EKAPSULASI Lactobacillus casei DEGA TEKIK EKSTRUSI SEBAGAI STARTER UTUK PEMBUATA DADIH SUSU SAPI
SKRIPSI
ARI ADRIATO F34060620
FAKULTAS TEKOLOGI PERTAIA ISTITUT PERTAIA BOGOR BOGOR 2011
ENCAPSULATION OF Lactobacillus casei USING EXTRUSION TECHNIQUE AS STARTER CULTURE FOR PRODUCTION OF DADIH FROM COW MILK Ari Adrianto, Mulyorini Rahayuningsih, and Sri Yuliani Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural Technology, IPB Dramaga Bogor, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone +62 856 1885 110, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT The purpose of this research is to get an optimal composition for encapsulating materials of Lactobacillus casei as dried starter culture for production of dadih from cow milk. Lactobacillus casei was encapsulated by the extrusion technique, then dried by hot air oven on 40 oC. Biopolymer for encapsulating materials consist of sodium alginate and filler based on protein such as whey protein concentrate, sodium caseinate, and skim. The highest yield, the biggest diameter, and more spherical shape of beads was recorded in 4% alginate beads. Yield and diameter of beads decreased significantly with increasing filler concentration. Optimum proportion of alginate-filler on 4% total biopolymer is 2:1 (2.67% sodium alginate : 1.33% filler) that resulted in yield 78.7 – 80.7%, diameter 2.7 – 2.8 mm, and spherical – elliptical shape of beads. Encapsulated Lactobacillus casei in 4% alginate beads and alginate-skim 2:1 showed that the rate of acid produced was higher then alginatewhey 2:1 and alginate-sodium caseinate 2:1. Encapsulation of Lactobacillus casei with alginate-skim 2:1 resulted in a higher cell viability, namely 5.32 log cfu/gram or decline in viable count of about 2.36 log over a drying periode of 6 hour while there was a decline of about more than 5,76 log in Lactobacillus casei which were encapsulated with 4% alginate (without filler). Using dry starter (encapsulated Lactobacillus casei) for production of dadih from cow milk took longer time (48 hours) as compare to free cell (24 hours) on the same population of Lactobacillus casei. The characteristics of dadih from cow milk with dried starter application resulted in viscosity 2147 – 2563 cP, pH 5.55 – 5.75, titrable acidity 0.64 – 0.67%, and population of Lb. casei 8,16 – 8,43 log cfu/m . Population of Lactobacillus casei on dried starter in this study still low, namely 2.1 x 105 cfu/gram, and hence continuation experiments need to be increasing population of Lactobacillus casei in alginate-skim beads.
Keywords : encapsulation, extrusion, alginate, filler, Lactobacillus casei, dadih
Ari Adrianto. F34060620. Enkapsulasi Lactobacillus casei dengan Teknik Ekstrusi sebagai Starter untuk Pembuatan Dadih Susu Sapi. Di bawah bimbingan Mulyorini Rahayuningsih dan Sri Yuliani. 2011
RIGKASA Selama ini, jenis starter yang digunakan dalam pembuatan susu fermentasi adalah starter cair (bulk starter) yang memiliki kendala seperti menurunnya viabilitas dan kinerja starter selama proses penyimpanan. Cara lain untuk mengatasi permasalahan pada starter cair adalah dengan memberi perlindungan pada sel bakteri melalui proses enkapsulasi untuk menghasilkan starter dalam bentuk kering (dry starter). Salah satu produk susu fermentasi tradisional khas Indonesia yang dapat dihasilkan dengan aplikasi starter kering adalah dadih susu sapi. Viabilitas dan aktivitas metabolisme sel terenkapsulasi dalam bentuk kering sangat ditentukan oleh komposisi biopolimer yang digunakan sebagai bahan pengkapsul. Oleh karena itu, diperlukan komposisi bahan pengkapsul yang dapat melindungi sel selama pengeringan serta menghasilkan sel terenkapsulasi yang bersifat fast release sehingga cocok digunakan sebagai starter kering untuk pembuatan dadih susu sapi. Penggunaan bakteri probiotik seperti Lactobacillus casei sebagai starter dalam pembuatan dadih susu sapi diharapkan dapat menghasilkan produk probiotik yang lebih bermanfaat bagi kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan komposisi bahan pengkapsul yang tepat untuk pembuatan Lb. casei terenkapsulasi dalam bentuk kering serta mengetahui karakteristik fisikokimia dan mikrobiologi dadih susu sapi yang dibuat dengan aplikasi Lb. casei terenkapsulasi dalam bentuk kering. Penelitian dilakukan di laboratorium mikrobiologi dan laboratorium kimia Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor pada bulan Maret sampai Oktober 2010. Enkapsulasi Lb. casei dilakukan dengan metode ekstrusi. Biopolimer yang digunakan adalah natrium alginat dan bahan pengisi (filler) berbasis protein, yaitu whey protein concentrate (WPC 35), sodium caseinate dan skim. Penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu pemilihan komposisi bahan pengkapsul, pengeringan beads jel kalsium alginat, dan tahap aplikasi Lb. casei terenkapsulasi kering sebagai starter dadih susu sapi. Parameter yang diamati selama proses enkapsulasi meliputi rendemen, bentuk dan ukuran beads, viabilitas, efisiensi enkapsulasi, aktivitas metabolisme Lb. casei, serta ketahanan selama proses pengeringan, sedangkan parameter yang diamati pada dadih susu sapi meliputi viskositas, pH, total asam tertitrasi, dan total Lb. casei. Pemilihan komposisi bahan pengkapsul dilakukan dengan tahap penentuan total biopolimer optimum menggunakan natrium alginat, penentuan perbandingan alginat-bahan pengisi optimum, dan pengujian efektivitas enkapsulasi dan aktivitas metabolisme Lb. casei terenkapsulasi. Dari hasil penelitian yang didapatkan, rendemen dan ukuran beads cenderung meningkat dengan meningkatnya konsentrasi natrium alginat (2 – 5%). Total biopolimer 4% memiliki rendemen tertinggi (90,8 ± 1,1%) dan ukuran beads terbesar (3,2 ± 0,1 mm) dengan bentuk menyerupai bola. Penggunaan natrium alginat 5% menyebabkan rendemen berkurang dan beads kehilangan bentuk bolanya. Penggunaan alginat-bahan pengisi pada perbandingan 1:1 menghasilkan rendemen terendah, yaitu 52,3 – 64,2%, sedangkan perbandingan 2:1 menghasilkan rendemen 78,7 – 80,7% dan relatif tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan perbandingan 3:1 pada masing-masing bahan pengisi. Enkapsulasi tanpa penggunaan bahan pengisi (alginat 4%) menghasilkan viabilitas sebesar 96,6% dan efisiensi enkapsulasi sebesar 53,6%, sedangkan penggunaan bahan pengisi pada perbandingan alginat-bahan pengisi 2:1 menghasilkan viabilitas sebesar 95,1 – 95,9% dan efisiensi enkapsulasi sebesar 33,5 – 38,3%. Jenis bahan pengisi yang digunakan tidak mempengaruhi viabilitas dan efisiensi enkapsulasi. Namun, penggunaan bahan pengisi sangat berpengaruh terhadap aktivitas metabolisme L. casei terenkapsulasi. Enkapsulasi tanpa penambahan bahan pengisi (alginat 4%) dan alginat-skim (2:1) memiliki kemampuan mengasamkan reconstituted skim milk (RSM: 9,5% skim milk powder, 0,5% yeast extract, dan 2% glukosa) lebih cepat dibandingkan dengan penggunaan whey ataupun sodium caseinate pada perbandingan alginat-bahan pengisi 2:1. Pengeringan beads dilakukan menggunakan oven pada suhu 40 oC. Waktu pengeringan optimum dicapai pada jam ke-6. Beads kering alginat 4% memiliki kadar air 11,65% dan mengalami penurunan jumlah sel dari 5,7 x 107 cfu/gram beads basah menjadi < 102 cfu/gram beads kering atau mengalami penurunan lebih dari 5,76 siklus log, sedangkan alginat-skim (2:1) memiliki kadar air 11,51% dan mengalami penurunan jumlah sel dari 4,8 x 107 cfu/gram beads basah menjadi
2,1 x 105 cfu/gram beads kering atau mengalami penurunan sebesar 2,36 siklus log. Penggunaan skim sebagai bahan pengisi memiliki ketahanan lebih tinggi dibandingkan tanpa bahan pengisi (alginat 4%). Perbandingan alginat-skim (2:1) merupakan komposisi yang tepat sebagai bahan pengkapsul Lb. casei untuk menghasilkan Lb. casei terenkapsulasi dalam bentuk kering yang akan digunakan sebagai starter dadih susu sapi. Dadih susu sapi yang dihasilkan dengan penggunaan Lb. casei terenkapsulasi alginat-skim (2:1) memiliki viskositas 2147 – 2563 cp, pH 5,75 – 5,55, total asam tertitrasi 0,64 – 0,67% dan total Lb. casei 8,16 – 8,43 log cfu/gram dengan waktu fermentasi 48 jam. Namun, dadih susu sapi yang dihasilkan masih memiliki nilai pH yang tinggi, total asam tertitrasi yang rendah, dan waktu fermentasi yang lama. Hal ini dikarenakan populasi Lb. casei pada starter kering yang dihasilkan masih terlalu rendah, yaitu 2,1 x 105 cfu/gram, sehingga perlu upaya peningkatan populasi Lb. casei agar dadih susu sapi yang dihasilkan memiliki kualitas yang lebih baik.
EKAPSULASI Lactobacillus casei DEGA TEKIK EKSTRUSI SEBAGAI STARTER UTUK PEMBUATA DADIH SUSU SAPI
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJAA TEKOLOGI PERTAIA Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh ARI ADRIATO F34060620
FAKULTAS TEKOLOGI PERTAIA ISTITUT PERTAIA BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi
:
Nama NIM
: :
Enkapsulasi Lactobacillus casei dengan Teknik Ekstrusi sebagai Starter untuk Pembuatan Dadih Susu Sapi Ari Adrianto F34060620
Menyetujui, Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si. NIP 19640810 198803 2 002
Dr. Sri Yuliani, MT. NIP 19690701 199403 2 003
Mengetahui : Ketua Departemen,
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP 19621009 198903 2 001
Tanggal lulus : 10 Januari 2011
PERYATAA MEGEAI SKRIPSI DA SUMBER IFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Enkapsulasi Lactobacillus casei dengan Teknik Ekstrusi sebagai Starter untuk Pembuatan Dadih Susu Sapi adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2011 Yang membuat pernyataan
Ari Adrianto F34060620
© Hak cipta milik Ari Adrianto, tahun 2011 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
BIODATA PEULIS Ari Adrianto. Lahir di Jakarta, 4 September 1988 dari ayah bernama Dony Rodiar dan ibu Hari Budiarti, sebagai putra pertama dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2006 dari SMAN 35 Jakarta Pusat dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun 2007 penulis memilih Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan termasuk menjadi asisten praktikum fisika TPB IPB pada tahun 2007 – 2009. Penulis juga aktif dalam beberapa kegiatan organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fateta (staff departemen Agritech) dan Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) IPB (staff departemen Profesi). Pada tahun 2008 penulis mengikuti Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XXI di Universitas Sultan Agung, Jawa Tengah dan memperoleh juara II bidang penulisan ilmiah (PKMI). Pada tahun 2009, penulis juga mengikuti lomba “Agroindustrial Product Competition” HIMALOGIN IPB dan memperoleh juara II. Pada tahun 2010 penulis juga menjadi Finalis Kompetisi Karya Tulis Tingkat Mahasiswa Nasional (Katulistiwa) Universitas Brawijaya. Penulis melaksanakan Praktik Lapang pada tahun 2009 di Pabrik Kopi Banaran, PT Perkebunan Nusantara IX, Jawa Tengah.
KATA PEGATAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan kemudahan yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penelitian dengan judul Enkapsulasi Lactobacillus casei dengan Teknik Ekstrusi sebagai Starter untuk Pembuatan Dadih Susu Sapi dilaksanakan di Balai Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu, Bogor sejak bulan Maret sampai Oktober 2010. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Kedua orang tua, nenek, uyut, dan Ibu Iyut serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayang yang selama ini diberikan kepada penulis. 2. Ibu Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi. sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. 3. Ibu Dr. Ir. Sri Yuliani, MT. sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian dan penyusunan skripsi. 4. Bapak Drs. Purwoko, MSi sebagai dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dalam penyelesaian skripsi ini. 5. Ibu Sri Usmiati, SPt, MSi. dan Pak Hadi Setiyanto yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian. 6. Pak Yudi, Pak Ato, Mas Tri, Mbak Citra, Ibu Trisna serta seluruh analist di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen atas bantuan dan arahannnya kepada penulis selama penelitian. 7. Pak Gunawan atas bantuannya kepada penulis. 8. Budi, Dewi, Norma, Vioni, dan Hanna dan teman-teman TIN 43 atas kerjasama dan bantuannya kepada penulis selama penelitian dan berbagai kegiatan selama perkuliahan. 9. Praja, Hamka, dan seluruh teman di Agriternak Cirebon dan Carstensz Fruit Farm atas bantuan dan persahabatannya. 10. Yessica Tenia yang telah memberikan bantuan dan dorongan moril kepada penulis. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kekhilafan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi nyata terhadap perkembangan dan ilmu pengetahuan di bidang mikrobiologi susu fermentasi.
Bogor, Januari 2011
Ari Adrianto
vi
DAFTAR ISI Halaman …………..……………………………………………………….…... vi KATA PEGATAR .........................……...…………………………………………………….....… vii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL …………………..….………………………………………………...…….. viii ……………..………………….………………………………………. ix DAFTAR GAMBAR ………...………………….………………………………………... x DAFTAR LAMPIRA …………..…………………..……………………………………... 1 I. PEDAHULUA 1.1. LATAR BELAKANG …………...............…………………………………... 1 1.2. TUJUAN ………………………………………..……………………………... 2 ………………………………………….….………………. 3 II. TIJAUA PUSTAKA 2.1. ENKAPSULASI ………..………………………………………………………... 3 2.1.1. Teknik Ekstrusi …..………………………………………………….. 3 2.1.2. Bahan Pengkapsul ........………………………………………………… 5 2.1.2.1. Alginat ……...………………………………………………….. 5 2.1.2.2. Skim, Sodium Caseinate, dan Whey ………….……………… 6 2.2. VIABILITAS PROBIOTIK TERENKAPSULASI …………….......................... 7 2.3. BAKTERI ASAM LAKTAT …………………………………………………… 8 10 2.4. DADIH ……………………………………………………………………….... 12 III. METODE PEELITIA ………………………….………........................................... 3.1. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ………………………………………… 12 3.2. ALAT DAN BAHAN ………………………………………………................... 12 3.3. TAHAPAN PENELITIAN ……………………………………………………… 12 3.3.1. Pemilihan Komposisi Bahan Pengkapsul …………………………….. 12 3.3.1.1. Penentuan total biopolimer bahan pengkapsul ……………… 14 3.3.1.2. Penentuan perbandingan natrium alginat-bahan pengisi optimum …… 14 3.3.1.3. Pengujian efektivitas enkapsulasi dan aktivitas metabolisme 15 probiotik terenkapsulasi jel kalsium alginat ……………..……... 3.3.2. Pengeringan Beads Jel Kalsium Alginat ………………………………......... 16 3.3.3. Aplikasi Lb. casei Terenkapsulasi Kering ………………………………. 17 3.3.3.1. Aplikasi Lb. casei terenkapsulasi secara langsung …..……………. 17 3.3.3.2. Aplikasi Lb. casei terenkapsulasi dengan membuat kultur kerja ….. 17 ………………………………………………………. 19 IV. HASIL DA PEMBAHASA 4.1. PENENTUAN KOMPOSISI BIOPOLIMER SEBAGAI BAHAN PENGKAPSUL .. 19 4.1.1. Pengaruh Konsentrasi Natrium Alginat terhadap Rendemen, Bentuk dan Ukuran Beads Kalsium Alginat ……………………………………………. 19 4.1.2. Pengaruh Perbandingan Alginat-Bahan Pengisi terhadap Rendemen, Bentuk dan Ukuran Beads ………………………………………………….. 21 4.1.3. Enkapsulasi Lb. casei dalam Beads Kalsium Alginat dan Aktivitas Metabolisme Lb. casei Terenkapsulasi …………………………………….. 23 4.2. PEMBUATAN Lb. casei TERENKAPSULASI DALAM BENTUK KERING …. 27 4.3. APLIKASI Lb. casei TERENKAPSULASI KERING SEBAGAI STARTER DADIH SUSU SAPI …………………………………………………………………………. 30 ……………………………………………………… 34 V. KESIMPULA DA SARA 5.1. KESIMPULAN ………………………………………………………………… 34 5.2. SARAN …………………………………………………………............................ 34 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………... 35 LAMPIRAN …………………………………………………………………………….. 39
vii
DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9.
Halaman Kelebihan dan Kekurangan teknik ekstrusi dan emulsi ……………….…………... 4 Komponen susu sapi, skim, sodium caseinate, dan whey protein concentrate …... 7 Komposisi susu sapi dan susu kerbau dari beberapa spesies (dalam %) ………....... 11 Komposisi kimia yoghurt dan dadih (dalam %) ………………………………… 11 Pengaruh konsentrasi Na-alginat terhadap rendemen, ukuran dan bentuk beads …. 19 Pengaruh jenis filler dan perbandingan alginat-filler terhadap ukuran dan bentuk 22 beads …...…………………………………………………………………………..… Karakteristik Lb. casei terenkapsulasi dalam jel kalsium alginat ..………………… 24 Karakteristik Lb. casei terenkapsulasi kering ……………………………………… 28 31 Karakteristik dadih susu sapi ………………………………………………….........
viii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14.
Halaman Diagram alir enkapsulasi bakteri dengan teknik ekstrusi ………………………... 4 Struktur molekul natrium alginat …………………...….................................... 5 Pengaruh kation Ca2+ terhadap struktur alginat ………………………………... 6 Proses pembuatan dadih tradisional …...……………………………………... 10 Diagram alir tahapan penelitian ...……………………………………………... 13 Prosedur enkapsulasi dengan metode ekstrusi ……………………………….. 15 Bentuk beads kalsium alginat pada berbagai konsentrasi alginat ……………… 20 Pengaruh jenis filler dan perbandingan alginat-filler terhadap rendemen beads …... 21 Penampakan beads kalsium alginat dengan penambahan filler ……………….. 22 Perubahan pH RSM setelah diinokulasikan Lb. casei terenkapsulasi dan Lb. casei yang tidak dienkapsulasi ………………………………………………………….... 25 Populasi Lb. casei pada media RSM (diluar beads) pada akhir inkubasi ………. 26 Pengaruh lama waktu pengeringan terhadap kadar air beads …………………. 27 Penampakan beads Lb. casei terenkapsulasi setelah dikeringkan menggunakan oven pada suhu 40 oC selama 6 jam ………………………………………………………. 28 Penampakan dadih ……………………………………………………………. 31
ix
DAFTAR LAMPIRA Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14.
