MAJALAH ILMIAH
PETERNAKAN Volume 11
Nomor 1
Tahun 2008
PENDUGAAN BOBOT BADAN MELALUI ANALISIS MORFOMETRIK DENGAN PENDEKATAN REGRESI TERBAIK BEST - SUBSET PADA DOMBA GARUT TIPE PEDAGING, TANGKAS DAN PERSILANGANNYA
A. Gunawan., K. Jamal dan C. Sumantri . .....................................................................................................................................
1
PENGARUH TIPE LANTAI KANDANG DAN KEPADATAN TERNAK TERHADAP TABIAT MAKAN AYAM PEDAGING UMUR 2-6 MINGGU
Eny Puspani, I M. Nuriyasa, A.A.P Putra Wibawa, dan D.P.M.A. Candrawati.................................................................
7
KOEFESIEN CERNA BAHAN KERING DAN NUTRIEN RANSUM KAMBING PERANAKAN ETAWAH YANG DIBERI HIJAUAN DENGAN SUPLEMENTASI KONSENTRAT MOLAMIK
I G. L. O. Cakra, N.W Siti dan I M. Mudita.................................................................................................................................
12
QUANTIFICATION OF THE EFFICIENCY OF RUMEN MICROBIAL PROTEIN SYNTHESIS IN STEERS FED GREEN TROPICAL GRASS
Marthen L. Mullik, Dennis P. Poppi, and Stuart R. Mc. Lennan..............................................................................................
VIABILITAS OOSIT DOMBA PASCATRANSPLANTASI OVARIUM DOMBA DALAM UTERUS KELINCI PSEUDOPREGNANT
Ramadhan Sumarmin, Adi Winarto, Tutty Laswardi Yusuf, Arief Boediono.........................................................................
18
25
IDENTIFIKASI DAGING SAPI BALI DENGAN METODE HISTOLOGIS
Ni Ketut Suwiti.....................................................................................................................................................................................
31
PEMANFAATAN TELUR AYAM SEBAGAI PABRIK BIOLOGIS (Kajian Pustaka)
I Wayan Teguh Wibawan...................................................................................................................................................................
Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar
36
Susunan Dewan Redaksi Majalah Ilmiah Peternakan – Unud
Dewan Penyunting Ketua Komang Budaarsa Anggota I Dewa Ketut Harya Putra I Made Suarna I Gusti Lanang Oka I Ketut Saka I Made Mastika Ni Ketut Nuraini Penyunting Pelaksana I Gede Mahardika Allan Wilson Antonius Wayan Puger I Made Suasta I Ketut Sumadi Anak Agung Putu Putra Wibawa I Ketut Mangku Budiasa I Gede Suranjaya Made Wiraparta Administrasi Anak Agung Gede Jaya Antara Ni Putu Emi Suastini S
Alamat Redaksi Fakultas Peternakan Universitas Udayana Jl. PB Sudirman Denpasar Telp. (0361) 222096 E-mail :
[email protected]
ISSN: 0853-8999
PENDUGAAN BOBOT BADAN MELALUI ANALISIS MORFOMETRIK DENGAN PENDEKATAN REGRESI TERBAIK BEST - SUBSET PADA DOMBA GARUT TIPE PEDAGING, TANGKAS DAN PERSILANGANNYA A. Gunawan., K. Jamal dan C. Sumantri Bagian Pemuliaan dan Genetika Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Jalan Agatis, IPB Darmaga, Bogor ABSTRACT ESTIMATE OF BODY WEIGHT FIGHTING AND MEAT GARUT SHEEP AND CROSSBREED WITH MERFOMETRIC ANALYSIS APPROACH The aims of this study were to estimate body weight and to determine the best equation which can be used to estimate body weight of fighting and meat Garut sheep and its crossbreed type at district and outdistrict Garut. This study used primary data of Garut sheep from Garut district consisting of Margawati, Wanaraja and Sukawening. For outdistrict Garut, it was used Garut sheep from Bogor consisting of Ciomas and Cinagara. The total number of sheep collected were 531 heads. The differences of body measurements locations were analyzed by t-test, Correlation, and Regression Multiple Linear Regression and Polynomial Regression (Linear, Quadratic, and Cubic) Analyses. The results showed that body weight of fighting and meat rams and ewes from Wanaraja were the highset than another Garut sheep and crossbreed. The highest body measurements were found from Wanaraja (fighting and meat type) and Sukawening (fighting type) sheep and the lowest body measurements were found from Margawati and Cinagara. Whilst that some body measurements of rams were not different (P>0.05). Correlation coefficient between body weight and various body measurements body lenght, weither height, chest deep and chest circumference of Garut Sheep were highest at district and outdistrict of Garut. The best regression equations to describe the relation ship between body weight and body measurements for rams and ewes Garut sheep at district and outdistrict Garut were multiple regression equations. The highest determination coefficient (100%) was shown for meat type from Wanaraja and the lowest one (93.93%) was shown of fighting type from Sukawening. Key words : garut sheep, body weight, body measurement, correlation, regression
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menduga bobot badan dan mencari model terbaik dalam menduga bobot badan domba Garut tangkas, pedaging dan persilangannya di daerah Garut dan luar Garut. Total domba yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 531 ekor domba Garut dari beberapa lokasi di kabupaten Garut (Margawati, Wanaraja, Sukawening) dan di Luar Garut (Ciomas dan Cinagara). Data dari hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan Uji-t, Korelasi, dan Regresi meliputi Analisis Regresi Linier Ganda dan Analisis Regresi Polinomial (Linier, Kuadratik, dan Kubik). Hasil Uji-t menunjukkan, bahwa rataan bobot badan domba tangkas Garut baik jantan maupun betina dari Wanaraja memiliki bobot badan paling besar dibandingkan dengan domba Garut lain dan persilangannya. Ukuran tubuh tertinggi pada domba Garut ditunjukkan pada domba tangkas dan pedaging Wanaraja serta tangkas Sukawening dan ukuran tubuh terkecil ditunjukkan pada domba Garut di Margawati dan Cinagara. Koefisen Korelasi tertinggi antara bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh pada domba Garut tangkas, pedaging da persilanganya ditunjukkan antara bobot badan dengan panjang badan, tinggi pundak, dalam dada dan lingkar dada. Persamaan regresi yang paling baik digunakan menduga bobot badan berdasarkan ukuran-ukuran tubuh pada domba Garut tangkas, pedaging dan persilangannya adalah Persamaan Regresi Linier Ganda dengan tingkat akurasi berkisar antara 93,3%-100%. Tingkat akuras tertinggi ditunjukkan pada domba tangkas Wanaraja dengan tingkat akurasi 100% dan terendah ditunjukkan pada domba tangkas di Sukawening dengan tingkat akurasi 93,93%. Kata kunci : domba garut, bobot badan, ukuran tubuh, korelasi, regresi
ISSN : 0853-899
1
Pendugaan Bobot Badan Melalui Analisis Morfometrik dengan Pendekatan Regresi Terbaik Best - Subset pada Domba Garut.....
PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki keanekaragaman plasma nutfah yang berlimpah. Salah satu keanekaragaman plasma nutfah yang dimiliki adalah keanekaragaman ternak diantaranya ternak domba yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai pemenuhan protein hewani masyarakat Indonesia. Salah satu jenis ternak domba yang dimiliki Indonesia dan sangat potensial untuk dikembangkan dimasa mendatang adalah domba Garut. Beberapa keunggulan domba Garut diantaranya memiliki produktivitas cukup baik dan relatif tahan terhadap penyakit; keunggulan komparatif terutama dalam hal performa dan sifat prolifik untuk dikembangkanbiakkan (Gunawan dan Noor, 2005). Hal ini menjadi daya tarik tersendiri sebagai salah satu plasma nutfah ternak Indonesia yang perlu dilestarikan keberadaannya. Pemeliharaan domba Garut tidak hanya ditujukan sebagai ternak pedaging saja, yang salah satu indikasinya berupa bobot badan yang akan mencerminkan bobot karkas yang akan dihasilkan. Akan tetapi, tujuan pemeliharaan lain yang merupakan ciri khas domba Garut adalah sebagai domba tangkas. Domba Garut tipe tangkas merupakan domba Garut yang dipelihara untuk tujuan aduan (Natasasmita et al., 1986). Meskipun pada domba tangkas lebih menonjolkan unsur seni dan kekuatan, akan tetapi bobot badan tetap merupakan salah satu parameter penting yang menentukan nilai jual domba Garut baik sebagai tipe tangkas, pedaging maupun persilangan . Secara umum ada dua teknik penentuan bobot badan seekor ternak, yaitu penimbangan (weight scale) dan penaksiran. Kedua teknik tersebut memiliki keuntungan dan keterbatasannya masing-masing. Metode penimbangan merupakan cara paling akurat tetapi memiliki beberapa kelemahan, antara lain membutuhkan peralatan khusus dan dalam beberapa kasus membutuhkan operator relatif lebih banyak (terutama dalam peternakan besar dengan sistem ranch) sehingga menjadi kurang efisien, dan tidak semua ranch memiliki peralatan (weight scale) tersebut. Adapun metode penaksiran atau pendugaan umumnya dilakukan melalui ukuran-ukuran tubuh ternak, misalnya melalui lingkar dada, tinggi pundak, dan lainlain. Metode pendugaan ini memiliki keunggulan dalam hal kepraktisan, akan tetapi memiliki kendala dengan tingkat akurasi pendugaannya dan masih perlu terus dikembangkan terutama dalam konteks ternak-ternak lokal di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan pendugaan bobot badan melalui ukuran-ukuran tubuh domba Garut. Salah satu pendekatan yang dilakukan 2
adalah pendugaan melalui pendekatan analisis regresi terbaik (best subset), yaitu suatu metode analisis regresi untuk mencari model terbaik dari suatu hubungan regresi berganda yang melibatkan lebih dari satu variabel penduga (Draper et al., 1992). Hasil penelitian ini diharapkan dapat diketahui model terbaik untuk menduga bobot badan berdasarkan ukuran-ukuran tubuh pada domba Garut tangkas, pedaging, dan persilangannya. MATERI DAN METODE Materi Jumlah total domba yang diamati sebanyak 528 ekor domba Garut yang terdiri dari 71 ekor domba dari Margawati, 79 ekor domba tangkas dari Wanaraja, 84 ekor domba pedaging dari Wanaraja, 87 ekor domba tangkas dari Sukawening, 62 ekor domba pedaging dari Sukawening, 66 ekor domba tangkas dari Ciomas, dan 71 ekor domba dari Cinagara. Domba dari Margawati dan Cinagara merupakan domba persilangan antara domba Garut tangkas dengan pedaging. Metode Penelitian dilakukan dengan melakukan pengukuran terhadap ukuran-ukuran tubuh domba Garut. Domba yang diamati dibedakan berdasarkan jenis kelamin dengan sejumlah peubah yang diamati diantaranya bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh, seperti tinggi pundak (TP), panjang badan (PB), lebar dada (LED), dalam dada (DD), lingkar dada (LID). Domba Garut yang diamati memiliki umur yang bervariasi, maka menyeragamkan semua data hasil pengukuran standarisasi ke umur 2 tahun sesuai Salamena (2006) dengan rumus sebagai berikut :
pi terkoreksi =
p2 ∗ p pengamataan ke −i px
Pi terkoreksi = nilai pengamatan ukuran tubuh tertentu yang terkoreksi ke umur 2 tahun. ppengamatan ke-i = nilai pengamatan awal ukuran tubuh tertentu pada kelompok umur tertentu p23 = rataan nilai pengamatan ukuran tubuh tertentu pada kelompok umur 2 tahun px = rataan nilai pengamatan awal ukuran tubuh tertentu pada kelompok umur ke-x
Uji t digunakan untuk mempelajari pengaruh perbedaan lokasi, umur, jenis kelamin terhadap bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh sesuai Sudjana (1996), modelnya sebagai berikut :
t=
xi − x 2
s 1/ n1 + 1/ n 2
Hubungan linier antara dua ukuran tubuh dihitung dengan menggunakan rumus Sudjana (1996), model
MAJALAH ILMIAH PETERNAKAN • Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008
A. Gunawan., K. Jamal dan C. Sumantri
Tabel 1. Rataan, Simpangan Baku, Bobot Badan Domba Garut dan Persilanganya pada jenis kelamin dan lokasi yang berbeda
korelasinya adalah :
Kelompok Domba
x1x2 =
Keterangan : r = koefisien korelasi x1 = peubah bebas ke-1 x2 = peubah bebas ke-2 n = banyaknya pengulangan
Pemilihan Model Regresi Terbaik sebagai Penduga Bobot Badan Pemilihan model terbaik sebagai penduga bobot badan melalui ukuran-ukuran tubuh yang digunakan adalah model yang berasal dari persamaan Regresi Linier Ganda atau Polinomial dengan kriteria memiliki derajat determinasi tertinggi (Rsq), kofisien determinasi teroreksi/Rs (adj) tertinggi dan Cp terendah/statistika mallaow terendah (Draper et al., 1992). Model Analisis Regresi Linier Ganda dan Polinomial yang digunakan sesuai Gasperz (1992). 1. Regresi Linier Ganda. Modelnya adalah : y = β0 + β1x1 + β2x2 +...+ βnxn 2. Regresi Polinomial. Modelnya adalah : y = â0 + â1x + â2x2 + â3x3+...+ ânxn
Keterangan: y = Bobot badan â0 = Intersep â1 = Koefisien regresi bobot badan (y) terhadap ukuran tubuh 1 (x1) â2 = Koefisien regresi bobot badan (y) terhadap ukuran tubuh 2 (x2) ân = Koefisien regresi bobot badan (y) terhadap ukuran tubuh n (xn) x = peubah bebas
HASIL
Margawati Tangkas Sukawening Pedaging Sukaweing Tangkas Wanaraja Pedaging Wanaraja Tangkas Ciomas Cinagara
Jantan x ± s (kg) 40,76±12,26a 43,22±12,26a 33,60±8,28b 52,53±14,42c 45,80±13,75a 42,72±8,21a 46,55±6,55a
Betina x ± s (kg) 27,57±3,79a 27,68±4,71a 27,64±4,51a 30,73±4,06b 31,97±7,97b 31,33±5,39b 25,99±3,56c
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda nyata (P<0,05)
Tabel 2. Ringkasan hasil uji t ukuran tubuh domba Garut tangkas, peda ging dan persilangnnya JK
Jantan
Betina
Ukuran Tubuh Tinggi Pundak Panjang Badan Lebar Dada Dalam Dada Lingkar Dada Panjang Tengkorak Tinggi Pundak Panjang Badan Lebar Dada Dalam Dada Lingkar Dada Panjang Tengkorak
Hasil Uji-t B=A=W>S=C>T=M B>A=W>T>S=C=M B=A=W>S=C>T=M B=A=W=C>S=T=M B=A=W>S=C=T=M B=W=C>A=S=T=M B=A>W= T=M>C>S B>A=W =C=T=M>S W=C>B=A=S> M>T C>A=W>B=S=C=T=M B=A=W>S=C=T=M C>A>W=B=S=T>M
Tabel 3. Koefisien Korelasi antara Bobot Badan dan Ukuran Tubuh Domba Garut Tangkas, Pedaging dan Persilangan Kelompok Domba Margawati Tangkas Sukawening Pedaging Sukawening Tangkas Wanaraja
Jenis Kelamin ♂ ♀ ♂ ♀ ♂ ♀ ♂ ♀ ♂ ♀ ♂ ♀ ♂ ♀
Korelasi PB LID PB PB TP DD TP DD DD PB LID PB PB PB
Nilai Korelasi 0,970 0,746 0,782 0,671 0,858 0,770 0,862 0,688 0,925 0,572 0,766 0,888 0,668 0,712
Bobot Badan Domba Garut Tangkas, Pedaging dan Persilanganya Secara umum bobot badan kelompok domba Garut Wanaraja baik jantan maupun betina lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan domba Garut di daerah Garut maupun luar Garut. Pada domba jantan bobot badan tertinggi(P<0,05) ditunjukkan pada domba tangkas Garut dari Wanaraja. Sedangkan pada domba betina bobot badan tertinggi (P<0,05) ditunjukkan pada domba tangkas dari Wanaraja, pedaging dari Wanaraja dan tangkas dari Ciomas (Tabel 1).
ditunjukkan pada domba tangkas di Ciomas. Sedangkan ukuran tubuh terendah (P<0,05) ditunjukkan pada domba di Cinagara dan Margawati yang merupakan domba persilangan (Tabel 2).
Ukuran-ukuran Tubuh Domba Garut dan Luar Garut Ukuran-ukuran tubuh tertinggi (P<0,05) pada domba Garut tangkas, pedaging dan persilangan ditunjukkan pada domba tangkas di Wanaraja, tangkas di Sukawening dan pedaging di Wanaraja baik jantan maupun betina. Pada domba betina, ukuran dalam dada (P<0,05)
Keeratan Hubungan Bobot Badan Terhadap Ukuranukuran Tubuh Panjang badan, lingkar dada, tinggi pundak, dan dalam dada, merupakan ukuran tubuh yang memiliki korelasi tertinggi dengan bobot badan pada domba Garut tangkas, pedaging dan persilangan baik pada jantan maupun betina (Tabel 3).
ISSN : 0853-899
Pedaging Wanaraja Tangkas Ciomas Cinagara
3
Pendugaan Bobot Badan Melalui Analisis Morfometrik dengan Pendekatan Regresi Terbaik Best - Subset pada Domba Garut.....
Tebel 4. Hasil Analisis Regresi Terbaik pada Domba Garut Tangkas, Peda ging dan Persilangannya. Lokasi/Asal Margawati Tangkas Sukawening Pedaging Sukawening Tangkas Wanaraja Pedaging Wanaraja Tangkas Ciomas Cinagara
JK Analisis Regresi Betina Linier ganda Jantan Linier ganda Betina Linier Ganda Jantan Linier Ganda Betina Linier Ganda Jantan Kubik Jantan Liner ganda Betina Linier ganda Betina Linier ganda Jantan Linier ganda Betina Linier ganda Jantan Linier ganda Betina Linier ganda Jantan Linier ganda
R-Sq(%) 68 100 63,4 78,2 70,4 77,3 99,1 89,7 57,4 90,8 97,3 64,9 86,9 75,0
R-Sq adj (%) Akurasi (%) 65,8 97,4 100 99,53 60,2 93,93 74,9 100 67,6 99,5 74,4 98,45 97,5 100 88,7 100 53,7 100 89,6 98,90 95,7 99,61 62,4 97,46 83,4 99,92 72,9 96,64
Pendugaan Bobot Badan melalui Ukuran-ukuran Tubuh Domba Garut Tangkas, Pedaging dan Persilangan dengan Persamaan Regresi Model regresi terbaik dalam menduga bobot badan pada domba Garut tangkas, pedaging dan persilangannya adalah Regresi Linier Ganda dengan tingkat akurasi antara 93,93 – 100%, kecuali pada domba pedaging Sukawening adalah regresi polinomial dengan bentuk kubik. Tingkat akurasi pendugaan bobot badan tertinggi ditunjukkan domba tangkas jantan di Sukawening dan pedaging betina di Wanaraja dan tangkas baik jantan maupun betina di Wanaraja yaitu sebesar 100%. Sebaliknya nilai akurasi terendah ditunjukkan domba tangkas betina di Sukawening sebesar 93,93% (Tabel 4). PEMBAHASAN Bobot Badan Domba Garut Tangkas, Pedaging, dan Persilangannya Bobot badan domba Garut dari Wanaraja baik tangkas maupun pedaging terbesar dibandingkan domba lainnya. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Kertanugraha (2006) pada domba Garut di daerah Garut yang menyatakan bahwa rataan bobot badan terbesar pada domba Garut jantan adalah domba tangkas dari Wanaraja. Tingginya bobot badan badan pada domba tangkas Wanaraja dibandingkan domba Garut lainnya tidak lepas dari perannya sebagai domba tangkas yang merupakan hasil seleksi kearah bobot badan besar dan kuat untuk ketangkasan. Selain itu adanya motivasi yang tinggi dari para peternak di daerah Wanaraja dalam memelihara domba tangkas selain untuk ketangkasan juga karena harga jual yang tinggi. Kecamatan Wanaraja memiliki tempat adu ketangkasan domba Garut, sehingga peternak lebih termotivasi lagi untuk membentuk performa domba tangkas yang bagus dan 4
berprestasi baik. Menurut Triwulaningsih et al. (1981), bahwa adanya unsur seleksi terhadap domba Garut tidak saja terarah terhadap sifat tangkas tetapi juga terhadap nilai ekonomis. Pada domba betina, kelompok domba pedaging Wanaraja, tangkas Wanaraja dan tangkas Ciomas memiliki bobot badan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok domba Garut lainnya. Hasil ini sesuai dengan penelitian Kertanugraha (2006) yang menyatakan bahwa bobot badan terbesar pada betina di daerah Garut adalah domba pedaging Wanaraja. Hal ini berbeda dengan kondisi jantan, bobot badan yang tinggi cenderung dimiliki oleh domba Garut tangkas. Perbedaan tersebut lebih disebabkan karena peternak kurang memperhatikan seleksi untuk domba betina. Dinyatakan pula kebanyakan peternak di daerah Garut kurang melakukan seleksi pada betina dan tidak membedakan pemeliharaan domba betina tangkas dan pedaging. Hal ini disebabkan karena domba betina dianggap tidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi seperti pada domba tangkas jantan. Perbedaan bobot badan dari ketujuh kelompok domba Garut tersebut, mungkin disebabkan adanya perbedaan struktur genetiknya serta perbedaan lingkungan dan tatalaksana di masing-masing lokasi penelitian (Diwyanto et al., 1982). Ukuran-ukuran Tubuh Domba Garut Tangkas, Peda ging dan Persilangannya Perbedaan ukuran-ukuran tubuh pada domba Garut disebabkan karena faktor genetik dan lingkungan. Domba Garut baik tangkas maupun pedaging dari Wanaraja genetik lebih unggul dibandingkan domba Garut lainnya sesuai menurut Kertanugraha (2006) domba Garut di Wanaraja memiliki ukuran tubuh paling besar dibandingkan dengan domba Garut di Sukawening dan Margawati. Domba tangkas merupakan domba hasil seleksi yang diarahkan untuk mendapatkan domba tipe aduan yang secara performa baik bobot badan maupun mendapatkan domba tipe aduan yang secara performa baik bobot badan maupun ukuran-ukuran tubuh akan lebih tinggi dibandingkan domba tipe pedaging atau persilangannya. Selain disebabkan karena faktor genetik perbedaan ukuran-ukuran tubuh yang terjadi disebabkan perbedaan lingkungan diantaranya manajemen pemeliharaan. Pemeliharaan domba tangkas lebih istimewa dibandingkan dengan domba pedaging dan persilangan. Pemberian pakan yang istimewa, pengurutan pada badan untuk merangsang pertumbuhan diduga berpengaruh terhadap ukuran-ukuran tubuh domba. Hal ini yang menyebabkan domba tangkas Garut dari Wanaraja dan Sukwening lebih tinggi dibandingkan dengan domba Garut lainnya. Performa merupakan penampilan dari ekspresi genetik
MAJALAH ILMIAH PETERNAKAN • Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008
A. Gunawan., K. Jamal dan C. Sumantri
dan lingkungan (Martojo, 1992). Ternak yang secara genetik unggul tidak akan menampilkan keunggulan optimal jika tidak didukung oleh faktor lingkungan yang baik atau sebaliknya (Noor, 2004). Domba tangkas dari Wanaraja dan Sukawening secara genetik unggul ditunjang dengan lingkungan pemeliharaan yang baik menampilkan performa baik, baik bobot badan maupun ukuran-ukuran tubuh lebih tinggi dibandingkan dengan domba Garut lainnya. Keeratan Hubungan Bobot Badan Terhadap Ukuranukuran Tubuh Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa korelasi antara bobot badan terhadap ukuran-ukuran tubuh adalah sangat beragam. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya (Wijonarko, 2007; Takaendangan, 1998; Diwyanto et al., 1984) yang mendapatkan bahwa ukuran tubuh dalam dada, tinggi pudak dan lingkar dada mempunyai korelasi tertinggi dengan bobot badan domba. Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa lingkar dada tidak selalu mempunyai korelasi tertinggi dengan bobot badan seperti penelitian sebelumnya baik pada domba maupun pada sapi (Takaendangan, 1998; Diwyanto et al., 1984, Saladin, 1983; Abubakar dan Harmaji, 1980). Selain tinggi pundak dan dalam dada, panjang badan merupakan ukuran tubuh yang memiliki koefisien tertinggi pada domba Garut baik tipe tangkas, pedaging dan persilangannya. Hal ini menujukkan bahwa panjang badan merupakan peubah yang dapat digunakan dalam menduga bobot badan domba Garut selain lingkar dada, tinggi pundak dan dalam dada. Perbedaan keeratan bobot badan terhadap ukuran-ukuran tubuh tersebut kemungkinan disebabkan karena jenis domba. Pendugaan Bobot Badan Melalui Ukuran-ukuran Tubuh Domba Garut Tangkas, Pedaging, dan Persi langan dengan Persamaan Regresi Model Regresi Linier Ganda merupakan model regresi terbaik dalam menduga bobot badan domba Garut. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Wijonarko (2007) pada Domba Ekor Gemuk (DEG) yang menyatakan model Regresi Linier Ganda merupakan model yang paling tepat dalam menduga bobot badan. Zubaidah (1984) menambahkan dengan menggunakan regresi linier ganda akan lebih tepat dibandingkan dengan persamaan regresi linier sederhana dab regresi eksponensial. Namun hanya peubah ukuran tubuhnya saja yang berbeda sebagai penduga bobot badan. Pada penelitian ini panjang badan menjadi penduga bobot badan yang lebih banyak ditemukan disamping tinggi pundak, dalam dada dan lingkar dada. Sedangkan pada penelitian sebelumnya panjang badan tidak ditemukan. ISSN : 0853-899
Perbedaan pendugaan bobot badan ini lebih disebabkan karena perbedaan genetik ternak dan lingkungan pemeliharaan. Tingkat akurasi pendugaan bobot badan antara bobot badan dugaan dengan bobot badan sebenarnya pada penelitiann ini sukup tinggi. Hasil penelitian ini secara umum sangat tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Wijonarko (2007) pada domba Ekor Gemuk Madura dan Rote yang mendapatkan tingkat akurasi pendugaan bobot badan dengan analisis Regresi Linier Ganda sebesar 88,03% - 98,23%, serta Sholikhah (2003) pada sapi Pesisir sebesar 88,80%. Hal ini menunjukkan persamaan Regresi Linier Ganda dapat digunakan sebagai penduga bobot badan pada domba Garut tangkas, pedaging dan persilangannya. Selain itu berdasarkan penelitian sebelumnya dapat disarankan Analisis Regresi Linier Ganda mempunyai tingkat akurasi yang cukup tinggi dibandingkan ternak lain. Sehingga dalam aplikasi dilapangan peternak domba Garut tangkas, pedaging dan persilangannya dapat menggunakan Analisis Regresi Linier Ganda dalam menduga bobot badan apabila adanya kesulitan dalam pemeliharaan dan keterbatasan fasilitas penimbangan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan secara umum domba Garut tangkas dan pedaging Wanaraja dan tangkas Sukawening memiliki bobot badan dan ukuran-ukuran lebih tinggi dibandingkan domba Garut lainnya. Nilai korelasi yang berpengaruh tinggi dalam pendugaan bobot badan domba Garut tangkas, pedaging dan persilangannya adalah panjang badan, tinggi pundak, dalam dada dan lingkar dada.Persamaan Regresi Linier Ganda merupakan penduga bobot badan terbaik berdasarkan ukuran-ukuran tubuh pada domba Garut tangkas, pedaging dan persilangannya. DAFTAR PUSTAKA Abubakar dan Harmaji. 1980. Korelasi antara berat hidup dengan lingkar dada, panjang badan dan tinggi gumba pada sapi PO di daerah Wonosari. Penelitian Peternakan Bogor III:14-16. Diwyanto, K., Martojo, H. dan Siswandi. 1984. Pengamatan ukuran permukaan tubuh domba di Kabupaten Garut serta hubungannya dengan bobot badan. Prosiding. Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil. Hal : 143-146. Draper, Norman dan Smith, H. 1992. Analisis Regresi Terapan. Terjemahan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Gasperz, V. 1992. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan. Tarsito. Bandung Gunawan, A dan Noor, R.R. 2005. Pedugaan nilai heritabilitas bobot lahir dan bobot sapih domba Garut tipe laga. Media Peternakan. Vol 29:7:15 Kertanugraha, T. 2006. Studi Keragaman Fenotipik dan
5
Pendugaan Bobot Badan Melalui Analisis Morfometrik dengan Pendekatan Regresi Terbaik Best - Subset pada Domba Garut.....
