Dukungan penelitian virus dalam pengembangan ... Pengembangan Inovasi Pertanian 2(2), 2009: 79-96
79
DUKUNGAN PENELITIAN VIRUS DALAM PENGEMBANGAN PERBENIHAN KENTANG1) Ati Srie Duriat Balai Penelitian Tanaman Sayuran Jalan Tangkuban Perahu 517 Lembang, Bandung 40391
PENDAHULUAN Situasi konsumsi pangan di Indonesia yang disampaikan oleh Saefuddin (1999) menggambarkan bahwa secara nasional telah terjadi kenaikan konsumsi energi per kapita per hari dari 1.859 kkal pada tahun 1987 menjadi 2.020 kkal pada tahun 1996, serta konsumsi protein per kapita meningkat dari 44,1 g menjadi 54,5 g. Namun pada tahun 2005-2006, media cetak dan elektronis dengan gencar memberitakan gangguan gizi akut pada ribuan anak balita di beberapa daerah, bahkan di antaranya meninggal dunia. Antisipasi terhadap kekurangan pangan dan gizi serta upaya pencegahannya telah dilontarkan sejak tahun 1962 melalui pidato Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama (Adnyana 2005), bahwa makanan rakyat adalah soal hidup atau mati yang harus segera dipecahkan. Salah satu upaya mengatasi kondisi gizi buruk dan kekurangan pangan adalah dengan meningkatkan produksi sayuran. Indonesia mempunyai peluang yang besar untuk mengembangkan sayuran. Meski-
1)
Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 7 Desember 2006 di Bogor.
pun sebagai negara tropis, Indonesia memiliki iklim yang unik dengan variasi kondisi iklim yang luas (Duriat 1989a), sehingga hampir semua jenis sayuran (termasuk yang diintroduksikan dari daerah subtropis) dapat tumbuh dengan baik. Pada dataran rendah (0-200 m dpl) banyak ditanam bawang merah, cabai merah, terung, dan mentimun; pada dataran medium (200-700 m dpl) diusahakan kacang panjang, terung, mentimun, cabai, bawang putih, dan bawang merah; dan pada dataran tinggi (lebih dari 700 m dpl) banyak ditanam sayuran dari daerah subtropis seperti kentang, kubis, brokoli, asparagus, dan tomat (Suwandi dan Asandhi 1996). Dalam Rencana Strategis (Renstra) Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura 2005-2009, sebagai turunan dari Renstra Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2005-2009, dengan jelas dinyatakan bahwa ketidakcukupan pangan dan malnutrisi cenderung menghalangi kemampuan manusia untuk mengembangkan keterampilan dan menurunkan tingkat produktivitas. Sebagai bagian dari sistem pangan, penelitian hortikultura dalam jangka panjang diarahkan untuk mengidentifikasi penyebab dan dinamika kemiskinan serta merancang kebijakan yang secara efektif dapat menurunkan kemis-
80
Ati Srie Duriat
kinan, bukan secara sempit hanya untuk memperbaiki kekurangan gizi atau meningkatkan produksi (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura 2004). Usaha tani sayuran adalah suatu usaha yang padat modal (Suwandi dan Asandhi 1996). Agribisnis sayuran yang mengandung arti usaha sayuran secara komersial dan berkelanjutan adalah suatu konsep yang ideal, hidup, dinamis dan berkembang, serta memberikan keuntungan bagi banyak pihak (manusia serta lingkungan biotik dan abiotik) sehingga dampak akhirnya memberikan manfaat bagi masyarakat.
berkualitas menengah, yaitu Rp3.000Rp6.000/kg. Namun demikian, fungsi kentang sampai saat ini masih sebagai sayuran pelengkap makanan pokok nasi sehingga ketersediaannya di pasar tidak sebanyak beras. Bila ketersediaan kentang dapat ditingkatkan melalui sistem agribisnis yang tertata dan terencana, maka bukan hanya masalah rawan pangan dan rawan gizi yang dapat diatasi, tetapi juga akan berdampak pada pengentasan kemiskinan. Agribisnis kentang termasuk usaha padat teknologi sehingga pengembangannya lebih ke arah intensifikasi produksi yang padat modal dan tenaga.
KENTANG MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN DAN GIZI
STATUS DAN ARTI EKONOMI PENYAKIT VIRUS PADA KENTANG DAN BEBERAPA SAYURAN PENTING
Kentang merupakan sayuran penting yang telah beradaptasi baik dengan iklim Indonesia. Sayuran ini dapat menjadi salah satu pilihan yang tepat untuk memecahkan masalah rawan pangan dan gizi. Kentang merupakan salah satu pangan pokok dunia di samping gandum, padi, dan jagung dengan kemampuan produksi per hektar lebih tinggi dibanding ketiga pangan pokok lain tersebut (FAO 1969 dalam Duriat 1985), serta penanamannya tidak mengenal musim sehingga cocok untuk mengatasi masalah rawan pangan di Indonesia. Kandungan nutrisi (protein, lemak, karbohidrat, besi) dan vitamin (B1, B2, niasin dan C) kentang yang cukup tinggi dapat mencukupi sebagian besar kebutuhan akan gizi. Menurut Rosmani (1979) dalam Duriat (1985), mengonsumsi sebutir kentang berukuran sedang dapat memenuhi sepertiga bagian kebutuhan seseorang akan vitamin C dan sebagian besar vitamin B dan zat besi. Harga rata-rata kentang tidak berbeda dengan beras
Gangguan penyakit tanaman (termasuk patogen virus) berpengaruh nyata terhadap hasil panen kentang. Masalah yang ditimbulkan oleh patogen virus pada kentang telah dipahami di negara-negara penghasil kentang. Oleh karena itu, berbagai kerja sama (working group) dalam bentuk jaringan (network) telah dibangun dengan lingkup kegiatan berupa identifikasi penyebab, studi penyebaran, nilai ekonomi, serta upaya penanggulangannya, baik pengendalian dengan musuh alami serangga vektornya, kultur teknis, tanaman perangkap, eradikasi, pembuatan benih bebas virus, maupun perakitan tanaman resisten melalui pendekatan konvensional dan modern. Informasi tentang penyakit virus pada kentang di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Van der Goot (1924; 1925), selanjutnya oleh Van Eek dan Thung (1950). Pada tahun 1971, seorang ahli
Dukungan penelitian virus dalam pengembangan ...
