KONDISI DAN POTENSI PENGEMBANGAN USAHATANI TERNAK SAPI PERAH DI KABUPATEN SEMARANG (The Condition and Potential of the Dairy Farm Development in Semarang Regency) E. Prasetyo, T. Ekowati, dan Mukson Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang
ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui kondisi, permasalahan, potensi serta pendapatan usahatani ternak sapi perah di Kabupaten Semarang. Penelitian dilaksanakan bulan April 2004 sampai dengan Juni 2004 pada usahatani ternak sapi perah di Kabupaten Semarang, dengan metode survai dengan cara wawancara berdasarkan kuesioner yang telah dipersiapkan. Sampel sebagai responden diambil sebanyak 60 petani ternak yang dipilih dengan menggunakan two stage cluster random sampling method. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dan analisis kuantitatif berdasarkan data primer dan data sekunder yang telah dikumpulkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (i) skala usahatani ternak rata-rata 4,26 UT/petani dengan komposisi 54,46 % sapi laktasi dan 45,54 % sapi non laktasi; (ii) permasalahan tatalaksana usahatani antara lain dalam hal penempatan lokasi kandang, pemasaran produk susu yang belum di arahkan pada obyek yang bervariasi, dan teknologi pasca panen untuk meningkatkan added value belum dilakukan; (iii) produksi ratarata susu sapi perah sebanyak 17,81 lt/hr/2,32 UT atau 7,68 lt/hr/ekor; (iv) pendapatan bersih total (berdasarkan nilai yang diperhitungkan) sebesar Rp 7.143.346,45/petani/th dengan nilai rentabilitas 87,41 %, sedangkan berdasarkan perhitungan nilai tunai sebesar Rp 6.160.101,46/petani/th dengan nilai rentabilitas 144,90 %. Usahatani ternak sapi perah di Kabupaten Semarang layak untuk dikembangkan, dengan lebih menekankan pada perbaikan terhadap faktor-faktor pengembangan usahatani. Kata kunci : usahatani sapi perah, kondisi, masalah, potensi ABSTRACT A research was carried out to investigate the condition, problems, potential and income of dairy farm in Semarang Regency. The research was undertaken from April – June 2004 by a survey. Two-stage cluster random sampling method was used to identify 60 respondents. The primary and secondary data were analyzed by qualitative and quantitative description. The Results showed that: (i) the average of farm scale was 4.26 animal unit (AU) per farmer with the composition 54.46% lactating cows and 45.54% dairy non-lactating; (ii) the dairy farm problems were related to the location of stall, marketing of dairy milk which have not been distributed to the various consumers and the technology of post harvest to increase the added value that have not been done; (iii) the average of dairy milk production was 17.81 lt/day/2.32 AU or 7.68 lt/day/AU; (iv) the total net farm income based on the farm calculation was Rp 7,143,346.45/farmer/year with the rentability value 87.41%, meanwhile the total net with the real calculation was Rp 6,160,101.46/farmer/year with the rentability 144.90%. The dairy farm was feasible to be developed in Semarang Regency with the focus on improvement of development factors of farming. Keywords : dairy farming, condition, problems, potential
110
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 30 (2) June 2005
PENDAHULUAN Pembangunan peternakan diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak, meningkatkan pemenuhan konsumsi protein hewani asal ternak, menyediakan bahan baku industri dan ekspor, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan peranan kelembagaan peternak dan mewujudkan tercapainya keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam. Langkah pembangunan yang ditempuh dapat dilakukan dengan mendekatkan aspek komoditas pada sistem agribisnis. Menurut Saragih (2001), pembangunan yang mampu memberikan peningkatan pendapatan masyarakat tani yang relatif tinggi dan menciptakan daya saing global lebih lanjut, adalah paradigma pembangunan agribisnis berbasis peternakan. Kabupaten Semarang dengan luas wilayah 95.020,67 ha (2,92 % dari luas