Jarak Genetik Antar Domba Garut di BPPTD Margawati, Kecamatan Wanaraja dan Kecamatan Sukawening Kabupaten Garut. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Martojo, H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik. PAU IPB. Bogor. Natasasmita, A. Sugana, N. Duldjaman, M. Amsar. 1986. Penentuan Parameter Seleksi dan Pengarahan Metode Pembibitan Domba Dikalangan Petani. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Noor, R.R. 2004. Genetika Ternak. Edisi 3. Penebar Swadaya. Jakarta. Rahayu, B. S. T. 2003. Studi Bobot Badan dan Ukuran-Ukuran Tubuh Sapi Pesisir di Kabupaten Pesisir Selatan dan Padang Pariaman Sumatera Barat. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Peternakan Bogor, Bogor. Saladin, R. 1983. Penampilan Sifat-sifat Produksi dan Reproduksi Sapi Lokal Pesisir Selatan di Propinsi Sumatera Barat. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Salamena, J.F. 2006. Karakterisasi Fenotipik Domba Kisar di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Propinsi Maluku
6
Sebagai Langkah Awal Konservasi dan Pengembangannya. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sudjana. 1996. Metode Statistika. Edisi Keenam. Tarsito. Bandung. Takaendengan, B. J. 1998. Kemajuan Genetik Beberapa Sifat Kualitatif Domba Ekor Gemuk. Tesis. Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Triwulaningsih, E., Sitorus, P., Batubara, P. L., Suradisastra. K.,1981. Performans Domba Garut. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Wijonarko, K. 2007. Pendugaan Bobot Badan Melalui Ukuranukuran Tubuh pada Domba Ekor Gemuk di Pulau Madura dan Pulau Rote. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Zubaidah, S. 1984. Pengkajian Berbagai Cara Pendugaan Bobot Badan Sapi Perah Fries Holland dengan Parameter Tubuh. Karya Ilmiah. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
MAJALAH ILMIAH PETERNAKAN • Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008
PENGARUH TIPE LANTAI KANDANG DAN KEPADATAN TERNAK TERHADAP TABIAT MAKAN AYAM PEDAGING UMUR 2-6 MINGGU Eny Puspani, I M. Nuriyasa, A.A.P Putra Wibawa, dan D.P.M.A. Candrawati Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar
ABSTRAK Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh tipe lantai dan kepadatan ternak yang berbeda terhadap tabiat makan ayam pedaging telah dilaksanakan di Tabanan, Bali. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan pola faktorial 3×3 dalam 3 blok. Faktor pertama adalah tipe lantai kandang yang terdiri dari litter sekam di tanah (L1), lantai slat bambu (L2) dan lantai litter panggung (L3). Faktor kedua adalah kepadatan ternak yang terdiri dari 10 ekor/m2 (P1), 12 ekor/m2 (P2), dan 14 ekor/m2 (P3). Hasil penelitian tabiat makan menunjukkan bahwa frekuensi makan, frekuensi minum, frekuensi istirahat pada L1 nyata lebih tinggi (P<0,05) dari L2. Lama makan pada L2 lebih lama dari L1 dan L3 tetapi tidak berbeda nyata (P>0,05). Lama minum pada L3 nyata lebih lama (P<0,05) dari L1 dan L2. Lama istirahat pada L1 nyata lebih lama (P<0,05) dari L2. Lama panting pada L2 nyata lebih sedikit (P<0,05) dari L1 dan L3. Frekuensi makan pada P1 nyata lebih tinggi (P<0,05) dari P2 dan P3. Frekuensi minum, frekuensi istirahat pada P1 lebih tinggi dari P2 dan P3 tetapi tidak berbeda nyata (P>0,05). Lama makan pada P1 nyata lebih lama (P<0,05) dari P2 dan P3. Lama minum pada P2 nyata lebih lama (P<0,05) dari P1 dan P3. Lama istirahat dan lama panting pada P3 lebih lama dari P1 dan P2 tetapi tidak berbeda nyata (P>0,05). Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi interaksi antara tipe lantai dan kepadatan ternak terhadap tabiat makan, lantai slat bambu dan litter panggung menghasilkan tabiat makan yan lebih baik dibandingkan litter sekam di tanah. Kepadatan ternak 10 ekor/m2 menghasilkan tabiat makan lebih baik daripada 12 ekor/m2 dan 14 ekor/m2. Kata kunci : kepadatan kandang, tipe lantai kandang, tabiat makan, ayam pedaging THE EFFECT OF FLOOR TYPE AND BIRDS DENSITY ON FEEDING BEHAVIOUR OF BROILER AGED 2-6 WEEKS ABSTRACT The experiment aimed to study the effect of floor type and birds density on feeding behaviour of broilers. This experiment was carried out at Tabanan, Bali. The experiment used a completely randomized block design (CRBD) with factorial arrangement (3x3) in tree blocks. The first factor was floor type consisted of deep litter in the ground (L1), bamboo slat floor (L2) and litter podium floor (L3). The second factor was birds density consisted of 10 birds/ m2 (P1), 12 birds/m2 (P2), and 14 birds/m2 (P3). The results of the experiment showed that the frequency of the eating, the drinking, and the resting at L1 were significantly higher (P<0.05) than L2. Time of feeding at L2 was longer than L1 and L3 but there were no significant differences (P>0.05). The time for drinking at L3 was significantly longer (P<0.05) than L1 and L2 and the time for resting at L1 was significantly longer (P<0.05) than L2 and also time for painting at L2 was significantly shorter (P<0.05) than L1 and L3. The frequencies of feeding at P1 was significantly higher (P<0.05) than P2 and P3. However, there were no significant differences on drinking and resting frequencies (P>0.05). The time feeding of P1 were significantly longer (P<0.05) than P2 and P3 and time for drinking at P2 were significantly longer than P1 and P3. Time for resting and panting at P3 were longer (P<0.05) than P1 and P2, but no significant differences (P>0.05). It was concluded that bamboo slat floor and litter podium make feeding behaviour better than chaff litter in the ground. There were no differences between density of 10 birds/m2, and 14 birds/m2 at bamboo slat floor and litter podium in feeding behaviour of broilers. Key words : birds density, floor type, feeding behaviour, broiller ISSN : 0853-899
7
Pengaruh Tipe Lantai Kandang dan Kepadatan Ternak Terhadap Tabiat Makan Ayam Pedaging Umur 2-6 Minggu
PENDAHULUAN Penampilan ayam pedaging optimal dapat dicapai dengan sistem peternakan intensif modern yang bercirikan pemakaian bibit unggul, pakan sempurna (seimbang) serta perkandangan yang memperhatikan aspek kenyamanan dan kesehatan ternak (Nuriyasa, 2003). Rasa nyaman (comfortable) ternak dalam kandang dipengaruhi oleh tingkat kepadatan ternak dan jenis lantai kandang yang dipergunakan sedangkan angka comfortable zone berkisar antara 60-70 (Esmay, 1978). Nuriyasa dan Astiningsih (2002) menyatakan semakin tinggi kepadatan ternak dalam kandang semakin banyak pula panas dan uap air yang dilepaskan ke lingkungan kandang. Kandang yang panas dan lembab akan menyulitkan ternak menyeimbangkan panas tubuhnya. Untuk itu maka kepadatan kandang optimum 8 ekor/ m2 (Nuriyasa, 2003). Ada dua macam lantai yang biasa dipakai oleh peternak di Indonesia, yakni lantai rapat (litter) dan lantai berlubang. Keuntungan dari lantai litter antara lain keadaan kandang lebih hangat dan pengelolaannya lebih mudah. Kerugiaannya adalah terjadinya fermentasi litter yang menghasilkan gas metan dan amonia yang dapat meningkatkan suhu udara dalam kandang sehingga dapat menyebabkan perubahan tingkah laku yaitu timbulnya sifat agresif (Duncan dan Wood-Gush, 1971). Segi positif lantai berlubang adalah keadaan lantai lebih bersih, peredaran udara lebih terjamin sehingga suplai O2 ke dalam kandang dan pembuangan CO2 dan NH3 lebih lancar. Dilain pihak lantai panggung baik untuk tempat lembab untuk mencegah cacing dan menjaga kekeringan kandang. Kekurangan-kekurangan pada tipe lantai kandang diatas yang dapat merugikan ternak tentunya dapat menurunkan hasil akhir yang ingin dicapai, karena itu perlu diperhatikan kenyamanan serta rasa aman pada ternak yang dapat tercermin melalui tabiat makan ternak yang menghuni kandang tersebut. Beberapa masalah yang telah disampaikan merupakan dasar dilakukan penelitian mengenai pengaruh tipe lantai kandang dan kepadatan ternak terhadap tabiat makan ayam pedaging. MATERI DAN METODA Ayam Ayam yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam pedaging CP 707 unsexed yang berumur dua minggu, produksi Charoen Pokphand Jaya Farm. Jumlah ayam yang digunakan sebanyak 162 ekor, dengan rincian sebagai berikut : Tipe lantai × kepadatan ternak × blok {3× (5/6/7)×3}. 8
Kandang dan Perlengkapannya Kandang yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 27 petak kandang dimana dinding kandang terbuat dari bilah-bilah bambu. Kandang yang digunakan terdiri dari tiga tipe lantai yaitu litter sekam di tanah, lantai slat bambu dan lantai litter panggung. Tiap tipe lantai kandang terdiri dari sembilan petak kandang, tiap petak memiliki ukuran panjang 1 m, lebar 0,5 m, dan tinggi 1 m. Tinggi kandang lantai slat bambu dan litter panggung adalah 0,75 m dari tanah. Kandang pada setiap blok dibatasi dengan kertas koran agar udara tidak bercampur. Lantai kandang litter sekam di tanah dan litter panggung diisi sekam setebal 5 cm, sedangkan kandang slat bambu, lantainya terbuat dari bilah bambu berjarak ± 2 cm. Kandang dibuat memanjang arah timur dan barat. Setiap petak kandang dilengkapi dengan pakan dan air minum. Sebagai penerangan, digunakan lampu 60 watt sebanyak dua buah. Ransum dan Air Minum Ransum yang diberikan selama penelitian adalah ransum 512 produksi PT. Charoen Pokphand. Air minum yang diberikan bersumber dari air PDAM. Ransum dan air minum diberikan secara ad libitum. Tempat dan Lama Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Banjar Pande, Desa Malkangin, Kelurahan Dajan Peken, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, berlangsung selama empat minggu. Rancangan Percobaan Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak kelompok, dengan pola Faktorial 3×3 dalam 3 blok. Faktor pertama adalah tipe lantai kandang yang terdiri dari lantai litter sekam di tanah (L1), slat bambu (L2) dan litter panggung (L3). Faktor kedua adalah kepadatan ternak yang terdiri dari kepadatan 10 ekor/m2 (P1), kepadatan 12 ekor/m2 (P2) dan kepadatan 14 ekor/m2 (P3). Variabel Yang Diamati Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah frekuensi ke tempat makan, frekuensi ke tempat minum, frekuensi istirahat, lama makan, lama minum, lama istirahat, dan lama panting. Pencatatan Pencatatan tabiat makan dilakukan lima kali dalam seminggu. Dalam satu hari dilakukan tiga kali pengamatan dimana tiap kali pengamatan pada masing-masing sembilan petak kandang dilakukan secara acak. Pengamatan dilakukan pada pukul 07.30-
MAJALAH ILMIAH PETERNAKAN • Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008
Eny Puspani, I.M. Nuriyasa, A.A.P Putra Wibawa, dan D.P.M.A. Candrawati
09.45 Wita, 11.30-13.45 Wita, dan 15.30-17.45 Wita. Lama pengamatan pada masing-masing petak kandang adalah 15 menit. Analisis Statistik Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan bila terdapat perbedaan yang nyata diantara perlakuan (P<0,05) maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Steel dan Torrie, 1989). HASIL Interaksi Tidak terjadi interaksi yang nyata (P>0,05) antara tipe lantai dan kepadatan kandang yang berbeda terhadap parameter tabiat makan. Frekuensi ke Tempat Makan Rata-rata frekuensi ke tempat makan ayam dengan perlakuan lantai litter sekam di tanah (L1) adalah 1,782 kali/ekor/15 menit pengamatan. Ayam dengan perlakuan lantai slat bambu (L2) dan lantai litter panggung (L3) masing-masing 17,172% dan 12,346% nyata lebih rendah (P<0,05) dari perlakuan (L1), sedangkan ayam dengan perlakuan (L2) 5,506% tidak nyata lebih rendah (P>0,05) dari perlakuan (L3). Rata-rata frekuensi ke tempat makan ayam dengan perlakuan kepadatan 10 ekor/m2 (P1) adalah 1,714 kali/ ekor/15 menit pengamatan. Ayam dengan perlakuan kepadatan 12 ekor/m2 (P2) dan perlakuan kepadatan 14 ekor/m2 (P3) masing-masing 7,99% dan 10,79% nyata lebih rendah (P<0,05) dari perlakuan (P1), sedangkan ayam dengan perlakuan (P2) 3,044% nyata lebih tinggi (P<0,05) dari perlakuan (P3). Frekuensi ke Tempat Minum Rata-rata frekuensi ke tempat minum pada (L1) adalah 1,477 kali/ekor/15 menit pengamatan. Frekuensi ke tempat minum pada (L1) 21,869% nyata lebih tinggi (P<0,05) dari (L2) dan 10,900% nyata lebih tinggi (P<0,05) dari (L3), sedangkan (L2) 12,310% nyata lebih rendah (P<0,05) dari (L3). Rata-rata frekuensi ke tempat minum pada (P1) adalah 1,354 kali/ekor/15 menit pengamatan. Frekuensi ke tempat minum pada (P1) 0,148% tidak nyata lebih tinggi (P>0,05) dari (P2) dan 8,346% tidak nyata lebih tinggi (P>0,05) dari (P3), sedangkan (P2) 8,210% tidak nyata lebih besar (P>0,05) dari (P3). Frekuensi Istirahat Rata-rata frekuensi istirahat pada (L1) adalah 1,917 kali/ekor/15 menit pengamatan. Frekuensi istirahat pada (L1) 38,863% nyata lebih tinggi (P<0,05) dari ISSN : 0853-899
Tabel 1. Pengaruh Tipe Lantai dan Kepadatan Ternak Terhadap Tabiat Makan Ayam Pedaging Umur 2-6 Minggu (ekor/15 menit pengamatan). Faktor
Parameter Frekuensi Frekuensi Frekuensi Lama Lama Lama Lama Makan Minum Istirahat Makan Minum Istirahat Panting (kali) (kali) (kali) (menit) (menit) (menit) (menit)
Tipe Lantai L1 1,782a 1,477a 1,917a 7’.6”a 1’.24”c 5’.54”a 0’.36”a L2 1,476b 1,154c 1,172b 7’.18”a 2’30”b 4’.54”b 0’.18”b L3 1,562b 1,316b 1,223b 7’.12”a 2’54”a 4’.36”b 0’.30”a SEM 0,042 0,051 0,048 0,195 0,101 0,215 0,042 Kepadatan P1 1,714a 1,354a 1,500a 7’.36”a 2’.6”b 4’.6”a 0’.24”a P2 1,577b 1,352a 1,368a 7’.6”b 2’.30”a 5’.0”a 0’.30”a P3 1,529b 1,241a 1,444a 6’.48”b 2’.12”b 5’.30”a 0’.35”a SEM 0,042 0,051 0,048 0,195 0,101 0,215 0,042 Keterangan L1 = Lantai Litter sekam di tanah L2 = Lantai Slat bambu L3 = Lantai Litter panggung P1 = Kandang dengan kepadatan 10 ekor/m2 P2 = Kandang dengan kepadatan 12 ekor/m2 P3 = Kandang dengan kepadatan 14 ekor/m2 Nilai dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). SEM = Standard Error of Treatment Means.
Tabel 2. Temperatur Udara Kandang, Temperatur Lantai Kandang dan Kelembaban Kandang Selama Penelitian. Faktor
Temperatur Kandang (oC)
Temperatur Lantai Kandang (oC)
Kelembaban Kandang (%)
Tipe Lantai L1 L2 L3
28,6 a 27,9 b 28,4 a
29,6855 a 27,6167 b 29,6488 c
91 a 88 b 89 b
Kepadatan P1 P2 P3
28,1 b 28,4 a 28,9 a
28,8567 a 28,8799 a 29,2146 a
89 a 89 a 90 a
Keterangan : 1) L1 = Lantai Litter sekam di tanah L2 = Lantai Slat bambu L3 = Lantai Litter panggung P1 = Kandang dengan kepadatan 10 ekor/ m2 P2 = Kandang dengan kepadatan 12 ekor/ m2 P3 = Kandang dengan kepadatan 14 ekor/ m2 2)Nilai dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
(L2) dan 36,202% nyata lebih tinggi (P<0,05) dari (L3), sedangkan (L2) 4,170% tidak nyata lebih rendah (P>0,05) dari (L3). Rata-rata frekuensi istirahat pada (P1) adalah 1,500 kali/ekor/15 menit pengamatan. Perlakuan (P2) dan (P3) masing-masing 8,800% dan 7,733% tidak nyata lebih rendah (P>0,05) dari (P1), sedangkan (P2) 5,263% tidak nyata lebih rendah (P>0,05) dari (P3). Lama Makan Rata-rata lama makan pada (L1) adalah 7’.6”/ ekor/15 menit pengamatan. Perlakuan (L2) dan (L3) masing-masing 2,054% dan 0,434% tidak nyata lebih lama (P>0,05) dari (L1). Perlakuan (L2) 1,627% tidak nyata lebih lama (P>0,05) dari (L3). 9
Pengaruh Tipe Lantai Kandang dan Kepadatan Ternak Terhadap Tabiat Makan Ayam Pedaging Umur 2-6 Minggu
Rata-rata lama makan pada (P1) adalah 7’.36”/ ekor/15 menit pengamatan. Perlakuan (P2) dan (P3) masing-masing 7,670% dan 10,489% nyata lebih rendah (P<0,05) dari (P1), sedangkan (P2) 3,053% tidak nyata lebih lama (P>0,05) dari (P3). Lama Minum Rata-rata lama minum pada (L1) adalah 1’.24”/ ekor/15 menit pemgamatan. Perlakuan (L2) dan (L3) masing-masing 43,561% dan 52,025% nyata lebih lama (P<0,05) dari (L1), perlakuan (L3) 14,997% nyata lebih lama (P<0,05) dari (L2). Rata-rata lama minum pada (P1) adalah 2’.6”/ ekor/15 menit pengamatan. Perlakuan (P2) 14,588% nyata lebih lama (P<0,05) dari (P1) dan (P1) 0,280% tidak nyata lebih lama (P>0,05) dari (P3), sedangkan (P2) 14,827% nyata lebih lama (P<0,05) dari (P3). Lama Istirahat Rata-rata lama istirahat pada (L1) adalah 5’.54”/ ekor/15 menit pengamatan. Lama istirahat pada (L1) 16,815% nyata lebih lama (P<0,05) dari (L2) dan 22,606% nyata lebih lama (P>0,05) dari (L2), sedangkan (L2) 6,961% tidak nyata lebih lama (P>0,05) dari (L3). Rata-rata lama istirahat pada (P1) adalah 4’.06”/ ekor/15 menit pengamatan. Perlakuan (P2) dan (P3) masing-masing 0,779% dan 9,873% tidak nyata lebih lama (P>0,05) dari (P1), sedangkan (P3) 9,165% tidak nyata lebih lama (P>0,05) dari (P2). Lama Panting Rata-rata lama panting pada (L1) adalah 0’.36”/ ekor/15 menit pengamatan. Lama panting pada (L1) 40,653% nyata lebih lama (P<0,05) dari (L2) dan 13,975% tidak nyata lebih lama (P>0,05) dari (L3), sedangkan (L3) 31,013% nyata lebih lama (P<0,05) dari (L2). Rata-rata lama panting pada (P1) adalah 0’.24”/ ekor/15 menit pengamatan. Perlakuan (P2) dan (P3) masing-masing 13,318% dan 26,996% tidak nyata lebih lama (P<0,05) dari (P1), sedangkan (P3) 15,780% tidak nyata lebih lama (P>0,05) dari (P2). PEMBAHASAN Frekuensi ke tempat makan ayam pada kandang lantai litter sekam di tanah nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kandang lantai slat bambu dan litter panggung. Hal ini disebabkan karena keadaan kandang lantai litter sekam di tanah lebih tidak nyaman dibandingkan dengan kandang lantai slat bambu dan litter panggung yang diindikasikan oleh suhu dan kelembaban udara dalam kandang yang nyata lebih tinggi (Tabel 2). 10
Gesekan aliran udara pada permukaan tanah lebih besar sehingga aliran udara pada kandang litter sekam di tanah terhambat yang menyebabkan terhalangnya pertukaran udara dari kandang ke lingkungan. Faktor lain yang menyebabkan kandang lantai litter sekam di tanah lebih panas adalah feses yang tertampung pada litter mengalami proses fermentasi dapat menghasilkan gas metan dan amonia. Panas yang dihasilkan dari fermentasi litter ini dapat meningkatkan suhu udara kandang yang akan mengakibatkan bertambahnya beban panas ayam yang menghuni. Kandang lantai litter panggung keadaannya akan lebih nyaman dibandingkan kandang litter sekam di tanah karena gaya gesek udara pada lantai liter panggung lebih rendah. Kandang dengan lantai slat bambu, aliran udaranya lebih lancar karena dari sela-sela bilah bambu angin dapat masuk. Nuriyasa dan Astiningsih (2002) menyatakan pada kecepatan angin dalam kandang 0,8 m/dt menyebabkan tingkat kenyamanan kandang lebih tinggi dari pada kecepatan angin 0,4 m/dt. Tingkat kelembaban udara berpengaruh nyata pada tingkat pelepasan panas terutama saat suhu tubuh ternak tinggi (Esmay, 1978). Temperatur lingkungan yang tinggi disertai kelembaban yang tinggi akan menyebabkan berkurangnya kemampuan lingkungan untuk mengabsorbsi uap air yang berasal dari ternak, sehingga ternak akan mengalami cekaman panas yang sangat hebat. Keadaaan ini akan menyebabkan waktu makan ayam pada lantai litter sekam di tanah lebih sedikit karena ayam akan menjauhi tempat makan yang panas, disebabkan karena ayam akan berdesak-desakan di tempat makan. Ayam pada lantai litter sekam di tanah akan lebih sering beristirahat baik frekuensi dan lama istirahatnya, seperti pada Tabel 1. Cekaman panas pada perlakuan L1 dapat mengakibatkan ayam takut bersesak-desakan di tempat makan dan akan memilih waktu makan. Kebutuhan akan makanan dipenuhi dengan meningkatkan frekuensi ke tempat makan. Hal ini sesuai dengan pendapat Schein (1975) bahwa respon fisiologi hewan pada temperatur lingkungan yang tinggi tergantung pada tingkat kelembaban udara sekitar. Frekuensi ke tempat makan dan lama waktu yang dihabiskan untuk makan tidak mencerminkan jumlah makanan yang dimakan karena kemungkinan ayam hanya mempermainkan makanannya (Masic et al., 1974). Hal ini dapat dibuktikan dari jumlah konsumsi ransum pada ketiga tipe lantai yang tidak berbeda nyata. Lama panting pada lantai litter sekam di tanah nyata lebih tinggi dari lantai slat bambu karena suhu kandang lantai litter sekam di tanah yang nyata lebih tinggi. Semakin kecil perbedaan temperatur kandang dengan temperatur tubuh ternak, maka pelepasan panas oleh
MAJALAH ILMIAH PETERNAKAN • Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008
Eny Puspani, I.M. Nuriyasa, A.A.P Putra Wibawa, dan D.P.M.A. Candrawati
ternak akan semakin sulit. Keadaan ini lebih buruk lagi karena tingkat kelembaban yang juga nyata lebih tinggi. Ini akan menimbulkan cekaman panas bagi ternak dan ternak akan berusaha mengatasi keadaan dengan melepaskan panas melalui saluran pernafasan (panting). Frekuensi dan lama makan ayam dengan kepadatan 10 ekor/m2 nyata lebih tinggi dibandingkan kepadatan 12 ekor/m2 dan 14 ekor/m2. Hal ini disebabkan semakin tinggi kepadatan pada luas kandang yang sama maka sifat agonistik akan makin tinggi. Sifat agonistik meningkat menyebabkan agresivitas ternak meningkat sehingga persaingan diantara individu meningkat. Kandang dengan kepadatan 12 ekor/m2 dan 14 ekor/ m2 sifat agonistiknya akan lebih tinggi dibandingkan kepadatan 10 ekor/m2. Ayam pedaging memiliki sifat yang lebih tenang dibandingkan ayam petelur (Tanaka dan Yoshimoto, 1986). Karena sifat ayam pedaging yang tenang inilah maka ayam dengan tingkat sosial yang rendah pada kepadatan tinggi akan mengalah dan menunggu ayam dengan tingkat sosial lebih tinggi selesai makan, sehinggi frekuensi dan lama makan pada kepadatan ternak yang tinggi akan lebih jarang. Tingginya frekuensi ke tempat minum dan banyak air yang dikonsumsi ada hubungannya dengan aktivitas ayam dan banyak makanan yang dimakan. Makin banyak makanan yang dimakan maka jumlah air yang diminum juga makin banyak (Tillman et al., 1986). Hasil pengamatan yang bervariasi antara perbandingan frekuensi dan lama makan dengan frekuensi dan lama minum disebabkan karena frekuensi ke tempat makan dan lama waktu yang dihabiskan untuk makan tidak mencerminkan jumlah makanan yang dimakan karena kemungkinan ayam hanya mempermainkan makanannya saja (Masic et al., 1974). Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah tidak terjadi interaksi antara lantai kandang dan kepadatan kandang terhadap tabiat makan. Lantai slat bambu dan litter panggung menghasilkan tabiat makanan yang lebih baik dibandingkan litter alas tanah. Kepadatan kandang 10 ekor/m2 menghasilkan tabiat makan lebih baik dari pada 12 ekor/m2 dan 14 ekor/m2.
