VOLUME 1 NOMOR 1 TAHUN 2009
Bosman Batubara Paring Waluyo Utomo
Erwin Endaryanta
Perdebatan tentang Penyebab Lumpur Sidoarjo Menggapai Mimpi yang Terus Tertunda: Menelusuri Proses “Ganti Rugi” terhadap Korban Lumpur Lapindo Resiko Bencana Industrial dalam Privatisasi Sumber Air Si-Gedhang—Klaten
INDUSTRI DAN BENCANA
Disastrum Journal (DJ) adalah jurnal yang diterbitkan oleh Lafadl Initiatives dua kali dalam setahun. DJ dipublikasikan secara on-line dan dapat diunduh tanpa membayar. Penerbitan DJ dilatarbelakangi oleh kondisi sosial politik di Indonesia pasca Orde Baru. Pasca Orde Baru, negara yang tadinya kuat dan represif menjadi lemah. Secara teoritis kalau negara melemah maka masyarakat sipil akan menguat. Yang terjadi di Indonesia, masyarakat sipil memang menguat, tetapi pasar juga menguat. Selama ini, pasar dalam perbincangan ideologi lebih banyak dimaknai sebagai konsep yang abstrak meskipun ia sebenarnya hadir dalam bentuk korporasi. Pada banyak kasus yang terjadi, masyarakat terkondisikan untuk berhadapan vis á vis korporasi. Relasi ini menghasilkan banyak masalah, baik di dunia secara keseluruhan maupun di Indonesia. Ada yang sampai ke dalam bentuk bencana industri (industrial disaster/ID) dan ada juga yang memicu perdebatan sengit di pelbagai kalangan. Apabila ditinjau lebih dalam, ternyata bencana ternyata memiliki aspek-aspek di luar bencana itu sendiri. Bencana tidak berdiri sendiri tanpa bersangkut-paut dengan persoalan ekonomi-politik. Aspek-aspek ekonomi politik ini juga turut mengubah cara hidup orang-orang yang terkena dampak bencana. Sayang, beluma ada kajian yang ekstensif mengenai hal ini. Kalaupun ada masih terfragmentasi dan menumpang pada kajian-kajian yang lain. Jurnal ini hadir untuk mengisi kekosongan itu.
Perijinan
Karena pertimbangan ekologis, DJ hanya dipublikasikan secara on-line. Untuk informasi tentang reproduksi artikel atau informasi dalam jurnal ini, silakan kunjungi: www.lafadl.org/disastrum
Pertanggungjawaban
Data, fakta dan opini yang ada dalam jurnal ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab personal penulis.
Iklan
Untuk edisi berikutnya, DJ menerima pemasangan iklan, informasi lebih jauh dapat ditanyakan pada:
[email protected] © Lafadl Pustaka 2009
DAFTAR ISI VOLUME 1 NOMOR 1 TAHUN 2009
Bosman Batubara
5
Bosman Batubara
13
Perdebatan tentang Penyebab Lumpur Sidoarjo
Paring Waluyo Utomo
27
Menggapai Mimpi yang Terus Tertunda: Menelusuri Proses “Ganti Rugi” terhadap Korban Lumpur Lapindo
Erwin Endaryanta
47
Resiko Bencana Industrial dalam Privatisasi Sumber Air Si-Gedhang—Klaten
Penanggung Jawab Editor Pelaksana Editor Anggota
Administrasi Desain
Catatan Editorial Jawaban bagi Tantangan
Heru Prasetia Bosman Batubara (Environment and Global Earth Change Studies) Achmad Uzair Fauzan (Poverty and Policy Studies), M. Nurkhoiron (Cultural Studies), Ari Ujianto (NGOs and Urban Poverty Studies), Nunung Qomariyah (Gender Studies), Luthfi Makhasin (Globalization Studies), Hasan Bachtiar (Disaster Management and Response Studies) Yoseph Christophorus Kelik Prirahayanto Dimas Aryo Wijanarko
Penerbit
Lafadl Pustaka
Alamat
Jl. Dayu Baru no 1-A, Sinduharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta 55581, Indonesia. +62 (0) 274 888 726
[email protected] www.lafadl.org/disastrum
Telp. E-mail Website
FOTO COVER: YC. KELIK P.
CATATAN EDITORIAL
Jawaban bagi Tantangan Bosman Batubara
Pasca Orde Baru negara yang tadinya kuat dan represif menjadi lemah. Secara teoritis kalau negara melemah maka masyarakat sipil akan menguat. Yang terjadi di Indonesia, masyarakat sipil memang menguat, tetapi pasar juga menguat. Selama ini, pasar dalam perbincangan ideologi lebih banyak dimaknai sebagai konsep yang abstrak meskipun ia sebenarnya hadir dalam bentuk korporasi. Pada banyak kasus yang terjadi masyarakat terkondisikan untuk berhadapan vis á vis korporasi. Relasi ini menghasilkan banyak masalah, baik di dunia secara keseluruhan maupun di Indonesia. Ada yang sampai ke dalam bentuk bencana industri (industrial disaster/ID) dan ada juga yang memicu perdebatan sengit di pelbagai kalangan. Di tingkat dunia aktivitas industri yang mengundang masalah misalnya dapat kita lihat pada kasus besar Minamata dan Bhopal. Berkaca dari kedua kasus itu maka kita bisa juga mendekati kasus pencemaran Teluk Buyat dengan sudut pandang yang sama. Atau juga meraba arah perdebatan sengit dan konflik kepentingan di kalangan ilmuwan tentang pemicu bencana Lumpur Lapindo1, dan keresahan di kalangan masyarakat yang terjadi dalam kasus Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Jepara dan pendirian pabrik Semen Gresik di Sukolilo, Kabupaten Pati, dimana pada hampir semua kasus itu kepentingan masyarakat selalu tidak terakomodasi semestinya.2 Melalui proyeksi masa depan orang percaya bahwa peradaban kita yang rentan akan berhadapan dengan tiga katastrofi utama, yaitu bencana alam (natural disaster), bencana industri (industrial disaster) dan bencana teroris (terrorist disaster). Keberadaan ID sebagai salah satu ancaman utama bagi peradaban manusia diperparah oleh karakter buruk kapitalisme yang melingkupi korporasi. Secara logis sebuah korporasi enggan membagi informasi yang berhubungan dengan ID yang dia sebabkan karena itu jelas akan menurunkan kredibilitas dan tingkat DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009, CATATAN EDITORIAL P. 5-11
5
kompetitif korporasi yang bersangkutan. Informasi yang asimetris antara industri dan publik membuat pemerintah kesusahan untuk merancang sebuah kebijakan publik yang efektif.3 Sementara itu, bencana itu sendiri selama ini lebih sering dimaknai sebagai entitas yang terberi. Ketika orang berbicara masalah bencana, maka yang sering mengemuka adalah bencana alam seperti gunungapi meletus, gempabumi dan tsunami. Respon biasanya hanya berkisar permasalahan sistem peringatan dini (early warning system), managemen dan tanggap darurat. Akan tetapi, kasus tsunami besar yang menimpa kawasan barat laut Pulau Sumatera dan beberapa negara lain di kawasan Laut Andaman pada penghujung tahun 2004 yang lalu, telah menyentakkan kajian ekonomi politik melalui kehadiran sebuah buku yang sangat deterministik pada tahun 2007 dalam bidang kajian kapitalisme dan globalisasi. The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism, demikian judul buku yang ditulis oleh Naomi Klein tersebut.4 Bencana dan industri—dalam