Volume VII No. 1 Tahun 2011 ISSN 1693-3559
dignitas
Volume VII No. 1 Tahun 2011 ISSN 1693-3559
Jurnal Hak Asasi Manusia
Jurnal Dignitas merupakan jurnal yang terbit dua kali setahun, setiap Juni dan Desember, dengan mengangkat isu utama mengenai hak asasi manusia. Tulisan yang diterbitkan di jurnal ini memandang hak asasi manusia secara multidisipliner. Bisa dari sudut pandang hukum, filsafat, politik, kebudayaan, sosiologi, sejarah, dan hubungan internasional. Tema yang diterbitkan diharapkan mampu memberikan kontribusi pengetahuan dan meramaikan diskursus hak asasi. Kehadiran Jurnal
Dignitas ini ingin mewarnai perdebatan hak asasi yang ada. Misi Jurnal Dignitas adalah menyebarkan gagasan dan pemikiran yang dielaborasi melalui studi, baik teoretik maupun empirik, tentang permasalahan hak asasi manusia atau hukum yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
Dewan Redaksi: Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ery Seda, Ifdhal Kasim, Karlina L. Supeli, Sandra Moniaga, Soetandyo Wignjosoebroto, Todung Mulya Lubis, Yosep Adi Prasetyo; Pemimpin Redaksi: Indriaswati Dyah Saptaningrum; Redaktur Pelaksana: Widiyanto Staf Redaksi: Betty Yolanda, Ikhana Indah, Otto Adi Yulianto, Triana Dyah, Wahyudi Djafar, Wahyu Wagiman, Zainal Abidin; Sekretaris Redaksi: E. Rini Pratsnawati Sirkulasi dan Usaha: Khumaedy Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Alamat Redaksi: Jln. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510 Telp: 021-7972662, 79192564 Fax: 021-79192519 Email:
[email protected] Website: www.elsam.or.id
dignitas
Volume VII No. 1 Tahun 2011 ISSN 1693-3559
Jurnal Hak Asasi Manusia
DAFTAR ISI EDITORIAL
______
3
FOKUS
______
7
______
9
______
19
Politik Negara dan Kondisi HAM oleh Rocky Gerung Milisia Islamis, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia oleh Noorhaidi Hasan Kekerasan Aparat, Mengapa Masih Terjadi? oleh Ikrar Nusa Bhakti
______ 39
RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara: Dilema Legislasi dan Kebutuhan Pertahanan oleh Mufti Makaarim
______ 49
DISKURSUS Komnas HAM dan Tantangannya Dewasa Ini oleh Ifdhal Kasim
______ 71
Peran Kejaksaan dalam Masalah Hak Asasi Kekinian oleh Domu P. Sihite
______ 85
HAM dan Polri dalam Penegakan Hukum di Indonesia oleh Iza Fadri
______ 103
OASE Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Pendekatan Hukum Progresif oleh Yance Arizona
______ 123
TINJAUAN Film Imagining Argentina; Melawan Penghilangan Masa Lalu dengan Nujum oleh I Gusti Agung Ayu Ratih
______ 143
KONTRIBUTOR
______ 153
PEDOMAN PENULISAN
______ 155
PROFIL ELSAM
______ 157
EDITORIAL
Sidang Pembaca yang terhormat, Jurnal Dignitas hadir kembali setelah sekian lama tak menyapa. Kami mengalami restrukturisasi dan perubahan manajemen. Dignitas kali ini tampil lebih cair dengan isi yang sedikit berbeda dibanding sebelumnya. Nama rubrik berubah. “Fokus Kajian”, “Landasan Teoritis”, dan “Tinjauan Wacana” diganti dengan “Fokus”, “Diskursus”, dan “Tinjauan”. Di edisi ini kami juga hendak mengenalkan satu rubrik baru, “Oase”. Rubrik ini diisi riwayat biografis seorang tokoh, kelompok, organisasi, atau terhadap karya-karya mereka yang berhubungan dengan isu hak asasi manusia atau hukum. Pada dasarnya ia ingin menyajikan gagasan besar mereka secara utuh. Restrukturisasi berjalan seiring dengan proses pengerjaan edisi ini. Di edisi ini kami mengadakan sebuah simposium kecil bertemakan “Negara dan Masalah Hak Asasi Manusia Kekinian”. Simposium mengundang perwakilan dari Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, Komisi Nasional HAM, dan pemerhati. Semua makalah yang dipresentasikan kami terbitkan, melengkapi tulisan lain yang telah masuk sesuai dengan tema yang kami angkat di edisi ini: “HAM dan Realitas Transisional”. Kami melihat perlunya mengulas situasi aktual dengan pendekatan HAM secara lebih akademis. Kita tampaknya terjebak dalam realitas transisional yang tak menentu. Peradilan terhadap kejahatan masa lalu tak kunjung menghadirkan keadilan bagi korban. Banyak kasus yang penanganannya mandeg di Kejaksaan Agung. Perdebatan antara Kejaksaan Agung dengan Komnas HAM mengenai kemandegan penanganan kasus pelanggaran HAM berat tercermin jelas dalam tulisan masing-masing. Menurut Domu P. Sihite, Direktur Penanganan Pelanggaran HAM Berat Kejasaan Agung, dalam tulisannnya, berargumen bahwa perlunya pembentukan Pengadilan HAM terlebih dulu guna menangani kasuskasus masa lalu sesuai dengan criminal justice system. Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM, berargumen sebaliknya. 3
Dengan menunjuk contoh kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur, Kejaksaan tak perlu menunggu dibentuknya peradilan dulu. Tapi institusi penuntut tersebut harus tetap memproses kasus yang telah selesai diselidik oleh Komnas HAM. Perbedaan pendapat kedua institusi ini yang menguras energi penanganan HAM belakangan ini. Rocky Gerung memaparkan keprihatinannya mengenai rezim sekarang yang lebih mementingkan pencitraan diri daripada bertindak tegas ketika pluralisme sosial berada dalam ancaman. Rocky termasuk salah satu pemateri dalam simposium, hanya saja tulisan dosen filsafat Universitas Indonesia ini lebih sesuai ditaruh di rubrik “Fokus”. Tidak di “Diskursus” bersama tiga tulisan panelis lainnya. Noorhaidi Hasan, seorang intelektual muda Islam, mengulas secara tajam mengenai menjamurnya organisasi Islam berhaluan keras di masa transisi saat negara mengalami erosi kekuasaan. Dosen UIN Sunan Kalijaga tersebut menyebut beberapa kelompok milisi Islam yang berdiri selama periode pasca kolaps-nya kekuasaan Orde Baru, berikut dengan ciri organisasi masing-masing. Alih-alih menangani maraknya ekstremisme yang mengarah ke anarkisme, negara justru sibuk melakukan rekonsolidasi kekuasaan. Ini bisa terlihat dari upaya Pemerintah dan aparat yang gigih untuk mendorong penguatan peran intelijen negara dalam penanggulangan kasus-kasus sosial. Pun demikian dalam mendorong wajib militer bagi seluruh warga negara melalui RUU Komponen Cadangan Pertahanan Nasional. Mufti Makaarim secara konseptual mengkritisi RUU yang sempat menjadi kontroversi di ruang publik. Ikrar Nusa Bhakti memberikan analisisnya, mengapa kekerasan yang melibatkan aparat masih sering berlangsung meski situasi sosial-politik lebih terbuka. Profesor dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini menulis secara sederhana namun tetap saja secara tajam menguraikan masalah tersebut. I Gusti Agung Ayu Ratih menuliskan review film Imagining Argentina. Film ini berkisah tentang seorang suami yang berusaha mencari istrinya yang diculik oleh rezim militer berkuasa. Anak mereka dibunuh. Lelaki tersebut kemudian bertemu dengan ibu-ibu yang anaknya dihilangkan. Mereka korban horor terorisme negara di bawah rezim diktator pimpinan Jenderal Jorge Rafael Videla, rezim yang memberangus kaum sosialis dan komunis di Argentina selama Perang Kotor 1976-1983. Agung Ayu menuntun kita pada pengalaman masa lalu yang terjadi di Indonesia semenjak Tragedi 1965. Yance Arizona menuliskan gagasan hukum progresif almarhum Prof. Satjipto Rahardjo atau biasa kita kenal dengan panggilan Prof. 4
Tjip. Gagasan beliau sangat genuine dengan konteks Indonesia yang memiliki masyarakat sangat plural. Prof. Tjip meminta para penegak hukum supaya tidak sekedar menjadi kepanjangan UU tapi juga perlu memperhatikan wisdom atau kebajikan dalam masyarakat. Selamat membaca! Widiyanto Redaktur Pelaksana
5
FOKUS
Politik Negara dan Kondisi HAM Rocky Gerung
Abstraksi Di tengah menguatnya politik pencitraan kepemimpinan nasional, deretan permasalahan hak asasi aktuil menjadi terpinggirkan. Politik pemerintahan lebih memilih gemar melantunkan keberhasilan dalam deretan statistik ketimbang bekerja dalam diam. Kepemimpinan yang demikian seolah gamang bila diperbenturkan dengan realitas bahwa keberagaman berada dalam ancaman. Padahal kehadiran negara dalam menjamin harmoni merupakan sebuah keniscayaan. Dengan dalih netralisme, negara justru membiarkan sekelompok warga melakukan persekusi terhadap kelompok warga lainnya.
I Terbatas pada wacana, Pemerintah hari ini terus memujikan prestasinya dalam soal HAM. Juga dengan retorika wacana itu, Presiden mengumpulkan dukungan internasional untuk kepemimpinan nasionalnya. Dalam berbagai pidato di forum dunia, Presiden "melaporkan" perkembangan positif soal HAM di dalam negeri. Tetapi keadaan sesungguhnya memperlihatkan kondisi yang terbalik. Rentetan penganiayaan warga negara atas alasan agama dan perbedaan keyakinan, berlangsung terus. Kondisi percakapan toleran semakin surut dari kehidupan publik. Ide kewarganegaraan mundur oleh dominasi ide komunalisme. Potensi rasisme tetap tinggi. Permusuhan sosial sangat mudah disulut oleh isu primordial. Itulah keadaan yang sesungguhnya yang tampaknya tidak bakal kita temui dalam pidato-pidato Presiden tentang HAM di negeri ini.
9
FOKUS Politik Negara dan Kondisi HAM
Waktu kita mengupayakan perubahan politik satu dekade lalu, tesis hak asasi manusia menjadi dasar rasional kemestian itu. Dalam kontras etika politik terhadap rezim otoriter, kita menghendaki suatu perubahan kualitatif, yaitu perubahan yang meliputi susunan pikiran pemerintahan, susunan lembaga-lembaga demokrasi dan susunan norma-norma publik. Kepentingan kita adalah membangun sebuah sistem politik dan tata pemerintahan yang rasional, etis, dan efektif. Harapan segera pada penghormatan HAM mendorong diskursus perubahan itu menjadi perjuangan politik yang serius. Hampir seluruh energi aktivis LSM dikuras untuk pertaruhan kualitatif itu. Sekali dalam sejarah, keinginan untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang demokratis, bermartabat, dan berkeadilan, kita pertaruhkan untuk proyek historis itu. Pendeknya, ada obsesi yang nyaris patologis terhadap sebuah Indonesia yang “baru”. Perubahan memang tiba, tetapi bukan secara “revolusioner”. Kita bahkan memodifikasi suasana “perjuangan” itu dengan tema yang lebih kultural: “reformasi”. Penghalusan metode dan pelembutan harapan sebetulnya sudah dengan sendirinya menurunkan kualitas perubahan yang diharapkan. Dan memang itulah yang terjadi. Perubahan yang kita peroleh adalah perubahan kuantitatif semata: unsur dan metode politik Orde Baru masih diikutsertakan dalam struktur pemerintahan baru. Sikap permisif itu juga berdampak pada agenda-agenda perjuangan HAM. Begitulah kita menyaksikan satu demi satu tuntutan-tuntutan substantif tentang Pengadilan HAM berubah menjadi debat prosedural di DPR. Kerumitan dalam menyusun hukum acara pengadilan HAM adalah tanda nyata tentang masih berkuasanya kepentingankepentingan lama dalam semua pemerintahan reformasi sampai hari ini. Yang hendak diperlihatkan secara tepat oleh sejarah adalah bahwa ingatan kolektif kita tentang kejahatan kemanusiaan sangat mudah disulap menjadi transaksi material oleh permainan politik elit. Begitulah kita saksikan berturut-turut “proposal penyelesaian” kasus-kasus berat pelanggaran HAM itu diselesaikan secara “perdata” dengan kesepakatan ganti rugi finansial dan “tanda penghargaan” negara pada korban atau perwakilannya. Momentum adalah faktor produktif untuk memelihara isu dan memperjuangkan penuntutan keadilan HAM. Itulah dasar konsep
10
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
“transitional justice”. Tetapi momentum itu sesungguhnya telah kita abaikan sejak awal transisi reformasi satu dekade lalu. Suasana transisional tidak mungkin bertahan dalam benak publik ketika tuntutan-tuntutan kehidupan ekonomi riil mulai menggantikan isu pemerintahan yang bersih. Masuk dalam putaran kebutuhan sosial, dan terlilit dalam kepentingan oportunistik individual, sejumlah tokoh HAM juga melambat dalam artikulasi dan advokasi perjuangan HAM. Sebaliknya, konsolidasi elite melalui institusi partai politik menghasilkan oligarki kepentingan di parlemen. Dan oligarki inilah yang secara ideologis menentang perluasan isu HAM dalam politik nasional. Bahkan dalam kenekatan politik yang memalukan, gagasan pemberian gelar pahlawan kepada mantan presiden Suharto, cukup kuat mendapat dukungan di masyarakat. Rekayasa semacam ini memperlihatkan sekali lagi pendeknya memori etis masyarakat akibat ketidakpastian ekonomi politik hari-hari ini. Sepertinya, kerinduan pada “basic needs” yang disediakan Orde Baru, tidak dapat dibatalkan oleh harapan pada ide demokrasi semata-mata. Tetapi sebetulnya, kemuakan terhadap hipokrisi politik elitlah yang membatalkan harapan publik terhadap demokrasi. Keadaan ini justru memperburuk penyelesaian tuntutan keadilan pelanggaran HAM karena diskursus agama kemudian menggantikan semboyan-semboyan liberal para pejuang HAM. Dalam tampungan politik agama, stigmatisasi HAM sebagai “bukan kultur Indonesia” dan “mengusung sekulerisme”, justru memperkuat basis konsolidasi politik agama berhadap-hadapan dengan para pejuang sekuler HAM. Insiden penyerangan kantorkantor pembelaan HAM dan penganiayaan aktivis-aktivisnya secara transparan memperlihatkan permusuhan ideologis antara kekuatan konservatif yang berbasis politik agama dengan gerakan HAM. Menempelnya isu HAM dengan kultur liberal-barat, sekaligus mengentalkan stigma perjuangan HAM sebagai perjuangan kepentingan Barat-liberal-sekuler. Hak Asasi Manusia bahkan harus diucapkan dalam nada penghinaan, kesesatan, dan agitasi oleh beberapa pejabat negara. Dari isu perjuangan, ide HAM berubah menjadi isu yang diolok-olok. Kehilangan momentum adalah sebab utamanya.
11
FOKUS Politik Negara dan Kondisi HAM
II Tetapi yang lebih mengkuatirkan dari sekadar soal momentum yang hilang, adalah sikap Presiden SBY yang sangat medioker dalam isu HAM. Dalam konflik berbasis agama akhir-akhir ini, sikap mengelak Presiden untuk terlibat dalam pengambilan keputusan final justru memberi angin pada pelanjutan praktek intoleransi dan kekerasan dalam perselisihan sosial yang berbasis agama itu. Kesan yang hendak ditampilkan Presiden adalah seolah-olah ia tidak ingin berpihak dalam konflik yang menyangkut keyakinan keagamaan. Dengan cara itu hendak ditampilkan sifat netral dan adil dari Presiden. Tetapi sebetulnya, dalam soal yang menyangkut kebebasan beragama, Konstitusi telah menjaminnya secara final. Artinya, terhadap kelompok manapun yang mengganggu pelaksanaan kebebasan warga negara itu, Presiden harus menyatakan sikap konstitusionalnya, dan bukan sikap politisnya. Jelas bahwa sikap politis Presiden adalah sikap ambigu yang memperlihatkan ketidakmampuan kepemimpinan, tetapi sekaligus pragmatisme politik untuk mempermainkan kekuatiran publik dan mengubahnya menjadi keuntungan bagi kelanjutan kepemimpinan politiknya. Berkali-kali soal pluralisme dan toleransi diucapkan Presiden dalam forum-forum internasional. Tetapi fakta di dalam negeri memperlihatkan pembiaran negara terhadap warga negara yang mencari perlindungan konstitusional atas pelanggaran haknya yang paling dasar, yaitu kebebasan berkeyakinan. Tentu kita dapat menganalisis keadaan ini dari sudut pandang kalkulasi strategis Presiden dalam memelihara legitimasi politiknya. Soal kebebasan berkeyakinan terlalu asasi untuk dipertukarkan dalam pasar kepentingan politik. Ketidaktegasan Presiden inilah yang melegalisir politik diskriminasi di berbagai daerah. Pun dengan alasan itu, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama secara terbuka memperlihatkan sikap bias dalam menanggapi soal kebebasan beragama itu. Dalam pandangan yang paling awam sekalipun, sikap “buta huruf konstitusi” para pejabat negara itu adalah sponsor utama pengerasan konflik agama di negeri ini. Politik Negara yang diskriminatif itu terhubung secara konsisten dengan kondisi politik kewarganegaraan kita. Warga negara tidak dipahami dalam kedudukan egaliternya terhadap
12
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
konstitusi, melainkan dipahami pertama-tama berdasarkan kedudukan mayoritasnya dalam soal agama. Pemahaman komunalistik ini membelah warga negara dalam dikotomi yang berbahaya: ada warga negara mayoritas, ada warga negara minoritas. Pembelahan itu sekaligus menyodorkan realitas politik baru: ada warga negara yang soleh, ada warga negara yang sesat. Tentu saja sangatlah berbahaya membiarkan definisi diskriminatif ini menjadi “pretext” dalam pergaulan antara warganegara. Kesolehan kini menjadi lebih utama dari “ketaatan membayar pajak” misalnya. Padahal, kewarganegaraan hanya boleh diselenggarakan berdasarkan kesamaan hak dan kewajiban dalam hukum publik. Kesolehan tidak dapat diukurkan pada kewarganegaraan. Kesolehan hanya diukurkan pada seseorang dalam komunitas keagamaannya. Tetapi pemahaman ini bahkan tidak masuk dalam kecerdasan para anggota DPR. Sekaligus ini menunjukkan tidak adanya kurikulum pendidikan “citizenship” di dalam partai. Memahami prinsip kewarganegaraan sebagai ketaatan pada hukum publik semata merupakan kondisi yang diperlukan untuk menyelenggarakan penghormatan pada HAM. Mendefinisikan kewarganegaraan dalam makna kesetaraan hak berdasarkan kitab konstitusi (bukan kitab suci), adalah pelajaran politik pertama yang seharusnya diberikan pada anggota DPR. Agenda ini sangat berkaitan dengan kesadaran dan keseriusan parlemen dalam mengkampanyekan ide HAM. Sebaliknya, tanpa pemahaman itu, kita menyaksikan setiap hari kemunduran wawasan kenegarawanan para wakil rakyat. Amat sukar kita menyaksikan perdebatan politik di antara politisi yang secara sugestif memberi inspirasi pada rakyat tentang ide kesetaraan, ide kemerdekaan pikiran, dan ide keadilan sosial. Yang terdengar riuh adalah kalimat-kalimat demagogis, pertanda ketidakpahaman yang memalukan dari seseorang yang dipilih untuk mengucapkan Konstitusi secara fasih dan menerangkan hak-hak asasi secara benar. Di dalam kepungan hegemoni “politik kesolehan”, wakil rakyat justru ikut mensponsori kepentingan-kepentingan politik komunal-primordial itu. Suasana kebebasan politik, prasyarat utama untuk menghidupkan kultur demokrasi, berubah menjadi suasana “hirarki nilai”, yaitu bekerjanya konsep kesolehan sebagai ukuran
13
FOKUS Politik Negara dan Kondisi HAM
utama kewarganegaraan seseorang. Hak Asasi Manusia, dengan konsep inti kedaulatan individu dan penghormatan pada kebebasan pikiran, niscaya ditolak dalam konstruksi masyarakat yang hirarkis semacam itu. Bekerjanya politik kesolehan itu juga tampak dalam suasana pendidikan nasional kita. Komunalisme makin mendahului kurikulum berbasis konstitusi. Komunalisme bahkan menjadi superkultur dalam komunitas akademik yang seharusnya rasionalliberal. Kehidupan perguruan tinggi kita sedang menjauh dari basis kerja ilmu pengetahuan: rasional, sekuler, kritis, kontestasi. Suasana akademik yang penuh dengan hirarki palsu, juga diam-diam menjadi tempat persemaian intoleransi dan nilai-nilai absolut anti kesetaraan manusia. Kampus yang menutup diri dari politik rasional, justru menyediakan peluang bagi berbagai diskursus absolut yang menghindar dari debat publik dan skrutinisasi teoretik. Sekali lagi kultur semacam itu selalu curiga dan memusuhi ide HAM.
III Soal yang paling mengkuatirkan dalam upaya pemajuan nilai-nilai HAM tidak saja dalam aspek pembiaran negara terhadap masalah toleransi dan kemajemukan. Dalam hal pembelaan hak-hak perempuanlah terutama terasa diskriminasi negara. Partisipasi politik perempuan yang hendak diselenggarakan dengan asas "affirmative action", telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Akibatnya, momentum untuk menyamakan "garis start" politik antara laki-laki dan perempuan, hilang. Atas alasan kesetaraan peluang partisipasi, MK sesungguhnya telah mengabaikan kondisi sosio-historis yang meminggirkan perempuan dari politik. Fakta ini memperlihatkan miskinnya pengetahuan Negara tentang historisitas konsep HAM. Tetapi kita dapat menganalisa soal ini dari sudut pandang "politik nilai mayoritas", yaitu paham kebudayaan (entah atas dasar tradisi atau agama) yang terus mengunggulkan laki-laki dalam kehidupan politik. Konstruksi kebudayaan yang misoginis itu, sering memperoleh pembenaran melalui konsep "local wisdom". Padahal, berbagai format regulasi tubuh perempuan (dari mitos sampai Perda), pada akhirnya berujung pada penihilan partisipasi politik perempuan.
14
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
Tetapi bukan sekedar pada konstruksi kebudayaan soal representasi politik perempuan terhambat. Pada tataran formal partai pun, pengakuan terhadap kepemimpinan politik perempuan masih tetap sebatas basa-basi manipulatif elite partai. Kepemimpinan perempuan masih sebatas fungsi-fungsi domestik dalam struktur pimpinan partai. Keadaan yang sama berlaku di dalam parlemen. Bahkan upaya penyatuan isu dan kepentingan perempuan melalui "kaukus perempuan", tetap melowongkan intervensi partai di dalam pengambilan keputusan. Politik perempuan dalam upaya penegakan HAM, pada dasarnya adalah politik untuk memperjuangkan berlapis-lapis hambatan: kultur, hukum, kebijakan politik, struktur ekonomi. Dengan itu kita pahami bahwa pada perempuanlah seluruh jenis logika ketidakadilan beroperasi: biologis, ideologis, psikologis. Karena itu, menemukan hakikat ketidakadilan melalui 'pengalaman perempuan' adalah orientasi paling origin di dalam upaya menghidupkan diskursus HAM. Tentu saja orientasi itu bukan dimaksudkan untuk mengeksklusifkan "keperempuanan" atau menciptakan esensialisme identitas perempuan. Pokok soal yang hendak dikemukakan adalah bahwa terhadap kelompok yang paling mengalami ketidakadilan, ke arah itulah seharusnya energi perlindungan negara seharusnya ditujukan. Cerminan pemihakan negara tidak hanya harus terlihat dalam prinsip pengaturan hukum publik, tetapi juga terasa dalam praktek kesejahteraan melalui APBD yang berperspektif keadilan jender. Kewarganegaraan adalah ukuran normatif kesetaraan hak. Tetapi kesejarahan keadilan telah meminggirkan hak perempuan sedemikian lama dan sistematis. Kewarasan tindakan negara hanya dapat kita tuntut pada pemihakan afirmatif terhadap kepentingan politik keadilan perempuan.
IV Evaluasi terhadap HAM adalah evaluasi terhadap demokrasi. Fakta bahwa kita kini memiliki secara lengkap semua fasilitas demokrasi (partai, parlemen, mahkamah, opini publik), tidak membuktikan bahwa demokrasi telah diselenggarakan dalam semangat
15
FOKUS Politik Negara dan Kondisi HAM
penghormatan HAM. Praktek representasi politik yang seharusnya didasarkan pada representasi elektoral, berubah menjadi representasi kepentingan elite partai. Bahkan dalam format yang lebih elitis, kepentingan parlemen secara keseluruhan hanya dikendalikan oleh sebuah oligarki yang bekerja atas prinsip transaksional semata-mata. Tukar-tambah politik di tingkat lokal, semata-mata demi kepentingan personal, dapat berlangsung dengan mengabaikan distingsi ideologis di antara partai-partai itu. Jadi, bila sudut pandang politik parlemen masih sangat transaksional, maka terhadap isu substantif HAM, yang secara strategis dapat mengganggu kepentingan politik oligarki, pastilah hambatan akan mendahului penghargaan. Jadi, tugas untuk menciptakan suasana politik terbuka yang memungkinkan ide kewarganegaraan dan HAM tumbuh wajar di masyarakat, sejak awal akan ditelantarkan oleh wakil-wakil rakyat itu. Kita memiliki peralatan demokrasi yang lengkap, tetapi itu semua dipergunakan untuk memperkuat struktur oligarki. Contoh mutakhir dalam isu ini adalah lolosnya UU Partai Politik yang secara teknis justru menghalangi lahirnya partai politik. Persyaratan ketat pada undang-undang itu disusun sistematis dengan akibat kemungkinan mendirikan partai politik menjadi nol. Jalan pikirannya jelas: memonopoli representasi politik dengan menghalangi hak kebebasan berserikat rakyat. Strategi oligarki adalah menghambat demokrasi dengan memanfaatkan peralatan demokrasi. Memang ada suasana apatisme dalam masyarakat dalam memandang kebutuhan perjuangan HAM dalam kondisi mendesaknya kebutuhan ekonomi. Juga ada keletihan mental pada LSM dalam memperpanjang harapan pada demokrasi yang sesungguhnya. Situasi kesulitan ekonomi global juga mempengaruhi dukungan kelembagaan dan finansial dalam proyek HAM universal. Tetapi selalu ada imajinasi pada perubahan politik, justru pada puncak pelanggaran hak-hak paling dasar manusia. Karena itu, perubahan politik adalah kebutuhan terbaik untuk memungkinkan “kembalinya politik”. Yaitu mengembalikan etika publik ke dalam kehidupan bernegara. Infrastruktur HAM memerlukan lingkungan kewarganegaraan yang sekuler. Kita tidak dapat mencicil perubahan itu dengan berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan advokasi alternatif. Kita perlu menentukan titik balik demokrasi kita justru
16
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
pada puncak penghinaan negara terhadap hak yang paling dasar dari warga negara, yaitu kebebasan berkeyakinan. Kita boleh bernegosiasi dalam soal-soal yang menyangkut penyediaan hak-hak ekonomi karena situasi global dan kondisi sumber daya nasional. Tetapi terhadap kemerdekaan pikiran dan keyakinan, tuntutan HAM adalah absolut. Demikian juga kewajiban negara.
17
Milisia Islamis, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia Noorhaidi Hasan
Abstraksi Periode paska luruhnya kekuasaan Orde Baru menjadi masa subur bertumbuhnya kelompok-kelompok Islamis. Mereka mengusung syariat Islam sebagai solusi atas pelbagai macam problem sosial-politik yang tak kunjung tuntas diselesaikan oleh demokrasi sekuler. Di tengah ketidakjelasan arah transisi yang berjalan, kelompok-kelompok milisia itu lantas tampil ke permukaan dengan mencoba menggantikan peranperan negara dalam menciptakan ketertiban sosial dengan jalan antidemokrasi, kekerasan, dan sektarian. Islam oleh kelompok milisia itu diseret menjadi tameng di arena politik kekuasaan. Berebut diskursus dominan dengan cara-cara yang kerap menodai demokrasi dan hak asasi manusia.
Tumbangnya rezim otoriter Suharto pada 21 Mei 1998 membawa Indonesia pada transisi demokrasi yang penuh gejolak. Konflik komunal berdarah meletus di beberapa kawasan diikuti munculnya berbagai kelompok milisia Islamis, seperti Laskar Pembela Islam, Laskar Jihad, dan Laskar Mujahidin Indonesia. Mereka aktif berdemonstrasi memenuhi jalan-jalan menuntut penerapan syari'ah secara menyeluruh, menggerebek kafe-kafe, diskotik, tempat perjudian, rumah pelacuran, dan sarang-sarang kemaksiatan lainnya, serta yang terpenting lagi, menyerukan jihad di Maluku, Poso dan daerah-daerah kacau lainnya di Indonesia. Melalui aksi-aksi ini, mereka mengkritik sistem politik, sosial, dan ekonomi yang ada, yang mereka anggap telah gagal menyelamatkan umat Islam Indonesia dari krisis yang terus berlangsung, sembari memperlihatkan tekad mereka untuk menempatkan diri sebagai pembela Islam yang terdepan. Selain ketiga kelompok tersebut, organisasi-organisasi Islamis lainnya aktif menuntut revitalisasi Khilafah Islamiyah dan
19
FOKUS MILISIA ISLAMIS
merespon berbagai isu transnasional, terutama seputar konflik Palestina-Israel, Afghanistan, dan Irak. Paling menonjol di antara mereka adalah KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) dan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). KAMMI berdiri sebagai bagian dari perluasan penyebaran pengaruh Ikhwanul Muslimin di Indonesia, yang awalnya berkembang di kampuskampus universitas dalam payung gerakan tarbiyah. Sementara Hizbut Tahrir Indonesia tumbuh sebagai bagian dari gerakan transnasional Hizbut Tahrir yang berpusat di Timur Tengah. Kehadiran organisasi-organisasi tersebut melengkapi dan menggenapi perkembangan kelompok-kelompok vigilante jalanan serupa yang dibentuk oleh partai-partai politik, organisasi-organisasi massa, dan rezim penguasa. Di antara kelompok-kelompok ini adalah Barisan Pemuda Ka'bah, Pam Swakarsa, Pendekar Banten, Gerakan Pemuda Islam (GPI), dan Front Hizbullah Bulan Bintang. Ekspansi kelompok-kelompok milisia Islamis di arena politik Indonesia tampak memperlihatkan adanya paradoks dalam dinamika transisi dan demokratisasi pasca tumbangnya rezim Suharto. Liberalisasi dan demokratisasi yang berlangsung membuka hambatan-hambatan yang selama ini membelenggu partisipasi masyarakat dalam politik. Namun hal yang sama memberikan kesempatan kepada berbagai kelompok kepentingan untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi dan identitas mereka di ruang publik. Dalam konteks inilah, kelompok-kelompok milisia Islamis muncul ke permukaan, berupaya mengklaim ruang dalam situasi politik yang tengah berubah. Hanya saja, kehadiran kelompokkelompok semacam ini sekaligus menghadirkan ancaman bagi proses demokratisasi itu sendiri. Wacana-wacana dan aksi yang mereka kembangkan di ruang publik tidak saja mengingkari prinsip-prinsip demokrasi, tetapi juga menggerogoti fondasi HAM yang sedang tumbuh dalam atmosfer demokratisasi di Indonesia. Tulisan ini bertujuan mengkaji eksistensi kelompok-kelompok milisia Islamis dari perspektif demokrasi dan HAM. Kelompok-kelompok Milisia Islamis Laskar Pembela Islam (LPI) merupakan divisi paramiliter dari organisasi massa Islamis yang bernama Front Pembela Islam (FPI). Kelompok ini didirikan oleh Muhammad Rizieq Syihab (lahir 1965),
20
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
bekerja sama dengan tokoh-tokoh lain di dalam jaringan keturunan Hadrami (Arab) di Indonesia, di antaranya Idrus Jamilullail, Ali Sahil, Saleh al-Habsyi, Segaf Mahdi, Muhsin Ahmad Alatas, dan Ali bin Alwi Ba'agil.1 Didirikan tanpa basis kelembagaan yang jelas, LPI diorganisir secara bebas dengan keanggotaan yang terbuka. Kebanyakan anggotanya berasal dari ikatan-ikatan pemuda masjid dari penjuru Jakarta dan sejumlah madrasah ataupun pesantren di sekitar ibukota. Anggota-anggota biasa umumnya berlatar para pemuda pengangguran, termasuk kelompok-kelompok preman. Pemimpin organisasi itu mendorong para anggotanya untuk mendengarkan ceramah-ceramah keagamaan rutin yang diberikan oleh Syihab, yang dengan konsisten selalu menekankan pentingnya jihad dan semangat motto “hiduplah dengan mulia atau lebih baik mati sebagai syahid.” Dalam tempo singkat, LPI berhasil memperluas jaringannya ke kota-kota di luar Jakarta, mengaku pada 2004 telah mendirikan 18 cabang provinsi dan lebih dari 50 cabang kabupaten dengan puluhan ribu simpatisan di seluruh Indonesia. Laskar terorganisir secara semimiliter dan mempunyai sistem stratafikasi yang berbeda yang disebut dengan istilah-istilah berbahasa Arab. Ia terbagi ke dalam jundi—istilah dari bahasa Arab jund yang secara harafiah berarti “prajurit”—yang sama dengan peleton-peleton, yang masing-masing terdiri dari 21 anggota. Setiap jundi dipimpin oleh seorang ra'is (kepala), yang berada di bawah seorang amir (komandan). Para amir inilah yang pada praktiknya merupakan pemimpin LPI di tingkat kecamatan. Mereka berada di bawah qa'id (pemimpin), yang bertindak sebagai pemimpin di tingkat kabupaten, dan wali (pengawal), para pemimpin di tingkat provinsi. Seluruh wali itu tunduk pada imam (kepala staf), orang kedua setelah panglima, yang dikenal di kalangan anggota sebagai “imam besar.” 2 Kemunculan LPI pertama kali dirasakan pada demonstrasi massa pada 17 Agustus 1998, ketika mereka secara terbuka menantang kelompok-kelompok yang menolak B.J. Habibie sebagai pengganti Suharto. Mereka merupakan kelompok yang paling aktif melakukan apa yang disebut sebagai razia maksiat. Bersenjatakan tongkat, para anggotanya berulang kali menyerang kafe-kafe, diskotik, tempat perjudian, dan rumah-rumah pelacuran sambil meneriakkan slogan al-'amr bi'l-ma'ruf wa-l-nahy 'an al-munkar, 1. M. Rizieq Syihab, Kyai Kampung: Ujung Tombak Perjuangan Umat Islam (Ciputat: Sekretariat FPI, 1999). 2. Mengenai struktur lengkap organisasi Laskar Pembela Islam, lihat Front Pembela Islam, Struktur Laskar FPI (Jakarta: Sekretariat FPI, 1999).
21
FOKUS MILISIA ISLAMIS
sebuah kalimat Qur'an yang bermakna “memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran.” Dalam melakukan aksinya, anggota Laskar ini biasanya mengenakan baju serba putih, bergerak lambat menuju sasaransasaran dengan menggunakan truk-truk terbuka. Kemudian mereka dengan cepat membubarkan kegiatan-kegiatan apapun yang sedang berlangsung dan menghancurkan apa saja yang mereka temukan di situ. Menariknya, tindakan penghancuran ini tidak mendapat tantangan yang berarti dari aparat keamanan. Untuk menyuarakan tuntutan-tuntutan politik mereka secara lebih keras, berkali-kali LPI menggelar demonstrasi massa. Ketika merayakan ulang tahunnya yang pertama pada Agustus 1999, ribuan anggotanya bergerak ke gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Mereka membentangkan spanduk-spanduk dan poster-poster yang mendukung usulan dipilihnya kembali Habibie, sambil dengan keras dan tegas mengecam pencalonan Megawati Sukarnoputeri sebagai presiden.3 Pada saat yang sama, mereka menuntut pemerintah menghapus kebijakan mengenai asas tunggal, yang mengharuskan seluruh organisasi sosial politik menerima Pancasila, ideologi negara, sebagai satu-satunya dasar eksistensi organisasi. Mereka bahkan menuntut agar MPR memberlakukan Piagam Jakarta, yang pernah hendak dijadikan sebagai preambule Undang-Undang Dasar 1945.4 Dalam suatu kesempatan, anggota-anggota LPI menyerang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang mereka anggap bertindak tidak adil terhadap umat Islam dan lebih mengasihi kalangan Kristen. Pada saat itu, Komisi tersebut sedang melakukan penyelidikan terhadap aksi-aksi masa lalu sejumlah jenderal Angkatan Darat, terutama Menteri Pertahanan Wiranto, yang dituduh telah melakukan pelanggaran hak asasi selama operasi-operasi militer di Timor Timur. Sekali waktu Laskar tersebut menduduki Kantor Pemda DKI Jakarta dan memaksa Gubernur Sutiyoso untuk membatasi jam-jam operasi pusat-pusat hiburan yang ada di seluruh pelosok ibukota Indonesia itu. Mereka bahkan melemparkan ultimatum yang menuntut gubernur untuk segera menutup diskotikdiskotik.5 Laskar juga terlibat dalam demonstrasi-demonstrasi antipornografi dan bahkan mengerahkan anggotanya untuk menyerang kantor majalah Playboy Indonesia. Dalam peristiwa lain yang 3. Mengenai penolakan mereka terhadap pencalonan Megawati Soekarno Puteri, lihat Front Pembela Islam, Maklumat Front Pembela Islam Mengenai Presiden Wanita (Jakarta: Front Pembela Islam, 2001). 4. Mengenai usulan FPI berkaitan dengan pemberlakuan Piagam Jakarta, lihat M. Rizieq Syihab, Dialog Piagam Jakarta: Kumpulan Jawaban Sekitar Keraguan terhadap Penegakan Syari'at Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Ibnu Sidah, 2000). 5. Lihat Front Pembela Islam, Satu Tahun Front Pembela Islam: Kilas Balik Satu Tahun FPI (Jakarta: Sekretariat FPI, 1999).
