Perspektif Vol. 11 No. 1 /Juni 2012. Hlm 33 - 44 ISSN: 1412-8004
PENGEMBANGAN INDUSTRI PERBENIHAN JAMBU METE DEVELOPMENT OF SEEDS INDUSTRY OF CASHEW YULIUS FERRY
Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar Indonesian Research Institute for Industrial and Beverage Crops Jl. Raya Pakuwon - Parungkuda km.2, Sukabumi 43357, Jawa Barat - Indonesia Telp. (0266) 7070941 Fax. (0266) 6542087 e-mail:
[email protected] Diterima : 2 Maret 2011 ; Disetujui : 2 Januari 2012
ABSTRAK Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale L.) merupakan komoditi ekspor dan sangat penting bagi perekonomian masyarakat di daerah marginal seperti NTT, NTB, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Permintaan pasar jambu mete dari tahun ke tahun semakin meningkat, namun produktivitas tanaman ini masih rendah, sehingga produksi dan pendapatan petani tidak optimal. Rendahnya produktivitas disebabkan oleh umur tanaman sudah tua, tidak menggunakan benih unggul, dan teknik budidaya yang diterapkan belum sesuai. Untuk meningkatkan produksi dan produktivitas jambu mete nasional, Dirjenbun telah menyusun road map pengembangan dan peremajaan jambu mete hingga tahun 2025, dengan rata-rata 213.430 ha/th. Pengembangan dan peremajaan tersebut akan memerlukan benih sebanyak 32.014.500 batang/th. Blok penghasil tinggi yang ada hanya mampu menyediakan benih 4,69% dari kebutuhan, sisanya diperlukan pembangunan 823,7 ha kebun induk. Kebun induk ini dapat dibangun di daerah-daerah sentra pengembangan, dalam bentuk kebun induk komposit yang terdiri dari 3 – 4 varietas unggul. Luas setiap kebun induk sebaiknya tidak kurang dari 100 ha atau sesuai dengan skala usaha untuk kebun induk. Kebun induk juga dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang menunjang prosesing benih, penyimpanan, pembibitan dan pengolahan biji afkir serta hasil sampingnya. Kata kunci : Jambu mete (Anacardium occidentale L.), benih, varietas unggul, pengembangan
ABSTRACT Cashew (Anacardium occidentale L.) is very important to the economy of communities in marginal areas, such as provinces of NTT, NTB, South Sulawesi, and Southeast Sulawesi. Demand of cashew keeps increasing,
however, crop productivity is still low so that the production and farmers' income are not optimal yet. Low crop productivity is caused partly by old plant age, random seeds usage, and in-appropriate application of cultivation techniques. To increase production and productivity of the cashew nationally, Directorate General of Estate Plantation has developed a road map for development and rejuvenation of cashew crop until the year 2025, with an average area of 213,430 ha/year. Replanting development will require as many as 32,014,500 seed stems/year. High Producing Blocks are only capable of providing seed as much as 4.69% of the total need, while to cover the rest, it is required to construct 823.7 ha of plantation master. Parent garden can be built in areas of development centers, in the form of the parent composite garden consisting of 3-4 superior varieties. Area per farm holding should be not less than 100 ha or in accordance with the scale of the effort to stem the garden. Key words: Cashew (Anacardium occidentale L.), seed, superior variety, development
PENDAHULUAN Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale L.) telah berhasil meningkatkan perekonomian masyarakat di daerah marginal seperti NTT, NTB, Sulawesi Tenggara, dan daerah lainnya di Indonesia Bagian Timur. Produktivitas makin naik dari 125 menjadi 250 kg/ha/th (Ditjenbun, 2010), tetapi kebutuhan industri dalam negeri belum dapat terpenuhi. Jambu mete merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai strategis dalam pembangunan agribisnis perkebunan, karena sangat terkait dengan sektor industri otomatif (seperti: rem, serbuk friksi, campuran ban, cat,
Pengembangan Industri Perbenihan Jambu Mete (YULIUS FERRY)
33
dempul, lak dan lain-lain sebagainya), makanan/ minuman, kosmetik, pestisida nabati dan pakan ternak. Kacang mete di pasar dunia termasuk salah satu produk yang mewah (luxury) dan lebih disukai dibandingkan kacang tanah atau almond (Rao, 1998; Mandall, 2000). Kacang mete bagi Indonesia belum memenuhi kebutuhan pasar, karena baru memasok 6,30 % dari kebutuhan dunia. Negara lain penghasil utama kacang mete yaitu, Afrika Barat (25%), India (22%), Vietnam (21%), Brazil (16%), dan Afrika Timur (9%). Di negara-negara tersebut, pengembangan sudah mulai jenuh, sedangkan di India pengembangan sangat tergantung pada impor dari negara lain, sementara permintaan dunia mengalami peningkatan cukup besar hampir 10% per tahun. Usaha tani jambu mete hampir 100% masih dalam bentuk perkebunan rakyat yang ekstensif, dengan produktivitas tanaman yang masih rendah. Rataan produktivitas mete hanya berkisar antara 250 – 332 kg gelondong/ha/th, sangat jauh di bawah India dan Brazil dengan produktivitas mencapai 1.000 kg gelondong/ha/th, bahkan Australia dapat mencapai 4.000 kg gelondong/ha/th. Produktivitas mete yang sangat rendah dapat dijumpai pada pertanaman mete di lahan marginal (Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara), dengan jarak tanam yang terlalu rapat dan tanpa pemeliharaan. Produktivitas jambu mete yang lebih tinggi terdapat di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Bali. Dibandingkan dengan Sulawesi Tengah dan Tenggara tingginya produktivitas di daerah tersebut disebabkan oleh kegiatan budidaya yang lebih baik seperti pemeliharaan tanaman, pemupukan, penyiangan, dan penggunaan bahan tanaman terpilih (Darwis, 2007; Koerniati dan Hadad, 1996b). Meningkatkan produktivitas selain dapat meningkatkan daya saing mete nasional juga dapat mendorong industri mete dalam negeri menjadi industri total produk seperti India dan Vietnam. Usaha peningkatan produktivitas jambu mete dapat dilakukan dengan peremajaan tanaman yang sudah tua (umur >30 tahun), melaksanakan teknik budidaya yang sesuai, dan menggunakan benih unggul. Untuk itu Ditjenbun
34
telah menyusun roadmap rencana peremajaan dan pengembangan mete nasional sampai 2025 dalam tiga tahap pada tahun 2010, 2015, 2020 dan 2025 masing-masing 606.500, 689.700, 799.750, dan 1.105.500 ha (Ditjenbun, 2007). Pengembangan luas areal penanaman tersebut akan memerlukan benih unggul rata-rata 32.014.500 batang/th (150 batang/ha). Bila harga benih mete siap salur Rp. 1.500,-/batang maka pada agribisnis mete akan terjadi transaksi sebesar Rp. 48,02 milyar/tahun, merupakan peluang yang cukup besar untuk membangun industri perbenihan jambu mete. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi peminat industri benih tanaman mete, dan memberikan bahan dalam menyusun regulasi yang diperlukan pemerintah untuk memajukan industri benih di masa depan.
