eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
Pemberitaan Front Pembela Islam Dalam Majalah Berita Mingguan Tempo Andhika Perdana1, Siti Karlinah2, Pandan Yudhapramesti3 Jurusan Ilmu Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universita Padjajaran Corresponding Author :
[email protected] Abstract ANDHIKA PERDANA, K1A050250, 2012. The title of this research is The News of Front Pembela Islam in Tempo Weekly News Magazine, Robert N. Entman’s Framing Analysis Model About The News of Front Pembela Islam in Tempo Weekly News Magazine’s Main Report Issue February 21st-27th 2011. Main advisor Dra. Siti Karlinah, M.Si, and conselor Pandan Yudhapramesti, S.Sos, MT. Department of Journalism, Faculty of Communication, Padjadjaran University, Jatinangor.This research aimed to find out how Tempo Weekly News Magazine define problems, diagnose causes, make moral judgement, and give treatment recommendation to the news of Front Pembela Islam. The researcher used Robert N. Entman’s Analysis Framing Model to cut open the frame of the news in Tempo Weekly News Magazine’s main report issue February 21st-27th 2011.The result of this research showed that Tempo Weekly News Magazine used more pronouncement and commentary from party other than Front Pembela Islam, such as governmental agencies and societies, with the result that Front Pembela Islam looked like silent toward problems falling on them. Lack of commentary from Front Pembela Islam as the news object and unbalanced amount of commentary between two party in a dispute has made the news into a less comprehensive and less proportional thing.The researcher suggested Tempo Weekly News Magazine always consider the “cover both sides” terminology on a news and always kept at arm’s length from informants in order that the news can be served more comprehensive and more proportional.
Kata Kunci : Pemberitaan Front Pembela Islam
1
Penulis PembimbingUtama 3 Pembimbing Pendamping 2
Andhika Perdana - Pemberitaan Front Pembela Islam Dalam... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 1 of 20
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
Latar Belakang Masalah Minggu, 6 Februari 2011 merupakan saat yang mencekam bagi penganut Ahmadiyah di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten. Masih segar dalam ingatan masyarakat Indonesia bahwa ketika itu sekelompok orang menyerang jemaah Ahmadiyah di desa setempat sekitar pukul 10.00 WIB. Peristiwa itu menimbulkan kerugian, yakni rusaknya sebuah rumah yang dianggap tempat perkumpulan jemaah Ahmadiyah dan dua kendaraan roda empat. Tiga orang jemaah Ahmadiyah dinyatakan tewas dan empat orang lainnya terluka (http://regional.kompas.com/read/2011/02/06/18564141/Polisi.Selidiki.Penyerangan.Cikeusik , diakses 3 Maret 2011). Lima jam setelah tragedi itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar rapat bersama lima puluhan pengurus Partai Demokrat di kediamannya, Puri Cikeas, Bogor. Rapat tersebut telah direncanakan dua hari sebelumnya untuk membahas pelbagai isu yang memojokkan pemerintah. Tragedi di Cikeusik pun turut menjadi bahan pembahasan pada rapat itu (MBM Tempo, 14-20 Februari 2011). Setelah rapat tersebut, Presiden SBY langsung memerintahkan rapat mendadak kepada Menteri koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto. Rapat yang membahas kekerasan di Cikeusik itu juga diikuti oleh Kepala Kepolisian Jenderal Timur Pradopo, Jaksa Agung Basrief Arief, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dan Menteri Agama Suryadharma Ali. Dalam rapat tertutup itu, Presiden SBY meminta Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung yang dibuat pada Juni 2008 dievaluasi. Ada tujuh poin dari pemerintah yang dihasilkan rapat terkait Ahmadiyah tersebut. Selain mengecam dan memerintahkan pengungkapan tragedi, pemerintah meminta warga Ahmadiyah “taat” pada SKB 3 Menteri. Isi surat keputusan bersama itu antara lain meminta Ahmadiyah
tak
mengakui
nabi
setelah
Muhammad
(http://nasional.kompas.com/read/2011/02/06/22551511/Tujuh.Poin.Pemerintah.Terkait.Ahm adiyah dan http://chempornet.com/isi-skb-3-menteri-tentang-ahmadiyah-aliran-sesat/, diakses 3 Maret 2011). Dua hari setelah penyerangan terhadap warga Ahmadiyah, kerusuhan bernuansa agama kembali terjadi. Kali ini terjadi di Temanggung, Jawa Tengah. Aksi brutal massa diawali ketika sidang kasus penistaan agama dengan terdakwa bernama Antonius Richmond Bawengan. Massa kecewa karena hukuman yang diberikan hakim terhadap Antonius dinilai hanya dihukum lima tahun penjara. Kekecewaan massa berujung pada Andhika kurang Perdana -setimpal. PemberitaanDia Front Pembela Islam Dalam... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id Page 2 of 20
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
kemarahan dan aksi brutal. Massa yang beringas pun merusak fasilitas pengadilan, mengobrak-abrik dua buah gereja, merusak sebuah sekolah, dan membakar sembilan kendaraan bermotor (MBM Tempo, 14-20 Februari 2011). Seminggu berselang, terjadi pula penyerangan sekelompok orang bersarung dan berbaju koko terhadap Pondok Pesantren milik Yayasan Pesantren Islam (Yapi) di Pasuruan Jawa Timur. Kelompok yang menamakan diri Jemaah Aswaja itu tidak senang dengan keberadaan Pondok Pesantren Yapi karena dianggap menyebarkan ajaran Syiah. Syiah, menurut mereka, dianggap aliran sesat (MBM Tempo, 21-27 Februari 2011). Rentetan peristiwa itu membuat Presiden SBY bersikap keras dengan mencuatkan wacana mengenai pembubaran organisasi kemasyarakatan yang dinilai sering berbuat anarkis. Presiden mengungkapkan hal tersebut ketika berbicara pada peringatan Hari Pers Nasional ke-65 di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Rabu (16/2): "Jaga kerukunan antarumat beragama. Jika ada kelompok atau organisasi resmi yang selama ini terus melakukan aksi kekerasan yang tak hanya meresahkan masyarakat luas, tapi nyata-nyata banyak menimbulkan korban, penegak hukum agar mencarikan jalan yang sah atau legal. Jika perlu, dilakukan pembubaran atau pelarangan." (MBM Gatra, 2 Maret 2011) Isyarat keras itu disampaikan Presiden dalam menyikapi insiden berdarah di Cikeusik, Temanggung, dan Pasuruan beberapa hari sebelumnya. Dalam peristiwa yang menelan korban jiwa dan memusnahkan banyak harta-benda itu, terlihat jelas sekelompok massa dengan beringas melakukan penyerangan. Meski sejauh ini belum bisa dibuktikan, ada dugaan bahwa massa penyerang itu berasal dari ormas tertentu. Presiden SBY memang tidak menyebut nama ormas-ormas dimaksud. Namun, kubu Front Pembela Islam (FPI), ormas yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1998, langsung bereaksi keras. FPI, melalui juru bicaranya Munarman, meneriakkan “revolusi” jika Presiden membubarkan organisasinya. FPI siap menjadikan Presiden SBY seperti Presiden Tunisia Zine el-Abidine Ben Ali dan Presiden Mesir Husni Mubarak. Kedua pemimpin itu digulingkan melalui demonstrasi besar-besaran di negara masing-masing. Ketua FPI Habib Rizieq Shihab juga mengancam akan berjihad menggulingkan Presiden SBY pada perayaan Maulid Nabi beberapa hari sebelumnya di markas FPI, Jalan Petamburan, Jakarta Barat (MBM Tempo, 21-27 Februari 2011). Ancaman itu akan direalisasikan apabila Presiden SBY tidak memenuhi tuntutan mereka mengenai pembubaran Ahmadiyah, kelompok yang dianggap “sesat” dari ajaran Islam. Presiden pun merespon ancaman itu. Dalam wawancaranya dengan SCTV, Presiden mengatakan tidak mudah untuk Indonesia Andhika menjadikan Perdana - Pemberitaan Frontseperti PembelaMesir. Islam Dalam... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 3 of 20
