Kontrak Standard dan Kekuatan Hukumnya; Perubahan Status Hak Atas Tanah berdasarkan UUPA; Tanggungjawab Yuridis Benda Sitaan Perkara Pidana; Perlindungan Debitor atas Perjanjian yang telah disetujui dan Upaya Hukumnya; Keabsahan Pengadilan Pajak; Akibat Hukum Terhadap Penagihan Pajak.
Volume 8, No.1 Nop 2008
ISSN 1412-2928
Volume 8, No.1, Nop 2008
Volume 2, No.1 Nop 2002
i ISSN 1412-2928
JURNAL “YUSTITIA”
Pimpinan Umum/Penanggung Jawab Dekan Fakultas Hukum Universitas Madura Pimpinan Redaksi Muhammad, S.H.,MH. Wakil Pimpinan Redaksi Achmad Rifai, S.H., M.Hum. M.Amin Rachman, S.H., MH. Sekretaris Redaksi Sri Sulastri, S.H.,M.Hum. Konsultan Redaksi Drs. H. Kutwa, M.Pd. Drs. H. Abd. Roziq, MH. H. Akh. Munif, S.H.,M.Hum. Redaksi Pelaksana Gatot Subroto, S.H.,M.Hum. Ummi Supratiningsih, S.H.,M.Hum. Win Yuliwardani, S.H.,M.Hum. Adrianana Pakendek, S.H., MH. Anni Puji Astutik, S.H., MH. Pembantu Umum Wasilaning Rahayu Toyyib Muniri Alamat Redaksi Jl. Raya Panglegur Km.3,5 Telp. (0324) 322231, Fax. (0324) 327417 Pamekasan E-mail:
[email protected] Yustitia diterbitkan satu kali dalam setahun, sebagai media komunikasi ilmu pengetahuan hukum dan pembangunan. Untuk itu, redaksi menerima sumbangan tulisan ilmiah yang belum pernah diterbitkan dalam media lain, dengan persyaratan seperti yang tercantum pada halaman sampul belakang.
ii
Volume 8, No.1, Nop 2008
EDITORIAL
Perjanjian kredit pemilikan rumah antara debitor dengan Bank Tabungan Negara pada dasarnya bukanlah perjanjian sewa beli, melainkan adalah perjanjian kredit pemilikan rumah saja yang diberikan oleh Bank Tabungan Negara dengan obyek jaminan berupa rumah yang akan dibeli oleh debitor dan tulisan tersebut mempertanyakan masalah kontrak baku yang terlanjur ditandangani oleh nasabah Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, maka semua tanah mempunyai fungsi sosial. Untuk itu, terhadap semua tanah dapat dihapuskan statusnya dari hak milik menjadi tanah tanah negara atau tanah dengan hak lainnya. Bagaimana tentang pemberian tegen prestatienya lebih lanjut akan dibahas dalam tulisan kedua. Penyidik ataupun Penuntut Umum bahkan hakim mempunyai kewenangan untuk melakukan penyitaan atas sesuatu benda yang berhubungan dengan suatu tindak pidana. Namun tindakan penyitaan tersebut tidak dapat dilakukan secara serampangan, melainkan dibatasi. Tentang pembatasan terhadap penyitaan benda dikemukakan dalam tulisan ke tiga. Perjanjian kredit antara nasabah dengan perbankan tidak lain adalah suatu kontak atau perjanjian yang telah siap ditanda-tangani. Sehingga format kontrak tersebut adalah baku atau kontrak baku. Bilamana terlanjur disetujui dan di kemudian hari merugian salah satu pihak, maka pembahasannya ditengahkan pada tulisan yang ke empat. Adapun tulisan yang ke lima adalah mengenai keberadaan pengadilan pajak, yang menurut Mahkamah Agung lembaga peradilan tersebut inkonstitusional. Sehingga segala akibat hukum yang dilahirkan oleh lembaga peradilan itu adalah illegal. Namun nyatanya hingga saat ini lembaga peradilan tersebut masih ada dan melakukan aktifitasnya sebagai lembaga peradilan. Tulisan ke enam pajak tiada lain adalah mengambil hak rakyat, oleh karena itu maka setiap pungutan pajak harus dilaksanakan secara hati-hati. Namun terhadap wajib pajak berdasarkan ketentuan kena pajak, maka wajib pajak harus membayar pajak. Berbeda halnya jika wajib pajak dikenakan pajak sebagaimana mestinya, maka wajib pajak dapat mengajukan upaya hukum. Hal ini akan dibahas dalam tulisan utama.
Editor
Volume 8, No.1, Nop 2008
iii
DAFTAR ISI
……………………………………………………
ii
1. H.Akh.Munif, S.H.,M.Hum. Kontrak Standard Dalam Perjanjian Sewabeli Rumah dan Kekuatan Hukumnya ........................................................................................................
1
2. Sukirman, S.H.,M.Hum. Perubahan Status Hak atas Tanah dari Hak Milik menjadi Hak lainnya berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 ……………………….
31
3. Nur Hidayat, S.H., M.Hum. Tanggungjawab Yuridis Benda Sitaan Dalam Perkara Pidana ...................
53
4. H. Firman Syah, S.H.,M.Hum. Perlindungan Hukum Debitor dalam Perjanjian yang Disetujui dan Upaya Hukumnya ………………………………………………………….
91
5. M.Amin Rachman, S.H.,MH. Keabsahan Pengadilan Pajak dan Perlindungan HAM dalam Hukum Pajak ……………………………………………………………….
121
6. Achmad Rifai, S.H., M.Hum. Akibat Hukum Terhadap Penagihan Pajak ………………………………
160
EDITORIAL
iv
Volume 8, No.1, Nop 2008
KONTRAK STANDARD DALAM PERJANJIAN SEWA BELI RUMAH DAN AKIBAT HUKUMNYA Oleh: H.Akh.Munif, S.H.,M.Hum.*
ABSTRAK Perjanjian sewa beli atau huurkoop yang merupakan ciptaan praktik dan bukan sebagai perjanjian yang diatur dalam Buku III BW (Burgerlijke Wetboek) masih diakui sebagai praktik hukum. Hal ini dikarenakan Buku III BW yang mengatur tentang perikatan atau van verbintennis adalah bersifat aan vullenrecht. Sifat aan vullenrecht dari Buku III BW melahirkan konsekuensi yuridis bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun undangundang tidak mengaturnya. Kata Kunci: Kontrak Baku – Perjanjian Sewa Beli – Akibat Hukumnya.
LATAR BELAKANG Perjanjian kredit pemilikan rumah antara debitor dengan Bank Tabungan Negara pada dasarnya bukanlah perjanjian sewa beli, melainkan adalah perjanjian kredit pemilikan rumah saja yang diberikan oleh Bank Tabungan Negara dengan obyek jaminan berupa rumah yang akan dibeli oleh debitor tersebut. Sebenarnya perjanjian pemilikan rumah tersebut konsep dasarnya adalah sewa beli, yaitu seorang pembeli barang yang tidak mempunyai uang cukup untuk membayar harga barang secara tunai, pembeli hanya mampu membayar harga barang secara kredit. Ketika seorang pembeli hanya mampu membayar secara kredit, sementara barang diserahkan kepada pembeli, secara hukum pihak kreditor akan menderita kerugian bilamana pihak pembeli menguasai barangnya sedang harga pembelian barang belum dibayar tunai. Untuk itulah, maka dalam praktik dibentuk suatu persetujuan yang dinamakan sewa beli, yaitu perjanjian yang pada pokoknya adalah sewa-menyewa barang, namun pembeli tidak menjadi pemilik melainkan hanya pemakai belaka. Baru jika uang sewa telah dibayar, berjumlah sama dengan harga tunai pembelaian barang, status pembeli berubah dari penyewa atau pemakai menjadi pemilik barang. 1
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 1 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Cet.VII, Sumur Bandung, Jakarta, 1981, h.65 Volume 8, No.1, Nop 2008 v
Perjanjian sewa beli atau huurkoop2 yang merupakan ciptaan praktik dan bukan sebagai perjanjian yang diatur dalam Buku III BW (Burgerlijke Wetboek) masih diakui sebagai praktik hukum. Hal ini dikarenakan Buku III BW yang mengatur tentang perikatan atau van verbintennis3 adalah bersifat aan vullenrecht.4 Sifat aan vullenrecht dari Buku III BW melahirkan konsekuensi yuridis bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun undang-undang tidak mengaturnya. Aan vullenrecht merupakan suatu azas dalam penerapan Buku III BW, kemudian dikembangkan dalam pasal 1338 BW kemudian dikenal dengan sebutan freedom of making contract.5 Azas kebebasan berkontrak dalam pasal 1338 ayat 1 tersebut menyimpulkan pengertian bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka atau beginsel der contractsvrujheid, hal itu dapat dibuktikan dari kata “semua” yang ada di depan kata “perjanjian”, sehingga seolah-olah dalam membuat perjanjian kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban dan kesusilaan umum”.6 Kebebasan berkontrak yang didasarkan pada pasal 1338 ayat 1 BW (Burgerlijk Wetboek) adalah tercantum dalam buku III yang mengatur tentang perikatan (verbintenissen). Buku III BW terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian khusus. Bagian umum memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan umumnya, misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan sebagainya. Bagian khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah mempunyai nama-nama tertentu, misalnya jual beli, sewa menyewa, perjanjian perburuhan, maatschap, pemberian dab sebagainya. Buku III BW menganut azas kebebasan dalam hal membuat perjanjian, sebagaimana telah diuraikan di atas. Namun penerapan azas kebebasan menjadi tidak sinkron jika dirangkai dalam sebuah kalimat “kebebasan perjanjian” atau “kebebasan perikatan” atau “kebebasan perutangan”, karenanya dalam tulisan ini perlu terlebih dahulu diklarifikasi pengertian “hukum perikatan”, “hukum perutangan”, “hukum perjanjian” dan “hukum kontrak”. “Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua atau lebih pihak, dalam mana pihak satu mempunyai kewajiban memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak lain.”7 Dengan demikian hukum perikatan adalah hukum yang mengatur hubungan
2
Subekti, Aneka Perjanjian, (selanjutnya disebut Subekti R.I), Cet.VII, Alumni, Bandung, 1985,
h.51 3
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., h.11 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Cet.I, Alumni, Bandung, 1982, h.84 Ibid. 6 Subekti. RI., Op.cit. h.5 7 Mashudi. H. dan Mohammad Chidir, Bab-bab Hukum Perikatan (Pengertian-pengertian elementer), Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1995, h.55 vi Volume 8, No.1, Nop 2008 4 5
hukum antara dua atau lebih pihak dalam mana pihak satu mempunyai kewajiban memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak lain. Hukum perutangan adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum antara orang dengan orang (hak-hak perorangan), meskipun mungkin yang menjadi obyek juga suatu benda. Namun oleh karena sifat hukum yang termuat dalam buku III itu selalu berupa tuntut-menuntut, maka isi buku III itu juga dinamakan “hukum perhutangan.”8 Hukum perjanjian adalah hukum yang mengatur suatu peristiwa, di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.9 Demikian halnya dengan perjanjian sewa beli di lingkungan Perumnas, dalam praktiknya seorang pembeli yang menggunakan fasilitas sewa beli, ia bukanlah sebagai pemilik sepanjang harga cicilan terakhir dari rumah tersebut lunas. Perjanjian demikian, dalam praktik dikemas sedemikian rupa sehingga lahirlah perjanjian kredit pemilikan rumah, dengan jaminan kredit adalah Sertifikat Hak Milik atas tanah dan rumah Perumnas tersebut. Sertifikat Hak Milik atas tanah dan rumah Perumnas tersebut baru akan diserahkan oleh pemberi kredit dalam hal ini Bank Tabungan Negara kepada penyewa beli setelah harga perumahan dimaksud dibayar lunas. Jika suatu perjanjian dilakukan di lingkungan pengusaha dengan pengusaha, umumnya sudah dapat dipahami bahwa dengan syarat-syarat yang mereka setujui bersama, mereka akan mencapai tujuan ekonomi yang mereka harapkan. Hal ini tidak menimbulkan masalah karena kedua belah pihak telah memahami makna syarat-syarat yang ditentukan itu. Syarat-syarat tersebut dirumuskan sedemikian rapi, sehingga menjadi syarat-syarat yang berlaku untuk semua orang yang membuat perjanjian ekonomi dengan pengusaha yang bersangkutan. Dengan lain kata, syarat-syarat itu dibakukan artinya ditetapkan sebagai tolok ukur bagi setiap pihak yang membuat perjanjian ekonomi dengan pengusaha yang bersangkutan. Setelah diberlakukan untuk semua orang yang mengadakan perjanjian dengan pengusaha tadi, pelaksanaan syarat-syarat tersebut ada di antaranya menjadi tidak normal, tidak berlaku sebagaimana mestinya. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan kondisi tingkat pengetahuan, kemampuan ekonomi, ragam kebutuhan yang diinginkan, antara pihak konsumen yang membuat perjanjian itu. Pelaksanaan syarat-syarat perjanjian dalam keadaan tertentu menyimpang dari apa yang dikehendaki semula. Untuk mencegah penyimpangan yang merugikan pengusaha, kemudian ia berusaha 8
Subekti. R., Pokok pokok Hukum Perdata (selanjutnya disebut Subekti.R.II), Cet.XX, Intermasa, Jakarta, 1985, h.123. 9 Subekti. R., Hukum Perjanjian (selanjutnya disebut Subekti R. II), Cet.VI, Intermasa, Jakarta, 1979, h.1. Volume 8, No.1, Nop 2008 vii
memasukkan syarat tertentu dalam perjanjian dengan maksud untuk menjaga keadaan yang tidak diduga yang dapat menghalangi pelaksanaan perjanjian. Jika terjadi pelaksanaan perjanjian tidak baik, pengusaha menunjuk syarat mengenai tanggung jawab pihak yang melaksanakan perjanjian tidak baik itu. RUMUSAN MASALAH Dalam era globalisasi ini pembakuan syarat-syarat perjanjian merupakan mode yang tidak dapat dihindari. Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele. Tetapi bagi konsumen justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu menerima walaupun dengan berat hati. Menghadapi situasi semacam ini tentunya pemerintah tidak tinggal diam tetapi bergantung juga pada sistem ekonomi yang berlaku di setiap negara yang tidak selalu sama. Bagaimanapun juga, pelaksanaan perjanjian standard di Indonesia tidak semata-mata diserahkan kepada para pengusaha, melainkan juga harus disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Atas dasar uraian singkap di atas, maka dapat diangkat beberapa permasalahan dengan rumusan kalimat, sebagai berikut: 1. Bagaimana penerapan perjanjian sewa beli dalam penjualan perumahan di Perumnas? 2. Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian sewa beli Perumnas?
PERJANJIAN SEWA BELI DALAM PENJUALAN PERUMAHAN 1.
Karakteristik Perjanjian Sewa Beli
Masalah sewa beli serta jual beli secara angsuran akhir-akhir ini menjadi masalah yang aktual. Hal ini membuktikan bahwa pesatnya perkembangan perekonomian di negara kita khususnya pada dasa warsa delapan puluhan membawa dampaknya bagi hukum dan peradilan. Di satu pihak pesatnya perkembangan ekonomi mendorong laju peningkatan penggunaan barang-barang pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Di lain pihak ia menimbulkan masalah-masalah hukum yang harus dipecahkan. Hukum Perdata terutama kita, sebagaimana tercantum dalam BW sebenarnya tidak memuat pengaturan tentang lembaga sewa beli. Lembaga itu tumbuh dan berkembang dalam praktik, eksistensinya kemudian diakui oleh yurisprudensi. Masalah hukum terpenting dalam lembaga sewa beli adalah masalah tentang siapa yang memikul risiko atas barang yang di-sewa beli-kan dalam hal ada sesuatu yang menimpa barang tersebut. Karena lembaga sewa beli adalah suatu perjanjian yang timbul dalam praktik
viii Volume 8, No.1, Nop 2008
sehingga tidak ada peraturan tertulisnya, sehingga pengaturan tentang pembebanan risikonyapun tidak ada peraturan tertulisnya. Dari segi hukum, sebenarnya terdapat perbedaan prinsipil antara sewa beli dengan jual beli secara angsuran, walaupun kedua-duanya merupakan species dari jual beli. Inti perbedaan itu terletak pada berpindahnya hak milik atas benda yang diperjualbelikan. Pada jual beli secara angsuran, dari kaca mata hukum sebenarnya hak milik atas benda yang diperjual-belikan telah berpindah ke tangan pembeli, walaupun harganya belum terbayar lunas seluruhnya. Sedangkan dalam sewa beli perpindahan hak milik baru terjadi setelah dilunasinya pembayaran. Dalam praktik sehari-hari kedua lembaga ini sering dicampur-adukkan. Bahkan dalam kenyataannya jual beli dengan angsuran yang penyerahan hak miliknya terjadi pada saat penyerahan barang, sementara harganya dibayar dengan angsuran, tidak banyak ditemukan dalam praktik. Mengingat bentuk formal dari perjanjian tersebut dikemas menjadi berbentuk perjanjian sewa beli, namun dalam pelaksanaannya ternyata berbentuk perjanjian jual beli secara angsuran. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa perjanjian sewa beli tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan interaksi sosial. Sehingga masalah perjanjian sewa beli tidak diatur dalam BW, termasuk tentang beban risiko yang timbul terhadap para pihak, baik debitor maupun kreditor. Perjanjian sewa beli bermula dari ketidakmampuan seseorang untuk membeli barang dengan uang kontan sebagai pembelian atas barang yang dibelinya, akhirnya mulai dikembangkan pembayaran harga barang secara angsuran. Dalam hal ini pembayaran harga barang dilakukan secara bertahap, sedikit demi sedikit misalnya setiap bulan dibayar sebesar sekian prosentase dari jumlah harga pembelian. Dalam hubungan hukum di atas, antara penjual dengan pembeli terdapat hubungan yang saling menguntungkan, dalam ilmu biologi dikenal dengan sebutan simbiosis mutulisme. Di satu pihak yaitu pembelian membutuhkan sesuatu barang tetapi ia tidak dapat membayar kontan, sedang di pihak lainnya yaitu penjual menghendaki barang yang ia jual laku. Dalam perjanjian di atas, terdapat risiko yang akan timbul terhadap hilangnya barang atau harga barang tidak dibayar cicilannya. Lebih-lebih jika barang tersebut telah dijual kepada pihak ketiga, dengan akibat hukum penjual akan menderita kerugian. Artinya barang yang sebelum harganya dibayar tunai oleh pembeli, barangnya telah dialihkan kepada pihak lain. Pada posisi ini pihak penjual sangat dirugikan, karena barang tidak dapat dikembalikan oleh pembeli padanya, sedangkan pihak pembelian tidak juga melunasi sisa harga cicilan tersebut.
Volume 8, No.1, Nop 2008
ix
Untuk menolong penjual, dalam praktik dibentuk suatu persetujuan yang dinamakan sewa beli atau huurkoop10 yaitu perjanjian yang dinamakan sewa menyewa barang, dengan akibat bahwa penerima barang tidak menjadi pemilik melainkan pemakai belaka. Kecuali pemakai melunasi seluruh uang sewa yang jumlahnya sama dengan harga pembelian, maka penyewa atau pemakai beralih menjadi pembeli yaitu barang tersebut menjadi milik penyewa. Dengan menerapkan praktik jual beli barang dalam bentuk perjanjian sewa beli, maka kedudukan kreditor atau penjual menjadi sangat terlindungi. Hal ini mengingat risiko atas hilangnya barang atau dijualnya kembali barang pada pihak ketiga, menjadi tanggung jawab seluruhnya pihak penyewa atau debitor. Artinya, manakala pihak debitor dengan dalih barangnya telah habis terjual atau hilang dan ia tidak berkehendak untuk membayar sisa angsurannya, maka pihak debitor dapat diancam sebagai pelaku tindak pidana penggelapan sebagaimana diancam dengan pidana dengan pasal 372 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).11 Rasio penerapan pasal 372 KUHP tersebut, mendasarkan pada status kepemilikan barang sewa beli yang masih belum dimiliki oleh pihak debitor atau penyewa, di mana barang sewa beli akan menjadi milik debitor atau penyewa bilamana seluruh angsurannya telah dibayar lunas. Dengan demikian, bilamana pihak debitor atau penyewa menjual atau mengalihkan barang yang notabene bukan miliknya, maka ia akan terkena jerat pasal penggelapan dalam KUHP. Berbeda halnya, jika setelah terjadi kesepakatan dalam perjanjian sewa beli tanda bukti kepemilikan barangnya atas nama pembeli, walaupun pembayaran harga pembelian dilakukan secara angsuran. Hubungan hukum perjanjian demikian adalah berbentuk perjanjian jual beli dengan angsuran dan bukan sewa beli. Dalam perjanjian jual beli dengan angsuran, pihak pembeli adalah pemilik barang walaupun harganya belum dibayar lunas. Secara hukum pihak pembeli dalam perjanjian jual beli secara angsuran adalah pemilik atas barang yang dibeli secara angsuran. Sehingga apabila pihak pembeli barang secara angsuran, menjual barang yang dibelinya sebelum seluruh angsurannya dibayar lunas, ia tidak dapat dituntut sebagai pelaku tindak pidana penggelapan. Hal ini dikarenakan barang yang telah ia jual itu adalah memang benar-benar miliknya, ia bukanlah penyewa. Untuk jelasnya, berikut penulis kutipkan syarat agar seseorang dapat dituntut berdasarkan pasal 372 KUHP, yaitu: Kejahatan ini dinamakan “penggelapan biasa”. Penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam pasal 362 KUHP, hanya bedanya jika dalam pencurian barang yang diambil untuk dimiliki itu belum berada di tangannya si pelaku, sedang dalam kejahatan penggelapan, barang yang diambil untuk dimiliki itu sudah
10
Subekti R.I., Op.Cip., h.51 Soesilo R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya lengkap Pasal demi Pasal, Cet. Ulang, Politeia, Bogor, 1996, h.258 x Volume 8, No.1, Nop 2008 11
berada di tangannya pelaku tidak dengan jalan kejahatan atau sudah dipercayakan kepadanya.12 Dalam perjanjian sewa beli, barang yang menjadi obyek perjanjian sewa beli adalah dalam status disewa oleh debitor. Artinya debitor bukan pemilik dari barang yang disewa beli itu, hal ini dapat dibuktikan dari surat tanda bukti kepemilikan atas barang tersebut. Barang yang disewa tersebut tidak dapat dijual atau dialihkan pada pihak ketiga oleh penyewa, karena barang dimaksud belum menjadi miliknya. Sehingga bilamana barang obyek perjanjian sewa beli itu dialihkan, maka penyewa akan dapat dituntut sebagai pelaku tindak pidana penggelapan. Perjanjian sewa beli adalah merupakan ciptaan praktik jual beli, sehingga tidak diatur dalam BW. Kendati demikian perjanjian sewa beli diakui dan dibenarkan dalam praktik perjanjian, mengingat perjanjian sewa beli tersebut disepakati oleh mereka yang membuatnya, karenanya telah memenuhi azas konsensual.13 Azas konsensualisme yang terdapat di dalam pasal 1320 BW mengandung arti kemauan para pihak untuk saling berpartisipasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kemauan tersebut membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu dapat dipenuhi. Azas konsensualisme ini mempunyai hubungan yang erat dengan azas kebebasan berkontrak dan azas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam pasal 1338 ayat 1 BW. Pasal 1338 ayat 1 BW menentukan bahwa “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Kata “semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Azas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan pasal 1320 BW ini mempunyai kekuatan mengikat. Kebebasan berkontrak adalah salah satu azas yang sangat penting di dalam Hukum Perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak azasi manusia. Sebagaimana hal ini telah dijamin dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Dalam Undang-undang Hak Azasi Manusia setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Di dalam Hukum Perjanjian, falsafah ini diwujudkan dalam kebebasan berkontrak yang tidak dapat diintervensi oleh pemerintah.14 Faham ini memberikan peluang luas kepada golongan kuat untuk menguasai golongan lemah. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lembah. Pihak yang lemah berada dalam penguasaan pihak yang kuat.
12 13
Sugandi R., KUHPdan Penjelasannya, Cet.-, Usaha Nasional, Surabaya, 1980, h.390 Suryodiningrat R.M., Perikatan-perikatan Bersumber Perjanjian, Cet.II, Tarsito, Bandung, 1991,
h.8 14 Mariam Darus Badrulzaman dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, h.84 Volume 8, No.1, Nop 2008 xi
Faham di atas dinilai tidak mencerminkan rasa keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak mendapatkan perlindungan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif, dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan isi perjanjian tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak, akan tetapi perlu diawasi pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum untuk menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan Hukum Perjanjian oleh pemerintah terjadi penggeseran Hukum Perjanjian ke bidang Hukum Publik. Sejak tahun 1980-an risiko dan beban pertanggung jawaban telah ditetapkan dalam suatu yurisprudensi. Kendati praktik pelaksanaan perjanjian sewa beli tidak diatur secara tegas dalam suatu undang-undang, tetapi tentang risiko dan pihak yang harus dibebani risiko yang timbul dalam perjanjian sewa beli telah diatur dan ditentukan dalam suatu yurisprudensi.15 2.
Proses Penjualan Perumahan pada Perumnas Barisan Sampang Proses penjualan perumahanan di Perumnas Barisan Sampang akan dikaji dari kontrak perjanjiannya yaitu perjanjian kredit pemilikan rumah antara Bank Tabungan Negara dengan pihak debitor. Di mana dalam perjanjian tersebut pada bagian awal disebutkan tentang identitas para pihak yang membuat perjanjian, jumlah pinjaman, bunga, pembayaran kembali kredit dan jangka waktu kredit, tanggal jatuh waktu pembayaran angsuran bulanan dan denda tunggakan, provisi bank dan biaya lainnya, agunan kredit, penggunaan pinjaman dan kuasa, serta ditutup dengan pasal lain-lain.
Dengan memperhatikan pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian kredit pemilihan rumah tersebut, maka dapat dipastikan bahwa perjanjian dimaksud bukanlah perjanjian sewa beli, melainkan perjanjian kredit yang dalam BW adalah salah satu dari bentuk perjanjian pinjam meminjam.16 Artinya pidak debitor meminjam uang pada pihak bank yaitu Bank Tabungan Negara sejumlah harga tunai pembelian rumah, atas 15
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Perkembangan Putusan Perkara Beli Sewa dalam Yurisprudensi, Cet.-, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1989, h.iii 16 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, Cet.II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h.240 xii Volume 8, No.1, Nop 2008
hasil pinjaman uang tersebut kemudian debitor membayar harga rumah yang dibelinya secara tunai. Adapun pihak debitor kepada Bank Tabungan Negara melakukan pembayaran terhadap pinjaman uangnya secara angsuran. Dalam perjanjian di atas, pihak debitor telah berkedudukan sebagai pemilik atas rumah tersebut. Karenanya, apabila debitor tersebut jika suatu ketika menjual rumah dimaksud pada pihak ketiga, ia tidak dapat dijerat dengan pasal tindak pidana penggelapan, sebagaimana yang diatur dalam pasal 372 KUHP. Bukti konkrit dari perjanjian kredit pemilikan rumah di lingkungan Perumnas adalah bukan perjanjian sewa beli, dapat kita lihat dari judul perjanjiannya yang bernama “Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah antara Bank Tabungan Negara dan Debitor”. Di samping itu adanya jaminan kredit dari perjanjian tersebut yang berupa tanah berikut bangunan rumahnya adalah menunjukkan bahwa perjanjian tersebut benar-benar bukan sewa beli. Praktik perjanjian sama halnya dengan perjanjian kredit antara perbankan dengan nasabah. Dengan dicantumkannya nama pemilik bangunan dan tanah dalam surat bukti kepemilikan, menunjukkan bahwa debitor adalah pemilik atas bangunan dan tanah tersebut. Secara hukum ia berhak menjual barang yang atas namanya dimaksud, walaupun surat tanda bukti kepemilikannya berada pada pihak bank. Namun ketentuan dalam azas yang diberlakukan di tiap-tiap perjanjian adalah azas kebebasan berkontrak, maka bisa saja penjual dan pembeli membuat kesepakatan bahwa jual beli tetap terjadi dengan ketentuan penyerahan surat tanda bukti kepemilikannya dilakukan setelah pihak penjual atau debitor melunasi angsurannya di Bank Tabungan Negara. KONTRAK STANDARD DALAM SEWA BELI PERUMAHAN
1.
Kekuatan Hukum Kontrak Standard Sewa Beli Perumahan
Kebebasaan berkontrak merupakan perwujudan kehendak bebas dari pancaran hak azasi manusia, sebagaimana ini telah ditegaskan dalam azas-azas dasar hak asasi manusia yaitu bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi (vide pasal 3 (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia). Keseimbangan para pihak dalam berkontrak merupakan konsep dasar yang bersifat imperatif dari pemahaman prinsip “men are created free and equal”17, hal ini
17
Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, Cet.VIII, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1979, h.21
Volume 8, No.1, Nop 2008
xiii
harus selalu menjadi acuan dalam tiap-tiap penerapan azas kebebasan berkontrak, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1338 BW. Kebebasan berkontrak selalu melahirkan konsekuensi, bahwa kontrak yang akan dibuat selalu berlandaskan pada dua kepentingan yang tidak sama dan mengarah pada tujuan yang sama yaitu pemenuhan prestasi. Tujuan terpenting dari adanya azas kebebasan berkontrak adalah diberinya kebebasan kepada para pihak untuk memilih dan menentukan sendiri bentuk kontrak yang akan disepakati oleh kedua belah pihak. Para pihak dapat memilih dan menentukan sendiri isi kontraknya, apakah cukup dituangkan dan disepakati secara lisan saja atau kesepakatan kontrak tersebut akan dituangkan secara tertulis dalam sebuah akta. Bilamana suatu kontrak dibuat dan dituangkan secara lisan, maka yang terpenting agar kontrak tersebut menjadi sah secara hukum adalah para pihak harus secara tepat menjadikan kontrak itu sesuai dengan syarat sahnya perjanjian yang telah ditentukan dalam pasal 1320 BW. Artinya para pihak terlebih dahulu menyepakati isi kontrak yang telah dibicarakan sebelumnya, kemudian para pihak dipandang perlu adalah orang-orang atau badan (jika salah satunya badan usaha) yang cakap bertindak, dan syarat yang ketiga adalah bahwa hal yang menjadi obyek kontrak “haruslah” hal tertentu atau jelas serta “harus” pula kontrak itu dibuat karena atau ada causa yang diperbolehkan. Pada kata harus dalam tanda kutip di atas, mengandung arti bahwa kontrak yang dibuat secara lisan itu akan menjadi sia-sia adanya, jika obyek kontrak tidak jelas dan alasan atau sebab terjadinya kontrak jelas-jelas tidak diperbolehkan, baik oleh undang-undang, kesusilaan ataupun ketertiban umum. Sedangkan kata sepakat dari para pihak tidak ditekankan sebagai keharusan untuk berkata secara tegas telah sepakat dan para pihak adalah cakap bertindak, hal ini dikarenakan dua hal yang terakhir di mana disebutkan dalam pasal 1320 BW sebagai syarat sahnya perjanjian yang pertama dan kedua, yaitu sepakat dan cakap adalah merupakan syarat-syarat subyektif sahnya perjanjian. Adapun tentang obyek kontrak adalah diwajibkan harus jelas dan sebab kontrak yang harus diperbolehkan adalah merupakan syarat-syarat obyektif sahnya perjanjian atau kontrak. Kecuali itu, oleh karena kontrak tersebut pada akhirnya akan mengikat para pihak dan para pihak harus tunduk, sebagaimana ia tunduk dan patuh pada hukum, maka kontrak itu sendiri adalah merupakan hukum. Adapun hukum hanya dapat mengatur perbuatan manusia bukan sikap batin, artinya hukum tidak dapat mengatur terhadap kehendak untuk setuju namun belum dinyatakan secara lisan. Apabila syarat subyektif sahnya perjanjian dalam suatu kontrak tidak dipenuhi, maka kontrak tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar), dan apabila syarat obyektif sahnya perjanjian tidak dipenuhi dalam suatu kontrak, maka kontrak tersebut batal demi hukum (nietig).18 18 Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan Dari Undang-undang), Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1994, h.65. xiv Volume 8, No.1, Nop 2008
Kata sepakat adalah suatu syarat yang logis dalam suatu kontrak, karena dalam kontrak setidak-tidaknya harus terdapat dua orang yang saling berhadapan dan mempunyai kehendak untuk saling mengisi atau saling memberi. Kesepakatan sebagai persesuaian kehendak saja antara dua orang belum menimbulkan suatu perikatan dalam suatu kontrak, sebab hukum hanya mengatur kehendak manusia yang diwujudkan dalam suatu tindakan. Kehendak tersebut harus saling bertemu dan untuk dapat saling bertemu harus dinyatakan. Namun demikian, pertemuan dua kehendak saja belum cukup untuk menimbulkan kontrak yang dilindungi oleh hukum. Perjanjian seperti itu tidak mengandung unsur prestasi yang mempunyai nilai uang dan karenanya tidak menimbulkan perikatan sebagaimana yang dimaksudkan buku III BW. Kendati demikian, harus diakui bahwa BW sendiri mengakui adanya perjanjian yang tidak mengandung prestasi yang bernilai uang, seperti perjanjian untuk melakukan sesuatu, yang tidak mengadung unsur upah di dalamnya yaitu perjanjian penitipan barang tanpa upah. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya ketentuan pasal 1696 BW. Pada dasarnya kesepakatan dalam suatu kontrak tiada lain adalah penawaran yang diakseptir oleh pihak lainnya dalam kontrak itu sendiri.19 Artinya, tidak ada suatu kontrak, tanpa adanya penawaran yang dilakukan pihak yang satu dan diterima oleh pihak yang lainnya. Dengan demikian penawaran dan akseptasi merupakan unsur pokok yang menentukan lahirnya perjanjian. Walaupun penawaran dan penerimaan para pihak dalam suatu kontrak adalah merupakan unsur pokok, tetapi undang-undang tidak memberikan ketentuan sebagai rujukan dalam menentukan tentang saat mengikatnya suatu penawaran yang diterima oleh pihak lainnya dalam kontrak. Sebagai gambaran untuk menentukan saat mengikatnya kontrak dapat ditelusuri dari tindakan dalam menutup kontrak itu. Menutup suatu kontrak adalah suatu tindakan hukum dan karenanya kehendak yang mendasar tindakan hukum tersebut harus ditujukan kepada timbulnya suatu akibat hukum tertentu yang dikehendaki. Sebagaimana disadari bahwa suatu kontrak pada azasnya tidak mungkin timbul tanpa adanya kehendak dari para pihak. Tetapi apa yang sebenarnya dikehendaki oleh seseorang tidak akan dapat diketahui demikian saja oleh pihak lainnya tanpa dinyatakan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum dalam kontrak tersebut. Dengan demikian hubungan hukum dalam suatu kontrak apabila ditelusuri lebih jauh, maka hubungan hukum itu harus terjadi antara dua orang atau lebih. Pihak yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau yang berpiutang dan pihak yang wajib memenuhi prestasi, pihak yang pasif adalah debitur atau si berhutang adalah merupakan para pihak yang disebut dengan subyek kontrak. Debitur dalam suatu kontrak harus jelas diketahui dan dikenal baik oleh kreditur, sebab seorang debitur yang tidak dikenal baik, jika terjadi wanprestasi akan
19 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian buku I, Cet.II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, h.165. Volume 8, No.1, Nop 2008 xv
sulit pelaksanaan pemenuhan prestasinya. 20 Dalam suatu kontrak pihak kreditur dan debitur dapat disubstitusi, dengan syarat proses substitusinya sama-sama diketahui oleh pihak debitur atau kreditur. Hal ini dimaksudkan guna mengantisipasi penyimpangan terjadinya pemenuhan prestasi dari debitur. Demikian halnya, jika suatu kontrak dituangkan secara tertulis atau dalam sebuah akta, maka segala syarat yang telah ditentukan dalam pasal 1320 BW menjadi tetap berlaku. Sementara itu, akta yang biasa digunakan dalam dunia kontrak adalah bisa dengan akta otentik dapat pula kontrak itu dituangkan dalam sebuah akta di bawah tangan. Adapun akta itu sendiri adalah suatu tulisan yang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Artinya dengan akta tersebut para pihak dapat menentukan sendiri tentang batas-batas hak dan kewajiban kreditur dan debitur dalam suatu kontrak, sehingga akta tersebut merupakan bukti telah terjadi kesepakatan tentang hak dan kewajiban masing-masing yang ditandai dengan penandatanganan para pihak. a. Akta Otentik. Akta otentik menurut pasal 1868 BW adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk menurut undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang di tempat di mana akta itu dibuat. Adapun yang dimaksud dengan pejabat umum harus berwenang di tempat di mana akta itu dibuat. Seorang Notaris di jakarta berwenang untuk membuat akta dalam daerah hukum DKI Jaya, ia tidak berwenang untuk membuat akta di luar daerah jakarta. Akta otentik yang dibuat oleh Notaris harus disimpan oleh Notaris, tanggalnya ditetapkan, dan Notaris berhak untuk mengeluarkan salinannya, grossenya dan kutipannya.21 Termasuk dalam katagori akta otentik adalah putusan pengadilan, akta kelahiran, akta nikah, akta notaris. Pendek kata segala surat yang dibuat secara khusus oleh pejabat umum masing-masing, maka surat tersebut termasuk akta otentik. Hal ini dikarenakan tata cara pembuatan akta tersebut telah diatur secara khusus oleh masingmasing pejabat umum yang berwenang. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian ekstern, karena akta otentik telah dibuat dalam bentuk khusus tertentu yang telah ditetapkan dengan undang-undang dan yang membuat adalah pejabat umum. Kekuatan pembuktian ekstern dari akta otentik tidak hanya berlaku bagi pihak-pihak dalam akta itu, melainkan juga berlaku bagi tiap orang atau pihak ketiga.. Penyangkalan atas kebenaran suatu akta otentik, mengharuskan kepada yang menyangkal itu untuk membuktikan kepalsuannya, baik kepalsuan materiil ataupun
20
Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, Cet.I, Alumni, Bandung, 1996, h.3 21 Tan Thong Kie, Tehnik Pembuatan Akta I pada Jurusan Nortariat FH Universitas Indonesia, Cet.-, Esa Study Club, Jakarta, 1979, h.4. xvi Volume 8, No.1, Nop 2008
kepalsuan intelektual.22 Kepalsuan materiil terjadi apabila tanda tangan atau tulisan dalam akta itu dipalsu setelah akta itu dibuat oleh pejabat umum. Sedangkan kepalsuan intelektual ternyata apabila akta pejabat itu mencantumkan keterangan yang tidak benar dalam akta itu. Dengan demikian di dalam akta otentik yang pasti adalah benar ialah tanda tangan pihak-pihak yang bersangkutan, tanggal, tempat di mana akta itu dibuat. Hal yang pasti ini tidak hanya berlaku bagi pihak yang disebut di dalam akta itu saja, tetapi juga bagi setiap orang. Kemudian pada akta otentik terdapat juga kekuatan pembuktian formal, karena pejabat umum yang membuat akta itu adalah pejabat yang melakukan tugasnya, di bawah sumpah sehingga apa yang dimuat di dalam akta itu harus dianggap sungguh-sungguh diucapkan oleh pihak yang bersangkutan. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah terdapatnya kekuatan pembuktian materiil dari akta otentik, namun kekuatan pembuktian materiil ini terbatas pada beberapa orang saja, sebagaimana dimuat dalam pasal 1870 BW. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akta otentik memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang disebut di dalamnya, di antara para pihak yang bersangkutan serta ahli waris atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka itu. Artinya ketika suatu kontrak dituangkan dalam sebuah akta otentik, maka kontrak tersebut merupakan bukti yang sempurna tentang apa yang disebut di dalamnya, dan berlaku bagi para pihak dalam kontrak itu serta semua ahli waris atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka. b. Akta dibawah tangan. Kontrak yang dibuat dengan akta di bawah tangan tidak terikat pada suatu bentuk, sehingga tidak mempunyai kekuatan pembuktian ekstern. Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat pembuat akta, dengan kata lain akta di bawah tangan adalah akta yang dimaksudkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum pembuat akta. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga menjadi akta di bawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk membuat akta itu atau jika terdapat cacat dalam bentuk. Sehingga akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum hanya sebagai akta di bawah tangan saja, sebagaimana hal ini telah ditegaskan dalam pasal 1869 BW. Dalam hukum acara untuk daerah Jawa dan Madura, akta di bawah tangan tidak diatur di HIR (Het Herziene Indonesische Reglement), tetapi dalam R.Bg. (Rechtsreglement voor de Buitengewesten) diatur pada pasal 286 sampai dengan pasal 305 dan dalam BW diatur pada pasal 1874 sampai dengan pasal 1880. Akta di bawah tangan yang merupakan kontrak dengan memuat pengakuan utang secara sepihak untuk membayar sejumlah uang atau memberikan/menyerahkan 22 Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Cet.I, Bina Aksara, Jakarta, 1983, h.196. Volume 8, No.1, Nop 2008 xvii
sesuatu barang yang dapat ditetapkan atas suatu harga tertentu, harus seluruhnya ditulis dengan tangannya sendiri oleh orang yang menandatangani (debitur) tentang isi dari kontrak itu. Bilamana ketentuan di atas tidak diikuti, maka jika kontrak itu dipungkiri kedudukan akta di bawah tangan ini secara yuridis hanyalah merupakan pembuktian permulaan dengan tulisan, hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1878 BW yunkto pasal 291 RBg. Adapun yang dimaksud dengan permulaan bukti tulisan, dijelaskan dalam pasal 1902 ayat 2 BW bahwa yang dinamakan permulaan pembuktian dengan tulisan ialah segala akta tertulis yang berasal dari orang terhadap siapa tuntutan ditujukan, atau dari orang yang diwakili olehnya, dan yang memberikan persangkaan tentang benarnya peristiwa-peristiwa yang telah dikemukakan oleh seseorang. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa antara kontrak yang dibuat di bawah tangan dengan kontrak yang dibuat dengan akta otentik, terdapat perbedaan mendasar tentang: a. Kontrak yang dibuat dengan akta otentik harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat dan harus mengikuti bentuk serta formalitas yang ditentukan dalam undang-undang, sedangkan kontrak yang dibuat dengan akta di bawah tangan tidak demikian; b. Kontrak yang dibuat dengan akta otentik memiliki kekuatan pembuktian lahir sesuai azas acta publica probant seseipsa23, sedangkan kontrak yang dibuat dengan akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir. c. Kontrak yang dibuat dengan akta otentik mempunyai tanggal yang pasti secara hukum, sedang kontrak yang dibuat di bawah tangan tidak selalu demikian. Pada Prinsipnya, para pihak dalam membuat suatu kontrak bebas mengatur sendiri kontrak tersebut sesuai dengan azas kebebasan berkontrak (freedom of contract), sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 1338 ayat 1 BW. Pasal 1338 BW ayat 1 tersebut menentukan bahwa semua kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Banyak jenis kontrak yang masing-masing bagian-bagiannya mengandung unsur kontrak bernama yang berbeda-beda. Sedangkan mengenai bagian-bagian dari kontrak tersebut dapat diklasifikasi sebagai berikut: a. Bagian dari kontrak yang esensial Bagian dari kontrak yang esensial ini merupakan bagian utama dari kontrak tersebut, di mana tanpa bagian tersebut, suatu kontrak dianggap tidak pernah ada. Misalnya bagian “harga” dalam suatu kontrak jual beli.
23 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah Pengantar, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 2000, h.111. xviiiVolume 8, No.1, Nop 2008
b.
Bagian dari kontrak yang natural Yang disebut bagian dari kontrak yang natural adalah bagian dari kontrak yang telah diatur oleh aturan hukum, tetapi aturan hukum tersebut hanya aturan yang bersifat mengatur saja.
c.
Bagian dari kontrak yang aksidental Bagian dari kontrak yang aksidental ini adalah bagian dari kontrak yang sama sekali tidak diatur oleh aturan hukum, tetapi terserah dari para pihak untuk mengaturnya sesuai dengan azas kebebasan berkontrak (freedom of contract).24
Sebagaimana dikemukakan di atas, pada dasarnya kontrak tersebut berbeda tentang isi yang akan dituangkan di dalamnya. Isi kontrak dapat saja memuat tentang perjanjian bernama, sebagaimana yang diatur secara jelas dalam BW pada buku III, bab V sampai dengan bab XVIII. Namun khusus untuk bab X tentang hibah, kalangan sarjana hukum tidak menjadikannya sebagai bagian dari kontrak, karena prestasi yang terjadi antara kreditor dan debitor hanya berlangsung sepihak yaitu dari kreditor saja. Mereka yang akan membuat kontrak juga bebas menentukan isi dari kontrak yang akan disepakatinya, tidak hanya isi kontrak tersebut perjanjian bernama saja sebagaimana diatur secara eksplisit dalam BW. Melainkan para pihak dapat membentuk isi kontrak dengan materi perjanjian tidak bernama, yang selama ini lahir dan terpraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak diatur dalam suatu undang-undang yang secara khusus mengaturnya, misalnya leasing. Atau juga para pihak dalam suatu kontrak dapat membuat isi kontrak yang termasuk dalam perjanjian campuran, misalnya kontrak sewa beli. Dengan demikian yang dimaksud dengan azas kebebasan berkontrak dalam hal bebas berdasarkan kesepakatan para pihak, adalah kontrak dapat dibuat dengan isi tentang perjanjian bernama, tentang perjanjian tidak bernama, dan tentang perjanjian campuran. Artinya, sepanjang para pihak menyetujui suatu kontrak atau perjanjian yang diatur dalam buku III BW notabene bersifat mengatur (aanvullen recht) atau sebagai pelengkap, maka para pihak cukup tunduk pada segala hal yang telah disepakatinya dalam suatu kontrak dan bilamana dalam kontrak tersebut ternyata terdapat suatu hal yang tidak diatur, maka berlakulah ketentuan buku III BW. Sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1338 BW, bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat-syarat dalam pasal 1320 BW berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, perjanjian yang telah dibuat tersebut tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang yaitu melalui lembaga peradilan. Di samping itu perjanjian tersebut wajib dilaksanakan dengan itikad baik. 24 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, 28. Volume 8, No.1, Nop 2008 xix
Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak, artinya pihakpihak harus mentaati perjanjian itu sama dengan mentaati undang-undang. Jika ada yang melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar undangundang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi, barang siapa melanggar perjanjian, ia akan mendapat hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa dalam perkara perdata, hukuman bagi pelanggar perjanjian ditetapkan oleh hakim berdasarkan undangundang atas permintaan pihak lainnya. Menurut undang-undang, pihak yang melanggar perjanjian itu diharuskan membayar ganti kerugian (vide pasal 1243 BW), perjanjian dapat diputuskan (vide pasal 1266 BW), menanggung beban risiko (vide pasal 1237 ayat 2 BW) dan membayar biaya perkara itu jika sampai diperkarakan di depan pengadilan (vide 181 ayat 1 HIR). “Menurut ketentuan dalam pasal 1321 BW terdapat 3 (tiga) macam cacat kehendak, yaitu kesesatan (dwaling), penipuan (bedrog), dan paksaan (dwang). Perjanjian sebagaimana dikemukakan di atas, adalah mengikat para pihak bilamana telah dibuat secara sah. Perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja. Sedangkan, apabila ada kehendak untuk menarik kembali atau membatalkan perjanjian yang telah disepakatinya, maka harus atas dasar kesepakatan kembali yang dibuat oleh para pihak yang telah menyetujuinya. Kendati demikian, bilamana terdapat alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak dengan mengajukan permohonan ke pengadilan. Untuk itu, tiap pelaksanaan suatu perjanjian terlebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan cermat apa saja isi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak. Pada umumnya setiap orang mengadakan suatu perjanjian dengan tidak mengatur atau tidak menetapkan secara teliti hak dan kewajiban mereka. Mereka hanya menetapkan hal-hal pokok dan penting saja. Dalam jual beli, misalnya hanya ditetapkan tentang barang mana yang dibeli, jenisnya, jumlahnya, harganya. Tidak ditetapkan tentang tempat penyerahan barang, biaya pengantaran, tempat dan waktu pembayaran, bagaimana jika barang musnah diperjalanan dan sebagainya. Pasal 1339 BW menentukan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dengan demikian setiap perjanjian harus berdasarkan pada aturan-aturan yang terdapat dalam undang, aturan-aturan dasar dalam norma susila dan aturan-aturan dasar dalam ketertiban umum masyarakat.25 Kendati pasal 1338 ayat 1 BW menegaskan, bahwa terdapat kebebasan dalam membuat suatu kontrak, baik bentuk maupun isinya, tetapi ternyata kebebasan tersebut
xx
25 Hasanuddin Rahman, Legal Drafting, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h.10 Volume 8, No.1, Nop 2008
dibatasi dengan tujuan agar tidak merugikan salah satu pihak di dalamnya. Artinya agar perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum. Pembatasan terhadap suatu kontrak agar tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana diatur dalam ketentuan BW penafsirannya tidak hanya sebatas dwaling yang diatur pada pasal 1322 ayat 1, atau bedrog yang diatur pasal 1328 serta dwang dalam ketentuan pasal 1323, 1324, 1325, 1326 dan 1327, melainkan telah ditafsirkan lebih luas lagi, misalnya dalam kasus buku pensiun (vide putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 3431 K/Pdt/1985 tanggal 4 Maret 1987). Dalam kasus buku pensiun tersebut hakim mempertimbangkan, oleh karena perjanjian pinjam-meminjam uang tersebut bunga ditetapkan terlampau tinggi yaitu sebesar 10% perbulan, maka perjanjian tersebut dinilai bertentangan dengan kepatutan dan keadilan, dengan dasar pertimbangan bahwa tergugat atau debitur adalah seorang purnawirawan yang tidak berpenghasilan lain. Penilaian atas kasus buku pensiun di atas, pada dasarnya adalah menerapkan ajaran penyalahgunaan keadaan, baik mengenai unsur materiil maupun mengenai unsur penyalahgunaan oleh pihak kreditur. 26 Namun untuk memperjelas dan membuktikan bahwa hukum Indonesia juga memberlakukan dan menerapkan ajaran misbruik van omstandigheden dalam uraian berikut dikemukakan tentang hal essensiil yang membedakan antara dwang, dwaling, bedrog serta misbruik van omtandigheden. a. Dwang (Paksaan) Paksaan itu terjadi apabila pihak yang diminta untuk membuat kontrak dipaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Perjanjian itu tidak dibuat secara bebas, karena itu perjanjian yang demikian dapat dibatalkan menurut kehendak pihak yang diminta dengan kekerasan atau ancaman kekerasan itu. Dengan kata lain, paksaan terjadi jika terdapat perbuatan yang sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat dan jika perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata (vide pasal 1324 BW). Namun bilamana hanya ketakutan yang disebabkan hormat kepada ayah, ibu atau lain sanak keluarga dalam garis ke atas tanpa disertai kekerasan, tidaklah cukup untuk membatalkan perjanjian itu (pasal 1326 BW). Paksaan merupakan alasan untuk minta pembatalan kontrak atau perjanjian jika paksaan itu dilakukan terhadap: a. orang atau pihak yang membuat perjanjian (pasal 1323 BW); b. Suami atau isteri dari pihak dalam kontrak atau sanak keluarga dalam garis ke atas atau ke bawah. Paksaan yang dapat membatalkan suatu perjanjian bukan saja paksaan yang dilakukan oleh pihak lawan, tetapi juga mencakup paksaan yang dilakukan oleh pihak ketiga atau 26 Henry P.Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omtandigheden) sebagai Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum Di Belanda), Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 2001., h.58. Volume 8, No.1, Nop 2008 xxi
pihak di luar perjanjian (pasal 1323 BW). Paksaan yang menyebabkan suatu perjanjian dapat dimintakan pembatalannya tidak mencakup paksaan secara fisik seperti misalnya seseorang yang dipaksa dengan cara menariknya untuk naik bis. Paksaan secara fisik ini tidak menimbulkan kesepakatan (baik yang murni maupun semu) dari orang yang dipaksa, karena itu perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya. Kendati demikian, pembatalan suatu perjanjian berdasarkan paksaan tidak lagi dapat dituntut, apabila setelah paksaan berhenti perjanjian tersebut dikuatkan, baik secara dinyatakan dengan tegas (secara murni) maupun secara diam-diam (semu) atau apabila seseorang melampaukan waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dipulihkan seluruhnya (pasal 1327 BW). Adapun waktu yang ditentukan undangundang adalah lima tahun. Waktu tersebut mulai efektif sejak hari paksaan itu telah berhenti (pasal 1454 BW). b. Dwaling (Kehilafan). Wirjono Prodjodikoro menterjemahkan dwaling sebagai verschoonbare dwaling atau kekhilafan harus pantas, sebab pembatalan suatu kontrak hanya dapat diajukan atas dasar kepantasan dari kekhilafan itu, yaitu kekhilafan itu harus dapat dimengerti, harus tidak aneh, dan harus dapat dimaafkan.27 Pembatalan kontrak berdasarkan kekhilafan (dwaling) hanya dimungkinkan dalam dua hal, yaitu: 1. apabila kekhilafan terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan. Misalnya, membeli barang yang disangkanya antik, tetapi ternyata bukan; 2. apabila kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut. Misalnya mengadakan persetujuan dengan seseorang yang dikiranya penyanyi terkenal, tetapi bukan.28 Adapun menurut pasal 1322 ayat 1 BW, kekeliruan atau kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, kecuali apabila kekeliruan atau kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian. Dengan kata lain kekeliruan atau kekhilafan tidak memperngaruhi berlakunya suatu perjanjian, tetapi khilaf mengenai pokok perjanjian itu, misalnya pembeli membeli 100 tube pasta gigi merek “colgate” dengan harga Rp. 30.000,00 di sebuah toko supermarket dengan sistem self service. Setelah barang diambil dan dibayar tunai pada kasir, ternyata bukan colgate, melainkan “golcate” yang mutunya rendah. Dalam kasus ini kekhilafan yang terjadi sangat berat, sehingga kontrak itu menjadi batal.29
27
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., h.30 . Setiawan. R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet.VI, Putra Bardin, Bandung, 1999., h.60 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Cet.I, Alumni, Bandung, 1982, h.118 xxiiVolume 8, No.1, Nop 2008 28 29
c. Bedrog (Penipuan) Menurut pasal 1328 BW tipu ialah perbuatan tipu muslihat salah satu pihak sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata pihak lainnya tidak akan membuat perjanjian atau kontrak tanpa dilakukannya tipu muslihat tersebut. Kontrak yang dibuat karena tipu dapat dituntut pembatalannya di hadapan pengadilan seperti halnya kontrak yang dibuat karena paksa. Namun antara kedua sifat pembatalan suatu kontrak dalam penipuan dan paksaan berbeda dalam hal, jika kontrak yang dibuat karena paksaan bertentangan dengan kemauan orang yang dipaksa, sedangkan persetujuan yang dibuat karena tipuan atau sesat pihak yang ditipu atau karena sesat tidak mengetahui bahwa kemauannya melalui jalan yang salah. Sedangkan perbedaan antara kontrak yang dibuat secara sesat dan secara tipu ialah dalam hal sesat pihak yang sesat sendiri yang mengarahkan kemauannya ke jalan yang salah, adapun dalam hal tipu kemauan pihak yang tertipu diarahkan oleh pihak lawan kejalan yang salah. Dalam hal-hal tertentu tipuan dalam kontrak tidak memberi hak untuk menuntut pembatalan kontraknya, sebab hanya pembatalan kontrak atas dasar tipuan yang dapat dibuktikan saja bahwa ia tidak akan membuat kontrak dengan syarat-syarat demikian, bilamana ia lebih dahulu mengetahuinya. Kontrak standard yang digunakan dalam perjanjian sewa beli di lingkungan Perumnas, pada dasarnya dilarang bilamana pencantuman klausula bakunya diletakkan atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti tidak dapat dibenarkan dan secara hukum dapat dinyatakan batal demi hukum pasal 18 ayat 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen. 2.
Akibat Hukum terhadap Perjanjian Sewa Beli
Selain hal-hal yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan dalam suatu pembuatan kontrak adalah bahasa dalam kontrak.30 Hal ini dikarenakan tanpa kesatuan pengertian dan penafsiran yang sama dalam satu kalimat pada suatu kontrak tidak mungkin melahirkan kesepakatan yang bersumber pada kebebasan berkontrak. Sebagaimana diketahui bahwa bahasa yang kita gunakan sehari-hari penuh dinamika (dinamis), artinya bahasa yang kita gunakan selalu berkembang dari waktu ke waktu, baik menyangkut kosa kata, idiom, termasuk istilah asing yang diadopsi ke dalam bahsa Indonesia. Oleh karenanya, para perancang kontrak (legal drafter) juga harus memiliki pengetahuan yang luas terutama bagaimana mengatasi masalah di
30
Hasanuddin Rahman,Op.Cit., h.133
Volume 8, No.1, Nop 2008
xxiii
bidang bahasa ini, dengan mengikuti perkembangan bahasa, terutama “bahasa hukum” yang dipergunakan dalam suatu kontrak. Seorang legal drafter atau pembuat kontrak sama sekali tidak boleh menganggap remeh soal bahasa dalam kontrak. Sangat banyak sengketa yang terjadi yang timbul sebagai akibat kondisi isi kontrak, karena bahasa atau istilahnya diinterpretasikan secara berbeda oleh para pihak. Dalam kasus demikian, biasanya para pihak menginterpretasikan secara sendiri-sendiri sehingga melahirkan pengertian terhadap kosa kata atau istilah hukum tidak dapat diakomodir dari isi kontrak itu. Lebih parah lagi, jika suatu kontrak dibuat oleh para pihak yang melakukan kesepakatan itu sendiri. Kendati kontrak tersebut dibuat oleh legal drafter perusahaan, maka hampir dapat dipastikan ia membuatnya dalam bahasa perusahaan yaitu menggunakan bahasa yang hanya dimengerti oleh pihaknya atau bahkan memang secara sengaja hanya mengakomodir kepentingan-kepentingan perusahaan tempat ia bekerja. Dalam kontrak demikian, tidak jarang ditemukan kata-kata atau istilah yang dipergunakan secara sengaja untuk menjebak pihak yang akan menjadi client dalam kontrak yang akan dibuatnya. Sementara, seorang legal drafter atau perancang kontrak haruslah adil dan independent, agar kontrak yang dihasilkan benar-benar mencerminkan azas kebebasan berkontrak yang dikehendaki hukum. Kontrak yang dibuat oleh legal drafter dengan bahasa yang hanya mengakomodir kepentingan sepihak, biasanya banyak terjadi dalam kontrak atau perjanjian baku, yang oleh Pitlo dinamakan dengan perjanjian adhesi.31 Di dalam perpustakaan dikatakan bahwa latar belakang tumbuhnya perjanjian standard ini adalah karena tuntutan keadaan sosial dan ekonomi. Perusahaan besar semi pemerintah atau perusahaan-perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingannya menciptakan syarat-syarat tertentu, secara sepihak untuk diajukan kepada partner kontraknya. Pihak partner kontrak yang pada umumnya mempunyai kedudukan ekonomi lemah, baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya lalu hanya menerima apa yang disodorkan itu. Perjanjian ini jelas mengandung kelemahan karena syarat-syarat yang ditentukan secara sepihak dan pihak lainnya terpaksa menerima keadaan itu, karena posisinya yang lemah. Kelemahan perjanjian standard ini juga disinyalir oleh beberapa ahli. Pitlo mengemukakan perjanjian standard ini adalah suatu dwangkontract, karena kebebasan pihak-pihak yang dijamin oleh pasal 1338 BW sudah dilanggar. Pihak yang lemah terpaksa menerima hal ini sebab mereka tidak mampu berbuat lain.Terhadap perbuatan, di mana kreditur secara sepihak menentukan isi perjanjian standard akan melahirkan legio particuliere wetgevers.32 Subekti mengemukakan bahwa azas konsesualisme terdapat di dalam pasal 1320 yunkto pasal 1338 BW. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang.33 31
Ibidt., h.134 Ibid, h.135. Subekti R.III, Op.cit., h.14-15. xxivVolume 8, No.1, Nop 2008 32 33
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa perjanjian standard bertentangan, baik dengan azas-azas hukum perjanjian (pasal 1338 yunkto pasal 1320 BW) maupun kesusilaan. Akan tetapi dalam praktek, perjanjian ini tumbuh karena keadaan menghendaki dan harus diterima sebagai kenyataan. Kontrak standard biasanya merupakan perjanjian standard di mana kontrakkontrak itu telah dipersiapkan secara standard dan dicetak dalam jumlah yang banyak dengan blanko untuk beberapa bagian yang menjadi obyek transaksi, seperti besarnya nilai transaksi, junis dan jumlah barang yang ditransaksikan dan sebagainya. Sehingga, dengan kontrak standard ini, lembaga pembiayaan yang mengeluarkannya tidak membuka kesempatan kepada pihak lain untuk melakukan negosiasi mengenai apa yang akan disepakati untuk dituangkan dalam kontrak. Perjanjian kredit adalah salah satu bentuk kontrak baku, sebab perjanjian kredit telah diformat secara baku dan biasanya pihak bank tinggal mengisi data pribadi dan data tentang loan yang diambil. Sedang terms dan condition-nya telah dicetak secara baku.34 Kendati dalam membuat kontrak para pihak dapat bebas mengaturnya sebagaimana yang dibolehkan dalam pasal 1338 ayat 1 BW sebagai azas kebebasan berkontrak, tetapi hendaknya kontrak itu harus dibuat secara sah agar dapat mengikat para pihak dalam kontrak itu. Adapun kontrak yang sah harus memenuhi syarat sahnya menurut pasal 1320 BW. Masalahnya adalah apakah azas kebebasan berkontrak dan azas kesepakatan dapat diterapkan dalam hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya? Apabila dikaji secara mendalam hakikat dari azas kebebasan berkontrak dan azas kesepakatan tersebut dapat dikatakan ada, bilamana posisi tawar menawar (bargaining position) para pihak adalah setara dalam arti para pihak dapat saling mengemukakan apa yang dikehendaki masing-masing.35 Banyak masalah hukum bisa timbul dalam hubungan dengan pemberlakuan perjanjian standard seperti ini, antara lain berkenaan dengan legalitas perjanjian standard dan berkenaan dengan klausul yang memberatkan. Hal ini dapat kita buktikan dari proses aplikasi kredit yang diajukan oleh nasabah terhadap suatu bank. Setiap proses aplikasi kredit nasabah harus melalui permohonan guna memperoleh persetujuan permohonan kredit. Adapun persetujuan permohonan kredit adalah keputusan bank untuk mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan kredit dari calon debitur.36 Surat keputusan bank dalam mengabulkan permohonan kredit calon debitur dituangkan dalam surat penegasan persetujuan permohonan kredit, dengan mencantumkan syarat-syarat antara lain: 34 Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer (selanjutnya disebut Munir Fuady II), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h.41 35 Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 2000, h.62. 36 Thomas Suyatno dkk., Dasar-dasar Perkreditan, Ed.IV, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, h.80. Volume 8, No.1, Nop 2008 xxv
a. Maksimum/limit fasilitas kredit. b. Jangka waktu berlakunya fasilitas kredit. c. Bentuk pinjaman. d. Tujuan penggunaan kredit secara jelas. e. Suku bunga. f. Bea meterai kredit yang harus dibayar. g. Provisi kredit commitment fee management fee. h. Keharusan menandatangani surat perjanjian kredit, yaitu keharusan menandatangani surat aksep khusus bagi kredit yang mendapat bantuan likuiditas dari Bank Indonesia. Surat aksep tersebut harus diperbaharui setiap jatuh waktu sesuai masa laku kredit likuiditas Bank Indonesia yang bersangkutan, perincian barang-barang jaminan, serta surat pemilikan dan cara pengikatannya. i. Penutupan asuransi barang-barang jaminan. j. Sanksi-sanksi seperti: denda terlambat pembayaran bunga denda terlambatnya pembayaran angsuran, atau terlambatnya pelunasan denda atas overdraft sanksi untuk penyimpangan dari syarat-syarat lainnya dalam perjanjian kredit. k. Ketentuan-ketentuan lain yang ditentukan sesuai keperluan (jaminan pribadi/borgtocht dan lain-lain). l. Syarat-syarat untuk pengajuan permohonan perpanjangan dan tambahan fasilitas kredit. m. Laporan-laporan yang harus diserahkan.37 Dengan menyimak persyaratan persetujuan permohonan kredit di atas, sangat jelas sekali bahwa kontrak demikian hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan setidaknya telah ditentukan. Sementara pihak calon debitur tidak mempunyai peluang untuk melakukan tawar atau merundingkan isi kontrak kredit itu, sehingga tercipta kesepakatan para pihak dengan tanpa salah satu pihak khususnya debitur merasa terjepit atau kepepet. Dengan model pelaksanaan kontrak yang demikian, dapat dipastikan akan banyak menimbulkan masalah berkenaan dengan sah tidaknya kontrak yang akan dilaksanakan, kendati para pihak telah menandatangani kontrak yang telah dibuatnya. Hal ini dikarenakan setiap kontrak yang telah disetujui oleh para pihak, yang dijewantahkan dalam wujud penandatanganan kontrak, tidaklah pasti sah. Dengan dasar pertimbangan, bahwa kontrak baru dapat dikatakan sah disamping harus memberikan
37 Ibid. Volume 8, No.1, Nop 2008 xxvi
kebebasan para pihak dalam berkontrak, juga hendaknya kontrak itu dibuat menurut syarat sahnya yang telah ditentukan dalam pasal 1320 BW. Kontrak standard atau standard contract, dalam hal ini adalah perjanjian kredit segala hal yang berkaitan dengan perjanjian kredit itu telah diatur terlebih dahulu sedemikian rupa, sebelum kredit mengajukan aplikasi kredit. Bahkan jauh sebelum debitur ada niat mengajukan aplikasi kredit bank. Bentuk baku dari kontrak standard telah ditentukan secara pasti tentang jangka waktu berlakunya angsuran kredit, bentuk pinjaman, suku bunga, provisi kredit, obyek jaminan yang akan diikat, sanksi-sanksi, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan aplikasi kredit. Penentuan hal tersebut tidak menggunakan bargaining position secara sepadan antara bank selaku legal drafter dengan debitur, bank demikian saja menyusun kontrak tersebut, dengan tanpa memberikan kesempatan kepada debitur untuk melakukan tawar-menawar. Prinsip kontrak yang diterapkan bukan lagi freedom of contract, melainkan prinsip take it or leave it. Adalah keliru, jika Hukum kontrak berdasarkan pada asumsi bahwa para pihak biasanya merundingkan syarat-syarat perjanjian mereka dengan bebas, dengan tanpa memperhatikan pihak lawan kontrak, terutama apabila salah satu pihak mempunyai kedudukan ekonomi lebih kuat dari pada pihak lainnya. Ketidak-seimbangan yang sangat jelas terjadi apabila salah satu pihak memiliki kedudukan monopoli. Jika seseorang ingin memperoleh barang atau jasa yang disediakan oleh pihak yang memonopoli. Ia tidak dapat merundingkan dengan sungguhsungguh iklas syarat-syarat yang sesuai dengan kehendak sendiri. Ia harus menerima juga syarat-syarat yang ditawarkan oleh pihak yang memonopoli itu, atau hanya menerima tanpa perundingan lagi. Dalam perjanjian kredit, peminjam yang tidak mempunyai uang berada dalam kedudukan yang lebih lemah dari pada kedudukan yang dimiliki oleh pihak yang meminjamkan. Pihak yang lebih kuat acapkali menggunakan kedudukannya itu untuk membebankan kewajiban yang berat kepada pihak lainnya, sedangkan ia sendiri berusaha sedapat mungkin untuk membatasi atau menyampingkan semua tanggung jawabnya. Misalnya berisi klausula-klausula yang menyampingkan suatu tanggung jawab perusahaan pemberi kredit . Posisi debitur dalam kontrak atau perjanjian kredit yang dikemas dalam kontrak standard memberikan persetujuannya dengan tanpa bargaining position, tidak lain dari perwujudan suatu perjanjian paksa (dwangcontract).38 Bentuk paksaan demikian, termasuk paksaan yang melawan hukum. Dengan demikian jelaslah, bahwa suatu kesepakatan untuk melakukan suatu perjanjian dengan dipengaruhi oleh ancaman yang tidak seharusnya oleh pihak lawan kontrak, dengan menyebabkan pihak yang dirugikan tidak mempunyai pilihan lain, maka perjanjian seperti itu adalah dapat dimintakan pembatalannya.
