JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI)
VOL. 1 NO. 2 MEI 2011
MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA
Dwi Septa Aryani Politeknik PalComTech Palembang
Abstract This research entitled “Earning Management in the Manufacturing Company at the Indonesian Capital Market”. This research is aimed at analyzing factor influencing the motivation of management to conduct earning management. Earning management occurs when manager use judgement in financial reporting. Some factor influencing the motivation of earning management used in this research are motivation of bonus, motivation of debt to equity and motivation of political cost. Earning management was substituted (proxy) with discretionary accrual. The source of data used in this research is secondary data that found from Indonesian capital market consist of the data of annual financial report and other supported data. The sample of this research consist of 72 manufacturing company that publish annual financial report during 2004 – 2008. The method of analysis used in this research is descriptive analysis and multiple linear regression. This result of this research show that (1) in partial method, motivation of bonus (ROA) had positive but not significant influence on earning management. Motivation of debt to equity (leverage) had positive and significant influence on earning management. While, motivation of political cost (size) had negative and significant influence on earning management .It means that leverage and size can be motivate manager to conduct earning management. (2) in simultaneous, motivation of bonus (ROA), motivation of debt to equity (leverage) and motivation political cost (size) had positive and significant influence of earning management. Keywords : Earning Management, Motivation Of Bonus, Motivation Of Debt To Equity, Motivation Of Political Cost.
PENDAHULUAN Laporan keuangan merupakan salah satu sumber informasi yang secara formal wajib dipublikasikan sebagai sarana pertanggungjawaban pihak manajemen terhadap pengelolaan sumber daya pemilik (Schipper dan Vincent, 2003). Penyampaian informasi melalui laporan keuangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak eksternal maupun internal yang kurang memiliki wewenang dalam memperoleh informasi yang mereka butuhkan dari sumber langsung perusahaan. Sehingga laporan keuangan tersebut diharapkan dapat memberikan informasi kepada investor dalam mengambil keputusan. Pada lingkungan pasar modal, laporan keuangan yang dipublikasikan merupakan sumber informasi sangat penting yang dibutuhkan oleh sebagian besar pemakai laporan dan atau pelaku pasar serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan emiten untuk mendukung pengambilan keputusan. Salah satu informasi yang terdapat di dalam laporan keuangan adalah informasi mengenai laba perusahaan. Menurut PSAK No.1 informasi
200
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI)
VOL. 1 NO. 2 MEI 2011
laba diperlukan untuk menilai perubahan potensi sumber daya ekonomis yang mungkin dapat dikendalikan di masa depan, menghasilkan arus kas dari sumber daya yang ada, dan untuk perumusan pertimbangan tentang efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan tambahan sumber daya (IAI, 2007). Dalam laporan keuangan, komponen laba menjadi pusat perhatian pihak pemakai (Beattie dkk, 1994). Hal ini dikarenakan pihak pemakai menganggap laba dapat mencerminkan kinerja manajemen perusahaan selama periode tertentu dan bisa dipergunakan untuk memperkirakan prospek perusahaan di masa depan. Laba yang dipublikasikan dapat memberikan respon yang bervariasi, yang menunjukkan adanya reaksi pasar terhadap informasi laba (Cho dan Jung, 1991). Dengan kata lain, laba yang dilaporkan memiliki kekuatan respon. Prinsip Akuntansi Berlaku Umum (PABU) memperbolehkan berbagai alternatif dalam menyusun laporan keuangan. Hal ini menjadikan manajemen perusahaan memiliki keleluasaan untuk mengganti suatu metode akuntansi dengan metode akuntansi lainnya, yang dapat memodifikasi nilai nominal laba yang aktual (Sulistyanto,2008). Kondisi ini dikenal dengan manajemen laba. Definisi manajemen laba hingga saat ini masih menjadi kontroversi. Sebagian pihak menilai manajemen laba merupakan perbuatan curang yang melanggar prinsip akuntansi. Setiawati dan Na’im (2000) menyatakan bahwa manajemen laba merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan, dan menambah bias dalam laporan keuangan serta mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa. Sedangkan pihak lainnya mengatakan bahwa manajemen laba tidak harus dikaitkan dengan upaya memanipulasi data atau informasi akuntansi tetapi bisa dikaitkan dengan pemilihan metode akuntansi untuk mengatur keuntungan yang bisa dilakukan karena memang diperkenankan menurut akuntansi (Davidson, 1987). Hal ini sesuai dengan teori akuntansi positif yang memperkenankan manajer untuk memilih suatu metode akuntansi tertentu (Watts and Zimmerman, 1986). Adanya praktek manajemen laba sebagai bagian dari laporan keuangan mengakibatkan fakta tentang kondisi ekonomis perusahaan tidak disajikan sebenarnya sehingga laba yang diharapkan dapat memberikan informasi untuk mendukung pengambilan keputusan menjadi diragukan. Upaya menyelewengkan informasi dilakukan manajer dengan mempermainkan komponen-komponen dalam laporan keuangan, baik dengan mempermainkan besar kecilnya laba maupun menyembunyikan atau menunda pengungkapan komponen tertentu. Ada beberapa cara yang dapat digunakan manajer untuk mempermainkan besar kecilnya laba. Permainan manajerial terhadap komponen laporan keuangan dapat dilihat pada tabel berikut : No Permainan Manajerial 1. Mencatat pendapatan terlalu cepat 2. Mencatat pendapatan palsu 3. Mengakui pendapatan lebih cepat satu periode 4. Mengakui biaya periode berjalan menjadi biaya periode sebelum atau sesudahnya. 5. Tidak mengungkapkan semua kewajibannya. 6. Mengakui pendapatan periode berjalan menjadi pendapatan periode sebelumnya. 7. Mengakui pendapatan masa depan Sumber: Davin 2005
201
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI)
VOL. 1 NO. 2 MEI 2011