virologi Jepang melakukan survei ke Jawa Barat dan Jawa Timur dan menemukan gejala virus pada berbagai tanaman sayuran. Gejala mosaik pada kacang panjang diduga disebabkan oleh BYMV, AMV, aphid transmitted cowpea mosaic, dan CMV. Gejala virus pada buncis diduga disebabkan oleh BMV atau BYMV, dan pada kacang babi (broad bean) diduga karena BYMV, PSBMV, dan WCMV. Pada kacang tanah, gejala mosaik diduga disebabkan oleh TuMV dan PMV, pada tomat oleh TMV dan CMV, dan pada cabai oleh CMV, TMV, PVY, leaf curl disease. Pada kentang, penyakit diduga disebabkan oleh PVX, PVY, dan PLRV, pada mentimun oleh CMV dan WMV, serta pada bawang putih oleh OYDV. Identifikasi waktu itu hanya dilakukan secara visual dengan mempelajari gejalanya saja sehingga dalam laporannya selalu digunakan kata suspected sebelum menyebutkan patogen virus penyebabnya (Komuro 1971). Identifikasi penyakit virus dengan hanya mempelajari gejalanya saja tidak dapat dipertanggungjawabkan karena variasi gejala virus cukup luas, walaupun virus yang sama menginfeksi tanaman yang sama (Noordam 1975, komunikasi pribadi; Tirtawidjaja et al. 1985). Penelitian virus sayuran di Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) dimulai pada tahun 1973/1974 pada tanaman tomat yang diperoleh dari lapangan (Duriat dan Suyatno 1976) maupun yang diteliti di rumah kaca dan mikroplot (Duriat 1979a). Penelitian virus kentang dimulai dengan identifikasi menggunakan tanaman indikator, serologi, dan mikroskop elektron (Duriat 1976). Penelitian yang mempelajari aplikasi teknik serologi (Duriat 1979b) dan pengujian secara mikroskopis dengan mikroskop cahaya (Duriat 1979c) menambah metode deteksi yang divalidasi. Virus
81
penyebab penyakit pada kentang dilaporkan oleh Duriat et al. (1977), sedangkan deskripsi lengkap tentang gejala virus pada berbagai varietas kentang yang ditanam petani di Indonesia sampai tahun 1979 pertama kali dilaporkan oleh Duriat (1979d). Gejala virus pada tanaman sayuran bervariasi, mulai dari gejala lemah atau laten, moderat, parah sampai tanaman mati. Gejala yang sering ditemukan adalah mosaik, kuning, nekrosis, daun menggulung atau keriting, malformasi, daun mengecil, kerdil atau tanaman mati. Gejala ini bervariasi, bergantung pada jenis dan strain virus, jenis dan kultivar tanaman yang diserang, serta keadaan lingkungan. Ada kalanya pada satu tanaman terdeteksi lebih dari satu jenis virus, atau walaupun tanaman terserang virus, gejalanya tidak tampak (symptomless). Kerugian yang disebabkan oleh virus bervariasi, mulai dari tidak merugikan karena gejalanya tidak terlalu parah sampai gejala sangat parah (tanaman mati) sehingga tidak dapat dipanen. Kerugian akibat virus pada kentang berkisar antara 15-90% (Duriat 1985), CMV pada cabai 3075% (Sulyo et al. 1983), TMV pada tomat 0,2- 50% (Duriat 1979a), dan pada bawang 30-70% bahkan bisa mencapai 100% (Phatak 1974). Serangan ZYMV pada mentimun dapat menyebabkan tanaman tidak bisa dipanen (Duriat 1997). Serangan virus gemini pada cabai menyebabkan puso di beberapa daerah di Lampung (Duriat dan Gunaeni 2005), dan serangan pada tomat di Tulungagung (Jawa Timur) menyebabkan tanaman tidak berbuah (Duriat 2002). Tingkat kerugian tersebut bervariasi karena serangan virus, seperti juga serangan patogen lain, bergantung pada varietas, lingkungan, dan strain dari patogen.
82
TEKNOLOGI PENANGGULANGAN PENYAKIT VIRUS PADA PERBENIHAN KENTANG Dalam mengatasi penyakit tumbuhan, tidak ada satu metode pun yang paling baik dan dapat digunakan untuk memecahkan masalah penyakit secara tuntas. Setiap metode pengendalian memiliki keterbatasan dan kelemahan yang perlu dipertimbangkan dengan cermat (Suhardi 2005). Budi daya tanaman sehat merupakan cara pengendalian hama dan penyakit (termasuk virus) yang efektif, murah, dan aman. Pada hakekatnya, budi daya tanaman sehat merupakan integrasi cara-cara yang dapat menurunkan populasi awal patogen atau menghambat laju perkembangannya. Van der Plank (1963) dalam Suhardi (2005) mengusulkan suatu formula yang menggambarkan hubungan antara populasi awal patogen (x0), laju pertumbuhan penyakit (r), dan populasi penyakit (x) dalam rentang waktu tertentu (t) sebagai berikut: Xt = X0 rt. Patogen virus tidak memiliki racun antinya yang dapat digunakan secara teknis di lapangan, seperti fungisida untuk cendawan, bakterisida untuk bakteri, atau nematisida untuk nematoda. Kalaupun ada antivirus seperti virazole, harganya sangat mahal dan terbatas. Oleh karena itu, penggunaannya dibatasi pada penelitian di laboratorium atau rumah kaca, terutama dalam upaya eradikasi virus dari bahan benih yang terbatas. Dalam memproduksi benih kentang, pengawasan terhadap penularan dan penyebaran penyakit virus menjadi sangat penting karena belum ada racun atau obat pengendaliannya (virusida). Virus ditularkan dan disebarkan oleh serangga yang berukuran kecil (kutu daun apid) sehingga sulit diketahui. Masa inkubasi penyakit
Ati Srie Duriat
juga cukup lama (10-14 hari) sehingga tidak diketahui bahwa virus telah menular walaupun gejalanya belum tampak. Karena itu, dalam mengatasi atau mengendalikan penularan dan penyebaran virus pada perbenihan kentang, dilakukan pendekatan formula Van der Plank tersebut. Untuk membatasi penularan dan penyebaran penyakit virus pada kebun benih, perlu dilakukan upaya pencegahan dan pemberantasan. Tanaman yang diperbanyak secara vegetatif (umbi, setek, planlet) seperti kentang berisiko menjadi sumber infeksi atau penyebar virus yang lebih luas, karena tanaman induk yang terinfeksi penyakit virus akan terus menularkan atau menyebarkan virus ke generasi berikutnya. Sumber infeksi ini akan menjadi ancaman pula bagi tanaman sehat yang ada di sekitarnya. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengatasi penyakit virus pada pembuatan benih kentang. Ada lima upaya pencegahan penularan dan penyebaran virus pada benih kentang, yaitu: (1) menggunakan benih bersertifikat minimal setingkat lebih tinggi; (2) memusnahkan tanaman terinfeksi; (3) membatasi jumlah dan keaktifan vektor; (4) memberi perlindungan fisik; dan (5) mengendalikan hama secara terpadu.
Menggunakan Benih Bersertifikat Minimal Setingkat Lebih Tinggi Pembuatan benih kentang harus seperti air mengalir; benih yang kelasnya setara atau lebih rendah dari kelas benih yang ditargetkan tidak boleh digunakan sebagai bahan benih. Penggunaan benih bersertifikat dimaksudkan agar kesehatan benih sudah termasuk ke dalam persyaratan sertifikasi. Penggunaan benih sehat di-
Dukungan penelitian virus dalam pengembangan ...