pengertian yang lebih luas, kapitalisme—ternyata memiliki hubungan yang sangat kuat dalam bentuk reaksi bolak-balik yang tak pernah putus. Aktivitas industri yang menyebabkan bencana seperti kasus-kasus di atas adalah satu sisi. Di sisi yang satunya, Naomi menyajikan kepada kita bagaimana bencana juga menjadi peluang yang sangat bagus bagi ekspansi kapitalisme. Peluang bagi kapitalisme ini berpijak di kenyataan bahwa penduduk yang terkena bencana tak ubahnya sebagai perahu yang terombang-ambing di samudera luas karena jangkarnya telah putus. Labil. Dan kapitalisme mengambil keuntungan. Bahkan lebih ekstrim, kasus Perang Irak memberitahu kita bahwa kalau perlu kapitalisme menciptakan bencana untuk kepentingan ekspansinya. Di Irak mesin kapitalisme bekerja dalam proyek-proyek mega rekonstruksi pasca perang di tahun 2000-an. Demikian juga di Kepulauan Maladewa pasca tsunami tahun 2004. Penduduk Kepulauan Maladewa rata-rata adalah nelayan miskin yang tinggal pada sepanjang pantai. Tsunami pada penghujung tahun 2004 telah menimbulkan kerusakan yang sangat parah bagi kehidupan mereka. Sebenarnya jauh sebelum tsunami, pemerintah Kepulauan Maladewa sudah mencari-cari lahan untuk memenuhi permintaan pasar akan tempat plesir mewah di negara kepulauan tersebut. Pemerintah mencoba mendekati penduduk secara persuasif untuk pindah ke daerah yang tidak diminati oleh turis. Tentu saja bukan pekerjaan yang mudah, bahkan bagi sebuah rezim yang sangat represif sekalipun, untuk memindahkan ribuan penduduk dari tanah kelahiran mereka. Segera setelah bencana, maka pemerintah Kepulauan Maladewa mengumumkan bahwa lokasi pantai sudah tidak aman untuk ditinggali. Penduduk, tanpa kecuali, harus pindah ke lokasi yang lebih aman. Ternyata di balik argumen keamanan 6
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
tersebut menggelayut maksud tersembunyi. Satu tahun setelah tsunami, pemerintah menyewakan sebanyak 35 pulau yang sebelumnya dinyatakan tidak aman untuk didiami penduduk kepada para pengembang di bidang bisnis pariwisata. Sementara itu di tempat perpindahan yang baru, di daerah yang dikatakan lebih aman oleh pemerintah, angka pengangguran meningkat dengan sangat pesat dan diiringi pula pelbagai konflik kekerasan antara pendatang baru dengan penduduk setempat yang sudah lebih dahulu bermukim di sana. Apabila kita mencermati reaksi bolak-balik tersebut dengan tujuan mencari mana yang lebih dulu, sebaiknya pekerjaan itu cepat-cepat saja ditinggalkan. Karena niscaya itu hanyalah sebuah kesia-siaan belaka yang memicu frustrasi. Karena jawabannya hanya akan berputar-putar di situ-situ saja, persis seperti usaha yang mengalami kegagalan ketika orang mencoba mencari tahu mana yang lebih dahulu ada antara ayam dan telur. Kenyataan-kenyataan di atas membuat kami, Lafadl Initiatives, tidak bisa mengelak dari keterdesakan untuk menerbitkan jurnal kajian ini yang kami publikasikan secara on-line dan bebas bea serta kami beri nama “Disastrum Journal: Political and Economic Studies of Disaster”. Pada edisi perdana ini kami memutuskan untuk mengangkat tema Industri dan Bencana. Karena, seolah mengabaikan jelas dan signifikannya dampak negatif yang ditimbulkan oleh bencana yang berhubungan dengan aktivitas industri, kajian mengenainya masihlah sangat terbatas. Kalaupun ada, masih tercecer dan menumpang pada pelbagai kajian lain seperti lingkungan, pertanggung jawaban sosial korporasi (corporate social responsibility), dan manajemen bencana (disaster management) secara umum yang masih menyampur-baurkan antara bencana alam dan bencana akibat tindakan manusia (natural dan man-made). Salah satu pertanyaan besar dalam kajian ID adalah masalah pembatasan. Apakah sebuah bencana dapat disebut sebagai ID apabila sudah mewujud dalam bentuk yang riil seperti kasus Chernobyl, Minamata, Bhopal, atau Teluk Buyat misalnya, atau apabila sudah menimbulkan keresahan dalam masyarakat seperti kasus PLTN Jepara dan Semen Pati, ataukah apabila sudah dapat dideteksi adanya potensi bencana melalui kajian resiko seperti yang dicoba diungkap oleh Erwin Endaryanta dalam tulisannya mengenai privatisasi air di Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.5 Secara umum bencana dapat diartikan sebagai even yang cenderung tiba-tiba dan menghasilkan kerusakan yang luas bagi kehidupan dan properti. Kerusakan yang dihasilkan bencana termasuk yang susah dihitung, bervariasi tergantung pada tipe lokalitas masing-masing seperti lokasi geografis, iklim dan kondisi permukaan bumi setempat. Dampak bencana menyakup kondisi mental, sosial-ekonomi dan CATATAN EDITORIAL: JAWABAN BAGI TANTANGAN
7
budaya daerah yang terkena bencana. Sehabis perdebatan filosofis, seperti biasanya tahapan yang lebih teknis berupa klasifikasi telah menunggu di depan mata. Secara genealogi terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara natural dan man-made disaster. Karenanya keliru apabila kajian dan mitigasinya tidak dibedakan. Natural disaster seperti gempabumi, gunungapi dan tsunami, memiliki variabel ketidakpastian dan ketergantungan pada kondisi geodinamika dan seismisitas yang sangat susah diprediksi. Industrial disaster—dalam lanskap yang lebih luas man-made disaster—dipicu oleh aktivitas industri dan manusia. Artinya, penyebab ID sebenarnya bisa diintervensi untuk melokalisir dan meminimalisir potensinya. United Nation Development Programme (UNDP) melalui salah satu publikasinya yang bertajuk Block Disaster Management Training Manual, Series: C.1, membagi disaster ke dalam dua kelompok besar, yaitu natural dan man-made disaster. Man-made disaster kemudian dibagi lagi ke dalam dua kelompok besar: major dan minor. ID/crisis hanyalah satu sub-bagian dari minor man-made disaster. 6 Faktual, meskipun hanyalah satu bagian kecil dalam pengelompokan bencana secara umum, akan tetapi dampak yang dihasilkan oleh ID sangatlah besar. Diperkirakan ke depan dampak ini akan semakin meluas karena posisi industri yang dilematis. Di satu sisi jelas, industri memicu dan—pada kasus Perang Irak— menyiptakan bencana, tetapi di sisi yang lain tak kalah jelas bahwa industri juga harus memenuhi kebutuhan peradaban ini yang sudah terlanjur menyatakan angka pertumbuhan dan pembangunan atas asumsi kemampuan seseorang mengonsumsi barang produksi. Indikator yang begini ini, sampai kelak ditemukan penggantinya, akan terus menggeber aktivitas industri untuk menghasilkan barang produksi sebanyak mungkin. Karena asumsinya, semakin banyak seseorang atau warga sebuah negara mengonsumsi, maka semakin sejahteralah, semakin cepat pertumbuhannya (growth) dan semakin maju (developed) pula ia. Demikian, kenyataan tentang besar dan susah dihitungnya dampak negatif industri ini memaksa kita untuk menjawab satu lagi tantangan yang sama sekali tak mudah: memutus hubungan “consumption” dengan “growth” dan hubungan “growth” dengan “development”.7 Seberapa dalam dan luas sebenarnya dampak bencana industri? Melalui publikasinya yang berjudul Pengantar Bahaya, Edisi ke-3 yang merekam total korban bencana industri dan kimia yang besar di beberapa negara yang tersebar di seluruh dunia dalam rentang waktu tahun 1984 — 1995, UNDP mencoba menjawabnya. Total telah jatuh korban 36.565 orang meninggal dunia, 128.127 luka-luka, dan hampir satu 1 juta orang harus dievakuasi. Sektor industri pemicu 8
