AKTIVITAS ENZIM FITASE DALAM UPAYA PENINGKATAN KETERSEDIAAN FOSFOR PADA FERMENTASI DEDAK PADI DENGAN CAIRAN RUMEN (The Activity of Phytase to Increase Phosphorous Availability on the Fermentation of Rice Bran by Using Rumen Liquor) R. I. Pujaningsih Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang
ABSTRAK Dedak padi sebagai salah satu sumber fosfor bagi ternak monogastrik memiliki kandungan fitat yang tinggi. Ketidakmampuan unggas untuk memanfaatkan fosfor yang terikat pada fitat menyebabkan mineral tersebut terbuang bersama ekskreta dan dapat mencemari lingkungan. Berlainan dengan ruminansia, fitat mampu didegradasi dengan baik pada saluran pencernaannya karena adanya mikrobia yang dapat menghasilkan enzim fitase. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas enzim fitase pada dedak padi yang difermentasi dengan cairan rumen. Rancangan acak lengkap dengan pola faktorial digunakan pada penelitian ini dengan faktor I adalah level penambahan cairan rumen (15, 30 dan 45%) dan lama fermentasi (0, 2, 4 dan 6 hari) sebagai faktor II. Data dianalisis dengan sidik ragam dan jika terdapat pengaruh perlakuan akan dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa interaksi perlakuan penggunaan cairan rumen dan lama fermentasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap aktivitas enzim fitase. Aktivitas maksimal enzim fitase diperoleh pada kombinasi perlakuan penggunaan cairan rumen 30% dari BK dedak padi dan lama fermentasi 2 hari. Periode fermentasi tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap aktivitas enzim fitase maupun degradasi dari fitat-fosfor. Kata kunci : dedak padi, aktivitas fitase, ketersediaan fosfor, cairan rumen, fermentasi ABSTRACT Rice bran as one of the source of phosphorous for the monogastric animals has the highest levels of phytate. The inability of poultry to utilize phytate P necessitates the dietary addition of inorganic P; this increases feed costs and P excretion, and creates an environmental contaminant. On the other hand, phytate phosphorous has been considered to be absorbed easily in ruminant because of the microbial phytase degradation in rumen. In this study, rumen liquor was utilized as starter in the fermentation of rice bran. The aim of this study was to evaluate the activity of phytase on the fermented rice bran. Factorial pattern based on completely (block) randomised design was employed through out the experiment. Two factors have been evaluated (i) the level of rumen liquor’s addition (15; 30 and 45%), and (ii) the length of fermentation (0; 2; 4; and 6 days). Data were subjected to ANOVA using the general models procedure of SAS. Duncan's multiple range test and orthogonal test were used for further analysis. The results indicated that there was an interaction between these two factors. Maximal activity of phytase was reached on the addition of 30% rumen liquor to the rice bran within 2 days of fermentation process. A longer incubation period would give no further effects to the phytase activity and phytate phosphorus degradation. Keywords : rice bran, phytase activity, phosphorous availability, rumen liqour, fermentation
100
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29(2) June 2004
