KECERNAAN PROTEIN SECARA IN VITRO DAN KOMPOSISI KIMIA TEPUNG DAGING HASIL IKUTAN PROSES ‘FLESHING’ AKIBAT PERBEDAAN TEMPERATUR DALAM PEMBUATANNYA (The Effect of Temperature in Fleshed Meat Meal Processing on Its in vitro Protein Digestibility and Chemical Composition) S.B.M. Abduh1, S. Djojowidagdo2, dan Zuprizal2 Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang 2 Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 1
ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan temparatur pemanasan dalam pembuatan tepung daging terhadap nilai kecernaan protein secara in vitro dan komposisi kimiawinya. Daging diperoleh dari hasil ikutan proses ‘fleshing’ dalam sebuah industri penyamakan kulit domba. Setelah mengalami pencucian, penetralan dan penghalusan, daging ‘fleshing’ kemudian dipanaskan pada temperatur 70oC dalam panci terbuka, pada temperatur 100oC dalam panci tertutup dan pada temperatur 115.5oC dalam sebuah otoklaf. Kecernaan protein secara in vitro tertinggi dari tepung daging ‘fleshing’ dicapai dengan pemanasan 115,5oC. Pemanasan 100oC menghasilkan kadar protein kasar yang paling tinggi dan kadar lemak kasar yang paling rendah pada tepung daging ‘fleshing’. Kadar air yang paling rendah pada tepung daging ‘fleshing’ dicapai dengan pemanasan 70oC, dan kadar abu yang paling rendah pada tepung daging ‘fleshing’ dicapai dengan pemanasan suhu kamar. Kata kunci : limbah penyamakan kulit, tepung daging, kualitas nutrisi ABSTRACT The experiment was conducted to study the effect of temperature difference in fleshed meal processing on its in vitro protein digestidblity and its chemical composition. The fleshed meal was obtained from the fleshing machine in a tanning process of sheep skin. After cleaning, neutralizing and grinding, the fleshed meal were dried at 70oC in opened basin, at 100oC in closed basin, and at 115.5oC in an autoclave. Then the fleshed meal were dried at 60oC for 12 hours and were analyzed for its proximate components and its in vitro protein digestibility. The highest value of in vitro protein digestibility in fleshed meal was achieved by 115.5oC drying. The o 100 C drying gave lowest extract ether and highest crude protein content of the fleshed meat meal. The lowest moisture content of fleshed meat meal was achieved by 70oC, and the lowest ash content of fleshed meat meal was achieved by room temperature drying. Keywords : tannery byproduct, meat meal, nutritive quality
Temperature Difference in Fleshed Meat Meal Processing and Its Nutritive Quality (Abduh et al.)
91
PENDAHULUAN Industri penyamakan kulit selain menghasilkan produk kulit jadi (tersamak), juga menghasilkan limbah, baik dari proses pengerjaan basah ("beamhouse"), penyamakan ("tanning") maupun penyelesaian ("finishing"). Limbah industri penyamakan kulit merupakan masalah yang serius di antara limbah pencemar industri lainnya karena merupakan campuran yang komplek dari komposisi yang secara tepat sulit diketahui. Limbah industri kulit berbeda-beda dari waktu ke waktu, sesuai dengan macam dan jumlah kulit yang diproses, tahapan proses, macam kulit jadinya, macam dan jumlah kemikalia yang digunakan dan tingkat teknologi yang diterapkan (Sunaryo, 1989). Pencemaran pada dasarnya disebabkan oleh adanya limbah, maka untuk mengatasi masalah pencemaran diperlukan penanganan dan pengendalian limbah yang merupakan masalah yang serius dan semakin lama semakin kompleks dan rumit (Murtadho dan Said,1988). "Fleshing" adalah proses penghilangan daging dan lemak yang melekat pada kulit, merupakan salah satu proses dari penyamakan kulit. Proses ini menghasilkan hasil ikutan berupa daging dan lemak yang selama ini kurang dimanfaatkan. Bahkan banyak di antaranya yang langsung dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), padahal industri penyamakan kulit yang menyamak kulit mentah menjadi kulit tersamak menghasilkan limbah padat sisa fleshing sejumlah 70 sampai 230kg untuk setiap ton kulit mentah yang disamak (Winter,1984). Limbah padat hasil ikutan proses "fleshing" adalah limbah dari kulit yang tidak disamak tetapi mengandung sulfida. Limbah ini apabila tertumpuk akan meningkatkan kandungan hidrogen sulfida yang berbahaya. Namun apabila pembuangannya dapat kontinyu dan cepat terpendam dalam tanah maka kerusakan lingkungan dapat dikurangi. Limbah tersebut memiliki kandungan protein dan lemak yang dapat dimanfaatkan misalnya sebagai sumber protein dalam pakan ternak. Upaya ini dapat dilakukan sebagai alternatif solusi masalah yang sering timbul dalam penanganan limbah, yaitu masalah teknologi dan biaya operasi yang tinggi