maksudkan untuk meminimalkan sumber infeksi pada awal pertanaman (Oka 1993). Skrining populasi dengan membuang atau memusnahkan benih yang terkontaminasi virus merupakan salah satu upaya membersihkan patogen tersebut. Seleksi bahan benih bebas virus dilakukan melalui deteksi virus pada bahan benih tersebut dengan berbagai cara yang telah didukung oleh penelitian (secara ilmiah), seperti penggunaan tanaman indikator (Duriat 1976, 1985), uji serologi (Duriat 1979b, 1985), uji mikroskop elektron (Duriat 1985), dan dengan mikroskop cahaya khusus untuk virus daun menggulung (Duriat 1979c). Eradikasi untuk menghilangkan patogen virus pada kentang dilakukan antara lain dengan metode kultur jaringan, terapi panas, atau gabungan keduanya (Quack 1972). Namun, planlet yang telah dibersihkan kandungan virusnya perlu dipantau secara berkala karena telah dibuktikan bahwa beberapa planlet yang dinyatakan bebas virus, dapat terinfeksi kembali oleh virus (Karyadi dan Duriat 1988). Bahan tanaman bebas virus biasanya diperbanyak secara in vitro (kultur jaringan) untuk menggandakan bahan tanaman secara cepat serta memperoleh keuntungan lain dari kondisi aseptik, yaitu bahan tanaman akan terbebas dari kontaminasi patogen dari luar (Karyadi dan Duriat 1990). Cara mengurangi kontaminasi virus dengan pemanasan telah dilakukan pada umbi bahan benih kentang (Duriat et al. 1986; Duriat 1987, 1988a). Hasilnya menunjukkan bahwa untuk mengurangi kandungan virus pada kentang dapat dilakukan dengan menyimpan umbi benih pada suhu 36oC selama 40 hari, diikuti dengan penyimpanan pada suhu 20oC selama 28 hari (untuk penyembuhan dari dampak panas). Dengan cara tersebut, kandungan virus dapat ditekan sampai 67%. Pema-
83
nasan dengan sinar matahari atau disimpan di para-para api (di dapur) tidak dianjurkan karena panas yang tidak konstan (matahari 20-35oC, dan asap tungku di dapur 24-35oC) selama 30 hari dapat menimbulkan kerusakan fisik pada umbi (Duriat 1987). Kesehatan asal benih menentukan kesehatan hasil panen berikutnya (Duriat et al. 1991). Penelitian Gunaeni dan Duriat (1995) terhadap berbagai asal benih kentang menunjukkan bahwa perbedaan asal benih kentang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil panen, tetapi tidak mempengaruhi serangan OPT lain. Bibit asal setek yang ditanam di rumah kaca memperlihatkan insiden virus terendah, dan pertumbuhan benih yang pertunasannya dirangsang tidak sebaik pertumbuhan benih yang tunasnya tumbuh secara alami. Penggunaan benih sehat yang bebas atau berkadar virus rendah perlu dipersyaratkan karena terbukti bahwa makin rendah kelas benih (G2, G3, G4, dan nonsertifikat), makin tinggi persentase virus setelah benih ditanam di lapang (Mulyana 2005; Pradjadinata 2005), yaitu benih yang tidak bersertifikat memiliki kandungan virus 6-7 kali lipat. Hasil panen dengan benih bersertifikat juga lebih tinggi (Suwandi 2006, komunikasi pribadi). Untuk benih G4 bersertifikat, hasil panen rata-rata G4 (bersertifikat) mencapai 25 t/ha (kisaran 20-30 t/ha), sedangkan bila menggunakan benih tidak bersertifikat dengan pemeliharaan yang optimal, hasil umbi hanya 17,5 t/ha (kisaran 15-20 t/ha). Untuk membuktikan bahwa bahan benih terbebas dari kontaminasi virus, diperlukan pengujian deteksi. Pengujian yang paling cepat dan akurat serta mudah dilakukan adalah uji serologi ELISA. Saat ini kit (perangkat uji) ELISA virus kentang dapat diperoleh secara komersial dari pro-
84
dusen di luar negeri sehingga harga marginalnya menjadi sangat mahal. Untuk mendapatkan kit ELISA yang lebih murah, bahan utama pada kit ELISA, yaitu antibodi murni (IgG), konjugat, serta kontrol positif dan negatif dari virus yang diuji, telah diteliti di Balitsa. Hasilnya menunjukkan bahwa titer antisera berbagai virus kentang (PVS, PVX, PVY, dan PLRV) yang dibuat dapat menyamai titer antiserum komersial (Duriat 1979e, 1985, 1988b; Gunaeni 1993, 1997a, 1997b). Hasil tersebut menunjukkan adanya peluang untuk mengurangi biaya produksi benih kentang bermutu dengan menggunakan kit antiserum buatan dalam negeri dengan memanfaatkan bahan virus lokal. Analisis ekonomi pembuatan antiserum virus kentang (PLRV) dilaporkan oleh Wulandari (2001). Biaya produksi satu perangkat uji virus PLRV adalah Rp3.258.278,22. Dengan memperhitungkan efisiensi usaha produksi 1,99 maka harga jual yang layak adalah Rp6,5 juta pada titik impas sebanyak 68 buah kit. Sebagai bahan pertimbangan, satu kali produksi antiserum pada kelinci diperoleh serum darah 20-30 ml (melalui vena telinga), dan 80-100 ml apabila semua darah kelinci dipanen melalui vena pada leher. Wulandari (2001) menyatakan, dari satu kali produksi antiserum dan konjugat PLRV (Gunaeni 1997a, 1997b) dapat diperoleh 150 kit ELISA. Harga kit ELISA buatan dalam negeri Rp6,5 juta untuk 5.000 sampel uji tergolong murah sehingga terjangkau oleh pengguna dan menguntungkan bagi produsen. Harga tersebut hanya 50-60% dari harga kit ELISA impor. Luas panen pertanaman kentang terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2003, luas panen pertanaman kentang adalah 65.923 ha (Departemen Pertanian 2004). Dengan laju pertumbuhan 14,98%, setelah
Ati Srie Duriat
tahun 2006 luasnya diprakirakan menjadi hampir 70.000 ha. Pertambahan luas areal tersebut akan meningkatkan permintaan benih bersertifikat, yang berarti pengujian deteksi virus pada benih G0 dan G1 akan meningkat pula. Untuk luas panen kentang 70.000 ha dibutuhkan benih untuk produksi kentang konsumsi (G4) sekitar 70.000 ton, sehingga kebutuhan bakal benih untuk dijadikan G0 akan meningkat pula. Pada tahap pembuatan G0 akan diperlukan banyak sekali kit ELISA untuk menguji tiga virus penting pada kentang, yaitu PLRV, PVY, dan PVX .
Memusnahkan Tanaman Terinfeksi Pemusnahan tanaman sakit yang terinfeksi virus atau roguing merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan tanaman tetap sehat. Penelitian dampak roguing terhadap kesehatan tanaman kentang menunjukkan bahwa roguing berpengaruh terhadap kandungan virus pada generasi berikutnya (Duriat 1985; Duriat et al. 1988), dan hasil tersebut akan menjadi lebih baik lagi bila dikombinasikan dengan pemberian insektisida sistemik. Hasil pengamatan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) pada plot generasi berikutnya mengkonfirmasi penelitian roguing tersebut. Kandungan virus pada generasi berikutnya dari setiap kelas benih (G2, G3, G4, dan nonsertifikat) yang tidak dilakukan roguing masing-masing adalah 1%, 4%, 7%, dan 40% untuk total virus (Pradjadinata 2005) dan 0,20%, 0,36%, 4,05%, dan 42,33% untuk PVY (Mulyana 2005). Kandungan virus pada benih nonsertifikat cukup tinggi, yaitu 40,0-42,3%, atau 6-7 kali lipat dari yang bersertifikat. Data ini menunjukkan bahwa pemusnahan tanaman
Dukungan penelitian virus dalam pengembangan ...
sakit mutlak harus dilakukan pada pembuatan benih kentang. Apabila benih awal yang digunakan adalah benih bersertifikat satu tingkat lebih tinggi dari kelas benih target, maka pemusnahan tanaman sakit hanya sedikit dilakukan sehingga populasi tanaman yang tersisa masih menguntungkan. Persyaratan untuk melakukan roguing harus dikuasai dengan mengetahui gejala yang disebabkan oleh virus. Deskripsi virus pada berbagai varietas kentang dapat mengacu pada laporan Duriat (1985, 1989a) dan Suwandi et al. (2001). Ada kalanya penyebab lain menimbulkan gejala yang menyerupai virus, seperti fitotoksik akibat insektisida fenvalerat (Duriat 1989b) atau akibat infestasi hama dan kekurangan hara (Duriat 1979d, 1983). Hal ini harus diperhatikan dengan cermat karena kekeliruan dalam mencabut tanaman akan menyebabkan populasi tanaman berkurang, padahal bila penyebab gejala tersebut bukan virus masih bisa dikendalikan. Sumber infeksi pada pertanaman kentang bukan hanya tanaman kentang, tetapi juga inang alternatif seperti gulma dan atau tanaman sayuran lain. Oleh karena itu, pemusnahan tanaman sakit dilakukan pula pada tanaman yang berpotensi menjadi sumber inokulum (kentang dan tanaman lain). Untuk mencegah infeksi virus dari luar kebun, dianjurkan menggunakan isolasi jarak 10 m dari pertanaman kentang konsumsi atau tanaman sefamili seperti cabai, tomat, terung, dan tembakau.