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
bencana sangat beragam, seperti pabrik kimia, ledakan tangki minyak, ledakan reaktor, ledakan pabrik petasan, dan tabrakan tangki minyak.8 Catatan ini tidak termasuk kerugian akibat degradasi lingkungan yang terjadi. Bencana Industri biasanya dapat berkembang menjadi sebuah permasalahan yang sangat kompleks karena ia mengidap pelbagai kepentingan—baik yang terkatakan maupun yang terselubung—seperti ekonomi, politik dan lingkungan yang saling tumpang tindih. Bencana Lumpur Lapindo (Lula) dapat kita jadikan sebagai contoh. Lula adalah sebuah kasus yang sangat kompleks, karena mulai dari permasalahan mekanisme pemicunya telah terjadi perdebatan yang sangat sengit, apakah dia dipicu oleh aktivitas pemboran pada sumur eksplorasi gas Banjar Panji-1, ataukah dia dipicu oleh gempabumi Yogyakarta 2 hari sebelumnya.9 Pada level berikutnya Lula bukan lagi permasalahan teknis belaka, ia telah berkembang menjadi semakin kompleks karena hubungannya dengan perihal ekonomi dan politik itulah. Lapindo Brantas Inc. yang bertindak sebagai operator eksplorasi gas pada Blok Brantas adalah perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Bakrie Brothers. Aburizal Bakrie yang duduk sebagai Menko Kesra pada Kabinet Indonesia Bersatu di bawah kepemimpinan SBY, adalah figur sentral di Bakrie Brothers. Keberadaan Ical dalam kabinet membuat pemerintah berada dalam posisi yang sulit. Di satu sisi terlihat ingin menolong para korban Lula, tetapi di sisi lain terlihat tidak ingin merugikan Lapindo Brantas Inc.10 Sementara itu, ketika perdebatan masalah pemicu—konon lagi dampak dan pihak yang harus bertanggungjawab—belum juga konklusif, di tingkatan akar rumput telah berjatuhan korban. Lula telah menghancurkan 10,426 rumah warga, 33 sekolah, 4 kantor, 31 fabrik, 65 mesjid, 2 sekolah keagamaan, 1 panti asuhan, dan 28 bangunan lainnya. Sebanyak 14 orang meninggal, sekira 10.000 orang harus dievakuasi, dan 2.441 orang kehilangan pekerjaan mereka karena kehancuran fabrik-fabrik. Selain itu, 5.397 pelajar, 405 guru, dan 46 staf dari sekolah-sekolah yang hancur, juga kena dampaknya.11 Korban akan menanjak menuju tak terhingga manakala aspek degradasi lingkungan dan kondisi mental survivors menjadi salah dua variabel yang dihitung. Terlepas dari semua itu, beruntunglah kita adalah orang Indonesia yang selalu saja merasa beruntung dengan mengatakan “untungnya”dalam setiap situasi. Untungnya, kami merasa untuk itulah kata optimis ditemukan. Sekecil apapun sumbangsih, bahkan jikalau hanya memetakan masalah saja, itu tetaplah sumbangsih. Karena pada dasarnya pemetaan masalah yang benar adalah langkah awal untuk menjawab tantangan-tantangan yang sudah di depan mata. Dan, salah satunya, jurnal ini hadir untuk itu. Selamat membaca.
CATATAN EDITORIAL: JAWABAN BAGI TANTANGAN
9
CATATAN AKHIR
10
1.
Tentang perdebatan yang sangat sengit masalah pemicu Lumpur Sidoarjo/ Lapindo dapat dibaca di: Batubara, B., 2009. Perdebatan tentang Penyebab Lumpur Sidoarjo. Disastrum Journal (Edisi ini).
2.
Tentang berlarut-larutnya pemenuhan hak masyarakat dapat dibaca pada tulisan Utomo, P.W., 2009. Menggapai Mimpi yang Terus Tertunda: Menelusuri Proses “Ganti Rugi” Terhadap Korban Lumpur Lapindo. Disatrum Journal (Edisi ini).
3.
Thomas, P.G., 2007. The Next Catastrophe: Reducing Our Vulnerabilities to Natural, Industrial and Terrorist Disasters. Disaster, v. 51, hlm. 371— 374.
4.
Klein, N., 2008. The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism. Penguin Group (Australia).
5.
Endaryanta, E., 2009. Resiko Bencana Industrial dalam Privatisasi Sumber Air Si-Gedhang—Klaten. Disastrum Journal (Edisi ini).
6.
—, —. Block Disaster Management Training Manual, Series: C.1. UNDP.
7.
Najam, A., Runnals, D., and Halle M,. 2007. Environment and Globalization: Five Propositions. IISD, Manitoba, Canada.
8.
Sumber utama kutipan ini adalah: Reed, S.B., 1995. Pengantar Tentang Bahaya. Edisi ke-3, UNDP; dan dua artikel lainnya; 1)Arata, C.M., Picou, J.S., Johnson, G.D., and McNally, T.S., 2000. Coping with Technological Disaster: An Application of the Conservation of Resources Model to the Exxon Valdez Oil Spill. Journal of Traumatic Stress, V. 13, hlm. 23—39; dan 2) Coleman, L., 2006. Frequency of Man-Made Disasters in the 20th Century. Journal of Contingencies and Crisis Management, v. 14, hlm. 3— 11.
9.
Batubara, B., 2009. Ibid. Perdebatan tentang Penyebab Lumpur Sidoarjo. Disastrum Journal (Edisi ini).
10.
Tentang kompleksitas bencana Lumpur Lapindo/Sidoarjo ini dapat dibaca dalam artikel-artikel berikut: 1)Schiller, J., Luckas, A., and Sulistiyanto, P., 2008. Learning form the East Java mudflow: disaster politics in Indonesia. INDONESIA, v. 85, p. 51—77; 2)Muhtada, D., 2008. Ethics, Economics and Environmental Complexity: The Mud Flow Disaster in East Java. System Research and Behavioral Science, v. 25, hlm. 181—191. DOI: 10.1002/sres.879; dan 3)McMichael, H., 2009. The Lapindo mudflow disaster: environmental, infrastructure and economic impact. Bulletin of Indonesian Economic Studies, v. 45, hlm. 73—83. DOI: 10.1080/ 00074910902836189.
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
11.
Abidin, H.Z., Kusuma, M.A., Andreas, H., Davies R.J., and Deguchi, T., 2008. Subsidence and uplift of Sidoarjo (East Java) due to the eruption of the Lusi mud volcano (2006-present). Environmental Geology, v. 57, hlm. 833—844. DOI: 10.1007/s00254-008-1363-4.