92
(Murtadho dan Said 1988) dengan mempertimbangkan tertutupnya biaya pengolahan limbah ini oleh nilai ekonomi yang diperoleh dari produk pengolahan berupa tepung daging dan minyak yang dapat dimanfaatkan dalam industri peternakan dan industri yang lain. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pernedaan temparatur pemanasan dalam pembuatan tepung daging terhadap nilai kecernaan protein secara in vitro dan komposisi kimiawinya MATERIDANMETODE Materi Bahan baku berupa limbah padat hasil ikutan proses "fleshing" berasal dari kulit domba yang diperoleh dari PT. Budi Makmur Jayamurni Jogjakarta. Metode Pembuatan Tepung Daging Tepung daging hasil ikutan proses "fleshing" dibuat melalui tahap-tahap pencucian, penetralan, pemanasan dan pembuangan lemak, pengeringan dan penghalusan. Pencucian dilakukan pada limbah padat untuk membersihkannya dari tanah, darah, bulu dan benda-benda lain yang melekat. Pencucian dilakukan dengan air mengalir untuk mempermudah penghilangan benda-benda yang tidak diperlukan tersebut. Penetralan dilakukan untuk menetralkan tingkat basisitas limbah. Penetralan kapur yang ada pada limbah padat hasil ikutan "fleshing" menggunakan asam atau garam asam yaitu HCl teknis dan (NH4)2SO4 teknis yang telah diencerkan dengan cara sebagai berikut: Limbah padat dicuci dengan air mengalir selama 30 menit lalu dalam ember dengan 200 sampai 300% air, 3 sampai 5% (NH4)2SO4 dan 2% HCl. Teepol ditambahkan sebanyak 1% untuk menurunkan tegangan permukaan lemak luar yang ada sehingga lebih mudah dihilangkan dengan air, selanjutnya limbah padat dicuci, hingga dicapai pH netral. Tingkat pH diukur dengan kertas indikator pH universal. Penetralan basisitas ini dilakukan supaya tepung yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29(2) June 2004
ternak. Pencincangan dilakukan untuk memperkecil ukuran limbah sehingga lebih mudah dalam penanganan selanjutnya juga pemanasan yang dilakukan dapat lebih merata. Pemanasan dilakukan untuk meningkatkan kecernaan protein, mengurangi kadar air yang potensial untuk kehidupan mikrobia dan melemahkan ikatan lemak dengan jaringan serta untuk menyeterilkannya dari mikrobia. Ikatan lemak yang lemah mempermudah pelepasannya dari jaringan (Atten et al., 1966). Lemak dilepaskan untuk dua alasan utama (1) alasan ekonomis, yaitu dapat dijual guna keperluan industri tertentu seperti pembuatan sabun, industri penyamakan dan lain lain sehingga lemak ini memiliki nilai yang lebih tinggi bahkan dapat melebihi nilai pakan yang diperoleh karena penjualan sebagai pakan dinilai hanya berdasar kandungan protein, sedangkan lemak dinilai berdasar volume yang diperoleh (2) menjaga kualitas produk. Lemak yang tertinggal dalam pakan menyebabkan ransiditas, tidak palatabel, tidak normal bahkan dapat menyebabkan tidak laku dijual (Mann, 1967). Penirisan berfungsi untuk melepaskan kadar air dan minyak lebih jauh. Penirisan ini bekerja menurut prinsip gravitasi dengan membiarkan jaringan pada saringan (alas soblok pemanas) sehingga air dan minyak menetes terpisah dari limbah. Pengeringan dilakukan pada limbah yang telah dipanaskan dan yang tidak dipanaskan untuk mengurangi kadar air. Pengeringan dilakukan dengan oven pada temperatur 60 oC selama 12 jam. Penghalusan dilakukan untuk menghaluskan partikel jaringan setelah pengeringan karena pengeringan menyebabkan jaringan menggumpal dan agak keras. Perlakuan panas Tepung daging hasil ikutan proses "fleshing" ini dibuat dengan tanpa pemanasan (temperatur 25oC) dengan membiarkannya dalam ruangan, dan dengan tiga perlakuan temperatur pemanasan yaitu T1 dengan temperatur 70oC menggunakan panci terbuka, T2 dengan temperatur 100oC menggunakan panci tertutup dan T3 dengan temperatur 115,5oC tekanan 10 psi menggunakan otoklaf yang masingmasing dilakukan selama 30 menit. Pemanasan yang dilakukan dalam pembuatan tepung ini dilakukan dengan steaming. Steaming ini