PENDAHULUAN Dedak padi merupakan limbah penggilingan padi yang mempunyai potensi sebagai bahan pakan unggas yang tidak bersaing dengan manusia, harganya murah dan ketersediaannya cukup banyak. Kendala dalam pemanfaatan dedak padi sebagai bahan pakan unggas adalah adanya zat anti nutrisi (fitat). Diantara berbagai bahan pakan, dedak padi mempunyai kandungan asam fitat yang tinggi. Dedak padi rata-rata mengandung 80% fitat-fosfor dari P total. Fosfor adalah mineral kritis dan relatif mahal yang diperlukan di dalam ransum ternak monogastrik. Sepertiga dari P terdapat di dalam bahan pakan asal tanaman sebagai inorganik P yang mudah dicerna. Sebagian besar P (sekitar 2/3 nya) yang terdapat pada bijian, limbah bijian dan tanaman sumber protein ada dalam bentuk asam fitat dan garam-garamnya. Senyawa fitat digolongkan sebagai zat anti nutrisi karena mampu mengikat mineral (P, Ca, Zn, Mg, Fe) dan protein (Rao et al., 1999). Fosfor yang tersimpan dalam bentuk ini tidak dapat dimanfaatkan baik oleh unggas maupun babi karena kurangnya enzim fitase di dalam saluran pencernaannya (Rao et al., 1999 and Wolters, 1992). Sebagian fosfor yang tidak dapat dimanfaatkan ini dibuang bersama feses yang akibatnya lebih jauh dapat mencemari lingkungan. Oleh karena itu, kualitas nutrisi dedak padi perlu ditingkatkan dengan teknologi pengolahan pakan yang aplikatif. Penelitian ini dilakukan dengan memfermentasi dedak padi dengan cairan rumen, dengan harapan mikroba penghasil enzim fitase dapat mendegradasi fitatfosfor sehingga fosfor dapat dimanfaatkan unggas dengan lebih baik. Cairan rumen berasal dari bolus yang disaring. Produk ini merupakan limbah dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang prospektif untuk mencemari lingkungan.Nutrisi cairan rumen tidak berbeda jauh dengan bolus namun kandungan serat kasarnya dapat dikatakan sangat kecil. Penggunaan cairan rumen sebagai starter bertujuan untuk meningkatkan jumlah bakteri tertentu yang diperlukan agar proses fermentasi dapat berjalan dengan cepat. Salah satu mikrobia yang ada di dalam rumen yaitu Aspergillus ficcum, mampu
menghasilkan enzim fitase sehingga asam fitat dapat dihidrolisis (Jorgensen dan Creowley, 1985) Asam fitat tidak dapat digunakan oleh hewan-hewan yang mempunyai saluran pencernaan sederhana seperti ayam, itik, angsa karena hewan ini tidak mampu menghidrolisis enzim fitase dalam saluran pencernaan utamanya. Satu-satunya tempat terjadinya pencernaan oleh mikobia aalah di dalam usus buntu. Ternak ruminansia mampu menghidrolisis asam fitat dengan baik dalam saluran pencernaannya karena mempunyai mikrobia yang dapat menghasilkan enzim fitase (Park et al., 1999) Enzim fitase atau mio-inositol hesakisfosfat fosfohidrolase adalah enzim yang menghidrolisis asam fitat (mio-inositol 1,2,3,4,5,6 heksakis dihidrogen fosfat) menjadi mio-inositol dan fosfat anorganik, kemudian mio-inositol fosfat dipecah lebih lanjut menjadi monofosfat (Joong et al., 2000). Enzim fitase tersebar luas di alam, terdapat dalam mikroorganisme, tanaman dan beberapa jaringan hewan. Enzim fitase dari sumber mikrobia oleh “Enzyme Nomenclature Committee of the International Union of Biochemistry” (ENC-IUB) diberi nama 3-fitase dengan nama sistematik: mioinositol heksakisfosfat 3-fosfohidrolase (E.C.3.1.3.8) (Kerovuo dan Hatzack, 2000). Menurut Engelen et al. (1994) bahwa aktifitas enzim fitase dinyatakan dalam unit aktivitas (FTU) yang didefinisikan sebagai aktivitas pembebasan 1 mmol fosfat anorganik permenit dari 0,0051 mol/l substrat sodium fitat pada suhu 37°C dan pH 5,5. Degradasi asam fitat dapat dilakukan oleh enzim fitase yang terdapat di dalam beberapa jenis biji-bijian. Meskipun demikian, tingkat kandungan enzim di dalam hijauan pakan terlalu rendah untuk dapat menghancurkan fitat-P. Beberapa penulis barubaru ini melaporkan bahwa ketersediaan P dapat ditingkatkan dengan memasukkan enzim fitase mikrobia ke dalam pakan nabati (Nasi et al., 1995 yang disitasi oleh Frandrejewski et al., 1997). Ternak ruminansia mencerna asam fitat melalui aktivitas enzim fitase yang diproduksi secara anaerob oleh fungi dan bakteri dalam rumen. Enzim fitase mikrobia aktif pada nilai pH yang luas, yaitu antara 2,5 dan 5,5. Enzim fitase mikrobia relatif stabil pada pH antara 3 dan 7 dan pada temperatur antara 37 - 40°C (Kerovuo dan Hatzack, 2000).