Mengurangi dan Membatasi Keaktifan Vektor Serangga kutu daun afid berpotensi sebagai penular dan penyebar penyakit di
85
lapangan. Duriat (1981, 1984, 1985) melaporkan bahwa Myzus persicae Sulz. dapat menularkan virus leaf roll (PLRV), yaitu virus yang paling penting pada kentang, selama 5 hari berturut-turut pada tanaman sehat. Kemampuan menularkan virus tertinggi adalah pada hari kedua setelah vektor makan pada tanaman sakit. Namun, kemampuan menularkan PLRV pada afid tidak diturunkan pada anaknya, karena di daerah tropis perkembangbiakan M. persicae berlangsung pesat melalui partenogenesis (Hille Ris Lambers 1972). Duriat (1981, 1985) melaporkan, nimfa yang baru lahir akan menjadi dewasa pada hari ketujuh dan mulai melahirkan anak pada hari kedelapan. Seekor afid dapat melahirkan anak sampai hari ke-16, dan tiap hari melahirkan anak 0-6 ekor. Jumlah anak pada hari ke-16 adalah 65 ekor untuk induk afid apteri (tidak bersayap) dan 37 ekor untuk induk alate (bersayap). Bila tidak ada gangguan (musuh alami dan curah hujan), satu ekor afid pada hari ke-16 akan menjadi koloni berjumlah 1.150 ekor dari induk apteri dan 750 ekor dari induk alate. Pada waktu tersebut akan berkumpul empat generasi kutu daun afid (Duriat 1985), yang setiap instar afid dapat menularkan virus seperti yang dilaporkan Ponsen (1970) dan Hille Ris Lambers (1972). Deteksi virus pada afid yang bersayap dan terbang bebas (pembawa dan penyebar virus yang paling potensial) menunjukkan bahwa dari 592 ekor afid yang tertangkap di Lembang (Jawa Barat), 1,7% mengandung PLRV dan 1,2% mengandung PVY (virus kedua terpenting pada kentang). Dari 2.618 ekor afid yang tertangkap di Segunung (Jawa Barat), 1,2% mengandung PLRV, 0,8% mengandung PVY, dan 0,2% mengandung virus lain yaitu PVA, PVM, CMV, dan virus yang tidak diketahui.
86
Rata-rata afid membawa PLRV sebanyak 1,45% dan PVY 0,97% (Duriat 1981, 1984, 1985). Informasi dinamika populasi afid telah diteliti selama 4 tahun (1979-1982) di Segunung, Cipanas, Cisarua, dan Pangalengan, Jawa Barat (Duriat 1985). Kesimpulannya adalah: (1) secara umum tidak ada lokasi atau bulan yang bebas dari kunjungan afid; (2) penangkapan afid terbanyak terjadi pada bulan Juli-September (musim kemarau), dan terendah pada bulan Desember-Februari (musim hujan); (3) ada korelasi negatif antara curah hujan dan afid yang tertangkap pada baki kuning Moericke, kecuali di Pangalengan; dan (4) jumlah M. persicae yang tertangkap tiap bulan per tahun berbeda, rata-rata 15% dari total spesies afid yang tertangkap. Jumlah M. persicae yang tertangkap di Pangalengan lebih tinggi, yaitu 30-42% dibanding di lokasi lain. Informasi tentang komposisi afid tersebut selanjutnya dikonfirmasi dengan pengamatan selama dua musim tanam oleh Suwandi dan Leksono (2000) dalam Mulyana (2005) di lima kabupaten di Jawa Barat, yaitu Bandung, Garut, Majalengka, Kuningan, dan Sukabumi. Hasilnya menunjukkan bahwa populasi rata-rata M. persicae adalah 18,5% dari total afid yang diamati, dan populasi tertinggi (40%) terdapat di Kuningan. Penelitian untuk menekan populasi vektor virus kentang dilakukan oleh Duriat (1985, 1988c) dan Duriat et al. (1988). Hasilnya menunjukkan bahwa insektisida yang paling efektif menekan populasi afid adalah yang disemprotkan pada daun (pirimicarb 50 WP dengan dosis 3 kg/ha dan oxamyl 10 AS dengan dosis 1,2 l/ha). Namun, insektisida tersebut hanya berpengaruh nyata terhadap afid apteri, tetapi tidak pada afid alate serta tidak dapat menghilangkan 100% penularan PLRV
Ati Srie Duriat
pada umbi yang dihasilkan. Pencabutan tanaman sakit (sumber infeksi) berperan penting dalam mengurangi infeksi virus (Duriat 1985). Pemberian aldicarb 10 G dan Acephate 75 SP hanya mampu menekan populasi afid apteri, tetapi tidak terhadap afid alate. Waktu pemangkasan batang kentang berpengaruh terhadap jumlah umbi yang berukuran 45 g lebih, tetapi tidak berpengaruh pada umbi yang lebih kecil dari 45 g. Bila benih awal telah tercemar virus maka perlakuan pemangkasan dan pemberian insektisida kurang efektif (Duriat et al.1988). Pemberian aldicarb 10G 40 kg/ha pada waktu tanam dapat menekan populasi afid apteri paling rendah, namun tetap tidak berpengaruh terhadap afid alate. Penggunaan kantong berpori dapat memperpanjang persistensi insektisida di dalam tanah, tetapi tidak dapat menekan populasi afid atau mempertahankan hasil panen (Duriat 1988c).
Perlindungan Tanaman Untuk menekan laju infeksi virus dilakukan perlindungan terhadap tanaman, baik secara fisik maupun upaya lainnya. Pada tanaman kentang, perbanyakan setek atau umbi G0 dan G1 umumnya dilakukan di rumah kasa kedap serangga (40-50 mesh/ cm2) agar terhindar dari kunjungan afid dan OPT lain. Penelitian untuk melindungi tanaman kentang di lapang untuk produksi G2, G3, dan G4 dilakukan oleh Duriat dengan menggunakan inang alternatif bagi vektor, tetapi inang tersebut tidak menjadi inang alternatif bagi virus kentang sehingga vektor tidak harus meninggalkan inang alternatif untuk mencari makan pada tanaman utama kentang. Walaupun koloni vektor bertambah banyak pada inang alternatif, vektor tersebut tidak akan mengan-
87
Dukungan penelitian virus dalam pengembangan ...
dung virus lagi. Duriat dan Sukarna (1990) menyimpulkan bahwa di antara tanaman pinggir kubis, caisin, jagung, gandum, padi dan perlakuan kontrol, tanaman pinggir kubis dan caisin berfungsi paling efektif sebagai tanaman perangkap dan inang alternatif untuk M. persicae, sedangkan tanaman yang lain hanya menahan afid secara sementara. Kandungan virus tular stilet pada umbi kentang yang diperlakukan dengan tanaman pinggir kubis dan caisin lebih rendah dibanding perlakuan lainnya. Penelitian lain menunjukkan bahwa afid yang paling dominan ditemukan pada pertanaman kentang adalah M. persicae, dan virus yang paling dominan adalah PLRV dan yang paling rendah adalah PVY dan PVS.
Pengendalian Hama Terpadu Program perbaikan gizi masyarakat melalui peningkatan konsumsi sayuran bagi anak yang sedang tumbuh serta program kesehatan lainnya membuka peluang bagi peningkatan produksi kentang yang sehat (tidak mengandung residu pestisida) dan berkelanjutan dalam upaya mendukung ketahanan pangan nasional. Panduan teknis PHT kentang (Duriat et al. 1994; 2006) yang menguraikan rakitan komponen pengendalian OPT penting secara terpadu pada kentang sejak di gudang benih, lapangan sampai panen, dapat digunakan pada semua tahapan produksi kelas benih kentang. Hal-hal khusus pada pembuatan benih kentang yang perlu diperhatikan adalah pemilihan lahan yang harus mempertimbangkan sejarah pertanaman, serta isolasi jarak antara pertanaman kentang untuk benih dengan tanaman kentang konsumsi dan tanaman sefamili. Pemeliharaan ta-
naman untuk produksi benih harus dilakukan secara intensif karena merupakan persyaratan. Pemantauan dan pencabutan tanaman sakit, pengelolaan kebun secara maksimal, dan tindakan lainnya perlu dilaksanakan secara rutin dan tercatat.