22
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
menarik perhatian banyak kalangan, Laskar Pembela Islam bertindak sebagai tulang punggung penyerangan terhadap massa AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) pada 1 Juni 2008. Ketika itu, mereka bergerak di bawah bendera Laskar Komando Islam yang dipimpin Munarman, menghalau dengan tongkat, kayu dan tangan, massa AKKBP yang berdemonstrasi di sekitar Monas untuk membela Ahmadiyah. Sifat keanggotaan Laskar Pembela Islam yang longgar jelas berbeda dengan Laskar Jihad. Yang terakhir adalah kelompok milisia Islamis yang menyatukan para pemuda yang menyebut diri mereka “Salafi,” pengikut Salaf al-Shalih yang artinya para pendahulu yang shaleh. Kelompok ini aktif di bawah organisasi payung Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jama'ah (FKAWJ), yang pendiriannya secara resmi dicanangkan di dalam acara tabligh akbar yang diadakan di Yogyakarta pada Januari 2000. Sebelum resmi berdiri, FKAWJ sebenarnya sudah ada. Ia berkembang dari Jama'ah Ihyaus Sunnah, yang pada dasarnya merupakan gerakan dakwah yang berfokus pada pemurnian iman dan integritas moral pribadi-pribadi. Laskar Jihad didirikan oleh Ja'far Umar Thalib (lahir 1961) dan beberapa tokoh terkemuka di dalam jaringan Salafi lainnya, di antaranya Muhammad Umar As-Sewed, Ayip Syafruddin, dan Ma'ruf Bahrun. Laskar Jihad didirikan sebagai perluasan dari Divisi Khusus FKAWJ, yang markasnya berpusat di Yogyakarta, dengan kantorkantor cabang di tingkat kabupaten dan provinsi tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Divisi ini awalnya dibangun sebagai suatu unit keamanan FKAWJ, terutama untuk mengamankan kegiatan-kegiatan umum mereka. Laskar Jihad terdiri dari satu brigade yang dibagi ke dalam batalyon-batalyon, kompi, peleton, dan regu-regu, plus satu seksi intelejen. Persis layaknya sebuah organisasi militer. Empat batalyonnya mengambil nama empat khalifah, yakni Abu Bakar alShiddiq, 'Umar bin Khattab, 'Utsman bin 'Affan, dan 'Ali bin Abi Thalib. Setiap batalyon mempunyai empat kompi, setiap kompi memiliki empat peleton, dan setiap peleton memiliki empat regu dengan 11 anggota. Thalib sendiri dipilih sebagai komandan dan dibantu oleh sejumlah komandan lapangan. Simbol kelompok ini adalah dua pedang bersilang di bawah tulisan “La ilaha illa Allah, Muhammad Rasul Allah.” 6
7
6. Istilah tablig akbar berasal dari dua kata Arab–tabligh dan akbar—yang secara harafiah bermakna masing-masing ”penyampaian pesan” dan ”besar.” 7. Kalimat ini dikenal sebagai syahadat atau syahadatain, yang berarti pengakuan Islam terhadap iman. Lihat D. Mimaret, ”Shahada,” The Encyclopedia of Islam, vol. IX (Leiden: Brill, 1997), hal. 201.
23
FOKUS MILISIA ISLAMIS
Laskar Jihad menarik perhatian publik ketika mereka menggelar pertemuan spektakuler di Stadion Utama Senayan Jakarta pada awal April 2000. Diikuti oleh sekitar sepuluh ribu peserta, pertemuan ini mengecam “bencana” menyedihkan yang menimpa orang-orang Islam Maluku, yang dianggap sedang menghadapi ancaman genosida. Untuk menjawab ancaman itu, Thalib menyatakan perlunya jihad. Ia secara terbuka mendesak umat Islam Indonesia untuk berdiri bahu-membahu dengan saudara-saudara Muslim mereka di Maluku untuk mengangkat senjata melawan musuh-musuh Kristen. Selanjutnya, ia mendirikan kamp pelatihan paramiliter di Bogor, yang terletak di selatan Jakarta. Latihan paramiliter terpadu itu diorganisir di bawah supervisi para mantan anggota resimen mahasiswa universitas (Menwa) dan para veteran perang Afghan, Moro, dan Kasmir. Menurut laporan, latihan itu juga melibatkan beberapa personil tentara. Pada kenyataannya, Laskar Jihad muncul sebagai organisasi milisia Islamis terbesar dan paling terorganisir yang mengirimkan para sukarelawan jihad ke Maluku. Mereka mengaku telah memberangkatkan lebih dari tujuh ribu pejuang selama lebih dari dua tahun. Kehadiran para sukarelawan ini, yang disebar di berbagai wilayah yang berbeda untuk melawan orang-orang Kristen, tak ayal lagi telah mengubah peta konflik komunal di kepulauan itu. Dibakar oleh semangat jihad yang mereka kobarkan, kaum Muslim Maluku tampil lebih agresif melakukan penyerangan terhadap orang-orang Kristen, dengan keyakinan bahwa saatnya telah tiba untuk menuntut balas. Untuk memperkokoh kehadirannya di kepulauan Maluku, Laskar Jihad juga memperhatikan masalah-masalah sosial kawasan itu dan menyebarkan ajaran-ajaran agama. Mereka bukan hanya mendirikan taman kanak-kanak Islam, sekolah-sekolah dasar Islam terpadu, dan kursus-kursus baca Qur'an, tapi juga berkunjung dari rumah ke rumah untuk berdakwah secara langsung. Belakangan mereka memperluas titik-titik operasi jihad mereka dengan mengirimkan ratusan pejuang ke Poso, Sulawesi Tengah. Meskipun usaha ini gagal, para pejuangnya bahkan juga sempat ingin mendarat di Papua Barat dan Aceh. Sebagaimana Laskar Pembela Islam, Laskar Jihad berkali-
24
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
kali mendorong kerusuhan-kerusuhan jalanan. Atas nama penerapan syari'at Islam, anggota-anggotanya menyerang kafe-kafe, rumahrumah pelacuran, dan tempat-tempat perjudian di sejumlah kota. Ketika seruan penerapan syari'at Islam telah bergema ke seluruh penjuru tanah air, mereka bahkan menjalankan hukum rajam kepada seorang pejuang yang telah melakukan perkosaan. Mereka juga terjun ke jalan-jalan untuk memprotes beberapa kebijakan Abdurrahman Wahid, seperti usulannya untuk mencabut Ketetapan MPR yang melarang PKI (Partai Komunis Indonesia). Laskar Jihad yakin bahwa Wahid telah gagal menjalankan tugasnya sebagai pemimpin Muslim dan telah membuat negerinya terjebak dalam konspirasi yang dirancang pihak Barat dan Zionis. Kelompok milisia Islamis lain, Laskar Mujahidin Indonesia, merupakan organisasi yang terakhir muncul dan mungkin paling militan di Indonesia pasca-Orde Baru. Ia merupakan aliansi yang longgar dari sekitar lusinan organisasi paramiliter Muslim kecil yang tersebar di kota-kota seperti Solo, Yogyakarta, Kebumen, Purwokerto, Tasikmalaya, dan Makassar. Organisasi-organisasi yang menjadi anggotanya tercatat, antara lain, Laskar Santri, Laskar Jundullah, Kompi Badar, Brigade Taliban, Korps Hizbullah Divisi Sunan Bonang, Front Pembela Islam Surakarta (FPIS), dan Pasukan Komando Mujahidin. Laskar Mujahidin berada di bawah organisasi payung Majelis Mujahiddin Indonesia, yang didirikan sebagai hasil keputusan dari apa yang disebut sebagai “Kongres Mujahiddin Indonesia I,” di Yogyakarta pada Agustus 2000. Sekitar dua ribu peserta mengikuti kongres itu. Di antara mereka saya lihat para anggota dari kelompokkelompok di atas yang dengan bangga memakai baju seragam mereka masing-masing dan menjaga pintu masuk ke kongres. Pada waktu itu, seluruh pembicaraan peserta tersedot pada satu tema utama: penerapan syari'ah sebagai suatu aksi yang penting untuk mengatasi masalah-masalah dan konflik-konflik yang menghancurkan Indonesia. Di dalam konteks ini, dibicarakan juga gagasan-gagasan pemikiran mengenai khilafah Islamiyah, imamah, dan jihad.8 Kongres itu menghasilkan suatu piagam yang disebut Piagam Yogyakarta, yang menegaskan penolakan atas semua ideologi yang melawan dan bertentangan dengan Islam dan keputusan untuk terus mengajarkan dan melakukan jihad demi 8. Risalah Kongres Mujahidin I dan Penegakan Syari'ah Islam (Yogyakarta: Wihdah Press, 2001).
25
FOKUS MILISIA ISLAMIS
kejayaan Islam.9 Kongres dimulai pada 5 Agustus 2000 dan berakhir dua hari kemudian. Tanggal ini tampaknya bukanlah kebetulan. Pada tanggal yang sama limapuluh satu tahun sebelumnya, S. M. Kartosuwiryo memproklamasikan Negara Islam Indonesia, sebuah negara Islam merdeka di dalam wilayah Indonesia. Peristiwa dramatik ini mengawali pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat dan kemudian menjalar ke Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan.10 Terinspirasi oleh semangat pemberontakan untuk mendirikan negara Islam itu, apa yang disebut gerakan Negara Islam Indonesia (NII) muncul di tahun 1970-an. Gerakan bawah tanah ini hadir untuk menarik kalangan radikal lain yang tidak puas dengan pemerintah untuk masuk ke dalam orbitnya, dengan membentuk kelompokkelompok kecil yang disebut usrah (Ar. 'usra, secara harafiah berarti “keluarga”) di berbagai kota dengan nama-nama berbeda, seperti Jama'ah Islamiyah di Solo, Generasi 554 di Jakarta, dan NII Cirebon di Cirebon.11 Majelis Mujahidin Indonesia merekrut sejumlah tokoh terkemuka dari berbagai organisasi Islam dan partai politik, di antaranya Deliar Noer, Mochtar Naim, Mawardi Noor, Ali Yafie, Alawi Muhammad, Ahmad Syahirul Alim, dan A.M. Saefuddin. Mereka dipilih sebagai anggota ahl- al-hall wa'l-'aqd, yang secara harafiah berarti “orang yang mempunyai wewenang untuk tidak mengikat dan mengikat,” suatu badan tertinggi dari organisasi itu yang mirip dengan dewan penasehat. Dewan ini dipimpin oleh Abu Bakar Ba'asyir, yang bergelar Amirul Mujahidin yang secara harafiah bermakna “pemimpin para pejuang suci”. Ba'asyir adalah salah satu tokoh gaek keturunan Hadrami, yang bekerja sama dengan Abdullah Sungkar, mendirikan Pesantren Al-Mukmin, sebuah sekolah Islam konservatif, di Ngruki, Solo, Jawa Tengah, tahun 1972.12 Keduanya pernah ditangkap pada November 1978 karena diduga bertindak sebagai pemimpin Jama'ah Islamiyah, dan setelah sempat dibebaskan melarikan diri ke Malaysia untuk menghindari hukuman penjara di tahun 1985. Pada kongres itu, 9. Majelis Mujahidin Indonesia, Piagam Yogyakarta (Yogyakarta: Majelis Mujahidin Indonesia, 2000). 10. Mengenai pemberontakan ini, lihat Hiroko Horikoshi, “The Dar-ul-Islam Movement of West Java (1942-62: An Experience in the Historical Process,” Indonesia 20 (Oktober 1975): 59-86; dan C. van Dick, Rebellion under the Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia (The Hague: Martinus Nijhoff, 1981). 11. Untuk suatu tinjauan mengenai gerakan NII, lihat June Chandra Santosa, “Modernization, Utopia, and the Rise of Islamic Radicalism in Indonesia” (PhD Dissertation, Boston University, 1996), appendix 3; lihat juga Martin van Bruinessen, “Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Suharto Indonesia.” Southeast Asian Research 10, 2 (2002). 12. Mengenai profil pesantren ini, lihat misalnya Zuli Qodir, Ada Apa dengan Pesantren Ngruki (Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2003), dan E. S. Sopriyadi, Ngruki dan Jaringan Terorisme (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2003). Cf. Sidney Jones, “Al-Qaeda in Southeast Asia: The Case of the 'Ngruki Network' in Indonesia,” Asia Report 42 (Jakarta/ Brussels: International Crisis Group, 2002).
26
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
Ba'asyir menyatakan bahwa penerapan syari'ah sangat mendasar dan berpendapat bahwa penolakannya harus dilawan dengan jihad.13 Kongres itu sendiri diprakarsai oleh Irfan S. Awwas, Ketua Dewan Tanfidziyah majelis tersebut. Seruan-seruan untuk berjihad di Maluku dan wilayahwilayah konflik lainnya juga menjadi agenda Laskar Mujahidin. Yang berbeda dengan Laskar Jihad, Laskar Mujahidin lebih senang bekerja secara rahasia dalam unit-unit kecil yang terlatih dan handal. Jika publisitas menjadi perhatian Laskar Jihad, Laskar Mujahidin meletakkan tekad untuk menghancurkan musuh-musuh Islam sebagai prioritas. Pada kenyataannya, Laskar Mujahidin tidak berjalan sehaluan dengan Laskar Jihad. Untuk menjamin sukses operasioperasi jihadnya di kepulauan itu, Laskar Mujahidin dilaporkan menerima senjata-senjata canggih dari berbagai kelompok milisi di luar Indonesia, seperti kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan. Bagi Laskar Mujahidin, jihad di Maluku dan wilayah-wilayah kacau lainnya hanyalah latihan biasa untuk jihad yang sesungguhnya melawan taghut, “tiran-tiran penindas.”14 Islamisme dan Demokrasi Munculnya kelompok-kelompok milisia seperti yang sudah dipaparkan di atas jelas merupakan pertanda kuat bagi ekspansi Islamisme di dalam landskap politik Indonesia pasca-Suharto. Islamisme merupakan konsep analitik yang ditawarkan sebagai alternatif atas konsep serupa yang dipandang bias, tapi masih digunakan banyak kalangan. Contohnya antara lain “Fundamentalisme Islam”, Ekstremisme Islam”, “Islam Militan”, “Islam Politik”, dan “Nasionalis Keagamaan”. Garis demarkasi dalam konsep Islamisme memang lebih jelas jika dibandingkan dengan konsep lainnya itu yang pengertiannya kerap kabur. Sebagaimana dikemukakan Roy (1996), Islamisme mengandung makna suatu gerakan sosial-politik yang dibangun di atas landasan Islam yang didefinisikan lebih sebagai ideologi politik ketimbang agama. Definisi Roy mengajukan dua unsur paling penting bagi Islamisme; sebagai gerakan yang bertujuan mendirikan negara Islam dan yang membangun legitimasinya dari al-Quran dan Sunnah.15 Sayyid (1997) mengkritik Roy karena definisinya 13. Awwas, Risalah Kongres Mujahidin I, hal. 139. 14. Wawancara dengan Irfan S. Awwas, Yogyakarta, Oktober 2001. Istilah ”taghut” ini, semula merujuk pada pengertian dewa-dewa Arab pra-Islam, tetapi kemudian fokusnya telah meluas, sehingga sekarang ia bisa berarti setan, penyihir, dan pemberontak, serta kekuatan apapun yang memusuhi Islam. Lihat F. H. Stewart, ”Thagut,” The Encyclopedia of Islam, vol. X (Leiden: Brill, 2000), hal. 93-95. 15. Oliver Roy, The Failure of Political Islam, terjemahan Carol Volk (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1996), hal. 39.
27
FOKUS MILISIA ISLAMIS
dipandang terlalu sempit dan mengabaikan mereka yang bermimpi mendirikan negara Islam secara bertahap (the bottom up) dengan terlebih dahulu mengislamkan masyarakat pada aras akar-rumput.16 Alasan lainnya bagi kelemahan definisi Roy adalah ketidakjelasannya mempertimbangkan unsur gagasan tentang kemurnian (purity) dan perlunya mempertahankan batas yang tegas antara 'dirinya' (we) dan 'yang lainnya' (the others) yang melekat dalam Islamisme.17 Namun jangan dibayangkan Islamisme sebagai gerakan statis yang terkunci dalam perjuangan mendirikan negara Islam. Catatan sejarah di berbagai kawasan dunia Islam menunjukkan Islamisme merupakan gerakan yang sangat dinamis, tumbuh dan bergerak mengikuti konteks dan dinamika politik, sosial, ekonomi dan budaya di suatu negara. Poros pergerakannya berada di antara dua titik; radikalisasi dan moderasi. Perasaan terancam dan frustrasi yang berkepanjangan menghadapi struktur politik yang represif dapat membawa Islamisme ke titiknya yang ekstrem; radikalisme Islamis yang mengesahkan penggunakan taktik kekerasan untuk memperjuangkan tujuan. Pilihan taktik kekerasan biasanya ditentukan oleh tingkat represi yang diterapkan negara, di satu sisi, dan struktur kesempatan politik, di sisi lain. Represi yang tanpa pandang bulu (indiscriminate) biasanya mengesahkan kerangka anti sistem (anti-system frame) kaum Islamis untuk melawan penguasa dengan kekerasan. Namun struktur politik terbuka, yang terjadi ketika negara dalam keadaan lemah, juga dapat mendorong kaum Islamis untuk menggunakan taktik kekerasan. Wacana tentang keharusan segera beralih kepada sistem Islami menemukan konteks dan keabsahannya ketika berhadapan dengan negara lemah yang terancam gagal. Situasi politik pascatumbangnya rezim Suharto secara nyata memperlihatkan kelemahan dan sekaligus kegagalan sistem sekular negara-bangsa, hal yang menjelaskan mengapa kelompok-kelompok milisia Islamis muncul dalam situasi transisional itu. Dengan melakukan aksi-aksi radikal, kelompok-kelompok milisia Islamis tidak hanya menyalakan tanda bahaya yang menandai penyebaran sejenis militansi dan kekerasan swasta ini, tetapi juga menentang legitimasi sistem sekuler yang diadopsi oleh negara 16. Bobby Sayyid, A Fundamental Fear: Eurocentrism and the Emergence of Islamism (London: Zed Books, 1997), hal. 158. 17. Untuk diskusi di seputar konsep ini, lihat Irfan Ahmad, Islamism and Democracy in Indonesia; The Transformation of Jamaat-e-Islami (Princeton: Princeton University Press, 1999), hal. 4-5.
28
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
Indonesia, yang mereka persepsikan sebagai perluasan hegemoni Barat yang bertanggung jawab terhadap krisis ekonomi politik yang terus berlangsung. Sembari mengecam sistem pemerintahan Indonesia, mereka menawarkan syari'ah sebagai dasar alternatif negara dan menekankan keunggulannya terhadap sistem-sistem lain apapun. Dengan melakukan itu, mereka mencoba untuk membawa Islam ke tengah-tengah medan diskursif untuk bersaing melawan ideologi-ideologi yang lain. Baik secara samar maupun terbuka, mereka berbagi mimpi untuk melihat Islam berlaku tidak hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai sistem politik, sosial, ekonomi, budaya, dan seterusnya. Ledakan Islamisme di arena politik Indonesia pasca-Suharto mendapat perhatian banyak pengamat dalam maupun luar negeri. Alasan utamanya adalah karena hal itu terjadi di Indonesia, negeri Muslim terbesar di dunia, yang secara umum diasosiasikan dengan bentuk Islam yang damai dan toleran. Keunikan ini sering dihubungkan oleh para sejarawan dengan cara Islam yang berkembang secara pelan dari daerah-daerah pantai ke pedalaman dan menggantikan karakter Hindu dan Budha dari rezim-rezim yang menguasai wilayah-wilayah kerajaan ini. Dalam proses adaptasi, beberapa unsur budaya lokal dimasukkan ke dalam sistem kepercayaan baru.18 Tidak mengejutkan, sekalipun tanda-tanda vitalitas ini telah terlihat dalam dua dekade terakhir, arus pemikiranpemikiran yang mendukung pluralisme keagamaan, demokrasi, dan partisipasi publik yang luas untuk perempuan tetap berpengaruh di seluruh negeri. Beberapa sarjana melihat Indonesia sebagai suatu negeri yang terus berkembang menjadi negara-bangsa yang paling pluralistik dan bersahabat dengan demokrasi di seluruh dunia Islam. 19 Sementara mengakui bahwa ada banyak kemungkinan penjelasan yang saling tumpang-tindih terhadap perkembangan ini, kenyataan bahwa kelompok-kelompok itu muncul ke permukaan pada saat transisi harus digarisbawahi secara khusus. Guillermo O'Donnel dan Philippe C. Schmitter berpendapat bahwa transisi adalah suatu masa yang tipikal di mana pakem-pakem relasi yang ada di dalam suatu masyarakat mencair dan berubah karena wacana 18. Ada berlimpah literatur mengenai awal mula dan perluasan Islam di Nusantara. Lihat, sebagai contoh, G. W. J. Drewes, ”New Light on the Coming of Islam to Indonesia?,” Bijdragen to de Taal-, Land- en Volkenkunde, 124, 4 (1968): 433-59; A. H. Johns, “Islam in Southeast Asia: Reflections and New Directions,” Indonesia 19 (1975): 33-35; Martin van Bruinessen, “The Origins dand Development of Sufis Orders (Tarekat) in Southeast Asia,” Studia Islamika 1,1 (1994): 1-25; dan Peter Riddle, Islam and the Malay-Indonesian: Transmissions and Responses (London and Singapore: C. Hurst and Horizon Books, 2001). 19. Lihat Robert W. Hefner, “Islamization and Democratization in Indonesia, dalam Islam in an Era of Nations-States, ed. Robert W. Hefner and Patricia Horvatich (Honolulu, HI: University of Hawai'i Press, 1997), hal. 75-206; Anders Uhlin, Indonesia and the “Third Wave of Democratization”: The Indonesia Pro-Democracy Movement in a Changing World (London: Curzon, 1997); dan Taufik Abdullah, Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia (Bandung: Mizan, 1998).
29
FOKUS MILISIA ISLAMIS
hegemonik yang dikontrol oleh negara telah mengalami fragmentasi. Ada banyak kemungkinan yang terjadi di seputar gejala ini, termasuk munculnya situasi kacau yang memberi jalan untuk kembalinya pemerintahan otoritarian. Meskipun demokrasi dalam beberapa hal mewujud, ia kemudian diikuti oleh ketidakpastian, karena aturanaturan permainan terus berubah. Para pemain di dalam era transisi tidak bisa bekerja sekadar memenuhi ambisi-ambisi politik sesaat mereka, tapi juga untuk menerapkan kontrol terhadap negara. Di dalam konteks ini, transisi, sebagaimana diungkapkan dua teoritisi politik di atas, sering mendorong terbentuknya struktur koalisi yang menghubungkan antara “individu-invidu teladan” (exemplary individuals) dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan yang mewakili massa yang luas.20 Melihat konteks transisional yang melatari kemunculan kelompok-kelompok milisia Islamis di Indonesia ini, hampir ada konsensus di kalangan para pengamat dan analis Indonesia bahwa fenomena ini merupakan bentuk sindikalisme politik khas Indonesia yang terkait secara eksklusif dengan manuver-manuver faksi elite dominan yang ingin melindungi kepentingan-kepentingan politik mereka berhadapan dengan kalangan oposisi. Para pengamat biasanya mempersepsikan kelompok-kelompok ini sebagai alat yang dipakai oleh para manipulator politik yang licik.21 Tentu, spekulasispekulasi semacam ini tidak bisa diabaikan begitu saja dan ada lebih dari cukup fakta yang menegaskan kemungkinannya. Kendati demikian, saya berpendapat isu-isu yang rumit ini dan dasar-dasar problemnya tidak bisa dijelaskan atau dipahami semata-mata berdasarkan teori konspirasi demikian. Hal yang sama berlaku bagi pengamatan yang tidak kritis yang menafsirkan pertumbuhan kelompok-kelompok ini sebagai perluasan dari ekspansi terorisme global. Pengamatan demikian cenderung mengabaikan dinamika internal kelompok-kelompok tersebut berkaitan dengan perubahan politik, sosial, dan budaya setempat. Faktanya, krisis ekonomi Asia pada 1997 yang dampaknya langsung menggerogoti nilai mata uang rupiah dan menyebabkan inflasi, PHK besar-besaran, dan pengangguran memicu ketidakpercayaan meluas terhadap sistem sekular negara-bangsa dan rezim penguasa otoriter yang menopang kelangsungan sistem itu. Krisis kepercayaan semacam ini menjadi pra-kondisi bagi 20. Guillermo O'Donnel dan Philippe C. Schmitter, Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies (Baltimore, MD, and London: John Hopkins University Press, 1986), hal. 48-56; lihat juga Juan J. Linz and Alfred Stepan, Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe, South America, and Post-Communist Europe (Baltimore, MD, and London: The Johns Hopkins University Press, 1996). 21. Lihat, sebagai contoh, Damien Kingsbury, The Politics of Indonesia, edisi ke-3. (Oxford: Oxford University Press, 2005), hal. 218-29.
30
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
meletusnya konflik komunal yang terjadi di berbagai kawasan Indonesia. Banyak kalangan menuntut hak-hak tradisional dan berupaya memposisikan ulang diri dan identitas mereka yang telah direnggut otoritarianisme dalam sistem sekular negara-bangsa. Sebagai konsekuensinya, kelompok-kelompok berbasis etnik dan agama, komunitas-komunitas lokal, dan asosiasi-asosiasi berkarakter primordial bermunculan. Perbenturan antar berbagai kepentingan menjadi tak terelakkan. Aparatus negara yang kehilangan pegangan sebagai konsekuensi tumbangnya sebuah tatanan politik otoriter tampak tidak berdaya meredam gejolak dan konflik-konflik tersebut. Bagi kaum militan Islamis, semua gejala di atas menjadi alasan untuk menawarkan Islam sebagai solusi, tak terkecuali dalam soal keamanan. Terjadinya konflik-konflik komunal dan tersebarnya patologi-patologi sosial dirasakan mengancam eksistensi masyarakat Muslim Indonesia yang merupakan mayoritas. Dengan alasan inilah mereka memobilisasi diri ke dalam bentuk organisasi milisia, tampil mengambil alih 'tugas' negara. Kekerasan tadinya hanya sah jika digunakan oleh negara demi melindungi warga masyarakatnya dari berbagai ancaman. Namun bagi kaum militan Islamis, kegagalan negara melindungi warga masyarakat dari dampak krisis-krisis di atas mendeligitimasi keabsahaannya memonopoli penggunaan kekerasan tersebut. Usaha kaum militan Islamis yang tergabung dalam kelompok-kelompok milisia ini untuk menswastanisasi kekerasan atas nama agama berkorelasi dengan penolakan mereka terhadap demokrasi. Mereka umumnya berkeyakinan bahwa diterimanya demokrasi merupakan penyebab utama krisis menyeluruh yang menimpa bangsa Indonesia. Bagi mereka, semua kekuasaan hanyalah milik Allah sebagai penguasa tunggal yang harus dipatuhi semua makhluk. Konsekuensinya, umat Islam dilarang mematuhi kehendak mayoritas rakyat karena sebagian besar dari mereka berada dalam kesesatan. Dalam pandangan mereka, demokrasi merupakan suatu cara pemerintahan yang prinsip-prinsipnya bertentangan dengan Islam. Demokrasi dianggap sebagai ajaran sekuler yang potensial menimbulkan kerusuhan dan kerusakan bagi umat Islam. Di balik penolakan terhadap demokrasi tersimpan gagasan tentang negara Islam yang dibayangkan sebagai suatu sistem di mana legitimasi penguasa didasarkan hanya pada kekuasaan mutlak Allah, atau
31
FOKUS MILISIA ISLAMIS
dengan kata lain, berdasarkan pada prinsip syariah. Penolakan kaum militan Islamis terhadap demokrasi sebagaimana terlihat dari wacana di atas sebenarnya lebih merupakan respons terhadap kekhawatiran mereka yang meningkat akan kembalinya sistem politik yang represif dan menindas. Ingatan mereka kembali ke masa-masa kejayaan rezim Suharto yang dengan mudah melabel kelompok-kelompok penentangnya dengan label ”ekstrem kiri” atau ”ekstrem kanan” atas nama penegakan demokrasi Pancasila. Demokrasi yang merupakan sistem pemerintahan sekuler dipandang terlalu mudah dimanipulasi oleh segelintir elite penguasa untuk kepentingan kekuasaan mereka. Otokrasi ditawarkan sebagai alternatif karena sifatnya yang sakral dan transendental. Dalam logika kaum militan Islamis, sakralitas dan transendensi semacam itu menutup kemungkinan manipulasi kekuasaan oleh elite penguasa. Dengan kata lain, campur tangan Tuhan diharapkan untuk membersihkan sistem kekuasaan politik sekuler yang manipulatif. Ambivalensi Negara dan HAM Akan tetapi, strategi diskursif kaum militan Islamis memperlihatkan paradoksnya yang nyata ketika mereka tampil menggelar aksi-aksi kekerasan atas nama agama. Jelas, tidak ada satupun alasan yang dapat membenarkan kelompok-kelompok itu memobilisasi para anggotanya untuk menggelar operasi jihad melawan kelompok Kristen di kawasan-kawasan konflik pasca-Suharto atau sekadar menggelar aksi-aksi razia terhadap sasaran-sasaran tertentu yang dianggap sebagai sarang kemaksiatan dan penyerangan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Aksi-aksi mereka yang jelas melabrak rambu-rambu kebebasan beragama telah kerap terjadi dan bahkan hingga kini masih terjadi. SETARA Institute mencatat bahwa aksi pelanggaran terhadap kebebasan beragama yang melibatkan kelompok-kelompok itu terus meningkat dari 135 pada tahun 2007 menjadi 286 pada tahun 2010, yang membuktikan kegagalan negara mengawal pluralisme.22 Belakangan, aksi kekerasan paling fenomenal yang melibatkan kelompok-kelompok milisia Islamis berlangsung terhadap para pengikut Ahmadiyah. Bekerjasama dengan organisasiorganisasi Islam garis keras lainnya, mereka menyerang masjid,
22. Lihat Setara Institute, “Grafik Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan 2007-2010,” http://www.setara-institute.org/content/grafik-laporan-pelanggaran-kebebasan-beragamaberkeyakinan-2007-2010.
32
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
sekolah dan perkampungan Ahmadiyah di berbagai kawasan Nusantara. Aksi-aksi itu tidak hanya mengganggu keterlibatan umum dan melanggar rambu-rambu HAM, tetapi juga telah melukai semangat kebhinekaan yang telah dibangun bersama. Dampak yang ditimbulkan oleh aksi-aksi kekerasan itu juga menggerus kohesi sosial masyarakat Indonesia dan bahkan mengancam keberlangsungan sistem sekuler NKRI. Menariknya, aksi-aksi anarkis tersebut dilakukan oleh kelompok milisia Islamis dengan berlindung di balik SKB tiga menteri No 5/2008 yang memaksa Ahmadiyah kembali kepada jalan Islam 'yang benar' atau berdiri sebagai agama tersendiri. Persoalan Ahmadiyah dalam produk kebijakan negara ini didudukkan ke dalam ranah penodaan agama (blasfemi) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No 5/1969. Kekerasan yang timbul karena masalah ini kemudian menjadi absurd. Menghadapi persoalan aksi-aksi kekerasan atas nama agama yang semakin meningkat ini, pemerintah memang terlihat masih gamang. Peran yang harus dimainkan negara sebagai pengawal kebinnekaan tampak terabaikan. Aparatus negara kehilangan pegangan di tengah hiruk-pikuk dan mobilisasi politik di era demokrasi elektoral yang menghidupkan simpul-simpul ikatan loyalitas tradisional. Konsekuensinya, respon-respon yang diberikan umumnya bersifat ad-hoc dan tambal-sulam. Setidaknya belum ada grand-strategy yang dirumuskan untuk menjawab persoalan meluasnya aksi-aksi kekerasan atas nama agama. Bagi SETARA Institute, meluasnya aksi-aksi kekerasan atas nama agama semacam ini bahkan sebenarnya disebabkan bukan saja kelalaian negara (by omission; tindakan membiarkan) tapi juga keterlibatan negara di dalam mendorong aksi-aksi itu (by commission; tindakan aktif negara), dengan mengeluarkan produkproduk hukum yang ambivalen, sebagaimana terlihat dalam kasus SKB 3 menteri yang disinggung di atas. Akar persoalan lainnya terletak dalam kegagalan negara melembagakan demokrasi secara substansial. Demokrasi secara teoretik dapat meredam potensi konflik-konflik keagamaan dan bernuansa primordial lainnya karena mengajarkan tentang partisipasi dan keterlibatan berimbang seluruh warga masyarakat dalam
33
FOKUS MILISIA ISLAMIS
penyelenggaran negara. Demokrasi umumnya didasarkan pada penegasan tentang hak-hak dan kewajiban semua warga Negara dalam kehidupan bersama sebagai satu kesatuan komunitas politik, sosial dan budaya.23 Namun dalam konteks politik yang berubah saat ini demokrasi dimaknai secara ambigu lebih sebagai kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat, termasuk menebar sentimensentimen permusuhan dan konflik di dalam masyarakat. Debat-debat rasional berwawasan yang mestinya membentuk opini publik yang sehat dan berguna bagi kehidupan bersama di ruang publik nasional tenggelam dalam ingar-bingar perebutan dan klaim ruang dan konsesi politik dari berbagai kelompok kepentingan. Pemerintah sendiri terkunci di antara retorika demokrasi dan kepentingan politik transaksional. Dalam konteks inilah demokrasi, sebagai sistem politik yang paling andal menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggungjawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, memperlihatkan paradoksnya yang nyata. Pilihan untuk menganut demokrasi sangatlah tepat karena demokrasi adalah sistem yang paling siap untuk menghadapi tantangan laju perubahan sosial dan globalisasi. Namun paradoks yang mungkin muncul dari demokrasi haruslah diminimalisir sedemikian rupa. Di sinilah arti penting setiap upaya memupuk dan menumbuh-kembangkan multikulturalisme sebagai platform bersama (common platform) dan sekaligus strategi mengawal keutuhan bangsa. Multikulturalisme pada hakikatnya merupakan mekanisme kerjasama dan reciprocity (timbal-balik) dengan mana setiap individu dan komponen masyarakat sanggup memberikan tempat, menenggang perbedaan dan bahkan membantu individu dan komponen lainnya yang ada di dalam masyarakat tersebut. Nilai-nilai toleransi, keterbukaan, inklusivitas, kerjasama dan perhormatan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan prinsip dasar multikulturalisme. Terkait dengan kerangka kewarganegaraan (framework of citizenship), multikulturalisme merupakan mekanisme yang terpenting bagi pendidikan demokrasi dan perlindungan hakhak minoritas. Ia mencegah adanya individu atau kelompok masyarakat yang merasa diri paling benar, dan dengan mengatasnamakan kebenaran, mengembangkan prilaku eksklusif yang mengabaikan hak-hak orang lain.24 Para tokoh pendiri bangsa telah memikirkan hal ini ketika 23. David Nugent, “Democracy Otherwise: Struggles over Popular Rule in the Northern Peruvian Andes”, dalam Julia Paley (ed.), Democracy: Anthropological Approaches (Santa Fe: SAR Press, 2008), hal. 21-62. 24. Lebih jauh tentang multikulturalisme dan kewarganegaraan, periksa Will Kymlicka, Multicultural Citizenship. A Liberal Theory of Minority Rights (Oxford: Oxford University Press, 1995).
34
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
mereka memutuskan Pancasila sebagai dasar negara. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” mengisyaratkan tidak saja jaminan negara terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan tapi juga netralitasnya terhadap semua agama dan keyakinan yang ada. Ekspresi keagamaan dan keyakinan seperti apapun mestinya mendapatkan ruang sepanjang tidak melanggar sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Keadaban merupakan kata kunci dan sekaligus platform bersama agar tidak ada ekspresi keagamaan yang melanggar serta mengancam hak-hak orang lain untuk meyakini dan mengekspresikan agamanya masing-masing. Ini berlaku sama baik bagi mayoritas maupun minoritas. Penataan keragaman keagamaan mestinya bisa dirumuskan dengan mengacu kepada prinsip-prinsip dasar Pancasila. Hal yang sangat mendasar ini tampak terabaikan di tengah eforia reformasi yang menuntut desakralisasi Pancasila. Memang Pancasila yang mestinya menjadi platform bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (civicness) telah diseret oleh Orde Baru menjadi instrumen peneguhan otoritarianisme. Ada semacam trauma sejarah yang lahir dari pengalaman politik ketika sila-sila Pancasila didendangkan sebagai alat penyeragaman dan kontrol sosial politik pemerintah. Posisi Pancasila sebagai platform bersama kehidupan berbangsa yang telah tergerus otoritarianisme Orde Baru semakin terpuruk dalam hiruk-pikuk semangat kebebasan yang menyertai gelombang demokratisasi pasca-Suharto. Sejatinya, demokrasi memerlukan bayangan sosial di mana etika publik yang menjunjung nalar dan pluralitas dapat memainkan peran vital bagi kehidupan bersama.25 Dengan bayangan sosial yang mampu menggerakkan seluruh impuls yang terdapat dalam wacana publik untuk lebur menjadi kekuatan yang dapat mendorong tumbuhnya civil society, aturan hukum dan prinsip kewarganegaraan dapat ditegakkan untuk menjamin legitimasi sistem demokrasi yang berkeadilan. Ciri penting legitimasi sistem ini adalah kapasitas sebuah masyarakat untuk mengakomodasi berbagai afiliasi budaya dan politik yang saling bersaing. Individu dan komunitas tidak direduksi menjadi entitas tunggal dengan penanda etnik, keagamaan, seksualitas, ideologi dan penanda-penanda sosial lainnya yang seragam. Pengakuan atas kebersamaan sipil (civic sharing) dan empati menjadi kunci untuk menjadikan beragam identitas itu tidak 25. Amyn B. Sajoo, “Citizenship and Its Discontents: Public Religion, Civic Identities,” dalam Bryan Turner (ed.), Religious Diversity and Civil Society, A Comparative Analysis (Oxford: Bardwell Press, 2008), hal. 27-47.