CATATAN EDITORIAL: JAWABAN BAGI TANTANGAN
11
Perdebatan tentang Penyebab Lumpur Sidoarjo Bosman Batubara
Bencana Lumpur Sidoarjo adalah sebuah kontroversi, mulai dari penyebutannya hingga mekanisme pemicunya. Dalam penyebutan, kalangan Lembaga Swadaya Masyrakat (LSM) dan media massa lebih sering menyebutnya dengan Lumpur Lapindo (Lula), sementara kalangan ilmu kebumian lebih sering menyebutnya dengan gununglumpur Lusi (Lumpur Sidoarjo). Perdebatan tentang mekanisme pemicu yang tidak konklusif di tingkatan ahli kebumian menjadi sebuah hal yang sangat krusial karena menjadi alasan bagi kejaksaan untuk tidak menerima kasus ini dari polisi.1 Tulisan ini akan memetakan pendapat para ahli tentang pemicu terjadinya gununglumpur Lusi. Pada konferensi American Association of Petroleum Geologist (AAPG) di Cape Town, Afrika Selatan, pada tanggal 26-29 Oktober 2008 telah dilakukan sebuah pemungutan suara untuk menguji pendapat mana yang paling masuk akal. Begitu krusialnya masalah ini rupanya sehingga dalam sebuah forum keilmuan diadakan pemungutan suara untuk menentukan pendapat (yang dianggap) benar. Ini adalah hal langka dan barangkali baru pertama kali dilakukan. Dalam pemungutan suara itu, sebanyak 42 orang peserta setuju bahwa gununglumpur Lusi dipicu oleh aktivitas pemboran pada sumur eksplorasi gas Lapindo Brantas Inc., Banjar Panji-1 (BPJ-1) yang terletak sekira 200 m di arah timur laut pusat semburan, 3 orang setuju gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006 sebagai pemicunya, dan terakhir, sebanyak 16 orang menyatakan bahwa diskusi belum tuntas.2 Pasca konferensi Cape Town, di Indonesia sendiri muncul faksi di kalangan pakar kebumian yang menyayangkan cara pengambilan keputusan tersebut. Cara itu dianggap tidak lazim dilakukan dalam dunia ilmu pengetahuan. Biasanya
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009 , PP. 13-25
13
kesepakatan dalam ilmu pengetahuan diserahkan kepada masing-masing pihak yang memiliki ketertarikan, tidak pernah ada kesepakatan melalui voting. Sebuah teori biasanya teruji seiring dengan berlarinya sang waktu. Akan tetapi dalam kasus Lusi, voting dilakukan.3 Kesepakatan di tingkatan pakar menjadi sangat penting karena akan berpengaruh secara ekonomi. Apabila para ahli memutuskan bahwa letusan gununglumpur Lusi dipicu oleh peristiwa gempabumi Yogyakarta dua hari sebelum letusan terjadi, selanjutnya kelompok ini kita sebut “kubu gempa”, maka perdebatan akan bergerak ke arah “Lapindo Brantas Inc. tidak bertanggung jawab terhadap ganti rugi”. Sebaliknya, apabila para ahli sepakat bahwa gununglumpur Lusi dipicu oleh aktivitas pemboran di sumur eksplorasi BJP-1, selanjutnya kelompok ini kita sebut “kubu BJP-1”, maka perdebatan akan bergerak ke arah “Lapindo Brantas Inc. bertanggungjawab terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh peristiwa ini,” begitu kira-kira jalan pikirannya secara kasar. Perdebatan teoritis tentang mekanisme pemicu gununglumpur Lusi diawali oleh kubu BJP-1 melalui makalah berjudul Birth of a mud volcano: East Java, 29 May 2006 (Davies dkk., 2007). Sejak saat itu beberapa makalah lain bermunculan, dimana yang terbaru merespon yang sebelum-sebelumnya.4 Davies dkk., (2007) beranggapan bahwa gununglumpur Lusi dipicu oleh aktivitas pemboran pada sumur eksplorasi gas BJP-1. Dari model yang terdapat pada makalah ini, terlihat bahwa sumur eksplorasi BJP-1 sedalam 2834 m sudah menembus beberapa formasi batuan (dari atas ke bawah); Formasi Pucangan dan Kabuh, bagian atas Formasi Kalibeng Atas yang merupakan formasi mud bertekanan besar (overpressured mud) setebal kira-kira 1000 m dengan beberapa sisipan pasir. Selubung (casing) dengan diameter 33.97 cm berujung pada kedalaman 1091 m (hanya menutupi tidak sampai setengah overpressured mud dari Formasi Kalibeng Atas). Berikutnya adalah perselingan pasir dan muds setebal kurang lebih 1300 m yang masih merupakan anggota Formasi Kalibeng Atas, dan murni tanpa casing (open hole). Dari model terlihat bahwa mata bor sudah mencapai Formasi Kujung yang tersusun oleh (juga) overpressured batugamping. Berdasarkan temperatur material campuran air-mud yang sampai di permukaan sebesar 700-1000 C, dan dengan asumsi gradient geothermal sebesar 250 C/km dan temperatur permukaan sebesar 280 C, Davies dkk., (2007) menampilkan kalkulasi bahwa fluida kemungkinan berasal dari Formasi Kujung. Akibat adanya perbedaan tekanan, fluida terus naik melalui lubang bor hingga sampai di overpressured mud pada Formasi Kalibeng Atas. Sepanjang perjalanannya fluida juga mengerosi batuan dinding pada lubang bor hingga menghasilkan campuran material air-mud. Selain itu, tingginya tekanan pori juga menyebabkan terbentuknya rekahan hidrolik 14
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
pada formasi-formasi tanpa casing yang dilalui oleh fluida sepanjang lubang bor. Diperkirakan rekahan pangkal erupsi kemungkinan terjadi pada Formasi Kalibeng Atas dan mengalami propagasi dari kedalaman 1—2 km hingga ke permukaan. Akibatnya material campuran air-mud dari rekahan keluar bukan melalui lubang bor. Hipotesis bahwa fluida dan lumpur berasal dari strata yang berbeda, alih-alih berkoeksistensi pada strata yang sama, diperkuat oleh kenyataan bahwa tidak mungkin porositas overpressured mud pada Formasi Kalibeng Atas menghasilkan air seperti komposisi material campuran yang sampai di permukaan. Davies dkk., (2007) menyatakan beberapa alasan bahwa tidak mungkin gununglumpur Lusi dipicu oleh gempabumi Yogyakarta dua hari sebelumnya, yaitu; 1) pada saat yang bersamaan tidak tercatat adanya erupsi mud volcano lain di Jawa, 2) gempabumi mendahului erupsi mud volcano selama dua hari, likuifaksi akibat akitivitas seismik biasanya terjadi selama gempabumi yang memicunya, 3) tidak ada laporan kick out selama dan segera sesudah gempabumi, dan 4) andai benar bahwa mud volcano ini dipicu oleh gempabumi, maka seharusnya sand (lapisan di bawah overpressured mud) lebih kondusif untuk mengalami likuifaksi, terutama karena sifatnya yang tak kohesif. Lebih jauh Davies dkk., (2007) meyajikan beberapa alasan pendukung bahwa erupsi Lusi mud volcano dipicu oleh aktivitas pemboran pada sumur eksplorasi BJP-1; 1) pemboran menembus overpressured mud yang mudah tererosi, dan diikuti oleh tertembusnya, 2) aquifer yang melepaskan