wilayah Jawa Tengah) terbagi menjadi 24.514,65 ha (25,80 %) lahan sawah dan 70.506,02 ha (74,20 %) lahan bukan sawah, merupakan sentra produksi susu dan pengembangan sapi perah di Jawa Tengah. Kondisi ini tercermin dari jumlah populasi ternak sapi perah pada 2001 sebanyak 28.241 ekor, yang tersebar pada 12 kecamatan dari 15 kecamatan di Kabupaten Semarang. Populasi tersebut apabila dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1999 (25.870 ekor) terjadi peningkatan sebesar 2.371 ekor (9,16 %). Sapi perah di Kabupaten Semarang dikembangkan dalam bentuk usaha peternakan rakyat yang pengelolaannya masih bersifat tradisional dengan skala usaha rata-rata = 6 ekor tiap petani ternak. Walaupun demikian, keberadaan sapi perah sebagai komoditas peternakan mempunyai peranan yang positif terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian di Kabupaten Semarang. PDRB subsektor peternakan di Kabupaten Semarang pada periode 2000-2001 tumbuh paling tinggi (23,71 %) dibandingkan dengan subsektor lain pada sektor pertanian. Bahkan untuk subsektor tanaman pangan tumbuh negatif sebesar -11,54 %. PDRB subsektor peternakan merupakan kontribusi dari komoditas ternak sapi perah dengan produk utama susu segar, di samping juga berasal dari komoditas ternak yang lain (terutama ayam ras
pedaging). Berdasarkan kenyataan tersebut, subsektor peternakan masih merupakan sektor strategis dalam menopang perekonomian daerah. Otonomi daerah yang telah digulirkan pemerintah pada era reformasi, menuntut peternakan sapi perah yang potensial di Kabupaten Semarang mempunyai peranan yang maksimal, baik bagi kepentingan masyarakat peternak maupun bagi kepentingan daerah. Guna mengoptimalkan usaha di bidang komoditas ternak sapi perah, maka pengembangannya yang semula di titik beratkan pada pendekatan teknis (budidaya ternak) sudah saatnya direformasi menggunakan manajemen secara intensif melalui pendekatan sistem agribisnis. Untuk itulah diperlukan perencanaan secara komprehensif, yang pada awalnya perlu dilakukan suatu penelitian tentang kondisi, permasalahan dan potensi pengembangan ternak sapi perah di Kabupaten Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk : (i) mengidentifikasi kondisi usahatani ternak sapi perah; (ii) Mengidentifikasi permasalahan usahatani ternak sapi perah; (iii) mengidentifikasi potensi pengembangan usahatani ternak sapi perah, berdasarkan aspek teknis dan ekonomis; dan (iv) menganalisis biaya, penerimaan dan pendapatan usahatani ternak sapi perah. Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini, adalah sebagai : (i) masukan bagi pemerintah Kabupaten Semarang dalam penyusunan kebijaksanaan pembangunan subsektor peternakan (khususnya komoditas ternak sapi perah); (ii) mahan informasi bagi para investor (swasta maupun pemerintah) serta bagi lembaga perbankan dalam rangka pembiayan (agribusiness finance) di bidang peternakan sapi perah; (iii) referensi ilmiah bagi pihak-pihak yang tertarik dengan agribisnis peternakan, khususnya bagi para peneliti atau ilmuwan pertanian. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survai di Kabupaten Semarang dari April 2004 sampai Juni 2004, dan sebagai obyek penelitian adalah usahatani ternak sapi perah. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara kepada responden berdasarkan kuesioner yang telah
The Condition and Potential of the Dairy Farm Development in Semarang Regency (Prasetyo et al.)
111
Tabel 1. Format Laporan Rugi-Laba Usahatani No Uraian 1. Penerimaan Tunai 2. Penerimaan di Perhitungkan 3. Jumlah Penerimaan Kotor (Total Revenue) 4. Pengeluaran Variabel Tunai 5. Pengeluaran Variabel di Perhitungkan 6. Jumlah Pengeluaran Variabel (Total Variable Cost) 7. Pengeluaran Tetap Tunai 8. Pengeluaran Tetap di Perhitungkan 9. Jumlah Pengeluaran Tetap (Total Fixed Cost) 10. Jumlah Pengeluaran (Total Cost) 11. Pendapatan Bersih Operasi (Net Income of Operation) 12. Penyusutan (Deprersiation) 13. Pendapatan Bersih (Net Income) Sumber : Kadarsan (1992; modifikasi).
