JU URNAL TEKNIK POMITS Vol. V 2, No. 2, (2 2013) ISSN: 23 337-3539 (23001-9271 Print)
A--329
Optim masi Co overag ge SFN N padaa Pemaancar T TV Diggital DV VB-T2 dengaan Mettode Siimulatted annnealinng Adib Nur Ikhwan, End droyono dan G Gamantyo Heendrantoro Juru usan Teknik Elektro, E Faku ultas Teknolog gi Industri, Innstitut Teknollogi Sepuluh N Nopember (IT TS) Jll. Arief Rahm man Hakim, Suurabaya 601111 E-mail:
[email protected] a ee.its.ac.id ,
[email protected]
A Abstrak—Siara an TV digital ya ang akan ditera apkan di Indoneesia pad da awalnya menggunakan m standar DVB--T (Digital Vid deo Brooadcasting-Tereestrial) yang kemudian pada tahun 2012 diga anti meenjadi DVB-T2 2 (Digital Video o Broadcasting--Terestrial Seco ond Geeneration). Oleh h karena itu, penelitian-pene p litian sebelumn nya terrmasuk optimassi coverage TV digital sudah tidak t relevan la agi. Coverage merupa akan salah sattu bagian yan ng penting dallam siaaran TV digitall. Pada tugas akhir a ini, optim masi coverage SFN S (Siingle Frequen ncy network) pada peman ncar TV digital ditterapkan denga an metode SA (S Simulated Anneealing). Metode SA berrusaha mencarri solusi dengan n berpindah dari satu solusi ke sollusi yang lain,, dimana akan dipilih solusi yang mempun nyai fun ngsi energy (fitn ness) yang terkeecil. Optimasi dengan d metode SA ini dilakukan dengan mengub bah-ubah posisi pemancar TV osisi yang terb baik. Optimasin nya diggital sehingga didapatkan po meenggunakan 10 cooling schedu ule dengan mela akukan 2 kali tes, baiik pada mode FFT 2K ataup pun 4K. Hasil yang y dicapai dari d pen nelitian ini adallah daerah coveerage SFN pada a pemancar siarran TV V digital DVB-T2 mengalam mi peningkatan n coverage relatif terrbaik rata-rata sebesar 2.348% % pada cooling schedule s 7. K Kata Kunci—D DVB-T2, optim masi coverage, SFN, Simula ated ann nealing, TV Dig gital
I. PENDA AHULUAN
S
AAT ini Ind donesia tengah h memulai miigrasi siaran TV T analog ke dig gital. Hal ini dilatarbelakangi bahwa siaran TV T diggital mempuny yai lebih banyak k keunggulan dibandingkan d TV T anaalog. Pada pen nyiaran TV an nalog, sebuah kanal RF (Radio Frequency) hany ya mampu ditempati oleh sattu program siaran TV V, sedangkan pada p TV digittal dapat digun nakan bersamaaan seccara multiplekss oleh beberap pa program siarran TV, sehing gga lebbih efisien dalaam penggunaan n spektrum frek kuensi. Selain itu, i tekknik modulasii digital diseertai pengolah han sinyal yaang kom mplek memun ngkinkan peny yiaran TV dig gital lebih tah han terrhadap gangguaan derau dan distorsi d oleh kaanal ataupun efek intterferensi, sehiingga kualitas gambar yang g dihasilkan ju uga lebbih baik diband dingkan penyiaaran TV analog g [1]. M Migrasi TV an nalog ke TV digital d telah dim mulai pemerin ntah Inddonesia dari taahun 2007, yaitu dengan diteetapkannya DV VBT (Digital Video o Broadcasting g – Terestrial)) sebagai standar V digital terestrrial (darat ke darat) d di Indonesia. Akan tetaapi, TV staandar TV digittal tersebut paada tahun 2012 2 diubah menjadi DV VB-T2 karena pengembangan dan peningk katan standar dari d DV VB [2]. Akibatt dari pergantiaan standar terseebut maka bany yak asppek yang peerlu disesuaik kan, salah saatunya mengeenai opttimasi coverag ge. Pada penerrapan siaran TV T digital, daerah covverage merupaakan salah satu u bagian yang g penting. Hal ini dikkarenakan dalaam TV digital apabila a receiveer (penerima)