Upaya permainan manajerial dapat dilakukan tanpa harus melanggar standar akuntansi yang selama ini digunakan secara umum, hanya dengan mengganti metode dan prosedur tertentu dengan metode dan prosedur akuntansi yang lain sesuai dengan keinginan manajemen perusahaan. Upaya ini sulit dideteksi dan diketahui oleh pemakai informasi laporan keuangan, meskipun laporan keuangan menyertakan catatan yang menjelaskan secara rinci komponen dalam laporan keuangan itu. Alasannya, pertama pemakai laporan keuangan tidak mempunyai kemampuan yang memadai untuk memahami catatan laporan keuangan secara baik. Kedua tidak semua metode atau prosedur yang dipakai perusahaan dapat dipahami oleh pemakai laporan keuangan. Kesenjangan informasi mendorong manajer untuk berprilaku oportunitis dalam mengungkapkan informasi mengenai perusahaan. Manajer hanya akan mengungkapkan suatu informasi tertentu jika ada manfaat yang diperolehnya. Apabila tidak ada manfaat yang bisa diperoleh maka manajer akan menyembunyikan atau menunda pengungkapan informasi bahkan kalau diperlukan manajer akan mengubah informasi tersebut. Upaya mempermainkan informasi ini tidak selalu dilakukan manajer untuk membuat informasi menjadi lebih bagus dibandingkan dengan informasi sesungguhnya. Ada kalanya informasi justru diubah menjadi lebih buruk dibandingkan informasi sesungguhnya. Hal ini tergantung dengan motivasi yang mendasari manajemen tersebut. Setiawati dan Na’im (2000) merangkum berbagai hasil penelitian terdahulu untuk mendeteksi faktor-faktor penyebab terjadinya praktek manajemen laba yang terdiri dari praktek peningkatan dan penurunan laba. Praktek peningkatan laba terdiri dari tindakan manajer untuk meningkatkan laba bila sedang pada pelanggaran kesepakatan hutang untuk melaporkan kinerja yang baik pada kreditur, memaksimalkan kompensasi yang didasarkan pada kinerja akuntansi, memperoleh atau mempertahankan kendali perusahaan, pertimbangan pasar modal pada saat penawaran saham perdana, serta pertimbangan memperbaiki kinerja yang dilaporkan pada stakeholder. Sedangkan penurunan laba dilakukan manajer untuk memperoleh penghematan pajak, menyiasati peraturan pemerintah misalnya meminimalkan jumlah denda untuk mendapatkan fasilitas pemerintah, pertimbangan kondisi persaingan untuk mencegah masuknya pesaing baru. Ada berbagai motivasi yang diduga mendasari dan mendorong seorang manajer berprilaku oportunitis. Motivasi-motivasi tersebut akan mempengaruhi pola rekayasa manajerial yang dilakukan manajemen perusahaan. Teori akuntansi positif memiliki tiga hipotesis yang dijadikan dasar motivasi utama manajer melakukan manajemen laba yaitu bonus, kontrak hutang dan biaya politik (Watts & Zimmerman,1986). Pada motivasi bonus dinyatakan bahwa manajemen akan memperoleh bonus jika kinerja perusahaan mencapai target tertentu. Janji bonus ini akan memotivasi manajer untuk mengatur labanya pada tingkat tertentu sesuai dengan batas yang disyaratkan. Dalam hal ini, manajer akan melakukan manajemen laba dengan cara meningkatkan laba agar memperoleh kompensasi yang lebih besar dari perusahaan. Motivasi kedua yaitu motivasi kontrak hutang. Manajer akan melakukan manajemen laba secara agresif untuk mencegah pelanggaran terhadap kontrak hutang (Watts and Zimmerman, 1986). Defond dan Jiambalvo (1994) menunjukkan bukti bahwa manajer melakukan manajemen laba dengan cara meningkatkan laba untuk menghindari pelanggaran batasan hutang. Motivasi terakhir yaitu biaya politik di mana perusahaan yang lebih besar akan melakukan lebih banyak kebijakan yang akan menyebabkan laba menurun dengan maksud
202
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI)
VOL. 1 NO. 2 MEI 2011
mengurangi efek politis. Perusahaan besar cenderung menggunakan prosedur akuntansi menurunkan laba untuk tujuan mengurangi pembebanan pajak yang tinggi. Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, penulis ingin meneliti mengenai motivasi manajemen laba pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia. Setelah mengetahui motivasi manajer melakukan manajemen laba diharapkan digunakan oleh pimpinan perusahaan dalam menentukan kebijakan dan keputusan perusahaan di masa datang. TINJAUAN PUSTAKA Teori akuntansi positif dipelopori oleh Watts dan Zimmerman (1986). Tujuan teori akuntansi positif ialah menjelaskan, meramalkan, dan memberi jawaban atas praktik akuntansi. Watts dan Zimmerman (1986) berusaha mengungkapkan bahwa faktor-faktor ekonomi tertentu atau ciri-ciri suatu unit usaha tertentu bisa dikaitkan dengan perilaku manajer atau para pembuat laporan keuangan. Watts dan Zimmerman (1986) lebih khusus lagi mengungkapkan pengaruh variabel-variabel ekonomi terhadap motivasi manajer untuk memilih suatu metode akuntansi. Sehingga dapat dikatakan bahwa teori akuntansi positif ini lebih memfokuskan pada prediksi tindakan manajer ketika memilih suatu metode akuntansi yang akan digunakan serta bagaimana manajer merespon standar akuntansi yang baru. Pemberian fleksibilitas manajer dalam memilih suatu kumpulan kebijakan akuntansi dengan membuka kemungkinan perilaku oportunistik. Manajer akan memilih kebijakan akuntansi yang sesuai dengan tujuannya. Teori akuntansi positif menganggap bahwa manajer secara rasional akan memilih kebijakan akuntansi yang menurutnya baik. Ada tiga hipotesis dalam teori akuntansi positif yang dipergunakan untuk menguji perilaku etis dalam mencatat transaksi dan menyusun laporan keuangan yaitu: (Watts dan Zimmerman, 1986) a. The Bonus Plan Hypothesis Bonus plan hypothesis menyatakan bahwa “managers of firms with bonus plans are more likely to use accounting methods that increase current period reported income”. Hipotesis ini menyatakan bahwa rencana bonus atau kompensasi manajerial akan membuat manajer cenderung memilih dan menggunakan metodemetode akuntansi yang akan membuat laba yang dilaporkan menjadi lebih tinggi. Pada perusahaan yang memiliki rencana pemberian bonus, manajer perusahaan akan lebih memilih metode akuntansi yang dapat menggeser laba dari masa depan ke masa kini sehingga dapat menaikkan laba saat ini. Hal ini dikarenakan manajer lebih menyukai pemberian upah yang lebih tinggi untuk masa kini. b. The Debt to Equity Hypothesis (Debt Covenant Hypothesis) Debt to equity hypothesis yang menyatakan bahwa “the larger the firms debt to equity ratio, the more likely managers use accounting methods that increase income”. Dalam konteks perjanjian hutang manajer akan mengelola dan mengatur labanya agar kewajiban hutangnya yang seharusnya diselesaikan pada tahun tertentu dapat ditunda untuk tahun berikutnya. Pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity tinggi, manajer perusahaan cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat meningkatkan pendapatan atau laba. Perusahaan dengan rasio debt to equity yang tinggi akan mengalami kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditor bahkan perusahaan terancam melanggar perjanjian utang.