38 Munir Fuady II, Op.Cit., h.42. Volume 8, No.1, Nop 2008
xxvii
Dalam wacana ini, prinsip take it or leave it merupakan pengejewantahan dari ancaman, yaitu bahwa bilamana debitur tidak mau atau tidak setuju dengan isi kontrak itu, maka kreditur tidak dapat memberikan pinjaman kredit. Sementara itu, posisi setiap debitur yang mendatangi untuk melakukan kontrak atau perjanjian kredit adalah dikarenakan ia sangat membutuhkan dana yang cukup mendesak. Bentuk konkret dari ancaman kreditur dalam perjanjian kredit adalah adanya hak kreditur untuk memutuskan perjanjian kredit secara sepihak, dengan tanpa persetujuan debitur, bahkan acapkali tanpa alasan sama sekali dan tanpa melalui proses pengadilan. Sementara hakekat kontrak tidak dapat dibatalkan secara sepihak, kalau terpaksa harus dibatalkan maka harus melalui lembaga peradilan. Fenomena sosial di atas merupakan konsekuensi logis dari pola pikir dan pemehaman yang salah terhadap azas kebebasan berkontrak. Para pihak dalam kontrak berusaha semaksimal mungkin untuk mengamankan dirinya (jika dapat menguntungkan dirinya) dalam membuat kesepakatan dengan lawan kontraknya, ia akan selalu berusaha untuk membentengi dirinya dengan mencoba membuat kontrak yang isinya cenderung hanya menguntungkan dirinya sendiri, dengan tanpa menghiraukan pihak lawan kontrak. Bahkan setiap peluang yang ada digunakan untuk menjerat pihak lawan dengan klausula-klausula yang mematikan. Bilamana penerapan azas kebebasan berkontrak telah diterapkan sedemikian rupa dengan tanpa mengindahkan lagi syarat sahnya dari kontrak itu sendiri, maka para pihak yang akan membuat kesepakatan dalam kontrak selalu siap dengan senjata masing-masing guna dibidikkan tepat pada sasarannya hingga lawan kontrak tidak dapat berbuat lain, selain menyetujui isi kontrak itu. Azas kebebasan berkontrak yang diterapkan dengan mengenyampingkan syarat keabsahan dari suatu kontrak harus segera diluruskan dan dikembalikan pada pemahaman yang sebenarnya. Sebab pada dasarnya azas kebebasan berkontrak, menempatkan para pihak yang membuat kesepakatan dalam suatu kontrak pada kedudukan yang seimbang. Sehingga salah, apabila ada anggapan bahwa azas kebebasan berkontrak dapat diterapkan dengan asal ada kebebasan para pihak dalam berkontrak, kita dapat menjatuhkan atau menjerat pihak lawan kontrak. Azas kebebasan berkontrak harus dipahami sebagai pola kemitraan dalam berkontrak, artinya di dalam membuat kontrak dengan mitranya itu harus diupayakan untuk selalu memikirkan mitra kontrak guna memperoleh hasil dan manfaat yang sama dengan dirinya. Pendeknya hubungan para pihak dalam membuat kontrak harus saling menguntungkan, tidak boleh ada salah satu pihak yang diposisikan sebagai pihak yang harus menanggung kerugian dalam suatu kontrak. Para pihak dalam membuat suatu kesepakatan dalam kontrak dengan selalu menempatkan pada pola kemitraan akan melahirkan sikap win-win attitude, sehingga dapat melahirkan kontrak dengan akibat akhir dari kontrak itu adalah win-win solution. Artinya azas kebebasan berkontrak dengan nuansa win-win solution adalah berbicara keseimbangan para pihak dalam menikmati dan memperoleh keadilan dalam berkontrak. Volume 8, No.1, Nop 2008 xxviii
Suatu keadilan dalam kontrak haruslah ditempatkan pada pemahaman kontektualnya bukan sekedar pada tektualnya. Dalam dunia bisnis yang sudah maju, demikian pula dengan pola interaksi sosialnya yang nota bene cukup beragam, maka konteks adil harus dibaca dan ditelaah dalam konteks yang berlaku pada dunia bisnis itu. Keadilan pada konteks ini, hendaknya kontrak yang dibuat oleh para pihak dapat memberikan nilai tambah dan nilai manfaat. Apabila pada kontrak yang dibuat itu diperoleh nilai tambah dan nilai manfaat yang dirasa adil bagi para pihak, maka kebebasan berkontrak tersebut telah dapat diterapkan secara adil. Dalam suatu kontrak baku, acapkali terdapat klausula-klausula yang memberatkan sesuatu pihak, yaitu memberatkan pihak yang kepadanya disodorkan kontrak standard tersebut dengan tanpa bargaining position. Dalam kontrak standard tersebut telah tertera segala persyaratan-persyaratan yang harus ditentukan oleh kreditur dan harus diikuti oleh debitur. Kontrak standard ini hanya melahirkan dua pilihan bagi debitur yaitu setuju dan tidak, tanpa ada kesempatan bagi debitur untuk melakukan tawar menawar. Bentuk kontrak standard di atas tiada lain merupakan kontrak yang mengandung penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang dapat dimintakan pembatalannya. Suatu kontrak standar dapat mengandung misbruik van omstandigheden bilamana dalam kontrak tersebut terdapat: a. keadaan-keadaan istimewa (bijzondere omstandigheden), seperti: keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras, dan tidak berpengalaman; b. suatu hal yang nyata (kenbaarheid) disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain karena keadaan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup suatu perjanjian; c.
penyalahgunaan (misbruik) salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun di mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya;
d.
hubungan kausal (causaal verband)
Volume 8, No.1, Nop 2008
xxix
Adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu, maka perjanjian itu tidak akan ditutup.39
Suatu kontrak yang mengandung misbruik van omstandigheden, bukanlah kontrak yang mengandung cacat kehendak klasik sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 1321 BW yang berupa: a. b. c.
kesesatan (dwaling); paksaan (dwang); penipuan (bedrog). Misbruik van Omstandigheden atau penyalahgunaan keadaan dalam suatu
kontrak selalu berhubungan dengan terjadinya kontrak itu sendiri. Penyalahgunaan keadaan itu menyangkut keadaan-keadaan yang berperan pada terjadinya kontrak: menikmati keadaan orang lain tidak menyebabkan isi kontrak atau maksudnya
menjadi
tidak
dibolehkan,
tetapi
menyebabkan
kehendak
yang
disalahgunakan menjadi tidak bebas. Ajaran penyalahgunaan keadaan dibedakan dalam dua hal, yaitu (a) penyalahgunaan keunggulan ekonomi, (b) penyalahgunaan keunggulan kejiwaan. Adapun terdapatnya unsur penyalahgunaan keadaan dalam suatu kontrak, terdiri dari: (a) adanya kerugian yang diderita satu pihak, dan (b) adanya penyalahgunaan kesempatakan oleh para pihak pada saat terjadinya perjanjian.40 Syarat yang harus dipenuhi agar suatu kontrak dapat dikatakan mengandung penyalahgunaan keunggulan ekonomi, yaitu bahwa suatu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomi terhadap pihak yang lain, dan pihak lain terpaksa mengakan perjanjian. Adapun suatu kontrak dapat dikualifikasikan sebagai mengandung penyalahgunaan kejiwaan bilamana salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif, seperti
39
Henry P.Panggabean, Op.Cit., h.41 Ibid., h.44 xxxVolume 8, No.1, Nop 2008 40
hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, suami isteri, dokter pasien, dan lain sebagainya. Sedangkan kontrak yang mengandung penyalahgunaan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan, misalnya adanya gangguan jiwa, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik.41 Terhadap penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian yang tertuang pada suatu kontrak baku, baik penyalahgunaan keunggulan ekonomis ataupun penyalahgunaan keunggulan kejiwaan menurut Van Dunné diimplikasikan dalam bentuk: a. berlakunya itikad baik secara terbatas; b. penjelasan normatif dari perbuatan hukum; c. pembatasan berlakunya persyaratan baku; d. penyalahgunaan hak.42 Berlakunya itikad baik secara terbatas adalah sejalan dengan penerapan pasal 1338 ayat 1 BW tentang azas kebebasan berkontrak, maka seharusnya para pihak wajib memperhatikan dan memperhitungkan kepentingan pihak patner kontrak untuk tidak menerapkan itikad baik guna melaksanakan kontrak dengan merugikan pihak ke tiga. Sebagai contoh dalam kontrak jual beli barang berupa tanah, dimana sebenarnya pembeli sudah tahu bahwa tanah yang ditawarkan padanya adalah merupakan tanah jaminan hutang, namun dalam kontraknya dikemas sedemikian rupa menjadi kontrak jual beli, sehingga penjual berkedudukan sebagai pemilik atas tanah itu dan bukan sebagai obyek jaminan hutang. Kedudukan penjual yang sepertinya adalah pemilik tanah, tidak dapat disalahgunakan oleh pembeli dengan dasar itikad baik guna membeli tanah itu. Penjelasan normatif dari perbuatan hukum yang dituangkan dalam suatu kontrak hendaknya disusun secara teliti, sehingga hak dan kewajiban para pihak menjadi jelas bilamana para pihak menghendaki untuk bersama-sama melaksanakan isi kontrak itu. Pernjelasan normatif tiada lain adalah penjelasan resmi atau recital yaitu merupakan latar belakang atas sesuatu keadaan dalam suatu kontrak yang dibuat. Dengan merujuk pada recital ini, bilamana terdapat isi kontrak yang kurang jelas dapat dilakukan penafsiran dengan cara merujuk pada recital tersebut. Adapun hubungan antara recital dengan penyalahgunaan keadaan, bilamana dalam suatu kontrak telah ditentukan secara tegas bahwa kerugian akibat pelaksanaan kontrak tidak termasuk dalam kontrak tersebut. Hal ini perlu dilakukan penjelasan normatif atau recital, dengan cara menafsirkan dari kandungan recital kontrak dimaksud, yaitu bahwa cara penafsiran kontrak yang tertuang dalam recital tidak selalu dapat diterapkan, sebab kerugian pada penyalahgunaan keadaan tidak selalu harus merupakan kerugian dalam arti obyektif.
41
Ibid. ibid., h.64-67. Volume 8, No.1, Nop 2008 42
xxxi
Dengan merujuk pada uraian di atas, maka seharusnya hakim tidak berkuasa untuk mencampuri suatu kontrak, baik dalam menilai atau membatalkan suatu kontrak. Hal ini dikarenakan kontrak tersebut telah dibuat secara bebas oleh para pihak, dan bilamana terdapat salah satu pihak yang merasa dirugikan atas adanya kontrak itu, ia dapat membuat kesepakatan dengan para pihak dalam kontrak itu untuk membatalkan. Bilamana cara ini tidak diporoleh, maka salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan sebagai perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, baik atas dasar dwang, dwaling, bedrog ataupun karena adanya misbruik van omstandigheden. Artinya hakim atas inisiatif sendiri secara ex officio tidak dibenarkan untuk membatalkan perjanjian. Ketika dalam suatu kontrak yang dibuat, terdapat kedudukan ekonomi salah satu pihak jauh lebih lemah dari kedudukan lawannya, sehingga faktanya pihak yang lemah tersebut berada dalam keadaan darurat, maka kita harus merujuk pada undang-undang. Di mana undang-undang terhadap kondisi kontrak yang demikian itu, telah mengadakan pembatasan-pembatasan dalam kebebasan berkontrak. Selanjutnya tentang persyaratan baku dalam suatu kontrak harus dilakukan pembatasan, walaupun kontrak demikian mengandung banyak keuntungan seperti penghematan waktu dan tenaga. Kontrak standard banyak dilakukan oleh kalangan perbankan dalam proses pemberikan kredit, sebab kreditur dan debitur tidak perlu berlama-lama dan membuang tenaga terlalu besar guna memperoleh persetujuan aplikasi kredit. Bargaining position tidak perlu dilakukan, sebab kreditur dapat menentukan secara sepihak tentang berapa besar pinjaman yang dapat disetujui atas dasar permohonan kredit dari debitur. Selanjutnya kreditur dapat menentukan secara lebih leluasa tentang berapa angsuran yang harus dilakukan tiap bulan dan berapa lama masa kredit diberikan, berapa besar sanksi yang harus dipikul oleh debitur bilamana debitur lalai memenuhi prestasinya. 43 Gejala kesepakatan dalam kontrak standard sebagaimana diuraikan di atas, mengakibatkan kedudukan para pihak tidak lagi ditempatkan pada posisi yang seimbang. Hal ini dikarenakan posisi debitur adalah merupakan pihak yang lemah secara ekonomi, ia tidak mempunyai hak untuk melakukan tawar-menawar. Kreditur telah membuat suatu klausula yang dikemas dalam kontrak baku, di mana klausula yang ada telah dibuat secara baku. Ajaran tentang penyalahgunaan hak seluruhnya berhubungan dengan pengaruh kaedah tentang keadilan terhadap hukum yang berlaku dan berdasarkan undangundang. Ajaran penyalahgunaan hak adalah pembatasan bagi seseorang yang melaksanakan haknya untuk memperhatikan kepentingan pihak ketiga. Penyalahgunaan hak sering digunakan apabila seseorang dengan cara yang sangat
43 Thomas Suyatno dkk., Loc.Cit. Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxii
merugikan orang lain menggunakan hak-hak kebendaan, misalnya penyalahgunaan hak milik. Perbedaan mendasar antara penyalahgunaan hak dan penyalahgunaan keadaan adalah bahwa pada penyalahgunaan hak terutama seseorang memang berhak atas hak kebendaan tertentu atau hak kontraktual. Penggunaan tertentu mengenai hak itu dalam keadaan tertentu dapat merupakan penyalahgunaan hak. Pada penyalahgunaan keadaan sebaliknya pertanyaan justru apakah hak tertentu itu menjadi hak seseorang. Apabila ternyata bahwa orang itu memperoleh hak itu justru karena penyalagunaan keadaan, maka hak itu dilanggar dan dinyatakan batal, hak itu sendiri dicabut dari yang bersangkutan. Penyalahgunaan hak dapat digunakan sesudah tuntutan berdasarkan penyalahgunaan keadaan tidak dikabulkan. Dalam penerapan ajaran penyalahgunaan keadaan, diharapkan agar dalam menghadapi masalah penggunaan syarat-syarat baku tidak cukup hanya hakim tetapi juga pembentuk undang-undang guna melibatkan diri dalam cara-cara untuk melindungi debitur, sebagaimana hal ini telah diatur oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Sayangnya undang-undang ini tidak dibuat secara optimal, sehingga perangkat hukum yang ada guna mendukung pelaksanaan Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak dapat secara utuh dan konprehensip melindungi konsumen, dalam hal ini debitur atau nasabah. Hal ini dikarenakan, bank dapat dengan mudah menaikkan suku bunga kredit atas dasar kebijakan bank dengan tanpa bargaining position dengan konsumen dan Undangundang Perlindungan Konsumen tidak dapat berbuat apa-apa.44 Dalam kontrak standard dalam hal ini perjanjian kredit, kedudukan bank akan dapat dengan mudah dalam menaikkan suku bunga kredit atas dasar kebijakan bank, dikarenakan pihak debitur telah menandatangani kontrak yang isinya bahwa debitur tunduk pada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah ada dan yang masih akan diterapkan kemudian oleh pihak kreditur atau bank. Bentuk kontrak standard demikian telah mengandung penyalahgunaan ekonomi, sebab debitur dalam keadaan tersebut hanya dihadapkan pada pilihan take it or leave it, without bargaining position. Sementara debitur sendiri sangat membutuhkan sekali kucuran kredit yang akan diberikan oleh kreditur, bilamana debitur menolak tawaran kreditur tersebut, kapan ia dapat mempunyai tempat tinggal untuk berteduh dan lain sebagainya. Contoh kasus konkret dalam penyalahgunaan keadaan ini adalah kasus buku pensiun.45 Dalam kasus ini debitur telah meminjam uang pada kreditur, dengan ketentuan bunga sebesar 10% setiap bulannya dan obyek jaminan berupa buku 44 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h.40 45 Henry P.Panggabean, Op.Cit., h.58. Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxiii
pembayaran dana pensiun milik debitur. Di pengadilan tingkat pertama kasus ini dimenangkan oleh debitur selaku tergugat, yaitu bahwa debitur hanya berkewajiban membayar hutang pokok dengan bunga sebesar 4%. Putusan pengadilan tingkat pertama ini dikuatkan oleh pengadilan tingkat banding. Namun di tingkat kasasi ternyata perkara ini dibatalkan dan Mahkamah Agung mengadili sendiri berdasarkan pada ex aequo et bono, dengan mengadili bahwa bunga yang patut dan adil dalam kontrak tersebut adalah sebesar 1% tiap bulan.46 Ketika suatu kontrak dikemas sedemikian rupa dalam formulir baku, dan pihak debitur hanya mempunyai hak mengisi kontrak standard yang telah dibakukan dalam perjanjian kredit hanya mengenai identitas debitur an sich, dan debitur tidak mempunyai hak untuk melakukan tawar menawar tentang masa angsuran kredit, jumlah angsuran kredit, sanksi atas keterlambatan angsuran, perobahan sewaktuwaktu tingkat suku bunga dan lain sebagainya. Pada posisi yang demikian debitur telah dibelenggu untuk tidak mempunyai pilihan lain, selain menerima atau menolak (take it or leave it) kredit itu. Gejala ini tiada lain adalah merupakan bentuk penyalahgunaan dalam kebebasan berkontrak. Praktik kontrak standard menggambarkan bahwa pihak debitur telah secara terpaksa menerima syarat-syarat kontrak yang tercantum di dalamnya. Syaratsyarat yang sudah tercetak dalam model “kontrak baku” itu lebih merupakan rintangan kejiwaan bagi debitur untuk mengajukan usulan perubahan terhadap isi kontrak. Isi syarat-syarat kontrak yang tercantum di dalam kontrak standard pada hakekatnya merupakan ketentuan-ketentuan yang memberikan hak-hak istimewa bagi pengusaha yang menawarkan “dagangan” melalui kontrak baku. Fakta ini, dari uraian di atas telah memberi peluang kepada kreditur untuk melakukan penyalahgunaan keadaan terhadap pihak debitur. Bilamana suatu kontrak yang semula adalah merupakan undang-undang bagi pihak yang membuatnya, dibuat dengan cara menyalahgunakan keadaan, sehingga berakibat kerugian pada debitur, maka kontrak demikian tidak lagi memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai. Dalam hal ini hukum harus ditegakkan, dengan cara memperhatikan tiga unsur yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmässigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).47 Karenanya adalah beralasan bilamana suatu kontrak yang notabene, dapat dimintakan pembatalannya ketika kontrak tersebut mengandung unsur penyalahgunaan keadaan.
46
Ibid. Sudikno Mertokusomo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo II), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, h.1 Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxiv 47
Ulasan di atas menggambarkan betapa akibat hukum yang ditimbulkan oleh setiap kontrak standard demikian besar terhadap kekuatan mengikatnya bagi para pihak yang membuatnya. Artinya setiap kontrak standard yang dibuat secara bertentang dengan undang-undang, kepatutan, kesusilaan, dan penyalah-gunaan keadaan diancam kebatalannya.
KESIMPULAN Berdasarkan ulasan-ulasan pembahasan terhadap permasalahan yang telah dirumuskan, maka dapatlah ditarik rumusan kesimpulan sebagai berikut: a. Penerapan perjanjian sewa beli dalam penjualan perumahan di Perumnas, pada kenyataannya adalah bukan perjanjian sewa beli atas perumahan dimaksud. Pembelian bangunan rumah di lingkungan Perumnas tersebut dilakukan secara tunai, namun pembeli masih mempunyai hubungan dengan pihak Bank Tabungan Negara sebagai debitor. Di mana pembeli rumah Perumnas tersebut sudah berkedudukan sebagai pihak pemilik atas rumah yang dibelinya, walaupun ia tidak memegang tanda bukti kepemilikan rumahnya. Hal ini dikarenakan surat tanda bukti kepemilikan rumah dimaksud berada dalam jaminan kredit. b. Kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian sewa beli Perumnas yang ternyata adalah merupakan perjanjian kredit pemilikan rumah banyak memuat klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau pengungkapannya sulit dimengerti. Hal ini menurut pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen, kontrak demikian tidak mempunyai kekuatan mengikat dan batal demi hukum. Ketentuan dalam pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tersebut bersesuaian dengan maksud pasal 1338 BW, yaitu bahwa perjanjian yang dibuat secara sah tersebut hendaknya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kepatutan, dan kesusilaan serta penyalah-gunaan keadaan.
SARAN Adapun saran-saran yang dapat dikemukakan sehubungan keadaan di atas, maka penulis dapat mengemukakan sebagai berikut: a. Perjanjian sewa beli perlu diatur secara khusus dalam undang-undang, mengingat selama ini baik prosedur ataupun akibat hukumnya hanya digantungkan pada yurisprudensi. Artinya para pihak yang bersengketa di bidang sewa beli untuk memperoleh penyelesaian secara hukum, terlebih dahulu harus berperkara di pengadilan; Volume 8, No.1, Nop 2008
xxxv
b.
Sudah waktunya sengketa perjanjian sewa beli diklasifikasikan sebagai sengketa yang masuk dalam kewenangan Pengadilan Niaga, dan bukan termasuk sengketa wanprestasi yang merupakan kompetensi Pengadilan Negeri. Mengingat sengketa yang diperiksa dan diadili di Pengadilan Niaga dapat diproses secara cepat, biaya ringan dan sederhana.
Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxvi
PERUBAHAN STATUS HAK ATAS TANAH DARI HAK MILIK MENJADI HAK LAINNYA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 Oleh: Sukirman, S.H.,M.Hum.* ABSTRAK ketentuan hukum pertanahan kita masih umum dan belum cukup operasional, sehingga menjadikannya mudah disalahtafsirkan. Hal ini nampak pada pengaturan Hak Adat, Hak Ulayat, Hak Milik dan ketentuan yang mengatur penguasaan tanah dan peruntukannya. Juga ketentuan pengadaan tanah, misalnya tentang rumusan pengertian kepentingan umum, pengertian tentang ganti rugi yang layak, pengertian tentang musyawarah, pengertian tentang status hak dan sebagainya. Kata Kunci: Hak atas tanah – Perubahan status – Pemberian ganti rugi.
LATAR BELAKANG Dewasa ini banyak sekali tanah-tanah, baik yang ada di dalam maupun di luar perkotaan dipakai oleh pihak lain tanpa ijin dari pihak yang berhak.48 Dalam pada itu, untuk pembangunan negara penggunaan tanah haruslah dilakukan dengan cara yang teratur. Pemakaian tanah secara tidak teratur, lebih-lebih yang melanggar norma-norma hukum dan tata tertib, sebagaimana terjadi di banyak tempat, benar-benar menghambat bahkan acapkali tidak memungkinkan lagi dilaksanakannya rencana pembangunan di berbagai bidang. Pembuatan bangunan-bangunan di dalam kota untuk tempat tinggal, berjualan dan lain sebagainya berjejal-jejal dan tidak teratur letak dan tempatnya, dari bahanbahan yang mudah terbakar, tidak saja menambah besarnya kemungkinan kebakaran, tetapi dipandang dari sudut kesehatan dan tata tertib keamanan sungguh tidak dapat dipertanggungjawabkan. Belum lagi diperhitungkan berapa kerugian yang diderita negara dan masyarakat, misalnya dari tindakan-tindakan yang berupaka perusakan tanah. *Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 48 Anton Lucas, Penindasan dan Perlawanan: Ciri Khas Sengketa Tanah Di Indonesia, Tanah dan Pembangunan, Cet.I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, h.51-59
Volume 8, No.1, Nop 2008
xxxvii
Dengan demikian, maka bagaimanapun juga pemakaian tanah-tanah dengan cara yang melanggar hukum di atas, sesungguhpun dapat dipahami sebab musababnya tetapi tidaklah dapat dibenarkan. Untuk itu ketentuan hukum memberikatan batasan, bahwa perbuatan dimaksud adalah dilarang. Sementara itu, setiap tanah yang menjadi sumber konflik dalam masyarakat, 49 selalu ada alas hak yang mendasari penguasaan atas tanah tersebut. Adapun yang dimaksud dengan alas hak menurut pasal 584 KUH Perdata adalah adanya hubungan hukum untuk penyerahan eigendom.50 Dalam tulisan ini rujukan yang dapat memberikan definisi tentang alas hak hanya KUH Perdata, sedangkan dalam Undangundang Pokok Agraria sebagai hukum pokoknya yang telah diundangkan dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tidak terdapat pengertian tentang alas hak. Undang-undang Pokok Agraria yang mengatur tentang tanah, hanya menyebutkan bahwa atas dasar hak menguasai dari negara, maka negara menentukan macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah tersebut, selanjutnya negara dapat memberikan tanah dimaksud kepada orang atau badan hukum (pasal 4 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960). Hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 Undangundang Nomor 5 tahun 1960, menurut pasal 16 undang-undang tersebut adalah: a. hak milik; b. hak guna usaha; c. hak guna bangunan; d. hak pakai; e. hak sewa; f. hak membuka tanah; g. hak memungut hasil hutan; h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53. Hak milik atas tanah adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6 UndangUndang Nomor 5 tahun 1960, hal ini sebagaimana ditentukan dalam pasal 20 Undangundang Nomor 5 tahun 1960. Artinya hak milik ini adalah merupakan hak yang paling kuat, diantara hak atas tanah lainnya. Ini terbukti dari tenggang waktu yang membatasi hak milik, di mana dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 hak milik merupakan satu-satunya hak yang masa penguasaannya tidak dibatasi dengan tenggang waktu.
49
Dianto Cachriadi, Pembangunan Konflik Pertanahan dan Perlawanan Petani, Tanah dan Pembangunan, Cet.I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, h.70 50 Soetojo Prawirohamidjojo. R. dan Marthalena Pohan, Bab-bab tentang Hukum Benda, Cet.I, Bina Ilmu, Surabaya, 1984, h.41 Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxviii
Dalam hukum benda yang terdapat pembedaan hak, yaitu antara hak kebendaan dan hak perorangan.51 Hak kebendaan yang paling sempurna adalah hak milik diantara hak kebendaan lainnya.52 Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan yang sempurna atau penuh bagi pemilik, disebut sebagai hak milik. Hak milik ini mempunyai pengertian universal, abstrak, belum terikat kepada kualifikasi tertentu, artinya tidak saja hak milik atas tanah yang mempunyai sifat paling sempurna, tetapi juga terhadap benda lainnya, baik bergerak, tidak bergerak, berwujud ataupun tidak berwujud. Bilamana kita padukan dari dua dimensi ulasan di atas, yang dimaksud dengan alas hak adalah hubungan hukum yang mendasari penguasaan suatu benda, dalam kajian ini tanah adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak lainnya yang telah ditentukan dalam pasal 16 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960. Hak milik atas tanah merupakan hak terkuat di antara hak atas tanah lainnya, pemilik tanah berhak penuh atasnya. Namun demikian, menurut pasal 6 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, karenanya untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang. Pada azasnya, tanah jika diperlukan untuk suatu keperluan haruslah lebih dahulu diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh dengan persetujuan yang empunya, misalnya atas dasar jual beli, tukar menukar atau lain sebagainya. Tetapi cara demikian itu tidak selalu dapat membawa hasil yang diharapkan, karena ada kemungkinan yang empunya meminta harga yang terlampau tinggi ataupun tidak bersedia sama sekali untuk melepaskan tanahnya yang diperlukan itu. Di sini tergambar, bahwa hak milik atas tanah adalah kuat dan dapat dipertahankan terhadap siapapun.53 Kendati hak milik atas tanah dimaksud adalah merupakan hak yang terkuat, oleh karena kepentingan umum harus didahulukan daripada kepentingan perorangan, maka jika tindakan yang dimaksudkan itu memang benar-benar untuk kepentingan umum, dalam keadaan yang memaksa, yaitu jika jalan musyawarah tidak dapat membawa hasil yang diharapkan, haruslah ada wewenang pada pemerintah untuk bisa mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan guna mengejewantahkan fungsi sosial tanah dengan menggunakan perangkat aturan yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 1961. Namun ketentuan ini pada era reformasi sekarang, sudah tidak memadai lagi untuk diterapkan, terlebih setelah lahirnya Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak azasi manusia. Pengambilan tanah yang dilakukan dengan jalan mengadakan pencabutan hak sebagaimana diuraikan di atas, dimaksudkan untuk mengimplementasikan pasal 18 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 yang menentukan bahwa “Untuk kepentingan 51
Subekti R, Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit menurut Hukum Indonesia (selanjutnya disingkat Subekti R. I), Cet.II, Alumni, Bandung, 1982, h.25 52 Vollmar HFA, Hukum Benda (menurut KUH Perdata), Cet.II, Tarsito, Bandung, 1990, h.34 53 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet.II, Liberty, Yogyakarta, 1981, h.9 Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxix
umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.” Ketentuan pasal 18 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 juga merupakan perwujudan bahwa hak milik atas tanah adalah merupakan hak yang sempurna dan terkuat serta dapat dipertahankan terhadap siapapun, termasuk untuk kepentingan penataan ruang sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang nomor 24 tahun 1992. Dengan Undang-undang nomor 24 tahun 1992, penataan ruang didasarkan pada azas: a. pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi selaras, seimbang, dan berkelanjutan; b. keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum. Dengan azas penataan ruang tersebut, telah dapat dipastikan bahwa konsep penataan ruang masih menempatkan sifat hak milik atas tanah yang merupakan hak terkuat dan paling sempurna penggunaannya. Azas keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum memberikan bentuk pelaksanaan tata ruang yang akan memberikan perlindungan hukum secara layak kepada para pemegang hak milik atas tanah. Hal ini dikarenakan konsep penataan ruang diterapkan secara terbuka, secara equal dan adil, sehingga pada gilirannya tidak ada diskriminasi dalam memperlakukan hak milik atas tanah seseorang. Dalam wacana di atas, negara ditempatkan selaku penguasa atau yang mempunyai kewenangan atas tanah selaku organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk pada tingkatan yang tertinggi: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya; b. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bagian dari bumi, air dan ruang angkasa itu; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang berhubungan dengan bumi, air dan ruang angkasa. Dalam pada itu semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, maka setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib menggunakan tanahnya dengan memelihara tanah, menambah kesuburannya,
xl
Volume 8, No.1, Nop 2008
mencegah terjadi kerusakannya sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam kenyataannya, masih terdapat bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh perorangan, badan hukum atau instansi yang tidak sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya. Sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria hak atas tanah hapus dengan sendirinya apabila tanahnya diterlantarkan. Hapusnya hak atas tanah sebagai akibat penelantaran tanah, tidak dilakukan pengklasifikasian terhadap hak atas tanahnya. Artinya hapusnya hak atas tanah dapat terjadi terhadap segala hak atas tanah, baik hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain sebagainya. Ketentuan Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tersebut, melahirkan kesimpulan bahwa hak milik atas tanah walaupun merupakan hak atas tanah yang terkuat dan paling sempurna ternyata masih juga dapat dihapuskan dengan alasan telah ditelantarkan. Tiap hak atas tanah yang penguasaan terhadap obyek haknya menyebabkan tanah tersebut terlantar, maka tanah dimaksud berada dalam penguasaan langsung negara sebagaimana hal ini ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1998 pasal 15 ayat 1. Sebagaimana dikemukakan di atas, hak milik dalam hak kebendaan adalah merupakan hak yang paling sempurna. Hak-hak kebendaan yang lain seperti hak guna usaha, hak guna bangunan dan sebagainya memberikan kekuasaan yang lebih terbatas, karena masa penguasaannya dibatasi oleh masa tenggang waktu. Berbeda halnya dengan hak milik, masa penguasaan hak milik tidak dibatasi oleh tenggang waktu berlakunya hak milik yang dipunyai oleh seseorang atau badan hukum. Atas dasar uraian singkat di atas, maka rumusan masalah yang dipandang cukup relevan untuk diangkat adalah: a. Sifat-sifat apakah yang melekat dalam hak milik? b. Apakah kriteria yang dapat diterapkan terhadap hak milik, sehingga dapat berubah menjadi tanah negara? c. Bagaimanakah proses pembebasan tanah, sehingga status tanah yang dibebaskan menjadi dikuasai langsung oleh negara?
KEDUDUKAN HAK MILIK DALAM HUKUM BENDA 1. Hukum Benda dan Lingkup Pengaturannya Hukum Benda dalam Buku II KUH Perdata diatur secara terinci dari titel I hingga titel XXI, namun sejak tanggal 24 September 1960 Buku II KUH Perdata tersebut sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dinyatakan tidak berlaku. Hal ini dikarenakan pada saat itu aturan hukum yang khusus mengatur tentang bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di Volume 8, No.1, Nop 2008
xli
dalamnya telah lahir yaitu Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Kendati ketentuan Buku II KUH Perdata dinyatakan tidak berlaku terhadap bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, tetapi sifat khas atau karakter dari hak-hak kebendaan yang ditentukan dalam KUH Perdata diambil alih dan menjadi sifat atau karakter daripada hak-hak kebendaan dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tersebut. Pada uraian di bawah ini, akan digambarkan tentang sifat kebendaan yang memberikan kedudukan yang lebih kuat kepada pemegang haknya, dibandingkan dengan hak perorangan. Hukum benda adalah sub sistem dari hukum nasional, sebagai sub sistem is mengandung seluruh azas-azas yang terdapat di dalam hukum nasional, khususnya azas idiil, azas konstitusional, dan azas politis. Di samping itu, hukum benda memiliki azasazasnya sendiri yang lebih khusus. Azas-azas ini dapat digolongkan ke dalam azas umum, di mana sifat umumnya tidak lagi bersifat abstrak, akan tetapi konkret operasional. Jika hukum keluarga bersifat non netral, maka hukum benda sebagai bagian dari hukum harta kekayaan bersifat netral. Walaupun hukum adat dan hukum islam mengenal hukum benda, hukum benda yang diatur dalam KUH Perdata relatif lebih banyak dipakai. Pemakaian hukum benda itu tidak hanya terbatas untuk golongan eropa dan timur asing cina, akan tetapi juga oleh golongan Bumi Putera. Adapun hukum perdata yang diatur dalam KUH Perdata terdiri atas 4 buku, yaitu: a. Buku I, yang berjudul perihal orang (van personen), yang memuat Hukum Perorangan dan Hukum Kekeluargaan; b. Buku II, yang berjudul perihal benda (van zaken), yang memuat Hukum Benda dan Hukum Waris; c. Buku III, yang berjudul perihal perikatan (van verbintenissen), yang memuat Hukum Kekayaan yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu; d. Buku IV, yang berjudul perihal pembuktian dan kadaluarsa atau lewat waktu (van bewijs en verjaring), yang memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.54 Atas dasar keadaan di atas, untuk dapat menyesuaikannya dengan Pancasila dan UUD 1945, hakim mempunyai kesempatan untuk menafsirkannya secara materiil. Hukum benda mempunyai tanda-tanda pokok yang dibedakan dari hukum perorangan. Pembedaan itu tidak bersifat tajam, karena dewasa ini keduanya tumbuh saling mendekati. Dalam pada itu, Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 sendiri memiliki aspekaspek perdata, karena mengatur beberapa hak atas tanah yang menjadi obyek dari 54 Kansil C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.XVIII, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, h.214 xlii Volume 8, No.1, Nop 2008
perbuatan-perbuatan perdata. Dasar Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 adalah hukum adat yang sudah disesuaikan dengan modernisasi dan kepentingan nasional (pasal 5 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960). Oleh karena itu Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 mengatur beberapa hak yang mirip dengan hak-hak yang terdapat di dalam KUH Perdata, seperti hak guna usaha, hak guna bangunan. Namun demikian kedua hak ini tidak identik dengan hak-hak yang terdapat dalam KUH Perdata, karena kepribadiannya berbeda. Hak-hak atas tanah yang dikenal oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 adalah: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n.
hak milik; hak guna usaha; hak guna bangunan; hak pakai; hak sewa; hak membuka tanah; hak memungut hasil hutan; hak gadai; hak usaha bagi hasil; hak menumpang; hak sewa tanah pertanian; hak guna air; hak pemeliharaan ikan; hak ruang angkasa. Dengan adanya hak-hak di atas, maka ketentuan-ketentuan mengenai bumi, air dan ruang angkasa diatur dalam KUH Perdata Buku II sudah dicabut. Pencabutan itu tidak bersifat total, melainkan bersifat sebagian yaitu jika bumi dan hal lain diatur dalam sebuah ketentuan, maka bagian mengenai hal-hal yang sudah diatur Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 dicabut dan yang selebihnya tetap berlaku. Ketentuan mengenai hak waris tetap berlaku untuk bagian kecil penduduk. Segi lain yang sangat penting artinya yang diintrodusir Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 ialah Hukum Adat, dengan batasan bahwa Hukum Adat itu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional (pasal 5 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960). Undang-undang nomor 5 tahun 1960 mengenal beberapa lembaga, seperti hak milik. Pada prinsipnya Hukum Adat tidak mengenal pengertian hak milik seperti yang dikenal Undang-undang Nomor 5 tahun 1960. Menurut pengertian Hukum Adat hak milik atas tanah dalam lingkup hukum benda mempunyai hubungan interaktif dengan hak ulayat. Hubungan antara hak milik dengan hak ulayat seperti bola elastis, jika di atas hak ulayat itu diciptakan hak perseorangan, misalnya dengan jalan membuka hutang dan Volume 8, No.1, Nop 2008
xliii
mengerjakannya secara terus menerus, sehingga lahir hak perseorang atas hak ulayat itu, maka hak ulayat mengkerut.55 Dalam pada itu, KUH Perdata mengadakan pembedaan benda dalam beberapa kelompok, yaitu benda berwujud dan tidak berwujud, benda bergerak dan tidak bergerak, benda yang dapat dipakai habis dan yang tidak dapat dipakai habis, barang yang sekarang ada dan di kemudian hari akan ada, barang yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, benda yang dalam perdagangan dan di luar perdagangan. Di samping itu ada kebutuhan untuk membedakan benda dalam benda yang terdaftar dan tidak terdaftar, sedang dalam Hukum Adat benda hanya dibedakan dalam tanah dan yang bukan tanah. Hak kebendaan kerapkali diberi pengertian sebagai suatu hak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda tertentu, dengan kata lain hak kebendaan (zakelijk recht) ialah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atau suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang.56 Suatu hak kebendaan memberikan kekuasaan atas suatu benda, sedangkan suatu hak perorangan (persoonlijk recht) memberikan suatu hak tuntutan atau hak tagih terhadap seseorang. Hak perorangan bersifat relatif, artinya hak ini hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tententu.57 Setiap hubungan hukum menurut sifatnya adalah hubungan antara orang yang satu dengan orang lainnya, demikian halnya dengan hak kebendaan adalah merupakan hubungan hukum antara orang-orang yang berhak dengan orang atau pihak lainnya. Dalam hubungan hukum ini terdapat sifat kemutlakan dari hak kebendaan, yaitu orang yang berhak atas kebendaan dapat bertindak terhadap siapapun yang mengganggu hak itu dan hak kebendaan selalu melekat pada benda itu, termasuk bilamana benda itu berada di tangan pihak lain (zaaksgevolg).58 Dengan demikian hak kebendaan memiliki ciri-ciri, yang dapat dibedakan dengan hak perorangan, yaitu: a. dapat bertindak secara mandiri terhadap siapa saja yang melanggar haknya; b. haknya atas benda tersebut tetap melekat tidak perdulu di tangan siapapun benda itu berada; c. hak kebendaan lebih kuat kedudukannya daripada hak perorangan. 2. Hak-hak Kebendaan dalam Hukum Benda Di dalam KUH Perdata ditemukan dua istilah yaitu, benda (zaak) dan barang (goed). Pada umumnya yang diartikan dengan benda ialah segala sesuatu yang dapat 55
Imam Sudiyat, Op.cit., h.3 Subekti R., Pokok-pokok Hukum Perdata (selanjutnya disingkat Subekti R. II), Cet.XX, Intermasa, Jakarta,1985, h.62 57 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Cet.II, Alumni, Bandung, 1997, h.31 58 Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Op.cit., h.13 xlivVolume 8, No.1, Nop 2008 56
dikuasai manusia dan dapat dijadikan obyek hukum (pasal 499 KUHD). Kata dapat di sini mempunyai arti yang penting, karena membuka berbagai kemungkinan, yaitu pada saat yang tertentu sesuatu itu belum bestatus sebagai obyek hukum, namun pada saat yang lain merupakan obyek hukum, seperti aliran listrik. Untuk menjadi obyek hukum ada syarat yang harus dipenuhi yaitu penguasaan manusia dan mempunyai nlai ekonomi dan karena itu dapat dijadikan sebagai obyek perbuatan hukum. Gambaran ini dapat kita lihat dala proses ketika seseorang membuka hutan dan mengolahnya, selanjutnya lahir penguasaan terhadap tanah tersebut. Penguasaan tersebut menjadi pasti setelah pohonpohon yang ditanami pembuka huta itu tumbuh berbuah, sehingga hutan yang dibuka dimaksud langsung dapat dimiliki. Pola perolehan hak di atas, berbeda dengan cara atau ajaran yan dianut dalam KUH Perdata. Dalam KUH Perdata dianut ajaran bahwa untuk sahnya penyerahan dibutuhkan beberapa syarat (pasal 584 KUH Perdata), yaitu: a. ada alas hak; b. perjanjian kebendaan yang diikuti dengan perbuatan penyerahan (pendaftaran) dan penerbitan sertifikat; c. wewenang menguasai. Alas hak adalah perjanjian untuk menyerahkan benda atau hubungan hukum yang mendasari timbulnya penguasaan atas suatu benda. Hubungan hukum di sini adalah bersifat konsensual obligatoir. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian kebendaan adalah perjanjian penyerahan benda yang diikuti dengan formalitas tertentu, misalnya pendaftaran. Penyerahan benda yang diikuti dengan formalitas tertentu seperti pendaftaran, pada dasarnya tidak dikenal dalam hukum kita sebelumnya. Banyak ketentuan dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1997 yang mengambil alih sistem penyerahan di atas, yaitu: a. perjanjian yang dimaksudkan untuk memindahkan hak atas tanah, misalnya jual beli harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang berwenang. Azas ini berasal dari hukum romawi, yang membedakan hukum harta kekayaan dalam hak kebendaan dan hak perorangan. Ada faham yang berpendapat bahwa Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tidak menganut perbedaan ini, namun di dalam kenyataannya ajaran ini dianut. Hal ini dapat dibuktikan karena Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 mengenai lembaga pendaftaran. Lembaga pendaftaran ini tidak semata-mata mengandung arti untuk memberikan alat bukti yang kuat, akan tetapi juga menciptakan hak kebendaan. Hak kebendaan atas suatu benda (tanah) belum mempunyai kaitan dengan milik. Hak milik akan merupakan istilahnya hampa, baru ada milik namun belum ada hak. Selama pendaftaran belum terjadi, hak hanya mempunyai arti terhadap para pihak dan umum belum mengetahui perubahan status hukum dari benda. Pengakuan dari masyarakat baru terjadi pada saat milik itu didaftarkan. Melalui pendaftaran lahirlah pengakuan umum terhadap hubungan hak dengan benda; Volume 8, No.1, Nop 2008
xlv
b.
Adanya pengumuman kepada masyarakat mengenai status kepemilikan tanah, pengumuman hak atas tanah terjadi melalui pendaftaran dalam buku tanah yang disediakan untuk itu, sedangkan pengumuman benda bergerak terjadi melalui penguasaan nyata benda itu; c. Dalam lembaga kepemilikan atas tanah, secara individual harus ditunjukkan dengan jelas ujud, batas, letak dan luas tanah. Azas ini terdapat pada hak milik, guna usaha, dan guna bangunan atas benda tetap; d. Hak kepemilikan atas benda hanya dapat diletakkan terhadap obyeknya secara totalitas, artinya hak itu tidak dapat diletakkan hanya untuk bagian-bagian benda. Pemilik sebuah bangunan dengan sendirinya adlah pemilik kosen, jendela, pintu dan genteng rumah tersebut; e. Dari azas totalitas tersebut muncul azas perletakan, di mana suatu benda lazimnya terdiri dari bagian-bagian yang melekat menjadi satu dengan benda pokok, seperti hubungan antara bangunan dengan genteng, kosen, pintu dan jendela. Azas perletakan menyelesaikan masalah status dari benda pelengkap yang meletak pada benda pokok. Melalui azas perletakan ditentukan bahwa pemilik benda pokok dengan sendirinya merupakan pemilik dari benda pelengkap, dengan perkataan lain status hukum benda pelengkap mengikuti status hukum benda pokok; Ciri khas kebendaan di atas merupakan sifat yang melekat pada hak kebendaan, seperti pada: a. b. c. d.
hak milik; hak guna usaha; hak guna bangunan; hak pakai.
3. Hak Milik atas Tanah Beserta Sifat yang Melekat Hak milik adalah merupakan hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6 Undangundang Nomor 5 Tahun 1969. Ini merupakan ketentuan pasal 20 dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Dari rumusan ini dapat kita simpulkan bahwa ciri-ciri hak milik menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 itu mirip dengan hak milik yang kita kenal dalam KUH Perdata yakni mengandung kekuasaan menguasai. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 menentukan bahwa hak milik itu mempunyai batas-batas sebagai berikut: a. hak milik atas tanah tidak boleh semata-mata dipergunakan (tidak dipergunakan) untuk kepentingan pribadi, akan tetapi harus seimbang dengan kepentingan umum; b. tidak boleh menimbulkan kerugian bagi orang lain; c. harus diperlihara baik-baik; d. pemerintah mengawasi penyerahan hak atas tanah; e. pemerintah mengawasi hak monopoli atas tanah.
xlviVolume 8, No.1, Nop 2008
Di dalam pasal 570 KUH Perdata dikemukakan bahwa batasan hak milik adalah undang-undang, peraturan umum dan tidak boleh menimbulkan gangguan kepada pihak lain, dengan demikian berbeda atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Batasan di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 menunjukkan bahwa hak milik bukan merupakan lambang kekuasaan yang tidak terbatas, akan tetapi dibatasi oleh kepentingan umum yang diungkapkan oleh hukum publik. Hukum publik memberikan perintah dan larangan terhadap pemilik mengenai apa yang boleh dilakukan dalam menggunakan hak miliknya, seperti jika hendak mendirikan bangunan, maka pemilik wajib memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditentukan oleh pemerintah. Juga dari sesama anggota masyarakat, wewenang yang boleh dilakukan oleh pemilik terhadap miliknya terbatas, yaitu tidak boleh melanggar undang-undang dan kepatutan yang terdapat di dalam masyarakat dalam hal tertentu wajib memperhatikan Hukum Adat. Jika pemilik melakukan perbuatan melawan hukum atau menimbulkan gangguan kepada pihak lain, maka ia dapat digugat untuk memberikan ganti rugi, demikian juga jika ia menyalahgunakan kekuasaannya. AKIBAT HUKUM PENELANTARAN HAK MILIK ATAS TANAH 1. Klasifikasi Penelantaran Tanah Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, maka setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib menggunakan tanahnya dengan memelihara tanah, menambah kesuburannya, mencegah terjadi kerusakannya sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam kenyataannya masih banyak terdapat bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh perorangan, badan hukum atau instansi yang tidak sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya. Sesuai dengan ketentuan di dalam Undangundang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria hak atas tanah hapus dengan sendirinya apabila tanahnya diterlantarkan. Segala hak atas tanah menjadi hapus keberadaannya, bilamana atas hak atas tanah tersebut ditelantarkan. Hak milik atas tanah hapus jika ditelantarkan ditemukan rumusan ketentuannya dalam pasal 27 sub a angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, demikian juga dengan hak guna usaha akan hapus bilamana ditelantarkan yang diatur dalam pasal 34 sub e Undang-undang Nomor 5 tahun 1960. Hak guna bangunan tidak terkecuali hapus pula jika ditelantarkan, hal ini diatur dalam pasal 40 sub e Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Rumusan ketentuan pasal 27 sub a angka3, pasal 34 sub e, dan pasal 40 sub e Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tersebut direalisasikan dan dikonkretkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1998 tersebut mengatur tentang tanah terlantar dengan ruang lingkup segala tanah-tanah yang dikuasai Volume 8, No.1, Nop 2008
xlvii
dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, tanah Hak Pengelolaan serta tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum diperoleh hak atas tanahnya sesuai dengan ketentuan pertauran perundang-undangan yang berlaku. Setiap tanah yang dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik, adalah merupakan kriteria untuk menentukan sesuatu tanah dalam keadaan ditelantarkan atau tidak. Kriteria ini berlaku untuk hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai. Di samping itu, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 juga mengacu pada Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang yaitu bilamana hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai penggunaannya tidak sesuai dengan peruntukan menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan atau pembangunan fisik di atas tanah tersebut. Ketentuan tentang penggunaan hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai yang harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah diatur dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1998. Pasal ini dapat ditafsirkan secara a contrario, bahwa bilamana suatu bangunan telah didirikan di atas hak milik, hak guna bangunan ataupun hak pakai sebelum adanya Rencana Tata Ruang Wilayah tidak dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar. Hal ini dapat dianalisis dari aturan ketentuan yang dimuat dalam pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 yang mendefinisikan rencana tata ruang sebagai hasil perencanaan tata ruang. Artinya tata ruang itu dianggap telah dibentuk bilamana telah ada rencana tata ruang wilayah. Adapun terhadap sebidang tanah yang telah dinyatakan terlantar, maka tanah tersebut menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara, hal ini diatur dalam pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1998. Kepada bekas pemegang hak atau pihak yang sudah memperoleh dasar penguasaan atas tanah yang kemudian dinyatakan sebagai tanah terlantar diberikan ganti rugi sebesar harga perolehan yang berdasarkan bukti-bukti tertulis yang ada telah dibayar oleh yang bersangkutan untuk memperoleh hak atas dasar penguasaan atas tanah tersebut yang jumlahnya ditetapkan oleh meteri agraria. Dalam hal pemegang hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tersebut telah mengeluarkan biaya untuk membuat prasarana fisik atau bangunan di atas tanah yang dinyatakan terlantar, maka jumlah yang telah dikeluarkan tersebut diperhatikan dalam penetapan ganti rugi. Adapun ganti rugi dimaksud dibebankan kepada pihak yang oleh menteri agraria ditetapkan sebagai pemegang hak yang baru atas tanah tersebut. 2. Penelantaran Hak Milik atas Tanah Pengertian hak milik adalah hak yang dapat diwariskan secara turun temurun secara terus menerus dengan tidak harus memohon haknya kembali apabila terjadi perpindahan hak. Ini merupakan bentuk pengejewantahan dari pengertian hak milik sebagai hak yang terkuat diantara sekian banyak hak yang ada. Dalam pasal 570 KUH Volume 8, No.1, Nop 2008 xlviii
Perdata, hak milik ini dirumuskan sebagai hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu, dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan undangundang dan pembayaran ganti rugi. Dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960, pengertian akan hak milik seperti yang dirumuskan dalam pasal 20 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 pada ayat 1 ditentukan bahwa hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan tepenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa hak milik adalah hak yang terkuat dan terpenuh yan dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat sebagai hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu. Sifat yang demikian akan terang bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak, yang bersifat religio-magis.59 Kalimat terkuat dan terpenuh pada hak milik, itu dimaksudkan untuk membedakan dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain-lain. Hal ini untuk menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang paling kuat dan paling penuh. Oleh karena di dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, hal ini berbeda pengertiannya dengan eigendom sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 571 KUH Perdata yang menentukan bahwa hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya kepemilikan atas segala apa yang ada di atasnya dan di dala tanah. Di atas tanah, pemilik dapat mengusahakan segala tanaman dan mendirikan setiap bangunan yang disukai. Dengan tidak mengurangi akan hakekat dari hak milik tersebut. Di bawah tanah pemilik dapat membuat dan menggali sesuka hati dan memiliki segala hasil yang diperoleh karena penggalian itu, sepanjang hasil tersebut bukan merupakan obyek kepentingan umum. Penjabaran hak milik ini merupakan pengertian hak milik menurut KUH Perdata. Dengan demikian, maka pengertian terkuat seperti yang dirumuskan dalam pasal 571 KUH Perdata ini akan berlainan dengan yang dirumuskan dalam pasal 20 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960, oleh karena dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 1960 sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa segala hak mempunyai sifat sosial, berbeda dengan pengertian eigendom yang dirumuskan dalam pasal 571 KUH Perdata. Dalam kaitannya dengan hak milik atas tanah ini, maka hanya warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik, seperti yang secara tegas dirumuskan dalam 59 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Cet.VII, Haji Masagung, Jakarta, 1988, h.198 Volume 8, No.1, Nop 2008 xlix
pasal 21 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Hak milik atas tanah yang hanya berlaku bagi warga negara Indonesia ini dapat diketahui di dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 pada angka romawi II sub 5, yaitu bahwa pemilikan tanah dipakai asas kebangsaan, yang ditegaskan bahwa sesuai dengan asas kebangsaan tersebut dalam Pasal 1 maka menurut pasal 9 yunkto pasal 21 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 hanya warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, hak milik kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960). Adapun pertimbangan untuk melarang badanbadan hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah guna mencegah usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuan-ketentuan batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik. Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak mempunyai hak milik atas tanah, tetapi mengingat akan keperluan masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan faham keagamaan, sosial dan hubungan perekonomian maka didakanlah suatu escape clause yang memungkinkan badan-badan hukum tertentu mempunyai hak milik. Dengan adanya escape clause ini, maka cukuplah bila ada keperluan akan hak milik bagi suatu macam badan hukum diberikan dispensasi oleh pemerintah, dengan jalan menunjuk badan hukum tersebut sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah (pasal 21 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960). Badan-badan hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan ditunjuk dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 sebagai badan-badan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi sepanjang tanahnya diperlukan untuk usaha dalam bidang sosial dan keagamaan itu. Dalam hal-hal yang tidak langsung berhubungan dengan bidang itu mereka dianggap sebagai badan hukum biasa. Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 pada azasnya badan hukum tidak dimungkinkan untuk mempunyai hak milik atas tanah, hal ini dikecualikan oleh undang-undang serta peraturan lainnya, seperti dapat kita lihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 1963 bahwa badan-badan hukum yang dapat diberikan hak milik adalah: a. bank-bank yang didirikan oleh negara; b. perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan Undang-undang Nomor 79 tahun 1958; c. badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama; d. badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Sosial.60 Hak milik yang diberikan kepada badan-badan hukum tersebut hanya yang sudah dipunyai sejak tanggal 24 Sepetember 1960 (sebelum berlakunya Undang-undang
l
60 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Cet.XII, Djambatan, Jakarta, 1994, h.858 Volume 8, No.1, Nop 2008
Nomor 5 Tahun 1960), sedangkan sesudah tanggal tersebut diberikan hak guna bangunan atau hak pakai. Dengan mengakaji uraian di atas, hak milik atas tanah pada dasarnya hak milik atas permukaan bumi yang disebut sebagai tanah. Hak milik atas tanah merupakan hak yang terkuat dan terpenuh, diantara hak atas tanah lainnya. Mengingat hak milik atas tanah tidak dibatasi oleh tengang waktu masa penguasaannya, berbeda halnya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. Hak-hak atas tanah sebagaimana disebutkan pada kalimat terakhir di atas adalah dibatasi oleh tenggang waktu penguasaannya, yaitu selama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk paling lama 20 tahun hak guna bangunan, demikian halnya dengan hak yang lainnya. Kendati hak milik sebagaimana diuraikan di atas adalah merupakan hak atas tanah yang terkuat dan terpenuh dan pemilik dapat berbuat secara bebas atas tanah miliknya tersebut, namun pada keadaan tertentu hak milik melemah dan tidak dapat dipertahankan keberadaannya. Status hak milik dapat melemah bilamana berhubungan dengan hak-hak komunal,61 dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 disebut kepentingan sosial (pasal 6). Di samping hak milik menjadi melemah jika berhadapan dengan kepentingan sosial, juga hak milik menjadi tidak kuat statusnya bilamana hak milik atas tanah ditelantarkan, hal ini sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998. Hak milik dalam ketentuan Peraturan Pemerintah ini menjadi hapus keberadaannya jika ditelantarkan atau digunakan tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah ketika hak milik itu baru akan digunakan. Sedangkan bilamana hak milik atas tanah itu telah digunakan dan diperuntukkan jauh sebelum adanya rencana tata ruang wilayah, maka eksistensi hak milik atas tanah tersebut tidak dapat diganggu atau dihapuskan. Seperti halnya uraian di atas, bilamana hak milik atas tanah telah terklasifikasikan sebagai tanah terlantar, maka tanah milik yang dinyatakan sebagai tanah terlantar tersebut dinyatakan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Artinya tanah milik telah berubah status haknya menjadi tanah negara.
PEMBEBASAN TANAH 1. Pembebasan Tanah dan Aspek Hukumnya Tidak satu persoalanpun tentang pembebasan tanah diatur secara tegas dalam peratuan tentang pembebasan tanah. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 pasal 27 hanya menegaskan bahwa hak milik itu hapus karena pencabutan hak untuk kepentingan umum dan karena penyerahan dengan sukarela ole pemiliknya. Sedangkan di dalam pasal 34 dan 40 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 hanya mengenai
61
Soerojo Wignjodipoero, Loc.cit.
