Volume V No.II Tahun 2008 ISSN 1693-3559
DAFTAR ISI Pengantar Redaksi
~
iii
Fokus Kajian Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia: Sebuah Pemetaan Singkat dalam Perspektif Norma Internasional Oleh Eddie Sius Riyadi ~ 3 Landasan Teoretis Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: Dari Pemegang Saham (Shareholder) ke Pemangku Kepentingan (Stakeholder) Oleh Eddie Sius Riyadi ~ 63 Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Oleh Ireine Veronica Pontoh ~ 97 Fiduciary Duties Eksekutif Perusahaan: Antara Pemegang Saham dan Pemangku Kepentingan (Argumentasi Etis John Orlando Di Balik Penolakan terhadap Tindakan Downsizing) Oleh Bonar Hutapea ~ 109 Integritas Korporasi untuk Bisnis yang Manusiawi Oleh� ������������ Nuraeni ~ 119
Tinjauan Wacana Ide Objektivisme Ayn Rand: Sebuah Refleksi Etika Bisnis Oleh Brigitta Isworo L. ~ 133 Biografi Penulis ~
145
Dewan Redaksi/Advisory Editorial Board: Abdul Hakim Garuda Nusantara, Maria Hartiningsih, Todung Mulya Lubis, Karlina Supelli, Dhaniel Dhakidae, Asmara Nababan, Daniel Sparringa, Artidjo Alkotsar; Pemimpin Redaksi/Editor-in-Chief: Agung Putri; Redaktur Pelaksana/Executive and Managing Editor: Eddie Sius Riyadi; Redaksi Tetap/Article Editor: A.H. Semendawai, Amiruddin, Eddie Sius Riyadi; Staf Redaksi/Editorial Staff: Agung Yudhawiranata, Atnike N. Sigiro, Indriaswati D. Saptaningrum, Sentot Setyosiswanto, Supriady W. Eddyono; Sekretaris Redaksi/ Editorial Secretary: Adyani Hapsari Widowati; Distribusi/Marketing Manager: Khumaedy. Alamat Redaksi/Editorial Address: ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Jakarta 12510. Phone: 021-797 2662; 7919 2564; Fax: 021-7919 2519; Email:
[email protected]; Website: www.elsam.or.id. di cetak oleh LUMBUNG - Jl. Sukun No.11, Depok 16421. Telp. (021) 955 600 70, (021) 331 44 771, 0815 740 41086. isi diluar tanggung jawab percetakan
ii
Pengantar Redaksi
Sidang Pembaca yth., Pada tahun 2008 ini, dignitas menerbitkan dua tema penting dalam diskursus politik hak asasi manusia. Tema “Komunalisme dan Kekerasan Komunal” telah diangkat dalam edisi pertama tahun ini. Kali ini, dignitas muncul ke hadapan pembaca dengan mengangkat tema “Hak Asasi Manusia dan Tanggung Jawab Bisnis”. Tema ini kami angkat dengan suatu kesadaran yang mendalam akan bahaya yang semakin besar terhadap eksistensi hak asasi manusia di era globalisasi dan neoliberalisme ini. Bagaikan pepatah “keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya”, demikianlah nasib hak asasi manusia dewasa ini. Setelah keluar sempoyongan dengan segala luka akibat cabikan berdarah-darah oleh rejim-rejim otoriter dan totaliter di hampir seluruh belahan dunia pada abad ke-20 lalu, kini hak asasi manusia terjerembab dalam abad buaya, abad ke-21, yaitu taring-taring tak kenal ampun dari fundamentalisme pasar atau neoliberalisme. Pelaku utama dari ideologi ini tentu saja korporasi.
Celakanya, tidak semudah menjaring harimau otoriter dan
totaliter di abad sebelumnya – meski tidak bisa juga dikatakan sedemikian mudahnya, karena tetap saja kekejaman politik mewarnai peradaban – buaya neoliberalisme ini sangat tidak mudah ditangkap. Kita selalu tertinggal sepuluh bahkan seribu langkah dari kepiawaiannya. Hingga sekarang, hukum, etika, dan pelbagai norma dan standard internasional belum menunjukkan keberhasilan gemilang dalam memasang perangkap. Bahkan, andai kita berhasil, buaya itu sudah bergerak ribuan langkah ke depan. Lebih celaka lagi, kalau ia memainkan permainan “air mata buaya”nya yang mengundang rasa iba dari “harimau-harimau muda” yaitu
iii
anak-anak baru rejim otoriter sebelumnya yang sekaligus menandakan “kembalinya rejim otoriter”. Dua kekuatan ini semakin berbahaya saja. Belum lagi kalau “air mata buaya” sang buaya neoliberalisme itu menggoda para aktivis hak asasi manusia yang paling radikal sekalipun. Maka, buaya tidak lagi dilihat sebagai binatang buas, melainkan binatang penyayang atas nama “kepedulian sosial perusahaan”. Inilah tipuan banalitas.
Bisnis, sang pelaku utama dari ideologi fundamentalisme pasar,
sangat piawai memainkan, atau lebih tepat mempermain-mainkan konsep “tanggung jawab sosial perusahaan” (corporate social responsibility). Konsep ini harus hati-hati ditatap, agar tidak tertipu kita oleh polesan hipokritnya.
Beberapa tulisan dalam edisi kali ini tidak bisa dikatakan sebagai
mewakili seluruh kompleksitas permasalahan dan kekayaan gagasan di dalam perdebatan tentang tanggung jawab (sosial) bisnis terhadap hak asasi manusia. Namun demikian, tulisan-tulisan ini dapat dibaca sebagai pengantar singkat ke dalam permasalahan sesungguhnya. Adalah kreativitas dan kepedulian pembaca sendirilah yang bergerak lebih jauh untuk membuka pikiran dan menyingsingkan lengan. Artikel-artikel kita kali ini terdiri dari satu tulisan kajian tentang tanggung jawab bisnis terhadap hak asasi manusia, sebuah pemetaan standard, norma, dan hukum (hak asasi manusia) internasional, yang dianalisis dengan pendekatan prinsip-prinsip etis (khususnya etika bisnis dan etika lingkungan). Kelima artikel lain merupakan tinjauan teoretis dan tinjauan wacana yang terutama dilihat dari perspektif etika bisnis.
Akhirnya, didahului pengakuan akan keterbatasan kami sebagai
penerbit dan para penulis dalam menyajikan sajian ilmiah berbobot kepada pembaca, kami mengucapkan terima kasih atas dukungan, kritik, saran dan keterlibatan para pembaca selama ini bersama dignitas. Selamat membaca.
Jakarta, 2008.
iv
Fokus Kajian
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia: Sebuah Pemetaan Singkat dalam Perspektif Norma Internasional Oleh Eddie Sius Riyadi ������ As we look back over the past 60 years of the history of human rights, there is much to celebrate but also much that remains of concern. Over recent years the business community has stepped into the debate in a real and direct way and I very much welcome this. The months and years ahead will not be easy but there is also a real opportunity to harness the entrepreneurial spirit, to create new economic opportunities around some of the environmental and social challenges that all our societies face. (Mary Robinson, International Seminar on Business and Human Rights, 4-5 Desember 2008, Paris) Abstract This article explains how human rights obligations will be applied to corporations. To elaborate the issue, this article will map the scope of human rights obligations in international law, standards, norms and pratices. Here I use the two important ethical principles which are ”do no harm principle” and ”affirmative duty”. The two-in-one principles is then related to three perspectives of corporations capacity in terms of human rights obligations, which are viewing corporations as main violator, aider and abettor, and as promoter and protector. This article will show that legal approach itself and alone is very limited to satisfy our thirst for human rights responsibilty. Thus, I suggest to move beyond conventional approach which gave too much focus on violations to another and new approach, which is called ”responsibility approach”. Keywords: human rights obligation, do no harm principle, affirmative duty, corporate social responsibility, international human rights law, international law, international criminal law, aiding and abetting, human rights violation, responsibility approach.
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
I. Pendahuluan Salah satu perubahan yang paling signifikan dalam diskursus dan praktik hak asasi manusia belakangan ini adalah soal keterkaitan antara bisnis dan hak asasi manusia. Memang �������������������������������������� sekilas sangat susah menemukan hubungan antara bisnis dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Namun demikian, dewasa ini keterkaitan itu semakin disadari baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Peningkatan ekonomi dunia sejak tahun 1970-an telah mendatangkan efisiensi dan produktivitas yang semakin besar dan merangsang globalisasi di satu sisi, tetapi di sisi lain mendatangkan masalah berupa degradasi sosial dan kerusakan lingkungan hidup di negara-negara berkembang. Keprihatinan terhadap dampak negatif globalisasi ekonomi ini tidak hanya membersit dari para aktivis dan organisasi non-pemerintah yang bergerak dalam isu hak asasi manusia dan lingkungan, melainkan juga dari para pengambil keputusan dan pemimpin bisnis itu sendiri. Keadaan negatif itu dinilai telah merusak kepentingan bisnis itu sendiri dan pengembangan hidup manusia.
Sistem hak asasi manusia didasarkan pada asumsi utama
tentang kekuasaan negara sebagai penanggung jawab utama dan bergelut keras tentang bagaimana menangani aktor-aktor bukan negara (non-state actors) yang bisa melanggar hak-hak asasi manusia atau menghalangi pemenuhan hak-hak mereka. Aktor-aktor tersebut mencakupi antara lain: (1) institusi-institusi multilateral yang menolak mengakui akuntabilitas mereka di bawah hukum hak asasi manusia, misalnya Bank Dunia, IMF, dll.; (2) entitas-entitas bisnis, khususnya perusahaan-perusahaan transnasional atau multinasional (TNCs – Transnational
Corporations,
MNCs
–
Multinational
Corporations,
Uraian ini sebagian besar didasarkan pada Alexandra J. C. Gatto, “The European Union and Corporate Social Responsibility: Can the EU Contribute to the Accountability of Multinational Enterprises for Human Rights?”, Working Paper No. 32, September 2002, Institute for International Law, K. U. Leuven Faculty of Law; John Ruggie, Business and Human Rights: Mapping International Standards of Responsibility and Accountability for Corporate Acts (������������������������������������� Report of the Special Representative of the Secretary-General on the Issue of Human Rights and Transnational Corporations and Other Business Enterprises), Majelis Umum PBB, Dewan Hak Asasi Manusia: A/HRC/4/35, 19 Februari 2007; Lillian ������������������������ Manzella, dkk., The International Law Standard for Corporate Aiding and Abetting Liability (Presented to the U.N. Special Representative to the Secretary General on Human Rights and Transnational Corporations and other Business Enterprises), EarthRights International, Juli 2006.
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
MNEs – Multinational Enterprises); (3) kelompok-kelompok bersenjata yang terlibat dalam perebutan sumber daya alam atau konflik; dan (4) yayasan-yayasan yang diyakini memiliki peran yang besar dalam penyediaan
akses
terhadap
obat-obatan
tetapi
kurang
memiliki
akuntabilitas terhadap prinsip-prinsip non-diskriminasi. Satu pendekatan yang selama ini kerap digunakan adalah menekan pemerintah untuk menimpakan akuntabilitas pada aktor-aktor bukan negara itu ketika mereka melanggar hak asasi manusia. Yang lain adalah menemukan cara-cara untuk membuat aktor-aktor bukan negara itu akuntabel, misalnya dengan menetapkan akuntabilitas korporasi atas kepenyertaannya dalam pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia. Suatu sistem bisnis yang patut harus mengakui keutamaan hak asasi manusia. Prinsip pemenuhan yang progresif harus dipahami secara lebih baik lagi: apa pun dalam sebuah sistem bisnis yang patut harus meningkatkan kapasitas negara-negara untuk memenuhi hak asasi manusia secara progresif. Hak atas remedi yang efektif merupakan kunci. Ketika hak-hak dilanggar sebagai akibat dari perjanjian-perjanjian bisnis, para pihak yang terkena akibat dan dampaknya itu perlu mendapat akses dan kemampuan untuk membuat tuntutan kepada badan judisial dan memperoleh remedi yang efektif. Hal ini menuntut transparensi tentang isi perjanjian bisnis, partisipasi orangorang yang hidupnya dipengaruhi oleh perjanjian-perjanjian tersebut, dan akuntabilitas atas akibat dari perjanjian-perjanjian tersebut. Ada suatu kebutuhan akan penilaian yang kuat dan faktual mengenai dampak hak asasi manusia (human rights impact assessment). Hal ini menuntut akses terhadap informasi dan kerja-kerja intensif bersama dan untuk orangorang yang hidupnya terkena dampak dari perjanjian bisnis. Hasil-hasilnya perlu dipublikasikan sehingga polanya bisa dideteksi dan digunakan untuk mempengaruhi negosiasi di masa depan. Ada banyak resistensi terhadap penilaian mengenai dampak hak asasi manusia – ada pendapat
Widney Brown (Senior Director of International Law, Policy and Campaigns, Amnesty International, UK), “The Nature of State Obligations and Corresponding Responsibilities of the Private Sector”, “Reconciling Trade and Human Rights, the New Development Agenda”, Ottawa: CCIC dan Quebec: Rights and Democracy, Conference Report, 28-29 Mei 2007, Ottawa, Kanada. Tentang akuntabilitas korporasi dalam kaitan dengan kepenyertaannya dalam pelanggaran hak asasi manusia, lihat Manzella, dkk., ibid.
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
bahwa hasil-hasilnya tak berbentuk dan susah ditentukan – tetapi fakta bahwa sesuatu diragukan atau diperdebatkan bukanlah alasan untuk tidak melakukannya.
Tulisan ini akan membahas bagaimana kewajiban-kewajiban hak
asasi manusia diterapkan terhadap korporasi dengan memandangnya dari dua prinsip utama dalam diskursus tentang etika, khususnya etika bisnis dan etika lingkungan. Definisi ini biasanya dibatasi untuk mengidentifikasi sebuah kewajiban utama yang mengikat perusahaan-perusahaan yang dinyatakan dalam bentuk negatif (dengan pernyataan “tidak boleh…”). Pertimbangan akan diberikan pada norma-norma hukum yang mendorong korporasi untuk mengadopsi tanggung jawab hak asasi manusia melampaui kewajiban negatif (prinsip do no harm, negative duties) dan mengutamakan peran proaktif atau kewajiban positif (affirmative duties) dalam perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Untuk itu, bagian kedua tulisan ini akan membahas kewajiban korporasi di bawah hukum hak asasi manusia internasional. Di dalamnya akan dijelaskan hubungan korporasi dan hak asasi manusia yang memperlihatkan empat kapasitas korporasi, yang terkait dengan empat bentuk kewajiban hak asasi manusia, yaitu sebagai pelanggar (utama dan penyerta), pelindung, promotor dan pemenuh hak asasi manusia. Selain itu, bagian ini juga akan menjelaskan cakupan tanggung jawab korporasi terhadap hak asasi manusia berdasarkan hukum internasional beserta keterbatasannya.
Bagian ketiga akan memaparkan secara lebih mendalam lagi soal
pelanggaran korporasi terhadap hak asasi manusia dalam bentuk tindakan penyertaan dan pembantuan yang dilihat dalam dua ranah yaitu hukum pidana internasional dan hukum konvensi internasional. Dalam bagian ini dijelaskan keterterapan pendekatan hukum internasional dan hukum hak asasi manusia internasional pada korporasi serta keterbatasannya.
Berdasarkan itu, bagian keempat akan menguraikan gagasan yang
melampaui keterbatasan legal dalam diskursus tentang pertanggungjawaban korporasi terhadap hak asasi manusia. Dalam kaitan dengan itu, akan dibahas isu tentang bagaimana klaim-klaim perluasan jangkauan
Widney Brown, ibid. Penekanan ditambahkan.
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibilty,CSR) dalam kerangka kewajiban legal. Kemudian dielaborasi lebih jauh bahwa hukum memiliki beberapa keterbatasan dalam menegakkan tanggung jawab korporasi di mana hak asasi manusia menjadi perhatian utama. Sebagai hasilnya, dianjurkan bahwa tanggung jawab korporasi terhadap hak asasi manusia akan diperluas agar bisa merangkum rangkaian kewajiban yang baru ini.
Dalam tulisan ini beberapa kata dipakai bergantian untuk maksud
yang sama yaitu: bisnis, korporsi, perusahaan, TNCs (transnational coporations), MNCs (multinational corporations), MNEs (multinational enterprises).
II. Kewajiban Korporasi di Bawah Hukum HAM Internasional A. Hubungan Korporasi dan Hak Asasi Manusia Hubungan antara korporasi dan hak asasi manusia tidak mudah dinilai. Perusahaan-perusahaan multinasional biasanya mendapatkan keuntungan dari standard-standard hak asasi manusia yang rendah atau sistem pemerintahan yang lemah ketika mereka beroperasi di negaranegara berkembang. Namun demikian, mereka juga bisa menerapkan praktik terbaik dan melakukan pekerjaan dan pembangunan yang sangat dibutuhkan dan bermanfaat. Bagian ini berupaya memetakan kerumitan ini, yang muncul dari gagasan bahwa relasi antara korporasi dan hak asasi manusia dapat kita tatap dari tiga perspektif yang berbeda-beda tetapi saling terkait: sebagai pelanggar hak asasi manusia, sebagai komplotan dalam kejahatan hak asasi manusia tetapi juga sekaligus sebagai promotor dan protektor hak asasi manusia. Dua perspektif pertama berhubungan dengan prinsip “tidak merugikan” (do no harm) atau lazim disebut juga “kewajiban negatif” (negative duty), yang dalam terminologi kewajiban hak asasi manusia tercermin dalam bentuk
Gatto, op. cit.
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
kewajiban untuk menghargai (obligation to respect). Sementara, perspektif ketiga mencerminkan prinsip kewajiban positif (affirmative duties), yang dalam terminologi kewajiban hak asasi manusia diderivasikan menjadi tiga jenis kewajiban yaitu: kewajiban untuk melindungi (to protect), mempromosikan (to promote) dan memenuhi (to fulfill). Hubungan itu dapat kita gambarkan dalam bentuk tabel berikut: Tabel 1: Hubungan Korporasi dan HAM Perspektif Korporasi sebagai pelanggar HAM (yang utama) Korporasi sebagai penyerta dalam pelanggaran HAM (yang dilakukan oleh Negara) Korporasi sebagai promotor dan protektor HAM
Kewajiban HAM
Prinsip Etis
Kewajiban untuk menghargai
Prinsip do no harm (negative duty)
Kewajiban untuk melindungi, mempromosikan, dan memenuhi
Prinsip affirmative duty
Dibuat oleh Eddie Sius Riyadi @ 2008.
Korporasi sebagai Pelanggar Hak Asasi Manusia Korporasi bisa melanggar hak-hak buruh dengan menyalahgunakan dan mengeksploitasi tenaga buruh, dengan mencegah terbentuknya serikat buruh, dengan mempekerjakan buruh anak-anak dan praktikpraktik diskriminatif dalam proses perekruitannya. Korporasi bisa mendatangkan kerusakan lingkungan yang bisa berdampak pada hak atas kesehatan, hak hidup kaum minoritas dan hak atas penentuan nasib sendiri. Aturan-aturan yang tidak efisien terhadap keselamatan pekerja
Lihat misalnya Royal Dutch Shell dan British Petroleum yang menyebabkan kerusakan lingkungan di pemukiman Ogoni di Nigeria dan Colombia. Contoh-contoh ini dikutip dalam S. Joseph, “An Overview of the Human Rights Accountability of Multinational Enterprises”, dalam M. T. Kamminga dan S. Zia Zafiri (eds.), Liability of Multinational Corporations under International Law, The Hague: Kluwer Law International, 2000.
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
bisa mengancam hak buruh atas kesehatan atau hak atas hidup. Tentang hal ini akan dielaborasi lebih detail pada bagian II.B di bawah.
Keikutsertaan Korporasi dalam Pelanggaran HAM yang Dilakukan oleh Negara Perusahaan-perusahaan juga bisa bertanggung jawab karena berperan serta dalam atau membantu pelanggaran yang dilakukan oleh pihak lain, khususnya aparat pemerintah dan kelompok-kelompok bersenjata. Dalam kasus-kasus seperti itu perusahaan dikatakan melakukan pelanggaran dengan melakukan tindakan penyertaan. Telah diidentifikasi empat cara di mana sebuah perusahaan mendukung sebuah rejim yang secara sistematis melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Pertama, perusahaan bisa meningkatkan kapasitas represif sebuah rejim dengan menghasilkan
produk
atau
menyediakan
sumber-sumber
utama
penerimaan atau infrastruktur – seperti jalan, yang digunakan oleh rejim yang meningkatkan kekuatan represifnya. Kedua, perusahaan juga bisa mendatangkan kepercayaan internasional terhadap sebuah rejim yang justru tidak dapat dipercayai. Selanjutnya, ketiga, pelanggaran pemerintah bisa menguntungkan perusahaan secara komersial dalam hal di mana pemerintah melakukan pelanggaran untuk menghasilkan infrastruktur yang dirancang untuk manfaat bisnis. Misalnya, Unocal di Burma dapat dikatakan mendapatkan keuntungan dari tenaga kerja paksa, yang dipakai
untuk
membangun
infrastruktur
bagi
Yadana
Pipeline.
Keempat, pemerintah bisa menghasilkan pelanggaran untuk memberikan
perusahaan
sumber-sumber
yang
diperlukannya
atau
bisa
Sebagai contoh kasus Bhopal di India di mana karena ada lubang gas kecil dari sebuah pabrik Union Carbide, 2000 orang meninggal dan 200.000 orang mengalami luka-luka. Untuk penangangan kasus ini lihat International Council on Human Rights Policy, “Beyond Voluntarism-Human Rights and the Developing International Legal Obligations of Companies”, Februari 2002, hlm. 13 (dapat diunduh di http://www.ichrp.org) Pembedaan ini dianjurkan dalam C. Forcese, Putting Conscience into Commerce: Strategies for Making Human Rights Business as Usual, Montreal: International Centre for Human Rights and Democratic Development, 1997, hlm. 22-24 (dapat diunduh di http://www.ichrdd.ca/flash.html). S. Bottomley, “Corporations and Human Rights”, dalam S. Bottomley dan D. Kinley (eds.), Commercial Law and Human Rights, Aldershot: Ashgate, 2002, hlm. 47-68, pada hlm. 49. International Council on Human Rights Policy, op. cit., pada hlm. 131-132.
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
mengakomodasi kepentingan komersial perusahaan dengan melancarkan represi dalam rangka mendahului kemungkinan adanya protes kaum buruh.10 Tentang hal ini akan dielaborasi lebih detail pada bagian III.
Korporasi sebagai Promotor dan Protektor Hak Asasi Manusia Sebuah perusahaan bisa bertindak sebagai protektor jika, misalnya, ia mengambil langkah-langkah untuk melindungi hak asasi manusia yang secara langsung terlibat dalam aktivitas bisnisnya, misalnya kaum buruhnya. Misalnya, adanya penanganan dan monitoring terhadap kondisi buruh oleh pemilik atau pengelola perusahaan. Tanggung jawab yang paling besar bagi tindakan perusahaan berada pada tingkat pertama, yaitu untuk mencegah atau memperbaiki keadaan akibat pelanggaran hak asasi manusia yang muncul secara langsung dari akibat kerja-kerja bisnis sebuah perusahaan.11 Namun demikian, sebuah perusahaan juga bisa mengupayakan promosi hak asasi manusia dari seseorang yang berada di luar perusahaannya, yang tidak terkait secara langsung, atau bahkan tidak ada kaitan sama sekali, dengan pekerjaan atau kegiatan bisnis perusahaan. Ini adalah situasi di mana sebuah perusahaan menjadi sadar akan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, yang sama sekali tidak terkait dengan kegiatan bisnisnya, misalnya ketika sebuah perusahaan berada dan beroperasi di sebuah negara yang diperintah oleh rejim otoriter yang kejam. Selain itu, sebuah perusahaan juga bisa mempromosikan hak asasi manusia dengan misalnya membuat pernyataan publik tentang isuisu hak asasi manusia, melobi pemerintah, membantu kegiatan-kegiatan LSM yang bekerja bagi isu-isu hak asasi manusia, memasukkan informasi dan pertimbangan tentang hak asasi manusia dalam proses pembuatan
10 Sebuah analisis yang mendalam tentang kolusi dan kepenyertaan antara kekuasaan bisnis dan negara, yang diterapkan dalam sebuah kasus real, dapat ditemukan dalam Laporan KKR Afrika Selatan, Report of the South African Truth and Reconciliation Commission, vol. 4, Bab 2, Institutional Hearings, Business and Labour, Cape Town: Juta Publication, 1998. 11 B. Frey, “The Legal and Ethical Responsibilities of Transnational Corporations in the Protection of International Human Rights”, dalam Minnesota Journal of Global Trade, vol. 6, 1997, hlm. 153-187.
10
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
keputusan-keputusan bisnisnya.12 Tentang hal ini akan dielaborasi lebih detail pada bagian IV di bawah.
B. Cakupan Tanggung Jawab Korporasi terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berdasarkan Hukum Internasional13 Diskursus tentang tanggung jawab perusahaan terhadap hak asasi manusia, terutama terhadap kejahatan hak asasi manusia internasional, terutama sekali didasarkan pada penerimaan yang semakin meningkat oleh banyak negara terhadap standard-standard internasional tentang tanggung jawab individu dalam kejahatan hak asasi manusia, yang merupakan
warisan
dari
Pengadilan
Nuremberg,
dan
sekarang
diinkorporasikan secara lebih matang dalam Statuta Roma untuk Mahkamah Pidana Internasional (lihat bagian III di bawah). Meskipun demikian – sebagaimana diakui oleh John Ruggie, dalam laporannya sebagai utusan khusus Sekjen PBB tentang Bisnis dan HAM – persoalan ini tetap menjadi perdebatan yang besar, sehingga tidak heran bahwa instrumen-instrumen hukum yang mengikat secara kuat (hard law) belum terbentuk untuk hal ini. Di tingkat nasional, terdapat begitu banyak ragam kandungan dan begitu luas cakupan tanggung jawab legal perusahaan terhadap hak asasi manusia.14 Namun demikian, riset-riset awal belum mengidentifikasi adanya praktik negara yang seragam dan konsisten yang mengokohkan tanggung jawab korporasi di bawah hukum kebiasaan internasional.15
Pandangan tradisional tentang instrumen-instrumen hak asasi
manusia internasional adalah bahwa mereka hanya berlaku secara tidak 12 R. Sullivan dan D. Hogan, “The Business Case for Human Rights – The Amnesty International Perspective”, dalam S. Bottomley dan D. Kinley (eds.), op. cit., hlm. 69-87, pada hlm. 74. 13 Berdasarkan pada Ruggie, op. cit. dan Gatto, op. cit. 14 Untuk sebuah studi terhadap tujuh jurisdiksi yang dilakukan untuk Wakil Khusus PBB, lihat Allens ������� Arthur Robinson, Brief on Corporations and Human Rights in the Asia Pacific Region (Agustus 2006), http://www.reports-and-materials.org/Legal-brief-on-Asia-Pacific-for-Ruggie-Aug-2006.pdf. 15 Untuk studi terbaru, lihat������������������� Jennifer A. Zerk, Multinationals and Corporate Social Responsibility, Cambridge: Cambridge University Press, 2006; juga lihat survei negara dalam A/HRC/4/35/Add.3; Lihat Ruggie, op. cit., paragraf 34-35.
11
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
langsung pada perusahaan, yaitu tanggung jawab yang dikenakan oleh hukum domestik suatu negara yang dikaitkan dengan kewajiban internasional negara. Namun demikian, beberapa pakar menyatakan bahwa instrumen-instrumen tersebut sudah menimpakan tanggung jawab legal secara langsung pada korporasi namun masih sangat kurang dalam hal mekanisme akuntabilitas. Misalnya, Sub-Komisi PBB tentang Promosi dan Perlindungan HAM, yang menjelaskan bahwa normanorma yang Sub-Komisi itu ajukan mencerminkan dan menegaskan hukum internasional yang sedang berlaku,16 memberlakukan keseluruhan sepektrum kewajiban negara di bawah perjanjian-perjanjian internasional – yaitu untuk menghargai, melindungi, mempromosikan, dan memenuhi hak-hak asasi manusia – kepada korporasi dalam kaitan dengan daya jangkau pengaruhnya atau “kekuasaannya”.17
Korporasi serta individu-individu, sebagaimana halnya negara,
mempunyai kewajiban hak asasi manusia yang terutama sekali dibingkai dalam rumusan negatif (“tidak boleh…”)18 yaitu tidak boleh melanggar hak-hak asasi manusia dari pihak lain dalam kegiatan-kegiatan mereka dalam pelbagai bentuknya. ����������������������������������������� Karena menggunakan rumusan negatif berupa kata “tidak”, maka ia sering disebut sebagai “kewajiban negatif” (negative duty). Kewajiban negatif merupakan turunan dari prinsip pertama dalam etika bisnis dan lingkungan yaitu “prinsip tidak merugikan” (do no harm principle). Kewajiban negatif inilah ekspresi dari kewajiban pertama dalam diskursus hak asasi manusia yaitu “kewajiban untuk menghormati” (obligation to respect). Di pihak lain, sebagaimana telah dijelaskan di atas, peran korporasi tidak bisa dibatasi hanya pada melihat mereka sebagai pelanggar hak asasi manusia (violators) tetapi juga 16 Lihat “Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises with Regard to Human Rights”, Commission on Human Rights, Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights, sesi ke-55, item Agenda 4; E/CN.4/Sub.2/2003/12/Rev.2, 26 Agustus 2003,yang diadopsi pada sidangnya yang ke-22 pada 13 Agustus 2003. 17 Lihat Ruggie, paragraf 35. 18 M. Junk, Defining the Scope of Business Responsibility for Human Rights Abroad, The Danish Centre for Human Rights, The Confederation of Danish Industries and Industrialization Found from Developing Countries, pada hlm. 6, yang dapat diunduh di http://www. humanrights.dk; M. K. Addo, “Human rights and Transnational Corporations”, dalam M. K. Addo (ed.), Human Rights Standards and the Responsibility of Transnational Corporations, The Hague: Kluwer Law International, 1999, hlm. 3-37 pada hlm. 27.
12
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
dapat dilihat, hingga pada taraf tertentu, sebagai protektor dan promotor hak asasi manusia. Sekarang ada sebuah kesadaran yang berkembang biak dan baik dalam komunitas bisnis maupun institusi-institusi internasional dan masyarakat luas bahwa pemahaman yang sempit tentang tanggung jawab tidak akan memuaskan harapan kita sekarang ini.
Dapat
dikemukakan
bahwa
sekali
ada
jaminan
bahwa
tindakan-tindakan perusahaan tidak merugikan, maka sebagai anggota dari suatu masyarakat, perusahaan harus dituntut untuk berpartisipasi secara positif dalam masyarakat itu dengan mendukung kewajibankewajiban positif (affirmative duties) untuk melindungi (to protect), mem promosikan (to promote), dan memenuhi (to fulfill) hak asasi manusia. Kewajiban untuk melindungi menuntut pengampu kewajiban (duty holder) untuk harus mencegah sedemikian hingga pihak atau individu lain tidak menunda-nunda atau menghalangi pemenuhan sebuah hak. Kewajiban mempromosikan mengandung makna bahwa pengampu kewajiban harus mengambil langkah-langkah untuk memfasilitasi penikmatan hak oleh orang-orang yang terkait. Akhirnya, kewajiban untuk memenuhi mengharuskan pemegang kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang tepat untuk pemenuhan hak secara penuh. Dengan demikian, secara umum terdapat penolakan terhadap pandangan bahwa perusahaan sebagai aktor privat tidak bisa diikat oleh keempat kewajiban hak asasi manusia – menghargai, melindungi, mempromosikan, dan memenuhi – sebagaimana negara juga terikat padanya, di mana negara tetap merupakan pengampu kewajiban yang paling utama.
Hukum internasional secara tradisional dibuat oleh negara-
negara dan untuk negara-negara. Namun demikian, belakangan ini, hukum hak asasi manusia internasional telah melakukan beberapa kemajuan untuk memberikan pelimpahan kewajiban hak asasi manusia kepada aktor-aktor bukan negara. Salah kalau ada pemahaman bahwa perjanjian-perjanjian hak asasi manusia internasional mengacu hanya pada individu atau kelompok sebagai pemilik hak dan pada negara saja sebagai pengampu kewajiban. Telah diterima secara luas sejak Perang Dunia Kedua bahwa aktor-aktor lain di luar negara, termasuk individu dan
13
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
perusahaan-perusahaan, turut serta dalam sistem hukum internasional dan telah diberikan kewajiban dan kekuasaan atas hak tertentu di bawah hukum internasional. Perusahaan dapat dipandang sebagai “orang” atau subjek hukum dalam hukum internasional, sama seperti individu juga adalah subjek dalam hukum internasional kontemporer, bukan hanya negara. Karena itu dapat dikatakan bahwa korporasi mempunyai kewajiban sama seperti yang dilimpahkan hukum internasional kepada individu. Perusahaan-perusahaan komersial telah berpartisipasi dalam hukum internasional sebagai penerima manfaat (beneficiary) dari hak-hak asasi manusia tertentu dan telah mendapatkan akses kepada pengadilanpengadilan internasional.19
Meskipun kenyataannya bahwa hukum internasional tidak
secara langsung menjatuhkan kewajiban hak asasi manusia kepada perusahaan-perusahaan, ada indikasi bahwa hal itu bisa segera berubah di masa depan.20 Dalam upaya mengidentifikasi kewajiban-kewajiban hak asasi manusia pada perusahaan, rujukan pertama-tama dari semuanya adalah Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang dalam tatanan normatif internasional memiliki tempat yang unik. Bagian Pembukaannya menyatakan bahwa “setiap orang dan setiap badan di dalam masyarakat, dengan senantiasa mengingat Deklarasi ini, harus berusaha dengan cara mengajarkan dan memberikan pendidikan guna mempromosikan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dan dengan tindakan-tindakan progresif pada skala nasional dan internasional, untuk menjamin pengakuan dan penghormatannnya yang universal dan efektif ...”21 Definisi badan di dalam masyarakat (organ of society)22 bisa juga mengacu pada perusahaan-perusahaan karena badanbadan itu memainkan sebuah peran ekonomi yang jelas dan peran sosial yang semakin meningkat dalam masyarakat. 19 Sebagai contoh, Pengadilan HAM Eropa (the European Court of Human Rights) telah mengakui bahwa perusahaan bisa menikmati hak-hak seperti hak atas pengadilan yang patut, privasi dan beberapa aspek kebebasan berekspresi. Lihat sebagai contoh Autronic AG v. Switzerland, Eur. Ct HR Series a 178 (1990), 12 (1990) EHRR 485 para. 47. ��� 20 ���������������������������������������� International Council on Human Rights, op. cit. 21 ���������������������������������������������������������������������������������������������� Lihat Pembukaan DUHAM, paragraf terakhir. Diadopsi sebagai resolusi Majelis Umum PBB No. �������� 217 (III), 10 Desember 1948. Penekanan ditambahkan. 22 Sebuah “badan” dalam pengertian yang digunakan dalam pembukaan tersebut menunjuk pada sebuah institusi atau kelompok orang atau benda yang memiliki dan memainkan fungsi yang sama.
14
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
Meskipun pembukaan DUHAM tidak dipandang sebagai norma
yang mengikat secara hukum, namun ia bisa digunakan untuk menafsirkan bagian batang tubuh dari dokumen tersebut.23 Selain itu, ada pandangan bahwa entah mengikat secara hukum atau tidak, berkekuatan hukum atau tidak, Pembukaan DUHAM bisa diinterpretasikan dalam pengertian bahwa negara-negara yang mendrafnya, dengan mempertimbangkan perusahaan-perusahaan privat sebagai “badan di dalam masyarakat”, mendesak bisnis untuk menghargai hak asasi manusia yang sama seperti yang telah diakui untuk dihargai oleh negara-negara itu sendiri.24 Interpretasi ini kemudian didukung oleh konsensus luas yang telah didapatkan pada konferensi dunia yang diadakan oleh PBB tentang fakta bahwa perusahaan-perusahaan memiliki tanggung jawab yang sama dengan pemerintah terhadap Draf PBB tentang Aturan Main Perusahaan Transnasional.25
Pasal 29 DUHAM menyatakan bahwa setiap orang mempunyai
kewajiban terhadap komunitas dan pasal 30 berisi peringatan yang kuat terhadap individu untuk “tidak melakukan pengrusakan” (do no harm). Ketentuan ini, yang digemakan lebih lanjut oleh Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan pelbagai perjanjian hak asasi manusia regional, menyatakan bahwa “Tidak suatu hal pun di dalam Deklarasi ini boleh ditafsirkan sebagai memberikan suatu Negara, kelompok ataupun seseorang hak untuk terlibat di dalam kegiatan apa pun atau melakukan perbuatan yang bertujuan merusak hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang mana pun yang termaktub di dalam Deklarasi ini.” Dalam dukungan selanjutnya terhadap interpretasi semacam itu,
beberapa
instrumen internasional dan regional yang paling baru, misalnya Piagam Hak Asasi Manusia Asia, secara tegas mendesak perlunya korporasi untuk mengemban pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan mereka.26 23 Telah diakui bahwa ketentuan-ketentuan dalam pembukaan dan dalam batang tubuh DUHAM memiliki efek legal yang tidak langsung sebagai pedoman otoritatif bagi interpretasi atas pasal-pasal hak asasi manusia dalam Piagam PBB yang dengan itu pasal-pasal tersebut menciptakan kewajiban legal. Lihat Opini Dewan Penasihat tentang Namibia, ICJ Reports (1971), hlm. 16-345 pada hlm. 57. Mahkamah Internasional (The International Court of Justice, ICJ) menyatakan bahwa rejim apartheid Afrika Selatan telah melanggar Piagam PBB. 24 International Council on Human Rights Policy, op. cit., pada hlm. 61. 25 U.N. Code of Conduct on Transnational Corporations, 23 I.L.M. 626 (1984). 26 Dideklarasikan di Kwangju, Korea Selatan, pada 17 Mei 1998. Lihat Paragraf 2.8: “Kapasitas komunitas
15
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
Meskipun kekuatan hukum dari DUHAM masih diperdebatkan,
harus diakui bahwa beberapa dokumen telah mendesakkan kekuatan tersebut ke dalam hukum dan politik. Kekuatan hukum DUHAM telah dimasukkan ke dalam pembukaan setiap perjanjian hak asasi manusia, ke dalam hukum kebiasaan internasional, dan beberapa ketentuannya telah diinkorporasikan ke dalam konstitusi dan hukum di pelbagai negara. Selanjutnya, Deklarasi telah berkali-kali diterima dalam pelbagai resolusi politik dan konferensi dunia dari organisasi-organisasi semacam PBB. Pada tahun 1993, dalam Konferensi Dunia PBB di Wina, 171 Negara menguatkan kembali komitmen mereka terhadap tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam piagam PBB dan DUHAM.27 Namun pertanyaannya adalah apakah instrumen-instrumen tersebut menetapkan tanggung jawab legal secara langsung kepada perusahaan? Memang ada pengakuan tentang tanggung jawab perusahaan yang dimasukkan ke dalam pembukaan instrumen legal internasional dan nasional, tetapi dengan demikian tidak mengikat secara hukum karena tidak ditempatkan dalam batang tubuh.28
Meskipun hampir tak satu pun dari instrumen-instrumen hak
asasi manusia internasional, regional, dan nasional menghalangi negara dari menimpakan secara langsung tanggung jawab internasional kepada internasional dan negara untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak asasi manusia telah dilemahkan oleh proses globalisasi seiring makin menguatnya peralihan kekuasaan atas kebijakan ekonomi dan sosial dari negara ke korporasi-korporasi bisnis. Negara-Negara semakin ditawan oleh perusahaan keuangan dan perusahaan lain untuk mengimplementasikan kebijakan ekonomi yang sempit dan berdaya jangkau pendek yang menyebabkan penderitaan yang begitu besar bagi banyak orang, sementara di sisi lain menambah kekayaan bagi segelintir orang. Korporasi bisnis bertanggung jawab atas sejumlah pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak-hak asasi para pekerja, perempuan dan masyarakat adat. Karena itu perlu penguatan rejim hak dengan membuat perusahaan bertanggung jawab secara hukum atas pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia.” Lihat: http://www.tahr.org.tw/site/data/ahrc/index.html. 27 UN, World Conference on Human Rights, The Vienna Declaration and Programme of Action, 25 Juni 1993, UN Doc.A/ CONF. 157/23 (1993), dapat diunduh di http://unhcr.ch/udhr/index.htm. 28 Pasal umum 5(1) dari ����������������������������������������������������������������������� ICCPR (Kovenan Hak Sipil dan Politik) dan ICESCR (Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) menyatakan bahwa (kedua) Kovenan ini tidak boleh diinterpretasikan untuk ������ memberikan hak “kepada suatu Negara, kelompok atau individu untuk melakukan kegiatan yang ditujukan untuk merusak hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diakui dalam Kovenan ini atau untuk membatasinya lebih dari yang telah ditetapkan dalam Kovenan ini.” Namun ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk membangun kewajiban-kewajiban legal atas individu atau kelompok, badan-badan perjanjian juga tidak boleh menafsirkannya demikian. Lihat Manfred ��������������� Nowak, United Nations Covenant on Civil and Political Rights: CCPR Commentary, ���������������������������������������� Arlington, VA: N.P. Engel, edisi ������������� revisi kedua, 2005, hlm. 111-119.