ISSN : 0853-899
UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Prof. Ir. Ketut Astiningsih, M.Rur.Sc. atas bimbingan dan sarannya selama penelitian, dan Ibu Nuriyasa yang telah memberikan fasilitas kandang, serta para mahasiswa yang telah dengan tekun ikut serta dalam proyek penelitian sampai selesai. DAFTAR PUSTAKA Duncan, I.J.H. dan Wood-Gush, D.G.M. 1971. Frustation and aggression in the domestic fowl. J. Anim. Behav. 19 : 500504. Esmay, M.L. 1978. Principles of Animal Environment. Avi Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Masic, B., Wood-Gush, D.G.M., Duncan, C., McCorquodale and Savory, C.J. 1974. A Comparison of the Feeding Behaviour of Young Broiler and Layer Males. Agricultural Research Council’s Poultry Research Center. Roslin, Midlothian EH2S, GPS, Scotland. Nuriyasa, I M. 2003. Pengaruh tingkat kepadatan dan kecepatan angin dalam kandang terhadap indeks ketidaknyamanan dan penampilan ayam pedaging pada dataran rendah. Majalah Ilmiah Peternakan, Fakultas Peternakan Unud. 2 (6) : 40 - 45. Nuriyasa, I M. dan Astiningsih, N.K. 2002. Pengaruh tingkat kepadatan ternak dan kecepatan angin dalam kandang terhadap tabiat makan ayam pedaging. Majalah Ilmiah Peternakan, Fakultas Peternakan Unud. 3 (5) : 99-103. Schein, M.W. 1975. The Physical Environment and Behaviour. In : The Behaviour of Domestic Animal. Edited by E.S.E. Hafez P. 82-95. 3nd Ed. Bailliere Tindal, London. Steel, R.G.D. dan Torrie, J.H. 1989. Principles and Procedures of Statistics. 2nd Ed. McGraw-Hill International Book Company, London. Tanaka, T. and Yoshimoto, T. 1986. Effects of feeding frequency on the feeding behaviour of laying hens. J. Zootech. Sci. Japan Tillman, A.D., Hartadi, H. Reksohadiprodjo S., dan Lebdosoekojo S. 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-3. Fakultas Peternakan Gadjah Mada. Yogyakarta.
11
KOEFESIEN CERNA BAHAN KERING DAN NUTRIEN RANSUM KAMBING PERANAKAN ETAWAH YANG DIBERI HIJAUAN DENGAN SUPLEMENTASI KONSENTRAT MOLAMIK I G. L. O. Cakra dan N.W Siti Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar Bali e-mail:
[email protected] HP. 08123674289 ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan di Padanggalak, Denpasar. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh suplementasi konsentrat Molamik terhadap koefesien cerna bahan kering dan nutrien ransum kambing PE yang diberi hijauan berbasis leguminosa. Penelitian menggunakan tancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan dan tiga kelompok (blok) sebagai ulangan. Ternak yang digunakan berjumlah 9 ekor, rata-rata berat badan awal 15,56±1,63 kg. Ketiga perlakuan tersebut adalah: perlakuan A: 100% ransum hijauan (20% Rumput lapangan, 60% Gamal dan 20% Waru), perlakuan B: 92,5% ransum A + 7,5% konsentrat Molamix dan perlakuan C: 85% ransum A+15% konsentrat Molamix. Peubah yang diamati adalahk oefisien cerna bahan kering, dan nutrien ransum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien cerna bahan kering, bahan organik, protein kasar pada perlakuan B dan C nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan A. Koefesien cerna serat kasar pada perlakuan B dan C nyata lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan dengan perlakuan A. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum hijauan berbasis leguminosa dengan suplementasi 7,5% dan 15% konsentrat Molamik pada kambing Peranakan Etawah secara nyata dapat meningkatkan koefisien cerna bahan kering dan nutrien ransum (bahan organik, protein kasar dan serat kasar). Kata kunci: koefesien cerna, molamik, kambing PE. COEFESIEN DIGESTIBILITY OF DRY MATTER AND NUTRITION CONTENT OF ETAWAH CROSS BREED GOAT RATION WITH FORAGE AND MOLAMIK CONSENRAT ABSTRACT This experiment was conducted to find out the effect of suplement molamik consentrat on digestibility of dry matter and nutrien content on etawah cross breed goat ration with leguminosa forage.The experiment used nine goats that had an average initial weight of 15.56 ±1.63 that were alocated into three treatment group of diets i. e. Diet A =100% forage (20% grass, 60 % Gliricidia sepium and 20% Hibiscus teilleaceus) ; Diet B = 92,5% diet A + 7.5% Molamik consentrat ; Diet C = 85 % diet A + 15 % Molamik consentrat in Randomized Block Design consisting of three treatment and three replicates. Result of the experiment indicated that suplementation of Molamik consentrat 7.5% and 15% significanly increase digestibility of dry matter, organic matter crude protein, and crude fiber. Key words: digestibility, molamik, goat PENDAHULUAN Kambing termasuk jenis ternak perambah (browser), yakni dapat memanfaatkan 60-70% daun-daunan (Kearl, 1982). Namun kenyataannya, banyak kambing yang diberi pakan berupa rumput lapangan, perlakuan ini sudah pasti menyimpang dari sifat dasarnya sebagai 12
ternak browser. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat konsumsi dan kecernaan pakan, juga dikhawatirkan dapat mengakibatkan terganggunya keseimbangan nutrien. Sukanten et al. (1996) menyatakan bahwa pemberian pakan rumput lapangan secara tunggal pada kambing menghasilkan pertumbuhan negatif yakni -8,69 g/ekor/ hari. Rumput lapangan memiliki sifat amba (bulky),
MAJALAH ILMIAH PETERNAKAN • Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008
I G. L. O. Cakra dan N.W Siti
sehingga belum mampu mengontrol aktivitas mikroorganisme rumen dalam mencerna pakan, sebagai akibat dapat menurunkan daya cerna pada pakan. Berdasarkan fenomena tersebut, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan pertumbuhan kambing sesuai dengan potensi genetiknya. Salah satu langkah tersebut adalah dengan memodifikasi campuran ransum hijauan berbasis leguminosa pohon agar sesuai dengan sifat dasar kambing sebagai ternak browser. Daun gamal (Gliricidia sepium) dan waru (Hibiscus tilleaceus) sebagai hijauan pakan pilihan diduga mampu meningkatkan kecernaan pakan pada kambing. Putra (1999) menyatakan bahwa daun gamal dapat berfungsi sebagai sumber protein bagi mikroba, sedangkan waru berfungsi sebagai agen defaunasi untuk menciptakan suasana rumen yang lebih kondusif. Sukanten et al. (1996) menyatakan bahwa pemberian gamal pada kambing secara tunggal, menghasilkan pertumbuhan yang positif yakni +80,12 g/ekor/hr. Selain kandungan energinyayang tinggi, gamal juga menyediakan sumber protein yang mudah didegradasi (DIP) dan lolos degradasi (UIP). Pemberian pakan pada kambing berupa hijauan saja masih mempunyai kelemahan yaitu kurangnya energi maupun protein . Selain itu, jika ditinjau dari segi kualitas berbagai macam hijauan yang tumbuh di daerah tropis seperti Indonesia, pemberian pakan hijauan saja masih kurang berarti untuk memenuhi kebutuhan nutrien ternak kambing, oleh karena itu Murtidjo (1993) menyarankan pemanfaatan hijauan pakan sebaiknya diikuti dengan suplementasi konsentrat. Lebih lanjut dinyatakan pula tambahan konsentrat ini berfungsi untuk meningkatkan daya guna pakan, serta dapat meningkatkan konsumsi dan kecernaan pakan. Suplementasi konsentrat yang mengandung molasis dan mineralmix (Molamix) diharapkan mampu meningkatkan kecernaan nutrien pakan pada kambing Peranakan Etawah (PE). Dasar penggunaan bahan ini karena molasis dapat berfungsi sebagai sumber karbohidrat mudah tercerna dan mengandung energi siap pakai untuk pertumbuhan mikroba rumen. Preston dan Leng (1987) menyatakan bahwa salah satu fungsi molasis adalah sebagai penyedia karbohidrat mudah difermentasi dan sebagai bahan palatabel pembawa nutrien esensial bagi ternak ruminansia. Kandungan mineralmix pada konsentrat Molamix merupakan gabungan bahan sumber penyedia mineral yang sangat dibutuhkan dalam proses fisiologis ternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi konsentrat Molamix terhadap koefisien cerna bahan kering dan nutrien ransum kambing Peranakan Etawah yang diberi ransum hijauan berbasis leguminosa pohon.
ISSN : 0853-899
MATERI DAN METODE Materi Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah kambing Peranakan Etawah (PE) lepas sapih (umur ±3 bulan) berjumlah 9 ekor, dengan berat badan awal rata-rata15,56±1,63 kg. Ternak ini merupakan ras kambing Kaligesing Purworejo Jawa Tengah. Kandang yang digunakan adalah kandang individu berbentuk panggung, yang berjumlah 9 petak, masing-masing petak berukuran panjang 175 cm, lebar 120 cm dan tinggi 170 cm. Tempat pakan berukuran panjang 120 cm, lebar 40 cm dan tinggi 40 cm. Tempat air minum kapasitas 5 liter, tempat konsentrat Molamix dengan kapasitas 2 liter. Alat-alat yang digunakan antara lain: timbangan merek “Five Goats” buatan China kapasitas 5 kg dengan kepekaan 20 g dan timbangan roti kapasitas 10 kg dengan kepekaan 200 g, timbangan duduk merek “Indocacin” buatan Indonesia memiliki kapasitas 150 kg dengan kepekaan 50 g, timbangan digital merek “Soehnel” buatan Swiss dengan kapasitas 2 kg dengan kepekaan 2 g. Ransum yang diberikan pada ternak penelitian terdiri dari ransum basal dan konsentrat. ransum basal berupa 20% rumput lapangan, 60% gamal dan 20% waru. Ransum konsentrat Molamix terdiri dari campuran bahan-bahan sebagai berikut 45% dedak padi, 45% pollar, 5,5% molasis, 3,5% mineralmix dan 1% garam dapur. Bahan ransum didapat dari pabrik pakan ternak “Nandini” yang berlokasi di Desa Munggu, Mengwi, Badung. Air minum berasal dari sumur bor. Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan selama 20 minggu di areal kandang peternakan kambing Peranakan Etawah (PE) berlokasi di Gg. Ulun Carik Jl. By Pass Ngurah Rai, Padanggalak Sanur Denpasar. Analisis proksimat dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman Denpasar. Rancangan percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan dan tiga kelompok(blok) sebagai ulangan. Ketiga perlakuan tersebut adalah:perlakuan A (100% ransum hijauan), perlakuan B (92,5% ransum A + 7,5% konsentrat Molamix) dan perlakuan C (85% ransum A + 15% konsentrat Molamix). Pembagian kelompok (blok) percobaan ini didasarkan pada berat badan kambing, dimana blok I memiliki berat badan 17,42±2,27 kg (kelompok berat), blok II memiliki berat badan 14,87±0,48 kg (kelompok sedang) dan blok III memiliki berat badan 14,4±0,095 13
Koefesien Cerna Bahan Kering dan Nutrien Ransum Kambing Peranakan Etawah yang Diberi Hijauan dengan Suplementasi Konsentrat Molamik
Tabel 1. Komposisi Ransum Perlakuan Bahan
A 20,00 60,00 20,00 100,00
Rumput Lapangan (%) Gamal (%) Waru (%) Konsentrat Molamix (%) Total (%)
Perlakuan1) B 18,50 55,50 18,50 7,50 100,00
rumus berikut: Koefisien cerna bahan kering (KCBK) dihitung dengan rumus:
C 17,00 51,00 17,00 15.00 100,00
Tabel 2. Kandungan Nutrien Ransum Perlakuan Nutrisi Makro Nutrien3): BK (%) GE (Kkal) PK (%) SK (%) BO (%) Abu (%) Mikro Nutrien4): Ca (%) P (%) S (%) Zn (ppm)
A
Perlakuan1) B
C
Koefisien cerna bahan organik (KCBO) dihitung dengan rumus:
Standar
20,87 4032,20 17,59 20,35 89,94 10,06
24,68 4013,10 17,69 19,55 89,99 10,01
28,49 3994,07 17,79 18,75 90,04 9,96
-
9,78-13,782) -
1,11 0,03 0,18 26,53
1,04 0,04 0,17 30,5
0,97 0,04 0,16 34,47
0,44-0,562) 0,31-0,392) 0,202) 20,605)
Keterangan : 1). Perlakuan A (kontrol) : 100% pakan hijauan (gamal 60%+ rumput 20%+ waru 20% ) Perlakuan B : 92,5% ransum A + 7,5% konsentrat Molamix. Perlakuan C : 85% ransum A + 15% konsentrat Molamix. 2). NRC (1981). 3). Hasil Analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana 4). Hasil Analisis Laboratorium Analitik Universitas Udayana 5). Georgievskii (1982).
kg (kelompok ringan). Komposisi bahan ransum disajikan pada Tabel 1 dan kandungan nutrien ransum disajikan pada Tabel 2. Ransum konsentrat Molamix dicampur seminggu sekali sesuai dengan proporsinya. Cara mencampur konsentrat tersebut adalah dengan cara manual. Pemberian ransum dan air minum Penentuan kebutuhan konsumsi bahan kering atau Dry Matter Intake (DMI) didasarkan pada rekomendasi Kearl (1982) dengan mempertimbangkan hasil evaluasi pada masa adaptasi yakni 3,6 persen dari berat badan ternak. Pemberian pakan hijauan dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pagi hari sekitar jam 07.00 Wita dan sore hari pada jam 17.00 Wita. Pemberian konsentrat Molamix dilakukan pada pagi hari sekitar dua jam setelah kambing diberi pakan hijauan, pemberian konsentrat dicampur sedikit air hingga konsentrat tidak beterbangan dan mengganggu pernafasan ternak ketika dimakan. Air minum diberikan ad libitum dan diganti setiap hari pada pagi hari. Peubah yang diamati Peubah yang diamati selama penelitian adalah koefisien cerna bahan kering, bahan organik, protein kasar dan serat kasar. Pengukuran koefesien cerna dilakukan dengan metode koleksi total, selanjutnya perhitungan menggunakan 14
Bahan kering yang dikonsumsi � Bahan kering dalam feses × 100% Bahan kering yang dikonsumsi
KCBK=
KCBO=
Bahan organik yang dikonsumsi � Bahan organik dalam feses × 100% Bahan organik yang dikonsumsi
Koefisien cerna protein kasar (KCPK) dihitung dengan rumus: KCPK =
Protein kasar yang dikonsumsi � Protein kasar dalam feses × 100% Protein kasar yang dikonsumsi
Koefisien cerna serat kasar (KCSK) dihitung dengan rumus: dikonsumsi � Serat kasar dalam feses KCSK= Serat kasar yang Serat kasar yang dikonsumsi
x100%
Pengambilan dan analisis sampel Pengambilan data dan sampel dilakukan pada tahap koleksi total selama tujuh hari pada minggu ke sebelas. Pencatatan data meliputi: jumlah produksi feses, konsumsi pakan dan sisa pakan, sedangkan sampel yang diambil adalah sampel pakan diberikan, sisa pakan dan feses masing-masing sebanyak 200 g Prosedur analisis penentuan Bahan Kering (BK), Bahan Organik (BO), Protein Kasar (PK), dan Serat Kasar (SK) sampel sesuai dengan metode “Association of Official Analytic Chemist” (A.O.A.C., 1990). Analisis statistik Data yang diperoleh dianalisis sidik ragam (Analyse Of Variance) berdasarkan paket program Costat (1990). Apabila pengujian sidik ragam terdapat hasil berbeda nyata (P<0,05) antar perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel and Torrie, 1991). HASIL DAN PEMBAHASAN Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien cerna bahan kering (KCBK) pada ransum kambing yang mendapat perlakuan A (100% ransum hijauan) adalah 62,207% (Tabel 3). KCBK pada kambing yang mendapat perlakuan B (92,5% ransum A + 7,5% konsentrat Mo-
MAJALAH ILMIAH PETERNAKAN • Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008
I G. L. O. Cakra dan N.W Siti
Tabel 3. Nilai Koefisien Cerna Bahan kering dan Nutrien Ransum Peubah KCBK (%) KCBO (%) KCPK (%) KCSK (%)
Perlakuan1) A 62.207a 64.251a 70.358a 32.251a
B 66.415ab 68.007ab 75.101ab 38.690ab
C 70.552b 2) 71.936b 2) 79.096b 2) 43.928b 2)
Signifikansi P<0,05 P<0,05 P<0,01 P<0,01
Keterangan : 1). Perlakuan A (kontrol) : 100% pakan hijauan (gamal 60%+ rumput 20%+ waru 20% ) Perlakuan B : 92,5% ransum A + 7,5% konsentrat Molamix. Perlakuan C : 85% ransum A + 15% konsentrat Molamix. 2) Nilai dengan huruf/notasi berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dan sangat nyata (P<0,01).
lamix) dan kambing yang mendapat perlakuan C (85% ransum A + 15% konsentrat Molamix) masing-masing 6,765% dan 13,416% nyata lebih tinggi (P<0,05) daripada kambing pada perlakuan A. Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO) pada perlakuan A adalah 64,251%, sedangkan KCBO pada perlakuan B dan perlakuan C masing-masing 5,846% dan 11,962% nyata lebih tinggi (P<0,05) daripada perlakuan A Kecernaan Protein Kasar Hasil penelitian menunjukkan bahwa Koefisien Cerna Protein Kasar (KCPK) pada kambing yang mendapat perlakuan A adalah 70,358% (Tabel 3). KCPK pada kambing yang mendapat perlakuan B dan kambing yang mendapat perlakuan C masing-masing 6,741% dan 12,419% nyata lebih tinggi (P<0,05) daripada kambing yang mendapat perlakuan A. Kecernaan Serat Kasar Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien cerna serat kasar (KCSK) pada kambing yang mendapat perlakuan A adalah 32,251% (Tabel 3). KCSK pada kambing yang mendapat perlakuan B dan kambing yang mendapat perlakuan C masing-masing 19,967% dan 36,207% nyata lebih tinggi (P<0,05) daripada perlakuan A. PEMBAHASAN Koefisien cerna bahan kering dan nutrien ransum berbasis leguminosa pohon pada kambing Peranakan Etawah, dapat ditingkatkan dengan penambahan konsentrat Molamix dengan level 7,5% dan 15% dari total jumlah ransum hijauan yang diberikan. Koefisien cerna Bahan Kering (BK) dan Bahan Organik (BO) ransum tertinggi pada kambing yang mendapat perlakuan C, kemudian diikuti dengan kambing yang mendapat perlakuan B. Hal ini membuktikan bahwa secara kuantitas maupun kualitas konsentrat Molamix mampu memberikan nutrisi bagi mikroba rumen sehingga dapat meningkatkan koefisien cerna. ISSN : 0853-899
Komposisi ransum yang diberikan bervariasi yang terdiri dari hijauan dan kosentrat yang memiliki kegunaan dan bentuk fisik yang berbeda-beda. Campbell et al. (2003) dan Anggorodi (1979) menyatakan bahwa di antara faktor yang mempengaruhi kecernaan ransum adalah bentuk fisik dari bahan penyusun ransum, komposisi ransum, laju aliran pakan melalui saluran pencernaan dan perbandingan zat makanan di dalamnya. Pada perlakuan C, ransum terdiri dari konsentrat Molamix yang memiliki persentase paling tinggi. Konsentrat Molamix memiliki berbagai macam bahan penyusun yang memiliki zat-zat mudah larut seperti pati dan gula-gula sederhana pada molasis. Kelarutan bahan-bahan ini dalam cairan rumen akan mempercepat laju aliran pakan, sehingga kesempatan mikroba rumen dalam mencerna pakan konsentrat hanya sesaat dan selanjutnya pakan konsentrat akan mengalir ke pasca rumen yang pada akhirnya dapat diserap oleh hewan inang. Hal ini sangat mempengaruhi koefisien cerna pakan. Dalam bahan pakan ternak hijauan maupun konsentrat tersusun dari fraksi bahan kering dan bahan organik (McDonald et al., 1995). Bahan organik tersusun atas nutrien utama yang sangat diperlukan oleh ternak dalam proses metabolisme untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Karena meningkatnya kecernaan bagian bahan organik yang ada di dalamnya yaitu protein dan karbohidrat, maka secara otomatis bahan organik juga meningkat, sehingga mengarah pada peningkatan bahan kering. Perlakuan pemberian konsentrat Molamix menambah komposisi bahan makanan yang mudah larut. Sifat kelarutan bahan makanan ini selain dapat meningkatkan penyerapan bahan makanan bagi hewan inang, juga menyediakan makanan yang siap pakai bagi mikroba rumen. Oleh karena makanan mikroba rumen tersedia, maka aktivitas mikroba rumen meningkat untuk mencerna materi penyusun pakan hijauan terutama serat kasar atau selulosa. Koefisien cerna Protein Kasar (PK) tertinggi pada ransum perlakuan C yang diikuti dengan perlakuan B. Hal ini disebabkan pada ransum perlakuan C suplementasi konsentrat Molamix relatif tinggi dibanding perlakuan lainnya. Selain komposisi sumber protein yang mudah didegradasi (DIP) dan lolos degradasi (UIP) terdapat pada ransum basal, juga disediakan protein mudah larut yang terkandung dalam konsentrat Molamix. Molasis yang terkandung dalam konsentrat memiliki fungsi sebagai penyedia karbohidrat mudah larut dan energi (Preston dan Leng, 1987). Oleh karena itu konsentrat Molamix mampu merangsang mikroba rumen untuk lebih aktif dalam mencerna pakan hijauan. 15
Koefesien Cerna Bahan Kering dan Nutrien Ransum Kambing Peranakan Etawah yang Diberi Hijauan dengan Suplementasi Konsentrat Molamik
Pada ransum perlakuan C memiliki kandungan protein kasar paling tinggi dibanding perlakuaan lainnya (tabel 2). Putra (2004) menyatakan bahwa rendahnya protein pada pakan dapat menghambat pertumbuhan mikroba rumen terutama dalam sintesis protein tu buhnya, yang mengakibatkan aktivitasnya dalam fermentasi rumen terhambat pula. Ini terbukti dengan hasil pertambahan berat badan ternak per hari pada penelitian yang sama (Rahayu, Inpress) tertinggi pada perlakuan C. Didapatkan pula konsentrasi nitrogen dari amoniak (N dari NH3) pada cairan rumen tertinggi pada perlakuan B, namun serapan N tertinggi pada perlakuan C. Hal ini berarti bahwa kemampuan mikroba rumen untuk memanfaatkan N dari amoniak tinggi pada perlakuan C, selain itu mikroba rumen dapat memanfaatkan N protein yang kemudian dapat digunakan hewan inang dalam bentuk asam amino. Hal ini karena pembentukan asam amino berasal dari dua arah yaitu kerangka karbonnya dapat dibentuk dari VFA dan gugus amina terbentuk dari NH3 yang berasal dari protein pakan atau NPN. Dalam proses pencernaan, protein dan urea mengalami degradasi oleh enzim proteolitik yang dihasilkan oleh mikroba menjadi peptida. Peptida atau oligopeptida yang terbentuk sebagian digunakan oleh mikroba untuk membentuk protein tubuhnya dan sebagian lagi diproses lebih lanjut menjadi asam amino. Sebagian asam-asam amino dikatabolis (deaminasi) lebih lanjut menjadi asam-asam organik, NH3 dan CO2 (McDonald et al., 1995). Defaunasi dilakukan untuk menekan pertumbuhan mikroba rumen yang tidak menguntungkan atau dapat memangsa bakteri, sehingga aktivitas bakteri berkurang dan pada akhirnya dapat mengurangi kecernaan pakan. Koefisien cerna Serat Kasar (SK) tertinggi pada ransum perlakuan C yang diikuti oleh perlakuan B. Hal ini berarti kontribusi konsentrat Molamix mampu menyediakan zat-zat makanan untuk mikroba rumen, sehingga perkembangan serta aktivitas mikroba rumen meningkat. Fungi merupakan mikroba rumen yang lebih awal merombak materi penyusun bahan makanan terutama hijauan. Putra (2004) menyatakan bahwa fungi dapat menempel pada daun-daunan (stomata) dan tepi sobekan/sayatan melalui bantuan rhizoid, kemampuan ini dimanfaatkan fungi untuk merombak pakan kasar dengan bantuan enzim yang dihasilkan lewat miselium. Akibat aktivitas fungi ini, struktur pakan menjadi rapuh dan akan didegradasi oleh bakteri rumen (amilolitik, selulotik dan lain-lain) menjadi monomer-monomer penyusunnya. Hasil pemecahan bahan makanan dari senyawa kompleks menjadi yang lebih sederhana ini sebagian akan dimanfaatkan oleh hewan inang melalui proses absorbsi dan sebagian ada yang difermentasi oleh mikroba rumen menjadi asam lemak terbang (VFA). 16
VFA terdiri dari asam propionat, asam butirat dan asam asetat. Asam-asam lemak ini sebagian diserap oleh hewan inang dan ada yang dimanfaatkan mikroba rumen sebagai energi dan makanannya. Siahaan (Inpress) dalam penelitian yang sama menyatakan bahwa proporsi asam asetat terendah pada perlakuan C, sedangkan asam propionat tertinggi pada perlakuan C (lampiran 2). ini berarti proses perubahan serat oleh mikroba rumen berjalan dengan sempurna dimana pada pakan perlakuan A, pakan terdiri dari hijauan saja. Komponen hijauan sebagian besar terdiri dari serat kasar (selulosa) sebagai penyusun dinding selnya, selulosa dalam proses pencernaan ruminansia diubah menjadi asam asetat. Pada perlakuan C, proporsi pemberian pakan konsentrat Molamix lebih tinggi daripada perlakuan lainnya, sehingga dalam metabolisme rumen konsentrat diubah menjadi asam propionat. Putra (2004) menyatakan bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan ternak adalah menggunakan pakan konsentrat, yang dalam fermentasinya akan meningkatkan propionat. Dalam hal ini selain karena meningkatnya aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroba selulolitik dan amilolitik, juga laktolitik. Pada proses ini yang lebih penting adalah mikroba laktolitik, karena selain mampu menekan laktic acidosis juga dapat mengkonversi asam laktat menjadi propionat yang lebih banyak daripada asetat. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum hijauan berbasis leguminosa pohon dengan suplementasi 7,5% dan 15% konsentrat Molamik pada kambing Peranakan Etawah dapat meningkatkan koefisien cerna bahan kering dan nutrien ransum. Secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi pertumbuhannya. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Jero Gede Karang TS atas bantuan fasilitas penelitian yang diberikan, dan Prof. Dr. Ir. Sentana Putra, MS, atas gagasannya dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia, Jakarta A.O.A.C. 1990. Official Method of Analysis. 13th Ed. Association of Official Analysis Chemist, Washington, DC. Campbell, J.R., Kenealy, M.D, Karen L. Champbell. 2003. Animal Sciences Fourth Edition. McGraw-Hill, New York. USA. Georgievskii. 1982. Mineral Nutrition of Animal. English Transition Butterworth and Co. English. Kearl, L.C. 1982. Nutrient Requirement of Ruminant in Developing
MAJALAH ILMIAH PETERNAKAN • Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008
I G. L. O. Cakra dan N.W Siti
Countries. International Feedstuffs Institute Utah. Agric. Exp. Station Utah Satate University Logan, Utah. USA. Murtidjo, B.A. 1993. Memelihara Kambing Sebagai Ternak Potong dan Perah. Kanisius, Yogyakarta. McDonald, P., Edwards, R.A,. Greenhalgh, J.F.D, Morgan. C.A. 1995. Animal Nutrition Fifth Ed. John Willey and Sons, Inc, New York [NRC] National Research Council. 1981. Nutrient Requirement of Goats: Angora, Dairy and Meat Goats in Temperate and Tropical Countries. National Academy Press. Washington D.C. Preston, T.R. and Leng. R.A. 1987. Matching Ruminant Production System with Available Resources in The Tropic and Sub-Tropics. Penambul Books. Armidale, Australia.