203
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI)
VOL. 1 NO. 2 MEI 2011
c. The Political Cost Hypothesis Political cost hypothesis yang menyatakan bahwa “larger firms rather than small firms are more likely to use accounting choices that reduce reported profits”. Hipotesis ini menyatakan pada perusahaan besar yang memiliki biaya politik tinggi, manajer akan lebih memilih metode akuntansi yang menangguhkan laba yang dilaporkan dari periode sekarang ke periode masa mendatang sehingga dapat memperkecil laba yang dilaporkan. Biaya politik muncul dikarenakan profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat menarik perhatian media dan konsumen. Definisi manajemen laba sampai saat ini masih menjadi kontroversi. Sebagian pihak menilai manajemen laba merupakan aktivitas yang lumrah dilakukan manajer dalam menyusun laporan keuangan, apalagi jika upaya rekayasa manajerial ini dilakukan dalam ruang lingkup akuntansi (Davidson, Stickey & Weil, 1987; Scott, 1995). Sementara sebagian lain menilai manajemen laba sebagai perbuatan curang yang melanggar prinsip akuntansi (Schipper,1989; Healy & Wahlen, 1999; Setiawati dan Na’im, 2000). Upaya ini dilakukan dengan memanfaatkan metode dan standar akuntansi yang ada untuk mengelabui pemakai laporan keuangan. Secara umum ada beberapa definisi tentang manajemen laba: a. Pihak Pendukung Manajemen Laba 1. Davidson, Stickey dan Weil (1987) Earning management is the process of taking deliberate steps within the constrains of generally accepted accounting principles to bring about desired level of reported earnings. (Manajemen laba merupakan proses untuk mengambil langkah tertentu yang disengaja dalam batas-batas prinsip akuntansi berterima umum untuk menghasilkan tingkat yang diinginkan dari laba yang dilaporkan). 2. Scott (1995 : 351) Earning management is given that managers can choose accounting policies from a set (for example GAAP), it is natural to expect that they will choose policies so as to maximize their own utility and/or the market value of the firm. (Manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dari standar akuntansi yang ada dan secara alamiah dapat memaksimumkan utilitas mereka dan atau nilai pasar perusahaan) b. Pihak Tidak Mendukung Manajemen Laba 1. Schipper (1989 : 92) Earning management is a purpose intervention in the external financial reporting process, with the intent of obtaining some private gain (a opposed to say, merely faciliting the neutral operation of the process). (Manajemen laba ialah campur tangan dalam proses penyusunan pelaporan keuangan external, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi (Pihak yang tidak setuju mengatakan bahwa hal ini hanyalah upaya untuk menfasilitasi operasi yang tidak memihak dari sebuah proses).
204
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI)
VOL. 1 NO. 2 MEI 2011
2. Healy dan Wahlen (1999) Earning management occurs when managers used judgment in financial reporting and in structuring transactions to alter financial reports to either mislead some stakeholders about underlying economic performance of the company or to influence contractual outcomes that depend on the reported accounting numbers. (Manajemen laba muncul ketika manajer menggunakan keputusan tertentu dalam pelaporan keuangan dan mengubah transaksi untuk mengubah laporan keuangan untuk menyesatkan stakeholder yang ingin mengetahui kinerja ekonomi yang diperoleh perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontrak yang menggunakan angka-angka akuntansi yang dilaporkan). 3. Setiawati dan Na’im (2000 : 425) Manajemen laba ialah upaya campur tangan manajemen dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Walaupun menggunakan terminologi yang berbeda, definisi-definisi itu mempunyai benang merah yaitu menyepakati bahwa manajemen laba merupakan aktivitas manajerial untuk mempengaruhi dan mengintervensi laporan keuangan. Manajemen laba biasanya diteliti dengan cara peneliti membentuk hipotesis dimana manajemen laba kemungkinan bisa muncul dan menguji kemungkinan tersebut dengan metode yang tepat. Secara umum ada tiga pendekatan untuk mendeteksi manajemen laba (Sulistyanto, 2008: 211) yaitu : 1. Model berbasis aggregate accrual yaitu model yang digunakan untuk mendeteksi aktivitas rekayasa ini dengan menggunakan discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba. Model ini dikembangkan oleh Healy (1985), DeAngelo (1986), Jones (1991), Dechow, Sloan dan Sweeney (1995). 2. Model yang berbasis specific accruals yaitu pendekatan yang menghitung akrual sebagai proksi manajemen laba dengan menggunakan item laporan keuangan tertentu dari industri tertentu pula, misalnya cadangan kerugian piutang dari industri asuransi. Model ini pertama kali dikembangkan oleh McNichols dan Wilson (1988). 3. Model berbasis distribution of earnings after management yaitu pendekatan dengan melakukan pengujian secara statistik terhadap komponen-komponen laba untuk mendeteksi faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan laba. Model ini pertama kali dikembangkan oleh Burgtahler dan Dichev (1997). Namun dari ketiga model tersebut hanya model berbasis aggregate accrual yang dinilai sebagai model yang memberikan hasil paling kuat dalam mendeteksi manajemen laba. Alasannya model empiris ini sejalan dengan akuntansi berbasis akrual yang dipergunakan oleh dunia usaha dan model empiris ini menggunakan semua komponen laporan keuangan untuk mendeteksi rekayasa keuangan. Beberapa model empiris berbasis aggregate accrual untuk mendeteksi manajemen laba ialah: 1. Model Healy (1985) Model Healy mendeteksi manajemen laba dengan menghitung nilai total akrual yaitu mengurangi laba akuntansi yang diperoleh selama satu periode tertentu dengan arus kas operasi periode yang bersangkutan. Perhitungan nondiscretionary accruals model Healy dengan membagi rata-rata total akrual dengan total aktiva periode sebelumnya. Ada kelemahan mendasar dalam model Healy yang diindikasikan oleh Dechow dkk (1995) bahwa total akrual yang digunakan
205
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI)
VOL. 1 NO. 2 MEI 2011
