengan berbisnis dari rumah, para istri tetap bisa memenuhi tanggungjawabnya sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya. Mereka tetap bisa merawat anak dan mengurus rumah dengan baik. Namun untuk memutuskan berbisnis atau berwirausaha para istri harus menjalin komunikasi yang baik dengan suami, sebab dalam keluarga segala sesuatu keputusan yang dibuat haruslah atas dasar persetujuan dari suami dan istri. Para suami mendukung keputusan istri mereka untuk berbisnis karena mereka menyadari tuntutan kenutuhan hidup semakin tinggi dan seringkali ada beberapa kebutuhan yang tidak bisa secara keseluruhan ditanggung suami disinilah peran istri sangat penting untuk bisa menjaga keseimbangan perekonomian keluarga dan tetap menjamin kesejahteraan keluarga. Segala sesuatu dalam kehidupan berkeluarga terutama antara suami dan istri harus dikomunikasikan dengan baik, sehingga masing-masing bisa berperan dengan baik untuk menciptakan pembangunan keluarga yang sejahtera.
Daftar Pustaka Astuti, Tri Marhaeni Pudji (2008). Konstruksi Gender Dalam Realitas Sosial. Semarang: UNNES Press Djajanegara, Soenarjati (2003). Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia Ustaka Utama Fakir, Mansour (2008). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: INSIST Press Ibrahim, Idi Subandy, Hanif Suranto, Ade Armando, Akhmad Zaini Abar, eds (1998). Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender Dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Kasiyan (2008). Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan. Yogyakarta: Ombak Kountur, Ronny (2007). Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta : Lembaga Manajemen PPM Kuntaraf, Kathleen Liwidjajaj & Jonathan Kuntaraf (1999). Komunikasi Keluarga: Kunci Kebahagiaan Anda. Bandung: Indonesia Publishing House Lie, Shirley (2005). Pembebasan Tubuh Perempuan. Jakarta: PT. Grasindo Ollenburger, Jane C & Helen A. Moore (2002). Sosiologi Wanita. Jakarta: PT. Rineka Cipta Pawito (2008). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta : LKIS Pembayun, Ellys Lestari (2009). Perempuan vs Perempuan. Bandung: Nuansa Sastriyani, Siti Hariti (2008). Woman in Public Sector. Yogyakarta: Tiara Wacana (Kerjasama Pusa Kajian Wanita UGM) Soewadji, Yusuf (2003). Metode Penelitian Sosial. Jakarta: FISIP-Universitas Nasional Verdiansyah, Chris (2007). Sukses dalam Karier dan Rumah Tangga. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara http://radarlampung.co.id/read/opini/48939-peranperempuan-dalam-pembangunan http://www.menkokesra.go.id/sites/default/files/ ile_perundangan/UU%20Nomor%2011%20 Tahun%202009.pdf
54
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Peran Customer Relations dan Diskriminasi Karir Perempuan Pada Perusahaan Dealer Resmi Mobil di Yogyakarta Muhammad Najih Farihanto1*)
1. Latar Belakang Di era yang semakin terbuka ini, banyak organisasi yang membutuhkan jasa seorang Public Relations (PR) atau Humas untuk berkomunikasi dengan publiknya. Di tengah arus informasi yang semakin deras, didukung dengan kemajuan teknologi informasi yang semakin canggih, mau tidak mau menuntut organisasi untuk dapat menjaga kepercayaan publik. Salah satunya pada perusahaan otomotif PT. Mercedez Benz Indonesia (MBI), agen tunggal pemegang merk (ATPM) Mercedez Benz Indonesia memiliki Vera Makki sebagai Deputy Director Corporate Communications and Public Afair. MBI mengandalkan kemampuan Vera dalam berkomunikasi dengan publiknya dan para stake holder yang lain. Perempuan yang mengawali karirnya sebagai penyiar di Radio Ardan Bandung ini, sebelumnya juga pernah berkarir di Hotel Mulia Senayan sebagai staf Humas, dan berkarir di dua konsultan PR yaitu Ogilvy dan Indo Pasiic PR. Perempuan yang juga menjadi dosen tamu di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia ini, pernah menempuh pendidikan di Universitas Parahyangan, University of Houston, University of Southern Queensland dan juga mendapat gelar sebagai Accredited Business Communicator (ABC) yang dikeluarkan oleh International Association of Business Communicators (IABC) yang berpusat di San Francisco, California, Amerika Serikat. Tidak hanya di perusahaan ATPM saja, tetapi juga perusahaan otomotif yang berada di daerah juga membutuhkan seorang Humas dalam berkomunikasi dengan publiknya. Di Yogyakarta saja, terdapat kurang lebih sepuluh perusahaan penjualan (dealer) resmi mobil. Setiap perusahaan rata-rata memiliki sub divisi kehumasan yang diberi nama Costumer relations (CR) yang semua pekerjaanya adalah perempuan. Berbeda dengan yang ada di divisi sales, yang sebagian besar pekerjanya adalah laki-laki dan akan dipromosikan sampai kepada posisi kepala cabang. Dari fenomena yang telah disampaikan, penulis bermaksud untuk mengkaji dan memberikan gambaran mengenai peran CR sebagai fungsi kehumasan dan diskriminasi karir perempuan di perusahaan dealer resmi mobil di Yogyakarta. Kajian dalam makalah ini
mencoba mengeksplorasi peran pekerja perempuan dalam CR dan juga dalam manajemen organisasi beserta diskriminasi karir yang dialaminya. Kajian ini terinspirasi oleh peran para praktisi PR perempuan yang memegang peranan penting dalam organiasasi hingga dapat masuk pada level managerial. Oleh sebeb itu kajian ini penulis awali dengan sedikit kajian pustaka mengenai diskriminasi perempuan dan peran PR dalam organisasi. 2. 2.1
Kajian Pustaka Gender dan Diskriminasi Perempuan Kita hidup dalam dunia yang bergender atau gendered world (Puspa, 2005:1), dimana hampir semua aspek dalam kehidupan manusia dibagibagi atau dikotak-kotakkan berdasar pada asumsiasumsi tentang apa yang disebut sebagai feminin atau maskulin. Gender biasa dipahami sebagai segala atribut yang melekat atau diharapkan untuk melekat pada jenis kelamin tertentu dan menjadi semacam panduan bagi manusia tentang bagaimana seharusnya kita berperilaku di masyarakat. Wood (2005) bahkan meyakini bahwa manusia menjalani hidup yang berjender (gendered lives), dimana hampir semua tahapan dalam kehidupannya tidak bisa dilepaskan dari dikotomi feminin dan maskulin yang telah mengakar kuat. Maka dari itu Wood (2005) mencontohkan aspek-aspek kehidupan berjender yang harus dijalani oleh perempuan dan laki-laki mencakup dunia pendidikan yang berjender ( gendered education). Contoh kongkrit dimana ada jurusan-jurusan tertentu yang dipandang lebih cocok untuk laki -laki (pada sekolah menengah misalnya SMK jurusan otomotif dan di perguruan tinggi misalnya jurusan teknik mesin, teknik elektro atau teknik perminyakan), dan jurusan -jurusan lain dipandang lebih sesuai untuk perempuan (pada sekolah misalnya SMK jurusan perhotelan, dan tata boga, pada perguruan tinggi misalnya jurusan keperawatan dan kehumasan); bahasa yang berjender ( gendered language) dimana terdapat masculine speech dan femininine speech; media yang berjender (gendered media); dan profesi yang berjender (gendered profession) dimana ada profesi-profesi tertentu yang dipandang sebagai ‘area’ laki –laki dan karenanya didominasi laki-
1 *) Penulis adalah Pengajar pada Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan , Yogyakarta
55
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
laki dan profesi-profesi lain yang dipandang sebagai ‘area’ perempuan yang karenanya didominasi oleh perempuan (Wood, 2005). Ada beberapa masalah yang kita hadapi. Pelanggaran terhadap hak perempuan baik diskriminatif maupun kekerasan belum dipahami sebagai pelanggaran HAM, baik oleh anggota masyarakat maupun ditingkat penegakan hukum. Juga juga belum ada pengertian yang diterima secara luas bahwa diskriminasi dan kekerasan bersumber pada adanya kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang berakar pada nilai budaya, agama dan diperkuat oleh sikap dan prilaku pejabat, orang tua, tokoh agama, guru dan orang lain yang signiikasi (penting) terhadap masyarakat (Sadli 2010:343). Ada banyak isu yang dihadapi perempuan di dunia kerja. Selain harus menghadapi tantangan dalam hal diskriminasi upah, hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam memperoleh pekerjaan, pelecehan seksual di tempat kerja, serta tantangan untuk mengembangkan karier dan menduduki posisi-posisi penting atau meraih jenjang tertinggi dalam corporate ladder.
dengan kehidupan yang dipenuhi kegemerlapan sorot lampu kamera, kegiatan yang terkesan eksklusif, hal tersebut membuat profesi PR menjadi salah satu profesi yang diminati oleh masyarakat bangsa Indonesia, yang tidak bisa menahan kemilau dari dari kegerlapan gaya hidup konsumerisme. Dengan berkembangnya profesi PR, membuat banyak organisasi berpikir lebih oportunis dengan memanfaatkan perempuan sebagai citra dari oragnisasinya. Citra organisasi akan jauh lebih baik dan menarik apabila seorang perempuan yang atraktif dan menarik menjadi merepresentasikan organisasinya. Rea (2002) menyatakan bahwa dengan semakin besarnya jumlah perempuan yang memasuki profesi PR, tak bisa dipungkiri lagi bahwa, “ he face of PR is female.” (2002; 1). Tingginya permintaan akan praktisi PR perempuan dengan sendirinya diikuti oleh semakin besarnya jumlah mahasiswa perempuan yang memilih memasuki jurusan PR di universitasuniversitas. Beberapa penelitian yang telah dilakukan (Smith, 2005; Andsager & Hust, 2005) menyatakan bahwa di Amerika Serikat saja diperoleh data bahwa hampir 80% mahasiswa jurusan PR adalah perempuan dan para staf pengajar menyatakan bahwa “...teaching PR is almost like teaching in a women’s college. ..” (Smith, 2005; 2). Hal ini juga yang dialami oleh penulis selama manjadi mahasiswa PR. Di konsentrasi PR Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya angkatan 2006 terdapat kurang lebih enam puluh mahasiswa yang memilih minat PR. Dari enam puluh mahasiswa tersebut, hanya sekitar lima belas orang laki-laki dan selebihnya adalah perempuan. Pengalaman lain juga pernah dalaimi oleh penulis ketika menjadi asisten prekatikum dan staf pengajar konsentrasi PR pendidikan vokasional di dua Perguruan Tinggi di Malang, sebagaian besar mahasiwanya adalah perempuan. Ketika mereka ditanya mengapa memeilih jurusan ilmu komunikasi, rata-rata mereka menjawab ingin menjadi PR oicers. Hal ini tampaknya dipicu oleh semacam persepsi yang menganggap bahwa keahlian yang dibutuhkan dalam profesi PR adalah keahlian yang dianggap ‘khas perempuan’. Grunig et,al (dalam Mackey, 2003:5) menyatakan, “... feminist values such as caring, cooperation, intuition, commitment, sensitivity, respect,...are the norms of PR .” Mereka seolah ingin menegaskan bahwa dengan nilai -nilai yang melekat seperti itulah yang membuat profesi PR dipersepsi ‘lebih sesuai’ untuk perempuan. PR memang membutuhkan keterampilan berkomunikasi (communication competence) yang baik, kemampuan dan kemauan untuk lebih banyak mendengarkan, berempati, berkomitmen untuk membangun
2.2. Humas dan Perempuan PR Deaprtement atau di Indonesia biasa disebut dengan Divisi Hubungan Masyarakat yang kemudian disingkat menjadi Humas, adalah sebuah profesi yang relatif baru. Di Indonesia profesi ini mulai berkembang semenjak lengsernya rezim orde baru, karena semenjak lengsernya Presiden Suharto dari tahta kepemimpinannya, kebebasan dalam berpendapat dan keterbukaan informasi kepada publik menjadi topik yang selalu hangat diperbincangkan. Organisasi baik proit atau non proit, instansi pemerintah, perusahaan swasta dan perusahaan milik Negara yang membutuhkan jasa seorang Humas untuk berkomunikasi dengan publiknya. Semakin populernya profesi Humas juga didukung dengan berkembang pesatnya industri komunikasi seperti perilman, pertelevisian, dan periklanan. Media massa baik cetak maupun elektronik atau bahkan internet telah tumbuh menjadi alat yang efektif untuk mempublikasikan informasi baik untuk memperoleh popularitas, memenangkan pengaruh, dan meningkatkan citra. Organisasi atau bahkan perseorangnya saling berkompetisi dengan memanfaatkan jasa PR atau Humas untuk membuat mereka menjadi lebih dikenal oleh publiknya, untuk mencitrakan diri dan untuk meraih sebuah keprcayaan yang dinamakan reputasi. Para artis, politisi, partai politik, organisasi masyarakat pun menjadi pelanggan dari jasa PR untuk meningkatkan kepercayaan public baik loating mass dan solid mass. Dengan semakin berkembangnya media massa, dan juga akses komunikasi publik yang semakin terbuka membuat profesi Humas adalah profesi yang identik 56
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
hubungan dengan publik yang saling menguntungkan, hal -hal mana yang menurut Wood (2005) memang telah menjadi sifat natural perempuan (berempati, berkomunikasi, berkomitmen dalam membangun hubungan). Dengan karakteristik seperti inilah bidang PR menjadi lebih diminati oleh perempuan. 3. 3.1.
Observasi di Yogyakarta Peran Costumer Relations Dalam Organiasi Costume relations oicers (CRO) perusahaan dealer resmi penjualan mobil di Yogyakarta mempunyai tugas untuk berkomunikasi dengan pelanggan setelah melakukan pembelian, dari memberitahukan bahwa pesanan mobil sudah siap dikirim, mengingatkan untuk service berkala apabila kilometer atau jangka servicenya sudah masuk pada waktunya, dan juga bertugas untuk menerima keluhan pelanggan yang berkaitan dengan after sales selain itu juga CRO bertugas menjaga loyalitas pelanggan contoh salah satunya adalah memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada pelanggan setianya. Sementara letak CRO dalam struktur organiasi ada yang berada dibawah divisi after sales atau pasca penjualan dan juga berada dibawah divisi marketing. Divisi after sales juga membawahi beberapa sub divisi lain diantaranya adalah, service, spare part,dan body repair. Di setiap divisi CR rata-rata memiliki tiga atau empat pekerja yang semuanya perempuan yang salah satunya menjadi kordinator.12 Fungsi dan peran dari CR termasuk dalam fungsi PR. Jika melihat deinisi dari fungsi PR menurut Cutlip et.al (2006:5) dimana PR sebagai fungsi manajemen yang mengevaluasi sikap publik, mengidentiikasi kebijakan prosedur dari individu atau organisasi demi kepentingan umum, merencanakan dan melaksanakan program aksi untuk memperoleh pengertian dan penerimaan publik. Sementara Grunig (1984) mengatakan bahwa PR merupakan bagian dari dominant coalision dalam perusahaan dan karenanya memiliki kewenangan cukup besar untuk melakukan pengambilan keputusan. Sama halnya dengan PR, CR yang juga mengevaluasi sikap publik dengan menangani komplain dari pelanggan yang kemudian menjadi bahan evaluasi untuk mengambil kebijakan oleh pihak managerial. Selain itu CR juga melaksanakan aksi komunikasi yang bertujuan untuk menjaga keharmonisan garis komunikasi dengan stakeholdernya walaupun posisi CR tidak berada pada level management inti atau koalisi dominan yang memiliki wewenang besar dalam mengambil keputusan seperti yang dikatakan oleh Grunig. 2 Komunikasi personal dengan Amingingrum. Costumer Relations Oficers PT. Wahana Sumber Baru Nissan, 20 Mei 2012 dan Aruna Costumer Care Oficers PT. Anugrah Kasih Putra (Honda), 22 Mei 2012.
57
Sangat disayangkan ketika melihat CR yang menjadi garda terdepan dalam mengevaluasi sikap dan opini publik tidak termasuk dalam management inti organiasai dan hanya menguasi hal-hal teknis semata. Penempatan tugas ini berkaitan dengan stuktur puncak yang ada di organisasi tersebut. Penempatan CR dalam organisasi dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor yang dominan adalah word views para pemimpin puncak organisasi terhadap CR itu sendiri. Grunig dan White (1992) membaginya menjadi enam cara pendang pemimpin organisasi terhadap PR. Pertaama, pandangan pragmatis yaitu melihat PR sebagai kegiatan yang mempunyai sumbangan penting terhadap pencapaian keuntungan organisasi. Kedua, pandangan konservatif yang memancang PR sebagai alat mempertahankan dan memelihara status quo. Ketiga, pandangan idealis, PR dianggap sebagai melayani kepentingan publik, mengembangkan, saling pengertian organisasi dan publiknya, menyumbang debat berkualitas dalam masyarakat dan memfasilitasi dialog perusahaan kepada publiknya. Keempat, pandangan netral melihat PR sebagai suatu hal yang netral. Kelima, pandangan radikal, memandang PR sebagai kegiatan yang dapat menyumbang perubahan yang radikal. Keenam, pandangan kritis, dimana melihat PR sebagai alat yang mendominasi bagi kekuatan dominan dalam masyarakat untuk memelihara unsure yang menguntungkannya. Di Indonesia (Putra dan Kurnia 2004:397) pendangan yang banyak berkembang adalah pandangan yang pertama, dimana masih banyak organisasi yang melihat PR sebagai alat praktis untuk mencapai tujuan organsiasi. Di berbagai organisasi, salah satunya dealer resmi penjualan mobil di Yogyakarta PR masih dikatakkan sebagai bagian dari pemasaran pasca penjualan dan berubah nama menjadi costumer relations (CR) yang betugas untuk menjaga komunikasi antara organisasi dengan para pelanggannya. Walaupun demikian, fungsi utama yang dijalankan tetaplah mengabdi kepada kepentingan organsasi, bukan kepentingan umum sepeti pada pandangan idealistik. Posisi CR dalam struktur orgnisasi pun berada pada level menengah kebawah. Kedudukan ini sangat dimaklumi melihat posisi CR belum dipahami organiasi menjadi fungsi yang sangat strategis, CR masih dianggap sebagai pemanis dari sebuah pelayanan penjualan dan organiasi lebih mengutamakan tingginya target penjualan daripada sebuah hubungan komunikasi yang harmonis antara organiasi dengan pelanggan. 3.2. Diskriminasi Karir Perempuan Semakin meningkatnya konsumen peminat mobil diikuti juga dengan meningkatnya pelayanan yang disediakan oleh dealer mobil dalam rangka mewujudkan kepuasan konsumen. Oleh karenanya salah satu solusi untuk merekatkan hubungan antara organisasi dan konsumen adalah dengan menjalin
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
organiasi. Menurut penulis, fakta-fakta yang seperti ini disebabkan karena masih melekatnya konstruk budaya yang ada di Indonesia dan juga belum adanya kesadaran mengenai diskriminasi yang terima oleh perempuan. Seperti yang dikatakan oleh Sadli (2010:343) pelanggaran terhadap hak perempuan baik diskriminatif maupun kekerasan belum dipahami sebagai pelanggaran HAM, baik oleh anggota masyarakat maupun ditingkat penegakan hukum. Juga juga belum ada pengertian yang diterima secara luas bahwa diskriminasi dan kekerasan bersumber pada adanya kekuasaan antara perempuan dan lakilaki yang berakar pada nilai budaya, agama dan diperkuat oleh sikap dan prilaku pejabat, orang tua, tokoh agama, guru dan orang lain yang signiikasi (penting) terhadap masyarakat.
komunikasi yang efektif diantara keduanya. Maka dari itu organisasi membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki keterampilan berkomunikasi (communication competence) yang baik, kemampuan dan kemauan untuk lebih banyak mendengarkan, berempati, berkomitmen untuk membangun hubungan dengan publik yang saling menguntungkan, hal -hal tersebut yang menurut Wood (2005) memang telah menjadi sifat natural perempuan. Terbukti pada divisi CR dealer mobil yang bertugas untuk menjalin komunikasi antara organisasi dan konsumen semua pekerjanya adalah perempuan. Ini sudah menjadi kebijakan dari organisasi untuk mempekerjakan perempuan dalam divisi CR. Organisasi menganggap pekerja perempuan lebih sabar dalam menghadapi keluhan konsumen, selain itu perempuan dianggap lebih ramah dan luwes dalam berkomunikasi dengan konsumen.2 Tetapi yang disayangkan adalah kesabaran, keramahan dan keluawesan perempuan yang bekerja pada divisi CR tidak diimbangi dengan keluwesan dalam berkarir di organisasi. CR tidak bisa menduduki jabatan karir yang lebih tinggi dalam organisasi. Paling tinggi karir dari seorang CR adalah kordinator CR itu sendiri dan jika apabila ingin berkakrir lebih tinggi misalkan sampai pada level manajer dan kepala cabang, CR harus pindah ke divisi lain seperti ke divisi penjualan (sales) yang didominasi oleh pekerja lakilaki, dan diperburuk dengan kebijakan organiasi lebih mengutamakan laki-laki yang akan dipromosikan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi.3 Kendala yang dihadapi CR bersumber dari kebijakan organisasi yang diskriminatif, yang lebih mengutamakan laki-laki sebagai pemimpin organisasi. Perusahaan memandang bahwa perempuan kurang leksibel dalam hal waktu dan tenaga dari pada lakilaki. Itu lah sebabnya organisasi lebih memilih lakilaki untuk menjadi sales kanvasing dan memposisikan perempuan menjadi pekerja dibelakang meja. Hal ini didukung dengan kondisi budaya Jawa pada umumnya dan Yogyakarta pada khususnya yang menjadikan wanita adalah manusia nomer dua setelah lakilaki, bahkan ada ungkapan Jawa yang menyebutkan perempuan adalah wanito yang merupakan singkatan dari wani ditoto dengan kata lain perempuan adalah orang yang harus bisa ditata (diatur), dan menjadi hal yang tabu apabila perempuan kurang pantas apabila bekerja dan pulang malam sendirian, berada pada posisi intim dengan laki-laki yang bukan pasangannya, padahal bisa jadi itu adalah calon konsumen seperti yang dapat dilakukan oleh para pekerja laki-laki. Imbas dari kebijakan ini adalah stagnasi dari posisi CR itu sendiri. Pekerja perempuan di posisi CR tidak bisa berkemban dalam karir karena kebijakan
4. Kesimpulan Dari ekplorasi mengenai peran Costumer Relations (CR) dan diskriminasi karir perempuan pada perusahaan otomotif di Yogyakarta, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan, diantaranya adalah: Costume relations oicers (CRO) perusahaan dealer resmi penjualan mobil di Yogyakarta mempunyai tugas untuk berkomunikasi dengan pelanggan setelah melakukan pembelian. Salah satun kegiatannya adalah menerima keluhan pelanggan. Fungsi dan peran dari CR termasuk dalam fungsi PR. Sama halnya dengan PR, CR juga mengevaluasi sikap publik dengan menangani komplain dari pelanggan yang kemudian menjadi bahan evaluasi untuk mengambil kebijakan oleh pihak managerial. Selain itu CR juga melaksanakan aksi komunikasi yang bertujuan untuk menjaga keharmonisan garis komunikasi dengan stakeholdernya, walaupun posisi CR tidak berada pada level management inti atau koalisi dominan yang memiliki wewenang besar dalam mengambil keputusan. Dalam struktur organisasi, CR yang menjadi garda terdepan dalam mengevaluasi sikap dan opini publik tidak termasuk dalam management inti organiasai dan hanya menguasi hal-hal teknis semata. Penempatan CR dalam organisasi dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor yang dominan adalah word views para pemimpin puncak organisasi terhadap CR itu sendiri. CR masih dianggap sebagai pemanis dari sebuah pelayanan penjualan dan organiasi lebih mengutamakan tingginya target penjualan daripada sebuah hubungan komunikasi yang harmonis antara organiasi dengan pelanggan. Pada divisi CR kesemua pekerjanya adalah perempuan, kebijakan ini muncul karena adanya anggapan dari organisasi tentang pekerja perempuan yang lebih komunikatif, sabar dalam menghadapi keluhan, dan juga lebih ramah dan luwes dalam berkomunikasi dengan konsumen dari pada pekerja laki-laki. Paling tinggi karir dari seorang CR adalah
2 Komunikasi personal dengan Aditya Marwiyadi Raharjo, manajer marketing PT. Wahana Sumber Baru Nissan, 20 Mei 2012. 3 Komunikasi personal dengan Yudho Birowo. Senior Sales Representative PT. Astra Daihatsu Yogyakarta. 22 Mei 2012 dan Ajdie Nugraha Sales Manager PT. Anugrah KAsih Putra (Honda). 22 Mei 2012.
58
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
kordinator CR itu sendiri, jadi apabila ingin berkakrir lebih tinggi misalkan sampai pada level manajer dan kepala cabang, CRO harus pindah ke divisi lain seperti ke divisi penjualan (sales) yang didominasi oleh pekerja laki-laki. Kebijakan organiasi lebih mengutamakan pekerja laki-laki yang akan dipromosikan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi, dan ini dirasa sangat merugikan bagi para pekerja perempuan. Organisasi memandang bahwa perempuan kurang leksibel dalam hal waktu dan tenaga dari pada lakilaki. Hal tersebut diperburuk dengan kondisi budaya Jawa pada umumnya dan Yogyakarta pada khususnya yang menjadikan wanita adalah manusia nomer dua setelah laki-laki. Daftar Pustaka Cutlip, S.M., Center, A.H., & G.M. Broom. 2006. Efective Public Relations 7th ed. Englewood Clifs, NJ: Prentice Hall. Grunig, J. & T.Hunt, 1984. Managing Public Relations. Dalam Ratih Puspa. Feminisasi dan Pelecehan Profesi Berjender Feminin dalam Public Relations. Surabaya: Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Airlannga. Grunig J.E dan White J. 1992. he efect of worldview on PR heory and Practice’ dalam J.E Grunig (ed). Excelence in Public relations and Communications Management. Hillsdale: Lawrence Erlbaum. Kurnia, Novi dan Putra, I Gusti Ngurah. 2004. Perempuan dalam Public Relations. Yogyakarta: Jurnal Fisipol UGM. Mackey, S. 2003. Changing Vistas in Public Relations heory,” dalam Prism (1) 1, 2003, http://praxis. massey.ac.nz/ileadmin/Praxis/Files/Journal_Files/ issue1/refereed_articles_paper 3.pdf. Dalam Ratih Puspa. Feminisasi dan Pelecehan Profesi Berjender Feminin dalam Public Relations. Surabaya: Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Airlannga. Ratih Puspa. 2005. Feminisasi dan Pelecehan Profesi Berjender Feminin dalam Public Relations. Surabaya: Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Airlannga. Rea, J., “he Feminisation of Public Relations: What’s in it for the Girls?,” dalam Australian andNew Zealand Communication Association Conference (Bond University Australia. Juli 2002). Dalam Ratih Puspa. Feminisasi dan Pelecehan Profesi Berjender Feminin dalam Public 59
Relations. Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Airlannga.2005. Sadli, Saparinah. 2010. Berbeda Tapi Setara: Pemikiran Kajian Tentang Perempuan. Jakarta : Kompas Media Nusantara. Smith, G., 2005. A Few Good Men: Gender Balance in the Western Australia Public Relations Industry,” dalam Dalam Ratih Puspa. Feminisasi dan Pelecehan Profesi Berjender Feminin dalam Public Relations. Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Airlannga. Wood, J.T. 2005. Gendered Lives: Communication, Gender, & Culture , (Belmont, CA: homsonWadsworth, 2005). Dalam Ratih Puspa. Feminisasi dan Pelecehan Profesi Berjender Feminin dalam Public Relations. Subabaya: Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Airlannga..
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
60
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Peran Perempuan dalam Penanggulangan Pencemaran Sungai Ciliwung Nurprapti Wahyu Widyastuti 1*)
ABSTRAK Kualitas kehidupan masyarakat sangat dipengaruhi oleh latar belakang berbagai aspek yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan, antara lain aspek kognitif, dan afekti. efektif Tujuan penelitian ini untuk mengeklporasi potensi dibentuknya kelompok warga perempuan yang tinggal di ketiga lokasi bantar sungai sebagai kelompok terdepan yang dapat membangun kesadaran tentang adanya persoalan pemcemaran sungai di lingkunan mereka yang harus mereka pecahkan bersama. Kompleksnya masalah di bantaran sungai mengisyaratkan masyarakat luas bahwa dengan memberdayakan kelompok perempuan yang hidup di bantaran sungai, merupakan cara yang efektif dalam menanggulangi masalah kerusakan lingkungan berupa pencemaran sungai. Peneltian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kehidupan di bantaran sungai memperlihatkan fenomena yang banyak mengandung resiko karena warga masyatakat bantaran hidup dalam kondisi serba keterbatasan hidup dibantaran ini, terdapat potensi kekuatan yang dimiliki oleh para perempuan bantaran dalam mempertahankan keberlangsungan kehidupan dibantaran sungai. Kata Kunci; Gender, pelestarian bantaran sungai, komunikasi pembangunan. 1. Pendahuluan Pertambahan penduduk kota yang cepat yaitu untuk DKI Jakarta sekitar 1,4% per tahun1 telah menyita areal yang sebetulnya bukan sebagai tempat pemukiman tempat tinggal, misalnya bantaran sungai/ kali menjadi tempat pemukiman penduduk.bantaran kali yang seharusnya menjadi tempat penyangga dan penahan luapan air,sudah berubah fungsi sebagai tempat pemukiman penduduk yang padat. Pola interaksi masyarakat yang tinggal di areal bantaran sungai dengan sungai itu sendiri, sangat dipengaruhi oleh kualitas kehidupan masyarakat tersebut. Kualitas kehidupan masyarakat sangat dipengaruhi oleh latar belakang berbagai aspek yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan, aspek-aspek tersebut antara lain aspek kognitif yaitu menyangkut tingkat pengetahuan masyarakat yang dapat dilihat dari cara pandang masyarakat terhadap keberadaan dan fungsi sungai. Selain itu tingkat pendidikan formal dan kemampuan ekonomi juga mempengaruhi aspek ini. Aspek berikutnya yaitu aspek efektif yaitu perasaan atau emosi yang dirasakan masyarakat sepanjang berinteraksi dengan lingkungan sungai, seperti perasaan nyaman, praktis, atau pun perasaan takut atau cemas terhadap bahaya yang mungkin akan timbul dari hasil berinteraksi dengan sungai. Kualitas dari aspek efektif ini sangat dipengaruhi sekali oleh kualitas aspek yang pertama. Terakhir yaitu aspek perilaku, tentunya aspek ini merupakan wujud kongkrit atas pengaruh dari kedua aspek sebelumnya. Perilaku mereka yang tinggal dibantaran 1
*)
sungai ciliwung dapat dilihat dari berbagai aktivitas yang dilakukan masyarakat bantaran terhadap sungai seperti mandi, mencuci dengan detergen, menggosok gigi, melakukan MCK, dan juga membuang sampah di sungai. Demikian pula dengan masyarakat yang tinggal di ketiga lokasi bantaran sungai yang menjadi lokasi sasaran penelitian program. Mereka memiliki kualitas kehidupan yang rendah. Kondisi sosial ekonomi mereka yang rendah, mempengaruhi pola interaksi yang dibangun/dibentuk oleh masyarakat terhadap sungai yang dijadikan oleh mereka sebagai pilihan sumber kehidupan. Penelitian dan pelaksanaan program ini berusaha menggali akar permasalahan dari persoalan pencemaran sungai yang dihubungkan dengan pola interaksi masyarakat yang hidup dibantaran sungai, dan menggali bernagai faktor yang merupakan penyebab langsung dari pencemaran tersebut, serta mengkaji sumber pencemaran lainnya yang mungkin bukan merupakan penyebab langsung tetapi memberi pengaruh yang besar terhadap timbulnya pencemaran dan kerusakan lingkungan dan sungai. Perspektif gender digunakan dengan pemikiran bahwa selama ini persoalan lingkungan terutama pencemaran sungai semakin parah. Dalam perspektif peneliti, salah satu sumber penyebabnya adalah telah terjadinya ketidakadilan gender dalam masyarakat termasuk masyarakat bantaran sungai. Perempuan yang sebetulnya memiliki potensi positif terhadap pemeliharaan lingkungan dan sungai, justru kualitas kehidupannya dinomorduakan oleh masyarakat. Kondisi ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa pada
Dosen di Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten.
61
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
dibentuknya kelompok warga perempuan yang tinggal di ketiga lokasi bantar sungai sebagai kelompok terdepan yang dapat membangun kesadaran tentang adangya persoalan pemcemaran sungai di lingkunan mereka yang harus mereka pecahkan bersama. 2. Melakukan ekplorasi atas potensi perempuan yang hidup di ketiga lokasi sungai, dan membangun program berdasarkan strategi pemberdayaan perempuan yang akan dibangun bersama warga dalam program ini. 3. Mendapatkan data dan melakukan analisis sebagai salah satu referensi yang dapat menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa dengan memberdayakan kelompok perempuan yang hidup di bantaran sungai, merupakan cara yang efektif dalam menanggulangi masalah kerusakan lingkungan berupa pencemaran sungai Dengan tujuan tersebut diatas, diharapkan hasil penelitian dan program pembangunan berperspektif gender ini mempunyai manfaat jangka panjang yang diharapkan akan (1) memberi jalan keluar yang efektif bagi permasalahan lingkungan yang berperspektif gender, sehingga dapat diterapkan di lokasi lain dengan permasalahan sejenis. (2) memberi masukan bagi penyusun kebijakan pengembangan masyarakat dan perbaikan lingkungan yang responsive terhadap permasalahan masyarakat marginal di areal bantaran sungai. (3) memberi masukan bagi penyusunan kebijakan lingkungan yang sensitive terhadap gender dan permasalahannya senagai salah satu penyebab terjadinya kerusakan pada lingkungan. (4) memberi masukan bagi penyusunan kebijakan pembangunan yang efektif dengan mengedepankan pemberdayaan perempuan sebagai subjek yang memiliki potensi dalam memperbaiki kualitas lingkungan.
lokasi marginal yang merupakan kantung-kantung kemiskinan lebih banyak perempuan yang hidup di dalamnya., termasuk di ketiga lokasi bantaran sungai yang menjadi sasaran program ini, jumlah penduduk perempuan jauh lebih banyak dari penduduk laki-laki dan mereka hidup dalam keterbatasan pengetahuan, pendidikan formal yang rendah, serta keterbatasan ekonomi dan keterbatasan berbagai aspek lainnya, dengan kata lain merka hidup dalam kemiskinan. Peran kelompok perempuan yang secara umum sering kali di abaikan oleh masyarakat menyebabkan kualitas perempuan sebagai sumber daya manusia yang sebetulnya sangat efektif bagi pengembangan kehidupan masyarakat dan lingkungan juga terabaikan. Kelompok perempuan yang hidup diareal bantaran merupakan kelompok masyarakat yang paling dekat dengan sungai, karena rutinitasnya didalam menjalankan dan mempertahankan kehidupan rumah tangga. Sehingga mereka memiliki kejelian tersendiri didalam mengidentikasi masalah pencemaran sungai di lingkungan mereka. Selain itu potensi mereka yang lebih berorientasi pada keberlangsungan (survival) kehidupan anggota rumah tangga,membuat kelompok perempuan di ketiga lokasi sasaran program ini memiliki cara berpikir yang lebih optimis, konstruktif dan berjangka panjang terhadap keberlangsungan lingkungan dan masyarakat. Melalui program ini peneliti dan pelaksana program ingin memperlihatkan bahwa dengan mengangkat dan meningkatkan potensi, seta memberdayakan perempuan warga bantaran sungai secara optimal dan berkelanjutan, maka masalah pencemaran sungai dan lingkungan sekitarnya akan mendapatkan titik terang, karena peneliti berkeyakinan bahwa dengan meningkatkan kualitas sumber daya perempuan, dalam hal ini kaum perempuan berarti meningkatkan kualitas hubungan interaksi perempuan dengan sungai sebagai kelompok masyarakat yang palin dekat dengan lingkungan dan sungai itu sendiri. Selain itu strategi ini juga dapat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas kehidupan masyarakat bantaran sungai secara keseluruhan melalui sosialisai yang akan dikembangkan oleh kelompok perempuan karena tentunya perempuan terbiasa melakukan kegiatan sosialisasi dalam keluarga dan masyarakat sesusi kapasitasnya. Dengan demikian program perbaikan lingkungan ini juga turut memperjuangkan terciptanya keadilan sosial yang berkeadilan gender. Berdasarkan uraian di atas, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : “bagaimana peranan perempuan dalam menjaga Kebersihan Sungai Ciliwung?” Penelitian dan Program lingkungan yang berperspektif gender ini bertujuan untuk : 1. Menggali informasi mendalam mengenai kehidupan perempuan di bantaran sungai ciliwung dan melakukan eksplorasi kemungkinan
2. Kerangka Pemikiran 2.1.
Komunikasi dan Perubahan Sosial
Studi tentang peranan komunikasi dalam proses soaial banyak dikaitkan dengan asumsiasumsi bahwa perubahan sosial (social Change) dapat disebabkan karena komunikasi. Para ahli umumnya menitik beratkan perhatiannya pada studi tentang efek komunikasi. Para pakar dari berbagai disiplin sangat percaya bahwa komunikasi dapat merupakan suatu kekuatan yang dapat digunakan secara sadar untuk mempengruhi dan merubah perilaku masyarakat, terutama dalam menerima gagasan-gagasan dan teknologi baru. Pada masa yang akan datang masalah difusi dan inovasi terasa masih sangat urgent. Bukan saja diharapkan masyarakat dapat menerima dan
62
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
menyebarkan inovasi pembangunan, tetapi juga mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses perubahan sosial yang direncanakan. Partisipasi masyarakat secara sadar, kritis, sukarela murni dan bertnggung jawab memang sangat baik. “Baik” bukan sekedar karena bahwa dengan demikian ada kemungkinan biaya pembangunan menjadi murah, “baik” karena memang sesuai dengan prinsip-prinsip bangsa dan negara. Dengan demikian masalah komunikasi pembangunan bukan hanya menyangkut bagaimana melakukan transformasi ide dan pesan melalui penyebarluasan informasi. Difusi dan inovasi merupakan problem struktural. Artinya, penerimaan dan penyebarluasan ide tersebut sangat tergantung pada sifat atau karakteristik lapisan masyarakat Beberapa asumsi yang mendasari kajian perubahan sosial dimana komunikasi terlibat di dalamnya antara lain karena : 1. Proses komunikasi menghasilkan perubahan – perubahan pengertian. Hal itu bukan saja terjadi secara indovodual, bahkan bisa bersifat sistematik. Dalam hal ini komunikasi sebagai proses pertukaran informasi diantara dua sistem yang mengatur dirinya sendiri. 2. Pertukaran informmasi mempunyai tujuan endidikan hiburan, persuasi dan sebagainya. melalui proses inilah teori belajar sosial melihat bahwa setiap manusia memiliki suatu sikap atau nilai pandangan tertantu terhadap duanianya. Sebaliknya dunia sekitarnyua mempengaruhi persepsi kita. 3. Bahwa dalam proses komunikasi terjadi sosialisasi nilai. Kegiatan komunikasi bisa dilihat dari kedudukan fenomena dalam kehidupan sosial. Komunikasi pada dasarnya membuat individu menjadi bagian dari lingkungan sosial. Hubungan yang terbentuk akibat informasi, jika mempunyai pola akan disebut sebagai intruksi perantara komunikasi. 2.2. Konsep Gender Gender dalam stereotype yang muncul pada umumnya merupakan sekumpulan nilai atau ketentuan yang membedakan identitas sosial lakilaki dan perempuan, serta apa yang harus dilakukan oleh perempuan dan apa yang harus dilakukan oleh laki-laki baik dalam hal ekonomi, politik, sosial, dan budaya dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa. Gender merupakan suatu cirri yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Nilainilai atau ketentuan gender tersebut dapat berbedabeda pada konteks tertentu. Selain itu, ketentuan gender juga bisa berubah dari waktu ke waktu, tergantung pada perubahan sosial yang terjadi dalam 63
masyarakat, oleh karenanya gender bersifat relative.12 Dari deinisi di atas dapat terlihat bahwa nilai merupakan (1) suatu keyakinan, (2) berkaitan dengan cara bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu, (3) melampaui situasi spesiik, (4) mengarahkan seleksi atau evaluasi terhadap tingkah laku, individu, dan kejadian-kejadian, serta (5) tersusun berdasarkan derajat kepentingannya. Sehingga bisa disimpulkan bahwa nilai ialah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, serta digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya. Pemahaman tentang nilai tidak terlepas dari pemahaman tentang bagaimana nilai itu terbentuk, nilai disini merupakan representasi kognitif dari tiga tipe persyaratan hidup manusia yang universal, yaitu : 1. Kebutuhan individu sebagai organisme biologis. 2. Persyaratan interaksi sosial yang membutuhkan koordinasi interpersonal. 3. Tuntutan institusi sosial untuk mencapai kesejahteraan kelompok dan kelangsungan hidup kelompok. Nilai berasal dari tuntutan manusia yang universal sifatnya yang direleksikan juga dalam kebutuhan organisme, motif sosial ( interaksi ), dan tuntutan institusi sosial. Ketiga hal tersebut membawa implikasi terhadap nilai sebagai sesuatu yang diinginkan, dan sesuatu yang diinginkan itu dapat timbul dari minat kolektif atau berdasarkan prioritas pribadi atau individual bahkan mungkin kedua-duanya. Nilai individu biasanya mengacu pada kelompok sosial tertentu atau disosialisasikan oleh suatu kelompok dominan yang memiliki nilai tertentu atau melalui pengalaman pribadi yang unik. Nilai juga mempunyai karakteristik tertentu untuk berubah, hal itu disebabkan karena nilai diperoleh dengan cara terpisah yaitu dihasilkan oleh pengalaman budaya, masyarakat dan pribadi yang tertuang dalam struktur psikologis individu. Dalam kehidupan manusia, nilai berperan sebagai standar yang mengarahkan tingkah laku. Nilai membimbing individu untuk memasuki suatu situasi dan bagaimana individu bertingkah laku dalam situasi tersebut. Nilai menjadi kriteria yang dipegang oleh individu dalam memilih dan memutuskan sesuatu. Nilai memberi arah pada sikap, keyakinan dan tingkah laku seseorang serta memberi pedoman untuk memilih tingkah laku yang diinginkan pada setiap individu. Oleh karenanya nilai sangat berpengaruh pada tingkah laku sebagai dampak dari pembentukan sikap dan keyakinan, sehingga dapat dikatakan bahwa nilai merupakan faktor penentu dalam berbagai tingkah laku sosial dan telah terbukti secara signiikan bahwa perubahan nilai menyebabkan perubahan pula pada 21 Faqih, M., 1996, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Peljar, Yogyakarta.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
sikap dan tingkah laku individu dalam memilih serta memutuskan suatu hal. Masalah laki-laki dan perempuan menjadi penting disini karena berdasarkan penelitian dari para ahli, dapat dikatakan bahwa dimensi budaya diantara keduanya akan mempengaruhi proses komunikasi dan kehidupan bermasyarakat. Namun tetap saja struktur budaya, kondisi psikologi perempuan, dan interpretasi keagamaan masih merupakan faktor-faktor penentu yang secara dialektik saling tarik-menarik dalam membentuk pandangan, keyakinan, dan kebiasaan dalam memposisikan laki-laki dan perempuan baik didalam organisasi maupun masyarakat. Kondisi tersebut menyebabkan timbulnya berbagai bentuk manifestasi dalam stereotype nilai genderisasi perempuan itu sendiri, antara lain; marjinalisasi, Subordinasi, Kekerasan ( Violence ), dan Beban Kerja ( Double Burden ) Berikut ini akan dipaparkan bagan alur pemikiran yang disajikan dalam rangka memahami permasalahan perempuan di bantaran sungai Ciliwung. Penelitian ini berusaha memberikan mengekslorasi permasalahan mendasar dan gambaran kehidupan yang terjadi di bantaran sungai Ciliwung. Dengan bagan di bawah ini diharapkan akan terlihat dengan jelas dasar pemikiran dan langkah-langah rencana tindakan dalam action research ini. Dasar pemikiran bahwa perempuan sebagai subyek riset adalah karena perempuan seringkali sebagai ujung tombak dalam lingkup masyarakat yang paling kecil yaitu keluarga dan lingkungan rumah tangga. Pemberdayaan perempuan sebagai bagian yang strategis dalam menagani kebersihan lingkungan rumah tangga antara lain dapat dilakukan dengan mengoptimalkan kemampuan kaum perempuan. Peningkatan pengetahuan pada akhirnya akan berdampak pada aspek afektif dan perubahan perilaku.
3.
Metodologi Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Yaitu suatu bentuk penelitian untuk mendeskripsikan fenomenafenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya (Sukmadinata, 2006:72). Penelitian ini dilaksanakan di 3 wilayah kritis di Jakarta. Ketiga wilayah tersebut adalah, wilayah pintu air bendungan hilir dan sekitarnya, kampong koja kemayoran dan kampong pulo – jatinegara. Ketiga wilayah ini merupakan langganan banjir tiap tahun. Walaupun demikian, warga masih mersikukuh tinggal di sepanjang bantaran sungai Ciliwung tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Sasaran Penelitian studi kasus yaitu manusia/peristiwa/latar dll, sasaran-sasaran tersebut ditelaah secara mendalam sebagai suatu totalitas sesuai dengan latar atau konteksnya masing-masing. Membangun kesadaran dan meningkatkan kemampuan kelompok perempuan sebagai subjek yang menjalankan program perbaikan lingkungan sendiri merupakan upaya pemberdayaan warga masyarakatagar dapat berikir dan bertindak secara objektif dan konstrutif terhadap lingkungan mereka. Di dalam prosesnya upaya itu dilakukan dengan menerapkan metodologi PRA (Partisipatory Rural Apraisial) yang memiliki kekuatan didalam menerapkan proses kaji tindak secara partisipatoris. Pada intinya program kaji tindak dengan metode PRA ini berusaha memecahkan persoalan di masyarakat sesuai focus program dengan cara memberdayakan masyarakat yang menjadi sasaran program. Dengn asumsi apabila hal tersebut tercapai, tentunya masyarakat akan menjadikan program dengan motivasi dan kesadaran penuh. Selain itu proses program pun akan tampak sangat bottom up dan aspiratif, serta adatif di masyarakat. Hal ini dimasudkan untuk menghindari tindakan program yang bersifat top down yang justru tidak memberdayakan masyarakat dan tidak menyelesaikan masalah. Metode PRA ini terdiri dari beberapa tehnik pelaksanaan, dan beberapa tehnik yang sudah dijalankan program ini yaitu: 1. Teknik diskusi terbuka dan terarah yaitu peserta diberi rangsangan permasalahan dan terbuka di dalam mengomentarinya serta diarahkan untuk lebih positif dan terfokus. 2. Teknik meta plan yaitu peserta menuliskan pendapat, pandangan, atau ide-ide yang berhubungan dengan program pada kertas-kertas karton yang dipotong-potong kemudian hasiknya di kelompok-kelompokan 3. Teknik pembahasan gambar yaitu peserta diberi 64
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
beberapa gambar lingkungan dan sungai yang berperspektif gender, kemudian mendiskusikan dan menuliskan semua komentarnya tentang gambar tersebut. 4. Teknik membuat peta lingkungan yaitu peserta diberi peralatan untuk membuat gambar lokasi tempat tinggal dan lingkungannya sendiri. Dari penerapan tehnik ini kelompok perempuan dapat menuangkan semua pemikirannya mengenai sumber-sumber pencemaran sungai di lingkungan mereka. 5. Teknik menganalisa masalah dengan menggunakan pohon masalah, kemudian memasukannya ke dalam diagram pohon masalah. Sehingga dapat terlihat perbedaan akar masalah, penyebab langsung, dan penyebab tidak langsung, serta kemungkinan dampak yang di timbulkan. 4. Hasil Penelitian dan Pelaksanaan Per-Tahapan Program 4.1. Perempuan di Bantran Sungai Ciliwung Kehidupan di bantaran sungai memperlihatkan fenomena yang banyak mengandung resiko karena warga masyarakat bantaran hidup dalam kondisi serba keterbatasan dan kemiskinan. Namun dalam kondisi kesulitan dan serba keterbatasan hidup dibantaran ini, terdapat potensi kekuatan yang dimiliki oleh para perempuan bantaran dalam mempertahankan keberlangsungan kehidupan di bantaran sungai. Ketimpangan dalam relasi sosial telah menempatkan perempuan secara mayoritas pada kehidupan marginal, termasuk pada area bantaran sungai di tiga lokasi program ini. Sehingga dari hasil tahap awal pelaksanan program ini memperlihatkan bahwa masalah ketidakadilan gender tidak hanya mengancam keselamatan kelompok perempuan yang hidup di bantaran sungai sebagai kelompok yang telah dikesampingkan oleh masyarakat, tetapi juga mengancam keselamatan lingkungan dan sungai. Padahal para perempuan yang hidup di bantaran sungai memiliki kemampuan mengembangkan budaya konstruktif terhadap lingkungan dan sungai disebabkan cara berpikir mereka yang lebih berorientasi pada keberlangsungan kehidupan. Hal ini terlihat dari bagaimana mereka berjuang mempertahankan keberlangsungan kehidupan rumah tangga, yang berarti juga harus mempertahankan keberlangsungan lingkungan yang mendukung kehidupan mereka. Beban kehidupan yang begitu berat baik secara sosial ekonomis maupun psikologis, justru membangkitkan kekuatan para perempuan bantaran sungai ini di dalam menghadapi persoalan mereka secara realistis. Namun kemampuan para perempuan ini di dalam mempertahankan dan memelihara kehidupan bantaran 65
sungai tidak dianggap sebagai sebuah kekuatan oleh masyarakat, bahkan hanya dianggap sebagai kodrat perempuan atau kodrat ibu rumah tangga. Masyarakat bantaran sungai di tiga lokasi program ini telah diperlihatkan pada kenyataan bahwa keberlangsungan kehidupan rumah tangga mereka berada pada kemampuan para perempuannya, antara lain : • Mampu bertindak strategis secara ekonomis meskipun harus membanting tulang mengais rejeki untuk mempertahankan dapur rumah tangga mereka • Mampu menjalankan peran yang bertumpuk baik domestik/reproduktif, produktif, maupun sosial meskipun sangat beresiko bagi kesehatan mereka. • Memiliki kepedulian tinggi dan lebih mengutamakan keberlangsungan kehidupan anggota rumah tangga. • Mampu menghadapi dan memecahkan kesulitan sosial ekonomis mereka secara realistis meskipun hanya pada skala subsisten • Memiliki kemampuan dalam mensosialisasikan berbagai wawasan terhadap kehidupan keluarga. Kehidupan di bantaran sungai adalah bukan merupakan pilihan yang menyenangkan bagi mereka. Berbagai kondisi keterbatasan melatarbelakangi kepurusan bagi mereka untuk tinggal di bantaran sungai. Berbagai hambatan yang dihadapi kelompok perempuan bantaran sungai yaitu : • Tingkat pendidikan rendah • Pengetahuan dan wawasan tentang lingkungan dan sungai rendah • Fasilitas perbaikan kesehatan perempuan bantaran belum memadai • Akses terhadap peningkatan berbagai informasi rendah • Lingkungan sosial belum mengakui kemampuan perempuan bantaran • Keikutsertaan perempuan bantaran dalam aktivitas sosial masih rendah Hal yang bisa dilakukan pada kelompok perempuan di bantaran sungai Ciliwung dapat dimulai dengan pemberikan pengetahuan akan kehidupan dengan standar minimun, menumbuhkan kesadaran akan pentingnya standar hidup minimum. Dengan langkah awal tersebut lambat laun akan terbentuk budaya hidup sehat. Disinilah peran advokasi dan pendampingan kelompok perempuan di bantaran sungai Ciliwung menjadi sangat penting.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Tahap Indentiikasi Masalah Bersama Kelompok Perempaun Bantaran Sungai HASIL PERTEMUAN TAHAP IDENTIFIKASI MASALAH BERSAMA KELOMPOK PEREMPUAN
NO 1
Hasil ideniikasi terhadap sumber pencemaran sungai di wilayah Benhil berdasarkan skala prioritas sumber pencemaran : Alasan warga inggal menetap di bantaran sungai Benhil: Data pada kategori ini menunjukkan bahwa memang sejak dulu belum ada pengaturan wilayah bagi pemukiman yang layak dan aman bagi keselamatan masyarakat dan lingkungan di Jakarta.
MASALAH ⇒
⇒
⇒ ⇒
Pandangan warga terhadap keberadaan sungai: Data pada kategori ini menunjukkan bahwa pengetahuan warga akan fungsi sungai yang sebenarnya sangat rendah.
Perilaku warga terhadap sungai : Data pada kategori ini menunjukkan bahwa kesadaran warga untuk mencegah pencemaran sungai sangat rendah. Masalah sampah dari pasar Pintu Air:
⇒ ⇒ ⇒ ⇒ ⇒ ⇒ ⇒ ⇒ ⇒
Fasilitas penampungan sampah :
⇒ ⇒ ⇒ ⇒
Masalah Limbah MCK : Masalah sampah kiriman yang menumpuk dan menyebar seperi lautan sampah di mulut pintu air Benhil karena datang dari beberapa sumber yaitu :
Peraturan mengenai lingkungan : Fasilitas pelayanan sosial :
⇒ ⇒ ⇒ ⇒ ⇒ ⇒ ⇒ ⇒ ⇒
Hasil-hasil peneliian yang pernah dilakukan :
⇒
Warga Bantaran Tanggul : menyatakan bahwa bangunan gubuk mereka sudah lama berdiri yaitu sudah lebih dari 15 tahun. Berawal dari ajakan teman yang sudah lebih dulu inggal di areal bantaran ini, maka lama kelamaan warga yang membangun gubuk di areal tanggul ini semakin banyak. Tinggal di areal ini terpaksa karena idak sanggup membayar kontrakan dan menjalani hidup secara layak, selain itu dirasakan lebih aman dan nyaman. Meskipun ancaman untuk di gusur oleh pemda selalu datang. Disamping itu warga yang mayoritas bekerja sebagai pemulung, mudah mencari tempat-tempat penumpukkan sampah plasik, termasuk sampah yang menumpuk di mulut pintu air Benhil. Jumlah warga perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki. Perbandingan jumlah tersebut mencapai 5:1. Dari hasil bekerja sebagai pemulung, pengamen, dan pengemis, penghasilan yang diperoleh hanya cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Sehingga masalah peningkatan kualitas diri dan lingkungan tempat inggal idak menjadi prioritas warga bantaran Tanggul. Daerah asal dari warga yang inggal di areal ini yaitu hampir 80% berasal dari daerah pantura seperi Tegal, Brebes, Indramayu, dan sebagainya, dan 20% berasal dari Madura. Warga Bantaran Kebon Melai : menyatakan bahwa mereka inggal di areal bantaran ini ratarata sudah di atas 25 tahun. Dulunya areal bantaran Kebon Melai masih bersih dan nyaman, penduduk belum terlalu padat. Sungai Benhil 20 tahun yang lalu masih bening, warga banyak memancing ikan. 10 tahun berikutnya masih lumayan bening tetapi sudah mulai tercemar oleh sampah kiriman dan sampah dari warga setempat. Tetapi sekarang lingkungan di Kebon Melai semakin rusak, sungai semakin kotor, pencemaran semakin inggi. Meskipun begitu warga tetap bertahan, karena areal ini sangat strategis, kemana-mana dekat sangat mengirit ongkos. Mencari alternaif penghasilan juga mudah, misalnya dengan berjualan kue di pasar tanah abang, menjadi buruh2 kasar di pasar Tanah Abang, terima orderan konveksi, dsb. Apabila warga pindah ke tempat lain belum tentu bisa bertahan hidup karena sulitnya memperoleh penghasilan. Daerah asal dari warga yang inggal di daerah ini adalah 70% dari Jawa Barat seperi Serang, Pandeglang, Cianjur, Bogor, dan sisanya 30% dari daerah-daerah yang ada di Jawa Tengah. Perbandingan jumlah penduduk perempuan dan laki-laki idak terlalu mencolok yaitu sekitar 3:1. Warga Bantaran Pasar Pintu Air : Menyatakan bahwa mereka inggal dan berjualan di bantaran pasar Pintu Air rata-rata sudah lebih dari 15 tahun. Warga betah inggal di areal tersebut karena merasa prakis dan bisa lebih mengirit biaya hidup yaitu rumah bisa sekaligus dijadikan tempat berjualan. Usaha berjualan mereka hanya dalam skala kecil. Sulit bagi mereka untuk mengembangkan usaha lebih baik dan teratur. Keterbatasan modal usaha, ketrampilan menjalankan usaha, serta pengetahuan yang dimiliki menjadi kendala utama. Sebagian besar dari mereka banyak terikat oleh rentenir dan permainan judi. Sehingga hasil penjualan idak bisa digunakan untuk pengembangan usaha lebih lanjut. Warga bantaran pasar Pintu Air ini sebagian besar berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Perbandingan jumlah warga perempuan dan laki-laki sekitar 3:1. Sungai Benhil adalah tempat melakukan berbagai akivitas rumah tangga warga bantaran secara keseluruhan, karena menurut mereka memang fungsi sungai adalah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Sayangnya sungai Benhil sekarang sudah sangat tercemar, sehingga kebutuhan tersebut idak dapat terpenuhi. Sungai Benhil adalah tempat mencari sampah plasik yang dapat dikumpulkan untuk kemudian dijual Sungai Benhil merupakan saluran limbah rumah tangga Sungai Benhil tempat bersantai warga dan bermain anak-anak Warga membuang air besar dan kecil di sungai karena dirasakan lebih prakis, grais, dan idak perlu mengantri. Kalau idak ketahuan petugas pintu air, warga membuang sampah ke sungai, namun menurut warga dibanding sampah rumah tangga, sampah pasar dan sampah kiriman jauh lebih banyak. Kalau air sungai agak bersih (musim hujan), warga mandi dan mencuci di sungai. Sungai Benhil juga merupakan tempat berenang anak-anak, idak peduli saat air sedang hitam, kotor, dan bau. Warga bantaran pasar Pintu Air idak memiliki tempat penampungan sampah yang memadai dan alat pengangkutan sampah yang datang secara ruin, sehingga sampah pasar yang sudah menggunung ditumpahkannya pula ke sungai Benhil. Di lingkungan pemukiman warga idak terdapat tempat penampungan sampah, baik di depandepan rumah maupun di tempat-tempat umum. Alat pengangkutnya seperi gerobak, kurang memadai. Warga idak mampu memusyawarahkan masalah pengadaan tempat penampungan sampah ini untuk mendapatkan jalan keluarnya. Jumlah penduduk yang begitu padat dan inggal berdempetan di areal bantaran ini menyebabkan idak adanya lahan bagi warga untuk membangun sepic tank pribadi. Sedangkan sepic tank masal hanya ada untuk warga Kebon Melai yang disebut dengan kopro, tetapi limbahnya dialirkan ke sungai juga. Limbah dari MCK umum dialiirkan juga ke sungai. Pada malam hari warga lebih suka membuang air besar dan kecil secara langsung di sungai karena lebih prakis, grais dan idak perlu antri. Sampah kiriman yang berasal dari kereta yang lewat, seringkali dibuang berkarung-karung. Sampah dari pasar Manggarai Sampah dari bangunan gubuk yang ada dikolong jembatan lampu merah Karet-Benhil. Sampah dari pasar Kali Mai dekat Rusun Karet. Selama ini idak ada peraturan baik di ingkat RT, RW, dan kelurahan yang mengatur tata terib tentang pemeliharaan lingkungan dan sungai, termasuk larangan mencemari sungai secara tegas, justru larangan datangnya dari petugas pintu air itu pun idak terlalu tegas. Sehingga warga menganggap idak ada masalah dengan berindak apa pun terhadap sungai. Sosialisasi peraturan pemerintah tentang lingkungan dan permasalahannya, idak pernah sampai di masyarakat bantaran, bahkan warga idak pernah mendengar adanya UU yang mengatur masalah lingkungan. Warga juga mengeluhkan bahwa mereka melihat antar instansi pemerintah seolah idak ada kerjasama yang saling terkait, misal antar pemda dengan KLH. Perda-perda yang ada sebagian hanya mengatur masalah keteriban PSK (pekerja seks komersial) saja, perda tentang pemeliharaan lingkungan dan sungai idak terdengar oleh warga. Tidak ada fasilitas pelayanan sosial yang berfungsi memberi masukan dan membantu masyarakat memecahkan persoalan pencemaran lingkungan termasuk masalah pencemaran sungai. Pelayanan kesehatan masyarakat kurang memadai dan idak menyentuh masyarakat sampai ke lapisan bawah, serta kurang berfungsi meningkatkan pengetahuan masyarakat soal kesehatan, dampak pencemaran lingkungan terhadap kesehatan, dan masalah sanitasi lingkungan. Warga mengeluhkan bahwa beberapa universitas telah melakukan peneliian tentang kondisi lingkungan di areal bantaran Benhil dan sekitarnya, termasuk masalah dampak dari pencemaran lingkungan. Namun prosesnya idak pernah melibatkan masyarakat dan hasilnya idak pernah disampaikan apalagi diaplikasikan untuk perbaikan masalah lingkungan dan masayarakat bantaran Benhil.
66
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
67
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Tahap Penyusunan Rencana Kerja Besama Kelompok Perempuan Bantaran Sungai OUT PUT TAHAP PENYUSUNAN RENCANA KERJA BERSAMA KELOMPOK PEREMPUAN DI LOKASI PROGRAM DENGAN SKALA PRIORITAS MASALAH NO
1
2
3
4
5
6
7
PRIORITAS MASALAH UMUM DI TIGA LOKASI PROGRAM Masalah limbah MCK yang langsung dialirkan ke sungai
Sampah dari pasar yang ditumpuk sampai menggunung, kemudian ditumpahkan ke sungai benhil karena tidak ada mobil pengangkut sampah yang datang
Limbah kopro (septic tank masal) yang langsung disalurkan ke sungai Masalah sampah kiriman yang sulit dicegah yaitu dari sumber terdekat : Sampah dari kereta yang lewat,seringkali berkarung-karung Sampah dari gubuk2 yang ada di kolong jembatan lampu merah Karet. Sampah dari pasar Kali Mati dekat rusun Karet Sampah dari pasar Manggarai.
Limbah oli dan bensin dari bengkelbengkel angkot Warga berharap antar instansi pemerintah yang terkait saling bekerjasama tidak berjalan sendiri2 mis ; antar KLH dengan Pemda. Perda-perda mengapa tidak menekankan masalah pemeliharaan lingkungan dan pencemaran sungai Sampah warga yang telah diangkut dengan gerobak, akhirnya dibuang juga ke sungai Ciliwung oleh tukang sampah Gaji dan kesejahteraan tukang sampah yang belum layak
8
Limbah dua buah pabrik tahu yang ada di dalam kampung
9
Limbah Rumah Sakit Hermina dan usaha kerajinan batik, serta beberapa usaha bengkel
LANGKAH KEGIATAN Penyampaian usulan untuk membahas masalah limbah MCK dan kemungkinan pembangunan septic tank. Usulan ini disampaikan kepada tingkat RT dan RW secara bertahap
Memberi penyadaran kepada pihak pasar untuk tidak membuang sampah ke sungai, menyediakan penampungan dan pengangkutan sampai yang memadai Mengadakan pelatihan untuk mengatasi limbah pasar Menyampaikan usulan pembahasan tentang limbah kopro kepada RT dan RW Menyusun masukan secara tertulis untuk diberikan kepada setiap pihak yang bersangkutan berupa penyadaran untuk tidak mencemari sungai dengan limbahnya Menyusun jadwal untuk mendatangi masingmasing pihak yang bersangkutan, untuk membahas secara langsung masalah sampah yang mereka buang ke sungai Mengajukan usulan kepada pemerintah agar sepanjang pinggiran sungai diberi pagar dan turab yang kuat, di pasang pengumuman untuk tidak mencemari sungai, areal bantaran ditanami tubuhan yang bermanfaat, dan menetapkan petugas penjaga kebersihan sungai, serta memberi sangsi yang tegas bagi pelaku pelanggaran
Memberi penyadaran kepada para pemilik bengkel untuk tidak membuang limbahnya ke sungai Penyampaian usulan untuk penyusunan perda tentang pemeliharaan lingkungan dan pencegahan, serta penanggulangan pencemaran sungai
Memberi penyadaran kepada para tukang sampah untuk tidak membuang sampah dari gerobaknya ke sungai Membantu para tukang sampah agar mendapat kemudahan untuk membuang sampah ke penampungan di depan Santa Maria, karena jalan sangat menanjak Membahas masalah peningkatan gaji para tukang sampah, usulan sementara yaitu Rp 1000,-/ minggu per rumah tangga Memberi masukan kepada pihak pabrik tahu untuk membuat sistem pengolahan limbah tahu Mengadakan pelatihan untuk menggunakan air yang bersih dan sehat bagi pembuatan tahu, dan cara mengatasi limbah tahu Memberi masukan kepada RS Hermina dan usaha kerajinan batik untuk membuat sistem pengolahan limbah sendiri Mengadakan pelatihan pengolahan limbah bagi para pengrajin batik
68
PEMECAHAN YANG DIHARAPKAN Diterimanya usulan dari kelompok perempuan untuk membahas masalah limbah MCK di tingkat RT dan RW Diperolehnya hasil kesepakatan tentang cara mengatasi limbah MCK secara bertahap Terwujudnya model pembangunan septitenk bagi warga bantaran Diterimanya masukan tersebut dan pihak pasar bersedia membahasnya Meningkatnya kesadaran pihak pasar pintu air untuk tidak membuang sampah ke sungai dan menyediakan penampungan sampah dan pengangkutnya secara memadai Diterimanya dan dibahasnya usulan tersebut di tingkat RT dan RW Terwujudnya pemecahan masalah limbah kopro Tersusunnya berbagai masukan secara tertulis untuk disampaikan kepada pihak-pihak yang telah memberi sumbangan sampah, untuk tidak mencemari sungai dengan membuang sampah ke sungai Tersusunnya jadwal dan terlaksananya pertemuan dengan pihak-pihak yang bersangkutan untuk membahas masalah sampah kiriman ke sungai Diperoleh jalan keluar oleh berbagai pihak tersebut untuk tidak membuang/mengirim sampah ke sungai Terwujudnya berbagai usulan dari kelompok perempuan kepada pemerintah yaitu : memagari dan membangun turab sepanjang pinggir sungai,menanami areal bantaran dengan tanaman bermanfaat, menetapkan petugas penjaga kebersihan, dan tegas terhadap pelaku pencemaran
Diterimanya masukan dan pihak pemilik bengkel dapat mengurangi tindakan untuk tidak mencemari sungai dengan limbah bengkel Tersusunnya beberapa usulan warga untuk perda tentang pemeliharaan lingkungan, dan pencegahan, serta penanggulangan pencemaran sungai Usulan diproses oleh Pemda Usulan diterima oleh Pemda, dan perda tersebut disusun secara aspiratif
Menguatnya kesadaran para tukang sampah untuk tidak membuang sampah dari gerobaknya ke sungai Diperoleh jalan keluar bagi para tukang sampah untuk dapat membuang sampahnya ke penampungan di depan Santa Maria Terwujudnya peningkatan gaji para tukang sampah Diterimanya masukan dan meningkatnya kesadaran pihak pabrik tahu untuk tidak membuang limbah ke sungai Meningkatnya kemampuan pihak pabrik tahu dalam mengatasi masalah limbah pembuatan tahu
Diterimanya masukan dan meningkatnya kesadaran RS Hermina dan usaha kerajinan batik untuk tidak membuang limbah ke sungai Meningkatnya kemampuan pihak usaha kerajinan batik dalam mengatasi masalah limbahnya
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
5. Simpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan Kehidupan di bantaran sungai memperlihatkan fenomena yang banyak mengandung resiko karen warga masyatakat bantaran hidup dalam kondisi serba keterbatasan hidup dibantaran ini, terdapat potensi kekutan yang dimiliki oleh para perempuan bantaran dalam mempertahankan keberlangsungan kehidupan dibantaran sungai. Masalah ketidakadilan gender telah menempatkan perempuan secara mayoritas pada kehidupan marginal, termasuk pada area bantara sungai di tiga lokasi program ini. Sehingga dari tahap awal pelaksanan program ini memperlihatkan bahwa masalah ketidakadilan gender tindak hanya mengncam keselamatan kelompok perempuan yang hidup di bantaran sungai sebagai kelompok yang telah dikesampingkan oleh masyarakat, tetapi juga mengancam keselamatan lingkungan dan sungai. Padahal para perempuan yang hidup di bantaran sungai memiliki kemampuan mengembangkan budaya konstruktif terhadap lingkungan dan sungai disebabkan cara berpikir mereka yang lebih berorienrasi pada keberlangsingan kehidupan. Hal ini terlihat dari bagaimana mereka berjuang mempertahankan keberlangsungan kehidupan rumah tangga, yang berarti juga harus mempertahankan keberlangsungan lingkungan yang mendukung kehidupan mereka. Beban kehidupan yang begitu berat baik secara sosial ekonomis maupun psikologis, justru membangkitkan para perempuan bantaran sungai ini dalam menghadapi persoalan mereka secara realistis. Namun kemampuan para perempuan ini alam mempertahankan dan memelihara kehidupan bantaran sungai tidak dianggap sebgai sebuah kekuatan oleh masyarakat bantaran, bahkan hanya dianggap sebagai kodrat perempuan atau kodrat ibu ruimah tangga. Cara pandang yang meremehkan potensi perempuan seperti itu sekaligus memberi dampak yang destruktif terhadap keberlangsungan lingkungan. Implementasi program ini secara berkelanjutan akan memperlihatkan bahwa dengan memberdayakan kelompok perempuan bantaran sungai secara optimal merupakan cara yang efektif didalam memecahkan persoalan pencemaran sungai, karena berarti telah memberdayakan kelompok yang memiliki kemampuan mempertahankan kehidupan rumah tangga, masyarakat, lingkungan dan sungai. Masyarakat bantaran sungai di tiga lokasi program ini telah diperlihatkan pada kenyataan bahwa keberlangsungan kehidupan rumah tangga mereka berada pada kemapuan para perempuannya, antara lain: 1. Mampu bertindak strategis secara ekonomis meskipun harus membanting tulang mengais 69
2. 3. 4. 5. 6.
rezeki untuk mempertahankan dapur rumah tangga mereka Mampu menjalankan peran yang bertumpuk baik domesrik/reproduktif, produktif, maupun sosial meskipun sangat beresiko bagi kesehatan mereka Memiliki kepedulian tinggi dan lebih mengutamakan keberlangsungan kehidupan anggota rumah tangga Mampu menghadapi dan memecahkan kesulitan sosial ekonomis merekka secara realistis meskipun hanya pada skala subsisten Memiliki orientasi berikir yang berjangka panjang terhadap masalah yang berhubungan dengan perbaikan kualitas kehidupan rumah tangga Memiliki kemampuan dalam mensosialisasikan berbagai wawasan terhadap kehidupan keluarga
Kelompok perempuan bantaran dan masalah pemecahan sungai Pada pelaksanaan program tahap awal ini, kelompok perempuan bantaran sungai yang terbentuk telah membuktikan bahwa: 1. Mereka mampu bersikap terbuka untuk bekerjasama dalam memecahkan persoalan pencemaran sungai di lingkungan. 2. Mampu bersikap optimis di dalam mengahdapi persoalan pencemaran sungai karena terbiasa memecahkan persoalan rumah tangga dalam kesehariannya. Sementara sikap ini tidak terlihat pada kelompok laki-laki bantaran, bahkan kecenderungan yang muncul adalah sikap pesimis. 3. Mampu melakukan pemetaan/indentiikasi masalah terhadap sumber-sumber masalah pencemaran sungai di lingkungan mereka sendiri secara menyeluruh, meskipun harus melalui proses yang cukup panjang. 4. Mampu menyusun rencana kerja bersama yang akan dilaksanakan secara byata dalam usaha memecahkan persoalan pencemaran sungai di lingkungan mereka. 5. Mampu berkomitmen meningkatkan klekuatan kelompok mereka meskipun harus menghadapi kendala lingkungan social yang masiih meragukan kemampuan mereka. 5.2 Saran Hasil penelitian dan pelaksanaa program lingkungan berperspektif gender pada tahap awal ini dapat memberikan rekomendasi sebagai berikut: 1. Pelaksanaan program lingkungan yang berperspektif gender telah member masukan bagi jalan keluar yang efektif dalam menghadapi pemasalahan lingkungan berupa pencemaran sungai dengan memberdayakan kelompok perempuan bantaran sungai secara optimal sebagai kelompok terdekat dengan sungai, sehingga dapat menjadi alternative untuk diterapkan di lokasi lain dengan permasalahan tidak jauh beda.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
2. Penyusunan kebijakan perbaikan lingkungan dan pencemaran sungai harus merespon permasalahan masyarakat marginal di areal bantaran sungai. Permasalahan utama mereka yaitu rendahnya pengetahuan dan wawasan terhadap masalah lingkungan dan sungai sreta adanya ketidakadilan gender, yang membuat jalannyaproses kehidupan di bantaran sungai menjadi tidak efektif dan konstruktif. 3. Penyusunan kebijakan lingkugan harus sensitive terhadap ketimp[angan relasi gender dan permasalahannya sebagai salah satu factor yang memperparah kerusakan pada lingkungan. Penuyusunan kebijakan pembangunan lingkungan yang efektif harus mengedepankan pemberdayaan perempuan sebagai subjek yang memiliki kedekatan dengan lingkungan sekaligus memiliki potensi dan orientasi terhadi.
Dengan Perspektif Gender. Yogyakarta : Solidaritas Bcrsama Percmpuan, p:13. Miller, Catherine, Organizational Communication : Approach and Processes hird Edition. p:121. N.T. Feather, ( 1994 ), Values and Culture. Dalam Lonner, Walter J; Malpass, Roy S. ( ed ), Psychology and Culture. Massachusetts : Allyn & Bacon. S.H. Schwartz, ( 1994 ), Are here Universal Aspects in he Structure and Content of Human Values ?, Journal of Social Issues. Sendjaja, Sasa dkk, 2001, Pengantar Komunikasi. Jakarta : Universitas Terbuka. Smith, Greg, (2005) p:5, Comentary : A Few Good Men : Gender Balance in he Western Australian Public Relations Industry. Prism 3, at http://praxis.massey.ac.n7.. Sukmadinata, (2006:72), Metode Penelitian dalam Pendidikan. Bandung : Rosdakarya. Syamsuddin, Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung. : Remaja Rosdakarya. Wallace, Tina, 1991, Changing Perceptions : Writing on Gender and Development. Wayne Pace, R and Don F, Faules, Editor :Deddy Mulyana, Komunikasi Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan. Weiman, J.M. Scale, ( 1977 & 1989 ), Communication Competence. Spitzberg and Cupach’s, Relational Model. Winston, Tellis, 1997, Introduction to Case Study, the Qualitative Report. Volume 3, Number 2, July. Yin, Robert K, 1984, Case Study Research : Design and Methode. ( Beverly Hills : Sage Publication ). Yudhistyra Garna.K, (1999), Sosiologi, Teori & Konsep. PPS UNPAD : Bandung. Yuwono, Sri Lcstari, 2001, ”Konsep Gender”, Sosialisasi Gender Bagi Praktisi Muda Film dan TV, Hotel Menara Peninsula, 17 Oktober 2001.
Daftar Pustaka A. Furchan, (2004:447), Penganlar Pcnelitian dalam Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Beard. Mike, 2001. Bungin. Burhan, 1997, Analisis Data Penclitian Kualitatif: Pemahaman Filosois dan Metodologis ke Arab Penguasaan Model Aplikasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar 1997. Bungin. Burhan. 2001. Metodologi Penclitian Sosial, Format-format Kualitatif dan Kuantitalif Surabaya : Universitas Airlangga Press. C.K Eichhorn, 2007, Cognitive Communication Competence Within Public Relations Practitioners : Examining Gender Differences Between Technicians and Managers, Public Relations Review 33. Djuarsa Sendjaja, Sasa dkk. Pengantar Komunikasi. Jakarta : Univcrsitas Terbuka, 2001. Efendy, Onong Lchjana. limit Komunikasi Teori dan Praktek. ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992). Heylin, Angela, Klat Sukses Komunikasi: Langkahlangkah Praklis Untuk Berhasil Dalam Mclakukan Presenlasi Persuasi. Alih Bahasa : Sanudi Hendra, Pencrbit : Mitra Utama Jakarta. Janusik, Ann Laura, 2004, The Relationship Between Conversational Listening Span and Perceive Communicative Competence. Dissertation Faculty of the Graduate School of the University of Maryland, College Park. Leong, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. M, Rokeach, ( 1973 ), he Nature of Human Values. New York: he Free Press. Mansour, Fakih, 1996, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Peljar: Yogyakarta. Mansour, Fakih, 1997, Merekonstruksi Realitas
Sumber Lain: Kagavva, Andreas Ananto, 2006, Bentuk Karakteristik dalam Pekerjaan Wanita dan Laki-laki. SWA Magazine. 2 Nov 2006 Lestari Yuvvono, Sri, Konsep Gender Dalam Sosialisasi Gender Bagi Praktisi Muda Film dan TV. Downloaded at http://www, gooale/’gender, com. Sukanta, Putu Oka, 2001, Dehumanisasi Sistematik dalam Struktur Budaya. Kompas, 16 April 2001 T. Ihromi, (1997). Wanita dan Perubahan Kebudayaan, Isu-isu Wanita dalam Pengkajian Antropologi Budaya. (Makalah dalam Widyakarya Nasional Antropologi dan Pembangunan), Jakarta.
70
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Quo Vadis Pengarusutamaan Gender: Representasi Kebijakan Pemerintah dan Realitas Sosial Masyarakat Banten Neka Fitriyah1*) Abstrak Pengarusutamaan gender ditujukan agar semua program pembangunan dapat dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesempatan dan akses perempuan terhadap program pembangunan, dengan adanya kendali dan manfaat untuk perempuan. Hal ini menjadi lebih penting karena dilaksanakannya otonomi daerah, maka tantangan dan peluangnya juga makin besar Makalah ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan implementasi pengarusutamaan gender dalam kebijakan pemerintah (2) mengungkap berbagai kendala dalam implementasi pengarusutamaan gender dalam kebijakan yang sudah ada. Hasil analisis makalah ini menggambarkan bahwa pengarus utamaan gender merupakan program yang dibuat oleh pemerintah dalam upaya penghapusan diskriminasi dan kesetaraaan gender. Masih banyak dijumpai faktor sosial budaya yang membatasi kebijakan pengarusutamaan gender di dalam pembangunan, baik yang berasal dari norma-norma yang terdapat di dalam masyarakat, maupun di dalam kondisi keluarga/rumah tangga. Oleh karena itu kebijaksanaan penyeragaman pembangunan merupakan suatu tindakan yang tidak efektif dan eisien dalam upaya penyetaraan gender. Persoalan gender persoalan yang spesiik dan membutuhkan penanganan yang bervariatif. Pengarus utamaan gender salah satu upaya pemerintah Provinsi Banten dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Kata kunci: Pengarus Utamaan Gender, Realitas Sosial Budaya. 1. Pendahuluan Mempersoalkan perempuan dan persoalan perempuan, serta pengarus utamaan gender merupakan pembicaraan yang menarik, terus dibahas, terus disikapi dan terus diperbincangkan. Bukan hanya bagi kaum perempuan, tetapi perbincangan ini dalam perkembangannya diikuti juga oleh kaum laki-laki. Kaum perempuan memang harus terus berjuang keras dalam menghapus ketimpangan yang dialaminya, dengan harapan diskriminasi yang menimpa perempuan perlahan akan terkikis. Harapannya, jangan sampai pula keterlibatan kaum laki-laki dalam persoalan perempuan yang disambut antusias, justru diam-diam hanya untuk melanggengkan otoritasnya terhadap perempuan. Menyikapi realitas perempuan yang makin mengemuka, bahwa persoalan perempuan dinilai makin kompleks, makin rumit dan merugikan laju pertumbuhan pembangunan. Maka dewasa ini, workshop, pelatihan, seminar dan diskusi tentang keperempuan pun makin semarak diselenggarakan. Harapannya memang, bagaimana wacana dan persoalan ketimpangan perempuan dikaji dalam ruang-ruang research sehingga ditemukan strategi pemberdayaan perempuan yang dapat mengikis ketimpangan dan dapat dijadikan rekomdasi pada pihak terkait. Salah satu strategi dalam menghapus diskriminasi terhadap perempuan adalah dengan program pengarus utamaan gender. Fenomena lain yang dapat ditarik dari workshop atau seminar tentang keperempuanan adalah; bahwa pemerintah sudah tidak sanggup 1 *) Dosen di Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Untirta, Banten.
71
sendiri lagi dalam merumuskan, merencanakan, dan merancang program-program keperempuan. Realitasnya, pemerintah mulai menggandeng kaum akademis untuk membicarakan dan mendiskusikan secara ilmiah agar bagaimana program yang dibuat berbasiskan scientiic research, sehingga kemudian dapat dirumuskan program strategis yang tepat sasaran. Idealnya tentu, ada sinkronisasi dan hubungan harmonis antara pemerintah, kaum akademisi dan masyarakat. Setidaknya, fenomena ini harus disambut gembira, karena akan ada banyak manfaat yang bisa diambil baik oleh pemerintah, akademisi maupun masyarakat lebih khusus kaum perempuan. Terlepas dari dugaan diatas, salah satu persoalan yang didiskusikan dan menjadi keprihatinan dalam makalah ini adalah perlakuan yang tidak proporsional yang dialami kaum perempuan. Kaum perempuan selalu menjadi korban yang mengalami nasib paling parah. Selain karena keberadaan kaum perempuan tidak diperhitungkan ketika kebijakan pembangunan dirancang, juga akibat telah mengakarnya stereotip yang memojokkan kaum perempuan. Stereotip ini disadari atau tidak, telah terinternalisasi ke dalam cara berikir masyarakat, yang diakibatkan oleh sosialisasi sejak dini, dan terus dipertahankan secara sengaja serta dimanfaatkan oleh pihak yang menduduki posisi hegemonik untuk mempertahankan kedudukan maupun struktur kehidupan sosial itu sendiri. Hal itulah yang menjelaskan mengapa kaum perempuan tetap dan begitu mudah mengalami ketidakadilan, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, pelecehan atau perlakuan negatif lainnya (Ashadi, 1999).
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Kondisi buruk yang dihadapi kaum perempuan inilah kemudian menggugah kesadaran banyak pihak bahwa memperhitungkan keberadaan perempuan di dalam setiap aspek kebijakan, merupakan kewajiban bagi siapapun dan kewajiban ini tidak mungkin dihindarkan. Kaum perempuan mempunyai hak yang harus dipenuhi dan dihormati, serta berada dalam posisi setara sebagai mitra kerja kaum laki-laki di setiap aspek kehidupan dalam upaya membangun kehidupan yang lebih baik bagi semua pihak. Dengan kata lain ada upaya untuk mendesak berbagai komponen dalam masyarakat untuk menggunakan perspektif gender dalam melihat masalah sosial. Perspektif gender dipandang sebagai suatu perangkat teoritis dalam mensikapi persoalanpersoalan yang muncul ditengah perkembangan kehidupan sosial. Langkah ini sekaligus dapat diposisikan sebagai bagaian dari upaya demokratisasi kehidupan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik dan terbebas dari struktur yang hegemonik. 2.
Hal ini misalnya tercermin dalam program PKK yang hanya memperkuat posisi domestik perempuan. Sedangkan masuknya perempuan ke sektor industri atau manufaktur dengan kewajiban sama dengan kaum laki-laki di dunia kerja, justru menambah beban kerja perempuan. Mengingat kerja produktif di rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan, yang konsekuensinya perempuan memiliki beban ganda. Berangkat dari kelemahan dan keterbatasan pendekatan WID, Pada tahun 1990an lahirlah pendekatan Gender and Development atau yang disingkat GAD yakni pendekatan yang berupaya mengatasi ketimpangan gender, yang justru diperlebar oleh pendekatan WID. Pendekatan GAD berangkat dari anggapan bahwa perlunya perencanaan pembangunan yang tanggap terhadap adanya perbedaan kebutuhan perempuan dan lakilaki. Faktanya laki-laki dan perempuan memainkan peran yang berbeda dalam masyarakat, sehingga membutuhkan instrument atau kebijakan yang responsive terhadap realitas keperempuanan. GAD tidak hanya mengintegrasikan perempuan dalam pembangunan, tetapi juga mencoba mengembangkan insiatif-inisiaif untuk menyetarakan posisi laki-laki dan perempuan dalam relasi sosialnya. Tujuan jangka panjang GAD adalah membangun kemitraan antara perempuan dan laki-laki dalam menentukan tujuan dan arah masa depan. Dalam perencanaan dan penyusunan programnya GAD didasari oleh analisis kebutuhan gender praktis dan analisis kebuhan gender strategis. Dalam perjalannnya program GAD yang dirancang untuk menyetarakan partisipasi perempuan dalam pembangunan, ternyata tidak berbanding lurus dengan realitas dilapangan. Ada kecendrungan bahwa tingginya Human Development Index (HDI) belum tentu diikuti oleh tingginya Gender Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GEM). Terlebih Indonesia menurut UNDP Report tahun 2008 menunjukkan bahwa HDI Indonesia pada tahun 2006 berada pada urutan ke 109 dari 179 negara. Bisa dibayangkan GDI Indonesia ada di posisi yang mana. Setelah WID dan GAD mendapat kritikan tajam dari beberapa kalangan karena dinilai gagal mengintegrasikan perempuan dalam pembangunan, munculah strategi Pengarus Utamaan Gender (PUG). PUG merupakan strategi untuk menjamin bahwa seluruh proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi seluruh kebijakan dan proyek di seluruh sektor pembangunan telah memperhitungkan dimensi gender-yaitu melihat laki-laki dan perempuan sebagai subjek dan objek yang setara dalam akses, partisipasi dan kontrol atas pembangunan serta dalam memanfaatkan hasil pembangunan. Pada prinsipnya PUG merupakan strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan
Pembahasan
2.1. Program Penghapusan Diskriminasi Perempuan Dalam realitasnya, banyak program-program pembangunan yang memberi perhatian terhadap persoalan perempuan. Pembangunan yang selama ini berjalan telah memberikan perhatian pada perempuan, meski dioerientasikan pada program peningkatan peranan keluarga. Sejak Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1978, pemerintah Indonesia sudah menegaskan pentingnya peningkatan kedudukan peranan perempuan dalam pembangunan nasional. Sejak itu pemerintah mulai mengembangkan program-program untuk peningkatan peranan wanita (P2W). Program ini didasarkan pada kebijakan atau pendekatan pengintegrasian perempuan dalam pembangunan atau yang dikenal dengan Women in Developmen yang disingkat WID. Asumsi dasar pendekatan ini adalah dengan melibatkan perempuan dalam kegiatan ekonomis yang menguntungkan, harapannya kedudukan perempuan secara otomatis akan meningkat pula. Program atau proyek WID secara umum memang cukup berhasil. Setidaknya tampak dari menurunnya Total Fertility Rate dari 5,2 di tahun 1970 menjadi 2,8 di tahun 1997 (BPS, 1998). Bentuk keberhasilan lainnya, membaiknya ekonomi keluarga bagi perempuan yang berhasil ikut serta dalam program peningkatan penghasilan keluarga; perempuan desa dan kota memiliki keterampilan yang bisa dikembangkan untuk menunjuang pendapatan keluarga (Sri Mastuti, 2003). Namun, dibalik keberhasilan program tersebut, jika dikaji lebih mendalam justru memperkuat marginalisasi dan eksploitasi perempuan. 72
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
perempuan dan laki-laki dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai kehidupan dan pembangunan (Panduan Pelaksanaan Inpres Nomor 9 tahun 2000). Beberapa Negara dengan istilah masing-masing, sebenarnya memiliki pula program pemberdayaan perempuan. Australia misalnya, merupakan Negara pertama yang memeperkenalkan dan menerapkan program yang sensitif dan responsif gender melalui anggaran yang responsif gender pada tahun 1989. Dan pada tahun 1995 Afrika Selatan mulai memperhatikan persoalan perempuan melalui Women’s Budget nya, dimana kebutuhan dan kepentingan perempuan diberi porsi khusus Philipina mengembangkan program GAD Budget Policy pada tahun 1994 (Rinusu, 2003). 2.2. Problematika Implementasi PUG dan Realitas sosial masyarakat di Banten Provinsi Banten memiliki Gubernur yang memiliki keberanian dalam menerapkan isu PUG dalam pembangunan. Faktanya Provinsi Banten memang harus terus berjuang keras dalam mengimplementasikan PUG, dengan harapan semua pihak terkait dapat dengan perlahan menjadikan isu perempuan sebagai isu utama dalam pemetaan program pembangunan. Upaya-upaya pemberdayaan perempuan semakin tampak setelah Gubernur bersama-sama dengan DPRD Banten membentuk Perda Nomor 10 Tahun 2005 tentang Pengarusutamaan Gender. Kebijakan itu disusul kemudian oleh Instruksi Gubernur Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengarusutamaan Gender Pembangunan Daerah. Pemberdayaan perempuan dan pengarusutamaan gender menjadi salah satu poin dalam RPJMD Banten periode 2007-2012. Data-data menunjukkan bahwa setelah pelaksanaan PUG pada tahun 2008, angka buta hurup pada tahun 2009 masih dominan dialami oleh perempuan yakni 64,85%. Sedangkan angka kematian ibu berada pada titik 203.2 di tahun 2009. adapun target PUG untuk tahun 2011 adalah terintegrasinya isu gender ke dalam Rencana Kerja (RENJA) SKPD pada program PUG penting untuk memastikan apakah perempuan dan laki-laki mempunyai akses yang sama terhadap sumber daya, dan apakah laki-laki dan perempuan dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dll. Tujuan akhir dari pengarusutamaan gender adalah mempersempit dan bahkan meniadakan kesenjangan gender yang mengantarkan pada pencapaian kesetaraan dan keadilan gender. Perdebatan tentang apakah PUG, masih relevan sebagai strategi para feminis untuk mempengaruhi kebijakan dan praktek institusi terus bergulir. PUG dianggap sebagai depolitisasi gender. Pasalnya. Konsep gender yang menjadi terminologi kunci dalam PUG, seringkali menjadi deskripsi dan 73
secara mudah menjadi pertanyaan tentang power relations. Ketika relasi kekuasaan dimana laki-laki menindas perempuan menguap, dan ketika kesetaraan gender atau kesetaraan dua jenis kelamin ini dicoba dioperasionalkan dan dilembagakan dalam praktik dan kebijakan pembangunan, maka tulisan ini dibuat atas fenomena mengenai PUG. Tulisan ini menekankan tentang pentingnya PUG sebagai strategi untuk mengubah kebijakan, aturan main, praktek dan perilaku instituri di Negara-negara selatan khususnya Indonesia dengan catataan seluruh tujuan prosses dan cara melakukannya benar. Menjalankan PUG berarti memahami politik institusi untuk mengatur masyarakat, menerjemahkan kebutuhan masyarakat dan mengalokasikan sumber dayanya. Perubahan institusi tersebut hanya bias dilakukan jika agen-agen feminis-pejuang hak perempuan-masuk dan berjuang untuk mengubah aturan-aturan mainnya. Sebagai contoh program kegiatan gender di Provinsi Banten 2010, dari 20 SKPD yang dilibatkan, pendekatan yang digunakan lebih pada pendekatan struktural dan top down. Seperti program pemberdayaan melalui Pelayanan dan Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial, Peningkatan Kapasitas Lembaga Pemerintah Daerah, Pengembangan Kemitraan dan Kewirausahaan, program pendidikan formal dan seterusnya. Dari program-program yang ada, terlihat lebih mengedepankan strategi struktural dibandingkan dengan sosial kultural. Pendekatan sosial kultural, biasanya akan melibatkan aktor-aktor sosial dalam PUG. Seperti keterlibatan tokoh masyarakat, tokoh agama, karang tarun, majlis taklim dll. Sehingga dalam penerapan PUG, masyarakat dilibatkan secara optimal, dalam pengertian bekerja dalam mensosialisasikan pemahaman dan ketimpangan gender. Harapannya adalah semua unsur baik pemerintah, masyarakat, tokoh masyarakat bersinergi untuk optimalisasi PUG. Hambatan lain dalam PUG di Banten adalah aspek sosio kultural yakni budaya dan ideologi Realitas sosial masyarakat Banten yang mengakar pada masyarakat. Ideologi dan kultur Realitas sosial masyarakat Banten yang cenderung mendominasi dikhawatirkan membuat perempuan lebih termarginalkan. Sampai saat ini banyak masyarakat Banten khususnya perempuan yang masih menjunjung nilai sosial masyarakat Banten, dan disisi lain perempuan makin terabaikan karena kurangnya informasi dan kurangnya menyadari hak-hak mereka sebagai warga negara. Secara umum perempuan di Banten masih sedikit yang menyadari, dan memahami bahwa perempuan menghadapi persoalan yang gender spesiik, artinya persoalan yang hanya muncul karena seseorang atau satu kelompok orang menyandang gender perempuan. Masih banyak diantara perempuan dan masyarakat di Banten, yang tidak bisa mengerti mengapa persoalan perempuan harus dibahas dan diperhatikan secara khusus. Hal ini terjadi karena kentalnya nilai-nilai
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
partiarki yang terinternalisasi dalam ideologi Realitas sosial masyarakat Banten. Nilai-nilai dan norma Realitas sosial masyarakat Banten dalam masyarakat telah menetapkan bahwa sudah kodratnya perempuan merupakan “ratu dan pengurus rumah tangga”, sehingga pikiran-pikiran untuk memberi kesepatan kepada perempuan untuk beraktiitas di luar rumah tangga dianggap sebagai sesuatu yang menyalahi kodrat dan mengada-ada (Tjandraningsih, 1996). Mereka juga belum menyadari adanya kepentingan kesetaraan berpartisipasi dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan, yang disebabkan oleh perpanjangan keisolasian (Vitalaya, 1995). Hal ini antara lain disebabkan karena lingkungan sosial budaya yang tidak mendukung, untuk membiarkan perempuan terlibat dalam persoalan non domestik. Pengadopsian PUG di Banten merupakan langkah politis baru dalam advokasi isu gender. Strategi ini bertumpu pada dua pendekatan. Strategi ini bertumpu pada dua pendekata. Pertama, meletakkan pemerintah sebagai agent of change bagi pembangunan yang berkeadilan gender. Kedua, melakukan intervensi atau keterilbatan terhadap semua tahap proses atau siklus pembangunan, mulai dari perencanaan hingga monitoring dan evaluasi. Advokasi gender yang sudah dilakukan selama ini lebih banyak bertumpu pada pendekatan struktural. Namum begitu, dalam prakteknya banyak sekali pihak terutama kalangan pemerintah sendiri yang merasa kesulitan menerjemahkan strategi PUG dalam program pemerintah. Peluang besar yang ditawarkan oleh strategi PUG masih tetap dilakukan dengan gaya lama, baik dari strategi substansi maupun metode penyampaian. PUG yang berpeluang besarmengintervensi proses dan agenda pembangunan nasional ternyata masih berputar-putar di pinggiran (Hartian Silawati, 2006). PUG adalah rimba raya baru, teori tentangnya dan dokumentasi keberhasilan empirisnya atau pengalaman prakteknya sangat terbatas, karena itu tulisan ini dibuat berdasarkan releksi, teori dan pembelajaran dari berbagai sumber. Tulisan ini menekankan pentingnya merambah ranah non structural sebagi pusat dan medan perubahan. Ilustrasinya tantangan pelembagaan system PUG di organisasi dan sistem pemerintahan itu seperti perjuangan membalik, memecah, dan mencairkan sebuah gunung es. Banyak persoalan yang telah membantu dan tidak semua tampak, bahkan bersembunyi di bawah permukaan tenangnya birokrasi (Leya Catteleya,2006). Pembenahan aspek sosio kultural menjadi penting dalam PUG, karena sebenarnya permasalahan dasar yang dihadapi perempuan adalah faktor budaya. Budaya Realitas sosial masyarakat Banten yang identik dengan budaya patriarki, budaya lakilaki yang menempatkan perempuan berada dalam posisi sub-ordinat, yang kemudian memperlemah
posisi perempuan. Lemahnya posisi perempuan tidak hanya mengakibatkan ketidakadilan, namun juga marginalisasi atau proses pemiskinan perempuan dalam ekonomi, subordinasi dalam keputusan politik, dan ketimpangan dalam bidang pendidikan. Kesempatan perempuan untuk berprestasi aktif didalam proses pembangunan masih minim. Masih ada hukum dan peraturan yang diskriminatif gender serta kebijakan dan program yang bias gender. Hal ini tercermin dalam dominasi sistem tradisional yang diwakili oleh institusi dominan seperti Realitas sosial masyarakat Banten, mulai dari pendidikan, keluarga dan masyarakat secara keseluruhan yang sangat patriarki sehingga membatasi dan mengeluarkan perempuan dari segala aspek kegiatan publik. Michel Faocault salah satu pemikir yang berpendapat bahwa dominasi hanya akan mengahdirkan fakta dan kebenaran tunggal. Lebih jauh Michel Foucault berpendapat bahwa ada sejumlah dominasi utama yang kerap menjadi akar diskriminasi dan kekerasan dalam masyrakat. Yakni dominasi agama, wacana dan dominasi kekuasaan. Bahwa dominasi ideologi Realitas sosial masyarakat Banten dalam berbagai hal disinyalir menimbulkan permasalahan dan diskriminasi terhadap perempuan, merupakan representasi kekuasaan dan wacana Realitas sosial masyarakat Banten yang makin mengental di Banten. Nuansa Realitas sosial masyarakat Banten (lakilaki) ini memang kental dalam kehidupan masyarakat Banten pada umumnya. Realitas sosial masyarakat Banten saat ini memiliki citra yang negatif, berbeda dengan dulu. Saat ini Realitas sosial masyarakat Banten adalah sekelompok orang yang berperilaku sombong, yang seringkali melakukan tindakan kekerasan untuk kepentingan dirinya maupun kelompoknya. Kerealitas sosial masyarakat Bantenan di tengahtengah usaha percepatan pembangunan ini perlu sekali dipertimbangkan akibatnya (Kartika, 2006). Nuansa Realitas sosial masyarakat Banten serta simbolisme religiusitas di masyarakat Banten mengembangkan pemikiran-pemikiran dan tafsir mereka sendiri tentang gender. Kekhawatiran perempuan yang maju akan tercabut dari akar kodratnya memicu debat kusir tak kunjung henti. Perspektif gender tidak bisa dijabarkan hanya dari sisi kultur. Karena kultur patriarki yang masih dominan di Banten ini, ada beberapa pengambil kebijakan yang menyepakati PUG sebagai strategi. Namun kadang ujung-ujungnya akan berkata “boleh PUG tapi jangan menyalahi kodrat” tarik menarik kemudian terjadi antara pemahaman (yang belum utuh) mengenai strategi PUG, usaha melanggengkan kultur sosial dan usaha melaksanakan tata pemerintahan dengan perencanaan yang response (Kartika, 2006). PUG berusaha menghapus ketidakadilan gender menggunakan “karangka analisis gender” yaitu kerangka konseptual yang menyadari kemungkinan 74
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
adanya perbedaan kapasitas, potensi, aspirasi, kepentingan dan kebutuhan antara perempuan dan laki-laki. PUG adalah strategi yang dirancang untuk menjamin bahwa seluruh proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi semua kebijakan dan program PUG telah memperhitungkan dimensi gender. Aspek-aspek tersebut dalam prakteknya saling bersinggungan, berbenturan sehingga program PUG sejak tahun 2007 belum berdampak signiikan bagi keberdayaan perempuan dan masyarakat di Banten. Sebagai contoh dan yang menjadi fokus pembicaraan dalam tulisan ini adalah, tidak seiringnya aspek sosio kultural dan aspek structural dalagm pelkasanaan PUG. Panah dua titik yang menunjukkan arah yang berbeda, mengesankan bahwa dua aspek ini berjalan masing-masing dalam koridor dan ranah yang berbeda pula. Bersebrangannya dua aspek dalam program PUG terlihat dari kurangnya keterlibatan aspek sosio kultural dalam perencanaan program dan kebijakan daerah dalam pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Provinsi Banten oleh BAPPEDA 2008. Aspek-aspek yang lebih dikedepankan adalah aspek struktural pemerintah, sehingga penekanannya hanya pada optimalisasi peran dan kinerja pemerintah dalam PUG. Realitas sosial masyarakat Banten yang cenderung patriarkis, serta keterbelakangan perempuan dan masayrakat di Banten merupakan dua elemen dasar, yang mencerminkan realitas faktual kondisi sosio kultural yang ada di Banten. Keterbelakangan perempuan Banten baik dalam hal pendidikan, partisipasi politik, pendidikan dan kesehatan diperkeruh dengan kuatnya ideologi Realitas sosial masyarakat Banten yang cenderung patriarkis. Probelmatika PUG di Banten sperti lingkaran tak berujung, dimana disetiap aspeknya memiliki banyak tekanan dan persoalan yang didasari pada lemahnya pemahaman tentang gender dan PUG itu sendiri. Setidaknya tekanan dan problematika yang ada bisa diperkecil dengan adanya pencerahan pemikiran dikalngan perempuan dan masyarakat. Pemikiran yang tidak timpang terhadap perempuan, artinya perempuan diposisikan sejajar dengan laki-laki. Baik dalam wilayah publik maupun domestik. 3. Simpulan Ada tiga aspek mengapa perempuan tetap termarjinalkan dan berada pada posisi mengkhawatirkan walaupun banyak sentuhan program pemberdayaan termasuk PUG. Pertama, adanya pengabaian terhadap faktor sosial kultural masyarakat. Padahal kondisi sosial kultural masyarakatlah, yang secara keseluruhan melanggengkan doktrin yang bias gender terhadap perempuan dan laki-laki. Realitas ini jika tidak tertangani membuat perempuan tetap terabaikan dan diposisi marjinal. Jika pemerintah tidak melibatkan unsur sosial dan kultural dalam penanganan masalah 75
keperempuan, artinya belum maksimalnya upaya perombakan budaya secara informal, maka programprogram yang dibuat tidak akan memiliki progress yang menggembirakan. Kedua, pemerintah terlalu elitis dan masih memiliki ego sentris. Memecahkan masalah perempuan bukan hanya semata menyiapkan perangkat struktural yang kuat melalui programprogram yang dibuat. Tetapi bagaimana pemerintah juga dengan senantiasa turut melibatkan para tokoh masyarakat, karang taruna, opinion leader dalam melakukan pemndampingan dan pemberdayaan. Dari sinilah sebenarnya perombakan kultural secara perlahan dapat dilakukan. Ketiga, belum adanya kesamaan visi visi tentang pelaksanaan PUG dalam pembangunan, menjadi faktor pengahambat PUG. Adanya pemahaman yang keliru di sebagian pemerintah dan masyarakat, misalnya gender masih dikonotasikan dengan perempuan, sehingga berdampak terhadap resistensi ketika eksekutif mengajukan alokasi anggaran untuk program-program yang bernuansa gender. Melihat realitas keperempuanan masa kini dan tiga indikator di atas, maka banyak pihak yang meragukan eksistenasi PUG kini dan masa depan. Kecemasan dan kegelisahan ini terkait melemahnya kiprah dan kontribusi perempuan dalam pembangunan dan tidak adanya pendekatan secara sosio kultural. Artinya masyarakat Banten dicekoki dengan program pemberdayaan secara struktural tetapi tidak dibarengi pendekatan sosio kultural. Padahal beberapa referensi akademik dan realitas dilapangan menggambarkan perlu adanya penanganan dan perombakan budaya patriarkhis dalam masyarakat. Selama kondisi sosio kultural tidak dibenahi maka gerak laju program PUG akan sangat lambat dan sia-sia. Pertanyaannya adalah akan dibawa kemanakan program Pengarusutamaan Gender? Daftar Pustaka Data Statistik BPS 2003,http.www.bps.go.id/sector/ population.www.datastatistikIndonesia.com. diakses tanggal 05 Februari 2010. Faqih, Mansour. 2003. Analisis gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Kartodirdjo Sartono, 1984. Pemberontakan Petani Banten 1988. Jakarta Pustka Jaya. Leya Cattleya. Pelembagaan Akuntabilitas Pengarusutamaan Gender, Bukan Suatu yang Mustahil. Jakarta. Jurnal Perempuan edisi 50. Masaaki Okamto & Rozaki Abdur 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi. Jogjakarta, IRE PRESS. Mentri Negara Pemberdayaan Peremuan. 2000. Panduan Pelaksanaan Impres Nomor 9 tahun 2000. Meneg PP, Jakarta.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Hartian Silawati. 2006. Pengarusutmaan Gender Mulai dari Mana?. Jakarta. Jurnal Perempuan edisi 50. Soia Kartika. 2006. Pengarusutamaan Gender versus Realitas sosial masyarakat Banten Lebak. Jakarta. Jurnal Perempuan edisi 50. Suhaedi dkk. 2002. Studi tentang Kharisma Kyai & Realitas sosial masyarakat Banten di Banten. STAIN Serang-Banten. Tihami, M.A. 1992. Kiai dan Realitas sosial masyarakat Banten di Banten: Studi tentang Agama, Magi, dan Kepemimpinan di Desa Pasanggrahan Serang, Banten, Tesis Jakarta: Universitas Indonesia. Tjandraningsih Indrasari. 1996. Mengidentiikasi Persoalan Perempuan. Jurnal Analisis Sosial. Edisi 4 November. AKATIGA Vitayala, A., S. H.1995. Posisi dan Peran Wanita Dalam Era Globalisasi. Makalah disampaikan pada seminar ilmiah Puslit Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Zulkielimansyah 2001. Ideologi Intelektual: Upaya meleburkan Identitas Realitas sosial masyarakat Banten dan Kiyai dalam Buku Banten Bangkit 3. Gola Gong, Rumah Dunia, Serang-Banten.
76
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Kontruksi Perempuan Pelaku Kejahatan Kasus Melinda Dee dan Afriani Susanti Suzy Azeharie 1*)
1. Pendahuluan Tahun 2011, berita dalam negeri dihebohkan dengan terungkapnya kasus penipuan yang dilakukan oleh Inong Melinda Dee, atau yang dikenal dengan Melinda Dee, seorang Senior Relations Manager pada bank swasta milik Amerika, Citibank. Kejahatan yang dituduhkan kepada perempuan berusia 48 tahun ini adalah menggelapkan uang nasabah yang telah dipercayakan untuk disimpan pada bank tersebut dan lalu menggunakan dana gelap tersebut untuk kepentingan pribadi serta keluarganya. Diperkirakan hampir 40 milyar rupiah dana yang digelapkan oleh Melinda Dee yang lalu digunakan untuk membeli beberapa mobil super mewah, apartemen premium di Jakarta maupun di Melboune, tempat salah seorang putranya sekolah dan membiayai kehidupannya yang bergaya sosialita kelas atas di Jakarta. Modus penggelapan tersebut adalah Melinda Dee bekerja sama dengan salah seorang teller Citibank Jakarta berinisial D, yang membantu untuk memanipulasi transaksi dan data sejumlah slip transfer penarikan data milik nasabah. Dana yang ditarik tersebut lalu dipindahkankan kebeberapa rekening milik Melinda. Kasus ini terangkat ketika tiga orang nasabah yang merasa dirugikan sampai tiga milyar melapor kepiohak kepolisian. Melinda Dee dijerat dengan Undang Undang 8/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian uang (tanggal 7 Maret 2012, Pengadilan Negeri Jakarta memutuskan hukuman 8 tahun penjara dengan denda 10 miyar rupiah) 2. Pembahasan Kehebohan dari kejahatan yang terungkap ini ironinya kemudian menemukan sasaran tembak yang terus menerus dibidik baik oleh media massa, media jejaring sosial maupun antar pengguna smartphones, yaitu bentuk tubuh Melinda Dee. Hal yang dijadikan guyonan dan ejekan itu terutama adalah bentuk payudara tersangka. Tak kurang dari Kepala Badan Reserse Kriminal POLRI Komjen Ito Sumardi, di hadapan insan media dengan ringan berucap bahwa satu satunya alasan mengapa Melinda Dee belum menggunakan baju khusus tahanan POLRI dikarenakan “tidak ada baju tahanan yang muat di dada tersangka”, sambil menggerak gerakan kedua tangannya di depan dadanya12.
Di media sosial seperti Facebook paling tidak 25 akun atas nama Melinda Dee. Kehidupan sosial Melinda Dee juga disorot tajam, mulai dari perkawinan keduanya dengan seorang pekerja seni, rumah miliknya di RT 08 daerah Tebet Barat, kehidupannya dengan para kelompok sosialita di Jakarta, show room mobil tempat suami pertamanya bekerja, kehidupan putra putrinya, sampai masa masa ketika tersangka bersekolah di SMA Negeri 6 Bulungan Jakarta. Bahkan bagaimana bentuk payudaranya dan nomor bra yang digunakan oleh Melinda pun dikupas tanpa ampun. Pada tempat dan waktu yang berlainan di bulan Januari 2012, masyarakat dikejutkan dengan tabrakan tunggal yang menewaskan sembilan orang pejalan kaki dan lima orang lainnya luka luka di dekat Tugu Tani Jakarta. Pengemudi mobil tersebut adalah Afriani Susanti, 29 tahun, yang mengemudikan mobil tersebut tanpa SIM dan setelah berpesta narkotika bersama beberapa temannya dimalam sebelumnya. Sontak dunia media sosial diriuhkan dengan munculnya berbagai akun yang menghujat Afriani Susanti (AS). Tercatat tidak kurang dari 22 akun yang mengatasnamakan pelaku, misalnya Mendukung Hukuman Mati AS, yang disukai 27,130 orang, Mendukung Hukuman Mati Afriani Susanti dengan 5,593 orang yang suka, Mendukung Hukuman Mati Afriani Susanti Tersangka Tragedi Gambir dengan 5,593 orang yang suka, Rakyat Indonesia Mendukung Hukuman Mati AS dengan 1.853 yang suka, Gerakan Pendukung Hukuman Mati untuk AS dengan 1,145 yang suka, Anti Afriani Susanti dengan 300 yang suka dan 250.000.000 rakyat Indonesia Mendukung AS
1 *Penulis adalah Dosen di Universitas Tarumanegara, Jakarta. 211Komjen Ito Sumardi menjabat sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal POLRI sejak tanggal 30 November 2009 sampai 6 Juli 2011 dan kemudian memasuki masa pensiun.
77
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
di atas. Tidak pula ditemui informasi siapa mereka, berapa usia mereka, dimanakah mereka bertempat tinggal mereka, bagaimanakah kondisi isik maupun kejiwaan mereka ketika peristiwa kecelakaan tersebut berlangsung, apakah mereka dalam keadaan mabuk atau habis menggunakan narkotika, atau yang paling sederhana : siapa nama sopir sopir ini? Tak ada seorangpun yang peduli bagaimana rupa para pengemudi tersebut. Tak ada media massa yang mengungkapkannya. Bahkan sidang pengadian perkara mereka pun (kalaupun itu ada) tidak diketahui perkembangan dari sisi hukumnya. Lalu mengapa terhadap Melinda Dee dan Afriani Susanti, begitu besar hujatan dan caci maki masyarakat yang ditujukan kepada keduanya? Sederhana saja, karena keduanya perempuan, mandiri, berpendidikan cukup tinggi dan datang dari kalangan menengah keatas. Oleh karena itu mereka berdua mendapat hujatan dan caci maki yang luar biasa ditujukan kepada perempuan pelaku kejahatan, yang dalam istilah Ann Llyod dalam bukunya “Doubly Deviant, Doubly Damned tahun 1995, disebut sebagai kutukan dobel (doubly damned). Fenomena bagaimana kerasnya perlakuan masyarakat terhadap Melinda Dee dan Afriani Susanti menegaskan bahwa pada laki laki tidak dilekatkan dualisme buruk dan baik (a good and bad dualism). Hal tersebut menurut Llyod disebabkan berkembangnya semacam mitos bahwa kejahatan yang dilakukan perempuan lebih mematikan daripada yang dilakukan laki laki. Hal ini diperkuat pula oleh pernyataan Gillian Mezey yang mengatakan bahwa “if a woman commits an ofense she has transgressed against the code of what it is to be feminine and she transgressed against the criminal law” Melinda Dee dan Afriani Susanti hidup dalam masyarakat yang sangat patriarkhis, sebuah konsep yang mengacu pada masyarakat yang didominasi oleh laki laki. Dalam masyarakat dengan budaya patriarkhis yang kental seperti di negeri ini, perempuan dikondisikan dalam posisi marjinal dan tidak boleh “menyamai” kedudukan laki laki. Melinda Dee, dianggap menantang budaya patriarkhis karena setelah bercerai dari suami pertamanya, Melinda mengawini seorang pekerja seni berusia 20 tahunan, sebuah hal yang mendobrak kelaziman bahwa perempuan umumnya “harus” berusia lebih muda daripada laki laki. Melinda juga yang menjadi pencari nafkah utama,”the bread winner” dalam rumah tangga barunya, sebuah hal (lagi) diluar kelaziman. Terlepas darimana Melinda Dee mendapatkan uangnya, ia mampu membeli beberapa mobil super mewah yang hanya bisa jadi impian buat mayoritas masyarakat kita. Sebab umumnya yang disorot media adalah para laki laki sukses dengan mobil mewahnya, tapi ini seorang perempuan dengan wajah menarik.
dihukum Mati dengan 1.226 yang suka (Azeharie, 2012:2). Sementara di YouTube dapat dilihat Gerakan Hukum Berat AS atau video yang berjudul “Si Gendut Muka Jamban”.
Nyaris semua akun tersebut menyetujui hukuman mati untuk Afriani Susanti dan yang menarik adalah hampir semua komentar yang masuk mengolok olok dan mencaci maki bentuk tubuh Afriani Susanti. Pada saat yang sama, rumah kediaman keluarga besar AS di daerah Tanjung Priok didatangi orang orang sehingga keluarga AS terpaksa harus mengungsi ketempat yang lebih aman, keluarganya sampai harus mengadakan press conference dan pada kesempatan itu membacakan Surat Permohonan Maaf yang ditulis tangan oleh AS. Tidak cukup dengan hal tersebut, keluarga AS juga bahkan mengadakan tahlilan untuk mendoakan korban yang tewas yang diliput secara luas oleh media massa. Sementara penulis mengumpulkan fakta bahwa ada beberapa kasus kecelakaan lain yang memakan korban cukup besar sejak bulan September 2011 sampai Februari 2012. Misalnya pada tanggal 12 September 2011 di Mojokerto Jawa Timur terjadi tabrakan antara dua bus yang melaju sangat kencang sehingga 20 orang tewas seketika. Tanggal 17 Desember 2011 terjadi tabrakan bis dengan mini bus karena sopir bis mengantuk yang mengakibatkan delapan orang tewas. Tanggal 1 Februari 2012 di Sumedang Jawa Barat, sebuah bis terguling dan masuk jurang sedalam 10 meter akibat rem blong yang membuat 11 orang harus kehilangan nyawanya secara sia sia. Lalu pada tanggal 7 Februari 2012 di Jalan Raya Pantura Indramayu, sebuah tabrakan antara bis dan kontainer terjadi karena sopir bis sedang menggunakan telepon genggam, akibatnya tiga nyawa melayang. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah peristiwa terjungkalnya sebuah bis pada tanggal 12 Februari 2012 setelah menabrak lima mobil dan sebuah warung di Cisarua sehingga 14 orang tewas seketika dan 47 lainnya luka luka (Azeharie,2012:3). Penulis tidak menemui satu pun akun media sosial yang mengatas namakan para pengemudi naas 78
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
umum, maka perempuan tersebut dianggap aneh dan keluar dari jalur. Hal ini dapat menjelaskan mengapa Melinda dihujat. Ia menikahi laki laki muda, memiliki penghasilan yang sangat besar,memiliki mobil sport mewah dan gaya hidup kelas atas. Beberapa hal yang secara budaya masih dianggap “domain” laki laki. Afriani Susanti pun dihujat karena sebagai perempuan ia terbiasa menyetir kendaraan sendiri, bekerja di luar rumah dan menyukai kehidupan malam. Garis tegas antara “perempuan tidak baik” dan “perempuan baik” inilah yang pada akhirnya dipakai masyarakat untuk mengontrol batas batas prilaku yang dianggap baik atau tidak baik untuk seorang perempuan. Ann Llyod mengatakan bias perlakuan terhadap perempuan pelaku kejahatan umumnya lebih berupa hukuman respons yang keras dibanding laki laki pelaku kejahatan dan hal tersebut terjadi karena perempuan pelaku kejahatan seperti Melinda dan Afriani dianggap gagal mematuhi sterotype gender yang dilekatkan kepadanya. Pada tanggal 29 Agustus 2012, Pengadilan Negeri Jakarta telah memvonis Afriani Susanti dengan hukuman penjara selama 15 tahun.
Dipihak lain Afriani Susanti pun dianggap telah menentang budaya patriarkhis karena ia tampil “tidak lazimnya sebagai perempuan baik baik”. Dalam usia 29 tahun dia masih single, melakukan pekerjaan di luar rumah, mandiri, menyetir kendaraan, suka dengan kehidupan malam dan berani mencari jodoh secara terang terangan melalui media online dan datang dari kalangan ekonomi menengah. Para ahli mengatakan bahwa skala penilaian antara laki laki dan perempuan tidak sama. Maskulinitas dan feminitas merupakan dua hal yang sangat berbeda (Cohen dan Young). Karena seperti yang dikatakan oleh Cavadino dan Dignan dalam Shelley Dove perempuan tidak hanya dinilai dari tindakannya akan tetapi juga berdasarkan pada gender mereka (2011:5). Dikotomi antara “Good Enough Mother” dan “Bad Mother” juga dilekatkan pada ibu penderita HIV-AIDS, seperti yang ditulis oleh Tracy Morrison: “Doubly Damned: he Experience of HIV-positive Maternity” dalam jurnal Psychology in Society no. 41, 2011 Akibatnya, ketika perempuan berusaha melakukan peran yang dilakukan laki laki secara 79
Hal menarik lainnya adalah melihat Melinda Dee dan Afriani Susanti menutupi rambut mereka dengan penutup kepala ketika menghadiri persidangan kasus mereka masing masing.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
pengguna di Facebook yang menggalang hukuman mati bagi AS. Beberapa diantaranya menggunakan julukan yang mengacu pada bentuk tubuh Afriani Susanti, seperti “Badak Bermuka Lima”, “Si Tampang Babi”. Sementara di YouTube ada yang menjuluki Afriani sebagai “Si Gendut Bermuka Jamban”. Afriani sudah ditekan dan dipojokan jauh sebelum persidangan dirinya dimulai. Sementara hampir semua pengemudi lain yang juga mencelakakan orang, tidak mendapat reaksi sekeras seperti yang dialami oleh Afriani Susanti. Dalam hal ini media sosial dan media massa telah berperan sebagai hakim. Dalam masyarakat patriarkhis seperti masyarakat kita maka terdapat dikotomi dalam masyarakat bila menyangkut tindakan perempuan dan laki laki. Pada perempuan dilekatkan sejumlah “tindakan yang sesuai dengan kodrat perempuan”” begitupun untuk laki laki. Oleh karena itu apabila perempuan melakukan kejahatan maka hujatan dan kutukan yang akan menimpanya akan berlipat kali bila dibandingkan kejahatan tersebut dilakukan laki laki. Karena dianggap pelaku kejahatan perempuan mengingkari kodratnya sebagai perempuan. Tentu saja kriteria “kodrat perempuan baik baik” tergantung pada konteks budaya masing masing tempat. Teori kekerasan simbolik yang diperkenalkan oleh Pierre Bourdieu juga dipakai dalam paper ini. Teori tersebut menyatakan bahwa kekerasan simbolik dilakukan oleh suatu kelompok yang lebih dominan dengan melalui pemaksaan pemikiran dan persepsi terhadap kelompok lain yang tersubordinat dalam masyarakat sehingga lama kelamaan masyarakat menganggap pemaksaan tersebut sebagai sesuatu hal yang sah dan adil. Melinda Dee dan Afriani Susanti ketika menghadiri persidangan kasus mereka masing masing menutupi kepala mereka untuk memberikan kesan bahwa mereka sekarang “sudah berubah menjadi perempuan baik baik”. Dengan melakukan pengkotakan antara pelaku kejahatan perempuan dan pelaku kejahatan laki laki maka kita semua, termasuk media massa, sedikit banyak bertanggung jawab dalam mengentalkan dunia maskulin.
Mengapa fenomena ini terjadi kiranya dapat dijelaskan dengan menggunakan teori Kekerasan Simbolik yang diperkenalkan oleh Pierre Bourdieu. Menurut Bourdieu, asumsi dasar dari teori ini adalah pada setiap masyarakat akan ada kelompok yang dominan dan kelompok lain yaitu kelompok yang didominasi. Tapi ironinya, menurut Bourdieu dominasi ini tidak selalu memunculkan penolakan dari pihak yang didominasi, malah sebaliknya dominasi acapkali disetujui oleh korbannya. Sehingga kekerasan yang dilakukan tidaklah dirasakan sebagai kekerasan oleh sang korban. Dengan memakai penutup rambut, baik Melinda Dee maupun Afriani Susanti menyetujui untuk “didominasi”, karena dengan cara demikian keduanya menunjukan bahwa mereka berdua telah berubah, telah bertransformasi menjadi sosok perempuan yang baik, submisif dan “sesuai dengan kodrat perempuan”. 3. Kesimpulan. Selaku Senior Relations Manager di Citibank Jakarta di awakl tahun 2011, Melinda Dee, 48 tahun, dianggap telah bersalah menurut Undang Undang Tindak Pidana Pencucian uang pada tanggal 7 Maret 2012. Akan tetapi jauh sebelum vonis jatuh kepadanya, Melinda Dee telah dihujat dan dijadikan bahan olok olok, terutama bentuk payudara dan operasi implant yang dilakukannya. Kehidupan pribadinya pun dijadikan obyek tertawaan dan cacian masyarakat di media sosial termasuk media massa. Tidak kurang dari 25 akun Facebook yang mengatas namakan Melinda Dee, salah satu diantaranya memplesetkan namanya menjadi “Maling Dia” atau mengisi statusnya sebagai “maling atau pencuri”. Sementara Afriani Susanti, 29 tahun, pada tanggal 22 Januari 2012 menabrak sekumpulan orang di dekat Patung Pak Tani. Sosok Afriani Susanti dijadikan sebagai bulan bulanan. Tercatat ada 22
Daftar Pustaka Azeharie,Suzy : Afriani Susanti, paper untuk Seminar Nasional Inovasi dan Teknologi Pemanfaatan ICT dan Pembentukan Karakter Bangsa Dalam Mendukung Industri Kratif untuk Keunggulan Daya Saing Indonesia, Bandung, Juni, 2012. Cohen, Stanley dan Young, Jock : he Manufacture of News, Social Problems, Deviance and Mass Media, UIniversity of Michigan.
80
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Menggugat Kesetaraan Gender sebagai Vision Bangsa Yoyoh Hereyah 1*)
1. Pendahuluan Menarik untuk mengetahui kiprah perempuan dalam ranah public dan domestic. Sosok yang selalu di anggap misterius oleh sebagian kaum lelaki. Dicintai sekaligus dibenci, dijunjung tinggi sekaligus direndahkan, diminati sekaligus dinikmati. Betapa kompleks dan getas dunia yang melingkupi kaum perempuan. Di belahan dunia manapun, mulai dengan karakter budaya yang mengusung kebebasan hingga yang tradisional dalam memandang perempuan, tetap saja menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua dunia. Suaranya tidak terlalu digubris. Sekalipun sesekali muncul di permukaan,perempuan lebih di tempatkan sebagai pemanis dan artiicial, tak lebih dari itu. Memang ada beberapa perempuan yang menonjol dan berkiprah hebat di ranah public namun secara keseluruhan tetap perempuan di pandang lebih rendah dari teman jenisnya, lelaki. Perjalanan panjang sosok perempuan untuk mengurangi ketidak seimbangan kedudukannya berlangsung terus tiada henti hingga saat kini. Di Indonesia sendiri, perjuangan perempuan di mulai oleh sosok Ibu Kartini . Puncaknya saat terjadi krisis berdarah pada tahun 1998 hingga menghasilkan sebentuk reformasi pemerintahan yang terus bergulir hingga saat ini. Namun lagi-lagi peristiwa berdarah tersebut banyak menyisakan kisah kelam terhadap sosok perempuan yang dijadikan korban kebiadaban peristiwa tersebut. Kaum perempuan minoritas cina menjadi korban kebiadaban peristiwa itu. Namun berangkat dari peristiwa tersebut akhirnya melahirkan sebuah lembaga independent yang berjuang untuk kaum perempuan. Komnas Perempuan adalah sebuah lembaga perjuangan perempuan yang terus menerus memberikan advokasi dan melakukan pemberdayaan terhadap perempuan dan hak-hak. Meski secara lembaga sudah ada yang memperjuangkan hak-hak perempuan, namun tetap saja di sana-sini ada upaya untuk mengkebiri hak-hak
tersebut. Ada beberapa contoh regulasi ‘tak ramah’ perempuan yang dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia. Regulasi ‘Tak Ramah’ Perempuan tersebut sebagai berikut : - Perda Provinsi Aceh No. 14/2003 tentang Khalwat - Perda Kota Tangerang No. 8/2005 tentang Pelarangan Pelacuran - Perda Kota Bengkulu No. 24/2000 tentang Larangan Pelacuran dalam Kota Bengkulu - Perda Provinsi Gorontalo No. 10/2003 tentang Pencegahan Maksiat - Perda Kabupaten Tasikmalaya No. 28/2000 tentang Pemberantasan Pelacuran - Perda Kabupaten Majalengka 14 Maret 2009 tentang Prostitusi - Perda Kabupaten Indramayu No. 4/2001 tentang Prostitusi - Perda Kabupaten Garut No. 6/2000 tentang Kesusilaan - Perda Kabupaten Cilacap No. 21/2003 tentang Pemberantasan Pelacuran - Perda Kabupaten Bekasi No. 10/2002 tentang Larangan Perbuatan Tuna Susila - Perda Kabupaten Sumenep No. 3/2002 tentang Larangan Tempat Maksiat - Perda Provinsi Aceh No. 5/2000 tentang Pelaksanaan Syariah Islam - Perda Bupati Cianjur No. 15/2006 tentang Pakaian Dinas Harian Pegawai di Lingkungan Kabupaten Cianjur - Perda Kabupaten Enrekang No. 16/2005 tentang Busana Muslim - Perda Kabupaten Maros No. 16/2005 tentang Berpakaian Muslim - Perda Kabupaten Pesisir Selatan No. 4/2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah - Surat Keputusan Bupati Pandeglang No. 9/2004 tentang Seragam Sekolah SD, SMP, SLTA - Surat Edaran Bupati Indramayu 2001 tentang Wajib Berbusana Muslim dan Pandai Baca AlQuran untuk Siswa Sekolah Memang bukan jalan yang tiada berujung untuk memperjuangkan kesetaraan antara lelaki
1 *) Penulis dalah pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana, Jakarta.
81
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
dan perempuan. Selalu ada titik temu yang dapat diupayakan, dalam menggugat kesetaraan tersebut.
selalu menjadi pihak yang teraniaya dan kalah. Perlunya meluruskan persepsi seks (jenis kelamin), kodrat dan gender di antaranya, akan membuat kedua belah pihak untuk memahami keberadaan mereka dalam pentas kehidupan ini.
2. Pembahasan Menelisik Kedudukan Perempuan dalam Agama Al-Quran, surat al-Hujurat ayat 14 berbunyi: ‘Sesungguhnya telah Aku ciptakan kalian laki-laki dan perempuan dan Aku jadikan kalian berbangsa dan bersuku-suku agar kalian lebih saling mengenal; sesungguhnya yang mulia di antara kalian adalah yang paling takwa.’ Hadist Nabi yang berbunyi :’Sesungguhnya Allah tidak melihat isik dan rupa kamu, tetapi melihat hati dan amal perbuatan kamu’ ( H R Muslim ).Alangkah indah dan harmonisnya hidup ini andai saja nukilan salah satu teks-teks agama di atas dilaksanakan secara konsisten dan ‘kafaah’ oleh semua manusia di dunia tanpa melihat SARA. Khususnya lelaki dan perempuan, terjadinya sinergi yang luarbiasa di antara mereka untuk membangun peradaban dunia yang ‘seindah surga’. Sebuah harapan yang sedang diperjuangkan hingga saat ini. Sekarang ini, kita semua melihat bahwa kehidupan masyarakat manusia sedang menuju tuntutan-tuntutan demokrasi, keadilan penegakan hak-hak asasi manusia. Semua tema ini meniscayakan adanya kesetaraan manusia. Dan semua ini merupakan nilai-nilai yang tetap diinginkan oleh kebudayaan manusia disegala tempat dan zaman. Tuhan juga tentu menghendaki semua nilai ini terwujud dalam kebudayaan manusia. Membangun peradaban yang berkeadilan adalah tugas semua umat manusia tanpa terkecuali baik lelaki maupun perempuan. Meski kenyataan yang sekarang masih jauh dari harapan namun berbagai upaya terus dilakukan untuk mewujudkan tatatan dunia yang lebih baik. Sebuah dunia bisa lebih baik dan maju bila kedudukan para penghuninya sama dan sederajat tanpa ada yang merasa lebih tinggi. Implikasi dari hal ini melahirkan sebuah pola hubungan yang saling menghargai dan menghormati satu dengan yang lain. Sebagaimana yang Tuhan indikasikan dalam teks-teks agama, seperti yang tertera di atas. Namun kenyataan yang ada sekarang memang berbicara lain. Banyaknya ketimpangan hubungan antara lelaki dan perempuan di belahan dunia manapun, memaksa kedua belah pihak untuk introspeksi dan mereorientasi pola hubungan yang terjalin selama ini. Dalam banyak kasus yang terjadi perempuan
Seks , Gender dan Kodrat Perempuan Seks atau jenis kelamin adalah hal paling sering dikaitkan dengan Gender dan kodrat. Laki-laki memiliki penis dan buah zakar, mengalami mimpi basah, memproduksi sperma dan mengeluarkannya, sedangkan perempuan memiliki vagina, dapat mengandung, melahirkan dan menyusui, suatu keadaan biologis yang dimiliki oleh masing-masing jenis kelamin dan secara kodrat mereka berbeda satu sama lain. Secara alamiah, perbedaan-perbedaan tersebut bersifat tetap, tidak berubah dari waktu ke waktu dan tidak dapat dipertukarkan fungsinya satu sama lain. Hal-hal seperti ini yang kemudian kita sebut dengan kodrat. Gender sama sekali berbeda dengan pengertian jenis kelamin. Gender bukan jenis kelamin. Gender bukanlah perempuan ataupun laki-laki. Gender hanya memuat perbedaan fungsi dan peran sosial laki-laki dan perempuan, yang terbentuk oleh lingkungan tempat kita berada. Gender tercipta melalui proses sosial budaya yang panjang dalam suatu lingkup masyarakat tertentu, sehingga dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya Dengan kata lain Gender adalah fungsi dan peran sosial laki-laki dan perempuan dalam lingkungan masyarakat. Selalu ada perbedaan Peran dan fungsi social laki-laki dan perempuan yang terbentuk oleh lingkungan di antara keduanya. Sepanjang yang kita ketahui sebenarnya fungsi dan peran gender dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan karena tidak menyalahi kodrat keduanya. Gender juga berubah dari waktu ke waktu sehingga bisa berlainan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Gender Tidak Melawan Kodrat Mengapa selama ini orang sering mencampuradukkan pengertian Gender dan kodrat? Dikarenakan perbedaan kodrat yang dimiliki perempuan dan laki-laki tersebut, masyarakat mulai memilah-milah peran sosial seperti apa yang (dianggap) pantas untuk laki-laki dan bagian mana yang (dianggap) sesuai untuk perempuan. Misalnya, hanya karena kodratnya perempuan 82
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
mempunyai rahim dan bisa melahirkan anak, maka kemudian berkembang anggapan umum di masyarakat bahwa perempuanlah yang bertanggung jawab mengurus anak. Selanjutnya, anggapan tersebut semakin berkembang jauh di mana perempuan dipandang tidak pantas sibuk di luar rumah karena tugas perempuan mengurus anak akan terbengkalai. Kebiasaan ini lama kelamaan berkembang di masyarakat menjadi suatu tradisi dimana perempuan dianalogikan dengan pekerjaan-pekerjaan domestik dan ‘feminin’ sementara laki-laki dengan pekerjaanpekerjaan publik dan ‘maskulin’. Peran Gender adalah peran yang diciptakan masyarakat bagi lelaki dan perempuan. Peran Gender terbentuk melalui berbagai sistem nilai termasuk nilai-nilai adat, pendidikan, agama, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai hasil bentukan sosial, tentunya peran Gender bisa berubah-ubah dalam waktu, kondisi dan tempat yang berbeda sehingga sangat mungkin dipertukarkan diantara laki-laki dan perempuan. Mengurus anak, mencari nafkah, mengerjakan pekerjaan rumah tangga (memasak, mencuci, dll) adalah peran yang bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, sehingga bisa bertukar tempat tanpa menyalahi kodrat. Dengan demikian, pekerjaan-pekerjaan tersebut bisa kita istilahkan sebagai peran Gender. Jika peran Gender dianggap sebagai sesuatu yang dinamis dan bisa disesuaikan dengan kondisi yang dialami seseorang, maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk menganggap aneh seorang suami yang pekerjaan Sehari-harinya memasak dan mengasuh anak-anaknya, sementara istrinya bekerja di luar rumah. Karena di lain waktu dan kondisi, ketika sang suami memilih bekerja di luar rumah dan istrinya memilih untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga, juga bukan hal yang dianggap aneh. Dalam masyarakat tradisional-patriarkhi (yaitu masyarakat yang selalu memposisikan laki-laki lebih tinggi kedudukan dan perannya dari perempuan) kita dapat melihat dengan jelas adanya pemisahan yang tajam bukan hanya pada peran Gender tetapi juga pada sifat Gender. Misalnya, laki-laki dituntut untuk bersifat pemberani dan gagah perkasa sedangkan perempuan harus bersifat lemah lembut dan penurut. Padahal, laki-laki maupun perempuan adalah manusia biasa, yang mempunyai sifat-sifat tertentu yang dibawanya sejak lahir. Sifat lemah lembut, perasa, pemberani, penakut, tegas, pemalu dan lain sebagainya, bisa ada pada diri siapapun, tidak peduli apakah dia perempuan atau laki-laki. Sayangnya, konstruksi sosial di masyarakat merubah pandangan ‘netral’ pada 83
sifat-sifat Gender tersebut. Contoh, Seorang suami malu untuk bekerja di sektor domestik karena takut Dianggap bukan laki-laki sejati. Padahal, suami yang memasak dan mengasuh anak tidak akan berubah fungsi biologisnya menjadi perempuan, demikian pula sebaliknya, perempuan yang mencari nafkah menjadi supir tidak akan berubah menjadi seorang laki-laki di keesokan harinya. Jadi jelas bahwa, bertukar peran social ( wilayah domestic dan wilayah public ) antar laki-laki dan perempuan sama sekali tidak menyalahi atau melawan kodrat. Berbagi dan bertukar peran Gender dalam kehidupan sehari-hari secara harmonis dapat membangun masyarakat yang lebih terbuka dan maju, karena semua orang mempunyai kesempatan, peluang dan penghargaan yang sama saat mereka memilih pekerjaan yang diinginkannya. Laki-laki maupun perempuan tidak dibatasi ruang geraknya untuk memanfaatkan kemampuannya semaksimal mungkin di bidang pekerjaan yang sesuai dengan minat dan keahliannya Dengan demikian, peran Gender yang seimbang memicu semakin banyak sumberdaya manusia produktif di masyarakat, yang dapat menyumbangkan kemampuannya untuk kemajuan bersama. Kesetaraan Gender Tidak sedikit orang yang masih berpikir bahwa membicarakan kesetaraan Gender adalah sesuatu yang mengada-ada. Hal yang terlalu dibesar-besarkan. Kelompok orang yang berpikir konservatif seperti ini menganggap bahwa kedudukan perempuan dan lakilaki dalam keluarga maupun dalam masyarakat memang harus berbeda. ‘Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, percuma menghabiskan biaya saja, toh nantinya akan kembali juga masuk dapur juga’, atau saat dipertanyakan ‘apakah anak perempuan atau laki-laki yang akan diberikan kesempatan untuk meneruskan sekolah’. Dari ungkapan tersebut mencerminkan tidak adanya kesetaraan Gender yaitu: • Perempuan tidak diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang berguna bagi dirinya dan lingkungannya • Laki-laki tidak diberikan penghargaan yang sama dengan perempuan jika mereka memilih ‘masuk dapur’.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
kesetaraan Gender dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan. Namun, melihat contoh kedua keluarga di atas, jelas bagi kita bahwa jenis pekerjaan seseorang ataupun tempat bekerja yang dipilih oleh seseorang bukanlah ukuran yang dapat menunjukkan adanya kesetaraan Gender. Kesetaraan Gender ditunjukkan dengan adanya kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan di dalam pengambilan keputusan dan di dalam memperoleh manfaat dari peluang-peluang yang ada di sekitarnya. Kesetaraan Gender memberikan penghargaan dan kesempatan yang sama pada perempuan dan laki-laki dalam menentukan keinginannya dan menggunakan kemampuannya secara maksimal di berbagai bidang. Tidak peduli apakah dia seorang ibu rumah tangga, presiden, buruh pabrik, supir, pengacara, guru ataupun profesi lainnya, jika kondisi-kondisi tersebut tidak terjadi pada dirinya maka dia tidak dapat dikatakan telah menikmati adanya kesetaraan Gender. Di lain pihak, berkembangnya isu Gender di masyarakat dan maraknya inisiatif-inisiatif yang memperjuangkan kesetaraan Gender juga memicu sebagian orang menjadi berpikir dikotomis. Terminologi ‘kesetaraan Gender’ seringkali disalahartikan dengan mengambil alih pekerjaan dan tanggung jawab laki-laki. Kondisi seperti ini menyiratkan adanya kesimpangsiuran dalam memaknai kesetaraan Gender. Kesetaraan Gender bukan berarti memindahkan semua pekerjaan laki-laki ke pundak perempuan, bukan pula mengambil alih tugas dan kewajiban seorang suami oleh istrinya. Jika hal ini yang terjadi, bukan ‘kesetaraan’ yang tercipta melainkan penambahan beban dan penderitaan pada perempuan. Inti dari kesetaraan Gender adalah menganggap semua orang pada kedudukan yang sama dan sejajar (equality), baik itu laki-laki maupun perempuan. Dengan mempunyai kedudukan yang sama, maka setiap individu mempunyai hak-hak yang sama, menghargai fungsi dan tugas masing-masing, sehingga tidak ada salah satu pihak yang mereka berkuasa, merasa lebih baik atau lebih tinggi kedudukannya dari pihak lainnya. Singkatnya, inti dari kesetaraan Gender adalah kebebasan memilih peluang-peluang yang diinginkan tanpa ada tekanan dari pihak lain, kedudukan dan kesempatan yang sama di dalam pengambilan keputusan dan di dalam memperoleh manfaat dari lingkungan.
Pemikiran seperti ini umumnya muncul terutama pada kelompok masyarakat tradisionalpatriarkhi yang masih menganggap bahwa sudah kodratnya perempuan untuk melakukan pekerjaan di dapur. Bahwa peran Gender tidak sama dengan kodrat. Bukan kodratnya perempuan untuk masuk dapur, karena kegiatan memasak di dapur tidak ada kaitannya dengan ciri-ciri biologis yang ada pada perempuan. Kegiatan memasak di dapur (atau kegiatan domestik lainnya) adalah suatu bentuk pilihan pekerjaan dari sekian banyak jenis pekerjaan yang tersedia (misalnya guru, dokter, pilot, supir, montir, pedagang, dll), yang tentu saja boleh dipilih oleh perempuan ataupun lakilaki. Kesetaraan Gender memberikan pilihan, peluang dan kesempatan tersebut sama besarnya pada perempuan dan laki-laki. Bagaimana Peran Gender Berlaku di Masyarakat Supaya lebih jelas bagaimana kita bisa melihat kesetaraan Gender terjadi dalam lingkup kegiatan sehari-hari, berikut ilustrasi sederhana yang terjadi pada dua keluarga: Yang pertama adalah seorang istri yang memilih bekerja di rumah Dan suaminya memilih bekerja buruh di pabrik. Pada saat mengambil keputusan di keluarga, istri bebas menentukan apakah dia ingin bekerja di luar atau di dalam rumah. Demikian juga sang suami tidak keberatan untuk bertukar peran suatu saat istrinya mempunyai kesempatan bekerja di pabrik. Dalam hal ini kita bisa mengatakan bahwa telah tercipta kesetaraan Gender di dalam keluarga tersebut. Istri tidak dipaksa suami untuk tinggal di rumah dan suami tidak diharuskan bekerja di pabrik. Mereka memilih peran tersebut atas dasar kemampuan dan keinginan masing-masing pihak, tidak ada paksaan ataupun tekanan dari istri maupun suami. Kesetaraan Gender tercipta manakala istri dan suami mempunyai peluang yang sama untuk memilih jenis pekerjaan yang disukainya dan mempunyai posisi yang sama saat mengambil keputusan Dalam keluarga. Yang kedua, adalah seorang perempuan yang bekerja sebagai pengacara atas desakan sang suami. Sang istri selalu bekerja dibawah tekanan suami, tidak mempunyai kebebasan mengeluarkan pendapatnya dan tidak mempunyai kesempatan untuk memilih pekerjaan lain yang diinginkannya. Kita seringkali membuat dan menilai sesuatu hanya dari penampakan luarnya saja. Demikian pula halnya dengan kesetaraan Gender. Orang sering menghubung-hubungkan
Ketidakadilan Gender Ketidakadilan Gender terjadi manakala seseorang diperlakukan berbeda (tidak adil) berdasarkan 84
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
alasan Gender ( peran dan fungsi sosial di lingkungan masyarakatnya ) . Misalnya, seorang perempuan yang ditolak kerja sebagai supir bis karena supir dianggap bukan pekerjaan untuk perempuan, atau seorang lakilaki yang tidak bisa menjadi guru TK karena dianggap tidak bisa berlemah lembut dan tidak bisa mengurus anak-anak kecil. Ketidakadilan Gender bisa terjadi pada perempuan maupun laki-laki. Namun pada kebanyakan kasus, ketidakadilan Gender Lebih banyak terjadi pada perempuan. Itulah juga sebabnya masalah-masalah yang berkaitan dengan Gender sering diidentikkan dengan masalah kaum perempuan. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender sebagai berikut : Penomorduaan (subordinasi), pelabelan (stereotype), marjinalisasi, beban kerja berlebih (multi burned), kekerasan. a.
Penomorduaan (Subordinasi)
Penomorduaan atau subordinasi pada dasarnya adalah pembedaan perlakuan terhadap salah satu identitas sosial, dalam hal ini adalah terhadap perempuan. Dalam kultur budaya kita di Indonesia, perempuan masih dinomorduakan dalam banyak hal, terutama dalam pengambilan keputusan. Suara perempuan dianggap kurang penting dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut kepentingan umum. Contah lain dalam bidang pendidikan. Perempuan masih sering dinomorduakan, terutama pada lingkup keluarga di pedesaan atau di kalangan masyarakat yang lemah dalam status ekonominya. Hasil survei BPS tahun 2000 diketahui bahwa jumlah perempuan di Indonesia hampir setengahnya (49,9%) dari jumlah penduduk lakilaki (50,1%). Dari jumlah tersebut, pada tahun 20011 terdapat 14,54% perempuan yang buta huruf (dibandingkan laki-laki 6,87%) dan sebesar 12,28% pada tahun 2003 (dibandingkan dengan laki-laki 5,48%). Padahal pada saat yang sama, di negara-negara maju, jumlah perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi (setingkat universitas) lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Sebagai contoh, di New Zealand tercatat 89% pelajar perempuan melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas dibandingkan pelajar laki-laki yang hanya mencapai 62%; di Iceland terdapat 80% pelajar perempuan yang memutuskan ingin masuk ke tingkat lebih tinggi dibandingkan pelajar laki-laki yang hanya mencapai 42%; dan di Inggris dilaporkan bahwa 49% perempuan mengenyam pendidikan universitas dibandingkan 85
laki-laki yang hanya mencapai 41%nya. b. Pelabelan Negatif pada Perempuan (Stereotype) “isi kepala perempuan itu: satu pikiran dan sembilan sisanya hanya emosi saja” Label negatif senada banyak kita temukan di masyarakat. Contohnya, jika perempuan pulang larut malam dari tempatnya bekerja dipandang sebagai perempuan tidak benar, sedangkan jika laki-laki dianggap pekerja keras. Padahal mungkin mereka mempunyai jenis pekerjaan dan kesibukan yang sama. Citra buruk perempuan yang emosional, tidak rasional, lemah, cerewet, pendendam, penggoda dan lain sebagainya, secara tidak langsung telah menghakimi dan menempatkan perempuan pada posisi yang tidak berdaya di masyarakat. Dalam pepatah Jawa bahkan disebutkan bahwa perempuan itu kanca wingking (berperan di belakang) yang swarga nunut neraka katut (ke surga ikut ke neraka juga menurut saja). Dengan label-label negatif seperti itu, mustahil bagi perempuan untuk dapat memperoleh kedudukan yang sejajar dengan laki-laki dalam pandangan masyarakat. Perempuan selalu akan tertinggal di belakang karena dianggap memang posisi terbaiknya ada di belakang laki-laki. c. Marjinalisasi Sebagai akibat langsung dari penomorduaan (subordinasi) posisi perempuan serta melekatnya label-label buruk pada diri perempuan (stereotype), perempuan tidak memiliki peluang, akses dan kontrol -seperti laki-laki- dalam penguasaan sumbersumber ekonomi. Dalam banyak hal, lemahnya posisi seseorang dalam bidang ekonomi mendorong pada lemahnya posisi mereka dalam pengambilan keputusan. Lebih jauh hal ini akan berakibat pada terpinggirkan atau termarginalkannya kebutuhan dan kepentingan pihak-pihak yang lemah tersebut, dalam hal ini adalah perempuan. Di kantor-kantor, staf perempuan sulit mendapatkan posisi pengambil keputusan. Perempuan dianggap masih tidak mampu untuk melakukan tugas-tugas penting dan serius seperti menangani proyek-proyek pembangunan. Fenomena seperti ini umum terjadi dalam tubuh instansi pemerintahan, baik skala nasional maupun daerah. Staf perempuan yang terlibat dalam struktur kepengurusan atau pengelolaan sebuah proyek, mereka cenderung sulit mendapatkan posisi pengambil keputusan proyek. Kebanyakan, staf perempuan lebih berfungsi sebagai
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
‘peran pembantu’, misalnya untuk mencatat hasil rapat, mengetik laporan, dan peran lainnya yang tidak memungkinkan mereka untuk mempunyai akses dan kontrol langsung Pembedaan posisi dan kedudukan perempuan di tempat bekerja berakibat bukan hanya pada terbatasnya manfaat inansial yang diterima (gaji), namun juga perempuan tidak mempunyai akses dan kontrol terhadap program-program kerja yang direncanakan, apakah akan berimplikasi positif atau negatif terhadap perempuan, atau malah sama sekali mengesampingkan kepentingan dan kebutuhan perempuan (buta Gender). Dalam lingkup masyarakat tradisional seperti yang ada di banyak tempat di Indonesia, kondisi perempuan yang terpinggirkan dianggap lumrah dan biasa. Seperti sudah ada aturan tidak tertulis bahwa perempuan tidak aktif diikutkan dalam pertemuanpertemuan penting di masyarakat (misalnya dalam kepengurusan lembaga adat atau musbang) karena laki-laki yang ditempatkan pada posisi pemegang kontrol dan pembuat keputusan. Lebih jauh lagi, perempuan yang berasal dari etnis minoritas (misalnya imigran pendatang) biasanya memiliki peluang partisipasi yang lebih sempit lagi karena mereka tidak diperhitungkan sebagai bagian dari adat asli yang menetapkan norma-norma yang berlaku di tempat mereka tinggal. Aturan-aturan tradisional seperti ini diperparah dengan perangkat hukum dan birokrasi negara kita yang tidak sensitif Gender. Dengan berlanjutnya ketidakadilan Gender seperti ini, posisi perempuan semakin lemah dari sisi ekonomi dan selanjutnya berakibat pada lemahnya posisi perempuan dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga. Dalam kondisi yang demikian menjadi mustahil bagi perempuan untuk memperjuangkan kebutuhan dan kepentingannya serta untuk mendapatkan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, seperti kepemilikan dan penggunaan lahan.
akan berbalik menjadi senjata makan tuan. Beban kerja perempuan menjadi semakin bertambah banyak dengan tambahan kegiatan-kegiatan yang ingin dia ikuti di luar rumah. Hal ini disebabkan karena pada saat yang bersamaan perempuan masih terbebani dengan setumpuk tugas dan pekerjaan di dalam rumah tangganya (domestik). ‘Jangan sampai ketika perempuan sadar Gender kemudian menjadi tidak mau membuatkan kopi untuk suaminya dan membuat situasi rumah tangga menjadi berantakan’. Celotehan seperti itu diungkapkan kaum laki-laki. Pertanyaannya: Apakah hanya perempuan yang bisa membuat kopi? Apakah hanya perempuan yang harus menjaga situasi rumah tangga tetap harmonis? Apakah hanya tugas perempuan untuk membuat rumah tangga bahagia? Jika jawabannya tidak, maka tidak perlu takut bahwa perempuan yang sadar Gender akan membuat situasi di rumah tangga menjadi runyam. Terlebih lagi, bukan hanya perempuan yang harus sadar Gender, tetapi juga laki-laki sebagai bagian dari keluarga yang mempunyai hak dan kewajiban yang setara dalam keluarga. Keluarga yang sudah sadar Gender akan lebih menyadari bahwa kebahagiaan rumah tangga adalah tanggung jawab bersama dan Gender tidak dijadikan alasan bagi perempuan untuk berbuat semena-mena terhadap laki-laki ataupun sebaliknya. Jadi jelas bahwa kekhawatiran-kekhawatiran tersebut sebenarnya tidak beralasan. Jika seluruh anggota keluarga, laki-laki maupun perempuan sudah sadar Gender maka beban tanggung jawab yang ada dalam keluarga tersebut akan terbagi rata dan tidak bertumpuk pada satu orang. Tidak pada istri, ibu, suami, anak dan anggota keluarga lainnya. Inti dari kesetaraan Gender seperti yang telah dibahas di muka, adalah saling menghargai hak-hak dan kewajiban masing-masing, saling membantu dan berbagi peran untuk meringankan beban pekerjaan satu sama lain, karena semua jenis pekerjaan yang dilakukan adalah sama pentingnya. Pekerjaan domestik tidak lebih rendah posisinya dari peran publik. Jika seluruh anggota keluarga aktif dalam kegiatan publik, maka mereka dapat mencari alternatif waktu dan cara bagaimana kedua peran tersebut bisa dilakukan bersama-sama, misalnya dengan mengatur waktu secara bergiliran. Dengan demikian, masingmasing mempunyai kesempatan yang sama untuk mencurahkan waktu, tenaga dan kemampuan yang dimilikinya secara maksimal ketika melakukan peran publik (mencari nafkah, berinteraksi sosial, dll) maupun peran domestik (rumah tangga), karena tidak
d. Beban Kerja Berlebih (Multi-burdened) Ketidakadilan Gender yang terjadi pada perempuan bisa berbentuk muatan pekerjaan yang berlebihan. Hal inilah yang juga sering menjadi bahan diskusi dalam forum-forum yang membahas tentang Gender. Sebagian orang khawatir bahwa jika perempuan semakin pintar, semakin maju, ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, meningkat kemampuan dan keahliannya di berbagai bidang, maka pada akhirnya ‘kebebasan berekspresi’ tersebut 86
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
terbebani dengan ‘antrian’ tugas-tugas lain yang harus dikerjakannya. Komunikasi dan keterbukaan tentunya menjadi kunci untuk terciptanya kesetaraan Gender dalam, sehingga tidak ada salah satu pihak yang ‘terpaksa’ harus mengalah untuk pihak lainnya.
ayat tersebut dengan perspektif gender, penelitian terhadap autensitas hadis tersebut, untuk menemukan hadis yang lebih sahih. Ini berarti memerlukan usaha yang melibatkan antara ulama dengan berbagai orang dan dengan bermacam-macam disiplin ilmu yang mempunyai perspektif gender .
e. Kekerasan
f.
Kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu bentuk ketidakadilan Gender yang mulai ramai dibicarakan akhir-akhir ini dalam media. Bentuk kekerasan yang terjadi sangat beragam, mulai dari kekerasan isik (seperti pemukulan), kekerasan psikis (misalnya, kata-kata yang merendahkan atau melecehkan), kekerasan seksual (contohnya perkosaan), dll. Bentuk-bentuk kekerasan ini bisa terjadi pada siapa saja, dan dimana saja, bisa di wilayah pribadi (rumah tangga) atau di wilayah publik (lingkungan). Pada kebanyakan kasus, korban KDRT adalah perempuan. Tentu saja laki-laki pun bisa jadi korban kekerasan dalam rumah tangga meskipun jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah korban kekerasan terhadap perempuan. Dari sekitar 10 sampai 69 persen dari pasangan hidup di dunia, perempuan menjadi korban kekerasan isik dari pasangannya. Prosentase ini belum termasuk pada kekerasan psikis (mental) dan seksual, yang tentunya menimbulkan dampak lebih panjang dan kompleks bukan hanya bagi korban kekerasan tersebut (perempuan) tapi juga bagi yang menyaksikan kekerasan tersebut terjadi di dalam keluarga, yaitu anak-anak. Setelah melihat penjelasan seks, kodrat dan gender makin terkuak apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan social masyarakat kita dalam memaknai kehadiran manusia di dunia. Peran legitimasi agama, sosial, budaya, ekonomi dan politik membuat jurang antara lelaki dan perempuan menganga lebar. Sebagaimana yang dipaparkan di atas. tafsiran agama mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam melanggengkan ketidakadilan gender maupun sebaliknya, yaitu dalam usaha menegakkan keadilan gender. Untuk itu diperlukan suatu pengkajian ulang terhadap keseluruhan tafsir agama dan implikasinya terhadap ajaran dan prilaku keagamaan. Kajian tersebut menyangkut identitas akar permasalahan dan strategi pemecahannya.Suatu strategi advokasi bisa dipinjam untuk melakukan proses penyadaran dan penafsiran ulang dengan pendekatan-pendekatan sebagai berikut: apabila persoalannya terletak dalam pengertian ayat al-Quran atau bunyi hadis, maka yang perlu dilakukan adalah penafsiran ulang terhadap
Sepuluh Koran Ibukota yang beredar Jumat 29 Januari 1993 yaitu : Berita Buana, Bisnis Indonesia, Kompas, Neraca, Pos Kota, Republika, Sinar Pagi, dan Suara Karya. Berita yang menyangkut perempuan mengetengahkan perempuan yang mereka ketengahkan dalam pemberitaannya adalah sebagai berikut: 1. Korban tindak kejahatan, terutama kekerasan (seksual dan penganiayaan) 2. Korban suatu kekuatan diluar kekuasaan dirinya (alam, penguasa) 3. Objek seks, dan pendamping kisah yang “dibintangi” laki-laki 4. Sebagai istri orang (subandy : 98: 142)
87
Bias Gender dalam Pemberitaan
3. Simpulan Berbagai persoalan yang menghadang perempuan di berbagai bidang kehidupan sepanjang masa membuat penulis tersadarkan, ada persoalan krusial yang sesungguhnya terjadi selama ini yang sering kali menjadi silent killer bagi relasi perempuan dan laki-laki yait: kesetaraan gender. Penulis menganggap menggugat kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan adalah sebuah keharusan bila menginginkan harmonisasi kehidupan dan kemajuan dunia. Khususnya di Negara kita, Indonesia. Media adalah sebuah lembaga yang memberi dorongan penuh bagi terciptanya kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Kekerasan terhadap perempuan melalui pemberitaan, penyajian, potret perempuan menurut kehendak media adalah salah satu bentuk ketidakadilan gender yang terjadi terhadap perempuan yang dilakukan oleh media. Menelisik atas contoh-contoh pemberitaan yang ada tentang penyajian perempuan di media, menjadi keprihatinan bersama. Upaya-upaya positif dapat dilakukan oleh media untuk memberikan penyajian yang berimbang dan positif antara perempuan dan laki-laki. Media sebagai “alat” pencitraan bagi berbagai kepentingan mestinya memiliki peran yang cukup
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
signiikan untuk mendorong terciptanya kesetaraan dan keadilan gender. Apa yang menjadi harapan kita semua dapat tercipta bila media memberlakukan kesetaraan gender dalam melakukan penyajian informasi, berita terhadap gender yang ada. Daftar Pustaka Ceramah oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, pada tanggal 21 Juni 2001 pada acara Sarasehan Representasi Perempuan dan Pemilihan Umum. Sumber: Data dirumuskan oleh Divisi Perempuan dan Pemilihan Umum CETRO. 2001 St. Sundari Maharto, “Perempuan dalam Budaya Jawa”, dalam Hj. Bainar, Wacana Perempuan KeIndonesiaan da Kemodernan, (Jakarta: CIDES) Baroroh Baried, “Konsep Wanita dalam Islam”, dalam Wanita Islam Indonesia Kjian Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: INIS, 1993),. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakrta: Pustaka Pelajar, 1999). KH.Husein Muhammad, ‘Fiqh Perempuan: Releksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender’. (Jogja : LKIS,2001) Idi Subandy , Wanita dan Media:’ Konstruksi Ideologi Gender Dalam Ruang Publik Orde Baru’. (Bandung: Rosdakarya, 1998) Wikipedia Bahasa Indonesia
88
Bagian III : Peran dan Tantangan New Media bagi Pembangunan di Era Globalisasi
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Twitter “Anak” New Media yang Revolusioner (Medium Pembangun Globalisasi) G. Genep Sukendro dan Sisca Aulia 1*) Abstrak Media mulai berubah wujud untuk tetap selalu menjadi senjata ampuh yang mengarahkan dan menyampaikan kabar. Dan begitu juga dengan publik sekarang lebih powerful di era media sosial. Berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi (information and communication technology/ICT) selama dekade terakhir membawa tren baru di dunia industri komunikasi, yakni hadirnya beragam media yang menggabungkan teknologi komunikasi baru dan teknologi komunikasi massa tradisional. Pada dataran praktis maupun teoritis, fenomena yang sering disebut sebagai konvergensi media ini memunculkan beberapa konsekuensi penting. Konvergensi media memberikan kesempatan baru yang radikal dalam penanganan, penyediaan, distribusi, dan pemrosesan seluruh bentuk informasi baik yang bersifat visual, audio, data, dan sebagainya Dalam dunia maya, begitu banyak jejaring sosial yang mengalami pertumbuhan begitu pesat diantaranya twitter. Di Indonesia, memang twitter kalah populer dibandingkan dengan facebook yang saat ini sudah mencapai lebih dari 200 juta pengguna di seluruh dunia. Namun keampuhan media ini sudah sangat diuji sebagai pengawal atau pun penyampai pembangunan di belahan bumi era globalisasi ini, salah satunya di Indonesia. Strategi pembangunan menentukan strategi komunikasi, maka makna komunikasi pembangunan pun bergantung pada modal atau paradigma pembangunan yang dipilih oleh suatu negara. Peranan komunikasi pembangunan berguna menuju suatu sistem sosial dan ekonomi yang diputuskan sebagai kehendak dari suatu bangsa. Komunikasi merupakan dasar dari perubahan sosial, artinya kegiatan komunikasi harus mampu mengantisipasi gerak pembangunan. Proses pembangunan ke depan cenderung akan semakin mengurangi peran pemerintah, seiring semakin besarnya peran masyarakat dan New Media. Karena teknologi komunikasi juga sangat mendukung terciptanya pembangunan suatu bangsa. Kata Kunci: Media, Twitter, Pembangunan, Globalisasi 1. Pendahuluan Dewasa ini relita sudah berlari kencang, mendauhului teori, ini karena peranan komunikasi dan pembangunan. Dalam era globalisasi penyelenggaraan program pembangunan, diperlukan suatu sistem komunikasi agar terjalin komunikasi efektif dan memiliki makna yang mampu mengarahkan pencapaian tujuan pembangunan. Hal itu perlu dilakukan karena proses pembangunan melibatkan belbagai elemen masyarakat. Dimana komunikasi pembangunan selayaknya mengedepankan sikap aspiratif, konsultatif, dan relationship. Karena pembangunan tidak akan berjalan dengan optimal tanpa adanya hubungan sinergis antara pelaku dan obyek pembangunan. Apalagi proses pembangunan ke depan cenderung akan semakin mengurangi peran dominan pemerintah—seiring semakin besarnya peran masyarakat dan tentunya media (new media). Konteks dalam media baru adalah istilah yang dimaksudkan untuk mencakup kemunculan digital, komputer, atau jaringan teknologi informasi dan komunikasi di akhir abad ke-20. Media baru merupakan sebuah terminologi untuk menjelaskan konvergensi antara teknologi komunikasi digital yang terkomputerisasi serta terhubung kedalam
jaringan. Pada saat perkembangan teknologi berkembang dengan cepatnya, pastinya banyak sekali produk-produk multimedia yang semakin banyak juga. Seiring dengan berkembang pesatnya media saat ini, tentang beberapa aplikasi new media yang sudah awam digunakan sehari hari sebagai sarana untuk membantu dalam belbagai bidang, seperti; Facebook, YouTube, Twitter, Myspace, dan sebagainya. Dalam konteks ini lebih spesiik membahas pada medium Twitter. Sejarahnya, Twitter berawal dari sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh anggota dewan dari Podcasting perusahaan Odeo. Jack Dorsey memperkenalkan ide Twitter dimana individu bisa menggunakan short message service (SMS) layanan untuk berkomunikasi dengan sebuah kelompok kecil. Proyek ini dimulai pada tanggal 21 secara terbuka pada tanggal 15 Juli 2006. Twitter menjadi perusahaan sendiri pada bulan April 2007. Popularitas Twitter mulai meningkat pada tahun 2007 ketika terdapat Festival South by Southwest (SXSW). Selama acara tersebut berlangsung, penggunaan Twitter meningkat dari 20.000 kicauan per hari menjadi 60.000. Reaksi di festival itu sangat positif. Pada tanggal 14 September 2010, Twitter mengganti logo dan meluncurkan
1 *) Kedua Penulis adalah Dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara, Jakarta.
91
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
desain baru dan logo berubah lagi menjadi “Larry the “Bird” pada tanggal 5 Juni 2012. Sudah lebih dari 400.000 kicauan dikirim-tampil (post) per kuartal pada tahun 2007. Kemudian berkembang menjad 100 juta kicauan dikirim-tampil per kuartal pada 2008. Pada akhir tahun 2009, 2 miliar per kuartal kicauan sudah dikirim-tampil. Pada kuartal pertama tahun 2010, 4 miliar kicauan yang dikirim-tampil. Pada bulan Februari 2010 pengguna Twitter mengirimkan 50 juta per hari. Pada Juni 2010, sekitar 65 juta kicauan yang dikirim-tampil setiap hari, setara dengan sekitar 750 kicauan dikirim setiap detik, menurut Twitter. Di Indonesia, Twitter sangat popular, terlebih lagi, kemudahan yang disediakan oleh telepon seluler yang ada serta aplikasi yang mendukung. hal ini membuat Indonesia menduduki peringkat ke enam sebagai negara dengan pengguna Twitter terbanyak, meski Amerika masih menjadi negara nomor satu untuk urusan Twitter. Media baru juga sebagai alat untuk perubahan sosial gerakan sosial media memiliki andil sejarah, dalam menciptakan perubah dengan kecepatan tinggi. Sejak itu, New Media telah digunakan secara luas oleh gerakan sosial untuk belbagai hal; mendidik, mengatur, berkomunikasi, membangun koalisi, dan banyak lagi. Satu sisi publik memanfaatkan internet untuk menghasilkan globalisasi akar rumput, yang bersifat anti-kemapanan daripada arus modal. Sesuatu hal tentu saja, beberapa juga skeptis terhadap peran, karakter media baru dalam gerakan sosial. Menggunakan situs web, blog, dan video online untuk menunjukkan efektivitas gerakan itu sendiri. Seiring dengan contoh penggunaan blog volume tinggi telah memungkinkan belbagai pandangan dan praktek menjadi lebih luas dan mendapatkan lebih banyak perhatian publik. Eksesnya new Media baru-baru ini banyak diminati global spionase masyarakat karena mudah diakses secara elektronik dalam database format dan karena itu dapat dengan cepat diambil dan sebaliknya direkayasa oleh nasional pemerintah. Terutama menarik bagi spionase komunitas Facebook dan Twitter, dua situs di mana orang bebas mengungkapkan informasi pribadi yang kemudian dapat disaring melalui dan diarsipkan untuk penciptaan otomatis dari dokumen pada kedua orang kepentingan dan warga rata-rata. Kembali pada peran media dalam kehidupan sosial bukan sekedar sarana diversion, pelepas ketegangan atau hiburan, tetapi isi dan informasi yang disajikan, mempunyai peran yang signiikan dalam proses sosial. Isi media massa merupakan konsumsi otak bagi khalayaknya, sehingga apa yang ada di media massa akan mempengaruhi realitas subjektif pelaku interaksi sosial (DeFleur dan Ball-Rokeach, 1989; Curran et. al, 1979). Gambaran tentang realitas yang dibentuk oleh isi media massa inilah yang nantinya mendasari respon dan sikap khalayak terhadap belbagai objek
sosial. Informasi yang salah dari media massa akan memunculkan gambaran yang salah pula terhadap objek sosial itu. Karenanya media massa dituntut menyampaikan informasi secara akurat dan berkualitas. Kualitas informasi inilah yang merupakan tuntutan etis dan moral penyajian media massa. Menilik dari besarnya peran new media dalam mempengaruhi pemikiran khalayaknya, tentulah perkembangan media massa di Indonesia pada masa akan datang harus dipikirkan lagi. Apalagi menghadapi globalisasi media massa yang tak terelakan lagi. Globalisasi media massa merupakan proses yang secara nature terjadi, sebagaimana jatuhnya sinar matahari, sebagaimana jatuhnya hujan atau meteor. Globalisasi membuat perbedaan yang ada antarnegara dalam dimensi ruang, waktu dan kebudayaan semakin berkurang. Jika, pada era 1970-an sampai akhir abad ke-20 kita lekat dengan istilah amerikanisasi maka memasuki abad ke-21 sampai sekarang istilah tersebut digantikan dengan globalisasi. Sebagaimana lontaran Gramsci yang terkenal dengan teori hegemoninya mengatakan bahwa untuk melepaskan diri dari cengkeraman budaya asing, diperlukan partisipasi keikutsertaan para intelektual organik kaum inteletual yang harus menyadarkan masyarakat, terutama generasi muda, bukan kaum inteletual tradisional yang justru lebih melegitimasikan budaya-budaya asing tersebut (Gramsci dalam Bocock, 2007). 2. Kerangka Teori 2.1. Teori Modernisasi Teori Modernisasi muncul pada pasca perang dunia kedua, yaitu pada saat Amerika terancam kehilangan lawan dagang sehingga terjadi kejenuhan pasar dalam negeri; dari keterlibatan Amerika inilah negara-negara Eropa yang porak poranda seusai perang mulai bangkit dari keterpurukannya, keterlibatan ini bukan saja banyak ‘menolong’ negara-negara Eropa, tetapi di balik itu justru banyak memberikan keuntungan yang lebih bagi Amerika itu sendiri. Pada perkembangannya kemudian, keberhasila pembangunan yang diterapkan pada negara-negara di Eropa ini memberikan pemikiran lanjut untuk melakukan ekspansi pasar ke negara-negara dunia Ketiga, dan banyak memberikan bantuan untuk pembangunannya; dalam kenyataannya, keberhasilan yang pernah diterapkan di Eropa, ternyata banyak mengalami kegagalan di negara-negara dunia Ketiga. Penjelasan tentang kegagalan ini memberikan inspirasi terhadap sarjana-sarjana sosial Amerika, yang kemudian dikelompokkan dalam satu teori besar, dan dikenal sebagai teori Modernisasi (Budiman, dalam: Frank, 1984). Asumsi dasar dari teori modernisasi mencakup: (1) Bertolak dari dua kutub dikotomis yaitu antara masyarakat modern (masyarakat negara-negara maju) dan masyarakat tradisional (masyarakat negara92
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
negara berkembang); (2) Peranan negara-negara maju sangat dominan dan dianggap positif, yaitu dengan menularkan nilai-nilai modern disamping memberikan bantuan modal dan teknologi. Tekanan kegagalan pembangunan bukan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal melainkan internal; (3) Resep pembangunan yang ditawarkan bisa berlaku untuk siapa, kapan dan dimana saja (Budiman, dalam: Frank, 1984). Satu hal yang menonjol dari teori modernisasi ini adalah, modernisasi seolah-olah tidak memberikan celah terhadap unsur luar yang dianggap modern sebagai sumber kegagalan, namun lebih menekankan sebagai akibat dari dalam masyarakat itu sendiri. Asumsi ini ternyata banyak menimbulkan komentar dari berbagai ihak, terytama dari kelompok pendukung teori dependensi, sehingga timbul paradigma baru yang dikenal sebagai teori Modernisasi Baru (SuwarsonoSo, 1991). 2.2. Teori Media Baru Pada tahun 1990, Mark Poster meluncurkan buku besar, he Second Media Age, yang menandai periode baru dimana teknologi interaktif dan komunikasi jaringan, khususnya dunia maya akan mengubah masyarakat. Gagasan tentang era media kedua yang sebenarnya telah dikembangkan sejak tahun 1980-an hingga saat ini menandai perubahan yang penting dalam teori media. Kekuatan media dalam dan dari media itu sendiri kembali menjadi fokus, termasuk sebuah minat baru dalam karakteristik penyebaran dan penyiaran media. Era media yang pertama digambarkan oleh sentralisasi produksi; komunikasi satu arah; kendali situasi untuk sebagian besar; reproduksi stratiikasi sosial dan perbedaan melalui media; audiens massa yang terpecah; dan pembentukan kesadaran sosial. Era media kedua dapat digambarkan sebagai desentralisasi; dua arah; di luar kendali situasi; demokratisasi; mengangkat kesadaran individu; dan orientasi individu. Pendekatan interaksi sosial membedakan media menurut seberapa dekat media dengan model interaksi tatap muka. Bentuk media penyiaran yang lama, dikatakan lebih menekankan pada penyebaran informasi yang mengurangi peluang adanya interaksi. Media dianggap sebagai media informasional dan karenanya menjadi mediasi realitas bagi konsumen. Media baru lebih interaktif dan menciptakan sebuah pemahaman baru tentang komunikasi pribadi. Pendukung pandangan yang paling terkemuka adalah Pierre Levy yang menulis buku berjudul Cyberculture. Levy memandang World Wide Web sebagai sebuah lingkungan informasi yang terbuka, leksibel dan dinamis, yang memungkinkan, manusia mengembangkan orientasi pengetahuan yang baru dan juga terlibat dalam dunia demokratis tentang pembagian mutual dan pemberian kuasa yang lebih 93
interaktif dan berdasarkan pada masyarakat. Dunia maya memberikan tempat pertemuan semu yang memperluas dunia sosial, menciptakan peluang pengetahuan baru, dan menyediakan tempat untuk berbagai pandangan secara luas. Media baru tidak seperti interaksi tatap muka, tetapi memberikan bentuk interaksi baru yang membawa kita kembali pada hubungan pribadi dalam cara yang tidak bisa dilakukan oleh media sebelumnya. Salah satu nilai besar dalam media baru, tetapi perbedaan juga dapat menyebabkan adanya perpecahan dan pemisahan. Pendekatan integrasi sosial menggambarkan media bukan dalam bentuk informasi, interaksi, atau penyebarannya, tetapi dalam bentuk ritual, atau bagaimana manusia menggunakan media sebagai cara menciptakan masyarakat. Menurut Praktikto (1979: 36) dewasa ini kemajuan teknologi informasi yang menuju kearah globalisasi komunikasi dirasakan cenderung berpengaruh langsung terhadap tingkat peradaban masyarakat dan bangsa. Semua menyadari bahwa perkembangan teknologi informasi akhir-akhir ini bergerak sangat pesat dan telah menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap tata kehidupan masyarakat di berbagai negara. Kemajuan bidang informasi membawa kita memasuki abad revolusi komunikasi. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai “Ledakan Komunikasi” (Subrata, 1992). Apabila globalisasi diartikan sebagai perkembangan kebudayaan manusia, maka globalisasi informasi dan komunikasi yang mucul karena perkembangan teknologi komunikasi, diartikan sebagai teknologi elektronika yang mampu mendukung percepatan dan meningkatkan kualitas informasi ini tidak mungkin lagi di dibatasi oleh ruang dan waktu (Wahyudi, 1990). Media massa merupakan salah satu bentuk kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Melalui media massa yang semakin banyak berkembang memungkinkan informasi menyebar dengan mudah di masyarakat. Informasi dalam bentuk apapun dapat disebarluaskan dengan mudah dan cepat sehingga mempengaruhi cara pandang, gaya hidup, serta budaya suatu bangsa. Arus informasi yang cepat menyebabkan kita tidak mampu untuk menyaring pesan yang datang. Akibatnya tanpa sadar informasi tersebut sedikit demi sedikit telah mempengaruhi pola tingkah laku dan budaya dalam masyarakat. Kebudayaan yang sudah lama ada dan menjadi tolak ukur masyarakat dalam berperilaku kini hampir hilang dan lepas dari perhatian masyarakat. Akibatnya, semakin lama perubahan-perubahan sosial di masyarakat mulai terangkat ke permukaan. Pengaruh media terhadap masyarakat telah menumbuhkan pembaharuan-pembaharuan yang cepat dalam masyarakat. Pembaharuan yang berwujud perubahan ada yang ke arah negatif dan ada yang ke arah positif. Pengaruh media tersebut berkaitan
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
dengan aspek-aspek lain seperti sifat komunikator, isi/informasi dari media itu sendiri, serta tanggapan dari masyarakat. Sadar atau tidak sadar masyarakat sering dipengaruhi oleh media massa, misalnya media membujuk untuk menggunakan suatu produk tertentu ataupun secara tidak langsung membujuk untuk mendukung ideologi politik tertentu maupun partai tertentu. Sehubungan dengan hal tersebut, ada beberapa teori kontemporer yang berkaitan dengan pengaruh komunikasi massa yang digolongkan dalam empat bagian, yaitu: 1. Teori perbedaan Individu. Menurut teori ini terdapat kecendrungan baru dalam pembentukan watak sesorang melalui proses belajar. Adanya perbedaan pola pikir dan motivasi didasarkan pada pengalaman belajar. Perbedaan individu disebabkan karena perbedaan lingkungan yang menghasilakan perbedaan pandangan dalam menghadapi sesuatu. Lingkungan akan mempengaruhi sikap, nilai-nilai serta kepercayaan yang mendasari kepribadian mereka dalam menaggapi informasi yang datang. Dengan demikian pengaruh media terhadap individu akan berbeda-beda satu sama lain. 2. Teori Penggolongan Sosial. Penggolongan sosial lebih didasarkan pada tingkat penghasilan, seks, pendidikan, tempat tinggal maupun agama. Dalam teori ini dikatakan bahwa masyarakat yang memiliki sifat-sifat tertentu yang cenderung sama akan membentuk sikap-sikap yang sama dalam menghadapi stimuli tertentu. Persamaan ini berpengaruh terhadap tanggapan mereka dalam menerima pesan yang disampaikan media massa. 3. Teori Hubungan Sosial. Menurut teori ini kebanyakan masyarakat menerima pesan yang disampaikan media banyak di peroleh melalui hubungan atau kontak dengan orang lain dari pada menerima langsung dari media massa. Dalam hal ini hubungan antar pribadi mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penyampaian informasi oleh media. 4. Teori Norma-Norma Budaya. Teori ini menganggap bahwa pesan/informasi yang disampaikan oleh media massa dengan caracara tertentu dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda oleh masyarakat sesuai dengan budayanya. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa media mempengaruhi sikap individu tersebut. Ada beberapa cara yang ditempuh oleh media massa dalam mempengaruhi norma-norma budaya. Pertama, informasi yang disampaikan dapat memperkuat pola-pola budaya yang berlaku serta meyakinkan masyarakat bahwa budaya tersebut masih berlaku dan harus di patuhi. Kedua, media massa dapat menciptakan budaya-budaya baru yang dapat melengkapi atau menyempurnakan budaya lama yang tidak bertentangan. Ketiga, media massa dapat merubah
norma-norma budaya yang telah ada dan berlaku sejak lama serta mengubah perilaku masyarakat itu sendiri. Perubahan sosial merupakan gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat dan merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan sosial di masyarakat meliputi beberapa orientasi, antara lain; (1) perubahan dengan orientasi pada upaya meninggalkan faktor-faktor atau unsur-unsur kehidupan sosial yang mesti ditinggalkan atau diubah, (2) perubahan dengan orientasi pada suatu bentuk atau unsur yang memang bentuk atau unsur baru, (3) suatu perubahan yang berorientasi pada bentuk, unsur, atau nilai yang telah eksis atau ada pada masa lampau. Dalam memantapkan orientasi suatu proses perubahan, ada beberapa faktor yang memberikan kekuatan pada orientasi perubahan tersebut, antara lain adalah sebagai berikut: (1) sikap, dalam hal ini baik skala individu maupun skala kelompok yang mampu menghargai karya pihak lain, tanpa dilihat dari skala besar atau kecilnya produktivitas kerja itu sendiri, (2) adanya kemampuan untuk mentolerir sejumlah penyimpangan dari bentuk-bentuk atau unsur-unsur rutinitas, sebab pada hakekatnya salah satu pendorong perubahan adanya individu-individu yang menyimpang dari hal-hal yang rutin, makhluk yang suka menyimpang dari unsur-unsur rutinitas, (3) mengokohkan suatu kebiasaan atau sikap mental yang mampu memberikan penghargaan (reward) kepada pihak lain (individual, kelompok) yang berprestasi dalam berinovasi, baik dalam bidang sosial, ekonomi, dan iptek, (4) tersedianya fasilitas dan pelayanan pendidikan dan pelatihan yang memiliki spesiikasi dan kualiikasi progresif, demokratis, dan terbuka bagi semua ihak yang membutuhkannya. Suatu proses perubahan sosial tidak selalu berorientasi pada kemajuan semata. Tidak menutup kemungkinan bahwa proses perubahan sosial juga mengarah pada kemunduran atau mungkin mengarah pada suatu degradasi pada sejumlah aspek atau nilai kehidupan dalam masyarakat yang bersangkutan. Suatu kemunduran dan degradasi (luntur atau berkurangnya suatu derajat atau kualiikasi bentukbentuk atau nial-nilai dalam masyarakat), tidak hanya satu arah atau orientasi perubahan secara linier, tetapi juga memiliki dampak sampingan dari keberhasilan suatu proses perubahan. 3. Pembahasan 3.1. Twitter: Membangun Media Pembangun Revolusioner Konsep pembangunan biasanya melekat dalam konteks kajian suatu perubahan, pembangunan disini diartikan sebagai bentuk perubahan yang sifatnya direncanakan; setiap orang atau kelompok orang tentu akan mengharapkan perubahan yang mempunyai bentuk lebih baik bahkan sempurna dari keadaan yang 94
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
sebelumnya; untuk mewujudkan harapan ini tentu harus memerlukan suatu perencanaan. Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh ihak-ihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat (Soemardjan-Soemardi, 1974). Masyarakat Indonesia, tidak terlepas dari fenomena pembangunan, keaneka-ragaman, etnik, ras, kelompok, dan agama dengan bentuk tingkat kehidupan yang belbeda dalam masyarakat ini secara langsung maupun tidak langsung, akan mendorong timbulnya perubahan dalam masyarakat sendiri atau menurut orientasinya ke luar masyarakat. Kurangnya komunikasi yang terjadi antara para penentu kebijakan dengan rakyak kebanyakan, menyebabkan model atau bentuk pembangunan yang diterapkan lebih memperlihatkan suatu model top-down planning yang menurut satu kondisi dianggap lebih baik, namun dari sisi yang lain memberikan dampak yang kurang diharapkan; sejauh perkembangan masyarakat yang ada, ternyata sisi ke dua inilah yang dirasakan lebih memperlihatkan substansinya dalam masyarakat Indonesia ini. Secara umum, pembangunan diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya; sering kali, kemajuan yang dimaksudkan terutama adalah kemajuan material. Maka, pembangunan seringkali diartikan sebagai kemajuan yang dicapai oleh satu masyarakat di bidang ekonomi; bahkan dalam beberapa situasi yang sangat umum pembangunan diartikan sebagai suatu bentuk kehidupan yang kurang diharpakan bagi ‘sebagian orang tersingkir’ dan sebagai ideologi politik yang memberikan keabsahan bagi pemerintah yang berkuasa untuk membatasi orang-orang yang mengkritiknya (Budiman, 1995). Pembangunan sebenarnya meliputi dua unsur pokok; pertama, masalah materi yang mau dihasilkan dan dibagi. Kedua, masalah manusia yang menjadi pengambil inisiatif, yang menjadi manusia pembangun. Bagaimanapun juga, pembangunan pada akhirnya harus ditujukan pada pembangunan manusia; manusia yang dibangun adalah manusia yang kreatif, dan untuk bisa kreatif ini manusia harus merasa bahagia, aman, dan bebas dari rasa takut. Pembangunan tidak hanya berurusan dengan produksi dan distribusi barang-barang material; pembangunan harus menciptakan kondisi-kondisi manusia bisa mengembangkan kreatiitasnya (Budiman, 1995). Pembangunan pada hakekatnya adalah suatu proses transformasi masyarakat dari suatu keadaan pada keadaan yang lain yang makin mendekati tata masyarakat yang dicitacitakan; dalam proses transformasi itu ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu keberlanjutan (continuity) dan perubahan (change), tarikan antara keduanya menimbulkan dinamika dalam perkembangan 95
masyarakat (Djojonegoro, 1996). Komunikasi pembanguan dan media bias dilihat dari salah satu kunci keberhasilan dari sebuah lembaga, organisasi atau perusahaan adalah bagaimana mengetahui apa yang menjadi keinginan dari publik. Dengan mengetahui keinginan dari luar/publik, maka sebuah lembaga dapat memuaskan masyarakat sehingga akan terciptalah kepercayaan dan loyalitas. Kini hidup di dunia globalisasi dan dunia tanpa batas. Hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah pengguna Internet, baik di Indonesia maupun di dunia. Meningkatnya pengguna internet, juga sejalan dengan meningkatnya jumlah pengguna media sosial yang ada. Saat ini, Indonesia termasuk ke dalam tiga besar dunia pengguna facebook (di bawah Amerika dan India) serta termasuk ke dalam sepuluh besar pengguna twitter, sekitar 15 % pengguna twitter berasal dari Indonesia. Tidak heran, jika hot issue yang terjadi di Indonesia saat ini menjadi trending topics di twitter. Bagaimana peranan media sosial sendiri dalam perkembangan? Peranannya jelas sangat besar. Jika kita menilik pengguna internet dan media sosial yang ada, tentunya peranan media sosial sendiri tidaklah kecil. Salah satu peranannya adalah mampu mendongkrak bisnis yang ada melalui peningkatan citra di media sosial. Dimana citra itu sendiri adalah merupakan salah satu hal yang harus dilakukan. Maka peranan media sosial cukuplah tinggi, hal ini karena media sosial mampu membangun komunitas dan loyalitas publik, dapat memonitor pembicaraan tetang citra ataupun nama lembaga, mengidentiikasi pelanggan sosial dan yang pasti adalah mampu mendekatkan komunikasi dan hubungan antara lembaga dan publik. Publik akan sangat mudah memperoleh informasi yang didapatkan dari lembaga, begitu pula sebaliknya. Lembaga dapat menerima kritik maupun saran dari para konsumen secara interaktif dengan menggunakan media sosial. 4. Simpulan Perubahan sosial budaya dalam bidang komunikasi di era globalisasi memberikan dampak yang tak sedikit di masyarakat, baik itu dampak positif maupun negatif. Tetapi tentunya dampak negatif tersebut dapat ditanggulangi dan bahkan dicegah agar tidak terjadi. Banyak solusi atau jalan keluar untuk menanganinya tanpa merugikan manusia ataupun masyarakat. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memanfaatkan media sosial, komunikasi media sosial adalah komunikasi yang bersifat liar, artinya komunikasi dari publik tidak selalu bersifat positif, terkadang bisa negatif, jadi perusahaan harus mampu menangani hal ini dengan baik. Media sosial diunakan untuk konsep jangka panjang, bukan sekali aksi selesai, jadi bersifat berkesinambungan. Pemanfaatan media sosial harus terintegrasi dengan media konvensional lainnya, karena biar bagaimanapun baiknya media
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
sosial, namun belum bisa menggantikan secara keseluruhan media konvensional. Media sosial bukan hanya sekedar teknologi, tapi lebih kepada strategi. Bagaimana pemerintah/ organisasi mampu meningkatkan hubungannya dengan publik itu akan menjadi tujuan utama dari pemanfaatan media sosial. Peran media sosial semakin diakui dalam mendongkrak hubungan publik maupun mendongkrak kinerja organisi. Namun efektivitas pemanfaatan tergantung pada bagaimana ornisasi menggunakannya. Dan Twitter sebagai anak new media memfasilitasi, tinggal bagaimana kita menggunakannya, sebagaimana ditangan Anda.
Straubhaar, Joseph D; Robert LaRose and Lucinda Davenport. 2009. Media Now: Understanting Media, Culture and Technology. Belmont: Wadsworth. Tomlinson, John. 2002. he Discourse of Cultural Imperialism dalam Denis Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Metodologi Kasus Indonesia. PT. Tiara Wacana: Yogyakarta Susanto Sunario, Astrid. S. 1993. Globalisasi dan Komunikasi. Cetakan Pertama. Sinar Harapan: Jakarta.
Daftar Pustaka Bocock, Robert. 2007. Hegemoni. Terj. Ikramullah Mahyuddin. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra. Briggs, Asa dan Peter Burke. 2006. A Social History of the Media. Terj. A. Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Budiman, Arif (terj.) Frank, Andre Gunder. (1984). Sosiologi Pembangunan Dan Keterbelakangan Sosiologi, Jakarta: Pustaka Pulsar. DeFleur, Melvin L. and Sandra J. Ball-Rokeach. 1989. heories of Mass Communication, Fifth Edition. New York: Longman. Djojonegoro, W. 1996. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia, Depdikbud. Fakih, Mansour. 2006. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Cet. 4. Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar. Ferguson, Marjorie. 2002. he Mythology About Globalization dalam Denis Garna, Yudistira K. 1999. Teori Sosial Dan Pembangunan Indonesia : Suatu Kajian Melalui Diskusi. Bandung: Primaco Academika. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Penerbit PT Gramedia. McQuail, Denis. 2000. Mass Communication heories, Fourth Edition. London: Sage Publication. McLuhan, Marshall. 1994. Understanding Media: he Extension of Man. London: he MIT Press. Morley, David. 2006. Globalisation and Cultural Imperialism Reconsidered: Old Question in New Guide dalam James Curran and David Morley (ed.). Media and Cultural heory. New York: Routledge. Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: RajaGraindo Persada. Potter, James W. 2001. Media Literacy. New Delhi: Sage Publication. So, Alvin Y-Suwarsono. 1991. Perubahan Sosial Dan Pembangunan Di Indonesia, TeoriTeori Modernisasi, Dependensi, Dan Sistem Dunia; Jakarta: LP3ES. 96
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Ponsel dan Budaya Komunikasi Masyarakat Indonesia Idi Dimyati 1*) Abstrak Perkembangan teknologi komunikasi sejatinya mempunyai dampak sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Produk teknologi komunikasi yang pada mulanya diniatkan untuk membantu manusia agar dapat berkomunikasi satu sama lain secara lebih mudah, cepat dan luas ternyata pada realitasnya tidak melulu menghasilkan dampak positif sesuai dengan maksud dan tujuan mula teknologi itu diciptakan. Hal ini bisa kita telusuri melalui serangkaian realitas penggunaan telepon seluler (ponsel) di Indonesia. Sebagai salah satu produk teknologi komunikasi yang paling fenomenal abad ini, ponsel bukan hanya mengubah cara manusia Indonesia berkomunikasi satu sama lain, tapi juga mengubah budaya komunikasi masyarakat Indonesia yang ada sebelumnya. Pun sebaliknya, budaya masyarakat Indonesia pada dasarnya ikut serta menentukan bentuk dan karakteristik komunikasi melalui ponsel. Budaya komunikasi masyarakat Indonesia yang dikenal ramah dan hangat seiring penggunaan ponsel mulai bergeser menjadi lebih singkat dan langsung (to the point). Budaya masyarakat Indonesia yang tak memisahkan urusan pekerjaan dan pribadi atau urusan publik dan domestik juga terjadi dalam komunikasi ponsel. Orang Indonesia gampang saja membagi nomor ponselnya, bahkan nomor ponsel orang lain yang ada di phone book ponselnya kepada orang lain yang baru dikenalnya sebagai bentuk keakraban. Kata kunci: Ponsel, Budaya Komunikasi, Masyarakat Indonesia. 1. Pendahuluan Telepon seluler (ponsel) atau biasa disebut dengan handphone saat ini telah menjadi bagian yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat dunia. Pada tahun 2010, sebuah studi yang dilakukan oleh raksasa telekomunikasi asal Swedia, Ericsson, mengungkapkan jumlah ponsel yang digunakan di seluruh dunia mencapai 5,0 miliar unit. Padahal jumlah penduduk bumi menurut PBB sebesar 6,8 miliar. Artinya, jika data ponsel yang beredar tesebut kita baca bahwa 1 unit ponsel mewakili 1 orang penduduk, maka hampir 75% penduduk dunia menggunakan ponsel. Bahkan, masih menurut survei Ericsson, setiap hari pertambahan pelanggan mobile ini mencapai dua juta pelanggan di dunia (www. antaranews.com. Kamis, 15/7/2010). Sementara itu, untuk kasus di Indonesia saat ini (2012) tercatat sekitar 250 juta pengguna ponsel. Jumlah pengguna telepon genggam di Indonesia ini menempati peringkat ketiga pengguna terbanyak se-Asia Pasiik (www.mizan.com). Demikian besarnya jumlah ponsel yang beredar di tengah masyarakat ini menunjukan betapa ponsel telah menjadi produk teknologi komunikasi yang keberadaannya sangat massif. Kehadiran ponsel yang kini seperti tak bisa dipisahkan dari kehdupan masyarakat pada akhirnya ikut mengubah tatanan kehidupan masyarakat secara signiikan dan cukup mendasar. Melalui ponsel saat ini, orang-orang yang berjarak ribuan kilometer dapat melakukan komunikasi 1
*)
secara mobile dan real time. Sebuah realitas komunikasi yang mungkin belum terbayangkan sebelumnya pada awal abad ke-20. Bukan itu saja, telah banyak ponsel diposisikan oleh masyarakat bukan sekedar alat bantu komunikasi, tapi lebih dari itu menjadi kawan setia, media hiburan, dan gaya hidup yang selalu menyertai kemanapun mereka pergi. 2. Kajian Pustaka 2.1 Telepon Seluler sebagai Alat Komunikasi Telepon seluler (ponsel) atau biasa dikenal dengan istilah handphone (HP) adalah perangkat telekomunikasi elektronik yang mempunyai kemampuan dasar yang sama dengan telepon konvensional saluran tetap. Perbedaannya dengan telepon konvensional saluran tetap, ponsel dapat digunakan atau dibawa ke mana-mana oleh penggunanya (portabel, mobile) karena tidak perlu disambungkan dengan jaringan telepon konvensional yang menggunakan saluran kabel atau bersifat nirkabel / wireless. Saat ini di Indonesia ada dua jaringan telepon nirkabel yaitu sistem GSM (Global System for Mobile Telecommunications) dan sistem CDMA (Code Division Multiple Access). Martin Cooper, seorang karyawan Motorola dianggap sebagai orang yang menemukan sistem seluler (1973). Meskipun ada juga yang mengatakan penemu telepon genggam sesungguhnya adalah sebuah tim
Dosen di Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten.
97
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
kecil serta sinyal radio yang lebih rendah, sehingga mengurangi efek radiasi yang membayakan pengguna. c). Ponsel generasi ketiga (3-G). Pada generasi ini memungkinkan operator jaringan untuk memberi pengguna mereka jangkauan yang lebih luas, termasuk internet sebaik video callberteknologi tinggi. Dalam 3G terdapat 3 standar untuk dunia telekomunikasi yaitu Enhance Datarates for GSM Evolution (EDGE), WidebandCDMA, dan CDMA 2000. Kelemahan dari generasi 3G ini adalah biaya yang relatif lebih tinggi, dan kurangnya cakupan jaringan karena masih barunya teknologi ini. Tapi yang menarik pada generasi ini adalah mulai dimasukkannya sistem operasi pada ponsel sehingga membuat itur ponsel semakin lengkap bahkan mendekati fungsi PC. Sistem operasi yang digunakan antara lain Symbian,Android dan Windows Mobile d). Ponsel generasi keempat (4-G). Ponsel 4G merupakan sistem ponsel yang menawarkan pendekatan baru dan solusi infrastruktur yang mengintegrasikan teknologi nirkabel yang telah ada termasuk wireless broadband (WiBro), 802.16e, CDMA, wireless LAN, Bluetooth, dan lain-lain. Sistem 4G berdasarkan heterogenitas jaringan IP yang memungkinkan pengguna untuk menggunakan beragam sistem kapan saja dan di mana saja. 4G juga memberikan penggunanya kecepatan tinggi, volume tinggi, kualitas baik, jangkauan global, dan leksibilitas untuk menjelajahi berbagai teknologi berbeda. Terakhir, 4G memberikan pelayanan pengiriman data cepat untuk mengakomodasi berbagai aplikasi multimedia seperti, video conferencing,online game, dan lain-lain.
dari salah satu divisi Motorola (divisi tempat Cooper bekerja) dengan model pertama adalah DynaTAC. Ide yang dicetuskan oleh Cooper adalah sebuah alat komunikasi yang kecil dan mudah dibawa bepergian secara leksibel sebagaimana ponsel seperti yang kita kenal sekarang. Tokoh lain yang diketahui sangat berjasa dalam dunia komunikasi selular adalah Amos Joel Jr yang lahir di Philadelphia (1918). Ia memang diakui dunia sebagai pakar dalam bidang switching. Amos E Joel Jr, membuat sistem penyambung (switching) ponsel dari satu wilayah sel ke wilayah sel yang lain. Switching ini harus bekerja ketika pengguna ponsel bergerak atau berpindah dari satu sel ke sel lain sehingga pembicaraan tidak terputus. Karena penemuan Amos Joel inilah penggunaan ponsel menjadi nyaman. Menurut perkembangan teknologinya, keberadaan ponsel bisa dibagi menjadi empat generasi. a). Ponsel generasi pertama (1-G). Tahun 1973, Martin Cooper dari Motorola Corp menemukan telepon seluler pertama dan diperkenalkan kepada public pada 3 April 1973. Telepon seluler yang ditemukan oleh Cooper memiliki berat 30 ons atau sekitar 800 gram. Penemuan inilah yang telah mengubah dunia selamanya. Teknologi yang digunakan 1-G masih bersifat analog dan dikenal dengan istilah AMPS. AMPS menggunakan frekuensi antara 825 Mhz- 894 Mhz dan dioperasikan pada Band 800 Mhz. Karena bersifat analog, maka sistem yang digunakan masih bersifat regional. Salah satu kekurangan generasi 1-G adalah karena ukurannya yang terlalu besar untuk dipegang oleh tangan. Ukuran yang besar ini dikarenakan keperluan tenaga dan performa baterai yang kurang baik. Selain itu generasi 1-G masih memiliki masalah dengan mobilitas pengguna. Pada saat melakukan panggilan, mobilitas pengguna terbatas pada jangkauan area telpon genggam. b). Ponsel generasi kedua (2-G). Ponsel generasi ini muncul pada sekitar tahun 1990-an. 2G di Amerika sudah menggunakan teknologi CDMA, sedangkan di Eropa menggunakan teknologi GSM. GSM menggunakan frekuensi standar 900 Mhz dan frekuensi 1800 Mhz. Dengan frekuensi tersebut, GSM memiliki kapasitas pelanggan yang lebih besar. Pada generasi 2G sinyalanalog sudah diganti dengan sinyal digital. Penggunaan sinyal digital memperlengkapi telepon genggam dengan pesan suara, panggilan tunggu, dan SMS. Telepon seluler pada generasi ini juga memiliki ukuran yang lebih kecil dan lebih ringan karena penggunaan teknologi chip digital. Ukuran yang lebih kecil juga dikarenakan kebutuhan tenaga bateraiyang lebih kecil. Keunggulan dari generasi 2G adalah ukuran dan berat yang lebih
2.2. Ponsel dan Kehidupan Masyarakat Modern Keberadaan ponsel yang telah demikian massif dalam masyarakat modern dewasa ini. Untuk itu beragam dampak sosial dan budaya hadir seiring keakraban masyarakat bersama ponsel. Secara sekilas kita bisa lihat orang-orang (terutama pada masyarakat perkotaan), di segala usia hampir tak bisa dipisahkan dari ponsel di tangannya. Secara psikologis banyak orang yang merasa ada yang hilang dari dirinya ketika ponsel tak berada di dekatnya. Bahkan, keakraban dan kedekatan masyarakat dengan ponsel telah banyak melahirkan ‘penyakit’ ketergantungan atau kecanduan (addict) terhadap benda ini. Sejak ponsel generasi pertama ditemukan 1973 di Amerika Serikat oleh Martin Cooper dari Motorola 98
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Corp, produk teknologi komunikasi ini menjadi produk massal yang menjadi trend baru dalam cara manusia berkomunikasi satu sama lain di duna. Perkembangan produk dan teknologi ponsel terus disempurnakan dari tehun ke tahun kian membuatnya semakin murah, mudah dan akrab bagi masyarakat dunia modern. Bobotnya kini kian ringan, kecil dan teknologi GSM dan CDMA yang canggih. Bahkan layanan teknologi jaringan sekarang terus berkembang sampai ke generasi 4 (4G) saat ini. Mobilitas pengguna pun nyaris tak terbatas dengan jaringan yang terus meluas ke seluruh pelosok dunia. Menurut Christianti (2006) sebagaimana dikutip oleh Dinna Amalia Rahmah (2012), mobilitas merupakan keunggulan utama dari teknologi seluler bila dibandingkan dengan telepon tetap. Setiap pelanggan dapat mengakses jaringan untuk melakukan komunikasi dari mana saja dan kapan saja. Telepon seluler mempunyai berbagai macam itur yang berfungsi dengan baik, diantaranya adalah itur telepon, SMS, MMS, kamera, radio, kalender, pemutar musik, games, dan yang paling populer saat ini adalah itur internet. Mobilitas ponsel inilah yang sangat mendukung masyaraat modern dalam menjalankan aktiitas mereka. Apalagi masyarakat modern dicirikan dengan mobilitas yang cukup tinggi pula. Sehingga antara karakteristk yang dimiliki teknologi ponsel dan masyarakat modern sebagai penggunanya memiliki banyak kesesuaian. Oleh sebab itu, faktor mobilitas menjadi salah satu hal yang membuat perkembangan pengguna ponsel terus meningkat secara cepat setiap saat.
kesehatan yang ditimbulkan ponsel, keamanan dan keselamatan masyarakat, dan keterasingan sosial yang bisa menyelimuti para penggunanya (http://www.itu. int/telecom-wt99). Sementara itu, Simanjuntak (2004), dalam tulisannya sebagaimana dikutip Ina Astari Utaminingsih mengungkapkan mengenai aspek sosial telepon selular. Menurutnya, paling tidak ada lima implikasi dari penggunaan ponsel. Pertama, terhadap setiap individu yang menggunakan ponsel tersebut. Kedua, terhadap interaksi-interaksi antar individu para penggunanya. Ketiga, terhadap intensitas dan subtansi pertemuan tatap muka. Keempat, terhadap suatu kelompok-kelompok atau organisasi. Terakhir adalah terhadap sistem hubungan di tengah organisasi dan kelembagaan masyarakat. Meski pun cukup banyak dampak ponsel dalam kehidupan masyarakat yang bisa kita kaji. Akan tetapi, dalam tulisan ini sengaja penulis membatasi diri untuk tidak membahas dampak atau pengaruh telepon terhadap semua aspek yang ternyata sangat luas sebagaimana diulas di atas. Tulisan ini berusaha membatasi diri untuk hanya mengulas bagaimana sesungguhnya ponsel yang disebut-sebut sebagai produk teknologi telekomunikasi yang paling eksplosif dalam pemanfaatannya oleh masyarakat sangat terkait erat dengan budaya yang berkembang dalam masyarakat tersebut. Artinya, meskipun produk teknologi komunikasi dalam bentuk ponsel mungkin sama persis antara yang ada di Indonesia maupun di Amerika Serikat, tapi cara pemanfaatannya akan sangat berbeda. 3.2. Ponsel dalam Komunikasi Masyarakat
3. Pembahasan 3.1. Dampak Ponsel Terhadap Budaya Komunikasi Masyarakat Indonesia Ponsel telah melahirkan beragam dampak yang cukup besar di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Menurut Badwilan (2004), dampak-dampak tersebut dapat dikelompokan menurut aspek psikologis, sosial, keuangan dan kesehatan atau keselamatan jiwa seseorang. Lembaga the International Telecommunication Union (ITU) mencatat kehadiran ponsel yang pertumbuhannya berkembang demikian cepat menghadirkan dampak sosial yang luar biasa besar. Banyak hal dari kehidupan masyarakat terancam lantaran ponsel, misalnya tata kota dan lingkungan yang kian semerawut karena munculnya banyak tiang dan menara BTS memenuhi setiap wilayah tanpa kendali, belum lagi persoalan krisis etika para pengguna ponsel yang seolah tak kenal waktu dan tempat dalam menggunakan ponselnya, persoalan 99
Hassan (1999) menjelaskan bahwa teknologi komunikasi cenderung memungkinkan terjadinya transformasi berskala luas dalam kehidupan manusia. Transformasi tersebut telah memunculkan perubahan dalam berbagai pola hubungan antar manusia (patterns of human communication), yang pada hakikatnya adalah interaksi antar pribadi (interpersonal relations). Pertemuan tatap muka (face to face) secara berhadapan dapat dilaksanakan dalam jarak yang sangat jauh melalui tahap citra (image to image). Apalagi penggunaan ponsel saat ini menurut Brotosiswoyo (2002) memang mendorong terbentuknya interaksi yang sama sekali berbeda dengan interaksi tatap muka. Di sini interaksi yang terbentuk “dipercepat” prosesnya melalui suara, teks/ tulisan, dan bahkan gambar lewat perantara (media) ponsel. Ada konteks dan situasi yang terpangkas dalam komunikasi melalui ponsel bila dibandingkan dengan komunikasi antar pribadi yang berlangsung secara tatap muka.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Apa yang dikatakan oleh Marshal McLuhan dalam bukunya Understanding Media: he Extensions of Man (1964) bahwa medium is the messege dapat menjadi pintu masuk untuk menjelaskan dampak atau pengaruh dari ponsel yang saat ini digunakan masyarakat dalam berkomunikasi secara massif. McLuhan menilai media mempengaruhi masyarakat di mana ia memainkan peran tidak hanya oleh isi yang disampaikan melalui media, tetapi juga oleh karakteristik dari media itu sendiri. Sehingga untuk mengetahui dampak dari penggunaan ponsel terhadap pola komunikasi masyarakat dapat dapat dilakukan dengan memahami karakteristik ponsel sebagai media komunikasi. Saat ini, seiring perkembangan teknologi dan persaingan bisnis antar produsen ponsel, harga ponsel semakin hari kian terjangkau oleh masyarajat. Setidaknya, keragaman model ponsel saat ini memungkinkan semua tingkatatan ekonomi masyarakat untuk memilikinya. Karenanya, sekarang hampir semua kalangan umur (murid SD hingga manula) dan status sosial (pengangguran hingga CEO), menjadikan ponsel sebagai teman setia. Kemanapun mereka pergi mereka akan membawa ponsel. Bahkan, banyak orang yang merasa hampa, gelisah dan merasa kehilangan sesuatu yang berarti dalam dirinya manakala mereka tiba-tiba harus hidup tanpa ponsel. Meski hanya dalam waktu yang sementara. Ponsel bagi banyak orang saat ini benar-benar menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan dalam hidupnya. Alih-alih mereka para pengguna/pemilik ponsel yang mengendalikan produk teknologi komunikasi mobile ini, justru mereka yang secara langsung atau tidak telah dikendalikan oleh ponsel. Sebuah pemandangan yang sangat biasa saat ini melihat orang sibuk lebih dengan ponselnya dibandingkan dengan orang yang di sekitarnya. Dengan gampang, kita kita bisa saksikan realitas demikian itu di angkutan umum, restoran, acara pesta, ruang kuliah, rapat wali murid di sekolah, dan lainnya. Bahkan, dalam aktiitas yang membutuhkan konsentrasi penuh seperti berkendara kita sering saksikan orang-orang masih disibukkan dengan ponselnya. Sepanjang jalan, dalam sebuah bus antar kota orang bisa demikian asik dan tenggelam dengan ponselnya. Lebih-lebih jika ponselnya jenis smartphone yang terkoneksi internet dan memiliki beragam itur musik, kamera, games, dan lainnya. Sementara, ia sama sekali tidak tergerak untuk membangun relasi dengan sesama penumpang yang duduk di sampingnya selama perjalanan ke luar kota yang menghabiskan waktu mulai dari beberapa jam hingga satu hari satu malam atau lebih. Dalam kasus demikian, tesis bahwa salah satu peran teknologi komunikasi dalam bentuk
ponsel adalah menjauhkan relasi orang-orang yang dekat (secara isik) dan mendekatkan relasi orangorang yang jauh, benar-benar hadir dalam kehidupan nyata. Ponsel kerap mereduksi komunikasi antar manusia dalam kehidupan nyata. Di sebuah restoran misalnya, kerap ditemui kekecewaan pelayan yang merasa tidak dihargai kehadirannya oleh pengunjung restoran. Masalahnya, ketika pengunjung datang dan duduk, pelayan segera menghampiri pengunjung tersebut dengan membawa daftar menu dan catatan kecil. Dengan ramah si pelayan menyodorkan daftar menu, sambil bertanya dengan ramah kira-kira menu apa yang akan pengunjung itu pesan. Tapi, kehadiran pelayan yang tepat berada di hadapannya itu seolah dianggap tidak ada karena si pengunjung sibuk memainkan ponsel di tangannya. Terlepas apakah penting atau tidak obrolan dan aktiitas lain pengunjung bersama ponselnya itu, yang pasti pelayan sudah terluka karena merasa diabaikan dan diremehkan keberadaannya. Penggunaan ponsel secara dominan dalam proses komunikasi bear-benar dapat menghilangkan human communication. Hal ini lantaran tak semua unsur-unsur komunikasi dalam komunikasi antar pribadi yang dilakukan secara tatap muka misalnya, dapat digantikan dengan komunikas melalui ponsel. Komunikasi dengan media ponsel tak cukup mampu menangkap emosi, bahasa tubuh, raut muka, dan suasana lingkungan masing-masing pihak yang terlibat dalam komunikasi. Padahal, semua itu penting bagi terciptanya saling pengertian antara pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi. Wajar jika banyak orang yang makin rusak hubungannya gara-gara komunikasi yang mereka jalin melalui ponsel justru menimbulkan salah pengertian. Penggunaan suara dan teks jarak jauh melalui ponsel tidak bisa dengan baik menghadirkan konteks sebagaimana komunikasi yang dilakukan secara tatap muka. Salah pengertian kerap terjadi karena pesan yang disampaikan tidak bisa sepenuhnya mengikutsertakan suasana emosi atau situasi psikologis masing-masing pihak. Meski misalnya, saat ini telah tersedia fasilitas gambar dan simbol yang dianggap mewakili situsi emosi pengirim pesan melalui teks (SMS), tapi itu belum mampu menggantikan konteks dan situasi emosi yang sesungguhnya. Selain itu, tentu persoalan pemahaman atas makna dari simbol-simbol yang digunakan pun berbeda-beda pada setiap orang.
100
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Simbol-simbol Emosi dalam SMS/Chatting JENIS SIMBOL :-) :-)8 :-} :) :( :-D :-o :-* ;-) :P >:() =:o :-| :-P :-( :’-( :-|׀ >-< :ا :() :@ %-( %-) %-< %*@:-( :>-
MAKNA Senang Sangat senang Tersenyum lebar Tersenyum Cemberut Tertawa terbahak-bahak Terpesona Cium Main mata Menganggap sebagai teman Baik hati Peluk Terkejut Hmmmm Mengejek, menjulurkan lidah Sedih Menangis Marah Naik darah Bosan dan sedih Mulut Lebar, berteriak Apa Bingung Bego Mati kutu Komputer Hang Coowok Cewek
Sumber: http://ozzy-warnaku.blogspot.com 3.3. Cermin Budaya dalam Komunikasi via Ponsel Menurut Elaine J. Yuan (2012) ada keterkaitan antara nilai dan norma sosial dalam masyarakat dengan praktek komunikasi yang berlangsung. Hal ini dapat dipahami karena komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses sosial. Dengan demikian, ia tunduk pada pengaruh tradisi, budaya dan konteks sosial yang ada dalam sebuah masyarakat di mana komunikasi itu berlangsung. Pada masyarakat China misalnya, menurut Yuan, sangat dipengaruhi oleh ilsafat Konfusianisme, yang menganggap hubungan harmonis manusia bukan sekedar menjadi prasyarat integrasi sosial dan stabilitas, tetapi juga penting bagi pembentukan identitas individu. Norma budaya ini dalam komunikasi melalui ponsel pun cukup berpengaruh. Goodwin (1999) menunjukkan bahwa dalam masyarakat Asia Timur, 101
tempat kerja sering dilihat secara analog dengan lingkungan keluarga, dengan penekanan yang kuat untuk menjaga hubungan kerja yang harmonis. Selain itu, orang cenderung untuk mengambil pendekatan yang lebih personal dan manusiawi untuk bisnis dan hubungan kerja karena hubungan yang dibangun atas dasar dasar kontrak yang tegas bertentangan dengan prinsip-prinsip konfusian (Yum, 1988; Zhu, Nel, & Bhat, 2006). Hal ini sangat berbeda dengan cara komunikasi orang-orang dalam masyarakat Barat yang pada umumnya berusaha untuk memisahkan kehidupan pribadi mereka dari domain institusi publik. Caranya dengan memisahkan hubungan pribadi dari hubungan bisnis atau pekerjaan (Fairield, 2005; Garcelon, 1997; Weintraub, 1997). Oleh sebab itu, menjadi hal yang sangat biasa bagi masyarakat di asia, untuk membagi nomor ponsel pribadi mereka ke semua pihak. Mulai kalangan yang terdekat seperti keluarga, teman-teman dekat, hingga yang berkaitan dengan hubungan pekerjaan. Misalnya seorang dokter ke pada pasiennya atau seorang guru memberikan nomor ponsel pribadinya kepada para murid atau orang tua murid. Bahkan, memberikan nomor ponsel kepada orang yang baru dikenal bukan saja dianggap biasa tapi juga simbol bahwa ia benarbenar tulus untuk membangun hubungan lebih lanjut. Di Indonesia, yang masyarakatnya dikenal penuh rasa kekeluargaan, sangat memperhatikan perayaan hari-hari besar (agama maupun negara), menyampaikan ucapan perayaan melalui SMS demikian populer kepada hampir semua nomor kontak dalam ponselnya. Sehingga, pada hari-hari besar itu, seperti bulan ramadhan, hari raya, dan tahun baru lalu litas pesan melalui SMS demikian melonjak demikian besarnya. Hal yang sama terjadi di China. Short Message Service (SMS) atau pesan teks, sangat populer di sana. Lebih dari 784 miliar pesan yang dikirim pada tahun 2009, dengan pengiriman ratarata pengguna sekitar 90 pesan per bulan (Departemen Industri Informasi China, 2010). Volume pesan sangat tinggi selama waktu liburan: Selama liburan Tahun Baru China di 2010, misalnya, lebih dari 18 miliar pesan dikirim, 24 pesan per pengguna (Wang, 2010). Perkembangan terkini yang melanda masyarakat pengguna ponsel saat ini adalah bergesernya ponsel yang sebelumnya sebagai alat komunikasi ke trend gaya hidup. Banyak orang berlomba membeli atau memakai ponsel canggih (smarthphone) dengan beragam fungsi dan fasilitas di dalamnya, padahal kebutuhan pengguna sebenarnya sebatas SMS dan kontak telepon. Sehingga fasilitas dan teknologi dalam ponsel canggih mereka tidak berfungsi optimal. Dalam kasus ini, ponsel lebih diposiskan sebagai alat pendukung pencitraan dan legitimasi bahwa mereka
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
berada dalam kelas sosial tertentu di tengah pergaulan masyarakat. 4.
Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, ada beberapa simpulan yang bisa kita tarik tentang bagaimana peran ponsel dalam budaya komunikasi masyarakat di Indonesia saat ini. a). Ponsel merupakan teknologi komunikasi yang telah mengubah perilaku komunikasi masyarakat Indonesia. Mobilitas yang dimiliki ponsel, kemajuan teknologi, luasnya jaringan layanan dan persaingan dagang antara produsen ponsel dan provider sehingga membuat harga ponsel kian terjangkau merupakan faktor-faktor yang membuat perkembangan ponsel kian massif dan akrab dalam kehidupan masyarakat Indonesia. b). Penggunaan ponsel dalam realitasnya menghasilkan budaya komunikasi baru di tengah masyarakat Indonesia. Kemudahan berkomunikasi melalui ponsel menggerus budaya komunikasi tatap muka yang selama ini menjadi basis komunikasi masyarakat. Ponsel mereduksi nilai-nilai komunikasi masyarakat Indonesia yang dikenal hangat dan ramah menjadi lebih langsung (to the point) dan singkat. c). Budaya komunikasi masyarakat pun ikut serta mempengaruhi cara komunikasi melalui ponsel. Kebiasaan orang Indonesia menyampaikan ucapan selamat dalam peringatan hari besar keagamaan atau nasional menjadikan durasi dan intensitas arus komunikasi dan pesan singkat (SMS) pada hari-hari dimaksud naik secara tajam. Pun budaya komunikasi yang menyatukan kepentingan publik dan domestik, urusan pekerjaan dan pribadi terjadi dalam komunikasi melalui ponsel. Semua urusan dan kepentingan dalam masyarakat Indonesia bisa dilakukan melalui ponsel. Bahkan, kerap tak melihat konteks ruang dan waktu saat komunikasi dilakukan. Misalnya seorang atasan gampang saja mengontak bawahannya dalam urusan pekerjaan pada waktu ia mengambil cuti libur melalui ponsel tengah malam.
8 No 1, 2005. Elaine J. Yuan , From “Perpetual Contact” to Contextualized Mobility: Mobile Phones for Social Relations in Chinese Society. Journal of International and Intercultural Communication. Vol. 5, No. 3, August 2012, pp. 208-225 Hassan, Fuad. Teknologi Dan Dampak Kebudayaannya: Tantangan Dalam Laju Teknologi. Orasi Ilmiah Dies Natalis Institut Teknologi Sepuluh Novemberke-39. Surabaya, 11 November 1999. Rahmah, Dinna Amalia. Pengaruh Telepon Seluler terhadap Tingkat Motivasi Belajar Remaja dalam Kehidupan Sehari-hari. Makalah Perkuliahan IPB. Tidak Diterbitkan. 2012. Simanjuntak, Fritz E. Aspek Sosial Telepon Selular. www.kompas.com. 13 Mei 2004. Yuan, J Elaine. From “Perpetual Contact” to Contextualized Mobility: Mobile Phones for Social Relations in Chinese Society. Journal of International and Intercultural Communication. Vol. 5, No. 3, August 2012, pp. 208-225 Wang, H., & Wellman, B. (2010). Social connectivity in America: Changes in adult friendship network size from 2002 to 2007. American Behavioral Scientist , 53 (8), 1148 _ 1169. Wang, J. (2010, March 9). Chinese New Year breaks SMS records. Retrieved from http://www. mis-asia.com/opinion__and__blogs/bloggers/ chinese-new-year-breaks-sms-records. Internet: http://antaranews.com [diakses pada Kamis, 15 Juli 2010 http://id.wikipedia.org/wiki/Telepon_genggam [diambil pada 16 Juli 2012] http://www.itu.int/telecom-wt99 [diambil pada Jumat, 28/09/2012] http://mizan.com/news_det/indonesia-surgaindustri-seluler.html [diambil pada Senin, 1/10/2012] http://ozzy-warnaku.blogspot.com
Daftar Pustaka Badwilan, Rayyan Ahmad. Rahasia Dibalik Handphone. Jakarta : Darul Falah, 2004. Brotosiswoyo, B. Suprapto. ‘Dampak Sistem Jaringan Global Pada Pendidikan Tinggi : Peta Permasalahan’. Komunika. No 28/IX. Tangerang : Universitas Terbuka, 2002. Budyatna, M. ’Pengembangan Sistem Informasi : Permasalahan Dan Prospeknya’. Komunika. Vol 102
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
KREDIBILITAS PEMERINTAH DI MATA MEDIA ONLINE Framing pemberitaan kredibilitas Gubernur dan Wakil Gubernur Banten di media online Indiwan Seto Wahyu Wibowo1*) Abstrak Kredibilitas adalah sesuatu yang penting dalam membangun citra positif sebuah pemerintahan daerah. Tanpa adanya kredibilitas maka dukungan dan partisipasi masyarakat terhadap roda pembangunan akan terganggu. Peran media sebagai salah satu pengusung dan pendukung kredibilitas amatlah penting mengingat media bisa mengarahkan perhatian dan liputannya untuk membangun atau merusak hal tersebut. Paper ini mencoba mengangkat bagaimana peran media, khususnya media online dalam membangun kredibilitas atau citra pemerintah daerah Banten. Peneliti akan mengungkap bagaimana sejumlah media online menggambarkan kredibilitas pemerintah, lewat pemberitaannya. Media online sangat penting dalam pembentukan citra dan kredibilitas mengingat peran dan pengaruhnya pada pembentukan opini masyarakat.Kedudukan media online sendiri dipayungi dan dilindungi oleh UU Pokok Pers no.40. Juga bagaimana Konstruksi realitas dicoba dibangun oleh media online sebagai salah satu pilar kekuatan demokrasi, Konstruksi adalah upaya media massa menyusun ulang realitas dalam hal ini kinerja Gubernur dan wakil gubernur dalam pemberitaan di media. Ujung-ujungnya, ideology dan kebijakan media itu sendiri serta kecenderungan pemihakan media akan mewarnai bagaimana konstruksi terhadap realitas itu dimunculkan. Ada banyak keunggulan dan kekuatan media online dibandingkan media cetak tradisional, yakni unsur kecepatan dan akurasi berita yang bisa mendapatkan tanggapan segera. Media online yang dipakai adalah Mediabanten. com dan media online Banten Post http://bantenpost.com. Yang ingin dicari adalah bagaimana penggambaran kedua media online tersebut mengenai kredibilitas kinerja Gubernur Banten dan Wakil Gubernur Banten dan menggunakan teknik analisis teks Framing Pan Kosciki. Analisis framing adalah salah satu bagian dari analisis isi kualitatif yang mencoba melihat bagaimana wartawan melakukan pembingkaian (frame) terhadap peristiwa yang ada. 1. Pendahuluan Kredibilitas adalah sesuatu yang penting dalam membangun citra positif sebuah pemerintahan daerah. Tanpa adanya kredibilitas maka dukungan dan partisipasi masyarakat terhadap roda pembangunan akan terganggu. Media online sangat penting dalam pembentukan citra dan kredibilitas mengingat peran dan pengaruhnya pada pembentukan opini masyarakat. Kedudukan media online sendiri dipayungi dan dilindungi oleh UU Pokok Pers no.40. Juga bagaimana Konstruksi realitas dicoba dibangun oleh media online sebagai salah satu pilar kekuatan demokrasi, Konstruksi adalah upaya media massa menyusun ulang realitas dalam hal ini kinerja Gubernur dan wakil gubernur dalam pemberitaan di media. Ujung-ujungnya, ideology dan kebijakan media itu sendiri serta kecenderungan pemihakan media akan mewarnai bagaimana konstruksi terhadap realitas itu dimunculkan. Peran media sebagai salah satu pengusung dan pendukung kredibilitas amatlah penting mengingat media bisa mengarahkan perhatian dan liputannya untuk membangun atau merusak hal tersebut. Dan dalam makalah ini lebih melihat bagaimana media Online melihat kredibilitas Pemerintah Provinsi
Banten khususnya Gubernur dan Wagub Banten. Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat kepentingan, konlik, dan fakta yang kompleks dan beragam. Sesungguhnya, realitas adalah hasil dari ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sekelilingnya. Menurut Burhan Bungin, dunia sosial itu dimaksud sebagaimana yang disebut oleh George Simmel, bahwa realitas dunia sosial Dalam penelitian ini, yang hendak diangkat adalah bagaimana citra Pemerintah Daerah khususnya Gubernur dan Wagub Banten dikonstruksi oleh media. Realitas media yang ditampilkan sangat menarik untuk dikupas, khususnya menggunakan analisis framing. Rumusan masalah yang diangkat adalah bagaimana peran media, khususnya media online dalam membangun kredibilitas atau citra pemerintah daerah Banten. Peneliti akan mengungkap bagaimana sejumlah media online menggambarkan kredibilitas pemerintah, lewat pemberitaannya. 2. Kerangka Pemikiran 2.1 Konstruksi Realitas Setiap media massa termasuk juga media online, tentunya memiliki karakter dan latar belakang
1 *) Dosen Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang – Banten.
103
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
tersendiri, baik dalam isi ,penampilan,dasar tujuan dan pengemasan beritanya. Terkadang perbedaan ini dilatarbelakangi oleh banyaknya kepentingan yang berbeda dari masing-masing media massa baik ekonomi, politik dan sebagainya. Menurut Bungin, pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas. Realitas dalam berita dibangun oleh adanya sejumlah fakta. Fakta dari suatu realitas itupun tidak selalu statis, melainkan memiliki dinamika yang mungkin berubah seiring dengan perubahan peristiwa itu sendiri. Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun kebenaran suatu realitas bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesiik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.(Bungin,2008:11) Konstruksi sosial dalam masyarakat tak bisa terlepas dari kekuatan ekonomi dan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat tersebut. Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan media terhadap pemirsa atau hegemoni massa. Kekuatan hegemoni adalah kekuatan kapitalis yang menguasai individu melalui penguasaan intelektual dan massal. Media dimanfaatkan kelompok elit dominan, sehingga penyajian berita tidak lagi mencerminkan releksi dari realitas sosial. Menurut Alex Sobur, dengan masuknya unsur kapital, media massa mau tidak mau harus memikirkan pasar demi memperoleh keuntungan (revenue) baik dari penjualan maupun iklan. Pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. (Sobur,2006:88) Berger dan Luckmann memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Mengartikan realitas sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara, pengetahuan dideinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki kharakteristik secara spesiik.(Sobur, 2006:91). 2.2
Media dan Berita dilihat dari Paradigma Konstruktivis Mills mengajukan pandangan yang pesimistik tentang media dalam bukunya he Power Elite dan memandang media sebagai pemimpin “dunia palsu” (pseudo world), yang menyajikan realitas eksternal dan pengalaman internal serta penghancuran privasi dengan cara menghancurkan “peluang untuk pertukaran opini yang masuk akal dan tidak terburuburu serta manusiawi. Karena media memainkan peran penting dalam menjalankan kekuasaan, media membantu menciptakan salah satu problem besar dalam masyarakat kontemporer, yakni pembangkangan atas kekuasaan oleh masyarakat.
(Hard,2007:211-212). Berita dipandang bukanlah sesuatu yang netral dan menjadi ruang publik dari berbagai pandangan yang berseberangan dalam masyarakat. Sebaliknya media adalah ruang dimana kelompok dominan menyebarkan pengaruhnya dengan meminggirkan kelompok lain yang tidak dominan. (Eriyanto,2002:23). Menurut Eriyanto ada penilaian bagaimana media, wartawan dan berita dilihat dalam paradigma kontruksionis dalam bukunya yang berjudul Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media yakni : 1) Fakta atau Peristiwa adalah hasil konstruksi. Fakta merupakan konstruksi atas realitas. Dalam katakata terkenal dari Carey, realitas bukanlah sesuatu yang terberi, seakan-akan ada, realitas sebaliknya diproduksi. Fakta ada dalam konsepsi pikiran seseorang. 2) Media adalah agen konstruksi. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak. Ketiga, Berita bukan releksi dari realitas. Ia hanyalah konstruksi realitas. Berita adalah hasil dari konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Berita pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah buku jurnalistik. Semua proses konstruksi (mulai dari memilih fakta, sumber, pemakaian kata, gambar sampai penyuntingan) memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak. Keempat, Berita bersifat subjektif / konstruksi atas realitas. Berita adalah produk dari konstruksi dan pemaknaan ata realitas. Pemaknaan atas realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain, yang tentunya menghasilkan “realitas” yang berbeda pula. Kelima Wartawan bukan pelapor. Ia agen konstruksi realitas. Wartawan bukan hanya melaporkan fakta, melainkan juga turut mendeinisikan peristiwa. Sebagai seorang agen, wartawan menjalin transaksi dan hubungan dengan objek yang diliput. Keenam. Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi berita. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan pada suatu kelompok atau nilai tertentu umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu adalah bagian integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas. Ketujuh, Nilai, etika dan pilihan moral peneliti menjadi bagian yang integral dalam penelitian. Peneliti bukanlah robot yang netral dan menilai realitas tersebut apa adanya. Sebaliknya, peneliti adalah entitas dengan berbagai nilai dan keberpihakan yang berbeda-beda. Karenanya, bisa jadi objek penelitian yang sama akan menghasilkan temuan yang berbeda ditangan peneliti yang berbeda. Kedelapan, Khalayak mempunyai penafsiran tersendiri terhadap berita. Khalayak menjadi subjek yang aktif dalam menafsirkan
104
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
apa yang dibaca. Dalam bahasa Stuart Hall, makna dari suatu teks bukan terdapat dalam pesan atau berita yang dibaca oleh pembaca. Karenanya, setiap orang bisa mempunyai pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama.(Eriyanto,2002:19-36). Disini penulis akan meneliti media dan berita dari paradigma konstruktivis dimana posisi Media dimiliki oleh kelompok yang dominan dan dapat memajukan kelompok lain. Posisi nilai dan ideologi wartawan media yang tidak terpisahkan dari mulai proses peliputan hingga pelaporan. Lalu hasilnya itu mencerminkan ideologi wartawan dan kepentingan sosial, ekonomi, dan politik tertentu. 2.3 Hakikat Teori Framing Menurut Eriyanto, framing dipandang sebagai sebuah strategi penyusunan realitas sedemikian rupa sehingga dihasilkan sebuah wacana. Pada mulanya analisis framing dipakai untuk memahami bagaimana anggota-anggota masyarakat mengorganisasikan pengalamannya sewaktu melakukan interaksi sosial. Dalam sebuah wacana selalu ada fakta yang ditonjolkan, disembunyikan, bahkan dihilangkan sampai terbentuk satu urutan cerita yang mempunyai makana sesuai frame yang dipilih. Dalam konteks ini relevan dibicarakan proses-proses framing media massa. Dimana dalam penyajian suatu berita atau realitas dimana kebenaran tentang suatu realitas tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan sorotan terhdap aspekaspek tertentu saja, dengan mengunakan istilah-istilah yang punya konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur dan ilustrasi lainya. Framing merupakan strategi pembentukan dan operasionalisasi wacana media, karena media massa pada dasarnya adalah wahana diskusi atau koservasi tentang suatu masalah yang melibatkan dan mempertemukan tiga pihak, yakni wartawan, sumber berita dan khalayak. Konsep framing dalam studi media banyak mendapat pengaruh dari lapangan psikologi dan sosiologi.(Eriyanto, 2001:71) Eriyanto selanjutnya menyatakan bahwa analisis framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam katagori penelitian konstruksionis. Pendekatan konstruksionis melihat proses framing sebagai proses konstruksi sosial untuk memaknai realitas. Penelitian ini menggunakan teknik penelitian analisis framing dengan meminjam model kerangka framing Pan dan Kosicki. Model ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat organisasi ide. Frame merupakan suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita, kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu ke dalam teks secara keseluruhan. Frame berhubungan dengan makna. Bagaimana seseorang memaknai suatu peristiwa, dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks. 105
Metodologi Metode penelitian yang digunakan pada makalah ini adalah metode penelitian kualitatif. Menurut Sugiyono (2005 : 1) metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, tehnik pengumpulan data dilakukan secara tringgulasi (gabungan), analisis bersifat induktif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Paradigma yang dipakai adalah paradigm konstruktivis. Makna terpenting dari paradigma adalah sebuah pola pikir atau cara pandang ,aliran atau mazhab mengenai keseluruhan proses format dan hasil penelitia Dalam Mengkaji tentang kecenderungan media dalam memberitakan satu isu, ada tiga pendekatan yang relevan untuk itu. Metode Analisis Isi (Content Analysis), Analisis Wacana (Discourse Analysis), dan Analisis Bingkai (Framing Analysis). Namun penelitian ini menggunakan teknik framing Pan Kosjiki.. Dalam pendekatan ini perangkat framing (Eriyanto,2002,176) dibagi menjadi empat struktur besar. Pertama, struktur sintaksis, Kedua, struktur skrip, Ketiga, struktur tematik; dan Keempat, struktur retoris. Dalam pengertian umum; sintaksis adalah susunan kata atau frase dalam kalimat. Dalam wacana berita, sintaksis menunjuk pada pengertian susunan dari bagian berita – headline, lead, latar informasi, sumber, penutup dalam satu kesatuan teks berita secara keseluruhan. Bagian itu tersusun dalam bentuk yang tetap dan teratur sehingga membentuk skema yang menjadi pedoman bagaimana fakta hendak disusun. Bentuk sintaksis yang paling popular adalah struktur piramida terbalik yang dimulai dengan judul headline, lead, episode, latar, dan penutup. Dalam bentuk piramida terbalik ini, bagian yang atas ditampilkan lebih penting dibandingkan dengan bagian bawahnya. Eelemen sintaksis memberi petunjuk yang berguna tentang bagaimana wartawan memaknai peristiwa dan hendak kemana berita tersebut akan dibawa. Headline merupakan aspek sintaksis dari wacana berita dengan tingkat kemenonjolan yang tinggi yang menunjukkan kecenderungan berita. Headline mempunyai fungsi framing yang kuat. Headline mempengaruhi bagaimana kisah dimengerti untuk kemudian digunakan dalam membuat pengertian isu dan peristiwa sebagaimana mereka beberkan. Headline digunakan untuk menunjukkan bagaimana wartawan mengkonstruksi suatu isu, seringkali dengan menekankan makna tertentu lewat pemakaian tanda Tanya untuk menunjukan sebuah perubahan dan tanda Kutip untuk menunjukkan adanya jarak perbedaan. Selain Headline/judul, lead adalah perangkat sintaksis lain yang sering digunakan. Lead yang baik umumnya memberikan sudut pandang dari berita, menunjukkan perspektif tertentu dari peristiwa yang diberitakan. 3.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Latar merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi makna yang ingin ditampilkan wartawan. Latar yang dipilih menentukan kea rah mana pandangan khalayak hendak dibawa. Latar membantu menyelidiki bagaimana seseorang memberi pemaknaan atas suatu peristiwa. Bagian berita lain yang penting adalah pengutipan sumber berita. Pengutipan sumber ini menjadi perangkat framing atas tiga hal. Pertama, mengklaim validitas atau kebenaran dari pernyataan yang dibuat dengan mendasarkan diri pada klaim otoritas akademik. Wartawan bisa jadi mempunyai pendapat tersendiri atas suatu peristiwa, pengutipan itu digunakan hanya untuk memberi bobot atas pendapat yang dibuat bahwa pendapat itu tidak omong kosong, tetapi didukung oleh ahli yang berkompeten. Kedua, menghubungkan point tertentu dari pandangannya kepada pejabat yang berwenang. Ketiga, mengecilkan pendapat atau pandangan tertentu yang dihubungkan dengan kutipan atau pandangan mayoritas sehingga pandangan tersebut tampak sebagai menyimpang. Skrip. Bentuk umum dari struktur skrip ini adalah pola 5 W+1 H (who, what, when, where, dan how). Meskipun pola ini tidak selalu dapat dijumpai dalam setiap berita yang ditampilkan, kategori informasi ini yang diharapkan diambil oleh wartawan untuk dilaporkan. Unsur kelengkapan berita ini dapat menjadi penanda framing yang penting. Skrip adalah salah satu dari strategi wartawan dalam mengkonstruksi berita: bagaimana suatu peristiwa dipahami melalui cara tertentu dengan menyusun bagian-bagian dengan urutan tertentu. Skrip memberikan tekanan mana yang didahulukan, dan bagian mana yang bisa kemudian sebagai strategi untuk menyembunyikan informasi penting. Upaya penyembunyian itu dilakukan dengan menempatkan di bagian akhir agar terkesan kurang menonjol. Tematik. Struktur tematik dapat diamati dari bagaimana peristiwa itu diungkapkan atau dibuat oleh wartawan. Di sini, berarti struktur tematik berhubungan dengan bagaimana fakta itu ditulis oleh seorang wartawan. Ada beberapa elemen yang dapat diamati dari perangkat tematik, antara lain : Detail. Elemen wacana detail berhubungan dengan control informasi yang ditampilkan seseorang (komunikator). Hal yang menguntungkan komunikator/pembuat teks akan diuraikan secara detail dan terperinci, sebaliknya fakta yang tidak menguntungkan detail informasinya akan dikurangi. Maksud. Elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas, yakni menyajikan informasi dengan kata-kata yang tegas dan menunjuk langsung kepada fakta. Sebaliknya informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersamar, implisit dan tersembunyi dengan menyajikan informasi yang memakai kata tersamar, eufemistik dan berbelit-belit. Nominalisasi. Elemen nominalisasi berhubungan dengan pertanyaan apakah komunikator
memandang objek sebagai sesuatu yang tunggal (berdiri sendiri) ataukah sebagai suatu kelompok (komunitas). Nominalisasi dapat memberi kepada khalayak adanya generalisasi. Koherensi: pertalian atau jalinan antar kata, preposisi atau kalimat. Dua buah kalimat atau preposisi yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan dengan menggunakan koherensi, sehingga fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya. Koherensi merupakan elemen untuk melihat bagaimana seseorang secara strategis menggunakan perangkat bahasa untuk menjelaskan fakta atau peristiwa. Apakah peristiwa itu dipandang saling terpisah, berhubungan, atau malah sebabakibat. Pilihan-pilihan mana yang diambil ditentukan oleh sejauh mana kepentingan komunikator terhadap peristiwa tersebut. Bentuk Kalimat. Bentuk kalimat menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat. Dalam kalimat yang berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyataannya, sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi objek dari pernyataannya. Kata ganti. Elemen kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu imajinasi. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan dimana posisi seseorang dalam wacana. Retoris. Struktur retoris dari wacana berita menggambarkan pilihan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan oleh wartawan. Wartawan menggunakan perangkat retoris untuk membuat citra, meningkatkan kemenonjolan pada sisi tertentu dan meningkatkan gambaran yang diinginkan dari suatu berita. Struktur retoris dari wacana berita juga menunjukkan kecenderungan bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah suatu kebenaran. 4.
Hasil dan Pembahasan Dalam makalah ini akan dianalisis sejumlah berita online terkait dengan kredibilitas Pemprov Banten khususnya di Banten Pos Online dan di Media Banten.com
106
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
107
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
4.1. Hasil Penelitian Ada dua berita yang hendak dikaji dalam makalah singkat ini yang menunjukkan bagaimana kredibilitas pemprov khususnya Gubernur dan Wakil Gubernur Banten.
ataukah sebagai suatu kelompok (komunitas). Nominalisasi dapat memberi kepada khalayak adanya generalisasi.
pertalian atau jalinan antar kata, preposisi atau kalimat. Dua buah kalimat atau preposisi yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan dengan menggunakan koherensi, sehingga fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya
1.Judul: RANO MERASA TIDAK DILIBATKAN Framing : Banten Pos membingkai adanya masalah di awal jabatan yang amat menggangu keutuhan Ratu Atut dan Rano Karno, karena Rano Karno merasa tidak dilibatkan dalam proses mutasi pejabat eselon II,III dan IV di lingkungan Pemrov Banten STRUKTUR
Sintaksis (Susunan bagian-bagian berita dalam satu kesatuan teks berita secara keseluruhan )
PERANGKAT FRAMING
1. Skema berita (struktur terbalik )
UNIT YANG DIAMATI Headline
paradigma
Lead
Latar informasi
Ditempat terpisah... (paragraf 4 dari atas) Tak hanya itu ......(paragraf6 ) Sementara itu...(paragraf 7 ) dsb.
Kalimat aktif:
Bentuk kalimat menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat. Dalam kalimat yang berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyataannya, sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi objek dari pernyataannya. Termasuk ke dalam bagian bentuk kalimat ini adalah apakah berita itu memakai bentuk deduktif atau induktif. Dalam bentuk kalimat deduktif, aspek kemenonjolan lebih kentara, sementara dalam bentuk induktif inti dari kalimat ditempatkan tersamar atau tersembunyi.
TAK
Pasangan Ratu Atut Chosiyah-Rano Karno berjanji akan menjaga komitmen bersama dalam memimpin provinsi Banten selama 2012-2017 ke depan.Mereka bertekad tetap menjaga komitmen untuk tetap bersama dan menghindari pecah kongsi hingga masa akhir jabatan Rano menyampaikan kekecewaan soal mutasi eselon II,III dan IV
(bagian berita yang dapat mempengaruhi makna yang ingin disampaikan wartawan)
Pengutipan sumber berita
sebelum...(
7. Bentuk kalimat
BUKTI DALAM TEKS
RANO MERASA DILIBATKAN
Ironisnya, sehari paragraf 3 dari atas)
6.Koherensi:
...berjanji...(paragraf 1) ...menyampaikan (paragraf 2)
kekecewaan
...tidak menanggapi (paragraf 4) Dll
8.Kata ganti Elemen kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu imajinasi. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan dimana posisi seseorang dalam wacana.
Media ini mengutip Rano Karno sebagai narasumber, dan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sebagai narasumber, HM Masduki dan dosen Fisip Untirta, Abdul Hamid serta Aktivis perempuan Lies Marones Natsir
Pasangan Gubernur-wagub banten Rival politiknya... Politisi partai Golkar Wagub Banten HM Masduki Dosen Fisip Untirta Aktivis Perempuan
”Ke depan dibutuhkan penguatan kapasitas elemen masyarakat dan peningkatan daya kritis warga
Retoris
Who
Rano Karno
(pilihan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan)
What
Menyatakan kekecewaan terhadap Ratu Atut yang dipicu mutasi eselon II,III,dan IV
Penutup
Skrip
2. Kelengkapan berita
(teknik penceritaan)
9.Leksikon
Kata, idiom;
--ironisnya (paragraf 2 ) ...rival politik (paragraf 6)
pemilihan dan pemakaian kata yang dipakai . Kata tidak dipakai semata-mata hanya karena kebetulan, tetapi juga secara ideologis menunjukkan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap realitas/fakta
..orang hebat (paragraf 6) ...koalisi (paragraf 7) .ego..(paragraf 8) -dikawal ketat (paragraf 7 dari bawah)
10.Grafis Where When
Selasa,10/1
Why
Seharusnya ada sinkronisasi tugas antara Gubernur dan Wagub termasuk soal mutasi pejabat.Karena, Gubernur-wagub itu satu paket
How
Tematik
3. Detail Elemen wacana detail berhubungan dengan control informasi yang ditampilkan seseorang (komunikator )
4. Maksud kalimat
Selain lewat kata, penekanan Gambar/foto, pesan dalam berita juga dapat grafik dilakukan dengan menggunakan unsur grafis.
Di Serang Banten
Atut melakukan eselon beberapa pelantikan Ratu Karno sebagai Wagub Banten
Elemen nominalisasi berhubungan dengan pertanyaan apakah komunikator memandang objek sebagai sesuatu yang tunggal (berdiri sendiri)
kiasan, ungkapan dan metafora yang dimaksudkan sebagai ornament atau bumbu dari suatu berita. Pemakaian Kata-kata metafora tertentu juga bisa ungkapan menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna suatu teks. 12. Pengandaian
Banten Post hendak menunjukkan betapa pasangan Gubernur-Wagub Banten sudah sejak awal tidak klop dalam mengambil keputusan bersama, dan seakan-akan Rano Karno tidak dilibatkan dalam proses penting tersebut
Wagub Banten terpilih 5.Nominalisasi
11. Metafor
mutasi pejabat hari menjelang ATut dan Rano Gubernur dan
Maksud dari kalimat itu adalah ada ironis mengingat mutasi pejabat eselon itu seharusnya dilakukan setelah mereka dilantik. Mengingat Gubernur dan Wagub terpilih adalah satu paket”
Diperkuat dengan foto RatuAtut, Rano karno dan HM Masduki disamping infografis Janji Politik ATUT RANO
Kata-kata pengandaian
Berita II. 1.Judul: Gubernur Siapkan Pakar Redam Provokator Framing : Banten Pos membingkai Gubernur Banten mengangkat dewan pakar untuk meredam adanya provokator sehinga bisa menghindari terjadinya kasus serupa kasus Cikeusik di wilayah Banten. Di antara Dewan pakar terdapat nama orag-orang berpengaruh 108
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
yang diharapkan bisa membantu Atut dalam menjalankan tugasnya sehari-hari dalam menjalankan roda pemerintahan STRUKTUR
PERANGKAT FRAMING
Sintaksis (Susunan bagian-bagian berita dalam satu kesatuan teks berita secara keseluruhan )
UNIT DIAMATI
1. Skema berita
Headline
(struktur paradigma terbalik )
Lead
YANG BUKTI DALAM TEKS
Gubernur Siapkan Pakar Redam Provokator Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah mengangkat sebanyak 12 Dewan pakar yang akan membantu tugas gubernur untuk menjalankan roda pemerintahan lima tahun ke depan,khususnya dalam melaksanakan pembangunan provinsi Banten
(bagian berita yang Pakar tersebut diisukan untuk dapat mempengaruhi meredam maraknya suara-suara makna yang ingin provokasi yang merusak Banten disampaikan wartawan) Media ini mengutip Ratu Atut Pengutipan sumber Gubernur Banten, dan mantan berita Wagub Banten HM Masduki
Skrip (teknik penceritaan)
2.
Kelengkapan Who berita What
Where When Why
How
Tematik
Detail Elemen wacana detail berhubungan dengan control informasi yang ditampilkan seseorang (komunikator )
4. Maksud kalimat
Seperti dibrtitakan Media Banten.com, Pemprov Banten telah mengangarkan Dewan Pakar pada RAPBD Banten 2012 Rp 1.35 milyar.Anggaran dewan pakar itu dititipkan di Balitbang Banten.
6.Koherensi:
Dari informasi dihimpun....(paragraf 2)
Sekda Banten
yang
Selain itu..(paragraf 3) Sebelumnya (paragraf 5) Seperti diberitakan (paragraf7)
Kalimat aktif: 7. Bentuk kalimat ...mengangkat...(paragraf 1) Bentuk menentukan
Ratu Atut
kalimat makna
...mengatakan (paragraf 2)
yang dibentuk oleh susunan kalimat. Dalam kalimat yang berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyataannya, sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi objek dari pernyataannya.
Mengangkat 12 orang Dewan Pakar Banten
Serang Banten Senin, 10/9/2012 membantu tugas gubernur untuk menjalankan roda pemerintahan lima tahun ke depan,khususnya dalam melaksanakan pembangunan provinsi Banten
...enggan berkomentar (paragraf 2 dari bawah) Kalimat pasif: Dari informasi yang dihimpun (paragraf 2) Dll
Gubernur Banten 8.Kata ganti Mantan wagub Elemen kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu imajinasi. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan dimana posisi seseorang dalam wacana.
dianggarkan dananya dan dititipkan lewat angaran Balitbang Banten
Banten Post menunjukkan adanya bahwa pembentukan penunjukkan dewan Banten untuk meredan provokator
Mantan Wagub...
pertalian atau jalinan antar kata, preposisi atau kalimat. Dua buah kalimat atau preposisi yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan dengan menggunakan koherensi, sehingga fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya
Latar informasi
Penutup
berhubungan dengan pertanyaan apakah komunikator memandang objek sebagai sesuatu yang tunggal (berdiri sendiri) ataukah sebagai suatu kelompok (komunitas). Nominalisasi dapat memberi kepada khalayak adanya generalisasi.
hendak dugaan dan pakar adanya
Media ini ingin menunjukkan bahwa Atut menganggarkan dana cukup besar untuk mendukung roda pemerintahannya
5.Nominalisasi Putra Banten.... Elemen nominalisasi
109
Retoris
9.Leksikon
(pilihan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan)
pemilihan dan pemakaian kata yang dipakai . Kata tidak dipakai semata-mata hanya karena kebetulan, tetapi juga secara ideologis menunjukkan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap
Anggota DPR Pengurus DPD Golkar banten Mantan Menteri Dewan pakar Sekda Banten Pemprov Banten
Kata, idiom;
--menjalankan roda pemerintahan (paragraf 1 ) ...putra Banten (paragraf 6) Stabilitas ( paragraf 4 dari bawah) Meredam bawah)
(paragraf
4
Dewan pakar (paragraf 1)
dari
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Eriyanto, 2002, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, Jakarta Hamad, Ibnu 2004,Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa : Sebuah studi Critical Discourse Analysis Terhadap Beritaberita Politik, Jakarta:Granit Hardt, Hanno, 2007, Myths for the Masses: An Essay on Mass Communication, Wiley-Blackwell Sobur, Alex, 2003, Semiotika Komunikasi, Rosdakarya: Bandung Sugiyono. 2005, Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung ; CV Alfabeta
realitas/fakta
10.Grafis
Gambar/foto, grafik Berita juga ditambah foto resmi Gubernur Atut yang sedang tersenyum penuh percaya diri
Selain lewat kata, penekanan pesan dalam berita juga dapat dilakukan dengan menggunakan unsur grafis. 11. Metafor
Kata-kata ungkapan
kiasan, ungkapan dan metafora yang dimaksudkan sebagai ornament atau bumbu dari suatu berita. Pemakaian metafora tertentu juga bisa Kata-kata menjadi petunjuk pengandaian utama untuk mengerti makna suatu teks.
Meredam..... Provokator....
12. Pengandaian
5. Kesimpulan Dari contoh dua berita di media Online tersebut, media seakan menggiring opini berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi. Terutama dalam berita berjudul Gubernur Siapkan Pakar redam provokator, ternyata dalam isi beritanya tidak ada sama sekali kata provokator, ini merupakan opini berlebihan dari media massa yang mengusungnya,Dari sisi pemilihan narasumber sudah terlihat bahwa media ini menyandarkan seluruh informasinya dari narasumber resmi , meski di paragraph kedua ditambahkan dari data yang dihimpun. Dilihat dari konstruksi yang hendak dibangun, terasa sekali media ini hendak mempertanyakan kebijakan Gubernur yang mengangkat begitu banyak dewan pakar dengan anggaran yang tidak sedikit untuk meredam adanya provokasi. Berita sebelumnya, justru menonjolkan adanya konlik yang terjadi diantara Gubernur dan Wagub terpilih, karena Rano Karno meresa tidak dilibatkan dalam proses mutasi di kalangan pejabat eselon II,III dan IV. Daftar Pustaka Berger, Peter & homas,1967 he Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge.NY, A Double Day Anchor Book Bungin, Burhan,2008 Konstruksi Sosial Media Massa Realitas Sosial Media, Iklan Televisi & Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & homas Luckman , Prenada Media Denzin, Norman K. and Yvonna S. Lincoln, eds., 1994, Handbook of Qualitative Research, housand Oaks, CA: Sage 110
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Transformasi Sistem Media Baru Konteks Indonesia: Aktivisme Internet oleh LSM dalam Pembentukan Ruang Publik Alternatif Lidwina Mutia Sadasri Abstrak Teknologi mampu memberikan aura perubahan pada suatu sistem, baik ekonomi, politik, maupun sosial dan budaya. Teknologi yang dipilih untuk diadopsi suatu negara terkait dengan sistem media juga menimbulkan bentuk kultur masyarakat yang baru, dalam relasinya media memproduksi budaya dan sebaliknya, seperti yang terjadi saat ini di era media baru. Sisi kebaruan inipun membawa implikasi pada transformasi sistem media dengan relasi yang dimunculkan dari teknologi dan ruang publik. Pesatnya perkembangan teknologi, membawa catatan tersendiri dalam proses adaptasi serta dampak aplikasi teknologi tersebut. Masyarakat Indonesia, sebagai pengguna teknologi, mengalami lompatan teknologi yang cukup besar, dimulai dari alat komunikasi dari telepon sampai tablet; pemanfaatan dari e-mail sampai jejaring sosial dalam komunitas virtual. Dalam lingkup yang lebih luas, kehadiran teknologi perlu diwaspadai sebagai bentuk isik maupun nonisik yang diboncengi oleh bias nilai penciptanya dalam kerangka globalisasi. Loncatan inovasi yang dibawa oleh negara Barat dan ‘dipaksa’ masuk ke dalam negara berkembang akan menimbulkan transformasi dalam suatu sistem, dalam hal ini sistem komunikasi di Indonesia. Dalam konteks komunikasi pembangunan, perubahan sistem media baru memberi aura baru bagi perkembangan kualitas ruang publik yang mengarah pada demokratisasi. Kondisi ini terdukung karakteristik media baru yang interaktif dengan sifat masyarakat berjaringan. Salah satu elemen masyarakat yang memiliki kontribusi dalam aktivisme internet adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM). LSM melakukan gerakan sosial melalui beragam bentuk konten media dalam situs web, jejaring sosial seperti Facebook serta microblog Twitter, dan dengan kesemuanya itu, interaktivitas yang terbangun di dalamnya menunjukkan kemampuan diskusi ruang publik alternatif. Kata kunci : media baru, aktivisme internet, ruang publik alternatif 1. Pendahuluan Kondisi telekomunikasi Indonesia hingga kini sangat terkait dengan kemajuan teknologi yang diadopsi oleh negara secara umum. Indonesia sebagai negara berkembang, mendapat terpaan kecanggihan teknologi komunikasi yang mewujud dalam media baru, dalam hal ini internet. Internet memungkinkan komunikasi termediasi dengan membawa sifat kebebasan berjejaring, tidak hanya satu pihak, tetapi banyak pihak. Bentuk komunikasi termediasi ini menjadi sarana komunikasi yang signiikan dalam dunia yang semakin sarat dengan nilai global dan globalisasi sebagai kesadaran hubungan yang terbangun dalam proses global ekonomi, politik dan budaya (Grossberg, 2006:423) yang menempatkan teknologi internet sebagai sarana penguat relasi antar manusia melalui jaringan komputer. Bahkan, dalam globalisasi, teknologi informasi menjadi basis penting pada perkembangan infrastruktur highway dengan membuka jalan aliran informasi (Calhoun, 2002:2). Sejumlah catatan data penetrasi internet di Indonesia menunjukkan respon masyarakat yang cukup baik dalam menyambut nilai dan teknologi internet. Perkembangan internet di Indonesia dimulai 111
di awal tahun 1990an dan mengalami peningkatan pengguna yang cukup besar (Purbo dalam Nugroho, 2011:31). Menurut APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), jumlah pengguna meningkat lebih dari 770% selama 1998-2002 dari setengah juta orang pada tahun 1998 menjadi 4,5 juta orang pada tahun 2002, kemudian nyaris berlipat ganda dari 16 juta orang pada tahun 2005 menjadi 31 juta orang pada tahun 2010 (APJII dalam Nugroho, 2011:32). Hasil Penelitian dari Markplus Insight tahun 2011 bahkan menyatakan bahwa angka penetrasi internet di Indonesia berada di kisaran 40-45% dengan angka mencapai 55 juta pengguna, meningkat dari tahun sebelumnya di angka 42 juta (Wahyudi, 2011). Akses internet pun kini tak lagi hanya melalui personal computer, tetapi menggunakan perangkat bergerak seperti telepon seluler. Selain itu, riuhnya telekomunikasi Indonesia dengan penyedia konten, variasi system software, third party dan beragam elemen bisnis makin meramaikan hiruk pikuk industri telekomunikasi Indonesia. Biaya akses dan infrastruktur yang semakin terjangkau menjadikan kecenderungan penggunaan internet semakin meningkat. Depkominfo
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
memperkirakan bahwa terdapat 45 juta pengguna internet di pertengahan 2011 yang setara dengan 18% populasi Indonesia, sedangkan Business Monitor International memperkirakan kombinasi penetrasi internet narrowband dan broadband lebih dari 26% di tahun 2010 (BMI 2011) (Deloitte, 2011:4). Dengan tingkat penetrasi yang cukup tinggi, sekitar 22% konsumen kelas menengah memiliki akses internet dengan durasi 1.5 jam per hari untuk akses (Eddy et.al, 2012). Di Indonesia, warnet atau kafe internet secara tradisional menjadi saluran utama untuk mengakses internet bagi kebanyakan masyarakat Indonesia. Tujuan penggunaan internet di Indonesia mayoritas untuk tujuan jejaring sosial, terbukti dengan label Indonesia yang memiliki jumlah akun Facebook terbanyak di dunia (40 juta di pertengahan 2011) dan ketiga tertinggi untuk jumlah akun Twitter di dunia. Akses jejaring sosial ini memungkinkan pertukaran konten dan pembuatan konten, baik pesan teks, visual, video maupun audio. Fakta masivikasi internet ini memberi kemungkinan adanya perubahan pada perilaku pengguna dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Media baru memungkinkan hadirnya kultur komunikasi gaya baru melalui karakteristik media yang distingtif. Terutama teknologi yang datang dari luar ini tidak bebas nilai, dalam artian membawa bias tertentu bagi penguasa teknologi sendiri. Dalam menghadapi teknologi, terdapat dua pandangan yang dapat digunakan untuk merespon hadirnya teknologi dalam masyarakat yang dapat membantu pengguna maupun calon pengguna untuk bersikap kritis dan semakin memahami karakteristik teknologi itu sendiri, yakni technophilia dan technophobia (Langman, 2006:48). Wacana technophilia menunjukkan teknologi baru sebagai penyelamat yang akan menyelesaikan problem sedangkan technophobia melihat teknologi sebagai kutukan, sebagai masalah utama di era masa kini. Harapan dan ketakutan ekstrim juga terjadi pada internet. Pendukung technophilia memandang teknologi internet sebagai pengalaman manusia dengan dimensi yang tinggi. Sedangkan aktor technophobic mengasosiasikan teknologi dengan dehumanisasi dan alienasi dari orang lain, lingkungan dan “dunia nyata”. Teknologi komunikasi dan informasi membawa masyarakat dalam ruang hiperrealitas, istilah yang dipinjam dari Baudrillard bahwa manusia kehilangan kontak dengan tubuh secara alami dengan orang lain dan dengan hal dan tindakan yang penting (Langman, 2006:49). Teknologi modern secara utama dianggap sebagai instrumen dominasi dan sebagai ancaman kebebasan individu, otonomi dan kreativitas. Dalam pandangan ini, teknologi baru memenjarakan diri dalam kandang teknologi dan mengurangi kehidupan
manusia yang instrumentalitas sementara mengalienasi kita dari lingkungan, orang lain, dan kemungkinan pengembangan diri dan menjadi diri sendiri. Teknologi informasi dan komunikasi kemudian dibawa dalam dua kutub sebagai sarana hegemoni kapital atau mendorong demokratisasi. Pandangan technophilia lekat dengan aura utopia teknologi yang penuh bunga-bunga atas harapan teknologi komunikasi yang mampu menyelesaikan masalah dengan kekuatan menghubungkan setiap orang tanpa terbatas jarak dan waktu. Internet sebagai bentuk teknologi dalam pandangan technophilia dapat dijelaskan melalui fungsi positif yang membangun kekuatan argumentasi preferensi utama internet dalam membentuk masyarakat yang demokratis. Dalam praktiknya, demokratisasi yang terbangun menggunakan media online mampu dilihat menggunakan karakteristiknya yang mampu memberikan anonimitas relatif bagi ekspresi personal menuju opini publik yang memberdayakan dan tidak dirintangi batasan geograis (Papacharissi, 2008:10). Lebih lanjut, dalam peta interaksi yang terjadi antara teknologi dan masyarakat, internet telah mengantar komunikasi manusia pada era baru yang dinyatakan McLuhan sebagai global village menjadi nyata dalam cyberspace yang dikonstruksikan oleh jaringan komputer dunia (Li, 2004:2). Batasan nasional tidak lagi merintangi transmisi informasi dan kultur dengan perubahan komunitas geograis menjadi komunitas virtual dan berimplikasi pada demokrasi deliberatif. Dalam internet, model deliberatif hadir baik secara global maupun lokal berdasar motivasi aktor politik dalam penggunaannya membagi informasi secara online menuju arah demokratisasi dengan komunikasi dua arah dan topik kepentingan bersama serta didorong oleh komitmen mutual. Sebagai medium global yang kuat, internet menginspirasi harapan untuk merevitalisasi ruang publik yang vital terhadap demokrasi. Hadirnya internet menginspirasi pandangan optimis kepentingan revitalisasi ruang publik yang akan menguatkan demokrasi secara substansial (Li, 2004: 82). Karakteristik unik teknologi internet seperti sifat terbuka dan desentralisasi, aksesibel pada tiap masyarakat, keras terhadap sensor, dan advokasi ini diharapkan mampu memfasilitasi masyarakat yang well-informed dan meningkatkan partisipasi publik dalam proses politik. Selain itu juga didukung dengan sifat interaktivitas atau umpan balik yang diposisikan sebagai inti potensi demokratis yang terkandung dalam semangat internet sebagai media alternatif. Beragam sifat internet ini seakan makin mencerahkan kondisi masyarakat terkini, karena sebelumnya tidak ada media dengan lingkup besar seperti internet yang
112
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
mampu menggalang respon langsung (Li, 2004:3). Struktur komunikasi digital ini membongkar batasan antara produsen dan konsumen, penyiar dan audiens. Pada kenyataannya, masyarakat menggunakan internet untuk mendapat informasi dan menginformasikan pihak lain, memungkinkan resiprositas tingkat tinggi atau umpan balik dilakukan dalam proses yang relatif lebih cepat. 2. Pembahasan 2.1. Internet: Media Baru dan Alternatif Harapan Ruang Publik Melalui sejumlah karakteristik dan pandangan utopia atas media baru dalam membangun atmosfer demokratisasi, terkhusus di Indonesia, internet patut dipertimbangkan sebagai alternatif media bagi masyarakat secara umum dengan beragam latar belakang. Internet menjadi pilihan baru masyarakat yang memunculkan transformasi sosial dengan hadirnya paradigma teknologi baru. Teknologi informasi dan komunikasi yang hadir di tahun 1970an dan menyebar ke seluruh dunia ini dibentuk oleh masyarakat bergantung pada kebutuhan, nilai, dan kepentingan orang yang menggunakan teknologi (Castell, 2005:3-6). Salah satu transformasi yang hadir karena media baru ini memunculkan bentuk baru organisasi sosial berbasis jejaring, sebagai difusi jejaring dalam ranah aktivitas sebagai basis jejaring komunikasi digital. Masyarakat jejaring merupakan hasil interaksi antara paradigma teknologi baru dan organisasi sosial. Karakteristik network society ini oleh van Dijk dinyatakan bersifat interdependen dan interconnected; individual dihubungkan dengan jaringan, semakin heterogen dan terfragmentasi serta meningkatnya komunikasi termediasi sebagai hasil dari menurunnya interaksi komunikasi tatap muka (Dijk, 2006:35-36). Masyarakat jejaring ini merupakan tipe struktur sosial baru berdasar transformasi kapasitas komunikasi. Sebagai bentukan transformasi komunikasi, masyarakat jejaring memiliki relasi yang kuat dengan media baru. Masyarakat jejaring cenderung melakukan ekspansi atas internet sebagai arena otonom dan terbuka dengan membawa opini publik yang disebut Habermas sebagai ruang publik (McQuail dalam Nyabuga, 2006:157). Secara konseptual, ruang publik menunjukkan domein kehidupan sosial dimana opini publik diekspresikan melalui wacana dan debat publik rasional (Papacharissi, 2008:5-7). Tujuan utama ruang publik merupakan persetujuan publik dan pembuatan keputusan, walaupun tujuan ini tidak secara rutin dicapai. Persetujuan dan deliberasi nasional merupakan hasil yang ingin diraih, bagaimanapun, nilai ruang publik ada dalam kemampuannya memfasilitasi diskusi permasalahan publik yang beragam dan
113
bebas, mencirikan tradisi demokratis. Ruang publik merupakan metafora yang memediasi masyarakat dan negara, dimana publik mengelola dirinya sebagai yang membawa opini publik sejalan dengan prinsip ruang publik, prinsip informasi publik yang diperjuangkan dalam monarki politik yang memungkinkan kontrol demokratis kegiatan negara (Habermas dalam Papacharissi, 2008:5-7). Habermas menyatakan konten media massa arus utama (televisi) menjajah ruang publik dan wacana demokratis. Beragam ruang publik, meski tidak memiliki kesamaan kekuatan, hadir untuk memberikan suara pada identitas dan kepentingan kolektif. Media online, termasuk internet, dapat menjadi ruang virtual atau merevitalisasi ruang publik. Ruang publik digagas sebagai bentuk ruang partisipasi politik dan kritalisasi gagasan kewarganegaraan sebagai upaya terhadap absolutisme yang bertujuan mengubah otoritas yang berdasar pada kenyataan dalam subjek otoritas rasional pada pemeriksaan yang dikelola oleh badan publik di bawah hukum. Internet muncul sebagai alternatif pada media tradisional yang dikontrol oleh elit politik yang mencari kontrol dan memanipulasi produksi dan diseminasi informasi, desentralisasi, leksibel dan user controlled (McQuail dalam Nyabuga, 2006). Dahlberg menyatakan enam kriteria dasar yang harus dipenuhi internet untuk dinyatakan sebagai ruang publik, yakni otonomi dari negara dan kekuatan ekonomi, pertukaran dan kritik atas pernyataan validitas moralpaktik yang dapat dikritisi, releksivitas, pengambilan peran ideal, ketulusan, dan wacana inklusi dan keadilan (Ubayasiri, 2006:7-9). Melalui pandangan postmodern ini muncul masa depan yang optimis bagi internet sebagai ruang publik. Benkler menyatakan bahwa saat ini kita sedang menuju networked public sphere yang menjanjikan platform untuk mengikat masyarakat untuk bekerjasama menjadi watchdog dalam model peer-production (Coleman et al, 2009:171). Cyberspace menjadi dunia virtual dan lokasi spesiik dan luas; mengubah ruang isikal debat publik yang awalnya terjadi di café. Ruang publik internet – meski menyediakan forum bagi mereka yang tertarik dengan debat kritis, tetapi tidak dapat mengantisipasi semua pengguna untuk terikat dalam dialog bermakna, sehingga ruang publik harus diikat oleh ‘intelektual publik’ untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk berbagi gagasan demi keberlangsungan ruang publik itu sendiri. Dalam kaitannya dengan ruang publik, internet dipandang sebagai media yang efektif untuk pengembangan demokrasi, secara khusus karena mampu mempromosikan kebebasan berekspresi, akses pada informasi publik dan sebagai arena publik untuk wacana politik. Bahkan kini, teknologi komunikasi
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
informasi menarik perhatian aktor politik yang mencari cara mengembangkan debat publik dan partisipasi. Kontras dengan media arus utama yang melakukan komodiikasi atas opini publik yang dipublikasikan dalam media dalam ruang kolom yang meningkatkan sirkulasi, internet secara fundamental dimaknai sebagai medium akses bebas, yang dikenalkan sebagai ruang publik. Habermas menyatakan penggunaan internet memperluas dan memfragmentasi konteks komunikasi (Ubayasiri, 2006:9). Dalam wacana Habermas, ruang publik merupakan diskusi rasional tak terbatas untuk isu publik yang membentuk opini publik dalam indera yang kuat terkait konsensus demi kebaikan umum untuk mempengaruhi pembuatan keputusan (Li, 2004:82). Lebih lanjut teori liberal klasik, ruang publik merupakan jarak antara pemerintah dan masyarakat dimana individual privat melatih kontrol formal (pemilu) dan informal (tekanan opini publik) negara . Ruang publik menjadi krusial bagi kapasitas masyarakat sipil untuk mempengaruhi negara, terutama indikasi keterbukaan yang dimilikinya (Calhoun, 2002:15-17). Ruang publik sangat penting bagi masyarakat modern dengan menyediakan forum dimana komunikasi terjadi secara kolektif terkait isu yang relevan dan memungkinkan warga untuk mengakses informasi secara mandiri terntang perkembangan sosial dan mengamati kontrol politik, ekonomi, dan elit lain yang mengarah pada pemberdayaan publik. Terdapat tiga jenis ruang publik (Gerhards et al, 2009:2), yakni elaborasi struktur organisasional keterbukaan, dan dampak sosial. Yang pertama menyatakan ruang publik yang terdiri dari kegiatan keseharian warga dengan komunikasi tatap muka yang terjadi di mana saja tanpa struktur organisasional dengan dampak kecil dan jumlah orang yang sedikit. Forum yang kedua adalah event publik, pertemuan kota, kuliah umum atau kampanye protes yang punya struktur minimal terdapat pemimpin pendapat. Dalam bentuk ketiga, infrastruktur terdiri dari spesialis, seperti jurnalis, ahli dan aktor kolektif dimana masyarakat hanya berperan pasif dalam penerimaan. Terkait dengan klasiikasi tersebut, internet menjadi medium baru yang signiikan karena aksesibel dan dinyatakan sebagai sumber informasi, berpotensi mengubah komunikasi sosial dengan melibatkan banyak aktor khususnya dari masyarakat sipil yang sebelumnya tidak memiliki akses ke bentuk media tradisional. Dalam perjalanannya, internet mendemokratisasi ruang publik dan menguatkan kepentingan politik dan partisipasi di masyarakat (Gerhards, 2009:3). Harapan ini berdasar pada struktur komunikasi internet yang secara fundamental berbeda dari media lama dimana peran gatekeepingnya
lebih lemah. Aktor dengan sumber minimal seperti kelompok kecil masyarakat maupun individu mampu memunculkan informasi online yang signiikan dan efektif daripada masuk ke media arus utama. Modal yang dibutuhkan untuk akses internet pun makin terjangkau dengan komputer dan koneksi internet serta kemampuan teknis. Internet menyediakan aksesibilitas bagi aktor yang tidak mendapat perhatian di media lain. Internet agaknya mengubah cara komunikasi dan secara mendasar melonggarkan genggaman elit politik di masyarakat. Internet menyediakan kesempatan untuk menghadapi kontrol monopolistik elit oleh komunikasi massa serta dekolonisasi demokratisasi informasi dan diseminasi. Keterbukaan dan aksesibilitas ruang publik, dalam hal ini internet, dan partisipasi publik dalam diskusi politik merupakan kondisi yang sangat dibutuhkan bagi pembentukan opini dalam ruang publik untuk mempengaruhi pengambilan keputusan (Li, 2004:83). Selain itu, Internet mengeliminasi hambatan ekonomi yang dibuat oleh media konvensional dan meningkatkan skala dan kecepatan informasi, mempersenjatai dengan informasi yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Internet memungkinkan komunikasi banyak arah, bagi siapapun yang memiliki hambatan (disabled) dengan memberikan media untuk bersuara dan kesempatan demokratis (McQuails, 57). Internet sebagai bentuk baru ruang publik, memiliki posisi vital dalam memelihara kepentingan ruang publik ‘mini’. Internet diterima sebagai kesempatan untuk memperbaharui demokrasi secara umum dan secara khusus memungkinkan partisipasi masyarakat dalam politik. Website dan email memungkinkan mekanisme relasi baru antara institusi publik dan masyarakat, memfasilitasi komentar dan keluhan terkait layanan, memungkinkan organisasi bentuk baru sebagai layanan publik dan menyediakan informasi bagi publik umum. Teknologi komunikasi baru menjamin bentuk baru partisipasi masyarakat horizontal, yang tidak bergantung pada sarana komunikasi massa tradisional organisasi politik utama. Bahkan tiap individu dapat berpartisipasi aktif dalam konstruksi ruang opini publik demokratis (Castells dalam Sorj, 2006:2). Fungsi internet relevan dalam perkembangan masyarakat sipil, karena memberi ruang bagi leksibilitas jaringan, mobilisasi cepat bagi diseminasi informasi alternatif, dan memfasilitasi pembentukan jaringan aktivis nasional maupun internasional yang tidak tergabung dalam struktur politik tradisional (Warkentin dalam Sorj, 2006:2). Peran internet dilihat sebagai alternatif dominan di antara riuhnya struktur jaringan komunikasi.
114
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
2.2. Aktivisme Internet dan Masyarakat Ruang publik yang ada dalam media baru tidak hanya terbatas pada sistem online yang dibangun oleh pemerintah dalam bentuk e-government, tetapi juga segala macam bentuk cyberactivism seluruh elemen masyarakat yang dipublikasikan melalui internet semisal dalam cyber community yang memungkinkan diskusi kritis antar pengguna internet dan menghasilkan konsensus tanpa adanya pengaruh tekanan kepentingan. Kekuatan intelektual publik dalam internet melalui produksi konten dalam media baru diharapkan menjadi embrio ruang publik alternatif. Internet sebagai alternatif ruang publik menawarkan kesempatan untuk eksplorasi aspek komunitas virtual sebagai ruang keterikatan lokal (OECD, 2003:65). Terdapat kebutuhan dalam tingkat lokal untuk memelihara jaringan komunitas dan mendorong masyarakat yang aktif. Media baru menunjukkan kesempatan baru bagi jaringan masyarakat. Internet mampu menyediakan beragam informasi, termasuk isu kebijakan dan pengalaman publik yang berguna bagi pembentukan kebijakan, perkembangan dan evaluasi untuk pengelolaan kultur politik yang kritis dan deliberatif. Internet juga menyediakan kapabilitas dalam membangun e-democracy dalam kerangka ruang publik. Internet menjadi agora dengan fantasi retorika demokrasi melalui interaktivitas politisi dan masyarakat (OECD, 2003:148). Sinergi antara perkembangan demokratis dan digital merupakan fenomena yang menarik. Potensi penggunaannya memberi umpan balik bagi teknologi digital untuk memfasilitasi deliberasi kebijakan publik dan pemerintahan dua arah yang penting bagi aktor. Demokrasi sejauh ini dikenal sebagai produk abad dimana representasi efektif dibatasi oleh ketakterhubungan waktu dan jarak. Melalui cyberspace yang disediakan internet, institusi demokratis dapat berkembang selama mudah diakses, akuntabel dalam media baru. Secara empirik, sinergi digital dan demokrasi juga ditunjukkan dalam beragam bentuk gerakan sosial yang menggunakan akses media baru sebagai sarana kegiatan, baik melalui email, situs web, mailing list internet dan kelompok diskusi yang ditempatkan sebagai media alternatif ruang publik. Scott dan Street memahami internet sebagai alat yang kuat dalam pengelolaan gerakan sosial dan menunjukkan sejumlah faktor kekuatannya, yakni memfasilitasi mobilisasi – koordinasi tingkat tinggi antara jaringan gerakan lintas jangkauan geograis tanpa membuat bentuk organiasional hirarki, pembuatan dampak yang tinggi dengan sumber minimal, kemampuan pemberitaan, dan memotong arus birokrasi (Ha, 2006:19). Media alternatif mampu mempertahankan 115
ruang publik mikro dan mengembangkan gerakan di luar ruang publik arus utama. Dalam gerakan sosial, internet mampu menghubungkan aktor lokal dengan global maupun transnasional. Media alternatif dapat digunakan untuk membangun jaringan sosial dan penting sebagai dasar gerakan sosial (Donnel, 2001:43). Kegiatan semacam ini juga dilakukan oleh beragam bentuk kerjasama lembaga masyarakat lokal dengan internasional. Ruang publik yang terbangun dalam internet dapat digunakan untuk memelihara gerakan dengan menyediakan bentuk alternatif pemahaman, jaringan pertemanan, dan komunitas. 2.3. Gerakan Lembaga Swadaya Masyarakat di Internet Merunut catatan sejarahnya, antara tahun 1970an dan 1990an, masyarakat sipil Indonesia berada dalam kondisi yang lemah, dipolitisasi dan terfragmentasi (Hill dalam Nugroho, 2009). Di pertengahan tahun 1990an, LSM mulai mengekspresikan diskonten dan terjadi pembentukan generasi baru kelompok advokasi, utamanya pro demokrasi dan kelompok hak asasi dan meningkat secara aktif menentang protes anti pemerintah. Kelompok ini dikarakterisasikan dengan upayanya bersatu dalam segala bentuk gerakan pro demokrasi dan meningkatkan tekanan terhadap pemerintah. Setelah terjadinya periode transisi tahun 1998, organisasi bawah tanah muncul ke permukaan dan bergabung dengan LSM yang baru terbentuk di Indonesia (Hadiz dalam Nugroho, 2009). LSM memiliki aktor penting dan lekat dengan inovasi dalam perkembangannya sebagai lembaga independen, dengan adopsi atas teknologinya berdasar alasan pemahaman atas eksistensinya di masyarakat. Dalam sudut pandang strukturasi, bentuk gerakan sosial oleh organisasi kemasyarakatan atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang identik dengan posisi yang idealis, memunculkan posisi perlawanan atas kondisi buruk sosial dan politik di suatu negara. Giddens menyatakan kelompok membuat struktur yang mempengaruhi tindakan untuk meraih tujuannya dan melibatkan proses produksi dan reproduksi beragam sistem sosial (Nugroho, 2007b). Dalam hal ini LSM beroperasi membentuk opini publik melalui media dan menyatakan posisi kekuatannya berhadapan dengan hegemoni negara atau pemerintah. LSM selalu kritis terhadap beragam kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan dinyatakan dengan beragam cara dan bentuk. LSM lokal menggunakan internet untuk membantu mereka
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
dalam pengembangan aktivisme, dalam kerangka adopsi inovasi dan teknologi dan berbasis dampak penggunaan teknologi dalam performa LSM dalam manajemen internal, memperluas perspektif organisasional, ekspansi jaringan organisasional dan meningkatkan pengaruh organisasional ke masyarakat (Nugroho, 2009:24). Sejumlah studi menunjukkan bahwa sejumlah LSM memiliki akses pada internet, terutama promosi demokrasi sebagai agenda utama dengan peran watchdog (Nugroho, 2007:2). Masyarakat yang berada dalam tahap masyarakat infromasi menjadi penting sebagai pendukung gerakan sosial dan penghubung beragam aktor yang berguna untuk memfasilitasi demokrasi. Penggunaan teknologi ini juga dapat dilihat sebagai bagian dari strategi LSM lokal Indonesia untuk membangun pandangan kritis terhadap kebijakan melalui keterikatannya dengan kelompok sipil. Hal ini mengindikasikan internet menjadi sarana bagi LSM untuk partisipasi dalam transformasi sosial, keterikatan langsung dan interaksi dalam pembentukan perubahan sosial. LSM telah menjadi pengguna aktif internet sejak awal pengenalannya di Indonesia (Hill dan Sen dalam Nugroho, 2009:24). Dari penelitian Yanuar Nugroho, 94.03% LSM menggunakan PC dalam organisasinya tetapi yang memiliki akses internet sebanyak 86.94%. LSM Indonesia mengadopsi internet dengan kebutuhan untuk mencari infromasi dan mengembangkan efentivitas dan eisiensi organisasional serta mengembangkan kerjasama antar LSM. Menurut survey Yayasan Satudunia pada bulan Maret 2011 terkait gerakan sosial di internet, responden menyatakan bahwa internet digunakan dalam aktivitas melalui email,chatting, terutama untuk membagi informasi sedangkan penggunaan untuk kampanye ada di bagian terakhir (Cahyadi, 2011:2-4). Aktivitas organisasi melalui internet seputar mengirim press release, penggalangan dukungan dan undangan aksi. Mailing list dan website, blog dan forum diskusi digunakan untuk melakukan kampanye. Adopsi internet oleh LSM memberikan motivasi bagi LSM dalam menjembatani politik nasional dan global. Dengan internet, lebih banyak LSM global menaruh perhatian pada situasi Indonesia dan berkolaborasi dengan LSM Indonesia, salah satunya dalam kegiatan sosial dan humanitarian. Internet juga membangun kapasitas LSM Indonesia dalam jejaring dan saluran informasi. Di Indonesia, sudah banyak LSM lokal yang menggunakan media baru atau internet untuk media
komunikasi utama. LSM Combine melalui Twitter @ JalinMerapi menjadi akun yang cukup banyak diakses hingga sekarang terkait peristiwa bencana, berikut juga LSM Airputih, Satu Dunia, ICT Watch, Walhi dan lain sebagainya. Salah satu LSM yang akan dianalisis penggunaan internet adalah KontraS yang merupakan gabungan civil society dan tokoh masyarakat yang bekerja memantau persoalan HAM, KIP-HAM dan menangani pengaduan masyarakat tentang permasalahan HAM (KontraS, 2012). Gerakan sosial yang dilakukan KontraS termanifestasi melalui laman situs yang sangat informatif, mulai dari artikel berita, buku, kampanye, buletin, yang menyediakan fasilitas unduh, bagi, dan komentar sebagai sarana respon langsung dari pengelola. Interaktivitas yang dibangun di dalamnya menunjukkan kemampuan diskusi ruang publik alternatif. KontraS juga memiliki akun media sosial yang secara interaktif berinteraksi dengan follower dan audiensnya berikut komentras terkait isu yang sedang diangkat oleh KontraS sehingga terbentuk diskusi dalam ruang virtual. Transformasi dalam sistem media di Indonesia dapat dilihat dari dinamika sosial politik Indonesia sendiri dengan relasi pada peran dan posisi LSM untuk mengubah jaringan berbasis media baru. Selain itu perubahan juga terjadi dengan hadirnya internet yang mengubah masyarakat dengan karakteristik yang berjaringan. Pemanfaatan media baru oleh LSM juga memampukan perubahan dalam konten dan struktur komunikasi Indonesia dalam kerangka pembuatan ruang publik alternatif. Meski dalam pemanfaatannya bagi mayoritas Indonesia masih mengarah pada pemanfaatan leisure, tapi tak menutup kemungkinan keran-keran suara masyarakat terutama kaum minoritas dalam menyuarakan pendapatnya semakin terbuka dengan interaktivitas dan publisitas di dunia virtual. Tinggal tantangannya sekarang adalah menghadapi tekanan ekonomi dan globalisasi baik dalam komersialisasi segala lini media dan invasi nilai dan konten global yang merajai media. Dengan gerakan LSM lokal indonesia diharapkan mampu memandingi konten global sehingga membentuk parameter agenda setting lokal sendiri, bukan malahan memampukan agenda asing sehingga terbentuk ruang publik yang ideal.
116
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Daftar Pustaka Calhoun, Craig. 2002. Information Technology and he International Public Sphere. International Sociological Association, Brisbane, Australia. Castell, Manuel dan Gustavo Cardoso. 2005. he Network Society : From Knowledge to Policy. DC : Johns Hopkins Center For Transatlantic Relations. Coleman, Stephen dan Jay Blumer. 2009. he Internet and Democratic Citizenship : heory, Practice, and Policy. USA : Cambridge University Press. Deloitte. 2011. he Connected Archipelago : he Role of he Internet in Indonesia’s Economic Development. Dijk, Jan van. 2006. he Network Society 2nd ed. London:Sage. Donnel, Susan O.. 2001. Analysing he Internet and he public Sphere : he Case of Womenslink 39 Vol.8 (2001),1, 39 – 58. he Public. Gerhards, Jurgen dan Mike S. Schafer. 2009. Is he Internet a Better Public Sphere? Comparing Old And New Media in he US and Germany. Article new media & society XX(X) 1–18 DOI: 10.1177/1461444809341444. Sage. Grossberg, . Lawrence 2006. Media Making : Mass Media In a Popular Culture. London: Sage. Ha, Chow Pui. 2006. Internet Activism and Transnational Public Sphere : Internet as State Activation Apparatus in the Anti-Japanese Protests. Paper Presented to the 47th Annual ICA Convention, San Diego, USA, March 22-25 2006. Hill, David T. dan Krisna Sen. 2005. he Internet in Indonesia’s New Democracy. London: Routledge. Langman, Lauren & Devorah Kalekin-Fishman. 2006. Trauma, Promise, and he Millenium : he Evolution of Alienation. USA : Rowman & Littleield. Li, Zhan. 2004. Will the Internet Form the Public Sphere in China? Journal of Systemic, Cybernetics, Informatics. Volume 2 Number 2. Nugroho, Yanuar. 2009. NGO, the Internet and Sustainable Rural Development : he Case of Indonesia. Journal Information, Communication, and Society. Scholar One Nugroho, Yanuar. 2007. Anonymity in ComputerMediated Communication : A Case Study of Groupware Communication Among Indonesian NGO Activists. Universitas Sahid Surakarta. Nugroho, Yanuar. 2007. Internet and Civil Society Organisations in Indonesia – Exploring Innovation 117
in he hird Sector : Study on the Adoption of Internet CMC by Indonesian CSOs for Social Reform and Social Development Programmes. PREST, Institute of Innovation Research, he University of Manchester Nugroho, Yanuar. 2011. Aksi Warga : Kolaborasi , Demokrasi Partisipatoris, dan Kebebasan Informasi : Memetakan aktivisme Sipil Kontemporer dan Penggunaan Media Sosial di Indonesia. Kolaborasi penelitian antara Manchester Institute of Innovation Research, University of Manchester dan HIVOS Regional Oice Southeast Asia. Manchester dan Jakarta: MIOIR dan HIVOS. OECD. 2003. Promise and Problems of E-Democracy : Challenges of Online Citizen Management. Perancis : OECD. Papacharissi, Zizi. 2008. he Virtual Sphere 2.0 : he Internet, he Public Sphere and Beyond. Temple University. Handbook of Internet Politics. Andrew Chadwick, Philip Howards (Eds.). Taylor & Francis. Sorj, Bernardo. 2006. Internet, Public Sphere, and Political Marketing : Between he Promotion of Communication and Moralist Solipsism. Rio De Jainero : he Edelstein Center For Social Research. Ubayasiri, Kasun. 2006. Internet and he Public Sphere : A Glimpse of YouTube. Central Queensland University. Sumber online: Cahyadi, Firdaus. 2011. Online Activism : Perlu Terobosan Baru! Yayasan Satudunia Eddy, Catherine et. al. 2012. Reaching Indonesia’s Middle Class. Diakses tanggal 18 Juni 2012. Diakses dari http://blog.nielsen.com/nielsenwire/consumer/ reaching-indonesias-middle-class/ Kellner, Douglas. Tanpa Tahun. New Technologies and Alienation: Some Critical Relections. Diakses tanggal 26 Juni 2012. Diakses dari http:// pages.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/essays/ technologyalienation.pdf KontraS. 2012. Proil Kontras. Diakses tanggal 1 Juli 2012. Diakses dari http://www.kontras.org/ index.php?hal=proile Nyabuga, George. 2006. Knowledge is Power he Internet and Kenyan Public Sphere. Diakses tanggal 26 Juni 2012. Diakses dari http:// eprints.worc.ac.uk/310/1/Web_Knowledge_is_ power_-_George_Nyabuga.pdf
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Wahyudi, Reza. 2011. Naik 13 Juta, Pengguna Internet Indonesia 55 Juta Orang. Diakses tanggal 1 Juli 2012. Diakses dari http://tekno.kompas.com/ read/2011/10/28/16534635/Naik.13.Juta.. Pengguna.Internet.Indonesia.55.Juta.Orang
118
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Peran Facebook dalam Menciptakan Interaksi antara Kanwil Kesehatan Provinsi dengan Ibu Hamil untuk Menurunkan Tingkat Kematian Ibu Saat Melahirkan Muhammad Adi Pribadi1*) Abstrak Indonesia memiliki target untuk bisa mencapai target Milenium Development Gold ditahun 2015 dalam menurunkan tingkat kematian ibu melahirkan hingga mencapai 102/100.000.usaha pemerintah dalam menurunkan tingkat kematian, masih belum mencapai target. Di tahun 1994, tingkat kematian ibu melahirkan mencapai 390/100.00,tetapi ditahun 2007 tingkat kematian ibu mengalami penurunan hingga 228/100.000 (Barrarah, 2012). Beberapa faktor penyebab kematian pada ibu, faktor pertama adalah ibu memilih menggunakan dukun beranak (Barrarah,2012). Faktor kedua adalah pengetahuan keluarga; seperti aborsi, keracunan kehamilan, dan infeksi. Faktor ketiga adalah usia ibu saat melahirkan terlalu muda dan terlalu tua (Harnowo, 2012). Faktor keempat adalah kurang perhatian suami.Agar tingkat kematian saat melahirkan secara nasional dapat dikurangi maka pemerintah pusat dan daerah perlu bekerja terpadu dalam meningkatkan komunikasi dengan para anggota keluarga (istri dan suami) agar mereka memiliki pengetahuan yang cukup tentang kehamilan dan melahirkan sehingga tingkat kematian ibu dapat diperkecil. Komunikasi yang dapat dilakukan oleh pihak PEMDA, kepada angota keluarga adalah melalui iklan layanan masyarakat dengan menggunakan media tradisional seperti TV, radio, koran, majalah dan billboard. Media ini mampu menyebarkan informasi secara luas dan cepat.Walaupun media tradisional mampu menyebarkan informasi secara luas dan cepat tetapi perlu kesinambungan informasi agar informasi tersebut dapat terbaca untuk mempengaruhi pembaca.Dengan biaya tinggi, penggunaan media tradisional yang berkesinambungan akan menjadi beban bagi APBD. Maka dari itu, PEMDA perlu memilih FACEBOOK(FB) sebagai media alternatif karena biaya yang dikeluarkan jauh lebih murah. Media FB terbukti tidak hanya digunakan oleh kalangan perusahaan multinasional, seperti starbucks dll, untuk menjalin hubungan dengan konsumennya, media ini juga digunakan pemerintah Amerika, seperti NASA dan pemerintah di negara bagian, untuk memberikan informasi atau pengetahuan kepada masyarakatnya (Treadaway and Smith, 2012). Kata kunci: Komunikasi, facebook, kanwil 1.
Pendahuluan
Meningkatnya tingkat kematian ibu di Indonesia membuat pemerintah pusat dan daerah berupaya untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi.Pemerintah menggunakan standar Millenium Development Program Golds (MDGs) dan standar nasional sebagai alat ukur tingkat keberhasilan pemerintah dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan anak. Menurut MDGs, standar angka kematian ibu adalah sebanyak 25 per 1000 orang. Sedangkan standar pemerintah adalah 35 per 1000 orang(humasprotokolbantenprov.gov.id). Suatu hasil yang membanggakan ketika saya melihat berita dari HUMAS pemerintahan BANTEN, bahwa tingkat kematian ibu melahirkan di provinsi Banten adalah sebesar 22,8/1000 orang, yang dapat diartikan sebagai besarnya tingkat keberhasilan ibu melahirkan di Banten karena angka kematian ibu berada dibawah standar nasional dan MDGs. Hal ini adalah suatu pencapaian yang luar biasa yang telah dilakukan oleh pihak pemerintahan BANTEN. Namun pencapaian 1
*)
oleh provinsi Banten belum dicapai oleh provinsi lain di Indonesia. Beberapa faktor yang menyebabkan tingkat kematian ibu saat melahirkan yaitu menggunakan dukun beranak, usia ibu saat melahirkan terlalu tua dan terlalu muda, aborsi, keracunan dan kurangnya peran suami (Barrarah dan Harnowo, 2012). Dilihat dari semua faktor diatas dapat terlihat jika kematian saat melahirkan bisa terjadi karena kurangnya informasi untuk masyarakat Seharusnya tingkat kematian ibu akibat menggunakan dukun beranak dapat dicegah karena pemerintah telah menyediakan JAMPERSAL (Jaminan Persalinan) dimana semua keluarga Indonesia dalam semua level ekonomi bisa mendapatkan pelayanan persalinan gratis atau tanpa dipungut bayaran. Walaupun pemerintah telah menyediakan program gratis untuk proses melahirkan, masih banyak orang memilih menggunakan dukun beranak karena tingkat penyebaran informasi tentang JAMPERSAL masih kurang. Informasi Jampersal hanya ada di media tertentu dan terbatas. Misalnya dikereta api eksekutif
Dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara, Jakarta.
119
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
CIREBON EXPRESS terdapat iklan JAMPERSAL ditiap gerbong eksekutif. Biaya untuk melakukan kegiatan komunikasi adalah mahal, sehingga pemerintah tidak bisa menggunakan media tradisional (Televisi, Radio dan BILLBOARD) terlalu sering.Sedangkan untuk menciptakan komunikasi yang efektif diperlukan penyampaian informasi yang berkelanjutan. Oleh karenanya, KANWIL Kesehatan daerah sebagai wakil dari pemerintah daerah perlu menggunakan facebook untuk menyebarkan informasi kepada target pembaca agar dapat menekan biaya komunikasi dan tetap terciptanya komunikasi yang efektif antara pemerintah daerah dan rakyatnya dalam kesehatan. Walaupun Facebook adalah media yang murah untuk menyampaikan informasi kepada target audiencenya, pemerintah tetap perlu membuat perencanaan arus informasi masuk dan keluar agar terjalinnya komunikasi yang efektif antara pemerintah dan rakyatnya 2.
Gambar 1: Macro Komunikasi FACEBOOK
Facebook dan Pemerintah Daerah
Sumber: Kotler. Et al (2012)
Saat ini, pengguna aktif facebook didunia adalah sejumlah 955 juta orang perbulannya dan pada bulan juni 2012, dan pengguna aktif facebook yang menggunakan mobile phone mencapai 543 juta orang (newsroom.fb.com, 20 juli 2012). Dilihat dari jumlah pengguna aktif facebook yang banyak, Beberapa pemerintah daerah di Amerika Serikat menggunakan facebook untuk menciptakan interaksi antara pemerintah daerah dengan rakyatnya.Misalnya pemerintah negara bagian Tennesse (TN.GOV) yang banyak memiliki program pemerintahan daerah yang disampaikan melalui facebook.misalnya untuk menjalin komunikasi dengan gubernur bisa dilakukan melalui facebook (gov.Haslam). jika masyarakat ingin mengetahui informasi kesehatan di Tennesse, mereka bisa menjadi bagian facebook Tennesse Departement of Health. Jika pemerintah di daerah ingin meningkatkan kesehatan dan menurunkan tingkat kematian ibu dan anak maka pemerintah daerah harus membuka informasi dengan masyarkatnya melalui facebook Perencanaan Makro Interaksi Melalui Facebook Pemerintah perlu membuat perencanaan dalam membangun facebook yang dikhususkan untuk membantu ibu-ibu hamil agar saat persalinan dapat berjalan lancer. Perencanaan dimulai dari gambaran makro komunikasi, tujuan komunikasi, perencanaan isi pesan, pesan aktual, track metrics, analisis dan revisi (Kotler, et al dan Treadaway, 2012) 3.
Komunikasi Makro Awal perencanaan penyebaran pesan melalui media FACEBOOK perlu diawali dengan melihat 3.1.
gambaran besar dari alur informasi karena dari gambar tersebut KANWIL Kesehatan bisa mengetahui bagaimana proses komunikasi berlangsung dan melihat kemungkinan gangguan informasi yang mungkin terjadi saat penyampaian pesan.
Dari gambar diatas, Sender adalah KANWIL Kesehatan yang menyapikan pesan pada pasangan suami dan istri (Receiver). Encoding adalah bahasa yang akan digunakan oleh pihak KANWIL Kesehatan untuk berkomunikasi dengan pasangan suami istri. Tentu bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia agar target pembaca dapat mengerti isi pesan (decoding). Disaat target pembaca tidak mengerti dengan isi pesan yang disampaikan maka mereka akan bertanya dengan pihak KANWIL Kesehatan (RESPONSE). Saat pesan dari target pembaca dimengerti oleh KANWIL Kesehatan maka pesan dapat dianggap sebagai feedback. Media adalah alat komunikasi massa yang digunakan oleh pihak KANWIL Kesehatan dengan target pembacanya. Dalam hal ini, media yang digunakan adalah facebook. Noise adalah penentuan gangguan proses informasi yang mungkin terjadi. Gangguan penyebaran informasi bisa timbul dari segi tanggapan pembaca yang negatif dan ganguan teknis.Tanggapan negatif dari pembaca adalah informasi yang cenderung tidak mendukung program pemerintah dan penggunaan kalimat yang kasar dalam interaksi. Misalnya, salah satu pembaca menulis di akun FB milik KANWIL Kesehatan adalah sebagai berikut, “alat kontrasepsi dilarang oleh agama”. Jika pemilik akun sudah menentukan standar informasi yang tepat maka akan memudahkan pemilik akun dalam menentukan informasi yang perlu di tanggapi dan tidak Teridentiikasinya gangguan teknis, seperti sinyal dalam penyampaian pesan, adalah kendala dalam penyampaian pesan. Contoh: ganguan sinyal yang mengakibatkan target pembaca tidak dapat menerima informasi melalui media computer dan
120
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
telepon genggam Tujuan Komunikasi Sejak awal perencanaan harus ditentukan tujuan komunikasi antara pihak KANWIL Kesehatan dengan pasangan suami istri. Apakah dalam facebook ini hanya akan memberikan informasi tentang persiapan melahirkan atau menyediakan informasi lain seperti informasi gizi untuk tumbuh kembang anak dan program keluarga berencana.
3.2.
Perencanaan isi pesan Setiap informasi yang masuk dalam ruang publik perlu memperhatikan etika berkomunikasi agar tidak menyinggun pihak tertentu.
3.3.
Pesan aktual Pesan aktual adalah seberapa cepat kemampuan pemilik akun dalam memberikan tanggapan informasi dari target pembaca. Jika target pembaca dapat menerima tanggapan dari pemilik akun dalam waktu yang cepat, maka target pembaca akan senang. Seperti facebook milik Club Nutricia, admin facebooknya selalu siap untuk memberikan informasi kepada target pembacannya sehingga mereka suka untuk berkomunikasi dengan admin melalui facebook.
3.4.
Trek metrik (Track Metrick) Trek metrik adalah menejemen data yang dilakukan oleh pihak ketiga untuk memperlihatkan seberapa besar kemampuan media komunikasi dalam memberikan informasi yang dibutuh oleh target pembaca. Dengan trek metrik maka KANWIL Kesehatan dapat mengukur tingkat keberhasilan yang telah dicapai dalam menyebarkan informasi kesehatan kepada masyarakat. Pihak ketiga yang digunakan untuk membantu untuk mengukur informasi adalah dengan menggunakan jasa-jasa perusahaan berikut, seperti Omniture (www.omniture.com), coremetrics (www. coremetric.com), dan webtrends (webtrends.com)
3.5.
Analisis dan revisi Media facebook yang digunakan untuk memberikan informasi kepada target pembaca perlu di pantau perkembangannya. Apakah media facebook yang diciptakan dapat membantu keluarga dalam mendapatkan informasi yang dibutuhkan?. jika mereka puas, maka facebook tersebut tidak perlu mengalami perubahan besar. Namun disaat facebook tidak dapat memberikan kepuasan informasi pada target pembacanya, maka penting bagi kanwil untuk menilai bagian yang produktif dan tidak dalam penyampaian informasi
3.6.
4.
Perencanaan Mikro Interaksi Melalui Facebook Awal perencanaan dimulai dengan gambaran 121
umum untuk melihat proses interaksi dengan target pembaca maka langkah berikutnya adalah untuk merencanakan detail informasi dalam membangun interaksi antara Kanwil Kesehatan dengan pembacanya melalui Facebook. Perencanaan mikro interaksi melalui Facebook terdiri dari Perencanaan dasar interaksi dan perencanaan design interaksi (Treadaway 2012) Perencanaan Dasar Interaksi Perencanaan dasar interaksi adalah penentuan alur komunikasi yang diharapkan oleh pemilik akun facebook,dalam perencanaan ini akan ditentukan tujuan komunikasi dan pengukurannnya, penentuan target pembaca, penentuan peran kerja, dan penentuan kebijakan interaksi melalui FACEBOOK. 4.1.
4.1.1. Menetapkan Tujuan KANWIL Kesehatan sebagai pemiliki akun FACEBOOK perlu menetapkan tujuan yang ingin dicapai dari interaksi dengan target pembaca.Jika KANWIL Kesehatan berusaha mendukung program nasional dan internasional dalam meningkatkan keberhasilan ibu saat melahirkan maka penetapan tujuan pembuatan akun facebook adalahpenyebaran informasi kesehatan ibu hamil sebagai langkah awal keberhasilan ibu dalam melahirkan. Pengukuran penyebaran informasi perlu ditetapkan dalam menentukan pencapaian tujuan.Misalnya, jumlah anggota akun facebook dan jumlah posting bertambah setiap hari. Figure 1: Penentuan Tujuan dan Pengukurannya Tujuan Penyebaran informasi kesehatan
Metrik 1. Jumlah teman dalam akun terus tambah 2. Jumlah artikel dari pihak pemilik akun tambah 3. Intensitas interaksi antara pemilik akun dengan pembaca
contoh 1. teman dalam akun memberikan pertanyaan, aktif dalam diskusi dan memberikan tanggapan terhadap aritikel yang dikeluarkan oleh pemilik akun facebook (KANWIL Kesehatan) atau sebaliknya
Sumber: Treadaway (2012)
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Target pembaca Target pembaca dari akun KANWIL Kesehatan perlu dibuat agar informasi yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan mereka. Jika akun ini dikhususkan untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan ibu hamil maka target pembacanya adalah ibu dan suaminya. Informasi berkaitan dengan kesehatan ibu hamil akan dapat perhatian khusus bagi para Ibu dan suaminya karena mereka mengharapkan kelancaran kegiatan persalinan. Bapak atau pihak suami perlu mendapatkan informasi yang cukup tentang aktivitas istri yang sedang hamil karena salah satu penyebab kegagalan proses melahirkan diakibatkan oleh kurang pengetahuan suami dalam menghadapi proses hamil dan melahirkan sang istri. Oleh karenanya diperlukan materi untuk Bapak agar mereka dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi proses kehamilan dan melahirkan istri. 4.1.2.
Agar informasi yang tepat bisa diterima oleh target pembacanya maka perlu dibuat aturan dalam kegiatan interaksi antara petugas dengan pihak keluarga.Untuk mempermudah dalam pembuatan aturan interaksi, beberapa pertanyaan berikut dapat digunakan untuk membantu pembuatan landasan aturan (Treadaway, 2012); apa tujuan pembuatan FACEBOOK?, Siapa yang akan mengatur (menejer) kegiatan interaksi melalui FB?, seberapa sering anda menyampaikan informasi (posting) kepada publik?, apakah petugas FB akan melakukan kegiatan interaksi dengan target pembaca? Perencanaan Design Interaksi Agar akun FB dapat bekerja maksimal, pemilik akun harus melakukan riset sebelum akun FB terbentuk dan menentukan standar pelaporan yang baik pada atasan 4.2.
Lakukan Riset Pencarian data dan informasi perlu dilakukan oleh pemilik akun agar FB yang dibuat tercapai keefektifannya. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan berkonsultasi dengan para professional yang mengerti menejemen data dari social media atau mencari data dari internet seperti GOVERNMENT 2.0: www.govloop.com. 4.2.1.
Peran pekerja Mereka yang bertugas dalam ruang lingkup facebook perlu diberikan gambaran penugasan yang jelas agar pekerjaan yang dilakukan dapat tercapai dengan baik sehingga tujuan dari KANWIL kesehatan dapat tercapai. Peran pekerja yang bertugas dalam hal penyampaian pesan kepada target pembaca harus jelas gambaran kerjanya agar mereka dapat memberikan informasi yang akurat. Karena FACEBOOK ini ditujukan untuk ruang interaksi antara keluarga (ibu hamil dan suami) dengan KANWIL Kesehatan maka petugas yang berinteraksi dengan keluarga adalah orang yang mengerti mengenai kesehatan ibu hamil. Perlunya tenaga kesehatan berinteraksi dengan mereka adalah agar informasi yang diterima oleh keluarga bisa menjadi referensi yang tepat untuk menjaga proses kehamilan dan melahirkan. Petugas bagian web design dan hardware perlu disiapkan untuk mengatasi permasalahan dibidang alat komunikasi.Kondisi dari alat komunikasi harus dijaga agar aliran informasi tidak terganggu karena masalah teknis. 4.1.3.
Kebijakan interaksi Informasi yang tepat adalah salah satu produk terbaik yang dihasilkan oleh KANWIL Kesehatan untuk ibu hamil khususnya karena dengan informasi yang tepat, keluarga memiliki pengetahuan cukup untuk menjaga kehamilan ibu. 4.1.4.
Tentukan Standar Laporan Standar laporan yang baik perlu dibuat agar mereka (para pengambil keputusan/pimpinan) dapat mengerti isi laporan tersebut.Standar laporan yang baik adalah yang mampu memberikan penjelasan yang cukup tanpa menimbulkan ambiguitas. Sebagai contoh kita menyediakan data pengukuran dalam bentuk angka maka angka tersebut harus dijelaskan dengan baik agar para pengambil keputusan mengerti data yang dilaporkan 4.2.2.
Simpulan Arus informasi perlu dibuka dalam usaha untuk menyelamatkan ibu dan anak selama proses hamil dan melahirkan karena dengan pengetahuan yang cukup diharapkan tingkat keberhasilan ibu melahirkan dapat meningkat. Penyampaian informasi tidak perlu menggunakan media yang mahal karena kemajuan teknologi yang ada memudahkan penyampai pesan dengan menggunakan media yang murah seperti facebook. 5.
122
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Banyak pihak pemerintahan diluar negeri yang membuka informasi kepada rakyatnya melalui facebook karena dipercaya mampu menciptakan efektiitas penyampaian pesan.karenanya, KANWIL Kesehatan perlu melakukan langkah yang sama untuk menyebarkan informasi melalui media facebook dalam memberikan pengetahuan kepada pasangan suami istri mengenai persiapan melahirkan agar ibu dan anak dapat terselamatkan. Daftar Pustaka Bararah, Vera Farah. (2012). “Harusnya Tak Ada Lagi Ibu Melahirkan Mati di Indonesia”.Available From www.detik.com. Cited 2 Juli 2012 Harnowo, Putro Agus.(2012). “ Angka Kematian Ibu Gagal Turun Dalam 5 Tahun Terakhir”. Available from www.detik.com. Cited 18 June 2012 Kotler, Philip., at al. (2012). “Marketing Management”. Pearson. USA Newsroom.fb.com. cited 20 Juli 2012 Treadaway, Chris.,& Smith, Mari. (2012). “Facebook Marketing”. Jhon Wiley and Sons. Sybex. Indianapolis. Indiana.
123
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
124
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
“SMS Broadcast” untuk Pemberdayaan Masyarakat Rendra Widyatama dan Tawar 1*) Abstrak Telpon seluler adalah alat komunikasi yang sudah dikenal luas oleh masyarakat. Hampir semua lapisan sosial, termasuk kelas menengah dan bawah banyak yang sudah memilikinya. Keberadaan media ini tidak lagi menjadi barang mewah, melainkan manjadi kebutuhan penting untuk mempermudah dan mempercepat aktivitas komunikasi sehari-hari. Umumnya media ini digunakan sebagai alat komunikasi sosial disamping tujuan-tujuan lain, termasuk ekonomi, kesehatan dan sebagainya. Melihat jumlah pengguna dan luasnya penggunaan, maka bila diorganisasikan dengan baik dan terpadu dalam sistem “SMS Broadcast (SMS Gateway)”, telepon seluler memiliki potensi yang lebih luas lagi dan dapat digunakan bagi pemberdayaan masyarakat di berbagai bidang serta berimbas pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. SMS Broadcast menjadi sistem pengiriman pesan secara massal ke sejumlah unit, group atau kombinasi group dan unit sekaligus dimana pesan dapat dipastikan sampai pada sasaran kontak. Pengelolaan SMS Broadcast dilakukan dengan sistem pendaftaran aktif dari para sasaran kontak. Universitas Ahmad Dahlan (UAD) telah mengembangkan sistem SMS Broadcast berbasis Gammu. Tujuan pengembangan sistem ini bertujuan untuk mewujudkan paperless oice dan mempercepat proses pendistribusian informasi dikalangan sivitas akademika. Sistem SMS broadcast memungkinkan diterapkan pada berbagai kelompok masyarakat seperti petani, nelayan, pengrajin dan pengusaha kecil maupun pihak-pihak yang selama ini sulit mendapatkan akses pasar dapat terhubung dengan pembeli, pedagang, bahkan eksportir besar secara langsung. Melalui sistem tersebut, rantai ekonomi akan lebih pendek dan pada gilirannya membuat produk lebih murah namun dengan keuntungan dapat langsung dinikmati oleh pihak-pihak yang selama ini tidak mendapatkan akses pasar. Kata kunci: Telpon selular, sms broadcast, pemberdayaan masyarakat, gammu 1. Pendahuluan Telpon seluler sudah dikenal luas oleh masyarakat sebagai alat komunikasi. Hampir semua lapisan sosial, termasuk kelas menengah dan bawah banyak yang sudah memilikinya. Mengingat fungsinya yang sangat luas, keberadaan media ini tidak lagi menjadi barang mewah, melainkan manjadi kebutuhan penting untuk mempermudah dan mempercepat aktivitas komunikasi sehari-hari. Dewasa ini perangkat telpon seluler telah mengalami perkembangan teknologi yang semakin canggih dan kompleks, tidak seperti saat awal ia diciptakan. Dahulu, perangkat ini memiliki dimensi isik yang besar dan berat, namun saat ini semakin kecil, ringan, namun memiliki banyak kemampuan. Ia tidak hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi audio dan mengirim sms, tetapi juga dilengkapi dengan kemampuan lainnya. Misalnya mampu digunakan sebagai alat perekam gambar foto dan video, komputasi matematika, koneksi internet, dan sebainya. Pendek kata, perangkat telpon seluler merupakan computer mini (http://id.wikipedia.org/ wiki/Telepon_genggam, diunduh tanggal 13 Sept. 2012, pukul 05.34 WIB).