35
FOKUS MILISIA ISLAMIS
saling berbenturan, dan pada akhirnya menghancurkan kohesi sosial. Dalam konteks inilah posisi Pancasila perlu diperkukuh kembali sebagai platform bersama yang memastikan multikulturalisme bekerja efektif dalam kehidupan masyarakat. Tentu hal ini tidak dalam arti menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal atau slogan yang sila-silanya didengungkan setiap minggu dalam upacara bendera. Namun falsafah dan nilai-nilainya yang luhur diintegrasikan ke dalam denyut kehidupan seluruh warga negara melalui pendidikan maupun kegiatan politik, pemerintahan, budaya dan seterusnya. Selain yang tampak abstrak ini, pemerintah juga dapat mengefektifkan kerja alat-alat dan aparatus negara untuk menghukum siapa pun yang melanggar hukum dan HAM serta menebar kebencian dan permusuhan atas nama agama. Dalam sebuah negara demokratis, dilema tentu saja kerap muncul tentang bagaimana HAM seharusnya diposisikan secara ideal tanpa mengekang kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi secara mutlak disyaratkan demokrasi. Dengan prinsip ini sekelompok orang dapat berserikat mendirikan organisasi untuk mencapai tujuan bersama dan hal ini menjadi dasar utama berdirinya kelompokkelompok milisia Islamis. Namun perlindungan terhadap HAM juga inheren dalam demokrasi. Tanpa perlindungan terhadap HAM, demokrasi mustahil akan bisa tumbuh. Dalam konteks inilah, negara berkewajiban menundukkan semua kelompok-kelompok kemasyarakatan ke dalam prinsip-prinsip civicness dan HAM. Pelanggaran terhadap keduanya oleh kelompok apapun mestinya direspons oleh negara secara tepat. Meskipun, patut digarisbawahi, respons itu bukan harus dalam bentuk pembubaran. Yang terpenting adalah bagaimana negara menegakkan hukum (law enforcement) secara konsisten dan berkeadilan dan dengan alasan hukum bertindak secara proporsional terhadap kelompok manapun yang melanggar aturan-aturan yang disepakati bersama. Kesimpulan Kehadiran kelompok-kelompok milisia Islamis di arena politik Indonesia pasca-tumbangnya rezim Suharto menandai sejumlah kompleksitas dan paradoks dalam transisi demokrasi di Indonesia. Di satu sisi, terbukanya struktur kesempatan politik pada masa ini memungkinkan demokrasi tumbuh dengan subur. Berbagai bentuk
36
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
ekspresi dan kepentingan yang telah lama terbelenggu otoritarianisme rezim Suharto menemukan jalan untuk muncul ke permukaan dan mengklaim ruang (space) di dalam situasi politik yang berubah dengan cepat. Namun di sisi lain, ruang kebebasan yang terbuka pasca-tumbangnya rezim Suharto itu membuka kesempatan bagi munculnya kelompok-kelompok milisia Islamis yang aktif menggelar aksi-aksi kekerasan atas nama agama. Mereka bertekad mengambil alih sejumlah tugas negara, yang dianggap gagal melindungi umat Islam yang merupakan mayoritas bangsa Indonesia dari dampak krisis dan malapetaka yang menimpa Indonesia. Maraknya aksi-aksi kekerasan atas nama agama yang digelar kelompok-kelompok milisia Islamis berkorelasi dengan penolakan mereka terhadap demokrasi. Bagi mereka, cacat utama demokrasi terletak dalam prinsipnya yang mengabaikan kekuasaan mutlak Allah untuk mengatur kehidupan umat manusia. Demokrasi yang merupakan sistem pemerintahan sekuler dipandang terlalu mudah dimanipulasi oleh segelintir elite penguasa untuk kepentingan kekuasaan mereka. Otokrasi, karena itu, ditawarkan sebagai alternatif karena sifatnya yang sakral dan transendental. Dalam logika kaum militan Islamis, sakralitas dan transendensi semacam itu menutup kemungkinan manipulasi kekuasaan oleh elite penguasa. Di dalam penolakan mereka terhadap demokrasi sebenarnya tersimpan protes atas penyelewengan kekuasaan oleh elite penguasa atas nama sistem dan suara rakyat yang dimanipulasi. Dilema menghadang negara untuk melihat apakah keberadaan kelompok-kelompok milisia Islamis harus dijamin demi alasan kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat di dalam wadah negara demokratis? Atau negara dapat membubarkannya demi menjamin ditegakkannya prinsip-prinsip HAM dan melindungi masyarakat dari aksi-aksi kekerasan yang mereka tebarkan? Namun hal yang tampak dilematis ini bisa juga dipandang sederhana jika negara kembali kepada prinsip dasar sebagai penjamin terlaksananya hak-hak dan kewajiban seluruh warga masyarakatnya secara berimbang. Hak berserikat dan menyatakan pendapat sekelompok warga negara tidak meniadakan kewajiban mereka memberi ruang kepada yang lain untuk melakukan hal yang sama. Hal ini menjadi sangat penting dalam konteks kehidupan keagamaan karena agama berada di
37
FOKUS MILISIA ISLAMIS
titik silang pergulatan antara negara, masyarakat dan kekuatankekuatan politik. Peran negara untuk mengawal multikulturalisme menjadi mutlak di sini. Individu atau sekelompok orang berebut mengklaim hak untuk mengeksploitasi simbol-simbol dan wacana agama dan menetapkan batas-batas demi mendukung klaim masingmasing. Potensi pelanggaran HAM menjadi amat besar jika negara gagal memastikan fungsinya sebagai pengawal multikulturalisme tersebut.
38
Kekerasan Aparat, Mengapa Masih Terjadi? Ikrar Nusa Bhakti
Abstraksi Meski Indonesia sudah lepas dari periode otoritarianisme namun bukan berarti kekerasan oleh aparatus tak pernah terjadi. Beberapa kasus kekerasan pasca Orde Baru masih menempatkan aparat sebagai pelaku utamanya. Tulisan ini hendak mempresentasikan deskripsi sejumlah faktor yang menjadi penyebab mengapa kekerasan oleh aparat masih berlangsung hingga hari ini.
Reformasi Sektor Keamanan yang telah berlangsung di Indonesia sejak pertengahan 1998, telah banyak membawa perubahan pada institusi-institusi yang terkait dengan keamanan negara, khususnya terkait dengan pengaturan baru melalui pembentukan berbagai undang-undang baru dan juga peraturan di bawahnya. Reformasi yang berlangsung di Tentara Nasional Indonesia (TNI) misalnya, telah memungkinkan lahirnya UU yang terkait dengan TNI, seperti UU No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No. 34 tahun 2004 mengenai Tentara Nasional Indonesia. TNI secara lambat tapi pasti juga sudah mengubah jati dirinya dari yang dulu dikenal sebagai tentara politik (political army) dan tentara niaga (business army) menjadi tentara profesional (professional army). Setali dengan TNI, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) juga telah memiliki UU baru. UU tersebut yaitu UU No.2 tahun 2002 mengenai Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam praktiknya, Polri tercatat terus berupaya memperbaiki kinerjanya melalui capaian-capaian cepat yang ingin dicapai melalui program Quick Wins, seperti dalam menangani urusan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Pokok Kendaraan Bermotor (BPKB). Tak hanya dalam pelayanan kepada masyarakat, Polri juga memperoleh apresiasi tinggi dalam menangani terorisme di Indonesia.
39
FOKUS KEKERASAN APARAT
Satu-satunya institusi bagian dari keamanan yang hingga kini masih belum memiliki UU sendiri ialah Intelijen Negara. Hingga kini rancangan UU mengenai Intelijen Negara hasil dari inisiatif DPR-RI, proses legislasinya masih berlangsung di DPR-RI. Kalangan masyarakat sipil juga masih terus memberi masukan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh aparat intelijen negara. Di mata banyak kalangan masyarakat sipil, RUU Intelijen ini masih banyak kelemahannya. Keinginan pihak pemerintah untuk memberikan institusi intelijen negara hak untuk menyadap, menangkap dan menahan juga masih dikritik tajam oleh kalangan masyarakat sipil karena akan menimbulkan tindakan melanggar hak asasi manusia (HAM) oleh intelijen terhadap masyarakat. Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN) yang memiliki otoritas sebagai lembaga koordinasi sekaligus menjalankan tugas intelijen di dalam dan luar negeri, juga dikritik akan menjadikan LKIN sebagai lembaga super yang memiliki wewenang luas seperti Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) pada masa Orde Baru. Lepas dari sudah adanya berbagai aturan perundang-undangan yang mengatur institusi-institusi keamanan negara tersebut, satu hal yang paling sulit dihilangkan dari tingkah laku aparat keamanan negara ialah budaya kekerasan. Ini tidak terbatas dilakukan oleh ketiga institusi tersebut, melainkan juga dilakukan, misalnya, oleh aparat pemerintah daerah yang bernama Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP). Tulisan singkat ini berupaya menggambarkan dan mengurai beberapa kasus kekerasan oleh aparat dan mengapa hal itu masih terjadi. Tulisan ini diawali dengan penggambaran mengenai Negara, Pemerintah, dan Kekuasaan Negara. Penggambaran ini penting agar kita dapat memahami hak dan tanggung jawab negara serta kekuasaan serta otoritas yang dimilikinya. Bagian berikut yang ingin digambarkan ialah berbagai tindak kekerasan oleh aparat yang masih terus terjadi di negeri yang kita cintai ini, Indonesia. Ini dilanjutkan dengan uraian mengapa tindak kekerasan oleh aparat negara masih terus berlangsung di bumi Indonesia. Negara, Pemerintah, dan Kekuasaan Negara Jika kita mendefinisikan secara sederhana, Negara adalah institusi politik yang memiliki kedaulatan tertinggi, yakni sebuah institusi
40
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
politik yang memiliki tanggung jawab penuh untuk mengatur masalah-masalahnya sendiri.1 Pemerintah adalah sekelompok orang di dalam negara yang memiliki otoritas penuh untuk bertindak atas nama negara. Mereka adalah kelompok yang unik di dalam negara; mereka, dan hanya mereka, yang memiliki hak untuk membuat keputusan-keputusan yang semua orang di dalam negara memiliki tugas untuk menerima dan mematuhinya.2 Pemerintah yang bertindak atas nama negara, memiliki kekuasaan. Kekuasaan dalam hal ini didefinisikan sebagai “kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi orang atau kelompok lain untuk bertindak sesuai dengan yang pihak pertama inginkan, dengan berbagai cara.” Kekuasaan dapat dijalankan dengan berbagai cara: pertama, coercion atau paksaan, yaitu bila kita memaksa seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan sesuatu yang orang atau kelompok itu tidak ingin melakukannya; kedua, persuasion atau bujukan, ketika kita meyakinkan seseorang/kelompok bahwa apa yang kita instruksikan itu sesuai dengan keinginan atau kepentingannya; ketiga, construction of incentives atau membangun insentif-insentif yaitu ketika kita membuat alternatif menjadi tidak atraktif dan hanya satu opsi yang paling masuk akal yang tersisa dan menjadi pilihannya.3 Kemampuan orang atau kelompok untuk menjalankan kekuasaannya didasari oleh basis kekuasaan yang dimilikinya seperti money, affection, physical strength, legal status (the power of a police officer to direct traffic, for instance), the possession of important information, a winning smile, strong allies, determination, desperation, dsb.4 Kekuasaan negara terbagi dalam tiga bidang: pertama, range of power atau jangkauan kekuasaan; kedua, domain of power atau domain kekuasaan negara, dan; ketiga, scope of power, atau lingkup kekuasaan negara. Jangkauan, lingkup dan domain kekuasaan negara ini akan memudar di daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaan negara, atau terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang memiliki pengaruh kuat di dalam negara seperti pejabat atau kelompok yang digunakan oleh negara untuk bertindak atas nama kepentingan negara, apakah kelompok ini kelompok resmi yang ataupun tidak resmi. Dalam situasi normal, yakni situasi di mana rakyat atau 1. W. Phillips Shively, Power and Choice. An Introduction to Political Science. New York: McGraw-Hill, Third Edition, 1993, hlm. 31. 2. Ibid., hlm. 29. 3. Ibid., hlm. 6. 4. Ibid., hlm 6.
41
FOKUS KEKERASAN APARAT
masyarakat menerima legitimasi negara secara penuh, kekuasaan negara tidak memerlukan tindakan paksaan, bujukan atau pun konstruksi insentif-insentif, karena sudah ada persetujuan umum bahwa pemerintah berhak membuat aturan dan rakyat harus mematuhi aturan yang dibuat pemerintah. Namun, dalam situasi tertentu, negara perlu membujuk rakyat untuk melakukan sesuatu seperti “jika anda tidak ingin pergi ke dokter, makanlah sebuah apel setiap hari,” atau “jika ingin membangun keluarga yang sejahtera, dua anak cukup.” Dalam keadaan lain, pemerintah atau aparatnya dapat melakukan tindak kekerasan jika masyarakat tidak mematuhi aturan yang dibuatnya. Namun, penggunaan kekerasan ini adalah cara terakhir jika cara bujukan atau konstruksi insentif-insentif tidak mampu membuat rakyat menerima atau mematuhi aturan yang dibuat pemerintah. Jika alasan-alasannya amat kuat, aparat pemerintah dapat melakukan tindakan yang dikategorikan “necessary evil”, yaitu tindak kekerasan yang memang diperlukan untuk diambil tindakan agar tercipta situasi damai atau stabil. Kekerasan Aparat Berbagai pertanyaan yang perlu diajukan sebelum aparat melakukan tindakan kekerasan ialah: pertama, apakah berbagai langkah persuasif, komunikatif, dan pemberian insentif sudah dilakukan terlebih dahulu sebelum tindakan kekerasan oleh aparat benar-benar perlu dilakukan?; kedua, apa motif dari masyarakat sehingga mereka tidak mematuhi aturan yang dibuat pemerintah?; ketiga, sudahkah pemerintah melakukan distribusi yang adil kepada rakyatnya seperti distribusi kekayaan, distribusi kekuasaan, distribusi penghargaan, sehingga rakyat benar-benar merasakan keadilan yang dilakukan negara kepada rakyatnya?; keempat, sudahkah rakyat diberikan informasi yang akurat, masuk akal dan menyeluruh sehingga tindakan melawan aparat dipandang sebagai sesuatu anomali dalam penerimaan kekuasaan negara oleh rakyatnya? Kita melihat bahwa berbagai pertanyaan tersebut tampaknya belum terjawab secara baik sehingga rakyat tidak memiliki pilihan lain selain melawan tindakan aparat. Sebaliknya, aparat di lapangan juga belum melakukan berbagai tindakan lain dalam menerapkan kekuasaan negara, sebelum tindak kekerasan itu dilakukan.
42
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
Contoh yang paling konkret ialah tindakan aparat dalam menghadapi tantangan terhadap negara yang berasal dari dalam negara atau dalam konsep politik disebut sebagai tantangan dari bawah (challenges from below) seperti gerakan-gerakan pemisahan diri (separatism) atau penarikan diri (secessionism). Gerakan semacam itu biasanya terjadi di wilayah negara yang jauh dari pusat kekuasaan, kaya akan sumber daya alam, terdapatnya nasionalisme etnik yang kuat, terjadinya marginalisasi masyarakat serta kurangnya distribusi kekuasaan, kekayaan dan penghormatan yang adil oleh negara kepada rakyat di wilayah itu. Gerakan separatisme atau penarikan diri bisa berbentuk gerakan sporadis militer seperti yang dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di masa lalu, atau gerakan politik seperti yang dilakukan berbagai kelompok masyarakat Papua yang menyuarakan kemerdekaan Papua baik di dalam maupun luar negeri. Gerakan mereka bisa saja merupakan tindakan murni untuk merdeka, tapi bisa juga sebagai pengungkapan rasa ketidakadilan yang dilakukan negara kepada rakyat. Sebelum era reformasi bergulir, sebagian rakyat di Aceh dan Papua menentang kekuasaan negara melalui tindakan sporadis militer. Namun, sejak era reformasi gerakan mereka lebih banyak dilakukan melalui cara-cara politik, termasuk, tetapi tidak terbatas pada diplomasi internasional agar nasib rakyat Aceh dan Papua diperhatikan. Persoalan Aceh dapat diselesaikan dengan amat baik melalui Persetujuan Helsinki pada 15 Agustus 2005 setelah melalui perundingan-perundingan yang alot antara pemerintah Indonesia dan GAM yang difasilitasi mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari. Persoalan Papua sampai saat ini masih belum dituntaskan dan masih saja ada insiden kekerasan di bumi Cendrawasih (Papua). Dalam kasus Papua, pemerintah Indonesia sejak era reformasi menerapkan dua cara, yaitu politik akomodatif, seperti yang dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan mengganti nama provinsi dari Irian Jaya menjadi Papua pada 1 Januari 2000 dan membantu serta membolehkan dilaksanakannya Kongres Rakyat Papua II di Jayapura pada tahun yang sama. Cara kedua ialah politik kekerasan yang terus terjadi seperti pembunuhan tokoh Presidium Dewan Papua, Theys Hiyo Eluay, oleh aparat Kopassus pada dini hari
43
FOKUS KEKERASAN APARAT
11 November 2001 setelah yang bersangkutan menghadiri acara peringatan Hari Pahlawan 10 November 2001 di markas Kopassus di Polimak, Jayapura, Papua. Kekerasan aparat Brimob terhadap kalangan mahasiswa Universitas Cendrawasih yang berasal dari Pegunungan Tengah juga kerap terjadi. Terbunuhnya Kelly Kwalik pada dini hari 16 Desember 2009 di Timika oleh aparat gabungan Brimob dan Detasemen Khusus 88 juga merupakan fenomena kekerasan yang terjadi di Papua. Pertanyaan yang muncul ialah apakah benar Kelly Kwalik, tokoh OPM yang sering melakukan aktivitas sporadik militer di wilayah Pegunungan Tengah, melakukan perlawanan terhadap aparat dan akan melarikan diri saat ditangkap, sehingga perlu dibunuh? Ini mirip dengan alasan yang dilakukan oleh aparat Kopassus untuk membunuh kurator Museum Antropologi, Arnold Ap, pada 1984 yang kemudian menjadi salah satu pemicu gelombang 10.000 pelintas batas dari Irian Jaya ke Papua Niugini antara 1984-1985. Pelanggaran HAM atau kekerasan aparat di tanah Papua, baik yang dilakukan oleh oknum polisi atau pun TNI masih terus berlangsung. Seperti yang diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, setidaknya ada 290 kasus penyiksaan oleh aparat militer dan polisi di Papua pada kurun waktu 1997-2007. Hingga saat ini laporan itu tidak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah. Selain itu ada juga penyiksaan yang diduga dilakukan aparat Brimob terhadap Yawan Wayeni dan penyiksaan oleh aparat TNI-AD di Puncak Jaya pada 2010.5 Sebelumnya, Jaringan Pembela HAM Peduli Papua juga mengutuk penggunaan stigma separatis/OPM sebagai justifikasi Kekerasan Aparat Negara di Papua.6 Video mengenai kekerasan oknum TNI-AD di Puncak Jaya pada 2010 yang beredar melalui YouTube, sempat menimbulkan kritik internasional terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tanggapan pemerintah melalui Menkopolhukam Joko Suyanto sangat positif, yaitu langsung mengadili mereka yang melakukan tindak kekerasan tersebut. Namun, ternyata pengadilan tersebut masih dirasa kurang adil karena tidak berlangsung secara fair dan hanya ditujukan untuk konsumsi luar negeri agar kecaman asing terhadap pemerintah berkurang dan tidak menyelesaikan masalah. Kekerasan oleh aparat memang bukan monopoli dilakukan 5. “290 Kekerasan Aparat di Papua Dibiarkan,” Kompas.com, http:nasional.kompas.com/read/2010/10/22/23475895. Kekerasan.Aparat.di.Papua.Di…, diunduh pada 31/3/2010. 6. Vogelkoppapua.org/%3Fpage%3Dpress_rel…, diunduh 31 Maret 2010.
44
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
terhadap para aktivis gerakan kemerdekaan di tanah Papua saja, namun masih berlangsung melewati sekat-sekat geografis Papua. Aparat terekam masih kerap melakukan tindakan anarkisnya ketika menangani proses penanganan kasus-kasus pidana. Hasil riset Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, misalnya, mencatat Indeks Penyiksaan pada tahun 2010 terhadap 100 responden tahanan dan narapidana menunjukkan bahwa praktek kekerasan masih terjadi baik saat penangkapan, pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP), penahanan maupun saat menjalani hukuman. Saat pemeriksaan, aparat hukum tidak jarang menggunakan cara-cara penekanan psikologis agar tersangka mengakui perbuatannya. Ini tentunya tidak akan mendapatkan kebenaran yang substansial. Padahal, dalam setiap pemeriksaan mensyaratkan adanya proses pemeriksaan tersangka atau pun saksi dilakukan secara bebas, bukan dalam keadaan stres, tertekan, apalagi terancam. Kekerasan yang dilakukan aparat penegak hukum terbanyak adalah kekerasan fisik saat terjadinya penangkapan, yakni sebesar 72,9 persen. Disusul oleh pembentakan saat ditangkap, 67,7 persen, ditampar, 63,5 persen dan ditendang 60,4 persen.7 Kekerasan aparat terkait dengan persoalan tanah juga marak terjadi di Indonesia, seperti yang terjadi di Mamuju Utara, di mana aparat kepolisian lebih berpihak kepada para pemilik modal yang ingin mengambil alih tanah rakyat ketimbang memihak kepada petani miskin. Bahkan terjadi pula salah tembak oleh aparat kepolisian pada kasus di daerah yang sama sebelumnya. Peristiwa tersebut memicu sejumlah organisasi mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Solidaritas Anti Kriminalisasi Petani melakukan demonstrasi di depan kantor Polda Sulselbar pada 17 Maret 2011.8 Kekerasan aparat bukan hanya dilakukan oleh aparat TNI dan Kepolisian Negara, melainkan juga oleh aparat Satpol PP, seperti yang mereka lakukan terhadap demonstran di Tanjung Priok yang ingin mempertahankan “Makam Mbah Priok” pada 2010, atau yang dilakukan terhadap Warga Cina Benteng di Tangerang pada 13 April 2010. Dalam kaitan ini aparat kepolisian tampaknya tidak berbuat banyak dalam mencegah kekerasan oleh aparat Satpol PP atau oleh massa terhadap aparat Satpol PP, seperti yang terjadi di Tanjung Priok, tidak menimbulkan korban jiwa. Satu hal yang patut dikritisi ialah kadangkala aparat 7. “Kekerasan Struktural oleh Aparat Negara Masih Banyak Terjadi,”Koran Suroboyo, www.Koransuroboyo.com/ 2010/12/kekeras..., diunduh 31 Maret 2011. 8. Muh. Arif, “Lagi, kekerasan aparat kepolisian terhadap masyarakat kecil,” cakrawala-ide.com., 18 Maret 2011.
45
FOKUS KEKERASAN APARAT
kepolisian membiarkan terjadinya kekerasan massa terhadap kelompok masyarakat seperti penyerangan terhadap kelompok jemaah Ahmadyah di Cikeusik, Banten, atau terhadap kelompok ummat Nasrani di Temanggung yang waktunya amat berdekatan pada pertengahan Februari 2011 lalu.9 Aparat seharusnya dapat menerapkan “necessary evil” terhadap kelompok yang ingin melakukan tindakan makar. Karena aksi mereka sudah mengarah pada ancaman menggulingkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jika pemerintah berani tegas membubarkan kelompok aliran agama yang secara paksa ingin membubarkan Ahmadyah. Namun, perhitungan politik jangka pendek menyebabkan pemerintah tidak berani melakukan tindakan apa pun terhadap kelompok tersebut. Jika ini terus berlanjut, bukan mustahil kedaulatan negara akan terancam. Mengapa Kekerasan Terus Terjadi? Banyak penyebab mengapa kekerasan aparat terus terjadi di era reformasi politik. Tindakan aparat seharusnya terukur dan tepat guna. Namun kenyataannya di lapangan tidak sedikit aparat keamanan yang masih melakukan tindak kekerasan. Bagi anggota TNI dan Polri yang bertugas di daerah seperti Papua, kekerasan masih terjadi karena daerah itu sangat jauh dari pusat kekuasaan sehingga mereka beranggapan bahwa kontrol pusat sangat lemah. Namun, di era komunikasi yang amat canggih ini mereka lupa bahwa apa yang terjadi di pelosok Papua sekali pun, dalam detik yang sama dapat tersiar di seantero bumi melalui alat komunikasi internet atau pun mobile phone. Saat saya dulu sering melakukan penelitian di tanah Papua, penyebab lain dari tindakan kekerasan aparat ialah mereka seakan sudah tidak lagi bisa membedakan antara rakyat Papua biasa dan aktivis kemerdekaan Papua. Di mata mereka, semua yang berkulit hitam dan berambut keriting adalah OPM dan musuh negara. Anggapan salah ini belum sirna hingga saat ini. Alasan lain, Papua, khususnya daerah perbatasan dan pedalaman yang sulit transportasinya, merupakan “neraka” bagi aparat keamanan. Karena itu ada anggapan di sebagian anggota TNI maupun Polri bahwa gara-gara adanya gerakan separatisme inilah makanya mereka ditempatkan di daerah itu. Tindakan kekerasan juga 9.“Pembiaran Kekerasan Oleh Aparat Ciri Negara Kriminal,” Investor Daily, www.investor.co.id/home/ pembiaran..., diunduh pada 31 Maret 2011.
46
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
didasari oleh alasan bahwa apabila mereka melakukan kekerasan terhadap rakyat, mereka pasti akan dipindahkan dari wilayah itu. Anggapan ini belum tentu benar karena sejak 1980an akhir, aparat TNI yang melakukan kesalahan bukan saja mendapatkan ganjaran hukuman individual, melainkan grup pasukannya juga terkena hukuman dalam bentuk penambahan waktu tugas dari yang biasanya 6 bulan menjadi 9 bulan. Rotasi pasukan memang kadangkala terkendala oleh terbatasnya anggaran untuk menarik pasukan dari daerah pedalaman. Dalam kaitannya dengan aparat kepolisian atau Satpol PP, kekerasan terjadi karena mereka memiliki alat atau pun status sebagai aparat keamanan yang boleh menggunakan kekerasan. Mereka lupa bahwa penggunaan kekerasan merupakan cara terakhir apabila pendekatan persuasif atau pun pemberian insentif gagal. Anak-anak muda yang berstatus aparat keamanan, diberi alat pemukul atau senjata, memudahkan mereka untuk berlagak jagoan dalam menghadapi masyarakat. Lepas dari berbagai alasan di atas, kekerasan oleh aparat yang tidak didasari oleh alasan kuat untuk menggunakan cara tersebut, merupakan, meminjam istilah Yudhi Latif, ciri negara kriminal. Apakah kita tidak bisa membentuk aparat yang benar-benar santun tapi tegas dalam melakukan tugas-tugas mereka sebagai bhayangkari negara? Tanpa penegakan hukum yang tegas, kekerasan aparat akan terus berlangsung.
47
RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara:
Dilema Legislasi dan Kebutuhan Pertahanan Mufti Makaarim A.
Abstraksi Rencana Pemerintah mendesakkan RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara menuai pro-kontra. Pendukung RUU ini mengajukan argumentasi normatif bahwa RUU ini merupakan amanat UUD 1945, UU Pertahanan Negara, dan UU TNI. Sedangkan kalangan kontra mengajukan argumentasi politis belum tuntasnya reformasi TNI dan argumentasi sosiologis dampak sosial mobilisasi sipil melalui komponen cadangan (Komcad). RUU ini akhirnya tidak terselesaikan oleh DPR periode 2004-2009. Pada 2010, terdengar kabar Pemerintah dan DPR periode 2009-2014 menyetujui pembahasannya kembali. Tulisan ini mendeskripisikan substansi RUU, penyelenggaraan Komcad di beberapa negara sebagai pembanding, serta catatan kritis atas isi RUU KCPN.
Pendahuluan Komponen Cadangan (Komcad) adalah pasukan cadangan militer, terdiri dari warga sipil yang mendapat pendidikan militer dasar, dipersiapkan untuk mendukung militer sebagai komponen utama pada masa darurat perang. Di masa damai, setelah mendapat pelatihan militer dasar atau selesai masa perang, Komcad kembali menjadi warga sipil biasa. Pengembangan Komcad di beberapa negara berpengaruh pada anggaran dan komposisi militer di masa damai. Karena aktivitas Komcad ini membutuhkan mobilisasi penduduk yang tidak sedikit dan waktu yang juga tidak singkat. Selain Komcad, beberapa negara juga mengembangkan program wajib militer (wamil), yaitu pelibatan sipil dalam dinas kemiliteran untuk jangka waktu tertentu, dimana wamil terlibat dalam kegiatan militer secara penuh sebagaimana anggota militer aktif.
49
FOKUS RUU Komponen Cadangan
Istilah cadangan atau reserve dapat diinterpretasikan sempit maupun luas. Amerika Serikat (AS) dan Inggris menggunakan istilah reserve untuk menyebut seluruh Komcad mereka, yang terbagi menjadi tentara reguler (regular forces) dan tentara cadangan (reserve forces). Perbedaan mendasarnya terletak pada ikatan dinas permanen bagi tentara reguler dan temporer bagi tentara cadangan. Kanada menggunakan istilah militia, sedangkan India dan Filipina menggunakan istilah paramilitary.1 Terkait RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara (KCPN) yang saat ini dibentuk, meskipun menggunakan istilah Komcad, namun kekhawatiran publik akan kemungkinan motivasi politik Pemerintah dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di balik pembentukannya memunculkan reaksi penolakan yang cukup serius dari beberapa kalangan, terutama karena ketidakjelasan konsepsi Komcad yang dianggap bertumpang tindih dengan ketentuan wamil. Di banyak negara, UU yang mengatur Komcad terfokus pada sumber daya manusia (SDM). Sementara RUU KCPN mengatur tentang penggunaan dan pengerahan sumber daya alam (SDA), sumber daya buatan (SDB), sarana dan prasarana nasional sebagai bagian dari komponen yang dibutuhkan militer menjadi Komcad. Penempatan benda-benda sebagai subjek hukum selain akan menyulitkan pengontrolan dan pengelolaannya, juga akan mengakibatkan celah penyimpangan, terutama terkait pemanfaatan yang sama sekali tidak berhubungan dengan kepentingan pertahanan oleh militer. Di Amerika Serikat, terdapat unit bernama Readiness, Training and Mobilization (RTM) yang bertugas memonitor kebijakan dan pemakaian Komcad.2 Legislasi Komcad: RUU Yang Silih Berganti Secara resmi Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan (Kemhan, dulu Departemen Pertahanan, Dephan) secara resmi mengusulkan pembahasan RUU Komponen Cadangan Pertahan Negara (RUU KCPN) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2004-2009. Direktur Jenderal (Dirjen) Potensi Pertahanan (Pothan) Dephan, Dr. Budi Susilo Soepandji menyatakan bahwa Komcad dan Komponen Pendukung merupakan sistem pertahanan negara, yang memperkuat TNI sebagai Komponen Utama. 1. http://www.propatria.or.id/download/Paper%20Diskusi/perbandingan_kcpn_bsh.pdf, diunduh tanggal 22 Februari 2011 2. Ibid
50
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
Komcad merupakan warga sipil yang mendapat latihan kemiliteran, agar memiliki pengetahuan dan kemampuan militer, berfungsi memperbesar dan memperkuat TNI di matra darat, laut dan udara. Komcad tetap merupakan warga sipil, yang akan kembali ke masyarakat setelah mengikuti pelatihan militer selama satu bulan, namun bisa dikerahkan untuk melakukan bela negara sebagai kombatan (tentara) dan dilindungi UU. Menurut Budi, Indonesia menganut sistem pertahanan rakyat semesta (sishanrata) yang dipersiapkan secara dini, termasuk dalam keadaan damai maupun perang. Karenanya pelatihan Komcad merupakan bagian dari penyiapan sistem pertahan secara total.3 Wacana Komcad sudah berlangsung sejak masa Menteri Pertahanan (Menhan) Matori Abdul Djalil. Menurut Matori, pertahanan negara merupakan usaha mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan. UUD 1945 baik dalam Pembukaan maupun pada batang tubuh mengamanatkan bentuk pertahanan negara yang bersifat semesta, yaitu melibatkan seluruh rakyat dan segenap sumberdaya nasional, sarana dan prasarana nasional, serta seluruh wilayah negara sebagai satu kesatuan pertahanan. UU No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang disahkan 8 Januari 2002, menyebutkan 3 komponen kekuatan pertahanan negara, yaitu Komponen Utama (TNI), Komcad dan Komponen Pendukung.4 Pada Maret 2003, Direktorat Pothan Kemhan mengeluarkan RUU KCPN untuk pertama kali, yang merujuk pada UUD 1945 dan UU No. 3 tahun 2002.5 RUU yang terdiri dari 9 Bab dan 55 Pasal tersebut menyatakan bahwa tujuan Komcad adalah memperbesar dan memperkuat kekuatan TNI sebagai Komponen Utama; berunsurkan warga negara, sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sarana dan prasarana nasional. Dalam draf ini pula dinyatakan bahwa Komcad diberlakukan kepada setiap warga negara berusia 18-48 tahun yang mendapat pelatihan militer, mantan prajurit TNI dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri); yang dapat diwajibkan berdinas aktif sekurang-kurangnya 5 tahun, atau nonaktif (kembali ke masyarakat), namun sewaktu-waktu wajib memenuhi panggilan dinas aktif sesuai kebutuhan negara. RUU juga 3. Tim Imparsial, Reformasi di Persimpangan; Rancangan Komponen Cadangan Pertahanan Negara, Jakarta, 2008, hal. 79-81 4. Lihat http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=808 dan http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2003/03/26/brk,20030326-37,id.html, diunduh 20 Februari 2011 5. Termasuk merujuk UU No23 PRP Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, yang pada tahun 1999-2000 mendapat reaksi keras dari publik ketika akan direvisi di DPR.