sebagai proksi manajemen laba mengandung nondiscretionary accruals. Padahal nondiscretionary accruals merupakan komponen total akrual yang tidak bisa dikelola atau diatur oleh manajer seperti halnya komponen discretionary accruals. 2. Model DeAngelo (1986) Model DeAngelo mengukur manajemen laba dengan nondiscretionary accrual, yaitu dihitung dengan menggunakan total akrual akhir periode yang diskala dengan total aktiva periode sebelumnya. Seandainya nondisdretionary accrual selalu konstan setiap saat dan discretionary accruals mempunyai rata-rata sama dengan nol selama periode estimasi, maka kedua model ini akan mengukur discretionary accrual tanpa kesalahan. Namun, apabila nondiscretionary accrual berubah dari periode ke periode, maka kedua model ini akan mengukur discretionary accrual dengan kesalahan. 3. Model Jones (1991) Model Jones tidak lagi menggunakan asumsi bahwa nondiscretionary accrual adalah konstan. Model ini menggunakan dua asumsi sebagai dasar pengembangan yaitu akrual periode berjalan (current accruals) dan gross property, plant, and equipment. Secara implisit model Jones mengasumsikan bahwa pendapatan merupakan nondiscretionary. Apabila laba dikelola dengan menggunakan pendapatan discretionary accrual, maka model ini akan menghapus bagian laba yang dikelola untuk proksi discretionary accrual. 4. Model Jones Dimodifikasi (Dechow, Sloan dan Sweeney,1995) Model Jones Dimodifikasi merupakan modifikasi dari model Jones yang didesain untuk mengeliminasi kecenderungan untuk menggunakan perkiraan yang bisa salah dari model Jones untuk menentukan discretionary accruals ketika discretion melebihi pendapatan. Sama halnya dengan model manajemen laba berbasis aggregate accrual yang lain, model ini menggunakan discretionary accrual sebagai proksi manajemen laba. Kelebihannya, model ini memecah total akrual menjadi empat komponen utama akrual, yaitu discretionary current accrual, discretionary long term accrual, dan nondiscretionary long term accruals. Discretionary current accrual dan nondiscretionary current accrual merupakan akrual yang berasal dari aktiva lancar. Sedangkan discretionary long term accrual dan nondiscretionary long term accruals merupakan akrual dari aktiva tidak lancar. Dalam rencana bonus atau kompensasi manajerial, pemilik perusahaan berjanji bahwa manajer akan menerima sejumlah bonus jika kinerja perusahaan mencapai jumlah tertentu. Penelitian yang terkait dengan motivasi bonus menyatakan bahwa manajer berusaha memanipulasi laba untuk memaksimalkan nilai sekarang dari pembayaran bonus (Holthausen, 1995). Penelitian mengenai pengaruh motivasi bonus terhadap manajemen laba pernah dilakukan oleh Dechow dan Sloan (1991), Defond dan Jiambalvo (1994), dan Yulianti (2005). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa motivasi bonus (ROA) berpengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba. Artinya semakin besar bonus yang akan diperoleh manajer, maka semakin besar pula motivasi manajer untuk melakukan manajemen laba. Akan tetapi pengaruh ROA terhadap manajemen laba tidak ditemukan dalam penelitian Machfoedz (1994). Hipotesis untuk motivasi bonus dan manajemen laba ialah:
206
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI)
VOL. 1 NO. 2 MEI 2011
H1a : Motivasi bonus mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia. Struktur permodalan perusahaan biasanya terdiri dari modal internal dan eksternal. Modal yang diperoleh dari pihak eksternal berupa pinjaman dari kreditur. Pinjaman tersebut tentunya menuntut adanya pertanggungjawaban perusahaan baik dalam pemakaian maupun pengembalian pinjaman. Pihak kreditor akan selalu memantau dan memerlukan informasi mengenai keadaan keuangan perusahaan untuk meyakinkan bahwa perusahaan akan dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Berdasarkan hipotesis kontrak hutang, perusahaan akan melakukan manajemen laba secara agresif untuk mencegah pelanggaran terhadap kontrak hutang (Watts and Zimmerman, 1986). Oleh karena itu, besarnya hutang perusahaan akan memotivasi manajemen untuk melakukan manajemen laba. Variabel hutang dapat diukur dengan leverage (Halim dkk,2005; Permatasari, 2005). Leverage merupakan rasio antara total kewajiban dengan total modal perusahaan Semakin besar rasio leverage, berarti semakin tinggi nilai utang perusahaan. Ukuran ini berhubungan dengan keberadaan dan ketat tidaknya suatu persetujuan utang. Perusahaan yang mempunyai rasio leverage tinggi diduga melakukan manajemen laba karena perusahaan akan mengalami kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditor bahkan perusahaan terancam tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran utang pada waktunya. Defond dan Jiambalvo (1994) dan Sweeney (1994) menyatakan bahwa manajemen akan melakukan peningkatan laba (income increasing accruals) untuk menghindari pelanggaran batasan hutang Penelitian mengenai motivasi kontrak hutang motivasi kontrak hutang pernah dilakukan oleh Sweeney (1994), Defond dan Jiambalvo (1994), Field dkk (2001), Widyaningdyah (2001), Damayanthi (2005), Halim (2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi kontrak hutang (leverage) berpengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba. Semakin besar leverage yang akan dimiliki perusahaan, maka semakin besar pula motivasi manajer untuk melakukan manajemen laba. Sehingga dari hipotesis dapat disimpulkan bahwa motivasi bonus berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis untuk motivasi kontrak hutang dan manajemen laba ialah: H1b : Motivasi kontrak hutang mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia. Ukuran perusahaan ialah suatu skala di mana dapat diklasifikasikan besar kecil perusahaan. Watts dan Zimmerman (1986) dalam teori akuntansi positif menyatakan bahwa ukuran perusahaan digunakan sebagai pedoman biaya politik dan biaya politik akan meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran dan risiko perusahaan. Ukuran perusahaan berpengaruh negatif dengan manajemen laba. Hal ini terjadi karena perusahaan besar cenderung menggunakan prosedur akuntansi yang menurunkan laba untuk tujuan pajak. Penelitian mengenai pengaruh ukuran perusahaan dengan manajemen laba pernah diteliti oleh Han dan Wong (1998), Field dkk (2001), Widyaningdyah (2001), Damayanthi (2005), Yulianti (2005), dan Halim (2005). Penelitian tersebut memperoleh hasil signifikan, sehingga ukuran perusahaan berpengaruh terhadap manajemen laba. Namun, hasil penelitian Machfoedz (1994) menunjukkan hasil sebaliknya yaitu ukuran perusahan
207
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI)
VOL. 1 NO. 2 MEI 2011
tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis untuk motivasi biaya politik dan manajemen laba ialah : H1c : Motivasi biaya politik mempunyai pengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia. Berdasarkan teori-teori yang melandasi beberapa hipotesis sebelumnya di atas, maka hipotesis untuk melihat pengaruh secara simultan antara motivasi bonus, kontrak hutang, biaya politik terhadap manajemen laba yaitu: H1d : Motivasi bonus, motivasi kontrak hutang dan motivasi biaya politik secara simultan berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia Secara skematis motivasi yang dapat mempengaruhi manajer dalam melakukan manajemen laba, dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini: ε Motivasi Bonus (ROA) Motivasi Kontrak Hutang (Leverage)
Manajemen Laba (Discretionarry Accruals)
Motivasi Biaya Politik (Ukuran Perusahaan )
Keterangan :
Pengaruh Parsial Pengaruh Simultan
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia. Dipilihnya BEI sebagai tempat penelitian karena BEI merupakan bursa di Indonesia yang dianggap memiliki data yang lengkap dan telah terorganisasi dengan baik. Dari beberapa industri tersebut peneliti hanya mengambil perusahaan manufaktur. Pertimbangan untuk memilih perusahaan manufaktur karena jumlah perusahaan manufaktur lebih banyak daripada industri lainnya sehingga populasi dan sampel yang diambil bisa lebih besar.