Di tengah masyarakat dewasa ini, umumnya media ini digunakan sebagai alat komunikasi, baik dalam bentuk verbal suara, pesan verbal tulis, bahkan memadukan antara citra gambar, suara dan gerak (audio visual). Melalui alat ini, relasi antar manusia dapat terus dijalin, meski tidak saling bertemu secara isik, bahkan terpisah dalam jarak yang sangat jauh. Manusia yang terpisah secara isik, dapat tetap terus berhubungan tanpa kendala yang berarti. Dimanapun manusia berada, baik di perkotaan, pedesaan, di tengah hutan dan lautan, atau dimanapun mereka berada, asal terjangkau sinyal telpon selular, manusia dapat terus berkomunikasi. Komunikasi tersebut bersifat seketika, karena pertukaran pesan dapat terjadi dengan segera, seperti tidak ada kendala waktu dan jarak isik yang sangat jauh. Pendek kata, melalui jasa perangkat ini, manusia dapat memperpendek ruang dan waktu, namun dengan biaya yang relative murah. Salah satu fungsi telepon selular yang sangat popular dewasa ini adalah kemampuannya mengirimkan pesan tertulis, yaitu melalui layanan sms (short message service). Layanan ini memungkinkan manusia dapat mengirim pesan tulis layaknya mengirim telegram pada jaman dahulu. Bedanya, manusia tidak lagi membutuhkan kertas untuk mencetak pesan yang
1*) Kedua penulis adalah Dosen pada Program Studi Sistem Informasi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
125
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
dikirim, karena pesan dapat ditayangkan langsung diketahui melalui layar kecil pada perangkat telpon selular. Komunikan dapat langsung membalas pesan, mengedit, ataupun meneruskan pesan tersebut ke pihak lain. Bila penerima berkehendak, pesan tersebut juga dapat disimpan dalam waktu yang sangat lama. Berkait dengan layanan short message service (sms) tersebut, sebenarnya bila diorganisasikan dengan baik yang terpadu dalam sistem “SMS Broadcast”, telepon seluler memiliki potensi yang lebih luas lagi. Dalam beberapa situs internet, SMS Broadcast lebih dikenal dengan nama SMS Gateway, yaitu suatu platform yang menyediakan mekanisme untuk menghantar dan menerima SMS dari peralatan mobile (HP, PDA phone, dll) melalui SMS (http://id.wikipedia. org/wiki/SMS_Gateway, diunduh pada tanggal 15 September 2012, pukul 21.00 WIB). Melalui sistem ini, komunikator dapat melakukan pengiriman pesan ke sejumlah besar komunikan pada saat yang bersamaan. Karena pesan dapat langsung diterima oleh komunikan secara individual, maka pesan akan berkesan memiliki nuansa personal. Artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dalam membangun komunikasi di kalangan civitas akademiknya untuk mengganti sebagai undangan/brosur. Dalam sistem SMS Broadcast ini, UAD melakukan sistem pendaftaran aktif dan pasif dari para sasaran kontak (komunikan). Pendaftaran aktif yaitu, komunikan mendaftarkan nomor telpon selularnya kepada administrator SMS Broadcast. Sementara dalam pendaftaran pasif, administrator mencatat nomornomor telpon pihak-pihak tertentu yang seding berkomunikasi dengan UAD dan dipandang penting namun dengan tidak menanyakan kesediaan terlebih dahulu dari pemilik nomor untuk tercatat sebagai “SMS Broadcast community”. Dalam pendaftaran pasif, nomor diambil dari petugas operator telpon UAD. Sistem SMS Broadcast yang dikembangkan oleh UAD tersebut, dapat dikembangkan lebih lanjut untuk fungsi yang lebih luas, di antaranya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sistem SMS Broadcast dapat digunakan untuk menghubungkan antara petani, nelayan, nelayan, peternak kecil, pengrajin dan pengusaha kecil maupun pihak-pihak yang selama ini sulit mendapatkan akses pasar untuk langsung dapat terhubung dengan pembeli, pedagang, toko baik grosis dan eceran, pedagang swalayan dan pasar, bahkan eksportir besar secara langsung, menawarkan hasil produknya tanpa melalui pedagang perantara, sehingga dapat menikmati margin keuntungan yang selama ini dinikmati oleh pedagang. Melalui sistem tersebut, rantai ekonomi akan lebih pendek dan pada gilirannya membuat produk lebih murah namun dengan keuntungan dapat langsung dinikmati oleh pihak-pihak yang selama ini tidak mendapatkan akses pasar. Dengan demikian, sistem SMS broadcast dapat telpon seluler dapat digunakan
sebagai media pemberdayaan masyarakat dan berimbas pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. 2. Pembahasan 2.1. Telpon Seluler (Ponsel) Masyarakat Indonesia sering menyebut telepon seluler (ponsel) dengan istilah telepon genggam atau handphone (HP). Sebenarnya, alat ini adalah perangkat telekomunikasi elektronik yang mempunyai kemampuan dasar yang sama dengan telpon konvensional saluran tetap (Edi S Mulyanta, 2004). Hanya saja yang membedakan adalah bahwa perangkat telpon seluler dapat dibawa ke mana-mana (portabel, mobile) dan tidak perlu disambungkan dengan jaringan telepon kabel (http://id.wikipedia. org/wiki/Telepon_genggam, diunduh pada tanggal 13 September 2012, pukul 05.34 WIB). Di dalam perangkat ponsel saat ini, umumnya terdapat rangkaian elektronik berupa pengeras suara, mikrofon, papan tombol, tampilan layar, resistor, kondensator, transistor, IC (Intergrated Citcuit), dioda, dan sebagainya. Bahkan saat ini dalam printed circuit board (PCB) telpon seluler juga dilengkapi dengan mikroprosesor yang membuat setiap telepon dapat berfungsi layaknya computer mini (http://id.wikipedia.org/wiki/Telepon_genggam, diunduh tanggal 13 Sept. 2012, pukul 05.34 WIB). Dengan kemampuan yang canggih tersebut, pada saat berhubungan dengan jaringan nirkabel, memungkinkan penggunanya untuk melakukan panggilan atau bertukar data dengan telepon lain atau dengan komputer. Selain berfungsi melakukan dan menerima panggilan telepon dalam bentuk suara (audio), umumnya ponsel juga dapat berfungsi mengirim dan menerima pesan singkat (short message service). Di beberapa negara, layanan yang disediakan bahkan sudah pada teknologi generasi ketiga (3G) dengan menambahkan jasa videophone maupun untuk televisi online melalui telepon genggam. Sekarang, telepon genggam menjadi gadget yang multifungsi, dengan ditambahnya berbagai itur aplikasi, seperti dapat menangkap siaran radio dan televisi, perangkat lunak pemutar audio (MP3) dan video, kamera digital, game, dan layanan internet (WAP, GPRS, 3G), bahkan ditanamkan itur komputer. Layanan yang dapat digunakan melalui telpon seluler juga bertambah, tidak hanya untuk keperluan telpon dalam bentuk audio, namun juga dalam bentuk video call, layanan mengirim dan menerima pesan singkat (short message service), pembayaran perbankan, trading saham, dan sebagainya. Jadi melalui telpon seluler, kita dapat mengubah fungsi ponsel menjadi computer mini. Telpon selular yang memiliki berbagai kemampuan canggih ini tergolong ke dalam ponsel pintar (smartphone). Pada ponsel berjenis multimedia, semua aktivitas yang berhubungan dengan musik, seni,
126
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
foto, video, dan lainnya juga dapat dilakukan dengan mudah. Apalagi kemampuannya untuk terhubung dengan jaringan internet membuat masyarakat mudah terhubung dalam jejaring social semacam facebook di dunia maya. Di tengah masyarakat, khususnya di dunia bisnis, berbagai itur yang ditambahkan dalam telpon seluler tersebut sangat membantu seseorang melakukan semua pekerjaan di satu tempat dengan cara yang mudah dan dalam waktu yang singkat. Pekerjaan di kantor dapat dilihat dan dikerjakan dalam sebuah ponsel, kapan saja dan dimana saja kita berada. 2.2.
Sistem Kerja Teknologi Telpon Seluler Sistem telpon selular bekerja dalam jaringan nirkabel yang beroperasi dalam sebuah jaringan yang membagi wilayah ke dalam sel-sel yang lebih kecil. Satu sel mencakup sekitar 250 mil persegi. Setiap sel menggunakan sekumpulan frekuensi radio yang dikontrol sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk melayani banyak orang dalam melakukan percakapan secara simultan di wilayah yang berbeda (http://id.wikipedia.org/wiki/Layanan_pesan_ singkat,diunduh pada tanggal 13 September 2012, pukul 06.00 WIB). Pada tiap sel terdapat didirikan stasiun antena nirkabel yang akan membantu menghubungkan penelepon ke jaringan telepon lokal, internet, ataupun jaringan nirkabel lainnya. Pada saat ponsel dinyalakan, telepon akan mencari sinyal yang dipancarkan antenna nirkabel. Selanjutnya telepon akan mentransmisikan nomor identiikasi tertentu, sehingga jaringan dapat melakukan veriikasi informasi konsumen dan membantunya untuk melakukan komunikasi. Pada saat terdapat penggilan dari ponsel ke telepon rumah biasa, sinyal dari telpon seluler akan berjalan melalui antena nirkabel terdekat dan dihantarkan ke sistem telepon landline tradisional sehingga memungkinkan terkoneksi dengan pesawat telpon konvensional di rumah. Sementara pada saat terdapat panggilan dari telpon seluler ke telpon seluler lainnya, panggilan akan dirutekan melalui jaringan landline kepada pengantar nirkabel penerima atau akan dirutekan dalam jaringan nirkabel’ ke tempat sel terdekat dengan orang yang menjadi tujuan panggilan. Untuk panggilan telpon dari tempat yang sangat jauh, misalnya antar negara, maka panggilan akan dirutekan pada pusat pertukaran jarak jauh melaui kabel iber optic. Di Indonesia, saat ini ada dua teknologi telpon seluler, yaitu sistem GSM (Global System for Mobile Telecommunications) dan sistem CDMA (Code Division Multiple Access). Global System for Mobile Communication (GSM) merupakan teknologi komunikasi selular digital yang banyak diterapkan pada komunikasi bergerak, khususnya telpon genggam dan menjadi standar global yang paling banyak digunakan di dunia. Teknologi ini memanfaatkan gelombang 127
mikro dimana pengiriman sinyal dibagi berdasar waktu, sehingga sinyal informasi yang dikirim akan sampai pada tujuan. Pada awalnya, sistem GSM beroperasi pada frekuensi 900 Mhz, dimana frekuensi uplinks-nya menggunakan frekuensi 890–915 MHz dan downlinks pada frekuensi 935–960 MHz. Dengan frekuensi tersebut, sistem GSM memiliki 125 kanal, yaitu 124 kanal untuk suara dan satu kanal untuk sinyal. Jumlah kanal tersebut pada perkembangannya tidak mencukupi kebutuhan jumlah pengguna, sehingga di Eropa regulator GSM menambah frekuensi di kisaran 1800 Mhz (uplinks pada frekuensi 1710-1785 Mhz dan downlinks pada frekuensi 1805-1880 Mhz). Penambahan frekuensi ini membuat GSM disebut dengan sebutan GSM 1800, yang menyediakan bandwidth 75 Mhz (1880-1805 = 1785–1710 = 75 Mhz), namun dengan lebar kanal sama yaitu 200 Khz seperti pada saat GSM berada dalam frekuensi 900 Mhz. Dengan penambahan tersebut, sistem GSM 1800 tersedia sebanyak 375 kanal. Sementara itu, Code division multiple access (CDMA) adalah bentuk pemultipleksan (bukan skema pemodulasian) dan metode akses secara bersama yang membagi kanal tidak berdasarkan waktu melainkan berdasar pengkodean data dengan kode khusus. Pertama kali CDMA digunakan oleh militer pada Perang Dunia II oleh sekutu Inggris untuk menggagalkan usaha Jerman yang mengganggu transmisi mereka. Melalui sistem CDMA, saat itu Sekutu mentransmisikan data tidak hanya pada satu frekuensi, namun pada beberapa frekuensi sehingga menyulitkan Jerman menangkap sinyal secara lengkap. Saat ini, sistem CDMA mengacu pada sistem telepon seluler digital dan mengalami banyak perkembangan terutama berkait dengan komunikasi generasi ketiga (3G) yang menjadi teknologi pilihan masa depan. Pada ponsel generasi ketiga (3G), memungkinkan jangkauan layanan lebih luas, termasuk koneksi internet sebaik video call berteknologi tinggi karena menggunakan bandwith sampai 384 kilobit per detik baik saat kondisi diam mapun bergerak secepat pejalan kaki. Ponsel 3G (dari bahasa Inggris yang berarti third-generation technology) merupakan standar dari International Telecommunication Union (ITU). Istilah ini digunakan untuk mengacu kepada perkembangan teknologi perangkat telepon nirkabel versi ketiga. Meski memiliki kelemahan karena berbiaya relatif lebih tinggi dan kurangnya jaringan, namun generasi makin diminati karena pada ponsel mulai diintegrasikan sistem operasi yang makin lengkap bahkan mendekati fungsi PC. Sistem operasi yang digunakan antara lain Symbian, Android, dan Windows Mobile. Pada saat 3G belum meluas, perkembagan teknologi telpon seluler sudah disusul generasi baru, yaitu generasi keempat (Fourth Generation) yang
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
menawarkan pendekatan baru dan solusi infrastruktur yang lebih terintegrasi. Sistem 4G memungkinkan pengguna dapat menggunakan beragam sistem kapan saja dan di mana saja dangan kecepatan tinggi, volume tinggi, kualitas baik, jangkauan global, dan leksibilitas untuk menjelajahi berbagai teknologi berbeda. Terakhir, 4G memberikan pelayanan pengiriman data cepat untuk mengakomodasi berbagai aplikasi multimedia seperti, video conferencing, online game, dan lain-lain. 2.3.
SMS Broadcast Gagasan menambahkan fungsi pertukaran pesan teks untuk telepon selular dimulai pada bulan Desember 1982, dari pengembangan yang dilakukan oleh CEPT Group GSM (Global System for Mobile Communications). Pada awal-awal kemunclan telpon selular, fungsi utamanya adalah membuat dan menerima panggilan suara. Layanan pengiriman dan penerimaan pesan ini sering disebut dengan sort message service (SMS) yang umumnya dalam bentuk pesan tulis. Selain tulisan, dewasa ini dikembangkan pengolahan dalam bentuk pesan gambar, suara, animasi, dan ilm, dimana bentuk pesan seperti ini disebut dengan Multimedia Messaging Service (MMS). Di Eropa, Asia dan Australia, SMS sangat populer, namun di Amerika Serikat layanan ini jarang digunakan. Umumnya SMS populer karena relatif murah. Di Indonesia, biaya layanan SMS tergantung dari pengelola operator telpon seluler. Pesan SMS yang berbentuk tulisan, maksimal terdiri dari 160 karakter. Keterbatan jumlah karakter dalam SMS yang mampu dikirimkan dalam sekali pengiriman memunculkan konsep baru yaitu Long SMS (SMS yang lebih panjang) dengan tetap menggunakan mengacu standard 7 bits, 8 bits, atau 16 bits pada tiap satuan SMS yang dikirimkan. Prosesnya adalah dengan memecah pesan ke dalam beberapa satuan SMS. Pesan-pesan yang dikirimkan dari telepon genggam akan diteruskan ke ponsel pengguna lainnya dengan terlebih dahulu dikirim ke pusat pesan (SMSC). Di pusat pengelola pesan, pesan akan disimpan dan dikirim selama beberapa kali. Setelah berhasil terkirim, biasanya setelah 1 atau 2 hari pesan akan dihapus dari SMSC. Dalam penulisan pesan SMS, biasanya masyarakat menyingkat pesan. Penyingkatan pesan tersebut sering disebabkan karena kesulitan mengetik maupun untuk tujuan menghemat tempat sehingga dalam 140 byte mampu menampung banyak pesan. Sepanjang komunikan memahami pesan yang disampaikan oleh komunikator, penyingkatan pesan seperti ini tidak menimbulkan masalah yang berarti. Berbagai isi pesan yang disampaikan melalui pesan SMS tidak terbatas sesuai dengan keinginan komunikator. Sehubungan dengan hal itu, maka sebenarnya SMS dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, khususnya dari pihak yang selama ini memiliki kesulitan akses pada pasar, misalnya kalangan petani, nelayan, dan pengusaha kecil. Caranya adalah dengan menghubungkan antara pihak-pihak tersebut dengan konsumen, pedagang, dan pabrik pengolahan hasil pertanian dan periklanan untuk menawarkan hasil produknya secara langsung tanpa melalui pedagang perantara, sehingga dapat menikmati margin keuntungan yang selama ini dinikmati oleh pedagang. Dengan demikian, sistem SMS broadcast ini dapat berimbas pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kemampuan menyampaikan pesan secara langsung pada komunikan semakin menguntungkan karena dalam satu kali pengiriman SMS yang sama, dewasa ini juga mampu diatur agar dapat menjangkau banyak target sasaran secara bersamaan. 2.4.
Teknologi SMS Broadcast Dalam beberapa situs internet, istilah SMS Broadcast lebih sering ditulis dengan istilah SMS Gateway. Dalam situs Wikipedia, SMS Broadcast atau SMS Gateway merupakan pintu gerbang bagi penyebaran Informasi dengan menggunakan SMS ke ratusan nomor secara otomatis dan cepat yang secara langsung dapat terhubung dengan database nomornomor ponsel tanpa harus mengetik ratusan nomor dan pesan berkali-kali karena semua nomor akan diambil secara otomatis dari database tersebut (http:// id.wikipedia.org/wiki/SMS_Gateway, diunduh pada tanggal 15 September pukul 21.00 WIB). Sistem dalam SMS Broadcast (SMS Gateway) dapat dimodivikasi sedemikian rupa terhadap pesan yang ingin dikirim dengan menggunakan program tambahan sehingga pengirim pesan dapat lebih leksibel dalam mengirim berita. Dalam aplikasi di lapangan, selain berupa teks, SMS yang dikelola juga dapat berupa unicode character, dan smart messaging (ringtone, picture message, logo operator,dll. Untuk membangun SMS Broadcast, perangkat keras yang dibutuhkan sangat sederhana, yaitu computer dan modem. Selain perangkat keras, juga dibutuhkan perangkat lunak (softwere). Ada banyak perangkat lunak yang dapat digunakan, antara lain program Linux sebagai Operating System dan MySQL Ver. 3.23.52 Max sebagai Database Server. Sementara itu sebagai SMS Gateway dapat digunakan banyak program, misalnya , GNOKII, Nokbe SMS Gateway (berbasis Java), GAMMU, dan sebagainya. Berbagai program tersebut dapat diunduh secara gratis di internet. Dalam pengembangan SMS Broadcast di AUD, sistem yang digunakan dirancang berdasarkan program GAMMU yang diunduh dari internet. 2.5.
SMS Broadcast di UAD Universitas Ahmad Dahlan (UAD) mengembangkan SMS Broadcast dimaksudkan untuk mewujudkan konsep ‘paperles’, yaitu meniadakan kertas sehingga diperoleh penghematan yang cukup
128
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
besar. Layanan ini membuat komunikasi menjadi efektif dan eisien, karena pesan dapat langsung sampai pada sasaran yang dimaksud (yaitu pihak komunikan) dengan segera, dimanapun sasaran berada. Berbeda dengan pengiriman pesan melalui sistem konvensional, yaitu menggunakan surat yang tergantung pada distribusi yang dilakukan oleh kurir dan terkendala keterlambatan sasaran menerima pesan oleh berbagai sebab, misalnya komunikan sedang di luar kota, surat terselip/hilang, dan sebagainya. Semua biaya pengiriman dalam sistem SMS Broadcasat ditanggung oleh UAD, adapun penerima sms broadcast tidak dikenakan biaya. Biaya dibayarkan kepada pihak operator telpon seluler dalam bentuk pembelian pulsa. Oleh karena itu, jenis sms ini tidak membebani penerima pesan. Dalam SMS Broadcast ini, pimpinan universitas dapat mengirim pesan ke group atau kombinasi group dan unit sekaligus seperti yang dikehendaki. Pesan ini dipastikan akan sampai langsung pada sasaran kontak, sehingga pesan dapat sampai pada alamat secara efektif. Sistem SMS Broadcast cukup sederhana, karena hanya memerlukan seperangkat computer yang terkoneksi dengan internet dan diinstal dengan software SMS Broadcast terlebih dahulu (Daud Edison Tarigan, 2012). Software SMS Broadcast yang digunakan oleh UAD adalah pengembangan dari program GAMMU (http://sourceforge.net/projects/ gammu/). Program Gammu banyak digunakan oleh institusi di tengah masyarakat sebagai pengguna SMS Broadcast. Selain progam Gammu, juga terdapat beberapa program lain yang dapat digunakan sebagai software SMS Broadcast. Berbagai program tersebut banyak tersedia di pasaran, bahkan bisa diunduh secara gratis melalui internet, meski ada pula pihak yang menyediakannya secara komersial. Pada sistem yang dikembangkan ini, UAD menghimpun seluruh nomor telpon selular milik dosen, karyawan, maupun mahasiswa, maupun shareholeder lainnya dalam sebuah database. Seluruh nomor telpon dikelompokkan ke dalam kategorikategori tertentu sesuai tempat individu tersebut bekerja. Dalam mem-broadcast pesan, UAD mengatur pihak mana saja yang berhak memiliki akses dan mana pula yang tidak. Pihak yang diberi kewenangan adalah mereka yang diberi otoritas untuk menundang rapat, misalnya Rektor, para Wakil Rektor, Kepala Biro, dan Dekan. Pihak ini disebut dengan administrator. Merekalah yang menentukan isi pesan dan kepada siapa saja pesan yang akan disebarkan. Dalam kegiatan penulisan pesan, administrator dibantu oleh operator, yaitu pihak yang secara teknis akan menuliskan pesan dan mengirimkannya melalui perangkat SMS Broadcast. Pesan akan langsung tersebar ke telpon seluler milik penerima pesan. Komunikan sebagai sasaran pesan dapat membalas pesan (replay) dengan mengirimkan 129
respon melalui SMS Broadcast yang sama. Operator akan mengecek respon tersebut bilamana ada dan menyampaikannya kepada administrator sebagai pengirim pesan. Dalam sistem SMS Broadcast di UAD, pesan dapat dikirim langsung melalui telpon seluler administrator. Namun demikian, pesan harus dikirim terlebih dahulu ke SMS Broadcast untuk proses penyebarluasan. Adapun proses SMS Broadcast di UAD dapat digambarkan sebagai berikut:
Untuk tampilan screenshot aplikasi SMSBCUAD, diatur sedemikian rupa sehingga cukup sederhana sehingga dapat dioperasikan oleh operator (lihat contoh dalam gambar 2 dan 3):
Gambar 2.Tampilan Menu Pengiriman SMS ke Group
Gambar 3. Tampilan Menu Pengiriman SMS ke Nomor Tertentu 2.6.
Penerapan SMS Broadcast di masyarakat Apabila penggunaan di UAD lebih banyak digunakan untuk keperluan menyampaikan undangan dan informasi berkait dengan keperluan kampus,
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
maka SMS Broadcast dapat pula dikelola bagi tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pihak yang sebaiknya mengelola dan memiliki SMS Broadcast ini adalah pemerintah daerah atau lembaga swadaya masyarkat yang memiliki perhatian dan tujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pihak pemilik sekaligus pengelola SMS Broadcast ini selanjutnya disebut dengan pihak manajemen. Pihak management harus memiliki hubungan dengan berbagai kelompok usaha dalam masyarakat. Selanjutnya, pihak ini disebut dengan user atau pihak pengguna. Merekalah yang akan memanfaatkan SMS Broadcast baik sebagai pengirim pesan maupun penerima pesan. Mereka perlu didata sedemikian rupa sehingga teridentiikasi dengan baik. Identiikasi tersebut setidaknya meliputi nomor telpon, nama pemilik usaha, alamat, jenis usaha, produk-produk yang dihasilkan, lingkup usaha, dan relasi usaha yang biasanya dijalin. Keanggotaan SMS Broadcast perlu diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu user yang akan menerima pesan, sehingga sistem pendaftaran aktif perlu diberlakukan. Sistem pendaftaran ini dimaksudkan agar terdapat kesadaran dari para user untuk terbiasa menerima pesan, sehingga kehadiran pesan tidak dikeluhkan. Dalam pendaftaran aktif, user perlu mengisi form pendaftaran dan persetujuan peraturan yang ditetapkan dalam SMS Broadcast. Peraturan tersebut digunakan setidak-tidaknya berisi kewajiban untuk menyampaikan infomasi secara jujur dan bertanggungjawab atas SMS yang dikirimkan. Pesan dapat bervariasi sesuai dengan bidang para anggota user. Namun pesan tidak harus dikirimkan kepada seluruh user, melainkan pada pihak-pihak yang relevan atau sesuai kebutuhan.
gateway-dengan-gammu-dan-kalkun/ diunduh pada tanggal 15 September 2012, pukul 21.00 WIB. http://id.wikipedia.org/wiki/Layanan_pesan_singkat, diunduh pada tanggal 13 September 2012, pukul 06.00 WIB. http://id.wikipedia.org/wiki/SMS, diunduh pada tanggal 13 September 2012, pukul 05.40 WIB. http://id.wikipedia.org/wiki/SMS_Gateway, diunduh pada tanggal 15 September 2012, pukul 21.00 WIB. http://id.wikipedia.org/wiki/Telepon_genggam, diunduh pada tanggal 13 September 2012, pukul 05.34 WIB. http://www.smsmanager.co.id/sms-broadcast,15 September 2012, pukul 21.00 WIB. Tim Kajian Darut harieq Riyadi, 2004, Handphone, Antara Manfaat dan Bahayanya, Pustaka Anisah, Yogyakarta
3. Simpulan Dari pengalaman UAD dalam mengelola SMS Broadcast, maka dapat disimpulkan bahwa dengan pengembangan pesan dan sasaran yang luas, sistem ini dapat digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan cara membantu menyampaikan berbagai informasi secara langsung dari pihak-pihak yang selama ini memiliki keterbatasan akses ke pasar, sehingga mereka dapat memperoleh keuntungan lebih besar. Sistem ini dapat dikembangkan dan dikelola oleh pemerintah daerah maupun lembaga-lembaga tertentu yang memiliki perhatian pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Daftar Pustaka Edi S Mulyanta, 2004, Kupas Tuntas Telepon Seluler Anda, Penerbit Andi, Yogyakarta. Daud Edison Tarigan, 2012, Membangun SMS Gateway Berbasis Web dengan Codelgnitor, Lokomedia, Yogyakarta http://hari.staff.uns.ac.id/2012/07/13/bikin-sms130
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Deskripsi Peran Konvergensi Media dalam Mempublikasikan dan Membangun Kearifan Lokal Masyarakat Indonesia di Era Globalisasi Rustono Farady Marta 1*) Abstrak Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication Technology (ICT) telah membawa sejumlah perubahan dalam kehidupan masyarakat dunia. Sekarang ini masyarakat dapat memperoleh informasi secara cepat dan lengkap dengan adanya jaringan komputer yang saling terhubung dari seluruh penjuru dunia (internet) Teknologi informasi mutakhir telah berhasil menggabungkan sifat-sifat teknologi telekomunikasi konvensional yang bersifat massif dengan teknologi komputer yang bersifat interaktif. Fenomena ini lazim disebut sebagai konvergensi, yakni bergabungnya media telekomunikasi tradisional dengan internet sekaligus. Konvergensi menyebabkan perubahan radikal dalam penanganan, penyediaan, distribusi, dan pemrosesan seluruh bentuk informasi baik visual, audio, data dan sebagainya (Preston, 2001). Kebutuhan akan website yang representatif merupakan suatu keharusan bagi setiap individu untuk menjawab tantangan era globalisasi yang kompetitif dengan kompleksitas tinggi. Oleh karena itu, kesenjangan ini mengundang peneliti untuk mengangkat tema peran dan tantangan new media bagi pembangunan di era globalisasi. “Website is a collection of webpages that are linked to each other and focused on a single subject. A sebsite consists of a home page and other webpages containing resources. he term more generally refers to any world wide web resource.” (Communication Research Strategies and Sources) Berdasarkan deinisi di atas dapat diartikan bahwa situs adalah kumpulan halaman web yang terhubung satu sama lain dan fokus pada subjek tunggal. Sebuah situs terdiri dari halaman utama dan halaman web lain yang mengandung sumber daya. Istilah ini umumnya mengacu pada sumber daya world wide web. Makalah ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi literatur sebagai teknik pengumpulan informasi. Keberagaman masyarakat Indonesia dengan berbagai latar belakang budayanya menjadi salah satu perhatian utama, dimana kekayaan tersebut dirasakan perlu diangkat sebagai bentuk kearifan lokal untuk dikembangkan pada era globalisasi. Kata kunci: Konvergensi Media, Kearifan Lokal, Globalisasi I.
Pendahuluan
Pola komunikasi tradisional menggunakan cara menulis surat dengan media pos sebagai sarana untuk berkomunikasi satu sama lainnya, sehingga membutuhkan waktu beberapa hari untuk sampai ke tujuan si penerima surat. Hal tersebut kini tidak terjadi lagi, dimana kita dapat menggunakan surat elektronik atau yang dikenal dengan sebutan email (electronic mail) yang lebih eisien dan cepat sampai ke penerima email tersebut, bahkan hanya dalam itungan detik. Pada era tahun 1970an media yang digunakan masih menggunakan media cetak dan analog seperti koran, radio, dan televisi dan komputer, sedangkan pada saat itu komputer belum begitu dimengerti oleh banyak orang sehingga hanya kalangan tertentu saja yang menggunakannya. Mekanisme baru dalam berkomunikasi tersebut, dilanjutkan dengan penggunaan berbagai perangkat
multimedia. Dimana teks, suara gambar atau grais dapat diakses sekaligus ke dalam seperangkat media, telah mendorong perubahan di berbagai aktivitas industri komunikasi. Saluran-saluran atau perantaraperantara baru dalam penyampaian informasi yang ada sekarang ini, yakni di abad 20-an. New media yang ada saat ini sangat erat kaitannya dengan kemajuan teknologi. jarak, dan waktu sudah tidak lagi menjadi masalah dalam dunia informasi, transportasi maupun komunikasi. Terminologi tersebut merujuk pada istilah new media yang dihadirkan untuk menjelaskan konvergensi antara teknologi digital yang terkomputerisasi serta terhubung ke dalam jaringan. Konvergensi menyebabkan perubahan radikal dalam penanganan, penyediaan, distribusi dan pemrosesan seluruh bentuk informasi baik visual, audio, data dan sebagainya (Preston, 2001). Kunci dari konvergensi adalah digitalisasi, kerena seluruh bentuk
1 *) Dosen pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Bunda Mulia, Jakarta.
131
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
informasi maupun data diubah dari format analog ke format digital, sheingga dikirim ke dalam satuan bit ( binary digit). Informasi yang dikirim merupakan format digital, konvergensi mengarah pada penciptaan produk-produk yang aplikatif sehingga mampu melakukan fungsi audiovisual sekaligus komputasi. Oleh karena itu, jangan heran jika sekarang ini komputer dapat difungsikan sebagai pesawat televisi, atau telepon genggam dapat menerima suara, tulisan, data maupun gambar tiga dimensi (3G). homas L. Friedman 21 telah memprediksi hal ini di dalam bukunya he World is Flat: a Brief History of he Twenty First (2005). Bahwa dunia akan didatarkan oleh konvergensi peristiwa yang berhubungan dengan politik, inovasi, dan perusahaan.
Perkembangan cepat membuat manusia semakin sibuk, manusia saling terkoneksi satu sama lain menembus batas ruang dan waktu. Temboktembok runtuh dan jendela mulai dibangun. Globalisasi menjadi kunci wajah baru dunia di abad 21 tersebut. Pada level teoritik, dengan munculnya media konvergen maka sejumlah pengertian mendasar tentang komunikasi massa tradisional terasa perlu diperdebatkan kembali. Konvergensi menimbulkan perubahan signiikan dalam ciri-ciri komunikasi massa tradisional atau konvensional. Media konvergen memadukan ciri-ciri komunikasi massa dan komunikasi antarpribadi dalam satu media sekaligus. Hal ini memicu timbulnya demassiication, yakni kondisi dimana ciri utama media massa yang menyebarkan informasi secara masif menjadi lenyap. Arus informasi yang berlangsung menjadi makin personal, karena tiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih informasi yang mereka butuhkan. 21homas L. Friedman adalah salah satu jurnalis yang paling dihormati dan paling berpengaruh di dunia. Terkenal dengan keahliannya dalam hubungan internasional dan isu-isu ekonomi. Belajar di Boston, Jerusalem, Cairo dan Oxford, dia bergabung dengan he New York Times sebagai reporter tahun 1981. homas L. Friedman telah memenangkan 3 Pulitzer Prize untuk hasil karyanya. Buku-buku karangan homas L. Friedman seperti “From Beirut to Jerusalem” (Pemenang US National Book Award), “he Lexus and the Olive Tree”, dan “Longitutes and Attitutes”.
Munculnya Global Village New Media adalah teknologi yang kita hadapi dan kita jalani sekarang ini. Seringkali teknologi ini menimbulkan berbagai polemik disamping tentunya mempermudah berbagai kegiatan yang tidak pernah terpikir sebelumnya. Seperti biasanya, berbagai macam pendapat pun muncul seiring dengan keberadaan teknologi baru ini. Tak bisa disangkal bahwa kemudian teori tersebut akan membuka jalan pikiran kita dan seperti apa kita harus menyikapi kemjuan jaman ini. Tentunya seringkali pula kita perlu berpikir berulang kali untuk menganalisa mana yang benar dan salah mengenai teori tersebut. Namun sebetulnya kita tidak perlu bingung mengenainya, karena apapun teori yang dikemukakan, pastilah mengandung keunggulan dan kelemahannya sendiri, yang berarti tidak ada teori yang sepenuhnya salah. Menurut McLuhan, kehadiran New Media dapat membuat sebuah proses komunikasi menjadi global, sehingga menyebabkan mengapa dunia saat ini disebut dengan Global Village. Media elektronik yang ada sekarang ini telah membawa ke peradaban dimana setiap orang bisa saling berhubungan dimanapun ia berada. Informasi pun dapat diakses dari berbagai belahan bumi. Hal inilah yang menyebabkan McLuhan mengatakan bahwa dunia akan menjadi satu desa global (global village) dimana produk produk yang ada akan menjadi cita rasa semua orang. Global village menjelaskan bahwa tidak ada lagi batas waktu dan tempat yang jelas. Informasi dapat berpindah dari satu tempat ke belahan dunia lain dalam waktu yang sangat singkat dengan menggunakan teknologi internet. Global village adalah konsep mengenai perkembangan teknologi komunikasi di mana dunia dianalogikan menjadi sebuah desa yang sangat besar. McLuhan memperkenalkan konsep ini pada awal tahun 60-an dalam bukunya yang berjudul Understanding Media: Extension of A Man. Konsep ini berangkat dari pemikiran McLuhan bahwa suatu saat nanti informasi akan sangat terbuka dan dapat diakses oleh semua orang. Pada masa ini, mungkin pemikiran ini tidak terlalu aneh atau luar biasa, tapi pada tahun 60-an ketika saluran TV masih terbatas jangkauannya, internet belum ada, dan radio masih terbatas antar daerah, pemikiran McLuhan dianggap aneh dan radikal. McLuhan memperkirakan pada masa digital dan serba komputer tersebut, persepsi masyarakat akan mengarah kepada perubahan cara serta pola
132
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
komunikasi. Dimana pada saat itu, masyarakat tidak akan menyadari bahwa mereka sedang mengalami sebuah revolusi komunikasi, yang berefek pada komunikasi antarpribadi. Pada era global village akan terjadi dimana trend komunikasi akan ke arah komunikasi massa, yakni bersifat massal dan luas. Pembicaraan akan suatu topik dapat menjadi konsumsi dan masukan bagi masyarakat luas, kecuali, tentu saja, hal-hal yang bersifat amat rahasia seperti rahasia perusahaan, rahasia negara, keamanan-ketahanan. Semua orang berhak untuk ikut dalam pembicaraan umum, dan juga berhak untuk mengkonsumsinya, tanpa terkecuali. Selanjutnya ada pendapat lain dari Manuel Castells, ia mengemukakan bahwa bukanlah sebuah ‘desa’ yang dikatakan seragam , melainkan masyarakat dalam jaringan global yang saling terhubung lewat new media, network society. Menurutnya, media tidak lagi merupakan media massa melainkan menjadi media jaringan, atau jaringan interaktif multimedia, yang akan menjadikan komunikasi dunia suatu jaringjaring raksasa, suatu dunia yang saling terhubung. Teori Castells tentang network society adalah sebuah bentuk jaringan yang mewakili morfologi sosial baru sebuah masyarakat dan penyebaran logika networking secara substansial memodiikasi operasi dan hasil di dalam proses produksi, pengalaman, kekuasaan, dan budaya. Teori Catells memang beranjak dari konsep ekonomi baru yang bersifat global, informasional dan berbentuk jaringan. Kemunculan network society oleh Castells didasari oleh 5 elemen yang dinamainya sebagai paradigma teknologi informasi yaitu: 1. Informasi menjadi bahan mentah aktivitas ekonomi, berperan dalam input dan output dari teknologi baru. 2. ICTs (Information and Communication Tecnologies) memiliki efek pervasif melalui ranah aktivitas sosial manusia. 3. Logika networking secara tidak langsung diterapkan pada seluruh bentuk proses sosial dan organisasional. 4. Bentuk-bentuk struktur organisasional dan bentuk institusional haruslah leksibel. 5. Konvergensi yang sedang tumbuh pada teknologi tertentu menuju sistem yang terintegrasi Kearifan Lokal Indonesia Kearifan lokal merupakan padanan kata dari bahasa Inggris local wisdom. Kata local (Inggris), atau 133
locaal (Belanda), dalam bahasa Indonesia diserap dengan kata lokal, diterjemahkan sebagai setempat atau tempat. Sedangkan wisdom diartikan sebagai kearifan, yang memiliki kata dasar arif. Kata arif yang kemungkinan diserap dari bahasa Arab memiliki pengertian paham, mengerti, tahu, mengetahui dan bisa juga diartikan dengan makna yang lebih luas, bijaksana, berilmu, cerdik dan pandai. Dari kata arif didapat turunannya mengarii, mengarifkan, dan kearifan. Ketiganya bisa disepadankan dengan mengetahui, memahami, mengerti, kecendekiaan, atau kebijaksanaan. Dengan demikian, kearifan lokal (local wisdom) bisa diartikan sebagai pengetahuan setempat, pemahaman setempat, kecendekiaan setempat, atau kebijaksaan setempat. Berkenaan dengan kebijaksanaan, bijaksana mengandung arti dapat menyelesaikan persoalan tanpa menyakiti baik isik ataupun perasaan orang lain, jika dihubungan dengan kesulitan yang berhubungan dengan lingkungan isik, bijaksana mengandung pengertian dapat menyelesaikan persoalan tanpa menimbulkan kerusakan isik, atau dikenal dengan istilah penyelesaian yang bijaksana atau penyelesaian secara baik dan benar. Bijaksana dalam bahasa Indonesia berarti selalu menggunakan akal budinya (dalam hal ini yang berhubungan dengan pengalaman dan pengetahuan) atau pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan sebagainya) dalam menghadapi kesulitan. Seiring dengan bekembang pesatnya teknologi, informasi dan ilmu pengetahuan yang disebabkan karena kemampuan yang dianugerahi kepada manusia dalam melakukan sebuah inovasi, sehingga dengan perkembangan tersebut membuat gaya hidup orang berubah, termasuk bangsa Indonesia. Indonesia telah mengalami globalisasi dalam bidang informasi sejak kemunculan internet pada pertengahan 90-an. Melalui internet dan televisi masyarakat Medan mengetahui apa yang sedang terjadi di Jakarta, begitu juga penduduk Jakarta yang dapat melihat apa yang sedang terjadi di Merauke. Melalui internet, masyarakat antar satu kelompok dapat berhubungan dengan kelompok lain di dunia maya. Lewat blog atau milis, mahasiswa dapat bertukar data kuliah, informasi mengenai suatu peristiwa, bertukar pengalaman, maupun hal ringan untuk hiburan. Dampak global village sendiri adalah bahwa masyarakat akan cenderung mempunyai persepsi yang sama karena memperoleh kesamaan kesempatan untuk mengakses informasi.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Hal ini tentunya membawa dampak positif bagi masyarakat, yakni membantu mempercepat masyarakat untuk mendapat informasi terbaru mengenai suatu peristiwa. Berkembang pesatnya suatu ilmu pengetahuan, maupun teknologi dan informasi, menjadikan batas antar Negara di seluruh dunia tidaklah lagi menjadi suatu hambatan ataupun kendala untuk suatu Negara melakukan suatu hubungan, dan hubungan antar negarapun semakin mudah dilakukan seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan serta teknologi dan informasi, dan kondisi yang seperti inilah biasa kita kenal dengan istilah Globalisasi. Seiring dengan derasnya arus globalisasi, menyebabkan banyak sekali hal-hal yang mencoba masuk ke dalam suatu Negara termasuk ke dalam Negara Indonesia, baik hal-hal yang bersifat positif maupun hal negative, tergantung bagaimana cara Negara tersebut menyaring hal-hal yang masuk tersebut. Agar hal-hal yang masuk ke dalam Negara Indonesia tersbut bisa dapat disaring tentunya bangsa Indonesia sendiri mempunyai penjelasan mengenai peran budaya loal di dalam masyarakat itu sendiri agar budaya local yang dimiliki bangsa Indonesia tidak tercampur dan hilang karena budaya luar. Kemudian budaya lokal itu sendiri juga haruslah dapat menyaring, menutup dan menanggulangi suatu moral bangsa Indonesia yang perlahan mulai mengalami degradasi, dan nilai-nilai luhur yang dimiliki bangsa ini haruslah tetap dipertahankan. Banyak sekali nilai-nilai luhur yang dimiliki bangsa yang biasa dilakukan oleh masyarakat dalam kesehariannya dan ada pula yang dapat dijadikan suatu kebanggan bagi bangsa Indonesia di dunia Internasional, karena masing-masing Negara memiliki suatu kerelatifan dari keunikan masing-masing Negara, tak terkecuali bangsa Indonesia sendiri seperti berupa tarian, kesenian, adat-istiadat, bahasa, lagu, naskah, dan tradisi atau kebiasaan. Semua itu merupakan suatu hal yang bisa ditonjolkan oleh bangsa Indonesia kepada dunia Internasional. Dirjen Pemberdayaan Masyarakat Kemendagri Ir. H. Tarmizi A Karim, MSi mengungkapkan bahwa “Indonesia adalah negara yang kaya akan kearifan lokal, bayangkan di dunia ini hanya negara kita yang suku dan ragam bahasa yang paling banyak serta sumberdaya Alamnya melimpah dan indah”. Negara kita juga memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang apabila kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari berpotensi membuat bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang maju. Nilai kearifan lokal yang menjadi warisan leluhur bangsa Indonesia adalah Gotong Royong. Dengan gotong royong akan membuat masyarakat semakin peka terhadap berbagai permasalahan bersama, munculnya rasa tanggung jawab bersama, dan timbulnya rasa empati baik antara masyarakat dengan pemerintah maupun antarmasyarakat itu sendiri. Budaya gotong royong ini telah menunjukkan eksistensinya sebagai pemersatu bangsa. Hal ini dapat kita lihat pada sejarah bangsa Indonesia, yaitu ketika para terdahulu kita bahu-membahu melawan diktatornya penjajah demi diproklamirnya kemerdekaan. Pada saat itu gotong royong dilakukan sacara serempak oleh seluruh elemen masyarakat seperti kalangan akademisi, militer, jurnalis dan masyarakat biasa. Tanpa gotong royong, tentunya Kemerdekaan ini tak akan pernah bisa diraih. Peran Media di Indonesia Pada masa reformasi ini, perkembangan teknologi informasi di Indonesia berkembang pesat. Kendati hal ini telah membawa manfaat yang besar dalam mempermudah penyelesaian pekerjaan manusia, tetapi juga mengundang dampak negatif yaitu timbulnya degradasi moral yang meluas secara cepat. Hal ini terjadi karena adanya penggunaan fasilitas-fasilitas teknologi informasi yang terlalu bebas dan tidak bertanggung jawab. Mengingat kerusakan moral ini akan berdampak pada lunturnya prinsip budaya gotong royong, maka perlu adanya kesadaran bersama untuk memperbaiki hal itu. Dalam penyelesaian masalah ini semua komponen masyarakat dan pemerintah dituntut mempunyai peran. Terutama sekelompok orang yang terjun dalam dunia teknologi informasi dan komunikasi, seperti : Stasiun TV, Radio, Koran, New Media, dll. Konvergensi media yang dilakukan beberapa perusahaan media secara positif berperan aktif dalam menonjolkan kearifan lokal Indonesia. Sebut saja Suara Surabaya Media Group, MNC Media Network, OKEZONE.COM, KOMPAS Media Group, TRANSCorp., TEMPO Group, dst. Sebagian besar diantaranya memberi kontribusi aktif dalam mempublikasikan dan membangun kearifan lokal di Indonesia. Pada harian KOMPAS, Penerbit KOMPAS GRAMEDIA KOMPAS Televisi, dan KOMPAS. COM membahas ekspedisi Cincin Api sebagai
134
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
petualangan menjelajahi kekayaan alam Indonesia, sekaligus mempublikasikannya. TRANSCorp. dengan konvergensi media yang mencakup media konvensional (Trans tv dan Trans7) hingga online (detik.com) memiliki beragam itur acara yang mengungkap Indonesia, seperti : “ethnic runaway”. SINDO Group tak kalah melalui SINDONEWS.COM, Harian SINDO, dan SINDO Radio, dimana berita daerah menjadi salah satu perhatian utama. Selain itu, terdapat kolom budaya yang selalu mengangkat liputan pagelaran budaya lokal, maupun peristiwa budaya lokal lainnya yang patut disimak khalayak nasional. Kesimpulan New media adalah sebuah media baru sebagai salah satu produk teknologi komunikasi di zaman sekarang dan new media akan terus berkembang seiring dengan perkembangan dunia teknologi. Dalam fungsinya New media sangat bermanfaat bagi setiap orang dikarenakan new media adalah sarana dimana orang dapat mendapatkan hiburan, informasi dan ilmu pengetahuan yang cepat dan praktis dan new media juga dapat memudahkan seseorang dalam membantu pekerjaan sehari-harinya. Ditinjau dari segi promosional, konvergensi juga memiliki implikasi positif bagi pendapatan iklan dengan menawarkan kepada para pengiklan untuk menayangkan iklan di sejumlah platform media yang berlainan (Quinn, 2004). Eisiensi bagi perusahaan secara langsung dapat diperoleh pula melalui konvergensi media, dimana iklan yang sama konteksnya dapat dipublikasikan pada media yang berbeda dalam waktu yang sama. Di samping berbagai keunggulan tersebut, para pengguna juga harus berhati-hati dalam menggunakan new media di dalam kehidupan sehari-hari karena kita bisa saja menjadi manusia yang terus bergantung pada kepraktisan penyajian new media, sehingga dampak dari ketergantungan itu kita menjadi manusia yang mengabaikan media-media lain yang ada disekitar kita. Di ranah global terdapat beberapa kegagalan media-media raksasa dalam melakukan konvergensi, sejarah media di Indonesia cenderung memperlihatkan dampak positif konvergensi kepemilikan bagi para konglomerat media (Priyambodo, 2009). Begitu majemuknya ragam populasi penduduk yang mendiami negeri zamrud khatulistiwa ini, sehingga memungkinkan 135
konvergensi media sanggup mengalami masa adaptasi media untuk dapat diterima dengan baik oleh sejumlah audien. Daftar Pustaka Mulyana, Deddy, 2007, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung : Rosda Preston, Paschal, 2001, Reshaping Communications, housand Oaks, Calif. Sage Covell, A., 2000, Digital Convergence: How the Merging of Computers, Communications, and Multimedia is Transforming Our Lives, Rhode Island: Aegis Publishing Group Ltd. Dominick, Joseph R., (2008). he Dynamics of Mass Communication : Media in the Digital Age. New York, McGraw-Hill Dwyer, T. (2010). Media Convergence: Issues in Cultural and Media Studies. London: McGrawHill & Open University Press Flew, Terry. (2008). New Media : an introduction. Australia: Oxford University Press Grant, A.E. & Wilkinson, J.S. (2009). Understanding Media Convergence: he State of the Field. New York: Oxford University Press Priyambodo RH., 2009, Tatkala Multimedia Massa Kian dekat dengan Publiknya, artikel ini diunduh dari http://cyberjournalism.ileswordpress. com/2008/08/wajah_cybermedia.pdf
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
136
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Media Baru dan Demokratisasi di Indonesia Sugeng Wahjudi 1*) Abstract Conception of society and network society bring not only a consequence of changes in speed of information, but more than that. he conventional mass media has an opportunity to play the new media space to iniltrate into social networking sites. he dominance of the mass media certainly remains indisputable in terms actualize “or the consciousness movement” network society becomes more massive movements, and vice versa network society have the ability to “self empowerment”-as a form of public agenda-which can not be viewed lightly by the media. In addition to creating a network society and information society development, new media creates digital democracy. he wave of democratization based new media continues to evolve along with the use of social networking sites, which starts from the public sphere into political action. his is a form of political freedom and communication that is crystallized in a tangible political action. With that power, seem to be in the future, Indonesia wishes to be entered into the embankment of democracy can be realized immediately. Internet comes with a mission to improve literacy or political education is able to form well-informed citizen, so that citizens can engage more actively in the political public sphere. Keywords : New Media, Internet, Network Society, Social Networking Sites, Politic, Democratization. 1. Pendahuluan Media baru merupakan produk konvergensi berbagai teknologi media yang telah ada. Internet sebagai media baru menggabungkan radio, ilm, koran, dan televisi dan mendistribusikannya melalui ‘push’ technology. M. Poster (1999) menyatakan bahwa internet melampaui batas-batas model media cetak dan siaran yang memungkinkan manyto-many conversation; resepsi, alterasi (alteration), dan redistribusi objek kultural secara simultan; mendislokasi tindak komunikatif dari batas-batas bangsa; memberikan kontak global yang seketika itu juga (instantaneous global contact) (dalam Nimmo, 2005, p.138). Di tahun 2011, internet kini memasuki usianya yang ke-42 tahun. Kehadiran media baru atau internet tersebut telah merevolusi komunikasi manusia di dunia ini. Dengan kehadiran internet tersebut, apa yang telah dikatakan oleh Marshall Mcluhan (1964) menjadi kenyataan, yaitu dunia menjadi global village. Arus informasi berjalan tanpa bisa dikontrol atau disensor oleh pemerintah manapun –termasuk pemerintah komunis China yang memiliki teknologi canggih untuk meblokir atau mengontrol arus informasi. Internet membawa gelombang demokratisasi, yang tidak bisa dihindari. Melalui internet, tukar menukar ide dan gagasan tentang kehidupan politik dapat dengan mudah
dilakukan. Misalnya walaupun rakyat Cina hidup dalam pemerintahan otoriter, tetapi dengan internet mereka tetap saja dengan mudah mengakses informasi, ide, dan gagasan demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan. Hal ini ditegaskan oleh Schudson (2004). Internet, sebagai media komunikasi dan pertukaran informasi, berpeluang merevolusi sistem, struktur, dan proses demokrasi yang selama ini kita kenal (dalam Firmanzah, 2008). Jadi internet memiliki kemampuan yang luar biasa dalam membawa perubahan politik di suatu negara –mampu merevolusi sistem politik, dari otoriter menjadi demokratis. 2. Pembahasan Masyarakat Massa Vs. Masyarakat Jaringan Sifat media baru yang berjaring (networked) ternyata menciptakan khalayak yang berbeda dengan media lama (old media). Media lama melahirkan masyarakat massa (mass society), sedangkan internet sebagai media baru melahirkan masyarakat jaringan (network society). Dengan kehadiran media baru, media massa atau komunikasi massa mendapat kritik keras dari Steve Chafee & Miriam Metzger (2001) yang mengatakan the end of mass communication, yang dikarenakan media baru membawa perubahan mendasar dalam bagaimana media distrukturkan, digunakan, dan dikonseptualisasikan (dalam Baran & Davis, 2003, p. 361).
1 *) Penulis adalah Dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Bunda Mulia, Jakarta.
137
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Konsepsi masyarakat dan masyarakat jaringan membawa tidak hanya konsekuensi perubahan dalam hal kecepatan informasi, namun lebih dari itu media massa konvensional berpeluang untuk memainkan ruang media baru untuk desiminasinya dengan menyelusup kedalam situs-situs jejaring sosial. Dominasi media massa tentu tetap belum terbantahkan dalam hal mengaktualisasikan “gerakan atau kesadaran” masyarakat jaringan menjadi gerakan yang lebih masif, demikian juga sebaliknya masyarakat jaringan mempunyai kemampuan untuk “self empowering” –sebagai bentuk agenda publik- yang tidak dapat dipandang secara remeh oleh media Dalam mass society theory, Denis McQuail (2005, p. 94-95) menyatakan bahwa media massa sangat dominan, dimana media sebagai faktor penyebab (a causal factor). Sifat arus informasi dalam masyarakat massa bersifat satu arah (one-way transmision). Media digunakan untuk manipulasi dan kontrol. Sedangkan masyarakat jaringan, menurut Jan van Dijk (2006, p.20) menekankan pada bentuk dan organisasi pemrosesan dan pertukaran informasi. Selanjutnya Dijk menyatakan masyarakat jaringan dapat dideinisikan sebagai a social formation with an infrastructure of social dan media networks enabling its prime mode of organization at all levels (individual, group/organizational and societal). Dijk juga mendeskripsikan tipologi masyarakat massa dan masyarakat jaringan dalam tabel berikut:
Menurut penulis, konsep masyarakat jaringan yaitu lebih ditekankan pada interaktivitas dalam pemrosesan informasi dan penting untuk dipahami dalam masyarakat jaringan adalah relationship, saling terhubung satu sama lainnya. Jadi masyarakat jaringan itu memiliki sosiabilitas (sociability) yang tinggi. Pertumbuhan bentuk masyarakat berjaringan di tanah air memberikan gambarakan yang cukup mencengangkan. Ledakan pengguna internet sebagai “ruang” untuk menmbangun relationship dapat ditelusur berdasarkan pengguna internet Indonesia Pada tahun 2009 Indonesia tercatat memiliki peringkat ke empat di negara-negara Asia, di bawah Chima, Jepang, India dan Korea Selatan. Jumlah pengakses internet di Indonesia mencapai angka 30 juta orang, yang menempatkan ke dalam peringkat 5 besar di Asia.
Tabel: Tipologi Masyarakat Massa dan Masyarakat Jaringan Characteristics
Mass Society
Main components
Collectivies (groups, organiztions, Individuals (linked by networks)
Network Society
communities) Nature of components
Homogeneous
Scale
Extended
Extended and reduced
Scope
Local
‘Global’ (global & local)
Connectivity and Connectedness
High within components
High between components
Density
High
Lower
Centralization
High (few centres)
Lower (polycentric)
Inclusiveness
High
Lower
Type of community Type of organization
Physical and unitary ureaucracy Vertically integrated
Heterogeneous
Penggunaan internet di Indonesia semakin massif, di tahun 2002 baru tercatat 6,2 juta pengguna internet dan terus bertambah secara massif dari tahun ke tahun , dan diperkiran pada tahun 2011 pengguna internet mencapai 40 juta orang .
Virtual and diverse Infocracy Horizontally differentiated
Type of household
Large with extended family
mall with diversity of family
Main type of communication
Face-to-face
Increasingly mediated
Kind of media
Broadcast mass media
Narrowcast interactive media
Number of media
Low
High
relations
138
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Peningkatan yang mencengangkan dari pengguna media internet di Indonesia ditandai dengan meningkatnya jumlah pengakses situs jejaring sosial baik facebook ataupun twitter. Berikut data pengguna situs jeraring sosial tersebut dapat ditampilkan dalam tabel berikut Peringkat Pengguna Twitter Asia
Based on Sysomos.com 2010 Indonesia menempati peringkat utama pengguna Twitter di Asia dengan jumlah pemakai sebesar 5,6 juta pengguna. Selanjutnya untuk pengguna facebook indonesia juga menempatkan penduduknya dalam peringkat yang tak kalah mencengangkan. Indonesia menempati urutan kedua setelah Amerika serikat dengan jumlah pengguna sebesar 3,5 juta seperti tabel di bawah ini
meningkat. Internet pun meningkatkan kualitas literasi politik warga negara, yang berdampak pada kualitas partisipasi politik. Misalnya melalui internet warga negara dapat menyampaikan aspirasi politiknya kepada pemerintah, anggota dewan, dan partai politik Selain menciptakan masyarakat jaringan dan pengembangan masyarakat informasi, media baru menciptakan demokrasi digital (digital democracy). Demokrasi berbasiskan internet. K. Hacker & Jan van Dijk (2000) mendeinisikan demokrasi sebagai “an attempt to practice democracy without the limits of time, space, other physical conditions, using digital means, as an addition, not a replacement for traditional ‘analogue’ political practices” (p.104). Dalam demokrasi digital, ada electronic polls, electronic referenda, dan electronic voting yang menghadirkan era demokrasi langsung (direct democracy) seperti partisipasi warga negara di ruang terbuka Athena (Athenian agora) dengan piranti modern (dalam Dijk, 2006, p.107). Komunikasi berbasiskan media baru memiliki dampak yang cukup menjanjikan dalam mengembangkan partisipasi politik. Dengan karakteristik media baru yang bersifat langsung dan interaktif, kualitas partisipasi politik dengan media baru jauh lebih berkualitas. Penulis mengungkapkan hal tersebut, berdasarkan hasil komparasi komunikasi politik yang menggunakan media lama dengan media baru yang digambarkan dalam bagan berikut:
Tabel Peringkat Pengguna Facebook di Dunia Bagan:Perbandingan Pola Komunikasi Politik dalam Media Lama dan Media Baru “One- to- many” model
Ordinary
Old Media Quality of Media Use
New Media
“Many-to-many” model
Based on Sysomos.com 2010 Ledakan penggunaan internet tersebut setidaknya merupakan modal politik (the political capital) yang luar biasa bagi masa depan demokratisasi di Indonesia. Melalui akses informasi tanpa batas, maka partisipasi politik warga negara akan semakin 139
Habermars dan Ruang Publik Salah satu pemikiran yang dapat dibahas yang menyangkut peran demokratis media adalah yang telah diungkapkan oleh Jurgen Habermars. Secara singkat Habermars menyatakan bahwa perkembangan awal kapitalisme modern telah menghadirkan arena
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
otonomi untuk debat publik. Habermas berpendapat perkembangan kapitalisme modern awal menjadi arena otonom debat publik. Ruang publik didominasi oleh negara dan begitu pula dengan bidang ekonomi. Pada saat ini, media tidak lagi menjadi sesuatu yang netral. Media malah memanipulasi opini massa. Publik bersifat pasif, politik menjadi sebuh tontonan, dan publik hanya bisa melihat saja (pasif ). Interdependensi ekonomi yang disebabkan oleh kepemilikan pribadi, dan ditumbuhkembangkan dengan sejumlah novel dan dokumen lainnya, beserta diskusi di ruang publik dan kemunculan pers berbasis pasar yang independen, telah menciptakan suatu komunitas publik baru yang antusias terlibat dalam diskusi politis kritis. Habermars berpendapat bahwa ruang publik ini merupakan ruang di antara ekonomi dan negara dimana opini publik dan supervisi terhadap pemerintah terbentuk. Satu hal yang bisa didapat dari penjelasan diatas adalah model ruang publik Habermars diposisikan sebagai area netral dimana informasi yang diperlukan masyarakat dapat mudah diakses. Selain itu, ruang publik tersebut juga merupakan tempat untuk mengadakan diskusi yang terbebas dari dominasi negara. Peran media dalam hal ini adalah untuk memfasilitasi proses tersebut dengan cara mengkondisikan warga negara sebagai pembentuk opini publik. Menurut Edward S. Herman dan Robert W. McChensey (1997), public sphere ialah segenap tempat dan forum dimana segala isu yang memiliki makna penting bagi komunitas politik didiskusikan dan diperdebatkan, dan dimana arus informasi yang esensial bagi partisipasi warga dalam kehidupan kemasyarakatan disajikan ( dalam Armando, 2002, p 215). Dalam sistem politik demokrasi, media massa memainkan peran yang sangat penting sebagai instrumen public sphere. Denis McQuail (2005) menegaskan “....he media are now probably the key institution of the public sphere, and its ‘quality’ will depend on the quality of media” (p.502). Jadi kualitas public sphere kembali pada media itu sendiri, sedangkan tidak lepas dari media owner’s interest. Inilah tantangan media di tengah arus demokratisasi, mampukah media menampilkan jati dirinya sebagai watchdog role and voice of the people. Ade Armando (2002) menyatakan bahwa public sphere merupakan wilayah vital bagi demokrasi yang mengasumsikan bahwa setiap warga negara terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan
menyangkut kehidupan bersama, dan untuk itu warga negara membutuhkan informasi yang memadai. Jadi public sphere merupakan representasi dari partisipasi politik rakyat (the people’s political partisipation) dalam rangka mekanisme check and balances. Untuk mendukung kosep public sphere tersebut mesti adanya kebebasan media atau pers (media freedom). Kebebasan media menjadi indikator yang paling lazim untuk mengukur berlangsungtidaknya perlindungan hak-hak asasi manusia atau demokratik-tidaknya sistem politik di sebuah negara. Tidak ada negara demokratis, tanpa kebebasan media. Media Baru dan Ruang Publik Sebagai Kanal Demokratisasi Internet menghadirkan ruang publik bebas (free public sphere) kepada warga negara (publik). Dalam he Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, Jurgen Habermas (1962/1989) dalam mengemukakan konsep publik sphere (Öfentlichkeit). Ruang publik merupakan tempat tersedianya informasi ada dan komunikasi terjadi serta tempat diskusi dan deliberasi publik yang didalamnya dibahas persoalan-persoalan publik. Akses ke ruang publik ini bersifat bebas, karena ini merupakan tempat kebebasan untuk berkumpul (the freedoms of assembly), sehingga asosiasi dan ekspresi dijamin. Ini merupakan tempat komunikasi ideal (an idealized communication venue). Keputusankeputusan kewarganegaraan diputuskan melalui proses diskusi, inilah yang menjadikan ruang publik menjadi aspek fundamental dalam sistem demokrasi (Schuler & Peter, 2004, p.3-4; McQuail, 2005, p.181). Jadi ruang publik itu tidak bisa dipisahkan dari kehidupan demokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa ruang publik. Denis McQuail menyatakan bahwa ruang publik merupakan tempat dimana civil society berkembang. Ruang publik berada diantara negara dan privat untuk pembentukan sosial (social formation) dan aksi voluntir (voluntary action). Di ruang tersebut, civil society memiliki kebebasan tanpa ancaman serta mereka dapat menentang masyarakat otoriter (authoritarian society), --menurut penulis, ini maksudnya negara (McQuail, 2005, p.182). Dalam demokratisasi, ruang publik dapat berfungsi sebagai stimulator perwujudan demokrasi deliberatif . Demokrasi deliberatif adalah demokrasi yang dibangun berdasarkan pada penilaian politik yang ‘rasional’. Menurut Claus Ofe dan Ulrich Preuss, ada tiga kriteria bagi keputusan politik
140
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
yang rasional yaitu mengedepankan fakta, berorientasi pada`masa depan, dan mempertimbangkan kepentingan banyak orang (dalam Held, 2006, p.273). Jadi demokrasi deliberatif mensyaratkan partisipasi yang berkualitas, bukan yang emosional. Demokrasi deliberatif mendorong keterbukaan dan kritisisme dalam proses politik. Dalam situs portal berita, seperti kompas. com, tempointeraktif.com, media-indonesia.com, republika.co.id, dan lain sebagianya, bukan hanya dapat mengakses infromasi politik terkini, tetapi juga masyarakat diberikan kesempatan untuk mengomentari materi pemberitaan dan sekaligus menjadi anggota forum diskusi. Pemberian komentar atau keterlibatan dalam forum diskusi tersebut memiliki dampak pada kristalisasi sikap dan perilaku politik masyarakat (warga negara). Melalui internet, masyarakat dapat mengorganisir diri dalam formasi atau pembentukan dalam atau menjadi anggota cyber interest groups (kelompok kepentingan maya) dalam suatu jenis mailing list (milis), web site, blog page, ataupun situs jejaring sosial. Di dalam situs cyber interest groups tersebut, masyarakat dapat saling berinteraksi dan berkomunikasi membahas pertanyaan atau materi diskusi yang menjadi fokus pembicaraan, biasanya tema diskusi berkaitan dengan perkembangan semua aspek atau isu-isu kehidupan keseharian, terutama biasanya perkembangan politik terkini. Atau di dalam situs tersebut anggota situs dapat mempsoting opini individual, video, foto dan ile yang diajadikan bahas diskusi. Untuk kategori blog bersama Kopasiana.com adalah salah satu contoh yang baik. Internet mampu membentuk demokrasi dialogis dengan landasan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Internet juga meningkatkan kesetaraan komunikan politik (komunikator dan komunikate). Di Indonesia, pengguna internet, khususnya jejaring sosial, begitu powerful dalam memberdayakan ruang publik, sehingga berwujud menjadi gerakan politik (political movement). Dalam makalah ini penulis ingin mendeskripsikan contoh kasus dari ruang publik maya (cyber public sphere) menjadi aksi politik. Pertama, sejak Prita Mulysari ditahan di LP Wanita Tanggerang akibat menulis surat keluhan di internet atas layanan RS Omni Internasional Alam Sutra, sebuah group yang dibuat oleh Ika Ardina yang bernama “Dukungan Bagi Ibu Prita Mulyasari, Penulis Keluhan Melalui Internet Yang Ditahan” mendapat sambutan yang luar biasa 385, 945 anggota. 141
Berawal dari Facebook, dukungan buat Prita semakin meluas, terlebih-lebih sejak tanggal 9 Desember 2009 Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman denda Rp 204 juta dan pidana penjara 6 bulan pada Prita. Publik menggalang “Koin Keadilan untuk Prita”. Program koin tersebut mendapat dukungan yang luar biasa, sampai bisa terkumpul uang koin sejumlah lebih dari Rp 825 juta. Kedua, facebooker memberikan aksi dukungan terhadap dua pimpinan KPK (nonaktif ), Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah yang ditahan polisi. Di facebook, setidaknya ada enam grup. Grup paling besar adalah grup yang dibuat oleh dosen Universitas Bengkulu, Usman Yasin. Grup yang diberi nama Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Rianto, dengan jumlah anggota sebanyak lebih dari 1,2 juta anggota. Gerakan facebooker selanjutnya tidak hanya sebatas di dunia maya, tetapi dalam bentuk aksi politik. Pada hari Minggu, 8 Nopember 2009, ribuan facebookers melakukan mimbar bebas di Bundaran HI. Mereka menyatakan dukungannya terhadap KPK dan menolak jika dilakukan kriminalisasi terhadap KPK sebagai institusi penegak hukum. Dan ketiga, setelah kasus peledakan bom bunuh diri di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, Iqbal Prakasa, seorang IT developer, membuat “#indonesiaunite” untuk menggalang dukungan “Gerakan Indonesia Melawan Teror”. Di Twitter mendapat dukungan lebih dari 3000 orang dan di Facebook lebih dari 66 ribu orang. Selain di dunia maya #indonesiaunite juga melakukan kampanye langsung dengan cara penyebarluasan T-shirt bertema “Indonesia Unite”. Masih banyak contoh-contoh kasus lainnya, dimana facebook dijadikan sarana diskusi publik dan konsolidadi kekuatan gerakan politik. Fenomena ini mungkin yang pertama di dunia. Jejaring sosial telah mentransformasi bentuk konsolidasi gerakan politik. Ruang Kebebasan Pers di Indonesia Kebebasan media di negara demokrasi, seperti Indonesia, sangat membantu proses perkembangan konsolidasi demokrasi menuju proses demokratisasi. Dengan adanya kebebasan media telah mendatangkan manfaat publik yang besar seperti yang diungkapkan oleh Denis McQuail (2005) yaitu: “Main public beneits of media freedom are systematic and independent public scrutiny of those in power and an adequate supply of reliable information about their
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
activities (this refer to the ‘watchdog’ or critical role of the press); stimulation of an active and informed democratic system and social life; the change to express ideas, beliefs and views about the world; continued renewal and change of culture and society; and increase in the amount and variety of freedom available” (p.168). Kebebasan media (pers) bisa terwujud setidaktidaknya dengan tidak adanya pensensoran berita dan opini media massa yang dilakukan oleh pemerintah dan adanya kebebasan bagi warga negara dalam mengakses berita media massa. Negara Indonesia termasuk negara yang menganut a social-responsibility paradigm dimana kebebasan yang dimiliki pers tetap saja mengedepankan pertanggungjawaban sosial atas isi pemberitaannya. Selanjutnya, hal yang terpenting dalam prinsip kebebasan pers adalah dimana negara menjamin secara hukum kebebasan pers tersebut. Di Indonesia, praktek kebebasan media (pers) di awal reformasi dijamin oleh UU No.40 tahun 1999 tentang Pers, yang tidak lagi menganut politik hukum kriminalisasi pers. UU tersebut menyatakan bahwa pertama, “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara” (Pasal 4 ayat 1); kedua, “untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, dan menyampaikan gagasan dan informasi” (Pasal 4 ayat 2); ketiga, “untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi (Pasal 4 ayat 3); dan keempat, “dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum” (Pasal 8). Tetapi pada perkembangan selanjutnya, mulai tahun 2002, kebebasan pers di Indonesia mulai terancam,dengan UU Penyiaran No. 32 tahun 2002, dimana dalam beberapa pasal mengakomodasi politik hukum yang lebih kejam. Isi siaran televisi –termasuk karya jurnalistik– bermuatan itnah, hasutan, menyesatkan, dan bohong diancam dengan pidana penjara bukan hanya sampai lima tahun, juga dapat ditambah dengan denda paling banyak 10 milyar rupiah. Di Indonesia sejak pasca reformasi hingga kini telah terjadi banyak kasus kriminalisasi terhadap media atau pers di Indonesia, Kasus majalah Tempo dengan pengusaha Kondang Tommy Winata misalnya. Kebijakan pemerintah yang semakin kurang berpihak pada kebebasan pers tersebut akan membahayakan proses demokratisasi dan dikhawatirkan akan mengarah pada pemerintahan yang tak demokratis. Kini sudah saat ini Pemerintah coba melihat kembali
kepada esensi tujuan reformasi di Indonesia, yaitu memberikan kebasan politik bagi rakyat dan media massa. Media Publik di Indonesia Jurnalisme bukan persoalan praksis pemberitaan saja, tetapi juga merupakan manifestasi komunikasi politik. Kovach & Rosentiel (2001) menyatakan bahwa salah satu prinsip jurnalisme yaitu jurnalisme harus menghadirkan sebuah forum untuk kritik dan komentar publik. Selanjutnya juga mereka menegaskan bahwa jurnalisme ada untuk membangun kewargaan (citizenship) dimana hak-hak warga negara terpenuhi. Jadi, jurnalisme ada untuk demokrasi. Dewasa ini kajian jurnalisme sudah berkembang menjadi jurnalisme publik. Dengan adanya penambahan kata publik pada jurnalisme diharapkan dapat lebih memfokuskan konsep bahwa aktivitas jurnalisme adalah milik publik, bukan hanya milik industri media (jurnalisme berbasis pasar), pemerintah, bahkan bukan milik profesi jurnalis itu sendiri. Arthur Charity (1995) membedakan antara jurnalisme konvensional dengan jurnalisme publik sebagai berikut: Perbedaan antara Jurnalisme Publik dengan Jurnalisme Konvensional Public journalists believe
Conventional jounalists believe
Something basic has to change, because The traditions of journalism are fine; if jounalism isn’t working now.
anything needs to improve. It’s the practice.
In such a climate, exprementation and Exprementation threatens to cross the line creativity are imperative: old habits, however into
unethical
“sacred” may have to go...though change carelessness
behavior,
about
bias,
standards.
and
Besides,
must always be guided by ethical core values exprementation is usually a synonym for fad. and an understanding of how democracy works. Citizens may well want to participate more The media and political life provide ample intelligently in public life, but they find too opportunity to participate; if people stay out many hurdles in their way.
or merely complain, it’s their own choice.
Citizens deserve a bigger place in the News is a profession; journalists write newspaper itself. Papers should never “dumb newspapers, readers don’t. Inviting citizens down”, but must reorient themselves around to judge what’s news, making them the citizens’ concerns.
subject
of
inherently
coverage dumbing
and
the
like
are
down
–a
form
of
pandering. Public life should work, and journalism has a It would be nice if public life worked, but it’s role in making it work.
beyond our role to make it work and it’s dangerous to think we can.
Sumber: Arthur Charity (1995). Doing Public Journalism. New York: Guilford Press, p.10. dalam Wisnu Martha Adiputra (2006). Gelombang demokratisasi berbasiskan media baru terus berkembang seiring dengan penggunaan
142
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
media massa baik media tradisional ataupun modern(on line) dan perkembangan media media berjejaring social. Perkembangan teknlogi media dan komunikasi mampu mendorong ruang publik menjadi aksi politik. Ini merupakan wujud dari kebebasan politik dan komunikasi yang terkristalisasi dalam wujud nyata yaitu aksi politik. Modal politik (the political capital) yang besar ini, sebaiknya terus dijaga oleh pemerintah dengan cara menghapus semua peraturan yang sekiranya dapat membatasi kebebasan politik dan di masa mendatang pemerintah dapat merumuskan regulasi media baru yang lebih baik seiring dengan semangat demokratisasi (the spirit of democratization) Journalisme publik bersumber dari publik untuk publik. Ini memiliki peran yang sangat signiikan dalam politik. Peran tersebut yaitu journalisme publik mampu meningkatkan proses demokratisasi seperti yang diungkapkan oleh Charity (1995.p.6-7) sebagai berikut “reducing issues to choices, plumbing to core values, spelling out the costs and consequences of each choice, bridging the expert-public gap, facilitating deliberation, and promoting civility” (dalam Adiputra 2006.p.99). John Dewey Jurnalisme menyatakan tujuan sejati demokrasi yaitu kebebasan manusia dimana memungkinkan orang mengembangkan potensi mereka sepenuhnya (Kovach & Rosentiel, 2001.p.24). Ini sangat compatible dengan konsep jurnalisme publik Dengan dukungan kemajuan ICT atau kamera digital yang canggih dan massif, dewasa ini konsep journalisme publik semakin diberikan ruang luas oleh industri media di Indonesia, baik media siaran ataupun cetak. Masa Depan Demokratisasi Berbasiskan Media Baru Perkembangan demokratisasi dan penggunaan internet di Indonesia, ternyata tidak sepenuhnya didukung oleh regulasi atau aturan hukum yang mendukung kebebasan berpendapat. Regulasi tersebut yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi & Transaksi Elektronik. Kedua aturan tersebut memuat pasal-pasal karet yang sangat mengancam kebebasan berpendapat. Dalam KUHP, ada 7 pasal karet atau multitafsir yaitu Pasal 310 (pencemaran nama baik), Pasal 311 (itnah), Pasal 315 (penghinaan ringan), Pasal 317 (pengaduan itnah), Pasal 318 (persangkaan palsu), dan Pasal 320 (pencemaran nama baik orang 143
mati). Dan dalam UU No.11 Tahun 2008 yaitu Pasal 27 ayat 3, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE, RS Omni Internasional menuntut dan mempidanakan Prita Mulyasari atas kasus pencemaran nama baik melalui e-mail di mailing list-nya. Pada tanggal 9 Desember 2009, Pengadilan Negeri Tanggerang menjatuhkan hukuman ganti rugi sebesar Rp 204 juta dan pidana hukuman penjara enam bulan pada Prita. Realitas tersebut merupakan paradoks demokrasi, yang jika dibiarkan akan mengacam keberlangsungan demokratisasi di Indonesia, bisa jadi kedepan lebih banyak korban akibat UU tersebut, termasuk sekarang kasus Luna Maya yang disomasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya (Jakarta). Dengan menggunakan pasal yang sama dengan tuntutan Prita Mulyasari, Luna dituntut akibat menulis isi hatinya (curhat) di Twitter tentang perilaku wartawan yang lebih hina dari pelacur. Dalam kasus ini, Pemerintah, terutama Departemen Komunikasi dan Informasi, bersama DPR dituntut memiliki political will untuk segera merevisi pasal-pasal tersebut dan semua peraturan yang sekiranya akan mengancam kebebasan berpendapat di internet. Jika tidak ini menjadi presenden buruk demokratisasi di Indonesia Selanjutnya tentang masa depan peran internet dalam memantapkan proses demokratisasi di Indonesia semakin strategis. Sejak kini internet sudah menjadi life style bagi sebagian besar warga negara Indonesia. Selain proliferasi penggunaan internet yang diakibatkan pengembangan ekspansif infrastruktur jaringan dan gadget dan tarif yang murah yang disediakan oleh ISP (Internet Service Provider), Pemerintah menyatakan bahwa pada tahun 2010 program internet masuk desa sudah dapat direalisasikan, dengan 32 ribu jaringan dari 72 ribu desa. Pemerintah ingin mewujudkan desa pintar. Dengan infrastruktur jaringan internet yang semakin tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia, pemerintah diharapkan di pemilu-pemilu mendatang dapat menerapkan electroning voting, seperti di Amerika. Gagasan ini menurut pandangan penulis tidak utopis, dikarenakan literasi penggunaan internet warga negera terus semakin membaik. Ini artinya tinggal political will pemerintah, apakah mau
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
memodernisasi sistem pemilu atau tidak. Dengan kekuatan yang ada, sepertinya di masa akan mendatang, keinginan Indonesia untuk dapat memasuki tahap pematang demokrasi dapat segera terwujud. Internet hadir dengan membawa misi peningkatan literasi atau pendidikan politik yang mampu membentuk well-informed citizen, sehingga warga negara dapat terlibat lebih aktif dalam ruang publik politik. Hutchins Commission dan Royal Commission dalam Curran James, Gurevitch Michael (1991) menyatakan bahwa cara terbaik untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan mengedepankan profesionalisme media. Yang dimaksud profesionalisme media adalah: • Komitmen jurnalis untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi; netralitas, independensi, dan komitmen pada kebenaran. • Pengadopsian prosedur untuk memveriikasi fakta, menggunakan banyak sumber, dan menampilkan suara pihak yang kontra. Ide profesionalisme ini didukung oleh banyak pihak dengan berbagai alasan, namun pada intinya ada sebuah ide yang pasti: Tugas utama jurnalis adalah untuk melayani public. Namun proeionalisme media ini tidak akan bisa terwujud apabila medianya tidak memiliki tujuan untuk merealisasikan profesionalisme. Profesionalisme juga rawan karena tidak memiliki dasar. Sebagi contoh, untuk menjadi jurnalis, tidak dibutuhkan kredibilitas tertentu dan tidak memerlukan syarat apapun. Lebih lanjut, profesionalisme itu sendiri juga ambigu karena memiliki makna yang berbeda bagi tiap individu dengan budaya yang berbeda. Sebagai kesimpulan, ideologi profesionalisme tidak menyediakan cara yang cukup baik untuk merealisasikan peran demokratis media. Menata Struktur dan Peran New Media Komunikasi politik di dalam negara yang menganut sistem politik demokratis lebih menekankan pada peran media dalam setiap aktivitas politik. Bahkan para ahli komunikasi menyatakan bahwa media massa merupakan sebagai fourth estate, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif –dalam pemikiran politik Trias Politika. Hal ini juga ditegaskan oleh homas Carlyle (1907) yaitu “he press is a power, a branch of government with an inalienable weight in lawmaking, derived from the will of the people”. (dalam Idham Holik 2010)
James Curren (2002), dalam buku Media and Power, menyatakan ada tiga peran media dalam sistem politik demokratis yaitu, pertama, watchdog role; media harus memonitor semua aktivitas negara, dan berani mengungkap penyalahgunaan kekuasaan. Agar peran ini optimal, maka dibutuhkan adannya free market dan deregulation untuk media. Kedua, information & debate; media mesti mampu memberikan saluran komunikasi antara pemerintah dan rakyat. Untuk hal itu, media harus membuat forum dialog (a forum of debate) dimana rakyat dapat mengidentiikasi masalah, mengajukan solusi, membuat kesepakatan dan memandu arah masyarakat (to guide the public direction of society). Dan ketiga, voice of the people; media mengantarkan kepentingan rakyat kepada pemerintah, ini adalah kulminasi dari misi media. Media berbicara untuk rakyat, dan merepresentasikan pandangan dan kepentingan mereka dalam wilayah publik (the public domain) Media merupakan sarana masyarakat, pemerintah, partai politik, lembaga non-pemerintah, pressure group, dan lain sebagainya untuk saling berhubungan (atau berkomunikasi) satu sama lain, yang akhirnya mampu menciptakan kondisi demokrasi yang lebih baik. Selanjutnya di negara demokratis, media massa harus mampu memfasilitasi jurnalisme publik, dimana publik memungkinkan membuat news story untuk ditayangkan di media. Sekarang di Indonesia, jurnalisme publik sudah mulai menjadi trend pemberitaan di media massa. Untuk melihat posisi media dalam proses komunikasi politik, penulis menggunakan bagan hubungan elemen-elemen komunikasi politik menurut pemikiran Brian McNair (1995) sebagai berikut: Hubungan Tiga Elemen Komunikasi Politik Political Organization
Reportage Editorials Commentary Anlaysis
Media
- Govenment - Political party - Public organization - Pressure group - Terrorist group
Appeal Programmes Advertising Public Relations Opinon Polls Letters
Reportage Editorials Commentary Analysis
Audience/Citizen
Sumber : Harsono Suwardi (2003), Modul Mata Kuliah Komunikasi Politik, Jakarta: FISIP Program S-2 Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia
144
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Selain peran penting media seperti yang telah dideskripsikan tersebut di atas, menurut Donald Shaw & Maxwell McComb bahwa media memiliki kemampuan mengarahkan agenda kebijakan suatu pemerintahan. Hal ini tergambar dalam fungsi agenda-setting media. Fungsi tersebut merupakan sebuah proses linear dari tiga bagian (a three-part linear process) yaitu pertama, media agenda merupakan prioritas isu-isu yang ditampilkan media mesti di-set; kedua, media agenda berpengaruh atau berinteraksi dengan apa yang publik pikirkan, atau ini disebut public agenda; dan ketiga, public agenda berpengaruh atau berinteraksi dengan apa yang dianggap penting oleh pembuatan kebijakan atau ini disebut policy agenda (Littlejohn, 2002.p.319-320). Di Indonesia dengan jelas bisa kita lihat aplikasi fungsi agenda setting tersebut dimana milsanya media massa Indonesia senantiasa mengawal pelaksanaan kebijakan pemerintah tentang pemberantasan korupsi dan melakukan investigative report. Yang tak kalah pentingnya dalam membahas media dalam demokratisasi adalah terbukanya ruang bagi aktualisasi suara public yang dijamin negara dan media massa. Denis McQuail menyatakan bahwa ruang publik merupakan tempat dimana civil society berkembang. Ruang publik berada diantara negara dan privat untuk pembentukan sosial (social formation) dan aksi voluntir (voluntary action). Di ruang tersebut, civil society memiliki kebebasan tanpa ancaman serta mereka dapat menentang masyarakat otoriter (authoritarian society), --menurut penulis, ini maksudnya negara (McQuail, 2005, p.182). Dalam demokratisasi, ruang publik dapat berfungsi sebagai stimulator perwujudan demokrasi deliberatif . Demokrasi deliberatif adalah demokrasi yang dibangun berdasarkan pada penilaian politik yang ‘rasional’. Menurut Claus Ofe dan Ulrich Preuss, ada tiga kriteria bagi keputusan politik yang rasional yaitu mengedepankan fakta, berorientasi pada`masa depan, dan mempertimbangkan kepentingan banyak orang (dalam Held, 2006, p.273). Jadi demokrasi deliberatif mensyaratkan partisipasi yang berkualitas, bukan yang emosional. Demokrasi deliberatif mendorong keterbukaan dan kritisisme dalam proses politik. Kesimpulan Di Indonesia, media baru atau internet telah menghadirkan gelombang demokratisasi, yang tidak bisa dikendalikan oleh rezim Orde Baru. Internet 3.
145
digunakan sebagai saluran komunikasi politik para aktivis gerakan reformasi, yang mengkristal pada gerakan penjatuhan rezim Orde Baru. Sejak tahun 1997, internet sudah digunakan sebagai saluran online campaign dan terus berkembang, seiring terjadinya amerikanisasi komunikasi politik. Dengan internet komunikasi politik menjadi lebih interaktif dan tidak dibatasi lagi oleh hambatan seperti waktu dan tempat. Hal ini semakin terasa di tahun 2008 atau pada saat Pemilu 2009, banyak komunikator politik yang menggunakan situs jejaring sosial sebagai saluran komunikasi politiknya. Gelombang demokratisasi berbasiskan media baru terus berkembang seiring dengan penggunaan situs jejaring sosial, dimana dimulai dari ruang publik menjadi aksi politik. Ini merupakan wujud dari kebebasan politik dan komunikasi yang terkristalisasi dalam wujud nyata yaitu aksi politik. Modal politik (the political capital) yang besar ini, sebaiknya terus dijaga oleh pemerintah dengan cara menghapus semua peraturan yang sekiranya dapat membatasi kebebasan politik dan di masa mendatang pemerintah dapat merumuskan regulasi media baru yang lebih baik seiring dengan semangat demokratisasi (the spirit of democratization). Dengan hal itu semua, keyakinan penulis, di masa mendatang Indonesia akan jadi negara demokrasi yang lebih besar lagi, kalau perlu setara dengan negara-negara maju seperti Amerika. Wallahu Alam bi Sawab
Daftar Pustaka Adiputra, Wisnu Martha (2006). Menyoal Komunikasi Memberdayakan Masyarakat. Yogyakarta: Penerbit Fisipol UGM, Cetakan Pertama Armando, Ade (2002). Independensi Media, Public Sphere, dan Demokrasi di Indonesia. Dalam Maruto MD & Anwari WMK (Edt.). Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi. Jakarta: Penerbit LP3ES Baran, Stanley J & Dennis K. Davis (2010). Terjemahan Mass Communication heory, Foundation, Ferment, and Future. Jakarta Salemba Humanika Curran, James (2002). Media Power. London: Routledge. Curran James, Gurevitch Michael, ( 1991), Mass Media And Society, Chapman and Hall, Inc,
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
New York Dijk, Jan van (2006). he Network Society. Second Edition. London: SAGE Publication, Ltd Firmanzah, Ph.D (2008). Marketing Politik – Antara Pemahaman dan Realitas. Edisi Revisi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Held, David (2006). Models of Democracy. Edisi Ketiga. Jakarta: he Akbar Tanjung Institute. Holik Idham, (2010), Komunikasi Politik dan Demokratisasi di Indonesia, Artikel Jurnal Ilmiah Semiotika, Vol. 4 No 1, Prodi Komunikasi UBM, Jakarta Kovach, Bill &Tom Rosenstiel (2001).he Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect. terjemahan Yusi A. Pareanom (2003). McQuail, Denis (2005). McQuail’s Mass Communication heory. Fifth Edition. London: SAGE Publications. Nimmo, Dan. (2005) Komunikasi Politik. Komunikator, Pesan, dan Media, Bandung: Remaja Rosda Karya., Bandung. Schuler, Douglas & Peter Day (2004). Shaping the Network Society: Opportunity and Challenges. In Douglas Schuler & Peter Day (Edts.). Shaping the Network Society, he New Role of Civil Society in Cyberspace. USA: he MIT Press.
brk,20090726-189130,id.html Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik UU No 40 Tahun 1999 UU No 32 Tahun 2002
Referensi Tambahan (Regulasi, Berita, dan Data): http://blog.sysomos.com/2010/01/22/the-toptwitter-countries-and-cities-part-2/ (diunduh 31 Juli 2011, pukul 10.15 http://www.internetworldstats.com/stats3.htm/ Internet Users & Population Statistics for 35 countries and regions in Asia , diunduh, 31 Juli 2011, 10.00 Kompas.com. 3 Juni 2009. Dukungan terhadap Prita Mengalir di Facebook http://www.kompas.com/ read/xml/2009/06/03/09241833/dukungan. terhadap.prita.mengalir.di.facebook Kompas. com. 8 Nopember 2009. Dukung KPK, Ribuan Facebookers Serbu Bundaran HI, http://nasional.kompas.com/read/ xml/2009/11/08/09072833/Dukung.KPK.. Ribuan.Facebookers.Serbu.Bundaran.HI Tempointeraktif.com. 26 Juli 2009. Gerakan Indonesia Melawan Teror Mendunia http:// www.tempointeraktif.com/hg/it/2009/07/26/ 146
tentang
Bagian IV : Corporate Social Responsibility dan Pembangunan Daerah
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Sinergi antara CSR (Social Business Enterprise) dengan Pemerintah Daerah Euis Heryati1*) Abstrak Pengertian CSR yang paling sederhana adalah kegiatan yang berhubungan langsung dengan kegiatan philantropis sederhana misalnya: sumbangan untuk panti jompo, mudik lebaran bersama, pengobatan masal donor darah dan sebagainya. Meningkat kearah kegiatan yang lebih rumit, misalnya dengan melakukan program beasiswa, pencegahan demam berdarah, pencegahan HIV/AID, pendidikan anak putus sekolah, bantuan bibit penanaman sejuta pohon dan sejenisnya . Semua kegiatan ini masih keluarganya philantropis, namun inilah yang kerap dilakukan oleh mayoritas perusahan-perusahaan di Indonesia dan dipublikasikan sebagai CSR. Berdasarkan UU no. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, pasal 1, butir 3 menyatakan bahwa yan dimaksud dengan”Tanggung jawab Sosial Lingkungan adalah Komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bemanfaat, baik bagi Perseroan sendiri , Komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya. Dari uraian Undang-undang tersebut jelaslah kegiatan CSR bukan kegiatan Philantropi semata dan kegiatan CSR lebih sebagai pelaksanaan konsep Sustainable Development(Pembangunn berkelanjutan) oleh dunia usaha. Artinya perusahaan sebagai pelaku bisnis, disamping memburu keuntungan, dituntut untuk tidak merusak lingkungan dan memperhatikan isu-isu sosial. Dilihat dari sudut pandang perusahaan CSR yang berganti terminology menjadi Corporate Sustainability ini diyakini sebagai fungsi strategi utama dalam menjaga keberlangsungan sebuah perusahaan itu sendiri. Accountability dan transparency merupakan prinsip penting yang melekat pada suatu Responsibility Company. Prinsip ini dilaksanakan dengan menyampaikan kepada public kinerja sustainability melalui sustaninability report atau CSR Report. Sehingga melalui laporan ini public akan dapat menilai sampai sejauh mana perusahaan telah mengatasi dampak lingkungan dan isu sosil akibat kegiatan operasinya sebagai alat untuk pembuatan keputusan investasi dan sebagainya. Pada sisi lain Pemda sebagai pelaksana penyelenggaraan pemerintahan merupakan aktor utama dalam memantau seberapa efektif pelaksanaan CSR di wilayahnya masing-masing. Akan tetapi pemahaman yang sporadis dan perbedaan dalam memandang konsep CSR itu masih menjadi kendala yang cukup besar, sehingga pemda juga patut membantu mengawal bagaimana memberdayakan industri dan corporate diwilayahnya mampu berkontribusi memajukan serta mengedukasi masyarakat.Sehingga CSR sebagai Social business enterprise memiliki manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat bukan sekedar kegiatan philantropi sesaat. Kata Kunci: CSR,Philantropi,Sustainable Corporate,Sinergi 1. Pendahuluan Konsep CSR pertama kali dikemukakan oleh Howard R. Bowen pada tahun 1953 dalam karyanya Social Responsibilities of the Businessman.Hingga saat ini , menurut Caroll(1979) konsep CSR memuat komponen-komponen sebagai berikut: 1. Economic Responsibilities 2. Legal Responsibilities 3. Ethical responsibilities 4. Discretionary Responsibilities Banyak sekali konsep-konsep CSR disebutkan , sehingga semua orang merasa cepat mengerti dan merasa tahu dari namanya, acapkali penerapan dan pemahamannyapun berbeda-beda. Perubahan yang terjadi di Masyaraktpun turut mengilhami bagaimana Pelaksanaan dan jenis CSR berubah, kebutuhan yang meningkat, pola iklim yang berubah turut memicu beberapa dampak yang baru dari setiap industry. mengingat logika dampak dari sebuah industry maka seiring perubahan itu seyogyanya masyaraktpun 1
*)
Penulis adalah Dosen di Universitas Esa Unggul, Jakarta.
149
menjadi lebih paham akan pentingnya CSR CSR Pada awalnya sering kita temui dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki tingkat resiko yang tinggi khususnya berhubungan dengan lingkungan seperti perusahaan minyak, perkebunan dan sejenisnya.dan merupakan era pertama pelaksanaan CSR di Indonesia. Kondisi yang terjadi dalam industry bisnis mestinya mampu disambut dengan baik oleh Pemerintah daerah , wujud gayung bersambut ini masih memiliki kendala dan kurang optimal untuk itu sebagai pelaksana pelyanan public pemerintah harus mampu menjembatani dan mengoptimalkan potensi ini melalui kmitraan yang mutualisme dengan industry.Setidaknya pemerintah diharapkan mampu menyediakan iklim yang kondusif, mampu memberikan jaminan keamanan, bahkan memberikan apresiasi kepada pelaku. Provinsi banten yang sebelumnya memiliki peta industri ekstraktif meliputi industry produk alam dan industry Pariwisata maka potensi CSR yang dimiliki oleh provinsipun kurang lebih meliputi keduanya.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Perkembangan terkini adalah berbagai industry mulai bermunculan di provinsi ini dari mulai indutri ekstraktif hingga jasa. a. Industri Pariwisata Menarik untuk dicermati wilayah Selatan Provinsi Banten dengan Pariwisata Pantai Anyer , Carita dan Binuangeun serta kiranya mampu memberdayakan daerah pesisir baik dari target pengunjung maupun pemberdayaan ekonomi serta peningkatan edukasi masyarakt bagaimana mereka menyediaakan dan berperilaku responsive dan menyambut pengunjung. Selain itu beberapa wilayah di provinsi Banten menjadi tujuan wisata yang cukup potensial bagi pengunjung khususnya wilayah provinsi terdekat yaitu Jakarta bandung dan Lampung.Serta akses ke wilayah Bogor Melalui Rangkasbitung. Yang diharapkan wujud CSR dari Insdutri Pariwisata ini adalah melakukan binaan dan mewariskan budaya dan karakter penyediaaan sarana yang ramah dan aman bagi penduduk sekitarnya saat menerima para wisatawan baik asing maupun local tentunya dengan tetap mengusung keelokan dan warisan budaya banten. Penyediaan sarana Fisik seperti jalan yang teratur dan alur yang terkoordinir dengan Pemerintah Kabupaten turut mendukung kunjungan pariwisata banten “Visit Banten”akan lebih terintegrasi. b. Industri ekstraktif Akan Halnya industry ekstraktif di wilayah cilegon dan sekitarnya tingkat kepedulian ataupun CSR yang dibangun hampir tidak menyentuh kepentingan public, kiranya pemerintah mampu berkoordinasi dengan pihak ketiga dan bekerjsama denga LSM tentang kebijakan go green untuk provinsi banten. Sebagai provinsi dengan posisi yang sangat strategis dan penyambung antara pulau Sumatera dan Jawa maka Banten kiranya bukan hanya menjadi wilayah yang terkoyak dengan industry kimia yang cukup banyak diwilayah ini. c. Industri Jasa Lainnya Saat ini dalam sebuah industry Bisnis perkembangan CSR tidak hanya bentuk donasi tetapi lebih menjadi Cause Relatid Marketing khususnya dalam isndustri yang bergerak dalam bidang Consumers Good ini pun merupakan potensi yang patut diccermati dn dikelola oleh pemerintah daerah yang kembali untuk mewujudkan kesejahteraan dan Pemberdyaan Masyrakat Provinsi Banten. Berdirinya Hypermarket (Carrefour, Ginat dan Hypermart serta )minimarket yang menjamur harus diiringi dengan tingkat kepedual yang akan diusung melalui Brnaded CSR dan memberikan beneit bagi lingkungan masyarakat.
2. Permasalahan Bagaimanakah Wujud dan Sinergi antara Industri dan Pemerintah dalam mengelola CSR demi kesejahteraan dan pembangunan provinsi banten? 3. Pembahasan. 1. Konsep CSR Europe Comission menyebutkan bahwa substansi CSR bukan pada penghimpunan dana dan pembangunan infrastruktur semata, tetapi bagaimana perusahaan mampu mengintegrasikan perhatian pada aspek sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksiny dengan para pemangku kepentingan(stake holder) berdasarkan prisip kesukarelaan. Deinisi yang beragam pendapat tentang CSR dapat dikelompokkan kedalam beberapa Mazhab yang banyak dianut. Yang unik, mayoritas dari mereka merujuk pada konsep triple bottom line yang merupakan buah pemikiran Elkington sebagai dasar pelaksanaannya. Sehingga, kendati skemanya agak berbeda, namun lingkupnya tidak jauh dari lingkup ekonomi, lingkup sosial dan lingkup lingkungan. Misalnya , lingkup gagasan penerapan CSR Prince of Wales International Busines Forum yang mengusung lima pilar: Pertama, upaya perusahaaan untuk menggalang dukungan SDM, baik internal(karyawan) maupun eksternal(masyarakat sekitar). Caranya dengan melakukan pengembangan dan memberikan kesejahteraan kepada mereka atau dengan istilah lain , Building human Capital. Kedua, Memberdayakan ekonomi komunitas, dengan istilah lain Strengthening economies Ketiga, Menjaga harmonisasi dengan masyarakat sekitar agar tidak terjadi konlik(assessing Social Cohession). Keempat, mengimplementasikan tata kelola yang baik(encouraging good corporate governance.) Kelima, memperhatikan kelestarian lingkungan(Protecting the environtment) Pandangan lain yang sejalan dengan pemikiran diatas adalah yang dikemukakan oleh Gurvy Kavei, Pakar manajemen dari Universitas Manchester ia menyatakan CSR dipraktekkan ditiga Area: Pertama, ditempat kerja,implementasinya mencakup aspek: kesehatan dan keselamatan kerja, pengembangan knowledge dan skill karyawan, peningkatan kesejahteraan dan bahkan mungkin kepemilikan saham. Kedua, dikomunitas, implementasinya bisa berupa kontribusi dalam bentuk charity, philanthropy maupun Community Development. Ketiga , terhadap lingkungan, praktiknya bia berupa proses produksi dan produk yang ramah
150
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
lingkungan, ikut serta dalam upaya pelestarian lingkungan hidup dan sebagainya. Sementara itu Green Paper dari komisi eropa(2001) memberikan perspektif lain, bahwa tanggung jawab sosial korporat itu memiliki dua dimensi, yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal . Dimensi Internal mencakup:Manajemen Sumber Daya Manusia, Kesehatan KEselamatan Kerja, beradaptasi dengan perubahan dan manajemen dampak lingkungan dan sumber daya alam. Dimensi eksternal mencakup komunitaskominitas local, mitra usaha, pemasok dan konsumen, hak-hak azasi manusia dan kepedulian pada lingkungan hidup. Sedangkan Eleanor Chambers berdasarkan risetnya ditujuh Negara Asia pada tahun 2003 menunjukkan ada tiga aspek yaitu,1. keterlibatan dalam komunitas , diantaranya pengembangan masyarakat(community Development),pendidikan dan pelatihan keagamaan dan olahraga, 2.pembuaatan produk yang bisa dipertanggungjawabkan secara sosial meliputi kesehatana dan keselamatan kerja dan proses produk yang ramah lingkungan termasuk kepedulaian terhadap konservasi lingkungan hidup. dan employee relations meliputi kesejahteraan pekerja dan keterlibatan pekerja.(Wibisono Yusuf,119) Berdasarkan pernyataan di atas semangatnya CSR merupakan sebuah potensi yang secara langsung maupun tidak berkontribusi pada pembangunan dan program pemerintah baik pusat maupun daerah. Meskipun munculnya perda CSR akan menimbulkan salah satu dari empat kemungkinan yaitu, kesan pemda yang berupaya membagi beban dengan tanggung jawab kepada perusahaan.Kedua adanya upaya meraup dana untuk pembangunan daerah yang bersumber dari pihak ketiga,ketiga pemda berupaya mengelola program CSR satu atap di koordinir oleh Pemda, walaupun belum jelas pola dan tata pelaksanannya.Keempat pihak perusahaan tidak serius dalam mendesain dan melaksanakan program CSR (Rahmatullah Sidik,2010). Mestinya semangat CSR yang tertuang dalam perda disikapi tidak hanya sebatas mengarahkan dan mengefesiensikan program CSR dari para pengusaha yang ada,tetapi lebih memberikan kesadaran bagi masyarakat serta mengedukasinya tentang konsep CSR itu sendiri, sehingga masyarakat sekitar akan merasakan manfaat keberadaan sebuah industry dilingkungannya. dan kiranya pemerintah belum tepat jika turut mengelola karena bentuk kerjasamanya adalah bentuk kemitraan. 2. Dampak Ekonomi sosial dan lingkungan dari sebuah industry Berbagai perusaahaan baik yang bergerak di sektor ekstraktif, sektor generative dan sector manufaktur jasa dalam arti luas telah menimbulkan 151
dampak dalam proses bisnisnya. Dampak Ekonomi , Sosial dan Lingkungan yang ditimbulkan oleh operasi perusahaan menurut Global Reporting Initiative adalah sebagai berikut: a. Dampak Ekonomi Dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh operasi perusahaan akan memengaruhi para pemangku kepentingan dan system ekonomi baik local, maupun nasional maupun pada ligkup global. GRI (Global Reporting Initiative )mengelompokkan dampak ekonomi kedalam dua jenis yaitu dampak ekonomi langsung dan dampak ekonomi tidak langsung. Dampak Ekonomi langsung , yaitu suatu perubahan potensi produktif kegiatan ekonomi yang adapt memengaruhi kesejahteraan komunitas atau para pemangku kepentingan dan prospek pembangunan dalam jangka panjang. Sedangkan yang dimaksud dengan dampak ekonomi tidak langsung adalah konsekuensi tambahan yang muncul sebagai akibat pengaruh langsung transaksi keuangan dan aliran uang antar organisasi dan para peangku kepentingannya. Pengaruh tidak langsung(indirect Economic Impact) , Indikator-indikator yang tercakup dalam kategori ini mengukur dampak ekonomi yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi dan transaksi. Indikator – indicator tersebut adalah:Investasi perusahaan dalam bentuk pembangunan infrastruktur dan penyediaan layanan untuk public baik yang dilakukan secara komerial maupun Cuma-Cuma. Investasi dalam infra struktur dapat dilakukan melebihi untuk kepentingan investai infrastruktur untuk mendukung operasi perusahaan semata. Melalui pembangunan infrastruktur yang dilakukan perusahaan misalnya jalan, sarana olah raga dan utilitas umum laiinnya, perusahaan dapat meningkatkan kegiatan ekonomi local yang akan berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat.Indikator kedua yaitu Memahami dan menjelaskan signiikansi dampak ekonomi tak langsung berikut sampai sejauh mana dampak terebut memengaruhi masyarakat. Dampak ekonomi tidak langsung merupakan indikasi penting bagi manajemen perusahaan untuk mengantisipasi bagaimana reputasi perusahaan di mata komunitas local, dengan melihat sikap komunitas local terhadap berbagai infrastruktur dan layanan yang diberikan perushaan selama ini. b. Dampak Sosial Dampak sosial terbagi kedalam empat kategori, yakni : 1. Hak Azasi Manusia (Human Rights) Indikator untuk mengukur dampak oerasi terhadap HAM meliputi
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
yang dihasilkan perusahaan, sebagai akibat ketidakpatuhan perusahaan terhadap aturan kesehatan dan keselamatan kerja, Jenis informasi yang dibutuhkan oleh konsumen dari suatu produk dan jasa sesuai dengan prosedur yang berlaku serta persentase produk dan jasa yang memuat informasi esuai prosedur, jumlah kejadian yang berkaitan dengan ketidakpatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku dalam hal penyajian informasi produk dan jasa, Berbagai praktik yang dilakukan perusahaan untuk meningkatkan kepuaan konsumen,Berbagaai program komunikai pemasaran sesuai standar dan hokum yang berlaku,Jumlah keluhan konsumen akibt pelanggaran privasi konsumen, julah niali uang denda karena perusahaan tidak patuh terhadap undang-undang dan peraturan tentang ketentuan kesehatan dan keselamatan produk dan jasa.
Persentase dan jumlah Investasi yang signiikan yang membuat klausul tentang Hak Azasi Manusia, Jumlah jam Pelatihan yang diberikan karyawan untuk memahami kebijakan dan prosedur yang berkaitan dengan HAM, Jumlah insiden diskriminasi ditempat kerja, Ada tidaknya kebebaan untuk membentuk serikat pekerja 2. Tenaga Kerja(labour) Indikator yang digunakan untuk mengukur dampak operasi perusahaan terhadap tenaga kerja meliputi: Jumlah keseluruhan tenaga kerja yang dipekerjakan di perusahaan berdasarkan kategori pekerja, kontrak dan wilayah dimana karyawan bekerja, Beneit yang ditawarkan perusahaan kepada karyawan penuh yang tidak diberikan kepada karyawan kontrak ataupun paruh waktu. Persentase jumlah karyawan yang dilindungi oleh kesepakatan kerja bersama, Tingkat cedera karena pekerjaan,penyakit akibat kerja, harihari yang hilang karena sakit, rata-rata jam pelatihan, berbagai program untuk meningkatkan kemampuan manajemen agar memungkinkan karyawan bisa tetap bekerja di perusahaan serta komposisi badan pengelola perusahaan yang menunjukkan adanya peluang yang sama antara pria dan wanita serta antara golongan mayoritas dan minoritas. 3. Masyarakat (society) Indikator yang digunakan untuk mengukur dampak operasi perusahaan terhadap masyarakat adalah sebagai berikut:Sifat,Cakupan, efektivitas dari berbagai program dan praktik yang dapat mengukur dan mengelola dampak dari opersi perusahaan terhadap masyarakat, Persentase dan jumlah unit bisnis yang memiliki resiko korupsi, persentase jumlah karyawan yang dilatih dalam hal kebijakan dan prosedur menanggulangi korupsi di dalam organisasi, Partisipasi dalam lobi dan perumusan kebijakan public, jumlah nilai uang yang harus dikeluarkan oleh perusahaan karena membayar denda atau sangsi non moneter akibat ketidak patuhaan perusahaan terhadap undangundang yang berlaku di suatu Negara, 4. Tanggung Jawab Produk (Product Responsibility) Indikator yang digunakan meliputi: Dampak kesehatan dan keselamatan dari pemakaian produk dan jasa yang diperhitungkan perusahaan sejak produk tersebut masih berada dalam tahap R&D samapi produk terebut dibuang oleh konsumen setelah dikonsumsi, Jumlah kejadian yang berkaitan dengan tuntutan konsumen terhadap dampak kesehatan dan keselamatan atas konsumsi produk dan jasa
c. Dampak Lingkunngan Dampak yang dapat ditimbulkan oleh oeprasi perusahaan terhadap lingkungan yang dinyatakan dalam tiga struktur (dampak input produksi,output produksi dan modus terhadap lingkungan oleh perusahaan) .Aspek Bahan Baku meliputi jumlah bahan baku yang digunakan berdasarkan berat dan volumenya,persentase bahan baku yang adapt di daur ulang. Aspek Energi meliputi, konsumsi energy langsung dan tidak langsung berdasarkan energi sumber utama, Penghematan energy dan efesiensi energy,menyediakan produk hemat energy,Jumlah penghematan energy dari inisiatif tersebut.Aspek Air meliputi Jumlah air yang ditarik menurut sumber airnya, sumber air yang secara signiikan terpengaruh oleh aktivitas penarikan air serta persentase dan total volume air yang adapt didaur ulang erta digunakan kembali. Aspek Keanekaragaman Hayati cakupannya adalah, Lokasi dan ukuran lahan yang dimiliki, disewa atau dikelola perusahaan yang berdekatan dengan area yang kaya akan keanekaragaman hayati baik yang diproteksi maupun yang tidak diproteksi, uraian dampak signiikan dari aktivitas perusahaan, produk dan jasa yang dihasilkan terhadap nilai keanekaragamn hayati, habitat yang dilindungi atau direstorasi, Strategi, tindakan saat ini dan rencana di masa mendatang untuk mengelola dampak perusahaan terhadap keanekaragaman hayati.Aspek Emisi, Eluents dan limbah, cakupannya adalah: Jumlah emisi greenhouse gas baik langsung maupun tidak berdasarkan berat emisi yang meliputi 6 gas utama ;Carbon dioksida(CO2), Gas MEtan(CH4)4,Nitrous Oxide (N2O), Hydroluorocarbons(HFCs), Perluorocarbons(PFCs) dan Sufur
152
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
hexaluoride(SF6), Berbagai inisiatif yang diambil perusahaan untuk mengatasi emisi green house serta pengurangan emisi gas yang telah dicapai oleh perusahaan,emisi gas yang adapt menipiskan ozon, jumlah air yang dibuang didasarkan pada kualitas air dan aliran air, jumlah berat limbah berdasarkan tipe dan metode pembuangan limbah.Aspek Produk (barang dan jasa) cakupannya inisiatif untuk mengurangi dampak buruk produk dan jasa terhadap lingkungan serta mengukur sejauh mana inisiatif tersebut berpengaruh terhadap pengurangan dampak buruk, Persentase produk terjual beserta jenis material kemasan yang digunakan, dimana, penggunaan material bahan kemasan tersebut adapt didaur ulang kembali.Aspek Kepatuhan terhadap Ketentuan Hukum yang Berlaku di Bidang Lingkungan hidup , menyangkut jumlah nilai uang yang harus dikeluarkan oleh perusahaan karena membayar denda atau sanksi non moneter. Transportasi, dampak signiikan terhadap lingkungan lingkungan sebagai aktivitas transportasi produk dan bahan baku dari suatu lokasi ke lokasi lain.Aspek Lingkungan Menyeluruh, Indikator besaran pengeluaran yang dilakuukan perusahaan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. 3.
Masyararakat dan CSR Seperti diungkapkan pada awal tulisan ini Ketika Korporasi terutama di Indonesia mendengan konsep CSR, timbul banyak berbagai persepsi menyangkut hal tersebut banyak perepsi yang tidak utuh tentang pelaksanaan dan konsep CSR itu sendiri Butir-butir berikut merupakan hal yang harus dipahami untuk meminimalisir persepsi yang terlalu awam(Dwi Kartini,37): 1. Community Development Sama dengan CSR Community Development merupakan bagian kecil dari CSR, Pemahaman tentang Community Development sebetulnya adalah upaya sistematis untuk meningkatkan kekuatan kelompok-kelompok masyarakat yang kurang beruntung(disadvantaged groups) agar menjadi lebih dekat kepada kemandirian. Jelas perusahaan memiliki kepentingan besar untuk melakukan CD ini jika tidak, maka ketimpangan akan semakin terjadi dan disharmoni hubungan pasti akan terjadi suatu saat. Akan tetapi ada berbagai stakeholder diluar mereka yang rentan, belum lagi organisasi masyarakat sipil, kelompok bisnis maupun lembaga-lembaga pemerintah. 2. CSR Hanya Menonjolkan Aspek Sosial Semata Sebagian besar literature mengenai CSR sekarang sudah sepakat bahwa CSR mencakup aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan dan proses pelaporannya dikenal dengan istilah triple bottom line reporting atau sustainability reporting. 153
3. Organisasi CSR Cuma Tempelan Membuat ORganisasi yang bolt on(tempelan), bukan yang built in atau integrative, merupakan kesalahan besar mengingat seluruh bagian perusahaan sesungguhnya jug terlibat dalam manajem CSR. Tentu saja ada hal-hal yang harus dilakukan para spesialis. Namun CSR benarbenar tidak mungkin dilakukan oleh satu bagian saja dari perusahaan. Seluruh bagian harus melek CSR dan bertindak bersama . 4. CSR Dianggap Hanya untuk Perusahaan Besar Saja Jika kita kembali kepada ide dasarnya CSR bahwa CSR itu berlaku untuk seluruh Perusahaan disinyalir karena adanya kata-kata Corporate yang sering diasosiasikan dengan Corporation (perusahaan besar) sehingga Edwars Freeman dan Ramakhrisna Velamuri mengusulkan agar CSR diartikan sebagai Company Stakeholder Responsibility. Dan CSR harusnya memang sebanding dengan ukuran bisnis perusahaan , bukan dengan ukuran keuntungan, sehingga jika perusahaan merugi besarnya keuntungan bisa digunakan untuk investasi selain itu logika CSR ini logikanya dampak. Merka yang berukuran kecil dan berdampak kecil memang harus dibebani tanggung jawab yang kecil pula. Sementara tanggung jawab besar harus dibebankan kepada mereka yang berukuran dan berdampak besar, pastinya semua perusahaan harus ber CSR sesuai dengan ukuran dan dampaknya. 5. CSR dipisahkan dari Bisnis Inti Perusahaan Apakah CSR tidak boleh dilakukan diluar intibisnisnya? Tentu saja boleh. Namun dampak negative dari operasi perusahaan harus benarbenar telah minimum dan damak residunya telah dikompensasi. Kalau perusahaan melakukan CSR diluar inti bisnisnya dan mengabaikan dampak negative yang mereka buat dan hanya sibuk dengan kegiatan sosial di luar inti bisnisnya maka tuduhan greenwash atau pengelabuan citra belaka adapt dialamatkan kemereka. Mereka dianggap bukan melaksanakan CSR , melainkan sekedar menunggangi CSR. 6. CSR Bukan untuk Rantai Pemasok Perusahaan yang beroperasi dalam sebuah rantai produksi yang sangat panjang melakukan kgiatan CSR hanya terbatas pada lingkup perusahaannya saja sduah banyak dilakukan oleh perusahaan , tentunya hal ini menunjukkan produknya tidaklah bisa dibuktikan berasl dari seluruh operasi CSR yang berkinerja baik.Perusahaan yang telah sadar CSR harus dengan sungguh-sungguh membujuk dan mendampingi perusahaan lain dalam rantai produksinya untuk menegakkan standar yang sama misalnya dalam indutri hasil kehutanan dikenal sebagai lacak balak untuk memastikan bahwa standar CSR sepanjang rantai pasokan
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
memang konsisten. 7. CSR Dianggap Tidak Berkaitan dengan Pelanggan Perusahaan yang bersunggugh-sungguh ingin memberikan kepuasan kepada konsumennya dengan menambahkan after sales service/garansi. 8. CSR Menyebabkan Penambahan Biaya Banyak pihak yang menyatakan tambahan pengeluaran itu sia-sia belaka, dan boleh jadi jug bahwa anggapan tersebut memiliki dukngan empiris, akan tetapi ini biasanya terjadi karena kekeliruan dalam penerapannya.Secara sedrhana sebetulnya invetasi untuk memperoleh kondisi yang harmonis dengan pemangku kepentingan apabila ada konsekuensinya cenderung kearah menguntungkan. Bayangkan saja kalau sebuah perusahaan beroperasi dengan tidak memperdulikan masyarakat sekitar , pasti akan mendapatkan masalah. 9. CSR Hanya Besifat Kosmetik bagi Citra Perusahaan Saat inisiatif CSR digulirkan, banyak organisasi skeptis, Perusahaan yang mengiklankan kepeduliannya juga bisa dicurigai menhabiskan sumber daya yang lebih besar untuk pemolesan citra. 10. CSR Sepenuhnya Voluntary atau Sukarela Harus diakui bahwa diantara kubu pendirian kubu voluntary lebih diterima, yang dimaksud dengan voluntary adalah perusahaan menjalankan tanggung jawab yang diatur oleh regulasi aatau beyond regulation. Jadi jelaslah bahwa apa yang sudah diatur oleh Pemerintah haruslah dipatuhi dahulu spenuhnya, kemudian perusahaan menambahkan lagi hal-hal positif yang belum diatur. 11. CSR Dianggap Hanya /ditujukan Kepada Pihak Eksternal Saja Kalau berbagai standar CSR diperhatiakan, sangatlah jelas CSR tidak pernah mengabaikan pemangku kepentingan internal. Butir ini penting guna membentuk pola piker yang benar menyangkut keberadaan ide dasar CSR. Terlepas dari 11 jenis pemahaman yang keliru tentang CSR ,Community Development merupakan istilah CSR yang cukup popular dimasyarakat , seringnya konlik yang timbul antara industry dengan masyarakat sekitarnya menjadikan community development merupakan CSR yang utama dan pertama dilakukan oleh sebuah perusahaan dan industry. Pemberdayaan masyarakat sekitar pun harus diiringi dengan pola edukasi yang tepat sehingga tujuan yang sifatnya mutualisme bagi masyarakt dan pemilik industry tercapai. Sering ditemukan sebuah industry yang berdiri diwilayah tertentu menjadikan penduduk sekitarnya turut bekerja diperusahaan sebagai bentuk community developmentnya, akan tetapi karena Sumber Daya Manusianya tidak memadai yang terjadi adalah masyarakat sekitar
hanya bekerja pada level terbawah misalnya di level security , Oice Boy danpekerja kasar lainnya. Kiranya perlu adanya bargaining position yang baik dari masyarakat dengan terlebih dahulu mengedukasi dan memberikan pola pendidikan keterampilan sesuai industry tersebut. Sehingga peningkatan sumber daya akan seiring dengan keberlangsungan perusahaan. Misalnya untuk Industri Pariwisata diharapkan memberikan pelatihan untuk pengelolaan pengunjung dan manjemen yang berkaitan dengan industry pariwisata , untuk industry pendidikan memberikan beasiswa bagi penduduk sekitar , bagi industry ekstraktif laiinya/kimia mengirimkan warga sekitar untuk melanjutkan pendidikan dengan pilihan sejenis dengan ketreampilan yang dibutuhkan oleh perusahaan terebut. Dengan hal ini kita optmis selain masyarakat tidak perlu berimigrasi atau berpindah ke kota dan tempat lain dan mampu menekan biaya hidu yang harus dikeluarkan oleh anggota msyarakat. Sementara itu program yang sifatnya Cause Related Marketing lebih mengarah pada kegiatan yang sifatnya incidental dan berhubungan dengan kejadian yang tidak terduga dan berhubungan dengan kondisi alam misalnya bencana banjir, gempa Bumi dan lain sebagainya, inipun perlu dicermati bentukbentuk bencana diwilayah banten pun perlu di petakan sehingga jikapun terjadi bencana sumber dan jenis bantuan yang sesuai akan lebih tercapai. dilihaat dari Aspek Geograis sebagai contoh wilayah karangantu di Provinsi Banten sering terjadi banir, kemudian longsor jug terjadi di wilayah dengan hunian penduduk di sekitar lereng bukit atau daerah penambangan. 4. Perangkat Desa &CSR Menjadi perdebatan yang dilematis saat perda tentang CSR juga turut dikeluarkan oleh Pemda setempat.disatu sisi CSR adalah kepedulian perusahaan terhadap masyarakt atau konsumennya dan lingkungan sementara perda terkesan ingin memanfaatkan atau berbagi beban dengan pengusaha yang sebetulnya ini adalah tugas pemda sebagai pelayan public.Terlepas dari perdebatan ini seperti sudah disampaikan pada tulisan ini sebelumnya bahwa pihak yang dekat dekan rakyat adalah di level RT atau RW untuk itu pemunculan kesadaran dan edukasi warga yang akan ditumbuhkan dari sisi konsumen atau masyarakat sekitar adalah RT dan RW setempat.Kelmahan lainnya adalah terkadang tidak adanya informasi tentang program CSR yang tersedia di pihak perusahaan . Bentuk kemitraan artinya memang harus dibangun dari pengurus RT sebagai pengurus wilayah di level terdekat dengan pengguna , sehingga pengurus setempat akan memapping potensi apa yang harus diberikan. Bagaimana posisi Pemda ? ia hanya sebagai regulator pada level Makro yaitu pada aturan yang
154
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
juga bentuk aturan itu sendiri harus di rincikan sehingga menjadi lebih operasional dan mampu diterjemahkan kedalam sikap kesadaran masyarakat. Wujud Operasionalisasi Perda itu sendiri adalah , penjelasan tentang criteria perusahaan yang harus melakukan dan layak melakukan kegiatan CSR ,karena jika perusahaan yang skalanya masih kecil program ini mungkin akan memberatkan. Secara umum Pola kemitraan antara pemerintah dalam mengelola potensi CSR didaerah dapat digambarkan dalam Bagan berikut: Gambar 1. Pemodelan Pola Kemitraan antaara Perusahaan, Pemerintah, dan Lembaga Pendidikan bagi Pengembangan dan Keberlanjutan Bisnis pemerintah
Lembaga Pendidikan Pemangku MISI
VISI
terorganisasi
terorganisasi
PERUSAHAAN
Badan Perencana C.S.R
Terorganisasi
NILAI INTI
Badan Pengendali C.S.R
C.S.R terorganisasi
Badan Pelaksana C.S.R
STRATEGI Lembaga Pendidikan
pemerintah
Sumber: Corporate Social Responsibility,Dwi Kartini, hal 107,2009 Akan tetapi perlu ditekankan dalam tulisan ini bahwa keterlibatan yang paling penting dari pelaksanaan CSR adalah ada pada level RT/ RW dengan pola edukasi sehingga kesadaran yang sustainable dari masyarakat akan terbentuk, kedepannya masyaraktlah yang akan mengontrol dan mengevaluasi apakah kinerja CSR suatu perusahaan sudah berjalan dengan baik atau tidak. 3. Simpulan Dalam suatu tatanan masyarakat hubungan ideal antara bisnis dan masyarakat menjadi suatu masalah perdebatan( a matter o debate), Konsep Sosial Responsibility member argumentasi bahwa suatu perusahaan mempunyai kewajiban terhadap masyarakat selain mencari keuntungan. Penafsiran yang berbeda tentang konsep CSR sering menimbulkan pelaksanaan yang berbeda pula, bentuk CSR yang Sustainability yanga diharapkan menjadi pendorong kemajuan masyarakat. Pemerintah Daerah perlu mengawal kegiatan ini dengan pola kemitraan dan menurunkannya 155
pada level terndah yaitu level RT/ RW , dengan pola edukasi sehingga masyarakat paham apa fungsi dari CSR itu sendiri. Diharapkan dengan kesadaran ini masyarakatpun akan semakin berkembang pemahamannya tentang CSR dan mampu juga secara langsung dan tidak langsung mengawasi pelaksanannya. Daftar Pustaka Aswadi Ishak dkk,Public Relations& Corporate Social Responsibility, ASPIKOM(Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi,Jakarta. 2011. Dwi Kartini,Corporate Social Responsibility (Transformasi Konep Suistainability Management dan Implementasi di Indonesia),Reika Aditama, Bandung.2009. Ismail Solihin, Corporate Responsibility From Charity to Sustainability, Salemba Empat,Jakarta. 2009. Amin Widjaja Tunggal , Corporate Social Responsibility(CSR), Harvarindo, Jakarta. 2008. Yusuf Wibisosno, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, Fascho Publishing, gresik. 2007. Tracey , Denis. Collaboration Between Government and Business: An Australian Model. Melbourne.2005. Chambers, Eleanor et.al. CR in Asia: A seven Country of CSR website reporting.Nottingham.ICCSR. 2003.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
156
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Komunikasi Terpadu: Penentu Keberhasilan Investasi Sosial pada Sektor Hulu Migas Alfred Menayang dan Halida Hatta 1*) 1. Pendahuluan Keberadaan industri ekstraktif, seperti sektor migas dan sektor tambang, sering dilematis karena di satu pihak daerah memerlukan investasi untuk menunjang percepatan pembangunan daerah, sementara di lain pihak pemerintah dan masyarakat di daerah operasi perusahaan kuatir akan dampak lingkungan dan dampak sosial dari industri. Sektor hulu migas mempunyai peran yang sangat strategis, baik dari sisi pengelolaan aset negara, maupun dari sisi penerimaan negara dan penerimaan daerah. Dalam pelaksanaan kegiatan eksplorasi dan produksi migas di Indonesia, ditunjuk BPMIGAS (Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas) untuk berkordinasi dengan perusahan-perusahaan migas, mulai dari tahap eksplorasi sampai ke tahap produksi. Agar Perusahaan yang mengoperasikan blokblok migas dapat tumbuh secara berkelanjutan, maka perlu dijaga keseimbangan antara kinerja ekonomi, kinerja lingkungan dan kinerja sosial. Sebelum menjalankan operasinya, bahakan mulai dari awal tahap eksplorasi, Perusahaan perlu mengusahakan social license to operate, yaitu ijin sosial yang melengkapi ijin-ijin formal yang menjadi kewajiban Perusahaan. Usaha tersebut dikenal dengan kegiatan investasi sosial, yang pada akhirnya diharapkan menghasilkan modal sosial, yaitu berupa kepercayaan, penerimaan dan dukungan dari masyarakat di sekitar daerah operasi Perusahaan. Salah satu aspek penting dalam kegiatan investasi sosial tersebut adalah upaya pemberdayaan masyarakat, yang perlu sejak awal dilakukan oleh Perusahaan secara terencana baik, sehingga masyarakat di daerah operasi dapat tumbuh dan berkembang sejalan dengan kemajuan Perusahaan di daerah mereka. Keberadaan Perusahaan dalam pemberdayaan masyarakat ini bukan untuk menggantikan peran Pemerintah, tetapi untuk melengkapi dan mendukung program-program pemberdayaan masyarakat yang dicanangkan oleh Pemerintah. Peran komunikasi yang dilakukan oleh Perusahaan dalam melakukan kegiatan-kegiatan investasi sosial sangat krusial. Komunikasi memegang peranan penting dalam setiap tahapan, mulai dari pemetaaan sosial, pembinaan relasi dengan para stakeholders, sosialisasi keberadaaan dan kegiatan 1
*)
Penulis adalah Praktisi Kehumasan/CSR Sektor Migas
157
Perusahaan, penentuan program pemberdayaan masyarakat, kerjasama dengan para mitra strategis dalam pelaksanaan program, penggalangan partisipasi masyarakat, sampai pada pengembangan kapasitas dan pendirian institisi agar program-program investasi sosial ini dapat berkelanjutan dan berhasil membangun masyarakat yang mandiri. Fokus pembahasan paper ini adalah peran komunikasi terpadu dalam investasi sosial pada sektor hulu migas di Indonesia. Sebelumnya dibahas tentang industri hulu migas di Indonesia, tanggung jawab sosial korporasi, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Dari rasionalisasi investasi sosial serta berbagai pengalaman penulis, dapat diidentiikasi berbagai peran akademisi komunikasi dalam sektor hulu migas. 2. Pembahasan Industri Hulu Migas di Indonesia Sampai saat ini, minyak dan gas bumi masih merupakan sumber energi utama dan kontributor penting untuk ekonomi Indonesia, walaupun kontribusi minyak dan gas bumi turun dari 21.65% pendapatan negara pada tahun 2008 menjadi hanya 13.4% pada tahun 2011, menurut data Kementerian Keuangan. Indonesia masih sangat tergantung dari hidrokarbon untuk memenuhi kebutuhan energi primernya, yaitu sebesar 95.6% dari total pada tahun 2010, menurut statistik dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dari prosentase tersebut, minyak bumi yang paling atas sebesar 43.9%, diikuti oleh batubara 30.7%, kemudian gas sebesar 21%. Sisanya berasal dari sumber-sumber daya energi dan energi terbarukan baru sebesar 4.4% (Oxford, 2012: 113). Sejarah pengeboran minyak di dunia dimulai oleh Kolonel Edwin L Drake dan William Smith di Pennsylvania, Amerika Serika, pada tahun 1859. Hanya 12 tahun berselang, yaitu pada tahun 1871, dilakukan pengeboran minyak pertama di Indonesia oleh J. Reerink, orang kebangsaan Belanda yang menemukan kandungan minyak di daerah Majalengka, di lereng Gunung Ciremai. Jadi pengusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia tergolong cukup tua di dunia. Di Indonesia, perusahaan yang memegang izin untuk mengelola suatu blok minyak dan gas
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
bumi dikenal sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), sedangkan badan pemerintah yang ditugaskan untuk berkordinasi dengan KKKS dalam mengelola kegiatan hulu migas adalah BPMIGAS (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas). KKKS mempunyai misi utama untuk mencari sumber-sumber migas dan memproduksi minyak dan gas bumi. Dalam menjalankan misinya tersebut, KKKS harus menjalankan rangkaian kegiatan, yaitu: (1) mendapat izin pemerintah untuk mengelola blok migas – disebut juga kegiatan akuisisi; (2) mencari kandungan migas – disebut juga kegiatan eksplorasi; (3) mengevaluasi data cadangan migas dan menghitung nilai keekonomiannya; (4) mempersiapkan fasilitas untuk pengembangan proyek migas; dan akhirnya (5) memproduksi dan memasarkan produk migas. Dalam industri migas, kegiatan pengusahaan minyak dan gas bumi dibagi dalam dua kategori, yaitu kegiatan hulu migas (upstream) dan kegiatan hilir migas (downstream). Kegiatan hulu migas mencakup kegiatan eksplorasi dan produksi migas, sedangkan kegiatan hilir migas mencakup kegiatan pengilangan, distribusi dan pemasaran produk-produk migas. Dari rangkaian kegiatan KKKS, ada beberapa yang bersinggungan dengan pemerintah daerah dan masyarakat di daerah operasi, antara lain: kegiatan eksplorasi – yang mencakup kegiatan seismik dan pemboran sumur-sumur ekspoloasi; kegiatan pembangunan berbagai fasilitas produksi – mulai dari kepala sumur, jaringan pipa produksi, stasiun penugumpul sampai ke tangki pengapalan; kegiatan pemboran produksi; dan kegiatan operasional. Secara umum, KKKS mendapatkan masa kontrak kerja sama selama 30 tahun, yang terdiri dari 10 tahun untuk eksplorasi dan 20 tahun untuk eksploitasi atau produksi. Masa kontrak ini dapat diperpanjang pemerintah dengan mempertimbangkan kinerja dari KKKS dalam menjalankan misinya sesuai dengan target-target yang diberikan Pemerintah. Karakteristik industri hulu migas adalah high risk, high technology tetapi juga high risk. Tanggung Jawab Sosial Korporasi Banyak deinisi dan konsep yang mencoba menjelaskan apakah Tanggung jawab sosial korporasi (Corporate social responsiblity/CSR) itu. he World Business Council fo Sustainable Development (WBCSD) mendeinisikan CSR sebagai komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, komunitas-komunitas setempat serta masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan
kualitas kehidupan. (Zainal, 2006: 27). Marsden (2001) mendeinisikan CSR sebagai suatu perilaku inti dari perusahaan dan tanggung jawab atas dampak menyeluruh terhadap masyarakat di daerah operasi mereka. CSR bukan suatu opsi atau tambahan, dan bukan juga aksi ilantropis. Perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial menjalankan bisnis mereka yang menguntungkan dengan mempertimbangkan semua dampak lingkungan, sosial dan ekonomi yang positif dan negatif terhadap masyarakat. Tanggung jawab sosial korporasi (Corporate social responsiblity/CSR) ssemakin sering dijadikan sebagai salah satu acuan untuk menentukan kinerja Perusahaan. Perusahaan tidak lagi hanya sematamata dinilai dari kinerja ekonominya, tetapi juga dari kinerja lingkungan dan kinerja sosialnya. Pihak manajemen perusahaan sering menghadapi kesulitan dalam mengembangkan program-program sosialnya karena adanya berbagai kepentingan dan prioritas yang bertentangan, sehingga timbul berbagai keterbatasan maupun tekanan dalam melaksanakan program sosial tersebut, baik dari yang eksternal maupun internal. Seiring dengan kemajuan dan pertumbuhan sebuah perusahaan, timbul harapan dari pemerintah dan masyarakat setempat yang semakin besar, bahkan terjadi tuntutan yang semakin tinggi dari pihak luar agar Perusahaan jangan sampai mengabaikan kinerja sosialnya. Dengan meningkatnya kinerja ekonomi perusahaan, semakin banyak sorotan melalui media massa, para pengamat, lembaga swadaya masyarakat, maupun wakil-wakil rakyat mengenai kinerja sosial dalam bentuk tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh Perusahaan. Setelah melakukan investasi yang besar, tujuan Perusahaan tidak hanya keuntungan (proitability) dan pertumbuhan (growth), tetapi juga keberlangsungan usaha (sustainability). Sorotan negatif pada kinerja sosial perusahaan akan berdampak besar terhadap keberlangsungan usaha Perusahaan. Para investor, lending institution, mapun host government semakin mempertimbangkan kinerja sosial Perusahaan, bukan hanya kinerja ekonominya, dalam pengambilan keputusan mereka yang mempengaruhi keberlangsungan usaha dan eksistensi Perusahaan. Terdapat banyak alasan mengapa para investor, lending institution, dan host government perlu mengetahui sejauh mana sebuah Perusahaan bertanggung jawab secara sosial (socially responsible) dan berposisi politik yang tepat (politically correct). Tanggung jawab sosial mencakup banyak sekali aspek yang erat hubungannya dengan etika manajemen Perusahaan, antara lain berupa: pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, pelestarian alam, pendidikan, kesehatan masyarakat, perlakuan terhadap
158
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
para pegawainya serta kesehatan dan keselamatan para pekerja. Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Secara umum pengembangan masyarakat (community development) adalah kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses dan kapasitas masyarakat guna mencapai kondisi sosial, ekonomi dan kualitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya (Budimanta, Prasetijo, & Rudito, 2008: 125). Inisiatif dari suatu program pengembangan masyarakat biasanya merupakan konvergensi dari dua inisiatif, yaitu: (1) dari pihak luar misalnya pemerintah, tim ahli, atau pihak swasta; dan (2) dari masyarakat sendiri yang diwakili oleh pemuka masyarakat, atau kelompok masyarakat. Selain itu selalu ada sistem dan administratif yang berlaku yang akan mempengaruihi proyek pengembangan masyarakat ini. Program-program yang dirancang ini biasanya berkenaan dengan suatu komunitas lokal, karena masyarakat yang hidup bersama dalam suatu komunitas cenderung mempunyai minat dan keinginan yang sama. Beberapa dari keinginan ini dinyatakan melalui suatu kelompok fungsional, yang kadang-kadang mempunyai keinginan yang belum tentu sama dengan apa yang ditentukan oleh komunitas lokal. Proses pengembangan masyarakat yang seringkali kompleks ini dimungkinkan oleh dua buah unsur yang mendasar, yaitu:(1) partisipasi masyarakat itu sendiri dalam upaya meningkatkan taraf hidup mereka, dengan prinsip kemandirian dan atas dasar inisiatif masyrakata sendiri, dan(2) bantuan teknis dan jasa-jasa lainnya yang mendorong inisiatif, kemandirian dan gotong-royong, serta mendorong agar hal-hal ini berjalan lebih efektif. Hal ini direalisasikan dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat (community empowerment program) yang dirancang untuk mencapai perbaikan yang spesiik dalam ruang lingkup yang luas. Arif Budimanta dan kawan-kawan (Budimanta, Prasetijo, & Rudito, 2008) mengembangkan suatu teori untuk mengukur tingkat partisipasi masyarakat dalam suatu proses pemberdayaan (empowerment) yaitu dari tingkat paling rendah sampai tingkat paling tinggi sebagai berikut: (a) partisipasi pasif – tingkat partisipasi yang tidak menuntut repons partisipan untuk terlibat banyak; (b) partisipasi dalam memberikan respons, masyarakat memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan, tetapi mereka tidak mempunyai pengaruh atau kesempatan untuk mempengaruhi keadaan; (c) 159
partisipasi dengan konsultasi- masyarakat diberikan konsultasi dan didampingi sehingga pandanganpandangan mereka diperhitungkan namun tetap tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan; (d) partisipasi dengan materi atau insentif, masyarakat terlibat dalam suatu kegiatan karena insentif yang diberikan atau manipulasi, dalam hal ini tokoh masyarakat yang dipakai mewakili telah dimanfaatkan oleh perusahaan, padahal masyarakat belum terlibat, hanya ada pengumpulan tanda tangan seolah sudah dilibatkan semua; (e) partisipasi fungsional, partisipasi yang tertampilkan dalam kelompok dengan tujuan yang sama sehingga keputusan bersama dapat diambil; (f ) partispasi yang interaktif, partisipasi aktif anggota masyarakat lokal dalam memberikan informasi, perencanaan, implementasi dan monitoring; dan (g) mobilisasi diri, sebuah benuk partisipasi diri yang berlaku secara independen dan mandiri sehingga semuanya dapat dikontrol bersama dan persoalanpersoalan dapat dipecahkan secara bersama di antara anggota masyarakat sendiri. Investasi Sosial Perusahaan Investasi sosial (social investment) adalah perspektif berbeda dari CSR (corporate social responsibility) yang terjemahannya adalah “tanggung jawab sosial perusahaan”. Seperti halnya investasi modal yang mengharapkan return on investment berupa proit, investasi sosial juga mengharapkan return on investment berupa penerimaan dan kepercayaan (trust & acceptance) dari masyarakat dimana Perusahaan beroperasi, yang pada prinsipnya sama dengan ijin sosial (social license) untuk operasi Perusahaan, melengkapi semua perijinan formal yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah yang berwenang. Programprogram investasi sosial yang paling efektif adalah yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat (community empowerment), peningkatan pendapatan (income generation), pembangunan kapasitas (capacity building) dan pembangunan institusi (institutional building). Perusahaan yang melakukan investasi sosial dan bisnis intinya di sektor lain, misalnya sektor hulu migas, biasanya menggandeng mitra-mitra strategis untuk melakukan program investasi sosial, termasuk wirausahawan sosial. Keterlibatan Masyarakat
Masyarakat
dan
Pemberdayaan
Investasi sosial yang dibahas sebelumnya lebih dikenal dengan sebutan tanggung jawab sosial (corporate social responsibility). Pengembangan masyarakat (community development) adalah bentuk nyata dari tanggung jawab sosial perusahaan, dimana
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
salah satu bentuk pengembangan masyarakat adalah melalui program-program pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Keberadaan dan kegiatan operasi perusahaan di suatu daerah harus memperhatikan keadaan sosial budaya di sekitarnya. Kondisi globalisasi, euforia otonomi daerah serta kemajuan teknologi informasi telekomunikasi saat ini telah mendorong dinamika dan pergerakan sosial budaya masyarakat yang sangat cepat dan bervariasi antar waktu dan ruang, karena anggota masyarakat semakin terbuka askes untuk memperoleh informasi dari berbagai media massa, terutama media elektronik dan internet. Berbagai isu dapat dengan cepat dan dengan mudah menyebar di kalangan masyarakat, karena semakin banyak yang mempunyai handphone untuk berkomunikasi. Hal ini dapat mempengaruhi bahkan menghambat jalannya operasi perusahaan, seperti munculnya kesenjangan sosial akibat pola hidup dan pendapatan yang sangat jauh berbeda antara berbagai komunitas: korporat, pendatang dan lokal. Masyarakat sekitar daerah operasi merupakan salah satu pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan yang penting, apabila mereka merasa dilibatkan dalam pembangunan dan kegiatan yang dilakukan perusahaan, maka terjadilah kemitraan antara perusahaan dengan masyarakat yang akan berpengaruh positif pada operasi perusahaan yang berkelanjutan dan tumbuh bersama masyarakat sekitar (Budimanta, Prasetijo, & Rudito, 2008: 118-119). Perlu dikembangkan suatu program yang berbasis pada masyarakat untuk menciptakan kemandirian komunitas lokal untuk menata sosial ekonomi mereka sendiri, dalam konteks perusahaan berpartisipasi maka kegiatan ini dikenal dengan program pemberdayaan masyarakat. Karlheinz Spitz dan kawan-kawan (Sptiz, Bastaman, & Trudinger, 2010:13) memperkenalkan konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yang harus didukung oleh tiga sistem yang saling mendukung yaitu: sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem lingkungan hidup. Menggunakan konsep ini tidak ada satu sistem yang difokuskan dalam pembangunan yang berkelanjutan, tetapi harus ketiganya berkelanjutan. Hanya berusaha mencapai satu sistem saja untuk berkelanjutan, misalnya sistem ekonomi, tetapi mengabaikan keberlanjutan sistem sosial dan sistem lingkungan hidup, tidak akan cukup. Walaupun ketiga sistem ini harus diperhatikan dengan seksama secara terpisah tapi satu sama lain saling berkaitan. Gagasan sustainable development diperkenalkan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987 dengan deinisi sebagai berikut: ‘meeting
the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs’. Pertanian yang berkelanjutan, misalnya, adalah sistem budi daya pertanian yang dapat dilanjutkan terus tanpa terjadinya kerusakan sistem untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan saat ini dan untuk generasi mendatang (Sptiz, Bastaman, & Trudinger, 2010:12) Ijin Sosial diperlukan pada Sektor Hulu Migas Seperti halnya industri lain, maka tujuan utama dari usaha hulu migas adalah pertumbuhan dan operasi berkelanjutan serta mendatangkan keuntungan bagi para pemegang saham Perusahaan. Hal ini dapat tercapai apabila berbagai proyek Perusahaan dapat diselesaikan tepat waktu sesuai dengananggaran yang direncanakan. Selain memerlukan berbagai perijinan formal dari berbagai instansi yang berwenang, proyekproyek pada sektor hulu migas juga memerlukan ijin sosial dari masyarakat agar kegiatan pembangunan dan operasi proyek dapat berjalan dengan lancar sesuai rencana. Ijin sosial (social license to build and operate) adalah berupa kepercayaan, penerimaan dan dukungan dari masyarakat terhadap proyek Perusahaan, yang merupakan pengembalian dari investasi sosial yang dilakukan oleh Perusahaan. Hal mendasar ini identik dengan investasi keuangan yang dilakukan dengan mengharapkan tingkat pengembalian investasi sebagaimana telah dibahas pada bagian terdahulu dari Paper ini. Juga telah dibahas tentang perlunya Perusahaan mempertahankan keseimbangan antara kinerja ekonomi, kinerja lingkungan dan kinerja sosialnya. Terdapat empat elemen penunjang yang harus dilakukan oleh Perusahaan secara terpadu dalam rangka memperoleh ijin sosial terserbut dimana semuanya memerlukan kompetensi komunikasi yang handal serta harus dilakukan secara terpadu, yaitu: • Pembinaan hubungan baik dengan masyarakat • Penanganan dan penyelesaian isu-isu sosial dalam masyarakat • Pelaksanaan program investasi sosial • Pengembangan citra korporasi dan menjagareputasi proyek
Pembinaan hubungan baik dengan masyarakat Keberadaan perusahaan migas dengan proyekproyek yang akan dilakukan pada suatu daerah akan mendapat dukungan dari masyarakat apabila terjalin hubungan yang baik antara Perusahaan dengan masyarakat sekitar.
160
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Penulis mempunyai pengalaman di tiga perusahaan migas yang beroperasi di tiga daerah yang berbeda dan dengan tahapan operasi yang berbeda pula. Pertama, pengalaman pada perusahaan migas yang sudah lama beroperasi dan memproduksi minyak bumi di propinsi Riau. Kedua, pengalaman pada perusahaan migas yang melakukan usaha eksplorasi dan persiapan produksi di propinsi Sumatera Utara dan di propinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD). Ketiga, pengalaman pada perusahaan migas yang sudah melakukan eksplorasi dengan sukses tapi masih dalam tahap pengembangan lapangan gas lepas pantai di Propinsi Maluku. Walaupun berbeda tahapan operasi, berbeda daerah operasi, bahkan berbeda asal Perusahaan induk, namun dalam membina relasi dengan masyarakat dilakukan langkah-langkah yang relatif sama. Pertama, dilakukan pemetaan dan analisa para pemangku kepentingan di daerah operasi (stakeholders mapping and analysis), yang biasanya bersamaan dengan kegiatan perjumpaan dengan pada pemangku kepentingan (stakeholders engagement). Dalam hal ini peribahasa “tak kenal maka tak sayang” sangat berlaku, karena tanpa perjumpaan langsung dengan para pemangku kepentingan (stakeholder), tanpa diskusi mendalam tentang berbagai isu, dan tanpa keterbukaan serta pengenalan yang mendalam, akan banyak terjadi ketidakpahaman bahkan kesalahpahaman antara Perusahaan dengan para stakeholder yang dapat menghambat usaha memperoleh ijin sosial dari masyarakat. Penulis baru saja kembali dari Ambon pada minggu ketiga bulan September 2012 dalam rangka membangun dan membina hubungan baik antara Perusahaan dengan berbagai stakeholder di Ambon, yang merupakan ibukota Propinsi Maluku, dimana terdapat wilayah kerja dimana Perusahaan beroperasi. Salah satu yang secara proaktif Penulis temui di Ambon adalah seorang pengacara yang juga merupakan pemimpin redaksi sebuah media lokal di Maluku, dimana selama ini sudah terjalin komunikasi melalui sms dan telefon tapi belum pernah bertatap muka dan berdiskusi mendalam. Ternyata setelah bertemu langsung dan berbincang tentang berbagai isu, banyak hal positif yang penulis dapatkan dari stakeholder yang ditemui langsung, dan sebaliknya dia juga banyak mendapat klariikasi atas berbagai isu yang berhubungan dengan Perusahaan. Selain itu, dari perjumpaan tersebut, penulis dapat memperkaya dan meng-update pemetaan stakeholderyang sudah ada, untuk selanjutnya membuat program-program untuk meningkatkan hubungan dengan masyarakat (Community relations programs).
161
Penanganan dan penyelesaian isu-isu sosial dalam masyarakat Hasil pemetaan dan analisa pemangku kepentingan merupakan referensi yang sangat berguna untuk dipakai Perusahaan apabila berhadapan dengan isu-isu bahkan konlik-konlik yang berhubungan dengan aspirasi masyarakat terhadap keberadaaan Perusahaan di daerah mereka. Selain itu, Perusahaan melalui para pegawainya yang ditugaskan di lini depan dan berhadapan dengan masyarakat, harus mengembangkan pengetahuan mereka akan aspek-aspek sosial budaya dari masyarakat sekitar daerah operasi. Dari berbagai pengalaman penulis menyimpulkan bahwa Perusahaan sebaiknya tidak bergantung sepenuhnya kepada penelitian sosial yang dilakukan oleh pihak ketiga, tetapi selalu berupaya mendapatkan informasi dari tangan pertama, bahkan dari pengamatan Perusahaan sendiri. Apabila penelitian sosial dilakukan oleh pihak ketiga - dimana biasanya dilakukan secara incognito - maka dikuatirkan akan banyak hal yang terlewatkan padahal penting bagi keamanan dan keberlangsungan operasi Perusahaan. Penelitian sosial yang dilakukan oleh berbagai konsultan kesimpulannya hanya valid pada periode penelitian yang sangat terbatas, biasanya para peneliti hanya 2-4 minggu di lapangan, kemudian melanjutkan dengan analisis dan pembuatan laporan. Oleh sebab itu untuk dapat mengantisipasi serta tanggap dalam menangani dan menyelasaikan berbagai isu sosial dalam masyarakat, maka Perusahaan juga perlu melakukan kajian peringatan atau pendeteksian dini (early warning/detection system) terhadap isuisu sosial yang berpotensi untuk membesar menjadi konlik antara Perusahaan dengan masyarakat. Penulis dalam melakukan tugas sebagai humas Perusahaan yang beroperasi di NAD, tepatnya di daerah Peureulak, pernah menghadapi konlik yang serius, yaitu ancaman terhadap keamanan para personil dan fasilitas Perusahaan di lapangan, dari para anggota KPA (mantan GAM) yang merasa tidak puas atas keputusan tender yang diambil oleh Perusahaan. Suasana di lapangan sudah tidak kondusif untuk melanjutkan operasi Perusaaan, sehingga manajemen Perusahaan memutuskan untuk menarik semua personil dari lapangan dan menutup untuk sementara kegiatan operasional di Peureulak. Syukurlah, kondisi yang tidak menguntungkan semua pihak tidak berlanjut, dengan melakukan pendekatan dan komunikasi untuk resolusi konlik, akhirnya sekitar sebulan setelah insiden tersebut Perusahaan mengadakan acara “tepung tawar” yang merupakan suatu simbol masyarakat Aceh bahwa telah terjadi perdamaian dan pengertian antara pihak-pihak yang
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
bertikai atau berselisih paham. Selain penanganan konlik, komunikasi yang dilakukan Perusahaan dapat berguna untuk penanganan isu-isu yang berkembang di masyarakat. Pengalaman penulis membuktikan bahwa apabila Perusahaan secara intens melakukan komunikasi dengan masyarakat, terutama dalam format townhall meeting (rapat terbuka di balai desa misalnya), maka akan banyak meredam isu-isu negatif yang dapat merugikan keberadaan dan operasi Perusahaan. Namun, apabila Perusahaan memilih untuk bersikap tertutup dan menjaga jarak dengan masyarakat, maka semakin besar peluang untuk berkembangnya isu-isu negatif tentang keberadaan Perusahaan di masyarakat. Akhirnya karena tidak pernah di-monitor, diketahui apalagi dibantah Perusahaan, maka isu-isu tersebut diterima sebagai sebuah kebenaran oleh masyarakat. Apa yang ditulis oleh seorang penulis politik Amerika, J.B. Williams tepat sekali menggambarkan kondisi tadi, yaitu “When opinion is accepted as fact, perception soon becomes reality, at least for those who share these opinions and cling to the resulting perceptions”. Jadi adalah suatu keharusan bagi Perusahaan untuk terus melakukan komunikasi menjelaskan dan mengklariikasikan berbagai isuisu sosial yang berkembang di masyarakat, jangan sampai opini negatif tentang Perusahaan diterima oleh masyarakat sebagai fakta, dan persepsi masyarakat jangan dibiarkan menjadi realitas. Pelaksanaan Program Investasi Sosial Komunikasi dan relasi yang dilakukan antara Perusahaan dengan masyarakat sebaik apapun tetap akan menyisakan harapan dari masyarakat terhadap keberadaan Perusahaan di daerah mereka, yaitu bahwa Perusahaan diharapkan melakukan sesuatu untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat. Programprogram investasi sosial merupakan tindakan proaktif dari perusahaan dalam rangka memperoleh ijin sosial, yaitu berupa kepercayaan, penerimaan dan dukungan masyarakat sekitar. Program investasi sosial berorientasi pada pembangunan kapasitas (capacity building), peningkatan pendapatan (income generation), dan pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor hulu migas biasanya mempunyai prinsipprinsip utama (core principles) yang hampir sama dalam melakukan program sosial mereka, antara lain: program yang dilakukan Perusahaan bukan untuk menggantikan tetapi untuk melengkapi dan mendukung program Pemerintah; pemilihan dan pelaksanaan program bersifat apolitis, netral serta tidak berpihak pada parpol atau ormas manapun; bukan berupa bantuan dana tunai, tetapi berupa bantuan inkind, fasilitasi, penyuluhan, pendampingan, edukasi;
serta mengikuti pedoman tata kerja dari BPMIGAS dan dari Perusahaan. Sebelum suatu program investasi sosial dilakukan, Perusahaan melakukan survey pendahuluan untuk mendapatkan pengetahuan tentang kebutuhan dan potensi masyarakat. Selanjutnya, Perusahaan juga perlu berkordinasi dengan pemerintah setempat sehingga dapat melakukan sinkronisasi program Perusahaan dengan program Pemerintah untuk pengembangan masyarakat. Beberapa pengalaman penulis dalam hal ini, antara lain: bersama Universitas setempat melakukan survey identiikasi usaha budidaya rumput laut, yang dipertajam dengan Focus Group Discussion dan Lokakarya untuk merumuskan pelatihanpelatihan yang diperlukan untuk pemberdayaan para petani rumput laut di suatu daerah pantai pesisir di Kepulauan Tanimbar. Contoh lain, sebelum melakukan penyuluhan pertanian organik, Perusahaan melalui konsultan yang ahli dalam pertanian organik terlebih dahulu mengadakan survey pendahuluan serta mendapatkan fakta-fakta dan referensi dari para petani. Tanpa melakukan penelitian awal tentang kebutuhan masyarakat, maka program sosial yang dilakukan oleh Perusahaan akan tidak optimal bahkan bisa salah alamat. Contohnya, tanpa survey pendahuluan sebuah Perusahaan sempat membangun fasilitas MCK di daerah pedalaman, tapi setelah bangunan MCK jadi malah oleh masyarakat dimodiikasi menjadi semacam kandang bagi ternak perliharaan mereka. Biaya sudah keluar tetapi ternyata penggunaan tidak sesuai dengan maksud fasilitas itu dibangun, karena tidak meneliti terlebih dahulu apa sebenarnya kebutuhan masyarakat di daerah operasi Perusahaan. Pengembangan Citra MenjagaReputasi Proyek
Korporasi
dan
Agar masyarakat dapat mengenal Perusahaan dan rencana-rencana kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya migas di daerah mereka, maka peran komunikasi sangat penting dalam pengembangan citra positif Perusahaan maupun untuk menjaga reputasi Proyek yang dilaksanakan oleh Perusahaan. Pengalaman penulis, sebelum melakukan kampanye citra korporasi (corporate image campaign), Perusahaan terlebih dahulu melakukan survey atau audit persepsi, antara lain tentang: sejauh mana masyarakat mengenal keberadaan Perusahaan; apa persepsi mereka tentang Perusahaan dan tentang Proyek yang akan atau sedang dilakukan di daerah mereka; apa saja harapan-harapan masyarakat serta apa saja kekuatiran-kekuatiran mereka dengan hadirnya Perusahaan di daerah mereka. Survey ini dilakukan
162
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Perusahaan melalui jasa para konsultan komunikasi. Dari hasil survey tersebut, selain melakukan usaha publikasi melalui media massa, Perusahaan juga melakukan usaha pendekatan dengan berbagai stakeholder khusus, seperti media massa, perguruan tinggi, lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat (NGO dan NPO), tokoh-tokoh masyarakat. Komunikasi dan relasi dengan kelompok stakeholder ini merupakan hal strategis yang perlu dilakukan oleh Perusahaan guna membangun modal sosialnya. Pada kunjungan ke Ambon di minggu ketiga bulan September 2012 yang lalu, penulis berkesempatan untuk mengunjungi dua harian lokal yang terkemuka di Maluku, yaitu Ambon Ekspres dan Siwalima. Melalui perjumpaan dan diskusi dengan pemimpin redaksi, redaksi pelaksana, kordinator liputan serta para redaksi lainnya, penulis melihat masih banyak hal yang perlu dikomunikasikan secara teratur dan dua arah, sehingga Perusahaan dapat lebih mengenal lingkungan usahanya, serta sebaliknya para redaksi dan wartawan dapat lebih mengenal Perusahaan dan rencana-rencana kegiatannya sehingga dapat meliput secara lebih objektif dan uptodate. Kontribusi Ilmu dan Akademisi Komunikasi Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa diperlukan komunikasi yang intens dan terpadu agar Perusahaan dapat membangun modal sosialnya, yaitu kepercayaan, penerimaan dan dukungan dari masyarakat sekitar. Walaupun komunikasi terpadu merupakan faktor penentu keberhasilan investasi sosial pada sektor hulu migas, namun sampai saat ini penelitian-penelitian komunikasi belum banyak dilakukan untuk meningkatkan efektiitas kegiatan investasi sosial Perusahaan. Ilmu komunikasi yang diterapkan oleh para akademisi komunikasi dapat memberikan kontribusi bagi kegiatan investasi sosial yang dilakukan oleh Perusahaan-Perusahaan di sektor hulu migas, yang pada akhirnya juga mendukung pembangunan daerah. Secara khusus, pedoman tata kerja yang diterapkan pada sektor hulu migas untuk pengadaan konsultan memberikan keleluasaan lebih besar pada perguruan tinggi melalui mekanisme swakelola. Hal ini memungkinkan lembaga-lembaga perguruan tinggi memberikan kontribusi nyata melalui kemitraan mereka dengan Perusahaan-Perusahaan di sektor hulu migas, yang diawasi dan dikendalikan oleh BPMIGAS. Beberapa peluang yang dapat dilakukan oleh institusi dan akademisi komunikasi dalam menerapkan komunikasi terpadu pada investasi sosial sektor hulu migas, antara lain: 163
• • • • • • • • • • • • • • • • • • •
stakeholders mapping and analysis perception audit corporate image campaign internal communication audit sosialisasi proyek komunikasi resolusi konlik komunikasi sosial dan pembangunan media monitoring and analysis media placement: publication & publicity media relations media skill training in-house magazine promotion and publication materials logo / identity manual standar, prosedur, dan petunjuk partisipasi masyarakat dalam program sosial hubungan kelembagaan program-program spesialuntukmasyarakat exhibitions and seminars
Daftar di atas dapat bertambah panjang tergantung dari kebutuhan Perusahaan serta kreatiitas para akademisi komunikasi untuk menyadarkan dan mengoptimalkan peran komunikasi terpadu dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi programprogram investasi sosial Perusahaan yang bergerak di sektor hulu migas. Lebih banyak proyek-proyek di sektor hulu migas di Indonesia yang terkendala karena aspek non teknis ketimbang karena faktor teknis. Berbagai masalah harus dihadapi oleh Perusahaan-Perusahaan migas di daerah operasi mereka, terutama yang berhubungan dengan aspirasi dan harapan masyarakat dan pemerintah daerah akan keterlibatan mereka dalam proyek Perusahaan, baik itu kesempatan kerja maupun peluang bisnis. Kehadiran Perusahaan diharapkan memberi nilai tambah bagi kesejahteraan mereka. 3. Kesimpulan
• Tingkat keberhasilan program investasi sosial yang dilakukan oleh Perusahaan di sektor hulu migas sangat dipengaruhi oleh efektiitas komunikasi terpadu, dalam menjalankan: Pembinaan hubungan baik dengan masyarakat; Penanganan dan penyelesaian isu-isu sosial dalam masyarakat; Pelaksanaan program investasi sosial; dan Pengembangan citra korporasi dan menjaga reputasi proyek. • Peluang akademisi komunikasi, lembaga-lembaga penelitian komunikasi serta para alumni bidang studi ilmu komunikasi terbuka lebar dalam
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
berbagai peran untuk memberikan kontribusi bagi keberlangsungan operasi PerusahaanPerusahaan migas, yang memerlukan kepercayaan, penerimaan dan dukungan masyarakat (trust, acceptance, support = social capital) terhadap proyek-proyek mereka.