dapat dikategorikan sebagai rendering karena sejalan dengan perkembangan industri hasil ikutan ternak, istilah rendering yang berarti recovery lemak dari bagian tubuh hewan melalui pemanasan telah berkembang untuk mewakili semua proses yang mengubah limbah pemotongan menjadi pakan, pupuk dan lemak. Lemak yang diperoleh dari ternak yang segar dan sehat digunakan untuk industri makanan dan lemak dari ternak afkir digunakan untuk beberapa industri seperti sabun dan pelumas (Mann, 1967). Panas bersumber dari api kompor yang dialirkan ke panci pemanas dan otoklaf. Peningkatan temperatur pemanasan dilakukan dengan memperbesar api kompor, akan tetapi peningkatan ini hanya terbatas pada titik jenuh tekanan yang menunjukkan keseimbangan tekanan uap jenuh air dengan tekanan udara sekitar (atmosfir). Pada titik ini perbesaran api tidak akan meningkatkan temperatur dalam panci, oleh karena itu tekanan dalam panci ditingkatkan dengan menahan uap tetap dalam volume panci yang tertutup. Peningkatan tekanan dalam volume yang tetap ini dapat meningkatkan temperatur, seperti dikemukakan oleh Pearson dan Dutson (1992) bahwa penambahan panas akan meningkatkan tekanan internal digester hingga 308 kilopascal (kPa) dan meningkatkan temperatur bahan. Panas ini akan melepaskan selsel dan lemak. Analisis kecernaan protein in vitro dan komposisi kimia Kadar protein tercerna dianalisis dengan cara in vitro sesuai (Tanaka et al., 1978 dalam Aji, 1989) yaitu: (a) sampel sejumlah 200 mg dilarutkan dalam 9 ml 0,1 N bufer Walpole pH 2 dan ditambah 1 ml 2% enzim pepsin. (b) diinkubasikan dalam penangas air bergoyang pada temperatur 37oC selama 5 jam. Selanjutnya disentrifugasi pada 3000 rpm selama 20 menit. (c) supernatan sejumlah 5ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Trichloro asam asetat 20% sejumlah 5ml ditambahkan ke dalam supernatan lalu diinkubasikan pada temperatur kamar selama 15 jam. (d) selanjutnya disaring dengan kertas saring Whatman No.41. Nitrogen protein dalam filtrat dianalisis dengan Mikro Kjehldahl. Persen protein
Temperature Difference in Fleshed Meat Meal Processing and Its Nutritive Quality (Abduh et al.)
93
tercerna dihitung : (mg N dalam filtrat x 6,25 x 100%) / (mg bahan x % protein bahan). Komposisi kimia yang ditentukan adalah kadar air, kadar lemak kasar, kadar protein kasar (total N) dan kadar abu. Kadar air dianalisis dengan metode pengeringan. Sampel sebanyak 1 sampai 2g dimasukkan ke dalam botol timbang lalu dimasukkan ke oven vakum dilengkapi dengan pompa vakum pada temperatur 70oC (AOAC 1970; Rangana 1979 dalamSudarmadji et al., 1996). Kadar lemak dianalisis dengan metode Soxhlet seperti dalam (Woodman 1941 dalam Sudarmadji et al., 1996) yaitu dengan mengekstraksi sampel dengan petroleum eter secara berturut-turut. Analisis kadar protein dilakukan dengan metode Mikro-Kjehldahl (Villegas dan Merts 1971 dalam Sudarmadji et al., 1996). Kadar N total yang diperoleh dikalikan dengan faktor konversi 6,25. Analisis kadar abu dilakukan dengan cara kering yaitu dengan memanaskan sampel sebanyak 2 sampai 5g dalam oven lalu dimasukkan dalam tungku muffle pada temperatur 500oC (Sudarmadji et al., 1996). Analisis Data Data kecernaan protein in vitro dan komposisi kimia tepung daging hasil ikutan proses "fleshing" dianalisis variansi dengan Rancangan Teracak Lengkap Pola Searah dan dilanjutkan dengan uji "Duncan's multiple range test". HASILDAN PEMBAHASAN Kecernaan Protein in Vitro Kecernaan protein in vitro tepung daging hasil ikutan proses "fleshing" yang dibuat tanpa pemanasan (temperatur 25oC), dengan temperatur pemanasan 70oC, 100oC dan 115,5oC adalah tercantum dalam Tabel 1.