PERBENIHAN JAMBU METE Penyediaan Benih Bermutu Benih bermutu masih sulit untuk diperoleh masyarakat, karena belum berkembangnya industri benih jambu mete. Dalam kurun waktu 20 tahun, diharapkan bertambah seluas 600.000 ha, atau rata-rata 30.000 ha/th (Ditjenbun, 2007). Bila setiap hektar memerlukan 150 batang benih, maka dibutuhkan benih siap salur sebanyak 4.500.000 batang/th, atau setara dengan 60.000 kg biji untuk benih/th. Sedangkan bila mengacu roadmap pengembangan dan rehabilitasi jambu mete Ditjenbun tahun 2007 – 2025 (Tabel 1), luas rata-rata pengembangan dan rehabilitasi mencapai 213.430 ha/th, sehingga setiap tahun diperlukan 32.014.500 benih siap salur/th atau 426.860 kg biji untuk benih/th (Ditjenbun, 2007). Kebutuhan tersebut belum termasuk kebutuhan benih untuk program penghijauan yang dilakukan oleh Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, dan program remediasi lahan bekas tambang yang dilakukan oleh swasta dan masyarakat. Sebagai gambaran, pada tahun 2006-2007 Ditjen PLA melakukan penanaman seluas 4.200 ha. Sedangkan Kementerian Kehutanan sudah lama menggunakan jambu mete sebagai tanaman penghijauan, demikian juga dengan penanaman (reklamasi) pada lahan bekas tambang. Volume 11 Nomor 1, Juni 2012 : 33 - 43
Tabel 1. Road Map pengembangan jambu mete tahun 2007 – 2025. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Riau Kepulauan Jambi Sumsel Babel Bengkulu Lampung DKI Banten Jabar Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kaltim Kalsel Sulut Gorontalo Sulteng Sulsel Sultra Sulbar Maluku Maluku Utara Papua dan Papua Barat Jumlah
Perluasan setiap periode 5 tahunan 2010 2015 2020 2025 600 1.500 2.500 5.000 500 1.500 2.500 5.000 100 350 750 1.500 100 250 800 1.800 200 400 1.000 3.000 700 1.500 3.000 5.000 100 300 750 1.500 900 1.500 3.000 6.000 800 1.000 2.500 7.500 600 1.500 5.000 9.000 31.400 33.000 35.000 40.000 26.500 26.750 27.000 30.000 64.000 66.000 79.500 85.000 12.700 14.000 16.000 19.000 62.500 85.500 114.500 174.500 149.000 154.500 162.000 202.000 1.700 3.500 5.500 8.500 500 2.500 4.000 8.000 450 750 1.000 2.000 1.200 2.700 3.750 5.750 3.700 6.200 8.500 12.500 25.500 27.750 50.500 125.500 70.500 82.500 95.500 105.500 125.400 128.750 132.500 152.500 200 1.500 3.500 6.500 8.200 10.000 13.500 27.500 5.500 18.500 20.500 35.500 13.000 16.500 19.500 49.500 606.500
689.700
799.750
telah ditetapkan 61 BPT sebagai sumber penyediaan benih, setara dengan 15.011 kg/th (Tabel 2). Potensi penyediaan benih sebesar 15.011 kg/th atau 1.125.825 batang benih siap salur per tahun. Jumlah ini baru dapat memenuhi kebutuhan penanaman 3,52% dari kebutuhan pengembangan dan rehabilitasi. Selanjutnya sisa kebutuhan biji untuk benih sebesar 411.849 kg/ha (426.860 kg – 15.011 kg) masih memerlukan 82.370 pohon induk atau 823,7 ha kebun induk. Industri Perbenihan Jambu Mete Penanaman dengan menggunakan benih bermutu telah terbukti dapat meningkatkan produktivitas tanaman jambu mete. Perbaikan penggunaan benih yang berasal dari BPT telah meningkatkan produktivitas tanaman jambu mete nasional dari 125 menjadi 250 kg/ha/th atau meningkat sebesar 100% dalam jangka waktu 10 tahun terakhir (Gambar 1).
1.105.500
Sumber: Roadmap tanaman jambu mete (Ditjenbun, 2007)
Untuk memenuhi kebutuhan benih pada pengembangan jambu mete tersebut menggunakan benih kualitas rendah. Penggunaan benih yang berasal dari Blok Penghasil Tinggi (BPT) baru digunakan pada tahun 1995 (Hadad et al., 1995). Sampai saat ini
Gambar 1. Perkembangan produktivitas jambu mete.
Tabel 2. Jumlah BPT dan potensi produksi benih per tahun No.
