Wacana Demokrasi Pada Organisasi Islam di Indonesia; Studi Pada Front Pembela Islam (FPI) Indonesia By Lestari Nurhajati Abstracts
Sebagian kalangan umat Islam, termasuk yang di Indonesia, menganggap demokrasi adalah nilai-nilai barat yang diadopsi oleh masyarakat. Demokrasi pun dianggap tidak sejalan dengan syariah Islam, karena pembuatan hukum adalah kekuasaan absolut Tuhan, bukan kekuasaan manusia. Salah satu organisasi Islam di Indonesia yakni FPI (Front Pembela Islam), pun menyatakan secara terbuka bahwa demokrasi tidak selaras dengan Islam. Pergulatan atas nama agama yang dipertentangan dengan nilai-nilai demokrasi kemudian pun menghadirkan sebuah permasalahan tersendiri yakni: bagaimana wacana demokrasi dalam komunikasi politik di organisasi Islam di Indonesia? Khususnya pada organisasi FPI? Pergulatan atas nama agama yang dipertentangan dengan nilai-nilai demokrasi kemudian pun menghadirkan sebuah permasalahan tersendiri yakni: bagaimana wacana demokrasi dalam komunikasi politik di FPI? Bagaimana sistem struktur pada organisasi FPI dijalankan? Bagaimana menjelaskan kemungkinan adanya nilai-nilai demokrasi dalam yang dianut oleh FPI, namun dengan konsep, pemikiran, dan bahasa yang digunakan oleh organisasi Islam tersebut. Tindakan komunikatif, yakni saling berdiskusi, memberi keyakinan dengan bebas tanpa tekanan dari pihak manapun, tanpa ada pemaksaan kehendak, dan tanpa kekerasan, akan menciptakan ruang publik yang kondusif, sebagai cikal bakal dari demokrasi (Habermas). Hal ini seharusnya berlaku di Indonesia, namun yang yang terjadi sebaliknya, masih banyak pemaksaan atas nama agama, di negara yang dianggap sudah demokratis ini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan paradigma kritis konstruktifis, yakni dengan framing pada penulisan anti demokrasi yang muncul di website FPI, selain itu juga dilakukan wawancara mendalam pada beberapa informan yang mewakili FPI. Pada penelitian ini ditemukan bahwa sebagai organisasi yang hidup di Indonesia, FPI mengakui dan mendukung salah satu indikator demokrasi yakni pemilihan umum, namun di sisi lain sangat lantang dan keras tetap menentang demokrasi. Keywords: FPI, Demokrasi, Komunikasi Politik Latar belakang Negara Indonesia diakui sebagai negara demokrasi dengan penduduk (250 juta jiwa) terbesar ketiga di dunia setelah India (1 miliar 220 juta jiwa) dan Amerika (316 juta jiwa), namun seolah indikator nilai demokrasi itu pun kembali dipertanyakan. Sementara itu apabila diukur dari indeks demokrasi versi sebuah lembaga riset yang berpusat di
London,
UK,
The
Economist
Intelligence
Unit
(http://graphics.eiu.com/pdf/democracyindex2008.pdf), maka terlihat bahwa dari tahun ke tahun Indonesia tercatat mengalami kenaikan indeks demokrasi, yang artinya dari tahun ke tahun dianggap makin demokratis, misalnya saja tahun 2008 peringkat Indonesia ada di nomer 69, di bawah Malaysia (68) dari 167 negara yang disurvey. Kemudian tahun 2010 naik di peringkat 60 (di bawah Papua Nugini dengan ranking 59). Pada tahun 2011 Indonesia tetap di peringkat 60 (di bawah Romania, 59). Kemudian di tahun 2012, meskipun tidak diberi peringkat lagi namun ukurannya adalah Indonesia memiliki PL (Politic Right) = 2, dan CL (Civil Leberties, respectively) = 3. Yang artinya pada angka itu sudah mendekati sangat demokratis, karena ukuran paling demokratis adalah dengan nilai 1. Ini pun perlu mendapat perhatian mendalam dengan indikator yang digunakan lembaga pengukur indeks demokrasi tersebut yakni: electoral process and pluralism, civil liberties, functioning of government, political participation and political culture. Bagaimanapun juga masih banyak kasus ketiadaan kebebasan memiliki keyakinan yang berbeda dalam berbagai kasus agama di Indonesia seperti kasus Ahmadiyah, Syiah, Kasus gereja Yasmine, dan lain sebagainya. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada sebagian kalangan umat
Islam yang menganggap
demokrasi ini adalah nilai-nilai barat yang diadopsi oleh masyarakat, termasuk yang di Indonesia. Demokrasi pun dianggap tidak sejalan dengan syariah Islam, karena pembuatan hukum adalah kekuasaan absolut Tuhan, bukan kekuasaan manusia. Sehingga kemudian demokrasi dianggap tidak selaras dengan Islam. Media baru, online media, yang membawa nama Islam seperti: Eramuslim.com, muslim.or.id, hizbut-tahrir.or.id juga makin sering memuat tulisan dan pemberitaan yang memuat isu tentang tidak sinkronnya Islam dengan konsep demokrasi. Judul-judul yang provokatif digunakan oleh berbagai media baru atas nama Islam untuk mempertentangkan antara Islam dengan Demokrasi. Misalnya saja: “Kesombongan Sistem Demokrasi” (http://www.eramuslim.com/suara-langit/penetrasi-ideologi/kesombongan-sistemdemokrasi.htm), Keadilan” sistem.html),
“Wajar Kita Anti Demokrasi karena Sistem Ini Gagal Menegakkan (http://www.syahidah.web.id/2011/10/wajar-kita-anti-demokrasi-karena“Syura
dalam
Pandangan
Islam
dan
(http://muslim.or.id/manhaj/syura-dalam-pandangan-islam-dan-demokrasi.html).
Demokrasi” Demikian
juga pada teks di web FPI yang berjudul Demokrasi = Democrazy, dengan nama penulis tercantum lengkap di bagian bawah teks: Habib Muhammad Rizieq Syihab, MA (28 April
2013,
http://fpi.or.id/67-Demokrasi-=-Democrazy.html),
secara
jelas
dan
vulgar
mempertentangkan demokrasi dengan Islam. Pergulatan atas nama agama yang dipertentangan dengan nilai-nilai demokrasi kemudian pun menghadirkan sebuah permasalahan tersendiri yakni: bagaimana wacana demokrasi dalam komunikasi politik di organisasi
Islam di Indonesia? Khususnya pada organisasi FPI?