The Phosphorous Availability in Rumen Liquor-Fermented Rice Bran(Pujaningsih)
101
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas maksimal enzim fitase pada kombinasi perlakuan penggunaan cairan rumen yang berbeda dan lama fermentasi pada dedak padi. Proses fermentasi dedak padi dengan menggunakan cairan rumen diharapkan dapat menjadi solusi sederhana bagi peternak untuk meningkatkan ketersediaan fosfor yang terdapat di dalam dedak padi. Penelitian ini sekaligus mencoba membantu mengatasi permasalahan limbah supaya tidak lebih jauh mencemari lingkungan. MATERI DAN METODE Materi yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari dedak padi dan cairan rumen sapi. Alat yang digunakan meliputi timbangan elektrik dengan ketelitian 0,0001 gram, gelas beker, gelas pengaduk, termometer, tabung reaksi, waterbath, pipet gelas ( 1 ml, 5 ml, 10 ml), pipet ependorf (1 ml, 2 ml), pH meter, alat sentrifuse (3000 rpm) dan spektrofotometer model pye Unicam 8600 dilengkapi dengan ‘cuvette double system’ ukuran 10.00 mm. Pelaksanaan penelitian terdiri dari 2 tahap. Tahap pertama persiapan sampel yang meliputi: preparasi sampel dedak padi, cairan rumen dan fermentasi. Tahap kedua adalah pengukuran aktivtitas enzim fitase dari hasil fermentasi dedak padi dengan cairan rumen diikuti pengukuran kadar fitat-fosfor. Pengukuran aktivitas enzim fitase menggunakan metode Engelen (Engelen et al., 1994) dan pengukuran kadar fitat-fosfor mengacu pada metode dari Association Official Agriculture Chemists (AOAC-Method Nr. 986.11). Dedak padi difermentasi dengan cairan rumen pada kadar air 50%. Penggunaan cairan rumen masing-masing perlakuan untuk fermentasi adalah C1 = 15%, C2 = 30% dan C3 = 45% dari bahan kering dedak padi. Dedak padi kemudian difermentasi secara anaerob masing-masing selama 0, 2, 4 dan 6 hari (F0, F2, F4 dan F6) pada suhu ruang antara 28-32°C. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan pola faktorial 3 x 4 dengan 3 ulangan. Faktor I adalah level penambahan cairan rumen (15, 30 dan 45%) dan lama fermentasi (0, 2, 4 dan 6 hari) sebagai faktor II. Data dianalisis dengan sidik ragam dan jika terdapat pengaruh perlakuan akan
102
dilanjutkan dengan uji "Duncan's multiple range test". HASIL DAN PEMBAHASAN Degradasi kandungan fitat-fosfor menunjukkan adanya peningkatan sampai dengan hari ke empat periode inkubasi (Tabel 1). Periode inkubasi selanjutnya tidak menunjukkan efek lebih lanjut terhadap penurunan kadar fitat-fosfor di dalam campuran. Berdasarkan hasil yang tersebut dapat diasumsikan bahwa proses degradasi fitat-fosfor mencapai kondisi maksimal pada hari kedua periode inkubasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Hungate (1966) yang mengamati bahwa pada periode 8 - 24 jam setelah pemberian pakan, maka proses pencernaan di dalam rumen dilakukan. Lebih jauh direkomendasikan bahwa setelah 16 jam dari waktu pemberian pakan, maka proses pencernaan di dalam rumen telah dilakukan sekitar 35% bagi domba dan 0,55% pada sapi. Adanya degradasi fitat-fosfor di dalam campuran ini merupakan reaksi terhadap adanya aktivtas enzim fitase. Interaksi pengaruh penggunaan cairan rumen dan lama fermentasi terhadap aktivitas enzim fitase disajikan pada tabel 2. Kombinasi perlakuan memperlihatkan bahwa aktivitas enzim fitase tertinggi terdapat pada perlakuan penggunaan cairan rumen 30% dari