Halaman Prosedur pembuatan suspensi alginat ……………………………………….. 40 Prosedur menghitung jumlah sel (Total plate count) ……………………….. 41 Prosedur pengujian pH, total asam tertitrasi dan viskositas …………………. 42 Hasil pengukuran rendemen dan ukuran beads pada berbagai konsentrasi alginat 43 Hasil analisis statistik pengukuran rendemen dan ukuran beads pada berbagai konsentrasi alginat ……………….......................................................................... 44 Hasil pengukuran rendemen dan ukuran beads pada berbagai perbandingan alginat-bahan pengisi …………………………………………………………….. 46 Hasil analisis statistik pengukuran rendemen dan ukuran beads pada berbagai perbandingan alginat-bahan pengisi ……………………………………………... 48 Hasil pengukuran efisiensi dan viabilitas Lb. casei terenkapsulasi pada berbagai jenis bahan pengkapsul …………………………………………………………... 50 Hasil analisis statistik pengukuran efisiensi dan viabilitas Lb. casei Terenkapsulasi …………………………………………………………………... 51 53 Hasil pengukuran pH RSM selama inkubasi ………………………………. Hasil pengukuran perubahan massa beads selama pengeringan …………… 54 Hasil pengukuran viabilitas dan ketahanan Lb. casei terenkapsulasi selama proses pembuatan beads dan pengeringan …………………………………….... 55 Hasil pengukuran viskositas, pH, total asam tertitrasi, dan populasi Lb. casei pada dadih susu sapi …………………………………………………………….. 57 Hasil analisis statistik pengukuran viskositas, pH, total asam tertitrasi, dan populasi Lb. casei pada dadih susu sapi …………………………………………. 58
x
I. PEDAHULUA
1.1 LATAR BELAKAG Dadih merupakan salah satu makanan tradisional khas Sumatra Barat yang berpotensi sebagai produk probiotik, yaitu produk yang mengandung mikroorganisme hidup yang memiliki manfaat kesehatan untuk menjaga keseimbangan mikroflora di dalam saluran pencernaan (gastro intestinal). Ditempat asalnya, dadih dibuat dari susu kerbau yang difermentasi secara alami (tanpa penambahan starter) di dalam sepotong ruas bambu segar selama 48 jam. Fermentasi dilakukan oleh bakteri asam laktat (BAL) yang kemungkinan terdapat pada bambu atau dari penutup. Kendala dalam fermentasi yang dilakukan secara alami adalah sulitnya mengatur kondisi proses produksi untuk menghasilkan rasa, aroma, dan tekstur yang konsisten dari dadih. Selain itu, keterbatasan jumlah pasokan susu kerbau menyebabkan produksi dadih menjadi terbatas. Untuk mengatasi keterbatasan jumlah pasokan susu kerbau, saat ini telah dilakukan modifikasi dalam pembuatan dadih yaitu dengan menggunakan susu sapi yang telah diuapkan agar menghasilkan dadih dengan tekstur semi padat menyerupai dadih susu kerbau. Selain modifikasi dalam hal bahan baku, modifikasi proses produksi dadih juga telah dilakukan menggunakan cup plastik sebagai wadah fermentasi serta penggunaan starter untuk menghasilkan dadih dengan kualitas yang konsisten (Taufik 2004). Jenis atau bentuk starter yang umum digunakan untuk membuat susu fermentasi adalah starter cair (bulk starter) berupa BAL tunggal maupun kombinasi beberapa BAL. Bakteri asam laktat yang digunakan sebagai starter dalam pembuatan dadih dapat diisolasi dari dadih yang dibuat menggunakan bambu. Hasil isolasi bakteri dalam dadih terdiri dari 36 strain genus Lactobacillus, Streptococcus, Leuconostoc, dan Lactococcus (Ngatirah et al. 2000, Pato 2003). Untuk dapat meningkatkan nilai tambah dadih, starter yang digunakan dalam pembuatan dadih dapat menggunakan BAL probiotik sehingga dihasilkan dadih probiotik yang dapat memberikan manfaat kesehatan. Salah satu jenis bakteri asam laktat yang bersifat probiotik adalah Lactobacillus casei (Shah 2007). Namun, selama ini penggunaan starter cair memiliki beberapa kendala, yaitu menurunnya viabilitas dan kinerja starter selama proses penyimpanan, sehingga harus selalu dilakukan peremajaan kultur (reactivation). Salah satu cara mengatasi permasalahan pada starter cair adalah dengan memberikan perlindungan terhadap sel bakteri dalam bentuk kering. Teknik melindungi sel bakteri adalah melalui enkapsulasi menggunakan bahan pengkapsul (enkapsulan) yang mampu melindungi sel dari kondisi lingkungan yang menyebabkan viabilitas sel menurun. Selain itu, enkapsulasi bakteri untuk menghasilkan starter dalam bentuk kering akan memudahkan dalam penggunaan dan pengemasan serta meningkatkan umur simpan starter (Krasaekoopt et al. 2003). Dalam proses enkapsulasi, suatu bahan inti dibungkus dengan kapsul (biopolimer) atau membran yang bersifat semipermeabel sehingga inti dapat keluar (release) pada kondisi yang terkontrol (Anal dan Singh 2007). Teknik enkapsulasi bakteri asam laktat dapat dilakukan dengan mudah, murah, dan tidak toksik, yaitu menggunakan alginat. Proses enkapsulasi probiotik menggunakan alginat dapat dilakukan dengan teknik ekstrusi atau dengan teknik emulsi yang akan membentuk jel hidrokoloid (kalsium alginat) berbentuk manik-manik (beads). Diantara kedua teknik tersebut, ekstrusi merupakan teknik yang lebih sederhana dan membutuhkan biaya yang lebih rendah (Krasaekoopt et al. 2003).
1
Beads yang dihasilkan dengan teknik ekstrusi dan emulsi masih berbentuk jel dan diperlukan proses pengeringan lanjutan untuk mendapatkan bentuk kering. Proses pengeringan beads dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu menggunakan freeze dryer, hot air oven, vaccum dryer, atau microwave. Diantara metode tersebut, hot air oven merupakan metode yang sederhana dan mudah diaplikasikan. Akan tetapi, suhu yang digunakan untuk mengeringkan beads harus menjamin bakteri yang dienkapsulasi masih tetap hidup. Oleh karena itu, diperlukan suhu dan lama pengeringan yang tepat untuk mengeringkan beads menggunakan oven. Probiotik terenkapsulasi yang ditujukan penggunaannya sebagai starter susu fermentasi harus bersifat fast release agar fermentasi dapat berjalan cepat. Dari beberapa jenis bahan pengkapsul yang digunakan dalam proses enkapsulasi, alginat merupakan bahan pengkapsul yang dapat meningkatkan viabilitas probiotik selama penyimpanan, pH rendah dan garam empedu. Enkapsulasi menggunakan alginat biasa ditambahkan dengan berbagai jenis bahan tambahan seperti chitosan (Krasaekoopt et al. 2006), pektin (Castilla et al. 2010), dan prebiotik seperti Hi-Maize (Sultana et al. 2000, Homayouni et al. 2008a) dan pollard (Widodo et al. 2003) yang berfungsi sebagai bahan pengisi atau sebagai penyalut (coating) untuk meningkatkan ketahanan mekanik kapsul alginat. Namun, bahan tambahan yang selama ini digunakan menghasilkan sel bakteri terenkapsulasi yang memiliki aktivitas fermentasi yang lambat (slow release). Oleh karena itu, perlu dicari jenis dan komposisi bahan pengkapsul yang menghasilkan viabilitas probiotik tinggi serta release dengan cepat. Selain itu, bahan pengkapsul yang digunakan juga harus mampu melindungi probiotik dari panas selama proses pengeringan. Bahan enkapsulasi berbasis protein seperti whey, sodium caseinate, dan skim banyak digunakan pada proses enkapsulasi bakteri menggunakan spray dryer dan akan menghasilkan bakteri terenkapsulasi yang release sempurna di dalam produk (Krasaekoopt et al. 2003). Penambahan bahan pengisi berbasis protein (whey, sodium caseinate, dan skim) pada proses enkapsulasi probiotik menggunakan metode ekstrusi yang dilanjutkan dengan proses pengeringan oven diharapkan dapat melindungi probiotik selama proses pengeringan serta menghasilkan probiotik terenkapsulasi yang bersifat fast release. Agar proses enkapsulasi dapat dilakukan dengan optimal, diperlukan komposisi atau perbandingan yang tepat antara alginat dan bahan pengisi yang digunakan.
1.2 TUJUA Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mendapatkan komposisi bahan pengkapsul yang tepat untuk pembuatan Lactobacillus casei terenkapsulasi dalam bentuk kering. 2. Mengetahui kualitas fisikokimia dan mikrobiologi dadih susu sapi yang dibuat menggunakan starter kering Lactobacillus casei terenkapsulasi.
2
II. TIJAUA PUSTAKA
2.1 EKAPSULASI Enkapsulasi adalah proses atau teknik untuk menyalut inti yang berupa suatu senyawa aktif padat, cair, gas, ataupun sel dengan suatu bahan pelindung tertentu yang dapat mengurangi kerusakan senyawa aktif tersebut. Enkapsulasi membantu memisahkan material inti dengan lingkungannya hingga material tersebut terlepas (release) ke lingkungan. Material inti yang dilindungi disebut core dan struktur yang dibentuk oleh bahan pelindung yang menyelimuti inti disebut sebagai dinding, membran, atau kapsul (Kailasapathy 2002, Krasaekoopt et al. 2003). Kapsul merupakan bahan semipermeabel, tipis, berbentuk bulat dan kuat dengan diameter bervariasi dari beberapa mikrometer hingga millimeter (Anal dan Singh 2007). Enkapsulasi dapat dilakukan pada bakteri probiotik untuk memberikan perlindungan terhadap bakteri probiotik dari kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan seperti panas dan bahan kimia (Frazier dan Westhoff 1998). Enkapsulasi probiotik telah banyak dilakukan untuk meningkatkan ketahanan atau viabilitas sel probiotik selama proses pembuatan produk dan penyimpanan (Homayouni et al. 2008a, Capela et al. 2006; Krasaekoopt et al. 2006), serta meningkatkan ketahanan selama dalam jalur pencernaan (pH rendah dan cairan empedu) (Sultana et al. 2000, Picot dan Lacroix 2004, Mandal et al. 2006, Castilla et al. 2010). Enkapsulasi beberapa kultur bakteri termasuk probiotik dilakukan untuk memperpanjang umur simpan dan mengubah menjadi bentuk serbuk agar lebih mudah dalam penggunaan (Krasaekoopt et al. 2003). Enkapsulasi probiotik dapat diaplikasikan untuk produksi kultur starter susu fermentasi dan produksi makanan-minuman probiotik yang menekankan aspek peningkatan viabilitas sel dalam produk dan saluran pencernaan, serta untuk meningkatkan sifat sensorik produk (Mortazavian et al. 2007). Sifat membran atau kapsul harus disesuaikan dengan tujuan penggunaan probiotik terenkapsulasi pada suatu produk. Membran dirancang untuk melindungi sel dan dapat melepaskan sel dengan laju pelepasan yang terkontrol pada kondisi yang spesifik serta memungkinkan terjadinya difusi molekul yang berukuran kecil (sel, metabolit dan substrat) melintasi membran (Vidyalakshmi et al. 2009). Sifat membran tersebut sangat bergantung pada teknik enkapsulasi dan jenis bahan yang digunakan (Kailasapathy 2002, Kraaekoopt et al. 2003, Mortazavian et al. 2007, Vidyalakshmi et al. 2009).
2.1.1 Teknik Ekstrusi Teknologi untuk enkapsulasi probiotik dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1) Enkapsulasi probiotik di dalam larutan bahan pengkapsul, 2) Pengeringan larutan bahan pengkapsul (Mortazavian et al. 2007). Tahapan enkapsulasi probiotik dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu ekstrusi dan emulsi (Krasaekoopt et al. 2003). Teknik ekstrusi dilakukan dengan cara menambahkan mikroorganisme probiotik ke dalam larutan hidrokoloid natrium alginat, kemudian diteteskan ke dalam larutan pengeras (CaCl2) menggunakan syringe sehingga terbentuk beads. Ukuran dan bentuk beads yang dihasilkan bergantung pada diameter jarum dan jarak tetes jarum dengan larutan CaCl2 (Krasaekoopt et al. 2003). Diagram alir enkapsulasi menggunakan teknik ekstrusi dapat dilihat pada Gambar 1.
3
Suspensi natrium alginat
Suspensi sel mikrobial
Pencampuran
Suspensi sel
Diteteskan ke dalam larutan CaCl2
Beads kalsium alginat sel
Beads kalsium alginat
Matriks kalsium alginat
Gambar 1. Diagram alir enkapsulasi bakteri dengan teknik ekstrusi (Krasaekoopt et al. 2003) Berbeda dengan teknik ekstrusi, teknik emulsi dilakukan dengan menyuspensikan sebagian kecil polimer (alginat) ke dalam minyak nabati seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak conola, atau minyak jagung, kemudian dihomogenisasi dalam bentuk water in oil (w/o). Emulsi tersebut akan membentuk droplet. Ukuran beads pada metode emulsi ditentukan oleh ukuran droplet emulsi yang terbentuk. Ukuran droplet emulsi dapat dikontrol dengan kecepatan pengadukan saat emulsifikasi (Krasaekoopt et al. 2003). Kelebihan dan kekurangan teknik ekstrusi dan emulsi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kelebihan dan Kekurangan teknik ekstrusi dan emulsi Ekstrusi Sulit untuk meningkatkan Kelayakan teknologi skala produksi (scale up) Biaya Rendah Kemudahan Mudah Ketahanan mikroorganisme 80 – 95% Ukuran beads 2 – 5 mm
Emulsi Mudah untuk meningkatkan skala produksi (scale up) Tinggi Sulit 80 – 95% 25 µm – 2 mm
Sumber : Krasaekoopt et al. (2003)
Pada tahap pengeringan bahan pengkapsul berisi sel probiotik untuk mendapatkan sel terenkapsulasi berbentuk serbuk atau granul dapat dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu freeze
4
drying (Sultana et al. 2000, Capela et al. 2006) dan Spray drying (Lian et al. 2003, Picot dan Lacroix 2004). Enkapsulasi probiotik dengan teknik pengering semprot dan pengering beku menghasilkan probiotik terenkapsulasi kering dalam bentuk serbuk atau granul, sedangkan teknik emulsi dan ekstrusi menghasilkan probiotik terenkapsulasi dalam bentuk jel (hydrocolloid beads) (Krasaekoopt et al. 2003). Namun, penggunaan teknik freeze drying relatif mahal dan sangat sulit diaplikasikan pada skala industri (Mortazavian et al. 2007), sedangkan penggunaan teknik spray drying membutuhkan suhu operasi yang tinggi sehingga kurang cocok diaplikasikan untuk enkapsulasi probiotik (Kailasapathy 2002). Beberapa metode pengeringan yang telah digunakan untuk mengeringkan jel kalsium alginat (beads) adalah hot air oven, vacuum drying, dan microwave (Shariff et al. 2007). Keefektifan dari bahan dan teknik enkapsulasi yang digunakan untuk menghasilkan probiotik terenkapsulasi dapat dievaluasi dari beberapa parameter kualitatif, diantaranya viabilitas sel probiotik selama proses enkapsulasi dan pengeringan, pembuatan produk dan penyimpanan, kelarutan beads dan kemampuan sel untuk release serta sifat mikrogeometri beads (bentuk dan ukuran) (Mortazavian et al. 2007). Tingkat ketahanan bakteri probiotik setelah diberi beberapa perlakuan dapat diukur dengan metode plate count (Roka dan Rantämaki 2010).
2.1.2 Bahan Pengkapsul Enkapsulasi probiotik biasa dilakukan dalam sistem polimer yang bersifat lembut dan tidak beracun (food grade) (Anal dan Singh 2007). Polimer yang biasa digunakan dalam proses enkapsulasi bakteri probiotik adalah polisakarida yang diekstrak dari rumput laut (karagenan dan alginat), tumbuhan (pati dan turunannya, gum arab), atau bakteri (gellan dan xanthan), dan protein hewan (kasein, whey, skim, gelatin) (Rokka dan Rantamäki 2010). Biopolimer yang paling sering digunakan untuk enkapsulasi bakteri probiotik adalah alginat. Keuntungan penggunaan alginat sebagai bahan pengkapsul adalah tidak toksik, membentuk matriks secara lembut dengan CaCl2 yang dapat menjerap material sensitif seperti sel bakteri probiotik, serta sel dapat release (Kailasapthy 2002).
2.1.2.1 Alginat Alginat tergolong salah satu contoh hidrokoloid alami. Alginat merupakan kopolimer rantai lurus dari residu asam β-(1-4)-D-manuronat (M) dan asam α-(1-4)-L-guloronat (G) yang membentuk homopolimer M atau G dan blok heteropolimer MG (Cardenas et al. 2003). Struktur molekul alginat dapat dilihat pada Gambar 2. Alginat telah digunakan secara luas untuk enkapsulasi probiotik skala laboratorium (Rokka dan Rantamäki 2010). Garam alginat larut dalam air, tetapi mengendap dan membentuk jel pada pH lebih rendah dari tiga. Alginat dapat membentuk jel (formasi egg-box), film, manik (beads), pelet, mikropartikel, dan nano partikel (Sarmento et al. 2007).
Gambar 2. Struktur molekul natrium alginat (ptp2007.files.wordpress.com)
5
Penambahan kation divalen (misalnya Ca2+) yang berfungsi sebagai penaut silang antar molekul alginat, akan menyebabkan terjadinya gelatinisasi yang akan membentuk jel matriks kalsium alginat. Kapsul kalsium alginat sangat berpori yang memungkinkan air dapat berdifusi keluar masuk matriks (Rokka dan Rantamäki 2010). Ikatan yang terbentuk antara Ca2+ dengan alginat dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Pengaruh kation Ca2+ terhadap struktur alginat (blog.khymos.org) Penggunaan alginat sebagai bahan enkapsulasi sering dikombinasikan dengan bahan lainnya, diantaranya dengan penambahan prebiotik (Hi-Maize) (Sultana et al. 2000, Homayouni et al. 2008a), terigu dan polard (Widodo et al. 2003) sebagai bahan pengisi (filler), chitosan sebagai coating (Krasaekoopt et al. 2004), dan pektin untuk membentuk kompleks alginat-pektin yang lebih kuat (Castilla et al. 2010).
2.1.2.2 Skim, Sodium Caseinate, dan Whey Selain bahan berbasis polisakarida, bahan berbasis protein juga sering digunakan pada proses enkapsulasi bakteri probiotik (Rokka dan Rantamäki 2010). Bahan berbasis protein seperti gelatin, skim, whey, dan caseinate digunakan sebagai bahan pembawa (carriers) pada enkapsulasi probiotik menggunakan teknik spray drying (Lian et al. 2003, Picot dan Lacroix 2004, Triana et al. 2006). Penggunaan bahan berbasis protein sebagai bahan enkapsulasi pada teknik spray drying dikarenakan sifatnya yang memiliki kemampuan mengemulsi serta mampu melindungi sel bakteri dari panas (thermoprotectan). Bakteri yang dienkapsulasi dengan teknik spray drying akan release sempurna di dalam produk susu fermentasi (Krasaekoopt et al. 2003). Susu skim adalah bagian susu yang tertinggal setelah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua komponen gizi dari susu kecuali lemak dan vitamin yang larut dalam lemak (Buckle et al. 1987). Karena lemaknya telah dipisahkan, susu skim hanya mengandung 0,5 – 2,0% lemak (Varnam dan Sutherland 1994). Protein susu merupakan penyusun terbesar pada susu skim. Protein susu dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu kasein dan whey. Kasein merupakan fraksi protein yang menggumpal ketika susu diasamkan pada pH 4,6 pada suhu sekitar 30 oC, sedangkan fraksi yang tertinggal setelah pengendapan kasein disebut whey. Pada susu sapi dan kerbau, komposisi kasein dan whey adalah berkisar 80:20 (Fox dan McSweeney 1998). Kasein sangat stabil terhadap suhu tinggi. Pemanasan pada suhu 100 oC selama 24 jam atau pemanasan suhu 140 oC selama 20 menit tidak menyebabkan terjadinya koagulasi. Berbeda dengan whey yang terdenaturasi sempurna pada pemanasan 90 oC selama 10 menit. Kasein merupakan fosfoprotein yang mengandung 0,85% fosfor, sedangkan whey tidak mengandung fosfor (Fox dan McSweeney 1998). Salah satu produk turunan kasein adalah sodium caseinate. Sodium caseinate diproduksi dari susu skim yang diasamkan hingga pH 4,6. Pada pH ini, senyawa kompleks dari kalsium fosfat larut dan kasein menggumpal (presipitasi). Untuk menghilangkan garam, laktosa, dan whey, kasein yang terpresipitasi dilarutkan kembali dengan menambahkan senyawa alkali
6
(NaOH) hingga pH ~ 8,5 (Buckle et al. 1987) untuk menghasilkan produk caseinate. Setelah itu dikeringkan menggunakan spray dryer untuk mendapatkan bentuk serbuk. Sodium caseinate kering biasanya mengandung 90 – 94% protein, 3 – 5% kadar air, 6 – 7% abu, dan 0,7 – 1,0% lemak (Bassette dan Acosta 1988). Whey merupakan bagian cair dari susu atau serum susu yang dipisahkan dari curd dalam pembuatan keju dan pembuatan kasein. Whey mengandung semua komponen susu kecuali kasein. Whey terdiri atas protein susu terlarut, laktosa, vitamin, dan mineral. Protein whey terdiri atas α-laktalbumin dan β-laktoglubolin (Mulvihill dan Grufferty 1997). Berdasarkan proses koagulasi kasein, whey dibedakan menjadi sweet whey (rennet whey), yaitu hasil koagulasi kasein secara enzimatis dan acid whey, yaitu koagulasi kasein menggunakan asam. Beberapa produk turunan kasein dan whey yang telah dikomersialkan, diproduksi dari susu skim atau whey. Produk berbasis protein ini digunakan sebagai bahan tambahan pada industri pangan. Kasein dan caseinate umumnya dibuat dari susu skim yang ditambahkan asam klorida atau asam sulfat atau melalui fermentasi asam laktat. Setelah dicapai titik isoelektrik, kasein dinetralkan kembali untuk menghasilkan produk caseinate. Protein yang tersisa dalam whey setelah kasein dipisahkan dari susu dimanfaatkan kembali untuk memproduksi whey protein concentrate melalui presipitasi dengan penambahan polifosfat atau senyawa anion polivalen, ultrafiltrasi, adsorpsi penukar ion, filtrasi jel, atau presipitasi menggunakan kombinasi asam dan panas. Whey protein concentrate juga diproduksi dengan mengombinasikan proses elektrodialisis, pemekatan, kristalisasi laktosa, dan pengeringan (Morr dan Richter 1988). Perbedaan komposisi susu sapi, skim, sodium caseinate, dan Whey protein concentrate dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komponen susu sapi, skim, sodium caseinate, dan whey protein concentrate Sodium Whey protein concentrate Komponen Susu sapia Skim bubuka caseinatea (WPC 35)b Air (%)
87,4
3,0
5,0
4,8
Lemak (%)
3,5
0,9
1,2
4,2
Protein (%)
3,5
35,9
89,0
35,5
Laktosa (%)
4,8
52,2
0,3
47,5
Abu (%)
0,7
8,0
4,5
8,0
Sumber :
a
Tamime dan Robinson (1989) b Early (1998)
2.2 VIABILITAS PROBIOTIK TEREKAPSULASI Upaya untuk meningkatkan viabilitas probiotik telah banyak dilakukan. Peningkatan viabilitas probiotik selama proses produksi, penyimpanan, dan terhadap kondisi pencernaan banyak dilakukan dengan penggunaan cryoprotectant, thermoprotectant dan alginat ataupun dengan menggunakan prebiotik. Capela et al. (2006) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi Lb. acidophilus dan Lb. casei dengan teknik emulsi menggunakan 3% alginat dan CaCl2 0,1 M pada 200 rpm. Proses enkapsulasi memberikan peningkatan viabilitas probiotik pada yoghurt selama pengeringan beku dan setelah penyimpanan selama enam bulan pada suhu 4 dan 21 oC. Krasaekoopt et al. (2006) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi Lb. acidophillus 547 (koleksi kultur di University of Queensland, Australia), Lb. casei 01 (produksi Chr. Hansen Pty Ltd., Australia), dan B. bifidum ATTC 1994 (CSIRO starter koleksi kultur, Australia) dengan teknik ekstrusi menggunakan alginat 2% yang diberi perlakuan khusus dengan penyalutan citosan 0,4% untuk meningkatkan stabilitas beads. Viabilitas sel terenkapsulasi lebih
7
besar 1 siklus log selama penyimpanan 4 minggu dibandingkan dengan sel bebas (tidak dienkapsulasi). Purwandhani et al. (2007) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi Lb. acidophilus SNP 2 dengan teknik ekstrusi dan emulsi satu lapis menggunakan alginat 3% dan CaCl2 0,1 M serta enkapsulasi dua lapis (double coating) dengan penambahan skim sebagai lapis pertama. Enkapsulasi dengan metode emulsi menghasilkan ukuran beads yang lebih kecil (50 – 100 µm) dibandingkan metode ekstrusi (2,5 – 4mm). Sel probiotik terenkapsulasi memiliki ketahanan terhadap panas yang lebih tinggi dibandingkan sel bebas. Metode ekstrusi menghasilkan ketahan sel yang lebih tinggi dibandingkan metode emulsi. Widodo et al. (2003) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi Lb. casei teknik ekstrusi menggunakan alginat 1% dengan penambahan bahan pengisi (filler) pollard 2% dan tepung terigu 2% dengan konsentrasi larutan CaCl2 5%. Enkapsulasi dengan pollard menghasilkan viabilitas Lb. casei lebih tinggi (2,4 x 108 sel/ml) dibandingkan dengan tepung terigu (9,3 x 107 sel/ml). Laju pengasaman dalam mencapai pH 4,5 pada Lb. casei terenkapsulasi lebih lambat 1 jam dibandingkan Lb. casei bebas. Sultana et al. (2000) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi Bifidobacterium dan Lb. casei dengan teknik emulsi menggunakan alginat 2%, CaCl2 0,1 M, dan dengan perlakuan khusus berupa penambahan prebiotik pati jagung (Hi-maize, Starch Australia Ltd) sebagai filler sebanyak 0 – 4%. Penambahan filler (Hi-maize) meningkatkan rendemen dan jumlah Lb. casei yang terenkapsulasi dalam beads. Namun, filler yang terlalu banyak (4%) akan menurunkan rendemen beads. Nazzaro et al. (2009) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi Lb. acidophilus dengan teknik ekstrusi menggunakan alginat 2%, CaCl2 0,05 M, dan dengan perlakuan khusus berupa penambahan 1% prebiotik inulin dan 0,15% xanthan gum. Lb. acidophilus terenkapsulasi memiliki kemampuan tumbuh baik dalam jus wortel dan bertahan selama 8 minggu penyimpanan pada suhu 4 oC. Enkapsulasi mampu meningkatkan viabilitas sel selama fermentasi dan penyimpanan (5,59 x 1012 dan 4,35 x 1010 untuk probiotik terenkapsulasi vs 4,47 x 1010 dan 2,08 x 108 untuk probiotik bebas). Selain itu enkapsulasi dengan alginate-inulin-xanthan gum mampu meningkatkan viabilitas sel secara signifikan dibandingkan sel bebas. Castilla et al. (2010) melakukan penelitian mengenai sifat tekstur dari Lb. casei terenkapsulasi dengan teknik ekstrusi menggunakan alginat-pektin (1:2, 1:4, dan 1:6). Hasil menunjukan bahwa diameter beads meningkat seiring dengan peningkatan proporsi pektin. Penggunaan alginat : pektin dengan perbandingan 1:4 dan 1:6 mampu meningkatkan viabilitas sel pada simulasi kondisi pencernaan. Tingkat kematian B. longum yang terenkapsulasi dalam beads kalsium-alginat menurun secara proporsional dengan meningkatnya konsentrasi alginat (Lee dan Heo 2000). Mandal et al. (2006) melakukan penelitian mengenai pengaruh konsentrasi natrium alginat 0%, 2%, 3% dan 4% terhadap viabilitas Lb. casei NCDC 298 pada pH 1,5. Hasil yang didapatkan menunjukan viabilitas Lb. casei NCDC 298 meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi alginat dan alginat 4% memiliki viabilitas tertinggi.