dipersiapkan. Penentuan daerah penelitian menggunakan metode two stage cluster random sampling, sebagai stage pertama adalah kecamatan yang merupakan sentra produksi usaha ternak sapi perah terpilih, dan stage ke dua adalah petani ternak sapi perah. Sebagai responden adalah petani ternak sapi perah yang dipilih secara random. Berdasarkan perhitungan penentuan sampel, diperoleh jumlah sampel petani ternak sebagai unit elementer sebanyak 60 responden. Data sebagai input penelitian berasal dari sumber primer dan sumber sekunder. Data primer yang berasal dari petani ternak meliputi data identitas responden, data fisik dan finansial usahatani ternak (input dan output), dan data permasalahan kegiatan usahatani ternak. Data sekunder sebagai pendukung penelitian dikumpulkan dari berbagai sumber (hasilhasil penelitian terkait yang ada, laporan-laporan, literatur, maupun informasi lain yang relevan). Data dan informasi hasil penelitian dianalisis secara deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif dengan cara melakukan evaluasi berdasarkan kondisi, permasalahan dan potensi yang ada pada usahatani ternak sapi perah. Penghitungan pendapatan bersih usahatani ternak sapi perah dilakukan berdasarkan laporan rugi-laba dengan formulasi seperti disajikan pada Tabel 1. Untuk menghitung tingkat pendapatan bersih (rentabilitas) di hitung berdasarkan formulasi matematis sebagai berikut : Rt = (NI : TC) x 100 % Apabila Rentabilitas lebih besar dari tingkat bunga perbankan (pada kurun waktu yang sama), maka usahatani tersebut mempunyai nilai pendapatan
112
Nilai (Rp) TR1 TR2 TR1 + TR2 = TR VC1 VC2 VC1 + VC2 = VC FC1 FC2 FC1 + FC2 = FC VC + FC = TC TR – TC = NIO D NIO – D = NI
bersih yang lebih baik dari pada menggunakan jasa perbankan(feasible). HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Peternakan Sapi Perah Dari jumlah populasi ternak sapi perah di Kabupaten Semarang bila ditinjau berdasarkan komposisi umur ternak, sebagian besar merupakan sapi dewasa dan hanya lebih kurang 20 % saja yang merupakan ternak muda dan pedet. Kondisi ini mencerminkan bahwa sebagian besar ternak sapi perah di Kabupaten Semarang merupakan ternak yang produktif. Usahatani ternak sapi perah di Kabupaten Semarang berkembang dalam bentuk usahatani ternak rakyat, yang dicirikan dengan skala usaha yang kecil (= 6 ekor/petani ternak). Sebagian besar petani ternak berada pada kisaran usia produktif (15 – 55 th), sehingga merupakan dukungan positif bagi pengembangan usahatani ternak sapi perah. Ditinjau dari tingkat pendidikan, sebagian besar responden hanya mengenyam pendidikan sampai dengan tamat SD (63,33 %), sehingga dapat dikatakan sebagian besar mempunyai pendidikan yang rendah. Kondisi ini akan berakibat terhadap tingkat adopsi inovasi baru yang kurang memuaskan. Dari sisi mata pencaharian utama, sebagian besar merupakan petani (76,67 %), sehingga kondisi ini merupakan asset yang positif untuk mendukung keberhasilan usahatani ternak sapi perah. Dari sisi pengalaman beternak, sebagian besar (81,67 %) mempunyai pengalaman 6 – 15 th. Dari jumlah anggota keluarga, sebagian besar responden
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 30 (2) June 2005
mempunyai tanggungan keluarga 2 – 5 jiwa (76,67 %). Dengan keberadaan jumlah anggota keluarga yang cukup, diharapkan dapat membantu keberhasilan usahatani ternak. Skala Usahatani Ternak Sapi Perah Komoditas ternak sapi perah yang dipelihara petani adalah jenis peranakan Friesian Holstein (PFH), yang pada umumnya berasal dari pembelian di pasar-pasar hewan maupun antar petani ternak, bantuan pemerintah melalui sistem gaduhan yang disalurkan melalui koperasi unit desa (KUD), serta dari hasil pengembangan petani ternak melalui inseminasi buatan (IB). Berdasarkan hasil penelitian pada 60 responden, dapat diketahui bahwa jumlah total pemilikan ternak sapi perah adalah sebanyak 337 ekor dengan komposisi sapi jantan 32 ekor (12,51 %), dara 56 ekor (10,95 %), pedet 71 ekor (6,94 %), sapi kering kandang 39 ekor (15,25 %), dan sapi laktasi 139 ekor (54,35 %). Dari jumlah total tersebut berarti rata-rata pemilikan petani ternak per-orang adalah sebanyak 5,62 ekor di mana 3,05 ekor (54,35 %) merupakan sapi laktasi (sedang dalam kondisi menghasilkan susu). Kondisi semacam ini kurang menguntungkan, karena usaha peternakan sapi perah dapat menghasilkan keuntungan apabila jumlah sapi laktasi yang dimiliki lebih besar dari 60 % (Sudono, 1999). Lebih lanjut Sudono (1999) menjelaskan bahwa persentase sapi