Volume 8, No.1, Nop 2008
li
hapusnya hak-hak tertentu. Seperti yang telah ditegaskan dalam pasal 34 Undangundang Nomor 5 Tahun 1960, yaitu bahwa hak guna usaha hapus karena: a. jangka waktunya berakhir; b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; c. dilepas oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d. dicabut untuk kepentingan umum; e. ditelantarkan; f. tanahnya musnah; g. karena ketentuan pasal 40 ayat 2. Sedangkan di dalam pasal 40 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 menentukan bahwa hak guna bangunan hapus karena: a. b.
jangka waktunya berakhir; dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; c. dilepas oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d. dicabut untuk kepentingan umum; e. ditelantarkan; f. tanahnya musnah; g. karena tidak memenuhi syarat dalam pasal 36 ayat 2. Dengan kata lain bahwa di dalam Undang-undang Pokok Agraria mengejar hapusnya hak atas tanah itu, yaitu mengenai hak guna usaha dan hak guna bangunan, secara tegas disebutkan karena dicabut haknya atau oleh karena dilepaskan haknya sebelum jangka waktunya berakhir. Sepanjang mengenai pembebasan tanah ini, terutama diatur di dalam Peraturan Pemerintah maupun di dalam peraturan meneri seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan tanah untuk Kepentingan Pemerintah bagi pembebasan tanah oleh pihak swasta. Pembebasan tanah, janganlah dicampurbaurkan dengan pencabutan hak atas tanah. Jika pencabutan hak atas tanah secara tegas telah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, akan tetapi mengenai pembebasan tanah diatur dengan peraturanperaturan lainnya. Pertimbangan pembebasan tanah umumnya didasarkan atas pertimbangan untuk keperluan berbagai macam pembangunan, sedang tanah negara yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut sudah sangat terbatas sekali atau bahkan tidak ada lagi. Sehingga satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk memenuhi kebutuhan tersebut, ialah dengan cara pembebasan tanah milik rakyat atau tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dengan hak-hak adat, atau tanah dengan hak-hak lainnya.
lii
Volume 8, No.1, Nop 2008
Adapun yang dimaksud dengan pembebasan tanah ialah setiap perbuatan yang bermaksud langsung atau tidak langsung melepaskan hubungan hukum yang ada di antara pemegang hak atau penguasa atas tanahnya dengan cara pemberian ganti rugi kepada yang berhak atau penguasai tanah itu. Pelaksanaan pebebasan tanah haruslah berdasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 dengan memperhatikan ketentuan dalam Surat Edaran Dirjen Agraria tanggal 3 Pebruari 1975 Nomor Ba.12/108/12/1975 tentang pelaksanaan pembebasan tanah. Di mana akhirnya ketentuan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 tahun 1975 dicabut dengan Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.62 Masalah pembebasan tanah sangat rawan dalam penanganannya, karena di dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Jika dilihat dari kebutuhan pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan, dapatlah dimengerti bahwa tanah negara yang tersedia sangatlah terbatas sekali. Maka satu-satunya jalan yang dapat ditempuh yaitu membebaskan tanah milik rakyat, baik yang dikuasai hukum adat maupun hak-hak lainnya yang melekat di atasnya. Dalam rangka pelaksanaan pembebasan tanah, telah digariskan dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang tertuang dalam Tap MPR Nomor IV/MPR/1973. bahwa pelaksana pembangunan maupun pembinaan dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan maupun pembinaan dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan bukan menjadi tanggung jawab pemerintah semata-mata, melainkan menjadi tanggung jawab masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, rasa tanggung jawab masyarakat terhadap hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai harus ditumbuhkan, dengan mengikutsertakan masyarakat secara adil. Demikian, jika masyarakat melepaskan tanah-tanah mereka, pelepasan hak itu perlu dengan rasa keiklasan demi pembangunan bangsanya. Tetapi pemerintah juga dituntut untuk melaksanakan aturan perundang-undangan yang ada, seperti yang diatur dalam Keppres Nomor 55 tahun 1993. Pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat pada pemegang hak atau penguasa tanah dengan cara memberikan ganti rugi. Ganti rugi atas tanah yang dibebaskan berupa: a. tanah-tanah yang telah mempunyai sesuatu hak berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960; b. tanah-tanah dari masyarakat hukum adat; Dalam mengadakan penaksiran/penetapan mengenai besarnya ganti rugi, panitia pembebasan tanah haarus mengadakan musyawarah dengan para pemilik/pemegang hak atas tanah dan atau benda yang ada di atasnya berdasarkan harga umum setempat.
62 Boedi Harsono, Op.cit., h.599 Volume 8, No.1, Nop 2008
liii
Ganti rugi berdasarkan harga umum setempat, berarti harga itu harus benarbenar memperhatikan kepentingan rakyat yang terkena pembebasan tanah. Untuk itu ganti rugi harus didasarkan pada penaksiran seluruh nilai yang ada di tanah yang akan dibebaskan tersebut dengan cara mengusahakan persetujuan antara kedua belah pihak. Kecuali itu harus diperhatikan pula faktor-faktor yang mempengaruhi harga tanah bersangkutan. Dalam menetapkan besarnya ganti rugi atas bangunan dan tanaman, panitia harus berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pertanian setempat, tentang lokasi dan faktor-faktor strategis lainnya yang dapat mempengaruhi harga tanah. Demikian pula dalam menetapkan ganti rugi atas bangunan dan tanaman harus berpedoman pada ketentuan-ketentuan tersebut, di mana ganti ruginya dapat berbentuk uang, tanah atau fasilitas-fasilitas lainnya. Pihak yang berhak atas ganti rugi dalam pembebasan tanah ialah mereka yang berhak atas tanah atau benda yang ada di atasnya, dengan berpedoman kepada hukum adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Pemerintah yang dalam hal ini berperan aktif secara kolektif merupakan unsur panitia dalam pembebasan tanah terdiri dari63: - Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai Ketua merangkap anggota; - Seorang pejabat dari Kantor Pemerintah Kabupaten yang ditunjuk oleh Bupati/Walikotamadya yang bersangkutan sebagai anggota; - Kepala Pajak Bumi dan Bangunan atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota; - Seorang yang ditunjuk oleh instansi yang memerlukan tanah tersebut sebagai anggota; - Kepala Dinas Pekerjaan Umum Daerah Tingkat I atau pejabat yang ditunjuk apabila mengenai tanah bangunan, sedang jika mengenai pertanian Kepala Dinas Pertanian tingkat II atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota; - Kepala Wilayah Kecamatan yang bersangkutan sebagai anggota; - Kepala Desa atau yang dipersamakan dengan itu sebagai anggota; - Seorang pejabat dari Kantor Badan Pertanahan sebagai anggota. Dengan demikian dalam rangka pembebasan tanah ini kalau dilihat kompisisi keanggotaan panitia, kemungkinan kecil akan terjadi kebocoran-kebocoran, atau paling tidak rakyat akan benar-benar dilindungi haknya. Karenanya dalam penentuan harga tanah, panitia yang bertugas mengadakan penaksiran besarnya ganti rugi atas tanah, dan bangunan-bangunan serta tanaman-tanaman yang ada di atasnya mengusahakan persetujuan kedua belah pihak berdasarkan musyawarah. Dan apabila tercapai kesepakatan harga, harus dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan kepada yang berhak menerima. Dengan demikian kita harapkan tidak akan terjadi mendeknya pembangunan untuk kepentingan umum dari adanya
liv
63 Soedharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Cet.II, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, h.77 Volume 8, No.1, Nop 2008
oknum-oknum yang hendak mencari keuntungan pribadi. Hak dan kedudukan hukum pemegang hak harus dihormati, karena ini merupakan hak paling dasar. Mengingat tanah merupakan tumpuan hidup rakyat yang mempunyai nilai ekonomis, bagaimana mungkin kalau ganti rugi yang diterima untuk membeli tanah di tempat lain ternyata hanya dapat membeli tanah saja dan tiada sisa biaya untuk melanjutkan membangunan rumah tempat tinggal. 2. Pemberian Ganti Rugi dalam Pembebasan Tanah Di tahun sembilan puluhan, masalah pertanahan mulai banyak mendapat sorotan dari berbagai mass media, terutama bagaimana untuk menentukan harga patokan akan tanah yang terkenan pembebasan atau terkena proyek-proyek pemerinah.64 Secara umum falsafah dasar tanah adalah bahwa tanah sejak semula asalnya tidak diberikan kepada perorangan. Jadi tidak benar seorang yang menjual tanah berarti menjual miliknya, yang benar ia hanya menjual jasa memelihara dan menjaga tanah selama itu dikuasainya. Hal di atas adalah benar, jika kita mengkaji bahwa tanah di samping mempunyai nilai ekonomis juga mempunyai nilai sosial, yang berarti di sini, hak atas tanah tidaklah mutlak. Namun demikian negara harus menghormati atas hak-hak yang diberikan atas tanah kepada warga negaranya, yang dijamin dengan undang-undang. Dalam pasal 16 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada warga negaranya berupa hak milik atau hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai disebutkan dalam pasal 53 (hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian). Hal di atas, berarti nilai secara ekonomis hak atas tanah akan berbeda dengan hak yang melekat pada tanah itu, dengan demikian ganti rugi atas tanah juga menentukan berapa besar yang harus diterima dengan adanya hak berbeda itu, akan tetapi negara mempunyai wewenang di dalam melaksanakan pembangunan nasional di negara kita, yang telah diatur dengan berbagai undang-undang maupun peraturan pemerintah dengan penentuan hak atas tanah maupun pembebasan tanah seperti yang diatur di dalam perundang-undangan. Dalam hubungannya dengan pembebasan tanah atau pencabutan hak atas tanah itu, maka perlu diadakan penelitian terlebih dahulu terhadap segala keterangan dan datadata yang diajukan di dalam mengadakan taksiran akan ganti rugi di dalam rangka pembebasan tanah yang akan terkenan itu. Sehingga apabila telah mencapai suatu kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi maka baru dilakukan pembayaran ganti rugi, dan ganti rugi ini hendaklah secara langsung kepada yang berhak. Setelah itu 64 Putusan Badan Peradilan, Kasus Pembebasan Tanah Waduk Kedung Ombo, Majalah Hukum Bulanan Tahun IX No.107, Agustus 1994, h.5 Volume 8, No.1, Nop 2008 lv
baru diadakan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang bersangkutan, sehingga apa yang dikhawatirkan akan peranan calo-calo tanah dapat ditekan seminimal mungkin. Apabila pembebasan tanah secara musyawarah ini tidak mendapatkan jalan keluar, antara pemegang hak atas tanah dan pemerintah, sedang tanah itu akan digunakan untuk kepentingan umum maka dapat ditempuh cara seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang berada di atasnya. Sebelum tanah itu akan dibebaskan, maka perlu untuk meneliti tentang tanah yang akan dibebaskan itu dengan menentukan taksiran ganti rugi. Taksiran ganti rugi atas tanah dilakukan oleh Panitia Penaksir yang bertugas melakukan dan menetapkan ganti rugi dalam rangka pembebasan hak atas tanah dengan atau tanpa bangunan atau benda di atasnya. Pembentukan Panitia Penaksir tersebut ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah untuk masing-masing Kabupaten dan Kotamadya dalam suatu wilayah propinsi yang bersangkutan. Dengan Panitia ini sebenarnya sudah terjawab seberapa jauh harga patokan tanah akan ditetapkan di satu wilayah. Panitia yang telah ditunjuk dalam suatu ketepan Gubernur di atas bukanlah merupakan panitia yang bersifat khusus artinya jika pembebasan tanah itu telah selesai, panitia tersebut bubar dan panitia itu hanya untuk pembebasan tanah tertentu saja. Selain itu dari panitia ini juga ada yang karena jabatannya merupakan anggota tetap seperti Kepala Badan Pertanahan, pejabat dari pemerintah kabupaten, kepala kantor Pajak Bumi dan Bangunan dan instansi yang memerlukan tanah. Dalam rangka pembebasan tanah ini, panitia harus melakukan tugasnya dengan bersandar pada peraturan-peraturan yang berlaku atas dasar asas musyawarah dan harga umum setempat. Sedangkan harga umum di sini harus melihat kenyataan yan ada di dalam masyarakat dengan melihat pula faktor-faktor tentang letak tanah yang dapat pula mempengaruhi harga tanah, dengan demikian pantia penaksir ganti rugi tanah ini akan mewujudkan kemauan para pihak dengan adil serta bijaksana sehingga apa yang kita tawarkan tentang terjadinya pemerkosaan atas hak-hak warga negara akan dihindarkan, sebagaimana yang telah terjadi dalam kasus waduk kedung ombo. Prinsip hak warga negara harus dihormati, apabila menyangkut hak hidup rakyat banyak, karena tanah mempunyai nilai ekonomis juga mempunyai nilai sosial, dengan demikian pemberian ganti rugi haruslah dilihat hak atas tanah yang melekat di atasnya. Masalah tanah adalah masalah yang menyentuk hak rakyat yang paling dasar. Tanah, di samping mempunyai nilai ekonomis juga berfungsi sosial, karena fungsi sosial inilah yang kadang kala kepentingan pribadi atas tanah dikorbankan untuk kepentingan umum. Ini dilakukan dengan pencabutan hak atas tanah dengan mendapat ganti rugi yang tidak berupa uang semata akan tetapi dapat juga berbentuk tanah atau fasilitas lain. Misalnya, dipindahkan ke tempat lain yang memang diperuntukkan bagi perumahan dengan mendapat prioritas utama, dan tentunya jika penggantian ini dengan uang haruslah dengan jumlah yang layak. Harga layak di sini haruslah harga umum menurut undang-
lvi
Volume 8, No.1, Nop 2008
undang, yang artinya pantas menurut kesusilaan umum, karena jika menurut harga pasaran, ini acapkali sudah melalui perantara. Harga atanah yang dibebaskan itu haruslah yang pantas, yang sifatnya tidaklah terlalu murah. Ini tentunya sangat relatif, sehingga kadang-kadang pemilik tanah merasa tidak puas atas ganti rugi yang bakal diterima. Bilamana terjadi hal yang demikian maka terhadap keputusan panitia tersebut dapat dimintakan banding kepada Pengadilan tinggi dalam daerah hukumnya tanah yang bersangkutan dalam tenggang waktu satu bulan terhitung sejak diterima keputusan pembebasan tanah dimaksud. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hakhak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.
KESIMPULAN Dari seluruh uraian di atas, maka dapatlah penulis tarik beberapa kesimpulan yang dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Sifat-sifat yang melekat dalam hak milik adalah hak yang dapat diwariskan secara turun temurun secara terus menerus dengan tidak harus memohon haknya kembali apabila terjadi perpindahan hak. Hak milik diartikan hak yang terkuat diantara sekian hak-hak atas tanah yang ada, dalam pasal 570 KUH Perdata hak milik dirumuskan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu, dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan undang-undang dan pembayaran ganti rugi; b. Kriteria yang dapat diterapkan terhadap hak milik, sehingga dapat berubah menjadi tanah negara ialah hanya karena dua alasan yaitu karena ditelantarkan dan karena dibebaskan untuk kepentingan umum. Bilamana negara akan mengambil alih hak milik seseorang, maka harus dilakukan proses identifikasi terlebih dahulu, bilamana memang terbukti benar terjadi penelantaran hak milik, maka pemerintah dapat melakukan tegoran sebanyak tiga kali tegoran. Apabila terhadap tegoran-tegoran itu tidak diindahkan, maka barulah pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Badan Pertanah Kabupaten mengeluarkan ketetapan bahwa tanah tersebut ditelantarkan. Selanjutnya melakukan penguasaan langsung atas tanah milik yang ditelantarkan tersebut. Ini berarti kendati, hak milik merupakan hak atas tanah yang terpenuh dan terkuat dan dapat dipertahankan sebagai hak kebendaan terhadap siapapun akan keberadaan haknya, tetapi dalam hal terjadi atau berbenturan dengan fungsi sosial tanah, maka hak milik menjadi luluh. Volume 8, No.1, Nop 2008
lvii
c.
Proses pembebasan tanah, sehingga status tanah yang dibebaskan menjadi dikuasai langsung oleh negara adalah dilakukan dengan perantaraan Panitia Penaksir. Panitia Penaksir melakukan taksiran harga atas tanah yang akan dibebaskan dengan mendasarkan pada harga umum tanah yang bersangkutan di tempat tersebut pada saat itu juga. Pada dasarnya penentuan harga atas tanah yang akan dibebaskan didasarkan pada asas musyawarah, namun bilamana tidak terjadi kesepakatan akan harga yang telah ditetapkan oleh Panita Penaksir, maka dapat diajukan keberatan kepada Pengadilan Tinggi yang mempunyai wilayah hukum di tanah yang dibebaskan tersebut. Pengajuan keberatan tersebut harus diajukan dalam tenggang waktu selambat-lambatnya satu bulan terhitung sejak diterimanya surat ketetapan harga oleh Panitia Penaksir. Hal ini sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973.
SARAN Saran yang dipandang cukup relevan dapat dikemukakan dalam tulisan ini, yaitu: a.
b.
c.
Dalam era reformasi, kekuatan hak milik dipandang perlu ditempatkan pada kedudukannya yang proporsional, dengan harapan jangan sampai hak milik melepaskan fungsi sosial dari tanah sebagaimana hal ini telah dicanangkan oleh Undang-undang Nomor 5 tahun 1960; Di sini lain, pemahaman Hak Azasi Manusia oleh penguasa perlu dicermati dengan maksud agar tidak terjadi pengambilalihan hak milik yang ditelantarkan dengan semena-mena, tanpa proses hukum yang telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998; Demikian halnya terhadap pembebasan tanah, agar pemberian ganti kerugian itu diberikan secara cukup layak. Dengan harapan agar setelah tanah yang bersangkutan dibebaskan, pemilik dapat mempunyai tempat tinggal yang layak huni.
lviiiVolume 8, No.1, Nop 2008
TANGGUNG JAWAB YURIDIS BENDA SITAAN DALAM PERKARA PIDANA Oleh: Nur Hidayat, S.H.,M.Hum.* ABSTRAK Diundangkannya hukum acara pidana nasional kita pada akhir tahun 1981 sangat melegakan hati dan memberi harapan baru bagi terwujudnya cita-cita dalam bidang keadilan hukum. Hukum Acara Pidana tersebut memberikan batasan terhadap tindakan penyitaan yang dilakukan aparat, baik terhadap pelaksanaannya maupun terhadap obyek sitaannya. Kata Kunci: Penyitaan – Benda dalam perkara pidana – Peralihan tanggung jawab.
LATAR BELAKANG KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) pada Pasal 1 butir 16 memberi pengertian penyitaan sebagai berikut, "Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan." Ketika Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia belum lahir tidak berarti jaminan akan Hak Asasi Manusia tidak mendapatkan perlindungan hukum di negara kita. Kendati pula sebagian besar ketentuan-ketentuan Hak Asasi Manusia ada dalam Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950) tidak terdapat dalam UUD 1945. Ketentuan tentang Hak Asasi Manusia itu dapat ditemukan dalam berbagai perundang-undangan dan hukum positif yang berlaku di negara kita, tidak kalah pentingnya adalah peranan hakim yang melalui putusan-putusannya dalam kasus-kasus konkrit. Volume 8, No.1, Nop 2008
lix
Contoh hukum positif Indonesia yang akan dipergunakan adalah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam penjelasan KUHAP dapat dibaca celaan terhadap HIR (Herziene Inlandsch Reglement)65 yang berlaku di Indonesia sampai tahun 1981, sebelum berlakunya KUHAP yaitu tanggal 31 Desember 1981.66 KUHAP yang notabene berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 adalah mementingkan pengkhayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warga negara. Hak warga negara inilah yang utama dibandingkan dengan hak politik dan hak sosial, sebab hanya apabila warga negara ini benar-benar dimiliki oleh para warga negara dan dipertahankan oleh pengadilan, barulah hak politik dan hak sosial mempunyai arti. Pengertian HAM itu sendiri adalah inhaerent dipunyai oleh setiap manusia makhluk Tuhan dan merupakan anugerah Tuhan kepada semua hamba-Nya tanpa pandang bulu. Hak asasi manusia adalah demikian melekat pada sifat manusia, sehingga tanpa hak-hak itu kita tidak mungkin mempunyai martabat sebagai manusia. Karena itu pula harus kita nyatakan bahwa HAM itu tidak dapat dicabut dan tidak boleh dilanggar, sebagaimana hal ini telah dijamin oleh sila kedua dari Pancasila yaitu sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dengan disemangati oleh sila-sila lainnya dari Pancasila. Karakteristik inilah yang membedakan Hak asasi manusia dari hak-hak lainnya yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kita. Pandangan bahwa penyebutan hak selalu dibarengi dengan pertain adanya kewajiban timbul dari pemahaman yang benar, bahwa hak dan kewajiban itu adalah simetris. Adalah kesimpulan yang keliru bahwa hak dan kewajiban itu berada pada subyek yang sama. Penyebutan hak selau harus dibarengi dengan pengertian adanya kewajiban. Sebagai contoh bahwa jika seseorang mempunyai sesuatu hak, maka orang lain dalam hal yang sama mempunyai kewajiban yang berhubungan dengan hal yang sama tersebut, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian Hak Asasi Manusia termasuk hak warga negara selalu melekat pada manusia dan hanya dapat dimiliki oleh warga negara. Sedangkan kewajiban yang merupakan bagian simetri dari hak warga negara terdapat pada negara, karena hanya negaralah yang mempunyai kekuasan memelihara dan melindungi hak warga negara tersebut. Karena itu apabila ingin dipergunakan istilah hak dan kewajiban asasi manusia, maka pengertiannya adalah adanya hak pada individu dan adanya kewajiban pada pemerintah. Hak Asasi Manusia pada individu menimbulkan kewajiban pada pemerintah untuk melindungi individu
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 65 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesaia, Cet.I, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, h.3 66 Kansil CST., Pengantara Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, h.440
lx
Volume 8, No.1, Nop 2008
tersebut terhadap setiap kemungkinan pelanggaran, termasuk pelanggaran dari negara atau aparat pemerintahan sendiri. Diundangkannya hukum acara pidana nasional kita pada akhir tahun 1981 sangat melegakan hati dan memberi harapan baru bagi terwujudnya cita-cita dalam bidang keadilan hukum. KUHAP sebagai landasan hukum peradilan pidana, membawa konsekuensi bahwa alat negara penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dituntut untuk meninggalkan cara lama secara keseluruhan, baik dalam berfikir maupun bersikap tindak, harus sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, terutama terhadap mereka yang tersangkut dalam peradilan pidana. Apabila kita menengok sekilas sejarah hukum pidana, terutama tentang sanksinya, maka kita akan sulit untuk percaya bahwa dahulu manusia benar-benar merupakan makhluk yang sangat kejam. Jenis-jenis pidana yang dikenal dari ujung timur sampai ujung barat dan dari ujung utara ke selatan planet ini semuanya bertumpuk kepada pembalasan dan cara pelaksanaannya pun sangat tidak manusiawi.67 Apabila orang melihat ke dalam KUHP, khususnya ke dalam Buku II dan Buku III maka selalu orang akan menjumpai dua jenis norma, yakni norma-norma yang selalu harus dipenuhi agar sesuatu tindakan itu dapat disebut sebagai tindak pidana, dan norma-norma yang berkenaan dengan ancaman pidana yang harus dikenakan bagi pelaku dari sesuatu tindak pidana. Secara terperinci undang-undang telah mengatur tentang: (a) kapan suatu pidana itu dapat dijatuhkan bagi seorang pelaku; (b) jenis pidana yang bagaimanakah yang dapat dijatuhkan bagi pelaku tersebut; (c) untuk berapa lama pidana itu dapat dijatuhkan atau berapa besarnya pidana denda yang dapat dijatuhkan dan (d) dengan cara yang bagaimanakah pidana itu harus dilaksanakan.68 Khusus penerapan sanksi pidana berupa denda sebagai alternatif pidana penjara di Indonesia, sama sekali kurang efektif. Bagaimana mungkin pidana denda dapat efektif, jika jumlah denda di dalam HUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) sedemikian kecilnya ditinggalkan oleh arus inflasi yang terus melanda. Kita dapat membayangkan, ancaman pidana denda maksimum untuk delik pencurian hanya sembilan ratus rupiah. Hakim dan Jaksa menjadi kurang respek dan tidak menerapkan 67
Andi Hamzah, Hukum Pidana merupakan salah satu Cermin Paling Terpercaya mengenai Peradaban suatu Bangsa, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Cet.I, Eresco, Bandung, 1995, h.35 68 Lamintang P.A.F., Hukum Panitensier Indonesia, Cet.IV, Armico, Bandung, 1984, h.13 Volume 8, No.1, Nop 2008
lxi
pidana denda untuk delik-delik kekayaan. Keadaan ini menyadarkan kita bahwa betapa KUHP kita telah sangat ketinggalan jaman dalam segala seginya. Badan legislatif tampaknya kurang gairah untuk secara terus-menerus memonitor perkembangan dalam masyarakat untuk selanjutnya memanisfestasikan ke dalam KUHP. Demikian halnya siklus perundang-undangan pidana kurang jalan, setiap penciptaan undang-undang harus diikuti dengan peraturan pelaksanaan, penerapan dan penegakan yang akhirnya pengalaman dalam menerapkan dan menegakkan itu menjadi masukan bagi legislatif guna perubahan dan perbaikan berikutnya. Dunia yang semakin sempit dan semakin laju gerak dan akal manusia memaksa pembuat undang-undang untuk berpacu dengan perubahan itu. Sesudah Perang Dunia II, karena legislatif tidak sempat menyusun revisi selama perang, maka semua KUHP di dunia ketinggalan jaman. Pada abad ini yang ditutup dengan kemajuan teknologi (termasuk komputer), maka legislatif seharusnya bekerja jauh lebih keras dan cepat. Jika tidak, kita akan mengalami kekosongan hukum yang pada gilirannya akan menambah kekacauan dan ketidakseimbangan dalam masyarakat. Dalam pada itu hakekat hukum itu sendiri adalah untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dalam perhubungan antara anggota masyarakat.69 Prof. Mr. Dr. L.J. van Apeldoor menjelaskan bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup secara damai, karena hukum menghendaki perdamaian.70 Hukum Pidana yang berlaku sekarang ini ialah hukum yang tertulis dan yang telah dikodifikasikan. Peraturan-peraturan Hukum Pidana ini tersebar di mana-mana sebab tiap-tiap Badan Legislatif dan tiap-tiap orang yang diserahi tugas untuk menjalankan undang-undang (Presiden, Menteri, Kepala Daerah, dan sebagainya) berhak membuat peraturan pidana, yaitu peraturan-peraturan yang mengandung ancaman-ancaman hukuman berupa suatu penderitaan terhadap si pelanggar.71
RUMUSAN MASALAH Peraturan pidana yang telah menjadi hukum positif, tiada lain ditujukan dengan maksud untuk menjaring pelaku kejahatan. Selanjutnya untuk mempertahankan hukum pidana tersebut haruslah diterapkan hukum acaranya yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang biasa disingkat dengan KUHAP. Di mana tiap-tiap tindak pidana atau kejahatan harus diawali proses penyidikan setelah sebelumnya dilakukan penyelidikan. Sementara itu, acapkali dalam proses penyidikan diperlukan suatu bukti, sebagaimana dimaksud dalam pasal 185 ayat 1 KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, alat bukti surat, alat bukti petunjuk, dan alat bukti keterangan terdakwa. 69
Kansil C.S.T., Op.Cit, h.40 Ibid., h.42 71 Soehino, Asas-asas Hukum Tata Usaha Negara, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 2000, h.5 70
lxii Volume 8, No.1, Nop 2008
Sementara bukti tersebut berada di pihak lain, dalam kondisi demikian pasal 39 KUHAP memberikan fasilitas kepada pejabat yang berwenang guna melakukan penyitaan. Atas dasar fakta tersebut di atas, maka Penulis memandang cukup relevan untuk mengangkat beberapa permasalah hukum dengan rumusan kalimat: a. Benda apakah yang dapat disita dalam perkara pidana? b. Bagaimanakah peralihan tanggung jawab yuridis benda sitaan dalam proses perkara pidana? BENDA OBYEK PENYITAAN PERKARA PIDANA 1. Benda yang Tidak dan Dapat Dilakukan Penyitaan Berpikir secara sistematika perundang-undangan, jauh lebih tepat jika secara keseluruhan masalah penyitaan diatur dalam suatu bab dan bagian paling tepat ditempatkan dalam Bab V, Bagian Keempat, sehingga lebih mudah mempelajarinya. Oleh karena itu, kita kurang memahami apa rasio menempatkan Pasal 128-130 pada Bab XIV, Bagian Kedua KUHAP berjudul Penyidikan. Sementara penyitaan pada hakikatnya termasuk wewenang dan fungsi penyidikan.72 Kalau begitu tidak ada urgensi untuk dipisah-pisah. karena Pasal 128 sampai dengan Pasal 130, benar-benar aturan yang menyangkut penyitaan. Dengan demikian lebih tepat digabung pada Bab V Bagian Keempat. Pengertian penyitaan, dirumuskan dalam Pasal 1 butir ke-16 KUHAP, yang berbunyi "Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan." Memperhatikan pengertian di atas, kata yang dipergunakan kurang bernada paksa. Lebih mirip bersifat kata-kata dalam hukum perdata, hal bersesuaian dengan kalimat "mengambil alih". Seolah-olah benda yang hendak disita, semula adalah kepunyaan penyidik, dan kemudian bendanya itu dikembalikan kepadanya dalam keadaan semula. Karena itu kata-kata mengambil alih kurang tepat dipergunakan dalam tindakan penyitaan pada tindak pidana. Kata mengambil alih, dihilangkan saja serta mengganti menyimpan dengan kata "menaruh". Dengan mempergunakan kata menaruh, lebih tegas diketahui bersifat upaya paksa daripada kata menyimpan yang berbau perdata. Memang jika dalam perdata sesuai benar dipakai kata "menyimpan di bawah pengawasannya"73. Tetapi dalam hukum publik tepat dipakai kata "menaruh di bawah kekuasaannya".
72
Soesilo Yuwono, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP Sistem dan Prosedur, Cet.I, Alumni, Bandung, 1982, h.94 73 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 1988, h.62 Volume 8, No.1, Nop 2008
lxiii
Terlepas daripada persoalan pemakaian kata-kata yang kurang tepat di atas penyitaan dalam pengertian hukum acara pidana yang digariskan KUHAP adalah "upaya paksa" yang dilakukan penyidik untuk74: a. mengambil atau katakan saja "merampas" sesuatu barang tertentu dan seorang tersangka, pemegang atau penyimpan. Tapi perampasan yang dilakukan dibenarkan hukum dan dilaksanakan menurut aturan undang-undang. Bukan perampasan liar dengan cara yang melawan hukum (wederechtelyk), b. setelah barangnya diambil atau dirampas oleh penyidik, ditaruh atau disimpan di bawah kekuasaannya. Tujuan penyitaan, untuk kepentingan "pembuktian", terutama ditujukan sebagai barang bukti di muka sidang peradilan. Kemungkinan besar tanpa barang bukti, perkara tidak dapat diajukan ke sidang pengadilan. Oleh karena itu, agar perkara tadi lengkap dengan barang bukti, penyidik melakukan penyitaan untuk dipergunakan sebagai bukti dalam penyidikan, dalam penuntutan dan pemeriksaan persidangan pengadilan. Kadang-kadang barang yang disita bukan milik tersangka, adakalanya barang orang lain yang dikuasainya secara melawan hukum, seperti dalam perkara pidana pencurian. Atau memang barang tersangka, tapi yang diperolehnya dengan jalan melanggar ketentuan undang-undang atau diperoleh tanpa ijin yang sah menurut perundang-undangan, seperti dalam tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi. Penyitaan adalah tindakan hukum yang dilakukan pada taraf penyidikan, sesudah lewat taraf penyidikan tidak dapat lagi dilakukan penyitaan untuk dan atas nama penyidik. Itu sebabnya Pasal 38 KUHAP dengan tegas menyatakan bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh "penyidik". Dengan penegasan Pasal 38 KUHAP tersebut, telah ditentukan dengan pasti, hanya penyidik yang berwenang melakukan tindakan penyitaan. Penegasan ini dimaksudkan untuk menegakkan kepastian hukum, agar tidak terjadi ketidak-pastian seperti yang dialami pada masa yang lalu di mana Polri dan penuntut umum sama-sama berwenang melakukan penyitaan, sebagai akibat dari status, sama-sama memiliki wewenang melakukan penyidikan75. Ketidak-pastian ini diperbarui KUHAP, dengan meletakkan landasan prinsip diferensiasi dan spesialisasi fungsional secara instansional, seperti yang dijelaskan pada uraian terdahulu. Sama sekali hal ini tidak mengurangi kemungkinan akan adanya penyitaan pada tingkat penuntutan atau tingkat pemeriksaan, pengadilan. Namun demikian pelaksanaan penyitaan "mesti diminta" kepada penyidik. Seandainya, dalam pemeriksaan sidang pengadilan berpendapat dianggap perlu melakukan penyitaan suatu barang, untuk itu hakim mengeluarkan penetapan yang memerintahkan penuntut umum agar penyidik melaksanakan penyitaan barang dimaksud. 74
Martiman Prodjohamidjojo, Komentar atas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Cet.I, tanpa penerbit, Jakarta, 1982, h.31 75 Andi Hamzah, Op.Cit., h.59
lxivVolume 8, No.1, Nop 2008
Memperhatikan ketentuan yang mengatur penyitaan, undang-undang membedakan beberapa bentuk tata cara penyitaan. Ada yang berbentuk biasa dengan tata cara pelaksanaan biasa. Bentuk yang biasa dengan tata cara yang biasa merupakan landasan aturan umum penyitaan. Akan tetapi, pembuat undang-undang telah memperkirakan kemungkinan yang timbul dalam konkreto. Berdasar perkiraan kemungkinan itu mendorong pembuat undang-undang mengatur berbagai bentuk dantata cara penyitaan, agar penyitaan bisa terlaksana efektif dalam segala kejadian. Penyitaan dengan bentuk dan prosedur biasa merupakan aturan umum penyitaan. Selama masih mungkin dan tidak ada hal-hal yang luar biasa atau keadaan yang memerlukan penyimpangan, aturan bentuk dan prosedur biasa yang ditempuh dan diterapkan penyidik. Penyimpangan dan aturan bentuk dan tata cara biasa, hanya dapat dilakukan apabila terdapat keadaan-keadaan yang mengharuskan untuk mempergunakan aturan bentuk dan prosedur lain, sesuai dengan keadaan yang mengikuti peristiwa itu dalam kenyataan. Adapun tata cara pelaksanaan penyitaan secara umum harus ada "Surat ijin" Penyitaan dan Ketua Pengadilan Negeri sebelum penyidik melakukan penyitaan, lebih dulu meminta ijin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Dalam permintaan tersebut, penyidik memberi penjelasan dan alasan-alasan pentingnya dilakukan penyitaan, guna dapat memperoleh barang bukti baik sebagai barang bukti untuk penyidikan, penuntutan, dan untuk barang bukti dalam persidangan pengadilan. Apakah Ketua Pengadilan Negeri berhak menolak permintaan ijin, tentang hal ini undang-undang tidak menegaskan. Akan tetapi secara logika, dapat menolak memberikan ijin. Lagi pula salah satu tujuan pokok ijin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri, dalam rangka pengawasan dan pengendalian, agar tidak terjadi penyitaan yang tidak perlu atau penyitaan yang bertentangan dengan undang-undang. Bertitik tolak dari latar belakang pemberian ijin sebagai pengawasan dan pengendalian, Ketua Pengadilan Negeri berwenang penuh untuk menolak permintaan yang diajukan penyidik. Cuma penolakan ijin yang dilakukan memuat alasan berdasar hukum dan undang-undang. Jangan asal menolak tanpa argumentasi atau pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan. Bagaimana halnya kalau Ketua Pengadilan Negeri menolak pemberian ijin, upaya apa yang dapat ditempuh penyidik dalam kejadian penolakan ini, tentang hal ini undang-undang tidak memberikan jalan keluar sebagai alternatif menurut wajarnya, penyidik dapat meminta atau mengajukan perlawanan kepada Ketua Pengadilan Tinggi. Sebab, jika tidak dibuka perlawanan terhadap penolakan pemberian ijin penyitaan, berarti sekali Ketua Pengadilan Negeri menolak, tindakan penyitaan mengalami jalan buntu. Kemungkinan besar penyidik paling dapat menempuh altematif mempergunakan bentuk dan cara penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, dengan segala risiko yang akan dihadapi. Karena, sedang cara biasa saja pun permintaan ijin ditolak, apalagi ditempuh dengan cara luar biasa (dalam keadaan yang perlu dan mendesak), sejak semula penyidik dapat membayangkan akan terjadi penolakan Ketua Pengadilan Negeri untuk memberikan "persetujuan". Memperhatikan Volume 8, No.1, Nop 2008
lxv
semua kesulitan yang dihadapi oleh penyidik jika berani menempuh cara penyitaan dengan mempergunakan alasan dalam keadaan sangat perlu dan mendesak, alternatif yang terbaik ditempuhnya ialah bentuk dan cara penyitaan "tidak langsung", yakni penyitaan dengan jalan mengeluarkan surat perintah, agar barang yang hendak disita, diperintahkan supaya diserahkan tersangka atau pemilik/pemegang kepada penyidik. Dengan menempuh cara ini, penyidik tidak terikat kepada ijin penyitaan Ketua Pengadilan Negeri. Satu hal terpenting bagi pejabat yang akan melakukan penyitaan adalah keharusan memperlihatkan atau Menunjukkan Tanda Pengenal. Syarat kedua yang harus dipenuhi penyidik, menunjukkan "tanda pengenal" jabatan kepada orang dan mana benda itu akan disita. Hal ini perlu agar ada kepastian bagi orang yang bersangkutan bahwa dia benar-benar berhadapan dengan petugas penyidik (Pasal 128 KUHAP)76. Dengan adanya ketentuan ini, tanpa menunjukkan lebih dulu tanda pengenal, orang yang hendak disita berhak menolak tindakan dan pelaksanaan penyitaan. Selanjutnya pejabat yang melakukan penyitaan harus memperlihatkan Benda yang Akan Disita (Pasal 129 KUHAP) Penyidik harus memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dan mana benda itu akan disita, atau kalau tidak kepada orang bersangkutan, dapat juga dilakukan terhadap keluarganya. Hal ini untuk "menjamin" adanya kejelasan atas benda yang disita. Dan pada saat penyidik memperlihatkan benda dimaksud kepada orang tersebut atau keluarganya, penyidik dapat meminta keterangan kepada mereka tentang asal usul benda yang akan disita. Penyitaan dan Memperlihatkan Benda Sitaan Harus Disaksikan oleh Kepala Desa atau Ketua Lingkungan dengan Dua Orang Saksi. Syarat atau tata cara selanjutnya, ada kesaksian dalam penyitaan dan memperlihatkan barang yang akan disita. Dengan ketentuan ini, pada saat penyidik akan melakukan penyitaan, harus membawa saksi ke tempat pelaksanaan sita, sekurang-kurangnya tiga orang. Saksi pertama dan utama ialah kepala desa atau ketua lingkungan (Ketua RT/RW), ditambah dua orang saksi lainnya (Pasal 129 ayat (1) KUHAP). Siapa yang dapat dijadikan saksi, pembuat undang-undang tidak menegaskan. Oleh karena itu, sebaiknya diikuti dan dipegangi penjelasan Pasal 33 ayat (4), yang menegaskan bahwa yang menjadi saksi dalam penggeledahan harus diambil dan warga lingkungan yang bersangkutan. Maka untuk tidak terjadi keraguan dan perbedaan pendapat antara penyidik dengan orang yang hendak disita dalam menentukan siapa yang akan menjadi saksi penyitaan, dianut asas "konsistensi" dengan aturan penggeledahan. Dengan demikian, pada penyitaan, kedua saksi yang dimaksud terdiri dari anggota masyarakat dan lingkungan setempat. Kehadiran ketiga saksi dimaksud untuk ikut melihat dan menyaksikan jalannya penyitaan, bahwa benda yang disita benar-benar diperlihatkan kepada tersita atau keluarganya, dan semua saksi "ikut menandatangani berita acara" sita. 76
Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., h.77
lxviVolume 8, No.1, Nop 2008
Setelah berita acara selesai dibuat, penyidik membacakan di hadapan atau kepada orang dari mana benda itu disita atau kepada keluarganya dan kepada ketiga orang saksi, jika mereka telah dapat menerima dan menyetujui isi berita acara, penyidik memberi tanggal pada berita acara, kemudian sebagai tindakan akhir dari pembuatan berita acara, masing-masing mereka membubuhkan "tandatangan" pada berita acara, penyitaan (penyidik, orang yang bersangkutan atau keluarganya dan ketiga orang saksi masing-masing membubuhkan tanda tangan pada berita acara). Apabila orang yang bersangkutan atau keluarganya tidak mau membubuhkan tanda tangan, penyidik membuat catatan tentang hal itu serta menyebut alasan penolakan membubuhkan tanda tangan. Artinya, segala hal yang terungkap dalam proses penyitaan harus dituangkan secara jelas dan lengkap dalam berita acara penyitaannya. Setiap proses penyitaan harus selalu dibuatkan turunan berita acara penyitaan. Kalau diperhatikan kewajiban penyidik dalam penyampaian turunan berita acara penyitaan, pembuat undang-undang sangat cenderung agar tindakan penyidik dalam melaksanakan wewenang melakukan penyitaan, benar-benar diawasi dan terkendali. Pengawasan dan pengendalian itu dibuat sedemikian rupa, sehingga dapat meliputi kalangan lingkunganyang agak luas. Baik pengawasan dan pengendalian dari atasan langsung penyidik sebagai built in control, maupun dari pihak-pihak yang berkepentingan dan orang yang ikut terlibat dalam penyitaan itu sendiri: a. sebagai pengawasan dan pengendalian dari segi struktural dan instansional, penyidik menyampaikan turunan berita acara penyitaan kepada "atasannya"(Pasal 129 ayat (4) KUHAP), b. sebagai pengawasan dan pengendalian dari orang atau pihak yang terlibat dalam penyitaan, penyidik menyampaikan turunan berita acara penyitaan kepada: 1. orang dari mana barang itu disita atau keluarganya, dan 2. kepala desa. Patut dan wajar untuk menjaga dan memelihara barang sitaan dengan cermat dan baik, sebagaimana layaknya barang sendiri. Malah harus melebihi cara penjagaan dan pemeliharaan terhadap barang sendiri. Sebab alangkah tragis, apabila kesalahan tersangka tidak terbukti atau barang yang disita tidak tersangkut dalam tindak pidana yang dilakukan tersangka. Ternyata pada waktu benda yang disita itudikembalikan kepadanya, sudah hancur dan tidak mempunyai nilai apa-apa lagi. Yang paling sedih lagi benda sitaan itu ternyata memang tersangkut dalam tindak pidana, tapi benda itu milik saksi yang menjadi korban tindak pidana, dan pada saat putusan memerintahkan pengembalian barang bukti sitaan kepada saksi/korban (misalnya dalam pencurian), ternyata benda tersebut sudah rusak dan tidak bisa lagi dimanfaatkan. Banyak hal-hal yang merugikan dalam pengembalian barang sitaan kepada pemiliknya yang sah. Barangkali pada saat pengembalian kepada pihak saksi atau kepada pihak yang berhak untuk menerima kembali sesuai dengan amar putusan pengadilan, hampir jarang yang masih utuh dan bernilai. Hal ini terjadi disebabkan beberapa faktor, antara lain, di Volume 8, No.1, Nop 2008
lxvii
samping cara pembungkusan, penyimpanan, pemeliharaan, dan penjagaan yang kurang bertanggung jawab, juga disebabkan faktor tempat penyimpanan tidak memenuhi syarat. Semua ditumpuk berserakan pada gudang sempit, hanya berukuran 3 x 3 m2. Faktor lain yang ikut mempengaruhi kerusakan, lambatnya putusan pengadilan sampai ke tahap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Harus menunggu bilangan tahun, jarang yang memakan waktu satu dua tahun. Seandainya kepastian hukum dapat diperoleh dengan cepat, barang bukti bisa segera dikembalikan kepada yang berhak. Demi untuk menjaga keselamatan benda sitaan, pasal 130 KUHAP telah menentukan cara-cara pembungkusan benda sitaan dicatat beratnya atau jumlahnya menurut jenis masing-masing benda sitaan. Kalau jenisnya sulit ditentukan, sekurangkurangnya dicatat ciri maupun sifat khasnya, dicatat hari tanggal penyitaan, tempat dilakukan penyitaan, identitas orang dari mana benda itu disita, kemudian diberi lak dan cap jabatan dan ditandatangani oleh penyidik. Seandainya benda sitaan tidak mungkin dibungkus sesuai dengan ketentuan Pasal 130 KUHAP ayat (1) di atas, ayat (2) pasal tersebut menentukan bahwa harus membuat catatan selengkapnya seperti apa yang disebut pada ayat 1 di atas, catatan itu ditulis di atas label yang ditempelkan atau dikaitkan pada benda sitaan. Sebagai pengecualian penyitaan biasa berdasar aturan umum yang diuraikan dahulu, Pasal 38 ayat (2) KUHAP memberi kemungkinan melakukan penyitaan tanpa melalui tata cara yang ditentukan Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Hal ini diperlukan untuk "memberi kelonggaran" kepada penyidik bertindak cepat sesuai dengan keadaan yang diperlukan. Seandainya pada setiap kasus penyidik diharuskan menempuh prosedur penyitaan seperti yang diatur pada Pasal 38 ayat (1) KUHAP, kemungkinan besar penyidik mengalami hambatan dalam pencarian dan penemuan bukti tindak pidana. Untuk menjaga kemungkinan kemacetan dan hambatan pada kasus tertentu, yang mengharuskan penyidik segera bertindak dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, dapat menempuh tata cara penyitaan yang ditentukan Pasal 41 KUHAP. Landasan alasan penyimpangan ini, didasarkan kepada kriteria "dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak". Tentang pengertian apa yang dimaksud "dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak", sudah dijelaskan pada uraian penggeledahan. Oleh karena itu, pada uraian penyitaan ini, tidak diulang lagi menjelaskannya. Namun sebagai pedoman, ada baiknya diulang mencatat kembali penjelasan Pasal 34 ayat (1) KUHAP. Sekalipun penjelasan Pasal 34 ayat (1) KUHAP dimaksudkan untuk penggeledahan, penjelasan ini dapat kita pergunakan secara "konsisten" terhadap tindakan penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak. Sesuai dengan penjelasan dimaksud, setelah disesuaikan dengan maksud penyitaan, dapat disimpulkan sebagai berikut, "keadaan yang sangat perlu dan mendesak ialah bilamana di suatu tempat diduga keras terdapat benda atau barang bukti yang perlu segera dilakukan penyitaan, atas alasan patut dikhawatirkan bahwa benda itu akan segera dilarikan atau dimusnahkan ataupun dipindahkan oleh tersangka". Itulah kira-kira pengertian dalam keadaan mendesak yang dirumuskan sendiri oleh pembuat Volume 8, No.1, Nop 2008 lxviii
undang-undang. Memang seperti yang kita tanggapi pada pembahasan penggeledahan, rumusan penjelasan ini agak mengambang, dan penilaian keadaan yang sangat perlu dan mendesak yang digambarkan, lebih dititikberatkan pada penilaian subjektif pejabat penyidik. Mengenai tata cara penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak adalah sebagai berikut:77 a. Tanpa "Surat ijin" Ketua Pengadilan Negeri, jadi, penyidik tidak perlu lebih dulu melapor dan meminta surat ijin dari Ketua Pengadilan, dapat langsung mengadakan penyitaan. Dengan demikian bilamana penyidik "harus segera bertindak" dan tidak mungkin mendapatkan surat ijin terlebih dahulu, dalam keadaan seperti ini penyitaan dilakukan tanpa surat ijin Ketua Pengadilan Negeri. b. Hanya Terbatas atas Benda Bergerak Saja, objek penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak sangat dibatasi, hanya meliputi "benda bergerak" saja. Alasan undang-undang membuat pembatasan objek penyitaan yang seperti ini, tiada lain oleh karena belum ada ijin dari Ketua Pengadilan Negeri, sehingga timbul pendapat, penyitaan dalam keadaan sangat perlu dan mendesak belum sempurna landasan hukumnya. Lagi pula hanya benda bergerak yang mudah dilenyapkan atau dilarikan tersangka, sedang benda yang tidak bergerak sulit untuk dihilangkan. c. Wajib Segera "Melaporkan" Guna Mendapatkan "Persetujuan", artinya segera sesudah penyitaan, apakah penyitaan berhasil atau tidak, penyidik "wajib" segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, sambil meminta "persetujuan". Bagaimana kalau Ketua Pengadilan Negeri tidak memberikan persetujuan atau membuat penyataan penolakan atas persetujuan yang diminta penyidik? Apabila penyitaan tidak disetujui, berarti penyitaan tersebut "tidak sah". Oleh karena itu, dengan sendirinya penyitaan itu "batal demi hukum", dan benda sitaan segera dikembalikan kepada keadaan semula. Dan memang jika keadaan seperti ini terjadi, merupakan hal yang menyedihkan bagi penyidik. Akan tetapi, bagaimanapun pedihnya kejadian seperti ini, hukum harus ditegakkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, jika benar-benar cukup alasan untuk menolaknya. Malahan sangat disayangkan apabila Ketua Pengadilan Negeri bersikap masa bodoh dan tutup mata atas kekeliruan yang dilakukan penyidik. Bukankah tujuan persetujuan itu dimaksudkan sebagai upaya koreksi terhadap penyidik? Dan menempatkan Ketua Pengadilan Negeri sebagai instansi pengawas dan pengendali bagi penyidik dalam melaksanakan wewenang penyitaan yang dilimpahkan undang-undang kepadanya. Kalau terjadi penolakan persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri, apakah penyidik dapat melakukan perlawanan? Tidak dapat, Sebab undang-undang tidak mengatur perlawanan atas kejadian yang seperti ini. 77
Soesilo Yuwono, Loc.Cit.
Volume 8, No.1, Nop 2008
lxix
Ketiga hal itulah yang khusus dalam penyitaan yang dilakukan dalam keadaan sangat perlu dan mendesak. Selebihnya, diikuti tata cara dan prosedur yang ditentukan pada KUHAP Pasal 128, Pasal 129, dan Pasal 130, yakni
harus
menunjukkan tanda pengenal kepada orang dari mana benda itu disita atau terhadap keluarganya, memperlihatkan benda yang disita baik kepada orang yang bersangkutan atau keluarganya dan kepada saksi-saksi.
penyitaan harus disaksikan
oleh kepala desa atau ketua lingkungan ditambah lagi dua orang saksi dan lingkungan warga tempat penyitaan, membuat berita acara penyitaan serta membacakan lebih dulu berita acara kepada orang dari mana benda itu disita atau terhadap keluarganya dan kepada saksi-saksi,
kemudian setelah berita acara dibacakan, masing-masing mereka
membubuhkan tanda tangan. Dan apabila orang yang bersangkutan atau keluarganya tidak bersedia membubuhkan tanda tangan, dicatat oleh penyidik pada berita acara serta menyebutkan alasan penolakan penandatanganan dimaksud, turunan berita acara disampaikan kepada pihak atasan penyidik,
orang dari mana benda itu disita atau
keluarganya, dan kepala desa, terakhir, benda sitaan dibungkus sebagaimana halnya pada benda sitaan biasa seperti yang diatur pada Pasal 130 ayat (2) KUHAP. Penyitaan dalam Keadaan Tertangkap Tangan, penyitaan benda dalam keadaan tertangkap tangan merupakan "pengecualian" penyitaan biasa. Dalam keadaan tertangkap tangan, penyidik dapat "langsung" menyita sesuatu benda dan alat: a. b.
yang ternyata digunakan untuk melakukan tindak pidana, atau benda dan alat yang "patut diduga" telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana, atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.
lxx Volume 8, No.1, Nop 2008
Ketentaan Pasal 40 KUHAP sangat beralasan, langsung memberi wewenang kepada penyidik untuk menyita benda dan alat yang dipergunakan pada peristiwa tindak pidana tertangkap tangan. Malahan dianggap lucu, jika untuk melakukan penyitaan benda atau alat pada keadaan tertangkap tangan, penyidik lari dari tempat kejadian untuk meminta surat ijin penyitaan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Sikap seperti itu sia-sia, tidak efektif dan efisien, dan tidak rasional serta tidak tepat menurut prinsip penegakan hukum yang cepat, tepat, dan biaya ringan. Misalnya, penyidik memergoki seseorang membawa ganja atau morfin di pantai yang jauh dari kantor Pengadilan Negeri pada suatu malam. Tersangka lari sambil meninggalkan ganja atau morfin tadi. Adalah ganjil sekali apabila penyidik meninggalkan benda bukti tersebut, dan mengambil langkah seribu lari ke kota meminta ijin dulu dari Ketua Pengadilan Negeri. Tindakan yang tepat, efektif, dan efisien apabila penyidik "langsung" menyitanya. Dalam keadaan tertangkap tangan, sangat luas wewenang penyitaan yang diberikan kepada penyidik. Di samping wewenang untuk menyita benda dan alat yang disebut pada Pasal 40, Pasal 41 KUHAP memperluas lagi wewenang itu meliputi segala macam jenis dan bentuk surat atau paket: a. b. c. d.
menyita paket atau surat, atau benda yang pengangkutan atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau pemisahaan komunikasi atau pengangkutan, asalkan sepanjang surat atau paket atau benda tersebut diperuntukkan atau berasal dari tersangka, namun dalam penyitaan benda-benda pos dan telekomunikasi yang demikian, penyidik harus membuat ''surat tenda terima" kepada tersangka atau kepada jawatan atau perusahaan telekomunikasi maupun pengangkutan dari mana benda atau surat itu disita.
Pada ketentuan Pasal 41 KUHAP, pengertian keadaan tertangkap tangan, bukan terbatas pada tersangka yang nyata-nyata sedang melakukan tindak pidana, tetapi termasuk pengertian tertangkap tangan atas paket atau surat dan benda-benda pos lainnya, sehingga terhadap benda-benda tersebut dapat dilakukan penyitaan "langsung" oleh penyidik. Kalau dalam keadaan tertangkap tangan dikenal bentuk dan cara penyitaan "langsung" oleh penyidik terhadap benda dan alat serta benda-benda pos atau paket melalui jawatan maupun perusahaan pengangkutan, Pasal 42 KUHAP memperkenalkan bentuk dan cara penyitaan "tidak langsung". Benda yang hendak disita tidak langsung didatangi dan diambil sendiri oleh penyidik dari tangan dan kekuasaan orang yang memegang dan menguasai benda tersebut, tetapi penyidik mengajak yang bersangkutan untuk menyerahkan sendiri benda yang hendak disita dengan sukarela. Atas dasar Volume 8, No.1, Nop 2008
lxxi
pengertian di atas, kita menyebut bentuk dan cara ini "penyitaan tidak langsung". Artinya tangan dan upaya paksa penyidik dalam melakukan penyitaan, tidak secara langsung dan nyata dalam pengambilan benda sitaan, tetapi disuruh antar atau disuruh serahkan sendiri oleh orang yang bersangkutan. Mengenai tata cara pelaksanaan penyitaan tidak langsung yang diatur dalam Pasal 42 KUHAP adalah seseorang yang menguasai benda yang dapat disita karena benda itu tersangkut sebagai barang bukti dari suatu tindak pidana, oleh karena itu perlu disita. Yang dimaksud di sini orang yang menguasai benda yang dapat disita dan benda yang tersangkut dengan suatu peristiwa pidana, tidak hanya terbatas kepada tersangka saja, tapi meliputi semua orang. Siapa saja yang menguasai atau memegang benda yang dapat disita, baik penyimpan, pembeli, pemakai, atau peminjam, atau surat-surat yang ada pada seseorang yang berasal dari tersangka atau terdakwa atau surat yang ditujukan kepada tersangka/terdakwa atau kepunyaan tersangka/terdakwa ataupun yang diperuntukkan baginya, atau jika benda itu merupakan alat untuk melakukan tindak pidana, penyidik "memerintahkan" kepada orang-orang yang menguasai atau memegang benda untuk "menyerahkan" kepada penyidik. Jadi, cara penyitaan dilakukan dengan jalan mengeluarkan "perintah" kepada orang-orang yang bersangkutan untuk "menyerahkan" benda tersebut kepada penyidik, apakah perintah penyerahan itu dilakukan secara tertulis atau cukup dengan lisan tergantung kepada keadaan, secara kasus per kasus. Namun demi untuk tegaknya kepastian hukum serta terbinanya administrasi penegakan hukum yang sesuai dengan tuntutan zaman yang menuntut kerapian administrasi, sebaiknya perintah penyerahan benda itu dilakukan dengan "perintah tertulis". Jika perintah penyerahan dilakukan penyidik dalam keadaan mendesak, sehingga pada saat itu tidak mungkin dilakukan secara tertulis, harus disusul dengan menyampaikan surat tertulis kepada orang yang bersangkutan. Penyidik memberikan "surat tanda terima", atas penyerahan benda, bagaimana jika orang yang bersangkutan tidak mau mematuhi perintah penyidik tersebut, tidak mau menyerahkan benda dimaksud. Dari sudut hukum materiil, penyidik dapat memeriksa orang yang bersangkutan atas pelanggaran tindak pidana Pasal 216 KUHP yaitu dengan sengaja tidak menurut perintah atau permintaan keras yang dilakukan menurut peraturan perundang-undangan oleh pegawai negeri.78 Namun dari segi hukum formal, sesuai dengan apa yang digariskan KUHAP, penyidik harus menempuh tata cara penyitaan bentuk biasa. Atas keingkaran orang tersebut menyerahkan benda yang perlu disita penyidik minta "surat ijin" Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan penyitaan dengan cara paksa. Penyitaan Surat atau tulisan lain di atas sudah dibicarakan penyitaan surat dan benda pos atau benda telekomunikasi dalam keadaan tertangkap tangan, yang memberi wewenang kepada penyidik "langsung" menyita surat atau benda pos dimaksud.