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
Beberapa majalah menjadikan konflik FPI dengan Presiden SBY tersebut sebagai bahan berita. Sejumlah majalah cenderung berimbang menanggapi peristiwa ancaman FPI terhadap Presiden. Salah satunya adalah Majalah Berita Mingguan (MBM) Gatra. Pada laporan utama edisi 15/XVII 2 Maret 2011 dalam berita yang berjudul “Ormas Anarkis Dibubarkan, Siapa Takut?”, MBM Gatra memberikan ruang yang sama kepada kedua belah pihak yang berkonflik untuk berpendapat. Berita tersebut diawali dengan pendapat Presiden SBY yang mengancam akan membubarkan kelompok atau organisasi resmi yang melakukan aksi kekerasan, lalu diikuti dengan pembelaan diri dari FPI beserta pihak-pihak terkait yang merasa dituduh melakukan tindak kekerasan. Di samping itu terdapat pula majalah yang masih memberitakan bahkan terus menyudutkan Ahmadiyah. Majalah Sabili, dalam edisi 14 TH XVIII 21 Februari 2011 dengan berita yang berjudul “Menjawab Kebohongan Ahmadiyah”, menilai Ahmadiyah sebagai suatu aliran sesat. Sabili makin menegaskan ketidakberpihakannya kepada Ahmadiyah pada edisi 18 TH XVIII 26 April 2011. Saat itu Sabili menuliskan “Bubarkan Ahmadiyah Titik” sebagai tajuk pada cover majalah. Penulis melihat hanya MBM Tempo yang membahas aksi FPI tersebut secara mendalam. MBM Tempo menurunkan laporan utama edisi 21-27 Februari 2011 dengan cover bertajuk “Mengapa Harus Takut” berisikan lima judul berita yang keseluruhannya berkaitan dengan FPI. Berita “Bual Revolusi dari Petamburan” merupakan berita pertama laporan utama MBM Tempo mengenai FPI. Teks ini mengisahkan penyebab awal terjadinya perseteruan ormas tersebut dengan Presiden. Berita kedua “Dari Miyabi Hingga Rumah Judi” merupakan kronologis sepak terjang FPI dari kelahiran organisasi tersebut hingga kini. Berita ketiga dengan judul “Ada Front di Cikeusik” ditulis Tempo untuk memperlihatkan keterkaitan FPI dengan penyerangan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Berita keempat “Segunung Ancaman, Sejentik Tindakan” menceritakan Presiden yang tak kunjung merealisasikan ancamannya untuk membubarkan organisasi yang menggunakan label agama untuk kekerasan. Padahal, ancaman tersebut telah dilontarkan Presiden sejak 2006. Sajian terakhir dari laporan utama MBM Tempo adalah wawancara wartawan MBM Tempo dengan Sekretaris Kabinet Dipo Alam tentang pembubaran FPI. MBM Tempo mengangkat pemberitaan FPI yang mengancam Presiden SBY tersebut seminggu setelah peristiwa terjadi. MBM Tempo menggunakan teknik pelaporan mendalam agar mampu menyaingi surat kabar dan media elektronik yang lebih cepat menangkap berita. Santana, bukuDalam... Jurnalisme Investigasi, mengatakan media cetak Andhika Septiawan Perdana - Pemberitaan Frontdalam Pembela Islam Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id Page 4 of 20
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
mengimbangi kekurangannya dari broadcast journalism, di dalam kecepatan menyampaikan berita the spot, melalui pelaporan material berita yang bersifat in-depth, mendalam. In-depth reporting, menurut Kamath dalam Santana (2003: 81) ialah “mengabarkan kepada kita mengenai keseluruhan apa yang terjadi dari kisah yang terjadi”. Reportase indepth memfokus definisi ketatnya upaya menyajikan background information yang begitu detil. Teknik penulisan feature article, situation reporting, dan event reporting menjadi alat bagi depth reporting. Bahkan, investigative reporting juga menjadi perangkat depth reporting ketika mengejar informasi rahasia, sebagai objek liputan, yang oleh seseorang sengaja disembunyikan. Pemberitaan yang diturunkan MBM Tempo tersebut memberikan citra dan definisi tersendiri bagi FPI. Melalui pemberitaannya, Tempo menganggap semua yang dilakukan FPI merupakan tindak kekerasan. Berdasarkan data yang diperoleh Tempo, FPI sudah melakukan aksi kekerasan sejak 1999. Selain menyerang tempat hiburan malam, ormas itu juga menyasar berbagai pihak yang bertentangan dengan pemikiran mereka, seperti orang-orang yang dicap kaum kiri, aktivis pembela hak asasi manusia, bahkan orang-orang yang berbeda agama. FPI seakan tidak pernah pandang bulu dalam melakukan aksinya. Pada 2005, FPI pernah diduga menyerang permukiman jemaah Ahmadiyah di Kampung Neglasari, Sukadana, Kecamatan Cempaka, Cianjur. 2008 silam, Rumah Produksi Maxima Picture yang mengajak bintang film porno Jepang, Maria Ozawa, untuk bermain dalam film Menculik Miyabi juga tak lepas dari aksi massa FPI. Bahkan, dari 2002 hingga 2005, FPI menutup paksa sejumlah gereja di Bandung. Kasus teranyar, FPI mengancam akan menggulingkan kekuasaan Presiden SBY. Kasus penyerangan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik beberapa hari sebelumnya pun diduga kuat didalangi oleh FPI. Dalam laporan utama edisi 21-27 Februari 2011, MBM Tempo mengaitkan FPI dengan insiden berbau suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA) tersebut: Inilah “sekuel” tetap setelah kekerasan dilakukan kelompok yang membawa bendera agama. Kali ini penyerangan dilakukan terhadap pengikut Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, yang menewaskan tiga orang. Dua hari setelahnya, perusakan gereja dilakukan di Temanggung, Jawa Tengah. Mengomentari dua kekerasan itu, kepala Negara memerintahkan penegak hukum “mencari jalan hukum” bagi pembubaran organisasi yang melakukan tindakan anarkistis (MBM Tempo, 21-27 Februari 2011). Selain kutipan berita di atas, Tempo juga menuliskan: Andhika Perdana - Pemberitaan Front Pembela Islam Dalam... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 5 of 20
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