Pergulatan atas nama agama yang dipertentangan dengan nilai-nilai demokrasi kemudian pun menghadirkan sebuah permasalahan tersendiri yakni: bagaimana wacana demokrasi dalam komunikasi politik di FPI? Bagaimana sistem struktur pada organisasi FPI dijalankan? Bagaimana menjelaskan kemungkinan adanya nilai-nilai demokrasi dalam yang dianut oleh FPI, namun dengan konsep, pemikiran, dan bahasa yang digunakan oleh organisasi Islam tersebut Komunikasi Politik Menurut Muhtadi (2008), komunikasi politik pada dasarnya merupakan
bagian dari, dan
dipengaruhi oleh budaya politik suatu masyarakat maupun kelompok/organisasi. Pada saat yang sama, komunikasi politik juga dapat melahirkan, memelihara, dan mewariskan budaya politik. Komunikasi politik pun dianggap sebagai unsur dinamis dari suatu sistem politik, dan proses sosialisasi, partisipasi, serta rekruitmen politik. Sementara itu Graber (McNair, 2003) mendefinisikan komunikasi politik sebagai bagian dari bahasa politik yang tidak saja berkaitan dengan retorika namun juga simbol paralinguitik lainnya berupa body language, dan tindakan politik lainnya termasuk boikot, protes, maupun diskusi. Dari definisi tersebut maka wacana demokrasi sebagai bagian dari komunikasi politik yang dijalankan masing-masing organisasi Islam. Bahasa sebagai simbol yang menjadi bagian dari komunikasi politik, juga hadir pada politik Islam. Politik Islam itu sendiri memang pada dasarnya terbentuk dari penggunaan instrumental Islam yang berupa ide, simbol dan nilai, yang kemudian oleh individu, kelompok, dan organisasi dijadikan tujuan politik. Sehingga terbukti bahwa respon politik pada masyarakat saat ini dalam menghadapi tantangan dan bayangan masa depan, dilandasi konsep layak tidaknya lagi, serta penemuan ulang (reappropriate dan reinvented), yang merupakan konsep pinjaman dari tradisi Islam sejak dulu (Ayoob, 2004). Sehingga perkembangan bahasa yang digunakan dalam pengembangan dan penyebarluasan wacana pun sangat beragam pada berbagai organisasi Islam di Indonesia.
Demokrasi dan Islam di Indonesia Makna demokrasi memang berkembamg dari tahun ke tahun, terutama bila dilihat dari sisi kesejarahan di Indonesia. Wacana demokrasi ini tidak terlepas dari bagaimana kelompok maupun organisasi Islam yang ada di Indonesia menggunakan istilah demokrasi sebagai bagian dari kegiatan komunikasi politik. Sementara itu Croucher (2004), mengutip Charter of Fundamental Rights 2000 yang dikeluarkan Europian Union mengatakan bahwa prinsip dasar demokrasi adalah; adanya nilai-nilai universal pada harga diri kemanusiaan, kebebasan, kesejajaran dan solidaritas. Demokrasi kemudian menjadi prinsip utama yang sah dari dunia politik (Therien, 2009). Dari pemahaman ini didapatkan gambaran bahwa dalam pelaksanaan demokrasi, maka politik dan termasuk komunikasi politik menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Pemikiran Robert Dahl tentang demokrasi seperti yang telah diuraikan dalam bab 1 menjadi pedoman dasar penelitian ini. Yakni demokrasi dengan syarat yang harus dipenuhi antara lain: (1) kebebasan membentuk dan bergabung dalam organisasi, (2) kebebasan mengemukakan pendapat, (3) hak memilih dalam pemilihan umum, hak menduduki jabatan publik, (4) hak para pemimpin untuk bersaing memperoleh dukungan dan suara, (5) tersedianya sumber informasi alternatif, (6) Pemilu yang bebas dan jujur, dan (7) adanya lembaga-lembaga penjamin agar kebijakan publik tergantung pada suara pemilihan umum dan cara-cara penyampaian preferensi yang lain. Hefner (2000), secara jelas melihat bahwa sejarah Indonesia dan Islam justru menunjukkan bahwa terdapat kolam air sumber daya kultural yang besar bagi demokrasi dan interpretasi pluralis politik Islam. Meskipun Hefner juga mengakui bahwa potensi demokratis politik Islam tersebut harus tetap diupayakan dengan keras realisasinya agar terdapat berlangsung. Pandangan serupa juga dikemukakan Munjani (2007) yang menekankan adanya kesesuaian (kongruensi) antara warga negara muslim Indonesia dengan sistem demokrasi secara keseluruhan. Bahkan secara tegas Munjani menolak ilmuwan lain seperti Samuel Huntington (1996), Bernard Lewis (2002), dan Ellie Kedourie yang percaya bahwa Islam dan demokrasi bertentangan.