51
FOKUS RUU Komponen Cadangan
mengatur penggunaan Komcad oleh Panglima TNI. Komcad dapat ditugaskan di masa damai, keadaan darurat sipil, darurat militer dan masa perang; mengatur sanksi pidana bagi seseorang yang tanpa alasan sah dengan sengaja dan melawan hukum tidak memenuhi kewajiban sebagai Komcad, menyuruh atau membuat diri atau orang lain tidak cakap menjadi Komcad, anggota Komcad yang tidak melaksanakan dinas aktif atau meninggalkan tugas; serta mengatur pembiayaan Komcad dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) serta Departemen atau Instansi terkait.6 RUU ini mendapat kritik dan catatan dari masyarakat sipil, di antaranya adalah kelompok kerja Propatria. Menurut Propatria, perkembangan lingkungan strategis dan internasional telah melahirkan pergeseran definisi atau interpretasi tentang bentuk dan sifat ancaman terhadap wilayah, kedaulatan, dan populasi, termasuk konsep wilayah, kedaulatan, dan populasi. Kekuatan militer yang dianggap sebagai unsur pokok kemampuan nasional mempertahankan diri dari ancaman berhadapan dengan tantangan keberlanjutan (sustainability) dan keterbatasan sumberdaya nasional, terutama jika dihadapkan dengan prioritas kebijakan nasional lainnya. Pilihan pengembangan kekuatan cadangan (reserve force) yang intinya adalah alokasi dan penggunaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan bisa menjadi pilihan terutama dalam situasi kontinjensi, namun harus disertai dengan penjelasan terkait kapan, dalam situasi seperti apa, seberapa besar, tujuan, dan implikasi dibentuknya Komcad.7 Propatria juga menegaskan bahwa Komcad baru bisa dibentuk jika perencanaan pertahanan yang memuat analisa ancaman, kebutuhan pertahanan untuk mengatasi ancaman, ketersediaan sumber daya dan dampaknya terhadap postur militer sudah diketahui dan disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara. Jika proses ini belum berjalan, maka keberadaan UU KCPN pada saat ini menjadi kurang signifikan. Menurut Propatria, UU KCPN penting, namun harus merujuk kepada UU Keamanan Nasional dan UU TNI yang belum ada (saat itu, UU TNI baru ada Oktober 2004). Meskipun UU No. 3 tahun 2002 menyatakan bahwa pembentukan Komcad harus diatur UU, tidak serta merta dapat diartikan Komcad harus dibentuk segera sekarang. 6. Direktorat Jenderal Departemen Pertahanan, Konsep Rancangan Undang-undang Tentang Komponen Cadangan Pertahanan Negara, Maret 2003 7. http://www.propatria.or.id/loaddown/Kajian%20Kritis/Kajian%20Kritis%20Terhadap%20RUU%20 Komponen %20Cadangan%20Pertahanan%20Negara%20%5BApril%202003%5D.pdf, diunduh pada 20 Februari 2011
52
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
Pemerintah juga harus menjawab kekhawatiran masyarakat terkait kepentingan TNI, militerisasi sipil, penguasaan sumber daya alam dan sumber daya buatan oleh militer, serta kepentingan menjadikan UU ini sebagai alat legitimasi atas penyimpangan sudah berlangsung.8 RUU ini kemudian tidak dibahas dan disahkan sampai dengan berahirnya masa bakti DPR periode 1999-2004, dimana DPR memprioritaskan pembahasan RUU TNI yang kemudian disahkan menjadi UU No. 34Tahun 2004 tentang TNI. Pada Agustus 2005, Pemerintah melalui Dephan kembali mengajukan RUU KCPN yang terdiri dari 9 Bab 50 Pasal, yang mengalami sedikit perubahan dari versi tahun 2003, berupa pengurangan dan penambahan. RUU menambahkan UU No. 34 tahun 2004 sebagai rujukan. RUU kedua ini mengalami perubahan batasan usia menjadi 18-45 tahun; memasukkan kriteria seseorang yang sukarela mendaftar dapat diangkat menjadi Komcad. RUU kedua juga menghapus kewenangan Menteri melakukan pembuatan ketentuan pengerahan. Kewenangan pengangkatan Komisi Pengerahan Komcad berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) diganti dengan Peraturan Presiden (Perpres); Pelaksanaan pendayagunaan sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sarana dan prasarana berdasarkan Kepmen diganti dengan Peraturan Pemerintah (PP); Penggantian kewenangan penggunaan Komcad oleh Panglima TNI ke Presiden dengan persetujuan DPR; pembatasan pengerahan hanya di waktu perang; pengerahan Komcad berdasarkan perhitungan ketidakmampuan TNI menghadapi ancaman militer; penetapan kekuatan Komcad yang digunakan dilakukan oleh Menteri dan selanjutnya diserahkan kepada Panglima TNI untuk dioperasionalisasikan; serta, penghapusan penambahan 1/3 sanksi pidana atas pelanggaran masa masa darurat militer atau darurat perang.9 Sebagaimana RUU KCPN versi tahun 2003, prinsip kritik dan catatan masyarakat sipil tetap sama, mengingat perubahan yang diberlakukan tidak menjawab tuntutan dan keberatan prinsipiil masyarakat. Pada 9 Oktober 2006, Pemerintah kembali menerbitkan draft versi ketiga RUU KCPN. Draf ini lebih ringkas dengan 8 Bab 43 Pasal. RUU ini menghapus atau meredefinisi ketentuan umum 8. Ibid 9. Departemen Pertahanan, Rancangan Udang-undang Republik Indonesia No .. Tahun .. Tentang Komponen Cadangan Pertahanan Negara, Agustus 2005
53
FOKUS RUU Komponen Cadangan
tentang sistem pertahanan negara, penyelenggaraan pertahanan negara, komponen utama, komponen pendukung, sumberdaya nasional, nilai-nilai, teknologi, masa bakti, DPR, Angkatan, kombatan dan non kombatan; pembatasan penggunaan Komcad untuk latihan dan mobilisasi; penegasan Komcad yang dipersiapkan pada masa damai sebagai potensi pertahanan. Jika dalam draf kedua Komcad meliputi usia 18-45 tahun, draf ketiga ini usia minimum Komcad 18 tahun, tanpa usia maksimum. Revisi persyaratan Komcad menjadi berdasarkan kriteria persyaratan umum; persyaratan kompetensi dan latihan dasar kemiliteran. Keputusan pembentukan Panitia Pengerahan kembali berdasarkan Kepmen. RUU versi ketiga juga memuat penghapusan persetujuan DPR dalam kewenangan penggunaan Komcad; pendanaan yang hanya dibiayai APBN; pengurangan sanksi pidana selama-lamanya 2 tahun menjadi 1 tahun bagi mereka yang diwajibkan menjadi Komcad namun tidak memenuhi panggilan; pidana selama-lamanya 6 bulan bagi warga sipil yang secara sukarela mengajukan diri menjadi Komcad namun menolak panggilan; perubahan pidana dari selama-lamanya 1 tahun menjadi 2 tahun bagi orang yang mempengaruhi atau melakukan tindakan yang menggagalkan seseorang untuk memenuhi panggilan atau tidak memenuhi syarat menjadi Komcad, disertai penambahan 1/3 sanksi bila dilakukan karena jabatan dan kedudukan; serta penghapusan sanksi pidana bagi penyelenggara yang dengan sengaja atau lalai melakukan panggilan Komcad, yang semula bisa dipidana selama-lamanya 3 tahun.10 RUU Versi 2006 ini memberikan 'penguatan' terhadap kewenangan negara, terutama dalam melakukan rekrutmen dan pemberian sanksi pidana. Sejak terbitnya RUU versi 2006, gerakan untuk menolak RUU KCPN makin menguat, yang dipengaruhi dinamika politik pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dianggap berkepentingan memperkuat kembali dominasi militer dan mengembalikan militerisme melalui UU KCPN. Sebagaimana kritik terdahulu, kebutuhan RUU KCPN seharusnya didasarkan pada: 1). analisis ancaman; 2). analisis sistem pertahanan yang dibutuhkan; dan 3). kemampuan keuangan negara. Tanpa adanya dasar di atas, Komcad hanya menjadi program yang tidak efektif, tidak tepat sasaran, menimbulkan masalah baru, serta 10. Departemen Pertahanan, Rancangan Undang-undang Republik Indonesia No .. Tahun .. Tentang Komponen Cadangan Pertahanan Negara, Oktober 2006
54
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
menimbulkan kecurigaan publik terkait motivasi pemerintah yang didukung TNI begitu ngotot mengajukan RUU ini untuk segera disahkan DPR.11 Pada Desember 2008 Kemhan kembali mengajukan RUU KCPN versi lain dengan 8 Bab 44 Pasal. Perubahan yang tampak dari RUU versi sebelumnya antara lain: sanksi pidana selama-lamanya 6 bulan bagi pimpinan instansi, pimpinan perusahaan atau pimpinan badan swasta atau pimpinan lembaga pendidikan yang tidak memberi kesempatan kepada pegawai, pekerja dan/atau buruh atau peserta didik untuk mengikuti dinas atau penugasan sebagai Komcad tanpa alasan yang sah; dan sanksi pidana jika tidak memberi hak-hak anggota Komcad yang mengikuti dinas atau penugasan. Masa dinas aktif Komcad selama 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk 5 tahun berikutnya, serta ketiadaan ketentuan mobilisasi Komcad hanya untuk masa perang memungkinkan penggunaan Komcad di masa damai untuk kebutuhan militer. Tidak hilangnya hak-hak yang berhubungan dengan gaji, pendapatan dan benefit lainnya memungkinkan negara memaksa pengeluaran pembiayaan bagi sipil selama tidak bekerja selain kepada negara.12 Komponen Cadangan di Amerika Serikat dan Republik Federal Jerman Amerika Serikat (AS)13 Komcad AS tercatat sudah ada sejak masa awal kemerdekaan negara itu di akhir abad ke-18, ketika militia terlibat dalam perang kemerdekaan dan tentara reguler dibentuk. Saat ini AS memiliki 1,1 juta Komcad, yang merupakan 45 % dari total militer AS. AS memiliki 5 Komcad Federal (Komcad Angkatan Darat (US Army Reserve), Komcad Angkatan Laut (US Naval Reserve), Komcad Angkatan Udara (US Air Force Reserve), Komcad Korp Marinir (US Marine Corps Reserve), dan Komcad Garda Penjaga Perairan (the US Coast Guard Reserve) serta mengorganisir militia (Garda Nasional Darat (Army National Guard) dan Garda Nasional Udara (Air National Guard) yang bisa dikerahkan untuk pelayanan Federal maupun negara bagian. The Coast Guard adalah pasukan militer di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri (Department of Homeland 11. Newsletter Media & Reformasi Sektor Keamanan Edisi VI/09/2008, IDSPS-AJI-FES, September 2008 12. Departemen Pertahanan, Rancangan Undang-undang Republik Indonesia No .. Tahun .. Tentang Komponen Cadangan Pertahanan Negara, Desember 2008 13. http://www.nato.int/nrfc/database/usa.pdf, diunduh pada tanggal 20 Februari 2011
55
FOKUS RUU Komponen Cadangan
Security) yang hanya memiliki fungsi pertahanan di masa perang. Seluruh Komcad bersifat sukarela, mereka bukan wajib militer (military conscripts). Dasar hukumnya adalah Bab 10, US Code of Federal Regulations. Otoritas mobilisasi, personel dan batasan waktu merujuk pada Bab 10 USC 12301, 12302, and 12304. Tabel status mobilisasi Komcad AS 12301(d) Komcad V olunteers
• Membutuhkan persetujuan individu • Seluruhnya merupakan cadangan. Komcad. • tidak ada pembatasan jumlah • Gubernur harus menyetujui • Tidak ada pembatasan waktu pengaktifannya.
12301(b) 15 hari masa dinas
• Diharapkan siap sebagai Komcad sampai dengan 15 hari per tahun. • Membutuhkan persetujuan gubernur untuk pengaktifan.
• Pelatihan Tahunan • Misi Operasi • Sukarela
12304 Mobilisasi Komcad oleh Presiden
• Membutuhkan Pemberitahuan Presiden kepada Kongres • Tidak membutuhkan Keputusan Kongres • Tidak lebih dari 270 hari.
12302 Mobilisasi Parsial
• Membutuhkan deklarasi Darurat Nasional. • Melaporkan kepada Kongres setiap 6 bulan.
• Komcad terpilih, bisa sampai dengan 30,000 individu yang bersedia (individual ready reserve, IRR) • tidak boleh lebih dari 200,000 Komcad terpilih (selected reserve) • untuk menghadapi ancaman senjata pemusnah massal (weapon of mass destruction) atau ancaman/serangan teroris. • Komcad yang tersedia. • Tidak boleh lebih dari 1,000,000 Komcad. • Tidak boleh lebih dari 24 bulan.
12301(a) Mobilisasi Penuh
• Membutuhkan Deklarasi Perang atau Darurat Nasional oleh Kongres. • Mengharuskan kehadiran Kongres dalam pembahasan.
• Seluruh Komcad termasuk Komcad non-aktif dan mantan Komcad. • Tidak ada batasan. • Masa perang atau darurat ditambah 6 bulan.
Pada masa Perang Dingin, Komcad merupakan sumber utama bala bantuan bagi Komponen Utama AS. Saat ini mereka dibutuhkan sebagai misi bantuan militer AS, digunakan dalam perang skala besar, darurat skala kecil, latihan pengerahan ke luar negeri, dan operasi bantuan kemanusiaan di dalam dan luar negeri. Mereka juga berpartisipasi dalam program antar militer (military-to-military) bersama negara Partnership for Peace (PfP) dalam operasi perdamaian. Mereka memberikan bantuan kepada otoritas sipil dan operasi anti narkotika. Hasilnya, Pemerintah AS bisa menata kapabilitas pengamanan dengan biaya rendah. Seluruh seluruh personel Komcad
56
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
dan Garda terbagi menjadi 3 kategori: 1). Komcad yang tersedia (Ready Reserve); 2). Komcad yang siap beroperasi (Standby Reserve); dan 3). Mantan Komcad (Retired Reserve). Republik Federal Jerman14 Komcad adalah warga negara berkebangsaan Jerman, yang secara sukarela. Panduan Kebijakan Pertahan Jerman yang dikeluarkan Pemerintah pada 21 Mei 2003 menjadi dasar restrukturisasi militer Jerman (Bundeswehr) dan konsep Komcad Jerman. Komcad didisain sesuai kebutuhan misi militer, baik struktur, personel, pelatihan dan perlengkapan, sesuai dengan motto, “rancang dan latih seperti engkau bertempur” (organize and train as you fight). Pada tahun 2007 militer Jerman dirampingkan dari 495,000 personel menjadi 252,500 termasuk wamil. Komcad aktif berjumlah 2,350 personel dari sekitar 80,000, seiring upaya pengefektifan dan pengurangan anggaran. Komcad terbagi menjadi 3 kelompok: Komcad Balabantuan (Reinforcement Reserve), Komcad Pekerja (Manpower Reserve) dan Komcad Umum (General Reserve). Komcad melaksanakan tugastugas sebagaimana militer. Di masa damai, Komcad terlibat dalam pencegahan krisis internasional dan manajemen konflik, mendukung kekuatan sekutu, melindungi negara Jerman dan warganya, melakukan operasi penyelamatan dan evakuasi, serta kerjasama dan perbantuan sebagimana diminta militer. Komcad diberikan pilihan atas fungsi yang mereka inginkan dalam masa penugasan. Selama bertugas di militer, masa dinas Komcad tidak lebih dari 90 hari per tahun, kecuali ketika mereka bertugas dalam misi pasukan perdamaian di luar teritori Republik Federal Jerman. Dalam tugas semacam ini, masa dinas mereka maksimum 7 bulan dan tidak dapat diperpanjang. Komcad menerima pembayaran berdasarkan kepangkatan ketika mereka berdinas. Anggota Reinforcement Reserve dan Manpower Reserve mendapat bayaran per hari selama masa dinas minimum 24 hari per tahun, selama tiga tahun. Mereka juga mendapat fasilitas pakaian, makanan dan perumahan selama masa dinas. Pensiunan personel militer dapat terlibat dalam Komcad sampai dengan usia 65 tahun, mendapat tambahan pembayaran pensiun. Seluruh Komcad yang ditugaskan di luar Jerman untuk misi 14. http://www.nato.int/nrfc/database/germany.pdf, diunduh tanggal 20 Februari 2011
57
FOKUS RUU Komponen Cadangan
pasukan perdamaian atau kemanusiaan mendapat penggantian biaya sesuai ketentuan UU. Mereka juga mendapat perawatan kesehatan gratis, termasuk pelayanan rumah sakit. UU juga menjamin mereka tidak akan kehilangan pekerjaan yang sudah digeluti sebelum mereka berdinas secara sukarela sebagai Komcad, termasuk tetap akan menerima gaji, yang akan diganti oleh Pemerintah Jerman kepada majikan tempat yang bersangkutan bekerja. Dengan demikian tempat mereka bekerja akan dengan senang hati mengizinkan Komcad berdinas karena mereka tidak dirugikan. Komcad juga menerima pelatihan dasar dan lanjutan sebagaimana militer aktif, namun tetap disesuaikan dengan pilihan dinas yang diinginkan. Kondisi ini dikecualikan dalam masa perang, dimana menurut UU Komcad dibutuhkan untuk memperkuat militer, sehingga mereka dilatih berdasarkan panggilan dinas dan kebutuhan masa darurat yang ditetapkan oleh parlemen (Bundestag). Komcad yang disiapkan untuk penanganan bencana alam dan perlindungan rakyat Jerman pada masa damai harus tetap mengikuti pelatihan dengan mendatangi pusat pelatihan Komcad dan pada waktu-waktu tertentu bekerjasama dengan badan-badan pemerintah terkait. Catatan Kritis atas RUU KCPN Bagaimana respon terhadap RUU KCPN? Secara umum, keberatan dan kritik yang terkait dengan RUU tersebut berhubungan dengan kekuatiran terlanggarnya hak konstitusional warga negara. RUU ini dianggap belum menjadi kebutuhan terkait reformasi TNI. Kehadiran Komcad diyakini bakal menimbulkan masalah pendanaan mengingat kemampuan penganggaran KCPN yang lemah. Jika dipaksakan dipastikan akan merugikan sektor lain. a. Ancaman Terhadap Hak Konstitusional Warga Negara Terkait dengan ancaman terhadap hak konstitusional warga negara, RUU KCPN dianggap bertentangan atau berpotensi melanggar beberapa hak, terutama hak untuk hidup, (right to life), hak atas kebebasan dan keamanan (right to liberty and security), kebebasan untuk berpikir, hati nurani dan beragama (freedom of thought, conscience and religion), serta hak untuk mendapat perlakuan sama di muka hukum (right to be treated equal before the law). Hak ini
58
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
dianggap merupakan hak tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.15 Komisi Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Resolusi 1998/77 mengenai penolakan wajib militer oleh seseorang yang dikenal dengan Conscientious Objection, yaitu penolakan serius berdasarkan kepercayaannya atau pandangan keagamaan. Resolusi tersebut meminta negara untuk tidak melakukan tindakan-tindakan berupa penghukuman atas penolakan ini. Dalam hal negara mewajibkan bela negara, maka wamil atau Komcad dapat diganti dengan pelayanan dalam bentuk lain (alternative service) yang sesuai dengan kehendak yang bersangkutan dan bukan merupakan penghukuman (misalnya dengan masa dinas yang lebih lama). Dalam kasus seseorang yang terpaksa meninggalkan negara asalnya karena ketakutan akibat ancaman hukuman atas penolakan wamil atau Komcad, Resolusi juga mengharuskan pemberian suaka (granting asylum) sebagaimana diatur dalam Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi.16 Dalam RUU versi terakhir, tercantum sederatan sanksi pidana. Sanksi diatur dari Pasal 38 sampai Pasal 42 RUU. Ketentuan tersebut meliputi sanksi pidana kurungan paling lama 2 tahun bagi: 1). Setiap orang yang dengan sengaja membuat atau menyuruh membuat orang lain dengan suatu pemberian atau janji, mempengaruhi, menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, memberi kesempatan dan memberi keterangan, sengaja menggerakkan orang lain untuk tidak melaksanakan panggilan atau menyebabkan orang lain tidak memenuhi syarat untuk menjadi anggota Komcad; apabila perbuatan tersebut dilakukan oleh seseorang karena jabatan atau kedudukannya, pidananya ditambah 1/3 (satu per tiga); 2). Setiap Anggota Komcad yang tidak melaksanakan penugasan pada saat mobilisasi tanpa alasan yang sah; dan 3). Setiap Anggota Komponen Cadangan yang menolak perpanjangan masa bakti pada saat mobilisasi tanpa alasan yang sah. Juga diatur ketentuan pidana kurungan paling lama 1 tahun bagi: 1). Setiap orang yang memenuhi persyaratan, namun sengaja tidak 15. Bhatara Ibnu Reza, Reformasi Legislasi Sektor Keamanan Indonesia 2008-2009: Reformasi Tanpa Arah, dalam Beni Sukadis (ed), Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009, Lesperssi-DCAF, 2009, hal. 285 16. Tim Imparsial, Reformasi di Persimpangan; Rancangan Komponen Cadangan Pertahanan Negara, Jakarta, 2008, hal. 18-20
59
FOKUS RUU Komponen Cadangan
mematuhi panggilan menjadi anggota Komcad tanpa alasan yang sah; 2). Setiap orang yang sengaja melakukan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan yang menyebabkan dirinya tidak memenuhi syarat menjadi anggota Komcad; 3). Setiaporang yang sengaja melakukan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan yang menyebabkan dirinya ditangguhkan menjadi anggota Komcad; 4). Setiap anggota Komcad yang tidak melaksanakan dinas aktif tanpa alasan yang sah; dan 5). Setiap pemilik, penanggung jawab, atau pengelola sumber daya alam (SDA), sumberdaya buatan (SDB), sarana dan prasarana nasional yang sengaja tidak memenuhi kewajiban menyerahkan pemakaiannya. RUU juga memberikan sanksi pidana kurungan paling lama 6 bulan bagi pimpinan instansi, pimpinan perusahaan atau pimpinan badan swasta atau pimpinan lembaga pendidikan yang tidak memberi kesempatan kepada pegawai, pekerja dan/atau buruh atau peserta didik untuk mengikuti dinas atau penugasan sebagai Komcad tanpa alasan yang sah. Adapun “alasan yang sah” untuk penangguhan sebagimana dimaksud RUU ini dijelaskan pada Pasal 12 ayat (1), yaitu: a. sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; b. keberadaannya diperlukan masyarakat; c. sedang menjalani tahap ujian akhir atau tugas akhir pendidikan yang tidak dapat ditinggalkan; d. sedang menunaikan ibadah haji atau ibadah lain sesuai dengan agamanya; atau e. sedang melaksanakan tugas penting yang tidak dapat digantikan oleh orang lain. Kesimpulan yang muncul dari penangguhan sebagai alasan sah untuk tidak menjadi anggota Komcad ini adalah adanya ketidaksetaraan antara kewenangan negara menangguhkan dan hak masyarakat untuk menolak. Atas nama bela negara, Pemerintah bisa menggunakan paksaan terhadap mereka yang “terpilih” berdasarkan persyaratan umum dan kompetensi untuk dijadikan Komcad.
60
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
Sementara di sisi lain, mereka yang secara sukarela ingin menjadi Komcad, belum tentu menjadi prioritas karena prinsip rekruitmen mengutamakan mereka yang dipilih ketimbang yang sukarela (Pasal 8 dan 9 RUU), disertai ancaman sanksi pidana yang cukup berat jika terjadi penolakan. Jika dipahami bahwa warga negara memiliki hak untuk terlibat dalam pertahanan negara, maka harus dipertimbangkan juga hak warga negara untuk menolak atau meminta penangguhan berdasarkan alasan atau pertimbangan yang bersifat pribadi dengan memperhatikan kebebasan berfikir, berkeyakinan dan hak-hak dasar lainnya. b. Komcad Bukan Agenda Prioritas Reformasi Bidang Pertahanan Sejauh ini sejumlah persoalan yang meliputi TNI sebagai komponen utama pertahanan negara belum selesai. Terkait pelaksanaan UU No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara misalnya, beberapa persoalan serius yang dianggap belum tuntas antara lain: 1. Penyusunan konsep strategis pertahanan negara yang sering kali disebut Strategic Defense Review, yang memperhatikan prinsip demokrasi, HAM, kesejahteraan umum, lingkungan hidup, ketentuan hukum nasional, hukum internasional dan kebiasaan internasional, serta prinsip hidup berdampingan secara damai; dan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan (Pasal 3). Konsep ini masih dipertanyakan keberadaannya. Pada tahun 2007, Pemerintah pernah mengeluarkan dokumen yang disebut defense review, yang isinya tidak berbeda jauh dengan Buku Putih Pertahanan yang dikeluarkan Kementerian Pertahanan sebagai turunannya. Buku Putih Pertahanan sendiri tidak luput dari kritik karena cara pandang terhadap ancaman dan penangkalannya yang konvensional dan pengabaian pembangunan kekuatan maritim dan teknologi sebagai kebutuhan riil NKRI sebagai negara kepulauan yang sangat luas. Salah satu akibat kelambanan ini adalah kesulitan membangun postur pertahanan yang berbasis pada kebutuhan riil pertahanan sebagaimana diatur dalam UU No. 34Tahun 2004.
61
FOKUS RUU Komponen Cadangan
2. Pembentukan Dewan Pertahanan Nasional (Pasal 15) sebagai penasihat Presiden dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan dan pengerahan segenap komponen pertahanan negara. Dewan yang dipimpin oleh Presiden dan beranggotakan Wakil Presiden, Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Panglima TNI sebagai anggota tetap serta anggota tidak tetap dari pejabat yang dianggap relevan sampai dengan saat ini belum terbentuk. Dewan ini merupakan amanat UU, dimana jika tidak terbentuk maka telah terjadi pelanggaran UU oleh Presiden. 3. Penguatan Kementerian Pertahanan sebagai otoritas politik sipil yang membantu Presiden merumuskan kebijakan umum pertahanan; menetapkan kebijakan penyelenggaraan pertahanan berdasarkan kebijakan umum pertahanan; menyusun buku putih pertahanan; menetapkan kebijakan kerjasama bilateral, regional, dan internasional; merumuskan kebijakan umum penggunaan kekuatan TNI dan komponen pertahanan lainnya; menetapkan kebijakan penganggaran, pengadaan, perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional, serta pembinaan teknologi dan industri pertahanan yang diperlukan; dan bekerjasama dengan pimpinan departemen dan instansi pemerintah lain untuk menyusun dan melaksanakan perencanaan strategis pengelolaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan. Sejauh ini efektivitas Kemhan melaksanakan fungsi-fungsi ini dianggap masih jauh dari harapan, karena TNI terkesan masih mengatur dan mengembangkan sendiri kebijakan terkait pertahanan. Dalam hal pelaksanaan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, sejumlah agenda yang dianggap perlu diselesaikan sebagai prioritas antara lain: 1. Pembentukan TNI yang profesional (Pasal 2), yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, HAM, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang
62
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
2.
3.
4.
5.
telah diratifikasi. Sejauh ini masih banyak keluhan atas ketidakprofesionalan TNI, terutama terkait perilaku yang bertentangan dengan ketentuan ini, termasuk tindak kekerasan dan penyalahgunaan wewenang sebagaimana di masa lalu. Atas pelbagai pelanggaran ini, kemampuan hukum menyentuh dan mengadili secara fair dianggap masih lemah. Memastikan kebijakan dan keputusan politik negara (Pasal 7 ayat 3) dalam pelaksanaan tugas pokok TNI terkait operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. Masalah utamanya terkait pelaksanaan operasi militer selain perang, dimana banyak pimpinan militer yang mengeluarkan pernyataan dan kebijakan yang bersifat politis, yang notabene merupakan otoritas Pemerintah. Dalam mengidentifikasi gerakan separatis misalnya, sebagian besar pengidentifikasian lahir dari militer yang kemudian dijadikan dasar oleh Pemerintah untuk memberikan persetujuan operasi militer, tanpa mempertimbangkan kemungkinan menggunakan pendekatan non-militer. Pengalaman Aceh merupakan salah contoh dalam kasus ini. Belum adanya UU Perbantuan TNI terhadap Polri. Padahal UU mengamanatkan perbantuan ini diatur dalam UU (Pasal 7 ayat (2) huruf b nomor 10). Memastikan pelaksanan larangan bagi TNI, yaitu untuk menjadi anggota partai politik, melakukan kegiatan politik praktis, bisnis dan dipilih menjadi anggota legislatif maupun jabatan politis lainnya (Pasal 39). Dalam beberapa tahun terakhir ditemukan beberapa perwira TNI terlibat dalam Pilkada tanpa pengunduran diri sebelum mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu). Ketika mereka gagal, mereka kembali berdinas aktif di militer. Juga masih banyak ditemukan anggota militer aktif yang melakukan kegiatan bisnis, termasuk bisnis yang menggunakan fasilitas dan atribut militer seperti jasa pengamanan. Pemenuhan kesejahteraan anggota TNI, termasuk hak-hak bagi keluarga mereka untuk mendapatkan faslitas kesehatan, pendidikan, perumahan dan pensiun yang layak. Sejauh ini upaya pemenuhannya masih belum maksimal.
63
FOKUS RUU Komponen Cadangan
6. Memastikan ketundukan TNI pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur UU (Pasal 65). Selama ini peradilan militer masih merupakan hambatan untuk pengakan hukum atas pelanggaran pidana umum (termasuk pelanggaran HAM) yang melibatkan anggota TNI, selain karena memasuki jurisdiksi peradilan umum, peradilan militer menjadi mekanisme impunitas melalui putusan-putusannya atas pelanggaran oleh anggota TNI yang seringkali lemah dan merugikan hak korban. 7. Pengambilalihan seluruh bisnis yang dimiliki dan dikelola TNI, baik secara langsung maupun tidak langsung (Pasal 76). Proses yang seharusnya selesai pada Oktober 2009 lalu masih terlantar, belum terselesaikan sepenuhnya, termasuk dalam hal penegakan hukum terkait korupsi dan pelanggaran lainnya dalam bisnis-bisnis tersebut. Sumber persoalannya terletak pada tiadanya kemauan dan kemampuan Presiden, sehingga proses pengabilalihan bisnis TNI tidak selesai pada 2009, yang dapat dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap UU TNI. Dengan sejumlah “pekerjaan rumah” di atas, maka pengajuan RUU KCPN menjadi tidak mendesak. Upaya untuk mendahulukan pengajuan RUU KCPN sebelum UU Strategis lainnya, seperti UU Keamanan Nasional dan UU Perbantuan TNI, menjadi sulit dimengerti urgensinya. Pengamat militer Edy Prasetyono mengajukan perlunya kajian atas 3 hal sebelum pengajuan RUU KCPN, yaitu: 1). Kekuatan riil TNI dan kebutuhan back up Komcad; 2). Kejelasan tujuan Komcad, yang bisa diterima jika untuk mengatasi ancaman eksternal (setelah pemerintah mengindetifikasi ancaman tersebut); dan 3). Kejelasan kompensasi, terutama terkait dengan keahlian yang harus dibayar layak ketika seseorang menjadi Komcad.17 Usulan Edy menunjukkan keputusan untuk membangun Komcad tidak bisa asalasalan dan bukan perkara mudah.
17. Ibid, hal. 86
64
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
c. Masalah Anggaran Komcad Meskipun Pasal 37 RUU KCPN versi Desember 2008 menyatakan pendanaan Komcad bersumber dari APBN, namun dalam penjelasannya dinyatakan, “..namun mengingat penyelenggaraan Komponen Cadangan Pertahanan Negara berkaitan pula dengan kepentingan daerah, tidak menutup kemungkinan adanya sumber pendanaan yang sah seperti bantuan/hibah pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat.” Pembiayaan Komcad melalui APBD jelas menyalahi ketentuan tentang pembiayaan anggaran pertahanan dan memerumit pertanggungjawaban penggunaan APBD, serta berpotensi membuka peluang penyimpangan dan penyalahgunaan atasnama pembiayaan Komcad. Di sisi lain, pembiayaan oleh daerah menyebabkan kesulitan untuk melakukan kontrol dan kendali yang terpusat dalam hal penggunaan Komcad. Apalagi jika ada pembiayaan yang bersumber dari swasta dan masyarakat, maka sudah dipastikan akan memberikan pengaruh terhadap independensi pemerintah, TNI dan Komcad, terutama dalam hal membatasi pengaruh dan tukar-menukar kepetingan di balik bantuan pendanaan tersebut. UU No. 3 Tahun 2002 dengan tegas menentukan bahwa urusan pertahanan murni dibiayai negara melalui APBN (Pasal 25). Berkaca dari pengalaman sebelumnya, Pemerintah akan merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 32 tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2009, yang mengatur secara jelas mengenai mekanisme pemberian hibah kepada intansi vertikal, termasuk TNI dan Polri. Meski demikian, semangat dari Permendagri ini jelas bertentangan dengan kepentingan pengembangan tata kelola sektor pertahanan, terutama mengacu pada kepastian hukum dan kepentingan umum. Bacaan yang muncul kemudian adalah anggapan bahwa KCPN merupakan proyek dari TNI untuk memperoleh anggaran dari sumber-sumber non APBN.18 Kembali pada kritik yang pernah disampaikan kelompok kerja Propatria, RUU KCPN secara umum setidaknya harus memperhatikan beberapa hal berikut ini:19 1. Perlunya kebijakan pertahanan negara dan keputusan politik Presiden sebagai dasar pembentukan Komcad (Pasal 13-14 18. Bhatara Ibnu Reza, Tiga Alasan Menolak Susbtansi RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara: Suatu Kritik, makalah, 2010, hal. 8-9 19. http://www.propatria.or.id/loaddown/Kajian%20Kritis/Kajian%20Kritis%20Terhadap%20RUU%20 Komponen %20Cadangan%20Pertahanan%20Negara%20%5BApril%202003%5D.pdf, diunduh pada 20 Februari 2011
65
FOKUS RUU Komponen Cadangan
2.
3. 4. 5. 6.
7.
8. 9.
dan 16 UU No. 3 tahun 2002), tidak cukup hanya berpegang pada Pasal 7, 8, dan Pasal 9 UU No. 3 tahun 2002. Sebagai bagian dari kerangka pembangunan sistem pertahanan, pembentukan Komcad merupakan bagian dari sistem pertahanan negara. Namun hingga saat ini Indonesia belum memiliki perencanaan pertahanan (defense planning) yang didasarkan pada strategic defense review yang memuat analisis kebutuhan dan pembacaan ancaman. Perlu penjelasan tentang perbedaan Komcad dengan Wamil yang “tercampuraduk” dalam RUU KCPN. Perumusan syarat-syarat pengangkatan SDM dan penetapan SDA, SDB, sarana dan prasarana sebagai Komcad, tidak berimbang, lebih menekankan SDM. Harus disiapkan mekanisme yang memungkinkan warga negara menolak untuk diangkat dan ditetapkan sebagai Komcad. Struktur Komcad yang tidak disesuaikan sesuai dengan fungsi sebagai pemberi dukungan kepada komponen utama, yang ditata berdasarkan faktor: (a) fungsi Komcad; (b) relevansinya dalam memberi dukungan kepada komponen utama; dan (c) postur kekuatan komponen utama. Ketidakjelasan rumusan fungsi Komcad. Lazimnya Komcad mengikuti fungsi pertahan, yaitu fungsi intelijen, fungsi tempur dan fungsi territorial. Penggunaannya harus untuk menghadapi ancaman eksternal, bukan untuk operasi militer selain perang. Penggunaan Komcad harus didasarkan pada keputusan politik, kebutuhan fungsional, pembatasan waktu, dan dikerahkan berdasarkan skala ancaman dan kebutuhan penguatan komponen utama. Pembentukan Komcad sangat tergantung pada kemampuan keuangan negara karena pembiayaannya harus sepenuhnya berasal dari anggaran negara. Perlu diatur mekanisme pengawasan penggunaan keuangan Komcad.
Penutup Penyusunan RUU KCPN yang dilakukan dengan persoalanpersoalan seperti 1). Belum tuntasnya agenda reformasi pertahanan
66
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
lainnya; 2). Mengandung masalah terkait potensi pelanggaran hukum dan HAM; 3). Adanya ketidakjelasan anggaran pembiayaan Komcad dari total anggaran pertahan dan kemungkinan untuk dapat dibiayai dari anggaran tersebut; dan 4). Tidak adanya assessment atas ancaman dan kekuatan komponen utama, semakin menunjukkan ketidakrelevanan pengajuannya saat ini, baik ditinjau dari kebutuhan legislasi sektor pertahanan maupun kebutuhan pertahanan negara sendiri. Pembentukan yang tergesa-gesa ini mengesankan bahwa tujuan pembentukan Komcad melalui RUU ini adalah melipatgandakan kekuatan TNI, bukan untuk memperkuat sistem pertahanan, mengingat rumusan sistem pertahanan Indonesia masih simpang siur rujukannya. Akibatnya, Komcad dimungkinkan melakukan tugas yang tidak berbeda dengan TNI, termasuk dalam tugas operasi militer selain perang, yang tidak menjadi bagian dari rancangan sistem pertahanan negara (yang murni ditujuan untuk menghadapi ancaman eksternal dan memungkinkan pelibatan Komcad jika dibutuhkan komponen utama). Komcad seharusnya tidak ditujukan untuk dikerahkan pada masa darurat sipil dan darurat militer, apalagi untuk operasi militer selain perang. Kerancuan antara Komcad, komponen pendukung dan Wamil serta kemungkinan, pembiayaan dari APBD atau swasta dan indvidu menambah kerumitan pemahaman atas maksud dan tujuan RUU ini. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa RUU KCPN menjadi agenda yang tidak relevan untuk diprioritaskan saat ini oleh Pemerintah, termasuk dijadikan sebagai agenda Prolegnas 20092014. Pemerintah perlu memprioritaskan legislasi lain seperti RUU Keamanan Nasional, RUU Intelijen dan amandemen UU Peradilan Militer. RUU KCPN yang akan diajukan kembali setelah selesainya prioritas-prioritas lain terkait reformasi sektor keamanan harus mendapat kajian yang komprehensif, dengan memperhatikan prinsipprinsip demokrasi, tata pemerintahan yang baik, HAM dan partisipasi publik.
67
DISKURSUS
Komnas HAM dan Tantangannya Dewasa Ini Ifdhal Kasim
Pengantar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (yang lebih dikenal dengan Komnas HAM) merupakan salah satu dari pilar terpenting mekanisme nasional perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Dikatakan sebagai salah satu, karena paska kolaps-nya Orde Baru, lahir berbagai institusi-institusi serupa yang disiapkan untuk menyelesaikan masalah-masalah terkait dengan perlindungan hak asasi manusia.1 Mulai dari Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hingga pada pembentukan Mahkamah Konstitusi. Kehadiran institusi-institusi hak asasi manusia di atas sekaligus menunjukan komitmen yang kuat dari pemerintahan masa Reformasi. Komitmen politik yang kuat tersebut boleh dikatakan lahir sebagai bagian dari kesadaran baru dalam pengelolaan dan pengaturan negara setelah kehancuran tatanan kehidupan berdemokrasi selama pemerintahan otoriter di masa lalu. Tonggak terpenting dari komitmen politik itu adalah pengakuan hak asasi manusia ke dalam konstitusi (UUD). Walaupun sebelumnya telah disahkan sebuah TAP MPR tentang Hak Asasi Manusia, diundangkannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan disertai dengan ratifikasi terhadap beberapa konvensi internasional hak asasi manusia yang penting, menjadikan hak asasi manusia sebagai hak konstitusional jelas merupakan langkah yang sangat strategis. Komitmen-komitmen yang tertuang dalam politik legislasi ini semakin memperkokoh kehadiran institusi-institusi yang menjadi bagian dari mekanisme nasional perlindungan hak asasi manusia. Fokus bahasan tulisan ini tertuju pada Komisi Nasional Hak 1. Lihat Manfred Nowak, Introduction to the International Human Rights Regime, Martinus Nijhoff Publishers: Leiden, 2003.