• Industri hulu migas mempunyai karakteristik padat modal, padat teknologi dan juga beresiko tinggi, sehingga Perusahaan-Perusahaan yang ingin dan sedang melakukan investasi di sektor hulu migas, perlu untuk melakukan perjumpaan dan komunikasi dengan para pemangku kepentingan (stakeholders engagement) dan melakukan program-program investasi sosial (social investment programs). Daftar Pustaka
Budimanta, A., Prasetijo, A., & Rudito, B. (2008). Corporate Social Responsibility – Jawaban Bagi Model Pembangunan Indonesia Masa Kini. Jakarta: Indonesia Center for Sustainable Development (ICSD). Zainal, Rabin Ibnu (2006). Best Practices: Corporate Social Responsibility. Sebuah pengalaman membangun multistakeholder engagement bagi penerapan CSR di Kabupaten MUBA, Sumatera Selatan. Palembang: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Unsri. Spitz, K., Bastaman, S., & Trudinger, J. (2010). Investment, Communities, and Development - Doing Business in Asia, Volume 03 December 2010. Jakarta: ENV. Oxford Business Group (2012). he Report: Indonesia www.oxfordbusinessgroup.com/country/ 2012. Indonesia Buku Edukasi Kegiatan Hulu Migas, INPEX Corporation (2012).
164
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Program Corporate Social Responsibility dalam Meningkatkan Kebudayaan Balongan (Kasus PT Pertamina Reinery Unit VI Balongan) Ilona V. Oisina Situmeang1*) Abstrak Program Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan salah satu kegiatan eksternal Hubungan Pemerintah dan Masyarakat (Hupmas) PT Pertamina Reinery Unit VI Balongan untuk masyarakat. Melalui program CSR ini diharapkan dapat menjalin hubungan baik antara perusahaan dengan masyarakat. Program CSR merupakan konsep yang terus berkembang, memberikan panduan sebuah organisasi berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungan sosialnya. Tujuan penelitian adalah: “Mendeskripsikan program CSR dalam meningkatkan keberdayaan masyarakat” Penelitian ini mengkombinasikan penelitian menerangkan (explanatory research) dengan penelitian deskriptif (descriptive research). Teknik pengumpulan data primer dengan wawancara, observasi, dokumentasi. Data sekunder diperoleh dari company proile, buku literatur. Obyek penelitian ini adalah pelaksanaan program CSR dalam meningkatkan keberdayaan masyarakat, penelitian dilakukan dengan mengambil lokasi di Balongan, Kabupaten Indramayu mengingat di wilayah tersebut PT Pertamina Reinery Unit VI beroperasi. Program CSR yang dilakukan merupakan wujud dari kepedulian Pertamina kepada masyarakat dalam menciptakan pemberdayaan masyarakat. Pedoman pelaksanaan program CSR Pertamina adalah: komitmen yang tinggi dari manajemen Pertamina, didasarkan pada prioritas kebutuhan nyata masyarakat setempat melalui proses dari bawah keatas, dapat memberikan manfaat untuk perusahaan maupun masyarakat setempat, menciptakan perubahan ekonomi, sosial dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik bagi masyarakat dan tidak berorientasi pada politik. Oleh karena inisiatif melalui program pemberdayaan masyarakat dirancang untuk memenuhi kebutuhan peningkatan citra perusahaaan, maka divisi Hupmas ditugaskan sebagai institusi yang bertindak sebagai pelaksanaan dan implementor dari kegiatanTSP. 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Kehadiran perusahaan dalam suatu wilayah merupakan salah satu bukti bahwa wilayah tersebut memiliki potensi yang baik secara ekonomi, sosial budaya, sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya, sehingga diharapkan dapat menimbulkan efek positif bagi masyarakat sekitar. Disayangkan, jika kehadiran sebuah perusahaan justru menghilangkan potensi sesungguhnya dan membangun jurang pemisah antara masyarakat dengan perusahaan. Untuk menghilangkan jurang pemisah antara perusahaan dengan masyarakat perlu dilakukan komunikasi yang efektif, sehingga terjalin komunikasi dan interaksi langsung antara perusahaan dengan masyarakat, sehingga dapat hidup secara berdampingan dan saling menguntungkan. Berangkat dari pemikiran tersebut, perusahaan berlomba-lomba untuk hadir di tengah-tengah masyarakat melalui berbagai kegiatan sosial: mulai dari pemberian beasiswa pendidikan, ketertiban umum, peningkatan ekonomi, pelayanan kesehatan kepada ibu dan anak, pendampingan untuk menyelesaikan masalah lingkungan hidup serta pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Untuk menghindari kesenjangan sosial antara perusahaan dan masyarakat dapat dilakukan dengan suatu kepedulian perusahaan dalam bentuk program Corporate Social Responsibility (CSR). Melalui program CSR ini diharapkan dapat mempererat hubungan antara perusahaan dengan masyarakat. Program 1
*)
Dosen di Pascasarjana UPI-YAI, Jakarta.
165
CSR merupakan konsep yang terus berkembang, memberikan panduan bagaimana sebuah organisasi berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungan sosialnya. Secara umum, menurut Carr et al., (2004) tanggungjawab sosial dipahami sebagai cara organisasi dalam mengintegrasikan kepentingan sosial, lingkungan hidup dan ekonomi dalam nilai-nilai budaya, pengambilan keputusan, strategi dan operasi organisasi dengan cara yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Implementasi berbagai aspek tersebut akan dapat meningkatkan kehidupan sosial masyarakat. Contoh dari program CSR yang dapat dilakukan organisasi di antaranya derma (charity), ilantropi (philanthropy), kerja sukarela (volunteer work), dan pengurangan dampak lingkungan (the reduction of environmental impact). Menurut penelitian yang dilakukan oleh hamrin,. et al (2010), mengatakan bahwa praktik CSR yang selama ini dilakukan oleh beberapa perusahaan di Indonesia belum menunjukkan hasil yang signiikan khususnya bila dikaitkan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat Pola Community Development (CD) merupakan bentuk tanggungjawab sosial yang saat ini banyak dipraktikkan oleh perusahaan besar. Masalahnya, apakah makna yang terkandung dalam CD sudah diimplementasikan secara benar. Dalam Implementasi CD benar-benar dapat terlaksana diasumsikan bila tanggungjawab sosial perusahaan diimplementasikan melalui model alternatif implementasi CSR yang berbasis pada pemanfaatan modal sosial, maka CSR akan lebih bermakna bagi pemberdayaan masyarakat, baik
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
ekonomi, sosial dan budaya secara berkelanjutan. Menurut Widiyanarti (2005), pendekatan CSR hendaknya dilakukan secara holistic, artinya, pendekatan yang dilakukan oleh perusahaan tidak dalam kegiatan bisnis semata, melainkan juga bergerak dari yang sifatnya derma (charity) menuju ke arah tanggungjawab sosial yang lebih menekankan pada keberlanjutan pengembangan masyarakat (community development). Intinya, bagaimana melalui program CSR, masyarakat menjadi berdaya, baik secara ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup secara berkelanjutan (sustainability) sehingga perusahaan juga dapat terus berkembang dengan dukungan masyarakat sekitar. Dalam konteks ini, tanggungjawab sosial lebih dimaknai sebagai investasi jangka panjang bagi perusahaan yang melakukannya. Penerapan program CSR di Indonesia pada umumnya berbeda-beda, tergantung kepada kebijakan, visi dan misi serta budaya di masingmasing perusahaan bersangkutan. Guna berhasilnya pelaksanaan kegiatan tersebut perlu suatu kesinergian antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat, sehingga kehadiran sebuah perusahaan menjadi perekat dan memiliki nilai positif untuk menciptakan keberdayaan masyarakat. Program CSR merupakan salah satu kegiatan Hubungan pemerintah dan masyarakat (Hupmas) Pertamina yang wajib dilakukan secara rutin dan berkesinambungan untuk kepentingan publik eksternal perusahaan, Selain itu program CSR mampu untuk mendukung perusahaan meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan akibat kegiatan operasinya serta memaksimalkan dampak positifnya kepada masyarakat. PT Pertamina sebagai entitas bisnis di bidang energi dan sumberdaya mineral merupakan salah satu perusahaan terkemuka di Indonesia yang senantiasa memperhatikan nilai-nilai Good Corporate Governance (GCG) termasuk tanggungjawab terhadap lingkungan, baik isik maupun sosial dalam setiap pengembangan usahanya. PT Pertamina mempunyai kewajiban untuk melakukan program CSR terhadap masyarakat, sehingga keberadaan perusahaan di tengah masyarakat diharapkan mempunyai nilai tambah bagi kehidupan masyarakat sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat dari kehadiran perusahaan di lingkungan mereka. Namun pada praktiknya keberadaan sebuah perusahaan tidak selalu memberikan dampak positif bagi publik sekitarnya. Di sini keberadaan Public Relations (PR) perusahaan diperlukan, selain menjalankan kegiatan yang berhubungan dengan publik internal, PR juga menjalankan kegiatan yang berhubungan dengan publik ekternal salah satu caranya melalui program CSR. Program CSR diharapkan memberikan manfaat positif bagi masyarakat di sekitarnya. PR dituntut menjadi agen komunikasi yang mampu menghubungkan setiap publik yang berkepentingan dengan organisasi perusahaan
sehingga mencapai tujuan yang berlandaskan pada saling pengertian dan pemahaman. Penerapan program CSR PT Pertamina merupakan releksi nilai dan budaya perusahaan yang terintegrasi dengan strategi bisnis perusahaan masa kini dan mendatang, yang memberikan manfaat bagi PT Pertamina, shareholder dan stakeholder. Mengingat kondisi nyata masyarakat, maka PT Pertamina dalam penerapan program CSR saat ini lebih diprioritaskan untuk membantu pemerintah dan masyarakat dalam memecahkan permasalahan sosial di sekitar wilayah kegiatan operasional perusahaan. Namun pelaksanaan program CSR dikendalikan sepenuhnya oleh perusahaan melalui divisi PR. Indikator keberhasilan dari program CSR yang dilakukan dapat dilihat dari dua sisi yaitu perusahaan dan masyarakat. Dari sisi perusahaan, citra perusahaan harus semakin baik di mata masyarakat. Sementara itu, dari sisi masyarakat, harus ada peningkatan kualitas hidup melalui pemberdayaan masyarakat. Fenomena diatas yang mendorong penelitian ini dilaksanakan di PT Pertamina Reinery Unit VI Balongan, untuk melihat bagaimana program CSR yang dilakukan PT Pertamina untuk masyarakat Balongan dalam meningkatkan keberdayaan masyarakat. Di mana melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran untuk melaksanakan program CSR yang efektif untuk mendukung keberdayaan masyarakat yang merupakan tujuan akhir dari program CSR. 1.2. Perumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Apa saja program CSR yang dilakukan PT Pertamina Balongan dalam meningkatkan keberdayaan masyarakat Balongan. 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis program CSR yang dilakukan PT Pertamina Balongan dalam meningkatkan keberdayakan masyarakat Balongan. 1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjawab mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi program CSR dalam meningkatkan keberdayaan masyarakat. Adapun secara spesiik penelitian ini berguna untuk: 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan ilmu komunikasi mengenai program CSR yang dilakukan perusahaan untuk masyarakat lokal. Mengembangkan dan menyempurnakan secara empiris teori komunikasi pembangunan yang dikaitkan dengan konsep pemberdayaan masyarakat, mengkaji tentang program CSR
166
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
dalam mendukung program pemberdayaan masyarakat. 2. Secara Praktis Diharapkan melalui penelitian ini dapat memberikan kontribusi kepada PT Pertamina Balongan untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam memahami pentingnya program CSR yang dilakukan perusahaan secara berkesinambungan dan tepat sasaran dalam memberdayakan masyarakat. Tinjauan Pustaka 2.1. Corporate Social Responsibility Dalam pengertian luas, CSR dipahami sebagai konsep yang lebih “manusiawi” dimana suatu organisasi dipandang sebagai agen moral. Oleh karena itu dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah organisasi bisnis, harus menjunjung tinggi moralitas (Nursahid, 2006). Petkoski dan Twose (2003) mendeinisikan CSR sebagai komitmen bisnis berperan untuk mendukung pembangunan ekonomi, bekerjasama dengan karyawan dan keluarganya, masyarakat lokal dan masyarakat luas, untuk meningkatkan mutu hidup mereka dengan berbagai cara yang menguntungkan bagi bisnis dan pembangunan. Elkington dalam Wibisono (2007), mengembangkan konsep Triple bottom lines dalam istilah economic properity, environmental quality, social justice. Perusahaan yang ingin berkelanjutan harus memikirkan 3P (Proit, People, Planet), yaitu selain mengejar keuntungan (proit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan(planet). Penelitian Iryani (2008) mengatakan bahwa triple bottom lines merupakan suatu konsekunsi dari deinisi sustainable development yang mana mempunyai tiga elemen penting yaitu pertumbuhan ekonomi, perlindungan lingkungan dan kesejahteraan sosial. 2.
SOCIAL (PEOPLE)
LINGKUNGAN
ECONOMIC
(PLANET)
(PROFIT)
Gambar 1. Triple Bottom Lines dalam kegiatan tanggungjawab social Perusahaan. Penelitian Pleiger dalam Machiavelli (2011), menunjukkan bahwa usaha-usaha pelestarian 167
lingkungan oleh perusahaan akan mendatangkan sejumlah keuntungan, diantaranya adalah ketertarikan pemegang saham dan stakeholders terhadap keuntungan perusahaan akibat pengelolaan lingkungan yang bertanggungjawab. Hasil lain mengindikasikan bahwa pengelolaan lingkungan yang baik dapat menghindari klaim masyarakat dan pemerintah serta meningkatkan kualitas produk yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan keuntungan ekonomi. Sebagian perusahaan dalam industri modern menyadari sepenuhnya bahwa isu lingkungan dan sosial juga merupakan bagian penting dari perusahaan. Ferreira dalam Machiavelli (2011), menyatakan bahwa persoalan konservasi lingkungan merupakan tugas setiap individu, pemerintah dan perusahaan. Sebagai bagian dari tatanan sosial, perusahaan seharusnya melaporkan pengelolaan lingkungan perusahannya dalam annual report, Hal ini karena terkait dengan tiga aspek persoalan kepentingan: keberlanjutan aspek ekonomi, lingkungan dan kinerja sosial. 2.2. Pemberdayaan Masyarakat Istilah pemberdayaan (empowerment) berasal dari kata “power” yang berarti kemampuan, tenaga, atau kekuasaan. Dengan demikian, secara hariah pemberdayaan dapat diartikan sebagai peningkatan kemampuan, tenaga, kekuatan, atau kekuasaan. Ife (1995) mengemukakan bahwa: “Pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment”, yang berarti membantu komunitas dengan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan, dan keahlian untuk meningkatkan kapasitas komunitas sehingga dapat berpartisipasi untuk menentukan masa depan warga komunitas.” Menurut Prijiono dan Pranarka (1996), konsep pemberdayaan perlu disesuaikan dengan alam pikiran dan budaya Indonesia. Perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan Barat diawali dengan proses penghilangan harkat dan martabat manusia (dehumanisasi). Proses penghilangan harkat dan martabat manusia ini salah satunya banyak dipengaruhi oleh kemajuan ekonomi dan teknologi yang nantinya dipakai sebagai basis dasar dari kekuasaan (power). Empowerment hanya akan mempunyai arti kalau proses pemberdayaan menjadi bagian dari fungsi kebudayaan, yaitu aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi manusia dan bukan sebaliknya menjadi hal yang destruktif bagi proses aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi manusia. Tujuan dari pemberdayaan untuk meningkatkan kekuatan orang-orang yang lemah (Ife, 1995), Pada dasarnya pemberdayaan dapat dimaknai sebagai segala usaha untuk membebaskan masyarakat miskin dari belenggu kemiskinan yang menghasilkan suatu situasi di mana kesempatan-kesempatan ekonomis tertutup bagi mereka, karena kemiskinan yang terjadi tidak bersifat alamiah semata, melainkan hasil berbagai macam faktor yang menyangkut
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
kekuasaan dan kebijakan, maka upaya pemberdayaan juga harus melibatkan kedua faktor kekuasaan dan kebijakan dari perusahaan. Payne (1997) mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan pada intinya bertujuan membantu klien mendapatkan daya, kekuatan dan kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Pemberdayaan masyarakat menurut Prijono dan Pranarka (1996) adalah: “Bagaimana rakyat dibantu agar lebih berdaya sehingga tidak hanya dapat meningkatkan kapasitas dan kemampuannya dengan memanfaatkan potensi yang dimilikinya, tetapi sekaligus meningkatkan kemampuan ekonomi nasional”. Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses di mana masyarakat khususnya mereka yang kurang memiliki akses kepada sumberdaya pembangunan didorong untuk makin mandiri dalam mengembangkan kehidupan mereka. Dalam proses ini, masyarakat dibantu untuk mengkaji kebutuhan, masalah dan peluang pembangunan dan perikehidupan mereka sendiri. Selain itu mereka juga menemukenali solusi yang tepat dan mengakses sumberdaya yang diperlukan, baik sumberdaya eksternal maupun sumberdaya milik masyarakat itu sendiri. Pemberdayaan masyarakat juga merupakan suatu proses mengajak atau membawa masyarakat agar mampu melakukan sesuatu (enabling people to do something). Menurut Ndara (1990), bahwa pemberdayaan masyarakat terbagi atas empat macam: a. Pemberdayaan politik, bertujuan meningkatkan bargaining position yang diperintah terhadap pemerintah, sehingga yang diperintah mendapatkan apa yang merupakan haknya dalam bentuk barang, jasa layanan, dan kepedulian tanpa merugikan orang lain. b. Pemberdayaan ekonomi, dimaksud sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan yang diperintah sebagai consumer untuk berfungsi sebagai penanggung dampak negatif pertumbuhan, pembayar resiko salah urus, pemikul beban pembangunan, kambing hitam kegagalan program dan penderita kerusakan lingkungan. c. Pemberdayaan sosial budaya, bertujuan meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia melalui human investment, guna meningkatkan nilai manusia, penggunaan dan perlakuan seadilnya terhadap manusia. d. Pemberdayaan lingkungan, dimaksudkan sebagai program perawatan dan pelestarian lingkungan, supaya yang diperintah dengan lingkungannya terdapat hubungan saling
menguntungkan. Metode Penelitian Penelitian ini mengkombinasikan penelitian menerangkan (explanatory research) dengan penelitian deskriptif (descriptive research). Teknik pengumpulan data primer dengan wawancara, observasi, dokumentasi. Data sekunder diperoleh dari company proile,proile CSR Pertamina Balongan dan buku literatur. Obyek penelitian ini adalah program CSR dalam meningkatkan keberdayaan masyarakat, penelitian dilakukan dengan mengambil lokasi di Balongan, Kabupaten Indramayu mengingat di wilayah tersebut PT Pertamina Reinery Unit VI beroperasi. Sebagai sumber penelitian adalah PT Pertamina Reinery Unit VI, Jalan Raya Balongan Km.9 Kabupaten Indramayu-Jawa Barat. 3.
4. Hasil dan Pembahasan Corporate Social Responsibility merupakan salah satu kegiatan eksternal Public Relations Pertamina yang ditujukan kepada masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar PT Pertamina Balongan. Program CSR Pertamina Balongan dibedakan atas tiga ring, diantaranya: Ring I meliputi: Desa Balongan, Indramayu, Sukaurip. Ring II meliputi: Desa Tegalurung, Limbangan, Rawadalem, Sukareja, Tinumpuk, Singaraja. Ring III meliputi desa: Desa Lombang, Sudimampir, Tegalsembadra, Sudimampir Kidul, Gelar Mandala, Pondoh dan Sambimaya (Hikmana, 2010). Program CSR dilakukan karena Pertamina merasa bahwa dalam beroperasinya kilang Balongan sering memberikan dampak negatif bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kilang Balongan terutama di bidang lingkungan hidup. Didasari hal tersebut Pertamina berinisiatif untuk melaksanakan program CSR secara rutin dan berkesinambungan yang ditujukan kepada masyarakat. Melaksanakan kegiatan CSR juga merupakan keharusan bagi perusahaan yang beroperasi di Indonesia terutama yang bergerak di bidang minyak dan gas bumi, dimana konsep pertama berorientasi pada pemberdayaan masyarakat secara berkesinambungan; yang kedua relation development merupakan kegiatan yang lebih bersifat karitas dan donasi publik. Termasuk dalam kategori ini adalah pembinaan hubungan segitiga yang baik dan harmonis antara perusahaan, pendamping program kegiatan (pemerintahan daerah dan LSM) dan masyarakat lokal. Melalui program CSR diharapkan dapat menciptakan pemberdayaan masyarakat, dan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sekitar. Pedoman pelaksanaan program CSR adalah: komitmen yang tinggi dari manajemen Pertamina, didasarkan pada prioritas kebutuhan nyata masyarakat setempat melalui proses dari bawah keatas, dapat memberikan manfaat untuk perusahaan maupun masyarakat
168
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
setempat, menciptakan perubahan ekonomi, sosial dan pengelolaan lingkungan yang lebih baik bagi masyarakat dan tidak berorientasi pada politik. Oleh karena inisiatif melalui program pemberdayaan masyarakat dirancang untuk memenuhi kebutuhan peningkatan citra perusahaaan. Kontribusi program CSR adalah berkesinambungan terhadap pembangunan ekonomi, sosial masyarakat dan lingkungan hidup. Pembangunan yang berkelanjutan yaitu bekerjasama dengan karyawan, masyarakat dan stakeholders untuk memperbaiki kualitas hidup dengan cara yang dapat diterima oleh bisnis dan juga pembangunan itu sendiri adalah nilai dasar dari program CSR. Kemiskinan yang sudah mengglobal saat ini adalah masalah sosial yang menjadi target seluruh negara-negara didunia untuk ditekan, bahkan dihapuskan dan tentunya dalam implementasi CSR kontemporer yang dilakukan dunia usaha dan sudah seharusnya dunia usaha menyadari posisi mereka sebagai bagian dari masyarakat. Keunikan program CSR adalah kegiatan yang bersifat lokal karena pelaksanaannya melibatkan partisipasi masyarakat di sekitar perusahaan. Inilah sejujurnya yang membuat program CSR memiliki peluang untuk masuknya pertisipasi masyarakat secara utuh dalam pencapaian tujuannya (Untung, 2008). Penerapan program CSR oleh Pertamina merupakan releksi nilai dan budaya perusahaan yang terintegrasi dengan strategi bisnis perusahaan masa kini dan mendatang, yang memberikan manfaat bagi Pertamina, shareholder dan stakeholder. Oleh karena itu kesuksesan sebuah perusahaan tidak hanya ditentukan dari keberhasilan menjalankan bisnis sematanya, tetapi juga didukung kemampuan dalam menyukseskan program pemberdayaan masyarakat dan lingkungan hidup melalui program-program CSR yang dilaksanakan perusahaan dan bermanfaat bagi masyarakat. Pertamina dalam penerapan program CSR saat ini diprioritaskan untuk membantu masyarakat dan pemerintah dalam memecahkan permasalahan sosial di sekitar Perusahaan. Pelaksanaan program CSR dikendalikan sepenuhnya oleh perusahaan, dan bekerjasama dengan pemerintaah dan lembagalembaga lainnya, dikembangkan dan diprioritaskan di bidang ekonomi, sosial dan pelestarian lingkungan hidup. Melalui program-program CSR yang dilakukan ini akan memberikan nilai tambah bagi Pertamina untuk semakin mendekatkan produk dan brand kepada masyarakat. Pertamina mengganggap program CSR sebagai wujud good corporate governance (GCG) yaitu sistem pemerintahan yang baik dan peduli terhadap lingkungan. Perkembangan program CSR yang dilakukan berupaya untuk membantu pemerintah daerah dalam meningkatkan keberdayakan masyarakat. Praktik program CSR sebagai wujud implementasi program dari community relations, jika ditujukan pada stakeholder yang tepat dan dilakukan secara tepat pula 169
akan dapat menciptakan sebuah kondisi lingkungan yang kondusif bagi perusahaan, sehingga perusahaan akan dapat menjalankan aktivitas bisnisnya dengan baik tanpa adanya hambatan-hambatan yang dapat muncul dari lingkungan sekitar (hamrin., et al., 2010). Visi dari program CSR Pertamina Balongan adalah menciptakan dan memelihara hubungan harmonis dengan lingkungan sekitar serta bekerja sama dengan pemerintah untuk memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Misi dari program CSR Pertamina Balongan: (1) Mengimplementasikan komitmen perusahaan terhadap kegiatan TSP untuk memberikan nilai tambah bagi stakeholders dalam upaya mendukung kemajuan perusahaan, (2) Mewujudkan kepedulian sosial Pertamina balongan dan kontribusi perusahaan terhadap pengembangan masyarakat yang berkelanjutan. Tujuan dari program CSR Pertamina Balongan: (1) Membangun hubungan yang harmonis dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk mendukung pertumbuhan perusahaan, (2) Memberikan kontribusi dalam memecahkan permasalahan sosial, (3) Meningkatkan nilai dan budaya perusahaan yang terintegrasi dengan strategi bisnis perusahaan dan (4) Bagian dari upaya membangun citra dan reputasi perusahaan. Program CSR yang dilaksanakan oleh Hupmas Pertamina didasarkan pada Kepmen No Kep236/MBU/2003 membawa babak baru bagi visi, misi dan kebijakan sosial Pertamina. Melalui keputusan tersebut, Pertamina yang telah menyalurkan dana Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK) sejak tahun 1990, membentuk unit PKBL untuk menggantikan peran PUKK. Dengan menggunakan dana bagian pemerintah atas penyisihan laba bersih Pertamina untuk Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Dengan demikan fungsi sosial dari Pertamina bertambah lagi dengan pembentukkan unit khusus ini, baik ditingkat korporat maupun daerah operasi/unit. Program CSR merupakan kegiatan yang wajib dilakukan oleh perusahaan sesuai dengan Undang-undang perseroan Terbatas Pasal 74. Esensi UU-PT ini menegaskan bahwa dunia usaha tidak lagi hanya memperhatikan aspek inacial usaha semata (single bottom line), melainkan juga harus menggunakan baik aspek keuangan, sosial dan lingkungan hidup (triple bottom line). Sinergi antara ketiga elemen tersebut merupakan kunci keberhasilan dari konsep pembangunan berkelanjutan. Program CSR merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan community development. Namun pada prakteknya sebahagian dari program CSR dilakukan sekedar pada perbuatan amal (charity) perusahaan saja tidak menyentuh pada pemberdayaan. Program CSR yang dilakukan oleh
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Pertamina merupakan investasi bagi pertumbuhan dan keberlanjutan perusahaan dan bukan lagi dilihat sebagai sarana biaya melainkan sarana untuk meraih keuntungan dan menciptakan persepsi dan citra positif masyarakat. Program CSR merupakan komitmen perusahaan untuk mendukung terciptanya pembangunan berkelanjutan. Disisi lain juga masyarakat membutuhkan kepedulian perusahaan untuk melaksanakan kegiatan sosial untuk masyarakat. Dalam melaksanakan program CSR, perusahaan memang tidak mendapatkan proit, namun yang diharapkan dari program ini adalah beneit berupa persepsi dan citra perusahaan dari masyarakat. Menyadari akan pentingnya program CSR ini perusahaan diharapkan fokus pada membina hubungan baik dengan masyarakat dan menciptakan masyarakat yang berdaya. Program CSR yang dilakukan selama ini disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan dari masyarakat Balongan yang dilakukan oleh pendamping-pendamping program CSR seperti penyuluh, mahasiswa dan pemerintah daerah. Pendamping program ini mendatangi masyarakat untuk melakukan survei terhadap kebutuhan masyarakat (need assessment), yang bertujuan untuk membentuk suatu persepsi maupun citra yang diharapkan. Program CSR yang telah dilakukan oleh Pertamina untuk membantu pemerintah daerah dalam meningkatkan keberdayaan masyarakat Balongan, antara lain dilakukan berbagai kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, di antaranya: 1. Di bidang pendidikan: Pertamina memberikan beasiswa kepada masyarakat yang berprestasi, merenovasi bangunan sekolah, membangun ruang perpustakaan, merenovasi lapangan upacara untuk sekolah dasar negeri dan swasta, membagi-bagikan komputer untuk beberapa sekolah yang terdapat di sekitar wilayah kilang Balongan dan membagibagikan alat tulis kepada masyarakat. 2. Di bidang sosial: Pertamina rutin melakukan pembagian sembako, susu cair, sunatan massal, melaksanakan donor darah secara rutin, memberikan santunan kepada orangtua jompo dan anak yatim, membangun bak penampungan air bersih di lokasi tanah penyangga, memasang instalasi listrik untuk masyarakat Majakerta, dan memberikan bantuan kepada masyarakat yang terkena bencana alam. 3. Di bidang kesehatan: Pertamina memberikan bantuan alat kesehatan di puskesmas Kecamatan Balongan, Kecamatan Indramayu, Kecamatan Juntinyuat dan Kecamatan Compreng, memberikan bantuan pengobatan massal secara rutin yakni sekali dalam sebulan dan pemberian air bersih untuk wilayah blok Kesambi Balongan diprioritaskan kegiatan TSP di bidang kesehatan di wilayah ini, karena wilayah ini merupakan wilayah yang paling dekat dengan kilang Balongan.
Kegiatan TSP lainnya adalah memberikan makanan dan suplemen untuk peningkatan gizi balita, bantuan paket makanan bergizi kepada masyarakat yang kurang mampu yang tinggal di wilayah ring satu kilang Balongan. 4. Di bidang keagamaan: Pertamina terlibat dalam melakukan renovasi beberapa masjid yang terdapat di lingkungan kilang Balongan, membagi-bagikan Al-quran, buku keagamaan di masjid-masjid yang berada di sekitar kilang Balongan, memberikan bantuan hewan qurban kepada Mustahik dalam rangka peringatan hari raya Idul Adha, mengadakan acara untuk memperingati Isra Mi’raj. 5. Di bidang olah raga: Pertamina terlibat dalam membangun sarana olah raga untuk masyarakat seperti lapangan volli, lapangan sepak bola dan lapangan bulu tangkis, pembuatan ieldroom di stadion Dharma Ayu Indramayu. 6. Di bidang ekonomi: Pertamina memberikan kepada masyarakat dalam pengelolaan tanah penyangga yang dapat dinikmati oleh masyarakat seluas 250 hektar persawahan yang dapat dipergunakan oleh masyarakat secara bergantian, memberikan pemodalan untuk modal kerja masyarakat, melaksanakan pembinaan dan pelatihan untuk para petani, peternak dan nelayan. 7. Di bidang pengelolaan lingkungan hidup: Pertamina terlibat aktif dalam melaksanakan penanaman pohon dan kegiatan memelihara pohon yang sudah ada, pembangunan sarana dan sarana, membangun irigasi, membangun drainase, membangun tempat pembuangan sampah, membangun got, membangun taman kota, membantu pelaksanaan pembangunan WC umum (MCK) di Desa Majakerta dan melaksanakan kegiatan pelatihan dan pembinaan di bidang lingkungan hidup. Pertamina juga memfokuskan pada program CSR di bidang pengelolaan lingkungan hidup untuk menjaga dan melestarikan lingkungan dan ikut menyukseskan gerakan penanaman sejuta pohon tahun 2009. Pertamina melaksanakan program one man one tree dengan menanam 2.010 bibit pohon. Adapun jenis bibit pohon yang disediakan antara lain: sebanyak 715 bibit pohon mahoni, sebanyak 356 bibit pohon palem, sebanyak 104 bibit pohon trembesi, sebanyak 835 bibit pohon glodokan tiang. Semua bibit pohon ini ditanam di area kilang, laydown area, dan area pertanaman Pertamina Balongan. Sebagai wujud kepedulian Pertamina terhadap lingkungan, Pertamina secara simbolis juga menyerahkan bantuan sebanyak 50.000 bibit tanaman penghijauan berupa mangrove untuk ditanam di wilayah Kabupaten Indramayu. Program CSR yang telah dilakukan oleh Pertamina yang bersifat community development, di antaranya melakukan kegiatan pelatihan untuk para nelayan di Kabupaten Indramayu bekerjasama
170
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
dengan Dinas Kelautan dan Perikanan dengan Dinas Lingkungan Hidup. Hal ini dikarenakan sebahagian besar mata pencaharian masyarakat adalah nelayan. Kegiatan ini berupa pelatihan pembuatan serta bantuan alat tangkap ikan, materi terkait dengan Program Peningkatan Kualitas Lingkungan (PPKL), kegiatan ini merupakan kegiatan lanjutan dari program yang telah digulirkan sebelumnya yang sejalan dan mendukung Keppres Peningkatan Kehidupan Nelayan (PKN). Terkait dengan strategi “revolusi biru” dari Menteri Kelautan dan Perikanan dalam peningkatan produksi hasil laut bagi nelayan, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun untuk diekspor. Pelatihan ini dilaksanakan dengan tujuan membantu masyarakat untuk menjadi lebih mandiri dan berdaya di bidang ekonomi. Program CSR yang dilakukan sangat beragam, kegiatan di bidang ekonomi bertujuan untuk memberikan nilai tambah dan memberdayakan masyarakat sekitar Pertamina, memberikan peluang kepada masyarakat untuk menambah perekonomian keluarga dan mendukung pertumbuhan perekonomian masyarakat dan usaha kecil serta menengah di Kabupaten Indramayu. Kegiatan di bidang sosial, didasari oleh pemikiran bahwa sebagai perusahaan yang berada di tengah masyarakat, Pertamina Balongan mempunyai tanggungjawab dalam menciptakan masyarakat yang lebih baik serta membantu meringankan beban masyarakat. Kegiatan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang dilaksanakan oleh Pertamina didasari oleh pemikiran bahwa operasional kilang Balongan memberikan dampak negatif bagi masyarakat sekitar. Diharapkan dengan kegiatan TSP yang dilaksanakan dapat mengurangi resiko atau dampak negatif dari operasional kilang Balongan. Keberhasilan program keberdayaan masyarakat melalui program CSR Pertamina Reinery Unit VI Balongan di bidang ekonomi, ditandai dengan adanya pembangunan prasarana umum masyarakat di wilayah kerja Pertamina seperti pembangunan jalan raya yang sudah di aspal, pembangunan sekolah untuk pendidikan formal, pembangunan jembatan, pembangunan pelabuhan, pembangunan tempat ibadah, pembangunan balai desa dan balai pertemuan, pembangunan poliklinik kesehatan, pembangunan sarana olah raga dan taman kota. Untuk mengembangkan kualitas sumberdaya manusia dilaksanakan program beasiswa untuk siswa yang berprestasi dan staf pengajar yang berkualitas untuk belajar ke luar negeri. Pemberdayaan masyarakat di bidang sosial terlihat dari kemampuan masyarakat untuk berinteraksi dan bekerjasama dengan masyarakat lainnya. Melalui interaksi dan kerjasama yang dilakukan oleh masyarakat diharapkan menumbuhkan aspirasi, kreativitas dan keberanian dalam mengutarakan pendapat pribadi dan menentukan pilihan. Masyarakat yang sering berinteraksi dengan secara formal dan non formal 171
dengan berbagai pihak dapat membantu mencari solusi yang tepat bagi permasalahan yang dihadapi. Pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi terlihat dari kemampuan masyarakat Balongan untuk menanam dan merawat pohon yang sudah ada, membuang sampah pada tempat yang tersedia sehingga tidak mengakibatkan banjir, menggunakan MCK yang telah dibangun oleh Pertamina sehingga dengan berbagai pelatihan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan oleh Pertamina dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 5. Simpulan dan Saran 5.1. Simpulan Berdasarkan tujuan penelitian dan analisis hasil pembahasan, dapat disimpulkan: program CSR yang dilakukan oleh Pertamina Reinery Unit VI Balongan merupakan kegiatan yang rutin dan berkesinambungan dilakukan oleh Pertamina untuk masyarakat Balongan. Pertamina merasa memiliki tanggungjawab dalam membantu pemerintah daerah dalam meningkatkan keberdayaan masyarakat melalui program CSR yang dilaksanakan. Program CSR yang dilakukan oleh Pertamina telah menjangkau dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, diantaranya di bidang ekonomi, sosial dan pengelolaan lingkungan hidup. Pertamina dalam melaksanakan program CSR dibantu oleh pendamping program CSR yang berasal dari pemerintah daerah, mahasiswa, peneliti dan penyuluh, yang bertugas untuk melakukan survei kepada masyarakat yang bertujuan untuk mengetahui kebutuhan dari masyarakat. 5.2. Saran Program CSR Pertamina dilaksanakan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat di bidang ekonomi, sosial dan pengelolaan lingkungan hidup perlu dilakukan evaluasi kegiatan sehingga dalam setiap pelaksanaan program CSR selanjutnya menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat bagi yang menerima. Daftar Pustaka Hikmana DE. 2010. Evaluasi Implementasi CSR PT Pertamina (Persero) RU VI Balongan. Indramayu: LPPM Universitas Wiralodra Indramayu. Ife J. 1995. Community development: creating community alternatives – vision, analysis and practice. Australia: Longman Australia Pty.LTD. Iryani E. 2009. Komitmen stakeholders perusahaan terhadap kinerja sosial dan kinerja keuangan, [tesis]. Semarang : Universitas Diponegoro. Machiavelli DG. 2011. Pengaruh kinerja lingkungan dan pengungkapan informasi lingkungan terhadap kinerja ekonomi perusahaan
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
manufaktur yang terdaftar di bursa efek Indonesia. http://garryaditya.blogspot. com/2011/01/jurnal-csr.html/ [diakses 23 Juni 2011]. Ndara T. 1990. Pembangunan masyarakat mempersiapkan masyarakat tinggal landas. Jakarta: Rineke Cipta. Payne M. 1997. Modern social work theory. Second Ed. London: MacMillan Press Ltd. Petkoski D, Twose N. 2003. Public policy for corporate social responsibility. Jointly sponsored by the World bank Institute, the private sector development vice presidency of the world bank, and the international inance corporation. http://info.worldbank.org/ July [diakses 10 Desember 2010]. Prijono OS, Pranarka AMW. 1996. Pemberdayaan: konsep, kebijakan dan implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies. hamrin H, Syafganti I, Rangkuti B. 2010. Implementasi Corporate Social Responsibility Berbasis Modal Sosial di Sumatra Utara. Journal of Strategic Communication Vol 1 No 1: 76-89. Wibisono Y. 2007. Membedah konsep dan aplikasi CSR (Corporate Social Responsibility). Gresik: Fascho Publishing. Widiyanarti T. 2005. Corporate sosial responsibility : Model comunity development. Jurnal Antropologi Sosial Budaya. Vol 1 dan 2. USU: LPM ANTROP-FISIP.
172
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Adopsi Inovasi Kelestarian Lingkungan dari Perspektif Komunikasi Pembangunan Rahmi Winangsih1*) Abstrak Kebijakan pemerintah terkait program dan kegiatan Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP), diharapkan dapat memberikan pengaruh kesehatan, meningkatkan produktivitas, dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, program PHBS diawali dengan kesediaan air bersih dan lingkungan sehat sebagai penyediaan sarana prasarana menjadi permasalahan utama yang penyelesaiannya harus diprioritaskan, mengingat persoalan kesehatan masyarakat kota Serang dianggap memprihatinkan. Bagaimana proses komunikasi dilakukan dalam perubahan sosial budaya sangat mendasar, mengingat pola pikir masyarakat masih ditemui sulit berubah, karena mendobrak kebiasaan sebagai pola dasar budaya masyarakat memang sesuatu yang tidak mudah. Paradigma pembangunan, tampaknya perlu diimbangi dengan pembangunan berpusat pada masyarakat (people centered development), dan harus diintegrasikan dengan aspek sosial budaya masyarakat sebagai keseluruhan proses pembangunan. Fenomena dan pengamatan penelitian, masih terdapat masyarakat sulit menerima inovasi; masih kurangnya perhatian komponen masyarakat (pemerintah, masyarakat, dan organisasi masyarakat) terhadap inovasi pola hidup bersih dan sehat; masih kurangnya kesadaran masyarakat mengubah perilaku hidup bersih dan sehat sebagai dasar budaya, sehingga tidak ada keinginan dari masyarakat melakukan swadaya dalam membangun fasilitas sanitasi lingkungan seperti MCK umum; masih kurangnya tenaga fasilitator membantu pemerintah dalam mewujudkan Indonesia sehat, bebas BABs 2014 dan program MDGs 2015; masih minimnya media informasi dimanfaatkan masyarakat, seperti ilm, poster, dan spanduk disertai program penyebaran PHBS sebagai gagasan baru, sehingga diperlukan model penyebaran inovasi, strategi komunikasi dan pemilihan saluran komunikasi yang tepat agar mudah mengubah perilaku masyarakat tidak membuang kotoran sembarangan, karena menimbulkan pencemaran dan sanitasi lingkungan. Kata Kunci: Pengadopsian, komunikasi pembangunan kesehatan & kelestarian lingkungan Pendahuluan Pemerintah saat ini sedang mempopulerkan program Millenium Development Goals (MDGs), dengan beberapa program yang berkenaan langsung dengan program pembangunan kesehatan antara lain: meningkatkan kesehatan dan kelestarian lingkungan, kesehatan ibu & anak, serta memerangi penyakit malaria, serta penyakit lainnya. Salah satu upaya untuk merealisasikan program MDGs adalah dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) sebagai bagian dari program air minum penyehatan lingkungan (AMPL). Program tersebut merupakan program unggulan pemerintah Kota Serang dalam mempersiapkan wilayah sehat, indah dan nyaman sebagai pusat kota. Gagasan ini dilandasi oleh UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengamanatkan bahwa pembangunan harus ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat masyarakat setinggitingginya, sebagai investasi pembangunan sumber daya manusia produktif secara sosial ekonomi. Data di wilayah Kota Serang, menunjukkan bahwa wabah penyakit polio, campak, diare, DBD hingga kekurangan gizi berakibat pada busung lapar. Bila sedikit cermat memperhatikan 1.
1 *) Dosen Tetap Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Untirta, Banten.
173
wabah tersebut, maka penyebab utama dari percepatan penyebaran wabah penyakit disebabkan buruknya kualitas sanitasi lingkungan hidup. Tidak perlu jauh sampai harus mencermati pola hidup masyarakat tradisional (pedesaan), pada masyarakat perkotaan pun masih banyak membuang kotoran manusia di sembarang tempat, atau dalam istilah masyarakat Banten pada umumnya disebut dolbon (modol di kebon). Keadaan ini didukung dengan perolehan data dari Buku Putih Sanitasi Kota Serang 2011 bidang kesehatan masyarakat, menunjukkan bahwa: Kondisi lingkungan terus mengalami degradasi secara kualitas maupun kuantitas, diperburuk oleh pola perilaku hidup bersih dari masyarakat rendah terutama lingkungan sekitar rumah permukiman. Kondisi kesehatan dan pola hidup masyarakat Kota Serang dapat dilihat berdasarkan timbulnya penyakit akibat kondisi sanitasi buruk, antara lain penyakit diare dan ISPA. Berdasarkan Laporan Tahunan Seksi Kesehatan Lingkungan 2010: Penyakit ISPA, batuk, demam akut, gangguan kulit dan jaringan subkutan lainnya, serta diare termasuk lima (5) penyakit besar yang ada di Kota Serang. Kasus penyakit diare paling banyak terjadi di
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
kecamatan Serang sebanyak 7.269 kasus, dan kasus penyakit ISPA juga cukup banyak terjadi di kecamatan Serang mencapai 34.026 kasus. Pada tahun 2011 hasil survey Environment Health Risk Area (EHRA) menyebutkan bahwa 49,4% responden tidak memiliki sarana pengolahan air limbah (SPAL), masyarakat lebih memilih membuang sampah di sembarang tempat, antara lain ke saluran terbuka, sungai, dan jalan. Kebiasaan ini mempengaruhi kualitas udara, tanah, dan air serta lingkungan menjadi tidak sehat, sehingga menimbulkan berbagai penyakit yang diakibatkan sanitasi buruk. Kebijakan pemerintah terkait program dan kegiatan Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP), diharapkan dapat memberikan pengaruh kesehatan, meningkatkan produktivitas, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, program PHBS diawali dengan kesediaan air bersih dan lingkungan sehat sebagai penyediaan sarana prasarana menjadi permasalahan utama yang penyelesaiannya harus diprioritaskan, mengingat persoalan kesehatan masyarakat kota Serang dianggap memprihatinkan. Padahal model penerapan kebijakan pemerintah untuk mengubah perilaku masyarakat berpola hidup bersih dan sehat kerap dilakukan, Seperti yang dilaksanakan petugas Puskesmas, antara lain membuat arisan MCK yang bertujuan agar setiap kepala keluarga mempunyai sarana MCK, sehingga tidak lagi membuang kotoran sembarangan. Namun program ini tidak berhasil secara optimal, karena masyarakat tidak mau berubah secara optimal untuk berperilaku hidup bersih dan sehat. Bagaimana proses komunikasi dilakukan dalam perubahan sosial budaya sangat mendasar, mengingat pola pikir masyarakat masih ditemui sulit berubah, karena mendobrak kebiasaan sebagai pola dasar budaya masyarakat memang sesuatu yang tidak mudah. Paradigma pembangunan ekonomi telah lama mendominasi model pembangunan di berbagai Negara termasuk Indonesia, tampaknya perlu diimbangi dengan pembangunan berpusat pada masyarakat (people centered development), dan harus diintegrasikan dengan aspek sosial budaya masyarakat sebagai keseluruhan proses pembangunan (Dilla, 2007). Begitu pula dengan proses pengadopsian program pembangunan kesehatan PHBS sebagai inovasi. Strategi pemberdayaan masyarakat melalui PHBS berorientasi pada nilai-nilai sosial budaya yang
hidup dan berkembang, mengartikan bahwa proses pembangunan kesehatan ini tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomis, tetapi juga nilai tambah sosial secara adil (equity) dan setara (equality), serta partisipasi sebagai upaya pengembangan kapasitas manusia dan masyarakat berdasarkan spektrum helping people to help themselves, baik individu, kelompok, maupun orang sebagai kekuatan civil society. Rogers mengatakan bahwa sebuah inovasi tentu tidak selalu baru, tetapi sesuatu dianggap baru oleh seseorang sampai melaksanakan anjuran program cukup lama sudah dikenalkan kepada seluruh anggota masyarakat, tetapi belum tentu seluruh masyarakat menerima dan melaksanakannya, seperti dapat diuraikan berikut ini bahwa: Inovasi merupakan gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Tidak menjadi soal, sejauh dihubungkan dengan tingkah laku manusia, apakah ide itu betul-betul baru atau tidak jika diukur dengan selang waktu sejak digunakannya atau diketemukannya pertama kali. Kebaruan inovasi itu diukur secara subjektif, menurut pandangan individu yang menangkapnya. Jika sesuatu ide dianggap baru oleh seseorang, maka disebut inovasi (bagi orang tersebut). Baru dalam ide inovatif mungkin telah lama diketahui oleh seseorang beberapa waktu yang lalu (yaitu ketika kenal dengan ide itu) tetapi ia belum mengembangkan sikap suka atau tidak suka terhadap inovasi, apakah ia menerima atau menolak inovasi.(Rogers, 2003) Sebenarnya perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat, dan terjadi sesuai hakikat serta sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Seperti Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan. Ada tiga (3) faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial: 1) tekanan kerja dalam masyarakat; 2) keefektifan komunikasi, dan 3) perubahan lingkungan alam. Perubahan sosial budaya juga dapat timbul akibat perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, target berakhirnya kebiasaan BAB sembarangan 2014 berujung pada ditemukannya pola hidup bersih dan sehat, dengan menyediakan sarana MCK yang pantas dan memadai, kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya
174
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
dalam aspek kebudayaan. Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mengubah tingkat pengetahuan anggota masyarakat terhadap pola hidup bersih dan sehat, meliputi sistem ide atau gagasan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda ciptaan manusia sebagai makhluk berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat, salah satu diantaranya adalah menerapkan pola hidup bersih dan sehat melalui penggunaan sarana dan prasarana sesuai standard program pembangunan kesehatan lingkungan masyarakat. Berdasarkan fenomena dan pengamatan penelitian, masih terdapat masyarakat sulit menerima inovasi; masih kurangnya perhatian komponen masyarakat (pemerintah, masyarakat, dan organisasi masyarakat) terhadap inovasi pola hidup bersih dan sehat; masih kurangnya kesadaran masyarakat mengubah perilaku hidup bersih dan sehat sebagai dasar budaya, sehingga tidak ada keinginan dari masyarakat melakukan swadaya dalam membangun fasilitas sanitasi lingkungan seperti MCK umum; masih kurangnya tenaga fasilitator membantu pemerintah dalam mewujudkan Indonesia sehat, bebas BABs 2014 dan program MDGs 2015; masih minimnya media informasi dimanfaatkan masyarakat, seperti ilm, poster, dan spanduk disertai program penyebaran PHBS sebagai gagasan baru, sehingga diperlukan model penyebaran inovasi, strategi komunikasi dan pemilihan saluran komunikasi yang tepat agar mudah mengubah perilaku masyarakat tidak membuang kotoran sembarangan, karena menimbulkan pencemaran dan sanitasi lingkungan semakin buruk. Upaya Perubahan Perilaku Masyarakat Melalui MCK (Mandi Cuci Kakus) Sebagai Cermin Hidup Bersih dan Sehat Serta Kondisi Sosial Budaya, di lingkungan wilayah Kota Serang sebagai Ibukota Propinsi Banten menjadi prioritas dalam proses penyebaran inovasi pola hidup bersih dan sehat sebagai salah satu sasaran pembangunan dalam mewujudkan Millineum Development Goals Health (MDGs).
175
2. Kajian Pustaka 2.1.
Konsep Penyebaran Inovasi Kelestaraian Lingkungan
Secara konseptual, komunikasi pembangunan bersumber dari teori komunikasi dan teori pembangunan yang saling menopang. Teori komunikasi digunakan untuk menjembatani arus informasi (ide, gagasan) baru, dari pemerintah kepada masyarakat atau sebaliknya. Dengan kata lain, melalui komunikasi pesan-pesan pembangunan dapat diteruskan dan diterima khalayak untuk tujuan perubahan. Sementara teori pembangunan digunakan sebagai karakteristik bentuk perubahan yang diinginkan secara terarah, dan progresif, dari satu kondisi ke kondisi lain, atau dari satu keadaan menuju keadaan lebih baik. Ketika perilaku dan kebiasaan (termasuk cara pikir dan bahasa tubuh) dari fasilitator telah berubah, maka sharing akan segera dimulai. Masyarakat akan merasa bebas untuk mengatakan tentang apa yang terjadi di komunitasnya dan mulai merencanakan melakukan sesuatu. Setelah masyarakat dapat berbagi, metode mulai dapat diterapkan. Masyarakat secara bersama-sama melakukan analisis terhadap kondisi dan masalah masyarakat tersebut. Dalam konsep komunikasi pembangunan sebagai usaha pemilihan strategi, dan model komunikasi yang memungkinkan terjadinya perubahan dalam rangka pembangunan. Tujuannya berusaha menyampaikan, mengkaji, dan menjelaskan isu, ide, atau gagasan aktual yang berkaitan dengan perubahan menuju pembangunan masyarakat. Memberi inspirasi baru dalam penggalian aspirasi, kreativitas, kepentingan, dan kebutuhan individu, kelompok dan masyarakat, sehingga membuka jalan bagi munculnya ide, gagasan, dan inovasi dari tingkat akar rumput. Komunikasi pembangunan dipandang sebagai instrumen kunci dalam menggambarkan, mendorong, dan mengarahkan mempercepat, dan mengendalikan setiap perubahan pembangunan, sebagai usaha pembebasan dan pencerahan pembangunan dalam rangka meningkatkan harkat, martabat dan menanamkan jiwa kemandirian masyarakat, sehingga apa pun bentuk dan jenisnya, aktivitas pembangunan senantiasa mengarah pada pemberdayaan masyarakat secara menyeluruh. Dalam melaksanakan kegiatan komunikasi pemasaran sosial selalu dimulai dengan promosi
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
mengenai sikap atau kepercayaan yang dikaitkan dengan bidang kesehatan. Kajian komunikasi kesehatan masyarakat mengalami banyak perubahan sangat pesat dan mendasar dari strategi bersifat partial menuju strategi komprehensif. Tujuan pokok dari program komunikasi kesehatan adalah perubahan perilaku kesehatan masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatan. Tumbuhnya motivasi di kalangan masyarakat, diharapkan upaya-upaya pergerakan masyarakat menjadi lebih dinamis. Secara historis, studi ilmu komunikasi kesehatan terinspirasi oleh gerakan karantina, gerakan kesehatan individu, gerakan meningkatkan ilmu pengetahuan tentang kebersihan, dan gerakan mengenalkan konsep baru kesehatan masyarakat yang mendorong perubahan kesadaran atas masalah kesehatan masyarakat. (Liliweri, 2011) Studi komunikasi kesehatan pada dasarnya menghubungkan studi komunikasi dengan kesehatan. Perhatian dunia terhadap tanggung jawab semua untuk kesehatan masyarakat telah digariskan dalam pelbagai perjanjian, kesepakatan oleh masyarakat dunia yang sadar bahwa semua bertanggung jawab atas kesehatan masyarakat. Sebagai contoh pada tahun 1978 di Alma Alta, seluruh Negara anggota WHO membuat kesepakatan mengenai pelayanan kesehatan primer (primary health care) yang mencakup 8 (delapan) unsur pokok bidang kesehatan, yaitu: Penyuluhan kesehatan; Gizi; Sanitasi dasar dan air bersih; KIA, kesehatan Ibu dan anak; Imunisasi terhadap 6 (enam) penyakit utama: BCG, Difteria, Pertusis, Tetanus, Polio, dan Campak; Pencegahan dan pengelolaan penyakit endemic; Pengobatan penyakit yang umum dijumpai; Tersedianya obat esensial. (Sumber: Liliweri, 2011: 64) Sedangkan dalam Buku Pedoman Umum Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif Menkes RI, 2011 untuk mengukur keberhasilan pembinaan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) dalam rumah tangga digunakan 10 (sepuluh) indikator, yaitu: Pertolongan ditolong oleh tenaga kesehatan; Memberi ASI ekslusif bayi; Menimbang berat badan balita; Menggunakan air bersih; Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun; Menggunakan jamban sehat; Memberantas jentik nyamuk; Mengkonsumsi sayur dan buah setiap hari; Melakukan aktivitas isik setiap hari; Tidak merokok di dalam rumah. Dalam menyebarkan informasi kesehatan kepada masyarakat melalui sosialisasi dan kampanye kesehatan, agar berupaya berperilaku hidup sehat, menciptakan kesadaran, mengubah sikap, dan memberikan motivasi kepada individu untuk
mengadopsi perilaku yang direkomendasikan. Penyebaran informasi dapat dilakukan melalui tatap muka maupun bermedia. Aktivitas komunikasi manusia, termasuk komunikasi kesehatan pada semua level komunikasi, yakni komunikasi antarpersona, kelompok, organisasi, publik maupun massa, mempunyai tujuan relatif sama, yaitu: mempengaruhi sikap penerima, misalnya pihak sasaran mengubah persepsi dan sikap sesuai dengan kehendak pengirim informasi. Oleh karena itu, diperlukan seorang komunikator sebagai penyampai informasi yang berperan ganda serentak untuk beberapa program, bukan hanya berperan menyampaikan informasi, tetapi juga berperan melakukan isi informasi tersebut. Dengan demikian, diperlukan seorang komunikator profesional, seorang fasilitator yang mengerjakan semua tugas dan fungsi penyuluh kesehatan, sehingga dapat mencapai kesuksesan proyek atau program, adapun kriterianya sebagai berikut: a. Mampu dan terampil sebagai leader dalam kebijakan komunikasi kesehatan; b. Mampu merancang strategi dan implementasi komunikasi; c. Mampu dan terampil memobilisasi dan melatih individu atau komunitas dalam masyarakat berpartisipasi dalam pembuatan keputusan; d. Terampil berkomunikasi; e. Mampu mengenalkan peluang koordinasi, kerjasama, pembentukan jaringan kerjasama; f. Memproduksi multimedia atau perlengkapan audio visual lainnya. (Liliweri, 2011) Penyebaran inovasi mengenai pemenuhan kebutuhan masyarakat memerlukan komunikasi yang dapat mendukung secara optimal, terutama saat ini pemerintah sedang berusaha mencapai Millenium Development Goals (MDGs), sebagai program skala prioritas sampai tahun 2015. Kegiatan ini dilakukan untuk mendukung tujuan pembangunan kesehatan nasional, yakni dengan meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, agar terwujud derajat kesehatan setinggitingginya dalam mencapai visi Indonesia Sehat. Bagi Dinas Kesehatan Kota Serang, mengkomunikasikan pesan kepada khalayak, selain untuk menumbuhkan daya tarik terhadap informasi tentang pembangunan kesehatan, bagaimana agar masyarakat memiliki kemauan dan kesadaran berpola hidup bersih dan sehat, sehingga mereka mampu
176
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
meningkatkan derajat kesehatannya, juga berusaha mengembangkan citra positif sebagai usaha untuk menciptakan opini favourable ditengah-tengah masyarakat, menguntungkan kedua belah pihak. Selain itu ada beberapa bentuk komunikasi yang dapat dilakukan di samping komunikasi massa, seperti dapat diuraikan sebagai berikut: Komunikasi antarpersona, yaitu pernyataan manusia yang ditujukan kepada sasaran tunggal atau dapat disebut juga dengan kontak antar individu. Komunikasi kelompok yaitu pernyataan manusia ditujukan kepada kelompok tertentu memperlihatkan struktur nyata. Sedangkan komunikasi massa yang telah diuraikan sebelumnya adalah pernyataan manusia yang ditujukan kepada massa melalui media massa. (Rogers, 2003) Penyebaran informasi melalui media massa dapat dikelompokkan ke dalam media cetak dan elektronik, bentuk media cetak adalah surat kabar, lealet, spanduk, majalah, pamlet, dan sebagainya, sedangkan bentuk media elektronik adalah televisi, radio, dan sebagainya. Pengertian komunikasi massa secara terperinci diuraikan oleh Devito, 1997 bahwa: Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa atau khalayak luar biasa luasnya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang membaca atau semua orang menonton televisi, agaknya ini berarti bahwa khalayak itu besar dan pada lainnya agar sukar dideinisikan; Kedua, komunikasi massa yang disalurkan oleh pemancar audio dan/atau visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan lebih logis bila dideinisikan menurut bentuknya, televisi, surat kabar, majalah, ilm, buku, dan pita rekaman. Pengertian di atas menerangkan beberapa ciri komunikasi massa yaitu proses komunikasi berlangsung secara satu arah, artinya umpan balik dari sasaran atau komunikasi bersifat tertunda, antara komunikator dan komunikan atau antar komunikan tidak saling mengenal, komunikator bersifat melembaga, isi pesan disampaikan bersifat umum, media komunikasi digunakan menimbulkan keserempakan. Sedangkan efek pesan diuraikan oleh Rakhmat, 2006 bahwa: “Akan menimbulkan perubahan komunikan pada aspek kognitif seperti perubahan pendapat, penambahan 177
pengetahuan, dan perubahan kepercayaan, aspek afektif seperti perasaan atau kesukaan, dan aspek konatif seperti perilaku dan kecenderungan berperilaku.” Dengan demikian, khalayak sasaran dalam menerima pesan dari komunikator, dapat menentukan sikap untuk bertindak, apakah menerima atau menolak pesanpesan mengenai ide-ide atau produk baru yang disebarluaskan oleh institusi. 3. Pembahasan 3.1. Adopsi Inovasi Kesehatan dan Kelestarian Lingkungan Penelitian ini menggunakan pendekatan model difusi inovasi, yang disampaikan oleh Rogers and Shoemaker, 1987 dalam buku difusi inovasi. Saluran komunikasi melalui media massa juga tidak kalah pentingnya yang diasumsikan memiliki efek berbeda-beda pada titik waktu berlainan, mulai dari menimbulkan pengetahuan sampai mempengaruhi adopsi (penerimaan) atau terjadi penolakan (rejection) suatu inovasi. Tiga (3) perbedaan utama dalam suatu proses adopsi melalui sumber media komunikasi, yaitu berhubungan dengan antecedent, process, and consequences. Pertama, variabel antara (antecedent) terdiri dari a) Ciri-ciri kepribadian seseorang, seperti sikapnya terhadap inovasi. b) Ciri-ciri sosialnya, seperti luas hubungan seseorang, dan c) kuatnya kebutuhan nyata terhadap inovasi. Semua variabel ini mempengaruhi proses keputusan inovasi terjadi pada setiap orang. Selain itu, variabel sistem seperti norma sistem (tradisional atau modern), toleransi terhadap penyimpangan dan kepaduan komunikasi juga mempengaruhi sifat proses keputusan inovasi para anggota sistem sosial. Pada umumnya seseorang cenderung membuka diri terhadap ide-ide yang sesuai dengan minat dan kebutuhan. Sikap kebutuhan ini mungkin timbul ketika mengetahui ada cara-cara baru yang lebih sempurna, yaitu menyadari akan adanya inovasi. Karena itu, pengetahuan akan adanya inovasi dapat menimbulkan atau menyebabkan timbulnya kebutuhan, begitu pula sebaliknya. Beberapa agen pembaharu menggunakan pendekatan ini untuk mengadakan pembaharuan dengan cara menimbulkan kebutuhan kliennya dengan menunjukkan hasil-hasil yang diharapkan dari penggunaan inovasi. Dengan adanya pengetahuan tentang inovasi, diharapkan dapat menumbuhkan motivasi untuk mengadopsi, apalagi jika kebutuhan terhadap inovasi tertentu, berkenaan
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
dengan kebutuhan nyata yang dapat dilihat atau dirasakan, sehingga dapat merasakan bahwa inovasi itu betul-betul dapat membantu memenuhinya. Adapula kebutuhan bersifat umum, tidak tertuju pada inovasi tertentu. Kebutuhan ini timbul mungkin akibat adanya keinginan untuk taraf hidup lebih tinggi, misalnya sikap positif terhadap pembaharuan, dan sebagainya. Tipe kebutuhan umum ini biasanya juga membawa pada keselarasan inovasi dan melancarkan jalannya tahap-tahap dalam proses keputusan inovasi. Tetapi kebutuhan umum ini tidak otomatis menyebabkan seseorang mencari informasi tentang suatu inovasi tertentu. Kemudian menurut pengembangan proses adopsi dari Christ Fill (2002: 44), tahapan-tahapan proses adopsi (process of adoption) inovasi kesehatan dan kelestarian lingkungan dijelaskan sebagai berikut: 1) Knowledge (pengetahuan) Proses inovasi kelestarian lingkungan terkait dengan pola hidup bersih dan sehat yang diketahui oleh khalayak, tetapi mereka memiliki pengetahuan rendah dan perilaku kurang mendukung tentang inovasi (gagasan atau ide-ide baru). Dalam hal ini, diperlukan penyebaran informasi melalui media massa dari lembaga-lembaga (narasumber) tertentu dan mendorong publik secara aktif berupaya mencari informasi seperti melalui kontak-kontak personal. Sedangkan penyebaran informasi bagi pihak (public) yang pasif tersebut dapat dilakukan melalui media massa, dan kelompok tersebut memiliki kebiasaan akan berupaya mencari informasi pengetahuan melalui saluran-saluran komunikasi bentuk lain. Dalam tahap pengetahuan ditandai dengan perolehan informasi tentang inovasi; pemahaman pesan-pesan informasi dan pengetahuan atau keterampilan untuk adopsi inovasi 2) Persuasi (Bujukan) Pihak konsumen menjadi sadar tentang informasi inovasi mengenai pola hidup bersih dan sehat untuk suatu pengetahuan terhadap pemecahan atau dapat mengatasi persoalan tertentu dan permasalahan potensial. Apalagi ditambah dengan pengalaman (rekomendasi) pihak lain menjadi sangat penting membujuk individu menerapkan inovasi (gagasan atau ide-ide baru) yang ditawarkan melalui informasi iklan tersebut, pada tahap persuasi/membujuk ditandai dengan rasa suka terhadap inovasi, mendiskusikan dengan orang lain tentang inovasi, menerima pesan-pesan inovasi, membentuk gambaran positif tentang inovasi dan mendukung perilaku inovatif dari sistem. 3) Decision (Keputusan) Perilaku khalayak mungkin dapat dikembangkan
dengan respon atau sikap menyenangkan atau tidak menyenangkan, tetapi hasil keputusannya (decision process) apakah konsumen ingin mencoba atau menolak sama sekali penawaran produk inovasi itu. Oleh karena itu, sangat diperlukan komunikasi terus menerus untuk membantu percepatan proses adopsi menciptakan keputusan mendukung. Tahap keputusan ditandai dengan minat untuk mencari informasi lebih lanjut tentang inovasi kelestarian lingkungan dan berminat untuk mencoba melakukan pola hidup bersih dan sehat dengan berperilaku hidup sehat. 4) Implementation (Pelaksanaan) Keberhasilan proses adopsi ini dalam kelangkaan informasi bidang sales promotion (promosi penjualan), maka penerima inovasi harus dapat mengetahui dimana dan bagaimana cara menggunakan produk/gagasan baru yang ditawarkan secara terbatas. Dalam hal ini diperlukan komunikasi untuk menginformasikan secara tepat dimana dan kapan mengenai keinginan atau pengalaman pihak individu untuk mencoba (demo peragaan) tentang produk/gagasan baru yang ditawarkan tersebut. Tahap implementasi ditandai dengan mendapatkan informasi tambahan tentang inovasi, menggunakan inovasi, dan penggunaan inovasi berlanjut. 5) Conirmation (konirmasi) Dalam tahapan ini, suatu inovasi (produk dengan gagasan baru) dapat diterima atau ditolak (accepted or rejected) berdasarkan hasil pengalaman pada masa percobaan (grace periode). Model perencanaan komunikasi menjadi sangat penting dalam perannya menjaga perilaku penerima inovasi dari tanggapan negatif, dan mampu menciptakan dukungan publik positif dari keputusan koreksi individu secara orisinal, dan artinya menurut McGuire (1992), berkaitan dengan masa pasca konsolidasi (post-behavioral consolidation). Tahap konirmasi ditandai dengan pengakuan tentang keuntungan mengimplementasikan inovasi, mengintegrasikan inovasi secara berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari, dan mempromosikan inovasi pada orang lain.
178
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
psikologis lainnya yang dapat mengakibatkan penolakan terhadap inovasi adalah: rasa enggan karena merasa sudah cukup dengan keadaan yang sedang berlangsung, tidak mau repot, atau ketidaktahuan tentang masalah. Pada saat perilaku sehat dalam menjaga kelestarian dan kesehatan lingkungan, bagi individu yang memiliki cukup lama dan diupayakan melakukan perubahan dari kebiasaan yang sudah mendarah daging, tentu memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan informasi baru yang ditawarkan.
Sumber: Rogers & Shoemaker, 2003 Setelah pihak yang berupaya mengadakan sebuah perubahan, penolakan atau hambatan akan sering ditemui. Orang-orang tertentu dari dalam ataupun dari luar sistem akan tidak menyukai, melakukan sesuatu berlawanan, sabotase atau mencoba mencegah upaya untuk mengubah praktek yang berlaku. Penolakan ini mungkin ditunjukkan secara terbuka dan aktif atau secara tersembunyi dan pasif. Alasan mengapa menolak perubahan walaupun kenyataannya kurang relevan, membosankan, sehingga dibutuhkan sebuah inovasi. Fenomena ini sering disebut penolakan terhadap perubahan. Banyak upaya telah dilakukan untuk menggambarkan, mengkategorisasikan dan menjelaskan fenomena penolakan ini. Ada empat (4) macam kategori hambatan dalam konteks inovasi. Keempat (4) kategori tersebut adalah: a) hambatan psikologis; b) hambatan praktis; c) hambatan nilainilai, dan d) hambatan kekuasaan, seperti dapat diuraikan masing-masing esensi hambatan tersebut, yaitu: a) Hambatan psikologis Hambatan-hambatan ini ditemukan bila kondisi psikologis individu menjadi faktor penolakan. Hambatan psikologis telah dan masih merupakan kerangka kunci untuk memahami apa yang terjadi bila orang dan sistem melakukan penolakan terhadap upaya perubahan. Gambaran jenis hambatan ini dengan memilih satu faktor sebagai contoh dimensi kepercayaan/ keamanan versus ketidakpercayaan/ketidakamanan karena faktor ini sebagai unsur inovasi sangat penting. Faktor-faktor 179
b) Hambatan praktis Hambatan praktis adalah faktor-faktor penolakan yang lebih bersifat isik. Untuk memberikan contoh tentang hambatan praktis, faktor-faktor berikut ini akan dibahas: 1) waktu, 2) sumber daya, dan 3) sistem. Ketiga faktor ini sering ditunjukkan untuk mencegah atau memperlambat perubahan dalam organisasi dan sistem sosial. Ini mungkin mengindikasikan adanya perhatian khusus pada keahlian praktis dan metode-metode kegunaan praktis langsung. Semakin praktis sifat inovasi, akan semakin mudah orang meminta penjelasan tentang penolakan praktis. Selain itu, tidak cukupnya sumber daya ekonomi, teknis dan material sering disebutkan. Dalam mengimplementasikan perubahan, faktor waktu sering kurang diperhitungkan. Segala sesuatu memerlukan waktu. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengalokasikan banyak waktu bila membuat perencanaan inovasi. Pengalaman menunjukkan bahwa masalah yang tidak diharapkan, mungkin tidak dapat diperkirakan pada tahap perencanaan, kemungkinan akan terjadi. Kedua, masalah pada bidang keahlian dan sumber daya ekonomi sebagai contoh tentang hambatan praktis. Dalam perencanaan dan implementasi inovasi, tingkat pengetahuan dan jumlah dana yang tersedia harus dipertimbangkan. Ini berlaku terutama jika sesuatu yang sangat berbeda dari praktek di masa lalu akan dilaksanakan. Kenyataan menunjukkan bahwa dana sangat dibutuhkan, khususnya pada awal dan selama masa penyebarluasan gagasan inovasi. Media informasi dan tindak lanjutnya sering dibutuhkan selama fase penyebarluasan gagasan inovasi. Dalam kaitan ini penting untuk dikemukakan bahwa dana saja tidak cukup untuk melakukan perubahan. Sumber daya keahlian seperti
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
pengetahuan dan keterampilan orang-orang dilibatkan dalam upaya inovasi merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya. Jelaslah bahwa kurangnya sumber tertentu dapat dengan mudah menjadi hambatan. c) Hambatan kekuasaan dan nilai Hambatan nilai melibatkan kenyataan bahwa suatu inovasi mungkin selaras dengan nilai-nilai, normanorma dan tradisi-tradisi yang dianut orang-orang tertentu, tetapi mungkin bertentangan dengan nilai-nilai dianut sejumlah orang lain. Jika inovasi berlawanan dengan nilai-nilai sebagian masyarakat, maka bentrokan nilai akan terjadi dan penolakan terhadap inovasi pun muncul. Apakah berbicara tentang penolakan terhadap perubahan atau nilainilai dan pendapat berbeda, dalam banyak kasus tergantung pada deinisi yang digunakan. Banyak inovator telah mengalami konlik jelas dengan orang lain, tetapi setelah dieksplorasi lebih jauh, terdapat kesepahaman yang dapat dibentuk antara innovator dan adopter. 3.2. Metode yang Digunakan Dalam menerapkan pembangunan kesehatan lingkungan masyarakat, komunikasi partisipatoris (Hamijoyo, 2005) menjadi pendekatan yang efektif dilakukan, mengingat dalam konteks ini proses humanis dengan menempatkan individu sebagai aktor aktif merespon setiap stimulus yang muncul dalam lingkungan yang menjadi medan kehidupannya, agar lebih berdaya, lebih produktif, dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya salah satu model yang efektif diterapkan diantaranya CLTS (Community Led Total Sanitation), dengan beberapa prinsip-prinsip CLTS, adalah: 1) Program dilaksanakan tanpa memberikan subsidi kepada masyarakat; 2) Tidak menggurui, tidak memaksa, dan tidak mempromosikan jamban; 3) Masyarakat sebagai pemimpin; 4) Totalitas, seluruh komponen masyarakat terlibat dalam analisis permasalahan pelaksanaan, serta pemanfaatan dan pemeliharaan. Community Led tidak hanya berkaitan dengan sanitasi, tetapi juga dapat meliputi hal lain, yaitu pertanian dan pendidikan, dan lain-lain, yang penting adalah: 1) Inisiatif masyarakat; 2) Total atau keseluruhan, keputusan masyarakat
dan pelaksanaan secara kolektif adalah kunci utama; 3) Solidaritas masyarakat (laki-laki-perempuan, kaya-miskin) sangat terlihat dalam pendekatan ini; 4) Semua dibuat oleh masyarakat, tidak ada ikut campur pihak luar, biasanya akan muncul natural ledder. Dalam melakukan berbagai upaya perubahan perilaku masyarakat menuju kehidupan yang lebih sehat, berbagai perbaikan sistem pendekatan terus dilakukan, seperti Sistem Drive menjadi Community Led Process Approach dengan mengurai beberapa keuntungan dan kelemahan pola lama dan baru, antara lain: Kriteria input luar masyarakat Cakupan Indikator keberhasilan Bahan yang digunakan Biaya Pemanfaatan Waktu yang dibutuhkan Motivasi utama Model penyebaran
Sistem Target Drive Subsidi benda untuk jamban (model ditentukan) Sebagian Menghitung jamban Semen, porslein, batu, dll Rp 500.000,- s.d. Rp 1.000.000,per model Yang punya uang Sesuai target proyek Subsidi/bantuan Oleh organisasi luar/formal
Keberlanjutan Sanksi bila melakukan BAB sembarangan
Sulit untuk dipastikan Tidak ada
Tipe monitoring
Oleh proyek
CLTS Pemberdayaan masyarakat, muncul inovasi lain dari masyarakat Menyeluruh Tidak ada lagi kebiasaan BAB di sembarang tempat Bambu, kayu, dll Relatif lebih murah Masyarakat sangat miskin Ditentukan masyarakat Harga diri Oleh masyarakat melalui hubungan persaudaraan, perkawanan, dan lain-lain Dipastikan masyarakat Disepakati masyarakat, contoh: India 20 rupee (10 rupee untuk pengelolaan dan 10 rupee untuk menentukan pelaku open defection) Oleh masyarakat (bias harian, bulanan, mingguan)
Dalam CLTS sebagai pendekatan untuk melakukan perubahan perilaku masyarakat, terdapat 3 (tiga) pilar PRA (Participatory Rural Appraisal), seperti dapat digambarkan sebagai berikut:
Personal
Perubahan perilaku Dan kebiasaan
Metode
Profesional
Berbagi
Institusional
3 (tiga) pilar utama dalam PRA sebagai basis CLTS, yaitu: Attitude and behaviour change (perubahan perilaku dan kebiasaan), sharing (berbagi), dan method (metode). Ketiganya merupakan pilar utama yang harus diperhatikan dalam pendekatan CLTS, namun
180
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
dari ketiganya yang paling penting adalah perubahan perilaku dan kebiasaan, jika perilaku dan kebiasaan tidak berubah, maka tidak akan pernah mencapai tahap sharing dan sangat sulit menerapkan metode. Perilaku dan kebiasaan dimaksud dan harus berubah adalah fasilitator, perilaku dan kebiasaan yang harus diubah, diantaranya: 1) Pandangan bahwa ada kelompok yang berada di tingkat atas (upper) dan kelompok yang berada di tingkat bawah (lower). Cara pandang upper lower harus diubah menjadi pembelajaran bersama, bahkan menempatkan masyarakat sebagai guru, karena masyarakat sendiri paling tahu apa yang terjadi dalam masyarakat; 2) Cara pikir bahwa datang bukan untuk memberi sesuatu, tetapi menolong masyarakat menemukan sesuatu; 3) Bahasa tubuh atau gesture, sangat berkaitan dengan pandangan upper lower, bahasa tubuh yang menunjukkan bahwa seorang fasilitator mempunyai pengetahuan atau keterampilan yang lebih dibandingkan masyarakat harus dihindari. Perubahan perilaku dan kebiasaan yang dilakukan terhadap masyarakat harus total, didalamnya meliputi: Perilaku personal atau individu, Perilaku institusional atau kelembagaan, dan Perilaku profesional atau yang berkaitan dengan profesi. Ketika perilaku dan kebiasaan (termasuk cara pikir dan bahasa tubuh) dari fasilitator telah berubah, maka sharing akan segera dimulai. Masyarakat akan merasa bebas untuk mengatakan tentang apa yang terjadi di komunitasnya dan mulai merencanakan melakukan sesuatu. Setelah masyarakat dapat berbagi, metode mulai dapat diterapkan. Masyarakat secara bersamasama melakukan analisis terhadap kondisi dan masalah masyarakat tersebut. Dalam CLTS, fasilitator tidak melakukan solusi. Namun ketika metode telah diterapkan (proses pemicu telah dilakukan), masyarakat terpicu, sehingga diantaranya memiliki keinginan untuk berubah tetapi masih ada kendala, misalnya kendala teknis, ekonomi, budaya, dan lain-lain, maka fasilitator mulai memotivasi untuk mencapai perubahan lebih baik, misalnya dengan cara memberikan alternatif pemecahan masalah tersebut, mengenai usaha atau alternatif yang digunakan, semuanya harus dikembalikan kepada masyarakat. Dalam pendekatan CLTS dan pendekatan lainnya, partisipasi atau keterlibatan masyarakat merupakan hal yang mutlak diperlukan. Tingkatan pastisipasi masyarakat, mulai terendah sampai 181
tertinggi adalah sebagai berikut: 1) Masyarakat hanya menerima informasi, keterlibatan masyarakat hanya sampai diberi informasi (misalnya melalui pengumuman) dan bagaimana informasi itu diberikan ditentukan oleh pemberi informasi (pihak tertentu); 2) Masyarakat mulai diajak berunding, pada level ini sudah ada komunikasi dua arah, dimana masyarakat mulai diajak untuk diskusi atau berunding. Dalam tahap ini meskipun sudah dilibatkan dalam perundingan, pembuat keputusan adalah orang luar atau orang-orang tertentu; 3) Membuat keputusan secara bersama-sama antara masyarakat dan pihak luar; 4) Masyarakat mulai mendapatkan wewenang atas control sumber daya dan keputusan. Dari keempat tingkat partisipasi tersebut, yang diperlukan dalam CLTS adalah tingkat partisipasi tertinggi dimana masyarakat tidak hanya diberi informasi, tidak hanya diajak berunding, tetapi sudah terlibat dalam proses pembuatan keputusan, bahkan sudah mendapatkan wewenang atas control sumber daya masyarakat itu sendiri terhadap keputusan dibuat. Dalam prinsip community led telah disebutkan bahwa ‘keputusan dan tindakan bersama dari masyarakat sendiri merupakan kunci utama. Masyarakat setempat, terutama yang berada di daerah kumuh dijadikan sebagai sumber informasi untuk memperoleh data yang diperlukan, meliputi kebiasaan memenuhi kebutuhan MCK, khususnya BAB, dengan membangkitkan rasa jijik, rasa jera, dan berusaha selalu menjaga agar udara dan lingkungan selalu bersih dan sehat. Selain itu melibatkan tokohtokoh masyarakat dan beberapa para ahli yang berkecimpung dan ikut memperhatikan kelestarian lingkungan sebagai dampak ulah manusia, melalui kegiatan Focus Group Discussion (FGD) agar diperoleh data akurat terkait penyelesaian persoalan yang sangat mendasar ini. Perlu adanya perubahan pendekatan dari program terdahulu menjadi kecenderungan saat ini, termasuk yang digunakan dalam CLTS, yaitu: Program terdahulu (Biasa Target Oriented) Perkembangan jumlah sarana Subsidi Model-model sarana disarankan pihak luar Sasaran utama adalah kepala keluarga Top down Fokus pada jumlah jamban Pendekatannya bersifat blue print
Kecenderungan saat ini Perubahan perilaku dan kesehatan Solidaritas social Model-model sarana digagas dan dikembangkan masyarakat Sasaran utama adalah masyarakat secara utuh Bottom up Fokus pada berhentinya BAB di sembarang tempat Pendekatan lebih fleksibel
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Pendekatan CLTS muncul berawal dari sebuah participatory impact assessment yang dilakukan pada tahun 1999 terhadap program air bersih dan sanitasi yang telah dijalankan selama 10 tahun disponsori oleh Water Aid, sebuah lembaga swadaya masyarakat Internasional, menghasilkan dua rekomendasi utama. Salah satu rekomendasi tersebut mengembangkan sebuah strategi secara perlahan-lahan mencabut subsidi untuk pembangunan toilet. Ciri utama pendekatan ini adalah tidak adanya subsidi infrastruktur (jamban keluarga), dan masyarakat tidak menetapkan blue print jamban yang dibangun masyarakat. Pada dasarnya CLTS adalah pemerdayaan dan tidak membicarakan masalah subsidi, artinya masyarakat yang dijadikan guru tidak memberikan subsidi sama sekali. Implementasinya lebih kepada pemicuan setelah sebelumnya dilakukan analisis partisipatif oleh masyarakat, diantaranya: Perasaan jijik, perasaan malu dan kaitannya dengan privacy seseorang, perasaan takut sakit, perasaan takut berdosa, perasaan tidak mampu dan kaitannya dengan kemiskinan. Berikut ini adalah elemen-elemen yang harus dipicu, dan alat-alat PRA yang digunakan untuk pemicuan factorfaktor tersebut: Hal-hal yang harus dipicu Rasa jijik
Rasa malu Rasa sakit
Aspek agama Privacy Kemiskinan
Alat yang digunakan Transect walk Demo air yang mengandung tinja, untuk digunakan cuci muka, kumur-kumur, sakit gigi, cuci piring, cuci pakaian, cuci makanan/beras, dan lain-lain. Transect walk FGD (terutama untuk perempuan) FGD Perhitungan jumlah tinja, pemetaan rumah warga terkena diare dengan dukungan data puskesmas, alur kontaminasi. Mengutip hadist atau pendapat-pendapat para ahli agama yang relevan dengan perilaku manusia dilarang karena merugikan manusia itu sendiri FGD (terutama dengan perempuan) Membandingkan kondisi di desa/dusun yang bersangkuta dengan masyarakat termiskin, seperti di Bangladesh atau India.
untuk membuatnya. Pemikiran ini sedikit banyak menghambat animo masyarakat untuk membangun jamban, karena alasan ekonomi dan lainnya, sehingga kebiasaan masyarakat membuang air sembarangan masih tetap berlanjut. Pada prinsipnya sebuah sarana sanitasi terbagi menjadi tiga (3) kelompok berdasarkan letak konstruksi dan kegunaannya, yaitu: Pertama, bangunan tanah berfungsi sebagai tempat pembuangan tinja. Fungsi bangunan bawah tanah adalah melokalisasi tinja dan mengubahnya menjadi lumpur stabil. Kedua, bangunan permukaan tanah (landasan), bangunan di permukaan ini erat kaitannya dengan keamanan saat orang tersebut membuang hajat. Aman dalam arti aman dari terperosok ke lubang kotoran, aman saat membuang hajat (malam hari/saat hujan/aman digunakan orang jompo). Ketiga, bangunan dinding. Bangunan dinding penghalang erat kaitannya dengan faktor kenyamanan, psikologis, dan estetika. Jamban adalah bagian bangunan landasan yang dipasang di muka tanah untuk buang air besar manusia. Dalam program CLTS juga disampaikan beberapa alternatif jenis jamban yang dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Beberapa jenis jamban yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Sedangkan untuk menentukan keberhasilan pendekatan ini (dapat diterapkan atau tidak), sangat tergantung pada masyarakat. Adapun Sanitation Ladder atau tangga sanitasi merupakan tahap perkembangan sarana sanitasi yang digunakan masyarakat, dari sangat sederhana sampai sanitasi yang sangat dilihat dari aspek kesehatan, keamanan, dan kenyamanan bagi penggunanya. Dalam CLTS, masyarakat tidak diminta atau disuruh untuk membuat sarana sanitasi, tetapi hanya mengubah perilaku sanitasi masyarakat. Namun, tahap selanjutnya, ketika masyarakat mengubah perilaku BAB-nya, sarana sanitasi menjadi tidak terpisahkan. Seringkali pemikiran masyarakat akan sarana sanitasi adalah sebuah bangunan kokoh, permanen, dan membutuhkan biaya besar 182
Uraian
Konstruksi
Cemplung Bentuk bangunan sangat sederhana, hanya berupa lubang yang menyalurkan tinja ke dalam tanah
Plengsengan Tidak terdapat kloset, tetapi kloset dengan tertentu dengan halus
Dapat menggunakan material setempat yang ada seperti batu, kayu, dan lainlain. Tidak permanen, umur bangunan lebih pendek dibandingkan jenis bangunan lain Hanya menyalurkan tinja ke dalam tanah
Dapat dibuat dengan satuan Hanya dapat dibeli di toko tanpa membutuhkan cetakan atau dibuat dalam jumlah banyak
Fungsi Lubang tinja terlihat dari atas
Kondisi Syarat
Bisa digunakan di daerah yang kurang air, karena kloset jenis ini tidak butuh air pembilasan Sebaiknya pada lubang disediakan penutup yang mudah untuk diangkat/ dipindahkan (utup bergagang)
Leher Angsa air dalam Terdapat air di dalam permukaan kloset kemiringan permukaan
Kemiringan tersebut berguna, jatuhan tinja tidak langsung jatuh ke bawah melalui kloset
Air berfungsi untuk menahan gas dari bawah, sehingga bau yang ditimbulkan tinja berkurang dan terhindar dari lalat Bau yang ditimbulkan tidak Media air dapat dilihat langsung ke atas, karena sebagai ciri kebersihan atau berfungsi tidaknya kloset terhalang media miring Lubang tinja tidak serta merta terlihat dari atas cukup Terkadang diperlukan air Membutuhkan air untuk pembilasan untuk media banyak pembilasan miring Sebaiknya pada lubang disediakan penutup yang mudah untuk diangkat/ dipindahkan (tutup berpegang)
Penutup hanya digunakan untuk menjaga kebersihan, misalnya kloset berada di bawah pohon, hingga daun berguguran atau hewan seperti ayam, itik, dsb.
4. Simpulan Bila sedikit cermat memperhatikan wabah penyakit di wilayah Kota Serang, maka penyebab utama dari percepatan penyebaran wabah penyakit
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
disebabkan buruknya kualitas sanitasi lingkungan hidup. Tidak perlu jauh sampai harus mencermati pola hidup masyarakat tradisional (pedesaan), pada masyarakat perkotaan pun masih banyak membuang kotoran manusia di sembarang tempat, atau dalam istilah masyarakat Banten pada umumnya disebut dolbon (modol di kebon). Proses pengadopsian program pembangunan kesehatan PHBS sebagai salah satu inovasi, diperlukan strategi pemberdayaan masyarakat melalui PHBS berorientasi pada nilainilai sosial budaya yang hidup dan berkembang, dengan mengartikan bahwa proses pembangunan kesehatan ini tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomis, tetapi juga nilai tambah sosial secara adil (equity) dan setara (equality), serta partisipasi sebagai upaya pengembangan kapasitas manusia dan masyarakat berdasarkan spektrum helping people to help themselves, baik individu, kelompok, maupun orang sebagai kekuatan civil society. Untuk melaksanakan kegiatan komunikasi pemasaran sosial melalui komunikasi pembangunan kesehatan masyarakat menuju lingkungan lestari, selalu dimulai dengan promosi mengenai sikap atau kepercayaan yang dikaitkan dengan bidang kesehatan berpola hidup bersih dan sehat. Tujuan pokok dari program komunikasi kesehatan adalah perubahan perilaku kesehatan masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatan. Tumbuhnya motivasi di kalangan masyarakat, diharapkan upaya-upaya pergerakan masyarakat menjadi lebih dinamis. Dalam menerapkan pembangunan kesehatan lingkungan masyarakat, komunikasi partisipatoris (Hamijoyo, 2005) menjadi pendekatan yang efektif dilakukan, mengingat dalam konteks ini proses humanis dengan menempatkan individu sebagai aktor aktif merespon setiap stimulus yang muncul dalam lingkungan yang menjadi medan kehidupannya, agar lebih berdaya, lebih produktif, dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya, salah satu model yang efektif diterapkan diantaranya CLTS (Community Led Total Sanitation), dengan berbagai prinsip dan beberapa langkah efektif mencapai tujuan pelaksanaan program, dengan analisis pendekatan teori difusi inovasi.
183
Daftar Pustaka Anwar, Ariin. 1986. Strategi Komunikasi. Armico, Bandung. Ajzen, I. 1988. Attitudes, Personality, and Behavior, Milton Keynes: Open University Press. Bird. M.J. 1996. Entrepreneurial Behavior. Singapore: Irwin Mc Graw Hill Brent D. Ruben and Lea P. Stewart. 2006. Communication and Human Behavior. Boston: Pearson. Devito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antar Manusia (Kuliah Dasar, Edisi Kelima), Alih Bahasa oleh: Agus Maulana, Penerbit Profesional Book, Jakarta. Everett M. Rogers & F. Floyd Shoemaker 1987. Communication of Innovation. he Free Press. he USA. Foy, Nancy. 1994. Empowering People at Work; Grower Publishing Company, London Hanai, Abdillah, 1987. Memasyarakatkan Ide-ide Baru. Usaha Nasional Surabaya, Indonesia. Kriyantono, Rahmat. 2006. Riset Komunikasi. Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Lowe, Philip. 1995. Empowering Individuals. McGrawHill Inc, London Nasikun, 1984. Sistem Sosial Budaya. PT Raja Graindo Persada, Jakarta Pace, R. Wayne, et.al. 2002. Komunikasi Organisasi, Strategi meningkatkan kinerja perusahaan. PT Rosda Karya, Bandung. Rogers, Everett M. dan Kincaid D.L, Communication Networts Toward a New Paradigm For Research, New York: he Free Press, 1981, hal. 134 Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pengantar. Ghalia Indonesia, Bogor. Wursanto, Ig. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Komunikasi. Andi Ofset, Jogjakarta. Sumber Lain: Buku Putih Serang (BPS) Bapeda, Kota Serang 2011. Daoed Joesoef, Alumnus Universite Pluradisciplinaires Pantheon-Sorbonne, Kompas, 30 April 2012. Pembangunan Pendekatan Budaya (Artikel). Jurnal Penelitian LPPM Untirta, Serang, 2011. Jurnal Tridarma Kopertis Wilayah IV, Bandung, 2011 Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1114/ MENKES/SK/VIII/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah,
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Departemen Kesehatan RI-Pusat Promosi Kesehatan, 2005. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1193/ MENKES/SK/X/2004 tentang Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan, Departemen Kesehatan RI-Pusat Promosi Kesehatan, 2005. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 585/MENKES/ SK/V/2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Puskesmas, Departemen Kesehatan RI-Pusat Promosi Kesehatan, 2008. Mediator Jurnal Komunikasi Vol 9 No. 1 Juni 2008 status terakreditasi Pedoman CLTS Kementerian Kesehatan RI
184
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
City Branding Kota Serang melalui Konsep Sister City, Mungkinkah? Rd. Nia Kania Kurniawati11*) Abstrak Di sektor publik, diakui atau tidak, dengan penerapan otonomi daerah serta meluasnya trend globalisasi saat ini, peluang daya tarik daerah pun harus saling berebut satu sama lain. Antara lain dalam hal atensi, keterbukaan pasar, peningkatan mobilitas investasi dan bisnis, turis, tempat tinggal, tenaga kerja terampil, dan pelaksanaan kegiatankegiatan lainnya. Dampak persaingan tersebut meyakinkan pembuat kebijakan dan ahli komunikasi untuk segera menciptakan tantangan yang cukup besar serta peluang baru untuk menarik hal-hal tersebut ke daerah mereka. Branding adalah sebuah alat yang dapat meningkatkan kemampuan penciptaan nilai dalam menjawab tantangan dan membantu untuk mencapai tujuan strategis tersebut. Sebuah merek kota adalah janji tentang nilai dan sebuah janji yang harus ditepati. Oleh karena itu sebuah daerah pun membutuhkan merk yang kuat. Secara deinisi, City Brand adalah indentitas, simbol, logo, atau merk yang melekat pada suatu daerah. Pemda beserta ahli komunikasi sedianya berkerjasama membangun merk untuk daerahnya, tentu yang sesuai dengan potensi maupun positioning yang menjadi target daerah tersebut. Banyak keuntungan yang akan diperoleh jika suatu daerah melakukan City Branding. Adapun Serang merupakan kota yang baru menggeliat dan tiba-tiba harus berkutat dalam persaingan di era ini. Dengan menggunakan komunikasi internasional, Kota Serang diharapkan melakukan haluan aktivtas brandingnya melalui konsep sister city. Dengan penambahan konsep sister city, untuk ke depan Serang akan dikenal luas disertai dengan persepsi yang baik; dianggap sesuai untuk tujuan-tujuan khusus; dianggap tepat untuk tempat investasi, tujuan wisata, tujuan tempat tinggal, dan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan dan terakhir dipersepsikan sebagai tempat dengan kemakmuran dan keamanan yang terukur tinggi. Kata Kunci: Komunikasi Internasional, City Brand, Sister City. I.
Pendahuluan Kota dan daerah perkotaan bersaing dengan tempat lain untuk perhatian, investasi, pengunjung, pembeli, kompetensi, kegiatan, dan sejenisnya. Globalisasi yang dipercepat dan diintensifkan telah menyebabkan situasi di mana kompetisi utama tidak lagi dengan kota di kawasan yang sama, tetapi di mana pesaing adalah tempat di belahan dunia lain. Dan persaingan global ini tidak lagi terbatas pada ibukota dan kota-kota besar lainnya; tapi sekarang langsung mempengaruhi semua kota dan lokus konsentrasi permukiman perkotaan. Di sektor publik, diakui atau tidak, dengan penerapan otonomi daerah serta meluasnya trend globalisasi saat ini, peluang daya tarik daerah pun harus saling berebut satu sama lain. Antara lain dalam hal atensi, keterbukaan pasar, peningkatan mobilitas investasi dan bisnis, turis, tempat tinggal, tenaga kerja terampil, dan pelaksanaan kegiatankegiatan lainnya. Negara, kota dan tujuan wisata semakin bersaing dalam upaya untuk menarik wisatawan, penduduk baru, bisnis dan investasi ke daerah mereka. Globalisasi persaingan, peningkatan mobilitas investasi dan tenaga kerja terampil, keterbukaan pasar, dampak perubahan teknologi serta pasar pariwisata mengubah konsumen untuk menciptakan tantangan yang cukup besar serta peluang menarik untuk tempat.
1 *) Dosen di Program Studi Ilmu Komunikasi UNTIRTA, Banten.
185
Branding adalah sebuah alat yang dapat meningkatkan kemampuan penciptaan nilai dari tempat itu, dan membantu untuk mencapai tujuan strategis itu. 2. Kajian Pustaka 2.1. Komunikasi Internasional Komunikasi internasional adalah bidang kajian dalam wilayah ilmu komunikasi yang semakin menarik banyak perhatian. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi rangkaian bidang kajian ini adalah gejala globalisasi. Dimana sebuah sistem yang masing-masing bagiannya kini mempunyai keterkaitan satu sama lain, antara lain begitu pesatnya pertumbuhan teknologi komunikasi modern. Bicara mengenai komunikasi internasional bukanlah sematamata bayangan tentang hubungan antarsatu negara dengan satu negara lainnya, tapi yang justru lebih dominan adalah hubungan antarbanyak faktor dari banyak negara. Untuk lebih mengefektifkan komunikasi maka diperlukan suatu strategi, dimana untuk mencapai tujuan tidak hanya berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukkan arah tetapi harus menunjukkan bagaimana taktik operasionalnya. Oleh karena itu strategi komunikasi baik secara makro (planned multimedia strategy) maupun secara mikro (single communication medium strategy) mempunyai fungsi ganda :
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
1. Menyebarluaskan pesan komunikasi yang bersifat informatif, persuasif, dan instruktif secara sistematis kepada sasaran untuk memperoleh hasil yang optimal. 2. Menjembatani ”kesenjangan budaya” (cultural gap) akibat kemudahan diperolehnya dan kemudahan dioperasionalkannya media yang begitu ampuh, yang jika dibiarkan akan merusak nilai-nilai budaya. Dengan demikian diperlukan suatu strategi pula dalam komunikasi internasional dimana ketika kelompok-kelompok masyarakat dunia bergerak keluar dari lingkungan asalnya untuk menjelajahi wilayah lain yang sebelumnya tak pernah dikenalnya. Komunikasi Internasional merupakan proses komunikasi yang berlangsung atau dilakukan komunikator yang mewakili suatu negara atau bangsa untuk menyampaikan pesan-pesan yang berkaitan dengan berbagai kepentingan negara atau masyarakat di negaranya kepada komunikan yang mewakili negara lain dengan tujuan untuk memberi tahu atau sebaliknya untuk mengetahui sesuatu untuk mempengaruhi orang lain untuk bertindak. Kegiatan atau ruang lingkupnya meliputi kegiatan menumbuhkan, memelihara, atau meningkatkan citra serta memperoleh dukungan yang lebih luas terhadap program, kondisi atau kegiatan tertentu. Singkatnya, komunikasi internasional adalah komunikasi dimana interaksi dan ruang lingkupnya bersifat lintas negara serta berlangsung di antara orang-orang yang berbeda kebangsaan. Berbagai kunjungan kenegaraan, wisata, keikutsertaan dalam konferensi, events dan kesenian merupakan kegiatan komunikasi internasional. Jadi, berbagai kegiatan untuk saling mengenal lebih dekat atau memperkenal diri (negara, bangsa, kelompok, organisasi, perusahaan) merupakan bagian dari komunikasi internasional. Adapun tiga kriteria yang membedakan komunikasi internasional dengan bentuk komunikasi lainnya: 1. Jenis isu, pesannya bersifat global. 2. Komunikator dan komunikannya berbeda kebangsaan. 3. Saluran media yang digunakan bersifat internasional. Fungsi Komunikasi Internasional: 1. Mendinamisasikan hubungan internasional yang terjalin antara dua negara atau lebih serta hubungan diberbagai bidang antara kelompokkelompok masyarakat yang berbeda negara atau berbeda kebangsaan (kewarganegaraan). 2. Membantu atau menunjang upaya-upaya
pencapaian tujuan Hubungan internasional dengan meningkatkan kerja sama internasional serta menghindari terjadinya konlik atau kesalahpahaman baik antara pemerintah dengan pemerintah (G to G) ataupun antara penduduk dengan penduduk (P to P). 3. Merupakan teknik untuk mendukung pelaksanaan politik luar negeri bagi masing-masing negara atau untuk memperjuangkan pencapaian kepentingankepentingannya di negara-negara lain. Komunikasi internasional dapat dipelajari dari empat perspektif: diplomatik, jurnalistik, propagandistik dan bisnis. 1. Perspektif Diplomatik Lazim dilakukan secara interpersonal atau kelompok kecil (small group) lewat jalur diplomatik; komunikasi langsung antara pejabat tinggi negara untuk bekerjasama atau menyelesaikan konlik, memelihara hubungan bilateral atau multilateral, memperkuat posisi tawar, ataupun meningkatkan reputasi. Dilakukan pada konferensi pers, pertemuan politik, atau jamuan makan malam. 2. Perspektif Jurnalistik Dilakukan melalui saluran media massa. Karena arus informasi didominasi negara maju, ada penilaian komunikasi internasional dalam perspektif ini didominasi negara maju, juga dijadikan negara maju sebagai alat kontrol terhadap kekuatan sosial yang dikendalikan kekuatan politik dalam percaturan politik internasional. Penguasa arus informasi menjadi gatekeeper yang mengontrol arus komunikasi. Jalur jurnalistik ini jug sering digunakan untuk tujuan propaganda dengan tujuan mengubah kebijakan dan kepentingan suatu negara atau memperlemah posisi negara lawan. 3. Perspektif Propaganda. Umumnya dilakukan melalui media massa, ditujukan untuk menanamkan gagasan ke dalam benak masyarakat negara lain dan dipacu sedemikian kuat agar mempengaruhi pemikiran, perasaan, serta tindakan; perolehan atau perluasan dukungan, pertajam atau pengubahan sikap dan cara pandang terhadap suatu gagasan atau peristiwa atau kebijakan luar negeri tertentu. Propaganda merupakan instrumen terampuh untuk memberikan pengaruh. 4. Perspektif Bisnis Komunikasi internasional berlangsung untuk kepentingan bisnis, termasuk juga untuk kepentingan
186
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
memajukan pariwisata. Jadi kegiatan komunikasi internasional menyangkut promosi bisnis serta produk yang berupaya merangkul baik pemerintah maupun pihak swasta negara lain untuk melakukan transaksi-transaksi bisnis (perdagangan, investasi, travel, turisme, dsb) 2.2. Pendekatan Komunikasi Internasional Dalam perkembangannya, komunikasi internasional dilandasi oleh empat pendekatan (Mowlana, 1986) antara lain : 1. Pendekatan Idealistic – Humanistic yang menggolongkan komunikasi internasional sebagai cara atau alat untuk menyatukan bangsa-bangsa di dunia, dan sebagai kekuatan untuk membantu organisasi internasional dalam melaksanakan pelayanan mereka terhadap komunitas dunia. Dalam pendekatan ini komunikasi internasional dilihat sebagai sarana bagi upaya peningkatan saling pengertian di antara bangsa-bangsa dan rakyatnya untuk menuju perdamaian dunia. 2. Pendekatan Political Proselytization, cenderung memfokuskan diri pada berbagai peristiwa komunikasi internasional dimana proses penyebaran pasar difungsikan sebagai sarana propaganda, konfrontasi ideologis, serta penciptaan mitos politik. 3. Pendekatan ekonomi, memandang informasi dalam konteks internasional sebagai kekuatan ekonomi.. 4. Pendekatan politis, dimana informasi dalam beragam bentuknya diperlakukan sebagai komoditas yang tidak netral dan bebas nilai, melainkan mengandung arti politik. Masing-masing pendekatan memiliki kekuatan dan kelebihannya sendiri-sendiri. Dilihat dari pelakunya, komunikasi internasional dapat dipandang sebagai terbagi antara oicial transaction, yakni kegiatan komunikasi yang dijalankan pemerintah, dan unoicial transaction, yakni kegiatan yang melibatkan pihak non pemerintah. Untuk jangka waktu yang lama, transaksi formal antarpemerintah dianggap paling menentukan. Namun semakin banyak ditunjukkan bahwa tidak saja transaksional lebih intensif dilakukan, namun dampaknya pun bisa lebih menentukan. Munculnya sistem negara bangsa mengantar suatu zaman kegiatan diplomatic. Periode yang berkisar antara munculnya sistem negara bangsa sampai pada perang Dunia I umumnya digambarkan sebagai era “Diplomasi Lama”. Selama masa ini diplomasi didominasi oleh sarana-sarana yang ataupun 187
taktikdimana para diplomat sangat sadar akan ruang lingkup dan guna diplomasi. Mereka tahu bahwa diplomasi harus menentukan tujuannya, dengan memperhitungkan power yang benar-benar ada dan potensial bagi pencapaian tujuan-tujuan itu. Untuk memperoleh tujuan-tujuan yang lebih besar, negara-negara itu kadang-kadang menggunakan ancaman atau bahkan penggunaan kekuatan yang sesungguhnya. Akan tetapi hal ini jarang menjadi ancaman nyata bagi substansi nasional suatu negara. Biasanya mereka bisa mencapai kompromi persetujuan pada hal-hal yang sangat menonjol, Diplomasi tradisional atau Diplomasi Lama dengan demikian mencirikan semangat kompromi. J.G Stoessinger menyatakan ciri khas diplomasi lama adalah aturan quid pro qu. Setelah Perang Dunia I beberapa perubahan besar terjadi pada cara-cara dan sarana diplomasi. Woodrow Wilson, sebagaimana disebutkan oleh Nicholson, sebagai Bapak Diplomasi Baru. Sebagai Presiden AS pada masa Konferensi Perdamaian Paris, Wilson memperkenalkan teknik-teknik diplomasi yang sangat berbeda dengan diplomasi lama. Ia memformulasikan tujuan diplomasi terbuka yang dicapai secara terbuka tak boleh diikuti dengan pengertian internasional secara tersendiri dalam bentuk apa pun, tetapi diplomasi harus berlangsung secara terbuka dan diketahui umum. Diplomasi Terbuka mengandung 3 gagasan: 1. harus tidak ada perjanjian rahasia 2. Negosiasi harus dilakukan secara terbuka 3.Apabila suatu perjanjian sudah dicapai, tak boleh ada usaha di belakang layar untuk mengubah ketetapannya secara rahasia. Teknik-teknik diplomasi yang dipergunakan adalah First Track Diplomacy, Second Track Diplomacy and Multitrack Diplomacy. First Track Diplomacy adalah diplomasi klasik dan dilakukan secara formal. Pada diplomasi jenis ini, wakil-wakil resmi pemerintahan bertemu dalam meja perundingan, dengan jadwal dan protokoler yang kaku dan bertujuan untuk menghasilkan kesepakatan yang bersifat tertulis. Second Track Diplomacy merupakan kebalikan dari diplomasi klasik. Disini para wakil pemerintahan melakukan pertemuan dalam suasana yang informal, tanpa aturan protokoler yang ketat dan tidak diarahkan untuk mencapai kesepakatan yang mengikat. Second Track Diplomacy bisa sangat membantu First Track Diplomacy, terlebih untuk mencairkan suasana yang dingin dan saling mengerti posisi masing-masing pihak.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Multitrack Diplomacy merupakan gabungan dari kedua teknik diplomasi yang ada. Teknik ini biasanya dilakukan untuk masalah yang sangat alot dan susah dicari solusinya. Pertemuan ini diadakan dalam rangkaian pertemuan yang bukan hanya melibatkan wakil dari pemerintahan, tetapi juga para ahli hukum, para profesional, analis politik, lembaga swadaya masyarakat, pers dan juga generasi muda. Kombinasi dari teknik diplomasi tersebut secara simultan akan memberikan kontribusi yang positif terhadap penyelesaian konlik. Adapun fokus dari komunikasi internasional adalah untuk mencapai positif peace. Positif peace ditandai dengan adanya/kehadiran sesuatu. Ini bisa dicapai dengan cara diplomasi, yaitu mekanisme komunikasi dalam penyelesaian konlik. Mekanisme penyelesaian konlik tersebut bisa berbentuk hukum, nilai-nilai, diplomasi, mediasi, organisasi internasional dan lain-lain. Selain itu positif peace pun bisa dicapai melalui perdamaian melalui power/aliansi/keamanan bersama; pelucutan senjata dan pengawasan senjata; organisasi internasional; hukum internasional; pemerintahan dunia; pembangungan dan kesejahteraan; keadilan dan hak asasi manusia (HAM); demokrasi dan demokratisasi; masalah lingkungan hidup; masalah moral dan agama dan tidak lupa perspektif feminis. Dalam komunikasi internasional, isu-isu yang disusun menjadi pesan merupakan isu-isu global atau isu-isu internasional, yang menyangkut urusan serta kepentingan dua negara atau lebih. Dengan demikian apabila pesan yang disampaikan atau isu yang menjadi bahan pembicaraan baik lisan mapun tulisan merupakan isu internasional. Karl W. Deutsch di dalam bukunya Analysis of International Relations mengemukakan 12 (duabelas) masalah/isu dalam hubungan internasional, antara lain : 1. Nation and World 2. Transnational Processes and International Interdependence 3. War and Peace 4. Power and Weaknesses 5. International Politics and International Society 6. World Population versus Food, Resources and Environment 7. Prosperity and Poverty 8. Freedom and Oppresion 9. Perception and Illusion 10. Activity and Apathy 11. Revolution and Stability 12. Identity and Transformation
Lebih lanjut James E. Dougherty (Gavin Boyd dan Charles Pentland, 1981:5-6) mengemukakan bahwa karakteristik isu-isu global yang membedakan dengan isu domestik internasional adalah : 1. Isu tersebut memicu perdebatan atau menarik perhatian bagi para elit atau pembuat keputusan dari berbagai negara atau negara yang memang terlibat isu yang diperdebatkan itu. 2. isu yang diliput secara berkelanjutan oleh media massa seluruh dunia 3. isu yang berlanjut menjadi objek kajian, penelitian dan debat bagi ilmuwan profesional dan pakar dalam komunikats masyarakat internasional. Secara lebih spesiik Richard Sterling mengungkapkan isu global adalah nuclear escalation, the population explosion, the pollution of environment, the communication revolutions, the world wide concentration of wealth and world wide expansion of poverty are all essentially global and not local phenomena. hey gave given rise, in turn, to earth spannin and revolutionary demands for mass education, mass health, mass welfare, and mass participation in the decision’s afecting man’s fate. (Sterling, 1974:322) 2.3. Interaksi dan Interdependensi Interaksi internasional merupakan proses interaksi dan pertukaran antara aktor-aktor dalam sistem internasional yang relevan secara politis. Oleh karena itu interaksi internasional ini akan mencerminkan tujuan-tujuan, sumber-sumber daya, serta tindakan-tindakan dari aktor tersebut, dan akan dipengaruhi oleh konteks dan tindakan dimana interaksi international itu terjadi. Dalam politik dunia kontemporer seperti yang digambarkan oleh perspektif pluralis, aktor internasional terdiri dari aktor negeara dan aktor non negara. Keduanya memiliki peran penting dalam interaksi dari internasional. Salah satu dari konsep utama yang dipakai untuk menggambarkan sifat sistem internasional kontemporer adalah interdependensi. Konsep itu menyatakan bahwa negara bukan aktor independen secara keseluruhan, negara bergantung satu sama lainnya. Tidak ada satu negara pun seluruhnya bisa memenuhi sendiri kebutuhannya, masing-masing bergantung pada sumber daya dan produk dari lainnya. Sebagian besar cara pengklasiikasian aktor dalam hubungan internasional modern menekankan pentingnya faktor-faktor struktural. Yakni untuk mengetahui bagaimana sebuah kelompok masyarakat mengorganisir diri untuk membuat keputusan yang otoritatif, yang mengikat semua anggota kelompok
188
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
itu dan untuk mengenali pola perilaku manakah yang menjadi standar kelompok masyarakat tertentu. Faktor-faktor struktural paling penting antara lain adalah kedudukan resmi aktor (pemerintah atau non pemerintah) dan di tingkat mana aktor tersebut terlibat (subnasional, nasional atau transnasional). Berdasarkan faktor-faktor ini bisa digolongkan aktoraktor yang relevan dengan studi tentang isu global menurut klasiikasi berikut : 1. Negara-negara 2. Organisasi internasional antar pemerintah 3. Organisasi internasional non pemerintah 4. Kelompok-kelompok kepentingan di tingkat nasional 5. Individu dan kelompok kepentingan di tingkat subnasional. Enam perspektif komunikasi internasional adalah untuk menciptakan : 1. Perdamaian internasional Adalah nilai paling mencolok dalam hubungan antarbangsa. Umumnya diartikan sebagai situasi dunia yang tidak diwarnai oleh perang. 2. Kemandirian dan otonomi nasional Menjaga integritas suatu negara yaitu mengambil kebijakan tanpa harus berkonsultasi atau bergantung pada negara lain. 3. Pemerataan ekonomi internasional Nilai keadilan ekonomi internasional yang diterjemahkan di dalam sasaran untuk menciptakan distribusi keuntungan dan kerugian dalam berbagai bidang secara lebih adil dan seimbang. 4. Keseimbangan ekologis Adalah nilai yang sering menjadi berita utama di berbagai media internasional berkenaan dengan permasalahan-permasalahan global. 5. Kebutuhan Dasar Manusia Adalah istilah yang mengacu pada nilai asasi manusia untuk mendapatkan standar hidup minimal. 6. Partisipasi Keikutsertaan individu dalam suatu aktivitasaktivitas bersama. 3. Pembahasan 3.1. Branding dalam Komunikasi Internasional Brand atau merk yang legendaris dan mampu bertahun puluhan bahkan ratusan tahun, tidak muncul begitu saja. Tetapi mereka melakukan langkah-langkah yang terencana, jelas, dan berbeda dengan para pesaingnya. 189
Demikian juga agar mempunyai Brand yang kuat, sebuah daerah harus memiliki karakteristik khusus yang bisa dijelaskan dan diidentiikasikan. Misalnya tampak isik kota, pengalaman orang terhadap daerah tersebut, dan penduduk seperti apa yang tinggal di daerah tersebut. Keberhasilan kota mengembangkan potensi yang dimiliki sangat tergantung pada aktivitas pemasaran terpadu yang dilakukannya. “Banyak yang akhirnya menghindar dari topik alasan bahwa tempat tersebut terlalu kompleks untuk memasukkan merek dalam diskusi karena mereka memiliki terlalu banyak pemangku kepentingan dan kontrol manajemen terlalu sedikit ... namun, destination branding adalah salah satu topik ‘terpanas’ todays antara pemasar tempat”. (Morgan et al, 2002,4) 3.2. City Branding Secara deinisi, City Brand adalah indentitas, simbol, logo, atau merk yang melekat pada suatu daerah. Pemerintah daerah pun harus membangun merek (brand building) untuk daerahnya, tentu yang sesuai dengan potensi maupun positioning yang menjadi target daerah tersebut. Banyak keuntungan yang akan diperoleh jika suatu daerah melakukan City Branding, antara lain: Langkah-langkah utama dalam membangun City Branding yang kuat adalah sebagai berikut: 1. Daerah tersebut dikenal luas (high awareness), disertai dengan persepsi yang baik 2. Dianggap sesuai untuk tujuan-tujuan khusus (speciic purposes) 3. Dianggap tepat untuk tempat investasi, tujuan wisata, tujuan tempat tinggal, dan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan (events) 4. Dipersepsikan sebagai tempat dengan kemakmuran dan keamanan yang tinggi Langkah-langkah utama dalam membangun City Branding yang kuat adalah sebagai berikut: 1. Mapping Survey; meliputi survey persepsi dan ekspektasi tentang suatu daerah baik dari masyarakat daerah itu sendiri maupun pihakpihak luar yang mempunyai keterkaitan dengan daerah itu. 2. Competitive Analysis; melakukan analisis daya saing baik di level makro maupun mikro daerah itu sendiri. 3. Blueprint; penyusunan cetak biru atau grand design daerah yang diinginkan, baik logo, semboyan, ”nick names”, ”tag line”, da lain sebagainya beserta strategi branding dan
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
strategi komunikasinya. 4. Implementation; pelaksanaan grand design dalam berbagai bentuk media, seperti pembuatan media center, pembuatan events, iklan, dan lain sebagainya. Beberapa contoh kota di dunia yang dianggap memiliki City Brand yang kuat adalah New York, Paris, dan San Francisco. Mengapa kota-kota tersebut dianggap memiliki City Brand yang kuat ? Karena kota-kota itu memiliki kualiikasi yang harus dimiliki oleh suatu brand yang kuat, yaitu mempunyai sejarah, kualitas tempat, gaya hidup, budaya, dan keragaman yang menarik dan bisa dipasarkan. Pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia, baik level provinsi, kabupaten, atau kota perlu melakukan City Branding, agar daerahnya bisa makin dikenal, sehingga diharapkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya makin meningkat. 3.3. Sister City Sister city atau dikenal juga sebagai twin town, friendship town, partner town, atau brother city, adalah sebuah konsep dimana suatu kota yang secara geograis dan politis berbeda dipasangkan untuk tujuan menumbuhkan kerjasama dan komunikasi. Konsepnya bisa diibaratkan dengan “sahabat pena” dalam skema yang berskala lebih luas. “Sahabat” dalam arti ini diartikan sebagai keseluruhan kota. Praktiknya, adanya “twinning” mengarah pada program pertukaran pelajar, kolaborasi atau pertukaran ekonomi maupun kultural. Kota kembar (bahasa Inggris:sister city, twin cities, sister cities) atau kota bersaudara adalah konsep penggandengan dua kota yang berbeda lokasi dan administrasi politik dengan tujuan menjalin hubungan budaya dan kontak sosial antarpenduduk. Kota kembar umumnya memiliki persamaan keadaan demograi dan masalah-masalah yang dihadapi. Konsep kota kembar bisa diumpamakan sebagai sahabat pena antara dua kota. Hubungan kota kembar sangat bermanfaat bagi program pertukaran pelajar dan kerjasama di bidang budaya dan perdagangan. Di Eropa, kota kembar dikenal sebagai twin towns atau friendship towns, sedangkan di Jerman dikenal dengan istilah partner towns (Partnerstädte). Istilah sister cities lebih dikenal di Asia, Australia dan Amerika Utara, sedangkan di negara-negara CIS dikenal dengan sebutan “kota bersaudara” (brother cities). Bentuk tertua dari kota kembar di Eropa adalah
antara kota Paderborn di Jerman dan Le Mans pada tahun 836. Keighley, West Yorkshire, Inggris menjalin hubungan “kota kembar” dengan Suresnes dan Puteaux di Perancis sejak 1905. Perjanjian kota kembar pada zaman modern yang pertama kali dicatat adalah antara Keighley dan Poix-du-Nord, Nord, Perancis pada tahun 1920 setelah berakhirnya Perang Dunia I. Menurut perjanjian tersebut, kota Poix-du-Nord dijadikan “kota angkat” oleh Keighley, sementara pertukaran akta secara formal baru dilakukan pada tahun 1986. Gagasan kota kembar (sister city) atau sister state berawal dari pencanangan program “People-toPeople” oleh Presiden Dwight Eisenhower pada 1956. Setelah menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Geneva tahun 1955 yang juga dihadiri Uni Soviet, Eisenhower berkeinginan meningkatkan kunjungan warga sipil untuk mempelajari negara-negara asing. Sebuah program kemudian diusulkan kepada Eisenhower oleh heodore Steinbert yang waktu itu menjabat Direktur Dinas Penerangan Amerika Serikat. Program yang diajukan Steinbert menyediakan berbagai macam cara untuk meningkatkan arus manusia dan arus gagasan dengan menggunakan terbitan, siaran radio, pameran, presentasi budaya, pameran dagang, pertukaran tim olahraga, delegasi warga sipil. Sebagai hasil dari rapat di Gedung Putih, para peserta membentuk 42 komite “People-to-People”. Pada tahun 1960 tercatat 36 komite yang masih bertahan, termasuk People to People International. Program kota kembar yang menurut visi Eisenhower merupakan “roda penggerak” diplomasi warga negara, berkembang sepanjang dekade 1950-an dan 1960-an. Pada tahun 1967, organisasi bernama Town Ailiation Association of the U.S. (waktu itu sudah populer dengan nama Sister Cities International) didirikan untuk mengoordinasikan hubungan antara kotakota kembar. Pada awal berdirinya Town Ailiation Association, National League of Cities menyediakan ruang kantor berikut perabot dan fasilitas-fasilitas lainnya. Praktek kota kembar berlanjut sesudah Perang Dunia II dengan maksud menciptakan saling pengertian antara penduduk kota di Eropa dan mempromosikan proyek lintasbatas untuk kemakmuran bersama. Kota Coventry menjalin hubungan kota kembar dengan Stalingrad (sekarang bernama Volgograd) dan kemudian dengan Dresden sebagai usaha damai dan rekonsiliasi, dengan alasan ketiga kota tersebut menderita kerusakan berat akibat pengeboman selama
190
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
perang. Kegiatan menjalin hubungan kota kembar di Eropa kembali giat setelah berakhirnya Perang Dunia II. Pada tahun 1947, Dewan Kota Bristol di Inggris mengirimkan lima warga kota terpilihnya dalam misi itikad baik ke kota Hanover di Jerman. Sementara itu, Edinburgh menjalin hubungan kota kembar dengan Nice di Perancis. Faktor-faktor yang harus diperhatikan ketika memilih ataupun melakukan Sister City antara lain adalah sebagai berikut A. Umum: 1. Populasi dan Demograi 2. Lokasi geograi dan aset-asetnya 3. Kemudahan akses 4. Perbandingan terhadap industri-industri kunci 5. Hubungan yang ada (misal pertukaran pelajar) 6. Relevansi terhadap komunitas lokal 7. Sejarah bersama dalam hubungan politik dan atau kerjasama dalam bidang politik, ekonomi, komersial dan budaya B. 1. 2. 3.
Ekonomi Memiliki kondisi ekonomi yang sama Iklim dan peluang perdagangan dan investasi Potensi pariwisata
Beberapa kota di Indonesia yang menjalin Sister City dengan kota-kota dari negara lain sebagaimana dimuat dalam http://en.wikipedia.org adalah sebagai berikut:, No.
1.
2.
Kota
Banda Aceh
Sana’a, Yemen Martapura, Indonesia Samarkand, Uzbekistan Apeldoorn, Belanda
Bandung
Bari, Italia Braunschweig, Jerman Cebu, Filipina Fort Worth, Texas, Amerika Serikat Hamamatsu, Jepang Suwon, Korea Liuzhou, China Yingkau, China Miami, Florida, United States Nelspruit, South Africa Tshwane, South Africa Kuantan, Malaysia Seremban, Malaysia Petaling Jaya, Malaysia Klagenfurt, Austria Udon Thani, Thailand Bangalore, India Maribor, Slovenia Topolcianky, Republik Slovakia Almaty, Kazakhstan Mandalay, Burma Darwin, Australia
C. Sosial: 1. Memiliki persamaan infrastruktur dan isu-isu sosial 2. Peluang untuk aktivitas yang lebih luas 3. Keinginan, kemauan dan komitmen dari warganya D. 1. 2. 3.
Bidang Pendidikan Lintas isu ekonomi, sosial dan lingkungan Program pertukaran guru dan murid Hubungan antar universitas
3.
Dengan demikian, melihat berbagai faktor diatas, sangatlah perlu untuk membandingkan bukan saja kesamaannya tetapi juga potensi dari berbagai kesamaan ini untuk menciptakan keuntungan bersama antar kota yang saling terlibat sebagai kota kembar tersebut. Hubungan yang telah ada itu kemudian harus dibina dan dikembangkan melalui berbagai level komunikasi, menjaga sejarah bersama, outcome nya, keuntungan yang bisa dilihat dan proyek-proyek yang bisa dikerjakan bersama di masa sekarang dan yang akan datang. 191
4.
5.
Sister city
Banjarmasin
BangkaBelitung
Bengkulu
Gothenburg, Swedia Stockholm, Swedia Chongqing, Cina Manaus, Brazil Ratchaburi, Thailand Makassar, Indonesia Guadalajara, Mexico Inverness, Scotland Åland Islands, Åland Islands Florida Keys, Amerika Serikat Boise, Idaho, Amerika Serikat Zamboanga City, Filipina Gorontalo City, Indonesia Bali
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Bogor
Bumiayu
- St.Louis, Missouri, United States Lloró, Colombia Gödöllõ, Hungary Salak Tinggi, Malaysia - Tallahassee, Florida, United States Putra jaya, Malaysia Bogor, Indonesia Bandung, Indonesia Purwokerto, Indonesia Solo Montana, Bulgaria Bilbao, Spain
Gorontalo
Mamuju, Indonesia Ponce, Puerto Rico Bengkulu City, Indonesia
Jakarta
Beijing, China Berlin, Germany Istanbul, Turkey California, United States New South Wales, Australia Paris, France Pyongyang, North Korea Jeddah, Saudi Arabia Rotterdam, Netherlands Seoul, South Korea Tokyo, Japan
Jambi
Jogjakarta
12.
14.
15.
16.
17.
Kupang, Indonesia Nakhon Ratchasima, Thailand Ermera, East Timor Ainaro, East Timor California, United States Kyoto Prefecture, Japan Ipoh, Malaysia Chiang Mai Province, Thailand Cambridge, Massachusetts, United States Gangbuk-gu, South Korea Kazan, Russia Manchester, England Bonn, Germany Baalbek, Lebanon Huế, Vietnam Hefei, China Kyoto, Japan Paramaribo, Suriname
192
Kendari
Kosovska Mitrovica, Kosovo Bau-Bau Seoul, South Korea
Makasar
Lismore, Australia Tawau, Malaysia Mobile, Alabama, United States Peshawar, Pakistan Constana, Romania Banjarmasin, Indonesia Samarinda, Indonesia Tawau, Malaysia
Medan
George Town, Malaysia Ichikawa, Japan Jakarta Kuala Lumpur, Malaysia Putrajaya, Malaysia Petaling Jaya, Malaysia Selangor, Malaysia Penang Island, Malaysia Genting Highlands, Malaysia
Manado
Davao City, Philippines Zamboanga City, Philippines Tegucigalpa, Honduras Darwin, Australia Koror, Palau Kota Kinabalu, Malaysia
Mamuju
Soweto, Gauteng, South Africa Gorontalo City, Indonesia
18.
Padang
Chonburi, Thailand
19.
Palangkaraya
Yangon, Myanmar Semarang, Indonesia
20.
Palembang
Melaka, Malaysia Denpasar, Bali San Francisco, United States Melbourne, Australia Rotterdam, Netherlands Milan, Italy Frankfurt, Germany Sapporo, Japan Vancouver, Canada Busan, South Korea Marseille, France Kaohsiung, Republic of China Saint Petersburg, Russia Barcelona, Spain Zürich, Switzerland
21.
Palu
Semarang, Indonesia
22
Pangkal Pinang
Key West, Florida, United States
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
23.
Pontianak
24.
Samarinda
25.
Serang
26.
Surabaya
-Mobile, Alabama, United States Kota Kinabalu, Malaysia Semarang, Indonesia Makassar, Indonesia Balikpapan Bandar Abbas, Iran Trieste, Italy Cheyenne, Wyoming Barrow, Alaska Seattle, Washington, United States New Orleans, Louisiana, United States Portland, Oregon, United States Fuzhou, China Kunming, China Xiamen, China Guangzhou, China Johor Bahru, Malaysia Kuching, Malaysia Kochi, Japan Kitakyushu, Japan Perth, Western Australia, Australia Busan, South Korea Izmir, Turkey Varna, Bulgaria The Hague, Netherlands Alexandria, Egypt Mashhad, Iran
27.
Tangerang
Gatineau, Canada Mississauga, Canada Arlington, Virginia Shah Alam, Malaysia Kuching, Malaysia
28.
Lampung
Split, Croatia
29.
Riau
Batam Johor Bahru-Malaysia Singapore
30.
31.
Surabaya
Semarang
Serang Serang merupakan salah satu kota sekaligus kabupaten di Provinsi Banten. Kota Serang terdiri dari 4 kecamatan (Kecamatan Serang, Kecamatan Cipocok Jaya, Kecamatan Taktakan dan Kecamatan Kasemen). Wilayah Kota Serang memiliki luas 188,70 km² dengan jumlah penduduk 347.042 jiwa (21,27% dari jumlah penduduk Kabupaten Serang). Perkembangan Kota Serang sebagai Ibu Kota Provinsi Banten semakin pesat. Ini bisa dilihat dari pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nya yang sekarang meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten mencatat pada triwulan III 2011 ekonomi Banten tahun ini menjadi capaian 6,41 persen, sedangkan secara kumulatif dari triwulan I hingga triwulan III pertumbuhan ekonomi Banten mencapai angka 6,60 persen atau tertinggi selama empat tahun terakhir yakni sejak 2008. Pada 2008 lalu, laju pertumbuhan ekonomi Banten hanya mencapai 5,77 persen sedangkan pada 2009 mencapai 4,69 Meningkatnya pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten ini tentunya didukung oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi dari masing-masing kota yang menjadi bagian dari wilayah Provinsi Banten, salah satu nya adalah Kota Serang. Salah satu indikator meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Kota Serang adalah munculnya berbagai sektor usaha yang menjadi lahan pekerjaan guna meningkatkan penghasilan atau pendapatan rumah tangga. Sektor usaha tersebut adalah sektor industri, perhotelan dan sektor perdagangan. Tetapi dari sisi kecepatan pertumbuhan, sektor pengangkutan dan komunikasi yang tercatat paling dinamis dengan angka mencapai 11,62 persen menurut analisis Statistik Lintas Sektor BPS Provinsi Banten. Melihat data dari wikipedia tersebut bisa dilihat bahwa Kota Serang pun sekarang sudah memiliki sister city, yaitu dengan Cheyenne, Wyoming dan Barrow, Alaska. Akan tetapi penulis sampai sejauh ini tidak menemukan data maupun fakta yang membenarkan hal tersebut. Jadi ini merupakan tanda tanya apakah benar Serang telah melakukan City Branding melalui Sister City, atau hanya sekedar ikut trend? Ternyata fakta di lapangan yang penulis dapatkan bahwa belum ada LoI atau bahkan MoU mengenai Sister City Kota Serang. Yang ada baru awal perjanjian dengan kota di Korea Selatan dan Australia dan itu pun dibidangi oleh Dinas Pendidikan Kota Serang. Ini yang harus benar-benar diperhatikan oleh
Sao Tome or Principe Kuching, Malaysia
Seattle, Washington, United States Kochi, Japan Busan, South Korea Brisbane, Australia - Tallahassee, Florida, United States Malacca Town, Malaysia Tegucigalpa, Honduras Samarinda, Indonesia Palangkaraya, Indonesia Palu, Indonesia
193
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
pemerintah daerah, bahwa walaupun ternyata tidak mudah untuk menjalin dan memantau keterlibatan kota dalam perjanjian sister city tapi bisa merupakan awal dari suatu Branding City yang hebat bagi Kota Serang. Akan sangat disayangkan apabila dimasa mendatang Kota Serang belum mau ataupun mampu menjalin kerjasama sister city. 4. Penutup Kesimpulannya, pemda-pemda di Indonesia, baik level provinsi, kabupaten, atau kota perlu melakukan City Branding, agar daerahnya bisa makin dikenal, sehingga diharapkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya makin meningkat. Kesadaran akan pentingnya city branding sebenarnya sudah muncul di hampir setiap kota di Indonesia. Hanya saja, aktivitas yang dilakukan masih sangat terbatas, dan tidak sedikit yang salah kaprah. Kebanyakan kota-kota itu dalam melakukan branding belum memikirkan visi dan misinya dengan jelas. Secara umum dapat dikatakan sebagian besar daerah di Indonesia belum melakukan kegiatan branding secara proaktif dan terintegrasi. Kebanyakan daerah masih terjebak pada promosi-promosi parsial dengan sekadar mengikuti kegiatan yang telah dijadwalkan secara reguler, misalnya tourism exhibition atau investment exhibition di beberapa negara. Selain itu, kelemahannya bukan hanya dalam hal external branding activities, tetapi juga secara internal tidak cukup solid. Apa yang dijual ke luar sering tidak mencerminkan apa yang menjadi keunikan di daerah tersebut. City branding haruslah externally diferent dan internally inspiring, secara eksternal memang berbeda dari daerah atau negara lainnya dan secara internal menginspirasi masyarakat untuk berbuat banyak bagi keberhasilan daerah tersebut. Daftar Pustaka Armando, Ade. 2002. Komunikasi Internasional. Jakarta. Universitas Terbuka. Deddy Djamaluddin Malik dkk. [ed). 1993. Komunikasi Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Gudykunst, W.B. 1984. International and Cross Cultural Communication. Random House. New York. Jurnal ISKI Indonesia. 2000. Industri Pers dan Prospek Kebebasannya. Bandung. PT Remaja
Rosdakarya. LaFeber, Walter. 2002. Michael Jordan dan NeoKapitalisme Global. Yogyakarta. Penerbit Jendela. Lewis, Richard D., 2005. Komunikasi Bisnis Lintas Budaya. Bandung. PT.Remaja Rosdakarya. Leiper, Neil 2001. Jakarta’s Performance as an International Tourist Destination: A Strategic Review Using a Pathological Approach. Australia: Southern Cross University May Rudy, Teuku. 2005. Komunikasi & Hubungan Masyarakat Internasional. Bandung. Reika Aditama Mulyana, Deddy. 2005. Komunikasi Antarbudaya. Bandung. PT.Remaja Rosdakarya. Nigel, Morgan dkk. 2004. Destination brandingcreating the unique destination proposition. London:Elsevier nutterworth Heinemann. Rivers et.al, William. 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta. Prenada Media Soemirat dan Ardianto. 2004. Dasar-dasar Public Relations. Bandung. PT Remaja Rosdakarya. Terrence, A. 1997. Advertising, promotion and supplemental aspect of IMC. NY: Dryden Press Vivian, John. 1999. he Media of Mass Communication. USA. Allyn & Bacon. Sumber Internet: http://eng.suwon.ne.kr/sub/happy_suwon/happy_ suwon_08.asp?menuCode=0108 http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_twin_towns_ and_sister_cities_in_Indonesia http://www.scribd.com/doc/79279582/proil-serang http://www.radarbanten.com/newversion/ utama/5838-ekonomi-tumbuh-lebih-cepat-. html http://bantenpos-online.com/2012/02/15/perdamandul-budaya-religius-makin-tergerus http://www.radarbanten.com/newversion/ utama/5838-ekonomi-tumbuh-lebih-cepat-. html www.placebrands.net/reading/citybranding.html http://tauiek.wordpress.com/2008/09/24/ayo-citybranding/ http://citybranding.typepad.com/ http://www.gerardotandco.com/case-studies/citybranding/ http://www.imagian.com/index. php?pageid=2&lang=en
194
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Program CSR sebagai salah satu Peran serta Perusahaan dalam memberdayakan Masyarakat Majemuk (Studi terhadap kegiatan CSR di PT Pupuk Kaltim, Bontang Kalimantan Timur) Yugih Setyanto dan Riris Loisa1*) Abstrak Lokasi tempat perusahaan beroperasi menjadi dasar dalam memahamai karakter khalayak. Pemahaman karakter ini akan mempengaruhi perusahaan dalam membangun hubungan yang baik. Perusahaan harus dapat memahami setiap karakter masyarakat guna mendapatkan dukungan sebagai sebuah hasil yang ingin dicapai setiap perusahaan dari khalayaknya. Salah satu cara dalam membangun hubungan positif tersebut melalui pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan- diantaranya- melalui program CSR. PT. Pupuk Kaltim (Pupuk Kaltim) merupakan sebuah BUMN yang melaksanakan program CSR sebagai tanggung jawab perusahaan kepada masyarakat. Kata Kunci: CSR, PR, Khalayak Pendahuluan Keberadaan suatu perusahaan dapat memberi dampak positif bagi masyarakat. Salah satu dampak positif suatu perusahaan ditinjau dari sisi ekonomi dan sosial adalah perusahaan tersebut dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat di sekitar perusahaan atau dimana perusahaan tersebut beroperasi. Tentu hal ini dapat dilihat dari perekrutan pegawai yang diambil dari warga lokal. Selain itu juga pemanfaatan sumbersumber daya sekitar untuk memenuhi kebutuhan perusahaan. Hubungan perusahaan dan masyarakat ini menjadi sebuah interaksi sosial yang membawa pada hubungan saling membutuhkan. Bagi perusahaan sendiri, ada keuntungan non materi yang bisa didapat. Perusahaan sadar bahwa hidup dan keberlanjutannya sangat lah bergantung pada dukungan masyarakat. oleh sebab itu, hubungan yang terjalin dengan baik antara perusahaan dan masyarakat menjadi modal dasar kelangsungan perusahaan. Pupuk Kaltim adalah salah satu BUMN terbesar di Indonesia yang belokasi di Bontang Kalimantan Timur. BUMN ini menjadi salah satu perusahaan yang memberikan deviden besar bagi negara. Saat ini total pendapatan BUMN Rp1.129 triliun, dengan laba bersih Rp 98,676 triliun. Asetnya Rp 2.975 triliun dan ekuitasnya Rp 607,774 triliun. Selain dituntut memberi keuntungan sebagai sebuah entitas bisnis, Pupuk Kaltim- dan juga BUMN lainnyajuga mempunyai tanggung jawab sosial yaitu dapat memberi peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Tuntutan seperti ini tentu bukanlah perkara mudah Terkait dengan BUMN, sebagian masyarakat masih ada yang mempunyai anggapan bahwa BUMN adalah perusahaan negara sehingga masyarakat juga memilikinya. Sikap ikut memiliki dapat dilihat I.
dalam dua sisi yang berbeda. Sisi baiknya, hal ini menjadi keberhasilan PR perusahaan dalam membina masyarakat sehingga menumbuhkan rasa memiliki serta ikut menjaga dan merasakan manfaat kehadiran perusahaan. Sayangnya sikap ini juga dapat berakibat munculnya pendapat bahwa perusahaan milik negara berarti masyarakat berhak menuntut apapun dari perusahaan. Tidak jarang sikap ini dinyatakan dalam hal misalnya penyerobotan lahan perusahaan karena dianggap milik masyarakat juga. 2. Pembahasan 2.1. Memahami Kondisi Masyarakat tempat Perusahaan Berada Perusahaan inancial multinasional HSBC mempunyai motto yang mudah diingat “world’s local bank”. Motto ini kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “Bank Dunia Bertradisi Anda”. Sebagai sebuah perusahaan multinasional dengan perusahaan yang berada di seluruh dunia memahami budaya setempat menjadi sebuah keharusan. Demi menjaga kelangsungan perusahaan perlu dilakukan strategi yang membuat dekat dengan masyarakat. Apalagi perusahaan tersebut hakikatnya harus bersaing dengan perusahaan nasional yang lebih memahami konsumennya. Contoh HSBC bisa dijadikan sebagai sebuah bukti pentingnya memahami khalayak tempat dimana perusahaan beroperasi. Ini merupakan salah satu strategi memenangkan hati khalayak untuk kepentingan perusahaan. Contoh di atas sebagai perbandingan dengan kajian mengenai Pupuk Kaltim. HSBC sebagai perusahaan multinasional sangat memperhatikan budaya lokal tempat perusahaan berada begitu pula yang dilakukan Pupuk Kaltim.
1 *) Kedua Penulis adalah Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara
195
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Hal menarik terkait Pupuk Kaltim adalah letaknya di wilayah Bontang yang masyarakatnya heterogen. Sebelum lebih jauh membahas mengenai topik, perlu kita mengenal terlebih dahulu mengenai Kota Bontang tempat Pupuk Kaltim berada. Berdasarkan Buku Kota Bontang sejarah sosial ekonomi (Nina Lubis dkk, 2003), keberadaan dua perusahaan besar, diawalai PT Badak LNG lalu kemudian disusul PT Pupuk Kaltim membawa perubahan yang sangat mendasar dalam masyarakat Bontang. Salah satu yang berubah adalah komposisi kependudukan dan kehidupan sosial ekonomi. Untuk memenuhi kebutuhan karyawan beserta keluarga yang tinggal di Bontang mulai dibangun perumahan, sekolah, dan juga prasarana kesehatan, ibadah, olah raga, rekreasi dll. Pertumbuhan ini menarik orang-orang untuk datang sehingga lokasi tempat tinggal para karyawan perusahaan-perusahaan tersebut menjadi berkembang. Kemudian, seperti ditulis Nina Lubis dkk adanya dua perusahaan besar PT Badak LNG dan Pupuk Kaltim berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat Bontang. Sebelumnya kehidupan ekonomi masyarakat agraris berubah menjadi kehidupan sosial ekonomi masyarakat industri. Bontang dihuni oleh masyarakat yang mejemuk. Awalnya Bontang masih dihuni orang Bajau dan Kutai. Berdirinya dua perusahaan besar di Bontang yaitu PT LNG Badak yang memproduksi gas alam serta PT Pupuk Kaltim- sebagai perusahaan penghasil petrokimia mengubah wajah dan komposisi masyarakatnya. Kota ini dibangun oleh masyarakat dari berbagai suku bangsa seperti Bugis, Banjar, Jawa, dan lain-lain. Dalam buku Kota Bontang Sejarah sosial Ekonomi disampaikan bahwa orang-orang Dayak, Kutai, Bugis, Banjar, dan Jawa karena sudah lama tinggal di Kota Bontang merasa dirinya sebagai pribumi. Menurut penelitian Ju Lan dalam Nina Lubis (2003:87), bagi mereka penduduk yang datang sejak tahun 1980-an adalah “pendatang”. Oleh sebab itu bisa dikatakan Kota Bontang adalah daerah yang baru, yang kelahirannya masih banyak diingat masyarakat. Komposisi etnis di Bontang berdasarkan sensus penduduk Kalimantan Timur dapat dilihat di bawah ini.
Berdasarkan komposisi penduduk Kota Bontang dapat dilihat bagaimana kemajemukan masyarakatnya. Ciri utama masyarakat majemuk (plural society) menurut Furnivall (1940) adalah kehidupan masyarakat berkelompok-kelompok yang berdampingan secara isik, tetapi mereka terpisah-pisah karena perbedaan sosial dan tidak tergabung dalam sebuah unit politik. (http://lib.atmajaya.ac.id/default. aspx?tabID=61&src=a&id=10461). Perkembangan masyarakat selanjutnya membentuk paguyubanpaguyuban yang didasari etnis yang ada. Kondisi masyarakat yang majemuk, terdiri dari banyak suku, menjadikan kondisi masyarakat menjadi unik. Pupuk Kaltim sebagai bagian dari Kota Bontang pun harus memahami kondisi masyarakat tersebut dan menjadi sebuah tantangan yang harus dihadapi. Pemahaman karakter stakeholders menjadi modal utama dalam mengembangkan komunikasi perusahaan kepada masyarakat. komunikasi yang dijalin dengan konstruktif dapat menumbuhkan stakeholders yang bisa membantu perusahaan saat perusahaan dihadapkan pada permasalahan konlik yang dapat menimbulkan krisis. Menciptakan hubungan yang kuat dengan stakeholders dapat membantu perusahaan saat dilanda konlik yang mengarah pada krisis. Menurut Heath ada dua manfaat bagi organisasi saat dilanda krisis apabila telah memiliki hubungan yang kuat dengan para stakeholders (Handoko-Widodo, 2007). Pertama, stakeholders yang memiliki kepentingan pribadi tertentu (vested interest) dalam keberhasilan suatu organisasi, dapat memberi dukungan (network of support) bagi organisasi tersebut. Kedua, krisis yang menimpa organisasi memang memberikan dampak negatif bagi para stakeholders, namun apabila organisasi tidak memiliki hubungan yang baik sebelum krisis terjadi, stakeholderss tersebut dapat menarik dukungan mereka kepada organisasi. Menguatnya identitas etnis yang berada di Bontang membuat masyarakat membentuk kelompok-kelompok berbasis etnis. Karena ada anggapan bahwa dalam kehidupan masyarakat kota justru ciri paguyuban dalam lingkungan etnisnya bisa muncul sehubungan dengan dorongan untuk bersatu menghadapi persaingan dalam perebutan ekonomi dan kekuasaan. Identitas kedaerah termasuk solidaritas biasanya akan menguat bila suatu masyarakat berada di tempat yang jauh dari asal mereka. Hubungan perusahaan dan masyarakat ini menjadi sebuah interaksi sosial yang membawa pada hubungan saling membutuhkan. Bagi perusahaan sendiri, ada keuntungan non materi yang bisa didapat. Perusahaan sadar bahwa hidup dan keberlanjutannya sangat lah bergantung pada dukungan masyarakat. oleh sebab itu, hubungan yang terjalin dengan baik antara perusahaan dan masyarakat menjadi modal dasar kelangsungan perusahaan. Dalam konteks public relations, hubungan ini harus saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Untuk menciptakan win-win
196
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
situation seperti itu, diperlukan proses memberi dan menerima yang banyak didasari oleh saling memahami terhadap kepentingan masing-masing (Lattimore, Baskin, Heiman, Toth; 2010) Saat awal berdiri keadaan Kota Bontang masih hutan perawan. Infrastruktur tidak mendukung, jalan-jalan terbatas, Bontang masih dihuni beberapa keluarga Suku Kutai sebagai suku asli setempat. Oleh sebab itu- disampaikan Nina Lubis dkk bahwa yang menjadi perhatian pertama perusahaan-perusahaan tersebut lebih kepada tantangan alam. Seiring waktu,industry tumbuh dan berkembang menarik perhatian orang-orang untuk datang ke Bontang. Tidak saja untuk mencari perkerjaan namun juga untuk menopang kebutuhan industri yang ada. Di Bontang terdapat Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) yang beranggotakan 29 paguyuban se Kota Bontang (http://www.tribunnews. com/2011/05/15/abdul-waris-karim-pimpin-fpkbontang). FPK merupakan forum komunikasi antara seluruh etnis dan budaya sekaligus menjadi wadah pemersatu dalam berekpresi anggotanya terdiri dari paguyuban-paguyuban etnis yang ada antara lain Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS), Ikatan Paguyuban Keluarga Jawa Timur (Ikapakarti), Banjar Kutai Dayak (Bakuda), Kerukunan Bubuhan Banjar, Himpunan Keluarga Mandar Morowali dll. Pembentukan wadah yang dapat menyatukan berbagai etnis adalah bentuk kesadaran masyarakat untuk berintegrasi dan menjadi bagian dari Kota Bontang yang lebih akrab dan membaur. Menurut Dadang Supardan suatu bentuk integrasi bangsa yang optimal, maka faktor “interaksi budaya maupun antar etnis” merupakan prasyarat dalam membentuk integrasi tersebut. Adanya aktivitas interaksi yang bermakna dan efektif dapat mendorong antar anggota masyarakat untuk bekerjasama lebih akrab.. Dinyatakannya bahwa elemen-elemen multikulturalisme, tersebut mencakup tiga sub-nilai sebagai berikut; (1) menegaskan identitas kultural seseorang, dengan mempelajari warisan budaya seseorang, (2) menghormati dan berkeinginan untuk memahami dan belajar tentang etnis dan kebudayaankebudayaannya; (3) menilai dan merasa senang dengan perbedaan kebudayaan itu sendiri; yaitu memandang keberadaan perbedaan itu sebagai suatu kebanggaan ataupun kebaikan positif yg mesti dipelihara. (http:// berita.upi.edu/2012/07/17/pidato-prof-dr-dadangsupardan-pada-pengukuhan-sebagai-guru-besar-upiselasa-1772012). Menurut Kepala Departemen Humas Pupuk Kaltim Tedy Nawardin, Pembentukan kelompok ini di satu sisi menjadi mitra dialog perusahaan. Sebagai contoh ketika terjadi permasalahan hukum antara perusahaan dengan melibatkan orang dari etnis tertentu, perusahaan berusaha melakukan pendekatan terhadap tokoh etnis tersebut sebelum diteruskan ke proses hukum. Melalui tokoh etnis diupayakan jalan 197
keluarnya dan perusahaan berusaha agar tetap terjadi proses dialog. Mengapa dialog lebih dikedepankan daripada proses hukum, hal ini menyangkut kondisi psikologis masyarakat Bontang yang kuat ikatan etnisnya. Bila ada kasus yang melibatkan seseorang dari suatu etnis maka isu segera menyebar ke masyarakat yang etnis sama dan menimbulkan solidaritas tanpa melihat duduk perkara yang sebenarnya. Tentu perusahaan tidak ingin masalah yang menjadi besar dan berakibat menjadi konlik horisontal berbasis SARA. Oleh sebab itu di sinilah pentingnya memahami karakter masyarakat sekaligus pendekatan terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh. Pembentukan paguyuban yang mewadahi etnis tertentu membawa dampak lain. Kelompok-kelompok ini kemudian berkembang dan membentuk lembaga swadaya masyarakat yang ditujukan untuk menekan perusahaan (wawancara Juli 2012). LSM ini menjadi alat penekan (pressure group) agar perusahaan mau mengikuti kemauan salah satu etnis (oknum etnis) padahal apa yang dituntut tidak murni demi melestarikan budaya mereka, menurut Tedy biasanya bermotif ekonomi. Peran perusahaan untuk memberdayakan masyarakat Pemahaman CSR yang dijadikan dasar dalam ISO 26000 adalah tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan da normanorma perilaku internasional; serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh. Dalam World Business Council for Suistainable Development, CSR adalah komitmen berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas karyawan dan keluarganya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya. Bagi masyarakat Bontang ada persepsi yang berbeda mengenai kerja sama antara perusahaan dan masyarakat. pertama, perusahaan harus ikut serta dalam semua masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. keikutsertaan perusahaan tidak saja pada materil tapi pada nonmaterial. Kedua, pendapat lain bahwa kedua industri memang mempunyai kewajiban membayar pajak melalui pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sehingga kontribusi perusahaan bukan sekedar bantuan tapi kewajiban. Dan ketiga, perusahaan-perusahaan tersebut wajib membayar pajak serta kontribusinya pada masyarakat bersifat sukarela. Tedy Nawardin dalam makalahnya berjudul “Etika Bisnis: Menjadikan korporasi 1.2.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Lebih Bertanggungjawab” disampaikan bahwa CSR menyangkut tujuh komponen utama yaitu the environment, social development, human right, organizational governance, labour practices, fair operating practices dan consumer issues. Bila diamati, terkait dengan kegiatan yang dilaksanakan Pupuk Kaltim menitikbertakan pada the environment dan social development. Khusus mengenai kegiatan yang berfokus pada social development, Pupuk Kaltim menyadari kondisi masyarakat Bontang yang majemuk. Dalam usaha memberi kontribusi pada pemberdayaan masyarakatnya- tanpa melihat latar belakang etnikdilakukan kajian mengenai permasalahan apa yang paling mendasar di Bontang. Masalah utama adalah masih banyak masyarakat Bontang yang taraf ekonominya masih di bawah ratarata. Salah satu indikator kondisi ekonomi yang belum baik adalah banyaknya tuntutan warga kepada perusahaan yang berlatarbelakang ekonomi (wawancara Tedy Mawardin, Kepala Dept. Humas). Perusahaan dianggap telah mengambil kekayaan alam sehingga meminta kompensasi materi untuk masyarakat. Selain itu ada juga yang meminta untuk menambah prosentase karyawan dari masyarakat Bontang sendiri. Kesulitan perusahaan untuk merekrut masyarakat asli Bontang karena keterbatasan sumber daya manusia yang sesuai dengan standar perusahaan. Dan sudah tentu tidak mungkin perusahaan menjadi satu-satunya pihak yang bertanggungjawab menyediakan lapangan pekerjaan untuk masyarakat. Dalam tingkat implelentasi kebijakan perusahaan di Pupuk Kaltim mengenal istilah bufering dan bridging (wawancara Kadep Humas Tedy Nawardin). Keduanya adalah strategi dalam membangun masyarakat atas dasar kepentingan kedua belah pihak. Bufering, adalah membayangkan sebuah pagar yang mengelilingi perusahaan. Pagar ini bukanlah untuk menjauhkan perusahaan, bila diibaratkan mobil, pagar ini menjadi bumper manakala terjadi tabrakan. Dan begitulah fungsi bufering yang diterapkan Pupuk Kaltim. Mekanisme bufering adalah membina masyarakat melalui kegiatan sosial dan ekonomi guna menumbuhkan dukungan pada perusahaan. Kelak bila ada bibit konlik yang muncul, maka masyarakat yang telah dibina menjadi “pagar” yang akan membentengi perusahaan dari sekelompok anggota masyarakat yang ingin mengganggu jalannya perusahaan. Sedangkan bridging adalah upaya perusahaan membuka saluran komunikasi untuk mengakomodir aspirasi masyarakat terhadap perusahaan. Apa yang diharapkan masyarakat terhadap perusahaan kemudian disesuaikan dengan kepentingan bersama. Masyarakat juga harus diberi pemahaman bahwa perusahaan juga mempunyai tujuan bisnis guna menjamin kelangsungan hidupnya. Sedangkan masyarakat tetap harus mempunyai kemampuan sendiri agar lepas
dari ketergantungan dengan perusahaan. Seperti disampaikan Broom dan Smith (1979) yang membagi peran public relations menjadi empat dan salahsatunya adalah communication facilitator. Public relations sebagai wakil perusahaan berperan sebagai jembatan komunkasi antara perusahaan dan khalayaknya. Bisa saja dalam pelaksanaan bridging menimbulkan hasil yang tidak memuaskan sekelompok orang, bila hal ini terjadi dilakukan strategi bufering seperti telah dijelaskan di atas. Keberadaan perusahaan pada hakekatnya harus memberi kebaikan bagi masyarakat, tidak sekedar menjadi “pemberi hadiah” yang dampaknya sesaat namun juga harus berkelanjutan. Masalah utama masyarakat adalah pada taraf hidup yang masih di bawah rata-rata. Masih banyak masyarakat yang hidupnya dalam ikatan kemiskinan. Dampak kemiskinan ini berpengaruh pada perusahaan. Salah satunya adalah seperti diungkapkan di atas adalah kecemburuan sosial yang berakibat banyak tuntutan terkait masalah bantuan ekonomi kepada perusahaan. Selain itu, faktor kemiskinan juga berpengaruh pada kualitas penduduk yang rendah akibat tidak mampu bersekolah. Padahal perusahaan sangat membutuhkan sumber daya manusia handal yang berasal dari sekitar perusahaan berada. Akibatnya masyarakat selalu terjebak dalam lingkaran kemiskinan . Penelitian dari United Nations research Institute for Social Development (UNRISD) “Corporate Partnership and Community in he Nigerian Oil Industry: Strenghts and Limitations” dari Uwaful Idemudia mengenai kegiatan CSR pada industry minyak di Nigeria. Dalam laporan tersebut, disampaikan bagaimana mengatasi rendahnya taraf pendidikan dan kesehatan masyarakat adalah dengan meningkatkan sosial ekonomi dan kondisi budaya serta capacity building and community self-help. Melalui kedua program ini menjadi jawaban dalam menempatkan perusahaan dalam memberdayakan masyarakat sekaligus berperan mengatasi masalah yang ada di sekitar perusahaan. Berdasarkan laporan ini dapat dijadikan sebuah perbandingan bagaimana memberdayakan masyarakat yang dilakukan Pupuk Kaltim. Apa yang dilakukan perusahaan untuk dapat memutus mata rantai kemiskinan adalah dengan memberi beasiswa kepada anak-anak asli Bontang yang pintar namun tidak mampu. Pemberian beasiswa ini dilaksanakan secara terprogram dari pemantauan serta pendampingan hingga anak-anak ini diterima di perguruan tinggi negeri terkemuka di Pulau Jawa. Melalui pendidikan yang diterimanya kelak mereka akan mendapat pekerjaan yang layak dan bila sudah bekerja yang layak mereka akan mendapat penghasilan yang layak pula. Diharapkan kelak akan lahir sebuah generasi baru di Bontang yang mampu – setidaknya – membantu keluarganya terlepas dari kemiskinan.