Gambar 1. Diagram mettode penelitian
tidak m menerima secaara penuh sinyyal transmisi m maka dalam layar TV V tidak akan dditampilkan siiaran tersebut. Oleh karena itu, optiimasi coveragee menjadi salaah satu topik peenting dalam penerappan TV digital di Indonesia. DVB B-T2 memuungkinkan ppemancar T TV digital mengguunakan jaringaan SFN. SFN adalah jaringaan penyiaran dimana beberapa pem mancar mengiirimkan sinyall yang sama secara simultan padda kanal frekkuensi yang sama. SFN menawaarkan lebih bbanyak keuntuungan dibandinngkan MFN (Multi F Frequency Nettwork), sepertii coverage yanng lebih luas, minimnnya interferenssi, penggunaann daya yang llebih efisien dan mem miliki keandalan yang tinggi [3]. Dalam m pengoptimaasian coverage pemancar SFN N digunakan metode SA. SA meruppakan salah sattu algoritma sttokastik yang didasarkkan pada prosses annealing.. Proses anneaaling adalah suatu teeknik yang m mempelajari prroses pembenttukan materi yang teerdiri dari buutir kristal dann logam. Agaar terbentuk susunann kristal yang sempurna, m maka diperlukann pemanasan sampai tingkat terteentu hingga materi tersebbut mencair, kemudiian didinginkaan secara perrlahan agar m menghasilkan kristal-kkristal dengann kualitas yanng baik [4]. Konsep ini diadaptaasi oleh S SA untuk menyelesaikann berbagai permasaalahan optimaasi, termasuk ddalam penelitiian ini yaitu optimassi coveragee pada jaaringan SFN N dengan mengopptimalkan posissi setiap pemanncar TV digitaal. II. M METODE PEN NELITIAN Dalam m metode pennelitian ini dibaagi menjadi tigga blok yang saling berhubungan seperti pada gambar 1, yyaitu model prediksii propagasi, m model penerimaa dan model ooptimasi [5]. Arah ppanah yang m menghubungkann antar bagiann pada blok menunjuukkan hubunggan/keterkaitan antar bagian teersebut.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
Mode 2K 4K
Tabel 1. Posisi pemancar pada mode 2K dan 4K Koordinat Pemancar X1 Y1 X2 Y2 X3 39,5 29
39,5 38
60,5 71
39,5 38
50 50
adalah gain antena penerima, adalah panjang gelombang (meter), d adalah jarak antara penerima dan pemancar (meter) dan L adalah system loss factor yang tidak ada hubungannya dengan propagasi (L ≥ 1). Sedangkan jika terdapat halangan diantara pemancar dan penerima maka terdapat nilai gain difraksi yang diprediksi dengan model propagasi knife edge. Nilai daya terima total (P) didapatkan dari jumlah antara daya terima hasil pendekatan model free space dengan gain difraksi (Gd) seperti yang ditunjukkan pada (2).
Y3 57,6865 74,373
Tabel 2. Range koordinat gedung penghalang Mode
Daerah
X min
X max
Y min
Y max
2K 2K
1
34
42
32
36
2
54
62
32
36
2K
3
44
46
55
64
2K
4
54
56
55
64
4K 4K
1
27
33
32
36
2
67
73
32
36
4K
3
40
45
69
77
4K
4
55
60
69
77
A-330
10
dB
4
(2)
Halangan dalam propagasi knife-edge ini berupa gedung penghalang yang berjumlah 60 gedung. Setiap gedung dimodelkan berbentuk persegi yang berukuran 100m × 100m. Gedung-gedung tersebut ketinggiannya diacak dalam range 10-80 meter agar sesuai dengan kondisi aslinya. Selain itu, posisi gedung-gedung tersebut juga disusun secara acak tetapi masih berada di sekitar posisi pemancar dengan dibatasi range tertentu agar pengaruh adanya obstacle tersebut besar terhadap daerah coverage SFN dan kondisi terjelek dari adanya obstacle dapat dimodelkan. Pada tabel 2 dapat dilihat range koordinat gedung yang disusun acak tersebut.