208
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI)
Nama Variabel Variabel Independen
Variabel Dependen
Variabel Penelitian Motivasi Bonus (MB)
Definisi
Manajer berusaha mengatur laba bersih agar dapat memaksimalkan bonusnya. Motivasi Perjanjian kontrak Kontrak Hutang hutang manajer dengan (MKH) perusahaan Motivasi Biaya Aspek politik yang Politik tidak dapat dilepaskan (MBP) dari perusahaan, khususnya perusahaan besar dan industri strategis karena aktivitasnya melibatkan hajat hidup orang banyak. Manajemen Suatu intervensi Laba dengan maksud (ML) tertentu terhadap proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi
VOL. 1 NO. 2 MEI 2011
Indikator
Skala
ROA (watts dan Rasio Zimmerman,1986)
Leverage
Rasio
Ukuran Rasio Perusahaan (Watts dan Zimmerman)
Modified Model (Dechow, 1995)
Jones Rasio dkk.,
Metode analisis kuantitatif yang digunakan adalah melalui pembentukan model ekonomi yang kemudian akan diestimasi melalui pendekatan regresi. Hasil estimasi tersebut dianalisis secara deskriptif, yaitu dengan mendeskripsikan atau menjelaskan data yang digunakan secara kuantitatif. Hasil estimasi model ini diperoleh dari metode penghitungan dengan bantuan software SPSS (Statistical Package for The Social Science).. Data yang bersifat kuantitatif digunakan dalam rangka mengukur seberapa besar variabel bebas dapat mempengaruhi variabel terikat dengan menggunakan persamaan regresi berganda. Untuk mengetahui besarnya pengaruh motivasi bonus, motivasi kontrak hutang dan motivasi biaya politik baik secara parsial maupun secara simultan terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia, digunakan model regresi berganda sebagai berikut : DA = a + b1 ROA + b2 LEVERAGE + b3 UP + ε Dimana : DA = Discretionary Accrual (Manajemen laba) ROA = Return On Assets (Motivasi Bonus) LEVERAGE = Leverage (Motivasi Kontrak Hutang )
209
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI)
UP a b1 b2 b3 ε
VOL. 1 NO. 2 MEI 2011
= Ukuran Perusahaan (Motivasi Biaya Politik) = Konstanta = besarnya pengaruh ROA = besarnya pengaruh Leverage = besarnya pengaruh Ukuran Perusahaan = error
Sebelum melakukan estimasi parameter dan pengujian terhadap model yang terbentuk, terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap penyimpangan asumsi klasik dengan menggunakan : 1. Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel independen dan variabel dependen berdistribusi normal atau tidak. Cara untuk menguji normalitas adalah dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Apabila nilai ρ (asymp sig) > 0,05 maka data terdistribusi normal. Selain dengan uji kolmogorovSmirnov uji normalitas dapat dilihat pada grafik pp plot atau histogram (Ghozali, 2005 : 112) 2. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas adalah keadaan di mana antara dua atau lebih variabel independen pada model regresi terjadi hubungan linear yang sempurna atau mendekati sempurna. (Priyatno, 2009: 59). Model regresi yang baik mensyaratkan tidak adanya masalah multikolinearitas. Cara mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas dengan melihat nilai tolerance dan VIF. Jika tolerance lebih dari 0,1 dan VIF kurang dari 10 maka tidak terjadi multikolinearitas (Priyanto, 2009: 60). 3. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas ialah keadaan di mana terjadinya ketidaksamaan varian dari residual pada model regresi (Priyatno, 2009 : 60). Model regresi yang baik mensyaratkan tidak adanya heteroskedatisitas. Cara mendeteksi ada tidaknya masalah heteroskedatisitas dengan melihat pola titik-titik pada scatterplots. Jika titik-titik menyebar dengan pola yang tidak jelas di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y maka tidak terjadi masalah heteroskedastisitas. 4. Uji Autokorelasi Autokorelasi ialah keadaan di mana terjadinya korelasi dari residual pengamatan satu dengan pengamatan yang lain yang disusun menurut runtun waktu (Priyatno, 2009 : 61). Model regresi yang baik mensyaratkan tidak adanya masalah autokorelasi. Cara mendeteksi autokorelasi dapat dilakukan dengan uji DurbinWatson. Model regresi linear berganda terbebas dari autokorelasi jika nilai Durbin-Watson hitung terletak di daerah no autocorelasi. Penentuan letak no autocorelasi dibantu dengan tabel dl dan du serta jumlah variabel independen (Nugroho, 2005: 59).
210
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI)
VOL. 1 NO. 2 MEI 2011
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembentukan model manajemen laba pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia dilakukan dengan menggunakan model ekonometrika, yaitu model regresi linier berganda. Sebelum mengolah dan menganalisis output regresi yang dihasilkan adalah pengujian terhadap pelanggaran asumsi-asumsi regresi klasik yang terjadi, yaitu normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi. Tujuan dari pengujian ini adalah agar data yang akan diolah nanti sudah terbebas dari segala pelanggaran asumsiasumsi tersebut, sehingga pada akhirnya akan menghasilkan output yang BLUE (Best Linear Unbisaed Estimator). Jika terjadi pelanggaran terhadap asumsi-asumsi tersebut maka diperlukan perlakuan tertentu untuk membebaskan data tersebut dari pelanggaran yang terjadi. 1. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal atau tidak (Ghozali, 2005: 110-112). Pengujian normalitas data dapat dideteksi melalui uji one sample kolmogrov-smirnov. Hasil uji Kolmogrov – Smirnov masing-masing variabel pada penelitian ini memiliki nilai asymp. sig (2-tailed) lebih besar dari nilai signifikansi 0,05. Sehingga menunjukkan data memiliki pola distribusi normal. Oleh karena itu, model regresi memenuhi asumsi normalitas.
2. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antarvariabel bebas atau tidak (Ghozali, 2005: 91-92). Cara yang digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas yaitu berdasarkan pada nilai tolerance dan VIF. Nilai tolerance tidak berbahaya terhadap gejala multikolinearitas apabila lebih besar dari 0,10. Sedangkan nilai VIF yang baik ialah kurang dari 10 (Priyatno, 2009: 60). Pada penelitian ini diketahui bahwa semua variabel memiliki nilai tolerance lebih dari 0,10 dan nilai VIF kurang dari 10. Sehingga model penelitian ini bebas dari multikolinearitas. Model
Collinearity Statistics Tolerance VIF
(constant) ROA LEV UP
0,997 0,965 0,967
211
1,003 1,037 1,034
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI)
VOL. 1 NO. 2 MEI 2011
3. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain (Ghozali, 2005: 105), Pendeteksian heteroskedastisitas dalam persamaan regresi dapat dilihat dari grafik scatterplot. Grafik scatterplot dalam penelitian ini menunjukkan titik-titik menyebar di atas dan di bawah angko nol dan tidak membentuk suatu pola tertentu. Sehingga model regresi penelitian ini tidak terjadi heteroskedastisitas. Scatterplot
Dependent Variable: DA
Regression Studentized Residual
3
2
1
0
-1
-2
-3 -3
-2
-1
0
1
2
3
Regression Standardized Predicted Value
4. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (Ghozali, 2005 : 95). Durbin – Watson hitung dalam penelitian ini sebesar 2,009. Bila dibandingkan dengan Durbin – Watson tabel dengan n= 116 dan k=3 diperoleh nilai dl sebesar 1,6445 dan nilai du sebesar 1,7504. Berdasarkan kriteria yang terdapat pada gambar pengambilan keputusan Durbin-Watson maka nilai DW di atas berada pada daerah no positive correlation atau tidak ada autokorelasi. Model 1
R
R Square
0,331
0,110
Adjusted R Square 0,086
Std.Error of The Estimate 0,18299263
DurbinWatson 2,009
Dengan terpenuhinya uji normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi, maka dapat disimpulkan bahwa model regresi dalam penelitian ini memenuhi syarat uji asumsi klasik dan dapat digunakan untuk melakukan analisis selanjutnya untuk menguji hipotesis. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 13 maka model manajemen laba pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia sebagai berikut: a Coefficients
Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Model B Std. Error Beta 1 (Constant) .717 .356 ROA .439 .270 .145 LEVERAGE .143 .059 .222 UP -.035 .013 -.233
t 2.012 1.629 2.447 -2.574
Correlations Collinearity Statistics Sig. Zero-order Partial Part Tolerance VIF .047 .106 .157 .152 .145 .997 1.003 .016 .188 .225 .218 .965 1.037 .011 -.194 -.236 -.229 .967 1.034
a. Dependent Variable: DA
212
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI)
VOL. 1 NO. 2 MEI 2011
DA = 0,717 + 0,439 ROA + 0,143 LEVERAGE – 0,035 UP + ε Model persamaan regresi berganda tersebut bermakna: Konstanta (a) sebesar 0,717 menunjukkan bahwa tanpa variabel ROA, leverage dan ukuran perusahaan maka perusahaan terjadi manajemen laba sebesar 0,717. Motivasi bonus (ROA) memiliki thitung (1,629) ttabel < (1,65857) dan ρ value sig (0,106) > level of sig (0,05), sehingga motivasi bonus (ROA) berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap manajemen laba dengan nilai koefisien berpengaruh sebesar 0,439. Hal ini menunjukkan setiap pertambahan satu ROA maka manajer akan melakukan manajemen laba dengan cara menaikkan laba sebesar 0,439. Sehingga hipotesis pertama ditolak. Hasil yang diperoleh variabel motivasi bonus (ROA) berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap terhadap manajemen laba, berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Dechow dan Sloan (1991), Defond dan Jiambalvo (1994), an Yulianti (2005) yang juga memperoleh hasil motivasi bonus berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Namun hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Machfoeds (1998) yang memperoleh hasil tidak signifikan. Hasil koefisien positif menunjukkan bahwa semakin tinggi ROA perusahaan maka manajer akan melakukan manajemen laba dengan cara menaikkan laba untuk memperoleh jumlah bonus yang lebih besar pula. Hasil ROA positif dapat dijelaskan hipotesis bonus dalam teori akuntansi positif yang dikemukakan oleh Watts dan Zimmerman (1986) yaitu rencana bonus akan membuat manajer cenderung memilih dan menggunakan metode akuntansi yang akan membuat laba yang dilaporkan menjadi lebih tinggi. Sehingga semakin besar bonus yang akan diperoleh manajer maka semakin besar pula motivasi manajer dalam melakukan manajemen laba. Hasil penelitian ini gagal mengindikasikan rencana bonus sebagai motivasi manajer dalam melakukan manajemen laba. Argumen kegagalan hipotesis dimungkinkan karena pemilik perusahaan menentukan bonus bukan dilihat dari ROA tetapi berdasarkan target besaran bonus yang telah ditetapkan perusahaan sebelumnya. Pemilik perusahaan menetapkan angka tertentu sebagai batas bawah (boogey) dan batas atas (cap) untuk memperoleh bonus (Healy, 1985). Seorang manajer akan memperoleh sejumlah bonus apabila laba perusahaan yang dikelolanya di atas batas bawah, sebaliknya manajer tidak akan menerima bonus apabila laba perusahaannya tidak mencapai batas bawah. Batas atas diperlukan untuk menentukan maksimal perolehan laba yang akan dipakai sebagai dasar perhitungan bonus. Artinya, manajer hanya akan memperoleh bonus untuk laba yang berada di atas batas atas dan bawah, sedangkan kelebihannya tidak diperhitungkan sebagai penghitung bonus. Motivasi kontrak hutang (leverage) memiliki thitung (2,447) > ttabel (1,65857) dan ρ value sig (0,016) < level of sig (0,05), sehingga leverage berpengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba dengan nilai koefisien berpengaruh sebesar 0,143. Hal ini menunjukkan setiap pertambahan satu leverage maka manajer akan melakukan manajemen laba dengan cara menaikkan laba sebesar 0,143. Sehingga hipotesis kedua diterima. Variabel leverage berpengaruh positif dan signifikan dengan manajemen laba mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sweeney (1994), Defond dan Jiambalvo (1994), Widyaningdyah (2001), Astuti (2005) dan Halim dkk (2005) yang memperoleh hasil motivasi kontrak hutang berpengaruh positif dan signifikan. Namun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Ma’ruf (2006) yang memperoleh hasil tidak signifikan. Koefisien positif menunjukkan bahwa semakin tinggi utang perusahaan
213
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI)
VOL. 1 NO. 2 MEI 2011