Rata-rata kecernaan protein in vitro tepung meningkat pada temperatur pemanasan 70oC menjadi 88,9% dibandingkan dengan tepung yang dibuat tanpa pemanasan (temperatur 25oC) yang rataratanya 82,9% karena pada temperatur 70oC terjadi denaturasi yang merubah susunan rantai polipeptida sehingga mudah dihidrolisis oleh enzim pencerna (Whitaker, 1972). Rata-rata kecernaan menurun pada temperatur 100oC menjadi 86,8% karena terjadi ikatanikatan silang baru yang menyebabkan protein sulit dicerna oleh enzim (Whitaker, 1972; Martin et al., 1982). Penurunan ini juga dapat disebabkan oleh kekenyalan serabut otot yang melebihi keempukan jaringan ikat (Bratzler, 1971). Akan tetapi rata-rata kecernaan protein in vitro meningkat lagi pada tepung dengan temperatur pemanasan 115,5oC menjadi 93,5%. Hal ini dapat terjadi karena perubahan kolagen menjadi gelatin mengurangi ikatan silang intermolekul dan intramolekul sehingga mudah larut dan dicerna. Forrest et al. (1975) menambahkan bahwa pada pemanasan yang berlebihan, protein akan mengeras, namun akan terbentuk gelatin yang menyebabkan daging menjadi empuk sehingga mudah dicerna. Seperti diketahui, gelatin sangat mudah dipecah oleh pepsin (Naruki dan Kanoni, 1992) dan merupakan perubahan dari kolagen yang terdapat dalam kulit termasuk jaringan subkutan. Kolagen yang menjadi penyusun jaringan adiposa (Bailey dan Light, 1989) penyusun jaringan subkutan kulit ini mudah mengkerut karena panas dan jika panas lama di atas temperatur kerutnya kolagen berubah menjadi gelatin yang bersifat larut (Naruki dan Kanoni, 1992). Perbedaan tingkat kecernaan protein in vitro disebabkan oleh perbedaan respon rantai polipeptida terhadap aktivitas enzim pencerna yang digunakan dalam uji kecernaan in vitro. Respon tersebut berbeda karena protein telah mengalami denaturasi
Tabel 1. Perlakuan Temperatur terhadap Kecernaan Protein in vitro Tepung Daging Hasil Ikutan Proses Fleshing (%) Level temperatur 25oC 70oC 100oC 115,5oC 1 81,6 89,7 86,7 93,6 2 82,6 88,6 86,1 93,3 3 84,5 88,5 87,6 93,6 Rerata a,b,c,d
94
82,9a
88,9 c
86,8 b
93,5 d
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan (P<0,05).
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29(2) June 2004
Tabel 2. Perlakuan Temperatur terhadap Kadar Air Tepung Daging Hasil Ikutan Proses ‘Fleshing’ (%) Level temperatur 25oC 70oC 100oC 115,5oC 1 6,0 5,4 6,8 6,7 2 6,7 5,4 6,8 6,8 3 6,1 5,5 6,9 6,8 Rerata a,n,c
6,3b
5,4a
6,8c
6,8c
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan (P<0,05).
yang merubah susunan rantai polipeptida penyusun protein, "browning reaction" yang membentuk polimer baru yang tidak tercerna, dan gelatinisasi yang melelehkan kolagen menjadi gelatin yang mudah larut dan dicerna, bahkan mungkin kerusakan protein dan asam amino karena pemanasan (Suhardi, 1989). Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa temperatur pemanasan berpengaruh secara nyata (P<0,05) terhadap kecernaan protein in vitro tepung daging hasil ikutan proses "fleshing" dan uji Duncan menunjukkan bahwa perbedaan temperatur pemanasan membedakan dengan nyata rata-rata kecernaan in vitro tepung daging hasil ikutan proses "fleshing" (P<0,05). Kadar Air Kadar air tepung daging hasil ikutan proses "fleshing" yang dibuat tanpa pemanasan (temperatur 25oC), dengan temperatur pemanasan 70oC, 100oC dan 115,5oC adalah tercantum dalam Tabel 2. Tepung yang dibuat tanpa pemanasan (temperatur 25oC) memiliki rata-rata kadar air sebesar 6,3%. Tepung yang dibuat dengan temperatur pemanasan 70oC mengalami penurunan rata-rata kadar air bila dibandingkan dengan tepung yang dibuat tanpa pemanasan (temperatur 25oC) menjadi 5,4% karena penguapan. Tepung yang dibuat dengan temperatur pemanasan 100oC mengalami peningkatan rata-rata kadar air menjadi 6,8% karena pemanasan pada temperatur ini menggunakan panci tertutup sehingga air yang menguap dari jaringan sebagian tertahan oleh penutup panci dan tidak dapat langsung lepas ke udara. Sebagian lainnya mengalami dehumidifikasi dan kembali terserap oleh jaringan flesh di bawahnya. Uap yang berasal dari air di bawah jaringan terhalang oleh jaringan dan terikat, sedangkan air yang dilepaskan dari jaringan akibat