Dan kekerasan terus saja berulang. Pada tragedi Cikeusik, Ujang Arif bin Surya alias Ujang Bengkung diduga terlibat dalam penyerangan. Ia merupakan Ketua Front Pembela Islam Pandeglang. “Saya kenal lama dengannya,” kata Achmad Dimyati Natakusumah, mantan Bupati Pandeglang, yang kini jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Persatuan Pembangunan (MBM Tempo, 21-27 Februari 2011). Penulis tertarik meneliti hal yang telah dipaparkan di atas karena Tempo meng-expose FPI dengan aksi-aksi mereka yang dinilai anarkis dalam lingkungan masyarakat Indonesia. Pemberitaan dominan mengenai FPI tersebut diturunkan Tempo dengan banyak menggunakan sumber beserta narasumber dari pihak yang berseberangan dengan FPI. Penulis juga memperhatikan MBM Tempo hanya mengangkat FPI sebagai ormas yang berontak terhadap rencana Presiden untuk membubarkan ormas yang bertindak anarkis. Padahal, dalam MBM Gatra edisi 15/XVII 2 Maret 2011, tidak hanya FPI yang angkat suara untuk menggulingkan Presiden dari tampuk kepemimpinannya, tetapi juga Gerakan Reformis Islam (Garis) dan Badan Pembinaan Potensi Keluarga Besar Banten (BPPKB). Selain itu, Penulis juga tidak melihat Tempo mengangkat kasus-kasus seperti kerusuhan dalam sidang kasus penistaan agama di Temanggung, Jawa Tengah, dan penyerangan sekelompok orang terhadap Pondok Pesantren Yapi di Pasuruan, Jawa Timur, dalam laporan utamanya, melainkan hanya menaruhnya pada halaman politik. Menelaah kecenderungan pemberitaan MBM Tempo terhadap FPI akan memberikan perspektif baru tentang bagaimana media mengemas berita. Untuk itu, penulis merasa perlu untuk meneliti pemberitaan MBM Tempo dalam menyikapi FPI. Penulis ingin melihat bagaimana ideologi media dalam mengonstruksi realitas, melakukan seleksi dan penonjolan isu, hingga memberikan suatu label tertentu terhadap suatu individu maupun kelompok. Akhirnya, untuk mengetahui bagaimana MBM Tempo melakukan seleksi isu dalam kasus FPI, penulis memilih untuk menggunakan pendekatan analisis bingkai (framing) model Robert N. Entman dalam membedah masalah yang diungkapkan di atas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses seleksi isu dan penonjolan informasi tertentu dalam suatu berita. Oleh karena itu, penulis memilih analisis framing sebagai alat bedah yang sesuai. Lebih spesifik lagi, penulis akan menggunakan model analisis framing Robert N. Entman. Menurut Entman, framing merupakan konsep yang menggambarkan proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapat alokasi yang lebih besar daripada isu yang lain. Framing memberikan tekanan lebih pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan yang Front ditonjolkan dan dianggap Andhika bagian Perdana -mana Pemberitaan Pembela Islam Dalam... penting oleh pembuat teks. Kata penonjolan di Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id Page 6 of 20
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
sini dapat didefinisikan sebagai usaha membuat informasi terlihat lebih jelas, lebih bermakna, atau lebih mudah diingat oleh pembaca. Salah satu bentuk penonjolan dapat berupa pengulangan informasi yang dianggap penting, menempatkan satu informasi lebih menonjol dibanding yang lain atau lebih mencolok. Dengan begitu sebuah informasi lebih mudah terlihat, diperhatikan, dan ditafsirkan karena berhubungan dengan skema pandangan khalayak. Dalam framing Entman, terdapat dua hal utama yang harus diperhatikan. Pertama adalah seleksi isu. Seleksi isu atau pemilihan fakta merupakan sebuah proses yang di dalamnya terkandung usaha untuk memasukkan suatu informasi, serta usaha untuk mengeluarkan informasi. Media massa tidak akan memasukkan semua informasi dalam tulisannya. Hal kedua adalah penonjolan aspek tertentu atas suatu isu atau informasi. Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu dari suatu peristiwa telah dipilih, media massa akan memikirkan cara isu tersebut ditampilkan dalam tulisannya. Hal ini akan berkaitan dengan pemilihan kata, kalimat, gambar, dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak. Penulis menggunakan analisis framing model Robert N. Entman karena dapat digunakan untuk meneliti beberapa konsep, seperti otonomi khalayak, praktik jurnalistik, analisis isi, dan pendapat umum. Analisis framing kerap dipakai dalam berbagai bidang studi yang beragam, satu faktor yang menghubungkannya adalah bagaimana teks komunikasi yang disajikan, bagaimana representasi yang ditampilkan secara menonjol memengaruhi khalayak. Pertama, otonomi khalayak. Bagaimana khalayak menafsirkan dan mengkode simbol dan pesan yang diterima. Bagaimana sebuah teks dibaca secara dominan oleh kahalayak, dan kenapa teks dibaca dengan cara pandang tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Kedua, praktik jurnalistik. Ranah penelitian ini misalnya melihat bagaimana frame memengaruhi kerja wartawan. Apa yang diperhatikan oleh wartawan pertama ketika ia meliput peristiwa, mengapa ia melihat aspek tertentu, alasan apa yang menyebabkan ia melihat dengan cara tertentu dan bukan dengan cara lain. Bagaimana wartawan membuat satu informasi lebih penting dan menonjol dibandingkan informasi lain, faktor-faktor apa yang menyebabkannya, dan sebagainya. Ketiga, analisis isi. Dalam analisis isi tradisional, yang diukur oleh peneliti adalah bagaimana kecenderungan pemberitaan suatu media, apakah positif ataukah negatif, dari suatu teks. Andhika Perdana - Pemberitaan Front Pembela Islam Dalam... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 7 of 20
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
Keempat, pendapat umum. Penelitian dalam ranah ini sangat banyak, misalnya dalam jajak pendapat, bagaimana pertanyaan yang disusun dengan frame tertentu memengaruhi jawaban khalayak. Dalam konsep framing-nya, Entman memaparkan empat perangkat. Perangkat pertama adalah pendefinisian masalah. Perangkat ini merupakan perangkat utama dengan menekankan pemahaman wartawan terhadap sebuah peristiwa. Suatu peristiwa dapat dipahami secara berbeda. Hal ini akan menyebabkan bentukan realitas yang berbeda pula. Perlu diingat, pemahaman yang berbeda hanya menggambarkan kemungkinan banyaknya penafsiran dan pemaknaan. Perangkat kedua adalah memperkirakan sumber masalah. Perangkat ini digunakan untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor suatu peristiwa. Penyebabnya bisa berupa apa (what), dan juga bisa berupa siapa (who). Di samping berusaha membingkai penyebab masalah, perangkat ini juga membingkai korban peristiwa. Membuat keputusan moral merupakan perangkat ketiga dari konsep framing Entman. Perangkat ini dipakai untuk membenarkan atau memberi argumentasi pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Saat masalah sudah didefinisikan dan sumber masalah telah ditentukan, dibutuhkan serentetan argumentasi yang baik untuk mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip berhubungan dengan sesuatu yang akrab dan dikenal oleh khalayak. Perangkat terakhir adalah menekankan penyelesaian. Perangkat ini dipakai untuk menilai solusi mana yang dikehendaki wartawan. Penyelesaian itu sangat bergantung kepada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah. Analisis framing model Entman memberikan perhatian besar terhadap peristiwa yang mengandung konflik dua pihak. Saat kedua pihak terlibat konflik, masing-masing pihak memiliki versi masing-masing dalam memandang akar persoalan. Sebagai ujung tombak informasi terhadap khalayak, media memiliki peran penting untuk menjelaskan duduk perkara kepada pembaca. Namun, saat media memiliki kecenderungan kepada salah satu pihak yang berkonflik, maka kecenderungan tersebut akan memengaruhi media dalam memahami persoalan. Disebabkan sifat dan fakta bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Bisa dipahami kemudian jika realitas yang ditampilkan media massa adalah realitas yang sudah diseleksi – realitas tangan kedua (second hand reality) (Rakhmat, 2001: 224). Andhika Perdana - Pemberitaan Front Pembela Islam Dalam... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 8 of 20