2.3 BAKTERI ASAM LAKTAT Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri gram positif yang berbentuk batang atau bulat, tidak membentuk spora, serta memproduksi asam laktat sebagai produk utama selama proses fermentasi. Genus BAL yang biasa digunakan dalam produk pangan adalah genus Aerococcus, Carnobacterium, Enterococcus, Lactobacillus, Lactococcus, Leuconostoc,
8
Oenococcus, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, Vagococcus, dan Weissella (Axelsson 2004). Selama proses fermentasi, BAL dapat menghasilkan metabolit-metabolit yang menimbulkan perubahan rasa dan bentuk atau tekstur makanan serta menghambat pertumbuhan bakteri pathogen dan pembusuk. Metabolit-metabolit tersebut antara lain asam organik (asam laktat dan asam asetat), diasetil, hidrogen peroksida dan bakteriosin yang semuanya memiliki aktivitas antimikroba (Shah 2007). Berdasarkan fermentasi heksosa dan jenis asam yang dihasilkan terdapat dua kelompok BAL, yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Pada kelompok homofermentatif, asam laktat merupakan satu-satunya produk hasil fermentasi, sedangkan pada kelompok heterofermentatif selain memproduksi asam laktat juga memproduksi etanol dan asam asetat sebagai produk samping (Fardiaz 1992). Metabolisme glukosa oleh bakteri asam laktat dapat terjadi melalui dua jalur fermentasi, yaitu fermentasi homolaktat (glikolisis atau EmbdenMeyerhof pathway) yang menghasilkan asam laktat dan fermentasi heterolaktat yang menghasilkan asam laktat dan etanol (Axelsson 2004, Tamime et al. 2006). Bakteri asam laktat homofermentatif sering digunakan dalam pengawetan pangan karena produksi asam laktat dalam jumlah besar dan mampu menghambat bakteri penyebab kerusakan makanan dan pathogen lain. Bakteri asam laktat heterofermentatif dimanfaatkan dalam pembentukan flavor dan komponen aroma seperti asetaldehid dan diasetil, tetapi kedua jenis bakteri asam laktat tersebut mempunyai kemampuan menghasilkan asam organik, hidrogen peroksida dan bakteriosin (Gomes dan Malcata 1999). Peranan utama BAL dalam industri pangan adalah sebagai kultur starter produkproduk yang melibatkan proses fermentasi atau produk pangan fungsional yang memiliki pengaruh positif terhadap kesehatan (Tamime et al. 2006). Selain memiliki efek mengawetkan pada produk fermentasi yang diinginkan, beberapa bakteri asam laktat yang tergolong bakteri probiotik dapat memberikan pengaruh positif terhadap kesehatan dan menjaga keseimbangan mikroba alami yang tinggal di dalam tubuh manusia (Fuller 1992). Beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh bakteri probiotik adalah tahan terhadap asam lambung, tahan terhadap garam empedu, bersifat antagonis terhadap bakteri pathogen, aman digunakan oleh manusia, memproduksi senyawa anti bakteri, mempunyai sifat penempelan pada usus manusia, berkolonisasi dalam saluran usus manusia, aman dalam makanan (Reid 1999). Sejumlah genus bakteri dan khamir yang digunakan sebagai probiotik adalah Lactobacillus, Leuconostoc, Pediococcus, Bifidobacterium, dan Enterococcus, tetapi spesies utama yang dipercaya memiliki karakteristik probiotik adalah Lb. acidophilus, Bifidobacterium spp., dan Lb. casei (Shah 2007). Bakteri asam laktat yang digunakan sebagai starter dalam produk-produk susu fermentasi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu mesofilik dan termofilik. Kultur starter mesofilik ditumbuhkan pada suhu 10 – 40 oC dengan suhu optimum 30 oC, sedangkan kultur starter termofilik memiliki suhu optimum pertumbuhan antara 40 – 50 oC. Beberapa spesies yang tergolong mesofilik adalah Lactococcus lactis ssp. lactis, Lactococcus lactis ssp. cremoris, dan Leuconostoc lactis. Kelompok bakteri termofilik dibagi menjadi dua genus, yaitu Lactobacillus dan Streptococcus (Mäkinen dan Bigret 2004). Lactobacillus casei merupakan salah satu bakteri probiotik yang telah dimanfaatkan secara komersil untuk memproduksi susu fermentasi. Beberapa strain Lb. casei memproduksi diasetil dari sitrat, spesies ini digunakan sebagai starter dalam produk susu fermentasi di Jepang, yaitu Yakult (Mäkinen dan Bigret 2004). Lactobacillus casei merupakan bakteri gram positif yang berbentuk batang, non motil, tidak membentuk spora dan bersifat heterofermentatif. Lactobacillus casei tergolong
9
mikroaerofilik dengan suhu pertumbuhan optimum 30 oC dengan rentang 10 oC hingga 40 oC. Beberapa strain mampu bertahan pada suhu 63 oC (Foster et al. 1961). Keberadaan Lactobacillus dalam saluran pencernaan penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem mikroba dalam usus. Lactobacillus casei tergolong bakteri probiotik karena mampu bertahan dalam lambung dan cairan empedu, mampu mencapai dan berkoloni pada selaput lendir usus kecil, menghasilkan asam laktat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri merugikan dan memacu pertumbuhan bakteri seperti Bifidobacteria (Widodo 2003). Pada proses enkapsulasi probiotik, bakteri ditumbuhkan terlebih dahulu didalam media MRS broth pada kondisi optimum pertumbuhannya untuk memproduksi sel bakteri. Waktu panen bakteri probiotik untuk dienkapsulasi adalah pada akhir fase eksponensial (log) atau awal memasuki fase stasioner karena memiliki jumlah populasi yang optimum. Menurut Stanley (1998), pada fase stasioner jumlah sel bakteri asam laktat mencapai 108 – 109 cfu/ml. Ding dan Shah (2008) menumbuhkan beberapa spesies Lactobacillus dan Bifidobacterium pada MRS broth selama 18 jam pada suhu 37 oC sebelum dienkapsulasi. Penelitian yang dilakukan Harmayani et al. (2001) menumbuhkan Lactobacillus sp. Dad 13, Lb. acidophilus D2 dan Lb. plantarum dalam MRS broth selama 16 – 18 jam (saat memasuki awal fase stasioner). Kondisi inkubasi untuk menumbuhkan bakteri asam laktat pada kultur kerja (bulk starter) adalah selama 4 – 6 jam pada suhu 37 – 42 oC (Stanley 1998). Pembuat kultur kerja Lactobacillus casei sebagai starter dadih susu sapi dilakukan dengan menginokulasikan Lactobacillus casei ke dalam susu sapi segar yang telah disterilisasi dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 4 jam, yaitu hingga akhir fase lag atau awal memasuki fase log (Suprihanto 2009).
2.4 DADIH Dadih merupakan produk olahan susu tradisional Indonesia khas daerah Sumatra Barat. Dadih tergolong susu fermentasi seperti yoghurt dan kefir (Sirait 1993). Akan tetapi, dadih terbuat dari susu kerbau yang difermentasi secara alami pada suhu ruang standar selama dua malam (Sugitha 1995). Dadih yang diproduksi di Sumatra Barat, dibuat dengan bahan dasar susu kerbau yang difermantasi di dalam tabung bambu dan tanpa penambahan starter lalu ditutup dengan daun pisang. Fermentasi pada dadih diperkirakan dilakukan oleh mikroorganisme yang dapat berasal dari bambu (Azria 1986, Zakaria et al. 1998), daun pisang serta susu kerbau (Yudoamijoyo et al. 1983).
Susu kerbau Inkubasi pada suhu ruang selama 48 jam Bambu
Ditutup dengan daun pisang
Gambar 4. Proses pembuatan dadih tradisional (Sirait 1993) Sampai saat ini dadih masih dibuat secara tradisional dan belum ada standar proses pembuatan, sehingga pada setiap pembuatan dadih di berbagai daerah diperoleh dadih dengan kualitas yang berbeda-beda dalam hal rasa, aroma, dan tekstur (Sirait 1993). Proses pembuatan dadih secara tradisional dapat dilihat pada Gambar 4. Produksi dadih secara tradisional tidak
10
ditambahkan starter, sehingga konsistensi rasa, aroma dan tekstur sulit untuk dijaga pada produksi berikutnya. Menurut Sirat (1993), dadih yang baik adalah berwarna putih dan memiliki aroma dan konsistensi seperti susu asam (yoghurt). Proses terjadinya dadih melibatkan berbagai macam mikroorganisme. Secara tradisional, kemungkinan terbesar mikroorganisme tersebut berasal dari bambu yang digunakan sebagai wadah pembuatan dadih atau dari susu kerbau. Bambu yang umum digunakan untuk pembuatan dadih adalah bambu gombong (Gigantochloa verticillata) dan bambu ampel (Bambusa vulgaris) (Azria 1986). Hasil isolasi BAL pada dadih terdiri dari 36 strain genus Lactobacillus, Streptococcus, Leuconostoc, dan Lactococcus (Ngatirah et al. 2000, Pato 2003). Berbeda dengan yoghurt pada umumnya yang terbuat dari susu sapi, bahan baku utama dadih terbuat dari susu kerbau. Susu kerbau memiliki konsentrasi total padatan yang lebih tinggi dibandingkan susu sapi. Perbedaan komposisi susu sapi dengan susu kerbau dapat dilihat pada Tabel 3. Unsur utama pada susu adalah laktosa yang mempunyai peranan penting dalam industri susu. Hal ini dikarenakan laktosa mudah diuraikan oleh bakteri (Eckles et al. 1984). Tabel 3. Komposisi susu sapi dan susu kerbau dari beberapa spesies (dalam %) Dalam susu Dalam total padatan Padatan non lemak Padatan non lemak Spesies LeLeAir mak mak Pro Lak Abu Pro Lak Abu Sapi 87,20 3,70 3,50 4,90 0,70 28,90 27,34 38,28 5,47 K. Cina 76,80 12,60 3,70 3,70 0,86 54,31 26,03 15,94 3,71 K. Filipina 78,46 10,35 4,32 4,32 0,84 48,05 27,30 20,06 3,90 K. india 82,46 7,38 5,48 5,48 0,78 42,81 20,88 31,78 4,52 Keterangan : K = kerbau, Pro = protein, Lak = laktosa Sumber : Henderson (1971)
Perbedaan komposisi bahan baku susu fermentasi akan menghasilkan produk dengan komposisi yang berbeda pula. Menurut Yudoamijoyo et al. (1983), dadih memiliki kandungan lemak dan protein yang lebih tinggi dibandingkan yoghurt yang dibuat dari susu sapi (Tabel 4). Hasil analisis proksimat pada dadih yang dilakukan Sirait et al. (1984) menunjukan hasil yang bervariasi dengan rataan kadar air 82,10%, kadar protein 6,99%, kadar lemak 8,08%, dan pH 4,99. Tabel 4. Komposisi kimia yoghurt dan dadih (dalam %)
Yoghurt Dadih A Dadih B
pH
T.A
Protein
Lemak
3,4 4,1 4,0
1,490 1,278 1,320
3,91 5,93 7,57
0,07 5,42 6,48
Karbohidrat 4,32 3,34 3,79
Abu
Kadar air
0,92 0,96 1,13
90,78 84,35 81,03
Keterangan : T.A = titrable acidity (sebagai asam laktat) Kadar air = 100% - total bahan kering (%) A dan B adalah sampel dadih yang berasal dari daerah berbeda Sumber : Yudoamijoyo et al. (1983)
Berbagai teknologi untuk meningkatkan kualitas dadih telah dilakukan. Taufik (2004) melakukan modifikasi proses produksi dadih dengan menggunakan susu sapi yang dievaporasi hingga 50% volume awal untuk mendapatkan total padatan yang menyerupai susu kerbau dan dengan penambahan starter bakteri probiotik L. plantarum, L. acidophilus, dan B. bifidium.
11
III. METODE PE ELITIA
3.1 WAKTU DA TEMPAT PE ELITIA
Penelitian ini dimulai pada bulan Maret hingga Oktober 2010. Penelitian dilakukan di laboratorium mikrobiologi dan laboratorium kimia Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.
3.2 ALAT DA BAHA
Peralatan yang digunakan selama proses penelitian meliputi inkubator (Lab-Line Instruments Inc., model no. 403-1, USA), autoclave (Hirayama, model HA-24, Jepang), laminar flow (Esco Micro Pte Ltd., Model no. EHC-6, Singapura), vortex, syringe, stirrer (Cimarec® 3, model no. SP47230-26, USA), pipet mikro, tip, ose, jangka sorong, timbangan analitik (Precisa Instruments Ltd, Switzerland), pH meter (Eutech Instrumen pH 510, Malaysia), cawan petri, desikator, oven (Lab Line Instrumen, Inc, model no. 3476 M-1. USA), rheometer (Brookfield, model no. DV-III+), peralatan gelas (erlenmayer, tabung pengencer, gelas piala, buret, gelas ukur, pipet volumetrik, tabung reaksi, pipet tetes, dan labu ukur), lampu spirtus, dan quebec coloni counter. Bahan-bahan yang digunakan adalah isolat Lb. casei yang telah diisolasi dari dadih di Kabupaten Sijunjung Sumatra Barat, natrium alginat, whey protein concentrate (WPC-35, Murray Goulburn Co-operative Co. Ltd, Australia), sodium caseinate (NatraPro, MG Nutritionals, Murray Goulburn Co-operative Co. Ltd, Australia), susu skim bubuk, CaCl2 (Merck), susu sapi segar, buffer fosfat, etanol 70%, NaCl, aquades, NaOH, MRS Agar dan MRS Broth (Pronadisa), Buffer Peptone Water (Oxoid), yeast extract (Merck), dan glukosa (Merck).
3.3 TAHAPA PE ELITIA
Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap pemilihan komposisi bahan pengkapsul, pengeringan beads jel kalsium alginat, dan tahap aplikasi Lb. casei terenkapsulasi kering sebagai starter dadih susu sapi. Masing-masing tahapan dirancang untuk mencapai tujuan khusus yang diinginkan. Diagram alir tahapan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 5.
3.3.1 Pemilihan Komposisi Bahan Pengkapsul Tujuan tahap ini adalah menentukan komposisi bahan enkapsulasi (biopolimer) yang tepat untuk mengenkapsulasi Lb. casei dengan teknik ekstrusi. Biopolimer yang digunakan adalah natrium alginat, WPC 35, sodium caseinate, dan skim. WPC 35, sodium caseinate, dan skim digunakan sebagai bahan pengisi. Tahap ini terdiri atas beberapa kegiatan, yaitu (i) penentuan total padatan bahan pengkapsul, (ii) penentuan perbandingan alginat-bahan pengisi, serta (iii) pengujian efektivitas enkapsulasi dan aktivitas metabolisme Lb. casei terenkapsulasi.
12
Mulai
Pemilihan Komposisi Bahan Pengkapsul Penentuan total biopolimer
Total biopolimer optimum Penentuan perbandingan alginat dan bahan pengisi optimum
Perbandingan optimum
Pengujian efektivitas enkapsulasi dan aktivitas metabolisme probiotik terenkapsulasi
Komposisi bahan enkapsulasi optimum
Pengeringan Beads Jel Kalsium Alginat Penentuan waktu pengeringan optimum
Waktu pengeringan optimum
Pembuatan starter kering Lb. casei terenkapsulasi
Lb. casei terenkapsulasi kering dengan komposisi terbaik
Aplikasi Lb. casei Terenkapsulasi Kering sebagai Starter Dadi Susu Sapi Pembuatan dadih susu sapi dengan inokulasi Lb. casei terenkapsulasi kering secara langsung
Pembuatan kultur kerja
Kultur kerja (Starter cair) Dadih susu sapi Pembuatan dadih susu sapi
Dadih susu sapi
Penentuan aplikasi terbaik berdasarkan parameter fisikokimia dan mikrobiologi
Selesai
Gambar 5. Diagram alir tahapan penelitian
13
3.3.1.1 Penentuan total biopolimer bahan pengkapsul Kegiatan ini dilakukan untuk menentukan total padatan (biopolimer) optimum. Biopolimer yang digunakan untuk menentukan total padatan optimum adalah natrium alginat. Pembentukan beads jel kalsium alginat dilakukan dengan metode ekstrusi (Krasaekoopt et al. 2003). Pembuatan suspensi bahan pengkapsul dapat dilihat pada Lampiran 1. Sebanyak 20 gram suspensi natrium alginat (2%, 3%, 4%, dan 5% b/b) yang telah didinginkan pada suhu ruang diteteskan dalam 60 ml CaCl2 0,1 M menggunakan syringe berukuran 0,7 mm dengan jarak tetes 1 cm dan diaduk menggunakan magnetic stirer dengan kecepatan 150 – 200 rpm. Waktu pengerasan jel dalam larutan CaCl2 0,1 M dilakukan selama 30 menit, kemudian beads disaring secara steril dan dibilas dengan NaCl 0,85% lalu ditiriskan selama ± 2 menit. Selanjutnya beads ditimbang. Parameter yang diamati meliputi rendemen (yield), bentuk dan ukuran beads. Yield = (massa beads/massa larutan natrium alginat) x 100% Pada tahap ini, analisis statistik yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktor tunggal (single factor), yaitu konsentrasi biopolimer (natrium alginat). Faktor ini terdiri dari empat taraf perlakuan, yaitu alginat 2% (A1), alginat 3% (A2), alginat 4% (A3), dan alginat 5% (A4). Pengulangan dilakukan sebanyak dua kali. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut : Yij = µ + Ai + εij Yij µ Ai εij
= Pengamatan pada faktor A taraf ke-i dan ulangan ke-j = Rataan umum = Pengaruh faktor A taraf ke-i = pengaruh galat percobaan
Untuk mengetahui pengaruh antar taraf tersebut dilakukan analisis ragam (analisis varian) menggunakan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Jika hasilnya berbeda nyata, analisis dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.