melemahnya strukturmakro protein tidak dapat mengimbanginya sehingga air yang terserap lebih banyak daripada air yang menguap dari jaringan. Tepung yang dibuat dengan temperatur pemanasan 115,5oC mengalami penurunan rata-rata kadar air dengan tidak nyata (P<0,05) bila dibandingkan dengan tepung dengan temperatur pemanasan 100oC menjadi 6,8%. Pearson dan Dutson (1992) menyatakan bahwa pemanasan dengan temperatur yang melebihi 100oC dapat meningkatkan kadar air tepung hingga 2%. Tepung daging hasil ikutan proses "fleshing" yang dibuat tanpa pemanasan (temperatur 25oC), dengan temperatur pemanasan 70oC, 100oC dan 115,5oC memiliki kadar air yang berbeda karena perbedaan temperatur dalam pemanasan memberikan efek yang berbeda pada tingkat pelepasan air yang terdapat pada jaringan. Perbedaan tingkat pelepasan ini terjadi karena perbedaan perubahan struktur protein oleh panas yang berbeda. Tepung daging hasil ikutan proses "fleshing" yang dipanaskan pada temperatur 70oC memiliki kadar air paling rendah karena pemanasan dilakukan dalam panci terbuka sehingga air yang menguap dapat langsung lepas ke udara. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa temperatur pemanasan dalam pembuatan tepung berpengaruh secara nyata (P<0,05) terhadap kadar air tepung sedangkan "Duncan Multiple Range Test" menunjukkan bahwa perbedaan temperatur membedakan rata-rata persentase kadar air secara nyata (P<0,05) kecuali pada tepung yang dibuat dengan temperatur 100 dan 115,5oC yang tidak berbeda nyata (P<0,05). Kadar air tepung menurut Hartadi et al. (1997) adalah 14% sedang menurut Cullison (1979) adalah 9,42%. Kadar air tepung daging hasil ikutan proses "fleshing" yang sangat rendah kemungkinan
Temperature Difference in Fleshed Meat Meal Processing and Its Nutritive Quality (Abduh et al.)
95
Tabel 3. Perlakuan Temperatur terhadap Kadar Lemak Tepung Daging Hasil Ikutan Proses ‘Fleshing’ (%) Level temperatur 25oC 70oC 100oC 115,5oC 1 43,2 31,9 19,2 27,6 2 43,1 31,8 19,1 27,6 3 43,3 31,7 19,2 27,5 d c a Rerata 43,2 31,8 19,2 27,6b a,b,c,d
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan (P<0,05).
disebabkan oleh temperatur pengeringan yang terlalu tinggi yaitu 60oC dan/atau waktu pengeringan yang terlalu lama yaitu 12 jam. Kadar Lemak Kadar lemak tepung daging hasil ikutan proses "fleshing" yang dibuat tanpa pemanasan (temperatur 25oC), dengan temperatur pemanasan 70oC, 100oC dan 115,5oC adalah tercantum dalam Tabel 3. Tepung yang dibuat dengan temperatur pemanasan 70oC mengalami penurunan rata-rata kadar lemak menjadi 31,8% bila dibandingkan dengan tepung yang dibuat tanpa pemanasan (temperatur 25oC) yang rata-ratanya 43,2% karena lemak yang terdapat dalam jaringan mencair oleh panas yang mendekati titik didihnya dan menetes meninggalkan jaringan melalui kawat penyaring karena gravitasi. Hal ini bisa dimengerti karena semakin tinggi temperatur, lemak akan semakin mendekati titik didih lemak/minyak yang berhubungan dengan titik leleh asam lemak yang dikandungnya, berat molekul, jumlah ikatan rangkap dan proporsi kelompok yang menyusun ikatan silang trans terhadap ikatan gandanya (Witcoff dan Reuber, 1980) di mana hal ini akan menyebabkan lemak mengalami perubahan fase. Tepung yang dibuat dengan temperatur pemanasan 100oC mengalami penurunan rata-rata kadar lemak yang lebih rendah lagi menjadi 19,2% karena temperatur yang lebih tinggi menyebabkan perubahan lemak menjadi minyak yang cair lebih banyak. Peningkatan rata-rata kadar lemak terjadi pada tepung yang dibuat dengan temperatur pemanasan 115,5oC menjadi 27,6% karena pada temperatur tersebut lemak yang mencair menjadi minyak mengalami volatilisasi dan humidifikasi (Gurr, 1992; Pramudono, 1988). Karena minyak berada di bawah jaringan, proses humidifikasi terhalang oleh
96