Yang menarik dari berbagai ilmuwan yang menentang bagaimana Islam dan demokrasi dianggap tidak kompatibel, Benard Lewis adalah salah satu pemikir yang kemudian dalam riset-riset berikutnya berupaya melihat dengan kacamata lebih objektif, termasuk dalam karyanya yang berjudul The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror (2003). Dalam kajiannya tersebut menyatakan bahwa umat Islam saat ini terbagi atas tiga tipologi: (1) Muslim fundamentalis yang sepenuhnya anti-Barat dan semua produknya termasuk modernisasi dan demokrasi. (2) Muslim akomodatif yang sepenuhnya apresiatif terhadap Barat. (3) Muslim yang sedang menjalankan strategi “pura-pura” berkawan dengan Barat tapi sebenarnya sedang menjalankan agenda melawan Barat. Gagasan Lewis tersebut lebih masuk akal dibandingkan dengan sekadar mempertentangkan antara demokrasi dan Islam. Karena Lewis masih melihat bahwa ada kaum muslim yang akomodatif terhadap demokrasi. Penerimaan demokrasi oleh Islam juga diakui oleh Hashemi (2011) yang melahirkan 3 point pemikiran dan konsep tentang islam dan demokrasi setelah melakukan penelitian di 3 negara yakni di Iran, Turki dan Indonesia. Hashemi mengemukan bahwa ada 3 hal yang bisa menunjukan dengan erat kaitan antara politik agama dengan demokrasi: 1. Dalam masyarakat di mana agama menjadi penanda utama identitas, maka jalan menuju demokrasi tidak terlepas dari politik agama tersebut. 2. Meskipun demokrasi liberal membutuhkan formula sekularisme, namun politik keagamaan bisa memberikan ruang dan “mempribumisasikan” sekularisme sesuai dengan teologi politik kelompok agama tersebut. 3. Terdapat hubungan simbiosis agama dengan pembangunan demokrasi, keduanya terdapat proses yang saling terkait dan terjalin. Ilmuwan Islam lainnya yang melihat bahwa Islam dan demokrasi bisa sejalan seiring adalah Fadl (2005), yang meyakini, sesungguhnya banyak muslim moderat percaya bahwa hak asasi sebagai sebuah konsep dan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan yang benarbenar bisa dipertemukan dengan teologi dan hukum Islam. Sejumlah muslim lainnya, masih menurut Fadl, bahkan berpendapat bahwa tak hanya Islam dan demokrasi itu bisa dipertemukan, melainkan bahwa Islam memerintahkan dan menuntut sistem pemerintahan yang demokratis. Gagasan-gagasan seperti inilah, yang lahir dari para ilmuwan muslim, yang bisa menjadi jalan tengah atas kebekuan dan saling serang antara pihak-pihak yang mempertentangan Islam dan demokrasi.
Konsep bahwa demokrasi tidak semata-mata hadir dari barat, karena sesungguhnya orang Islam pun memiliki jiwa demokrasi, juga dikemukakan oleh Mernissi (1992). Menurut Mernisi selama manusia berusaha keras menggunakan aql (nalar), dan juga ra’yu (pendapat pribadi), serta berjuang keras untuk menafsirkan Al Quran dan Hadist dengan cermat, maka sesungguhnya umat Islam itu sudah mencoba menjalankan proses awal demokrasi. Tidak semata menggantungkan semua hal pada satu penafsiran yang tunggal. Menilik tentang tantangan umat Islam sendiri yang mau tidak mau akan berhadapan dengan modernitas masa depan, Nurcholis Madjid (1998) mengingatkan bahwa masyarakat Islam Indonesia harus melakukan pembaruan. Pembaruan harus dimulai dari dua hal yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Madjid yang selalu berusaha menekankan tentang agama Islam sebagai agama yang mengutamakan rasionalitas dan akal, serta sebuah agama yang modern, pun kemudian menggambarkan posisi modernisasi itu sendiri (Madjid, 1998:172) : “Pengertian yang mudah tentang modernisasi ialah pengertian yang identik, atau hampir identik, dengan pengertian rasionalisasi. Dan hal itu berarti proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah (rasional), dan menggantikannya dengan bola berpikir dan tata kerja baru yang akliah. Kegunaanya ialah untuk memperoleh daya-guna dan efisiensi yang maksimal…. Jadi sesuatu dapat disebut modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah dan bersesuaian dengan hukumhukum yang berlaku dalam alam...” Merujuk ide dasar pemikiran Madjid ini tentunya membuka peluang dan pemikiran yang lebih mendalam tentang bagaimana penerimaan demokrasi di kalangan umat Islam menjadi sangat mungkin, mengingat prinsip dasar negara modern saat ini secara umum menggunakan konsep demokrasi.
Bahasa dalam Komunikasi Politik Untuk memahami lebih lanjut betapa ketidakterpisahan antara bahasa, politik dan komunikasi politik itu sendiri, maka teori tentang hubungan bahasa dan politik pun perlu digali lebih mendalam. Chilton (2004) secara rinci membahas tentang hubungan bahasa dan politik, proses interaksinya, juga representasinya, termasuk penggunaan bahasa dengan pendekatan agama yang dipergunakan dalam komunikasi politik. Menurut Chilton, sesuai tradisi politik yang ada menunjukkan bahwa ada hubungan erat antara bahasa dan politik dalam tahapan yang sangat mendasar. Bahkan kegiatan manusia secara umum dalam bentuk apapun yang
bisa diterjemahkan sebagai kegiatan politik, tidak akan diakui keberadaannya tanpa penggunaan bahasa itu sendiri. Sehingga bisa dikatakan bahwa aksi politik adalah aksi bahasa itu sendiri. Sementara itu Nimmo (1978) mengutip pemikiran Wittgenstein juga menegaskan bahwa bahasa sebagai permainan kata dalam sebuah pembicaraan politik, permainan ini merupakan permainan yang sangat serius. Tentu saja pembicaraan politik itu merundingkan kepercayaan, nilai, dan pengharapan bersama dalam situasi-situasi konflik pemaknaan (semantik). Masih menurut Nimmo ada 3 kesimpangsiuran semantik, yang pertama adanya kekeliruan karena verba transitif, kedua karena adanya penggunaan kata atau lambang linguistik yang lain namun seakan-akan ia adalah objek yang diwakilinya, yang ketiga karena adanya reaksi identifikasi (yakni menanggapi lambang pada objek yang berbeda namun dengan makna yang sama hanya karena semata-mata adanya kesamaan nama dari lambang tersebut). Sementara itu apabila kita membahas penggunaan bahasa dengan pendekatan teori Tindakan Komunikatif, maka akan makin terlihat bahwa
bahasa itu bisa digunakan untuk
mengkomunikasikan kesadaran kolektif, tidak secara institusi terjadi melainkan pada tiap individu yang menjalaninya (Habermas,1989). Masih menurut Habermas, Tindakan Komunikatif itu sendiri memiliki tiga komponen struktural dari aksi bicara yakni the propositional, the illocutionary, dan the expressive. Secara ringkas bisa dijelaskan bahwa the propositional itu melihat bahwa ada kebenaran pada isi pernyataan yang dilakukan oleh komunikator yang berkaitan dengan sebuah obyek, situasi maupun peristiwa. Sementara itu the illocutionary memiliki pengertian bahwa pernyataan yang digunakan untuk pemenuhan maksud. Bahwa komunikator menekankan pentingnya pihak komunikan mengerti apa maksud pernyataannya. Kemudian the expressive merujuk pada pernyataan dan sekaligus tindakan yang mengkomunikasikan beberapa aspek keadaan psikologis komunikator pada komunikannya. Jadi bicara dan berkomunikasi (dengan kata dan bahasa) bukan sekedar digunakan untuk menandakan sesuatu, melainkan juga untuk sungguh-sungguh melakukan sesuatu. Habermas melihat bahwa tindakan komunikatif menjadi hal yang utama ketika public sphere dibangun oleh individu-individu yang memiliki kesadaran yang sama akan pentingnya ruang bersama – common space. Sebuah cikal bakal dari perpanjangan tangan makna demokrasi itu sendiri. Hanya melalui interaksi dan komunikasi orang dapat menguasai masyarakat, membentuk gerakan sosial dan meraih kekuasaan. Tindakan komunikasi kemudian menyediakan satu basis etika bagi teori kritis, yang direpresentasikan pada
penjelasan Habermas tentang niat dasar komunikasi untuk membentuk konsensus melalui diskusi rasional (Habermas, 2006). Menurut Habermas pendekatan tindakan komunikatif bukan hanya membentuk komunikasi rasional sebagai bentuk ideal kehidupan sosial, namun juga dapat mulai mengubah masyarakat secara demokratis. Sebuah upaya pembedaan dari teori kritis awal yang dibangun oleh Marxis yang melihat bahwa keberadaan manusia hanya dilihat sebagai bagian dari konsep kerja untuk pengembangan alat produksi (material). Sehingga kemudian teori awal kritis yang bangun oleh para ilmuwan kritis selalu berhubungan dengan paradigma ‘kesadaran’.