3.3.1.2 Penentuan perbandingan natrium alginat-bahan pengisi optimum Kegiatan ini dilakukan untuk menentukan perbandingan alginat-bahan pengisi yang optimum pada masing-masing bahan pengisi. Tahap ini diawali dengan meyiapkan sebanyak 20 gram suspensi bahan pengkapsul yang terdiri atas alginat-bahan pengisi dengan perbandingan 1:1, 2:1, dan 3:1 (b/b) dari masing-masing bahan pengisi (dengan jumlah total padatan adalah total padatan optimum yang didapat dari tahap 3.3.1.1). Penyiapan atau pembuatan suspensi bahan enkapsulasi dapat dilihat pada Lampiran 1. Selanjutnya dilakukan kegiatan seperti tahap 3.3.1.1. Pada tahap ini, analisis statistik yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktor tunggal (single factor), yaitu komposisi bahan pengkapsul yang terdiri dari natrium alginat dan bahan pengisi. Faktor ini terdiri dari 10 taraf perlakuan, yaitu alginat tanpa bahan pengisi (B1), alginat-whey 1:1 (B2), alginat-whey 2:1 (B3), alginat-whey 3:1 (B4), alginat-sodium caseinate 1:1 (B5), alginat-sodium caseinate 2:1 (B6), alginat-sodium caseinate 3:1 (B7), alginat-skim 1:1 (B8), alginat-skim 2:1 (B9), alginat-skim 3:1 (B10). Pengulangan dilakukan sebanyak dua kali. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut : Yij = µ + Bi + εij Yij µ
= Pengamatan pada faktor B taraf ke-i dan ulangan ke-j = Rataan umum
14
Bi εij
= Pengaruh faktor B taraf ke-i = pengaruh galat percobaan
Untuk mengetahui pengaruh antar taraf tersebut dilakukan analisis ragam (analisis varian) menggunakan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Jika hasilnya berbeda nyata, analisis dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.
3.3.1.3 Pengujian efektivitas enkapsulasi dan aktivitas metabolisme probiotik terenkapsulasi jel kalsium alginat Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui viabilitas dan efisiensi enkapsulasi serta aktivitas metabolisme Lb. casei terenkapsulasi. Komposisi bahan pengkapsul yang digunakan adalah komposisi optimum yang didapat dari tahap 3.3.1.2. Proses enkapsulasi diawali dengan menyiapkan suspensi sel Lb. casei di dalam media MRS broth kemudian dilanjutkan dengan proses enkapsulasi. Aktivitas metabolisme probiotik terenkapsulasi dapat diukur melalui kemampuannya mengasamkan susu dengan melihat perubahan pH media fermentasi yang dibandingkan dengan probiotik yang tidak dienkapsulasi (sel bebas) (Sultana et al. 2000). Preparasi Lactobacillus casei. isolat Lb. casei terlebih dahulu diaktivasi dalam 10 ml MRS broth sebanyak 2 – 3 kali dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Suspensi kultur disimpan dalam refrigerator pada suhu 4 oC sebagai kultur stok. Suspensi sel yang akan digunakan untuk enkapsulasi merupakan kultur berumur 18 jam dalam MRS broth (Homayouni et al. 2008a). Enkapsulasi Lactobacillus casei. Suspensi biopolimer steril yang telah didinginkan kemudian ditambahkan suspensi sel sebanyak 0,1% (Homayouni et al. 2008a) atau dengan perbandingan 9:1 (Castilla et al. 2010) lalu dikocok hingga homogen. Suspensi biopolimer-sel dimasukan ke dalam syringe steril dan diteteskan ke dalam larutan CaCl2 0,1 M steril (perbandingan suspensi biopolimer-sel dan CaCl2 0,1 M adalah 1:3) dengan jarak tetes 1 cm dan dilakukan pengadukan 150 – 200 rpm menggunakan magnetic stirer. Pengerasan jel dilakukan selama 30 menit. Beads kemudian disaring dan dibilas menggunakan NaCl 0,85% yang telah disterilisasi. Beads basah kemudian dimasukan ke dalam wadah atau botol steril. Jumlah sel yang terenkapsulasi di dalam beads dihutung dengan metode yang digunakan Sheu dan Marshal (1993) (Lampiran 2).
MRS broth, 18 jam, 37 oC
Jarak tetes 1 cm CaCl2 0,1 M
Gambar 6. Prosedur enkapsulasi dengan metode ekstrusi (Krasaekoopt et al. 2003)
15
Log cfu/gram suspensi biopolimer-sel
x 100% Log cfu/gram beads basah PxQ Efisiensi enkapsulasi (%) = x 100% R P = populasi Lb. casei per gram beads (cfu/gram beads) Q = massa beads yang dihasilkan dari total suspensi biopolimer-sel yang digunakan (gram) R = total Lb. casei didalam suspensi biopolimer-sel (cfu) Viabilitas (%) =
Pada tahap ini, analisis statistik yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktor tunggal (single factor), yaitu komposisi bahan pengkapsul terbaik (C) dari masing-masing bahan pengisi yang didapat dari tahap 3.3.1.2. Yij = µ + Ci + εij Yij µ Ci εij
= Pengamatan pada faktor C taraf ke-i dan ulangan ke-j = Rataan umum = Pengaruh faktor C taraf ke-i = pengaruh galat percobaan
Untuk mengetahui pengaruh antar taraf tersebut dilakukan analisis ragam (analisis varian) menggunakan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Jika hasilnya berbeda nyata, analisis dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Kinetika pengasaman. Pengujian kinetika pengasaman dilakukan untuk mengetahui aktivitas metabolisme probiotik terenkapsulasi serta mengetahui perlakuan yang memiliki kemampuan mengasamkan susu yang baik dengan parameter perubahan pH media fermentasi. Perlakuan yang memiliki kemampuan mengasamkan susu yang lebih cepat akan diaplikasikan sebagai starter dadih susu sapi. Pengujian kinetika pengasaman mengacu pada metode yang dilakukan Sultana et al. (2000). Media yang digunakan adalah reconstituted skim milk (RSM: 9,5% skim milk powder, 0,5% yeast extract, dan 2% glukosa). Sebanyak 1 gram (5%) beads diinokulasikan ke dalam 20 ml RSM steril (121 oC, 2 menit) sedangkan Lb. casei bebas diinokulasikan sebanyak 0,01 ml (8,8 log cfu/ml) ke dalam 20 ml RSM steril. Inkubasi dilakukan pada suhu 37 oC. Perubahan pH RSM diukur selama periode 48 jam. Pada akhir inkubasi dilakukan pengukuran jumlah Lb. casei yang ada di dalam media RSM di luar beads.
3.3.2 Pengeringan Beads Jel Kalsium-Alginat Tahap ini bertujuan untuk menentukan waktu pengeringan optimum untuk menghasilkan Lb. casei terenkapsulasi kering. Komposisi bahan enkapsulasi yang digunakan adalah bahan enkapsulasi optimum yang didapat pada tahap pemilihan komposisi bahan pengkapsul. Pengeringan dilakukan menggunakan oven pada suhu 40 oC. Waktu pengeringan ditentukan dengan mengukur perubahan kadar air probiotik terenkapsulasi selama pengeringan hingga dicapai kadar air konstan selama pengeringan. Pada tahap ini juga dikaji pengaruh bahan pengkapsul yang digunakan terhadap viabilitas dan ketahanan sel selama proses pengeringan. Sebanyak 5 gram Lb. casei terenkapsulasi dalam beads disebarkan ke dalam cawan petri steril kemudian dimasukan ke dalam oven bersuhu 40 oC. Setiap jam dilakukan penimbangan beads hingga massa beads telah cukup konstan (tidak mengalami penurunan). Kadar air probiotik terenkapsulasi dihitung sebagai berikut:
16
Kat = Kat MBt MBK t
MBt - MBK MBt
x 100%
= Kadar air probiotik terenkapsulasi pada jam ke-t (%) = Massa probiotik terenkapsulasi pada jam ke-t (gram) = Massa kering (dry matter) probiotik terenkapsulasi (105 oC) (gram) = Waktu (lama) pengeringan (jam)
Setelah didapat waktu pengeringan optimum, Lb. casei terenkapsulasi selanjutnya dikeringkan pada suhu 40 oC selama waktu pengeringan optimum yang didapat. Sebelum dan setelah proses pengeringan dilakukan perhitungan populasi Lb. casei terenkapsulasi untuk menguji pengaruh bahan pengkapsul terhadap ketahanan probiotik selama proses pengeringan. Prosedur untuk menghitung populasi Lb. casei terenkapsulasi dapat dilihat pada Lampiran 2. Lactobacillus casei terenkapsulasi kering disimpan di dalam refrigerator pada suhu 4 oC. Ketahanan (%) =
Log cfu/gram massa kering setelah pengeringan Log cfu/gram massa kering sebelum pengeringan
x 100%
3.3.3 Aplikasi Lb. casei Terenkapsulasi Kering Lactobacillus casei terenkapsulasi dalam bentuk kering diaplikasikan sebagai starter untuk pembuatan dadih susu sapi. Pada tahap ini akan dikaji mengenai pengaruh pembuatan dadih susu sapi menggunakan kultur kering (Lb. casei terenkapsulasi) secara langsung dan pembuatan dadih susu sapi menggunakan kultur kerja (starter cair) dari starter kering (Lb. casei terenkapsulasi) terhadap kualitas fisikokimia (viskositas, pH, dan total asam tertitrasi) dan jumlah Lb. casei di dalam dadih susu sapi. Hal ini dilakukan untuk menentukan cara penggunaan Lb. casei terenkapsulasi kering yang menghasilkan dadih susu sapi dengan kualitas baik. Susu yang digunakan sebagai bahan baku untuk membuat dadih adalah susu sapi yang ditambahkan skim sebanyak 30 gram/liter susu sapi dan diuapkan (tonning) sebanyak 50% volume awal susu. Fermentasi dadih dilakukan dalam cup plastik pada suhu ruang standar. Prosedur dalam mengaplikasikan Lb. casei terenkapsulasi kering adalah sebagai berikut :
3.3.3.1 Aplikasi Lb. casei terenkapsulasi secara langsung Pada cara ini, sebanyak 0,1 gram Lb. casei terenkapsulasi kering langsung diinokulasikan ke dalam 100 ml susu sapi yang telah di-tonning 50%. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama 24 – 48 jam hingga tekstur tampak kompak (keseluruhan dadih terlihat memadat). Pada akhir inkubasi dilakukan pengamatan terhadap pH, total asam tertitrasi, viskositas dan populasi Lb. casei dalam dadih. Prosedur pengujian kualitas dadih susu sapi dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3.
3.3.3.2 Aplikasi Lb. casei terenkapsulasi dengan membuat kultur kerja Pada cara ini, dilakukan pembuatan kultur kerja terlebih dahulu menggunakan Lb. casei terenkapsulasi kering, yaitu dengan menginokulasikan 0,1 gram Lb. casei terenkapsulasi kering ke dalam 100 ml susu sapi yang telah disterilisasi (121 oC, 2 menit) dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Sebanyak 3 ml (3%) kultur kerja kemudian diinokulasikan ke dalam 97 ml susu sapi yang telah di-tonning 50%. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama 24 – 48 jam hingga tekstur tampak kompak (keseluruhan dadih terlihat memadat). Pengamatan dilakukan terhadap pH, total asam tertitrasi, viskositas dan populasi Lb. casei dalam dadih.
17
Sebagai pembanding juga dibuat dadih dengan menggunakan kultur kerja yang berasal dari sel bebas dengan populasi Lb. casei pada kultur kerja sel bebas sama seperti populasi Lb. casei pada kultur kerja dari starter kering, yaitu ± 7 x 106 cfu/ml. Pembuatan kultur kerja dari sel bebas dilakukan dengan menginokulasikan 1 ml (1%) suspensi sel Lb. casei (MRS broth, 5,8 x 108 cfu/ml) ke dalam 99 ml susu sapi steril lalu diinkubasi pada suhu 37 oC selama 4 jam (Suprihanto 2009). Sebanyak 3 ml (3%) kultur kerja tersebut diinokulasikan ke dalam 97 ml susu sapi yang telah di-tonning 50%. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang standar (27 – 30 oC). Pengamatan dilakukan terhadap pH, total asam tertitrasi, viskositas dan populasi Lb. casei dalam dadih. Pada tahap ini, analisis statistik yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktor tunggal (single factor), yaitu metode atau cara penggunaan starter dalam pembuatan dadih susu sapi(D). Faktor ini terdiri dari tiga taraf perlakuan, yaitu penggunaan Lb. casei terenkapsulasi kering secara langsung (D1), penggunaan kultur kerja (starter cair) dari Lb. casei terenkapsulasi kering (D2), penggunaan kultur kerja (starter cair) dari Lb. casei bebas (tidak dienkapsulasi) (D3) Pengulangan dilakukan sebanyak tiga kali. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut : Yij = µ + Di + εij Yij µ Di εij
= Pengamatan pada faktor D taraf ke-i dan ulangan ke-j = Rataan umum = Pengaruh faktor D taraf ke-i = pengaruh galat percobaan
Untuk mengetahui pengaruh antar taraf tersebut dilakukan analisis ragam (analisis varian) menggunakan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Jjika hasilnya berbeda nyata, analisis dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.
18
IV. HASIL DA PEMBAHASA
4.1 PE E TUA
KOMPOSISI PE GKAPSUL
BIOPOLIMER
SEBAGAI
BAHA
Karakteristik beads kalsium alginat sangat ditentukan oleh jenis dan komposisi biopolimer yang digunakan. Menurut Castilla et al. (2010), komposisi biopolimer yang digunakan dalam proses enkapsulasi akan mempengaruhi diameter dan bentuk beads yang dihasilkan. Selain itu, komposisi biopolimer juga akan mempengaruhi viabilitas probiotik yang dienkapsulasi. Biopolimer yang digunakan dalam penelitian ini adalah natrium alginat dan bahan pengisi berbasis protein, yaitu whey protein concentrate (WPC 35), sodium caseinate dan skim. Dalam penelitian ini, komposisi bahan pengkapsul dirancang untuk mendapatkan probiotik terenkapsulasi yang bersifat fast release karena akan digunakan sebagai starter susu fermentasi. Selain itu, komposisi bahan pengkapsul juga dirancang agar mampu melindungi probiotik selama proses pengeringan menggunakan oven pada suhu 40 oC.
4.1.1 Pengaruh Konsentrasi atrium Alginat terhadap Rendemen, Bentuk dan Ukuran Beads Kalsium-Alginat Jel kalsium alginat (beads) terbentuk setelah larutan natrium alginat diteteskan kedalam larutan CaCl2 karena ikatan silang yang terbentuk antara anion karboksilat (COO-) dari monomer alginat dan kation divalen (Ca2+) (McNeely dan Pettit 1973). Total padatan bahan pengkapsul yang optimum dapat ditentukan dengan mengetahui konsentrasi natrium alginat yang optimum dengan parameter bentuk, ukuran, dan rendemen beads. Konsentrasi natrium alginat yang digunakan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap bentuk, ukuran (diameter), dan rendemen beads dalam penelitian ini adalah 2%, 3%, 4% dan 5% (b/b). Tabel 5. Pengaruh konsentrasi Na-alginat terhadap rendemen, ukuran dan bentuk beads Konsentrasi Viskositas Ukuran beads natrium alginat Rendemen (%) Bentuk beads larutan (cP) (mm) (%) 2 81 52,0 ± 3,5c 2,4 ± 0,1d Oval/elips b 3 282 74,4 ± 1,7 3,1 ± 0,1b Bola 4 610 90,8 ± 1,1a 3,2 ± 0,1a Bola 5 1640 90,7 ± 2,2a 2,8 ± 0,1c Bola Berekor Nilai dalam kolom rendemen adalah rata-rata ± standar deviasi dari n=2 Nilai dalam kolom ukuran beads adalah rata-rata ± standar deviasi dari pengukuran 10 beads Rata-rata dengan huruf (a-d) yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata (p>0,05) berdasarkan uji lanjut Duncan
Rendemen yang dihasilkan berkisar 52 – 91% dengan bentuk beads oval (eliptical), bola (spherical), dan juga berekor (Gambar 7). Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa natrium alginat 4% memiliki rendemen tertinggi (90,8%) dan ukuran beads terbesar (3,2 mm), sedangkan alginat 2% memiliki rendemen terendah (52,0%) dan ukuran beads terkecil (2,4 mm). Menurut Krasaekoopt et al. (2003), beads kalsium alginat yang dihasilkan dengan metode ekstrusi memiliki ukuran 2 – 5 mm tergantung pada viskositas, ukuran jarum (syringe), dan jarak tetes. Hasil analisis varian (Lampiran 5) menunjukkan bahwa konsentrasi natrium alginat berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap rendemen dan ukuran beads.
19
Peningkatan konsentrasi natrium alginat dari 2% hingga 4% menyebabkan rendemen meningkat dari 52,0% menjadi 90,8%. Peningkatan rendemen seiring dengan meningkatnya konsentrasi natrium alginat terjadi karena peningkatan ikatan silang yang terbentuk antara anion karboksilat dengan ion Ca2+. Ikatan silang tersebut membentuk jel kalsium alginat. Namun, berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 5), penggunaan natrium alginat 5% menghasilkan rendemen yang tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan natrium alginat 4%. Pembentukan jel kalsium alginat dipengaruhi oleh jumlah anion karboksilat dan ion Ca2+ yang tersedia dalam sistem. Jika anion karboksilat dalam sistem terlalu banyak dan ion Ca2+ tidak mencukupi, jel tidak akan terbentuk. Hal inilah yang kemungkinan menyebabkan penggunaan alginat 5% tidak meningkatkan rendemen beads. Rendemen (yield) akan sangat berpengaruh pada jumlah sel yang terenkapsulasi dalam beads kalsium alginat. Hasil penelitian Sultana et al. (2000) dan Castilla et al. (2010) menunjukkan bahwa efisiensi enkapsulasi sel meningkat seiring dengan meningkatnya rendemen beads.
Gambar 7. Bentuk beads kalsium alginat pada berbagai konsentrasi alginat (2 – 5%) Gambar 7 memperlihatkan bentuk beads pada konsentrasi alginat 2 – 5%. Pada Gambar 7 terlihat bahwa semakin besar konsentrasi alginat, bentuk beads yang dihasilkan akan menyerupai bola. Namun, penggunaan konsentrasi natrium alginat yang terlalu besar (5%), menyebabkan beads yang dihasilkan memiliki ekor. Bentuk beads yang mendekati bola dihasilkan pada penggunaan natrium alginat dengan konsentrasi 3% dan 4%. Perbedaan bentuk beads pada setiap konsentrasi natrium alginat dikarenakan perbedaan viskositas larutan natrium alginat. Semakin besar viskositas larutan natrium alginat, bentuk beads yang dihasilkan hampir menyerupai bentuk bola. Namun, larutan natrium alginat yang terlalu kental dapat menyebabkan bentuk beads yang berekor. Oleh karena itu, total biopolimer 4% dipilih sebagai total padatan bahan pengkapsul pada tahap berikutnya karena menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dari natrium alginat 3% namun tidak berbeda nyata dengan penggunaan biopolimer 5% dan dapat lebih menghemat penggunaan natrium alginat serta menghasilkan bentuk beads menyerupai bola.
20
4.1.2 Pengaruh Perbandingan Alginat-Bahan Pengisi terhadap Rendemen, Bentuk dan Ukuran Beads Bahan pengisi yang digunakan sebagai bahan pengkapsul adalah biopolimer berbasis protein, yaitu whey protein concentrate (WPC 35), sodium caseinate, dan susu skim bubuk. Penggunaan bahan pengisi berbasis protein diharapkan dapat melindungi sel selama proses pengeringan serta menghasilkan Lb. casei terenkapsulasi dalam bentuk kering untuk starter susu fermentasi yang bersifat fast release dan memiliki kemampuan aktivitas fermentasi yang tinggi. Konsentrasi biopolimer yang digunakan adalah 4%. Penggunaan total biopolimer 4% adalah berdasarkan hasil yang didapat pada tahap penentuan total biopolimer bahan pengkapsul. Perbandingan alginat dan bahan pengisi (filler) yang digunakan adalah 1:1 (alginat 2% : filler 2%), 2:1 (alginat 2,67% : filler 1,33%), dan 3:1 (alginat 3% : filler 1%). Pengaruh perbandingan alginat-filler terhadap rendemen beads yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 8.