ISSN : 0853-899
Putra, S. 1999. Peningkatan Performans Sapi Bali Melalui Perbaikan Mutu Pakan dan Suplementasi Seng Asetat. Disertasi Program Pasca Sarjana IPB, Bogor. Putra, S. 2004. Manipulasi Mikroba dalam Fermentasi Rumen Salah Satu Alternatif untuk Meningkatkan Efisiensi Penggunaan Zat-Zat Makanan. Paper Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, Universitas Udayana. Steel, R.G.D. dan Torrie. J.H. 1991. Principle and Procedures of Statistic. Mc Grow Hill Book Bo. Inc, New York. Sukanten, I W., Nitis, I M., Uchida, S.. Putra S and. Lana. K 1996. Performance of The Goat Feed Grass, Shrub and Tree Fodders During The Dry Season in Bali, Indonesia. Asian – Australian J. of Anim. Sci Vol. 9. 4:359 - 482
17
QUANTIFICATION OF THE EFFICIENCY OF RUMEN MICROBIAL PROTEIN SYNTHESIS IN STEERS FED GREEN TROPICAL GRASS Marthen L. Mullik1, Dennis P. Poppi2, and Stuart R. Mc. Lennan3
1Faculty of Animal Science, Nusa Cendana University. Jl. Adisucipto, Kupang, NTT, 85001 Email:
[email protected]. 2School of Land and Food Sciences, The University of Queensland, Australia 3Queensland Beef Research Institute, Australia
ABSTRACT The rate of rumen microbial crude protein (MCP) supply to the intestines is a crucial element in the current rumen models to predict respond of ruminants to a certain diet. Data from tropical pastures always below predicted results from the existing rumen models. Thus, quantification of the rumen MCP supply from tropical grass will improve predictive rate under tropical feeding conditions. Four Brahman crossbred steers (457±20.1 kg) were used in a metabolism study. Pangola grass (Digitaria erianthe cv. Steudal) was harvested every morning and fed to the animals soon after. Parameters measured were EMPS, intake, fractional passage rates, and rumen ammonia concentration. The EMPS was estimated using purine derivative excretion in urine. Crude protein and water soluble carbohydrates content were 6.3 and 7.4% of dry matter (DM) respectively. DM intake was 1.6% live weight. Average rumen ammonia concentration was 69 mg/L whilst rumen passage rates were 7.84 and 6.92 %/h for fluid and solids respectively. EMPS was only 72 g MCP/kg digestible organic matter. It might be concluded that EMPS in steers consuming green pangola grass was below the minimum level for forage diets adopted in the current feeding standards. Keywords: microbial protein, efficiency, tropical grass, cattle. ABSTRAK KUALIFIKASI EFISIENSI SINTESIS MIKROBA RUMEN PADA SAPI JANTAN MUDA YANG DIBERI RUMPUT TROPIS SEGAR Tingkat pasokan protein mikroba rumen (MCP) ke usus halus merupakan salah satu unsur kunci dalam meramal respon pertumbuhan ruminan terhadap ransum tertentu. Data MCP hijauan tropis selalu berada di bawah nilai prediksi model rumen yang dipakai saat ini. Dengan demikian, kuantifikasi pasokan MCP rumput tropis diharapkan menjadi masukan untuk meningkatkan kemampuan prediksi model rumen untuk pakan daerah tropis. Empat sapi jantan muda Brahman persilangan (457±20,1 kg) digunakan dalam sebuah penelitian metabolisme. Rumput pangola (Digitaria erianthe cv. Steudal) dipanen setiap pagi dan langsung diberikan kepada ternak dalam kandang metabolis. Parameter yang diukur adalah produksi MCP dan efisiensi sintesis MCP (Emps), konsumsi, laju alir digesta, dan konsentrasi amonia rumen. Nilai EMPS diestimasi menggunakan turunan purin dalam urin. Kandungan protein kasar dan karbohidrat mudah larut adalah 6.3 % and 7.4%. Rata-rata konsumsi BK adalah 1.6% berat badan. Konsentrasi amonia rumen 69 mg/L, sedangkan laju alir digesta cair sebesar 7.84 %/jam and padat sebesar 6.92 %/jam. Rata-rata EMPS hanya 72 g MCP/kg bahan organik tercerna. Disimpulkan bahwa nilai EMPS untuk rumput tropis segar yang dikonsumsi oleh sapi jantan berada di bawah nilai standar hijauan yang dipedomani dewasa ini. Kata kunci: protein mikroba, efisiensi sintesis, rumput tropis, sapi. INTRODUCTION One vital factor in the current rumen models to predict respond of ruminants to a certain feeding regime is microbial crude protein (MCP) supply. The amount of MCP available for ruminants is dictated by the efficiency of its synthesis (EMPS) in the rumen. The EMPS 18
is affected by many factors, such as diet quality, level of intake and rumen dilution rate, and varies considerably across diets. The EMPS values for tropical grass hay reported in literatures ranged from 33 to 117 g MCP/kg DOM (McMeniman et al., 1986; Poppi et al., 1997; Prior et al., 1998; Bowen, 2003; Mullik, 2006) which is lower than the values adopted in the current feeding standards
MAJALAH ILMIAH PETERNAKAN • Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008
Marthen L. Mullik, Dennis P. Poppi, and Stuart R. Mc. Lennan
(SCA, 2007; AFRC, 1992; NRC, 2000). Although a higher efficiency value from high quality pangola grass (176 g MCP/kg DOM) was reported by Mullik (1999) but it may have not been accurate since pasture intake and digestibility were indirectly measured. There are also methodological problems in measuring urinary purine output through spot sample technique as used by Mullik (1999) and assuming that creatinine:purine derivative ratio is constant across diets and animals is still debatable. The present experiment was designed to measure the EMPS of tropical grass (pangola) during the wet season and managed to provide high amounts of green leaf hence nutrient content. MATERIALS AND METHODS Experimental animals Four Brahman crossbred steers (457±20.1 kg) were used in this study. The steers were vaccinated and drenched against internal and external parasites prior to the commencement of the study. They were held in feedlot pens and housed in metabolism crates on site for the duration of the study. Experimental Design, Diet, and Treatment There was only 1 treatment with 4 replicates (steers) to estimate the parameter, efficiency of MCP production, and compare it to the feeding standards. The steers were randomly allocated into metabolic crates. There was a two week preliminary and one week data collection period. The feed was freshly cut pangola grass. The grass was harvested daily and fed at 10% above voluntary intake determined in the last week of the adaptation period, and offered in 3 periods daily. Drinking water and mineral block were freely available at all times. Approximately 0.5 ha permanent pangola grass pasture was used to provide feed for the steers. The paddock was slashed, approximately 8 cm above ground, and fertilized with 320 kg diammonium phosphate/ha (18% N and 20% Phosphorus) and 130 kg urea/ha 6 weeks before the study commenced. Approximately 17 mm irrigation was applied after slashing and fertilizing. There was no more irrigation because of an adequate rainfall throughout the study (88.3 mm). The steers were held in individual concrete pens (feedlot pens) during the first 11 d of the preliminary period and were moved onto metabolic crates on day 12. The steers were given 3 days to adapt to the metabolic crates before data collection began. Experimental Procedures Feed Intake The freshly cut pangola grass was offered at 10% ISSN : 0853-899
above voluntary intake, based on the intake during the last week in the preliminary period, three times daily at 08.00, 13.00 and 19.00 h. The morning portion was given soon after cutting and two other portions were spread on a large plastic sheet in a cool room at 4°C and fed at 14.00 and 19.00 h. Two samples were taken at morning feeding. One sample was weighed into a plastic bag, sealed and frozen. Another sample was dried in the oven at 55°C for dry matter (DM) and bulked at the end of the collection period. The same procedures applied for the refusal but daily refusals were taken and processed separately between animals. One sample of forage was also taken at each time of feeding (afternoon and evening), weighed and frozen. At the end of the collection period, frozen samples of feed offered at each time and refused were bulked within the sample times (without thawing), mixed and one sub-sample was taken, weighed, freeze dried, ground through 1 mm screen and stored for analysis of organic matter (OM), crude protein (CP), water soluble carbohydrates (WSC), and neutral detergent fibre (NDF). Digestibility Digestibility of DM, OM, CP, and NDF was calculated from intake and faecal data. Daily faecal output was measured by total collection into individual buckets placed under metabolism crates. The collection was done for 7 days in each treatment period. A 24 h faecal collection was homogenised, and approximately 5% of faeces produced by each animal was taken and bulked individually in plastic containers in a freezer. At the end of the collection period, the bulked samples were thawed at room temperature and 2 sub-samples were taken from each animal. One sub-sample was dried in an oven at 60oC until constant weight (5 days) to obtain DM content, and discarded. Another sub-sample was frozen followed by freeze drying, and grinding prior to Nitrogen, OM and NDF analysis. Passage Rates Passage rates were estimated during the period in which digestibilities were measured. Fluid and particulate passage rate from the rumen were estimated using chromium-ethylenediamine tetraacetic acid (Cr-EDTA; 2 g Cr/animal) and Ytterbium trichloride hexahydrate (YbCl3.6H2O; 1 g Yb/animal) as external markers. A single dose of markers were done at Day 1 of the collection period. Dosing was done a few minutes prior to morning feeding. A faecal sample from each animal was taken before dosing to serve as a blank or base line in marker analysis and calculation. Subsequent faecal sampling (freshly voided faeces) was taken approximately at the following times : 12, 24, 32, 48, 56, 72, 80, 19
Quantification of The Efficiency of Rumen Microbial Protein Synthesis In Steers Fed Green Tropical Grass
96, 104, 120, 132, and 144 h post dosing. The samples were oven-dried at 65° C, ground through 1 mm screen, and stored at room temperature prior to processing for maker analysis. The fractional and fluid passage rates were calculated from the slope of natural log of marker concentration against time. Only samples taken from 12 h to 84 h were used in the regression as they did not deviate from linearity determined by visual observation.
The temperature was then increased to 300oC and the samples were digested at this temperature for 1 h and followed by digestion at 400oC for about 20 min. The flasks were removed and cooled. The residues were then transferred into 25 mL volumetric flasks and diluted to the mark using distilled water and marker concentration was determined using an ICP (Inductively Coupling Plasma Emission Spectrometer, M+P, Spectro Analytical).
Rumen Ammonia-nitrogen Concentration Two rumen fluid samples, collected on different occasions, were taken from each animal on the last day of the collection period. The first collection was done 3 to 4 h after morning feeding and the second sample was collected before morning feeding the next day (24 h after feeding).
Calculations Microbial protein production was estimated from the excretion of PD in the urine based on formula of Chen and Gomez (1995) as described in Mullik (2006). Fractional passage rate was calculated by regressing the natural log of marker concentration in faecal samples against time and determining the slope which is the fractional passage rate (Grovum and Williams, 1973).
Urine Sampling for Predicting Microbial Protein Synthesis The MCP production was estimated by reference to PD (allantoin, uric acid, xanthine, and hypoxanthine) excretion in total urine and creatinine (Ct) excretion was also measured. Daily urine output of individual animals was measured by total collection into trays covered with a cloth filter to stop faecal contamination. pH of the urine was kept below 3 by adding approximately 200 mL 10% H2SO4 into individual trays prior to collection. Urine collected over 24 h was mixed and 5% was taken, bulked into a plastic container in a refrigerator over the collection period. Immediately at the end of each treatment period, 5 mL of the acidified sample was measured into a red cap plastic tube where 1 mL allopurinol (internal standard) had been added. The solution was made up to 50 mL using 0.1M NH4H2PO4 buffer. This solution was then transferred into a clean labelled plastic container and frozen prior to analysis for Ct and PD. Analytical Procedures Analytical procedures for DM, OM, CP, NDF, using the method of Van Soest. Ammonia concentration determined by distillation technique. Purine derivatives and Creatinine were analysed using High pressure Liquid chromatography based on method proposed by Ballcell et al., (1991). Concentration of WSC was determined by cold water extraction method (Thomas, 1977). Concentrations of Cr and Yb in faecal samples were determined using the digestion method. Approximately 0.3 to 0.4 g dried ground sample was measured into 50 mL individual erlenmeyer flasks. A 15 mL solution of 5:1 nitric:perchloric acid was added and left to stand for 24 h. After standing, the flasks were placed on a preheated frypan (150oC) and were allowed to digest at this temperature until all brown smoke was dissipated. 20
Statistical Methods There was no statistical analysis as there were no treatments to compare. Rather standard deviation from the mean was calculated and results were compared to the literature. In particular the efficiency of MCP synthesis was compared to that adopted in the SCA (2007). RESULTS AND DISCUSSION Herbage Composition Chemical composition is listed in Table 1. It appears that CP and WSC content of forage used in this experiment was quite low (only 63 and 74 g/kg DM for CP and WSC respectively). It was noticed that soil contamination in the forage occurred during harvesting. The low CP content of freshly harvested pangola grass observed here (6.3%) is markedly lower than the values (in a range of 8.1% to 15.8%) reported by Mullik (1999) for the same grass and location. This is surprising because the pasture was fertilized with DAP and urea after slashing. The grass was harvested only once a day at 0745 h, and the morning portion was fed to the animals within 15 min after harvesting whereas the afternoon portions were stored in a cool room at a temperature of 4 ºC and fed at 1400 and 1900 h. This feeding method seems to have had no effect on chemical analysis as Table1. Chemical composition per kilogram dry matter (DM) of freshly harvested pangola grass fed to steers in metabolism crates over 7 day Nutrients Dry matter (g/kg feed) Organic matter (g/kg DM) Crude protein (g/kg DM) Water soluble carbohydrates (g/kg DM) Neutral detergent fibre (g/kg DM)
247 922 63 74 680
MAJALAH ILMIAH PETERNAKAN • Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008
Marthen L. Mullik, Dennis P. Poppi, and Stuart R. Mc. Lennan
there was only a small difference in CP content between morning and afternoon feeding. The WSC content of the grass used here was also low (74 g WSC/kg DM). The low WSC observed here is consistent with values for pangola grass and 2 other tropical grasses (setaria and buffel grass) cut during summer reported by Hunter et al. (1970). Among the samples analysed by these authors only GS of setaria grass contained 95 g WSC/kg DM, which is above the minimum value (90 g WSC/kg DM) suggested to affect net energy value of forage (Corbett et al., 1966). The WSC content of temperate grasses is usually much higher (Davies et al., 1991; Fulkerson and Trevaskis, 1997). The WSC content is influenced by solar radiation and balance of photosynthesis and respiration processes within plant, so its level fluctuates markedly within a day with the lowest concentration observed in the early morning due to the respiration process during the night (Humpreys, 1991; Fulkerson et al., 1994). This is probably one of the factors contributing to the low WSC observed here because the grass was harvested early in the morning (0745 h). Fulkerson and Trevaski (1997) showed that the highest WSC content was around 1800h in the afternoon. The objective in harvesting fresh pangola grass and feeding in pens was to obtain pasture of high quality which would provide data comparable to that from grazing animals. On the basis of chemical composition this was not successful yet the results are very interesting in that they confirm that very low values of EMPS occur in tropical pastures. Intake and Digestibility Data of intake and digestibility is shown in Table 2. Dry matter intake was only 1.5% of the body weight (W). The intake of CP was only 469 g/d equal to 71 g CP/kg OM. Digestibility of DM (60%) and OM (69%) Table 2. Intake and digestibility of nutrients by steers given freshly harvested pangola grass in metabolism crates over 7 d. The values are the mean of 4 animals. Standard deviation (SD) from the mean is shown Nutrients Intake : Dry matter (kg/d) Dry matter (% W) Organic matter (kg/d) Digestible organic matter (kg/d) Crude protein (g/d) Water soluble carbohydrates (g/d) Neutral detergent fibre (kg/d) Digestibility : Dry matter (%) Organic matter (%) Crude protein (%) Neutral detergent fibre (%)
ISSN : 0853-899
Mean
SD
7.05 1.57 6.56 4.49 469 522 4.79
1.070 0.218 0.992 0.579 71.2 86.8 0.152
59.7 68.6 52.3 69.9
1.71 2.06 0.92 1.21
was quite high for this grass. The extent of voluntary feed intake is determined by interplay between plant properties, activity of rumen microbes, and passage of particles from the rumen. This interrelationship suggests that using simple general relationships between intake and measures of feed chemical composition, feed digestibility, or feed physical properties are most likely to be less than satisfactory (Wilson and Kennedy, 1996). However, it has been well established that there is a close relationship between intake and chemical and physical characteristics of the forage (Milford and Minson, 1966; Hodgson, 1982; 1984). The mean DM intake of steers in the present study was only 1.6% W, a value similar to that recorded previously with forage of this quality (Minson, 1982; 1990). Rumen Fermentation Mean concentration of NH3-N in the rumen fluid of steers in this experiment measured 3 and 24 h after morning feeding were 58,2 and 60,7 mg NH3-N/L respectively. These values were above the minimum level (50 mg NH3-N/L) for effective rumen microbial activity as suggested by Satter and Slyter (1974). Since CP content of the grass was quite low, there might be a significant contribution of recycled urea into the rumen. Evidence suggests that for ruminants consuming low quality forages (<6% CP/kg DM) urea recycling plays an important part in meeting requirement of N in the rumen (Norton, 1982; 1984). A stable rumen NH3-N concentration as found here might be explained by the fact that the steers were fed 3 times a day and the feed refusals were usually greater than 2 kg/d so there appeared to be no times that food was not present. Fractional Passage Rate Mean passage rates of fluid and particulate markers (Cr and Yb respectively) from the rumen estimated from their concentration in faecal samples is illustrated Table 3. Estimated fluid passage rate from the rumen was 10.0% /h which was higher than that of particulate passage rates (6.7% /h). Table 3. The slope, intercept and coefficient determination of regression lines of fluid and particulate passage rate in the rumen of steers given freshly harvested pangola grass in metabolism crates over 7 d. Standard deviation (SD) from the mean is shown Parameter Fluid passage rate: Intercept (a) Slope (b) Coefficient determination (r2) Particulate passage rate: Intercept (a) Slope (b) Coefficient determination (r2)
Mean
SD
7.84 0.100 99.1
0.382 0.022 0.559
6.92 0.067 98.6
0.336 0.018 1.249
21
Quantification of The Efficiency of Rumen Microbial Protein Synthesis In Steers Fed Green Tropical Grass
Table 4. Creatinine and purine derivative(PD) excretion, and estimated microbial crude protein (MCP) synthesis in steers given freshly harvested pangola grass in metabolism crates over 7 d. Only uric acid and allantoin were used in the total PD since concentration of xanthine and hypoxanthine in urine samples was very small. The values are the mean of 4 animals. Standard deviation (SD) from the mean is shown Parameter Excreted : Creatinine (mmol/d) Creatinine (mmol/kg metabolic weight ) Total purine derivatives (mmol/d) Allantoin (mmol/d) Uric acid (mmol/d) Molar ratio of PD/Creatinine Molar ratio of allantoin/creatinine PD Absorbed (mmol/d) Estimated MCP production: g MCP/ d g MCP/kg metabolic weight g MCP/kg digestible organic matter
Mean
SD
115 1.17 101 93 7 0.88 0.80 69.6
6.4 0.060 3.9 3.4 0.4 0.102 0.104 24.90.