Metodologi Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma kritis konstruktivisme karena penelitian ini berusaha memberdayakan kesadaran akan makna demokrasi di antara masyarakat baik melalui media maupun tidak. Penelitian paradigma kritis berusaha melakukan analisa yang menyeluruh, multi level dan kontekstual. Selain itu paradigma kritis juga harus menekankan historical situatedness, melihat faktor kesejarahan sosial secara meyeluruh (Denzin, 2000). Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Menurut Patton (2002), penelitian kualitatif berkembang dari 3 cara pengumpulan data yakni yang pertama melalui wawancara mendalam, yang kedua melalui observasi langsung, dan yang ketiga menganalisa melalui framing dari website FPI . Untuk penelitian ini peneliti melakukan wawancara mendalam kepada informan yakni pimpinan FPI. Kemudian juga melakukan observasi langsung, berupa mengikuti pengajian maupun diskusi yang dilakukan oleh organisasi yang dijadikan subjek penelitian. Kemudian dokumen berupa teks yang ada di website FPI, khususnya yang bertema demokrasi, juga dijadikan data rujukan dan diolah sebagai bahan penelitian. Scheufele dan juga digabungkan dengan sistem matrikulasi pengembangan dari model Pan dan Kosicki, yang dikutip oleh Wahid (2011:189). Dikarenakan pemberitaan berbeda dengan penulisan artikel, maka ada pengembangan framing yang dilakukan oleh peneliti. Proses framing berhubungan dengan pemahaman konstruksi sosial, seperti yang dirumuskan Scheufele (1999: 106-108). Dalam proses framing tersebut, dibagi dalam empat tahapan,
yaitu frame building, frame setting, individual-level effect of framing, dan journalist as audience. Dari proses tersebut kemudian analisa framing bisa dilihat dari 2 sisi yakni pada media framing maupun pada audiences framing. Lebih lanjut Scheufele melihat inti dari media framing adalah mengutamakan dua hal, 1) proses seleksi informasi/fakta dan 2) usaha penonjolan informasi/fakta, yang memungkinkan munculnya motif-motif kesengajaan, dan pada sisi lain, terkadang dilakukan secara tidak sadar.
Wacana Demokrasi dalam Organisasi FPI Pada teks di web FPI yang berjudul Demokrasi = Democrazy, dengan nama penulis tercantum lengkap di bagian bawah teks: Habib Muhammad Rizieq Syihab, MA (28 April 2013,
http://fpi.or.id/67-Demokrasi-=-Democrazy.html), maka apabila dikaji lebih
mendalam dengan analisa framing Pan dan Kosicki dengan modifikasi analisis teks Van Dijk akan terinci sebagai berikut:
Tabel 2: Artikel Demokrasi=Democracy di website FPI
Judul
Demokrasi=Democracy. Sengan judul artikel tersebut yakni demokrasi dianggap sesuatu yag bersifat gila, tidak masuk akal. Tterlihat bahwa sangat kuat penekanan penulis yang jelas-jelas menolak konsep demokrasi.
Lead In
Penulis sangat anti dengan demokrasi, yang dianggapnya penipu dan penjebak umat Islam. Penulis secara tegas menyatakan bahwa demokrasi salah, yang kemudian dalam cara berpikir penulis yang salah itu haruslah ditelanjangi dan diarak keliling dunia. Menyerupai perilaku sekelompok masyarakat Indonesia yang main hakim sendiri dengan menangkap pencuri/pezina dengan cara menelanjangi dan mengarak keliling kampung/desa.
Ti Tidak ada kutipan dari sumber manapun, malah cenderung menuliskan sesuatu tanpa kutipan yang benar. Misalnya pada kalimat: “Democrazy Keadilan. Di Arab koruptor dipotong tangan, dan di China koruptor dipotong kepala, sedang di Indonesia koruptor dipotong masa tahanan”. Pemilihan kata-kata sesuka hati penulis tampak jelas pada kalimat di atas, tanpa kutipan sumber yang valid. Dlam sejarah di Arab Saudi belum ada satupun koruptor yang dipotong tangan, karena King Abdullah sendiri baru mendirikan lembaga anti korupsi yang langsung di bawah Kutipan Sumber pimpinannya pada Maret 2011 dan belum ada satu kasuspun dengan hukuman potong tangan sampai tulisan tersebut dibuat penulis dan diunggah di webnya pada April 2013 (www.countercurrents.org/tam050612.htm). Kemudian penggunaan istilah “di China koruptor dipotong kepala”, karena dalam prakteknya hukuman mati di China dilakukan dengan tembakan, sehingga menggunakan metafora potong kepala sangatlah berlebihan. Pada pernyataan penutup jelas bahwa penulis menunjukkan sikap anti demokrasi yang dianggap gila, merusak dan penuh kebobrokan. Lagi-lagi istilah menelanjangi demokrasi dan mengarak keliling dunia digunakan oleh penulis. Seperti dalam kalimiat berikut: “Oleh karena itulah, penulis mengajak dan menyerukan segenap umat Islam : Ayo, telanjangi dan arak keliling dunia kebobrokan Democrazy. Ayo, kasih tahu rakyat di semua lapisan masyarakat tentang bejat dan bahayanya Democrazy. Ayo, jauhkan umat Islam dari kezaliman Democrazy. Ayo, jadikan Democrazy sebagai sesuatu yang menjijikkan. Ayo, tinggalkan Democrazy !”