Rendemen (%)
Tanpa filler
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Whey
Sodium caseinate
bc c bc
b
b
b
Skim a
d e f
1:1
2:1 Alginat:Filler
3:1
Tanpa filler
Gambar 8. Pengaruh jenis filler dan perbandingan alginat-filler terhadap rendemen beads. Eror bar mengindikasikan standar deviasi dari rata-rata (n=2). Rata-rata dengan huruf (a-f) yang sama adalah tidak berbeda nyata (p>0,05) berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 7) Penggunaan Skim sebagai bahan pengisi menghasilkan rendemen antara 57,3 – 84,3%, sodium caseinate menghasilkan rendemen 64,2 – 83,5%, sedangkan whey menghasilkan rendemen 52,3 – 83,3%. Pada Gambar 8 terlihat bahwa semakin kecil perbandingan alginat:filler, semakin rendah rendemen yang dihasilkan. Alginat 4% (tanpa bahan pengisi) menghasilkan rendemen tertinggi, sedangkan penggunaan bahan pengisi pada perbandingan 2:1 dan 3:1 menghasilkan rendemen yang relatif sama. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis filler yang digunakan pada perbandingan 2:1 dan 3:1 tidak mempengaruhi rendemen beads kalsium alginat yang dihasilkan. Selain itu, penggunaan bahan pengisi yang terlalu banyak cenderung menurunkan rendemen yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan penggunaan bahan pengisi yang terlalu banyak akan menurunkan konsentrasi alginat yang digunakan, sehingga matriks yang terbentuk semakin sedikit. Hasil yang sama juga didapatkan Sultana et al. (2000), yang melaporkan bahwa penggunaan prebiotik (Hi-maize) lebih dari 2% akan menurunkan rendemen beads kalsium alginat.
21
Tabel 6. Pengaruh jenis filler dan perbandingan alginat-filler terhadap ukuran dan bentuk beads Jenis filler
Alginat-filler
Ukuran beads (mm)*
Bentuk beads
Tanpa filler
1:0
3,2 ± 0,1a
Bola
1:1
2,0 ± 0,1f
Oval/elips
2:1
c
Bola-Oval
b
Bola-Tetesan air
e
Oval/elips
2:1
2,7 ± 0,1
d
Bola-Tetesan air
3:1
3,0 ± 0,1b
Bola-Tetesan air
1:1
ef
Oval/elips
2,7 ± 0,1
d
Bola-Oval
3,0 ± 0,1
b
Bola-Tetesan air
Whey
3:1 1:1 Sodium caseinate
Skim
2:1 3:1
2,8 ± 0,1 3,0 ± 0,1
2,1 ± 0,1
2,1 ± 0,2
* Nilai dalam tabel adalah rata-rata ± standar deviasi dari pengukuran 10 beads. Rata-rata dengan huruf (a-f) yang sama adalah tidak berbeda nyata (p>0,05) berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 7).
Alginat-Skim (2:1)
Alginat-Caseinate (2:1)
Alginat-Whey (2:1)
Alginat-Skim (3:1)
Alginat-Caseinate (3:1)
Alginat-Whey (3:1)
Gambar 9. Penampakan beads kalsium alginat dengan penambahan filler Tabel 6 memperlihatkan ukuran dan bentuk beads pada berbagai komposisi bahan pengkapsul menggunakan bahan pengisi. Diameter rata-rata dari masing-masing perlakuan berkisar 2,0 – 3,2 mm berentuk oval hingga bulat berekor dan berwarna putih kecoklatan (Gambar 9). Penelitian oleh Purwandhani et al. (2007) menggunakan bahan pengkapsul alginat dan skim dengan metode ekstrusi dua lapis menghasilkan beads berukuran 2,5 – 4 mm. Penelitian ini menghasilkan beads berukuran besar yang kemungkinan akan mempengaruhi tekstur dan sifat sensori produk yang dihasilkan, namun jika terlalu kecil akan membatasi jumlah sel yang dapat dienkapsulasi (Anal dan Singh 2007).
22
Hasil analisis varian menunjukkan bahwa perbandingan alginat-filler berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap ukuran beads kalsium alginat. Semakin besar perbandingan alginat:filler, ukuran beads yang dihasilkan semakin besar. Pada perbandingan alginat:filler yang sama, ukuran beads relatif sama pada whey, sodium caseinate, dan skim. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis filler yang digunakan tidak mempengaruhi ukuran beads kalsium alginat yang dihasilkan. Pada massa yang sama, beads berukuran besar memiliki luas permukaan yang kecil sehingga luasan kontak antara sel yang terenkapsulasi dengan substrat selama proses fermentasi semakin kecil. Luas permukaan kontak akan mempengaruhi laju difusi substrat dan metabolit. Oleh karena itu, beads yang berukuran lebih kecil kemungkinan memiliki laju difusi yang lebih baik. Penggunaan bahan pengisi ditujukan untuk melindungi probiotik selama proses pengeringan. Berdasarkan parameter rendemen, ukuran, dan bentuk beads, perbandingan 2:1 pada setiap jenis bahan pengisi (whey, sodium caseinate, dan skim) adalah komposisi yang optimum untuk digunakan pada tahap penelitian selanjutnya. Hal ini dikarenakan rendemen pada alginatfiller 2:1 tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan 3:1 dan menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan dengan perbandingan alginat-filler 1:1. Selain itu, filler yang digunakan pada perbandingan 2:1 juga memiliki konsentrasi lebih banyak dibandingkan 3:1, sehingga filler yang lebih banyak kemungkinan dapat lebih melindungi probiotik saat pengeringan. Selain itu, perlakuan dengan perbandingan alginat-filler 2:1 memiliki ukuran beads yang lebih kecil dibandingkan 3:1. Ukuran beads yang lebih kecil kemungkinan memiliki proses fermentasi dan pengeringan yang lebih cepat.
4.1.3 Enkapsulasi Lb. casei dalam Beads Kalsium Alginat dan Aktivitas Metabolisme Lb. casei Terenkapsulasi Komposisi bahan pengkapsul yang digunakan pada tahap penelitian ini adalah komposisi yang didapatkan pada tahap penentuan perbandingan alginat dan bahan pengisi optimum, yaitu perbandingan 2:1 pada masing-masing jenis bahan pengisi. Terdapat empat perlakuan komposisi bahan pengkapsul yang digunakan, yaitu alginat 4% (tanpa bahan pengisi), alginat-whey (2:1), alginat-sodium caseinate (2:1), dan alginat-skim (2:1). Jumlah Lb. casei yang terenkapsulasi dalam beads dapat dilihat pada Tabel 7. Lactobacillus casei terenkapsulasi di dapat dengan cara menginokulasikan 0,02 ml suspensi sel (7,0 x 109 cfu/ml) ke dalam 20 gram suspensi alginat (bahan pengkapsul) sehingga didapat jumlah sel 6,9 x 106 cfu/ml suspensi alginat-sel atau 6,84 log cfu/ml suspensi alginat-sel. Beads yang dihasilkan memiliki populasi 6,51 – 6,61 log cfu/gram beads. Jumlah sel selama proses enkapsulasi mengalami penurunan. Berdasarkan analisis varian (Lampiran 9), komposisi bahan pengkapsul yang digunakan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap viabilitas dan efisiensi enkapsulasi. Enkapsulasi menggunakan alginat 4% mengalami penurunan jumlah sel sebesar 0,23 ± 0,02 siklus log dibandingkan dengan populasi sel sebelum dienkapsulasi, sedangkan penggunaan alginat-whey (2:1) mengalami penurunan 0,28 ± 0,03 siklus log, alginat-sodium caseinate (2:1) mengalami penurunan 0,33 ± 0,04 siklus log, dan alginat-skim (2:1) mengalami penurunan 0,29 ± 0,01 siklus log. Penurunan jumlah sel kemungkinan disebabkan oleh sel yang terbawa dalam larutan CaCl2 dan sel mati atau kehilangan viabilitasnya selama didalam beads (Castilla et al. 2010). Faktor yang berpengaruh dalam proses enkapsulasi sel menggunakan alginat adalah konsentrasi natrium alginat. Menurut Castilla et al. (2010), efisiensi enkapsulasi meningkat secara signifikan dengan meningkatnya konsentrasi biopolimer. Pada Tabel 7 terlihat bahwa populasi sel
23
dalam beads pada masing-masing perlakuan relatif sama. Namun, efisiensi enkapsulasi perlakuan alginat 4% (tanpa bahan pengisi) lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan bahan pengisi. Hal ini dikarenakan perlakuan alginat 4% (tanpa bahan pengisi) memiliki rendemen yang lebih tinggi. Menurut Castilla et al. (2010), efisiensi enkapsulasi meningkat seiring dengan meningkatnya rendemen beads. Tabel 7. Karakteristik Lb. casei terenkapsulasi dalam jel kalsium alginat Alginat 4% Alg-Whey Alg-SCN Parameter (1:0) (2:1) (2:1)
Alg-Skim (2:1)
Populasi sel di dalam MRS broth (log cfu/ml)
9,84
9,84
9,84
9,84
Populasi sel dalam bahan pengkapsul (log cfu/gram suspensi sel)
6,84
6,84
6,84
6,84
Populasi Lb. casei dalam beads (log cfu/gram beads basah)
6,61± 0,02
6,56 ± 0,03
6,51 ± 0,04
6,55 ± 0,01
Efisiensi enkapsulasi (%)
53,6 ± 3,4a
38,3 ± 1,5b
33,5 ± 2,2b
36,9 ± 1,4b
Vabilitas (%)
96,6 ± 0,3a
95,9 ± 0,5ab
95,1 ± 0,6b
95,7 ± 0,1ab
Ukuran (mm)
3,2
2,8
2,7
Bentuk
Bola
Bola-elips
Warna
Coklat transparan
Putih kecoklatan
2,7 Bola-tetesan air Putih kecoklatan
Putih kecoklatan
Kelarutan pada media dan suhu fermentasi
Tidak larut
Tidak larut
Tidak larut
Tidak larut
Bola-elips
* Nilai dalam tabel adalah rata-rata ± standar deviasi dengan n=2. Rata-rata dengan huruf (a-b) yang sama pada baris yang sama adalah tidak berbeda nyata (p>0,05) berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 9). Perhitungan mengenai nilai yang terdapat dalam Tabel 7 dapat dilihat pada Lampiran 8.
Populasi Lb. casei yang terenkapsulasi dalam beads mengandung bahan pengisi, jumlahnya relatif sama yaitu berkisar 6,5 log cfu/gram beads. Selain itu, efisiensi enkapsulasi dan viabilitas Lb. casei terenkapsulasi dengan bahan pengisi memberikan hasil yang relatif sama. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis bahan pengisi tidak memberikan pengaruh terhadap efisiensi enkapsulasi dan viabilitas sel. Enkapsulasi probiotik menggunakan alginat umumnya dilakukan untuk melindungi probiotik dari kondisi lingkungan ekstrim yang dapat menyebabkan ketahanan probiotik menurun. Membran kalsium alginat yang menyelubungi sel memberikan perlindungan terhadap sel sehingga tidak terjadi kontak langsung dengan lingkungan. Beberapa penelitian untuk meningkatkan ketahanan membran kalsium alginat, diantaranya adalah menambahkan prebiotik (Hi-maize) (Sultana et al. 2000) dan Chitosan (Krasaekoopt et al. 2006). Membran kalsium alginat mudah terdegradasi dengan cepat pada pH rendah (Krasaekoopt et al. 2006) dan kehilangan kestabilannya jika terdapat senyawa pengkelat seperti fosfat, laktat dan sitrat (Krasaekoopt et al. 2003). Terdegradasinya kalsium alginat dapat menyebabkan sel keluar (release) ke lingkungan. Probiotik terenkapsulasi yang penggunaannya ditujukan sebagai starter susu fermentasi, keluarnya sel (release) serta terjadinya difusi laktosa dan metabolit merupakan kondisi yang diharapkan terjadi, sehingga media (susu) dapat terfermentasi. Sel probiotik harus mampu release dengan cepat dari membran kalsium alginat, sehingga proses fermentasi dapat berjalan dengan cepat.
24
pH
Aktivitas fermentasi dan kemampuan release Lb. casei terenkapsulasi dapat diukur dari kemampuannya menurunkan pH media reconstituted skim milk (RSM). Pengujian perubahan pH media fermentasi setelah diinokulasikan bakteri terenkapsulasi dilakukan untuk menunjukkan bahwa sel bakteri yang dienkapsulasi masih aktif dan mampu menghasilkan asam seperti sel bakteri bebas (Homayouni et al. 2008a). 6,80 6,60 6,40 6,20 6,00 5,80 5,60 5,40 5,20 5,00 4,80 4,60 4,40 4,20 4,00
Alginat 4% Alg-Whey (2:1) Alg-SCN (2:1) Alg-Skim (2:1)
0
10
18
24
30
40
48
L. casei Bebas (tidak dienkapsulasi)
Lama inkubasi (jam) Gambar 10. Perubahan pH RSM setelah diinokulasikan Lb. casei terenkapsulasi dan Lb. casei bebas (tidak dienkapsulasi) Gambar 10 menunjukkan perubahan pH media RSM selama inkubasi setelah diinokulasikan Lb. casei bebas dan Lb. casei terenkapsulasi. Hasil pengukuran pH media RSM menunjukkan bahwa Lb. casei terenkapsulasi dapat menurunkan pH media RSM selama masa inkubasi. Hal ini mengindikasikan sel Lb. casei yang dienkapsulasi dapat hidup dan aktif di dalam beads kalsium alginat. Akan tetapi, terdapat perbedaan laju pengasaman media RSM antara Lb. casei bebas dengan Lb. casei terenkapsulasi. Lactobacillus casei terenkapsulasi alginat 4% dan alginat-skim (2:1) memiliki pola pengasaman yang relatif sama dengan Lb. casei bebas. Perubahan pH media RSM ketiganya lebih cepat dibandingkan Lb. casei terenkapsulasi alginat-whey (2:1) maupun alginat-sodium caseinate (2:1). Sebagai contoh, Lb. casei bebas dan Lb. casei terenkapsulasi alginat 4% dan alginat-skim (2:1) mencapai pH 5,0 setelah 24 jam diinkubasi, sedangkan Lb. casei terenkapsulasi alginatwhey (2:1) dan alginat-sodium caseinate (2:1) membutuhkan waktu 40 jam untuk mencapai pH 5,0. Penelitian oleh Sultana et al. (2000) menunjukkan bahwa Lb. casei dan L. acidophilus terenkapsulasi alginat-prebiotik membutuhkan waktu lebih dari 30 jam untuk mencapai pH 5,0. Hal ini terjadi karena difusi nutrien dan metabolit yang lambat saat melintasi kapsul kalsiumalginat (Sultana et al. 2000, Hamayouni et al. 2008a). Lactobacillus casei yang dienkapsulasi menggunakan alginat 4% (tanpa bahan pengisi) dan alginat-skim (2:1) mampu mengasamkan susu lebih cepat. Hal ini berkaitan dengan sifat bahan pengkapsul dari masing-masing perlakuan. Menurut Vidhyalakshmi et al. (2009), material yang dienkapsulasi dapat keluar (release) dengan beberapa cara seperti pemecahan dinding bahan pengkapsul, pelarutan bahan pengkapsul, dan difusi melewati bahan pengkapsul. Matriks kalsium alginat sangat berpori, sehingga dapat menyebabkan terjadinya difusi air keluar dan masuk dalam kapsul (Rokka dan Rantamäki 2010). Selain itu, ikatan kalsium alginat dalam beads mudah terdegradasi karena adanya laktat (Krasaekoopt et al. 2003) yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat selama fermentasi. Lactobacillus casei tergolong bakteri asam laktat yang memiliki kemampuan menghasilkan produk metabolit asam laktat (Tamime et al. 2006). Hal inilah yang kemungkinan menyebabkan Lb. casei yang dienkapsulasi alginat (tanpa bahan
25
Log cfu/ml RSM
pengisi) memiliki kemampuan mengasamkan susu dan release lebih cepat dibandingkan dengan Lb. casei yang dienkapsulasi dengan penambahan bahan pengisi. Widodo et al. (2003) melaporkan bahwa Lb. casei terenkapsulasi tanpa filler lebih cepat menurunkan pH pada fermentasi yoghurt dibandingkan Lb. casei terenkapsulasi dengan penambahan filler tepung terigu dan pollard. Lactobacillus casei terenkapsulasi alginat-skim (2:1) mampu mengasamkan susu lebih cepat dibandingkan Lb. casei yang dienkapsulasi dengan penambahan whey dan sodium caseinate. Hal ini kemungkinan karena komposisi utama media RSM adalah susu skim, sehingga Lb. casei terenkapsulasi alginat-skim (2:1) telah beradaptasi selama di dalam beads kalsium alginat-skim. Pada Gambar 10 terlihat bahwa hingga jam ke 10, penurunan pH berlangsung sangat lambat. Pada awal inkubasi (jam ke 1 – 10) kemungkinan merupakan masa adaptasi bagi Lb. casei dan terjadi difusi nutrien (laktosa) dari media RSM menuju sel Lb. casei melintasi kapsul kalsium alginat-bahan pengisi. Difusi laktosa ke dalam beads terjadi karena perbedaan konsentrasi laktosa antara media RSM yang memiliki konsentrasi laktosa lebih tinggi dibandingkan konsentrasi laktosa di dalam beads. Setelah jam ke 10, pH media Lb. casei terenkapsulasi alginat 4% dan alginat-skim (2:1) menurun dengan cepat. Hal ini terjadi karena metabolit (asam laktat) berdifusi keluar beads sehingga menyebabkan penurunan pH media RSM. Pada Lb. casei terenkapsulasi alginat-whey (2:1) dan alginat-sodium caseinate (2:1), pH media RSM baru menurun dengan cepat setelah jam ke 18. Perbedaan komposisi laktosa dan protein pada whey protein concentrate, sodium caseinate dan skim kemungkinan menyebabkan perbedaan difusi nutrien ke dalam beads dan metabolit yang keluar dari beads. Selain itu, kelarutan dari masing-masing bahan pengisi juga diduga berpengaruh terhadap keluarnya (release) sel dari dalam beads. Kasein mengandung 35 – 45% asam amino non polar (Val, Leu, Ile, Phe, Tyr, Pro) yang bersifat hydrophobic, sehingga menyebabkan sulit larut dalam sistem yang mengandung air (Fox dan McSweeney 1998). Skim bubuk memiliki komponen utama laktosa (sekitar 52%, Tabel 2) yang lebih tinggi dibandingkan whey protein concentrate (WPC 35) maupun sodium caseinate. Pada suhu 20 oC, sekitar 7 gram laktosa akan larut dalam 100 gram air dan pada suhu 60 oC laktosa mampu larut sekitar 50 gram per 100 gram air (Fox dan McSweeney 1998). Oleh karena itu, bahan pengisi yang memiliki laktosa lebih tinggi akan lebih mudah larut. Skim memiliki kandungan laktosa yang lebih tinggi dibanding WPC 35 maupun sodium caseinate, oleh karena itu komponen skim lebih banyak yang larut dan menyebabkan sel release lebih cepat dibandingkan WPC 35 maupun sodium caseinate. 8,60 8,40 8,20 8,00 7,80 7,60 7,40 7,20 7,00 6,80 Alginat 4% Alg-Whey (1:0) (2:1)
Alg-SCN (2:1)
Alg-Skim (2:1)
Sel bebas
Komposisi bahan enkapsulasi Gambar 11. Populasi Lb. casei pada media RSM (diluar beads) pada akhir inkubasi
26
Gambar 11 memperlihatkan populasi Lb. casei pada akhir inkubasi. Populasi probiotik dalam media RSM yang diinokulasikan Lb. casei terenkapsulasi memiliki populasi yang relatif sama yaitu berkisar 7,00 – 7,17 log cfu/ml RSM. Sedangkan RSM yang diinokulasikan dengan Lb. casei bebas (tidak dienkapsulasi) memiliki populasi yang lebih tinggi, yaitu 8,37 log cfu/ml RSM. Pada akhir inkubasi, masih terdapat beads berbentuk jel dan tidak larut dalam media RSM. Namun, senyawa laktat yang dihasilkan Lb. casei merupakan senyawa pengkelat yang menyebabkan lepasnya ikatan antara Ca2+ dengan alginat sehingga menyebabkan sebagian sel keluar (release) dari beads ke media RSM. Sel yang release selanjutnya melakukan aktivitas metabolisme dan pembelahan sel di dalam media RSM. Jumlah sel di dalam media RSM yang lebih besar dibandingkan jumlah awal sel di dalam beads sebelum inkubasi mengindikasikan bahwa sebagian Lb. casei di dalam beads (tanpa bahan pengisi maupun dengan bahan pengisi) dapat release dari beads kemudian aktif berkembang di dalam media RSM dan melakukan aktivitas metabolisme (fermentasi). Berdasarkan pertimbangan terhadap efisiensi enkapsulasi, viabilitas sel, dan karakteristik (bentuk dan ukuran) beads yang tidak berbeda nyata antar jenis bahan pengisi serta kemampuan mengasamkan susu lebih cepat, maka perlakuan alginat 4% (tanpa bahan pengisi) dan alginat-skim (2:1) dipilih sebagai bahan pengkapsul pada tahap penelitian berikutnya untuk pembuatan starter kering dadih susu sapi.
4.2 PEMBUATA Lb. casei TERE KAPSULASI DALAM BE TUK KERI G Pada penelitian pembuatan starter kering, proses enkapsulasi menggunakan alginat dilanjutkan dengan proses pengeringan untuk mendapatkan sel terenkapsulasi dalam bentuk kering. Komposisi bahan pengkapsul yang digunakan adalah alginat 4% dan alginat-skim (2:1). Beads tersebut dikeringkan menggunakan oven bersuhu 40 oC. Pengeringan menggunakan oven dinilai lebih murah dan mudah dibandingkan pengeringan mengunakan freeze dryer. Suhu 40 oC digunakan karena pada suhu tersebut masih memungkinkan probiotik untuk tetap hidup. Grafik pengeringan beads dapat dilihat pada Gambar 12, sedangkan penampakan Lb. casei terenkapsulasi kering dapat dilihat pada Gambar 13.