316 3.20 71.8
113.5 1.118 15.44
The rate of particulate (6.7 %/h) and fluid (10.0 %/h) dilution observed here was reasonably high and this is usually associated with a high EMPS (AFRC, 1992) but this did not occur here. Fractional flow rates observed in this study were similar to fast fractional outflow rates observed by De Vega and Poppi (1997; 6.7 and 10.1 %/h for particulate and fluid respectively) in sheep fed pangola hay and administered with labelled undigested pangola particles and Cr-EDTA. It appears that the predominant limiting factor for this experiment was RDP adequacy (see below). Rumen Microbial Crude Protein Excretion of Ct and PD, and estimated MCP synthesis are listed in Table 4. Daily Ct excretion was 115.26 mmol/d or 1.17 mmol/kg W0.75. Allantoin was the predominant compound (91%) in the total PD excreted. The remaining (9%) was uric acid. The molar ratio of PD/Ct was 0.88. The mean value of EMPS was only 71.8 g MCP/kg DOM. Quantitative data on MCP supply, as affected by EMPS, is crucial in predicting the growth response of cattle more accurately under different feeding strategies. However, the complexity and high cost of the methods employed for quantification of MCP in the past resulted in a very limited available database particularly for tropical forages. With the development of a new method using excretion of PD in the urine to estimate MCP supply, quantifying MCP synthesis over a wide variety of feeds can now be done easily and cheaply (Chen and Gomes, 1995). The main objective of this experiment was to quantify the EMPS of pangola grass fed in a fresh state in a cut and carry system in an attempt to simulate conditions of wet 22
season growth rather than the low quality hay. Pangola grass is one of the tropical grasses used extensively in tropical areas. It should be stressed that mechanically harvesting the grass and feeding to the animals in pens, as in this experiment might not represent the real situation for grazing animals which can select high amounts of green leaf of higher nutritive value than in the cut and carry system (Minson, 1981). However, an attempt was made to provide the highest quality material by harvesting regrowth grass at 5 to 6 weeks after slashing and fertilizing where the proportion of GL was high (51 % of DM) and total green material (GL and GS) was 90% of the available forage so selectivity would be minimum. The main reason underlying the decision to use a pen feeding system in this study was to accurately predict MCP synthesis by collecting all urine as the spot sampling methodology had major limitations. The EMPS observed here was only 71.8 g MCP/kg DOM which was only 55% of the minimum value (130 g MCP/kg DOM) suggested for forage based diets (SCA, 2007). The EMPS reported here was similar to those of tropical hays (Prior et al., 1998; Bolam et al., 1998; Bowen, 2003; Mullik, 2006; Marsetyo, 2007). This is surprising because green forages are expected to have a much better EMPS than dried ones. The EMPS value under this experimental condition even lower than the value (90 g/kg DOM) reported by Marsetyo (2007) for the same breed of cattle given green panic hay (5.7%). The probable argument for this low EMPS is inadequacy of RDP and energy particularly WSC. The CP content of the grass used here was only 6.3% (Table 1). It is clear from intake data (Table 2) that CP intake was only 71 g CP/kg OM or 104 g MCP/kg DOM. Assuming that degradability of CP in the rumen is 75% (McLennan et al., 1997) then the RDP availability would be only 53 g RDP/kg OM or 78 g RDP/kg DOM. This calculation clearly shows that RDP supply was far below the recommended level (130 to 170 g RDP/kg DOM) by the current feeding systems (SCA, 2007; NRC, 1996). So, any feeding strategies to provide extra RDP is likely to be effective in improving EMPS under this feeding condition. Predicted EMPS in the current study, according to the above feeding standards, is around 78 g MCP/kg DOM which is close to the actual value (72 g MCP/kg DOM) observed here. The importance of WSC in determining microbial growth has been proposed (Corbett et al., 1966; Beever et al., 1978; Dove and Milne, 1994). Whilst quantitative aspects of WSC have not been established, particularly the ratio of WSC and RDP, earlier experiments (e.g. Corbett et al., 1966) indicated that diets containing WSC lower than 90 g/kg DM had a lower net energy value. A recent study (Dove and Milne, 1994) observed a two
MAJALAH ILMIAH PETERNAKAN • Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008
Marthen L. Mullik, Dennis P. Poppi, and Stuart R. Mc. Lennan
fold increased in EMPS in sheep grazing spring/summer pasture above those grazing autumn pasture. These authors related this improvement to the WSC of pasture though WSC was not directly measured. The WSC content of the grass used in the present experiment was only 74 g WSC/kg DM. This value agreed with values for fresh pangola grass reported by Hunter et al. (1970). These researchers showed total sugars in the stem fraction of pangola grass was 70 g/kg DM whereas green leaf contained only 25 g/kg DM. The EMPS in steers given freshly harvested pangola grass used in this study was only 71.8 g MCP/kg DOM which is much lower than the values set for forage diets in the current feeding standards. This low EMPS most probably stems from deficiency of RDP and WSC in this diet. REFERENCES AFRC. 1992. Nutritive requirements of ruminants: protein nutrition. Abstracts and Reviews, 62:787-835. Balcells, J., Guada, J.A., CastrillO, C., and Gasa, J. 1991. Urinary excretion of allantoin and allantoin precursors by sheep after different rates of purine infusion into the duodenum. J. Agric. Sci., 116:309-317. Beever, D.E., Terry, R.A., Cammell, S.B., and Wallace, A.S. 1978. The digestion of spring and autumn harvested perennial ryegrass by sheep. J. Agric. Sci., 90:463-470. Cambridge. Bolam, M.J., Connors, M.T., McLennan, S.R., and PoppI, D.P. 1998. Variability in microbial protein supply under different supplementation strategies. Anim. Prod. Aust., 22:398. Bowen, M.K. 2003. Efficiency of Microbial protein Production Grazing Tropical Pastures. Ph.D Thesis, The University of Queensland, Brisbane. Chen, X.B., and M.J. Gomes. 1995. Estimation of Microbial Protein Supply to Sheep and Cattle Based on Urinary Excretion of Purine Derivatives: An Overview of the Technical Details. Occasional Publication, Rowett Research Institute, UK. Corbett, J.L., Langlands, J.P., McDonald, I., and Pullar, J.D. 1966. Comparison by direct energy calorimetry of net energy values of an early and late season growth of herbage. Anim. Prod., 8:13-27. Daveis, D.A., Forthergill, M., and Jones, D. 1991. Assessment of contrasting perennial ryegrass, with and without white clover, under continuous sheep stocking in the uplands. 3. Herbage production, quality and intake. Grass and Forage Sci., 46:39-49. De Vega, A., and PoppI, D.P. 1997. Extent of digestion and rumen condition as factor affection passage of liquid and digesta particles in sheep. J. Agri. Sci., 128:207-215. Cambridge. Dove, H., and Milne, J.A.1994.Digesta flow and rumen microbial protein production in ewes grazing perennial ryegrass. Aust.J.Agric.Res.45:1229-1245. Fulkerson, W.J., Slack, K., and Lowe, K.J.1994. Variations in the response of lolium genotypes to defoliation. Aust. J. Agric.
ISSN : 0853-899
Res., 45:1309-1317. Fulkerson, W.J., and Trevaskis, L. 1997. Limitations to milk production from tropical pasture. Recent Advances in Animal Nutrition in Australia, pp 159-165. Dept. Anim. Sci., UNE, Armidale. Australia. Grovum, W.L., and Williams, V.J. 1973. Rate of passage of digesta in sheep: IV passage of marker though elementary tract and the biological relevance of rate constant derived from the change in concentration of marker in the faeces. Br.J. Nutr., 30:313-329. Hodgson, J. 1982. Influenced of sward characteristics on diet selection and herbage intake by grazing animals. In Nutritional Limits to Animals Production From Pastures, pp. 153166. Editor: J.B. Hacker. CAB. Franharm Royal, U.K. Humphryes, L. R. 1991. Tropical Pasture Utilization. Cambridge Univ. Press. Hunter, R.A., McIntyre, B.L., and McIlroy, R.J. 1970. Watersoluble carbohydrates of tropical pasture grasses and legumes. J. Sci. Food Agric, 21:400-405. Marsetyo. 2007. The effect of increasing level of palm kernel meal and copra meal in diet on microbial protein production in the rumen of steers fed low quality forage. Majalah Ilmiah Peternakan, 8(2):1-11. McLennan, S.R., Kidd, J.F., Hendricksen, R.E., Jeffery, M., and POPPI, D.P. 1997. Seasonal changes in the degradability of protein in a tropical grass pasture. In Recent Advances in Animal Nutrition in Australia, p. 252. Editors: J.J. Corbett, J.V. Nolan and J.B. Rowe. Dept. Anim. Sci., The University of New England, Armidale, Australia. McMeniman, N.P., Beale, I.F., and Murphy, G.M. 1986.Nutritional evaluation of south east Queesland pastures.II. The intake and digestion of organic matter and nitrogen by sheep grazing on mitchell grass and mulga grassland association. Aust. J. Agric. Res., 37:303-314. Milford, R. and Minson, D.J. 1966. Intake of tropical pasture species. Proc. 9th Int. Grassland Cong., pp.814-822. Sao Paolo. Minson, D.J. 1981. The measurement of digestibility and voluntary intake of forage with confined animals. In Forage Evaluation : Concepts and Techniques, pp.159-174. Editors: J.L. Wheeler and R.D. Mochrie. Melbourne. Minson, D.J. 1982. Effects of chemical and physical composition of forage eaten upon intake. In Nutritional Limits to Animals Production From Pastures, pp. 167-182. Editor: J.B. Hacker. CAB. Franharm Royal, U.K. Minson, D.J. 1990. Forage in ruminant nutrition. Academic Press. Mullik, M.L. 1998. Efficiency of Rumen Microbial Protein Synthesis in Steers Fed a Tropical Grass Hay and Supplemented With Whole Cottonseed. Bul.Nutr. 1(3):1-6 Mullik, M.L. 1999. Strategies to Increase Efficiency of Rumen Microbial Protein Synthesis and Productivity of Cattle on A Tropical Grass. Ph.D Thesis. School of Land and Food. The University of Queensland. Mullik, M.L 2006. Strategi suplementasi untuk meningkatkan efisiensi sintesis protein mikroba rumen pada ternak sapi yang mengkonsumsi rumput kering tropis. Journal Ilmu Ternak dan Veterinar, 11(1):15-23.
23
Quantification of The Efficiency of Rumen Microbial Protein Synthesis In Steers Fed Green Tropical Grass
National Research Rouncil (NRC). 2000. Nutrient Requirement of Beef Cattle. 8th Edition. National Academy Press Norton, B.W. 1982. Differences between species in forage quality. In Nutritional Limits to Animals Production From Pastures, pp. 89-110. Editor: J.B. Hacker. CAB. Franharm Royal, U.K. Norton, B.W. 1984. The practical significance of nitrogen recycling in ruminants. Proc. Soc. Anim. Prod. Aust., 15:108-111. Poppi, D.P., McLennan, S.R., Badiye, S., De Vega, A., and Zoririlla-Rios, J. 1997. Forage quality and utilization, Proc. Int. Grassland Cong. Canada. In Press.
24
Prior, S.J., Poppi, D.P., and McLennan, S.R. 1998. Microbial protein production in cattle fed ryegrass, buffel grass, and spear grass. Anim. Prod. Aust., 22:315. Satter, L.D., and Slyter, L.L. 1974. Effect of ammonia concentration on rumen microbial protein production in vitro. B. J. Nutr., 32:199-208. SCA. 2007. Feeding Standards For Australian Livestock. Standing Committee on Agriculture, CSIRO, publications. Melbourne, Australia. Thomas, A. 1977. An automated procedure for the determination of soluble carbohydrates in herbage. J. Sci., Food Agric., 28:639-642.
MAJALAH ILMIAH PETERNAKAN • Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008
VIABILITAS OOSIT DOMBA PASCATRANSPLANTASI OVARIUM DOMBA DALAM UTERUS KELINCI PSEUDOPREGNANT Ramadhan Sumarmin1, Adi Winarto2, Tutty Laswardi Yusuf3, Arief Boediono2 1. Jurusan Biologi, FMIPA Univ. Negeri Padang, PADANG 25131 . 2. Dep. Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, FKH IPB BOGOR 16680. 3. Dep. Klinik, Reproduksi dan Patologi, FKH IPB BOGOR 16680.
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui viabilitas oosit domba yang dikoleksi dari ovarium domba pascatransplantasi intrauterus pada kelinci pseudopregnant. Ovarium domba ditransplantasikan dalam uterus kelinci pseudopregnant pada hari pertama bunting semu dan kemudian diambil kembali setelah lima (P5) atau tujuh (P7) hari transplantasi. Sebagai kontrol digunakan ovarium segar. Oosit dikoleksi dari ovarium pascatransplantasi dengan metode slicing (pencacahan) di dalam media phosphate buffer saline (PBS) yang disuplementasi dengan 5% fetal bovine serum (FBS) dan 100 IU penicillin-streptomisin/ml. Oosit hasil koleksi selanjutnya dimaturasi dalam Tissue Culture Medium (TCM)-199 yang disuplementasi dengan 10% FBS, 10 IU follicle stimulating hormone (FSH)/ml dan 100 IU penicillin-streptomisin/ml. Oosit selanjutnya diinkubasi dalam inkubator CO2, dengan kandungan CO2 5% dan suhu 38ºC, selama 24 jam. Setelah dimaturasi, oosit diwarnai dengan aceto-orcein 2% untuk menentukan status inti oosit. Hasilnya memperlihatkan bahwa oosit yang mampu mencapai tahapan perkembangan dengan status inti M-II setelah maturasi pada P5 (35,05%) dan P7 (35,24%) nyata lebih sedikit (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol (56,65%). Dapat disimpulkan bahwa viabilitas oosit domba pascatransplantasi di dalam uterus kelinci pseudopregnant masih ditemukan meskipun persentasenya lebih rendah. Kata kunci: oosit, viabilitas, pasctransplantasi intrauterus, maturasi, M-II EWE OOCYTE VIABILITY FROM EWE OVARIAN AFTER INTRAUTERINE TRANSPLANTATION TO PSEUDOPREGNANT RABBIT ABSTRACT The aim of the present study was to investigate the ewe oocyte viability from ewe ovary after intrauterine transplantation to pseudopregnant rabbit. The ewe ovary was transplanted intrauterine on day 1 to pseudopregnant rabbit and oocytes recollected on five (P5) or seven (P7) days posttransplantation. The fresh ovary was used as the control. The oocytes were collected from the ovaries by slicing method in Phosphate Buffer Saline (PBS) supplemented with 5% of Fetal Bovine Serum (FBS), and 100 IU/ml of penicillin-streptomycin. Oocytes were matured in Tissue Culture Medium (TCM)-199 supplemented with 10% FBS, 10 IU/ml of Follicle Stimulating Hormone (FSH), and 100 IU/ml of penicillin-streptomycin. Oocytes were incubated in CO2 incubator with 5% CO2, 38°C for 24 h. After maturation, the oocytes were stained with 2% aceto-orcein to determine the nuclear oocytes status. The result showed that the oocytes could reach the M-II phase from P5 (35.05%) and P7 (35.24%) decreased significantly (p<0.05) compared to the control (56.65%). However it can be concluded that the oocytes viability still preserved intrauterine in pseudopregnant rabbit. Key word: oocytes, viability, post-intrauterin transplatation, maturation, M-II PENDAHULUAN Ovarium pada hewan betina merupakan gudang dan tempat produksi oosit. Potensi oosit yang terdapat pada ovarium mamalia nonprimata pada saat dilahirkan diperkirakan mencapai 200.000 oosit. Pada masa reISSN : 0853-899
produktif atau masa subur tidak semua oosit tersebut yang dimatangkan dan diovulasikan (Gilbert, 1994; Gordon, 1994). Untuk meningkatkan jumlah oosit yang dapat dimanfaatkan dari suatu ovarium berbagai teknik terus dikembangkan termasuk teknik preservasi terhadap ovarium. Salah satu teknik yang dikembangkan adalah 25
Viabilitas Oosit Domba Pascatransplantasi Ovarium Domba Dalam Uterus Kelinci Pseudopregnant
preservasi ovarium dengan cara transplantasi ovarium intraspesies atau interspesies baik dari ovarium yang segar maupun ovarium yang telah dibekukan (Parkening et al., 1985; Dissen et al., 1994; Gunasena et al., 1997; Liu et al., 2000; Kim et al., 2001; Liu et al., 2002; Cushman et al., 2002; Snow et al., 2002). Teknologi reproduksi berbantuan telah banyak dikembangkan dan dilakukan untuk memecahkan permasalahan reproduksi dan juga untuk melakukan preservasi ovarium sebagai sumber gamet betina pada hewan-hewan yang terancam punah atau hewan ternak betina genetik unggul. Meskipun secara in vitro atau superovulasi dapat dihasilkan oosit matang (mature oocytes) dalam jumlah yang lebih banyak, namun dari jumlah itu masih sedikit sekali oosit yang dapat difertilisasi. Hal ini memperlihatkan adanya keterbatasan dalam maturasi oosit secara in vitro (Gosden et al., 1994b; Liu et al., 2002; Snow et al., 2002). Salah satu usaha untuk mendapatkan oosit matang secara in vivo adalah melalui teknik transplantasi ovarium. Pada transplantasi interspesies diharapkan akan terjadi proses pengaktifan folikel primordial, pematangan terhadap inti, dan sitoplasma oosit secara sempurna. Metode ini merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah untuk preservasi ovarium sebagai sumber gamet (Kagabu dan Umezu, 2001; Cushman et al., 2002; Snow et al., 2002). Pematangan oosit baik secara in vivo maupun in vitro meliputi pematangan inti dan sitoplasma merupakan proses yang menentukan keberhasilan fertilisasi in vitro (Rehman et al., 2001). Beberapa medium yang umum digunakan pada proses pematangan atau maturasi oosit antara lain Tissue Culture Medium 199 (TCM-199) dan Potasium Simplex Optimized Medium (KSOM). Untuk mengoptimalkan proses maturasi in vitro pada medium ditambahkan serum, hormon gonadotrophin dan antibiotik (Accardo et al., 2004). Proses pematangan inti berhubungan dengan aktivitas sintesis RNA yang ditandai dengan perubahan inti dari fase diploten ke metafase II (M-II). Membran inti akan menyatu dengan vesikel membentuk germinal vesicle (GV) dan selanjutnya terjadi pelepasan membran inti (Germinal Vesicle Break Down atau GVBD). Oosit yang telah melewati GVBD selanjutnya memasuki tahap metafase I (M-I) setelah 12 – 14 jam inkubasi dan diikuti oleh tahap anafase I (A-I), telofase I (T-I) setelah 14 – 18 jam inkubasi. Oosit mencapai tahap metafase II (M-II) setelah 24 jam inkubasi yang ditandai dengan terbentuknya badan kutub I (Polar Body I atau PB-I). Oosit yang berada pada tahap M-II inilah yang siap untuk difertilisasi (Pawshe et al., 1994; Chohan dan Hunter, 2003). Sel-sel kumulus memiliki peranan penting pada 26
proses maturasi oosit secara in vitro dan berpengaruh terhadap kualitas embrio yang dihasilkan. Proses pematangan oosit akan terhambat jika sel-sel kumulus telah dilepaskan sebelum maturasi. Sel-sel kumulus berperan penting pada proses transkripsi dan sintesis protein sebelum terjadinya GVBD pada oosit domba dan sapi. Selain itu pada saat terjadinya ekspansi, sel-sel kumulus juga berfungsi sebagai fasilitator pelepasan Cumulus Oophorus Complex (COC) dari dinding folikel sehingga terjadi ovulasi. Ekspansi sel-sel kumulus juga dijadikan dasar untuk keberhasilan IVM (Trounson, 1992; dan Setiadi, 2002). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui viabilitas oosit domba yang dikoleksi dari ovarium domba pascatransplantasi intrauterin pada kelinci pseudopregnansi secara in vitro. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap program gamete rescue sebagai salah satu alternatif model preservasi dan optimalisasi pemanfaatan ovarium terutama untuk tujuan konservasi. MATERI DAN METODE Penyediaan ovarium domba untuk donor Ovarium domba hasil koleksi dari RPH Ciampea ditempatkan dalam wadah yang berisi larutan garam fisiologis 0,9% yang dilengkapi dengan penisilin G 100 IU/ml. Setelah sampai di laboratorium dibersihkan dari jaringan lain yang menyertainya pada saat koleksi dengan menggunakan gunting dan pinset. Ovarium yang telah bersih dibelah menjadi empat bagian dan untuk sementara potongan ovarium tersebut ditempatkan dalam petridish yang berisi larutan garam fisiologis 0,9% yang dilengkapi antibiotik penisilin G 100 IU/ml. Penyediaan kelinci resipien dan teknik transplantasi Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 40 ekor kelinci betina jenis New Zealand White yang telah dewasa kelamin dengan bobot badan 2,5–3 kg. Untuk mendapatkan kelinci betina bunting semu hari pertama, pada kelinci betina dilakukan ulas vagina (kopulasi tiruan) pada pukul lima pagi dan empat jam setelah kopulasi tiruan, kelinci dapat dijadikan sebagai resipien. Kelinci betina resipien selanjutnya dianestesi dengan menginjeksikan 20 mg ketamin/kg b.b. (Ilium, NSW, 100 mg ketamin/mL) dan selang 10 menit kemudian dengan 2 mg xylazine/kg b.b. (Ilium, NSW, 20 mg xylazine/mL) yang dilakukan secara intramuskular. Setelah kelinci teranestesi diletakkan di atas bak bedah dan dicukur rambut di sekitar daerah linea alba serta diusap bagian yang akan dibedah dengan alkohol 70% (Techakumphu et al., 1987; Forcada dan Lopez, 2000).
MAJALAH ILMIAH PETERNAKAN • Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008
Ramadhan Sumarmin, Adi Winarto, Tutty Laswardi Yusuf, Arief Boediono
Pembedahan dilakukan pada daerah linea alba sepanjang 3–4 cm (kulit, otot perut dan peritoneum). Kemudian dilanjutkan dengan membuat insisi pada punggung uterus sepanjang 1 cm. Melalui celah insisi tersebut dimasukkan potongan jaringan ovarium domba dan didorong ke arah kornua uteri. Transplantasi potongan jaringan ovarium dilakukan empat buah untuk setiap kornua uteri kelinci. Setelah ovarium domba ditransplantasikan, insisi pada uterus dijahit dan setelah itu dilakukan juga penjahitan terhadap peritoneum, otot perut dan kulit untuk menutup luka. Setelah proses penjahitan luka selesai, di atas jahitan tersebut dioleskan betadine dan kelinci dipindahkan kembali ke kandangnya menjelang siuman. Koleksi oosit dan maturasi in vitro Oosit dikoleksi dari ovarium segar (kontrol) dan ovarium domba pascatransplantasi intrauterin pada kelinci selama lima atau tujuh hari. Oosit dikoleksi menurut metode Jaswandi et al. (2001) dengan cara mencacah bagian korteks ovarium menggunakan pisau bedah steril ukuran 20. Koleksi oosit dilakukan dengan menggunakan larutan dulbeco's Phosphate Buffer Saline (dPBS; Gibco, Grand Island, NY, USA) yang disuplementasi dengan Fetal Bovine Serum (FBS; Gibco, Grand Island, NY, USA) 5% dan penicilin-streptomycin (Gibco, Grand Island, NY, USA)100 IU/ml. Oosit hasil koleksi dicuci dalam medium koleksi dan medium maturasi masing-masing sebanyak dua kali. Selanjutnya oosit dimaturasi pada medium Tissue Culture Medium (TCM-199; Sigma, USA) yang disuplementasi FBS 10%, Follicle Stimulating Hormone (FSH; Antrin®, Denka Pharmaceutical Co., Kawasaki, Japan) 10 IU/ml dan penicillin-streptomycin (Gibco, Grand Island, NY, USA)100 IU/ml. Pematangan oosit dilakukan dalam medium maturasi berbentuk drop masing-masing 50 μl untuk 10-15 oosit dan ditutupi dengan mineral oil (Sigma Chemical Co. St. Louis MO, USA) dalam inkubator CO2 5%, pada suhu 38°C selama 24 jam.
dengan aceto-orcein 2% selama 5 menit. Kemudian larutan pewarna dibilas dengan asam asetat 25% dan keempat sisi kaca penutup diberi larutan kuteks bening untuk selanjutnya dilakukan pengamatan morfologi inti dengan mikroskop fase kontras. Status inti oosit dikelompokkan menjadi Germinal Vesicle Break Down (GVBD), metafase I (M-I) dan metafase II (M-II). GVBD ditandai dengan robeknya membran inti dan inti sudah tidak terlihat jelas, M-I ditandai dengan adanya kromosom homolog yang berderet di bidang ekuator dan M-II ditandai dengan adanya badan kutub I dan susunan kromosom yang sama dengan M-I. Oosit hasil maturasi yang telah matang akan berada pada tahap M-II. Analisis Data Data yang didapatkan pada penelitian ini selanjutnya dianalisis dengan analisis sidik ragam (ANOVA) dan jika didapatkan perbedaan yang nyata dilakukan uji lanjut DNMRT (Steel dan Torrie, 1993). HASIL Maturasi oosit bertujuan untuk mematangkan oosit sehingga menghasilkan oosit sekunder haploid yang memiliki komponen sel yang diperlukan pada saat fertilisasi dan perkembangan embrio nantinya. Tahapan awal dari proses maturasi in vitro ini adalah mengoleksi oosit dari ovarium (Gambar 1). Oosit hasil koleksi ini dapat dikategorikan (grade) pada oosit grade A, yaitu oosit yang memiliki beberapa lapisan sel-sel kumulus yang tebal dan kompak disekelilingnya, sitoplasma oosit konsisten seragam dan cerah, oosit grade B adalah oosit yang memiliki beberapa lapisan sel-sel kumulus yang agak tipis, kompak dan sitoplasma oosit konsisten seragam
OC
OA
Penentuan status inti dengan pewarnaan acetoOB orcein OA Setelah maturasi selama 24 jam, status inti oosit dievaluasi dengan cara melepaskan sel-sel kumulus dengan bantuan enzim hialuronidase (Sigma, USA) OA 0,25% dan dilanjutkan dengan cara memipet berulangOA ulang dengan pipet berdiameter 100-110 μm. Oosit yang telah bebas dari sel kumulus diletakkan pada drop KCL OB 0,9% di atas objek glass, kemudian difiksir dengan kaca OB penutup yang mempunyai bantalan parafin dan vaselin (1: 9) pada keempat sudutnya. Sediaan oosit selanjutnya Gambar 1. Oosit hasildari koleksi dari ovarium berbaggrade ai Gambar koleksi ovarium dombadomba pada pada berbagai difiksasi dalam larutan fiksasi asam asetat dan etanol (11. Oosit hasil grade (kualitas), OA: oosit grade A, OB: oosit grade B, dan oositgrade gradeC.A, oosit grade B dan OC: oosit grade : 3) selama tiga hari. Setelah itu sediaan oosit diwarnai (kualitas) OA: OC: oosit BarOB: = 100μm C. Bar = 100μm
27
ISSN : 0853-899 80
bar 1. Oosit hasil koleksi dari ovarium domba pada berbagai grade (kualitas) OA: oosit grade A, OB: oosit grade B dan OC: oosit grade A B C. Bar = 100μm Gambar 3. Perkembangan oosit domba in vitro. A. Oosit domba sebelum mengalami pematangan
Viabilitas Oosit Domba Pascatransplantasi Ovarium Domba Dalam Uterus Kelinci Pseudopregnant yang ditandai dengan struktur sel-sel kumulus yang kompak, B. Oosit domba setelah maturasi in vitro yang ditandai dengan ekspansi sel-sel kumulus (struktur sel-sel kumulus yang longgar). O: Oosit, SK: sel kumulus, EK: ekspansi sel kumulus. Bar = 50μm
80 70
M-II
50
A
40
B
C
Gambar 4. 4. Status inti oosit setelah maturasi in vitro in danvitro diwarnai dengan acetoGambar Status inti oosit setelah maturasi dan diwarnai orcein. Tandaaceto-orcein. panah menunjukkan status inti oosit pada tahapan: dengan Tanda panah menunjukkan status A. GVBD, M-I pada dan C.tahapan: M-II. Bar = intiB.oosit A.50μm GVBD, B. M-I dan C. M-II. Bar
30 20
= 50μm
Tabel 1. Tingkat pematangan inti oosit domba yang berasal dari ovarium pascatransplantasi intrauterin pada kelinci pseudopregnansi Tabel 1.domba Tingkat pematangan inti oosit domba yang berasal dari Pasca- ovarium Jumlah Status inti (%) pada kelinci domba pascatransplantasi intrauterin
10 0 Kontrol
bar 2.