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
Istilah konstruksi realitas terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter Ludwig Berger dan Thomass Luckmann melalui bukunya The Social Construction of Reality; A Treatise in the Sociological of Knowledge (1966). Menurut Berger dan Luckmann, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Konstruksi sosial dalam pandangan mereka tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan. Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas yang digagas Berger dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semisekunder. Basis sosial teori dan pendekatan ini adalah masyarakat transisi-modern di Amerika sekitar tahun 1960-an di mana media massa belum menjadi sebuah fenomena yang menarik dibicarakan. Dengan demikian teori konstruksi sosial atas realitas Berger dan Luckmann tidak memasukkan media massa sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas (Bungin, 2008: 193-194). Terkait penelitian ini yang menggunakan media massa sebagai salah satu fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi realitas sosial atas realitas, maka teori dan pendekatan Berger dan Luckmann tersebut dianggap memiliki kelemahan dan kurang mampu menjawab isi penelitian secara keseluruhan. Burhan Bungin, melalui Konstruksi Sosial Media Massa: Realitas Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalis (2000), merevisi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Berger dan Luckmann dengan melihat variabel atau fenomena media massa menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi, subjektivasi, dan internalisasi. Substansi “teori konstruksi sosial media massa” adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis. Posisi “konstruksi sosial media massa” adalah mengoreksi substansi kelemahan dan melengkapi “konstruksi sosial atas realitas”, dengan menempatkan seluruh kelebihan media massa dan efek media pada keunggulan “konstruksi sosial media massa” atas “konstruksi sosial atas realitas”. Media massa tidak bisa dianggap berwajah “netral” dalam memberikan jasa informasi dan hiburan kepada khalayak pembaca. Media massa tidak hanya dianggap sekadar sebagai hubungan antara pengirim pesan pada satu pihak dan penerima pesan pada pihak lain. Lebih dari itu semua media dilihat sebagai produksi dan pertukaran makna (Sobur, 2001: 92). Andhika Perdana - Pemberitaan Front Pembela Islam Dalam... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 9 of 20
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
Ketika mengangkat peristiwa dalam agendanya, media dipengaruhi berbagai kepentingan internal maupun eksternal. MBM Tempo, dalam laporan utama edisi 21-27 Februari 2011, mengangkat pemberitaan FPI melawan Presiden SBY. Tempo, dengan ideologinya, menurunkan pemberitaan dominan mengenai FPI dan memberikan definisi tertentu kepada organisasi tersebut. Deddy Mulyana dalam Kata Pengantar Analisis Framing (Eriyanto, 2002: x) dengan memakai paradigma Peter D. Moss, mengatakan wacana media massa merupakan konstruks kultural yang dihasilkan ideologi karena berita menggunakan kerangka tertentu untuk memahami realitas sosial. Narasi dalam media massa memberi definisi-definisi tertentu mengenai kehidupan manusia: siapa pahlawan dan siapa penjahat; apa yang baik dan apa yang buruk bagi rakyat; apa yang layak dan apa yang tidak layak untuk dilakukan seorang pemimpin; tindakan apa yang disebut perjuangan dan pemberontakan atau terorisme; isu apa yang relevan dan tidak; alasan apa yang masuk akal dan tidak; dan solusi apa yang harus diambil dan ditinggalkan. Menurut Stuart Hall dalam Eriyanto (2001: 27), media menjalankan perannya membentuk konsensus dalam masyarakat serta melakukan representasi kelompok lain melalui proses yang kompleks, sehingga memunculkan pendefinisian dan penandaan suatu kelompok yang buruk dalam suatu pemberitaan. Citra buruk itu kemudian direpresentasikan media sebagai sesuatu yang wajar apa adanya, terlihat alamiah dan realistis. Hall melanjutkan, media menjadi kunci utama dalam pertarungan kekuasaan di masyarakat, di mana nilai-nilai kelompok dominan dimapankan, dibuat berpengaruh dan menentukan apa yang diinginkan oleh khalayak (Eriyanto, 2001: 29). Dalam teori spiral keheningan (spiral of silence theory), seseorang dari kelompok minoritas yang sedang berada dalam lingkungan kelompok mayoritas sering merasa perlu untuk mengubah pendiriannya karena kalau tidak mengubah pendiriannya dia akan merasa sendiri dan dikucilkan. Dia merasa perlu diam seandainya pendapat mayoritas bertolak belakang dengan, bahkan ia sering merasa perlu untuk mengubah pendirian sesuai dengan kelompok mayoritas dimana dia berada (http://nurudin.staff.umm.ac.id/2010/01/21/teorispiral-keheningan-spiral-of-silence-theory/, diakses 15 April 2012) Teori spiral keheningan diperkenalkan oleh Elizabeth Noelle-Neumann, seorang professor emeritus penelitian komunikasi dari Institute fur Publiziztik Jerman. Teori ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1984 melalui tulisannya yang berjudul The Spiral of Silence. Secara ringkas teori ini ingin menjawab pertanyaan, mengapa orang-orang dari minoritas sering Islam merasa Andhika kelompok Perdana - Pemberitaan Front Pembela Dalam...perlu Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
untuk menyembunyikan pendapat
dan Page 10 of 20
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