STRATEGI PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS MENUNJANG PERBENIHAN KENTANG Adnyana (2005) menyatakan, berbeda dengan petani tanaman pangan yang umumnya berlahan sempit dengan pendapatan rendah, petani sayuran atau tanaman buah semusim mampu menopang kehidupan keluarganya. Hasil penelitian di Cipanas dan Lembang (Jawa Barat) menunjukkan, usaha perbenihan sayuran pada lahan seluas 1.500-2.000 m2 mampu memberikan pendapatan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan usaha tani tanaman pangan pada lahan sawah irigasi. Tanaman sayuran dapat diusahakan 2-5 kali dalam setahun, sedangkan tanaman padi hanya dua kali. Agribisnis kentang merupakan suatu usaha yang memerlukan teknologi dan tenaga kerja yang cukup, padat modal, inovatif, dan menghasilkan produk yang komperatif dan kompetitif. Bisnis ini juga merupakan upaya yang tepat untuk menjawab tantangan rawan pangan dan gizi, mengurangi pengangguran, dan meraih peluang pasar yang masih terbuka. Pengembangan agribisnis kentang selain dapat memanfaatkan lahan tidur juga memerlukan benih bermutu yang ketersediaannya dalam negeri masih terbatas. Djakamiharja et al. (1993) dalam Mulyana (2005) melaporkan bahwa penyediaan benih kentang bersertifikat untuk Jawa Barat baru memenuhi 7,5% kebutuhan.
88
Dengan demikian, untuk mencukupi kebutuhan benih kentang seluruh Indonesia, persentasenya akan lebih rendah lagi. Perbenihan kentang harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang saling membutuhkan sejak pengadaan benih elit atau inti (G0) sampai benih sebar (G4). Penangkaran benih kentang mulai dari G0, G1, G2, G3 hingga G4 merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Namun, masing-masing bagian dapat dipilah menjadi bisnis yang mandiri karena setiap kelas benih memiliki target pengguna tertentu dengan standar kualitas yang terperinci (BPSB-TPH 2005) dan standar ukuran umbi tertentu (Balitsa, tanpa tahun). Perbenihan kentang sangat unik, dapat diibaratkan seperti air mengalir yang alirannya tidak pernah kembali ke hulu. Kelas benih tertentu tidak dapat digunakan sebagai benih awal bagi kelas yang sama, apalagi menjadi bahan benih yang lebih tinggi kelasnya. Benih yang digunakan untuk memproduksi kentang konsumsi tidak dibenarkan digunakan sebagai benih pada musim tanaman berikutnya. Alur sistem seperti ini digunakan pula di negara-negara penghasil kentang. Di Belanda, Van der Haar (2004) melaporkan bahwa setiap tahun generasi kelas benih secara otomatis turun ke kelas yang lebih rendah. Bergantung pada hasil inspeksi, produk satu kelas benih dapat turun atau ditolak sama sekali. Dengan cara seperti ini, ketersediaan setiap kelas benih kentang terus diperlukan. Di Belanda, hasil kentang berkisar antara 50-60 t/ha, dan pada waktu hari panjang mencapai 80-90 t/ha (Van der Zaag 1990). Berbagai bisnis yang dapat dibangun dengan dukungan hasil penelitian penyakit virus dan telah diaplikasikan pada produksi benih kentang bersertifikat adalah:
Ati Srie Duriat
1. Bisnis jasa untuk eradikasi virus atau penyehatan bahan benih, yang dilanjutkan pada perbanyakan benih G0. Produk bisnis ini berupa planlet dalam botol, setek kentang atau tuberlet yang bebas virus dan siap dipasarkan. Untuk menyediakan benih G0 sebagai benih sumber perbanyakan benih kentang bagi seluruh wilayah Indonesia tidak mungkin hanya mengandalkan Balitsa atau BPSB. 2. Bisnis jasa deteksi dan inspeksi virus pada bahan benih. Bisnis ini merupakan bisnis yang menarik, apalagi pada masa yang akan datang, pengujian kesehatan benih harus mampu dilaksanakan oleh laboratorium atau lembaga yang telah terakreditasi, baik lembaga pemerintah maupun swasta. Produk dari bisnis ini adalah sertifikat kesehatan benih yang akan menyertai atau menjadi label kelas benih kentang. Dengan adanya pelayanan jasa ini, para produsen benih kentang tidak harus memiliki laboratorium dengan segala fasilitasnya untuk menguji kesehatan materi benih G0-G1. Demikian juga bagi produsen G2, G3, dan G4 untuk inspeksi kesehatan tanaman di lapang. 3. Bisnis produksi secara komersial kit ELISA untuk mendeteksi virus kentang. Produk dari bisnis ini berupa kit ELISA yang akan banyak dibutuhkan oleh laboratorium penguji kesehatan benih kentang, penangkar benih, serta untuk tujuan penelitian. Harga kit ELISA lokal hanya 70% dari harga impor sehingga terjangkau oleh pengguna. 4. Penangkar benih kentang G0, G1, G2, G3, dan G4 dapat berbisnis secara mandiri pada setiap kelas benih setelah memenuhi persyaratan untuk menjadi penangkar. Teknologi, fasilitas, sarana, dan kemampuan yang membatasi
Dukungan penelitian virus dalam pengembangan ...
setiap produksi kelas benih memberikan keleluasaan kepada penangkar benih untuk memilih bisnis yang paling dikuasai sehingga menghasilkan produk yang kompetitif dengan harga setiap kelas benih yang berbeda. Menurut keterangan Suwandi dari BPSBTPH Jawa Barat (2006, komunikasi pribadi), hasil panen umbi kentang kelas G2, G3, dan G4 berkisar antara 2030 t/ha. Bila lolos inspeksi, semua umbi dari lot pertanaman bersertifikat dan dapat digunakan untuk benih. BPSBTPH (Suwandi, 2006 komunikasi pribadi) menargetkan, dari panen umbi G4, 60% dapat menjadi benih, 20% untuk konsumsi, 15% afkir, dan 5% susut bobot selama di gudang. Pada benih G4, target ini sering tidak tercapai karena sebagian besar umbi berukuran besar sehingga kurang diminati sebagai benih. Umbi yang berukuran besar (L atau LL) dijual sebagai kentang konsumsi. Benih G4 yang berukuran SS (sangat kecil, <10 g) tidak dianjurkan digunakan sebagai benih. Rendemen benih G2, G3, dan G4 tiap musim tanam rata-rata 17,25 t , 14,5 t, dan 9,5 t/ha. 5. Bisnis kentang konsumsi. Penggunaan benih G4 bersertifikat memberi jaminan hasil panen yang tinggi. Benih kentang G4 bersertifikat dapat menghasilkan umbi 800-1.200 g/pohon atau 20-32 t/ ha. Tersedianya benih kentang yang mencukupi akan memudahkan produsen kentang konsumsi atau industri dalam memperoleh benih secara tepat jumlah dan tepat waktu. Penelitian virus untuk meningkatkan produksi kentang dapat mendukung upaya membangun bisnis kentang yang mengun-
89
tungkan pada hampir semua jenis usaha yang ditawarkan. Kelebihan bisnis benih kentang adalah tidak memerlukan lahan yang luas, dapat dilakukan pada lahan dengan luas mulai dari 100-2.500 m2 hingga 2 ha. Hasil-hasil penelitian tentang deskripsi gejala virus yang harus di-roguing, perilaku afid vektor, pembuatan antiserum virus, dan pengendalian virus di lapangan merupakan pembuktian ilmiah dari setiap teknologi yang diaplikasikan dan saling berhubungan. Agribisnis kentang yang dilakukan oleh banyak lembaga dan tersebar di berbagai daerah berpeluang untuk menyerap lebih banyak tenaga kerja. Pembinaan bisnis benih kentang melalui sistem plasma dan inti akan memudahkan dalam melakukan pengawasan sesuai standar pembuatan setiap kelas benih. Penerapan ISO/ IEC 17025-2005 (SNI 17025:2008) pada lembaga pengujian mutu atau kesehatan benih kentang akan memberikan jaminan kepada pengguna dalam memperoleh sertifikasi benih kentang. Petani produsen kentang konsumsi yang tersebar di setiap provinsi akan mudah memperoleh benih bersertifikat dan menjalankan usahanya secara sinambung bila produsen benih juga terdesentralisasi.