71
DISKURSUS Komnas HAM dan Tantangannya
Asasi Manusia—komisi bidang HAM yang telah lahir jauh sebelum Reformasi bergulir. Saya mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini: (i) apa respon Komnas HAM terhadap tuntutan publik atas penyelesaian kejahatan hak asasi manusia saat ini dan masa lalu; (ii) apa yang menjadi problem institusional yang menghambat proses penyelidikan hak asasi manusia oleh Komnas HAM saat ini; dan (iii) bagaimana gambaran relasi institusional antara Komnas HAM dengan institusi lain dalam penegakan HAM? Pengalaman personal saya dalam mengelola Komnas HAM selama kurang lebih empat tahun ini akan saya jadikan basis dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Karena itu, apa yang coba saya paparkan dalam tulisan ini tidak menggambarkan pandangan institusional. Ini hanya pandangan-reflektif personal, oleh karena itu di sana-sini pasti ada subyektifitas yang tak terhindar. Komnas HAM dan Mandatnya Berbeda saat berada di bawah pemerintahan Orde Baru, sekarang (masa Reformasi) Komnas HAM memperoleh basis hukum yang lebih kuat, yaitu di bawah UU. Tidak lagi diatur oleh Keputusan Presiden (Keppres), tetapi oleh sebuah undang-undang yang dihasilkan di awal Reformasi. Tepatnya, Komnas HAM diatur dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain berbeda basis hukumnya, lingkungan politik tempat dimana Komnas HAM beroperasi juga sudah jauh berubah dengan masa sebelumnya. Sekarang ini Komnas HAM hidup di lingkungan politik jauh lebih terbuka (demokratis), dibanding dengan periode sebelumnya di masa Orde Baru yang otoriter. Berada pada lingkungan politik yang baru itu, mau tidak mau mengharuskan Komnas HAM untuk meninjau ulang peran strategisnya sesuai dengan lingkungan baru tersebut. Tidak bisa dipungkiri lingkungan eksternal ini memberi kontribusi yang signifikan terhadap efektifitas perlindungann oleh Komnas HAM. Meski dibentuk oleh negara, dan karenanya merupakan bagian dari apparatus negara, Komnas HAM bukan dengan sendirinya adalah cabang dari Pemerintah. Komnas HAM merupakan institusi yang independen. Ia tidak berada di bawah kontrol atau
72
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
authority cabang eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Independen bukan berarti Komnas HAM sama dengan organisasi non-pemerintah (NGO), melainkan independen dalam menjalankan perannya. “The differences between NGOs and National Human Rights Institution (NHRI) are perhaps most pronounced with regard to the investigation of complaints. NHRI are neutral fact finders, not advocates for one side or another”. 2 Komnas HAM dengan demikian adalah institusi negara yang unique—yang dalam UU No. 39 tahun 1999 dirumuskan dalam bahasa “setingkat lembaga negara”, yang dimandatkan untuk mengawasi pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia oleh pembentuknya sendiri, yaitu Negara. Independensi adalah kata kuncinya. Walaupun dalam menjalankan perannya, Komnas HAM baik secara langsung atau tidak dapat dimintai pertanggungjawaban oleh Parlemen (DPR). Dalam posisinya yang independen itulah Komnas HAM harus meletakkan kembali peran strategisnya di tengah lingkungan eksternal yang berubah tersebut. Untuk itu marilah kita lihat peran yang diberikan UU N0. 39 tahun 1999 kepada Komnas HAM. Berdasarkan UU tersebut, Komnas HAM diperintahkan untuk mencapai tujuan berikut ini: a) Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; b) Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan (Pasal 75). Inilah mandat yang digariskan dalam UU yang harus dijalankan oleh Komnas HAM. Untuk mencapai tujuan yang dimandatkan tersebut, kepada Komnas HAM diberikan tugas untuk melaksanakan fungsi-fungsi: a). pengkajian dan penelitian; b). penyuluhan dan pendidikan; c). pemantauan dan penyelidikan; dan d). mediasi tentang hak asasi manusia. Di samping menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana 2. Lihat, National Human Rights Institutions: History, Principles, Roles and Responsibilities, UN: New York-Geneva, 2010. hal 13.
73
DISKURSUS Komnas HAM dan Tantangannya
diamanatkan oleh UU No.39 tahun 1999, Komnas HAM juga diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan bagi kepentingan penuntutan atas pelanggaran berat hak asasi manusia (pro-justicia). Kewenangan ini diberikan oleh UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam menjalankan fungsi ini, Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc (KPP) yang anggotanya dapat direkrut dari masyarakat. Reformasi: Menjawab Tantangan Baru Setelah memaparkan tentang kedudukan dan mandat Komnas HAM, kini kita tiba pada pertanyaan: apa yang dilakukan Komnas HAM terkait dengan tuntutan publik atas penyelesaian kejahatan hak asasi manusia saat ini dan masa lalu? Saya ingin menjawab pertanyaan ini dengan meletakkannya pada proses reformasi yang berlangsung secara keseluruhan di mana Komnas HAM terlibat di dalamnya. Pada tahun pertama reformasi, MPR mengesahkan sebuah ketetapan berkaitan dengan hak asasi manusia, yaitu TAP MPR No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian diikuti dengan amandemen pasal-pasal hak asasi manusia ke dalam UUD 1945 pada tahun 2000. Lahirnya Ketetapan ini merupakan titik awal dari perubahan pada tatanan hukum Indonesia. UU yang memberi jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar mulai bermunculan, termasuk ratifikasi terhadap instrumen hak asasi manusia internasional maupun konvensikonvensi ILO. Dimulai dengan pengesahan UU No. 8 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, diikuti dengan pencabutan UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subsversi, lalu ratifikasi terhadap Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan melalui UU No. 5 tahun 1998, Presiden BJ Habibie kemudian mengeluarkan Keppres tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (Keppres No. 129 tahun 1998), dan membentuk Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Keppres No. 181 tahun 1998). Pada tahun berikutnya (1999), Pemerintah reformasi dan DPR kembali mengesahkan UU yang memperkuat jaminan perlindungan hak asasi manusia, yaitu: UU No. 39 tahun 1999 tentang
74
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
Hak Asasi Manusia, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (yang melarang sensor dan breidel), UU No. 19 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa, UU No. 21 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO N0.111 tentang Penghapusan Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan, dan UU No. 26 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No, 138 tentang Usia Minimun Anak Diperbolehkan Bekerja. Selain itu, pada tahun ini, Presiden BJ Habibie juga mengeluarkan Perpu No.1 tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Proses penyusunan standard-setting hak asasi manusia terus berlanjut baik pada masa kepresidenan KH. Abdurachman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarno Putri maupun di masa Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK). Di masa kepresidenan Gus Dur, DPR mengesahkan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. UU ini lahir karena ditolaknya Perpu No. 1 tahun 1999 yang diterbitkan oleh Presiden BJ Habibie, selain karena tekanan internasional yang keras paska terjadinya pelanggaran HAM yang berat di Timor Timur pada September 1999. Perubahan lain yang terpenting pada tahun 2000 adalah dikeluarkannya TAP MPR yang memberi amanat kepada pemerintah untuk menuntaskan agenda reformasi, selain amandemen pasal-pasal hak asasi manusia dalam UUD 1945. Ketetapan yang dimaksud, antara lain, TAP MPR No.V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, TAP MPR No.VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan TAP MPR No.VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 berisi tentang amanat untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai lembaga ekstra-judisial yang bertugas mengungkap kebenaran atas praktik penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa Soeharto. Pada masa kepresidenan Megawati Soekarno Putri, TAP MPR No. V/MPR/200 tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan disahkannya UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Di bawah Presiden Megawati pula, pendirian
75
DISKURSUS Komnas HAM dan Tantangannya
dan proses seleksi anggota KKR mulai dilakukan. Namun belum sepenuhnya diterapkan, pada masa kepresidenan SBY-JK, UU ini kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Di masa Megawati pula dilakukan revisi terhadap undang-undang pemberantasan korupsi dan terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sementara di masa kepresidenan SBY-JK, legislasi yang penting lainnya yang lahirkan adalah ratifikasi instrumen internasional hak asasi manusia yang mendasar, yaitu: (i) Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya melalui UU No. 11 tahun 2005; dan (ii) Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 tahun 2005. Kalau di atas dipaparkan mengenai pengembangan standard setting, paparan berikut akan tertuju pada upaya-upaya yang dilakukan dalam penegakan standard-setting tersebut. Kerusuhan 1315 Mei 1998, yang diwarnai dengan adanya perkosaan, adalah kasus pertama yang diselidiki oleh pemerintahan BJ. Habibie. Dimulai dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), 23 Juli 1998, sebagai reaksi terhadap tuntutan publik agar kerusuhan Mei 1998 diungkap dengan tuntas; diselidiki latar belakangnya, luasnya peristiwa, korban dan penanggungjawabnya. Di tengah kontroversi yang muncul ketika itu, TGPF mengeluarkan yang ditunggu-tunggu oleh publik, yaitu hasil temuannya. TGPF menemukan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang serius pada peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998: peristiwa ini merupakan satu kerusuhan yang terencana dan sistematis. Berdasartkan pada temuannya itu, TGPF merekomendasikan kepada Presiden untuk segera mengambil langkah-langkah penyidikan, dan langkah-langkah yuridis terhadap para pelaku, melakukan rehabilitasi dan pemberian kompensasi terhadap para korbannya. Namun demikian, perlu ditambahkan di sini, bahwa hasil penyelidikan TGPF tidak ditindaklanjuti ke tahap berikutnya. Akhirnya Komnas HAM mengambil inisiatif menyelidiki kembali peristiwa ini dengan membentuk KPP HAM untuk Peristiwa Mei 1998. Kasus kedua yang diselidiki adalah pemberlakuan DOM di Aceh. DOM adalah singkatan dari Daerah Operasi Militer, sebuah
76
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
nama operasi militer yang diberlakukan di Aceh dalam upaya menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Presiden BJ Habibie mengeluarkan Keppres No. 88 tahun 1999 tentang Pembentukan Komite Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh. Melalui Keppres tersebut Presiden memberikan mandat kepada komite untuk menyelidiki kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berlangsung di Aceh selama penerapan DOM, sekaligus menyelidiki kasus penembakan dan pembunuhan Teungku Bantaqiah dan pengikutnya di Beutong Ateh, Kabupaten Aceh Barat, yang justru terjadi di awal reformasi, yakni pada 23 Juli 1999. Komite ini dipimpin oleh seorang tokoh Aceh, Amran Zamzami, yang berlatar belakang bisnis. Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan, Komite menemukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius dengan korban yang sangat besar di kalangan masyarakat sipil Aceh pada masa DOM. Sedangkan pada peristiwa penyerbuan militer ke pondok pesantren Teungku Bantaqiah, Komite menemukan tindakan yang di luar prosedur dilakukan oleh tentara. Atas dasar temuan tersebut, Komite memberikan rekomendasi kepada Presiden agar segera menindaklanjuti ke proses hukum hasil penyelidikannya. Tetapi sayangnya, rekomendasi yang dijalankan Pemerintah hanya terbatas pada kasus pembunuhan Teungku Bantaqiah, dan perkosaan di Rumoh Geudong (Aceh Pidie). Kasus ini oleh Menteri Negara Hak Asasi saat itu, Hasballah M.Saad, ditindaklanjuti dengan menggelar Pengadilan Koneksitas di Banda Aceh. Sedangkan kasus ketiga yang diselidiki adalah kasus yang menghebohkan dunia, yaitu pembumihangusan di Timor Timur pasca jajak-pendapat awal September 1999. Peristiwa ini kembali memaksa Pemerintah B.J. Habibie harus menangani dengan cepat kasus ini. Masyarakat internasional mengecam keras peristiwa ini. Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Mary Robinson, mendesak digelar penyelidikan internasional (international fact-finding mission) terhadap kasus tersebut. Presiden Habibie kemudian menerbitkan Perpu No.1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM sebagai respon terhadap desakan pembentukan international tribunal oleh masyarakat internasional (PBB). Terbitnya Perpu No. 1 tahun 1999 memang tak lepas dari pro dan kontra. Meski demikian, Komnas HAM tetap mengambil inisiatif membentuk Tim Penyelidikan untuk mengungkap dugaan
77
DISKURSUS Komnas HAM dan Tantangannya
pelanggaran hak asasi manusia yang massif di wilayah bekas provinsi ke-27 Indonesia tersebut. Tim penyelidikan ini diberi nama KPPHAM Timor Timor, dan beranggotakan tokoh-tokoh hak asasi manusia yang kredibel. Ruang lingkup penyelidikannya ditentukan mulai dari pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sejak Januari 1999 sampai dikeluarkannya TAP MPR pada Oktober 1999 yang mengesahkan hasil jajak pendapat. KPP-HAM Timor Timur menemukan yang terjadi di Timor Timur pasca jajak pendapat merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang mengarah kepada kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Kasus inilah yang untuk pertamakalinya diajukan ke pengadilan hak asasi manusia –segera setelah pengesahan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pasca disahkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komnas HAM mulai melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, khususnya pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa Orde Baru. Berbagai peristiwa pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, dan paska 1999 satu demi satu mulai disentuh oleh Komnas HAM. Diawali dengan pembentukan KPP-HAM Peristiwa Tanjung Priok, dan kemudian dilanjutkan dengan pembentukan KPP-HAM Peristiwa Abepura (Papua), KPP-HAM Peristiwa Trisakti, Semanggi I & II, KPP-HAM Kerusuhan Mei 1998, KPP-HAM Penghilangan Orang Secara Paksa, dan KPP-HAM Peristiwa Talangsari, Lampung. Dari penyelidikan yang dilakukan oleh berbagai KPP-HAM tersebut, hanya hasil penyelidikan KPP-HAM Peristiwa Tanjungpriok yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk Peristiwa Tanjungpriok. Sementara hasil penyelidikan oleh KPPHAM lainnya, hingga sekarang, masih belum ditindaklanjuti penyidikannya oleh Jaksa Agung dengan alasan belum terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc untuk masing-masing peristiwa. Tabel di bawah ini menyajikan lebih lanjut kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu yang telah diinvestigasi oleh Komnas HAM pada masa kepresidenan B.J. Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarno Putri atau setelah pengesahan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
78
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
Tabel 1: Kasus-kasus yang diselidiki oleh Komnas HAM No
KPP HAM
1.
KPP HAM Timtim
2.
KP3T Tanjungpriok
3.
4.
5.
Kasus yang diselidiki
Perkembangan terakhir
Peristiwa bumi hangus paska jajak pendapat tahun 1999
Sudah selesai diperiksa melalui pengadilan HAM ad hoc Jakarta Pusat
Peristiwa penembakan massa Islam di Tanjungpriok pada tahun 1984 KPP HAM Abepura Peristiwa penembakan oleh polisi di Abepura, Papua, yang tejadi pada tahun 2000 KPP HAM Trisakti, Peristiwa penembakan Semanggi I & terhadap demo Semanggi II. mahasiswa tahun 1998-1999 KPP HAM Peristiwa Peristiwa kerusuhan Kerusuhan Mei 1998. menjelang lengsernya preo siden Soeharto pada tahun 1997
Sudah selesai diperiksa melalui pengadilan HAM ad hoc Jakarta Pusat Sudah selesai diperiksa melalui Pengadilan HAM di Makasar
Masih di penyidik Jaksa Agung
Masih di penyidik Jaksa Agung
Sumber: Komnas HAM
Selain menggunakan mekanisme yang disediakan oleh UU No. 26 tahun 2000, Komnas HAM juga melakukan penyelidikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berdasarkan mekanisme yang tersedia melalui UU No. 39 tahun 1999. Kasus-kasus yang diselidiki, antara lain, kasus Aceh di masa DOM. Tim dipimpin oleh Baharudin Lopa—yang kemudian ditindaklanjuti oleh Presiden B.J. Habibie dengan membentuk Komite Independen Pengusutan Tindak Kekerasan Aceh lewat Keppres No. 88 tahun 1999. Kemudian kasus penyerbuan kantor PDI-P atau lebih dikenal dengan “Peristiwa 27 Juli”, kasus penyerbuan pesantren Warsidi atau lebih dikenal “Peristiwa Lampung” –yang kemudian penyelidikannya ditingkatkan dengan membentuk KPP-HAM Peristiwa Lampung, kasus pembunuhan terhadap Udin, wartawan Berita Nasional Yogyakarta, dan kasus kerusuhan Mei 1998—yang juga penyelidikannya ditingkatkan dengan membentuk KPP-HAM Peristiwa Mei 1998. Berbeda dengan penyelidikan dengan menggunakan mekanisme UU No. 26 tahun 2000, penyelidikan berdasarkan UU
79
DISKURSUS Komnas HAM dan Tantangannya
No. 39 Tahun 1999 direkomendasikan tindak lanjutnya dengan menggunakan pengadilan umum. Perlu juga dicatat disini langkah yang dilakukan oleh Presiden Megawati dalam menanggapi pembunuhan Ketua Presidium Dewan Adat Papua, Theys Hiyo Eluay, pada 2002. Megawati meresponnya dengan membentuk Komisi Penyelidik Nasional (KPN). Melalui Keppres No. 10 Tahun 2002, Presiden menunjuk Koesparmono Irsan sebagai Ketua KPN dengan sepuluh anggota yang terdiri dari Danpuspom TNI, dan unsur kepolisian serta tokoh-tokoh Papua. KPN mengungkapkan bahwa Theys Hiyo Eluay terbunuh akibat operasi intelejen yang digelar oleh Satuan Wirabuana dari Kopassus. Kasus pembunuhan ini selanjutnya disidangkan di Pengadilan Militer Surabaya. Selain itu, juga perlu dikemukan di sini langkah yang diambil oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam merespon pembunuhan aktivis hak asasi manusia, Munir, juga membentuk Tim Pencari Fakta. Tim Presiden ini beranggotakan tokoh-tokoh pembela hak asasi manusia dan kepolisian. Tim ini berhasil mengungkapkan latar belakang dan yang bertanggungjawab atas pembunuhan tokoh terkemuka hak asasi manusia itu, dan ditindaklanjuti dengan membawa ke pengadilan pidana orang-orang menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan yang mendapat perhatian dunia internasional tersebut. Berbagai tim penyelidikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dipaparkan pada halaman-halaman di atas, baik yang dilakukan oleh tim pencari fakta bentukan pemerintah maupun dibentuk oleh Komnas HAM, akhirnya bermuara pada pertanggungjawabannya di pengadilan. Pada kurun reformasi ini, paling tidak tercatat digelar tiga pengadilan hak asasi manusia: dua pengadilan koneksitas, dan dua pengadilan militer. Yang diselesaikan melalui pengadilan hak asasi manusia adalah dua pengadilan yang sifatnya ad hoc, yaitu kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur paska jajak-pendapat dan kasus pelanggaran HAM berat Tanjung Priok. Yang satu lagi diselesaikan melalui pengadilan HAM permanen karena peristiwanya terjadi setelah tahun 2000, yaitu kasus Pelanggaran HAM yang berat di Abepura, Papua. Yang diajukan sebagai terdakwa ke hadapan pengadilan saat
80
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
itu, baik yang ad hoc maupun permanen, terdiri dari perwira tinggi militer dan polisi (Pangdam dan Kapolda), gubernur, bupati, perwira menengah hingga pelaku-pelaku lapangan (prajurit dan milisimilisi). Para terdakwa ini, di tingkat kasasi (Mahkamah Agung) hampir semuanya bebas dari hukuman yang dijatuhkan pada tingkat pertama (pengadilan negeri), kecuali untuk Abilio Jose Soares (Gubernur Tim-Tim) dan Eurico Gueteres (Panglima Milisi) yang tetap dinyatakan bersalah di tingkat kasasi (MA). Relasi Komnas HAM dengan Institusi Lainnya Selanjutnya kita akan melihat bagaimana relasi institusional antara Komnas HAM dengan institusi lain dalam penegakan HAM, khususnya dengan Jaksa Agung. Relasi dengan Jaksa Agung ini terkait dengan pelaksanaan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang menempatkan Komnas HAM sebagai penyelidik pro-yustisia. Dengan memberikan peran penyelidik proyustisia untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat kepada Komnas HAM, maka terbangun hubungan antar subsistem antara Komnas HAM dan Jaksa Agung, yaitu hubungan antara penyelidik dan penyidik dalam sistem peradilan pidana (pelanggaran hak asasi manusia yang berat). Inilah yang membedakan dengan penyelidikan (inquiry) berdasarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yang tidak menempatkan Komnas HAM secara langsung ke dalam sistem peradilan pidana. Peran yang baru ini jelas tidak mudah bagi Komnas HAM, dan belakangan sering terjadi perbedaan. Seperti telah dipaparkan di atas, Komnas HAM setidaknya telah melakukan lebih dari lima penyelidikan pro yustisia, yaitu: KPP HAM Timtim; KPP HAM Tanjung Priok (KP3T); KPP HAM Abepura/Papua; KPP HAM Trisakti-Semanggi I dan II; KPP HAM Kerusuhan Mei 1998; KPP HAM Penghilangan Orang; dan KPP HAM Talangsari. Laporan-laporan KPP HAM tersebut telah diserahkan kepada Jaksa Agung untuk dilakukan rangkaian tindakan berikutnya, yaitu penyidikan dan penuntutan. Dalam menanggapi laporan hasil penyelidikan Komnas HAM, Jaksa Agung mempunyai kewenangan untuk menilai apakah laporan penyelidikan tersebut sudah lengkap atau kurang lengkap
81
DISKURSUS Komnas HAM dan Tantangannya
menyatakan ada dugaan terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Jika disimpulkan belum lengkap maka laporan tersebut akan dikembalikan kepada Komnas HAM untuk dilengkapi. Dasar penilaian Jaksa Agung menilai laporan hasil penyelidikan pro yustisia Komnas HAM adalah persyaratan formil dan materil, seperti yang diatur dalam KUHAP. Dasar penilaian Jaksa Agung inilah yang kemudian menjadi batu sandungan hubungan kelembagaan antara Komnas HAM dan Jaksa Agung. Sebagai penyelidik, Komnas HAM tidak harus mengikuti ketentuan formil sebagaimana diatur dalam KUHAP–seperti pengambilan sumpah buat penyelidik. Apalagi pada penyelidikan kasus Timor-Timur dan Tanjung Priok. Persyaratan formil tersebut tidak pernah menjadi dasar penilaian Jaksa Agung. Alasan formil ini baru digunakan Jaksa Agung ketika menerima berkas penyelidikan KPP HAM Trisakti, Semanggi I & II, dan KPP HAM Kerusuhan Mei 1998. Jaksa Agung mengembalikan berkas penyeldikan kedua kasus tersebut dengan alasan formil. Jaksa Agung menilai bahwa laporan penyelidikan Komnas HAM belum lengkap baik secara formil. Persyaratan ini sebenarnya tidak diatur dengan gamblang dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Itulah yang menjadi salah satu hambatan yang serius tidak berlanjutnya hasil penyelidikan Komnas HAM ke tingkat penyidikan dan penuntutan yang pada akhirnya bermuara pada terhentinya penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Selain disebabkan oleh perbedaan persepsi mengenai persyaratan formil tersebut, penyebab lain dari terbengkalainya penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat masa lalu adalah persyaratan formil lainya, yaitu keharusan pengadilan HAM ad hoc terlebih dahulu dibentuk sebelum penyidikan dilakukan. Jaksa Agung berargumen bahwa penyidik tidak dapat menjalankan kewenangan seperti menahan atau menyita tanpa terlebih dahulu ada pengadilan HAM ad hoc. Dengan alasan inilah kemudian Jaksa Agung mengembalikan berkas-berkas hasil penyellidikan Komnas HAM. Padahal dalam penyidikan pelanggaran HAM yang berat pada kasus Timor-Timur dan Tanjung Priok, belum terbentuknya pengadilan HAM ad hoc tidak menjadi halangan bagi Jaksa Agung saat itu untuk melakukan penyidikan. UU No. 26 tahun 2000 juga tidak mengatur
82
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
dengan gamblang masalah ini. Di bawah ini disajikan kasus-kasus yang terhenti karena perbedaan dalam memahami perintah UU No. 26 tahu 2000. Tabel 2: Kasus-kasus pelanggaran HAM yang terhenti No
Nama Kasus
Status
1
Peristiwa 27 Juli
Berkas terhenti di Kepolisian
2
Peristiwa Trisakti, Semanggi I & II
Berkas terhenti di Jaksa Agung
3
Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
Berkas terhenti di Jaksa Agung
4
Peristiwa Penculikan Aktivis
Berkas terhenti di Jaksa Agung
5
Peristiwa Talangsari Lampung
Berkas terhenti di Jaksa Agung
6
Peristiwa Wasior & Wamena
Berkas terhenti di Jaksa Agung Sumber: Komnas HAM
Alasan yang lain adalah kurangnya koordinasi antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, terutama dalam tingkat pemeriksaan awal, telah menyebabkan hambatan yang cukup berarti dalam proses penyelesaian pelangggaran HAM yang berat. Sebelum melakukan penyelidikan Komnas HAM memberikan pemberitahuan kepada Kejaksaan Agung bahwa telah dimulainya penyelidikan. Tapi pada tahapan ini Kejaksaan Agung belum berinisiatif memberitahukan pula kepada Komnas HAM bahwa Kejaksaan Agung akan memperlakukan laporan KPP HAM secara berbeda dengan laporan KPP HAM selanjutnya, khususnya KPP HAM TSS dan KPP HAM Kerusuhan Mei 1998. Di sisi lain, Komnas HAM belum berinisiatif juga melibatkan Kejaksaan Agung dalam penyelidikan, misalnya berkonsultasi kepada kejaksaan agung agar penyelidikan tepat sasaran seperti yang diinginkan oleh kejaksaan agung. Jadi memang tidak mudah menempatkan Komnas HAM sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana, yakni dengan memberinya posisi sebagai penyelidik pro yustisia.
83
DISKURSUS Komnas HAM dan Tantangannya
Penutup Di masa reformasi sekarang Komnas HAM memang memperoleh basis hukum yang lebih kuat, tidak lagi diatur oleh Keputusan Presiden (Keppres), tetapi oleh sebuah UU yang dihasilkan di awal Reformasi. Dan, selain berbeda basis hukumnya, lingkungan politik tempat dimana Komnas HAM beroperasi juga sudah jauh berubah dengan masa sebelumnya. Sekarang lingkungan politik jauh lebih terbuka (demokratis), dibanding dengan periode sebelumnya di masa Orde Baru yang otoriter. Namun demikian, meski memiliki basis legal yang kuat dan lingkungan politik yang demokratis, bukan dengan sendirinya Komnas HAM dapat menjalankan mandatnya dengan lapang dan lancar. Ternyata, dalam lingkungan yang baru tersebut, Komnas HAM justru menghadapi tantangan yang jauh lebih berat: tidak terselesaikannya kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan rendahnya dukungan institusi-institusi negara lainnya terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Komnas HAM. Situasi inilah yang mengundang orang membandingkannya dengan Komnas HAM di masa awal, yang tampak lebih efektif dibanding dengan Komnas HAM di masa reformasi sekarang.
84
Peran Kejaksaan dalam Masalah Hak Asasi Kekinian Domu P. Sihite
Abtraksi Hak asasi manusia (HAM) adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang melekat (inheren) pada diri manusia, bersifat kodrati, berlangsung sepanjang hidup manusia dan universal. Oleh karena itu, segala bentuk pelanggaran terhadap HAM merupakan pengingkaran terhadap harkat dan martabat manusia yang diterimanya sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Pendahuluan Indonesia sebagai suatu bangsa yang mengakui eksistensi Tuhan Yang Maha Esa, mempunyai kewajiban untuk menghormati dan melindungi HAM. Dalam konteks Internasional, Indonesia menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan bahkan telah meratifikasi beberapa konvensi internasional HAM yang penting, antara lain: (i) Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik; (ii) Kovenan tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; (iii) Konvensi tentang Hak Anak; (iv) Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita; (v) Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia; (vi) Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Bila kita mengamati dari sisi peraturan perundang-undangan, terlepas dari implementasinya bagaimana di lapangan, ini menunjukkan setiap adanya produk undang-undang dapat dinilai merupakan suatu kemajuan besar dalam upaya penyelenggaraan pada hak-hak asasi manusia di Indonesia, khususnya hak-hak yang terkait sebagaimana ratifikasi sejumlah dokumen rujukan utama hak-hak
85
DISKURSUS PERAN KEJAKSAAN
asasi manusia internasional. Selain ratifikasi dimaksud, kemajuan dapat juga kita lihat melalui amandemen UUD 1945 yakni mengamandemen beberapa bab yang terkait dengan hak asasi manusia sehingga menjadi komprehensif dan dapat menyesuaikan dengan standar hak-hak asasi manusia Internasional, karena di dalamnya juga ada memuat katakata “hak asasi manusia”. Sebenarnya mendengar istilah “hak asasi manusia” biasanya banyak bayangan orang hanya tertuju pada hak-hak yang bersifat hak sipil dan politik, seperti kebebasan berserikat, kebebasan berpendapat, kebebasan pers, kebebasan berpolitik, kebebasan beragama, bebas dari penyiksaan dan sebagainya. Padahal hak asasi yang bersifat ekonomi, sosial dan budaya, seperti halnya nasib kaum miskin dalam lingkungan masyarakat sangat perlu dan sangat terkait juga dengan hak sipil dan politik. Bila kita melihat dalam literatur hak asasi, dikenal adanya tiga generasi hak asasi. Hak-hak sipil dan politik barulah generasi pertama. Generasi kedua adalah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, sedangkan generasi ketiga adalah hak atas pembangunan, yang mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala bangsa, termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut.1 Pada sisi lain, sebagaimana kerangka acuan yang diuraikan ELSAM antara lain “ Kemajuan yang perlu dicatat yakni di bidang institusional. Komnas HAM kedudukannya diperkuat menjadi didasarkan UU, tidak lagi keputusan Presiden. Gelombang institusionalisasi yang marak pasca rezim otoritarian Soeharto mendorong kelahiran lembaga Negara yang secara spesifik menangani hak asasi seperti Komisi Perempuan, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia atau komisi-komisi lainnya. Dengan gambaran di atas, kemajuan hak-hak asasi manusia di Indonesia, bukan berarti kita sudah bisa menarik nafas lega dalam lapangan hak-hak sipil dan politik, sebab kemajuan ini nampaknya banyak yang baru pada tahap diplomasi HAM dan prosedural. Bukan atau belum HAM secara substansial. Artinya, benar bahwa Indonesia telah meratifikasi berbagai 1. Zainal Arifin Mochtar, ” Konstitusi Ranah HAM” Jalan Berliku Amandemen Komprehensif: dari Pakar Politis, hingga Selebriti”, Kelompok DPD RI, Jakarta , Mei 2009, hal 13
86
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
instrumen hak-hak asasi manusia internasional, membuat peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hak-hak asasi, membentuk berbagai lembaga yang terkait dengan perlindungan hak asasi, dan lain-lain, tetapi ini semua adalah tindakan-tindakan yang bersifat prosedural formal, sehingga baru disebut HAM prosedural. Dari uraian di atas sudah barang tentu timbul pertanyaan bagaimana implementasinya? Masih sangat jauh dari memuaskan masalahnya. Meminjam kata-kata aktivis hak asasi, Amiruddin Al Rahab, dunia internasional juga cenderung melihat HAM dengan ukuran prosedural formal semata. Akibatnya, citra HAM kita membaik. Inilah kecerdasan Pemerintah dalam membaca situasi.”2 Jadi kemajuan HAM prosedural tidak serta merta berarti kemajuan HAM substansial. Tidak kurang dari Komisi Hak Asasi Manusia Nasional (Komnas HAM) pun pernah melontarkan penilaian bahwa “pelaksanaan berbagai prosedur itu tidak berarti terciptanya kondisi yang kondusif bagi penegakan HAM di Indonesia.”3 Menyangkut implementasi, disebut masih jauh dari memuaskan. Ada alasan dan dasar yang dapat diamati selama ini menyangkut belum tuntasnya kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu, mulai kasus G/30 September 1965, Kerusuhan Mei 1998, Kasus Semanggi I dan Semanggi II, Penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998. Penilaian publik barangkali benar karena nyatanya belum ada titik terang kapan penyelesaian kasus-kasus tersebut. Hal ini merupakan bagian yang ada korelasinya dengan institusi lain seperti Komnas HAM yang punya kewenangan melakukan penyelidikan kasus-kasus kejahatan HAM yang berat, Jaksa Agung yang punya kewenangan melakukan penyidikan dan penuntutan. Landasan Hukum Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga Pemerintah yang melaksanakan kedaulatan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang2. Harian Kompas, “Pejabat Tinggi HAM PBB dan Politik Citra” 4 Desember 2007, hal 5 3. Ibid, hal 5
87
DISKURSUS PERAN KEJAKSAAN
undangan. Secara organisasi Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan. Adapun tugas dan wewenang yang dirumuskan dalam Pasal 30 UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam ayat : 1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. Melakukan penuntutan; b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara. 3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. pengawasan peredaran barang cetakan; d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Disamping tugas dan wewenang tersebut dalam UU Kejaksaan, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang
88
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
berdasarkan UU lain, dan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Dalam konteks penegakan hukum, agar warga masyarakat dapat menjunjung tinggi hukum, sangat diperlukan kesadaran hukum yang tinggi yang mencakup kesadaran mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif), dan memikul tanggung jawab bersama dalam menegakkan hukum. Kesadaran hukum sangat perlu dimiliki seluruh warga negara, baik itu penyelenggara pemerintahan khususnya maupun masyarakat pada umumnya. Kesadaran hukum perlu ditumbuhkembangkan di kalangan masyarakat melalui pandangan, pemahaman dan keyakinan dengan perilaku taat hukum, hidupnya akan merasa aman dan tentram (ketertiban umum), keadilannya dirasakan dan HAM-nya terlindungi. Bila dievaluasi sesuai perkembangan keadaan yang nyata, perubahan yang telah terjadi di beberapa sendi kehidupan perpolitikan melalui ketetapan MPR nomor XVII tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia, komitmen penghormatan Hak Asasi Manusia terus berlanjut dengan diundangkannya UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tanggal 23 September 1999 sebagai pelaksanaan ketetapan MPR dimaksud. Adapun dasar pertimbangan dalam UU HAM antara lain, bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan BangsaBangsa (PBB) menggambarkan tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi universal tentang hak asasi manusia yang ditetapkan oleh PBB, serta sebagai Instrumen Internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia. Sebagai penjabaran hal tersebut secara substansial mengandung kewajiban dasar manusia yaitu setiap orang yang ada di wilayah Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia.
89
DISKURSUS PERAN KEJAKSAAN
Lebih lanjut sebagai kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah yaitu menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak-hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain dan hukum Internasional tentang Hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia. Dalam kenyataan, demi mengadili pelanggaran HAM berat, dibuatlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, yang dinilai tidak memadai sehingga dicabut karena tidak disetujui DPR. Kemudian terbitlah UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang disahkan pada 23 Nopember 2000, untuk menindaklanjuti Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dari kedua UU tersebut, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, bila diamati secara cermat, dalam ketentuan umumnya Pasal 1 ayat (1) disebut ” Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Tindak Pidana Pelanggaran HAM Berat dan Kekhususannya Secara Khusus, dasar dan kewenangan Jaksa Agung sebagai penyidik dan Penuntut Umum dalam perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 23 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. a. Tindak Pidana Pelanggaran HAM Berat Sesuai penjelasan umum UU No. 26 tahun 2000 disebutkan bahwa pelanggaran HAM yang berat merupakan extra ordinary crimes dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional. Adapun perumusan perbuatan yang masuk dalam pengertian tindak pidana pelanggaran HAM yang berat sesuai UU
90
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 1011
tersebut, diuraikan dalam pasal-pasal: - Pasal 7 Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat meliputi: a. kejahatan Genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan. -
Pasal 8 Kejahatan Genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagaian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara : a. Membunuh anggota kelompok; b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik sebagian maupun seluruhnya; d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok lain ke kelompok tertentu ke kelompok lain.
-
Pasal 9 Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa : a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; c. Perbudakan; d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. Penyiksaan; g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran, secara
91
DISKURSUS PERAN KEJAKSAAN
paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa, atau bentuk-bentuk lain yang setara; h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal dilarang menurut hukum internasional; i. Penghilangan orang secara paksa; atau j. Kejahatan apartheid. Kekhususan dalam Penanganan Pelanggaran HAM Berat Hukum acara kasus pelanggaran HAM berat tetap mengacu kepada ketentuan Hukum Acara Pidana, kecuali dalam hal ditentukan lain oleh UU No. 26 tahun 2000. Adapun hal-hal yang ditentukan secara khusus oleh UU ini, antara lain sebagai berikut: - Penyelidik Penyelidik perkara pelanggaran HAM yang berat hanya dilakukan oleh Komnas HAM. Dengan demikian lembaga ini yang berwenang menerima laporan atau pengaduan pelanggaran HAM yang berat, sesuai dengan Pasal 22. Dalam melakukan penyelidikan Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komnas HAM dan unsur masyarakat. Dalam hal Komnas HAM melakukan penyelidikan, penyelidik memberitahukan kepada Penyidik. Penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM dalam lingkup pro justisia. Hasil kesimpulan penyelidikan disampaikan kepada Penyidik. -
Penyidik Penyidik perkara pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Penyidikan sebagaimana dimaksud tidak termasuk kewenangan menerima laporan atau pengaduan. Dalam melakukan penyidikan, Jaksa Agung dapat mengangkat tim ad hoc yang terdiri atas unsur Pemerintah dan atau unsur masyarakat.
92
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
-
Penuntutan Penuntutan perkara pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Dalam melakukan penuntutan, Jaksa Agung dapat mengangkat tim ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
-
Persidangan Perkara pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM. Pemeriksaaan perkara tersebut dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan HAM yang berjumlah lima orang terdiri atas dua orang Hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang Hakim ad hoc. (Pasal 27). Pengadilan HAM pertama kali dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan Makassar (Pasal 45). Sementara perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk atas usul DPR. Bagaimana bunyi putusan MK? berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan Presiden (Pasal 43).
-
Tenggang waktu Ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan (240 hari), penuntutan (70 hari), dan pemeriksaan di pengadilan (180 hari).
-
Perlindungan korban dan saksi Perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran HAM yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun.
93
DISKURSUS PERAN KEJAKSAAN
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan tentang perkara pelanggaran HAM yang berat yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan alami sendiri, yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan teror, dan kekerasan pihak manapun (Pasal 34 UU No. 26 Tahun 2000 jo. PP No.2 Tahun 2002). -
Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oeh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain (Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 jo. PP No.3 Tahun 2002).
Pengadilan terhadap Pelanggaran HAM Berat Penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat dapat kita rumuskan dalam pasal-pasal berikut : - Pasal 104 ayat (1) Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 “Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia dilingkungan Peradilan Umum”. - Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Nomor 26 tahun 2000 “Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah Pengadilan Khusus terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat”. - Pasal 43 ayat (1) Undang Undang Nomor 26 tahun 2000 “Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc”.