air pori dalam volume besar, dan 3) lobang bor tanpa casing sedalam 1,7 km telah menjadi penghubung tekanan antara Formasi Kujung dengan Formasi-Formasi di atasnya. Pada bagian akhir makalah ini memperkirakan akan terjadi penurunan permukaan tanah (subsidence) di sekitar gununglumpur Lusi. Sebagai sanggahan terhadap makalah di atas, maka terbitlah makalah yang berjudul Triggering and dynamic evolution of the LUSI mud volcano, Indonesia, (Mazzini dkk, 2007).5 Mazzini dkk. (2007) membuka paparan dengan preposisi yang sangat teoritis berupa pemaparan posisi gununglumpur Lusi pada cekungan-sedimenter belakang busur (back-arc sedimentary basin) yang berdekatan dengan kompleks magmatik aktif di sebelah selatannya. Meski tidak menemukan bukti yang mengindikasikan hubungan langsung antara sistem gununglumpur Lusi dengan gugusan gunungapi di sebelah selatannya, tetapi makalah ini, terutama berdasarkan aktivitas gununglumpur Lusi yang reguler dan temperatur material semburan yang tinggi, menyebutkan bahwa gununglumpur Lusi merefleksikan kenampakan sistem letusan quasi-hydrothermal. Ketika mulai membahas stratigrafi dan batuan yang telah tertembus mata PERDEBATAN TENTANG PENYEBAB LUMPUR SIDOARJO
15
bor, terdapat perbedaan yang sangat fundamental antara data yang disajikan oleh Mazzini dkk. (2007) dengan Davies dkk. (2007). Kalau Davies dkk. (2007) menyatakan bahwa mata bor pada sumur eksplorasi BJP-1 di kedalaman 2834 m sudah mencapai Formasi Kujung, maka data yang ditampilkan di dalam Mazzini dkk. (2007) ini berbeda. Menurut Mazzini dkk, (2007), rekaman logging dan cutting tidak menampakkan adanya bukti bahwa Formasi Kujung telah dicapai. Dengan demikian dapat dipastikan ini adalah coup de grace (tikaman yang mematikan) bagi Davies dkk. (2007), karena model yang ditampilkan dalam makalah mereka bersandar pada asumsi bahwa Formasi Kujung sudah dicapai oleh mata bor sumur BJP-1. Setelah membandingkan jenis mineral lempung, biostratigrafi dan vitrinite reflectivity, yang dibawa keluar oleh erupsi mud volcano dan hasil pemboran pada sumur eksplorasi BJP-1 sebelumnya, maka diketahui bahwa sebagian besar material semburan berasal dari interval kedalaman mulai kira-kira 1615 m sampai dengan kedalaman 1828 m, meski belakangan ada material yang berasal dari kedalaman melebihi 1871 m yang diperkirakan berasal dari proses fluidisasi ketika fluida kaya air naik dari bawah. Untuk menjawab sumber fluida yang oleh Davies dkk. (2007) disebutkan berasal dari Formasi Kujung, maka Mazzini dkk. (2007) menampilkan teori dehidrasi. Fluida yang kaya air berasal dari dehidrasi mineral lempung pada kedalaman 1109 m sampai dengan kedalaman 1828 m. Terutama karena zona ini sudah terpengaruhi oleh proses transformasi smektit-illit, yang mana hukumnya adalah:1 m3 smektit dapat menghasilkan sampai 0.35 m3 air selama dehidrasi. Tetapi tak dapat disanggah, apa yang diperkirakan Davies dkk. (2007) bahwa akan terjadi subsidence pada daerah itu menjadi kenyataan. Mazzini dkk. (2007) menyatat telah terjadi subsidence berbentuk elips dengan sumbu 7x4 km memanjang ke arah SW-NE. Tetapi, oleh Mazzini dkk. (2007) kenyataan ini malah digunakan untuk memperkuat pendapatnya bahwa arah memanjang subsidence searah dengan orientasi patahan regional Watukosek yang keberadaannya ditunjang oleh beberapa fakta 1)singkapan di Watukosek, 2)pembelokan arah Sungai Porong ketika berpotongan dengan Patahan, 3)patahan ini juga diduga telah memicu keberadaan beberapa mud volcano di region ini, seperti Gunung Anyar, Pulungan, Kalang Anyar dan Bangkalan, yang semuanya terdistribusi pada sepanjang patahan regional Watukosek. Para penulis juga yakin bahwa patahan regional Watukosek telah mengalami reaktivasi dalam hubungannya dengan gempabumi Yogyakarta 2 hari sebelumnya. Bukti-buktinya antara lain; 1)rel kereta api yang meliuk dengan siginifikan ketika berpotongan dengan zona Patahan, 2)kenyataan bahwa sepuluh menit setelah 16
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
terjadinya gempa 27 Mei tercatat terjadi partial loss pada fluida di sumur eksplorasi BJP-1, dan 3)berkurangnya jumlah produksi gas secara simultan di sumur Carat yang terletak dekat dengan sumur eksplorasi BJP-1. Jadi disimpulkan bahwa even seismik telah mempengaruhi regional plumbing system. Mazzini dkk. (2007) menyampaikan data bahwa mud volcano Purwodadi juga mengeluarkan lumpur panas setelah gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006. Dan selama Desember 2006 dan Januari 2007 situs erupsi baru yang mirip dengan Lusi juga lahir di Bojonegoro dan Serang. Gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006 telah memicu terbentuknya rekahan yang berasosiasi dengan patahan regional watukosek pada overpressured mud. Rekahan-rekahan ini menyebabkan fluida bisa naik. Aliran naik fluida menyebabkan terjadinya penurunan tekanan (depresurisasi) hingga cukup untuk mengeksolusi CO2 dari air pori. Depresurisasi dan eksolusi, selain menyebabkan terjadinya eskalasi pada aliran fluida vertikal, juga mampu memobilisasi mud. Ketika mencapai kedalaman dangkal, katakanlah 200 m, secara hidrostatis tekanan berkurang dan cairan mulai mendidih hingga menghasilkan letusan air bercampur mud. Ketiga hal ini, depresurisasi, eksolusi dan pendidihan secara hidrostatis, menjadi tenaga yang bisa bertahan lama bagi keberadaan mud volcano. Selain kedua makalah di atas, makalah ketiga yang terlibat perdebatan ini berjudul Did an Earthquake Trigger the May 2006 Eruption of the Lusi Mud Volcano? ditulis oleh Michael Manga, seorang geologist dari University of California, Berkeley.6 Argumen-argumen Manga dalam makalah ini didasarkan pada kenyataan bahwa erupsi sebuah gununglumpur merupakan salah satu respon hidrologi bawah permukaan terhadap gempabumi. Ada hubungan formulaik antara jarak dari permukaan yang runtuh (lokasi patahan) dengan pemanjangan dan pemendekan pada kerak bumi. Dalam kasus gununglumpur Lusi, melalui telaah terhadap hubungan antara jarak-sebuah-respon-hidrogeologi-dengan-epicenter-gempa dengan manitude-gempabumi, Manga menarik kesimpulan bahwa gempabumi Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum erupsi Lusi mud volcano tidak masuk dalam kategori menghasilkan respon hidrologi, berupa eruspi mud volcano. Dalam catatan Manga sebelumnya ada dua gempabumi (tahun 1976 dan 1998) yang lebih besar secara magnitude dan lebih dekat secara jarak ke lokasi Lusi mud volcano yang seakarang, tetapi tidak menyebabkan erupsi. Pada umumnya mud volcano tidak dipicu oleh gempabumi, tetapi oleh penyebab lain seperti kompresi tektonik, migrasi gas atau fluida, atau bahkan gelombang laut yang menyebabkan terjadinya liquefaction pada unconsolidated sediments. Makalah keempat berjudul “The East Java mud volcano (2006 to present): PERDEBATAN TENTANG PENYEBAB LUMPUR SIDOARJO