16
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
perusahaan, namun pertanyaannya adalah mengapa negara masih enggan melakukannya? Apakah karena tidak dinyatakan secara eksplisit maka negara mengartikannya sebagai negara tidak dapat secara langsung menimpakan tanggung jawab kepada perusahaan? Apakah karena instrumen hukum atau hak asasi manusia internasional tidak secara eksplisit menyatakannya maka itu berarti bahwa perusahaan tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban secara langsung atas kejahatannya?
Perjanjian-perjanjian hak asasi manusia dengan tegas menyatakan
bahwa negara mempunyai sebuah kewajiban untuk “menjamin penghargaan” dan “menjamin penikmatan” hak asasi manusia. Beberapa pakar berpendapat bahwa hal ini dengan sendirinya menimpakan tanggung jawab secara langsung pada semua aktor sosial, termasuk perusahaan, untuk menghargai hak-hak asasi manusia pada tempat pertama. Namun, sebagaimana dikatakan John Ruggie,29 bagaimana klaim ini diuji? Satu cara adalah dengan memeriksa komentar-komentar dari badan-badan perjanjian, misalnya Komite HAM untuk Kovenan Hak Sipil dan Politik, mengingat badan-badan itu memang ditugaskan untuk membuat tafsiran yang otoritatif atas pelbagai ketentuan dalam rejim hak asasi manusia internasional. Meskipun mandat mereka adalah untuk menentukan tanggung jawab negara, namun beberapanya telah memperlihatkan minat yang terus meningkat pada peran bisnis itu sendiri dalam kaitan dengan hak asasi manusia.
Dengan dasar yang murni logis, sebuah argumen yang lebih kuat
bisa dibuat untuk tanggung jawab langsung korporasi di bawah konvensi-konvensi utama ILO: ketentuan-ketentuan yang menjadi cakupannya dimaksudkan untuk semua tipe pengusaha termasuk perusahaannya; perusahaan secara umum mengakui tanggung jawab yang lebih besar untuk para karyawan mereka dari pada pemangku kepentingan (stakeholder) lain; dan mekanisme supervisi ILO dan prosedur pengaduan menentukan peran-peran organisasi para pengusaha dan serikat buruh. Namun logika semata tidak dengan sendirinya mencipta-
29 Lihat Ruggie, op. cit., paragraf 39.
17
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
kan hukum, dan tanggung jawab legal korporasi di bawah konvensi ILO tetaplah tidak langsung.30
Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (CESCR) dalam
Komentar Umum tentang Hak atas Makanan yang Memadai31 dan Hak atas Kesehatan32 telah dengan tegas menimpakan tanggung jawab kepada subjek-subjek privat seperti perusahaan. Sebagai ����������������������������� tambahan terhadap hal ini, Panduan untuk Korporasi Multinasional yang dikeluarkan oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (��������� the OECD Guidelines for Multinational Corporations), Deklarasi Tripartit ILO tentang Prinsip-Prinsip Berkenaan dengan Perusahaan-Perusahaan Multinasional (the ILO Tripartite Declaration of Principles Concerning Multinational Enterprises)33 dan Draf Prinsip-Prinsip Hak-Hak Asasi Manusia yang Fundamental untuk Bisnis (Draft Fundamental Human Rights Principles for Business)34 menegaskan bahwa perusahaan harus menghargai prinsipprinsip yang diarahkan pada perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Namun, dalam pelbagai perbincangan badan-badan perjanjian
PBB tentang tanggung jawab korporasi, tetap tidak jelas apakah mereka mempertimbangkan hal itu sebagai tanggung jawab yang berhakikat legal.35 Misalnya, komentar umum yang paling baru dari CESCR tentang hak atas pekerjaan mengakui bahwa pelbagai aktor privat “mempunyai tanggung jawab berkenaan dengan pemwujudan (realization) hak atas pekerjaan”, bahwa perusahaan-perusahaan privat baik nasional maupun multinasional “mempunyai peran khusus dalam penciptaan lapangan 30 Lihat Ruggie, ibid., paragraf 42. 31 CESCR (Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), General Comment 12, The Right to Adequate Food (Pasal 11), 12 Mei 1999, para. 20 menyatakan bahwa “Meskipun hanya negara-negara yang menjadi pihak dalam Kovenan ini dan dengan demikian paling bertanggung jawab atas penegakannya, semua anggota individu masyarakat, organisasi lokal keluarga-keluarga, organisasi masyarakat sipil memiliki tanggung jawab dalam perealisasian hak atas pangan yang memadai. Sektor bisnis privat – nasional dan internasional – harus menjalankan kegiatannya dalam kerangka kerja aturan main yang kondusif dengan penghargaan terhadap hak atas pangan yang memadai…” 32 CESCR, General Comment 14, The Right to the Highest Attainable Standard of Health, (Pasal 12), Juli 2000, para. 42. 33 ILO Tripartite Declaration of Principles Concerning Multinational Enterprises and Social Policies, diadopsi oleh Governing Body ILO pada 16 November 1977, dalam N. Horn (ed.), Legal Problems of Codes of Conduct for Multinational Enterprises, Deventer: Kluwer, 1980, hlm. 479-491. 34 UN �������������������������������������������������������������������������������������������� document E/ CN. 4/ Sub.2: 2002X/Add, E/CN. 4/Sub/2002/wg; 2/wp; 1/Add. Diunduh di http:// www.1umn.edu/humanrights/lnks/principles 11-18-200 htm.recognise pada 15 Mei 2002. 35 Lihat Ruggie, op. cit., paragraf 40.
18
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
kerja, kebijakan pengangkatan karyawan dan akses yang non-diskriminatif atas pekerjaan”.36 Namun kemudian dalam komentar yang sama, Komite tersebut tampaknya menegaskan ulang pandangan tradisional bahwa perusahaan-perusahaan seperti itu “tidak terikat” oleh Kovenan yang dimaksud (dalam hal ini Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Demikian juga, komentar umum yang paling baru dari Komite Hak Asasi Manusia (HRC, Komite untuk hak sipil dan politik) menyimpulkan bahwa kewajiban perjanjian (treaty obligation) “tidak memiliki … efek horizontal yang langsung sebagai sebuah persoalan hukum internasional” – yaitu, kewajiban-kewajiban itu berpengaruh di antara aktor-aktor bukan negara hanya berdasarkan undang-undang atau hukum domestik.37
Singkatnya, perjanjian-perjanjian hukum dan hak asasi manusia
internasional tidak secara eksplisit menetapkan tentang tanggung jawab legal korporasi secara langsung. Sementara, ���������������������������������� komentar-komentar umum badan-badan perjanjiannya (komite-komitenya) tentang masalah ini sangat ambigu. Namun demikian, perhatian yang semakin meningkat dari Komite-Komite setiap perjanjian untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia oleh korporasi memperlihatkan pengakuan bahwa bisnis memang mampu baik untuk melanggar hak asasi manusia maupun untuk berkontribusi pada perlindungannya.38
Pada bagian berikut, kita akan mencoba bergerak melampaui
keterbatasan-keterbatasan sistem hukum hak asasi manusia internasional ini, tetapi tetap dengan menggunakan kerangka legal, yaitu dengan menggunakan konsep tindak pidana melalui kepenyertaan (complicity).
36 CESCR, General Comment 18, 2007, para. �������������������������������������������������������� 52. Untuk komentar serupa lihat CESCR, General Comments 14, 2007, para. 42 dan 12, para. 20. Lihat juga CRC (Komite Hak Anak), General Comment 5, 2007, para. 56, yang menyatakan bahwa kewajiban negara untuk menghargai “dalam praktiknya meluas” kepada organisasi bukan negara. 37 �������������������������������������������������������������������������������������������� HRC (Komite Hak Sipil dan Politk), General Comment 31, 2007, para. 8. Penekanan ditambahkan. 38 Sebagai tambahan, panel-panel Dewan Keamanan yang menilai efektivitas sanksi telah secara spesifik mempertimbangkan peran korporasi dalam kejahatan atau pelanggaran. Lihat �������� Ruggie, op. cit., paragraf 41.
19
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
III. Standard Hukum Kebiasaan Internasional untuk Pertanggung jawaban Hukum Korporasi atas Tindakan Penyertaan dan Pembantuan39 Dalam diskursus hak asasi manusia internasional, salah satu bentuk pelanggaran adalah berupa tindakan penyertaan dan pembantuan (aiding and abetting) oleh pelbagai entitas baik aktor negara maupun bukan negara. Norma hukum internasional yang menentang tindakan penyertaan dan pembantuan dalam pelanggaran hak asasi manusia diderivasikan dari norma-norma yang menentang pelanggaran atau kejahatan utama hak asasi manusia. Karena itu, untuk kepentingan kita di sini yaitu memetakan standard-standard hukum internasional yang mungkin untuk mengidentifikasi pelanggaran hak asasi manusia oleh korporasi, tidaklah begitu penting untuk melakukan analisis yang mendalam tentang apa kewajiban hak asasi manusia yang utama yang mungkin dan dapat diampu oleh korporasi. Yang lebih penting untuk dicamkan adalah bahwa korporasi memiliki status sebagai subjek hukum (legal personality) dan hak serta kewajiban-kewajiban di bawah hukum internasional. Dan dengan demikian, sebagaimana aktor-aktor internasional lainnya, korporasi dilarang membantu pelanggaran terencana terhadap hukum internasional seperti pelanggaran atau kejahatan hak asasi manusia. Sebagaimana tercermin dalam Pembukaan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), komunitas internasional sudah lama mengakui bahwa “setiap orang dan setiap badan di dalam masyarakat, dengan senantiasa mengingat Deklarasi ini, harus berusaha dengan cara mengajarkan dan memberikan pendidikan guna mempromosikan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dan dengan tindakan-tindakan progresif pada skala nasional dan internasional, untuk menjamin pengakuan dan penghormatannya yang universal dan efektif ...”40 Meskipun hukum hak asasi manusia internasional secara umum berfokus pada perlindungan individu dari pelanggaran yang dilakukan oleh negara, namun telah 39 ����������������������������������� Lihat secara umum Manzella, dkk., op. cit. 40 ��������������������������������������������������������������������������������������������� Lihat Pembukaan DUHAM, paragraf terakhir. Diadopsi �������������������������������������������������� sebagi resolusi Majelis Umum PBB No. �������� 217 (III), 10 Desember 1948. Penekanan ditambahkan.
20
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
diakui bahwa paling tidak sejak Pengadilan Nuremberg semua aktor, termasuk aktor bukan negara memiliki kewajiban untuk menghindar dari tindakan membantu negara dalam melakukan pelanggaran-pelanggaran yang dilarang itu. Rejim hukum internasional yang berlaku sekarang ini mengandung suatu justifikasi yang tidak terbantahkan yaitu bahwa supaya hukum internasional efektif dalam melindungi hak asasi manusia, setiap orang harus dilarang membantu pemerintah di negara mana pun dalam melakukan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tersebut.41
Sumber-sumber hukum internasional, sebagaimana terartikulasi
dalam statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice, ICJ), telah diakui dan dikenal luas, dan mencakupi konvensi-konvensi internasional, kebiasaan internasional (praktik umum yang diterima oleh hukum dan prinsip-prinsip hukum umum yang dikenal oleh bangsabangsa beradab) sebagai sumber pertama, dan keputusan-keputusan judisial dan karya-karya dari pakar-pakar berkualifikasi tinggi dari pelbagai bangsa sebagai sumber-sumber kedua. Pandangan umum tentang hukum kebiasaan internasional (customary international law) adalah bahwa “ada dua elemen esensial dari kebiasaan, yaitu praktik dan opinio juris”, di mana negara meyakini bahwa pelaksanaannya diperlukan oleh kewajiban legal.42 Norma-norma hak asasi manusia berkembang seperti halnya norma-norma hukum kebiasaan internasional lainnya. Namun praktik negara yang relevan di sini biasanya jatuh ke dalam dua kategori: respons terhadap pelanggaran terhadap norma-norma tersebut, dan pengembangan perjanjian yang sesuai atau yang mendukung norma-norma tersebut.43 Aksi-aksi negara di PBB atau forum-forum 41 A. Clapham, Human Rights Obligations of Non-State Actors, Oxford: Oxford University Press, 2006, hlm. 80. 42 ���������������������������������� R. Jennings dan A. Watts (eds.), Oppenheim’s International Law, ed. ke-9, London: Longman, 1992, hlm. 27 43 ���������������������������������������������������������������������������������������� A. D’Amato, “Human Rights as Part of Customary International Law: A Plea for Change of Paradigms”, 25 Ga. J. Int’l & Comp. L. 47, hlm. 81-98 (1995-1996); lihat juga I. Brownlie, Principles of Public International Law, ed. ke-7, New York: Oxford University Press, 2008 (terbit pertama kali tahun 1966), hlm. 5 (yang menyatakan bahwa bukti lain yang bisa dipercayai untuk memperlihatkan kebiasaan mencakupi “korespondensi diplomatik, pernyataan-pernyataan kebijakan, siaran pers, opini para penasihat hukum, manual-manual resmi tentang persoalan-persoalan legal, misalnya hukum militer, keputusan dan praktik eksekutif, perintah kepada angkatan laut, dll., komentar oleh pemerintah tentang draf yang diproduksi oleh Komisi Hukum Internasional, peraturan perundangundangan, keputusan-keputusan judisial internasional dan nasional, pengutipan perjanjian dan instrumen-instrumen internasional lain, suatu pola perjanjian yang berbentuk sama, praktik-praktik badan-badan internasional, dan resolusi-resolusi yang berkaitan dengan persoalan hukum di Majelis
21
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
internasional lainnya, khususnya dalam memaafkan atau menyalahkan kegiatan-kegiatan tertentu, dapat dianggap sebagai bukti dari opinio juris.44
Terdapat
cukup
bukti
tentang
norma
hukum
kebiasaan
internasional menyangkut penyertaan dan pembantuan, yang secara mengagumkan juga dipraktikkan secara konsisten dalam prinsip-prinsip hukum domestik banyak bangsa. Berikut ini kita melihat dua pilar otoritas utama yang menjadi dasar dari norma tersebut, yaitu: (1) hukum pidana internasional, yang merepresentasikan satu bentuk respons negara dan komunitas internasional terhadap tindakan penyertaan dan pembantuan dalam pelanggaran hak asasi manusia; (2) sekumpulan konvensi terkait yang konsisten dengan norma tersebut. Kedua pilar ini mengarah kepada suatu standard hukum yang diterima umum yaitu bahwa, sama seperti aktor-aktor lain, sebuah korporasi bertanggung jawab atas penyertaan dan pembantuannya dalam pelanggaran hak asasi manusia ketika ia menyediakan bantuan substansial kepada pelanggar utama hak asasi manusia, dengan pengetahuan bahwa tindakannya akan membantu atau mendorong terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. A. Hukum Pidana Internasional Paling kurang sejak sidang-sidang Pengadilan Nuremberg, hukum pidana internasional telah mengakui dan mendefinisikan tanggung jawab individu dan korporasi atas tindakan penyertaan dan pembantuan terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Setelah itu, Pengadilan Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia (ICTY) dan Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda (ICTR), dan juga badan-badan lain, telah memperkuat standard-standard tindakan penyertaan dan pembantuan dalam kejahatan.
Umum PBB”). 44 Jennings dan Watts, op. cit., hlm. 28; Oscar Schachter, International Law in Theory and Practice, Dordrecht/ Boston/ London: Martinus Nijhoff, 1991, hlm. 338.
22
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
Standard sebagaimana Didefinisikan dalam Furundzija Rumusan yang paling sering dirujuk dalam hal proses hukum terhadap tindakan penyertaan dan pembantuan diambil dari putusan ICTY 1998 dalam Penuntut vs. Furundzija. Meskipun statuta ICTY memasukkan sebuah larangan tentang kejahatan “penyertaan dan pembantuan”, namun ia tidak mendefinisikan apa itu “penyertaan dan pembantuan”. Karena itu, ICTY dalam sidang Penuntut vs. Furundzija “memeriksa hukum kebiasaan internasional” untuk menentukan standard yang tepat.45 Setelah menyelidiki praktik hukum internasional selama 50 tahun tentang persoalan tersebut, ICTY kemudian menyimpulkan bahwa standard kebiasaan tentang penyertaan dan pembantuan mengandung unsur-unsur berikut: (1) actus reus (perbuatan yang diprasyaratkan) dalam tindakantindakan perbantuan, dorongan, atau dukungan moral, yang memiliki efek substansial pada pelaksanaan kejahatan hak asasi manusia;46 (2) mens rea (unsur niat yang diprasyaratkan, mental state) yang diketahui bahwa perbuatan seseorang akan mendorong perbuatan pelanggaran yang dimaksud.47 ICTY kemudian mengulangi standard tersebut, yang menetapkan para terdakwa bertanggung jawab atas tindakan penyertaan dan pembantuan di mana dengan sepengetahuan mereka sendiri mereka melakukan tindakan-tindakan berupa bantuan praktis, dorongan, atau dukungan moral kepada pelaku utama.48
Actus Reus Persyaratan actus reus bagi pertanggungjawaban atas tindakan penyertaan dan pembantuan dalam hukum pidana internasional dipenuhi oleh pelbagai tindakan atau perbuatan yang secara sengaja dan “langsung mengakibatkan pelaksanaan kejahatan itu sendiri”.49 Bantuan tersebut 45 Prosecutor v. Furundzija, ICTY Case No. IT-95-17/1-T (Trial Chamber Dec. 10, 1998), hlm. 191, tersedia di http://www.un.org/icty/furundzija/trialc2/judgement/index.htm. 46 Ibid., hlm. 232-35. 47 Ibid., hlm. 243. 48 Prosecutor v. Blagojevic and Jokic, ICTY Case No. IT-02-60 (Trial Chamber Jan. 17, 2005), 726, tersedia di http://www.un.org/icty/blagojevic/trialc/judgement/index.htm. 49 Prosecutor v. Tadic, ICTY Case No. IT-94-1-T (Trial Chamber May 7, 1997), hlm. 678, tersedia di http://
23
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
tidak perlu menyebabkan tindakan pelaku utama, tetapi ia harus memiliki “efek substansial” pada perbuatan kejahatan yang dimaksud. Bantuan itu bisa saja diberikan berupa sebuah tindakan atau perbuatan, dan bisa saja terjadi sebelum, selama atau setelah tindakan pelaku utama.50
Untuk memahami persoalan ini secara lebih dalam lagi, konsep ke-
penyertaan harus dibagi ke dalam tiga kategori: kepenyertaan langsung, tidak langsung, dan diam-diri. Kepenyertaan langsung (direct complicity) adalah bentuk bantuan yang paling aktif dan paling jelas. Misalnya, sebuah perusahaan yang mendorong, atau membantu, relokasi paksa terhadap orang-orang di lingkungan-lingkungan tertentu yang menyebabkan pelanggaran terhadap hukum hak asasi manusia internasional bisa dianggap telah terlibat secara langsung dalam pelanggaran yang dimaksud.51
Setelah Perang Dunia II, Pengadilan Nuremberg menemukan
bahwa tindakan langsung mencakupi tindakan-tindakan seperti merampas properti dan mesin-mesin dari kaum Yahudi di wilayah-wilayah pendudukan, dengan cara yang sedemikian rupa sehingga membantu dan mendukung agresi Jerman yang ilegal itu.52 Pengadilan Nuremberg menemukan bahwa direktur perusahaan pabrik Krupp bertanggung jawab karena membantu rejim Nazi di mana para terdakwa telah merampok dan merusak properti penduduk di wilayah-wilayah pendudukan,
www.un.org/icty/tadic/trialc2/judgement/index.htm; lihat juga A. Clapham dan S. Jerbi, “Categories of Corporate Complicity in Human Rights Abuses”, 24 Hastings Int’l & Comp. L. Rev. 339, 341 (2001). 50 Blagojevic and Jokic, op. cit., hlm. 726; lihat juga Tadic, ibid., hlm. 23, 689, 691-92 (yang menyatakan bahwa tindakan salah mencakupi “partisipasi [yang] secara langsung dan substansial mempengaruhi pelaksanaan kejahatan tersebut dengan mendukung pelaksanaannya yang aktual sebelum, selama, atau setelah kejadian tersebut”). 51 Clapham & Jerbi, op. cit., hlm. 342. 52 The Farben Case, Military Tribunal VI, Case 6: U.S. v. Krauch, dalam 8 Trials of War Criminals under Control Council Law No. 10, hlm. 1169 (1948) (Para terdakwa adalah direktur-direktur dari IG Farben, sebuah perusahaan kimia konglomerat besar Jerman. Dalam Perang Dunia II, sebuah bantuan Farben, memproduksi Zyklon B, gas beracun yang digunakan di kamp-kamp pembantaian. IG Farben juga mengembangkan proses mensintesiskan bensin dengan karet dari batu bara, dan dengan itu meningkatkan kemampuan Jerman dalam perang. Dakwaan yang ditimpakan kepada para direktur perusahaan tersebut adalah berupa tindakan persiapan perang yang agresif, selain juga praktik perbudakan buruh dan perampokan selama perang.)
24
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
dan mendeportasi dan menggunakan para tahanan perang dan kawanan kamp konsentrasi sebagai pekerja paksa.53
Kepenyertaan tidak langsung (indirect complicity) bisa dikenakan
pada pelbagai tindakan yang memiliki efek substansial pada pelanggaran, meskipun si penyerta (aider) dan pembantu (abettor) tidak memiliki peran langsung. Misalnya, Pengadilan Nuremberg mendakwa para pegawai perusahaan karena membantu dan mendukung penjualan gas beracun ke kamp-kamp konsentrasi dengan sepengetahuan mereka sendiri bahwa gas-gas beracun itu akan digunakan untuk menjalankan pembunuhan massal, terlepas dari fakta bahwa mereka tidak mempunyai kekuatan untuk mengawasi cara-cara penggunaan gas tersebut.54 Kasus Flick juga menemukan pertanggung jawaban hukum soal penyertaan dan pembantuan dalam ketiadaan kontrol terhadap pelaku sebenarnya; dalam kasus itu, seorang terdakwa (Steinbrinck) didakwa “di bawah prinsipprinsip hukum yang mapan” karena dengan pengetahuannya sendiri ia menyumbangkan uang kepada sebuah organisasi Nazi, terlepas dari fakta bahwa ia tidak memiliki kekuatan untuk mengawasi organisasi tersebut dan walaupun “tidak terpikirkan” bahwa ia akan “dengan rela menjadi pihak” dalam kejahatan tersebut.55 Demikian juga, pengadilan ICTY menetapkan seorang terdakwa lain (Flick) bertanggung jawab atas sebuah program perbudakan buruh yang diinisiasi dan dijalankan oleh kaum Nazi, setelah ia meminta produksi yang meningkat dengan pengetahuan bahwa buruh-budak akan dipekerjakan untuk memenuhi kuota mereka yang lebih tinggi itu. Pengadilan Nuremberg menemukan bahwa ia bertanggung jawab secara hukum meskipun pengadilan mengakui bahwa ia (Flick) tidak “menimbulkan pengaruh atau mengambil bagian dalam formasi, pelaksanaan atau keberlanjutan dari program buruh-budak itu.”56 53 The Krupp Case, Military Tribunal IV, Case 10: U.S. v. Alfried Krupp et al., Juli 31, 1948, dalam 9 Trials of War Criminals under Control Council Law No. 10, hlm. 4 (1948) (Dua belas mantan direktur Krupp Group didakwa karena membantu pasokan senjata untuk tentara Jerman dan dengan demikian membantu Nazi dalam mempersiapkan perang yang agresif, selain juga karena menggunakan buruh-budak di perusahaan-perusahaan mereka.) 54 Trial of Bruno Tesch and Two Others, 1 Law Reports of Trials of War Criminals 93 (Brit. Mil. Ct. 1947). 55 U.S. v. Friederich Flick, dalam 6 Trials of War Criminals Before the Nuremberg Military Tribunals under Control Council Law No.10, hlm. 1217, 1222 (1947) (Para terdakwanya adalah Friedrich Flick dan lima direktur rangking atas lainnya dari kelompok perusahaan Flick.) 56 Ibid., hlm. 1196, 1198.
25
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
Kepenyertaan diam-diri (silent complicity) dapat ditemukan, dalam
keadaan-keadaan yang tepat, dari sikap diam (omission) semata. Seperti kepenyertaan langsung dan tidak langsung, jika kediam-dirian di hadapan pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan setara dengan “sumbangan langsung dan substansial terhadap pelaksanaan sebuah kejahatan”, sikap seperti itu bisa dijadikan dasar bagi pertanggungjawaban hukum atas tindakan penyertaan dan pembantuan terhadap kejahatan.57 Hal ini bisa disebabkan oleh, misalnya, kehadiran terdakwa yang memiliki otoritas, di mana terdakwa menolak menggunakan otoritas tersebut.58 Dalam kasus Furundzija, seorang komandan militer menginterogasi seorang perempuan sementara bawahannya memperkosa dan menyiksa perempuan tersebut. ICTY menyatakan bahwa “dalam keadaan tertentu, penyertaan dan pembantuan tidak perlu kentara (tangible), tetapi bisa berupa dukungan moral atau dorongan kepada pelaku utama dalam pelaksanaan kejahatan mereka.”59 Meskipun ICTY tidak menemukan bahwa terdakwa memberikan dorongan secara verbal terhadap pemerkosaan dan penyiksaan itu, namun toleransinya terhadap praktik interogasinya yang berlanjut memperlihatkan sebuah dukungan moral dan dorongan yang tidak kentara. Putusan ini mengikuti kasus-kasus serupa dari Perang Dunia II yang menyatakan komandan Nazi bersalah karena hadir di mana kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi atau berlangsung.60 Jurisprudensi dari ICTR juga mendukung pemahaman bahwa jika seorang individu berada dalam posisi sebagai seorang pemegang kekuasaan atau memiliki otoritas, sikap diam-dirinya yang terus-menerus bisa bermakna sebagai tindakan memberikan dorongan.61
57 Prosecutor v. Akayesu, ICTR Case No. ICTR-96-4-T (Trial Chamber Sep. 2, 1998), 477, 548, tersedia di http://69.94.11.53/ENGLISH/cases/Akayesu/judgement/akay001.htm. 58 Lihat, misalnya, Prosecutor v. Aleksovski, ICTY Case No. IT-95-14/1 (Trial Chamber May 30, 2001), hlm. 65, tersedia di http://www.un.org/icty/aleksovski/appeal/judgement/nob-aj010530e.htm. 59 Furundzija, op. cit., hlm. 199. 60 Lihat Furundzija, ibid., hlm. 205; lihat juga Tadic, op. cit.; Akayesu, op. cit. 61 Prosecutor v. Kayishema and Ruzindana, ICTR Case No. ICTR-95-1-T (Trial Chamber May 21, 1999), hlm. 202, tersedia di http://69.94.11.53/ENGLISH/cases/KayRuz/judgement/index.htm; Prosecutor v. Galic, ICTY Case No. IT-98-29-T (Trial Chamber Dec. 5, 2003), hlm. 169, 170-172, tersedia di http://www. un.org/icty/galic/trialc/judgement/index.htm.
26
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
Mens Rea Meskipun tindakan langsung, tindakan tidak langsung, dan sikap diamdiri semuanya bisa mengarah kepada pertanggungjawaban hukum atas tindakan penyertaan dan pembantuan di bawah standard pidana internasional, pertanggungjawaban hukum seperti itu hanya mungkin terlaksana kalau unsur niat yang diprasyaratkan terpenuhi. Pengadilan Nuremberg menetapkan bahwa barang siapa yang “dengan sepengetahuannya oleh pengaruh dan uangnya berkontribusi pada dukungannya harus … dinyatakan secara tegas sebagai, jika bukan pelaku utama, pelaku pembantu dalam kejahatan tersebut.”62 Berdasarkan preseden dan praktik hukum internasional selama puluhan tahun, ICTY dalam Furundzija menemukan bahwa unsur pengetahuan adalah unsur mens rea (unsur niat) yang tepat, yang secara tegas menolak pemikiran bahwa seorang penyerta dan pembantu harus memaksudkan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut terjadi.63 Sidang Banding dalam Vasiljevic kemudian mempertegas, “Pengetahuan di pihak penyerta dan pembantu bahwa tindakannya itu akan membantu pelaksanaan kejahatan pelaku utama sudah cukup untuk memenuhi persyaratan mens rea dalam bentuk partisipasi ini.”64
Kepenyertaan tidak perlu “memiliki mens rea yang sama dengan
pelaku, dalam pengertian niat tertentu untuk melakukan sebuah kejahatan”.65 Jadi, kepenyertaan tidak memerlukan adanya keinginan bahwa kejahatan pelaku utama akan dilakukan; cukup saja penyerta mengetahui adanya efek sejenis dari bantuannya.66 Dalam Prosecutor vs. Delalic, ICTY menegaskan kembali standard ini, dan lebih lanjut mencatat, “Tindakan 62 Flick, op. cit. 63 Furundzija, op. cit., hlm. 252; lihat juga Tadic, op. cit., hlm. 689, 691-92 (yang menyatakan bahwa “terdakwa akan ditemukan bersalah atas tindakan apa pun jika ditentukan bahwa ia dengan mengetahuinya berpartisipasi dalam pelaksanaan sebuah kejahatan yang melanggar hukum humaniter internasional.”) 64 Prosecutor v. Vasiljevic, ICTY Case No. IT-98-32 (Appeal Chamber Feb. 25, 2004), hlm. 102, tersedia di http://www.un.org/icty/vasiljevic/appeal/judgement/index.htm. 65 Furundzija, op. cit., hlm. 245. 66 Lihat Clapham dan Jerbi, op. cit., hlm. 342 (yang membahas kasus Akeyasu dan menyatakan bahwa “siapa pun yang mengetahui tujuan kriminal orang lain, dengan suka rela membantunya dalam hal itu, dapat didakwa atas tindakan penyertaan meskipun ia menyesalkan hasil atau akibat dari tindakan kejahatan tersebut.”)
27
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
bantuan yang relevan dapat ditiadakan pada waktu dan tempat tertentu dari tindakan kejahatan yang aktual.”67 Lebih lanjut, ICTY secara khusus menyimpulkan bahwa standard-standard tentang tindakan penyertaan dan pembantuan merupakan prinsip-prinsip hukum kebiasaan internasional.68 Selanjutnya, pengetahuan tentang kejahatan tertentu yang sedang difasilitasi bukanlah unsur yang diharuskan; alih-alih, pertanggungjawaban secara hukum menjadi penting ketika aktor mengetahui bahwa tindakannya itu akan memfasilitasi (memungkinkan) salah satu dari pelbagai kejahatan yang mungkin itu dilakukan.69 B. Hukum Konvensi Internasional Sejumlah perjanjian-perjanjian multilateral termasuk draf-draf instrumen yang mencerminkan pandangan komunitas internasional bersesuaian dengan interpretasi pengadilan kasus Furundzija terhadap prinsip-prinsip hukum kebiasaan internasional tentang pertanggungjawaban hukum atas tindakan penyertaan dan pembantuan terhadap tindak kejahatan. Pertanggungjawaban hukum atas tindakan penyertaan dan pembantuan dan bentuk lain kepenyertaan diberikan, meskipun tidak didefinisikan, dalam pelbagai statuta pengadilan pidana pasca-Perang Dunia II,70 dalam Konvensi Genosida 1948,71 dan dalam ICTY,72 ICTR,73dan statuta 67 Prosecutor v. Delalic, ICTY Case No. IT-96-21 (Trial Chamber Nov. 16, 1998), hlm. 327, tersedia di http:// www.un.org/icty/celebici/trialc2/judgement/index.htm. 68 Ibid., hlm. 321. 69 Dalam kasus Farben, Pengadilan menemukan bahwa kekhilafan beritikad baik seperti keyakinan dari beberapa industrialis tertentu bahwa gas beracun yang dijual kepada Nazi akan digunakan hanya untuk tujuan-tujuan remeh temeh bisa memperjelas individu-individu dari pertanggungjawaban atas tindakan penyertaan dan pembantuan. U.S. v. Krauch, op. cit., hlm. 1169. 70 Lihat Charter of the International Military Tribunal for the Far East, 19 Januari 1946, pasal 5 ayat 2, T.I.A.S. No. 1589; Nuremberg Tribunal Charter, pasal 6, 59 Stat. at 1547; Allied Control Council Law No. 10, “Punishment of Persons Guilty of War Crimes, Crimes Against Peace and Against Humanity”, Dec. 20, 1945, pasal II ayat 2. 71 Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, 9 Desember1948, pasal 3(e), 78 U.N.T.S. 277. 72 Statute of the International Tribunal for the Prosecution of Persons Responsible for Serious Violations of Humanitarian Law Committed in the Territory of the Former Yugoslavia, 25 Mei 1993, S.C. Res. 827, U.N. SCOR, 48th Sess., 3217th mtg., U.N. Doc. S/RES/827 (1993), dicetak ulang dalam 32 I.L.M. 1159 (1993). 73 U.N. Security Council Resolution 955 (1994) tentang pembentukan International Tribunal for Rwanda, 8 November 1994, S.C. Res. 955, U.N. SCOR, 49th Sess., 3453rd mtg., U.N. Doc. S/RES/955 (1994), dicetak ulang dalam 33 I.L.M. 1598 (1994).
28
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone.74 Lebih khusus lagi, Draf Kode tentang Kejahatan Menentang Perdamaian dan Keamanan Manusia tahun 1996 (Draft Code of Crimes Against the Peace and Security of Mankind) menyatakan bahwa seorang individu bertanggung jawab jika ia “secara mengetahui membantu, menolong atau menyertai, secara langsung dan secara substansial, dalam pelaksanaan suatu kejahatan, termasuk menyediakan wahana untuk pelaksanaannya.”75 Sebagaimana telah ditekankan oleh pengadilan Furundzija, Draf Kode tersebut merupakan “sebuah instrumen internasional yang otoritatif” yang sekurang-kurangnya “merupakan pandangan legal tentang para publisis yang sangat berkualitas yang merepresentasikan sistem-sistem hukum utama di dunia.”76
Demikian juga, Statuta Roma untuk Mahkamah Pidana Inter-
nasional, yang mulai berlaku tahun 2002, menyediakan suatu definisi yang lebih detail tentang kategori kepenyertaan. Secara khusus, Pasal 25(3) menyediakan pertanggungjawaban untuk siapa pun yang, antara lain, “berkontribusi pada pelaksanaan atau percobaan pelaksanaan … suatu kejahatan oleh sebuah kelompok orang-orang yang bertindak dengan suatu tujuan bersama,” sepanjang kontribusi tersebut bersifat “intensional” dan dibuat entah dengan “tujuan untuk meneruskan kegiatan kejahatan atau tujuan kriminal dari kelompok tersebut,” atau entah “dengan pengetahuan akan intensi (niat) dari kelompok tersebut untuk melakukan kejahatan yang dimaksud.”77 Meskipun Statuta Roma jelas-jelas mensyaratkan “niat” (intent), definisinya tentang “niat” memperjelas bahwa unsur ini terpenuhi dengan adanya kesadaran (pengetahuan) bahwa suatu konsekuensi partikular “akan terjadi dalam 74 Statute of the Special Court for Sierra Leone, 16 Januari 2002, tersedia di http://www.specialcourt. org/documents/Statute.html. 75 Draft Code of Crimes Against the Peace and Security of Mankind, U.N. GAOR, Int’l Law Comm’n, 48th Sess., pasal 2(3)(d), U.N. Doc. A/CN.4/L.533 (1996), tersedia di http://untreaty.un.org/ilc/documentation/ english/a_cn4_l532.pdf. 76 Furundzija, op. cit., hlm. 227; lihat juga Reg. No. 2000/15 on the Establishment of Panels with Exclusive Jurisdiction over Serious Criminal Offences, U.N. Transitional Administration in East Timor, 14.3, U.N.Doc.UNTAET/REG/2000/15 (2000), tersedia di http://www.un.org/peace/etimor/untaetR/ Reg0015E.pdf; Statute of the Iraqi Special Tribunal, 10 Desember 2003, pasal 15(b), tersedia di http:// www.cpa-iraq.org/human_rights/Statute.htm. 77 Rome Statute of the International Criminal Court, 17 Juli 1998, pasal 25(3), U.N. Doc. A/CONF.183/9, 37 I.L.M. 999 (mulai berlaku pada 1 Juli 2002), tersedia di http://www.un.org/law/icc/statute/romefra. htm.
29
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
cara yang biasa”, maka unsur niat menjadi terpenuhi. ���������������� Dengan demikian, Statuta Roma, sama seperti Draf Kode, bersesuaian dengan standard Furundzija dan bukti lebih lanjut bahwa standard ini merupakan ungkapan dari hukum kebiasaan internasional.78 C. Keterterapannya pada Korporasi: Jangkauan yang Lebih Luas dari Tanggung Jawab Bisnis terhadap HAM79 Sebuah tanda tentang perluasan tanggung jawab korporasi terhadap persyaratan minimum oleh hukum dapat dilihat baik pada pernyataan yang dikeluarkan oleh komunitas bisnis80 dan dari kasus-kasus tentang penyertaan atau keikutsertaan di dalam pelanggaran hak asasi manusia di mana beberapa tindakan dipandang tidak dapat diterima berdasarkan pertimbangan etis, meskipun tindakan-tindakan itu tidak dilarang oleh hukum. Contoh-contoh yang dikenal luas dapat ditemukan dalam keterlibatan Shell di Nigeria dan dalam kasus-kasus kepenyertaan korporasi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Negara.
Kasus-kasus pidana internasional, dengan bersandar pada hukum
kebiasaan internasional, menunjukkan bahwa korporasi juga memiliki kapasitas dan kemampuan untuk melanggar hukum internasional dan secara khusus larangan tentang pelanggaran-pelanggaran dengan tindakan penyertaan dan pembantuan. Pengadilan Nuremberg, kendati kurang memiliki jurisdiksi untuk menghukum korporasi secara langsung, benar-benar memiliki otoritas untuk menetapkan sebuah entitas tertentu sebagai organisasi yang jahat,81 dan berupaya keras untuk menegaskan bahwa korporasi yang para pegawainya didakwa atas kejahatan hak asasi 78 Lihat M. Shinn, “The 2005 Business and Human Rights Seminar Report: Exploring Responsibility and Complicity” 8 Desember 2005, London, 2 (2005), tersedia di http://www.bhrseminar.org/ BusinessHumanRightsSeminarReport2005.pdf (yang melaporkan bahwa Luis Moreno-Ocampo, Ketua Penuntut untuk Mahkamah Pidana Internasional, menyatakan bahwa perusahaan yang ikut serta dalam kejahatan internasional yang serius dapat diselidiki olehnya). 79 �������������������� Berdasarkan Gatto, op. cit.; Manzella dkk., op. cit.; Ruggie, op. cit. 80 C. Avery, “Business and Human Rights in a Time of Change”, dalam M. T Kamminga dan S. Zia Zarifi (eds.), Liability of Multinational Corporations under International Law, The Hague: Kluwer Law International, 2000, hlm.17-73 pada hlm. 19-25. 81 Charter of the International Military Tribunal for Nuremberg (Piagam Pengadilan Nuremberg), 8 Agustus 1945, pasal 9, 59 Stat. 1544, 1547, 82 U.N.T.S. 279.
30
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
manusia pada dasarnya dapat dikenakan pertanggungjawaban secara hukum. Dalam kasus I.G. Farben, Pengadilan Nuremberg menemukan “bukti … melampaui sebuah keraguan yang masuk akal bahwa kejahatankejahatan terhadap properti … dilakukan oleh Farben…. Tindakan Farben dan para wakilnya, di bawah keadaan-keadaan ini, tidak dapat diperlakukan berbeda dari tindakan-tindakan perampokan dan perampasan yang dilakukan oleh para perwira, prajurit, atau pegawai-pegawai publik dari Kekaisaran Jerman,” dan “menetapkan sebuah pelanggaran terhadap Peraturan-Peraturan Denhag (the Hague Regulations)” pada waktu perang.82 Secara khusus berkaitan dengan pertanggungjawaban hukum terhadap tindakan penyertaan dan pembantuan, Pengadilan Nuremberg menegaskan bahwa ketika para “pebisnis” bekerja sama dalam kegiatankegiatan yang berakibat pada kejahatan hak asasi manusia, “dengan mengetahuinya”, maka mereka bersalah sama seperti pelaku utama.83 Dalam sebuah kasus yang melibatkan perbudakan para tahanan perang oleh sebuah perusahaan tambang Jepang, “dapat disimpulkan” dari opini Pengadilan Tokyo bahwa Pengadilan, “menetapkan perusahaan tambang tersebut bertanggung jawab secara hukum atas kematian, luka, dan penderitaan para tahanan perang”.84
Dalam kaitan dengan hal ini, perusahaan-perusahaan transnasional
atau multinasional (TNCs/MNCs/MNEs) tidaklah berbeda dari individu atau aktor-aktor lain. Ada banyak kajian terhadap hak dan kewajiban TNCs di bawah perjanjian-perjanjian internasional, yang semuanya memperkuat pandangan bahwa TNCs memiliki status yang memadai sebagai subjek hukum internasional yang memiliki hak-hak sebagaimana ia juga 82 Ibid. 83 The Nuremberg Trials (U.S. v. Goering), 6 F.R.D. 69, 112 (Int’l Mil. Trib. 1946). 84 A. Ramasastry, “Corporate Complicity: From Nuremberg to Rangoon, An Examination of Forced Labor Cases and Their Impact on the Liability of Multinational Corporations”, 20 Berkeley J. Int’l L. 91, 114 (2002) (yang membahas pengadilan Pertambangan Kinkaseki, di mana sembilan karyawan dari Nippon Mining Company dihukum karena memperlakukan para tahanan perang untuk menjadi pekerja paksa di sebuah pertambangan di wilayah pendudukan China; delapan orang dari sembilan didakwa, termasuk manajer perusahaan pertambangan tersebut dan supervisornya, yang tidak secara langsung berpartisipasi dalam pelanggaran terhadap para tahanan perang tersebut). Lihat juga Laporan KKR Afrika Selatan, op. cit. (yang menggambarkan penolakan Komisi atas klaim para pimpinan bisnis tentang ketidakbersalahan mereka yang didasarkan atas status mereka sebagai entitas bukan negara (non-state status).