KEBIJAKAN MENDUKUNG STRATEGI PERBENIHAN KENTANG BEBAS VIRUS Ketimpangan neraca pangan menunjukkan bahwa tantangan dalam penyediaan pangan ke depan akan makin sulit dan kompleks. Oleh karena itu, diperlukan terobosan inovasi teknologi, baik konvensional maupun modern. Terobosan dalam
90
bidang pertanian yang padat inovasi adalah bisnis perbenihan kentang. Bisnis kentang konsumsi memerlukan lahan yang luas (puluhan sampai ratusan hektar) dengan teknik budi daya yang umum diterapkan atau menggunakan konsep PHT. Kendala lain pada budi daya kentang selain penyakit virus adalah bakteri layu dan busuk daun. Penyakit busuk daun yang disebabkan oleh cendawan Phythopthora infestans sejauh ini dapat dikendalikan dengan fungisida. Namun bakteri layu sulit dikendalikan sehingga dianjurkan untuk menanam kentang pada lahan yang tidak terkontaminasi patogen tanah, terutama pada dataran tinggi. Oleh karena itu, pengusaha kentang bermodal besar banyak yang mengusahakan kentang di dataran lebih tinggi (>1.000 m di atas permukaan laut) atau pada kawasan hutan sehingga berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan. Peraturan daerah yang membatasi penggunaan lahan kehutanan untuk usaha pertanian dapat mengurangi perambahan hutan. Selain itu, peraturan penggunaan air tanah akan mencegah pemborosan sumber daya air yang ketersediaannya makin mengkhawatirkan. Berbeda dengan agribisnis kentang konsumsi di mana seluruh hasil panen akan musnah (dikonsumsi atau menjadi bahan baku industri), hasil panen usaha benih kentang akan terus digunakan sebagai materi awal dari pertanaman berikutnya, baik untuk tujuan produksi benih maupun kentang konsumsi. Karena itu, persyaratan operasional dan teknis kedua jenis usaha tersebut berbeda. Lahan yang dibutuhkan untuk produksi benih kentang jauh lebih sempit (100 m2 sampai 2 ha), namun operasional dan teknologi yang digunakan cukup beragam, mulai dari permohonan
Ati Srie Duriat
sertifikasi, penentuan benih, penentuan dan persyaratan lahan, kultur teknis, pemeliharaan, pemantauan, inspeksi lapang, pencabutan tanaman sakit, sistem sertifikasi, pengkelasan ukuran umbi, pengemasan sampai pelabelan. Jika bisnis bertujuan untuk memproduksi benih yang lebih hulu (G0 atau G1), perlu disertai pengujian deteksi virus. Oleh karena itu, pembinaan dari pemerintah atau lembaga yang kompeten kepada calon penangkar, serta apresiasi perbenihan kentang dan program sertifikasi benih kentang perlu dilakukan dan dikomunikasikan secara luas, rinci dan jelas. Penyuluh yang berada di garis depan, yang menjembatani pemerintah dan petani, perlu dibekali dengan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang memadai sehingga dapat memberikan informasi yang dibutuhkan pengguna. Sistem inti dan plasma antara lembaga fasilitator (BPSB, Puslitbang Hortikultura, Dinas Pertanian, dan lembaga lain yang kompeten) sebagai inti dengan petani calon penangkar sebagai plasma perlu dibina secara partisipatif dan harmonis. Pembatasan jumlah benih yang diproduksi perlu dilakukan dengan menentukan kuota setiap kelas benih yang dihasilkan berdasarkan pertimbangan teknologi, operasional, sosial, dan ekonomi karena jika terjadi kelebihan pasokan benih, walaupun bersertifikat, harga jualnya akan sama dengan kentang konsumsi. Promosi hasil-hasil penelitian seperti kit ELISA virus kentang kepada pihak ketiga (investor) serta mendorong pertumbuhan dan pendayagunaan iptek yang lebih efektif perlu digalakkan agar memberikan manfaat bagi semua pihak. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat perlu berperan aktif dalam
91
Dukungan penelitian virus dalam pengembangan ...
pengembangan dan pendayagunaan iptek sejalan dengan UU No. 18 tahun 2002 (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura 2004). Kebijakan pemerintah untuk mendorong penggunaan kit ELISA buatan lokal akan menumbuhkembangkan kerja sama Badan Litbang Pertanian sebagai penghasil teknologi dan pengusaha sarana perbenihan kentang. Peraturan yang mengharuskan semua benih kentang yang diperjualbelikan, termasuk eks-impor, harus disertai sertifikat atau label, akan melindungi petani dari penggunaan benih yang tidak dapat dipertanggungjawabkan mutunya. Hal ini akan menumbuhkembangkan bisnis pengujian kesehatan benih. Laboratorium pengujian kesehatan juga perlu mempersiapkan diri dengan sistem akreditasi agar diakui keabsahan pengujiannya. Secara berangsur, lembaga pemerintah perlu memberikan wewenang sertifikasi kepada pihak swasta agar mereka dapat bersaing secara sehat dan melakukan tugas secara mandiri sehingga tidak bergantung pada dana atau anggaran pemerintah. Lembaga yang terkait dengan perbenihan kentang secara berangsur dialihfungsikan sebagai lembaga acuan, pembina, fasilitator, koordinator atau supervisi atas berjalannya kesesuaian operasional dengan sistem perbenihan yang baik dan benar. Bisnis benih kentang sebagai usaha yang padat modal memerlukan bantuan modal untuk memulai usahanya. Ketersediaan kredit yang dapat diangsur, dengan produk benih bersertifikat akan mendorong para penangkar benih lebih serius dalam menjalankan usahanya. Benih kentang bersertifikat, terjamin kualitas dan kesehatannya, memiliki posisi tawar yang tinggi karena untuk memenuhi 70.000 ton benih G4 per tahun bukan hal yang mudah.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Komoditas kentang dapat diandalkan untuk memperkuat ketahanan pangan dan pemenuhan gizi masyarakat, serta peningkatan kesejahteraan petani. Hasil panen kentang yang lebih tinggi dari padi (4-6 kali lipat) dengan harga nominal yang tidak jauh dari beras (Rp3.000-Rp6.000/kg) dapat melipatkan pendapatan petani. 2. Benih kentang yang diperbanyak secara vegetatif memerlukan jaminan bahwa benih diperoleh dari tanaman induk yang sehat, terutama tidak mengandung virus atau berkadar virus rendah. Peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan setiap pelaku bisnis kentang untuk memahami dan menerapkan filosofi “alur perbenihan kentang seperti air mengalir” sangat dibutuhkan. 3. Bisnis perbenihan kentang yang padat teknologi dan modal perlu didukung dan didorong dengan kebijakan yang terkait dengan dinamika ketahanan pangan, antara lain peningkatan SDM (sebagai penangkar benih, analis penguji kesehatan, inspeksi benih di lapangan), sertifikasi lembaga pengujian kesehatan benih dengan ISO/IEC 17025-2005 (SNI 17025:2008), pemberian subsidi, perbaikan dan peningkatan penyuluhan, pengembangan infrastruktur, penetapan kuota benih, serta penetapan harga dasar benih. 4. Lembaga pemerintah yang terkait dengan program perbenihan kentang secara perlahan perlu beralih fungsi menjadi pembina, pengawas, dan sebagai acuan bagi laboratorium pelaksana perbenihan. Bisnis perbenihan kentang yang didukung dengan informasi hasil
92
Ati Srie Duriat
penelitian yang dilakukan di berbagai wilayah merupakan validasi dan verifikasi bagi suatu teknologi yang akan diterapkan. 5. Tersedianya benih bersertifikat pada setiap saat akan menciptakan kesinambungan agribisnis kentang konsumsi, sehingga ketersediaan pangan domestik menjadi lebih baik. Ketersediaan kentang yang mencukupi akan membuat harga kentang terjangkau oleh rakyat kecil, sehingga kentang dapat berkontribusi dalam mensubsitusi kekurangan pangan pokok beras dan kebutuhan akan sebagian unsur gizi. 6. Penerapan standar benih kentang akan menjadi scientific dan technical barrier terhadap benih kentang impor, selain mampu mensubstitusi impor benih kentang. Pada gilirannya, upaya tersebut dapat berkontribusi dalam ekspor kentang, baik untuk konsumsi maupun benih. 7. Sesuai dengan pergeseran paradigma pembangunan pertanian dari sentralistis ke desentralistis, dan tumbuhnya kesadaran bahwa pelaku pembangunan adalah masyarakat luas, maka penelitian penyakit virus perlu dilaksanakan secara partisipatif oleh ahli hama tanaman dan petani di sentra produksi kentang (atau sayuran). Melalui upaya ini, iptek patogen virus, yang meliputi pengenalan dan pengendaliannya, dapat diterima dan dipraktekkan secara langsung oleh petani dan masyarakat pertanian.