bahan kering (BK) dedak padi dan lama fermentasi 2 hari, yaitu sebesar 987 FTU/ kg. Aktivitas enzim fitase secara kuantitatif untuk masing-masing perlakuan berada pada kisaran nilai aktivitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pakan unggas. Aktivitas enzim fitase pada fermentasi dedak padi dengan cairan rumen memperlihatkan bahwa aktivitas enzim fitase terendah sebesar 717 FTU/kg, yang terdapat pada perlakuan C1F0 dan aktivitas enzim fitase tertinggi sebesar 987 FTU/kg terdapat pada perlakuan C2F2. Menurut Basf (2000), hasil penelitian penggunaan enzim fitase sebagai bahan pakan tambahan dalam pakan unggas memberi efek positif terhadap peningkatan bobot badan dan ketersediaan mineral fosfor pada dosis pemberian 200 - 800 FTU enzim fitase mikrobia/kg pakan unggas.
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29(2) June 2004
Analisis ragam pada Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan cairan rumen berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap aktivitas enzim fitase. Perlakuan penggunaan cairan rumen C2 (927 FTU/kg) nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan c1 (778 FTU7kg) dan C3 (775 FTU/ kg), sedangkan antara C1 dan C3 tidak berbeda nyata. Penggunaan cairan rumen 15% dari BK dedak padi (C1) menunjukkan bahwa aktivitas enzim fitase masih rendah, kemudian meningkat mencapai aktivitas tertinggi pada perlakuan penggunaan cairan rumen 30% dari BK dedak padi (C2) dan selanjutnya menurun pada perlakuan penggunaan cairan rumen 45% dari BK dedak padi (C3). Perbedaan aktivitas enzim fitase yang dihasilkan antar perlakuan penggunaan cairan rumen diduga karena adanya perbedaan konsentrasi enzim yang secara umum untuk setiap mikrobia dan atau enzim membutuhkan substrat dalam jumlah tertentu untuk aktivitas optimalnya. Oleh karena itu perlakuan penggunaan cairan rumen 30% dari BK dedak padi (C2) diduga
merupakan keseimbangan terbaik konsentrasi enzim fitase oleh mikroba terhadap substrat. Ketika konsentrasi enzim dalam substrat mencapai titik optimal (enzim menjadi jenuh oleh substrat) maka kecepatan reaksi berlangsung cepat mendekati maksimal. Sesuai dengan pendapat Lehninger (1995) bahwa kcepatan reaksi akan mendekati maksimal, tetapi tidak akan pernah mencapai garis maksimum (V maks), enzim menjadi jenuh oleh substratnya dan tidak akan berfungsi lebih cepat. Perlakuan penggunaan cairan rumen 45% dari BK dedak padi, aktivitas pemecahan dan pemanfaatan kembali komponen nutrisi oleh mikrobia tidak meningkat. Peningkatan konsentrasi mikrobia tanpa diikuti peningkatan jumlah substrat menyebabkan keterbatasan kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan mikrobia sehingga aktivitas enzim fitase antara perlakuan penggunaan cairan rumen 15% dan 45% dari BK dedak padi tidak menunjukkan perbedaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Fardiaz (1989) yang menyatakan bila substrat terbatas
Tabel 1. Kandungan Fitat-fosfor di dalam Campuran (berdasarkan % dari total P) Campuran C1 15 % C2 30 % C3 45 % Means
F0 43.6 ± 3.4 43.7 ± 3.8 44.8 ± 2.5 43.7 A ± 2.6
F2 41.8 ± 2.1 42.5 ± 1.4 42.7 ± 1.8 42.1 A ± 2.5
F4 38.9 ± 3.7 36.2 ± 5.9 40.9 ± 0.4 37.9 B ± 3.7
F6 39.4 ± 5.2 35.7 ± 4.8 40.6 ± 2.5 37.7 B ± 3.7
M eans 40.9 ba ± 3.6 39.5 ba ± 3.9 42.2 a ± 1.8
Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan pengaruh yang nyata (P < 0,05).