laktasi merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan dalam suatu peternakan sapi perah sebagai upaya menjamin pendapatan petani ternak. Permasalahan Usahatani Ternak Sapi Perah Permasalahan usahatani ternak sapi perah merupakan faktor kendala pencapaian hasil usahatani bagi petani, serta merupakan kendala bagi pengembangan ternak sapi perah di Kabupaten Semarang. Untuk itu diperlukan upaya secara serius dan intensif bagi semua pihak yang baik dari pihak petani ternak, pemerintah melalui instansi teknis terkait, KUD, maupun pihak lain yang peduli. Petani ternak sangat berkepentingan terhadap pencapaian produktivitas yang tinggi dalam rangka memperoleh pendapatan dari hasil usahatani ternaknya. Pemerintah daerah sangat berkepentingan terhadap peningkatan pendapatan/kesejahteraan petani ternak, serta pemenuhan gizi masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut di atas, pada realitasnya terdapat beberapa permasalahan usahatani ternak sapi perah di kabupaten semarang adalah : (i) tingkat pendidikan petani ternak sebagian besar yang relatif rendah, sehingga berakibat pada tingkat adopsi terhadap inovasi baru yang kurang optimal; (ii) jenis sapi perah yang dibudidayakan adalah PFH, sehingga sulit untuk diharapkan produktivitas susunya secara maksimal; (iii) jumlah sapi perah masa laktasi yang dibudidayakan petani
Tabel 2. Nilai Fisik, Harga persatuan dan Nilai Input Rata-rata pada Usahatani Ternak Sapi Perah Input Nilai Fisik Harga/Satuan (Rp) Nilai Total (Rp) Input Variabel Tunai : • Pakan Hijauan (BK). • Pakan Konsentrat.(BK) • Obat-obatan • Listrik/Penerangan Input Variabel Diperhitungkan: • Pakan Hijauan • Tenaga Kerja Input Tetap Tunai : Input Tetap Diperhitungkan : • Sewa Lahan Usahatani • Upah Petani Ternak se-bagai Pengelola • Penyusutan Kandang • Penyusutan Alat-alat Jumlah
4.504,53 kg 2.241,48 kg -
175,00 1.500,00 -
788.293,36 3.362.220,00 73.789,46 26.832,53
3.928,55 kg 138,41 HKP -
175,00 1.500,00 -
687.495,93 173.010,42 -
120.000,00
63.900,00 1.440.000,00
12 bl -
360.000,00 24.000,00
-
8.556.691,71
The Condition and Potential of the Dairy Farm Development in Semarang Regency (Prasetyo et al.)
113
Tabel 3. Nilai Fisik, Harga persatuan dan Nilai Output Rata-rata pada Usahatani Ternak Sapi Perah Output Nilai Fisik Harga/Satuan (Rp) Nilai Total (Rp) Output Tunai : • Susu Segar • Nilai Tambah Ternak • Kotoran Ternak Output Diperhitungkan : • Nilai Tambah Ternak • Kotoran Ternak Jumlah Output
6.500,43 lt 0,27 UT 6,07 ton
1.185,00 5.800.000,00 190.000,00
7.703.013,50 1.555.366,67 1.152.856,67
0,80 UT 3,27 ton
5.800.000,00 190.000,00
4.668.033,33 620.768,00
ternak rata-rata sebanyak 54,35 %, padahal untuk memperoleh keuntungan yang layak apabila jumlah tersebut adalah = 60 %; (iv) letak lokasi kandang sebagian besar masih terlalu dekat dengan rumah tempat tinggal petani, sehingga mempunyai dampak yang kurang menguntungkan baik bagi kesehatan ternak maupun terhadap petani ternak dan keluarganya; (v) pemasaran produk susu masih terbatas pada KUD dengan harga yang relatif rendah (rata-rata Rp 1.185,00/liter); dan (vi) teknologi paska panen sebagai upaya meningkatkan added value belum dilakukan oleh para petani ternak. Potensi Pengembangan Usahatani Ternak Sapi Perah Kondisi geografis, topografis, iklim, lahan dan tataguna lahan menunjukkan bahwa Kabupaten Semarang potensial untuk pengembangan usaha sapi perah. Kondisi ini tercermin dari jumlah populasi ternak sapi perah di Propinsi Jawa Tengah, jumlah populasi ternak sapi perah di Kabupaten Semarang merupakan urutan ke dua setelah Kabupaten Boyolali. Di samping itu secara geografis letak wilayah Kabupaten Semarang cukup strategis, yaitu dekat dengan Kota Semarang, dan relatif dekat dengan Kota Yogyakarta dan Solo. Iklim yang menunjang dengan wilayah yang sesuai untuk pertumbuhan ternak sapi perah dan lahan yang subur dengan potensi produksi pakan yang tinggi akan mampu dan berpeluang besar untuk pengembangan ternak sapi perah (khususnya untuk skala usahatani ternak rakyat). Hijauan pakan ternak sapi perah pada umumnya berupa rumput, leguminosa dan limbah pertanian (jerami padi, jagung, kacang tanah, kedele, daun ketela pohon dan lain-lain). Penggunaan limbah pertanian sebagai pakan ternak bervariasi menurut