198
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Kesimpulan Tujuan perusahaan yang proit-oriented harus sinergi dengan kepentingan masyarakat. Menurut Freeman (1984) managers should tailor their policies to satisfy numerous constituents, not just shareholders. hese stakeholders include workers, customers, suppliers and community organizations. Berdasarkan pemahaman ini peran pimpinan perusahaan dalam menerapkan kebijakan yang bertumpu pada kepentingan masyarakat menjadi penting. Pimpinan yang peduli akan berbuah pada kebijakan yang tidak saja mementingkan keuntungan secara sempit namun juga keuntungan perusahaan yang lebih luas. Keuntungan perusahaan dalam arti luas dapat berupa dukungan dan keberpihakan masyarakat terhadap tujuan-tujuan perusahaan tidak saja keuntungan materi semata. Sebesar apapun perhatian perusahaan terhadap masyarakat tanpa ditunjang adanya pembangunan yang menyeluruh dari pemerintah tetap tidak akan memberi kesejahteraan pada masyarakat. Inti dari sebuah hubungan yang baik adalah adanya kesadaran akan saling membutuhkan dari kedua pihak. Tentu strategi komunikasi yang dijalin antara kelompokkelompok etnis adalah pekerjaan yang tidak ada akhir. Upaya pembinaan masyarakat melalui – diantaranya - kegiatan CSR menjadi sebuah strategi besar perusahaan berkembang bersama masyarakat. Perlu biaya, ketulusan, itikad, dan komitmen segenap jajaran manajemen dan karyawan yang sudah dimulai semenjak perusahaan itu berdiri, secara terus menerus dan berkelanjutan. 2.
Daftar Pustaka Handoko-Widodo, Creszentia. N (2007), Komunikasi Korporat dalam Krisis, (disertasi), Universitas Indonesia, Lattimore, Dan, Otis Baskin, Suzette T. Heiman, Elizabeth L. Toth & James Van Leuven (2004). Public Relations he Profession and he Practice. New York: McGraw Hill. Lubis, Nina H. dkk, (2003), Kota Bontang Sejarah Sosial Ekonomi, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Unpad Nawardin, Tedy, Etika Bisnis: menjadikan Korporasi Lebih Bertanggungjawab, Makalah 2010 Uwaiokun Idemudia (2007), Corporate Partnerships and Community Development in the Nigerian Oil Industry Strengths and Limitations Markets, Business and Regulation, Programme Paper Number 2, United Nations Research Institute for Social Development Wawancara GM PT Pupuk Kaltim Tedy Nawardin dan staf (http://www.tribunnews.com/2011/05/15/abdulwaris-karim-pimpin-fpk-bontang). 199
(http://jembatanguntung.blogspot.com/2010/02/ erau-pelas-benua.html). (http://berita.upi.edu/2012/07/17/pidato-prof-drdadang-supardan-pada-pengukuhan-sebagai guru-besar-upi-selasa-1772012). (http://berita.upi.edu/2012/07/17/pidato-prof-drdadang-supardan-pada-pengukuhan-sebagai guru-besar-upi-selasa-1772012).
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
200
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Optimalisasi Program Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Pembangunan Daerah Titi Stiawati1*) Abstrak Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan sebuah program yang mengimplementasikan tanggung jawab sosial sebuah perusahaan kepada masyarakat luas Adapun kontribusinya dalam pembangunan khususnya pembangunan daerah yang dapat mensejahterakan masyarakat, seperti dalam bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup dan sebagainya. Oleh karena itu, saat ini banyak perusahaan yang melakukan CSR dengan melakukan pemberian beasiswa, pelayanan kesehatan kepada ibu dan anak, serta program penyelesaian masalah-masalah lingkungan hidup. Walaupun memang dijalankan atas pilihan dan inisiatif perusahaan sendiri, namun yang harus ditekankan dalam CSR ini adalah tanggung jawab sosial atas dampak, keputusan, atau aktivitas perusahaan di masyarakat dan lingkungan. Segala bentuk tanggung jawab perusahaan tersebut seharusnya berhubungan dengan segala dampak dari apa yang dilakukan oleh perusahaan tersebut dalam menjalankan usahanya baik dampak di masyarakat maupun lingkungan. Optimalisasi pelaksanaan program Corporate Social Responsibility (CSR) dalam rangka mendukung program pembangunan daerah diperlukan kerjasama antara pemerintahan dan perusahaan, peran aktif pengusaha dan manajemen perusahaan serta mengoptimalkan dana CSR, dalam mensejahterakan dan membangun pemerintah daerah. Kata Kunci: Optimalisasi, CSR, Pembangunan, Pemerintah Daerah 1. Pendahuluan Pembangunan secara umum diartikan adalah suatu perubahan menuju kearah yang lebih baik maksud dari perubahan tersebut adalah perubahan baik dari segi isik maupun fungsinya contoh pembangunan infrastruktur. Pembangunan tersebut bisa meliputi pembangunan isik, ekonomi, sosial, politik, hukum, dan lain sebagainya. Pembangunan tidak terlepas dari perencanaan yang telah disusun sebelumnya. Kadang perencanaan itu sendiri dalam pelaksanaannya mendapat kesulitan untuk mewujudkannya karena berbagai faktor . Dan faktor tersebut antara lain adalah Sumberdaya baik manusia maupun alam, Keterbatasan Dana serta Koordinasi, Sinkronisasi antar Lembaga dan faktor lainnya. Suatu perencanaan pembangunan, baik dalam bentuk program, kebijakan, maupun strategi , dapat dijalankan dengan adanya pendanaan. Perencanaan dengan pendanaan harus berjalan bersama sebab tidak dapat dipisahkan. Hal ini dikarenakan untuk melakukan program-program pembangunan dibutuhkan biaya yang sangat besar sementara di lain pihak, anggaran pemerintah terbatas. Oleh karena itu, dalam perencanaan pembiayaan pembangunan selain perlu merencanakan anggaran biaya juga perlu merencanakan alternatif sumber pembiayaan agar program-program pembangunan dapat terlaksana dengan baik. Sumber pembiayaan alternatif dapat diperoleh dari berbagai cara seperti dari masyarakat sendiri, lembaga maupun swasta. Dari swasta atau perusahaan perusahaan sesuai Undang-Undang diwajibkan mempunyai atau untuk konkritnya adalah perusahaan yang mempunyai program CSR (Corporate Social Responsibility). Yaitu program perusahaan yang
merupakan kepedulian dari perusahaan kepada masyarakat untuk membantu dengan tujuan selain berpartisipasi dalam pembangunan adalah juga membantu masyarakat meningkatkan kesejahteraannnya. Corporate Social Responsibility (CSR), merupakan komitmen perusahaan untuk membangun kualitas kehidupan yang lebih baik bersama dengan para pihak yang terkait, utamanya masyarakat di sekelilingnya dan lingkungan sosial dimana perusahaan tersebut berada, yang dilakukan terpadu dengan kegiatan usahanya secara berkelanjutan. Namun dalam pelaksanaannya, masih ada perusahaan yang memiliki persepsi bahwa CSR sebagai bagian dari biaya atau tindakan reaktif untuk mengantisipasi penolakan masyarakat dan lingkungan. Beberapa perusahaan memang mampu mengangkat status CSR ke tingkat yang lebih tinggi dengan menjadikannya sebagai bagian dari upaya brand building dan peningkatan corporate imagenya . Menurut Busyra Azheri, secara teoritis CSR merupakan inti dari etika bisnis dimana perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban-kewajiban ekonomis dan legal kepada pemegang saham (Shareholders) tetapi perusahaan juga mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap pihak lain yang berkepentingan (Stakeholders). Semua itu tidak terlepas dari kenyataan bahwa suatu perusahaan tidak bias hidup, beroperasi dan bertahan serta memperoleh keuntungan tanpa bantuan dari berbagai pihak, jadi CSR lebih menunjukkan kepedulian perusahaan terhadap kepentingan pihak-pihak lain secara lebih luas dari pada hanya sekedar kepentingan perusahaan itu sendiri. CSR merujuk pada semua hubungan yang terjadi antara perusahaan dengan pelanggan (Customer)
1 *) Dosen di Program Studi Ilmu Administrasi Negara FISIP Untirta, Serang – Banten.
201
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
karyawan (Employers) komunitas, masyarakat, investor, pemerintah dan pemasok (Supliers) serta competitor itu sendiri. Kepedulian perusahaan ini sendiri terlihat dari komitemen perusahaan untuk mempertanggungjawabkan segala dampak dari aktivitas usahanya dalam dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Bagi perusahaan yang konsisten menerapkan CSR dalam aktivitasnya dalam jangka panjang akan mendapatkan keuntungan dalam bentuk kepercayaan dari stakeholdersnya (Corporate Image) terhadap perusahaan yang bersangkutan. Sehingga kondisi ini telah menjadi perhatian yang serius dari kalangan dunia usaha baik domestic maupun internasional. Fakta menunjukkan adanya korelasi positif antara perusahaan yang menerapkan CSR dalam aktivitas usahanya dengan apresiasi masyarakat. Oleh karena itu penerapan CSR tidak lagi dianggap sebagai “cost” semata-mata melainkan sebagai investasi jangka panjang bagi perusahaan yang bersangkutan. Namun upaya-upaya CSR tersebut masih jarang yang dijadikan sebagai bagian dari perencanaan strategis perusahaan. Masyarakat kini telah semakin kritis dan mampu melakukan ilterisasi terhadap dunia usaha yangg tengah berkembang. Hal ini menuntut para pengusaha untuk menjalankan usahanya dengan semakin bertanggung-jawab. Pengusaha tidak hanya dituntut untuk memperoleh proit dari kegiatan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk memberikan kontribusi baik materiil maupun spirituil kepada masyarakat dan pemerintah sejalan dengan aturan yang berlaku. Selanjutnya pembangunan yang merata dan berkelanjutan dapat terlaksana dengan baik dibutuhkan sinergi dari banyak pihak. Pemerintah, SDM, BUMN/BUMD, dan perusahaan swasta harus bersatu untuk memberikan kontribusinya bagi pemerataan kesejahteraan seluruh masyarakat. Salah satu usaha dalam mengembangkan masyarakat adalah dengan memberdayakan masyarakat. Tanggung jawab tersebut, sejatinya menjadi kewajiban bersama dan bukan sekadar tanggung jawab pemerintah saja. Perusahaan atau korporat sebagai salah satu stakeholdernya mempunyai kemampuan strategis untuk melakukan hal tersebut. Akan tetapi kenyataannya, tidak dipungkiri banyak perusahaan yang belum memahami kemampuan strategis tersebut, sehingga belum mengimplementasikan konsep Corporate Social Responsibility (CSR) di dalam lingkungan tempatnya berdiri. Untuk itu, diperlukan pemahaman bersama kalangan pengusaha mengenai arti dan pentingnya CSR dalam proses pemberdayaan masyarakat. 2.
Kajian Pustaka 2.1. Sejarah Corporate Social Responsibility (CSR) Sejarah merupakan torehan kejadian masa
lampau yang mengungkapkan fenomenarealitas sosial yang bisa menjadi kajian menarik dan bermanfaat di masa kini dan mendatang. Dengan memahami sejarah tentang obyek kajian akan bermakna bagi pengungkapan realitas sosial yang lebih obyektif. Perkembangan CSR di Indonesia yaitu bahwa pengembangan masyarakat dalam usaha memeratakan pembangunan telah lama digulirkan oleh pemerintah. Dimulai dari zaman kolonial sampai zaman reformasi, bahkan sampai sekarang telah dilakukan berbagai cara dan pendekatan pembangunan melalui pendekatan pengembangan masyarakat. Salah satu istilah yang sangat populer dalam dunia pengembangan masyarakat dewasa ini adalah CSR ( Corporate Social Responsibility). Corporate Social Responsibility (CSR) adalah sebuah paradigma baru yang usia perkembangannya tidak kurang dari satu abad ini telah menjadi fokus tersendiri dalam upaya pembangunan di Indonesia. Secara khusus pemerintah menaruh perhatian lebih terhadap kegiatan CSR di Indonesia. CSR Sebagai Bagian Dari Usaha Pengembangan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat menjadikan masyarakat sekitar perusahaan dapat mengaktualisasikan dirinya dan memahami keberadaannya sebagai elemen penting dari perusahaan. Interaksi masyarakat dengan perusahaan akan harmonis, apabila perusahaan mampu memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar perusahaan dan sebaliknya, sehingga tercipta modal sosial (social capital) di lingkungan perusahaan (Wahyuni 2007). Jika merujuk pada konsep Community Development yang di kemukakan oleh Ir. Fredian Tony M.S (2005) yakni suatu metode atau pendekatan pembangunan yang menekankan adanya partisipasi dan keterlibatan langsung penduduk dalam proses pembangunan, dimana semua usaha swadaya masyarakat disinergikan dengan usaha-usaha pemerintah setempat dan stakeholder lainnya untuk meningkatkan taraf hidup, dengan sebesar mungkin ketergantungan pada inisiatif penduduk sendiri, serta pelayanan teknis sehingga proses pembangunan berjalan efektif , dan hal ini dapat disimpulkan bahwa program CSR yang diimplementasikan dengan baik adalah bagian dari konsep pengembangan masyarakat yang berhasil. Corporate Social Responsibility (CSR) telah ada sejak Abad 17 dan mengalami perkembangan kajian yang mencerminkan dinamika implementatif yang terus mengalami perubahan. Adapun penetrasi aktivitas CSR di Indonesia masih tergolong rendah. Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Manajemen sejak tahun 2005 mengadakan Indonesia Sustainability Reporting Award (ISRA). Secara umum ISRA bertujuan untuk mempromosikan voluntary reporting CSR kepada perusahaan diIndonesia dengan memberikan penghargaan kepada
202
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
perusahaan yang membuat laporan terbaik mengenai aktivitas CSR. Kategori penghargaan yang diberikan adalah Best Social and Environmental Report Award, Best Social Reporting Award, Best Environmental Reporting Award , dan Best Website. Pada Tahun 2006 kategori penghargaan ditambah menjadi Best Sustainability Reports Award, Best Social and Environmental Report Award, Best Social Reporting Award,Best Website, Impressive Sustainability Report Award, Progressive Social Responsibility Award , dan Impressive Website Award . Pada Tahun 2007 kategori diubah dengan menghilangkan kategori impressive dan progressive dan menambah penghargaan khusus berupa Commendation for Sustainability Reporting: First Time Sutainability Report. Sampai dengan ISRA 2007 perusahaan tambang, otomotif dan BUMN mendominasi keikutsertaan dalam ISRA.
suatu perusahaan mengejar keuntungan, bukan berati perusahaan dibenarkan mencapai keuntungan tersebut dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan pihak lain yang terkait. Oleh karena itu, setiap perusahaan harus bertanggung jawab atas tindakan dan kegiatan dari usahanya yang mempunyai dampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap stakeholdersnya dan lingkungan dimana perusahaan melakukan aktivitas usahanya. Sehingga secara positif, hal ini bermakna bahwa setiap perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya sedemikian rupa, pada akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan para stakeholdernya dengan memperhatikan kualitas lingkungan kearah yang lebih baik. Berkaitan dengan hal tersebut, John Elkingston’s berdasarkan pengertian CSR sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, mengelompokkan CSR atas 3 aspek yang lebih dikenal dengan istilah “ Triple Bottom 3. Pembahasan Line (3BL) “ . Ketiga aspek itu meliputi kesejahteraan 3.1. Manfaat Corporate Social Responsibility atau kemakmuran ekonomi, peningkatan kualitas (CSR) lingkungan dan keadilan sosial. Ia juga menegaskan Keberadaan perusahaan idealnya bermanfaat bahwa suatu perusahaan yang ingin menerapkan untuk masyarakat sekitar. Bahwa prinsip dasar CSR konsep pembangunan berkelanjutan harus adalah pemberdayaan masyarakat setempat yang memperhatiakan “Triple P” yaitu Proit, Planet, and notabene miskin agar terbebas dari kemiskinan. people. Bila dikaitkan antar 3BL dengan Triple P dapat Adapun harapan dari pelaksanaan CSR disimpulkan bahwa “Proit” sebagai wujud aspek ini adalah memberdayakan masyarakat dari sisi ekonomi, “Planet” sebagai wujud aspek lingkungan perusahaan, agar operasionalnya dapat berjalan lancar dan “people” sebagai aspek sosial. tanpa gangguan. Jika hubungan antara perusahaan dan masyarakat tidak mesra, bisa dipastikan ada masalah. 3.3 Faktor yang Mempengaruhi Imlementasi Corporate Social Responsibility (CSR) Pelaksanaan program CSR belum sepenuhnya diterima Tujuan CSR adalah untuk pemberdayaan oleh masyarakat. Itu disebabkan minimnya perhatian masyarakat, bukan memperdayai masyarakat. perusahaan terhadap pelaksanaan CSR. Dari uraian tersebut, tampak bahwa manfaat Pemberdayaan bertujuan mengkreasikan masyarakat mandiri, kalau berbicara tentang CSR terdapat banyak CSR bagi perusahaan antara lain : a. Mempertahankan dan mendongkrak reputasi deinisi. Kata social sering diinterpretasikan dengan kedermawanan. serta citra merek perusahaan. Menurut Prices of Wales Foundation ada lima b. Mendapatkan lisensi untuk beroperasi secara hal penting yang dapat mempengaruhi implementasi sosial. CSR, pertama, menyangkut human capital atau c. Mereduksi resiko bisnis perusahaan. d. Melebarkan Akses Sumber daya bagi pemberdayaan manusia. Kedua, environments yang berbicara tentang lingkungan. Ketiga adalah Good operasional usaha. Corporate Governance. Keempat, Social Cohesion e. Membuka peluang pasar yang lebih luas. f. Mereduksi biaya, misalnya terkait dampak artinya dalam pelaksanaan CSR jangan sampai menimbulkan kecemburuan social. Kelima, adalah pembuangan limbah. g. Memperbaiki hubungan dengan stakeholders. economic streng atau memberdayakan lingkungan menuju kemandirian di bidang ekonomi. h. Memperbaiki hubungan dengan regulator. i. Meningkatkan semangat dan produktivitas 3.4. Optimalisasi program CSR dalam karyawan. Pembangunan Daerah j. Peluang mendapatkan penghargaan. Keberadaan industri diharapkan dapat 3.2. Ruang Lingkup Corporate Social membawa berkah dan manfaat bagi masyarakat salah satunya dengan program Corporate Social Responsibility Responsibility Pada prinsipnya CSR merupakan komitmen (CSR). CSR saat ini sudah menjadi tanggung jawab perusahaan terhadap kepentingan para stakeholders dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Pelaku dalam arti luas daripada sekedar kepentingan Usaha. CSR tidak lagi dihadapkan pada tanggung perusahaan belaka. Meskipun secara moral adalah baik jawab yang berpihak pada Single Bottom Line, yaitu 203
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
pada nilai perusahaan yang direleksikan pada kondisi inansial saja akan tetapi pada tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada Triple Bottom Lines, yaitu selain inansial juga ada sosial dan lingkungan. Karena kondisi inansial saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan. Adapun Agenda penting pembangunan yang beberapa diantaranya tidak dapat ditangani seluruhnya oleh Pemerintah karena keterbatasan pembiayaan dalam anggaran, diantara target kinerja pembangunan antara lain: Pengentasan Kemiskinan, Peningkatan Indeks pembangunan manusia yang meliputi kesehatan, pendidikan dan daya beli masyarakat, pencapaian lapangan kerja baru, peningkatan pembangunan infrastruktur, peningkatan prestasi olahraga daerah, peningkatan penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik, peningkatan nilai religius masyarakat, pelestarian lingkungan hidup dan pertumbuhan ekonomi yang merata serta mendorong tumbuh kembangnya ekonomi kerakyatan berbasis sumberdaya yang ada. Target-terget tersebut merupakan kewajiban pemerintah yang harus diselesaikan. Akan tetapi kadang target-target yang telah dicanangkan oleh pemerintah mendapatkan kesulitan atau hambatan untuk mencapainya misalnya di daerah tertentu menentukan target pembangunan dengan menyusun perencanaan yang dituangkan dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka menengah Daerah yang berisi program-program pembangunan yang tujuannya adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Program program tersebut dalam perjalannannya kadang menemui hambatan salah satunya hambatan tersebut adalah keterbatasan dana pembangunan, akibatnya program pemerintah daerah tersebut tidak tercapai dan berpengaruh langsung dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dan pemerintah harus mempunyai strategi untuk menggali sumber dana yang ada. Dan potensi keuangan itu adalah salah satunya ada pada CSR yang diwajibkan oleh Undang-Undang maka Pemerintah harus kreatif adalah pemerintah bagaimana mngelola dan mengoptimalisasi dana CSR tersebut. Optimalisasi pelaksanaan program Corporate Social Responsibility (CSR) dalam rangka mendukung program pembangunan adalah diperlukan kerjasama antara pemerintahan dan perusahaan, peran aktif pengusaha dan manajemen perusahaan serta mengoptimalkan dana CSR, dalam mensejahterakan masyarakat. Selanjutnya partisipasi yang dimaksud adalah melalui mekanisme penyaluran dana CSR untuk kemaslahatan masyarakat diberbagai bidang. Karena untuk mempercepat keberhasilan suatu pembangunan diperlukan kerjasama dari berbagai pihak, hal ini untuk kepentingan masyarakat, serta bentuk kepedulian perusahaan untuk turut serta merealisasikan CSR ini. Oleh karena itu, saat ini banyak perusahaan
yang melakukan CSR dengan melakukan pemberian beasiswa, pelayanan kesehatan kepada ibu dan anak, serta program penyelesaian masalah-masalah lingkungan hidup. Walaupun memang dijalankan atas pilihan dan inisiatif perusahaan sendiri, namun yang harus ditekankan dalam CSR ini adalah tanggung jawab sosial atas dampak, keputusan, atau aktivitas perusahaan di masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, segala bentuk tanggung jawab perusahaan tersebut seharusnya berhubungan dengan segala dampak dari apa yang dilakukan oleh perusahaan tersebut dalam menjalankan usahanya baik dampak di masyarakat maupun lingkungan. Misalnya, perusahaan yang bergerak di bidang otomotif seharusnya melakukan CSR dalam bidang penanggulangan dampak dari polusi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor, seperti mengadakan kompetisi terkait penciptaan teknologi yang bisa mereduksi polutan. Atau dalam kaitannya dengan pembangunan isik, bisa jadi perusahaan tersebut berkontribusi dalam pembangunan infrastruktur jalan dan perbaikan sistem transportasi. Begitu juga dengan perusahaanperusahaan lainnya. Pembiayaan pembangunan semakin lama semakin menjadi kebutuhan yang mendesak dan sekali lagi, kemampuan keuangan pemerintah cenderung masih terbatas terutama pemerintah daerah sehingga seringkali masih bergantung pada dana dari pemerintah pusat. Padahal program-program pembangunan yang direncanakan pemerintah sangat banyak mengingat Indonesia masih merupakan negara yang berkembang dan banyak daerah-daerah di Indonesia yang masih tertinggal dari daerah-daerah lain yang lebih maju sehingga perlu dilakukan percepatan pembangunan agar tidak terjadi disparitas wilayah dan sosial. Oleh karena itu, CSR ini bisa jadi merupakan salah satu solusi yang menguntungkan dan tidak terlalu berisiko sebagai suatu alternatif sumber pembiayaan dibandingkan alternatif sumber pembiayaan lain. Selain itu, hal ini juga akan meningkatkan peran serta sektor swasta dalam pembangunan, khususnya pembangunan wilayah. Namun, kerjasama pemerintah dan swasta dalam pembiayaan pembangunan dengan menggunakan dana CSR ini tidak serta merta dilakukan secara sembarangan, tetapi harus direncanakan dengan tepat serta dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan agar pembangunan-pembangunan yang diprogramkan dapat diimplementasikan secara optimal. Optimalisasi dana CSR untuk pembiayaan pembangunan secara tepat, terpadu, dan berkelanjutan ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: 1. Perusahaan-perusahaan dan Dana CSR Perusahaan di koordinir oleh Pemerintah Perusahaan dan dana CSR nya merupakan potensi yang harus digarap secara professional, program CSR perusahaan diarahkan
204
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
2.
3.
agar membantu program pembangunan pemerintah. Dan Pemerintah, sebagai fasilitator dan pemegang kebijakan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan (masyarakat luas merupakan subjek/pelaku dalam pembangunan berdasarkan bottomup planning), maka pemerintah-lah yang mengetahui rencana-rencana program pembangunan sehingga pemerintah perlu mengkoordinasikan perusahaan-perusahaan pemberi CSR secara terpadu agar terkoordinir dalam satu atap sehingga pemanfaatan dana CSR tersebut nantinya bisa maksimal dan tepat sasaran. Pengelompokan Perusahaan dan dana CSR perusahaan Tujuan Pemerintah tidak lain adalah untuk Mensejahterakan Masyarakat kemudian pelaksanaan dari tujuan tersebut adalah membuat program program pembangunan dan Program-program pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah sangat banyak dan meliputi berbagai aspek, yakni aspek isik, ekonomi, sosial, politik, maupun hukum sehingga dana yang dibutuhkan juga sangat besar, apalagi mengingat jumlah penduduk Indonesia juga banyak dan luas wilayah Indonesia yang sangat luas, maka untuk melakukan pemerataan pembangunan dana yang dibutuhkan juga akan semakin besar dan tidak sedikit jumlahnya. Oleh karena itu perlu dilakukan pemetaan terhadap perusahaanperusahaan pemberi CSR berdasarkan jenis usaha yang dijalankan kemudian diklusterkan berdasarkan dampak-dampak yang dihasilkan dari proses usaha tersebut. Dengan demikian maka bentuk tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat dan lingkungan akibat dampak, keputusan, dan aktivitasnya bisa lebih terarah dan benar-benar betujuan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Penggunaan Dana CSR oleh Perusahaan diarahkan berdasarkan pengelompokan Pengelompokan perusahaan-perusahaan berdasarkan dampak yang dihasilkan dari usaha yang dijalankan oleh perusahaan tersebut telah di-list, maka selanjutnya pemerintah perlu merencanakan arahan kepada perusahaanperusahaan terkait pemerataan pembiayaan pembangunan dengan menggunakan dana CSR sehingga nantinya perusahaan-perusahaan tersebut dapat diarahkan untuk memberikan dana CSR-nya pada aspek, program, dan kegiatan pembangunan yang akan dilakukan di suatu daerah. Dengan demikian, maka diharapkan pembangunan di daerah-daerah khususnya di daerah-daerah tertinggal terutama terkait pembangunan infrastruktur 205
dapat dilakukan merata. Akan tetapi, data dan informasi terkait perencanaan dan pembiayaan pembangunan yang akan dilaksanakan serta daerah-daerah tujuan aliran dana CSR harus sudah di-list terlebih dahulu dengan jelas agar dapat berjalan sukses. Alternatif sumber pembiayaan pembangunan dengan menggunakan dana CSR ini mungkin merupakan suatu bentuk kerjasama baru antara pemerintah dengan swasta. Namun, dalam proses kerjasama ini harus dilakukan atas dasar saling percaya dan tetap menerapkan asas transparency dan akuntabilitas agar proses kerjasama ini dapat berlangsung kontinu dan segala program pembangunan dapat berlanjut (sustainable cooperation). Daftar Pustaka Azheri, Busyra. 2011. Corporate Social Responsibility dari Voluntary Menjadi Mandatory. Jakarta. PT. Raja Graindo Persada. Budiman, Arief dkk. 2004. Corporate Social Responsibility : Jawaban Bagi Pembangunan Indonesia Masa Kini. Jakarta. ICSD. Wibisono, Yusuf. 2007. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Gresik. Fascho Publishing. Untung, Hendrik. 2008. Corporate Social Responsibility. Jakarta. Sinar Graika. Sumber Lain: www. scribd.com/doc/sejarah csr Cinta motivasi perjuangan.wordpres.com Ekonomi .kom.pesianna. com/manajemen/2011
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
206
Bagian V : Peran dan Pemanfaatan Media Massa dalam Pembangunan Daerah
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Media Televisi dalam Perspektif Komunikasi Pembangunan Doddy Salman1*) 1. Pendahuluan Sejak pemerintah Orde Baru memberlakukan kebijakan Open Sky (langit terbuka) tahun 1990 maka layar televisi masyarakat Indonesia tak hanya menampilkan Televisi Republik Indonesia (TVRI). Munculnya TV swasta Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan disusul Surya Citra Televisi (SCTV) memberikan pilihan masyarakat menerima informasi dan hiburan. Dalam perspektif komunikasi pembangunan media televisi adalah salah satu media yang mampu memberikan perubahan pada masyarakat menuju ke arah yang lebih baik (McPhail ,2009:3). Masyarakat tak hanya mendapat informasi (berita) namun juga diharapkan mendapatkan pendidikan dan hiburan. Televisi adalah salah satu media penyiaran (selain radio).Pasal 3 Undang-undang nomer 32 tahun 2002 tentang penyiaran mendeinisikan bahwa :Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. Artinya televisi sebagai media penyiaran memiliki tujuan mulia dan berat.Kehadiran televisi seharusnya memberikan nilai positif untuk masyarakat Indonesia. John Fiske menjelaskan bahwa kini televisi memasuki era post broadcasting, pasca penyiaran. Suatu era yang ditandai dengan model satu ke banyak cara penyampaian, terorganisasi sebagai industri skala besar, interaktif,banyak platform dan hiburan video,kabel streaming tanpa melalui penyiaran atau sistem kearsipan seperti TiVo (Fiske,2003:16-17). Kondisi pasca penyiaran ini sudah mulai terjadi di Indonesia. Televisi tak hanya dinikmati melalui layar kaca namun juga layar telepon genggam dan layar monitor komputer. Jauh sebelum televisi tampil di layar telepon genggam, Jerry Mander menulis buku berjudul Four Arguments to Elimination of Television. Jerry mengingatkan bahwa televisi memiliki dampak yang negatif bagi manusia yang menyaksikannnya seperti munculnya bias pribadi,tergantikannya khayalan manusia oleh televisi dan terjadinya kontrol kehidupan manusia oleh televisi (Mander,1978:263). Para ahli komunikasi sendiri mengakui efek televisi masih diperdebatkan apakah lebih banyak positif atau negatif. Meskipun menurut Elizabeth M.Perse setiap yang memakai uang (tahun 1992 menghabiskan iklan 206 milyar dolar Amerika) dan menggunakan 1
*)
Dosen di Universitas Tarumanegara, Jakarta.
209
waktu (20 persen waktu dihabiskan di depan televisi) pasti mempunyai dampak pada kehidupan masyarakat(Perse,2008:4). Agar masyarakat mendapat dampak yang positif dari media dalam kehidupan maka media sejak awal harus dirancang sebagai alat perubahan sosial yang positif. Salah satu studi yang mempelajari bagaimana media mampu melakuan proses intervensi secara sistematis dengan tujuan perubahan sosial secara positif adalah studi mengenai komunikasi pembangunan. Menurut homas McPhail “Development communication is the process of intervening in a systematic or strategic manner with either media (print, radio, telephony, video, and the Internet), or education (training, literacy,schooling) for the purpose of positive social change. he change could be economic,personal, as in spiritual, social, cultural, or political” (Komunikasi pembangunan adalah proses intervensi secara sistematis atau tindakan strategis baik melalui media (cetak, radio, telepon, video dan internet) atau pendidikan (training, melek media, sekolah) untuk tujuan perubahan sosial positif.Perubahan bisa berupa ekonomi, pribadi sebagai pengalaman spiritual, sosial, budaya atau politik (McPhail,2009:3). Makalah ini mencoba melihat televisi dari perspektif studi komunikasi pembangunan. Bahwa seharusnya televisi memiliki kekuatan untuk melakukan intervensi demi perubahan sosial yang positif. Televisi dengan kekuatan audio visual (seharusnya) mampu membawa audiennya menuju masyarakat dengan kehidupan yang lebih baik. 2. Rumusan Permasalahan Masalah yang coba dibahas pada makalah ini adalah “Bagaimana televisi dapat menjadi media komunikasi pembangunan ideal saat ini? 3.
Metodologi Makalah ini dibuat dengan melakukan studi pustaka. Berbagai hasil penelitian yangmemaparkan efek televisi terhadapmasyarakat di beberapa negara (,Jepang,Indiadan Hongkong) diharapkan dapat menjelaskan bahwa media televisi memiliki peran penting dalam mengubah masyarakat menjadi lebih baik sebagaimana tujuan komunikasi pembangunan. 4.
Pembahasan We cannot escape being once again driven away from the media of communication (Bel,2010:xiii).Kita tidak bisa lari dari media komunikasi.Pernyataan ini tidaklah salah. Manusia modern tidak bisa lari dari media komunikasi.Buku, Surat Kabar, Radio dan
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Televisi. Televisi, menurut Jerry Mander, menghasilkan bermacam-macam bahaya terhadap mental, lingkungan, ekonomi, politik baik terhadap individu maupun masyarakat dan planet ini (Mander,1978:348). Tulisan Mander berjudul 4 Argumen untuk menghapus televisi memang provokatif. Jerry mander adalah seorang praktisi periklanan dan public relation di Amerika Serikat dengan masa kerja lima belas tahun.Pemilik kantor iklan Freeman, Mander and Gossage berargumen bahwa televisi menjadi medium pengalaman.Manusia tak lagi bersentuhan dengan pengalaman nyata. Realitas sesungguhnya dan realitas buatan sulit dibedakan. Mander mengistilahkanya sebagai “menghalangi kesadaran” (walling the awareness).Lulusan Pascasarjana Universitas Columbia ini juga menyatakan manusia juga mengalami “pengambilalihan pengetahuan” (expropriation knowledge). Manusia tak lagi mendapatkan pengetahuan berdasarkan pengalamannya sendiri namun berdasarkan konstruksi media bernama televisi. Alasan kedua untuk menghapus televisi adalah “penjajahan pengalaman” (colonization of experience). Pemirsa televisi sesungguhnya mengalami penjajahan. Situasi otoriter. Siapa yang melakukan otoriter? Pemilik media yang mengontrol isi media Mander menambahkan televisi juga mendorong kecanduan. Karena sinyal yang dipancarkan diproses dalam pikiran. Secara kualitas televisi adalah instrumen cuci otak. Brainwashing. Televisi membentuk disorientasi dan kegalauan.Televisi menggeser dan menekan kreatiitas khayal manusia, mendorong kepasifan, dan melatih orang untuk menerima otoritas. Televisi juga membatasi pengetahuan. Mengubah cara manusia memperoleh informasi dari dunia. Karena televisi kita merasa tahu banyak, namun sesungguhnya kita kurang tahu. Televisi mengasingkan manusia dari alam dan karenanya menyesuaikan dengan penghancuran alam. Teknologi televisi sesunguhnya anti demokrasi. Karena biayanya mahal,sedikit informasi yang bisa disebarkan. Hanya sedikit yang bisa bicara melalui televisi, sedangkan jutaan lainnya hanya menyerapnya (Manner,1978:349). Sejak Mander menuliskan tesisnya 34 tahun lalu hingga kini televisi tetap hadir di tengah masyarakat. Berbagai program televisi hadir untuk memberi pendidikan pada masyarakat. Di Meksiko penulis naskah dan sutradara Miguel Sabido membuat program televisi yang berisikan pendidikan agar orang miskin bangkit dari kemiskinannya. Karya Sabido ini menjadi model pelaksanaan perubahan sosial melalui konsep pendidikan yang menghibur. Drama sinetron karya Sabido ini ditiru pemerintah India dan menjadi inspirasi Universitas John Hopkins mengkampanyekan program hubungan yang bertanggungjawab di antara para remaja di Amerika Latin, Philipina dan Nigeria dengan melakukan strategi kampanye melalui musik cadas (Singhal & Rogers sebagaimana dikutip McPhail,2009:36).
Pendidikan yang menghibur dideinisikan sebagai sebuah proses yang bertujuan merancang dan menerapkan pesan media secara mendidik sekaligus menghibur. Tujuannya adalah agar meningkatkan pengetahuan audien berkaitan dengan pengetahuan tentang isu pendidikan, mendorong sikap positif, dan mengubah perilaku. Pendidikan yang menghibur berupaya mengumpulkan ketertarikan media populer untuk menunjukkan individu bahwa mereka dapat hidup lebih sehat, aman, dan bahagia (Singhal & Rogers sebagaimana dikutip McPhail,2009:33). Menurut homas McPhail komunikasi pembangunan sendiri memiliki tiga paradigma: imperaliasme budaya, komunikasi partisipasi dan pendidikan yang menghibur (2009:46-47). Paradigma imperialisme budaya merupakan bagian dari tulisan Herbert Schiller. Teori ini berpijak pada pertanyaan :apa motif dan tujuan bantuan yang diberikan negaranegara barat? Bantuan tersebut dilihat sebagai alat membantu masyarakat dengan pendekatan atas-bawah (top down) yang tidak mempedulikan manusia dan budaya pada saat penerapannya. Sedangkan paradigma komunikasi partisipasi menolak pendekatan top down dan birokrasi. Fokus pendekatan adalah partisipasi akar rumput. Budaya adalah hal yang harus diutamakan dalam melaksanakan komunikasi pembangunan dalam paradigma komunikasi partisipasi.Paradigma terakhir adalah teori pendidikan yang menghibur. Paradigma ini berupaya mengawinkan kemampuan media seperti radio dan televisi dengan program yang mendorong perubahan sosial yang positif. Dalam praktek tak selamanya televisi dirancang untuk melakukan perubahan sosial yang positif. Sebuah penelitian sosial sejarah televisi di Jepang 1953-1973 membuktikannya. Penelitian yang dilakukan Jayson Makoto Chun itu membuktikan televisi tak hanya melukiskan realitas (depict reality) namun bahkan mampu membuat realitas sendiri (create own reality). Hal ini terjadi di tahun 1973 pada peristiwa yang diberi nama krisis kertas toilet (the great toilet paper crisis).Saat itu dunia sedang mengalami guncangan kenaikan harga minyak empat kali lipat menyusul perang Arab Israel.Menteri Perdagangan dan Industri Internasional Yasuhiro Nakasone pada 31 Oktober tampil di televisi dan meminta masyarakat menghemat penggunaan kertas. Keseokan paginya ratusan ibu rumah tangga di Osaka menyerbu supermarket dan dalam hitungan jam memborong habis persediaan kertas toilet. Televisi tidak menyiarkan peristiwa ini menghindari kepanikan menjalar ke kota-kota lainnya. Dua hari berselang kepanikan pembelian kertas toilet terjadi lagi. 2 November televisi pemerintah menyiarkan himbauan agar masyarakat tidak panik dan menyatakan bahwa kertas toilet masih banyak tersedia. Pengumuman resmi pemerintah ini justru membuat seluruh Jepang berburu kertas toilet. Televisi NHK menyebut peristiwa itu dengan menyatakan bahwa dengan menyederhanakan fakta,
210
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
media pemberitaan justru menghembuskan bara tanda bahaya (Chun, 2007:291). Televisi menyebabkan lingkaran setan (vicious circle) dengan menciptakan krisis kertas toilet nasional. Media melaporkan sejumlah ibu rumah tangga memborong kertas toilet yang terpicu pengumuman pemerintah, yang justru memicu media pemberitaan melaporkan peristiwa itu yang mengakibatkan lebih banyak warga yang panik dan bingung. Persoalan televisi di Jepang juga memunculkan pro kontra antara masyarakat yang mendukung hadirnya televisi dan yang menentangnya. Hatano Kanji adalah salah satu intelektual yang percaya bahwa kaum cerdik pandai harus memberikan televisi kesempatan. Dalam salah satu artikelnya Hatano menyatakan kekuatan televisi yang tidak bisa ditandingi media lain adalah kemampuan menyiarkan suatu peristiwa secara langsung. Hatano percaya televisi memiliki potensi merugikan yang lebih kecil dalam menyebarkan informasi dengan sifatnya yang segera dapat dipancarkan (Chun,2009:159). Namun di kutub berlawanan ada penulis terkenal Oya Soichi yang dengan pedas menyebut televisi menyebabkan orang Jepang menjadi bangsa dengan 100 juta idiot. Oya Soichi sendiri sangat dihormati masyarakat Jepang karena kritik sosialnya yang tajam serta karya-karya sastranya yang menghibur. Reputasinya sebagai kritikus sosial menyebabkan Oya dijuluki Kaisar Media Massa.Kekhawatiran akan dominasi televisi terhadap masyarakat Jepang sudah ia rasakan sebelum menjadi medium televisi menjadi popular di masyarakat Jepang (Chun,2009:161). Namun kalimat televisi akan mengubah bangsa Jepang menjadi bangsa dengan 100 juta idiot muncul setelah kehebohan acara Nandemo Yarima-show, sebuah acara yang diindonesiakan adalah Ayo Lakukan Apapun Show (Nandemo Yarima-show).Pada sebuah episode produser membayar seseorang mengibarkan bendera Universitas Keio di saat giliran tim cheerleader Waseda sedang beraksi di sebuah pertandingan baseball antar kampus.Menanggapi acara tersebut Oya Soichi lalu menulis sebuah artikel di harian Tokyo Shimbun. Dalam tulisannya Oya menyebut bahwa program hiburan di televisi entah drama atau program musik dibuat dengan selera rendah, murah dan vulgar. Hal ini disebabkan televisi harus melayani logika komersialisme lewat iklan. Oya Soichi yakin bahwa masyarakat tidak akan menjadi cerdas dengan menyaksikan program seperti itu (Nandemo Yarimashow) setiap hari (Chun,2009:161). Kekhawatiran Oya Soichi terhadap televisi seperti tidak pernah berhenti.Ia menyatakan dalam tulisannya bahwa Jepang saat itu (tahun 1957) sedang berada dalam era ledakan televisi (television boom). Ia juga menegaskan bahwa televisi adalah penyebar komersialisasi ke dalam rumah.Televisi sebagai medium periklanan mampu menjangkau hingga ke dalam rumah, memiliki kekuatan untuk 211
bicara cerdik dan menjadi salesman ke dalam rumah (Chun,2009:165). Salah satu fakta bahwa televisi berpengaruh pada masyarakat India terjadi tahun 2007. Saat itu acara Indian Idol sedang memasuki musim ketiga. Dua peserta kontes nyanyiAmit Paul dan Prashant Tamang, berasal timur laut India, wilayah yang kerap mengalami penderitaan isik dan budaya yang terpinggirkan dari pusat pemerintahan. Mulai dari pejabat pemerintah lokal hingga Menteri ikut mengajak masyarakat memilih Amit Paul atau Prashant Tamang sebagai idola baru India. Ajakan disampaikan saat pertandingan sepak bola, pesta perkawinan dan pesta ulang tahun. Beberapa menteri bahkan mendesak masyarakat untuk mengirimkan SMS dukungan (Mehta,2008:1). Kondisi ini mungkin tidak akan pernah terjadi jika tidak ada televisi swasta via satelit yang mengubah makna sosial kehidupan masyarakat.Adalah satelit televisi swasta yang membuat negara dengan identitas sosial politik berdasarkan kasta, etnis, agama, bahasa dan jurang perbedaan pendapatan yang tajam menunjukkan mobilisasi politik. Satelit televisi swasta melahirkan apa yang disebut Nalin Mehta sebagai transformasi politik dan budaya publik (2008:2). Sebelumnya selama lebih dari lima puluh tahun dunia penyiaran televisi dimonopoli oleh televisi pemerintah.Meskipun harus diakui pula bahwa televisi adalah arena budaya tempat ide-ide muncul dengan konsekuensi yang tak diinginkan (Mehta,2008:2). Posisi televisi swasta dengan satelitnya adalah tujuan ideal yang ingin dicapai (dan gagal) berpuluh tahun oleh televisi pemerintah. Pemerintah menjadikan televisi sebagai alat berkekuatan besar mengontrol politik dan budaya. Melalui Program Nasional justru menimbulkan pertentangan di banyak wilayah. Diluncurkan pertama kali 1982 Program Nasional diluncurkan bersamaan dengan acara Asian Games 1982. Dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa Hindi (sama dengan program Indian Idol). Seluruh televisi lokal diwajibkan menyiarkan program ini yang berujung pada masalah. Penggunaan bahasa Hindi pada program tersebut dikritik sebagai cara memecah belah negara tersebut. Nasionalisme kedaerahan masih tetap muncul dan hidup dengan baik.Menariknya program Indian Idol melalui satelit tv swasta diterima dengan suka rela (walau menggunakan bahasa Hindi). Kondisi ini menyebabkan satelit televisi swasta secara maju menciptakan kekuatan budaya baru yang memaknai ulang identitas lokal namun memiliki ikatan luas India sebagai suatu bangsa. Pertanyaan yang muncul adalah :mengapa pemerintah India gagal menggunakan televisi dan radio sebagai alat perubahan ekonomi sosial yang positif? Menurut Robin Jefrey ada tiga sumber kegagalan pemerintah India menjadikan televisi dan radio sebagai agen perubahan ekonomi sosial: i) kebijakan warisan masa penjajahan yang sangat ketat, ii)gerakan nasional Gandhi yang sangat kolot (puritan),iii)kekhawatiran,
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
akan terjadi terjadi konlik sosial setelah India merdeka tahun 1947 (Mehta,2008:13). Inggris sebagai penguasa India memang menerapkan aturan ketat dalam hal penyiaran dan ilm. Medium ini dikhawatirkan menjadi sarana penyampaian pernyataan politik para pejuang nasional. Sensor yang berlaku pada ilm pun diterapkan di radio. Di sisi lain Pemerintah India tidak mendukung pengembangan radio sampai akhirnya BBC Inggris ikut campur. Kebijakan sensor makin menjadi selama perang dunia pecah. Para pimpinan India seperti Nehru dan Gandhi dituduh pemerintah kolonial sebagai pendukung Jepang.Sementara itu masyarakat India sebagian besar masih dalam kemiskinan dengan kehidupan sebagian besar tanpa listrik. Menggunakan radio tanpa listrik artinya harus membeli baterei dan itu satu persoalan ekonomi karena harga baterei sangat mahal dan sulit didapatkan (Jefrey dalam Mehta,2008:17). Sumber kegagalan kedua pemerintah India mengelola radio dan televisi sebagai agen perubahan sosial ekonomi adalah besarnya pengaruh pandangan tokoh nasional India Mahatma Gandhi. Gandhi dalam beberapa wawancaranya mengkhawatirkan dampak dari iklan dan ilm yang hanya menimbulkan depresi dan membuang waktu. Menurut Gandhi (Jefrey dalam Mehta,2008:20):ilm, radio and recording ranked as distractions and temptations, capable of diverting people from the national quest for freedom and reformation (ilm, radio dan rekaman musik dinilai sebagai selingan dan godaan, mampu membuat orang asyik sendiri dan mengecualikan perjuangan nasional untuk merdeka dan reformasi). Pemahaman Gandhi ini diikuti oleh para menteri Informasi dan Penyiaran dalam pemerintah. Setidaknya 3 menteri adalah pengikut setia Gandhi dan menerapkan kebijakan atas media penyiaran sesuai , bahkan ada yang lebih, pandangan dan pemahaman Gandhi terhadap media penyiaran. Alasan ketiga adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan setelah India merdeka tahun 1947. Kekhawatiran tersebut diterapkan dengan berbagai bentuk sensor, kontrol dan peringatan khususnya pada ilm dan radio.Di negara dengan penduduk 80% buta huruf 7 surat kabar nasional yang beredar memang dianggap sebelah mata dapat mengakibatkan perpecahan nasional, suatu hal yang berbeda untuk radio dan ilm. Di tahun 1980 kemunculan televisi di Urdu (dengan dominasi muslim) menimbulkan protes yang berakhir dengan tewasnya 30 orang (Mehta,2008:22). Bahkan di awal tahun 1990 Perdana menteri India Narashima Rao membatalkan rencana siaran langsung televisi pemerintah menyiarkan acara bahasan sosial aktual dengan alasan sangat berbahaya. Dominasi televisi pemerintah berhenti dengan munculnya televisi swasta.Kehadiran televisi swasta di India sendiri dapat dinilai signiikan. Hingga 1995 Masyarakat India hanya dapat menyaksikan satu
saluran televisi. Namun antara 1995 hingga 2007 muncul tak kurang dari 300 televisi swasta dengan jaringan satelitnya. Lebih dari 50 di antaranya adalah televisi berita 24 jam dengan menyiarkan berita dalam 11 bahasa. Kondisi ini tentunya membuat kontrol pemerintah pusat pun perlahan hilang. Hingga 2006 jumah perangkat televisi yang beredar diIndia sekitar 112 juta buah dan 60 % televisi terkoneksi dengan jaringan televisi satelit. Kondisi ini menjadikan India sebagai negara ketiga terbesar di dunia (Setelah Amerika dan Cina) dalam hal pasar televisi (Mehta,2008:6). Situasi televisi dan masyarakatnya berbeda di Hongkong. Menurut Eric Kit-wai Ma pertelevisian di Hongkong tidak bisa dilepas dari sosio historisnya sebagai koloni Inggris yang akhirnya kembali Ke Cina. Televisi di Hongkong menjadi pembentuk identitas masyarakat Hongkong (2005:29). Sejak pertama kali berdiri tahun 1967 TVB saluran bahasa Kanton, akrab disebut TVJade, mendominasi televisi di Hongkong. Selama lebih dari dua puluh tahun TVJade menguasai 70%,terkadang 90%, rating dan share acara prime time.Televisi pun mendominasi sebagai penyedia hiburan masyarakat. Begitu hebatnya dominasi televisi hingga Industri Film Kanton harus gulung tikar. Banyak bioskop tutup atau beralih memutar ilm barat atau Mandarin.Organisasi pengawas tv Hongkong (Hongkong Television Advisory Board) tahun 1974 melaporkan bahwa televisi telah menggeser bioskop dan menjadi aktivitas waktu luang utama di Hongkong (Ma,2005:29). Program berita sendiri baru muncul di televisi Hongkong sekitar tahun 1970. Sejak tv berita muncul maka untuk pertama kalilah masyarakat Hongkong dapat menyaksikan dan mengetahui kondisi kota Hongkong melalui layar kaca. Televisi menyediakan rasa kolektivitas masyarakat Hongkong. Selain berita yang selalu menjadi 10 program dengan rating tertinggi program yang sangat disukai masyarakat Hongkong adalah serial melodrama. Begitu hebatnya serial melodrama di Hongkong dapat diukur dengan sepinya jalan dan restoran setiap serial drama tersebut tayang.Isi drama televisi berkaitan dengan situasi sosial saat itu yang menjadi aspirasi sekaligus inspirasi gaya hidup masyarakat.Nilai-nilai normatif kabur dan lebih menekankan kemampuan berjuang pribadi daripada kebaikan secara berkelompok. Kondisi melodrama Hongkong dapat disamakan dengan munculnya telenovela di Amerika Latin,khususnya pada kemampuan mempengaruhi budaya lokal(Ma,2005:30). Popularitas melodrama Hongkong juga dapat diukur dari nama-nama tokoh melodrama tv tersebut yang marak menjadi nama-nama rumah tangga. Televisi Hongkong juga mengkategorisasi orang tanah daratan Cina sebagai berbeda dengan orang Hongkong (Hongkonger). Hal ini dapat dikaitkan dengan melodrama televisi berjudul he Good, he Bad and he Ugly.Tokoh dalam melodrama tv tersebut
212
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Ah Chian adalah pendatang dari Cina daratan. Ah Chian dilukiskan sebagai orang yang bodoh, lambat, terbelakang dan miskin. Ah Chian berbeda dengan orang Hongkong yang dilukiskan melodrama tersebut pintar, tangkas, modern dan kaya. Tokoh Ah Chian pun populer dilabelkan masyarakat Hongkong kepada para pendatang asal Cina daratan (Ma,2005:31). Bagi para pendatang stereoptyping dan stigma ini menjadi dominan dan bagi masyarakat Hongkong citra negatif orang Cina daratan menjadi sumber budaya memperoleh identitas budaya. Dari sudut pandang ekonomi televisi di Hongkong mengalami kesuksesan. Dominasi melodrama di televisi dengan rating dan share yang besar menghasilkan keuntungan bersih hingga 60% pertahun. Kondisi ini mendorong televisi Hongkong giat memproduksi program televisi hingga 6000 jam pertahun di tahun 1970an.Kesuksesan produksi program televisi (khususnya melodrama) meluap hingga mendorong munculnya produksi ilm. Industri ilm Hongkong yang mati di tahun 1960-an pun “bangkit dari kubur”. Televisi pun menjadi “shaolin temple” perilman Hongkong yang baru. Majunya industri program televisi dan bangkitnya industri im mendorong industri musik. Soundtrack melodrama dan ilm pun mendorong masyarakat mencari lagu yang populer seiring kepopuleran melodrama atau ilm. Selain itu di tahun 1980an TVB Hongkong mampu mengekspor 2000-3000 jam serial melodrama tv pertahun ke 25 negara.Erc Kit-wai Ma menilai kondisi ini sebagai suatu hal yang tidak biasa dari sebuah wilayah dengan pupulasi kecil dengan produk budaya lokal dan tanpa identitas nasional yang kuat, memperoleh popularitas di hampir semua negara Asia (Ma,2005:36-37). Kondisi menarik terjadi jelang kembalinya Hongkong ke pangkuan Cina tahun 1997 dari tangan koloni Inggris. Acara pengumpulan dana untuk orang miskin, pendidikan untuk orang tak mampu, banjir dan kelaparan marak di televisi Hongkong. Pertengahan Agustus 1993 TVB Hongkong dan CCTV milik pemerintah Cina menyelenggarakan acara besar dan mewah untuk memberantas kemiskinan di pedesaan Cina. Acara berlangsung di Chinese People’s Hall Convention Hall, tempat yang biasa menyelenggarakan pertemuan politik Partai Komunis Cina.Untuk pertaa kali politik dan budaya menyatu (Ma,2005:48). Kondisi ini menarik karena televisi Hongkong awalnya melukiskan pandangan negatif pada pemerintah Cina daratan, melalui serial melodramanya, misalnya. Masyarakat Hongkong juga mengidentiikasi dirinya bukan bagian dari orang Cina daratan. Ketika peristiwa Tianamen,disebut juga pembantaian 4 Juni 1989, sebagian masyarakat Hongkong berdemonstrasi ke jalan dan sebagian lain setia mengikuti perkembangan politik di Cina melalui berita di televisi (Ma,2005:45). Perubahan kebijakan ekonomi di bawah 213
Denxioping yang terbuka dengan arus modal dari luar memungkinkan perubahan pandangan masyarakat Hongkong, khususnya kelas ekonomi atas, untuk ikut berinvestasi di Cina daratan Tahun 1992 dua pertiga investasi asing di Cina daratan berasal dari Hongkong. Para pemilik media Hongkong berbondong-bondong membuka jalur ke Cina dan mengajak kerjasama dengan media pemerintah. Di antara pimpinan media Hongkong yang gencar berkunjung ke Cina daratan adalah pimpinan TVB Hongkong R.R.Shaw. Ia datang menemui kolega bisnis dan para pejabat Cina daratan (Ma,2005:46). Ketika pesta penyerahterimaan Hongkong kembali ke pangkuan Cina tahun 1997 peristiwa itu diisi dengan pesta kembang api. Acara serahterima Hongkong juga digabung dengan pesta kemerdekaan Cina. Selain kembang api, acara juga dimeriahkan penyanyi pop, presenter tv dan para selebritis. Mereka dengan khidmad menyanyikan lagu kebangsaan Cina yang mengiringi berkibarnya bendera Cina. Eric Kit-wai Ma menyebutnya dengan Nasionalisme diartikulasikan melalui wacana media dengan menggunakan icon populer. Para pendukung ideologi Cina lebih mudah memperoleh akses media dan memenangkan izin memimpin perubahan budaya (2005:48) 5. Simpulan
1. Televisi dapat bertindak sebagai agen perubahan pada masyarakat menuju ke arah yang lebih baik
2. Kondisi sosial budaya masyarakat mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap media,khususnya televisi 3. Kritik dan penelitian terhadap televisi, khususnya riset pengaruh media,khususnya televisi, kepada masyarakat dapat menjadi bahan pemikiran pemerintah sebelum mengeluarkan keijakan 4. Masyarakat modern sedikit atau banyak teroengaruh media,khususnya televisi 5. Pendekatan hiburan pendidikan (edutainment) dapat menjadi dasar pembuatan konsep/program mengubah masyarakat menjadi lebih baik. Akhirnya, mungkin benar apa yang dikatakan Walter Cummins dan George Gordon (2006)For those of us who were present for the irst half-century of TV, what exists today has far transcended our most futuristic fantasies. Our wildest guesses for what the next halfcentury will bring no doubt will be just as inadequate. But one thing is sure: For the indeinite future, our lives will continue to be illed with and changed by what we now call television.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Daftar Pustaka Bel, Bernard (et all) (ed).(2010).Communication, Culture and Confrontation.New Delhi. Sage Publications. Cummins,Walter and George Gordon. (2006). Programming Our Lives:Television and American Identity.London, Praeger Publishers. Di Luzio, Aldo (et all) (ed).(2001).Culture in Communication:Analyses of Intercultural Situations. Philadelphia.John Benjamins Publishing Company. Emm, Adele. (2002).Researching for Television and Radio. London, Routledge. Howard, Douglas L.(ed).(2010). Dexter:Investigating Cutting Edge Television.London. I.B.Tauris. Ma,Eric Kit-wai .(2005)Culture, Politics, and Television in Hongkong.New York.Taylor & Francis e-library. Mander, Jerry.(1978). Four Elements to Elimination of Television.New York. Quill. McPhail, homas L. (Ed).(2009). Development Communication:Reframing he Role of Media. West Sussex UK, Blackwell Publishing. Mehta, Nalin (ed) ( 2008).Television in India: Satellites, Politics and Cultural Change.Oxon.Routledge. Pecora,Nourma (et all) (ed).(2009).Children and Television:Fifty Years of Research.New York.Taylor & Francis e-library Perse, Elizabeth M.(2008). Media Efects and Society. Mahwah NJ.Taylor & Francis e-library. he International Bank for Reconstruction and Development/he World Bank (2007). World Congress on Communication for Development:Lessons, Challenges, and he Way Forward.Washington. he World Bank.
214
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Media Massa Sebagai Sumber Kekuatan Pembangunan Daerah Eko Harry Susanto 1 Abstrak Sejalan dengan reformasi politik yang menuntut transparansi informasi, berdampak terhadap posisi media massa, yang semula dipakai sebagai salah satu instrument politik pemerintah beserta sayap – sayap politiknya, secara faktual mengalami perubahan peran. Media massa menjadi entitas independen yang memiliki kekuatan dalam penyebaran informasi. Dalam posisinya yang tidak memihak dan transparan dalam pemberitaan maupun penyiaran, media dapat meningkatkan wawasan masyarakat dalam menyikapi pembangunan di daerah yang sesuai dengan tujuan otonomi daerah. Dengan dukungan media massa yang peduli terhadap program- program pembangunan di daerah, pemerintah dapat memanfaatkan media untuk menyosalisasikan program pembangunan sampai ke pelosok pedesaan. Di sisi lain, masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam pembangunan daerah, bukan sebatas melibatkan diri dalam program pembangunan yang berpihak kepada rakyat, tetapi melalui informasi dari media massa, juga ikut mengawasi jalannya pembangunan daerah, agar sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Hakikatnya, media massa sebagai salah satu pilar demokrasi dalam kehidupan bernegara, memiliki kekuatan dalam proses pembangunan daerah yang berpihak kepada pelayanan kepada public yang lebih baik. Namun persoalannya, ketika media massa tumbuh dengan pesat, dan didukung oleh regulasi di bidang pers dan penyiaran, yang berorientasi kepada demokratisasi dan terbentuknya masyarakat informasi, ternyata tidak semua media, mampu menjalankan profesionalisme pemberitaan dan penyiaran dengan baik. Ada kendala yang menghambat tugas maupun tanggungjawab media, yang tidak sejalan dengan etika jurnalistik, transparansi informasi dan sikap independen, yang dipicu oleh ketidakprofesionalan pekerja media, kecenderungan bisnis yang lebih kuat dan ideologi pemilik media. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, dalam belenggu hambatan keuangan, media massa melakukan transaksi dalam pemberitaan dan penyiaran dengan pemerintah daerah. Akibatnya, media massa lebih banyak mendukung program pembangunan daerah, dibandingkan bersikap kritis dan transparan dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Kata Kunci : media massa, transparansi, pembangunan daerah I.Pendahuluan Salah satu tuntutan reformasi politik tahun 1998 adalah demokratisasi komunikasi dalam koridor kebebasan pers, yang secara substantif menyangkut pemberitaan dan penyiaran. Faktor yang melekat didalamnya adalah transparansi informasi dari semua entitas pendukung kekuasaan negara. Pada konteks ini, tidak terkecuali masyarakat yang harus mendukung keterbukaan informasi pemberitaan. Sebab, tidak bisa diabaikan bahwa kebebasan komunikasi, akan berhadapan pula dengan aspek kultural masyarakat, yang sangat terbiasa dengan ketertutupan dan rahasia dalam ikatan “menjaga nilai” sosial budaya yang bersifat paternalistic Ketertutupan informasi seringkali dipakai sebagai salah satu dalih dari elite politik dan elite dalam kekuasaan negara, untuk tidak transparan dalam menyampaikan informasi seputar jalannya pemerintahan dan pembangunan yang dilaksanakan. Padahal, dalam rangka membangun masyarakat informasi yang beradab, pemerintah harus secara terbuka menginformasikan semua kegiatan kepada rakyat. Bisa saja merahasiakan, jika didukung oleh 1 Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara Jakarta
215
peraturan yang mengisaratkan bahwa kegiatan tertentu tidak bisa didifusikan kepada publik karena pertimbangan keamanan bangsa dan negara Dalam ranah pembicaraan kebebasan berkomunikasi di masyarakat, peran media massa sebagai institusi yang memiliki fungsi menyebarkan informasi pembangunan kepada masyarakat, dituntut untuk selalu berpijak kepada kepentingan “terbentuknya masyarakat informasi” yang dinamis, sehingga mengetahui perencanaan, proses, hasil dan manfaat pembangunan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah. Menyangkut informasi pembangunan yang ditujukan kepada masyarakat, media massa wajib memposisikan sebagai entitas pemberitaan dan penyiaran yang tidak memihak kepada para elite ekonomi, politik maupun elite di tubuh pemerintahan. Dalam koridor kebebasan pers yang menjadi pedoman, media harus mengedepankan independensi dalam menyebarkan informasi yang bermanfaat bagi khalayak. Kalaupun media, dalan menjalankan fungsinya juga dituntut untuk melakukan kegiatan yang komersial, demi untuk mempertahankan institusi dan
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
kesejahteraan para jurnalis dan pekerja lainnya, tetapi bukan berarti, mengabaikan prinsip independensi pemberitaan dan penyiaran. Prinsipnya, media massa harus tetap menjalankan profesionalisme demi untuk mencerdaskan ataupun meningkatkan wawasan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, jika media hanya berfokus kepada orientasi bisnis untuk memperoleh keuntungan, tanpa ideologi pemberitaan yang menjunjung tinggi idealisme dan profesionalisme, maka sulit untuk menempatkan diri sebagai sumber informasi yang dipercaya oleh khalayak. Kondisi tersebut, senada dengan pendapat Baran (2012:24), yang mengemukakan, uang memang mengubah komunikasi menuju kearah kepentingan tertentu. Uang menggeser juga keseimbangan kekuasaan, dan cenderung membuat khalayak menjadi produk daripada menjadi konsumen yang berhak memperoleh faedah informasi. Padahal kekuatan utama media adalah, jika media tersebut dipakai sebagai sumber informasi ataupun rujukan masyarakat dalam mencari berita yang dipercaya kebenarannya. Dengan menempatkan transparansi sebagai ideologi media, maka masyarakat sebagai khalayak media, bias lebih leluasa untuk menerima informasi tentang berbagai kegiatan pembangunan yang ada di daerahnya, maupun diberbagai wilayah lain, yang dapat dipakai sebagai pembanding pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan. Intisarinya, media massa diharapkan menumbuhkan wawasan dan pengetahuan masyarakat yang lebih luas tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan daerah. Dengan demikian, masyarakat juga memahami gambaran ideal tentang pembngunan daerah yang seharusnya dilaksnakan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Terlebih lagi dalam bingkai otonomi daerah, yang mengamanatkan agar pemerintahan di daerah melaksanakan pembangunan yang berorientasi kepada pelayanan kepada masyarakat setempat, maka media massa harus mengedepankan nilai informasi yang transparan dan meberikan manfaat factual kepada rakyat, sehingga tidak ada tuduhan bahwa media massa, dipakai sebagai intrumen politik pemerintah daerah dalam rangka mendukung kebijakan yang dikeluarkan walaupun kurang berpihak kepada masyarakat setempat. Padahal penyelenggaraan pemerintahan di daerah dengan prinsip otonomi adalah untuk mempercepat terwujudnya pembangunan, demi untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah yang memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip otonomi daerah dan eksistensi media
massa, harus berjalan sehaluan dalam memberikan informasi pembangunan yang dibutuhkan masyarakat. Merujuk kepada pendapat klasik Schramm (dalam Susanto,2010: 46) bahwa “media massa khususnya radio , televisi dan surat kabar berperan dalam memberikan informasi kepada masyarakat”. Tetapi memang tidak mudah untuk mengedepankan profesionalisme dalam pemberitaan, yang mampu memberikan manfaat kepada khalalayak. Sebab, dengan berlindung dibalik kebebasan berekspresi, maka media massa juga terperangkap pada kubu politik dan ekonomi, yang menaikan keberpihakan kepada masyaraka. Media massa cenderung dipakai oleh kelompok – kelompok yang memiliki kepentingan politik dengan segala implikasi faktual dalam pembangunan. Menarik untuk dicermati adalah pendapat McQuail (1991:109), penyebaran informasi melalui media massa adalah dominasi “kekuasaan politik” sehingga jauh dari hak atau kebebasan masyarakat, untuk mendapatkan informasi yang realistis, akurat dan dari sumber yang kredibilitasnya diakui. Berpijak kepada pendapat itu, maka media massa harus menjalankan fungsi penyebaran informasi pembangunan yang transparan dan bermanfaat bagi masyarakat. Bagaimanapun besarnya hambatan dalam penyebaran berita yang transparan, tetapi tidak dapat disangkal idealisme media, merupakan salah satu kunci yang menempatkan media massa sebagai sumber kekuatan dalam menukung pelaksanaan pembangunan daerah. II. Media Massa Pasca Reformasi Politik Sejalan dengan tuntutan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, media massa yang sebelmnya cenderung dipakai sebagai alat untuk mempengaruhi massa dan digunakan sebagai instrument politik pemerintah, berubah menjadi media massa yang memiliki kebebasan pemberitaan dan penyiaran. Dalam bingkai pers sebagai subordinat kekuasaan negara yang dimanfaatkan untuk mendukung program dan kebijakan pemerintah, media massa cenderung sejalan dengan model pers pembangunan. Menurut McQuail (1991: 120) pendekatan teori itu pada prinsipnya meliputi (1) media seyoganya menerima dan melaksanakan tugas pembangunan positif sejalan dengn kebijaksanaan yang ditetapkan secara nasional. (2) Kebebasan media dibatasi sesuai dengan prioritas ekonomi dan pembangunan masyarakat, (3). Media perlu memprioritaskan isi pada kebudayan dan bahasa nasional, (4). Media hendaknya memprioritaskan berita dan informasinya pada negara sedang berkembang lainnya, yang erat kaitannya secara geograis, kebudayan atau politik, (5). Para wartawan dan karyawan media lainnya, memiliki tanggungjawab serta kebebasan dalm tugas mengumpulkan informasi dan penyebarluasannya,
216
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
(6) Bagi kepentingan tujuan pembangunan, negara memiliki hak untuk campur tangan, atau membatasi, pengoperasian media, sarana penyensoran, subsidi, dan pengendalian langsung terhadap media. Melalui model media pembangunan, berbagai informasi yang didifusikan harus melewati rangkaian kontrol berlapis dari para pemegang otoritas pemberitaan dan penyiaran yang dibentuk oleh pemerintah dalam upaya melindungi kekuasaan negara. Akibatnya, pemberitaan media massa identik dengan kemauan politik pemerintah, yang terbelenggu oleh jargon stabilitas dan harmonisasi kehidupan masyarakat dalam perspektif sepihak sesuai penafsiran kepentingan pemegang kekuasaan. Namun kondisi yang memposisikan media sebagai instrumen pemerintah, lambat laun menghilang, karena secara legal formal memang tidak ada lagi campur tangan pemerintah terhadap peran media massa . Walaupun dalam aspek faktual, masih saja pemerintah berupaya untuk mengontrol pemberitaan media. Undang – Undang Nomor 40 tahun 1999, tentang Pers, yang memiliki semangat kebebebasan dalam menyampaikan pendapat maupun informasi, mengamanatkan tentang perlunya kemerdekaan pers, sebagai wujud dari kedaulatan rakyat yang harus ditegakkan. Oleh sebab itu, tidak ada lagi lagi intervensi dari pihak manapun untuk mengontrol ataupun menyensor pemberitaan. Walaupun begitu, tidak berarti media dapat menikmati kebebasan tanpa batas dalam menyampaikan pesan kepada publik, sebab ada pihak – pihak yang berkepentingan di tubuh institusi pemerintahan dan masyarakat, yang tidak menghendaki demokrasi informasi. Dalam jerat nilai paternalistik dan komunalisme, yang mengedepankan nilai – nilai sosial kultural dan ekonomi kelompok, maka transparansi media massa dianggap sebagai ancaman terhadap kemapanan elite di tubuh pemerintah maupun entitas yang menikmati pembangunan serta memiliki pengaruh kuat di masyarakat. Karena itu, dalam upaya mencegah intervensi terselubung dari berbagai pihak yang tidak menyukai kebebasan pers, maka para pekerja media harus konsisten menjunjung tinggi independensi pemberitaan maupun penyiaran demi meningkatkan wawasan yang lebih luas kepada khalayak. Namun justru yang menjadi persoalan adalah hambatan internal pada aspek kelembagaan media. Pimpinan organisasi media massa, sebagai payung organisasi para jurnalis dan pekerja media, belum bisa melepaskan diri dari kekuasaan politik dan ekonomi yang selalu berupaya untuk mengendalikan media dalam menjalankan fungsi pemberitaan dan penyiaran. Bahkan lebih celaka lagi, dalam menyosialisasikan kebijakan pembangunan di daerah, justru para pimpinan organisasi media masih saja, memposisikan sebagai sub ordinat dari para pemegang kekuasaan 217
politik dan para pemilik modal. Akibatnya, media massa lebih berpihak kepada mereka yang memiliki modal dibandingkan membela kepentingan rakyat. Padahal kekuatan media massa adalah kemandiriannya dalam mendifusikan berita yang independen dan berpihak kepada kepentingan publik. Tetapi ternyata, dengan regulasi yang memberikan kebebasan, justru fungsi – fungsi ideal media massa, tidak bisa sepenuhnya dapat dijalankan dengan baik sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 40/1999. Dalam tataran regulasi, para praktisi ataupun pekerja media selayaknya jika mengacu kepada Kode Etik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Kode Etik Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) dan norma lain dari berbagai kelompok jurnalis. Namun faktanya, dalam upaya menyebarkan informasi pembangunan daerah, masih ditemukan ketidaktransparanan media massa dalam pemberitaan, karena berkaitan dengan kepentingan politik maupun ekonomi dari kelompok yang berkuasa ataupun memiliki pengaruh kuat di pemerintahan. Sudah barang tentu, gambaran ini bertentangan dengan tuntutan masyarakat terhadap eksistensi pers yang bebas dari kepentingan dan tekanan dari pihak manapun. Memang media massa tidak bisa dilepaskan dalam situasi politik. Karena itu, ketika politik memegang peran dominan dalam pemerintahan yang berupaya menerapkan pembangunan sejalan dengan otonomi daerah, maka media massa khususnya di daerah bisa saja justru mengikuti atau terlibat dalam dinamika politik yang penuh dengan persaingan dalam menanamkan pengaruh kekuasaan. Dilihat dari fungsinya , media massa mampu menggambarkan realitas politik , namun harus diingat pula bahwa kehidupan pers di suatu negara akan mengikuti sistem yang hidup dalam negara yang bersangkutan . Dengan demikian setiap negara mempunyai sistem pers sendiri. Denis McQuail (1991) menegaskan, “pada dasarnya sistem pers adalah sub sistem dari sistem politik yang ada”. Namun satu hal yang tidak bisa dibantah adalah media massa memegang peranan penting di dalam kehidupan politik. Pendapat tersebut, seiring dengan pernyataan DeFleur (1970 : 11), yang menyebutkan, “bahwa kekuasaan politik dan media massa mempunyai hubungan yang saling kuat”. Keterkaitan dua hal tersebut selalu menjadi persoalan yang menarik dalam menelaah pembangunan dan kekuasaan politik pemerintah. Walaupun sesungguhnya media massa harus independen dalam menjalankan peran ideal untuk memperluas wawasan masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat. Berpijak pada upaya tersebut, maka media harus mampu membangun masyarakat informasi yang memahami peran dan isi media dalam menjalankan fungsi informasi. Menurut Art Silverblatt (dalam Baran, 2012:34), membuat masyarakat melek media
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
dapat dilihat dari karakteristik sebagai berikut : (1) Keterampilan berpikir kritis, memungkinkan anggota khalayak untuk mengembangkan penilaian yang independen terhadap isi media. (2) Pemahaman terhadap proses komunikasi massa, mendorong ekspektasi agar media memberikan pelayanan kepada khalayak dalam membatasi, mengembangkan pesan dan memperoleh umpan balik yang efektif. (3) Kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat. 4) Strategi untuk menganalisis dan mendiskusikan pesan- pesan media, memberikan pemahaman bahwa, interpretasi isi media bukan terletak pada para pencipta isi media tetapi khalayak. (5) Sebuah kesadaran aka nisi medsia sebagai suatu teks yang menyediakan wawasan bagi budaya daan kehidupan kita. (6) Kemampuan untuk menikmati, memahami dan mengharagai isi media. Bukan berarti tidak menyukai apapun yang ada dalam media dan selalu curiga, tetapi bisa menghargai dan memahami. (7) Pengembangan keterampilan produksi yang efektif dan bertanggungjawab. , (8) Pemahaman akan kewajiban etis dan moral para praktisi media. Sementara itu dalam aspek legal formal, menurut Undang – Undang No 40/1999, Pers nasional mempunyai peran penting dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum, dengan menyampaikan berita dan informasi yang akurat dan transparan. Dengan peran ini, media massa dapat menjadi salah satu penunjang demokrasi pemerintahan, yang berimplikasi terhadap pembangunan yang berpihak kepada kepentingan rakyat. Masih dalam konteks regulasi, Undang – Undang Penyiaran No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, juga berupaya mewujudkan kemerdekaan dalam menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui penyiaran sebagai upaya menuju demokrasi dalam komunikasi yang bermanfaat dalam mendukung jalnnnya pemerintahan. Penyiaran radio dan televisi merupakan kegiatan komunikiasi massa yang berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, sebagai alat kontrol dan perekat sosila – kultural masyarakat. Hakikatnya, regulasi di bidang pemberitaan dan penyiaran sudah mengatur berbagai hal yang terekait dengan fungsi media massa dalam menjalankan peran ideal tanpa terdeferensiasi sosial, politik dan ekonomi. Karena itu, seluruh lapisan masyarakat berhak memperoleh informasi dari berbagai sumber yang dipercaya, termasuk dari pemerintah yang berkuasa di tingkat pusat maupun daerah. Jika dikaitkan dengan teori pers, maka eksistensi UU N0.40/1999 dan UU No. 32/ 2002 mengarah kepada kebebasan pers yang diunggulkan sebagai pilar demokrasi dalam kehidupan bernegara. Dalam tinjauan teoritis, Pers Bebas menurut McQuail, mencakup : Publikasi seyogianya bebas dari penyensoran pendahuluan oleh pihak ketiga, tindakan
penerbitan dan pendistribusian sebaiknya terbuka bagi setiap orang atau kelompok, tanpa memerlukan ijin atau lisensi, kecaman terhadap pemerintah, pejabat atau partai politik (yang berbeda dari kecaman terhadap orang-orang secara pribadi, atau pengkhianatan dan gangguan keamanan), seyogianya tidak dapat dipidanakan, bahkan setelah terjadinya peristiwa itu. Disamping itu, selayaknya media tidak mempunyai kewajiban mempublikasikan segala hal yang terkait dengan kepentingan pemerintah dan berbagai pihak yang memiliki kemauan memanfaatkan media. Dalam hal publikasi, kesalahan dilindungi sama halnya dengan publikasi kebenaran, dalam hal yang berkaitan dengan opini atau keyakinan. Pers bebas juga menganut tidak diperlukannya batasan hukum dalam pengumpulan informasi untuk kepentingan publikasi, tidak ada batasan hukum yang diberlakukan dalam impor, ekspor atau pengiriman dan penerimaan pesan, diseluruh pelosok negeri. Sedangkan faktor yang berkaitan dengan kerja jurnalis adalah, wartawan harus mampu menuntut otonomi profesional yang sangat tinggi di dalam organisasi mereka Memang kemerdekaan pers di Indonesia tidak sepenuhnya merujuk kepada Teori Pers Bebas. Namun semangat dalam memberikan informasi yang independen dan transparan, serta bebas dari campur tangan pemerintah sudah menunjukkan bahwa dinamika pers Indonesia sehaluan dengan sebagaian prinsip pers bebas. III. Pembangunan Daerah : Fokus Otonomi Pembangunan merupakan upaya melakukan perubahan isik maupun non isik kearah yang lebih baik dari sebelumnya. Karena itu, pembangunan seringkali dikaitkan pula dengan tujuan politik para pemegang kekuasaan. Jika pembangunan ditafsirkan dengan merujuk kepada kepentngan rakyat , bukan suatu masalah. Namun yang menjadi persoalan adalah, ketika pembangunan dihubungkan dengan keberhasilan pemerintah dan dimanfaatkan sebagai alat politik para pemegang kekuasaan dalam rangka melanggengkan posisi di pemerintahan. Dengan demikian sangat beralasan jika masalah pembangunan seringkali masuk dalam nuansa politik kekuasaan, dibandingkan upaya untuk menciptakan perubahan yang membawa faedah faktual bagi rakyat. Dalam terminologi Peter L. Berger (1974:31), pembangunan dibedakan dengan modernisasi. Pembangunan menunjuk pada proses yang menyebabkan negara-negara miskin menjadi kaya atau berusaha menjadi lebih kaya, dan juga proses yang menyebabkan negara kaya bertambah kaya atau secara sederhana dideinisikan sebagai perbaikan menyeluruh dalam kesejahterahan penduduk yang dicapai melalui pertumbuhan yang baik dan modernisasi yang
218
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
dikehendaki, sedangkan istilah modernisasi itu sendiri adalah perubahan kelembagaan dan kebudayaan yang menyertai pertumbuhan. Modernisasi adalah sesuatu yang bebas nilai sedangkan pembangunan akan diartikan sebagai kategori politis dan tidak bebas nilai. Di era otonomi daaerah, pembangunan daerah menjadi salah satu titik krusial yang menimbulkan persaingan antara birokrat pemerintah dengan politisi. Antara birokrat dengan birokrat lain, yang didukung oleh partai politik dan politisi, serta antara politisi dengan politisi, yang semuanya berdalih memperjuangkan rakyat. Padahal disinyalir, persaingan itu semata – mata karena memperebutkan tetesan dana dalam proses pembangunan di dearah demi untuk kepentingan kelompok. Memang menelaah pembangunan, akan menghadapi berbagai persoalan beragam, dari persoalan sosial, ekonomi, politik dan sejumlah alasan lain yang terkait dengan perubahan dan dinamika tuntutan masyarakat yang demikian pesat karena peran media massa. Secara konsepsional, pembangunan menurut Rostow (dalam Sukirno, 1985:57), adalah sesuatu yang terus maju, dari suatu tahap yang primitif ketahap yang lebih maju. Sementara itu Tehranian (dalam Nasution, 2003:85) menetapkan tiga faktor teoritis yang berhubungan dengan pembangunan yaitu : (1). Pembangunan semata-mata sebagai proses pluralisasi masyarakat, politik dan ekonomi dari suatu bangsa yang melakukan pembangunan; (2). Rasionalisasi sebagai unsur kunci dalam proses pembangunan; (3). Pemikiran yang lahir dari kesadaran diri masyarakat di dunia ketiga. Berpijak pada pendapat itu, pembangunan daerah merupakan kemajemukan, rasionalitas dan kesadaran untuk mengubah kondisi daerah menjadi lebih baik secara isik maupun non isik. Sedangkan unsur-unsur pembangunan dalam kaitannya dengan komunikasi menurut Rogers (1985 :14), adalah : (1) Pemerataan penyebaran informasi keuntungan sosial ekonomi dan sebagainya; (2).Partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang dicerminkan oleh disentralisasi kegiatan-kegiatan tertentu di daerah pedesaan ; (3).Bersifat mandiri dalam pembangunan dengan mengandalkan potensi sumberdaya setempat ; dan (4).Memadukan sistem tradisional dan modern untuk menimbulkan sinkretisasi pemikiran lama dan baru,dengan pertimbangan yang berbeda disetiap daerah. Dalam perspektif pemerintahan di derah, pembangunan harus sejalan dengan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, yang mewajibkan daerah mengatur urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan kondisi yang ada. Sedangkan daerah otonomi, atau daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas – batas wilayah 219
yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada intinya, terdapat berbagai macam urusan yang berhubungan dengan pembangunan khususnya di kabupaten maupun kota, sebagaimana tercantum dalam pasal 14 Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang mencakup (1) Perencanaan dan Pengendalian pembangunan, (2) Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang (3) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, (4) Penyediaan sarana dan prasarana umum, (5) Penanganan bidang kesehatan, (6) Penyelenggaraan pendidikan, (7) Penanggulangan masalah sosial, (8) Pelayanan bidang ketenagakerjaan, (9) Fasilitas pengembangan koperasi, usaha keciol dan menengah, (10) Pengendalian lingkungan hidup, (11) Pelayanan pertanahan, (12) Pelayanan kependudukan dan catatan sipil, (13) Pelayanan adaministrasi umum pemerintahan, (14) Pelayanan administrasi penanaman modal, (15) Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya, dan (16) Urusan wajib lainnya yang diamantakan oleh peraturan perundang – undangan. Dalam aplikasi faktual pembangunan daerah, menarik untuk dicermati adalah pola pembangunan yang berfokus kepada pertanian. Menurut Fadel Muhammad (2008:297), pembangunan bidang pertanian berbasis “jagung” dikembangkan dalam sembilan pilar, yaitu : (1) pengembangan dan penyediaan alat dan mesin pertanian, dilakukan dengan membangun pusat pelatihan dan pendampingan, (2) Penyediaan dana penjaminan bagi petani, pemerintah daerah menyediakan dana yang cukup besatr dan nekerjasama dengan beberapa bank, (3) Penyediaan benih, pupuk dan pengendalian hama penyakit dengan memamksimalkan kerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara, (4) Memperlancar pemasaran, sebagai komponen penting dalam sistem pertanian modern yang menentukan kesuksesan industri pertanian modern, (5) pembangunan jalan pedesaan dan jaringan irigasi, secara bertahap dibangun sistyem irigasi sederhana, sedangkan pembangunan jalan dilakukan terutama di derah yang terisolasi, (6) Posko agropolitan sebagai pusat percontihan yang selaigus berperan sebagai pusat layanan penyuluahan dan diseminasi teknologi, (7) Peningkatan Sumber Daya Manusia Pertanian, pada akhirnya petani yang menjadi subyek pembangunan. Kesejahteraan petani merupakan tujuan akhir pembangunan agropilitan berbasis jagung, (8) Peningkatan peran Maize Centre, untuk melakukan penelitian dan pengkajian teknologi, serta sebagai pusat pelatihan maupun percontohan paket – paket teknologi, (9) Perencanaan dan koordinasi, untuk mencapai efektivitas dan eisiensi dalam pembangunan. Semua urusan tersebut, secara esensial harus
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, sehingga pembangunan yang terkait dengan sektor – sektor itu, harus diketahui secara transparan oleh masyarakat, sebagai pihak yang harus dilayani dan bukan sebagai obyek pembangunan daerah semata – mata. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional harus berorientasi untuk kepentingan pelayanan publik. Semua program pembangunan daerah yang bersifat isik maupun non isik, dalam jangka pendek, menegah maupun jangka panjang, juga harus mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat, sehingga masyarakt merasa memiliki dan dapat menikmati manfaat dari program pembangunan yang dilaksanakan. Mencermati urusan daerah yang beragam, maka terlalu sulit jika menjalankan tugas tersebut, tanpa dukungan media massa yang dapat menjalankan fungsi pemberitaan maupun penyiaran secara konsisten, dengan mengedepankan kemerdekaan pers, yang berusaha untuk menjunjung tinggi independensi, transparansi dan sikap profesionalisme lainnya yang memberikan manfaat bagi masyarakat dalam memahami program pembangunan di daerah. IV. Media Massa dalam Kompleksitas Pembangunan Daerah Keberadaan media massa pasca reformasi politik yang mengedepankan kemerdekaan pers, ternyata penuh dengan berbagai persoalan sosial, ekonomi dan politik di masyarakat. Karena itu, meskipun regulasi media memberikan penguatan kepada pers untuk bertindak lebih berani mengungkap berbagai persolan pembangunan daerah, tetapi masih saja muncul hambatan dari berbagai elite khususnya para penguasa politik dan ekonomi yang merasa tidak nyaman dengan peran pers yang diasumsikan terlampau bebas. Sedemikian besar keterkaitan antara kekuasaan politik dan media, mengingat para politisi lebih menyukai jika media dapat membangun situasi yang dikehendaki. Kondisi ini memiliki kemiripan dengan pendapat Olien (1983 : 458) yang pada intinya, media massa memiliki relasi kuat dengan sistem politik yang ada di berbagai – lembaga pemerintah maupun kelompok – kelompok masyarakat pada umumnya dalam suatu negara. Dalih tentang perlunya harmonisasi dalam masyarakat, adalah pernyataan yang sering dikemukakan oleh pemerintah dan politisi untuk mengendalikan media massa. Melalui kekuatan politik maupun kekuasaan pendanaan. Para pemilik kekuasaan tidak menghiraukan kalau tindakannya menghambat demokrasi yang justru jauh dari prinsip ideal kebebasan pers. Melihat gambaran itu, Menta
(1972 : 78), menyebutkan, yang lebih penting bagi penguasa adalah kontinuitas jalannya pemerintahan dan bisnis yang dilakukan oleh sekelompok elite yang berkuasa secara ekonomis, politis maupun sosial. Prasangka terhadap media massa yang mengakibatkan tindakan masyarakat yang “kebabalasan” dalam menafsirkan kebenasan, sama dengan model media pembangunan dari McQuail (1987: 119), yang memmperbolehkan pemerintah ikut campur tangan dalam membatasi pengoperasian media dan penyensoran. Memang saat ini tidak ada lagi sensor yang faktual, tetapi pengendalian terselubung dengan cara yang halus maupun kasar masih ditemukan di berbagai pemberitaan yang memicu konlik antara pemereintah dengan media massa. Dalam konsep ideal, peranan utama media massa adalah menyalurkan informasi. Dengan informasi, masyarakat dapat melakukan reaksi terhadap apa yang sedang terjadi atau melakukan antisipasi terhadap segala sesuatu yang mungkin terjadi. Tanpa informasi , masyarakat tidak sempat melakukan reaksi atrau tidak bisa melakukan rekasi atau antisipasi secra tepat yang mebahayakan keselamatan hidupnya. (Eisy, 2007:3). Namun sebagai entitas penmberitaan dan penyiaran yang memperkuat pelaksanaan pembangunan di daerah, media massa tetap menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan fungsi pemberitaan yang independen. Bahkan ideologi media, seringkali dainggap sebagai hambatan dalam menjalankan independensi pemberitaan. Menurut Lull (1998 :1), ideologi media adalah pikiran yang terorganisir, yakni nilai, orientasi dan kecenderungan yang saling melengkapi hingga membentuk perspektif – perspektif ide yang diungkapkan melalui komunikasi, dengan media teknologi dan komunikasi antar pribadi. Ideologi sendiri dipengaruhi asal – usulnya, asosiasi kelembagaan dan tujuan, meskipun sejarah dan hubungan – hubungannya tidak pernah jelas seluruhnya. Hakikatnya, ideologi media adalah idealisme maupun prinsip – prinsip ideal yang dijalankan oleh media massa dalam menjalankan perannya di masyarakat. Faktor hambatan dalam menjalankan fungsi media, setidak – tidaknya berasal dari aspek eksternal dan internal. Hambatan eksternal, menyangkut perilaku elite politik, ekonomi dan elite dalam kekeuasaan negara, yang belum bisa menerima transparansi dan independensi pemberitaan. Komunitas ini tidak segan menggunakan kekuasaannya untuk mengontrol media jika ada pemberitaan yang tidak dikehendaki. Sedangkan hambatan internal adalah, fondasi pendanaan media yang lemah. Ini mengakibatkan media tidak bisa transparan dalam pemberitaan pembangunan daerah, sebab memiliki ketergantungan terhadap para penguasa politik dan ekonomi, yang
220
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
dapat mendikte pemberitaan ataupun penyiaran melalui kekuatan dana. Namun tidak bisa diabaikan, bahwa profesionalisme kerja jurnalis, yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik wartawan Indonesia maupun Kode Etik Asosiasi Jurnalis Independen Indonesia (AJI) seringkali memicu berbagai persoalan dalam pemberitaan tentang pembangunan daerah. Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia antara lain mencakup : Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk, menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik, tidak membuat berita bohong, itnah, sadis, dan cabul, tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Sementara itu Kode Etik AJI, antara lain meliputi, jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, mempertahankan prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar, memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya. Jika media massa mampu menjalankan regulasi dengan baik dan para juranlis menjunjung tinggi kode etik, maka media memiliki kekuatan ideal dalam mendukung program pembangunan yang berpihak kepada rakyat. Dalam pandangan Hennesy (1990 : 24), media massa mempunyai pengaruh yang sangat kuat, karena mampu mempengaruhi keputusan politik dengan memberikan atau tidak memberikan publikasi terhadap suatu isu. Media massa memiliki tanggungjawab untuk selalu memberikan informasi, tayangan dan siaran yang benar, akurat dan jelas. Fungsi ideal media massa, harus mampu memberikan dukungan terhadap pembangunan daerah yang memiliki permasalahan yang kompleks. Daerah memiliki berbagai kegiatan yang harus berorientasi kepada kepentingan rakyat. masyarakat. Berdasarkan pasal 21 Undang – Undang No. 32 Tahun 2004, dearah mempunyai hak : (1) Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya, (2) Memilih pimpinan daerah, (3) Mengelola aparatur daerah, (4) Mengelola kekayaan daerah, (4) Memungut pajak daerah dan retribusi daerah, (5) Mendapatkan bagi hasil dari pengelolalan sumberv daya alam. Sumber daya lainnya yang berada di daerah, (6) Mendapatkan sumber – sumber pendapata lain yang sah dan (7) Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang – undangan. Menangani urusan yang kompleks itu, elite di daerah sudah selayaknya mampu membangun media relations yang baik, demi mendiseminasikan program – program pembangunan dan menarik partisipasi masyarakat. Dukungan dari rakyat sebagai subyek pembangunan sangat diperlukan agar program pembangunan berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan berarti. Sebab ketika warga setempat terlibat didalamnya, maka mereka merasa memiliki 221
dan menjaga kesinambungan pembangunan. Menarik masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan daerah secara substantive dapat berhasil, jika pemerintah mampu memberikan informasi yang transparan dan memberikan kesempatan kebebasan kepada masyarakat untuk mencari sumber informasi tentang program pembangunan yang dilaksanakan. Demi untuk menyosialisasikan program pembangunan yang memiliki jangkauan luas, maka media massa adalah entitas yang paling memadai untuk memberikan informasi pembangunan kepada khalayak. Oleh sebab itu, pemerintah daerah beserta entitas pendukung kekuasaannya dalam melaksanakan program. pembangunan harus menghargai profesionalisme jurnalis dan kemerdekaan pers. Dengan demikian, jika tidak setuju terhadap pemberitaan maupun penyiaran yang mengulas tentang sisi negative pembangunan daerah, maka harus diselesaikan dengan merujuk kepada ketentruan yang berlaku. Bukan sebaliknya, melakukan tindakan yang bersifat pemaksaan kehendak dan penggunaan kekuatan massa serta sejumlah tindakan lain yang menciderai kebebasan pers di Indonesia. Di pihak lain, media juga harus mampu memberikan informasi yang bersifat mudah dipahami dan membumi. Tujuannya agar berita tentang pembangunan daerah tidak asing dan berjarak dengan masyarakat pada umumnya. Dalam pendekatan yang universal, menyerap isi media dibutuhkan keterampilan. Menurut Baran (2012:39), kemampuan untuk memahami media meliputi (1) Kemampuan dan kemauan suatu usaha untuk memahami isi media, memberi perhatian dan menyaring berbagai gangguan. (2) Pemahaman dan penghargaan pada kekuatan pesan media massa. (3) Kemampuan untuk membedakan reaksi emosiuonal dan rasional ketika merespon isi media dan bertindak sesuai isi media. (4) Pengembangan ekspektasi yang lebih tinggi terhadap isi media. (5) Pengetahuan terhadap kesepakatan akan aliran (genre) dan kemampuan untuk mengenali ketika genre dan kemampuan digabungkan dengan yang lain. (6) Kemampuan untuk berpikir kritis tentang isi media, tidak peduli seberapa kredibel sumbernya. Mencermati uraian tersebut diatas, pada hakikatnya media massa memiliki peran yang cukup penting dalam menyosilaisasikan program – program pembangunan daerah. Dengan catatan, jika elite dalam tubuh pemerintahan di daerah, tokoh masyarakat dan para pemilik modal serta masyarakat sebagai khalaayak media massa, juga mampu memahami fungsi ideal media massa dalam menjalankan kemerdekaan pers. V. Penutup Pada hakikatnya, dalam bingkai kebebasan media yang didukung oleh berbagai regulasi tentang pemberitaan dan penyiaran dapat meningkatkan
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
wawasan masyarakat dalam memahami program pembagunan daerah yang berpihak kepada rakyat. Kemerdekaan pers merupakan representasi kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan pembagunan yang berpihak kepada rakyat. Media massa merupakan entitas kehidupan bermasyarakat di daerah yang harus demokratis, menjaga kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nuran, berupaya memenuhi hak memperoleh informasi sebagai hak asasi manusia, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kesejateraan umum sebagai salah satu tujuan pembangunan daerah yang bersifat isik maupun non isik. Sebaliknya, jika program pembangunan di daerah yang lebih banyak menguntungkan kelompok – kelompok elite di masyarakat dan sejumlah pemilik modal yang memiliki kekuatan lobi kepada pejabat daerah, maka media massa juga bisa mendorong munculnya fungsi pengawasan dari rakyat. Namun yang menjadi persoalan adalah, ternyata di era kemerdekaan pers, tidak semua media mampu mkenjalankan fungsi pemberitaan dan penyiaran yang ideal sesuai dengan regulasi maupun harapan masyarakat. Sebab, muncul pula kecenderungan media massa yang tidak independen dan tidak tranasparan dalam memberikan informasi. Perilaku media semacam itu karena memiliki ketergantungan dana dari pemerintah, pemilik modal maupun kelompok – kelompok di masyarakat yang memiliki kekuatan paksa terhadap media massa. Selain itu, tidak bisa diabaikan bahwa , media massa belum sepenuhnya lepas dari pengaruh kelompok dominan dalam industri pemberitaan. Masih ada tekanan tersembunyi dan sistematis terhadap organisasi media. Padahal di pihak lain, masyarakat maupun khalayak justru sudah masuk dalam situasi pers bebas yang menghendaki jurnalis bisa menuntut otonomi profesionalisme dalam organisasi media, demi menghasilkan pemberitaan yang bebas dari unsur tekanan dari pihak manapun. Dengan menjalankan kemerdekaan pers, maka media massa menjadi sumber kekuatan dalam pembangunan daerah.
Masyarakat, Jakarta : Penerbit Dewan Pers Henessy, Bernard. 1990.Pendapat Umum, Terjemahan Airuddin Nasution, Jakarta : Penerbit Erlangga. Lull, James.1999. Media : Komunikasi dan Kebudayan, Jakarta : Penerbit Buku Yayasan Obor. McQuail, Denis. 1991. Mass Communication heory : An Introduction, second edition, London : Sage Publication McQuail, Denis.2010. Mass Communication heory : An Introduction, sixth edition, London : Sage Publication. Menta, SR. 1972. Emerging Pattern of Rural Leadership, New Delhi : Willy Eastern. Muhammad, Fadel. 2008. Reinventing Local Government : Pengalaman Dari Daerah, Jakarta : Elex Media Komputindo – Kompas Gramedia Nasution, Zulkarimein.2003.Komunikasi Pembangunan : Pengenalan Teori dan Penerapannya, Jakarta : Penerbit Rajawali Ollien, Clarice N , George A. Donohue and Phillip J. Tichenor ( 1983 ), “Stucture, Communication and Social Power : Evolution of the Knowledge Gap Hypothesis”,Mass Communication Review Yearbook, eds. Ellen Wartella and D. Charles Whitney (ed), Volume 4, Baverly Hill, London : Sage Publications Rogers, Everett M. 1985. Komunikasi Pembangunan : Perspektif Kritis, terjemahan Nurdin, Dasmar, Jakarta : Penerbit LP3ES Sukirno, Sadono.1985. Ekonomi Pembangunan : Proses, Masalah dan Dasar Kebijaksanaan, Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Susanto, Eko Harry.2010. Komunikasi Manusia: Esensi dan Aplikasi dalam Dinamika Sosial, Ekonomi, Politik, Jakarta : Penerbit Mitra Wacana Media. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan di Daerah
Daftar Pustaka Baran, Stanley J.2012. Pengantar Komunikasi Massa : Melek Media dan Budaya, Jakarta : Penerbit Erlangga Berger, Peter, L. 1982. Piramida Kurban Manusia : Etika Politik dan Perubahan Sosial, terjemahan Rachman Tolleng, Jakarta : Penerbit LP3ES DeFleur, Melvin L.1970.heories of Mass Communication, Second Edition, New York : David McKay Inc Eisy, M. Ridlo.2007. Peranan Mediua Dalam 222
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Peran Media Massa dalam Penanganan Pencemaran Air sebagai Bagian Pembangunan Daerah Banten Dianingtyas Murtanti Putri 1) 1. Pendahuluan Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Air berguna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan juga diperlukan dalam cakupan yang lebih besar yaitu dipergunakan untuk keperluan industri, pertanian, dan lain-lain. Seiring berjalannya waktu didasari kepentingan pribadi yang bersifat egois, manusia tidak dapat menjaga sumber daya air yang ada. Akibatnya, terjadi pencemaran sumber daya air bersih yang mengakibatkan kerugian besar bagi pihak lain untuk mengkonsumsi air bersih dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Musim kemarau yang sedang melanda sekarang ini menjadikan beberapa provinsi sedang mengalami krisis air. Bukan saja diakibatkan musim kemarau, pencemaran air yang disebabkan limbah industri juga melanda beberapa tempat. Salah satunya adalah Provinsi Banten, dimana Banten yang terletak diujung paling Barat Pulau Jawa, berbatasan dengan pulau Sumatera yang hanya dipisahkan dengan Selat Sunda, berbatasan langsung dengan wilayah DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat, serta Provinsi Banten juga berbatasan langsung dengan wilayah laut, sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda, sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sedangkan bagian Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sehingga wilayah ini memiliki sumber daya laut yang sangat potensial. Potret umum secara geograis Provinsi Banten yang mendasari provinsi ini memiliki potensi air yang sangat menguntungkan, karena mayoritas Sumber Daya Air (SDA) terletak di Kabupaten Lebak, dan dialirkan melalui Daerah Aliran Sungai (DAS) ke seluruh penjuru Banten. Dalam sejarah provinsi ini terkenal sebagai sebuah kota pelabuhan yang sangat ramai dengan masyarakatnya yang terbuka dan makmur, juga dalam sejarah Banten dahulu merupakan kota maritim yang kuat menandingi Kerajaan Mataram hingga kini daerah ini merupakan desa nelayan yang mana kita masih akan mendapatkan cerminan masa lalunya (www.indotravelers.com). Selain itu Provinsi Banten memiliki Taman Nasional Ujung Kulon yang merupakan salah satu taman nasional dan lokasi konservasi alam di Indonesia. Di lokasi ini, kita dapat melihat keindahan hutan tropis dan badak bercula satu yang merupakan primadona daya tarik wisata. Sedangkan, potret sisi lain Banten yang diangkat oleh media bahwa pada dekade terakhir ini, wilayah Banten mengalami krisis lingkungan diantaranya adalah persoalan pencemaran lingkungan sampah, 1 ∗) Dosen pada Universitas Bakrie, Jakarta.
223
air, banjir, polusi, tanah longsor, dan sebagainya. Sejumlah aktivis lingkungan yang tergabung dalam Wahana Hijau Fortuna (WHF) melakukan demo yang berisikan bahwa Gubernur Banten telah gagal menjaga dan melindungi lingkungan hidup dalam menanggulangi pencemaran air sungai yang telah tercemar limbah industri di sungai Cibanten, Cisadane, Ciarab, dan Ciujung (republika.co.id). Tentunya kita masih mengingat dengan jelas bagaimana kasus Teluk Buyat, Sulawesi Utara. Kasus Buyat mendapatkan rating tertinggi tahun 2004 sebagai kasus pencemaran lingkungan hidup di dunia. Pencemaran perairan yang diakibatkan dari limbah cair industri dari kegiatan pertambangan skala besar oleh PT. Newmont Minahasa Raya (NMR), bukan saja ekosistem perairan laut Teluk Buyat yang rusak parah tetapi kondisi masyarakat yang tinggal dan menggantungkan hidup mereka dari hasil laut menambah mirisnya potret kesejahteraan makhluk hidup yang berada di Teluk Buyat tersebut. Hingga pada akhirnya PT. Newmon Minahasa Raya harus mengganti kerugian yang tidak sedikit jumlahnya dan terpaksa harus ditutup karena dampak yang dirasakan sangat parah. Sekilas gambaran tersebut, seharusnya mengingatkan pada industri-industri untuk lebih meminimalkan limbah yang dihasilkan harus dapat ramah lingkungan sehingga tidak menyengsarakan pihak lain. 2. Kerangka Literatur Media massa dalam komunikasi massa Media massa merupakan alat yang digunakan dalam menyampaikan pesan dari sender kepada receiver dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, ilm, radio, televisi (Cangara, 2002). Seiring berjalannya era sekarang ini yang dikenal sebagai era media baru (new media era), menambah alat komunikasi dalam menyampaikan pesan yang bersifat dua arah yakni internet. Berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi sekarang ini memberikan tren baru dalam dunia industri komunikasi. Hadirnya teknologi digital dan internet merupakan salah satu determinan penting dalam memunculkan perangkat multimedia, seperti media cetak yang sekarang ini juga memiliki versi digital atau online (Aulia Dwi Natiti, 2012:2). Efendy (2000) menyebutkan media massa digunakan dalam komunikasi apabila komunikan berjumlah banyak dan bertempat tinggal jauh. Kelebihan lainnya dari media massa adalah dalam menyampaikan pesan, media massa menimbulkan keserempakan. Dengan
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
kata lain pesan dapat diterima oleh komunikan yang jumlah relatif banyak. Media massa adalah alat-alat yang digunakan dalam komunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audience yang luas dan heterogen. Bahkan media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas (Nurudin, 2007). Menurut McLuhan, media massa merupakan perpanjangan alat indera kita. Melalui media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang, atau tempat yang tidak kita alami secara langsung. Oleh sebab itu, fungsi media massa secara umum dibagi empat, yakni: 1. Fungsi menyiarkan informasi (to inform), Menyiarkan informasi merupakan fungsi media yang pertama dan utama. Sebab, media massa memiliki fungsi pengantar (pembawa), pengantar berbagai pengetahuan dalam segala aspek bagi para pembaca atau receiver. 2. Fungsi mendidik (to educate), Fungsi kedua ini sebagai sarana pendidikan massa (mass education). Bukan hanya menyiarkan informasi saja, namun pesan yang disampaikan kepada receiver juga harus mendidik. Fungsi mendidik ini bisa secara implisit dalam bentuk artikel atau tajuk rencana. 3. Fungsi menghibur (to entertain), Yang dimaksud sebagai fungsi menghibur adalah untuk mengimbangi hard news dan artikel yang berbobot. Sehingga pembaca berita tidaklah semata-mata hanya membaca berita atau artikel yang disajikan berat namun ada artikel yang bersifat menghibur, guna memberikan releksasi pada pembaca berita yang sifatnya menghibur. 4. Fungsi kontrol sosial (social control), Mengetahui penting dan vital peran dan fungsi media dalam membangun opini publik, maka media harus menjalani fungsinya sebagai kontrol sosial dalam masyarakat. Dimana media massa memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan sosial, karena fungsi tersebut adalah sebagai wadah berdialog antar lapisan masyarakat serta wadah dalam menyampaikan pesan dari masyarakat kepada pemerintah. Seiring berjalannya waktu, juga dibarengi dengan perkembangan teknologi yang berkembang pesat sekarang ini memberikan pengaruh bagi perkembangan media massa. Hal ini dikarenakan kebutuhan manusia untuk mendapatkan informasi yang bersifat cepat, terkini, akurat dan terpercaya serta interaktif. Pengaruh dari kemajuan teknologi terhadap media massa adalah internet. Internet adalah suatu interkoneksi sebuah jaringan komputer yang dapat memberikan layanan informasi secara lengkap (Lani Sidharta, 1998). Dari fungsinya internet mencakup empat fungsi media massa, melalui internet kita dapat menjangkau hingga ke penjuru dunia, dan kita dapat mengakses berbagai macam informasi
serta menggunakan berbagai fasilitas layanan yang disediakan. Salah satunya adalah tersedianya mengakses berbagai macam berita yang bersifat online, seperti kompas.com, republika.co.id, dan sebagainya. Adanya fasilitas tersebut merupakan jawaban untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam mengakses berita dengan cepat, akurat, up to date dan terpercaya. Perkembangan media massa Setelah era Orde Baru perkembangan media massa terutama media cetak mengalami perubahan yang membawa masyarakat lebih maju dan bersifat transparan terhadap informasi yang ada dalam berbagai aspek. Campur tangan pemerintah masih ikut berperan namun peranannya tidak terlalu besar atau turut andil ketika era sebelumnya, misal: dalam mengemas berita serta bahasa yang digunakan bersifat bebas. “bebas” yang dimaksud adalah bebas berekspresi dalam menulis, dan tidak ada tekanan dari pemerintah. Perkembangan teknologi yang semakin canggih dan cepat, memberi peluang bagi media massa -dalam hal ini media cetak- untuk sebisa mungkin selalu menjadi yang tercepat dalam menyajikan berbagai informasi bagi masyarakat, dan dapat mengakses informasi secara online dimanapun. Lahirnya surat kabar Kompas, Republika, Warta kota, dan sebagainya yang bersifat online di internet, menjadi salah satu alasan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang “haus” akan berita atau informasi terkini (up to date). Melalui media online berita dikemas lebih menarik dengan berbagai itur-itur dalam web tersebut yang bertujuan untuk memudahkan pembaca atau pengakses berita tersebut pindah ke menu utama atau ingin mengakses halaman selanjutnya. Media online dideinisikan sebagai jaringan luas komputer, yang dengan perizinan, dapat saling berkoneksi antara satu dengan yang lainnya untuk menyebarluaskan dan membagikan digital iles, serta memperpendek jarak antar negara (digilib.petra.ac.id). Kemampuan media online dalam mengakses informasi di berbagai tempat, menjadikan kelebihan utama dari media online, disamping kelebihan lainnya yang terletak pada kecepatannya dan kebebasan orang dalam menggunakan internet untuk mengakses beragam informasi yang diperlukan. Dalam hal ini surat kabar online, berita pada media online lebih up to date informasi, sebab media online selalu memperbarui beritanya setiap waktu dengan menyajikan informasi yang sedang terjadi, berbeda dengan media cetak. Perbedaan antara media cetak dengan online tidak terlalu signiikan, yang membedakan keduanya adalah secara teknisnya saja. Dibawah ini merupakan tabel perbedaan secara teknis antara media cetak dengan media online:
224
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Tabel 1. Perbedaan Media Cetak dan Media online secara teknis Unsur
Media Cetak
Media Online Tidak ada pembatasan panjang naskah, karena halaman web bisa menampung naskah yang sepanjang apapun. Namun demi alasan kecepatan akses, keindahan desain dan alasan-alasan teknis lainnya, perlu dihindarkan penulisan naskah yang terlalu panjang. Sama saja. Namun ada sejumlah media yang memperbolehkan wartawan di lapangan yang telah dipercaya untuk meng-upload sendiri tulisan-tulisan mereka. Walaupun sudah online, masih bisa diedit dengan leluasa. Tapi biasanya, editing hanya mencakup masalah-masalah teknis, seperti merevisi salah ketik, dan seterusnya. Desainer dan programmer cukup bekerja sekali saja, yakni di awal pembuatan situs web. Selanjutnya, tugas mereka hanya pada masalah-masalah maintenance atau ketika perusahaan memutuskan untuk mengubah desain dan sebagainya. Setiap kali redaksi meng-upload naskah, naskah itu akan langsung “masuk” ke desain secara otomatis.
Pembatasan panjang naskah
Biasanya panjang naskah telah dibatasi, misalnya 5 – 7 halaman kuarto diketik 2 spasi.
Prosedur naskah
Naskah biasanya harus di-ACC oleh redaksi sebelum dimuat.
Editing
Kalau sudah naik cetak (atau sudah di-ilm-kan pada proses percetakan), tak bisa diedit lagi.
Tugas desainer atau layouter
Tiap edisi, desainer atau layouter harus tetap bekerja untuk menyelesaikan desain pada edisi tersebut.
Jadwal terbit
Berkala (harian, mingguan, bulanan, dua mingguan, dan sebagainya).
Kapan saja bisa, tidak ada jadwal khusus, kecuali untuk jenis-jenis tulisan/ rubrik tertentu.
Distribusi
Walau sudah selesai dicetak, media tersebut belum bisa langsung dibaca oleh khalayak ramai sebelum melalui proses distribusi.
Setelah berita di-upload, setiap berita dapat langsung dibaca oleh semua orang di seluruh dunia yang memiliki akses internet.
Sumber: Hadiatul Munawaroh, skripsi “Media Online Sebagai Sumber Belajar di Kalangan Mahasiswa”
berkomunikasi dan berhubungan. Apabila mengingat kembali peranan media massa sebagai komunikasi massa dalam menyampaikan pesan kepada khalayak, berarti media online juga memiliki peranan yang sama. John December (1997) memberikan deinisi CMC yaitu proses komunikasi manusia melalui komputer, melibatkan orang-orang, dalam konteks terbatas, dan saling berkaitan dalam proses membentuk media dengan tujuan yang beraneka ragam. Sedangkan Susan Herring (1996) mendeinisikan CMC sebagai komunikasi yang mengambil tempat antara manusia melalui alat komputer (hurlow, Lengel & Tomic, 2004). Konsep CMC ini memberitahukan perbedaan klasik internet dengan media klasik dalam sistem operasional sebagai alat maupun medium komunikasi, sebagai berikut (John December, 1997): 1. Perbedaan utama diantara keduanya adalah media berbasis komputer yang berawal dari media “tools” untuk menyimpan serta mengolah informasi data, setelah mengalami modiikasi yang digunakan sebagai media (elektronik) komunikasi dalam bentuk jaringan (network) yang luas. 2. Internet sebagai media komunikasi yang memiliki penawaran interaktif dan bersifat dinamis terhadap pengguna (user), apabila dibandingkan dengan media televisi dan radio, yang terbatas pada satu program dan isi materi acara. Dalam pencarian informasi melalui fasilitas query dan hanya menuliskan kata kunci (keywords) saja dapat mempermudah pengakses atau pengguna untuk mencari informasi yang dibutuhkan secara cepat. 3. Media internet mampu menjadi pusat informasi dan sumber informasi yang tidak terbatas, bukan saja pada suatu insititusi namun memberikan kesempatan pada setiap pengguna untuk menjadi sumber atau komunikator (sender source). Perbedaan yang telah dituliskan diatas, semakin jelas bahwa media internet merupakan media yang efektif sebagai bagian dari komunikasi dalam menyampaikan pesan maupun memberikan pesan kepada receiver. Interaksi komunikasi melalui konsep CMC ini merupakan interaksi komunikasi secara online melalui komputer. Joseph Walter dan Malcolm Parks menjelaskan bahwa beberapa fasilitas yang menarik pengguna (user) dalam menggunakan media interent sebagai wadah untuk berdialog, sebagai berikut: e-mail, litserve dan mailing list; newsgroup, bulletin board dan blog; internet relay chat dan instant messaging; metaworld dan visual chat; personal homepage dan webcame (hurlow, Lengel & Tomic, 2004). Dengan demikian, konsep CMC ini memudahkan user untuk menyampaikan pesannya kepada penerima pesan baik melalui verbal maupun non-verbal.
Computer Mediated Communication (CMC)
3. Metode
Internet merupakan bagian dari media massa, yang telah menjadi mediator manusia untuk saling
Dalam tulisan ini menggunakan metode analisis wacana. Metode ini menitikberatkan pada
225
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
proses berpikir seseorang yang sangat erat kaitannya dengan ada tidaknya kesatuan dan koherensi dalam tulisan yang disajikannya. Semakin baik cara atau pola berpikir seseorang, pada umumnya maka semakin terlihat jelas adanya kesatuan dan koherensi itu (Pratikto, 1984:89). Sebuah tulisan adalah wacana. Wacana dibagi menjadi dua yakni wacana secara tertulis dan wacana secara lisan. Samsuri (dalam Sudjiman, 1993:6) mengatakan bahwa wacana adalah rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi, yang biasanya tediri atas seperangkat kalimat yang memiliki hubungan pengertian satu dengan lainnya. Komunikasi dapat menggunakan bahasa lisan (verbal) maupun bahas tulisan (non-verbal). Dalam pengertian yang lebih sederhana, wacana berarti cara objek atau ide yang diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman terterntu dan tersebar luas (Lull, 2000:225). Jadi, apabila disimpulkan dari deinisi-deinisi yang ada maka wacana adalah rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam satu kesatuan yang koheren, dan dibentuk oleh segmental maupun nonsegmental bahasa (Alex Sobur, 2006:11). Dalam analisis wacana dibatasi dari dua sudut yang berlainan yakni pertama, dari sudut bentuk bahasa, dan kedua dari sudut tujuan umum sebuah karangan yang utuh atau sebagai bentuk sebuah komposisi (Keraf, 1995:4-7). Pertama, dari sudut bentuk bahasa, yang dimaksud dengan wacana adalah bentuk bahasa diatas kalimat yang mengandung sebuah tema. Sedangkan, yang kedua dari sudut tujuan umum. Tujuan umum yang dimaksud adalah apa yang ingin dicapai dalam sebuah karangan. Tujuan ini adalah keinginan untuk memberi informasi kepada orang lain dan memperoleh informasi dari orang lain mengenai suatu hal; keinginan untuk menggambarkan atau menceritakan bagaimana bentuk atau wujud suatu batrang atau objek, atau mendeskripsikan cita rasa suatu benda, hal, atau bunyi; keinginan untuk menceritakan pada orang lain, kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi, baik yang dialami sendiri maupun yang didengarkan dari orang lain (Keraf, 1995:6). Metode analisis wacana ini menjelaskan sebuah peristiwa yang terjadi, seperti terbentuknya sebuah kalimat atau pernyataan (Heryanto, 2000:334). Sebuah kalimat dapat terungkap bukan hanya disebabkan orang yang membentuknya dengan motivasi atau kepentingan subjektif. Namun, terlepas dari alasan apapun kalimat yang dituturkan dalam tulisan tidak dapat dimanipulasi (Sunarto, 2002:119120). 4. Hasil dan Pembahasan Michael Foucault menjelaskan bahwa wacana disini pemahamannya bukanlah sebagai serangkaian
kata atau proposisi dalam teks, tetapi menurut Foucault wacana merupakan sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, serta pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga memengaruhi cara berpikir dan bertindak (Eriyanto, 2011:65). Dalam penulisan ini, wacana yang akan diangkat adalah media online dalam membentuk tema mengenai pencemaran air sungai di Banten yang diakibatkan oleh limbah industri cair. Dari media online surat kabar nasional, penulis memilih dua media online surat kabar untuk dianalisis menggunakan metode analisis wacana dari perspektif Foucault. Dua media online surat kabar yang dipilih adalah Republika Online (ROL), dan Suara Pembaruan online. Banten merupakan salah satu provinsi secara geograis memiliki potensi air yang sangat menguntungkan, karena mayoritas Sumber Daya Air (SDA) nya terletak di Kabupaten Lebak dan dialirkan melalui Daerah Aliran Sungai (DAS) ke seluruh penjuru Banten. Provinsi ini juga memiliki nilai sejarah yang terkenal dulunya, yaitu sebuah kota pelabuhan yang sangat ramai dengan masyarakatnya yang terbuka dan makmur. Namun seiring berjalannya waktu, Provinsi Banten dikenal sebagai kawasan industri. Cilegon dan Tangerang adalah lokasi kawasan industri yang sekarang ini dikenal oleh masyarakat, kini kawasan tersebut sudah merambah hingga ke wilayah Serang Utara. Akibat adanya indutri tersebut memberikan dampak yang kurang bersahabat, terutama dalam aspek sosial. Provinsi Banten memiliki empat sungai yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yakni sungai Cibanten, Cisadane, Ciarab, dan Ciujung. Belakangan ini, isu pencemaran air sungai Cibanten akibat limbah industri penambangan pasir menjadi isu terkini yang diangkat oleh media online surat kabar nasional, yakni media ROL dan media Suara Pembaruan. Dua media ini melihat dari sektoe pertanian yang mengalami kerugian besar akibat adanya limbah indutri penambangan pasir tersebut, karena dinilai sudah melakukan pencemaran air sungai Cibanten. Selain sudah merugikan dalam sektor pertanian, akibat pencemaran limbah tersebut juga menyulitkan warga untuk mendapatkan air bersih dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. ROL menggambarkan kondisi sungai Cibanten dari sudut pandang petani di Kecamatan Pabuaran Kabupaten Serang Provinsi Banten yang tidak bisa memanfaatkan air untuk pertanian mereka akibat limbah industri. Berikut kutipan artikel yang dituliskan: “Pencemaran limbah industri di Sungai Cibanten berdampak kepada ribuan petani di Kecamatan Pabuaran Kabupaten Serang Provinsi Banten. Mereka tidak bisa memanfaatkan air”. Pernyataan ini dikuatkan lagi dari pernyataan Direktur eksekutif Wahana Hijau Fortuna Romly Revolvere di Tangerang yang mengatakan “air di Sungai Cibanten
226
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
sudah tidak digunakan lagi oleh petani karena sudah tercemar limbah industri”. Dari wacana tersebut pembaca dapat memahami makna yang tertulis dari artikel tersebut, bahwa pencemaran air sungai yang diakibatkan limbah industri telah merambah hingga pertanian. Disini dijelaskan juga bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang lingkungan yaitu Wahana Hijau Fortuna sudah memberitahukan kepada pihak pemerintah untuk segera ditindaklanjutkan, sebab pencemaran air tersebut sudah mencapai ke pertanian. Dengan kata lain, konsep makna yang dibentuk oleh media online surat kabar ROL membentuk suatu persepsi untuk disampaikan kepada pembaca berita bahwa kondisi air sungai di Kecamatan Pabuaran Kabupaten Serang Provinsi Banten dalam kondisi parah akibat tercemar limbah industri. Alasan media ROL mengangkat dari kondisi pertanian, karena sebanyak 77 % dari jumlah penduduk Provinsi Banten bermatapencaharian petani, berdasarkan topograi wilayah Provinsi Banten masih didominasi oleh sawah serta perkebunan dan hutan rakyat (Proil Penataan Ruang Propinsi Banten, 2003:2). Dengan demikian, wacana tersebut membentuk suatu realitas yang dipahami sebagai seperangkat konstruk. Ketika kita memberikan persepsi dan bagaimana kita menafsirkan objek dan peristiwa tersebut, dalam sistem makna tergantung pada struktur diskurtif. Struktur diskurtif menurut Foucault, membuat objek atau peristiwa terlihat nyata oleh kita (Eriyanto, 2011:73). Struktur diskurtif lainnya dari media ROL mengenai wacana pencemaran air sungai tersebut adalah “seharusnya Gubernur Banten mengambil posisinya sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat dengan membuat tim kajian penyelesaian kasus lingkungan ini pada BPLHD Provinsi Banten dan meneruskannya pada Kementerian Lingkungan Hidup”. Dari wacana ini, realitas yang dimaksudkan adalah Gubernur Banten belum memberikan tindakan apapun dalam memberikan solusi mengenai pencemaran lingkungan. Apabila dilihat dari teks yang dituliskan tersebut juga mengandung makna konotatif. Makna konotatif adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional, makna ini juga sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan bipolar pada pihak pendengar (Alex Sobur, 2006:27). Makna konotatif ini juga ditunjukkan pada kalimat “Gubernur juga seharusnya bisa memberikan rekomendasi untuk penyelesaian masalah kepada kedua pemerintah daerah dengan memperhatikan aspek-aspek sosial dan ekologis”. Konteks dari kalimat ini bisa menjadi suatu propaganda politik untuk menjatuhkan citra dari Gubernur Banten yang dinilai kurang bersikap mengenai permasalahan pencemaran lingkungan. Realitas yang ingin diangkat ke permukaan oleh media adalah “beberapa wilayah di Provinsi Banten dalam ancaman kerusakan lingkungan hidup yang 227
cukup serius, seperti kerusakan laut di perairan Teluk Banten di kawasan Desa Pulo Panjang Kecamatan Pulo Ampel, Kabupaten Serang, kawasan Desa Lontar Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang dan di perairan Selat Sunda di kawasan Desa Cikoneng Kecamatan Anyar Kabupaten Serang…”. Struktur diskurtif yang ada dalam kalimat tersebut adalah agar Gubernur Banten menindak tegas terhadap pelaku yang tidak bertanggung jawab, yang telah membuat pencemaran air sungai akibat limbah industri. Secara keseluruhan konstruk yang terbentuk adalah ingin memberitahukan kepada pembaca berita bahwa kinerja pemerintah Provinsi Banten dinilai kurang baik dalam menangani kasus pencemaran air sungai. Terkait dengan isu yang diangkat oleh media ROL, isu yang sama juga diangkat sebagai wacana oleh media online surat kabar Suara Pembaruan. Isu tersebut mengenai “Puluhan Petani Protes Ratu Atut”, mengingat bahwa sebagian besar dari masyarakat Banten bermatapencaharian petani maka persoalan pencemaran air sungai Cibanten adalah persoalan utama bagi masyarakat Kecamatan Serang, sebab air sungai Cibanten merupakan sumber untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari selain bertani. “Sebanyak 20 petani mendatangi Kantor Gubernur Banten guna meminta Gubernur Banten Hj Ratu Atut Chosiyah menutup usaha penambangan pasir yang ada di Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Serang karena dinilai telah mencemari Sungai Cibanten. Para petani berpendapat pencemaran Sungai Cibanten akibat limbah dari penambangan pasir itu sangat merugikan para petani karena air sungai tersebut digunakan warga untuk mengairi sawah. Dikatakan, sejak adanya aktivitas penambangan pasir Februari 2011 lalu, para petani di Kecamatan Cipocok Jaya, Kecamatan Serang, dan Kecamatan Kasemen, Kota Serang, mengalami kesulitan untuk mengairi sawah karena air Sungai Cibanten sebagai sumber air irigasi satu-satunya sudah tercemar oleh limbah.” Menurut Foucault pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskurtif tersebut: wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek, deinisi dari perspektif yang paling dipercaya dan dipandang benar (Eriyanto, 2011:73). Dari konteks yang dituliskan tersebut adalah membentuk struktur diskurtif untuk menjadi realitas. “Kami ini masyarakat kecil dan bodoh. Kami tidak paham apakah air sungai itu tercemar akibat tidak adanya sistem pengelolaan limbah secara baik dan benar oleh para penambang pasir. Kami hanya meminta agar air Sungai Cibanten kembali normal seperti semula dan masyarakat bisa menggunakan lagi air itu untuk kebutuhan sehari-hari dan pengairan sawah,” kalimat yang diungkapkan oleh Misna sebagai perwakilan petani dan warga pengguna air sungai Cibanten merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh warga kepada pihak pemerintah mengenai pencemaran yang terjadi. Namun, konteks dari
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
kalimat ini mengandung makna denotatif. Makna denotatif merujuk pada kata “kecil” dan “bodoh” dua kata tersebut adalah makna denotatif yang berkonotasi negatif. Konstruk yang dibentuk oleh media Suara Pembaruan adalah realitas itu sendiri, bahwa warga di Kecamatan Cipocok Jaya, Kecamatan Serang, dan Kecamatan Kasemen, Kota Serang adalah korban akibat dampak pencemaran air sungai yang diakibatkan oleh industri penambangan pasir. Bagaimana upaya pihak pemerintah menanggapi isu ini?. Upaya yang dilakukannya adalah “Sementara itu Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Lapangan Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Serang Freddy S Sagala mengatakan, berdasarkan pertemuan sebelumnya antara petani dengan pihak Pemerintah Kabupaten Serang, disepakati solusi untuk dilakukan pembenahan terkait aktivitas penambangan tersebut agar tidak berdampak tercemarnya air Sungai Cibanten.” Kalimat ini adalah wacana tidak dominan, Foucault menjelaskan dalam suatu masyarakat biasanya terdapat berbagai macam wacana yang berbeda satu sama lain, namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga wacana tersebut menjadi dominan, sedangkan wacana lainnya akan “terpinggirkan” (marginalized) atau “terpendam” (submerged). Hal ini menyebabkan dua konsekuensi yakni: pertama, wacana dominan memberikan arahan bagaimana suatu objek harus dibaca dan dipahami. Pandangan dibatasi hanya dalam batasbatas struktur diskursif tersebut, tidak dengan yang lain. Kedua, struktur diskursif yang tercipta atas suatu objek tidaklah berarti kebenaran. Batas-batas yang tercipta tersebut bukan hanya membatasi pandangan kita, tetapi juga menyebabkan wacana lain yang tidak dominan menjadi terpinggirkan (Eriyanto, 2011:77). Dari teks berita tersebut mengembangkan wacana tidak dominan yaitu dari pihak Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Lapangan Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Serang telah melakukan pertemuan sebelumnya antara petani dengan pihak pemerintah Kabupaten Serang, isi dari pertemuan tersebut adalah disepakatinya solusi untuk dilakukan pembenahan yang terkait dengan aktivitas penambangan tersebut agar tidak berdampak pencemaran air sungai Cibanten. Wacana tidak dominan lainnya yang terdapat pada teks berita ini adalah di sisi lain industri tersebut telah memberikan PAD (Pendapatan Asli Daerah) bagi Pemkab Serang. Berikut kutipannya: “…Sebab, pada satu sisi dengan adanya penambangan tersebut memberikan dampak peningkatan PAD bagi Pemkab Serang, namun pada sisi lain petani dan warga merasa dirugikan dengan adanya pencemaran akibat penambangan pasir tersebut”. Disadari bahwa apabila industri penambangan pasir ditutup maka PAD Kabupaten Serang akan berkurang. Kemampuan setiap daerah untuk dapat mencukupi semua pengeluarannya dapat dilihat dari besarnya peranan PAD (PAD) terhadap
pengeluaran daerah. Semakin tinggi prosentase PAD dibanding pengeluaran daerah ini berarti kemampuan daerah untuk mencukupi kebutuhannya semakin besar atau dapat dikatakan daerah yang bersangkutan semakin mandiri, Sebaliknya jika PAD yang digunakan untuk pembiayaan pengeluaran daerah prosentasenya kecil dibandingkan total pengeluaran daerah, maka dapat dikatakan bahwa daerah yang bersangkutan kemampuan untuk membiayaai pengeluarannya dari PADnya masih kecil atau dengan kata lain daerah yang bersangkutan masih sangat tergantung pada Pemerintahan Pusat dalam membiayai pengeluaran daerahnya (Undang-Undang nomor 25 tahun 1999). 5. Simpulan Kemajuan dalam membangun daerah suatu provinsi terletak pada bagaimana kondisi kesejahteraan masyarakat yang tinggal. Kesejahteraan disini bukan hanya cukup sandang dan pangan nya saja namun kesejahteraan masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Salah satunya adalah Provinsi Banten, provinsi ini memiliki topograi serta geograi yang sangat menguntungkan. Sebagian besar masyarakat yang tingal di provinsi ini bermatapencaharian petani, secara geograis saja provinsi ini memiliki potensi air yang sangat menguntungkan. Provinsi Banten memiliki empat sungai besar yakni sungai Cibanten, sungai Ciujung, sungai Cisadane, dan sungai Ciarab. Keempat sungai tersebut adalah sumber memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Provinsi Banten. Namun, akhir-akhir ini masyarakat provinsi ini mengeluhkan untuk mendapatkan sumber air bersih sangat sulit selain akibat dari kemarau yang berkepanjangan, faktor lainnya ditimbulkan dari limbah industri. Saat ini yang menjadi wacana adalah pencemaran air sungai Cibanten akibat limbah industri penambangan pasir. Isu ini diangkat oleh media online surat kabar yaitu ROL dan Suara Pembaruan. Dua media ini merupakan media nasional. Peranan media massa sangat penting dalam komunikasi massa. Terdapat empat fungsi media massa dalam komunikasi massa, yaitu: fungsi menyiarkan informasi (to inform), fungsi mendidik (to educate), fungsi menghibur (to entertain), dan fungsi sosial kontrol (control social). Manusia pasti membutuhkan informasi sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, dan dengan perkembangan teknologi yang berkembang pesat menjadikan peluang bagi media massa untuk menyajikan informasi kepada khalayak secara up to date, akurat dan terpercaya, serta dapat memudahkan pembaca berita untuk dapat mengakses berita dimana saja. Melalui media online memudahkan penikmat pembaca berita mengetahui peristiwa apa saja yang sedang terjadi saat ini. Setiap peristiwa yang diangkat oleh media massa menjadikan pembaca mengetahui kondisi provinsi, wilayah maupun
228
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
tempat tersebut tanpa si pembaca harus berada di lokasi tersebut. Dengan media online, pembaca dapat mengakses bukan hanya satu berita saja namun dapat mengakses berita lainnya yang terkait dengan berita utama. Mengetahui bahwa saat ini Provinsi Banten sedang diterpa isu mengenai pencemaran air sungai akibat limbah industri maka menarik penulis untuk mengangkat wacana tersebut, dengan menggunakan metode analisis wacana. Pada simpulan ini, setelah dilakukan metode analisis wacana terhadap dua media online surat kabar nasional melalui perspektif Michael Foucalt. Wacana dominan yang diangkat oleh media ROL adalah pencemaran sungai Cibanten berdampak pada ribuan petani di Kecamatan Pabuaran Kabupaten Serang, Banten. Wacana yang bersifat dominan ini membentuk struktur diskursif, struktur ini membatasi pembaca untuk melihat aspek lainnya. Dalam hal ini, aspek yang dimaksudkan adalah penyebab pencemaran tersebut selain dari limbah industri, sampah juga bisa menjadi faktor sungai Cibanten menjadi keruh dan kotor sehingga warga kesulitan mendapatkan air bersih. Serta, dari sampah yang diakibatkan oleh ulah manusia itu sendiri menambah kondisi sungai Cibanten menjadi parah. Selanjutnya, Wahana Hijau Fortuna yang merupakan LSM lingkungan hidup mengatakan bahwa kinerja Gubernur Provinsi Banten dinilai kurang dalam memberikan solusi dari pencemaran air akibat limbah industri. Dari wacana tersebut mengandung makna konotatif negatif yakni suatu jenis makna dimana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Dengan teks berita ini, dapat mengundang respon dari pembaca berita bahwa Gubernur Provinsi Banten tidak peduli lingkungan hidup dan tidak memperdulikan kesejahteraan masyarakat petani. Di sisi lain juga pembaca dapat membentuk persespsi yang negatif dalam kognitifnya dan memberikan kesimpulan bahwa Gubernur tidak dapat melakukan apa-apa, atau dinilai kurang tegas, bahkan dapat membentuk opini publik negatif terhadap kinerja Gubernur tersebut. Pada media online surat kabar Suara Pembaruan mengangkat isu puluhan petani dari Kecamatan Cipocok Jaya, Kecamatan Serang, dan Kecamatan Kasemen, Kota Serang Provinsi Banten melakukan aksi protes terhadap Gubernur Provinsi Banten. Struktur diskursif yang dibentuk adalah aksi protes yang dilakukan oleh para petani. Media ini mengangkat dari sisi korbannya yakni para petani. Salah satu perwakilan Gabungan Perkumpulan Petani Pengguna Air (GP3A) Cibanten Jaya mengatakan bahwa para petani telah dirugikan, banyak tanaman padi yang mereka tanamkan mati akibat pencemaran air dari limbah industri. Diperkuat kembali dengan pernyataannya dengan menyebut “kami ini masyarakat kecil dan bodoh…” menjadikan wacana ini bersifat dominan. Realitas ini semakin nyata dan menggambarkan dengan jelas bahwa pihak pemerintah tidak ada upaya 229
untuk menemukan solusi dari isu ini. Sedangkan, wacana yang terpinggirkan atau terpendam adalah “…Pemkab Serang akan mencari solusi terbaik guna menyelesaikan masalah tersebut agar tidak ada pihakpihak yang merasa dirugikan…memberikan dampak peningkatan PAD bagi Pemkab Serang…”. Wacana ini diletakkan pada bagian bawah teks berita yang dituliskan, sebab hal yang ingin ditonjolkan adalah si korbannya yakni para petani. Seperti yang telah dijelaskan pada pragraf diatas bahwa PAD suatu daerah sangat penting, apabila menurun pendapatannya maka daerah tersebut belum mandiri masih tergantung oleh Pusat, dan apabila hal ini terjadi maka kemajuan pembangunan daerah tersebut akan tersendat. Dari kedua media online surat kabar tersebut strukutr diskursif yang dilakukan dengan mengangkat realitas yang ada dan diambil dari sudut pandang yang berbeda menjadikan pembaca berita membentuk suatu konstruk dalam kognitif yang negatif terhadap kinerja Gubernur Provinsi Banten. Apabila hal ini terus-menerus dilakukan maka tidak menutup kemungkinan kepercayaan masyarakat Banten terhadap pemimpin menjadi menurun, masyarakat luar yang tidak bertempat tinggal di Banten memiliki penilaian negatif terhadap infrastrukturnya, serta dapat menyebar ke sektor lainnya seperti pariwisata, investasi atau penanaman modal yang bertujuan pembangunan daerah, dan sebagainya. Kekuatan (power) media massa dalam merangkai berita memiliki pengaruh sangat besar. Provinsi Banten sedang membangun daerah kearah yang lebih maju, apabila hal ini belum ada solusinya maka akan memberikan dampak negatif bagi pembangunan daerah kedepannya. Dari wacana tersebut merepresentasikan kondisi keadaan daerah tersebut tanpa pembaca berita harus berada di lokasi atau berada di provinsi tersebut. Daftar Pustaka Eriyanto. 2011. Analisis Wacana. LKIS. Yogyakarta Foucalt, Michael. 2000. Seks dan Kerusakan. Penerjemah Rahayu S. Hidayat. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Fatimah Djajasudarma. 2002. Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antar Unsur. Eresco. Bandung Keraf, Gorys. 1995. Eksposisi. Grasindo. Jakarta Littlejohn, Stephen W. 2011. heories of Human Communication. Sixth Edition. Belmot, California: Wadsworth Publishing Company Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung Munawaroh, Hadiatul. 2009. Media Online Sebagai Sumber Belajar di Kalangan Mahasiswa. Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga. McQuail, Denis. 2000. Mass Communication heory: An Introduction, Fourth Edition. Sage Publication. London
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. PT. Rajagraindo Persada. Jakarta Nastiti, Aulia Dwi. 2012. Membangun Pasar Media Lokal Melalui Konvergensi Media. Universitas Indonesia. Jakarta Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media. PT Remaja Rosdakarya. Bandung ______. 27 September 2011. Puluhan Petani Protes Ratu Atut. www.suarapembaruan.com, diakses 27 September 2012 Pitakasari, Ajeng Ritzki. 29 April 2012. Limbah Industri Cemari Parah Sungai Cibanten, Petani Jadi Korban. www.republika.co.id, diakses 27 Sep 2012. Sosiawan, Edwi Arief. 2012. Kajian Teoritis Komunikasi Virtual. Yogyakarta : Universitas Pembangunan Nasional. ___________. 2001. Discourse. Routledge. London and New York. Smith, David G. 2005. “Modernism, Hyperliteracy, and Colonixation of the Word”. Alternatives, no. 17 ____________.2004. Critical Discourse Anaysis. Longman. London
230
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Pemanfaatan Media Radio untuk Pembangunan Daerah Farid Rusdi1*) Abstrak Pembangunan daerah saat ini mengalami ketertinggalan dari perkotaan. Konsentrasi pembangunan saat ini lebih kepada perkotaan sementara perdesaan terabaikan. Sementara media massa yang diterima oleh masyarakat lebih banyak menyebarluaskan apa yang ada di perkotaan sehingga masyarakat di daerah lebih banyak beorientasi pada perkotaan. Akibatnya informasi yang diterima oleh masyarakat daerah adalah informasi yang bukan diperlukan untuk pembangunan daerah. Media radio adalah media yang memiliki keunggulan dalam mengedepankan konten lokal, karena adanya karakter kedekatan personal dengan pendengarnya. Selain itu radio adalah media elektronik yang relatif murah dapat dijangkau oleh masyarakat daerah. Tapi sayangnya saat ini lebih banyak radio di daerah yang justru lebih mengedepankan konten yang tidak merepresentasikan masyarakat di daerah, dan lebih banyak menyiarkan konten yang berorientasi pada gaya hidup perkotaan. Akibatnya partisipasi publik masyarakat di daerah menjadi kurang terhadap pembangunan di daerahnya. Penelitian ini ingin menjelaskan bagaimana peran media radio yang memiliki keunggulan pada konten siaran lokal dapat dimanfaatkan pada pembangunan daerah. Dengan mengedepankan konten siaran lokal dan daya jangkau yang luas pada daerah tertentu bisa mendorong partisipasi publik yang ada di daerah itu untuk membangun daerahnya. Kata Kunci : Media, Radio, Pembangunan Daerah 1. Pendahuluan Perkembangan media massa yang semakin pesat saat ini memberi andil bagi perkembangan budaya di masyarakat. Perkembangan media massa bagi manusia sempat menumbuhkan perdebatan panjang tentang makna dan dampak media massa pada perkembangan masyarakat. Dalam perkembangan teori komunikasi massa, konsep masyarakat massa mendapat relasi kuat dengan produk budaya massa yang pada akhirnya akan mempengaruhi bagaimana proses komunikasi dalam konteks masyarakat massa membentuk dan dibentuk oleh budaya massa yang ada. Denis McQuail dalam bukunya Teori Komunikasi Massa menjelaskan bahwa media massa memiliki tujuan dalam masyarakat yakni: 1. Informasi, yakni menyediakan informasi tentang peristiwa dan kondisi dalam masyarakat, menunjukkan hubungan kekuasaan dan memudahkan inovasi, adaptasi dan kemajuan. 2. Korelasi, yakni menjelaskan, menafsirkan, mengomentari makna peristiwa dan informasi, menunjang otoritas dan normanorma yang mapan, melakukan sosialisasi, mengkoordinasi beberapa kegiatan membentuk kesepakatan, dan menentukan urutan prioritas dan memberikan status relatif. 3. Kesinambungan, yakni mengekspresikan budaya dominan dan mengakui keberadaan 1
*)
kebudayaan khusus (subculture) serta perkembangan budaya baru, dan meningkatkan dan melestarikan nilai-nilai. 4. Hiburan, yakni menyediakan hiburan, pengalihan perhatian, dan sarana relaksasi, dan meredakan ketegangan sosial. 5. Mobilisasi, yakni mengkampanyekan tujuan masyarakat dalam bidang politik, perang, pembangunan ekonomi, pekerjaan dan kadang kala juga dalam bidang agama. Dengan demikian media memiliki peran yang signiikan dalam mendorong pembangunan masyarakat untuk lebih baik. Selain menyebarluaskan informasi penting, masyarakat pun bisa memaknai informasi itu melalui media massa itu juga sehingga terjadi ruang publik di dalam media massa. Sementara itu perkembangan teknologi juga memacu pesatnya informasi. Dengan berbagai jenis media massa berlomba-lomba untuk masuk ke ruang publik di masyarakat. Tapi pada akhirnya tidak semua media bisa efektif menyampaikan pesannya sesuai dengan keinginan pemilik pesan. Banyak pihak memiliki kepentingan dalam memanfaatkan media. Selain pemilik media, dan pengiklan, pemerintah sangat berkepentingan dalam memanfaatkan media. Berbeda dengan masa pemerintahan orde baru, setelah reformasi ini kendali pemerintah sangat longgar. Pemerintah tidak boleh lagi melakukan intervensi atas kerja media. Inilah yang menjadi kendala baru bagi pemerintah saat ini yang ingin menyosialisasikan program pemerintah. Pada era otonomi daerah sekarang ini,
Dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Tarumanagara, Jakarta
231
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
pembangunan daerah dan kepentingan masyarakat menjadi tanggung jawab dari pemerintah di mana daerah itu berada. Pemerintah daerah, baik itu pemerintah provinsi maupun daerah kabupaten memiliki otonom untuk mengurus pembangunan di daerah sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu pemerintah daerah berkepentingan untuk menyosialisasikan programnya agar mendorong adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Proses sosialisasi ini sudah dilakukan, tapi belum efektif. Akibatnya partisipasi masyarakat atas isu-isu yang ada di daerah masih kurang dan proses pembangunan tidak berjalan optimal. Salah satu penyebabnya adalah karena masyarakat lebih terpapar oleh media massa nasional yang menyiarkan isu nasional, bukan isu lokal. Seperti media televisi yang hadir di setiap ruang keluarga di setiap rumah. Mereka tentu tidak menyiarkan konten penyiaran lokal. Ini akibat sistem penyiaran yang sentralistik yang mengacu pada apa yang terjadi di Jakarta. 2. Pembahasan 2.1. Radio dan Karakteristiknya Jika dibandingkan dengan media jenis lainnya, media radio sangatlah terbatas, karena hanya memanfaatkan suara untuk sarana penyampai pesan. Radio adalah media suara yang menggunakan gelombang elektromagnetik untuk sampai kepada pendengarnya. Meski demikian radio memiliki karakteristik yang bisa menjadi keunggulan yang tidak dimiliki media lainnya. Berbeda dengan televisi, pendengar radio itu tidak perlu menilai sesuatu yang tampil dari layar kaca. Karena radio memiliki karakter personal, yang membuat pendengar merasa dekat (McLeish, 2005). Apa yang disampaikan oleh penyiar masuk ke benak pendengar sehingga langsung diterima. Oleh karena itu seorang penyiar yang baik dalam melakukan siaran harus berbicara seperti kepada satu orang atau individu, bukan kepada banyak orang. Kedekatan pendengar dengan stasiun radio ini menjadi nilai lebih dari media radio yang hanya mengandalkan suara. Keterbatasan hanya pada suara bukan berarti radio menjadi tersisih dari media-media lain. Hanya dengan suara, pendengar menjadi bisa berimajinasi hanya mengacu pada suara. Menurut Stanley Alten dalam bukunya Audio in Media, suara mempunyai komponen visual yang meciptakan gambar di benak pendengar atau theatre of mind. Kedekatan emosional pendengar dengan radio yang ia dengar terbentuk karena pendekatan siaran radio yang akrab dan personal. Akibatnya radio sangat berperan dalam mengangkat isu-isu yang dekat dengan pendengarnya. Itulah mengapa konten radio cenderungp pada isu lokal. Ini untuk membentuk kedekatan emosional antara pendengar dengan
radionya. Isu-isu lokal yang terkait dengan kepentingan masyarakat bisa sangat mengemuka dalam perbincangan sebuah program radio lokal. Karena setiap pendengar memiliki merasa peduli dengan isu itu. Apakah itu terkait dengan masalah infrastruktur, pelayanan publik hingga masalah program pembangunan daerah lainnya akan menjadi topik yang menarik dalam pembahasan talkshow di radio. Dengan adanya perhatian masyarakat melalui informasi yang mereka terima melalui radio ini, tentunya akan mendorong adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah itu sendiri untuk yang lebih baik. 2.2.
Kecenderungan Penggunaan Bahasa Radio di Daerah
Radio adalah media yang tidak mempunyai gambar dan tidak memiliki tulisan. Ia hanya mengandalkan suara atau auditory. Selain musik, maka perbincangan atau talk show adalah materi utama siaran radio. Bahasa lisan menjadi alat penyampai pesan dari stasiun radio kepada pendengarnya. Selain itu karakter radio yang memiliki kedekatan emosional dengan pendengar. Ekspresi suara penyiar bisa membuat pesan lebih mudah dimengerti oleh pendengar, dan tidak terjadi ambiguitas (Crissel, 1994: 120). Oleh karena itu radio sangat terkait penggunaan bahasa. Bagaimana bahasa yang digunakan oleh penyiar bisa menjadi acuan oleh pendengarnya. Jika bahasa Jakarta lebih sering diperdengarkan, maka pendengar akan lebih mengenal bahasa Jakarta daripada bahasa daerah di mana ia berada. Masing-masing daerah mempunyai gaya dalam bahasa daerah mereka. Gaya bahasa atau aturan cara berbahasa ini bisa terlihat dari percakapan atau bahasa lisan, bukan dari tulisan. Radio memiliki peran untuk mesosialisasikan bagaimana pengucapan dari bahasa. Bahasa adalah bagian penting dari budaya. Sebagai alat komunikasi dalam masyarakat ia memiliki peran penting dalam mempertahankan budaya suatu masyarakat. Karena bahasa memanfaatkan tandatanda yang ada di lingkungan suatu masyarakat. Kearifan lokal suatu daerah bisa tercermin dari bahasa yang digunakan. Oleh karena itu setiap bahasa daerah memiliki nilai luhur untuk menciptakan masyarakatnya berkehidupan lebih baik menurut mereka. Negara Indonesia yang saat ini memiliki lebih dari 240 juta jiwa penduduk, mempunyai ratusan bahasa daerah yang tersebar dari ujung pulau Sumatara hingga Papua. Dalam Ethnologue: Languages of the World, tercatat Indonesia memiliki 726 bahasa. Dari jumlah itu 719 bahasa masih digunakan oleh penuturnya, dua bahasa menjadi bahasa kedua tanpa penutur bahasa ibu (mother tongue) dan lima bahasa
232
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
sisanya diklaim punah karena tidak ada lagi penuturnya (Lewis, 2009: http://www.ethnologue.com/show_ country.asp?name=ID). Jumlah ini diperkirakan terus berkurang, bahkan sebagian besar dari jumlah bahasa daerah yang ada di ambang kepunahan. Kementerian Pendidikan Nasional pada tahun 2011 melalui bidang Peningkatan dan Pengendalian Bahasa memperkirakan di akhir abad 21 ini akan hanya ada 10 persen saja dari bahasa daerah yang ada di negara ini yang masih bisa bertahan (http://www.voaindonesia.com/ content/jarang-digunakan-ratusan-bahasa-daerah-diindonesia-terancam-punah-130434473/98538.html). Semakin berkurangnya orang yang menggunakan bahasa daerah, karena beberapa sebab, di antaranya kondisi masyarakat yang multietnik sehingga terjadi kontak antar bahasa sehingga bahasa yang satu lebih sering digunakan daripada bahasa yang lain. (Tondo, 2009: 278). Tapi selain itu perkembangan media massa yang begitu pesat saat ini di masyarakat juga turut mempengaruhi berkurangnya penutur bahasa daerah. Penetrasi media massa yang begitu luar biasa ke pelosok daerah membuat mereka mengenal bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Tapi selain itu mereka juga mengenal istilah-istilah bahasa yang sering digunakan oleh warga di Ibukota Jakarta, bahkan bahasa Jakarta atau lebih dikenal bahasa Betawi. Seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Timur, yang letaknya sangat jauh dari Jakarta, tapi sebagian besar stasiun radio yang memiliki segmen pendengar usia remaja, cenderung menggunakan istilah bahasa Betawi dalam siarannya. Hal ini banyak dikeluhkan oleh masyarakat kepada Komisi Penyiaran Indonesia (http://www.kpi.go.id/component/content/ article/14-dalam-negeri-umum/2849-radio-lokalsebaiknya-gunakan-bahasa-daerah). Masyarakat merasa lembaga penyiaran dalam hal ini stasiun radio yang ada di NTT tidak mendorong pelestarian budaya NTT. Akibatnya generasi muda di NTT melupakan bahasa NTT dan lebih menyukai bahasa Betawi. Kejadian seperti ini juga dialami oleh beberapa daerah di Indonesia. Stasiun radio yang bersegmen pendengar usia remaja memperdengarkan bahasa Jakarta dari pada bahasa daerah di mana radio itu berada. Hal ini sangat disayangkan mengingat generasi muda adalah generasi masa depan, yang juga berperan melestarikan budaya daerahnya. Penetrasi media massa di daerah memang selain radio juga media lain seperti televisi, media cetak dan elektronik. Televisi memiliki khalayak lebih besar di Indonesia dari pada jenis media lain. Jika dikaitkan peran untuk melestarikan bahasa daerah, media radio mempunyai peran lebih efektif. Karena radio adalah media yang menggunakan bahasa tutur dalam siarannya, sehingga penggunaan bahasa daerah yang baik dan benar juga bisa berdampak pada pendengarnya. Kondisi masyarakat yang multientik dan 233
diikuti oleh kontak antar etnik dapat menimbulkan adanya fenomena kebahasaan seperti bilingualisme bahkan multilingalisme. Kontak bahasa menjadi prasyarat dari pergeseran bahasa hingga perubahan bahasa (Brezinger, 2007: 191). Kelompok minoritas akan mengalami pergeseran bahasa sehingga bilingualitasnya rapuh sehingga bahasanya berganti sesuai dengan bahasa kelompok mayoritas. Akibatnya bahasa lama ditinggalkan yang akhirnya bermuara pada kepunahan satu bahasa. Inilah yang menjadi kekhawatiran berbagai ahli linguistik. Bukan hanya dari sisi bahasa saja tapi juga dampaknya terhadap budaya yang melekat pada bahasa tersebut. Karena bahasa merupakan katakata yang disusun oleh simbol yang dibentuk oleh kebudayaan. Selain itu dalam bahasa juga terlihat bagaimana cara berpikir (Liliweri, 2002: 152-153). Salah satu gejala akan punahnya suatu bahasa menurut Hill (Craig, 1998: 177) bahwa salah satu gejala awal kematian suatu bahasa adalah dengan hilangnya register atau gaya bahasa, variasi bahasa tersebut yang pernah hidup di masyarakat. Gaya bahasa, variasi bahasa, ini bisa menjadi peran dari media massa terutama media radio yang bisa memberikan cara pengucapan, dan tekanan suara. Adanya dialek dan aksen gaya bahasa daerah tertentu dalam media massa bisa menjadi kreatiitas dalam program siaran yang dilakukan oleh pengelola stasiun radio. Bukan menjadi suatu yang dihindari, ataupun dilakukan penyeragaman gaya siaran. Justru adanya gaya bahasa siaran lokal daerah tertentu bisa menjadi identitas dari satu daerah hingga menjadi daya tarik (Duran, 2009: 112). Sementara bahasa daerah masih terpelihara di ruang dengar dari khalayak yang ada di daerah tersebut. 2.3.