Kadar air (wb) (%)
Kadar air alginat 4%
Kadar air alginat-skim (2:1)
100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 0
1
2
3 4 5 6 7 8 Lama pengeringan (jam) Gambar 12. Pengaruh lama waktu pengeringan terhadap kadar air beads Beads basah alginat 4% dan alginat-skim (2:1) masing-masing memiliki kadar air 97,23% dan 97,00%. Selama pengeringan menggunakan hot air oven pada suhu 40oC terjadi penurunan kadar air beads. Kadar air beads sudah terlihat stabil pada pengeringan jam ke 4. Pada kondisi ini dihasilkan Lb. casei terenkapsulasi dalam bentuk kering. Pada pengeringan jam ke 4
27
telah didapat beads kering dengan kadar air 15,67% untuk alginat 4% dan 13,43% untuk alginatskim (2:1). Namun, pada pengeringan jam ke 4 dan 5, beads kering masih menempel pada cawan petri sehingga masih sulit dilepaskan. Beads kering cukup mudah dilepaskan dari cawan petri setelah pengeringan jam ke 6. Kadar air pada Lb. casei terenkapsulasi kering dengan bahan pengkapsul alginat 4% dan alginat-skim (2:1) setelah pengerigan selama 6 jam adalah 11,65% dan 11,51%. Pada Gambar 13 terlihat beads kering berbentuk kepingan tak beraturan dengan ukuran sekitar 1 – 2 mm dan berwarna coklat pada alginat 4% dan coklat muda pada alginat-skim (2:1). Oleh karena itu, lama pengeringan optimum yang digunakan untuk mengeringkan beads jel kalsium alginat menggunakan oven pada suhu 40 oC menggunakan wadah cawan petri adalah selama 6 jam.
Alginat 4%
Alginat-skim (2:1)
Gambar 13. Penampakan beads Lb. casei terenkapsulasi setelah dikeringkan menggunakan oven pada suhu 40 oC selama 6 jam Karakteristik beads basah dan beads kering yang dihasilkan pada pembuatan starter kering dapat dilihat pada Tabel 8. Populasi awal sel (initial cell concentration) pada suspensi bahan pengkapsul-sel adalah 9.9 x 107 cfu/gram. Populasi ini didapat dengan menginokulasikan 5 ml suspensi sel dalam MRS broth dengan populasi 9,9 x 108 cfu/ml ke dalam 45 gram suspensi bahan pengkapsul. Proses enkapsulasi menghasilkan Lb. casei terenkapsulasi dalam beads jel kalsium alginat dengan populasi 5,7 ± 0,1 x 107 cfu/gram beads basah (alginat 4%) dan 4,8 ± 0,3 x 107 cfu/gram beads basah (alginat-skim (2:1)). Tabel 8. Karakteristik Lb. casei terenkapsulasi kering Parameter Pembuatan beads basah Populasi sel dalam bahan pengkapsul (log cfu/gram suspensi sel) Populasi Lb. casei dalam beads basah (log cfu/gram beads basah) Efisiensi enkapsulasi (%) Viabilitas (%) Kadar air (%) Pengeringan Populasi Lb. casei dalam beads kering (log cfu/gram beads kering) Rendemen (%) Kadar air (%) Ketahanan (%) (basis kering) Warna Kelarutan pada media dan suhu fermentasi
Alginat 4% (1:0)
Alginat-skim (2:1)
8,00
8,00
7,76 ± 0,01
7,68 ± 0,03
52,6 ± 1,0 96,6 ± 0,3 97,23
35,2 ± 3,1 95,7 ± 0,1 97,00
<2
5,32 ± 0,1
3,1
3,4
11,65 < 22,1 Coklat Tidak larut, membentuk jel
11,51 58,4 ± 0,7 Coklat muda Tidak larut, membentuk jel
* Nilai dalam tabel adalah rata-rata ± standar deviasi dengan n=2. Perhitungan mengenai nilai yang terdapat dalam Tabel 8 dapat dilihat pada Lampiran 12.
28
Setelah mengalami pengeringan selama 6 jam, populasi sel mengalami penurunan. Populasi Lb. casei terenkapsulasi kering dengan bahan pengkapsul alginat 4% (tanpa bahan pengisi) memiliki populasi < 102 cfu/gram, sedangkan pada alginat-skim (2:1) memiliki populasi (2,1 ± 0,4) x 105 cfu/gram. Selama pengeringan terjadi penurunan lebih dari 5,76 siklus log pada enkapsulasi menggunakan alginat 4%, sedangkan pada enkapsulasi menggunakan alginat-skim (2:1) hanya mengalami penurunan sebesar 2,36 siklus log. Enkapsulasi probiotik untuk menghasilkan bentuk kering (powder) biasa dilakukan dengan freeze dryer dan spray dryer. Pengeringan probiotik menggunakan freeze dryer dan spray dryer juga menyebabkan terjadinya penurunan jumlah sel. Pada pengeringan beads kalsium alginat 2% dan alginat 2% yang ditambahkan Hi-maize 2% menggunakan freeze dryer terjadi penurunan sel sekitar 2 siklus log dan 3,4 siklus log (Sultana et al. 2000). Hasil yang sama juga didapatkan Harmayani et al. (2001) dimana pengeringan bakteri asam laktat menggunakan freeze dryer menyebabkan penurunan sebesar 0,5 – 2 siklus log dan penurunan sebesar 2,5 – 4 siklus log pada penggunaan spray dryer. Ketahanan probiotik pada pengeringan menggunakan freeze dryer dan spray dryer adalah berkisar 70 – 85% (Rokka dan Rantamäki 2010). Pada pengeringan menggunakan freeze dryer, penurunan jumlah sel disebabkan karena pembekuan air yang menyebabkan kesetimbangan sel terganggu. Pada pengeringan probiotik menggunakan freeze dryer ditambahkan cryoprotectants yang dapat menghambat terbentuknya kristal es di dalam dan di luar sel (Capela et al. 2006). Cryoprotectants yang biasa ditambahkan pada enkapsulasi probiotik adalah UnipectineTM RS 150, SatialgineTM GCF 639 (Capela et al. 2006), atau gliserol (Sultana et al. 2000). Sedangkan penurunan sel pada pengeringan menggunakan spray dryer terjadi karena penggunaan suhu inlet yang terlalu tinggi (100 – 175 oC). Pengurangan kadar air yang terlalu cepat pada spray dryer menyebabkan kerusakan membran sel. Ketika spray dryer digunakan untuk pengawetan kultur probiotik, banyak aktivitas spesifik yang dimiliki probiotik hilang setelah beberapa minggu penyimpanan pada suhu ruang (Anal dan Singh 2007). Untuk meningkatkan ketahanan probiotik selama pengeringan, dapat dilakukan dengan penambahan thermoprotectants. Beberapa bahan yang telah digunakan untuk meningkatkan ketahanan probiotik pada pengeringan spray dryer diantaranya adalah bahan berbasis polisakarida seperti pati atau gum arab (Lian et al., 2003) atau berbasis protein seperti gelatin, skim, (Lian et al. 2003) atau whey (Picot dan Lacroix 2004). Pada penelitian ini, pengeringan dilakukan menggunakan hot air oven pada suhu 40 oC. Lactobacillus casei memiliki suhu pertumbuhan 15 – 45 oC, sehingga pada suhu pengeringan yang digunakan masih memungkinkan bakteri yang dienkapsulasi tetap hidup. Namun, hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan adanya penurunan jumlah Lb. casei selama proses pengeringan berlangsung. Penurunan jumlah sel kemungkinan diakibatkan karena hilangnya air yang merupakan komponen utama sel yang sangat dibutuhkan pada proses metabolisme. Selain itu, penurunan jumlah sel juga mungkin karena sel terpapar oksigen dari udara di dalam oven. Menurut Talwakar dan Kailasapathy (2004), oksigen merupakan racun bagi bakteri asam laktat karena akan membentuk H2O2 atau hydroxyl radical. Senyawa ini mampu berdifusi melintasi membran sel dan menyebabkan kerusakan oksidatif pada membran lipid, enzim dan DNA. Untuk meningkatkan ketahanan probiotik terhadap oksigen dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya adalah dengan penambahan oxygen scavangers seperti asam askorbat (L-ascorbic acid) atau L-cysteine hydrochloride (Talwakar dan Kailasapathy 2004). Penelitian yang dilakukan Homayouni et al. (2008b) menunjukkan penggunaan 0,05% L-cysteine hydrochloride menghasilkan produksi biomassa Lb. casei yang lebih banyak dibandingkan L-
29
ascorbic acid. Agar viabilitas bakteri tetap tinggi selama pengeringan dapat ditambahkan Lcysteine hydrochloride sebanyak 0,05 gram/100 gram bahan pengkapsul. Penurunan jumlah sel pada enkapsulasi alginat 4% (tanpa bahan pengisi) (>5,76 siklus log) lebih besar dibandingkan dengan enkapsulasi alginat-skim (2:1) (2,36 siklus log). Hal ini mengindikasikan bahwa enkapsulasi dengan penambahan bahan pengisi berupa skim memiliki ketahanan yang lebih tinggi dibandingkan enkapsulasi tanpa bahan pengisi selama proses pengeringan. Bahan berbasis protein sering digunakan sebagai pelindung sel dari panas (thermoprotectant) selama proses enkapsulasi dengan teknik spray dryer, diantaranya whey (Picot dan Lacroix 2004) dan skim (Lian et al. 2003, Triana et al. 2006). Hasil penelitian Triana et al. (2006) menunjukkan bahwa enkapsulasi Lb. casei sp. Mar 8 dengan teknik spray dryer menggunakan skim 10% memberikan perlindungan terhadap panas yang lebih baik dibandingkan penggunaan skim 5%. Selain itu, skim kemungkinan mengisi ruang (pori-pori) yang terbentuk pada matriks kalsium alginat, sehingga mengurangi kontak langsung antara sel dengan udara (oksigen) selama pengeringan. Selain komposisi bahan pengkapsul, karakteristik kapsul, dan kondisi proses enkapsulasi, faktor yang juga berpengaruh terhadap efektivitas enkapsulasi probiotik adalah konsentrasi sel awal sebelum dienkapsulasi (initial cell concentration). Peningkatan konsentrasi sel di dalam suspensi bahan pengkapsul akan meningkatkan jumlah sel di dalam beads sehingga akan meningkatkan efisiensi enkapsulasi (Mortazavian et al. 2007). Populasi awal Lb. casei di dalam suspensi alginat-skim (2:1) adalah 9,9 x 107 cfu/gram dan populasi Lb. casei di dalam beads kering alginat-skim (2:1) adalah 2,1 x 105 cfu/ml. Dengan meningkatkan populasi awal, maka populasi Lb. casei di dalam beads kering juga akan meningkat. Untuk meningkatkan populasi awal dapat dilakukan dengan cara meningkatkan volume inokulum (MRS broth) yang ditambahkan dan atau meningkatkan konsentrasi sel di dalam inokulum. Namun, peningkatan populasi awal dalam jumlah besar hanya dapat dicapai dengan cara meningkatkan konsentrasi sel inokulum. Untuk mendapatkan konsentrat sel, sebelum dienkapsulasi sel ditumbuhkan terlebih dahulu pada kondisi optimum, kemudian suspensi sel disentrifugasi (Rokka dan Rantamäki 2010). Sentrifugasi merupakan cara yang umum dipakai pada skala industri untuk mendapatkan konsentrat sel pada proses produksi starter susu fermentasi (Makinen dan Bigret 2004).
4.3 APLIKASI Lb. casei TERE KAPSULASI KERI G SEBAGAI STARTER DADIH SUSU SAPI Lactobacillus casei terenkapsulasi kering yang diaplikasikan sebagai starter kering dadih susu sapi adalah Lb. casei terenkapsulasi kering alginat-skim (2:1). Hal ini dikarenakan perlakuan tersebut memiliki populasi dan ketahanan sel yang lebih tinggi dibandingkan alginat 4%. Aplikasi Lb. casei terenkapsulasi kering untuk pembuatan dadih susu sapi dilakukan dengan dua cara, yaitu aplikasi secara langsung dan aplikasi dengan membuat kultur kerja terlebih dahulu menggunakan Lb. casei terenkapsulasi kering. Susu sapi yang digunakan untuk pembuatan dadih adalah susu sapi yang telah ditambahkan skim bubuk sebanyak 3% lalu dievaporasi sebanyak 50% volume awal. Penampakan fisik dadih yang telah jadi dapat dilihat pada Gambar 14, sedangkan karekteristik bahan baku dan dadih yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 9. Waktu inkubasi dadih dinyatakan selesai bila tekstur dadih telah kompak (Gambar 14). Pada pengamatan fisik dadih susu sapi yang dihasilkan, penggunaan Lb. casei terenkapsulasi kering secara langsung menyebabkan dadih yang dihasilkan mengandung beads jel kalsium alginat pada permukaannya (Gambar 14.a). Proses pertama yang terjadi pada aplikasi beads
30
kering secara langsung adalah difusi air ke dalam beads. Air yang berdifusi ke dalam beads menyebabkan swelling pada beads sehingga terbentuk kembali jel kalsium alginat. Beads memiliki massa jenis yang lebih rendah dibandingkan susu sapi yang telah dievaporasi 50%, sehingga beads mengapung pada permukaan dadih. Oleh karena itu, pada Gambar 14.a terlihat beads mengumpul pada permukaan dadih yang dihasilkan dengan penggunaan starter kering alginat-skim (2:1) secara langsung. Penggunaan starter kering melalui pembuatan kultur kerja (starter cair) terlebih dahulu, menghasilkan dadih dengan penampakan fisik yang lebih baik (Gambar 14.b) dibandingkan dengan penggunaan starter kering secara langsung. Dadih susu sapi yang dihasilkan dengan penggunaan kultur kerja dari starter kering memiliki penampakan fisik menyerupai dadih susu sapi yang dibuat menggunakan kultur kerja dari sel bebas (Gambar 14.c).
b
a
Beads jel kalsium alginat-skim
c Gambar 14. Penampakan dadih, a. Dadih dengan aplikasi starter kering secara langsung, b. Dadih dengan aplikasi kultur kerja dari starter kering, c. Dadih dengan aplikasi kultur kerja dari sel bebas Tabel 9. Karakteristik dadih susu sapi Awal (susu sapi + 3% skim Parameter dievaporasi 50%) Populasi Lb. casei dalam -------kultur kerja (cfu/ml) -------Waktu inkubasi (jam) Viskositas (cP) 28 pH 6,63
Aplikasi kultur kering
secara langsung
Melalui kultur kerja
Dadih dengan kultur kerja dari sel bebas
--------
7,7 x 106
7,4 x 106
48 2147 ± 136b 5,75 ± 0,06a
48 2563 ± 213a 5,55 ± 0,09b
24 2301 ± 193ab 5,69 ± 0,10ab
Total asam tertitrasi (%)
0,36
0,67 ± 0,04a
0,64 ± 0,02ab
0,60 ± 0,01b
Populasi Lb. casei dalam dadih (log cfu/gram)
--------
8,16 ± 0,07c
8,43 ± 0,10b
9,09 ± 0,08a
* Nilai dalam tabel adalah rata-rata ± standar deviasi dengan n=3. Rata-rata dengan huruf (a-c) yang sama pada baris yang sama adalah tidak berbeda nyata (p>0,05) berdasarkan uji lanjut Duncan.
Berdasarkan Tabel 9, terjadi peningkatan viskositas, total asam tertitrasi, dan populasi Lb. casei serta penurunan nilai pH pada dadih dengan aplikasi starter kering (langsung maupun
31
melalui pembuatan kultur kerja terlebih dahulu) dan aplikasi dadih dengan kultur kerja dari sel bebas dibandingkan dengan bahan awal (susu sapi yang telah dievaporasi 50%). Hal ini mengindikasikan Lb. casei di dalam matriks alginat-skim setelah pengeringan masih aktif untuk melakukan aktivitas metabolisme seperti sel bebas. Waktu fermentasi (inkubasi) yang dibutuhkan untuk pembuatan dadih menggunakan starter kering (langsung maupun dengan kultur kerja) lebih lama dibandingkan dengan penggunaan sel bebas. Penggunaan starter kering secara langsung dan melalui kultur kerja membutuhkan waktu 48 jam untuk mencapai tekstur dadih yang kompak, sedangkan yang dibuat dengan menggunakan kultur sel bebas hanya membutuhkan waktu 24 jam. Pada dadih yang dibuat dalam bambu tanpa penambahan starter (fermentasi spontan), waktu yang dibutuhkan untuk inkubasi adalah 48 jam (Sirait 1993). Pada penelitian yang dilakukan Taufik (2004), penggunaan starter dalam pembuatan dadih hanya membutuhkan waktu fermentasi 24 jam. Waktu fermentasi yang lebih lama pada penggunaan starter kering disebabkan karena lambatnya difusi nutrient, metabolit dan sel keluar dari dalam beads. Selain itu, proses enkapsulasi kemungkinan menyebabkan sel menjadi inaktif sehingga diperlukan waktu yang cukup lama bagi sel Lb. casei untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan (media fermentasi). Viskositas dadih susu sapi yang dibuat dengan aplikasi starter kering melalui kultur kerja lebih tinggi (2563 cP) dibandingkan dadih yang dibuat dengan menginokulasikan starter kering secara langsung (2147 cP). Namun, berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 14) keduanya tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan dadih yang dibuat melalui kultur kerja dari sel bebas (2301 cP). Peningkatan viskositas pada susu fermentasi disebabkan karena terjadinya koagulasi protein (Tamime dan Robinson 1989) dan atau terbentuknya eksopolisakarida yang dihasilkan kultur starter selama proses fermentasi (Tamime et al. 2006). Pengukuran nilai pH dadih menunjukkan bahwa aplikasi starter kering melalui kultur kerja memiliki nilai pH yang paling rendah (5,55) dan berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 14) tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan pH dadih dari kultur kerja sel bebas (5,69). Nilai pH dadih susu sapi menggunakan starter kering melalui kultur kerja berbeda nyata (p<0,05) dengan aplikasi starter kering secara langsung. Dadih susu sapi dengan aplikasi starter kering secara langsung memiliki total asam tertitrasi tertinggi (0,67%). Namun, berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 14), total asam tertitrasi dadih aplikasi starter kering secara langsung tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan dadih yang dibuat dari starter kering melalui kultur kerja (0,64%). Berdasarkan SNI 2981:2009, syarat total asam tertitrasi pada susu fermentasi (yoghurt) berkisar 0,5 – 2,0%. Dadih susu sapi yang dihasilkan dengan penggunaan starter kering (langsung maupun malalui kultur kerja) telah memiliki nilai total asam tertitrasi yang memenuhi syarat kualitas susu fermentasi. Pengukuran total Lb. casei pada dadih susu sapi menunjukkan bahwa aplikasi starter kering melalui kultur kerja memiliki populasi Lb. casei lebih tinggi (8,43 log cfu/gram) dibandingkan aplikasi starter kering secara langsung (8,16 log cfu/gram), namun lebih rendah dari dadih dengan aplikasi kultur kerja dari sel bebas (9,09 log cfu/gram). Penggunaan starter kering menghasilkan populasi sel hidup lebih dari 6,00 log cfu/gram produk yang merupakan syarat minimal populasi bakteri probiotik di dalam produk probiotik (Shah 2007), sehingga dadih yang dihasilkan dengan penggunaan starter kering dapat dikatakan sebagai produk probiotik. Dadih yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki karakteristik fisikokimia yang relatif sama dengan dadih yang dihasilkan pada penelitian Lestari (2010) yang mengkombinasikan starter cair Lb. casei sebanyak 3% dengan rennin, papain, dan ekstrak enzim kasar dari kapang Mucor sp. yang menghasilkan dadih susu sapi dengan viskositas 2278 –
32
3222 cP, pH 5,19 – 5,71, dan total asam tertitrasi 0,56 – 1,01% dengan lama fermentasi 19 jam. Namun, dadih susu sapi yang dihasilkan pada penelitian ini masih memiliki nilai pH yang tinggi dan total asam tertitrasi yang cukup rendah serta lama fermentasi yang lebih lama (48 jam). Hal ini dikarenakan populasi Lb. casei di dalam stater kering yang dihasilkan masih rendah, yaitu 2,1 x 105 cfu/gram. Menurut Tamime et al. (2006), populasi sel yang dibutuhkan untuk starter susu fermentasi berkisar 1 x 109 cfu/ml. Taufik (2004) dalam penelitiannya menggunakan kultur cair (bulk starter) tunggal dan campuran dengan populasi 5,9 – 6,9 x 108 cfu/ml menghasilkan dadih dengan nilai pH 3,69 – 4,13 dan total asam tertitrasi 2,21 – 3,45 dengan waktu inkubasi selama 24 jam. Berdasarkan parameter yang diamati, dadih yang dihasilkan dari aplikasi starter kering melalui kultur kerja memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan aplikasi starter kering yang diinokulasikan secara langsung, karena memiliki viskositas yang lebih tinggi serta penampakan fisik dadih yang lebih baik. Oleh karena itu, penggunaan Lb. casei terenkapsulasi kering sebagai starter dadih susu sapi sebaiknya terlebih dahulu dibuat kultur kerja menggunakan Lb. casei terenkapsulasi kering.