Pernyataan Penutup
Perspektif
: - Latar belakang: merupakan elemen wacana yang dapat mempengaruhi (arti kata) yang ingin disampaikan. Penulis di artikel ini berusaha mengemukan latar belakang ide penulisannya tentang demokrasi seperti sebuah kondisi yang gagal dan demokrasi itu sesuatu yang penuh keburukan dan menuju kegilaan: “Fakta membuktikan bahwa demokrasi telah menciptakan kehancuran di banyak negeri. Demokrasi telah menciptakan sistem korup di seantero dunia. Demokrasi telah menebarkan persaingan dan perebutan kekuasaan. Demokrasi telah memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa di berbagai negara. Demokrasi adalah monster yang telah melahirkan diktator-diktator kelas dunia. Begitulah demokrasi, dimana-mana menciptakan kebingungan dan kesemrawutan, bahkan kegilaan. Itulah sebabnya, kini Demokrasi diplesetkan menjadi Democrazy.” Penulis menekankan bahwa kondisi dunia yang penuh dengan kejahatan itu bersumber dari faktor tunggal yakni sistem demokrasi. -
Detail : Elemen ini berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan oleh sang penulis. Penulis ingin menampilkan bahwa Demokrasi sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam dengan menggunakan pilihan kata yang melawankan kata konsep indikator
demokrasi dengan istilah-istilah dalam agama Islam: “Democrazy Kebhinnekaan. Atas nama kebhinnekaan, aliran sesat dianggap kebebasan beragama, penodaan agama dianggap hak berekspresi, penyelewengan dianggap perbedaan, kejahatan pemikiran disebut kegenitan pemikiran, dan pemurtadan dikatagorikan sebagai pilihan beragama. Sebaliknya, membela agama dengan tegas dianggap radikalisme, menjalankan ajaran agama dengan istiqomah disebut puritanisme, berjihad di jalan Allah SWT divonis terorisme” Pemilihan kata yang menunjukkan bahwa tindakan yang radikal dibahasakan dengan “Membela agama dengan tegas”, proyeksi bahwa penulis sebagai pemimpin FPI, organisasi yang radikal, adalah syah-syah saja melakukan sikap radikal atas nama agama.
-
Maksud : elemen ini melihat apakah teks itu disampaikan secara eksplisit atau tidak. Penulis artikel ini mencoba seolah fakta dibeberkan secara telanjang dan gambalang, namun justru pada akhirnya yang terjadi adalah penulis mencampur adukkan fakta atas beberapa konsep dan indikator demokrasi yang dicampuradukkan dengan konsep lainnya. Seperti contoh kutipan berikut ini:
“ Kesenjangan. Di negeri democrazy sosialis, konon katanya pajak rendah tapi cari uang sulit. Di negeri democrazy kapitalis, konon katanya cari uang mudah tapi pajak selangit. Di Indonesia yang konon katanya ikutikutan berdemocrazy ria, kenyataannya cari uang susah dan pajak menggigit, serta cari kerja payah dan pajak pahit. Namun yang pasti di semua negara democrazy, sosialis mau pun kapitalis, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” Penulis mencampurkan antara konsep demokrasi dengan kapitalisme, sesuatu yang tentu saja berbeda. Sehingga dengan semangatnya yang salah kaprah penulis melihat kondisi ekonomi kapitalis yang “Kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin” merupakan kesalahan demokrasi. P - Praanggapan : strategi lain yang dapat memberi citra tertentu ketika diterima khalayak. Elemen ini pada dasarnya digunakan untuk memberi basis rasioal, sehingga teks yang disajikan penulis tampak benar dan meyakinkan. Praanggapan hadir untuk memberi pernyataan yang dipandang terpecaya dan tidak perlu lagi dipertanyakan kebenarnnya karena hadirnya pernyatan tersebut. Ini tampak dari kutipan di awal-awal paragraf berikut: “Democrazy Voting. Di negara Democrazy, “monyet” boleh jadi Presiden asal disetujui suara terbanyak. Homosex dan Lesbi boleh kawin resmi asal disetujui suara terbanyak. Ganja dan Narkoba boleh diperjual-belikan asal disetujui suara terbanyak. Agama boleh dihina dan dinodai asal disetujui suara terbanyak. Apa saja boleh, termasuk mengaku sebagai Nabi atau
Malaikat, bahkan sebagai Tuhan sekali pun, asal disetujui suara terbanyak”. Praanggapan yang ditulis dengan membuat deretan pernyataan yang seolah benar dan dapat dipercaya dilakukan penulis untuk meyakinkan pembacanya.