Pendengar Usia Muda
Pada Juni 2011 lalu Penulis sempat melakukan perjalanan ke kota Tenggarong, Ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara. Penulis sempat mendengarkan salah satu stasiun radio yakni Radio Swaramaha 93.1 FM. Radio yang memiliki segmen usia remaja ini banyak mempergunakan istilah bahasa di Jakarta. Seperti ‘gue, elo, dong, norak’ serta istilah lain yang biasa terdengar di radio-radio di Jakarta. Di Tenggarong sendiri memiliki bahasa daerah sendiri yakni bahasa Melayu Kutai. Pada catatan www. ethnologue.com, Melayu Kutai ini memiliki penutur 210 ribu orang (Lewis, 2009: http://www.ethnologue. com/show_language.asp?code=vkt). Kabupaten Kutai memiliki penduduk sekitar 620 ribu lebih (Koran Kaltim, 2011). Kurang dari separuh penduduknya, warga Kutai Kartanegara yang bisa berbahasa Melayu Kutai. Hal ini memunculkan kekhawatiran, penutur bahasa Melayu Kutai akan semakin berkurang di masa depan. Apalagi penduduk usia muda lebih terpapar oleh media massa seperti radio yang cenderung
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
memperdengarkan siaran berbahasa Jakarta. Pendengar dengan usia muda yakni antara 1535 tahun adalah segmen yang menjadi target stasiun radio. Karena usia muda lebih haus akan hiburan dan terbuka dengan hal baru. Ini yang dimanfaatkan oleh para pengelola stasiun radio. Dari data statistik BPS Kabupaten Kutai Kartanegara Penduduk usia muda di Kabupaten ini lebih besar dari pada penduduk di usia lain (Tabel 1). Ini bisa jadi salah satu daya tarik bagi stasiun radio di daerah ini dalam menjadikan segmen usia muda yakni 15-35 menjadi target pendengar mereka. Tabel.1 Penduduk Kutai Kartanegara berdasarkan umur dan jenis kelamin Sumber: Data BPS Kabupaten Kutai Kartanegara 2010
Hampir di semua kota di Indonesia memiliki stasiun radio yang bersegmen pendengar usia muda. Tapi pendekatan mereka terhadap usia muda ini hampir sama yakni dengan menggunakan istilah bahasa yang ada di Jakarta dalam siaran mereka, yang dianggap dapat menjadi daya tarik pendengar muda. Di lain pihak pendengar usia muda adalah mereka yang perlu mengenal lebih banyak tentang bahasa daerah. Selama di Sekolah mereka menggunakan bahasa Indonesia dengan guru mereka. Di rumah mereka ada yang masih menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Padahal bahasa daerah perlu dilestarikan karena bahasa terkait dengan budaya suatu daerah. Simbol dan nilai dari suatu budaya. Bahasa merupakan komponen budaya yang sangat penting yang dapat mempengaruhi penerimaan, perilaku, perasaan dan kecenderungan untuk menanggapi dunia sekeliling (Liliweri, 2002: 151). Para generasi muda perlu untuk mengenal dengan baik bahasa daerah mereka agar bisa mengenal budaya mereka sendiri. Apalagi sebagian besar bahasa daerah di Indonesia tidak terdokumentasi karena lebih banyak budaya lisan. 2.4.
Industri Radio dan Siaran Jaringan Gencarnya penetrasi masuknya bahasa Jakarta ke daerah melalui siaran radio, tidak bisa lepas dari sistem penyiaran di Indonesia yang membolehkan adanya sistem berjaringan atau networking. Stasiun radio di Jakarta memiliki jaringan radio daerah dengan cara bekerja sama, sehingga siaran dari Jakarta juga bisa didengar di daerah melalui stasiun radio yang di daerah jaringannya. Beberapa grup radio besar di Jakarta seperti MNCN (Sindo Radio, Global Radio, Radio Dangdut Indonesia, V Radio), MRA (Hard Rock FM, I-Radio, TraxFM), dan Mahaka (Gen FM, Jak FM, Prambors, Female, Delta), memiliki jaringan radio di daerah,
sebagian besar di beberapa kota di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi. Stasiun radio daerah Siaran radio berjaringan ini menjadi strategi pemilik grup radio di Jakarta untuk menjangkau pendengar lebih luas lagi. Beberapa alasan obyektif terbentuknya stasiun radio berjaringan di antaranya karena selain untuk ekspansi bisnis ke daerah, juga karena radio-radio di daerah yang mengalami krisis keuangan sehingga mudah diakuisisi menjadi jaringan radio Jakarta (Masduki, 2004: 32). Salah satu kelebihan siaran radio berjaringan ini adalah kualitas program siaran di daerah menjadi lebih baik dan sama dengan radio di Jakarta. Selain itu iklan yang disiarkan secara berjaringan akan menjangkau pendengar lebih banyak karena disiarkan di banyak kota. Stasiun radio di daerah yang menjadi jaringan turut merasakan keuntungan dari pemasangan iklan. Apalagi stasiun radio di daerah hanya cukup memberikan ruang kepada siaran dari Jakarta, dan tidak perlu persiapan lebih jauh (Morissan, 2008: 112-113) Dari berbagai keuntungan itu, siaran radio berjaringan ini juga memiliki kelemahan. Pertama adalah ketergantungan yang sangat besar dari stasiun radio daerah terhadap stasiun radio di Jakarta. Kontrak kerjasama yang telah dilakukan antara radio pusat di Jakarta dengan radio jaringan di daerah bisa membatasi kreatiitas siaran radio daerah. Mereka bisa siaran program lokal dengan ijin radio pusat. Akibatnya kejeniusan lokal dan kreatiitas lokal dalam program siaran sulit berkembang (Morissan, 2008: 115-116). Sebagian besar radio berjaringan ini bersegmen pendengar usia muda. Seperti I-radio Network yang berpusat di Jakarta, yang memiliki beberapa radio jaringan di Bandung, Yogyakarta, Medan dan Makasar. Dalam program siaran mereka, jaringan I-radio Makasar mecoba untuk menggunakan bahasa daerah, meski tidak seluruh siarannya. Ini setidaknya masih mengurangi dampak penetrasi bahasa Jakarta. Pada I-radio Makasar, program siarannya masih menggunakan nama-nama yang diambil dari bahasa Makasar, seperti I-nakke, I-katte, I-radio” merupakan sapaan santun dalam bahasa Makassar, yang kalo diterjemahkan bisa berarti “Saya, Anda adalah I-radio” . Sementara pada I-radio Medan ada program acara bernama ‘Komed’ atau singkatan dari ‘Kombur Medan’. Dalam bahasa Medan ‘Kombur’ adalah banyak ngomong atau tukang ngomong, atau tukang gosip. Sesuai nama itu program itu berisi tentang gosip artis. Program-program acara yang mengedepankan budaya lokal meski sudah diupayakan seperti I-radio di daerah, tapi relay siaran program dari Jakarta yang mereka siarkan di radio mereka lebih menjual dan menarik bagi para pendengar usia muda yang mengedepankan gaya hidup di Jakarta.
234
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
3. Simpulan Proses pembangunan daerah memerlukan adanya media yang efektif sehingga informasi dapat disebarluaskan dengan baik kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Masyarakat di daerah tentu tidak akan mengaksesnya melalui media baru seperti internet karena masih terbatasnya jaringan yang ada. Selain itu televisi masih belum eisien mengkomunikasikan soal pembangunan daerah karena masyarakat yang melihat televisi sebagai sarana hiburan. Bahkan mereka cenderung mengakses televisi pada acara yang bukan pada isu lokal, karena televisi lebih menyiarkan konten acara yang menyangkut isu nasional. Radio bisa menjadi jawaban untuk menyampaikan soal isu pembangunan daerah pada masyarakat, karena karakter radio yang memiliki pendekatan yang akrab dan personal. Isu lokal bisa menjadi daya tarik untuk membangun kedekatan pendengar dengan radio. Tapi sayangnya masih ada beberapa radio daerah yang masih menggunakan bahasa yang bukan bahasa asli dari di mana radio itu berada. Bahasa bagian dari kebudayaan. Apa yang ada dalam bahasa, yakni simbol berupa kata-kata, merupakan hasil dari interaksi masyarakat dengan lingkungannya. Jika bahasa hilang dari masyarakat maka punah pula kearifan lokal budaya suatu daerah. Masuknya budaya dari luar, yang diikuti dengan bahasa selalu menimbulkan kontak bahasa sehingga terjadinya pergeseran hingga pergantian bahasa, hingga hilangnya bahasa itu. Dan tentunya generasi muda di masa mendatang tidak lagi mengenal potensi lokal daerah mereka karena hilangnya bahasa asli mereka. Daftar Pustaka Brenzinger, Matthias. 1998. “Language Contact and Language Displacement.” he Handbook of Sociolinguistics. Coulmas, Florian (ed). Blackwell Publishing, Oxford. Craig, Colette Grinevald. 1998. “Language Contact and Language Degeneration.” he Handbook of Sociolinguistics. Coulmas, Florian (ed). Blackwell Publishing, Oxford. Crisell, Andrew. 1994. Understanding Radio. Second edition published. Routledge,London Durant, Alan. Lambrou, Marina. 2009. Language and Media. Routledge. Newyork. Koran Kaltim, 2011. Pertumbuhan Penduduk Kaltim 3,81 Persen. http://www.korankaltim. co.id/read/news/2011/10576/pertumbuhanpenduduk-kaltim-3-81-persen.html/. Diakses 28-31 Juli 2012 Lewis, M. Paul (ed.), 2009. Ethnologue: Languages of the World, Sixteenth edition. Dallas, Tex.: SIL International. Online version: http://www. 235
ethnologue.com/. Diakses 28-31 Juli 2012. Liliweri, Alo. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. LKis. Yogyakarta. Masduki, 2004. Menjadi Broadcaster Profesional. LKis. Yogyakarta Morissan. 2008. Manajemen Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio dan Televisi. Kencana. Jakarta. McLeish, R. 2005. Radio Production. Focal Press. MA. McQuail, Denis. 1987. Teori Komunikasi Massa. Penerbit Erlangga. Jakarta Sukoyo, Joko. 2010. Alih Kode Dan Campur Kode Pada Tuturan Penyiar Acara radio Campursari Radio Pesona FM. Jurnal Bahasa dan Sastra. Lingua. Vol 6, No 1. Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Semarang. Semarang. Tondo, Fanny Henry. 2009. Kepunahan BahasaBahasa Daerah: Faktor Penyebab dan Implikasi Etnolinguistis. Jurnal Masyarakat dan Budaya. Volume No. 2. LIPI. Jakarta
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
236
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Media Massa Cetak Lokal sebagai Public Sphere Pembangunan Banten yang Bermartabat Iman Mukhroman 1*) Abstrak Tujuan terbentuknya Provinsi Banten bermuara dari keinginan dan aspirasi sebagian besar masyarakat Banten untuk mengaktualisasikan cita-cita kehidupan masa depan yang lebih baik, dalam suatu Provinsi tersendiri yang mandiri, tentunya melalui mekanisme yang demokratis dan konstitusional, dengan kata lain mengarah pada pembangunan masyarakat Banten yang bermartabat, yang konon sebelum menjadi provinsi tersendiri cenderung dianaktirikan oleh provinsi induknya, Jawa Barat. Proses Banten menjadi provinsi otonom sampai dengan saat ini tidak lepas dari keberadaan elit lokal dan media massa, khususnya surat kabar dalam merepresentasikan dinamika aspirasi maupun pendapat masyarakat Banten. Media massa cetak lokal dengan kompetensi yang dimilikinya bisa menjadi public sphere (ruang publik) bagi pembangunan masyarakat Banten yang lebih baik dan bermartabat. Dalam ruang publik (public space/sphere) senantiasa terjadi tarik-menarik kepentingan ekonomi-politik, berupa perebutan posisi dominan. Di antara kepentingan ekonomi dan politik media, seharusnya surat kabar lokal Banten mampu menjadi agen perubahan (agent of changes), pada perubahan yang positif, terutama dalam hal pencitraan masyarakatnya. Hal ini berarti peran dan fungsi sosial dari media massa yang lebih luas adalah sebagai agen perubahan sosial dalam ruang publik (public sphere) yang dapat mengakumulasi secara proporsional realitas sosial menjadi berita dan mengolah data menjadi informasi yang kiranya dapat memberikan pencerahan bagi masyarakat Banten berkenaan dengan hal ihwal pembangunan daerah yang telah, sedang dan akan berlangsung. Kata Kunci : Media Massa Cetak, Surat Kabar Lokal, Public Sphere, Pembangunan, Banten, Bermartabat. 1. Pendahuluan Perjalanan Banten sebagai sebuah provinsi, dari mulai proses perjuangan pembentukkan sampai dengan disahkan menjadi provinsi otonom baru oleh DPR RI pada 04 Oktober tahun 2000 hingga kini (2012) tentu tidak bisa lepas dari peran media massa lokal. Utamanya dalam upaya mengekspos dan mengelola dinamika informasi, aspirasi masyarakat yang berkembang ketika itu juga saat ini, dan saat yang akan datang. Keberadaan media massa lokal pada fase perjalanan tersebut di atas, mengalami dinamika pergeseran paradigm komunikasi sebagai ekses dari terjadinya gerakan reformasi nasional, yang menyebabkan Soeharto yang telah berkuasa hampir 36 tahun lengser keprabon, yang berarti pula berakhirnya rezim orde baru, yang sarat dengan pola komunikasi yang sentralistik, mengedepankan pola komunikasi top-down yang dominan, yang tidak memberi ruang yang besar bagi masyarakat yang sesungguhnya untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, yang mengindikasikan juga bahwa media massa waktu itu berperan sebagai hegemoni negara. Momentum peralihan kekuasaan dari Soeharto ke BJ. Habibie berubah kemudian menjadi euphoria reformasi di segala bidang, tak terkecuali media massa. Peran media massa kemudian diakui kebebasannya dan perananya sebagai agent of change dalam turut 1
*)
serta menjadi agen perubahan dalam sosio politik dan kultural masyarakat. Bebas berekspresi dalam mengangkat realitas sosial dan politik yang berkembang di Indonesia, tak terkecuali yang berkembang di wilayah Banten. Licthenberg dalam Cangara (2009;117) menyatakan keberadaan media massa telah menjadi aktor utama dalam bidang politik, karena kemampuannya untuk membuat seseorang cemerlang dalam karir politiknya. Inilah yang kiranya menjadikan media massa sebagai salah satu alat atau instrument yang paling efektif untuk menyampaikan pesan atau membentuk opini public sampai membangun branding image, juga media massa paling efektif untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Salah satu media yang secara gamblang dan lebih rinci dalam pemberitaannya adalah surat kabar. Dalam hal ini, kontrol sosial oleh media massa begitu ekstensif dan efektif, sehingga sebagian pengamat menganggap kekuatan utama media memang di situ (Rivers– Patterson, 2003:38). Diberlakukannya otonomi daerah (Otda) melalui Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang No.25 Tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, kemudian diamandemen dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada awalnya diyakini akan mampu mendorong percepatan terwujudnya tata pemerintahan yang
Penulis adalah dosen di Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten.
237
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
baik, akan tetapi di lapangan banyak temuan yang menunjukkan bahwa otonomi daerah yang tidak dimbangi oleh perbaikan tata pemerintahan, justru merugikan kepentingan publik. Karenanya, keberadaan media massa cetak lokal dianggap penting sebagai public sphere bagi penguatan peran dan kapasitas elit lokal dan lembaga nonpemerintah untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap jalannya sistem pemerintahan daerah yang berpihak pada kepentingan rakyat banyak. 2. Pembahasan 2.1. Sekilas tentang Public Sphere (Ruang Publik) Konsep ruang public (public sphere), sering diidentikan dengan Jurgen Habermas, sosiolog Jerman yang terkenal dengan studi klasik tentang he Structural Transformation of he Public Sphere. Beliau mendeinisikan Public Sphere atau ruang Publik sebagai : “ an arena, independent of government (even if in receipt of state funds) and also enjoying autonomy from partisan economic forces, which is dedicated to rational debate (i.e. to debate and discussion which is not ‘interests’, ‘disguised’, or ‘manipulated’) and which is both accessible to entry and open to inspection by the citizenry. It is here, in the public sphere, that public opinion is formed (quoted in Holub, 1991:2-8, dalam hussu,K, Daya,2000 )”. Deinisi tersebut menyiratkan bahwa ruang publik atau public sphere sebagai suatu arena yang independen dari pemerintah, yang bisa otonom dari kekuatan ekonomi partisan, yang menekankan pentingnya kehidupan sosial yang memberikan akses pada ruang publik terbuka bagi seluruh warga negara. Satu bagian dari ruang publik terbentuk dalam setiap perbincangan dalam apa orang-orang pribadi datang bersama untuk membentuk sebuah publik, kemudian terjadi diskusi atau debat publik yang rasional, tanpa ada kepentingan tertentu dan dimanipulasi, sehingga opini publik yang terbentuk pun bersifat terbuka dan rasional, dalam suatu masyarakat yang demokratis. Karenanya, Habermas juga menggambarkan pentingnya ruang public (public sphere) hidup, tumbuh dan berkembang pada masyarakat demokratis. “It argues that information should circulate freely, without government intervention to restrict the low of ideas. Ownership and control of media outlets should be broad and diversiied, with many owners instead of a few large ones. Ideally some media channels would be publicly accessible for citizens to use to communicate with each other. If a strong democracy requires citizen participation, that participation is made meaningful by continuing, wide-ranging public discourse, to which media can contribute
immeasurably (Croteau and Hoynes,2006)”. Dari kutipan di atas, intinya Habermas mengingatkan lagi bahwa dalam ruang publik informasi harus beredar secara bebas, tanpa campur tangan pemerintah. Kepemilikan dan control media harus luas dan beragam, jangan terpusat pada seorang atau sekelompok orang yang memiliki modal besar saja. Idealnya dalam masyarakat demokrasi, saluran media harus dapat diakses oleh publik untuk berkomunikasi satu sama lain. Demokrasi yang kuat memerlukan partisipasi masyarakat yang aktif dan bermakna bagi membangun wacana publik yang dinamis, yang mana setiap warga negara bisa saling bertukar pendapat menyangkut pelbagai persoalan yang menjadi kepentingan bersama, sehingga bisa membentuk opini publik yang diharapkan, Hal ini tentunya selaras dengan : “ In democratic societies, the best response is suggested by the public forum doctrine, whose most fundamental goal is to increase the likelihood that at certain points, there is an exchange of views between enclave members and those who disagree with them. It is total or near-total self-insulation, rather than group deliberation as such, that carries with it the most serious dangers, often in highly unfortunate (and sometimes literally deadly) combination of extremism with marginality ( Cass R. Sunstein dalam Bucy,2005) ”. Dengan kata lain bahwa masyarakat demokratis harus mengakui akses yang terbuka, sikap voluntir, partisipasi di luar peran kelembagaan, penciptaan opini publik yang melibatkan masyarakat luas di dalam perdebatan rasional, kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan mendiskusikan negara, dan mengkritik bagaimana kekuasaan negara dijalankan (Piliang, 2004). 2.2. Media Massa Cetak Lokal sebagai Public Sphere (Ruang Publik) Merujuk pada apa yang saya tulis di awal; bahwasanya rezim orde baru sarat dengan pola komunikasi yang sentralistik, mengedepankan pola komunikasi top-down yang dominan, yang tidak memberi ruang yang besar bagi masyarakat yang sesungguhnya untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, hal ini juga mengindikasikan bahwa ketika itu, media massa tidak bisa menghadirkan ruang publik (public sphere) secara sempurna. Media massa ketika itu tak lebih dari sekedar memberikan keuntungan yang besar bagi konglomerasi yang berkembang pada masa itu. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh David Croteau and William Hoynes (2006), “ according to the public sphere, media are more than just proit making components of large conglomerates ”. Karenanya, seiring jatuhnya rezim soeharto tahun 1998 tersebutlah, membuat media
238
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
massa (surat kabar lokal salah satunya) diberikan kesempatan untuk terbukanya ruang publik, suatu ruang yang memiliki semangat kebebasan mengeksperikan pendapat, opini juga sikap yang nyaris cair menembus batas kasta dan strata. Hal inilah yang membuat terciptanya ruang publik yang yang lebih bebas, dimana pertukaran ide dan gagasan dapat terjadi dengan bebas tanpa batasan, baik antar individu maupun kelompok dalam suatu publik. Manakala publiknya besar, bentuk komunikasinya pun mengindikasikan cara tertentu untuk penyebarluasan dan mempengaruhi publik. Pasca lengsernya Soeharto tahun 1998, surat kabar atau koran-koran dan terbitan berkala, radio dan televisi adalah media dari ruang publik. Kini, dalam situasi perubahan sistem media, media massa mempunyai kekuatan untuk membangun suatu pandangan dunia (weltanschaung ), suatu bingkai dunia yang memberikan makna terhadap berbagai peristiwa yang terjadi. Kekuatan untuk membangun suatu pandangan dunia dalam pemberian makna tersebut didukung oleh peran media massa sebagai desiminator informasi. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Habermas : “in the changes within the mass media systems, which have become monopoly capitalist organizations, promoting capitalist interests, and thus afecting their role disseminators of information for the public sphere. In a market– driven environment, the overriding concern for media corporations is to produce an artefact which will appeal to the widest possible variety of audiences and thus generate maximum advertising revenue. It is essential, therefore, that the product is diluted in content to meet the lowest common denominator – sex, scandal, celebrity lifestyles, action adventure and sensationalism. Despite their negligible informational quality such media products reinforce the audience’s acceptance of ‘the soft compulsion of constant consumption training (Habermas,1989:12, dalam dalam hussu,K, Daya,2000 )”. Proses pembentukkan Provinsi Banten sampai dengan disyahkannya menjadi suatu Provinsi tersendiri pada 04 Oktober tahun 2000 oleh DPR RI, juga tidak lepas dari peran media massa sebagai desiminator informasi. Proses pembentukan Provinsi Banten tersebut tentunya menjadi salah satu berita besar media massa regional Jawa Barat dalam kurun waktu pertengahan tahun 1999 sampai dengan pertengahan tahun 2000. Sikap Pemda Tk.I Jawa Barat dan DPRD Tk.I Jawa Barat, misalnya salah satu media lokal atau regional Jawa Barat waktu itu digambarkan dan dimaknai sebagai sosok orang tua yang tidak ingin begitu saja melepaskan anaknya untuk belajar mandiri menentukan nasibnya sendiri bagi masa depan yang lebih baik, lepas dari ketergantungan sang orang tua. Sang orang tua menganggap perlu pertimbangan 239
yang matang berdasarkan kajian penelitian, apakah memungkinkan masa depannya terjamin, kelak kalau benar-benar sang anak mau mandiri atau sebaliknya. Tak heran aspirasi masyarakat Banten oleh media massa tersebut digambarkan dan dimaknai sebagai keinginan yang emosional dari sang anak yang kesal atas ketidakadilan orangtua dalam membangun moril maupun material sang anak. Hal ini semakin mengukuhkan realitas yang diangkat dan dimuat oleh media regional ataupun lokal Jawa Barat waktu itu, yang mencerminkan karakteristik masyarakat Banten yang mayoritas muslim, sebagai masyarakat yang kasar, egois, sok jagoan ataupun masyarakat yang masih diliputi kebodohan dan fanatisme kedaerahan dan agama yang sempit, yang susah untuk diatur. Begitupun dalam konteks lokal Banten, dalam kurun waktu tahun 1999 sampai dengan tahun 2000 seiring dengan kebebasan press pasca reformasi, makin mendorong menjamurnya koran-koran lokal Banten yang memang hanya mengandalkan modal semangat dalam membantu propaganda terbentuknya Provinsi Banten, semisal Banten Bangkit, Banten Ekspress, atau yang sejenisnya yang notabene memang dikelola oleh elit-elit lokal Banten yang memiliki kepentingan dalam pembentukan Provinsi Banten juga kepentingan PEMILU 1999, dengan kata lain memang baru sebatas koran partisan. Inilah yang kemudian menjadikan koran-koran tersebut tidak dapat bertahan lama. Inilah yang kemudian ditangkap oleh grup-grup media besar nasional untuk terjun menerbitkan surat kabar lokal di Banten. Diawali dengan terbitanya Harian Banten yang kemudian menjadi HU. Radar Banten pada awal Juni 2000, yang merupakan bagian dari Jawa Pos Grup, Kemudian diikuti pada awal Oktober 2000, terbit pula HU. Fajar Banten (sekarang Kabar Banten), yang merupakan bagian dari Pikiran Rakyat Grup Bandung, sebagai surat kabar regional Jawa Barat juga Banten, yang justru ketika proses pembentukan Provinsi Banten lebih sering menjadi Koran plat merahnya Pemerintah Provinsi Jawa Barat ketika itu. Keberlangsungan media massa sangat tergantung pada pemodal. Karenanya, kekuatan pemodal lah yang kemudian menentukan apakah sebuah penerbitan bisa bertahan atau tidak. Di Banten, sampai saat ini yang tetap bertahan adalah mediamedia yang merupakan bagian dari group media yang memiliki modal besar dan telah berpengalaman dalam bidang penerbitan media massa cetak. Dari Tahun 2007 sampai dengan sekarang, media harian yang mampu betahan merupakan bagian dari media besar tersebut. Sebut saja Fajar Banten (sekarang Kabar Banten) merupakan bagian dari Pikiran Rakyat Group, surat kabar yang berpusat di Bandung, Jawa Barat. Sedangkan Jawa Pos Group yang berpusat di Surabaya, Jawa Timur, mengembangkan Radar Banten (semula namanya Harian Banten), Satelit News dan Banten Raya Pos.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Meski demikian, hal tersebut di atas tentunya menjadi momentum yang tepat sebagai public sphere (ruang publik) bagi media pencitraan masyarakat Banten menuju masyarakat Banten baru yang religius dan bermartabat sesuai dengan nilai-nilai ataupun norma budaya masyarakat Banten, yang dahulu senantiasa dipegang teguh oleh para pejuang Banten tatkala mencapai kejayaannya pada abad 16 dan 17 di masa kekuasaan Sultan Maulana Hasanudin dan Sultan Ageung Tirtayasa. Kini, tentunya media massa lokal dalam hal ini surat kabar-surat kabar lokal di Banten melalui ruang publik di meida harus bisa kontrol pada kekuasaan pemerintah, mengingat dalam sejarah media, surat kabar-surat kabar pada permulaan abad 17 memang pertama-tama diterbitkan sebagai sebuah organ yang benar-benar kritis dari masyarakat yang sedang terlibat dalam perdebatan kritis tentang isu-isu politik. Dalam konteks inilah, Habermas menyebut pers atau media massa bisa menjadi pilar keempat dalam masyarakat demokrasi. Informasi yang dulu dianggap remeh dan tidak akan pernah dimuat di koran-koran nasional, kini bisa diungkapkan di koran lokal karena sifat beritanya yang disajikan untuk warga lokal. Ketertinggalan masyarakat Banten yang dulu tidak pernah dimuat oleh media nasional, kini bisa diungkapkan di media massa lokal (surat kabar lokal), misalnya infrastruktur jalan di Banten Selatan yang rusak parah, atau Kondisi jalan menuju terminal di pusat Kota Serang, yang menimbulkan masyarakat pengguna kendaraan umum yang setiap hari wara-wiri melewati terminal. 2.3. Refeodalisasi Ruang Publik (public sphere) Pada era pasar bebas seperti sekarang ini, proses komersialisasi media massa dan perluasan intervensi negara telah membawa kita pada apa yang oleh Habermas disebut sebagai satu bentuk “refeodalisasi” ruang publik. Dalam hal ini, ruang publik seakan runtuh menjadi sekedar sebuah dunia khayalan, tempat citra dan opini dikelola dan mengalami komodiikasi untuk tujuan-tujuan komersial belaka. Lebih lanjut Habermas mengatakan : “ Habermas also detects refeudalizations in the changes within the mass media systems, which have become monopoly capitalist organizations, promoting capitalist interests, and thus afecting their role disseminators of information for the public sphere. In a market–driven environment, the overriding concern for media corporations is to produce an artefact which will appeal to the widest possible variety of audiences and thus generate maximum advertising revenue. It is essential, therefore, that the product is diluted in content to meet the lowest common denominator – sex, scandal, celebrity lifestyles, action adventure and sensationalism. Despite their negligible informational quality such media
products reinforce the audience’s acceptance of ‘the soft compulsion of constant consumption training (Habermas,1989:12, dalam dalam hussu,K, Daya,2000 )”. Dalam konteks media massa lokal sebagai public sphere (ruang publik), tentunya juga akan mengalami hal tersebut di atas. Dalam konteks ekonomi-politik lokal, diberlakukanya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah masih membuat banyak kalangan yang khawatir akan munculnya “rajaraja kecil’ di daerah. Di Banten, kekhawatiran akan dugaan tersebut menjadinyata manakala (Alm) TB. Haji Chasan Sochib dan keluarganya yang membangun sebuah kelompok yang dikenal dengan nama Kelompok RAWU — karena kantornya berpusat di daerah Rawu — telah menggurita dan menjadi kekuatan besar di Banten. Kelompok tersebut di atas lah yang kemudian menjadi kumpulan elit lokal Banten yang tentunya mempunyai kekuatan politik yang cukup besar bagi masyarakat Banten. Inilah yang mungkin membuat dinasti TB. Chasan Sohib begitu kuat secara ekonomi dan politik, inilah yang kemudian membuat putrinya, Rt. Atut Chosiyah, terpilih menjadi Gubernur Banten 2007-2012, setelah sebelumnya menjadi Plt. Gubernur; diikuti kemudian oleh putranya yang lain Tb. Khaerul Zaman sebagai Wakil Walikota Serang 2009-2014, belum lagi ketika PEMILU Legislatif 2009 kemarin, yang mana istri, putra-putri, mantu, cucu, cucu-menantu terpilih menjadi anggota legislatif mulai dari DPRD kabupaten/kota, DPRD Provinsi, DPR dan DPD RI, terakhir di PEMILUKADA kabupaten Serang Mei 2010 yang lalu, Putrinya yang lain Rt. Tatu Chasanah yang tadinya wakil ketua DPRD Provinsi Banten terpilih menjadi Wakil Bupati Serang. Kemudian pada PEMILUKADA kabupaten Pandeglang 2010 Ibu tirinya Gubernur Banten juga terpilih menjadi Wakil Bupati Pandeglang, meski sempat diulang proses Pemilukadanya oleh Mahkamah Kostitusi (MK), dan terakhir adik iparnya Gubernur, Airin Rachmi Diani akhirnya terpilih menjadi Walikota Tangerang Selatan, meskipun PEMILUKADAnya diulang kembali sesuai putusan MK. Terkait dengan hal di atas, keberadaan media massa selalu beriringan dengan aspirasi demokrasi dan perjuangan untuk meraih kekuasaan politik. Disinilah media massa telah menjadi fokus dari kompleksitas aktivitas politik yang terbaru, yang mana demokrasi tradisional yang sebelumnya terfokus pada masiikasi, berganti pada fragmentasi. Dalam situasi seperti ini, media dan politik akan terus tumbuh dan berkembang menuju situasi yang saling sinergis diantara keduanya. Hal ini menurut Paul Lazarsfeld dan Robert K. Merton dikarenakan kalangan bisnis yang menjadi sandaran inansial media lebih suka mempertahankan sistem ekonomi dan sosial yang ada (Livers and Peterson, terj.munandar dan Priatna,2003), dengan kata lain
240
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
isi media massa lokal (surat kabar) hanya merupakan konirmasi terhadap struktur masyarakat yang ada. 2.4. Kompetensi Media Massa Cetak Lokal Di era otonomi daerah, terlebih Banten telah menjadi Provinsi tersendiri; peranan media massa lokal sangat penting. Dalam hal ini peran surat kabar lokal Banten, seperti HU. Kabar Banten, HU. Radar Banten serta yang lainnya dalam melaporkan, memberitakan aktiitas pembangunan di Banten akan menyebabkan perluasan berbagai pendapat yang ada dimasyarakat atau mendapat sorotan masyarakat melalui halaman opini. Dewasa ini, media massa memiliki kekuatan untuk dapat menenggelamkan realitas, menyederhanakan isyu, dan memkorelasii berbagai peristiwa. Tak heran, apabila Noelle-Noeman menyebut media masa bagaikan udara, ada dimana-mana dan berkuasa. Dengan kekuatannya ini, media massa membangun dan membentuk karikatur tentang citra; yakni gambaran manusia tentang dunia dan realitas, yang tidak harus sesuai dengan realitas itu sendiri. Citra adalah dunia menurut persepsi kita; atau Walter Lyppman menyebutnya ‘picture in our head’. Kini, citra bergeser menjadi obsesi media. Dengan sentuhan hitungan detik dan menit, media bisa membentuk citra. Citra ini membentuk pandangan dunia di mana berbagai peristiwa diberi makna. Ini berarti, secara umum citra yang terbentuk didasari oleh informasi yang kita terima. Dalam konteks ini, kita ingat apa yang disampaikan seorang tokoh postmordenis, J. Baudrillard : “ Pencitraan mendiskualiikasi kategori kebenaran sehingga tidak bisa lagi dibedakan antara realitas, representasi, simulasi, kepalsuan, dan hiperrealitas . Pencitraan terdiri dari 4 (empat) fase : pertama, representasi di mana citra merupakan cermin suatu realitas; kedua, ideology di mana citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas; ketiga, citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas, lalu citra bermain menjadi penampakkannya; dan keempat, citra tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas apapun (J. Baudrillard, dalam Haryatmoko,2007)” Keempat fase tersebut di atas pada dasarnya akan bersumber pada organisasi kognitif-informasi dan pengetahuan yang kita miliki. Karenanya, kehadiran media massa (surat kabar) dalam ruang lingkup kehidupan sosial merupakan fungsi sosial sebagai kontrol dan sekaligus sebagai mediator dalam interaksi sosial, serta sebagai pemberi informasi ataupun pengetahuan bagi masyarakat. Terkait dengan hal ini, berkembanglah pendekatan media massa sebagai “Pengembang Pola Citra Dominan”, yang dikemukakan oleh G.Gerbner (Panuju,1997), yang mana inti dari pendekatan tersebut, bahwa 241
media massa termasuk surat kabar lokal menjadi cenderung menawarkan berbagai versi dari realitas sosial yang seragam dan relatif disepakati bersama dan audiensnya dikulturasikan dengan versi itu. Hal inilah yang menjadikan media massa bukan saja memberikan penonjolan (blow-up) terhadap realitas sosial melalui kemampuan “exposure”-nya, tetapi juga boleh jadi akan dijadikan acuan, dalam mengilhami dan menyemangati perasaan, pemikiran maupun tindakan masyarakat. Untuk itu, media massa di Indonesia, khususnya surat kabar lokal senantiasa mampu menjadi agen perubahan (agent of changes), pada perubahan yang positif, terutama dalam hal pencitraan masyarakatnya. Hal ini berarti peran dan fungsi sosial dari media massa yang lebih luas adalah sebagai agen perubahan sosial dalam ruang publik (public sphere) yang dapat mengakumulasi realitas sosial menjadi berita dan mengolah data menjadi informasi, sekaligus mendistribusikannya kepada khalayak. Selanjutnya, media massa (surat kabar lokal) dalam bentuk dan isinya harus senantiasa mencerminkan kehidupan ataupun tatanan budaya masyarakat setempat, yang berarti bahwa media massa memiliki hubungan dua arah dengan realitas sosial, ataupun proses perubahan sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat. Dengan kata lain media massa (surat kabar lokal) harus juga bisa berperan sebagai media ruang publik bagi pencitraan masyarakatnya, yang mau berubah menuju masyarakat yang demokratis dan beradab. 3. Simpulan Tarik-menarik kepentingan ekonomi-politik pada dasarnya berlangsung di ruang publik (public space/sphere), berupa perebutan posisi dominan. Pada sisi lain, keberadaan media pers atau biasa disebut media jurnalisme, dalam fungsinya berkonteks ke dalam ruang publik untuk menyampaikan informasi jurnalisme. Dengan kata lain, informasi jurnalisme menyangkut fakta-fakta yang berkonteks pada ruang publik. Proses memperoleh dan menyampaikan informasi urnalisme yang terkandung dalam norma kebebasan pers, merupakan basis dalam kehidupan publik agar warga masyarakat dapat ikut ambil bagian (sharing) dalam proses demokrasi kehidupan negara. Keberadaan media massa cetak, khususnya surat kabar lokal di Banten di tengah kepentingan ekonomi dan politik media, seharusnya mampu menjadi agen perubahan (agent of changes), pada perubahan yang positif, terutama dalam hal pencitraan masyarakatnya. Hal ini berarti peran dan fungsi sosial dari media massa cetak yang lebih luas adalah sebagai agen perubahan sosial dalam ruang publik (public sphere) yang dapat mengakumulasi realitas sosial menjadi berita dan mengolah data menjadi informasi, yang mana dalam bentuk dan isinya harus senantiasa mencerminkan kehidupan ataupun tatanan budaya masyarakat
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
setempat, yang berarti bahwa media massa memiliki hubungan dua arah dengan realitas sosial, ataupun proses perubahan sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat. Daftar Pustaka Bucy, P. Erick. 2005. Living in the Information Age; a new media reader, second edition. USA: Wadsworth. Cangara, Haied. 2009. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi. Edisi Pertama. Jakarta: PT. RajaGraindo Croteau, D., and Hoynes, W. 2006. Business of Media; Corporate Media and Public Interest. USA: Pine Forge Press. Haryatmoko, Bambang. 2008. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornograi. Yogyakarta: Kanisius Panuju, Redi. 1997. Sistem Komunikasi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Berlari, Mencari Tuhan-tuhan Digital. Jakarta: Grasindo. Rivers, William L dan Peterson, heodore.2003. Media Massa & Masyarakat Modern. Terjemahan Munandar dan Priatna. Jakarta : Kencana Prenada Media. hussu, K. Daya. 2000. International Communication; Continuity and change, USA: Oxford University Press.
242
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Media dalam Politik dan Politik dalam Media Rangga Galura Gumelar1*) Abstrak Berbicara tentang media maka tidak dapat dilepaskan dari peran politik. Sejarah mencatat bahwasannya media digunakan sebagai alat propaganda untuk kepentingan penguasa ataupun kekuatan kelompok tertentu. Dengan kebebasan media maka peran pemerintah tergantikan oleh kekuatan pemilik modal, sehingga dapat digambarkan bahwa tekanan pada media saat ini lebih cenderung kepada kebutuhan dari pemilik modal. Ketika media berhadapan dengan media dan ketika media bersinggungan dengan politik, maka media akan selalu dihadapkan pada pilihan yang sulit sebagai pembela kepentingan pemilik modal ataukah sebagai sebuah netralitas dalam objektivitas. Dalam setiap acara ataupun program yang diluncurkan oleh media teori agenda setting masih layak untuk dijadikan analisis bagaimana sesungguhnya media berada. Oleh sebab itu pemerintah dalam hal ini harus menjadi sebuah regulator yang melindungi kepentingan rakyatnya bukan kemudian sebagai pendukung kepada keberpihakan media. Kata Kunci: Media dan Politik, Teori Agenda Setting, Media dan Politik 1. Pendahuluan Peran media bagi masyarakat saat ini sangatlah penting. Terlebih saat ini salah satu pilar demokrasi adalah kebebasan pers. Berbicara tentang pers tidak akan terlepas dari media, yaitu media cetak dan media elektronik. Media baik di daerah perkotaan ataupun pedesaan ternyata merupakan sebagai suatu yang penting dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam sebuah survai yang dilakukan oleh Bureau, pada tahun 1998 diketahui di Amerika memperlihatkan radio masih menduduki ranking no 1, sebanyak 99% dari mayoritas sampel mengatakan bahwa radio adalah media yang sangat penting. Diikuti oleh Televisi (98%), VCR (82%), Cable TV (65%), Home Computer (45%) dan Internet Akses (30%). Disini kita lihat bagaimana media radio dan televisi bagi masyarakat Amerika memiliki peranan penting. Seperti juga penelitian yang dilakukan oleh Jim Spring (1993) “Seven Days of Plays” disebutkan bahwa penduduk Amerika banyak menghabiskan waktu luangnya dengan melakukan atau berhubungan dengan media sebanyak 38%, melakukan aktivitas sesukannya (4%), Olahraga (7%), Sosialisasi (7%) dan sisanya yang beraneka ragam adalah 41%. Jelas sekali bahwa dengan kegiatan dan rutinitas yang dialami dan dilakukan oleh masyarakat Amerika, mereka banyak meluangkan waktunya dengan cara menghabiskan dengan media. Apakah itu menonton, atau menggunakan internet. Survai-survai ini tentunya tidak jauh dengan kondisi di negara kita, dimana orang masih sangat tergantung terhadap media. Adanya tayangan televisi yang berisikan program-program atau acara yang mungkin kita katakan sebagai mimpi belaka, ternyata menjadi suguhan yang dinikmati oleh para pemirsanya. Pemahaman global dan mimpi-mimpi yang terkadang sebuah fatamorgana dapat dijadikan sebagai acuan bagi sebagian orang dalam hidupnya. Kalau kita lihat seseorang yang pulang dari bekerja, dia akan menghabiskan malamnya dengan menonton 1
*)
tayangan-tayangan televisi. Jarang sekali orang yang menghabiskan waktunya dengan hal-hal atau kegiatan dengan berkumpul atau bertemu individu lainnya. Selain dari itu, kenyataan yang sangat menyedihkan adalah bahwa generasi intelektual kita lebih banyak menggunakan media sebagai tempat untuk mencari hiburan semata bukan menjadikan media sebagai tempat untuk mencari ilmu. Begitu sedikit para mahasiswa menghabiskan waktunya untuk membaca di perpustakaan, yang mereka kerjakan hanyalah menonton tayangan-tayangan, iklan atau apapun yang ada di media dan menjadikannya sebagai gaya hidup dan kebenaran yang sejati. Tidaklah heran jika Adorno maupun Hokheimer menyatakan bahwa audien adalah orang-orang yang passif dan bodoh, karena mereka percaya atas realitasrealitas yang diciptakan oleh media. Walaupun pada dasarnya menurut Peter L. Berger, realitas yang dibuat atau disajikan oleh media terkadang merupakan hasil konstruksi yang kemungkinan bersifat subjektif. Merujuk apa yang tercantum dalam Australian Press Council (1983) “the freedom of the press to publish is the freedom of the people to be informed”. Dengan demikian maka informasi yang disajikan kepada masyarakat akan sangat beragam. Inilah yang menggugah banyak negara ataupun yang menjadi kampanye Amerika dalam hal Demokrasi dengan cara kebebasan Pers. Dalam teori pers kita mengenal adanya 4 sistem pers, yaitu pers yang Otoliter, Libertarian, Sosialis dan Tanggung Jawab. Dalam prakteknya ternyata pers tidaklah menjadi tempat yang objektif. Didalamnya mengandung nilainilai kepentingan dan ideologinya yang kemudian mencoba untuk ditanamkan kepada masyarakat. Apa yang dikatakan oleh Habermas mungkin benar adanya, bahwa media telah kalah dalam memainkan perannya sebagai tempat informasi, ruang publik dan edukasi kepada masyarakat, karena mereka telah kalah dan dikuasai oleh para kaum kapitalis. Teknologi yang begitu canggih tentunya memiliki biaya yang sangat
Dosen di Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Untirta, Serang - Banten.
243
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
besar, terlebih pemilik modal media tersebut adalah kaum kapitalis sehingga ini tentunya akan berdampak kepada pemberitaan mereka yang cenderung akan selalu membela kaum borjuis atau kaum kapitalis. Berkembangnya media tentunya akan memiliki efek yang sangat luar biasa bagi masyarakat, terutama dalam hal suatu perubahan politik. Masih ingat dalam ingatan kita bahwa jatuhnya Soeharto ataupun Pemimpin dunia lainnya disebabkan oleh pemberitaan-pemberitaan media yang sangat masiv, sehingga masyarakat percaya atas berita-berita yang dikembangkan oleh media sehingga menjadi suatu keyakinan dan akhirnya melakukan sesuatu yang serempak sesuai dengan keyakinannya. Melihat gejala yang kita alami bahwasannya baik di Amerika ataupun di Indonesia, ternyata dalam dunia politik peran media sangat besar. Dalam pemilihan presiden ataupun pemilihan anggota dewan, saluran yang mereka gunakan dalam “menjual” para kandidat tersebut melalui media. Dengan demikian dimanakah letak objektivitas media itu sendiri? Terlebih dengan adanya undang-undang Pers sekarang saat ini bahwa tidak ada kata pembredelan ataupun penutupan pada media. Artinya kekuatan media akan sangat besar, pemerintah pun tidak akan mencampuri urusan atau bahkan mengedit ataupun melarang atas programprogram yang mereka tayangkan. Satu contoh kecil, ketika acara empat mata Tukul di larang tampil karena ada yang tidak sesuai, maka tidak lama kemudian muncul acara dengan format yang sama dan pembawa acara yang sama dengan nama “bukan empat mata” artinya disini sebetulnya pemerintah yang diwakili KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) telah kalah dalam membela masyarakatnya terhadap kekuatan media. Selain dari itu bagaimana tayangan-tayangan politik, ataupun ulasan-ulasan politik terhadap masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat dicoba dihembuskan oleh media dan seolah-olah apa yang media ungkapkan adalah benar, maka akan ada suatu pemahaman nilai bahwa itu adalah benar. Kasus Bibit dan Chandra ketika itu adalah dinamakan Cicak melawan Buaya, media menyuguhkan bagaimana seolah-olah polisi berbuat sesukanya dan mengobrak-abrik KPK. Penonton disuguhkan pada tayangan seakan-akan apa yang dilakukan itu salah. Tayangan ataupun berita-berita yang disajikan oleh media ternyata direspon oleh masyarakat. Dan ketika masyarakat mulai berteriak dan ketika itu dianggap momen yang tepat bagi para politikus, maka mereka pun turut serta bersama masyarakat mendesak pemerintah dan kepolisian, sehingga perkara tersebut tidak dilanjutkan. Akibatnya adalah hingga kini kita tidak tahu apakah itu memang benar atau tidak, sedangkan keputusan itu hanya dapat diambil melalui pengadilan. Ketika kasus ini menguap dan seorang Jendral Polisi bernama Susno Duadji tersudut dan dipersalahkan oleh banyak orang karena kebijakannya
dalam kasus ini. Maka tidak lama kemudian Susno mencoba merehabilitasi namanya dengan mencoba membongkar kasus-kasus yang ada di kepolisian. Sadar bahwa ini sesuatu yang menarik dan memiliki nilai jual tinggi, maka media pun menangkapnya dan menyebarluaskannya. Disini media seakan berperan ganda, pada saat media memberitakan Susno sebagai seorang yang kejam tetapi disaat kemudian Susno dianggap sebagai seorang pahlawan. Disini media mencoba memberikan empati pada Susno, yang kemudian berlanjut seperti biasanya adalah sikap para anggota Dewan yang kemudian mendukung Susno walaupun sebelumnya mereka mencerca Susno. Suguhan yang sangat ironis dan menarik untuk kita bahas, karena pada akhirnya kasus keduanya menguap dan habis di tengah jalan, tetapi yang menjadi pemenang dari kasus ini adalah media, yang telah berhasil meyakinkan audien. Lebih menyedihkan adalah ketika kasus Lapindo yang dianggap sebagai bencana alam dan pemerintah harus membayarnya walaupun ganti ruginya hingga saat ini tidak jelas dan terkatung-katung, ternyataan tidak diberitakan secara objektif dan merata. Bahkan ada media yang terang-terangan mencoba mempengaruhi audiens dengan tayangan-tayangan tentang keberhasilan penanganan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut dibandingkan dengan kerugian dan kesengsaraan masyarakat disana. Ternyata media tersebut tidak berani untuk memberitakan keadaan yang sesungguhnya karena pemegang saham dari media tersebut adalah keluarga dari perusahaan yang mengakibatkan bencana tersebut. Bagaimana dengan politik? Karena beliau juga merupakan seorang kader politik yang militan dan sekarang sebagai seorang ketua umum partai politik Golongan Karya, maka seorang Aburizal Bakrie akan sangat mudah untuk mengarahkan kemana arah politik terhadap kasus ini. Sungguh sangat miris melihat keadaan seperti ini. 2. Permasalahan Dengan demikian dapat kita rumuskan permasalahan yang kita hadapi saat ini adalah: Bagaimana pengaruh media terhadap masyarakat, politik dan sebaliknya? 3. Tinjauan Pustaka 3.1. Media dan Masyarakat Media dan masyarakat sosial ternyata memiliki peran yang saling mempengaruhi. Dalam diagram ini jelas terlihat bagaimana semua saling mempengaruhi. Media industrilah yang sering kali diamini dan diyakini bahwa mereka adalah dalang dari semua perubahan yang ada. Merekalah yang mendesain dan mengeluarkan acara-acara ataupun program yang diterjunkan dalam pesan media melalui perangkat teknologi yang direspon oleh media kemudian audiens dan mengakibatkan sebuah hasil dalam dunia
244
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
sosial. Sehingga kita lihat bahwa sekarang banyak anak remaja kita yang bergaya hidup seperti orang Amerika. Atau apapun yang berikatan dengan Amerika akan menjadi trend kita. Begitu halnya dengan politik. Jika kita gambarkan diagram tersebut maka akan terlihat: Simpliied Model of Media and the Social World Audiens
Produk Media (Pesan)
Social World (Dunia Sosial)
Teknologi
media baik cetak maupun elektronik yang sangat pesat ini memperlihatkan bagaimana peran media sangatlah berpengaruh. Dahulu kita mengetahui bagaimana politik mempengaruhi media atau mengintervensi media sangatlah besar, sekarang ini malah terbalik media mempengaruhi politik. Hubungan simbiosis mutualisme sangatlah dijalin antara media dan politik. Perkembangan selanjutnya ternyata ketika media dan politik saling mempengaruhi terdapat peran yang ketiga yang sangat menentukan arah dan ideologi media tersebut, yaitu pemilik media atau perusahaan media tersebut. Sehingga apabila saya gambarkan maka akan terlihat bagaimana ini saling mempengaruhi:
Industri Media
Diagram 1. Model of Media and Social World (Croteau: 2000:26) Ada tiga fase jika kita simpulkan bagaimana efek dari media massa tersebut, yaitu pada akhir tahun 1930-an yang terjadi di Eropa dan di Amerika bahwa media memiliki kekuatan dalam membuat opini dan keyakinan seseorang, merubah keyakinan kebiasaan-kebiasaan dalam hidupnya dan membentuk kepribadian serta keyakinan akan sistem politik yang ada walaupun mungkin memiliki resistensi tinggi. Hal ini ditandakan oleh propaganda-propaganda yang dilakukan pemerintah pada waktu itu, seperti propaganda yang digunakan Hitler, Stalin dsb. Mereka menggunakan media secara apik dan baik untuk tujuan dan kepentingan mereka. Media cetak menjadi media paling berpengaruh pada saat itu. Fase yang kedua adalah sekitar tahun 1940 hingga tahun 1960. Tenggang waktu tersebut perkembangan media massa sangatlah pesat dengan banyaknya penelitian alat komunikasi massa pada saat itu. Banyak studi yang dilakukan terhadap efek media yang ditimbulkan khususnya pada pemilihan presiden ataupun anggota legislatif. Media saat itu berpengaruh terhadap opini yang dibangun oleh masing-masing kandidat agar mereka terpilih untuk memenangkan pemilihan. Disini peran dari radio dan televisi menjadi sangat vital dalam mempengaruhi keyakinan dari para pemilihi. Fase yang ketiga yaitu masa dimana orang masih tetap melihat bahwa efek yang ditimbulkan oleh televisi dan media masih sangat besar. Disini peneliti banyak mengkritik bahwa apa yang dikatakan sebelumnya bahwa pengaruh media itu tidak besar, ternyata dirasakan berlainan, walaupun pada kenyataannya pada fase ini orang tidak lagi dianggap sebagai pasiv audiens tetapi juga sebagai aktiv audiens. 3.2. Media dan Politik Maka jika kita lihat bahwa perkembangan 245
Media
Pemilik Media
Diagram 2. Pengaruh antara Politik, Media dan Pemilik Media Pada saat politik mempengaruhi media maka dapat dikatakan bahwa saat itu kekuataan politik sangatlah besar. Sistem pemerintahan memiliki pengaruh yang sangat luas dan kuat dalam hal menentukan arah dari pemberitaan media itu kemana. Kontrol pemerintah melalui regulasinya mengarahkan media dan membatasi media terhadap isi dari media tersebut yang tidak berbenturan dengan pemerintahan saat itu. Salah satu contohnya adalah bagaimana peran pemerintah pada masa orde baru sangatlah membatasi media. Sehingga apa yang kita dengar dan kita lihat baik di koran maupun di televisi tidak akan membawakan berita yang sifatnya menjelekan pemerintahan. Dalam hal maka wajarlah jika proganda yang dilakukan oleh pemerintah berhasil, karena memang pemerintah memiliki pengaruh yang sangat luar biasa. Sedangkan pengaruh media pada perpolitikan yaitu ditandai dengan dahsyatnya penemuan baru tentang alat komunikasi. Salah satu contohnya adalah bagaimana berita media dapat menjatuhkan kredibilitas seorang pemimpin. Kita tidak akan lupa bagaimana kasusr watergate yang mengharuskan Nixon sebagai seorang presiden Amerika lengser dari
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
kursinya. Contoh lain adalah bagaimana seorang menteri Jepang, ketika dia salah ucap tentang tragedi Tsunami yang terjadi di Jepang pada tahun 2011 adalah sesuatu hal yang biasa. Ketika media begitu gencar memberitakan dan mengupas apa yang ia katakan maka menteri tersebut mundur dari jabatannya. Kekuatan media yang sangat besar inilah yang kemudian memberikan mereka posisi atau daya tawar tinggi terhadap sistem politik yang ada. Media industri memiliki kekuatan lobi yang kuat terutama pada kepentingannya. Maka tidaklah heran jika memang mereka memiliki kekuatan daya tawar yang tinggi terutama bila berhadapan dengan para politkus, seperti Motion Picture Producers and Distributor Association of America, he Magazine Publisher Association etc. Mereka akan mengganggu ataupun menyerang para politikus jika para politikus itu mencoba membuat regulasi yang membuat usahanya tidak nyaman. Hal ini pun terjadi di Indonesia, bagaimana pemerintah tidak tegas terhadap regulasi yang digulirkan, salah satunya adalah cross ownership. Dimana pemilik media tidak diperbolehkan memiliki media yang berlainan jenis. Tetapi rupanya regulasi ini tidak berjalan malah dianggap tidak ada oleh para pemilik media. Ketika pemilik modal memiliki media maka secara tidak langsung ia pun memiliki daya tawar yang tinggi. Mereka secara tidak langsung akan menjadi orang-orang yang sangat diperhitungkan dalam perpolitikan. Contohnya adalah ketika seorang pengusaha televisi MMC Haritanu Sudibyo yang masuk kedalam partai Nasdem yang kemudian dijadikan salah satu ketua di partai tersebut, hal ini menunjukan bahwa memang pemilik modal media tersebut penting, selain dari itu pemilik modal pun akan sangat mahfum jika mereka sangat butuh perlindungan dari kekuatan politik agar bisnisnya tetap berjalan dan tetap bekerja. Maka dengan masuk kedalam dunia perpolitikan diharapkan perlindungan itu terlaksana. Dengan situasi seperti ini, apakah kita dapat berharap kepada media? Sebagai masyarakat yang menyerap banyak berita dan membutuhkan banyak informasi tentunya kita akan bertanya-tanya, apakah betul bahwa media tidak akan menjadi alat propaganda lagi baik dari pihak media tersebut ataupun dari aktor-aktor lainnya yang memiliki kekuatan dalam mengkontrol media. Tentunya media yang diharapkan bersikap objektiv dan memberikan pembelajaran bagi masyrakat dalam hal ini menjadi pertanyaan besar. Media demokrasi pada dasarnya akan tercapai apabila dilakukan oleh para jurnalis yang profesional yang memegang teguh kode etik yang berlaku dalam mengemukakan fakta yang ditemukan. Hal ini menggambarakan bahwa: “the press and broadcasting have become the principial means od mediating, that it standing between people and the world and reporting to them what they could not see or experience themsleves” (Nimmo and Combs, 1983, P.12).
4. Landasan Teori 4.1. Agenda Setting Teori agenda setting yang dikenalkan oleh Bernard Cohen (1963) menyatakan bahwa berita itu mungkin tidak sukses untuk membuat orang berpikir, tetapi berita itu setidaknya sukses untuk memberitahu pembaca apa yang harus mereka pikirkan. Kemampuan dalam membawa orang atensi terhadap isu-isu yang dikembangkan kemudian dinamakan dengan agenda setting. Funkhouser (1973) kemudian melihat isu yang dikembangkan dari 3 sumber, yaitu opini publik, ulasan media dan indikator statistik. Contohnya adalah ketika pemilihan presiden tahun Indonesia tahun 2010 dimana masih terdapat pemilih yang belum menentukan pilihannya, maka munculah pendapat atau hasil survai yang menyatakan SBYBudiono memiliki kepercayaan masyarakat 50%. Hal ini sangat ampuh, karena mereka percaya dengan data yang dikeluarkan oleh media, akhirnya mereka memilih SBY. Rogers dan Dearing kemudian membuat suatu model, komponen-komponen yang ada pada proses agenda setting: Gatekee pers, Influenti al media and spectacu lar news events
Personal experience and interpersonal communication among elites and other indv.
Media
Public Agenda
Policy Agenda
Real World indicators of the importance of an agenda issue or event
Sumber: E.M. Rogers and J,W Dearing (1988) ‘Agendasetting Research: Where has it been? Where is it going, in J. Anderson (ed), Communication Yearbook II. Newbury Park: Sage. Hal yang harus diperhatikan saat ini adalah agenda setting yang terjadi saat ini ternyata merupakan kombinasi antara pemerintah dan perusahaan swasta. Berita yang disiarkan sangat dipengaruhi oleh keduanya, dikarenakan korporasi media memiliki orientasi akan proit dan akan berorientasi kepada si pemegang saham, kemudian media sangat tergantung akan iklan, media juga sangat jarang memiliki orangorang yang memiliki kemampuan yang mumpuni dan ahli dibidangnya dan kekuatan para “pemain” dapat merubah isi media atas apa yang mungkin mereka tidak kehendaki. Inilah yang penulis maksud bagaimana akhirnya politik, pemerintah dan media “berselingkuh” satu sama lainnya. Dan yang menjadi korban adalah masyarakat.
246
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
5. Metode Penelitian
6. Hasil dan Pembahasan
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Pendekatan kualitatif menurut Bagdon dan Taylor dalam Moleong (2002:3) adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang diamati. Hal ini senada dengan yang dinyantakan Kiryantono (2006) bahwa pendekatan kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya dengan lebih ditekankan pada persoalan kedalaman (kualitas) data bukan banyaknya (kuantitas) data. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yakni penelitian yang menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi atau variabel yang timbul dimasyarakat yang menjadi objek penelitian. Kemudian menarik kepermukaan sebagai suatu ciri atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun variabel tertentu (Bungin, 2001).
Telah kita lihat bagaimana tokoh-tokoh dunia berhasil dalam melaksanakan programnya bahkan memenangkan pemilihan melalui media. Sejarah mencatat bagaimana Hebert Hoover sangat sukses dalam kampanye presiden melalui radio, Franklin Roosevelt menggunakan radio untuk berkomunikasi dengan publik selama masa “depresi” (masa-masa perang), Dwight Eisenhower menggunakan televisi dalam kampanyenya melalui iklan-iklan yang ditampilkan di televisi termasuk juga Kennedy. Lain halnya Barrack Obama menggunakan fasilitas BBM (Blacbarry Message) untuk mencoba lebih dekat dengan konstituennya. Apa yang mereka lakukan ternyata berhasil dan diikuti oleh banyak politikus. Audiens merasa lebih dekat dengan pemimpin mereka dan dapat mengetahui apa saja yang telah dilakukan oleh Obama. Lain halnya dengan SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono), yang mencoba mendekatkan dirinya dengan masyarakat melalui SMS langsung kepada Handphone nya. Cukup efektif, walau harus diakui cara seperti ini hanya sebagai pembodohan rakyat saja, karena pada dasarnya tidak mungkin seorang presiden dapat merespon sms yang masuk apalagi dari penduduk Indonesia yang jumlahnya ratusan juta. Media memiliki peran yang sangat besar didasarkan bahwasannya khususnya rakyat Indonesia, setelah mereka terpasung dengan berita dan program yang diatur oleh pemerintah, seakan-akan setelah reformasi ini mereka sangat haus akan semua informasi yang ada. Sehingga tidak jarang banyak orang menghabiskan waktunya mendapatkan informasiinformasi melalui media. Para politikus yang berasal dari aktor atau aktris yang telah banyak berkecimpung dengan dunia hiburan tidak akan sulit beradaptasi dengan media, sehingga mereka akan tahu betul bagaimana berhadapan dan memanfaatkan media seperti layaknya Reagen. Bahkan seorang staf Reagen mengatakan, Reagen akan selalu berhati-hati dalam berbicara dan berprilaku. Apapun yang ia lakukan telah ia konsep dan semuanya haruslah berjalan dengan konsep yang telah dibuatnya. Berbeda dengan halnya di Indonesia, para artis yang menjadi politikus memang benar ketika melenggang ke senayan mereka menggunakan media sebagai alat kampanyenya, tetapi ketika mereka duduk di senayan beberapa dari mereka ternyata “bersembunyi” dari media. Ada kemungkinan mereka sekarang ini anti terhadap media karena memang mereka tidak mampu dan tidak mengerti terhadap tugas mereka, atau bisa juga media melihat dan mengetahui bagaimana keterbatasan mereka jika mereka diangkat sebagai narasumber. Ini yang sering tidak kita sadari, ternyata mereka tidak dapat menjadi aktor ketika mereka telah duduk di anggota Dewan. Mungkin kita akan ingat sebuah syair lagu
5.1. Teknik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi literatur, dimana dalam tehnik ini penulis menggunakan penelaahan terhadap buku ilmiah, hasil-hasil penelitian yang dianggap layak ataupun jurnal-jurnal yang dapat dijadikan sebagai rujukan ataupun perbandingan teoritis akademis yang terkait dengan tema penelitian ini. 5.2. Analisis Data Analisa data juga dilakukan untuk menemukan makna dari data yang ditemukan untuk memberikan penafsiran yang dapat diterima oleh akal sehat. Adapun langkah-langkah yang di ambil dalam menganalisa data adalah: 1. Inventarisasi data: dengan cara mengumpulkan data sebanyak-banyaknya. 2. Kategorisasi data: dalam tahap ini data disusun berdasarkan rumusan masalah dan tujuan yang disusun sebelumnya. kategorisasi juga dilakukan untuk mengetahui kecenderungan negatif, positif atau netral. 3. Penafsiran data: pada tahap ini data yang sudah ada kemudian di intepretasi melalui analisis logis dengan cara deduktif-induktif yang berdasarkan pada teori kehumasan. 4. Penarikan kesimpulan: tahap akhir dalam penentuan penilaian terhadap data yang telah di temukan, dibahas, dan dianalisis selama penelitiannya. Analisis data kemudian di paparkan. (Moleong, 2005 : 189)
247
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
“politik hanyalah panggung hiburan” artinya dalam perpolitikan yang kita amati melalui media mungkin telah dibungkus oleh kepentingan-kepentingan mereka. Marx mengatakan bahwasannya apa yang telah kita sampaikan memiliki kepentingan subjektivitas. Seorang politikus harus dapat memainkan perannya sehingga masyarakat terhibur dan terpuaskan dengan peran yang ia lakukan. Dalam hal ini prespektif dramatugis dari Erving Gofman sangat sesuai sebagai model pendekatan interaksi simbolik. Menurut Gofman: “Biasanya terdapat suatu arena kegiatan yang terdiri dari serangkaian kegiatan individu-individu yang saling mempengaruhi tindakan mereka satu sama lain ketika masing-masing berhadapan dengan isik”. Gofman (1959) membagi dua wilayah, yaitu front region (wilayah depan) yaitu tempat atau peristiwa sosial yang memungkinkan individu menampilkan peran formal atau bergaya lalaknya aktor yang berperan yang ditonton khalayak. Peran yang kedua adalah back region (wilayah belakang) yaitu tempat untuk mempersiapkan perannya di wilayah depan, disebut panggung belakang atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai mempersiapkan diri atas berlatih dan memainkan perannya di panggung depan, (Mulyana dan Solatun: 2008: 38). Bagi para politisi sadar ataupun tidak sadar mereka akan berperan berbeda ketika mereka berada dalam wilayah tersebut. Ketika mereka sedang menjadi aktor dan sedang menjadi tontonan banyak orang, mereka akan membawakan dirinya seperti seseorang yang sangat mencolok dan menjadi orang yang sesuai dengan harapan orang banyak. Menurut Mead: “Cara manusia mengartikan dunia dan dirinya sendiri berkaitan erat dengan masyarakatnya. Mead melihay pikiran (mind) dan dirinya (self ) menjadi bagian dari perliku manusia yaitu bagian interaksinya dengan orang lain” (Mulyana dan Solatun: 2008: 38). Maksud dari Mead adalah bagaimana seseorang yang akan melakukan sebuah tindakan akan mencoba berpikir seolah-olah dirinya menjadi orang lain dengan posisi yang berbeda yang maksudnya adalah ia akan mencoba memahami apa yang ada dalam pemikiran orang tersebut dengan demikian apa yang ia katakan tentunya diterima oleh orang lain. Apa yang dilakukan oleh Wiranto ketika makan nasi aking dengan orang-orang tak mampu, seakan ingin memberikan penilaian kepadan masyarakat bahwa apa yang dirasakan oleh masyarakat orang banyak ia rasakan juga. Hal ini kemudian di ekspos dan diberitakan oleh banyak media. Wiranto mencoba menghilangkan image dirinya sebagai tentara yang masih tersangkut atas masalah HAM. Lain lagi dengan gaya Megawati yang mendeklarasikan pasangannya di pembuangan sampah Bantar Gebang. Itu semuanya hanya simbolis belaka. Bagaimana para politikus itu merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat kecil, ketika mereka datang dan pulang menggunakan kendaran yang haraganya milyaran. Sama halnya dengan gaya
hedoinisme yang ada pada anggota dewan sekarang dengan mobil yang sangat mentereng dan mahal, mereka rapat di gedung dewan, gedung wakil rakyat. Logikannya jika mereka adalah utusan rakyat, maka kekuasaan tertinggi ada di rakyat. Jika mereka telah dapat membeli mobil mewah, seyogyanya rakyatnya pun jauh memiliki mobil mewah dari yang mereka punya. Kita tidak pernah menemukan dalam sejarah manapun atau bahkan zaman kerjaan pun, jika seorang utusan itu lebih kaya dari majikanannya. Masalahnya adalah “rakyat” mana yang mereka bela sebenarnya. 6.1. Image Citra atau image sangat disadari dengan baik oleh para politikus dalam hal mempopulerkan kepada masyarakat apa saja yang telah mereka lakukan. Dalam teori Postmodern seperti yang dikatakan oleh Baudrillard berpendapat bahwa pentingnya dari image yang ada adalah melahirkan sebuah realita yang baru. Dalam postmodern masyarakat, mereka berpendapat bahwa image yang ada terkadang menggantikan realita yang ada, sehingga terkadang publik merasa bingung membedakan antara image dan realitas. Sehingga banyak orang akan berusaha merangkul media hingga harus mengeluarkan uang yang begitu banyak hanya untuk membuat image yang baik kepada kandidatnya. Membangun citra bagi para politikus sesuatu yang sangat wajib walaupun dalam membangun citra ini memerlukan dan mengeluarkan biaya yang sangat besar. Tidaklah heran jika saat ini kita melihat begitu banyaknya para politisi “menjual” dirinya melalui kampanye komersial. Karena menuru McClure dan Patterson (1976) mengatakan bahwa masyarakan akan lebih mudah menerima informasi dari para kandidat yang melakukan kampanye komersial dibandingkan ulasan-ulasan media. Kita akan jauh melihat bukan saja para politikus tetapi pejabat dari tinggkat Menteri hingga kepala Desa akan bersikap “Narsis” dengan menampilkan gambar dirinya yang besar disertai dengan tulisantulisan program yang kecil dan tidak terbaca. Dalam hal ini kita melihat tanda atau yang kita kenal dengan semiotika. Menurut Pierce penalaran yang dilakukan oleh manusia senantiasa dilakukan lewat tanda, artinya bahwa manusia hanya dapat bernalar dengan tanda (Berger,2000:11-22). Selain itu Pierce mengatakan bahwa tanda merupakan sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas terntentu (Eco, 1979:15). Disinilah akan muncul intrepretasi dari masing-masing individu terhadap tanda yang ada, seperti halnya tentang banyaknya poster atau kampanye-kampanye dari para politikus tentang dirinya. Fenomena lain adalah ketika para polikus melihat tentang suatu isu yang mereka anggap sebagai sebuah keanehan maka tanpa pikir panjang mereka akan menjadi pahlawan yang berada di garis depan.
248
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Contoh kasus adalah bagaimana para politisi berteriak tentang buruknya kinerja pemerintah dalam kasus TKW (Tenaga Kerja Wanita) yang akan dipancung oleh pemerintah Arab misalnya. Mereka akan segera membahasnya dan “memaki-maki’ pemerintah. Tetapi ketika mereka disodorkan terhadap perilaku mereka dan keterlibatan mereka dalam kasus-kasus tertentu mereka mencoba bersepakat untuk diam dan menolak untuk bekerjasama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Hal ini tentunya sangat bertolak belakang. Oleh sebab itu para politikus ini benar-benar menggunakan media dengan sebaik mungkin, bahkan terkesan lebih galak dibandingkan Jaksa ketika sedang berdiskusi dengan mitranya. Tetapi mereka akan terlelap tidur dan terlihat bangku yang kosong ketika sidang paripurna. Keadaan ini sangatlah kontras, tetapi mengapa masyarakat seakan tidak peduli. Masyarakat telah sangat peduli, tetapi masyarakat seakan tidak memiliki akses bagaimana masyarakat dapat masuk kedalam media, karena yang dapat mengontrol media pada dasaranya saat ini hanyalah “kepentingan” baik dari internal maupun pemilik modal. 6.2. Peran Partai Kedudukan partai politik saat ini hanya dapat dikatakan sebagai sebuah rumah tanpa ada fungsinya. Para politikus tidak memiliki komitmen jelas dalam dirinya pada partai yang menaunginya. Partai dibutuhkan hanya sebagai perahu bagi beberapa individu yang ingin berada di lingkaran kekuasaan. Kemampuan partai dalam mengelola anggotanya atau bahkan mengajak kepada simpatisan baru pada saat ini hanyalah sulit. Jika seseorang memilih partai tersebut belum tentu mereka memilih karena ideologi dan visinya yang sama, tetapi memang dikarenakan adalah kecocokan image atau citra yang dilihatnya dengan dirinya. Dalam kasus pemilihan presiden SBY pada tahun 2004, siapa yang mengenal partai Demokrat pada waktu itu. Maka dengan tehnik dan kalkulasi yang baik pada waktu itu jika memang dihitung dari suara Partai maka partai Golkarlah yang seharusnya menang. Tetapi dengan pemilihan langsung demokrat berspekulasi untuk mengusung SBY melalui politik pencitraannya melalui media. Media dijadikan sebagai alat propaganda bagi kubu SBY dalam membangun citranya. Bagaimana media mengulas hubungan ketidakharmonisan SBY dan Mega, bagaimana media selalu menayangkan sisi santun dan sosok SBY yang gagah, sehingga masyarakat memilih SBY menjadi presiden. Celakanya adalah bagaimana akhirnya peran partai pun dalam mendidik kadernya dan dalam mengusung calonnya bukan dikarenakan pemahaman ideologisnya, tetapi adalah bagaimana memanfaatkan media dengan baik. Kenyataan ini semakin jelas 249
terlihat bagaimana para remaja dalam menentukan pilihannya bukan dikarenakan mereka meyakini atas dasar ideologi partai yang sejalan tetapi atas dasar igur tertentu yang mereka temukan dalam partai tersebut 7. Simpulan dan Saran 7.1. Simpulan Tidak akan ada perdebatan sekarang ini dengan teknologi yang sangat berkembang dengan pesat. Bahwa pengaruh media terhadap masyarakat tentunya sangat besar. Penulis tidak tersandera dari teori yang banyak diperdebatkan bahwa efek yang ditimbulkan media itu memiliki efek yang sangat besar atau tidak. Tetapi pada kenyataannya sekarang ini bahwa media telah memberikan ruang yang sangat tidak terbatas dan sulit sekali untuk dikontrol atas informasi yang masyarakat butuhkan. Adanya new media seperti Internet melalui WWW ternyata sangatlah mempengaruhi cara pikir dan pandang masyarakat. Tidak heran isu-isu politik akan cepat menyebar dalam hitungan detik. Tidak aneh ketika seorang anggota dewan yang tidak sengaja sedang membuka gambar porno di DPR dan tertangkap media akhirnya harus berhenti karena desakan dari masyarakat. Media berhasil menggiring opini ataupun pendapat dari masyarakat tentang tokoh atau calon pemimpin yang akan dipilih, walaupun para pemilih tidak memiliki kepentingan dengan partai politik tertentu, tetapi pada akhirnya media dapat meyakinkan pilihannya kepada salah satu kandidat yang telah media setting sebelumnya. Pada akhirnya kita melihat bahwa media tidak mungkin tidak memiliki kepentingan. Apakah kepentingan itu bersifat negatif atau positif tergantung dari cara mana kita melihat. 7.2. Saran 1. Walaupun tulisan ini hanya bersifat studi literatur semata diharapkan kedepannya dilakukan penelitian yang sifatnya lebih baik dan mendalam sehingga penulis dapat lebih memahami dan mengetahui bagaimana pengaruh media terhadap politik itu sesungguhnya khususnya di kalangan lokal, pada hakekatnya keadaan di luar akan sangat tidak sama dengan keadaan di kalangan lokal. 2. Banyak orang mengatakan media yang tidak dibatasi dan bergerak kesegala arah tanpa mengindahkan norma yang berlaku akan timbul culture war. Ini kemungkinan besar dapat terjadi, disinilah peran pemerintah haruslah sigap. Janganlah kita lupa bahwa sistem pers yang kita anut adalah sistem pers Pancasila. Artinya kita telah dibentengi dengan nilai-nilai pancasila. 3. Harus ada lembaga atau badan yang kritis dan selalu mencari solusi bagaimana lingkaran antar media, politik dan pemegang modal
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
berkolaborasi. Jangan sampai kepentingan mereka mengakibatkan kesengsaraan dalam pemikiranpemikiran masyarakat Indonesia. Karena hal ini bagaikan bom waktu. Daftar Pustaka Baran, S., & Davis, D. (2010). Mass Communication heory: Foundations, Frement and Future. (Terj. Alfrianto Daud dan Putri). Jakarta: Salemba Humanika. Bungin, Burhan. (2008). Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Prenada Media Group. Berger, L., & Luckman, T. (1996). he Social Construction of Reality. USA, he Penguin Press. Biagi, Shirley (2010). Media/Impact: An Introduction to Mass Media. (Ter, Irfan dan Wulung). Jakarta: Salemba Humanika. Croteau, D., & Hoynes, W. (2000). Media/Society (Industrie, Images and Audiens). Ed-2. United State: Pine Forge Press. Efendy, U., Onong. (1993). Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi.Bandung: Citra Aditya Bhakti. Graber, Doris. (1984). Media Power in Politics. USA: Congresional Quarterli Inc. Littlejohn, S. & Foss, K. (2009). heories of Human Communication (Terj. Hamdan, Yusuf ). Jakarta: Salemba Humanika. McNair, Brian. (2003). An Introduction To Political Communication. New York: Routledge. McQuail, Denis (2005). Mass Communication heory. Ed-5. London: Sage Publications. Mulyana, D., & Solatun (2008). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Rosdakarya. Nimmo, Dan. (1978). Political Communication and Public Opinion in America. California: Goodyer Publishing Company. Schwittay, Anke (2011). New Media Practices in India: Bridging Past and Future, Markets and Development. Tester, Keith (2009). Immortalitas Media. (Terj. Abdullah Sumrahadi). Yogyakarta: Juxtapose. UU Republik Indonesia No.40 Tahun 1999 Tentang Pers. Vivian, John. (2008). he Media of Mass Communication. USA: Pearson Education Inc. Ward, Ian (1995). Politics of he Media. Melbourne: Macmillan Education Australia. Wallis, Cara (2011). New Media Practices in China: Youth Patterns, Processes and Politics. (International Journal of Communication 5. http://ijoc.org)
250
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Kontribusi Media dalam Pembangunan Di Bawah Kekuasaan Konglomerat Rangga Galura Gumelar 1)* dan Olivia Deliani Hutagaol 2)** Abstrak Media diibaratkan sebagai sebuah tempat dimana selalu berada dalam objektivitas dan selalu hadir dengan fakta yang ada tanpa ada kepentingan didalamnya. Sehingga tidaklah heran jika dibanyak negara maju kemudian memberikan ruang gerak kepada media seluas-luasnya atas nama keadilan. Karl Marx menyatakan jauh sebelumnya bahwa sesungguhnya media telah gagal menjalankan perannya, karena media telah tergantung kepada pemilik modal, sehingga akan ada suatu tekanan ataupun intervensi dari pemliki modal terhadap apa yang disajikan oleh media tersebut. Kepemilikan media massa di Indonesia saat ini berpusat pada 4 perusahaan besar yaitu PT. MNC, PT. Bakrie Brothers, PT. Trans Corpora dan PT. Media Indonesia. Dengan menggunakan teori Agenda Setting dan Propaganda melalui pendekatan kualitatif dengan tehnik studi literatur maka disimpulkan bahwa sesungguhnya media di Indonesia tidak memberikan kontribusi besar dalam pembangunan masyarakat, tetapi mereka memiliki agenda dan kepentingan pemilik modalnya terutama dalam kaitannya pada bidang politik sebagai pencitraan dari si pemilik modal. Oleh sebab itu, harapan bahwa media akan objektif dan memenuhi kepentingan khalayak tidak akan pernah terlaksana, sehingga pemerintah sebagai regulator dituntut mampu memberikan regulasi yang kuat dan jelas. Melalui cara ini diharapkan hadir ketaatan media terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat. Kata Kunci: Konglomerasi Media, Teori Agenda Setting, Teori Propaganda 1. Pendahuluan Peran serta kontribusi media dalam pembangunan sangatlah besar. Media diibaratkan sebagai sebuah tempat dimana selalu berada dalam objektivitas dan selalu hadir dengan fakta yang ada tanpa ada kepentingan didalamnya. Sehingga tidaklah heran jika dibanyak negara maju kemudian memberikan ruang gerak kepada media seluasluasnya atas nama keadilan. Prinsip kebebasan pers dan media seyogyanya memang keharusan walaupun tetap mengacu kepada kepentingan khalayak atau masyarakat. Tidak dielakkan bahwa media memiliki kewajiban dalam hal menjaga kepentingan publik dalam hal ini adalah media memiliki tanggung jawab sosial. Tetapi dalam prakteknya sangatlah sulit dikarenakan memang media pada dasarnya adalah proit oriented. Setidaknya Blumer (1998:545) memberikan tiga poin kunci yaitu: Pertama kekuasaan dan kekuatan, artinya media seharunya dalam menjalankan usahanya memiliki kebebasan dan aturan yang tentunya arahnya pada tanggung jawab sosial. Kedua harus memiliki gagasan hebat untuk kepentingan publik dan ketiga adalah harus ada kerjasama baik media dan lembaga yang menaunginya agar gagasan untuk kepentingan publik tercapai. Adapun jika kita urutkan maka kriteria utama kepentinga publik bagi media adalah: 1). Struktur dalam hal: kebebasan publikasi, Pluralitas kepemilikan, Jangkauan yang luas (hampir universal) serta keberagaman saluran dan bentuk. 2). Sedangkan pada segi Konten kepentingan publik terbagi
atas: keberagaman informasi, opini dan budaya, mendukung tatanan publik dan hukum, informasi dan budaya yang berkualitas tinggi, mendukung sistem politik demokratis (ranah publik), menghormati kewajiban internasinal dan HAM, dan menghindari hal-hal yang berbahaya bagi masyarakat dan individu. 3). Kemudian ada isu larangan dimana media diharuskan menghindari berbagai jenis bahaya seperti: menghormati hak-hak individu, kerugian terhadap masyarakat dan kerugian terhadap individu. Konten media yang dihadirkan kepada khlayak yang sifatnya membangun kemudian hilang dan tergantikan dengan konten acara yang lebih kepada yang bersifat komodiikasi dengan selalu memperhatikan nilai untung semata. Media daerah tidak mampu membendung media nasional yang terlanjur masuk kedalam sendi masyarakat, sehingga ada suatu pandangan bahwasannya apa yang disajikan oleh media kemudian dianggap benar oleh masyarakat. Sehingga ada pergeseran baru saat ini bahwa seorang public leader bukanlah seorang tokoh yang disegani ataupun yang dihormati, tetapi adalah isi yang disampaikan oleh media. Suatu kenyataan bahwasannya media dimanapun ternyata hanya dikuasai oleh para konglomerat. Artinya disini ada satu kekuatan modal besar dalam menggerakan media itu sendiri. Ini sangatlah wajar ketikan kita berbicara alat-alat dalam media baik itu cetak maupun elektronik bahkan untuk new media pun alat yang digunakan tidaklah sedikit dan murah. Artinya ketika kita membicarakan tentang modal maka kita akan membicarakan tentang
1 )* Rangga Galura Gumelar adalah Dosen di Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Untirta, Banten. 2 )** Olivia Deliani Hutagaol adalah Dosen di London School of Public Relations (LSPR), Jakarta.
251
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
kapitalis. Berbicara tentang kapitalis maka akan timbul suatu pertanyaan besar apakah kemudian dapat memberikan kontribusinya kepada masyarakat ataukah memang kemudian media memiliki agenda terselubung didalamnya. Karl Marx menyatakan jauh sebelumnya bahwa sesungguhnya media telah gagal menjalankan perannya, karena media telah tergantung kepada pemilik modal, sehingga akan ada suatu tekanan ataupun intervensi dari pemliki modal terhadap apa yang disajikan oleh media tersebut. Kepemilikan media massa di Indonesia saat ini berpusat pada segelintir orang. Contohnya Trans7 dan Trans TV berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung, Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah Hary Tanoesoedibyo, TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dengan Surya Paloh. Tentu saja Konglomerasi media ini sangat tidak sehat dalam iklim berdemokrasi dan perpolitikan bangsa ini mengingat pengaruh media yang begitu kuat terhadap kognitif khalayak. Jika mengacu pada Jurgen Habermas yang menyatakan bahwa media massa sesungguhnya adalah sebuah Public Sphere yang semestinya dijaga dari berbagai pengaruh dan kepentingan (2). Dalam artian media selayaknya menjadi the market places of ideas tempat penawaran berbagai gagasan sebagaimana setiap konsep pasar, yang mana hanya ide terbaik sajalah yang pantas dijual dan ditawarkan. Fenomena-fenomena itu berimplikasi terhadap obyektivitas media dalam menyampaikan berita ataupun muatannya. Konglomerasi media menjadikan orientasi media cenderung ke arah industri, bukan pada fungsi jurnalismenya. Akibatnya, media lebih mengutamakan tayangan informasiinformasi yang menarik saja daripada informasi yang lebih penting. Pada tahun 2004 kelompok Media Nusantara Citra (MNC) sukses melakukan merger antara RCTI, TPI dan Global TV. Setahun kemudian kelompok media milik Hary Tanoesoedibjo ini berhasil mengatrol TPI hingga sempat melejit dalam perolehan iklan dengan program andalannya yaitu Kontes Dangdut Indonesia (KDI), dan Rahasia Ilahi. Kelompok ini juga melebarkan sayap di bisnis media cetak, yaitu harian Seputar Indonesia (Sindo), dan puluhan stasiun radio yang masuk dalam jaringan Trijaya Network. Kelompok perusahaan yang berada di bawah payung Group Bhakti Investama ini juga memiliki saham signiikan di perusahaan selulair, Mobile 8 dengan produk CDMA di pasaran bernama Fren. Di pihak lain TV Swasta ANTV telah ”mengundang” masuknya mogul, atau media baron, Rupert Murdoch, pemilik News Corporation yang jaringannya tersebar di seluruh dunia. Melalui
kelompok Star TV Hongkong mereka memiliki 20% saham. Sokongan dana dari konglomerat global ini mampu membuat ANTV menyajikan program yang menghamburkan banyak hadiah. Televisi yang dikelola Anindya Bakrie itu fokus pada program reality show, seperti Super Milyarder, Super Milyarder 3 Milyar, Super Deal 2 Milyar dengan hadiah-hadiah fantastis. Belakangan ANTV diberitakan ”bekerjasama” juga dengan Lativi. Sementara itu program acara ”he Rising Star” Trans TV menggandeng TV 7 milik kelompok Kompas Gramedia Group. Ini merupakan kekuatan baru yang potensial, mengingat perusahaan milik Chaerul Tanjung tersebut dinilai ”cukup berhasil” di dalam bisnis TV dan perbankan (Bank Mega). Melalui kerjasama dengan kelompok Kompas Gramedia Group yang sejak lama terkenal dengan kekuatan jaringan medianya, baik cetak maupun radio, juga hotel dan perbankan, maka terciptalah kekuatan baru dalam dunia pertelevisian. Dengan kerjasama itu TV 7 kemudian berubah menjadi Trans 7. Kelompok ini mencoba menerapkan segmentasi di antara mereka. Trans TV fokus pada life style dan trends setter. Sedangkan Trans 7 konsisten ke TV sport dan News. Kini, dari 10 stasiun televisi yang siaran nasional, tinggal 3 stasiun yang belum bergabung dengan kelompok lain. Merger oleh perusahaan-perusahaan media, dinilai menjadi pilihan yang tepat untuk melakukan eisiensi dan konvergensi. Merger dan akuisisi juga dianggap sebagai strategi terbaik untuk menyehatkan kondisi keuangan televisi yang berat karena menghadapi persaingan yang ketat. Pada saat ini, Merger memang menjadi fenomena umum. Karena karakeristik para pengusaha di manapun, ada kecenderungan sama, yaitu selain menerapkan eisiensi dan konvergensi, mereka juga berupaya dalam kaitan memperbesar jaringan usahanya, kemudian mengakumulasikan keuntungan dan modal untuk kepentingan mereka. David Croteau dan Wiliam Hoynes (2001) menjelaskan kecenderungan struktur industri media kapitalis dalam konteks sekarang ini. Menurut Croteau ada empat macam perkembangan yang terjadi dalam bisnis media, yaitu: 1. Growth (pertumbuhan) yang pesat, digambarkan dengan fenomena mergers antara perusahaan-perusahan atau joint, sehingga menjadi makin besar dan merambah ke seluruh sektor lainnya. 2. Integration (integrasi), media-media besar yang terintergrasi secara horisontal bergerak ke berbagai bentuk media lainnya seperti ilm, penerbitan, radio dan sebagainya. Namun dalam hal yang bersamaan, juga terjadi integrasi secara vertikal, dengan pemilikan perusahaan di berbagai tahapan produksi dan distribusi, dari hulu sampai hilir. Misalnya memiliki perusahaan produksi ilm, sekaligus
252
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
perusahaan bioskop, perusahaan DVD, dan jaringan stasiun televisi. 3. Globalization, konglomerat media telah menjadi entitas global, dengan jaringan pemasaran yang menembus yuridiksi negara. 4. Concentration of ownership, kepemilikan holdings media mainstream semakin terkonsentrasi kepemilikannya. Dewasa ini, yang menjadi hal yang besar lainnya menurut Croteau dan Hoynes (2001) bersamaan dengan konsentrasi media tersebut, media massa sekarang juga telah mengalami komersialisasi yang luar biasa. Media menempatkan audience sematamata hanya dilihat sebagai consumer bukan warga negara (citizens). Tujuan utamanya generate proits for owners and stockholders. Kemudian mendorong khalayak untuk enjoy themselves view ads, and buy product. Karena itu apa yang dianggap menarik bagi publik oleh media, adalah apapun yang populer di masyarakat. Dengan demikian tujuan ideal media untuk promote active citizenship via information, education and social integration, sudah dilupakan dan tenggelam dengan gelombang hiper komersialisasi. Curran, dalam Rethingking Media and Democracy (2000), mengatakan bahwa liberalisme mendorong media melakukan korupsi dan bias mekanisme pasar. Dengan liberalisme peran media sebagai watchdog terhadap kekuasaan, tidak memunculkan sikap independensi untuk melayani kepentingan publik, melainkan lebih untuk keuntungan atau proit perusahaan saja. Liberalisme menghambat freedom to publish. Menciptakan kondisi media sebagai big business yang membutuhkan pemodal kuat, sehingga yang mampu mengelola dan memilikinya hanyalah para baron yang elitis. Liberalisme dan pasar bebas juga mereduksi perputaran informasi publik, dan meningkatkan jumlah masyarakat yang tidak well informed. Karena semakin besarnya porsi penempatan isi hiburan atau human interest dan meminggirkan liputan public afairs, atau program yang mencerdaskan. Ini mengurangi bobot demokrasi, sebab kontrol terhadap public afair menjadi semakin elitis, keterlibatbatan masyarakat menjadi semakin kecil, padahal salah satu prasarat demokrasi adalah partisipasi publik. Strategi merger bukanlah upaya untuk meningkatkan pelayanan kepada kepentingan publik, melainkan lebih merupakan strategi bisnis semata. Sejalan dengan komersialisasi media yang makin dominan. Produk media yang dihasilkan cenderung diarahkan ke dunia hiburan atau entertaint (bukan lagi sesuai dengan fungsi komunikasi massa yang salah satunya adalah memberikan informasi) dan seringkali tidak mendidik. Media massa khususnya penyiaran sebagai industri informasi, hiburan dan budaya, seringkali dimanfaatkan untuk menginklusi kepentingankepentingan kaum kapitalisme. Althusser menganggap media massa berperan sebagai ideological 253
state aparatus, dalam konteks ini media massa penyiaran justru dijadikan sebagai alat kapitalisme untuk mempertahankan kepentingannya. Peter Golding dan Graham Murdoch melihat media massa bukan sebuah entitas yang monolitik, dalam praktik pemilik bisa memiliki nilai yang berbeda dengan para pekerja profesional. Hanya saja dalam kenyataannya kepentingan kapitalisme dan kekuatannya bisa mereduksi perbedaan tersebut. Disadari atau tidak, kalangan profesionalisme media yang pada dasarnya merupakan bagian dari civil society telah dimanfaatkan oleh kaum kapitalis. Media digunakan sebagai jembatan untuk meluaskan budaya konsumsi, tujuannya supaya kaum proletar tetap tunduk, dan kapitalisme tetap berjalan. Timbul suatu permasalahan ketika para konglomerat tersebut kemudian secara terang benderang menggunakan media yang dimilikinya untuk kepentingan politik dirinya ataupun golongannya. Ketika pimpinan group MNC dan Metro Hary Tanoesudibyo dan Surya Paloh kemudian bergabung dalam partai politik Nasional Demokrat, kemudian pemilik ANTV dan TV One Aburizal Bakrie yang bersaing untuk mendapatkan tempat di hati masyarakat terutama dalam pemilihan umum presiden 2014 yang akan datang. Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Kontribusi Media dalam Pembangunan di Bawah Kekuasaan Konglomerat?” 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Konglomerasi Media Indonesia PT Media Nusantara Cipta (PT MNC Terbuka) PT Media Nusantara Cipta (PT MNC Terbuka) merupakan salah satu konglomerasi media terbesar di Indonesia. Perusahaan media ini memiliki bisnis di bidang produksi program, distribusi program, saluran televisi terrestrial, saluran program televisi, surat kabar, tabloid dan jaringan radio. Perusahaan ini boleh dikatakan sebagai perusahaan media yang terintegrasi secara raksasa. Jaringan televisi MNC merupakan yang terbesar di Indonesia dengan nama perusahaan/stasiun: RCTI, TPI dan Global TV. RCTI dengan cepat menjadi televisi swasta terbesar karena fasilitasi bisnis dari keluarga Cendana (Soeharto) di masa Orde Baru. Stasiun ini, bukan kebetulan, dimiliki dan dipimpin oleh Bambang Trihatmojo, anak ketiga Presiden berkuasa saat itu. Hingga saat ini, RCTI masih merupakan televisi nomor satu di Indonesia dalam hal perolehan iklan dan jumlah audiens. AGB Nielsen mengemukakan bahwa audience share RCTI sebesar 20%. Data menunjukkan bahwa kepemilikan televisi di Indonesia sekarang ini mencapai 59 rumah tangga yang berarti sekitar 231 juta penonton. Ini merupakan kue ekonomi yang sangat besar (Bill Guerin, 2005). Selain dari itu dalam meramabah
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
bisnisnya RCTI memiliki media cetak sendiri yang kita kenal sebagai Koran SINDO dan website OK ZONE yang merupakan representatif dari RCTI. Dengan dalih konvergensi media mereka menggunakan alasan ini sebagai dasar untuk menciptakan kesamaan. Televisi kedua adalah Global TV (70% saham). Televisi ini didirikan pada tahun 1999 tetapi baru mengudara pada Oktober 2001. Dengan target audiens kaum muda, Global TV merupakan televisi lokal dengan isi program-program musik dari MTV Asia (Music Television), sebuah perusahaan televisi kabel dari Viacom. Program ini mulai disiarkan tahun 2006. Selain dengan MTV, Global TV juga menjalin kerjasama dengan Nickelodeon. Global TV mendapatkan lisensi ekslusif untuk program-program dari MTV, VH1 dan Nickelodeon. Televisi ketiga adalah TPI (PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia), yang didirikan pada tahun 1991 oleh anak tertua Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana. Televisi ini diakuisisi oleh MNC pada tahun 2006 dengan kepemilikan saham mencapai 75%. Pendapatan bersih selama 9 bulan pertama di tahun 2007 meningkat 51% dari nilai tahun lalu, mencapai 326 miliar rupiah atau sekira $51 juta. Total pendapatan kotor naik 51% menjadi 2,2 triliun rupiah atau sekira $350 juta. Hary Tanoesoedibjo adalah presiden direktur dan CEO MNC. Hary telah berkiprah di industri televisi sejak 2003 ketika ia menjadi presiden grup dan CEO RCTI yang merupakan anak perusahaan grup Bimantara, sebuah grup perusahaan yang dimiliki putra mantan penguasa Orde Baru, Bambang Trihatmojo. Selain di industri televisi, Hary meniti karirnya dari perusahaanperusahaan investasi milik grup Bimantara. Selama tahun 2000-2007, RCTI dan TPI merupakan televisi yang merajai rating acara, baik yang ditujukan untuk kelas menengah maupun kelas bawah. Program unggulan televisi-televisi ini adalah sinetron dan reality show yang bagi banyak orang memiliki kontribusi besar pada ‚proses pembodohan’ massa. Acara-acara drama, sinetron, reality show dan gossip merupakan jualan utama stasiun seperti RCTI, Global TV dan TPI. Hal ini bukanlah hal yang terjadi begitu saja. Bagi David Barsamian, seorang jurnalis, acara-acara ini bukan semata-mata bertujuan bisnis, yakni mengumpulkan pendapatan iklan sebanyakbanyaknya (total pendapatan iklan televisi lokal mencapai US$1,4 miliar), tetapi acara ini dibuat agar penonton merasa tidak berdaya dan lumpuh. Acaraacara ini bermaksud menjadikan penonton sebagai konsumen yang baik, untuk membuat orang merasa terisolasi dan merasa bahwa tidak ada kemungkinan untuk sebuah perubahan sosial. PT Bakrie Brothers (Group Bakrie) Masuknya Bakrie dalam konglomerasi media tidaklah heran, dikarenakan kue dalam bidang ini masih terbuka dengan jelas. Terlihat bagaimana
perhitungan iklan-iklan yang diterbitkan oleh AGB Nielsen untuk televisi Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menandakan bahwa Media televisi masih sangatlah potensial. Memang tidak semua media yang ada akan tumbuh dan berkembang dengan pesat, salah satu korbannya adalah Lativi yang dahulu kepemilikannya adalah Abdul Latif. Lativi tidak dapat bersaing dengan tv swasta lainnya, sehingga dengan terpaksa harus diakusisi dan berubah namanya menjati TV One, dan hal itu dilakukan oleh PT Bakrie bergabung dengan Star TV yang disokong oleh Rupert Murdoch. Menjadi sebuah ironi adalah ketika ternyata media pada akhirnya akan membela kepentingan si pemegang saham. Terlihat bagaimana ketika kasus Lumpur Lapindo, seakan ANTV memberika potret yang berbeda dan memberikan perspektif yang berbeda tentang Aburizal Bakrie. Selain dari itu bagaimana ANTV memberikan pencitraan-pencitraan keluarga Bakrie, tatkala pada saat itu Bakrie terancam oleh hutang-hutangnya yang begitu besar dan terhadap pencalonan Aburizal (Ical) untuk memperebutkan kursi ketua umum partai Golkar. Inilah yang memang menjadi kekhawartiran bagaimana akhirnya elite-elite ini menggunakan saluran media sebagai kepentingan pribadinya. PT Trans Corpora (Grup Para) Hadirnya PT Trans sahamnya dimiliki pengusaha yang bernama Chairul Tanjung cukup memberikan warna baru bagi dunia industri media kita. Trans datang dengan membawa semangat perubahan-perubahan dan lain dari tv swasta lainnya. Mengapa demikian? Jika kita lihat hampir 80% ilmilm yang ditayangkan merupakan produksi lokal. Ada pembagian segment khususnya antara trans tv dan trans 7, dimana trans tv sifatnya pada hiburan, sedangkan tayangan trans 7 sifatnya cenderung kepada program anak-anak. Sehingga jelas disini adanya pembagian kue yang dilakuakan oleh perusahaan Trans dalam memperebutkan pemirsa ataupun audiens yang menonton. Sedikit kisah tentang Trans 7, pada awalnya nama stasiun ini adalah TV 7, kemudian dilakukan akusisi yang dilakukan oleh Group Para dengan membeli saham kelompok Kompas Gramedia sebesar 49% sehingga kemudian berubah namanya menjadi trans 7. Keunikan dan perbedaan lainnya jika kita lihat hampir seluruh pegawai dan pelaksana ataupun team yang dipekerjakan merupakan orangorang muda, sehingga kita melihat dalam program trans selalu dinamis dan berubah-rubah. Inilah yang menjadikan mengapa trans hingga saat ini graiknya selalu naik. PT Media Televisi Indonesia PT Media Televisi Indonesia merupakan anak perusahaan dari Media Group yaitu suatu kelompok usaha media yang dipimpin oleh Surya Paloh, yang juga merupakan pemilik Surat Kabar
254
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Media Indonesia. Metro TV memang lebih banyak cenderung mengambil segmen pasar yang berbeda dengan stasiun-stasiun tv lainnya. Metro TV lebih cenderung konsen terhadap program-program berita, yang dikemas dalam 3 bahasa yaitu bahasa Indonesia, Inggris dan Mandarin. Tetapi seperti pada umumnya Metro pun selalu berdalih dengan alasan konvergensi media melakukan apa yang disebut dengan plurarisme berita baik dalam media cetak, elektronik dan internet. Dan lagi dalam beberapa tayangan khususnya ketika ada persaingan untuk memperebutkan kursi panas ketua partai umum Golkar, terlihat bagaimana secara tidak langsung banyak berita-berita yang menohok Ical dan banyak berita-berita yang memperbaiki citra Surya Paloh. Begitun sebaliknya, di pihak TV One dan ANTV melakukan hal serupa dengan pencitraan Ical dan pemberitaan yang kurang sedap terhadap Surya Paloh. Pada akhirnya telihat bagaimana Media ini tidak berjalan secara independen. 2.2. Tinjauan Teori 2.2.1. Teori Agenda Setting Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Agenda Setting. Teori ini pertama kali dikenalkan oleh Mc Combs dan DL Shaw dalam Public Opinion Quarteleytahun 1972, berjudul he Agenda Setting Function of Mass Media. Pada teori ini terdapat asumsi dasar bahwasannya media kemudian memberikan tekanan penting pada suatu peritiwa dimana media itu kemudian memengaruhi khalayak agar mereka memberikan antusiasme ataupun memberikan perhatiannya kepada kasus atau materi yang disajikan oleh media yang secara tidak sadar khalayak tersebut terjebak didalamnya dan menganggapnya penting. Media kemudian akan terus menerus menayangkan suatu isu secara masiv dan terus menerus sehingga kemudian dianggap penting oleh khalayak. Isu tersebut kemudian karena ditayangkan terus menerus, maka baik secara sadar ataupun tidak khalayak kemudian menganggapnya sesuatu yang penting. Dalam hal ini adalah bagaimana Metro TV kemudian selalu mengulas dan membahas kasus Bank Century ataupun lumpur Lapindo secara terus menerus. Sehingga masyarakat pun diharapkan tahu dan ingat bahwa siapa yang berada di belakang tersebut. Sedangkan dari stasiun televisi TV One ataupun ANTV mereka akan memperlihatkan bagaimana sesungguhnya kasus tersebut telah diselesaikan dan mencoba mengalihkan masyarakat kepada isu-isu yang lebih panas seperti kasus teroris ataupun kasus tentang sosial lainnya, sehingga masyarakat kemudian lupa akan peristiwa atau kasus tersebut. 2.2.2. Teori Propaganda Seperti yang diutarakan oleh Herman dan Chomsky pada bukunya yang berjudul Manufacturing 255
Consent: he Political Economy of the Mass Media (1988), bahwasannya teori ini menjelaskan bagaimana media kemudian memaksakan kepentingannya dalam hal ini kepentingan pemilik modal agar kepentingannya diterima oleh khalayak. Media kemudian berperan dengan memprogandakan nilai-nilai tertentu untuk kemudian didesakan kepada publik. Oleh sebab itu para konglomerasi akan selalu menjaga posisi dengan penggunaan fasilita perusahaan media yang mereka miliki. 3. Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Pendekatan kualitatif menurut Bagdon dan Taylor dalam Moleong (2002:3) adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang diamati. Dalam pendekatan kualitatif data yang dihasilkan berbentuk kata, kalimat dan gambar untuk mengeksplorasi bagaimana kenyataan sosial yang terjadi dengan mendeskripsikan variabel yang sesuai dengan masalah dan unit yang diteliti, dalam hal ini adalah bagaimana mengkaji studi kasus yang diteliti. 3.1. Teknik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi literatur, dimana dalam tehnik ini penulis menggunakan penelaahan terhadap buku ilmiah, hasil-hasil penelitian yang dianggap layak ataupun jurnal-jurnal yang dapat dijadikan sebagai rujukan ataupun perbandingan teoritis akademis yang terkait dengan tema penelitian ini. 3.2. Analisis Data Analisa data juga dilakukan untuk menemukan makna dari data yang ditemukan untuk memberikan penafsiran yang dapat diterima oleh akal sehat. Adapun langkah-langkah yang di ambil dalam menganalisa data adalah: 1. Inventarisasi data: dengan cara mengumpulkan data sebanyak-banyaknya. 2. Kategorisasi data: dalam tahap ini data disusun berdasarkan rumusan masalah dan tujuan yang disusun sebelumnya. kategorisasi juga dilakukan untuk mengetahui kecenderungan negatif, positif atau netral. 3. Penafsiran data: pada tahap ini data yang sudah ada kemudian di intepretasi melalui analisis logis dengan cara deduktif-induktif yang berdasarkan pada teori kehumasan. 4. Penarikan kesimpulan: tahap akhir dalam penentuan penilaian terhadap data yang telah di temukan, dibahas, dan dianalisis selama penelitiannya. Analisis data kemudian dipaparkan (Moleong, 2005 : 189)
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
4. Hasil dan Pembahasan Dari data yang dipaparkan bahwasannya memang terdapat 4 konglomerat yang menguasai media di Indonesia yaitu PT. MNC, PT. Bakrie Brothers, PT. Trans Corpora dan PT. Media Indonesia. Dalam analisis pada teori Agenda Setting dan teori propaganda sangat jelas bahwa keempat perusahaan ini memiliki agenda yang berbeda-beda, yaitu: Agenda Setting Dalam teori Framing dan teori Setting Agenda terdapat dua teori komunikasi massa masih sangat relevan untuk menjelaskan bagaimana suatu konten berita sangat dipengaruhi oleh awak redaksi dan pemilik modal. Fishman menyatakan dalam bukunya, Manufacturing News (1980), terdapat empat jenis hubungan kekuatan media dengan sumber-sumber kekuatan termasuk di dalamnya yaitu pengusaha atau partai politik tertentu. Pertama, adalah hubungan antara sumber dari luar media yang berkekuatan besar dengan media yang berkekuatan besar. Dalam konteks ini, jika keduanya bertemu akan mengarahkan kekuatan yang besar terhadap agenda publik. Hal ini dapat terjadi misalnya dengan seorang pejabat publik yang berkekuatan besar ataupun berpengaruh, yang memiliki hubungan baik dengan media atau pengusaha besar dengan media seperti telah disebutkan di atas. Yang kedua adalah, sumber luar yang berkekuatan besar dengan media yang berkekuatan kecil. Di sini, sumber luar tersebut akan bekerjasama dengan media dan menggunakan media untuk meraih tujuannya sendiri. Hal ini terjadi, misalnya seorang politisi dapat membeli waktu/ jam tayang. Yang ketiga, sumber luar yang berkekuatan rendah dengan media yang berkekuatan besar. Organisasi media tersebut akan sangat bertanggung jawab terhadap agendanya sendiri. Hal ini terjadi, misalnya ketika media membatasi sumber-sumber tertentu. Dan yang keempat adalah sebuah situasi dimana baik kekuatan luar maupun media berkekuatan yang memiliki kekuatan rendah, maka agenda publik mungkin akan ditentukan oleh kejadian-kejadian tersebut, bukan oleh media atau kekuatan tertentu. Dapat digambarkan sebagai berikut :
Sumber : http://www.cw.utwente.nl/ theorieenoverzicht/heory%20clusters/Mass %20Media/Agenda-Setting _heory.doc/
Dalam hal ini, tekanan ekonomi merupakan salah satu faktor utama penyebab terbesar yang mengakibatkan terjadinya conlict of interest. Dalam sebuah organisasi media setidak-tidaknya terdapat tiga pihak yang bisa mendatangkan tekanan ekonomi, pihak-pihak itu antara lain adalah pemangku modal yang menjadi sumber utama aliran bagi kehidupan dan perkembangan organisasi media, yaitu pemodal, pengiklan dan investor. Tentu saja hal ini berdampak besar pada konten yang disajikan. Konten yang ditampilkan oleh media adalah konten yang secara nilai ekonomi dapat mendatangkan rating tinggi untuk dampak menarik pengiklan sebanyak-banyaknya. Faktor konlik kepentingan juga bisa muncul akibat persaingan yang ketat dengan kompetitornya. Akhirnya, media itu terjebak dalam suatu keadaan yang sulit, antara harus menghadirkan tayangan yang melayani kepentingan publik tapi kemungkinan besar rugi atau menayangkan tayangan yang popular demi meraih kapital yang besar untuk mampu bertahan hidup. Konlik kepentingan tersebut dapat menimbulkan pertanyaan mendasar berkaitan dengan fairness dan justice (keseimbangan dan keadilan). Menurut Sasa Djuarsa Sendjaja, media dalam pelaksanaan/operasionalisasinya akan selalu menghadapi tekanan-tekanan internal (pemilik) dan eksternal (baik kepentingan politik, ekonomi, dan sosial). Menurutnya, dalam hal ini media tidak saja powerful namun juga powerless. Tekanan-tekanan inilah yang mengakibatkan pemberitaan tidak dapat menjadi obyektif. Dampak negatifnya adalah, masyarakat selalu disajikan dengan berita-berita yang bersifat rekayasa ataupun yang telah dikonstruksi, seperti contohnya adalah hal yang terjadi ketika pemilihan ketua umum Partai Golkar dengan berita yang disajikan di Metro TV dan Surat Kabar Media Indonesia. Pada stasiun Metro TV dan Media Indonesia, agenda Setting yang dilakukan adalah mencoba menggambarkan ataupun memperlihatkan seorang sosok Surya Paloh sebagai calon pemimpin yang besar dan memperhatikan kepentingan rakyat, dikarenakan Ia merupakan seorang pemilik dalam media massa tersebut. Sesuai yang dikatakan Reese dan Shoemaker bahwa pemilik media dapat mempengaruhi tayangan karena mempengaruhi perubahan kebijakan perusahaan menyangkut nilai-nilai, tujuan, dan budaya kerja. Disini terlihat dengan jelas, bahwa sebuah kepemilikan media maka akan berakibat dengan penentuan kebijakan dan tujuan media itu sendiri. Adanya suatu konsentrasi media massa juga dapat mengakibatkan terjadinya homogenitas pemberitaan dan informasi akibat dari diversiikasi media, yaitu proses dimana penganekaragaman usaha ekonomi sosial yang dilakukan oleh suatu industri atau pelaku produksi media . Homogenisasi yang dapat diartikan sebagai: “Financial pressures ands other forces lead all media products to becom similar, standard and uniform”
256
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
atau penyeragaman bentuk tayangan atau program. Akibat terjadinya homogenitas tersebut dengan kepemilikan yang berpusat, maka masyarakat akan sulit untuk mencari alternative lain dan sulit untuk melihat sisi lain dari suatu kasus yang diangkat oleh pemberitaan media massa. Sebagai contoh, adalah berita yang disajikan di stasiun televise RCTI, Global TV, TPI, Okezone.com, Harian Seputar Indonesia dan Radio Trijaya akan memiliki sudut pandang yang sama terhadap tinjauan suatu kasus. Masyarakat hanya akan disuguhi berita dan informasi yang serupa dan selalu sama, dikarenakan faktor kepemilikan yang sama. Contoh hal konkrit dalam hal isi penyiaran, berita merupakan hal yang paling dapat dikontrol. Krishna Sen dan David T. Hill membandingkan pemberitaan media-media ini terhadap kasus 27 Juli 1996 (terjadi penyerangan kantor PDI Perjuangan di Jl. Diponegoro, Jakarta) dan dengan jelas terbukti bahwa media-media seperti RCTI yang mengalami kedekatan dengan penguasa, lebih banyak menampilkan narasumber pemerintah dan militer dalam menanggapi kejadian tersebut. Pemilik Group besar tersebut merupakan seseorang yang dekat dengan kekuasaaan. Hal itu memberikan peluang luas bagi mereka untuk dapat membangun perusahaan media yang ‘mempermudah’ kepentingannya selain dalam hal ekonomi, tetapi juga dalam hal perpolitikan dan penyebaran ideologi tertentu. Dalam perspektif Marxian, media massa berpotensi menyebarkan ideologi dominan. Ideologi dominan biasanya disebarkan oleh orde yang berkuasa dalam rangka memperkuat kekuasaannya. Contoh lainnya yang terlihat jelas adalah bahwa media yang ia miliki digunakan untuk mendongkrak atau membela pemilik bila sang pemilik sedang diterpa isu. Hal ini dapat dengan mudah dilakukan oleh pemilik dengan meminta spot khusus dalam program medianya yang dapat menciptakan image ataupun kesan yang positif dari diri sang pemilik. Pada tahun 2006, berita mengenai kasus NCD (Negotiable Certiicate of Deposit) iktif yang mengaitkan Hary Tanoesoedibjo sebagai pemilik dari MNC, yang diberitakan di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik, berkaitan dengan kemungkinan tindak pidana korupsi yang bisa menimbulkan kerugian negara. Bila melihat pemberitaan media massa nasional umumnya menempatkan pemilik MNC tersebut sebagai orang yang jahat (pihak negatif ). Namun pemberitaan di media-media yang dimilikinya terlihat berlawanan dengan berita yang umumnya ada, diantaranya pemberitaan di RCTI, Trijaya FM, dan Trust. Dalam pemberitaan berbagai di RCTI, kasus NCD iktif Hary Tanoe muncul secara khusus dalam Dialog Khusus pada tanggal 20 Februari 2006. Dalam tayangan berjudul “kontroversi NCD Bodong” terlihat dengan jelas adanya upaya pemberitaan yang membela Hary Tanoe. Sementara dari pihak redaksi yang diwakili 257
Arief Suditomo mengatakan, “sebenarnya, penonton tidak tertarik pada isu ini, namun saya tertantang untuk menampilkan acara ini. Banyak sekali produser yang tidak mau menampilkan karena rating-nya turun“. Berdasarkan dari penyataan tersebut dapat kita cermati bahwa para pelaku media (pekerja), redaksi melakukan pilihan yang cukup berat. Bukan masalah terhadap rating atau tantangan untuk menampilkan acara ini, tetapi lebih kepada bagaimana redaksi RCTI bekerja di bawah kekuasaan pemilik media yang mau tidak mau harus dapat mengakomodasikan keinginan atau permintaan ataupun kepentingan dari sang pemilik.Dalam pemberitaan kasus tersebut di radio Trijaya FM, sebagai salah satu usaha dilakukan untuk ‘membela’ pemiliknya ini tersaji dalam acara rutin diaolg interaktif Trijaya FM dalam acara Jakarta First Channel. Media Trust yang merupakan salah satu media dibawah MNC, juga mengeluarkan dua buah artikel. Judulnya “Ini Tinggal Urusan Bayar atau Tidak Bayar” dan “Ada Apa dengan BI ?.” Sebuah sampul majalah berita ekonomi dan bisnis edisi 19 Tahun IV, 20-26 Februari 2006 memiliki headline “Kisah di Balik NCD Unibank”. Sementara dalam artikel online, Trust versi online mengeluarkan artikel berjudul “Mengikuti Jejak Lama Sukanto Tanoto, Aktor Utama Kasus NCD” pada tanggal 9 April 2006. Dari ketiga artikel itu tergambar dengan jelas bahwa artikel tersebut berpihak kepada Hary Tanoe dan lebih menitikberatkan pihak negatif ke pihak yang lain. Rata-rata dari semua pemberitaanpemberitaan tersebut tentu saja terlihat secara jelas adanya hubungan antar pemilik media, yaitu Hary Tanoe dengan media-medianya untuk menciptakan pemberitaan yang positif ataupun lebih berpihak kepada Hary Tanoe. Stasiun Metro TV yang dimiliki oleh Surya Paloh lebih banyak memihak pada kekuatan politik tertentu saja, yaitu Partai Nasional Demokrat, atau misalnya keberpihakan TVOne terhadap kepentingan politik dan ekonomi PT Lapindo, sehingga TVOne jarang mengungkit pemberitaan mengenai kasus Lumpur Sidoarjo dan apabila pemberitaan itu ada, TVOne cenderungan menggunakan kata Lumpur Sidoarjo ketimbang menggunakan kata Lumpur Lapindo. Hal itu menunjukkan adanya kepentingan penguasa terhadap isi media. Penyebaran ideologi itu melalui proses hegemoni, yaitu suatu proses dominasi dan upaya mempertahankan kekuasaan, metode yang dipakai mereka yang berkuasa atas kelas-kelas yang subordinat untuk menerima dan mengadopsi the ruling-class values yang tanpa mereka sadari telah tertanamkan dalam diri mereka. Reese dan Shoemaker mengatakan bahwa kepemilikan media dapat mempengaruhi tayangan karena terjadinya perubahan kebijakan perusahaan menyangkut nilai-nilai, tujuan, dan budaya kerja . Jadi kepemilikan media maka akan berakibat dengan berubahnya kebijakan dan tujuan media itu sendiri. Pemilik medialah yang akhirnya
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
menentukan sifat dari media. Kepemilikan beberapa media yang berbedabeda jenisnya, seperti misalnya tidak hanya memiliki stasiun televisi saja, tetapi juga memiliki berbagai bentuk media massa mampu mempengaruhi khalayak lebih kuat dengan menggunakan berbagai media miliknya.Pengaruh konsentrasi ini begitu kuat terhadap kognitif khalayak. Keberpihakan media terhadap kepentingan sejumlah elit penguasa itu secara tidak sadar mampu mempengaruhi kognisi khalayak. Padahal jika mengacu pada konsep Habermas, media massa merupakan public sphere yang seharusnya dijaga dari berbagai kepentingan. Teori Propaganda Media, selain memiliki fungsi sebagai sarana hiburan, juga memiliki fungsi politik. Propaganda dapat digunakan untuk hal baik maupun buruk, seperti hanya bentuk dari komunikasi. Namun, pengaruhnya yang mudah menyebar dalam masyarakat kontemporer adalah releksi, bukan hanya karena keberagaman media, namun juga pluralitas mediatornya yang membuat kita berpikir, dan berbuat sesuatu untuk yang merujuk pada keinginan mereka. Lipmann mengatakan bahwa, media memiliki peran sebagai mesin propaganda pemerintah. Pada masa pemerintahan otoriter, mungkin hal ini memang terjadi, namun, ketika media sudah berada pada era demokrasi, maka, model analitis yang lebih relevan adalah model propaganda yang dibentuk oleh Herman dan Chomsky, disebut “Manufacturing Consent”. Herman dan Chomsky memperkenalkan model propaganda yang menganalisis bias sistemik dalam media di Amerika dengan faktor-faktor yang menetukannya. Faktor-faktor tersebut adalah: (1) peningkatan konsentrasi kepemilikan media oleh grup tertentu yang lebih tertarik pada keuntungan ketimbang penyampaian informasi pada publik. (2) peningkatan ketergantungan media pada revenue iklan. (3) ketergantungan media pada narasumber, Karena posisi narasumber yang penting, narasumber bisa mengontrol isi berita. (4) Flak, atau, respon negatif terhadap media. (5) anti-komunisme. Faktor-faktor berikut inilah yang menurut mereka memarjinalisasi suara-suara alternatif dan membuat kepentingan-kepentingan tertentu melakukan akses sesuai keinginan mereka pada media massa. Di Indonesia model propaganda Herman dan Chomsky itu memang terbukti sehingga menyebabkan publik mendapat informasi terbatas, dikarenakan dikarenakan oleh lima faktor diatas tersebut. Misalnya, ketika kasus kisruh yang terjadi di TPI, RCTI atau majalah Trust tidak mungkin untuk memberikan berita yang obyektif ketika terjadi sengketa saham TPI antara Siti Herdiyanti Rukmana (Tutut) dan Hary Tanusoedibjo, karena faktor kepemilikan tersebut. Terkonsentrasinya kepemilikan media di Indonesia, sudah tidak diragukan lagi,
menyebabkan para pemilik dapat mengontrol konten media tersebut dan tidak beragamnya konten media. Stasiun Televisi Metro TV dan TV One adalah dua stasiun TV di Indonesia dalam mengutamakan penyajian berita. Kedua stasiun tersebut menitikberatkan publikasinya pada konten berita daripada berita lainnya. Meski Metro TV sudah berdiri sejak tahun 2000 dan secara konsisten menayangkan konten berita, TV One yang sejak tahun 2008 berubah nama dari La TV, merupakan pesaing yang cukup kuat. Selama kurun waktu masa kampanye politik tahun 2009, antara Metro TV dan TV One terjalin hubungan yang cukup harmonis. Surya Paloh dan Abu Rizal Bakrie sama-sama kader partai Golkar, memiliki kesepakatan untuk saling mendukung agar partai mereka mendapat suara sebanyak-banyaknya di Pemilu 2009. Namun, sejak pemilihan ketua umum Partai Golkar yang baru untuk menggantikan Jusuf Kala Oktober 2009, mulai terjadi persaingan antar kedua pengusaha tersebut. Dengan terpilihnya Abu Rizal Bakrie atau Ical sebagai ketua umum Partai Golkar, seakan meruapakan “tanda perang” antara Surya Paloh dan Ical. Maka pertarungan antar media milik mereka berdua pun dimulai. Hal ini terlihat di antaranya pada kasus Lapindo. Pada pemberitaan yang diterbitkan Media Group (termasuk di dalamnya Metro TV dan harian Media Indonesia), kasus tersebut selalu disebutkan dengan istilah “lumpur Lapindo”. Penggunaan kata tersebut tak lain adalah untuk memberikan penekanan bahwa bencana itu tertitik berat pada human error perusahaan Lapindo Brantas milik Bakrie Group. Gencarnya pemberitaan mengenai ini dan terus menonjolkan peran perusahaan Lapindo sebagai “penyebab bencana” yang sangat utama. Perbedaan yang sangat signiikan dari pandangan Metro TV san TVOne dalam kasus foto mirip Gayus yang tertangkap kamera sedang menonton pertandingan Tennis di Bali akhir tahun 2010. Terlihat pada kasus tersebut, disebutkan bahwa Gayus hendak menemui Abu Rizal Bakrie yang kebetulan sedang berada di Bali hari itu. Oleh Metro TV, selalu diungkapkan istilah foto mirip Gayus dan dugaan-dugaan bahwa pada saat yang sama, Ical berada pula untuk menonton pertandingan itu di sana. Sedangkan oleh TV One, kekuataan berita bahwa foto tersebut benarlah Gayus coba dilemahkan dengan menyebutkan bahwa fotografer Kompas yang mengambil gambar-gambar tersebut bukanlah wartawan yang biasa meliput berita-berita politik. Oleh TV One, hal tersebut dijadikan strategi agar pemirsa tidak terbawa opininya bahwa orang yang ada di foto tersebut benar-benar Gayus Tambunan. Selain itu, TV One pun tak mau menduga-duga apakah benar Gayus bermaksud untuk menemui Abu Rizal Bakrie di sana. Propaganda melalui media massa di Indonesia tak terlepas dari tujuan politik dan kepentingan
258
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
tertentu. Apabila semasa Orde Baru media massa digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan pemerintah, di era reformasi ini media massa dipegang oleh konglomerasi swasta yang memiliki tujuan yang lebih kompleks. Selain didasari oleh faktor ekonomis, untuk eisiensi dan keuntungan yang maksimal, media massa digunakan pula sebagai pemulus kendaraan politik ke posisi tertentu. Ada usaha melalui media massa yang dimiliki, untuk membangun opini di masyarakat, yang kemudian akan berdampak balik pada pemenuhan kebutuhan politisnya. Seperti bias dalam pemberitaan sebuah peristiwa, hal tersebut riskan disisipkan dengan kepentingan tertentu yang kemudian mendapatkan tanggapan dari masyarakat apakah pro atau kontra. Dapat disimpulkan pada akhirnya media merupakan wahana dalam mempraktekan penyebaran ideologi yang bisa dilakukan dengan cara manipulatif dan pembuatan opini. Pada akhirnya media sulit bersifat netral dan cover both side dalam pemberitaanya. Ideologi media secara mikro bukan sebagai cerminan dari sebuah realitas sosial, tetapi bisa saja sebagai representasidari ideologi media. Tetapi secara makro, wacana dalam sebuah media massa menjadi alat konstruksi realitas sosial mengingat bahwa pada kenyataannya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Media tidak dipandang sebagai wilayah netral, tetapi sebagai bertemunya berbagai kepentingan dan pemaknaan berbagai kelompok. Menurut Chomsky muncullah adanya teknik propaganda dalam media, dimana kekuasaan nyata yakni kalangan pemilik modal (kapitalis), mereka ini yang mampu merekayasa atau menkonstruksi persetujuan dengan akses ke ranah politik, sumber daya yang dimilikinya, serta akses media massanya (Chomsky, 2005). Media justru dapat menjadi subyek yang mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran dan deinisinya sendiri untuk disebarkan kepada khalayak. Media massa sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konlik, dan fakta yang kompleks dan beragam. Propaganda media yang dikembangkan Chomsky misalnya dibutuhkan untuk peran media massa yang terkonsentrasi pada kekayaan, berkonlik, dan kepentingan kelas. 5. Simpulan dan Saran 5.1. Simpulan Konsentrasi media dan pemilik media itu sendiri sangat berpengaruh terhadap isi atau program yang disampaikan kepada masyarakat dimana isi atau program tersebut merepresentasikan kepentingan ekonomi maupun politik pemilik media. Akibatnya kepentingan masyarakat untuk mendapatkan kebenaran menjadi hilang. Semua itu karena adanya 259
proses agenda setting dan framing yang dilakukan oleh media yang disesuaikan dengan kepentingan pemilknya. Kebenaran yang tidak didapatkan masyarakat tersebut dapat menyebabkan masyarakat terhegemoni dengan menerima kebenaran versi media massa. Selain itu, pengaruh lainnya adalah kesempatan masyarakat untuk mendapat tayangan atau program alternatif yang lebih berimbang sulit untuk didapatkan karena telah terjadi pemilikan banyak media oleh segelintir kelompok tertentu yang mana tentunya juga berakibat pada terjadinya keseragaman informasi. Bagaimanapun kecenderungan sistem kapitalis tetap berlaku di negeri ini, dimana yang kuat akan semakin kuat dan yang lemah cenderung terpinggirkan. Walaupun Indonesia bukan menganut sistem ini, tetapi pada kenyataannya realitas dilapangan tidak bisa dielakan. Media sangatlah penting bagi kehidupan dan kelangsungan bangsa ini. Gegar budaya terjadi dan merosotnya moral kita disebabkan oleh bebasnya media dalam melakukan pemberitaan. Pers yang idependen yang dicantumkan dalam UU Pers No.32 tahun 2002 dimana tidak ada lagi intervensi dari pemerintah, membuat media begitu sangat bebas dan terkadang lupa dengan kodrat mereka sebagai kontrol sosial. Dilihat kenyataan sekarang ini, jelaslah bagaimanapun pengaruh uang dan kekuatan modal sangat besar. Hanya 1 stasiun tv yang bertahan dan terbilang netral, yaitu TVRI. Itu pun dikarenakan TVRI masih diberi subsidi oleh pemerintah, jika mereka sama sekali tidak mendapatkan subsidi dan bermain dalam “pasar bebas” penulis yakin mereka pun akan tersisih dengan sendirinya. Kenyataan juga membuktikan bahwa kekuatan uang dan para konglomerat bukan saja terjadi di Indonesia bahkan di Amerika Serikat pun demikian. Artinya hanya sebuah retorika dan hanyalah wacana jika kita ataupun pemerintah memiliki ketakutan dalam penguasaan media, toh pada akhirnya dan pada intinya antara mereka selalu terjadi kesepakatan dan win-win solution. Contoh kecil adalah bagaimana kasus pengemplangan pajak berangsur surut, baik di DPR ataupun dari pemberitaan, dikarenakan memang yang bermasalah adalah orang yang berpengaruh. Di negara yang masih sangat hijau dan masih sangat liar ini dalam merespon kebebasan, tentunya bukanlah hal yang mudah. Terapung-apung pembahasan RUU ini yang mungkin paling lama, disinilah betapa peran pemerintah begitu sangat kerdil dan selalu kalah oleh pihak media. Tidak aka nada pernah kata puas dalam setiap keputusan dan rancangan, tetapi haruslah disikapi secara arif bagaimana dampak yang akan ada dan regulasi seperti apa yang harus diterapkan agar masyarakat kita tidak menjadi korban oleh media itu sendiri. 5.2. Saran 1. Harus ada ketegasan dari pemerintah tentang sebagai regulator terhadap regulasi yang
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
diwacanakan. Selama ini tidak ada ketegasan atau penindakan yang jelas terhadap media-media yang dianggap menyalahi kode etik. Banyak kasus yang dibiarkan atau terkesan menguap begitu saja, hal inilah yang memicu bagaimana masyarakat melihat pemerintah tidak memperjuangkan kepentingan rakyat. 2. Tidak adanya sosialisasi tentang Rancangan Undang-Undang kepada masyarakat. Haruslah diberi penjelasan tentang pasal-pasal yang menurut pemerintah ataupun DPR harus direvisi. Lemparkan masalah ini ke publik dan jelaskan mengapa ini harus direvisi. Akibat kurangnya sosialisasi yang terjadi adalah masyarakat acuh dan tidak mengindahkan atau tidak menghiraukannya. Tidak semua orang menjadi tertarik terhadap pasal perubahan, tetapi jika ini menjadi isu nasional dan selalu dimuat maka masyarakat pun akan membahasnya. Apalagi ini berkaitan dengan media, tentunya akan ada konter-konter ataupun langkah-langkah yang menghambat dari para pemilik media. Untuk itu Humas Pemerintah dan DPR lah yang harus bekerja keras. 3. Dilihat dari kenyataan yang ada tentunya kepemilikan modal yang kuat tidak dapat ditandingi. Di Amerika terlihat ternyata memang media dikuasai oleh beberapa konglomerat atau perusahaan terntentu. Hal ini pastilah tidak akan jauh di Indonesia, yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan memberlakukan pembatasan modal. Artinya tidak seenaknya orang menanamkan modal dan menjadi pemiliki media tersebut. Kemudian sinergisitas media dan konvergensi media tidak bisa dielakkan, tetapi mungkin dalam hal pengontrolan pemerintah harus tegas. Seperti yang terekam dalam sebuah wawancara, Djoko Susilo menyerang posisi Surya Paloh yang ia katakan melakukan sinergi antara Metro TV dan Koran Media Indonesia, tapi apakah ia juga memperhatikan aspek ketenagakerjaannya di sini. “Apakah karyawan Media Indonesia yang anda gunakan juga untuk Metro TV diberi tambahan gaji atas kerjanya di dua tempat ini?” Begitu pertanyaan yang disampaikan oleh Djoko, yang juga bekas wartawan Jawa Pos Group. Surya sangat marah dengan pertanyaan itu dan terlihat gagap untuk menjawab serangan tadi. Akhirnya Surya hanya bisa berkata “Anda lihat … seorang anggota DPR, anggota Dewan hasil pemilihan umum di alam reformasi, tingkat dan cara berpikirnya, cara berbicaranya seperti itu … Saya sedih sekali, ketika anggota Dewan yang tingkat kualiikasi, cara berpikir, dan dimensi berpikirnya begitu amat naïf, terbatas.” (Hisyam 2001). Hal inilah yang harus pemerintah soroti dan awasi. Jangan sampai terjadi seorang pekerja melakukan pekerjaan yang banyak, tetapi dengan upah yang minimum.
4. Jika hal ini tidak segera dituntaskan maka akan terjadi dampak yang sistematik, terutama di daerah-daerah. Kita tahu dengan adanya otonomi daerah melahirkan “raja-raja” kecil. Maka tidak akan segan bagai mereka yang memiliki modal cukup tinggi membuat stasiun radio dan tv lokal. Tujuannya tentu jelas membuat pencitraan bagi pemilik modal, ataupun membantu orangorang “terdekat” yang memiliki jalur kekuasaan. Peranan dan pengawasan KPID pun lemah, karena kembali lagi bahwasannya KPID hanyalah sebagai pemantau, tidak dapat melakukan suatu pemutusan bila terjadi suatu pelanggaran. Celah inilah yang akhirnya membuat pemilik modal merasa bahwa mereka memiliki hak yang luas atas nama kebebasan pers. 5. Persoalan tentang kepemilikian konglomerat ataupun kepemilkikan silang bukanlah tema yang harus diperdebatkan untuk mendukung atau tidak. Yang harus diperdebatkan adalah bagaimana pengontrolan dan pengawasan yang ketat dalam kaidah-kaidah pers dan jurnalistik serta etika bisnis yang ada dan kita pahami. Janganlah rakyat dijejali oleh pembusukan berita dan pencitraan seseorang, ataupun hiburan-hiburan yang “konyol” demi kepentingan segelintir orang, yang akhirnya menjadikan pembodohan masyarakat Indonesia. Daftar Pustaka Ade Armando.(2011).Televisi Jakarta diatas Indonesia. Kisah Kegagalan Sistem Televisi Berjaringan di Indonesia.Yogyakarta. Bentang. Bagdikian, B., (2004). he New Media Monopoly. Beacon Press, Boston, MA. Baker , C. Edwin., Media, Market and Democracy., (2004) Communication Society and Politics., Cambridge University Press. Chomsky, Noam.(1989). Necessary Illusions: hought Control In Democratic Societies. United Kingdom: Cambridge University Press. _______________(2005). Kuasa Politik Media. Yogyakarta: Pinus Jogjakarta. _______________(2007). Chomsky Propaganda Model. University of Windsor: Canada. 2007. Comstock , George. (2005).he Psychology of Media and Politics. Elsevier Academic Press, USA. Croteau, David & Hoynes, William. (2001) he Bussiness of he Media, Corporate Media and the Public Interest, Pine Forege Press, housand Oak, California. Curran, James, (2000), Rethinking Media and Democracy, in James Curran and Michael Gurevitch, Mass Media And Society, hird Edition, Arnold London and Oxford University Press, New York.
260
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Curran, James, and Seaton,Jean., (2003) Power Without Responsibility, he Press and Broadcasting in Britain, 5 th Edition, Routledge London Edward S. Herman and Noam Chomsky. (1988). Manufacturing Consent. Pantheon Books. Golding, Peter & Murdoch, Graham, 2000., Culture, Communications and Political Economy, in James Curran and Michael Gurevitch, Mass Media And Society, hird Edition, Arnold London and Oxford University Press, New York. Hermin Indah Wahyuni, (2006) he Struggle to Create a Democratic Broadcasting System in Indonesia: Re-regulating Television After Political Transformation 1998, Desertation in Leipzig University Hamad, Ibnu. (2004). Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita- Berita Politik. Jakarta: Granit. Josef Trappel and Werner Meier, (1998). “Media Concentration: Options for Policy.” Dalam: Denis McQuail and Karen Siune. (eds.), Lister, Martin., Dovey, Jon., Gidding, Seth., Grant, Iain., Kelly, Kieran., (2003), New Media A Critical Introduction, Routlege, London and New York. McChesney, Robert W., (2000), Rich Media Poor Democracy, Communication Politics in Dubious Times, he New Press, New York McQuail, Denis, (2002), McQuail’s Mass Communication heory, 4th Edition, Sage Publications, London, housand Oaks, New Delhi. (Nugroho, et al., 2012)- Nugroho, Y., Putri, DA., Laksmi, S. 2012. Mpping the Landscape of the media industry in Contemporary Indonesia. Report Series. Engaging Media, Empowering Society : Assesing media Policy and Governance in Indonesa through the lens of Citizen’s rights. Research collaboration of Centre for Innovation Policy and Governance and HIVOS Regional Oice Southeast Asia, funded by Ford Foundation. Jakarta : CIPG and HIVOS. Sumber-Sumber Lain: Undang-undang Undang-undang Pers No. 40 tahun 1999. Artikel Ishadi SK berjudul “Murdoch”“ dalam Majalah Tempo, 25 September 2005 Tim Unair, Laporan Akhir Studi Analisis Isi Media Konvergensi (Computer Based Multimedia Communication) Depkominfo, Jakarta, 2008 261
Hand Out Lembaga Penyiaran : Komersil, Publik, dan Komunitas. Mata Kuliah Kebijakan Media Semester ganjil 2009, Dosen: Soraya. Ilmu Komunikasi S1 Reguler FISIP UI. Jurnal Fasta, Feni. “Kontestasi Antara Kepemilikan Silang Dengan Isi Pemberitaan Media Massa”, jurnal penelitian komunikasi departemen ilmu komunikasi FISIP UI, volume VI/ no. 1, hlm.19-41, 2007. Internet “Media Conglomerates, Mergers, Concentration of Ownership”. http://www.globalissues.org/ article/159/media-conglomerates-mergersconcentration-of-ownership#MediaConglome ratesMegaMergersConcentrationofOwnership Proil of Rupert Murdoch, http://www.forbes.com/ proile/rupert-murdoch/ “Kepemilikan Media dan Bias Berita”. http:// vinsensius.info/?p=255 “Komunikasi Politik” http://setabasri01.blogspot. com/2009/02/komunikasi-politik.html “Media di Indonesia, Intervensi Modal, Kepemilikan, dan Regulasi dalam Pemberitaannya”. http://ekonomi.kompasiana.com/ manajemen/2010/06/16/media-di-indonesiaintervensi-modal-dan-kepemilikan-dalamregulasi-dan-pemberitaannya/ “Konglomerasi Media, Kepemilikan Silang, Pemicu Monopoli Pemberitaan”. http://qnoyzone. blogdetik.com/index.php/2010/09/22/opinikonglomerasi-media-kepemilikan-silangpemicu-monopoli-pemberitaan/ “Pentingnya Regulasi terhadap Monopoli dan Konglomerasi Media”. http://bincangmedia. wordpress.com/2010/05/31/pentingnyaregulasi-atas-konglomerasi-dan-monopolikepemilikian-media/ Kisah Trans TV dan Trans 7. http://jurnalismedia. blogspot.com/2008/06/kisah-trans-tv-dantrans-7.htmlDiakses pada 3 Januari 2010 Pukul 00.20 WIB Konglomerasi Media dalam Grup MNC. http:// pravdakino.multiply.com/journal/item/27/ Konglomerasi_Media_dalam_Grup_MNC_ Media_Nusantara_Citra. diakses pada 26 Mei 2010 Pukul 20.00 Konglomerasi Media Massa sebagai Ajang Hegemoni Pembentukan Opini Publik. @ pangerankatak. blogspot.com Bahaya, kepemilikan stasiun televisi Terkonsentrasi. www.kompas.com/read/xml/2008/03/27/ 18321983
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
http://qnoyzone.blogdetik.com/index.php/2010/09/ 22/opini-konglomerasi-media-kepemilikansilang-pemicu-monopoli-pemberitaan/ Sumber : http://www.cw.utwente.nl/theorieenoverzicht/ Theory%20clusters/Mass%20Media/AgendaSetting _heory.doc/ Ecep S. Yasa, “Kepemilikan Media Televisi Pengaruhi independensi Pemberitaan”, http://kabar.in. Ekaterina Shmykova, “Efects of Mass Media Ownership on Serving Public Interest”.www.scribd.com
262
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Komodiikasi Mitologi Rakyat dalam Tayangan Mistik di Televisi Naniek Afrilla Framanik1*) Abstrak Tayangan-tayangan mistik di televisi pada dasarnya bersumber pada mitologi atau cerita rakyat yang terjadi di masyarakat kemudian diadopsi oleh produser atau tim kreatif bidang pertelevisian untuk dijadikan tayangan yang memiliki nilai jual dan dianggap layak dipertontonkan kepada khalayak. Mistik dan tahayul seperti yang disajikan di media massa dipahami oleh masyarakat sebagai mistik dan tahayul dalam konsep masyarakat, yaitu sarat dengan suasana misteri, kengerian, mencekam, horor dan sebagainya. Ketidakmampuan masyarakat menjawab konsep mistik selama ini menggugah rasa ingin tahu masyarakat terhadap fenomena mistik dan tahayul menjadi sangat besar, dan hal itu semakin menarik apabila menjadi tayangan dalam konteks hiburan masyarakat termasuk juga televisi.
1. Pendahuluan Dari masa ke masa pertelevisian Indonesia tidak pernah absen menayangkan acara bernuansa mistik. Dimulai dari era 80-an dengan ilm Susana, Ratu Kidul, Dendam Nyi Pelet, Misteri Gunung Merapi, Kismis, Misteri Kisah Nyata, Jadi Pocong, Saksi Misteri, Dunia Lain, dan lain-lain. Tujuan dari tayangan-tayangan tersebut adalah untuk menciptakan suasana mencekam dan horor bagi pemirsa ilm televisi. Lebih jauh, bahwa tayangan mistik dan tahayul apa pun yag disiarkan media massa, semua adalah konstruksi sosial media massa yang tujuannya adalah untuk menciptakan keseragaman dalam kengerian yang bersifat massa. Bungin, (2006:326) menjelaskan bahwa televisi menjadi salah satu mindstream di antara berbagai mindstream yang ada di media massa. Pada mulanya tayangan mistisme dan tahayul lebih banyak berupa pemberitaan, kemudian menjadi tayangan sinetron yang berbasis tradisi di masyarakat, namun akhirakhir ini tayangan mistisme itu lebih banyak dikemas dengan tayangan-tayangan keagamaan, terutama Islam. Terlepas dari kontroversi di masyarakat mengenai hal ini, ternyata tayangan mistisme dan tahayul itu menyedot banyak perhatian, karena masyarakat tradisional Indonesia lebih menyukai informasi-informasi tahayul dan mistisme sebagai bagian dari konstruksi besar pengetahuan mereka tentang hidup dan kehidupannya yang diperoleh dari berbagai sumber pengetahuan selama ia hidup. Mistik dan tahayul seperti yang disajikan di media massa dipahami oleh masyarakat sebagai mistik dan tahayul dalam konsep masyarakat, yaitu sarat dengan suasana misteri, kengerian, mencekam, horor dan sebagainya. Ketidakmampuan masyarakat menjawab konsep mistik selama ini dalam hidupnyalah sehingga rasa ingin tahu masyarakat terhadap fenomena mistik dan tahayul menjadi sangat besar, dan hal itu semakin menarik apabila menjadi tayangan dalam konteks hiburan masyarakat termasuk juga televisi. 1
*)
Kebutuhan masyarakat terhadap hiburan semacam ini adalah sebuah petualangan batin masyarakat untuk menjawab rasa ingin tahu mereka terhadap misteri isika (mistik) atau rasa ingin tahu terhadap dunia lain, dunia mistik yang tak menjawab itu. Dengan kata lain keinginan mengetahui dunia lain sebagai sifat petualangan manusia, atau sebuah tantangan lain, menjadi pendorong utama masyarakat menyukai tantangan mistik. Kebiasaan masyarakat menonton tayangan mistik merupakan cara lain yang dilakukan oleh masyarakat selama ini, meneruskan kebiasaan menelusuri dunia mistik yang dilakukan dengan caracara lain untuk menjelajahi dunia ini seperti pergi ke dukun, mendengar tuturan-tuturan cerita mistik dari seseorang, membaca buku-buku cerita horor dan sebagainya. Kebiasaan menonton tayangan mistik ini selain merupakan sebuah petualangan batin seseorang, juga sebuah budaya masyarakat yang dilakukan di hampir semua masyarakat. Untuk masyarakat Indonesia bisa jadi, kebiasaan menjelajahi dunia mistik dilakukan bukan sebagai salah satu hiburan semata namun juga sebuah pembenaran budaya, kepercayaan, atau bahkan cara bersikap dan berperilaku. Karena itu, tayangan-tayangan mistik begitu berkesan, menarik bahkan menjadi sumber inspirasi seseorang dalam hubungannya dengan orang lain dan sebagainya. Secara lebih spesiik, tayangan-tayangan mistik adalah sebuah konstruksi sosial sutradara-sutradara ilm mistik terhadap bentuk-bentuk kengerian pada objek-objek cerita yang penuh dengan upaya konstruksi. Konstruksi sosial ini ada yang bersifat alamiah ataupun yang benar-benar rekayasa konstruksi sang sutradara yang dibangun berdasarkan imajinya terhadap objek mistik tertentu. Dengan teknologi informasi yang sudah sangat canggih seperti sekarang ini, media massa, khususnya televisi mampu menciptakan rekayasa grais yang paling spektakuler, maka media televisi dapat membangun konstruksi horor apa saja yang dapat disiarkannya di televisi. Konstruksi sosial media
Penulis adalah Dosen di Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Untirta, Banten.
263
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
televisi ini mampu membangun theater of mind pemirsanya tentang ketakutan, horor dan kengerian yang paling mencekam sekalipun. Padahal cerita dalam ilm mistik itu adalah konstruksi media yang direkayasa melalui kecanggihan teknologi media oleh copywriter, art director atau pekerja seni grais digambarkan sebagai sebuah kenyataan seakan-akan mereka mengalami sendiri atau mengajak orang lain mengalami pengalaman yang sama. Kecenderungan sekarang biasanya trailer atau cuplikan ilm sebelum ditayangkan di bioskop biasanya diberitakan terlebih dahulu di televisi. Kemudian diselingi sesi wawancara para aktor dan aktris horor dan menceritakan ilm yang akan mereka bintangi atau sedang mereka bintangi dan diminta testimonynya. Ada yang menceritakan kehororan tempat atau lokasi syutingnya, atau pengalaman terkena kesurupan pada saat syuting, atau ada hal-hal gaib yang mereka temui, sehingga penonton benar-benar diajak untuk merasakan kengerian ilm tersebut. Tidak ada alasan yang rasional mengatakan siaran semacam ini bermanfaat bagi masyarakat. Apalagi, belum ada satu penelitian pun yang membenarkan siaran semacam ini bermanfaat bagi pemirsa televisi. Namun kenyataanya pemirsa acara mistisme semakin banyak saja. Sehingga alasan satusatunya tayangan seperti itu adalah untuk meraih sebanyak-banyaknya iklan dalam acara-acara media massa, sehingga mampu menghasilkan uang banyak kepada para pemilik modal media massa. 2. Kategori Tayangan Mistik Semi Sains Kata mistik berasal dari bahasa Yunani “Mustikos” yang berarti misteri, rahasia. Kepercayaan bahwa dalam kehidupan ini orang dapat mengalami kesatuan transendental dengan yang adi kodrati dengan melalui meditasi dan disiplin-disiplin lain. Jalan ke kesatuan umumnya terdiri dari tiga tahap. 1) Menjauhkan diri dari hasrat-hasrat jasmaniah atau kenikmatan rasa; 2) Mensucikan kehendak atau karsa; 3) Membuka pikiran terang atau cipta. Mistik merupakan inti bagi kebanyakan kepercayaan Timur; juga penting dalam berbagai bentuk agama dunia pada umumnya (Ensiklopedi Indonesia, 1983:2263). Terkait dengan penjelasan tersebut, maka pengertian mistik sebenarnya sangat mengacu kepada hal yang mengandung konteks “Ilahiah” atau konsep “ketuhanan”. Bisa diartikan bahwa kegiatan keilahian berhubungan dengan kesucian diri manusia dari berbagai kotoran baik jasmani maupun rohani. Pada prakteknya konsep tayangan televisi yang mengandung unsur mistik dewasa ini sangat berkaitan erat dengan pemunculan lawan dari “tuhan” dan “manusia”, yaitu hantu, setan, dedemit, kuntilanak, jin, tuyul dan sebangsanya. Bukan konsep ketuhanan lagi yang diusung melainkan konsep “kegaiban” dan “kesetanan”. Demikian konsep mistik itu sendiri
sudah berubah dari mengusung konsep “keilahian” menjadi konsep “kesetanan”. Pada prakteknya, nama “tuhan” disebut hanya sebagai pelengkap ketika peserta acara dunia gaib merasa diganggu jin atau setan. Kita mengetahui bahwa tujuan utama mereka adalah mengikuti acara tersebut untuk mengetahui keberadaan atau eksistensi makhluk halus. Namun ketika para peserta diganggu makhluk halus tersebut maka nama tuhan baru disebut-sebut agar menenangkan diri mereka yang sedang merasa ketakutan atau terancam. Rasa takut, tangisan, histeria, kegaduhan akibat rasa takut, kengerian, paranoid dan proses kesurupan akan sangat dieksplor pada acara-acara tertentu dalam televisi. Ini menjadi penting karena manusia terkadang memiliki rasa senang untuk menikmati ketakutan yang dirasakan orang lain, padalal dirinya sendiri tidak mau mengalami rasa takut tersebut. Tayangan televisi selain mempertontonkan acara mistik juga semakin variatif, mereka membuat varietas baru dengan membuat tayangan mistik semi sains. Pada dasarnya manusia memiliki motif aktualisasi diri. Motiv ini membuat manusia ingin mengetahui informasi-informasi baru dalam bidang apapun. Maka dari itu bidang mistik yang selama ini masih dianggap remang-remang atau misteri semakin membuat manusia ingin mengetahui keberadaannya apalagi dikaitkan dengan sains, sehingga membuat penonton semakin percaya karena sejalan dengan logika. Pada kategori ini, ada dua ragam tayangan mistik semi sains. Pertama tayangan mistik semi sains jenis acara televisi, dan kedua mistik semi sains jenis ilm televisi (ilm yang ditayangkan di televisi). Tayangan kategori mistik semi sains adalah yaitu ilmilm mistik yang berhubungan dengan iksi ilmiah. Tayangan ini bertutur tentang berbagai macam bentuk misteri yang ada hubungannya dengan ilmiah, walaupun sebenarnya kadang tidak rasional namun secara ilmiah mengandung kemungkinan kebenaran (Bungin, 2006:328). Informasi dalam dunia hiburan bisa dalam berbentuk apresiasi tentang dunia hiburan yang dipentaskan, yang diperagakan dan di apresiasikan, Seni tari, seni musik, seni peran (sinetron, dan ilm). Apalagi tentang dunia seni pentas atau panggung. Bahkan informasi di dunia perilman merupakan informasi yang sangat menarik disimak (Yusanto, 2005). Pada kategori ini, acara televisi seperti “he Master” menayangkan suatu hal yang berada di luar jangkauan nalar manusia, tetapi terdapat ilmu-ilmu yang dapat dipelajari. Acara tersebut menunjukkan suatu kemampuan yang tidak biasa dimiliki seseorang. Dengan trik semacam sulap atau dengan menggunakan kecepatan tangan sehingga menimbulkan kesan ajaib. Peristiwa tersebut dapat dikatakan sesuatu yang bersifat mistik yang berkolaborasi dengan sains.