A. Model Prediksi Propagasi Model prediksi propagasi digunakan untuk mengestimasi kontribusi dari sejumlah N pemancar terhadap SFN pada setiap lokasi penerima berdasarkan model propagasi yang digunakan dan dengan menggunakan data posisi ataupun ketinggian gedung di daerah yang diukur. Model ini untuk mengukur daya terima (Pn, 1 ≤ n ≤ N) dan delay propagasi (δn, 1 ≤ n ≤ N) yang berhubungan dengan setiap pemancar dari titik penerima (1 ≤ r ≤ R) dalam wilayah SFN. Dalam penelitian ini luasan daerah yang diukur secara keseluruhan adalah 10km × 10km yang disimulasikan dalam square-grid matrik 100x100 dengan satu titik penerima setiap matriknya, sehingga terdapat 10000 titik penerima. Dalam optimasi ini digunakan 3 pemancar TV digital yang diletakkan pada posisi segitiga sama sisi agar daerah cakupannya dapat maksimal dengan koordinatnya ditunjukkan pada tabel 1. Posisi ketiga pemancar tersebut ditentukan berdasarkan jarak maksimum antar pemancar, dimana dalam penelitian ini digunakan mode 2K dan 4K dengan rasio guard interval 1/32. Sehingga jarak maksimum antar pemancar yang diperbolehkan adalah 2,1 km untuk mode 2K dan 4,2 km untuk mode 4K. Tinggi ketiga pemancar ditentukan sama yaitu sebesar 30 meter, dengan daya pancar sebesar 100 W. Gain trasmitter (Gd) dan gain receiver (Gr) sebesar 10 dB. Frekuensi yang digunakan adalah 600 MHz dengan bandwidth sebesar 8 MHz. Model propagasi yang digunakan pada penelitian ini adalah model propagasi free space dan knife edge. Model free space digunakan apabila antara pemancar dan penerima tidak terdapat halangan (obstacle) atau berada pada jalur line-ofsight (LOS) diantara keduanya. Nilai Daya free space yang diterima oleh antena receiver yang dipisahkan dari antena pemancar pada jarak d, dapat ditentukan dengan (1) berikut.
B. Model Penerima Blok penerima menggabungkan sinyal yang datang pada tiap lokasi penerima dari N pemancar yang menyusun SFN menggunakan metode penjumlahan daya. Sinyal-sinyal ini dapat berkontribusi untuk membangun secara penuh atau sebagian atau bahkan menginterferensi komponen. Pada model penerima ini, langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan delay propagasi sinyal dari tiap titik penerima terhadap masing-masing pemancar. Nilai tersebut telah diperoleh dengan model prediksi propagasi. Kemudian dicari nilai delay efektif dengan cara mengurangi nilai delay propagasi dengan nilai referensi waktu (δ0) 100 ns, nilai referensi ini adalah durasi yang dibutuhkan satelit GPS untuk memancarkan sinyal 1 pps (pulse per second) ke oscillator 10 MHz pada penerima GPS di pemancar DVB-T2 sehingga setiap pemancar DVB-T2 menjadi sinkron. Nilai Daya terima (P(d)) dihitung menjadi dua cara berdasarkan adanya difraksi, jika tidak ada difraksi maka dihitung dengan model propagasi free space (1) dan jika ada difraksi maka dihitung dengan model propagasi knife edge (2). Dengan nilai receiver mask (3) dapat diketahui juga nilai carrier (C) dan carrier-tointerference ratio (C/I) (5) [5].
(1)
Pada persamaan (4), Tu adalah panjang simbol yang berguna, Tg adalah panjang guard interval, Tp adalah interval saat sinyal berkontribusi konstruktif.
4
adalah daya terima dalam fungsi T-R, adalah dimana daya yang ditransmisikan, adalah gain antena pemancar,
/ 1 0
7 /24
/
jika (Tg-Tp) < t ≤ 0 jika 0 < t ≤ Tg jika Tg < t ≤ Tp untuk yang lain
(3)
(4)
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
∑ ∑
Tabel 3. Macam-macam cooling schedule [7]
.