94
digitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
Dari beberapa pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penanganan perkara pelanggaran HAM berat, diperiksa dan diputus oleh dua jenis Pengadilan HAM, yaitu: - Pengadilan HAM Ad Hoc yaitu Pengadilan HAM yang berwenang memeriksa dan memutus perkara yang terjadi sebelum diundangkannya Undang Undang Nomor 26 tahun 2000. - Pengadilan HAM (biasa) yaitu Pengadilan HAM yang berwenang memeriksa dan memutus perkara yang terjadi sesudah diundangkannya Undang Undang Nomor 26 tahun 2000. Kejaksaan dan Penanganan Kasus Pelanggaran HAM Dengan dasar yuridis yang sudah dipaparkan di muka, tiba saatnya Kejaksaan memaparkan sejauhmana penanganan institusi kami terkait dengan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM sekarang. Bila mengevaluasi secara khusus file berkas yang berkaitan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat yang telah dilimpahkan ke Pengadilan dapat digambarkan sebagai berikut: a. Pelanggran HAM yang berat, yang peristiwanya terjadi sebelum UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dilimpahkan ke Pengadilan: - Kasus Timor-Timur, terdapat 18 Perkara - Kasus Tanjung Priok, terdapat 4 Perkara b. Pelanggaran HAM yang Berat, yang peristiwanya terjadi sesudah undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dilimpahkan ke Pengadilan. - Kasus Abepura 2 Perkara, sudah disidangkan melalui Pengadilan HAM di Makasar. Sementara berkas yang diduga Pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM berlaku, dan saat ini ada di Kejaksaan adalah: - Berkas peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II - Berkas peristiwa kerusuhan Mei 1998 - Berkas peristiwa Penghilangan orang secara paksa - Berkas peristiwa Talang Sari
95
DISKURSUS PERAN KEJAKSAAN
Berkas yang diduga Pelanggaran HAM yang Berat, yang terjadi sesudah UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM berlaku, dan saat ini ada di Kejaksaan adalah : - Berkas perkara Pelanggaran HAM Berat WasiorWamena, masih di Kejaksaan. Hasil penyelidikan berkas dari Komnas HAM setelah diteliti secara cermat, ternyata penilaian atas kelengkapan berkas, baik syarat formil maupun syarat materil belum lengkap. Adapun kendala yang dihadapi dalam proses penanganan berkas yang belum ditindaklajuti penyelesaiannya terkait dengan berkas yang ada di Kejaksaan saat ini yakni : a. Berkas peristiwa Trisakti, Semanggi I dan semanggi II b. Berkas peristiwa kerusuhan Mei 1998 c. Berkas peristiwa Penghilangan orang secara paksa d. Berkas peristiwa Talang Sari. Sehingga untuk menindaklanjuti berkas peristiwa tersebut, berdasarkan Pasal 43 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, mengharuskan terlebih dahulu dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc sebelum dilakukan Penyidikan oleh Jaksa Agung. Adapun dasar dan alasannya dapat digambarkan sebagai berikut : l Penafsiran atas implementasi dari ketentuan Pasal 43 UU No. 26 tahun 2000 beserta Penjelasannya, yakni kapan sebenarnya Pengadilan HAM ad hoc harus dibentuk, haruslah dipahami dalam konteks hakekat sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System). Dalam hal ini, seluruh subsistem yang ada: Penyelidik, Penyidik, Penuntut Umum, dan Pengadilan dalam melaksanakan prosedur penanganan perkara pidana telah diatur sedemikian rupa oleh UU (baik dalam UU No. 26 tahun 2000 maupun KUHAP), sehingga dalam menjalankan fungsinya, subsistem tersebut saling berhubungan satu sama lain secara terpadu. Subsistem yang satu tidak akan dapat memenuhi fungsinya tanpa keberadaan sub system yang lain. Sebagai contoh, penyidik dalam melakukan penyitaan atau
96
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
penggeledahan membutuhkan ijin atau persetujuan dari Ketua Pengadilan yang berwenang. Pengadilan yang berwenang dalam hal ini, sesuai dengan Pasal 43 UU 26 tahun 2000, adalah Pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul DPR. Ijin/ persetujuan penyitaan/ penggeledahan tersebut merupakan syarat keabsahan dari tindakan penyidik, dan Ijin/ persetujuan tersebut menjadi bagian dari berkas perkara serta merupakan persyaratan formil berkas perkara. l Selanjutnya berkas perkara yang dibuat penyidik tersebut akan dijadikan dasar oleh Penuntut Umum dalam membuat Surat Dakwaan, dan seterusnya Surat Dakwaan berikut berkas perkara akan dijadikan dasar pemeriksaan dalam persidangan. Jadi, apabila penyitaan tersebut dilakukan penyidik tanpa ijin/persetujuan Pengadilan yang berwenang (dalam hal ini Pengadilan HAM ad hoc), maka disamping alat/barang bukti yang disita tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah, maka hal tersebut dapat dijadikan dasar oleh terdakwa atau penasihat hukumnya untuk mengajukan eksepsi meminta surat dakwaan Penuntut Umum dibatalkan karena dakwaan dibuat berdasarkan berkas perkara yang tidak sah. Dan apabila eksepsi tersebut diterima oleh Pengadilan HAM ad hoc, maka akan berakibat luas sampai dengan kepada tindakan lain yang telah dilakukan penyidik (penangkapan, penahanan, penyitaan). l Demikian pula tindakan lain yang membutuhkan keberadaan Pengadilan HAM ad hoc, baik yang dilakukan oleh Penyidik maupun Penuntut Umum, misalnya dalam hal perpanjangan waktu penyidikan atau penuntutan dan perpanjangan penahanan, maupun yang dapat dilakukan korban atau keluarganya dalam mengajukan pra peradilan terhadap penghentian penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (6) UU No. 26 Tahun 2000. Dalam hal ini pra peradilan yang dimaksud menjadi kompetensi Pengadilan HAM ad hoc. Dari ilustrasi tersebut dapat dipahami bahwa Pengadilan yang berwenang (dalam hal ini Pengadilan HAM ad hoc) harus sudah ada pada saat akan dilakukan penyidikan atas kasus
97
DISKURSUS PERAN KEJAKSAAN
pelanggaran HAM Berat yang tempus delicti-nya terjadi sebelum diberlakukannya UU No. 26 Tahun 2000. l Bahwa Jaksa Agung untuk melakukan penyidikan atas kasus pelanggaran HAM Berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000, tetap tidak dapat dipenuhi sepanjang Pengadilan HAM ad hoc untuk masingmasing peristiwa belum dibentuk. Pengembalian atas hasil penyelidikan Komnas HAM dalam kasus-kasus retroaktif tersebut baru berkisar pada salah satu aspek persyaratan formil, yakni syarat adanya Pengadilan HAM ad hoc terlebih dahulu belum menyangkut penelitian terhadap kelengkapan persyaratan (formil dan materiil) lainnya terhadap hasil penyelidikan Komnas HAM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan (3) UU No. 26 Tahun 2000 serta Penjelasannya. Dengan demikian, antara Kejaksaan dengan Komnas HAM saat ini sebenarnya tidak ada problem institusional yang membuat adanya suatu ketegangan kedua institusi tersebut dalam kaitannya dengan kasus-kasus HAM yang berat. Namun yang perlu kita sadari bersama sebagai lembaga yang punya peran dan fungsi masingmasing harus tetap saling menghormati dan perlu pembinaan untuk koordinasi dalam mensinergikan potensi masing-masing untuk membahas kasus-kasus yang ditangani baik saat penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM maupun saat penyidikan bilamana dibutuhkan oleh Kejaksaan. Artinya, mekanisme kerja yang langsung ada hubungan hukumnya antara kedua lembaga ini perlu ditingkatkan melalui komunikasi yang aktif. Sebagai langkahnya, pada awal 2011, tepatnya tanggal 21 Januari 2011 sudah dimulai koordinasi melalui audiensi Ketua Komnas HAM dengan anggotanya ke Jaksa Agung yang didampingi oleh Jampidsus, Direktur Peran HAM yang berat, Kapuspenkum, dan staf umum Jaksa Agung. Pertemuan ini dapat disebut sebagai lembaran baru dalam melaksanakan Tupoksi penegakan HAM, agar langkah-langkah penyelesaian kasus diperlukan upaya jalan keluar sehingga dapat menjawab tuntutan masyarakat. Namun sebelumnya pun Kejaksaan dengan Komnas HAM tetap ada komunikasi pada momen-momen tertentu dalam pertemuan
98
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
rapat-rapat sesuai kebutuhan atas dasar undangan dari Komnas HAM ke Kejaksaan. Selama ini Kejaksaan Agung dianggap hanya mampu menghadirkan pelaku kejahatan HAM yang berpangkat rendahan dan mengabaikan adanya rantai komando yang terstuktur dan sistematis dalam kasus-kasus kejahatan HAM. Menanggapi tudingan ini, Kejaksaan menilai kasus kasus kejahatan yang diduga merupakan peristiwa pelanggaran HAM yang berat, yang terkait dengan Komando, tetap berpedoman pada asas yang menyatakan “bahwa semua manusia sama di hadapan hukum.” Artinya, tanpa pandang derajat atau tingkatan bawahan atau atasan ataupun komando, bila ada “bukti permulaan yang cukup” yaitu bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana bahwa seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM yang berat, maka tentunya harus diproses dan diminta pertanggung jawaban melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga persidangan di Pengadilan. Dalam proses penanganan sejak dari awal, tentunya tetap menghormati asas praduga tidak bersalah. Berbicara tentang Komando atau Komandan tetap mengacu pada ketentuan yang telah diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang dapat digambarkan sebagai berikut: - Pasal 42 (1). Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu: a. Komandan militer atau seorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, atau
99
DISKURSUS PERAN KEJAKSAAN
b. Komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berewenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. (2). Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yaitu: a. Atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; b. Atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Sekedar untuk kita ingat kembali, dari file berkas perkara pelanggaran HAM yang berat yang diajukan ke Pengadilan ad hoc dengan level Komando atau Komandan di lapangan dari lembaga tertentu, terkait dengan pelanggaran HAM yang berat, Terdakwa diajukan Penuntut Umum dengan tuntutan agar dijatuhi hukuman penjara, adalah antara lain: l Mantan Gubernur Timor Timur. l Mantan Kapolda Timor Timur l Mantan Pangdam IX Udayana l Mantan Dandrem 164 Wiradharma l Mantan Kapolres Dilli
100
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
l Mantan Dandim Dilli. l Mantan Bupati Liquisa,
Selain nama-nama di atas, masih ada lagi yang lain yang tidak perlu diperinci di sini, namun hasilnya hakim Majelis hakim yang membebaskan melalui putusannya baik di tingkat pertama, banding dan kasasi, termasuk yang peninjauan kembali (PK). Kejaksaan sendiri sudah menilai semuanya telah ditempuh melalui prosedur hukum yang berlaku. Tanpa pilih kasih atau pandang bulu dari manapun lembaganya dan sampai berakhir di benteng pengadilan terakhir. Implementasi HAM melalui Tugas Pokok dan Fungsi Kejaksaan Guna mengimplementasikan tugas pokok dan fungsi kejaksaan dalam penegakan hukum melalui proses penyidikan dan penuntutan perkara, diperlukan peningkatan kualitas jaksa, kemampuan intelektual, integritas moral yang baik, manajerial dan disiplin yang tinggi. Jaksa Agung telah mengeluarkan Peraturan Jaksa Agung No. PER-066/A/JA/07/2007 tentang standar minimum profesi jaksa yang meliputi pengetahuan dan keahlian dalam memahami ketentuanketentuan hukum yang berlaku, termasuk ketentuan HAM, baik tingkat nasional maupun instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi Indonesia. Kemudian penegasan Jaksa Agung melalui Peraturan Jaksa Agung nomor: PER-067/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa, secara tegas dalam Pasal 3 disebut, Jaksa dalam melaksanakan tugas profesinya wajib antara lain: - Mentaati kaidah hukum, peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku serta melaksanakan penegakan hukum sesuai prosedur hukum yang berlaku. - Menghormati prinsip cepat, sederhana, biaya ringan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. - Mendasarkan pada keyakinan dan alat bukti yang sah untuk mencapai keadilan dan kebenaran. - Bertindak secara objektif dan tidak memihak. - Memberitahukan dan atau memberikan hak-hak yang dimiliki oleh tersangka atau terdakwa maupun korban.
101
DISKURSUS PERAN KEJAKSAAN
-
Menghormati kebebasan dan perbedaan pendapat sepanjang tidak melanggar ketentuan perundang-undangan. Menghormati dan melindungi hak asasi manusia (HAM), dan hak-hak kebebasan sebagaimana tertera dalam peraturan perundang-undangan dan instrumen HAM yang diterima secara universal.
Langkah-langkah Lain yang Dilakukan Kejaksaan dalam Implementasi HAM Langkah-langkah lain dari Kejaksaan dalam mengimplementasikan HAM melalui proses penyidikan dan penuntutan adalah dukungan learning by doing dan doing by learning yang diwujudkan melalui: - Pendidikan teknis di lingkungan Pusdiklat Kejaksaan, dimana salah satu materi yang disampaikan dalam proses belajarmengajar adalah masalah HAM, seperti UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM yang berat, dan ketentuan lain yang diratifikasi menyangkut HAM. - Program pendidikan dan training ke luar negeri yang mengikutkan kejaksaan dalam peningkatan kualitas intelektual dan studi banding untuk peningkatan profesionalisme tentang HAM. - Melengkapi referensi buku-buku tentang HAM sesuai perkembangan HAM saat ini dalam perpustakaan Kejaksaan. - Melakukan penyuluhan dan penerangan hukum kepada masyarakat, instansi Pemerintah, Lembaga Pendidikan dengan materi tentang HAM yang dilaksanakan di pusat, provinsi dan di tingkat kabupaten/kota. - Melakukan seminar dan forum diskusi yang berkaitan dengan HAM.
102
HAM dan Polri dalam Penegakan Hukum di Indonesia Iza Fadri
Abstraksi Currently, human rights is getting a crucial issue not only on the national level but also the international. Since 1999, the attention of human rights and law enforcement in Indonesia has increased significantly. The government institution which often involved directly with the human rights issue is the police. The issue of human rights is always integrated with the law enforcement need a legal frame work for the aplication in the field. Human rights violations are not only done by the member of the society but also by the law upholders. In many cases, the use of forces by the police in critical situations are permitted by the law for example to protect the public security and police officers them selves. What is the kind of human rights violation by the police and what does the society know about the definition of human rights violation? In this paper, we tried to discuss the police duty and issue of human rights violation in Indonesia and the consequences of violating the human rights based on the legal frame-work of the Indonesian law.
Pendahuluan Sejak Januari 1999, perhatian terhadap hak asasi manusia (HAM) dan penegakan hukumnya di Indonesia menunjukkan arah peningkatan yang menggembirakan. HAM telah dinyatakan sebagai salah satu kebutuhan yang mendasar dalam konsep pembangunan kemanusian terhadap seluruh masyarakat. Saat ini HAM merupakan permasalahan yang hangat dalam tingkatan nasional suatu negara maupun internasional. HAM bukan lagi dianggap sebagai masalah domestik atau dalam negeri, tetapi HAM sudah menjadi
103
DISKURSUS HAM DAN POLRI
permasalahan yang bersifat universal dan masyarakat internasional. Perubahan politik yang diawali dengan pergantian rezim di Indonesia telah membuka informasi terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh otoritas atau Pemerintah atau pelanggaran hukum yang tidak direspon oleh negara sebagai kejahatan internasional atau yang dapat dikategorikan pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM terjadi karena kekuasaan yang didominasi oleh otoritas kekuasaan. Dalam situasi tersebut pelanggaran HAM oleh Polisi atau pejabat pemerintahan lainnya sering terjadi dalam masyarakat, seperti perampasan hak milik pribadi dengan alasan digunakan untuk kepentingan umum, penculikan dan pembunuhan aktivis HAM dan lain-lain. Sejak turunnya Suharto dari kursi kepresidenan telah membuat penegakan hukum di Indonesia menjadi titik sentral dan selalu menjadi perhatian dalam bentuk penegakannya. Penegakan hukum yang tidak sesuai dengan norma atau ketentuan yang telah ada akan mudah dan cepat mendapat reaksi serta sorotan dari masyarakat, apalagi apabila penyimpangan tersebut dilakukan oleh aparat penegak hukum. Hal ini menandakan bahwa masyarakat telah kritis dan mempunyai kepedulian dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang timbul yang berhubungan dengan penegakan hukum. Kepedulian masyarakat menjadi penting supaya pelanggaran HAM tidak mengambang, dan dibiarkan terulang kembali. Untuk itu supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan. Pendekatan hukum dan dialog harus dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Konsepsi HAM Secara mendasar HAM sebagai suatu konsep telah diakui secara internasional namun terkadang konsepsi tersebut menjadi bias dan dipersepsikan secara sepihak sehingga kita sering melihat bahwa setiap pihak yang berhadapan masing-masing mengklaim dirinya sedang menegakkan HAM-nya. Akan tetapi memang perlu diperhatikan bahwa konsepsi HAM mempunyai jangkauan yang luas dan komplek, tetapi kenyataannya hanya menyentuh para aparat pemerintahan saja khususnya para penegak hukum. Batas antara kewenangan tugas alat negara atau penegak
104
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
hukum yang merupakan representasi negara sebagai otoritas kekuasaan dan penyelenggara negara dengan pelanggar HAM sangat tipis. Untuk itu perlu pemahaman yang mendalam dari penegak hukum dan alat negara terhadap konsep HAM supaya benar-benar memahami perbedaannya. Hukum HAM memusatkan fokus kepada kepentingan pribadi dan kelompok pribadi dengan Pemerintah dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan pribadi atas penyalahgunaan kekuasaan oleh Pemerintah dan juga oleh kelakuan pribadi, kelompok pribadi dan organisasi swasta serta mengusahakan dan menjamin iklim hidup yang sesuai dengan martabat manusia namun juga memperhatikan kepentingan negara sebagai representasi masyarakat dalam mengelola organisasi masyarakat (negara). Secara ideal hukum HAM harus memperhatikan harmonisasi kehidupan masyarakat dalam negara, sehingga ada batas yang jelas antara penegakan hukum dan pelanggaran HAM. Secara faktual penegakan hukum yang dilakukan oleh negara merupakan rangkaian penegakan HAM, namun apabila negara yang diwujudkan oleh otoritas kekuasaan atau Pemerintah tidak menjalankan fungsinya, maka secara faktual pula telah terjadi pelanggaran HAM. Praktik Pelanggaran HAM di Indonesia Terjadinya pelanggaran HAM di Indonesia disebabkan oleh beberapa indikator-indikator, antara lain: a. Pendekatan pembangunan pada masa Orde Baru yang mengutamakan security approach dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran HAM oleh Pemerintah. Cara-cara refresif yang digunakan oleh pemegang kekuasaan dapat mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM, antara lain: 1)
Penangkapan dan penahanan seseorang demi menjaga stabilitas, tanpa berdasarkan hukum.
2)
Penerapan budaya kekerasan untuk menindak warga masyarakat yang dianggap ekstrim.
3)
Pembungkaman kebebasan pers dengan cara pencabutan SIUPP.
4)
Pembatasan hak berserikat dan berkumpul serta
105
DISKURSUS HAM DAN POLRI
menyatakan pendapat, karena dikhawatirkan akan menjadi oposan pemerintah. b. Sentralisasi kekuasaan yang dilakukan Orde Baru dengan pemusatan kekuasaan pada pemerintah pusat yang notabene pada figure seorang Presiden, telah mengakibatkan hilangnya kedaulatan rakyat atas negara sebagai akibat dari penguasaan para pemimpin negara terhadap rakyat sehingga menimbulkan peluang pelanggaran HAM dalam bentuk pengekangan. Hal ini berakibat matinya kreativitas masyarakat dan terkekangnya hak politik warga selaku pemilik kedaulatan. Metode ini dilakukan dalam rangka melestarikan kekuasaan penguasa. c. Kualitas layanan publik yang masih rendah sebagai akibat belum terwujudnya good governance yang ditandai dengan transparansi di berbagai bidang, akuntabilitas, penegakan hukum yang berkeadilan, dan demokratisasi, serta belum berubahnya paradigma aparat pelayan publik yang masih memposisikan dirinya sebagai birokrat bukan pelayan masyarakat, hal ini akan menghasilkan pelayanan publik yang buruk dan cenderung untuk timbulnya pelanggaran HAM seperti: 1) Hilang/berkurangnya beberapa hak yang berkaitan dengan kesejahteraan lahir dan bathin yang sebenarnya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraannya. 2) Hilang/berkurangnya hak yang berkaitan dengan jaminan, perlindungan, pengakuan hukum, dan perlakuan yang adil dan layak. 3) Hilang/berkurangnya hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. 4) Hilang/berkurangnya hak untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus bagi anak-anak, orang tua dan penderita cacat. 5) Hilang/berkurangnya hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
106
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
d. Konflik horizontal dan konflik vertikal telah melahirkan berbagai tindakan kekerasan yang melanggar HAM baik oleh sesama kelompok masyarakat, perorangan, maupun oleh aparat seperti: 1)
Pembunuhan.
2)
Penganiayaan.
3)
Penculikan.
4)
Pemerkosaan.
5)
Pengusiran.
6)
Hilangnya mata pencaharian.
7)
Hilangnya rasa aman, dll.
e. Pelanggaran terhadap hak asasi kaum perempuan masih sering terjadi, walaupun PBB telah mendeklarasikan HAM yang pada intinya menegaskan bahwa setiap orang dilahirkan dengan mempunyai hak akan kebebasan dan martabat yang setara tanpa membedakan; ras, warna kulit, keyakinan agama dan politik, bahasa, dan jenis kelamin. Namun faktanya adalah bahwa instrumen tentang HAM belum mampu melindungi perempuan terhadap pelanggaran hak asasinya dalam bentuk: 1)
Kekerasan berbasis gender bersifat fisik, seksual atau psikologis; penganiayaan, pemerkosaan, dan berbagai jenis pelecehan.
2)
Diskriminasi dalam lapangan pekerjaan.
3)
Diskriminasi dalam sistem pengupahan.
4)
Perdagangan wanita.
f. Pelanggaran hak asasi anak. Walaupun piagam HAM telah memuat dengan jelas mengenai perlindungan hak asasi anak namun kenyataannya masih sering terjadi perlanggaran hak asasi anak, yang sering dijumpai adalah: 1) Kurangnya perlindungan hukum terhadap anak dari segala bentuk kekerasan fisik dan mental.
107
DISKURSUS HAM DAN POLRI
2) Menelantarkan anak. 3) Perlakuan buruk. 4) Pelecehan seksual. 5) Penganiayaan. 6) Mempekerjakan anak di bawah umur. g. Sebagai akibat dari belum terlaksananya supremasi hukum di Indonesia, maka berakibat terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk: 1) Perbedaan perlakuan di hadapan hukum, rakyat kecil merasakan bahwa hukum hanya berlaku bagi mereka, tidak bagi pejabat. 2) Menjauhnya rasa keadilan. 3) Terjadinya main hakim sendiri sebagai akibat ketidak percayaan kepada perangkat hukum. Upaya Pencegahan Pelanggaran HAM di Indonesia 1.
Pendekatan security yang terjadi di era Orde Baru dengan mengedepankan upaya refresif menghasilkan stabilitas keamanan semu dan berpeluang besar menimbulkan terjadinya pelanggaran HAM tidak boleh terulang kembali, untuk itu supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan, pendekatan hukum dan dialogis harus dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2.
Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama ini terbukti tidak memuaskan masyarakat, bahkan berdampak terhadap timbulnya berbagai pelanggaran HAM, untuk itu desentralisasi melalui otonomi daerah dengan penyerahan berbagai kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah perlu dilanjutkan, otonomi daerah sebagai jawaban untuk mengatasi ketidak adilan tidak boleh berhenti, melainkan harus ditindaklanjuti dan dilakukan pembenahan atas segala kekurangan yang terjadi.
108
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
3.
Reformasi aparat Pemerintah dengan mengubah paradigma penguasa menjadi pelayan masyarakat dengan cara mengadakan reformasi di bidang struktural, enviromental, dan kultural, mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM oleh pemerintah.
4.
Perlu penyelesaian terhadap berbagai konflik horizontal dan konflik vertikal di tanah air yang telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang melanggar HAM baik oleh sesama kelompok masyarakat dengan cara menyelesaikan akar permasalahan secara terencana, adil dan menyeluruh.
5.
Kaum perempuan berhak untuk menikmati dan mendapatkan perlindungan yang sama bagi semua HAM di bidang, politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan bidang lainnya, termasuk hak untuk hidup, persamaan, kebebasan dan keamanan pribadi, perlindungan yang sama menurut hukum, bebas dari diskriminasi, kondisi kerja yang adil. Untuk itu badan-badan penegak hukum tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap perempuan, lebih konsekuen dalam mematuhi Konvensi Perempuan sebagaimana yang telah diratifikasi dalam UU No. 7 tahun 1984, mengaktifkan fungsi Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Harus dibuat peraturan perundang-undangan yang memadai yang menjamin perlindungan hak asasi perempuan dengan mencantumkan sanksi yang memadai terhadap semua jenis pelanggarannya.
6.
Anak sebagai generasi muda penerus bangsa harus mendapatkan manfaat dari semua jaminan HAM yang tersedia bagi orang dewasa. Anak harus diperlakukan dengan cara yang memajukan martabat dan harga dirinya, yang memudahkan mereka berinteraksi di dalam masyarakat, anak tidak boleh dikenai siksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, pemenjaraan atau penahanan terhadap anak merupakan tindakan ekstrim terakhir, perlakuan hukum terhadap anak harus berbeda dengan orang dewasa, anak harus mendapatkan perlindungan hukum dalam rangka menumbuhkan suasana phisik dan psikologis yang
109
DISKURSUS HAM DAN POLRI
memungkinkan anak berkembang secara normal dengan baik, untuk itu perlu dibuat aturan hukum yang memberikan perlindungan hak asasi anak, setiap pelanggaran terhadap aturan harus ditegakkan secara professional tanpa padang bulu. 7.
Supremasi hukum harus ditegakkan, sistem peradilan harus berjalan dengan baik dan adil, para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban tugas yang dibebankan kepadanya dengan memberikan layanan yang baik dan adil kepada masyarakat penari keadilan, memberikan perlindungan kepada semua orang dari perbuatan melawan hukum, menghindari tindakan kekerasan yang melawan hukum dalam rangka menegakkan hukum.
8.
Perlu adanya kontrol dari masyarakat (social control) dan pengawasan dari lembaga politik terhadap upaya-upaya penegakan HAM yang dilakukan oleh pemerintah.
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah telah meletakkan landasan hukum yang kuat dalam usaha penegakan HAM di Indonesia, berbagai kebijakan tertuang dalam peraturan perundang-undangan, antara lain: a) Hak-hak tersangka/terdakwa telah dilindungi dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981). b) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. c) UU No. 23 Tahun 2001 tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga. d) PP No. 24 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum Dan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme. e) PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Berat. Tugas Polri Pasal 13 UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri memuat tugas pokok Polri yaitu memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan
110
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
pelaksanaan kepada masyarakat. Polri dituntut harus senantiasa tampil simpatik dan menyenangkan hati masyarakat. Dalam tugas penegakan hukum, Polri harus tegas, kuat dan perkasa walaupun dalam suatu keadaan, terpaksa menggunakan kekerasan. Kepada Polisi diberikan peran tertentu yang tidak diberikan kepada orang lain. Kepadanya diberikan kekuatan dan hak yang tidak diberikan kepada orang biasa. Oleh karena keistimewaan tersebut, Polisi dihadapkan tuntutan-tuntutan yang tidak diminta dari warga negara biasa. Polisi harus berani menghadapi bahaya dan kekerasan, sedang rakyat dibenarkan menghindari bahaya tersebut. Sebagai manusia biasa, Polisi akan menghadapinya dengan perasaan takut, marah, kecurigaan, dibanding dengan orang lain pada pekerjaan yang berbeda. Polisi dituntut untuk memberikan respon terhadap emosiemosi tersebut secara memadai, seperti menunjukkan keberanian, keuletan dan kehati-hatian. Secara teoritik, Polisi sebagai hukum yang hidup berusaha untuk menerapkan peraturan perundang-undangan di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Hal ini sangatlah berbeda dengan aparat penegak hukum lainnya seperti Jaksa, Hakim, pejabat lembaga pemasyarakatan dan Advokat. Polisi terjun langsung untuk mencari dan mengungkap kasus yang terjadi dengan taruhan pangkat dan nyawa di dalam kehidupan masyarakat. Polisi biasanya menghadapi berbagai pilihan untuk mencapai tujuan dalam menyelesaikan pekerjaannya. Penilaian terhadap Polisi didasarkan pada bagaimana ia mampu membuat pilihan tindakan yang benar untuk tujuan yang benar. Secara singkat, Polisi yang baik mampu menjadikan moralitas sebagi bagian yang integral dari pekerjaannya. Pekerjaan Polisi yang boleh menggunakan kekerasan ditujukan untuk mencapai satu dari sekian banyak tujuan moral, yaitu kelangsungan hidup manusia. Dihadapkan kepada tuntutan yang demikian itu banyak pekerjaan Polisi yang secara moral menjadi problematik. Polri sebagai alat negara penegak hukum dan kamtibmas mempunyai posisi yang sentral dalam melaksanakan tugas sebagai representasi kekuasaan dan dalam melaksanakan tugasnya tersebut telah diatur tentang penggunaan kekerasan baik secara nasional maupun internasional, dimana penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat berpotensi menjadi
111
DISKURSUS HAM DAN POLRI
pelanggaran terhadap HAM. Polri sebagai aparat penegak hukum, dalam melaksanakan tugasnya secara yuridis, kadang dalam situasi yang kritis atau genting dapat menggunakan kekerasan dalam menjalankan wewenangnya dan hal tersebut mungkin dapat dibenarkan oleh hukum, terutama saat Polisi harus menangkap atau menahan pelaku kejahatan. Penggunaan kekerasan oleh Polisi dalam melaksanakan tugasnya dalam penegakkan hukum dan kamtinas telah diatur dan diakui antara lain: 1. Dalam Pasal 3 Code of Conduct for Law Enforcement Officials (1979) dinyatakan bahwa petugas penegak hukum diperkenankan menggunakan kekerasan sepanjang penggunaan kekerasan tersebut bersifat eksepsional dan bersifat fungsional atau dengan kata lain penggunaan kekerasan merupakan kekecualian yang bersifat tertentu dan penggunaannya yang bersifat: a. Untuk mencegah terjadinya kejahatan. b. Untuk memudahkan serta membantu menangkap/ menahan tersangka berdasarkan prosedur yang melanggar undang-undang. c. Landasan penggunaan kekerasan adalah asas proporsionalitas. 2.
Dalam kongres PBB tentang Prevention of Crime and Treatment offender di Havana, Kuba (1990) telah diadopsi prinsip-prinsip dasar yang memuat ketentuan tentang syaratsyarat penggunaan senjata api, yaitu: a. Petugas penegak hukum dapat menggunakan senjata api untuk membela diri, untuk menghadapi kondisi terbunuh atau luka berat terhadap ancaman fisik pribadi. b. Untuk mencegah atau persiapan khususnya terhadap kejahatan yang membahayakan kehidupan. c. Untuk menangkap seseorang dalam kondisi yang berbahaya dalam melawan kejahatan. d. Untuk mencegah seseorang melarikan diri dan kecuali dalam kondisi yang mendesak untuk mencapai tujuan.
3.
Dalam hukum positif juga diatur penggunaan kekerasan oleh Polri dalam melaksanakan tugas, antara lain:
112
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
a.
UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri dalam Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa untuk kepentingan umum pejabat Polri dalam melaksanakan tugasnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
b.
Dalam KUHP: - Pasal 50 KUHP yaitu menjalankan peraturan perundang-undangan. - Pasal 51 KUHP yaitu atas perintah jabatan.
Menyikapi fenomena pelaksanaan tugas Kepolisian tersebut, maka Polri dalam merespon situasi harus melaksanakan tugas secara profesional. Dari segi yuridis kewenangan Polri menggunakan kekerasan dalam pelaksanaan tugasnya secara internasional telah diatur dan diakui namun harus tetap terkontrol agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh Polri atau Polri digunakan dan dikooptasi oleh kekuasaan (elit politik). Nilai kejuangan, aktualisasi dan implementasi nilai-nilai kejuangan yang dijabarkan melalui doktrin Tribrata dan Catur Prasetya merupakan modal dasar bagi lembaga Polri. Dalam penjabaran nilai-nilai rersebut telah diciptakan suprastruktur yang menunjang dengan menciptakan lembaga Kode Etik Profesi, sehingga pelaksanaan tugas Anggota Polri terukur dengan kodeetik profesi. Selain hal tersebut Mabes Polri juga telah menerbitkan Juklak dan Juknis tentang pembinaan nilai juang untuk dipedomani dan dilaksanakan oleh setiap Anggota Polri yang diharapkan Anggota Polri tidak melakukan pelanggaran HAM, selain itu tuntutan masyarakat untuk menciptakan Polri yang mandiri secara struktural dan instrumental terlepas dari pengaruh politis menciptakan iklim yang kondusif bagi Polri dalam melaksanakan tugas sehingga dapat dihindari penyalahgunaan kelembagaan Polri sebagai alat kekuasan dalam pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM. Penegakan Hukum oleh Polri Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan hukum yang dicita-citakan yang bersifat abstrak menjadi wujud yang konkret. Peran Polri adalah untuk mengkonkretkan hal tersebut.
113
DISKURSUS HAM DAN POLRI
Penegakan hukum mempunyai tujuan mewujudkan cita-cita hukum berupa ketertiban, kepastian hukum dan keadilan. Penegakan hukum yang dilakukan tanpa disertai penegakan terhadap HAM hanya akan mempertahankan otoritas kekuasaan terhadap kepentingan kekuasaan dan hukum secara luas. Penegakan hukum sangat rentan terhadap perkembangan politik suatu negara sehingga terkadang hukum dapat dikooptasi untuk kepentingan politik atau penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Polri sebagai salah satu komponen fungsi terdepan dalam penegakan hukum berhadapan langsung dengan berbagai macam kompleksitas kemasyarakatan di dalam sistem peradilan pidana (Criminal Justice System). Namun dalam penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri dalam pelaksanaan tugasnya banyak menemui hambatan-hambatan, antara lain: a.
Dalam substansi hukumnya: i. Tentang ketentuan perundang-undangan yang saling bertentangan; ii. Pembaharuan hukum ternyata belum didahului dengan persamaan persepsi, sehingga ada penyelundupan ketentuan hukum yang tidak benar; iii. Masih adanya ketentuan hukum positif peninggalan kolonial Belanda yang tidak sesuai dengan perkembangan jaman; iv. Adanya peraturan perundang-undangan yang belum ada peraturan pelaksananya, sehingga menyulitkan penegakannya; v. Tidak adanya perundang-undangan yang sedemikian lengkap yang dapat mengatur semua perilaku manusia;
b.
Dalam kondisi masyarakat yang dihadapi masih terdapat adanya sikap-sikap dan perilaku masyarakat yang tidak/kurang menguntungkan untuk terselenggaranya penegakan hukum yang baik, antara lain: i. Kurangnya kesadaran hukum masyarakat terhadap pembinaan kamtibnas pada umumnya, khususnya penegakan hukum.
114
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
ii.
Enggan berpartisipasi dalam melaksanakan tugas keamanan yang dilakukan oleh Polri.
iii. Kurang mengetahui atau tidak menyadari apabila hakhak mereka dilanggar atau diganggu. iv.
Kurang mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingannya.
v.
Tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor ekonomi, psikis, sosial atau politik.
Dalam rangka menciptakan profesionalisme di bidang penegakan hukum sebagai suatu core business, Kepolisian telah mengembangkan keorganisasian untuk menunjang hal tersebut. Peningkatan organisasi reserse secara struktural akan berdampak terciptanya anggota Polri yang lebih professional di bidang penegakan hukum. Penegakan HAM oleh Polri Penegakan hukum mempunyai perbedaan dengan penegakan HAM. Penegakan hukum bertujuan mewujudkan cita-cita hukum berupa ketertiban, kepastian hukum dan keadilan, sedang penegakan HAM bertujuan mewujudkan nilai-nilai etika dan moral di dalam kehidupan manusia secara universal. Di dalam nilai etika dan moral tersebut secara implisit terkandung nilai penegakan hukum. HAM sebagai suatu bentuk kejahatan yang melibatkan otoritas kekuasaan sebagai pribadi maupun kelompok. Kejahatan ini sulit dideteksi karena pada prinsipnya pelanggaran HAM ini adalah bentuk kooptasi politik terhadap hukum. Dalam praktiknya, kejahatan ini terjadi secara terencana dan sistematis. Kejahatan atau pelanggaran ini didukung oleh sistem sosial lainnya sebagai bagian dari sistem politik negara. Pelanggaran akan terungkap manakala rezim suatu pemerintahan berakhir atau tumbang, dan sistem pendukung lainnya juga tidak berfungsi. Institusi Pemerintah yang sering terlibat langsung dengan permasalahan HAM adalah Polri. Tujuan strategi Polri dalam menghadapi kejahatan atau pelanggaran HAM adalah untuk menciptakan anggota Polri yang professional. Anggota tersebut harus
115
DISKURSUS HAM DAN POLRI
dapat menguasai pelaksanaan tugas bidang penegakan hukum yang mencakup penyelidikan dan penyidikan, sesuai dengan HAM yang diakui secara internasional sebagai kejahatan internasional. Sebagai penyidik dan penyelidik yang melaksanakan tugas penyidikan yang merupakan penyidik utama dalam KUHAP, Polri mempunyai peran yang besar dalam penegakan hukum yang berhubungan dengan HAM. Dalam menghadapi pelanggaran HAM Polri sebagai aparat penegak hukum perlu melaksanakannya secara terencana serta didukung oleh kebijaksanaan strategi yang jelas. Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia telah diintrodusir suatu mekanisme peradilan. Penyidikan dan penuntutan merupakan suatu subsistem yang berdiri sendiri. Penyidikan sebagai gerbang proses dalam sistem peradilan pidana dilaksanakan oleh lembaga Polri dan dalam proses penyidikan secara umum dilakukan oleh Polri dan Pegawai Negeri Sipil tertentu sesuai dengan lingkup kewenangannya. Dalam KUHAP dinyatakan pula bahwa Polri merupakan penyidik utama dan sekaligus sebagai koordinator penyidikan lainnya, walaupun hal tersebut diingkari oleh beberapa UU lainnya seperti UU No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan, UU No. 9 tahun 1995 tentang Kepabeanan, UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, namun secara menyeluruh penyidikan terhadap tindak pidana yang berhubungan dengan penegakan HAM dilakukan oleh Polri. Secara substansial dan formal kelembagaan Polri pada prinsipnya telah melaksanakan penegakan hukum sebagai rangkaian penegakan terhadap HAM. Namun dalam praktik masih ditemukan kendala-kendala yang bersifat eksternal dan internal. Guna menyikapi hal tersebut, selain upaya untuk meniadakan kendala eksternal, maka Polri secara kelembagaan perlu membenahi diri secara internal. Tugas polisi sangat penting dalam menjaga supremasi HAM dalam kehidupan sosial sebagaimana terdapat dalam UU No. 2 Tahun 2002, yaitu: 1. Polri harus menjaga dan melindungi keamanan masyarakat, tata tertib serta penegakan hukum dan HAM. 2. Polri harus menjaga keamanan umum dan hak milik, serta menghindari kekerasan dalam menjaga tata tertib bermasyarakat dengan menghormati supremasi HAM.