maka manajer akan melakukan manajemen laba dengan cara menaikkan laba untuk menghindari pelanggaran kontrak hutang. Hubungan positif yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat dijelaskan dengan hipotesis debt to equity dalam teori akuntansi positif yang dikemukakan oleh Watts dan Zimmerman (1986) yaitu pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity tinggi, manajer perusahaan cenderung akan menggunakan metode akuntansi yang dapat meningkatkan laba. Hal ini dikarenakan, perusahaan dengan rasio debt to equity yang tinggi akan mengalami kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditor bahkan perusahaan terancam melanggar perjanjian hutang. Hasil leverage yang signifikan menunjukkan bahwa motivasi kontrak hutang yang diproksi dengan leverage memberikan kontribusi bagi manajer dalam melakukan manajemen laba. Motivasi biaya politik (ukuran perusahaan) memiliki thitung (2,574) > ttabel (1,65857) dan ρ value sig (0,011) < level of sig (0,05), sehingga ukuran perusahaan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap manajemen laba dengan nilai koefisien berpengaruh sebesar -0,035. Hal ini menunjukkan setiap pertambahan satu ukuran perusahaan maka manajer akan melakukan manajemen laba dengan cara mengurangi laba sebesar 0,035. Sehingga hipotesis ketiga diterima. Variabel ukuran perusahaan berpengaruh negatif dan signifikan dengan manajemen laba berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yulianti (2005) yang memperoleh hasil tidak signifikan. Namun hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Han dan Wong (1998) dan Halim dkk (2005) yang memperoleh hasil ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Koefisien negatif menunjukkan semakin besar ukuran perusahaan maka manajer akan melakukan manajemen laba dengan cara menurunkan laba untuk mengurangi biaya politik. Hasil penelitian negatif dan signifikan dapat dijelaskan dengan hipotesis biaya politik yang menyatakan perusahaan besar yang memiliki biaya politik tinggi, maka manajer akan lebih memilih metode yang dapat menurunkan laba perusahaan. Perusahaan besar memiliki aktivitas yang lebih komplek dan biaya politik yang lebih besar daripada peruashaan kecil. Semakin besar laba perusahaan maka semakin besar pula biaya politik (pajak) yang harus dibayar perusahaan. Sehingga, untuk mengurangi pajak yang dibayar perusahaan maka manajer akan mengatur labanya dengan menggunakan metode yang dapat menurunkan laba. Ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba menurut Nelson dkk (2002) disebabkan oleh sikap auditor yang cenderung melonggarkan perusahaan besar dalam melakukan manajemen laba. Sedangkan untuk uji simultan dapat dilihat pada tabel anova berikut: ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares .462 3.750 4.213
df 3 112 115
a. Predictors: (Constant), UP, ROA, LEVERAGE b. Dependent Variable: DA
214
Mean Square .154 .033
F 4.603
Sig. .004a
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI)
VOL. 1 NO. 2 MEI 2011
Berdasarkan tabel di atas, penelitian ini menunjukan nilai Fhitung (4,603) > Ftabel (2,69) atau ρ value sig (0,004) < level of sig (0,05). Sehingga variabel ROA, leverage dan ukuran perusahaan secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba.Hasil pengujian ini sesuai dengan hipotesis keempat, yang mengatakan bahwa motivasi bonus (ROA), motivasi kontrak hutang (leverage) dan motivasi biaya politik (Ukuran perusahaan) berpengaruh terhadap manajemen laba. Sehingga hipotesis alternatif (H1d) yang mengatakan bahwa motivasi bonus (ROA), motivasi kontrak hutang (leverage) dan motivasi biaya politik (Ukuran perusahaan) berpengaruh terhadap manajemen laba diterima. Koefisien positif menunjukkan bahwa semakin tinggi ROA, leverage dan ukuran perusahaan maka manajer akan semakin termotivasi melakukan manajemen laba. Pengujian goodness of fit dilakukan untuk menentukan kelayakan suatu model regresi. Nilai R2 menunjukkan seberapa besar kemampuan variabel independen menjelaskan variabel dependen. Semakin tinggi nilai R2 maka semakin besar proporsi dari total variasi variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variabel independen. Variabel penelitian ini memiliki lebih dari dua variabel maka kelayakan tersebut dapat dilihat dari nilai adjusted R square. Nilai adjusted R square diperoleh dari hasil pengolahan data dapat dilihat pada tabel 1.1 di bawah ini: Tabel 1. Output Test of Goodness of FIT Adjusted R Square 1 0,331a 0,110 0,086 a. Predictors: (constant), Size, Lev, ROA b. Dependent Variable : DA Model
R
R Square
Std. Error Of the estimate 0,18299263
Nilai adjusted square pada tabel 4.11 di atas sebesar 0,086. Hal ini menunjukkan bahwa 8,6% variabel manajemen laba (discretionary accrual) dapat dijelaskan oleh variabel ROA, leverage dan ukuran perusahaan. Sedangkan sisanya sebesar 91,4% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dijelaskan oleh model penelitian ini. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada faktor-faktor lain di luar faktor ROA, leverage, dan ukuran perusahaan yang berpengaruh terhadap manajemen laba. PENUTUP Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan pada bab sebelumnya diperoleh kesimpulan bahwa: 1. Motivasi bonus (ROA) secara parsial memberikan pengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap manajemen laba. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat bonus yang diberikan pemilik perusahaan kepada manajer tidak dapat memberikan kontribusi bagi manajer dalam melakukan manajemen laba. 2. Motivasi kontrak hutang (leverage) secara parsial memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat hutang yang dimiliki perusahaan dapat memberikan kontribusi bagi manajer dalam melakukan manajemen laba.
215
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI)
VOL. 1 NO. 2 MEI 2011
3. Motivasi biaya politik (ukuran perusahaan) secara parsial memberikan pengaruh negatif dan signifikan terhadap manajemen laba. Hal ini mengindikasikan bahwa biaya politik (ukuran perusahaan) dapat memberikan kontribusi bagi manajer dalam melakukan manajemen laba. 4. Motivasi bonus (ROA), motivasi kontrak hutang (leverage) dan motivasi biaya politik (ukuran perusahaan) secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba. Hal ini mengindikasikan bahwa ketiga variabel independen tersebut secara simultan dapat memberikan kontribusi bagi manajer dalam melakukan manajemen laba. Keterbatasan Masalah dan Saran Berdasarkan analisis hasil penelitian dan pembahasan, maka selanjutnya dirumuskan beberapa rekomendasi yang ditujukan kepada para peneliti lanjutan, khususnya yang berkaitan dengan manajemen laba, antara lain: 1. Sampel penelitian ini terdiri dari 360 laporan keuangan tahun 2004 – 2008. Namun, data yang dihasilkan memiliki distribusi tidak normal. Oleh karena itu, peneliti melakukan penghilangan data yang memiliki nilai ekstrim (outliers). Sehingga peneliti selanjutnya diharapkan dapat menambah jangka waktu penelitian untuk mengatasi ketidaknormalan distribusi data. 2. Motivasi bonus dalam penelitian ini menggunakan proksi return on asset (ROA), namun hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Oleh karena itu, peneliti selanjutnya diharapkan menggunakan proksi lain dalam menentukan nilai motivasi bonus. 3. Hasil koefisien determinasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa hanya 8,6% variabel manajemen laba yang dijelaskan oleh ROA, leverage dan ukuran peruahaan. Sedangkan sisanya dipengaruhi variabel lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti selanjutnya dapat menambah variabel independen lain yang diduga berpengaruh terhadap manajemen laba. 4. Manajemen laba dapat diproksi dengan menggunakan beberapa model pendekatan. Penelitian ini mencari nilai manajemen laba dengan proksi discretionary accrual. Peneliti selanjutnya diharapkan menggunakan proksi yang berbeda dalam mencari nilai manajemen laba. Sehingga dapat melihat adanya manajemen laba dengan sudut pandang yang berbeda. 5. Bursa Efek Indonesia mengklasifikasikan industri yang dimilikinya menjadi sembilan sektor industri. Penelitian ini menggunakan laporan keuangan perusahaan manufaktur sebagai sampel penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan manufaktur melakukan manajemen laba pada tahun 2004 – 2008. Oleh karena itu, peneliti selanjutnya diharapkan tidak hanya meneliti manajemen laba pada perusahaan manufaktur tetapi meneliti sampel laporan keuangan industri lain yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Sehingga, peneliti selanjutnya dapat melihat adanya praktek manajemen laba untuk industri yang berbeda.