114
15.700.038,17
jenisnya dan masa panenan, yaitu berkisar antara 30 – 75 % atau lebih kurang 50 % dari total hijauan pakan. Dari sisi ketersediaan hijauan pakan ternak, Kabupaten Semarang merupakan wilayah yang paling potensial untuk menghasilakn hijauan pakan ternak dibandingkan dengan wilayah kabupaten lain di Jawa Tengah. Kondisi ini ditunjukkan oleh nilai carrying capacity Kabupaten Semarang yang tertinggi di Propinsi Jawa Tengah (Dinas Peternakan Propinsi Jawa Tengah, 2001). Berdasarkan hasil penelitian Prasetyo et al. (2001), produksi bahan kering yang berasal dari limbah pertanian pada tahun 2000 di Kabupaten Semarang adalah sebanyak 294.831 ton/th. Apabila kebutuhan rata-rata hijauan pakan ternak sapi perah setiap hari sebanyak 20 kg (di luar konsentrat), produksi hijauan dari limbah pertanian tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ternak sapi perah sebanyak 40.388 ekor. Perhitungan ini belum termasuk produksi hijauan pakan yang berasal dari rumput lapangan. Oleh karena itu wilayah Kabupaten Semarang masih mempunyai peluang untuk meningkatkan populai ternak ruminansia (khususnya ternak sapi perah). Menurut laporan Bappeda Kabupaten Semarang (2001), apabila surplus hijauan pakan diasumsikan hanya untuk pengembangan ternak sapi perah maka wilayah Kabupaten Semarang pada tahun 2000 mempunyai potensi pengembangan ternak sapi perah sebanyak 59.048 unit ternak. Jumlah tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan populasi ternak aktual pada 2000, yaitu 25.870 ekor. Ketersediaan sumberdaya tenaga kerja, usahatani ternak sapi perah rakyat di Kabupaten Semarang dapat dipenuhi dari ketersediaan tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga petani ternak, dengan asumsi bahwa pemilikan ternak sapi perah
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 30 (2) June 2005
rata-rata setiap petani ternak sebanyak 5,62 ekor atau 4,26 UT (terdiri dari 2,32 UT sapi laktasi dan 1,95 UT sapi non laktasi) dan jumlah anggota keluarga per petani ternak 2 – 5 orang (sesuai dengan hasil penelitian). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk tingkat pemilikan ternak rata-rata tiap petani ternak sebanyak 5,62 ekor (4,26 UT) hanya dibutuhkan pencurahan tenaga kerja sebanyak 138,41 HKP/th (0,379 HKP/hari) dengan asumsi tiap HKP setara dengan satu orang tenaga kerja pria dewasa yang bekerja 7 – 8 jam perhari. Alokasi pencurahan tenaga kerja untuk usahatani ternak sapi perah, pada umumnya meliputi kegiatan-kegiatan merumput, memberikan pakan, pembersihan kandang, memandikan sapi, pemerahan. Dari hasil penelitian, produktivitas susu sapi perah selama satu tahun untuk jumlah rata-rata pemilikan sapi laktasi 2,32 UT/petani ternak adalah sebanyak 6.500,43 liter (17,81 liter/hari). Dari jumlah produksi susu tersebut apabila dihitung per ekor sapi
dapat dihitung dari hasil pengurangan antara penerimaan dengan pengeluaran yang berupa biaya produksi usahatani ternak. Laporan yang mengungkapkan keberhasilan atau kegagalan jalannya suatu usaha selama waktu yang ditentukan, disebut laporan rugi-laba (Kadarsan, 1992). Guna menghitung dan mengetahui keuntungan usahatani ternak sapi perah, terlebih dahulu perlu diketahui nilai fisik dan harga persatuan dari pada input maupun output produksi, kemudian dilakukan perhitungan terhadap biaya produksi dan penerimaannya. Tabel 2 menunjukkan bahwa biaya produksi usahatani ternak sapi perah terbesar adalah biaya untuk pakan ternak (konsentrat dan hijauan pakan), yaitu sebesar Rp 4.838.009,29 (56,54 % dari total biaya produksi). Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar (1995) bahwa biaya pakan merupakan biaya terbesar pada usahatani ternak. Total biaya variabel adalah sebesar Rp 6.668.791,71 atau sebesar 77,94 % dari total biaya produksi.