31
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
mengampu kewajiban-kewajiban.85 Tidak dapat ditampik bahwa perusahaan-perusahaan mempunyai hak-hak hukum (legal rights) dan mengampu kewajiban-kewajiban hukum (legal duties) di bawah undangundang penanaman modal asing dan beberapa konvensi multilateral.86 Perusahaan-perusahaan tunduk, misalnya, pada hukum Uni Eropa, pelbagai konvensi tentang kejahatan suap (bribery), dan hukum antikorupsi.87
Hukum internasional menetapkan tanggung jawab bagi korporasi
atas pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan buruh dan lingkungan.88 Norma-norma internasional yang tidak mengikat (nonbinding) juga menetapkan kewajiban yang ditujukan kepada bisnis, misalnya yang dihasilkan oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (Organisation for Economic Cooperation and Development, OECD) dan Organisasi Buruh Internasional (International 85 D. Kinley dan J. Tadaki, “From Talk to Walk: the Emergence of Human Rights Responsibilities for Corporations at International Law”, 44 VJIL 931, hlm. 947 (2004); lihat juga International Council on Human Rights Policy, op. cit., hlm. 125; D. Kokkini-Iatridou dan P. de Waart, “Foreign Investments in Developing Countries – Legal Personality of Multinationals in International Law”, 14 Neth. Y.B.I.L. 87 (1983); P. Malancazuk, “Multinational Enterprises and Treaty-Making – A Contribution to the Discussion on Non-State Actors and the ‘Subjects’ of International Law”, dalam V. GowllandDebaas (ed.), Multilateral Treaty-Making: The Current Status of Challenges to and Reforms Needed in the International Legislative Process, Proceedings ������������������������������������������������������������������ of the American Society of International Law/Graduate Institute of International Studies, Forum Geneva, 16 Mei 1998, Martinus Nijhoff Publ., 2000. 86 Lihat W. Greider, “The Right and U.S. Trade Law: Invalidating the 20th Century”, The Nation, 15 Oktober 2001, tersedia di http://www.thenation.com/docprint.mhtml?i=20011015&s=greider (yang membahas Methanex Corp. v. U.S.). Lihat juga Convention on Civil Liability for Damage Resulting from Activities Dangerous to the Environment, 21 Juni 1993, pasal 2, ayat 6, E.T.S. No. 150, tersedia di http://conventions.coe.int/treaty/en/Treaties/Word/150.doc, dan International Convention on Civil Liberty for Oil Pollution Damage, 29 Nov. 1969, pasal 1, ayat 2 (berlaku pada 19 Juni 1975), tersedia di http://www.admiraltylawguide.com/conven/civilpol1969.html. 87 Lihat [European] Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms, 213 U.N.T.S. 222 (berlaku pada 3 Sept. 1953) (Pasal 1: kewajiban untuk mengamankan hak-hak Konvensi). Lihat juga OECD, Steps Taken by State Parties to Implement and Enforce the Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions, 2006, tersedia di http://www. oecd.org/dataoecd/50/33/1827022.pdf (yang menggambarkan langkah-langkah negara untuk memberlakukan kewajiban anti-suap terhadap korporasi). 88 Lihat, misalnya, Dewan Eropa, Convention on Civil Liability for Damage Resulting from Activities Dangerous to the Environment, 21 Juni 1993, 32 I.L.M. 1228 (1993). Selain itu, beberapa perjanjian internasional tentang lingkungan menekankan pertanggungjawaban hukum dan kompensasi untuk kerugian. Lihat, misalnya, Cartagena Protocol on Biosafety, 29 Januari 2000, pasal 27, 39 I.L.M. 1027 (2000); Convention on Biological Diversity, 5 Juni 1992, pasal 14, 31 I.L.M. 818 (1992); Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Waste and Their Disposal (“Konvensi Basel”), 22 Mar. 1989, pasal 12, 28 I.L.M. 657 (1989), tersedia di http://www.basel.int/text/documents. html. Konvensi Basel berlaku terhadap orang-orang, yang didefinisikan sebagai subjek hukum alamiah atau badan hukum (legal person).
32
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
Labour Organization, ILO).89 Demikian juga, PBB dan Uni Eropa telah menetapkan standard-standard bagi praktik perusahaan-perusahaan multinasional.90 Selain itu, ada beberapa deklarasi yang berupaya untuk memperkuat sistem legal dan kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan bisnis, yaitu Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan (Rio Declaration on Environment and Development),91 Agenda 2192 dan Deklarasi Kopenhagen tentang Pembangunan Sosial (Copenhagen Declaration for Social Development).93
Kewajiban hukum (legal obligation) dari TNCs mencakupi kewajib-
an hak asasi manusia (human rights obligation). Konsep ��������������� “setiap badan dalam masyarakat” dalam DUHAM meliputi usaha-usaha privat seperti TNCs.94 Sebagaimana telah ditegaskan oleh pakar hukum internasional yang terkenal Louis Henkin, “DUHAM tidak hanya diberlakukan pada pemerintah. Ia adalah sebuah standard umum bagi semua orang dan semua bangsa. Setiap orang (individu) mencakupi subjek-subjek hukum bukan orang yaitu badan-badan hukum (juridical persons). Setiap orang dan setiap badan dalam masyarakat tidak mengecualikan satu pun: bukan perusahaan, bukan pasar, bukan juga ruang maya (cyberspace). DUHAM berlaku untuk semuanya itu.”95 89 Lihat ILO, “Tripartite Declaration of Principles Concerning Multinational Enterprises and Social Policy” (1977) (rev. 2000), tersedia di http://www.ilo.org/public/english/standards/norm/sources/ mne.htm; OECD, “The Revised OECD Guidelines for Multinational Enterprises” (2000), tersedia di http://www.oecd.org/dataoecd/56/36/1922428.pdf. 90 Lihat U.N. Global Compact, “The Ten Principles”, tersedia di http://www.unglobalcompact.org/ AboutTheGC/TheTenPrinciples/index.html; Resolusi tentang Standard-Standard Uni Eropa untuk Perusahaan-Perusahaan Bisnis Eropa yang bekerja di negara-negara berkembang menuju European Code of Conduct, EUR. PARL. DOC., Res. A4-0508/98, pembukaan, O.J. (1999) C 104/180. 91 Rio Declaration on Environment and Development, Report of the U.N. Conference on the Human Environment, Rio de Janeiro (1992), tersedia di http://www.un.org/documents/ga/conf151/aconf151261annex1.htm. 92 U.N. Conference on Environment and Development, Jun. 3-14, 1992, Agenda 21 Programme of Action for Sustainable Development, U.N. Doc. A/CONF.151/26 (1992), tersedia di http://www.un.org/esa/ sustdev/documents/agenda21/english/Agenda21.pdf. 93 World Summit for Social Development, Copenhagen Declaration on Social Development, Mar. 12, 1995, U.N. Doc. A/CONF.166/9 (1995), tersedia di http://www.un.org/esa/socdev/wssd/agreements/ decparti.htm. 94 S. Deva, “UN’s Human Rights Norms for Transnational Corporations and Other Business Enterprises: An Imperfect Step in the Right Direction”, 10 Ilsa J. Int’l & Comp. L. 493, 495 (2004); lihat juga L. Henkin, “Keynote Address: The Universal Declaration at 50 and the Challenge of Global Markets”, 25 Brook. J. Int’l L. 17, 25 (1999); M. Robinson, “The Business Case for Human Rights, in Visions of Ethical Business”, Financial Times Management 14 (1998); S. Vieira de Mello, “Human Rights: What Role for Business?”, 2(1) New Academy Review 19 (2003). 95 Henkin, (1999), ibid., hlm. 24-25. Juga lihat Louis ������������������������������������������������������� Henkin, “The Universal Declaration at 50 and the
33
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
Henkin tentu saja benar ketika mengatakan bahwa aspirasi dan klaim moral dari DUHAM diarahkan, dan berlaku, kepada seluruh umat manusia dan, para pebisnis harus memasukkan hal itu dalam penyusunan kebijakan hak asasi manusia di perusahaan mereka masingmasing. Dengan demikian, perusahaan tidak hanya bertanggung jawab secara moral dan sosial untuk menghargai dan melindungi hak asasi manusia, tetapi juga bertanggung jawab secara legal sebagai “badan dalam masyarakat”.96 Karena itu, korporasi memang benar-benar memiliki kewajiban hukum internasional, termasuk di bidang hak asasi manusia.
Kebanyakan tuduhan berat tentang kepenyertaan korporasi dalam
pelanggaran hak asasi manusia melibatkan situasi-situasi di mana TNCs telah menyertai dan membantu sebuah negara, atau aktor lain, dalam melakukan tindakan pidana pelanggaran hukum hak asasi manusia internsional.97 Dengan begitu, tuduhan yang dibuat adalah bahwa sebuah perusahaan berkolusi, berkonspirasi atau bersikap diam-patuh dalam pelanggaran yang dilakukan oleh kekuasaan negara, tetapi hal itu tentu tidak akan terjadi – atau tetap terjadi tetapi tidak dengan cara yang sudah terjadi itu – kalau perusahaan tidak memberikan bantuannya.98 Sejak Pengadilan Nuremberg, sudah terdapat pemahaman yang mulai jelas bahwa hukum internasional melarang korporasi dan para eksekutifnya dari tindakan membantu perbuatan kejahatan atau pelanggaran yang dilarang dalam hukum hak asasi manusia internasional dan hukum internasional.
Yang lebih baru lagi, KKR Afrika Selatan menetapkan tingkat ke-
bersalahan atas kepenyertaan bisnis dalam rejim apartheid.99 Perusahaanperusahaan yang secara aktif membantu merancang dan mengChallenge of Global Markets”, Brooklyn Journal of International Law, 17 (April 1999), hlm. 25. 96 Lihat secara umum Clapham, op. cit., hlm. 265-70; International Council on Human Rights Policy, “Beyond Voluntarism”, op. cit.; lihat juga D. Aguirre, “Multinational Corporations and the Realisation of Economic, Social and Cultural Rights”, 35 Cal. W. Int’l L.J. 53, 70 (2004); S.R. Ratner, “Corporations and Human Rights: A Theory of Legal Responsibility”, 111 Yale L.J. 443 (2001). 97 Lihat, misalnya, International Council on Human Rights Policy, “Beyond Voluntarism”, ibid., hlm. 125. 98 Lihat International Council on Human Rights Policy, “Beyond Voluntarisme”, ibid.; Lihat juga M. Jungk, “A Practical Guide to Addressing Human Rights Concerns for Companies Operating Abroad”, dalam M.K. Addo (ed.), op. cit. 99 Lihat Laporan KKR Afrika Selatan, op. cit.; lihat juga B. S. Lyons, “Getting to Accountability: Business, Apartheid and Human Rights”, 17 Neth. Q. Hum. Rts. 135, 144-54 (1999).
34
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
implementasikan kebijakan-kebijakan apartheid, seperti perusahaanperusahaan industri pertambangan, dinyatakan bersalah atas keterlibatan tingkat pertama. Perusahaan-perusahaan seperti bank-bank,100 atau industri senjata, yang mengetahui bahwa produk atau jasa mereka akan digunakan untuk menunjang penindasan rejim apartheid dinyatakan bersalah atas keterlibatan tingkat kedua.101 Meskipun bank-bank yang menyediakan kartu-kartu kredit tidak tahu tentang penggunaan spesifik kartu-kartu tersebut, namun mengingat tingkat pelanggaran yang tinggi terhadap hak asasi manusia yang terjadi di lingkungan di mana bank-bank tersebut beroperasi, fakta di mana tidak pernah ada upaya untuk menyelidiki atau menghentikan penggunaan fasilitas-fasilitasnya, merupakan bukti yang cukup tentang keterlibatan mereka. Ini melampaui pemahaman tentang tanggung jawab pidana atau tanggung jawab perdata; hal ini memancarkan cahaya pada sebuah pertanyaan yang penting tentang bagaimana seharusnya jangkauan tanggung jawab bisnis terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh otorias negara dan bagaimana jangkauan kewajiban legal terhadap masyarakat atau suatu komunitas bisa membatasi salah satu prinsip kunci yang berlaku terhadap sektor privat, misalnya, kebebasan bertindak dan kebebasan diskresi.102
Tetapi bagaimana halnya dengan kejadian yang kontradiktif
seperti di Afrika Selatan, di mana pelayanan-pelayanan bank terlibat dalam penyediaan kartu kredit rahasia kepada polisi dan pada waktu yang bersamaan aktif dalam pengumpulan dana dari organisasi-organisasi donor yang menentang kebijakan apartheid? Dalam praktiknya, mereka tetap dianggap bertanggung jawab secara hukum. Artinya, perbuatan positif mereka tidak menukar (trade off) tindakan kejahatan mereka berupa penyertaan. Hal ini akan kita elaborasi lebih dalam pada Bagian IV di belakang nanti. 100 Ketika menekankan isu “pengetahuan”, KKR memperjelas bahwa bahkan jika Bank yang menyediakan kartu-kartu kredit tidak mengetahui penggunaan spesifik kartu-kartu tersebut sesuai dengan fungsi sebenarnya, “tidak ada upaya yang jelas di pihak industri perbankan untuk menyelidiki atau menghentikan penggunaan fasilitas mereka dalam lingkungan yang kental dengan pelanggaran hak asasi manusia.” Laporan KKR Afrika Selatan, ibid., hlm. 31. 101 Laporan KKR Afrika Selatan, ibid., hlm. 75; juga hlm. 73-80. 102 Lihat S. Joseph, “Taming the Leviathans: Multinational Enterprises and Human Rights”, dalam Netherlands International Law Review, vol. 46, hlm. 171-203.
35
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
Selanjutnya, sebuah contoh khusus yang kontroversial memandang
peran perusahaan yang mendapatkan keuntungan dari kesempatan dan lingkungan yang diciptakan oleh pelanggaran hak asasi manusia, bahkan jika perusahaan tersebut tidak secara positif mendukung atau menyebabkan pelaku melakukan pelanggaran. Tingkat keterlibatan ini barangkali adalah satu dari yang paling problematis untuk ditangani hanya dengan menggunakan kaca mata hukum. Pada dasarnya, jika perusahaan belum membantu sebuah pemerintahan untuk melakukan pelanggaran atau jika pelanggaran itu bukan merupakan bagian dari sebuah tindak kejahatan bersama (joint enterprise)103 dengan pihak pemegang kekuasaan atau sebuah desain umum tidak muncul, maka perusahaan tidak akan bertanggung jawab berdasarkan prinsip-prinsip yang berlaku dalam hukum pidana atau perdata. Namun demikian, dalam banyak situasi, perusahaan yang terkait tetap disalahkan karena mendorong atau membantu pemerintah
dalam
melakukan
kebijakan
atas
nama
kepentingan
komersial.
Ketika perusahaan bertindak sebagai pelaku tidak langsung
dalam pelanggaran hak asasi manusia maka sulitlah membuatnya bertanggung jawab secara hukum, kendatipun ia bisa dibuat bertanggung jawab dengan dasar pertimbangan etis dan politis.104 Melampaui hukum, gagasan bahwa perusahaan bertanggung jawab secara moral jika ia secara pasif mendapatkan keuntungan dari pelanggaran telah menjadi gagasan 103 Sebuah perusahaan bisa menjadi bagian dari sebuah tindak kejahatan dengan sifat penyertaan dengan sebuah pemerintahan, yang merupakan sebuah kontrak yang sangat legitim untuk mencapai sasaran-sasaran legal dan komersial. Meskipun dengan meminta perusahaan dengan sebuah desain atau tujuan bersama dengan mitra kontraknya (dalam hal ini adalah Pemerintah) untuk memenuhi kegiatan bersama mereka, adalah beralasan untuk melihat atau kemudian mengetahui bahwa mitranya itu berkemungkinan besar akan melakukan pelanggaran dalam melaksanakan kesepakatan tersebut. Juga mungkin untuk menimpakan tanggung jawab pidana kepada perusahaan tersebut atas kepenyertaannya dalam pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah ketika sebuah hubungan sebab akibat yang memadai antara kewajiban perusahaan berdasarkan tindakan bersama itu dan kejahatan yang dilakukan oleh otoritas negara menjadi tampak, yang kemudian hadir sebagai elemen desain bersama. Selain itu, sebuah perbuatan bersama dapat secara langsung ditimpakan tanggung jawab hukum berdasarkan prinsip gugatan perdata. Jika sebuah perusahaan membantu sebuah pemerintahan dalam melakukan pelanggaran ia bisa dituntut bertanggung jawab karena telah menyebabkan kerusakan secara sengaja; jika ia berutang suatu kewajiban merawat korban berarti ia gagal dalam misalnya melakukan secara tepat pemilihan, pelatihan atau pengawasan terhadap pasukan keamanannya yang melakukan pelanggaran. 104 Tentang CSR sebagai tanggung jawab etis dan politis, lihat Eddie Sius Riyadi, “Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia”, Kompas, 22 Maret 2007.
36
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
yang menguat. Bahkan jika sebuah perusahaan tidak secara aktif membantu para pelaku, tetapi ia secara suka rela memasuki sebuah lingkungan bisnis atau berada di sana, ketika ia tahu atau harus tahu bahwa entah dengan cara bagaimana ia mendapatkan keuntungan dari pelanggaran hak asasi manusia yang tengah berlangsung, memiliki sekurang-kurangnya sebuah kewajiban moral untuk mengambil langkah-langkah yang masuk akal untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran.
Dari contoh-contoh tersebut, tampak jelas bahwa perilaku diam-
diri (silent behaviour) dalam sebuah lingkungan di mana pelanggaran berat hak asasi manusia menyebar luas hingga ke titik terinstitusionalisasi hampir tidak dapat dipandang dan diterima sebagai sesuatu yang netral sama sekali. Namun demikian, meskipun tidak dicakupi oleh hukum, kehadiran semata sebuah perusahaan dalam lingkungan-lingkungan semacam itu bisa mengarah pada kritik publik karena “di hadapan ketidakadilan yang berat, sikap diam-diri tidaklah berarti netral”.105 Sebuah perusahaan yang beroperasi di sebuah negeri yang diperintah oleh rejim yang secara sistematis melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia dianggap memberikan dukungan politik dan komersial kepada rejim tersebut. Hal ini dapat dilihat bahwa dukungan moral dalam kepenyertaan dalam tindak pidana sama dengan kehadiran plus kekuasaan yang mengarah kepada dukungan.
Kepenyertaan korporasi merupakan sebuah istilah payung bagi
serangkaian cara di mana perusahaan bisa dinyatakan bertanggung jawab atas keterlibatannya dalam tindak pidana atau pelanggaran perdata. Dengan perbedaan yang sangat tipis, kebanyakan sistem hukum nasional di pelbagai negara tampaknya mengakui tindakan kepenyertaan sebagai sebuah konsep hukum. Pengadilan-pengadilan internasional telah mengembangkan sebuah standard yang sangat jelas tentang tanggung jawab pidana individual atas tindakan penyertaan dan pembantuan dalam sebuah tindakan kejahatan: yaitu dengan pengetahuannya seseorang atau pelaku memberikan bantuan praktis, dorongan atau dukungan moral yang mempunyai akibat substansial terhadap pelaksanaan sebuah 105 Sir G. Chandler, dikutip dalam A. Clapham dan S. Jerbi, op. cit.
37
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
kejahatan.106 Ketika pengadilan-pengadilan nasional mengadopsi standard ini, tampak bahwa penerapannya terhadap korporasi akan mengikuti penerapan terhadap individu, meskipun unsur “dukungan moral” dapat mendatangkan perdebatan tersendiri.107
“Dukungan moral” bisa menjadi dasar bagi pertanggungjawaban
individual dalam hukum internasional, dan pengadilan-pengadilan internasional telah merentangkan pemahaman ini untuk memasukkan konsep tanggung jawab pidana atas kehadiran yang pasif (silent presence) bersama dengan sebuah otoritas tertentu. Namun sebuah perusahaan yang dengan itikad baik mencoba menghindari keterlibatannya dalam pelanggaran hak asasi manusia mungkin saja kesulitan untuk mengetahui apa saja yang termasuk dukungan moral yang dapat dijerat secara hukum. Hadir semata di sebuah negara dan membayar pajak sebagaimana diwajibkan tampaknya tidak bisa dijadikan dasar untuk dimintai pertanggungjawaban. Namun memetik secara tidak langsung keuntungan ekonomi dari hasil perbuatan salah atau kejahatan pihak lain bisa mendatangkan tuntutan pertanggungjawaban, yang tergantung pada fakta soal kedekatan dan hubungan perusahaan tersebut dengan aktor yang melakukan kejahatan tersebut. Hingga sekarang belum ada kejelasan yang lebih lagi tentang hal ini. Namun demikian, ada keyakinan bahwa bahkan ketika sebuah perusahaan tidak meniatkan sebuah kejahatan terjadi, dan bahkan menyesali terjadinya kejahatan tersebut, perusahaan tersebut tidak akan dibebaskan dari pertanggungjawaban jika ia mengetahui, atau seharusnya sudah mengetahuinya, bahwa ia memberikan bantuan, dan bahwa bantuannya itu akan berkontribusi pada terlaksananya atau terjadinya sebuah kejahatan.108
Mari kita kembangkan argumen ini selangkah lebih maju lagi,
khususnya berkaitan dengan hukum pidana. Kejahatan dalam hukum pidana terutama sekali didasarkan pada prinsip niat, yang terutama sekali berfokus pada dua hal, yaitu: (1) voluntas (free will, kehendak 106 Prosecutor v. Furundžija, Judgement, No. IT-95-17/1 (ICTY Trial Chamber, 10 Desember 1998) and Prosecutor v. Akayesu, Judgement, No. ICTR-96-4-T (ICTR Trial Chamber, 2 September 1998). 107 Ketika memperlakukan standard individual terhadap korporasi, pengadilan dalam Doe v. Unocal tidak mengadopsi elemen “dukungan moral” (moral support). 108 �������������������������������������������������� Lihat Ruggie, paragraf 32, penekanan ditambahkan.
38
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
bebas) pelaku, atau sekurang-kurangnya pengetahuan akan pelanggaran pelaku utama; (2) actus (tindakan) yang berdiri di atas elemen moral seperti kedekatan hubungan dengan pelanggar atau pelanggaran itu sendiri. Namun demikian, seorang aktor selalu memiliki peran potensial dalam mencegah pelanggaran, apalagi jika aktor tersebut memiliki bobot relasi yang sangat dekat dengan kekuasaan atau bahkan mempunyai kekuasaan itu sendiri. Dalam konteks seperti ini, ketiadaan tindakan (inaction) atau kehadiran yang pasif (silent presence) dapat dipandang sama salahnya dengan tindakan yang dilakukan dalam kejahatan tertentu. Dalam beberapa kasus, elemen niat juga tidak dipandang sebagai unsur yang sangat perlu untuk menimpakan tanggung jawab moral kepada perusahaan; kehadiran sebuah perusahaan saja di sebuah lingkungan tertentu sudah dipandang sebagai alasan yang memadai.109
Standard hukum pidana internasional tentang kepenyertaan
sangat serupa dengan standard yang belakangan ini diartikulasikan dalam komentar terhadap Norms ����������������������������������������������� on the Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises with Regard to Human Rights.110 Komentar itu menyatakan bahwa TNCs diwajibkan untuk menjamin “bahwa kegiatan mereka tidak menyumbang pada pelanggaran 109 ��������������������������������������������������������������������������������������� Konsultasi yang dilakukan di Roma dalam rangka pendirian Mahkama Pidana Internasional (International Criminal Court, ICC) telah memperlihatkan di satu sisi persetujuan dan pengakuan yang luas tentang jangkauan keterlibatan perusahaan dalam pelanggaran hak asasi manusia. Namun pendekatan hukum dan instrumen hukum untuk menjerat hal ini tetap belum memadai. Di pihak lain, upaya memperluas jurisdiksi Mahkamah terhadap subjek-subjek hukum (legal persons) telah gagal dalam menghadapi isu tanggung jawab kolektif (dan risiko yang ditimbulkan hal ini) dan ketidaksetujuan dari definisi itu sendiri atas subjek-subjek hukum yang sangatlah berbeda-beda dalam pelbagai sistem hukum. Selanjutnya, harus diakui bahwa pengembangan yang besar dalam lapangan hukum pidana internasional telah mengikuti pembentukan Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Tribunals) dan kumpulan keputusan hukum oleh hakim pun dijilid berbundel-bundel. Karena itu ada keinginan bahwa pendirian Mahkamah ini akan meningkatkan proses penentuan yang lebih baik tentang tanggung jawab pidana dari aktor bukan negara bersama dengan pemahaman yang lebih baik tentang peran domestik dan jurisdiksi internasional dalam kaitan dengan keadilan transnasional. 110 ������������������������������������������������������������������������������������� “Norma-Norma” tersebut adalah serangkaian standard menyangkut penghargaan hak asasi manusia oleh dunia bisnis. Standard-standard tersebut berupaya menyatupadukan hukum-hukum dan norma-norma hak asasi manusia internasional, selain praktik-praktik terbaik bisnis, yang mempertimbangkan praktik-praktik hak asasi manusia dari dunia bisnis dan membuat kesemua standard tersebut menjadi satu dokumen terpadu. Dokumen tersebut telah didraf selama lebih dari empat tahun oleh Working Group on the Working Methods and Activities of Transnational Corporations, sebuah badan subsider dari UN Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights. Lihat Commission on Human Rights, Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights, Fifty-fifth session Agenda item 4; E/CN.4/Sub.2/2003/12/Rev.2, 26 Agustus 2003,Diadopsi pada pertemuannya yang ke-22, pada 13 Agustus 2003.
39
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
hak asasi manusia secara langsung atau tidak langsung, dan bahwa mereka tidak secara langsung atau tidak langsung mendapatkan keuntungan dari pelanggaran yang mana mereka tahu atau seharusnya telah mengetahuinya.”111
Jadi, terlepas dari fakta bahwa pengadilan-pengadilan pidana
internasional hingga sekarang ini belum memiliki jurisdiksi langsung atas korporasi, namun jurisprudensi pidana internasional dan perkembanganperkembangan setelahnya memperlihatkan bahwa TNCs tunduk pada standard-standard yang berlaku pada individu. Kemudian, sekurangkurangnya korporasi bisa bertanggung jawab secara hukum ketika mereka dengan pengetahuan mereka sendiri menyediakan bantuan praktis, dorongan, atau dukungan moral yang mendatangkan efek substansial pada pelaksanaan pelanggaran hak asasi manusia.
IV. Bergerak Melampaui Pendekatan “Pelanggaran Hak Asasi Manusia” kepada Pendekatan ”Tanggung Jawab Korporasi”112 Sebagaimana telah dilihat pada contoh-contoh di atas, terdapat beberapa kekurangan umum terkait dengan fakta bahwa hukum internasional yang pada awalnya dialamatkan pada aktor-aktor negara bisa menghadirkan kesulitan-kesulitan ketika diterapkan pada aktor-aktor bukan negara. Perusahaan sering kali mencoba mengabaikan hukum hak asasi manusia karena hukum-hukum itu ditulis untuk pemerintahan atau negara. Jika kewajiban hak asasi manusia untuk negara telah dinyatakan secara jelas (terutama belakangan ini) sebagai hal yang mencakupi baik kewajiban negatif untuk menghargai dengan tidak melakukan pelanggaran – atau sekurang-kurangnya menghindari pelanggaran – terhadap sebuah hak maupun kewajiban positif untuk melindungi, mempromosikan dan memenuhi sebuah hak, hal yang sama tidak dapat dikatakan jelas untuk aktor bukan negara yang selama ini tampak terikat oleh kewajiban negatif “untuk tidak melakukan pelanggaran” (do no harm).
Terhadap batasan-batasan umum ini, perihal khusus tentang
111 Ibid., U.N. Doc. E/CN.4/Sub.2/2003/38/Rev.2 (2003) Penekanan ditambahkan. 112 Lihat secara umum Gatto, op. cit.
40
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
keterlibatan bisnis dalam pelanggaran hak asasi manusia harus ditambahkan. Rentang pelanggaran hak asasi manusia yang bisa dilakukan oleh bisnis sangatlah besar. Hal ini tergantung tidak hanya pada tingkatantingkatan berbeda dari keikutsertaan sebuah perusahaan secara suka rela tetapi juga berkaitan dengan sektor kegiatan bisnis, asal muasal etis, dan kedekatan. Mengingat bahwa sektor privat ditentukan oleh prinsip kebebasan bertindak (freedom of action), sulit untuk menyatakan kepada sebuah perusahaan yaitu kepada siapa ia harus memilih atau menjadikan dirinya sebagai subkontraktor atau kepada siapa ia harus menjual produknya (misalnya pasukan polisi atau kelompok pemberontak) dan untuk campur tangan dalam keputusan-keputusan manajemen lainnya.113 Hal ini sangat terbukti dalam contoh tentang keterlibatan sistem perbankan dalam rejim apartheid, sebagaimana telah dibahas di atas, dan memunculkan pertanyaan tentang jangkauan tanggung jawab dan keterlibatan bisnis. Dalam kasus korporasi, problem-problem yang terkait dengan pengkhususan (individuation) legislasi dan jurisdiksi yang tepat dan biaya tuntutan dengan penghalangan akses terhadap keadilan kemudian mengurangi efektivitas upaya-upaya penyelesaian hukum.
Tanggung jawab korporasi terhadap hak asasi manusia tidak
sepenuhnya dicakup oleh ketentuan-ketentuan hukum. Pada saat yang sama ada suatu kesadaran yang bertumbuh baik dalam masyarakat maupun dalam komunitas bisnis114 bahwa suatu pemahaman yang sempit tentang tanggung jawab korporasi tidak memenuhi tuntutan dan harapan kita dewasa ini, khususnya dalam situasi di mana hanya ada sedikit kepercayaan terhadap kekuatan keamanan.115
Sebagaimana ditunjukkan dalam contoh-contoh di atas, di Afrika
113 J. Parkinson, “The Socially Responsible Company”, dalam M. K. Addo (ed.), op. cit., hlm. 56. 114 Sir Geoffrey Chandler (Ketua Amnesty International UK, mantan eksekutif senior Royal Dutch/ Shell Group) “Diam atau tidak melakukan apa-apa akan dilihat sebagai perbuatan melanggengkan penindasan dan dapat dituduh sebagai tindakan penyertaan. Diam itu sendiri bukanlah sesuatu yang netral. Tidak melakukan apa pun bukanlah sebuah pilihan.” (Silence or inaction will be seen to provide comfort to oppression and may be adjudged complicity. Silence is not neutrality. To do nothing is not an option.) Dikutip dalam C. Avery, op. cit. 115 Sebuah pembahasan yang mendalam tentang peran bisnis yang berubah sebagai respons terhadap pelbagai tekanan dapat ditemukan dalam C. Avery, ibid. Tentang hal ini, lihat juga S. Bottomley, “Corporations and Human Rights” dalam Bottomley S. dan Kinley D. (eds.), Commercial Law and Human Rights, Ashgate: Aldershot, 2002. hlm. 47-67.
41
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
Selatan beberapa perusahaan secara publik menyampaikan permintaan maaf di hadapan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atas tindakantindakan yang tidak akan memadai kalau dimintai pertanggungjawaban berdasarkan hukum pidana atau pertanggungjawaban perdata. Ini tampak mengungkapkan eksistensi dari sebuah area tentang tanggung jawab korporasi terhadap hak asasi manusia yang, meskipun tidak dicakupi oleh suatu definisi legal, bagaimanapun diakui oleh komunitas bisnis dan masyarakat luas sekurang-kurangnya dengan dasar moral dan politik. Eksistensi dari area yang terdefinisi secara buruk tentang tanggung jawab ini kemudian didukung oleh sejumlah gugatan (misalnya, Doe v. Unocal)116 yang tidak sukses dibawa ke pengadilan menentang pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan korporasi, yang disebabkan oleh kesulitan yang dihadapi dalam menentukan jangkauan tanggung jawab.
Perluasan tanggung jawab korporasi terhadap hak asasi manusia
ini dapat digambarkan sebagai suatu pergerakan yang perlahan dari sebuah pendekatan pelanggaran (violation approach) – pendekatan yang terbatas – pada hak asasi manusia kepada sebuah pendekatan tanggung jawab (responsibility approach) – pendekatan yang lebih luas – terhadap hak asasi manusia. Sebagaimana telah dibahas di depan, perusahaan-perusahaan serta individu memiliki kewajiban hak asasi yang terutama sekali dibingkai dalam pengertian atau rumusan negatif, yaitu tidak melanggar hak-hak orang atau pihak lain melalui kegiatan-kegiatan mereka (prinsip do no harm). Akan tetapi, harapan-harapan dewasa ini mendesak perusahaan untuk melampaui kewajiban utama ini dengan meminta korporasi untuk bukan hanya tidak melakukan pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga untuk bertindak secara positif memastikan penghargaan mereka terhadap hak asasi manusia dan memastikan pelaksanaannya dalam masyarakat di mana mereka menjalankan bisnisnya. Pada dasarnya, ketika mereka membuktikan bahwa tindakan mereka tidak merusak, sebagai anggota masyarakat mereka bisa dikatakan berpartisipasi secara positif dalam suatu masyarakat dan dengan berbuat demikian 116 International Council on Human Rights Policy, “Beyond Voluntarism”, op. cit., hlm. 131.
42
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
mereka mendukung kewajiban positif untuk mempromosikan, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Dapat dikatakan bahwa kewajibankewajiban ini sudah merupakan bagian dari kewajiban etis atau moral meskipun masih kurang dipandang dari kaca mata legal dan dalam hal mekanisme pemberdayaannya.
Kenyataan ini pertama sekali menuntut adanya sebuah pen-
dekatan baru dalam pengimplementasian hak asasi manusia yang bergerak melampaui interpretasi tradisional yang memandang negara sebagai pemegang tanggung jawab utama dan satu-satunya atas hak asasi manusia dan harus mulai mempertimbangkan hingga pada taraf mana aktor-aktor bukan negara bisa mengampu tanggung jawab atas hak asasi manusia. Kedua, hal ini mengarah pada suatu pergerakan dari sebuah pendekatan pelanggaran yang terbatas pada hak asasi manusia kepada sebuah pendekatan tanggung jawab117 yang lebih luas terhadap hak asasi manusia. Ini mencakupi komitmen korporasi untuk bukan hanya tidak melakukan pelanggaran hak asasi manusia tetapi juga untuk bertindak secara positif untuk memastikan penghargaan dan implementasi hak asasi manusia dalam masyarakat di mana pun bisnis atau korporasi beroperasi.
Kalau pendekatan pelanggaran lebih berdimensi legal (semata),
maka pendekatan tanggung jawab lebih luas dari itu; ia mencakupi, selain tanggung jawab legal, tanggung jawab ekonomi, etis dan diskresionis (filantropik). Keempat dimensi ini, dalam etika bisnis, sering disebut sebagai tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR).
118
Tanggung jawab ekonomis mencerminkan keyakinan bahwa
perusahaan memiliki kewajiban untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan konsumen dan dalam prosesnya akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan itu sendiri dan para pegawainya. Tanggung jawab legal menunjukkan bahwa perusahaan diharapkan memenuhi tanggung jawab ekonominya dalam tuntutan hukum tertulis. Tanggung 117 Avery, op. cit., hlm. 45. 118 A. B. Carroll, “A Three-Dimensional Conceptual Model of Corporate Social Performance”, Academy of Management Review, Vol. 4 No. 4, 1979, hlm. 497-505; lihat juga “The Pyramid of Corporate Social Responsibility: Toward the Moral Management of Organizational Stakeholders”, Business Horizons, Vol. 34 No. 4, 1991, hlm. 39-48.
43
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
jawab etis menunjukkan sebuah perhatian bahwa perusahaan memenuhi harapan masyarakat tentang tindakan bisnis yang tidak dikodifikasikan ke dalam hukum, tetapi lebih sebagai yang dicerminkan di dalam standard, norma, nilai-nilai yang tidak tertulis yang secara implisit diturunkan dari masyarakat. Tanggung jawab diskresionaris perusahaan bersifat filantropik atau sukarela, dalam arti bahwa tanggung jawab ini merepresentasikan peran suka rela dari perusahaan terhadap harapan masyarakat yang tidak sejelas dalam tanggung jawab etis. Tanggung jawab etis dan diskresionaris melibatkan tanggung jawab yang lebih untuk melakukan apa yang baik (affirmative duty) dan menghindari cidera atau kerusakan (negative duty).
Pendekatan pelanggaran terhadap tanggung jawab korporasi ter-
hadap hak asasi manusia lebih terkait dengan kapasitasnya sebagai pelanggar (violator) baik sebagai pelanggar utama maupun sebagai pelanggar penyerta atau pembantu. Kewajiban hak asasi manusia yang terkait dengan kapasitasnya sebagai pelanggar adalah kewajiban untuk menghargai. Sifatnya adalah kewajiban negatif, yang terkait dengan prinsip etis do no harm atau prinsip non-malificence, yaitu prinsip tidak boleh mendatangkan kerugian atau nestapa bagi pihak lain. Dalam diskursus CSR, pendekatan ini menuntut adanya tanggung jawab legal (semata). Sementara, pendekatan tanggung jawab lebih melihat korporasi dalam kapasitasnya sebagai promotor dan protektor hak asasi manusia. Kewajiban hak asasi manusia yang terkait dengan kapasitasnya sebagai promotor dan protektor adalah kewajiban melindungi, mempromosikan, dan memenuhi. Sifatnya adalah kewajiban positif, yang terkait dengan prinsip etis affirmative duty. Pendekatan ini beririsan dengan ketiga jenis tanggung jawab lain dalam konsep CSR yaitu tanggung jawab ekonomis, etis, dan diskresionis (filantropik), dan tentu saja dengan tanggung jawab legal.
Bentuk dan sifat hubungan tanggung jawab bisnis terhadap hak
asasi manusia dengan konsep CSR dapat dilihat dalam tabel berikut:
44
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
Tabel 2: Tanggung Jawab Bisnis terhadap HAM Perspektif Korporasi sebagai pelanggar HAM (yang utama) Korporasi sebagai penyerta dalam pelanggaran HAM (yang dilakukan oleh Negara) Korporasi sebagai promotor dan protektor HAM
Bentuk Pelanggaran HAM
Pendekatan
Kewajiban HAM
Prinsip Etis
Irisan dengan Komponen CSR
Kewajiban negatif: kewajiban untuk menghargai
Prinsip I: do no harm; prasyarat bagi Prinsip II
Tanggung jawab: legal
Kewajiban positif: kewajiban untuk melindungi, mempromosikan dan memenuhi
Prinsip II: affirmative duty; pemberi signifikasi bagi Prinsip I
Tanggung jawab: ekonomis, legal, etis, dan diskresionis
Melakukan (Commission)
Pelanggaran Commission dan Omission
Diam-diri (Omission)
Tanggung jawab
Dibuat oleh Eddie Sius Riyadi @ 2008. Jika keempat dimensi tanggung jawab sosial perusahaan ini diterima sebagai satu kesatuan, itu berarti kita menolak hakikat CSR yang sematamata bersifat voluntaristik (suka rela), sebagaimana diyakini dalam teori klasik tentang CSR. Kemenyatuan ���������������������������������������������� keempat hal itu dalam aplikasinya paling tidak dapat dijelaskan sebagai berikut.119
Pertama, pengakuan terhadap komponen legal dari CSR mencegah
kita dari melihat CSR sebagai hal yang bertentangan dengan, atau bisa mensubstitusikan, peraturan perundang-undangan. Ia menawarkan basis untuk menggabungkan pendekatan “ pengaturan-diri” (self-regulatory) dan “pengaturan dari luar” (regulatory) terhadap akuntabilitas TNCs. Komponen legal yang signifikan dalam perusahaan harus bersesuaian dengan hukum yang memayungi seluruh aktivitas dan operasi perusahaan atau bisnis. Lebih lanjut, penggabungan antara kedua hal itu 119 Lihat Gatto, op. cit.