17
An earthquake or drilling trigger?”, (Davies, dkk. 2008).7 Makalah keempat ini merupakan reaksi terhadap Mazzini dkk. (2007). Davies dkk. (2008) memetakan tiga faktor yang memicu terbentuknya Lusi mud volcano; 1) Gempabumi Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006, 2) Aktivitas pemboran BJP-1 sejauh kurang lebih 200 m dari pusat semburan, dan 3) Kombinasi dari keduanya. Pada bagian awal segera makalah keempat ini mengeliminasi sendiri kemungkinan pertama dan dengan argumen-argumen yang terukur. Ada beberapa argumen kunci, pertama, dengan membandingkan beberapa mud volcano yang dipicu oleh gempabumi, maka dinyatakan bahwa gempabumi Yogyakarta tanggal 27 Mei 2006 terlalu kecil secara magnitude dan terlalu jauh secara jarak untuk memicu terjadinya letusan. Ada beberapa gempabumi yang lebih besar dan lebih dekat sebelumnya yang tidak memicu erupsi. Kedua, perubahan pada tekanan pori karena perubahan static stress akibat gempabumi dinilai tidak cukup untuk memicu erupsi mud volcano. Ketiga, dengan melakukan pembandingan gempabumi yang terjadi sejak tahun 1973—2007, tercatat sepuluh gempabumi sebelum gempabumi Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006 yang seharusnya lebih layak menjadi pemicu Lusi mud volcano, karena kesepuluh gempabumi tersebut menghasilkan “ground motion” yang lebih besar. Contoh utama goncangan paling kuat yang sampai di lokasi Lusi yang sekarang adalah akibat gempabumi pada tanggal 14 Mei 1992 yang terjadi dengan jarak kurang dari 50 km dari pusat semburan Lusi. Keempat, Tidak ada bukti yang menunjang terhadap konsep yang menyatakan bahwa telah terjadi goncangan berulang yang mengakibatkan perubahan bawah permukaan menuju ke critical state. Dan, terakhir, amplitudo dynamic stress yang disebabkan oleh gempabumi Yogyakarta tidaklah signifikan. Tentang reaktivasi patahan regional watukosek, Davies dkk. (2008) berpendapat bahwa kehadiran patahan tersebut, meski didukung oleh foto satelit, tidaklah konklusif. Lagi pula data seismik menunjukkan bahwa ada beberapa patahan di sekitar sumur, dengan tanpa bukti bahwa ada satu patahan secara jelas telah berpotongan dengan BJP-1. Dengan perhitungan perubahan coulomb stress, Davies dkk. (2008) menunjukkan bahwa gempabumi Yogyakarta menghasilkan besaran yang tak berarti untuk mengaktifkan kembali left-lateral fault. Bahkan rel kereta yang meliuk, yang oleh Mazzini dkk. (2007) dinyatakan sebagai bukti bahwa patahan regional watukosek telah mengalami reaktivasi, oleh Davies dkk. (2008) dinyatakan terjadi setelah beberapa bulan sejak erupsi, bukan pada saat gempabumi Yogyakarta pada 27 Mei 2006. Lebih detil Davies dkk. (2008) membahas tentang aktivitas pemboran pada sumur eksplorasi BJP-1. Tampaknya dalam makalah ini telah dicapai kesepakatan 18
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
bahwa Formasi Kujung tidak dicapai oleh sumur eksplorasi BJP-1. Data penting yang dihadirkan oleh makalah ini adalah peristiwa kunci dalam pemboran sumur eksplorasi BJP-1 sejak 6 Mei 2006 (sejak casing 33.97 cm terpasang) sampai dengan 3 Juni 2006. Data dikompilasi dari rekaman wellsite, Lapindo Brantas Inc. Operator BJP-1 dan Tim Investigasi Independen Indonesia. Faktor ketiga, kombinasi antara gempabumi Yogyakata 27 Mei dengan aktivitas pemboran di sumur eksplorasi BJP-1, segera pula dieliminasi oleh Davies dkk. (2008). Ada dua kemungkinan cara gempabumi Yogyakarta memicu letusan Lusi, pertama, gempabumi memperlemah batuan pada sekeliling lubang bor dan, kedua, gempabumi sedikit menaikkan tekanan fluida dalam lubang. Untuk menyanggah cara pertama; dari rekaman pemboran terlihat bahwa tidak ada sesuatu yang istimewa terjadi dalam lubang bor selama gempabumi. Enam jam setelah gempabumi terjadi sebuah mud losses yang signifikan, tetapi lebih masuk akal bahwa mud losses ini disebabkan karena masuk ke dalam rekahan atau batuan berongga seperti Formasi Kujung akibat aktivitas pemboran itu sendiri, atau karena berat mud yang teralu besar. Dan mud losses tersebut bisa diatasi. Untuk menyanggah cara kedua; berdasarkan hasil kalkulasi diketahui bahwa dynamic stress akibat gempabumi dapat meningkatkan tekanan pori sebesar 22 kPa, dan nilai ini masih bisa ditolerir, karena kebiasaan umum dalam pemboran adalah tekanan total mud lebih besar sebanyak 1.38 MPa dibandingkan dengan tekanan pori pada saat pencabutan mata bor. Dengan demikian satu-satunya faktor bagi Davies dkk. (2008) yang merupakan pemicu terjadinya letusan Lusi mud volcano adalah aktivitas pemboran pada sumur eksplorasi BJP-1. Secara singkatnya, telah terjadi subsurface blowout. Momen kunci adalah pada tanggal 27 sampai 28 Mei 2006. Pasca terjadinya total loss of mud return, diputuskan untuk mengangkat mata bor dan pipa. Pencabutan mata bor dan pipa-pipa telah menyebabkan berkurangnya tekanan dalam sumur sehingga memungkinkan fluida dan gas formasi masuk ke dalam sumur dan naik ke permukaan. Metode normal ketika berhadapan dengan kasus seperti ini adalah menghentikan naiknya material dari dalam sumur dengan cara menutup blowout preventors (shut the well in). Segera setelahnya, tekanan dalam lubang membesar secara dramatis. Melalui monitoring yang dilakukan tercatat misalnya, tekanan dalam annulus naik dari 1.27 MPa menjadi 7.27 MPa. Tekanan yang sangat besar di dalam lubang diperkirakan telah menyebabkan terjadinya rekahan pada bagian lubang yang tidak di-casing (di bawah kedalaman 1091 m), dan kemudian rekahan terpropagasi hingga sampai ke permukaan. Dugaan ini diperkuat fakta bahwa pencabutan mata bor sempat stuck pada kedalaman 1293 m. Pada kedalaman sekitar itulah diperkirakan rekahan terbentuk. Sebuah rekahan, yang PERDEBATAN TENTANG PENYEBAB LUMPUR SIDOARJO
19