Tabel 4. Pendapatan Rata-rata Usahatani Ternak Sapi Perah Uraian Jumlah Penerimaan (Total Revenue) Jumlah Biaya Variabel (Total Variable Cost) Jumlah Biaya Tetap (Total Fixed Cost) Pendapatan Bersih Operasi (Net Income of Operation) Penyusutan (Depresiation) Pendapatan Bersih (Net Income)
laktasi (1 UT), diperoleh produktivitas susu sebanyak 7,68 liter/UT/hari, untuk 1 UT sapi laktasi sama dengan 1 ekor sapi laktasi. Jumlah produksi tersebut masih dalam kisaran normal dibandingkan dengan kondisi ideal, yaitu 7 – 9 liter/ekor/hari. Di samping susu sebagai produk utama, dalam usahatani ternak sapi perah juga menghasilkan produk sampingan yang berupa kotoran ternak dan nilai tambah ternak. Berdasarkan hasil penelitian, dari jumlah rata-rata pemilikan ternak sapi perah tiap petani dapat menghasilkan kotoran ternak sebanyak 9,33 ton/tahun. dan produk sampingan yang berupa nilai tambah ternak sebanyak 1,073 UT/tahun. Baik produk utama maupun produk sampingan tersebut bila dinilai secara ekonomis, maka merupakan penerimaan total bagi petani ternak. Pendapatan Usahatani Ternak Sapi Perah Pendapatan (keuntungan) usahatani ternak
Nilai (Rp) 15.700.038,17 6.668.791,71 1.503.900,00 7.527.346,46 384.000,00 7.143.346,46
Dalam perhitungan biaya produksi, petani ternak selain dihitung dari hasil pencurahan fisik tenaga kerjanya juga dihitung pencurahan pikirnya sebagai pengelola (manajer) usahatani ternak. Kondisi ini adalah wajar, karena keberhasilan usahatani yang dilakukan tidak terlepas dari pencurahan pikir petani ternak sebagai pengelola. Penerimaan dihitung berdasarkan hasil perkalian antara jumlah produk (output) yang dihasilkan dengan harga persatuan output yang bersangkutan. Pada usahatani ternak sapi perah, penerimaan berasal dari tiga produk, yaitu : (i) produk panenan susu segar yang merupakan produk utama; (ii) produk kotoran ternak sebagai pupuk kandang yang merupakan produk sampingan; dan (iii) produk dari hasil kelahiran anak sapi (pedet) dan dari pertumbuhan bobot badan ternak, yang ke-duanya merupakan nilai tambah ternak sebagai produk
The Condition and Potential of the Dairy Farm Development in Semarang Regency (Prasetyo et al.)