78
Soesilo R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Cet.VI, Politeia , Bogor, h.1996.
lxxiiVolume 8, No.1, Nop 2008
Demikian juga halnya pada penyitaan surat secara tidak langsung melalui perintah penyidik kepada pemegang atau yang menguasai untuk menyerahkan kepada penyidik seperti yang diatur dalam Pasal 42 ayat (2) KUHAP. Maka pada Pasal 43 KUHAP, diatur pula bentuk dan cara penyitaan surat-surat lain di luar surat-surat yang disebut pada Pasal 41 dan Pasal 42 ayat (2) KUHAP. Yang dimaksud dengan surat atau tulisan lain pada Pasal 43 KUHAP adalah surat atau tulisan yang "disimpan" atau "dikuasai" oleh orang tertentu, di mana orang tertentu yang menyimpan atau menguasai surat itu, "diwajibkan merahasiakannya" oleh undang-undang. Misalnya, seorang notaris adalah pejabat atau orang tertentu yang menyimpan dan menguasai akta testamen, dan oleh undang-undang diwajibkan untuk merahasiakan isinya. Akan tetapi harus diingat, kepada kelompok surat atau tulisan lain ini tidak termasuk surat atau tulisan yang menyangkut "rahasia negara". Surat atau tulisan yang menyangkut rahasia negara "tidak takluk" kepada ketentuan Pasal 43 KUHAP. Oleh karena itu, Pasal 43 KUHAP tidak dapat diperlakukan sepanjang tulisan atau surat yang menyangkut rahasia negara. Atau kalau dibalik, Pasal 43 KUHAP hanya dapat diterapkan terhadap surat dan tulisan yang "tidak" menyangkut rahasia negara. Mengenai syarat dan cara penyitaannya hanya dapat disita atas persetujuan mereka yang dibebani kewajiban oleh undang-undang untuk merahasiakan. Misalnya akta notaris atau sertifikat, hanya dapat disita atas persetujuan notaris atau pejabat agraria yang bersangkutan, atas "ijin khusus" Ketua Pengadilan Negeri, jika tidak ada persetujuan dari mereka. Jika mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakan surat atau tulisan itu "setuju atas penyitaan" yang dilakukan penyidik, penyitaan dapat dilakukan "tanpa surat ijin" Ketua Pengadilan Negeri. Akan tetapi, kalau mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakan "tidak setuju" atas penyitaan yang akan dilakukan penyidik, dalam hal seperti ini penyitaan hanya dapat dilakukan "atas ijin khusus" Ketua Pengadilan Negeri setempat. Penyitaan Minuta Akta Notaris Berpedoman kepada Surat Mahkamah Agung/ Pemb/3429/86 dan Pasal 43 KUHAP mengenai masalah ini dapat dikernukakan pedoman yaitu bahwa Ketua Pengadilan Negeri harus benar-benar mempertimbangkan "relevansi" dan "urgensi" penyitaan secara objektif berdasar pasal 39 KUHAP. Pemberian ijin khusus Ketua Pengadilan Negeri atas penyitaan Minuta Akta Notaris, berpedoman kepada petunjuk teknis dan operasional yang digariskan dalam Surat MA No. MA/Pemb/3429/86 (12 April 1986), antara lain menjelaskan bahwa pada prinsipnya minuta akta menurut Pasal 40 PJN hanya boleh diperlihatkan atau diberitahu kepada orang yang berkepentingan langsung. Sehubungan dengan itu, notaris berada dalam posisi sulit menghadapi proses pidana yang dihadapkan kepadanya. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 43 KUHAP, lebih tinggi tingkatannya dari PJN, oleh karena itu, apa yang diatur dalam Pasal 40 PJN selayaknya tunduk kepada penyitaan yang diatur dalam KUHAP, selanjutnya, Minuta Akta yang disimpan oleh notaris, pada umumnya dianggap sebagai arsip negara. Oleh karena Minuta Akta ditafsirkan berkedudukan sebagai Arsip Negara atau melekat padanya "rahasia Jabatan" Volume 8, No.1, Nop 2008
lxxiii
notaris, pemberian ijin oleh Ketua Pengadilan Negeri, merujuk kepada ketentuan Pasal 43 KUHAP bahwa penyitaan harus berdasar Ijin Khusus Ketua Pengadilan Negeri. Dari penjelasan di atas dapat dikemukakan petunjuk sebagai pedoman tidak tepat pendapat yang menyatakan Minuta Akta tidak bisa disita, berdasar Pasal 43 KUHAP dikaitkan dengan Surat Mahkamah Agung No.MA/Pemb/3429/86 (12 April 1986) Penyidik dapat meminta ijin kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menyita Minuta Akta, untuk itu Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan Ijin Khusus yang dituangkan dalam Penetapan. Namun penyitaan dalam hal ini tidak terlepas kaitannya dengan kewajiban notaris menyimpan Minuta dimaksud, sehingga wujud penyitaan yang dibenarkan terbatas pada kebolehan penyidik untuk "menyalin" atau memfotokopinya. Sebagaimana yang sudah dijelaskan, penyitaan adalah tindakan pengambilalihan benda untuk disimpan dan ditaruh di bawah penguasaan penyidik baik benda itu diambil dari pemilik, penjaga, penyimpan, penyewa, dan sebagainya, maupun benda yang langsung diambil dari penguasaan atau pemilikan tersangka. Apakah penyitaan dapat dilakukan atau diletakkan terhadap semua benda tanpa mempersoalkan status hukum benda itu? Atau benda yang bagaimana sifat dan keadaannya yang dapat dilakukan atau diletakkan sita, Tentu ada batasan agar dapat ditegakkan kepastian hukum. Kalau tidak ada batasan, berarti terhadap semua benda yang bagaimanapun keadaan dan statusnya, dapat diletakkan sita oleh penyidik. Secara saksama ditelusuri pasal-pasal penyitaan, terutama Pasal 39 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 1 butir l6. Dari semua isi ketentuan pasal dimaksud, telah digariskan "prinsip hukum" dalam penyitaan benda,' yang memberi batasan tentang benda yang bagaimana yang dapat diletakkan penyitaan. Prinsip itu menegaskan "benda yang dapat disita menurut undang-undang (KUHAP) hanya benda benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana". Jika suatu benda tidak ada kaitan atau keterlibatan dengan tindak pidana, terhadap beada-benda tersebut tidak dapat diletakkan sita. Oleh karena itu, penyitaan benda yang tidak ada sangkut-pautnya dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa, dianggap merupakan penyitaan yang "bertentangan dengan hukum", dan dengan sendirinya penyitaan "tidak sah". Konsekuensinya, orang yang bersangkutan dapat meminta tuntutan ganti rugi baik kepada Praperadilan apabila masih dalam tingkat penyidikan dan kepada Pengadilan Negeri apabila perkaranya sudah diperiksa di persidangan. Terhadap benda apa saja penyitaan dapat diletakkan, atau terhadap jenis benda yang bagaimana sita dapat dilakukan, apabila benda yang bersangkutan ada keterlibatannya dengan tindak pidana guna untuk kepentingan pembuktian pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan sidang peradilan, ditentukan dalam Pasal 39 KUHAP. Menurut pasal 39 KUHAP ayat (1) yang dapat dikenakan penyitaan adalah benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana, benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan tindak pidana, benda yang dipergunakan menghalang-halangi Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxiv
penyidikan tindak pidana, benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana, benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Ayat (2) dari pasal 39 KUHAP menentukan benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1). Artinya sepanjang benda sitaan perkara perdata mempunyai kaitan dengan suatu tindak pidana yang sedang diperiksa baik benda itu merupakan hasil atau diperoleh dari tindak pidana atau benda sitaan perdata tadi dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana ataupun benda sitaan perdata tersebut diperuntukkan untuk melakukan tindak pidana. Menyikapi Penyitaan dalam Perkara Pidana Atas Benda yang Disita dalam Perkara Perdata Belakangan ini sering dihadapkan dengan masalah penyitaan dalam perkara pidana. Pada umumnya permasalahan datang dari aparat penyidik yang menuding kekeliruan atau ketidaktanggapan Ketua Pengadilan Negeri merespons permintaan ijin penyitaan yang diminta Polri. Memang terkadang ada indikasi, permintaan penyitaan merupakan rekayasa atau persekongkolan penyidik dengan pihak ketiga untuk mendistorsi atau menghambat penyelesaian perkara perdata yang sedang ditangani pengadilan terhadap barang yang hendak disita dalam perkara pidana tadi, sehingga dianggap cukup alasan menolak pemberian ijin penyitaan. Apalagi dengan munculnya Peradilan Niaga yang berfungsi menyelesaikan perkara pailit, perlu ditingkatkan sikap yang lebih hati-hati memberi ijin penyitaan. Sebab penyitaan yang dilakukan penyidik terhadap budel pailit, bisa mengurangi efektivitas penyelesaian perkara pailit. 2. Pengembalian Benda Sitaan Kecuali mengenai benda sitaan yang sifatnya terlarang atau dilarang mengedarkan, pada prinsipnya benda sitaan harus dikembalikan kepada orang dan siapa benda itu disita atau kepada mereka "yang paling berhak". Inilah prinsip hukum atas pengembalian benda sitaan yang dijadikan barang bukti pada setiap tingkat pemeriksaan, harus dikembalikan kepada mereka yang paling berhak.79 Apalagi jika benda sitaan disita dari pihak ketiga atau dari pihak tersangka tapi yang diambilnya dengan jalan melawan hukum dari saksi yang menjadi korban peristiwa pidana yang bersangkutan, sangat layak untuk segera mengembalikan barang bukti tersebut. Betapa sedih dan ruginya seorang saksi korban tindak pidana, atau seorang ibu yang kena rampok emas perhiasannya habis dirampok tersangka. Kemudian seluruh emas perhiasan itu secara utuh berhasil diselamatkan dari tersangka/terdakwa. Tersangka/terdakwa mengaku di hadapan penyidik bahwa itulah perhiasan yang 79
Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, Pembahasan permasalahan KUHAP Bidang Penuntutan dan Eksekusi dalam Bentuk Tanya Jawab, Cet.I, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, h.309 Volume 8, No.1, Nop 2008
lxxv
dirampoknya dari ibu yang menjadi korban. Dan korban menjelaskan dan memperlihatkan surat-surat tentang kebenaran benda perhiasan yang dirampok. Sekarang mari kita pertanyakan persoalan ini secara hukum dan objektif. Pertama, apakah benda perhiasan tadi dapat disita oleh penyidik, menurut hukum jelas ada kaitannya dengan tindakan pidana perampokan. Yuridis formal dapat disita sampai perkara perampokan mendapat putusan yang berkekuatan tetap. Untuk apa benda perhiasan itu disita sampai sebegitu lama. Dari segi hukum, untuk kepentingan pembuktian dalam semua tingkat pemeriksaan, mulai dari penyidikan sampai ke tingkat pemeriksaan kasasi. Jadi, kalau ditinjau dari segi hukum dan undang-undang, penyitaan terhadap benda perhiasan dalam kasus ini dibenarkan oleh hukum dan undang-undang. Akan tetapi, kalau kita mempersoalkannya lebih mendalam, tindakan penyitaan dalam contoh tadi bisa terjadi hal-hal yang memilukan dan memalukan serta kurang dapat dipertanggungjawabkan dari segi hukum manapun. Bukankah barang perhiasan tadi sudah jelas kepunyaan saksi/korban sesuai dengan kenyataan dan fakta yang diketemukan penyidik sendiri? Bukankah perhiasan tersebut merupakan barang bukti yang kurang penting untuk setiap saat harus ada pada tangan pejabat pada setiap tingkat pemeriksaan, asal sudah dicatat jenis dan beratnya. Bukankah juga perhiasan tadi dapat disuruh bawa oleh saksi kapan saja diperlukan pada setiap tingkat pemeriksaan, bukankah barangkali harta kekayaan saksi korban yang paling berharga hanya perhiasan itu saja? Bukankah benda itu tidak bersifat berbahaya? Benda emas perhiasan tadi tidak dikembalikan pada saksi/korbansesudah dicatat jenis dan beratnya. Dan pada contoh kita di atas, malang tak dapat diraih, anak saksi/korban mengalami sakit keras. Cari biaya pengobatan ke sana ke mari tidak dapat. Teringat saksi akan barang perhiasan yang masih disita oleh pejabat. Bergegas menjumpai pejabat yang bersangkutan agar dapat dikembalikan untuk dijual guna menanggulangi biaya pengobatan. Akan tetapi malang nasibnya. Dia mendapat bentakan dari pejabat yang menjelaskan barang perhiasan itu tersangkut tindakan pidana. Karena itu tak dapat diutak-atik sampai perkaranya mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap. Putus asa menghadapi pejabat, dia pulang dengan pilu sambil bertanya dalam hati. Begitu kakukah hukum yang berlaku terhadap dirinya, Bukankah barang perhiasan tersebut hasil cucur keringatnya, yang dikumpulkan dengan segala penderitaan, sudah jadi korban perampokan, tapi harta bendanya dijadikan pula korban dari kejahatan orang lain. Padahal dari segi hukum pun, penyitaan atas benda itu tidak begitu penting. Tiada berapa lama anaknya yang sakit keras tadi meninggal dunia disebabkan tidak ada biaya pengobatan, karena barang perhiasan emas yang bisa dijadikan sebagai penolong dalam keadaan terdesak, tidak dikembalikan pejabat, dan tetap ditahan sebagai barang sitaan untuk tujuan dan kepentingan hukum yang kurang relevan. Adapun yang menjadi akhir dari cerita ini, perkara berjalan berlarut-larut sampai bertahun baru mendapat keputusan pasti. Dan pada waktu perkara yang bersangkutan mempunyai kekuatan yang pasti, saksi/korban sudah meninggal dunia. Dan pada waktu ahli waris menanyakan benda perhiasan yang disita empat tahun yang lalu, ternyata barangnya sudah tidak ada lagi. Mulai dari penyidik, penuntut umum, dan Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxvi
pengadilan ditanyai, tapi semua menjelaskan tidak tahu-menahu akan benda sitaan dimaksud. Demikianlah sekelumit kisah penyitaan suatu benda. Pada akhirnya selalu benda sitaan tidak bisa dipakai lagi, atau hilang tanpa bekas. Apa yang diceritakan di atas barangkali sering terjadi di mana-mana. Berhubung dengan apa yang digambarkan di atas kewajiban bagi aparat penegak hukum, supaya sesegera mungkin mengembalikan benda sitaan yang tidak penting sebagai barang bukti dalam pemeriksaan terutama jika benda sitaan itu berasal dari saksi korban peristiwa pidana. Korban peristiwa pidana mati dibunuh oleh perampok, namun kesedihan keluarga itu ditimpa lagi dengan penyitaan benda harta kekayaan yang menjadi bukti dalam penangkapan, akan tetapi tidak tahu kapan benda itu dapat dikembalikan kepada keluarga yang ditinggalkan. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 46 KUHAP, pengembalian benda sitaan harus dilakukan "sesegera mungkin" kepada yang paling berhak apabila secara nyata dan objektif pemeriksaan penyidikan tidak memerlukannya lagi, atau apabila perkara tersebut tidak dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana, perkara tersebut dikesampingkan/dideponer untuk kepentingan umum, atau perkara tersebut ditutup demi hukum, karena alasan nebis in idem atau tersangka/terdakwanya meninggal dunia atau karena tuntutan terhadap tindak pidana sudah kedaluwarsa. Apa yang dibicarakan di atas adalah pengembalian benda sitaan sebelum perkara yang berhubungan dengan benda sitaan itu belum memperoleh keputusan yang berkekuatan tetap. Oleh karena itu, mulai dari tingkat penyidikan, atau penuntutan diusahakan segera mengembalikan benda sitaan kepada yang paling berhak jika "urgensi" benda tadi sebagai bukti dalam pemeriksaan, tidak dipentingkan atau tidak diperlukan lagi. Apabila perkaranya sudah diputus harus segera dikembalikan kepada orang yang paling berhak sesuai dengan amar putusan. Kecuali jika menurut putusan hakim, benda sitaan itu dirampas untuk negara atau untuk dimusnahkan maupun untuk dirusak sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai bukti dalam perkara lain. Sebagai akhir dari uraian ini, kita kutip alinea terakhir penjelasan Pasal 46 ayat (1) KUHAP bahwa "Dalam pengembalian benda sitaan hendaknya sejauh mungkin diperhatikan kemanusiaan, dengan mengutamakan pengembalian benda yang menjadi sumber kehidupan". 3. Penjualan Lelang Benda Sitaan Yang dimaksud dengan penjualan lelang benda sitaan dalam uraian ini, bukan penjualan lelang taraf eksekusi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penjualan lelang yang akan dibicarakan adalah penjualan yang dimaksud Pasal 45 KUHAP, berupa "penjualan lelang" benda sitaan yang pemeriksaan perkaranya masih dalam taraf proses tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan pengadilan. Mungkin penjualan lelang itu dilakukan atas perintah yang dikeluarkan instansi Volume 8, No.1, Nop 2008
lxxvii
penyidik pada tingkat pemeriksaan penyidikan berdasar wewenang dan syarat-syarat yang diberikan dan ditentukan undang-undang dalam Pasal 45 KUHAP. Bisa juga berdasar penetapan yang dikeluarkan penuntut umum pada tingkat penuntutan atau hakim yang menyidangkan perkara pada semua tingkat pemeriksaan pengadilan. Apa memang boleh menjual atau melelang benda sitaan dalam keadaan perkaranya belum diputus oleh pengadilan, atau apakah boleh menjual benda sitaan sebelum perkaranya mempunyai keputusan yang berkekuatan tetap. Bukankah tindakan atau wewenang penjualan seperti ini bertentangan dengan prinsip hukum. Sebab dengan pelelangan barang benda sitaan pada saat proses pemeriksaan masih sedang berjalan, berarti secara tidak langsung penjualan pelelangan menjatuhkan vonis bersalah terhadap tersangka atau terdakwa. Tindakan serupa ini dianggapnya bertentangan dengan prinsip presumption of innocent,80 karena memvonis barang tersebut ada hubungannya dengan kejahatan, padahal kesalahannya belum terbukti." Mungkin ada benarnya jika hanya bertitik tolak dari sudut penjualan itu semata-mata. Akan tetapi kalau ditinjau secara integral dihubungkan dengan landasan alasan penjualan lelang serta dikaitkan dengan motivasi dan tujuan kepentingan keselamatan benda tersebut serta memperhitungkan risiko kerugian yang akan diderita, pendapat itu kurang argumentatif. Oleh karena itu, bertitik tolak dari cara berpikir yang komprehensif, penjualan lelang benda sitaan, tidak bertentangan dengan prinsip presumption of innocent. Sebab prinsip itu sendiri pun tidak rela mengorbankan sesuatu demi untuk kepentingan prinsip itu sendiri. Lagi pula, bukankah prinsip itu harus sejalan dengan prinsip hukum yang lain, yakni prinsip hukum extra ordinary atau overmacht yang menjadi landasan yang "memaafkan" suatu tindakan di luar kebiasaan. Jadi, jika pejabat yang bersangkutan menghadapi "kesulitan yang luar biasa" atau berada dalam keadaan sulit menyelamatkan dan menjaga keutuhan benda atau benda yang disita merupakan bahan kimia yang mudah meledak sedang tempat penyimpanan yang sesuai untuk itu tidak ada; pejabat yang bersangkutan dihadapkan pada suatu keadaan yang extra ordinary. Dalam ruang lingkup keadaan yang seperti ini Pasal 45 KUHAP memberi kemungkinan bagi pejabat yang bersangkutan menjual benda sitaan, dengan syarat agar memenuhi tata caranya. Syarat Penjualan Lelang yang Perkaranya Sedang Diperiksa Sekalipun, perkaranya masih dalam tahap proses pemeriksaan, benda sitaan dapat dijual lelang, asal dipenuhi syaratsyarat: a. bila benda sitaan tercuri dari benda yang "mudah rusak" atau busuk; b. apabila benda sitaan tidak mungkin disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap, c. jika biaya penyimpanan benda sitaan akan menjadi terlalu tinggi.
80
Soesilo Yuwono, Op.Cit., h.27
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxviii
Itulah beberapa syarat yang bersifat "alternatif" bagi pejabat hukum yang bersangkutan, yang memberi kemungkinan kepada mereka untuk menjual lelang benda sitaan. Apabila salah satu di antara syarat tersebut terpenuhi, benda sitaan dapat dijual leiang. Sebaiknya, pembuat undang-undang menambah satu syarat lagi yaitu meminta keterangan dari seorang ahli yang akan memberi pendapat tentang kebenaran dan kemestian untuk menjual lelang benda sitaan. Sebab tanpa adanya keterangan ahli, bisa saja syarat-syarat di atas dipermainkan oleh pejabat yang bersangkutan menurut selera dan penilaian subjektifnya. Oleh karena itu, agar penilaian syarat-syarat itu lebih objektif, ada baiknya supaya dalam setiap penjualan lelang yang akan dilakukan oleh pejabat penegak hukum, harus ada "rekomendasi dari seseorang ahli" agar penilaian syarat-syarat itu mendekati kenyataan objektif. Sekalipun permintaan pendapat ahli tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai syarat, namun penjelasan Pasal 45 ayat (1) Alinea 2 KUHAP menegaskan lembaga yang ahli dalam menentukan sifat benda yang mudah rusak. Adapun maksud melibatkan lembaga ahli dalam proses penjualan pelelangan, untuk menghindarkan pejabat dari tuduhan negatif. Oleh karena itu, lebih baik meminta keterangan seorang ahli. Hal ini tidak merugikan fungsi dan wewenang mereka, dan tidak pula menghambat kelancaran pelaksanaan pemeriksaan. Di samping syarat-syarat yang dikemukakan, Pasal 45 KUHAP juga telah menggariskan juga cara penjualan lelang yang dianggap sah oleh hukum "Sedapat Mungkin" Mendapat Persetujuan dari Tersangka atau Kuasanya Pada ketentuan ini undang-undang mempergunakan kata-kata "sejauh mungkin" dengan persetujuan tersangka atau kuasanya. Apa yang dimaksud dengan pengertian "sejauh mungkin", apakah persetujuan tersangka atau kuasanya dalam penyitan benda sitaan bersifat "imperatif", hanya sepanjang "menyampaikan" maksud atau rencana penjualan lelang benda sitaan kepada tersangka atau kuasanya serta keharusan untuk menanyakan pendapat atas rencana penjualan lelang dimaksud. Apakah tersangka atau kuasanya setuju atau tidak, bukan merupakan faktor dominan. Keputusan akhir tetap berada di tangan pejabat yang bersangkutan. Akan tetapi harus diingat kata-kata "sejauh mungkin". Berarti usaha pendekatan yang maksimal, jangan asal tanya saja, sebab perkataan sejauh mungkin mengandung pengertian yang bermakna "daya upaya" yang dapat diusahakan, penjualan pelelangan "sedapat mungkin” ada persetujuan tersangka atau kuasanya. Dengan pengertian seboleh-bolehnya, pada hakikatnya sudah mendekati "kemestian". Kalau begitu maksud ketentuan di atas menghendaki penjualan lelang benda sitaan "semestinya" ada persetujuan dan tersangka atau kuasanya. Pejabat yang Dapat Melakukan Penjualan Lelang, Dilihat dan Taraf Proses Pemeriksaan apabila taraf pemeriksaan perkara masih di tangan penyidik, yang dapat menjual lelang atau mengamankan benda sitaan ialah penyidik. Apabila taraf pemeriksaan berada di tangan penuntut umum, yang dapat menjual lelang atau mengamankan benda sitaan ialah penuntut umum. Apabila perkara sudah dalam taraf pemeriksaan peradilan, penjualan atau pengamanan benda sitaan dilakukan oleh "penuntut umum" atas "ijin hakim". Volume 8, No.1, Nop 2008
lxxix
Ijin hakim Pengadilan Negeri, jika pemeriksaan perkara dalam tingkat pemeriksaan Pengadilan Negeri, ijin hakim Pengadilan Tinggi, jika perkaranya sudah dilimpahkan atau diperiksa dalam tingkat banding, ijin Hakim Agung, jika perkaranya sudah dilimpahkan kepada Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi. Dalam ketentuan ini, di samping kata-kata penjualan lelang terdapat pula kata "diamankan", sehingga kalimatnya berbunyi: benda tersebut dapat dijual lelang atau "diamankan". Kalau begitu tindakan yang dapat dilakukan pejabat yang bersangkutan terhadap barang sitaan, bukan hanya menjual lelang, tapi juga dapat "mengamankan" benda sitaan. Dan menurut penjelasan Pasal 45 ayat(l) KUHAP yang dimaksud dengan benda yang dapat diamankan antara lain ialah benda yang mudah terbakar, mudah meledak, yang untuk itu harus dijaga serta diberi tanda khusus atau benda yang dapat membahayakan kesehatan orang lain dan lingkungan. Pelaksanaan Lelang Dilakukan oleh "Kantor Lelang Negara" dalam pelaksanaan lebih dulu kantor lelang mengadakan konsultasi dengan pihak penyidik atau penuntut umum setempat atau dengan hakim yang bersangkutan sesuai dengan tingkat pemeriksaan, dan lembaga yang ahli dalam menentukan sifat benda yang muda rusak, (lihat penjelasan Pasal 45 ayat (1) Alinea ke-2 KUHAP).
PERALIHAN TANGGUNG JAWAB ATAS BENDA SITAAN 1. Peralihan Tanggung Jawab Di Tingkat Penyidikan Seperti yang ditegaskan Pasal 38 KUHAP, penyitaan merupakan tindakan yang diberikan undang-undang kepada penyidik sesuai dengan asas spesialisasi dan diferensiasi fungsional. Pada lazimnya, penyitaan dilakukan penyidik pada taraf pemeriksaan penyidikan81. Namun hal itu tidak mengurangi kemungkinan untuk melakukan penyitaan pada tingkat penuntutan atau pemeriksaan pengadilan dengan jalan mengeluarkan surat perintah atau penetapan, yang pelaksanaannya di lapangan dilakukan aparat penyidik. Apa yang disebut di atas termasuk bidang fungsi aparat penyidik, yakni salah satu fungsi aparat penyidik, berwenang melakukan tindakan penyitaan. Akan tetapi fungsi penyitaan berbeda dengan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan. Pada kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan, bukan tindakan pelaksanaan dan tata cara penyitaan atas benda sitaan yang dipermasalahkan. Yang jadi pokok utama pada kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan ialah mengenai "hubungan hukum" dan "peralihan hukum" antara penyidik dengan benda sitaan. Serupa halnya dalam kewenangan dan tanggung jawab yuridis penahanan. Bukan tindakan penahanannya yang dipersoalkan, tetapi hubungan hukum dan tanggung jawab hukum antara instansi yang menahan dengan orang yang ditahan.
81
Ibid.
lxxxVolume 8, No.1, Nop 2008
Berbicara mengenai kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan, kurang mendapat perhatian dalam undang-undang. Malahan undang-undang tidak menyinggung masalah peralihan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan. Namun demikian, dari bunyi Pasal 45 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (2) PP No. 27/1983, kita dapat menarik kesimpulan tentang adanya kewenangan dan tanggung jawab penyidik atas benda sitaan, dan adanya peralihan tanggung jawab yuridis instansi penyidik atas benda sitaan. Saat Mulainya Timbul Kewenangan dalam Taraf Penyidikan Kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan pada instansi penyidik, sejak saat benda itu disita dan ditempatkan di Rupbasan (Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara)82. Sejak penyidik menyita suatu benda dalam pemeriksaan penyidikan, kemudian menyimpan benda sitaan dalam Rupbasan, sejak itu terjalin kewenangan dan tanggung jawab yuridis aparat penyidik atas benda sitaan, dan hal itu berlangsung selama pemeriksaan perkara berada dalam tingkat penyidikan. Selama pemeriksaan perkara masih dalam taraf penyidikan, kewenangan dan tanggung jawab sepenuhnya atas benda sitaan mutlak berada di tangan aparat penyidik. Instansi penuntut umum atau pengadilan tidak dapat mencampuri kewenangan dan tanggung jawab tersebut. Kewenangan dan tanggung jawab yuridis aparat penyidik atas benda sitaan assessor dengan tingkat pemeriksaan yang diberikan undang-undang kepadanya. Itu sebabnya status benda sitaan yang kewenangan dan tanggung jawab yuridisnya berada di tangan aparat penyidik, lazim disebut "benda sitaan penyidikan". Ini berarti, selama benda sitaan berada dalam status penyidikan. penyidik berwenang dan bertanggung jawab melakukan tindakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 dan Pasal 46 KUHAP. Mengenai kewenangan penyidik atas benda sitaan yang disebut pada Pasal 45 KUHAP, didasarkan atas keadaan benda sitaan, yakni merupakan benda yang mudah rusak, benda yang membahayakan, atau biaya penyimpanan benda tersebut terlampau tinggi maka penyidik dalam tingkat pemeriksaan penyidik mempunyai wewenang untuk menjual lelang benda sitaan, atau mengamankan benda sitaan. Agar pengamanan benda sitaan memenuhi tanggung jawab yuridis, tindakan itu harus memenuhi ketentuan dan syarat keadaan benda sitaan memang benar-benar dapat dibuktikan lekas rusak, membahayakan atau terlampau tinggi biaya penyimpanannya, Untuk itu sebaiknya didasarkan atas pembuktian lembaga ahli, tidak semata-mata atas penilaian penyidik. Terutama mengenai benda yang lekas rusak, adalah bijaksana jika penyidik lebih dulu meminta keterangan dan ahli sebagai bukti dan pertanggungjawaban hukum tentang kebenaran keadaan benda sitaan. Kecuali mengenai benda sitaan yang dapat membahayakan kesehatan atau lingkungan atau keadaan benda itu mudah terbakar, dan keadaan sifat benda itu merupakan pengetahuan umum dalam kehidupan masyarakat, dalam hal yang seperti itu tidak perlu diminta
82
Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., h.32
Volume 8, No.1, Nop 2008
lxxxi
pendapat ahli. Ketentuan syarat ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 45 ayat (1) KUHAP. Sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya, inilah syarat kedua yang dituntut undang-undang dari penyidik sebagai pertanggungan jawab hukum atas pelaksanaan kewenangan yang ada padanya atas benda sitaan. Penyidik berwenang untuk menjual lelang atau mengamankan benda sitaan. Narnun sebelum kewenangan itu dilaksanakan oleh penyidik, demi untuk memenuhi tanggung jawab yuridis, sedapat mungkin diminta "persetujuan" tersangka atau kuasanya, sesuai penegasan yang diatur dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a KUHAP. Mengenai apakah terdapat persetujuan atau tidak, tidak menjadi masalah bagi undang-undang. Pengambilan keputusan berada sepenuhnya di tangan penyidik. Cuma sebelum tindakan dilakukan sedapat mungkin mengusahakan adanya persetujuan dari tersangka atau kuasanya. Dan sebaiknya tindakan penjualan lelang atau pengamanan benda sitaan, mendapat persetujuan dari tersangka atau kuasanya. Akan tetapi jika mereka tidak setuju, sama sekali tidak merupakan halangan bagi penyidik untuk melaksanakan tindakan dimaksud penjualan lelang dilaksanakan oleh kantor lelang. Syarat ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 45 ayat (1) KUHAP, yang mengharuskan setiap pelelangan dilakukan oleh kantor lelang. Cara penjualan lelang melalui kantor lelang menghindarkan penyidik dari prasangka yang kurang baik serta sebagai penjualan resmi oleh pejabat yang khusus berwenang untuk itu. Dengan demikian cara penjualan tersebut memperkuat kebenaran penyidik dalam pengembanan tanggung jawabnya atas benda sitaan. pengamanan atau penjualan lelang disaksikan oleh tersangka atau kuasanya, Syarat pertanggungjawaban penyidik ini diatur dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b KUHAP, yang menegaskan agar pada setiap pengamanan atau penjualan lelang benda sitaan, pelaksanaannya disaksikan oleh tersangka atau kuasanya. Bagaimana kalau tersangka atau kuasanya tidak mau hadir menyaksikan pelelangan atau pengamanan benda sitaan, atau pada hari pelelangan atau pengamanan yang telah diberitahukan secara resmi dan patut kepada tersangka atau kuasanya, kemudian mereka menyatakan berhalangan untuk menyaksikannya. Apakah ketidakhadiran atau keadaan berhalangan menyaksikan, dapat dijadikan alasan untuk menunda pelelangan atau pengamanan. Hal ini tidak mutlak menunda, Pelelangan atau pengamanan dapat dilangsungkan atau ditunda. Tergantung pada penilaian penyidik dan kantor lelang, apalagi jika tersangka atau kuasanya secara tegas menyatakan ketidakhadiran menyaksikan pelelangan atau pengamanan, tidak perlu dilakukan penundaan. Demikian juga dalam hal berhalangan, tidak menunda pelelangan atau pengamanan. Hal itu tergantung pada keadaan benda sitaan dihubungkan dengan biaya yang semakin besar yang diakibatkan penundaan. Kalau kerusakan atau keadaan membahayakan atau pengamanan sudah tidak mungkin ditunda-tunda lagi, halangan untuk menyaksikan yang dikemukakan tersangka atas kuasanya, tidak perlu diperhatikan penyidik. Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxxii
Menurut ketentuan Pasal 46 KUHAP maupun penjelasan pasal tersebut, selama berlangsung pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, aparat penyidik berwenang mengembalikan benda sitaan kepada orang dari siapa benda sitaan itu disita, atau kepada orang yang paling berhak. Kewenangan pengembalian benda sitaan, oleh undang-undang digantungkan kepada beberapa syarat. Tidak dipenuhi syarat tersebut, pengembalian itu kurang dapat dipertanggungjawabkan dari segi hukum. Oleh karena itu, agar pengembalian barang sitaan yang dilakukan penyidik benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dan tidak menyalahi maksud yang terkandung dalam tindak penyitaan benda sitaan "tidak diperlukan" untuk kepentingan pembuktian. Syarat utama yang menjadi patokan pengembalian barang sitaan, penyidik berpendapat, benda sitaan tidak penting artinya dan tidak mempunyai nilai sebagai barang bukti. Urgensi barang sitaan sebagai alat bukti, tidak ada sama sekali, misalnya, benda yang disita tidak mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diperiksa. Atau dengan menlengkapi identitas orang yang sama, dianggap penyidik mencukupi sebagai lampiran dalam berkas perkara. Misalnya penyitaan atas mobil dalam perkara tindak pidana Pasal 359 KUHP. Dengan pencatatan identitas mobil tersebut, dapat dikembalikan kepada pemilik. Atau jika pegembalian itu sewaktu-waktu dapat dibawa pemilik apabila diperlukan dalam pemeriksaan, memberi kewenangan bagi penyidik untuk mengembalikan benda sitaan kepada orang dan siapa benda itu disita atau kepada orang yang paling berhak atasnya. Sehubungan dengan pengembalian benda sitaan atas alasan tidak diperlukan untuk kepentingan pembuktian, kiranya dapat dibedakan dalam kategori83: a. Pengembalian yang "bersifat mutlak". Pengembalian benda sitaan yang sifatnya mutlak, apabila benar-benar tidak mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diperiksa. Misalnya, pada saat dilakukan penyitaan oleh penyidik, besar dugaan suatu benda mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang disidik. Ada dugaan benda itu merupakan hasil dan tindak pidana atau sebagai alat melakukan tindak pidana. Akan tetapi setelah penyidik melakukan pemeriksaan, ternyata tidak ada hubungan dengan perkara yang sedang diperiksa. Dalam kasus yang demikian, pengembalian benda sitaan bersifat mutlak. Kalau tidak, hal itu membuka kesempatan bagi tersangka untuk mengajukan gugatan ganti kerugian berdasar Pasal 95 KUHAP atas alasan tindakan penyitaan tidak sah, karena menyita barang yang tidak mempunyai kaitan dengan perkara pidana yang diperiksa. b. Pengembalian bersifat "fakultatif". Apabila benda yang disita mempunyai kaitan dengan perkara yang sedang diperiksa karena dipergunakan sebagai alat melakukan tindak pidana, tetapi tidak penting lagi bagi pemeriksaan pembuktian atau karena sewaktu-waktu benda itu dapat diajukan apabila diperlukan dalam tingkat penuntutan maupun dalam tingkat pemeriksaan 83
Ibid., h.35 -36
Volume 8, No.1, Nop 2008
lxxxiii
pengadilan, penyidik berwenang mengembalikannya. Atau benda sitaan merupakan hasil perbuatan pidana. Misalnya, mobil yang dicuri tersangka merupakan alat sumber mata pencarian pemilik dari siapa mobil itu dicuri tersangka. Di sinipun sangat bijaksana untuk mengembalikan benda sitaan kepada saksi pemilik mobil tersebut. 2. Pemeriksaan perkara "dihentikan" dalam penyidikan. Berdasar Pasal 109 ayat (2) KUHAP, penyidik berwenang menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut temyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum. Apabila penyidik menghentikan pemeriksaan penyidikan berdasar salah satu alasan yang disebut Pasal 109 ayat (2) KUHAP dan kebetulan penyidik sempat melakukan penyitaan benda sebelum penyidikan dihentikan, dalam kasus yang demikian penyidik "mutlak" harus mengembalikan benda sitaan kepada orang dari siapa benda itu disita.
3. "Meminjam" benda sitaan. Wewenang yang lain dari penyidik atas benda sitaan, "meminjamkan" benda sitaan kepada orang dari siapa benda itu disita. Kewenangan untuk meminjamkan benda sitaan diatur sebagai petunjuk pelaksanaan dalam angka 2 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983. Menurut petunjuk yang terdapat pada angka 2 Lampiran tersebut, kewenangan penyidik untuk meminjamkan benda sitaan tidak memerlukan izin dari Ketua Pengadilan Negeri, cukup melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan bentuk tembusan. Kewenangan Penyidik Mengubah Status Benda Sitaan, kewenangan lain yang dimiliki penyidik atas benda sitaan adalah mengubah status benda sitaan, status benda sitaan penyidikan diubah dengan penjualan lelang, pengamanan atau dikembalikan kepada orang dari siapa benda itu disita. Meminjarnkan benda sitaan di sini status benda masih tetap benda sitaan. Cuma "dipinjamkan" kepada orang dari siapa benda itu disita. Syarat formal antara "mengubah" status benda sitaan dengan "meminjamkan" benda sitaan, terdapat perbedaan. Perbedaan syarat formal itu diatur dalam angka 2 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983. Perubahan status benda sitaan harus "mendapat izin" dari Ketua Pengadilan Negeri. Setiap jenis perubahan status benda sitaan yang hendak dilakukan penyidik sesuai dengan kewenangan yang ada pada taraf pemeriksaan penyidikan, lebih dulu mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri. Tanpa izin, penyidik tidak dapat menjual lelang, mengamankan atau mengembalikan benda sitaan. Oleh karena itu, kewenangan penyidik untuk mengubah status benda sitaan digantungkan kepada kewenangan yang ada pada instansi lain yakni kewenangan yang ada pada Ketua Pengadilan Negeri. Kewenangan mengubah status benda sitaan yang ada pada tingkat penyidikan ditinjau dari segi hukum, tidak sempurna sifatnya, karena digantungkan kepada izin dan Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxxiv
persetujuan Ketua Pengadilan Negeri. Kewenangan mengubah status benda sitaan yang ada pada diri penyidik in haerent dengan syarat formal, berupa izin persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri, sehingga kewenangan itu harus disempurnakan dengan kewenangan yang ada pada diri Ketua Pengadilan Negeri. Apa pun alasan yang menjadi dasar perubahan status yang hendak dilakukan penyidik, selamanya tergantung dari izin persetujuan Ketua Pengadilan Negeri. Ketergantungan penyidik atas izin Ketua Pengadilan Negeri, sejalan dengan kewenangan penyidik pada saat hendak melakukan penyitaan, penyidik dibebani syarat formal sebagaimana yang ditentukan Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Penyitaannya dapat dilakukan penyidik dengan izin Ketua Pengadilan Negeri. Syarat formal penyitaan tetap merupakan unsur formal yang mengikat penyidik "mengubah status" benda sitaan, hanya dapat dilakukan penyidik dengan surat izin ketua Pengadilan Negeri. Perubahan status benda sitaan tanpa surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri, melanggar tanggling jawab yuridis yang dibebankan undang-undang dan peraturan. Meminjamkan benda sitaan, kewenangan yang "sempurna" bagi penyidik. Berbeda halnya meminjamkan benda sitaan kepada orang dari siapa benda itu disita. Meminjamkan benda sitaan merupakan kewenangan yang "penuh" diberikan undangundang dan peraturan kepada penyidik. Tindakan itu tidak digantungkan pada syarat formal kewenangan instansi lain. Untuk melakukan peminjaman benda sitaan, penyidik tidak memerlukan surat izin dari aparat penegak hukum yang lain. Penyidik tidak perlu mendapat izin dari Ketua Pengadilan. Cukup "melaporkan" dalam bentuk "tembusan". Akan tetapi, di sini pun harus diingat, peminjaman benda sitaan yang diperkenankan petunjuk angka 2 Lampiran tersebut, hanya "kepada orang dari siapa benda itu disita". Peminjaman tidak diperbolehkan kepada oknum penyidik atau kepada orang lain. Peminjaman yang demikian "tidak sah" dan bertentangan dengan hukum, dan membuka kesempatan kepada tersangka atau orang dari siapa benda itu disita, untuk menuntut ganti kerugian berdasar Pasal 95 KUHAP. Peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan, sama prinsipnya dengan peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas penahanan. Oleh karena itu, peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan assessor dengan tingkat pemeriksaan perkara. Tanggung jawab yuridis atas benda sitaan menjadi kewenangan dan beban hukum bagi setiap aparat penegak hukum sesuai dengan tingkat pemeriksaan. Tanggung jawab yuridis atas benda sitaan pada aparat penyidik, selama pemeriksaan penyidikan masih berlangsung. Beralihnya tingkat pemeriksaan kepada taraf penuntutan, dengan sendirinya mengalihkan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda itu ke tangan penuntut umum. Dengan berlangsungnya pengalihan pemeriksaan dari tingkat penyidikan ke tingkat penuntutan, berakhir kewenangan dan tanggung jawab penyidik atas benda sitaan, dan sekaligus beralih kewenangan dan tanggung jawab yuridisnya kepada penuntut umum. Mengenai patokan tanggal peralihan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan dari tingkat penyidikan ke tingkat penuntutan, sama dengan peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas penahanan dari tingkat penyidikan ke Volume 8, No.1, Nop 2008
lxxxv
tingkat penuntutan. Oleh karena itu, pada saat tanggal terjadi peralihan kewenangan dan tanggung jawab penahanan dari penyidik kepada penuntut umum, dengan sendirinya peralihan itu diikuti bersamaan oleh kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan. Mengenai patokan tanggal peralihan kewenangan dan tanggung jawab itu sudah penulis jelaskan panjang lebar dalam pembicaraan peralihan penahanan. Uraian mengenai patokan yang dibahas di situ, dapat dijadikan dasar pedoman menentukan penetapan tanggal peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan. Bagaimana jika penyitaan benda tidak dibarengi dengan penahanan atas tersangka, penetapan tanggal mana yang dijadikan tanggal peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan dari tingkat penyidikan ke tingkat penuntutan. Penetapan tanggalnya tetap sama. yakni penetapan tanggal peralihan dihitung sejak saat "diserahkan" berkas perkara oleh penyidik kepada penuntut umum dalam tingkat penuntutan, Dan mengenai pengertian tanggal terjadinya penyerahan berkas dari tingkat penyidikan ke tingkat penuntutan, sudah penulis persoalkan secukupnya pada uraian peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis penahanan. Oleh karena itu, tidak diulangi lagi pembahasannya, dan apa yang dibahas di situ dapat dijadikan dasar dan penetapan pada uraian ini. 2. Peralihan Tanggung Jawab Di Tingkat Penuntutan Perbedaan pendapat mengenai status benda sitaan antara penyidik dengan penuntut umum disinggung dalam angka 2 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983. Petunjuk pelaksanaan yang digariskan berbunyi: "Dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara penyidik dan penuntut mengenai status benda sitaan tersebut pada saat perkara itu dilimpahkan dari penyidik kepada penuntut umum maka putusan akhir ada pada instansi yang bertanggung jawab secara yuridis atas benda sitaan itu setelah hal tersebut dikonsultasikan secara sungguh-sungguh antara penyidik dan penuntut umum". Sebelum menguraikan lebih lanjut, diringkas dulu pengertian yang terangkum dalam petunjuk pelaksanaan tersebut. Bilamana terjadi perbedaan pendapat mengenai status benda sitaan antara penyidik dan penuntut umum, dan saat terjadinya perbedaan pendapat, waktu perkara dilimpahkan dari penyidik kepada penuntut umum, putusan akhir atas perbedaan pendapat itu diputus oleh instansi yang bertanggung jawab secara yuridis atas benda sitaan, namun sebelum instansi yang bersangkutan mengambil keputusan, harus berkonsultasi secara sungguh-sungguh antara penyidik dan penuntut umum. Demikian ringkasan yang dapat disimpulkan dari petunjuk pelaksanaan yang terdapat pada angka 2 dimaksud. Kalau ringkasan ini mau diringkaskan lagi, sehingga dapat dirumuskan dalam kalimat bahwa apabila perkara sudah dilimpahkan oleh penyidik kepada penuntut umum, dan penuntut umum tidak sependapat dengan status benda sitaan yang telah ditetapkan penyidik pada tingkat pemeriksaan penyidikan, penuntut umum dapat menentukan status lain yang dianggapnya tepat menurut hukum sesuai dengan kepentingan benda sitaan dalam pemeriksaan selanjutnya, tapi untuk itu penuntut umum harus lebih dulu mengadakan konsultasi yang sungguhVolume 8, No.1, Nop 2008 lxxxvi
sungguh dengan penyidik. Memang seperti yang diringkas di ataslah penerapan yang tepat terhadap petunjuk pelaksanaan angka 2 Lampiran tersebut. Perbedaan pendapat antara penyidik dengan penuntut umum barn bisa terjadi setelah penuntut umum menerima pelimpahan berkas perkara dari penyidik. Logikanya memang demikian, tidak mungkin timbul perbedaan pendapat antara penyidik dengan penuntut umum jika berkas perkara belum diterima penuntut umum. Selama berkas perkara masih berada di tangan penyidik, belum mungkin penuntut umum mengetahui secara resmi tentang status benda sitaan. Bahkan selama perkara masih dalam tingkat pemeriksaan penyidikan, penuntut umum tidak berwenang mencampuri status benda sitaan. Jika penuntut umum tidak berwenang mencampurinya, tidak mungkin penuntut umum berselisih pendapat dengan penyidik. Berdasar pemikiran yang diuraikan, perbedaan pendapat antara penyidik dengan penuntut umum mengenai status benda sitaan, baru bisa terjadi dalam "tingkat penuntutan", setelah penuntut umum menerima berkas perkara dari tingkat penyidikan. Tidak mungkin terjadi perbedaan pendapat sebelum berkas perkara diterima pada tingkat penuntutan. Hal ini penting dijernihkan, guna menempatkan dan menentukan posisi instansi mana yang berwenang mengambil "putusan akhir" atas perbedaan pendapat yang terjadi. Dengan ditetapkan patokan, perbedaan pendapat hanya mungkin terjadi setelah berkas "diterima di tingkat penuntutan", dengan sendirinya dapat dipastikan instansi mana yang berwenang "memberi putusan akhir" atas perbedaan pendapat yang terjadi: a. perbedaan pendapat mengenai status benda sitaan terjadi setelah penuntut umum menerima pelimpahan berkas perkara dari instansi penyidik, b. dengan demikian perbedaan pendapat terjadi setelah kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan berada di tangan penuntut umum pada tingkat penuntutan, c. oleh karena itu, instansi yang berwenang menentukan putusan akhir atas perbedaan pendapat yang terjadi, berada di tangan instansi penuntut umum. Dengan kesimpulan pendapat ini. sudah dapat ditegakkan kepastian hukum dalam penerapan petunjuk pelaksanaan yang dikehendaki angka 2 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman dimaksud. Apakah dengan kesimpulan pendapat tersebut sudah selesai permasalahan yang ditimbulkan petunjuk pelaksanaan angka 2 Lampiran tadi, sepintas lalu hampir terselesaikan, terutama sepanjang status benda sitaan berupa "pinjaman". Pada dasarnya penyitaan itu sama dengan perampasan, dimana dalam perkara pidana perampasan menurut putusan Mahkamah Agung Nomor 66 K/Kr/1969 tanggal 9
Volume 8, No.1, Nop 2008
lxxxvii
Agustus 1969 tidaklah menjadi keharusan. Sebagaimana hal ini pula ditegaskan oleh putusan Mahkamah Agung Nomor 22 K/Kr/1964 tanggal 22 Desember 1964.84 Kalau status benda sitaan hanya dipinjamkan penyidik kepada orang dari siapa benda itu disita, tidak begitu sulit formalitas penyelesaiannya. Seandainya penuntut umum tidak setuju atas tindakan penyidik meminjamkan barang sitaan kepada orang dari siapa benda itu disita, penuntut umum dapat segera memulihkannya ke dalam status benda sitaan dalam tingkat penuntutan. Dan menyuruh kembalikan benda tadi ke dalam Rupbasan, serta menempatkan benda sitaan di bawah kewenangan dan tanggung jawab yuridis instansi penuntut umum. Akan tetapi, lain halnya jika penyidik sudah sempat "mengubah" status benda sitaan baik berupa penjualan lelang, pengamanan atau pengembalian kepada orang dari siapa benda itu disita maupun kepada orang yang berhak atasnya. Di dalam tindakan penyidik mengubah status benda sitaan, penyidik harus lebih dulu mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Kalau begitu, seandainya penuntut umum tidak setuju atas perubahan status benda sitaan yang dilakukan penyidik pada tingkat penyidikan, dan penuntut umum memutuskan untuk mengembalikan ke dalam status penyitaan, belum tentu keputusan itu bisa terlaksana. Ada beberapa hambatan untuk merealisasi putusan tersebut. Faktor hambatan yang dimaksud adalah keadaan dan Sifat Perubahan Status Benda Sitaan itu Sendiri yang dimaksud di sini, perubahan status benda sitaan yang dilakukan penyidik sedemikian rupa keadaan dan sifatnya, sehingga perubahan status itu "tidak mungkin lagi dipulihkan" ke dalam status benda sitaan. Misalnya tindakan penjualan lelang benda sitaan. Keadaan dan sifat perubahan status benda sitaan dengan penjualan lelang, secara mutlak tidak mungkin lagi dikembalikan menjadi benda sitaan. Benda sitaannya sudah dijual secara resmi oleh kantor lelang. Bagaimana mungkin untuk menempatkan benda itu berada dalam penyitaan penuntut umum, kecuali pembeli lelang bersedia mengembalikan benda tersebut. Namun untuk memaksa pembeli mengembalikannya, bertentangan dengan hukum. Di sini dapat penulis lihat ditinjau dari segi teori maupun praktek, tidak mungkin lagi mengembalikan benda sitaan yang telah dijual lelang oleh penyidik dalam tingkat pemeriksaan penyidikan ke dalam status benda sitaan dalam tingkat penuntutan secara in natura. Hambatan untuk menempatkan kembali sebagai benda sitaan, disebabkan keadaan dan sifat perubahan status itu sendiri sudah tidak memberi kemungkinan lagi. Kalau begitu, jika penuntut umum tidak setuju atas penjualan benda sitaan yang dilakukan penyidik, tidak ada altenatif lain yang dapat diputuskan. Selain daripada menyetujui penjualan lelang yang tidak disetujuinya itu. Kalau begitu, jika penuntut umum menjumpai kenyataan bahwa penyidik telah menjual lelang benda sitaan, mau tidak mau terpaksa menyetujuinya dalam tingkat penuntutan. Karena tidak ada kemungkinan lagi untuk mengembalikan perubahan status penjualan itu ke dalam keadaan benda sitaan. Hal ini merupakan peringatan bagi penuntut umum, supaya jangan gegabah memutuskan sesuatu yang mempersulit kelancaran penyelesaian 84
Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, Op.Cit., h.252
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxxviii
perkara. Dan sikap menyetujuilah yang paling tepat diambil dalam kasus penjualan benda sitaan yang dilakukan penyidik. Kalau tidak demikian, penuntut umum akan terbentur menghadapi tembok yang tidak dapat ditembusnya sendiri. Faktor ijin Ketua Pengadilan Negeri, hambatan lain yang mungkin terjadi, faktor izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini mengingat ketentuan Pasal 38 KUHAP yang menegaskan, penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri. Apabila misalnya penuntut umum tidak setuju tindakan penyidik yang mengubah status benda sitaan dengan jalan mengembalikan benda sitaan kepada orang dari siapa benda itu disita sesuai dengan ketentuan Pasal 46 ayat(l) KUHAP. Kemudian penuntut umum memutuskan benda sitaan yang dikembalikan penyidik supaya ditempatkan dalam status benda sitaan dalam tingkat penuntutan. Berarti untuk menyita kembali benda yang telah dikembalikan tersebut, penyidik harus minta izin Ketua Pengadilan Negeri. Latar belakang permintaan ijin kepada Ketua Pengadilan Negeri, adalah dikarenakan izin penyitaan semula sudah hapus atau gugur. Karena sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang diatur pada angka 2 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman Nomor. M.14-PW.07.03/1983, jika penyidik hendak, mengubah status benda sitaan harus mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Dengan demikian seandainya penuntut umum memulihkan untuk menempatkan kembali dalam status semula, penyidik harus lebih dulu mendapat izin lagi dari Ketua Pengadilan Negeri. Bagaimana halnya jika Ketua Pengadilan Negeri tidak memberikan izin, sudah barang tentu Ketua Pengadilan Negeri tidak dapat dipaksa penyidik untuk memberikan izin. Jika ternyata Ketua Pengadilan Negeri tidak mail memberikan izin, dengan sendirinya putusan penuntut umum yang menetapkan pengembalian benda sitaan ke dalam status benda sitaan dalam tingkat penuntutan, sama sekali tidak terealisir. Izin Ketua Pengadilan Negeri merupakan faktor penghambat untuk melaksanakan putusan penuntut umum mengenai pengembalian status benda sitaan dalam keadaan semula. Malahan faktor izin ini bukan hanya penghambat yang berdiri sendiri. Ada lagi faktor penghambat lain yang mengiringi izin tersebut, yakni faktor "keberadaan" benda yang telah dikembalikan. Sekiranya Ketua Pengadilan bersedia memberikan izin penyitaan kembali benda yang sudah dikembalikan penyidik, akan tetapi benda itu telah dijual oleh orang yang menerima pengembalian atau benda itu sudah habis terpakai atau musnah terbakar. Sudah barang tentu dalam kasus yang demikian putusan penuntut umum yang menetapkan pengembalian benda ke dalam penyitaan penuntutan, tidak dapat direalisasi. ltulah beberapa permasalahan hukum yang ditimbulkan petunjuk pelaksanaan angka 2 Lampiran tadi. Seolah-olah petunjuk itu bukan membimbing dan mengarahkan pelaksanaan penerapan hukum yang lebih praktis. Malahan sebaliknya, petunjuk itu semakin mempersulit penyelesaian perbedaan pendapat yang terjadi antara penyidik dengan penuntut umum. Jika seandainya petunjuk itu benar-benar bertujuan menghindari terjadinya perbedaan pendapat antara penyidik dengan penuntut umum Volume 8, No.1, Nop 2008
lxxxix
mengenai perubahan status benda sitaan, cukup dirumuskan petunjuk pelaksanaan yang sederhana yang sungguh-sungguh dapat menjangkau penertiban pelaksanaan. Misalnya, cukup dirumuskan petunjuk yang berbunyi untuk menghindari perbedaan pendapat antara penyidik dengan penuntut umum mengenai benda sitaan, setiap perubahan status benda sitaan yang hendak dilakukan penyidik pada tingkat penyidikan, lebih dulu dikonsultasikan dengan pihak penuntut umum. Dengan petunjuk yang demikian, dapat dihindari perbedaan pendapat. Atau sebaiknya hal itu tidak perlu dipersoalkan, dan tidak perlu diberikan petunjuk pelaksanaan. Tanpa petunjuk pelaksanaan, dengan sendirinya setiap instansi sematamata akan berdiri pada batas kewenangan dan pertanggungjawaban yuridis yang ada padanya sesuai dengan tingkat pemeriksaan. Kewenangan dan Peralihan Tanggung Jawab Yuridis Penuntut Umum Atas Benda Sitaan Uraian mengenai kewenangan dan peralihan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan pada tingkat penuntutan dapat dipersingkat, karena banyak di antara uraian yang telah dibahas pada tingkat penyidikan, termasuk juga dalam ruang lingkup kewenangan dan peralihan tanggung jawab yuridis benda sitaan pada tingkat penuntutan. Oleh karena itu, apa yang diuraikan di sini hanya mengenai hal-hal yang khusus kewenangan dan peralihan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan pada tingkat penuntutan. Kewenangan penuntut umum atas benda sitaan dalam tingkat penuntutan hampir sama dengan yang dimiliki instansi penyidik. Landasan dan dasar hukum kewenangan inipun baik pada tingkat penyidikan maupun tingkat penuntutan, samasama bertitik tolak dari Pasal 45 dan Pasal 46 KUHAP. Kewenangan Mengubah Status Benda Sitaan, selama pemeriksaan perkara berada dalam tingkat penuntutan, penuntut umum berwenang mengubah status benda sitaan. Perubahan status benda sitaan yang termasuk kewenangan penuntut umum meliputi menjual lelang benda sitaan. Tentang kewenangan menjual lelang barang sitaan yang ada pada penuntut umum terdapat sedikit perbedaan dengan apa yang ada pada instansi penyidik, hanya terbatas selama pemeriksaan perkara masih dalam tingkat penyidikan. Tidak demikian halnya jangkauan kewenangan yang ada pada penuntut umum. Kewenangan penuntut umum mengubah status benda sitaan tidak hanya terbatas selama perkara berada dalam tingkat penuntutan, tapi menjangkau tingkat pemeriksaan pengadilan baik pada tingkat Pengadilan Negeri, pemeriksaan tingkat banding maupun tingkat kasasi. Demikian jauhnya jangkauan kewenangan penuntut umum mengubah status benda sitaan, bukan hanya terbatas pada tingkat penuntutan, tapi menjangkau semua tingkat pemeriksaan pengadilan. Hanya saja dalam melaksanakan kewenangan ini terdapat perbedaan "formalitas". Jika penjualan lelang dilakukan penuntut umum masih dalam tingkat kewenangan dan tanggung jawab yuridisnya yang murni, penjualan lelang tidak memerlukan formalitas dari instansi lain. Jadi, jika penuntut umum memerlukan penjualan lelang atas benda sitaan. Dan tindakan itu dilakukannya masih dalam tingkat penuntutan tidak diperlukan izin persetujuan dari
xc
Volume 8, No.1, Nop 2008
siapa pun. Akan tetapi jika tindakan perubahan status itu hendak dilakukannya setelah pemeriksaan perkara pada tingkat pengadilan, penuntut umum hams mendapat izin persetujuan dari "hakim" yang menyidangkan perkara. Dari hakim Pengadilan Negeri yang menyidangkan perkara pada tingkat pertama. Dari Hakim Tinggi yang menyidangkan perkara pada tingkat banding dan dari Hakim Agung yang menyidangkan perkara pada tingkat kasasi. Demikian pelaksanaan kewenangan penjualan leiang penuntut umum menurut Pasal 45 ayat (1) huruf a dan b. Akan tetapi, apakah benar demikian, apakah campur tangan instansi lain tidak merupakan syarat formal dalam pelaksanaan penjualan yang dilakukan penuntut umum selama perkara dalam tingkat penuntutan. Jika semata-mata bertitik tolak dari ketentuan Pasal 45 ayat (1) K.UHAP benar demikian. Namun jika kewenangan itu dihubungkan dengan petunjuk pelaksanaan angka 2 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983, penjualan lelang yang hendak dilakukan dalam tingkat penuntutan pun, harus lebih dulu mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri, karena menurut penegasan petunjuk pelaksanaan itu, jika penyidik atau penuntut umum hendak mengubah status benda sitaan, harus mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Dengan menghubungkan Pasal 45 ayat (1) KUHAP dengan petunjuk pelaksanaan tadi, penuntut umum tidak bisa berdiri sendiri melakukan penjualan leiang, tapi harus mendapat bantuan dari instansi lain, berupa izin persetujuan Ketua Pengadilan Negeri pada penjualan lelang dalam tingkat penuntutan, izin persetujuan hakim yang menyidangkan perkara dalam tingkat pemeriksaan pengadilan. Di samping itu, supaya tindakan penjualan lelang benda sitaan memenuhi syarat yang dikehendaki undang-undang dan peraturan, penuntut umum mesti memperhatikan hal-hal berikut benda sitaan terdiri dari benda yang mudah rusak, keadaan yang mudah rusak itu dibuktikan berdasar pendapat lembaga ahli, sejauh mungkin mendapat persetujuan dari terdakwa atau kuasanya, penjualan lelang disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya, pelaksanaan lelang disaksikan oleh petugas Rupbasan, sesuai dengan ketentuan Pasal 12 ayat (4) Peraturan Menteri Kehakiman No. M.05-UM.01.06/1983, pelaksanaan lelang dilakukan oleh kantor lelang negara, menyisihkan sebagian kecil dari benda yang dilelang guna kepentingan pembuktian. ltulah beberapa syarat penjualan lelang yang harus diperhatikan penuntut umum. Syarat-syarat itu sudah dijelaskan pada bagian terdahulu, dan tidak akan dijelaskan ulang lagi di sini. Tindakan mengamankan benda sitaan meliputi pengertian pemusnahan benda sitaan. Kewenangan pengamanan atau memusnahkan benda sitaan yang dilakukan penuntut umum baik pada tingkat penuntutan maupun pada tingkat pemeriksaan pengadilan, sama hal dan formalitasnya dengan tingkat penjualan lelang. Oleh karena itu, jika penuntut umum hendak memusnahkan benda sitaan karena dianggap membahayakan kesehatan orang dan lingkungan, tindakan itu harus lebih dulu "mendapat izin" Ketua Pengadilan Negeri jika pemusnahan atau pengamanan itu dilakukan pada tingkat penuntutan, dan izin persetujuan dari hakim yang menyidangkan perkara jika tindakan itu dilakukan pada tingkat pemeriksaan pengadilan. Volume 8, No.1, Nop 2008
xci
Dalam tindakan pemusnahan benda sitaan ini pun kewenangan penuntut umum tidak hanya terbatas pada tingkat penuntutan saja. Tetapi meliputi tingkat pemeriksaan pengadilan dalam semua tingkat, mulai dari tingkat pemeriksaan Pengadilan Negeri, tingkat banding dan kasasi. Mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi penuntut umum dalam tindakan pemusnahan barang sitaan tersebut membahayakan, sejauh mungkin dengan persetujuan terdakwa atau kuasanya, pelaksanaan pemusnahan disaksikan terdakwa atau kuasanya, pelaksanaan pemusnahan disaksikan petugas Rupbasan, seperti yang dijelaskan Pasal 11 ayat (3) huruf c Keputusan Menteri Kehakiman No. M.05UM.O I -06/1983. Mengembalikan benda sitaan, di samping kewenangan menjual lelang dan memusnahkan benda sitaan, penuntut umum berwenang mengubah status benda sitaan dengan cara "mengembalikan" benda sitaan kepada orang dari siapa dulunya benda sitaan itu disita. Pengembalian benda sitaan berarri mengembalikan benda itu dalam kedudukan semula secara sempurna tanpa ikatan apa-apa lagi dengan perkara maupun dengan pihak instansi penegak hukum. Jadi, harus dibedakan pengembalian dalam arti murni dan sempurna dengan pengertian tindakan meminjamkan atau menitipkan benda sitaan kepada orang dari siapa benda itu disita. Pada status peminjaman, benda sitaan memang benar dikembalikan kepada orang yang bersangkutan. Akan tetapi pengembalian itu tidak murni baik ditinjau dari segi yuridis dan keperluan. Secara yuridis benda sitaan yang dipinjamkan masih berada dalam status penyitaan dan tanggung jawab yuridisnya masih dipegang instansi yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan perkara serta benda itu masih diperlukan dalam pemeriksaan perkara. Formalitas dan syarat-syarat yang perlu dipenuhi penuntut umum dalam pelaksanaan pengembalian benda sitaan mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri, ini sejalan dengan makna yang terdapat pada petunjuk pelaksanaan angka 2 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983 yang menegaskan bahwa setiap perubahan status benda sitaan yang dilakukan penyidik dan penuntut umum, harus ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri, kepentingan pemeriksaan tidak memerlukannya lagi, atau benda itu tidak ada sangkut-pautnya dengan perkara yang diperiksa, atau perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti, atau perkara tidak jadi dituntut karena peristiwa yang terjadi bukan merupakan tindak pidana, atau karena dikesampingkan (ideponering) untuk kepentingan umum, atau perkara ditutup demi hukum karena nebis in idem, karena kedaluwarsa, terdakwanya meninggal dunia, dan sebagainya. Suatu hal yang penting diingatkan di sini sehubungan dengan tindakan perubahan status benda sitaan. Setiap tindakan kewenangan perubahan status benda sitaan harus berdasar "surat perintah" atau surat penetapan penuntut umum. Hal ini perlu demi untuk kepastian hukum dan untuk menjadi dasar bagi petugas Rupbasan mengeluarkan benda itu dari Rupbasan. Demikian yang dituntut ketentuan Pasal 10 dan Pasal II Peraturan Menteri Kehakiman No. M.05-UM.01.05/1983. Juga perlu diingat
xciiVolume 8, No.1, Nop 2008
larangan untuk mempergunakan benda sitaan oleh siapa pun sebagaimana yang ditegaskan Pasal 44 ayat (2) KUHAP. Di samping kewenangan penuntut umum mengubah status benda sitaan berupa penjualan lelang, pemusnahan dan pengembalian, dia juga berwenang meminjamkan benda sitaan kepada orang dari siapa benda itu disita. Kewenangan untuk meminjamkan benda sitaan disebutkan pada petunjuk pelaksanaan angka 2 alinea pertama Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983. Seperti yang sudah diterangkan, peminjaman benda sitaan ialah pengembalian yang tidak sempuma dan mumi. Benda sitaan yang dipinjamkan masih tetap berstatus benda sitaan dan tanggung jawab yuridisnya tetap berada pada pihak instansi sesuai dengan tingkat pemeriksaan perkara. Dari segi keperluannya pun benda itu masih tetap diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan perkara. Dari segi formal, tindakan meminjamkan benda sitaan merupakan kewenangan yang murni bagi penuntut umum. Dia sepenuhnya berwenang melakukan tindakan itu tanpa bantuan persetujuan izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Cuma tindakan itu hanya dapat dilakukan selama pemeriksaan perkara berada dalam tingkat penuntutan. Jika tingkat pemeriksaan perkara sudah berada pada taraf pemeriksaan pengadilan, harus lebih dulu mendapat izin persetujuan dari hakim yang memeriksa perkara sesuai dengan tingkat pemeriksaan pengadilan yang bersangkutan. Sehubungan dengan tindakan meminjamkan benda sitaan tidak banyak syaratsyarat yang harus diperhatikan penuntut umum. Syarat yang penting di sini, antara lain penetapan peminjaman dari penuntut umum, peminjaman hanya diberikan kepada orang dari siapa benda itu disita. Jangan sampai peminjaman diberikan kepada orang lain. Apalagi untuk kepentingan diri sendiri, dilarang oleh Pasal 44 ayat (2) KUHAP, pelaporan berupa tembusan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pelaporan ini, jika sepanjang tindakan meminjarnkan itu dilakukan penuntut umum pada tingkat penuntutan. Kalau tindakan itu dilakukan pada tingkat pemeriksaan pengadilan, bukan pelaporan yang menjadi syarat, tapi izin persetujuan dari hakim yang menyidangkan. Masalah yang berkenaan dengan peralihan kewenangan dan tanggungjawab yuridis atas benda sitaan dari penuntut umum kepada Pengadilan Negeri tidak diuraikan lagi di sini, karena baik mengenai peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas penahanan maupun benda sitaan adalah sama. Dengan demikian. patokan menentukan tanggal peralihan kewenangan dan tanggungjawab yuridis atas benda sitaan dari tingkat penuntutan ke tingkat pemeriksaan pengadilan, berjalan beriringan dengan peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas penahanan dari tangan penuntut umum kepada pengadilan. Pada tanggal terjadinya peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis penahanan dari tangan penuntut umum kepada pengadilan, otomatis terjadi pula peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan. Prinsip menentukan patokan peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan dari tingkat penuntutan kepada tingkat pemeriksaan pengadilan, tidak semurni peralihan dan tanggung jawab atas penahanan. Dalam Volume 8, No.1, Nop 2008
xciii
penahanan, sejak saat terjadi peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis dari penuntut umum kepada instansi pengadilan, penuntut umum tidak mempunyai kewenangan apa-apa lagi atas penahanan tersebut. Akan tetapi tidak demikian halnya benda sitaan. Berdasar Pasal 45 ayat (1) huruf b KUHAP, kewenangan penuntut umum atas benda sitaan masih berlanjut terus, sekalipun telah terjadi peralihan tanggung jawab yuridis ke tingkat pemeriksaan pengadilan. Walaupun secara nyata dan formal telah terjadi peralihan tanggung jawab yuridis berkas perkara dan penahanan ke tingkat pemeriksaan pengadilan, undangundang masih tetap memberi kewenangan kepada penuntut umum untuk menjual lelang benda sitaan, untuk mengamankan atau memusnahkan benda sitaan, tetapi atas izin hakim yang menyidangkan perkara yang bersangkutan. Jadi, kewenangan penuntut umum atas benda sitaan menjangkau dan berlanjut sampai ke tingkat pemeriksaan pengadilan baik pada tingkat pemeriksaan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Memang dengan terjadinya peralihan benda sitaan dari tingkat penuntut umum ke tingkat pemeriksaan pengadilan, secara formal tanggung jawab yuridisnya ada di tangan pengadilan. Akan tetapi sekaligus dalam kewenangan dan tanggung jawab yuridis pengadilan tadi. tetap melekat kewenangan penuntut umum untuk menjual lelang atau memusnahkan benda sitaan. Cuma sifat kewenangan yang melekat tersebut tidak mutlak, karena kewenangan itu baru bisa diterapkan penuntut umum tergantung dari izin persetujuan hakim yang menyidangkan perkara. 3. Peralihan Tanggung Jawab Di Tingkat Peradilan Wewenang pengadilan dalam semua tingkat pemeriksaan atas benda sitaan, pada prinsipnya sama dengan kewenangan yang diberikan undang-undang kepada instansi penyidik dan penuntut umum. Kewenangan yang diberikan undang-undang kepada setiap instansi penegak hukum dalam semua tingkat pemeriksaan atas benda sitaan, pada hakikatnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 45 dan Pasal 46 KUHAP. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan antara kewenangan yang ada pada satu instansi dengan instansi yang lain, tanpa mengurangi adanya variasi dan pengecualian di sanasini. Ada kelebihan antara instansi penyidik dengan penuntut umum dan antara penuntut umum dengan kewenangan yang diberikan undang-undang kepada instansi pengadilan. Selama Pemeriksaan Perkara Masih Berlangsung dalam Setiap Tingkat Pengadilan dapat memerintahkan atau memberi izin penjualan lelang benda sitaan, Dapat memerintahkan atau memberi izin pemusnahan atau pengamanan benda sitaan. Asal penjualan lelang atau pemusnahan itu memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 45 ayat (1) KUHAP. Dapat memerintahkan atau memberi izin pengembalian benda sitaan kepada orang dari siapa benda itu disita, asalkan pengembalian itu memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 46 ayat (1) huruf a, b, atau c KUHAP. Dapat meminjamkan benda sitaan, sepanjang peminjaman itu tidak menghambat kelancaran pemeriksaan perkara yang bersangkutan.
xcivVolume 8, No.1, Nop 2008
Pada Taraf Penjatuhan Putusan, Pengadilan pada Setiap Tingkat Instansi Dapat menjatuhkan putusan pengembalian benda sitaan kepada orang dari siapa benda itu disita atau kepada orang yang dianggap paling berhak atas benda sitaan. Dapat menjatuhkan putusan menetapkan perampasan benda sitaan untuk negara. Atau dapat menjatuhkan putusan yang memerintahkan pemusnahan atau perusakan benda sitaan. Atau dapat menjatuhkan putusan yang menetapkan benda sitaan masih diperlukan lagi sebagai barang bukti dalam perkara lain.85 Kewenangan yang disebut belakangan ini ditentukan dalam Pasal 46 ayat (2) KUHAP. Dan kewenangan ini hanya diberikan undang-undang kepada instansi pengadilan pada setiap tingkat pemeriksaan. Kewenangan ini mutlak monopoli instansi pengadilan, tidak diberikan undang-undang kepada instansi penyidik pada tingkat pemeriksaan penyidikan maupun kepada instansi penuntut umum pada tingkat penuntutan. Jadi, selama benda sitaan mengikuti tingkat pemeriksaan pengadilan, pengadilan yang berwenang menetapkan kepada siapa benda sitaan dikembalikan atau dirampas untuk negara, maupun untuk dimusnahkan. Pengadilan Negeri berwenang untuk menjatuhkan putusan yang memerintahkan pengembalian benda sitaan kepada orang dari siapa benda itu disita, atau orang yang dianggapnya paling berhak. Atau dapat memerintahkan merampas benda sitaan untuk negara maupun untuk dimusnahkan. Namun atas putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi berwenang pula untuk menentukan lain benda sitaan tersebut dalam putusan. Jika Pengadilan Negeri menetapkan benda sitaan dikembalikan kepada orang dari siapa benda itu disita, sedang Pengadilan Tinggi berpendapat benda itu semestinya dikembalikan kepada orang lain yang paling berhak, Pengadilan Tinggi berwenang untuk mengubah putusan Pengadilan Negeri tersebut. Atau jika putusan Pengadilan Negeri memerintahkan pengembalian benda sitaan, sedang Pengadilan Tinggi berpendapat harus dirampas untuk negara, dia berwenang untuk menentukan demikian. Demikian pula Mahkamah Agung, berwenang untuk menentukan benda sitaan dari apa yang telah ditentukan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi dalam putusan yang mereka jatuhkan sepanjang putusan itu tidak keluar dari batas ruang lingkup yang ditentukan Pasal 46 ayat (2) KUHAP. Mengenai peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan dari Pengadilan Negeri ke tingkat banding, dan dari tingkat banding ke tingkat kasasi, serupa halnya dengan peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas penahanan. Untuk menentukan patokan tanggal peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan tingkat pemeriksaan Pengadilan Negeri ke tingkat banding pada Pengadilan Tinggi dan dari Pengadilan Tinggi ke tingkat kasasi pada Mahkamah Agung, berpedoman berdasar asas "konsistensi" kepada ketentuan Pasal 238 ayat (2) dan Pasal 253 ayat (4) KUHAP. Dengan mempedomani pasal-pasal tersebut secara konsisten patokan tanggal peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan terhitung sejak tanggal permintaan banding diajukan, kewenangan 85
Ibid., h.248
Volume 8, No.1, Nop 2008
xcv
dan tanggung jawab yuridis benda sitaan beralih dari Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi, terhitung sejak tanggal permintaan kasasi diajukan, kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan beralih dari Pengadilan Negeri dan atau Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung.