33
V. KESIMPULA DA SARA
5.1 KESIMPULA Konsentrasi biopolimer pada bahan enkapsulasi mempengaruhi rendemen, ukuran, dan bentuk beads kalsium alginat. Penggunaan biopolimer (natrium alginat) 2 – 4% menyebabkan rendemen dan diameter beads meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi natrium alginat. Penggunaan natrium alginat 2 – 4% menghasilkan rendemen 52 – 91% dengan ukuran 2,4 – 3,2 mm berbentuk bola – oval. Penggunaan total biopolimer 4% memiliki rendemen dan diameter beads terbesar. Penggunaan natrium alginat lebih dari 4% menyebabkan rendemen berkurang dan beads kehilangan bentuk bolanya. Rendemen, ukuran, dan bentuk beads dipengaruhi oleh perbandingan alginat-bahan pengisi. Penggunaan bahan pengisi yang terlalu banyak akan cenderung menurunkan rendemen dan ukuran beads. Jenis bahan pengisi yang digunakan (whey protein concentrate (WPC 35), sodium caseinate, dan skim) relatif tidak mempengaruhi rendemen, ukuran, dan bentuk beads. Jenis filler yang digunakan juga tidak mempengaruhi viabilitas sel selama proses enkapsulasi. Penggunaan bahan pengisi berpengaruh terhadap kemampuan Lb. casei terenkapsulasi dalam mengasamkan susu sebagai media fermentasi. Enkapsulasi tanpa penambahan bahan pengisi (alginat 4%) dan alginat-skim (2:1) memiliki kemampuan mengasamkan susu lebih cepat dibandingkan dengan enkapsulasi menggunakan alginat-whey (2:1) maupun alginat-sodium caseinate (2:1). Komposisi bahan enkapsulasi terbaik adalah alginat-skim dengan perbandingan 2:1 (alginat 2,67% : skim 1,33%). Lactobacillus casei terenkapsulasi alginat-skim dengan perbandingan 2:1 memiliki ketahanan yang lebih tinggi selama proses pengeringan dibandingkan Lb. casei terenkapsulasi tanpa penambahan skim (alginat 4%). Ketahanan Lb. casei terenkapsulasi alginat 4% (tanpa bahan pengisi) selama pengeringan (40 oC, 6 jam) kurang dari 22%, sedangkan alginat-skim (2:1) sebesar 58,4%. Penggunaan Lb. casei terenkapsulasi alginat-skim 2:1 yang dihasilkan dengan teknik ekstrusi dan pengeringan oven sebagai starter kering dadih susu sapi menghasilkan dadih dengan viskositas 2147 – 2563 cp, pH 5,75 – 5,55, total asam tertitrasi 0,64 – 0,67% dan total Lb. casei 8,16 – 8,43 log cfu/gram. Penggunaan kultur kerja (starter cair) yang dibuat dari Lb. casei terenkapsulasi kering menghasilkan dadih susu sapi dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan penggunaan Lb. casei terenkapsulasi kering secara langsung
5.2 SARA Pengeringan beads yang dilakukan pada penelitian ini masih menyebabkan penurunan viabilitas yang cukup besar. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan suhu dan lama pengeringan optimum dengan parameter utama viabilitas sel sehingga dapat dihasilkan sel terenkapsulasi dengan viabilitas yang tinggi. Selain itu, perlu diketahui viabilitas dan kinerja sel terenkapsulasi alginat-skim (2:1) selama penyimpanan untuk mengetahui umur simpan starter yang dihasilkan.
34
DAFTAR PUSTAKA
Anal AK, Singh H. 2007. Recent advances in microencapsulation of probiotics for industrial applications and targeted delivery. Trends in Food Science & Technology 18: 240 – 251. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methode of Analysis. 14th ed. Arlington. Washington D. C. Axelsson L. 2004. Lactic Acid Bacteria: Classification and Physiology. In: Salminen S, Wright A. V, Ouwehand A. (eds). Lactic Acid Bacteria Microbiological and Functional Aspect. 3rd ed. New York: Marcel Dekker, Inc., pp 1 – 66. Azria D 1986. Mikrobiologi dalam Pembuatan Dadih Susu Sapi [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bassette R, Acosta JS. 1988. Composition of Milk Product. In: Wong PN. (ed). Fundamentals of Dairy Chemistry. 3rd ed. New York: Van Nostrand Reinhold, pp 39 – 79. Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, dan Wootton MC. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah Purnomo, H. dan Adiono. Jakarta: UI Press. Capela P, Hay TKC, dan Shah NP. 2006. Effect of cryoprotectant, prebiotics, and microencapsulation on survival of probiotic organism in yoghurt and freeze-dried yoghurt. Food Resaearch International 39: 203 – 211. Cardenas A, Monal WA, Goycoolea FM, Ciapara IH dan Peniche C. 2003. Diffusion through membranes of the polyelectrolyte complex of chitosan and alginat. Macromol Biosci 3: 535 – 539. Castilla OS, Calleros CL, Galindo HSG, Ramirez JA, dan Carter EJV. 2010. Textural properties of alginate-pectin beads and survivability of entrapped Lb. casei in simulated gastrointestinal condition and in yoghurt. Food Research International 43: 111 – 117. Ding WK, Shah NP. 2008. Survival of free and microencapsulated probiotic bacteria in orange and apple juice. International Food Research Journal 15 (2): 219 – 232. Early R. 1998. Milk Concentrates and Milk Powders. In: Early R. The Technology of Dairy Products. 2nd ed. London: Blackie Academic & Professional, pp 228 – 300. Eckles CH, Combs WB, dan Mucy H. 1984. Milk and Milk Product. 4th ed. New Delhi: Mc Graw Hill Publishing Co, Ltd. Fardiaz S. 1992. Mikrobiolgi Pangan I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Foster EM, Nelson FE, Speck ML, Doetsch RN dan Olson JC. 1961. Dairy Microbiology. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Fox PF, McSweeney PLH. 1998. Dairy Chemistry and Biochemistry. London: Thomson Science. Frazier WC, Westhoff DC. 1998. Food Microbiology. 4th ed. Singapore: Mc Graw-Hill Book Company. Fuller R. 1992. Probiotics: The Science Basis. London: Chapman and Hall,. Gomes AMP, Malcata GA. 1999. Bifidobacterium ssp. and L.acidophilus: biological, technological and therapeutical properties relevant for use as probiotics. Review. Trend in Food Science Technology 10: 139 – 157. Harmayani E, Ngatirah, Rahayu ES dan Utami T. 2001. Ketahanan dan viabilitas probiotik bakteri asam laktat selama proses pembuatan kultur kering dengan metode freeze dan spray drying. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 7(2): 126 – 132. Henderson JL. 1971. The Fluid Milk Industry. New York: The AVI Publishing Company Inc.
35
Homayouni A, Azizi A, Ehsani MR, Yarmand MS dan Razavi SH. 2008a. Effect of microencapsulation and resistant starch on the probiotic survival and sensory properties of symbiotic ice cream. Food Chemistry 111: 50 – 55. Homayouni A, Ehsani MR, Azizi A, Razavi SH, Yarmand MS dan Razavi SH. 2008b. Growth and survival of some probiotic strains in simulated ice cream conditions. Journal of Applied Science 8 (2): 379 – 383. Kailasapathy K. 2002. Microencapsulation of probiotic bacteria: Technology and potential applications. Curr. Issues Intest. Microbiol 3: 39 – 48. Krasaekoopt W, Bhandari B dan Deeth HC. 2003. Evalution of encapsulation techniques of probiotik yoghurt. International Dairy Journal 13: 3 – 13. Krasaekoopt W, Bhandari B dan Deeth HC. 2004. The influence of coating materials on some properties of alginate beads and survivability of microencapsulated probiotic bacteria. International Dairy Journal 14: 737 – 743. Krasaekoopt W, Bhandari B dan Deeth HC. 2006. Survival of probiotic encapsulated in chitosancoated alginate beads in yoghurt from UHT- and conventionally treated milk during storage. LWT 39: 177 – 183. Lee K, Heo T. 2000. Survival of Bifidobacterium longum immobilized in calcium alginate beads in simulated gastric juices and bile salt solution. Applied and Environmental Microbiology 66 (2): 869 – 873. Lestari AD. 2010. Pengaruh Penambahan Bahan Tambahan Pangan (BTP) yan Dikombinasikan dengan Bakteri Asam Laktat (BAL) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Lian WC, Hsiao HC dan Chou CC. 2003. Viability of microencapsulated bifidobacteria in simulated gastric juice and bile solution. International Journal of Food Microbiology 86: 293 – 301. Mäkinen AM, Bigret M. 2004. Industrial use and production of lactic acid bacteria. In: Salminen S, Wright AV dan Ouwehand A. (eds). Lactic Acid Bacteria Microbiological and Functional Aspect. 3rd ed. New York: Marcel Dekker, Inc., pp 175 – 198. Mandal S, Puniya AK dan Singh K. 2006. Effect of alginate concentrations on microencapsulated Lactobacillus casei NCDC-298. International Dairy Journal 16: 1190 – 1195. McNeely, Pettit DJ. 1973. Algin. In: Whistler RL. (ed.). Industrial Gum. 2nd ed. New York: Academic Press, pp 49 – 81. Morr CV, Richter RL. 1988.Chemistry of Processing. In: Wong NP. (ed). Fundamentals of Dairy Chemistry. New York: Van Nostrand Reinhold. Mortazavian A, Razavi SH, Ehsani RM dan Sohrabvandi S. 2007. Principles and methods of microencapsulation of probiotic microorganisms. Iranian Journal of Biotechnology 5 (1): 1 – 18. Mulvihill DM, Grufferty MB. 1997. Production of whey protein enriched products. In: Damodfaran S. (Ed). Food Protein and Lipids. New York and London: Plenium Press. Nazzaro F, Fratianni F, Coppola R, Sada A dan Orlando P. 2009. Fermentatif ability of alginateprebiotic encapsulated Lactobacillus acidophilus and survival under simulated gastrintestinal condition. Journal of Fungsional Food 1: 319 – 323. Ngatirah, Harmayani E, Rahayu ES dan Utami T. 2000. Seleksi Bakteri Asam Laktat sebagai Agensia Probiotik yang Berpotensi Menurunkan Kolesterol. Di dalam Prosiding Seminar Nasional Industri Pangan, 10 – 11 Oktober 2000, Surabaya, Vol 2: 63 – 67. Pato U. 2003. Potensi bakteri asam laktat yang diisolasi dari dadih untuk menurunkan resiko penyakit kanker. Jurnal 5atur Indonesia 5(2): 162 – 166. Picot A, Lacroix C. 2004. Encapsulation of bifidobacteria in whey protein based microcapsules and survival in simulated gastrointestinal conditions and in yoghurt. International Dairy Journal 14: 505 – 515.
36
Purwandhani SN, Suladra M dan Rahayu ES. 2007. Stabilitas thermal agensia probiotik L. acidophilus SNP 2 terenkapsulasi metode ekstrusi dan emulsi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi, 24 November 2007, Yogyakarta, E1 – E6. Reid G. 1999. The scientific basis for probiotic strain of Lactobacillus. Minireview. J Appl Env Microbiol 65: 3763 – 3766. Rokka S, Rantamäki P. 2010. Protecting probiotic bacteria by microencapsulation: challenges for industrial application. Eur Food Res Technol 231: 1 – 12. Sarmento B, Ribeiro A, Veiga F, Sampaio P, Neufeld R, dan Ferreira D. 2007. Alginat/chitosan Nanoparticles are Effective for Oral Insulin Delivery. Pharmaceutical Res 24: 2198 – 2206. Shah NP. 2007. Functional culture and health benefits. International Dairy Journal 17: 1262 – 1277. Shariff, A., Manna P. K., Paranjhothy K. L. K., dan Manjula M. 2007. Entrapment of andrographolide in cross-linked alginate pellets: I. Formulation and evaluation of associated release kinetics. Pak. J. Pharm. Science 20(1): 1 – 9. Sheu TY, Marshall RT. 1993. Microencapsulation of Lactobacilli in calcium alginate gels. Journal of Food Science 54: 557 – 561. Sirait CH. 1993. Pengolahan Susu Tradisional untuk Perkembangan Agroindustri Persusuan di Pedesaan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak. Ciawi, Bogor. Sirait CH, Setiyanto H, Triyantini dan Sunarlim R. 1984. Evaluasi Mutu Dadih di Daerah Produsen. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. Stanley G. 1998. Microbiology of Fermented Milk Products. In: Early R. (ed). The Technology of Dairy Products. 2nd ed. London: Blackie Academic & Profesional, pp 50 – 80. Sugitha IM. 1995. Dadih Makanan Tradisional Minang: Manfaat dan Khasiatnya. Di Dalam Widyakarya Nasional Khasiat Makanan Tradisional. Kantor Menteri Negara Urusan Pangan RI, Jakarta. Hal 532 – 540. Sultana K, Godward G, Reynolds N, Arumugaswamy R, Peiris P, dan Kailasapathy K. 2000. Encapsulation of probiotics bacteria with alginate starch and evaluation of survival in simulated gastrointestinal conditions and in yoghurt. International Journal of Food Microbiology 62: 47–55. Suprihanto AJ. 2009. Pengaruh Jenis Bakteri Asam Laktat terhadap Kualitas Dadih Susu Sapi Probiotik selama Penyimpanan dalam Suhu Ruang dan Suhu Rendah [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Talwakar A, Kailasapathy K. 2004. The role of oxygen in the viability of probiotic bacteria with reference to L. acidophilus and Bifidobacterium spp. Curr. Issues Intest. Microbiol 5: 1 – 8. Tamime AY, Robinson AK. 1989. Yoghurt Science and Technology. Oxford: Pergamon Press Ltd. Tamime AY, Skriver A dan Nilsson LE. 2006. Starter Cultures. In: Tamime AY. (ed). Fermented Milk. UK: Blackwell Publishing. pp 11 – 51. Taufik E. 2004. Dadih susu sapi hasil fermentasi berbagai starter bakteri probiotik yang disimpan pada suhu rendah: Karakteristik Kimiawi. Media Peternakan, Edisi Desember: 88 – 100. Triana E, Yulianto E dan Nurhidayat N. 2006. Uji viabilitas Lactobacillus sp. Mar 8 Terenkapsulasi. Biodiversitas 7 (2): 114 – 117. Varnam AH, Sutherland JP. 1994. Milk and Milk Product. London: Chapman and Hall. Vidhyalaksmi R, Bhakyaraj R dan Subhasree RS. 2009. Encapsulation “The future of probiotic”-A Review. Advance in Biological Research 3(3-4): 96 – 103. Widodo. 2003. Bioteknologi Industri Susu. Yogyakarta: Leticia Press. Widodo, Soeparno dan Wahyuni E. 2003. Bioenkapsulasi probiotik (Lactobacillus casei) dengan pollard dan tepung terigu serta pengaruhnya terhadap viabilitas dan laju pengasaman. Jurnal Teknologi Industri Pangan 14(2): 98 – 105.
37
Yudoamijoyo RM, Zoelfikar T, Herastuti SR, Tomomatsu A, Matsuyama A dan Hosono A. 1983. Chemical and Microbiological Aspect of Dadih in Indonesia. Japanese J. of Dairy and Food Science, 32 (1), A-10. Zakaria Y, Ariga H, Urashima T dan Toba T. 1998. Microbiological and Rheological Properties of The Indonesian Tradisional Fermented Milk Dadih. Milchwisschaft, 53, 30 – 33. http://ptp2007.files.wordpress.com/2008/01/hydrolysis.jpg [2 Januari 2010] http://blog.khymos.org/wp-content/2006/09/calcium-alginate.jpg [2 januari 2010]
38
LAMPIRA
39
Lampiran 1.
Prosedur pembuatan suspensi alginat
1. Pembuatan suspensi alginat tanpa filler Na-alginat
Aquades
Pencampuran
Sterilisasi 121 oC, 15 menit
Pendinginan suhu ruang
Suspensi alginat
2. Pembuatan suspensi alginat-filler Aquades
Na-alginat
Na-caseinate Na-alginat
Aquades Pencampuran Pencampuran
Sterilisasi 121 oC, 15 menit
Sterilisasi 121 oC, 15 menit
Pendinginan suhu ruang
Pendinginan hingga suhu 90 oC Suspensi alginat-caseinate Whey Aquades
Na-alginat
Pencampuran
Sterilisasi 121 oC, 15 menit
Pendinginan suhu ruang
Suspensi alginat-skim
Skim
Pencampuran
Sterilisasi 90 oC, 2 menit
Suspensi alginat-whey
* Pencampuran alginat dan aquades dilakukan dalam erlenmayer lalu dipanaskan dengan penangas air mendidih hingga alginat larut. Setelah itu dimasukan ke dalam botol untuk disterilisasi sesuai dengan massa yang dibutuhkan
40
Lampiran 2. Prosedur menghitung jumlah sel (Total Plate Count) 1. Jumlah sel dalam suspensi sel (kultur cair) Sebanyak 1 ml sampel dilarutkan dalam 9 ml garam fisiologis dan dilakukan pengenceran berseri. Sebanyak 1 ml dari sampel yang telah diencerkan disebarkan pada MRS agar dalam cawan petri. Kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 48 jam. Kuantifikas hasil sel/jumlah koloni dihitung berdasarkan SNI 2981:2009.
2. Metode perhitungan jumlah sel pada beads basah dan kering (Sheu dan Marshal 1993) Sebanyak 1 gram beads basah disuspensikan ke dalam 9 ml bufer fosfat (0,1 M, pH 7,1 ± 0,2) (pengenceran 10-1) lalu divorteks selama 30 menit hingga beads hancur dan diencerkan berseri menggunakan garam fisiologis. Setelah itu dilakukan pemupukan dalam cawan petri dengan metode tuang menggunakan MRS agar dan dinkubasi pada suhu 37 oC selama 48 jam. Sedangkan untuk beads kering sebanyak 0,1 gram disuspensikan dalam 9,9 ml bufer fosfat (pengenceran 10-2) lalu divorteks selama 30 menit dan diencerkan berseri menggunakan garam fisiologis lalu dilakukan pemupukan dalam MRS agar dan diinkubasi pada 37 oC selama 48 jam.
3. Total probiotik dalam dadih (SI 2981:2009) Sebanyak 25 gram dadih dilarutkan dalam 225 ml buffer pepton water (BPW) (pengenceran 10-1) lalu dikocok hingga homogen. Kemudian dilakukan pengenceran berseri. Sebanyak 1 ml dari tabung pengencer disebarkan pada MRS agar dalam cawan petri. Setelah agar mengeras lalu diinkubasi pada suhu 37 oC selama 48 jam. Kuantifikasi hasil sel/jumlah koloni dihitung berdasarkan SNI 2981:2009.
41
Lampiran 3. Prosedur pengujian pH, total asam tertitrasi, dan viskositas 1. Prosedur pengujian pH dan total asam tertitrasi (AOAC, 1995) Pengukuran nilai pH dadih dilakukan menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi dengan standar buffer pH 4.0 dan 7.0. Sedangkan total asam tertitrasi dihitung dengan cara memasukan 10 ml sampel ke dalam erlenmayer lalu ditambahkan tiga tetes indikator phenophtalein 1%. Kemudian sampel dititrasi dengan NaOH 0,1 N yang telah distandarisasi sampai timbul warna merah muda. Total asam diasumsikan sebagai total asam laktat.
Total asam tertitrasi (% asam laktat) =
V NaOH x N NaOH x 90 x 100% Vol sampel x 1000
2. Prosedur pengujian viskositas (AOAC, 1995) Viskositas diukur dengan alat Rheometer. Sebanyak 100 ml sampel ditempatkan dalam wadah. Spindel (#05, 100 rpm) kemudian dicelupkan ke dalam sampel sampai tanda tera, kemudian tombol motor on/off dinyalakan dan spindel dibiarkan berputar kurang lebih 1 menit. Angka yang muncul pada layar setelah spindel berputar selama 1 menit dicatat sebagai nilai viskositas sampel.