Lokasi
Jumlah BPT
Luas (ha)
Jumlah Pohon Induk terpilih
1
Cikampek, Asembagus 3 2 52 Muktiharjo 2 Cikampek, Muktiharjo 2 2 56 3 Cikampek Muktiharjo 2 2 12 4 Maros Pangkep 2 5 57 5 Maros 2 6 60 6 Yogyakarta 6 5 125 7 Flotim 10 27 235 8 Ende 7 22 225 9 Muna 11 28,5 376 10 Wonogiri 3 12 18 11 Alor 3 18,5 221 12 Sumba 2 3,5 16 13 Sumbawa 5 30 50 14 Bali 3 6 12 Jumlah 61 169,5 1.515 Sumber. Data diolah dari SK Ditjenbun tentang BPT,1995-2000 Pengembangan Industri Perbenihan Jambu Mete (YULIUS FERRY)
Produktivitas/ pohon/th (kg) 8,5-15 11-17 9-16 6-15 6-15 13-15,5 19-33,5 12-37,5 17-39 19-54 18-25 19-25 17-30 15-24 13,5-25,8
Potensi benih/ th (kg) 750 850 260 760 645 1.640 2.660 1.826 1.500 560 1.750 410 1.050 350 15.011
Varietas dilepas GG 1 BO 2, SM 9 PK 36 MR 851 Meteor Yk PF 1 PE 1 -
35
Industri perbenihan jambu mete baru dimulai sejak seleksi BPT dan pohon induk terpilih (Hadad et al., 1995). Hasil pemuliaan ini sudah memperoleh varietas dengan produktivitas 1,5 – 2 ton/ha/th (Hadad et al., 2000), namun belum mampu memacu berkembangnya industri benih jambu mete. Perbenihan jambu mete akan berkembang secara bertahap, yang diawali oleh Ditjenbun, kemudian diikuti oleh petani penangkar pada tahun 2010. Pada tahun 2020 diharapkan sudah terbangun penangkar benih yang berbadan hukum dengan kebun induk komposit.
PENGEMBANGAN SUMBER BAHAN TANAMAN Pemuliaan Tanaman Mete Hasil dari kegiatan pemulian adalah diperolehnya varietas unggul. Dengan menggunakan varietas unggul maka 60% keberhasilan mudah dicapai. Sebaliknya bila pengembangan menggunakan benih kualitas rendah maka 60% peluang kegagalan terjadi. Kegiatan pemuliaan dimulai dari pengumpulan plasma nutfah, karakterisasi, seleksi, sampai merakit varietas unggul (Abdullah, 1990; Djisbar, 1997). Koleksi Plasma Nutfah Jambu Mete Plasma nutfah sangat penting artinya untuk mendapatkan bahan tanaman yang bermutu. Makin beragam sifat genetik plasma nutfah makin besar peluang untuk menghasilkan varietas unggul. Sampai saat ini telah berhasil dikoleksi 259 genotipe jambu mete yang ditanam di empat kebun percobaan yaitu Kebun Percobaan Cikampek, Asembagus, Muktiharjo dan Pakuwon (Tabel 4, 5, 6, dan 7). Sebagian besar koleksi ini berasal dari hasil pengumpulan (eksplorasi) di dalam negeri dan hanya 5 kultivar yang berasal introduksi dari luar negeri, yakni dari Thailand, India, Srilangka, Brazil, dan Nigeria. Hasil karakterisasi yang dilakukan terhadap koleksi plasma nutfah, telah menghasilkan 4 varietas unggul jambu mete, yaitu varietas B02, GG1, SM9 dan Flotim.
36
Disamping itu, karakterisasi juga memperoleh 19 nomor harapan jambu mete berproduksi tinggi, yaitu Muna L. Gani (P1), Muna L. Kepala, Arsyad Labone, Tegineneng (A3), Segayung (S21), Oniki Brazil 2 (I-2), Oniki Brazil 3 (I-2), PK 36, Ende, Dompu, Bima, Luk Sumbawa, Yogya Putih, Wonogiri, Jepara, Madura, NTB 13, dan NTB 20, serta 2 nomor toleran terhadap penyakit fusarium, yaitu JN 26 dan MR851 (Hadad dan Baharudin, 2002; Koerniati et al., 1996a). Beberapa nomor harapan lainnya, seperti LG 21 dan LG 30) mempunyai potensi produksi di atas 2 t/ha (Koerniati dan Hadad, 1996a). Sedangkan nomor harapan yang toleran terhadap penyakit fusarium dapat dilihat dari rendahnya tingkat serangan penyakit. Koleksi plasma nutfah jambu mete di KP Cikampek berjumlah 62 kultivar, yang berasal dari 22 daerah dan merupakan daerah pertanaman jambu mete di Indonesia (Tabel 3). Tabel 3. Koleksi plasma nutfah jambu mete di KP. Cikampek No.
Daerah asal
1. 2. 3.
Rembang Jepara Wonogiri
4. 5.
Pasuruan Mojokerto
6. 7.
Sleman India
8.
Sultra
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Tegineneng Jatirogo Madura Srilangka Nigeria Maluku Utara Jawa Timur Wonosari NTB
18. 19. 20. 21. 22.