KESIMPULAN Berdasarkan seluruh uraian pada bab-bab pembahasan di atas, maka saya dapat tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: a.
Benda yang dapat di sita dalam perkara pidana adalah hanya mempunyai hubungan dengan tindak pidana, sedangkan bilamana benda tersebut tidak mempunyai hubungan dengan tindak pidana maka benda tersebut tidak dapat di sita. Di samping hal tersebut, dalam proses penyitaan benda yang bersangkutan dengan perkara pidana harus mendapat ijin dari Ketua Pengadilan Negeri;
b.
Tanggung jawab atas benda sitaan adalah merupakan tanggung jawab dari pihak yang secara langsung bertanggung jawab atas keselamatan barang itu. Artinya bilamana benda sitaan tersebut di sita oleh penyidik dan dikuasai oleh penyidik, maka yang bertanggung jawab adalah penyidik. Berbeda halnya jika benda tersebut sudah dalam tahap dua dari suatu perkara tindak pidana, maka beban tanggung jawab telah dialihkan pada penuntut umum. Demikian pula jika benda sitaan tersebut telah dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri, maka yang bertanggung jawab adalah Pengadilan Negeri.
SARAN Sebagai saran penyempurnaan atas keberadaan proses penyitaan dalam KUHAP, maka dapat dikemukakan hal-hal:
xcviVolume 8, No.1, Nop 2008
a.
b.
perlu penegasan dalam putusan pengadilan, jika telah ditentukan bahwa barang bukti atau benda tersebut dikembalikan kepada yang paling berhak dipandang perlu untuk menegaskan siapakah yang paling berhak. Sebab seolah-olah hakim pidana tidak bertanggung jawab terhadap siapa ia mengembalikan benda atau barang itu. Padahal Pengadilan Negeri telah dibantu guna mencari kebenaran materiil dalam perkara tersebut; perlu pemahaman yang cukup seksama tentang penyitaan, mengingat dalam praktik tidak sedikit penyidik melakukan penyitaan, sementara obyek yang sita tersebut tidak dalam keadaan mendesak.
Volume 8, No.1, Nop 2008
xcvii
Perlindungan Hukum Debitor dalam Perjanjian yang Disetujui serta Upaya Hukumnya OLEH: H. FIRMAN SJAH, S.H.,M.HUM.* ABSTRAK BERDASARKAN PASAL 1320 BW PERJANJIAN ADALAH JIKA TELAH MEMENUHI KETENTUAN SYARAT SAHNYA PERJANJIAN. PERJANJIAN ANTARA KRIDITOR DAN DEBITOR HARUS JUGA MEMENUHI SYARAT SAHNYA PERJANJIAN, SEBAGAIMANA HAL INI DITEGASKAN DALAM PASAL 1338 BW. KATA KUNCI: PERLINDUNGAN HUKUM – PERJANJIAN MERUGIKAN SALAH SATU PIHAK – AKIBAT HUKUM.
LATARBELAKANG Secara umum setiap orang yang telah menyetujui suatu perjanjian, maka ia terikat untuk melaksanakannya. Kendati demikian, hendaknya perjanjian tersebut harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, tidak bertentangan dengan kepatutan, ketertiban umum dan kesusilaan serta tidak mengandung penyalah-gunaan keadaan. Artinya setiap debitor yang telah menyetujui suatu perjanjian, tidak serta-merta harus melaksanakan isi perjanjian tersebut. Lebih jelasnya sebagai gambaran latarbelakang penulis akan menjelaskan tentang perjanjian kredit dan perjanjian yang menggunakan kontrak baku. Perjanjian dalam bentuk apapun, tidak terkecuali perjanjian kredit dalam pelaksanaannya harus atas dasar dengan itikad baik. Walaupun perjanjian tersebut telah memenuhi ketentuan dalam pasal 1338 BW (Burgerlijk Wetboek), namun yang dimaksud dengan kebebasan berkontrak adalah harus didasari pula pada pemenuhan syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 BW.86 Pada Perjanjian kredit pemilikan rumah antara debitor dengan Bank Tabungan Negara pada dasarnya bukanlah perjanjian sewa beli, melainkan adalah perjanjian kredit *Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 86 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku II, Cet.II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, h.181
Volume 8, No.1, Nop 2008 xcviii
pemilikan rumah saja yang diberikan oleh Bank Tabungan Negara dengan obyek jaminan berupa rumah yang akan dibeli oleh debitor tersebut. Sebenarnya perjanjian pemilikan rumah tersebut konsep dasarnya adalah sewa beli, yaitu seorang pembeli barang yang tidak mempunyai uang cukup untuk membayar harga barang secara tunai, pembeli hanya mampu membayar harga barang secara kredit. Ketika seorang pembeli hanya mampu membayar secara kredit, sementara barang diserahkan kepada pembeli, secara hukum pihak kreditor akan menderita kerugian bilamana pihak pembeli menguasai barangnya sedang harga pembelian barang belum dibayar tunai. Untuk itulah, maka dalam praktik dibentuk suatu persetujuan yang dinamakan sewa beli, yaitu perjanjian yang pada pokoknya adalah sewa-menyewa barang, namun pembeli tidak menjadi pemilik melainkan hanya pemakai belaka. Baru jika uang sewa telah dibayar, berjumlah sama dengan harga tunai pembelian barang, status pembeli berubah dari penyewa atau pemakai menjadi pemilik barang.87 Perjanjian sewa beli atau huurkoop88 yang merupakan ciptaan praktik dan bukan sebagai perjanjian yang diatur dalam Buku III BW (Burgerlijke Wetboek) masih diakui sebagai praktik hukum. Hal ini dikarenakan Buku III BW yang mengatur tentang perikatan atau van verbintennis89 adalah bersifat aan vullenrecht.90 Sifat aan vullenrecht dari Buku III BW melahirkan konsekuensi yuridis bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun undang-undang tidak mengaturnya. Aan vullenrecht merupakan suatu azas dalam penerapan Buku III BW, kemudian dikembangkan dalam pasal 1338 BW kemudian dikenal dengan sebutan freedom of making contract.91 Azas kebebasan berkontrak dalam pasal 1338 ayat 1 tersebut menyimpulkan pengertian bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka atau beginsel der contractsvrujheid, hal itu dapat dibuktikan dari kata “semua” yang ada di depan kata “perjanjian”, sehingga seolah-olah dalam membuat perjanjian kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban dan kesusilaan umum”.92 Kebebasan berkontrak yang didasarkan pada pasal 1338 ayat 1 BW (Burgerlijk Wetboek) adalah tercantum dalam buku III yang mengatur tentang perikatan (verbintenissen). Buku III BW terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian khusus. Bagian umum memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan umumnya, misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan sebagainya. Bagian khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian 87 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Cet.VII, Sumur Bandung, Jakarta, 1981, h.65 88 Subekti, Aneka Perjanjian, (selanjutnya disebut Subekti R.I), Cet.VII, Alumni, Bandung, 1985, h.51 89 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., h.11 90 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Cet.I, Alumni, Bandung, 1982, h.84 91 Ibid. 92 Subekti. RI., Op.cit. h.5 Volume 8, No.1, Nop 2008 xcix
yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah mempunyai nama-nama tertentu, misalnya jual beli, sewa menyewa, perjanjian perburuhan, maatschap, pemberian dab sebagainya. Buku III BW menganut azas kebebasan dalam hal membuat perjanjian, sebagaimana telah diuraikan di atas. Namun penerapan azas kebebasan menjadi tidak sinkron jika dirangkai dalam sebuah kalimat “kebebasan perjanjian” atau “kebebasan perikatan” atau “kebebasan perutangan”, karenanya dalam tulisan ini perlu terlebih dahulu diklarifikasi pengertian “hukum perikatan”, “hukum perutangan”, “hukum perjanjian” dan “hukum kontrak”. “Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua atau lebih pihak, dalam mana pihak satu mempunyai kewajiban memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak lain.”93 Dengan demikian hukum perikatan adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua atau lebih pihak dalam mana pihak satu mempunyai kewajiban memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak lain. Hukum perutangan adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum antara orang dengan orang (hak-hak perorangan), meskipun mungkin yang menjadi obyek juga suatu benda. Namun oleh karena sifat hukum yang termuat dalam buku III itu selalu berupa tuntut-menuntut, maka isi buku III itu juga dinamakan “hukum perhutangan.”94 Hukum perjanjian adalah hukum yang mengatur suatu peristiwa, di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.95 Demikian halnya dengan perjanjian sewa beli di lingkungan Perumnas, dalam praktiknya seorang pembeli yang menggunakan fasilitas sewa beli, ia bukanlah sebagai pemilik sepanjang harga cicilan terakhir dari rumah tersebut lunas. Perjanjian demikian, dalam praktik dikemas sedemikian rupa sehingga lahirlah perjanjian kredit pemilikan rumah, dengan jaminan kredit adalah Sertifikat Hak Milik atas tanah dan rumah Perumnas tersebut. Sertifikat Hak Milik atas tanah dan rumah Perumnas tersebut baru akan diserahkan oleh pemberi kredit dalam hal ini Bank Tabungan Negara kepada penyewa beli setelah harga perumahan dimaksud dibayar lunas. Jika suatu perjanjian dilakukan di lingkungan pengusaha dengan pengusaha, umumnya sudah dapat dipahami bahwa dengan syarat-syarat yang mereka setujui 93 Mashudi. H. dan Mohammad Chidir, Bab-bab Hukum Perikatan (Pengertian-pengertian elementer), Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1995, h.55 94 Subekti. R., Pokok pokok Hukum Perdata (selanjutnya disebut Subekti.R.II), Cet.XX, Intermasa, Jakarta, 1985, h.123. 95 Subekti. R., Hukum Perjanjian (selanjutnya disebut Subekti R. II), Cet.VI, Intermasa, Jakarta, 1979, h.1. c Volume 8, No.1, Nop 2008
bersama, mereka akan mencapai tujuan ekonomi yang mereka harapkan. Hal ini tidak menimbulkan masalah karena kedua belah pihak telah memahami makna syarat-syarat yang ditentukan itu. Syarat-syarat tersebut dirumuskan sedemikian rapi, sehingga menjadi syarat-syarat yang berlaku untuk semua orang yang membuat perjanjian ekonomi dengan pengusaha yang bersangkutan. Dengan lain kata, syarat-syarat itu dibakukan artinya ditetapkan sebagai tolok ukur bagi setiap pihak yang membuat perjanjian ekonomi dengan pengusaha yang bersangkutan. Setelah diberlakukan untuk semua orang yang mengadakan perjanjian dengan pengusaha tadi, pelaksanaan syarat-syarat tersebut ada di antaranya menjadi tidak normal, tidak berlaku sebagaimana mestinya. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan kondisi tingkat pengetahuan, kemampuan ekonomi, ragam kebutuhan yang diinginkan, antara pihak konsumen yang membuat perjanjian itu. Pelaksanaan syarat-syarat perjanjian dalam keadaan tertentu menyimpang dari apa yang dikehendaki semula. Untuk mencegah penyimpangan yang merugikan pengusaha, kemudian ia berusaha memasukkan syarat tertentu dalam perjanjian dengan maksud untuk menjaga keadaan yang tidak diduga yang dapat menghalangi pelaksanaan perjanjian. Jika terjadi pelaksanaan perjanjian tidak baik, pengusaha menunjuk syarat mengenai tanggung jawab pihak yang melaksanakan perjanjian tidak baik itu.
RUMUSAN MASALAH Dalam era globalisasi ini pembakuan syarat-syarat perjanjian merupakan mode yang tidak dapat dihindari. Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele. Tetapi bagi konsumen justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu menerima walaupun dengan berat hati. Menghadapi situasi semacam ini tentunya pemerintah tidak tinggal diam tetapi bergantung juga pada sistem ekonomi yang berlaku di setiap negara yang tidak selalu sama. Bagaimanapun juga, pelaksanaan perjanjian standard di Indonesia tidak semata-mata diserahkan kepada para pengusaha, melainkan juga harus disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Atas dasar uraian singkap di atas, maka dapat diangkat beberapa permasalahan dengan rumusan kalimat, sebagai berikut: a. Bagaimanakah terhadap perjanjian yang telah disetujui itu sah menurut hukum? b. Dapatkah perjanjian yang telah disetujui itu dibatalkan secara sepihak?
Volume 8, No.1, Nop 2008
ci
SYARAT SAHNYA PERJANJIAN 1.
Perjanjian yang Sah adalah Mengikat
Kebebasaan berkontrak merupakan perwujudan kehendak bebas dari pancaran hak azasi manusia, sebagaimana ini telah ditegaskan dalam azas-azas dasar hak asasi manusia yaitu bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi (vide pasal 3 (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia). Keseimbangan para pihak dalam berkontrak merupakan konsep dasar yang bersifat imperatif dari pemahaman prinsip equality before the law, hal ini harus selalu menjadi acuan dalam tiap-tiap penerapan azas kebebasan berkontrak, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1338 BW. Kebebasan berkontrak selalu melahirkan konsekuensi, bahwa kontrak yang akan dibuat selalu berlandaskan pada dua kepentingan yang tidak sama dan mengarah pada tujuan yang sama yaitu pemenuhan prestasi. Acapkali dalam kebebasan berkontrak yang notabene dilandasi semangat liberalisme yang mengagungkan individu, juga dipengaruhi semboyan dalam revolusi Perancis “liberte, egalite et fraternite”96 dengan akibat memberi peluang kepada golongan ekonomi kuat untuk menekan dan mengalahkan golongan ekonomi lemah. Tujuan terpenting dari adanya azas kebebasan berkontrak adalah diberinya kebebasan kepada para pihak untuk memilih dan menentukan sendiri bentuk kontrak yang akan disepakati oleh kedua belah pihak. Para pihak dapat memilih dan menentukan sendiri isi kontraknya, apakah cukup dituangkan dan disepakati secara lisan saja atau kesepakatan kontrak tersebut akan dituangkan secara tertulis dalam sebuah akta. Bilamana suatu kontrak dibuat dan dituangkan secara lisan, maka yang terpenting agar kontrak tersebut menjadi sah secara hukum adalah para pihak harus secara tepat menjadikan kontrak itu sesuai dengan syarat sahnya perjanjian yang telah ditetunkan dalam pasal 1320 BW. Artinya para pihak telebih dahulu menyepakati isi kontrak yang telah dibicarakan sebelumnya, kemudian para pihak dipandang perlu adalah orang-orang atau badan (jika salah satunya badan usaha) yang cakap bertindak, dan syarat yang ketiga adalah bahwa hal yang menjadi obyek kontrak “haruslah” hal tertentu atau jelas serta “harus” pula kontrak itu dibuat karena atau ada causa yang diperbolehkan. Pada kata harus dalam tanda kutip di atas, mengandung arti bahwa kontrak yang dibuat secara lisan itu akan menjadi sia-sia adanya, jika obyek kontrak tidak jelas 20 Agus Yuda Hernoko, Kebebasan Berkontrak dalam Kontrak Standar (Pengembangan Konsep Win-win Solution sebagai Alternatif Baru dalam Kontrak Bisnis), Puspa Ragam Informasi dan Problematika Hukum, Karya Abdi Tama, Surabaya, 2000, h.99.
cii
Volume 8, No.1, Nop 2008
dan alasan atau sebab terjadinya kontrak jelas-jelas tidak diperbolehkan, baik oleh undang-undang, kesusilaan ataupun ketertiban umum. Sedangkan kata sepakat dari para pihak tidak ditekankan sebagai keharusan untuk berkata secara tegas telah sepakat dan para pihak adalah cakap bertindak, hal ini dikarenakan dua hal yang terakhir di mana disebutkan dalam pasal 1320 BW sebagai syarat sahnya perjanjian yang pertama dan kedua, yaitu sepakat dan cakap adalah merupakan syarat-syarat subyektif sahnya perjanjian. Adapun tentang obyek kontrak adalah diwajibkan harus jelas dan sebab kontrak yang harus diperbolehkan adalah merupakan syarat-syarat obyektif sahnya perjanjian atau kontrak. Kecuali itu, oleh karena kontrak tersebut pada akhirnya akan mengikat para pihak dan para pihak harus tunduk, sebagaimana ia tunduk dan patuh pada hukum, maka kontrak itu sendiri adalah merupakan hukum. Adapun hukum hanya dapat mengatur perbuatan manusia bukan sikap batin, artinya hukum tidak dapat mengatur terhadap kehendak untuk setuju namun belum dinyatakan secara lisan. Hal ini bersesuaian dengan azas cogitationis poenam nemo patitut, yaitu bahwa tiada seorangpun yang dapat dihukum hanya karena apa yang difikirkan atau dibatinnya. 97 Apabila syarat subyektif sahnya perjanjian dalam suatu kontrak tidak dipernuhi, maka kontrak tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar), dan apabila syarat obyektif sahnya perjanjian tidak dipenuhi dalam suatu kontrak, maka kontrak tersebut batal demi hukum (nietig).98 Kata sepakat adalah suatu syarat yang logis dalam suatu kontrak, karena dalam kontrak setidak-tidaknya harus terdapat dua orang yang saling berhadapan dan mempunyai kehendak untuk saling mengisi atau saling memberi. Kesepakatan sebagai persesuaian kehendak saja antara dua orang belum menimbulkan suatu perikatan dalam suatu kontrak, sebab hukum hanya mengatur kehendak manusia yang diwujudkan dalam suatu tindakan. Kehendak tersebut harus saling bertemu dan untuk dapat saling bertemu harus dinyatakan. Namun demikian, pertemuan dua kehendak saja belum cukup untuk menimbulkan kontrak yang dilindungi oleh hukum. Perjanjian seperti itu tidak mengandung unsur prestasi yang mempunyai nilai uang dan karenanya tidak menimbulkan perikatan sebagaimana yang dimaksudkan buku III BW. Kendati demikian, harus diakui bahwa BW sendiri mengakui adanya perjanjian yang tidak mengandung prestasi yang bernilai uang, seperti perjanjian untuk melakukan sesuatu, yang tidak mengadung unsur upah di dalamnya yaitu perjanjian penitipan barang tanpa upah. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya ketentuan pasal 1696 BW. Pada dasarnya kesepakatan dalam suatu kontrak tiada lain adalah penawaran yang diakseptir oleh pihak lainnya dalam kontrak itu sendiri.99 Artinya, tidak ada suatu kontrak, tanpa adanya penawaran yang dilakukan pihak yang satu dan diterima oleh 97 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum suatu Pengantar (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), Cet.II, Liberty, Yogyakarta, 1999, h.12 98 Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan Dari Undang-undang), Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1994, h.65. 99 J. Satrio, Op.Cit., h.165. Volume 8, No.1, Nop 2008 ciii
pihak yang lainnya. Dengan demikian penawaran dan akseptasi merupakan unsur pokok yang menentukan lahirnya perjanjian. Walaupun penawaran dan penerimaan para pihak dalam suatu kontrak adalah merupakan unsur pokok, tetapi undang-undang tidak memberikan ketentuan sebagai rujukan dalam menentukan tentang saat mengikatnya suatu penawaran yang diterima oleh pihak lainnya dalam kontrak. Sebagai gambaran untuk menentukan saat mengikatnya kontrak dapat ditelusuri dari tindakan dalam menutup kontrak itu. Menutup suatu kontrak adalah suatu tindakan hukum dan karenanya kehendak yang mendasar tindakan hukum tersebut harus ditujukan kepada timbulnya suatu akibat hukum tertentu yang dikehendaki. Sebagaimana disadari bahwa suatu kontrak pada azasnya tidak mungkin timbul tanpa adanya kehendak dari para pihak. Tetapi apa yang sebenarnya dikehendaki oleh seseorang tidak akan dapat diketahui demikian saja oleh pihak lainnya tanpa dinyatakan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum dalam kontrak tersebut. Dengan demikian hubungan hukum dalam suatu kontrak apabila ditelusuri lebih jauh, maka hubungan hukum itu harus terjadi antara dua orang atau lebih. Pihak yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau yang berpiutang dan pihak yang wajib memenuhi prestasi, pihak yang pasif adalah debitur atau si berhutang adalah merupakan para pihak yang disebut dengan subyek kontrak. Debitur dalam suatu kontrak harus jelas diketahui dan dikenal baik oleh kreditur, sebab seorang debitur yang tidak dikenal baik, jika terjadi wanprestasi akan sulit pelaksanaan pemenuhan prestasinya.100 Dalam suatu kontrak pihak kreditur dan debitur dapat disubstitusi, dengan syarat proses substitusinya sama-sama diketahui oleh pihak debitur atau kreditur. Hal ini dimaksudkan guna mengantisipasi penyimpangan terjadinya pemenuhan prestasi dari debitur. Demikian halnya, jika suatu kontrak dituangkan secara tertulis atau dalam sebuah akta, maka segala syarat yang telah ditentukan dalam pasal 1320 BW menjadi tetap berlaku. Sementara itu, akta yang biasa digunakan dalam dunia kontrak adalah bisa dengan akta otentik dapat pula kontrak itu dituangkan dalam sebuah akta di bawah tangan. Adapun akta itu sendiri adalah suatu tulisan yang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.Artinya dengan akta tersebut para pihak dapat menentukan sendiri tentang batas-batas hak dan kewajiban kreditur dan debitur dalam suatu kontrak, sehingga akta tersebut merupakan bukti telah terjadi kesepakatan tentang hak dan kewajiban masing-masing yang ditandai dengan penandatanganan para pihak. a. Akta Otentik.
100 Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, Cet.I, Alumni, Bandung, 1996, h.3 civ Volume 8, No.1, Nop 2008
Akta otentik menurut pasal 1868 BW adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk menurut undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang di tempat di mana akta itu dibuat. Adapun yang dimaksud dengan pejabat umum harus berwenang di tempat di mana akta itu dibuat. Seorang Notaris di jakarta berwenang untuk membuat akta dalam daerah hukum DKI Jaya, ia tidak berwenang untuk membuat akta di luar daerah jakarta. Akta otentik yang dibuat oleh Notaris harus disimpan oleh Notaris, tanggalnya ditetapkan, dan Notaris berhak untuk mengeluarkan salinannya, grossenya dan kutipannya.101 Termasuk dalam katagori akta otentik adalah putusan pengadilan, akta kelahiran, akta nikah, akta notaris. Pendek kata segala surat yang dibuat secara khusus oleh pejabat umum masing-masing, maka surat tersebut termasuk akta otentik. Hal ini dikarenakan tata cara pembuatan akta tersebut telah diatur secara khusus oleh masingmasing pejabat umum yang berwenang. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian ekstern, karena akta otentik telah dibuat dalam bentuk khusus tertentu yang telah ditetapkan dengan undang-undang dan yang membuat adalah pejabat umum. Kekuatan pembuktian ekstern dari akta otentik tidak hanya berlaku bagi pihak-pihak dalam akta itu, melainkan juga berlaku bagi tiap orang atau pihak ketiga.. Penyangkalan atas kebenaran suatu akta otentik, mengharuskan kepada yang menyangkal itu untuk membuktikan kepalsuannya, baik kepalsuan materiil ataupun kepalsuan intelektual.102 Kepalsuan materiil terjadi apabila tanda tangan atau tulisan dalam akta itu dipalsu setelah akta itu dibuat oleh pejabat umum. Sedangkan kepalsuan intelektual ternyata apabila akta pejabat itu mencantumkan keterangan yang tidak benar dalam akta itu. Dengan demikian di dalam akta otentik yang pasti adalah benar ialah tanda tangan pihak-pihak yang bersangkutan, tanggal, tempat di mana akta itu dibuat. Hal yang pasti ini tidak hanya berlaku bagi pihak yang disebut di dalam akta itu saja, tetapi juga bagi setiap orang. Kemudian pada akta otentik terdapat juga kekuatan pembuktian formal, karena pejabat umum yang membuat akta itu adalah pejabat yang melakukan tugasnya, di bawah sumpah sehingga apa yang dimuat di dalam akta itu harus dianggap sungguh-sungguh diucapkan oleh pihak yang bersangkutan. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah terdapatnya kekuatan pembuktian materiil dari akta otentik, namun kekuatan pembuktian materiil ini terbatas pada beberapa orang saja, sebagaimana dimuat dalam pasal 1870 BW. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akta otentik membereikan bukti yang sempurna tentang apa yang disebut di dalamnya, diantara para pihak yang bersangkutan serta ahli waris atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka itu. 101
Tan Thong Kie, Tehnik Pembuatan Akta I pada Jurusan Nortariat FH Universitas Indonesia, Cet.-, Esa Study Club, Jakarta, 1979, h.4. 102 Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Cet.I, Bina Aksara, Jakarta, 1983, h.196. Volume 8, No.1, Nop 2008 cv
Artinya ketika suatu kontrak dituangkan dalam sebuah akta otentik, maka kontrak tersebut merupakan bukti yang sempurna tentang apa yang disebut di dalamnya, dan berlaku bagi para pihak dalam kontrak itu serta semua ahli waris atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka. b. Akta dibawah tangan. Kontrak yang dibuat dengan akta di bawah tangan tidak terikat pada suatu bentuk, sehingga tidak mempunyai kekuatan pembuktian ekstern. Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat pembuat akta, dengan kata lain akta di bawah tangan adalah akta yang dimaksudkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum pembuat akta. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga menjadi akta di bawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk membuat akta itu atau jika terdapat cacat dalam bentuk. Sehingga akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum hanya sebagai akta di bawah tangan saja, sebagaimana hal ini telah ditegaskan dalam pasal 1869 BW. Dalam hukum acara untuk daerah Jawa dan Madura, akta di bawah tangan tidak diatur di HIR (Het Herziene Indonesische Reglement), tetapi dalam R.Bg. (Rechtsreglement voor de Buitengewesten) diatur pada pasal 286 sampai dengan pasal 305 dan dalam BW diatur pada pasal 1874 sampai dengan pasal 1880. Akta di bawah tangan yang merupakan kontrak dengan memuat pengakuan utang secara sepihak untuk membayar sejumlah uang atau memberikan/menyerahkan sesuatu barang yang dapat ditetapkan atas suatu harga tertentu, harus seluruhnya ditulis dengan tangannya sendiri oleh orang yang menandatangani (debitur) tentang isi dari kontrak itu. Bilamana ketentuan di atas tidak diikuti, maka jika kontrak itu dipungkiri kedudukan akta di bawah tangan ini secara yuridis hanyalah merupakan pembuktian permulaan dengan tulisan, hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1878 BW yunkto pasal 291 RBg. Adapun yang dimaksud dengan permulaan bukti tulisan, dijelaskan dalam pasal 1902 ayat 2 BW bahwa yang dinamakan permulaan pembuktian dengan tulisan ialah segala akta tertulis yang berasal dari orang terhadap siapa tuntutan ditujukan, atau dari orang yang diwakili olehnya, dan yang memberikan persangkaan tentang benarnya peristiwa-peristiwa yang telah dikemukakan oleh seseorang. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa antara kontrak yang dibuat di bawah tangan dengan kontrak yang dibuat dengan akta otentik, terdapat perbedaan mendasar tentang: d. Kontrak yang dibuat dengan akta otentik harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat dan harus mengikuti bentuk serta formalitas yang ditentukan dalam undang-undang, sedangkan kontrak yang dibuat dengan akta di bawah tangan tidak demikian;
cvi Volume 8, No.1, Nop 2008
e.
f.
Kontrak yang dibuat dengan akta otentik memiliki kekuatan pembuktian lahir sesuai azas acta publica probant seseipsa103, sedangkan kontrak yang dibuat dengan akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir. Kontrak yang dibuat dengan akta otentik mempunyai tanggal yang pasti secara hukum, sedang kontrak yang dibuat di bawah tangan tidak selalu demikian.
2. Perjanjian yang Sah dan yang Disetujui Pada Prinsipnya, para pihak dalam membuat suatu kontrak bebas mengatur sendiri kontrak tersebut sesuai dengan azas kebebasan berkontrak (freedom of contract), sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 1338 ayat 1 BW. Pasal 1338 BW ayat 1 tersebut menentukan bahwa semua kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Banyak jenis kontrak yang masing-masing bagian-bagiannya mengandung unsur kontrak bernama yang berbeda-beda. Sedangkan mengenai bagian-bagian dari kontrak tersebut dapat diklasifikasi sebagai berikut: d. Bagian dari kontrak yang esensial Bagian dari kontrak yang esensial ini merupakan bagian utama dari kontrak tersebut, di mana tanpa bagian tersebut, suatu kontrak dianggap tidak pernah ada. Misalnya bagian “harga” dalam suatu kontrak jual beli.
e.
Bagian dari kontrak yang natural Yang disebut bagian dari kontrak yang natural adalah bagian dari kontrak yang telah diatur oleh aturan hukum, tetapi aturan hukum tersebut hanya aturan yang bersifat mengatur saja.
f.
Bagian dari kontrak yang aksidental Bagian dari kontrak yang aksidental ini adalah bagian dari kontrak yang sama sekali tidak diatur oleh aturan hukum, tetapi terserah dari para pihak untuk mengaturnya sesuai dengan azas kebebasan berkontrak (freedom of contract).104
Sebagaimana dikemukakan di atas, pada dasarnya kontrak tersebut berbeda tentang isi yang akan dituangkan di dalamnya. Isi kontrak dapat saja memuat tentang perjanjian bernama, sebagaimana yang diatur secara jelas dalam BW pada buku III, bab 103
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah Pengantar (selanjutnya disingkat Sudikno Metokusumo II), Cet.I, Liberty, Yogyakarta, h.111. 104 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Bisnis), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, 28. Volume 8, No.1, Nop 2008 cvii
V sampai dengan bab XVIII. Namun khusus untuk bab X tentang hibah, kalangan sarjana hukum tidak menjadikannya sebagai bagian dari kontrak, karena prestasi yang terjadi antara kreditor dan debitor hanya berlangsung sepihak yaitu dari kreditor saja. Mereka yang akan membuat kontrak juga bebas menentukan isi dari kontrak yang akan disepakatinya, tidak hanya isi kontrak tersebut perjanjian bernama saja sebagaimana diatur secara eksplisit dalam BW. Melainkan para pihak dapat membentuk isi kontrak dengan materi perjanjian tidak bernama, yang selama ini lahir dan terpraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak diatur dalam suatu undang-undang yang secara khusus mengaturnya, misalnya leasing. Atau juga para pihak dalam suatu kontrak dapat membuat isi kontrak yang termasuk dalam perjanjian campuran, misalnya kontrak sewa beli. Dengan demikian yang dimaksud dengan azas kebebasan berkontrak dalam hal bebas berdasarkan kesepakatan para pihak, adalah kontrak dapat dibuat dengan isi tentang perjanjian bernama, tentang perjanjian tidak bernama, dan tentang perjanjian campuran. Artinya, sepanjang para pihak menyetujui suatu kontrak atau perjanjian yang diatur dalam buku III BW notabene bersifat mengatur (aanvullen recht) atau sebagai pelengkap, maka para pihak cukup tunduk pada segala hal yang telah disepakatinya dalam suatu kontrak dan bilamana dalam kontrak tersebut ternyata terdapat suatu hal yang tidak diatur, maka berlakulah ketentuan buku III BW.
a. Perjanjian Bernama. Perjanjian bernama disebut juga persetujuan dengan sebutan (nominaatcontracten) yaitu persetujuan yang disebut dan diatur dalam perundangundangan seperti jual beli, sewa menyewa dan sebagainya. 105 Pasal 1319 BW menyebutkan dua kelompok kontrak atau perjanjian, yaitu perjanjian yang oleh undang-undang diberikan suatu nama khusus yang disebut dengan perjanjian bernama dan perjanjian yang dalam undang-undang tak dikenal dengan suatu nama tertentu yang disebut dengan perjanjian tak bernama. Nama-nama yang dimaksud adalah nama-nama yang diberikan oleh undang-undang, seperti jual beli, sewamenyewa, perjanjian pemborongan dan lain sebagainya. Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dengan memakai nama tertentu dan tunduk kepada salah satu nama perjanjian seperti yang diatur khusus dalam BW yatu bab V sampai dengan bab XVIII ditambah titel VII A WVK (Wetboek van Koophandel) tentang persetujuan-persetujuan asuransi dan pengangkutan. Baik untuk perjanjian bernama ataupun tidak bernama pada azasnya tunduk kepada ketentuan-ketentuan dalam bab I, II dan IV buku III BW.106 Buku III BW mengkatagorikan perjanjian bernama tersebut ke dalam 15 kategori sebagai berikut: (1) perjanjian jual beli (diatur dalam bab V); 105
Achmad Ichsan, Hukum Perdata IB, Cet.-, Pembimbing Masa, Jakarta, 1969, h.30 Setiawan R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet.VI, Putra Bardin, Bandung, 1999, h.51 cviiiVolume 8, No.1, Nop 2008 106
(2) perjanjian tukar menukar (diatur dalam bab VI); (3) perjanjian sewa menyewa (diatur dalam bab VII); (4) perjanjian kerja, termasuk perjanjian pemborongan pekerjaan (diatur dalam bab VII A); (5) perjanjian persekutuan pedata (diatur dalam bab VIII); (6) perjanjian badan hukum (diatur dalam bab IX); (7) perjanjian penghibahan (diatur dalam bab X); (8) perjanjian penitipan barang (diatur dalam bab XI); (9) perjanjian pinjam pakai (diatur dalam bab XII); (10) perjanjian pinjam pakai habis (diatur dalam bab XIII); (11) perjanjian bunga abadi (diatur dalam bab XIV); (12) perjanjian untung-untungan (diatur dalam bab XV); (13) perjanjian pemberian kuasa (diatur dalam bab XVI); (14) perjanjian penanggungan hutang (diatur dalam bab XVII); (15) perjanjian perdamaian (diatur dalam bab XVIII). Bilamana ada perjanjian yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari perjanjian tersebut dan ketentuan dalam WVK di atas, maka itu berarti perjanjian yang bersangkutan termasuk ke dalam perjanjian umum (tidak bernama). Maksudnya, terhadap perjanjian tersebut hanya berlaku ketentuan-ketentuan umum tentang perjanjian yang juga diatur dalam buku III BW. Di samping tentunya juga berlaku ketentuan-ketentuan yang diatur sendiri oleh para pihak dalam perjanjian yang bersangkutan, ditambah kebiasaan dan yurisprodensi yang berlaku untuk hal dimaksud. b. Perjanjian tidak bernama. Kita mengenal adanya beberapa perjanjian yang di dalam kehidupan praktek sehari-hari mempunyai sebutan nama tertentu, tetapi tidak diatur di dalam undangundang. Bahkan di dalam kehidupan sehari-hari ada perjanjian yang mempunyai nama yang sama dengan yang disebutkan dalam undang-undang, tetapi oleh masyarakat diberikan arti yang lain. Misalnya kontrak sewa-menyewa. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, kata kontrak mempunyai arti yang sama dengan persetujuan atau perjanjian. Bahkan bab II buku III judulnya adalah tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan. Kata “atau” di belakang “kontrak” menunjukkan, bahwa ia mempunyai arti yang sama dengan kata “perjanjian”. Sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1319 BW, bahwa terdapat dua kelompok perjanjian yaitu perjanjian yang oleh undang-undang diberikan suatu nama khusus yang disebut dengan perjanjian bernama dan perjanjian yang dalam undangundang tidak diatur dan tidak dikenal dengan suatu nama tertentu yang disebut dengan perjanjian tidak bernama. Pasal 1319 BW tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan, bahwa ada perjanjian-perjanjian yang tidak hanya tunduk pada ketentuan umum tentang perjanjian, sebagaimana diatur dalam buku III titel I, II dan IV tetapi terhadap perjanjian Volume 8, No.1, Nop 2008
cix
itu berlaku pula ketentuan-ketentuan khusus yang tidak menutup kemungkinan menyimpangi ketentuan umum. Dengan pertimbangan di atas, maka azas umumnya adalah ketentuan umum yang diatur dalam titel I, II, dan IV buku III. Ketentuan ini berlaku untuk semua perjanjian, baik perjanjian bernama maupun tidak bernama, ataupun campuran, sepanjang undang-undang terhadap perjanjian bernama itu tidak menentukan lain dari ketentuan umum tersebut. Dalam hal yang demikian berlakulah azas lex specialis derogat legi generalie. Di luar perjanjian bernama, sesuai dengan dianutnya azas kebebasan berkontrak di dalam BW, terdapat bermacam-macam perjanjian lain, yang secara teoritis terbatas variasinya. Di dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali ditutup perjanjian-perjanjian, dengan variasi yang cukup banyak jumlahnya dan ada di antaranya yang oleh masyarakat diberi nama tertentu. c. Perjanjian Campuran. Di samping itu masih juga dikenal adanya perjanjian-perjanjian yang tidak diatur secara khusus di dalam undang-undang, namun dalam praktek mempunyai nama sendiri di mana unsur-unsurnya mirip atau bahkan sama dengan unsur-unsur beberapa perjanjian bernama, tetapi tidak tersebut sebagai salah satu perjanjian dalam perjanjian bernama. Untuk perjanjian jenis ini dapat diambil contoh misalnya perjanjian sewa beli. Dalam perjanjian sewa beli terdapat unsur-unsur, yaitu: (a) jual beli, karena pada akhirnya setelah perjual sewa menerima pembayaran lunas, pembeli menjadi pemilik; (b) sewa menyewa, karena sementara menyicil, pembeli sewa boleh menggunakan benda yang dibeli sewa tersebut. Unsur-unsur tersebut terjalin satu sama lain dengan erat, sehingga kita baru mengatakan suatu perjanjian adalah perjanjian sewa beli jika unsur-unsur itu ada di dalam perjanjian tersebut. Dalam perjanjian tersebut kita melihat adanya beberapa unsur perjanjian bernama yang tergabung menjadi satu. Di sana unsur pejanjian bernama yang satu tidak bisa dipisahkan dari yang lain. Unsur-unsur perjanjian bernama di sana tidak bisa dipisahkan untuk berdiri sendiri, antara perjanjian sewa-menyewa dan perjanjian jual-belinya. Kendati demikian, tidak selamanya kita dapat dengan pasti mengatakan apakah suatu persetujuan itu merupakan persetujuan bernama atau tidak bernama. Karena ada persetujuan-persetujuan yang mengandung berbagai unsur dari berbagai persetujuan yang sulit dikualifikasikan sebagai perjanjian bernama atau tidak bernama (perjanjian campuran).107 Sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1338 BW, bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat-syarat dalam pasal 1320 BW berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, perjanjian yang telah dibuat
cx
107 Ibid. Volume 8, No.1, Nop 2008
tersebut tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang yaitu melalui lembaga peradilan. Di samping itu perjanjian tersebut wajib dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak, artinya pihakpihak harus mentaati perjanjian itu sama dengan mentaati undang-undang. Jika ada yang melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar undangundang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi, barang siapa melanggar perjanjian, ia akan mendapat hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa dalam perkara perdata, hukuman bagi pelanggar perjanjian ditetapkan oleh hakim berdasarkan undangundang atas permintaan pihak lainnya. Menurut undang-undang, pihak yang melanggar perjanjian itu diharuskan membayar ganti kerugian (vide pasal 1243 BW), perjanjian dapat diputuskan (vide pasal 1266 BW), menanggung beban risiko (vide pasal 1237 ayat 2 BW) dan membayar biaya perkara itu jika sampai diperkarakan di depan pengadilan (vide 181 ayat 1 HIR). “Menurut ketentuan dalam pasal 1321 BW terdapat 3 (tiga) macam cacat kehendak, yaitu kesesatan (dwaling), penipuan (bedrog), dan paksaan (dwang). Inilah tiga macam cacat kehendak dalam pengajuan gugat pembatalan terdapat suatu perjanjian.”108 Perjanjian sebagaimana dikemukakan di atas, adalah mengikat para pihak bilamana telah dibuat secara sah. Perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja. Sedangkan, apabila ada kehendak untuk menarik kembali atau membatalkan perjanjian yang telah disepakatinya, maka harus atas dasar kesepakatan kembali yang dibuat oleh para pihak yang telah menyetujuinya. Kendati demikian, bilamana terdapat alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak dengan mengajukan permohonan ke pengadilan. Untuk itu, tiap pelaksanaan suatu perjanjian terlebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan cermat apa saja isi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak. Pada umumnya setiap orang mengadakan suatu perjanjian dengan tidak mengatur atau tidak menetapkan secara teliti hak dan kewajiban mereka. Mereka hanya menetapkan hal-hal pokok dan penting saja. Dalam jual beli, misalnya hanya ditetapkan tentang barang mana yang dibeli, jenisnya, jumlahnya, harganya. Tidak ditetapkan tentang tempat penyerahan barang, biaya pengantaran, tempat dan waktu pembayaran, bagaimana jika barang musnah diperjalanan dan sebagainya. Pasal 1339 BW menentukan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh undang-undang, 108 Yohanes Sogar Simamora, Penyalahgunaan Keadaan sebagai Bentuk Pelanggaran terhadap Asas kebebasan Berkontrak (selanjutnya disingkat Yohanes Sogar Simamora III), Yuridika, Fakultas Hukum Unair Surabaya, No.4 Tahun VII, Juli-Agustus 1993, h.55 Volume 8, No.1, Nop 2008 cxi
kesusilaan dan ketertiban umum. Dengan demikian setiap perjanjian harus berdasarkan pada aturan-aturan yang terdapat dalam undang, aturan-aturan dasar dalam norma susila dan aturan-aturan dasar dalam ketertiban umum masyarakat.109 Kendati pasal 1338 ayat 1 BW menegaskan, bahwa terdapat kebebasan dalam membuat suatu kontrak, baik bentuk maupun isinya, tetapi ternyata kebebasan tersebut dibatasi dengan tujuan agar tidak merugikan salah satu pihak di dalamnya. Artinya agar perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum. Pembatasan terhadap suatu kontrak agar tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana diatur dalam ketentuan BW penafsirannya tidak hanya sebatas dwaling yang diatur pada pasal 1322 ayat 1, atau bedrog yang diatur pasal 1328 serta dwang dalam ketentuan pasal 1323, 1324, 1325, 1326 dan 1327, melainkan telah ditafsirkan lebih luas lagi, misalnya dalam kasus buku pensiun (vide putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 3431 K/Pdt/1985 tanggal 4 Maret 1987). Dalam kasus buku pensiun tersebut hakim mempertimbangkan, oleh karena perjanjian pinjam-meminjam uang tersebut bunga ditetapkan terlampau tinggi yaitu sebesar 10% perbulan, maka perjanjian tersebut dinilai bertentangan dengan kepatutan dan keadilan, dengan dasar pertimbangan bahwa tergugat atau debitur adalah seorang purnawirawan yang tidak berpenghasilan lain. Penilaian atas kasus buku pensiun di atas, pada dasarnya adalah menerapkan ajaran penyalahgunaan keadaan, baik mengenai unsur materiil maupun mengenai unsur penyalahgunaan oleh pihak kreditur. 110 Namun untuk memperjelas dan membuktikan bahwa hukum Indonesia juga memberlakukan dan menerapkan ajaran misbruik van omstandigheden dalam uraian berikut dikemukakan tentang hal essensiil yang membedakan antara dwang, dwaling, bedrog serta misbruik van omtandigheden. a. Dwang (Paksaan) Paksaan itu terjadi apabila pihak yang diminta untuk membuat kontrak dipaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Perjanjian itu tidak dibuat secara bebas, karena itu perjanjian yang demikian dapat dibatalkan menurut kehendak pihak yang diminta dengan kekerasan atau ancaman kekerasan itu. Dengan kata lain, paksaan terjadi jika terdapat perbuatan yang sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat dan jika perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata (vide pasal 1324 BW). Namun bilamana hanya ketakutan yang disebabkan hormat kepada ayah, ibu atau lain sanak keluarga dalam garis ke atas tanpa disertai kekerasan, tidaklah cukup untuk membatalkan perjanjian itu (pasal 1326 BW). Paksaan merupakan alasan untuk minta pembatalan kontrak atau perjanjian jika paksaan itu dilakukan terhadap: c. orang atau pihak yang membuat perjanjian (pasal 1323 BW); 109
Hasanuddin Rahman, Legal Drafting, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h.10 Henry P.Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan sebagai Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 2001, h.58 . cxiiVolume 8, No.1, Nop 2008 110
d.
Suami atau isteri dari pihak dalam kontrak atau sanak keluarga dalam garis ke atas atau ke bawah. Paksaan yang dapat membatalkan suatu perjanjian bukan saja paksaan yang dilakukan oleh pihak lawan, tetapi juga mencakup paksaan yang dilakukan oleh pihak ketiga atau pihak di luar perjanjian (pasal 1323 BW). Paksaan yang menyebabkan suatu perjanjian dapat dimintakan pembatalannya tidak mencakup paksaan secara fisik seperti misalnya seseorang yang dipaksa dengan cara menariknya untuk naik bis. Paksaan secara fisik ini tidak menimbulkan kesepakatan (baik yang murni maupun semu) dari orang yang dipaksa, karena itu perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya. Kendati demikian, pembatalan suatu perjanjian berdasarkan paksaan tidak lagi dapat dituntut, apabila setelah paksaan berhenti perjanjian tersebut dikuatkan, baik secara dinyatakan dengan tegas (secara murni) maupun secara diam-diam (semu) atau apabila seseorang melampaukan waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dipulihkan seluruhnya (pasal 1327 BW). Adapun waktu yang ditentukan undangundang adalah lima tahun. Waktu tersebut mulai efektif sejak hari paksaan itu telah berhenti (pasal 1454 BW). b. Dwaling (Kehilafan). Wirjono Prodjodikoro menterjemahkan dwaling sebagai verschoonbare dwaling atau kekhilafan harus pantas, sebab pembatalan suatu kontrak hanya dapat diajukan atas dasar kepantasan dari kekhilafan itu, yaitu kekhilafan itu harus dapat dimengerti, harus tidak aneh, dan harus dapat dimaafkan.111 Pembatalan kontrak berdasarkan kekhilafan (dwaling) hanya dimungkinkan dalam dua hal, yaitu: 3. apabila kekhilafan terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan. Misalnya, membeli barang yang disangkanya antik, tetapi ternyata bukan; 4. apabila kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut. Misalnya mengadakan persetujuan dengan seseorang yang dikiranya penyanyi terkenal, tetapi bukan.112 Adapun menurut pasal 1322 ayat 1 BW, kekeliruan atau kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, kecuali apabila kekeliruan atau kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian. Dengan kata lain kekeliruan atau kekhilafan tidak memperngaruhi berlakunya suatu perjanjian, tetapi khilaf mengenai pokok perjanjian itu, misalnya pembeli membeli 100 tube pasta gigi merek “colgate” dengan harga Rp. 30.000,00 di sebuah toko supermarket dengan sistem self service. Setelah barang diambil dan dibayar tunai pada kasir, ternyata bukan
111
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perdjandjian, Cet.V, Sumur Bandung, Bandung,
1960, h.30 . 112
Setiawan R., Op.Cit, h.60 Volume 8, No.1, Nop 2008
cxiii
colgate, melainkan “golcate” yang mutunya rendah. Dalam kasus ini kekhilafan yang terjadi sangat berat, sehingga kontrak itu menjadi batal.113 c. Bedrog (Penipuan) Menurut pasal 1328 BW tipu ialah perbuatan tipu muslihat salah satu pihak sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata pihak lainnya tidak akan membuat perjanjian atau kontrak tanpa dilakukannya tipu muslihat tersebut. Dengan dasar pengertian di atas, R.M. Suryodiningrat menterjemahkan tipu ialah perbuatan pihak yang satu untuk mengarahkan pihak lainnya ke jalan yang salah.114 Kontrak yang dibuat karena tipu dapat dituntut pembatalannya di hadapan pengadilan seperti halnya kontrak yang dibuat karena paksa. Namun antara kedua sifat pembatalan suatu kontrak dalam penipuan dan paksaan berbeda dalam hal, jika kontrak yang dibuat karena paksaan bertentangan dengan kemauan orang yang dipaksa, sedangkan persetujuan yang dibuat karena tipuan atau sesat pihak yang ditipu atau karena sesat tidak mengetahui bahwa kemauannya melalui jalan yang salah. Sedangkan perbedaan antara kontrak yang dibuat secara sesat dan secara tipu ialah dalam hal sesat pihak yang sesat sendiri yang mengarahkan kemauannya ke jalan yang salah, adapun dalam hal tipu kemauan pihak yang tertipu diarahkan oleh pihak lawan kejalan yang salah. Dalam hal-hal tertentu tipuan dalam kontrak tidak memberi hak untuk menuntut pembatalan kontraknya, sebab hanya pembatalan kontrak atas dasar tipuan yang dapat dibuktikan saja bahwa ia tidak akan membuat kontrak dengan syarat-syarat demikian, bilamana ia lebih dahulu mengetahuinya.
UPAYA HUKUM TERHADAP PERJANJIAN YANG DISETUJUI
1.
Perjanjian yang Disetujui Harus Sah
Selain hal-hal yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan dalam suatu pembuatan kontrak adalah bahasa dalam kontrak.115 Hal ini dikarenakan tanpa kesatuan pengertian dan penafsiran yang sama dalam satu kalimat pada suatu kontrak tidak mungkin melahirkan kesepakatan yang bersumber pada kebebasan berkontrak. Sebagaimana diketahui bahwa bahasa yang kita gunakan sehari-hari penuh dinamika (dinamis), artinya bahasa yang kita gunakan selalu berkembang dari waktu ke waktu, baik menyangkut kosa kata, idiom, termasuk istilah asing yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karenanya, para perancang kontrak (legal drafter) juga 113
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., h.118 Suryodiningrat RM., Azas-azas Hukum Perikatan, Ed.II, tarsito, Bandung, 1985. Hasanuddin Rahman,Op.Cit., h.133 cxivVolume 8, No.1, Nop 2008 114 115
harus memiliki pengetahuan yang luas terutama bagaimana mengatasi masalah di bidang bahasa ini, dengan mengikuti perkembangan bahasa, terutama “bahasa hukum” yang dipergunakan dalam suatu kontrak. Seorang legal drafter atau pembuat kontrak sama sekali tidak boleh menganggap remeh soal bahasa dalam kontrak. Sangat banyak sengketa yang terjadi yang timbul sebagai akibat kondisi isi kontrak, karena bahasa atau istilahnya diinterpretasikan secara berbeda oleh para pihak. Dalam kasus demikian, biasanya para pihak menginterpretasikan secara sendiri-sendiri sehingga melahirkan pengertian terhadap kosa kata atau istilah hukum tidak dapat diakomodir dari isi kontrak itu. Lebih parah lagi, jika suatu kontrak dibuat oleh para pihak yang melakukan kesepakatan itu sendiri. Kendati kontrak tersebut dibuat oleh legal drafter perusahaan, maka hampir dapat dipastikan ia membuatnya dalam bahasa perusahaan yaitu menggunakan bahasa yang hanya dimengerti oleh pihaknya atau bahkan memang secara sengaja hanya mengakomodir kepentingan-kepentingan perusahaan tempat ia bekerja. Dalam kontrak demikian, tidak jarang ditemukan kata-kata atau istilah yang dipergunakan secara sengaja untuk menjebak pihak yang akan menjadi client dalam kontrak yang akan dibuatnya. Sementara, seorang legal drafter atau perancang kontrak haruslah adil dan independent, agar kontrak yang dihasilkan benar-benar mencerminkan azas kebebasan berkontrak yang dikehendaki hukum. Kontrak yang dibuat oleh legal drafter dengan bahasa yang hanya mengakomodir kepentingan sepihak, biasanya banyak terjadi dalam kontrak atau perjanjian baku, yang oleh Pitlo dinamakan dengan perjanjian adhesi.116 Di dalam perpustakaan dikatakan bahwa latar belakang tumbuhnya perjanjian baku ini adalah karena tuntutan keadaan sosial dan ekonomi. Perusahaan besar semi pemerintah atau perusahaan-perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingannya menciptakan syarat-syarat tertentu, secara sepihak untuk diajukan kepada partner kontraknya. Pihak partner kontrak yang pada umumnya mempunyai kedudukan ekonomi lemah, baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya lalu hanya menerima apa yang disodorkan itu. Perjanjian ini jelas mengandung kelemahan karena syarat-syarat yang ditentukan secara sepihak dan pihak lainnya terpaksa menerima keadaan itu, karena posisinya yang lemah. Kelemahan perjanjian baku ini juga disinyalir oleh beberapa ahli. Pitlo mengemukakan perjanjian baku ini adalah suatu dwangkontract, karena kebebasan pihak-pihak yang dijamin oleh pasal 1338 BW sudah dilanggar. Pihak yang lemah terpaksa menerima hal ini sebab mereka tidak mampu berbuat lain.Terhadap perbuatan, di mana kreditur secara sepihak menentukan isi perjanjian baku akan melahirkan legio particuliere wetgevers.117
116
Ibidt., h.134 Ibid, h.135. Volume 8, No.1, Nop 2008 117
cxv
Subekti mengemukakan bahwa azas konsesualisme terdapat di dalam pasal 1320 yunkto pasal 1338 BW. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang.118 Hal-hal di atas menunjukkan bahwa perjanjian baku bertentangan, baik dengan azas-azas hukum perjanjian (pasal 1338 yunkto pasal 1320 BW) maupun kesusilaan. Akan tetapi dalam praktek, perjanjian ini tumbuh karena keadaan menghendaki dan harus diterima sebagai kenyataan. Kontrak baku biasanya merupakan perjanjian baku di mana kontrak-kontrak itu telah dipersiapkan secara baku dan dicetak dalam jumlah yang banyak dengan blanko untuk beberapa bagian yang menjadi obyek transaksi, seperti besarnya nilai transaksi, junis dan jumlah barang yang ditransaksikan dan sebagainya. Sehingga, dengan kontrak baku ini, lembaga pembiayaan yang mengeluarkannya tidak membuka kesempatan kepada pihak lain untuk melakukan negosiasi mengenai apa yang akan disepakati untuk dituangkan dalam kontrak. Perjanjian kredit adalah salah satu bentuk kontrak baku, sebab perjanjian kredit telah diformat secara baku dan biasanya pihak bank tinggal mengisi data pribadi dan data tentang loan yang diambil. Sedang terms dan condition-nya telah dicetak secara baku.119 Kendati dalam membuat kontrak para pihak dapat bebas mengaturnya sebagaimana yang dibolehkan dalam pasal 1338 ayat 1 BW sebagai azas kebebasan berkontrak, tetapi hendaknya kontrak itu harus dibuat secara sah agar dapat mengikat para pihak dalam kontrak itu. Adapun kontrak yang sah harus memenuhi syarat sahnya menurut pasal 1320 BW. Masalahnya adalah apakah azas kebebasan berkontrak dan azas kesepakatan dapat diterapkan dalam hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya? Apabila dikaji secara mendalam hakikat dari azas kebebasan berkontrak dan azas kesepakatan tersebut dapat dikatakan ada, bilamana posisi tawar menawar (bargaining position) para pihak adalah setara dalam arti para pihak dapat saling mengemukakan apa yang dikehendaki masing-masing.120 Banyak masalah hukum bisa timbul dalam hubungan dengan pemberlakuan perjanjian baku seperti ini, antara lain berkenaan dengan legalitas perjanjian baku dan berkenaan dengan klausul yang memberatkan. Hal ini dapat kita buktikan dari proses aplikasi kredit yang diajukan oleh nasabah terhadap suatu bank. Setiap proses aplikasi kredit nasabah harus melalui permohonan guna memperoleh persetujuan permohonan kredit. Adapun persetujuan permohonan kredit
118
Subekti R.III, Op.cit., h.14-15. Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer (selanjutnya disebut Munir Fuady II), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h.41 120 Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 2000, h.62. cxviVolume 8, No.1, Nop 2008 119
adalah keputusan bank untuk mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan kredit dari calon debitur.121 Surat keputusan bank dalam mengabulkan permohonan kredit calon debitur dituangkan dalam surat penegasan persetujuan permohonan kredit, dengan mencantumkan syarat-syarat antara lain: a. Maksimum/limit fasilitas kredit. b. Jangka waktu berlakunya fasilitas kredit. c. Bentuk pinjaman. d. Tujuan penggunaan kredit secara jelas. e. Suku bunga. f. Bea meterai kredit yang harus dibayar. g. Provisi kredit commitment fee management fee. h. Keharusan menandatangani surat perjanjian kredit, yaitu keharusan menandatangani surat aksep khusus bagi kredit yang mendapat bantuan likuiditas dari Bank Indonesia. Surat aksep tersebut harus diperbaharui setiap jatuh waktu sesuai masa laku kredit likuiditas Bank Indonesia yang bersangkutan, perincian barang-barang jaminan, serta surat pemilikan dan cara pengikatannya. i. Penutupan asuransi barang-barang jaminan. j. Sanksi-sanksi seperti: denda terlambat pembayaran bunga denda terlambatnya pembayaran angsuran, atau terlambatnya pelunasan denda atas overdraft sanksi untuk penyimpangan dari syarat-syarat lainnya dalam perjanjian kredit. k. Ketentuan-ketentuan lain yang ditentukan sesuai keperluan (jaminan pribadi/borgtocht dan lain-lain). l. Syarat-syarat untuk pengajuan permohonan perpanjangan dan tambahan fasilitas kredit. m. Laporan-laporan yang harus diserahkan.122 Dengan menyimak persyaratan persetujuan permohonan kredit di atas, sangat jelas sekali bahwa kontrak demikian hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan setidaknya telah ditentukan. Sementara pihak calon debitur tidak mempunyai peluang untuk melakukan tawar atau merundingkan isi kontrak kredit itu, sehingga tercipta kesepakatan para pihak dengan tanpa salah satu pihak khususnya debitur merasa terjepit atau kepepet.