45
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
secara ekonomi berarti mengurangi biaya dan dengan demikian memberikan kontribusi pada komponen ekonomi dari CSR.
Kedua, CSR juga mengandung komponen etis yang kuat. Hukum
memiliki kekurangan dalam hal mengantisipasi keadaan atau perkembangan yang baru atau tidak biasa. Hukum cenderung lebih bersifat responsif ketimbang antisipatif. Karena itu, selalu ada kesenjangan waktu antara pengenalan terhadap problem dan kapasitas hukum yang mengkontrolnya. Dalam konteks ini, CSR perlu menjadi lebih fleksibel dalam menangani
kebutuhan-kebutuhan
yang
mencuat
dari
perubahan-
perubahan sosial dan menyatupadukan kewajiban-kewajiban etis tersebut, yaitu kewajiban-kewajiban yang tetap tidak tertampung dalam terminologi kewajiban legal, melainkan yang didasarkan pada kebutuhan dan klaim atau tuntutan-tuntutan real masyarakat. Komponen etis dari CSR dapat dipandang sebagai komponen yang menyatupadukan seluruh wilayah yang luas dari tanggung jawab korporasi terhadap hak asasi manusia. Selain itu ia juga dapat mengisi celah legislasi dengan menangani semua area tanggung jawab korporasi yang sulit atau tidak bisa ditangani dalam kerangka hukum.
Akhirnya, CSR tampaknya memiliki potensi untuk mengintroduksi
diskursus hak asasi manusia dengan menggunakan bahasa bisnis. CSR berasal muasal dari dunia bisnis, tetapi secara progresif merangkum pelbagai persoalan etis yang lebih luas. Pengembangan tanggung jawab TNCs terhadap hak asasi manusia secara efektif didasarkan pada sebuah pemahaman bersama tentang cakupan dan sasaran tanggung jawab bisnis terhadap hak asasi manusia. CSR bisa menyediakan sebuah alat untuk dialog antara aktor-aktor utama yang terlibat (LSM, masyarakat sipil dari negara-negara berkembang dan pelbagai perusahaan atau bisnis) dan berkontribusi menjembatani jurang antara hak asasi manusia dan komunitas bisnis.
CSR dapat dipandang sebagai solusi yang cepat dan fleksibel
terhadap defisit akuntablitas korporasi dewasa ini. Namun demikian, ini tidak berarti menolak pertimbangan-pertimbangan yang diwajibkan oleh hukum. Sebaliknya, CSR dilihat sebagai pelengkap terhadap aturan-
46
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
aturan hukum positif dalam cakrawala sebagai strategi menyeluruh untuk membuat TNCs bertanggung jawab. Dasar-dasar konsensus yang lebih luas yang diciptakan oleh CSR kemudian bisa diterjemahkan ke dalam kewajiban-kewajiban legal. Pengembangan kewajiban legal terhadap masalah-masalah lingkungan merupakan sebuah contoh yang baik untuk bagaimana masalah-masalah sosial dapat dimasukkan menjadi kewajiban-kewajiban legal. Dahulu hanya sedikit orang yang percaya bahwa isu-isu lingkungan bisa menjadi masalah penting dalam konteks operasi korporasi, sementara sekarang kenyataannya justru sebaliknya, di mana kepedulian terhadap lingkungan telah menjadi kewajiban legal bagi perusahaan. Demikian juga halnya terhadap hak asasi manusia, yang sekarang ini mungkin belum menjadi perhatian utama, tetapi suatu hari jika diperjuangkan terus akan menjadi prioritas utama bagi operasi bisnis.
Dimensi “sosial” dari tanggung jawab bisnis ini didasarkan pada
suatu konsep atau pengandaian sosiologis tertentu. Menurut “teori kontrak sosial” yang dikembangkan Thomas Donaldson, korporasi sebagai organisasi produktif terikat dalam sebuah kontrak dengan masyarakat,120 yang berimplikasi pada adanya serangkaian kewajiban resiprokal antara bisnis dan masyarakat. Pada gilirannya, masyarakat akan menuntut TNCs untuk menjalankan aktivitas mereka agar sesuai dengan norma-norma fundamental. Mengingat daya pengaruh aktivitas sebuah TNC berjangkau internasional, maka norma-norma fundamental tersebut juga terdapat dalam hak asasi manusia yang juga bersifat, dan telah diterima secara, internasional dan universal. Karena itu, hak asasi manusia menyediakan standard untuk mengukur dan menilai tindakan MNEs dan menjadi alat untuk memediasi konflik potensial antara norma-norma di negara operasi (host state) dan negara asal (home state) sebuah TNC.121
Saya sendiri berpendapat bahwa konsep “sosial” dalam diskursus
CSR sangat rentan disalahtafsirkan, dan karena itu watak voluntaristiknya tetap kental. Kalau CSR hendak dikentalkan sebagai benar-benar tanggung jawab, terutama kewajiban terhadap hak asasi manusia, maka 120 Th. Donaldson, The Ethics of International Business, Oxford: Oxford University Press, 1989, pada hlm. 44-64. 121 Th. Donaldson, ibid., hlm. 98-99.
47
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
syarat pertamanya adalah melihat entitas bisnis sebagai entitas politik.122 Kalau dalam hukum pidana internasional korporasi telah dilihat dan dipandang sebagai subjek hukum, mengapa ia tidak dipandang sebagai subjek politik juga? Ia dipandang sebagai subjek politik terutama dilihat dari prinsip operasionalnya yang bersifat voluntas (kehendak bebas), yang mana merupakan prinsip yang sama bagi subjek politik yang lain juga.
Syarat kedua adalah mengubah paradigma tanggung jawab
politik. P���������������������������������������������������������������� ertanggungjawaban politik tidak lagi semata bersifat diametris. Artinya, institusi atau aktor politik bertanggung jawab bukan semata karena mendapatkan kekuasaan formal dari rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan, tetapi terutama karena praktik penggunaan kekuasaan real di lapangan. Dengan demikian, kalaupun sebuah perusahaan tetap dipandang sebagai institusi bisnis semata dan bukan merupakan entitas politik, tetapi kekuasaan ekonominya memiliki implikasi politik yang amat signifikan bagi masyarakat – misalnya kehadiran dan kegiatannya menyebabkan terampasnya hak-hak sosial dan politik komunitas tertentu di mana perusahaan itu beroperasi – apalagi jika perusahaan itu terlibat dalam kampanye, kegiatan dan dukungan politik baik sembunyisembunyi maupun terang-terangan, maka ia akan sah secara politik dimintai pertanggungjawaban.
Terkait advokasi hak asasi manusia, kewajiban yang diminta
dari pelaku bisnis bukan lagi moralis, sosial, filantropis, voluntary, tetapi politik. Kewajiban dalam konsep hak asasi manusia – melampaui pengertian yang berlaku selama ini yang hanya mengedepankan kewajiban legal, yang sudah saatnya dikritik – adalah kewajiban politik, yang mencakupi dimensi legal, ekonomi, sosial, etis, dan filantropis. Artinya, hak asasi manusia telah menjadi standar legitimasi kekuasaan. Jika itu diabaikan, legitimasi pemegang kekuasaan menjadi goyah. Demikian juga halnya dengan bisnis. Jika ia tidak menghargai dan mempromosikan hak asasi manusia dalam kegiatannya, maka legitimasi politiknya runtuh. Tidak ada tempat bagi yang apolitis dalam masyarakat karena masyarakat selalu sudah politis. Bisnis yang tidak mengindahkan dimensi politiknya tidak 122 Tentang tanggung jawab “politik” bisnis terhadap hak asasi manusia, telah diintroduksi dengan sangat singkat namun padat dalam tulisan saya. Lihat Riyadi, op. cit.
48
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
etis secara politik untuk hadir di sebuah masyarakat, terlepas dari fakta ia sudah mengantongi izin legal atau tidak. Atas nama politik – tentu saja dengan konsep politik yang ditawarkan di sini – sekalipun belum ada hukum yang mengaturnya, bisnis tetap ditagih pertanggungjawabannya terhadap hak asasi manusia, baik yang bersifat negatif (kewajiban menghargai) maupun yang positif (melindungi, mempromosikan, dan memenuhi).
49
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
Daftar Rujukan A. Buku dan Artikel Addo, M. K., “Human Rights and Transnational Corporations”, dalam M.K. Addo (ed.), Human Rights Standards and the Responsibility of Transnational Corporations, The Hague: Kluwer Law International, 1999, hlm. 3-37. Aguirre, D., “Multinational Corporations and the Realisation of Economic, Social and Cultural Rights”, 35 Cal. W. Int’l L.J. 53, 70 (2004). Avery, C., “Business and Human Rights in a Time of Change”, dalam M. T Kamminga dan S. Zia Zarifi (eds.), Liability of Multinational Corporations under International Law, The Hague: Kluwer Law International, 2000. Bottomley, S., “Corporations and Human Rights” dalam Bottomley S. dan Kinley D. (eds.), Commercial Law and Human Rights, Ashgate: Aldershot, 2002. Bottomley, S., “Corporations and Human Rights”, dalam S. Bottomley dan D. Kinley (eds.), Commercial Law and Human Rights, Aldershot: Ashgate, 2002. Bottomley S. dan Kinley D. (eds.), Commercial Law and Human Rights, Ashgate: Aldershot, 2002. Brown, Widney (Senior Director of International Law, Policy and
Campaigns, Amnesty International, UK), “The Nature of State
Obligations and Corresponding Responsibilities of the Private
Sector”, “Reconciling Trade and Human Rights, the New
Development Agenda”, Ottawa: CCIC dan Quebec: Rights and
Democracy, Conference Report, 28-29 Mei 2007, Ottawa, Kanada.
Brownlie, I., Principles of Public International Law, ed. ke-7, New York: Oxford University Press, 2008. Carroll,
A. B. ,“The Pyramid of Corporate Social Responsibility:
Toward the Moral Management of Organizational Stakeholders”, Business Horizons, Vol. 34 No. 4, 1991, hlm. 39-48.
50
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
Carroll, A. B., “A Three-Dimensional Conceptual Model of Corporate Social Performance”, Academy of Management Review, Vol. 4 No. 4, 1979, hlm. 497-505. CESCR (Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), General Comment 12, The Right to Adequate Food (Pasal 11), 12 Mei 1999. CESCR, General Comment 14, The Right to the Highest Attainable Standard of Health, (Pasal 12), Juli 2000. CESCR, General Comment 18, 2007. Clapham, A. dan S. Jerbi, “Categories of Corporate Complicity in Human Rights Abuses”, 24 Hastings Int’l & Comp. L. Rev. 339, 341 (2001). Clapham, A., Human Rights Obligations of Non-State Actors, Oxford: Oxford University Press, 2006. D’Amato, A., “Human Rights as Part of Customary International Law: A Plea for Change of Paradigms”, 25 Ga. J. Int’l & Comp. L. 47, hlm. 81-98 (1995-1996). de Mello, S. Vieira, “Human Rights: What Role for Business?”, 2(1) New Academy Review 19 (2003). Deva, S., “UN’s Human Rights Norms for Transnational Corporations and Other Business Enterprises: An Imperfect Step in the Right Direction”, 10 Ilsa J. Int’l & Comp. L. 493, 495 (2004). Donaldson, Th., The Ethics of International Business, Oxford: Oxford University Press, 1989. Forcese, C., Putting Conscience into Commerce: Strategies for Making Human Rights Business as Usual, Montreal: International Centre for Human Rights and Democratic Development, 1997 (dapat diunduh di http:// www.ichrdd.ca/flash.html). Frey, B., “The Legal and Ethical Responsibilities of Transnational Corporations in the Protection of International Human Rights”, dalam Minnesota Journal of Global Trade, vol. 6, 1997, hlm. 153-187.
51
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
Gatto, Alexandra J. C., “The European Union and Corporate Social Responsibility: Can the EU Contribute to the Accountability of Multinational Enterprises for Human Rights?”, Working Paper No. 32, September 2002, Institute for International Law, K. U. Leuven Faculty of Law. Greider, W., “The Right and U.S. Trade Law: Invalidating the 20th Century”,
The
Nation,
15
Oktober
2001,
tersedia
di
http://www.thenation.com/docprint.mhtml?i=20011015&s=greider. Henkin, L., “Keynote Address: The Universal Declaration at 50 and the Challenge of Global Markets”, 25 Brook. J. Int’l L. 17, 25 (1999). Henkin, Louis, “The Universal Declaration at 50 and the Challenge of Global Markets”, Brooklyn Journal of International Law, 17 (April 999). HRC (Komite Hak Sipil dan Politk), General Comment 31, 2007. International Council on Human Rights Policy, “Beyond VolutarismHuman Rights and the Developing International Le gal Obligations of Companies”, Februari 2002, hlm. 13 (dapat diunduh di http://www.ichrp.org) Jennings, R. dan A. Watts (eds.), Oppenheim’s International Law, ed. ke-9, London: Longman, 1992. Joseph, S., “An Overview of the Human Rights Accountability of Multinational Enterprises”, dalam M. T. Kamminga dan S. Zia Zafiri (eds.), Liability of Multinational Corporations under International Law, The Hague: Kluwer Law International, 2000. Joseph, S., “Taming the Leviathans: Multinational Enterprises and Human Rights”, dalam Netherlands International Law Review, vol. 46,hlm. 171-203. Junk, M., “A Practical Guide to Addressing Human Rights Concerns for Companies Operating Abroad”, dalam M.K. Addo (ed.), op. cit. Junk, M., Defining the Scope of Business Responsibility for Human Rights Abroad, The Danish Centre for Human Rights, The Confederation of Danish Industries and Industrialization Found from Developing Countries, pada hlm. 6, yang dapat diunduh di http://www. humanrights.dk.
52
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
Kinley, D. dan J. Tadaki, “From Talk to Walk: the Emergence of Human Rights Responsibilities for Corporations at International Law”, 44 VJIL 931, hlm. 947 (2004). Kokkini-Iatridou, D. dan P. de Waart, “Foreign Investments in Developing Countries – Legal Personality of
Multinationals in International
Law”, 14 Neth. Y.B.I.L. 87 (1983). Laporan KKR Afrika Selatan, Report of the South African Truth and Reconciliation Commission, vol. 4, Bab 2, Institutional Hearings, Business and Labour, Cape Town: Juta Publication, 1998. Lyons, B. S., “Getting to Accountability: Business, Apartheid and Human Rights”, 17 Neth. Q. Hum. Rts. 135, 144-54 (1999). Malancazuk, P., “Multinational Enterprises and Treaty-Making – A Contribution to the Discussion on Non-State Actors and the ‘Subjects’ of International Law”, dalam V. Gowlland-Debaas (ed.), Multilateral Treaty-Making: The Current Status of Challenges to and Reforms Needed in the International Legislative Process, ���������������������������� Proceedings of the American Society of International Law/Graduate Institute of International Studies, Forum Geneva, 16 Mei 1998, Martinus Nijhoff Publ., 2000. Manzella, Lillian, dkk., The International Law Standard for Corporate Aiding and Abetting Liability (Presented to the U.N. Special Representative to the Secretary General on Human Rights and Transnational Corporations
and
other
Business
Enterprises),
EarthRights
International, Juli 2006. Nowak, Manfred, United Nations Covenant on Civil and Political Rights: CCPR Commentary, ����������������������������������������������� Arlington, VA: N.P. Engel, �������������������� edisi revisi kedua, 2005. OECD, Steps Taken by State Parties to Implement and Enforce the Convention in
on
International
Combating Business
Bribery
of
Foreign
Transactions,
2006,
Public
Officials
tersedia
di
http://www.oecd.org/dataoecd/50/33/1827022.pdf. Opini Dewan Penasihat tentang Namibia, ICJ Reports (1971), hlm. 16-345. Parkinson, J., “The Socially Responsible Company”, dalam M. K. Addo (ed.), op. cit.
53
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
Ramasastry, A., “Corporate Complicity: From Nuremberg to Rangoon, An Examination of Forced Labor Cases and Their Impact on the Liability of Multinational Corporations”, 20 Berkeley J. Int’l L. 91, 114 (2002). Ratner, S.R., “Corporations and Human Rights: A Theory of Legal Responsibility”, 111 Yale L.J. 443 (2001). Riyadi, Eddie Sius, “Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia”, Kompas, 22 Maret 2007. Robinson, Allens Arthur, Brief on Corporations and Human Rights in the Asia Pacific Region (Agustus 2006), http://www.reports-and-materials.org/ Legal-brief-on-Asia-Pacific-for-Ruggie-Aug-2006.pdf. Robinson, M., “The Business Case for Human Rights, in Visions of Ethical Business”, Financial Times Management 14 (1998). Ruggie, John, Business and Human Rights: Mapping International Standards of Responsibility and Accountability for Corporate Acts (�������������� Report of the Special Representative of the Secretary-General on the Issue of Human Rights and Transnational Corporations and Other Business Enterprises), Majelis Umum PBB, Dewan Hak Asasi Manusia: A/ HRC/4/35, 19 Februari 2007. Schachter, Osca, International Law in Theory and Practice, Dordrecht/ Boston/ London: Martinus Nijhoff, 1991. Shinn, M., “The 2005 Business and Human Rights Seminar Report: Exploring Responsibility and Complicity” 8 Desember 2005, London, 2 (2005), tersedia di http://www.bhrseminar.org/BusinessHumanRightsSeminarReport2005.pdf. Sullivan, R. dan D. Hogan, “The Business Case for Human Rights – The Amnesty International Perspective”, dalam Bottomley S. dan Kinley D. (eds.), Commercial Law and Human Rights, Ashgate: Aldershot, 2002. Zerk, Jennifer A., Multinationals and Corporate Social Responsibility, Cambridge: Cambridge University Press, 2006.
54
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
B. Standard, Norma dan Instrumen-Instrumen Hukum (HAM) Internasional Allied Control Council Law No. 10, “Punishment of Persons Guilty of War Crimes, Crimes Against Peace and Against Humanity”, Dec. 20, 1945, pasal II ayat 2. Cartagena Protocol on Biosafety, 29 Januari 2000, pasal 27,39 I.L.M. 1027 (2000). Charter of the International Military Tribunal for Nuremberg (Piagam Pengadilan Nuremberg), 8 Agustus 1945, pasal 9, 59 Stat. 1544, 1547, 82 U.N.T.S. 279. Charter of the International Military Tribunal for the Far East, 19 Januari 1946, pasal 5 ayat 2, T.I.A.S. No. 1589; Nuremberg Tribunal Charter, pasal 6, 59 Stat. at 1547. Convention on Biological Diversity, 5 Juni 1992, pasal 14,31 I.L.M. 818 (1992). Convention on Civil Liability for Damage Resulting from Activities Dangerous to the Environment, 21 Juni 1993, pasal 2, ayat 6, E.T.S. No. 150, tersedia di http://conventions.coe.int/treaty/en/Treaties/Word/150.doc, Convention
on
Hazardous
the
Control
Waste
and
of Their
Transboundary Disposal
Movements
(“Konvensi
of
Basel”),
22 Mar. 1989, pasal 12, 28 I.L.M. 657 (1989), tersedia di http://www.basel.int/text/documents.html. Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, 9 Desember1948, pasal 3(e), 78 U.N.T.S. 277. Dewan Eropa, Convention on Civil Liability for Damage Resulting from Activities Dangerous to the Environment, 21 Juni 1993, 32 I.L.M. 1228 (1993). Draft Code of Crimes Against the Peace and Security of Mankind, U.N. GAOR, Int’l Law Comm’n, 48th Sess., pasal 2(3)(d), U.N. Doc. A/CN.4/L.533 (1996), tersedia di http://untreaty.un.org/ilc/ documentation/english/a_cn4_l532.pdf.
55
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
DUHAM. Diadopsi sebagai resolusi Majelis Umum PBB �������������� No. 217 (III), 10 Desember 1948. European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms, 213 U.N.T.S. 222 (berlaku pada 3 Sept. 1953). ICCPR (Kovenan Hak Sipil dan Politik). ICESCR (Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). ILO Tripartite Declaration of Principles Concerning Multinational Enterprises and Social Policies, diadopsi oleh Governing Body ILO pada 16 November 1977, dalam N. Horn (ed.), Legal Problems of Codes of Conduct for Multinational Enterprises, Deventer: Kluwer, 1980. ILO, “Tripartite Declaration of Principles Concerning Multinational Enterprises and Social Policy” (1977) (rev. 2000), tersedia di http://www.ilo.org/public/english/standards/norm/sources/mnehtm. International Convention on Civil Liberty for Oil Pollution Damage, 29 Nov. 1969, pasal 1, ayat 2 (berlaku pada 19 Juni 1975), tersedia di http://www.admiraltylawguide.com/conven/civilpol1969.html. Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises with Regard to Human Rights, Commission on Human Rights, Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights, sesi ke-55, item Agenda 4; E/CN.4/Sub.2/2003/12/ Rev.2, 26 Agustus 2003, yang diadopsi pada sidangnya yang ke-22 pada 13 Agustus 2003. Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises with Regard to Human Rights, Commission on Human Rights, Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights, sesi ke-55, item Agenda 4; E/CN.4/Sub.2/2003/12/ Rev.2, 26 Agustus 2003, yang diadopsi pada sidangnya yang ke-22 pada 13 Agustus 2003. OECD, “The Revised OECD Guidelines for Multinational Enterprises” (2000), tersedia di http://www.oecd.org/dataoecd/56/36/1922428.pdf.
56
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
Reg. No. 2000/15 on the Establishment of Panels with Exclusive Jurisdiction over Serious Criminal Offences, U.N. Transitional Administration in East Timor, 14.3, U.N.Doc.UNTAET/REG/2000/15 (2000),
tersedia
di
http://www.un.org/peace/etimor/untaetR/
Reg0015E.pdf; Statute of the Iraqi Special Tribunal, 10 Desember 2003, pasal 15(b), tersedia di http://www.cpa-iraq.org/human_rights/ Statute.htm. Resolusi tentang Standard-Standard Uni Eropa untuk PerusahaanPerusahaan Bisnis Eropa yang bekerja di negara-negara berkembang menuju
European
Code
of
Conduct,
EUR.
PARL.
DOC.,
Res. A4-0508/98, pembukaan, O.J. (1999) C 104/180. Rio Declaration on Environment and Development, Report of the U.N. Conference on the Human Environment, Rio de Janeiro (1992), tersedia
di
http://www.un.org/documents/ga/conf151/aconf15126-1an-
nex1.htm. Rome Statute of the International Criminal Court, 17 Juli 1998, pasal 25(3), U.N. Doc. A/CONF.183/9, 37 I.L.M. 999 (mulai berlaku pada 1 Juli 2002). Statute of the International Tribunal for the Prosecution of Persons Responsible for Serious Violations of Humanitarian Law Committed in the Territory of the Former Yugoslavia, 25 Mei 1993, S.C. Res. 827, U.N. SCOR, 48th Sess., 3217th mtg., U.N. Doc. S/RES/827 (1993), dicetak ulang dalam 32 I.L.M. 1159 (1993). Statute of the Special Court for Sierra Leone, 16 Januari 2002, tersedia di http://www.specialcourt.org/documents/Statute.html. U.N. Code of Conduct on Transnational Corporations, 23 I.L.M. 626 (1984). U.N. Conference on Environment and Development, Jun. 3-14, 1992, Agenda 21 Programme of Action for Sustainable Development, U.N. Doc. A/CONF.151/26 (1992), tersedia di http://www.un.org/esa/sustdev/documents/agenda21/english/Agenda21.pdf. U.N.
Global
Compact,
“The
Ten
Principles”,
tersedia
di
http://www.unglobalcompact.org/AboutTheGC/TheTenPrinciples/ index.html.
57
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
fokus kajian
U.N. Security Council Resolution 955 (1994) tentang pembentukan International Tribunal for Rwanda, 8 November 1994, S.C. Res. 955, U.N. SCOR, 49th Sess., 3453rd mtg., U.N. Doc. S/RES/955 (1994), dicetak ulang dalam 33 I.L.M. 1598 (1994). UN document E/ CN. 4/ Sub.2: 2002X/Add, E/CN. 4/Sub/2002/wg; 2/wp; 1/Add. Diunduh di http://www.1umn.edu/humanrights/lnks/ principles 11-18-200 htm.recognise pada 15 Mei 2002. UN, World Conference on Human Rights, The Vienna Declaration and Programme of Action, 25 Juni 1993, UN Doc.A/ CONF. 157/23 (1993), dapat diunduh di http://unhcr.ch/udhr/index.htm. World Summit for Social Development, Copenhagen Declaration on Social Development, Mar. 12, 1995, U.N. Doc. A/CONF.166/9 (1995), tersedia di http://www.un.org/esa/socdev/wssd/agreements/decparti.htm. C. Daftar Kasus yang Dirujuk Autronic AG v. Switzerland, Eur. Ct HR Series a 178 (1990), 12 (1990) EHRR 485 para. 47. ��� Prosecutor v. Akayesu, ICTR Case No. ICTR-96-4-T (Trial Chamber Sep. 2, 1998), 477, 548, tersedia di http://69.94.11.53/ENGLISH/cases/ Akayesu/judgement/akay001.htm. Prosecutor v. Akayesu, Judgement, No. ICTR-96-4-T (ICTR Trial Chamber, 2 September 1998). Prosecutor v. Aleksovski, ICTY Case No. IT-95-14/1 (Trial Chamber May 30, 2001), hlm. 65, tersedia di http://www.un.org/icty/aleksovski/appeal/ judgement/nob-aj010530e.htm. Prosecutor v. Blagojevic and Jokic, ICTY Case No. IT-02-60 (Trial Chamber Jan. 17, 2005), 726, tersedia di http://www.un.org/icty/blagojevic/ trialc/judgement/index.htm. Prosecutor v. Delalic, ICTY Case No. IT-96-21 (Trial Chamber Nov. 16, 1998), hlm.
327,
tersedia
di
http://www.un.org/icty/celebici/trialc2/
judgement/index.htm.
58
Eddie Sius Riyadi
Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia
Prosecutor v. Furundzija, ICTY Case No. IT-95-17/1-T (Trial Chamber Dec. 10, 1998), hlm. 191, tersedia di http://www.un.org/icty/furundzija/trialc2/judgement/index.htm. Prosecutor v. Furundžija, Judgement, No. IT-95-17/1 (ICTY Trial Chamber, 10 Desember 1998). Prosecutor v. Galic, ICTY Case No. IT-98-29-T (Trial Chamber Dec. 5, 2003), hlm. 169, 170-172, tersedia di http://www.un.org/icty/galic/trialc/ judgement/index.htm. Prosecutor v. Kayishema and Ruzindana, ICTR Case No. ICTR-95-1-T (Trial
Chamber
May
21,
1999),
hlm.
202,
tersedia
di
http://69.94.11.53/ENGLISH/cases/KayRuz/judgement/index.htm. Prosecutor v. Tadic, ICTY Case No. IT-94-1-T (Trial Chamber May 7, 1997), hlm. 678, tersedia di http://www.un.org/icty/tadic/trialc2/judgement/index.htm. Prosecutor v. Vasiljevic, ICTY Case No. IT-98-32 (Appeal Chamber Feb. 25, 2004), hlm. 102, tersedia di http://www.un.org/icty/vasiljevic/ appeal/judgement/index.htm. The Farben Case, Military Tribunal VI, Case 6: U.S. v. Krauch, dalam 8 Trials of War Criminals under Control Council Law No. 10, hlm. 1169 (1948). The Krupp Case, Military Tribunal IV, Case 10: U.S. v. Alfried Krupp et al., Juli 31, 1948, dalam 9 Trials of War Criminals under Control Council Law No. 10, hlm. 4 (1948). The Nuremberg Trials (U.S. v. Goering), 6 F.R.D. 69, 112 (Int’l Mil. Trib. 1946). Trial of Bruno Tesch and Two Others, 1 Law Reports of Trials of War Criminals 93 (Brit. Mil. Ct. 1947). U.S. v. Friederich Flick, dalam 6 Trials of War Criminals Before the Nuremberg Military Tribunals under Control Council Law No.10, hlm. 1217, 1222 (1947).
59
60
Landasan Teoretis
61
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
62
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: dari Pemegang Saham (Shareholder) ke Pemangku Kepentingan (Stakeholder) Oleh Eddie Sius Riyadi Abstract This article describes the theoretical basis of corporate social responsibility discourse and debate. It explains two views. The first view, classical view, sees the only motive of business is to gain the profit, consequently, the business obligation is only economic responsibility. This view then often called as ”shareholder perspective”. However, the second view sees the business obligations are not only economic enterprises, but also legal, ethical, and philantropical responsibilities. It means that the scope of business responsibility is not only aimed to the internal circumstance of corporations, but also and should be to other ”stakeholder”. This ”stakeholder perspective” is the focus of this article, which is then elaborated under the light of ethical principles, i.e.: do no harm and affirmative duty principles. Here I suggest that corporations have to hold the human rights obligations by first of all respect the ”do no harm principle”, and then ”affirmative duty” which is not a trade-off with the first principle. This article argues that if a corporation wants to survive, it by all means has to respect the ethical responsibility which in turn will bring benefit to it. But in the closing remark, I insist that the business respect to ethical responsibility is not only because of benefit strategy, but mainly because it has obligations as such as it is a member of society. Keywords: corporate social responsibility, classical perspective, stakeholder perspective, ethical responsibility.
Pengantar Tulisan ini merupakan analisis terhadap pokok-pokok pemikiran Manuel Castelo Branco dan Lúcia Lima Rodriguez tentang konsep tanggung
Manuel Castelo Branco dan Lúcia Lima Rodriguez, “Positioning Stakeholder Theory within the Debate on Corporate Social Responsibility”, EJBO (Electronic Journal of Business Ethics and Organization Studies), Vol. 12, No. 1 (2007), hlm. 5-15.
63
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility, CSR) dan posisi teori pemangku kepentingan (stakeholder theory) di dalamnya.Tulisan ini akan menyajikan paparan Branco dan Rodriguez untuk mendukung tesis mereka dalam tulisan mereka yaitu bahwa konsep CSR paling baik dilandaskan pada teori pemangku kepentingan. Tesis ini didasarkan pada sekurang-kurangnya dua asumsi, yaitu: pertama, perusahaanperusahaan mau menerima dan menerapkan konsep CSR terutama sekali karena dengan begitu mereka mendapatkan keuntungan atau manfaat; kedua, asumsi pertama itu berhubungan dengan suatu pengandaian lain yaitu bahwa konsep CSR itu memiliki apsek normatif dan instrumental yang bisa mendukung asumsi itu, dan kedua aspek itu dapat dijelaskan oleh sebuah teori, yaitu teori pemangku kepentingan.
Untuk itu, Branco dan Rodriguez menyajikan paparan dan meng-
urai pemikiran mereka sebagai berikut: Pertama, mereka menyajikan dua perspektif tentang CSR yaitu perspektif klasik atau perspektif pemegang saham
(shareholder
view)
dan
perspektif
pemangku
kepentingan
(stakeholder view). Uraian kemudian ditambah dengan memperlihatkan “nilai lebih” dari perspektif kedua. Kedua, mereka memaparkan evolusi konsep CSR dari perspektif yang kedua tersebut, yaitu perspektif pemangku kepentingan. Dalam bagian ini dibedakan secara jelas antara konsep kewajiban sosial (social obligation), tanggung jawab sosial (social responsibility), dan kepedulian sosial (social responsiveness). Ketiga, mereka memberikan tanggapan kritis. Tulisan ini akan ditutup dengan memberikan analisis kritis terhadap keseluruhan uraian Branco dan Rodriguez dengan memeriksa posisi mereka sendiri di tengah konstelasi perdebatan akademis tentang CSR yang mereka elaborasi itu. Keduanya di sana sini menyatakan penolakan atau persetujuan terhadap pendapat pakar tertentu, juga mengurangi atau menambahkan pandangan pakar tertentu.
CSR sebagai sebuah pertimbangan etis dan moral sudah meng-
undang banyak perdebatan yang tak ada kata akhirnya hingga sekarang ini. Aspek etis dan moral dalam CSR merupakan salah satu aspek yang
Branco dan Rodriguez, hlm. 5, kolom 2, paragraf 2. Ibid. Ibid.
64
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
sangat penting. Namun, yang menarik minat Branco dan Rodriguez adalah soal fenomena “disukainya” CSR itu oleh perusahaan-perusahaan. Ini tentunya melampaui pertimbangan moral dan etis. Ternyata, CSR itu dilihat “bukan lagi sebagai penghalang keuntungan bagi perusahaan, melainkan malahan mendatangkan keuntungan, paling tidak dalam jangka panjang.” Fenomena inilah yang menjadi dasar telaah Branco dan Rodriguez yang membawa mereka pada pemikiran bahwa kalau memang demikian, tentunya “ada sesuatu” di dalam konsep CSR itu yang membuat perusahaan-perusahaan bukannya merasa terbebani melainkan malah seolah-olah senang menerima dan mempraktikkan CSR itu. Untuk mencari jawaban itu, mari kita lihat, mengikuti Branco dan Rodriguez, paling tidak dua perspektif tentang CSR.
Dua Perspektif tentang CSR Ada dua perspektif tentang CSR. Dua perspektif ini tidak muncul begitu saja, melainkan muncul dari dua cara pandang tentang “peran bisnis dalam masyarakat.” Cara pandang pertama, “pandangan klasik” (classical view), yang didasarkan pada teori ekonomi neo-klasik, melihat peran bisnis dalam masyarakat murni sebagai pencarian keuntungan, yaitu keuntungan bagi para pemegang saham (shareholder). Cara pandang ini disebut juga sebagai “perspektif pemegang saham” (shareholder perspective). Sebaliknya, “pandangan pemangku kepentingan” (stakeholder view), yang didasarkan pada teori pemangku kepentingan, berkeyakinan bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab sosial. Tanggung jawab sosial itu menuntut perusahaan untuk mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terkena pengaruh dari tindakannya. �������������������� Gambaran singkatnya dapat dilihat pada tabel berikut:
� �
Lihat Branco dan Rodriguez, hlm. 5, kolom 1, paragraf 2. Ibid., hlm. 5, kolom 1, paragraf 3. Ibid., hlm. 6, kolom 1, paragraf 1.
65
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
Tabel 1 – Spektrum Sudut Pandang tentang Peran Bisnis dalam Masyarakat Pandangan
Posisinya terhadap Peran Bisnis dalam Masyarakat
Klasik
A. Pandangan pencarian-keuntungan murni: bisnis memiliki standar etis yang lebih rendah dari pada masyarakat; bisnis tidak memiliki tanggung jawab sosial kecuali kepatuhan pada hukum. B. Pandangan pencarian-keuntungan yang terbatas: bisnis harus memaksimalkan kekayaan para pemegang sahamnya, mematuhi hukum, dan bisnis itu memiliki aspek etis.
Pemangku kepentingan
A. Pandangan berkesadaran sosial: bisnis harus sensitif pada kerusakan potensial dari tindakannya terhadap pelbagai kelompok pemangku kepentingan B. Aktivisme sosial: bisnis harus menggunakan segala sumber dayanya untuk kepentingan publik
Sumber: Diadaptasi dari Lantos (2001, hlm. 602), oleh Branco dan Rodriguez.
A. Pandangan Klasik Pandangan klasik ini terbagi atas dua perspektif yaitu “pandangan pencarian-keuntungan murni” dan “pandangan pencarian-keuntungan yang terbatas”. Pandangan pertama melihat bahwa ketidakjujuran hingga pada taraf tertentu dapat diterima karena para pebisnis memiliki standard moral yang lebih rendah dari pada masyarakat pada umumnya. Gertakan khas dunia bisnis (misalnya mengatakan sesuatu secara berlebihan), aksi tipu-tipu, adalah hal-hal yang boleh, karena tujuan bisnis tidak lain tidak bukan untuk mencari keuntungan. Hanya saja, meskipun ia bisa mengabaikan standard moral dan etis, bisnis tetap harus mengikuti aturan main menurut hukum yang berlaku. Pendukung utama pandangan pertama ini adalah Carr.
Perspektif kedua dalam pandangan klasik ini adalah “pandangan
pencarian-keuntungan yang terbatas”. Pendukung pandangan klasik jenis
Branco dan Rodriguez, mengutip Lantos (2001), ibid., hlm. 6, kolom 1, paragraf 2. A. Z. Carr, “Is Business Bluffing Ethical”, Harvard Business Review, Vol. 46 No. 1, 1968, hlm. 143-153.
66
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
kedua ini adalah Milton Friedman.10 Friedman berkeyakinan bahwa perusahaan haruslah bertindak jujur. Kejujuran itu dipahami Friedman dalam kerangka tujuan perusahaan itu sendiri, yang bahkan satu-satunya, yaitu pencarian keuntungan bagi para pemegang saham. Yang mencari keuntungan bagi para pemilik saham adalah para manajernya. Karena itu, tidak etis kalau para manajer disuruh memikul beban tanggung jawab sosial perusahaan kepada pihak lain selain para pemegang atau pemilik saham. Menurut Friedman, menuntut perusahaan untuk mengemban tanggung jawab sosial akan merusak sendi-sendi sebuah masyarakat yang bebas dengan sistem ekonomi-bebas (free-enterprise) dan sistem kepemilikan individual. Masalah sosial biarlah menjadi urusan negara saja. Pandangan Friedman ini sebenarnya sudah dimulai oleh T. Levitt.11
Pandangan klasik ini memiliki pendukung kontemporernya
sekarang ini, dengan pelbagai variannya. Kelompok pertama termasuk dalam “pandangan pencarian-keuntungan yang terbatas”, yang menolak perspektif pemangku kepentingan. Misalnya, Barry12 menyatakan bahwa perusahaan hanya bisa mengemban tanggung jawab sosial jika kompetisi pasarnya kurang ketat, dan tindakan itu adalah sebentuk pencarian-laba oleh para manajer. Argumen sentralnya adalah bahwa pemanfaatan sumber daya perusahaan untuk tujuan sosial yang lebih lanjut kemudian mengarah pada “dicaploknya” fungsi dan pengaruh politik oleh para manajer. Yang dimaksudkan dengan fungsi politik di sini oleh Barry adalah yang beranalogi pada lembaga parlemen. Fungsi politik itu manifes ketika ada kesulitan dalam pengambilan keputusan dalam perusahaan karena pemegang saham paling berkuasa didepak dan ketika tujuan untuk memaksimisasi kekayaan bagi pemegang saham diabaikan dalam rangka menampung pelbagai kepentingan. Perspektif pemangku kepentingan, menurut Barry, membuat “sistem bisnis beroperasi seperti sistem politik”. Hal ini sebaiknya tidak terjadi, karena akan melibatkan voting dan 10 M. Friedman, “The Social Responsibility of Business is to Increase its Profits”, dalam New York Times Magazine, 13 September 1970; Juga dicetak ulang atas izin New York Times Magazine dalam Laura P. Hartman, Perspectives in Business Ethics, Boston etc.: McGraw Hill, 2002. 11 T. Levitt, “The Dangers of Social Responsibility”, Harvard Business Review, Vol. 33 No. 5, 1958, hlm. 41-50. 12 N. Barry, “The Stakeholder Concept of Corporate Control Is Illogical and Impractical”, The Independent Review, Vol. 6 No. 4, 2000, hlm. 541-554.
67
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
kebebasan individual dalam pengambilan keputusan, bukan berdasarkan saham.
Kelompok yang lain lagi membela perspektif pemegang saham –
yaitu maksimisasi keuntungan bagi pemegang saham – tetapi tidak harus menolak atau bertentangan dengan CSR. Intinya, perusahaan tidak dapat mengabaikan kepentingan para pemangku kepentingan, karena pengabaian itu akan berdampak pada kurangnya kemampuan perusahaan untuk meningkatkan keuntungan. Interaksi perusahaan dengan pemangku kepentingan berpengaruh pada keuntungan. Hal ini harus menjadi fiduciary duties dari para eksekutif kepada pemegang saham. Inilah pandangan enlightened shareholder maximazition. Pandangan ini berkeyakinan bahwa sebuah perusahaan tidak dapat memaksimisasi keuntungan jika pelbagai pemangku kepentingan yang penting diabaikan atau tidak diperlakukan sepatutnya. Sebaliknya, memuaskan kepentingan mereka akan mendatangkan keuntungan untuk jangka panjang. Tetapi, menurut Carr, semua pertimbangan ini bukanlah persoalan etis, melainkan pertimbangan strategis semata.13
Pandangan klasik mendasarkan pembenaran teoretisnya pada
teori ekonomi neo-klasik yang memiliki tiga klaim: pasar bebas, efisiensi ekonomi, dan maksimisasi keuntungan. Pandangan ini didasarkan pada tiga cara: Pertama, pemegang saham adalah para pemilik korporasi. Para manajer tidak punya hak untuk bertindak berdasarkan kemauannya sendiri, termasuk menggunakan sumber daya perusahaan untuk tujuan sosial.
Kedua,
peran
perusahaan
adalah
menghasilkan
kekayaan.