115
sampingan. Tabel 3 menjelaskan bahwa penerimaan yang berasal dari nilai susu segar (produk utama) merupakan unsur penerimaan terbesar, yaitu Rp 7.703.013,50 atau 49,06 % dari total penerimaan, baru kemudian diikuti oleh produk yang berasal dari pertambahan nilai ternak dan produk kotoran ternak. Pertambahan nilai ternak dihitung dari pedet yang dilahirkan dari induk sapi perah yang diusahakan ditambah dengan pertambahan bobot badan ternak selama satu tahun. Besarnya nilai penerimaan pada usahatani ternak sapi perah, tidak senantiasa menjamin besarnya tingkat keuntungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Teken dan Asnawi (1985) bahwa semakin besar produk yang dihasilkan akan semakin
sapi perah selama satu tahun sebesar Rp 6.160.101,46. Jumlah pendapatan tersebut belum cukup layak bila digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup petani ternak dan keluarganya. Namun karena pada umumnya usahatani ternak sapi perah merupakan usaha sambilan di samping usahatani tanaman, maka pendapatan tersebut cukup mempunyai arti dalam memberikan sumbangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Tabel 4 menjelaskan bahwa pendapatan bersih (net income) sebesar Rp 7.143.346,46 merupakan nilai pendapatan rata-rata perpetani ternak sapi perah dengan rata-rata pemeliharaan 5,62 ekor (4,26 UT) selama satu tahun. Berdasarkan hasil pengolahan, perhitungan dan analisis data primer, besarnya nilai
Tabel 5. Nilai Rentabilitas Usahatani Ternak Sapi Perah di kabupaten Semarang Dasar Perhitungan Biaya Produksi Pendapatan Bersih (Rp) (Rp) Jumlah Nilai Tunai dan Nilai Diperhitungkan Jumlah Nilai Tunai (Riil)
8.172.691,71
7.143.346,45
87,41
4.251.135,36
6.160.101,46
144,90
besar pula penerimaannya, tetapi besarnya penerimaan tidak menjamin pendapatan yang besar pula. Oleh karena itu perlu dilakukan perhitungan terhadap nilai pendapatan usahatani ternak sapi perah. Nilai pendapatan bersih tersebut sebenarnya belum merupakan pendapatan bersih nyata yang diterima oleh petani ternak sapi perah, karena di dalamnya masih mengandung biaya dan penerimaan yang diperhitungkan (non tunai). Bila dihitung nilai pendapatan bersih nyata yang diterima petani ternak, maka perhitungannya dapat digunakan konsep pendapatan keluarga tani (Departemen Pertanian, 1993), yaitu dengan menggunakan rumus : (a) Pendapatan Keluarga Tani = Pendapatan Bersih Penerimaan Diperhitungkan + Biaya Variabel Diperhitungkan + Biaya Tetap Diperhitungkan + Penyusutan; (b) Pendapatan Keluarga Tani = Rp 7.143.346,45 - Rp 5.288.801,33 + Rp 2.417.656,35 + Rp 1.503.900,00 + Rp 384.000,00 = Rp 6.160.101,46. Dari hasil perhitungan diperoleh pendapatan keluarga tani (family’s income) yang merupakan pendapatan bersih riil yang diterima petani ternak
116
Rentabilitas (%)
rentabilitas usahatani ternak sapi perah di Kabupaten Semarang adalah seperti disajikan pada Tabel 5. Rentabilitas berdasarkan nilai tunai dan diperhitungkan, adalah merupakan rentabilitas yang biaya produksi maupun pendapatan bersihnya dihitung dari penjumlahan nilai tunai dan nilai diperhitungkan. Nilai tunai adalah nilai rupiah yang benar-benar dikeluarkan (bila merupakan biaya) dan diterima (bila merupakan penerimaan) oleh petani ternak. Nilai diperhitungkan adalah kebalikannya dari nilai tunai yang realitasnya tidak dikeluarkan atau tidak diterima oleh petani ternak. Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai rentabilitas berdasarkan nilai tunai dan diperhitungkan lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai rentabilitas berdasarkan nilai tunai (87,41 % < 144,90 %). Kondisi ini berarti secara ekonomis berdasarkan nilai tunai usahatani ternak sapi perah lebih efisien dari sisi penggunaan biaya produksinya. Adapun faktorfaktor yang mengakibatkan rentabilitas yang dihitung berdasarkan nilai tunai diperoleh hasil yang lebih besar adalah : (i) nilai biaya yang diperhitungkan lebih besar dibandingkan dengan nilai penerimaan yang
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 30 (2) June 2005