pandangannya ketika berada dalam kelompok mayoritas? Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa seseorang sering merasa perlu menyembunyikan “sesuatu”-nya ketika berada dalam kelompok mayoritas karena takut merasa terisolasi dan dipinggirkan. Pada penelitian ini, FPI diposisikan sebagai kelompok minoritas. MBM Tempo sebagai media massa mempertegas dan memapankan hal tersebut dengan memasukkan pemerintah beserta masyarakat yang kontra FPI sebagai sumber berita. Terkait teori spiral keheningan, FPI tidak mampu mengungkapkan pendapat mereka karena media massa, pemerintah dan masyarakat telah membentuk suatu kelompok sendiri, yakni kelompok dominan/mayoritas. Mereka terpaksa harus menerima apapun pendapat yang disampaikan kelompok mayoritas tentang organisasi mereka. Ketika FPI melakukan tindakan yang bisa dikatakan “kekerasan” di lingkungan masyarakat dan kemudian hal tersebut diberitakan oleh media massa, khalayak media akan mengambil sikap dan mengeluarkan pendapat beragam sesuai persepsi mereka masingmasing. Ada yang mengutuk tindakan FPI, ada yang memihak hal itu dengan mengatakan tindakan FPI merupakan suatu kewajaran, dan ada pula yang biasa saja menanggapi kejadian itu. Kajian ini dinamakan social judgment theory (teori pendapat sosial). Social judgment theory diperkenalkan oleh Muzafer Sherif, seorang ahli psikologi dari University of Oklahoma. Teori ini menjelaskan bahwa khalayak media massa akan langsung memberikan pendapat saat mendengarkan atau membaca suatu berita. Pendapat serta persepsi khalayak tersebut timbul melalui alam bawah sadar sesuai sudut pandang mereka masingmasing saat ini. Sherif melihat sikap khalayak terhadap suatu kasus sebagai percampuran tiga zona, yakni latitude of acceptance (kebebasan untuk menerima), latitude of rejection (kebebasan untuk menolak), dan latitude of noncommitment (kebebasan untuk tidak menyatakan pendapat). Sherif melakukan studi terkait hal tersebut dan mendapatkan simpulan bahwa persepsi perseorangan bisa berubah secara dramatis karena dipengaruhi persepsi kelompok (Griffin, 2003: 187). Pembingkaian suatu berita mempunyai andil yang cukup besar dalam memengaruhi opini publik. Ideologi yang dipegang oleh tiap-tiap media massa setidaknya akan mempunyai andil dalam menentukan bagaimana suatu berita nantinya disajikan kepada khalayak. Media massa cenderung menyajikan berita yang dapat mendukung ideologi yang dipegangnya. Proses kerja pembentukan dan produksi berita bukanlah sesuatu yang netral, melainkan ada bias ideologi yang secara sadar atau tidak sadar tengah dipraktikkan oleh wartawan dan media massa (Eriyanto, 2002: 136). Klaus Bruhn Jensen lebih lanjut kecenderungan ini:Islam Dalam... Andhika menjelaskan Perdana - Pemberitaan Front Pembela Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 11 of 20
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
Bagaimana kita melihat peristiwa dengan kacamata dan pandangan tertentu, dalam arti luas adalah sebuah ideologi. Sebab dalam proses melihat dan menandakan peristiwa tersebut, kita menggunakan titik melihat tertentu. Titik atau posisi melihat itu menggambarkan bagaimana peristiwa dijelaskan dalam kerangka berpikir tertentu (Eriyanto, 2002: 130-131). Atas dasar ini, kaum konstruksionis, mengenal adanya realitas yang sesungguhnya dan realitas media massa. Analisis framing, membantu kita untuk mengetahui bagaimana peristiwa yang sama itu dikemas secara berbeda oleh media massa sehingga menghasilkan berita yang berbeda pula. Pembahasan Masalah Framing berkaitan dengan opini publik. Isu tertentu ketika dikemas dengan bingkai tertentu bisa mengakibatkan pemahaman khalayak yang berbeda atas suatu isu. Framing atau isu umumnya banyak dipakai dalam literatur gerakan sosial. Dalam suatu gerakan sosial, ada strategi bagaimana supaya khalayak mempunyai pandangan yang sama atas suatu isu. Hanya dengan itu, khalayak bisa digerakkan dan dimobilisasi. Sekarang ini, dengan semakin tingginya mobilitas serta aktivitas khalayak, pembaca media terkena apa yang disebut “headline syndrome”. Pembaca seperti ini adalah jenis pembaca yang lebih suka menelusuri judul berita ketimbang membaca berita secara keseluruhan. Akibatnya jelas, pembaca menafsirkan berita hanya dengan membaca judul beritanya saja (Sobur, 2002: 168). MBM Tempo memberi judul beritanya seperti “Ada Front di Cikeusik”. Dengan judul seperti itu, penulis menilai MBM Tempo telah menggiring pembaca untuk mengikuti jalan pemikiran dan pendapat media itu, yakni FPI terlibat dalam penyerangan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik. Begitu dahsyatnya pengaruh media massa maupun pemerintah yang mampu membentuk suatu kelompok mayoritas di lingkungan masyarakat, membuat kelompok minoritas – dalam kasus ini adalah FPI – terpaksa diam dan tidak bisa mengungkapkan pendapat yang berbeda. Saat FPI berusaha untuk berpendapat, maka pendapat mereka pun tidak akan mampu mengubah keadaan bahwa mereka terlibat dalam kasus tersebut. Media, masyarakat, dan pemerintah telah membentuk opini tersendiri yang sangat sulit untuk diubah kelompok minoritas seperti FPI. Apabila menilik sisi objektivitas, FPI belum tentu menjadi aktor utama penyerangan cuma karena adanya beberapa oknum anggotanya yang terlibat dalam kasus tersebut. Berbicara mengenai objektivitas seperti yang disampaikan John C. Merill dalam Eriyanto (Pantau, 2000), semua kerja jurnalistik pada dasarnya adalah objektivitas yang Andhika Perdana - Pemberitaan Front Pembela Islam Dalam... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 12 of 20
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
mustahil karena semua kerja jurnalistik adalah subjektivitasnya dalam proses pencarian berita. Efek framing yakni mendefinisikan realitas tertentu lalu melupakan definisi lain atas realitas, penonjolan aspek tertentu kemudian pengaburan aspek lain, penyajian sisi tertentu serta penghilangan sisi lain dan pemilihan fakta tertentu dengan mengabaikan fakta lain. Berdasarkan hasil analisis framing dari empat aspek define problems, diagnose causes, make moral judgement, dan treatment recommendation, maka berita-berita yang dibahas dalam MBM Tempo dapat dipandang dari dua dimensi besar framing menurut Robert N. Entman, yaitu seleksi isu dan penonjolan aspek tertentu dari isu yang dibahas. Pada saat yang bersamaan dengan konflik FPI dengan pemerintah, terjadi beberapa kasus penting seperti kerusuhan dalam sidang kasus penistaan agama di Temanggung, Jawa Tengah, dan penyerangan sekelompok orang terhadap Pondok Pesantren Yapi di Pasuruan, Jawa Timur. Aspek seleksi isu MBM Tempo dapat dilihat di sini karena menepikan pemberitaan-pemberitaan tersebut dengan hanya menaruhnya pada rubrik politik. Pemberitaan yang dipinggirkan MBM Tempo tersebut bukannya tidak penting. CRSC UGM mencatat tak kurang dari 20 kasus penodaan berbagai agama, bukan hanya Islam, terjadi sepanjang 2010. Laporan International Crisis Group (ICG), November 2010, mengingatkan bahwa faktor "kristenisasi" harus menjadi perhatian di balik menguatnya aksi kekerasan itu. Ketegangan agama, menurut ICG, antara lain dipicu penginjilan agresif di daerah muslim, seiring dengan tumbuhnya Islam garis keras yang mudah main hakim sendiri. Itulah yang kini terjadi di Temanggung. Sidney Jones, penasihat senior ICG, mengingatkan bahwa selama ini perhatian cenderung berat sebelah, hanya kepada elemen fundamentalis dalam Islam, sedangkan faksi fundamentalis dalam Kristen kurang mendapat perhatian. Tiap konflik agama meletup, pemerintah selalu menjanjikan evaluasi menyeluruh. Tapi modus sejenis terus berulang, bagaikan cerita bersambung tanpa ujung. Terkait elemen-elemen jurnalisme, pemberitaan yang diturunkan MBM Tempo mengenai Front Pembela Islam tidak seutuhnya mencakup semua elemen yang tertuang dalam Sembilan Elemen Jurnalisme (Bill Kovach, 2001: 5). Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. MBM Tempo menunjukkan akurasi yang cukup baik dalam pemberitaannya dengan menuliskan fakta dan data yang masuk akal. Namun, dua dimensi seleksi isu dan penonjolan aspek pada analisis framing Robert N. Entman membuktikan bahwa beberapa kebenaran dalam kasus real justru dihilangkan. MBM Tempo tidak Andhika Perdana - Pemberitaan Front Pembela Islam Dalam... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 13 of 20
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
membiarkan khalayak bereaksi dan menyeleksi pemberitaan, tetapi justru mengarahkan khalayak untuk mengikuti pendapat mereka. Jurnalisme harus menyiarkan berita komprehensif dan proporsional. Dalam hal ini, MBM Tempo kurang memberikan porsi yang cukup kepada pihak FPI sebagai objek pemberitaan. Sumber berita dan narasumber justru lebih banyak hadir dari pihak pemerintah. Hal ini menimbulkan ketimpangan karena FPI tidak bisa banyak berbicara dan berpendapat. Sebaliknya, pemerintah dan warga masyarakat lebih banyak mendapatkan porsi untuk berbicara mengenai FPI beserta kekerasan yang dilakukannya. Penulis berpendapat, beberapa elemen jurnalisme di atas tidak seutuhnya bisa dipenuhi MBM Tempo. Dalam beritanya, MBM Tempo tidak hanya menulis tentang kekerasan FPI, tetapi juga mengenai langkah pemerintah dalam membubarkan organisasi tersebut. Hal ini disebabkan oleh tak kunjung terealisasinya ancaman pemerintah yang akan membekukan bahkan membubarkan organisasi massa yang melakukan tindak kekerasan dalam setiap aksinya. Kekerasan FPI sendiri dijadikan MBM Tempo sebagai newspeg untuk mengantar ke dalam liputan mengenai langkah-langkah pemerintah menindak organisasi massa anarkis. Dalam konstruksi sosial media massa, tahap awalnya adalah menyiapkan materi konstruksi. Isu-isu penting setiap hari menjadi fokus media massa, terutama yang berhubungan dengan kedudukan (takhta), harta, dan perempuan. Salah satu fokus masalah kedudukan adalah pejabat dan kinerja birokrasi (Bungin, 2008: 195). Dalam pemberitaan ini, MBM Tempo telah menyiapkan materi konstruksi berupa Presiden dan jajarannya di pemerintahan sebagai objek pemberitaan. Di sana Presiden dan bawahannya dikaitkan dengan beberapa hal, yakni perseteruan mereka dengan FPI dan langkah-langkah mereka untuk membubarkan organisasi sejenis FPI. Selain itu, fokus media massa juga mengarah pada persoalan sensitif di dalam masyarakat. Persoalan sensitif tersebut bisa berupa isu-isu yang meresahkan masyarakat atau agama tertentu (Bungin, 2008: 196). Terlihat jelas bahwa tindakan anarkis FPI terhadap penganut Ahmadiyah di Cikeusik merupakan masalah sensitif yang meresahkan kelompok masyarakat tertentu. Pada tahap sebaran konstruksi, MBM Tempo sebagai media massa cetak menggunakan model satu arah, di mana mereka meyodorkan informasi sementara konsumennya tidak memiliki pilihan lain kecuali mengonsumsi informasi itu. Informasi yang diberitakan MBM Tempo berupa persoalan FPI dengan Presiden tidak akan bisa disanggah pembaca. Pembaca tidak akan mampu menyampaikan keberatannya apabila tidak setuju yang diturunkan MBM Tempo. Selain itu, persoalan FPI yang berseteru Andhika dengan Perdana - pemberitaan Pemberitaan Front Pembela Islam Dalam... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id Page 14 of 20
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
dengan Presiden tidak akan mudah basi karena tindakan yang dilakukan FPI dan ancaman yang diberikan Presiden merupakan sesuatu yang pernah terjadi sebelumnya dan masih belum ada pemecahan terhadap masalah tersebut hingga saat ini. Pada tahap pembentukan konstruksi realitas, MBM Tempo membentuk konstruksi realitas pembenaran. MBM Tempo membuat masyarakat cenderung membenarkan apa saja yang disajikannya di dalam berita. Terkait pemberitaan mengenai FPI, informasi dalam berita tersebut memiliki otoritas sikap untuk membenarkan kejadian yang ada di dalamnya. Dalam konstruksi sosial media massa, sebuah media massa juga bisa memberikan suatu citra kepada objek berita. Pada pemberitaan mengenai FPI, MBM Tempo memberikan model bad news kepada organisasi tersebut. Model bad news merupakan sebuah konstruksi yang cenderung memberi citra buruk pada objek pemberitaan sehingga terkesan lebih jelek, lebih buruk, lebih jahat dari sesungguhnya sifat jelek, buruk, dan jahat yang ada pada objek pemberitaan itu sendiri (Bungin, 2008: 199). FPI merupakan kelompok minoritas yang kurang bisa untuk bersuara dan mengeluarkan pendapat dalam lingkungan masyarakat. Pada saat mengeluarkan pendapat – dalam kasus ini mengancam untuk menggulingkan Presiden SBY dari kursi kepresidenannya – FPI justru semakin tidak didengarkan dan malah dicap organisasi anarkis oleh pemerintah. Citra organisasi anarkis itu semakin diperkuat MBM Tempo dalam tulisannya. Semakin FPI bersuara dan mengeluarkan pendapatnya, citra buruk yang didapatnya semakin kuat karena perbedaan kekuatan dan ruang untuk mengeluarkan pendapat dengan kelompok mayoritas – dalam hal ini pemerintah, masyarakat kontra FPI dan media massa. Dalam teori spiral keheningan, seseorang dari kelompok minoritas yang sedang berada dalam lingkungan kelompok mayoritas sering merasa perlu untuk mengubah pendiriannya karena kalau tidak mengubah pendiriannya dia akan merasa sendiri dan dikucilkan. Dia merasa perlu diam seandainya pendapat mayoritas bertolak belakang dengan, bahkan ia sering merasa perlu untuk mengubah pendirian sesuai dengan kelompok mayoritas dimana dia berada. Nurudin, dalam bukunya Pengantar Komunikasi Massa, menjelaskan bahwa teori spiral keheningan menitikberatkan peran opini dalam interaksi sosial. Sebagaimana kita ketahui, opini publik sebagai sebuah isu kotroversial akan berkembang pesat manakala dikemukakan lewat media massa. Ini berarti opini publik orang-orang juga dibentuk, disusun, dikurangi oleh peran media massa. Dalam pemberitaan mengenai FPI, MBM Tempo secara jelas membentuk, menyusun, mengurangi Opini-opini dari pemerintah dan masyarakat kontra Andhika dan Perdana - Pemberitaanopini-opini Front Pembelayang Islamada. Dalam... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id Page 15 of 20