jaringan dan berikatan kembali. Volatilisasi juga dapat terjadi pada asam lemak jaringan. Akan tetapi sistem yang tertutup menghalanginya untuk lepas ke udara dan kembali lagi mengembun menuju keseimbangan humidifikasi dan dehumidifikasi. Minyak yang terbentuk kembali tertimbun pada jaringan dan berikatan. Gardjito dan Supriyanto (1988) menyatakan bahwa asam lemak bebas dapat diuapkan dengan destilasi menggunakan uap air dalam suatu sistem tertutup dan lemak tersebut dapat terbawa oleh uap air. Pramudono (1988) menyatakan apabila konsentrasi uap bertambah maka laju molekul uap yang kembali ke cairan dan mengembun akan naik, sampai akhirnya tercapai kesetimbangan dinamis yaitu apabila laju penguapan sama dengan laju pengembunan, pada saat tekanan parsial uap dalam campuran setimbang dengan tekanan uap murni pada temperatur yang bersangkutan. Selanjutnya dikatakan bahwa sepanjang gas bisa dianggap tidak larut dalam cairan maka tekanan parsial uap dalam campuran yang jenuh tidak tergantung pada jenis gas dan tekanan totalnya tetapi hanya tergantung pada temperatur dan sifat cairan. Pemanasan menyebabkan terjadinya perubahan kadar lemak karena selama pemanasan banyak perubahan yang dapat terjadi pada struktur lemak, sifat alaminya yang tergantung pada beberapa faktor seperti temperatur, lama waktu pemanasan dan jumlah udara yang berinteraksi dengannya (Gurr, 1992). Sebagaimana diketahui, lemak akan mencair, bahkan mengalami volatilisasi oleh pengaruh panas. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa temperatur pemanasan berpengaruh secara nyata (P<0,05) terhadap kadar lemak. Hasil "Duncan Multiple Range Test" menunjukkan bahwa perbedaan temperatur membedakan rata-rata kadar
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29(2) June 2004
Tabel 4. Perlakuan Temperatur terhadap Kadar Protein Tepung Daging Hasil Ikutan Proses ‘Fleshing’ (%) Level temperatur 25oC 70oC 100oC 115,5oC 1 35,6 39,7 48,9 45,8 2 35,8 39,7 48,3 46,0 3 35,8 40,5 48,9 46,1 a b d Rerata 35,7 40,0 48,7 46,0c a,b,c,d
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan (P<0,05).
Tabel 5. Perlakuan Temperatur terhadap Kadar Abu Tepung Daging Hasil Ikutan Proses ‘Fleshing’ (%) Level temperatur 25oC 70oC 100oC 115,5oC 1 10,4 13,0 14,5 12,6 2 10,4 12,9 14,4 12,5 3 10,4 12,9 14,3 12,6 Rerata 10,4a 12,9c 14,4d 12,6b a,b,c,d
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan (P<0,05).
lemak tepung daging hasil ikutan proses "fleshing" dengan nyata (P<0,05). Kadar lemak tepung daging menurut Hartadi et al. (1997) adalah 7,2% sedang menurut Cullison (1979) adalah 9,4%. Kadar lemak tepung daging hasil ikutan proses "fleshing" yang tinggi dikarenakan kandungan lemak jaringan flesh yang memang lebih tinggi daripada jaringan pengikat lain karena flesh tersusun oleh jaringan adiposa dan lemak. Di samping itu, jaringan subkutan domba yang digunakan sebagai bahan baku tepung memiliki deposisi lemak yang tinggi (Leat, 1976 disitasi oleh Soeparno, 1994) dan proporsi lemak yang tinggi dibanding ternak lain, misalnya sapi (Tulloh, 1964 disitasi oleh Soeparno, 1994). Kadar Protein Kadar protein tepung daging hasil ikutan proses "fleshing" yang dibuat tanpa pemanasan (temperatur 25oC), dengan temperatur pemanasan 70oC, 100oC dan 115,5 oC adalah tercantum dalam Tabel 4. Rata-rata kadar protein tepung daging hasil ikutan proses "fleshing" ternyata berbanding terbalik dengan rata-rata kadar lemaknya. Rata-rata kadar protein tepung yang dibuat dengan temperatur pemanasan 70oC mengalami kenaikan menjadi 40,0% dibandingkan dengan tepung yang dibuat tanpa pemanasan (temperatur 25oC) yang rata-ratanya 35,7%. Hal ini terjadi karena turunnya rata-rata kadar lemak pada tepung yang dibuat dengan temperatur 70oC menjadi 31,8% dari tepung yang dibuat tanpa