116
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
3. Polri dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka harus menghormati asas praduga tak bersalah sebagai hak tersangka sampai dinyatakan terbukti bersalah oleh pengadilan. 4. Polri harus mematuhi norma-norma hukum dan agama untuk menjaga supremasi HAM. Dalam melaksanakan tugasnya terutama dalam melakukan pemeriksaan, polisi kadangkala mempunyai hambatan-hambatan dalam menjaga supremasi HAM, tetapi Polisi tetap harus menghormati hak-hak tersangka, yaitu antara lain: 1. Hak untuk dilakukan pemeriksaan dengan segera, penuntutan di pengadilan. 2. Hak untuk menjelaskan kepada penyelidik dan hakim dengan bebas. 3. Hak untuk mempunyai penerjemah. 4. Hak untuk didampingi pengacara/penasehathukum dalam setiap pemeriksaan. 5. Hak WNA untuk menghubungi kedutaan negaranya ketika mereka menjadi tersangka dalam suatu kasus kejahatan. 6. Hak untuk menghubungi dokter. 7. Hak untuk didampingi pengacara ketika tersangka ditahan dan untuk mendampinginya selama proses di pengadilan. 8. Hak untuk dikunjungi oleh keluarganya 9. Hak tersangka untuk dikunjungi oleh penasehat spiritualnya. 10. Hak tersangka atau terdakwa untuk mempunyai saksi dalam pembelaan terhadapnya. 11. Hak tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti rugi. Dalam kondisi di atas, dapat dikatakan bahwa keberaan pengacara atau penasehat hukum sangat dibutuhkan untuk menyertai tersangka atau terdakwa selama pemeriksaan oleh polisi sampai mereka dinyatakan terbukti bersalah oleh pengadilan. Tetapi untuk kasus subversi, pengacara atau penasehat hukum tidak dapat menyertai tersangka tetapi hanya dapat melihat jalannya pemeriksaan.
117
DISKURSUS HAM DAN POLRI
Penutup Meningkatnya perhatian terhadap HAM dan penegakan hukumnya di Indonesia telah membuat tuntutan untuk menegakkan HAM menjadi sedemikian kuat baik di dalam negeri maupun melalui tekanan dunia internasional. Oleh karena itu diperlukan niat dan kemauan yang serius dari pemerintah, aparat penegak hukum, dan elite politik agar penegakan HAM berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Strategi Polri dalam menghadapi pelanggaran HAM dapat dinyatakan sebagai upaya profesionalitas di bidang penegakan hukum, penegakkan HAM secara laten merupakan penegakan hukum yang baik secara sistematis merupakan strategi penegakan HAM. Selain itu pula anggota polri perlu diberi pengetahuan tentang hak dan kewajibannya dalam menegakkan hukum sesuai dengan hukum nasional maupun standar internasional, sehingga terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas Kepolisian. Untuk menanggulangi semakin meningkatnya serta mencegah agar pelanggaran HAM di masa lalu tidak terulang kembali di masa sekarang dan masa yang akan datang merupakan sudah menjadi kewajiban bersama segenap komponen bangsa, sehingga diharapkan dengan berpartisipasinya masyarakat Indonesia akan mendorong suasana yang kondusif dan akomodatif terhadap penegakkan HAM.
118
digitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
Daftar Pustaka A. Hamzah, DR. SH., Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, Cetakan Ke-2, SinarGrafika Offset, 1995. Baldwin, R, Kinsey, R, 1982. Police Power and Politics, Namara Group 27/29 Goodge Street, London WIP-IFD, 380, pp. 172. Barda Nawawi Arief, Prof, DR, SH., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Ke-1, PT. CITRA ADITYA BAKTI, Bandung, 1996. Bayley, D.H., 1994. Police for Future, Oxford University Press Inc, New York, 297, pp.112 Binkum Polda Jateng, 2003. Data Pelanggaran Disiplin Anggota POlda Tahun 2001-2003 Hurst Hanum, Guide to International Human Right Practice, Cetakan Ke-II, University of Pennsylvania Press, 1994. Hutajulu, P.H. 1999. Police and Human Rights on Crime CodePenal, CV. Sibaya, Surabaya, pp. 24-25. Kelana, M, 2002, To Understand Indonesian National Police, PTIKPress, Jakarta, pp. 111-113. Koesparmono I., 2002, Human Rights and Law, PTIK-Press, Jakarta, pp. 194-197. Komar Kantaatmadja, Prof, DR SH, LLM (ALM)., Beberapa Pemikiran Memasuki Abad XXII, Angkasa Bandung, 1998. Marbun, B.N. Gaktama, C, 2000. Human Rights, a Good Arrange of State Nation, National Human Right Committee, Jakarta, 98, pp. 141. Moeljatno, 2001. Crime Code Penal, Bumi Nsabtara, Jakarta, pp. 136. MR. R. Tresna, Komentar HIR, Cetakan ke-15, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1996. Paul de Jong, 1986. Het Blauwe Recht-Op weg Naar een beroepscode van de politie, Koninklijke Vermande BV-1986, 175. Paul Hoffman, Prof, Kumpulan Diktat Kuliah “The New Due Process”, oxford university, 1998.
119
DISKURSUS HAM DAN POLRI
Peter Bachr, Pieter van Dijk, Adnan Buyung Nasution, Leo Zwaak, Instrument Internasional Pokok-Pokok Hak Asasi Manusia, Cetakan ke-1, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997. Peter R. Bachr, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Politik Luar Negeri, Cetakan ke-1, Cetakan ke-1, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1998. Peter Davies, Hak-Hak Asasi Manusia, Cetakan ke-1, Cetakan ke-1, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994. Romli Atmasasmita, Hukum Pidana Internasional, Cetakan ke-1, PT. Ersesco Bandung, 1995. Ralph Steinhard, Prof, Kumpulan Diktat Kuliah “Human Right Lawyering”, Oxford University, 1998. Sauryal, S.S, 1999. Ethics In Criminal Justice, Sam Houston State University, 633. Sitompul, D.P.M, 1999. Hukum Kepolisian Indonesia, CV. Tarsito, Bandung, 156, pp. 111-120. Sitompol, D.P.M, 2000. Beberapa Tugas Dan Peranan Polri, CV. Wanthy Jaya, Jakarta, 163, pp.137-148. Konvensi Pengadilan Pidana Internasional Roma. Thomas Burgenthal, International Human Rights Law, Cetakan keIII, Wet Publishing, Co, 1995.
120
OASE
Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Pendekatan Hukum Progresif Yance Arizona
Abstraksi Tulisan ini berisi tiga pokok bahasan berkaitan dengan negara hukum, hak asasi manusia dan pendekatan hukum progresif. Pertama, akan dibahas tentang apa sebenarnya hukum progresif, apa asumsi-asumsi pokoknya dan mengapa ia penting dikemukakan dalam diskursus hukum di Indonesia. Kedua, membahas pilar pokok negara hukum dalam pendekatan hukum progresif dan bagaimana posisinya dalam konstelasi aliran pemikiran tentang negara hukum di Indonesia. Ketiga, membahas posisi hak asasi manusia dalam perkembangan wacana yang menaungi gagasan hukum progresif. Frame yang digunakan adalah pemikiran perintis hukum progresif, Prof. Satjipto Rahardjo (1930-2010), dan beberapa tulisan penstudi lain tentang Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif.
Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum Satjipto Rahardjo (1930-2010) Hukum Progresif Diskursus tentang hukum progresif tidak dapat dilepaskan dari sosok penggagasnya, yaitu (alm) Prof. Satjipto Rahardjo (selanjutnya disebut Prof. Tjip). Mantan Guru Besar Sosiologi Hukum di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu mulai memperkenalkan hukum progresif sejak 2002 lewat berbagai buku dan artikelnya di suratkabar (Susanto, 2010:111). Sejak pertama kali dilontarkan, hukum progresif acap disebut dan digunakan oleh kalangan akademik, praktisi dan aparatus hukum, namun belum diletakkan pada posisi yang jelas dalam konstelasi pemikiran hukum. Prof. Tjip sendiri tidak menyematkan label khusus terhadap pemikiran hukum progresif yang beliau lontarkan. Sebagaimana dibahas oleh Shidarta, terkadang Prof. Tjip mengatakan hukum progresif adalah suatu 'gerakan intelektual'. Pada kesempatan lain ia
123
OASE NEGARA HUKUM DAN HAM
menyebut hukum progresif merupakan suatu 'paradigma' dan 'konsep' mengenai cara berhukum. Bahkan terkadang beliau menyebutnya 'ilmu hukum progresif'. Beliau tidak keberatan ketika Bernard L. Tanya dan kawan-kawan dalam sebuah buku memasukan hukum progresif sebagai sebuah 'teori hukum' (Shidarta, 2010:52). Terlepas dari masih kaburnya 'jenis kelamin' hukum progresif dalam struktur keilmuan (hukum), sebagai sebuah gagasan, hukum progresif telah mampu menggugah banyak pihak. Prof. Tjip mengenalkan hukum progresif sebagai salah satu alternatif wacana dalam pembaruan hukum di Indonesia di era reformasi. Banyak mahasiswa baik yang pernah diajar langsung oleh beliau maupun mengenal gagasan beliau lewat buku kemudian menggeliat membentuk forum-forum diskusi. Sebagian dari mereka menamakan diri 'Kaum Tjipian'. Lalu sekumpulan pengacara yang memiliki gagasan serupa dengan Prof. Tjip membentuk Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP). Ada pula yang menamakan diri Lingkar Studi Hukum Progresif (LSHP) (Nugroho, 2011:284). Di kalangan hakim pun gagasan ini memberi bekas. Prof. Moh. Mahfud MD yang sekarang menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi dalam banyak kesempatan menyebutkan bahwa: “Kami menganut hukum progresif”, terutama berkaitan dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang fenomenal (land mark decision). Hukum progresif hadir di ruang publik menjadi idiom yang digunakan oleh para pegiat dan pejuang hukum yang anti-formalistik. Dalam altar diskursus hukum di Indonesia, hukum progresif merupakan pendatang baru yang mulai ada dan berkembang di awal abad 21 dan ketika penggagasnya, Prof Tjip, telah berusia 70 tahun. Awaludin Marwan menyebutkan bahwa hukum progresif merupakan buah kontemplasi “Prof Tjip Tua” yang berbeda dengan pemikiran “Prof Tjip Muda” yang lebih saintifik (Marwan, 2010:14). Setelah sempat sakit parah dan dirawat sekitar tahun 2003, 'Prof Tjip Tua' akhirnya bisa lebih sembuh dan menghasilkan banyak karya-karya hukum yang kontemplatif. Buku-buku beliau kemudian lebih longgar dengan standar keilmiahan dan lebih mengalir dalam penggunaan bahasa. Hukum progresif tidak hadir dalam ruang hampa. Oleh karena itu, hukum progresif hendaknya dibaca sebagai suatu respons terhadap dinamika yang terjadi dalam pembaruan hukum di
124
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
Indonesia pasca Orde Baru yang instrumenal dan fungsionalistik. Pembaruan hukum pasca Orde Baru disebut instrumenal dan fungsionalistik karena dua pendekatan dominan yang menjadi arus dalam pembaruannya, yaitu pendekatan pembaruan peraturan (legal reform approach) dan pendekatan pembaruan kelembagaan (institutional reform approach) (Arizona, 2010:127). Pembaruan peraturan dilakukan dengan menciptakan dan mengganti peraturan perundang-undangan dan kebijakan lainnya. Indikasinya jumlah legislasi meningkat. Hal ini membuat hukum menjadi 'rimba' peraturan perundang-undangan, saling tumpang tindih satu sama lain dan banyak hukum yang kemudian menjadi tidak implementatif atau mubazir (legisferitis). Hukum menjadi semakin teknikal dan memerlukan pembelajaran teknis yang jauh dari pemahaman awam. Hal ini pula yang secara tidak sadar memberi ruang yang semakin besar kepada para sarjana hukum untuk mendominasi pemaknaan hukum. Sedangkan pembaruan kelembagaan dilakukan dengan membenahi institusi negara yang dilakukan dengan penegasan pemisahan kekuasaan antar cabang kekuasaan negara (separation of power) dan pembentukan lembaga-lembaga independen. Pembentukan Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, pemilihan presiden langsung, pembentukan 12 lembaga independen dan 42 lembaga baru di bawah kekuasaan presiden menunjukkan betapa ramainya pembenahan kelembagaan yang diupayakan dalam pembaruan hukum. Pembaruan kelembagaan ini sejalan dengan penciptaan mekanisme check and balances dalam diskursus rule of law agar negara tidak jatuh kembali ke tangan otoritarianisme. Dua pendekatan dominan itu belum mampu membawa bangsa Indonesia membangun sistem hukum yang membahagiakan rakyatnya dan mendatangkan keadilan. Secara kasat mata kita lihat sehari-hari kasus besar dilakukan oleh para aparatus negara baik di lingkungan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Kebanyakan kasus yang melibatkan penguasa diredam seperti kasus Bank Century dan mafia pajak. Namun di sisi lain, hukum diterapkan secara tajam kepada rakyat kecil yang mengambil kakao, pisang dan ranting kayu untuk kebutuhan mempertahankan hidupnya. Belum lagi kekerasan dan kriminalisasi terhadap rakyat di kampung-kampung yang mempertahankan wilayah kehidupannya dari eksploitasi atau
125
OASE NEGARA HUKUM DAN HAM
penghancuran oleh para pengusaha yang difasilitasi oleh pemerintah. Sekalian persoalan dalam kehidupan berhukum di Indonesia memuncak pada dua persoalan utama yaitu korupsi dan cara pandangan aparatus yang positivistik. Sebagai sebuah gerakan, hukum progresif lahir sebagai respons atas kekecewaan kepada penegak hukum yang kerap berperspektif positivis, yang hanya terpaku pada teks dalam undangundang tanpa mau menggali lebih dalam keadilan yang ada di masyarakat. Para penganut paham positivisme (lebih tepatnya paham legisme) kerap berdalih paham civil law yang dianut Indonesia sebagai warisan dari sistem hukum Kolonial Belanda 'mengharuskan' hakim sebagai corong undang-undang (la bouche de la loi) dan aparatus penegak hukum lainnya sebagai 'mesin hukum' yang berkerja secara mekanis berdasarkan postulat-postulat hukum tertulis. Sebagai kritik terhadap positivisme hukum, hukum progresif tidak berhenti ketika peraturan diterapkan pada kenyataan, melainkan terus berupaya sebagai rangkaian proses searching for the truth (pencarian kebenaran) yang tidak pernah berhenti (Rahardjo, 2005:3). Bahkan hukum progresif mempromosikan cara berpikir yang mematahkan cara-cara lama dalam berhukum yang diistilahkan dengan 'rule breaking', yaitu sebagai salah satu strategi menembus kebuntuan legalitas formal guna menggapai keadilan. Prof. Tjip tidak hendak menjadikan hukum progresif sebagai suatu tipe hukum yang khas dan selesai (distinct type and a finite scheme), melainkan lebih merupakan gagasan yang mengalir, yang tidak mau terjebak ke dalam status quo, sehingga menjadi mandek (stagnant) (Shidarta, 2011:54). Hukum progresif selalu ingin setia pada asas besar, 'hukum adalah untuk manusia.' Hukum progresif bisa diibaratkan sebagai papan petunjuk, yang selalu memperingatkan, hukum itu harus terus-menerus merobohkan, mengganti, membebaskan hukum yang mandek (Rahardjo, 2009a:81-2). Meskipun tidak hendak menjadikan hukum progresif sebagai suatu yang final, Prof. Tjip dalam salah satu tulisannya (Rahardjo, 2007:139-45) menyebutkan setidaknya ada tiga pilar utama dalam hukum progresif, yaitu: (a) Bertujuan untuk mengabdi bagi kepentingan manusia, bukan sebaliknya. Hal ini sejalan dengan asas besar dalam hukum progresif yaitu hukum untuk manusia, bukan
126
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
manusia untuk hukum. Keutamaan manusialah yang menjadi tujuan hukum, sehingga dalam konteks ini, ia sebenarnya membicarakan hak asasi manusia tanpa harus terjebak dengan standar-standar normatif hukum hak asasi manusia; (b) Mengkritik cara berhukum status quo yang positivistik-legalistik. Hal ini merupakan salah satu pembeda (distinction) antara hukum progresif dengan mainstream pembangunan hukum di Indonesia pasca Orde Baru yang sebenarnya merupakan warisan dari rezim-rezim sebelumnya; dan (c) Mengutamakan perilaku baik dalam berhukum. Hal ini mencirikan bahwa hukum progresif bersifat non-instrumenal dengan meletakan manusia sebagai faktor determinan dalam kehidupan berhukum, bukan peraturan sebagai faktor determinan. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat Hukum progresif tumbuh di dalam situasi ketika Indonesia mengalami transisi paska Orde Baru. Dalam masa transisi itu ada banyak sekali proyek pembaruan hukum yang berkembang dan dibingkai dalam rangka membentuk negara hukum Indonesia. Hal ini senada dengan tuntutan reformasi, yaitu mewujudkan supremasi hukum. Bangsa Indonesia memasuki reformasi tahun 1998 dengan kebosanan terhadap negara otoriter yang surplus kekuasaan. Negara otoriter itu ingin diganti dengan negara hukum. Secara normatif, buah dari perjuangan ini terlihat di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Namun bagi Prof. Tjip, komitmen yuridis yang termaktub dalam UUD tersebut tidaklah cukup, karena membangun negara hukum bukanlah persoalan menancapkan plang nama, melainkan proyek raksasa yang terus menjadi. Membangun negara hukum tidak cukup hanya dengan membentuk institusi baru, melakukan pemilihan langsung, menciptakan mekanisme judicial review, desentralisasi dan sebagaimana yang berporos pada negara (state center), melainkan lebih mendasar daripada itu, membangun negara hukum adalah membangun suatu budaya bernegara hukum. Prof. Tjip dalam satu tulisannya menuliskan: “Dalam bernegara hukum yang utama adalah kultur, the cultural primacy,
127
OASE NEGARA HUKUM DAN HAM
yaitu suatu kultur pembahagiaan rakyat” (Rahardjo, 2009:67). Dengan demikian, negara hukum bukan saja dibangun dengan berporos pada negara (state centered), melainkan juga pada masyarakatnya (society centered). Lalu bagaimana mengenali gagasan negara hukum dalam pendekatan hukum progresif? Tulisan beliau yang berjudul “58 tahun negara hukum Indonesia” (Kompas, 11/08/2003) dan satu buku yang berjudul “Negara hukum yang membahagiakan rakyatnya” (2008) dapat dipakai untuk mengidentifikasi gagasan-gagasan utama negara hukum yang dikonsepsikan oleh Prof. Tjip. Setidaknya ada tujuh pilar utama negara hukum dalam pendekatan hukum progresif (Arizona, 2011:132-4). Pertama, ia hadir sebagai kritik terhadap negara hukum liberal. Negara hukum liberal (rule of law dan rechtsstaat) lahir dalam rahim sosial Eropa untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Eropa pada abad ke-18 yang sejalan dengan berkembangnya nasionalisme, demokrasi dan kapitalisme. Semangat yang menaungi perubahan di Eropa pada masa itu adalah individualisme-liberalisme yang ditopang oleh golongan borjuis yang berupaya merebut tempat di dalam hukum yang sebelumnya dikuasai oleh raja-raja dan gereja. Sedangkan negara hukum di Indonesia hadir untuk menjawab tantangan paska kolonial dan dalam dekade terakhir untuk menjawab tantangan dalam masa paska otoritarianisme. Struktur sosial masyarakat Indonesia yang lebih mengedepankan kebersamaan dan komunalisme tidak sejalan dengan tradisi di Eropa yang individualistik. Kedua, negara hukum dari bawah (the rule of law from below). Kebanyakan pemikir hukum Indonesia kontemporer mempromosikan konsep negara hukum liberal (rule of law) yang telah teruji di Eropa dan Amerika untuk memaknai negara hukum Indonesia. Prof. Tjip mengkritik upaya transplantasi konsep tersebut dengan mengutip penelitian Tamanaha yang menunjukkan bahwa transplantasi gagasan negara hukum liberal di negara-negara nonEropa seperti Micronesia telah membuktikan sejumlah bukti
128
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
kegagalan. Indonesia bagi Prof. Tjip tidak perlu mengikuti pola transplantasi yang mengadopsi atau mengimpor (imposed from outside) gagasan negara hukum dari Eropa yang memiliki susunan masyarakat yang jauh berbeda dengan Indonesia. Prof. Tjip menawarkan membangun negara hukum dari bawah (the rule of law from below) yang berbasis pada susunan sosial masyarakat Indonesia yang ketimuran. Ketiga, negara hukum bukan saja hukum negara. Studi tentang negara hukum selama ini berfokus pada negara dan hukum negara. Oleh karena itulah yang selalu dibenahi dalam proyek ini adalah peraturan perundang-undangan dan kelembagaan negara. Prof. Tjip mencoba membuka ketertutupan itu dengan memasukan dimensi hukum rakyat sebagai salah satu fundamen dalam bernegara hukum. Dalam tulisan yang berjudul “Era hukum rakyat” (2000) beliau membahas posisi hukum rakyat yang semakin menguat paska Orde Baru. Bernegara hukum dengan hukum negara (formalinstitutional) saja tidak akan mencukupi untuk mencapai tujuantujuan bersama. Hukum rakyat (cultural-interactional) baik adat dan kebiasaan harus dilibatkan secara bersama-sama. Dengan kata lain, Prof. Tjip memberi ruang kepada pluralisme hukum masuk dalam wacana tentang negara hukum. Keempat, peran aktif negara untuk mewujudkan negara hukum yang membahagiakan rakyatnya. Artinya bukan rakyat yang harus datang 'meminta-minta' untuk dilayani oleh negara, melainkan negaralah yang aktif datang kepada rakyat (Rahardjo, 2009:106). Negara hukum harus menjadi negara yang baik (benevolent state) yang memiliki kepedulian dan nurani (a state with conscience), bukan negara netral maupun negara penjaga malam (nightwatcman state). Pilar ini berbeda dengan relasi antara negara dan masyarakat dalam pandangan Lockean yang memproyeksikan relasi hak-kewajiban antara negara dan masyarakat. Untuk mewujudkan negara bernurani atau negara yang budiman, negara tidak harus dipimpin oleh para filsuf sebagaimana diandaikan Plato. Melainkan mirip dengan pendapat Aristoteles, bahwa negara harus dikelola oleh praktik-
129
OASE NEGARA HUKUM DAN HAM
praktik kebajikan (practical wisdow) dan moralitas kebajikan (moral virtue) dari para penyelenggara negaranya (Miller, 2010:17). Praktik dan moralitas kebajikan inilah dalam bahasa Prof. Tjip disebut dengan nurani (conscience). Kelima, keutamaan manusia. Tujuan hukum bagi Prof. Tjip adalah untuk mengabdi dan menjunjung tinggi martabat manusia (human dignity). Membangun negara hukum pun dilakukan untuk mencapai keutamaan kemanusiaan. Oleh karena itu Prof. Tjip jelasjelas menyebutkan bahwa ia tidak mengikuti paham Kelsenian yang sangat peduli dengan bentuk dan struktur logis-rasional negara hukum, melainkan membicarakan negara hukum sebagai suatu bangunan nurani (conscience, kokoro), sehingga segala hal yang berhubungan dengan negara hukum tunduk dan ditundukan pada nurani sebagai penentu (determinant). Bukan peraturan sebagai faktor determinan. Keenam, melampaui hukum tertulis. Prof. Tjip tidak menampik keberadaan hukum tertulis, misalkan konstitusi tertulis. Tetapi konstitusi tertulis itu harus dibaca secara bermakna agar bisa menyelami moral yang ada di balik konstitusi tertulis. Hal ini yang beliau sebut sebagai 'pendalaman makna' dalam membaca konstitusi atau dengan meminjam istilah Ronald Dworkin sebagai: the moral reading of the constitution (Rahardjo, 2007:41). Dengan melampaui hukum tertulis, maka para pengemban hukum dapat menyelami makna keadilan yang tersemat di dalam hukum tertulis. Ketujuh, negara hukum substantif. Menurut Tamahana ada dua versi negara hukum dalam diskursus tentang negara hukum (Tamanaha, 2004:91). Pertama adalah negara hukum formal yang bersendikan (a) pembatasan kekuasaan negara; (b) pemerintahan berdasarkan hukum; (c) pemerintahan yang dipilih secara demokratis. Sedangkan versi kedua adalah negara hukum substantif yang mengutamakan (a) pemenuhan hak-hak asasi; (b) pengutamaan manusia dan keadilan (human dignity and justice); dan kesejahteraan warga (welfare). Dalam dua kelompok ini, gagasan Prof. Tjip tentang negara hukum lebih menekankan negara hukum substantif yang
130
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
berupaya mencapai kebahagiaan bagi rakyatnya. Bagaimanakah gambaran negara yang membahagiakan rakyatnya itu? Suteki yang merupakan salah satu murid Prof. Tjip di Universitas Diponegoro mengilustrasikan negara hukum yang membahagiakan rakyatnya itu sebagaimana disampaikan oleh para dalang wayang kulit (Suteki, 2011:35). “Mereka menggambarkan suatu negara atau kerajaan bahagia yang makmur dengan ungkapan yang sangat agung, yaitu sebagai ”negari ingkang panjang hapunjung, hapasir wukir loh jinawi, gemah ripah karto raharjo.” Artinya, wilayah suatu negara meluas dari pantai laut sampai puncak gunung, tanahnya subur (loh), barang-barang serba murah, terbeli (jinawi), murah sandang-pangan, pedagang dapat bepergian tanpa gangguan (gemah), rakyat yang jumlahnya banyak hidup rukun (ripah), petani mempunyai ternak yang cukup tanpa ada gangguan (karto) dan pemerintah dapat memenuhi kebutuhan rakyat dan tidak ada kejahatan (raharjo).”
Ketujuh pilar yang disebutkan di atas tidak hendak membatasi atau memberikan definisi final terhadap gagasan negara hukum dalam pendekatan hukum progresif, sebab hal yang final dan definitif merupakan hal yang dihindari dalam pemikiran hukum progresif. Pilar-pilar yang disebutkan di atas hendak menjadi penanda awal untuk memahami gagasan negara hukum dalam hukum progresif yang mengalir, berkembang untuk menjawab tantangan dalam kehidupan bernegara, bermasyarakat dan berhukum. Hukum Progresif di Tengah Aliran Pemikiran Negara Hukum Indonesia Di Indonesia, negara hukum bernurani ala hukum progresif bukanlah aliran pemikiran hukum yang baru. Sebelumnya, telah ada beberapa konsep tentang negara hukum yang digagas maupun diperkenalkan oleh para pemikir hukum Indonesia. Setidaknya telah ada empat aliran pemikiran tentang negara hukum yang berkembang di Indonesia.
131
OASE NEGARA HUKUM DAN HAM
Tabel Empat Aliran Hukum di Indonesia Negara Integralistik
Negara Hukum Pancasila
Nomokrasi Islam
NeoConstitutionalism
Tokoh
Soepomo, Djokosoetono, Hamid S. Attamimi
Soekarno, Notonagoro, Padmo Wahyono, Oemar Senoadjie, Soediman Kartohadiprodjo
M. Natsir, Tahir Azhary, Yusril Ihza Mahendra
Todung Mulya Lubis, Adnan Buyung Nasution, Sunaryati Hartono, Jimly Asshiddiqie
Gagasan pokok
Nativisme, Organisisme, komunalisme, kedaulatan negara, ketimuran
Pancasila, keterpimpinan,
Islam sebagai sentral bernegara
Promosi HAM, dualisme antara penguasa dan rakyatnya, fungsionalisme (supremacy constitution, separation of power, check and balances), tidak anti-market, liberalisme, interdisiplin.
Relasi negara, warga dan hukum
Kekeluargaan, desa, mengutamakan posisi kultural, mengutamakan kewajiban
Mengutamakan kolektivisme (gotong-royong)
Teori konsentris, Islam sebagai sentral, kemudian negara dan hukum, contoh Negara Madinah
Kontrak sosial, Lockean, relasi hak-kewajiban, otonomi di luar negara
Pertama, Konsep Negara Integralistik. Konsepsi tentang negara integralistik di Indonesia dapat dirujuk akar pemikirannya pada pemikiran Soepomo, khususnya terkait dengan pidato Soepomo dalam persidangan BPUPKI, 31 Mei 1945, ketika menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Dr. Radjiman Wediodiningrat dua hari sebelumnya tentang apa filosofische grondslag atau dasar falsafah dari Negara Indonesia yang akan dibentuk (Simanjuntak, 1994:81). Dalam pidatonya tersebut Soepomo terlebih dahulu menguraikan aliran pikiran tentang negara. Pertama ia menyampaikan teori negara liberal yang banyak diterapkan di negara-negara Eropa Barat. Negara liberal menciptakan dualisme antara penguasa dan rakyatnya di mana hak berada pada tangan rakyat dan penguasa berkewajiban untuk menjamin dan memenuhi hak-hak individu warga negara berdasarkan kontrak sosial yang dibuat oleh rakyatnya.1 Kemudian ia menyampaikan negara dalam teori kelas di mana negara merupakan alat kelas yang berkuasa di dalam masyarakat. Konsep ini beranjak dari pandangan Marxisme tentang negara. Soepomo menolak kedua konsep tersebut dengan mengajukan konsep negara integralistik. Konsep negara intergralistik menurut Soepomo adalah konsep yang cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia, sejalan dengan tradisi ketimuran dan ia mengangkat konsep desa sebagai 1. Lebih lanjut untuk penjelasan tentang negara hukum liberal ini dapat dibaca Reza A. Wattimena, 2008. Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta: Kanisius. Khususnya tentang konsep negara hukum menurut John Locke dan JJ. Rousseau.
132
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
konsep bernegara. Dalam konsep negara integralistik, negara diandaikan sebagai sebuah makhluk hidup (organisisme) (Bourchier, 2007:117) di mana antara penguasa dan rakyat menyatu (manunggal) menjadi satu badan. Soepomo mendasarkan konsep negara integralistik pada pemikiran Spinoza, Adam Muller dan Hegel (Bahar et al, 1995:33). Dalam konsep negara integralistik, tugas negara bukan untuk menjamin kepentingan individu atau kelompok, tetapi untuk melindungi kepentingan seluruh masyarakat (Bourchier, 2007:118-9).2 Kedua, Negara Hukum Pancasila. Konsep Negara Hukum Pancasila merujuk kepada ide Pancasila Soekarno yang diutarakan pada masa persidangan BPUPKI. Pada saat itu, Pancasila yang dilontarkan oleh Soekarno diterima sebagai ideologi untuk mengatasi berbagai kelompok yang ada seperti Islam dan Komunisme. Konsep Negara Hukum Pancasila itu kemudian juga mewarnai perdebatan di dalam Konstituante (1956-1959). Pada saat itu ada dua faksi besar di dalam Konstituante antara Islam dan Pancasila. Konstituante tidak dapat memutuskan persoalan dasar negara dan kemudian dibubarkan oleh Soekarno.3 Baik konsep negara integralistik dari Soepomo maupun Pancasila dari Soekarno sama-sama anti-individualisme dan juga anti-liberal. Bedanya, Soekarno tidak mengambil desa Indonesia tradisional tolak ukur dalam mengembangkan gagasan kenegaraan sebagaimana dilakukan oleh Soepomo, ia mengambil ukuran penentu dari aspek-aspek pemikiran kaum nasionalis seluruh dunia yang dilihatnya paling progresif (Bourchier, 2007:127). Kalangan ahli hukum yang melanjutkan gagasan Soekarno tersebut antara lain Notonagoro, Padmo Wahyono, Oemar Senoadjie dan Soediman Kartohadiprodjo. Ketiga, Nomokrasi Islam. Gagasan Islam sebagai dasar negara merupakan perdebatan yang cukup panjang, bahkan sudah bermula sejak sebelum Republik Berdiri. Pertama kali perdebatan itu meruncing pada saat penyusunan Piagam Jakarta. Kemudian perdebatan di dalam Konstituante dan juga didebatkan dalam amandemen UUD 1945 (1999-2002). Para pengusung gagasan ini merujuk Negara Madinah pada zaman Nabi Muhammad SAW sebagai contoh terbaik dalam kehidupan bernegara. Pada permulaan republik, para pengusung gagasan ini adalah kelompok Masyumi di 2. Lebih lanjut untuk memahami konsep negara intergralistik dapat dibaca Marsilam Simanjutkan, 1994. Paham Negara Integralistik, dan David Bourchier, 2007. Pancasila versi Orde Baru dan asal muasal negara organisis (integralistik), Yogyakarta: Aditya Media Yogyakarta bekerjasama dengan Pusat Studi Pancasila UGM. 3. Lebih lanjut tentang perdebatan di dalam Konstituante dapat dibaca Adnan Buyung Nasution, 2001. Aspirasi pemerintahan konstitusional di Indonesia: studi sosio-legal atas konstituante 1956-1959, Cet 2. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
133
OASE NEGARA HUKUM DAN HAM
bawah Muhammad Natsir. Sedangkan di kalangan akademisi dan politisi ada Muhammad Tahir Azhary dan Yusril Ihza Mahendra. Muhammad Tahir Azhari di dalam disertasinya4 menggunakan teori lingkaran konsentris untuk menjelaskan relasi antara agama, hukum dan negara. Agama merupakan inti atau lingkaran terdalam dari relasi yang ada, setelah itu ada hukum pada lingkaran kedua, kemudian pada lingkaran terluar adalah negara. Keempat, Neo-Constitutionalism.5 Yang penulis maksud dengan Neo-Constitutionalism di dalam tulisan ini merujuk kepada perkembangan baru studi kenegaraan di Indonesia dalam dua dekade terakhir. Ciri menonjol dari aliran ini antara lain: (a) Mendorong gagasan dualisme antara penguasa dan rakyatnya, relasi hakkewajiban sebagaimana berkembang dalam negara hukum liberal; (b) Mempromosikan hak asasi manusia; (c) Pembangunan struktur dan sistem yang bekerja secara fungsional melalui supremasi konstitusi, pemisahan kekuasaan negara, dan mekanisme check and balances; (d) Anti-monopoli dari pemerintah, sehingga sejalan dengan upaya untuk mendorong desentralisasi serta mendorong otonomi di luar negara, otonomi pasar dan otonomi komunitas; (e) Interdisipliner, perluasan studi tentang negara hukum dengan pendekatan lain selain pendekaytan politik, misalkan pendekatan lingkungan, ekonomi dan sosial. Lalu bagaimana konsep negara hukum dengan pendekatan hukum progresif dalam berbagai aliran tersebut? Di tengah konstelasi di atas, negara hukum dalam pendekatan hukum progresif mengikuti tradisi yang berupaya menonjolkan keaslian hukum Indonesia dari sejarah dan perkembangan masyarakatnya (nativism) yang senada dengan upaya Soepomo melalui konsep negara integralistik. Kesamaan ini terlihat dalam salah satu tulisan Prof. Tjip yang mengendaki operasionalisasi gagasan Negara Hukum Indonesia dengan mengadvokasikan konsep 'negara organik' (Rahardjo, 2009:71-2). Kita ketahui bahwa konsep negara organik yang mempersepsikan negara sebagai satu kesatuan organ seperti manusia pernah dipergunakan oleh negara totaliter dan fasis seperti Nazi Jerman dan juga menjadi penopang otoritarianisme Orde Baru. Namun untuk membedakan gagasannya dengan praktik totalitarianisme negara organik, Prof. Tjip menawarkan konsep 'negara organik terbatas'. Namun masih teramat samar tentang apa 4. Disertasi Muhammad Tahir Azhari dibukukan dengan judul: Negara Hukum: Studi tentang prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, implementasinya pada periode Negara Madinah dan masa kini. Edisi 2, 2003, Jakarta: Kencana. 5. Ran Hirchl menggunakan istilah new constitutionalism untuk menujuk proses-proses politik yang diarahkan menjadi proses-proses hukum (judicialization of politic) (Hirchl, 2006:721). Sementara itu, Stephen Gill menyebutkan bahwa new constitutionalism merupakan wujud neoliberalisme yang erat kaitanya dengan rule of law. Sebagai wujud neoiloberalisme dalam kajian konstitusi, maka asumsi-asumsi dasar dari new constitutionalism adalah penjabaran dari neoliberalism (Gill, 2000:3).