264
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Tayangan sejenis yang masuk pada kategori mistik semi sains adalah “he Master of Number”. Acara ini dibawakan oleh Joshua Shandy yang lebih dikenal dengan sebutan Joe Shandy. Ia adalah pemenang yang dianugerahi gelar he Master pada program he Master RCTI. Kemampuan otak dan kecerdasan Joe Shandy dalam menjawab setiap tantangan juri yang pada saat itu adalah Deddy Corbuzier. Acara Joe Shandy menampilkan trik sulap yang berkaitan dengan perhitungan angka yang sulit dan ia sanggup menghafal sejumlah angka yang dianggap rumit oleh audience. Hal ini memberikan kesan bahwa sebenarnya trik ini dapat dipelajari oleh penonton. Pada akhir tayangan, para penonton selalu berdecak kagum atas keberhasilan Joe Shandy dalam memecahkan perhitungan angka-angka tersebut. Untuk jenis tayangan ilm televisi kategori mistik semi sains, direpresentasikan melalui ilm “Jumper”, adalah ilm buatan Amerika. Film ini berdasarkan iksi ilmiah yang disutradarai oleh Doug Liman dan dibintangi oleh Hayden Christensen, Jamie Bell, Samuel L. Jackson Rachel Bilson, Max heriot, Anna Sophia Robb, dan Diane Lane. Film ini diawali dengan seorang pria muda memiliki kamampuan teleporting. Ia dikejar-kejar oleh komunitas rahasia yang bermaksud membunuh dirinya. Film ini diputar di 20 kota di 14 negara antara tahun 2006-2007. Selanjutnya “he Passion” bercerita mengenai tuhan Yesus. Ia menggambarkan kisah penderitaannya sebelum disalib dan mempertontonkan pengorbanannya untuk umatnya. Film ini juga mempertontonkan kekuatan magis dan hal-hal yang bersifat di luar nalar manusia. Keseluruhan ilm itu merepresentasikan pengungkapan injil. Film ini ditayangkan di RCTI atau hari besar keagamaan. Film lain bernuansa mistik semi sains adalah “Sherlock Holmes”, ilm yang disutradarai Guy Ritchie mengisahkan tentang seorang detektif muda dari London yang menangani berbagai macam kasus. Ia memedahkan kasus-kasus berdasarkan logika ilmiah. Pada kasus pembunuhan seorang wanita, orang-orang mengira bahwa pembunuhan itu tidak wajar atau ada dugaan wanita tersebut terkena guna-guna. Namun Holmes mengungkapkannya secara ilmiah dan menerangkan bahwa wanita tersebut tewas dan dari tubuhnya mengeluarkan gas beracun. Selanjutnya ilm “he Perfume” ini mengisahkan tentang pembunuhan. Film yang dibuat pada tahun 2001 disutradarai oleh Tom Tykwer menceritakan kisah pembuatan parfum oleh seorang pemuda yang mungkin bisa disebut menderita autis atau bahkan sedikit gila. Parfumparfum yang dibuatnya memiliki tingkat keharuman yang luar biasa. Film tersebut begitu mengagetkan tatkala penonton disuguhi kenyataan dalam ilm itu bahwa parfum tersebut diramu dari tubuh gadis muda yang telah dibunuh oleh pemuda autis tersebut. Cerita ini agak mengerikan, tetapi ada pengupasan teori ilmiah mengenai pembuatan parfum itu sendiri. 265
3. Tayangan Mistik-Fiksi Fiksi berasal dari bahasa latin “ictio” dari “fengere”, “ictum” membentuk, mendapatkan, berpura-pura (Ensiklopedia Indonesia, 1983:1004). Fiksi dalam bahasa Inggris adalah “iction” yang berarti karangan, rekaan, dan khayal. Fiksi juga merupakan cabang dari kesusasteraan yang berkenaan dengan cerita roman, buku-buku cerita, karya-karya rekaan, hal yang bersifat tidak sungguh-sungguh atau yang bersifat karangan atau khayalan (Hornby, 1977:141). Mistik iksi adalah ilm mistik hiburan yang tidak masuk akal, bersifat iksi atau hanya sebuah iksi yang diilmkan untuk menciptakan dan menyajikan misteri, suasana mencekam, kengerian, kepada pemirsa (Bungin, 2006:328). Tayangan mistik-iksi atau program acara mistik yang bernuansa iksi banyak dijumpai di televisitelevisi. Tayangan ini termasuk program yang disukai oleh pemirsa, buktinya adalah tayangan ini tidak pernah absen dari layar kaca sepanjang tahun. Pada bahasan ini ada dua jenis tayangan. Pertama adalah tayangan atau acara televisi mistis iksi yang bersifat umum dan kedua tayangan ilm televisi atau ilm yang ditayangkan di televisi sebagai berikut: Film “Casper he Friendly Ghost” adalah tokoh hantu yang baik hati dan telah menjadi tokoh kartun favorit anak-anak di seluruh dunia. Film ini menggambarkan hantu yang memiliki sifat bersahabat, ingin berteman, tidak suka menakuti orang, suka membantu dan baik hati. Film ini dianggap memiliki pesan moral yang baik untuk anak-anak agar tidak takut dengan hantu, tetapi ini tidak masuk akal. Ini hanyalah sebuah iksi atau khayalan. Kenyataan yang kita ketahui bahwa hantu adalah musuh manusia, karena dianggap suka menakut-nakuti dan menggoda manusia untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Pada program acara televisi secara umum tayangan serial sinetron laga “Manusia Harimau, Tutur Tinular, dan dendam Nyi Pelet” lebih mengedepankan unsur iksi khayalan sebagai daya tarik hiburan. Pada tayangan tersebut manusia bisa berubah menjadi harimau atau siluman ular dan lainlain. Untuk tayangan Film direpresentasikan dengan judul “Eclips” adalah ilm mengenai kembalinya Victoria yaitu seorang vampir jahat yang ingin melakukan balas dendam pada Edward dan juga ingin membunuh Bella. Kaum Werewolf dan para vampir yang tadinya tidak akur, tapi demi menumpas keluarga Edward menjadi bersama-sama menumpas keluarga tersebut. Ternyata victoria menciptakan vampir-vampir ganas yang baru. Film ini dibumbui kisah percintaan antara Edward, Bella dan Jackob yang penuh masalah. Untuk acara tayangan mistis iksi yang lain adalah Sinetron “Bidadari” yang ditayangkan di RCTI. Sinetron ini mulai tayang pada tahun 2000
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
hingga 2005 yang menceritakan kisah seorang bidadari yang selalu membantu Lala, seorang gadis beranjak remaja yang berhati baik. Bidadari ini muncul ketika Lala sedang berada dalam kesusahan. Ia membantu Lala dengan menggunakan tongkat sihirnya, maka segala sesuatu yang diinginkan akan terwujud. Pada jenis tayangan sinetron “Dendam Nyi Pelet”, yaitu drama kolosal Indonesia tentang ilmu kanuragan dan supranatural. Menceritakan perkelahian, pertempuran, kisah percintaan, dan kisah kepahlawanan. Sinetron ini biasa ditayangkan di Indosiar. Beberapa tayangan lainnya yang dimasukkan ke dalam kategori ini adalah “Twilight, Ghost, Dark Shadow, Casper”. Tayangan ini di produksi oleh Holywood dan biasanya ditayangkan di bioskop maupun televisi. Selanjutnya “Snow White and he Huntsman”, adalah ilm yang baru saja diluncurkan bulan Juli 2012 di Indonesia. Film ini diperankan oleh Kristen Stewart. Film ini mengambil back ground cerita yang sama dengan dongeng putri salju atau snow white. Film ini tetap melibatkan unsurunsur mistis seperti sihir, kekuatan hitam yang jahat, kematian tidak wajar, kutukan dan sebagainya. Film “he Pollar Express” adalah ilm animasi barat yang dikemas dengan sangat menarik untuk memperingati hari natal. Film ini berkisah tentang perjalanan seorang anak beserta teman-temannya dengan menggunakan kereta api di malam natal yang bersalju. Namun anehnya kereta api tersebut tidak terlihat oleh orang lain dan seperti berada di dalam mimpi. Kereta ini menuju markas besar santa claus. Perjalanan anak-anak itu di malam natal seperti penuh dengan keajaiban sihir seperti kisah dalam dongeng. Film “he Lord of he Ring”, adalah ilm yang berbiaya mahal dan meraih banyak penghargaan ini diterbitkan tahun 2001, 2002, 2003 yang diadopsi dari novel epic. Film ini berkisah tentang kehidupan para hobit, peri, dan penyihir yang melawan kekuatan jahat yang bisa menghancurkan dunia. Selanjutnya “he Secret of Moonacre”, adalah ilm tentang petualangan seorang anak yatim piatu di tengah kehidupan. Namun pada akhirnya ia bertemu dengan peri dan berbagai makhluk aneh yang bukan sebangsa manusia. Ternyata si anak ini adalah pemilik buku “putri bulan” yang akan menyelamatkan kerajaan bulan. 4. Tayangan Mistik-Horor Tayangan mistik horor adalah ilm mistik yang lebih banyak mengekploitasi dunia lain, seperti hubungannya dengan jin, setan, santet, kekuatankekuatan supranatural seseorang, kematian tidak wajar, balas dendam, penyiksaan dan sebagainya (Bungin, 2006:329). Adapun kata horor berasal dari bahasa Inggris “horror”, yaitu sesuatu yang menimbulkan kengerian, dan perasaan amat takut (Hornby, 1977:178).
Jika dikaitkan dengan tayangan mistik horor, maka tontonan seperti ini tentu saja mempertontonkan hal-hal yang bersifat menakutkan seperti penampakkan hantu, setan dengan wajah yang super menakutkan, pocong yang bermuka busuk, sundel bolong yang berpunggung bolong dan berulat, kuntilanak yang berambut panjang dan menutupi mukanya, leak yang lidahnya menjulur dan wajah yang menyeramkan. Dugaan semakin menakutkan tayangan maka akan semakin disukai penonton yang “gila” akan tayangan yang bertemakan mistik horor. Apalagi ilm akan sangat memungkinkan untuk lebih mendramatisir atau menambah takut penonton dengan sajian musik yang mengejutkan pada scene-scene tertentu sehingga mampu mengejutkan penonton. Tayangan “Dunia Lain, dan Indigo”, adalah acara televisi yang bernuansa mistik horor. “Dunia Lain” masih mengedepankan uji nyali para pesertanya dengan menggunakan alat pendeteksi keberadaan makhluk-makhluk gaib selama lebih kurang dua hari. Acara ini memunculkan sosok-sosok gaib. Selanjutnya acara “Indigo” pun mempertontonkan perihal dunia lain. Kenyataannya memang tidak logis, tetapi tetap diyakini oleh penontonnya. Selanjutnya tayangan ilm “Tusuk Jelangkung”. Film ini sukses merambah gedunggedung bioskop beberapa tahun lalu. Berlatar belakang permainan magis yang ada di masyarakat, permainan ini mengundang arwah untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang masih menjadi rahasia alam. Film yang dibintangi Marcella Zalianty, Dina Olivia, Samuel Rizal dan Iqbal Rizanta semakin sempurna saat didukung oleh ilustrasi musik yang membuat bulu kuduk berdiri. Pada kategori ini tayangan ilm “Palasik, Saw, Friday 13, he Ring, Coming Soon”, yang menayangkan nuansa horor yang sangat menakutkan. Film ini ditayangkan di bioskop dan televisi. Selanjutnya Film “he Hounted Mansion” bergendre horor humor yang dibintangi oleh Eddie Murphy. Film ini mengisahkan kehidupan para hantu di dalam sebuah rumah yang terkurung selama ratusan tahun di sana karena rumah itu memiliki kutukan yang tidak bisa membebaskan arwah yang akan pergi ke tempat seharusnya. Kenyataan yang terjadi sekarang bahwa tayangan-tayangan mistik semi sains, mistik iksi, dan mistik horor sangat merajalela di perindustrian pertelevisian Indonesia. Para akademisi dan praktisi banyak meramalkan bahwa media massa akan mengalami perubahan secara dramatis baik sifat, peran, maupun jenisnya. Terutama peran media massa, di waktu yang akan datang, media massa lebih banyak mengambil peran sebagai institusi produktif daripada sebagai institusi edukasi. Hal ini disebabkan karena perubahan sosial yang begitu cepat dan tuntutan-tuntutan pemilik modal yang begitu kuat sehingga siapapun yang telah memilih
266
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
bekerja di media masa akan memiliki visi yang sama, yaitu “menyelamatkan diri” dengan menyelamatkan medianya dari kebangkrutan atau dari larinya pemilik modal (Bungin, 2006:325). Maka dari itu, salah satu program penyelamatan diri itu adalah membuat terobosan-terobosan dalam dunia pertelevisian. Tayangan berbau mistik misalnya dianggap mampu mendongkrak popularitas program, televisi yang menaunginya, para artisnya dan dianggap familiar dengan masyarakat Indonesia yang gandrung akan hal-hal yang berbau mistis. 5. Kesimpulan Tayangan-tayangan mistik di televisi pada dasarnya bersumber pada mitologi atau cerita rakyat atau fenomena yang terjadi di masyarakat kemudian di adopsi oleh produser atau tim kreatif bidang pertelevisian untuk menjadikan tayangan yang memiliki nilai jual dan dianggap layak dipertontonkan kepada khalayak. Penulis pada dasarnya ingin mengetahui sejauh mana televisi membuat program tayangan-tayangan bernuansa mistik, baik semi sains, iksi, maupun horor. Untuk pemirsa atau penggemar tontonan mistik agar memperhatikan bahwa setiap tayangan di media massa dapat memberikan efek keburukan bagi masyarakat. Begitu pula tayangan mistik dan tahayul dapat memberi efek buruk bagi penontonnya. Efek buruk bisa berdampak pada kerusakan kognitif, terutama anak-anak. Bahaya terbesar dari tayangan mistik dan tahayul adalah pada kerusakan sikap dan perilaku. Kerusakan sikap menyangkut pembenaran terhadap kondisi-kondisi hidup yang irasional, toleransi terhadap keburukan, dengki, iri hati, dan permisif terhadap sikap mental, serta penyakit hati. Sikap-sikap hidup seperti ini dipandang sikap-sikap yang buruk di masyarakat. Pekerja media massa, khususnya media televisi adalah anggota masyarakat juga, dihimbau agar memiliki hati nurani, kata hati, yang dapat membedakan baik buruknya suatu tayangan, penting atau tidaknya suatu tayangan. Karena bisa jadi tayangan tersebut diminati juga oleh keluarga para pekerja media tersebut dan keluarga kita tentunya. Jika sudah seperti itu, maka akan meracuni diri dan keluarga mereka sendiri. Daftar Pustaka Bungin, Burhan. 2007. Sosiologi Komunikasi. Penerbit Prenada Media Group. Jakarta. Efendy, Onong Uchjana. 1992. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Penerbit PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. -------------------------------. 1993. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Ensiklopedi Indonesia, 1982. Penerbitan Buku 267
Ichtisar Baru Van Hoeve. Jakarta. Hamad, Ibnu. 2006. Riset Aksi: Riset Aksi Mencetak Agen Perubahan. Artikel. Jurnal hesis. Volume V/No.2. Mei-Agustus 2006. Penerbit, Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Liliweri, Alo. 1991. Komunikasi AntarPribadi. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Moleong, Lexy, 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit Rosda. Bandung. Mulyana, Deddy. 2004. Komunikasi Efektif, Suatu Pendekatan Lintas Budaya. Penerbit Remaja Rosda Karya, Bandung. Palapah, M.O., dan Atang Syamsudin. 1983. Studi Ilmu Komunikasi. Penerbit FIKOM Unpad. Bandung. Rakhmat (2004:58) Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Psikologi Komunikasi. Penerbit PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Siahaan, S.M. 1991. Komunikasi Pemahaman dan Penerapannya. Penerbit PT. BPK Gunung Mulia. Jakarta. Sudjana, H. D. 1992. Pengantar Manajemen Pendidikan Luar Sekolah. Penerbit Nusantara Press. Bandung. Sutaryat, Trisnamansyah. 1984. Pengaruh Motivasi Berailiasi Keterbukaan Berkomunikasi Persepsi dan Status Ekonomi Terhadap Perilaku Modern Petani. Penerbit FPS IKIP. Bandung. Syam (2002:1) Syam, Nina Winangsih. 2002. Rekonstruksi Ilmu Komunikasi Perspektif Pohon Komunikasi dan Pergeseran Paradigma Komunikasi Pembangunan dalam Era Globalisasi. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Komunikasi FIKOM Unpad. Yusanto, Yoki. 2005. Infotainment sebagai Identitas Baru Televisi Indonesia. Medium Jurnal Ilmu Komunikasi FISIP Untirta Volume I Nomor 1 Desember ISSN 1907-1248. Halaman 66.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
268
Bagian VI : Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Peran Komunikasi dalam Penyuluhan Pertanian Asih Mulyaningsih1*)
Abstrak Komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam, sedangkan Penyuluhan adalah pendidikan non-formal yang ditujukan bagi petani dan keluarganya agar mereka tahu, mau dan mampu berswakarsa secara sendiri maupun secara bersama untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya sehingga tercapai kenaikan pendapatan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, keluarganya dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Penyuluhan pertanian didalam praktek terutama dimaksudkan sebagai kegiatan untuk menyampaikan informasi mengenai ilmu dan teknologi baru yang dihasilkan oleh lembaga penelitian, perguruan tinggi dan sumber lainnya, maupun informasi mengenai peraturan-peraturan atau kebijaksanaan pemerintah yang perlu diketahui dan ditaati atau dilaksanakan oleh petani dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk mencapai tujuan pembangunan pertanian yang telah ditetapkan. Penyampaian informasi berarti, agar informasi yang masih tersimpan, dapat diketahui dan dimanfaatkan oleh semua lapisan masyarakat secara bersama-sama, baik oleh sumber informasinya sendiri maupun oleh semua pihak yang memerlukan dan atau menjadi sasaran informasi tersebut. Proses komunikasi dalam kaitannya dengan penyuluhan pertanian, mengharapkan bahwa komunikasi yang terjadi tidak semata-mata berpindahnya pesan dari komunikator (penyuluh) ke sasaran atau komunikan (petani), tetapi bagaimana pesan tersebut dapat diterima, dimengerti oleh sasaran sehingga timbul suatu kesadaran yang berlanjut ke minat, keinginan untuk menimbang-nimbang dan mencoba hingga menerapkan pesan yang disampaikan oleh komunikator tersebut dengan kesadarannya sendiri. Dengan demikian, kegiatan penyuluhan pertanian akhirnya benar-benar merupakan suatu proses “penggunaan bersama” atas informasi mengenai berbagai masalah penting bagi semua pihak. Kata kunci : Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian 1. Pendahuluan Komunikasi adalah suatu ketrampilan penting yang dibutuhkan dalam manajemen. Kegiatan komunikasi pada prinsipnya adalah aktivitas pertukaran ide atau gagasan. Secara sederhana, kegiatan komunikasi dipahami sebagai kegiatan penyampaian dan penerimaan pesan/ ide dari satu pihak ke pihak lain, dengan tujuan untuk mencapai kesamaan pandangan atas ide yang dipertukarkan tersebut. Dalam konteks komunikasi dalam penyuluhan pertanian menitik beratkan pada pertukaran pesan yang tidak hanya menyebarkan informasi saja tetapi menerapkan informasi yang diterima. Dimana peran sektor pertanian dalam perekonomian daerah khususnya Propinsi Banten, tidak terlepas dari peran pemerintah daerah dalam memajukan sektor pertanian. Kontribusi penting penyuluhan pertanian untuk meningkatkan pembangunan pertanian dan peningkatan produksi pangan telah menyebabkan cepatnya perkembangan minat orang dalam penyuluhan selama beberapa dekade terakhir (van den Ban dan Hawkins, 1999). Tujuan utama dari penyuluhan pertanian adalah untuk merubah perilaku petani sedemikian rupa sehingga terjadi perbaikan usahatani demi kenaikan produksi dan kenaikan pendapatan usahataninya menuju tercapainya kesejahteraan keluarga dan
kesejahteraan masyarakat umum yang lebih baik pula. Komunikasi mempunyai arti penting dalam kegiatan program penyuluhan. Melalui komunikasilah, informasi-informasi penting yang berkaitan dengan program penyuluhan disampaikan kepada sasaran. Ilmu penyuluhan tidak terlepas dari ilmu komunikasi, karena proses komunikasi menjadi bagian dari kegiatan penyuluhan yang digunakan dalam memberikan informasi penting dari penggerak program penyuluhan kepada masyarakat sasaran. Komunikasi akan terjadi dengan lancar apabila komunikator memahami aspek-aspek yang terkait dengan komunikasi antara lain menyangkut bahasa yang digunakan dalam penyampaian pesan. Jika bahasa yang dipakai tidak dipahami oleh komunikan maka tidak akan terjadi komunikasi. Mengacu pada pemahaman diatas, komunikasi dan penyuluhan mempunyai keterkaitan yang sangat erat, keduanya sulit dipisahkan. Banyak kesamaan baik deinisi maupun tujuan dari keduanya. Namun demikian, jika lebih lanjut dapat dibedakan pengertian atau deinisi antara komunikasi dan penyuluhan. Dalam implementasinya komunikasi mempunyai perbedaan, penyuluhan merupakan sistem pendidikan non-formal yang bertujuan untuk merubah perilaku klien (sasaran) yang meliputi perubahan sikap, kemauan, dan semangat masyarakat sebagai kelompok sasaran sehingga mereka tahu, mau, dan memiliki
1 *) Dosen di Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten.
271
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
motivasi yang tinggi untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupan mereka. Komunikasi dikatakan efektif bila orang berhasil menyampaikan apa yang dimaksudkannya. Komunikasi dinilai efektif bila ransangan yang disampaikan dan yang dimaksudkan oleh pengirim atau sumber, berkaitan erat dengan ransangan yang ditangkap atau dipahami oleh penerima. Oleh karena itu para penyuluh perlu memahami dan menghayati dengan baik proses komunikasi agar pelaksanaan kegiatan penyuluhan dapat berhasil dengan baik. Dalam pembangunan pertanian di Propinsi Banten tidak terlepas dari peran penyuluh dalam menyebarkan inovasi kepada petani. Penyuluh yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik pada masyarakat petani sangat mempengaruhi keberhasilan penyebaran inovasi pertanian yang diharapkan dapat diterima dan diadopsi oleh petani. Timmer dalam Mardikanto (1993) mengemukakan pentingnya kegiatan penyuluhan pertanian didalam proses pembangunan pertanian, baik sebagai jembatan antara dunia ilmu dan pemerintah sebagai penentu kebijakan, dan juga jembatan antara dunia penelitian dan praktek usahatani yang dilaksanakan oleh petani. Penyuluhan pertanian telah memberikan sumbangan yang sangat signiikan pada pencapaian dari berbagai program pembangunan pertanian kususnya di Propinsi Banten. Salah satu program kegiatan penyuluhan yang dikelola oleh petani yang ada di Propinsi Banten adalah FMA (Farmers Managed Extension Activities). Program pemberdayaan petani melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP) merupakan program yang memfasilitasi kegiatan penyuluhan pertanian yang dikelola oleh petani atau FMA. Melalui kegiatan ini petani difasilitasi untuk merencanakan dan mengelola sendiri kebutuhan belajarnya, sehingga proses pembelajarannya berlangsung lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan petani. 2. Pembahasan 2.1. Peran Komunikasi dalam Penyuluhan Tujuan Komunikasi dibedakan dalam tiga (3) hal yaitu : (1) Informatif, untuk memberikan informasi dengan pendekatan lewat pikiran. (2) Persuasif, untuk menggugah perasaan dengan pendekatan lewat perasaan (emosi) bukan pikiran. (3) Intertaiment, untuk mengisi waktu senggang atau memberi penghiburan saja. Sedangkan Tujuan penyuluhan dibagi atas dua bagian yaitu: Tujuan jangka pendek; (1) Perubahan tingkat pengetahuan petani yang lebih luas dan mendalam terutama mengenai ilmu-ilmu teknis pertanian dan ilmu pengelolaan usahatani. (2) Perubahan dalam kecakapan atau keterampilan teknis yang lebih baik dan kecakapan/keterampilan mengelola usahatani yang lebih eisien. (3) Perubahan mengenai sikapnya yang lebih progresif serta motivasi tindakan lebih rasional. Adapun Tujuan jangka panjang adalah : (1) Better farming, atau berusahatani
lebih baik. (2) Better bussines, berusahatani yang lebih menguntungkan. (3) Better living, hidup lebih sejahtera. Sehubungan dengan adanya berbagai tujuan yang ingin dicapai didalam kegiatan penyuluhan pertanian tersebut, perlu dibarengi adanya berbagai dorongan dan terciptanya suasana atau suatu “iklim” yang memungkinkan petani untuk dapat melaksanakan segala sesuatu yang telah disuluhkan oleh penyuluhnya. Pendidikan dan dorongan yang merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan dalam setiap kegiatan penyuluhan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyuluhan pertanian mempunyai tujuan edukatif, baik yang sifatnya edukatif sosiologis (seperti perubahan sikap bertambahnya pengetahuan) maupun edukatif ekonomis (berupa kenaikan pendapatan dan keuntungan dari usahataninya). Sebagai salah satu proses komunikasi, dalam praktek, penyuluhan pertanian harus selalu melaksanakan ketiga tujuan komunikasi tersebut sekaligus. Hanya saja, tergantung pada jenis perilaku yang akan dipengaruhinya, salah satu dari ketiga tujuan tersebut diberi tekanan utama, berturut-turut sampai yang terendah tingkatannya. Pelaksanaan penyuluhan pertanian perlu selalu memperhatikan : 1. Selalu melaksanakan tujuan intertaiment (menghibur) sebagai penopang atau penunjang keberhasilan kegiatan untuk mencapai tujuantujuan yang lain. Apabila ditinggalkan, sasaran penyuluhan akan tidak tertarik, cepat jemu. Sebaliknya bila proporsinya terlalu berlebihan, dapat merusak suasana sehingga kegiatan penyuluhannya menjadi tidak efektif dalam artiankurang atau tidak tercapainya tujuan utama. 2. Dengan mengingat bahwa kegiatan penyuluhan pertanian bukanlah sekedar “penerangan”, maka tujuan informatif dan tujuan persuasif yang dikehendaki dengan didukung/ditunjang oleh tujuan intertaiment harus dilaksanakan secara efektif mungkin sehingga secepatnya obyek (sasaran) penyuluhan dapat memberikan tanggapan (respon) yang positif untuk tumbuh minat, menilai, mencoba, dan kemudian menerapkan atau mengikuti segala sesuatu yang disuluhkan. Fungsi penyuluhan adalah menjembatani kesenjangan antara praktik yang biasa dijalankan oleh para petani dengan pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang menjadi kebutuhan para petani. Dimana sebagai mahluk sosial manusia senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lainnya. Ia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu ini memaksa manusia perlu berkomunikasi. Selain itu dengan komunikasi yang baik, hubungan antar manusia dapat dipelihara kelangsungannya.
272
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Demikian juga terhadap petani, mereka memiliki keinginan untuk mengetahui lingkungannya, termasuk lingkungan usahataninya. Pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang merupakan kebutuhan petani. Dengan demikian, penyuluhan dengan para penyuluhnya merupakan penghubung yang bersifat dua arah (two way traic) antara : 1. Pengetahuan yang dibutuhkan petani dan pengalaman yang biasa dilakukan oleh petani 2. Pengalaman baru yang terjadi pada pihak para ahli dan kondisi yang nyata dialami petani Dalam proses komunikasi terdapat lima tahap usaha untuk mepengaruhi sasaran yaitu : menarik perhatian, menggugah hati, membangkitkan keinginan meyakinkan, dan menggerakkan usaha. Sedangkan dalam proses adopsi juga terdapat lima tahapan penerimaan sebagai suatu proses mental sebagai hasil dari komunikasi yaitu : tahap kesadaran atau penghayatan (awareness), tahap minat (interest), tahap penilaian (evaluation), tahap percobaan (trial), dan tahap penerimaan (adoption), Pada Proses komunikasi Komunikator harus dapat menarik perhatian sasaran, yaitu menimbulkan perhatian atau kesadaran pada pihak sasaran tentang adanya sesuatu hal yang baru. Cara komunikasi dalam tahap ini lebih bersifat propaganda, seperti yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dalam sales promotion barangnya. Biasanya dipakai poster, gambar, iklan kain bentangan, pawai, pameran dan lainlain. Selain itu komunikator dalam hal ini penyuluh harus dapat menggugah hati, yaitu menimbulkan perasaan terbuka pada sasaran untuk sesuatu yang baru disadarinya. Ada kemauan dari sasaran untuk mengetahui lebih banyak lagi. Dalam tahap ini caracara yang dipergunakan adalah : kunjungan rumah, darmawisata, demonstrasi (cara dan hasil), pameran dan lain-lain. Selain itu komunikator juga harus dapat membangkitkan keinginan, yaitu menumbuhkan keinginan untuk memperoleh atau mengerjakan cara baru yang dianjurkan. Usaha para penyuluh pertanian adalah kunjungan rumah yang lebih sering dan lebih mendalam anjuran-anjurannya, selebaran, pameran, demontrasi, latihan dan lain-lain. Dalam proses komunikasi meyakinkan lawan bicara (sasaran) sangat diperlukan sekali, karena dengan meyakinkan orang lain berarti menghilangkan perasaan ragu-ragu pada sasaran, sehingga terjadi keyakinan akan kebaikan dan kemanfaatan hal yang baru itu. Caranya dengan percobaan atau demonstrasi di tanah sasaran. Dengan demikian ia dapat melaksanakan hal-hal yang baru itu secara sendiri. Darmawisata keorang-orang atau tempat-tempat yang sudah melaksanakan hal yang baru itu dan mendapat hasil yang baik. Ini akan menolong dalam usaha menimbulkan keyakinan. Diharapkan proses komunikasi dapat menggerakkan usaha sehingga, anjuran yang telah diberikan kepada sasaran dapat dilaksanakan atau dipraktekkan secara 273
luas dan kontinyu, tetapi selalu dalam bimbingan penyuluh pertanian. Berbicara komunikasi dalam penyuluhan pertanian tidak terlepas dari media yang digunakan dalam penyuluhan pertanian. Media penyuluhan merupakan alat komunikasi untuk memindahkan fakta, gagasan, pendapat dari penyuluh kepada petani sehingga terjadi perpindahan sesuatu dari pikiran penyuluh kepada petani. Tujuannya adalah untuk meningkatkan, memperjelas pemahaman petani dalam menerima informasi. Agar media dapat efektif menyalurkan pesan kepada penerima maka media harus didesain sedemikian rupa dengan memperhatikan karakteristik sasaran dan kondisi belajar. Media yang didesain dengan baik akan merangsang terjadinya komunikasi antara penerima dengan media atau secara tidak langsung antara penerima dengan sumbernya. Beberapa media yang digunakan dalam proses komunikasi saat ini adalah OHP, ilm bingkai, ilm, dan audio. Media-media ini memerlukan peralatan untuk menyajikannya tetapi bukan peralatannya yang penting melainkan pesan yang dibawakannya. Seiring dengan perkembangan jaman maka media tidak hanya berfungsi sebagai alat peraga melainkan juga sebagai pembawa informasi atau pesan. Sebagai bagian dari proses pembelajaran maka media mempunyai nilai-nilai praktis berupa kemampuan untuk: 1. Membuat konsep yang abstrak menjadi konkret. 2. Mampu menampilkan obyek-obyek berbahaya, obyek yang besar, obyek yang renik, dan obyek yang bergerak dengan cepat. 3. Mampu menyamakan pengamatan dan persepsi bagi pengalaman belajar siswa. 4. Mampu membangkitkan motivasi belajar. 5. Menyajikan informasi secara konsisten dan dapat diulang serta mudah disimpan. 6. Menyajikan pesan secara serempak dengan menghilangkan rintangan waktu dan ruang. Rudy Bretz (1971) mengidentiikasi ciri utama media menjadi 3 unsur pokok yaitu suara, visual, dan gerak. Sedangkan bentuk media dibedakan menjadi gambar visual, garis (line graphic), dan simbol verbal yang merupakan satu kesinambungan dari bentuk yang dapat ditangkap indera penglihatan. Bretz juga membedakan media rekaman dengan media telekomunikasi (transmisi). Dengan demikian maka terdapat 7 klasiikasi media, yaitu: 1. media audio visual gerak, merupakan media paling lengkap yang menggunakan kemampuan audio visual dan gerak. 2. media audio visual diam, merupakan media paling lengkap kedua karena memiliki semuanya kecuali gerak. 3. media audio semi gerak, memiliki kemampuan menampilkan suara disertai gerakan titik secara linier.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
4. media visual gerak, memiliki kemampuan untuk menampilkan gambar dan gerak tanpa suara. 5. media visual diam, menampilkan gamabar tanpa suara dan gerak 6. media audio, menampilkan suara tanpa gambar 7. media cetak, menampilkan pesan dalam bentuk lambang. Strategi komunikasi merupakan salah satu hal yang penting selain media komunikasi yang sangat dibutuhkan dalam memberikan penyuluhan. Strategi komunikasi adalah suatu strategi yang digunakan untuk mengerahkan, memobilisasi, memanfaatkan, memilih, dan mengkombinasikan sumber daya komunikasi. Komunikasi merupakan faktor yang sangat menentukan bagaimana suatu inovasi dapat diterapkan oleh masyarakat. Fungsi dan peran seorang penyuluh menurut Rogers dan Shoemaker (1971) adalah sebagai mata rantai komunikasi antar dua atau lebih lembaga sosial, yaitu menghubungkan antara suatu sistem sosial yang mempelopori perubahan atau sumber informasi dengan sistem sosial masyarakat yang dibinanya 2.2. Proses adopsi penyuluhan pertanian Dalam proses adopsi atau penerimaan ini kita dapat melihat adanya lima (5) tahap yaitu: 1. Pada tahap kesadaran atau penghayatan (awareness) sasaran sudah maklum atau menghayati sesuatu hal yang baru atau yang aneh tidak biasa. Hal ini diketahuinya karena hasil komunikasi dengan penyuluh. Pada tahap kesadaran yang dilakukan adalah usaha untuk menimbulkan perhatian atau kesadaran. Caranya lebih banyak dilapangan komunikasi massal, seperti siaran radio, surat kabar, majalah, ilm, televisi, poster dan lain-lain. 2. Pada tahap minat (interest) sasaran mulai ingin mengetahui lebih banyak perihal hal baru atau aneh itu. Ia menginginkan keterangan-keterangan yang lebih terperinci lagi. Ia mulai bertanya-tanya. Usaha yang dilakukan adalah yang banyak terletak pada hubungan perorangan, baik lisan maupun tertulis. Orang-orang yang sudah sadar dan memperlihatkan adanya sedikit minat terhadap perobahan, supaya diberi lebih banyak penjelasan agar minatnya dapat tumbuh dan berkembang. 3. Pada tahap penilaian (evaluation), sasaran mulai berikir-ikir dan menilai keterangan perihal yang baru itu. Juga ia menghubungkan hal yang baru itu dengan keadaan ia sendiri (kesanggupan, resiko, modal dan seterusnya). Petimbangan teknis, ekonomis dan sosiologis diikirkan secara mendalam. Pada tahap penilaian usaha para penyuluh adalah memberikan bahan-bahan pertimbangan kepada sasaran. Dapat berbentuk kunjungan rumah yang lebih sering, pameran, darmawisata, demonstrasi, latihan, surat-surat selebaran dan seterusnya. 4. Pada tahap percobaan (trial), sasaran sudah mulai
mencoba-coba dalam luasan dan jumlah yang sedikit atau kecil saja. Sering juga terjadi bahwa usaha mencoba ini tidak dilakukan sendiri, tetapi sasaran itu mengikuti. Pada tahap percobaan penyuluh akan memberikan data teknis yang tepat dan meyakinkan sasaran. 5. Pada tahap penerimaan (adoption), sasaran sudah yakin akan kebenaran atau keunggulan hal yang baru itu. Maka ia mengetrapkan anjuran secara lebih luas dan kontinyu. Juga ia akan menganjurkan kepada tetangga dan teman-temannya. Pada tahap penerimaan maka penyuluh akan terus mendampingi atau membimbing sasaran yang sudah melaksanakan. 3. Simpulan 1. Dari uraian tentang komunikasi tersebut dan tujuan penyuluhan, maka komunikasi jelas merupakan hal yang sangat penting bagi suksesnya penyuluhan 2. Penyuluh pertanian harus benar-benar menguasai teknik berkomunikasi, sebab dengan dikuasainya, maka penyuluh dapat mencapai sasaran atau tujuannya dengan lancar dan memberikan hasil yang memuaskan 3. Ilmu komunikasi sangat diperlukan guna menunjang keberhasilan penyuluhan. Daftar Pustaka Anwar Ariin, 2006. Ilmu Komunikasi Sebuah Pengantar Ringkas, 2006. Raja Graindo Persada. 2006. Dani Vardiansyah, 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi, Gahalia Indonesia. 2004 Lucie Setiana. 2005. Teknik Penyuluhan Dan Pemberdayaan Masyarakat. Ghalia Indonesia. Ciawi. Bogor. Mastoni Sani, 1994. Dasar-dasar Komunikasi Penyuluhan, Universitas Terbuka.1994 Pang S Asngari. 2007. Bahan Materi Kuliah Landasan Penyuluhan Pembangunan. SPs IPB. Bogor. Slamet, Margono, 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. IPB Press, Bogor. T.M & S.S. 1982. Pengantar Penyuluhan Pertanian. Hapsara, Surakarta Van den Ban A.W., and Hawkins H.S., (1999). Penyuluhan Pertanian. Kanisius, Yogyakarta. Zulkarein Nasution, 1990, Prinsip-prinsip Komunikasi untuk Penyuluhan. UI, 1990
274
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Komunikasi Kelompok dan Pengembangan Potensi Masyarakat Peternak Sapi Perah di Lembang Jawa Barat Damayanti Wardyaningrum 1)
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelompok apa saja yang terdapat di lingkungan masyarakat peternak susu di Lembang Jawa Barat. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana komunikasi kelompok yang dilakukan oleh anggota kelompok, hal-hal apa saja yang dikomunikasikan dalam tiap tiap kelompok serta potensi apa yang terdapat dalam komunikasi kelompok untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat peternak. Beberapa temuan yang diperoleh dari penelitian sebelumnya tentang komunikasi pada keluarga peternak adalah ditemukan pola komunikasi keluarga peternak yang cenderung tidak seimbang meskipun anggota keluarga memiliki banyak potensi komunikasi. Selain itu ditemukan keterlibatan anggota keluarga dalam kelompok sosial atau kelompok kerja selain sebagai anggota kelompok kekerabatan. Sehingga penulis menyimpulkan perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang peran komunikasi kelompok yang terdapat diluar lingkungan keluarga peternak yang dapat memberikan manfaat atau berpotensi meningkatkan pengembangan masyarakat peternak. Penelitian ini menggunakan konsep komunikasi kelompok dengan metode penelitian kualitatif deskriptif. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara kepada informan ketua kelompok, anggota kelompok dan pemuka masyarakat. Adapun kelompok yang terdapat dilingkungan masyarakat peternak sapi perah adalah keluarga, kelompok kekerabatan, kelompok peternak anggota koperasi, kelompok ibu anggota Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), kelompok masyarakat pengelola air dan kelompok pengelola pendidikan anak usia dini. Hasil penelitian ini akan menguraikan pemetaan kelompok kelompok apa saja yang terdapat pada masyarakat peternak, bagaimana komunikasi kelompok dan pemenuhan kebutuhan anggotanya termasuk didalamnya membahas mengenai yang menjadi topik pembicaraan dan aspek-aspek apa saja yang menentukan komunikasi kelompok, serta potensi apa saja yang terdapat dalam kelompok untuk meningkatkan pengembangan masyarakat peternak. Kata kunci : komunikasi kelompok, potensi masyarakat Pendahuluan Setiap individu sejak lahir hidup dalam kelompok. Kelompok terkecil dan yang pertamakali individu berada adalah keluarga. Selanjutnya seiring dengan perkembangan hidupnya individu membutuhkan kelompok lain selain keluarga untuk menunjang kehidupannya. Menjadi bagian dari satu atau lebih dari satu kelompok juga merupakan cara individu mempertahankan kehidupannya. Dari kelompok individu dapat memenuhi kebutuhannya seperti kebutuhan emosional, kebutuhan ekonomi, melanjutkan keturunan dan mencapai tujuan-tujuan hidup individu. Demikian besarnya peran kelompok dalam kehidupan individu atau seseorang maka kiranya perlu dilakukan suatu penelitian mengenai kelompok yang ada di suatu masyarakat dengan melihat dari elemen komunikasi. Selanjutnya dapat diketahui hal-hal apa saja dari elemen komunikasi yang membuat kelompok tersebut sehingga suatu kelompok dapat bertahan atau punah, kelompok dapat berkembang dinamis atau kelompok menjadi statis, serta potensi apa yang terdapat dalam kelompok yang mungkin belum digali untuk mengembangkan
pemberdayaan kelompok maupaun masyarakat dilingkungan kelompk tersebut. Penelitian ini dilakukan di wilayah Lembang Jawa Barat. Di wilayah ini terdapat 16 desa yang masyarakatnya sebagian besar bekerja sebagai peternak sapi perah. Sebagai salah satu penghasil susu sapi terbesar di Indonesia, wilayah ini juga memiliki potensi sebagai daerah pariwisata di Jawa Barat. Dengan lokasinya yang dekat dengan ibukota propinsi (Bandung), maka masyarakat di Lembang memiliki begitu banyak potensi untuk berkembang. Selain potensi alam potensi masyarakat yang ada di wilayah iniadanya kelompok-kelompok baik yang sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu maupun kelompok masyarakat yang baru. Penulis melihat bahwa kelompok-kelompok masyarakat ini memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap kelangsungan hidup masyarakat. Di wilayah ini terdapat Koperasi Peternak Susu di Bandung Utara (KPSBU) sebagai organisasi yang diawali lebih dari 40 tahun yang lalu dari suatu kelompok yang beranggotakan beberapa orang peternak. KPSBU sampai saat ini menaungi 6000 peternak sapi perah dan tetap menggunakan basis
1 ∗) Dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Al Azhar Indonesia
275
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
kelompok-kelompok dalam membina anggotanya. Bahkan KPSBU saat ini adalah salah satu dari lima koperasi yang ditunjuk oleh Kementrian Koperasi dan UKM yang dudukung agar masuk peringkat ICA dalam G300 Cooperatives (Pikiran Rakyat, 23 Juli 2012). Selain itu terdapat kelompok lain di lingkungan masyarakat peternak yang menjadi objek penelitian yaitu keluarga, kelompok kekerabatan, kelompok PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga), Kelompok Pengelola Air, dan kelompok PAUD (pendidikan Anak Usia Dini). Permasalahan Penelitian Kelompok bagi individu merupakan bagian dari kehidupan yang memiliki peran baik dalam lingkungan terkecil maupun sampai ditingkat masyarakat. Kelompok sebagai wadah untuk menyampaikan ide, memperoleh informasi, bertukar pesan hingga wadah tempat individu memberdayakan diri bersama anggota kelompk lainnya. Dari uraian diatas, maka penulis merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : 1) Kelompok apa saja yang terdapat dilingkungan masyarakat peternak ? 2) Bagaimana komunikasi kelompok dilingkungan masyarakat peternak? 3) Potensi apa saja yang terdapat pada kelompok dilingkungan masyarakat peternak? Tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut : 1) Untuk mengetahui kelompok apa saja yang terdapat dilingkungan masyarakat peternak di wilayah Lembang? 2) Untuk mengetahui bagaimana komunikasi kelompok dilingkungan masyarakat peternak? 3) Untuk mengetahui potensi apa saja yang terdapat pada kelompok dilingkungan masyarakat peternak? Landasan Teori Kelompok adalah kumpulan dari individuindividu, sehingga embahasan mengenai kelompok kiranya penulis perlu mengemukakan ide McGrath yang dikutip oleh Poole (1999), tentang keseimbangan antara individu dan kelompok. Pemikiran McGrath menekankan bahwa terdapat hubungan antara individu dan kelompok yang saling memenuhi kebutuhan sehingga kepuasan individu mutlak harus dapat dipenuhi agar keberadaan kelompok dapat terpelihara. Hal lainnya yang menjadi fokus pada konsep ini adalah bagaimana individu yang membawa “kepribadian masing-masing” dapat menjadikan kelompok sebagai bagian dari identitas dirinya. Selanjutnya terdapat fakta bahwa jarang sekali individu hanya menjadi anggota dari satu kelompok. Hal ini memberi peluang adanya pertukaran informasi, kreativitas dan inovasi yang diperoleh dari kelompok lain. Elemen lain yang juga penting untuk
diperhatikan adalah adanya perbedaan peran dari setiap individu dalam organisasi. Perbedaan peran ini menimbulkan kompleksitas dalam organisasi yang disatu sisi dapat memaksimalkan potensi kelompok namun disisi lain juga dapat menimbulkan konlik. Uraian diatas menunjukkan bahwa unsur dari komunikasi kelompok adalah individu yang setiap individu memiliki begitu banyak bagian. Dari individu maka hubungan antara satu individu dengan individu yang lainnya dapat merupakan kajian tersendiri dengan segala kompleksitas didalamnya. Dalam konteks yang lebih besar maka individu-individu yang terdapat dalam kelompok memberikan kontribusi bagi kelompoknya baik dalam hal pemuasan kebutuhan anggota kelompok, perkembangan kelompok, ketahanan kelompok, hingga konlik. Sehingga penting untuk ditekankan mengetahui karakter individu dalam kelompok guna memberikan gambaran tentang sebuah kelompok termasuk interaksi dan komunikasi individu dalam kelompok. Dalam uraiannya Littlejohn dan Foss (2009) berpendapat bahwa teori teori tentang komunikasi kelompok bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan praktis tentang perilaku kelompok yang dapat memandu fasilitator kelompok maupun anggota kelompok. Sehingga teori tersebut digunakan untuk mempelajari jenis kelompok umum maupun kelompok yang dibuat dengan dengan tujuan tertentu. Yaitu kelompok yang dibentuk untuk pengambilan keputusan dan kelompok yang berorientasi pada tugas. Pada kelompok untuk pengambilan keputusan terdapat lima tahapan yang biasanya dilalui hingga kelompok mencapai tahap pengambilan keputusan yaitu 1) analisa masalah 2) Menentukan kriteria yang digunakan untuk evaluasi 3) Mengembangkan alternatif solusi 4) Melakukan evaluasi terhadap konsekuensi positif dan 5)Melakukan evaluasi terhadap konsekuensi negatif yang mungkin akan terjadi. (Miller : 2005). Pada tahap pertama kelompok berusaha melakukan pengembangan dan identiikasi secara akurat masalah yang akan diselesaikan. Tahap ini sangat penting karena seringkali kelompok tidak dapat melakukan identiikasi masalah dengan tepat, atau tidak dapat melihat masalah yang sebenarnya. Pada tahap kedua kelompok berusaha mencapai kesepakatan untuk menentukan secara tepat kriteria apa saja yang akan digunakan untuk mengambil keputusan. Tahap ketiga adalah tahap dimana kelompok dapat mengasilkan beberapa alternatif pilihan yang dapat diterima oleh kelompok. Pada tahap keempat dan kelima, kelompok melakukan evaluasi terhadap kemungkinan timbulnya konskuensi negative maupun konsekuensi positif yang timbul dari setiap pilihan alternative yang ada.
276
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Disinilah maka peran dari komunikasi kelompok menjadi amat penting. Karena disetiap tahapan proses pengambilan keputusan komunikasi dilakukan dengan saling memberikan informasi diantara anggota kelompok, mempertimbangkan pendapat anggota terhadap alternatif pilihan yang ada dan selanjutnya secara bersama-sema mengembangkan berbagai macam alternatif pilihan. Anggota kelompok tentunya masing-masing memiliki keinginan untuk menyampaikan pendapatnya, namun disisi lain juga perlu memberi kesempatan anggota lain untuk menyampaikan berbagai macam gagasannya. Sehingga Poole menegaskan bahwa proses inilah yang akan menjadikan pengambilan keputusan mencapai kualitas yang terbaik. Selain itu beberapa konsep dalam teori fungsional juga digunakan dalam penelitian ini sebagai bagian dari teori komunikasi kelompok. Benne dan Sheats seperti dikutip dalam Pace & Faules (1994) memperkenalkan dan menggolongkan peranan fungsional yang dilakukan oleh anggota kelompok dan tim kedalam tiga kategori besar : 1. Peranan yang memperlancar pengaruh kelompok dalam pemecahan masalah (peranan tugas). 2. Peranan yang mempertahankan, memperkuat, mengatur dan terus menerus menghidupkan kelompok atau tim (peran pemeliharaan) 3. Peranan yang mengganggu kemajuan dan usaha kelompok dengan menonjolkan pemenuhan kebutuhan perorangan yang tidak relevan atau bertentangan dengan peyelesaian tugas dan pemeliharaan kelompok (peranan mengganggu) Lebih jauh lagi pendekatan fungsional digunakan dalam konsep pengambilan keputusan dalam komunikasi kelompok. Konsep ini menekankan bahwa hampir sebagian besar proses pengambilan keputusan dilakukan dalam kelompok. Baik itu dalam kelompok bisnis maupun dalam bidang pemerintahan. Meskipun penelitian ini tidak akan menggali lebih dalam tentang pengambilan keputusan dalam kelompok, namun kiranya perlu untuk dipahami bahwa salah satu keberlangsungan suatu kelompok adalah kemampuannya dalam melakukan pengambilan keputusan. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam konsep ini adalah dari pendekatan fungsional menurut Hirokawa & Salazar seperti dikutip dalam Frey, Gouran & Pool (1999). Karena dalam proses pengambilan keputusan biasanya diperlukan informasi dan pengembangan beberapa alternatif. Dalam tahap ini maka diperlukan sejumlah informasi dan pertimbangan tertentu sebelum dicapai suatu keputusan dari pilihan pilihan yang ada. Dalam hal inilah kelompok diperlukan untuk mendukung suatu pengambilan keputusan. Dari pendekatan fungsional argumentasi yang dikemukakan Riecken dalam Hirokawa & Salazar seperti dikutip dalam Frey, Gouran & Pool (1999) adalah bahwa interaksi yang terjadi antar individu 277
dalam kelompok akan berdampak pada kualitas keputusan yang diambil. Dalam hal ini anggota kelompok saling mempersuasi anggota lainnya dengan komunikasi. Sehingga dapat diperoleh suatu pandangan yang sama dan menggunakan informasi yang dikontribusikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa studi tradisi fungsional mengkaji tentang proses komunikasi dalam pengambilan keputusan kelompok serta membuat beberapa hipotesa bahwa kehadiran komunikasi akan menggiring pada kualitas pengambilan keputusan yang lebih tinggi atau memberikan penyelesaian masalah yang lebih efektif. Sehingga Poole dalam Miller (2005) menyatakan kesimpulannya : “if group activities are in in the service of adequate problem analysis, clear and realistic goal setting, and critical and realistic evaluation of information and options, a group shuld be more, likely to make an efective decision” Salah satu konsep awal dari teori fungsional berasal dari Beles’s Equilibrium heory (Poole, 1999: 42). Dalam teori tersebut ditekankan bahwa kelompok yang efektif harus dapat memenuhi dua kebutuhan yaitu tugas dan kebutuhan emosi sosial anggotanya, dengan cara menjaga keseimbangan antara keduanya. Fungsi kelompok sebagai pemenuhan tugas akan membawa implikasi terhadap proses pengambilan keputusan - orientasi, evaluasi, dan kontrol- yang memberikan sejumlah tindakan untuk menyelesaikan suatu masalah yang harus diputuskan dalam kelompok. Konsekuensi lainnya maka berbagai persoalan emosi sosial akan timbul sebagai akibat dari timbulnya ketidaksetujuan pendapat antar anggota dan ketegangan yang muncul merupakan dampak dari orientasi anggota kelompok yang lebih berfokus pada beban tugas atau pekerjaan daripada hubungan antara anggotanya. Kondisi emosi sosial anggota kelompok sebaiknya dapat dikelola dalam bentuk ungkapan gurauan, atau ada sarana pelepas stress. Karena jika tekanan emosi sosial ini tidak dikelola dari waktu kewaktu dapat menurunkan produktivitas kelompok secara keseluruhan (Beles dan Strodback dalam Poole, 1999:42). Seperti dinyatakan oleh Beles : …….that groups face an equilibrium problem that leads them to tack back and forth between concern with task and concern with socioemosional issues, with mixture of these activities during transition periods. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah kualitatif deskriptif, dengan melakukan wawancara terhadap 16 informan yang merupakan anggota dari setiap kelompok. Informan yang dipilih adalah anggota kelompok baik yang
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
berperan sebagai pengurus maupun sebagai anggota biasa. Peneliti menggunakan interview guide agar data yang dikumpulkan tidak terlepas dari konteks permasalahan. Observasi sebagai pendukung wawancara juga dilakukan dengan mengamati aktivitas anggota kelompok dalam beberapa kegiatan yang dilakukan. Selain itu peneliti juga memperoleh gambaran langsung dari beberapa kegiatan pengabdian masyarakat yang peneliti lakukan dengan melibatkan kelompok seperti kelompok peternak dan kelompok PAUD. Peneliti menggunakan studi pustaka dari buku, artikel dan jurnal sebagai landasan teori dan sumber informasi yang saling mendukung untuk menganalisa permasalahan yang diteliti. Proses conirmability yaitu upaya konirmasi terhadap informan yang diteliti dilakukan kepada pihak lain yang juga dianggap dapat memberikan informasi yang relevan tentang informan. Konirmasi dilakukan kepada pengurus koperasi, ketua kelompok dan pemuka masyarakat untuk membandingkan dan melakukan cross check terhadap derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dari para informan. Hasil Penelitian Temuan penelitian ini akan dibagi menjadi beberapa bagian yaitu : 1) Gambaran masyarakat dan deskripsi kelompok 2) Komunikasi Kelompok 3) Pemenuhan kebutuhan anggota kelompok 4) Potensi Kelompok 1) Gambaran umum masyarakat dan deskripsi kelompok Kecamatan Lembang memiliki 16 desa yang lokasinya terdiri dari pegunungan. Masyarakat di wilayah ini mata pencariannya adalah berternak sapi perah (dominan), petani sayuran, pedagang sayuran, pekerja disektor pariwisata dan transportasi. Selain potensi alam sebagai objek pariwisata dan menghasilkan tanaman sayur, peternakan sapi juga memiliki potensi bukan saja sebagai sumber penghasil susu murni namun sebagai sumber daging potong serta kotoran sapi. Namun masyarakat setempat baru memaksimalkan hasil ternak dari susu murni dengan tanpa mengolahnya lebih lanjut sehingga memberikan nilai ekonomi yang lebih besar. Disisi lain pemanfaatan kotoran ternak sapi yang berlimpah belum dimanfaatkan sebagai biogas ataupun pupuk secara optimal. Penduduk di wilayah ini rata-rata adalah keluarga dengan jumlah anak 3-5 orang. Tingkat pendidikan umumnya barada di tingkat sekolah dasar, pekerjaan yang terbanyak dipilih adalah meneruskan tradisi sebagai peternak sapi perah. Hanya sebagian kecil yang melanjutkan pendidikan sampai tingkat menengah dan memilih pekerjaan selain sebagai peternak sapi perah. Pekerjaan yang menjadi pilihan
peternak dipengaruhi oleh unsur kekerabatan, yaitu masyarakat umumnya bekerja sebagai peternak sapi perah, petani sayuran dan pegawai koperasi. Jarang ditemukan anggota masyarakat yang merantau keluar wilayah ini dan mencari pekerjaan lain. Pilihan pekerjaan lain dari sebagian kecil masyarakat adalah sebagai supir angkutan umum diwilayah Bandung dan Lembang.Pendapatan yang diperoleh berkisar antara 1-1,5 juta perbulan. Sebagian dari masyarakat yang memiliki lahan dimanfaatkan untuk menanam rumput sebagai pakan ternak atau menanam sayuran. Dari segi hubungan masyarakat nampak ditemukan hubungan yang cukup harmonis, nyaris jarang timbul konlik. Data yang penulis peroleh, di wilayah ini terdapat tujuh kelompok masyarakat. Yaitu, keluarga, kekerabatan, organisasi koperasi, anggota koperasi, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Kelompok Masyarakat Air, dan Pendidikan Anak Usia Dini. Keluarga Keluarga sebagai anggota terkecil dalam masyarakat, merupakan kelompok yang anggotanya rata-rata terdiri dari ayah ibu dan 3 orang anak. Di wilayah ini terdapat sekitar hanpir 5000 keluarga. Umumnya memiliki rumah sendiri dengan dinding tembok dan terdiri dari minimal 2 kamar. Di wilayah ini terdapat hampir 5000 keluarga yang memiliki sapi perah. Pekerjaan ayah adalah memeras susu pada dini hari dan sore hari, sementara pada pagi hingga siang hari mencari rumput untuk pakan ternak. Sedangkan ibu mengerjakan pekerjaan domesti rumah tangga serta membersihkan kandang dan merawat ternak. Tidak setiap keluarga melibatkan anak dalam merawat ternak, kecuali anak-anak yang sudah beranjak dewasa. Aktivitas ini dilakukan nyaris tanpa hari libur. Selain beternak sapi perah sebagian diantara keluarga memanfaatkan lahan untuk menanam sayuran. Komunikasi antar anggota keluarga lebih banyak dilakukan pada malam hari pada saat semua anggota keluarga tidak memiliki aktivitas diluar rumah. Hal yang dibicarakan antar anggota keluarga adalah mengenai kegiatan sehari-hari. Kelompok kekerabatan Masyarakat di wilayah Lembang ini umumnya masih memiliki hubungan kekerabatan. Mereka tinggal saling berdekatan antara anggota keluarga yang satu dengan yang lainnya. Sehingga hubungan kekerabatan sangat dekat. Hampir tidak ditemukan masyarakat pendatang dari luar wilayah Jawa Barat, umumnya perkawinan juga dilakukan dengan masyarakat dari suku di Jawa Barat. Komunikasi antar kerabat lebih banyak menggunakan bahasa Sunda, dan hampir setiap hari mereka umumnya dapat saling bertemu. Hal-hal yang dibicarakan antara lain tentang kegiatan sehari-hari, tentang anak-anak, tentang pekerjaan, hubungan dengan keluarga lainnya dan kegiatan-
278
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
kegiatan masyarakat. Beberapa jenis pekerjaan seperti membangun dan membetulkan kandang ternak dilakukan secara bersama antara anggota kerabat yang juga masih tinggal saling berdekatan. Beberapa aktivitas dalam rangka hiburan, silaturahmi maupun syukuran sering dijumpai seperti hiburan panggung rakyat, syukuran untuk kelahiran anak sapi, syukuran atas perolehan air bersih selain kegiatan keagamaan. Kelompok peternak anggota koperasi Terdapat hampir 6000 peternak yang tergabung dalam naungan lembaga Koperasi Peternak Susu Bandung Utara (KPSBU). Jumlah peternak tersebut terbagi lagi menjadi kelompok dan sub kelompok yang beranggotakan 300 dan 50 orang. Kelompok ini dibuat untuk mewadahi para peternak dalam mengelola ternaknya. Terbentuknya kelompok ini hampir sepanjang usia koperasi yang didirikan sejak tahun 1971. Kebutuhan kelompok dirasakan semakin meningkat ketika anggota koperasi jumlahnya semakin besar dan tersebar hampir di 16 desa di wilayah Lembang. Waktu yang digunakan untuk berkumpul anggota kelompok koperasi ini biasanya satu kali dalam seminggu, dimalam hari setelah waktu salat isya. Komunikasi yang dilakukan antar anggota kelompok adalah seputar masalah ternak yang meliputi perawatan, perkembangbiakan, dan pemerahan susu. Informasi diperoleh antar anggota kelompok dan seringkali mengundang pengurus koperasi atau penyuluh untuk memfasilitasi dalam komunikasi di kelompok tersebut. Kelompok Ibu anggota Pendidikan Kesejahteraan Keluarga Kelompok ini secara formal beranggotakan para ibu yang didirikan dengan tujuan sebagai wadah untuk pembinaan dan menyalurkan kreativitas para ibu dalam menunjang kesejahteraan keluarga. Namun penulis menemukan kegiatan yang dilakukan oleh para ibu sebagai anggota kelompok masih sangat sedikit dan tidak berkembang. Hal ini disebabkan para ibu yang umumnya telah memiliki kesibukan dirumah tangga dan mengurus ternak. Hampir tidak ditemukan kegiatan anggota PKK yang terkait dengan maslah pangan atau gizi, kesehatan dan ketrampilan lainnya yang merupakan program pokok PKK. Kelompok Masyarakat Pengadaan Air Kelompok ini termasuk kelompok yang berusia muda dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Didirikan beberapa tahun yang lalu karena adanya kebutuhan akan air yang semakin berkurang. Wilayah Lembang yang terdiri dari pegunungan dan bukit mulai mengalami kesulitan air bersih karena banyak wilayahnya yang dirubah menjadi pemukiman untuk tempat peristirahatan. Kebutuhan peternak akan air sangat tinggi terutama selain untuk kebutuhan anggota keluarga juga untuk pemeliharaan dan perawatan sapi. 279
Kelompok ini dibentuk guna membahas solusi dalam memenuhi kebutuhan air. Komunikasi dilakukan secara intens setiap minggu terutama saat anggota kelompok memiliki program membangun saluran air atau memperoleh sumber air untuk digunakan bersama. Untuk mensyukuri keberhasilan anggota kelompok dalam pengadaan air bersih anggota kelompok juga mengadakan syukuran sebagai bentuk silaturahmi dengan masyarakat dan ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT. Syukuran dilaksanakan dengan mengadakan pengajian dan makan bersama di satu wilayah tempat tinggal dimana anggota kelompok berada. Meskipun kelompok ini terbentuk karena adanya kebutuhan yang mendesak dan bersifat sementara sampai masalah pemenuhan kebutuhan air bersih teratasi. Kelompok Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan salah satu kelompok formal yang didirikan oleh para ibu di wilayah ini. Kelompok ini baru berdiri kurang dari lima tahun, atas kesadaran para ibu yang terinspirasi dari wilayah lain diluar Lembang yang memiliki PAUD. Kelompok ini memiliki tempat yang biasanya terdapat di salah satu rukun warga berupa ruang kelas dan halaman. Tempat yang seadanya namun diupayakan dapat memberikan area yang memadai bagi anak untuk beraktivitas. Dalam penelitian ini fokus dari informan adalah para ibu pengurus PAUD. Aktivitas yang dijalankan seputar kegiatan PAUD, namun terdapat beberapa materi penunjang seperti pengetahuan gizi bagi anak. Komunikasi pengurus dilakukan minimal satu minggu sekali, dilakukan pada siang atau sore hari. Materi percakapan seputar persoalan pendidikan, fasilitas belajar dan hubungan antara anak dan orang tua. 2) Komunikasi kelompok dan pemenuhan kebutuhan anggota Dari pendekatan konsep komunikasi kelompok, maka jenis kelompok yang terdapat dalam masyarakat di lingkungan peternak adalah jenis kelompok untuk pengambilan keputusan. Komunikasi dilakukan dengan melibatkan hampir seluruh anggota kelompok, mendiskusikan masalah yang timbul serta menentukan berbagai alternatif solusi dan melakukan eveluasi terhadap konsekuensi ngetif maupun positif yang ditimbulkannya. Bentuk kelompok ini terjadi karena didukung oleh karakter masyarakatnya yang memiliki hubungan kekerabatan yang kental, tinggal di lokasi yang saling berdekatan dan memiliki jenis pekerjaan yang sama. Sehingga dalam kesimpulan penulis kelompok yang ada cenderung terbentuk untuk pengambilan keputusan daripada yang berorientasi pada tugas. Komunikasi yang dilakukan disetiap kelompok sangat dipengaruhi adanya unsur emosional dari anggotanya. Sehingga meskipun orientasi
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
pembentukan kelompok fokusnya adalah pada tugas atau pekerjaan, namun karena adanya hubungan kekerabatan yang erat antar anggotanya maka sebagian besar kelompok dapat bertahan lama. Misalnya, pada kelompok peternak sapi yang anggotanya terdiri dari para peternak namun antar anggota kelompok juga memiliki hubungan darah dan tinggal diwilayah yang saling berdekatan. Hal-hal yang dibicarakan adalah seputar pemeliharaan dan perawatan sapi seperti pakan ternak, pengobatan, pemerahan susu, kualitas perahan susu dan berbagai macam persoalan lain seputar pekerjaan. Komunikasi dilakukan dengan melibatkan seluruh anggota dan memberikan kesempatan setiap anggota mengemukakan pendapatnya. Jika dalam rapat anggota koperasi kekuasaan tertinggi terdapat pada rapat anggota, nampaknya hal ini juga dijadikan dasar bagi kelompok dalam melakukan komunikasi pada kelompok ditingkat yang lebih kecil. Selain komunikasi tatap muka penggunaan alat komunikasi elektronik seperti telephon genggam juga menjadi sarana yang efektif untuk para peternak saling berkomunikasi. Diantara kelompok yang ada, salah satu kelompok yaitu PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga) nampak kurang berjalan secara efektif. Komunikasi yang dibutuhkan anggota kelompok yang banyak beranggotakan para ibu ini adalah komunikasi mengenai ketrampilan untuk menambah penghasilan. Komunikasi ini diharapkan akan memberikan tambahan pengetahuan untuk membantu meningkatkan perekonomian keluarga. Artinya, para ibu sangat menyadari bahwa kebutuhan ekonomi keluarga yang dirasakan kurang pemenuhannya juga menjadi tanggung jawab ibu. Penulis mengasumsikan bahwa kegiatan di kelompok PKK mengalami kevakuman dikarenakan kebutuhan akan ketrampilan dibidang ekonomi keluarga tidak diperoleh di kelompok ini. Selain itu kesibukan ibu sebagai peternak yang memiliki tugas merawat dan memelihara ternak juga cukup menyita waktu. Sehingga dapat disimpulkan meskipun terdapat hubungan yang erat secara emosional antar anggota kelompok, namun jika peran kelompok dalam memenuhi kebutuhan atau tugas kelompok tidak terpenuhi maka kelompok tidak akan berfungsi efektif. Atau dengan kata lain harus diupayakan agar kelompok dapat seimbang menjaga fungsi tugas dan emosional anggotanya.
Pertama, adanya unsur kekerabatan diantara anggota, dan antara kelompok yang satu dengan yang lain. Unsur kekerabatan ini membuat anggota kelompok secara psikologis lebih merasa nyaman, dan mudah menjalin saling pengertian. Salah satu faktor yang membuat komunikasi menjadi efektif adalah adanya kesamaan antara individu yang saling berkomunikasi. Baik kesamaan latar belakang, minat maupun kesamaan kepentingan. Kebanyakan anggota kelompok memiliki latar belakang budaya yang sama (suku sunda) dan ada pertalian darah atau kekerabatan. SElain itu adanya kesamaan kepentingan seperti kepentingan ekonomi dan kebutuhan akan pengetahuan. Berikut beberapa kutipan wawancara dengan informan : Bp BD: “….keluarga istri saya tinggal disekitar sini juga, suaminya satu kelompok peternak. Dikelompok saya ada 300 anggotanya, dibagi jadi 6 kelompok. Kita bahas soal perawatan sapi… gimana misalnya kalo ada sapi yang sakit….mau inseminasi…pokonya mah macem-macemlah yang dibahas di kelompok ternak….. nanti ketemunya kalo malem, kumpul ajah gitu dirumah satu anggota abis solat isya” Bp AP : “….. iyah…. Kita mah tinggal nggak jauhjauh…. sini sekitar keluarga semua.. tapi punya rumah masing-masing.. yah ada ibu ma anak yang halamnnya nyatu, tapi rumah sendiri, namanya juga dah keluarga masing-masing yaah….. Ato sapinya masih satu kandang jadi ngurusnya bisa samasama gitu….lumayanlah bisa bantu juga anak, kalo ibunya lagi repot.
Kedua, setiap individu dimasyarakat umumnya merupakan anggota dari lebih dari satu kelompok (selain keluarga). Hal ini menunjukkan bahwa anggota kelompok cukup sering berkomunikasi dengan anggota kelompoknya baik dikelompok primernya maupun kelompok sekundernya. Komunikasi yang dilakukan memungkinkan bertemunya anggota dengan kerabat, atau anggota kelompok lain yang berada dalam satu kelompok lain yang sama. Hal ini akan memudahkan membangun persepsi yang 3)Potensi kelompok sama, meminimalkan konlik, dan memudahkan Pada tahap analisa selanjutnya penulis membangun saling pengertian. memfokuskan pada temuan tentang potensi kelompok terutama ditinjau dari komunikasi kelompok. Ketiga, dari hasil wawancara penulis menemukan Potensi kelompok ini dikaitkan dengan potensi sedikit sekali terdapat konlik diantara anggota, sosial dan ekonomi masyarakat. Penulis menemukan maupun antar kelompok. Jika kebutuhan dikelompok beberapa potensi yang dapat dikembangkan untuk yang diikuti tidak terpenuhi, maka alternatif yang pemberdayaan masyarakat. dipilih adalah mundur dari keanggotaan daripada mengemukakan secara frontal keinginannya. Atau 280
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
pada kelompok yang dapat bertahan lama umumnya sering membicarakan masalah bersama dan pimpinan kelompok sangat mengakomodir kebutuhan anggotanya. Hal ini nampaknya yang menjadikan beberapa kelompok dapat bertahan lama. Misalnya, sedikit ditemukan kasus perceraian pada keluarga; anggota kelompok peternak baik dikelompok yang jumlahnya besar maupun kecil dapat bertahan lebih dari sepuluh tahun; individu cenderung meneruskan pekerjaan orangtua dan tinggal di wilayah tersebut daripada memilih pekerjaan lain atau harus pindah ke wilayah lain. Sehingga jenis pekerjaan yang ditekuni peternak atau petani dapat dipertahankan turun temurun sampai beberapa generasi. Keempat, adanya kepatuhan pada ketua dan anggota senior dalam kelompok. Anggota didalam kelompok cukup menghargai pimpinannya, melibatkan pimpinan atau anggota senior dalam membicarakan permasalahan yang ada. Kelima, ikatan phsikologis anggota kelompok bukan hanya terbatas pada adanya unsur keluarga dan kerabat dalam setiap kelompok, namun adanya unsur saling toleransi dan memberikan rasa nyaman bagi anggota kelompok lain. Hal ini dapat terlihat oleh penulis pada saat wawancara cenderung informan melibatkan anggota yang lain untuk sekedar mendampingi atau ikut terlibat dalam percakapan. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Banyak unsur kesamaan latar belakang dari anggota kelompok membuat komunikasi kelompok di lingkungan peternak berjalan dengan efektif karena memiliki persepsi yang sama. Persamaan tersebut adalah dari latar belakang budaya, unsur pertalian darah dan hubungan kekerabatan, tingkat pendidikan yang hampir sama, lokasi tempat tinggal yang saling berdekatan dan jenis pekerjaan yang sama. 2. Komunikasi dilakukan dengan melibatkan seluruh anggota, dengan memberikan kesempatan yang sama bagi anggota kelompok dalam menyampaikan pendapat dan ide-idenya. Suasana musyarawarah untuk mufakat lebih nampak dan dirasakan oleh anggota kelompok. Pemimpin kelompok lebih bersifat sebagai penasehat dan fasilitator. 3. Kelompok yang terdapat dilingkungan peternak umumnya dapat bertahan lama bahkan mencapai puluhan tahun. Hal ini disebabkan kemampuan kelompok dalam melakukan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan akan tugas atau pekerjaan serta menjaga hubungan emosional anggota kelompoknya. Dengan kata lain peran kelompok dalam menuhi tugas dan pekerjaan anggotanya dapat berjalan seimbang dengan kondisi emosional sosial anggotanya. Banyak keputusan 281
dalam kelompok yang dibuat secara baik oleh anggota kelompok karena antara fungsi tugas dan emosional dapat berjalan secara seimbang. 4. Potensi kelompok khususnya dalam hal komunikasi kelompok yang ada hendaknya dapat dikembangkan untuk memberdayakan masyarakat guna meningkatkan ketrampilan yang mengarah pada peningkatan ekonomi dan pemeliharaan lingkungan. Misalnya dengan menghadirkan tokoh berhasil dibidang pengolahan produk susu menjadi alternatif pangan yang memiliki nilai jual. Kekuatan kelompok dan unsur kekerabatan dapat menjadi proses komunikasi yang lebih mudah bagi anggota kelompok untuk menularkan potensi pemberdayaan. 5. Potensi masyarakat dan kelompok dalam bidang pemeliharaan lingkungan juga dapat ditingkatkan. Karena wilayah ini mulai mengalami masalah kekeringan dan menurunnya jumlah lahan untuk pertanian untuk tanaman rumput dan sayuran. Dapat diawali dengan melibatkan pihak atau lembaga dari luar yang secara intensif memberikan pendampingan bagi kelompok-kelompok tentang cara memelihara lingkungan. Karena diwilayah ini limbah biogas dari kotoran sapi masih belum dimanfaatkan secara optimal, bahkan ditemukan kotoran sapi yang terbuang dan cenderung mengotori sungai. 6. Penelitian ini masih terbatas pada tingkat pemetaan kelompok yang ada di masyarakat dan komunikasi kelompok secara umum. Disarankan dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai komunikasi disetiap kelompok guna menggali lebih jauh potensi dan permasalahan yang ada. Misalnya bagaimana komunikasi dikelompok primer dapat menentukan komunikasi dikelompok lainnya. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pembuatan program pengembangan potensi masyarakat. Daftar Pustaka Buku : Hirokawa, Randy Y, dan Salazar, Abran J, 1999, Task Group Communication and Decision- Making Performance in Frey, Lawrence R, Goran, Dennis S dan Poole, Marshal Scott, 1999, he Handbook of Group Communication heory & Research, Sage Publication Inc. Littlejohn, Steohen W dan Foss, Karen A, 2009, Encyclopedia of Communication heory, SAGE Publication Inc. Miller, Khaterine,2005, Communication heories, Perspectives, Pocesses, and Context, 2nd edition, Mc Graw Hill International Edition Pace, R.Wayne dan Don F. Faules (1994) Organizational Communication. 3rd ed. Englewood Clifs, NJ: Prentice Hall
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Polee, Marshal Scott , 1999, Group Communication heory Frey, Lawrence R, Goran, Dennis S dan Poole, Marshal Scott, 1999, he Handbook of Group Communication heor & Reaserch, Sage Publication Inc. Koran : Indrawan, Rully, Jawa Barat Menuju Koperasi Dunia, Pikiran Rakyat, Senin 23 Juli 2012. Jurnal : Wardyaningrum, Damayanti, 2010. Pola Komunikasi Keluarga Dalam Menentukan Konsumsi Nutrisi Bagi Anggota Keluarga. Jurnal Ilmu Komunikasi 2010, volume 8. Terakreditasi B.
282
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Strategi Komunikasi dalam Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Ida Nur’aini Noviyanti1*) Abstrak Keberadaan PKL saat ini menjadi permasalahan yang dihadapi oleh semua pemerintah kota/daerah. Kehadiran PKL memberikan dampak positif bagi tumbuh dan berkembangnya perekonomian sebuah kota/daerah namun di sisi lain memunculkan permasalahan social berkaitan dengan kebersihan, keindahan, dan ketertiban kota. PKL dapat memperkuat perekonomian sebuah bangsa jika diberdayakan dengan baik sehingga perlu adanya strategi komunikasi yang tepat antara pemerintah dengan pedagang. Relokasi yang dilakukan pemerintah terhadap PKL ke suatu tempat yang bertujuan positif seringkali mengakibatkan dampak yang negative. Adanya tindakan represif dari aparat Satpol PP dalam penertiban dan relokasi menimbulkan kesan bahwa PKL dianggap tidak memberikan manfaat bagi pemerintah. Masih sering dijumpai relokasi menimbulkan dampak kerusuhan, kericuhan dan aksi massa yang kontra terhadap relokasi tersebut. Masalah relokasi yang memunculkan konlik salah satunya dipicu oleh tidak adanya sosialisasi akan relokasi, kalaupun ada sosialisasi tersebut dilakukan secara mendesak, selain adanya masalah yang muncul di lokasi baru seperti lokasi baru yang jauh dari konsumen dan merupakan pelanggan lama sehingga jumlah pendapatan pedagang menjadi berkurang, harga sewa yang lebih mahal sedangkan fasilitas tidak lengkap, munculnya pungutan liar di luar harga sewa yang mahal dan lokasi yang tidak sesuai dengan segmentasi pasar. Tujuan makalah ini adalah mendeskripsikan strategi komunikasi yang tepat untuk dapat digunakan dalam memberdayakan PKL. Sedangkan manfaat makalah ini adalah dapat menjadi referensi bagi pengambil kebijakan di bidang tata kota maupun bidang perekonomian pemerintah melalui pendekatan dan strategi komunikasi yang tepat dalam merelokasi PKL. Metode kajian dalam makalah ini menggunakan studi literature dari berbagai media. Makalah ini menyajikan mengenai pasar tradisional versus pasar modern, pemberdayaan dan komunikasi, kaitan antara metode pendekatan, tahap komunikasi dan tahap inovasi dalam relokasi PKL dan strategi komunikasi dalam merelokasi PKL. Komunikasi yang tepat dapat menjadikan PKL sebagai pengusaha hebat yang kelak memperkuat perekonomian bangsa. Keberdayaan PKL salah satunya melalui komunikasi partisipatif horizontal dan pelayanan PKL dalam satu layanan terpadu. Peningkatan keterampilan komunikasi meliputi teknik negosiasi, presentasi maupun public speaking merupakan program pemberdayaan yang penting bagi PKL sehingga mereka memiliki kepercayaan diri dalam melakukan negosiasi baik untuk kepentingan perluasan bisnis juga kekuatan posisi mereka ketika diikutsertakan dalam pembuatan kebijakan. Mereka melaksanakan kebijakan pemerintah dengan sadar karena kebijakan dibuat berdasarkan kebutuhan mereka. Bahkan merekapun dilibatkan dan memiliki peran penting dalam mendesain pasar modern yang akan mereka tempati. Kata Kunci : strategi komunikasi, pemberdayaan, pedagang kaki lima 1. Pendahuluan Pedagang Kaki Lima atau yang lebih dikenal secara umum dengan sebutan PKL merupakan pekerjaan yang akrab dengan golongan menengah ke bawah. Mereka seringkali dianggap sebagai penyebab munculnya kemacetan, kesemrawutan tata kota dan anggapan negative lainnya. Mereka rela berpanaspanasan di terik matahari, kehujanan bahkan berlarian dikala ada penertiban Satpol PP yang seringkali timbul perkelahian yang tidak jarang menyebabkan adanya korban baik di PKL maupun petugas Satpol PP seperti kasus yang terjadi pada upaya penataan PKL oleh Pemerintah Kabupaten Banyumas di jalan Jenderal Soedirman yang akan merelokasi PKL ke Lantai 2 Pasar Wage, terjadi pada 22 Maret 2011. Relokasi tersebut mendapatkan perlawanan hebat dari PKL akibat tidak terbukanyanya Pemkab dengan paguyuban. (http:// birokrasi.kompasiana.com/2012/06/14/Relokasi PKL 1 *) Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam, Bandung.
283
Belajar Pada Kasus Solo). Kasus lainnya yakni relokasi pasar tradisional yang terjadi pada pasar Dinoyo Malang, yakni adanya penggusuran PKL yang ada di pasar Dinoyo karena pasar tersebut akan dijadikan mall (http://hasyimibnuabas.blogspot/2012/03/ Analisis Permasalahan, Eksternalitas dan Relokasi Pasar Tradisional : Studi Kasus Pasar Dinoyo Kota Malang). Masih banyak lagi kasus sejenis lainnya ketika terjadi relokasi PKL ke tempat yang baru. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengapa setiap kali ada relokasi pasar tradisional selalu menimbulkan aksi kontra dan seringkali berakhir dengan kerusuhan dan kericuhan ? Bagaimana komunikasi yang terjadi antara pihak-pihak yang terkait dalam hal ini pemerintah dengan PKL ? Tujuan dan niat baik pemerintah dalam menertibkan PKL dan menjadikan kota indah, bersih dan teratur menjadikan pihak lain dalam hal ini PKL dirugikan. PKL masih dilihat sebelah mata oleh Pemerintah
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
meskipun sebenarnya mereka inilah yang secara tidak langsung menyokong perekonomian Indonesia yang rentan akan adanya krisis ekonomi global. Paling tidak PKL lebih mulia daripada mengemis, mencuri bahkan mencuri yang dianggap ‘legal’ seperti korupsi. PKL ini jika diberdayakan dapat menjadi pengusaha-pengusaha hebat yang dapat memperkuat perekonomian Indonesia sehingga pemberdayaan PKL menjadi penting dan mendesak untuk dilakukan. Keberadaan PKL merupakan realita yang dihadapi oleh semua kota saat ini, akan terus berkembang seiring dengan tumbuhnya perekonomian suatu kota. Komunikasi yang tepat terhadap PKL terutama ketika akan merelokasi mereka ke suatu tempat seharusnya dapat lebih memberdayakan posisi mereka di tempat yang baru sehingga keberadaan PKL menjadi lebih beruntung dan bermanfaat bagi pemerintah. Relokasi tersebut hendaknya tidak hanya menimbulkan dampak negative namun justru lebih mengedepankan dampak positif bagi kedua belah pihak baik PKL maupun pemerintah. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah proses komunikasi yang berjalan tidak lancar sehingga relokasi PKL lebih sering menimbulkan dampak negative, masalah klasik yang muncul setelah relokasi antara lain menurunnya jumlah pendapatan, menurunnya jumlah konsumen yang secara psikologis dapat menurunkan motivasi PKL untuk berdagang di tempat yang baru. Telaah terhadap permasalahan tersebut diperlukan untuk mendesain strategi komunikasi yang tepat dalam pemberdayaan PKL sehingga PKL menjadi salah satu unsur yang memperkuat perekonomian kota/daerah. Oleh karena itu, penyajian pada makalah ini terfokus pada Strategi Komunikasi dalam Pemberdayaan PKL. 2. Tujuan dan Manfaat Tujuan makalah ini adalah mendeskripsikan strategi komunikasi yang tepat untuk dapat digunakan dalam memberdayakan PKL. Sedangkan manfaat makalah ini adalah dapat menjadi referensi bagi pengambil kebijkan di bidang tata kota maupun bidang perekonomian pemerintah melalui pendekatan dan strategi komunikasi yang tepat dalam merelokasi PKL sehingga PKL menjadi berdaya yang dapat memperkuat perekonomian kota/ daerah juga bagi perekonomian suatu bangsa. 3. Rumusan Masalah Setiap manusia pasti menginginkan adanya peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup salah satunya melalui perekonomian. PKL merupakan sarana bagi golongan menengah ke bawah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari sehingga kehidupan mereka menjadi sejahtera, walaupun masih jarang PKL yang hidup sejahtera. Sebenarnya para PKL pun sadar bahwa dengan berjualan di sembarang tempat dapat mengganggu ketertiban umum namun ketidakberdayaan mereka untuk menyewa kios/lapak
yang harganya tidak terjangkau membuat mereka berjualan di sembarang tempat yang terjangkau oleh konsumen, yang penting bagi mereka adalah kebutuhan mereka untuk menyambung hidup terpenuhi. Komunikasi sangat diperlukan dalam mentransfer ide, informasi maupun inovasi antara PKL dengan pihak yang terkait untuk menunjang perubahan social ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Komunikasi yang diperlukan dalam hal ini adalah komunikasi yang dialogis dan transparan yang terjadi antara kedua belah pihak bukan komunikasi yang searah sehingga nantinya tidak ada lagi konlik dan dampak negative dari adanya relokasi PKL. 4. Pembahasan Pasar Tradisional versus Pasar Modern Paul Robinson (2001) menjelaskan bahwa munculnya pedagang kecil informal merupakan konsekuensi dari disfungsi kebijakan ekonomi. Menurut Buchari Alma (2000) bahwa PKL adalah orang-orang (pedagang) golongan ekonomi lemah yang berjualan barang kebutuhan sehari-hari, makanan atau jasa dengan modal yang relative kecil, modal sendiri atau modal orang lain, baik berjualan di tempat terlarang atau tidak. Oleh karenanya karakteristik PKL adalah sementara (tidak menetap pada kios tertentu), tidak permanen dan senantiasa bergerak (memakai tenda atau gerobak) sehingga PKL sering dianggap merusak keindahan kota karena menempati areal badan jalan, bahu jalan, trotoar, kota menjadi kumuh karena posisi PKL yang tidak rapi. Meskipun PKL tidak semua berada di jalan, banyak juga kita temui PKL yang berada di pasar tradisional. Pasar tradisional yang dalam banyak literature terdapat interaksi sosial beragam individu baik dari masyarakat maupun pedagang itu sendiri. Sehingga di pasar tidak hanya terjadi transaksi ekonomi namun juga proses interaksi, komunikasi dan pertukaran informasi bahkan kadangkala menjadi tempat perkenalan bagi individu. Pasar merupakan tempat aktivitas penjual dengan pembeli yang memungkinkan terjadinya proses pertukaran barang dan uang. Pengelolaan pasar tradisional cenderung lebih kekeluargaan daripada pasar modern yang sudah melibatkan investor. Investor menjanjikan proit sharing pada pemerintah kota sehingga pasar modern menjadi devisa bagi pemerintah. Keberadaan pasar modern tidak dapat dipungkiri meningkatkan perekonomian pemerintah namun hanya pedagang besar lah yang mampu berada dalam pasar modern sedangkan bagi PKL, pasar modern seolah menjadi momok bagi mereka dengan harga sewa yang mahal yang tidak sebanding dengan pendapatan yang mereka terima. Relokasi adalah pemindahan suatu tempat menuju tempat yang baru. Relokasi pasar tradisional memiliki alasan utama yang positif terutama demi terwujudnya pembangunan kota yang lebih tertib,
284
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
rapi dan indah. Namun relokasi tersebut lebih sering menuai kontra meskipun ada juga yang pro. Dampak yang ditimbulkan dari relokasi tersebut dapat positif juga negative. Sayangnya relokasi tersebut lebih mengedepankan kepentingan investor daripada pedagang itu sendiri. Harga sewa kios yang mahal tanpa pedagang dapat melakukan negosiasi, lokasi baru pasar yang jauh dari konsumen yang selama ini telah menjadi pelanggan lama. Harga kios yang mahal seringkali tidak seimbang dengan fasiltas yang ada dan masih adanya pungutan yang illegal dapat membebani pedagang, sedangkan mereka telah menyewa kios dengan harga yang mahal. Penempatan kios yang menggunakan system undian yang dapat menguntungkan dan merugikan pedagang sehingga antar pedagang pun rentan terjadi konlik. Pedagang ada yang kecewa yang tadinya berada di kios depan pindah ke kios belakang ketika berada di lokasi yang baru. Sosialisasi relokasi yang mendadak bahkan kadangkala tidak ada sosialisasi atau informasi sebelumnya membuat pedagang tidak siap mengalami perpindahan. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah bahwa proses komunikasi belum berlangsung simultan dan berkelanjutan dan masih munculnya masalah klasik seperti keterbatasan akses pada pihak-pihak terkait terutama dalam hal birokrasi, sumber-sumber permodalan, kesesuaian dengan target pasar, promosi serta program pelatihan dan penyuluhan yang belum berjalan sesuai harapan. Kajian permasalahan tersebut dapat mengetahui penyebab munculnya permasalahan, alternative penyelesaian masalah yang diperlukan untuk mendesain rancangan strategi komunikasi yang tepat. Pemberdayaan dan Komunikasi Interpretasi terhadap pemberdayaan sangat beragam sehingga pemberdayaan lebih sering diterjemahkan sebagai sebuah proses dan program. Payne (1997) mengartikan pemberdayaan sebagai suatu kegiatan yang bertujuan membantu klien mendapatkan kekuatan (daya) untuk mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut termasuk mengurangi kendala pribadi dan social dalam melakukan tindakan. Pemberdayaan dapat dilakukan dengan meningkatkan kapasitas, pengembangan rasa percaya diri untuk menggunakan kekuatan dan mentransfer kekuatan dari lingkungannya. Pemberdayaan adalah sebuah proses sehingga pemberdayaan hendaknya usaha yang terjadi terus menerus sepanjang hidup manusia. Pemberdayaan sebagai sebuah program mempunyai makna bahwa pemberdayaan merupakan tahapan-tahapan kegiatan untuk mencapai suatu tujuan dalam kurun waktu tertentu sehingga dalam konteks ini pelaksanaan program pemberdayaan hanya tampak sebagai kegiatan proyek yang menguntungkan pihak tertentu. Kondisi ini tentunya 285
tidak menguntungkan bagi target karena sering terjadi program terputus di tengah jalan akibat adanya kurang koordinasi antar pihak yang terkait dalam program pemberdyaan tersebut. Pemberdayaan bagi PKL akan berhasil jika menerapkan prinsip kejelasan tujuan, prinsip penguatan nilai dan budaya local, prinsip keberlanjutan, prinsip ketepatan kelompok sasaran dan prinsip kesetaraan gender artinya baik pria maupun wanita memiliki haknya secara aktif dalam masyarakat dan dapat terlibat dalam pengambilan keputusan dalam keluarga dan masyarakat secara sepadan/setara. Pemberdayaan yang berhasil implikasinya pada pembangunan yang berkelanjutan karena program pembangunan bertujuan menciptakan manusia yang berdaya dan mandiri. Upaya pemberdayaan menurut Satria (2001) tidak hanya melihat aspek ekonomi namun juga perlu memahami struktur social dan yang tidak kalah pentingnya juga memperhatikan aspek social budaya sehingga program pemberdayaan tidak berjalan secara buru-buru dan tergesa-gesa untuk selesai karena adanya targetan tertentu. Kaitan antara Metode Pendekatan, Tahap Komunikasi dan Tahap Inovasi Dalam Relokasi PKL Waskita (2005) mencermati bahwa pembangunan di Indonesia sampai saat ini masih berfokus pada hal-hal isik dan terukur. Penataan kota terlihat indah hanya dengan pembangunan gedunggedung yang megah, tanpa memperhatikan sumber daya manusia yang mengelola dan memanfaatkan gedung tersebut. PKL yang dianggap sebagai salah satu pihak yang membuat tata kota menjadi tidak indah, kotor dan berantakan sebaiknya dikelola dengan mengumpulkan mereka dalam satu tempat seperti dalam satu gedung. Penempatan PKL pada satu tempat memudahkan pemerintah dalam melakukan koordinasi dan pengawasan. Koordinasi dan pengawasan yang terpadu dan terarah membuat PKL menjadi lebih produktif dan akhirnya mereka dapat bersaing dengan pengusaha besar. Namun hingga saat ini, PKL masih belum terlepas dari persoalan klasik seperti keterbatasan akses dan peluang untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing. Upaya peningkatan kualitas hidup PKL tidak mudah terwujud tanpa adanya perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan sumber daya manusia. Menghadapi permasalahan tersebut, komunikasi diperlukan peranannya sebagai sebuah proses yang dialogis dalam penyampaian ide, informasi dan inovasi oleh pihak terkait guna menunjang terjadinya perubahan social ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Perubahan tersebut dapat dilihat pada tingkat individu, keluarga, kelompok, organisasi, komunitas dan masyarakat yang lebih luas. Perubahan merupakan proses alamiah yang tidak bisa dihindari dan harus terjadi pada sesuatu,
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
individu atau masyarakat sebagai reaksi atau adaptasi dengan kondisi yang dihadapi. Proses perubahan dalam konteks perubahan social ke arah yang lebih baik berkaitan dengan transformasi struktur dan interaksi sosial dari sebuah masyarakat (Horton & Hunt dalam Garcia, 1985) dan merupakan variasi atau modiikasi dalam pola organisasi social atau sub kelompok pada masyarakat atau pada keseluruhan masyarakat itu sendiri (Panopio, Cordero & Raymond dalam Garcia, 1985). Setiap upaya perubahan perlu mempertimbangkan berbagai factor seperti masalah social ekonomi, kondisi isik (sumber daya alam) dan sumber daya manusia secara umum termasuk agen pembaharu. Individu seringkali tidak mau mengalami perubahan karena perubahan merupakan proses panjang yang memerlukan kesabaran. Adanya sikap pasrah dengan kondisi yang ada membuat para PKL tetap menikmati kondisinya sekarang. Oleh karena itu diperlukan agen pembaharu. Pada teori adopsi inovasi pada setiap tahap memerlukan waktu, pemikiran dan respons yang berlainan mulai dari tahap kesadaran, minat, uji coba, evaluasi dan keputusan apakah mengolah atau menerima inovasi pembaharuan ide maupun teknologi maka untuk mengantisipasi hal ini, agen pembaharu melakukan pendekatan yang tepat sesuai dengan tahap komunikasi yang sedang berlangsung di masyarakat. (Amanah). . Metode Pendekatan
Tahap Komunikasi
Tahap Adopsi
Menggerakkan usaha
-------- Adopsi
Meyakinkan
-------- Coba
Membangkitkan keinginan
-------- Evaluasi -------- Minat -------- Sadar
Ada tiga pilihan metode pendekatan atau kombinasi ketiganya yang dapat digunakan dalam pelaksanaan program pemberdayaan PKL yaitu (1) Pendekatan perorangan dengan kegiatan kunjungan perorangan, konsultasi ke rumah, penggunaan surat, telepon dan magang, (2) Pendekatan kelompok dengan demonstrasi cara atau hasil, kunjungan kelompok, karyawisata, diskusi kelompok, ceramah, kursus, pertunjukan ilm, slide, karyawisata, penyebaran brosur, bulletin, folder, liputan, sarasehan, rembug utama, temu wicara, temu usaha, temu karya dan temu lapang, (3) Pendekatan massal dengan pameran, pekan nasional, pertunjukan ilm, penyebaran pesan melalui media elektornik, cetak, selebaran atau majalah, pemasangan poster atau spanduk dan sebagainya. Model adopsi inovasi Rogers meliputi lima tahap yakni (1) Pengetahuan seseorang menjadi sadar akan adanya ide atau cara baru, (2) Persuasi yaitu individu mulai mengembangkan sikap suka atau tidak suka terhadap ide tersebut, (3) Keputusan adalah individu membuat keputusan awal untuk mengadopsi atau tidak ide tersebut, (4) Implementasi
adalah individu mencoba ide atau cara baru tersebut untuk pertama kali, (5) Konirmasi adalah individu memutuskan menerapkan ide atau cara baru dan alat secara berulang disertai modiikasi. Kebijakan komunikasi dengan pendekatan yang berorientasi kepada perubahan yang terjadi pada suatu komunitas local mendalami bagaimana aktivitas komunikasi dapat dipakai untuk mempromosikan penerimaan akan ide-ide dan produk baru. (Nasution, 2004). Harris (Bessete & Rajasunderam, 1996) menyatakan bahwa pendekatan komunikasi partisipatif perlu dikembangkan untuk mengembangkan masyarakat di tingkat bawah melalui pendekatan pendidikan non formal agar tidak terkesan kaku dan serius. Hal ini pada gilirannya, berkontribusi terhadap pola komunikasi yang dianut cenderung menunjukkan pola interaksi yang terbatas dan hanya berkaitan dengan kekuasaan dan pelayanan. Alternatif model komunikasi yang diusulkan adalah komunikasi dialogis antar orang yang terlibat dalam proses komunikasi sehingga tidak ada perbedaan kedudukan antara komunikator dengan komunikan. Munculnya paradigma baru komunikasi yang partisipatif horizontal memunculkan kembali konsep komunikasi antar pribadi, komunikasi kelompok, media rakyat dan model komunikasi dua tahap. Selain itu, dalam masyarakat terutama untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah, masih mengakui adanya kharisma agen pembaharu atau opinion leader (pemuka pendapat dalam masyarakat seperti kyai, guru, pemuka adat dan sebagainya) yang merupakan aktror penting dalam proses komunikasi di masyarakat (Oepen, 1988). Paradigma ini melibatkan masyarakat untuk lebih berpartispasi dalam proses komunikasi sampai dengan pengambailan keputusan. Pada proses komunikasi tidak hanya ada sumber dan penerima saja namun sumber dapat menjadi penerima dan penerima dapat menjadi sumber dalam kedudukan yang sama dan dalam level yang sederjat. Oleh karenanya kegiatan komunikasi bukan kegiatan memberi dan menerima melainkan berbagi dan berdialog. Isi komunikasi tidak lagi pesan yang dirancang oleh sumber dari atas melainkan fakta, kejadian, masalah, kebutuhan yang dikodiikasikan menjadi topic bahasan yang nantinya dibicarakan dan dianalisa. Semua suara didengar dan diperhatikan menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan sehingga merekapun terlibat dalam mendesain pasar modern yang akan ditempati. Model komunikasi ini yang terlibat tidak hanya sumber dan penerima namun partisipan yang satu dengan yang lain (Wibowo, 1994). Partisipatif horizontal dalam wujud hardware (perangkat keras dalam komunikasi berupa alat dan mekanik) maupun software (perangkat lunak, program) juga memiliki peran penting, namun bukan sebagai sarana penyebar informasi atau pesan saja melainkan sebagai sarana dalam menyajikan topic bahasan (Wibowo, 1994). Selain itu juga sangat menekankan proses pembebasan masyarakat secara kultural dari budaya apapun yang mengkondisikan masyarakat ‘miskin suara’ atau ‘budaya bisu’. ‘Budaya
286
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
bisu’ tercermin ketika kebijakan diperintahkan untuk diterapkan atau dilaksanakan, masyarakat tidak pernah sadar untuk menilainya terlebih dahulu dari kepentingan dan keuntungan masyarakat sehingga kebijakan tersebut lebih menguntungkan penguasa modal dan kekuasaan pemerintah. Pembebasan rakyat dari ‘budaya bisu’ tersebut dengan menggalakkan upaya yang dapat membantu rakyat sadar terhadap kebijakan pemerintah agar senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat sehingga rakyat tidak hanya sebagai pelaksana namun juga menjadi penentu proses lahirnya kebijakan sampai pelaksanaan kebijakan (Fakih, 1989). Komunikasi partisipatif horizontal melahirkan harapan baru dalam upaya pemberdayaan masyarakat menuju situasi yang lebih demokratis, merdeka dan berdaya, yang dapat dirintis sejak dari kehidupan sehari-hari mulai dari munculnya persoalan yang sederhana dalam masyarakat itu sendiri. Prinsip partisipatif bukan hanya sekedar mereka datang dan memberikan pendapat namun dilibatkan dari awal dalam berbagai program pemberdayaan sehingga terlibat juga dalam penentuan kegiatan yang akan diprogramkan. Berkaitan dengan hal ini, proses aksi social dan proses pengambilan keputusan dalam model adopsi inovasi Rogers (1994) meliputi 5 tahapan sebagai berikut (1) Stimulasi minat yaitu inisiatif dalam komunitas mulai berkembang pada tahap awal dalam ide baru dan praktek, (2) Inisiasi yaitu kelompok yang besar mempertimbangkan ide baru atau praktek dalam mencari alternative untuk implementasi, (3) Legitimasi merupakan tahap saat pimpinan komunitas memutuskan akan meneruskan tindakan atau tidak, (4) Keputusan bertindak adalah rencana spesiik tindakan mulai dibangun dan (5) Aksi yaitu penerapan rencana (Donnermeyer et. Al. 1997). Komunikasi partisipatif horizontal ini menganggap bahwa dalam proses komunikasi antara pedagang dengan pemerintah berada dalam kedudukan yang sama dan dalam level yang sederajat sehingga dikatakan sumber itu penerima dan penerima itu sumber sehingga ide, saran, informasi tidak selalu berasal dari pemerintah/pemilik modal saja namun juga dapat berasal dari pedagang. Strategi Komunikasi dalam Merelokasi PKL Kondisi social ekonomi pedagang sebelum dan sesudah relokasi ada perbedaan dalam transportasi, pembayaran retribusi seperti listrik, air, sewa kios dan pembayaran lainnya yang timbul akibat pindahnya pedagang ke lokasi yang baru. Bahkan jumlah pembayaran di tempat yang baru seringkali lebih besar daripada di tempat lama di tambah lagi dengan adanya pungutan liar. Jumlah konsumen yang menurun dan akses yang sulit mengakibatkan turunnya pendapatan pedagang. Belum lagi tidak adanya sosialisasi atau sosialisasi yang mendadak berkaitan dengan relokasi tersebut sehingga pedagang merasa dipaksa dan tidak diikutsertakan dalam proses komunikasi. Peran penting komunikasi dalam pemberdayaan adalah menjembatani kesenjangan 287
yang terjadi antara kondisi masyarakat saat ini dengan kondisi yang ingin dicapai melalui proses komunikasi yang partisipatif, dialogis dan memotivasi. Dengan demikian, pesan dalam komunikasi tidak sekedar mentransfer informasi saja tetapi juga menyangkut aspek transformasi keadaan dari kondisi sekarang yang termaginalkan menjadi lebih mandiri, sejahtera dan bermartabat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh S.C. Dube (Schramm & Lerner, 1976) bahwasanya dalam pembangunan di India, komunikasi memegang peran nyata dalam mengembangkan media untuk memobilisasi masyakat dan pemerintahnya. Program pemberdayaan dapat lebih diintensifkan kepada pendekatan yang mengutamakan penyelesaian persoalan PKL dan berpusat pada kebutuhan mereka, yang diterapkan dengan program penyediaan sarana kios dalam satu tempat terpadu sehingga mereka memiliki sarana dalam pengembangan pribadi maupun usaha. Rencana Jokowi sebagai Gubernur DKI terpilih periode 2012-2017 untuk membuat mall khusus PKL di Jakarta perlu disambut dengan gembira. Adanya mall tersebut juga dapat meringankan tugas pemerintah dalam melakukan koordinasi dan pengawasan dilengkapi dengan sarana yang lengkap namun juga dengan harga sewa yang tetap terjangkau oleh mereka. Strategi komunikasi harus berfokus pada peningkatan kemampuan PKL dalam pengelolaan waktu, penguatan kapasitas permodalan, kemampuan pengelolaan keuangan dan yang paling penting dalah perubahan sikap dan perilaku yang positif dalam memanfaatkan kemampuan yang dimiliki. Proses komunikasi yang saat ini berlangsung masih berfokus pada sosialisasi mengenai ketertiban kota belum mengarah pada terobosan pendayagunaan keberadaan PKL dalam memperkuat perekonomian pemerintah kota/daerah dan meningkatkan kemampuan mereka dalam memanfaatkan media local dan melakukan negosiasi untuk memperkuat jaringan sosial untuk kepentingan promosi usaha dan keberadaan mereka sebagai individu yang sama sebagai warga negara. Peran strategi komunikasi dalam pemberdayaan meliputi (1) Peningkatan keterampilan negosiasi, public speaking dan presentasi di depan umum sehingga PKL memiliki rasa percaya diri dalam berhubungan dengan para pejabat di birokrasi, pemilik modal bahkan dalam mengembangkan usahanya, (2) Peningkatan permodalan dengan menjalin kerjasama dengan lembaga keuangan pemerintah maupun swasta, (3) Peningkatan dalam pengelolaan keuangan sehingga keuangan yang dimiliki tidak hanya terpakai untuk keperluan konsumtif namun dapat diinvestasikan untuk pengembangan usaha, (4) Peningkatan komunitas menjadi sebuah lembaga yang secara berkelanjutan dapat membantu individu yang bergabung dalam komunitas guna meningkatkan kesejahteran, (5) Membangun jaringan (network) dengan berbagai pihak guna pengembangan usaha dan diversiikasi usaha. Strategi komunikasi dalam pemberdayaan hendaknya mempertimbangkan hal-hal sebagai
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
berikut yakni (1) Program pemberdayaan menjaga keseimbangan antara isik dan non isik, tidak hanya mengejar pertumbuhan tetapi juga penanaman pengetahuan untuk masa depan demikian juga tidak hanya pembangunan gedung namun juga peningkatan kemampuan, (2) Pesan ditentukan berdasarkan kebutuhan masyarakat dan ditransformasikan kepada masyarakat melalui metode yang relevan dengan situasi dan kondisi setempat, (3) Perlu perencanaan yang matang dalam mendesain strategi komunikasi dengan melibatkan peran serta PKL dan pihak terkait dalam proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi hingga tindak lanjut dan (4) Sinkronisasi dan koordinasi antar pihak terkait dengan masyarakat dalam menjamin keberlanjutan program pemberdayaan dan mendorong terwujudnya perekonomian yang kuat. 5. Simpulan dan Saran Simpulan Penanganan PKL ditempuh dengan melakukan komunikasi partisipatif dan dialogis. Dampak social relokasi PKL memberikan kontribusi terhadap kebersihan, ketertiban dan keindahan suatu kota. Pelaksanaan relokasi hendaknya melibatkan PKL sejak awal seperti dalam proses pembuatan kebijakan dan tidak hanya selaku pelaksana kebijakan. Keterlibatan PKL dalam pembuatan kebijakan akan menumbuhkan rasa memiliki terhadap gedung yang mereka tempati. Penumbuhan rasa percaya diri PKL menjadi sebuah program yang mesti dilakukan salah satunya dengan memberikan keterampilan berupa teknik negosiasi, presentasi dan public speaking. Pelatihan berupa cara melakukan promosi, teknik mengelola keuangan serta peningkatan kemampuan dalam pemanfaatan media dan teknologi juga diperlukan. Pengembangan ketrampilan tersebut dapat bermanfaat bagi mereka sehingga keberadaan mereka menjadi kuat dan penguatan perekonomian dapat benar-benar terwujud. Saran Cara negosiasi dan pendekatan dengan pedagang yang bersifat kekeluargaan dengan fasilitas yang lebih baik dan tetap. Pemilihan lokasi baru hendaknya memperhatikan target pasar dan segmentasi utama dari PKL. Hal penting dan mendesak lainnya adalah mengubah tindakan satpol PP yang bengis, garang dan galak menjadi ramah dengan senyum yang mengembang. Pemerintah juga hendaknya membangun fasilitas umum di sekitar pasar modern tersebut yang dapat menambah jumlah pengunjung ke pasar modern. Kegiatan promosi merupakan kegiatan yang harusnya dilakukan secara berkelanjutan selama kegiatan perekonomian masih terus berjalan sehingga masyarakat banyak yang mengetahui keberadaan pasar yang baru dan menjadikan pasar lebih ramai guna meningkatkan pendapatan pedagang yang secara otomatis menambah pemasukan ke pemerintah. Harga sewa kios yang mahal hendaknya ditambah dengan fasilitas seperti air bersih yang selalu mengalir dengan
lancar, area parkir, keamanan, sarana komunikasi, kamar mandi, sarana ibadah dan listrik/penerangan yang memadai. Adanya pengawasan dan pembinaan terhadap PKL yang dilakukan dua kali dalam sebulan agar motivasi dan semangat mereka tetap terjaga. Daftar Pustaka Amanah, Siti. Peran Komunikasi Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Donnermeyer, Joseph F, Plested BA, Edwards RW, Oetting G, Littlethunder L. Community Readiness and Prevention Programs. Journal of the Community Development Society. Vol. 28. No. 1. 1997. Fakih, Mansour. Budaya Bisu. Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Jakarta. 1989. Garcia MB. Sociology of Development : Perspective and Issues. National Book Store, Inc. Philippines. 1985. Harris EM. he Role of Participatory Development Communication as a Tool of Grassroots Nonformal Education. Workshop Report. Dalam Guy Bessette and C.V. Rajasunderam (editor). Participatory Development Communication : A West African Agenda. he International Development Research Centre : Science for Humanity. 1996. Nasution Z. Komunikasi Pembangunan : Pengenalan Teori dan Penerapannya. Edisi Revisi. Divisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Graindo Persada. Jakarta. 2002. Oepen, Manfred (ed.). Media Rakyat. Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Jakarta. 1988. Payne M. Modern Social Work heory. Edisi Kedua. Mac Millan Press Ltd. London 1997. Rogers EM. he Difusion Process. Edisi Keempat. he Free Press. New York. 1994. Satria A. Dinamika Modernisasi Perikanan, Farmasi Sosial dan Mobilitas Nelayan. Humaniora Utama Press. Bandung. 2000. Waskita D. Komunikasi Pembangunan Untuk Pemberdayaan. Jurnal Organisasi dan Manajemen Vol. 1. No. 1. September 2005. Wibowo, Fred. Komunikasi Media Teater Rakyat. Makalah Workshop Teater Rakyat. Studio Audio Visual-Universitas Sanata Darma. Yogyakarta. 1994. (http://birokrasi.kompasiana.com/2012/06/14/ Relokasi PKL Belajar Pada Kasus Solo). (http://hasyimibnuabas.blogspot/2012/03/Analisis Permasalahan, Eksternalitas dan Relokasi Pasar Tradisional : Studi Kasus Pasar Dinoyo Kota Malang).
288
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
KOMUNIKASI DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM) MANDIRI DI KOTA SERANG Ipah Ema Jumiati1*) Abstrak Komunikasi merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan implementasi dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di Kota Serang dengan sasaran pemanfaat programnya adalah masyarakat miskin. Oleh karenanya penanggulangan kemiskinan sebagai persoalan multi dimensi tidak dapat dilakukan hanya dengan pemberdayaan ekonomi, karena pemberdayaan masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok dalam memecahkan berbagai persoalan terkait didalamnya adalah upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraannya. PNPM Mandiri yang menitikberatkan pada pemberdayaan diarahkan untuk melibatkan masyarakat miskin mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan, dan pendanaan stimulan diharapkan dapat mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan. Hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif menyatakan bahwa dalam implementasi kebijakan yang menjadi salah satu sebab penting yang menjadi sumber kegagalan dalam program pemberdayaan masyarakat adalah kurang mengakarnya program komunikasi. Kata kunci : Komunikasi, Pemberdayaan, Masyarakat, PNPM Mandiri I. Pendahuluan Pentingnya komunikasi tidak hanya dalam ruang-ruang tertutup, tetapi juga dalam ruang-ruang terbuka mendekat pada kehidupan masyarakat. Komunikasi tersebut dapat dilihat melalui sosialisasi dan koordinasi, yang menjadi faktor penentu bahwa masyarakat mengetahui program-program yang dilaksanakan oleh pemerintah, termasuk program-program pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat. Dalam kenyataannya memang proses komunikasi bukanlah hal instant yang sekali dilakukan kemudian dapat mudah dimengerti oleh masyarakat, namun perlu usaha yang berulangulang dan berkesinambungan agar masyarakat minimal mengerti bagaimana merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi program, termasuk di dalamnya program-program pengentasan kemiskinan di daerah. Kemiskinan merupakan masalah kehidupan di berbagai bidang yang ditandai oleh pengangguran, keterbelakangan dan ketidakberdayaan. Oleh karena itu kemiskinan merupakan masalah pokok nasional yang penanggulangannya tentu saja tidak dapat di tunda dengan alasan apapun dan menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan nasional sesuai dengan prinsip keadilan. Hal ini ditandai dengan berbagai program kemiskinan diluncurkan pemerintah dari tahun ke tahun. Kemiskinan juga merupakan masalah multi dimensi yang penanggulangannya tidak dapat hanya dengan pemberdayaan ekonomi, karena kemiskinan pada hakekatnya merupakan upaya memberdayakan orang miskin mandiri, dalam ekonomi, budaya dan politik. Diperlukan kebijakan komprehensif untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memberdayakan dirinya. Persoalannya kemudian bahwa sebuah agenda kebijakan yang hendak diformulasikan tidaklah mudah, apalagi jika kebijakan tersebut tidak melibatkan berbagai kelompok kepentingan atau stakeholders sebagai pengguna. Dalam kerangka implementasi kebijakan publik tersebut, maka upaya pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan Indonesia telah dilakukan pemerintah dan menempatkan penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas utama kebijakan pembangunan nasional. Berbagai kebijakan dalam RPJM 20042009, diharapkan dapat menurunkan persentase penduduk miskin menjadi 8,2% pada tahun 2009 dan tahun 2015 menjadi sebesar 7,2% (Bappenas, 2005). Lebih dari itu, Indonesia bahkan ikut serta dalam penandatanganan deklarasi Millenium pada September 2003, yang mengadopsi, tujuan pembangunan Millenium (Millenium Development Goals/MDGs), dan MDGs menjadi acuan penting dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia, mulai dari tahap perencanaan yang tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) hingga tahap pelaksanaannya. Ketidakberhasilan kebijakan, bersumber dari cara pemahaman dan penanggulangan kemiskinan yang selalu diartikan sebagai sebuah kondisi ekonomi semata-mata. Akibat pandangan itu, proyek pengentasan kemiskinan atau pemberdayaan masyarakat lapisan bawah hanya sebatas pada upaya perbaikan kondisi ekonomi (peningkatan pendapatan) dan perubahan budaya melalui proyek-
1 *) Penulis adalah Dosen di Program Studi Ilmu Administrasi Negara FISIP Untirta, Banten.
289
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
proyek pelatihan kerja kelompok miskin agar mampu meningkatkan produktivitas Berbagai program kemiskinan dalam kenyataannya sering menghadapi kondisi yang kurang menguntungkan, misalnya salah sasaran, terciptanya benih-benih fragmentasi sosial dan melemahkan nilai-nilai kapital sosial yang ada di masyarakat (gotong royong, musyawarah, dan keswadayaan). Lemahnya nilai-nilai kapital sosial pada gilirannya juga mendorong pergeseran perubahan perilaku masyarakat yang semakin jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan dan kepedulian untuk mengatasi persoalannya secara bersama. Peningkatan jumlah masyarakat miskin, mendorong pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan anti kemiskinan dari berbagai departemen atau sektor. Salah satu diantaranya program pengembangan kecamatan (PPK). Keberhasilan pelaksanaan PPK, dari PPK I hingga PPK III, yang telah berlangsung sejak 1998-2006, mendorong pemerintah Indonesia memutuskan untuk melanjutkan upaya untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan pengangguran di tanah air dengan menggunakan mekanisme dan skema PPK. Agenda besar ini dilaksanakan dalam skala lebih besar (baik cakupan lokasi, waktu pelaksanaan maupun alokasi dananya), yang kemudian dikenal dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Melalui PNPM Mandiri dirumuskan kembali mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Melalui proses pembangunan partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, terutama masyarakat miskin, dapat ditumbuhkembangkan sehingga mereka bukan sebagai obyek melainkan subyek upaya penanggulangan kemiskinan. Kebijakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang sangat gencar dipopulerkan oleh pemerintah, memberi secercah harapan bagi masyarakat miskin, namun ketika diimplementasikan antara apa yang diharapkan dengan apa yang senyatanya, ternyata belum memenuhi harapan masyarakat. Dari hasil pengamatan dan evaluasi, menunjukkan bahwa kegiatan cenderung lebih berorientasi mengejar target capaian bangunan isik dan mengabaikan aspek proses pemberdayaan masyarakat, sehingga proses pemberdayaan masyarakat sebagaimana dalam dokumen, berjalan hanya untuk memenuhi prosedur ketika proyek berlangsung. Nyaris kurang ada peran dari masyarakat setelah proyek selesai, misalnya saja partisipasi dan tanggungjawab masyarakat dalam pemeliharaan sarana. Pada Tahun 2009 Jumlah keluarga Pra Sejahtera di Kota Serang berjumlah 18.907, Keluarga Sejahtera I berjumlah 29.095 dan Keluarga Sejahtera II berjumlah 45.743 dengan jumlah Kepala Keluarga Miskin sebesar 21.427 orang. Sekalipun
dalam ketentuan bahwa masyarakat paling miskin diprioritaskan menjadi penerima utama, ternyata tidak semuanya merupakan kategori miskin sebagaimana yang direncanakan, bahkan ada penerima bantuan telah berkali-kali menerima bantuan dari program kemiskinan yang lain, karena tidak terdata dengan baik. Setiap instansi mempunyai target dan data kelompok sasaran yang berbeda (sektoral), sehingga koordinasi program antar sektor dan antar wilayah yang lemah dan tidak terpadu. Partisipasi masyarakat telah dilaksanakan sesuai pedoman yang ada, akan tetapi tingkat kualitasnya masih jauh dari memuaskan. Ukuran partisipasi masih terbatas pada kesediaan masyarakat berkontribusi dalam pembangunan infrastruktur, sementara berpartisipasi dalam proses pengelolaan proyek relatif tidak mendapat perhatian. Karena itu, beberapa putusan masih didominasi dan dipengaruhi oleh elit desa, termasuk partisipasi kaum perempuan masih sangat terbatas pada kegiatan pengambilan keputusan. Akuntabilitas dan transparansi Pengelolaan dan pengembalian dana bantuan PNPM, juga masíh menyisakan masalah, dana yang dikelola sulit dipertanggungjawabkan dan kurang menyentuh masalah pengentasan kemiskinan dalam meningkatkan keberdayaan masyarakat miskin, karena tidak dilakukan secara tuntas serta perubahannya tidak menunjukkan hasil yang signiikan. Berdasarkan data yang diperoleh, terkait lemahnya akuntabilitas ditemukan kemacetan dalam pengembalian pinjaman bergulir oleh masyarakat penerima bantuan sekitar 70 %. Kemudian alokasi sumber dana yang kurang proporsional, bahwa hampir 93,08 % kegiatan diarahkan pada pembangunan sarana lingkungan, misalnya pembuatan MCK (mandi, cuci, kakus), jalan, tempat pembuangan sampah, dan lain-lain. Akibatnya kegiatan bidang ekonomi dan sosial banyak tidak terlaksana. Terkait dengan kurangnya transparansi, dapat dilihat dari data penerima bantuan yang tidak jelas nama, alamat dan pekerjaannya, melainkan hanya mencantumkan kupon penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bahkan menciptakan permasalahan yang baru, karena aparat pelaksana tidak punya persepsi yang sama dalam memahami program penanggulangan kemiskinan. Penguatan kelembagaan sosial yang dibentuk sebagai upaya pemberdayaan, perannya belum memadai dalam proses pengambilan keputusan, tak lebih sebagai pelaksana. Masalah tersebut terjadi hampir di seluruh wilayah, termasuk juga di Kota Serang dalam pelaksanaan PNPM Mandiri. Oleh karena itulah penulis berasumsi bahwa salah satu faktor yang perlu diperkuat adalah komunikasi dalam PNPM Mandiri melalui berbagai media komunikasi yang ada sehingga penting untuk ditelaah lebih lanjut.
290
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
II. Kajian Pustaka 2.1 Pengertian Komunikasi Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication menurut Efendy (2009 : 9) dalam bukunya ‘Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktik” berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna. Jadi kalau ada dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan lain perkataan, mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu. Lebih lanjut Efendy (2009 : 9) mengatakan bahwa, pengertian komunikasi yang dipaparkan di atas sifatnya dasariah, dalam arti kata bahwa komunikasi itu minimal harus mengandung kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat. Dikatakan minimal karena kegiatan komunikasi tidak hanya informatif, yakni agar orang lain mengerti dan tahu, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan, melakukan suatu perbuatan atau kegiatan, dan lain-lain. Untuk memahami pengertian komunikasi sehingga dapat dilancarkan secara efektif, para peminat komunikasi seringkali mengutip paradigm yang dikemukakan oleh Harold Lasswell (dalam Efendy : 10) dengan karyanya, he Structure and Function of Communication in Society. Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab pertanyaan sebagai berikut : Who Says What In Which Channel to Whom With What Efect? Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni : • Komunikator (communicator, source, sender) • Pesan (channel, media) • Komunikan (communicant, communicate, receiver, recipient) • Efek (efect, impact, inluence) Jadi, berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Selain pengertian komunikasi di atas, dalam konteks implementasi kebijakan publik, penulis merujuk kepada Model Edward III yang menyatakan bahwa sebelum menguraikan faktor-faktor penting dalam studi implementasi mengajukan 2 pertanyaan pokok yaitu (1) hal-hal apa saja yang merupakan prasyarat bagi suatu implementasi yang berhasil; (2) Apa saja yang merupakan penghambat utama terhadap berhasilnya implementasi program? Berdasarkan 291
kedua pertanyaan ini dirumuskan empat faktor atau variabel yang merupakan syarat–syarat terpenting guna berhasilnya proses implementasi keempat faktor itu ialah faktor komunikasi, sumberdaya (resources), disposisi atau kecenderungan pelaksana dan struktur organisasi dan tata aliran kerja birokrasi pelaksana. Dari keempat faktor tersebut komunikasi ditempatkan pada posisi teratas dalam besarnya pengaruh terhadap keefektifan implementasi kebijakan. Ini berkaitan dengan interelasi dan interaksi antara aktor perumus kebijakan (pengambil keputusan) dengan aktor pelaksana kebijakan, maupun komunikasi antar pelaksana kebijakan dengan kelompok sasaran. Berkomunikasi dapat memberikan kejelasan informasi yang akan disampaikan. Faktor komunikasi pada tataran implementasi kebijakan berkaitan dengan konsep komunikasi organisasi dan komunikasi sosial. Komunikasi organisasi memiliki perspektif luas karena juga meliputi komunikasi pada berbagai bidang kehidupan. Faktor komunikasi menjadi hal yang sangat penting dalam implementasi kebijakan, karena meskipun kebijakan yang dihasilkan telah memiliki kualitas yang baik dan bertujuan untuk terpenuhinya kepentingan masyarakat, namun apabila para implementor tidak memiliki pemahaman yang jelas, lengkap dan luas tentang makna dan tujuan kebijakan, maka tentu mereka akan menyampaikannya dengan samar-samar, sempit dan terbatas. Sehingga akibatnya dimungkinan terjadinya sikap apriori, bahkan terjadi penolakan kebijakan dari kelompok sasaran. Secara umum Edward III membahas 3 hal penting dalam proses komunikasi kebijakan yaitu transmisi, konsistensi dan kejelasan. Persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan, karena itu sangat penting faktor –faktor : 1. Transmisi : Proses transmisi dalam komunikasi kebijakan dan komunikasi implementasi kebijakan ditentukan oleh sumber komunikasi (manusia), penerima (manusia), media (manusia dan atau alat dan atau metoda) serta faktor lain yaitu materi (kebijakan ) itu sendiri dan hambatan (communication gap) yang terjadi antara lain akibat noise. Komunikator berfungsi sebagai pengambil keputusan kebijakan (policy maker) dan implementor kebijakan kenyataannya berada pada beberapa lapisan birokrasi. Hambatan komunikasi bisa karena komunikatornya, atau penerima pesan bisa pula karena pesan dan media yang digunakan. Ditinjau dari sisi kebijakan, yang hendak diimplementasikan tentu saja akan mengalami pula hambatan terutama dalam penyampaian pesan, karena itu Edward III (1980:18-26) menyampaikan beberapa faktor penghambat dalam komunikasi atau dalam menyampaikan pesan kebijakan sebagai berikut:
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
1) Tidak adanya kesepakatan (disagreement) dari implementor dalam menangani masalah-masalah pelaksanaan kebijakan, sehingga sering berjalan sendiri-sendiri dan menyimpang dari aturan. 2) Tingkatan birokrasi yang berlebihan, sehingga jalur komunikasi menjadi lebih panjang. 3) Penggunaan arti yang tidak langsung, yang dapat mengundang penafsiran yang berbedabeda. 4) Tidak tersedianya saluran (chanel) yang memadai untuk menyampaikan penelitian pesan. 5) Kesalahan persepsi tentang arti kebijakan, tapi ada keengganan untuk memahami arti yang sebenarnya, sehingga masing-masing mencoba untuk memberi arti dengan kirakira. Kejelasan (Clarity). Informasi begitu penting artinya dalam implementasi kebijakan, karena kendatipun telah disampaikan dengan baik kepada penerima pesan, namun belum tentu akan dapat dilaksanakan dengan baik jika informasi yang disampaikan tidak jelas. Dampaknya pada pengambilan keputusan yang melahirkan persepsi yang berbeda dari para implementor terhadap informasi yang diterima dan besar kemungkinannya implementasi kebijakan akan tidak efektif. 2.
Konsistensi Konsistensi komunikasi dalam rangka implementasi kebijakan sangat penting, untuk memelihara persepsi, memantapkan arah implementasi serta mempertahankan sikap implementor terhadap kebijakan, sehingga sampai pada pencapaian kinerja kebijakan yang diharapkan. Komunikasi yang tidak konsisten dalam implementasi kebijakan dapat terjadi akibat dari penggantian pejabat, perubahan kebijakan, pengaruh eksternalitas yang kuat seperti hasil evaluasi kinerja program, nilai-nilai kepentingan politik, ekonomi, sosial sehingga mempengaruhi tingkat dukungan terhadap implementasi kebijakan. 3.
2.2 Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Arus utama kebijakan publik dalam pengentasan kemiskinan, ujungnya adalah mengarah pada Pemberdayaan Masyarakat (empowerment), dimana Strategi pengentasan masyarakat miskin menurut Dwiyanto (1995:4) tidak lagi hanya berorientasi pada kesejahteraan (welfare oriented strategy) melalui delivered development belaka tetapi lebih difokuskan pada upaya empowernment atau pemberdayaan masyarakat. Model pengentasan kemiskinan yang demikian tidak lagi mengarah pada charity strategy, karena strategi seperti ini lebih berorientasi Assistencialism, (Freire, 1974 dalam
Moelyarto, 1995:24) yang memandang masyarakat sebagai objek asistensi atau objek bantuan dalam pelbagai pelayanan dan pemberian fasilitas sosial. Hal ini makin memperbesar tingkat ketergantungan masyarakat kepada pemerintah yang merendahkan martabat kemanusiaan, dimana pemerintah malah menciptakan pengemis baru. Masalah kemanusiaan inilah yang menjadi inti dasar dari pemberdayaan, sebagaimana dikemukakan Sumodiningrat (1999:44) bahwa pemberdayaan masyarakat juga merupakan upaya meningkatkan harkat dan martabat masyarakat yang dalam kondisi sekarang mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Pendekatan pemberdayaan yang lebih berpusat kepada manusia memungkinkan masyarakat mengembangkan potensi dirinya. Penciptaan iklim yang memungkinkan masyarakat berkembang (enabling), upaya memperkuat potensi yang dimiliki oleh masyarakat (empowering), dan perlindungan (Sumodiningrat,1999:44). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Proses pemberdayaan mempunyai kecenderungan yaitu menekankan pada proses pemberian kekuatan kepada masyarakat lain untuk dapat lebih berdaya. Atau Pemberdayaan adalah suatu cara memberikan kekuatan kepada masyarakat yang powerless agar ikut serta dalam proses pembangunan sebagai proses aktualisasi eksistensi (Pranarka dan Moeljarto, 1996:17). Pemberdayaan masyarakat dapat diartikan pula menurut Suhendra (2006:75) bahwa masyarakat diberi kuasa, dalam upaya untuk menyebarkan kekuasaan, melalui pemberdayaan masyarakat, organisasi agar mampu menguasai atau berkuasa atas kehidupannya untuk semua aspek kehidupan politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, pengelolaan lingkungan dan sebagainya. 3. Pembahasan 3.3. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di Kota Serang PNPM Mandiri merupakan program pemerintah untuk menangani masyarakat miskin. Untuk lancarnya implementasi program tersebut perlu daya dukung komunikasi, bahwa komunikasi merupakan syarat pertama dalam implementasi kebijakan yang efektif. Komunikasi yang baik sangat diperlukan dalam implementasi kebijakan, khususnya komunikasi yang terjalin antar para pelaku kebijakan, baik itu pelaksana dalam satu unit dinas maupun antar unit dinas, bahkan pelaksana antar dinas terkait. Disamping itu, komunikasi juga harus terjalin dengan baik antara pelaksana dengan publik. Pelaksanaan kegiatan program PNPM mandiri di Kota Serang, daya dukung komunikasi dilakukan oleh Konsultan Manajemen Wilayah
292
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
sampai ke tingkatan Fasilitator/pendamping melalui penyediaan berbagai sarana komunikasi yang dibuat. Selanjutnya fasilitator akan meneruskan ke Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan. Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang mereka kerjakan dapat berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan implementasi harus ditransmisikan atau dikomunikasikan) kepada orang-orang yang tepat. Selain itu, kebijakan yang dikomunikasikan harus tepat, akurat, dan konsisten. Edwards III dalam bukunya Implementing Public Policy (1980 : 17) mengatakan bahwa : ”he irst requirements for efective policy implementation is that those who are to implement a decision must know what they are supposed to do. Policy decisions and implementation orders must be transmitted to the appropriate personnel before they can be followed. Naturally, these communications need to be accurate, and they must be accurately perceived by implementors”. Komunikasi diperlukan agar para pembuat keputusan dan para implementor akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang diterapkan dalam masyarakat. Ada 3 indikator yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut diatas, yaitu : 3.1. Transmisi (Transmission) Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi adanya salah pengertian. Terkait transmisi diatas, intensitas penyampaian informasi yang diterima banyak disampaikan oleh fasilitator kelompok. “Konsultan Manajemen Wilayah (KMW) melalui Faskel menyampaikan informasi kepada Pengurus BKM, Pengurus BKM dan Anggota BKM mengadakan pertemuan sebulan sekali di Sekretariat BKM”. (Wawancara dengan Koordinator BKM Kel. Terondol, Kec. Serang: Serang; Jum’at, 1 Mei 2009) Dari pernyataan diatas, diketahui bahwa alur informasi mengalir ke BKM secara hierarkhis diperoleh melalui Fasilitator Kelompok (Faskel) sebagai kepanjangan tangan dari Konsultan Manajemen Wilayah yang bertugas mendampingi BKM. Komunikasi tentunya membutuhkan sarana komunikasi yang memadai, terdapat beberapa sarana komunikasi yang digunakan dalam implementasi PNPM Mandiri ditempuh melalui dua jalur, yaitu 293
periklanan dan kehumasan, yaitu sebagai berikut : A. Periklanan (1) Iklan Layanan Masyarakat Iklan layanan masyarakat akan dibuat dan ditayangkan untuk membangun perhatian (awareness) mengenai prinsip, nilai serta konsep dari PNPM Mandiri. Untuk mendukung keseluruhan proses yang terjadi pada PNPM Mandiri, maka dibuat 3 tema yang masingmasing tema dapat disampaikan melalui tiga versi cerita dan ditayangkan melalui radio lokal, televisi dan koran nasional. Setiap tema diluncurkan sejalan dengan kondisi di lapangan, sehingga akan mendukung proses pemahaman masyarakat penerima bantuan serta kelompok strategis yang akan mendukung suksesnya PNPM Mandiri. Di tingkat kelurahan, fasilitator juga dapat memanfaatkan iklan ini sebagai alat bantu memberikan penjelasan ke masyarakat, sehingga masyarakat juga ikut menyadari bahwa yang mereka lakukan sebetulnya merupakan bagian dari kegiatan nasional untuk menanggulangi kemiskinan secara mandiri. Pelaksana kegiatan Iklan Layanan Masyarakat adalah Konsultan Sosialisasi Pusat, KMP maupun KMW yang pada pelaksanaannya sebaiknya melakukan subkontrak ke pihak ketiga yang berkompeten dalam pembuatan materi iklan layanan masyarakat dan atau biro iklan serta pihak media massa di tingkat nasional dan lokal. (2) Radio Adlips Radio adlips (pembacaan suatu naskah sebagai selingan acara) cukup efektif untuk menyampaikan suatu pesan khusus kepada masyarakat penerima bantuan. Tujuan adlips ini adalah agar setiap saat dapat menyampaikan pesan tertentu sehingga secara transparan diketahui oleh seluruh masyarakat. Pesan-pesan adlips ini ada yang merupakan pesan nasional (diprogramkan dari pusat) dan ada pula yang bersifat sangat lokal, seperti membantuk kelompok masyarakat agar dapat mendukung kelancaran PNPM Mandiri. Radio adlips ini dapat menjadi saluran komunikasinya para fasilitator kelurahan sehingga lebih cepat dapat menjangkau banyak orang di suatu wilayah tertentu. Pelaksanaa kegiatan radio adlips ini lebih banyak di konsultan sosialisasi, KMP (Konsultan Manajemen Propinsi, KMW (Konsultan Manajemen Wilayah) bekerja sama dengan Tim fasilitator serta kader masyarakat sebagai pemberi masukan mengenai materi yang sesuai dengan jadwal kerja di setiap daerah. KMP harus mengawasi jadwal penayangan dan
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
kesesuaian konsep pesan yang disampaikan dengan jadwal nasional. Terkait sarana komunikasi melalui media radio adlips pernah dilakukan oleh KMW Provinsi Banten melalui fasilitator di Kabupaten Serang, sebagaimana diungkapkan Fasilitator Bidang Ekonomi KMW-Provinsi Banten dan DKI Jakarta, berikut : ” Konsultan pernah mengadakan sosialisasi PNPM Mandiri di Kabupaten Serang, yaitu di Radio Harmony FM Serang yang berlokasi di daerah Drangong karena kita berlangganan disana. Mengenai budgetnya dari KMW”. (Wawancara: Serang; Rabu, 13 Januari 2010) B. Kehumasan dan Materi Cetakan Pada proyek PNPM Mandiri perkotaan, salah satu tanggungjawab sosialisasi adalah termasuk menyebarluaskan berbagai informasi yang menunjang proses-proses yang diharapkan terjadi dalam PNPM Mandiri, seperti antara lain proses demokrasi, partisipasi, transparansi dan sebagainya, yang akan dilakukan melalui jalur kehumasan yang mencakup di dalamnya kegiatan-kegiatan sebagai berikut : 1) Lokakarya orientasi 2) Penawaran berita (news pitching) 3) Konferensi Pers 4) Press Release (sebaran berita) 5) Media monitoring 6) Sarasehan Kelompok Strategis 7) Event 8) Talkshow radio (live lokal dan pre-recorded secara nasional) 9) Website dan content management 10) Focused Group Discussion 11) Silaturahmi warga 12) Lokakarya penggunaan internet 13) Kunjungan jurnalis ke daerah proyek. Penjabaran dari masing-masing kegiatan tersebut adalah sebagai berikut : • Lokakarya Orientasi Merupakan lokakarya pengenalan PNPM Mandiri dan mekanismenya terhadap stakeholder, seperti kepada pejabat pemerintahan, mulai di tingkat nasional hingga tingkat kecamatan. Hasil yang diharapkan dari lokakarya ini adalah terbangunnya pengertian dan dukungan terhadap kegiatan PNPM Mandiri dan keberlanjutannya. • Penawaran berita (news pitching) Mengunjungi kantor redaksi media massa untuk memberi penjelasan mengenai launching PNPM Mandiri dan pelaksanaan PNPM Mandiri. Pada saat ini diharapkan media tersebut mau mendukung kegiatan conditioning menuju saatnya launching. Conditioning dimulai dengan menurunkan tulisantulisan tentang kemiskinan dan model dukungan pemerintah terhadap penanggulangan kemiskinan. KMP dan KMW menyiapkan berbagai data dan
tulisan yang berhubungan atau menunjang. • Konferensi Pers Mengundang wartawan untuk diberi penjelasan secara terbuka , tepat dan proporsional mengenai topik yang dianggap penting untuk disebarluaskan secara langsung kepada wartawan media cetak dan elektronik. • Press Release (Sebaran Berita) Dalam kaitan PNPM Mandiri perkotaan, press release berfungsi untuk mengkomunikasikan berbagai hal yang terjadi dalam pelaksanaan PNPM Mandiri yang menjadi hak masyarakat (khususnya penerima manfaat atau yang berhubungan secara langsung maupun tidak dalam pelaksanaan PNPM Mandiri), baik berupa kemajuan, hambatan, maupun hal-hal lain yang layak untuk dipublikasikan. Penyiaran press release merupakan bagian dari kegiatan sosialisasi PNPM Mandiri dalam mewujudkan prinsip transparansi yang menjiwainya. • Media Monitoring Merupakan pengumpulan berita dari media cetak di seluruh Indonesia mengenai kemiskinan secara umum dan PNPM Mandiri, sehingga dapat dilakukan pengkajian atas opini publik serta feed back dari masyarakat. Media yang dipantau terutama media cetak nasional dan media lokal di wilayah lokasi PNPM Mandiri. • Sarasehan Kelompok Strategis Pertemuan informasi antara kelompok strategis (akademisi, pemerintahan daerah, sektor swasta) di tingkat kabupaten dan kecamatan dimaksudkan untuk memberi pemahaman atas pelaksanaan PNPM Mandiri, sehingga kelompok ini dapat memberi dukungan dan memberi masukan yang berguna bagi pelaksanaan proyek serta upaya-upaya dalam menanggulangi kemiskinan. Pelaksanaan sarasehan harus dilakukan secara informal untuk melepaskan jarak antara masing-masing pelaku sehingga kelak kegiatan ini dapat dilakukan oleh mereka secara mandiri. • Event Penyelenggaraan aktivitas yang tidak langsung berhubungan dengan aktivitas komunikasi, namun dipandang efektif untuk menyisipkan pesan untuk mengajak keterlibatan berbagai pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek. Event yang dapat diselenggarakan dengan berbagai variannya adalah infotainment, acara keagamaan dan sport event. Acara ini dilakukan di tingkat kelurahan atau kecamatan (dimana kelurahan yang dicakup berdekatan satu sama lain). o Infotainment Menyelenggarakan acara-acara kesenian yang digemari khalayak yang menjadi sasaran sosialisasi, misalnya wayang, reog, musik dangdut, dan lain-lain.
294
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Sport Event Menyelenggarakan acara-acara olah raga yang melibatkan khalayak sasaran yang menjadi sasaran sosialisasi, misalnya sepak bola antar warga berhadiah kambing, tarik tambang, bola volley, panjat pinang, dan lain-lain. o Tabligh Akbar atau acara keagamaan lainnya Dengan mengundang da’i atau tokoh agama yang dikenal dan disegani masyarakat untuk menyelipkan juga pesan-pesan moral dukungan terhadap PNPM Mandiri sebagai bagian dari program penanggulangan kemiskinan. • Talkshow Radio (live lokal dan pre-recorded secara nasional) Membuka ruang diskusi di radio yang melayani kelompok penerima manfaat atau stakeholder PNPM Mandiri untuk melakukan tanya-jawab secara terbuka. Keunggulan talkshow ini adalah pertanyaan dan jawaban yang diberikan dapat diketahui secara langsung dan luas, sehingga hambatan pelaksanaan di tingkat kabupaten dapat dikurangi. Selain itu, dibukanya ruang diskusi melalui radio akan mendorong kegairahan penerima manfaat untuk mengetahui lebih jauh tentang PNPM Mandiri. • Website dan content management Media website sangat berguna karena wilayah kerja PNPM Mandiri yang relatif luas dan berada di daerah yang relatif jauh dari manajemen pusat. Dengan bantuan website dapat diciptakan sebuah mekanisme komunikasi dan penyimpanan data (archive) yang dapat diakses dari berbagai tempat yang berhubungan dengan sosialisasi. • Focus Group Discussion Dilakukan dalam rangka menghimpun informasi dari para stakeholder mengenai sesuatu masalah atau isyu spesiik. FGD juga dapat mendiskusikan kemungkinan kontribusi aktif dari para stakeholder mengenai sesuatu rencana kegiatan yang akan berlangsung. Untuk menumbuhkan pengertian bersama serta dukungan kolektif. Terkait FGD sebagai salah satu sarana komunikasi dalam implementasi PNPM Mandiri, Unit Pengelola Kegiatan (UPK) BKM Kelurahan Terondol, Kecamatan Serang mengemukakan : ”Peran komunikasi sangat penting, terutama menyangkut koordinasi BKM dengan Faskel yang akan dilanjutkan ke KMW. Dalam PNPM Mandiri, komunikasi dilakukan melalui rembug warga, Focus Group Discussion releksi kemiskinan dan pelatihanpelatihan yang berkaitan dengan PNPM dalam rangka membangun kemandirian masyarakat. Demikian juga pada saat proses pencairan dan proses pelaporan, dilakukan pada moment musyawarah desa, untuk o
295
meminimalisir kecurigaan masyarakat karena ditakutkan dana akan digunakan bukan untuk peruntukkannya. Namun dirasakan masyarakat lebih terbuka mengungkapkan permasalahan kemiskinan warga jika tidak ada faskel, karena merasa lebih terbuka”. (Wawancara : Serang; Rabu, 6 Mei 2009) • Silaturahmi Warga Dilakukan dalam rangka menjalin hubungan yang lebih harmonis antara warga yang akan terlibat atau sudah terlibat PNPM Mandiri dengan aparat kelurahan atau kecamatan serta para pemuka pendapat yang akan mendampingi mereka dalam pelaksanaan PNPM Mandiri. Tujuan acara ini adalah agar terciptanya kemungkinankemungkinan upaya meningkatkan mutu kegiatan PNPM di wilayah mereka. Acara ini juga harus dilakukan secara informal dan merupakan acara yang diinisiasi oleh warga dan fasilitator kelurahan. Terkait pentingnya silaturahmi warga sebagai sarana pendukung kegiatan PNPM Mandiri, sebagaimana dikemukakan oleh Kasubid Perindustrian dan Perdagangan dan Investasi Kota Serang : ”Sarana komunikasi yang digunakan tidak dibatasi dengan media resmi saja, apapun bisa digunakan, seperti melalui pengeras suara di mesjid, forum-forum pengajian, arisan, dan lain-lain tergantung kondisi daerah setempat sebagai penerima program.” (Wawancara : Serang; 29 Januari 2010) • Lokakarya penggunaan internet Dalam mendukung penggunaan internet dan sistem informasi manajemen wilayah PNPM Mandiri, maka untuk wilayah yang sudah masuk akses internet dilakukan suatu lokakarya mengenai penggunaan dan pemanfaatan internet. Lokakarya ini dilakukan di tingkat kabupaten/kota dengan pesertanya berasal dari berbagai pelaku aktif PNPM Mandiri seperti Fasilitator Kelurahan, Kader Komunitas dan atau pejabat pemerintah daerah yang aktif mendukung PNPM Mandiri. Untuk memudahkan komunikasi dengan stake holders terkait, informasi mengenai PNPM Mandiri dalam lingkup kabupaten/kota di provinsi Banten diantaranya dapat di download melalui emai l :
[email protected] atau kmw_
[email protected].
Kunjungan jurnalis ke Daerah Proyek (Site Media) Mengajak wartawan dari berbagai media untuk berkunjung ke lapangan agar mereka dapat mengetahui dan memberi penilaian secara proporsional atas pelaksanaan PNPM Mandiri. Wartawan yang terlibat baik dari tingkat pusat maupun lokal untuk mengunjungi lokasi proyek di propinsi mereka atau propinsi tetangga mereka
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
sebagai perbandingan hasil. Untuk menunjang kegiatan-kegiatan kehumasan tersebut, maka perlu disiapkan terlebih dahulu materi cetakan, sebagai berikut : • Poster Media ini berbentuk selembar kertas dengan ukuran yang cukup besar yang berisi informasi tertentu kepada khalayak khusus yang menjadi sasaran program. Pemasangan dilakukan di tempat-tempat strategis di desa/kelurahan yang menjadi tempat pelaksanaan PNPM Mandiri untuk menjamin penyampaian maksimum dan penyimakan khalayak dari jumlah poster yang terbatas. • Booklet Komik atau Cerita Bergambar Buku yang berisi informasi ringkas dengan bahasa yang mudah dicerna dan didukung visualisasi gambar. Isi yang disajikan mencakup mekanisme, tahapan proyek, dan pelestarian dana proyek. Buku ini disebarkan melalui kegiatan pelatihan, silaturahmi warga atau pada saat pertemuan rutin di tingkat masyarakat penerima bantuan. • News Letter (Buletin) Berbentuk majalah 8-16 halaman yang terbit berkala (1 bulan satu kali), berisi perkembangan informasi PNPM Mandiri yang disajikan dengan bahasa populer dan ringkas serta didukung pula tampilan foto (gambar). Terkait Bulletin sebagai sarana komunikasi dalam implementasi PNPM Mandiri tersebut, BKM Drangong Usaha Bersama (DUB) pernah mengadakan bulletin sebagai media komunikasi yang dibuat oleh BKM sebagai media untuk mengkomunikasikan kegiatan-kegiatan PNPM Mandiri yang sedang dan akan dilaksanakan oleh BKM, sebagaimana dikemukakan oleh Koordinator BKM Desa Drangong Kecamatan Taktakan, Serang : ”Media komunikasi melalui telepon seluler maupun pertemuan tatap muka secara langsung agar komunikasi berjalan dua arah. Tidak hanya itu di BKM Drangong pernah membuat media informasi bagi masyarakat berupa bulletin warga yang berisi program-program yang ada, programprogram yang akan dilaksanakan maupun program-program yang akan datang. Namun sayang bulletinnya hanya berjalan tiga bulan karena keterbatasan anggaran”. (Wawancara : Serang; Senin, 29 Maret 2010) • Kalender Kalender merupakan alternatif yang dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan secara bertingkat sesuai dengan perkembangan proyek. Misalnya dalam kurun waktu tiga bulan, dalam satu lembaran dapat diinformasikan mengenai prosedur pembentukan KSM hingga di lembar
terakhir diinformasikan mengenai kelestarian program. • Spanduk Pemasangannya dilakukan di tempat-tempat strategis di desa/kelurahan yang menjadi tempat pelaksanaan PNPM Mandiri untuk menjamin penyampaian maksimum dan penyimakan khalayak. Isi pesan spanduk lebih dititikberatkan pada substansi PNPM Mandiri tentang kemandirian dan keberlanjutan program, serta prinsip dan nilai PNPM Mandiri. Isinya cukup berupa slogan atau pesan pendek yang mudah diingat. • Toolkit Presentasi (untuk Fasilitator Kelurahan) Perangkat peraga yang dapat dimanfaatkan fasilitator kelurahan untuk memudahkan tugasnya dalam mendesiminasikan tiap tahapan proyek kepada kelompok sasaran. Alat peraga ini dapat berupa lembar-lembar kain atau bahan parasut yang mudah digulung, ringan dan tahan air (mudah kering jika basah). Berisi gambar-gambar serta penjelasan PNPM Mandiri dalam bahasa yang sederhana. Tim sosialisasi didorong untuk menambah berbagai materi cetakan atau kegiatan kehumasan lainnya jika ada sisa anggaran dan dianggap perlu dilakukan untuk menunjang suksesnya PNPM Mandiri. Terkait keberadaan sarana komunikasi sebagai faktor pendukung pelaksanaan PNPM Mandiri di Kabupaten Serang, salah seorang Tim Ahli KMWPNPM Mandiri Provinsi Banten dan DKI Jakarta mengemukakan : ”Sarana komunikasi yang digunakan selama ini adalah melalui media sosialisasi, lokakarya, semiloka. Disamping itu ditunjang dengan buku pedoman umum, pedoman pelaksanaan, SOPSOP (Standar Operasional Baku), spanduk, poster, lealet, dan lain-lain. Di tataran konsultan juga diadakan komunitas belajar konsultan secara berjenjang dalam rangka peningkatan kapasitas konsultan”. (Wawancara : Serang; Senin 4 Januari 2010) Dari beberapa sarana komunikasi yang tersebut di atas, baik melalui media periklanan maupun kehumasan, dalam prakteknya tidak semuanya dapat dipahami maksudnya dengan mudah oleh para pelaksana PNPM Mandiri, terutama di tingkatan BKM dan KSM karena pesan yang disampaikan tidak sampai sepenuhnya, bahkan terjadi salah pengertian karena penyampaian informasi intensif dilakukan ketika akan ada program saja. Dari hasil wawancara di atas, diketahui bahwa komunikasi intensif diharapkan dilakukan secara intensif pada saat sebelum program dimulai, ketika dilaksanakan sampai dengan program selesai dilakukan. Disamping itu proses pendampingan dari Konsultan juga dilakukan sampai ke tataran KSM
296
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
melalui komunikasi yang persuasif dengan media yang terjangkau, mudah dimengerti, dan diterima masyarakat sehingga informasi yang disampaikan dapat dipahami maksud sesungguhnya oleh masyarakat, bukan hanya aparat lembaga pelaksana saja, sebagaimana dikemukakan oleh Edwards III (1980) dalam Saefullah (2007 : 50) : ”Pemahaman pelaksanaan kebijakan bukan hanya harus dimiliki oleh aparat lembaga pelaksana tetapi juga oleh publik atau masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan. Langkah selanjutnya dalam pelaksanaan kebijakan adalah melakukan sosialisasi agar kebijakan diketahui, dimengerti, dan diterima oleh semua pihak yang bersangkutan. Kegiatan ini harus dilakukan melalui komunikasi yang sifatnya persuasif dengan pemilihan media yang terjangkau dan mudah dipahami komunikan”. Jadi dapat disimpulkan, jika terjadi pemaknaan yang sama antara komunikator, yaitu aparat pelaksana PNPM Mandiri dengan komunikan, yaitu masyarakat penerima program, maka komunikasi dikatakan berhasil mencapai tujuan yang diinginkan, sehingga terhindar dari salah pengertian sehingga informasi yang disampaikan dapat diterima dengan baik sampai kelompok terkecil masyarakat miskin yang menerima manfaat program. Disamping itu ketersediaan sarana komunikasi yang mendukung dan memadai juga memegang peranan penting dalam mendukung keberhasilan implementasi kebijakan. 3.2 Kejelasan (Clarity) Faktor kedua yang dikemukakan Edwards adalah kejelasan. Jika kebijakan-kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas dan tidak membingungkan. Seringkali instruksiinstruksi yang diteruskan kepada pelaksana-pelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan dan bagaimana suatu program dilaksanakan. Ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaikan berkenaan dengan implementasi kebijakan akan mendorong terjadinya interpretasi yang salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna pesan awal. Namun demikian, ketidakjelasan pesan komunikasi kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi, pada tataran tertentu para pelaksana kebijakan membutuhkan leksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Edwards dalam Winarno (2007 : 177) mengidentiikasi enam faktor yang mendorong terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan. Faktor tersebut adalah kompleksitas kebijakan, keinginan untuk tidak mengganggu kelompokkelompok masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan, masalahmasalah dalam memulai suatu kebijakan baru, 297
menghindari pertanggungjawaban kebijakan, dan sifat pembentukan kebijakan pengadilan. Sehubungan dengan adanya enam faktor pendorong terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan, dalam hal implementasi kebijakan PNPM Mandiri di Kota Serang ini, penulis melihat dari bentuk partisipasi masyarakat penerima program dalam kaitan PNPM Mandiri, hambatan-hambatan komunikasi dengan para pelaksana PNPM Mandiri, kejelasan informasi yang diterima dari pimpinan dan apakah dalam melaksanakan tugas, informasi yang disampaikan pimpinan mudah dipahami. Bentuk partisipasi masyarakat penerima program dalam kaitan dengan PNPM Mandiri di Kabupaten Serang adalah tenaga, sumbangan material/barang, uang, konsumsi (makanan), swadaya masyarakat, gotong-royong, pelibatan dalam musyawarah dan terlibat mulai perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi program. Koordinator BKM Kelurahan Terondol, Kecamatan Serang mengemukakan: ”Bentuk partisipasi masyarakat berupa gotong-royong membangun jalan dan sarana umum lainnya, misalnya MCK, jalan paving block, bak sampah, gorong-gorong (drainase), pembangunan sarana air bersih. Terdapat juga masyarakat yang menyumbang bahan-bahan bangunan, seperti semen dan pasir walaupun hanya sedikit. Masalahnya masyarakat ekonomi menengah ke atas di lingkungan kompleks masa bodoh, tidak mau turun tangan, sumbangan memberi kalau diminta”. (Wawancara : Serang; Jum’at, 1 Mei 2009) Dari hasil wawancara di atas diketahui bahwa di lingkungan kompleks keterlibatan masyarakat dari strata ekonomi menengah ke atas akan ada manakala diminta, bahkan cenderung tidak peduli terhadap program PNPM Mandiri sebagai upaya penanggulangan kemiskinan. Jadi dapat dikatakan kurangnya solidaritas. Hambatan-hambatan komunikasi dengan para pelaksana PNPM Mandiri dalam implementasi PNPM Mandiri di Kota Serang adalah sebagian masyarakat mempunyai sikap mental yang beranggapan bahwa PNPM sama dengan program Jaring Pengaman Sosial jaman dulu., sebagaimana dikemukakan oleh Tim Ahli KMW-PNPM Mandiri Provinsi Banten dan DKI Jakarta, berikut : ”Hambatan-hambatan yang terjadi adalah masih sebagian orang mempunyai sikap mental yang beranggapan bahwa PNPM sama dengan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) jaman dulu. Oleh karena itu pilihan bagi masyarakat, apakah bisa komitmen atau tidak. Berbagai program kemiskinan terdahulu yang bersifat parsial, sektoral dan charity dalam kenyataannya sering menghadapi kondisi yang kurang menguntungkan. (Wawancara :
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Serang; Senin, 4 Januari 2010). Lebih lanjut bahwa kondisi kapital sosial serta perilaku masyarakat yang melemah serta memudar tersebut salah satunya disebabkan oleh keputusan, kebijakan dan tindakan dari pengelola program kemiskinan dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang selama ini cenderung tidak adil, tidak transparan dan tidak tanggung gugat (tidak pro poor dan good governance oriented). Hal itu menimbulkan kecurigaan, stereotype dan skeptisme di masyarakat. Hambatan komunikasi lainnya adalah adalah sulitnya mengumpulkan anggota-anggotan BKM dan kurangnya inisiatif warga untuk melaksanakan program. Berdasarkan hasil wawancara di atas, menurut analisa penulis bahwa hambatan-hambatan komunikasi yang muncul adalah bahwa masyarakat terkadang sulit untuk diajak terlibat dalam program pembangunan, meskipun untuk meningkatkan derajat kehidupannya. Hal tersebut seperti dikemukakan Weber bahwa kemakmuran/kesejahteraan harus dicapai dengan kerja keras dan hidup hemat. Hal ini semacam pendekatan dalam perspektif kultural yang melihat kemiskinan ditandai dengan sifat seperti apatis, pasrah pada nasib, boros dan tergantung (Kamanto, 2000 : 7). Komunikasi menjadi jelas manakala informasi yang diterima dari pimpinan tidak berbelitbelit, sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan dari Tim Ahli KMW-PNPM Mandiri Provinsi Banten dan DKI Jakarta : ”Informasi dari pimpinan cukup jelas dan terlebih dahulu dilakukan sosialisasi dalam rangka penyamaan pemahaman dan persepsi sehingga tidak terjadi distorsi pada saat pelaksanaan program”. (Wawancara : Serang; Senin, 4 Januari 2010). Sementara itu Koordinator Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) PNPM Mandiri Kota Serang, mengemukakan : ”Saluran komunikasi lebih cepat ke Konsultan daripada ke Pemerintah daerah. Surat menyurat ke konsultan. Komunikasi antara TKPKP dengan TKPKD dulu lemah karena jarang terjadwal (Jadwal tidak jelas), untuk itu TKPKP berusaha mengadakan koordinasi yang lebih intensif dengan tingkat kecamatan. Selama ini juga diadakan rapat koordinasi per triwulan antara Pemerintah daerah, Konsultan dengan Stakeholder di tingkat Kelurahan dan Kecamatan. Misalnya : Pada akhir tahun anggaran rencana pelaksanaan kegiatan dibuatkan satu schedule, lebih bagus tertuang dalam satu dokumen untuk memudahkan koordinasi. Laporan perkembangan setiap bulan ada ”. (Wawancara : Serang; Kamis, 28 Januari 2010) Dari hasil wawancara di atas diketahui bahwa informasi yang diterima dari pimpinan cukup jelas,
karena terlebih dahulu diadakan sosialisasi, rapat koordinasi per triwulan antara Pemerintah Daerah, Konsultan dengan para pelaksana PNPM Mandiri di tingkat Kecamatan dan Kelurahan. Terkait informasi yang diterima dari Lurah, PJOK (Penanggungjawab Operasional Kegiatan) maupun Konsultan, Koordinator BKM Kelurahan Terondol Kecamtan Serang, mengemukakan: ” Selama ini BKM melakukan koordinasi dengan Kelurahan, dalam hal ini Pak Lurah, Pak Fahruroji dan juga dengan Kecamatan melalui PJOK, Ibu Yeti untuk penandatangan proposal kegiatan. Informasi teknis banyak kami dapat melalui Fasilitator Kelompok yang ditunjuk Konsultan Manajemen Wilayah (KMW). Bukannya berbelit-belit, tetapi ada hierarkhisnya dari KMW, terus ke Faskel kemudian baru informasi sampai ke BKM ”. (Wawancara : Serang; Jum’at, 1 Mei 2009) Selanjutnya, fasilitator bidang ekonomi mengemukakan : ” PNPM selalu mengalami perubahan peraturan, perubahan kebijakan. Boleh dikatakan cepat. Dengan cepatnya perubahan ini ada kalanya kita yang menerima peraturan itu belum siap. Belum siap menerima perubahan ini misalnya begini: tentang masalah format pemanfaatan BLM kemarin yang kita sampaikan ke BKM begini, ternyata ada perubahan yang baru. Berarti BKM harus kerja ekstra, juga mengeluarkan dana ekstra. Kita tidak pernah menghambat, menundanunda informasi. ”. (Wawancara : Serang; Rabu 13 Januari 2010) Dari hasil wawancara dengan informan di atas, dapat diketahui bahwa informasi yang diterima masyarakat berjalan secara hierarkhis dari atas ke bawah (top down) sehingga BKM sifatnya menunggu dan menerima saja prosedur yang telah ditetapkan, termasuk perubahan-perubahan format laporan yang sering terjadi. Hal tersebut menjadikan BKM sebagai obyek pembangunan, bukan sebagai subjek pembangunan karena yang diharapkan terjadinya bottom up approach tidak tercapai karena program-program pembangunan yang dilaksanakan lebih mengutamakan pertumbuhan (growth) dan kurang memperhatikan pemerataan pembangunan. 3.3 Konsistensi (Consistency) Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah konsistensi. Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Menurut Edwards III dalam Winarno (2007 : 178) dengan menyelidiki hubungan komunikasi dan implementasi, maka dapat mengambil generalisasi,
298
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
yakni bahwa semakin cermat keputusan-keputusan dan perintah-perintah pelaksanaan diteruskan kepada mereka yang harus melaksanakannya, maka semakin tinggi probabilitas keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah pelaksanaan tersebut dilaksanakan. Dalam situasi seperti ini, penyimpangan-penyimpangan transmisi merupakan sebab utama kegagalan inplementasi. Sehubungan dengan konsistensi, terkait implementasi kebijakan di Kota Serang, Salah seorang Pejabat Bappeda Kabupaten Serang mengemukakan : ” Terkait dengan kebijakan program, tentunya didasarkan kepada aturan dan prosedur yang telah ditentukan” (Wawancara : Serang; Jum’at, 29 Januari 2010). Sementara itu, Tim Leader KMW-PNPM Mandiri Provinsi Banten dan DKI mengemukakan : ”Kebijakan kadang berubah, hal ini tentunya atas dasar pertimbangan-pertimbangan dari si pembuat kebijakan itu sendiri semata-mata demi perbaikan/lebih baik lagi ” (Wawancara : Serang; Senin, 4 Januari 2010). Berdasarkan hasil wawancara di atas, diketahui bahwa kebijakan selama ini belum konsisten dilaksanakan karena terkadang masih berubah atas dasar pertimbangan-pertimbangan tertentu, sehingga waktu pelaksanaan kegiatan yang sudah ditetapkan menjadi lebih lambat dari target seharusnya. Didalam implementasi PNPM Mandiri di Kota Serang, konsistensi dapat dilihat dari apakah petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak) ditafsirkan berbeda oleh bagian yang melaksanakan tugas dan apakah juknis dan juklak lebih dipercayakan kepada pimpinan untuk menafsirkannya. Fasilitator bidang Ekonomi mengemukakan : ” Pernah terjadi juklak dan juknis ditafsirkan berbeda oleh pelaksana program di tataran BKM, ini menjadi tugas dari Faskel. Dalam segala kesempatan kita harus mensosialisasikan konsep PNPM tidak bosan-bosan, harus tetap dijaga ringnya ke arah sana. Pedoman banyak, tetapi garis besarnya harus tahu. Mengenai penafsiran juklak dan juknis, faskel lebih dipercaya untuk menjelaskan juklak dan juknis ”. (Wawancara : Serang; Rabu, 13 Januari 2010). Tanggapan serupa juga dikemukakan oleh Tokoh Masyarakat di Desa Sepang, Kecamatan Taktakan : ” Juklak dan Juknis terkadang memang ditafsirkan berbeda karena rumit dan tidak setiap orang bisa langsung memahaminya. Jadi sebaiknya dibuat lebih simpel dan mudah dimengerti oleh orang awam. Juklak dan Juknis lebih dipercayakan ke Faskel. Faskel ke BKM dan UPK. UPK ke anggota BKM dan KSM ”. (Wawancara : Serang; Kamis, 17 Desember 2009) Berbeda dengan tanggapan informan299
informan sebelumnya, Salah seorang Tim Ahli Konsultan PNPM Mandiri Provinsi Banten dan DKI mengemukakan: ”Juknis dan Juklak sebenarnya tidak ditafsirkan berbeda-beda, kadang belum konsisten dalam implementasi. Penafsiran Juknis dan Juklak tersebut tidak hanya bertumpu kepada pimpinan, tetapi dilakukan analisis/kajian oleh semua pelaku agar tidak terjadi salah atau berbeda penafsiran dari sisi substansi seutuhnya”. (Wawancara : Serang; Senin, 4 Januari 2010) Dari paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kejelasan komunikasi adalah salah satunya ditentukan oleh faktor konsistensi. Keadaan ini akan mendorong kemungkinan perintah-perintah implementasi tidak konsisten. Akhirnya semakin besar perhatian para pembuat keputusan terhadap preseden yang menjungkirbalikkan, maka semakin tinggi probabilitas keputusan-keputusan mereka yang nampak tidak konsisten. Jadi salah satu sebab penting yang menjadi sumber kegagalan dalam program pemberdayaan masyarakat adalah kurang mengakarnya program komunikasi. 4. Simpulan dan Saran 4.1 Simpulan Komunikasi dalam PNPM Mandiri di Kota Serang masih ditemukan hambatan-hambatan komunikasi dengan para pelaksana PNPM Mandiri. Hambatan tersebut terjadi dikarenakan pelaksanaan kegiatan sosialisasi yang bertujuan memberikan pemahaman yang utuh mengenai PNPM Mandiri tidak dilakukan secara berjenjang dan intensitasnya masih rendah. Akibatnya menimbulkan distorsi dalam sehingga informasi mengenai PNPM Mandiri yang diterima masyarakat miskin penerima manfaar program menjadi tidak utuh. Lebih jauh menimbulkan perbedaan persepsi antara pengambil kebijakan dengan pelaksana kebijakan. 4.2 Saran Sehubungan dengan simpulan di atas, perlu adanya penekanan bahwa kegiatan sosialisasi dalam PNPM Mandiri memegang peranan yang sangat penting, terutama bagi stakeholders terkait. Oleh karena itu untuk mengurangi distorsi informasi yang diterima masyarakat, maka pelaksanaan sosialisasi seyogyanya dilakukan pada unit terkecil di masyarakat yaitu tingkat Rukun Tetangga (RT) dengan peserta masyarakat pada lapis terbawah dan dilakukan oleh orang yang benarbenar memahami substansi program agar mengurangi kesalahan dalam menyampaikan informasi.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Daftar Pustaka Dwiyanto, Agus. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. 1995. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Edward, G. C. III. 1980. Implementing Public Policy. Washington DC : Congressional Quarterly Press. Efendy, Onong Uchyana. 2009. Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek. Bandung : Rosdakarya. Kamanto, Sunarto. 2000. Pengantar Sosiologi. Jakata : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Moeljarto. 1995. Politik Pembangunan, Sebuah Analisis Konsep, arah dan Strategi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Pranarka dan Vidhyandika M. dalam Onny.SP dan AMW.Pranarka (ed) 1996 Pemberdayaan. Jakarta:CSIS. Saefullah, Djadja. 2007, Pemikiran Kontemporer Administrasi Publik (Perspektif Manajemen Sumberdaya Manusia Dalam Era Desentralisasi. Jakarta :LP3AN. Suhendra, K. 2006. Peranan Birokrasi dalam Pemberdayaan Masyarakat. Bandung : Alfabeta Sumodiningrat, Gunawan. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. Jakarta : Gramedia. Winarno Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Jakarta : Media Pressindo.