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
FPI dibentuk dan disusun sedemikian rupa sehingga terlihat begitu kuat untuk mengecilkan arti FPI. Kenyataannya, banyak sumber dan narasumber yang muncul sepanjang pemberitaan MBM Tempo mengenai FPI. Sedangkan opini-opini dari FPI sedemikian rupa dikurangi sehingga memunculkan gambaran FPI merupakan kelompok lemah yang mencoba untuk bersuara lantang. Dalam kerangka kerja dasar teori spiral keheningan, orang-orang dalam kelompok mayoritas memiliki kecenderungan untuk berpendapat lebih banyak karena suara mereka seperti ada jaminan untuk diterima. Pemberitaan MBM Tempo menunjukkannya dengan menaruh banyak opini dari masyarakat dan pemerintah. Kerangka kerja dasar lainnya menjelaskan bahwa ada ketakutan tersendiri dari kelompok minoritas untuk berpendapat karena ada kemungkinan mereka akan dipinggirkan dan diisolasi apabila mengeluarkan pendapat tersebut. FPI di sini justru mencoba melawan ketakutan itu dengan bersuara lantang terhadap pemerintah. Dampaknya langsung terlihat, yakni MBM Tempo sebagai media massa mengonstruksi opini pemerintah dan masyarakat sehingga menunjukkan kalau FPI dipinggirkan dari lingkungan masyarakat. Teori spiral keheningan juga memiliki kerangka kerja dasar berupa orang-orang terkenal akan lebih memiliki banyak ruang untuk berpendapat daripada orang biasa. Hal ini terlihat dari opini Presiden dan pihak pemerintah lainnya yang begitu banyak tercantum dalam pemberitaan. Berbanding terbalik dengan opini-opini yang dimiliki FPI sebagai sekelompok masyarakat biasa yang tidak memiliki kekuatan. Pemberitaan MBM Tempo mengenai FPI ini akan menciptakan suatu realitas semu. Realitas semu di sini adalah FPI merupakan kelompok anarkis yang sering melakukan kekerasan dalam lingkungan masyarakat. Realitas semu tersebut bisa langsung mengubah persepsi masyarakat terhadap kelompok FPI. Setelah membaca pemberitaan di MBM Tempo, orang-orang dalam lingkungan masyarakat yang pada mulanya memiliki perbedaan pendapat mengenai FPI, secara dramatis akan memiliki satu simpulan mengenai FPI, yakni organisasi anarkis. Perubahan opini tersebut merupakan bagian dari teori pendapat sosial (social judgment theory). Social judgment theory menjelaskan bahwa khalayak media massa akan langsung memberikan pendapat saat mendengarkan atau membaca suatu berita. Pendapat serta persepsi khalayak tersebut timbul melalui alam bawah sadar sesuai sudut pandang mereka masingmasing saat ini. Muzafer Sherif, penggagas teori ini melihat sikap khalayak terhadap suatu kasus sebagai percampuran tiga zona, yakni latitude of acceptance (kebebasan untuk Andhika Perdana - Pemberitaan Front Pembela Islam Dalam... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 16 of 20
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
menerima), latitude of rejection (kebebasan untuk menolak), dan latitude of noncommitment (kebebasan untuk tidak menyatakan pendapat). Khalayak media akan selalu berada dalam tiga zona tersebut. Khalayak yang berada dalam zona latitude of acceptance cenderung menerima kenyataan FPI merupakan organisasi anarkis. Khalayak dalam zona latitude of rejection akan menolak anggapan tersebut karena menilai tindakan FPI tersebut layak untuk dilakukan demi menjaga eksistensi dan tujuan organisasi tersebut. Mereka menilai FPI sah-sah saja bertindak seperti itu karena menganggap itu sebagai suatu kebenaran. Ada pula khalayak yang abstain dan dikategorikan ke dalam zona latitude of noncommitment. Namun, teori spiral keheningan menunjukkan betapa kuatnya suara kelompok mayoritas. Dalam hal ini, kelompok mayoritas merujuk pada pemerintah dan masyarakat kontra FPI yang menerima kenyataan bahwa FPI merupakan organisasi anarkis. Untuk menjelaskan hal ini lebih lanjut dan agar lebih memudahkan dalam membandingkan frame pemberitaan MBM Tempo, di bawah ini akan digambarkan dan diuraikan rangkuman analisis framing ketiga berita pada laporan utama MBM Tempo. MBM Tempo mendefinisikan masalah perseteruan dan perang kata antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Front Pembela Islam sebagai masalah hukum. FPI melontarkan ancaman akan menggulingkan kepemimpinan Presiden apabila organisasi mereka dibekukan/dibubarkan dan keinginan mereka akan pembubaran Ahmadiyah tidak dipenuhi. Melalui sumber berita dari pihak pemerintah, MBM Tempo menilai bahwa tindakan tersebut dapat mengarah kepada tindakan makar apabila diikuti aplikasi nyata. Sekalipun tidak diikuti dengan tindakan nyata, hal itu masih tetap bisa dijerat hukum, yakni pasal penghasutan. Dalam isu pembubaran organisasi massa yang dianggap anarkis, MBM Tempo seakan melupakan keterlibatan organisasi massa selain FPI. Padahal organisasi massa semacam Gerakan Reformis Islam (Garis), Badan Pembinaan Potensi Keluarga Besar Banten (BPPKB), Forum Betawi Rempug (FBR), dan beberapa ormas lainnya juga sering terlibat dalam tindak kekerasan dalam lingkungan masyarakat. Ormas-ormas tersebut juga ikut bersuara pada saat Presiden mengancam akan membubarkan organisasi massa yang bertindak anarkis di lingkungan masyarakat. MBM Tempo menempatkan FPI sebagai aktor penyebab masalah yang terjadi di dalam berita. Pemerintah, lebih spesifik Presiden, hanya menjadi korban ancaman FPI. Awalnya, tindakan pemerintah yang ingin membekukan bahkan membubarkan organisasi anarkis merupakan penyebab FPI menyuarakan ancaman. Namun, apa yang dilakukan Andhika Perdana - Pemberitaan Front Pembela Islam Dalam... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 17 of 20
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
pemerintah tersebut merupakan imbas dari tindakan anarkis FPI yang telah terjadi sebelumnya. Setelah melakukan kekerasan di lingkungan masyarakat, FPI juga mengancam akan menggulingkan kepemimpinan Presiden. Hal itu membuat MBM Tempo menyimpulkan kalau FPI pantas menyandang label organisasi anarkis. MBM Tempo juga menggambarkan pemerintah sebagai pihak yang lalai dan tidak tegas dalam menertibkan organisasi anarkis. Berulang kali mengancam akan membubarkan organisasi tersebut, pemerintah tak kunjung merealisasikan ancaman mereka itu hingga saat ini. Padahal permasalahan itu tercantum dalam undang-undang. Namun, undang-undang itu sendiri juga kurang sesuai dengan sistem kenegaraan saat ini. Ditambah badan legislatif dan yudikatif tidak terlihat kooperatif dalam masalah ini sehingga pemerintah terlihat menanggung beban itu sendirian. MBM Tempo terlihat lebih memilih untuk mengarahkan pembaca kepada pembekuan atau pembubaran FPI sebagai pemecahan masalah. MBM Tempo to-the-point menyatakan FPI harus dibekukan atau dibubarkan. Sedangkan kepada Ahmadiyah, MBM Tempo, melalui mulut pemerintah, memberikan opsi yang kemungkinan masih bisa dipilih salah satunya oleh Ahmadiyah.