Sulsel Bali Brazil NTT Yogya
Kultivar Pamotan, Jatirunggo Pecangaan, Karimun, dan Jepara Wonogiri Merah, Jambon, Kuning, Hijau Wonogiri, dan Ngadirejo Pasuruan Merah, Putih, Kuning, 293, 180 Mojokerto Merah, Hijau, Kuning, Mojokerto, Wonosari Sleman Merah dan Putih Balakrishnan, 01, 02,16,24,7,10,11,12 dan Krisna Muna l. Kase, Muna L. Gani, Muna L. Kepala dan Arsyad Labone, Muna Tegineneng Jatirogo Madura M 4, L3-3, Ketapang Segayung S 21, 10 Nigeria Bayan Bacan RN 12, NDR 31, JN 21, JN 7 Wonosari Lombok 1, 2, dan 3, Dompu, Sumbawa, Bimo Pangkep, Barru, Maros, MR 851, PK 36 Bagong, Bali Oniki Brazil 1, 2, 3 dan 4 Flotim, Ende, Alor Yogya
Kondisi tanaman jambu mete koleksi KP. Cikampek terperlihara dengan baik. Umur tanaman berkisar 10-13 tahun dengan tinggi tanaman mencapai 3 meter dan lebar kanopi 8 meter. Dari pohon koleksi ini akan diperoleh benih 3-4 kg/pohon/th atau 500750/pohon/th setek pucuk sebagai entres pada penyediaan benih secara grafting. Selain itu di Volume 11 Nomor 1, Juni 2012 : 33 - 43
KP Cikampek dapat juga dilakukan hibridisasi antar kultivar yang terdapat di kebun ini. Koleksi jambu mete di Kebun Percobaan Muktiharjo berjumlah 113 kultivar, sebagian besar berasal dari Jawa Timur, 3 kultivar dari Jambi, satu kultivar dari NTB (Tabel 4). Kultivar dari Jambi merupakan satu-satunya kultivar yang berasal dari daerah dengan curah hujan tinggi, dimana batas antara musim hujan dan musim kemarau kurang tegas. Potensi kultivar tersebut perlu dicermati karena merupakan kultivar jambu mete yang mungkin sesuai untuk dikembangkan di daerah iklim basah, yang selama ini dianggap bukan daerah pengembangan tanaman jambu mete. Tabel 4. Koleksi plasma nutfah jambu mete di KP. Multiharjo Kultivar Jepara F2, F5, F4,F9 dan Kuning Madura L3, M4, K2, K3,L1,M2, P1, P2, P3 dan R6 Tegineneng A Wonogori C6 Jatiroto III/4, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 16, 17, 18, 19, 21 dan 24, Jambon Mojokerto Merah XIII/8, Merah, Merah J12 Jatisrono 1, 4, 5, 9, 10, 11, 12, 14, 15, 16, 17, 18, 23, 24, Kanire 745 Lasupu 877 Ngadirejo 3, 4, III/4, 5, 7, 9, 10, 12, 13, 14, 17, 20, 21, 24, 25, 26, 27, 28,29, 30, 31, 32, 33, 34, 36 Yogya putih XII/8, XII/2 Pasuruan V/8 Jambi merah S3, S5, Kuning Deraing 701, 704 NTB 13, 20 PK 35, 39, 52, 58, 61, 138, 142, 343, 345, 399 A1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12 Rumpa Sakung 351 Samsudin 708, 709, 862, 869 Sidoharjo 4, 5, 6, 8
Daerah asal Jepara Madura Tegineneng Wonogiri Jatiroto Mojokerto Jatisrono
Ngadirejo Yogya Pasuruan Jambi NTB
Sidoharjo
Plasma nutfah jambu mete yang dikoleksikan di KP. Asembagus terdapat 33 kultivar, didominasi oleh kultivar yang berasal dari Gunung Gangsir (Tabel 5). Kultivar dari Gunung Gangsir ini telah dilepas sebagai varietas Gunung Gangsir (GG).
Tabel 5. Koleksi plasma nutfah jambu mete di KP. Asembagus. Kultivar
Daerah asal
Dasuk, Waru Segayung, Arjasari Malang Putih, 4, 6, 11, 12, 35, 39, 43, 76, 82, 85, 86, 126, 136, 145, 177, 180, 202, 217, 223, 234, 236, 242, 251, 255, 262, 285, 293, 320 Sumber: KP. Asembagus. 2010.
Madura Sri Lanka Gn. Gangsir
Koleksi plasma nutfah jambu mete di KP. Pakuwon merupakan rejuvinasi koleksi plasma nutfah dari Kebun Percobaan Asembagus dan Muktiharjo, ditambah dengan kultivar yang baru yaitu Ngada 1, Tg. Bunga, Flotim 2 dan Waingapu (Tabel 6). Kaltivar baru ini mempunyai harapan produksi tinggi dengan rasa yang spesifik. Untuk varietas Flotim, koleksi ini merupakan pemeliharaan pohon induk yang dapat digunakan sebagai sumber benih untuk pengembangan. Tabel 6. Koleksi plasma nutfah jambu mete di KP. Pakuwon Kultivar Sum B Sum BLBPT Ende 163, MKL Ngada 1 Tg. Bunga 1, Flotim 2 Waingapu ST Bali GG 1 BO2 dan SM9 L. Gani, L. Kase, La Manta, Muna Campl Kupg Yogya Sumber : KP. Pakuwon. 2010.
Daerah asal Sumba Barat Sumba Barat Daya Ende Ngada Flotim Sumba Timu Bali Pasuruan Cikampek Muna Sultra Kupang Yogya
Seleksi Blok Penghasil Tinggi (BPT) dan pohon induk terpilih diperoleh dari hasil kegiatan seleksi pada populasi tanaman yang ada. Beberapa aksesi hasil seleksi pohon induk dilepas sebagai varietas unggul spesifik lokasi (Djisbar, 1997). Seleksi dilakukan berdasarkan produktivitas, rasa, ketahanan terhadap hama dan penyakit serta faktor lain yang baru, unik dan seragam. BPT terpilih bila mempunyai
Pengembangan Industri Perbenihan Jambu Mete (YULIUS FERRY)
37
produktivitas yang lebih tinggi dan lebih seragam (>80%) dibandingkan dengan populasi yang lain. Sedangkan pohon induk terpilih (PIT) adalah hasil seleksi individu yang dilakukan pada populasi dalam satu BPT, biasanya PIT berkisar antara 10 – 20 % dari jumlah pohon dalam BPT. Benih yang dikembangkan dari BPT tersebut ternyata diminati para petani, dan telah menunjukkan pertumbuhan dan produktivitas yang lebih tinggi dari induknya, di daerah pengembangan baru seperti hasil pengembangan jambu mete di Sumba, NTB, dan Alor (Dishutbun Kab. Flores Timur, 2008; Dishutbun Kab. Ende, 2007 dan 2008). Hibridisasi Sering kali seleksi menghasilkan bahan tanaman yang tidak sesuai dengan harapan, misalnya produktivitas yang tidak stabil, keturunan yang diperoleh tidak sama dengan induknya, dan sebagainya. Hibridisasi merupakan salah satu jalan keluar untuk memenuhi harapan tersebut. Banyak hibridisasi menghasilkan turunan (hibrida) dengan produktivitas yang melebihi kedua tetuanya. Bermawie dan Wahyuni (2005) telah melakukan persilangan antara dua tetua yang berasal dari kultivar harapan, yaitu kultivar Wonogiri (C), Jepara (F), Madura (M4), Tegineneng (A), dan Srilanka (S)