Pembebanan tanggung jawab sosial pada perusahaan bisa merusak kinerjanya. Ketiga, peran tanggung jawab sosial itu diemban oleh lembaga lain yaitu pemerintah; perusahaan dan para manajer tidak dilengkapi dengan peran semacam itu.14
Singkatnya, dari perspektif klasik, CSR dilihat sebagai: (1) berguna
untuk menghasilkan keuntungan dalam jangka panjang bagi pemilik saham; (2) dilakukan untuk kepentingan strategis dalam rangka 13 Carrm 1968, hlm. 149, dalam Branco dan Rodriguez. 14 Branco dan Rodriguez, hlm. 7.
68
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
keuntungan jangka panjang; dan (3) dipertimbangkan sebagaimana halnya pertimbangan investasi; CSR sebagai investasi strategis.
B. Pandangan Teori Pemangku Kepentingan Teori pemangku kepentingan didasarkan pada pemahaman bahwa melampaui para pemegang saham, terdapat beberapa agen dengan sebuah kepentingan dalam tindakan dan keputusan perusahaan. Mengutip Freeman,15 seorang penganjur pertama teori ini, yang dimaksud dengan pemangku kepentingan adalah kelompok atau individu yang mendapatkan keuntungan dari atau kerugian oleh, dan yang hak-haknya dilanggar atau dihargai oleh, tindakan korporasi. Yang termasuk pemangku kepentingan adalah para pemegang saham itu sendiri, para kreditor, pekerja atau buruh, para pelanggan, pemasok, dan masyarakat atau komunitas pada umumnya. Teori pemangku kepentingan menekankan bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial yang menuntut dia harus mempertimbangkan semua kepentingan pelbagai pihak yang terkena pengaruh dari tindakannya. Acuan pertimbangan para manajer dalam mengambil keputusan dan tindakan bukan semata-mata para pemegang saham, melainkan juga pihak lain mana pun yang terkena pengaruhnya.
Sementara, beberapa teoris lain mendefinisikan pemangku ke-
pentingan dari sebuah perusahaan sebagai ”individu-individu dan konstituen-konstituen
yang
berkontribusi,
baik
secara
suka
rela
(voluntarily) maupun tidak secara suka rela (involuntarily), bagi kapasitas dan aktivitas penciptaan kekayaan perusahaan, dan yang karena itu menjadi
benefisiari
pengampu risiko.”
16
(penerima
manfaat)
yang
potensial
dan/atau
Pemangku kepentingan sebuah perusahaan dilihat
sebagai pihak-pihak yang memasok sumber-sumber penting, menempatkan suatu nilai ”pada risiko” tertentu, dan memiliki kekuasaan/kekuatan (power) yang memadai untuk mempengaruhi kinerja perusahaan tersebut. Sebagai contoh, pesaing sebuah perusahaan tidak dianggap sebagai 15 R. Edward Freeman, “A Stakeholder Theory of the Modern Corporation”, dalam L.B. Pincus (ed.), Perspectives in Business Ethics, Singapore: McGraw Hill, 1998, hlm. 171-181. 16 Post et al., 2002, hlm. 8, dikutip dalam Branco dan Rodriguez, hlm. 13.
69
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
pemangku kepentingan ketika mereka saling bersaing untuk mendapatkan sumber daya dan pasar yang sama, tetapi dipandang sebagai pemangku kepentingan jika mereka memiliki kepentingan yang sama dan mungkin mendapatkan atau kehilangan status dan kekayaan sebagai akibat dari kompetisi yang mereka lakukan.17
Para pemangku kepentingan merupakan konstituen yang memiliki
”taruhan” (stake) dalam operasi sebuah perusahaan. Taruhan itu berupa kemungkinan keuntungan yang semakin besar atau semakin kecil, atau kerugian yang semakin besar atau semakin kecil. Para pemangku kepentingan yang terkait secara suka rela dengan sebuah perusahaan dan berkontribusi secara langsung, seperti investor, buruh/karyawan, pelanggan, mitra pasar, mengharapkan akan mendapatkan keuntungan yang lebih baik dari hubungan tersebut. Sebaliknya, di pihak lain, pemangku kepentingan yang terkait tidak secara suka rela ”khususnya mereka yang mungkin terkena dampak negatif oleh hal-hal seperti polusi, prinsip utamanya adalah pengurangan atau penghindaran kerusakan dan/atau menghalangi keuntungan. Para pemangku kepentingan ini berharap bahwa mereka sekurang-kurangnya sebaik keadaan semula ketika perusahaan tersebut belum eksis.”18
Pemangku kepentingan ini ada yang bersifat primer, yaitu pihak
yang tanpanya perusahaan tidak dapat berjalan, misalnya pemegang saham, investor, pegawai, pelanggan, pemasok, juga pemerintah dan komunitas yang menentukan regulasi dan pasar. Pemangku kepentingan yang bersifat sekunder adalah pihak yang mempengaruhi, atau dipengaruhi oleh, perusahaan tetapi tidak terlibat dalam transaksi dengan korporasi dan tidak bersifat esensial bagi keberlangsungan perusahaan.19
Yang menjadi masalah dengan teori pemangku kepentingan
adalah soal pemangku kepentingan yang “bisu” (mute) seperti lingkungan hidup dan pemangku kepentingan yang “tidak hadir” (absent) seperti generasi masa depan atau korban-korban yang potensial.20 Hal ini terkait 17 18 19 20
Branco dan Rodriguez, hlm. 13. Post et al., 2002, hlm. 22, dalam Branco dan Rodriguez. Branco dan Rodriguez, hlm. 7, mengutip Clarkson, 1995, hlm. 106-107. Capron, 2003, hlm. 15, dalam Branco dan Rodriguez.
70
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
erat dengan definisi tentang pemangku kepentingan yang umumnya hanya terbatas pada individu atau kelompok manusia, dan di luar itu bukanlah pemangku kepentingan.21 Phillips dan Reichart22 mengatakan bahwa hanya manusia yang bisa dipandang sebagai pemangku kepentingan dan mengkritik upaya-upaya untuk memberikan status sebagai pemangku kepentingan kepada lingkungan alam. Branco dan Rodriguez juga sepakat dengan pendapat bahwa hanya manusia yang pantas disebut sebagai pemangku kepentingan.23
Menurut Branco dan Rodriguez,24 salah satu cara supaya
lingkungan alam dapat dilihat sebagai salah satu pemangku kepentingan adalah dengan mengaitkannya dengan kepentingan generasi masa depan (absent stakeholders). Namun, tetap terdapat kesulitan. Tidaklah mungkin untuk meminta pendapat dari lingkungan alam atau generasi masa depan itu – karena keduanya berturut-turut bisu dan belum ada – dan keduanya tidak dapat menjadi anggota komite konsultatif. Namun demikian, pada akhirnya perhatian terhadap kepentingan lingkungan dan generasi masa depan tetap harus diberikan – meskipun bukan karena mereka memang mempunyai hak dan status sebagai pemangku kepentingan – jika para pemangku kepentingan yang legitim memang menghendakinya.25
Teori pemangku kepentingan dapat digunakan dalam tiga cara:26
Pertama adalah cara deskriptif atau empiris, di mana teori ini digunakan untuk “menggambarkan dan kadang menjelaskan karakteristik dan perilaku spesifik korporasi.” Sifat pendekatan ini adalah deskriptif.
Kedua adalah cara instrumental, di mana teori ini digunakan untuk
“mengidentifikasi kaitan atau kurangnya koneksi antara manajemen 21 Buchholz, 2004, hlm. 130, dalam Branco dan Rodriguez. 22 Phillips dan Reichart, 2000, hlm. 191, dalam Branco dan Rodriguez. 23 Hal ini tentu saja bertentangan dengan pandangan etika lingkungan, terutama deep ecology atau ecosophy. Etika lingkungan, terutama yang dikedepankan oleh deep ecology, melihat problem utama etika bukan pada “subjek etis”, melainkan pada “tanggung jawab etis”. Karena itu, entah pemangku kepentingan yang bisu atau “tidak hadir” itu subjek etis atau tidak, tetapi yang pasti terhadap keduanya “harus” diberikan “tanggung jawab etis”. Salah satu yang terdepan dari deep ecology, bahkan yang mengemukakan pertama kali, adalah Arne Naess, seorang filosof dari Norwegia, pada tahun 1972. Buku ������������������������ lengkapnya adalah: Ecology, Community and Lifestyle (Cambridge: Cambridge University Press, 1993). 24 Branco dan Rodriguez, hlm. 7, mengutip Jacobs, 1997. 25 Jacobs, 1997, hlm. 26, dalam Branco dan Rodriguez. 26 T. Donaldson dan L. E. Preston, “The Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications”, Academy of Management Review, Vol. 20 No. 1, 1995, hlm. 65-91.
71
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
pemangku kepentingan dan pencapaian sasaran korporasi tradisional (misalnya keuntungan, pertumbuhan, dll.).” Sifat pendekatan ini adalah preskriptif. Pendekatan instrumental melihat para pemangku kepentingan sebagai ”alat” (means) untuk mencapai tujuan perusahaan yaitu menghasilkan keuntungan dan meningkatkan efisiensi. Para pemangku kepentingan hanya diperhatikan sejauh itu menunjang tujuan-tujuan lebih tinggi dari sebuah perusahaan yaitu maksimisasi keuntungan, keberlangsungan dan pertumbuhan.
Ketiga adalah cara normatif, di mana teori ini digunakan untuk
“menginterpretasikan fungsi” perusahaan dan mengidentifikasi “panduan moral atau filosofis” yang harus diikuti berkaitan dengan operasi dan manajemen perusahaan. Pendekatan ini tentu saja bersifat normatifpreskriptif, dan karena itu kadang dikacaukan dengan pendekatan kedua. Pendekatan normatif melihat para pemangku kepentingan sebagai “tujuan” (end).
Di atas itu semua, sebuah pertanyaan penting menuntut untuk
dijawab: para pemangku kepentingan yang manakah yang paling signifikan dalam mempengaruhi pengambilan kebijakan dan tindakan dari dan oleh sebuah perusahaan? Menurut Mitchell dkk.,27 terdapat tiga faktor yang mempengaruhi perusahaan dalam memandang signifikansi pemangku kepentingan, yaitu kekuasaan/kekuatan (power), legitimasi, dan urgensi. Meskipun ketiga hal tersebut bersama-sama dan saling terkait dalam mempengaruhi pengambilan tindakan oleh sebuah perusahaan, tetapi yang paling besar dari ketiganya adalah kekuasaan/kekuatan. Kekuasaan/kekuatan yang dimaksudkan di sini adalah kekuatan nyata suatu pemangku kepentingan untuk melakukan tekanan dan tuntutan baik secara sosial, politis, maupun hukum. Bisa terjadi bahwa suatu pemangku kepentingan memiliki legitimasi (misalnya korban langsung semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur) dan memiliki urgensitas yang sangat tinggi (keadaan mereka sudah sangat membahayakan dari segi kelangsungan hidup) untuk melakukan penuntutan kepada sebuah perusahaan, namun karena mereka tidak memiliki kekuasaan yang 27 Mitchell et al., 1997, dalam Branco dan Rodriguez, hlm. 8.
72
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
real (misalnya mereka terpecah belah dalam memandang persoalan itu, bahkan ada yang menerima begitu saja hal tersebut sebagai sebuah ”bencana alam” dan bukan ”bencana buatan manusia” yang harus dituntut), maka perusahaan bisa enggan atau bahkan tidak mau melakukan tindakan apa pun. Branco dan Rodriguez mengutip contoh kasus di Kanada dan Swedia28 di mana perusahaan-perusahaan kehutanan lebih memprioritaskan tuntutan para pemangku kepentingan yang memiliki kekuatan real ketimbang tuntutan yang hanya dilontarkan berdasarkan argumen etis atau tanggung jawab sosial belaka.
Pandangan yang diuraikan di atas adalah apa yang disebut sebagai
pandangan berkesadaran sosial (socially aware view) yang lebih dekat pada prinsip do no harm, yaitu prinsip moral minimalis di mana perusahaan tidak boleh melakukan tindakan yang merugikan kepentingan para pemangku kepentingan dalam menjalankan aktivitasnya untuk mencapai tujuannya. Yang juga dekat dengan teori pemangku kepentingan adalah perspektif ”aktivis sosial”. Perspektif ini melihat bahwa perusahaan bertanggung jawab terhadap semua pemangku kepentingan lain jauh melampaui para pemegang saham. Perusahaan harus secara aktif mempromosikan kepentingan-kepentingan sosial, bahkan ketika masyarakat tidak mengharapkannya atau menuntutnya. Menurut Lantos, pandangan ini menuntut supaya perusahaan harus secara aktif terlibat ”dalam program-program yang bisa memperbaiki pelbagai kerusakan sosial, misalnya dengan menyediakan kesempatan kerja bagi semua orang, memperbaiki kondisi lingkungan, dan mempromosikan keadilan secara luas, walaupun hal itu menuntut biaya tinggi yang harus dikeluarkan oleh para pemegang saham.”29 Perspektif ini lebih tampak berkarakter affirmative duties, yaitu kewajiban untuk secara proaktif dan positif melakukan kebaikan (beneficence).
C. Sintesis Sementara Kedua pandangan yang saling bersaing di atas sebenarnya dapat 28 Branco dan Rodriguez, hlm. 8, mengutip Nasi et al., 1997. 29 Lantos, 2001, hlm. 602, dalam Branco dan Rodriguez, hlm. 8.
73
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
disintesiskan. Branco dan Rodriguez mencoba melakukan sintesis dengan melawankan antara teori “maksimisasi nilai yang tercerahkan” dengan teori pemangku kepentingan yang tercerahkan. Pertanyaannya yang muncul adalah: untuk mencapai kesuksesan di pasar, apa nilai lebih yang sebenarnya dari penggunaan manajemen dengan pendekatan teori pemangku kepentingan dibandingkan dengan pendekatan klasik? Ada pendapat bahwa pandangan klasik benar-benar murni berhakikat ekonomi, dan benar-benar ada pembedaan yang tegas antara aspek ekonomi dan aspek sosial. Sementara, manajemen dengan pendekatan pemangku kepentingan membaurkan kedua aspek tersebut secara bersama-sama.
Jensen30 mengatakan bahwa apa yang ia sebut sebagai “maksimisasi
nilai yang tercerahkan” dan “teori pemangku kepentingan yang tercerahkan” barangkali merupakan dua hal yang sama. Maksimisasi nilai yang tercerahkan menggunakan teori pemangku kepentingan untuk mempertimbangkan bahwa sebuah perusahaan tidak dapat memaksimisasikan nilainya jika pelbagai pemangku kepentingan yang penting diabaikan atau diperlakukan secara tidak layak. Sementara, teori pemangku kepentingan yang tercerahkan mempertimbangkan maksimisasi nilai jangka panjang atau nilai sebagai fungsi objektif perusahaan yang dengan itu memecahkan problem yang muncul dari pertimbangan terhadap sasaran-sasaran yang berganda, sebagaimana layaknya dalam teori pemangku kepentingan tradisional.
Para pendukung teori pemangku kepentingan, seperti Freeman
dkk.,31 mempertanyakan alternatif-alternatif yang tersedia bagi para manajer untuk menciptakan nilai pemegang saham ketimbang “dengan menciptakan produk-produk dan jasa yang disukai para pelanggan, menawarkan pekerjaan yang disukai para buruh/karyawan, membangun hubungan dengan para pemasok yang disukai perusahaan-perusahaan, dan menjadi warga yang baik dalam sebuah komunitas.” 30 M. C. Jensen, “Value Maximation, Stakeholder Theory, and the Corporate Objective Function”, Journal of Applied Corporate Finance, Vol. 14 No. 3, 2001, hlm. 8-21. 31 R. E. Freeman, A. C. Wicks, dan B. Parmar, “Stakeholder Theory and ‘The Corporate Objective Revisited’”, Organization Science, Vol. 15 No. 3, 2004, hlm. 364-369, pada hlm. 366.
74
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Yang membedakan teori pemangku kepentingan dari maksimisasi
nilai yang tercerahkan, menurut Freeman dkk.,32 adalah bahwa teori maksimasi nilai “dimulai dengan asumsi bahwa nilai-nilai benar-benar dan tidak bisa tidak merupakan bagian dari kegiatan bisnis, dan menolak tesis pemisahan”, yang mana etika dan ekonomi dapat dipisahkan secara jelas. Para pendukung teori pemangku kepentingan menolak tesis pemisahan. Mereka melihat suatu dimensi moral dalam kegiatan bisnis, karena ekonomi “jelas-jelas dinafkahi atau dilekati dengan asumsi-asumsi, implikasi-implikasi dan sikap-sikap etis.”33 Di pihak lain, banyak pendukung teori pemegang saham membedakan antara konsekuensi dan nilai ekonomi dengan sikap etis, dan melihat bisnis sebagai suatu aktivitas ekonomi yang amoral (tidak ada kaitannya dengan moral).
Menurut Porter dan Kramer,34 argumen Friedman memiliki dua
asumsi yang implisit: (1) sasaran-sasaran sosial dan ekonomi bersifat terpisah dan berbeda; (2) dengan menekankan sasaran sosial, perusahaan tidak menyediakan keuntungan yang lebih besar dari pada yang disediakan oleh donor-donor individual. Pandangan maksimasi pemegang saham yang tercerahkan juga memiliki asumsi-asumsi seperti itu. Tetapi dikotomi antara sasaran-sasaran ekonomi dan sosial adalah sesuatu yang keliru karena perusahaan tidak berfungsi dalam isolasi dari masyarakat di mana mereka beroperasi.35 Menurut mereka, “dalam jangka panjang, tujuan-tujuan sosial dan ekonomi tidak secara inheren berkonflik satu sama lain tetapi terkoneksi secara integral.”36 Karena itu, bertentangan dengan gagasan Friedman, para manajer yang melakukan kegiatan tanggung jawab sosial tidak dengan sendirinya menyalahgunakan sumber-sumber keuangan yang merupakan milik sah para pemegang saham.
Freeman dan kawan-kawan37 dengan tepat memandang bahwa
pandangan objek tunggal pemegang saham “adalah sebuah pandangan 32 33 34 35 36 37
R. E. Freeman, A. C. Wicks, dan B. Parmar, ibid., hlm. 364, dalam Branco dan Rodriguez. Carroll, 2000, hlm. 35, dalam Branco dan Rodriguez. Porter dan Kramer, 2002, hlm. 58, dalam Branco dan Rodriguez. Porter dan Kramer, 2002, hlm. 59, dalam Branco dan Rodriguez. Porter dan Kramer, 2002, hlm. 59, dalam Branco dan Rodriguez. Freeman et al., 2004, hlm. 364, dalam Branco dan Rodriguez.
75
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
yang sempit yang tidak memungkinkan untuk mengupayakan keadilan bagi pelbagai kegiatan kemanusiaan yaitu penciptaan nilai dan perdagangan (bisnis).” Freeman dan kawan-kawan juga percaya bahwa kedua teori ini seharusnya tidak dilihat sebagai teori yang saling berlawanan, dalam arti bahwa bahkan teori pemegang saham bisa dipandang sebagai sebuah versi dari teori pemangku kepentingan, karena teori pemangku kepentingan membolehkan banyak benih-benih normatif yang mungkin.38 Sebagai sebuah versi yang partikular dari teori pemangku kepentingan, asumsi-asumsi moral dari pandangan pemegang saham dapat dilihat sebagai “pandangan yang mencakupi penghargaan terhadap hakhak kepemilikan, kerja sama suka rela, dan inisiatif individual untuk meningkatkan keadaan setiap orang. Asumsi-asumsi ini menyediakan suatu titik berangkat yang baik, tetapi bukan sebuah visi lengkap tentang penciptaan nilai.”39
Sundaram dan Inkpen40 mengakui bahwa keputusan untuk me-
ningkatkan efisiensi dibuat untuk menciptakan nilai bagi pemegang saham dan membebankan biaya kepada pemangku kepentingan lainnya, dan mensyaratkan bahwa hal itu merupakan suatu pertukaran yang dapat diterima. Menurut teori pemangku kepentingan, sebagaimana dipahami dalam tulisan ini, biaya-biaya tersebut tidak dapat diterima kecuali kalau dapat dibuktikan bahwa keuntungan bagi masyarakat jauh melampaui biaya-biaya tersebut. Penting untuk dicatat bahwa deviasi yang besar antara dampak-dampak jangka pendek dari kegiatan bisnis dengan kesesuaian bisnis dan kepentingan sosial dalam jangka panjang dalam penciptaan kemakmuran menyisakan jangkauan yang cukup untuk tindakan-tindakan penyalahgunaan atau kekuasaan pasar dan tindakantindakan yang tidak bertanggung jawab.41 Selanjutnya, ”gagasan utama tentang penciptaan kemakmuran bisa dengan mudah mengarah baik pada penyimpangan moral dan manipulasi keuangan yang terutama
38 39 40 41
Freeman et al., 2004, hlm. 368, dalam Branco dan Rodriguez. Freeman et al., 2004, hlm. 368, dalam Branco dan Rodriguez. Sundaram dan Inkpen, 2004, hlm. 356, dalam Branco dan Rodriguez. Windsor, 2001, hlm. 250, dalam Branco dan Rodriguez.
76
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
destruktif bagi tujuan-tujuan sosial dan kesejahteraan para pemangku kepentingan.”42
Evolusi Konsep CSR dari Perspektif Pemangku Kepentingan Konsep CSR telah mengalami evolusi. Pertama-tama ada pembedaan antara konsep kewajiban sosial (social obligation), tanggung jawab sosial (social responsibility), dan kepedulian sosial (social responsiveness).43 Kewajiban sosial berkaitan dengan perilaku perusahaan dalam merespon kekuatan pasar atau ketentuan hukum. Kewajiban sosial bersifat proskriptif (bersifat negatif, “tidak boleh …”). Tanggung jawab sosial menuntut adanya kesepadanan antara perilaku perusahaan dengan norma-norma sosial yang berlaku, nilai dan harapan-harapan yang diletakkan dalam tindakan perusahaan. Sifatnya adalah preskriptif (positif, mengharuskan, “harus …”). Sementara, kepedulian sosial menekankan bahwa yang penting bukanlah bagaimana sebuah perusahaan harus merespon tekanan sosial, tetapi apa yang seharusnya menjadi peran perusahaan dalam jangka panjang di dalam sebuah sistem sosial yang dinamis. Ide dasarnya adalah bahwa orientasi bisnis bersifat antisipatoris dan preventif. Yang terkait erat dengan diskursus tentang CSR adalah dua yang terakhir yaitu tanggung jawab sosial dan kepedulian sosial, sementara kewajiban sosial lebih terkait dengan kinerja ekonomi murni sebuah perusahaan atau bisnis.
Kemudian, Frederick44 lebih jauh menekankan pembedaan antara
tanggung jawab sosial dan kepedulian sosial yang ia kaitkan dengan dua tahap perkembangan dalam pemikiran tentang CSR. Tahap pertama, yang ia sebut CSR1, berfokus pada CSR sebagai sebuah eksaminasi terhadap “kewajiban (perusahaan) untuk bekerja bagi kehidupan masyarakat yang lebih baik”. Tahap kedua, sekitar tahun 1970, ada perubahan ke arah 42 Windsor, 2001, hlm. 250, dalam Branco dan Rodriguez. 43 S.P. Sethi, “Dimensions of Corporate Social Performance: An Analytical Framework”, California Management Review, Vol. 17 No. 3, 1975, hlm. 58-64. Lihat juga S. P. Sethi, “A Conceptual Framework for Environmental Analysis of Social Issues and Evaluation of Business Response Patterns”, Academy of Management Review, Vol. 4 No. 1, 1979, hlm. 63-74. 44 W. C. Frederick, “From CSR1 to CSR2: The Maturing of Business-and-Society Thought”, Business and Society, Vol. 33 No. 2, 1994, hlm. 150-164.
77
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
kepedulian sosial perusahaan, yang dinamakan CSR2, yaitu kapasitas perusahaan untuk merespon tekanan sosial. Selain kedua tahap itu, Frederick kemudian menambahkan dua tahap lanjutan yaitu tahap ketiga (CSR3) dan keempat (CSR4). CSR3 yang merupakan peralihan ke kesantunan sosial perusahaan (coporate social rectitude) mencakupi konsep kebaikan moral dalam tindakan yang diambil dan kebijakan yang dibuat oleh perusahaan. CSR4 melihat konsep CSR yang diperkaya oleh pandangan ilmu-ilmu alam.
Selain kedua hal itu, yaitu tanggung jawab sosial perusahaan dan
kepedulian sosial perusahaan, masih ada sebuah konsep lain berkaitan dengan CSR yaitu kinerja sosial perusahaan (corporate social performance). Branco dan Rodriguez melihat bahwa CSR sudah mencakupi kepedulian sosial perusahaan (corporate social responsiveness dan kinerja sosial perusahaan (corporate social performance).45 Kinerja sosial perusahaan memiliki tiga aspek: pertama, definisi tentang tanggung jawab sosial; kedua, identifikasi tentang isu-isu sosial yang terhadapnya tanggung jawab itu diarahkan, seperti konsumerisme, lingkungan, keamanan produk, diskriminasi buruh, dan sebagainya; ketiga, filosofi kepedulian yaitu filosofi, cara, atau strategi di balik respons perusahaan terhadap tanggung jawab sosial dan isu-isu sosial (reaksi, pembelaan, akomodasi, proaksi, dan sebagainya).46
Carroll47 mengajukan bahwa CSR melibatkan empat kategori
tanggung jawab sosial, yaitu kategori ekonomis, legal, etis, dan diskresionaris (atau filantropik). Tanggung jawab ekonomis mencerminkan keyakinan bahwa perusahaan memiliki kewajiban untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan konsumen dan dalam prosesnya akan mendatangkan keuntungan. Tanggung jawab legal menunjukkan bahwa perusahaan diharapkan memenuhi tanggung jawab ekonominya dalam tuntutan hukum tertulis. Tanggung jawab etis menunjukkan sebuah 45 Branco dan Rodriguez, hlm. 9, dalam Branco dan Rodriguez. 46 Carroll, 1979, 1991, dalam Branco dan Rodriguez. 47 A. B. Carroll, “A Three-Dimensional Conceptual Model of Corporate Social Performance”, Academy of Management Review, Vol. 4 No. 4, 1979, hlm. 497-505; lihat juga “The Pyramid of Corporate Social Responsibility: Toward the Moral Management of Organizational Stakeholders”, Business Horizons, Vol. 34 No. 4, 1991, hlm. 39-48.
78
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
perhatian bahwa perusahaan memenuhi harapan masyarakat tentang tindakan bisnis yang tidak dikodifikasikan ke dalam hukum, tetapi lebih sebagai yang dicerminkan di dalam standard, norma, nilai-nilai yang tidak tertulis yang secara implisit diturunkan dari masyarakat. Tanggung jawab diskresionaris perusahaan bersifat filantropik atau suka rela, dalam arti bahwa tanggung jawab ini merepresentasikan peran suka rela dari perusahaan terhadap harapan masyarakat yang tidak sejelas dalam tanggung jawab etis. Tanggung jawab etis dan diskresionaris melibatkan tanggung jawab yang lebih untuk melakukan apa yang baik dan menghindari cidera atau kerusakan.
Hubungan antara keempat tanggung jawab ini tampak sebagai
piramida di mana bagian bawah menjadi dasar dari bagian-bagian di atasnya. Tanggung jawab ekonomi menjadi dasar bagi tiga tanggung jawab lainnya, tanggung jawab legal menjadi dasar bagi dua tanggung jawab lainnya, dan seterusnya. Menurut Carroll,48 perusahaan harus mengisi keempat tanggung jawab tersebut secara simultan. Asumsi utama di balik perspektif ini adalah bahwa persoalan ekonomi adalah sesuatu yang juga menjadi tanggung jawab bisnis bagi masyarakat, jadi bukan hanya urusan untuk perusahaan atau bisnis yang bersangkutan. Tetapi dalam perkembangan pemikiran Carroll selanjutnya,49 terdapat usulan bahwa sebaiknya tanggung jawab diskresionaris atau filantropik diletakkan di bawah tanggung jawab etis dan/atau ekonomi. Alasannya adalah bahwa, di satu sisi, dalam praktiknya susah membedakan antara tanggung jawab etis dan tanggung jawab diskresionaris. Di sisi lain, berdasarkan hasil amatan, aktivitas filantropik selalu (dapat) dijelaskan dengan motivasi atau kepentingan ekonomi.50 Menurut Carroll, sebuah perusahaan bisa terlibat dalam kegiatan-kegiatan filantropik karena alasanalasan etis atau ekonomi atau gabungan keduanya. Ketika motif-motif ekonomi, seperti menaikkan tingkat penjualan, meningkatkan imaji publik atau menyuburkan moral karyawan, mendasari tindakan sebuah
48 Carroll, 1991; Carroll, 1999, hlm. 284, dalam Branco dan Rodriguez. 49 Schwartz dan Carroll, 2003, dalam Branco dan Rodriguez. 50 Schwartz dan Carroll, 2003, hlm. 506, dalam Branco dan Rodriguez.
79
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
perusahaan dalam bentuk filantropi yang strategis, hal ini bukan merupakan sebuah kewajiban filantropik yang berbeda.51
Model Carroll (empat kategori tanggung jawab sosial perusahaan)
yang juga sudah dimodifikasinya itu kemudian diperluas dan dimodifikasi lebih lanjut oleh Wartick dan Cochran52 dan Wood.53 Wartick dan Cochran menyajikan sebuah model yang mereka sebut dengan “Model Kinerja Sosial Perusahaan” (Corporate Social Performance Model) yang juga mengintegrasikan tiga wilayah: (1) prinsip CSR (yang menggunakan keempat kategori Carroll tentang tanggung jawab sosial sebagai “prinsipprinsip”); (2) proses kepedulian (responsiveness) sosial perusahaan (reaktif, defensif, akomodatif, dan proaktif); dan (3) kebijakan-kebijakan yang dikembangkan untuk menangani isu-isu sosial (manajemen isu-isu sosial). Ringkasan model ini digambarkan dalam tabel berikut. Tabel 2 – Model Kinerja Sosial Perusahaan ala Wartick dan Cochran Prinsip
Proses
Kebijakan
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: (1) Ekonomis (2) Legal (3) Etis (4) Diskresionari (filantropik)
Kepedulian Sosial Perusahaan: (1) Reaktif (2) Defensif (3) Akomodatif (4) Proaktif
Manajemen Isu Sosial: (1) Identifikasi Isu (2) Analisis Isu (3) Pembangunan Tanggapan
Diarahkan pada: (1) Kontrak sosial bisnis (2) Bisnis sebagai agen moral
Diarahkan pada: (1) Kapasitas untuk merespon untuk mengubah kondisi sosial (2) Pendekatan manajerial untuk membangun respon-respon
Diarahkan pada: (1) Meminimisasikan ”kejutan-kejutan” (2) Menentukan Kebijakan Sosial Perusahaan yang efektif
Orientasi Filosofis
Orientasi Institusional
Orientasi Organisasional
Sumber: Wartick dan Cochran (1985, hlm. 767) sebagaimana dikutip dalam Branco dan Rodriguez, hlm. 10. 51 Schwartz dan Carroll, 2003, hlm. 507, dalam Branco dan Rodriguez. 52 Wartick dan Cochran, 1985, dalam Branco dan Rodriguez. 53 Wood, 1991, dalam Branco dan Rodriguez.
80
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Sementara, menurut Wood, gagasan dasar CSR “adalah bahwa
bisnis dan masyarakat merupakan entitas yang berkait kelindan, dan bukannya terpisah; karena itu, masyarakat memiliki harapan-harapan tertentu terhadap perilaku dan hasil-hasil bisnis yang tepat.”54 Dengan melanjutkan empat kategori Carroll, Wood mengajukan tiga prinsip CSR yaitu: (1) prinsip legitimasi, (2) prinsip tanggung jawab publik, dan (3) prinsip diskresi manajerial. Prinsip legitimasi bekerja di tingkat institusional dan didasarkan pada keseluruhan tanggung jawab sebuah perusahaan terhadap masyarakat di mana perusahaan tersebut beroperasi, yang menentukan apa yang diharapkan dari semua perusahaan. Ini adalah sebuah prinsip proskriptif (bersifat negatif, ”tidak boleh”). Prinsip ini mengandung makna bahwa masyarakat mempunyai sanksi-sanksi yang telah siap sedia untuk digunakan ketika kewajiban-kewajiban ini tidak diindahkan oleh perusahaan.55 Sementara, prinsip tanggung jawab publik berfungsi pada tingkat organisasional, di mana perusahaan-perusahaan “bertanggung jawab untuk memecahkan problem yang telah mereka sebabkan, dan mereka bertanggung jawab untuk membantu memecahkan problem dan isu-isu sosial yang terkait dengan operasi dan kepentingan bisnis mereka.”56 Akhirnya, prinsip diskresi manajerial berfungsi pada tingkat individual dan menekankan tanggung jawab para manajer untuk berperilaku sebagai aktor-aktor moral dan membuat pilihan-pilihan tentang kegiatan yang dirancang untuk mencapai hasil-hasil yang secara sosial menuntut pertanggungjawaban.57
Wood juga menganjurkan bahwa perusahaan harus mengguna-
kan tiga jenis proses untuk membawa prinsip-prinsip tersebut ke dalam ranah praktik, yaitu penilaian berkaitan dengan lingkungan (environmental assessment), manajemen isu, dan manajemen pemangku kepentingan, yang kemudian dikaitkan dengan keempat kategori yang telah diuraikan di depan yaitu ekonomis, legal, etis, dan filantropik (diskresionis). Hasilhasilnya kemudian dibaca sebagai dampak-dampak sosial (menguntung54 D. J. Wood, “Corporate Social Performance Revisited”, Academy of Management Review, Vol. 16 No. 4, 1991, hlm. 691-718. 55 Wood, 1991, hlm. 699. 56 Wood, 1991, hlm. 697. 57 Lihat Branco dan Rodriguez, hlm. 11.
81
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
kan atau merugikan), program-program sosial (yang mengacu pada upaya yang dilakukan perusahaan dalam rangka memulihkan dan mengatasi masalah sosial yang merugikan), dan kebijakan-kebijakan sosial (yang muncul sebagai pembimbing dalam pengambilan keputusan). 58
Kemudian, bersama R. E. Jones, Wood menggunakan perspektif
atau teori pemangku kepentingan untuk memodifikasi definisi kinerja sosial perusahaan Wood sebagai prinsip, proses, dan hasil (outcomes). Mereka meredefinisi hasil-hasil sebagai akibat bagi pemangku kepentingan internal, akibat bagi pemangku kepentingan eksternal, dan akibat institusional eksternal. Berkaitan dengan kinerja sosial perusahaan, menurut Wood dan Jones, para pemangku kepentingan mempunyai tiga peran: (1) mereka adalah sumber harapan tentang apa yang menentukan kinerja yang diinginkan dan tidak dikehendaki dari sebuah perusahaan, yang juga menentukan norma-norma perilaku perusahaan; (2) mereka mengalami efek dari perilaku perusahaan; (3) dan mereka mengevaluasi hasil dari perilaku perusahaan dalam arti bagaimana mereka melihat harapan mereka terpenuhi dan bagaimana perusahaan mendatangkan pengaruh atau dampak bagi kelompok dan organisasi dalam lingkungan mereka.59
Ringkasan model kinerja sosial perusahaan menurut Wood dan
Jones dapat dilihat pada tabel berikut:
58 Wood, 1991. 59 Wood dan Jones, 1995, hlm. 231, dalam Branco dan Rodriguez.
82
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Tabel 3 – Model Kinerja Sosial Perusahaan ala Wood dan Jones Prinsip Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: (1) Prinsip Legitimasi (2) Prinsip Tanggung Jawab Publik (3) Prinsip Diskresi Manajerial
Proses
Hasil
(1) Penilaian Berkaitan dengan Lingkungan (2) Manajemen Isu (3) Manajemen Pemangku Kepentingan
(1) Dampak Sosial (Menguntungkan atau Merugikan) (2) Program Sosial (3) Kebijakan Sosial
Dikaitkan dengan kategori: (1) Ekonomis (2) Legal (3) Etis (4) Filantropik (Diskresionis)
Redefinisi Wood bersama Jones: (1) Akibat bagi pemangku kepentingan internal (2) Akibat bagi pemangku kepentingan eksternal (3) Akibat institusional eksternal
Sumber: Diolah oleh Eddie Sius Riyadi berdasarkan paparan Branco dan Rodriguez, hlm. 10-11.
Dilihat dari perspektif teori pemangku kepentingan, kinerja sosial
perusahaan bisa dinilai dalam hal bagaimana sebuah perusahaan memenuhi tuntutan dari kelompok-kelompok pemangku kepentingan yang jumlahnya banyak.60 Selain itu, perusahaan harus berupaya untuk memuaskan kebutuhan atau tuntutan mereka ”sebagai harga yang tidak bisa dihindarkan dalam menjalankan bisnis.”61 Kinerja sosial perusahaan dilihat sebagai hal yang mengacu pada ”kemampuan perusahaan untuk memenuhi atau melampaui harapan pemangku kepentingan menyangkut isu-isu sosial.”62 Selain itu, penting untuk dipahami bahwa untuk menjadi responsif terhadap harapan-harapan pemangku kepentingan, perusahaan harus mempertimbangkan norma-norma sosial yang berlaku dan pandanganpandangan dominan yang terterap dalam suatu masyarakat tentang 60 Branco dan Rodriguez, hlm. 11. 61 Ruf et al., 2001, hlm. 143, dalam Branco dan Rodriguez. 62 Husted, 2000, hlm. 27, dalam Branco dan Rodriguez.
83
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
tanggung jawab sosial perusahaan. Antara harapan para pemangku kepentingan secara khusus dengan pandangan masyarakat secara umum selalu terdapat pertautan yang tak terpisahkan. Karena itu, isu-isu sosial dan isu-isu pemangku kepentingan selalu terkait dan tak perlu diributkan untuk dipisahkan.63
Hal yang menarik untuk dilihat lebih jauh adalah konsep Carroll
tentang CSR yang melibatkan suatu aspek yang sangat penting yaitu tanggung jawab ekonomi. Hal ini penting karena tiga alasan. Pertama, tanggung jawab ekonomi atas perusahaan adalah sesuatu yang juga fundamental dari sudut pandang masyarakat. Kedua, para pemegang saham adalah pemangku kepentingan yang kepentingannya harus dipertimbangkan oleh para manajer. Ini bukan sekadar karena kepentingan mereka dilindungi oleh hukum tetapi juga karena kehidupan para manajer itu tergantung pada bagaimana para pemegang saham mengevaluasi kinerja mereka. Ketiga, tanggung jawab-tanggung jawab yang lain tergantung pada pemenuhan tanggung jawab ekonomi dalam arti bahwa keberlangsungan hidup perusahaan dan ketersediaan sumber daya yang cukup untuk memenuhi tanggung jawab yang lain itu tergantung pada pemenuhan tanggung jawab ekonomi tersebut. Tanggung jawab legal juga sangatlah penting. Jika perusahaan tidak mematuhi tanggung jawab hukum, maka hal itu akan merusak kinerjanya dan keberlangsungan hidupnya.
Namun, menurut Branco dan Rodriguez, dalam perbincangan
tentang CSR, yang paling dipentingkan adalah dua jenis tanggung jawab yaitu tanggung jawab etis dan filantropik (diskresionis). Branco dan Rodriguez memahami CSR, dengan mengacu pada pandangan Jones, sebagai “sebuah ’kewajiban’ terhadap kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat lebih dari sekadar kewajiban terhadap pemegang saham, yang melampaui ketentuan hukum dan kontrak kerja dan diterima atau dilakukan secara suka rela.”64 Jadi, meskipun tanggung jawab ekonomi dan legal merupakan bagian dari tanggung jawab sosial 63 Branco dan Rodriguez, hlm. 11. 64 Branco dan Rodriguez, hlm. 11, mengacu pada Jones, 1980, hlm 59-60.
84
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
perusahaan, namun sebagai subjek analisis, kedua tanggung jawab itu tidak termasuk dalam tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). CSR dipahami sebagai sebuah hubungan dua arah antara perusahaan dan masyarakat di mana masyarakat menuntut pengakuan akan signifikasinya di hadapan perusahaan, dan sebaliknya perusahaan mengharapkan dukungan atau “persetujuan” dari masyarakat atas operasinya. CSR berkaitan dengan harapan kelompok konstituen dalam masyarakat tentang perilaku perusahaan yang harus dimiliki dan dipatuhi oleh perusahaan. CSR adalah sebuah konsep yang paling luas digunakan untuk menekankan hubungan antara bisnis dan masyarakat.65
Sebagai modifikasi terhadap model Carroll (empat kategori
tanggung jawab sosial perusahaan yang telah diuraikan di depan), Lantos66 mengajukan tipologi yang lain menyangkut tanggung jawab sosial
perusahaan, yang terutama menekankan perbedaan antara
komponen etis dan filantropik dalam model Carroll tersebut. Lantos mengajukan tiga tipe tanggung jawab yaitu tanggung jawab etis, altruistik dan strategis. Tanggung jawab etis yang dipahami Lantos lebih dalam arti do no harm (tidak boleh merugikan) dalam arti bahwa kerugian atau kerusakan sosial tidak hanya dikurangi, melainkan harus dihindari, kendatipun perusahaan sama sekali tidak mendapatkan keuntungan apa pun dari upaya itu, bahkan sekalipun keuntungan yang seharusnya didapatkan menjadi batal karena dilakukannya upaya itu. Tanggung jawab etis mengandung mandat moral. Dalam pandangan Lantos, perusahaan terikat secara moral untuk memastikan bahwa individu atau kelompok masyarakat tidak mengalami kerusakan atau kerugian oleh aktivitas perusahaan baik itu fisik, mental, ekonomis, spiritual maupun emosional. Karena itu, tanggung jawab para manajer untuk mengusahakan keuntungan (tujuan) tidak boleh dilepaskan dari perhatian pada cara yang digunakan untuk mencapainya. Namun, Lantos juga sadar bahwa kerusakan atau kerugian tidak selamanya bisa dihindari, tetapi paling tidak hal itu harus sebisa mungkin diminimisasi.67 65 Branco dan Rodriguez, hlm. 11. 66 Lantos, 2001; Lihat juga G. P. Lantos, “The Ethicality of Altruistic Corporate Social Responsibility”, Journal of Consumer Marketing, Vol. 19 NO. 3, 2002, hlm. 205-230. 67 Lantos, 2001, hlm. 606.