∈
∑
. 1
∈
A-331
(5) ∈
Cooling schedule
Persamaan
0
Pada persamaan (5) diatas SFN terdiri atas N pemancar A={1, ..., N} dan terdapat M pemancar pada jaringan lain yang beroperasi pada frekuensi yang sama B={1, ..., M}. Pn adalah adalah nilai fungsi bobot, daya terima dari pemancar ke-n, adalah delay relatif echo ke-n untuk referensi waktu dan adalah noise power. Noise power dapat sinkronisasi diketahui dari (6).
1 1
2 3
C. Model Optimasi Pada proses optimasi digunakan algoritma SA. Hubungan antara metode SA dan masalah coverage ini adalah pada fitness function. Fitness function dipakai untuk memeriksa keakuratan iteratif dari solusi Q (7) yang berkaitan pada persentase daerah coverage sinyal pada daerah SFN. Solusi Q pada penelitian ini adalah konfigurasi posisi terbaik dari ketiga pemancar. Pada penelitian ini posisi ketiga pemancar akan diubah-ubah sehingga diperoleh konfigurasi optimal dari pemancar. Covr adalah jumlah titik penerima yang tercakup karena telah memenuhi kriteria QoS (C≥Cmin dan (C/I)≥(C/I)min) seperti pada (9). Nilai Cmin adalah -75 dBm [11], sedangkan Nilai (C/I)min dicari yang sesuai dengan luasan 100 km2 baik pada mode 2K ataupun 4K. Nilai fitness function merupakan 100 persen dikurangi nilai Covr seperti ditunjukkan pada (8) [6]. Dari nilai fitness yang telah diketahui tersebut maka dapat dijadikan initial energy pada optimasi dengan SA. , % 1 0
,…,
,
100 1
Jika C ≥ Cmin & (C/I) ≥ (C/I)min Untuk yang lain
(7)
(8)
(9)
Pada metode SA, dibutuhkan beberapa variabel awal yaitu: a. Temperatur awal (T0) = 0,5 b. Temperatur akhir (TN) = 0,001 c. Iterasi maksimum (N atau imaks) = 1000 d. Cooling shedule yang digunakan adalah semua cooling schedule (cooling schedule 0 sampai 9) Dalam kaitannya dengan optimasi pada coverage SFN pemancar TV digital, maka algoritma SA dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: Menentukan nilai kontrol T0, TN dan iterasi maksimal yang diinginkan. Menentukan initial solution (posisi awal pemancar). Menghitung fitness dari initial solution tersebut.
6
;
1 2
1 2
1 1
7 8 9
1
.
5
), T adalah
;
ln
4
(6) dimana k adalah konstanta Bolzmann (1,38 × 10 suhu absolut (290 K) dan B adalah bandwidth.
;
cosh 1 1
cos
tanh
10
5
10
ln
;
ln
;
Melakukan random posisi setiap pemancar, dimana batas posisi random ditentukan. Proses ini dinamakan update solution. Melakukan proses perhitungan kembali nilai fitness yang dihasilkan dari update posisi pemancar tersebut. Menghitung selisih antara fitness terbaru dengan fitness awal. Hasilnya digunakan untuk menghitung probabilitas Boltzmann. Melakukan penurunan nilai kontrol T0 ke target TN menggunakan cooling schedule (Tabel 3) yang dipilih. III. HASIL SIMULASI DAN ANALISIS DATA
A. Penentuan Nilai Threshold QoS C/I Dalam penentuan nilai threshold QoS C/I maka disesuaikan dengan mode transmisi yang dipilih yaitu 4K dan 2K untuk kemudian dicoba dengan masing-masing modulasi dengan code rate yang berbeda. Modulasi yang dicoba ini dipilih yang diijinkan oleh peraturan pemerintah Indonesia [8] dan besarnya Rayleigh Channel (C/I)min pada tiap modulasi dan code rate telah ditetapkan dalam ETSI [9]. Pada hasil percobaan melalui model LOS didapatkan persentase coverage dan fitness sesuai dengan (8). Persentase coverage disini merupakan perbandingan antara daerah yang