M-I
GVBD
60
P5
plantasi pseudopregnansi oosit GVBD M-I M-II Pasca Status Kontrol Jumlah 119 21 27inti (%) 68 transGVBD (17,65%)b M-I(22,69%)b M-II (57,68%)a plantasi oosit
P7
TI
3 TI(2,52%) Grade A Grade B Grade C 3 4 P5 32 27 (22,69%)b 38 68 (57,68%)a 45 Kontrol 11911921 (17,65%)b Gambar 2. Persentase oosit hasil koleksi dari ovarium domba pada (2,52%) 12 berbagai kualitas atau grade sebelum proses maturasi in (26,89%)a (31,92%)a (37,82%)b 4 (3,36%) Persentase oosit kualitas119 32 (26,89%)a P5 38 (31,92%)a 45 (37,82%)b vitro hasil koleksi dari ovarium domba pada berbagai P7 (3,36%) 6 103 29 35 33 atau grade sebelum proses maturasi in vitro (28,16%)a (33,98%)a (32,03%)c 6 (5,83%) P7 103 29 (28,16%)a 35 (33,98%)a 33 (32,03%)c (5,83%)
SK
EK
Keterangan: GVBD: Germinal Vesicle Break Down, M-I: Metafase I, M-II: Metafase II, TI: tidak Keterangan:teridentifikasi. GVBD: Germinal Vesicle Down, M-I: Metafase I, M-II: II, TI:sama, Angka yangBreak diikuti huruf yang berbeda pada Metafase kolom yang tidak teridentifikasi. Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama, menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)
menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)
O
berhasil atau tidak berhasil dengan mengamati ada tidaknya ekspansi sel-sel kumulus (Gambar 3). Pada penelitian ini ditemukan ekspansi sel-sel kumulus baik A B pada oosit yang berasal dari ovarium domba pascatransGambar 3. Perkembangan oosit domba in vitro. A. Oosit domba sebelum mengalami pematangan Gambar 3. Perkembangan oosit domba in vitro. A. Oosit domba yang ditandai dengan struktur sel-sel kumulus yang kompak, B. Oosit domba setelahplantasi 5 atau 7 hari maupun pada kelompok kontrol. mengalami yang ditandai dengan maturasi insebelum vitro yang ditandai denganpematangan ekspansi sel-sel kumulus (struktur sel-sel kumulus Tahapan pematangan inti oosit domba pascatransyang longgar). O: Oosit, SK: sel kumulus kumulus, EK: ekspansi sel kumulus. Bar = 50μm struktur sel-sel yang kompak, B. Oosit domba plantasi lima hari dan tujuh hari serta kelompok kontrol setelah maturasi in vitro yang ditandai dengan ekspansi secara in vitro yang diamati pada penelitian ini adalah sel-sel kumulus (struktur sel-sel kumulus yang longgar). O: Oosit, SK: sel kumulus, EK: ekspansi sel kumulus. Bar GVBD (Germinal Vesicle Break Down), M-I (Metafase I) = 50μm dan M-II (Metafase II) (Gambar 4). Sedangkan hasil pematangan inti oosit domba yang berasal dari ovarium GVBD M-I dan cerah, sedangkan oosit grade C adalah oosit yang domba pasctransplantasi dalam medium TCM-199 M-II memiliki lapisan sel-sel kumulus yang tidak konsisten terlihat pada Tabel 1. tebalnya, lapisan sel-sel kumulus pada beberapa bagian Oosit yang mencapai tahap M-II pada kelompok A B C samasekali) terlepas (atau bahkan tanpa sel-sel kumulus kontrol (57,68%) lebih tinggi (p<0,05) jika dibandingkan dan4.sitoplasma berwarna agak ingelap. Gambar Status inti oosit setelah maturasi vitro dan diwarnai dengan aceto-dengan kelompok lima hari pascatransplantasi (37,82%) orcein. Tanda panah menunjukkan status inti oosit pada penutahapan: A.dan tujuh hari pascatransplantasi (32,02%). Persentase Pada Gambar 2 dapat diketahui bahwa terjadi GVBD, B. M-I dan C. M-II. Bar = 50μm runan persentase jumlah oosit grade A secara nyata jumlah oosit yang mencapai tahap M-I pada kelompok (p<0,05) yang dikoleksi dari ovarium domba pasca- lima hari pascatransplantasi (31,92%) dan tujuh hari Tabel 1. Tingkat pematangan inti oosit domba yang berasal dari ovarium transplantasi lima hariintrauterin (50,42) dan tujuh hari (47,57) pascatransplantasi (33,98%) lebih tinggi (p<0,05) domba pascatransplantasi pada kelinci pseudopregnansi PascaJumlahdengan kontrol (58,82). Status Persentase inti (%) dibandingkan jumlah dibandingkan dengan kontrol (22,69%). Demikian oosit gradeoosit B tidak berbeda nyata antarperlakuan tetapi pula halnya dengan oosit yang tertahan pada tahapan plantasi GVBD M-I M-II TI pada persentase oosit grade C ditemukan peningkatan GVBD yang ditemukan pada lima hari pascatransplanKontrol 119 21 27 68 3 nyata (p<0,05) pada(17,65%)b lima hari(22,69%)b pascatransplantasi (57,68%)a (21,01) (2,52%) tasi (26,89%) dan tujuh hari pascatransplantasi (28,16%) dan tujuh hari pascatransplantasi (25,24) dibandingkan lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan dengan kelompok P5 119 32 38 45 4 kontrol (13,45). kontrol (17,65%). (26,89%)a (31,92%)a (37,82%)b (3,36%) Selanjutnya hasil pengamatan yang dilakukan P7 103 29 33 6 terhadap proses maturasi oosit 35 domba setelah 24 jam (28,16%)a (33,98%)a (32,03%)c (5,83%) inkubasi dapat pula dibedakan antara kultur yang O
Keterangan: GVBD: Germinal Vesicle Break Down, M-I: Metafase I, M-II: Metafase II, TI: tidak teridentifikasi. Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama, menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)
28
MAJALAH ILMIAH PETERNAKAN • Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008
Ramadhan Sumarmin, Adi Winarto, Tutty Laswardi Yusuf, Arief Boediono
PEMBAHASAN Perbedaan persentase jumlah oosit yang mampu mencapai tahap M-II ini diduga karena sebagian besar oosit yang dimaturasi dari kelompok lima hari pascatransplantasi dan tujuh hari pascatransplantasi mengalami penurunan viabilitas karena selama transplantasi kekurangan energi dan juga proses autolisis. Meskipun pada kelinci pseudopregnansi sekreta uterine milk tetap dipertahankan hingga masa bunting semu berakhir pada 16-19 hari (Colby 1986), namun dengan kapasitas sekresi yang terus menurun pula. Akibat kekurangan energi inilah maka sebagian besar oosit yang dimaturasi bertahan pada tahap GVBD atau mencapai M-I. Persentase jumlah oosit yang berada pada tahap M-I pada lima hari pascatransplantasi (31,92%) dan tujuh hari pascatransplantasi (33,98%) jauh lebih banyak dibandingkan kontrol (22,69%). Keadaan ini masih memberikan kemungkinan untuk meningkatkan persentase jumlah oosit yang mencapai M-II pada lima hari pascatransplantasi atau tujuh hari pascatransplantasi dengan cara melengkapi medium dengan suplemen hormon estrogen, LH, atau progesteron. Yulnawati (2006) menemukan persentase jumlah oosit domba yang matang mencapai tahap M-II sebesar 73,27% dengan menggunakan medium TCM-199 yang disuplementasi FSH, progesteron, estrogen, dan LH. Pada penelitian ini medium TCM-199 hanya disuplementasi dengan hormon FSH saja. Penambahan hormon FSH dan LH ke dalam medium maturasi dapat meningkatkan ekspansi sel-sel kumulus dan mengatasi hambatan meiosis pada oosit babi (Niwa, 1993). Persentase jumlah oosit domba pada lima hari pascatransplantasi dan tujuh hari pascatransplantasi yang lebih rendah dari kontrol kemungkinan juga disebabkan tidak seragamnya kualitas oosit hasil koleksi untuk dimaturasi. Persentase jumlah oosit grade C pada lima hari pascatransplantasi dan tujuh hari pascatransplantasi lebih dari 30%. Oosit yang memiliki lebih dari lima lapis sel-sel kumulus akan meningkatkan jumlah oosit yang berkembang dibandingkan dengan oosit yang memiliki lapisan sel-sel kumulus tipis atau tidak memilikinya sama sekali. Keberadaan sel kumulus dapat mendukung pematangan oosit melalui zat metabolit yang dihasilkan dan disekresikan melalui mekanisme gap junction ke sel oosit (Bilodeau-Goeseels dan Panich, 2002). Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa oosit yang berasal dari ovarium domba pascatransplantasi intrauterus (dalam uterus) pada kelinci yang bunting semu atau pseudopregnant sampai 5 atau 7 hari pascatransplantasi masih bisa diperoleh oosit matang tahap M-II meskipun jumlahnya lebih sedikit ISSN : 0853-899
dari pada kontrol. Dari hasil penelitian ini disarankan untuk dilakukannya penelitian tentang viabilitas oosit domba pascatransplantasi yang dimaturasi dengan lama waktu yang berbeda dan medium kultur yang disuplementasi hormon gonadotrophin yang berbeda untuk meningkatkan jumlah oosit yang mencapai tahap M-II serta kemampuan oosit untuk difertilisasi secara in vitro. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Hibah Tim Pascasarjana DIKTI tahun 2005-2007 yang telah mendanai penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Accardo C, Dattena M, Pilichi S, Chessa B, Cappai P. 2004. Effect of recombinant human FSH and LH on in vitro maturation of sheep oocytes, embryos development and viability. Anim Reprod Sci. 81: 77-86. Bilodeau-Goeseels S, Panich P. 2002. Effects of oocytes quality on development and transcriptional activity in early bovine embryos. Anim Reprod Sci. 71 (3-4): 143-155. Chohan KR, Hunter HG. 2003. Meiotic competence of bovine fetals oocytes following in vitro maturation. Anim Reprod Sci. 76: 43-51. Colby ED. 1986. The rabbit in Current theraphy in Theriogenology 2. Morrow DA. Editor. WB Sounders Co. Philadelphia. Cushman RA, Wahl CM, and Fortune JE. 2002. Bovine ovarian cortical pieces grafted to chick embryonic membranes : a model for studies on the activation of primordial follicles. Human Reprod. 17(1), 48 – 54. Dissen GA, Lara HE, Fahrenbach WH, and Costa MA, Ojeda SR. 1994. Immature rat ovaries becomes revascularized rapidly after autotransplantation and show a gonadotrophinedependent increase in angiogenic factor gene expression. Endocrinology. 134(3), 1146 -1153. Forcada F, and Lopez M. 2000. Repeated surgical embryo recovery and embryo production in rabbit. Anim Reprod Scie. 64,121 – 126. Gilbert F. Scott. 1994. Developmental Biology. 4th edition. Sinauer Association, Inc. Sunderland, Massachusetts. P. 803-805. Gordon I. 1994. Laboratory production of cattle embryos. Dublin, CAB International. Pp. 30-142; 277-290. Gosden RG, Baird DT, Wade JC, and Webb R. 1994b. Restoration of fertility to oophorectomized sheep by ovaries autografts stored at -196 degrees C. Human Reprod. 9(4), 597 – 603. Gunasena KT, Lakey JR, Vilines PM, Critser ES, and Critser JK. 1997. Allogeneic and xenogeneic transplantation of cryopreserved ovarian tissue to athymic mice. Biol Reprod. 57(2), 226 – 231. Jaswandi, Boediono A, Setiadi MA. 2001. In vitro maturation and fertilization of ovine oocytes in system with absence of 5% CO2. Reprotech. I(1): 19-22.
29
Viabilitas Oosit Domba Pascatransplantasi Ovarium Domba Dalam Uterus Kelinci Pseudopregnant
Kagabu S, and Umezu M. 2001. Effect of blood transfusion on the survival rate of cryopreserved mouse ovaries transplanted into rat uterine cavity. Mamm Ova Res. 18, 58 – 61. Kim SS, Radford J, Harris M, Varley J, Rutherford A, Lieberman B, Shalet S, and Gosden R. 2001. Ovarian tissue harvested from lymphoma patients to preserve fertility may be save for autotransplantation. Biol Reprod. 16(10), 2056 – 2060. Liu J, Van der EJ, Van den BR, Dumortier F, and Dhont M. 2000. Maturation of mouse primordial follicles by combination of grafting and in vitro culture. Biol Reprod. 62, 1218 – 1223. Liu J, Van der EJ, Van den BR, and Dhont M. 2002. Early massive follicle loss and apoptosis in heterotropically grafted newborn mouse ovaries. Human Reprod. 17(3), 605 – 611. Niwa K. 1993. Effectiveness of in vitro maturation and in vitro fertilization technique in pigs. Reprod Fert. Supll. 48: 49-59. Parkening TA, Collins TJ, and Elder FFB. 1985. Orthotopic ovarian transplantations in young and aged C57BL/6J mice. Biol Reprod. 32, 989 – 997. Pawshe CH, Appa Rao KBC, Jain SK, Totey SM. 1994. Biochemical studies on goat oocytes: timing of nuclear progression, effect of protein inhibitor and pattern of polypeptide
30
synthesis during maturation. Theriogenology. 42: 307-320. Rehman NU, Sarwar M, Samad HA. 2001. In vitro production of bovine embryos-a review. Asian-Aus. Anim Sci. 14: 1342-1351. Setiadi MA. 2002. Effect of co-culture with follicle shell on cumulus expansion and nuclear maturation porcine oocytes in vitro. Reprotech. I (2): 87-91. Snow M, Cox SL, Jenkin G, Trounson A, and Shaw J. 2002. Generation of live young from xenografted mouse ovaries. Science. 297, 2227. Steel RGD and Torrie JH. 1993. Prinsip Dan Prosedur Statistik. Penterjemah Soemantri. Gramedia. Jakarta. Techakumphu M, Wintenberger-Torres S, and Sevellec C. 1987. Survival of rabbit embryos after synchronous or asynchronous transfer. Anim Reprod Scie. 12, 297 – 304. Trounson AO. 1992. The production of ruminant embryos in vitro. Anim Reprod Sci. 28: 125-137. Yulnawati. 2006. Optimalisasi produksi embrio domba secara in vitro: penggunaan medium CR1aa dan pengaruh status reproduksi ovarium. [Thesis]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
MAJALAH ILMIAH PETERNAKAN • Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008
IDENTIFIKASI DAGING SAPI BALI DENGAN METODE HISTOLOGIS Ni Ketut Suwiti Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian identifikasi daging sapi bali dengan metode histologis yakni melakukan pengamatan terhadap struktur mikroskopis. Sampel daging sapi bali. berupa muskulus pectoralis profundus, diperoleh dari pasar swalayan di Denpasar. Sampel difiksasi, didehidrasi dan diembedding dalam parafin selanjutnya dilakukan pemotongan dengan mikrotom ketebalan 4 - 5 µ. Dibuat sediaan histologis dengan metode pewarnaan Harris-Haematoxilin-Eosin. Pengamatan terhadap struktur histologi dilakukan dengan mikroskop cahaya binokuler pembesaran 450x. Hasil penelitian menunjukkan struktur histologi daging sapi bali terdiri atas serabut otot skelet longitudinal dan tranversal dengan multinuklleus. Nukleus terletak dipinggir sel. Ditemukan jaringan ikat padat dan jaringan lemak dengan pembuluh darah. Diameter serabut otot berukuran 8,40 ± 1,41 µm. Pada pengamatan histologis juga ditemukan : endomisium, perimisium dan epimisium Kata kunci : sapi bali, struktur histologi, haematoxilin-eosin. IDENTIFICATION OF BALI CATTLE MEAT WITH HISTOLOGICAL METHODS ABSTRACT A study to identification the microscopic structure of bali cattle meat by histological methods, has been carried out. The meat bali cattle samples were collected from musculus pectoralis profundus has been taken from Denpasar supermarket. The tissue samples were fixed, dehydrated and embedded in paraffin and 4 - 5 µ. sections. Harris-Haematoxilin-Eosin staining method, using to identified of histological structure. Microscopic analysis was performed using a binocular light microscope (450X). The study showed that, histological structure of bali cattle beef was composed by longitudinally and transverselly skeletal muscle with a multinucleated. The nuclei in the periphery of the cell, there are dense connective tissue, fat, with small blood vessels. The skeletal myofibers diameter of muscle is 8.40 ± 1,41 µm. We observed for the presence of : endomysium , perimysium and epimysium. Keywords: bali cattle, histological structure, haematoxilin-eosin. PENDAHULUAN Sapi bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu ternak unggulan sebagai penghasil daging yang dari tahun ke tahun permintaannya semakin meningkat. Data Bappenas tahun 2007, menunjukkan untuk memenuhi kebutuhan daging nasional, telah diimpor sapi bakalan dari Australia sebanyak 325.000 – 375.000 ekor, sedangkan impor daging pertahun setara dengan 100.000 ekor sapi (Apfindo, 2005). Berdasarkan data tersebut sapi bali sangat berpeluang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan daging di Indonesia, mengingat sapi bali dapat menghasilkan daging atau karkas 56,6% dengan kualitas kelas Prime karkas dan dengan kadar lemak daging rendah, yakni berkisar antara 2,0 - 6,9%. Kebutuhan daging sebagai sumber protein hewani ISSN : 0853-899
terus mengalami peningkatan, karena meningkatnya penghasilan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya makanan bergizi. Salah satu kebijakan pemerintah dalam pembangunan subsektor peternakan di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah berupaya untuk mencukupi kebutuhan protein hewani, disamping akan dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan bangsa (Santoso, 2002). Daging sapi (beef) adalah sekumpulan jaringan otot yang diperoleh dari sapi yang biasa dan umum digunakan untuk keperluan konsumsi makanan dan melekat pada kerangka. Untuk keperluan industri hotel ataupun restauran, daging dipasarkan dalam bentuk ternak hidup, daging beku, daging olahan, corned beef (Abidin, 2002). Istilah daging dibedakan dengan karkas. Daging adalah bagian yang sudah tidak mengandung tulang, sedang31
Dentifikasi Daging Sapi Bali dengan Metode Histologis
kan karkas berupa daging yang belum di pisahkan dari tulang/kerangkanya (Astawan, 2006). Kualitas daging ditentukan oleh pertumbuhan komponen jaringan ikat berupa tulang, lemak dan jaringan otot. Besarnya serabut otot dan tebalnya otot akan menentukan kualitas daging . Daging sapi dewasa berbeda dengan daging anak sapi, pada daging anak sapi umumnya agak pucat, kelabu putih sampai merah pucat dan menjadi tua, serabutnya lebih halus daripada daging sapi dewasa, konsistensinya agak lembek, bau dan rasanya berbeda dengan daging sapi dewasa. Daging sapi dewasa dilihat secara makroskopis berwarna merah pucat, berserabut halus dengan sedikit lemak, konsistensi liat, bau dan rasa aromatis (Yudistira, 2005). . Kualitas daging ditentukan oleh pertumbuhan komponennya antara lain tulang, lemak dan otot. Otot yang terdapat pada bagian daging adalah otot skelet/ seran lintang. Apabila otot seran lintang diperiksa tanpa alat pembesar, tampak adanya perbedaan warna pada serabutnya yaitu tampak serabut otot yang berwarna merah dan serabut berwarna putih. Warna daging merah banyak mengandung mioglobin, mitokondria, enzim respirasi, serabut ototnya halus dan berhubungan dengan aktivitas otot yang tinggi. Sedangkan warna putih mengandung sedikit mioglobin, mitokondria, enzim respirasi, serabutnya kasar dan berhubungan dengan gerakan cepat dan singkat (Lawrie, 1991). Otot seran lintang terdiri atas beberapa sel yang sangat panjang, mempunyai garis melintang yang khas, karena itu otot skelet disebut juga otot bercorak. Serabut otot tersusun dalam berkas, sumbunya pararel dengan arah kontraksi. Dalam serabut otot banyak terdapat fibroprotein dalam sarkoplasma yang mudah menyerap zat warna untuk sitoplasma (Caceci, 2008). Akhir-akhir ini sering ditemukan pemalsuan daging atau manipulasi, hal ini disebabkan ketidak mampuan pasar domestik dalam menyediakan kebutuhan daging setiap tahunnya, akibatnya pemalsuan daging semakin tidak terkendali. Daging sapi yang dipalsukan dengan daging babi hutan atau dengan daging yang lainnya sering dilakukan. Mahalnya harga daging sapi di pasaran, terutama menjelang bulan ramadan dan lebaran, turut mendukung pemalsuan tersebut, sehingga sangat meresahkan konsumen. Pemalsuan daging akan menimbulkan kerugian secara ekonomi, juga dapat mengakibatkan penyakit karena tidak menutup kemungkinan daging tersebut dapat berasal dari hewan yang menderita penyakit yang dapat ditularan kepada manusia (zoonosis). Pemalsuan ini sangat mungkin terjadi karena selama ini pemeriksaan daging hanya berdasarkan pada pengamatan makroskopik/uji organoleptik yang meliputi warna, tekstur, rasa, 32
konsistensi, aroma dan keempukan. Retno (2004) telah mengidentifikasi daging babi dengan menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction), namun pemeriksaan dengan menggunakan teknik ini memerlukan biaya mahal dan alatnya tidak selalu tersedia pada semua laboratorium. Oleh karena itu diperlukan usaha untuk mengidentifikasi daging secara lebih murah dan sederhana, yakni dengan melakukan pemeriksaan mikroskopis melalui pengamatan struktur histologis. Identifikasi daging sapi bali dengan metode histologis bertujuan melakukan pengamatan terhadap komponen jaringan ikat, otot dan jaringan lemak serta diameter serabut ototnya. Disamping itu pemeriksaan dengan melakukan identifikasi melalui pengamatan terhadap struktur histologis, bertujuan untuk memastikan daging tersebut bebas dari penyakit yang membahayakan. MATERI DAN METODE Materi Penelitian Penelitian menggunakan sampel daging berupa muskulus pectoralis profundus dari sapi bali,. Dua puluh lima sampel berupa daging dipotong dengan ukuran 2×2 cm, yang diambil dari pasar swalayan yang ada di Denpasar. Sampel difiksasi dengan memasukkannya kedalam formalin, selanjutnya dilakukan pembuatan preparat histologis dan dilakukan pewarnaan dengan metode Hematoxylin-Eosin (HE). Bahan Penelitian Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian adalah formalin 10%, alkohol 70%, alkohol 90%, alkohol absolut, paraffin, xylol, kanada balsam, zat warna Hemotoxillin-Eosin, aquadest, toluene, gunting, pinset, pot kecil, tissue prosesor, embedding set, mikrotom, penangas air, gelas obyek, inkubator dan mikroskop cahaya binokuler. Pembuatan Sediaan Histologis Pembuatan sediaan histologis berdasarkan metode Luna (1968) dan Culling (1974) yaitu sampel yang telah difiksasi dengan formalin 10%, didehidrasi dan berturutturut dibersihkan dengan satu sesi larutan (formalin 10% I, formalin 10% II, formalin 10% III, alkohol 70%, alkohol 96%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, alkohol absolut III, xylol I, xylol II, xylol III, paraffin cair I, paraffin cair II) dalam waktu 23 jam. Lalu dibloking dengan paraffin cair, setelah didinginkan selama 30 menit dipotong dengan mikrotom dengan ketebalan 4 – 5 μ. Sebelum dilakukan mounting terlebih dahulu dilakukan pewarnaan dengan metode Harris-hematoxylin eosin, dengan cara diirendam dalam xylol I, II, III masing-
MAJALAH ILMIAH PETERNAKAN • Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008
longgar dan diantaranya kadang ditemukan pembuluh darah halus/kecil Ni Ketut Suwiti
c
masing selama 5 menit dan selanjutnya direndam dalam alkohol absolut I dan II selama 5 menit. Sebelum direndam dalam Harris-haematoxylin/HE (15 menit), dilakukan perendaman dalam aquadest selama 1 menit. Sampel kembali direndam dalam aquadest (1menit), kemudian 5-7 menit dalam acid alkohol 10%, dua kali dalam aquadest selama 1 menit dan 15 menit. Setelah itu diwarnai dengan eosin. Preparat yang telah diwarnai kemudian direndam dalam alkohol 96% I dan alkohol 96% II masing-masing selama 3 menit. Selanjutnya direndam kembali dalam alkohol absolut III yang dilanjutkan lagi kedalam alkohol absolut IV Gambar 1. Struktur histologis musculus pectoralis profundus sapi b masing-masing 3 menit. Selanjutnya dibersihkan dalam (a) Serabut otot membujur (b). Serabut otot melintan xylol I dan xylol II selama 5 menit. Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah (d) Jaringan ikat struktur histologis muskulus pectoralis profundus pada Gambar 1. Struktur histologis musculus pectoralis profundus sapi sapi bali, meliputi komponen jaringan ikat, jaringan bali (HE:450x) (a) Serabut otot membujur, (b). Serabut Gambar 1. Struktur histologis musculus profundus sapi b lemak, komponen penyusun otot lainnya serta diameter otot melintang, (c) Jaringanpectoralis lemak, (d) Jaringan ikat. (a) Serabut otot membujur (b). Serabut otot melintan serabut otot.
c
b
a
d
a
d
b
Cara Pengambilan Data Pengamatan struktur histologis daging dilakukan terhadap komponen jaringan otot, jaringan ikat dan jaringan lemak, pada 5 lapang pandang yang berbeda dengan menggunakan mikroskop cahaya pembesaran 100× dan 450×. Diameter serabut otot diukur dengan menggunakan pembesaran 125×. Data kualitatif yang diperoleh dari struktur histologis daging selanjutnya ditansformasi menjadi data kuantitatif, dengan memberikan skor. Apabila tidak ditemukan jaringan otot, lemak maupun jaringan ikat diberikan nilai 0, sedikit nilai 1 dan apabila banyak ditemukan jaringan otot, lemak maupun jaringan ikat diberikan nilai 2.