121
Thomas Suyatno dkk., Dasar-dasar Perkreditan, Ed.IV, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1999, h.80. 122
Ibid. Volume 8, No.1, Nop 2008
cxvii
Dengan model pelaksanaan kontrak yang demikian, dapat dipastikan akan banyak menimbulkan masalah berkenaan dengan sah tidaknya kontrak yang akan dilaksanakan, kendati para pihak telah menandatangani kontrak yang telah dibuatnya. Hal ini dikarenakan setiap kontrak yang telah disetujui oleh para pihak, yang dijewantahkan dalam wujud penandatanganan kontrak, tidaklah pasti sah. Dengan dasar pertimbangan, bahwa kontrak baru dapat dikatakan sah disamping harus memberikan kebebasan para pihak dalam berkontrak, juga hendaknya kontrak itu dibuat menurut syarat sahnya yang telah ditentukan dalam pasal 1320 BW. Kontrak baku atau standard contract, dalam hal ini adalah perjanjian kredit segala hal yang berkaitan dengan perjanjian kredit itu telah diatur terlebih dahulu sedemikian rupa, sebelum kredit mengajukan aplikasi kredit. Bahkan jauh sebelum debitur ada niat mengajukan aplikasi kredit bank. Bentuk baku dari kontrak baku telah ditentukan secara pasti tentang jangka waktu berlakunya angsuran kredit, bentuk pinjaman, suku bunga, provisi kredit, obyek jaminan yang akan diikat, sanksi-sanksi, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan aplikasi kredit. Penentuan hal tersebut tidak menggunakan bargaining position secara sepadan antara bank selaku legal drafter dengan debitur, bank demikian saja menyusun kontrak tersebut, dengan tanpa memberikan kesempatan kepada debitur untuk melakukan tawar-menawar. Prinsip kontrak yang diterapkan bukan lagi freedom of contract, melainkan prinsip take it or leave it.123 Adalah keliru, jika Hukum kontrak berdasarkan pada asumsi bahwa para pihak biasanya merundingkan syarat-syarat perjanjian mereka dengan bebas, dengan tanpa memperhatikan pihak lawan kontrak, terutama apabila salah satu pihak mempunyai kedudukan ekonomi lebih kuat dari pada pihak lainnya. Ketidak-seimbangan yang sangat jelas terjadi apabila salah satu pihak memiliki kedudukan monopoli. Jika seseorang ingin memperoleh barang atau jasa yang disediakan oleh pihak yang memonopoli. Ia tidak dapat merundingkan dengan sungguhsungguh iklas syarat-syarat yang sesuai dengan kehendak sendiri. Ia harus menerima juga syarat-syarat yang ditawarkan oleh pihak yang memonopoli itu, atau hanya menerima tanpa perundingan lagi. Dalam perjanjian kredit, peminjam yang tidak mempunyai uang berada dalam kedudukan yang lebih lemah dari pada kedudukan yang dimiliki oleh pihak yang meminjamkan. Pihak yang lebih kuat acapakli menggunakan kedudukannya itu untuk membebankan kewajiban yang berat kepada pihak lainnya, sedangkan ia sendiri berusaha sedapat mungkin untuk membatasi atau menyampingkan semua tanggung jawabnya. Misalnya berisi klausula-klausula yang menyampingkan suatu tanggung jawab perusahaan pemberi kredit . Posisi debitur dalam kontrak atau perjanjian kredit yang dikemas dalam kontrak baku memberikan persetujuannya dengan tanpa bargaining position, tidak lain
123 Agus Yuda Hernoko, Op.Cit., h.97 Volume 8, No.1, Nop 2008 cxviii
dari perwujudan suatu perjanjian paksa (dwangcontract).124 Bentuk paksaan demikian, termasuk paksaan yang melawan hukum.125 Also, if a party’s manifestation of assent to a contract is induced by an improper threat by the other party that leaves the victim no reasonable alternative, the contract is voidable by the victim.126 Dengan demikian jelaslah, bahwa suatu kesepakatan untuk melakukan suatu perjanjian dengan dipengaruhi oleh ancaman yang tidak seharusnya oleh pihak lawan kontrak, dengan menyebabkan pihak yang dirugikan tidak mempunyai pilihan lain, maka perjanjian seperti itu adalah dapat dimintakan pembatalannya. Dalam wacana ini, prinsip take it or leave it merupakan pengejewantahan dari ancaman, yaitu bahwa bilamana debitur tidak mau atau tidak setuju dengan isi kontrak itu, maka kreditur tidak dapat memberikan pinjaman kredit. Sementara itu, posisi setiap debitur yang mendatangi untuk melakukan kontrak atau perjanjian kredit adalah dikarenakan ia sangat membutuhkan dana yang cukup mendesak. Bentuk konkret dari ancaman kreditur dalam perjanjian kerdit adalah adanya hak kreditur untuk memutuskan perjanjian kredit secara sepihak, dengan tanpa persetujuan debitur, bahkan acapkali tanpa alasan sama sekali dan tanpa melalui proses pengadilan. Sementara hakekat kontrak tidak dapat dibatalkan secara sepihak, kalau terpaksa harus dibatalkan maka harus melalui lembaga peradilan. Fenomena sosial di atas merupakan konsekuensi logis dari pola pikir dan pemehaman yang salah terhadap azas kebebasan berkontrak. Para pihak dalam kontrak berusaha semaksimal mungkin untuk mengamankan dirinya (jika dapat menguntungkan dirinya) dalam membuat kesepakatan dengan lawan kontraknya, ia akan selalu berusaha untuk membentengi dirinya dengan mencoba membuat kontrak yang isinya cenderung hanya menguntungkan dirinya sendiri, dengan tanpa menghiraukan pihak lawan kontrak. Bahkan setiap peluang yang ada digunakan untuk menjerat pihak lawan dengan klausula-klausula yang mematikan. Bilamana penerapan azas kebebasan berkontrak telah diterapkan sedemikian rupa dengan tanpa mengindahkan lagi syarat sahnya dari kontrak itu sendiri, maka para pihak yang akan membuat kesepakatan dalam kontrak selalu siap dengan senjata masing-masing guna dibidikkan tepat pada sasarannya hingga lawan kontrak tidak dapat berbuat lain, selain menyetujui isi kontrak itu. Azas kebebasan berkontrak yang diterapkan dengan mengenyampingkan syarat keabsahan dari suatu kontrak harus segera diluruskan dan dikembalikan pada pemahaman yang sebenarnya. Sebab pada dasarnya azas kebebasan berkontrak, menempatkan para pihak yang membuat kesepakatan dalam suatu kontrak pada kedudukan yang seimbang. Sehingga salah, apabila ada anggapan bahwa azas
124
Munir Fuady II, Op.Cit., h.42. Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet.II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996., h.69 126 Ibid., h.70 Volume 8, No.1, Nop 2008 cxix 125
kebebasan berkontrak dapat diterapkan dengan asal ada kebebasan para pihak dalam berkontrak, kita dapat menjatuhkan atau menjerat pihak lawan kontrak. Azas kebebasan berkontrak harus dipahami sebagai pola kemitraan dalam berkontrak, artinya di dalam membuat kontrak dengan mitranya itu harus diupayakan untuk selalu memikirkan mitra kontrak guna memperoleh hasil dan manfaat yang sama dengan dirinya. Pendeknya hubungan para pihak dalam membuat kontrak harus saling menguntungkan, tidak boleh ada salah satu pihak yang diposisikan sebagai pihak yang harus menanggung kerugian dalam suatu kontrak. Para pihak dalam membuat suatu kesepakatan dalam kontrak dengan selalu menempatkan pada pola kemitraan akan melahirkan sikap win-win attitude, sehingga dapat melahirkan kontrak dengan akibat akhir dari kontrak itu adalah win-win solution.127 Artinya azas kebebasan berkontrak dengan nuansa win-win solution adalah berbicara keseimbangan para pihak dalam menikmati dan memperoleh keadilan dalam berkontrak. Suatu keadilan dalam kontrak haruslah ditempatkan pada pemahaman kontektualnya bukan sekedar pada tektualnya. Dalam dunia bisnis yang sudah maju, demikian pula dengan pola interaksi sosialnya yang nota bene cukup beragam, maka konteks adil harus dibaca dan ditelaah dalam konteks yang berlaku pada dunia bisnis itu. Keadilan pada konteks ini, hendaknya kontrak yang dibuat oleh para pihak dapat memberikan nilai tambah dan nilai manfaat.128 Apabila pada kontrak yang dibuat itu diperoleh nilai tambah dan nilai manfaat yang dirasa adil bagi para pihak, maka kebebasan berkontrak tersebut telah dapat diterapkan secara adil. 2. Perjanjian yang Tidak Sah dapat Dibatalkan Dalam suatu kontrak baku, acapkali terdapat klausula-klausula yang memberatkan sesuatu pihak, yaitu memberatkan pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku tersebut dengan tanpa bargaining position. Dalam kontrak baku tersebut telah tertera segala persyaratan-persyaratan yang harus ditentukan oleh kreditur dan harus diikuti oleh debitur. Kontrak baku ini hanya melahirkan dua pilihan bagi debitur yaitu setuju dan tidak, tanpa ada kesempatan bagi debitur untuk melakukan tawar menawar. Bentuk kontrak baku di atas tiada lain merupakan kontrak yang mengandung penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang dapat dimintakan pembatalannya. Suatu kontrak standar dapat mengandung misbruik van omstandigheden bilamana dalam kontrak tersebut terdapat:
127
Agus Yuda Hernoko, Op.Cit., h.101 Ibid. cxx Volume 8, No.1, Nop 2008 128
e.
keadaan-keadaan istimewa (bijzondere omstandigheden), seperti: keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras, dan tidak berpengalaman; f. suatu hal yang nyata (kenbaarheid) disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain karena keadaan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup suatu perjanjian; g. penyalahgunaan (misbruik) salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun di mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya; h. hubungan kausal (causaal verband) Adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu, maka perjanjian itu tidak akan ditutup.129
Suatu kontrak yang mengandung misbruik van omstandigheden, bukanlah kontrak yang mengandung cacat kehendak klasik sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 1321 BW yang berupa: d. kesesatan (dwaling); e. paksaan (dwang); f. penipuan (bedrog). Misbruik van Omstandigheden atau penyalahgunaan keadaan dalam suatu kontrak selalu berhubungan dengan terjadinya kontrak itu sendiri. Penyalahgunaan keadaan itu menyangkut keadaan-keadaan yang berperan pada terjadinya kontrak: menikmati keadaan orang lain tidak menyebabkan isi kontrak atau maksudnya menjadi tidak dibolehkan, tetapi menyebabkan kehendak yang 129 Henry P.Panggabean, Op.Cit., h.41 Volume 8, No.1, Nop 2008
cxxi
disalahgunakan menjadi tidak bebas. Sebagaimana hal ini telah ditegaskan oleh Van Dunné.130 Ajaran penyalahgunaan keadaan dibedakan dalam dua hal, yaitu (a) penyalahgunaan keunggulan ekonomi, (b) penyalahgunaan keunggulan kejiwaan. Adapun terdapatnya unsur penyalahgunaan keadaan dalam suatu kontrak, terdiri dari: (a) adanya kerugian yang diderita satu pihak, dan (b) adanya penyalahgunaan kesempatakan oleh para pihak pada saat terjadinya perjanjian.131 Syarat yang harus dipenuhi agar suatu kontrak dapat dikatakan mengandung penyalahgunaan keunggulan ekonomi, yaitu bahwa suatu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomi terhadap pihak yang lain, dan pihak lain terpaksa mengakan perjanjian. Adapun suatu kontrak dapat dikualifikasikan sebagai mengandung penyalahgunaan kejiwaan bilamana salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif, seperti hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, suami isteri, dokter pasien, dan lain sebagainya. Sedangkan kontrak yang mengandung penyalahgunaan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan, misalnya adanya gangguan jiwa, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik.132 Terhadap penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian yang tertuang pada suatu kontrak baku, baik penyalahgunaan keunggulan ekonomis ataupun penyalahgunaan keunggulan kejiwaan menurut Van Dunné diimplikasikan dalam bentuk: e. berlakunya itikad baik secara terbatas; f. penjelasan normatif dari perbuatan hukum; g. pembatasan berlakunya persyaratan baku; h. penyalahgunaan hak.133 Berlakunya itikad baik secara terbatas adalah sejalan dengan penerapan pasal 1338 ayat 1 BW tentang azas kebebasan berkontrak, maka seharusnya para pihak wajib memperhatikan dan memperhitungkan kepentingan pihak patner kontrak untuk tidak menerapkan itikad baik guna melaksanakan kontrak dengan merugikan pihak ke tiga. Sebagai contoh dalam kontrak jual beli barang berupa tanah, dimana sebenarnya pembeli sudah tahu bahwa tanah yang ditawarkan padanya adalah merupakan tanah jaminan hutang, namun dalam kontraknya dikemas sedemikian rupa menjadi kontrak jual beli, sehingga penjual berkedudukan sebagai pemilik atas tanah itu dan bukan sebagai obyek jaminan hutang. Kedudukan penjual yang 130
Ibid., h.43 Ibid., h.44 132 Ibid. 133 ibid., h.64-67. cxxiiVolume 8, No.1, Nop 2008 131
sepertinya adalah pemilik tanah, tidak dapat disalahgunakan oleh pembeli dengan dasar itikad baik guna membeli tanah itu. Penjelasan normatif dari perbuatan hukum yang dituangkan dalam suatu kontrak hendaknya disusun secara teliti, sehingga hak dan kewajiban para pihak menjadi jelas bilamana para pihak menghendaki untuk bersama-sama melaksanakan isi kontrak itu. Pernjelasan normatif tiada lain adalah penjelasan resmi atau recital yaitu merupakan latar belakang atas sesuatu keadaan dalam suatu kontrak yang dibuat.134 Dengan merujuk pada recital ini, bilamana terdapat isi kontrak yang kurang jelas dapat dilakukan penafsiran dengan cara merujuk pada recital tersebut. Adapun hubungan antara recital dengan penyalahgunaan keadaan, bilamana dalam suatu kontrak telah ditentukan secara tegas bahwa kerugian akibat pelaksanaan kontrak tidak termasuk dalam kontrak tersebut. Hal ini perlu dilakukan penjelasan normatif atau recital, dengan cara menafsirkan dari kandungan recital kontrak dimaksud, yaitu bahwa cara penafsiran kontrak yang tertuang dalam recital tidak selalu dapat diterapkan, sebab kerugian pada penyalahgunaan keadaan tidak selalu harus merupakan kerugian dalam arti obyektif. Dengan merujuk pada uraian di atas, maka seharusnya hakim tidak berkuasa untuk mencampuri suatu kontrak, baik dalam menilai atau membatalkan suatu kontrak. Hal ini dikarenakan kontrak tersebut telah dibuat secara bebas oleh para pihak, dan bilamana terdapat salah satu pihak yang merasa dirugikan atas adanya kontrak itu, ia dapat membuat kesepakatan dengan para pihak dalam kontrak itu untuk membatalkan. Bilamana cara ini tidak diporoleh, maka salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan sebagai perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, baik atas dasar dwang, dwaling, bedrog ataupun karena adanya misbruik van omstandigheden. Artinya hakim atas inisiatif sendiri secara ex officio tidak dibenarkan untuk membatalkan perjanjian. Ketika dalam suatu kontrak yang dibuat, terdapat kedudukan ekonomi salah satu pihak jauh lebih lemah dari kedudukan lawannya, sehingga faktanya pihak yang lemah tersebut berada dalam keadaan darurat, maka kita harus merujuk pada undang-undang. Di mana undang-undang terhadap kondisi kontrak yang demikian itu, telah mengadakan pembatasan-pembatasan dalam kebebasan berkontrak. Selanjutnya tentang persyaratan baku dalam suatu kontrak harus dilakukan pembatasan, walaupun kontrak demikian mengandung banyak keuntungan seperti penghematan waktu dan tenaga. Kontrak baku banyak dilakukan oleh kalangan perbankan dalam proses pemberikan kredit, sebab kreditur dan debitur tidak perlu berlama-lama dan membuang tenaga terlalu besar guna memperoleh persetujuan 134 Hardijan Rusli, Op.Cit., h.170 Volume 8, No.1, Nop 2008
cxxiii
aplikasi kredit. Bargaining position tidak perlu dilakukan, sebab kreditur dapat menentukan secara sepihak tentang berapa besar pinjaman yang dapat disetujui atas dasar permohonan kredit dari debitur. Selanjutnya kreditur dapat menentukan secara lebih leluasa tentang berapa angsuran yang harus dilakukan tiap bulan dan berapa lama masa kredit diberikan, berapa besar sanksi yang harus dipikul oleh debitur bilamana debitur lalai memenuhi prestasinya. 135 Gejala kesepakatan dalam kontrak baku sebagaimana diuraikan di atas, mengakibatkan kedudukan para pihak tidak lagi ditempatkan pada posisi yang seimbang. Hal ini dikarenakan posisi debitur adalah merupakan pihak yang lemah secara ekonomi, ia tidak mempunyai hak untuk melakukan tawar-menawar. Kreditur telah membuat suatu klausula yang dikemas dalam kontrak baku, dimana klausula yang ada telah dibuat secara baku. Akibatnya debitur hanya mempunyai pilihan atas isi kontrak itu, take it or leave it? Ajaran tentang penyalahgunaan hak seluruhnya berhubungan dengan pengaruh kaedah tentang keadilan terhadap hukum yang berlaku dan berdasarkan undangundang. Ajaran penyalahgunaan hak adalah pembatasan bagi seseorang yang melaksanakan haknya untuk memperhatikan kepentingan pihak ketiga. Penyalahgunaan hak sering digunakan apabila seseorang dengan cara yang sangat merugikan orang lain menggunakan hak-hak kebendaan, misalnya penyalahgunaan hak milik. Perbedaan mendasar antara penyalahgunaan hak dan penyalahgunaan keadaan adalah bahwa pada penyalahgunaan hak terutama seseorang memang berhak atas hak kebendaan tertentu atau hak kontraktual. Penggunaan tertentu mengenai hak itu dalam keadaan tertentu dapat merupakan penyalahgunaan hak. Pada penyalahgunaan keadaan sebaliknya pertanyaan justru apakah hak tertentu itu menjadi hak seseorang. Apabila ternyata bahwa orang itu memperoleh hak itu justru karena penyalagunaan keadaan, maka hak itu dilanggar dan dinyatakan batal, hak itu sendiri dicabut dari yang bersangkutan. Penyalahgunaan hak dapat digunakan sesudah tuntutan berdasarkan penyalahgunaan keadaan tidak dikabulkan. Dalam penerapan ajaran penyalahgunaan keadaan, diharapkan agar dalam menghadapi masalah penggunaan syarat-syarat baku tidak cukup hanya hakim tetapi juga pembentuk undang-undang guna melibatkan diri dalam cara-cara untuk melindungi debitur, sebagaimana hal ini telah diatur oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Sayangnya undang-undang ini tidak dibuat secara optimal, sehingga perangkat hukum yang ada guna mendukung pelaksanaan Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak dapat secara utuh dan konprehensip melindungi konsumen, dalam hal ini debitur atau nasabah. Hal ini dikarenakan, bank dapat dengan mudah menaikkan suku bunga kredit atas dasar 135 Thomas Suyatno dkk., Loc.Cit. Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxiv
kebijakan bank dengan tanpa bargaining position dengan komsumen dan Undangundang Perlindungan Konsumen tidak dapat berbuat apa-apa.136 Dalam kontrak baku dalam hal ini perjanjian kredit, kedudukan bank akan dapat dengan mudah dalam menaikkan suku bunga kredit atas dasar kebijakan bank, dikarenakan pihak debitur telah menandatangani kontrak yang isinya bahwa debitur tunduk pada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah ada dan yang masih akan diterapkan kemudian oleh pihak kreditur atau bank. Bentuk kontrak baku demikian telah mengandung penyalahgunaan ekonomi, sebab debitur dalam keadaan tersebut hanya dihadapkan pada pilihan take it or leave it, without bargaining position. Sementara debitur sendiri sangat membutuhkan sekali kucuran kredit yang akan diberikan oleh kreditur, bilamana debitur menolak tawaran kreditur tersebut, kapan ia dapat mempunyai tempat tinggal untuk berteduh dan lain sebagainya. Contoh kasus konkret dalam penyalahgunaan keadaan ini adalah kasus buku pensiun.137 Dalam kasus ini debitur telah meminjam uang pada kreditur, dengan ketentuan bunga sebesar 10% setiap bulannya dan obyek jaminan berupa buku pembayaran dana pensiun milik debitur. Di pengadilan tingkat pertama kasus ini dimenangkan oleh debitur selaku tergugat, yaitu bahwa debitur hanya berkewajiban membayar hutang pokok dengan bunga sebesar 4%. Putusan pengadilan tingkat pertama ini dkuatkan oleh pengadilan tingkat banding. Namun di tingkat kasasi ternyata perkara ini dibatalkan dan Mahkamah Agung mengadili sendiri berdasarkan pada ex aequo et bono, dengan mengadili bahwa bunga yang patut dan adil dalam kontrak tersebut adalah sebesar 1% tiap bulan.138 Demikian halnya dengan kontrak terapeutik yang didasarkan atas informasi sebelumnya secara timbal balik antara pasien dengan dokter yang disebut dengan informed consent139, sebab pada dasarnya informed consent pada dasarnya kontrak terapeutik ini mengandung dua unsur urgen, yaitu: (a) informasi yang diberikan oleh dokter; dan (b) pesetujuan yang diberikan oleh pasien.140 Dengan adanya syarat dalam proses persetujuan yang akan dituangkan dalam kontrak terapeutik yang berbentuk informed consent, sebelumnya diperlukan beberapa tindakan dokter yaitu: 136 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h.40 137 Henry P.Panggabean, Op.Cit., h.58. 138 Ibid. 139 Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik suatu Tinjauan Yuridis Perssetujaun dalam Hubungan Dokter dan Pasien, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h.11. 140 Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Studi tentang Hubungan Hukum dalam mana Dokter sebagai salah satu Pihak), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, h.74. Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxv
1.
2. 3. 4. 5.
6.
Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan) yang diusulkan oleh dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan); Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tidak diinginkan yang mungkin timbul; Deskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi bagi/untuk pasien; Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung; Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuannya tanpa adanya prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya; Prognosis mengenai medis pasien bila ia menolak tindakan medis tertentu (percobaan) tersebut.141
Ke enam persyaratan tersebut adalah bersifat fakultatif, artinya dokter sebelum melakukan tindakan medis harus melakukan seluruh langkah-langkah tindakan tersebut, sebelum pasien memberikan persetujuannya dalam kontrak terapeutik itu. Apabila transaksi terapeutik dilihat sebagai rangkaian kegiatan dalam pelayanan medik, maka yang terpenting adalah pelaksanaannya. Di dalam pasal 1338 ayat 1 BW disebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara berlaku bagi mereka yang membuatnya sebagai undang-undang. Oleh karena itu, jika transaksi terapeutik telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 BW, maka semua kewajiban yang timbul mengikat baik terhadap dokter maupun pasiennya. Akan tetapi dalam suatu kontrak yang paling penting adalah isi dari kontrak terapeutik yang telah disepakati oleh dokter dan pasien harus tidak boleh ada unsur penyalahgunaan, artinya walaupun dokter dan pasien bebas dalam menentukan isi suatu kontrak, bagi diri dokter tetap ada kewajiban untuk membuat kontrak terapeutik yang disepakati pasien atas dasar informed consent. Sebagaimana diberitakan oleh berita mingguan, bahwa seorang lelaki dengan usia 53 tahun yang mempunyai mata pencaharian sebagai tukang becak, ia tinggal di Desa Nagrak, Cianjur, Jawa Barat. Suatu hari di tahun 1992 ketika memarkir becaknya di depan Kantor Badan Koordinasi Keluarga Berencana Kabupaten Cianjur, ia diminta untuk mengikuti program Keluaga Berencana secara gratis. Ternyata dalam program itu, ia divasektomi massal dengan tanpa informed concent.142
141
ibid.h.75 Kesehatan, Vasektomi Massal membawa Korban, Tempo, Majalah Berita Mingguan Jakarta, No.9/XXX/30 April – 6 Mei 2001, h.114 Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxvi 142
Kerapkali dalam praktek, dokter demikian saja memberkan pelayan medis dengan tanpa ada informed concent. Dokter dalam kasus yang demikian telah menyalahgunaan keadaan ketidaktahuan atau kekurang-pengetahuan pasien, kontrak demikian secara yuridis mengandung misbruik van omstandigheden, dengan akibat hukum dapat dimintakan pembatalannya. Dengan demikian ajaran penyalahgunaan keadaan adalah menyangkut perwujudan azas kebebasan berkontrak, karena hal itu menentukan secara langsung terhadap kebebasan seseorang dalam mewujudkan kehendak secara leluasa dalam suatu kontrak. Ketika suatu kontrak dikemas sedemikian rupa dalam formulir baku, dan pihak debitur hanya memunyai hak mengisi kontrak baku yang telah dibakukan dalam perjanjian kredit hanya mengenai identitas debitur an sich, dan debitur tidak mempunyai hak untuk melakukan tawar menawar tentang masa angsuran kredit, jumlah angsuran kredit, sanksi atas keterlambatan angsuran, perobahan sewaktuwaktu tingkat suku bunga dan lain sebagainya. Pada posisi yang demikian debitur telah dibelenggu untuk tidak mempunyai pilihan lain, selain menerima atau menolak (take it or leave it) kredit itu. Gejala ini tiada lain adalah merupakan bentuk penyalahgunaan dalam kebebasan berkontrak. Praktik kontrak baku menggambarkan bahwa pihak debitur telah secara terpaksa menerima syarat-syarat kontrak yang tercantum di dalamnya. Syarat-syarat yang sudah tercetak dalam model “kontrak baku” itu lebih merupakan rintangan kejiwaan bagi debitur untuk mengajukan usulan perubahan terhadap isi kontrak. Isi syaratsyarat kontrak yang tercantum di dalam kontrak baku pada hakekatnya merupakan ketentuan-ketentuan yang memberikan hak-hak istimewa bagi pengusaha yang menawarkan “dagangan” melalui kontrak baku. Fakta ini, dari uraian di atas telah memberi peluang kepada kreditur untuk melakukan penyalahgunaan keadaan terhadap pihak debitur. Bilamana suatu kontrak yang semula adalah merupakan undang-undang bagi pihak yang membuatnya, dibuat dengan cara menyalahgunakan keadaan, sehingga berakibat kerugian pada debitur, maka kontrak demikian tidak lagi memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai. Dalam hal ini hukum harus ditegakkan, dengan cara memperhatikan tiga unsur yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmässigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).143 Karenanya adalah beralasan bilamana suatu kontrak yang notabene, dapat 143 Sudikno Mertokusomo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo III), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, h.1
Volume 8, No.1, Nop 2008
cxxvii
dimintakan pembatalannya ketika kontrak tersebut mengandung unsur penyalahgunaan keadaan.
KESIMPULAN Berdasarkan seluruh uraian pada bab-bab pembahasan di atas, maka saya dapat tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: c.
Kebebasan dalam membuat perjanjian dalam pasal 1338 BW selalu berkait dengan perjanjian yang dibuat secara sah menurut syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 BW, maka perjanjian tersebut adalah sah. Artinya perjanjian yang mengikat adalah perjanjian yang telah disepakati dan dibuat menurut syarat sahnya perjanjian; Untuk itu setiap perjanjian haruslah dibuat secara sah menurut ketentuan pasal 1320 BW, agar perjanjian yang telah disetujui tersebut berakibat hukum sah dan mengikat. Sedangkan jika perjanjian dibuat secara tidak sah dan walaupun telah disetujui oleh para pihak, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya.
d.
SARAN Sebagai saran penyempurnaan atas keberadaan hukum perjanjian, maka dapat dikemukakan hal-hal: a.
Hendaknya suatu perjanjian tidak ditekankan pada yang penting telah tanda tangan, maka ia telah setuju. Hal ini dikarenakan, jika suatu saat salah satu pihak membatalkan perjanjiannya atas dasar dwang, dwaling atau bedrog; b. Kalangan praktisi, khususnya notaris tidak perlu lagi membuat pernyataan bahwa setiap perjanjian yang ditanda-tangani tidak dapat dibatalkan. Mengingat, setiap perjanjian yang mengandung cacat hukum selalu diancamkan kebatalannya.
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxviii
KEABSAHAN PENGADILAN PAJAK DAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM HUKUM PAJAK Oleh: M.Amin Rachman, S.H.,MH.* ABSTRAK Pengadilan Pajak diberlakukan dengan berdasarkan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002. Keberadaan dan operasionalnya tidak merujuk pada Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman selaku undang-undang induknya, mengingat Pengadilan Pajak adalah salah satu kekuasaan kehakiman. Namun, ternyata penyelesaian sengketa pajak di tingkat puncaknya bermuara pada Mahkamah Agung. Kata Kunci: Kekuasaan Kehakiman – Pengadilan Pajak Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan.
–
LATAR BELAKANG Ketika Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia belum lahir tidak berarti jaminan akan Hak Azasi Manusia tidak mendapatkan perlindungan hukum di negara kita. Kendati pula sebagian besar ketentuan-ketentuan Hak Azasi Manusia ada dalam Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950) tidak terdapat dalam UUD 1945. Ketentuan tentang Hak Azasi Manusia itu dapat ditemukan dalam berbagai perundang-undangan dan hukum positif yang berlaku di negara kita, tidak kalah pentingnya adalah peranan hakim yang melalui putusan-putusannya dalam kasus-kasus konkrit. Contoh hukum positif Indonesia yang akan dipergunakan adalah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam penjelasan KUHAP dapat dibaca celaan terhadap HIR (Herziene Inlandsch Reglement)144 yang berlaku di Indonesia sampai tahun 1981, sebelum berlakunya KUHAP yaitu tanggal 31 Desember 1981.145 KUHAP yang notabene berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 144
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesaia, Cet.I, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, h.3 Kansil CST., Pengantara Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, h.440 145
Volume 8, No.1, Nop 2008
cxxix
adalah mementingkan pengkhayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak azasi manusia maupun hak serta kewajiban warga negara. Demikianlah perlindungan hak asasi manusia di bidang perkara pidana, namun akankah demikian pula dalam bidang pajak khususnya hukum pajak. Mengingat masyarakat atau warga negara dalam suatu negara tidak terkecuali adalah wajib pajak, sehingga pada tiap masyarakat selalu ada kewajiban untuk taat dan membayar pajak. Adakah hak wajib pajak dalam proses pengenaan dan pemungutan pajak sebagaimana halnya dalam proses perkara pidana, adakah hak menangguhkan penagihan dan pemungutan pajak oleh pemungut pajak atau fiscus dalam hal ini pemerintah. Pajak sudah ada sejak jaman dahulu kala, walaupun pada saat itu belum dinamakan pajak. Namun masih merupakan pemberian yang bersifat sukarela dari rakyat kepada rajanya. Perkembangan selanjutnya pemberian itu berubah menjadi upeti yang sifat pemberiannya dipaksakan dalam arti bahwa pemberian itu bersifat wajib dan ditetapkan secara sepihak oleh negara. Dengan kata lain pajak yang semula merupakan pemberian berubah menjadi pungutan, hal ini adalah wajar karena kebutuhan negara akan dana semakin besar dalam rangka untuk memelihara kepentingan negara yaitu untuk mempertahankan negara dan melindungi rakyatnya dari serangan musuh maupun untuk melaksanakan pembangunan. Dengan demikian sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara baik di bidang ekonomi, sosial dan kenegaraan. Pajak adalah masalah masyarakat dan negara serta setiap orang yang hidup dalam suatu negara pasti atau harus berurusan dengan pajak, oleh karena itu masalah pajak juga menjadi masalah seluruh rakyat dalam negara tersebut. Dengan demikian setiap orang sebagai anggota masyarakat harus mengetahui segala permasalahan yang berhubungan dengan pajak, baik mengenai asas-asasnya, jenis atau macam-macam pajak yang berlaku di negaranya, tata cara pembayaran pajak serta hak dan kewajibannya sebagai wajib pajak. Pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor non pemerintah ke sektor pemerintah) berdasarkan undang-undang dan dapat dipaksakan dengan tiada mendapat imbalan yang langsung yang dapat ditunjuk, guna membiayai pengeluraran akibat aktifitas pemerintahan. Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan Undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan (tegenprestatie) yang secara langsung dapat ditunjukkan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan negara.146 Adapun hukum pajak yang juga disebut hukum fiskal adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan 146 Rochmat soemitro. H., Pengantara Singkat Hukum Pajak, Cet.III, Eresco, Bandung, 1992, h.12 Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxx
seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan yang berwajiban membayar pajak.147 Dari beberapa definisi pajak di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur pajak adalah: a. iuran masyarakat kepada negara, dalam arti bahwa yang berhak untuk melakukan pemungutan pajak hanya negara, dengan alasan apapun swasta atau partikelir tidak boleh memungut pajak; b. berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan), dalam arti bahwa walaupun negara mempunyai hak untuk memungut pajak namun pelaksanaannya harus memperoleh persetujuan dari rakyatnya yaitu melalui undang-undang; c. tanpa imbalan langsung dari negara yang dapat langsung ditunjuk, dalam arti bahwa jasa timbal atau kontra prestasi yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan besarnya pajak; d. untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang bersifat umum, dalam arti bahwa pengeluaran-pengeluaran pemerintah tersebut mempunyai manfaat bagi masyarakat secara umum. Dari keempat unsur tersebut maka unsur yang paling menonjol adalah unsur paksaan yang mempunyai arti bahwa jika utang pajak tersebut tidak dibayar, maka utang pajak tersebut dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan seperti dengan surat paksa dan sita maupun penyanderaan terhadap wajib pajak. Unsur kedua adalah tidak imbalan langsung dari pemerintah. Hal-hal ini memberikan kesan bahwa di satu sisi seseorang atau badan itu mau membayar pajak karena terpaksa atau takut dengan sanksi-sanksi yang harus ditanggungnya apabila tidak mau membayar pajak dan di sisi lain seakan-akan pembayaran pajak itu pengeluaran sia-sia karena tidak memperoleh jasa atau imbalan langsung dari pemerintah. Dengan demikian pemungutan pajak mempunyai tujuan untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam kas negara, dengan maksud untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Hal ini membuktikan bahwa pajak mempunyai fungsi budgeter.148 Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pajak-pajak Daerah juga nampak dalam fungsinya yang budgeter. Pajak daerah dan pajak pemerintah pusat yang diserahkan kepada daerah, di samping subsidi juga merupakan sumber pendapatan daerah yang penting. Pajak disamping fungsinya yang budgeter, masih mempunyai fungsi mengatur (reguler).149 Pajak di sini bukan semata-mata untuk memasukkan uang sebanyak-
147
Santoso Brotodihardjo. R., Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Ed.III, Eresco, Bandung, 1998, h.1 Ibid., h.2 Ibid. Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxxi 148 149
banyaknya dalam kas negara, melainkan juga dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Di samping fungsi mengatur yang diuraikan di atas, pajak juga dapat digunakan untuk menanggulangi inflasi. Pajak di tangan pemerintah, jika tepat penggunaannya, merupakan alat yang ampuh untuk mengatur perekonomian negara. Berdasarkan kedua fungsi pajak itu, pemerintah dengan mengkombinasikan tarip pengenaan pajak, dapat mencapai tujuan yang dikehendakinya. Di samping pemungutan berbagai macam pajak, pemerintah masih melakukan berbagai pungutan lain, misalnya retribusi, sumbangan, bea dan cukai. Sehingga pada dasarnya pemerintah dapat menanggulangi inflasi yang terjadi selama ini. Lebih-lebih, negara kita masih mempunyai kekayaan lain yang salah satunya adalah sumber daya alam. Retribusi ialah iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksanakan dan dapat imbalan langsung yang dapat ditunjuk. Paksaan di sini bersifat ekonomis, karena siapa saja yang tidak merasakan jasa balik dari pemerintah, ia tidak dikenakan iuran itu. Misalnya retribusi pasar, parkir, uang kuliah, uang ujian dan sebagainya. Jadi dengan perkataan lain retribusi adalah pungutan yang dikaitkan secara langsung dengan balas jasa yang diberikan oleh pemerintah kepada pembayar retribusi tersebut. Sumbangan ialah iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksanakan yang ditujukan kepada golongan tertentu, yang dimaksudkan untuk golongan tertentu pula. Paksaan di sini bersifat yuridis dan ekonomis, misalnya SWP3D (Sumbangan atau Setoran Wajib Pembangunan dan Pemeliharaan Prasarana Daerah) bagi para pemilik kendaraan bermotor, yang antara lain digunakan untuk pemeliharaan dan pembuatan jalan-jalan. Jadi sumbangan atau iuran adalah pungutan yang dikaitkan dengan balas jasa yang diberikan oleh pemerintah secara langsung kepada golongan pembayarnya, yang sering pula pungutan ini dinamakan pajak dan pada umumnya pungutan ini dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Bea dan cukai pada hakekatnya juga merupakan pajak yang pemungutannya dilakukan oleh pemerintah pusat, khususnya oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Bea terdiri dari Bea masuk dan bea keluar. Bea masuk adalah pungutan yang dikenakan atas jumlah harga barang yang dimasukkan (diimport) ke dalam daerah pabean, sedang bea keluar adalah pungutan yang dikenakan atas jumlah barang yang dikeluarkan ke luar daerah pabean (diekspor) berdasarkan tarip yang sudah ditentukan untuk masingmasing golongan barang. Daerah pabean adalah daerah tertentu dalam batas mana bea dipungut, pada hakekatnya seluruh wilayah Indonesia adalah merupakan daerah pabean kecuali pelabuhan bebas Sabang yang termasuk dalam kawasan Bonded Warehouse yang tidak dipungut bea. Cukai adalah pungutan yang dikenakan atas barang-barang tertentu, antara lain cukai terhadap tembakau, gula, bensin, minuman keras.150
150 Bohari. H., Pengantar Hukum Pajak, Cet.III, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, h.11 Volume cxxxii 8, No.1, Nop 2008
Dasar kewenangan negara memungut pajak pada masyarakat yang disebut wajib pajak adalah dikarenakan terdapat asas pemungutan pajak yaitu asas domisili, asas sumber dan asas kebangsaan.151 Asas domisili ketika diterapkan menyebabkan negara dimana wajib pajak bertempat tinggal atau berkedudukan berhak mengenakan pajak erhadap wajib pajak tersebut dari semua penghasilannya. Menurut asas ini, siapapun yang bertempatkediaman di Indonesia dikenakan pajak atas segala penghasilannya baik yang diperoleh di Indonesia maupun di luar Indonesia. Menurut asas sumber pengenaan pajak tergantung adanya sumber di suatu negara. Negara dimana sumber penghasilan berada, berhak mengenakan pajak dengan tidak mengingat di mana wajib pajak bertempat tinggal atau berkedudukan. Menurut asas ini siapapun yang memperoleh penghasilan dari Indonesia, akan dikenakan pajak penghasilan oleh negara Indonesia, baik wajib pajaknya bertempat-kediaman di Indonesia maupun di luar Indonesia. Sedangkan asas kebangsaan adalah asas yang berdasarkan kebangsaan atau nationaliteit ini menghubungkan pengenaan pajak dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia yang mewajibkan setiap orang yang tidak berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia membayar pajak tersebut. Dalam sistem perpajakan yang lama bagi setiap wajib harus ditetapkan pajaknya dengan Surat Ketetapan pajak yang menentukan besarnya pajak yang terhubung. Namun dalam sistem perpajakan yang baru timbulnya hutang pajak tidak tergantung kepada adanya surat ketetapan tetapi hutang pajak tidak tergantung kepada adanya surat ketetapan tetapi hutang pajak timbul karena adanya atau berlakunya undang-undang pajak. Setiap wajib pajak harus membayar pajak yang terhutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Penentuan besarnya pajak yang terhubung atau pajak yang harus dibayar selama tahun berjalan maupun setelah tahun pajak berakhir seharusnya dilakukan sendiri oleh wajib pajak, namun ada pula yang penentuannya dilakukan oleh fiskus melalui surat ketetapan besarnya pajak yang menurut Surat Ketetapan Kemungkinan lebih besar dari perhitungan wajib pajak sendiri. Kepada wajib pajak yang merasa keberatan terhadap ketetapan tersebut diberi hak untuk mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak. Keberatan dapat diajukan tidak hanya terhadap surat ketetapan , tetapi dapat pula diajukan terhadap pemotongan oleh pihak ketiga. Dengan demikian keberatan dapat diajukan terhadap: a. Surat Pemberitaan; b. Surat Ketetapan Pajak. c. Surat Ketetapan Pajak Tambahan; d. Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran;
151 Santoso Brotodihardjo. R, Op.Cit., h.87 Volume 8, No.1, Nop 2008
cxxxiii
e.
Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan perundang-undang perpajakan Pada prinsipnya pajak terhutang pada saat timbulnya obyek pajak yang dapat dikenakan pajak. Saat terhutangnya pajak tersebut adalah: a. pada suatu saat, untuk pajak penghasilan yang dipungut oleh pihak ketiga; b. pada akhir masa, untuk pajak penghasilan karyawan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh pengusaha atas pungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah; c. pada akhir Tahun pajak, untuk pajak penghasilan. Jumlah pajak yang dipotong, dipungut ataupun yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana ditentukan, harus disetorkan oleh wajib pajak ke Kas Negara atau tempat lain yang telah ditentukan. Menurut ketentuan Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, ssurat ketetapan baru diterbitkan bilamana wajib pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya menurut ketentuan peraturan perundang-undang. Sistem pemungutan pajak demikian disebut self assessment.152 Dengan demikian pada sistem self assessment surat ketetapan mempunmyai fungtsi sebagai saran koreksi atas jumlah pajak yang terhutang menurut SPT (Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan) wajib pajak, sebagai sarana untuk mengenakan sanksi administrasi. Kecuali itu untuk menagih pajak serta sebagai sarana untuk mengembalikan pajak bila terjadi kelebihan membayar. Ketika Fiscus selaku pejabat pemungut pajak telah mengeluarkan Surat Keterapan Pajak, maka wajib pajak harus melakukan pembayaran. Hal ini dikarenakan, bilamana wajib pajak tidak melakukan pembayaran akan dilakukan penagihan pajak. Jika tagihan tersebut tidak diindahkan pula oleh wajib pajak ia akan dipaksa membayar dengan dikeluarkannya Surat Paksa oleh Fiscus, dan bilamana Surat Paksa tersebut tidak juga dipenuhi, maka Fiscus melalui Juru Sitanya akan melakukan penyitaan atas harta benda Wajib Pajak sejumlah nilai pajak yang terhutang. Proses pemungutan pajak di atas didasarkan pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Di dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tersebut, tidak satupun terdapat cara bahwa penagihan dan pemungutan pajak dapat dilakukan penundaan bilamana Wajib Pajak menyatakan keberatan atas besar hutang pajak yang telah ditetapkan. Penagihan dan Pemungutan pajak tidak dapat lagi dilakukan penundaan oleh karena suatu keberatan, adapun Pengadilan Pajak yang diatur dalam Undang-Undang 152 Diaz Prinatara, Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Cet.-, Djambatan, Jakarta, 2000, h.2 Volume cxxxiv 8, No.1, Nop 2008
Nomor 14 Tahun 2002 adalah merupakan lembaga peradilan khusus pajak dan tidak memberikan putusan atau penetapan penundaan pembayaran pajak. Keberatan ataupun banding terhadap besar hutang pajak tetap akan diperiksa, namun wajib pajak terlebih dahulu harus membayar hutang pajak yang telah ditetapkan.
RUMUSAN MASALAH Dari uraian di atas terdapat dua kepentingan yang secara hukum seharusnya sama-sama memperoleh perlindungan hukum secara proporsional. Pihak Fiscus selaku pemungut pajak harus diberikan perlindungan hukum akan dapat memfungsikan pajak sebagai sarana budgeter dan sarana reguler. Sedangkan Wajib Pajak harus pula mendapat perlindungan hukum, agar hak-haknya tidak terlampaui oleh pihak Fiscus. Di sisi lain, keberadaan pengadilan pajak dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 sebagai lembaga peradilan ternyata tidak termasuk sebagai salah satu dari empat lingkungan peradilan yang diakui dalam, baik Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen maupun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Atas dasar kedua fakta tersebut di atas, maka saya memandang cukup relevan untuk mengangkat beberapa permasalah hukum dengan rumusan kalimat: c. Bagaimanakah eksistensi Pengadilan Pajak Tahun 2002 dalam UndangUndang Pokok Kekuasaan Kehakiman? d. Bagaimanakah kedudukan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak Tahun 2002?
KEDUDUKAN PENGADILAN PAJAK DALAM UNDANG-UNDANG POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN
1.
Empat Lingkungan Pengadilan dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen pasal 24 ayat 2 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Hal inipun diperkuat lagi oleh ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan dan Penambahan Volume 8, No.1, Nop 2008
cxxxv
Undang-Undang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.153 Saat pengujian skripsi ini Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Pengadilan Pajak yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tidak sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Hal ini dikarenakan, Pasal 24 UUD 1945 hanya menyebutkan empat badan peradilan secara limitatif, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Dalam Undang-undang Dasar baru itu Pengadilan Pajak tidak disebut, secara yuridis akan melahirkan masalah hukum, karena Pengadilan Pajak itu pengadilan yang berdiri sendiri. Atas dasar apa membentuk itu, karena Undang-undang Dasar hanya menyebut empat. Implikasi dari pengaturan mengenai badan peradilan dalam Pasal 24 UUD 1945 tersebut adalah konstitusi tidak membuka kemungkinan dibentuknya badan peradilan lain di luar keempat badan peradilan yang telah disebutkan secara tegas di dalamnya. Saat ini memang belum banyak dipersoalkan oleh masyarakat, namun di masa yang akan datang, masyarakat akan mempertanyakan eksistensi pengadilan tersebut secara konstitusional. Undang-undang Dasar begitu limitatif menyebut peradilan ini, peradilan ini tidak membuka kemungkinan yang lain. Sehingga masalah konstitusionalnya adalah bagaimanakah kedudukan Pengadilan Pajak, pengadilan pajak tidak merupakan bagian dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Militer ataupun Pengadilan Agama. Pengadilan Pajak berdiri sendiri sejajar diantara empat lingkungan peradilan tersebut, artinya putusan Pengadilan Pajak kedudukannya adalah sama pula dengan putusan peradilan lainnya. Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 mengatur bahwa Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak. Dalam penjelasan Pasal 33 ayat (1) tersebut dinyatakan bahwa sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir pemeriksaan atas Sengketa Pajak hanya dilakukan oleh Pengadilan Pajak. Implikasi hukum dari ketentuan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak tersebut yaitu putusan Pengadilan Pajak tidak 153 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet.IV, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fak. Hukum UI, Jakarta, 1981, h.234
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxxvi
dapat diajukan gugatan ke Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, atau Badan Peradilan lain, kecuali putusan berupa "tidak dapat diterima" yang menyangkut kewenangan/kompetensi Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak sendiri merupakan badan peradilan yang khusus menyelesaikan sengketa di bidang perpajakan yang sebelumnya dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997. Semula dalam pembahasannya di Komisi IV DPR, pengadilan pajak hendak disatukan dalam lingkungan pengadilan tata usaha negara. Namun, ada yang berpendapat bahwa pengadilan pajak haruslah pengadilan khusus. Pada dasarnya Badan Peradilan Pajak keberadaannya dibutuhkan, hal ini mengingat penyelesaian sengketa perpajakan memang memerlukan peradilan yang lebih khusus lagi dibandingkan dengan Pengadilan Tata Usaha Negara. Pengadilan Tata Usaha Negara yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, hanya menghasilkan putusan yang menyatakan sah atau tidaknya keputusan tata usaha negara yang disengketakan. Sedangkan penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan peradilan yang lebih khusus lagi, yaitu yang tidak hanya memutuskan sahnya atau tidak sahnya keputusan tata usaha negara yang disengketakan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor14 Tahun 2002, putusan Pengadilan Pajak memang tidak sekadar memutuskan sah tidaknya keputusan yang dikeluarkan pejabat yang berwenang di bidang perpajakan. Menurut Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002, putusan Pengadilan Pajak dapat berupa menolak, mengabulkan sebagian atau seluruhnya, menambah pajak yang harus dibayar, tidak dapat diterima, membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau, membatalkan. Tidak ada satu pun pasal atau ayat dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 yang menyebutkan bahwa Pengadilan Pajak berada di bawah Pengadilan Tata Usaha Negara. Sementara apabila Pengadilan Pajak merupakan pengadilan khusus di bawah Pengadilan Tata Usaha Negara, seharusnya ada ketentuan hukum dalam UndangUndang Nomor 14Tahun 2002 yang mengatur hal itu. Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah pengadilanpengadilan khusus yang secara tegas dinyatakan dalam undang-undang masing-masing. Pasal 280 ayat (1) Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan mengatakan bahwa Pengadilan Niaga berada di lingkungan Peradilan Umum. Kemudian, Pasal 2 UndangUndang Nomor 26Tahun 2000 tentang pengadilan HAM mengatur secara lugas bahwa Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Volume 8, No.1, Nop 2008
cxxxvii
Agar Pengadilan Pajak tetap bisa eksis, syaratnya pengadilan tersebut harus masuk pada salah satu badan peradilan yang ada. Pengadilan Pajak masih tetap bisa dipertahankan, tapi dia harus masuk pada salah satu badan peradilan yang ada yaitu badan peradilan tata usaha negara. Jadi Menteri Keuangan tinggal memilih, merevisi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 yang baru berumur 1 tahun tersebut atau mengubah kembali Pasal 24 UUD 1945 yang telah beberapa kali diamandemen itu. 2.
Keberadaan Pengadilan Pajak sebagai Lembaga Kekuasaan Kehakiman Pajak yang merupakan gejala masyarakat artinya bahwa pajak hanya terdapat pada masyarakat, hal ini dikarenakan jika tidak ada masyarakat, maka tidak akan ada pajak. Masyarakat itu sendiri adalah kumpulan manusia yang ada pada suatu waktu berkumpul di suatu tempat untuk jangka waktu pendek atau untuk jangka waktu panjang dengan tujuan tertentu. Desa, kecamatan, kabupaten, bahkan negara adalah masyarakat yang mempunyai tujuan bersama tertentu. Bangsa Indonesia telah bertekad dan berikrar untuk mendirikan negara atau masyarakat untuk jangka waktu yang panjang guna mencapai tujuan tertentu dengan Pancasila sebagai falsafahnya. Sementara itu, masyarakat terdiri dari individu, individu mempunyai hidup sendiri dan mempunyai kepentingan sendiri, yang dapat dibedakan dari hidup masyarakat dan kepentingan masyarakat. Walaupun demikian hidup individu dan kepentingan individu tidak dapat dipikirkan terlepas sama sekali dari hidup dan kepentingan negara. Kelangsungan hidup negara juga berarti kelangsungan hidup individu. Hidup negara adalah lain daripada hidup individu, tetapi walaupun lain masing-masing memerlukan biaya. Biaya hidup individu menjadi beban sendiri yang berasal dari penghasilan individu. Biaya hidup negara adalah untuk kelangsungan alat-alat negara, administrasi negara, lembaga negara, dan seterusnya yang kesemuanya itu dibiayai dari penghasilan negara. Adapun penghasilan negara adalah berasal dari rakyatnya yang hidup dalam masyarakat, baik dalam lingkungan desa, kecamatan, kabupaten, propinsi dan sebagainya. Penghasilan yang berasal dari rakyatnya tersebut diperoleh negara dengan cara memungut pajak, dengan cara pengolahanan kekayaan alam ataupun berasal dari usaha-usaha negara yang berbentuk Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah. Penghasilan yang diperoleh negara tersebut kemudian digunakan untuk membiayai kepentingan umum, yang akhirnya juga mencakup kepentingan umum pribadi individu seperti kesehatan rakyat, pendidikan, kesejahteraan dan sebagainya. Karenanya di mana ada kepentingan masyarakat, di situ timbul pengutan pajak, sehingga pajak adalah senyawa dengan kepentingan umum. Dengan demikian pemungutan pajak adalah ditujukan untuk membiayai kepentingan masyarakat. Artinya jika disimpulkan, di satu sisi pajak ditujukan untuk memasukkan atau memperoleh uang sebanyak-banyaknya dari masyarakat untuk Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxxviii
membiayai pengeluaran aktifitas kenegaraan. Dan di sisi lain pajak ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu oleh karena pajak tidak dipungut pada rakyat yang tidak mampu melainkan rakyat yang mampu, maka akan timbul tingkat pemerataan penghasilan setidak-tidaknya mendekati pemerataan. Hal ini dikarenakan, rakyat yang mampu penghasilannya terpotong oleh pajak sehingga penghasilan berkurang, di mana tingkat pengurangan penghasilan ini juga berfungsi tidak membuat jurang pemisah yang terlalu jauh antara tingkat penghasilan pihak yang kaya dengan pihak yang miskin. Fungsi pajak yang diupayakan guna memasukkan atau memperoleh uang yang sebanyak-banyaknya dari rakyat kepada negara adalah merupakan fungsi pajak budgeter.154 Sedangkan pajak yang ditujukan untuk mencapai tingkat pemerataan pendapatan guna mengurangi jurang pemisah antara yang miskin yang kaya adalah fungsi pajak reguler.155 Jika ditinjau dari pengertian dan fungsi dari pajak seperti telah diuraikan di atas, yaitu bahwa pajak merupakan sumber keuangan negara dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan, dan pemungutan pajak sudah didasarkan pada undangundang yang berarti bahwa pemungutan pajak tersebut sudah disepakati atau disetujui bersama antara pemerintah dengan rakyatnya, maka sudah sewajarnya kalau masyarakat sadar akan kewajibannya di bidang perpajakan yaitu membayar pajak dengan benar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun kenyataannya banyak hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pemungutannya. Sebagaimana diuraikan di atas, hambatan pemungutan pajak sebagai akibat perlawanan terhadap pajak yang dibedakan antara perlawanan pasif dan perlawanan aktif. Perlawanan pasif terdiri dari hambatan-hambatan yang mempersukar pemungutan pajak yang erat hubungannya dengan struktur ekonomi, perkembangan intelektual dan moral penduduk serta sistem pemungutan pajak itu sendiri. Dalam perlawanan pasif ini tidak ada usaha secara nyata dari masyarakat untuk menghambat pemungutan pajak, namun karena kondisi masyarakat yang kurang atau bahkan tidak tahu seluk beluk pajak maka mereka tidak membayar pajak. Perlawanan aktif adalah meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan terhadap fiskus dan bertujuan untuk menghindari pajak. Dalam perlawanan aktif ini nyata-nyata ada usaha dari wajib pajak untuk tidak membayar pajak. Usaha-usaha tersebut dapat berupa penghindaran diri dari pajak, pengelakan atau penyelundupan pajak maupun usaha melalaikan pajak. Perlawanan terhadap pajak akan sangat merugikan negara, oleh karena itu dalam rangka untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan sama sekali hambatanhambatan tersebut maka perlu diusahakan suatu keadaan di mana masyarakat wajib pajak mau dan sadar akan kewajibannya membayar pajak. Usaha menghilangkan hambatan ini dapat dilakukan dengan memberikan penerangan dan bimbingan kepada masyarakat mengenai manfaat pajak bagi kelangsungan hidup negara dan kelancaran jalannya pembangunan. Penerangan mengenai pengertian, arti pentingnya atau manfaat 154
Bohari. H., Op.Cit., h.101 Ibd. Volume 8, No.1, Nop 2008 155
cxxxix
membayar pajak ini dapat dilakukan secara dini yaitu pada sekolah-sekolah, perguruan tinggi dan kelompok masyarakat lainnya. Perlawanan pajak secara aktif, khususnya yang berupa penyelundupan dan melalaikan pajak, adalah merupakan pelanggaran undang-undang, oleh karena itu perlu adanya tindakan yang tegas atau adanya sanksi yang berat terhadap para pelakunya karena hal tersebut akan dapat mempengaruhi atau mempunyai akibat pada bidang keuangan, ekonomi dan bahkan pada bidang sosial dan budaya. Untuk itu, maka Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 khususnya pasal 25 ayat 7 menentukan bahwa pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Hal ini adalah semata-mata ditujukan untuk mencegah timbulnya akibat sebagaimana dikemukakan di atas. Karenanya kewajiban membayar pajak dari wajib pajak adalah bersifat imperative atau memaksa. Keberatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat 7 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tersebut diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktur Jenderal Pajak dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya surat ketetapan pajak tersebut. Namun khusus tujuan pengajuan keberatan tersebut, sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: Kep.22/PJ/1995 tanggal 27 Pebruari 1995 wewenang Direktur Jenderal Pajak dalam melaksanakan tugas pelayanan di bidang perpajakan telah dilimpahkan kepada beberapa pejabat Direktorat Pajak antara lain Direktur Pajak Penghasilan, Direktur Pajak Pertambahan Nilai, Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak.156 Wajib Pajak bilamana tidak puas atas Keputusan Keberatan yang telah dikeluarkan oleh Direktur Pajak Penghasilan, Direktur Pajak Pertambahan Nilai, Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak ataupun oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, ia dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan setelah diterima Keputusan keberatan tersebut. Pengadilan Pajak yang mempunyai kewenangan mengadili sengketa pajak dalam hal ini banding adalah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002. Dengan demikian sengketa pajak bukan lagi menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1986, terhitung sejak berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tersebut. Sementara itu, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman khususnya pasal 10 hanya menetapkan empat lingkungan peradilan, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Mahkamah Militer. Adapun Pengadilan Niaga dan Pengadilan HAM merupakan bagian dalam tubuh Pengadilan Negeri. Sehingga keberadaan Pengadilan Pajak dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman tidak termasuk sebagai bagian lembaga peradilan, mengingat Pengadilan Pajak tidak termasuk ke dalam salah satu dari keempat lingkungan peradilan tersebut. 156 Erly Suandy, Hukum Pajak (Dilengkapi dengan Latihan Soal), Ed.II, Salemba Empat, Jakarta, 2002, h.88 cxl Volume 8, No.1, Nop 2008
Karenanya keputusan pajak bukan Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksudkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata usaha Negara, mengingat sengketa pajak tidak menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara. Untuk itu Keputusan di bidang pajak tidak dapat bersifat vermoeden van rechmatigheid157, karenanya seharusnya tidak dapat dilaksanakan terlebih dahulu pembayaran pajaknya atau pajak yang terhutang dalam tagihan pajak.
PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DALAM UNDANG-UNDANG PENGADILAN PAJAK TAHUN 2002 1. Beberapa Kewenangan Penguasa selaku Pemungut Pajak Pada dasarnya pajak mempunyai tujuan untuk memasukkan uang sebanyakbanyaknya dalam kas negara, dengan maksud untuk membiayai pengeluaranpengeluaran negara. Dikatakan bahwa pajak dalam hal demikian mempunyai fungsi budgeter. Dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah pajak-pajak daerah juga nampak dalam fungsinya yang budgeter. Pajak daerah dan pajak pemerintah pusat yang diserahkan kepada daerah, di samping subsidi merupakan sumber pendapatan daerah yang penting. Kendati demikian, di samping pajak-pajak fungsinya yang budgeter masih mempunyai fungsi mengatur (reguler). Pajak di sini bukan semata-mata untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam kas negara, melainkan juga dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya dalam bidang pembebasan pajak guna memperoleh atau menarik modal luar negeri dengan cara tax holiday.158 Contoh lain bahwa pajak digunakan untuk mencapai tujuan tertentu, misalnya dorongan pemerintah untuk lebih memanfaatkan dan menggunakan koperasi dalam menjalankan usaha. Hal ini dikarenakan koperasi merupakan bentuk usaha yang sesuai dengan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen. Dalam rangka itu koperasi dibebaskan dari pengenaan pajak untuk jangka waktu 10 tahun dihitung sejak saat didirikannya, dan setelah jangka waktu sepuluh tahun itu koperasi dikenakan pajak dengan tarip yang diperingan. Di samping fungsi mengatur yang di sebutkan di atas, pajak-pajak juga dapat digunakan untuk menanggulangi inflasi. Pajak di tangan pemerintah jika tepat penggunaannya merupakan alat yang ampuh untuk mengatur perekonomian negara. Berdasarkan kedua fungsi pajak itu, pemerintah dengan mengkombinasikan tarip tinggi dan tarip rendah atau tarip 0, dapat mencapai tujuan yang dikehendakinya. 157 Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, Cet.I, Airlangga University Press, Surabaya, 1997, h.91 158 Rochmad Soemitro , Op.Cit., h.3
Volume 8, No.1, Nop 2008
cxli
Pajak dapat juga ditinjau dari segi pembangunan, dari segi ini pajak baru mempunyai manfaat terhadap pembangunan apabila pajak-pajak setelah digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin, masih ada cukup sisa yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan melalui investasi publik. Dari segi pembangunan pajak dapat ditinjau sebagai alat fiscal policy atau kebijakan fiskal. Dalam kebijakan fiskal kedua fungsi pajak dikombinasikan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan hasil yang sebesar-besarnya bagi pembangunan. Masalah pokok dalam pembangunan adalah investasi, investasi ini berasal dari tabungan, baik tabungan swasta maupun tabungan pemerintah. Investasi tabungan masyarakat tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada kehendak dan kerelaan golongan swasta, melainkan harus diarahkan ke jurusan tertentu. Melalui deposito berjangka, dengan pembebasan pajak atas bunga deposito berjangka, pemerintah telah berhasil meningkatkan deposito berjangka yang besar artinya bagi pembangunan. Juga pasar uang dan modal, yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan, dapat digalakkan oleh pemerintah dengan menggunakan pajak-pajak sebagai alat-alat penggerak. Pajak ditinjau dari segi hukum memberikan hasil yang lain. Tinjauan pajak dari segi hukum, lebih menitikberatkan kepada perikatan, pada hak dan kewajiban wajib pajak, subyek pajak dalam hubungannya dengan subyek hukum. Hak penguasa untuk mengenakan pajak. Timbulnya hutang pajak, hapusnya hutang pajak, penagihan pajak dengan paksa, sanksi administratif maupun sanksi pidana, penyidikan, pembukuan, soal keberatan, banding dan gugatan pajak. Suatu keadaan yang dilematis, mengingat pajak di satu sisi adalah bagai perampokan jika tidak mendasarkan pada perundang-undangan sebelumnya. Sebagaimana hal ini didalilkan dalam falsafah pajak di USA taxation without representation is robbery.159 Dan di sisi lain, pajak sangat dibutuhkan untuk kelangsungan pembangunan dan aktifitas suatu negara. Untuk itu, proses pemungutan pajak yang dilakukan Direktur Jenderal Pajak dilakukan dengan sangat hati-hati berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Walaupun pajak dikenakan dan dipungut atas dasar undang-undang, namun karena pajak merupakan peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor negara maka pemungutannya agar tidak menimbulkan berbagai hambatan atau perlawan, maka terhadap kewajiban di samping hak fiscus yaitu bahwa pajak haruslah memenuhi syaratsyarat yaitu160: 1. pemungutan pajak harus adil; 2. pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang; 3. pemungutan pajak tidak mengganggu perekonomian; 4. pemungutan pajak harus efisien; 5. sistem pemungutan pajak harus sederhana.