85
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
Tanggung jawab altruistik melampaui tanggung jawab etis dalam
mengatasi masalah-masalah sosial yang tidak disebabkan oleh perusahaan atau sebagai akibat dari operasinya, dan karena itu perusahaan sebenarnya tidak bertanggung jawab atasnya. Tanggung jawab altruistik didasarkan pada asumsi tertentu tentang tanggung jawab publik atas kesejahteraan publik yang kekurangannya tidak disebabkan oleh perusahaan. Mandat tanggung jawab altruistik bersifat benefisial (kebaikan), dan bukan moral.68
Tanggung jawab strategis berarti bahwa perusahaan terlibat dalam
aktivitas tanggung jawab sosial hanya karena hal itu dipandang pada gilirannya (jangka panjang) mendatangkan keuntungan baik langsung maupun tidak, baik material maupun non-material, baik bagi perusahaan maupun bagi pemangku kepentingan. Kalau dalam tanggung jawab altruistik keuntungan tidak menjadi dasar pertimbangan (kendatipun hal itu mungkin saja terjadi), maka dalam tanggung jawab strategis perusahaan mempertimbangkan keuntungan tersebut karena ia (perusahaan) yakin bahwa akivitas tanggung jawab sosial yang dilakukannya itu akan mendatangkan keuntungan baginya; dan dengan melakukan hal itu maka para manajer bukan hanya tidak menyalahi namun juga terutama menunaikan mandat para pemegang saham untuk mengusahakan keuntungan. Menurut Lantos, tanggung jawab altruistik hanya legitim sejauh ia memuat unsur strategis: yaitu bahwa tanggung jawab itu juga membawa perusahaan ke arah sasarannya yang lebih jauh.
Tipologi Lantos sebagai tanggapan terhadap Carroll disajikan
dalam tabel berikut:
68 Lantos, 2001, hlm. 605.
86
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Tabel 4 – Tipe-Tipe CSR Klasifikasi Carroll 1.
2. 3.
4.
Klasifikasi-Tanggapan Lantos
Tanggung jawab ekonomis: mencari keuntungan untuk para pemegang saham, menyediakan pekerjaan untuk para karyawan, menghasilkan produk-produk berkualitas bagi para pelanggan. Tanggung jawab legal: kepatuhan pada hukum dan bekerja sesuai dengan aturan main hukum. Tanggung jawab etis: menjalankan bisnis secara moral, melakukan apa yang baik, adil dan jujur, dan menghindari kerusakan/kerugian.
2. CSR etis: pemenuhan mandat secara moral dari tanggung jawab ekonomis, tanggung jawab legal, tanggung jawab etis dari sebuah perusahaan.
Tanggung jawab filantropik: memberikan kontribusi suka rela bagi masyarakat, memberikan waktu dan uang bagi pekerjaan-pekerjaan yang baik.
3. CSR altruistik: pemenuhan tanggung jawab filantropik sebuah organisasi, yang melampaui tindakan pencegahan kerusakan yang mungkin (tanggung jawab etis) untuk membantu memperbaiki defisiensi kesejahteraan publik terlepas dari apakah upaya ini menguntungkan atau tidak bagi perusahaan. 4. CSR strategis: pemenuhan tanggung jawab filantropik yang akan menguntungkan perusahaan melalui publisitas positif dan kehendak baik.
Sumber: Lantos (2002, hlm. 206) yang dikutip dalam Branco dan Rodriguez, hlm. 12, dengan modifikasi oleh Eddie Sius Riyadi.
Penutup: Kesimpulan dan Catatan Kritis A. Kesimpulan Menurut Branco dan Rodriguez, dalam diskursus tentang CSR terdapat lima elemen kunci sebagaimana dikemukakan oleh Buchholz.69 Kelima elemen kunci itu adalah: (1) perusahaan mempunyai tanggung jawab 69 Branco dan Rodriguez, hlm. 12, mengutip Buchholz, 1991, hlm. 19.
87
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
melampaui pencarian keuntungan melalui produksi barang dan jasa; (2) tanggung jawab tersebut melibatkan bantuan untuk memecahkan problem-problem sosial yang penting, khususnya problem-problem yang justru disebabkan oleh perusahaan tersebut; (3) perusahaan mempunyai konstituen yang jauh lebih besar dari pada sekadar pemegang saham; (4) perusahaan mempunyai pengaruh yang jauh melampaui transaksi pasar yang sederhana; dan (5) perusahaan melayani nilai-nilai kemanusiaan dengan rentang yang lebih luas dari pada yang hanya dapat dijangkau dengan sekadar fokus pada nilai ekonomis.
Secara garis besar, diskursus tentang CSR terbelah atas dua kubu,
yaitu kubu yang mendukung CSR dan kubu yang menentangnya.70 Argumen yang menentang CSR didasarkan pada perspektif fungsi institusional perusahaan atau perspektif hak kepemilikan (property rights). Argumen fungsi institusional memiliki tiga perspektif: pertama, organisasiorganisasi lain, seperti pemerintah, eksis untuk menjalankan fungsi yang diminta oleh tindakan-tindakan sosial terkait; kedua, para manajer tidak dilihat sebagai pihak yang memiliki kemampuan dan/atau waktu untuk mengampu dan menjalankan jenis tindakan publik semacam itu; ketiga, tidak seperti para politisi, yang dipilih secara demokratis, para manajer tidak dapat dituntut untuk akuntabel bagi aksi-aksi tanggung jawab sosial mereka. Sedangkan argumen yang berdasarkan perspektif hak kepemilikan memiliki akarnya pada analisis ekonomi neo klasik, dan menekankan bahwa satu-satunya kewajiban manajer adalah memaksimisasi keuntungan bagi para pemegang saham.
Argumen-argumen yang mendukung CSR bisa bersifat etis bisa
juga instrumental. Argumen etis ditarik dari prinsip-prinsip religius, posisi-posisi filosofis atau norma-norma sosial yang berlaku. Perspektif etis menyatakan bahwa sebuah perusahaan harus berperilaku dengan cara yang secara sosial bertanggung jawab karena secara moral hal itu memang dibenarkan. Argumen-argumen ini mengandung cita rasa normatif yang kuat. Sementara, argumen instrumental yang mendukung CSR didasarkan pada asumsi kalkulatif bahwa bagaimanapun juga hal itu akan meng70 Argumen-argumen dari kedua kubu tersebut diuraikan lengkap dalam Jones, 1999, sebagaimana dikutip dalam Branco dan Rodriguez, hlm. 12-13.
88
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
untungkan perusahaan itu sendiri secara keseluruhan, paling tidak dalam jangka panjang kalau bukan dalam jangka pendek.
Maignan dan Ralston,71 membedakan tiga tipe utama motivasi di
balik aktivitas-aktivitas CSR. Pertama, mengikuti perspektif ekonomi atau utilitarian, CSR bisa dipandang sebagai sebuah instrumen tambahan yang digunakan oleh perusahaan untuk mencapai sasaran-sasaran tradisional perusahaan. Kedua, menurut pandangan “kewajiban negatif” (negative duty), perusahaan terlibat dalam kegiatan tanggung jawab sosial untuk memenuhi norma-norma dan harapan-harapan para pemangku kepentingan tentang bagaimana seharusnya operasi perusahaan dijalankan. Dengan demikian, CSR dipandang sebagai sebuah instrumen yang legitim bagi perusahaan untuk menunjukkan kepatuhannya pada norma-norma dan harapan-harapan tersebut. Ketiga, menurut pendekatan “kewajiban positif” (positive duty), perusahaan bisa saja memiliki motivasi-diri (selfmotivated) untuk terlibat dalam inisiatif-inisiatif tanggung jawab sosial dan secara aktif mempromosikan kepentingan-kepentingan sosial, bahkan ketika inisiatif atau tindakan tersebut tidak diharapkan atau dituntut oleh masyarakat. Menurut Maignan dan Ralston, baik pendekatan kewajiban negatif maupun pendekatan utilitarian sama-sama melihat bahwa CSR bisa digunakan sebagai alat penggalangan opini untuk mempengaruhi persepsi para pemangku kepentingan tentang sebuah perusahaan.
Meningkatnya kesadaran sosial tentang CSR telah mendatang-
kan tekanan bagi perusahaan untuk menangani dampak-dampak sosial dan lingkungan dari aktivitasnya dan untuk bertanggung jawab kepada audiens yang lebih luas dari pada sekadar pemegang saham. Di balik semua ini terdapat dimensi etis. Walaupun CSR itu sendiri juga sarat dengan kepentingan strategis, namun dalam praktiknya hal itu tidak dapat dilepaskan dari motivasi-motivasi etis dan moral yang membawa kebaikan bagi masyarakat.
Konsep CSR yang paling banyak diterima sekarang ini adalah
konsep yang dikemukakan oleh Lantos.72 Perusahaan dilihat sebagai 71 Maignan dan Ralston, 2002, hlm. 498, berdasarkan Swanson, 1995, sebagaimana dikutip dalam Branco dan Rodriguez, hlm. 13. 72 Lantos, 2001, hlm. 600.
89
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
subjek yang memiliki kewajiban untuk memikirkan kebutuhan jangka panjang masyarakat. Itu berarti bahwa perusahaan harus terlibat dalam aktivitas yang mempromosikan keuntungan bagi masyarakat dan meminimisasikan efek-efek negatif dari tindakan perusahaan itu sendiri. Namun demikian, dengan menyetujui Lantos, Rodriguez mengingatkan bahwa perusahaan tidak boleh ditekan sampai merugikan dirinya sendiri dalam melakukan tuntutan seperti itu. Memang misi perusahaan tidak boleh dibatasi hanya untuk menciptakan keuntungan bagi para pemegang saham. Alih-alih, harus dipahami bahwa perusahaan perlu mengidentifikasi peluang-peluang yang menguntungkan bagi kedua pihak yaitu perusahaan itu sendiri dan masyarakat. Dalam hal ini, tegas Rodriguez, para manajer bukanlah agen pemegang saham semata. Mereka adalah “pembangun jembatan relasi antara para pemangku kepentingan.”73
B. Catatan Kritis Meskipun Branco dan Rodriguez meyakini bahwa dari keempat kategori Carroll tentang tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), yang paling penting adalah tanggung jawab etis dan filantropik, melebihi tanggung jawab ekonomi dan legal, namun mereka berdua gagal untuk keluar dari cara berpikir dengan rasio tindakan strategis atau instrumental. Artinya, tanggung jawab etis dan filantropik bukan karena kebaikan dari dirinya sendiri melainkan karena kedua jenis tanggung jawab itu adalah instrumen bagi perusahaan untuk mencapai tujuan inheren perusahaan yaitu maksimisasi keuntungan, paling tidak untuk jangka panjang.
Dalam hal ini, meskipun keduanya berada di kubu perspektif
teori pemangku kepentingan yang melihat bahwa terdapat keterkaitan erat antara bisnis dan masyarakat, namun keduanya tampak gagal melihat dimensi moral dari bisnis, atau paling tidak dimensi moral dari eksistensi bisnis dalam arti implikasi-implikasi etis dari keberadaan dan tindakan sebuah perusahaan. Barangkali kegagalan ini dapat juga dibaca sebagai 73 Rodriguez, 2002, hlm. 142, dalam Branco dan Rodriguez.
90
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
kekurangan teori pemangku kepentingan sebagai landasan pembenaran teoretis bagi praktik dan konsep tanggung jawab sosial perusahaan.
Kekurangan Carroll, yang juga diadopsi oleh Branco dan
Rodriguez, diperbaiki oleh Lantos (lihat tabel 4 yang telah dimodifikasi oleh penulis). Lantos melihat bahwa tiga kategori tanggung jawab sosial yang dibuat Carroll yaitu tanggung jawab ekonomis, legal, dan etis sebenarnya merupakan praktik etis dari CSR. �������������������������� Artinya, bahwa perusahaan mempunyai mandat moral. Mandat moral itu tampak dalam ketiga jenis kategori tersebut. Sementara, tanggung jawab filantropik atau diskresionis merupakan bagian dari praktik altruistik CSR sekaligus praktik strategis CSR. Kalau praktik strategis “menyembunyikan” motif pencarian keuntungan di balik tanggung jawab dan praktik filantropik, maka praktik altruistik bukan hanya tidak menyembunyikan melainkan menyingkirkan sama sekali motif tersembunyi apa pun selain hanya demi kebaikan masyarakat terlepas dari apakah perusahaan mendapat untung atau tidak. Pertimbangan untung atau tidak menjadi tidak relevan.
Sebagaimana disetujui Rodriguez, nyaris tidak terdapat cacat
dalam pemikiran Lantos; sebuah pemikiran yang paling banyak diterima dewasa ini. Rodriguez mengingatkan bahwa tindakan altruistik sebagai pemenuhan tanggung jawab filantropik itu tidak boleh bersifat selfdefeating bagi perusahaan. Hal ini tentu saja kelihatan rasional. Persoalannya, mana yang harus diutamakan: apakah do no harm atau affirmative duties? Teori pemangku kepentingan tampak lebih menekankan pada yang pertama, sementara yang kedua dilakukan sejauh itu bersifat strategis. Menurut saya,74 prinsip yang paling pertama untuk diperhatikan adalah menghargai prinsip do no harm, yang bisa juga disebut sebagai prinsip non-maleficence – prinsip tidak boleh melukai, merugikan atau mendatangkan nestapa bagi pihak lain yaitu para pemangku kepentingan. Prinsip ini dikatakan juga sebagai kewajiban negatif (negative duties) karena menekankan tindakan moral minimum berupa tidak mendatangkan hal-hal yang negatif bagi masyarakat atau pemangku kepentingan. Penerapan prinsip 74 Berdasarkan cacatan kuliah dari penjelasan Profesor Agus Nugroho dalam mata kuliah “Etika Bisnis” pada Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat, semester ganjil 2008. Terima ��������������������������� kasih atas pelbagai insightnya yang tajam dan meransang saya untuk berpikir kritis dan tajam.
91
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
ini mengandung karakter pasif, dalam arti tidak melakukan apa pun sudah dipandang sebagai tindakan moral. “Kew Garden Principle” adalah nama terkenal dari praktik pandangan ini. Orang-orang di Kew Garden tidak melakukan apa pun terhadap seorang perempuan yang menjadi korban pembunuhan, padahal mereka berada di sekitar tempat itu, dan mendengar suara permintaan tolong sang korban sebelum meninggal. Orang-orang merasa bahwa asal mereka sendiri bukan pelaku kejahatan, mereka sudah “melakukan tindakan moral” meskipun tidak mencegahnya.
Tentu saja prinsip ini tidak memadai dan bahkan sangat mem-
bahayakan. Perlu ada sebuah prinsip lain, yaitu prinsip affirmative duties yang tampak nyata dalam tanggung jawab filantropik yang altruistik, bukan sekadar strategis. Tetapi, tanggung jawab ini tidak bisa dijalankan sementara di sisi lain prinsip do no harm tidak diindahkan. Artinya, prinsip ini tidak dapat dijalankan sebagai trade off atau “pencucian dosa” atau upaya menutup-nutupi pelanggaran terhadap prinsip do no harm atau negative duties. Karena itu, “tanggung jawab filantropik yang altruistik mengandaikan dipenuhinya lebih dahulu tanggung jawab etis menyangkut fairness atau kepedulian terhadap opportunity cost yang dipikul para stakeholders, yang sering berupa ‘nilai’, hal-hal yang tak dapat dikuantifikasi, termasuk hak-hak asasi manusia.”75 Singkatnya, prinsip do no harm (atau negative duty) yang bersifat pasif – bahkan dalam taraf tertentu sikap pasif terutama dalam konteks di mana terjadi kejahatan yang berat, sebagaimana terjadi dalam kasus Kew Garden di atas – juga adalah sebuah kejahatan.76 Namun, prinsip affirmative duty tidak bisa dijadikan sebagai justifikasi tanpa mengandaikan pemenuhan prinsip negative duty. 75 ��������������������������������������������������������������������������������������������������� Dikutip dari catatan 18 tesis etika bisnis oleh Profesor Agus Nugroho, tesis nomor 13. ����������� Naskah ada pada penulis. 76 Sir Geoffrey Chandler (Ketua Amnesty International UK, mantan eksekutif senior Royal Dutch/ Shell Group) “Diam atau tidak melakukan apa-apa akan dilihat sebagai perbuatan melanggengkan penindasan dan dapat dituduh sebagai tindakan penyertaan. Diam itu sendiri bukanlah sesuatu yang netral. Tidak melakukan apa pun bukanlah sebuah pilihan.” (Silence or inaction will be seen to provide comfort to oppression and may be adjudged complicity. Silence is not neutrality. To do nothing is not an option.) Dikutip dalam C. Avery, “Business and Human Rights in a Time of Change” dalam M. T. Kamminga dan S. Zia-Zafiri (eds.), Liability of Multinational Corporations under International Law, The Hague: Kluwer Law International, 2000, hlm. 17-73. Juga lihat Sir G. Chandler, dikutip dalam A. Clapham dan S. Jerbi, Categories of Corporate Complicity in Human Rights Abuses, dapat diunduh di http://www. business-humanrights.org/Clapham-Jarbi-paper.htm.
92
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Kedua prinsip ini tidak dapat diterapkan secara terpisah dan
sendiri-sendiri, tetapi merupakan satu-kesatuan dan serempak, dengan urutan negative duties kemudian affirmative duties. Penerapan itu diarahkan pada apa yang oleh Profesor Agus Nugroho disebut sebagai “Empat P” yaitu: profit, people, planet dan procedure. Prosedur ditambahkan untuk menjamin bahwa prinsip non-maleficence atau negative duties tidak dilanggar. People tidak hanya orang yang sudah ada sekarang ini di sini, tetapi juga absent stakeholders, yaitu manusia-manusia generasi masa depan yang belum lahir. Sementara, planet dimasukkan untuk mengakomodasi mute stakeholders, yaitu alam, lingkungan hidup, termasuk hewan dan lain-lain. Dengan �������������������������������������������������� demikian, etika bisnis perlu mempertimbangkan etika lingkungan.
93
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
Daftar Referensi Avery, C., “Business and Human Rights in a Time of Change” dalam M.T. Kamminga dan S. Zia-Zafiri (eds.,), Liability of Multinational Corporations under International Law, The Hague: Kluwer Law International, 2000, hlm. 17-73. Barry, N., “The Stakeholder Concept of Corporate Control Is Illogical and Impractical”, The Independent
Review, Vol. 6 No. 4, 2000, hlm.
541-554. Branco, Manuel Castelo dan Lúcia Lima Rodriguez, “Positioning Stakeholder Theory within the Debate on Corporate Social Responsibility”, EJBO (Electronic Journal of Business Ethics and Organization Studies), Vol. 12, No. 1 (2007), hlm. 5-15. Carr, A. Z., “Is Business Bluffing Ethical”, Harvard Business Review, Vol. 46 No. 1, 1968, hlm. 143-153. Carroll, A. B., “A Three-Dimensional Conceptual Model of Corporate Social Performance”, Academy of Management Review, Vol. 4 No. 4, 1979, hlm. 497-505. Carroll, A. B., “The Pyramid of Corporate Social Responsibility: Toward the Moral Management of Organizational Stakeholders”, Business Horizons, Vol. 34 No. 4, 1991, hlm. 39-48. Clapham, A. dan S. Jerbi, Categories of Corporate Complicity in Human Rights Abuses, dapat diunduh di http://www.business-humanrights.org/ Clapham-Jarbi-paper.htm. Donaldson, T. dan L. E. Preston, “The Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications”, Academy of Management Review, Vol. 20 No. 1, 1995, hlm. 65-91. Frederick, W. C., “From CSR1 to CSR2: The Maturing of Business-andSociety Thought”, Business and Society, Vol. 33 No. 2, 1994, hlm. 150-164. Freeman, R. Edward, “A Stakeholder Theory of the Modern Corporation”, dalam L.B. Pincus (ed.), Perspectives in Business Ethics, Singapore: McGraw Hill, 1998, hlm. 171-181.
94
Eddie Sius Riyadi
Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Freeman, R. E., A. C. Wicks, dan B. Parmar, “Stakeholder Theory and ‘The Corporate Objective Revisited’”, Organization Science, Vol. 15 No. 3, 2004, hlm. 364-369 Friedman, M., “The Social Responsibility of Business is to Increase its Profits”, dalam New York Times Magazine, 13 September 1970. Jensen, M. C., “Value Maximation, Stakeholder Theory, and the Corporate Objective Function”, Journal of Applied Corporate Finance, Vol. 14 No. 3, 2001, hlm. 8-21. Hartman, Laura P., Perspectives in Business Ethics, Boston etc.: McGraw Hill, 2002. Lantos, G. P., “The Ethicality of Altruistic Corporate Social Responsibility”, Journal of Consumer Marketing, Vol. 19 NO. 3, 2002, hlm. 205-230. Levitt, T., “The Dangers of Social Responsibility”, Harvard Business Review, Vol. 33 No. 5, 1958, hlm. 41-50. Naess, Arne, Ecology, Community and Lifestyle, Cambridge: Cambridge University Press, 1993. Nugroho, Alois Agus, Professor, “Catatan Mata Kuliah ‘Etika Bisnis’ di Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat, semester ganjil 2008. Sethi, S.P., “Dimensions of Corporate Social Performance: An Analytical Framework”, California Management Review, Vol. 17 No. 3, 1975, hlm. 58-64. Sethi, S. P., “A Conceptual Framework for Environmental Analysis of Social Issues and Evaluation of Business Response Patterns”, Academy of Management Review, Vol. 4 No. 1, 1979, hlm. 63-74. Wood, D. J., “Corporate Social Performance Revisited”, Academy of Management Review, Vol. 16 No. 4, 1991, hlm. 691-718.
95
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
96
Ireine Veronica Pontoh
Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial
Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Oleh Ireine Veronica Pontoh “... socially responsible action can often be good for the business and is often good for the reputation of the company and its senior executives.”
Pendahuluan Dunia bisnis sering kali dipandang sebagai dunia penuh intrik dan kejahatan oleh masyarakat luas. Dari pandangan tersebut, tampaknya terdapat gap yang lebar antara masyarakat umum dengan masyarakat bisnis. Bahkan banyak orang yang memandang bahwa para pelaku bisnis adalah orang-orang yang kurang memiliki perilaku dan sikap etis. Salah satu hasil penelitian menunjukan pandangan banyak orang bahwa kejujuran para eksekutif bisnis hanya sekitar 23 %, atau berada di posisi yang paling bawah. Namun, di balik sikap curiga terhadap kegiatan bisnis, masyarakat masih memiliki keyakinan bahwa kegiatan bisnis tetap dibutuhkan dan bahkan sering kali mendatangkan keuntungan. Bagaimanapun juga bisnis dikelola dan bergerak di dalam masyarakat. Oleh karena itu sangat jelas bahwa sebenarnya ada keterkaitan antara bisnis dan masyarakat. Keterkaitan itu dengan gamblang dijelaskan David Collins, Tylenol Revisited: Friedman and the Current CSR Debate, hlm. 19. Posisi para pelaku bisnis berada sangat jauh dibawah para rohaniwan yang dipercaya memiliki kejujuran yang paling tinggi, yaitu sekitar 67%, Verne E. Henderson, What’s Ethical in Business (New York: McGraw-Hill, Inc., 1992).
97
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
oleh David Collins dengan ceritanya tentang kasus Johnson & Johnson (J&J) dengan kapsul Tylenolnya (1982). Dari cerita tersebut dapat kita lihat bahwa dunia bisnis perlu memperhatikan dan bahkan harus menjalankan tanggung jawab sosialnya pada masyarakat. Lalu bagaimana sebenarnya hubungan antara bisnis dan masyarakat? Apa alasannya sehingga dunia bisnis harus memperhatikan tanggung jawab sosialnya dan bagaimana pro-kontra atas tanggung jawab sosial dunia bisnis pada masyarakat terjadi? Saya akan coba telusuri melalui penjelasan berikut ini.
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: Hubungan Bisnis dan Masyarakat Untuk memahami arti penting tanggung jawab sosial perusahaan (para pelaku bisnis) terhadap masyarakat, sebaiknya terlebih dahulu kita memahami apa sebenarnya tanggung jawab sosial perusahaan itu sendiri. Secara singkat, tanggung jawab sosial dapat dijelaskan sebagai: keputusan yang diambil dan dijalankan oleh perusahaan setelah sebelumnya mempertimbangkan kepentingan-kepentingan yang lebih luas dari pada kepentingan pemilik saham. Bagi Collins, tanggung jawab sosial perusahaan bukanlah perkara memilih antara benar dan salah, namun lebih pada memilih benar dan benar. Seperti kita ketahui bahwa orientasi bisnis adalah mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi perusahaan (dan para pemegang saham). Lalu bagaimana maksimalisasi laba sebagai orientasi perusahaan dapat diselaraskan dengan kepentingan sosial?
Collins menceritakan bahwa pada sekitar akhir September 1982, dikabarkan 7 orang di pinggiran daerah selatan Chicago meninggal dunia setelah meminum kapsul Extra Strength Tylenol yang dilapisi oleh selaput cyanide. Padahal pada masa itu, Tylenol yang dikeluarkan oleh J&J merupakan jenis obat analgesik paling laris di pasaran. Dari penyelidikan terdapat dugaan bahwa ada pihak luar J&J yang sengaja menaruh racun di capsul Tylenol setelah dikemas (artinya bukan terjadi di dalam pabrik J&J). Namun, meskipun ada dugaan seperti itu, tetap saja J&J menarik kembali dan menghancurkan sekitar 30 juta botol Tylenol yang sudah terlanjur beredar di pasaran. Bisa dibayangkan berapa besarnya kerugian yang harus ditanggung oleh J&J. Selanjutnya, sekitar 7 minggu setelah kejadian penarikan tersebut, J&J kembali meluncurkan Tylenol dengan kapsul yang dilapisi lapisan yang lebih aman. Ternyata, usaha penarikan dan penghancuran Tylenol jenis yang lama berdampak besar dalam penjualan Tylenol jenis baru. 6 bulan berikutnya tercatat Tylenol kembali menempati posisi sebagai jenis analgesik yang paling laris terjual di pasaran, bahkan Tylenol masih sering dianjurkan untuk digunakan hingga kini. Collins, Tylenol Revisited, hlm. 20.
98
Ireine Veronica Pontoh
Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial
Pertanyaan tersebut kita simpan terlebih dahulu. Meskipun ada contoh kasus seperti perusahaan J&J dengan Tylenolnya, tidak serta merta langsung membuat semua orang setuju akan pemberlakuan tanggung jawab sosial dunia bisnis pada masyarakat. Masih banyak pro-kontra yang ada mengenai pemberlakuan tanggung jawab sosial bagi para pelaku bisnis. Bagaimanakah dan apa saja argumen dari pro-kontra tersebut, akan dijelaskan pada bagian berikut.
Penolakan tehadap Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Dunia Bisnis Collins memperlihatkan bahwa banyak orang yang pesimis para pelaku bisnis dapat menjalankan tanggung jawab sosial. Berikut saya rumuskan beberapa argumen yang mendasari pesimisme banyak orang tersebut terhadap pelaku bisnis untuk mengenal dan menjalankan tanggung jawab sosialnya. a. Orientasi Bisnis pada Maksimalisasi Keuntungan Tujuan bisnis tidak lain adalah untuk mengejar keuntungan yang sebesarbesarnya, sehingga segala kegiatan bisnis harus melakukan efisiensi ekonomis seketat mungkin. Manajer perusahan dalam hal ini bertindak sebagai agen atau wakil dari para pemegang saham yang tugas utamanya adalah hanya mengerjakan hal yang diinginkan oleh para pemegang saham (yang tujuannya tak lain adalah mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya). Semua dana yang disahamkan harus digunakan hanya untuk urusan ekonomi. Segala pengalihan dana atau usaha pada hal yang secara sosial lebih berharga tidak lain adalah suatu pelanggaran atas tugas yang telah dipercayakan padanya.
Collins, Tylenol Revisited, hlm. 20-21.
99
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
b. “Taxation without Representation” Tanggung jawab sosial perusahaan, seperti membayar pajak, malah dipandang akan memberatkan masyarakat. Ini disebabkan karena pada dasarnya biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan tanggung jawab sosial berasal dari harga pembelian yang dibayarkan oleh masyarakat. Semakin tinggi biaya tanggung jawab sosial, semakin tinggi juga harga yang ditawarkan kepada konsumen. Pada akhirnya, tanggung jawab sosial dipandang akan mengganggu persaingan perusahaan secara internasional, karena harga yang ditawarkan terlalu tinggi, sehingga tanggung jawab sosial akan mengganggu keberhasilan perusahaan mendapatkan keuntungan yang besar. c. Argumen tentang Keterampilan (Skills) Argumen ini diajukan karena adanya keraguan atas keterampilan para pelaku bisnis dalam hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan sosial. Fokus utama para pelaku bisnis adalah mencari keuntungan. Mereka pasti tidak cocok (atau tidak mampu) menjalankan hal-hal sosial yang orientasinya tidak untuk mencari keuntungan. Jika dipaksakan, malah para pelaku bisnis itu akan keuntungan dari kegiatan sosial yang dibebankan kepadanya. d. Kepercayaan Argumen ini diberangkatkan dari pertanyaan mengapa kita harus membiarkan putusan-putusan yang sosial secara esensial diputuskan oleh seseorang yang tidak berkompeten dalam hal sosial yang diatur oleh mekanisme politik atau sosial? Kepercayaan atau keyakinan para pemegang saham sangat penting dalam dunia bisnis. Jika orientasi bisnis adalah sosial, dan bukan keuntungan, maka apakah ada orang yang mempercayai dananya untuk dikelola oleh suatu perusahaan yang mengalokasikan saham ke badan-badan sosial, yang notabene bersifat non-profit?
100
Ireine Veronica Pontoh
Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial
e. Pemborosan Dana Perusahaan Para pemegang saham, customer dan para pekerja pasti cenderung mempercayakan masa depan ekonominya pada orang yang lebih terpercaya. Perusahaan yang memenuhi tanggung jawab sosial cenderung dipandang telah mengusahakan suatu usaha yang berbahaya karena dapat menurunkan keuntungan, terutama bagi para pemegang saham. Meskipun jarang terjadi, tetapi The Control Data Corporation of Minneapolis sebagaimana yang ditulis Collins adalah salah satu contoh kasus yang intinya menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial hanya dipandang sebagai pemborosan atau pengalihan dana perusahaan yang sia-sia. f. Kesepakatan Para Pelaku Bisnis Semua kegiatan bisnis sebenarnya harus merupakan kesepakatan bersama para pelaku bisnis. Meskipun seorang adalah manajer eksekutif yang menjalankan segala kegiatan bisnis sehari-hari, namun pada dasarnya ia harus menaati setiap keputusan yang telah disetujui demi keuntungan bersama. Dengan demikian dalam kegiatan bisnis diandaikan harus lahir kerelaan dari kesepakatan yang ada, bukan dengan paksaan. Ini berbeda dengan ide tentang tanggung jawab sosial yang tampak sebagai suatu “paksaan” dari luar. Sebab, sesungguhnya tanggung jawab sosial yang akan dibebankan kepada para pelaku bisnis sama saja dengan membiarkan masuknya politik dalam dunia bisnis, dan sebaliknya, masuknya bisnis ke dalam dunia politik. Jika hal itu terjadi, maka yang dirugikan tak lain adalah masyarakat bebas itu sendiri. Tampak bahwa argumen-argumen yang disampaikan di atas ingin menekankan bahwa para pelaku bisnis menolak tanggung jawab sosial dengan alasan yang kurang mendasar, yaitu tidak lain demi keuntungan semata. Namun, Friedman menolak anggapan ini. Bagi Friedman, para pelaku bisnis bukan tidak beralasan untuk keberatan terhadap tanggung jawab sosial. Seperti yang dapat dibaca dalam tulisan Collins, Friedman memperlihatkan alasan kuat bagi para pelaku bisnis untuk keberatan
101
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
terhadap tanggung jawab sosialnya, yang tentunya bisa menjadi pertimbangan kita bersama. Adapun alasan-alasan itu adalah: a. Tidak adanya keselarasan harapan antara kaum akademisi dan para pelaku bisnis. Akademisi sering mematok batasan-batasan tertentu pada usaha-usaha bisnis. Sering kali kepentingan bisnis yaitu terutama mengumpulkan laba yang sebesar-besarnya diabaikan. b. Dari para pelaku bisnis itu sendiri masih belum ada yang vokal dalam membicarakan tentang tanggung jawab sosial. Dari prespektif para pelaku bisnis, mereka lebih memilih anonim. c. Terjadi perbedaan harapan antara house country dan home country. d. Terakhir, ada pembedaan antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan-perusahaan swasta. BUMN sering dimengerti sebagai lembaga yang selalu melayani kepentingan masyarakat, sedangkan perusahaan swasta hanya pencari keuntungan semata. Pembedaan ini menyebabkan para pelaku bisnis semakin sulit melaksanakan tanggung jawab sosialnya.
Optimisme terhadap Proyek Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Dunia Bisnis Selain penolakan atas tanggung jawab sosial dunia bisnis, di sisi yang lain ada optimisme yang dapat dijadikan sebagai argumen yang menunjukkan pentingnya tanggung jawab sosial bagi dunia bisnis. Meskipun tidak sebanyak argumen-argumen yang menunjukkan “keraguan” terhadap pentingnya tanggung jawab sosial, namun argumen-argumen berikut dapat menjadi bahan pertimbangan yang harus diperhitungkan oleh para pelaku bisnis. Apabila kita memperhatikan kasus J&J dengan Tylenol, bisa kita lihat bahwa tanggung jawab sosial yang dilakukan J&J tidak mengganggu orientasi maksimalisasi laba perusahaan. Bahkan tanggung jawab sosial yang dilakukan J&J malah semakin meningkatkan reputasi dan keuntungan bagi perusahaan tersebut. Adapun argumen-argumen
102
Ireine Veronica Pontoh
Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial
yang akan dipaparkan berikut sebenarnya berangkat dari realitas hakikat bisnis yang merupakan bagian dari masyarakat. a. Kebutuhan dan Harapan Masyarakat Terus Berubah Segala keuntungan bisnis pada akhirnya sangat bergantung pada pasar, yang tidak lain adalah masyarakat itu sendiri sebagai konsumen. Pada kenyataannya, masyarakat saat ini tidak membeli suatu barang hanya demi memuaskan gengsi. Masyarakat semakin sadar akan pentingnya keamanan, sehingga mereka bahkan mau membayar lebih untuk harga suatu barang yang menawarkan keamanan dan kenyamanan. ������������ Oleh karena itu, perusahaan harus peka atas segala kebutuhan dan harapan masyarakat ini. Perusahaan tidak dapat begitu saja mengatakan bahwa tugasnya adalah hanya menyediakan produk di pasaran, tanpa menghiraukan apakah produknya aman untuk dipakai oleh konsumennya. A. Sonny Keraf mengatakan bahwa mustahil bisnis modern dewasa ini akan berkembang tanpa menghiraukan dimensi sosial kehidupan manusia. Dunia bisnis saat ini dituntut untuk memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat tersebut, yang tidak lain adalah pemenuhan tanggung jawab sosial dunia bisnis. b. Makin Langkanya Sumber-Sumber Daya Untuk memulai suatu usaha, pelaku bisnis membutuhkan berbagai sumber daya, baik sumber daya hayati, non-hayati dan juga sumber daya manusia. Namun, jika pelaku bisnis hanya bisa mengeruk sumber-sumber daya itu tanpa memikirkan pelestarian kehidupan sumber-sumber daya tersebut, lalu apa yang nanti akan dikelola. Bukankah dengan demikian, perusahaan akan kesulitan melanjutkan usahanya? Oleh karena itu, demi kelangsungan bisnis itu sendiri, perusahaan juga bertanggung jawab menjaga kelestarian hidup sumber-sumber daya yang akan digunakan sebagai modal usaha.
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis: Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 93.
103
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
c. Keuntungan Jangka Panjang Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa maksimalisasi keuntungan perusahaan tidak hanya untuk waktu terbatas, namun untuk jangka panjang, dan tanggung jawab sosial adalah nilai positif bagi perusahaan demi keuntungan jangka panjang tersebut. Tidak disangkal lagi bahwa selain faktor ekonomis, faktor-faktor sosial ikut memainkan peran penting dalam keputusan bisnis. Tanggung jawab sosial memungkinkan perusahaan lebih pada “mencegah” terjadinya kerugian bagi perusahaan dan masyarakat, dari pada “mengatasi”. Dalam keadaan demikian, secara otomatis campur tangan politik (pemerintah) pun tidak terlalu banyak. Hal ini sangat menguntungkan perusahaan, karena tidak terlalu banyak dibatasi oleh peraturan pemerintah.
Kesimpulan dan Refleksi atas Pemikiran Friedman Melalui pemikiran Friedman jelaslah bagi kita bahwa masalah bisnis dan tanggung jawab sosial bukan sekadar masalah mana yang tidak bermoral atau bermoral. Meskipun pemikiran Friedman sering tampak sangat individualis, namun sebenarnya tidak dapat langsung dipastikan bahwa ia mendukung bahwa tanggung jawab sosial tidak diperlukan sama sekali dalam dunia bisnis. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Collins, paling tidak ada empat poin penting yang dapat dirangkum dari pemikiran Friedman, yaitu: ketepatan kontrak, pelestarian lembaga hak pribadi dan kebebasan dalam penggunaan hak milik pribadi, proses politik yang demokratis dan penempatannya yang tepat dalam masyarakat, dan alokasi tanggung jawab yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan baik dalam ruang publik maupun dalam sektor khusus dalam masyarakat. Demi kelangsungan bisnis untuk waktu yang panjang, pengusaha tampaknya tetap harus mempertimbangkan kepentingan sosial selain kepentingan ekonomis. Adam Smith pernah berkata bahwa “satu-satunya kepentingan yang ada dalam dunia bisnis adalah kepentingan sendiri. Eka Darmaputera
Adam Smith, Wealth of Nations, hlm. 423.
104
Ireine Veronica Pontoh
Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial
yakin bahwa bukan berarti Smith adalah seorang yang a-sosial. Bagi Darmaputra, Smith tetap yakin bahwa ketika para pelaku bisnis diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengejar kepentingan mereka sendiri, justeru dengan demikian masyarakat akan menarik manfaat yang sebesarbesarnya dari dunia bisnis, bahkan jauh lebih besar dari pada yang dihasilkan oleh orang-orang bisnis yang dengan sengaja mau melakukan tanggung jawab sosialnya (di samping berbisnis). Apa yang dikatakan Darmaputra ada benarnya, namun sebenarnya Smith pun tidak terlalu moralis. Smith hanya ingin menekankan bahwa manusia sebagai makhluk sosial berkewajiban terlebih dahulu untuk memenuhi kepentingan diri masing-masing; dan untuk itu ia harus memperhatikan kepentingan orang lain. Bagi Smith yang terpenting adalah pemenuhan kebutuhan pribadi, tetapi tidak berarti kebutuhan orang lain diabaikan. Kebutuhan ������������������ pribadi tidak mungkin dapat kita penuhi dari diri sendiri semata. Kita masih membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan pribadi kita. Milton Friedman bahkan mengungkapkan pandangannya yang sebenarnya sejalan dengan Smith, namun menggunakan bahasa yang lebih tajam. Friedman menyatakan bahwa tanggung jawab sosial bisnis adalah membuat suatu profit!10 Dan biarkan semua pekerjaan-pekerjaan sosial dipegang oleh tokoh-tokoh lain dalam masyarakat. Friedman tidak bermaksud agar para pelaku bisnis hanya fokus pada mencari keuntungan dan lepas dari tanggung jawab sosialnya. Yang hendak ditekankan Friedman adalah
bahwa dari orientasi perolehan laba yang sebesar-
besarnya sebenarnya para pelaku bisnis telah ikut menjaga keamanan masyarakat bebas. Semua kegiatan bisnis memang tetap perlu dibatasi oleh hukum, namun hukum yang yang dia maksud adalah hukum telah disepakati bersama bukan hukum yang diputuskan perorangan. Dengan demikian, lebih lanjut Friedman ingin mengatakan bahwa hendaknya segala hukum yang ada tidak menghalangi fungsi bisnis yang sebenarnya yaitu, maksimalisasi keuntungan. Pada bagian pendahuluan telah disebutkan bahwa kegiatan
Eka Darmaputera, Etika Sederhana untuk Semua (Jakarta: Gunung Mulia, 1990), hlm. 123. Dikutip dari Alois A. Nugroho, “Cataan Kuliah Etika Bisnis Pascasarjana STF Driyarkara pada tanggal 22 April 2008”. 10 Seperti dikutip dalam Collins, Tylenol Revisited, hlm. 18.