tentu saja tidak akan terjadi andaikata casing dalam sumur eksplorasi BJP-1 dipasang lebih dalam, seperti yang direncanakan sebelum pemboran. Sebagai penutup, Davies dkk. (2008) mengakui tidak bisa menyatakan secara pasti, baik pada kedalaman berapa terjadinya rekahan, maupun sumber gas dan cairan yang keluar. Tentang hal terakhir ini, Davies (2008) masih sependapat dengan Davies (2007). Karenanya, apabila mau memprediksi durasi erupsi Lusi mud volcano, maka menghitung volume aquifer Formasi Kujung sangat masuk akal. Makalah kelima berjudul Mud Diapirs and Mud Volcanoes in Depression of Java to Madura: Origins, Natures, and Implications to Petroleum System, (Satyana, A.H., and Asnidar, 2008).8 Satyana dan Asnidar menyajikan 15 poin yang mengindikasikan bahwa gempabumi Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006 berperan signifikan sebagai pemicu terjadinya Lusi mud volcano: 1) terjadi partial loss pada sumur eksplorasi BJP-1 sepuluh menit setelah gempabumi, 2)total loss terjadi setelah beberapa aftershock, 3) mud tererupsikan dua hari setelah gempabumi, 4) beberapa erupsi lumpur panas dan air asin paralel dengan arah memanjang struktur patahan utama di area ini, 5)erupsi lumpur tidak pernah keluar dari sumur BJP-1, 6) Lusi berada pada zona patahan watukosek yang pada sepanjang jalur patahan ditemukan juga mud volcano tidur (dormant) yang lain, yaitu Kalang Anyar, Pulungan, Gunung Anyar dan Socah, 7) Terbentuknya rekahan sepanjang ratusan meter di sekitar sumur beberapa hari setelah erupsi, 8) penurunan produksi gas di sumur Carat yang terletak dekat Lusi kira-kira bersamaan dengan terjadinya gempabumi, 9)tiga hari setelah gempabumi, gunung Semeru tereaktivasi, 10) 34 detik setelah getaran utama, gempabumi Yogyakarta terekam di perairan Ujung Pangkah, dan energinya memengaruhi rekaman seismik yang kebetulan sedang disurvey di sana, 11) propagasi energi gempabumi Yogyakarta cenderung ke arah timur dan timur laut, 12) data satelit regional memperlihatkan kehadiran patahan mayor dan rekahan dari Yogyakarta sampai Sidoarjo, 13) adanya korelasi positif antara laju erupsi mud volcano dengan gempabumi-gempabumi yang terjadi pada jarak 300 km dari Lusi, 14) data isotop deuterium menunjukkan bahwa air yang dikeluarkan Lusi mengandung fluida magmatis dari kedalaman lebih dari 20.000 kaki, mengindikasikan keberadaan patahan atau rekahan pada basement dan, 15) peliukan tiba-tiba pada rel kereta api yang terjadi setelah 27 Mei berada dan bending pada Sungai Porong berada pada satu kelurusan, yaitu pada perpotongan dengan patahan watukosek. Hal ini mengkonfirmasi bahwa patahan watukosek telah direaktivasi oleh aktivitas seismik. Menjawab serangan terhadap publikasi sebelumnya, maka kelompok yang beranggapan bahwa Lusi mud volcano dipicu oleh aktivitas pemboran di sumur 20
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
BJP-1 menampilkan makalah berikutnya dengan judul Subsidence and uplift of Sidoarjo (East Java) due to the eruption of the Lusi mud volcano (2006-present), (Abidin H.Z., dkk. 2008).9 Makalah ini beranggapan bahwa patahan watukosek tidak mengalami reaktivasi pada saat terjadinya gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006. Untuk ini, dia punya dua argumen, 1) pergerakan patahan watukosek jelas terjadi setelah bulan Juni 2006, dan 2) liukan pada rel kereta api yang menjadi indikasi patahan Watukosek menunjukkan pergerakan dextral (menganan). Setelah mengendap cukup lama, pada awal tahun 2009 kubu gempa mempublikasikan makalah yang berjudul Strike-slip faulting as a trigger mechanism for overpressure release by piercement structures. Implication for the Lusi mud volcano, Indonesia, oleh Mazzini dkk.10 Secara garis besar Mazzini dkk. (2009) menginvestigasi mekanisme yang bertanggungjawab terhadap pembentukan piercement structures seperti kompleks vent hidrotermal dan mud volcano pada cekungan sedimentasi dan peranan strikeslip fault sebagai mekanisme pemicu terjadinya fluidisasi. Dalam melakukan investigasi ini, para penulis mengambil tiga metode pendekatan, 1)penelitian lapangan; penelitian lapangan di sekitar area Lusi mud volcano, sepanjang patahan Watukosek dan sampai ke Pulau Madura dilakukan sebanyak tiga periode yaitu pada tahun 2006, 2007 dan 2008. 2)Percobaan analogi di laboratorium; percobaan di laboratorium berupa simulasi tekanan yang bertujuan untuk mempelajari hubungan antara tekanan yang terjadi selama pergerakan strikeslip fault, mengetahui tekanan kritis butiran batuan untuk mengalami fluidisasi (critical fluidization pressure), dan pengamatan di permukaan terhadap fluidisasi dan pembentukan piercement structure. Metode terakhir, 3)model matematis; yang merupakan tindak lanjut dari percobaan analogi di laboratorium untuk mengetahui hubungan antara critical fluidization pressure dan deformasi tektonik (tectonic deformation). Dari hasil penelitian di lapangan maka didapatkan data pendukung eksistensi patahan watukosek yang memanjang SW-NE. Zona patahan bahkan menerus sampai ke Pulau Madura yang diketahui melalui ekspresi permukaan berupa gununglumpur Sening dan Bugag. Bukti-bukti lain tentang eksistensi patahan ditemukan sangat banyak, misalnya, escarpment watukosek, orientasi beberapa crater yang terbentuk pada tahap awal letusan Lusi mud volcano (seakarang sudah tertutup lumpur) juga memanjang searah dengan arah memanjangnya patahan, rekahan di sekitar BJP-1 dengan skala lebar puluhan sentimeter dan panjang ratusan meter dengan arah yang identik NE-SW, dan lain-lain. Penampang seisimik yang direkam pada tahun 1980-an memotong lokasi Lusi yang sekarang memperlihatkan keberadaan kompleks piercement structure bawah permukaan. PERDEBATAN TENTANG PENYEBAB LUMPUR SIDOARJO
21