(d) Jaringan ikat
b b
c a
c
a
HASIL Gambar 2. Struktur histologis musculus pectoralis profundus sapi
Pengamatan struktur histologis daging sapi bali yang bali (HE:100x). (a). Epimisium, (b). Perimisium, (c). ��� EnGambardisajikan 2. Struktur domisium pectoralis profundus sapi bali (HE:1 diambil dari muskulus pectoralis profundus pada histologis musculus (a). Epimisium (b). Perimisium (c). Endomisium Gambar 1 dan 2. Hasil penelitian menunjukkan, struktur histologis daging sapi bali musculus pectoralis profundus ditemukan mengisi celah antara serabut otot (Gambar terdiri atas serabut otot skelet longitudinal dan tranveral, 2) dengan nilai rataan (1,32 ± 0,56). Pada penampang jaringan ikat dan jaringan lemak. Jaringan ikat mem- melintang serabut otot, terdapat jaringan ikat tipis yang 2. Struktur musculus profundus sapi bali (HE:1 bungkus serabut otot dan mengisiGambar celah antara serabut histologis melapisi setiap serabutpectoralis otot yang kemudian melanjutkan (a). Epimisium (b). Perimisium (c). Endomisium otot sehingga jaringan ikat hampir selalu ditemukan diri sebagai pembungkus berkas yang disebut dengan enpada daging sapi bali. Pada serabut otot membujur domisium. Selanjutnya berkas otot tersebut digabungkan tampak garis-garis melintang yang dipisahkan oleh menjadi berkas yang lebih besar oleh jaringan ikat yaitu garis pucat dan pada serabut otot melintang ditemukan perimisium. Pada potongan tranversal juga ditemukan beberapa inti yang terletak di tepi. satu serabut memiliki banyak inti yang mengambil posisi Diameter serabut otot skelet berukuran 8,40 ± 1,41 ditepi dan juga terlihat serabut otot putih yang memiliki µm (Tabel 1). Jaringan lemak yang terdapat pada mus- warna lebih pucat dengan ukuran serat yang lebih besar kulus ditemukan dalam jumlah sedikit (0,84 ± 0,62) jika dibandingkan dengan serabut otot merah. dengan jaringan lemak yang banyak ditemukan meruJaringan otot dengan pewarnaan HE memberikan 7 berwarna biru/ungu. pakan jaringan lemak putih. Jaringan ikat hampir selalu aspek merah sedangkan nukleus 33
ISSN : 0853-899
7
Dentifikasi Daging Sapi Bali dengan Metode Histologis
Jaringan lemak teridentifikasi sebagai lingkaran-lingkaran kosong dengan bentuk yang hampir bulat dengan nukleus terletak ditepi. Jaringan ikat penyusun daging sapi bali adalah sebagian besar terdiri atas jaringan ikat padat dan sedikit jaringan ikat longgar dan diantaranya kadang ditemukan pembuluh darah halus/kecil. Tabel 1. Hasil pengamatan diameter serabut otot, komponen jaringan ikat dan komponen lemak muskulus pectoralis profundus sapi bali, pembesaran 125X. Sampel
Diameter (µm)
Jaringan Ikat
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Rataan
8 9 7 9 9 6 7 9 9 8 8 8 9 7 7 11 8 8 7 11 6 11 9 9 10 8,40 ± 1,41
2 1 2 2 1 1 1 1 1 2 1 1 1 2 1 2 0 1 2 1 2 1 2 1 1 1,32 ± 0,56
Jaringan Lemak 1 0 2 2 1 0 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 2 0 1 0 1 1 0 0,84 ± 0,62
PEMBAHASAN Struktur histologis daging sapi bali pada muskulus pectoralis profundus terdiri atas serabut otot skelet potongan longitudinal dan tranversal, ditemukan lebih banyak jaringan ikat, namun sedikit jaringan lemak. Pada serabut otot potongan melintang tampak epimesium, perimisium dan endomisium dengan batas yang jelas (Gambar 2). Hasil penelitian ini didukung oleh Astawan (2006); dan Caceci (2007) yang menyatakan serabut otot penyusun daging merupakan otot skelet yang panjang, dapat mencapai seluruh panjang otot, ukuran panjangnya dapat dipengaruhi oleh beberapa keadaan seperti pengaruh spesies, breed dan jenis kelamin. Serat-serat otot tersebut meningkat bersama dengan bertambahnya umur, tingkat pemberian nutrisi dan latihan yang dilakukan. Serabut otot skelet dapat memiliki diameter yang lebih besar atau dengan ukuran yang lebih panjang karena ditentukan adanya 34
peningkatan jumlah miofibril-miofibril penyusunnya (Lawrie, 1991). Apabila dibandingkan dengan diameter serabut otot babi landrace, diameter serabut otot sapi bali lebih kecil. Pada serabut otot melintang diameter serabut otot sapi bali adalah 8,40 ± 0,60 µm dan pada babi landrace diameter serabut ototnya mencapai 9,80 ± 0,58 µm. Serat otot skelet mengandung beberapa ratus inti yang letaknya tepat dibawah sarkolema. Letak inti di tepi ini tampak paling jelas pada potongan melintang, hasil penelitian ini didukung oleh Genneser (1994). Selanjutnya Caceci (2007) mendapatkan diameter myofiber berbentuk silindris dengan ukuran 100 µm, namun tidak dijelaskan jenis hewannya. Sedangkan intinya apabila diperhatikan dengan jelas ditemukan dua nukleus yang ditemukan pada myofiber, pertama nukleus terletak diantara serabut otot ditemukan pada disekitar membran plasma, nukleus kedua disebut dengan satellite cell, merupakan nukleus dengan ukuran lebih kecil. Oleh karena itu otot skelet sering disebut dengan multinukleus sel (multinucleated cells). Pada pertumbuhan yang normal atau pada latihan serabut otot dapat meningkat ukurannya (Yupardi, dkk., 2001), sedangkan serabut otot yang sama sekali tidak dipergunakan akan mengalami atrofi fisiologis dan secara histologis ada reduksi pada diameter serabut otot. Pada potongan tranversal juga ditemukan satu serabut memiliki banyak inti yang mengambil posisi ditepi dan juga terlihat serabut otot putih yang memiliki warna lebih pucat dengan ukuran serat yang lebih besar jika dibandingkan dengan serabut otot merah. Perbedaan warna tersebut disebabkan perbedaan konsentrasi myoglobin atau disebabkan perbedaan serat otot, jenis binatang dan umur hewan. Jaringan ikat selalu ditemukan diantara jaringan otot dan lebih banyak ditemukan pada otot potongan melintang, karena fungsinya mengikat, menghubungkan dan mengisi celah antara jaringan lainnya (Subowo, 2002). Jaringan ikat sangat berperan dalam menentukan apakah daging tersebut liat atau tidak dengan mengamati banyaknya jaringan ikat yang ditemukan. Apabila dilihat pada serabut otot melintang maka ditemukan tenunan pengikat yang disebut epimysium yakni merupakan suatu lapisan pembungkus dan selanjutnya masuk kedalam serabut otot, memisahkan serat-serat otot yang disebut perimisium. Dari perimisium ada jaringan tenunan pengikat yang halus, berjalan lebih jauh ke dalam untuk menyelaputi setiap serabut otot yang disebut sebagai endomisium . Jaringan lemak pada daging sapi ditemukan lebih sedikit dibandingkan dengan daging ayam (unpublish data), demikian juga apabila dibandingkan dengan komposisi jaringan ikatnya. Menurut Subowo (2002)
MAJALAH ILMIAH PETERNAKAN • Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008
Ni Ketut Suwiti
jaringan lemak tersebar di seluruh daging, dapat berasal dari jaringan pengikat longgar dan mempunyai fungsi sebagai pelindung terhadap gangguan suhu dan mekanik seperti yang ditemukan pada sapi bali. Ada beberapa hal yang mempengaruhi jumlah jaringan lemak pada daging antara lain faktor umur, bangsa dan tingkat pemberian nutrisi. Pemberian nutrisi yang baik akibat domestikasi dapat menyebabkan lemak subkutan berkembang dan akan berpengaruh terhadap peningkatan lemak intramuskuler. Wood (1984) menyebutkan, apabila kadar lemak meningkat akan mengakibatkan daging bertambah lembek dan kehilangan sifat kohesinya, sehingga menyebabkan terpisahnya lemak subkutan menjadi beberapa lapis, hal tersebut menjadi alasan mengapa daging sapi mempunyai konsistensi yang lebih keras dibandingkan daging ayam dan babi. Keadaan sebaliknya akan terjadi apabila kekurangan nutrisi, yang menyebabkan terjadinya peningkatan persentase jaringan ikat intramuskuler yang akan berpengaruh pada konsistensi daging (Bailery dan Light, 1989) . Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan : struktur histologi daging sapi bali terdiri atas serabut otot skelet longitudinal dan tranversal dengan multinuklleus. Nukleus terletak dipinggir sel. Ditemukan jaringan ikat padat dan jaringan lemak dengan pembuluh darah. Diameter serabut otot berukuran 8,40 ± 1,41 µm. Pada pengamatan histologis juga ditemukan : endomisium, perimisium dan epimisium. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan dan Kepala Laboratorium Histologi, karena telah diizinkannya mempergunakan sarana dan prasasarana selama penelitian berlangsung, dan seluruh staff histologi yang membantu selama penelitian ini berlangsung.
ISSN : 0853-899
DAFTAR PUSTAKA Apfindo. 2005. Peran dan Fungsi Apfindo dalam Pembangunan Industri Perbibitan Ternak Potong di Indonesia. Seminar Nasional Penyusunan Strategi Peningkatan Pertumbuhan Peternakan. Kerjasama Bappenas dengan Dep. Pertanian tgl. 18 Juli 2005, Denpasar, Bali. Astawan M. 2006. Manfaat Daging. http://gizi.net/. Blakely J dan Bade D.H. 1985. Ilmu Peternakan. Edisi Keempat, Penerjemah Bambang Srigadono, Penyunting Soedarsono, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Bappenas. 2007. Budidaya Ayam Ras Pedaging . http://www. mail-archive.com/. Bailey A.J and Light N.D. 1989. Connective Tissue in Meat and Meat Products Elseiver Appl. Sci. London. Caceci T. 2007. Smooth and Skeletal Muscle. VM8054 Veterinary Histology . Genneser F. 1994. Buku Teks Histologi. Jilid I Binapura Aksara. Jakarta. Lawrie R.A. 1991. Meat Science. Fifth Edition. University of Nottingham. Luna, L.G. 1968. Manual Histologic Staining Methods of Pathology. 3rd Ed. The Blakiston Division Mc Graw-hill Book Company, New York, Toronto, London, Sydney. Nazan DK and Muslu N. 2007. The Histological Examination of Mus musculus Stomach was Exposed to Hunger and Thirst Stress : A Study with Light microscope.J of Biological Sciences 10 (17) : 2988-2991. Retno D.J. 2004. Pelacakan Daging Babi Dengan Teknik Polymerase Chain Reaction. (PCR) Jurnal Veteriner Vol. 7 No. 1 99-106. Santoso U. 2002. Prospek Agrobisnis Penggemukan Pedet. Penebar Swadaya. Jakarta Subowo. 2002. Histologi Umum. 1st Ed. Bumi Aksara. Jakarta. Wood J.D. 1984. In Fats In Animal Nutrition (Ed J.Wiseman) Butterworths. London Yudistira. 2005. Mengenali Daging Sehat. http://www.google. com/ Yupardhi W.S, Matram R.B, dan Wirtha W. 2001. Fisiologi Hewan.Universitas Udayana, Denpasar.
35
PEMANFAATAN TELUR AYAM SEBAGAI PABRIK BIOLOGIS
(Kajian Pustaka) I Wayan Teguh Wibawan Bagian Mikrobiologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertaian Bogor. Email:
[email protected]. 0251-8629474. Fax. 0251-8629459 ABSTRAK Penelitian tentang pemanfaatan telur sebagai pabrik biologis dilakukan sangat komprehensif di beberapa institusi perguruan tinggi di Inonesia, yakni Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Institut Pertanian Bogor (IPB), FKH Universitas Gadjah Mada (UGM), FKH Universitas Udayana (UNUD), FKH Universitas Syahkuala (Unsyiah), Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Jejaring penelitian dibangun dengan baik dan telah menghasilkan beberapa produk, antara lain: telur berkhasiat flu burung H5N1, telur Anti Tetanus Serum, Telur Anti Diare, Telur anti Plaque dan Telur Anti White Spot Syndrome Virus pada udang. Secara ilmiah khasiat IgY spesifik dalam kuning telur sebagai senyawa therapeutic telah diuji dan tinggal memerlukan sentuhan akhir tersendiri untuk dapat disajikan sebagai produk komersial. Peran industri yang relevan sangat dibutuhkan dalam mewujudkan hal ini. Kata kunci: telur, pabrik biologis, antibodi spesifik THE USE OF EGG AS A BIOLOGICAL PRODUCER FOR SPESIFIC ANTIBODIES ABSTRACT The use of egg as a biological producer for specific antibodies were done intensively among well known universities in Indonesia, such as Faculty of Veterinary Medicine (FVM) of FVM of IPB, FVM of UGM, FVM of UDAYANA and FVM of UNSYIAH as well as Faculty of Dental Medicine Indonesia University. The collaboration and research networking among those institutions run as expected and succeed to produce some important products such as eggs containing IgY anti avian flu as well as anti tetanus, anti diarrhea, anti plaques and eggs anti WSSV in shrimp. The potency of specific IgY as immunotherapeutic substances had been studied and need the commercial touch from the respective industries until this products in market available. Key words: Egg, biological procedur, specific antibodies PENDAHULUAN Telur (dalam hal ini telur ayam) menempati posisi yang sangat strategis dalam menopang kesehatan suatu bangsa karena merupakan sumber protein hewani yang berkualitas tinggi, murah dan mudah di jangkau oleh berbagai kalangan masyarakat. Pada dasarnya telur adalah sarana mahluk hidup untuk meneruskan kehidupan. Pada unggas, reptil dan beberapa jenis hewan lainnya, telur memilki hal yang sangat spesifik yakni dilengkapi dengan kuning telur berisi zat nutrisi penting yang sangat diperlukan untuk perkembangan embrio hingga beberapa hari setelah janin menetas. Telur bukan hanya berisikan zat nutrisi penting, juga di dalam penyiapan ketahanan tubuh embrio dan janin yang baru 36
menetas. Dari darah induk ditransfer ke dalam telur (khususnya kuning telur) zat kebal (antibodi, khususnya imunoglobulin Y/IgY) yang sangat berguna untuk pertahanan tubuh embrio dan janin hingga 7-10 hari setelah menetas, zat ini dikenal dengan maternal antibody. Kemampuan induk ayam untuk mentransfer antibodi inilah yang dapat dimanfaatkan untuk merancang suatu telur dengan spesifikasi tertentu, yang mengandung antibodi spesifik untuk agen penyakit yang spesifik pula. Dari sekian banyak kemungkinan, baru dapat digarap beberapa hal, antara lain: Merancang telur ayam yang mengandung antibodi spesifik terhadap virus Flu Burung subtipe H5N1 dengan berbagai aspeknya. Merancang telur ayam yang mengandung antibodi
MAJALAH ILMIAH PETERNAKAN • Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008
I Wayan Teguh Wibawan
spesifik terhadap Enteropathogenic Escherichia coli dan Salmonella enteritidis dan kemungkinan aplikasinya sebagai makanan fungsional (nutriceutical food). Merancang telur yang mengandung antibodi terhadap Streptococcus mutant penyebab karies dan pemanfaatannya untuk bahan pasta gigi dan obat kumur. Merancang telur ayam yang mengandung antibodi terhadap racun/bisa ular, yang dapat dikembangkan untuk produksi anti bisa ular. Merancang telur ayam yang mengandung antibodi terhadap racun Clostridium tetani, dapat diproduksi anti tetanus serum dalam jumlah besar pada telur ayam komersial. Merancang telur ayam yang mengandung anti terhadap White Spot Syndrome Virus (WSSV) penyebab penyakit serius pada udang. Sangat memungkinkan untuk membuat pakan udang yang dicampur dengan kuning telur berhasiat anti WSSV. ANTIBODI SPESIFIK PADA TELUR Telur Ayam Telur ayam dapat diproduksi secara masal dengan mudah, dapat memanfaatkan ayam petelur komersial yang berproduksi tinggi atau memanfaatkan ayam kampung dengan kelebihan yang dimilikinya. Pada ayam petelur komersial jumlah telur dapat dipanen dengan teratur dalam jumlah yang sangat banyak, namun demikian ayam kampung memiliki kelebihan karena kuning telur ayam kampung dapat dikonsumsi mentah sebagai campuran dalam jamu atau dikonsumsi langsung. Hal ini menguntungkan karena kerusakan antibodi spesifik akibat proses pemasakan atau panas dapat dikurangi, meskipun produksi telurnya jauh lebih rendah dari ayam moderen komersial. Telur ayam (negeri maupun kampung) sangat lazim dikonsumsi oleh masyarakat dunia, baik dari kalangan bawah, menengah maupun atas, sehingga pemilihan telur sebagai pabrik biologis sangat tepat. Penggunaan telur unggas untuk pabrik biologis tentu dapat dipertimbangkan, misalnya telur itik, entok, kalkun, puyuh dan juga burung unta. Secara teoritis semua jenis unggas tadi memberikan peluang yang besar untuk dimanfaatkan tergantung pada alasan dan ketersediaannya di suatu daerah. Pemanfaatan telur ayam sebagai pabrik biologis sangat selaras dengan isu global saat ini tentang “Animal Welfare”. Dalam produksi bahan biologis telur dapat menggantikan hewan, misalnya dalam produksi anti tetanus serum (ATS), hingga saat ini masih digunakan serum kuda. Untuk memprodukasi ATS kuda harus disuntik berkali-kali dengan toksoid tetanus dan pada saat panen serum dilakukan juga berulang-ulang pada ISSN : 0853-899
Gambar 1. Ayam petelur yang disuntik dengan antigen tertentu (Escherichia coli, Salmonella sp. dan Streptococcus mutant, telur utuh mengandung antibodi spesifik, preparasi kuning telur dan kemasan kuning telur yang bisa diolah untuk berbagai tujuan.
kuda yang sama. Perlakuan ini menyebabkan kuda menderita amiloidosis, yakni adanya endapan amiloid di berbagai organ tubuh, khususnya limpa, limfonodus dan organlimfoid lainnya. Hal ini tidak sesuai atau kurang sesuai dengan animal welfare. Suartha et al. (2004) berhasil menunjukkan bahwa ATS dapat diproduksi pada telur ayam. Ayam bertelur adalah merupakan hal yang bersifat fisiologis dan tidak perlu melakukan tindakan intervensi yang berlebihan pada ayam. Penggunaan telur (IgY) diharapkan dapat mengurangi resiko itu dan digunakan sebagai sumber antitetanus. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena antibodi di dalam darah induk ayam dapat ditransfer secara baik ke dalam telur dalam jumlah yang cukup banyak. Titer Ig Y dalam darah dan dalam telur tidak berbeda secara signifikan (Larsson et al., 1993; Schade et al. 1997). Konsentrasi Ig Y pada kuning telur konstan sampai oosit matang (maturasi), dengan kandungan 10 – 20 mg/ml (Carlander, 2002). Sehingga telur dapat digunakan sebagai sumber protein hewani dan sebagai pabrik produksi antibodi. Biaya produksi imunoglobulin pada telur unggas sangat murah (Warr et al. 1995). Telur kodok Telur jenis hewan lain, misalnya telur kodok mungkin dapat pula digunakan sebagai pabrik biologis, khususnya untuk penyakit ikan. Di dalam kuning telur kodok dapat diproduksi antibodi spesifik terhadap mikroba tertentu dengan jalan melakukan vaksinasi menggunakan agen tertentu pada induk kodok. Banyak hal yang mungkin 37
Pemanfaatan Telur Ayam Sebagai Pabrik Biologis (Kajian Pustaka)
dapat dipikirkan berkaitan dengan penggunaan telur kodok berkhasiat untuk tujuan tertentu. ANTIBODI SPESIFIK Memproduksi Antibodi Spesifik dalam Telur Secara umum, untuk memproduksi antibodi spesifk di dalam telur dapat dilakukan dengan menyuntik ayam menggunakan antigen tertentu yang dikehendaki (vaksin, bakerin, toksoid atau bahan biologis lain). Cara penyuntikan dapa dilakukan secara intra vena, intra muskular atau sub kutan tergantung dari preparasi antigen yang dikehendaki. Untuk antigen yang berasal dari bakteri, biasanya digunakan sel bakteri dalam suspensi menggunakan NaCl fisiologis, sel bakteri diinaktifkan (dimatikan) dengan pemanasan 60°C selama 2 jam dengan kandungan 109 c.f.u., konsentrasi bakteri ini secara fotometrik setara dengan transmisi 10% pada panjang gelombang 620 nm. Untuk bahan protein lain, digunakan 200-500 mg protein/ml diemulsi menggunakan larutan adjuvant dengan perbandingan volume yang sama. Untuk bahan tertentu, misalnya toksoid, digunakan dosis bertingkat, mulai dari dosis rendah, menengah dan dosis tinggi. Jadwal penyuntikan ayam apabila menggunakan suspensi bakteri utuh dengan penyuntikan intra vena dilakukan secara berkala, yakni pada minggu I diberikan 0.5 ml suspensi bakteri (109 c.f.u) , diulangi 3x berturutturut pada minggu II. Hal ini disebut dengan tindakan “booster”, penyuntikan dapat diulangi pada minggu III dengan cara yang sama. Satu minggu setelah penyuntikan terakhir, antbodi di dalam serum atau telur dipantau menggunakan antigen spesifik dalam uji aglutinasi atau imundifusi atau ELISA (enzyme linked immunosorbant assay) atau dengan teknik serologis lainnya. Jika menggunakan antigen yang dikemas dalam adjuvant, jadwal dapat dilakukan dengan melakukan penyuntikan I menggunakan dosis 0.5 ml (200-500 mg protein/ml) secara intra muskular atau subkutan, dikenal dengan priming, penyuntikan antigen ke 2 (booster) dilakukan 2-3 minggu kemudian. Keberadaan antibodi di dalam serum atau kuning telur dapat dipantau satu minggu setelah penyuntikan terakhir. Cara dan jadwal khusus bisa dilakukan tergantung dari preparasi antigen yang digunakan. Pola produksi antibodi spesifik terhadap Escherichia coli, Salmonella enteritidis dan Streptococcus mutan di dalam darah dan telur Secara umum, satu minggu setelah vaksinasi antibodi dapat dideteksi di dalam darah dalam jumlah yang cukup tinggi. Pada saat ini antibodi belum ditransfer dalam jumlah banyak ke dalam telur. Berdasarkan penelitian 38
Gambar 2. Reaksi spesifik berupa garis presipitasi, antara antigen EPEC K1.1 (sumur tengah, kiri) dengan antibodi kuning telur (IgY anti EPEC K1.1) dihasilkan oleh 6 ekor ayam yang berbeda setelah disuntik antigen EPEC K1.1 (sumur pinggir, kiri). Tidak ada reaksi presipitasi pada serum ayam yang tidak disuntik dengan EPEC K1.1(kanan) (Wibawan et al., 2009, submitted for publication).
yang dilakukan, dibutuhkan waktu 7 hari untuk mentransfer antibodi dari dalam darah ke kuning telur. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya yang menyatakan bahwa transfer IgY secara transovarial berlangsung kurang lebih 3-6 hari, tergantung dari jumlah sel telur yang ada di dalam tubuh ayam (Patterson et al., 1962; Wooley et al., 1995). Ig Y ditansfer dari serum melewati oolemma ke dalam oosit yang telah matang dalam folikel ovari (Rose dan Orland, 1981). Transfer ini terjadi melalui reseptor spesifik di permukaan membran kantung kuning telur (Tressler dan Roth, 1987). Tabel 1. Pola produksi antibodi spesifik (IgY) di dalam darah dan kuning telur terhadap antigen E. coli (EC), Salmonella enteritidis (ES) dan Streptococcus mutan (SM) Antigen EC SE SM EC SE SM
Keberadaan antibodi spesifik (IgY) dalam darah M-2 M-3 M-4 M-5 M-6 M-7 M-8 M-9 + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + Keberadaan antibodi spesifik (IgY) dalam kuning telur + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
M-1 +
Keterangan: Reaksi + ditandai dengan adanya garis presipitasi pada AGPT, Reaksi – tidak ada garis presipitasi pada AGPT
Tingginya kadar IgY di dalam darah tidak selalu sama dengan dengan kadar IgY di dalam kuning telur karena transfer IgY ke dalam kuning telur diketahui terjadi dalam 2 tahap. Setiap tahap memerlukan waktu tertentu.Tahap awal, IgY ditransfer dari serum menuju
MAJALAH ILMIAH PETERNAKAN • Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008
I Wayan Teguh Wibawan
kuning telur dengan proses yang analog dengan proses transfer antibodi (IgY) pada fetus melalui plasenta pada mamalia. Tahap berikutnya terjadi transfer antibodi (IgY) dari kantung embrio kepada embrio yang sedang berkembang.