Tabel 2. Aktifitas Enzim Fitase pada Fermentasi Dedak Padi dengan Cairan Rumen Cairan Rumen Fermentasi (% BK dedak padi) ( hari ) 15 (C1) 0 (F0) 2 (F2) 4 (F4) 6 (F6) 30 (C2)
0 2 4 6
45 (C3)
0 2 4 6
C1 C2 C3 F0 F2 F4 F6
Rata-rata ± SD ( FTU / kg ) 717 ± 0,058 g 870 ± 0,100 c 777 ± 0,058 e 750 ± 0,13E-9 f 823 ± 987 ± 953 ± 943 ±
0,058 d 0,153 a 0,058 b 0,208 b
747 ± 0,058 f 827 ± 0,058 d 773 ± 0,058 ef 753 ± 0,116 f 778 b 927 a 775 b 762 d 895 a 834 b 815 c
Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (P< 0,05)
The Phosphorous Availability in Rumen Liquor-Fermented Rice Bran(Pujaningsih)
103
menyebabkan produk yang terbentuk yang dapat dimanfaatkan kembali untuk menyusun karbohidrat, protein dan lemak tubuh mikrobia terbatas pula. Aktivitas enzim fitase tertinggi diperoleh pada perlakuan F2 karena pada awal fermentasi merupakan fase adaptasi dan fase pertumbuhan awal mikrobia, pada saat sel membelah dengan kecepatan rendah. Pertumbuhan mikrobia dengan lama fermentasi 2 hari diduga telah memasuki fase logaritmik yaitu fase mikrobia berkembang dengan kecepatan maksimum sehingga enzim fitase yang dilepaskan oleh mikrobia jumlahnya maksimal. Kondisi ini seperti yang dikemukakan oleh Fardiaz (1989) bahwa fase adaptasi merupakan fase penyesuaian, belum terjadi pembelahan sel. Lama fase adaptasi dipengaruhi oleh medium dan lingkungan pertumbuhan serta inokulan. Fase pertumbuhan awal merupakan fase pembelahan sel dengan kecepatan rendah. Fase logaritmik merupakan fase mikrobia berkembang dengan kecepatan maksimum. Fase logaritmik membutuhkan energi lebih banyak dibanding dengan fase lain dan paling sensitif terhadap lingkungan. Penurunan aktifitas enzim fitase terjadi pada F4 dan semakin menurun pada F6. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan mikrobia yang melepaskan enzim fitase memasuki fase pertumbuhan lambat, yaitu berhentinya kecepatan maksimum reproduksi dan jumlah sel yang membelah berkurang. Pertumbuhan sel mikrobia akan berlangsung tanpa batas, tetapi karena pertumbuhan berlangsung dengan mengkonsumsi nutrisi sekaligus mengeluarkan produk-produk metabolisme yang terbentuk, maka setelah waktu tertentu laju pertumbuhan akan menurun dan akhirnya pertumbuhan berhenti sama sekali. Uraian di atas menjelaskan bahwa degradasi kandungan fitat-fosfor menunjukkan adanya peningkatan hanya sampai dengan hari ke empat periode inkubasi dan selanjutnya stabil, karena terjadi penurunan aktivitas enzim fitase pada lama fermentasi 4 hari (F4) Basf (2000). KESIMPULAN Terjadi degradasi kandungan fitat fosfor sampai dengan hari ke empat periode inkubasi. Aktivitas enzim fitase nyata dipengaruhi oleh lama
104
fermentasi dan perlakuan penggunaan cairan rumen. Aktivitas maksimal enzim fitase diperoleh pada kombinasi perlakuan penggunaan cairan rumen 30% dari BK dedak padi dan lama fermentasi 2 hari yaitu sebesar 987 FTU/kg. Oleh karena itu, pemanfaatan dedak padi sebagai bahan pakan unggas disarankan untuk melakukan penambahan cairan rumen sebanyak 30% dari BK dedak padi yang difermentasi selama 2 hari.
UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya saya sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian ini. Tulisan ini tidak akan berarti tanpa sumbang saran dari Prof. Dr. F. Liebert, Dr. Ir. Retno Murwani, MapplSc dan Ir. Baginda Iskandar Moeda Tampoebolon, MSi. Demikian juga bantuan dan kerjasama yang baik selama penelitian berlangsung dari Heni, Arfi, Ira, Upik dan Nani.
DAFTAR PUSTAKA Basf. 1999. Microbial Digestion of Ruminants. Indian Council of Agric. Research, New Delhi. Engelen, J.A., F.C. van der Heeft, P.H.G Randsdorp and E.L.C. Smitt. 1994. Sample and rapid determination of phytase activity. J. of AOAC Int. 77(3) : L760-764. Frandrejewski, H.S., R.D. Weremko, T. Zebrowska, K. Han, J.H. Kim and W.T. Cho. 1997. Apparent digestibility of phosphorous in experimental feeds and theeffect of commercial phytase. Asian J. Agric. Sci. 10(6) : 665-670. Fardiaz, S. 1989. Analisis Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Tidak diterbitkan). Hungate, R.E. 1966. The rumen and its microbes. Academic Press. New York and London.
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29(2) June 2004
Joong, K.Y., A. Liavoga, K. Bagorogo and M. OkotKotber. 2000. Characterizing of phytase fom bran of various wheat cultivars. American Ass. J. of Cereal Chemists, Inc. 9: (5-6) Jorgensen, N.A. and F.D. Creowley. 1985. Sillage Additives. Dairy Sci. Dept. University of Wisconsin, Madison. Kerovuo, J., J. Rouvinen and F. Hatzack. 2000. Analysis of myo-inositol hexakisphosphate hidrolysis by Bacillus Pyhtase : Indication of Novel Reaction Mechanism. J. Biochem. 342 : 623-628. Lehninger, A.L. 1995. Dasar-dasar Biokimia. Jilid 1. Penerbit Erlangga, Jakarta.Diterjemahkan oleh M. Thenawijaya.
Rao, S.V.R, V.R. Reddy, and R.V. Ravindran. 1999. Enhancement of phytate phosphorus availability in the diets of commercial broilers and layers. J. Anim.Feed Sci. Technol. 79 : 211 – 222. Wolters, M.G.E. 1992. Prediction of the bioavailability of minerals and trace elements in foods: The influence of dietary fibre, phytic acid and other food components on the in vitro availability of calcium, magnesium, iron, copper and zinc. Landbouwuniversiteit te Wageningen. Yanke, L.J, H.D. Bae, L.B. Selinger, and K.J.Cheng. 1998. Phytase activity of anaerobic ruminal bacteria. J. Microbiol.144 : 1565–1573.
Park, W.Y., T. Matsui, C. Konishi, S.W. Kim, F. Yano, and H. Yano. 1999. Formaldehyde treatment suppresses ruminal degradation of phytate in soybean meal and rapeseed meal. Br. J. Nutr. 81 : 467–71.
The Phosphorous Availability in Rumen Liquor-Fermented Rice Bran(Pujaningsih)
105