Proposisi/Paragraf
Kata
Istilah
Proposisi atau paragraf menggambarkan upaya penulis yang mencoba secara runtut membagi-bagi pemahaman demokrasi yang diganti dengan istilah democrazy dalam beberapa pengelompokan pemikiran sesuai sub judul yang ditulis oleh penulis artikel yakni: DEMOCRAZY SISTEM, DEMOCRAZY EKONOMI, DEMOCRAZY HUKUM, DEMOCRAZY SOSIAL BUDAYA, DEMOCRAZY TRANSNASIONAL dan sub judul terakhir adalah: AYO, TINGGALKAN DEMOCRAZY. Kata-kata yang digunakan bersifat provokatif, vulgar, sinis, atas makna demokrasi. Kata ganti jelas-jelas digunakan oleh penulis dengan penempatan kata demokrasi diubah menjadi democrazy . Penempatan kata ganti ini digunakan sebagai alat untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan komunitas imajinatif. Kata ganti ini merupakan elemen yang dipakai oleh penulis untuk menunjukkan di mana posisi demokrasi dalam wacana tersebut, yakni posisi yang hina, rendah dan penuh kegilaan. Secara umum tidak terdapat istilah yang sulit dimengerti. Penulisan dengan gaya eksposisi (singkat, akurat dan padat), jelas tidak digunakan oleh penulis. Penulis berpanjang-panjang mencoba segala cara untuk menunjukan keburukan demokrasi. Sehingga argumentasi, persuasi dan narasi yang dibangunpun semata-mata atas kehendak penulis dengan mengabaikan fakta dan kebenaran data di lapangan.
Komunikasi Politik Internal dan Eksternal FPI Dalam Komunikasi baik eksternal dan Internal, FPI sendiri secara tegas menolak konsep one man one vote, seperti yang disampaikan oleh ketua FPI, Muchsin: ”Ya one man one vote itu bukan Islam. Makanya keterwakilan dalam Islam itu keterwakilan dipilih orang yang paling baik, orang yang paling pinter, orang yang paling tua, orang yang paling takut kepada Allah, yang akhlaknya baik, kan begitu. Kalau Demokrasi ndak, siapapun yang banyak duit itu yang bisa menang. Akhirnya karena sistemnya Demokrasi yang dipake, akhirnya politik antara calon penguasa yang pingin jadi penguasa dengan rakyat transaksional. Transaksi “wani piro?”, nah itu. Karena wani piro ya orangnya akhirnya untung rugi itungannya bukan mau berjuang untuk rakyat. Kamu sudah… Saya sudah bayar, saya sudah jadi pejabat, sudah keluar duit banyak, berarti saya harus ngambil, kan begitu. Itulah politik transaksional dampak dari pada sistem Demokrasi. Akhirnya hancur kan bangsa”.
Sementara itu untuk pemilihan pemimpin di organisasi FPI sendiri Muchsin tidak mau menjelaskan panjang lebar, hanya mengatakan:
“Kita musyawarah mufakat. Kita menerapkan musyawarah mufakat dan kita menghindari instrumen-instrumen Demokrasi dalam berorganisasi ini” FPI tampaknya juga menyiratkan keenganan untuk menjabarkan proses pemilihan pempimpin di organisasi tersebut. Muchsin diam cukup lama usai menjawab pertanyaan tersebut. Seolah sudah tidak mau lagi membahas isu tersebut. Dalam berbagai pemberitaan di media massa juga selalu disampaikan oleh pihak FPI bahwa pemilihan para pemimpin mereka dilakukan tertutup dan menggunakan musyawarah. Yang menarik dan bisa menjadi catatan adalah keberadaan Imam Besar FPI, Habib Rizieq. Konsep Imam Besar sesungguhnya memang tidak pernah dikenal dalam kelompok Suni. Istilah Imam Besar biasanya digunakan oleh kelompok Syiah, termasuk di Iran yang mengakui kehadiran para Imam Besar, seperti Imam Ayatollah Khomeini, ataupun Imam Khemeini. Meskipun FPI menyatakan bahwa voting, pemberian suara satu persatu, merupakan cara demokrasi dan bertentangan dengan Islam. Namun Muchsin tidak bisa menutup mata bahwa pada beberapa tingkatan pemilihan, seperti juga dewan masjid FPI yang menggunakan voting: “Dimana-mana mengatakan kita Negara Demokrasi. Sampe-sampe pemilihan pengurus mesjid kami sudah memilih seorang ketua dewan masjid dengan demokratis. Nah itu sudah terbawa kita..”
Selain itu Ketua FPI, Muchsin, juga menyoroti bagaimana kebebasan media itu kemudian menjadikan FPI dipojokkan. Namun di sisi lain, Muchsin juga mengakui bagaimana media sosial (Facebook, Twitter, dan Youtube) makin membuat FPI populer dan banyak pengikutnya: “Ya feed back-nya semakin banyak FPI, yang ikut FPI banyak. Kalau dari lihat Facebook, dari Twitter, dari ini ternyata FPI semakin dibutuhin, semakin banyak yang simpati. Artinya mereka hanya menjadi korban media karena selama ini media tidak berpihak kepada kita. Memutar balikkan fakta. Tapi setelah mereka itu tabayyun, crosscheck langsung dengan FPI ternyata tidak seperti yang diberitakan oleh media. Contohnya yang luar ya seperti kemarin Jaya Suprana. Itu ke sini, dua kali ke sini, luar biasa sampai dia minta kita di-block time di TVRI kan, diwawancarai oleh Jaya Suprana. Dia sangat simpati luar biasa, karena dia penasaran. Ini FPI kenapa digambarkan sebagai penjahat, dipojokkan, kok nggak bubar-bubar? Ada apa? Ternyata memang ini kejahatan media. Dan dia ingin belajar ke FPI tentang Islam. Kan bagus”
Namun di sisi lain FPI juga mengemukakan perbedaan pendapat yang mungkin terjadi antara pihaknya dan pihak lain, termasuk pemerintah, bisa saja berakhir dengan kekerasan, sebuah sikap yang jelas-jelas bertentangan dengan konsep komunikasi yang emansipatoris, yang menghargai perbedaan pendapat dan mengutamakan upaya adu argumentasi sebaiksebaiknya. Muchsin mencontohkan terbuka kasus bagaimana mereka melakukan “tindak kekerasan” terhadap pihak lain yang berbeda pendapat tersebut: “..........Kemudian kita juga menegur pemerintah, mengadakan dialog-dialog itu kan sering sekarang. Tapi kadang-kadang memang dari pihak pemerintah atau manapun tidak mau diajak dialog ketika sudah kita kerasi baru dia mau dialog.........Dulu kita memperjuangkan anti miras. Dengan cara sweeping, merusak tempat-tempat minuman keras. Kita akhirnya dikritik. Lalu kemudian kita akhirnya menempuh jalur hukum, setelah menempuh jalur hukum kita sudah mulai berhasil, keluar dari Perda-perda, menganulir nih pemerintah Dalam Negwri supaya Pemerintah Daerah mencabut Perda-perda Anti Minuman Keras. Kan begitu kurang ajar. Kita sudah menempuh jalur hukum ternyata mereka malah menganulir. Ini yang artinya kita ajak dialog nggak mau, begitu kita gubruk gubruk baru ayolah Pak dialog sekarang. Apa begitu? Apakah pemerintah mau dipukul dulu baru mau diajak dialog?”