dengan kombinasi persilangan sebagai berikut (huruf yang di depan merupakan tetua betina) : CF, CM, CA, CS, FM, FA, FS, MA, MS, AS, FC, MC, MF, AC, AF, AM, SC, SF, SM, dan SA . Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan vegetatif tanaman yang meliputi tinggi, lebar kanopi, lingkar batang, dan jumlah cabang tanaman hasil persilangan tidak berbeda nyata dengan masing-masing kedua tetuanya (Tabel 7). Tabel 7. Pertumbuhan hibrida hasil persilangan tahap I umur 6 tahun. Kombinasi Persilangan
Tinggi (cm)
Lingkar batang
Lebar Kanopi
Jumlah cabang
CxM
651,0 b
76,13 b
787,0 ab
19,10 ab
CxA CxF CxS FxA FxS FxM MxA Mxs AxS S C M A
624,3 ab 641,3 ab 618,7 ab 647,7 ab 627,3 ab 596,0 a 680,0 b 593,0 a 618,3 ab 619,0 ab 621,0 ab 616,0 ab 621,3 ab
75,07 b 66,27 ab 72,33 ab 71,67 ab 72,23 ab 65,40 a 75,50 b 67,37 ab 68,77 ab 67,25 ab 66,37 a 67,63 ab 63,13 ab
781,3 ab 694,3 a 810,7 b 833,3 b 817,0 b 762,7 ab 862,7 b 658,0 ab 774,7 b 696,5 a 710,3 ab 694,7 a 770,0 ab
19,30 ab 19,77 b 20,27 bc 17,47 ab 23,60 c 18,13 ab 13,83 a 20,47 bc 16,70 ab 22,70 b 20,53 bc 17,97 b 19,73 bc
F
620,3 ab
67,33 ab
758,3 ab
20,83 bc
Hibridisasi yang berasal dari tetua betina Madura akan menghasilkan turunan dengan pertumbuhan vegetatif yang berbeda bila tetua
Tabel 8. Berat gelondong, kadar protein, karbohidrat, lemak dan CNSL umur 13 tahun (2010) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Perlakuan CxM CxA CxF C x S21 FxA F x S21 FxM MxA M x S21 A x S21 S21 C M A F A x XIII/8 C x XIII/8 LxA AxL
Berat Gelondong g/phn/thn 8.087,30 7.283,43 13.730,53 3.329,34 9.690,60 2.976,11 5.613,48 3.641,34 6.607,97 6.443,19 536,55 6.056,98 11.168,43 7.030,26 2.357,88 5.252,00 3.308,21 1.138,78 6.981,21
Kadar Protein (%) 19,94 16,44 17,34 19,39 14,14 15,63 12,59 13,11 19,16 12,63 21,26 17,07 15,54 18,06 26,54 16,54 15,83 20,38 15,48
Kadar Karbohidrat (%) 12,92 17,03 17,17 13,13 15,88 15,05 13,38 18,73 15,09 16,93 14,64 17,74 14,51 14,00 12,96 15,2 14,12 14,82 12,38
Kadar Lemak (%) 44,75 45,58 46,64 42,85 45,28 43,17 44,40 39,97 45,22 46,13 43,18 44,91 46,97 44,85 42,75 49,43 45,32 47,94 45,84
Kadar CNSL (%) 12,98 20,98 16,48 15,98 26,90 26,92 25,43 11,48 16,93 23,88 17,96 21,48 21,39 19,92 13,5 16,95 25,98 22,98 21,96
Sumber: Enny Randriani et al., 2010
38
Volume 11 Nomor 1, Juni 2012 : 33 - 43
jantannya berbeda. Sedangkan persilangan antara tetua betina dari kultivar Wonogiri dan Jepara, dengan tetua jantan yang lain tidak menghasilkan keturunan yang berbeda, kecuali persilangan Jepara (tetua betina) dengan Srilanka (tetua jantan) yang menghasilkan tanaman dengan jumlah cabang terbanyak (Tabel 8). Pelepasan Varietas Hasil seleksi terhadap pohon induk pada BPT di beberapa sentra produksi jambu mete, telah berhasil melepas 8 varietas unggul jambu mete, yaitu varietas unggul lokal seperti GG, YK, Flotim, dan Ende. Delapan varietas unggul lokal ini mempunyai rasa kacang yang gurih dan manis, namun ukuran biji kecil. Sedangkan varietas yang berasal dari introduksi seperti SM 9 dan B0-2 mempunyai rasa lebih tawar dengan ukuran biji yang lebih besar (Tabel 9). Varietas lokal umumnya lebih disukai oleh petani, karena lebih mudah, memperoleh benihnya, pemeliharaannya lebih mudah dan sudah beradaptasi sehingga penyebarannya lebih luas. Pengembangan Kebun Induk Sumber bahan tanaman yang akan dijadikan benih sebaiknya berasal dari kebun induk yang terawat baik. Oleh sebab itu pengembangan kebun induk harus dimulai dari perencanaan, sampai pelaksanaan, pemeliharaan, dan pengelolaan benih yang baik.
Pembangunan Kebun Induk Kebun induk harus memenuhi syarat seperti dekat dengan sumber air, sampai listrik, infrastruktur yang memadai dan varietas yang dikembangkan. Sedangkan daerah lokasi kebun induk disesuaikan dengan persyaratan tumbuh tanaman mete, yaitu ketinggian < 600 m dpl dengan suhu harian 24-280C, curah hujan 800 – 1.600 mm/tahun, jumlah bulan kering berkisar 4 – 6 bulan dan kelembagaan nisbi berkisar antara 70-80%. Tanaman ini menghendaki tipe tanah berpasir, dengan tingkat kesuburan yang baik sampai sedang dan pH sekitar 4,5 – 7,0 (Abdullah dan Las, 1985; Rosman et al., 1996). Lokasi ini tidak jauh dari daerah pengembangan. Oleh sebab itu penyebaran kebun induk dapat dilakukan dibagi beberapa wilayah yaitu wilayah Barat (Jawa Tengah, Jawa Timur), Tengah ( NTT, NTB, Sulsel) dan wilayah Timur (Maluku, Sulteng, Sultra), dengan rincian seperti dapat dilihat pada Tabel 10. Luas kebun induk minimal 100 ha atau sesuai dengan luasan skala usaha kebun induk. Kebun induk dilengkapi dengan fasilitas prosesing benih, gedung prosesing, gudang penyimpanan dan fasilitas jaringan air, serta fasilitas lainnya seperti alat pertanian dan transportasi.