tercakup dengan keseluruhan daerah yang diukur. Nilai (C/I)min yang akan dipilih haruslah mempunyai persentase yang tinggi tetapi masih berada dalam luasan daerah yang diuji (100 km2). Nilai (C/I)min ini nantinya akan dibuat sama baik mode 4K ataupun 2K sehingga nilai (C/I)min yang dipilih harus mewakili keduanya. Maka setelah melalui pertimbangan tersebut dipilihlah nilai (C/I)min adalah 20,2 dB yakni pada modulasi 64-QAM dengan code rate 5/6. Hal ini dikarenakan pada nilai C/I ini persentase daerah coverage pada mode 4K maksimal dan tidak melebihi luasan daerah yang diuji yakni
100
100
90
90
80
80
70
70 (x 100 meter)
(x 100 meter)
JU URNAL TEKNIK POMITS Vol. V 2, No. 2, (2 2013) ISSN: 23 337-3539 (23001-9271 Print)
60 50 40
A--332
60 50 40 30
30
20
20
10
10 20
40 60 (x 100 meter)
(a)
80
100
20
40 60 (x 100 meter)
80
100
(b)
Gaambar 2. (a) Simu ulasi model prop pagasi free spacee mode 2K (b) Sim mulasi model prop pagasi free spacee mode 4K
(a)
100 km2, mode 2K mengikutti nilai dari 4K K karena daerrah covvereage-nya reelatif lebih sem mpit daripada 4K K. B. Hasil Simula asi dan Analisiis Data pada Model M Propag gasi Free space Pada hasil sim mulasi free spa ace diatas dapaat dilihat terdaapat tigga pemancar SFN dengan titik berwarrna merah yaang lokkasinya telah ditentukan seperti s pada tabel t 1. Daerah berrwarna putih adalah a daerah coverage darri pemancar SFN terrsebut, daerah tersebut t merup pakan daerah yaang masuk dallam kriiteria threshold d dari C dan C/I yaitu Cmin = -75 dBm dan d (C/ C/I)min = 20,2 dB. d Sedangkan n daerah yang g berwarna hittam adaalah daerah yan ng tidak masuk k dalam kriteria threshold. Dari hasil sim mulasi tersebut persentase covverage dari mo ode 2K K adalah 20,64 % dan persenttase dari modee 4K adalah 80,04 %. Selanjutnya nilai tersebut dijadikan persentase covera age rellatif dengan menyesuaikanny m ya menjadi 10 00% untuk settiap moode FFT. Hal ini dilakukan untuk membeerikan hasil yaang lebbih aktual. C. Hasil Simula asi dan Analisiis Data pada Model M Propag gasi Knnife edge Pada model propagasi knife k edge teerdapat obsta acle (peenghalang) anttara pemancar dengan penerrima. Penghalaang padda propagasi ini i berupa gedung-gedung yaang disusun accak denngan fungsi ra andom pada MATLAB M deng gan range sepeerti padda tabel 2. Seteelah dilakukan simulasi acak maka didapatk kan nillai posisi koo ordinat dari gedung-gedung g g tersebut. Haasil sim mulasi acak gedung g dapat dilihat pada simulasi daerah covverage pada gaambar 3. A Apabila diban ndingkan antaara simulasi model m propag gasi kniife edge dengaan free space maka terdapatt perbedaan paada luaasan daerah co overage-nya, dimana d pada free fr space jum mlah daeerah coverage-nya lebih luaas daripada kn nife edge. Hal ini dikkarenakan pad da model prropagasi knifee edge terdaapat obsstacle berupaa gedung (titiik-titik biru) sehingga terjadi diffraksi sinyal yang datang daari pemancar ke k penerima yaang meenimbulkan titiik-titik hitam yaitu y daerah yang y tidak massuk dallam kriteria threshold Qo oS seperti paada (7). Melaalui sim mulasi dapat diiketahui nilai persentase p coveerage dan fitness darri model prop pagasi knife ed dge. Nilai persentase covera age padda mode 2K adalah a 19,76% dan nilai perssentase dari mo ode 4K K adalah 77,95% %.