Demokrasi sebagai Alat Politik FPI Wacana Demokrasi yang ditampilkan di website FPI merupakan bagian dari kebijakan organisasi tersebut. Artinya gagasan yang ditampilkan di website merupakan gagasan dan pemikiran organisasi tersebut. FPI yang menolak keras sistem demokrasi dan mengharamkan penggunaannya serta mengkufurkan para penggunanya, tampil dengan wacana yang tegas dan keras serta menampilkan semua hal buruk yang mereka anggap berasal dari persoalan tunggal, yakni demokrasi. Secara tegas dan berulang-ulang disampaikan oleh artikel yang dipasang di website FPI, betapa demokrasi satu-satunya penyebab kehancuran dunia ini. Tidak ada sedikitpun nilai positif dari demokrasi. Nada kebencian dan permusuhan pada sistem demokrasi disampaikan dengan terbuka oleh FPI . Apa yang ditampilkan oleh FPI bagian dari hegemoni wacana demokrasi yang ditawarkan kepada publik pembacanya. Secara sederhana dapat dilihat bahwa FPI dan HTI sangat agresif dalam menyebarkan wacana anti demokrasi, meskipun kedua artikel yang ditulis itu kemudian dengan lantang dan terbuka menyampaikan kebencian yang luar biasa pada sistem demokrasi, dan seolah melupakan bahwa ada pihak lain yakni pendukung demokrasi yang barangkali bisa
tersinggung dengan kata, bahasa, yang cenderung sangat vulgar, yang mereka gunakan dalam menyusun teks tersebut. Seperti yang kita pahami bersama bahwa website yang sifatnya terbuka dan dapat diakses oleh siapa saja, menjadikan media ini sudah seharusnya dikelola dengan bijaksana. Dalam arti gagasan dan pemikiran yang keluar pun harus tetap dikontrol dan menjalankan fungsi etika jurnalistik saat menampilkan artikel/informasi/pemberitaan. Sungguh tidak terbayang apabila semua media website yang dikelola oleh beragam golongan dan kelompok kemudian dijadikan sarana propaganda yang kurang etis, saling menyerang, menimbulkan permusuhan dan kebencian.
Sikap anti terhadap demokrasi diutarakan secara tegas oleh Ketua FPI Muchsin: “Demokrasi adalah sebuah sistem yang bukan dari Islam dan sistem politik Demokrasi tidak bisa dipersamakan dengan Islam karena dasar-dasar dan azas-azas yang di situ tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dan secara kelahirannya juga jauh, Islam lebih dulu dari pada Demokrasi. Jadi kalau kami melihat Demokrasi itu adalah bukan sistem Islam dan kami menolak dari pada Demokrasi sebagai sistem politik dalam Islam...”
Meskipun dalam wawancara mendalam Muchsin tidak menggunakan ayat-ayat Al Quran untuk menunjukan pertentangan Islam dan demokrasi, namun dalam pengajian yang dilakukan oleh Imam Besar FPI, Habib Rizieq, tampak ada beberapa ayat yang digunakan oleh FPI untuk menolak demokrasi dan mengunggulkan nilai-nilai musyawarah. Serta secara tegas menyampaikan bahwa demokrasi dan musyawarah adalah dua hal yang berbeda (http://www.youtube.com/watch?v=KqkqI1gJGZI). Sikap anti demokrasi di FPI tampak cukup menginternalisasi pada setiap pengurus dan anggota. Sehingga bahasa yang dikeluarkan oleh masing-masing pengurus sama. Tidak hanyak muncul dalam websitenya, tentang bagaimana monyet pun dianggap bisa dipilih menjadi presiden pada sistem demokrasi. Dalam wawancaran mendalam perumpamaan monyet pun digunakan yakni; Monyet = Demokrasi dan Manusia = Islam, juga dikemukakan Muchsin dari Ketua FPI: “Gini loh antara Demokrasi dengan sistem Islam bukan semua berbeda. Bukan semua berbeda. Ada kesamaan-kesamaan tapi bukan kesamaan-kesamaan berarti itu sama, gitu. Karena keperbedaannya itu inti, sangat inti sekali. Ya kan? Seperti ibarat monyet
sama manusia. Itu unsur kesamaannya banyak. Monyet punya mata, manusia punya mata, monyet punya hidung, manusia punya hidung. Punya tangan, kaki, punya perut. Tapi apakah manusia sama dengan monyet? Tidak. Kenapa? Karena ada perbedaan yang prinsip. Apa? Nggak punya akal. Ya Demokrasi dengan Islam bukan berarti ada nggak sama. Ada yang sama. Cuman bukan yang inti.”