Tabel. 9. Karakter utama dari 9 varietas unggul jambu mete No
Karakter
GG 1
MR 851
PK 36
SM 9
BO 2
Meteor YK
Populasi Flotim 2008 Yogyakarta
Populasi Ende 2008 Yogyakarta
1 2
Dilepas Asal
2001 Pasuruan
2004 Maros
2004 Pangkep
2007 Srilangka
2007 India
2008 Yoyakarta
3
Prod/ph/th gld
5,97 kg (u 5 th) 2,35 Agak gurih
12,15 (u 11 th) 3,02 Tawar
15,50 (u 40 th) 2,3-2,9 Gurih manis
1,60- 4,00 Gurih manis
2-4,2 Gurih manis
6
Rendemen kacang/ %
30-32
33-39
33,40
11,76 kg (u 11 th) 3,32 Tawar agak gurih 32,47
12,30-37,44
Berat /btr kacang/g Rasa kacang
6,10 kg (u 5 th) 2,45 Agak gurih
19,80-33,50
4 5
8,59 kg (u 6 th) 1,66 Gurih manis
31,66
34,14-37,09
28,2-38,3
28-42
7 8 9 10
Berat gld /btr/g Berat buah/btr/g Jmlh buah muda/tros Hama penyakit
4,5-5,18 71-120 19,70 Rentan
6,24 58,47 11 Rentan
7,94 62,92 10 Rentan
7,95-18,50 128-228 8-15 Rentan
4,79-9,00 64,00-215,00 13-26 Rentan
Daerah sebaran
Jatim, Bali Jateng NTB, NTT
Sulsel
Sulsel
8,51 130,40 10,50 Toleran Helopeltis Jateng
6,2-8,2 64-128 6-9 Rentan
11
10,49 58,47 25,33 Toleran Helopeltis Jateng
DIY, Bali Jateng, NTB, NTT
NTB, NTT
NTB, NTT
Sumber : Data diolah dari SK Ditjenbun tentang pelepasan varietas mete (2001-2008) dan Djisbar et al., 2003
Pengembangan Industri Perbenihan Jambu Mete (YULIUS FERRY)
39
Tabel 10. Saran daerah penyebaran pembangunan kebun induk. No. 1. 2.
3
Lokasi Wilayah Barat - Jawa Tengah - Jawa Timur Wilayah Tengah - NTB - NTT - Sulsel Wilayah Timur - Sulteng - Sultra - Maluku Jumlah
Luas (ha)
Varietas yang dikembangkan
125 100
YK, GG, Meteor, B02
100 100 100
Flotim, Ende, GG, SM9, MR
100 100 100 825
MR, Flotim, Ende, YK, Meteor
Bentuk kebun induk sebaiknya kebun induk komposit yang terdiri dari beberapa kultivar unggul lokal, yang dilengkapi dengan varietas yang toleran terhadap hama Helopeltis sp (Tabel 10). Sebagian kebun induk (20%) pohon induknya difungsikan sebagai penghasil stek pucuk (entres) untuk bahan sambung pucuk (grafting). Penyediaan bahan tanaman untuk pembangunan kebun induk diperoleh dari pohon induk terpilih dan diperoleh melalui grafting, agar ketepatan varitas dapat tercapai. Prosesing Benih dan Pembibitan Kualitas benih tidak hanya ditentukan oleh asal benih tersebut diperoleh, tetapi juga ditentukan oleh cara menanganinya, mulai dari panen, pemisahan buah semu, pengeringan, pengepakan dan penyimpanan. Menurut Sadjad et al. (1999), untuk memperoleh benih yang bermutu dan seragam, perlu diketahui saat panen yang tepat. Kemasakan benih dapat ditentukan berdasarkan bobot kering maksimum benih. Sadjad et al. (1999) menyatakan bahwa saat masak fisiologis benih merupakan saat panen benih yang tepat, karena pada saat tersebut benih mempunyai bobot kering dan vigor yang maksimum, dengan ciri-ciri pada warna buah dan kekerasan biji. Hasil studi fenologi dan perkembangan buah, menunjukkan bahwa masak fisiologis (MF) jambu mete jenis Pecangaan pada saat 37 hari setelah antesis (HSA) atau 41 hari setelah inisiasi bunga. Hasil penelitian di IP Muktiharjo tahun 1995 menunjukkan bahwa masak fisiologis jenis Jepara Merah pada saat umur 40 hari setelah
40
bunga mekar (HSB). Masak fisiologis benih jambu mete jenis Wonogiri dan Mojokerto pada 50 HSB (Wahab et al, 1996). Di Bogor, jambu mete mencapai masak fisiologis pada 42 HSA. Pada saat tersebut benih mencapai bobot gelondong segar 8,7 g, bobot kering 5,5 g dan kadar air 36% serta daya berkecambah 100% (Rumiati et al, 1997). Buah semu dipisahkan dari benih dan dilakukan langsung secara manual. Pemisahan buah semu dari benih dimaksudkan agar benih terhindar dari infeksi cendawan. Pengeringan benih jambu mete dapat dilakukan di bawah cahaya matahari selama 3-5 hari jika cuaca cerah. Sukarman et al. (2002) melaporkan bahwa benih mete yang dikeringkan di bawah cahaya matahari dari jam 8.00-12.00 dengan suhu 45oC dan kelembapan nisbi udara (RH) 50% dengan ketebalan hamparan + 5 cm dan setiap 1 jam dilakukan pembalikan benih sampai kadar air 6,14% dapat menurunkan kadar air benih sampai + 5,3%, dengan mutu fisiologis terbaik (Tabel 11). Tabel 11. Pengeringan, kadar air, daya berkecambah dan indeks kecepatan berkecambah benih jambu mete 6 bulan dalam penyimpanan. Cara pengeringan
Kadar air benih (%)
Dijemur (8.00-11.00) 5,3 Dijemur (8.00-12.00) 5,3 Dijemur (8.00-13.00) 5,5 Dijemur (8.00-14.00) 4,8 Dioven (35oC) 5,3 Dioven (40oC) 4,9 Dioven (45oC) 4,8 Dioven (50oC) 5,3 Sumber : Sukarman et al. 2002
Daya berkecambah (%) 95,0 100,0 96,7 85,0 86,7 88,3 86,7 95,0
Indeks kecepatan berkecambah 3,39 3,57 3,45 3,04 3,10 3,15 3,10 3,39
Benih yang sudah kering (kadar air 6,14%) diseleksi untuk menjamin, agar benih yang diproduksi mempunyai keseragaman mutu dan ukuran, serta mengurangi resiko terkontaminasi benih dengan cendawan. Seleksi dapat dilakukan secara manual, berdasarkan ukuran, berat jenis dan bentuk benih. Benih yang telah terpilih dengan kadar air berkisar 5 – 6,14% dapat dikemas dengan menggunakan bahan yang kedap udara seperti kantong plastik. Benih dimasukkan ke dalam kantong plastik sebanyak 1,5 kg (200-225 biji untuk benih) dan divakum. Sebelumnya Volume 11 Nomor 1, Juni 2012 : 33 - 43