300
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
PUBLIK DAN MEDIA, KAWAN ATAU LAWAN? Media Literasi sebagai Sarana Penguatan Peran Publik di Tengah Gempuran Ekonomi Politik Media Mufti Nurlatifah1*) Abstrak Relasi yang terjadi antara media dengan publik, tidak selamanya memunculkan simbiosis mutualisme. Media dan publik dalam beberapa relasi memunculkan tarik menarik kepentingan, kadang kala seimbang, kadang kala tumpang tindih. Idealnya, media menempatkan diri sebagai penyedia konten yang proporsional untuk publik. Proporsional disini dalam arti sesuai dengan apa yang dibutuhkan publik. Akan tetapi, dalam praktiknya, ekonomi politik media adalah persoalan yang tidak dapat dihindarkan karena dalam relasi antara media dengan publik juga melibatkan industri sebagai environtment dimana media berada. Ketika industrialisasi sudah melekat kepada media, maka relasi antara media dengan publik sangat memungkinkan berjalan timpang. Publik tidak lagi diposisikan sebagai pengakses informasi yang harus dilayani dan dipertimbangkan. Publik justru ditempatkan sebagai komoditas yang menjadi sekan-akan terabaikan kepentingannya di media. Akibatnya, banyak sekali konten media yang mengesampingkan kepentingan publik karena mengejar kapital semata. Dari titik inilah tuntutan bagi publik untuk aktif dan kritis menjadi penting. Gerakan literasi media pada akhirnya bukan lagi menjadi tuntutan yang diada-adakan, tapi menjadi keharusan agar publik sebagai pemilik sumber daya tetap terlindungi kepentingannya. Keywords : media, publik, ekonomi politik, media literasi, pemberdayaan publik 1. Pendahuluan McQuails dalam Mass Communication heory menyatakan bahwa yang dipandang sebagai publik dalam relasi antara media dengan masyarakat sebagai the general body of free citizens of a given society or some smaller geographical space. Konotasi ini berkaitan pula dengan publik dalam konsep demokarasi.(McQuails, 2010 : 567). Publik dalam konsep umum dipandang sebagai masyarakat pada umumnya. Untuk beberapa konsep lainnya, publik berada dalam deinisi abuabu karena publik bisa pula dipandang sebagai stakeholder media, pemegang kebijakan media, dan lain sebagainya. Akan tetapi dalam artikel ini, konsep publik yang akan diperbincangkan disini adalah konsep publik dalam arti audiens pengakses media. Pengakses media ini adalah mereka masyarakat luas yang menonton, membaca, mendengarkan, dan menyimak media. Pada kondisi yang ideal, relasi antara media dengan publik seharusnya menempatkan kepentingan publik sebagai major priorioty. Menurut McQuails, kondisi ideal ini akan terbentuk apabila dua kriteria main public interest criteria for media terpenuhi. Kedua kriteria yang dikemukakan oleh McQuails ini meliputi persoalan structure dan content. Terdapat beberapa isu terkait bagaimana sistem media tersebut tersetruktur dan bekerja pada kondisi ideal antara media dengan publik, meliputi : freedom of publication, plurality of ownership, universality of provision, diversity of channels and forms, serta diversity of information opinion, and 1 *) Penulis adalah Dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM, Yogyakarta.
301
cultural content.(McQuails, 2010 : 165) Sedangkan dari sisi konten, menurut McQuails key element yang harus dipenuhi untuk mencapai keadaan ideal dalam relasi antara media dengan masyarakat, antara lain: support for maintaining public order and the security of the state, quality of cultural provision, support for democratic process, dan meeting international human rights obligations. (McQuails, 166-167) Kondisi ideal ini hanya akan tercapai dengan terpenuhinya kedua kelompok kriteria di atas. Akan tetapi pada praktiknya, dalam performancenya media di Indonesia khususnya maupun dunia pada umumnya sulit sekali memenuhi dua kriteria ini. Paling terdapat persoalan mendasar terkait ekonomi politik media yang pada akhirnya menuntut media untuk menampilkan performance yang prima. Akan tetapi kondisi performance media ini dalam lingkungan ekonomi politik yang sudah mengakar justru menempatkan publik dalam relasi antara media dengan masyarakat sebagai pihak yang tersisih. Pasalnya, publik bukan lagi sebagai pihak yang harusnya dilayani, tapi justru menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Inilah yang kemudian mengilhami makin maraknya gerakan literasi media. 2. Pembahasan Media Performance, Peluang Sekaligus Tantangan Kehadiran media sebagai ‘medium’ komunikasi yang hadir dalam masyarakat, tidak hanya semakin
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
kompleks, namun juga semakin tertantang karena perkembangan yang muncul dalam masyarakat. Performance dari media dalam memenuhi kebutuhan masyarakat menjadi tolok ukur jamak yang diberlakukan di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Kualitas media bukan lagi menjadi kebutuhan, tapi keharusan untuk bisa tetap bertahan sebagai industri maupun medium komunikasi dan informasi bagi masyarakat. Sayangnya, kedua hal ini, media sebagai industri dan media sebagai medium milik publik tak sepenuhnya bisa berjalan seiringan. Dalam media performance, keduanya seringkali berjalan tumpang tindih atau justru saling meniadakan. Untuk melihat bagaimana proses tersebut berjalan dalam proses bermedia, McQuails menawarkan beberapa parameter yang bisa menjadi tolok ukur untuk melihat kecenderungan performance media dalam relasi media and society. Pertama, kebebebasan dan independensi. Mc Quails menawarkan rumusan kebebasan ini sebagai sebuah kondisi, bukan sebuah kriteria kerja semata. Dalam prinsip dasarnya, kebebasan merupakan sebuah pendeinisan lebih lanjut untuk mendeskripsikan kebebasan berekspresi dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Prinsip ini harus diartikan sebagai tidak adanya peraturan atau kontrol yang membatasi atau mengarahkan media. (McQuails, 2010 : 192) Kebebasan dalam berkomunikasi, paling tidak mempunyai dua aspek yang harus diperhatikan, yaitu menawarkan pendapat yang lebih beragam dan menanggapi kebutuhan masyarakat yang jauh lebih luas. Disinilah secara lebih lanjut ditunjukkan bagaimana budaya media bekerja, independensi terbentukk, dan berbagai hal seperti kreativitas, originalitas, dan kreativitas muncul. Kesetaraan dalam bermedia yang dibutuhkan. Secara lebih lanjut McQuails menggambarkan dalam bentuk hierarki dan berbagai faktor yang mempengaruhi kinerja suatu media. Kondisi struktural yang memberikan ruang bagi media secara legal untuk mempublikasikan informasi. Kondisi struktura yang menjadi acuan karena media bebas dari tekanan ekonomi maupun tekanan politik. Ruang yang cukup bagi publik dan akses yang terbuka atas akses informasi. Pada jenjang organisasi media, kebebasan biasanya dinilai berdasarkan kadar kontrol yang disajikan oleh para pemilik media terhadap para komunikator (penyunting, produsen, dan lain-lain), serta kontrol yang dikenakan oleh pada komunikator sendiri terhadap pada bawahannya (wartawan, pengarang, seniman, dan lain-lain) dalam wadah organisasi yang seringkali bersifat birokratis dan hirarkis. Sehubungan dengan isi media, seringkali terwujud dalam bentuk penghapusan berita (sensor) tertentu sehingga mengakibatkan perbedaan antara
isi suntingan dengan apa yang diberikan oleh sumber. Prinsip ini setidaknya memberi harapan bahwa media akan mampu melakukan berbagai upaya aktif untuk menciptakan dan memelihara suasana independen serta menolak kontrol eksternal yang dipaksakan atau konformitas dengan kelompok yang mementingkan diri sendiri. Adanya kebebasan dalam bermedia menjadi keuntungan dalam suatu budaya media. Dengan media yang bebas dan mempunyai ruang untuk mengemukakan pendapatnya, merupakan suatu keadaan yang akan memungkinkan suatu media bertindak sebagai ‘watchdog’. Dalam kondisi seperti ini, idealnya media akan memberikan sudut pandnag yang jauh lebih objektif terhadap pemerintah sebgai penguasa maupun kepada pemilik modal (kapital). Kedua, prinsip kesetaraan dalam bermedia. Kesetaraan dalam bermedia ini bermakna cukup luas. Untuk itu, demi memberikan pemahaman yang pasti mengenai prinsip ini, harus diperhatikan korelasi kesetaraan ini dalam hubungan komunikasi seperti apa. Dalam penjabaran umum, kesetaraan ini bisa berarti organisasional dimana dalam pengelolaan media sebagai suatu organisasi tidak ada intervensi dari pihak luar. Bisa pula bermakna, dalam hal content media tidak ada campur tangan dari pihak luar yang bisa mempengaruhi isi dari media tersebut. Dengan kondisi seperti ini, dapat dikatakan semua pihak, baik dalam kondisi seperti apapun tidak mempunyai perbedaan dalam media. Prinsip objektivitas dalam media yang menonjol pada prinsip kesetaraan ini. (McQuails, 2010 : 195) Prinsip kesetaraan ini sebagai suatu konsep dalam kriteria penampilan media mempunyai korelasi paling tidak dengan tiga elemen yang membangun media, yaitu akses terhadap media yang bersangkutan, keberagaman yang muncul, serta masalah objektivitas. Dalam hal akses, kesetaraan menawarkan suatu kondisi proporsional dimana media bersikap terbuka dan memperbolehkan siapapun mengakses, dalam arti tidak bermaksud mengintervensi ataupun membuat media ‘berpihak’ pada pihak-pihak tertentu. Kesetaraan dalam kacamata keberagaman menawarkan niatan untuk perubahan menjadi ‘sesuatu’ yang lebih baik dan memperkaya informasi yang beredar dalam masyarakat karena adanya akses yang sama. Sedangkan objektivitas mempertaruhkan media dalam kondisi sebagai penyampai kebenaran yang adil dan tidak berpihak kepada siapapun. Kriteria ketiga yang ditawarkan McQuails adalah, keanekaragaman dan akses. Keanekaragaman merupakan kondisi yang diperlukan khalayak untuk dapat menentukan pilihan. Dalam keadaan ini, keanekaragaman dianggap perlu untuk memberikan
302
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
referensi. Kondisi seperti ini menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan demokrasi. Pasalnya, pandangan-pandangan yang muncul akan menjadi pembanding satu sama lain dan membuka peta persaingan dalam kondisi yang proporsional. Dengan demikian, implikasi yang mungkin muncul adalah tercapainya perubahan sosial yang akan menjadikan persebaran informasi dalam masyarakat menjadi lebih mengakar. (McQuails, 2010 : 196 – 197) Pada level masyarakat secara umum, keanekaragaman ini biasanya diukur dengan melihat jumlah media independen yang ada dalam masyarakat. Semakin banyak media independen yang dapat dilihat dan dihitung, maka semakin baik pula keberagaman yang ada dalam masyarakat kita. Secara lebih jauh, keanekaragaman ini akan meminimalisir monopoli media, yang secara prinsip ditentang oleh prinsip keanekaragaman yang dijelaskan McQuails ini. Dalam kondisi makro, keanekaragaman selayaknya tidak hanya dilihat dari jumlah media independen dan tidak independen saja. Keanekaragaman ini juga bisa dilihat melalui semua jenis media yang ada (media cetak seperti koran dan majalah, radio, televisi, internet), sektor media yang dituju, maupun segmentasi dari media. Sedangkan dalam level mikro, keanekaragaman media ini bisa dilihat dari karakter tiap-tiap media seperti melihat content media, berapa jumlah judul yang muncul dengan tipikal tulisan yang seperti apa. Semakin banyak judul yang muncul dan semakin banyak jenis tulisan akan semakin baik pula media tersebut. Namun, ukuran yang paling banyak dipakai dan cukup ampuh untuk memberikan gambaran kecenderungan media adalah kebijakan editorial. Dalam beberapa media, kebijakan editorial ini dinamakan pula tajuk rencana. Kebijakan ini merupakan indikator yang paling nyata yang akan membantu memberikan pandangan terhadap keanekaragaman yang ada dalam media. Perlu menjadi catatan bahwa keanekaragaman yang muncul dalam media mempunyai dua subprinsip keanekaragaman. Yang pertama keanekaragaman releksif, mengandung pengertian bahwa keanekaragaman media harus merupakan pencerminan keanekaragaman masyarakat secara proporsional. Yang kedua adalah akses yang terbuka, mengandung makna bahwa semua pandangan dan sektor dalam masyarakat dianggap sama. Keanekaragaman yang muncul karena adanya media, seringkali dipandang sebagai sesuatu yang positif karena merupakan suatu wujud dari kebebasan bermedia yang telah terjadi. Keanekaragaman menjadi gambaran beragamnya informasi yang akan mungkin diakses oleh masyarakat. Namun, karena cakupan keanekaragaman yang sangat luas, untuk melihat 303
kacamata mana yang akan kita gunakan dalam melihat keanekaragaman ini, agamakah, keadaan sosialkah, aliran politikkah, atau variabel lainnya. Keempat, ketertiban dan solidaritas. Kebanyakan media telah bergerak dalam batas-batas yang dapat diterima oleh masyarakat dan terikat oleh harapan masyarakat untuk tidak berbuat sesuatu yang seharusnya tidak dilakukannya,. Sesuatu yang selayaknya dilakukan oleh media yang dimaksud dalam konteks ini adalah segala macam tindakan yang dapat menimbulkan disorganisasi sosial, atau merusak individu, kelompok sosial atau masyarakat itu sendiri. (McQuails, 2010 : 203) Wujud ketertiban dan solidaritas dapat berupa pembuktian menyangkut dampak negatif yang bisa timbul akibat adanya media. Jadi, sebagai bagian suatu masyarakat, media hendaknya menghindari gesekan-gesekan yang mungkin akan memicu konlik vertikal maupun horizintal akibat banyaknya kepentingan yang bermain dalam masyarakat. Prinsip ini kadangkala dimaknai sebagai wujud ‘otoritarianisme’ jika mengartikannya dengan begitu saja tanpa memahami konteks. Pasalnya, ketertiban dalam masyarakat memang mungkin terwujud jika ada peran serta dari atas (pemerintah) yang akan mengkondisikan dan memaksa masyarakat agar berlaku tertib. Dalam masyarakat yang mempunyai paham liberal, upaya mencapai ketertiban ini biasanya terwujud alam bentuk pelarangan atas suatu hal. Sebagai perwujudan solidaritas media masih dapat diidentiikasi dalam beberapa bentuk. Acuan yang dipakai tentunya hal-hal yang bersifat normatif maupun prososial. Artinya, norma yang berlaku dalam masyarakat menjadi pertimbanagn utama untuk menjalankan roda media. Misalnya dukungan secara positif dewan redaksi terhadap kelompok yang bertentangan untuk mencapai kata damai, himbauan tentang kepentingan bersama dan kedamaian, pemantapan identitas melalui kepentingan dan semangat berbangsa, dan dukungan pada nilai-nilai komunitas setempat. Kelima, obyektivitas dan kualitas informasi. Obyektivitas pada umumnya berkaitan dengan berita dan informasi. (McQuails, 2010 : 199) Menurut J. Westersthal, komponen utama obyektivitas berita dapat digambarkan sebagai, kefaktualan yang dikaitkan dengan bentuk penyajian laporan tentang peristiwa atau pernyataan yang dapat dicek kebenarannya pada sumber dan disajikan tanpa komentar. Kefaktualan ditentukan oleh kebenaran, yang dapat berupa keutuhan laporan ketepatan yang ditopang oleh pertimbangan independen, dan tidak ada niat untuk menyalaharahkan atau menekan. Relevansi berkenaan dengan proses seleksi yang dilaksanakan menurut
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
prinsip kegunaan yang jelas untuk kepentingan khalayak dan masyarakat. Impartialitas, dihubungkan dengan sikap netral wartawan (reporter), sikap yang menjauhkan setiap penilaian pribadi dan subyektif demi pencapaian sasaran yang diinginkan. Prinsip keenam yang ditawarkan oleh McQuails untuk melihat penampilan suatu media adalah objektivitas (McQuails, 2010 : 200). Maknanya bahwa isi media harapannya mempunyai kualitas kebenaran dan keaslian, kedalaman, tidak berupaya untuk melakukan manipulasi dan mengarahkan pada sikap kritis. Objektivitas yang berlaku dalam suatu media memang lebih banyak dititiberatkan pada kualitas informasi (pemberitaan dalam media) daripada pada kebijakan ekternal media. Meskipun aspeknya pada content sebagai titik berat, namun prinsip objektivitas ini membawa dampak yang cukup signiikan dalam pengelolaan media. Objektivitas merupakan nilai sentral menjadi disiplin profesi yang berlaku bagi para wartawan ataupun jurnais dalam menjalankan pekerjaanya. Dalam dunia jurnalis, objektivitas acapkali dikaitkan dengan konsep cover both side, dimana dalam suatu pemberitaan, jurnalis tidak boleh hanya mengunggulkan ataupun mengulas salah satu pihak saja. Oleh karenanya objektivitas mempunyai korelasi yang sangat erat dengan independensi. Objektivitas menjadi papan penunjuk bahwa media yang bersangkutan tidak mempunyai keterkaitan dengan pihak-pihak tertentu atau ditunggangi oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan. Dengan demikian, objektivitas merupakan hal yang penting untuk mempertahankan kredibilitas suatu media. Secara lebih lanjut, arti penting objektivitas dapat dilihat dari konsep yang ditawarkan Westershal melalui bagan di bawah ini, dimana secara sederhana dinyatakan ada keterkaitan antara komponenkomponen yang membangun objektivitas dan objektivitas merupakan bangunan yang mempunyai implikasi secara lebih lanjut dalam suatu penyampaian informasi. (McQuails, 2010 : 202)
imparsialitas
kefaktualan
kebenaran
relevansi
keseimbangan Netralitas
Secara lebih lanjut, objektivitas lebih merupakan suatu tujuan yang hendak dituju daripada
sekedar cita-cita mulia. Namun,tujuan ini masih urung dari wujud nyatanya, karena untuk mendapatkan media yang kukuh dengan objektivitasnya masih merupakan perjalanan panjang yang belum berujung. Pertarungan informasi dan narasumber yang menjadi faktor penyebab objektivas ini belum sepenuhnya terjadi. Kriteria penilaian ketujuh atau yang terakhir yang ditawarkan oleh McQuails adalah yang berkaitan dengan kualitas budaya. Penilaian yang menggunakan prinsip kebudayaan ini bukan ditujukan kepada isi media yang bernilai informatif, namun lebih kepada isi media yang sifatnya iksi, hiburan, maupun iklan. Nilai budaya lebih mudah dilihat dan diterapkan pada hal-hal tersebut daripada pada nilai-nilai pemberitaan. (McQuails, 2010:205) Nilai kebudayaan ini dapat diihat melalui penggambaran dan pencatutan kebudayaan dari aslinya ke dalam media. Artinya, kriteria yang dipakai dapat diaplikasikan dalam bentuk bagaimana releksi sosial budaya dalam masyarakat masuk ke dalam media. Tujuan dari adaptasi nilai asli kebudayaan ini adalah budaya tidak semata-mata dimanfaatkan oleh komunikator (orang yang memanfaatkan budaya itu dalam media) untuk menyokong kepentingannya sendiri dan melupakan nilai-nilai luhur yang seharusnya terpelihara dalam masyarakat. Penilaian atas bagaimana kualitas nilai budaya ini dimanfaatkan memang tidak serta merta nampak dalam keadaan nyata ketika sudah masuk dalam media. Salah satu cara mengukurnya adalah dengan melihat keadaan asli ketika budaya itu masih berada dalam lingkungan masyarakat dengan ketika budaya itu sudah masuk dalam media. Sejauh mana perubahan dan adaptasi yang dilakukan oleh media tersebut dari ruang lingkup aslinya dengan yang sudah masuk dalam media. Salah satu yang menjadi perhatian mengenai kualitas budaya ini adalah munculnya sensasionalisme. Dominic mencatat, tak jarang media mengubah isi pesan dari apa yang terjadi di lapangan, berkaitan dengan budaya ini, ke dalam media sehingga terjadi perubahan yang cukup signiikan. Artinya antara yang asli dengan yang adaptasi sudah berbeda. Inilah sensasionalisme. Pada kenyataannya, media secara lebih jauh justru menempatkan apa yang ada di masyarakat sebagai komoditas daripada sebagai memelihara dan memberdayakan masyarakatnya. Akuntabilitas Media Melalui tolok ukur media ini, secara lebih jauh kita bergerak untuk melihat akuntabilitas media. Performance media tentunya menunjukkan akuntabilitas media, dan akuntabilitas media inilah
304
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
yang akan menjadi titik pijak dimana sebenarnya media berpihak, masyarakat atau industri. Feintuck (1999:120) melihat akuntabilitas ini sebagai dua point penting. Pertama, akuntabilitas merupakan persyaratan untuk memberikan sebuah nilai kepada aksi yang dilakukan oleh seseorang ataupun institusi yang mempunyai implikasi kepada publik atau mempunyai kaitan dengan kekuasaan publik. Kedua, akuntabilitas ini berkaitan dengan suatu hal mengenai sangsi yang didapatkan oleh pelanggar ketika dia berhadapan dengan sesuatu yang berkuasa. Sedangkan rumusan yang ditawarkan McQuails mengenai akuntabilitas media ini berkaitan dengan proses yang terjadi secara sukarela maupun dipaksakan oleh media untuk menjawab baik secara langsung dan tidak langsung mengenai kualitas maupun konsekuensi dari persebaran informasi yang dilakukan untuk kepentingan masyarakat. Aktivitas ini didasarkan pada referensi tertentu atas penilaian masyarakat secara umum. Dengan demikian, dalam posisi media yang ideal, akuntabilitas media ini dilihat dengan seberapa jauh media mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya berdasarkan sistem yang berlaku dalam masyarakat. Pada kasus Indonesia sebagai penganut iklim demokrasi, akuntabilitas ini dilihat dengan bagaimana media memenuhi diversity of content dan diversity of ownership yang menempatkan publik sebagai prioritas dibandingkan persoalan lainnya. McQuails dalam Mass Communication heory menawarkan dua model dari akuntabilitas media ini yang akan mendukung dari penampilan media kepada masyarakat atau audiensnya. Dua model yang ditawarkannya adalah liability model dan answerability model (McQuails, 2010 : 207-210) Liability model memberikan tekanan pada hal-hal yang mempunyai potensi membahayakan dari media publikasi yang beredar baik kepada individu sebagai audiens maupun kepada masyakarat. Ukuran yang dapat digunakan untuk melihat implikasi dari model ini adalah akibat yang ditimbulkannya mempunyai akibat hukum baik secara dalam hukum publik maupun hukum privat. Model yang kedua adalah answeabliity law, yang sangat berbeda dengan model yang pertama tadi. Pada model ini penekanannya justru pada hal-hal yang berada di luar peradilan sperti debat, negosiasi, diskusi, maupun hal-hal lain yang sifatnya menjembatani konlik atau berbegai kepentingan yang mungkin bergesek ketika terjadi hubungan antara media dengan masyarakat. Hal-hal yang sifatnya verbal jauh lebih ditonjolkan daripada hal-hal material. Model apapun yang akan berlaku dalam akuntabilitas ini, ini berkenaan dengan siapa dan 305
bagaimana berhubungan dengan media. Karena bagaimanapun penampilan media yang akuntabel memang ditentukan oleh masyarakat yang menikmati media itu sendiri. Pihak-pihak yang berpengaruh dalam membangun akuntabilitas media ini sebagai mitra antara lain, audiens, klien yang berkecimpung dalam media (pengiklan maupun sponsor lainnya), pengisi acara dalam media (agensi, artis, pemerintah, maupun instansi yang berkaitan), komunitas yang mungkin ada, pemilik media dan stakeholder, serta regulator dan pembuat hukum (legislatif ). Perbedaan-perbedaan dari pihak-pihak yang terlibat dalam membangun akuntabilitas yang layak bagi media, memunculkan suatu kerangka berpikir untuk akuntabilitas media ini sebagai suatu alternatif untuk melihat bahwa dari masing-masing pihak yang terlibat dalam proses ini mempunyai tipe-tipe yang berbeda. Secara garis besar, perbedaan utama dari masing-masing pihak yang terlibat itu terpilah dalam empat kerangka utama yaitu : kerangka hukum dan regulasi, kerangka pasar, kerangka tanggungjawab sosial, dan kerangka tanggung jawab secara profesional. Dalam kacamata kerangka hukum, hal yang patut menjadi perhatian adalah muatan-muatan media yang selayaknya akomodatif dan tidak rawan konlik. Artinya, media dapat berjalan dalam suatyu koridor yang tidak bermaksud melawan hukum dan memuat hal-hal yang tidak membahayakan kepentingan masyarakat. Sedangkan dalam kerangka pasar, media tak berbeda dengan faktor ekonomi yang lain dimana terdapat tarik ulur atas permintaan dan pemasok. Kekuatan konsumen tentu menjadi pertaruhan agar media tetap tampil sebagai produk ekonomi yang akuntabel. Kerangka yang ketiga berkaitan dengan tanggungjawab sosial, dimana media tidak hanya berkewajiban untuk memberitakan, namun juga melindungi masyarakat dari kepentingan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Ini artinya, media juga mempunyai tanggung jawab secara sosial untuk melindungi masyarakat dari terpaan media. Sudut pandang profesional yang ditawarkan kerangka kerja profesional media, sebagai kerangka terakhir yang ditawarkan McQuails, menekankan bahwa media harus bekerja secara profesional dengan memperhatikan etika dan standarisasi media yang digunakan secar aumum, seperti kode etik pemberitaan, periklanan, dan sebagainya. Akan tetapi kondisi ideal yang digambarkan oleh McQuails, dimana media hidup dalam suatu lingkungan yang mendukung akuntabilitas dengan performance yang prima serta menempatkan publik sebagai prioritas ini acapkali harus berhadapan dengan kepentingan industri yang menekan. Kepentingan publik yang seharusnya diutamakan justru tertindih
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
berbagai kehendak industri dan menempatkan publik sebagai komoditas daripada prioritas. Media yang seharusnya menjadi kawan justru menjadi lawan karena mereka menempatkan diri sebagai jembatan kapital daripada jembatan informasi. Inilah ekonomi politik media. Ekonomi Politik Media Ekonomi politik media merupakan masalah krusial yang tidak terelakkan ketika media masuk dalam ranah industrialisasi. Menurut Vincent Moscow dalam bukunya he Political Economy of Communication (1998), pendekatan dalam ekonomi politik intinya berpijak pada relasi sosial, khususnya yang menyangkut relasi kekuasaan, baik dalam produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya (resourches). Dalam ekonomi politik komunikasi, sumber daya ini dapat berupa surat kabar, majalah, buku, kaset, ilm, internet dan sebagainya. Artinya, dalam pandangan ekonomi politik media adalah industri yang kemudian menempatkan publik sebagai bagian dari komoditas industri. Sebagai komoditas acapkali kepentingan publik terabaikan karena mereka adalah aset yang memutar roda ekonomi. Secara lebih jauh untuk memahami bagaimana praktik ekonomi politik media ini terjadi, Mosco menawarkan tiga pendekatan, yaitu komodiikasi, spasialisasi, dan strukturasi. Dalam pandangan Mosco, komodiikasi merupakan upaya mengubah apapun menjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan. Halhal yang berkaitan dengan komodiikasi ini adalah isi media, jumlah audience, dan iklan. Pendekatan kedua yang ditawarkan Mosco adalah spasialisasi, yang dimaknai sebagai upaya untuk mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan sosial. Isu-isu penting spasialisasi ini berkaitan dengan peran negara, globalisasi, komunikasi dan konsentrasi, serta nasionalisme, sosialisme, dan lokalisme. Gerbang ekonomi politik media ketiga yang ditawarkan Mosco melalui konsepnya adalah strukturasi. Melalui strukturasi yang terinspirasi oleh Giddens Mosco mencoba mengajak melihat interaksi interdependensi antara agen dengan struktur sosial dimana agen itu berada. Hasil akhirnya adalah serangkaian hubungan sosial dan proses kekuasaan yang terorganisir di antara kelas, gender, ras, dan gerakan sosial, yang semuanya saling berhubungan. Dengan sudut pandang yang sedikit berbeda, Peter Golding dan Graham Murdock menawarkan dua perspektif untuk melihat ekonomi politik, yaitu perspektif kritis dan perspektif liberal. Perspektif ekonomi politik liberal mengurai bagaimana proses pertukaran pasar terjadi, dimana individu mempunyai
hak dan kebebasan untuk menentukan komoditaskomoditas yang berkompetisi berdasarkan tingkat kepuasaan dan kemanfaatan yang dapat mereka capai berdasarkan penawaran yang ada. Oleh karenanya, media membuka peluang bagi siapapun untuk diakses dan dimiliki secara bebas sesuai dengan peranan yang dimainkannya. Inilah maksud invisible hand yang pernah diutarakan Adam Smith. Media, ketika sedang berada di pasar, mempunyai kesempatan yang sangat bebas dan luas untuk dimiliki oleh siapapun dan untuk ikut berkompetisi dalam pasar tersebut. Pada pendekatan kritis, Golding dan Murdock menyatakan bahwa media, seharusnya tidak hanya dilihat dalam struktur liberalisme semata. Disinilah kunci dimana Golding dan Murdock meletakkan media dalam perspektif kritis, bahwa media bukan hanya sebagai institusi yang melakukan produksi, distribusi, dan konsumsi. Tapi juga melakukan ketiga hal tersebut dalam suatu lingkungan sosial, ekonomi, maupun politik yang strukturnya saling mempengaruhi. Untuk ekonomi politik media, dalam relasi antara media dengan publik secara jelas menempatkan publik sebagai komoditas. Publik adalah parameter iklan. Publik adalah parameter rating. Media memandang publik sebagai salah satu cara untuk memutar roda ekonomi media sebagai sumber daya yang harus menuai untung. Dalam kondisi ini, media acapkali mengesampingkan kebutuhan publik akan informasi yang seharusnya disajikan media. Informasi ini bukan komodiikasi pesan yang sudah ditreatment oleh media seperti halnya yang terjadi dalam media hari ini. Untuk itulah publik sebagai pengakses media dituntut untuk cerdas dan peka terhadap apapun yang terjadi di media. Publik juga dituntut untuk cerdas dan kritis dalam menyikapi media. Publik hari ini, seharusnya dipandang sebagai publik yang aktif, yang senantiasa punya sikap kritis atas berbagai hal yang terjadi di media. Publik dan Literasi Media Bertahun-tahun semenjak kemunculan ilmu komunikasi sebagai sebuah kajian, ilmuwan komunikasi dibenamkan pada kepercayaan bahwa publik merupakan pihak yang pasif ketika berhadapan dengan media. Relasi media dengan publik yang linear ini menjadi kepercayaan jamak dan menempatkan publik seakan-akan tidak berdaya dengan suguhan media di hadapannya. Suguhan televisi yang tidak layak, kualitas informasi di surat kabar dan media online yang tidak cover both side, cekokan internet yang tidak ada habisnya, seakan-akan menjadi bagian dari daily life yang biasa-biasa saja. Publik hanya akan bereaksi ketika terjadi disfungsi ataupun malfungsi
306
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
yang terjadi. Misalnya, ketika ada kasus anak SD yang meninggal akibat ikut-ikutan bergulat layaknya tayangan smack down atau ketika ada sejumlah siswi yang diculik oleh teman yang baru dikenalnya melalui jejaring sosial. Publik bereaksi, saat aksi telah terjadi. Keadaan ideal yang digambarkan McQuails dengan menempatkan media sebagai bagian dari lingkungan yang menjamin kebutuhan publik dalam mengakses informasi pun seakan-akan menjadi keadaan utopia karena ekonomi politik media yang mencengkeram. Akuntabilitas media dengan menjunjung publik sebagai pihak yang seharusnya diutamakan kepentingannya menjadi harapan yang sedemikian jauh diraih ketika kuasa kapital membuat publik bungkam. Pada sejumlah keadaan suara publik membentur tembok yang tebal dan tinggi karena counter yang mereka lakukan diacuhkan oleh media. Bahkan regulasi yang seharusnya menjadi pagar pun tak punya taji ketika berhadapan langsung dengan ekonomi politik media. Kebutuhan publik atas informasi yang layak dan media yang akomodatif inilah yang kemudian menjadi bahan bakar gerakan literasi media di Indonesia. Publik sesungguhnya sudah jenuh dengan aktivitas media yang semakin tidak memperhitungkan kepentingan mereka. Alih-alih mengakomidasi, media justru menempatkan publik sebagai barang dagangan demi mengejar materi semata. Inilah yang menjadi alasan, literasi media bukan lagi sebagai solusi semata dalam relasi antara media dengan publik, tapi menjadi keharusan agar relasi linear media dengan publik tidak seterusnya menempatkan publik sebagai pihak yang pasif. Gerakan literasi media digadang-gadang menjadi bagian dari pembelajaran publik yang melibatkan publik tidak hanya sebagai penonton dan penikmat, tapi juga sebagai ilter dan pengkritik media. Sikap otoriter media dengan ekonomi politiknya yang sok tau kebutuhan publik tanpa menanyakan kepada publiknya apa yang menjadi kebutuhannya. Dalam gerakan literasi media, publik didorong untuk aktif melakukan ilterisasi dengan suguhan media. Misalnya, ketika publik menemukan tayangan televisi yang tidak layak, maka publik bisa melaporkannya kepada regulator media yang berwenang seperti Komisi Penyiaran Indonesia. Publik yang dalam hal ini adalah masyarakat tidak perlu lagi merasa sungkan untuk mengkritik, karena suara mereka dijamin kebebasannya oleh konstitusi. Hanya saja yang menjadi catatan bagi gerakan literasi media ini adalah kesadaran masyarakat atas melek media ini belum sepenuhnya mengakar pada masyarakat. Dalam sejumlah gerakan yang dikampanyekan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat 307
(LSM) maupun institusi pendidikan penggagas literasi media, gerakan literasi media ini masih berkutat pada kalangan menengah ke atas saja. Sementara kalangan menengah ke bawah, justru merekalah yang paling rentan dengan persoalan media ini. Hari ini, televisi bukan lagi menjadi barang mahal yang hanya ada di ruang tengah keluarga. Tapi sudah terhubung langsung di kamar-kamar secara personal. Hari ini pula, jaringan internet tidak lagi hanya di dalam komputer besar saja. he world in your hand, mengutip salah satu jargon produk teknologi. Internet melalui gadget tersedia di tangan kita dan dimanapun kita berada. Harga gadget yang semakin murah membuat media bisa dinikmati oleh semua kalangan, dari kalangan bawah sampai kalangan atas. Dengan demikian gerakan literasi media ini seyogyanya dilakukan secara menyeluruh. Public sphere sepenuhnya milik publik. Public sphere sepenuhnya pula seharusnya digunakan untuk kepentingan publik. Akan tetapi pada praktinya, public sphere dalam kasus di Indonesia masih saja dikuasai oleh golongan tertentu saja. Mereka yang memegang izin frekwensi, justru asyik menyalahgunakan izin tersebut sebagai medium untuk menyebarkan ideologi politik dan kepentingan kapital semata. Di sisi lain, publik sebagai pemilik public sphere justru menikmari euforia media dan terjebak di dalamnya. Inilah alasan, mengapa kegiatan literasi media tidak bolah hanya dilakukan secara parsial, tapi harus dilakukan secara menyeluruh. Gerakan literasi media bukanlah simbol dan kampanye semata, tapi ini menjadi peluang dan bukti nyata bahwa publik masih memiliki kekuatan untuk ikut berpartisipasi dalam memilter media. Ini juga menjadi kesempatan bagi publik untuk meraih hak mereka sebagai pemilik public sphere agar kepentingan mereka juga ikut diperhitungkan. 3. Kesimpulan Pada relasi yang ideal, hubungan antara media dengan publik seharusnya menempatkan publik sebagai pihak yang dilayani oleh media. Performance media dalam memenuhi kepentingan publik ini seyogyanya menempatkan publik sebagai prioritas. Akan tetapi, praktik ekonomi politik media juga bukan hal yang tidak terelakkan ketika publik justru ditempatkan sebagai komoditas daripada prioritas. Alhasil, konten media yang diakses publik banyak sekali yang tidak menyuarakan kepentingan publik dan memenuhi kebutuhan publik. Publik dicekoki oleh media secara brutal demi keuntungan semata. Pada titik inilah publik harus kritis dalam menyikapi keberadaan media. Mereka harus menyadari bahwa roda gerak media juga bertumpu pada keberadaan mereka. Publik menentukan porsi iklan dan rating.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Publik pula yang menentukan performance media baik atau tidak. Untuk itulah literasi media menjadi hal yang penting. Literasi media disini bukan hanya sekedar gerakan yang mengkampanyekan untuk melek media saja. Melek media ini juga dimaksudkan untuk merestrukturisasi kembali relasi antara media dengan publik. Sebagai pihak yang aktif, publik dalam gerakan literasi media diharapkan turut menjadi watch dog dan pengkritik media yang akan senantiasa memperjuangkan hak-hak mereka dalam bermedia. Gerakan ini pula yang menjadi pendorong untuk publik bahwa mereka bukan sekedar pihak yang aktif dan bisa dijejali konten media tanpa bisa apa-apa. Gerakan literasi media ini sebenarnya menjadi bukti kuasa publik atas media.
Daftar Pustaka Dominick, Joseph R. he Dynamics of Mass Communication. 2001. New York : MC Graw Hill Griin. A First Look At Communication hery. 2003. New York : Mc Graw Hill Irving Fang and Kristina Ross . Media History Timeline by Chronology. 1996. www.mediahistory.umn. edu/time/century.htm Littlejohn, Stephen, W. 2002. heories of Human Communication, 6th Edition. Belmounth : Wadswoot Louw, Eric. Media and Cultural Production. 2001. London, housand Oaks, New Delhi : Sage Publication McChesney, Robert, and Schiler. 2003. he Political Economy of International Organization. United Nations Research Institute for Social Development McQuails, Dennis. 2010. Mass Communication heory, 4th Edition. London, housand Oaks : Sage Publications Mosco, Vincent. 1996. he Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal. London, housand Oaks : Sage Publications Mosco, Vincent. 2008. Current Trends in he Political Economy of Communiction. Global Media Journal-Canadian Edition. Winarno, Budi. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. 2007. Jakarta : Buku Kita
308
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Strategi Komunikasi: Aplikasi Metode Edukatif Dalam Sosialisasi Keluarga Berencana Masyarakat Pedesaan Nina Yuliana 1 Tugas dan peran BKKBN tidak hanya memberikan informasi kepada masyarakat bahwa pentingnya mengikuti program KB. Akan tetapi, termasuk memberikan pengetahuan tentang KB agar masyarakat mempunyai pengetahuan yang luas tentang KB dan akan mempunyai kesadaran untuk menggunakan KB dengan sendirinya. Strategi melalui metode edukatif digunakan agar masyarakat mengetahui dengan jelas arti pentingnya program keluarga berencana agar masyarakat Banten menjadi masyarakat yang berkualitas tinggi. Sayangnya, Masih banyak masyarakat yang menganggap ledakan penduduk, bukan masalah mereka tetapi masalah pemerintah. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya informasi yang mereka dapatkan. Tujuan penelitian adalah mengetahui bagaimana aplikasi metode edukatif, tentang memberikan semua informasi yang dibutuhkan masyarakat oleh petugas KB, mulai dari apa itu KB, apa saja alat kontrasepsi, bagaimana cara ber-KB hingga manfaat KB bagi kehidupan mereka dengan cara mendidik, diharapkan masyarakat akan memiliki pengetahuan lebih akan KB. Ditinjau dari Speech Act heory, dengan teknik pemilihan informan convenience sampling, di ketahui bahwa masyarakat pedesaan ikut KB sebagai kebutuhan hidup terutama karena keterbatasan ekonomi. Keinginan untuk menambah penghasilan keluarga, tidak hanya karena telah memiliki banyak anak. Masyarakat menerima informasi tentang KB dari tetangga, teman, dan keluarga besar. Mengikuti orang lain, termasuk pilihan alat kontrasepsi yang digunakan. Bahkan jenis KB non hormonal sangat asing atau tabu bagi mereka. Ujung tombak penentu keputusan dominannya adalah petugas kesehatan, karena pengetahuan masyarakat tentang KB sangat minim. Kesadaran dan pemahaman rendah karena komunikasi yang diterapkan instruksional Kata kunci: Metode edukatif, pembangunan, kependudukan, berimbang. I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah Misi dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Banten yaitu mewujudkan pembangunan berwawasan kependudukan dan mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera. BKKBN Provinsi Banten yakin akan mewujudkan misi tersebut dari program keluarga berencana yang di gulirkan, yaitu membuat keluarga kecil sejahtera dibandingkan dengan keluarga besar yang kurang terurus. Dengan demikian masyarakat juga akan mempunyai wawasan yang lebih luas lagi untuk Provinsi Banten yang berkaitan dengan kependudukannya sendiri. Misi ini diwujudkan melalui pembentukanpembentukan gugus tugas, diantaranya; Perumusan kebijakan pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian ibu, bayi dan anak; Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera; Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BKKBN; Fasilitasi dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah, swasta, LSOM dan masyarakat dibidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Dengan Struktur Organisasi BKKBN Provinsi Banten: Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, membawahi : Subbidang Kesertaan KB Jalur Pemerintah dan Swasta; Subbidang Bina Wilayah Kesertaan KB Jalur dan Sasaran Khusus; 1 Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Untirta Banten
309
masyarakat pedesaan, informasi tak
Subbidang Kesehatan Reproduksi; Bidang Advokasi, Penggerakan, dan Informasi, membawahi : Subbidang Advokasi dan KIE; Subbidang Hubungan Antar Lembaga dan Bina Lini Lapangan; Subbidang Data dan Informasi. Ade Anwar selaku Kasubag. Umum dan Humas yang menyatakan bahwa “Kesadaran masyarakat terutama di desa masih relatif rendah. Berbeda dengan orang yang hidup di perkotaan, mereka lebih peka terhadap informasi dan memiliki pemikiran yang lebih terbuka dan ditunjang juga dengan tingkat ekononi dan pendidikan yang lebih tinggi tidak seperti orang di pedesaan yang masih berpikir kolot dan juga memiliki latarbelakang pendidikan yang kurang serta tingkat perekonomian keluarga yang rendah. Masyarakat pedesaan acapkali tidak ingin menggunakan alat kontrasepsi atau bergabung dengan program KB dikarenakan terhambat biaya serta kurangnya informasi yang mereka dapatkan, tidak seperti masyarakaat perkotaan yang dapat mengakses informasi dengan cepat dan dimana saja (Airin, 2012: 63) Kondisi dan karakteristik masyarakat sasaran program, menjadi pertimbangan utama BKKBN sebagai lembaga yang memiliki tanggung jawab untuk membentuk kesadaran masyarakat mengenai Program KB untuk menetapkan strategi komunikasi yang tepat. BKKBN menyadari hal ini dengan baik dan percaya bahwa strategi komunikasi dapat menjadi alat untuk membentuk kesadaran masyarakat akan pentingnya program KB. Ade Anwar selaku Kasubid Advokasi dan
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
KIE BKKBN Provinsi Banten mengatakan Strategi komunikasi merupakan salah satu “jembatan” BKKBN dalam melakukan setiap kegiatan dan mensukseskan program KB dalam rangka menekan angka ledakan penduduk khususnya di Provinsi Banten. BKKBN menyadari bahwa dibutuhkannya sebuah alat untuk dapat mengkomunikasikan dan mengakomodir setiap informasi agar dapat membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya program KB melalui strategi komunikasi yang baik. BKKBN percaya, semakin baik pengelolaan strategi yang dilakukan, maka hasil yang didapatkan juga akan berbanding lurus dengan hal tersebut (Airin, 2012: 67). Oleh karena itu BKKBN perlu melihat bagaimana segmentasi sasaran terlebih dahulu melalui survey. Untuk kemudian dibedakan penyampaiannya walaupun tetap satu informasi. Dengan adanya survey tersebut, BKKBN menjadi tahu bagaimana khalayaknya dan bagaimana cara atau melalui apa informasi tersebut dapat tersampaikan dan tidak ada kesalahan komunikasi agar pesan tersebut dapat di terima oleh khalayak. Hal yang dipelajari antara lain bahasa sampai pada budayanya, baru kemudian pesan disusun. Kemudian, dilakukan pembinaan petugas sebelum informasi atau pesan tersebut melalui prinsip satukata, satu bahasa. Pesan yang diberikan tidak hanya menekankan pentingnya mengikuti program KB tetapi kita juga memberikan pengetahuan tentang KB agar mereka mempunyai pengetahuan yang luas tentang KB dan mereka akan mempunyai kesadaran untuk menggunakan KB dengan sendirinya. Fungsi dan tugas yang berhubungan dengan menyusun strategi komunikasi dipikul oleh advokasi dan KIE (komunikasi informasi dan edukasi). Jadi bukan hanya sekedar informasi tetapi ada nilai-nilai edukasi dan komunikasi yang di berikan oleh advokasi dan KIE ini. Dengan adanya metode komunikasi maka tujuan akan lebih mudah tercapai, yang dikarenakan dapat dilihat dari segi pelaksanaannya dan bentuk pernyataannya atau isi pesan dan bentuk pesan sesuai dengan tujuannya. Agus Rakhmat mengatakan metode komunikasi merupakan hal yang penting, karena dapat menentukan atau melaksanakan pesan yang sudah dibuat untuk khalayaknya. Metode yang BKKBN gunakan tidak hanya satu, ada informative, persuasif, edukatif, dan redundancy atau pengulangan. Napis selaku pengendalian penduduk, menekankan bahwa Metode edukatif sangat penting di gunakan dalam BKKBN Provinsi Banten karena masyarakat di Banten ini harus menjadi masyarakat yang berkualitas tinggi dalam arti lain harus diarahkan, khususnya pada genre (generasi remaja), jangan sampai menikah pada usia dini, karena semakin banyak orang yang menikah muda maka semakin banyak bayi yang akan keluar dan penduduk yang akan semakin banyak. Maka pentinglah para remaja untuk mempunyai pendidikan yang tinggi dan menjadi masyarakat berkualitas di
Banten, meskipun dibutuhkan metode lainnya untuk menunjang masyarakat Banten yang berkualitas dan mengajak masyarakat untuk mengikuti program keluarga berencana. Tujuan pesan BKKBN sendiri diantaranya adalah untuk memberikan informasi yang cukup kepada masyarakat, maksudnya adalah memberikan semua informasi yang dibutuhkan, dari mulai apa itu KB, apa saja alat kontrasepsi, bagaimana cara ber-KB hingga manfaat KB bagi kehidupan mereka. Mendidik, tujuan pesan yang disampaikan oleh BKKBN Provinsi Banten yang kedua adalah untuk mendidik masyarakat, melalui pesan-pesan tersebut diharapkan masyarakat akan memiliki pengetahuan lebih akan KB. Menanamkan dalam ingatan, pesan dibuat untuk menjadi top of mind sehingga akan selalu ingat tentang apa yang disampaikan oleh BKKBN. Yang keempat adalah untuk membujuk, BKKBN melalui pesan-pesan komunikasinya berupaya untuk dapat membujuk khalayak melakukan apa yang mereka harapkan (Airin, 2012: 74). Hasil penelitian Piyoto & Kuta Negara mengatakan, bahwa kesadaran dari masyarakat sendiri akan pentingnya KB umumnya sudah banyak yang tahu, meskipun untuk masyarakat bawah (desa) kurangnya jumlah bidan desa yang terlatih belum mencukupi dan belum merata di seluruh wilayah pedesaan (Piyoto & Kuta Negara, 2010: 5). Namun, kesadaran masyarakat ini tidak diiringi dengan strategi komunikasi yang baik dalam arti memberikan informasi yang berimbang mengenai KB dari lembaga yang terkait dan pemerintah, seperti informasi jenis dan macamnya, efeknya, cara kinerjanya, dan cara penanganan bila terjadi keluhan-keluhan, yang membuat perempuan mendiskusikan dengan pasangannya, sehingga mampu memutuskan sendiri jenis atau metode KB yang cocok, (http:/id.shvoong. com, diakses pada hari rabu, 21 Agustus 2012 pkl. 09.00 wib) dalam istilah yang sederhana kurangnya komunikasi sosial dalam bekerjasama antara pihak pemerintah dan dengan anggota masyarakat (terutama ibu dan petugas terkait dalam program KB) untuk mencapai tujuan bersama yaitu mengatasi masalah penduduk lewat kesejahteraan keluarga (Mulyana, 2000:5) Adanya informasi tak berimbang ini sebagai bukti lemahnya strategi, perencanaan dan manajemen informasi (Efendy, 2003: 300 – 301) yang dilakukan BKKBN dalam mencapai tujuannya, sehingga banyak merugikan kaum perempuan. Strategi ynag dijalankan tidak menunjukkan bagaimana taktik operasionalnya, terutama yang harus dipahami dan dilakukan para ibu sebagai subjek dari program, dengan memperhitungkan kondisi dan situasi yang dihadapi dan yang akan mungkin dihadapi di masa depan, guna mencapai efektiitas (Efendy, 2003: 10) menurut R. Wayne Pace, et. Al, untuk memastikan bahwa terjadi suatu pengertian dan pemahaman dalam berkomunikai,
310
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
agar cara penerimaan masyarakat tentang KB terus terbina dengan baik, sehingga terjadi penggiatan motivasi dalam menjalankan dan mensukseskan KB (Ruslan, 2002: 37). Dengan otonomi daerah, dimana pemerintah daerah jauh lebih tahu keadaan rakyatnya, seharusnya program KB jauh akan lebih maksimal hasilnya tanpa merugikan tubuh dan reproduksi perempuan. Keluarga Berencana (KB) sebagai salah satu pelayanan kesehatan yang paling dasar dan utama bagi wanita, seharusnya untuk optimalisasi manfaat KB, pelayanan tersebut harus disediakan dengan cara mengeluarkan dan memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi utama yang lain. Sebagai salah satu pelayanan kesehatan preventif yang dasar bagi perempuan, perlu kiranya peningkatan dan perluasan pelayanan keluarga berencana sebagai salah satu usaha untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu yang tinggi. Namun, faktanya, banyak perempuan bahkan tidak tahu untuk menentukan pilihan jenis kontrasepsi, karena terbatasnya jumlah metode yang tersedia, kesehatan individual, dan seksualitas wanita atau biaya untuk memperoleh kontrasepsi (Depkes, 1998:1). Faktanya, banyak perempuan menggunakan alat kontrasepsi (KB) hanya bersifat trial and eror semata. Tidak pernah mendapatkan informasi yang memadai tentang karakteristik berbagai alat dan metode kontrasepsi (KB). Kebanyakan perempuan hanya mengiyakan saja pemakaian alat KB yang diusulkan oleh petugas kesehatan. Lebih jauh, relatif kecil perhatian medis dan nonmedis terhadap perempuan dalam hal keluhan isik yang dialami akibat metode kontrasepsi yang digunakannya. Perempuan berjuang seorang diri dalam upayanya mencegah kehamilan. Sehingga menjadikan terabiknya hak – hak reproduksi perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Fenomena seperti yang digambarkan respoden AY dalam prenelitian Indraswari banyak terjadi dan dirasakan perempuan setidaknya itu yang terjadi pada perbincangan pra fokus group discussion di kelompok ibu-ibu sekolah PAUD Lebak Wangi Damai dan ibu-ibu yang sedang antri di Klinik Bidama Medika Dokter Bagus. AY telah memiliki enam orang anak dan tidak ingin hamil lagi. Maka ia memilih mencegah kehamilan dengan menggunakan KB dengan alat kontrasepsi pil. Ternyata cara ini gagal. AY kembali hamil lagi. Dengan tangan sendiri akhirnya AY menggugurkan kandungannya. AY akhirnya menggunakan suntik. Namun AY tidak cocok dengan metode tersebut karena selama setahun dia tidak mendapatkan menstrusi. Metode suntik dihentikkan dan AY kembali menggunakan pil KB yang berbeda merek dengan pil terdahulu. Kali ini AY cocok mengkonsumsi pil tersebut. Namunn AY kembali hampir ham il lagi karena bidan kehabisan pil yang cocok untuknya. Sebagai gantinya AY diberi pil merek lain namun berdampak negatif berupa wajah bengkak 311
dan tumbuhnya bisul, bidan memberi pil yang cocok untuk AY dan menstruasinya kembali normal seperti sedia kala (indraswari, 2003: 164-165). Hal tersebut dikarenakan hal berikut: 1. Kurang/tidak memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan KB. Tidak ada akses dan informasi yang memadai tentang pencegah kehamilan melalui pelayanan KB. Yang dirasa kurang adalah informasi yang memadai tentang karakteristik tiap metode kontrasepsi, termasuk tinkat kegagalan dan dampak negatif metode kontrasepsi tertentu. Kurangnya informasi mengakibatkan sebagian besar konsumen KB hanya mengatakan ‘ya’ terhadap cara KB yang ditawarkan petugas kesehatan. 2. Peserta KB yang gagal. Termasuk dalam kategori ini adalah responden yang gagal dengan berbagai metodee KB dan tidak pernah cocok dengan berbagai alat kontrasepsi. Penggunaan alat konrasepsi bagi responden kategori ini mengakibatkan keluhan isik sehingga mereka berhenti menggunakan alat tersebut. 2. Perumusan Masalah Sesuai pemaparan latar belakang, peneliti merumuskan permasalahan ”Bagaimana realitas penerapan dari strategi komunikasi melalui metode edukatif yang dilakukan oleh para pembuat kebijakan dan perpanjangan tangannya, terutama petugas kesehatan desa yang langsung berhubungan dengan masyarakat pengguna dan terkoordinasi oleh BKKBN melalui pembinaan petugas lapangan untuk menyampaikan pesan yang telah dirumuskan BKKBN?” 3. Tinjauan Pustaka 3.1. Strategi Komunikasi dan informasi berimbang Strategi komunikasi yang berfungsi sebagai penghubung antara BKKBN Provinsi Banten dengan masyarakat serta instansi lainnya yang memiliki visi dan misi ataupun kewenangan yang serupa dideinisikan Anwar Ariin sebagai keseluruhan keputusan kondisional tentang tindakan yang akan dijalankan, guna mencapai tujuan. Jadi merumuskan strategi komunikasi, berarti memperhitungkan kondisi dan situasi (ruang dan waktu) yang dihadapi dan yang akan mungkin dihadapi di masa depan, guna mencapai efektivitas. Dengan strategi komunikasi ini, berarti dapat ditempuh beberapa cara memakai komunikasi secara sadar untuk menciptakan perubahan pada diri khalayak dengan mudah dan cepat (Ariin, 1994: 59). Kecepatan media informasi dan kompleksnya berbagai macam hubungan, membuat komunikasi menjadi penting bagi hubungan semua orang, sebagai sarana untuk memenuhi dorongan rasa ingin tahu, ingin maju, dan berkembang. Karenanya diperlukan adanya komunikasi yang baik antara pemberi pesan
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
dan penerima pesan dan penyesuaian diantaranya (Widjaja, 2008: 5), agr suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama mutlak bagi kehidupan manusia yang menurut Barelson dan Steiner terjadi transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya yang menurut miller dengan maksud untuk mempengaruhi perilaku penerima (Mulyana, 2000: 41) Komunikasi antara masyrakat dan petugas KB memiliki tujuan seperti tujuan komunikasi yang dikatakan oleh Onong Uchjana: “menimbulkan perubahan pendapat, peruahan sosial, perbahan perilaku dan perubahan sikap dan fungsi komunikasi diantaranya: menyampaikan informaso, mendidik, dan mempengaruhi (Efendy, 2003: 8), sesuai dengan apa yang diharapkan oleh petugas KB. Oleh karena itu semakin banyak kesamaan persepsi khalayak dengan komunikatornya, maka komunikasi yang dilakuka dapat dikatakan efektif dan apabila dari kesamaan persepsi tersebut dapat menimbulkan perubahan sukap sesuai dengan keinginan komunikatornya itu dapat menjadi indikator bahwa komunikasi tentang program KB yang dilakukan sudah mencapai keberhasilan. Saling tukar menukar pengalaman yang disebut social experience di dalam kehidupan berkelompok mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan kehidupan pembentukan kepribadian orang-orang yang bersangkutan (Soekanto, 1992: 102) karena adanya kebutuhan-kebutuhan individu untuk membandingkan pendapat, sikap, keyakinan, dan kemampuan mereka sendiri dengan orang lain dianggap penting (Rohim, 2009: 87). Para petugas KB sendiri merupakan kelompok referensi yang menjadi ukuran bagi seseorang untuk membentuk pribadi dan perilakunya sebagaimana dijelaskan oleh Habermas yang menekankan perlunya ‘dibangun kondisi komunikasi yang menjamin sifat umum normanorma yang dapat diterima dan menjamin otonomi warga melalui kemampuan emansipatoris, sehingga menghasilkan proses pembentukan kehendak bersama lewat pemberian informasi yang seimbang.” Dan hal ini menjadi fungsi dari komunikasi sosial yang tercipta, untuk saling berinteraksi dan menukar informasi serta dapat mengubah perilaku masyarakat sebagai pemakai hasil produksinya, yaitu program KB. Informasi tak berimbang menjadi bukti lemahnya strategi, perencanaan dan manajemen informasi (Efendy, 2003: 300 – 301) yang dilakukan dalam mencapai tujuannya. Strategi yang dijalankan tidak menunjukkan bagaimana taktik operasionalnya, terutama yang harus dipahami dan dilakukan dengan memperhitungkan kondisi dan situasi yang dihadapi dan yang akan mungkin dihadapi di masa depan, guna mencapai efektiitas (Efendy, 2003: 10) menurut R. Wayne Pace, et. Al, untuk memastikan bahwa terjadi suatu pengertian dan pemahaman dalam berkomunikai, sehingga terjadi penggiatan motivasi
dalam menjalankan dan mensukseskan sebuah program (Ruslan, 2002: 37). Banyak perempuan yang menggunakan alat kotrasepsi (KB) hanya bersifat trial and error semata. Tidak pernah mendapatkan informasi yang memadai tentang karakterisik berbagai alat dan metode kontrasepsi (KB). Kebanyakan perempuan hanya mengiyakan saja pemakaian alat KB tertentu yang diusulkan petugas kesehatan. Lebih jauh, relatif kecil perhatian medis dan non medis terhadap perempuan dalam hal keluhan isik yang dialaminya akibat metode kontrasepsi yang digunakannya. Perempuan berkutat seorang diri dalam upayanya menegah kehamilan. Sehingga menjadikan terabaikannya hak-hak reproduksi perempuan dalam keluarga dan masyarakat (Indraswari, 2003: 148) 3.2. Penggunaan Metode Komunikasi Program KB oleh BKKBN Banten Dalam proses mengkomunikasikan pesan dari komiunikator kepada komunikan penggunaan metode menjadi tahap yang penting dan tidak bisa dilakukan tanpa melihat pada tujuan mengapa dan kepada siapa pesan itu akan disampaikan. Agar penggunaan metode ini dapat membuat pesan menjadi efektif, maka di butuhkan strategi yang memetakan bagaimana seharusnya metode penyampaian pesan ini dilakukan. Dari hasil penelitian BKKBN Provinsi Banten menggunakan beberapa metode penyampaian pesan diantaranya :. 1. Metode informatif adalah suatu bentuk isi pesan, yang bertujuan mempengaruhi khalayak dengan jalan (metode) memberikan penerangan. Menggunakan metode ini mencoba mempengaruhi khalayak dengan cara memberikan penerangan tentang BKKBN Provinsi banten, tentang program – program keluarga berencana, apa saja programnya, bagaimana cara penggunaannya dan informasi lainnya yang dianggap menarik perhatian sasaran. Metode informative adalah salah satu metode yang digunakan untuk memberikan informasi kepada masyarakat dengan mendapatkan timbal balik dari informasi tersebut biasanya berupa pernyataan dari mereka.”1 metode ini dapat dikatakan sebagai langkah awal dalam strategi penggunaan metode penyampaian pesan yang dilakukan oleh BKKBN Provinsi Banten dalam proses pembentukan kesadaran program keluarga berencana. 2. Metode edukasi dengan tujuan memberikan pengetahuan yang lebih kepada khalayak, karena BKKBN tidak hanya mensosialisasikan program keluarga berencana melainkan memberikan pendidikan kepada khalayak agar mempunyai wawasan yang luas tentang 1 Wawancara dengan Agus Rakhmat selaku bagian Umum dan Humas BKKBN Provinsi Banten pada tanggal 30 April 2012
312
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
kependudukan, serta tentang bagaimana cara me metode edukasi membuat masyarakat yang berkualitas tinggi dan mempunyai pengetahuan yang tentang KB miliki keluarga yang sejahtera dan bahagia yang dapat berdampak positif bagi mereka yang menjalankannya. Metode edukatif sangat penting di gunakan dalam BKKBN Provinsi Banten karena masyarakat di Banten ini harus menjadi masyarakat yang berkualitas tinggi dalam arti lain harus diarahkan. 3. Metode Redundancy atau repetition Adalah mempengaruhi khalayak dengan jalan mengulang-ulang pesan kepada khalayak. Manfaat lainnya, ialah bahwa khalayak tidak akan mudah melupakan hal yang penting yang disampaikan berulang-ulang itu. Tujuannya adalah membuat masyarakatt selalu mengingat pesan dari keluarga berencana agar pesan tersebut tidak akan terlupakan dari benak masyarakat dan tujuan pesannya dapat tercapai. karena pesan ini berlangsung secara berulang – ulang. 4. Metode terakhir yaitu metode persuasif yang bertujuan mempengaruhi dengan jalan membujuk. Dalam hal ini khalayak digugah baik pikirannya, maupun perasaannnya demi tercapainya tujuan bersama 3.3.
Program Keluarga Berencana dan reproduksi perempuan Dasar pemikiran lahirnya KB di Indonesia adalah adanya permasalahan kependudukan, seperti anggapan Malthus bahwa pertumbuhan penduduk jauh lebih cepat dari bahan makanan. Otonomi daerah yang mengatur kewenangan daerah termasuk otoritas dalam program KB tidak dapat mendukung sosialisasi yang adil di pedesaan. KB akhirnya menjadi beban baru yang harus dipikul para perempuan. Banyak perempuan yang mengeluh dan merasakan efek negatif dari KB tanpa tahu apa yang menyebabkan atau membuat KB memiliki efek negatif bagi tubuhnya, juga tindakan pengobatan apa yang seharusnya dilakukan, kecuali trial and error gonta ganti metode dan jenis alat kontrasepsi yang dilakukan sepenuhnya oleh para petugas kesehatan desa, yaitu bidan. Sayangnya lagi pmerintah daerah yang mempunyai otoritas mengenai program KB belum bisa secara maksimal mengemban amanat betapa pentingnya program KB, bagi perempuan, suami, keluarga dan negara. Seperti tidak ada pengetahuan tentang fertilitas serta indikator-indikatornya yang sangat berguna bagi para penentu kebijakan dan perencanaan program untuk merencanakan pembangunan sosial terutama kesejahteraan ibu dan anak lewat program KB, juga tidak adanya keutuhan lembaga atau sistem dalam mengurusi program KB dari para pemilik kebijakan yang selama ini menjalankan program KB tersebut. 313
Sebut saja pemerintah atau lebih khususnya BKKBN (Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional). Kesadaran dari masyarakat sendiri akan pentingnya KB umumnya sudah banyak yang tahu, meskipun untuk masyarakat bawah (desa) kurangnya jumlah bidan desa yang terlatih belum mencukupi dan belum merata di seluruh wilayah pedesaan (Piyoto & Kuta Negara, 2010: 5). Namun, kesadaran masyarakat ini tidak diiringi dengan strategi komunikasi yang baik dalam arti memberikan informasi yang berimbang mengenai KB dari lembaga yang terkait dan pemerintah, seperti informasi jenis dan macamnya, efeknya, cara kinerjanya, dan cara penanganan bila terjadi keluhan-keluhan, yang membuat perempuan mendiskusikan dengan pasangannya, sehingga mampu memutuskan sendiri jenis atau metode KB yang cocok, (http:/id.shvoong.com, diakses pada hari rabu, 21 Agustus 2012 pkl. 09.00 wib) dalam istilah yang sederhana kurangnya komunikasi sosial dalam bekerjasama antara pihak pemerintah dan dengan anggota masyarakat (terutama ibu dan petugas terkait dalam program KB) untuk mencapai tujuan bersama yaitu mengatasi masalah penduduk lewat kesejahteraan keluarga (Mulyana, 2000:5) Dengan otonomi daerah, dimana pemerintah daerah jauh lebih tahu keadaan rakyatnya, seharusnya program KB jauh akan lebih maksimal hasilnya tanpa merugikan tubuh dan reproduksi perempuan. Menurut Kartono Muhammad, hak reproduksi meliputi diantaranya hak ikut dengar dan diperhatikan pendapatnya kapan ia ingin hamil dan kapan tidak, hak memilih kontrasepsi berdasarkan informasi yang adil dan memadai, dan hak mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi dan informasi tentang kesehatan perempuan (Indraswari, 2003: 148). Hak reproduksi dalam tulisan ini akan disorot dengan spesiikasi hak mendapatkan informasi dalam kerangka umum hak-hak perempuan, khususnya hak kesehatan reproduksi tentang memilih kontrasepsi berdasarkan informasi yang adil dan memadai, dan hak mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi dan informasi tentang kesehatan reproduksi. Asumsinya adalah reproduksi merupakan pokok sekaligus pangkal dari keseluruhan persoalan perempuan. Karena alat reproduksi itulah hal yang utama dan pertama yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Segala upaya pemberdayaan perempuan tak akan banyak berarti tanpa memberdayakan kesehatan reproduksinya. Entah berupa upaya-upaya praktis seperti perbaikan kondisi kesehatan dasar perempuan dan penyempurnaan tingkat pelayanan yang menjadi fokus penelitian berkonsentrasi pada persoalan tatalaksana bidang kesehatan melalui strategi komunikasi yang diterapkan oleh BKKBN sebagai lembaga pemilik dan pengambil kebijakan program KB. Tema tentang reproduki perempuan sendiri menjadi tema utama pada konferensi dunia
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
tentang permpuan IV di Beijing tahun 1994, yang dihadiri oleh perwakilan 185 negara. Konferensi ini merupakan sebuah perhelatan besar tingkat dunia dan membicaraka nasib kaum perempuan. Hal ini menyiratkan bahwa ada satu situasi, yaitu isu mengenai kesehatan reproduksi tidak bisa, dan tidak mungkin ditangguhkan lagi untuk dibicarakan. Direktur UNFPA, Dr. Nais Sadik, baru-baru ini mengumumkan bahwa tiap satu menit, seorang perempuan meninggal akibat reproduksinya. Kebutuhan perempuan untuk membatasi kehamilan baik karena kesadaran dan pilihannya sendirri atau karena dorongan ( dan koersi) dari pihak luar, sering tidak diimbangi dengan pelayanan kontrasepsi yang memadai dan bebas pilih, terutama untuk perempuan kalangan bawah (Marcoes & Natsir, 2003: 16). Di Indonesia, keadaan dan isu ini telah disadari oleh pemerhati perempuan pada awal kampanye besar-besaran mengenai pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB). Saat itu, KB muncul menjadi retorika politik di mana-mana. Agenagen pembangunan seperti dokter, paramedis, pegawai negeri, pengurus organisasi wanita, anggota PKK, dan Dharma wanita, bahkan ulama dikerahkan untuk menyukseskan program itu. Istilah keluarga kecil adalah keluarga yang bahagia dan sejahtera kemudian jadi tolak ukur kemodernan, sekaligus loyalitas seseorang pada ideologi pembangunan. Dengan intervensi yang dilakukan oleh para tenaga medis, baik dokter maupun tenaga penyuluh kesehatan lain, yang sering menentukan posisi seseorang perlu ber – KB atau tidak. Jadi, dalam masalah ini, keputusan bukan diambil dari yang bersangkutan, yaitu pihak perempuan, melainkan orang luar, yakni dokter. Menurut studi antar budaya tentang persepsi perempuan terhadap badan mereka sendiri serta reproduksi, sangat sedikit sekali pengetahuan perempuan tentang tubuhnya, ini terjadi karena KB hanya berdasar atas riset tubuh perempuan semata. Jadi, tubuh perempuan dijadikan satu – satunya ajang riset biomedis. Karena tubuh perempuan dijadikan ajang riset, maka semestinya perempuan diberi informasi dan pengetahuan sebelum riset dilakukan. Penelitian Indraswari yang berkaitan dengan keberhasilan program KB dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Masyarakat kurang/tidak memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan KB. Tidak ada akses dan informasi yang memadai tentang pencegah kehamilan melalui pelayanan KB. Yang dirasa kurang adalah informasi yang memadai tentang karakteristik tiap metode kontrasepsi, termasuk tinkat kegagalan dan dampak negatif metode kontrasepsi tertentu. Kurangnya informasi mengakibatkan sebagian besar konsumen KB hanya mengatakan ‘ya’ terhadap cara KB yang ditawarkan petugas kesehatan. 314
2. Adanya peserta KB yang gagal. Termasuk dalam kategori ini adalah responden yang gagal dengan berbagai metodee KB dan tidak pernah cocok dengan berbagai alat kontrasepsi. Penggunaan alat konrasepsi bagi responden kategori ini mengakibatkan keluhan isik sehingga mereka berhenti menggunakan alat tersebut. 1.2. he Speech Act heory dan Expectancy Values heory Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori the speech Act heory untuk melihat bagimana aplikasi metode edukatif yang dilakukan para petugas kesehatan dan pemilik program KB. Speech Act teori menganalisis tentang bagaimana sebua pesan diproduksi, diatur dan diungkapkan oleh seorang komunikator kepada komunikan melalui pengaruh motih, maksud dan kepentingan. Searl mengelompokkannya dalam lima kategori, (1) Assertive (2) Directive (3) Declaration (4) Expressive (5) Commisive. Kemudian saat penelitian terus berlangsung, dan hasil telah diperoleh, ada penemuan penelitian nyang mengacu pada teori pengharapan nilai. Teori Expectancy Values (nilai pengharapan). Menurut teori nilai pengharapan, orang mengarahkan diri pada dunia (dalam penelitian ini: progam KB) berdasarkan kepercayaan-kepercayaan dan evaluasi-evaluasi mereka tentang dunia tersebut (Kriyantono, 2007: 206). Konsep pengukurannya menurut Palmgreen yang digunakan adalah GS (Gratiication Sought) dan GO (Gratiication Obtained). GS adalah kepuasan yang dicari atau diinginkan individu ketika mengkonsumsi sesuatu (dalam hal ini: KB). Sedangkan GO adalah kepuasan yang nyata yang diperoleh setelah seseorang mengkonsumsi sesuatu (KB). GS dibentuk dari kepercayaan seseorang mengenai apa yang (KB) berikan dan evaluasi seseorang mengenai isi (program KB). Dikatakan jika masyarakat percaya KB dapat memberikan manfaat dan masyarakat mengevaluasi manfaat itu baik untuk tubuh, diri, keluarga dan bangsa dalam hal kesejahteraan dan kesehatan, maka masyarakat akan memilih KB. Sebaliknya, jika masyarakat percaya KB memberikan dampak negatif dan merugikan kesehatan dan tidak menimbulkan kesejahteraan, dan mengevaluasi program KB adalah tidak baik, maka masyarakat tidak akan memilihnya. Sedangkan GO mempertanyakan halhal khusus mengenai apa saja yang telah diperoleh setelah menggunakan KB dengan menyebutkan jenis atau metode kontrasepsi
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
tertentu secara spsiik. Misalnya penggunaan pil, IUD, dsb. Hal mengenai informasi tidak berimbang ini akan didapat dari kesenjangan yang diperoleh antara GS dan GO, kesenjangan antara harapan dan hasil yang dirasakan. Teori pengharapan nilai terjadi saat informan merasakan dampak negtaive dari KB, dan tidak ada ujungnya, secara isik merusak tubuh informan, ahirnya informan memilih berhenti ber-KB. 4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian lebih berkonsentrasi pada persoalan tatalaksana bidang kesehatan, agar pemerintah mengetahui dan memperhatikan keluhankeluhan para perempuan seputar pelaksanaan program KB dalam rangka menjunjung tinggi hak perempuan sebaga subjek pembangunan, bukan obyek, melalui pemberian informasi yang berimbang dan adil mengenai KB, seperti metode dan jenisnya, efeknya, cara penanganannya, sehingga tidak dijadikan obyek trial and error oleh para petugas KB, tapi mampu menentukan sendiri pilihannya dan mengetahui akibatnya dari pilihan yang dilakukannya, karena sesunguhnya perempuan juga menyadari bahwa mereka membutuhkan program KB ini sebagai bagian dari kehidupan dalam berkeluarga ini sekaligus menjadi bahan evaluasi terhadap strategi komunikasi yang diterapkan. 5. Metode Penelitian Pendekatan ini menggunakan pendekatan kulitatif dengan desain yang bersifat alami dalam setting dunia nyata dengan teknik pengambilan data observasi dan wawancara terbuka secara mendalam (Patton, 2001: 39). Peneliti menempatkan sebagai insider, yang berusaha sejauh mungkin melakukan empati agar bisa sebaik mungkin mereleksikan penghayatn subjektif objek yang diteliti. 5.1.Pengumpuan Data Pengumpulan dan dilakukan melalui wawancara mendalam dan observasi yang diobservasi adalah unsur-unsur latar belakang sosial yang memberikan keterangan pada obyek yang menjadi fokus penelitian sehingga pandangan atau penilaian yang dibuat oleh peneliti memiliki konteks yang jelas (Pawito, 2008: 113). Dari latar belakang sosial dan ekonomi pula peneliti mengelompokkan berbagai tingkat pendididikan dan pekerjaan, sebagai gambaran tingkat ekonomi dan karakteristik informan pedesaan yang diteliti hal kedua yang diamati adalah kondisi tubuh perempuan. Seperti gemuk, kurus, segar atau layu seperti berpenyakitan. Ini sesuai dengan keluhankeluhan yang dilontarkan saat wawancara dan 315
FGD, bahwa kepalanya sering pusing mengkibatkan badannya lemas, menjadi gemuk karena KB, jerawatan karena KB dsb. Khusus di PAUD Lebakwangi Damai, bahkan di gelar FGD. FGD menurut Kreugeur sebagai diskusi yang dirancang dengan baik untuk memperoleh persepsi dalam bidang perhatiannya pada lingkungan yang permisif dan yang tidak menekan. Dengan proses Merton et.al., dimana pewawancara bertanya kepada anggota kelompok dengan pertanyaan yang sangat khusus tentang topik sesudah hasil penelitian sementara dilaksanakan dengan unsur kunci keterlibatan orang-orang dimana pandangannya didorong pada lingkungan yang dibangun, yang menurut Denzim, lewat wawancara yang dipandu peneliti dengan cara yang tidak terstruktur (Moleong, 2007: 227 – 228). FGD ini sekaligus berfungsi sebagai triangulasi metode. Manfaat yang ingin diambil oleh peneliti adalah memperoleh latar belakang informasi secara umum tentang KB, mendiagnosis potensi masalah dalam program dan pelayanan KB, membangun kesan tentang program dan pelayanan KB, serta peran serta perempuan dan laki-laki dalam KB dalam strategi komunikasi melalui pesan-pesan yang disampaikan oleh para petugas lapangan . 5.2. Teknik Pemilihan Informan Teknik convenience sampling digunakan pada penelitian ini untuk mendapatkan informan. Teknik convenience yaitu cara pengambilan sampel yang paling sedrhana dan paling longgar dalam penelitian komunikasi kualitatif. Peneliti sekedar mengambil siapa saja yang untuk dijadikan wakil dari subjek penelitiab, dan kemudian mengamati dan mewawancarainya (Pawito, 2008: 90). Penelitian ini mengambil 7 desa secara acak, di mana peneliti melakukan pertanyaan awal apakah mereka berKB atau tidak. Pengambilan ke tujuh desa in tidak dimaksudkan untuk representasi wilayah pedesaan yang kemudian hasilnya akan digeneralisasi, tapi sebagai upaya mendapatkan kejenuhan informasi. Pertama yang diamati dan di wawancarai yaitu ibuibu yang berkumpul di sekolah PAUD Lebakwangi Damai Kecamatan Walantaka, pemilihan setiap harinya. Awal saat terinsiparinya peneliti terhadap topik ini. Saat menunggu anak sekolah, para ibu membicarakan keluhan-keluhan yang dirasakan oleh tubuhnya akibat KB, dan juga ketidaksetujuannya tentang penggunaan kondom, karena katanya tidak memuaskan bagi keduanya, dan terutama suami, serta kesulitan yang mereka bayangkan saat memakainya pada proses hubungan intim. Setelah pembicaraan di PAUD tersebut, peneliti mulai mengumpulkan data dan hipotesis secara informal, saat menunggu antrian di dokter, saat menunggu antrian di dokter, saat mengobrol dengan tetangga, ternyata, topik pembicaraan seputar program dan pelayanan KB memiliki kesamaan dengan pembicaraan di PAUD.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Sehingga, meskipun tidak bermaksud melakukan representasi, karena kualitatif tidak memiliki karakter demikian, peneliti merasa perlu terus mendapatkan kejenuhan informasi dari beberapa wilayah desa lainnya, untuk meneliti topik ini. Hasilnya adalah 7 Desa di Kota Serang dan Kabupaten Serang, 25 informan. 6. Pembahasan 6.1.
Karakteristik informan sebagai masyarakat desa Seluruh informan dalam penelitian ini mengatakan bahwa belum pernah mereka mendapatkan sosialisasi secara langsung dari pembuat kebijakan program KB. Tidak pernah ada undangan dari sebuah pihak pun yang meminta mereka kumpul di suatu tempat dan memberikan informasi tentang KB. Juga tidak pernah ada pembahasan materi tentang KB di dalam sebuah pengajian, meskipun informan mengatakan dalam seminggu mereka mengadakan pengajian rutin sebanyak dua kali. Satu-satunya sumber informasi adalah hasil dari gethok tular, dari mulu ke mulut tetangga, teman atau keluarga. Beberapa kali, beberapa informan melihat di televisi, karena tidak semua informan yang peneliti wawancarai bahkan tidak memiliki televisi. Atau juga dari poster dan spanduk yang di pasang di jalan-jalan. Keinginan informan ber-KB adalah karena tidak atau belum ingin menambah anak lagi. Meskipun dari seluruh informan yang ada diantaranya baru memiliki anak satu. Informan dalam penelitian ini sendiri variasi jumlah anak yang dimilikinya antara satu sampai tiga. Dengan usia produktif, antara 22 sampai 36 tahun. Varian reponden menggunakan KB sejak mulai menikah, dengan alasan bekerja di pabrik, jadi akan repot jika memiliki anak dulu, meskipun masih tinggal bersama orang tuanya. Alasan yang menasarinya termasuk masalah ekonomi. Memiliki anak di perhitungkan akan membutuhkan biaya yang sangat besar, sedangkan suaminya hanya pekerja serabutan dan dia harus bekerja di pabrik, sehingga butuh susu formula untuk anaknya. Susu formula saja sudah dinilai mahal, belum kebutuhan lainnya. Saat ini saja banyak hal yang harus dipenuhinya, yang harus dibelinya dengan cara kredit. Kredit motor, kredit kulkas, kredit magic com, belum keiginannya untuk meng-keramik lantai rumah. Dengan alasan berbagai macam kebutuhan dan keadaan yang belum memungkinkan dan perhitungan usa subur yang masih lama, imnforman merasa harus ber-KB. Perlu diketahui, dari lim desa dengan jumlah responden sebanyak 17 responden, semua terlibat dalam proses kredit barang. Meskipun tingkat ekonomi informan bervariasi, mulai dari yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga, pekerja pabrik, buruh sawah, sampai ke guru (PNS), tukang kredit dan hanya sebagai ibu rumah tangga, dengan
suami kerja serabutan, pedagang, pengangguran, supir angkot, petani, dan ustad semua informan mengkredit barang dengan berbagai alasan, meskipun rata-rata karena ketidakmampuan untuk membeli secara tunai. Kecuali tingkat ekonomi guru, meskipun demikian, untuk situasi tertentu, diakuinya kredit barang sangat dirasanya sangat mudah dan menguntungkan. Barang diantar ke tempat, ditawarkan sampai rumah, banyak yang kredit lunak, artinya bayar semampunya saat ditagih, yang penting dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati harus lunas mereka lunasi dan mereka yang datang menagih ke rumah. Melihat peluang ini, yang menjadi tukang kredit juga banyak tetangga atau orang sebrang desa, kenal, jadi tidak galak dan memeras. Dari kondisi sosial, ekonomi dan budaya tersebutlah, para informan merasa membutuhkan KB, dan mendapatkan informasi tentang KB. Para informan mengatakan bahwa informasi tentang KB diperolehnya tanpa disadarinya. Pokoknya hanya tahu, dan sudah tahu, entah kapan, kalau tidak ingin punya anak, ya harus KB. Meskipun ada beberapa infoorman yang mengatakan bahwa orang tuanya memiliki anak 12, tidak ber-KB, tapi informan tersebut tahu tentang KB, kegunaannya dan kebutuhannya. Dari 17 informan yang diwawancarai, semua 15 informan mengatakan dulu ibunya tidak ber-KB, belum mengenal KB seperti sepopule sekarang, justru jikapun ada ibu dari informan yang ber-KB, itu setelah sudah banyak anak. Dan fungsinya bukan untuk membatasi anak seperti sekarang cukup dua orang anak, tetapi fungsinya untuk menjarangkan anak. Minimal ada jeda misalnya dua tahun. Tapi jumlah anak tetap banyak, lima bahkan sampai puluhan. Yang ikut KB itu sepertinya hanya dari kalangan tertentu yang sepertinya berpendidikan dan memiliki ekonomi cukup. Tapi kalau zaman dulu, karakter seorang ibunya juga berbeda. Dulu meskipun banyak anak, anak itu terdidik dan terawat dengan baik, ibuibu zaman dulu sangat telaten dan berpegang teguh pada nilai-nilai agama dan norma-norma masyarakat. Sekarang, karakter para ibunya juga riweuh, atau ribet, baru punya anak satu, sudah seperti ngurusin anak sepuluh, banyak keluhan seperti cape, anaknya nakal, sehingga sering beratem dan teriak-teriak, belum ngurusin pekerjaan rumah tangga lainnya, sehingga antara anak satu dan pekerjaan rumah saja sudah sangat ke teter. Dirasanya, pkerjaan sebagai seorang istri, dan ibu sangat melelahkan. Maka KB menjadi sangat penting, untuk membatasi jumlah anak. Kebutuhan internal para ibu seperti itulh yang mendorong setiap informan untuk membatasi jumlah anak. Ditambah sekarang di desa juga trend sekolah TK dan PAUD. Jadi setiap pagi sekarang tiap ibu punya kesibukan untuk keluar rumah, mengantarkan anaknya sekolah, dan menungguinya. Bangun pagi, mempersiapkan bekal dan keperluan sekolah lainnya, berangkat ke sekolah, baru pulang ke rumah
316
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
pukul setengah sebelas atau jam sebelas, sambil di jalan mencari sayur dan lauk, masak, membereskan rumah, jika ada jadwal pengajian, mengaji, atau ada arisan barang, atau ada yanghajatan, undangan, baru istirahat malam, karena badan sangat terasa lelah, maka keadaan inilah yang memicu yang hanya sebagai ibu rumah tangga pun untuk ber-KB. Untuk informan yang bekerja, selain pertimbangan kondisi pribadinya, biasanya yang mendorong untuk ber-KB adalah orang tuanya, ibunya. Karena setiap anak yang terlahir menjadi tanggung jawab ibu informan. Maka biasanya, ibu lah yang pertama kali keberatan akan penambahan jumlah anak. 6.2.
Aplikasi Metode Edukasi dalam Rumusan Pesan yang diterima informan Tidak satupun informan dalam penelitian ini yang datang ber-KB kepada seorang dokter. Semua ber-KB ke seorang Mantri atau bidan. Tiap informan datang tidak dengan kepala kosong, tetapi sudah memiliki informasi dan pilihan tentang alat KB yang ingin dikonsumsinya. Mereka langsung datang sendiri ke tempat bidan atau mantri praktek dan langsung mengatakan ingin ber-KB. Mantri atau bidan tidak ada yang bertanya alasannya, atau menjelaskan metode kontrasepsi apa saja yang ada, kelebihannya dan kekurangannya. Seluruh informan, 25 orang informan mengatakan saat pertama kali berKB, meraka sudah punya ancang-ancang ingin berKB apa. Een misalnya, menggunakan Pil KB karena melihat dan meniru tetehnya. Itoh ber-KB suntik, karena melihat dan meniru tetangganya. Pengetahuan informan pun di dapat bukan dari petugas kesehatan, tetapi dari teteh atau tetangga. Dan informasi yang didapatkan juga sebatas pil KB harus diminum setiap hari. Jika tida diminum, nantinya kecolongan. Tapi kalau suami tidak ada, tidak apa-apa kalau tidak diminum, lewat saja. Bahkan jenis pil yang diminta juga jenis yang sama seperti yang dikonsumsi referennnya. Bahkan pergantian jenis pil atau jenis metode lainnya juga sama persis. Indikasi-indikasi ketidakcocokan atau kecockan pun di peroleh dari informasi sekitar. Seperti yang diceritakan rodiyah, istri seorang ustad. Awalnya saya memakai pil, sudah ganti dua jenis pil yang berbeda, tapi tetap tidak cocok. “Tidak menstruasi, kepala saya sering pusing banget, terhuyung-huyung, badan jadi lemas. Kata tetangga, itu tidak cocok KB. Saya disarankan untuk ke bidan, dan ganti dengan suntik. Saya lalu pergi ke bidan. Sampai sana saya ceritakan kondisi saya, dan bidan membetulkan bahwa saya tidak cocok KB pil, dan mengatakan ganti suntik saja”. Umi mengatakan bahwa kalau bertanya tentang keluhan yang dirasakan, jawaban bidannya adalah tidak apa-apa, biasa. Atau tidak cocok, kalau begitu ganti saja. Kalau sudah ganti, dan cocok, nanti juga keluhan tersebut hilang dengan sendirinya. Saat ditanya apakah bidan pernah memnta agar 317
suaminya diajak saat para ibu mau ber-KB, tidak satu pun informan mengatakan ada petugas kesehatan yang meminta demikian. Bahkan ketika suamiya ada di depan ruangan bidan mengantarkan dan menunggu istrinya. Dari 25 informan, tidak satupun yang hanya sekali mengkonsumsi alat ontrasepsi. Semuanya pernah mengganti jenis alat kontrasepsi yang digunakan, dengan alasan tidak cocok. Minimal mereka mengganti dua kali alat kontrsepsi, Bahkan ada yang sampai tujuh kali. Dan sampai sekarang memilih alat kontrasepsi yang digunakan pun, mereka terus menggunakannya dengan terus merasakan ketidak beresan dalam tubuhnya. Minimal, tidak menstruasi untuk suntik dan pil, jerawatan untuk spiral, dsb. Kondisi ini tidak diketahui secara pasti bagaimana datang dari efek KB. Tidak ada penjelasan dan pengobatan dari petugas kesehatan, kecuali kata tidak cocok, biasa, dan ganti. Bahkan dari 25 informan, empat informan sudah meninggalkan KB karena tidak kuat dengan efek negatif yang dirasakan oleh tubuhnya. Menstruasinya tidak teratur, jarang sekali mendapatkan menstruasi, tetapi ada saatnya dapat darahnya sangat banyak seperti orang yang melahirkan, dan berlangsung sangat lama, melebihi 15 hari. Kondisi seperti ini membuatnya sakit, dan suami menyuruhnya berhenti KB. Di desa Pagedangan Kecamatan Curug, Kota Serang, bahkan satu desa itu telah mengelompok apakah dia pengkonsumsi suntik, pil atau spiral. Mereka masing-masing memiliki bidan atau mantri langganan. Pengelompokkan ini selain karena ikut trend tetangga atau saudara, juga diatur oleh bidan atau mantrinya, dengan alasan praktis. Biar mantri atau bidan cukup datang sekaligus ke desa tersebut untuk melakukan pengulangan. Maka itu, jenis alat kontrasepsi yang digunakan harus sergam. Dan menurut informan Rubiyah, trend ini banyak terjadi di banyak desa. Diceritakan olehnya, bahwa pernah satu desa, desanya, ssemua ibu-ibunya mengalami sakit, minimal panas dingin, ada yang tidak bisa berjalan karena kakinya kaku dan seluruh badannya sangat sakit untuk digerakakn, dan masih banyak lagi keluhan, karena mantrinya salah jadwal untuk menyuntik ulang KB. Seharusnya tiga bulan sekali, baru setengah bulan sudah datang lagi. Dikatakan informan, meskipun rata-rata penduduk desa mempertanyakan kenapa sudah harus suntik ulang lagi, tetapi mantrinya yakin bahwa ini sudah jadwalnya, maka penduduk ahirnya disuntik, dan terjadilah kesakitan yang dialami ibu-iu satu desa. Bahkan setelah dikonirmasi dan dilaporkan terhadap mantri, beliau menyadari kesalahannya, dan hanya bilang nanti akan hilang dengan sendirinya, hanya butuh waktu istirahat beberapa hari. Padahal, para ibu ada yang menderita sakit sampai dua mingguan. 7. Kesimpulan
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Masyarakat pedesaan ikut KB sebagai kebutuhan hidup terutama karena keterbatasan ekonomi. Keinginan untuk menambah penghasilan keluarga, tidak hanya karena telah memiliki banyak anak. Masyarakat menerima informasi tentang KB dari tetangga, teman, dan keluarga besar. Mengikuti orang lain, termasuk pilihan alat kontrasepsi yang digunakan. Bahkan jenis KB non hormonal sangat asing atau tabu bagi mereka. Ujung tombak penentu keputusan dominannya adalah petugas kesehatan, karena pengetahuan masyarakat tentang KB sangat minim. Kesadaran dan pemahaman rendah karena komunikasi yang diterapkan menurut Searl masuk pada kelompok directive jenis instruksional atau ordered. Daftar Pustaka Ariin, Anwar. 1994. Strategi komunikasi: sebuah pengantar ringkas. Armico. Bandung Agger, Ben. 2009. Teori Sosial Kritis. Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Kreasi Wacana. Yogyakarta Beauvoir, Simone De (2003). Second Sex: Kehidupan Perempuan. Pustaka Promethea. Yogyakarta. Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Kualitatif. Pustaka Media. Jakarta Mulyana Deddy. 2003. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Remaja Rosda Karya. Bandung Griin, EM. 2006. Communication heory. McGrawHill. New York – Amerika Handayani, Christina S & Ardhian Novianto. 2004. Kuasa Wanita Jawa. LKIS. Yogyakarta Humm, Maggie. 2007. Ensiklopedia Feminise. Fajar Pustaka. Yogyakarta Indraswari. 2003. Menakar harga perempuan. LKIS. Yogyakarta Katsjasungkana. 2003. Menakar Harga Perempuan. LKIS. Yogyakarta Kriyantono, Rahman. 2007. Riset Praktis Komunikasi. Kencana. Jakarta LittleJhon, Stephen W. 2002. heories of Human Communication, Seventh Edition. Wadsworth. California Marcoes & Natsir. 2003. Menakar Harga Perempuan. LKIS. Yogyakarta Moleong, Lexy J. 2007. Metodelogi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung Melliana, Annastasia. 2006. Menjelajah Tubuh: Perempuan dan Mitos Kecantikan. LKIS. Yogyakarta Newman, W. Lawrence. 2003. Social Research Methods, Qualitative and Quantitative Approach, Fifth Edition. Pearason Eduation. USA Efendi, Onong Uchjana. 2003. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. Citra Aditya Bakti. Bandung. ____________________. 2003. Ilmu Komunikasi dan Praktek. Remaja Rosda Karya Bandung
Piyoto, agus joko dan Kutanegara, Pande Mate. 2010. Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi. Pustaka Pelajar. Bandung Patton, Michael Quinn. 2001. Qualitative Research and Evaluation Methodes third edition. Sage Publication. London Ruslan, rosady. 202. Kiat dan Strategi Kampanye Public Relations. Rajagraindo Persada. Jakarta Soerjono Soekanto. 2000. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajagraindo. JakartaSyaiful, Rohim. 2009. Teori komunikasi perspektif, Ragam & aplikasi. Remaja Rosda Karya. Bandung Sobary. 2003. Menakar Harga Perempuan. LKIS. Yogyakarta Synott, Anthony. 2007. Tubuh Sosial. Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. Jalasutra. Yogyakarta West, Richard & Turner, Lynn H. 2007. Introducing Communication heory Analysis and Application hird Edition. McGraw-Hill. New York. Widjaja. 2008. Komunikasi Dan Hubungan Masyarakat. Bumi Aksara. Jakarta Sumber Lain: Bahan Makalah Keluarga Berencana 2010, yang diselnggarakan oleh Departemen Kesehatan RI, Jakarta. 1998: 1 Http:/id.shvoong.com/social-sciences/ anthropology/2099150-penduduk-indonesia diakses pada hari rabu, 21 Februari 2012 jam 09.00 wib www. Bapenas.go.id Airin, Farah. 2012. Strategi Komunikasi BKKBN Provinsi Banten Dalam Proses Pembentukan Kesadaran Program Keluarga Berencana. FISIPImu Komunikasi. Untirta
318
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat Tia Muthiah Umar1*) Abstrak Berdasarkan IPM (indeks Pembangunan Manusia) yang dirilis oleh UNDP, indeks masyarakat Indonesia termasuk kepada katagori yang rendah yakni pada peringkat 124 dari 187 negara yang diteliti. Masyarakat Indonesia hanya lebih baik dari masyarakat Myanmar, Laos, Kamboja dan Vietnam, tapi tentu tertinggal dari Malaysia, Brunei, apalagi Singapura. Komponen yang dinilai untuk pemeringkatan IPM ini adalah tingkat pendidikan, kesehatan dan daya beli. Berbagai penelitian yang dilakukan terhadap masyarakat Indonesia menunjukkan faktor-faktor kelemahan yang melekat, yang bukan saja pengaruh mentalitas internal, tetapi juga pengaruh lingkungan struktural. Tugas dan fungsi pemerintah sesungguhnya adalah mengupayakan dan memfasilitasi keberdayaan masyarakatnya. Tetapi faktanya jauh dari harapan. Karena itu, selain terus mengawasi dan mengingatkan pemerintah akan fungsi dan tugasnya dalam mendorong pemberdayaan masyarakat, maka akan lebih bermakna bila pemberdayaan didorong dari dalam masyarakat itu sendiri oleh organisasi sosial yang tumbuh ditengah masyarakat. Untuk mengatasi persoalan ini, maka diperlukan upaya untuk melakukan proses konsientisasi, menyadarkan masyarakat akan kondisi yang harus diperbaiki dimulai dari menganalisis sendiri masalah yang dihadapi, mengidentiikasi sebab-sebabnya, menetapkan skala prioritasnya dan memperoleh pengetahuan baru dari masalah yang dihadapinya. Melalui komunikasi yang tepat, maka diharapkan dalam jangka waktu yang terukur akan terbentuk masyarakat yang berdaya, masyarakat sipil yang mandiri. Paparan ini ingin menjelaskan mengenai beberapa hal tentang: gerakan pemberdayaan masyarakat, pentingnya menerapkan proses konsientisasi kepada masyarakat oleh organisasi sosial dan strategi pemberdayaan masyarakat melalui proses komunikasi . Kata kunci: Komunikasi, Konsientisasi, Pemberdayaan Masyarakat. 1. Pendahuluan Manusia telah menyandang sifat kebergantungan sepanjang hidupnya dalam suatu sistem kosmik. Manusia bergantung kepada alam terutama kepada manusia lainnya dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, agar kehidupan bisa terus berlangsung. Untuk itulah kemudian manusia membentuk organisasi, mulai dari organisasi terkecil yang bernama keluarga, sampai organisasi terbesar yakni Negara. Dengan organisasi itu, manusia mengupayakan kelestarian hidupnya, karena dengan organisasilah manusia dapat saling memenuhi kebutuhannya. Karena kebutuhan hidupnya maka manusia melakukan kerjasama dan berorganisasi. Menurut Maslow dalam hoha (1994:215), Nampak ada hirarki kebutuhan (hierarchy of needs) yang mengatur dengan sendirinya kebutuhan-kebutuhan manusia yang terdiri dari kebutuhan isik, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial (ailiasi), kebutuhan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri. Manusia membentuk organisasi dengan tujuan untuk dapat melakukan pekerjaan yang tidak mungkin dilakukan oleh satu orang dengan satu otak dan kedua tangannya, atau oleh suatu kelompok kecil dengan usahanya sendiri (Steinberg, 1990:1) Sebuah organisasi sosial dapat dicirikan dengan adanya kesamaan tujuan diantara para anggotanya, memiliki identitas yang jelas, melakukan pembagian 1 *) Dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi Unversitas Islam Bandung (Unisba).
319
tugas yang dirinci dan jelas diantara anggotanya, relatif berbatas waktu cukup lama dan memiliki keanggotaan yang jelas, serta tentu saja memiliki program kerja dalam rangka mencapai tujuannya itu.(Abdulsyani, 2002:117-118) Dalam sejarahnya organisasi sosial hadir untuk mengupayakan perubahan bagi anggotanya, suatu kebutuhan untuk menjawab berbagai tantangan kehidupan, dimana tantangan bagi organisasi sosial itu selalu bersifat eksplisit dan kolektif (Mirsel, 2004:6) 2.
Pembahasan
Permasalahan Umum Masyarakat Sesuai dengan teori yang dikemukakan Mirsel diatas, bahwa organisasi sosial memang lahir untuk membantu anggotanya menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Permasalahan umum kehidupan masyarakat Indonesia amat nyata, faktual dan sifat permasalahan itu mencakup sebagian besar masyarakat. Data-data yang dapat diperoleh di berbagai media massa menunjukkan fakta lemahnya masyarakat Indonesia. Data tentang rata-rata lama waktu belajar masyarakat Indonesia adalah 5,7 tahun. Ini artinya rata-rata lama masa belajar masyarakat Indonesia, bahkan belum termasuk katagori lulus sekolah dasar. Kemampuan apa yang dapat diharapkan dari manusia yang hanya mengenyam pendidikan serendah itu, tentu sudah dapat diduga.
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Bagaimanapun, pendidikan adalah fundamental utama suatu masyarakat. Bila pendidikannya baik, berkualitas, maka kehidupan masyarakatpun akan baik. Masalah pendidikan yang memprihatinkan, dengan berganti-gantinya kurikulum, perubahan konsep tanpa implementasi yang tuntas dilapangan, setiap berganti menteri pendidikan, berganti kebijakan, tuntutan akan kuantitas nilai akademik yang tinggi, tidak dibarengi dengan penanaman ilosoi pendidikan secara kafah, mengantarkan kebingungan yang besar di kalangan masyarakat pelaksana dan pengguna pendidikan. Pendidikan hampir membuat mayoritas masyarakat tidak berdaya. Bagaimana tidak, ketika muncul produk terbaru kurikulum tingkat satuan pendidikan, dimana setiap sekolah berhak untuk menetapkan kurikulumnya masing-masing, tetapi evaluasi pembelajaran malah dilakukan oleh pemerintah. Akibat yang jelas adalah kesesatan pelaksanaan evaluasi pendidikan dimanamana, mengorbankan idealisme demi nilai akhir yang diharapkan. Riset majalah ekonomi dunia the Forbes telah mengumumkan dalam beberapa tahun terakhir ini beberapa anak bangsa yang masuk dalam jajaran lima puluh orang terkaya dunia, namun sayangnya hal itu sama sekali tidak mewakili kondisi ekonomi masyarakat yang sesungguhnya. Kondisi perekonomian masyarakat Indonesia saat ini diwarnai dengan kesenjangan kekayaan yang tajam. Penduduk miskin Indonesia ada 36 juta jiwa, dan 40 juta manusia Indonesia dalam keadaan hampir miskin. Ini menunjukkan lebih dari satu pertiga rakyat Indonesia masih berada digaris atau di bawah garis kemiskinan. Untuk melihat tingkat kesejahteraan, parameter yang digunakan salah satunya adalah masalah penghasilan perkapita masyarakatnya. Tingkat pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia sekitar 3000USD atau setara dengan 27 juta rupiah pertahun, artinya pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia adalah 2,25 juta rupiah per bulan. Bandingkan dengan pendapatan penduduk China 4000USD/ tahun, Malaysia 7500USD/tahun, atau bahkan Warga Singapura yang mencapai 40Ribu USD/tahun. Masih menjadi permasalahan besar bangsa yakni sulitnya memperoleh lapangan pekerjaan, dan rendahnya upah, telah mendorong masyarakat kelas bawah untuk berbondong-bondong memburu pekerjaan ke luar negeri. Ironisnya pemerintah membanggakan warganya yang mencari nafkah diluar negeri untuk menjadi buruh kasar dan menghadiahinya dengan julukan pahlawan devisa. Sebagian kecil (benarkah?) impaknya adalah pemberitaan tentang penderitaan tenaga kerja Indonesia (sebagian besar perempuan) di beberapa Negara luar negeri akibat penganiayaan isik oleh para majikan mereka, atau kekerasan senjata oleh aparat keamanan setempat telah menjadi sebuah fakta ketidakberdayaan masyarakat Indonesia.
Sekalipun secara resmi kasus-kasus penderitaan TKI telah mengantarkan moratorium pengiriman TKI ke luar negeri, tetapi secara illegal selalu saja dapat diloloskan masyarakat yang sudah tidak punya lagi harapan akan nasib memperoleh kehidupan yang layak di tanah air. Resiko bagi masyarakat tentu lebih berat. Dapat dimengerti bila ketidakberdayaan masyarakat di bidang ekonomi telah menjadi modal mereka untuk nekat pergi jauh mengadu nasib, atau yang paling pintas adalah bunuh diri mengakhiri hidup dengan tragis. Masyarakat Indonesia tidak berdaya mengahadapi berbagai kebutuhan hidup primer yang sulit didapatkan karena harga yang tidak sesuai dengan kemampuan. Biaya pendidikan mahal, biaya kesehatan mahal, harga bahan pokok juga mahal. Pada aspek kesehatan, tingkat kesehatan masyarakat juga masih rendah, diwakili oleh tingginya angka kematian bayi dan ibu melahirkan. 3,7 juta bayi dan balita mengalami gizi buruk, sehingga berat badan mereka tidak sesuai dengan usianya, serta 7,8 juta bayi dan balita mengalami gizi kronis, yang mengakibatkan tinggi badan tidak sesuai dengan usianya. Pemberdayasan Masyarakat Kata pemberdayaan mengesankan arti adanya sikap mental yang tangguh atau kuat. Menurut Rappaport dalam Hikmat (2004:43), praktek dan kegiatan yang berbasiskan pemberdayaan adalah bahasa pertolongan yang diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut kemudian mengomunikasikan kekuatan yang tangguh untuk mengubah hal-hal yang terkandung dalam diri kita (inner space), orang-orang lain yang kita anggap penting, serta masyarakat di sekitar kita. Elaborasi dari pemikiran tersebut, secara keseluruhan akan dapat memperkaya dan menjiwai pemahaman global mengenai pemberdayaan sehingga akan membawa dampak sangat luas, baik terhadap kecenderungan primer maupun sekunder dari makna pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat harus merupakan sosial engineering dalam arti dijadikan suatu agenda penting, dengan perencanaan yang rasional. (Panuju,1997:17) Pemberdayaan harus menampilkan peranperan aktif dan kolaboratif antara masyarakat dan mitranya, bukan hanya untuk meningkatkan nilai tambah ekonomis, tapi lebih dari itu adalah untuk meningkatkan nilai tambah sosial budaya. Konsep pemberdayaan menunjukkan keterhubungan dengan kemandirian, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Dalam undang-undang dasar Negara, jelas bahwa tugas pemerintah adalah memberikan kesejahteraan kepada warganya. Sumber daya alam yang begitu besar di Indonesia, merupakan modal dasar yang besar, bila dikelola secara benar, maka secara logika matematika pasti akan dapat memenuhi hajat hidup warga Negara diatas standar kebutuhan, sayangnya itu belum menjadi realitas hidup saat ini. Negara sebagai organisasi sosial terbesar hadir sebagai akumulasi dari sumbangsih berbagai organisasi
320
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
sosial yang lebih kecil, dengan tujuan kesejahteraan hidup yang lebih terjamin. Dengan kata lain, pemerintah sebagai manajemen negara merupakan garantor, regulator dan fasilitator bagi masyarakat untuk memperoleh jaminan akan pemenuhan hak-haknya. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sama-sama bertanggungjawab untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Di setiap bangsa yang berdaya baik di Benua Eropa, Amerika, maupun di Asia, peran pemerintah mereka sangat besar dalam menunaikan hak-hak warganya. Hal ini tentu dapat dimaklumi, karena kualitas hidup masyarakatnya yang juga berdaya, yang menurut Sumardjo (1999) dicirikan dengan: (1) Mampu memahami diri dan potensinya; (2) mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan); (3) Mampu mengarahkan dirinya sendiri; (4) Memiliki kekuatan untuk berunding; (5) Memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, dan (6) Bertanggungjawab atas tindakannya. Pentingnya Pemberdayaan Masyarakat Melalui Konsientisasi Buruknya posisi masyarakat Indonesia dalam percaturan internasional, bukan saja karena faktor internal bangsa yang lemah, menyangkut mentalitas rakyat dan pemerintah, namun juga faktor eksternal, dimana kuatnya implementasi program globalisasi yang sulit untuk dapat diimbangi oleh kondisi masyarakat Indonesia. Faktor prinsip kerja globalisasi yang nampak sengaja dibuat dengan parameter kelompok masyarakat Negara kuat, menjadi sangat diskriminatif kepada bangsa yang lemah, apalagi bangsa yang pemerintahannya juga tidak mempunyai keberihakan pada rakyatnya dalam membuat peraturan perundangan. Kebebasan bagi media massa untuk menyajikan produk siarannya, terutama hiburan yang telah mempengaruhi gaya hidup masyarakat secara ekstrem, mengalihkan minat masyarakat dari norma-norma sosial yang telah dianut sejak lama kepada norma baru yang diopinikan oleh media secara terus menerus melalui tayangan sinetron dan iklan-iklan bernuansa kapitalisme dan materialisme dan pragmatisme. Langkah cepat yang harus diambil untuk membangkitkan kembali masyarakat dari keterpurukan adalah melakukan rekayasasosialdengan perencanaan yang matang, sehingga mudah untuk mengukur kemajuannya. Salah satu strategi rekayasa sosial yang penting untuk dilaksanakan adalah langkah konsientisasi. Dengan konsientisasi, masyarakat diajak untuk menganalisis sendiri masalah yang dihadapinya, kemudian membuat identiikasi sebab-sebabnya, dilanjutkan dengan membuat skala prioritas implementasi, dan dipastikan mendapat informasi baru yang akan membuka jalan bagi perubahan yang diharapkan. 321
Sepatutnya bila pemerintah memfasilitasi masyarakat untuk menempuh konsientisasi ini. Namun pemerintah sebagai pengelola Negara tidak cukup mampu melaksanakan fungsinya dengan optimal tanpa bantuan masyarakat, sehingga masyarakat sendiri yang harus melakukannya dengan bantuan organisasi sosial. Komunikasi dalam Implementasi Konsientisasi Bagaimana cara yang tepat untuk dapat menjadikan masyarakat Indonesia berdaya dalam segala bidang kehidupan? Diperlukan keberanian besar untuk membangun dan memperbaiki paradigma pemerintah dalam memberdayakan masyarakatnya. Pemerintah dengan desakan dari kaum intelektual dan berbagai organisasi sosial yang ada, perlu belajar kepada Negara lain yang sukses mengangkat kualitas hidup masyarakatnya. Tentunya bukan sekedar studi banding berbentuk perjalanan dinas ke luar negeri para pejabat yang menguras anggaran belanja negara, tetapi lebih kepada penguatan komitmen pemerintah untuk mengambil pelajaran dari praktek-praktek terbaik pemerintah Negara lain dalam memfasilitasi masyarakatnya berdaya dalam segala bidang. Setiap organisasi sosial harus menjadi agen pemberdayaan dengan memanfaatkan strategi komunikasi terbaik, untuk terus mendorong pemerintah agar dapat melaksanakan tugasnya dengan optimal. Komunikasi dengan kekuatannya dalam menjalankan fungsi edukasi, pengawasan dan tanggungjawab sosialdapat diterapkan dalam konsientisasi ini. Bagi masyarakat awam, komunikasi persuasif dan tatap muka akan sangat efektif. Sedangkan untuk masyarakat dengan tingkat pendidikan yang lebih baik, maka komunikasi bermedia pun dapat menjadi bentuk pendekatan yang efektif. Studi Kasus: Bandung Bebas Tuberculosis Tahun 2015 Kota Bandung adalah salah satu kota besar di Indonesia yang selalu menarik untuk dijadikan tempat penelitian. Bukan saja jumlah penduduknya yang besar, potensi alamnya yang indah, namun juga kondisi lingkungan sosialnya yang cukup kosmopolitan, sehingga seringkali menjadi tujuan kunjungan wisatawan. Bandung adalah ibukota provinsi Jawa Barat, dengan luas wilayah 16.730 Hektar, berpenduduk 2.486.255 jiwa, rata-rata lama pendidikan 10,7 tahun, dan tingkat daya beli masyarakatnya Rp. 585.000,51 perkapita perbulan. Hasil penelitian kementerian kesehatan RI, menunjukkan Jawa Barat sebagai epidemik TB terbesar ketiga diantara provinsi lainnya di Indonesia, dan Kota Bandung menjadi epidemik TB terbesar di Jawa Barat. Penyakit TB adalah penyakit yang dikenal masyarakat dalam perspektif mitos, bukan fakta. Mitosnya TB adalah penyakit keturunan atau karena
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
guna-guna. Faktanya virus TB ada dalam setiap tubuh manusia dan akan menginfeksi sekitar 5-15 % yang menjadi sakit TB secara klinis. Pemicu virus bisa menginfeksi manusia dapat melalui faktor gaya hidup, lingkungan yang tidak sehat, juga melalui faktor situasi emosional negatif seperti perasaan marah, duka, cemas, takut, dan depresi. Berdasarkan fakta itulah, maka pemerintahmemerlukan bantuan berbagai ihakuntuk menjadikan pemberantasan penyakit ini sebagai salah satu prioritas program. Salah satu organisasi sosial Perempuan berskala nasional,Aisyiyah, melakukan gerakan peduli bagi para penderita TB dengan tekad membebaskan warga kota Bandung dari penyakit TB pada tahun 2015. Misi Aisyiyah adalah memutus mata rantai penularan penyakit TB. Program ini telah dilaksanakan sejak tahun 2009.Bersama-sama dengan jaringan organisasi sosial lainnya, mereka merumuskan strategi konsientisasi dengan melakukan berbagai kampanye dan sosialisasi peduli penderita TB. Saat ini gerakan ini telah melibatkan sebanyak 145 orang relawan, dengan temuan suspek sebanyak 694 orang, terdiagnosa positif TB sebanyak 142 orang, dan telah sembuh total sebanyak 43 orang penderita. Para relawan bertugas untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat akan bahaya virus TB, dengan cara mencari informasi dan data tentang penduduk kota Bandung yangmungkin merupakan suspek (istilah bagi warga yang diindikasi terpapar virus TB). Bila ditemukan warga yang positif terpapar virus TB, maka relawan akan segera melakukan konsientisasi, berupa pendekatan persuasif untuk menyadarkan suspek akan resiko dan bahaya penyakit ini, serta membangun motivasi suspek untuk sembuh. Secara terencana, relawan bersama-sama dengan pasien menganalisis sendiri masalah yang dihadapinya bagaimana kondisi suspek saat itu, kemudian membuat identiikasi sebab-sebab mereka terpapar virus tersebut, dilanjutkan dengan membuat skala prioritas tindakan apa yang akan diambil untuk proses penyembuhannya, dan suspek dipastikan mendapat informasi baru yang akan membuka jalan bagi kesembuhan yang diharapkan dan terputusnya mata rantai penularan virus kepada orang lainnya. Dibutuhkan waktu sekitar 6-9 bulan bagi seorang penderita penyakit ini untuk dapat kembali sembuh. Dalam tabel berikut diperlihatkan perjalanan praktek konsientisasi oleh relawan Aisyiyah kepada para penderita TB sbb:
Tabel .1 Tahapan Penyadaran Masyarakat Penderita TB di Kota Bandung dalam Dampingan Organisasi Aisyiyah No.
Kegiatan Konsientisasi
Waktu
1.
Menganalisis masalah yang dihadapi oleh suspek TB: kondisi suspek dengan melihat ciri-ciri isik batuk berdahak tidak sembuhsembuh lebih 2 minggu, berkeringat di malam hari, nafsu makan berkurang, berat badan menurun.
1 minggu
Kondisi penderita umumnya dikucilkan oleh keluarga dan masyarakat, malu, tidak berdaya, tidak produktif. Relawan menjelaskan tentang bagaimana virus ini menginfeksi dan apa akibatnya bila tidak diobati.
2.
Mengidentiikasi sebabsebab suspek terpapar virus TB: gaya hidup yang tidak sehat, lingkungan kumuh, kondisi psikologis negatif, stress, perasaan duka, marah berkepanjangan.
1 minggu
Relawan memberikan motivasi kepada suspek dan keluarga bahwa penderita TB dapat sembuh, dengan keinginan yang kuat dari diri sendiri dan dukungan keluarga.
3.
Membuat skala prioritas tindakan yang akan dilakukan untuk memastikan apakah suspek positif: membawa ke puskesmas untuk periksa dahak di laboratorium, hasil
1 minggu
Ada kalanya suspek tidak mau melanjutkan program ini, dan memutuskan untuk tidak berobat sama sekali.
kepastian pasien terpapar atau tidak.
322
Keterangan
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
4.
Mendapatkan informasi baru: harus berobat secara teratur dalam jangka waktu tertentu tanpa berhenti, bila sempat terhenti, maka akan dikatagorikan drop out, dengan resiko pengobatan ulang akan lebih sulit dan menjadi mahal. Untuk memutus mata rantai penularan, penderita harus memperbaiki gaya hidup, berhenti merokok, berhenti begadang, mengupayakan lingkungan hidup yang sehat, dan mengendalikan situasi emosi untuk selalu positif.
Minimal 6 bulan
Pengobatan telah disediakan secara gratis oleh pemerintah di setiap puskesmas, RS pemerintah dan RS Swasta yang telah berkomitmen melaksanakan pengobatan TB. Munculnya pengetahuan baru tentang tanggungjawab social setiap masyarakat yang terpapar virus TB agar dapat segera memutus rantai penularan virus, bukan saja sebagai reaksi atas kenyataan yang dihadapi, tetapi lebih jauh akan menjadi antisipasi atas bertambahnya suspek baru yang mungkin akan muncul.
3.
Simpulan
Perubahan masyarakat yang terjadi umumnya bukanlah merupakan bentuk proses sistem yang bersifat alamiah, melainkan terjadi karena adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang tidak sesuai dengan standar yang diharapkan. Sebagai supra struktur sosial politik, pemerintah sepatutnya menjadi fasilitator atas pemberdayaan masyarakat. Namun dalam keadaan kurang optimal peran pemerintah, maka organisasi sosial mendorong dan mendampingi masyarakat untuk melakukan sendiri proses penyadaran diri akan masalah yang dihadapinya untuk dapat menemukan keputusan terbaik yang dapat mengubah kualitas hidup mereka kepada keadaan yang ideal. Bila masyarakat atas jaminan dan fasilitasi pemerintah serta dampingan dari organisasi sosial telah mampu menunjukkan keberdayaan dalam mengelola kehidupannya, maka diharapkan segera terjadi masyarakat sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan kualitas diatas rata-rata dan mampu mengambil peranan dalam globalisasi dengan daya saing yang tinggi.
PENGGUNAAN MEDIA KOMUNIKASI
Daftar Pustaka Abdulsyani (2002), Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan, Jakarta, Bumi Aksara. Budiman, Arief (2000), Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta, Gramedia. Hardiman, F. Budi (1993), Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta, Penerbit Kanisius. Hikmat, Harry (2004), Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung, Humaniora Utama Press. Lubis, Mochtar (2001), Manusia Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. Mirsel, Robert (2004), Teori Pergerakan Sosial, Yogyakarta, Insist Press. 323
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Steinberg, Rafael (1990), Manusia dan Organisasi, Jakarta, Tira Pustaka. Penerjemah: P.Sondak Panuju, Redi (2007), Sistem Komunikasi Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. hoha, Miftah (1994), Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya, Jakarta, Rajawali Press.
324
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Hubungan Karakteristik Anggota dan Keefektivan Komunikasi Organisasi Anggota KUD Mandiri Panca Usaha Palabuhanratu (Kasus Desa Cidadap dan Loji Kecamatan Simpenan Sukabumi Jawa Barat) Yudi L.A Salampessy 1*) Abstract he Relation between he Membership characteristics and the Communication Efectiveness of he “Panca Usaha” KUD members Palabuhanratu (Case study of Cidadap and Loji villages, Simpenan, Sukabumi, West Java) KUD member’s characteristics are related to their communication efectiveness in their organization. heir expected characteristics involved are the age, education, job, family income and membership longetivity. he KUD member’s communication efectiveness is measured by the cooperative knowledge and attitude towards KUD. he relation between variables is analyzed by Chi-squared analysis with the 1% signiicant level. he education, job, and family income are signiicantly related to the communication efectiveness while the age and membership longetivity do not. Key Word: characteristic, communication, cooperative
1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Perkembangan koperasi di Indonesia belum menunjukkan kondisi yang menggemberikan. Keberadaannya sampai saat ini masih kurang mendapat sambutan sebagian besar masyarakat, terutama mereka yang belum memahami peran penting koperasi dalam mewujudkan demokrasi ekonomi. Hal ini terlihat dari relatif masih lemahnya daya saing koperasi terhadap pelaku ekonomi lainnya, serta masih banyaknya koperasi yang sebagian anggotanya kurang aktif berpartisipasi dalam kegiatan koperasinya. KUD Mandiri “Panca Usaha” Palabuhanratu yang berada di Kecamatan Simpenan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, adalah salah satu koperasi yang terus berupaya meningkatkan peranannya sebagai basis pemberdayaan ekonomi perdesaan melalui unit usaha simpan pinjam, perdagangan, listrik, RMU, pertambangan emas, angkutan, perikanan, jasa telekomunikasi, ATK dan fotocopy, jasa penyewaan peralatan pesta. Upaya-upaya tersebut terkendala oleh rendahnya tingkat partisipasi anggota, mislanya rendahnya kesadaran membayar simpanan, memanfaatkan unit usaha yang ada, dan aktif dalam kegiatan keorganisasian. Kondisi tersebut sangat menghambat perkembangan KUD dan menyebabkan terhentinya kegiatan usaha perdagangan, perikanan, RMU, dan angkutan yang seharusnya justru menjadi proit center bagi KUD, mengingat sebagian besar anggotanya adalah petani dan nelayan. Hasil evaluasi pengurus KUD menunjukkan rendahnya tingkat partisipasi sebagian besar anggota disebabkan kurangnya keefektivan komunikasi organisasi anggota yang mengakibatkan kurangnya pemahaman perkoperasian anggota dan sikap positif 1 *) Dosen di Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten.
325
anggota terhadap KUD, bahkan sering menimbulkan prasangka-prasangka negatif anggota kepada pengurus KUD. Untuk itu dilakukan pembenahan anggota melalui penyuluhan perkoperasian dan pendaftaran ulang status keanggotaan berdasarkan keaktifan, komitmen, dan loyalitas. Menariknya, setelah kegiatan tersebut, 941 anggota memutuskan tetap menjadi anggota, sedangkan 1.202 anggota menyatakan mengundurkan diri dengan alasan diantaranya tidak percaya kepada koperasi, kurang memperoleh manfaat, dan prosedur pelayanan yang berbelit. 1.2. Perumusan Masalah Permasalahan yang teridentiikasi adalah apakah karakteristik anggota KUD tersebut memiliki hubungan dengan keefektivan komunikasi organisasi yang dapat membentuk pemahaman dan sikap positif mereka terhadap KUD ? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini mencoba mengetahui hubungan karakteristik anggota dan keefektivan komunikasi organisasi anggota KUD yang diduga dapat menjadi faktor pembentuk pemahaman dan sikap positif mereka terhadap KUD. 2. Metode Penelitian 2.1. Desain Penelitian Penelitian didesain sebagai penelitian survey yang bersifat deskriptif dengan pendekatan kuantitatif untuk memberikan gambaran variabelvariabel yang diteliti serta menjelaskan hubungan antar variabel tersebut. Variabel bebas yang diteliti adalah karakteristik (umur, lama keanggotaan, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan tingkat pendapatan) anggota KUD Mandiri Panca Usaha Palabuhanratu
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
dan keefektivan komunikasi organisasi mereka sebagai variabel terikat. 2.2. Populasi dan Sampel Populasi meliputi seluruh anggota KUD Mandiri Panca Usaha Palabuhanratu yang berdomosili di Desa Cidadap dan Desa Loji sebanyak 725 orang. Kedua desa dipilih purposif karena memiliki proporsi jumlah anggota KUD terbanyak, karakteristik sosial ekonomi dan faktor geograis yang sama. Sampel ditentukan sebanyak 88 orang menggunakan rumus Slovin (e = 10%) dan ditarik berdasarkan teknik Propotional Random Sampling yang menghasilkan 55 responden dari Desa Cidadap dan 33 dari Desa Loji.
dan tinggi menunjukkan bahwa tingkat pendidikan sebagian besar responden masih sangat rendah. Hal ini banyak dipengaruhi oleh kurangnya fasilitas pendidikan di kedua desa tersebut dan kondisi ekonomi masyarakat pada masa lalu. Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan Jumlah
Persentase
SD
Jenjang Pendidikan
55
62.5
SMP
12
13.63
SMA
9
10.22
PT
12
13.63
88
100
Total
2.3. Data dan Instrumentasi Penelitian Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari subyek penelitian. Data sekunder diperoleh dari KUD Mandiri Panca Usaha Palabuhanratu Sukabumi Jawa Barat, instansi-instansi serta referensi terkait. Pengumpulan data primer menggunakan instrumen dalam bentuk kuesioner. Instrumen penelitian dinilai valid dan reliabel setelah melalui uji validitas instrumen dengan analisis faktor dan uji reliabilitas dengan teknik belah dua yang keduanya diuji menggunakan korelasi Pearson Product Moment. Data dianalisis secara deskriptif melalui tabulasi dan hubungan antar variabel dianalisis dengan Uji Chi-Square.
c. Lama Menjadi Anggota KUD Rataan lama menjadi anggota KUD dari responden adalah 11,75 tahun dengan kisaran selama satu sampai 22 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden telah cukup lama menjadi anggota KUD. Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan lama keanggotaan Lama Keanggotaan
Jumlah
Baru
22
25
Cukup Lama
38
43.18
Lama
28
31.82
88
100
Total
3. Hasil Penelitian 3.1. Karakteristik Responden Karakteristik Responden yang diukur dalam penelitian ini meliputi umur, lama keanggotaan, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan tingkat pendapatan a. Umur Rataan umur responden adalah 48,45 tahun dengan kisaran 30 sampai dengan 76 tahun yang dikategorikan menjadi umur muda, dewasa, dan tua. Distribusi responden berdasarkan umurnya di bawah ini menunjukkan bahwa sekitar 68 % responden masih dalam batas usia produktif.
d. Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan yang ditekuni responden sangat terkait dengan letak geograis Kecamatan Simpenan yang merupakan wilayah pertanian yang dilalui oleh sungai Cimadiri yang banyak menghasilkan pasir dan batu, serta berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia Tabel 4. Distribusi responden berdasarkan jenis pekerjaan Jenis Pekerjaan
Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan umur Kategori Umur Muda
Jumlah
Persentase
30
34.10
Dewasa
30
34.10
Tua
28
31.80
68
100
Total
Jumlah
Persentase
Petani
36
40.90
Nelayan
11
12.50
Wiraswasta
18
20.45
Pegawai
14
15.90
9
10.22
88
100
Buruh Total
b. Tingkat Pendidikan Formal Distribusi responden berdasarkan jenjang pendidikan formal yaitu pendidikan dasar, menengah,
Persentase
e. Tingkat Pendapatan Rataan tingkat pendapatan per bulan dari responden adalah Rp. 738.568,18 dengan kisaran Rp. 250.000,00 sampai dengan Rp. 2.000.000,00. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendapatan per bulan menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pendapatan yang relatif rendah.
326
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Tabel 5. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendapatan Tingkat Pendapatan Rendah
Jumlah
Persentase
27
30.68
Sedang
29
32.95
Tinggi
12
36.36
88
100
Total
3.2. Efektiitas Komunikasi Organisasi Responden Efektiitas komunikasi organisasi responden diukur melalui indikator pemahaman responden mengenai badan usaha koperasi dan sikap responden terhadap KUD Mandiri “Panca Usaha” Palabuhanratu. a. Pemahaman perkoperasian Secara umum, pemahaman perkoperasian responden relatif masih rendah, terutama pemahaman mengenai organisasi koperasi, hak dan kewajiban anggota koperasi, serta kemandirian koperasi.
Tabel 5. Sikap responden terhadap KUD Obyek Sikap
Rataan Skor
Keberadaan KUD di wilayah tersebut
4.29 2.92
7
Semangat kebersamaan dalam KUD Kemampuan KUD mensejahterakan anggota Kegiatan usaha KUD
Tabel 6. Pemahaman perkoperasian responden Pemahaman Perkoperasian Keorganisasian
b. Sikap terhadap KUD Secara umum responden cukup mendukung keberadaan KUD. Beberapa aspek yang kurang mendapatkan dukungan, diantaranya adalah tatacara pembagian SHU yang sama jumlahnya dan diberikan dalam bentuk bingkisan. Permasalahannya bukanlah besaran SHU yang diterima, tetapi kejelasan sumber SHU dan proporsi pembagiannya. Kondisi ini sering menimbulkan kecurigaan terhadap pengurus dan keryawan KUD, seperti terlihat dari istilah-istilah yang disebutkan sebagai kepanjangan dari “KUD” yaitu “Ketua Untung Duluan” atau “Ketua Untung Dewek (Sendiri)”. Hal ini mengindikasikan kurangnya sosialisasi dan rendahnya kredibilitas pengurus karena di antara anggota selalu beredar rumor penyimpangan pengelolaan oleh pengurus KUD.
Rataan Skor 4.94
Skor Maksimal 13
Prinsip, azas, dan tujuan Hak dan kewajiban anggota Rapat anggota
9.48
17
3
Pengurus dan karyawan KUD
3.12
3.79
9
6
Kegiatan organisasi KUD
2.90
4.98
10
4
Kewajiban membayar simpanan anggota
3.69
Pengelolaan usaha
16.10
23
1
Pelayanan kepada anggota
4.01
Sumber permodalan
4.06
6
2
Tata cara pembagian SHU
2.57
Kemandirian
3.10
10
8
Penyisihan SHU untuk permodalan
3.55
5
Tata cara pelaksanaan rapat anggota
2.86
Keputusan rapat anggota
3.31
Keterbukaan KUD bagi masyarakat
4.55
Rataan Skor
3.39
Manfaat
5.47
12
Total Skor
51.96
100
Jenjang
Rendahnya pemahaman perkoperasian responden banyak disebabkan kurangnya informasi yang diterima dari sumber informasi. Kalaupun menerima, biasanya informasi tersebut kurang mendalam dan menyeluruh. Sebagai contoh, untuk meningkatkan kepercayaan anggota terhadap KUD, ketua-ketua kelompok anggota sering hanya menyampaikan bahwa pengertian koperasi adalah kegiatan usaha bersama untuk meningkatkan kesejahteraan anggota, Dengan informasi tersebut anggota tentu bisa memahami azas, tujuan, dan sumber permodalan koperasi. Akan tetapi, kurang memahami prinsip koperasi, perbedaan koperasi dengan badan usaha lainnya, serta kelengkapan organisasi koperasi. Selain itu, kemampuan sebagian besar responden dalam menjelaskan pengertian dari seluruh jenis simpanan anggota serta hak setiap anggota untuk memperoleh SHU mengindikasikan bahwa informasi tersebut sering diterima responden dari sumber informasi. Akan tetapi, sumber informasi jarang menjelaskan hak dan kewajiban lainnya dari anggota koperasi, sehingga banyak responden yang belum mampu menjelaskannya. 327
2.90 3.35
Kategori Skor: 1 = Tidak Mendukung 2 = Kurang Mendukung 3 = Netral 4 = Cukup Mendukung 5 = Mendukung Kurangnya dukungan responden terhadap tata cara pelaksanaan rapat anggota serta kegiatan organisasi koperasi banyak dipengaruhi oleh kurangnya pelibatan anggota dalam banyak kegiatan. Selama ini keterlibatan anggota lebih sering diwakili oleh ketua kelompok anggota yang jarang mengadakan pertemuan kelompok untuk memberikan informasi atau menyerap aspirasi anggota. Banyak responden menilai jenis usaha KUD belum sesuai dengan kebutuhan anggotanya, terutama bagi para petani dan nelayan yang lebih membutuhkan pengadaan sembako, saprotan, dan penggilingan padi dibandingkan pelayanan fotocopy, jasa telekomunikasi dan perlengkapan pesta.Walaupun demikian sebagian responden tetap mendukung, dengan harapan akan
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
memberi keuntungan kepada anggota dalam bentuk SHU. Karena hal itu tidak terjadi, maka muncul sikap apatis responden terhadap unit usaha serta memengaruhi sikap mereka atas kemampuan KUD mensejahterakan anggotanya. 3.3. Hubungan Antar Variabel Hasil analisis data melalui uji statistika ChiSquare (χ2) pada taraf nyata (α) 5% menunjukkan bahwa karakteristik tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan tingkat pendapatan berhubungan nyata dengan keefektivan komunikasi organisasi responden sebagai anggota KUD. Sedangkan karakteristik umur dan lama keanggotaan tidak berhubungan nyata dengan keefektivan komunikasi organisasi responden sebagai anggota KUD. Karakteristik Responden Umur Lama Keanggotaan Tingkat Pendidikan
(χ2= 5.99, P=0.02) (χ2= 65.99, P=0.36) χ2 = 28.25 P=0.00
Jenis Pekerjaan
Keefektivan Komunikasi Organisasi Responden
4. Simpulan dan Saran 4.1. Simpulan Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan adalah sebagai berikut: 1. Umur sebagian besar responden masih dalam batas usia produktif dengan pekerjaan sebagai petani. Selain itu sebagian besar responden telah lama menjadi anggota koperasi, akan tetapi berpendidikan dan pendapatan yang relatif rendah 2. Keefektivan komunikasi organisasi responden relatif masih rendah yang ditunjukkan dengan masih rendahnya pemahaman perkoperasian dan sikap kurang mendukung terhadap KUD dari sebagian besar responden 3. Tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan tingkat pendapatan responden berhubungan nyata dengan keefektivan komunikasi organisasi responden 4. Umur dan lama keanggotaan dalam KUD dari responden tidak berhubungan nyata dengan keefektivan komunikasi organisasi responden Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah diperoleh, dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut: 1. Pengurus KUD sebaiknya melatih beberapa anggotanya yang mampu memenuhi kriteria untuk menjadi sumber informasi perkoperasian (dapat diandalkan, dipercaya, dijangkau, dan memiliki empati yang tinggi) bagi anggota lainnya 2. Pengurus KUD sebaiknya sering melibatkan anggota dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian dan mempertemukan anggota dengan sumbersumber informasi perkoperasian, seperti sering mengadakan pertemuan anggota, pelatihan dan penyuluhan perkoperasian, atau kunjungan pengurus kepada anggota. 3. Pengurus KUD sebaiknya mengupayakan tersedianya media cetak yang memuat informasi perkoperasian untuk dimanfaatkan anggota dan karyawan KUD 4.2.
(χ2= 19,37, P=0.01)
Tingkat Pendapatan (χ2= 11.93, P=0.01)
Besarnya nilai χ2 beserta nilai peluang di atas dapat diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan nyata keefektivan komunikasi organisasi responden pada setiap kategori tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan tingkat pendapatan. Hal ini dapat menunjukkan bahwa komunikasi organisasi responden yang bekerja pada bidang pekerjaan tertentu relatif lebih efektif dibandingkan responden yang bekerja dibidang lainnya. Selain itu, semakin tinggi tingkat pendidikan dan pendapatan responden diikuti oleh semakin efektifnya komunikasi organisasi mereka sebagai anggota KUD sehingga dapat meningkatkan pemahaman perkoperasian dan sikap positif mereka terhadap koperasi. Uji statistika di atas juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata keefektivan komunikasi organisasi responden pada setiap kategori umur, karena keefektivan komunikasi organisasi dari sebagian besar responden termasuk kategori rendah. Hal ini mengindikasikan kurangnya pemahaman perkoperasian dan sikap terhadap koperasi dari sebagian responden di setiap kategori umur. Demikian halnya dengan keefektivan komunikasi organisasi responden yang tidak memiliki perbedaan nyata di setiap kategori lama keanggotaan responden dalam KUD. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin lanjut umur dan semakin lama keanggotaan responden dalam KUD tidak menjamin semakin efektif komunikasi organisasi responden sehingga dapat meningkatkan pemahaman perkoperasian dan sikap positif mereka terhadap koperasi.
Daftar Pustaka Davis, K. 1985. Human Relation at Work. Mc. Graw Hill Book Company. New York Depari, E., dan Colin. M. 1988. Peranan Komunikasi Massa dalam Pembangunan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Depkop, RI. 1992. “UU No.25 Tentang Perkoperasian”. Pusat Data dan Informasi Depkop UKM. Jakarta Ginting, M. 1999. “Dinamika Organisasi Koperasi” Disertasi Doktor. Program Studi Ilmu Penyuluhan. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
328
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
Hanel, A. 1989. Pemikiran-Pemikiran Dasar Mengenai Organisasi Koperasi dan Kebijakan-Kebijakan bagi Pengembangannya di Negara Berkembang. Keluarga Besar Mahasiswa IKOPIN. Bandung. Krech, D., and R.S Crutchield. 1962. Individual an Society: A Text Book of Social Psycology. Mc.Graw-Hill Book Company, Inc. University of California, Berkeley. Mar’at. 1981. Sikap Manusia, Perubahan serta Pengukurannya. Ghalia Indonesia. Jakarta Muhammad, A. 1995. Komunikasi Organisasi. Bumi Aksara. Jakarta Mutis, T. 1992. Pengembangan Koperasi: Kumpulan Karangan. Gramedia Widiasarana. Jakarta Sartika, T. 1988. Pengantar Ilmu Ekonomi Koperasi. Universitas Trisakti. Jakarta Singarimbun, M., dan S. Efendi. 1989. Metode Penelitian Survey. LP3ES. Jakarta Slamet, M. 1978. “Beberapa Catatan Tentang Pengembangan Organisasi”, dalam Kumpulan Bacaan Penyuluhan Pertanian, Edisi ke Tiga. IPB. Bogor. Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI Press. Jakarta. Yahya, M. 1985. “Strategi Peningkatan Partisipasi Anggota Koperasi”. Warta Koperasi Pegawai Negeri. Jakarta.
329
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
330
LAMPIRAN
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
DAFTAR PESERTA KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI 3-4 OKTOBER 2012 Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten Tema 1 : Peran Etika Komunikasi Politik dalam Membangun Kredibilitas Pemerintah Moderator NO
: M. Jaiz S.Sos, M.Pd. NAMA
INSTITUSI
JUDUL PAPER
1
Siti Komsiah, S.IP, M.Si
Universitas Persada YAI Jakarta
2
Ari Pandu W, S.Sos
Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten
3
H. H. Daniel Tamburian, S.Sos, M.Si.
Universitas Tarumanegara
4
Ikhsan Ahmad, S.IP
Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten
5
6
Husnan Nurjuman, S.Ag, M.Si
Dra. Novi Andayani Praptiningsih, M.Si
Strategi Komunikasi Pembangunan dalam Bentuk Metode Riset Komunikasi Pentingnya Penciptaan dan Promosi Landmark Provinsi Banten Sinyo Harry Sarundajang: Mengatasi Konflik Maluku dan Maluku Utara dengan Pendekatan Dialogis Politik dan Komunikasi Pesantren Salafiyah dalam Proses Demokrasi di Banten
Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten
Konstruksi Pluralisme Agama pada Kampanye Politik: Studi Etika Komunikasi (Kajian Prastudi Kasus terhadap Isu SARA pada Pilkada DKI Jakarta 2012)
Universitas Prof. Dr. Hamka Jakarta
Komunikator Politik Ideal Dan Dramaturgi Dalam Strategi Kampanye Politik
KONTAK siti_komsiah@ yahoo.com Phone : 081310336419 / 021-84596386 dwi.tantra@gmail. com 085716525750 tamburian@gmail. com
husnannurjuman@ gmail.com 085218269667
noviap@yahoo. co.id
Tema 2 : Representasi Gender dalam Realitas Sosial Budaya Bangsa Indonesia Moderator NO 1
2
: Mia Dwianna, M.Ikom NAMA
Dra. Yoyoh Hereyah, M.Si
Muhammad Najih Farihanto, S.I.Kom
INSTITUSI
JUDUL PAPER Menggugat Kesetaraan Gender sebagai Sebuah Vision Bangsa
FIKOM Univ. Mercu Buana
Peran Customer Relations dan Diskriminasi Perempuan (Studi Kasus pada Dealer Mobil di Yogyakarta)
Universitas Ahmad Dahlan
333
KONTAK yoyohwibowo@ yahoo.com 021-70296566 / 082111912060 najiholic@yahoo. co.id
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
3
4
Suzy Azeharie
Helen Diana Vida, S.Sos, M.I.Kom.
Konstruksi Perempuan Pelaku Kejahatan Kasus Melinda Dee dan Afriani Susanti
Universitas Tarumanegara
Peran Perempuan dalam Membangun Kesejahteraan Keluarga
Universitas Kristen Indonesia
5
Neka Fitriyah, S.Sos, M.Si
Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten
6
Darwis Sagita, S.Ikom dan Puspita Asri P, M.Ikom
Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten
Dra. Nurprati Wahyu Widyatuti, M.Si
Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten
7
Quo Vadis Pengarusutamaan Gender: Representasi Kebijakan Pemerintah dan Realitas Sosial Masyarakat Banten Representasi Gender pada Profesi Wartawan Pmberdayaan Perempuan sebagai Agent of Change dalam Pengelolaan Lingkungan Bantaran Kali Ciliwung
azehariesuzy@ yahoo.com 08129359253 / 021-56960586 helendianavida@ gmail.com helen.diana@uki. ac.id 021-8092425
neka_fitriyah@ yahoo.co.id
[email protected]
nunuk.ta@gmail. com
Tema 3 : Peran dan Tantangan New Media bagi Pembangunan di Era Globalisasi Moderator NO
1
2
3
: Deviani Setyorini NAMA
Rustono Farady Marta S.Sos, M.Med. Kom
Genep Sukendro ; Sisca Aulia
Rendra Widyatama, S.IP, M.Si. ; Tawar, S.Si, M.Kom.
ASAL
Universitas Bunda Mulia Jakarta
Universitas Tarumanegara
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Jl Kapas no 9 Semaki, Yogyakarta
334
JUDUL PAPER Analisis McQuail Set pada Website bagi Pembangunan Kearifan Lokal Masyarakat Indonesia di era Globalisasi
KONTAK
frad_sby@yahoo. com
Twitter “Anak” New Media yang Revolusioner: Medium Pembangun Globalisasi
genep@ tarumanegara.ac.id genepism@ymail. com aulia_sisca@yahoo. com
SMS Broadcast untuk Pemberdayaan Masyarakat
rendrawidyatama@ yahoo.com 08156852967
[email protected] 081392881972
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
4
Lidwina Mutia Sadasri, S.IP
Universitas Gajah Mada Yogyakarta
Transformasi Sistem Media Baru Konteks Indonesia: Aktivisme Internet oleh LSM dan Pembentukan Ruang Publik Alternatif
5
Muhammad Adi Pribadi, SE, MIB, MComm
Universitas Tarumanegara
6
Sugeng Wahjudi
Universitas Bunda Mulia Jakarta
Peran Facebook dalam Menciptakan Interaksi antara Kanwil Kesehatan propinsi dengan Ibu Hamil dalam Menurunkan Tingkat Kematian Ibu Saat Melahirkan Media Baru dan Demokratisasi di Indonesia
7
Idi Dimyati, S.Ikom, M.I.Kom.
Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten
Ponsel dan Budaya Komunikasi Masyarakat Indonesia
Universitas Multimedia Nusantara
Kredibilitas Pemerintah Di Mata Media Online (Framing pemberitaan kredibilitas Gubernur dan Wakil Gubernur Banten di media online)
8
Drs. Indiwan Seto Wahyu Wibowo, M.Si.
lidwina_mutia@ yahoo.com
[email protected]
swahjudi@ bundamulia.ac.id
ididimyati@gmail. com Indiwan_seto@ yahoo.co.id / indiwan@umn. ac.id / HP 082112297660
Tema 4 : Corporate Social Responsibility dan Pembangunan Daerah Moderator NO
:DR. Hj. R Nia Kania, M.Si NAMA
ASAL
1
Yugih Setyanto, S.I.Kom, M.Si ; Riris Loisa, S.Sos, M.Si.
Universitas Tarumanegara
2
Euis Heryati
Universitas Esa Unggul Jakarta
3
Halida Hatta & Alfred Menayang
Praktisi Kehumasan di Sektor Migas
4
Rd Nia Kania K, M.Si.
Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten
335
JUDUL PAPER Program CSR sebagai Salah Satu Peranserta Perusahaan dalam Memberdayakan Masyarakat Majemuk (Studi terhadap Kegiatan CSR di PT Pupuk Kaltim, Bontang Kalimantan Timur) Sinergi antara Social Business Enterprise dengan Pemerintah Daerah Peran Komunikasi dalam Program Investasi Sosial Perusahaan (Sebuah Analisis Praktis dari Sektor Hulu Migas) Konsep Komunikasi Pemasaran Terintegrasi melalui Sister City Branding di Kota Serang
KONTAK
yugih_s@yahoo. com
heryati.euis@gmail. com
freddymenayang@ gmail.com 08119441707 / 021-7491753 nia_kaneea@yahoo. com
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
5
Titi Setiawati, M.Si
6
Dra. Rahmi Winangsih, M.Si
7
Ilona V Oisina Situmeang
Prodi Ilmu Administrasi Negara Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten Universitas Persada Indonesia YAI
Optimalisasi Program CSR dalam Pembangunan Daerah Pengadopsian Inovasi Kelestarian Lingkungan ditinjau dari Perspektif Komunikasi Pembangunan Program Corporate Social Responsibility dalam Meningkatkan Keberdayaan Masyarakat Balongan (Kasus PT Pertamina Refinery Unit VI Balongan)
iisiawai@yahoo. co.id rahmi_winangsih@ yahoo.com
ilonaoisina@yahoo. com
Tema 5 : Peran dan Pemanfaatan Media Massa dalam Pembangunan Daerah Moderator
: Uliviana Restu H, M.Ikom
NO
NAMA
ASAL
JUDUL PAPER
KONTAK
1
Dr. Eko Harry Susanto, M.Si
Universitas Tarumanegara
Media Massa sebagai Sumber Kekuatan Pembangunan Daerah
ekohs@centrin. net.id 0818126750
2
Iman Mukhroman, M.Si
Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten
Media Massa Cetak Lokal sebagai Public Sphere Pembangunan Banten yang Bermartabat
imukhroman@ yahoo.com
Pemanfaatan Media Radio sebagai Media Rakyat untuk Pembangunan Daerah
[email protected] 0815181085 / 0218298164
3
Farid Rusdi, SS, M.Si.
Universitas Tarumanegara
4
Doddy Salman, SH, M.Si
Universitas Tarumanegara
5
Rangga Galura G, M.Si ; Olivia Hutagaol
Untirta Banten dan STIKOM The London School of Public Relations Jakarta
Kontribusi Media dalam Pembangunan di bawah Kekuasaan Konglomerat
rangga_galura@ yahoo.com olipedelhut@gmail. com
6
Rangga Galura G, M.Si
Untirta Banten
Media dalam Politikdan Politik Dalam Mdia
rangga_galura@ yahoo.com
Media Televisi dalam Perspektif Komunikasi Pembangunan
336
doddy90@yahoo. com 021-93073739
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
7
Dianingtyas Murtanti Putri, M.Si.
Universitas Bakrie
8
Naniek Afrilla F, S.Sos, M.Si
Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten
Peran Media Massa dalam Penanganan Pencemaran Air sebagai Bagian Pembangunan Daerah Banten
dianingtyas.putri@ bakrie.ac.id 021-5261448 ext 260
Komodifikasi Mitologi Rakyat dalam Tayangan Mistik di Televisi
naniek_af@yahoo. com
Tema 6 : Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat Moderator NO
1
: Isti Nursih, M.Ikom
NAMA
Damayanti W. SE, M.Si.
ASAL Universitas Al Azhar Indonesia Kompleks Masjid Agung Al Azhar Jl. Sisingamangaraja Kebayoran Baru Jakarta 12110 LP2M Universitas Al Azhar Indonesia Kompleks Masjid Agung Al Azhar. Jl. Sisingamangaraja Kebayoran Baru Jakarta 12110. Telp (021) 724 4456. email:
[email protected]
JUDUL PAPER
KONTAK
Komunikasi Kelompok dan Pengembangan Potensi Masyarakat Peternak Sapi Perah di Lembang
damayanti@uai. ac.id 021-7244456
Publik dan Media, Kawan atau Lawan: Media Literasi sebagai Sarana Penguatan Peran Publik di tengah Gempuran Ekonomi Politik Media
mufti8787@yahoo. com 087839853048 / 0274-4360410
2
Mufti Nurlatifah
Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi UGM
3
Tia Muthiah Umar, S.Sos,M.Si.
FIKOM Unisba Bandung
Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat
muthiahumar@ yahoo.com 081809141745
Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten
Strategi Komunikasi: Aplikasi Metode Edukatif dalam Sosialisasi Keluarga Berencana Masyarakat Pedesaan
yuliananina@ rocketmail.com 081219913501
4
Nina Yuliana, S.Sos, M.Si.
337
PROSIDING SEMINAR DAN KONFERENSI NASIONAL ILMU KOMUNIKASI “ Kontribusi Ilmu Komunikasi Bagi Pembangunan Daerah ” | Serang, 3 - 4 Oktober 2012
5
Ipah Ema Jumiati, M.Si
Prodi Ilmu Administrasi Negara Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten
6
Ida Nur’aini Noviyanti, S.Sos, M.Pd, MM.
Fikom Unisba Bandung
Asih Mulyaningsih 7
8
Yudi L.A Salampessy, SE., M.Si
Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di Kota Serang
emma_top31@ yahoo.co.id
Strategi Komunikasi dalam Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Peran Komunikasi Dalam
banisigroup@ gmail.com
Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Penyuluhan Pertanian
asihmulya@ymail. com
Fakultas Petanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Hubungan Karakteristik Anggota Dan Keefektivan Komunikasi Organisasi Anggota KUD Mandiri Panca Usaha Palabuhanratu (Kasus Desa Cidadap Dan Loji Kecamatan Simpenan Sukabumi Jawa Barat)
338
Hp 085920181487