Tabel 2. Kandungan IgY, IgA, dan IgM dalam plasma, kuning telur dan putih telur 2 jenis ayam broiler breeder (Hamal et al., 2006) Level IgY Plasma2 (mg/mL) Total kuning telur (mg) Kuning telur (mg/mL) Total putih telur (µg) Putih telur (µg/mL) Level IgA Plasma (µg/mL) Total kuning telur (µg) Kuning telur (µg/mL) Total putih telur (µg) Putih telur (µg/mL) Level IgM Plasma (µg/mL) Total kuning telur (µg) Kuning telur (µg/mL) Total putih telur (µg) Putih telur (µg/mL)
Ayam jenis 1
Ayam jenis 2
P<0.05
3.26 ± 0.22b 22.5 ± 0.70b 1.15 ± 0.03b 128 ± 9.44b 3.57 ± 0.27b
6.02 ± 0.40a 43.9 ± 0.73a 2.26 ± 0.03a 354 ± 17.7a 9.88 ± 0.50a
<0.0001 <0.0001 <0.0001 <0.0001 <0.0001
301 ± 30.8 305 ± 13.7b 15.5 ± 0.68b 257 ± 11.5b 7.06 ± 0.30b
346 ± 30.4 428 ± 17.0a 22.1 ± 0.85a 493 ± 13.7a 13.7 ± 0.35a
0.3050 <0.0001 <0.0001 <0.0001 <0.0001
859 ± 30.4b 387 ± 14.4 19.7 ± 0.68 207 ± 6.65b 5.67 ± 0.16b
975 ± 35.6a 413 ± 14.8 21.3 ± 0.750 249 ± 6.55a 6.87 ± 0.16a
<0.0210 0.2157 0.1248 <0.0001 <0.0001
Komposisi Antibodi (IgY, IgA dan IgM) dalam Telur Ayam Informasi mengenai kandungan antibodi (imunoglobulin) dalam telur sangat penting untuk diketahui. Data ini diperoleh dari analisa kandungan imunoglobulin dari dua strain ayam petelur. Hasil analisa ini dapat digunakan untuk melakukan prediksi terhadap produksi IgY atau antibodi lainnya dalam produksi masal. Tiga jenis antibodi penting, yakni IgY, IgA dan Ig M diulas dalam tulisan ini. Seperti diketahui bahwa IgM terbentuk dalam jumlah paling tinggi di awal infeksi (paparan antigen), kemudian diikuti oleh pembentukan IgY yang sangat tinggi setelah terjadi booster (paparan kedua dan berikutnya). IgA memiliki peran penting pada pertahanan permukaan mukosa (selaput lendir). Telur memiliki ke tiga jenis imunoglobulin penting ini dan membuat penggunaan telur sebagai pabrik antibodi semakin jelas dan mudah dipahami dan diterima. Kandungan IgY tertinggi terdapat di dalam kuning telur. Sebutir telur dalam keadaan normal di dalam kuning telurnya mengandung IgY antara 22.5-43.9 mg/butir dan beberapa mikro gram di dalam putih telurnya. IgM dan IgA ditransfer dari darah ke telur dalam jumlah yang kecil. Kandungan IgY di dalam kuning telur tergantung dari kandungan IgY di dalam darah dan hanya sekitar 27-34% IgY dapat ditransfer dari darah ke dalam telur (Hamal et al., 2006). Hasil yang serupa dinyatakan pula oleh Halimah (2001) yang menyatakan dapat diisolasi 2.9- 5.4 mg untuk setiap milililter kuning telur, setelah ayam petelur dipapar dengan vaksin Marek.
Sugita-Konishi et al. (1996) menunjukkan adanya fungsi imun IgY spesifik terhadap penghambatan Pseudomonas aerogenosa, menghambat produksi enterotoksin-A dari Staphylococcus aureus dan menghambat adhesi Salmonella enteriditis pada kultur sel intestinal manusia. Hasil yang sama ditunjukkan pula bahwa IgY dapat dimanfaatkan untuk mencegah penyakit pernapasan (Shin et al., 2002). Hasil ini menujukkan bahwa telur yang mengandung IgY spesifik dapat digunakan untuk pencegahan dan pengobatan penyakit. Kuning telur yang mengandung IgY spesifik, sangat mungkin dapat dikemas dalam pangan atau pakan hewan (Makoto et al., 1998) untuk pencegahan dan pengobatan penyakit saluran pencernaan, seperti diare yang disebakan oleh bakteri yang tergolong enterobactriaceae (Finlay, 2002) atau virus (distemper dan parvo virus) atau agen lainnya.
Pemanfaatan telur dalam pengobatan Sampai saat ini, pemanfaatan telur yang mengandung Ig Y spesifik untuk pengobatan dan pencegahan penyakit masih terbatas pada skala laboratorium. Pada hewan, untuk pengobatan penyakit Marek dengan imunisasi pasif (Kermani-Arab et al., 2001), untuk virus Rota dan virus distemper dan untuk kolibasilosis (Akita dan Nakai,1993) dan penyakit influenza pada unggas (Hatta et al., 1993) dan Toxoplasma gondii (Hassl et al., 1987). Pengebalan pasif dengan menggunakan IgY murni anti Streptococcus mutans mampu mencegah kerusakan gigi manusia (Hatta et al., 1997). IgY spesifik terhadap S. mutans GBP-B (Glucan Binding Protein-B) dapat menghambat akumulasi S. mutans pada biofilm gigi dan dapat memproteksi kerusakan gigi yang disebabkan oleh S. mutans (Smith et al., 2001; Hatta et al. 1997; dan Loesche, 1986.).
Telur Anti Flu Burung Berdasarkan data kasus dan kematian pada manusia, penyakit flu burung pada manusia yang disebabkan oleh virus avian influenza type A H5N1 bersifat probabalistik, artinya kejadian penyakit ini pada manusia belum bersifat umum karena terdapat variasi kepekaan terhadap infeksi oleh virus dan pathogenesis yang berbeda antara manusia yang peka dan yang tidak peka. Hal ini diduga berkaitan dengan faktor genetik manusia tersebut, sehingga kejadian flu burung pada manusia terjadi pada cluster keluarga tertentu. Maka dari itu di dalam penanggulangannya, pendekatan imunisasi pasif sangat menjanjikan karena hingga saat ini penggunaan vaksin flu burung belum mungkin dilakukan. Disamping itu, penggunaan obat-obatan seperti Tamiflu memiliki banyak kelemahan, disamping menimbulkan resistensi, obat ini hanya bekerja pada awal infeksi saja, 48
ISSN : 0853-899
39
Pemanfaatan Telur Ayam Sebagai Pabrik Biologis (Kajian Pustaka)
jam setelah infeksi terjadi. Produksi telur yang mengandung antibodi IgY spesifik terhadap virus AI H5N1 dalam telur telah dapat dilakukan dan daya netralisasi terhadap virus AI H5N1ganas secara in ovo telah pula dipelajari. ������ Kemam� 4 puan netralisasi IgY anti flu burung (titer HI 2 ) mampu menetralisasi virus AI H5N1 (104 EID 50). Pada telur yang diinokulasi virus AI H5N1 menyebabkan kematian seluruh embrio pada telur yang digunakan dalam waktu 24-48 jam setelah inokulasit. Penyuntikan virus AI H5N1 yang sebelumnya dinetralkan dengan IgY anti AI H5N1 tidak menyebabkan kematian embrio, seluruh embrio hidup dan berkembang secara sempurna. Preinkubasi virus AI H5N1 menggunakan IgY spesifik terhadap virus AI H5N1 yang telah dimurnikan mampu menginaktifkan virus AI H5N1 sehingga tidak menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan embrio. Hasil ini memberi indikasi bahwa IgY spesifik anti H5N1 dapat digunakan sebagai imunotera� pi (imunisasi pasif) dalam usaha pencegahan atau mungkin pengobatan flu burung. Hasil berbagai penelitian yang telah dilakukan, khusu� snya yang berkaitan dengan khasiat IgY spesifik terhadap berbagai penyakit memberikan inspirasi kepada dunia industri untuk memanfaatkan hasil penelitian ini untuk tujuan komersial. Penggunaan kuning telur berkhasiat untuk sebagai makanan fungs����������������������������� ional sangat prospektif. Ben� tuk murni preparat IgY, dapat dirancang untuk keperluan pencegahan dan pengobatan penyakit baik pada hewan maupun manusia (Yokohama et al. 1998). Disamping itu, bentuk murni IgY spesifik ini dapat pula digunakan untuk mengaktivasi berbagai bahan proteksi seperti aktivasi filter, musker dan untuk kebutuhan bahan diagnostik (Song et al., 1985; Gassmann et al., 1990). Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa prospek pemanfaatan telur sebagai pabrik biologis sangat baik karena antibodi spesifik terhadap berbagai jenis penyakit dapat diproduksi melalui telur dengan cara yang relatif mudah dan dalam jumlah yang sangat besar. Kuning telur dapat dikemas sebagai bahan aktif di dalam makanan fungsional (nutriceutical food) atau pakan hewan. Imunoglobulin Y spesifik yang ada di dalam telur dapat pula digunakan untuk pencegahan dan pengobatan penyakit sebagai bahan imunoterapi pasif. DAFTAR PUSTAKA Akita, E.M. And �������������������������������������������������� Nakai, S. (1993). Comparison of four purification METHODS for the production of immunoglobulins from eggs laid by hens immunized with An entero toxigenic E. Coli strain. J. Immunol. 160, 207-214. Carlander D. 2002. Avian IgY Antibody. In Vitro and In Vivo. Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations from Faculty of Medicine 119. ACTA Universitatis Uppsala, Center Texas A & M University Kingsville.
40
Finlay, B. 2002 Enteropathogenic E. coli (EPEC) And Enterohemorrhagic E. coli (EHEC, E. coli O157:H7) Dr. Brett Finlay 's Laboratory htpp://www.hhmi.org/grant/lectures/1999/index. htm. [oktober 2002]. Gassmann, M., Weiser, T. P. and Hubscher, T. 1990. Efficient production of chicken egg������������������������������� yolk Antibodies Against A conserved mammalian protein. FASEB Journal 4: 2528-32. Halimah L.S. 2001. Kajian serum kelinci poliklonal spesifik terhadap imunoglobulin ayam untuk pengembangan diagnostika. Thesis Program Pascasarjana -IPB. Bogor. Hamal, K.R., Burgess, S. C. Pevzner, I. Y. and Erf G. F. 2006. Maternal Antibody Transfer from Dams to Their Egg Yolks, Egg Whites, and Chicks in Meat Lines of Chickens. Poult Sci 2006. 85:1364-1372 Hatta, H., Tsuda, K., Akachi, S., Kim, M., and Yamamoto, T.. 1993. Productivity and some properties of egg yolk Antibody (IgY) Against human rotavirus compared with rabbit IgG. Biosci. Biotechnol. Biochem. 57, 450–454 Hatta H, Tsuda, K. Ozeki, M. Kim, M. Yamamoto, T. Otake, S. Hirasawa, M. Katz, J Childers, NK. and Michalek SM. 1997. Passive immunization against dental plaque formation in humans. Caries Research. 31:268-274. Hassl, A. Aspock, H. and Flamm, H.1987. Comparative Studies on the Purity and Specifity of Yolk Immunoglobulin Y Isolated from Eggs Laid by Hens Immunized with Toxoplasmagondii. Zentralbl. Bakteriol. Mikrobiol. Hyg (A) 267:247-253. Kermani-Arab, V. Moll, T. Cho, B.R. Davis, W.C. and Lu, Y.S. 2001. Effects of IgY Antibody on the Development of Marek’s Disease. Avian Dis. 20:32-41. Larsson, A., Balow, R.-M. Lindahl, T.L. and Forsberg, P.-O. 1993. Chicken antibodies: Taking Advantage of evolution A review. Poultry Science 72, 1807-1812. Loesche W.J. 1986. Role of Streptococcus mutans in human dental decay. Microbiol.Rev. 50:353. Makoto, SCF. Robert, N. Shuryo. 1998. Anti-E.coli Immunoglobulin in Y Isolated from Egg Yolk of Immunized Chickens as a Potential Food Ingredient. J. Food. Sci. 53;1361-1365. Patterson R., Youngner J.S., Weigle W.O. & Dixon F.J., 1962. Antibody production and transfer to egg yolk in chickens. J. Immunol., 89, 272-278. Rose M.E. & Orlans E., 1981. Immunoglobulins in the egg, embryo, and young chick. Dev. Comp. Immunol., 5, 15-20. Schade, R., P. Henklein, and Hlinak. A. 1997. Egg yolk Antibody: state of the Art And Advantageous use in the life sciences. In: Animal Alternatives, Welfare And Ethics (Zutphen, L. F. M., And Balls, M., eds) pp. 973–981, Elsevier, Amsterdam Shin, W.R., Choi, I.S. Kim,. J.M. Hur,W. and. Yoo. H.S. 2002. Effective methods for the products of IgY using immunogens of Bordetella bronchoseptica, Pasteurella multocida and Actinobacillus pleuropneumonia. J. Vet. Sci. 3(1):47-57 Smith Daniel J.,William F. King, And Ronald Godiska. 2001. Passive Transfer of Immunoglobulin Y Antibody to Streptococcus mutans Glucan Binding Protein B Can Confer Protection Against Experimental Dental Caries Infec. Immun. 69 (5), 3135-3142.
MAJALAH ILMIAH PETERNAKAN • Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008
I Wayan Teguh Wibawan
Song, C. S., J.H. Yu, D.H. Bai, P.Y. Hester, and H. Kim. 1985. Antibodies to the Alpha subunit of insulin receptor from eggs of immunized hens. J. Immunol. 135, 3354–3359 Suartha, IN., Wibawan, WT., dan Batan IW. 2004. Studi biologis IgY ayam sebagai pabrik bahan biologis. Laporan Hibah Bersaing xii, Ditjen Dikti, Departemen Pendidikan Nasional. Sugita-Konishi, Y., K .Shibata, S.S .Yun, Y. Hara-Kudo, K. Yamaguchi and S. Kumagai. 1996. Immune functions of immunoglobulin Y isolated from egg yolk of hens immunized with various bacteria. Biosci, Biotech, Biochem. 60(5):886-888 Tressler R.L. and Roth T.F., 1987. IgG receptors on the embryonic chick yolk sac. J. Biol. Chem., 262, 15406-15412. van Regenmortel, M.H. V. 1993. Eggs as Protein and Antibody
ISSN : 0853-899
Factory. In Proceedings of The European Symposium on the Quality of Poultry Meat. Pp 257 -263. Tours , France INRA. Warr, G.W., Magor, K.E. D.A. Higgins, 1995. IgY: Clues to the origins of modern Antibodies. Immunology Today 16, 392-398. Woolley J.A. & Landon J., 1995. Comparison of antibody production to human interleukin-6 (IL-6) by sheep and chickens. J. Immunol. Methods, 178, 253-265. Yokohama, H. RC. Peralta, K. Umeda, T. Hashi, FC. Icalto, M. Kuroki. 1998. Prevention of Fatal Salmonellosis in Neonatal Calves, Using Orally Administered Chicken Egg Yolk Salmonella-Spesific Antibodies. Am. J. Vet. Res.59(4)416-420.
41
Panduan Bagi Penulis
PANDUAN BAGI PENULIS Ketentuan Umum
1. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai dengan format yang ditentukan. 2. Penulis mengirim tiga eksemplar naskah dan CD yang berisikan naskah tersebut kepada redaksi, satu eksemplar dilengkapi dengan nama dan alamat, dua lainnya tanpa nama dan alamat yang akan dikirimkan kepada mitra bestari (penelaah). Apabila naskah dikirim melalui e-mail harus dalam bentuk Zip file. 3. Naskah tersebut belum pernah diterbitkan di media lain yang dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh semua penulis bahwa naskah tersebut belum pernah dipublikasikan. Pernyataan tersebut dilampirkan pada naskah 4. Naskah dan CD dikirim kepada: Redaksi Majalah Ilmiah Peternakan d.a. Fakultas Peternakan, Universitas Udayana Jl. P.B. Sudirman. Denpasar, Bali Telp (0361) 222096 e-mail :
[email protected]
Standar Penulisan
1. Naskah diketik menggunakan program Microsoft Word, jarak 2 spasi pada kertas A4 berat 80 gram, dengan huruf Times New Roman berukuran 12 point; margin kiri 4 cm, sedangkan margin atas, kanan dan bawah masingmasing 3 cm. 2. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan. Gambar dan tabel dikelompokkan bersama pada lembar terpisah di bagian akhir naskah. 3. Angka dan huruf pada gambar, tabel, atau histogram menggunakan huruf Times New Roman berukuran 10 point. 4. Naskah ditulis maksimum 15 halaman termasuk gambar dan tabel.
Urutan Penulisan
1. Naskah hasil penelitian terdiri atas Judul, Nama Penulis, Alamat Penulis, Abstrak, Pendahuluan, Materi dan Metode, Hasil, Pembahasan, Ucapan Terima Kasih, dan Daftar Pustaka. 2. Naskah kajian pustaka terdiri atas Judul, Nama Penu lis, Alamat Penulis, Abstrak, Pendahuluan, Masalah dan Pembahasan, Ucapan Terima Kasih, dan Daftar Pustaka. 3. Judul, harus singkat, spesifik dan informatif yang menggambarkan isi naskah, maksimal 15 kata. Judul ditulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Untuk kajian pustaka, di belakang judul agar ditulis : Suatu Kajian Pustaka. Judul ditulis dengan huruf kapital, Times New Roman berukuran 14 point, jarak satu spasi dan terletak di tengah-tengah tanpa titik. 4. Nama Penulis, ditulis nama lengkap tanpa gelar akademis. 5. Nama Lengkap Institusi, disertai alamat lengkap dengan nomor kode pos.
42
6. Alamat penulis untuk korespodensi dilengkapi no. telp., fax., dan e-mail, diketik di bawah nama institusi 7. Abstrak, ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Abstrak seyogianya mengandung uraian secara singkat tentang tujuan, materi dan metode, hasil utama, simpulan. Abstrak ditulis dalam satu paragraf tidak lebih dari 200 kata, diketik satu spasi. 8. Kata Kunci (Key words), diketik miring, berukuran 12 point, maksimal 5 (lima) kata, dua spasi setelah abstrak. 9. Pendahuluan, berisi latar belakang, tujuan, dan pustaka yang mendukung. Dalam mengutip pendapat orang lain dipakai sistem nama penulis dan tahun. Contoh: Miswar (2006); Quan et al. (2002) 10. Materi dan Metode, ditulis lengkap terutama desain penelitian. 11. Hasil, menyajikan uraian hasil penelitian sendiri. Deskripsi hasil penelitian disajikan secara jelas. 12. Pembahasan, memuat utamanya diskusi tentang hasil penelitian sendiri serta dikaitkan dengan tujuan penelitian (pengujian hipotesis). Diskusi diakhiri dengan simpulan dan pemberian saran jika dipandang perlu. 13. Pembahasan (review/kajian pustaka), memuat bahasan ringkas mencakup masalah yang dikaji. 14. Ucapan Terima Kasih, disampaikan kepada berbagai pihak yang benar-benar membantu sehingga penelitian dapat dilangsungkan; misalnya pemberi gagasan, penyandang dana. 15. Ilustrasi : a. Judul tabel, grafik, histogram, sketsa, dan gambar (foto) diberi nomor urut, judul singkat tetapi jelas beserta satuan-satuan yang dipakai. Judul ilustrasi ditulis dengan menggunakan huruf Times New Roman berukuran 10 point, masuk satu tab (5 ketukan) dari pinggir kiri, awal kata menggunakan huruf kapital, dengan jarak 1 spasi b. Keterangan tabel ditulis di sebelah kiri bawah menggunakan huruf Times New Roman berukuran 10 point jarak satu spasi c. Penulisan tanda atau notasi untuk analisis statistik data menggunakan superskrip berbeda pada baris/ kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) atau sangat nyata (P<0,01). d. Penulisan angka desimal dalam tabel untuk bahasa Indonesia dipisahkan dengan koma ( , ), untuk bahasa Inggris digunakan titik ( . ). e. Gambar, Grafik dan Foto 1. Grafik dibuat dalam program Excel 2. Foto berukuran 4 R berwarna atau hitam putih dan harus tajam f. Nama Latin, Yunani atau Daerah dicetak miring. Istilah asing diberi tanda petik. g. Satuan pengukuran menggunakan Sistem Internasional (SI) 16. Daftar Pustaka a. Hanya memuat referensi yang diacu dalam naskah dan ditulis secara alfabetik berdasarkan huruf awal dari nama penulis pertama. Jika dalam bentuk buku, dicantumkan nama semua penulis, tahun, judul buku,
MAJALAH ILMIAH PETERNAKAN • Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008
Pedoman Bagi Penulis
penerbit dan tempat, edisi dan bab ke berapa. Jika dalam bentuk jurnal, dicantumkan nama penulis, tahun, judul tulisan, nama jurnal, volume, nomor publikasi, dan halaman. Jika mengambil artikel dalam buku, cantumkan nama penulis, tahun, judul tulisan, editor, judul buku, penerbit, dan tempat. b. Diharapkan dirujuk referensi 10 tahun terakhir dengan proporsi pustaka primer (jurnal) minimal 80%. c. Hendaknya diacu cara penulisan kepustakaan seperti yang dipakai pada Majalah Ilmiah Peternakan seperti berikut ini: Jurnal Yang, C. J., Lee, D. W., Chung, I. B., Cho, Y. M., Shin, I. S., Chae B. J., Kim, J. H., and Han, I. K. 1997. Developing model equation to subdivide lysine requirements for growth and maintenance in pigs. J.Anim.Sci. 10:54-63 Buku Suprijatna, E., Atmomarsono, U., dan Kartasudjana, R. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penerbit Pene bar Swadaya, Bogor. Prosiding Pujaningsih, R.I., Sutrisno, C.L., dan Sumarsih, S. 2006. Kajian kualitas pod kakao yang diamoniasi dengan aras urea yang berbeda. Di dalam: Pengembangan Teknologi Inovatif untuk Mendukung Pembangunan Peternakan Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional dalam Rangka HUT ke-40 (Lustrum VIII) Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedir man; Purwokerto, 11 Pebruari 2006. Fakutas Peternakan UNSOED, Purwokerto. Halaman 5460. Artikel dalam Buku Leitzmann, C., Ploeger, A.M. and Huth, K. 1979. The influence of lignin on lipid metabolism of the rat. In: G.E. Inglett & S.I.Falkehag. Eds. Dietary Fibers Chemistry and Nutrition. Academic Press. INC., New York. Skripsi/Tesis/Disertasi Seputra, I.M.A, 2004. Penampilan dan Kualitas Karkas Babi Landrace yang Diberi Ransum Mengandung Limbah Tempe. Tesis. Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar. Internet Hargreaves, J., 2005. Manure Gases Can Be Dangerous. Department of Primary Industries and Fisheries, Queensland Govermment. http://www.dpi. gld.gov.au/pigs/9760.html. Diakses 15 September 2005 Dokumen [BPS] Biro Pusat Statistik. 2006. Populasi Ternak Sapi di Provinsi Bali tahun 2005.
Penerbitan
• Hak cipta naskah yang dimuat sepenuhnya ada pada Majalah Ilmiah Peternakan. • Penulis akan menerima lima eksemplar cetak lepas setelah terbit. • Jadwal penerbitan adalah bulan Februari, Juni, dan Oktober setiap tahun • Penulis yang naskahnya dimuat dikenai biaya cetak sebesar
ISSN : 0853-899
Rp. 250.000,- per artikel • Harga langganan selama setahun (3 kali penerbitan) Rp. 150.000,- sudah termasuk ongkos kirim.
Mekanisme Seleksi Naskah
1. Naskah harus mengikuti format/gaya penulisan yang telah ditetapkan 2. Naskah yang tidak sesuai dengan format akan dikembalikan ke penulis untuk diperbaiki. 3. Naskah yang sesuai dengan format diteruskan ke Dewan Redaksi untuk ditelaah diterima atau ditolak. 4. Naskah yang diterima atau naskah yang formatnya sudah diperbaiki selanjutnya dicarikan penelaah (Mitra Bestari) tentang kelayakan terbit. 5. Naskah yang sudah diperiksa (ditelaah oleh Mitra Bestari) dikembalikan ke Dewan Redaksi dengan tiga kemungkinan (ditolak, diterima dengan perbaikan, dan diterima tanpa perbaikan). 6. Dewan Redaksi memutuskan naskah diterima atau ditolak, seandainya terjadi ketidaksesuaian di antara Mitra Bestari. 7. Keputusan penolakan Dewan Redaksi dikirimkan kepada penulis. 8. Naskah yang mengalami perbaikan dikirim kembali ke penulis untuk perbaikan. 9. Naskah yang sudah diperbaiki oleh penulis diserahkan oleh Dewan Redaksi ke penyunting pelaksana. 10. Contoh cetak naskah sebelum terbit dikirimkan ke penulis untuk mendapatkan persetujuan 11. Naskah siap dicetak dan cetak lepas dikirimkan ke penulis Bagan Alir Pemrosesan Naskah Naskah diterima
Sekretariat
Ketua
Penyunting Pelaksana
Dewan Redaksi
Contoh cetak
Percetakan
Mitra Bestari
Penulis
Terbit
Cetak lepas
43