(b)
Gambar 3. (a) Simulasi m model propagasii knife edge modde 2K (b) Simulasii model propagassi knife edge moode 4K Tabel 4. P Persentase coveragge relatif dan fitneess relatif pada kniffe edge Mode
Coveraage relatif (%)
Fitness relatif ((%)
2K
95,736
4,264
4K
97,389
2,611
Setellah diketahui nnilai persentasse coverage teersebut maka diketahuui juga nilai fi fitness yang akkan dijadikan innitial energy pada pproses optimasi dengan m metode SA, yaaitu sebesar 80,24% % pada mode 2K K dan 22,05% % pada mode 4K K sedangkan persentaase relatif darri model free space dapat dilihat pada tabel 4. D. Hassil dan Analisis is Optimasi denngan Metode SSA Optim masi ini dilakuukan 2 kali tes pada tiap coolling schedule pada keedua mode (2K K dan 4K) dann diambil nilaii rata-ratanya yang keemudian dianaalisis untuk dippilih cooling scchedule yang terbaik. Cooling schhedule terbaikk ini dibandinngkan antara parametter-parameter optimasi yaaitu nilai fittness akhir, kecepattan konvergenssi dan running time optimasi. 1)
Fiitness Akhir Nilaii persentase ppeningkatan cooverage relatiff merupakan selisih nilai fitness aawal relatif (ttabel 4) dan ffitness akhir relatif dari optimasi.. Dari gambaar 4 dapat diilihat bahwa coolingg schedule yaang mempunyyai peningkattan rata-rata tertingggi adalah cooliing schedule 7 yaitu dengan peningkatan rata-rataa sebesar 2,3488%. Pada rangge persentase 1100 km2 atau belum ddilakukan penyyesuaian, cooliing schedule 7 mempunyai peningkkatan sebesar 0,51% pada m mode 2K dan 1,78% pada mode 44K. Nilai terssebut apabila diukur dalam km2 adalah sekitar 00,51 km2 dan 1,78 km2 dimaana nilai ini luumayan besar untuk m menambah daaerah coveragee penerimaan TV digital. Hasil ooptimasi pada cooling scheddule 7 dapat dilihat pada gambarr 5 (mode 2K)) dan gambar 6 (mode 4K). Sedangkan simulassinya dapat dillihat pada gam mbar 7(a) (modde 2K tes 2) dan paada gambar 7(b) (mode 4K tes 1). Kecepatan konverggensi yang baaik adalah saaat suatu cooliing schedule mencappai nilai fitnness akhir ppada waktu yang cepat (mempuunyai iterasi yyang paling sedikit) baik padda mode 2K atau moode 4K.
JU URNAL TEKNIK POMITS Vol. V 2, No. 2, (2 2013) ISSN: 23 337-3539 (23001-9271 Print)
A--333
Gaambar 4. Peningk katan coverage relatif r mode 2K dan d 4K Gambar 88. Perbandingan keecepatan konvergeensi mode 2K dan 4K 80.3 Fitnesss Tes 1 Fitnesss Tes 2 Fitnesss Rata-rata
80.2
Nilai Fitness (%)
80.1
80
79.9
79.8
79.7
0
200
400
600 Ite erasi ke-
800
1000
1200
Gaambar 5. Hasil op ptimasi pada coo oling schedule 7 mode 2K 22.2 Fitn ness Tes 1 Fitn ness Tes 2 Fitn ness Rata-rata
22 21.8
Nilai Fitness (%)
21.6 21.4 21.2 21 20.8 20.6 20.4
0
200
400
600 It erasi ke-
800
1000
1200
Gaambar 6. Hasil op ptimasi pada coo oling schedule 7 mode 4K
(a)
(b)
Gaambar 7. (a) Simulasi hasil optimasi o pada co ooling schedule 7 mode 2K (b) Simulasi hasil optimasi o pada co ooling schedule 7 mode 4K
Gambar 9. Perbandingann running time ppada mode 2K daan 4K