105
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
bisnis dikelola dan dijalankan dalam masyarakat. Seharusnya hubungan yang terjadi antara bisnis dan masyarakat adalah simbiose mutualisme, bukan simbiose parasitis.11 Keuntungan bisnis harus juga dibarengi oleh keuntungan bagi masyarakat, dan sebaliknya. Ini sejalan dengan pemikiran Smith bahwa ada kaitan yang erat antara peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan peningkatan produktivitas dan efisiensi, pembagian kerja dan pertukaran; dalam pertukaran setiap orang memenuhi kebutuhan diri (kepentingan diri). Dari kasus J&J dengan Tylenol kita dapat melihat bahwa konsekuensi dari pemenuhan tanggung jawab sosial sangat luar biasa. J&J tidak hanya mendapat reputasi yang baik dari masyarakat, namun akhirnya mendapatkan keuntungan yang lebih besar setelah melaksanakan tanggung jawab sosialnya pada masyarakat. Ketika kepercayaan publik telah didapatkan, maka akan lebih mudah bagi suatu perusahaan untuk memasarkan produknya. Kalau J&J mendapatkan keuntungan dari pemenuhan tanggung jawab sosialnya, maka cerita sebaliknya dialami oleh Nestle pada tahun 1974 ketika perusahaan tersebut mengabaikan tanggung jawab sosialnya pada masyarakat. Nestle akhirnya mengalami kerugian besar. Ini menggambarkan bahwa sangat sulit bagi suatu perusahaan untuk memasarkan produknya jika perusahaan tersebut sudah mendapat image yang buruk dari masyarakat dan perusahaan tidak bisa menumbuhkan kepercayaan publik.
Bagi saya (sebagaimana juga yang kita lihat pada tulisan Collins),
kita tidak juga perlu terlalu optimis dalam melihat tanggung jawab sosial yang dilakukan perusahaan adalah demi alasan moral. Sekali lagi seperti yang dikatakan oleh Friedman bahwa tanggung jawab sosial dunia bisnis (jika ada) adalah mencari keuntungan itu sendiri. Memang bukan tugas para pelaku bisnis untuk memikirkan kesejahteraan sosial, namun dengan membiarkan para pelaku bisnis menjaga kestabilan kegiatan bisnis adalah suatu perbuatan bijak. Karena dengan demikian, keadaan masyarakat bebas pun turut diuntungkan. Para pelaku bisnis pun akan suka rela melakukan tanggung jawab sosialnya karena memang itu akan menguntungkan perusahaannya. 11 Darmaputera, Etika Sederhana untuk Semua, hlm. 121-122.
106
Ireine Veronica Pontoh
Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial
Daftar Pustaka Bahan Utama: Collins, David, Tylenol Revisited: Friedman and the Current CSR Debate. Bahan Pendukung: Darmaputera, Eka., Etika Sederhana untuk Semua, Jakarta: Gunung Mulia, 1990. Henderson, Verne E., What’s Ethical in Business, New York: McGraw-Hill, Inc., 1992. Keraf, A. Sonny., Etika Bisnis: Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur, Yogyakarta: Kanisius, 1991. Nugroho,
Alois
A.,
“Catatan
Kuliah
STF Driyarkara ”.
107
Etika
Bisnis
Pascasarjana
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
108
Bonar Hutapea
Fiduciari Duties Eksekutif Perusahaan
Fiduciary Duties Eksekutif Perusahaan: Antara Pemegang Saham dan Pemangku Kepentingan (Argumentasi Etis John Orlando di Balik Penolakan terhadap Tindakan Downsizing)* Oleh Bonar Hutapea “..when a corporate manager takes into account the interest of stakeholders, even where that comes at the expense of profits, this does not conflict with a manager’s fiduciary duty to shareholders” “...while the worker’s investment in a corporation is not of the same sort as the shareholder’s, it constitute a risk nevertheles, and so the worker’s position in not dissimilar to that of the shareholder” (Orlando, 1999)
A. Pengantar Para manajer perusahaan (corporate executive) melakukan kontrak kerja dengan pemilik modal (stockholders/shareholders) di mana pemodal menempatkan hak miliknya dalam perusahaan yang berisiko dikelola oleh eksekutif perusahaan tersebut sehingga para eksekutif tersebut memiliki fiduciary duty kepada para pemodal. Fiduciary duty kurang lebih dapat diartikan sebagai kewajiban yang mengikat para eksekutif karena telah dipercaya. Dengan mengambil topik atau permasalahan yang *
Makalah ini bersumber dari John Orlando, 1999, “The Ethics of Corporate Downsizing”, dalam Business Ethics Quarterly 9 (April 1999), The Society for Business Ethics. Penulis sangat berhutang budi dan sangat berterimakasih atas pokok-pokok bahasan yang sangat menarik dalam kuliah Etika Bisnis di bawah bimbingan dosen Prof. Dr. Alois A. Nugroho di Program Magister STF Driyarkara, Jakarta. Sekurang-kurangnya penulis disadarkan perihal permasalahan etis dalam bidang industri yang digeluti penulis secara akademik sebagai dosen Psikologi Industri.
109
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
dipandang sangat penting, banyak diperdebatkan dalam media massa populer tapi diabaikan oleh komunitas filsafat, yakni masalah downsizing, Orlando membicarakan permasalahan etis dalam bisnis secara khusus menyangkut tanggung jawab para eksekutif perusahaan yang sekian lama dianggap lebih mengabdi kepada kepentingan pemilik perusahaan atau pemodal menjadi perluasan tanggung jawab kepada para pemangku kepentingan (stake holders) lainnya. Orlando mengajukan argumentasi bahwa tidak hanya pemodal saja yang mempertaruhkan kepentingannya dalam perusahaan. Pekerja, pelanggan, masyarakat luas dan para stakeholders lainnya juga memiliki kepentingan yang dipertaruhkan dalam perusahaan. Dengan alasan memperbaiki perekonomian secara menyeluruh, downsizing menjadi tren utama dalam bisnis, tetapi harga kemanusiaan yang harus dibayar sangat tinggi seiring dengan penderitaan emosional dan finansial yang dialami karyawan karena harus kehilangan pekerjaannya.
Orlando berargumen bahwa downsizing kerap kali secara moral
salah. Dia mengawali pembahasannya dengan menentang asumsi bahwa kepentingan pemegang saham lebih mendapatkan prioritas dari pada karyawan. Asumsi ini didasarkan atas pengandaian bahwa pemilik saham dan para pekerja tidak berada dalam dataran yang sama secara moral. Pemilik saham dianggap memiliki superiotas moral. Orlando berasumsi keduanya justru setara. Kesetaraan ini berimplikasi bahwa agar downsizing itu diperbolehkan mestinya dibenarkan dari perspektif utilitarian, yang memang memperhitungkan kepentingan pemegang saham maupun pekerja. Tapi Orlando berpendapat bahwa argumen utilitarian bagi downsizing tidak terbukti. Sejumlah argumen yang menentangnya diajukan. Meskipun downsizing boleh dibenarkan dalam kasus ekstrem, katakanlah jika itu memang perlu demi menyelamatkan perusahaan, Orlando menyimpulkan bahwa downsizing yang sematamata demi mengejar keuntungan akan selalu salah.
110
Bonar Hutapea
Fiduciari Duties Eksekutif Perusahaan
B. Argumen Mengenai Kesetaraan Moral Pekerja d������ engan Pemilik Saham dan Argumen yang Menentang Downsizing Mengapa para eksekutif perusahaan lebih mengutamakan kepentingan pemodal dari pada pemangku kepentingan lainnya? Tentu saja karena adanya asumsi bahwa kepentingan pemodal lebih mendapatkan prioritas. Asumsi ini didasarkan atas keyakinan bahwa pemodal dan para pekerja tidak berada dalam dataran yang sama secara moral. Orlando menemukan tujuh alasan di balik pengandaian ini yakni: alasan hak istimewa kepemilikan perusahaan oleh pemodal, fiduciary duty para eksekutif perusahaan kepada pemodal, risiko pemodal atas saham yang ditanamkannya di perusahaan dan kontrak kerja yang tidak setara dalam kedudukan, argumen Milton Friedman tentang tanggung jawab sosial perusahaan, argumen Milton Friedman tentang distingsi ruang publik dan ruang privat dalam pasar bebas, dan argumentasi prinsip utilitarian. Ditambah tiga alasan yang secara khusus mendukung downsizing. Inilah yang ditentang Orlando melalui argumen yang juga sangat kuat dan jernih.
Pertama,
pengusaha
dianggap
memiliki
keistimewaan
kepentingan karena merekalah pemegang sah hak kepemilikan (property rights) atas perusahaan. Pengusaha sebagai pemilik saham memiliki hak yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok manapun. Justifikasi atas posisi yang tidak simetris ini memungkinkan pengusaha mengatur haknya dengan apa pun yang dipandangnya cocok. Terserah pada apa maunya pemilik. Namun Orlando berargumen bahwa ada yang keliru dalam dukungan atas justifikasi keistimewaan posisi tidak setara ini. Orlando mencoba menganalisis makna yang terkandung dalam istilah property rights. Menurutnya, property rights menunjukkan imaji kepemilikan bagi penggunaan pribadi tapi bukan demi keuntungan. Terdapat distingsi yang sangat jelas antara hak kepemilikan bagi penggunaan secara pribadi dengan hak
kepemilikan
demi
keuntungan.
111
Orlando
yakin
bahwa
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
pengusaha memiliki intuisi bahwa ia bertanggung jawab atas orang lain yang bekerja padanya.
Kedua, sejak lama berkembang keyakinan bahwa manajer
perusahaan harus lebih mengutamakan kepentingan pemilik saham ketimbang kepentingan pihak mana pun. Pembelaan atas superioritas moral pemegang saham ini didasarkan pada pandangan bahwa manajer terikat oleh fiduciary duty kepada pemegang saham. Karena dipercaya (oleh pengusaha) maka manajer perusahaan berkewajiban untuk mengutamakan kepentingan pengusaha. Orlando menyatakan bahwa manajer juga memiliki kewajiban yang sama kepada pihak lain di luar pengusaha. Orlando mengajukan argumen dengan mulai menganalisis batas-batas justifikasi bagi kewajiban si agen (manajer perusahaan) dalam hubungan fiduciary. Menurutnya, fiduciary duty tidak membentuk tanggung jawab bagi si agen. Hakikat hubungan fiduciary mendeterminasi parameter kewajiban yang ada. Artinya, partikularitas hubunganlah yang menunjukkan kewajiban manajer terhadap pemegang sahamnya. Selain itu, faktor yang juga menentukan hakikat fiduciary adalah alasan mengapa pelaku (pemilik modal) menuntut perlindungan akan kewajiban tadi. Pertanyaannya adalah dilindungi dari apa kewajiban dimaksud. Orlando mengakui bahwa memang ada bukti yang jelas secara historis mengapa manajer perusahaan dituntut lebih melindungi hak pemilik modal dari pada yang lainnya, namun ditemukan pula bukti lain yang mengungkapkan bahwa penolakan akan kewajiban manajer terhadap pengusaha bukanlah demi kemurahan hati terhadap yang lainnya melainkan karena bertindak demi kepentingan manajer itu sendiri. Bagi Orlando, fiduciary duty manajer terhadap pemodal tak harus bertentangan dengan fiduciary duty terhadap pemangku kepentingan lainnya.1
Ketiga, dengan mengutip Ian Maitland, Orlando menjelas-
kan justifikasi mengapa manajer perusahaan lebih berkewajiban melidungi kepentingan pengusaha dibandingkan pihak mana pun, yaitu bahwa pengusaha yang menanamkan modalnya pada perusahaan 1
Orlando, 1999, hlm. 35.
112
Bonar Hutapea
Fiduciari Duties Eksekutif Perusahaan
mengambil risiko dengan menempatkan uangnya pada perusahaan. Jika terjadi salah kelola (mismanagement) maka sebagai kompensasinya mereka (para pemodal) berhak atas keistimewaan dibandingkan dengan yang pihak lainnya. Bagi Maitland, pekerja yang kehilangan pekerjaannya karena salah kelola perusahaan hanya kehilangan pendapatan potensial di masa depan, sedangkan pengusaha akan kehilangan seluruh modalnya. Tapi Orlando mendebat hal ini dengan mengatakan bahwa pekerja juga mengambil risiko ketika ia menerima pekerjaan di perusahaan tersebut. Dengan menerima pekerjaan di perusahaan tersebut, maka ia kehilangan peluang mendapatkan pekerjaan lain yang memungkinkannya mendapatkan ganjaran uang yang lebih besar. Selain itu, masih banyak kemungkinan risiko lain yang harus ditanggung pekerja akibat salah urus perusahaan. Orlando memang mengakui bahwa investasi pekerja tidak sama dengan investasi pemilik saham, tapi keduanya pastilah mengambil risiko dan posisi pekerja bukanlah tak sama dengan pemodal.2.Bagi Orlando, satu-satunya perbedaan di antara keduanya hanya pada derajat yakni derajat risiko yang harus ditanggung yang tergantung pada situasi partikular yang dihadapi masing-masing.
Keempat, juga berkaitan dengan argumen Maitland yang ke-
dua yang menyangkut kontrak kerja. Menurutnya, pekerja dan pemilik modal terikat kontrak pada perusahaan di mana pekerja memberikan tenaga (kerja keras) nya sebagai pertukaran atas upah tetap yang diperolehnya, sedangkan pemilik modal akan menerima semua keuntungan sebagai pengganti modal yang ditanamkannya. Orlando mendebat argumen Maitland ini dengan mengatakan bahwa tak ada kontrak yang eksplisit antara pemilik modal dengan pekerja, dan gambaran Maitland mengenai perusahaan tidak sesuai dengan kenyataan karena pemilik saham juga berharap para manajer mempertimbangkan kepentingan konstituen lainnya dalam mengambil keputusan mengenai kesejahteraan perusahaan dan bahwa pemilik saham belum tentu menganggap dirinya sebagai pemilik perusahaan melainkan semata-mata 2
Orlando, 1999, hlm. 36
113
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
investor. Bagaimanapun tetap saja pekerja yang lebih mengalami kesulitan karena keterbatasan dalam pilihan pekerjaan dan biaya yang harus ditanggung jika berpindah area pekerjaan. Misalnya kesulitannya jika harus memindahkan sekolah anaknya, menyewa rumah di tempat yang baru dan lain-lain.
Kelima, Orlando mengutip keberatan dan argumen Milton
Friedman yang menentang adanya tanggung jawab perusahaan terhadap pihak lain selain pemilik saham. Friedman berpandangan bahwa perusahaan adalah instrumen bagi pemilik modal, dan bahwa manajer bertindak di atas uang orang lain, sehingga melayani kepentingan publik dari keuntungan tidak dibenarkan sebab semua tindakan yang mengurangi keuntungan dengan membantu pihak lain berarti “memajaki”
pendapatan
pemilik
modal.
Orlando
mendebat
argumen Friedman ini dengan mengatakan bahwa penggunaan penghasilan pemilik modal hanya dilarang jika itu tidak resmi dan seperti argumen yang diajukannya pada Maitland juga diajukannya pada Friedman yakni bahwa pemilik modal juga berharap para manajer mempertimbangkan kepentingan pihak lain dalam memaksimalkan keuntungan. Berdasarkan prinsip kewajiban moral “transfer through”, Orlando berargumen bahwa tindakan downsizing tidak bisa secara moral dijustifikasi atas dasar fakta bahwa hal itu dilakukan demi kepentingan pemilik saham karena jika hal itu salah bila dilakukan oleh pemilik saham maka salah pula kalau dijalankan manajer demi pemilik saham. Meskipun manajer adalah agen dari yang lain bukan berarti dengan sendirinya tindakannya benar secara moral.
Keenam, keberatan Friedman yang kedua bahwa menuntut
perusahaan bertindak demi kepentingan sosial berarti merusak distingsi privat/publik yang merupakan jantung sistem pasar bebas, dijawab Orlando dengan dua tanggapan: Pertama, perusahaan diizinkan eksis oleh negara karena melayani kepentingan publik bukan demi memperkaya diri sendiri. Justifikasi atas eksistensinya tak bisa dilepaskan dari kepentingan publik. Kedua, keberatan Friedman ini tak bisa diterapkan pada kasus yang ada. Downsizing berarti memutuskan status pekerjaan
114
Bonar Hutapea
Fiduciari Duties Eksekutif Perusahaan
karyawannya. Dalam hal ini, tak ada kepentingan publik yang dituju dari tuntutan perusahaan seperti ini.
Ketujuh, selain enam argumen di atas, Orlando juga berke-
beratan atas argumen yang ������������������������������������������� didasarkan pada pandangan utilitarian. Etika konsekuensialis menjadi dasar untuk menjustifikasi tindakan downsizing jika diandaikan bahwa terdapat kesetaraan moral antara pekerja dengan pemilik saham. Tapi jika pemilik saham dianggap superior secara moral maka pembelaan atas downsizing dapat dilakukan atas dasar utilitarian. Prinsip yang dikandung dalam utilitarianisme sangat beralasan untuk diragukan dalam konteks downsizing sebab ada temuan penelitian yang menunjukkan bahwa tindakan downsizing belum tentu menghasilkan keuntungan, bahkan downsizing justru merugikan perusahaan dalam jangka panjang. Selain itu, patut dipertanyakan anggapan bahwa downsizing akan menyehatkan perekonomian dan lalu mendorong kesejahteraan karena diperolehnya keuntungan finansial. Ini disebabkan karena ada sejumlah faktor determinan yang mempengaruhi kesejateraan pada seseorang, selain masalah uang, terutama adalah faktor psikologis.
Kedelapan, argumen bahwa menyakiti beberapa orang demi
menguntungkan yang lainnya tak dapat dibenarkan. Menurutnya, adalah keliru jika menundukkan individu kepada kerugian tertentu dalam rangka menguntungkan yang lain. Kalkulasi utilitarian tidak selalu tepat. Bahkan banyak yang yakin bahwa tidak boleh ada kerugian terhadap seorang individu yang dapat dijustifikasi atas dasar bahwa itu akan menguntungkan yang lain, karena kerugian (termasuk rasa sakit sebagai akibatnya) dan kemanfaatan bukanlah komoditas yang dapat dipertukarkan. Tindakan downsizing sangat merugikan karyawan secara finansial dan psikologis, sedangkan keuntungan pemilik saham belum tentu cukup besar mengingat investor perusahaan besar menyebarkan asetnya.
Kesembilan, ekspektasi legitim pekerja dengan pemilik saham
memang berbeda. Para pekerja telah membuat rencana-rencana, terutama kesejahteraan dasar dirinya dan keluarganya berdasarkan
115
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
asumsi sumber penghasilan yang berkesinambungan. Dan ini akan hancur jika downsizing terjadi. Tidak demikian halnya dengan pemilik saham. Para pemilik saham tahu betul ketika masuk pasar bursa bahwa hasil dari sahamnya diperoleh pada jangka panjang.
Kesepuluh,
mengutip
John
Rawls,
Orlando
menyajikan
argumen berdasarkan ide bahwa seseorang tidak seharusnya diganjar maupun dihukum untuk hal yang padanya dia tak bertanggung jawab. Faktor genetik dan institusi sosial masyarakat di mana seseorang hidup merupakan faktor yang harus dipertimbangkan. Tindakan downsizing berada di luar kontrol para pekerja, maka mereka tak seharusnya dirugikan karena dampaknya. Pemilik saham tak pantas menuntut kenaikan nilai investasinya melalui downsizing karena sebenarnya mereka bebas menanamkan modalnya di perusahaan mana pun dengan mempertimbangkan risiko yang mungkin timbul.
C. Implikasi Perdebatan Etis tentang Downsizing Orlando menyatakan para manajer bisnis perlu menguji situasi nyata dari para pemilik saham dan para pekerja sebagaimana juga memperhitungkan kondisi perusahaan ketika mengambil keputusan melakukan downsizing terutama jika berharap keputusan tersebut secara moral diterima. Seandainya pun secara moral diterima, keputusan melakukan downsizing tidak bisa didasarkan pada kewajiban khususnya (manajer perusahaan) pada pemilik saham yang melampaui yang lain. Pendapat Rockefeller yang terkesan kontradiktif bahwa perusahaan bertanggung jawab terhadap masyarakat melampaui maksimalisasi keuntungan bagi pemegang saham tapi juga menerima bahwa keuntungan mestilah yang terutama, hendaknya dipahami sebagai bentuk penerimaan akan kesetaraan posisi namun dengan tetap mengingat kewajiban kepada pemilik saham.
Orlando berharap bahwa pemahaman melalui argumentasi etis
menyangkut downsizing ini dapat dimanfaatkan agar para manajer dapat menjawab permasalahan partikular yang dihadapi. Antara lain memahami bahwa tindakan downsizing dengan maksud menghindari keruntuhan dan
116
Bonar Hutapea
Fiduciari Duties Eksekutif Perusahaan
kebangkrutan perusahaan dapat dibenarkan sejauh tujuannya adalah amputasi terhadap bagian yang tak berfungsi. Namun perlu juga diingat bahwa kebangkrutan tak selalu berarti gulung tikar karena pengadilan kepailitan berupaya menemukan cara merestrukturisasi utang perusahaan agar tetap bertahan. Bahkan tidak jarang kebangkrutan menjadi cara akalakalan pengusaha untuk menghindari putusan pengadilan dan downsizing marak menjadi tindakan yang semata-mata demi keuntungan tanpa melalui analisis yang hati-hati terhadap keuntungan dan kerugian yang dialami pihak terkait. Pemisahan secara jelas antara keuangan perusahaan dan keuangan pribadi pemilik akan meminimalisir risiko bagi pemilik saham. Selain itu, diversifikasi aset oleh pemodal membuat kerugian yang diderita pemilik saham menjadi jauh berkurang. Sedangkan kerugian dan rasa sakit yang ditanggung para pekerja yang diberhentikan tak sebanding dengan kerugian dan rasa sakit yang dialami para pekerja.
D. Penutup dan Refleksi Kita telah menyimak argumen-argumen yang diajukan Orlando untuk menentang downsizing. Dia berargumen bahwa tindakan downsizing itu secara moral salah. Dia mengawali dengan menunjukkan bahwa kepustakaan etika bisnis menunjukkan adanya suatu distingsi yang relevan secara moral antara situasi pemilik saham dengan situasi pekerja terhadap perusahaan. Ini berarti bahwa manajer perusahaan tidak secara alamiah berkewajiban lebih besar terhadap pemilik saham dari pada terhadap karyawan. Dia lalu menguji dan menolak berbagai argumen yang diajukan untuk mengistimewakan kepentingan pemegang saham di atas pihak mana pun. Lalu dia mengajukan argumen melawan permisibilitas moral atas tindakan downsizing.
Dibandingkan dengan pandangan lain dalam etika bisnis
seperti Adam Smith, Milton Friedman, Ayn Rand, argumen-argumen Orlando ini sangat nyata mengedepankan kepedulian kepada orang lain. Sangat kuat kesan pada Orlando bahwa seseorang tidak patut jika hanya mengutamakan kepentingannya sendiri melampaui orang lain. Barang
117
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
kali hal ini disebabkan karena Orlando sangat terpesona pada asumsi kesetaraan moral pada manusia. Penentangan Orlando atas distingsi antara pemilik saham dengan pekerja dalam relasinya terhadap perusahaan semakin kuat menunjukkan hal ini. Argumen Orlando untuk menentang downsizing yang dinilainya secara moral salah sangat tampak mengedepankan bahwa tanggung jawab etis perusahaan menjadi bergeser dari berfokus kepada pemodal menjadi beralih kepada pemangku kepentingan.
Menurut penulis, yang amat menarik dari argumen etis Orlando
ini adalah mengapa moral patient tidak cukup hanya untuk diri sendiri saja? Mengapa harus memikirkan orang lain, pihak lain atau masyarakat? Apakah semata-mata karena prinsip kesetaraan moral? Penulis terkesan bahwa Orlando menerima kebebasan dan keadilan sebagai pengandaian dalam invisible hand yang mendasari sistem pasar bebas. Bisnis yang dijalankan dalam kontrak dan melibatkan berbagai pihak (stakeholders) hanya mungkin bertahan jika masing-masing memiliki kebebasan dan terpenuhi prinsip keadilan yang mengikat semua yang terlibat. Downsizing yang didasari asumsi ketidaksetaraan moral jelas berlawanan dengan kedua pengandaian ini.
Penulis juga memiliki kesan bahwa argumen filosofis-etis Orlando
ini mengandung etika keutamaan, di mana pemilik saham dan para manajer korporasi diharapkan untuk mempertimbangkan kepentingan konstituen dan pihak yang terkait dalam maksimalisasi keuntungan. Pandangan Orlando mengenai intuisi moral dapat dikatakan juga sebagai bagian dari keutamaan yang mewarnai argumen yang diajukannya untuk menentang downsizing ini.
Kelemahan yang terdapat dalam pembahasan Orlando ini adalah
bahwa perusahaan yang dikaji adalah perusahaan besar dengan saham yang ditanamkan yang
juga besar. Orlando tidak memasukkan per-
usahaan kecil di mana modal seluruhnya dimiliki seorang pengusaha yang bisa jadi permasalahannya akan menjadi lain apabila ditinjau dari etika bisnis.
118
Nuraeni
Integritas Korporasi untuk Bisnis yang Manusiawi
Integritas Korporasi untuk Bisnis yang Manusiawi Oleh Nuraeni … “get money”, someone says, ‘so that we may have some.’ If I can get it while keeping self respect and trustworthiness and high-mindedness, show me the way and I will get it. But if you demand that I lose the good things that are mine so that you may acquire things are not good, see for yourselves how unfair and inconsiderate you are. Which do you want more, money or a self-respecting and trustworthy friend? Epictetus It is easier for a man to be loyal to his club than to his planet; the by laws, are shorter, and he is personally acquainted with the other members. E.B. White
Pengantar Desakan terhadap pemerintah untuk secara sungguh-sungguh menangani kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) semakin hari semakin kuat. Namun, apakah hanya Negara saja yang harus bertanggung jawab? Mari kita lihat Lumpur Lapindo yang telah merendam belasan desa di tiga kecamatan di Sidoarjo. Bencana ini tidak saja merusak alam tetapi juga merupakan bencana kemanusiaan. Secara sporadis tidak hanya menyebabkan ribuan orang kehilangan harta benda, tetapi juga sebagian besar sejarah eksistensi, menelan bulat-bulat ruang fisik, sosial, budaya bahkan peta mental mereka. Selain kasus Lapindo, kasus terbaru adalah tersebarnya rekaman percakapan terakhir antara Pilot dan Ko-pilot Adam
Seperti yang di kutip Eugene Heath (Ed.,) Morality and The Market: Ethics, Virtue in The Conduct of Bussiness, McGraw Hill, New York, 2002. hlm. 242. Ibid., hlm.365.
119
dignitas- Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
Air yang hilang di perairan Majene, Sulawesi Selatan, yang mengingatkan kita bahwa betapa alasan menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya telah menghilangkan ratusan nyawa dengan begitu tragisnya. Pertaruhan dalam bisnis bukan lagi soal harta benda tetapi juga nyawa manusia. Dari dua kasus tersebut, tulisan ini ingin menyoroti bahwa bisnis memang membutuhkan etika dan etika bisnis bukanlah mitos belaka. Perdebatan apakah bisnis itu berkaitan ataukah memerlukan etika menarik ditelaah terutama dalam perkembangan isu dan fenomena Tanggung Jawab Sosial Korporasi (Corporate Social Responsibility / CSR). Diskursus mengenai CSR di Indonesia menunjukkan tren yang meningkat meskipun masih sangat jauh jika dibandingkan dengan diskursus yang sama di negara-negara
maju. Meningkatnya diskursus mengenai CSR ini di
pengaruhi oleh berbagai faktor, terutama karena perkembangan media massa yang semakin pesat dan masuknya korporasi-korporasi multinasional. Apakah meningkatnya pembicaraan mengenai CSR disebabkan oleh meningkatnya kesadaran etis pelaku bisnis ataukah hanya merupakan modus baru dalam memenangkan persaingan melalui pembangunan citra yang lebih baik di mata masyarakat? Apakah CSR memiliki akar pada aktivitas bisnis itu sendiri, melekat ataukah dilekatkan? Yang lebih dalam lagi mengapa bisnis harus bertanggung jawab? Apakah berbagai CSR cukup sebagai bentuk tanggung jawab tersebut?
CSR: Corporate Social Responsibility or Corporate Social Redemption? Relevansi etika dalam bisnis telah melalui perdebatan yang panjang. Salah satu argumen mengenai pentingnya etika dalam bisnis adalah sebagaimana yang kemukakan oleh Sonny A. Keraf bahwa bisnis adalah kegiatan manusiawi, oleh karena itu pertimbangan moral dianggap sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan. Adam Smith (Bapak Ilmu Ekonomi), menyusun karya-karya besarnya dari argumen-argumen filsafat moralnya. Dikatakan bahwa tidak semua orang dapat mencapai atau menjalankan
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis: Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991, hlm. 61.
120
Nuraeni
Integritas Korporasi untuk Bisnis yang Manusiawi
keutamaan (virtue) seperti para pahlawan, para bangsawan, para filsuf dan lain sebagainya, tapi bahkan orang biasa memiliki hak mendapatkan apa yang pantas (mere propriety) untuk mereka, sehingga menurut Smith dalam aktivitas ekonomi yang berlaku adalah etika kepantasan. Setidaknya ada dua prinsip yang tetap sangat penting sehingga pertukaran dapat berjalan dengan baik, sekaligus menunjukkan bahwa aktivitas ini memiliki dimensi etis, yaitu: keadilan dan prinsip berbuat baik (beneficence)/tidak berbuat jahat (non-maleficence/do no harm). Hal senada dikemukakan Richard T. De George, “bisnis seperti kebanyakan kegiatan sosial lainnya, mengandaikan suatu latar belakang moral, dan mustahil bisa dijalankan tanpa ada latar belakang moral seperti itu… Jika setiap orang yang terlibat dalam bisnis – pembeli, penjual, produsen, manajer, karyawan , dan konsumen – bertindak secara immoral dan bahkan amoral (yakni, tanpa memerdulikan apakah tindakannya bermoral atau tidak), maka bisnis akan segera terhenti.” Persoalan bagaimana sesungguhnya bentuk kesadaran moral dalam aktivitas bisnis ternyata jauh lebih kompleks. Dalam kasus Enron misalnya, perusahaan secara aktif menjalankan CSR-nya dalam berbagai program, tetapi secara internal terjadi suatu aktivitas spekulasi besar-besaran yang kemudian menghancurkan perusahaan. Sementara itu, Lapindo masih melakukan aktivitas bisnisnya dan bahkan menjadi sponsor penghargaan bagi mereka yang memiliki kontribusi penting bagi Republik ini. Sedangkan Adam Suherman, pemilik Adam Air, bahkan sedang kembali mengurus izin maskapai penerbangan baru di tengah pembekuan Adam Air dan tuntutan dari pegawai maupun konsumen yang merasa dirugikan. Persoalan semakin rumit untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab dalam korporasi; apakah individu tertentu, misalnya eksekutif, ataukah korporasi secara keseluruhan? Banyak lagi aspek lain yang juga melahirkan perdebatan yang sangat panjang. Sebagian ada yang beranggapan bahwa tujuan utama korporasi bisnis adalah memaksimalisasi profit seperti yang dikatakan Milton Friedman. Tanggung
Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments, Edited by Knud Haakonssen, Cambridge University Press, (1759), 2002, hlm.30-31. Ibid, hlm. 91-93. Seperti yang di kutip oleh A. Sonny Keraf, 1991, op.cit. hlm.62-63.
121
dignitas- Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
jawab hanya dapat dikenakan pada persona, dan perusahaan adalah pribadi artifisial, sehingga kalaupun ada tanggung jawab maka sifatnya artifisial pula. Pemahaman tentang korporasi dari sudut pandang mereka yang menganggap etika tidak relevan dalam bisnis kurang lebih mengingatkan kita pada Leviathan-nya Thomas Hobbes. Tugas utama korporasi adalah menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya sebagai tanggung jawab korporasi itu terhadap shareholders. Hal itu sama dengan Negara boleh melakukan apa pun untuk mempertahankan kedaulatan serta melindungi warganya, termasuk memusnahkan hambatan serta ancaman yang mengganggu tujuan tersebut. Pandangan ini sangat rentan terhadap terjadinya pelanggaran HAM, karena pada akhirnya yang menjadi hambatan atau ancaman adalah manusia lainnya dan kondisi manusiawi yang melingkupinya. Atau bisa jadi Negara dan korporasi bekerja sama, seperti kasus-kasus jual beli organ manusia di beberapa Negara. Di tengah maraknya CSR, perlu diingatkan kembali bahwa korporasi sendiri tampaknya memahami secara berbeda-beda mengenai apa yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial korporasi. Di Indonesia, kebanyakan dari mereka yang menerapkan CSR melakukannya sebagai bagian dari strategi bisnis dalam pembentukan citra. Apa yang dimaksud dengan “sosial” berkaitan dengan interaksi-interaksi yang secara aktual maupun potensial dapat mendongkrak keuntungan; semacam cara bagaimana “terlihat baik” dari pada menjadi “sungguh-sungguh” baik, atau apa yang disebut dengan Strategic CSR. Dalam konteks pemahaman ini tidak heran CSR menjadi sesuatu yang dilekatkan, dan hanya diperlukan sejauh memberikan kontribusi berarti bagi bisnis. Bahkan, ada kalanya CSR menjadi semacam penebusan dosa korporasi, politik etis (balas budi) sama seperti yang pernah dilakukan Belanda terhadap Indonesia. Dengan cara pandang seperti ini, etika tidak sungguh-sungguh disadari, ancaman terhadap kemanusiaan akibat aktivitas bisnis akan terus berlangsung, bukan hanya bagi mereka terlibat di dalam aktivitas korporasi, tetapi juga bagi semua pihak yang berada di luar korporasi.
Ibid., hlm.87.
122
Nuraeni
Integritas Korporasi untuk Bisnis yang Manusiawi
Perlunya Integritas Korporat George G. Brenkert mengemukakan pentingnya merekonstruksi pemahaman terhadap CSR setelah menelaah berbagai argumen tentang CSR dan berbagai perdebatan mengenai apakah CSR merupakan keharusan atau hanya kepantasan saja. Merekonstruksi pemahaman terhadap CSR juga penting untuk dilakukan terkait dengan tugas utama perusahaan itu sendiri yakni mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan tetap memperhatikan beragam posisi dan bagaimana CSR dapat dilaksanakan. Namun ada pertanyaan mendasar yang rupanya ingin dijawab oleh Brenkert, yaitu mengapa perusahaan perlu bertanggung jawab? Seiring dengan menghangatnya diskusi mengenai CSR ternyata justru secara faktual juga disertai meningkatnya kasus-kasus yang disebut Brenkert sebagai Massive Irresponsibility dari beberapa perusahaan. Bagi Brenkert, ironi ini menyadarkan kita bahwa tanggung jawab harus dilakukan tetapi terlebih dahulu harus dipahami. Ia mengungkapkan fakta bahwa apa yang membuat suatu perusahaan hancur ataupun mendekati kehancuran bukan karena perusahaan kurang bertanggung jawab atau sama sekali tidak bertanggung jawab pada komunitas ataupun lingkungan sekitarnya, tetapi sering kali karena sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas bisnis mereka sendiri. Contohnya adalah Enron yang melaksanakan CSRnya dengan aktif, tetapi hancur karena sistem bisnisnya sendiri. Bahkan Richard Grasso, mantan pimpinan Bursa Saham New York kehilangan pekerjaan bukan karena ia melanggar hukum atau tidak menjalankan tugasnya dengan baik tetapi karena ia dianggap mendapatkan paket kompensasi yang sangat besar. Justru korporasi-korporasi besar tetap berdiri meskipun mendapat kritik dari berbagai sudut, termasuk persoalan pengabaian terhadap lingkungan hidup, kesejahteraan komunitas setempat, sampai tingkat kesejahteraan buruh yang rendah di negara-negara berkembang yang mereka pekerjakan.
Disarikan dari: George G. Brenkert (Ed), Corporate Integrity and Accoutability, Thousands Oak, London, Sage, New Delhi, 2004, hlm 1-9.
123
dignitas- Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
Bagi Brenkert ironi tersebut disebabkan oleh kerancuan dalam memahami tanggung jawab. Baik bagi mereka yang menganggap CSR sebagai tanggung jawab strategis maupun altuistrik. Mereka menganggap perilaku bertanggung jawab sebagai sesuatu yang eksternal dari bisnis, sehingga pelaksanaan CSR hanya merupakan tambahan yang kalau mungkin tidak perlu dilakukan. Yang kedua ukuran-ukuran tanggung jawab oleh sebab itu terpisah, tidak terintegrasi dengan aktivitas inti dan rancangan strategi perusahaan. Brenkert tidak menolak CSR namun ia agaknya sepakat dengan Manuel Castello Branco bahwa tanggung jawab utama harus dipenuhi terlebih dulu yaitu bahwa perusahaan harus menjalankan bisnisnya secara benar untuk mendapatkan tujuannya, sistem dan orang-orang di dalamnya harus sungguh-sungguh perduli dengan kelangsungan bisnis perusahaan, dan oleh karena itu perlu integritas perusahaan. Dalam hal ini juga ada persoalan mengenai bagaimana integritas dipahami. Di satu pihak ada yang mengandaikan bahwa perusahaan dapat memiliki integritas, di pihak lain mengandaikan bahwa integritas sebuah perusahaan ditunjukkan dengan sungguh-sungguh melakukan apa yang direncanakan. Pengandaian pertama masih diperdebatkan, sedangkan pengandaian yang kedua sejauh ini bisa dikatakan keliru. Apakah korporasi dapat memiliki integritas? Ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa hanya individu yang dapat memiliki integritas. Korporasi adalah fiksi legal, dan oleh karena itu tidak bisa memiliki integritas, kalaupun ada, maka itu adalah sebuah mitos. Pendapat di atas ada benarnya, dalam hal bahwa meskipun korporasi adalah kumpulan orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan, dan bahwa di dalamnya terdapat berbagai “aturan main”, nilai bersama dan lainnya, tidak berarti dapat dikatakan langsung bahwa hal itu menunjukkan integritas korporasi tersebut. Dalam hal ini, integritas dipahami sebagai kesatuan, konsistensi dan koherensi yang diharapkan dari organisasi. Dan juga disepakati bahwa korporasi dijalankan oleh manusia (human agents) melalui struktur, peraturan dan tujuan yang bisa berubah kapan saja. Kesesuaian antara apa
124
Nuraeni
Integritas Korporasi untuk Bisnis yang Manusiawi
yang dikatakan dengan apa yang dilakukan penting sejauh hal itu memang disadari sepenuhnya sebagai sesuatu yang keluar dari diri seseorang maupun perusahaan. Dengan demikian sangat beralasan meletakkan integritas dalam konteks moral. Oleh sebab itu integritas personal maupun perusahaan tidak dapat direduksi ke dalam perilaku patuh terhadap hukum semata, karena di satu sisi hukum memang memberikan semacam koridor yang dapat membatasi atau mencegah perilaku tertentu, namun di sisi lain hukum tidak cukup memadai untuk mencakup seluruh dimensi persoalan etis secara kognitif maupun faktual. Jadi, apa yang membentuk integritas korporasi? Setidaknya ada tiga cara bagaimana integritas dipahami dan berusaha diterapkan. Pertama adalah integritas yang terkait dengan nilai atau prinsip; Kedua adalah menetapkan integritas perusahaan sama dengan moralitas perusahaan; dan yang ketiga, integritas dicirikan dengan keberanian mempertahankan posisi sulit bahkan membahayakan untuk menekankan suatu nilai tertentu. Bagi Brenkert, pandangan terakhir ini agak sulit diterapkan, dan yang paling relevan adalah pandangan yang kedua. Kita bisa memahami bahwa moralitas tidak hanya mengandaikan keselamatan diri tetapi juga mempertimbangkan berbagai hal dalam relasi dengan yang lain. Dengan demikian perusahaan yang memiliki komitmen moral tentu berlaku bagi dirinya dan juga bagi lingkungannya. Dengan begitu, maka CSR bukan lagi sesuatu yang ditempelkan tetapi memang sudah terantisipasi oleh nilai-nilai internal perusahaan. Dengan sendirinya tanggung jawab bagi shareholders maupun stakeholders dapat sekaligus terpenuhi. Akhirnya kita sampai pada persoalan bagaimana mengukur sejauh mana perusahaan telah memenuhi tanggung jawabnya, atau lebih jauh telah sungguh-sungguh memiliki integritas, dapat diandalkan, dan accountable.