diperhitungkan; (ii) usahatani ternak sapi perah merupakan usahatani yang bersifat impersonal, sehingga sulit untuk benar-benar dipisahkan antara keluarga tani dan usahatani ternak, di mana keluarga tani membertikan tenaga kerja dan modal kepada usahatani ternak, sebaliknya keluarga tani mengkonsumsi output dari usahatani ternak (Departemen Pertanian, 1993). Secara keseluruhan dari dua nilai rentabilitas usahatani ternak tersebut, secara finansial dapat dikatakan bahwa usahatani ternak sapi perah dalam kondisi layak. Hal ini disebabkan bahwa nilai rentabilitas tersebut masih berada di atas nilai suku bunga perbankan, yaitu antara 12 – 18 %/th. Bahkan sebenarnya usahatani ternak sapi perah masih mempunyai potensi untuk ditingkatkan nilai rentabilitasnya, yaitu dengan cara meningkatkan nilai tambah dari produk utamanya (misal : produk susu yang dihasilkan tidak di pasarkan dalam bentuk segar, tetapi setelah melalui proses pengolahan). KESIMPULAN 1. Skala usaha rata-rata tiap petani ternak adalah 4,26 UT dengan komposisi 2,32 UT (54,46 %) merupakan sapi dalam kondisi laktasi dan 1,95 UT (45,54 %) dalam kondisi non laktasi. Komposisi tersebut secara ekonomis belum ideal, untuk itu persentase sapi dalam kondisi laktasi perlu ditingkatkan menjadi = 60 %. 2. Manajemen tatalaksana usahatani yang diterapkan petani ternak masih memerlukan perbaikanperbaikan, khususnya dalam hal penempatan lokasi kandang ternak, pemasaran produk susu, dan teknologi pasca panen untuk meningkatkan added value usahatani. 3. Produksi rata-rata susu sapi perah sebanyak 17,81 lt/hr/2,32 UT atau setara dengan 7,68 lt/hr/ekor. Dari produk utama tersebut dan produk sampingan setelah dikurangi biaya produksi, maka pendapatan bersih total usahatani ternak sapi perah (berdasarkan perhitungan jumlah nilai tunai dan nilai diperhitungkan) adalah sebesar Rp 7.143.346,45/ petani/th dengan nilai rentabilitas 87,41 %, sedangkan berdasarkan perhitungan jumlah nilai tunai adalah Rp 6.160.101,46/petani/th dengan nilai rentabilitas 144,90 %.
4. Usahatani ternak sapi perah di Kabupaten Semarang seacara finansial dalam kondisi layak, karena nilai rentabilitas jauh lebih besar dari tingkat suku bunga perbankan. Dari kesimpulan diatas disarankan : 1. Pemasaran produk susu segar hendaknya lebih ditujukan pada pasar yang lebih bervariasi yang mampu memberikan tingkat harga yang lebih memihak pada petani ternak. 2. Teknologi pasca panen sudah saatnya untuk dipikirkan dan direalisasikan, sehingga produk usahatani ternak sapi perah mampu memberikan nilai tambah yang optimal. DAFTAR PUSTAKA BPS Kabupaten Semarang. 2003. Kabupaten Semarang dalam Angka 2002. Badan Pusat Statistik Kabupaten Semarang, Ungaran. BPS Kabupaten Semarang. 2002. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Semarang (19982002). Badan Pusat Statistik Kabupaten Semarang, Ungaran. BPLP Departemen Pertanian. 1993. Agribisnis. Departemen Pertanian, Jakarta. Departemen Pertanian. 2002. Pengembangan Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan. Direktorat Jenderal Bina Produksi peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta. Hernanto, F. 1989. Ilmu Usahatani. Penerbit Panebar Swadaya, Jakarta. Kadarsan, H.W. 1992. Keuangan Pertanian dan Pembiayaan Perusahaan Agribisnis. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Prasetyo, E., B. Mulyatno,W. Sumekar, T. Ekowati, dan Mukson. 2001. Profil Proyek Investasi Pengembangan Sapi Perah Rakyat dan Profil Proyek Investasi Pengolahan Susu Sapi Perah Rakyat di Kabupaten Semarang. Bappeda Kabupaten Semarang, Ungaran. (Tidak diterbitkan).
The Condition and Potential of the Dairy Farm Development in Semarang Regency (Prasetyo et al.)
117
Prasetyo, E., Mukson, T. Ekowati, dan W. Sumekar. 2001. Master Plan Sentra Produksi Agrobisnis di JawaTengah. Badan Bimas dan Ketahan Pangan Propinsi Jawa Tengah, Ungaran. (Tidak dipublikasikan). Riyanto, B. 1998. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saragih, B. 2001. Agribisnis, Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian (Kumpulan Pemikiran). Pustaka Wirausaha
118
Muda, Jakarta. Saragih, B. 2001. Suara Dari Bogor (Membangun Sistem Agribisnis). Pustaka Wirausaha Muda, Jakarta. Siregar, S. 1995. Sapi Perah : Jenis, Teknik Pemeliharaan dan Analisis Usaha. Penerbit Panebar Swadaya, Jakarta. Sudono, A. 1999. Produksi Sapi Perah. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Tidak diterbitkan).
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 30 (2) June 2005