2) Keccepatan Konverrgensi Dari gambar 8 didaapatkan bahwaa cooling scheddule 1 adalah yang teerbaik, dimanaa pada mode 2K kecepatannnya sedang (iterasi ke-364) dan pada mode 4K kkecepatannya ccepat (iterasi ke-151)). 3) Ruunning time Nilaii running time ditentukan oleh banyak varriabel seperti banyaknnya iterasi, baanyaknya perhitungan dalam m matlab dan kecepattan komputer memproses prrogram. Gambbar 9 adalah runningg time optimassi tiap coolingg schedule padda mode 2K dan 4K . Berdasarkan gambar 7 makka didapatkan nnilai running time terrbaik adalah paada cooling scchedule 6, akann tetapi jarak waktu aantar cooling sschedule tidakk jauh (dalam kisaran ratarata 38444 detik). Ini menunjukkan bahwa runninng time pada optimassi ini tidaklah tterlalu berpenggaruh antara seetiap cooling schedulle ataupun padaa mode FFT yaang berbeda. H Hal ini terjadi karena dalam melakkukan optimassi digunakan iterasi yang sama yaaitu 1000 iteraasi sehingga peerbedaan running time-nya tidak terrlalu signifikann. E. Anaalisis Perbandiingan Optimassi SA dengan P PSO Hasill nilai optimassi dari metode SA yang sudaah dijelaskan sebelum mnya akan dibaandingkan denngan metode opptimasi yang lain yaiitu metode PS SO (Particle SSwarm Optimiz ization) [10]. Perbanddingan disinii dimaksudnnya untuk memberikan gambarran tentang opptimasi covera rage dengan m metode lain. Perbanddingan antara kkedua metode iini dibagi dalam m dua mode
JU URNAL TEKNIK POMITS Vol. V 2, No. 2, (2 2013) ISSN: 23 337-3539 (23001-9271 Print) Tab bel 5. Perbandingan hasil optimasi o SA dan PSO SA cooling 8 SA cooling PSO swarm 48 Mode M Parameter schedule 7 iterasi 30 schedulee 0 Coverage 2K 8 98,207 98,546 98,038 relatif (%) 4K 99,638 8 99,613 99,95 R Running time 2K 114,83 3 115,37 8833,74928 (detik) 8565,3148 4K 115,17 7 116,52
Gaambar 10. Perbaandingan persenttase coverage mode m 4K pada SA dann PSO
(mode 2K daan 4K) dimaana dalam settiap mode ak kan dibbandingan paarameter-param meter optimaasi, yaitu nilai fitnness/coverage terbaik kedua metode, dan ju uga running tim menya. Sedangkan kecepatan ko onvergensi tid dak dibandingk kan karrena terjadiny ya nilai fitnesss akhir pada metode SA bisa b meelebihi jumlah iterasi yang dig gunakan pada metode PSO. Pada perband dingan nilai coverage-nya,, kedua meto ode dibbandingan pad da nilai coverrage relatif ak khir terbesarn nya. Pada metode PSO didapatkaan nilai coverrage terbesarn nya adaalah pada Swa arm 48 iterasi 30 3 baik pada mode m 2K ataup pun moode 4K. Sedaangkan pada metode SA didapatkan nilai covverage terbessar untuk mo ode 2K adalaah pada coolling schhedule 7 dan nilai n coverage terbesar t untuk mode 4K adaalah padda cooling sch hedule 0. Untuk k hasil lengkap pnya dapat diliihat padda tabel 5. Dik karenakan jum mlah iterasi yan ng berbeda anttara meetode SA (1000 0 iterasi) dan PSO P (30 iterasi), maka pada plot p maatlab disesuaik kan dengan jum mlah iterasi yang lebih sediikit yaiitu 30 iterasi. Hasilnya H perbaandingan untuk k mode 4K daapat dillihat pada gaambar 10. Dari D hasil perrbandingan nilai covverage terseb but dapat dik ketahui bahw wa metode PSO meempunyai perssentase covera age yang sed dikit lebih bessar, sehhingga lebih baik b dalam op ptimasi covera age dibandingk kan meetode SA. Pada perband dingan runnin ng time-nya, kedua meto ode opttimasi juga dibandingkan d dengan jumllah iterasi yaang dissesuaikan yaittu 30 iterasi.. Sesuai dataa pada tabel 5, diddapatkan nilai running timee rata-ratanya dari metode SA padda mode 2K adalah a 115,1 detik d dan pada mode 4K adaalah 115,845 detik. Sehingga darii perbandingan n kedua meto ode terrsebut dapat disimpulkan bahwa metod de SA memilliki runnning time yan ng lebih cepat yakni y sekitar 75 7 kali lebih ceepat dibbandingkan meetode PSO.