PENUTUP Seperti pada tanaman pertanian lainnya, benih kentang memegang peranan penting dalam keberhasilan usaha tani, baik untuk
tujuan menghasilkan benih maupun kentang konsumsi. Salah satu pembatas dalam memproduksi benih kentang berkualitas adalah penyakit virus. Penyakit virus bersifat sistemik; sekali penyakit tersebut menginfeksi tanaman kentang, akan seterusnya berada pada tanaman tersebut dan turunannya yang diperbanyak secara vegetatif. Patogen virus belum memiliki racun antinya yang dapat diaplikasikan secara teknis di lapang, seperti fungisida untuk jamur atau nematisida untuk nematoda. Pengendalian virus kentang umumnya dilakukan secara tidak langsung melalui penekanan vektornya atau serangga afid. Namun cara ini tidak dapat mengendalikan serangga vektor maupun virus secara tuntas karena serangga afid sebagai vektor tidak harus dalam jumlah banyak sebagaimana fungsinya sebagai “hama”. Satu ekor afid dapat menginfeksi beberapa tanaman sehingga sulit menentukan ambang kendalinya. Masalah lainnya adalah ukuran serangga yang sangat kecil (2-3 mm) sehingga sulit diamati di lapangan. Apabila virus diinfeksikan oleh serangga pada tanaman kentang, masa inkubasi (waktu antara masuknya virus ke dalam tanaman sampai keluarnya gejala) cukup lama, 7-15 hari, sehingga sering terjadi gejala baru terlihat saat tidak satu ekor pun afid yang tertinggal. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah tanaman kentang yang terinfeksi virus (yang mungkin terbawa dari benih) dapat berperan sebagai sumber inokulum, sehingga penyakit akan menyebar dengan cepat ke tanaman yang sehat. Eradikasi patogen virus dari bahan benih juga sulit dilakukan, selain memerlukan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Keberhasilan perbenihan kentang akan menjamin ketersediaan benih berkualitas
Dukungan penelitian virus dalam pengembangan ...
pada setiap saat dibutuhkan dalam jumlah yang mencukupi. Benih berkualitas merupakan kunci keberhasilan usaha pertanian. Hasil panen kentang yang optimal secara keseluruhan akan mendukung ketahanan pangan, yaitu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga dalam jumlah dan mutu yang cukup, aman, merata, dan terjangkau (dapat diperoleh dengan harga yang cukup murah). Kandungan gizi dan vitamin pada kentang dapat memenuhi sebagian kebutuhan nutrisi tubuh, sehingga dapat membantu mengatasi masalah kekurangan gizi.
DAFTAR PUSTAKA Adnyana, M.O. 2005. Lintasan dan Marka Jalan Menuju Ketahanan Pangan Terlanjutkan dalam Era Perdagangan Bebas. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. 74 hlm. Balitsa. Tanpa tahun. Tata Cara Produksi Benih Inti dan Benih Penjenis Kentang. Buku saku. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang. 31 hlm. BPSB-TPH. 2005. Petunjuk Pelaksanaan Sertifikasi Benih Kentang. Panduan untuk Pengawas Benih Tanaman. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 21 hlm. + 10 lampiran. Departemen Pertanian. 2004. Statistik Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. hlm. 87-101. Duriat, A.S. 1976. Penyakit virus kentang di Indonesia. Disampaikan pada Kongres Nasional IV PFI, Gambung, Bandung, Desember 1976. 12 hlm. Duriat, A.S. dan Suyatno. 1976. Identifikasi virus-virus tomat. Laporan Kegiatan Penelitian Hortikultura Tahun 1976/
93
1977. Rapat Teknis Penelitian Hortikultura, Bandung, 15-17 Maret 1977. hlm. 149-150. Duriat, A.S., Y. Sulyo, dan D. Noordam. 1977. Virus penyebab penyakit. Dalam Hama dan Penyakit pada Tanaman Kentang dan Pemberantasannya. Informasi Lembaga Penelitian Hortikultura 5: 31-38. Duriat, A.S. 1979a. Pengaruh tobacco mosaic virus pada beberapa varietas tomat. hlm. 124-129. Dalam Masalah dan Pengendalian Penyakit Tanaman Pertanian Indonesia. PFI Bogor. Duriat, A.S. 1979b. Pengujian virus kentang memakai metode serologi dari Noordam. Disampaikan pada Kongres Nasional V PFI di Malang. 10 hlm. Duriat, A.S. 1979c. Pengujian potato leaf roll virus. Disampaikan pada Kongres Nasional V PFI, Malang, Januari 1979. 6 hlm. Duriat, A.S. 1979d. Gejala serangan virus pada kentang di Indonesia. Informasi Lembaga Penelitian Hortikultura 9: 20 hlm. Duriat, A.S. 1979e. Purifikasi partikel virus kentang S untuk membuat antiserumnya. Kongres Nasional V PFI, Malang, Januari 1979. 12 hlm. Duriat, A.S. 1981. Studi mengenai afid sebagai vektor virus kentang. Disampaikan pada Kongres Nasional VI PFI, Bukittinggi, Mei 1981. 12 hlm. Duriat, A.S. 1983. Pengenalan Penyakit Virus dalam Pengembangan Kentang di Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta. 96 hlm. Duriat, A.S. 1984. Peranan Myzus persicae dalam penyebaran virus daun menggulung (PLRV) di lapangan. hlm. 33-37. Risalah Seminar Hama dan Penyakit Sayuran, Cipanas, Mei 1984. Balai Penelitian Hortikultura, Lembang.