Simpulan MBM Tempo menaruh perhatian khusus mengenai tindakan-tindakan yang telah dilakukan Front Pembela Islam dalam lingkungan masyarakat beberapa waktu terakhir. MBM Tempo menaruh pemberitaan perseteruan FPI dengan Presiden SBY sebagai newspeg dengan tujuan untuk masuk ke dalam pembahasan lain, yakni tentang kekerasan-kekerasan yang dilakukan FPI dan pembekuan/pembubaran organisasi massa yang sering bertindak anarkis. MBM Tempo juga mengaitkan kasus penyerangan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik dengan keterlibatan FPI. Berita-berita terkait FPI tersebut sebagai laporan utama dan ditaruh pada cover majalah pada edisi 21-27 Februari 2012. Penulis menilai MBM Tempo secara jelas membentuk, menyusun, dan mengurangi opini-opini yang ada. Opini-opini dari pemerintah dan masyarakat kontra FPI dibentuk dan disusun sedemikian rupa sehingga terlihat begitu kuat, dan pernyataan-pernyataan dari pihak FPI disusun hanya sebagai pelengkap jalan cerita dari berita yang diturunkan. Suara lantang FPI tidak akan berarti apa-apa karena media dan pemerintah telah mengajak masyarakat untuk membentuk suatu kelompok dengan posisi yang kuat dalam berpendapat. Apapun pendapat mereka terhadap FPI akan menjadi suatu realitas yang tak mampu ditepis. Jalan Andhika Perdana - Pemberitaan Front Pembela Islam Dalam... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 18 of 20
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
satu-satunya yang bisa dilakukan FPI dalam hal ini adalah diam. Saat FPI mengeluarkan pendapat dan pembelaan diri, hal itu tidak mengubah apapun. Dalam penelitian ini, penulis melihat bagaimana MBM Tempo memberitakan FPI serta kaitannya dengan kasus Cikeusik dan munculnya isu pembubaran organisasi massa anarkis. Dari beberapa teks berita yang dianalisis oleh penulis dengan menggunakan analisis framing model Robert N. Entman, diketahui bahwa MBM Tempo memiliki frame bahwa FPI terlibat dalam kasus penyerangan jemaah Ahmadiyah. Kehadiran Ketua FPI Pandeglang Ujang Bengkung dalam penyerangan tersebut dan kesaksisan beberapa warga masyarakat yang mempunyai hubungan dengan Ujang Bengkung menguatkan frame MBM Tempo itu. Tindak kekerasan yang dilakukan FPI membuat MBM Tempo menilai organisasi tersebut layak untuk dibubarkan. Namun, Presiden SBY dan pemerintah sebagai pihak yang memiliki otoritas untuk membubarkan organisasi anarkis dinilai lalai dalam mengambil langkah. Secara menyeluruh, penulis menyimpulkan MBM Tempo kurang netral dalam menyajikan pemberitaan. Pemberitaan MBM Tempo mengenai FPI tidak diikuti dengan banyaknya sumber berita dari pihak FPI, sehingga pemberitaan menjadi kurang komprehensif. Justru sumber serta narasumber berita dari pihak lain yang banyak mengisi teks dalam pemberitaan. Hal ini menyebabkan pemberitaan kurang proporsional karena jumlah dan kualitas sumber berita kurang berimbang.
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS _______. 2000. Politik Pemberitaan. Majalah Pantau Edisi 09 _______. 2002. Analisis Framing; Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LkiS Andhika Perdana - Pemberitaan Front Pembela Islam Dalam... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 19 of 20
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
Griffin, E. 2003. A First Look at Communication Theory, 5th edition. New York: McGrawHill Kovach, Bill dan Rosenstiel, Tom. 2003. Elemen-Elemen Jurnalisme. Jakarta: Pantau McQuail, Denis. 1987. Teori Komunikasi Massa; Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Nurudin. 2003. Komunikasi Massa. Malang: CESPUR Rakhmat, Jalaludin. 1991. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Rivers, WL, etl. 1994. Editorial. Bandung: Remaja Rosdakarya Santana, K. Septiawan. 2003. Jurnalisme Investigasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LkiS Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung: Rosda
Majalah Berita: MBM Tempo edisi 14-20 Februari 2011 MBM Tempo edisi 21-27 Februari 2011 MBM Gatra edisi 15/XVII 2 Maret 2011 Majalah Sabili edisi 14 TH XVIII 21 Februari 2011 Majalah Sabili edisi 18 TH XVIII 26 April 2011
Internet: http://nurudin.staff.umm.ac.id/2010/01/21/teori-spiral-keheningan-spiral-of-silence-theory/ http://nasional.kompas.com/read/2011/02/06/22551511/Tujuh.Poin.Pemerintah.Terkait.Ahma diyah http://regional.kompas.com/read/2011/02/06/18564141/Polisi.Selidiki.Penyerangan.Cikeusik http://chempornet.com/isi-skb-3-menteri-tentang-ahmadiyah-aliran-sesat/
Andhika Perdana - Pemberitaan Front Pembela Islam Dalam... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 20 of 20