159
Erly Suandi, Loc.Cit. Munawir, Perpajakan, CetI, Liberty, Yogyakarta, 1992, h.8-13 cxliiVolume 8, No.1, Nop 2008 160
a. Pemungutan pajak harus adil Hukum pajak adalah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dengan masyarakat sebagai wajib pajak yang antara lain mengatur siapa-siapa yang sebenarnya sebagai wajib pajak atau subyek pajak, obyek pajak, timbulnya kewajiban pajak, cara pemungutan pajak, cara penagihannya dan sebagainya. Di samping itu memuat pula tentang kewajiban-kewajiban dan hak-hak wajib pajak serta sanksi-sanksi baik secara administratif maupun sanksi pidana sehubungan dengan adanya pelanggaran atas hukum atau peraturan-perturannya. Tujuan dari setiap hukum adalah membuat adanya keadilan, demikian pula dalam hukum pajakpun mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan hukum-hukum lainnya yaitu membuat adanya keadilan dalam hal pemungutan pajak, baik adil dalam perundang-undangannya maupun adil dalam pelaksanaannya. Keadilan dalam pelaksanaan antara lain diwujudkan adanya hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan pembayaran kepada Direktur Jenderal Pajak atau banding dan gugatan kepada Pengadilan Pajak. Walaupun demikian keadilan itu sangat relatif, namun salah satu jalan yang harus ditempuh dalam mencari keadilan adalah mengusahakan agar pemungutan pajak diselenggarakan sedemikian rupa, sehingga dapat diperoleh tekanan yang sama atas seluruh rakyat. Dengan demikian pajak harus mengabdi pada keadilan, dan keadilan inilah yang dinamakan azas pemungutan pajak menurut falsafat hukum atau syarat keadilan. Jika pihak fiscus mampu berlaku adil dalam memungut pajak, kemudian atas dasar apa negara atau fiscus dapat dan mempunyai hak untuk memungut pajak. Terhadap kondisi ini lahirlah bebera teori pembenar guna mentolerir negara selaku fiscus untuk memungut pajak. Teori-teori yang lahir adalah: a. teori asuransi; b. teori kepentingan; c. teori daya pikul; d. teori daya beli.161 a. Teori asuransi dalam teori ini intinya mengatakan bahwa tugas negara adalah untuk melindungi orang dan atau warganegaranya dengan segala kepentingannya, hyaitu keselamatan dan keamanan jiwa dan harta bendanya. Sebagaimana pada perjanjian asuransi atau pertanggungan maka untuk perlindungan tersebut diperlukan pembayaran premi, dan dalam hal ini pembayaran pajak ini dianggap atau disamakan denganpembayaran premi tersebut. Teori ini banyak yang menentang karena pembayaran pajak tidak dapat disamakan dengan pembayaran premi oleh seseorang kepada perusahaan pertanggungan, dan negara tidak dapat dipersamakan dengan perusahaan asuransi karena: 161 Bohari. H., Op.Cit., h.32-35 Volume 8, No.1, Nop 2008
cxliii
1.
dalam hal timbul kerugian, misalnya adanya kematian atau pembunuhan atau pencurian/ perampokan tidak akan ada suatu penggantian dari negara; 2. antara pembayaran jumlah-jumlah pajak dengan jasa perlindungan yang diberikan oleh negara tidak terdapat hubungan yang langsung. b. Teori kepentingan Teori ini menekankan bahwa pembagian beban pajak pada penduduk seluruhnya harus didasarkan atas kepentingan orang masing-masing dalam tugas negara/pemerintah (yang bermanfaat baginya), termasuk juga perlindungan atas jiwa orang-orang itu serta harta bendanya. Pembayaran pajak hendaknya dihubungkan dengan kepentingan orang-orang itu terhadap tugas negara. Maka sudah selayaknyalah bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan kewajibannya dibebankan kepada seluruh penduduk tersebut. Teori ini banyak pula yang menyanggahnya, karena setiap orang yang mempunyai kepentingan lebih besar seharusnya membayar pajak yang lebih besar pula. Hal ini bertentangan dengan kenyataan, karena mungkin sekali orang miskin yang mempunyai kepentingan yang lebih besar, baik dalam perlindungan jaminan sosial dan sebagainya, sehingga sebagai konsekuensinya seharusnya membayar pajak yang lebih banyak namun kenyataannya justru mereka ini tidak membayar pajak. Antara kepentingan seseorang terhadap jasa negara tidak dapat dihubungkan langsung dengan besarnya pembayaran pajak. Jadi dasar keadilan pemungutan pajak adalah karena orang-orang mempunyai kepentingan pada negara dan untuk menyelenggarakan kepentingan itu harus dibayar biaya, yaitu dalam bentuk pajak. c. Teori Gaya Pikul Teori ini pada hakekatnya mengandung kesimpulan bahwa dasar keadilan dalam pemungutan pajak adalah terletak pada jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada warganya, yaitu perlindungan atas jiwa dan harta bendanya. Untuk keperluan perlindungan ini diperlukan biaya yang harus dipikul oleh segenap orang yang menikmati perlindungan tersebut, yaitu dalam bentuk pajak. Yang menjadi pokok pangkal teori ini juga keadilan, yaitu bahwa tekanan pajak itu haruslah sama beratnya untuk setiap orang. Pajak harus dibayar sesuai dengan gaya pikul seseorang, dan sekedar untuk mengukur gaya pikul dapat dilihat dari dua unsur yaitu unsur obyektif yang terdiri dari penghasilan, kekayaan dan besarnya pengeluaran seseorang serta unsur subyektif yaitu segala kebutuhan terutama materiil, dengan memperhatikan besarkecilnya jumlah tanggungan keluarga. Makin besar kebutuhan yang harus dipenuhi semakin kecil kekuatan seseorang untuk membayar pajak. d. Teori bakti Teori ini sering disebut juga teori kewajiban pajak mutlak, yang pada intinya mengatakan bahwa negara sebagai organisasi dari golongan, dengan memperhatikan syarat-syarat keadilan, bertugas menyelenggarakan kepentingan umum dan karenanya dapat dan harus mengambil tindakan-tindakan dalam bidang pajak. Menurut teori ini
cxlivVolume 8, No.1, Nop 2008
dasar hukum atau dasar keadilan pemungutan pajak terletak dalam hubungan rakyat dengan negaranya, dan justru sifat suatu negara maka timbullah hak mutlak untuk memungut pajak. Rakyatnya harus selalu menginsyafi bahwa pembayaran pajak sebagai suatu kewajiban asli untuk membuktikan tanda baktinya kepada negara. c. Teori Azas Gaya Beli Teori ini tidak mempermasalahkan asal mulanya negara memungut pajak, melainkan hanya melihat pada akibat pemungutan pajak tersebut, dan memandang akibat yang baik itu merupakan dasar keadilannya. Menurut teori ini maka fungsi pemungutan pajak dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah tangga – rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara kemudian menyalurkan kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara kehidupan masyarakat dan untuk membawa ke arah tertentu yaitu kesejahteraan. Teori ini mengajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu, juga bukan kepentingan negara melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya (individu dan negara). b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun untuk warganya. Bagi negara-negara hukum, maka segala sesuatu harus diatur atau ditetapkan dalam undangundang termasuk pemungutan pajak. Pemungutan pajak di Indonesia diatur juga dalam Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen pasal 23A yang menentukan antara lain bahwa pengenaan dan pemungutan pajak untuk keperluan negara hanya boleh terjadi berdasarkan undang-undang. Kecuali itu, dalam menyusun undang-undangnyapun harus diusahakan oleh pembuat undang-undang untuk tercapainya keadilan dalam pemungutan pajak. Dalam menyusun undang-undang secara umum tidak oleh dilupakan hal-hal sebagai berikut: 1. hak-hak negara sebagai pemungut pajak (fiscus) yang telah diberikan oleh pembuat undang-undang harus dijamin terlaksananya dengan lancar; 2. para wajib pajak harus mendapat jaminan hukum yang tegas agar supaya tidak diperlakukan dengan semena-mena oleh fiscus dengan segala aparaturnya; 3. adanya jaminan hukum terhadap tersimpannya rahasia-rahasia mengenai diri atau perusahaan-perusahaan wajib pajak yang telah dituturkan atau disampaikannya kepada instansi-instansi pajak, dan rahasia itu tidak disalahgunakan. c. Pemungutan pajak tidak mengganggu perekonomian. Keseimbangan dalam kehidupan ekonomi tidak boleh terganggu karena adanya pemungutan pajak, bahkan harus tetap dipupuk olehnya sesuai dengan fungsi kedua dari pemungutan pajak yaitu fungsi mengatur. Oleh karena itu kebijakan pemungutan pajak harus diusahakan supaya tidak menghambat lancarnya perekonomian, baik dalam Volume 8, No.1, Nop 2008
cxlv
bidang produksi maupun perdagangan dan jangan sampai merugikan kepentingan umum dan menghalang-halangi usaha rakyatnya dalam menuju kebahagiaan. d. Pemungutan pajak harus effisien Hasil pemungutan pajak sedapat mungkin cukup untuk menutup sebagian dari pengeluaran-pengeluaran negara sesuai dengan fungsi yang pertama dari pemungutan pajak yaitu sebagai sumber keuangan negara (fungsi budgeter). Oleh karena itu untuk melaksanakan pemungutan pajak hendaknya tidak memakan biaya pemungutan yang besar, dan pemungutan ini hendaknya dapat mencegah inflasi. Untuk mencapai efisiensi pemungutan pajak serta untuk memudahkan wajib pajak guna melakukan pemungutan pajak yang sederhana dan mudah dilaksanakan sehingga masyarakat tidak terganggu dengan permasalahan pajak yang sulit, karenanya dapat menimbulkan inefisiensi.
e. Sistem Pemungutan pajak harus sederhana. Untuk mencapai efisiensi pemungutan pajak serta untuk memudahkan warga masyarakat untuk menghitung dan memperhitungkan pajaknya, maka harus diterapkan sistem pajak yang sederhana yang mudah dilaksanakan sehingga masyarakat tidak terganggu dengan permasalahan pajak yang sulit. Sistem pemungutan pajak yang sederhana dan mudah dilaksanakan akan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Dari uraian di atas telah memperjelas kita, bahwa kendatipun pajak adalah merupakan alat untuk kelangsungan pembangunan suatu negara, namun tidak diperkenankan diterapkan secara semena-mena dan mengindahkan hak azasi manusia. Seharusnya tindakan-tindakan fiscus yang secara serta-merta tanpa dilakukan pengujian akan kebenarannya, dan bahkan harus dilaksanakan walaupun pihak wajib pajak mengajukan keberatan ataupun banding adalah merupakan tindakan-tindakan yang sewenang-wenang. Tindakan ini dalam negara hukum seharusnya tidak mendapat tempat lagi untuk hidup dan berlangsung dalam praktik kehidupan sehari-hari. Tindakan Fiscus atau Direktur Jenderal Pajak yang dapat secara serta merta menagih dan memungut pajak pada wajib pajak akan lebih banyak menimbulkan tindakan Fiscus atau Direktur Jenderal Pajak selaku Pejabat Tata Usaha Negara yang detourmenent de pouvoir atau penyalah-gunaan wewenang.162 2. Perlindungan Wajib Pajak dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yunkto Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka terhadap Surat Ketetapan Pajak dapat diajukan keberatan, banding serta gugatan. 162 Philipus M. Hadjon et all., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Adminstrative law), Cet.III, Gajah Mada University Press, Bandung, 1994, h.270 cxlviVolume 8, No.1, Nop 2008
Keberatan dan banding serta gugatan Wajib Pajak terhadap fiscus atas ketetapan pajak adalah merupakan jaminan bagi wajib pajak untuk menggunakan haknya yang dijamin oleh undang-undang pajak.163 Khusus untuk banding dan gugatan di bidang pajak adalah termasuk kewenangan Pengadilan Pajak untuk memeriksa, mengadili dan memutuskannya, sebagaimana hal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak pada bab II dan bab III. Ketika Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 belum lahir, maka segala sengketa di bidang perpajakan dilakukan dan di bawah kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun ketika lahir Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), sengketa pajak menjadi kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dan putusannya bersifat final. Kondisi hukum tersebut, mendapat respon dari kalangan hukum termasuk para praktisi hukum. Hal itu dikarenakan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak bukanlah lembaga peradilan yang dimaksudkan dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yaitu pasal 10 tentang 4 (empat) Lingkungan Peradilan, sehingga bentuk keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak tidak boleh bersifat final dan hal ini terbukti dari adanya perkara atas Surat Keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang diajukan kasasi dan peradilan kasasi menyatakan berwenang mengadili sengketa pajak yang telah diputuskan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.164 Pengadilan Pajak dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok kekuasaan Kehakiman tidak disebutkan sebagai bagian lembaga peradilan yang dapat mengadili, memeriksa, dan memutus sesuatu perkara. Sehingga perlu dicari dasar pembenar tentang apakah Pengadilan Pajak merupakan suatu lembaga peradilan. Untuk menjawab masalah di atas, maka perlu dianalisis terlebih dahulu tentang Pengadilan pajak apakah telah memenuhi unsur-unsur sebagai suatu peradilan. Adapun unsur-unsur yang harus dipenuhi sebagai suatu lembaga peradilan adalah: a. adanya suatu hukum yang abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan; b. adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit; c. adanya sekurang-kurangnya dua pihak; d. adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan.165 Pengadilan Pajak adalah merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak (pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002). 163
Bohari. H., Op.Cit., h.133
164 Achmad Rifai, Catatan Kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Semester Gasal, Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan, 2000. 165 Bohari. H., Loc.Cit. Volume 8, No.1, Nop 2008 cxlvii
Kemudian hukum pajak yang abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan atau sengketa pajak adalah segala ketentuan di bidang perpajakan, misalnya Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan di ubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000. Dengan demikian Pengadilan pajak telah memenuhi unsur pertama sebagai lembaga peradilan. Kewenangan Pengadilan Pajak adalah di bidang sengketa pajak, jadi di sini telah ditetapkan tentang kewenangan Pengadilan Pajak secara khusus hanya untuk mengadili, memeriksa dan memutuskan sengketa di bidang pajak. Ini termasuk bentuk sengketa konkrit yaitu sengketa di bidang pajak, artinya Pengadilan Pajak tidak dapat mengadili sengketa lain selain sengketa pajak. Untuk itu, unsur kedua dari unsur-unsur sebagai lembaga peradilan telah terpenuhi. Pengadilan Pajak hanya dapat mengadili sedikitnya dua pihak yang bersengketa di bidang pajak, yang salah satunya harus Direktorat Jenderal pajak selaku Fiscus atau pemungut pajak. Bilamana hanya ada satu pihak saja yaitu Fiscus saja tanpa ada pihak Wajib Pajak, maka tidak dapat diadili di Pengadilan pajak. Unsur ini dapat dibuktikan oleh Pengadilan Pajak, karenanya Pengadilan Pajak merupakan lembaga peradilan. Aparatur yang berwenang menyelesaikan sengketa pajak yaitu hakim di lingkungan Pengadilan Pajak, sedangkan aparatur hakim di lain lingkungan selain Pengadilan Pajak, misalnya hakim Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara, atau hakim Pengadilan Militer tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara atau sengketa pajak. Dengan demikian ke empat unsur sebagai ciri lembaga peradilan telah dapat dibuktikan oleh Pengadilan Pajak, karenanya Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkungan peradilan. Dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 25 ayat 1 diberikan hak kepada wajib pajak untuk mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas surat: a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; c. Surat Ketetapan pajak Lebih Bayar; d. Surat Ketetapan Pajak Nihil; e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Unsur-unsur yang menentukan bahwa suatu perselisihan termasuk wewenang Pengadilan Pajak ialah sifat dari pihak yang berselisih dan sifat perselisihannya. Di sini yang menjadi pihak ialah pemerintah, khusus dalam sifatnya sebagai pemungut pajak (fiscus) dan pihak lain adalah rakyat selaku wajib pajak. Pengadilan Pajak yaitu lembaga peradilan yang berwenang melakukan penyelesaian semua bentuk perselisihan mengenai pajak-pajak, namun khusus untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa pajak tentang banding dan Volume 8, No.1, Nop 2008 cxlviii
gugatannya. Sedangkan untuk keberatan atas suatu Surat Ketetapan Pajak hanya dapat diajukan dan menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Pajak untuk memutuskannya. Khusus untuk keberatan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengajukan jumlah pajak terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasanalasan yang jelas. Keberatan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud di atas. Kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasannya. Bilamana suatu keberatan tidak diajukan sebagaimana diuraikan di atas, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 25 ayat 4 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, maka surat keberatan tersebut tidak dapat dipertimbangkan. Kendati demikian, bilamana Wajib Pajak mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak, tidaklah menunda kewajiban Wajib Pajak untuk membayar pajak. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama duabelas bulan sejak tanggal Surat keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alaan tambahan atau penjelasan tertulis. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang terutang. Namun bilamana Direktur Jenderal Pajak setelah jangka waktu duabelas bulan sejak tanggal surat keberatan diterima tidak memberikan keputusannya, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima. Guna lebih sistematis selanjutnya akan dikemukakan beberapa persoalan yang berhubungan dengan masalah keberatan, yaitu tentang: a. pokok perselisihan; b. pemasukan surat keberatan. Perselisihan itu ialah mengenai dasar-dasar pengenaan, pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan, jadi bukan jumlah pajaknya meskipun jumlah utang, pajak tergantung pada besarnya yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak. Dalam pajak penghasilan yang dikenakan pajak adalah penghasilan bersihnya. Adapun penghasilan itu dibedakan atau dua yaitu laba usaha (business profit) dan penghasilan lain-lain (other income).166 Pada Pajak Penghasilan misalnya, ada suatu kewajiban bahwa bagi wajib pajak untuk memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT). Dalam SPT itu oleh Wajib Pajak yang bersangkutan diharuskan oleh undang-undang untuk memberitahukan jumlah yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan jumlah pajak yang terhutang. Jumlah itu harus diberitahukan sesuai dengan keadaan sebenarnya dengan mengisi SPT itu secara lengkap, misalnya bagi badan usaha yang menjadi wajib pajak diwajibkan melengkapi SPT itu dengan laporan keuangan berupa neraca dan 166 John Hutagaol, Pemahaman Praktis Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia dengan Negara-ngara Di kawasan Eropa, Cet.I, Salemba Empat, Jakarta, 2000, h.21 Volume 8, No.1, Nop 2008 cxlix
perhitungan rugi laba serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Akan tetapi hal itu tidak selalu dilakukan, ada yang disebabkan karena ketidak-jujuran wajib pajak, yang dengan sengaja ingin menyembunyikan beberapa bagian dari penghasilan atau kekayaan dengan cara pengisian yang tidak sebenarnya. Dalam hal demikian Direktur Jenderal pajak tidak terikat dengan Surat Pemberitahuan itu dan selalu berwenang untuk mengadakan penelitian dan penilaian ini berarti bahwa Direktur Jenderal pajak dapat menyimpang dari Surat Pemberitahuan Wajib Pajak, dan penyimpangan ini tentunya dilakukan dengan alasan yang kuat. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian dan penilaian Surat Pemberitahuan (SPT) yang dimasukkan oleh wajib pajak, dan dari hasil pemeriksaan terbukti bahwa pengisian Surat Pemberitahuan itu adalah tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan pajak secara jabatan. Pada umumnya penetapan pajak secara jabatan ini adalah jauh lebih besar dari jumlah perkiraan oleh wajib pajak sendiri sewaktu mengajukan Surat Pemberitahuannya. Oleh karena penetapan pajak secara jabatan ini dianggap tidak adil karena pajaknya terlalu tinggi, maka wajib pajak biasanya mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak sebagai bukti bahwa Wajib Pajak tidak setuju dengan penetapan pajak tersebut. Surat keberatan ditujukan kepada Direktur Jenderal pajak untuk satu jenis pajak dan satu tahun pajak, misalnya pajak penghasilan tahun 2001 dan 2000. Keberatan terhadap surat keterangan pajak penghasilan tahun 2001 dan tahun 2000 tersebut, harus diajukan masing-masing dalam satu Surat Keberatan tersendiri. Untuk dua tahun pajak tersebut harus diajukan dua buah surat keberatan. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu tiga bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak atau SKP sebagaimana ditentukan dalam pasal 25 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Adapun maksud penentuan tenggang waktu tiga bulan tersebut adalah supaya wajib pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasannya. Apabila ternyata bahwa batas waktu tiga bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh wajib pajak, karena keadaan di luar kekuasan wajib pajak (force majeure), maka tenggang waktu selama waktu tiga bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal pajak (Penjelasan pasal 25 ayat 3 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). Tanda bukti atau resi penerimaan surat keberatan diberikan oleh pejabat Direktur Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan wajib pajak. Tanda bukti penerimaan tersebut oleh wajib pajak dapat juga digunakan sebagai alat kontrol baginya untuk mengetahui sampai kapan batas waktu dua belas bulan itu berakhir, mengingat oleh karena dalam jangka waktu dua belas
cl
Volume 8, No.1, Nop 2008
bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, maka Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. Pengajuan Surat Keberatan itu tidak menghalangi aparatur pajak untuk melakukan tindakan penagihan. Kententuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar wajib pajak dengan dalih mengajukan keberatan, tidak melakukan kewajibannya untuk membayar pajak yang telah ditetapkan, atau wajib pajak berusaha melakukan penghindaran pajak pada saat mengajukan keberatan. Undang-undang pajak menentukan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi tentang isi surat keberatan. Meskipun undang-undang tidak memberikan perincian secara tersirat, namun kalau diteliti lebih jauh maka nampak tersirat lima hal yang merupakan syarat minimum yaitu: a. Penyataan bahwa wajib pajak merasa keberatan terhadap ketetapan pajak; b. Jenis pajaknya; c. Tahun pajak; d. Nomor pokok Wajib Pajak; e. Nama dan tanda tangan wajib pajak. Pada dasarnya Surat Keberatan itu memuat alasan-alasan mengapa seorang wajib pajak keberatan terhadap ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya. Namun alasan ini bukan merupakan syarat mutlak untuk sahnya Surat Keberatan. Meskipun demikian sebaiknya wajib pajak mengajukan alasan-alasan guna meyakinkan pejabat yang akan memberikan keputusan atas keberatan itu. Surat keberatan yang tidak disertai alasan adalah lembah, karena itu besar kemungkinannya bahwa keberatan itu ditolak. Alasan yang diberikan oleh undangundang pajak terhadap wajib pajak yang ingin mengajukan keberatannya adalah berkisar pada dasar-dasar pengenalan pajak telah ditetapkan oleh kepada instansi pajak setempat. Sebagai contoh pengenaan pajak penghasilan berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 serta Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000. Berdasarkan pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan, maka penghasilan seseorang dapat dikelompokkan menjadi empat macam sumber penghasilan yang terdiri dari: a. Penghasilan dari pekerjaan; b. Penghasilan dari kegiatan usaha; c. Penghasilan dari modal, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak; d. Pengasilan lain-lain. Keempat penghasilan di atas menjadi obyek pengenaan pajak penghasilan bagi wajib pajak tertentu. Wajib Pajak sebelum ditetapkan pajaknya berkewajiban untuk memasukkan surat pemberitahuan. Dalam surat pemberitahuan tersebut wajib pajak berkewajiban memasukkan seluruh jenis sumber penghasilannya. Akan tetapi karena ketidak-jujuran wajib pajak, hal ini tidak dilakukan. Dalam hal demikian fiskus tidak terikat dengan surat pemberitahuan itu, dan fiskus berwenang Volume 8, No.1, Nop 2008
cli
melakukan penilaian atas Surat Pemberitahuan tersebut. Wewenang untuk mengadakan penilian ini berarti Direktorat Pajak (fiscus) dapat menyimpang dari surat pemberitahuan wajib pajak. Penyimpangan ini berarti dasar pengenaan pajak ditetapkan secara sepihak oleh Direktorat Pajak dan tidak didasarkan atas surat pemberitahuan dari Wajib Pajak. Pengenaan pajak secara sepihak yang dilakukan oleh Direktorat Pajak dapat digunakan oleh wajib pajak sebagai alasan keberatan. Dan jika wajib pajak mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak maka ketidak-benaran penetapan pajak secara sepihak tadi harus dibuktikan oleh wajib pajak. Apabila wajib pajak tidak dapat membuktikannya, maka surat keberatannya ditolak dan wajib pajak boleh mengajukan banding pada banding pada Pengadilan Pajak. Terhadap surat keberatan yang diajukan oleh wajib pajak kewenangan penyelesaiannya dalam tingkat pertama diberikan pada Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan keputusannya. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan wajib pajak dapat berupa: 1. menerima seluruhnya atau sebagian; 2. menolak seluruhnya keberatan. Apabila surat keberatan itu diterima atau dikabulkan seluruhnya, maka tidak perlu diberikan alasan, cukup dinyatakan di dalamnya bahwa keberatan pemohon dapat diterima dan karena itu pajak dikurangkan. Jika surat Keberatan itu ditolak seluruhnya, berarti wajib pajak tidak dapat membuktikan ketidak-benaran ketetapan pajak secara jabatan yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Penolakan keberatan ini dapat berakibat bahwa jumlah utang pajak ada kemungkinannya bertambah, ataupun tetap jumlahnya. Wajib pajak yang belum merasa puas terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal pajak mengenai keberatannya itu, dapat mengajukan banding pada Pengadilan Pajak menurut ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Adapun banding dapat diajukan dengan surat banding dalam bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak, dengan ketentuan tidak boleh melampaui waktu tiga bulan sejak tanggal diterimanya keputusan yang dibanding tersebut, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Jangka waktu tiga bulan tersebut adalah bersifat mengikat, kecuali terdapat keadaan di luar kekuasan pemohon banding misalnya force majeure. Setiap permohonan banding hanya dapat diajukan terhadap satu Keputusan, dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan pula tanggal diterimanya surat keputusan yang dimohonkan banding tersebut. Di samping ada kewajiban untuk mencantumkan tanggal diterimanya surat keputusan yang dimohon banding, pemohon banding juga wajib melampirkan salinan keputusan yang dimaksud. Syarat yang bersifat mutlak dipenuhi oleh pemohon banding adalah bilamana banding itu diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, maka banding itu
clii Volume 8, No.1, Nop 2008
hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen). Banding dapat diajukan wajib pajaksendiri, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya. Namun apabila selama proses banding, pemohon banding meninggal dunia, maka pemohonan banding tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, atau kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal pemohon banding dalam pailit. Bilamana selama proses banding, pemohon banding melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggung jawaban karena penggabungan, peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha atau likuidasi dimaksud. Permohonan banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak. Banding yang dicabut sebagaimana dimaksud di atas, dihapus dari daftar sengketa dengan penetapan ketua, dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang dilaksanakan. Bilamana pencabutan diajukan dalam tahap pemeriksaan sengketanya, maka pencabutan tersebut harus atas persetujuan pihak terbanding, yang nantinya akan dibuatkan putusan hakim yang memeriksa perkaranya bahwa perkaranya telah di cabut. Terhadap banding yang permohonannya dicabut melalui penetapan ataupun putusan, maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan satu kali saja. Artinya setelah permohonan banding terhadap Surat Ketetapan Pajak dicabut, maka terhadap Surat Ketetapan Pajak dimaksud tidak dapat diajukan permohonan banding lagi. Bilamana Wajib Pajak tidak puas pula terhadap Keputusan Banding, maka ia dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak secara tertulis dengan Bahasa Indonesia, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya keputusan yang digugat. Pengajuan gugatan tersebut hanya dapat diajukan satu surat keputusan yang digugat. Gugatan pada Pengadilan Pajak terhadap Surat Keputusan sebagaimana dimaksud di atas, dapat diajukan oleh Penggugat, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya dengan disertai alasan-alasan yang jelas, mencantumkan tanggal diterima, pelaksanaan penagihan, atau keputusan yang digugat dan dilampiri salinan dokumen yang digugat. Apabila selam proses gugatan, penggugat meninggal dunia, gugatan dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal penggugat pailit. Bilamana selama proses gugatan, penggugat melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggung jawaban karena penggabungan, peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud. Bilamana pihak penggugat tidak berkehendak melanjutkan perkaranya, maka penggugat dapat membuat pernyataan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak. Gugatan yang dicabut tersebut baru akan dihapus dari daftar sengketa, jika terdapat penetapan ketua bilamana surat pernyataan pencabutan itu diajukan sebelum Volume 8, No.1, Nop 2008
cliii
sidang perkaranya belum dimulai dan penghapusan dari daftar perkara akan didasarkan pada putusan hakim yang mengadilinya, bila pernyataan pencabutan itu dilakukan pada saat perkara sedang berjalan, sehingga perlu persetujuan pihak tergugat pula. Setelah gugatan tersebut dicabut, maka terhadap perkara dimaksud tidak dapat diajukan perkara gugatan lagi. Jadi Wajib Pajak hanya mempunyai hak satu kali saja untuk mengajukan gugatan terhadap surat ketetapan pajak atau surat keputusan banding, sebab bilamana perkara itu diajukan kembali, maka perkara gugatan demikian akan ditolak. Kendati demikian pengajuan gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan pajak atau kewajiban perpajakan. Namun penggugat dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan pajak ditunda selama pemeriksaan sengketa pajak sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan pajak. Adapun permohonan penundaan pelaksanaan penagihan pajak tersebut harus diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya. Ketika Fiscus mengeluarkan surat tagihan pajak atas Surat Ketetapan Pajak dan telah dilakukan peneguran dengan Surat Tegoran, sedangkan pihak Wajib Pajak tidak juga membayar sejumlah pajak yang ditagih tersebut, maka Fiscus melalui Jurusitanya akan mengeluarkan Surat Paksa.167 Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau mempertimbangkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita. Penagihan merupakan salah satu bagian yang penting dalam rencana kinerja suatu Kantor Pelayanan Pajak untuk memasukkan uang dari pajak ke kas negara. Karena merupakan salah satu bagian yang penting, penagihan harus dapat memberikan motivasi peningkatan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak. Penagihan itu sendiri timbul karena adanya tunggakan dari wajib pajak. Tidak semua wajib pajak mempunyai kesadaran pajak, kepatuhan pajak, dan disiplin pajak, sehingga diperlukan suatu pengawasan. Sebagai tindak lanjut dari pengawasan tersebut maka dilakukan tindakan penagihan pajak. Adapun tugas-tugas dalam melakukan penagihan ialah: a. mengadakan perjanjian pembayaran pajak dengan wajib pajak secara mencicil, yang menyimpang dari ketentuan undang-undang, bila ada alasan untuk itu; b. memberikan surat keterangan fiskal, yang sering dibutuhkan untuk berbagai keperluan, seperti ikut tender, untuk mendapatkan kredit dari bank pemerintah, untuk bepergian keluar negeri, dan sebagainya; c. melakukan pemindahbukuan (overboeking) dan konpensasi kelebihan pembayaran pajak yang satu kepada yang lain; 167 Moeljo hadi. H., Dasar-Dasar Penagihan Pajak dengan Surat Paksa oleh Juru Sita Pajak Pusat dan Daerah, Cet.IV, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, h.27 clivVolume 8, No.1, Nop 2008
d. e. f. g. h. i. j.
k. l. m. n.
mengeluarkan surat paksa; melakukan sita, melelang barang-barang yang disita melalui juru lelang, dan melantarkan sandera; mengenakan sanksi, bunga atas kelambanan pembayaran pajak; mencegah daluwarsa; mengeluarkan surat tagihan pajak; memberikan surat keterangan hipotik; melakukan penghapusan pajak bila perlu tentang pajak-pajak yang ternyata tidak dapat ditagihkan lagi karena wajib pajak menghilang, pindah dan tidak diketahui alamatnya, atau meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris maupun warisan; menunda pembayaran pajak; membuat statistik tentang penerimaan / realisasi penerimaan pajak-pajak, disusun per jenis pajak dan secara total; mengadministrasi pengembalian pajak jika ternyata terjadi kelebihan pembayaran pajak; melakukan pengawasan atas pembayaran pajak-pajak, dan sebagainya.168
Dalam pelaksanaan di lapangan tindakan penagihan dilakukan oleh Jurusita Pajak. Seperti tersebut dalam pasal 5 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, tugas-tugas Jurusita Pajak dalam tindakan penagihan adalah : - dengan Surat Perintah Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus sesegera mungkin. - memberitahukan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak dengan cara pernyataan dan menyerahkan salinan dari Surat Paksa. - melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. Sebelumnya dalam laporan pelaksanaan Surat Paksa dilaporkan jenis, letak dan taksiran harga dari objek sita dengan memperhatikan tunggakan pajak dan biaya pelaksanaan yang mungkin akan dikeluarkan. Sedangkan barang yang dapat disita adalah barang milik penanggung Pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan atau di tempat lainnya yang penguasaannya berada di tangan pihak lain, atau yang dibebani dengan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, misalnya barang bergerak dan barang tidak bergerak. - melaksanakan pencegahan dan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan. Pencegahan dan penyanderaan
168
Rochmat Soemitro, Azas dan Dasar Perpajakan I, Refika Aditama, Bandung, 1998, hal. 151.
Volume 8, No.1, Nop 2008
clv
yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak harus dibantu oleh aparat Kepolisian, Kejaksaan, Kantor Imigrasi dan aparat yang terkait. Di dalam pasal 18 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 menyebutkan bahwa Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, adalah merupakan dasar dari penagihan pajak. Dengan sistem self assessment, wajib pajak diberi kewenangan untuk menghitung sendiri jumlah pajak yang terhutang. Disini wajib pajak dituntut kejujurannya dalam hal jumlah besarnya penghasilan yang diperoleh dari wajib pajak dengan jumlah pajak terhutang yang dilaporkan. Tindakan pelaksanaan penagihan pajak dilakukan apabila pajak yang terutang seperti yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak atau Surat Ketetapan Pajak Tambahan tidak atau kurang dibayar setelah lewat jatuh tempo pembayaran pajak yang bersangkutan. Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/ atau sanksi berupa bunga dan denda administrasi. Seperti tersebut dalam pasal 14 (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Surat Tagihan Pajak diterbitkan apabila: a. pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; b. dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan) terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis atau salah hitung; c. wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga; d. pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun 1984 dan perubahannya tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; e. pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) tetapi membuat Faktur Pajak; f. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak. Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak. Surat Ketetapan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah pengurangan pembayaran pajak, jumlah kekurangan pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah pajak yang masih harus dibayar. Dalam pasal 13 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, Surat Ketetapan Pajak diterbitkan apabila: (1) dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutang pajaknya, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, fiskus dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal sebagai berikut:
clviVolume 8, No.1, Nop 2008
a.
(2)
(3)
(4)
(5)
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; b. apabila Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan) tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (3) dan telah ditegur secara tertulis tetapi tidak disampaikan pada waktunya sebagai mana ditentukan dalam Surat Tegoran; c. apabila berdasarkan hasil pemeriksanaan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0%; d. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 dan pasal 29 tidak dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang. jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar: a. 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam satu tahun pajak; b. 100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetorkan; c. 100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar. besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan) menjadi pasti menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, apabila dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, tidak diterbitkan surat ketetapan pajak. apabila jangka waktu sepuluh tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal wajib pajak setelah jangka waktu sepuluh tahun tersebut dipidana, karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Volume 8, No.1, Nop 2008
clvii
Surat Ketetapan Pajak Tambahan adalah surat keputusan yang menambah jumlah pajak yang telah ditetapkan. Dalam pasal 15 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 Surat Ketetapan Pajak Tambahan diterbitkan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah saat pajak terutang, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang. (2) jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut. (3) kenaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari wajib pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. (4) apabila jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dala hal wajib pajak setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan dikeluarkannya STP, SKPKB, SKPKBT dan Surat Keputusan Pembetulan sebagai akibat dari tidak dilunasinya utang pajak oleh Penanggung Pajak atau Wajib Pajak, maka jika utang pajak yang tercantum dalam STP, SKPKB, SKPKBT dan Surat Keputusan Pembetulan, masih belum juga dilunasi dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam surat tersebut maka langkah yang diambil oleh aparat pajak berikutnya ialah dengan mengeluarkan Surat Tegoran, Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus, mengeluarkan Surat Paksa, Penyitaan, Pencegahan atau Penyanderaan serta Pelelangan. Langkah-langkah tersebut merupakan proses-proses dalam tindakan penagihan. Untuk jelasnya proses-proses tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Surat Tegoran Surat Tegoran ini diterbitkan terhadap Wajib Pajak yang tidak melunasi utang pajak setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal pelunasan atau jatuh tempo pembayaran yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak yang diterima Wajib Pajak. Isi dari Surat Tegoran tersebut adalah peringatan kepada Penanggung Pajak agar mau melunasi utang pajaknya dan juga memberitahukan akibat hukum yang ditimbulkan apabila Surat Tegoran tersebut tidak diindahkan. 2.
Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus
Volume 8, No.1, Nop 2008 clviii
Pengertian “Seketika” mengandung arti bahwa pelunasan utang pajak tersebut harus dilunasi dengan segera, dan pengertian “Sekaligus” mengandung arti bahwa pajak tersebut harus dilunasi dalam waktu bersamaan untuk semua jenis pajak yang terutang. Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus dilakukan bilamana terjadi suatu peristiwa atau keadaan yang mendesak dan untuk menjaga kemungkinan terjadinya sesuatu yang akan mengakibatkan pajak yang terhutang dari Penanggung Pajak tidak dapat ditagih karena : - Penanggung Pajak akan atau berniat untuk meninggalkan Indonesia untuk selamanya; - Penanggung Pajak menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia ataupun memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai; - Terdapat tanda-tanda Penanggung Pajak akan atau berniat membubarkan badan usahanya; - Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; - Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. Surat Perintah Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa. Jadi logika hukumnya adalah Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus dilaksanakan tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak. Dalam pelaksanaannya Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus dilakukan sebagai berikut: - Surat Perintah Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus diterbitkan tanpa memperhatikan apakah Wajib Pajak telah diberikan Surat Tegoran atau tidak; - Surat Perintah Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus disampaikan kepada Wajib Pajak dan dalam waktu 2 X 24 jam Wajib Pajak harus melunasi segala utang pajaknya; - Apabila dalam jangka waktu 2 X 24 jam Wajib pajak belum mau melunasi utang pajaknya, maka segera dilakukan tindakan penagihan dengan Surat Paksa. 3. Surat Paksa Surat Paksa dalam arti umum adalah alat hukum yang lazimnya diterapkan dalam hukum perdata setelah ada putusan hakim.169 Sedangkan Surat Paksa dalam arti khusus adalah surat yang dikeluarkan oleh pejabat dalam hal ini yang berwenang dalam menerbitkan surat paksa, yang intinya memerintahkan kepada wajib pajak (penanggung pajak) yang mempunyai utang pajak untuk membayar utang pajaknya dan biaya penagihan pajak. Akan tetapi di dalam hukum pajak Surat Paksa disebut parate executie, artinya dapat melakukan eksekusi langsung tanpa melalui proses dimuka pengadilan. Membahas tentang Surat Paksa, maka Surat Paksa dapat ditinjau dari 2 (dua) segi, yaitu segi isinya dan segi karakteristiknya. 169 Ibid., hal. 76. Volume 8, No.1, Nop 2008
clix
Ditinjau dari segi isinya, sesuai dengan pasal 7 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor19 Tahun 2000, Surat Paksa memuat hal-hal sebagai berikut : - diawali dengan kata-kata yang berbunyi “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. - nama wajib pajak atau penanggung pajak, keterangan cukup tentang alasan yang menjadi dasar penagihan, perintah membayar. - dikeluarkan atau ditandatangani oleh Pejabat berwenang yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. Sedangkan ditinjau dari segi karakteristiknya adalah sebagai berikut : - mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Grosse putusan Hakim dalam perkara perdata yang tidak dapat diminta banding lagi pada Hakim atasannya. - mempunyai kekuatan hukum yang pasti (in kracht van Gewijsde). - mempunyai fungsi ganda yaitu menagih pajak dan menagih bukan pajak atau biaya-biaya dalam proses penagihan. - dapat dilanjutkan dengan tindakan penyitaan atau penyanderaan/ pencegahan.170 Yang perlu dipahami oleh Penanggung Pajak bahwa dengan Surat Paksa, Jurusita Pajak dapat melakukan eksekusi langsung baik itu berupa tindakan penyitaan maupun pelaksanaan lelang. Khusus pelelangan Jurusita Pajak menyerahkannya kepada Kantor Lelang yang berwenang melaksanakan lelang. Surat Paksa mempunyai kekuatan executorial karena mepunyai title berupa kepala (irah-irah) “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, ini sama dengan keputusan pengadilan dan grosse akte notaris yang juga berkepala demikian.171 Surat Paksa diterbitkan fiskus (aparat pajak) kepada para wajib pajak yang mempunyai tunggakan pajak. Wajib Pajak yang mempunyai tunggakan pajak disebut Penanggung Pajak, sedangkan tunggakan pajak selanjutnya disebut utang pajak yang harus dilunasi sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan oleh Undang-undang. Utang pajak yang tidak dilunasi dalam jangka waktu yang ditentukan akan diterbitkan Surat Paksa dengan terlebih dahulu diterbitkan surat tegoran atau surat peringatan. Terhadap Penanggung Pajak yang telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus juga diterbitkan Surat Paksa dan terhadap Penanggung Pajak yang mengajukan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak dan sampai jangka waktu pembayaran masih juga belum melunasinya sesuai dengan keputusan yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak. Prosedur penerbitan Surat Paksa pada Kantor Pelayanan Pajak Pamekasan diawali dengan pelaksanaannya dibidang tata usaha sebelum Surat Paksa tersebut 170
Moeljo Hadi, Op.Cit., hal. 23
171 Eugenia Liliawati Muljono dan Amin Widjaja Tunggal, Eksekusi Grosse Akta Hipotek oleh Bank, Cet.I, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, h.38 clx Volume 8, No.1, Nop 2008
disampaikan kepada Penanggung Pajak. Ini penting sekali karena Surat Paksa adalah salah satu produk hukum dari Direktorat Jenderal Pajak, jangan sampai Surat Paksa dikeluarkan begitu saja tanpa ada dasarnya baik itu dasar hukumnya ataupun dasar administrasinya. Dasar hukum dari Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sudah jelas yaitu Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000, sedangkan dasar administrasinya dapat diuraikan sebagai berikut : - Surat Paksa dikeluarkan setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal surat tegoran yang sebelumnya telah dikirim; - tanggal dan nomor Surat Paksa dicatat dalam buku register Surat Paksa, buku register pengawasan penagihan, dan buku register tindakan penagihan; - selanjutnya Surat Paksa diserahkan kepada Jurusita Pajak yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan tugas penagihan; - Jurusita Pajak yang telah menerima penyerahan Surat Paksa, harus : mencatatnya dalam buku Produksi Harian dan buku register Tindakan Penagihan; menyampaikan, memberitahukan dan menyerahkan salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak; membuat laporan pelaksanaan Surat Paksa dan membuat berita acara pemberitahuan Surat Paksa; pelaksanaan Surat Paksa dicatat dalam buku register Pengawasan Penagihan dan buku register Tindakan Penagihan serta Surat Paksa dimasukkan dalam berkas penagihan wajib pajak yang bersangkutan. 4.
Penyitaan Pengertian penyitaan dalam hukum pajak pada intinya sama dengan Sita Executoir dalam Hukum Perdata, yaitu: Serangkaian tindakan dari Jurusita Pajak yang dibantu oleh dua orang saksi untuk menguasai barang-barang dari Wajib Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak sesuai dengan perundang-undangan pajak yang berlaku. Penyitaan dalam Hukum Pajak merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan penagihan dengan Surat Paksa. Penyitaan terpaksa dilakukan bilamana pajak yang masih harus dibayar oleh Penanggung Pajak tidak dilunasi dalam jangka waktu 2 X 24 jam sesudah tanggal pemberitahuan dengan pernyataan dan penyerahan Surat Paksa kepada Wajib Pajak. Dalam pelaksanaannya penyitaan dilakukan oleh Jurusita Pajak dengan didampingi oleh 2 (dua) orang saksi. Adapun barang-barang Penanggung Pajak yang dapat disita antara lain: Barang bergerak Semua barang bergerak milik Penanggung Pajak yang ada di rumah, di toko, di tempat usaha, atau kantor dari Penanggung Pajak. Barang tidak bergerak Semua barang tak bergerak berupa rumah, kantor, perusahaan dan sebagainya, baik itu ditempati sendiri atau dikontrakkan kepada pihak lainnya. Juga termasuk kebun, Volume 8, No.1, Nop 2008
clxi
sawah, bungalow dan sebagainya, baik itu dikerjakan sendiri atau disewakan pada pihak lain serta kapal dengan bobot tertentu. Tujuan penyitaan adalah untuk memperoleh jaminan pelunasan utang pajak dari Penanggung Pajak. 5.
Pencegahan dan Penyanderaan Pengertian Pencegahan sebagaimana tersebut dalam pasal 7 sub 17 UU Nomor 19 Tahun 2000 adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia. Pelaksanaan pencegahan terhadap Penanggung Pajak dalam upaya penagihan pajak harus memenuhi utang pajak dalam jumlah sekurang-kurangnya sebesar Rp 100.000.000,00 dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Keputusan pencegahan diterbitkan oleh Menteri atas permintaan dari pejabat yang bersangkutan. Pengertian Penyanderaan (Gijzeling) atau lebih dikenal dengan sita badan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan dari Penanggung Pajak dengan menempatkan ditempat tertentu. Penyanderaan dilakukan bilamana Penanggung Pajak mempunyai kemampuan untuk membayar pajak tetapi tidak mau membayarnya bahkan menyembunyikan harta kekayaannya setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak, sedangkan besarnya utang pajak sekurang-kurangnya Rp 100.000.000,00 dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Surat Perintah Penyanderaan diterbitkan oleh pejabat setempat setelah mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan. Surat Perintah tersebut disampaikan oleh Jurusita Pajak dengan didampingi 2 (dua) orang saksi dan dapat meminta bantuan pihak Kepolisian atau Kejaksaan. 6.
Pelelangan Pelelangan adalah penjualan barang milik Penanggung Pajak dimuka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli. Lelang adalah sebagai akibat dari utang pajak dan atau biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan. Dalam hal pelaksanaannya lelang dilaksanakan melalui Kantor Lelang. Lelang tetap dilaksanakan walaupun keberatan yang diajukan oleh Penanggung Pajak belum memperoleh putusan dari Direktorat Jenderal Pajak, dan juga lelang dapat dilaksanakan meskipun si Penanggung Pajak tidak hadir. Hasil dari pelelangan digunakan lebih dahulu untuk membayar biaya penagihan dan sisanya untuk membayar utang pajak. Apabila lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak pelaksanaan lelang dihentikan, walaupun barang yang akan dilelang masih ada. Jika ada sisa barang dan kelebihan uang hasil lelang dikembalikan kepada Penanggung Pajak segera setelah pelaksanaan lelang.
clxiiVolume 8, No.1, Nop 2008
KESIMPULAN Berdasarkan seluruh uraian pada bab-bab pembahasan di atas, maka saya dapat tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: e. Secara tegas, baik Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman lembaga peradilan hanya ada empat lingkungan peradilan yaitu Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Militer. Adapun Pengadilan Pajak yang didirikan atas dasar kekuatan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 yang berdiri sendiri sebagai peradilan khusus bidang pajak adalah inkonstitusional, karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Karenanya putusannya jika berbentuk penghukuman wajib pajak untuk membayar pajak adalah juga inkonstitusional, sehingga non executable (tidak dapat dilaksanakan); f. Keadilan tidak diterapkan secara proporsional antara keadilan terhadap Wajib Pajak dan Fiscus, Undang-Undang Pengadilan Pajak Tahun 2002 lebih mengutamakan dan membenarkan pihak Fiscus. Kendatipun misalnya Fiscus yang salah dan wajib pajak diberikan bunga atas kewajiban yang telah dibayar, namun wajib pajak belum diberikan kesempatan yang sama dengan Fiscus. SARAN Sebagai saran penyempurnaan atas keberadaan Peradilan Pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002, maka dapat dikemukakan hal-hal: a. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 perlu segera direvisi, dengan menyatakan dirinya sebagai bagian dari Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negera; b. Setiap pengeluaran surat penagihan pajak, hendaknya dilakukan secara hatihati. Mengingat setiap surat penagihan pajak akan selalu diterbitkan surat paksa, bilamana wajib pajak tidak segera membayarnya, terlepas apakah penagihan pajak tersebut benar atau tidak. Bahan Rujukan Brotodihardjo. R., Santoso.1998. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Ed.III, Eresco. Bandung. Bohari. 1999. Pengantar Hukum Pajak, Cet.III, RajaGrafindo Persada. Jakarta. CST., Kansil.1989. Pengantara Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII. Balai Pustaka. Jakarta. Hamzah, Andi. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesaia, Cet.I. Sinar Grafika. Jakarta. Hadi, Moeljo. 2001. Dasar-Dasar Penagihan Pajak dengan Surat Paksa oleh Juru Sita Pajak Pusat dan Daerah, Cet.IV. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Volume 8, No.1, Nop 2008
clxiii
Hutagaol, John. 2000. Pemahaman Praktis Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia dengan Negara-ngara Di kawasan Eropa, Cet.I. Salemba Empat. Jakarta. Kusnardi, Moh dan Harmaily Ibrahim. 1981. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet.IV, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fak. Hukum UI. Jakarta. Muljono, Eugenia Liliawati dan Amin Widjaja Tunggal, 1996. Eksekusi Grosse Akta Hipotek oleh Bank, Cet.I. Rineka Cipta. Jakarta. Munawir, 1992. Perpajakan. Liberty. Yogyakarta. M. Hadjon, Philipus et all., 1994 Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Adminstrative law), Cet.III. Gajah Mada University Press. Bandung. Prinatara, Diaz. 2000. Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Cet.-, Djambatan. Jakarta. Rifai, Achmad. 2000. Catatan Kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Semester Gasal, Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan. Suandy, Erly. 2002. Hukum Pajak (Dilengkapi dengan Latihan Soal), Ed.II, Salemba Empat. Jakarta. Soemitro, Rochmat. 1992. Pengantara Singkat Hukum Pajak, Cet.III, Eresco. Bandung. -----------. 1998. Azas dan Dasar Perpajakan I, Refika Aditama. Bandung. Wijoyo, Suparto.1997. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, Cet.I. Airlangga University Press. Surabaya.
clxivVolume 8, No.1, Nop 2008
AKIBAT HUKUM TERHADAP PENAGIHAN PAJAK Oleh: Achmad Rifai, S.H., M.Hum.* ABSTRAK Pola penagihan pajak yang didasarkan kepada Obyek kena pajak, bilamana tidak diindahkan oleh Wajib Pajak akan melahirkan tindakan penagihan, pemaksaan dengan surat paksa bahkan penyitaan dan pelelangan dari Fiscus. Untuk itu setiap tagihan pajak penyelesaiannya dengan cara pembayaran pajak. Kata Kunci: Hutang Pajak – Penagihan – Akibat Hukum.
LATAR BELAKANG Pajak dibebankan kepada wajib pajak oleh pemerintah, dikarenakan pemerintah dibebani biaya pengeluaran-pengeluaran umum untuk kepentingan tugastugas kenegaraan yaitu untuk menyelenggarakan pemerintahan dan kepentingan umum. Pemerintah dari perolehan pajak tersebut salah satu kegiatannya adalah menciptakan fasilitas umum, seperti pembangunan pelabuhan, jalan raya, kereta api, bis kota, bendungan, irigasi, sekolah dan Perguruan Tinggi, Rumah Sakit, penanggulangan bencana alam, pembiayaan pertahanan negara dan sebagainya.172 Pemerintah selaku pemungut pajak atau fiscus untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan dan kepentingan umum tersebut, akan memfungsikan pajak secara reguler.173 Dengan fungsi pajak yang reguler itu, masyarakat selaku wajib pajak akan dapat diatur guna melakukan tindakan yang seminimal mungkin terkena pajak. Sementara pemerintah selaku fiscus dalam fungsi pajak yang reguler, melakukan pungutan pajak hampir di setiap aspek kegiatan wajib pajak, misalnya setiap pembelian barang atau jasa dikenakan PPN (Pajak Pertambahan Nilai), setiap penghasilan di atas jumlah tertentu dikenakan PPh (Pajak Penghasilan), setiap pembeli atau memperoleh tanah dengan nilai tertentu dikenakan BPHATB (Bea Perolehan Hak Atas dan Bangunan) dan lain sebagainya. *Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 172 Kansil. C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, h.324 173 Erly Suandy, Hukum Pajak (Dilengkapi dengan Latihan Soal), Ed.II, Salemba Empat, Jakarta, 2002, h.13
Volume 8, No.1, Nop 2008
clxv
Dengan beberapa bentuk pungutan pajak dimaksud, maka wajib pajak akan selalu menahan diri untuk tidak mengkonsumsi barang-barang tersebut. Sehingga wajib pajak hanya akan membeli barang yang benar-benar sangat dibutuhkan. Dengan demikian pemerintah telah dapat memfungsikan posisi pajak sebagai alat untuk mengatur, karenanya tujuan pajak telah mencapai maksudnya sebagai fungsi reguler. Sementara tindakan pemerintah melalui fiscus, yang terus berupaya untuk meningkatkan pendapatan yang sebesar-besarnya dari sektor pajak adalah merupakan fungsi pajak yang budgeter.174 Adapun pendapatan negara itu sendiri dapat bersumber dari: a. Pajak; b. Kekayaan alam; c. Bea dan Cukai; d. Retribusi; e. Iuran; f. Sumbangan; g. Laba dari Badan Usaha Milik Negara; h. Sumber-sumber lainnya.175 Khusus untuk pengklasifikasian sumber pendapatan negara di atas, Dosen Pembimbing tidak sependapat dengan penulis buku Hukum Pajak tersebut. Dengan alasan bahwa seharusnya Bea dan Cukai tidak perlu disebut lagi, mengingat baik Bea ataupun Cukai tiada lain adalah pajak. Hal ini sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 1985 tentang Bea (Pajak atas Barang Import dan Eksport) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1985 tentang Cukai (Pajak atas Rokok, Alkohol dan lainnya). Sebagai pembenarnya dapat dirujuk tentang ciri khas dari pajak yang dibuat oleh Erly Suandy sendiri, yang terdiri dari: 1. Pajak peralihan kekayaan dari orang/badan ke Pemerintah; 2. Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan; 3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjuk adanya kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah; 4. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah; 5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment; 6. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari pemerintah; 7. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung.176 174
Santoso Brotodihardjo. R., Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Ed.III, Refika Aditama, Bandung,
1998, h.204 175
Erly Suandy, Op.Cit., h.2 Ibid., h.11 clxviVolume 8, No.1, Nop 2008 176
Dari ciri pajak di atas maka jelaslah bahwa Bea dan Cukai adalah juga pajak, sebab pemungutan Bea dan Cukai tidak diberikan kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah. Tegasnya, di dalam mekanisme pembiayaan seluruh kepentingan dan kebutuhan umum dalam masyarakat, salah satu yang dibutuhkan dan terpenting adalah suatu peran serta yang aktif dari warga negaranya untuk ikut memberikan iuran kepada negaranya yaitu dalam bentuk pajak, sehingga segala kepentingan atau kebutuhan dapat terpenuhi bersama. Pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur atau melaksanaan suatu kebijaksanaan pemerintah dalam bidang
ekonomi, politik, sosial, budaya, dan
pertahanan keamanan. Disamping pajak dalam pemungutannya berdasarkan Undangundang, penggunaan hasil pajak juga harus didasarkan pada Undang-undang. Hal tersebut dapat dilihat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam APBN tersebut juga diperinci penggunaan pendapatan negara sehingga rakyat dapat mengetahui penggunaan hasil pajak adalah untuk kepentingan umum. Pajak juga merupakan sumber pendapatan utama negara disamping penerimaan negara dari sumber daya alam. Banyak sedikitnya uang yang diperlukan negara tergantung kepada tingkat ekonomi negara serta rakyatnya. Lebih besar tingkat ekonomi negara, lebih besar pula kebutuhannya, dan lebih besar pula pendapatan yang diperlukan. Pajak-pajak yang dikelola pemerintah digunakan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, yang akan tercermin dalam tingkat kesejahteraan rakyat. Jadi pajak dalam pungutannya sudah berdasarkan pada keadaan ekonomi rakyatnya.
Volume 8, No.1, Nop 2008
clxvii
Pajak tidak hanya digunakan untuk memasukkan uang kedalam Kas Negara, tetapi juga dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politis atau tujuan yang ada diluar bidang keuangan. Salah satu contoh, pajak yang digunakan sebagai alat politik adalah untuk mendapatkan suara dalam pemilihan umum dinegara-negara maju, dengan memberikan janji-janji bahwa pajak akan diturunkan apabila calon terpilih menjadi presiden. Juga dalam hubungan internasional, pajak sering juga digunakan untuk memasukkan barang-barang produksi luar negeri yang belum dapat diproduksi di negara sendiri. Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan suatu kebijakan pemerintah dalam bidang sosial budaya dapat diwujudkan dengan pembangunan sekolah-sekolah, tempat-tempat ibadah dan sarana-sarana lainnya yang langsung dapat dinikmati dan dipergunakan demi kepentingan masyarakat luas. Juga dalam bidang pertahanan keamanan, penggunaan hasil pajak dapat dialokasikan untuk menjaga keutuhan wilayah Republik Indonesia, misalnya untuk membayar gaji aparat keamanan, membeli persenjataan dan kebutuhan-kebutuhan lain yang berkaitan dengan segala aktivitas pertahanan dan keamanan negara. Pertimbangan yang dilakukan dalam pemungutan pajak pada prinsipnya harus mempertimbangkan keadilan dan keabsahan dalam pelaksanaannya. Untuk memenuhi tuntutan keadilan dan keabsahan tersebut perlu diperhatikan asas-asas pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Adam Smith yang lebih dikenal dengan “The Four Maxims”. Asas-asas yang dimaksud tersebut adalah asas equality, asas certainty, asas Volume 8, No.1, Nop 2008 clxviii
convenience of payment dan asas efficiency177. Disamping keempat asas dalam “The Four Maxims” tersebut diatas, ada beberapa teori yang mendukung prinsip-prinsip keadilan dan keabsahan sebagaimana berikut ini178 :
Teori Kepentingan Dasar keadilan pemungutan pajak adalah karena orang mempunyai kepentingan pada negara, dan untuk mewujudkan kepentingan tersebut dibutuhkan dana yang tidak sedikit, yang penyelenggaraannya dikumpulkan melalui pajak.
Teori Bakti Dengan pajak, masyarakat dapat menunjukkan salah satu baktinya kepada negara sebagai balasan atas pemberian dan pembiayaan berbagai kepentingan atau keperluan masyarakat oleh negara.
Teori Daya Pikul Pemungutan pajak didasarkan pada kemampuan dan kekuatan dari anggota masyarakatnya, dan bukan berdasarkan pada besar kecilnya kepentingan.
Teori Daya Beli Pemungutan pajak yang dilakukan negara ini lebih cenderung melihat aspek akibat yang baik terhadap kedua belah pihak yaitu masyarakat dan negara, sehingga dapat memanfaatkan kekuatan dan kemampuan beli (daya beli) masyarakat untuk kepentingan negara yang pada akhirnya akan dikembalikan atau disalurkan kembali pada masyarakat.
177
Santoso Brotodihardjo. R., Op.Cit., h.27-28 Ibid., h.30-35 Volume 8, No.1, Nop 2008 178
clxix
Dalam hukum pajak dikenal beberapa sistem pemungutan pajak. Berikut ini diuraikan beberapa sistem pemungutan pajak sebagai berikut : a. Self assesment Adalah suatu sistem pemungutan pajak, dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung sendiri pajak yang terhutang, memperhitungkan sendiri pajak yang terhutang, membayar sendiri jumlah pajak yang terhutang dan melaporkan sendiri pajak yang terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.179 Adapun ciri-ciri dari sistem self assesment ini adalah, adanya kepastian hukum, sederhana perhitungannya, mudah pelaksanaannya, lebih adil dan merata dan penghitungan pajak dilakukan oleh wajib pajak sendiri. Dalam sistem pemungutan ini wajib pajak bersifat aktif, sedangkan fiskus sendiri sifatnya pasif, dengan kata lain fiskus hanya sebagai pengawas dari segala apa yang dilaporkan wajib pajak kepada fiskus. Sistem ini dianut oleh peraturan perundang-undangan perpajakan kita sekarang ini. b. Official assesment Adalah suatu sistem pemungutan pajak, dimana fiskus sendiri yang menetapkan (diluar wajib pajak) jumlah pajak yang terhutang dari para wajib pajak. Jadi inisiatif dan kegiatan menghitung dan menetapkan pemungutan pajak sepenuhnya berada pada fiskus180. Dalam sistem pemungutan ini yang aktif adalah fiskus. Disamping fiskus sebagai pengawas bagi aktifitas wajib pajak, juga mempunyai
179
Ibid., h.66 Ibid. clxxVolume 8, No.1, Nop 2008 180
kewenangan untuk menetapkan besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak, sedangkan wajib pajak hanya bersifat pasif. Sistem ini pernah diterapkan di Indonesia terhadap Undang-undang perpajakan yang lama. c. Withholding system Adalah suatu sistem pemungutan pajak, dimana penghitungan, pemotongan dan pembayaran pajak serta pelaporan pajak dipercayakan kepada pihak ketiga oleh pemerintah.181 Pihak ketiga yang diberi kepercayaan misalnya badan-badan tertentu, majikan, Ditjen Bea Cukai, Ditjen Anggaran, para bendaharawan dan lain-lain. Contoh pajak yang menganut sistem ini misalnya Pajak penghasilan pasal 21, 22, 23 dan 26. d. Stelsel riil Adalah suatu sistem pengenaan pajak, dimana dikenakan penghasilan yang sesungguhnya diperoleh dalam suatu tahun pajak. Penghasilan yang diperoleh dalam suatu tahun pajak baru diketahui pada akhir tahun , maka pajak baru dikenakan sesudah akhir tahun pajak berakhir. Contoh pajak yang menganut sistem ini adalah Pajak Penghasilan (dalam hal menghitung pajak dan laporan pajaknya). e. Stelsel fiktif Adalah suatu sistem pengenaan pajak yang didasarkan pada suatu fiksi atau anggapan. Suatu fiksi atau anggapan tergantung dari ketentuan undang-undang perpajakan yang bersangkutan. f. Stelsel campuran
181 Ibid., h.67 Volume 8, No.1, Nop 2008
clxxi
Adalah suatu sistem pengenaan pajak yang didasarkan baik pada stelsel riil maupun stelsel fiktif. Pada awal tahun pajak menganut sistem stelsel fiktif dan setelah akhir tahun pajak menganut stelsel riil. Contohnya Pajak Penghasilan (PPh). Undang-undang perpajakan di Indonesia sekarang ini menganut sistem self assessment, seperti penjelasan diatas sistem tersebut memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak sebagai otoritas pajak (fiskus), tidak turut campur dalam hal penentuan besarnya pajak yang terutang. Otoritas pajak bersifat pasif dan hanya memberikan penerangan, pengawasan, dan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh wajib pajak. Didalam suatu sistem tentunya ada kekurangannya dan ada kelebihannya, tergantung dilihat dari sudut pandangnya. Praktek dalam pelaksanaan sistem pemungutan pajak berdasarkan self assessment mengandung banyak kelemahan. Salah satunya adalah sistem ini sering disalahgunakan oleh wajib pajak atau memberikan kesempatan untuk melakukan kecurangan, misalnya memanipulasi restitusi pajak. Hal tersebut dapat terjadi karena penghitungan pajak yang menjadi beban wajib pajak, berdasarkan pembukuan yang dibuat oleh wajib pajak. Dalam kenyataannya, disamping tingkat kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak yang masih relatif rendah, masih banyak pula wajib pajak yang belum menyelenggarakan pembukuan dengan baik, benar dan lengkap. Padahal pilar sistem perpajakan yang berdasarkan self assessment adalah pembukuan yang benar dan lengkap, serta itikad baik dari para wajib pajak. Di pihak Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxii
lain masyarakat masih menganggap prosedur pembayaran pajak terlalu rumit, misalnya dalam pengisisan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Akibatnya penerimaan pajak yang sistem pemungutannya berdasarkan self assessment (misalnya PPh pasal 25), jumlahnya masih relatif rendah dibandingkan dengan sistem Withholding atau yang dikenal pula dengan istilah sistem pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga (misalnya, PPh pasal 21, 22, 23, 26 dan PPN). Sistem pemotongan yang dilakukan oleh pihak ketiga ternyata merupakan sistem yang ampuh untuk mengatasi rasa enggan wajib pajak dalam membayar pajak. Sedangkan kelebihannya dari sistem ini adalah jika ada penyelewengan pajak yang dilakukan wajib pajak, sistem pengontrolan terhadap wajib pajak itu sendiri lebih mudah dilakukan oleh fiskus. Adapun kelebihan lain dari sistem ini adalah wajib pajak diberi kesempatan langsung untuk ikut serta dalam proses pembagunan nasional .
RUMUSAN MASALAH Dalam sistem pemungutan pajak dengan self assessment, pemerintah lebih mengedepankan
kepentingan
dari
wajib
mempertimbangkan rasa keadilan dan hak asasi.
pajak,
artinya
pemerintah
lebih
Berdasarkan segala hal yang telah
diuraikan di atas, maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang relevan untuk dikemukakan, yaitu: a. b.
Sejak kapan pajak dapat dilakukan penagihan terhadap wajib pajak? Bagaimana akibat hukum terhadap penagihan pajak?
Volume 8, No.1, Nop 2008
clxxiii
PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK 1.