94
Duriat, A.S. 1985. Virus-virus pada Kentang di P. Jawa: Identifikasi, Penyebaran, dan Kemungkinan Pengendalian. Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung. 436 hlm. Duriat, A.S., E. Wibiksana, dan E. Sofiari. 1986. Pengaruh pemanasan terhadap gejala virus daun menggulung (PLRV) pada umbi bibit kentang. Buletin Penelitian Hortikultura XIV (2): 15-28. Duriat, A.S. 1987. Heat treatment as a means of eliminating potato leaf roll virus from seed of potato. p. 47-53. Proc. Mid-Elevation Potato Seminar, Lembang, January 1987. Duriat, A.S. 1988a. Pengaruh pemanasan terhadap gejala daun menggulung (PLRV) pada umbi bibit kentang varietas Eigenheimer dan Northern. hlm. 16-20. Dalam Pengembangan Potensi Produk Tanaman Hortikultura Guna Meningkatkan Pendapatan Petani. Prosiding Seminar Hortikultura. Perhimpunan Hortikultura Indonesia, Bogor. Duriat, A.S. 1988b. Purifikasi dan pembuatan antiserum virus X kentang. Seminar Ilmiah Sehari PFI Komda Jawa Barat, Segunung, Cianjur, Agustus 1988. Duriat, A.S. 1988c. Kemangkusan Temik 10G terhadap afid pada kentang. Buletin Penelitian Hortikultura XVI (2): 6773. Duriat, A.S., S. Tirtawidjaja, R. Suseno, dan G. Satari. 1988. Pengaruh pemusnahan batang dan pemberian insektisida terhadap gejala potato leaf roll virus (PLRV). Buletin Penelitian Hortikultura XVI(2): 122-128. Duriat, A.S. 1989a. Gejala menyerupai serangan virus pada daun kecipir (Psophocarpus tetragonolobus) disebabkan oleh penyemprotan fenvalerat. Pro-
Ati Srie Duriat
siding Kongres Nasional dan Seminar Ilmiah PFI, Denpasar. hlm. 193-195. Duriat, A.S. 1989b. Pengaruh perlakuan panas pada bibit kentang yang mengandung virus. Buletin Penelitian Hortikultura XVIII (1) : 1-10. Duriat, A.S. dan E. Sukarna. 1990. Deteksi penyakit virus pada klon bawang merah. Buletin Penelitian Hortikultura XVIII (1): 146-153. Duriat, A.S., R. Sutarya, E. Sukarna, dan A.K. Karyadi. 1991. Pengaruh asal bibit dan tanaman pinggir terhadap insiden virus dan produksi kentang Granola. Buletin Penelitian Hortikultura XXI (2): 52-63. Duriat, A.S., T.A. Soetiarso, L. Prabaningrum, dan R. Sutarya. 1994. Penerapan Pengendalian Hama-Penyakit Terpadu pada Budidaya Kentang. Balai Penelitian Hortikultura Lembang. 25 hlm. Duriat, A.S. 1997. Identifikasi gejala virus pada Gerkin cv. Calypso. hlm. 512-516. Dalam Peran Fitopatologi dalam Pembangunan Pertanian Rakyat di Kawasan Timur Indonesia. Risalah Kongres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah PFI di Mataram. Duriat, A.S. 2002. Virus keriting ancaman serius tomat. Trubus No. 397, Desember 2002/ XXXIII. hlm. l 91. Duriat, A.S. dan N. Gunaeni. 2005. Hasil kajian pengendalian penyakit virus kuning pada cabai merah. Makalah pada Apresiasi Penerapan Penanggulangan Penyakit Virus pada Cabai, Yogyakarta. 19 hlm. Duriat, A.S., O.S. Gunawan, dan N. Gunaeni. 2006. Penerapan PHT pada Tanaman Kentang. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang. 59 hlm. Gunaeni, N. 1993. Pemurnian virus X kentang dan pembuatan antiserumnya. hlm. 110-113. Prosiding Raker Pusat
Dukungan penelitian virus dalam pengembangan ...
Penelitian dan Pengembangan Hortikultura di Malang. Gunaeni, N. dan A.S. Duriat. 1995. Degenerasi umbi bibit kentang: Pengaruh roguing terhadap kesehatan bibit. hlm. 730-734. Risalah Kongres Nasional XII dan Seminar Ilmiah PFI di Yogyakarta. Gunaeni, N. 1997a. Pemurnian virus daun menggulung kentang dan pembuatan antiserumnya. hlm. 133-139. Prosiding Kongres XIV dan Seminar Ilmiah PFI di Palembang. Gunaeni, N. 1997b. Pemurnian antibodi dan pembuatan enzim conjugate potato leaf roll virus (PLRV) untuk uji Elisa. hlm. 127-132. Prosiding Kongres XIV dan Seminar Ilmiah PFI di Palembang. Hille Ris Lambers, D. 1972. Aphids: Their life cycles and their role as virus vector. p. 36-56. In Viruses of Potatoes and Seed-Potato Production. Pudoc, Wageningen. Karyadi, A.K. dan A.S. Duriat. 1988. Deteksi virus-virus penting pada umbi kentang hasil kultur jaringan. Seminar Ilmiah Sehari PFI Komda Jawa Barat, Segunung, Cianjur, Agustus 1988. Karyadi, A.K. dan A.S. Duriat. 1990. Respons pertumbuhan shoot tip kentang varietas Granola pada media buatan. Buletin Penelitian Hortikultura XIX(2): 37-42. Komuro, Y. 1971. Report of Survey on Plant Virus Diseases in Some District of East and West Java. Institute for Plant Virus Research, Chiba and Tarc. Japan. 7 pp. Mulyana, A.J. 2005. Penyebaran potato virus Y (PVY) di Sentra Produksi Tanaman Kentang Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung. 60 hlm. Oka, I.N. 1993. Pengantar Epidemiologi Penyakit Tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 92 hlm.
95
Phatak, H.C. 1974. Seed Borne Plant Viruses. Identification and diagnosis in seed health testing. The Danish Government Institute of Seed Pathology for Developing Countries. Contribution. Copenhagen. 155 pp. Ponsen, M.B. 1970. The biological transmission of potato leaf roll virus by Myzus persicae. Neth. Plant Pathol. 76: 234-238. Pradjadinata, M. 2005. Health certification on potato seed. A case for vegetative planting material. Manual of 2nd HortinSeed Workshop: Seed health management on vegetables. Collaboration of IVEGRI (Indonesia) and PRI (the Netherlands). Lembang. p. 125-131. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. 2004. Rencana Strategis Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura 2005-2009. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 54 hlm. Quack, F. 1972. Therapy. p. 158-166. In De Bokx (Ed.).Viruses of Potatoes and Seed-Potato Production. Pudoc, CAPD, Wageningen. Saefuddin, A.M. 1999. Strategi dan langkah-langkah memberdayakan ketahanan pangan bangsa Indonesia. Makalah disampaikan pada pertemuan Tim Ahli Bimas, 9 Maret 1999 di Jakarta. 8 hlm. Suhardi. 2005. Ekobiologi Patogen: Perspektif dan penerapannya dalam pengendalian penyakit. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Ilmu Penyakit Tumbuhan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 61 hlm. Sulyo, Y., Suyatno, dan D.D. Hartono. 1983. Pengaruh infeksi CMV terhadap beberapa kultivar cabai di rumah kaca. Laporan Balai Penelitian Hortikultura Lembang 1983/1984. 6 hlm.
96
Suwandi dan A.A. Asandhi. 1996. Pola usaha tani berbasis sayuran dengan berwawasan lingkungan untuk meningkatkan pendapatan petani. hlm. 13-28. Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Komoditas Sayuran. Kerja sama Balai Penelitian Tanaman Sayuran-PFI dan PT Novartis Plant Protection. Suwandi, W., M. Pradjadinata, D. Ruswandi, P. Leksono, dan M. Nobuo. 2001. Visualisasi gejala infeksi penyakit dan hama pada tanaman dan ubi kentang varietas Granola. BPSB-TPH. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, Bandung. 19 hlm. Tirtawidjaja, S., G. Satari, dan R. Suseno. 1985. Pertanggungjawaban Akademik atas Disertasi Virus-virus pada Kentang di Pulau Jawa: Identifikasi, penyebaran dan kemungkinan pengendalian. Universitas Padjadjaran, Bandung. 7 hlm. Van der Goot, D. 1924. Overzincht der voornaamste ziekten van het aardappel gewas of Java. No. 18. Inst. Vor Plantenziekten.
Ati Srie Duriat
Van der Goot, D. 1925. Aarteekeningen over aardappel cultuur en virusziekten I Ned. Indie Tydschr. Pl. Ziekten 31: 167178. Van der Haar, H. 2004. Certification and Phytosanitary Aspect of Seed Potatoes in the Netherlands. Netherlands General Inspection Service for Agriculture Seeds and Seed Potatoes (NAK). Emerloord, the Netherlands. 9 pp. Van der Zaag, D E. 1990. Potatoes and Their Cultivation in the Netherlands. The Netherlands Potato Consultative, Den Haag. 76 pp. Van Eek, Th and T.H. Thung. 1950. Resultanten van onderzoekingen omtret aardappel ziekten of Yava. Landbouw (Bogor, Java) XXII (7, 8, 9): 304-346. Wulandari, A.W. 2001. Analisis Biaya Pembuatan Kit ELISA Lokal Virus Daun Menggulung Kentang (Potato Leaf Roll Virus = PLRV). Skripsi, Fakultas Pertanian, Universitas Bandung Raya. 70 hlm.