dilakukan pengujian daya kecambah benih. Benih yang sudah dipaking diberi label meliputi; berat benih, status varietas, tanggal panen, daya kecambah dan kadaluarsa benih. Setelah itu benih sudah siap untuk dikomersilkan. Benih yang sudah dikemas dapat disimpan dalam ruangan dengan suhu 15-200C, kelembapan tinggi (>70%), aerasi (ventilasi) yang cukup dan disusun di atas rak-rak penyimpanan (Sukarman et al., 2001). Benih jambu mete dapat disimpan dengan baik pada kondisi suhu kamar, di Bogor penyimpanan dengan kondisi suhu kamar benih jambu mete dapat bertahan selama 6 bulan. Hasil penelitian penyimpanan benih jambu mete, (kadar air benih awal 5,04-6,14%, kemudian dikemas dengan kantong plastik kedap udara), selama 6 bulan penyimpanan daya berkecambah benih masih 85-100% (Sukarman et al., 2002). Pembibitan Kebun induk selain menyediakan benih berbentuk biji dalam kemasan juga dapat menyediakan benih siap salur baik berasal dari biji maupun grafting. Grafting adalah penyediaan benih dengan teknik penyambungan stek pucuk (batang atas) yang berasal dari varietas unggul dengan batang bawah yang berasal dari varietas lokal yang telah beradaptasi.
oleh petugas sertifikasi benih dari pemerintah, di antaranya dari Balai Pengawasan dan Pengujian Mutu Benih (BP2MB), atau yang diberi wewenang (Departemen Pertanian, 2006). Undang-undang No. 12 tahun 1992 membawa konsekuensi pada jenis benih yang diedarkan. Benih suatu varietas yang telah dilepas oleh pemerintah disebut benih bina, sedangkan benih yang belum dilepas, tetapi sudah banyak digunakan oleh petani, disebut benih unggul. Benih dari suatu jenis tanaman yang unggul di suatu daerah disebut benih unggul lokal (Ditjenbun , 1995). Pengujian benih di laboratorium merupakan salah satu persyaratan, sebelum benih tersebut disertifikasi dan diedarkan ke pengguna. Pengujian benih mencakup mutu fisik dan fisiologis. Secara teknis pengujian fisik benih dapat dilakukan dengan uji kemurnian benih. Uji mutu fisiologis benih dapat dilakukan dengan uji daya berkecambah atau uji dengan tetrazolium. Informasi dari pengujian benih sangat bermanfaat bagi produsen, penangkar benih, instansi pengawasan dan sebagai petunjuk/pedoman bagi seseorang yang akan menggunakan/menanam benih atau untuk kepentingan pengawasan benih.
KESIMPULAN
Pemanfaatan Hasil Samping Kebun induk juga dilengkapi dengan peralatan untuk mengolah hasil samping dari benih, seperti biji afkir, kulit biji, buah semu, dan sebagainya. Setiap 100 ha kebun induk menghasilkan 2 ton benih dan lebih kurang 1,5 ton buah semu. Buah semu ini dapat diolah menjadi beberapa macam produk yang bernilai ekonomi, seperti sirup, selai, abon, manisan, pakan ternak, anggur, dan bioetanol.
PENGAWASAN DAN SISTEM SERTIFIKASI BENIH Sertifikasi benih merupakan program untuk menjamin benih bermutu tinggi dan murni secara fisik dan genetik. Proses produksi benih bersertifikat dilakukan sesuai dengan ketentuan persyaratan sertifikasi. Proses tersebut diawasi
Saat ini menggunakan benih yang berasal dari varietas unggul sudah diyakini petani karena keberhasilannya sudah mereka rasakan, walapun jumlah penggunaannya masih sangat rendah (15%). Namun demikian petani sudah mulai mencarinya. Adanya permintaan petani dan rencana peremajaan dari Ditjenbun menyebabkan kebutuhan akan benih bermutu menjadi tinggi. Jumlah benih yang dibutuhkan mencapai 32.014. 500 batang/th, sedangkan dari BPT hanya mampu menyediakan sekitar <5%. Oleh sebab itu diperlukan segera pembangunan kebun induk yang tersebar di beberapa tempat di daerah sentra produksi jambu mete di Indonesia dengan luas 825 ha. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, A. dan I. Las. 1985. Peta Kesesuaian Iklim dan Lahan untuk Pengembangan
Pengembangan Industri Perbenihan Jambu Mete (YULIUS FERRY)
41
Jambu mete di Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta 16 hlm. Abdullah, A. 1990. Perbaikan Pengadaan Bahan Tanaman Jambu Mete. Edsus. Littro 6 (2):1-5 Bermawie, N. dan S. Wahyuni. 2005. Penampilan Hasil Persilangan Nomor-nomor Harapan Jambu Mete (Anacardium occidentale L). Jurnal Penelitian Tanaman Industri. Juni 2005, 11(2) : 43-51. Darwis, M. 2007. Jambu Mete (Anacardium occidentale L.) Ar-Rahma Bogor. 132 hlm. Departemen Pertanian. 2006. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 37/Permentan/OT 140/8/2006. Tentang Pengujian, Pelepasan dan Penarikan Varietas. Jakarta Ditjenbun. 1992. Undang – Undang Nomor 12 Tentang Sistem Budidaya Tanaman. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. Ditjenbun. 1995. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tentang Perbenihan Tanaman. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. Ditjenbun. 2004. Statistik Perkebunan Indonesia 1998 – 2004. Jambu Mete. Ditjenbun, Jakarta. Ditjenbun. 2006. Statistik Perkebunan Indonesia 2004 – 2006. Jambu Mete. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. Ditjenbun. 2007. Roadmap. Pengembangan dan Peremajaan Jambu Mete. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. Ditjenbun. 2008. Statistik Perkebunan Indonesia 2006 – 2008. Jambu Mete. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. Ditjenbun. 2010. Statistik Perkebunan Indonesia 2008 – 2010. Jambu Mete. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. Disbun Prov. NTT. 2007. Laporan Tahunan Tahun 2007 Dinas Perkebunan Provinsi NTT. Kupang Dishutbun Kab. Flores Timur. 2007. Laporan Tahunan Dishutbun Kab. Flores Timur. Larantuka. Dishutbun Kab. Flores Timur. 2008. Laporan Pengembangan Perkebunan. Larantuka. Dishutbun Kab.. Ende. 2007. Laporan Tahunan Dishutbun Kab. Flores Timur. Ende.