Pejabat yang Berwenang melakukan Tagihan Pajak Pada dasarnya pajak mempunyai tujuan untuk memasukkan uang sebanyak-
banyaknya dalam kas negara, dengan maksud untuk membiayai pengeluaranpengeluaran negara. Dikatakan bahwa pajak dalam hal demikian mempunyai fungsi budgeter. Dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah pajak-pajak daerah juga nampak dalam fungsinya yang budgeter. Pajak daerah dan pajak pemerintah pusat yang diserahkan kepada daerah, di samping subsidi merupakan sumber pendapatan daerah yang penting. Kendati demikian, di samping pajak-pajak fungsinya yang budgeter masih mempunyai fungsi mengatur (reguler). Pajak di sini bukan semata-mata untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam kas negara, melainkan juga dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya dalam bidang pembebasan pajak guna memperoleh atau menarik modal luar negeri dengan cara tax holiday.182 Contoh lain bahwa pajak digunakan untuk mencapai tujuan tertentu, misalnya dorongan pemerintah untuk lebih memanfaatkan dan menggunakan koperasi dalam menjalankan usaha. Hal ini dikarenakan koperasi merupakan bentuk usaha yang sesuai dengan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen. Dalam rangka itu koperasi dibebaskan dari pengenaan pajak untuk jangka waktu 10 tahun dihitung sejak saat didirikannya, dan setelah jangka waktu sepuluh tahun itu koperasi dikenakan pajak dengan tarip yang diperingan. Di samping fungsi mengatur yang di sebutkan di atas, pajak-pajak juga dapat digunakan untuk menanggulangi inflasi. Pajak di tangan pemerintah jika tepat penggunaannya merupakan alat yang ampuh untuk mengatur perekonomian negara. Berdasarkan kedua fungsi pajak itu, pemerintah dengan mengkombinasikan tarip tinggi dan tarip rendah atau tarip 0, dapat mencapai tujuan yang dikehendakinya. Pajak dapat juga ditinjau dari segi pembangunan, dari segi ini pajak baru mempunyai manfaat terhadap pembangunan apabila pajak-pajak setelah digunakan 182
Rochmad Soemitro , Pengantar Singkat Hukum Pajak, Cet.III, Eresco, Bandung, 1992., h.3
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxiv
untuk membiayai pengeluaran rutin, masih ada cukup sisa yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan melalui investasi publik. Dari segi pembangunan pajak dapat ditinjau sebagai alat fiscal policy atau kebijakan fiskal. Dalam kebijakan fiskal kedua fungsi pajak dikombinasikan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan hasil yang sebesar-besarnya bagi pembangunan. Masalah pokok dalam pembangunan adalah investasi, investasi ini berasal dari tabungan, baik tabungan swasta maupun tabungan pemerintah. Investasi tabungan masyarakat tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada kehendak dan kerelaan golongan swasta, melainkan harus diarahkan ke jurusan tertentu. Melalui deposito berjangka, dengan pembebasan pajak atas bunga deposito berjangka, pemerintah telah berhasil meningkatkan deposito berjangka yang besar artinya bagi pembangunan. Juga pasar uang dan modal, yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan, dapat digalakkan oleh pemerintah dengan menggunakan pajak-pajak sebagai alat-alat penggerak. Pajak ditinjau dari segi hukum memberikan hasil yang lain. Tinjauan pajak dari segi hukum, lebih menitikberatkan kepada perikatan, pada hak dan kewajiban wajib pajak, subyek pajak dalam hubungannya dengan subyek hukum. Hak penguasa untuk mengenakan pajak. Timbulnya hutang pajak, hapusnya hutang pajak, penagihan pajak dengan paksa, sanksi administratif maupun sanksi pidana, penyidikan, pembukuan, soal keberatan, banding dan gugatan pajak. Suatu keadaan yang dilematis, mengingat pajak di satu sisi adalah bagai perampokan jika tidak mendasarkan pada perundang-undangan sebelumnya. Sebagaimana hal ini didalilkan dalam falsafah pajak di USA taxation without representation is robbery.183 Dan di sisi lain, pajak sangat dibutuhkan untuk kelangsungan pembangunan dan aktifitas suatu negara. Untuk itu, proses pemungutan pajak yang dilakukan Direktur Jenderal Pajak dilakukan dengan sangat hati-hati berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Walaupun pajak dikenakan dan dipungut atas dasar undang-undang, namun karena pajak merupakan peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor negara maka pemungutannya agar tidak menimbulkan berbagai hambatan atau perlawan, maka terhadap kewajiban di samping hak fiscus yaitu bahwa pajak haruslah memenuhi syaratsyarat yaitu184: 1. pemungutan pajak harus adil; 2. pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang; 3. pemungutan pajak tidak mengganggu perekonomian; 4. pemungutan pajak harus efisien; 5. sistem pemungutan pajak harus sederhana. a. Pemungutan pajak harus adil
183
Erly Suandi, Loc.Cit. Munawir, Perpajakan, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 1992., h.8-13 Volume 8, No.1, Nop 2008 184
clxxv
Hukum pajak adalah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dengan masyarakat sebagai wajib pajak yang antara lain mengatur siapa-siapa yang sebenarnya sebagai wajib pajak atau subyek pajak, obyek pajak, timbulnya kewajiban pajak, cara pemungutan pajak, cara penagihannya dan sebagainya. Di samping itu memuat pula tentang kewajiban-kewajiban dan hak-hak wajib pajak serta sanksi-sanksi baik secara administratif maupun sanksi pidana sehubungan dengan adanya pelanggaran atas hukum atau peraturan-perturannya. Tujuan dari setiap hukum adalah membuat adanya keadilan, demikian pula dalam hukum pajakpun mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan hukum-hukum lainnya yaitu membuat adanya keadilan dalam hal pemungutan pajak, baik adil dalam perundang-undangannya maupun adil dalam pelaksanaannya. Keadilan dalam pelaksanaan antara lain diwujudkan adanya hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan pembayaran kepada Direktur Jenderal Pajak atau banding dan gugatan kepada Pengadilan Pajak. Walaupun demikian keadilan itu sangat relatif, namun salah satu jalan yang harus ditempuh dalam mencari keadilan adalah mengusahakan agar pemungutan pajak diselenggarakan sedemikian rupa, sehingga dapat diperoleh tekanan yang sama atas seluruh rakyat. Dengan demikian pajak harus mengabdi pada keadilan, dan keadilan inilah yang dinamakan azas pemungutan pajak menurut falsafat hukum atau syarat keadilan. Jika pihak fiscus mampu berlaku adil dalam memungut pajak, kemudian atas dasar apa negara atau fiscus dapat dan mempunyai hak untuk memungut pajak. Terhadap kondisi ini lahirlah bebera teori pembenar guna mentolerir negara selaku fiscus untuk memungut pajak. Teori-teori yang lahir adalah: a. teori asuransi; b. teori kepentingan; c. teori daya pikul; d. teori daya beli.185 b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun untuk warganya. Bagi negara-negara hukum, maka segala sesuatu harus diatur atau ditetapkan dalam undangundang termasuk pemungutan pajak. Pemungutan pajak di Indonesia diatur juga dalam Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen pasal 23A yang menentukan antara lain bahwa pengenaan dan pemungutan pajak untuk keperluan negara hanya boleh terjadi berdasarkan undang-undang. Kecuali itu, dalam menyusun undang-undangnyapun harus diusahakan oleh pembuat undang-undang untuk tercapainya keadilan dalam pemungutan pajak. Dalam menyusun undang-undang secara umum tidak oleh dilupakan hal-hal sebagai berikut: 185 Bohari. H., Pengantar Hukum Pajak, Cet.III, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, h.32-35 Volume clxxvi 8, No.1, Nop 2008
1. 2. 3.
hak-hak negara sebagai pemungut pajak (fiscus) yang telah diberikan oleh pembuat undang-undang harus dijamin terlaksananya dengan lancar; para wajib pajak harus mendapat jaminan hukum yang tegas agar supaya tidak diperlakukan dengan semena-mena oleh fiscus dengan segala aparaturnya; adanya jaminan hukum terhadap tersimpannya rahasia-rahasia mengenai diri atau perusahaan-perusahaan wajib pajak yang telah dituturkan atau disampaikannya kepada instansi-instansi pajak, dan rahasia itu tidak disalahgunakan.
c. Pemungutan pajak tidak mengganggu perekonomian. Keseimbangan dalam kehidupan ekonomi tidak boleh terganggu karena adanya pemungutan pajak, bahkan harus tetap dipupuk olehnya sesuai dengan fungsi kedua dari pemungutan pajak yaitu fungsi mengatur. Oleh karena itu kebijakan pemungutan pajak harus diusahakan supaya tidak menghambat lancarnya perekonomian, baik dalam bidang produksi maupun perdagangan dan jangan sampai merugikan kepentingan umum dan menghalang-halangi usaha rakyatnya dalam menuju kebahagiaan. d. Pemungutan pajak harus effisien Hasil pemungutan pajak sedapat mungkin cukup untuk menutup sebagian dari pengeluaran-pengeluaran negara sesuai dengan fungsi yang pertama dari pemungutan pajak yaitu sebagai sumber keuangan negara (fungsi budgeter). Oleh karena itu untuk melaksanakan pemungutan pajak hendaknya tidak memakan biaya pemungutan yang besar, dan pemungutan ini hendaknya dapat mencegah inflasi. Untuk mencapai efisiensi pemungutan pajak serta untuk memudahkan wajib pajak guna melakukan pemungutan pajak yang sederhana dan mudah dilaksanakan sehingga masyarakat tidak terganggu dengan permasalahan pajak yang sulit, karenanya dapat menimbulkan inefisiensi. e. Sistem Pemungutan pajak harus sederhana. Untuk mencapai efisiensi pemungutan pajak serta untuk memudahkan warga masyarakat untuk menghitung dan memperhitungkan pajaknya, maka harus diterapkan sistem pajak yang sederhana yang mudah dilaksanakan sehingga masyarakat tidak terganggu dengan permasalahan pajak yang sulit. Sistem pemungutan pajak yang sederhana dan mudah dilaksanakan akan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Dari uraian di atas telah memperjelas kita, bahwa kendatipun pajak adalah merupakan alat untuk kelangsungan pembangunan suatu negara, namun tidak diperkenankan diterapkan secara semena-mena dan mengindahkan hak azasi manusia. Seharusnya tindakan-tindakan fiscus yang secara serta-merta tanpa dilakukan pengujian akan kebenarannya, dan bahkan harus dilaksanakan walaupun pihak wajib pajak mengajukan keberatan ataupun banding adalah merupakan tindakan-tindakan yang sewenang-wenang. Tindakan ini dalam negara hukum seharusnya tidak mendapat tempat lagi untuk hidup dan berlangsung dalam praktik kehidupan sehari-hari. Volume 8, No.1, Nop 2008
clxxvii
Tindakan Fiscus atau Direktur Jenderal Pajak yang dapat secara serta merta menagih dan memungut pajak pada wajib pajak akan lebih banyak menimbulkan tindakan Fiscus atau Direktur Jenderal Pajak selaku Pejabat Tata Usaha Negara yang detourmenent de pouvoir atau penyalah-gunaan wewenang.186 2. Persyaratan sebagai Pejabat Penagih Pajak PENAGIHAN PAJAK ADALAH SERANGKAIAN TINDAKAN AGAR PENANGGUNG PAJAK MELUNASI UTANG PAJAK DAN BIAYA PENAGIHAN PAJAK DENGAN MENEGUR ATAU MEMPERTIMBANGKAN, MELAKSANAKAN PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS, MEMBERITAHUKAN SURAT PAKSA KEPADA PENANGGUNG PAJAK, MENGUSULKAN PENCEGAHAN, MELAKSANAKAN PENYITAAN, MELAKSANAKAN PENYANDERAAN, MENJUAL BARANG YANG TELAH DISITA. PENAGIHAN MERUPAKAN SALAH SATU BAGIAN YANG PENTING DALAM RENCANA KINERJA SUATU KANTOR PELAYANAN PAJAK UNTUK MEMASUKKAN UANG DARI PAJAK KE KAS NEGARA. KARENA MERUPAKAN SALAH SATU BAGIAN YANG PENTING, PENAGIHAN HARUS DAPAT MEMBERIKAN MOTIVASI PENINGKATAN KESADARAN DAN KEPATUHAN WAJIB PAJAK. PENAGIHAN ITU SENDIRI TIMBUL KARENA ADANYA TUNGGAKAN DARI WAJIB PAJAK. TIDAK SEMUA WAJIB PAJAK MEMPUNYAI KESADARAN PAJAK, KEPATUHAN PAJAK, DAN DISIPLIN PAJAK, SEHINGGA DIPERLUKAN SUATU PENGAWASAN. SEBAGAI TINDAK LANJUT DARI PENGAWASAN TERSEBUT MAKA DILAKUKAN TINDAKAN PENAGIHAN PAJAK. DALAM PELAKSANAAN DI LAPANGAN TINDAKAN PENAGIHAN DILAKUKAN OLEH JURUSITA PAJAK. SEPERTI TERSEBUT DALAM PASAL 5 AYAT 1 DAN 2 UU NOMOR19 TAHUN 2000, TUGAS-TUGAS JURUSITA PAJAK DALAM TINDAKAN PENAGIHAN ADALAH : A. DENGAN SURAT PERINTAH JURUSITA PAJAK MELAKSANAKAN PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS SESEGERA MUNGKIN. B. MEMBERITAHUKAN SURAT PAKSA KEPADA PENANGGUNG PAJAK DENGAN CARA PERNYATAAN DAN MENYERAHKAN SALINAN DARI SURAT PAKSA. C. MELAKSANAKAN PENYITAAN ATAS BARANG PENANGGUNG PAJAK BERDASARKAN SURAT PERINTAH MELAKSANAKAN PENYITAAN. SEBELUMNYA DALAM LAPORAN PELAKSANAAN SURAT PAKSA DILAPORKAN JENIS, LETAK DAN TAKSIRAN HARGA DARI OBJEK SITA DENGAN MEMPERHATIKAN 186 Philipus M. Hadjon et all., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Adminstrative law), Cet.III, Gajah Mada University Press, Bandung, 1994, h.270 Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxviii
TUNGGAKAN PAJAK DAN BIAYA PELAKSANAAN YANG MUNGKIN AKAN DIKELUARKAN. SEDANGKAN BARANG YANG DAPAT DISITA ADALAH BARANG MILIK PENANGGUNG PAJAK YANG BERADA DI TEMPAT TINGGAL, TEMPAT USAHA, TEMPAT KEDUDUKAN ATAU DI TEMPAT LAINNYA YANG PENGUASAANNYA BERADA DI TANGAN PIHAK LAIN, ATAU YANG DIBEBANI DENGAN HAK TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG TERTENTU, MISALNYA BARANG BERGERAK DAN BARANG TIDAK BERGERAK. D. MELAKSANAKAN PENCEGAHAN DAN PENYANDERAAN BERDASARKAN SURAT PERINTAH YANG DIKELUARKAN OLEH MENTERI KEUANGAN. PENCEGAHAN DAN PENYANDERAAN YANG DILAKSANAKAN OLEH JURUSITA PAJAK HARUS DIBANTU OLEH APARAT KEPOLISIAN, KEJAKSAAN, KANTOR IMIGRASI DAN APARAT YANG TERKAIT. DI DALAM PASAL 18 UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 SEBAGAIMANA DIUBAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2000 MENYEBUTKAN BAHWA SURAT TAGIHAN PAJAK, SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR, SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR TAMBAHAN, SURAT KEPUTUSAN PEMBETULAN, SURAT KEPUTUSAN KEBERATAN, PUTUSAN BANDING, YANG MENYEBABKAN JUMLAH PAJAK YANG HARUS DIBAYAR BERTAMBAH, ADALAH MERUPAKAN DASAR DARI PENAGIHAN PAJAK. DENGAN SISTEM SELF ASSESSMENT, WAJIB PAJAK DIBERI KEWENANGAN UNTUK MENGHITUNG SENDIRI JUMLAH PAJAK YANG TERHUTANG. DISINI WAJIB PAJAK DITUNTUT KEJUJURANNYA DALAM HAL JUMLAH BESARNYA PENGHASILAN YANG DIPEROLEH DARI WAJIB PAJAK DENGAN JUMLAH PAJAK TERHUTANG YANG DILAPORKAN. TINDAKAN PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK DILAKUKAN APABILA PAJAK YANG TERUTANG SEPERTI YANG TERCANTUM DALAM SURAT TAGIHAN PAJAK, SURAT KETETAPAN PAJAK ATAU SURAT KETETAPAN PAJAK TAMBAHAN TIDAK ATAU KURANG DIBAYAR SETELAH LEWAT JATUH TEMPO PEMBAYARAN PAJAK YANG BERSANGKUTAN. SURAT TAGIHAN PAJAK ADALAH SURAT UNTUK MELAKUKAN TAGIHAN PAJAK DAN/ ATAU SANKSI BERUPA BUNGA DAN DENDA ADMINISTRASI. SEPERTI TERSEBUT DALAM PASAL 14 (1) UNDANGUNDANG NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN, SURAT TAGIHAN PAJAK DITERBITKAN APABILA: A. PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN TIDAK ATAU KURANG DIBAYAR; Volume 8, No.1, Nop 2008
clxxix
B. DARI HASIL PENELITIAN SURAT PEMBERITAHUAN (SPT TAHUNAN) TERDAPAT KEKURANGAN PEMBAYARAN PAJAK SEBAGAI AKIBAT SALAH TULIS ATAU SALAH HITUNG; C. WAJIB PAJAK DIKENAKAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA DAN ATAU BUNGA; D. PENGUSAHA YANG DIKENAKAN PAJAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) TAHUN 1984 DAN PERUBAHANNYA TETAPI TIDAK MELAPORKAN KEGIATAN USAHANYA UNTUK DIKUKUHKAN SEBAGAI PENGUSAHA KENA PAJAK; E. PENGUSAHA YANG TIDAK DIKUKUHKAN SEBAGAI PENGUSAHA KENA PAJAK (PKP) TETAPI MEMBUAT FAKTUR PAJAK; F. PENGUSAHA YANG TELAH DIKUKUHKAN SEBAGAI PENGUSAHA KENA PAJAK TIDAK MEMBUAT ATAU MEMBUAT FAKTUR PAJAK TETAPI TIDAK TEPAT WAKTU ATAU TIDAK MENGISI SELENGKAPNYA FAKTUR PAJAK. SURAT TAGIHAN PAJAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM YANG SAMA DENGAN SURAT KETETAPAN PAJAK. SURAT KETETAPAN PAJAK ADALAH SURAT KEPUTUSAN YANG MENENTUKAN BESARNYA JUMLAH PAJAK YANG TERUTANG, JUMLAH PENGURANGAN PEMBAYARAN PAJAK, JUMLAH KEKURANGAN POKOK PAJAK, BESARNYA SANKSI ADMINISTRASI DAN JUMLAH PAJAK YANG MASIH HARUS DIBAYAR. DALAM PASAL 13 UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2000, SURAT KETETAPAN PAJAK DITERBITKAN APABILA: (1) DALAM JANGKA WAKTU SEPULUH TAHUN SESUDAH SAAT TERUTANG PAJAKNYA, ATAU BERAKHIRNYA MASA PAJAK, BAGIAN TAHUN PAJAK ATAU TAHUN PAJAK, FISKUS DAPAT MENERBITKAN SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR DALAM HAL SEBAGAI BERIKUT: A. APABILA BERDASARKAN HASIL PEMERIKSAAN ATAU KETERANGAN LAIN PAJAK YANG TERUTANG TIDAK ATAU KURANG DIBAYAR; B. APABILA SURAT PEMBERITAHUAN (SPT TAHUNAN) TIDAK DISAMPAIKAN DALAM JANGKA WAKTU SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 3 AYAT (3) DAN TELAH DITEGUR SECARA TERTULIS TETAPI TIDAK DISAMPAIKAN PADA WAKTUNYA SEBAGAI MANA DITENTUKAN DALAM SURAT TEGORAN; C. APABILA BERDASARKAN HASIL PEMERIKSANAAN MENGENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH TERNYATA TIDAK Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxx
(2)
(3)
(4)
(5)
SEHARUSNYA DIKOMPENSASIKAN SELISIH LEBIH PAJAK ATAU TIDAK SEHARUSNYA DIKENAKAN TARIF 0%; D. APABILA KEWAJIBAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 28 DAN PASAL 29 TIDAK DIPENUHI, SEHINGGA TIDAK DAPAT DIKETAHUI BESARNYA PAJAK YANG TERUTANG. JUMLAH KEKURANGAN PAJAK YANG TERUTANG DALAM SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR SEBAGAIMANA DIMAKSUD PADA AYAT (1) HURUF A DITAMBAH SANKSI ADMINISTRASI BERUPA BUNGA SEBESAR 2% SEBULAN UNTUK SELAMA-LAMANYA DUA PULUH EMPAT BULAN, DIHITUNG SEJAK SAAT TERUTANGNYA PAJAK ATAU BERAKHIRNYA MASA PAJAK, BAGIAN TAHUN PAJAK ATAU TAHUN PAJAK SAMPAI DENGAN DITERBITKANNYA SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR. JUMLAH PAJAK DALAM SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR SEBAGAIMANA DIMAKSUD PADA AYAT (1) HURUF B, HURUF C, DAN HURUF D DITAMBAH DENGAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA KENAIKAN SEBESAR: A. 50% (LIMA PULUH PERSEN) DARI PAJAK PENGHASILAN YANG TIDAK ATAU KURANG DIBAYAR DALAM SATU TAHUN PAJAK; B. 100% (SERATUS PERSEN) DARI PAJAK PENGHASILAN YANG TIDAK ATAU KURANG DIPOTONG, TIDAK ATAU KURANG DIPUNGUT, TIDAK ATAU KURANG DISETOR, DAN DIPOTONG ATAU DIPUNGUT TETAPI TIDAK ATAU KURANG DISETORKAN; C. 100% (SERATUS PERSEN) DARI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH YANG TIDAK ATAU KURANG DIBAYAR. BESARNYA PAJAK YANG TERUTANG YANG DIBERITAHUKAN OLEH WAJIB PAJAK DALAM SURAT PEMBERITAHUAN (SPT TAHUNAN) MENJADI PASTI MENURUT KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN YANG BERLAKU, APABILA DALAM JANGKA WAKTU SEPULUH TAHUN SESUDAH SAAT TERUTANGNYA PAJAK ATAU BERAKHIRNYA MASA PAJAK, BAGIAN TAHUN PAJAK ATAU TAHUN PAJAK, TIDAK DITERBITKAN SURAT KETETAPAN PAJAK. APABILA JANGKA WAKTU SEPULUH TAHUN SEBAGAIMANA DIMAKSUD PADA AYAT (1) TELAH LEWAT, SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR TETAP DAPAT DITERBITKAN DITAMBAH SANKSI ADMINISTRASI BERUPA BUNGA SEBESAR 48% (EMPAT PULUH DELAPAN PERSEN) DARI JUMLAH PAJAK
Volume 8, No.1, Nop 2008
clxxxi
YANG TIDAK ATAU KURANG DIBAYAR, DALAM HAL WAJIB PAJAK SETELAH JANGKA WAKTU SEPULUH TAHUN TERSEBUT DIPIDANA, KARENA MELAKUKAN TINDAK PIDANA DIBIDANG PERPAJAKAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP. SURAT KETETAPAN PAJAK TAMBAHAN ADALAH SURAT KEPUTUSAN YANG MENAMBAH JUMLAH PAJAK YANG TELAH DITETAPKAN. DALAM PASAL 15 UNDANG-UNDANG NOMOR16 TAHUN 2000 SURAT KETETAPAN PAJAK TAMBAHAN DITERBITKAN APABILA MEMENUHI SYARAT-SYARAT SEBAGAI BERIKUT: (1) DIREKTUR JENDERAL PAJAK DAPAT MENERBITKAN SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR TAMBAHAN DALAM JANGKA WAKTU 10 (SEPULUH) TAHUN SESUDAH SAAT PAJAK TERUTANG, BERAKHIRNYA MASA PAJAK, BAGIAN TAHUN PAJAK ATAU TAHUN PAJAK, APABILA DITEMUKAN DATA BARU DAN ATAU DATA YANG SEMULA BELUM TERUNGKAP YANG MENGAKIBATKAN PENAMBAHAN JUMLAH PAJAK YANG TERUTANG. (2) JUMLAH KEKURANGAN PAJAK YANG TERUTANG DALAM SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR TAMBAHAN, DITAMBAH DENGAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA KENAIKAN SEBESAR 100% (SERATUS PERSEN) DARI JUMLAH KEKURANGAN PAJAK TERSEBUT. (3) KENAIKAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM AYAT (2) TIDAK DIKENAKAN APABILA SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR TAMBAHAN ITU DITERBITKAN BERDASARKAN KETERANGAN TERTULIS DARI WAJIB PAJAK ATAS KEHENDAK SENDIRI, DENGAN SYARAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK BELUM MULAI MELAKUKAN TINDAKAN PEMERIKSAAN. (4) APABILA JANGKA WAKTU 10 (SEPULUH) TAHUN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM AYAT (1) TELAH LEWAT, SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR TAMBAHAN TETAP DAPAT DITERBITKAN DITAMBAH SANKSI ADMINISTRASI BERUPA BUNGA SEBESAR 48% (EMPAT PULUH DELAPAN PERSEN) DARI JUMLAH PAJAK YANG TIDAK ATAU KURANG DIBAYAR, DALAM HAL WAJIB PAJAK SETELAH JANGKA WAKTU 10 (SEPULUH) TAHUN TERSEBUT DIPIDANA KARENA MELAKUKAN TINDAK PIDANA DIBIDANG PERPAJAKAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP. Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxxii
3.
Jadwal Penagihan Pajak
DENGAN DIKELUARKANNYA SPT, SKPKB, SKPKBT DAN SURAT KEPUTUSAN PEMBETULAN SEBAGAI AKIBAT DARI TIDAK DILUNASINYA UTANG PAJAK OLEH PENANGGUNG PAJAK ATAU WAJIB PAJAK, MAKA JIKA UTANG PAJAK YANG TERCANTUM DALAM SPT, SKPKB, SKPKBT DAN SURAT KEPUTUSAN PEMBETULAN, MASIH BELUM JUGA DILUNASI DALAM JANGKA WAKTU YANG TELAH DITENTUKAN DALAM SURAT TERSEBUT MAKA LANGKAH YANG DIAMBIL OLEH APARAT PAJAK BERIKUTNYA IALAH DENGAN MENGELUARKAN SURAT TEGORAN, PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA DAN SEKALIGUS, MENGELUARKAN SURAT PAKSA, PENYITAAN, PENCEGAHAN ATAU PENYANDERAAN SERTA PELELANGAN. LANGKAH-LANGKAH TERSEBUT MERUPAKAN PROSESPROSES DALAM TINDAKAN PENAGIHAN. UNTUK JELASNYA PROSESPROSES TERSEBUT DAPAT DIJELASKAN SEBAGAI BERIKUT: 1. SURAT TEGORAN SURAT TEGORAN INI DITERBITKAN TERHADAP WAJIB PAJAK YANG TIDAK MELUNASI UTANG PAJAK SETELAH 7 (TUJUH) HARI SEJAK TANGGAL PELUNASAN ATAU JATUH TEMPO PEMBAYARAN YANG TERCANTUM DALAM SURAT KETETAPAN PAJAK YANG DITERIMA WAJIB PAJAK. ISI DARI SURAT TEGORAN TERSEBUT ADALAH PERINGATAN KEPADA PENANGGUNG PAJAK AGAR MAU MELUNASI UTANG PAJAKNYA DAN JUGA MEMBERITAHUKAN AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN APABILA SURAT TEGORAN TERSEBUT TIDAK DIINDAHKAN. 2.
PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA DAN SEKALIGUS PENGERTIAN “SEKETIKA” MENGANDUNG ARTI BAHWA PELUNASAN UTANG PAJAK TERSEBUT HARUS DILUNASI DENGAN SEGERA, DAN PENGERTIAN “SEKALIGUS” MENGANDUNG ARTI BAHWA PAJAK TERSEBUT HARUS DILUNASI DALAM WAKTU BERSAMAAN UNTUK SEMUA JENIS PAJAK YANG TERUTANG. PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA DAN SEKALIGUS DILAKUKAN BILAMANA TERJADI SUATU PERISTIWA ATAU KEADAAN YANG MENDESAK DAN UNTUK MENJAGA KEMUNGKINAN TERJADINYA SESUATU YANG AKAN MENGAKIBATKAN PAJAK YANG TERHUTANG DARI PENANGGUNG PAJAK TIDAK DAPAT DITAGIH KARENA : - PENANGGUNG PAJAK AKAN ATAU BERNIAT UNTUK MENINGGALKAN INDONESIA UNTUK SELAMANYA; - PENANGGUNG PAJAK MENGHENTIKAN ATAU MENGECILKAN KEGIATAN PERUSAHAAN, ATAU PEKERJAAN YANG Volume 8, No.1, Nop 2008
clxxxiii
DILAKUKANNYA DI INDONESIA ATAUPUN MEMINDAHTANGANKAN BARANG YANG DIMILIKI ATAU YANG DIKUASAI; - TERDAPAT TANDA-TANDA PENANGGUNG PAJAK AKAN ATAU BERNIAT MEMBUBARKAN BADAN USAHANYA; - BADAN USAHA AKAN DIBUBARKAN OLEH NEGARA; - TERJADI PENYITAAN ATAS BARANG PENANGGUNG PAJAK OLEH PIHAK KETIGA ATAU TERDAPAT TANDA-TANDA KEPAILITAN. SURAT PERINTAH PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA DAN SEKALIGUS DITERBITKAN SEBELUM PENERBITAN SURAT PAKSA. JADI LOGIKA HUKUMNYA ADALAH PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA DAN SEKALIGUS DILAKSANAKAN TANPA MENUNGGU TANGGAL JATUH TEMPO PEMBAYARAN SEBAGAIMANA TERCANTUM DALAM SKP/SKPKB/SKPKBT/SK. DALAM PELAKSANAANNYA PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA DAN SEKALIGUS DILAKUKAN SEBAGAI BERIKUT: - SURAT PERINTAH PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA DAN SEKALIGUS DITERBITKAN TANPA MEMPERHATIKAN APAKAH WAJIB PAJAK TELAH DIBERIKAN SURAT TEGORAN ATAU TIDAK; - SURAT PERINTAH PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA DAN SEKALIGUS DISAMPAIKAN KEPADA WAJIB PAJAK DAN DALAM WAKTU 2 X 24 JAM WAJIB PAJAK HARUS MELUNASI SEGALA UTANG PAJAKNYA; - APABILA DALAM JANGKA WAKTU 2 X 24 JAM WAJIB PAJAK BELUM MAU MELUNASI UTANG PAJAKNYA, MAKA SEGERA DILAKUKAN TINDAKAN PENAGIHAN DENGAN SURAT PAKSA. 3. SURAT PAKSA SURAT PAKSA DALAM ARTI UMUM ADALAH ALAT HUKUM YANG LAZIMNYA DITERAPKAN DALAM HUKUM PERDATA SETELAH ADA PUTUSAN HAKIM. 187 SEDANGKAN SURAT PAKSA DALAM ARTI KHUSUS ADALAH SURAT YANG DIKELUARKAN OLEH PEJABAT DALAM HAL INI YANG BERWENANG DALAM MENERBITKAN SURAT PAKSA, YANG INTINYA MEMERINTAHKAN KEPADA WAJIB PAJAK (PENANGGUNG PAJAK) YANG MEMPUNYAI UTANG PAJAK UNTUK MEMBAYAR UTANG PAJAKNYA DAN BIAYA PENAGIHAN PAJAK.
187 Moeljo Hadi, Dasar-dasar Penagihan Pajak dengan Surat Paksa oleh Juru Sita Pajak Pusat dan Daerah, Cet.IV, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 76.
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxxiv
AKAN TETAPI DI DALAM HUKUM PAJAK SURAT PAKSA DISEBUT PARATE EXECUTIE, ARTINYA DAPAT MELAKUKAN EKSEKUSI LANGSUNG TANPA MELALUI PROSES DIMUKA PENGADILAN. SELANJUTNYA TENTANG SURAT PAKSA INI AKAN DIBAHAS DALAM BAB III. PENYITAAN PENGERTIAN PENYITAAN DALAM HUKUM PAJAK PADA INTINYA SAMA DENGAN SITA EXECUTOIR DALAM HUKUM PERDATA, YAITU: SERANGKAIAN TINDAKAN DARI JURUSITA PAJAK YANG DIBANTU OLEH DUA ORANG SAKSI UNTUK MENGUASAI BARANG-BARANG DARI WAJIB PAJAK, GUNA DIJADIKAN JAMINAN UNTUK MELUNASI UTANG PAJAK SESUAI DENGAN PERUNDANG-UNDANGAN PAJAK YANG BERLAKU. 188 PENYITAAN DALAM HUKUM PAJAK MERUPAKAN TINDAK LANJUT DARI PELAKSANAAN PENAGIHAN DENGAN SURAT PAKSA. PENYITAAN TERPAKSA DILAKUKAN BILAMANA PAJAK YANG MASIH HARUS DIBAYAR OLEH PENANGGUNG PAJAK TIDAK DILUNASI DALAM JANGKA WAKTU 2 X 24 JAM SESUDAH TANGGAL PEMBERITAHUAN DENGAN PERNYATAAN DAN PENYERAHAN SURAT PAKSA KEPADA WAJIB PAJAK. DALAM PELAKSANAANNYA PENYITAAN DILAKUKAN OLEH JURUSITA PAJAK DENGAN DIDAMPINGI OLEH 2 (DUA) ORANG SAKSI. ADAPUN BARANGBARANG PENANGGUNG PAJAK YANG DAPAT DISITA ANTARA LAIN: BARANG BERGERAK SEMUA BARANG BERGERAK MILIK PENANGGUNG PAJAK YANG ADA DI RUMAH, DI TOKO, DI TEMPAT USAHA, ATAU KANTOR DARI PENANGGUNG PAJAK. BARANG TIDAK BERGERAK SEMUA BARANG TAK BERGERAK BERUPA RUMAH, KANTOR, PERUSAHAAN DAN SEBAGAINYA, BAIK ITU DITEMPATI SENDIRI ATAU DIKONTRAKKAN KEPADA PIHAK LAINNYA. JUGA TERMASUK KEBUN, SAWAH, BUNGALOW DAN SEBAGAINYA, BAIK ITU DIKERJAKAN SENDIRI ATAU DISEWAKAN PADA PIHAK LAIN SERTA KAPAL DENGAN BOBOT TERTENTU. TUJUAN PENYITAAN ADALAH UNTUK MEMPEROLEH JAMINAN PELUNASAN UTANG PAJAK DARI PENANGGUNG PAJAK. PENCEGAHAN DAN PENYANDERAAN PENGERTIAN PENCEGAHAN SEBAGAIMANA TERSEBUT DALAM PASAL 7 SUB 17 UU NOMOR19 TAHUN 2000 ADALAH LARANGAN
4.
5.
188
Ibid., hal. 49 Volume 8, No.1, Nop 2008
clxxxv
4.
YANG BERSIFAT SEMENTARA TERHADAP PENANGGUNG PAJAK TERTENTU UNTUK KELUAR DARI WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA. PELAKSANAAN PENCEGAHAN TERHADAP PENANGGUNG PAJAK DALAM UPAYA PENAGIHAN PAJAK HARUS MEMENUHI UTANG PAJAK DALAM JUMLAH SEKURANGKURANGNYA SEBESAR RP 100.000.000,00 DAN DIRAGUKAN ITIKAD BAIKNYA DALAM MELUNASI UTANG PAJAK. KEPUTUSAN PENCEGAHAN DITERBITKAN OLEH MENTERI ATAS PERMINTAAN DARI PEJABAT YANG BERSANGKUTAN. PENGERTIAN PENYANDERAAN (GIJZELING) ATAU LEBIH DIKENAL DENGAN SITA BADAN ADALAH PENGEKANGAN SEMENTARA WAKTU KEBEBASAN DARI PENANGGUNG PAJAK DENGAN MENEMPATKAN DITEMPAT TERTENTU. PENYANDERAAN DILAKUKAN BILAMANA PENANGGUNG PAJAK MEMPUNYAI KEMAMPUAN UNTUK MEMBAYAR PAJAK TETAPI TIDAK MAU MEMBAYARNYA BAHKAN MENYEMBUNYIKAN HARTA KEKAYAANNYA SETELAH LEWAT JANGKA WAKTU 14 (EMPAT BELAS) HARI SEJAK TANGGAL SURAT PAKSA DIBERITAHUKAN KEPADA PENANGGUNG PAJAK, SEDANGKAN BESARNYA UTANG PAJAK SEKURANG-KURANGNYA RP 100.000.000,00 DAN DIRAGUKAN ITIKAD BAIKNYA DALAM MELUNASI UTANG PAJAK. SURAT PERINTAH PENYANDERAAN DITERBITKAN OLEH PEJABAT SETEMPAT SETELAH MENDAPAT IZIN TERTULIS DARI MENTERI KEUANGAN. SURAT PERINTAH TERSEBUT DISAMPAIKAN OLEH JURUSITA PAJAK DENGAN DIDAMPINGI 2 (DUA) ORANG SAKSI DAN DAPAT MEMINTA BANTUAN PIHAK KEPOLISIAN ATAU KEJAKSAAN. PELELANGAN PELELANGAN ADALAH PENJUALAN BARANG MILIK PENANGGUNG PAJAK DIMUKA UMUM DENGAN CARA PENAWARAN HARGA SECARA LISAN DAN ATAU TERTULIS MELALUI USAHA PENGUMPULAN PEMINAT ATAU CALON PEMBELI. LELANG ADALAH SEBAGAI AKIBAT DARI UTANG PAJAK DAN ATAU BIAYA PENAGIHAN PAJAK TIDAK DILUNASI SETELAH DILAKSANAKAN PENYITAAN. DALAM HAL PELAKSANAANNYA LELANG DILAKSANAKAN MELALUI KANTOR LELANG. LELANG TETAP DILAKSANAKAN WALAUPUN KEBERATAN YANG DIAJUKAN OLEH PENANGGUNG PAJAK BELUM MEMPEROLEH PUTUSAN DARI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK, DAN JUGA LELANG DAPAT DILAKSANAKAN MESKIPUN SI PENANGGUNG PAJAK TIDAK HADIR. HASIL DARI PELELANGAN DIGUNAKAN LEBIH DAHULU UNTUK MEMBAYAR BIAYA PENAGIHAN DAN SISANYA UNTUK MEMBAYAR UTANG PAJAK. APABILA LELANG SUDAH MENCAPAI JUMLAH YANG
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxxvi
CUKUP UNTUK MELUNASI BIAYA PENAGIHAN PAJAK DAN UTANG PAJAK PELAKSANAAN LELANG DIHENTIKAN, WALAUPUN BARANG YANG AKAN DILELANG MASIH ADA. JIKA ADA SISA BARANG DAN KELEBIHAN UANG HASIL LELANG DIKEMBALIKAN KEPADA PENANGGUNG PAJAK SEGERA SETELAH PELAKSANAAN LELANG.
AKIBAT HUKUM TERHADAP PENAGIHAN PAJAK
1.
Tindakan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa MEMBAHAS TENTANG SURAT PAKSA, MAKA SURAT PAKSA DAPAT DITINJAU DARI 2 (DUA) SEGI, YAITU SEGI ISINYA DAN SEGI KARAKTERISTIKNYA. DITINJAU DARI SEGI ISINYA, SESUAI DENGAN PASAL 7 AYAT 1 DAN 2 UU NOMOR19 TAHUN 2000, SURAT PAKSA MEMUAT HAL-HAL SEBAGAI BERIKUT : - DIAWALI DENGAN KATA-KATA YANG BERBUNYI “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. - NAMA WAJIB PAJAK ATAU PENANGGUNG PAJAK, KETERANGAN CUKUP TENTANG ALASAN YANG MENJADI DASAR PENAGIHAN, PERINTAH MEMBAYAR. - DIKELUARKAN ATAU DITANDATANGANI OLEH PEJABAT BERWENANG YANG DITUNJUK OLEH MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. SEDANGKAN DITINJAU DARI SEGI KARAKTERISTIKNYA ADALAH SEBAGAI BERIKUT : - MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM YANG SAMA DENGAN GROSSE PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA PERDATA YANG TIDAK DAPAT DIMINTA BANDING LAGI PADA HAKIM ATASANNYA. - MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM YANG PASTI (IN KRACHT VAN GEWIJSDE). - MEMPUNYAI FUNGSI GANDA YAITU MENAGIH PAJAK DAN MENAGIH BUKAN PAJAK ATAU BIAYA-BIAYA DALAM PROSES PENAGIHAN. - DAPAT DILANJUTKAN DENGAN TINDAKAN PENYITAAN ATAU PENYANDERAAN/ PENCEGAHAN.189 PERLU DIPAHAMI OLEH PENANGGUNG PAJAK BAHWA DENGAN SURAT PAKSA, JURUSITA PAJAK DAPAT MELAKUKAN EKSEKUSI LANGSUNG BAIK ITU BERUPA TINDAKAN PENYITAAN MAUPUN 189 Moeljo Hadi, Op.Cit, hal. 23 Volume 8, No.1, Nop 2008
clxxxvii
PELAKSANAAN LELANG. KHUSUS PELELANGAN JURUSITA PAJAK MENYERAHKANNYA KEPADA KANTOR LELANG YANG BERWENANG MELAKSANAKAN LELANG. SURAT PAKSA MEMPUNYAI KEKUATAN EXECUTORIAL KARENA MEPUNYAI TITLE BERUPA KEPALA (IRAH-IRAH) “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, INI SAMA DENGAN KEPUTUSAN PENGADILAN DAN GROSSE AKTE NOTARIS YANG JUGA BERKEPALA DEMIKIAN.190 SURAT PAKSA DITERBITKAN FISKUS (APARAT PAJAK) KEPADA PARA WAJIB PAJAK YANG MEMPUNYAI TUNGGAKAN PAJAK. WAJIB PAJAK YANG MEMPUNYAI TUNGGAKAN PAJAK DISEBUT PENANGGUNG PAJAK, SEDANGKAN TUNGGAKAN PAJAK SELANJUTNYA DISEBUT UTANG PAJAK YANG HARUS DILUNASI SESUAI JANGKA WAKTU YANG TELAH DITETAPKAN OLEH UNDANG-UNDANG. UTANG PAJAK YANG TIDAK DILUNASI DALAM JANGKA WAKTU YANG DITENTUKAN AKAN DITERBITKAN SURAT PAKSA DENGAN TERLEBIH DAHULU DITERBITKAN SURAT TEGORAN ATAU SURAT PERINGATAN. TERHADAP PENANGGUNG PAJAK YANG TELAH DILAKSANAKAN PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS JUGA DITERBITKAN SURAT PAKSA DAN TERHADAP PENANGGUNG PAJAK YANG MENGAJUKAN PERSETUJUAN ANGSURAN ATAU PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK DAN SAMPAI JANGKA WAKTU PEMBAYARAN MASIH JUGA BELUM MELUNASINYA SESUAI DENGAN KEPUTUSAN YANG DIKELUARKAN OLEH KANTOR PELAYANAN PAJAK. PROSEDUR PENERBITAN SURAT PAKSA PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PAMEKASAN DIAWALI DENGAN PELAKSANAANNYA DIBIDANG TATA USAHA SEBELUM SURAT PAKSA TERSEBUT DISAMPAIKAN KEPADA PENANGGUNG PAJAK. INI PENTING SEKALI KARENA SURAT PAKSA ADALAH SALAH SATU PRODUK HUKUM DARI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK, JANGAN SAMPAI SURAT PAKSA DIKELUARKAN BEGITU SAJA TANPA ADA DASARNYA BAIK ITU DASAR HUKUMNYA ATAUPUN DASAR ADMINISTRASINYA. DASAR HUKUM DARI PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA SUDAH JELAS YAITU UNDANG-UNDANG NOMOR19 TAHUN 2000, SEDANGKAN DASAR ADMINISTRASINYA DAPAT DIURAIKAN SEBAGAI BERIKUT : - SURAT PAKSA DIKELUARKAN SETELAH LEWAT 21 (DUA PULUH SATU) HARI SEJAK TANGGAL SURAT TEGORAN YANG SEBELUMNYA TELAH DIKIRIM;
190 Eugenia Liliawati Muljono dan Amin Widjaja Tunggal, Eksekusi Grosse Akta Hipotek oleh Bank, CetI, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, h.34 Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxxviii
-
-
-
TANGGAL DAN NOMOR SURAT PAKSA DICATAT DALAM BUKU REGISTER SURAT PAKSA, BUKU REGISTER PENGAWASAN PENAGIHAN, DAN BUKU REGISTER TINDAKAN PENAGIHAN; SELANJUTNYA SURAT PAKSA DISERAHKAN KEPADA JURUSITA PAJAK YANG MEMPUNYAI KEWENANGAN UNTUK MELAKSANAKAN TUGAS PENAGIHAN; JURUSITA PAJAK YANG TELAH MENERIMA PENYERAHAN SURAT PAKSA, HARUS : MENCATATNYA DALAM BUKU PRODUKSI HARIAN DAN BUKU REGISTER TINDAKAN PENAGIHAN; MENYAMPAIKAN, MEMBERITAHUKAN DAN MENYERAHKAN SALINAN SURAT PAKSA KEPADA PENANGGUNG PAJAK; MEMBUAT LAPORAN PELAKSANAAN SURAT PAKSA DAN MEMBUAT BERITA ACARA PEMBERITAHUAN SURAT PAKSA; PELAKSANAAN SURAT PAKSA DICATAT DALAM BUKU REGISTER PENGAWASAN PENAGIHAN DAN BUKU REGISTER TINDAKAN PENAGIHAN SERTA SURAT PAKSA DIMASUKKAN DALAM BERKAS PENAGIHAN WAJIB PAJAK YANG BERSANGKUTAN.
2. Upaya Hukum terhadap Penagihan dengan Surat Paksa Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan juncto Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka terhadap Surat Ketetapan Pajak dapat diajukan keberatan, banding serta gugatan. Keberatan dan banding serta gugatan Wajib Pajak terhadap fiscus atas ketetapan pajak adalah merupakan jaminan bagi wajib pajak untuk menggunakan haknya yang dijamin oleh undang-undang pajak.191 Khusus untuk banding dan gugatan di bidang pajak adalah termasuk kewenangan Pengadilan Pajak untuk memeriksa, mengadili dan memutuskannya, sebagaimana hal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak pada bab II dan bab III. Ketika Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 belum lahir, maka segala sengketa di bidang perpajakan dilakukan dan di bawah kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun ketika lahir Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), sengketa pajak menjadi kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dan putusannya bersifat final.
191 Bohari. H., Op.Cit., h.133 Volume 8, No.1, Nop 2008
clxxxix
Kondisi hukum tersebut, mendapat respon dari kalangan hukum termasuk para praktisi hukum. Hal itu dikarenakan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak bukanlah lembaga peradilan yang dimaksudkan dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yaitu pasal 10 tentang 4 (empat) Lingkungan Peradilan, sehingga bentuk keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak tidak boleh bersifat final dan hal ini terbukti dari adanya perkara atas Surat Keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang diajukan kasasi dan peradilan kasasi menyatakan berwenang mengadili sengketa pajak yang telah diputuskan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Pengadilan Pajak dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok kekuasaan Kehakiman tidak disebutkan sebagai bagian lembaga peradilan yang dapat mengadili, memeriksa, dan memutus sesuatu perkara. Sehingga perlu dicari dasar pembenar tentang apakah Pengadilan Pajak merupakan suatu lembaga peradilan. Untuk menjawab masalah di atas, maka perlu dianalisis terlebih dahulu tentang Pengadilan pajak apakah telah memenuhi unsur-unsur sebagai suatu peradilan. Adapun unsur-unsur yang harus dipenuhi sebagai suatu lembaga peradilan adalah: a. adanya suatu hukum yang abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan; b. adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit; c. adanya sekurang-kurangnya dua pihak; d. adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan.192 Pengadilan Pajak adalah merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak (pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002). Kemudian hukum pajak yang abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan atau sengketa pajak adalah segala ketentuan di bidang perpajakan, misalnya Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan di ubah dengan Undang-undang
192 Ibid.. Volume 8, No.1, Nop 2008 cxc
Nomor 16 Tahun 2000. Dengan demikian Pengadilan pajak telah memenuhi unsur pertama sebagai lembaga peradilan. Kewenangan Pengadilan Pajak adalah di bidang sengketa pajak, jadi di sini telah ditetapkan tentang kewenangan Pengadilan Pajak secara khusus hanya untuk mengadili, memeriksa dan memutuskan sengketa di bidang pajak. Ini termasuk bentuk sengketa konkrit yaitu sengketa di bidang pajak, artinya Pengadilan Pajak tidak dapat mengadili sengketa lain selain sengketa pajak. Untuk itu, unsur kedua dari unsur-unsur sebagai lembaga peradilan telah terpenuhi. Pengadilan Pajak hanya dapat mengadili sedikitnya dua pihak yang bersengketa di bidang pajak, yang salah satunya harus Direktorat Jenderal pajak selaku Fiscus atau pemungut pajak. Bilamana hanya ada satu pihak saja yaitu Fiscus saja tanpa ada pihak Wajib Pajak, maka tidak dapat diadili di Pengadilan pajak. Unsur ini dapat dibuktikan oleh Pengadilan Pajak, karenanya Pengadilan Pajak merupakan lembaga peradilan. Aparatur yang berwenang menyelesaikan sengketa pajak yaitu hakim di lingkungan Pengadilan Pajak, sedangkan aparatur hakim di lain lingkungan selain Pengadilan Pajak, misalnya hakim Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara, atau hakim Pengadilan Militer tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara atau sengketa pajak. Dengan demikian ke empat unsur sebagai ciri lembaga peradilan telah dapat dibuktikan oleh Pengadilan Pajak, karenanya Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkungan peradilan. Dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 25 ayat 1 diberikan hak kepada wajib pajak untuk mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas surat: a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; c. Surat Ketetapan pajak Lebih Bayar; d. Surat Ketetapan Pajak Nihil; e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Unsur-unsur yang menentukan bahwa suatu perselisihan termasuk wewenang Pengadilan Pajak ialah sifat dari pihak yang berselisih dan sifat perselisihannya. Di sini yang menjadi pihak ialah pemerintah, khusus dalam sifatnya sebagai pemungut pajak (fiscus) dan pihak lain adalah rakyat selaku wajib pajak. Pengadilan Pajak yaitu lembaga peradilan yang berwenang melakukan penyelesaian semua bentuk perselisihan mengenai pajak-pajak, namun khusus untuk Volume 8, No.1, Nop 2008
cxci
memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa pajak tentang banding dan gugatannya. Sedangkan untuk keberatan atas suatu Surat Ketetapan Pajak hanya dapat diajukan dan menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Pajak untuk memutuskannya. Khusus untuk keberatan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengajukan jumlah pajak terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasanalasan yang jelas. Keberatan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud di atas. Kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasannya. Bilamana suatu keberatan tidak diajukan sebagaimana diuraikan di atas, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 25 ayat 4 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, maka surat keberatan tersebut tidak dapat dipertimbangkan. Kendati demikian, bilamana Wajib Pajak mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak, tidaklah menunda kewajiban Wajib Pajak untuk membayar pajak. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama duabelas bulan sejak tanggal Surat keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan keberatan tambahan atau penjelasan tertulis. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang terutang. Namun bilamana Direktur Jenderal Pajak setelah jangka waktu dua belas bulan sejak tanggal surat keberatan diterima tidak memberikan keputusannya, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima. Guna lebih sistematis selanjutnya akan dikemukakan beberapa persoalan yang berhubungan dengan masalah keberatan, yaitu tentang: a. pokok perselisihan; b. pemasukan surat keberatan. Perselisihan itu ialah mengenai dasar-dasar pengenaan, pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan, jadi bukan jumlah pajaknya meskipun jumlah utang, pajak tergantung pada besarnya yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak. Dalam pajak penghasilan yang dikenakan pajak adalah penghasilan bersihnya. Adapun penghasilan itu dibedakan atau dua yaitu laba usaha (business profit) dan penghasilan lain-lain (other income).193 Pada Pajak Penghasilan misalnya, ada suatu kewajiban bahwa bagi wajib pajak untuk memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT). Dalam SPT itu oleh Wajib Pajak yang bersangkutan diharuskan oleh undang-undang untuk memberitahukan jumlah
193 John Hutagaol, Pemahaman Praktis Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia dengan Negara-ngara Di kawasan Eropa, Cet.I, Salemba Empat, Jakarta, 2000, h.21 cxciiVolume 8, No.1, Nop 2008
yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan jumlah pajak yang terhutang. Jumlah itu harus diberitahukan sesuai dengan keadaan sebenarnya dengan mengisi SPT itu secara lengkap, misalnya bagi badan usaha yang menjadi wajib pajak diwajibkan melengkapi SPT itu dengan laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan rugi laba serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Akan tetapi hal itu tidak selalu dilakukan, ada yang disebabkan karena ketidak-jujuran wajib pajak, yang dengan sengaja ingin menyembunyikan beberapa bagian dari penghasilan atau kekayaan dengan cara pengisian yang tidak sebenarnya. Dalam hal demikian Direktur Jenderal pajak tidak terikat dengan Surat Pemberitahuan itu dan selalu berwenang untuk mengadakan penelitian dan penilaian ini berarti bahwa Direktur Jenderal pajak dapat menyimpang dari Surat Pemberitahuan Wajib Pajak, dan penyimpangan ini tentunya dilakukan dengan alasan yang kuat. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian dan penilaian Surat Pemberitahuan (SPT) yang dimasukkan oleh wajib pajak, dan dari hasil pemeriksaan terbukti bahwa pengisian Surat Pemberitahuan itu adalah tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan pajak secara jabatan. Pada umumnya penetapan pajak secara jabatan ini adalah jauh lebih besar dari jumlah perkiraan oleh wajib pajak sendiri sewaktu mengajukan Surat Pemberitahuannya. Oleh karena penetapan pajak secara jabatan ini dianggap tidak adil karena pajaknya terlalu tinggi, maka wajib pajak biasanya mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak sebagai bukti bahwa Wajib Pajak tidak setuju dengan penetapan pajak tersebut. Surat keberatan ditujukan kepada Direktur Jenderal pajak untuk satu jenis pajak dan satu tahun pajak, misalnya pajak penghasilan tahun 2001 dan 2000. Keberatan terhadap surat keterangan pajak penghasilan tahun 2001 dan tahun 2000 tersebut, harus diajukan masing-masing dalam satu Surat Keberatan tersendiri. Untuk dua tahun pajak tersebut harus diajukan dua buah surat keberatan. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu tiga bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak atau SKP sebagaimana ditentukan dalam pasal 25 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Volume 8, No.1, Nop 2008
cxciii
Adapun maksud penentuan tenggang waktu tiga bulan tersebut adalah supaya wajib pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasannya. Apabila ternyata bahwa batas waktu tiga bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh wajib pajak, karena keadaan di luar kekuasan wajib pajak (force majeure), maka tenggang waktu selama waktu tiga bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal pajak (Penjelasan pasal 25 ayat 3 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). Tanda bukti atau resi penerimaan surat keberatan diberikan oleh pejabat Direktur Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan wajib pajak. Tanda bukti penerimaan tersebut oleh wajib pajak dapat juga digunakan sebagai alat kontrol baginya untuk mengetahui sampai kapan batas waktu dua belas bulan itu berakhir, mengingat oleh karena dalam jangka waktu dua belas bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, maka Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. Pengajuan Surat Keberatan itu tidak menghalangi aparatur pajak untuk melakukan tindakan penagihan. Kententuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar wajib pajak dengan dalih mengajukan keberatan, tidak melakukan kewajibannya untuk membayar pajak yang telah ditetapkan, atau wajib pajak berusaha melakukan penghindaran pajak pada saat mengajukan keberatan. Undang-undang pajak menentukan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi tentang isi surat keberatan. Meskipun undang-undang tidak memberikan perincian secara tersirat, namun kalau diteliti lebih jauh maka nampak tersirat lima hal yang merupakan syarat minimum yaitu: a. Penyataan bahwa wajib pajak merasa keberatan terhadap ketetapan pajak; b. Jenis pajaknya; c. Tahun pajak; d. Nomor pokok Wajib Pajak; e. Nama dan tanda tangan wajib pajak. Pada dasarnya Surat Keberatan itu memuat alasan-alasan mengapa seorang wajib pajak keberatan terhadap ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya. Namun alasan ini bukan merupakan syarat mutlak untuk sahnya Surat Keberatan. Meskipun demikian sebaiknya wajib pajak mengajukan alasan-alasan guna meyakinkan pejabat yang akan memberikan keputusan atas keberatan itu. Surat keberatan yang tidak disertai alasan adalah lemah, karena itu besar kemungkinannya bahwa keberatan itu ditolak. Alasan yang diberikan oleh undangundang pajak terhadap wajib pajak yang ingin mengajukan keberatannya adalah Volume 8, No.1, Nop 2008 cxciv
berkisar pada dasar-dasar pengenalan pajak telah ditetapkan oleh kepada instansi pajak setempat. Sebagai contoh pengenaan pajak penghasilan berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 serta Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000. Berdasarkan pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan, maka penghasilan seseorang dapat dikelompokkan menjadi empat macam sumber penghasilan yang terdiri dari: a. Penghasilan dari pekerjaan; b. Penghasilan dari kegiatan usaha; c. Penghasilan dari modal, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak; d. Pengasilan lain-lain. Keempat penghasilan di atas menjadi obyek pengenaan pajak penghasilan bagi wajib pajak tertentu. Wajib Pajak sebelum ditetapkan pajaknya berkewajiban untuk memasukkan surat pemberitahuan. Dalam surat pemberitahuan tersebut wajib pajak berkewajiban memasukkan seluruh jenis sumber penghasilannya. Akan tetapi karena ketidak-jujuran wajib pajak, hal ini tidak dilakukan. Dalam hal demikian fiskus tidak terikat dengan surat pemberitahuan itu, dan fiskus berwenang melakukan penilaian atas Surat Pemberitahuan tersebut. Wewenang untuk mengadakan penilian ini berarti Direktorat Pajak (fiscus) dapat menyimpang dari surat pemberitahuan wajib pajak. Penyimpangan ini berarti dasar pengenaan pajak ditetapkan secara sepihak oleh Direktorat Pajak dan tidak didasarkan atas surat pemberitahuan dari Wajib Pajak. Pengenaan pajak secara sepihak yang dilakukan oleh Direktorat Pajak dapat digunakan oleh wajib pajak sebagai alasan keberatan. Dan jika wajib pajak mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak maka ketidak-benaran penetapan pajak secara sepihak tadi harus dibuktikan oleh wajib pajak. Apabila wajib pajak tidak dapat membuktikannya, maka surat keberatannya ditolak dan wajib pajak boleh mengajukan banding pada banding pada Pengadilan Pajak. Terhadap surat keberatan yang diajukan oleh wajib pajak kewenangan Volume 8, No.1, Nop 2008
cxcv
penyelesaiannya dalam tingkat pertama diberikan pada Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan keputusannya. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan wajib pajak dapat berupa: 1. menerima seluruhnya atau sebagian; 2. menolak seluruhnya keberatan. Apabila surat keberatan itu diterima atau dikabulkan seluruhnya, maka tidak perlu diberikan alasan, cukup dinyatakan di dalamnya bahwa keberatan pemohon dapat diterima dan karena itu pajak dikurangkan. Jika surat Keberatan itu ditolak seluruhnya, berarti wajib pajak tidak dapat membuktikan ketidak-benaran ketetapan pajak secara jabatan yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Penolakan keberatan ini dapat berakibat bahwa jumlah utang pajak ada kemungkinannya bertambah, ataupun tetap jumlahnya. Wajib pajak yang belum merasa puas terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal pajak mengenai keberatannya itu, dapat mengajukan banding pada Pengadilan Pajak menurut ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Adapun banding dapat diajukan dengan surat banding dalam bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak, dengan ketentuan tidak boleh melampaui waktu tiga bulan sejak tanggal diterimanya keputusan yang dibanding tersebut, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Jangka waktu tiga bulan tersebut adalah bersifat mengikat, kecuali terdapat keadaan di luar kekuasan pemohon banding misalnya force majeure. Setiap permohonan banding hanya dapat diajukan terhadap satu Keputusan, dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan pula tanggal diterimanya surat keputusan yang dimohonkan banding tersebut. Di samping ada kewajiban untuk mencantumkan tanggal diterimanya surat keputusan yang dimohon banding, pemohon banding juga wajib melampirkan salinan keputusan yang dimaksud. Syarat yang bersifat mutlak dipenuhi oleh pemohon banding adalah bilamana banding itu diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, maka banding itu hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen). Banding dapat diajukan wajib pajaksendiri, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya. Namun apabila selama proses banding, pemohon banding meninggal dunia, maka pemohonan banding tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, atau kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal pemohon banding dalam pailit. Bilamana selama proses banding, pemohon banding melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggung jawaban karena penggabungan, peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha atau likuidasi dimaksud. Permohonan banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak. Banding yang dicabut sebagaimana dimaksud di atas, dihapus dari Volume 8, No.1, Nop 2008 cxcvi
daftar sengketa dengan penetapan ketua, dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang dilaksanakan. Bilamana pencabutan diajukan dalam tahap pemeriksaan sengketanya, maka pencabutan tersebut harus atas persetujuan pihak terbanding, yang nantinya akan dibuatkan putusan hakim yang memeriksa perkaranya bahwa perkaranya telah di cabut. Terhadap banding yang permohonannya dicabut melalui penetapan ataupun putusan, maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan satu kali saja. Artinya setelah permohonan banding terhadap Surat Ketetapan Pajak dicabut, maka terhadap Surat Ketetapan Pajak dimaksud tidak dapat diajukan permohonan banding lagi. Bilamana Wajib Pajak tidak puas pula terhadap Keputusan Banding, maka ia dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak secara tertulis dengan Bahasa Indonesia, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya keputusan yang digugat. Pengajuan gugatan tersebut hanya dapat diajukan satu surat keputusan yang digugat. Gugatan pada Pengadilan Pajak terhadap Surat Keputusan sebagaimana dimaksud di atas, dapat diajukan oleh Penggugat, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya dengan disertai alasan-alasan yang jelas, mencantumkan tanggal diterima, pelaksanaan penagihan, atau keputusan yang digugat dan dilampiri salinan dokumen yang digugat. Apabila selam proses gugatan, penggugat meninggal dunia, gugatan dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal penggugat pailit. Bilamana selama proses gugatan, penggugat melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggung jawaban karena penggabungan, peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud. Bilamana pihak penggugat tidak berkehendak melanjutkan perkaranya, maka penggugat dapat membuat pernyataan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak. Gugatan yang dicabut tersebut baru akan dihapus dari daftar sengketa, jika terdapat penetapan ketua bilamana surat pernyataan pencabutan itu diajukan sebelum sidang perkaranya belum dimulai dan penghapusan dari daftar perkara akan didasarkan pada putusan hakim yang mengadilinya, bila pernyataan pencabutan itu dilakukan pada saat perkara sedang berjalan, sehingga perlu persetujuan pihak tergugat pula. Setelah gugatan tersebut dicabut, maka terhadap perkara dimaksud tidak dapat diajukan perkara gugatan lagi. Jadi Wajib Pajak hanya mempunyai hak satu kali saja untuk mengajukan gugatan terhadap surat ketetapan pajak atau surat keputusan banding, sebab bilamana perkara itu diajukan kembali, maka perkara gugatan demikian akan ditolak.
KESIMPULAN Adapun kesimpulan yang dapat dikemukakan penulis dalam bab penuntut ini adalah dapat dirumuskan sebagai berikut: Volume 8, No.1, Nop 2008
cxcvii
c.
d.
Pajak dapat dilakukan penagihan terhadap wajib pajak, bilamana wajib pajak telah menyetor Surat Pemberitahuan, atau pihak fiscus telah menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Barang, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dan lainnya. Atas dasar kekuatan surat-surat tersebut, maka pihak fiscus dapat melakukan tindakan-tindakan hukum, seperti penagihan pajak dengan Surat Paksa. Akibat hukum terhadap penagihan pajak adalah lahirnya kewajiban bagi wajib pajak untuk segera melakukan pembayaran pajak. Sebab bilamana penagihan pajak tersebut tidak diindahkan oleh wajib pajak, fiscus dapat memaksa wajib pajak dengan Surat Paksa guna wajib pajak membayar hutang pajaknya. Adapun bilamana pihak wajib pajak menyatakan keberatan atas penagihan pajak tersebut, maka ia dapat mengajukan keberatan kepada Kantor Pelayanan Pajak yang telah mengeluarkan surat tagihan pajak tersebut. Wajib pajak juga diberikan hak untuk menolak keputusan keberatan dari Kantor Pelayanan Pajak dengan mengajukan banding ke Pengadilan Pajak, namun syaratnya wajib pajak harus membayar separuh dari hutang pajak yang telah ditetapkan.
SARAN Dengan adanya fakta di atas, maka pihak pemerintah melalui institusi terkait untuk segera melakukan tindakan-tindakan: a. Penagihan pajak hendaknya harus memperhatikan hak azasi manusia dari Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak agar diberikan kebebasan dengan waktu yang cukup guna menyatakan keberatan ataupun mengajukan upaya hukum; b. Pengadilan Pajak jangan dijadikan alat oleh fiscus guna mencapai tujuan fiscus untuk memaksa Wajib Pajak guna melakukan pembayaran hutang pajak, artinya Pengadilan Pajak haruslah diberikan kewenangan untuk menangguhkan pembayaran hutang pajak bilamana terdapat cukup alasan sebagaimana yang pernah dijalankan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dalam sengketa pajak.
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxcviii
Volume 8, No.1, Nop 2008
cxcix