Bagi FPI, meskipun ada indikator demokrasi dalam pelaksanaan politik Islam yang berupa musyawarah, namun tetap lah mereka menolak istilah demokrasi, dan menolak parameter demokrasi lainnya sebagai sesuatu yang diterima oleh Islam. Pengharaman demokrasi secara tegas dilakukan oleh FPI. Namun yang menarik, FPI masih berusaha “menghormati dan mengakui” keberadaan UUD 1945, Pancasila, dan pemerintahan negara Indonesia, seperti yang diungkapkan Muchsin, dengan berbagai pendapat dan argumentasinya: “Indonesia ini. Sebetulnya dengan rumusan Pancasila dan Landasan Konstitusinya adalah Undang-undang Dasar 45 itu sudah luar biasa, sudah sangat mengakomodir tentang plularitas, agama, ras, suku dan sebagainya. Itu sudah luar biasa. Cuman kami melihat, FPI melihat bahwa Indonesia ini sebetulnya bukan Negara Demokrasi, Indonesia ini bukan Negara Demokrasi. Jadi pendiri-pendiri negeri ini mendirikan Indonesia itu sebagai bukan Negara Demokrasi. Tidak kita temukan dalam Pancasila, kita tidak ditemukan dalam Undang-Undang 45 bahwa pendiri negeri ini mengatakan Indonesia ini Negara Demokrasi, nggak ada. Itu adalah sabotase. Sabotase pasca Kemerdekaan. Karena Belanda juga sudah mempersiapkan orang-orang Indonesia yang belajar di Barat tentang politik, mereka mengadopsi yang pikirannya mereka sekuler, itu lah mereka memaksakan supaya Indonesia Negara Demokrasi padahal bukan Demokrasi. Indonesia adalah Negara berasakan musyawarah dan mufakat, dan itu sistem Islam. Nah kita tahu Demoscrotos adalah Demos Crotos, dipimpin oleh rakyat untuk rakyat, tapi hukum dibikin oleh manusia. Sedangkan dalam Islam hukum itu sebenarnya dari Allah” Sementara itu Pemilihan umum (Pemilu), sebagai salah satu indikator yang digunakan oleh banyak pihak sebagai salah satu alat ukur ada tidaknya demokrasi di sebuah negara. Termasuk di Indonesia, sehingga menjadi sangat menarik untuk mengetahui sikap politik FPI terhadap Pemilu. FPI yang sejak awal dengan tegas menyatakan bahwa mereka menolak demokrasi pun dengan lantangnya menganggap proses pemilu yang notabene memilih wakil rakyat dan memilih pemimpin bukan hal yang tepat dijalankan. Penolakan itu secara jelas disampaikan karena menurut FPI pemimpin negara bukanlah dipilih oleh rakyat dari berbagai unsur, melainkan Ulama (pemimpin agama) lah yang menjadi panduan dan pemimpin sebuah negara. Seperti yang dituturkan Sekjen FPI, Muchsin:
“Negara Islam Iran umpamanya kan. Negara Islam Iran itu kita tidak bukan terlepas dari masalah Syiahnya, gitu kan, tapi di sana adalah ulama yang ahli agama itu dijadikan nomor satu oleh umum untuk memutuskan dari pada mengayuh biduk dari pada pemerintah itu sendiri. Merupakan unsur penentu yang utama, yaitu adalah ulama.” Namun tidak bisa dipungkiri juga dalam Pemilu 2014 lalu FPI secara terbuka mendukung salah satu calon presiden yang didukung Koalisi Merah Putih, yakni Prabowo Subianto. Sehingga posisi FPI pun jelas menjadi menerima adanya Pemilu
secara demokratis di
Indonesia. Meskipun apabila dilihat secara lebih mendalam akan menunjukan bahwa sikap tersebut adalah sikap politik FPI yang menggunakan “demokrasi” sebagai alat politik.
Simpulan Maka peneliti membuat kesimpulan sebagai berikut: 1. Wacana demokrasi dalam komunikasi politik di FPI tampak jelas bahwa mereka menolak wacana demokrasi secara mutlak dan menganggap itu bagian dari kegiatan yang dianggap kufur (melanggar perintah Allah SWT), serta diharamkan. Sehingga ruang diskusi untuk istilah dan penggunaan kata demokrasi ini seolah sudah tertutup. 2. Dari hasil di lapangan juga terlihat ada kemungkinan penggunaan nilai-nilai demokrasi dalam masing-masing organisasi Islam di Indonesia, dengan konsep, pemikiran, dan bahasa yang digunakan oleh FPI. FPI meski seolah menolak Demokrasi namun unsur demokrasi seperti voting masih dijalankan oleh organisasi ini dalam skala lebih sederhana. Misalnya untuk pemilihan majelis masjidnya juga masih mengenal voting. Demikian juga dalam isu kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi secara terbuka yang menjadi salah satu indikator demokrasi, tampak FPI berusaha untuk menjalankan konsep terebut untuk penyebaran gagasan ke dalam maupun ke luar organisasi, meski tidak jarang mereka melakukan dengan cara kekerasan.
Referensi Ayoob, Mohammed. 2004. Political Islam: Image and Reality. In World Policy Journal. Volume 21 Issue 3. Yale University Press.
Chilton, Paul. 2004. Analysing Political Discourse, Theory and Practice. Oxon: Routledge. Croucher, Sheila L. 2004. Globalization and Belonging : The Politics of Identity in a Changing World. United Kingdom: Rowman & Littlefield Publishers, Inc Dahl, Robert A. 1971, Polyarchy: Participation and Opposition. New Haven: Yale University Press. Denzin, N.K. & Y.S. Lincoln. 2000. Handbook of qualitative research (second edition). Thousand Oaks: Sage Publ. Inc. Fadl. Khaled Abou El. 2005. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. Habermas, Jürgen. 1989. The Structural Transformation of the Public Sphere: An. Inquiry into a category of Bourgeois Society. Cambridge: Polity. ______________. 2006. Teori Tindakan Komunikatif I, Rasio dan Rasionalitas Masyarakat. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Hefner, Robert W. 2000. Islam Pasar Keadilan. Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan Demokrasi.Yogyakarta: LKIS. Huntington, Samuel P. 1996. The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order. New York: Simon & Schuster Lewis, Bernard. 2003. The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror. New York: Modern Library Majid, Nurcholis. 1998. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Penerbit Mizan. McNair, Brian. 2003. An Introduction To Political Communication. London: Routledge. Muhtadi, Asep Saepulah. 2008. Komunikasi politik Indonesia: dinamika Islam politik pascaOrde Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mujani, Saiful. 2007. Muslim Demokrat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Nimmo, Dan D. 1978. Political communication and public opinion in America. Santa Monica: Goodyear Pub. Co. Patton, Michael Quinn. 2002. Qualitative Research and Evaluation Methods. California: Sage Publications, Inc.. Scheufele, Dietram A. 1999. Framing as a Theory of Media Effects. Journal of Communication, vol, 49, no. 1. USA: International Communication Association. Thérien, Jean-Philippe and Madeleine Bélanger Dumontier.2009. The United Nations and Global Democracy : From Discourse to Deeds.Journal Cooperation and Conflict. Sage Publication.
Wahid, Umaimah. 2011. Komunikasi Politik, Teori dan Praktek. Jakarta: CV. Widya Media Komunikasi http://fpi.or.id/67-Demokrasi-=-Democrazy.html