125
dignitas- Volume V No. II Tahun 2008
landasan teoretis
Akuntabilitas Seseorang dapat dikatakan bertanggung jawab jika ia telah memenuhi kewajiban untuk melakukan sesuatu atau bisa juga karena ia tidak melakukan sesuatu. Atau seseorang bertanggung jawab terhadap sesuatu yang telah ia lakukan, misalnya bertanggung jawab terhadap kesalahannya. �������������������������������������������������� Bagi Brenkert ini belum merupakan komitmen moral. “For a person to be morally responsible for something is to say that there is something they are morally required to do and that, though they could have done something else, if they fail to do what is required (absent executing conditions), they may be blamed or punished for having failed.” Contohnya, adalah seorang ayah bertanggung jawab (responsible) membesarkan anaknya, dan dalam hal ini kepada istrinyalah ia mempertanggungjawabkannya (accountable). Seorang guru bertanggung jawab terhadap muridnya sekaligus harus mempertanggungjawabkan tugas pendidikannya terhadap institusi dan orang tua murid. Artinya, perusahaan juga bukan sekadar bertanggung jawab memperoleh keuntungan, tetapi mempertanggungjawabkannya pada shareholders dan juga stakeholders. Akuntabilitas adalah ukuran untuk menilai sejauh mana perusahaan memiliki integritas, telah memenuhi tanggung jawab bisnis sekaligus moral. Hal itu meliputi empat aspek: a) standard-standard tentang bagaimana orang-orang dalam perusahaan bertindak; b) respons antar-orang dalam perusahaan atau terhadap pihak di luar perusahaan atas pemenuhan atau ketidakterpenuhan standard-standard tersebut; c) ketentuan andaikata standard tersebut terpenuhi atau tidak terpenuhi; d) respons evaluatif dari pihak-pihak terkait yang dapat membenarkan atau mengecam perilaku perusahaan. Brenkert berkesimpulan bahwa CSR dan etika harus diintegrasikan dalam aktivitas keseharian serta aktivitas-aktivitas strategis dari bisnis. Artinya integritas perusahaan berkaitan dengan seluruh perilaku internal maupun eksternal baik dalam aktivitas bisnis mereka maupun tanggung jawab terhadap lingkungan di sekitar mereka.
126
Nuraeni
Integritas Korporasi untuk Bisnis yang Manusiawi
Penutup Prinsip akuntabilitas Brenkert kurang lebih sama dengan impartial spectatornya (penilai yang tidak memihak) Adam Smith yang mengandaikan bahwa setiap tindakan manusia memiliki pengaruh terhadap manusia lainnya, atau setidaknya digerakkan atas kepentingannya terhadap manusia lain. Siapakah atau apakah impartial spectator itu, Smith agaknya menganggap bahwa orang lain atau masyarakat itu sendirilah yang berperan sebagai wasit bagi tindakan manusia. �������������������������� Masyarakat adalah “cermin dengan apa…kita menilai kepantasan tindakan kita sendiri.” Namun baik akuntabilitas maupun
impartial spectator tidak cukup memadai
untuk mencegah bisnis melupakan dimensi etisnya.
Ini disebabkan
karena prinsip akuntabilitas berbicara mengenai bagaimana tindakan itu telah dipertimbangkan dan dilakukan atas pertimbangan itu. Prinsip �������� akuntabilitas berbicara mengenai fakta, dan fakta sangat mungkin dimanipulasi. Begitupun masyarakat atau nilai-nilai yang berkembang di dalamnya belum tentu menjadi wasit yang sungguh-sungguh adil, misalnya masyarakat yang telah menganggap perilaku korup sebagai hal yang biasa. Persoalan berikutnya adalah bahwa prinsip non-maleficence juga sering kali sulit dipenuhi karena pengaruh tindakan manusia atau korporasi (kumpulan manusia) tidak dapat seluruhnya diperhitungkan ataupun diantisipasi. Misalnya penggunaan pupuk ternyata lama kelamaan membuat tanah justru tidak subur, atau penggunaan pestisida justru memunculkan hama yang memiliki resistensi tinggi. Belum lagi berbagai obat-obatan bagi manusia, yang telah melalui riset yang mendalam dan mahal di kemudian hari justru membahayakan manusia. Sejauh pemahaman saya, impartial spectator itu pada akhirnya adalah persoalan hati nurani manusia itu sendiri. Hati nurani memang tidak selalu berbicara mengenai fakta, tetapi biasanya memberikan pertimbangan untuk menghargai dan menjaga nilai kehidupan. Integritas seseorang umumnya juga berasal dari sini, sehingga ia tidak perlu
Seperti Dikutip Herry B. Priyono “Adam Smith dan Munculnya Ekonomi: Dari Filsafat Moral ke Ilmu Sosial,” Diskursus, Vol.6, No.1, April 2007, STF Driyarkara Jakarta, hlm.10.
127
berusaha menunjukan bahwa ia tidak merugikan orang lain, dan tidak memerlukan pengakuan orang lain bahwa ia memang melakukan tindakan yang benar, karena memang sejatinya ia selalu berusaha melakukan tindakan yang benar tanpa tergantung pada penilaian orang lain. Integritas individual berkaitan erat dengan kejujuran, keadilan dan kesetiaan.10 Bagaimana dengan integritas korporasi? Memang bukan sesuatu yang sederhana, tetapi setidaknya penghargaan terhadap nilainilai kehidupan sangat mungkin dikembangkan melalui budaya kerja dan juga relasi dengan shareholder maupun stakeholder. Perilaku koruptif acap kali menjadi penyebab utama baik individu maupun korporasi tidak mampu mewujudkan keadilan dan prinsip non-maleficence. Sudah saatnya isu HAM juga menjadi pertimbangan serius bagi para pelaku bisnis. Kerasnya persaingan bisnis tidak menjadi alasan yang cukup untuk menghindari tanggung jawab moral dalam menjaga nilainilai kehidupan. Hukum juga harus sedapat mungkin bisa dipergunakan untuk menghukum korporasi yang jelas melanggar HAM untuk diadili tidak hanya perdata tetapi juga pidana, seperti para pemimpin Negara yang terbukti melakukan kejahatan perang.
10 Gabriele Taylor, “Integrity” dalam Eugene Heath (ed.), Morality and The Market: Ethics, Virtue in The Conduct of Bussiness, McGraw Hill, New York, 2002. hlm. 368.
128
Daftar Sumber Brenkert, George. G. (Ed.), Corporate Integrity and Accoutability, Thousands Oak, London, Sage, New Delhi, 2004, hlm 1-9. Keraf, A. Sonny, Etika Bisnis: Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1991, hlm.61. Kline, John M., Ethics For International Bussiness : Decision Making in a Global Polititical Economy, Routledge, New York 2005; Chapter 3: Human Rights Concepts and Principles, hlm.25-43. Herry B. Priyono., “Adam Smith dan Munculnya Ekonomi: Dari Filsafat Moral ke Ilmu Sosial”, Diskursus, Vol.6, No.1, April 2007, STF Driyarkara Jakarta, hlm1.1-40. Smith, Adam., The Theory of Moral Sentiments, edited by Knud Haakonssen, Cambridge University Press, (1759), 2002. Taylor, Gabriele., “Integrity” dalam Eugene Heath (Ed.), Morality and The Market: Ethics, Virtue in The Conduct of Bussiness, McGraw Hill, New York, 2002. hlm. 368-374.
129
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
tinjauan wacana
130
Brigitta Isworo L.
Ide Objektivisme Ayn Rand
Tinjauan Wacana
131
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
tinjauan wacana
132
Brigitta Isworo L.
Ide Objektivisme Ayn Rand
Ide Objektivisme Ayn Rand: Sebuah Refleksi Etika Bisnis Oleh Brigitta Isworo L. “Throughout the centuries there were men who took first steps down new roads armed with nothing but their own vision” (Ayn Rand)
Pendahuluan Pada abad ke-20 ketika pemikiran tentang moralisme seakan terhenti karena semua mengikuti pendekatan moralitas Aristotelian, Ayn Rand muncul dengan pendekatan yang berbeda tentang moralitas, sebuah revolusi, yang secara tidak langsung dia sendiri menyebutnya sebagai “ radikal”.
Filsafat Ayn Rand menegaskan bahwa setiap manusia selalu dan
hanya bertindak atas dasar kepentingan dirinya sendiri. Dia memandang mereka yang terlalu selfless (tidak mementingkan dirinya sendiri) sebagai second-handers (menumpang pada kepentingan orang lain). Ayn Rand juga mengkritik moral altruisme Kant yang berdasarkan pada “imperatif kategoris”. Moralitas Kant ini dinilainya tidak menawarkan moralitas yang rasional.
A moral revolution is the most difficul, the most demanding, the most radical form of rebellion, but that is the task to be done today, if you choose to accept it. When I say “radical”, I mean it in its literal and reputable sense: fundamental”, Ayn Rand, Philosophy Who Needs It, Penguin Books Ltd, 1984, hlm. 72. Ayn Rand, For the New Intelllectual, New York, The New American Library, 1961, hlm. 69.
133
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
tinjauan wacana
Dia menawarkan suatu konsep etika yang menurut dia rasional
– selalu ada alasan di belakangnya. Ayn Rand menjadikan sesuatu tindakan bersifat “ought” (seharusnya) dari tindakan yang sifatnya “is” (sedang berlangsung) atau menjadikan suatu tindakan dari “faktual” menjadi “normatif”.
Etika Ayn Rand dimaksudkan sebagai etika yang dapat dinilai ke-
benarannya (justifiable) secara logis. Jika seseorang memilih melakukan suatu tindakan yang dia pikir adalah sebuah tindakan yang bermoral, bagaimana dia bisa tahu bahwa tindakan moral yang dia lakukan itu secara logis memang benar? Logis yang dimaksud adalah non-contradictory identification – suatu (seni) identifikasi yang tidak memicu kontradiksi. Atau bisa juga disebut sebagai moral yang tidak menciptakan konflik di antara orang-orang rasional.
Ronald Merrill berusaha mengupas etika Ayn Rand, yaitu etika
objektivis. Objektivisme merupakan satu versi dari etika egoisme yang terpusat pada tindakan yang mementingkan diri sendiri (self-interest) sebagai implikasi dari salah satu pilar objektivisme yaitu bahwa setiap orang adalah (tujuan) akhir pada dirinya (an end in himself). Dalam tulisan ini Merrill menganalisis alasan-alasan Ayn Rand di belakang etika objektivisme dan membandingkannya dengan etika Aristoteles dan skeptisisme David Hume. Merrill juga meneliti berbagai argumentasi kritik-kritik Rand serta melihat implikasi dari etika objektivisme dan mempertimbangkan kemungkinan perluasannya.
Etika Objektivis Setiap masyarakat tertentu memiliki ajaran etika tertentu yang dipenuhi klaim-klaim tertentu yang menutup diri dari pemeriksaan-pemeriksaan secara logika. Etika-etika tersebut ditandai dengan frase: ini “harus” dilakukan, itu “tidak boleh” dilakukan, yang ini “jangan” dilakukan, dan sebagainya. Alasan yang dikemukakan adalah: “pokoknya harus”, “karena itu adalah perintah Tuhan”, “kamu harus melakukannya karena
Ibid., hlm. 126. Ayn Rand, Kebajikan Sang Diri, Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003, hlm. 59.
134
Brigitta Isworo L.
Ide Objektivisme Ayn Rand
masyarakat (mayoritas) menghendaki demikian”, atau pada abad pencerahan di Eropa bisa dikatakan, “kamu tidak boleh melakukan itu karena kamu akan dibakar jika melakukannya”.
Pernyataan-pernyataan etika tersebut tidak bisa dipertanyakan lagi,
tidak seperti halnya saat kita bisa mempertanyakan tentang fakta-fakta di sekitar kita. Misalnya, ”mengapa apel yang dilempar ke udara jatuh ke bawah?”, ”apakah bumi berputar mengelilingi matahari?” Pertanyaan tentang fakta-fakta tersebut memiliki jawaban-jawaban yang bisa dijelaskan secara logis; berdasarkan logika. Itulah problema etika yang coba dipecahkan oleh Ayn Rand. Menurut dia, etika harus dapat dijelaskan alasan-alasannya secara logis.
Objektivisme Ayn Rand berpegang pada empat hal yaitu: pertama
tentang realitas. Realitas, menurut Ayn Rand eksis sebagai sesuatu yang absolut objektif. Dia mengatakan, fakta adalah fakta yang memiliki sifat independen dari perasaan, harapan, keinginan, dan ketakutan manusia.
Kedua, ada alasan (kemampuan manusia mengintegrasikan dan
mengidentifikasi materi-materi yang terjaring melalui indera-indera kita). Alasan adalah satu-satunya alat untuk merasakan (menangkap) realitas, dan hanya itulah sumber pengetahuan, satu-satunya penuntun tindakan (aksi), dan merupakan alat dasar untuk survival.
Ketiga adalah bahwa setiap orang adalah (tujuan) akhir dari dirinya,
bukan merupakan alat bagi yang lainnya. Dia harus eksis demi dirinya, bukan untuk mengorbankan diri bagi yang lain ataupun mengorbankan yang lain bagi dirinya. Pencarian akan kepentingan diri rasionalnya sendiri dan kebahagiaannya sendiri adalah tujuan moral yang tertinggi dari hidupnya.
Keempat adalah sistem politik-ekonomi yang merupakan cara kerja
kapitalisme. Ini adalah sebuah sistem di mana orang berurusan satu sama lain tanpa ada yang menjadi korban atau yang mengorbankan pihak lain. Kedua pihak harus sama-sama mendapatkan keuntungan (mutual benefit). Mereka berhubungan dalam aktivitas perdagangan. Pemerintah dalam hal ini hanya berfungsi sebagai semacam polisi untuk mengatur perilaku
Kutipan dari Ronald Merrill, “The Ideas of Ayn Rand,” hlm.������������������������������� 116, seperti termuat pada PBE.
135
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
tinjauan wacana
mereka yang mulai menggunakan kekuatan fisiknya kepada pihak yang lain. Seharusnya – namun ternyata tak pernah ada atau terjadi – yang ideal, yaitu ada pemisahan antara politik dan ekonomi, serupa dengan pemisahan antara negara dan gereja.
Dalam filsafat objektivisnya, Ayn Rand tidak lagi mengajukan
pertanyaan ontologis, ”Moralitas mana yang benar?” melainkan melontarkan pertanyaan yang bersifat metafisika atau pertanyaan ”meta-etis” yaitu, ”Apa itu moralitas?”
Menurut Ayn Rand dalam “Faith and Force: The Destroyers of The
Modern World , moralitas adalah kode nilai-nilai untuk menuntun seseorang pada pilihan-pilihan dan tindakan-tindakannya (a code of values to guide man’s choices and actions).
Secara umum, moralitas adalah satu tatanan peraturan untuk
menuntun tindakan-tindakan individu manusia (a set of rules to guide the actions of an individual human being). ���������������������������������� Banyak jenis moralitas: moralitas Kristen, moralitas Jawa, moralitas Barat, dan sebagainya. Lalu sebenarnya apa ”kesamaan” di antara moralitas-moralitas tersebut? Kesamaannya adalah pada definisi tentang “moralitas” tersebut.
Ayn Rand mempertanyakan, “mengapa pada akhirnya harus ada
moralitas?” atau secara negatif pertanyaannya adalah “apa yang akan menimpa seseorang jika dia tidak melakukan tindakan moralitas?”
Seseorang yang hidup tanpa tindakan moralitas seperti seseorang
yang otaknya kadang ada kadang tidak ada, kadang otaknya bisa bekerja kadang tidak bekerja. Otaknya tidak bekerja secara konsisten melainkan secara random, tanpa pola. Ini juga menjadi penunjuk bahwa hubungan antara pernyataan faktual dan normatif adalah ada pada kehidupan manusia.
Manusia membutuhkan moralitas untuk hidup. Seseorang harus
melakukan sesuatu karena hal itu perlu untuk membuat seseorang ” menjadi” (eksis). Dia adalah (is) seseorang karena dia melakukan sesuatu yang ”seharusnya” (ought). �������������� Dipetik dari http://www.facetsofaynrand.com/intro_ob.html pada Minggu, 9 Maret 2008. Ayn Rand, Philosophy: Who Needs It, Penguin Books Ltd, 1984, hlm. 61. “He would have to behave as if his brain were connected to a random number generator……. He would of course quickly die,” Ronald Merrill, “The Ideas of Ayn Rand”, hlm. 117, seperti termuat pada PBE.
136
Brigitta Isworo L.
Ide Objektivisme Ayn Rand
Merrill menganggap pernyataan itu tidak terlalu kuat karena
skeptisisme akan menyatakan, ”kau beranggapan bahwa saya harus memilih kehidupan, bagaimana jika aku tidak memilih?” Jawabnya bisa seperti yang diutarakan tokoh John Galt, ”Silakan saja jika memilih kematian (baca: tidak melakukan tindakan memilih). Tutup mulut dan matilah.” Jawaban John Galt (dalam Atlas Shrugged, 1957) tersebut tidak memadai karena hanya menyangkal mereka yang berpendapat berbeda namun tidak memberikan argumentasinya. Tidak cukup pula jika sematamata menunjukkan bahwa etika altruisme (etika ”pengorbanan diri” bagi kepentingan orang lain) adalah moralitas yang berbasiskan pada premis kematian. ”Pengorbanan diri” bisa muncul dalam berbagai manifestasi bukan hanya berupa kematian (fisik).
Perlu ada sebuah argumen positif untuk menunjukkan bahwa
moralitas menurut Ayn Rand harus berbasis pada suatu standard kehidupan manusia. Argumentasi Ayn Rand belum cukup tajam untuk menyatakan bahwa moralitasnya sama dengan kehidupan itu sendiri. Namun argumentasi tersebut dapat dipertajam.
Tujuan Akhir pada Dirinya Dasar etika pada filsafat Yunani adalah ”(tujuan) akhir pada dirinya” (end-in-itself). Suatu tindakan dapat dikatakan sebagai suatu tindakan etis jika tidak ada lagi (tujuan) akhir pada dirinya yang menjadi alat bagi tercapainya suatu (tujuan) akhir pada dirinya. Dengan kata lain, tindakan tersebut sudah merupakan ”omega” yang bukan lagi alat untuk mencapai sesuatu yang lain.
Misalnya, seorang pedagang tidak mencari keuntungan (profit)
untuk mencari kebahagiaan atau kemakmuran. Sebab, di dalam profit yang didapat dari aktivitas perdagangan tersebut (tujuan akhir pada dirinya) bisa didefinisikan sebagai: kebahagiaan, cinta, kemakmuran, keadilan, dan banyak hal lagi. Pada akhirnya, semua (tujuan) ”akhir pada dirinya” tersebut memiliki (tujuan) ”akhir” yang tidak tunggal.
Berdasarkan pada objektivisme Ayn Rand, dalam etika objektivis,
137
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
end-in-itself
tinjauan wacana
adalah kehidupan itu sendiri. Namun, secara metafisika
Ayn Rand belum berhasil membuktikan bahwa di luar kehidupan tidak ada lagi end-in-itself.
Pertanyaan yang mendasar adalah apakah manusia sendiri juga
menganggap tak ada lagi end-in-itself
yang lainnya? Bagaimana jika
kemudian ditemukan ada end-in-itself yang tidak berkaitan, dan bahkan mungkin tidak cocok dengan kehidupan atau bahkan tidak cocok dengan survival? Ayn Rand harus membuktikannya secara negatif. Sementara etika altruisme berpendapat sebaliknya, yaitu seseorang tidak mempunyai hak untuk eksis demi dirinya sendiri, dan bahwa melayani orang lain adalah satu-satunya pembenaran akan eksistensinya, dan bahwa pengorbanan diri merupakan kewajiban moral, kebajikan (virtue), dan nilai (value) yang tertinggi.
Harry Binswanger mempunyai penjelasan yang berbeda tentang
apa itu survival dan and-in-itself. Menurut Binswanger, banyak yang mengartikan survival sebagai sebuah tujuan tunggal yang utama, yang terwujud setelah dilakukan tindakan-tindakan lain yang dibutuhkan demi kehidupan. Padahal, survival bermakna sebagai sebuah kehidupan organisme yang menerus, dan kehidupan organisme itu merupakan integrasi dari komposisi yang terdiri dari semua aksi spesifik yang menunjang eksistensi organisme. Jadi, tindakan dari setiap bagian adalah demi keseluruhan; tindakan yang mengarah pada tujuan yang spesifik adalah demi kapasitas organisme untuk mengulang aksi yang sama di masa depan.
Tujuan akhir, yang benar-benar “paling akhir” (ultimum, paling
pokok) mestinya adalah end-in itself. End-in-itself mengandung makna sebuah lingkaran setan (vicious circle); sesuatu yang dicari demi dirinya sendiri. Lingkaran itu akan hilang ketika kita menganggap kehidupan sebagai end-in-itself. Tindakan tertentu menyebabkan suatu organisme bisa melangsungkan kehidupannya, dan dengan demikian organisme tersebut bisa mengulang tindakan yang serupa yang berakibat bagi kelangsungan hidup. Demikian seterusnya yang berlaku.
Ayn Rand dan Binswanger menyatakan, kehidupan sebagai end-
in-itself dalam arti yang tidak biasa. Kehidupan adalah sebuah kolektivitas
138
Brigitta Isworo L.
Ide Objektivisme Ayn Rand
tindakan yang teratur yang berarti; untuk mencapai sebuah akhir – yaitu aktivitas tersebut, setiap tindakan yang dilakukan adalah sebuah akhir (karena kehidupan adalah kumpulan aksi) dan sekaligus alat (sebab ia menunjang kehidupan).
Dengan demikian maka sekarang bisa dilakukan pendekatan dari
arah sebaliknya yaitu tidak dari kehidupan sebagai end-in-itself. Misalnya Z adalah tujuan yang tergantung pada tujuan lain, Y. Y adalah tujuan yang tergantung pada tujuan lain X, dan seterusnya. Apakah kita akan sampai pada A yang merupakan alat (means) paling utama (ultimate) yang menjadi alat untuk semua tujuan-tujuan lainnya? ��������������������������������� Jadi, kehidupan adalah prasyarat untuk mencapai tujuan-tujuan lainnya.
Dalam memilih nilai yang harus dilakukan, seseorang harus me-
milih nilai-nilai tertentu. Apakah sesuatu bisa dianggap bernilai jika hasil yang dicapai justru mengurangi kemampuan seseorang untuk mencapai nilai-nilai itu? Untuk mencapai sebuah hasil dengan tidak menggunakan alat tertentu yang esensial untuk tercapainya tujuan, itu sama dengan melakukan sesuatu untuk mendapatkan nilai-nilai dengan tanpa bertindak.
Jadi apa pun tujuan utamanya, seseorang bisa mencapai tujuan
utama itu hanya jika ia mencapai nilai-nilai yang dapat memenuhi kehidupannya. Tidak ��������������������������������������������������� penting lagi apakah kehidupan merupakan satusatunya tujuan utama. Yang pasti kehidupan adalah sebuah tujuan yang merupakan alat yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan lainnya.
Pendekatan tersebut nyata sekali bernapaskan etika Aristoteles
seperti tertulis pada petikan ini: ”tujuan tersebut adalah sebuah alat untuk (mencapai) tujuan-tujuan lain, dan bukan untuk suatu jenis tertentu yang berbeda dari yang lainnya, dan semua orang menghargainya sebagai sebuah nilai, karena mendasari semua nilai. Untuk nilai-nilai yang dipegang semua orang, yang menilai segala sesuatu, sifatnya tidak sementara. Terbukti, nilai yang semacam itu merupakan nilai yang pasti dari semuanya, nilai itu adalah kehidupan manusia yang semanusia-manusianya (man qua man). Menurut Merrill argumen ini membuka prospek untuk mendapatkan dasar logika yang solid bagi etika objektivis.
Ibid., hlm. 119.
139
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
tinjauan wacana
Kebingungan (disputation) etika tidak lengkap jika tidak mengutip
kisah klasik. Untuk etika objektivis, Robert Nozick mengatakan bahwa seseorang tidak bisa bertindak etis begitu saja dari fakta bahwa kehidupan adalah prasyarat dari nilai-nilai yang dipegang. Misalnya: sembuh dari penyakit kanker adalah sebuah nilai (yang dikejar). Namun, menderita penyakit kanker adalah prasyarat sebelum dapat mengejar nilai (value) sembuh dari kanker. Jadi, apakah ini bukan berarti bahwa menderita penyakit kanker adalah sebuah nilai? Contoh secara lebih tegas, misalnya seseorang akan tidak makan lebih dulu jika dia akan ke pesta dengan tujuan agar dia memiliki selera makan yang tinggi saat makan di pesta nanti.
Ini seperti kisah Count of Monte Cristo, bahwa seseorang tidak
dapat menikmati kebahagiaan yang mendalam tanpa melalui penderitaan yang (juga) amat dalam. Dia membiarkan temannya menderita karena mengira tunangannya meninggal sebelum kemudian dia tahu bahwa sebenarnya tunangannya tidak meninggal.
Namun Nozick rupanya melepaskan konteks tentang nilai yang
dimaksud oleh mereka yang menderita kanker, sementara penyembuhan kanker sendiri memiliki rentang wilayah ketidaknyamanan yang amat lebar, dari ”tidak nyaman” hingga ”sakit sekali”. ������������������������ Maka sembuh dari kanker bukan merupakan nilai pada dirinya sendiri.
Pada Nozick, makna nilai telah dikaburkan. Nilai pada etika
objektivis Ayn Rand adalah sesuatu yang bersifat ”tetap” karena dia bernilai pada dirinya (end-in-itself). Perbedaan itu bisa dilihat misalnya pada perumpamaan, mata kuliah Filsafat 101 merupakan prasyarat jika seorang mahasiswa akan mengikuti mata kuliah Filsafat 102 karena pengetahuan dari mata kuliah Filsafat 101 akan membantu mahasiswa memahami dan mendapat manfaat dari mata kuliah 102. Di sisi lain, bisa dikatakan, ketidaktahuan mahasiswa merupakan prasyarat untuk mata kuliah Filsafat 102 karena jika dia sudah tahu materinya maka dia tidak akan mendapat manfaat dari mata kuliah Filsafat 102 jika dia mengikutinya.
140
Brigitta Isworo L.
Ide Objektivisme Ayn Rand
Kesimpulan dan Refleksi Ayn Rand mencetuskan pemikiran mengenai moralitasnya dalam konteks sosial masyarakat Amerika Serikat secara umum dan konteks sosial yang dihadapi oleh Ayn Rand sebagai pribadi, sebagai seorang Rusia, Uni Soviet. Dia ����������������������������������������������������� lahir di St. Petersburg pada 2 Februari 1905 dan kemudian berkunjung ke Amerika Serikat pada 1925 dengan maksud tidak akan kembali ke Uni Soviet. Di Amerika dia menemukan arti kebebasan bagi seorang manusia – sebagai warga negara.
Filsafat Ayn Rand mulai dikenal luas ketika dia menerbitkan dua
novelnya, Fountainhead (1943), dan Atlas Shrugged (1957). Kedua fiksi tersebut sarat dengan nilai-nilai filsafat yang merambah luas mulai dari etika, metafisika, epistemologi, politik, ekonomi, dan seks.
Ayn Rand menyebut revolusi industri yang terjadi dan tumbuh
kencang di Amerika Serikat menjadi penyebab terjadinya Zaman Kesalahan (The Age of Guilt). Dia menuding altruisme telah menyebabkan Uni Soviet menjadi korban. Sementara Amerika Serikat dipandang seakanakan telah berbuat kebajikan kepada Uni Soviet yang jatuh miskin. Dia menyebut zaman itu adalah era kebangkrutan, dan menyebut para pebisnis Amerika Serikat telah berpura-pura tidak melihat bahwa ada kesalahan di sana. ������������������������������������������������������������ Dia mencontohkan melalui kisah ”Mantel Terindah Sang Raja”. Dia mengecam altruisme yang sebenarnya menurut dia tidak sepenuhnya merupakan pengorbanan diri melainkan merupakan etika egoisme. Sebab, menurut Ayn Rand, seseorang yang melakukan pengorbanan demi dikenal sebagai orang baik adalah juga merupakan etika yang didasarkan pada tindakan mencari keuntungan diri sendiri (self interest).
Etika altruisme menurut pandangan saya, menjadi paradoksal
ketika dihadapkan pada sikap orang yang selfless. Etika altruisme ketika kehilangan tujuan pada dirinya (end-in-itself) menjadi tidak berbeda dari mereka yang selfless yaitu menjadi second-handers (menumpang pada kepentingan orang lain). ��������������������������������������������� Tujuan dari etika altruisme kemudian menjadi ”selimut” dari self interest dalam bentuk yang paling ”mengingkari”.
141
Jika diterapkan pada dunia bisnis, maka sebuah perusahaan yang
melakukan etika altruisme bisa jadi sebenarnya merupakan pengingkaran dari Non-maleficence. Non-maleficence merupakan sebuah karakter yang harus dimiliki sebuah bisnis yang baik yaitu bersifat baik pada dirinya (end-in-itself), artinya: seluruh proses berbisnisnya dan produknya bersifat baik, tidak merugikan orang lain. Contoh negatifnya yaitu: praktik sebuah perusahaan yang memproduksi air minum kemasan. Tujuan perusahaan tersebut adalah baik yaitu memberi kemudahan bagi konsumen untuk mendapatkan air yang layak minum di mana pun mereka berada. Namun, dalam prosesnya ternyata perusahaan tersebut melarang penduduk setempat tinggal di seputar danau atau sumber air di mana dia mendapatkan airnya yang kemudian dikemas dan dijual. Padahal, masyarakat lokal tersebut sudah tinggal di seputar danau itu secara turun temurun.
End-in-itself dari sebuah bisnis adalah seperti dikatakan Ayn Rand,
yaitu sebuah kehidupan. Ini bermakna bahwa bisnis yang menerapkan etika objektivis tidak akan membiarkan satu pun dari stakeholder-nya (pemangku kepentingannya) menderita. Para pemangku kepentingan dalam contoh perusahaan air minum kemasan di atas juga termasuk masyarakat lokal di sekitar danau atau sumber air, di samping para konsumennya, bank, pengecer, distributor dan lain-lain. Semua pemangku kepentingannya tidak boleh menderita. Pebisnis yang memenuhi etika objektivis tersebut sesuai konsep Ayn Rand dapat dikatakan telah melakukan tindakan moral.
Akan tetapi jika etika objektivis ini diberlakukan secara umum
tanpa meletakkan sebuah prasyarat maka akan tampak kelemahannya, seperti diungkapkan Ronald Merrill, yaitu bahwa sebuah nilai merupakan prasyarat dari tujuan berupa nilai lainnya. Sebuah tujuan kadang bukan merupakan ”omega” dari sebuah tindakan etis. Dalam kehidupan manusia senyatanya, sebuah nilai sering kali tidak berdiri sendiri namun selalu terkait dengan nilai-nilai lainnya. Ini sejalan dengan apa yang diuraikan Ronald Merrill yaitu bahwa kehidupan itu sendiri merupakan sebuah siklus yang terus berputar, berulang, dan saling terkait.
142
Daftar Pustaka Ayn Rand, Why Businessman Need Philosophy, Ayn Rand Institute Press, USA, 1999. Ayn Rand, For The New Intellectual, The New American Library, New York, 1961. Ayn Rand, Kebajikan Sang Diri, Ikon Teralitera, Yogyakarta, 2003. Ayn Rand, Philosophy: Who Needs It, Penguin Books Ltd, 1984. Ronald Merrill, The Ideas of Ayn Rand, PBE.
143
144
Biografi Para Penulis Bonar Hutapea, S.Psi, M.Si.: Lahir di Laguboti, Kab. Toba-Samosir, 12 Januari 1972. dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas di Laguboti. Kuliah di FISIP Universitas Terbuka, Fakultas Psikologi UPI YAI, Magister Psikologi UPI YAI, Magister Psikologi Profesi Universitas Indonesia. Koordinator PSYCHE INDONESIA, Lembaga Jasa Psikologi dan Konsultan Manajemen yang didirikan bersama rekan-rekan akademisi dan praktisi di bidang Psikologi dan Ekonomi, dengan maksud meneliti dan menerapkan berbagai temuan terkait Psikologi dalam dunia bisnis. Jasa yang biasanya ditawarkan dan diberikan antara lain adalah rekruitmen & seleksi calon tenaga kerja, pelatihan, pengembangan organisasi, audit sumber daya manusia, pengembangan tes psikologis dalam industri, dan seminar & lokakarya. Sehari-harinya juga menjadi dosen pada Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI sebagai Kepala Bagian Psikologi Sosial; Dosen Tetap pada Program Pendidikan Profesi Psikologi Jenjang Magister, Pasca Sarjana UPI YAI; Dosen Luar Biasa pada Akademi Pariwisata Indonesia; STKIP Suluh Bangsa; SMP Dian Harapan, Lippo Karawaci sebagai Guest Teacher; Wakil Dekan Bidang Akademik pada Fakultas Psikologi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya). Saat ini menjadi konsultan tetap pada beberapa perusahaan swasta di Jakarta. Selain itu, aktivitasnya di luar akademik dan profesional jasa psikologi antara lain adalah Konsultan Psikologi pada Young Women Christian Association (YMCA) Indonesia, Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI) DKI Jakarta, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Kelompok Kerja Pendampingan Orang Muda untuk Perdamaian, Demokrasi, dan Keadilan. Sampai sekarang masih menyelesaikan studi pada Magister Filsafat, Program Pasca Sarjana Filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta atas beasiswa Departemen Pendidikan Nasional. Menikah dengan satu isteri dan telah memiliki satu orang anak laki-laki (3 tahun, 7 bulan). Tinggal di Pisangan Timur, Jakarta Timur.
145
tinjauan wacana dignitas Volume No. II Tahun 2008 Brigitta IsworoVLaksmi, lahir tahun 1961 di Solo. Tahun 1987 memperoleh
gelar sarjana geofisika dari ITB. Kini menempuh program pascasarjana di STF Driyarkara. Ia adalah wartawan KOMPAS bidang metropolitan, bidang
luar negeri (3 tahun), wartawan olah raga (7 tahun), sempat
bertugas di Bali dan Surabaya, dan kini wartawan lingkungan serta iptek. Ia juga editor Asia untuk World Badminton Magazine (1996-2000). Pernah bertugas ke berbagai event internasional bidang politik, olah raga, dan lingkungan (1993-sekarang). Menulis buku Matahari Olah Raga Indonesia. Eddie Sius Riyadi, lahir di Manggarai, Flores, NTT, adalah peneliti transitional justice (keadilan transisional) dan HAM, penggelut pemikiran-pemikiran politik dari klasik sampai kontemporer dan etika politik. Ia adalah salah seorang pendiri Komunitas Filsafat AGORA, bekerja sebagai manajer publikasi di ELSAM. Pemikiran-pemikirannya tentang filsafat politik, hak asasi manusia, etika, dan hukum menyebar di pelbagai forum seminar dan lokakarya (termasuk kuliah-kuliah tamu), di jurnal-jurnal dan buku kumpulan tulisan bersama beberapa pemikir muda Indonesia, antara lain, Kembalinya Politik: Pemikiran Politik Kontemporer dari Arendt sampai Žizěck, Jakarta: Marjin Kiri dan P2D, 2008; Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer: Tinjauan Filosofis (akan terbit), dan surat kabar seperti Kompas, Media Indonesia. Saat ini sedang menulis buku tentang Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia. ����������������������������������� Ia belajar teori dan ilmu hukum di Universitas Widya Mataram Yogyakarta, belajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Ireine Veronica Pontoh, S.Si. (Teol.): Menyelesaikan �������������� S1 di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (Skripsi: Evolusi dan Modernitas-Tinjauan Etis Teologis atas Pengaruh Darwinisme dalam Melegitimasi Perkembangan Masyarakat Modern yang Kapitalis). Sekarang sedang belajar filsafat di Magister Program of Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Pengalaman organisasi: Campus Magazine Kurir STT Jakarta (20022004), Youth Commision at Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Getsemani (2002-2007 ); Volunteer for WWF Indonesia in Hari Hijau dan Bumiku Satu (2007); Panitia Pemilihan Penatua dan Diaken period 2007-2012 Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)
146
Objektivisme Rand Brigitta IsworoJakarta L. Getsemani (June-Oct 2007); Komisi Iman danIdeAjaran diAyn GPIB
Getsemani (2006-sekarang). Pengalaman bekerja: Teaching Assistant Sekolah Luar Biasa (SLB) Cacat Ganda Rawinala, Bulak Rantai Jakarta Timur (Juni-Juli 2003); Service in Gereja Isa Al-Masih (GIA) Pegangsaan, Jakarta (Feb-Mei 2004); Colligium Pastorale I in Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Taman Sari, Salatiga Jawa Tengah (JuniJuli 2004); Service in Gereja Masehi Injili Sangir Talaut (GMIST) Kramat, Jakarta (Sept-Okt 2004; Colligium Pastorale II in Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) Syaloom, Amurang Sulawesi Utara (Juni-Juli 2005); Matematic Privat Teacher for Junior High Students (2005-sekarang); Editor for How to Read a Book: Cara Jitu Mencapai Puncak Tujuan Membaca (Jakarta: Indonesia Publishing, 2007); translator for Indonesian Publishing: Public Educator for WWF Indonesia (2007-sekarang); Adm and Finance at Sanggar Intelektual (Sept 2007- Maret 2008); Menulis Resensi Buku Prof. Liem Kim Yang di Suara Pembaharuan (2007); Freelands Translator for BPK Gunung Mulia (2008-sekarang); Assistant of Membership Staff of WWF Indonesia (Maret 2008-Juli 2008); Temporary Marketing Assistant of WWF Indonesia (Agustus 2008-Des 2008). Nuraeni Suparman, S.Ip. : Lahir di ����������������������������������� Bandung, 28 Desember 1978. Pekerjaannya adalah sebagai Dosen Tetap di Jurusan Hubungan Internasional, � Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, ��������������������������������� Universitas Padjadjaran Bandung. Pendidikan S1 dari Jurusan Hubungan Internasional FISIP UNPAD (Lulus 2002). Sedang menyelesaikan studi S2 di Program Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta. Tinggal di Vila Nusa Indah V Cluster Elang Blok SJ-5 No. 2, Ciangsana, Gunung Putri, Bogor. Penulis dapat dikontak melalui:
[email protected].
147
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
tinjauan wacana
148
Brigitta Isworo L.
Ide Objektivisme Ayn Rand
PROFIL ELSAM
Lembaga Studi dan Advokasi Mayarakat (Institute for Policy Research and Advocacy) yang disingkat ELSAM adalah organisasi advokasi kebijakan yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hakhak sipil dan politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya – sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. ELSAM mempunyai empat kegiatan utama sebagai berikut: (i) studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia; (ii) advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya; (iii) pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan (iv) penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia.
Susunan Organisasi Perkumpulan ELSAM Dewan Pengurus: Ketua: Asmara Nababan, S.H.; Wakil Ketua: Drs. Hadimulyo, M.Sc.; Sekretaris: Ifdhal Kasim, S.H.; Bendahara: Ir. Yosep Adi Prasetyo; Anggota: Sandrayati Moniaga, S.H., Abdul Hakim Garuda Nusantara, S.H., LL.M., Maria Hartiningsih, Kamala Chandrakirana,
149
dignitas Volume V No. II Tahun 2008
tinjauan wacana
M.A., Ir. Suraiya Kamaruzzaman, LL.M., Johny Simanjuntak, S.H., Raharja Waluya Jati, Mustafsirah Marcoes, M.A., Fransisca Ery Seda, Ph.D., Dra. Agung Putri, M.A., Ester Rini Pratsnawati.
Pelaksana Harian: Direktur Eksekutif: Dra. Agung Putri, M.A. Deputi Direktur Bidang Program: A.H. Semendawai, S.H., LL.M. Deputi Direktur Bidang Urusan Internal: Otto Adi Yulianto, S.E. Staf: Atnike Nova Sigiro, S.Sos., M.Sc., Betty Yolanda, S.H., Elisabeth Maria Sagala, S.E., Ester Rini Pratsnawati, Adyani Hapsari Widowati, Ikhana Indah, S.H., Indriaswati Dyah Saptaningrum, S.H., LL.M., Maria Ririhena, S.E., Mariah, Triana Dyah P., S.S., Yuniarti, S.S., Agung Yudhawiranata, S.IP., LL.M., Amiruddin, S.S., M.Si., Eddie Sius Riyadi, Elly Pangemanan, Ignasius Prasetyo J., S.E., Ignasius Taat Ujianto, Khumaedi, Kosim, Paijo, Sentot Setyosiswanto, S.Sos., Supriyadi Widodo Eddyono, S.H., Wahyu Wagiman, S.H., Zani.
Alamat: Jl. Siaga II No. 31, Pasar Minggu, Jakarta 12510. Tel.: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Fax.: (021) 7919 2519; Email:
[email protected]; Website: www.elsam.or.id
150