A--334
IIV. KESIMPU ULAN Dari hasil penelitiaan metode SA A pada mode 2K dan 4K dengan menggunakan an 10 coolingg schedule teelah berhasil mengopptimalkan daerrah coverage S SFN pemancarr TV digital. Pada paarameter peninngkatan coveraage relatif terbbaik terdapat pada coooling schedulee 7 dengan penningkatan rataa-rata sebesar 2,348% % apabila diuukur dalam raange persentaase 100 km2 maka ddidapatkan peningkatan sekitaar 0,51 km2 daan 1,78 km2. Kemudiian pada param meter kecepataan konvergenssi didapatkan coolingg schedule 1 addalah yang terbaik, dimana paada mode 2K kecepattan konvergennsinya sedang (iterasi ke-3644) dan pada mode 44K kecepatan konvergensinnya cepat (iterrasi ke-151), sehinggga cooling scchedule 1 coccok untuk opptimasi yang membut utuhkan efisiennsi waktu yangg baik. Sedangkkan running time paada optimasi ini tidaklah terlalu berpenngaruh antar coolingg schedule atauupun pada modde FFT yang bberbeda. Hal ini terj adi karena itterasi yang digunakan dalaam optimasi adalah ssama yaitu 10000 iterasi. Dari hasil perbandiingan optimasii terbaik antaraa metode SA dan m metode PSO ppada iterasi yang sama (30 iterasi) didapatkkan hasil baahwa metode PSO lebih baik dalam optimassi coverage ddibandingkan m metode SA. A Akan tetapi, pada peerbandingan ruunning time-nyya metode SA lebih unggul dibandin ingkan metodee PSO yaitu seekitar 75 kali lebih cepat, sehinggga metode SA m memiliki efisieensi waktu yanng lebih baik. D DAFTAR PUST TAKA [1]
Buddiarto, H., Tjahjonno, B.H., Rufiyantto, A., Kusuma, A A., Hendrantoro, G., Dharmanto, S. “S Sistem TV Digitaal dan Prospeknyaa di Indonesia”. Jakaarta : Multikom Inndo Persada. 2005.. [2] Peraaturan Menteri K Komunikasi dan IInformatika. “Staandar Penyiaran Teleevisi Digital Tereestrial Penerimaann Tetap Tidak Beerbayar (free-toair) ”. Nomor 5. 2012.. EE Transactions [3] Matttsson, A. “Single Frequency Netwoorks in DTV”, IEE On B Broadcasting, Voll.51, No.4. 2005. [4] Ruteenbar, Rob A. “SSimulated annealling Algorithms: An Overview”. IEE EE CIRCUITS AND D DEVICE MAGA AZINE. Januari 19889. [5] Lannza, M., A.L. Gutiéérrez, I. Barriuso, J.R. Pérez, M. Domingo, L. Valle and J. Basterrechea . “Coverage Opttimization in Sinngle Frequency works using Simullated annealing”. IIEEE. 2011. Netw [6] Lannza, M., A.L. Gutiéérrez, I. Barriuso, J.R. Pérez, M. Domingo, L. Valle and J. Basterrechea. “Optimization off Single Frequencyy Networks for B-T Services usinng SA and PSO”. Proceeding of the 5th European DVB Conf nference on Antennnas and Propagatiion (EUCAP). 20111. [7] Briaan, T. Luke. “Siimulated annealinng Cooling scheedules”.
[8] Ranncangan Peraturann Menteri Komunnikasi dan Inform matika Republik Indoonesia. “Persyarattan Teknis Alat daan Perangkat Pem mancar Televisi Siarran Digital Berbas is Standar DVB – T2”. 2012. [9] ETS SI TS 102 831 V.1.1.1. “Digitaal Video Broadccasting (DVB): Impplementation guiddelines for a secoond generation diigital terrestrial televvision broadcastinng system (DVB-T T2)”. 2010. [10] Prim masetiya, Oxy Rizza. “Optimasi Jariingan SFN pada S Sistem DVB-T2 mennggunakan Metodde Particle Swarrm Optimization””. Tugas Akhir Sarjjana, Jurusan Teknnik Elektro Instituut Teknologi Sepuuluh Nopember, 201 3.