216
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI)
VOL. 1 NO. 2 MEI 2011
DAFTAR PUSTAKA Assih, Prihat, Ambar Woro Hastuti dan Pariwiyati. 2005. Pengaruh Manajemen Laba Pada Nilai dan Kinerja Perusahaan. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia. Vol 2 No.2: 125 - 144 Astuti, Dewi Saptantinah Puji. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Manajemen Laba di Seputar Right Issue. http://ejournal.unud.ac.id Bapepamlk. 2010. Peraturan Pasar Modal. http://www.bapepam.go.id Beattie,Vivien et al. 1994. Extraodinary Items and Income Smoothing: A Positive Accounting Approach. Journal of Business and Accounting. Vol 21. No.6: 791-811 Cho, L.Y and K. Jung. 1991. Earning Response Coefficient: A Synthesis of Theory and Empirical Evidence. Journal of Accounting Literature. Vol 10: 85 - 116 Davin, Timothy. 2005. The Line Between Managed Earnings and Fraud. First Place Awards-Massachusetts Society of CPAs State Wide Essay Contest. DeAngelo, L.E. 1986. Accounting Number as Valuation Substitutes: A Study of Management Buyouts of Public Stockholders. The Accounting Review. Vol 67. No. 1 : 77 – 95. Dechow, Patricia M., and R.G Sloan. 1991. Executive Incentive and the Horizon Problem: An Empirical Investigation. Journal of Accounting and Economic. Vol.14. No.1 : 5189 Dechow, Patricia M., R.G. Sloan., and A.P. Sweeney. 1995. Detecting Earnings Management. The Accounting Review. Vol 70. No.8 : 193 – 225. Defond, Mark L and James Jiambalvo. 1994. Debt Convenant Violation and Manipulation of Accruals. Journal of Accounting and Economics. Vol 17. Issue 1-2: 145 - 176 Damayanthi, Eka. 2005. Perbedaan Pengaruh Besaran Perusahaan dan Leverage Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan yang Memiliki Komite Audit dan Di Audit oleh Auditor Berkualitas. http://ejournal.unud.ac.id Field, Thomas D., Thomas Z. Lys., and Linda Vincent. 2001. Empirical Research on Accounting Choice. Journal of Accounting and Economics. Vol. 31. No 1-3 : 225 – 307. Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Edisi 3. BPUNDIP. Semarang. Gumanti, Tatang Ary. 2000. Earning Management: Suatu Telaah Pustaka. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol 2. No.2 : 104 - 115
217
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI)
VOL. 1 NO. 2 MEI 2011
Gumanti, Tatang Ary. 2002. Pilihan-Pilihan Akuntansi dalam Aplikasi Teori Akuntansi Positif. JAAI. Vol 6. No.1: 83 -101 Han, J. C.Y and S. Wong. 1998. Political Costs and Earning Management of Oil Companies During the 1990 Persian Gulf Crisis. The Accounting Review. Vol 73. No.1 : 103-117. Halim, Julia, Carmel Meiden dan Rudolf Lumban Tobing. 2005. Pengaruh Manajamen Laba Pada Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan Pada Perusahaan Manufaktur Yang Termasuk Dalam Indeks LQ-45. Simposium Nasional Akuntansi VIII : 117 - 135 Healy, P. 1985. The Effect of Bonus Schemes on Accounting Decision. Journal of Accounting and Economics. Vol 17. Issue 1-3 : 85 – 107. Healy, Paul M. and J.M. Wahlen, 1999. A Review of The Earnings Management Literature and Its Implication For Standard Setting. Accounting Horizons. Vol 13. No.4 : 365 – 383. Ikatan Akuntan Indonesia. 2007. Standar Akuntansi Keuangan. Penerbit Salemba Empat. Jakarta. Jones, J. 1991. Earning Management During Import Relief Investigations. Journal of Accounting Research. Vol 29. No 2 : 193 – 228. Kuncoro, Mudrajad. 2001. Metode Kuantitatif: Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Penerbit UPP AMP YKPN. Yogyakarta. Kuncoro, Mudrajad. 2003. Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi: Bagaimana Meneliti dan Menulis Tesis?. Erlangga. Jakarta. Machfoedz, Mas’ud. 1994. Financial Ratio Analysis and the Prediction of Earning Changes in Indonesia. Kelola: Gajah Mada University Business Review. Vol 3. No.7: 114 - 137 Na’im, Ainun dan Jogiyanto Hartono. 1996. The Effect of Antitrust Investigations on The Management of Earnings: A Further Empirical Test of Political Cost Hyphotesis. KELOLA. Vol 5. No. 13: 126 – 141. Nugroho, Bhuono Agung. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian dengan SPSS. CV. Andi Offset. Yogyakarta. Pranata, Puspa dan Mas’ud Mahfoedz. 2003. Analisis Hubungan Mekanisme Corporate Governance dan Indikasi Manajemen Laba. Simposium Nasional Akuntansi VI: 176 – 199.
218
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI)
VOL. 1 NO. 2 MEI 2011
Permatasari, Ika. 2005. Manajemen Laba dan Status Keterlambatan Perusahaan dalam Menyampaikan Laporan Keuangan Tahunan. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia. Vol 2. No.2: 49 – 72. Priyatno, Duwi. 2009. SPSS untuk Analisis Korelasi, Regresi dan Multivariate. Gava Media. Jogjakarta. Sarwoko. 2005. Dasar – Dasar Ekonometrika. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Scott, William R. 1995. Financial Accounting Theory. Prentice Hall Canada Inc. Ontario. Schipper, Katherine. 1989. Commentary on Earnings Management. Accounting Horizon. Vol 3: 91 – 106. Schipper, Khaterine and Linda Vincent. 2003. Earning Quality. Accounting Horizons. Vol 17: 97 – 110. Setiawati, Lilis dan Na’im. 2000. Manajemen Laba. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia : 159 – 176. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung Sulistyanto, Sri. 2008. Manajemen Laba: Teori dan Model Empiris. PT. Gramedia Widiasarana. Jakarta Sukartha, I Made. 2007. Pengaruh Manajemen Laba, Kepemilikan Manajerial dan Ukuran Perusahaan pada Kesejahteraan Pemegang Saham Perusahaan Target Akuisisi. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol 10. No.3: 244 – 265. Sweeney, A.P. 1994. Debt Convenant Violation and Manager Accounting Responses. Journal of Accounting Economy. Vol 17. No. 3 : 281 – 308. Trihendradi, Cornelius. 2005. SPSS 13: Step by Step Analisis Data Statistik. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Utama, Sidharta. 2000. Teori dan Riset Akuntansi Positif: Suatu Tinjauan Literatur. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol 15. No 1 : 83 – 96. Utami, Wiwik. 2005. Pengaruh Manajemen Laba Terhadap Biaya Modal Ekuitas (Studi Pada Perusahaan Publik Sektor Manufaktur). Simposium Nasional Akuntansi VIII : 100-116 Watts, R.L., and J. L. Zimmerman. 1978. Towards a Positive Theory of the Determination of Accounting Standards. Accounting Review. Vol 53. No.1 : 112 – 134. Watts, R. L., and J.L. Zimmerman. 1986. Positive Accounting Theory. Prentice-Hall. New Jersey.
219
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI)
VOL. 1 NO. 2 MEI 2011
Watts, R. L., and J.L. Zimmerman. 1990. Positive Accounting Theory : A Ten Years Perspective. The Accounting Review. Vol 65. No.1 : 131 – 156. Widyaningdyah, Agnes Utari. 2001. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Earning Managements pada Perusahaan Go Public di Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol 3. No.2: 89 – 101. www. bei.co.id Yulianti. 2005. Kemampuan Beban Pajak Tangguhan dalam Mendeteksi Manajemen Laba. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia. Vol 2. No.1: 107 – 129.
220