42
Dishutbun Kab. Ende. 2008. Laporan Pengembangan Perkebun-an. Dishutbun Kab. Ende Djisbar, A. 1997. Beberapa metode untuk mendapatkan benih unggul jambu mete dan cara pengelolaannya. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Perbenihan Tanaman Rempah dan Obat. Balittro Bogor Hlm. 126 – 140 Djisbar, A., Hadad E.A., W. Lukman., C. Firman, dan Badaruddin. 2003. Usulan Pelepasan Varietas Jambu Mete Nomor Seleksi MR 851 dan PK 36 Asal Sulsel. Balittro. Bogor Hadad, E.A. dan Baharudin. 2002. Eksplorasi Calon Nomor Unggul Jambu Mete di Sentra Produksi Propinsi Nusa Tenggara Barat. Waralaba Benih Jambu Mete Kerjasama Balittro Dengan Disbun Prop. NTB. Balittro. Bogor (Tidak Dipublikasikan) Hadad, E.A., S. Koerniati, N. Bermawie, Hobir, S. Wahyuni, dan A. Djisbar. 2000. Pelepasan Jambu Mete : Varietas Asem Bagus dan Muktiharjo Hasil Klonal Nomor Harapan Jambu Mete di Muktiharjo Th. 1995 - 2000. Balittro, Bogor Hadad, E.A., S. Kartosoewarno, dan S. Koerniati. 1995. Pemutihan Blok Penghasii Tinggi Jambu Mete di Daerah Propinsi Sultra. Kerjasama Balittro dengan Ditjenbun. Balittro Bogor, 31 hlm (Tidak Dipublikasikan). Koerniati, S. dan Hadad E.A.. 1996a. Karakter pohon induk jambu mete segayung di Kebun Induk Wonorejo Batang. Prosiding Seminar Hasil Plasma Nutfah Pertanian 1996. Puslitbangtan, Badan Litbang Pertanian. Bogor. 13 Maret 1996, 9 hlm. Koerniati, S. dan Hadad E.A.. 1996b. Perkembangan Penelitian Tanaman Jambu Mete. Forum Komunikasi Ilmiah Jambu Mete. Balittro 4-6 Maret Bogor, hlm. 104-114 (Tidak Dipublikasikan). Kebun Percobaan Cikampek. 2010. Laporan Tahunan 2010. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri, 40 hlm (Tidak Dipublikasikan).
Volume 11 Nomor 1, Juni 2012 : 33 - 43
Kebun Percobaan Muktiharjo. 2010. Laporan Tahunan 2010. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri. 43 hlm (Tidak Dipublikasikan). Kebun Percobaan Asembagus. 2010. Laporan Tahunan 2010. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri,50 hlm (Tidak Dipublikasikan). Kebun Percobaan Pakuwon. 2010. Laporan Tahunan 2010. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri 40 hlm (Tidak Dipublikasikan). Mandall, R.C. 2000. Cashew Production and Processing Technology. Agrobios. India 195 pp. Rao, E.V.V.B. 1998. Integrated Production Practices of Cashew in India. FAO. Bangkok. Rosman, R. dan Y. Lubis. 1996. Aspek lahan dan iklim untuk pengembangan tanaman jambu mete. Prosiding FKI Komoditas Jambu Mete. Balittro 1996. Rumiati, Sukarman, D. Rusmin, dan M. Hasanah. 1997. Studi perkembangan benih jambu
mete. Forum Konsultasi Ilmiah Perbenihan Tanaman Rempah dan Obat. Balittro. Bogor. Hlm 220-221 Sadjad, S., E. Murniati, dan S. Ilyas. 1999. Parameter Pengujian Vigor Benih dari Komparatif ke Simulatif. Penerbit PT. Grasindo Jakarta. 185 hlm Sukarman, D. Rusmin, dan R. Suryadi. 2001. Viabilitas Entres Tiga Harapan Jambu Mete (Anacradium occidentale L.) Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (Peripi) Badan Litbang Pertanian: 797-803 Sukarman, H. Moko, dan D. Rusmin. 2002. Vaibilitas Jenis Entres Jambu Mete (Anacardium occidentale L) Selama Penyimpanan. Jurnal Gakuryoku, I. 8 (1): 24-26. Wahab, M.I., M. Hasanah, dan Rusim. 1996. Studi teknologi dan perkembangan buah jambu mete pada berbagai agroekologi. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. 10 hlm (Tidak Dipublikasikan)
Pengembangan Industri Perbenihan Jambu Mete (YULIUS FERRY)
43