pemanasan (temperatur 25oC) dengan rata-rata 43,2% sehingga proporsi protein terhadap total padatan tepung meningkat. Peningkatan rata-rata kadar protein terjadi lebih tinggi pada tepung yang dibuat dengan temperatur pemanasan 100oC yaitu menjadi 48,7% karena kadar lemak pada pemanasan dengan temperatur ini juga mengalami penurunan menjadi 19,2% dari 31,8% pada tepung yang dibuat dengan temperatur 70oC. Akan tetapi rata-rata kadar protein tepung dengan temperatur pemanasan 115,5oC ternyata menurun menjadi 46,0% bila dibandingkan dengan tepung yang dibuat dengan temperatur pemanasan 100 oC meski tetap lebih tinggi dibandingkan dengan tepung yang dibuat dengan temperatur pemanasan 70oC. Hal ini dapat terjadi karena pada pemanasan dengan temperatur 115,5oC kadar lemak tepung mengalami peningkatan menjadi 27,6% meski lebih rendah daripada tepung dengan temperatur pemanasan 70oC (31,8%). Di samping itu, seperti diungkapkan oleh Suhardi (1989) bahwa pemanasan yang berlebihan akan berakibat rusaknya asam amino dan berkurangnya unsur N, sulfur dan berat kering bahan yang berpengaruh pada hasil analisis kimianya. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa temperatur pemanasan berpengaruh secara nyata terhadap rata-rata kadar protein tepung. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa pemanasan dengan temperatur yang berbeda menimbulkan rata-rata persentase kadar lemak yang berbeda dengan nyata (P<0,05) pada semua perlakuan.
Temperature Difference in Fleshed Meat Meal Processing and Its Nutritive Quality (Abduh et al.)
97
Kadar protein tepung daging menurut Hartadi et al. (1997) adalah 58,6%. Kadar tepung daging hasil ikutan proses "fleshing" yang rendah dikarenakan kadar lemaknya yang tinggi sehingga mengurangi proporsi protein terhadap total padatan tepung. Kadar Abu Kadar abu tepung daging hasil ikutan proses "fleshing" yang dibuat tanpa pemanasan (temperatur 25oC), dengan temperatur pemanasan 70oC, 100oC dan 115,5oC adalah tercantum dalam Tabel 5. Rata-rata kadar abu ternyata juga berbanding terbalik dengan rata-rata kadar lemaknya dan tidak berhubungan langsung dengan perubahan temperatur. Hal ini dapat dimengerti karena perubahan kadar lemak akan mempengaruhi proporsi kadar abu terhadap total padatan tepung. Rata-rata kadar abu tepung daging hasil ikutan proses "fleshing" dengan temperatur pemanasan 70oC mengalami kenaikan menjadi 12,9% dibandingkan dengan tepung yang dibuat tanpa pemanasan (temperatur 25oC) yang rata-ratanya 10,4% sesuai dengan penurunan rata-rata kadar lemak tepung yang dibuat tanpa pemanasan (temperatur 25oC) dari 43,2% menjadi 31,8% yang terjadi pada temperatur pemanasan 70 oC ini. Kenaikan yang lebih tinggi terjadi pada tepung dengan temperatur pemanasan 100oC yang rataratanya 14,4%. Sebagaimana penurunan rata-rata kadar lemak yang terjadi menjadi 19,2% pada temperatur pemanasan 100oC. Akan tetapi rata-rata kadar abu mengalami penurunan pada tepung dengan temperatur pemanasan 115,5oC menjadi 12,6% karena meningkatnya kadar lemak jaringan menjadi 27,6% pada temperatur ini sehingga proporsi abu terhadap total padatan jaringan menurun. Kadar abu berhubungan dengan mineral suatu bahan dan dalam hal ini mineral tidak dapat dirusak oleh panas dan tidak dapat didestruksi sehingga perubahan temperatur pemanasan pada prinsipnya tidak berpengaruh pada kadar abu tepung secara langsung meskipun Triebold dan Aurand (1963) menyatakan bahwa temperatur yang terlalu tinggi dapat menyebabkan volatilisasi unsur-unsur tertentu seperti K, Na, Cl dan P sehingga larut dan melebur namun karena unsur yang kemungkinan
98
terdapat dalam sisa fleshing ini adalah Ca, S dan unsur lain selain keempat unsur tersebut maka pendapat keduanya tidak berlaku di sini. Kadar abu yang tinggi melebihi 2,8% (Hartadi et al., 1997) dapat disebabkan oleh tingginya jumlah kalsium dan mineral lain dalam jaringan. Kalsium dapat berasal dari proses "fleshing" yang menggunakan kapur, sedangkan mineral lain kemungkinan berupa klor dari hidrogen klorida dan sulfur dari amonium sulfat yang digunakan untuk penetralan limbah padat hasil ikutan proses "fleshing". Mineral-mineral tersebut tidak dapat dipisahkan dengan pemanasan tetapi dengan separasi fisik atau melalui air yang menjadi pelarutnya (Fennema, 1985). Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa temperatur pemanasan berpengaruh dengan nyata terhadap rata-rata kadar abu tepung dan uji Duncan menunjukkan bahwa pemanasan dengan temperatur yang berbeda berpengaruh secara nyata (P<0,05) terhadap rata-rata kadar abu tepung. KESIMPULAN Kecernaan protein in vitro tertinggi tepung daging hasil ikutan proses "fleshing" diperoleh dengan temperatur pemanasan 115,5oC (93,5%), kadar air terendah diperoleh dengan temperatur pemanasan 70oC (5,4%), kadar lemak terendah diperoleh dengan temperatur pemanasan 100oC (19,2%), kadar protein tertinggi diperoleh dengan temperatur pemanasan 100oC (48,7%), kadar abu terendah diperoleh dengan tanpa pemanasan (temperatur 25oC) yaitu 10,4%. DAFTARPUSTAKA Aji, Y.P. 1989. Pengaruh Suhu Perebusan terhadap Kadar Kholesterol, Kecernaan Protein dan Tingkat Keempukan Daging Sapi. Skripsi Sarjana Teknologi Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Atten, A., R.F. Innes, and E. Knew. 1966. Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome.
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29(2) June 2004
Bailey, A.J. and N.D. Light. 1989. Connective Tissue in Meat and Meat Products. Elsevier Applied Sci., London. Bratzler, L.J. 1971. Palatabilitycharacteristics of meat in The Science of Meat and Meat Products. 2nd edition. J.F. Price and B.S. Schweigert (Eds.). W.H. Freeman and Co., San Fransisico. Cullison, A.E. 1979. Feeds and Feeding. 2nd edition. Reston Publishing Company, Inc. A PrenticeHall Company. Virginia. Fennema, O.R. 1985. Food Chemistry, 2nd ed. Department of Food Science University of Wisconsin, Madison. Forrest, J.C., E.D. Aberle., H.B. Hedrick., M.D. Judge, and R.A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Co., San Fransisco. Gardjito, M. dan Supriyanto. 1988. Teknologi Pengolahan Minyak II. Bahan Ajaran. Pusat AntarUniversitas Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pearson, A.M. and T.R. Dutson. 1992. Inedible Meat By-Product. Advances in Meat Research Volume 8. Elsevier Science Publishers Ltd. Crown House, Linton Road, Barking, Essex IGII 8JU, England. Pramudono, B. 1988. Humidifikasi dan Pengeringan. Bahan Ajaran. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjahn Mada University Press, Yogyakarta. Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty bekerja sama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Suhardi. 1989. Kimia dan Teknologi Protein. Bahan Pengajaran. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Gurr, M.I. 1992. Role of Fats in Food and Nutrition. 2nd ed. Elsevier Sci. Publ. Ltd. The Netherland.
Sunaryo, I. 1989. Sifat dan Manfaat Limbah Industri Kulit Samak Krom. Makalah Seminar Perkulitan Nasional. BBKKP, Yogyakarta.
Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, A.D. Tillmann. 1997. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Triebold, H.O and L.W. Aurand. 1963. Food Composition and Analysis. D.Van Nostrand Co. Inc. Princeton, New Jersey.
Mann, I. 1967. Processing and Utilization of Animal By-Products. Food and Agriculture Organization of The United Nations.
Whitaker, J.R. 1972. Principles of Enzimology for The Food Science. Marcel Dekker Inc., NewYork.
Martin, R.E.G., J. Flick, C.E. Hebard, and D.R. Ward. 1982. Chemistry and Biochemistry of Marine Food Products. Avi Publishing, Company, Westport, Connecticut. Murtadho, D. dan E.G. Said. 1988. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Padat. PT. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Naruki, S. dan S. Kanoni. 1992. Kimia dan Teknologi Pengolahan Hasil Hewan I. Bahan Ajaran.
Winter, D. 1984. Techno Economic Study in Measures to Mitigate the Environmental Impact of The Leather Industry, Particularly in Developing Countries, Third Consultation on the Leather and Leather Products Industry, Insbruck Austria 16 – 20 April 1984. Witcoff, H.A. and B.G. Reuber. 1980. Industrial Organic Chemicals in Perspective: Part 1. Raw Material and Manufacture. John Wiley and Sons, Canada.
Temperature Difference in Fleshed Meat Meal Processing and Its Nutritive Quality (Abduh et al.)
99