134
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
sebenarnya yang beliau maksud dengan konsep 'negara organik terbatas' itu. Ini merupakan salah satu tugas yang beliau sisakan kepada kita untuk dijawab dalam wacana dan praktik di kemudian hari. Gagasan negara hukum dalam pendekatan hukum progresif yang dilontarkan oleh Prof. Tjip menghendaki sesuatu yang beranjak dari hal empiris, bukan dari gagasan-gagasan abstrak sebagaimana gagasan Negara Hukum Pancasila dan Nomokrasi Islam yang pernah diupayakan oleh para pemikir hukum Indonesia terdahulu. Hukum progresif juga tidak menerima begitu saja paham fungsionalisme konstitusional yang berkembang akhir-akhir ini sebab ketidakpercayaannya bahwa negara bisa berjalan sesuai dengan mekanismenya secara normal, apalagi bila sistem yang ada malah mempertahankan status quo. Bukan lembaga negara yang akan menolong orang lemah, melainkan kebajikan-kebajikan dari para penyelenggara negara. Oleh karena itu, dalam pendekatan hukum progresif tidak menghendaki negara sebagai figur yang netral, melainkan sebagai negara yang penuh kebaikan (benevolent state). HAM dalam Hukum Progresif Bagaimana pembicaraan hak asasi manusia dalam hukum progresif? Bila menelusuri tulisan-tulisan dari Prof. Tjip kita jarang sekali menemukan beliau menggunakan frasa 'hak asasi manusia', apalagi dalam tulisan beliau pada penghujung usia. Namun tidak berarti hukum progresif yang beliau lontarkan anti terhadap hak asasi manusia. Sebenarnya Prof. Tjip merupakan salah satu tokoh pejuang hak asasi manusia. Beliau adalah anggota Komnas HAM periode pertama, pada 1998 sampai 2002 (Marwan, 2011:22). Prof. Tjip menduduki sub-komisi pengkajian instrumen HAM. Sebagai anggota pertama di tubuh institusi dan menempati posisi di bidang instrumen HAM, bukanlah pekerjaan mudah bagi beliau untuk pertama kalinya mengkodifikasikan sekaligus mempelajari seluruh perangkat instrumen HAM, seperti Deklarasi Wina, Prinsip-Prinsip Paris, Deklarasi Penyandang Cacat, Konvensi dan Protokol Status Pengungsi UNHCHR, Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan, Konvensi Perlindungan Buruh Migran, Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, Budaya; Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan
135
OASE NEGARA HUKUM DAN HAM
sebagainya. Tidak hanya sekadar berhenti mempelajari kententuan instrumen HAM Internasional saja. Bagi seorang anggota pertama, 'pengharmonisan' hukum merupakan pekerjaan yang tak mudah. Menyelaraskan antara kententuan internasional dengan kententuan nasional, seperti UUD 1945 amandemen 1, 2, 3, 4; UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan sebagainya (Marwan, 2011:22-3). Meskipun sempat menjadi bagian dari Komnas HAM, gagasan hukum progresif yang beliau kembangkan tidak terjebak dalam institusionalisasi hak asasi manusia. Sebagaimana nampak dalam tulisan-tulisan beliau pada tahun 2000-an dimana beliau tidak menjadikan instrumen hak asasi manusia sebagai landasan memperjuangkan hak asasi manusia dan gagasan hukum progresif. Ada tudingan bahwa hak asasi manusia merupakan produk barat dengan nuansa individualisme dan liberalme yang kuat. Karena itulah beliau tidak hendak masuk menggunakan terma yang maknanya sudah diisi dengan individualisme dan liberalisme meskipun pada intinya membicarakan hal yang sama dengan yang beliau perjuangkan, yaitu kemanusiaan yang bersifat universal. Hal ini karena beliau konsisten mengkritik dominasi hukum barat sekalian dengan produknya yang bearakar dari paham liberalisme. Beliau bahkan mengajak kita untuk keluar dari tradisi hukum liberal dan belajar pada tradisi hukum di Jepang atau pada tradisi Timur yang mengutamakan komunalisme dan pencarian kebahagiaan. Upaya beliau untuk tidak terjebak dengan standarstandar hak asasi manusia juga sejalan dengan filsafat idealisme, yang bersinggungan dengan gagasan hukum progresif (Shidarta, 2011:5860), yang berkeinginan menjadikan hukum sebagai institusi yang dibiarkan mengalir, tidak membeku dalam instrumen hukum. Gagasan kemanusiaan yang beliau usung tidak membeku di dalam instrumen hak asasi manusia. Selain itu, upaya untuk tidak terjebak pada standar-standar hak asasi manusia juga sejalan dengan pendekatan sosiologi hukum non-instrumental yang beliau geluti. Beliau tidak hendak menggantungkan hak asasi manusia pada instrumen hukum internasional dan nasional, melainkan menjadikan manusia sebagai titik pangkal sekaligus tujuan dari hak asasi manusia. Dengan kalimat
136
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
lain dapat diutarakan bahwa hukum progresif melampaui standarstandar hak asasi manusia dengan berfokus pada martabat kemanusiaan (human dignity). Maka hukum progresif bukan hendak mengekslusi pentingnya perjuangan hak asasi manusia, melainkan ingin mengajukan cara pandang berbeda dalam melihat hak asasi manusia dan relasi antara negara dengan rakyatnya. Bagaimana relasi antara negara dengan rakyatnya dalam pandangan hukum progresif? Prof. Tjip tidak hendak memproyeksikan relasi antara negara dengan rakyatnya sebagaimana kebanyakan dikembangkan pada negara modern yang mengikuti pemikiran John Locke. Dalam pandangan Lockean, relasi negara dengan rakyatnya adalah relasi antara hak dengan kewajiban. Hak berada pada tangan rakyat dan kewajiban berada pada tangan negara. Rakyat berkumpul dan bersepakat membuat suatu kontrak sosial yang kemudian memasukan jaminan hak-hak mereka dalam hukum tertulis dan menyepakati pembentukan negara dengan sekalian aparatusnya untuk memenuhi kewajiban tersebut (Wattimena, 2008). Relasi antara negara dan rakyat dalam pandangan hukum progresif bukanlah relasi negara dan rakyat dalam konsep Lockean tersebut. Bagi Prof. Tjip, negara harus menjadi negara yang baik (benevolent state) yang memiliki kepedulian dan nurani (a state with conscience), untuk mengayomi rakyatnya. Artinya bukan rakyat yang harus datang 'meminta-minta' untuk dilayani oleh negara, melainkan negaralah yang aktif datang kepada rakyat (Rahardjo, 2009:106). Jadi yang dikedepankan adalah tanggungjawab negara terhadap rakyatnya. Prof. Tjip berkali-kali menjadikan Jepang sebagai contoh bagaimana relasi antara negara dan rakyatnya dapat diwujudkan tanpa harus mengikuti pandangan Lockean. Jepang acapkali dirujuk sebagai cerminan bernegara dan berhukum a la timur yang dianggap lebih cocok untuk Indonesia. Bila Prof. Tjip masih hidup ketika gempa dan tsunami melanda Jepang baru-baru ini, tentunya beliau akan kembali menyampaikan relevansi untuk belajar bernegara kepada Jepang. Pada paska gempa dan tsunami kita dapat melihat di berbagai media bagaimana Pemerintah Jepang berupaya sekuat tenaga untuk melindungi rakyatnya yang terkena bencana, tidak ada penjarahan dan rakyatnya begitu percaya dengan upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi bencana. Jepang
137
OASE NEGARA HUKUM DAN HAM
menunjukan bagaimana tanggungjawab yang bernurani dapat hidup saat situasi bencana melanda rakyatnya. Relevansi Hukum Progresif Negara hukum Indonesia adalah proyek yang belum selesai, melainkan proses yang menjadi (Rahardjo, 2009:107). Masih banyak yang perlu diperjelas dan dimantapkan. Membangun negara hukum adalah proyek raksasa. Demikian pula sebenarnya dengan gagasan hukum progresif yang dilontarkan oleh Prof. Tjip berkaitan dengan negara hukum dan hak asasi manusia. Membaca terus hukum progresif, mengulas, mengkritik dan membacanya secara baru merupakan penghargaan terhadap intelektualitas Prof. Tjip, sang penggagas hukum progresif. Hukum progresif membutuhkan pemaknaan-pemaknaan, bukan sebuah definisi yang pasti. Penulis sependapat dengan Anton F Susanto bahwa tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim secara pasti makna hukum progresif, sebab jika klaim itu muncul, tidak akan ada lagi progresivitas (Susanto, 2011:108). Oleh karena itu, tulisan ini hanya ingin penulis posisikan sebagai sebuah pemaknaan terhadap konsepsi negara hukum dan hak asasi manusia dalam pendekatan hukum progresif. Bukan sebagai sebuah definisi yang final atas gagasan negara hukum dan hak asasi manusia dalam hukum progresif. Prof. Tjip telah berikhtiar untuk melahirkan gagasan alternatif tentang negara hukum di Indonesia, meskipun sebenarnya gagasannya itu belum tuntas selesai. Salah satu tema yang penting untuk didiskusikan lebih lanjut adalah bagaimana sebenarnya kerangka operasional dari gagasan Satjipto Rahardjo tentang negara hukum yang membahagiakan rakyatnya dan memajukan kemanusiaan dapat diwujudkan. Berkaitan dengan hak asasi manusia, pemikiran hukum progresif sebenarnya bersendikan pada asas besar bahwa hukum adalah untuk manusia. Hal ini senafas dengan sila kedua Pancasila dan juga dengan tunjuan-tujuan instrumen hak asasi manusia internasional serta nasional. Namun dalam mengembangkan gagasan berkaitan dengan pengutamaan manusia di dalam hukum, Prof. Tjip tidak hendak terjebak pada kerangka normatif hukum, melainkan menjadikan manusia dengan segenap nilai dan perilakunya sebagai titik tolak sekaligus tujuan dari pada hukum.
138
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
Menutup tulisan ini saya menyampaikan bahwa gagasan Prof. Tjip tentang negara hukum dan hak asasi manusia perlu terus dihidupi. Bukan saja untuk menghidupi semangat beliau yang konsisten membangun hukum dari basis sosial bangsa Indonesia, tetapi juga karena alasan lain: (1) Mengimbangi pendekatan instrumental yang selama ini dikembangkan dalam mewujudkan negara hukum Indonesia; (2) Menjadi alat analisis untuk membuka kedok kepentingan penguasa di balik idiom negara hukum yang dikesankan netral; (3) Mengingatkan bahwa negara hukum bukanlah barang statis, tetapi dinamis dan memiliki tujuan-tujuan untuk membahagiakan rakyatnya; dan (4) Memperluas keterlibatan masyarakat dalam membangun negara hukum lewat kebajikankebajikan manusianya.
139
TINJAUAN
Tinjauan film Imagining Argentina:
Melawan Penghilangan Masa Lalu dengan Nujum I Gusti Agung Ayu Ratih
Title Directed by Produced by Written by
: : : :
Starring Distributed by Release date(s) Running time Language
: : : : :
Imagining Argentina Christopher Hampton Michael Peyser, Diane Sillan Lawrence Thornton (novel), Christopher Hampton Antonio Banderas, Emma Thompson Arenas Entertainment (USA) September 12, 2003 107 minutes English
They told us, we must never look back. But, we have to look back. It is our sacred duty to look back. Carlos Rueda, Imagining Argentina (2003) Tidak selalu mudah berurusan dengan masa lalu. Apalagi bila urusan itu melibatkan kesalahan yang sangat fatal dan menghancurkan citacita kemanusiaan suatu masyarakat. Di negeri-negeri yang pernah mengalami masa pemerintahan otoritarian perbincangan tentang bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan pelanggaran HAM di masa lalu seakan tak ada habisnya. Kalaupun surut, itu hanya sementara. Setiap saat ada saja peristiwa yang memunculkan perbincangan ini kembali karena korban dan keluarganya masih ada. Bahkan negeri-negeri yang sudah berhasil menyelenggarakan proses pengungkapan kebenaran, pengadilan terhadap pelaku kejahatan, baik yang diikuti dengan rekonsiliasi dan reparasi, maupun tidak, masih harus menghadapi akibat meluas dan mendalam dari masa lalu yang kelam. Yang kerap menjadi penghalang utama dalam memulai atau melanjutkan suatu perbincangan tentang masa lalu adalah seruan untuk melupakan, yang datang bukan saja dari Pemerintah, tetapi juga masyarakat. Mengingat dan mempersoalkan kejahatan di masa
143
TINJAUAN Tinjauan film Imagining Argentina
tidak ingin kita mengingat kekejaman Soeharto, Orde Baru, serta perangkat pendukungnya, dan membicarakan penderitaan korban. Sementara itu negara memilih membunuh janin Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan membiarkan pelaku melenggang bebas dari pengadilan. Selama pemerintah belum mampu menengahi perbedaan pandangan tentang masa lalu tugas membangun pemahaman umum masih bertumpu pada korban, keluarganya, dan masyarakat yang tidak lagi melihat masa lalu sebagai ancaman. Pembahasan film di bagian berikut memperlihatkan betapa tidak sederhana tugas ini dan membutuhkan lebih dari sekedar kehendak baik. Membayangkan Argentina Film Imagining Argentina (2003) memberi kita secuplik gambaran tentang pengalaman sebuah keluarga menghadapi terorisme negara di masa lalu. Antara 1976-1983 rakyat Argentina mengalami apa yang disebut Perang Kotor (Guerra Sucia) selama pemerintahan diktator militer di bawah pimpinan Jendral Jorge Rafael Videla. Perang ini merupakan bagian dari Operasi Kondor (Operación Cóndor), operasi intelijen dan pembunuhan, yang didukung oleh Amerika Serikat untuk menghabisi gerakan kiri di negeri-negeri Amerika Selatan, seperti Bolivia, Brazil, Chile, Uruguay dan Paraguay. Satuan-satuan militer dan kepolisian Argentina secara khusus menghabisi orang-orang yang dianggap Sosialis/Komunis dan anggota atau simpatisan kelompok-kelompok gerilyawan penentang Pemerintah dengan cara penculikan, penyiksaan, perkosaan dan pembunuhan massal. Korban yang jatuh diperkirakan antara 9.00030.000 orang. Komisi Nasional untuk Penghilangan Orang (CONADEP) yang dibentuk setelah junta militer terguling pada 1983 memperkirakan sekitar 13.000 orang diculik dan tidak kembali. Bukannya tidak ada perlawanan terhadap operasi ini. Kelompok-kelompok gerilya kota Montoneros dan Tentara Rakyat Revolusioner (ERP) melancarkan aksi-aksi penculikan, pembunuhan dan pemboman terhadap militer dan polisi, serta para pimpinan perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di Argentina. Namun, gerakan melawan penghilangan paksa yang kemudian menjadi terkenal di seluruh dunia justru dilakukan oleh kaum ibu yang kehilangan anak-anak mereka, Madres de Plaza de Mayo. Plaza de Mayo diambil dari sebuah nama plaza yang terletak
144
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
lalu dianggap persoalan psikologis dan cerminan sikap tidak bijaksana segelintir korban karena mereka demikian penuh dendam dan tak ingin melihat masa depan. Tindakan ini hanya akan menghambat langkah maju bangsa dan negara. Masalahnya, mereka yang berteriak 'lupakan masa lalu' bukannya tidak peduli dengan masa lalu. Sebaliknya, mereka menjaga benar agar masa lalu dari sudut pandang mereka tidak diganggu-gugat. Apalagi jika mereka terlibat dalam perumusan sudut pandang ini demi suatu kepentingan politik. Mereka akan menolak berurusan dengan kerumitan berbagai versi agar mereka tidak perlu berhadapan dengan konsekuensi dari sebuah pengetahuan: pertanggungjawaban. Negara secara khusus membutuhkan satu versi sejarah yang tidak rumit, tegas batas antara si jahat dan si baik, seperti dongeng kebajikan kanak-kanak, agar klaim kebesaran yang sudah dibangun kokoh tidak terguncang. Suka atau tidak suka kita akan selalu berurusan dengan masa lalu. Pertanyaannya kemudian apa yang harus atau perlu diingat dari masa lalu dan bagaimana kita mengingatnya. Di Indonesia, kita pernah dipaksa untuk terus-menerus mengingat kehebatan Jendral Soeharto dan militer, terutama Angkatan Darat, dalam menumpas 'G30S/PKI' dan kekejaman PKI terhadap para jendral di Lubang Buaya. Setiap 30 September dan 1 Oktober selama 32 tahun kita harus mengingat peristiwa-peristiwa ini dengan khidmat sebagai bukti kesetiaan kita kepada Pancasila dan UUD 1945. Setelah ritual tersebut berhasil diakhiri, kita mencoba berbagai cara untuk menemukan penggantinya. Korban mulai bercerita. Lusinan film dibuat untuk melawan film Arifin C. Noer, Pengkhianatan G30S/PKI, lusinan buku ditulis untuk mengimbangi buku putih Nugroho Notosusanto. Upacara demi upacara diselenggarakan bersama korban agar masyarakat luas tahu, berani bercerita dan bertanya serta mempertanyakan apa yang terjadi. Desakan demi desakan diajukan ke arah negara agar diciptakan ruang bercerita bagi korban, ruang pengakuan bagi pelaku, dan ruang kebenaran baru bagi seluruh bangsa. Setelah 13 tahun upaya-upaya ini berlangsung kita masih harus berhadapan dengan gerakan-gerakan liar anti-Komunis yang
145
TINJAUAN Tinjauan film Imagining Argentina
di pusat ibukota Buenos Aires yang didirikan pada 1884 untuk memperingati revolusi 25 Mei 1810 yang merintis jalan kemerdekaan bagi Argentina, Bolivia, Paraguay dan Uruguay dari penjajahan kerajaan Spanyol. Selama kurang lebih 10 tahun ibu-ibu tersebut melakukan tuguran (vigil) di Plaza de Mayo dengan membawa foto anak-anak mereka. Pertama kali mereka berkumpul di depan istana kepresidenan Casa Rosada pada 30 April 1977. Jumlah mereka hanya 14 orang. Setiap Kamis ibu-ibu yang berdatangan bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah mereka yang hilang. Penculikan terhadap tiga pendiri organisasi mereka tidak membuat para ibu ini mundur ketakutan. Pada tahun yang sama terbentuk pula Abuelas de Plaza de Mayo, organisasi kaum nenek untuk mencari cucu-cucu mereka yang hilang bersama ibunya yang sedang mengandung saat diculik. Selain berjalan dalam arak-arakan mengelilingi pelataran plaza, untuk menandai perlawanan mereka para ibu ini mengenakan penutup kepala putih dengan sulaman nama anak-anak mereka seperti selimut bayi. Imagining Argentina berusaha merangkum sejarah korban penghilangan paksa melalui pengalaman Carlos Rueda (Antonio Banderas), seorang sutradara teater anak-anak, yang kehilangan istri dan anak perempuannya. Awalnya keluarga kecil ini tidak terlalu terlibat dalam kegiatan politik. Namun, sang istri, Cecilia Rueda (Emma Thompson), yang bekerja sebagai jurnalis mulai terusik kesadarannya saat mendengar berita tentang hilangnya anak-anak sekolah yang memprotes mahalnya tarif bis kota. Ia kemudian menulis artikel tentang anak-anak hilang tersebut walaupun Carlos keberatan karena khawatir istrinya akan mendapat masalah. Kekhawatiran Carlos bukannya tak beralasan. Pada suatu hari Cecilia diculik dari rumahnya oleh segerombolan pria berbaju preman yang mengendarai sedan Ford Falcon berwarna hijau. Berbekal informasi dari seorang saksi mata, Carlos berusaha menemukan keberadaan sang istri dengan mendatangi instansi demi instansi pemerintahan sampai menemui jendral yang dianggap berwenang atas operasi ini. Dalam proses pencarian ini Carlos tibatiba menyadari bahwa dia memiliki kewaskitaan—kemampuan menerawang nasib atau keadaan orang dari jarak jauh. Ia melihat apa
146
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
yang terjadi pada Cecilia, gambaran tempat penyekapannya, dan mencoba melacak tempat-tempat ini berdasarkan penglihatannya. Saat Carlos berjumpa dengan para ibu Plaza de Mayo, ia juga dapat melihat apa yang terjadi pada anak-anak mereka hanya dengan menatap foto-foto mereka atau menggenggam tangan ibu-ibu ini. Kewaskitaan Carlos lalu membawa keluarga korban ke pertemuan rutin di halaman rumah Carlos. Sebagai penghiburan atas rasa kehilangan mereka berkumpul dan mendengarkan Carlos bercerita tentang apa yang dilihatnya. Permainan prima bintang-bintang kawakan, narasi dan dialog yang cerdas dan puitik, dan ketepatan musik yang menyertai rangkaian tampilan gambar memberi kekuatan pada pesan-pesan penting yang ingin disampaikan film ini. Sejak awal ditekankan bahwa melihat ke masa lalu tidak akan membuat kita kehilangan orang yang kita cintai. “Adalah tugas suci kita untuk melihat ke belakang.” Pesan ini diperhadapkan dengan adegan drama mitologi Yunani tentang pemusik Orpheus yang kehilangan istrinya, Euridyce, untuk selamanya karena ia melanggar pesan para penguasa bawah tanah untuk tidak menoleh ke belakang. Sanggar drama anak-anak tempat Carlos bekerja menampilkan drama ini di awal dan di akhir film dengan akhir yang berbeda. Seakan-akan Carlos ingin mengatakan bahwa keberanian menatap masa lalu setara dengan kesiapan melawan mitos yang menghantui kita. Pesan lain yang tak kalah pentingnya adalah kekuatan imajinasi dalam tindak berlawan. Tirani mungkin memiliki kuasa tak terhingga yang digunakan untuk membunuh segala, tapi mereka tak dapat membunuh imajinasi. Bagi Carlos kewaskitaan yang ia miliki adalah perwujudan kekuatan imajinasi dan senjata untuk melawan ketidakadilan. Metafora tertentu juga digunakan untuk memperlihatkan betapa penguasa tak memiliki imajinasi sehingga dengan mudah memunggungi kemerdekaan dan menyerah kepada kekuatan yang tampak lebih unggul. Mobil yang digunakan gerombolan penculik, lazim disebut Ford Falcons of Buenos Aires atau 'mobil maut', diproduksi oleh pabrik Ford di AS dan menjadi penanda hubungan tak seimbang antara AS dan Argentina dalam operasi anti gerakan kerakyatan.
147
TINJAUAN Tinjauan film Imagining Argentina
Falcon sendiri adalah burung pemangsa sejenis elang. Sementara itu saat Carlos melacak tempat penyekapan istrinya, ia bertemu dengan ratusan burung ramah beraneka jenis yang menggiringnya ke lahan indah (Villa Esperanza atau Rumah Harapan) milik pasangan Yahudi korban holokaus, Amos dan Sara Sternberg. Masuknya elemen-elemen magis dalam film ini mirip dengan gaya 'magic realism' yang digunakan banyak penulis Amerika Latin untuk menggambarkan kenyataan yang pedih di negeri-negeri mereka. Carlos sebagai sutradara teater menunjukkan betapa tipis batas antara imajinasi dan realitas seperti kehidupannya juga. Apa yang sebelumnya terdengar seperti cerita belaka tiba-tiba menjadi kenyataan. Dengan melampaui batas-batas kenyataan-imajinasi tampaknya sang sutradara berupaya memaparkan peristiwa demi peristiwa lebih menyeluruh. Sayangnya, upaya ini terlampau kasar menafsirkan makna kekuatan imajinasi sehingga terasa melecehkan perjuangan yang sifatnya fisik. Untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi keluarga korban tidak perlu lagi melakukan aksi atau bentuk-bentuk gugatan yang lain; mereka cukup bertanya kepada ahli nujum semacam Carlos Rueda. Bahkan tuguran para ibu Plaza de Mayo pun menjadi tidak lebih penting dari kegiatan mendengarkan hasil terawangan Carlos. Yang juga cukup mengganggu adalah cara film ini membincangkan kekerasan melalui penglihatan Carlos. Kekerasan di ruang-ruang siksa digambarkan sedemikian vulgar dan kasat mata sehingga pada bagian-bagian tertentu film ini terasa seperti teror itu sendiri. Anehnya, yang berulangkali ditunjukkan secara visual adalah penyiksaan terhadap perempuan, khususnya perkosaan. Dan, perkosaan digambarkan lebih sebagai alat pemuas nafsu hewani para prajurit daripada bagian dari strategi penaklukan pihak musuh. Penggambaran gamblang serupa ini menjurus pada apa yang sering disebut 'pornografi kekerasan'. Pertanyaannya kemudian apakah memang perlu kita mengingat dengan detil tindak-tindak kekerasan yang menimpa para korban di masa lalu? Ada beberapa film lain yang berbicara tentang masa lalu dengan lebih bertanggungjawab. Misalnya, dari Argentina sendiri sebuah film realis, Official Story, dengan jernih menggambarkan
148
dignitas Volume VII No. 1 Tahun 2011
pergolakan yang dialami sebuah keluarga saat sang istri mengetahui bahwa putri yang ia adopsi ternyata diambil paksa dari pasangan yang diculik pasukan intelijen militer. Tanpa perlu menggambarkan tindak-tindak kekerasan secara gamblang film ini berhasil menciptakan suasana tegang dan pedih yang dihadapi keluarga korban dan juga orang-orang yang bukan korban, saksi, maupun pelaku. Dari Hollywood pernah muncul Missing, arahan sutradara ternama Costa Gavras yang bercerita tentang hilangnya wartawan AS, Charles Horman, segera setelah Presiden Salvador Allende digulingkan militer pada 1976 dan kegigihan ayah dan istri Horman mencari kekasih mereka di Cile. Sedangkan yang bermain dengan 'magic realism' dengan kecanggihan teknik sinematografi dan animasi mengagumkan adalah Pan's Labyrinth, karya sutradara Meksiko, Guillermo del Toro. Film ini menggambarkan naiknya fasisme di Spanyol pada pertengahan 1940an dari kacamata seorang anak perempuan kecil. Lorong-lorong imajinasi si anak dijelajahi untuk memahami bagaimana kekerasan yang demikian telak hanya sesaat menimbulkan kengerian tapi tidak berhasil menghabisi keinginan membuat dunia baru. Penutup Patut diakui bahwa karya-karya kreatif yang membicarakan pengalaman para korban menghadapi kekerasan negara sedikit banyak membantu perjuangan mengajak masyarakat untuk tidak melupakan masa lalu begitu saja. Apapun bentuknya upaya menceritakan kembali kisah korban dan keluarganya akan memperluas gugatan terhadap negara yang sebaliknya ingin kisahkisah tersebut terkubur sama sekali. Namun, apabila karya-karya ini dimaksudkan sebagai wahana penyadaran dan pendidikan tetap perlu dipertimbangkan apa sebenarnya yang perlu diingat dari masa lalu dan bagaimana menyajikan soal-soal tertentu agar sampai pada tujuan yang diharapkan. Kadang-kadang penggambaran kisah pedih yang berlebihan, melodramatik, pada gilirannya membuat orang menjadi kebal rasa karena mereka tak tahu persis harus berbuat apa. Demikian pula cerita-cerita tentang kekerasan yang vulgar, betapa pun kebenarannya, dapat menimbulkan kengerian, bukan pemahaman
149
TINJAUAN Tinjauan film Imagining Argentina
tentang sebuah sistem penindasan. Permakluman dari penilik dan pengamat bahwa yang penting selalu ada cerita baru tentang masa lalu demi kebenaran dan pencegahan amnesia tidak dapat sepenuhnya diterima. Setiap generasi sudah selayaknya mewariskan pemahaman yang terbaik tentang sejarah bangsanya, apalagi jika itu dari perspektif korban, agar generasi berikutnya tidak kehilangan harapan akan tegaknya kemanusiaan dan keadilan.
150
KONTRIBUTOR
KONTRIBUTOR Domu P. Sihite Direktur Penanganan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat pada Kejaksaan Agung. Ifdhal Kasim Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2008-2012. Berpengalaman bertahun-tahun dalam advokasi hak asasi manusia di Indonesia. I Gusti Agung Ayu Ratih Meraih gelar master bidang sejarah Asia dari Universitas Wisconsin. Aktivitasnya sekarang menjadi peneliti pada Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI). Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset bidang Internasional dan Domestic Affairs di Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI). Iza Fadri Kepala Biro Bantuan Hukum Markas Besar Kepolisian RI. Pernah mewakili Indonesia untuk sidang pembentukan Pengadilan Pidana Internasional Roma pada 1998. Mufti Makaarim Direktur Eksekutif Institute for Defense Security and Peace Studies (IDSPS) Jakarta. Pernah menjabat sebagai sekjen Federasi Kontras periode 2004-2007. Noorhaidi Hasan Cendekiawan muda Islam, mendalami studi Islam masa transisional. Norrhaidi juga mengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Rocky Gerung Staf pengajar filsafat di Universitas Indonesia, budayawan-cum-aktivis pluralisme terlibat sebagai saksi ahli judicial review UU Pornografi di Mahkamah Konstitusi. Yance Arizona Manajer Program Hukum dan Masyarakat pada Epistema Institute, Jakarta. Sedang menyelesaikan studi master hukum di Universitas Indonesia dengan tema tesis konstitusionalisme agraria.
153
PEDOMAN PENULISAN JURNAL Redaksi Jurnal Dignitas menerima kiriman tulisan dengan pedoman sebagai berikut: l Jurnal ini mengutamakan penulisan artikel dengan gaya bahasa yang sederhana, mudah dicerna, dan tidak rumit. Ini diterapkan agar tulisan dapat dipahami oleh kalangan yang lebih luas, tidak cuma kalangan hukum saja. l Audiens jurnal ini mencakup juga masyarakat nonhukum yang memiliki perhatian luas tentang hukum dan dinamikanya. Hukum mengandung kosakata yang khusus, kaku, mungkin juga tertutup, yang hanya dimengerti oleh kalangan hukum saja. Katakata seperti retroaktif, susah dimengerti oleh masyarakat nonhukum. Sehingga kata-kata yang sekiranya rumit dimengerti masyarakat nonhukum perlu diberi penjelasannya supaya mudah dipahami. l Tiap kosakata asing diusahakan dicari padanannya dalam bahasa Indonesia, kecuali untuk jurnal edisi bahasa Inggris. Contoh: by ommission, maka diganti atau ditambahi keterangan pembiaran. Namun, jika tak ada, atau susah menemukannya dalam bahasa Indonesia, tak masalah. l Pada dasarnya, jurnal ini semi akademis. Tak terlalu ketat dalam penggunaan metodologi maupun pemakaian kosakata ilmiah. Penulisannya naratif, diawali dengan abstraksi tulisan. Tulisan harus fokus pada masalah tanpa melebarkan pembahasan. l Panjang tulisan semua rubrik, FOKUS, DISKURSUS, OASE sekitar 20.000-23.000 karakter, kecuali TINJAUAN. Sedang untuk rubrik TINJAUAN mengulas buku atau kumpulan buku, film, karya sastra, pertunjukan kesenian, panjangnya antara 10.000 – 13.000 karakter. l Kami menerima tulisan dengan sumber catatan kaki atau footnote, bukan catatan akhir atau endnote dan catatan perut. - Contoh catatan kaki untuk sumber buku: Yando Zakaria, Abih Tandeh, Cetakan Pertama, (Jakarta: Elsam, 2000), halaman 143. - Contoh catatan kaki untuk sumber kolom, makalah, atau
155
kumpulan tulisan: - Moh. Mahfud MD, “Komisi Yudisial dalam Mozaik Ketatanegaraan Kita”, dikutip dalam Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: Komisi Yudisial, 2007), hal 7. l Tulisan disertai daftar pustaka dengan format, sebagai contoh: - Daniel Dhakidae. Cendekiawan dalam Kekuasaan Negara Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. l Kami menggunakan pedoman penulisan yang lazim digunakan pelbagai jurnal atau majalah. Penyebutan nama surat kabar, majalah, judul buku, atau media terbitan lainnya dicetak miring. Misal, Majalah Time dijatuhi denda Rp 1 trilyun oleh Mahkamah Agung atas kasus gugatan Suharto. l Sedang untuk judul artikel diberi tanda kutip [“….”]. Seperti contoh: Pengadilan, menurut Satjipto Rahardjo dalam tulisannya berjudul “Pengadilan Sang Pemenang”, tak akan pernah berhenti menjadi institut perang antara keangkaramurkaan dan kebaikankeadilan. Kirimkan naskah Anda dalam bentuk softcopy dikirimkan ke alamat email
[email protected] dengan melampirkan biodata. Redaksi menyediakan honorarium yang pantas untuk tulisan yang dimuat.
156
PROFIL ELSAM (LEMBAGA STUDI DAN ADVOKASI MASYARAKAT) Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research and Advocacy), disingkat ELSAM, adalah organisasi advokasi kebijakan, berbentuk Perkumpulan, yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sejak awal, semangat perjuangan ELSAM adalah membangun tatanan politik demokratis di Indonesia melalui pemberdayaan masyarakat sipil lewat advokasi dan promosi hak asasi manusia (HAM). VISI Terciptanya masyarakat dan negara Indonesia yang demokratis, berkeadilan, dan menghormati hak asasi manusia. MISI Sebagai sebuah organisasi non pemerintah (Ornop) yang memperjuangkan Hak Asasi Manusia, baik hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya secara tak terpisahkan. KEGIATAN UTAMA: 1. Studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia; 2. Advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya; 3. Pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan 4. Penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia PROGRAM KERJA: 1. Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Rangka Mewujudkan Demokrasi dan Sistem Hukum yang Berkeadilan. 2. Penguatan Perlindungan HAM dari Ancaman Fundamentalisme Pasar, Fundamentalisme Agama, dan Komunalisme dalam Berbagai Bentuknya. 3. Pembangunan Organisasi ELSAM melalui Pengembangan Kelembagaan, Penguatan Kapasitas dan Akuntabilitas Lembaga.
157
Susunan Organisasi Perkumpulan ELSAM Badan Pengurus: Ketua: Sandra Moniaga, SH Wakil Ketua: Ifdhal Kasim, SH Sekretaris: Roichatul Aswidah, S.Sos, MA Bendahara I : Ir. Suraiya Kamaruzzaman, MA Bendahara II : Abdul Haris Semendawai, SH, LLM Anggota Perkumpulan: Abdul Hakim G. Nusantara, SH, LLM; Dra. I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, MA; Ir. Agustinus Rumansara, M.Sc.; Francisia Sika Ery Seda; Hadimulyo; Lies Marcoes, MA; Johni Simanjuntak, SH; Kamala Chandrakirana, MA; Maria Hartiningsih; E. Rini Pratsnawati; Raharja Waluya Jati; Sentot Setyasiswanto S.Sos; Toegiran S.Pd; Herlambang Perdana SH, MA.; Ir. Yosep Adi Prasetyo Pelaksana Harian: Direktur Eksekutif: Indriaswati Dyah Saptaningrum, SH. LLM Deputi Direktur Pembelaan HAM untuk Keadilan dan Plt Kepala Divisi Advokasi Hukum: Wahyu Wagiman SH. Deputi Direktur Pengembangan sumber daya HAM ( PSDHAM) dan Plt Kepala Divisi Monitoring Kebijakan dan Pengembangan Jaringan: Zainal Abidin, SH Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Kelembagaan: Otto Adi Yulianto, SE Kepala Divisi Kampanye dan Kerjasama Internasional: Betty Yolanda, SH, LLM Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi: Triana Dyah, SS Staf Pelaksana Program bidang Advokasi Hukum: Ikhana Indah Barnasaputri,SH; Andi Muttaqien, SH Staf Senior Pelaksana Program Bidang Monitoring Kebijakan & Pengembangan Jaringan: E. Rini Pratsnawati Staf Pelaksana Program bidang Monitoring Kebijakan & Pengembangan Jaringan: Wahyudi Djafar, SH Staf Pelaksana Program bidang Informasi dan Dokumentasi: Paijo; Sukadi Staf Keuangan: Rina Erayanti (Pjs.); Elisabet Maria Sagala, SE Kasir: Maria Ririhena, SE Sekretaris: Yohanna Kuncup Yanuar Prastiwi, SS Kepala bagian umum: Khumaedy Staf bagian rumah tangga: Siti Mariatul Qibtiyah; Kosim Staf bagian transportasi: Ahmad Muzani Staf bagian keamanan: Elly F. Pangemanan
Alamat: Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510 INDONESIA Tel.: (+62 21) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Fax.: (+62 21) 7919 2519 Email:
[email protected]; Website: www.elsam.or.id
158
FOKUS Politik Negara dan Kondisi HAM oleh Rocky Gerung Milisia Islamis, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia oleh Noorhaidi Hasan Kekerasan Aparat, Mengapa Masih Terjadi? oleh Ikrar Nusa Bhakti RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara: Dilema Legislasi dan Kebutuhan Pertahanan oleh Mufti Makaarim DISKURSUS Komnas HAM dan Tantangannya Dewasa Ini oleh Ifdhal Kasim Peran Kejaksaan dalam Masalah Hak Asasi Kekinian oleh Domu P. Sihite HAM dan Polri dalam Penegakan Hukum di Indonesia oleh Iza Fadri OASE Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Pendekatan Hukum Progresif oleh Yance Arizona TINJAUAN Film Imagining Argentina; Melawan Penghilangan Masa Lalu dengan Nujum oleh I Gusti Agung Ayu Ratih
Alamat Redaksi: ELSAM - Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta 12510 INDONESIA Tel: (+62 21) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564 Fax: (+62 21) 7919 2519 Email:
[email protected] Website: www.elsam.or.id