42
Lampiran 4. Hasil pengukuran rendemen dan ukuran beads pada berbagai konsentrasi alginat Konsentrasi alginat 2%
Kode Perlakuan A1
1
Massa suspensi (g) 20.0032
Massa beads (g) 10.8896
2
20.0123
9.9017
Ulangan
Rataan 3%
A2
A3
1
20.0017
14.6536
2
20.0001
15.1210
A4
49.5 ± 75.6 ±
1
20.0170
18.0273
90.1
2
20.0096
18.3291
91.6 90.8
±
1
20.0045
18.4550
92.3
2
20.0142
17.8459
89.2
Rataan
3.5
73.3 74.4
Rataan 5%
54.4 52.0
Rataan 4%
Yield (%)
90.7
±
1.7
1.1
2.2
Diameter beads (mm)
2%
3%
4%
5%
1
2.30
3.10
3.25
2.90
2
2.40
2.90
3.20
2.90
3
2.40
3.00
3.20
2.70
4
2.35
3.00
3.15
2.80
5
2.45
3.10
3.05
2.70
6
2.45
3.10
3.20
2.60
7
2.50
3.10
3.15
2.80
8
2.30
3.20
3.10
2.80
9
2.50
3.10
3.20
2.70
10
2.45
3.05
3.10
2.80
Rataan
2.4 ± 0.1
3.1 ± 0.1
3.2 ± 0.1
2.8 ± 0.1
43
Lampiran 5. Hasil analisis statistik pengukuran rendemen dan ukuran beads pada berbagai konsentrasi alginat 1. Variabel terikat: Rendemen Derajat bebas
Sumber keragaman
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
Konsentrasi alginat
3
2029.78
676.59
Galat
4
20.58
5.14
Total
7
2050.36
Rataan umum Koefisien keragaman
F-hitung 131.51
Pr > F 0.0002
: 77.00 : 2.94%
Uji Duncan Taraf nyata α : 0.05 ilai tengah Wilayah kritis
2
3
4
6.298
6.436
6.469
Rata-rata dengan huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata Kelompok Duncan
Rataan
Ulangan
PERLAKUA
A
90.850
2
A3
A
90.750
2
A4
B
74.450
2
A2
C
51.950
2
A1
44
2. Variabel terikat: Ukuran (diameter) Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F-hitung
Pr > F
183.18
<.0001
Konsentrasi alginate
3
3.42
1.141
Galat
36
0.22
0.006
Total
39
3.65
Rataan umum Koefisien keragaman
: 2.85 : 2.77%
Uji Duncan Taraf nyata α : 0.05 ilai tengah Wilayah kritis
2
3
4
0.072
0.075
0.078
Rata-rata dengan huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata Kelompok Duncan
Rataan
Ulangan
PERLAKUA
A
3.16
10
A3
B
3.06
10
A2
C
2.77
10
A4
D
2.41
10
A1
45
Lampiran 6. Hasil pengukuran rendemen dan ukuran beads pada berbagai perbandingan alginat-bahan pengisi
Filler
Tanpa filler
Perban -dingan
1:0
Total padatan 4% Alginat Filler 4%
0%
Kode Perla kuan B1
Ulang an
Massa suspensi (g)
Massa beads (g)
Yield (%)
1
20.0170
18.0273
90.1
2
20.0096
18.3291
91.6
rataan 1:1
2.00%
2.00%
B2
90.8
1
20.0306
10.6735
53.3
2
20.0013
10.2751
51.4
rataan Whey
2:1
2.67%
1.33%
B3
52.3
3.00%
1.00%
B4
20.0034
15.5692
77.8
2
20.0014
16.3697
81.8 79.8
2.00%
2.00%
B5
20.0146
16.8964
84.4
2
20.0084
16.4511
82.2
1
20.0024
12.5451
62.7
2
20.0059
13.1562
65.8
83.3
rataan Sodium Caseinate
2:1
2.67%
1.33%
B6
64.2
3.00%
1.00%
B7
2.00%
2.00%
B8
15.5739
77.9
2
20.1195
15.9913
79.5 78.7
2:1
2.67%
1.33%
B9
20.0042
16.3329
81.6
2
20.0037
17.0565
85.3
1
20.0007
11.0630
55.3
2
20.0043
11.8453
59.2
83.5
57.3
3.00%
1.00%
B10
± 2.6
± 2.8
1
20.0429
16.3466
81.6
2
20.0004
15.9766
79.9
rataan 3:1
± 1.1
1
rataan Skim
± 2.2
20.0022
rataan 1:1
± 1.6
1 rataan 3:1
± 2.8
1 rataan 1:1
± 1.4
1 rataan 3:1
± 1.1
80.7
± 1.2
1
20.0013
16.6995
83.5
2
20.0035
17.0424
85.2
rataan
84.3
± 1.2
46
Diameter beads (mm) n
Whey
Sodium Caseinate
Skim
Tanpa Filler (Alginat 4%)
1:1
2:1
3:1
1:1
2:1
3:1
1:1
2:1
3:1
1
3.25
2.00
2.95
3.10
2.05
2.70
3.00
2.40
2.60
3.00
2
3.20
1.85
2.95
3.15
2.25
2.60
3.20
2.10
2.70
3.10
3
3.20
2.10
2.70
3.00
2.05
2.70
3.20
2.15
2.75
3.10
4
3.15
2.00
2.70
3.20
1.95
2.75
2.80
2.00
2.90
2.90
5
3.05
1.90
3.10
2.85
2.25
2.75
3.00
1.90
2.65
3.05
6
3.20
2.00
2.95
3.00
1.95
2.60
2.90
2.25
2.80
2.95
7
3.15
2.05
2.75
3.05
2.00
2.75
3.10
2.05
2.70
2.80
8
3.10
2.10
2.70
3.10
2.10
2.75
3.20
2.10
2.70
3.15
9
3.20
2.00
2.80
2.80
2.25
2.80
3.00
2.00
2.80
3.05
10
3.10
1.85
2.80
2.95
2.20
2.55
3.00
1.85
2.65
3.20
Rataan
3.2
±
0.1
2.0
±
0.1
2.8
±
0.1
3.0
±
0.1
2.1
±
0.1
2.7
±
0.1
3.0
±
0.1
2.1
±
0.2
2.7
±
0.1
3.0
±
0.1
47
Lampiran 7. Hasil analisis statistik pengukuran rendemen dan ukuran beads pada berbagai perbandingan alginat-bahan pengisi 1. Variabel terikat: Rendemen Sumber keragaman
Derajat bebas
Perbandingan alginat-bahan pengisi
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F-hitung
9
2979.65
331.07
90.03
Galat
10
36.78
3.68
Total
19
3016.43
Rataan umum Koefisien keragaman
Pr > F <.0001
: 75.50 : 2.54%
Uji Duncan Taraf nyata α : 0.05 ilai tengah Wilayah kritis
2
3
4
5
6
7
8
9
10
4.273
4.465
4.578
4.651
4.699
4.731
4.753
4.767
4.776
Rata-rata dengan huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata Kelompok Duncan
Rataan
Ulangan
PERLAKUA
A
90.85
2
B1
B
84.35
2
B10
B
83.45
2
B7
B
83.30
2
B4
BC
80.75
2
B9
BC
79.80
2
B3
C
78.70
2
B6
D
64.25
2
B5
E
57.25
2
B8
F
52.35
2
B2
48
2. Variabel terikat: Ukuran (diameter) Sumber keragaman
Derajat bebas
Kuadrat tengah
Jumlah kuadrat
Perbandingan alginat-bahan pengisi
9
17.982
1.998
Galat
90
1.231
0.014
Total
99
19.213
Rataan umum Koefisien keragaman
F-hitung 146.07
Pr > F <.0001
: 2.67 : 4.38%
Uji Duncan Taraf nyata α : 0.05 ilai tengah Wilayah kritis
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0.104
0.109
0.113
0.116
.118
0.119
0.121
0.122
0.123
Rata-rata dengan huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata Kelompok Duncan
Rataan
Ulangan
PERLAKUA
A
3.16
10
B1
B
3.04
10
B7
B
3.03
10
B10
B
3.02
10
B4
C
2.84
10
B3
D
2.72
10
B9
D
2.70
10
B6
E
2.10
10
B5
EF
2.08
10
B8
F
1.98
10
B2
49
Lampiran 8. Hasil pengukuran efisiensi dan viabilitas Lb. casei terenkapsulasi pada berbagai jenis bahan enkapsulasi A
Perlakuan
Alginat 4% (1:0) Alginat-Whey (2:1) Alginat-Sodium Caseinate (2:1) Alginat-Skim (2:1)
B
C
D
E
F
G=E*F
Ulangan
Kode perlakuan
Massa suspensi algninat (gram)
Vol susp. sel yang ditambahkan (ml)
Pupulasi sel (cfu/ml susp. sel)
Jumlah sel total dalam suspensi alginat (cfu)
C1
20.0048 20.0062
0.020 0.020
7.0E+09 7.0E+09
C2
20.0026 20.0016
0.020 0.020
C3
20.0040 20.0052
C4
20.0080 20.0054
1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan
1.4E+08 1.4E+08
H = G / (D+E) Jumlah sel per gram susp. Alginat-sel (cfu/gram susp. Alginat-sel) 6.9E+06 6.9E+06
I Massa beads yang dihasilkan (gram) 18.5138 18.0092
7.0E+09 7.0E+09
1.4E+08 1.4E+08
6.9E+06 6.9E+06
14.9757 14.2029
0.020 0.020
7.0E+09 7.0E+09
1.4E+08 1.4E+08
6.9E+06 6.9E+06
14.1161 14.8247
0.020 0.020
7.0E+09 7.0E+09
1.4E+08 1.4E+08
6.9E+06 6.9E+06
14.2367 14.6283
A
B
Perlakuan
Ulangan
Alginat 4% (1:0)
Alginat-Whey (2:1) Alginat-Sodium Caseinate (2:1) Alginat-Skim (2:1)
1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan
L = log H Log jumlah sel dalam suspensi alginat 6.84 6.84 6.84 6.84 6.84 6.84 6.84 6.84
M = log J Log jumlah sel dalam beads 6.62 6.60 6.61 6.54 6.59 6.56 6.54 6.48 6.51 6.54 6.56 6.55
N=L–M Penurunan jumlah sel (siklus log) 0.22 0.24 0.23 0.30 0.26 0.28 0.30 0.36 0.33 0.30 0.29 0.29
J
K = (I*J)/G
Populasi sel dalam beads (cfu/gram beads)
Efisiensi enkapsulasi (%)
4.2E+06 4.0E+06 4.1E+06 ± 1.8E+05 3.5E+06 3.9E+06 3.7E+06 ± 2.8E+05 3.5E+06 3.0E+06 3.2E+06 ± 3.2E+05 3.5E+06 3.6E+06 3.6E+06 ± 7.1E+04
55.9 51.2 53.6 ± 3.4 37.2 39.3 38.3 ± 1.5 35.0 32.0 33.5 ± 2.2 35.8 37.9 36.9 ± 1.4
O = (M/N)*100% Viabilitas (%) 96.81 96.42 96.6 ± 0.3 95.56 96.26 95.9 ± 0.5 95.56 94.67 95.1 ± 0.6 95.65 95.83 95.7 ± 0.1
50
Lampiran 9. Hasil analisis statistik pengukuran efisiensi dan viabilitas Lb. casei terenkapsulasi 1. Variabel terikat: Efisiensi Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
Komposisi bahan pengkapsul
3
475.364
158.454
Galat
4
19.955
4.989
Total
7
495.319
Rataan umum Koefisien keragaman
F-hitung 31.76
Pr > F 0.0030
: 40.54 : 5.51%
Uji Duncan Taraf nyata α : 0.05 ilai tengah Wilayah kritis
2
3
4
6.201
6.337
6.370
Rata-rata dengan huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata Kelompok Duncan
Rataan
Ulangan
PERLAKUA
A
53.55
2
C1
B
38.25
2
C2
B
36.85
2
C4
B
33.50
2
C3
51
2. Variabel terikat: Viabilitas Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F-hitung 3.89
Komposisi bahan pengkapsul
3
2.144
0.714
Galat
4
0.735
0.185
Total
7
2.879
Rataan umum Koefisien keragaman
Pr > F 0.1113
: 95.86 : 0.45%
Uji Duncan Taraf nyata α : 0.05 ilai tengah Wilayah kritis
2
3
4
1.190
1.216
1.222
Rata-rata dengan huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata Kelompok Duncan
Rataan
Ulangan
PERLAKUA
A
96.60
2
C1
AB
95.95
2
C2
AB
95.75
2
C4
B
95.15
2
C3
52
Lampiran 10. Hasil pengukuran pH RSM selama inkubasi
0
10
18
24
30
40
48
1
6.49
6.28
5.16
4.99
4.85
4.89
4.48
Populasi L. casei pada akhir inkubasi (cfu/ml) 1.1E+07
2
6.49
6.32
5.21
5.00
4.84
4.73
4.58
1.0E+07
Rataan
6.49
6.30
5.19
5.00
4.85
4.81
4.53
1.1E+07 ± 9.2E+05
1
6.49
6.31
6.30
5.68
5.52
5.06
4.83
1.1E+07
2
6.49
6.36
6.32
5.65
5.73
5.00
4.61
9.4E+06
Rataan
6.49
6.34
6.31
5.67
5.63
5.03
4.72
1.0E+07 ± 7.8E+05
1
6.49
6.32
6.30
5.61
5.51
4.77
4.62
1.3E+07
2
6.49
6.33
6.32
5.69
5.56
5.09
4.90
1.6E+07
Rataan
6.49
6.33
6.31
5.65
5.54
4.93
4.76
1.5E+07 ± 2.1E+06
1
6.49
6.30
5.13
4.95
4.78
4.72
4.50
1.2E+07
2
6.49
6.31
5.18
4.97
4.74
4.78
4.46
1.1E+07
Rataan
6.49
6.31
5.16
4.96
4.76
4.75
4.48
1.1E+07 ± 7.8E+05
1
6.49
6.42
5.20
4.95
4.72
4.67
4.30
2.5E+08
2
6.49
6.40
5.18
4.93
4.60
4.44
4.28
2.2E+08
Rataan
6.49
6.41
5.19
4.94
4.66
4.56
4.29
2.3E+08 ± 2.3E+07
pH susu pada jam kePerlakuan
Alginat 4%
Alg-Whey (2:1)
Alg-SC (2:1)
Alg-Skim (2:1) L. casei Bebas (tidak dienkapsulasi)
Ulangan
53
Lampiran 11. Hasil pengukuran perubahan massa beads selama pengeringan
Kode sampel
Perlakuan
Massa beads
1 2 3 4
Alginat 4% Alginat 4% Skim (2:1) Skim (2:1)
5.0098 5.0211 5.0091 5.0131
Kode sampel 1 2 3 4
Perlakuan Alginat 4% Alginat 4% Rataan Skim (2:1) Skim (2:1) Rataan
0 5.0098 5.0211 5.0091 5.0131
0 97.24% 97.21% 97.23% 97.05% 96.96% 97.00%
1 2.1686 2.3420 1.9867 2.0761
Massa beads saat pengeringan pada jam ke2 3 4 5 6 0.9071 0.1739 0.1640 0.1630 0.1562 1.1942 0.2120 0.1660 0.1652 0.1588 0.4159 0.1735 0.1726 0.1702 0.1671 0.4749 0.1800 0.1745 0.1767 0.1725
7 0.1549 0.1557 0.1651 0.1687
8 0.1543 0.1546 0.1644 0.1672
1 93.62% 94.03% 93.82% 92.56% 92.65% 92.60%
Perubahan kadar air beads pada jam ke2 3 4 5 6 84.74% 20.41% 15.61% 15.09% 11.40% 88.29% 34.01% 15.72% 15.31% 11.90% 86.51% 27.21% 15.67% 15.20% 11.65% 64.44% 14.76% 14.31% 13.10% 11.49% 67.87% 15.22% 12.55% 13.64% 11.54% 66.15% 14.99% 13.43% 13.37% 11.51%
7 10.65% 10.15% 10.40% 10.42% 9.54% 9.98%
8 10.30% 9.51% 9.91% 10.04% 8.73% 9.38%
Massa beads kering 0.1384 0.1399 0.1479 0.1526
54
Lampiran 12. Hasil pengukuran viabilitas dan ketahanan Lb. casei terenkapsulasi selama proses pembuatan beads dan pengeringan Pembuatan beads basah A
B
C
D
E
F
Perlakuan
Ulangan
Kode perlakuan
Massa suspensi alginat (gram)
Vol susp. sel yang ditambahkan (ml)
Pupulasi sel (cfu/ml susp. sel)
C1
45.0021 45.0016
5.000 5.000
C4
45.0018 45.0014
5.000 5.000
Alginat 4% (1:0) AlginatSkim (2:1)
1 2 Rataan 1 2 Rataan
A
B
Perlakuan
Ulangan
Alginat 4% (1:0) Alginat-Skim (2:1)
1 2 Rataan 1 2 Rataan
9.9E+08 9.9E+08
G=E*F Jumlah sel total dalam bahan pengapsul (cfu) 5.0E+09 5.0E+09
H = G / (D+E) Jumlah sel per gram bahan pengapsul (cfu/gram susp. Alginat-sel) 9.9E+07 9.9E+07
9.9E+08 9.9E+08
5.0E+09 5.0E+09
9.9E+07 9.9E+07
L = log H Log jumlah sel dalam suspensi alginat 8.00 8.00 8.00 8.00
M = log J Log jumlah sel dalam beads 7.75 7.76 7.76 7.70 7.66 7.68
I
J
K = (I*J)/G
Massa beads yang dihasilkan (gram)
Populasi sel dalam beads (cfu/gram beads)
Efisiensi enkapsulasi (%)
5.6E+07 5.8E+07 5.7E+07 ± 1.4E+06 5.0E+07 4.6E+07 4.8E+07 ± 2.8E+06
53.28 51.89 52.58 37.34 33.01 35.18
47.0990 44.2818 36.9705 35.5179
N=L–M Penurunan jumlah sel (siklus log) 0.25 0.23 0.24 0.30 0.33 0.31
O = (M/N)*100% Viabilitas (%) 96.9 97.1 97.0 ± 0.1 96.3 95.8 96.1 ± 0.3
55
Pengeringan beads A
B
Perlakuan
Ulangan
Alginat 4% Alg-Skim (2:1)
1 2 Rataan 1 2 Rataan
C Populasi sel dalam beads basah (cfu/g) 5.6.E+07 5.8.E+07 5.7.E+07 5.0.E+07 4.6.E+07 4.8.E+07 A Perlakuan 4% Alg-Skim (2:1)
D Kadar air beads basah (%) 97.24% 97.21% 97.23% 97.05% 96.96% 97.00% B Ulangan 1 2 Rataan 1 2 Rataan
E Rendemen pengeringan (%) 3.1% 3.2% 3.1% 3.3% 3.4% 3.4%
F Kadar air beads kering (%) 11.40% 11.90% 11.65% 11.49% 11.54% 11.51%
G Populasi L. casei pada beads kering (cfu/g) < 1.00E+02 < 1.00E+02 < 1.00E+02 2.4.E+05 1.8.E+05 2.1.E+05
K = log (C*(1/(100% – D)))
L = log (G*(1/(100% – F)))
log cfu/gram beads basah basis kering 9.31 9.32 9.31 9.23 9.18 9.20
log cfu/gram beads kering basis kering < 2.05 < 2.06 < 2.05 5.44 5.32 5.38
H = log C
I = log G
J=H–I
Log cfu/g beads basah
Log cfu/g beads kering
Penurunan sel (siklus log)
7.75 7.76 7.76 7.70 7.66 7.68
< 2.00 < 2.00 < 2.00 5.38 5.26 5.32
> 5.75 > 5.76 > 5.76 2.32 2.40 2.36
M = (L/K)*100% Ketahanan (%) < 22.1 < 22.1 < 22.1 58.9 57.9 58.4 ± 0.7
56
Lampiran 13. Hasil pengukuran viskositas, pH, total asam tertitrasi, dan populasi L. casei pada dadih susu sapi
Perlakuan
Kode Perlakuan
Penggunaan L. casei terenkapsulasi kering secara langsung
D1
Penggunaan L. casei terenkapsulasi kering melalui pembuatan kultur kerja
D2
Penggunaan kultur kerja dari sel bebas
D3
Ulangan 1 2 3 Rataan 1 2 3 Rataan 1 2 3 Rataan
Viskositas (cp) 2208 1992 2242 2147 ± 136 2382 2798 2508 2563 ± 213 2420 2404 2078 2301 ± 193
pH 5.79 5.69 5.79 5.75 ± 0.06 5.53 5.47 5.65 5.55 ± 0.09 5.70 5.79 5.60 5.69 ± 0.10
Total asam tertitrasi (%) 0.70 0.63 0.68 0.67 ± 0.04 0.66 0.63 0.63 0.64 ± 0.02 0.60 0.59 0.60 0.60 ± 0.01
Populasi L. casei (cfu/ml) 1.5E+08 1.2E+08 1.6E+08 1.5E+08 ± 2.2E+07 2.4E+08 3.6E+08 2.3E+08 2.8E+08 ± 6.9E+07 1.5E+09 1.3E+09 1.0E+09 1.3E+09 ± 2.2E+08
57
Lampiran 14. Hasil analisis statistik pengukuran viskositas, pH, total asam tertitrasi, dan populasi L. casei pada dadih susu sapi 1. Variabel terikat: Viskositas Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
Aplikasi starter
2
264656.889
132328.444
Galat
6
202280.000
33713.333
Total
8
466936.889
Rataan umum Koefisien keragaman
F-hitung 3.93
Pr > F 0.0813
: 2336.9 : 7.86%
Uji Duncan Taraf nyata α : 0.05 ilai tengah Wilayah kritis
2
3
366.8
380.2
Rata-rata dengan huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata Kelompok Duncan
Rataan
Ulangan
PERLAKUA
A
2562.7
3
D2
AB
2300.7
3
D3
B
2147.3
3
D1
58
2. Variabel terikat : pH Sumber keragaman
Derajat bebas
Komposisi bahan pengkapsul
2
0.068
0.034
Galat
6
0.042
0.007
Total
8
0.109
Rataan umum Koefisien keragaman
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F-hitung 4.90
Pr > F 0.0548
: 5.67 : 1.47%
Uji Duncan Taraf nyata α : 0.05 ilai tengah Wilayah kritis
2
3
0.166
0.172
Rata-rata dengan huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata Kelompok Duncan
Mean
Ulangan
PERLAKUA
A
5.75
3
D1
AB
5.69
3
D3
B
5.55
3
D2
59
3. Variabel terikat : Total asam tertitrasi Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
Aplikasi starter
2
0.0082
0.0041
Galat
6
0.0033
0.0005
Total
8
0.0114
Rataan umum Koefisien keragaman
F-hitung 7.49
Pr > F 0.0234
: 2336.9 : 7.86%
Uji Duncan Taraf nyata α : 0.05 ilai tengah Wilayah kritis
2
3
0.0462
0.0483
Rata-rata dengan huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata Kelompok Duncan
Rataan
Ulangan
PERLAKUA
A
0.67
3
D1
AB
0.64
3
D2
B
0.60
3
D3
60
4. Variabel terikat : Populasi L. casei Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
Aplikasi starter
2
1.389
0.695
Galat
6
0.042
0.007
Total
8
1.431
Rataan umum Koefisien keragaman
F-hitung 99.72
Pr > F <.0001
: 8.56 : 0.97%
Uji Duncan Taraf nyata α : 0.05 ilai tengah Wilayah kritis
2
3
0.167
0.173
Rata-rata dengan huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata Kelompok Duncan
Rataan
Ulangan
PERLAKUA
A
9.09
3
D3
B
8.43
3
D2
C
8.16
3
D1
61