Percobaan analogi di laboratorium yang dilakukan dalam tiga seri memberikan hasil yang menerus (comparable), shearing sebesar sekira 1 cm telah cukup untuk memicu terjadinya fluidisasi pada sepanjang shear zone. Fluidisasi terjadi secara simultan sesuai dengan shearing yang terjadi, dengan kecepatan yang terlalu cepat untuk diikuti dengan mata telanjang. Lebih lanjut, pemodelan matematis dilakukan untuk mempelajari efek pergerakan sebuah strike-slip fault berskala regional seperti patahan watukosek. Pemodelan matematis ini bukan hanya berlaku untuk kasus Lusi mud volcano, tetapi pada semua mud volcano yang berasosiasi dengan strike-slip fault. Percobaan analogi dan pemodelan matematis menghasilkan beberapa kesimpulan; diantaranya, a)adanya asosiasi geometris antara shearing dan piercement sturctures, dan b)kehadiran tekanan dan tegangan mendukung terjadinya fluidisasi bagi batuan yang overpressured di bawah permukaan dan letusan pada sepanjang shear zone. Makalah ini juga memetakan beberapa momen geologi dalam hubungannya dengan Lusi mud volcano. Ada dua terma yang dipakai oleh para penulis, yaitu penyebab (cause) dan pemicu (trigger). Penyebab merepresentasikan even-even geologi yang terjadi, setting geologi dan kondisi eksternal. Sedangkan pemicu adalah tahapan final yang mendahului letusan. Untuk kasus Lusi mud volcano maka ada beberapa penyebab yang dicatat oleh makalah ini; 1)secara keseluruhan cekungan memperlihatkan karakter pengendapan yang cepat, 2)keberadaan zona penunjaman di sebelah selatan sebagai zona yang sangat dinamis secara tektonik, 3)perlapisan sedimen kaya organik yang merupakan sekuen yang sempurna bagi kehadiran hidrokarbon dan ditutupi oleh tudung yang bagus berupa batuan volkaniklastik, 4)jarak yang dekat dengan komplek vulkanik Arjuno-Weilarang membentuk zona yang secara umum memiliki gradient geothermal yang tinggi. Tingginya gradient geothermal menyebabkan terjadinya transformasi mineral dan geokimia yang biasanya terjadi pada kedalaman besar, dan 5)illitisasi mineral lempung, yang pada kondisi di cekungan sedimentasi normal terjadi pada kedalaman 2.5-5 km, pada kasus Lusi mud volcano telah terjadi pada kedalaman 1100 m. Reaksi mineralogis ini menghasilkan fluida dalam volume yang substansial. Tentang pemicu; secara umum mud volcano terjadi ketika kondisi overpressure pada suatu kedalaman cukup untuk menembus lapisan di atasnya. Ketika besaran ini tercapai beriringan dengan pembentukan fluida, rekahan terpropagasi menembus tudung hingga sampai di permukaan. Ketika kondisi ini tercapai, maka terjadilah fluidisasi dalam skala besar-besaran. Fluidisasi sendiri dimulai ketika material butiran berubah dari bentuk solid-like menjadi bentuk fluid-like. Dalam kasus Lusi mud volcano, fakta lain yang mendukung bahwa gempabumi 22
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
Yogyakarat 27 Mei 2006 telah mempengaruhi sistem venting di Pulau Jawa, selain reaktivasi patahan watukosek, diketahui bahwa gunung Merapi dan Semeru juga memperlihatkan aktivitas yang meningkat. Pada akhirnya Mazzini dkk. (2009) menyimpulkan bahwa zona patahan dan piercement sturucture telah ada pada posisinya sebelum erupsi Lusi mud volcano. Fakta lapangan menunjukkan bahwa strike-slip fault watukosek telah mengalami reaktivasi setelah gempabumi Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006. Siginifikansi sumur eksplorasi BJP-1 dalam erupsi Lusi mud volcano masih merupakan debat yang berjalan, akan tetapi agak susah untuk menyatakan bahwa BJP-1 mampu untuk mempengaruhi plumbing system pada skala regional. Satu makalah berjudul Modeling study of growth and potential geohazard for LUSI mud volcano: East Java, Indonesia (Article in Press), (Istadi, B.P., dkk. 2009), juga berada di pihak yang pro gempabumi.11 Makalah ini dibuka dengan kondisi aktual Lusi pada saat makalah itu ditulis (Agustus 2008), meliputi lokasi Lusi dan posisinya terhadap sumur BJP-1, laju material erupsi yang dihasilkan dan perdebatan yang masih berjalan seputar mekanisme pemicu. Tentang hal terakhir makalah ini memberikan penekanan mengenai asumsi yang berkembang di kalangan masyarakat luas bahwa Lusi mud volcano dipicu oleh underground blowout yang terjadi di sumur BJP-1. Akan tetapi belakangan, setelah data lapangan dan analisis tekanan pada sumur BJP-1 diintegrasikan dan dianalisis, maka erupsi Lusi mud volcano tidak berhubungan dengan sumur BJP-1. Alasan kunci yang ditampilkan yang menunjang pendapat di atas adalah, pertama, tekanan fluida dalam sumur terlalu kecil untuk merekahkan dinding. Kedua, tidak ada tekanan yang menerus dalam sumur yang mempropagasikan rekahan hingga mencapai permukaan, karena blowout preventor dalam keadaan terbuka. Ketiga, sumur dalam keadaan total terbuka pada saat terjadinya letusan Lusi dengan debit 50.000 m3 hari-1, pada jarak sekira 200 m dari sumur. Karena itu, maka hal yang paling memungkinkan sebagai pemicu letusan Lusi mud volcano adalah reaktivasi sistem sesar watukosek, kalau ini yang terjadi, maka letusan Lusi tidak dapat dihentikan dan bisa jadi akan kontinu sampai beberapa dekade. Terakhir satu makalah lagi dari pihak yang pro gempabumi berjudul The LUSI Mud Volcano Triggering Controversy: Wa it Caused by Drilling? (Article in Press), (Sawolo, N., dkk. 2009).12 Pada intinya makalah terakhir ini, dengan berdasarkan data pemboran seperti laporan harian aktivitas pemboran di BJP-1, laporan harian geologi dan laporan harian mud loggers, mengambil kesimpulan bahwa Lusi mud volcano bukan disebabkan oleh aktivitas pemboran pada sumur eksplorasi gas BJP-1. PERDEBATAN TENTANG PENYEBAB LUMPUR SIDOARJO
23
CATATAN AKHIR
24
1.
—, 2009. Keterangan Ahli Sama, Lapindo Baru Bisa Maju. Surat Kabar Harian (SKH) KOMPAS, edisi 14 Maret 2009, hlm. 2.
2.
—, 2008. Geolog Dunia Yakin Lumpur Tak Dipicu Gempa. SKH KOMPAS, edisi 31 Oktober 2008, hlm. 13.
3.
Tentang hal ini dapat dibaca dalam sebuah tulisan oleh Satyana, A.H., 2008. Laporan Perdebatan Asal Lusi di AAPG Capetown. dimuat di http:// hotmudflow.wordpress.com/page/2/, pada tanggal 30 Oktober 2008. Laporan yang lain tentang pertemuan ini dari perspektif yang lebih mengapresiasi hasil voting pada Konferensi AAPG di Cape Town itu dapat dilihat pada blog yang sama, ditulis oleh Rubiandini, R.
4.
Davies, J.R., Swarbrick, R.E., Evans, J.E., Mads, H., 2007. Birth of a mud volcano: East Java, 29 May 2006. GSA TODAY. v: 17, p.4—9. DOI: 10. 1130/GSAT017202A.1.
5.
Mazzini, A., Svensen, H., Planke, S., Malthe-Sÿrenssen, A., 2007. Triggering and dynamic evolution of the LUSI mud volcano, Indonesia. Earth and Planetary Science Letters, v. 261, p.375—388. DOI: doi:10.1016/ j.epsl.2007.07.001.
6.
Manga, M., 2007. Did an Earthquake Trigger the May 2006 Eruption of the Lusi Mud Volcano?. EOS Vol 88, No. 18, p. 201. DOI: 10.1029/ 2007EO180009, 2007.
7.
Davies, R.J., Brumm, M., Manga, M., Rubiandini, R., Swabrick, R., Tingay, M., 2008. The East Java mud volcano (2006 to present): An earthquake or drilling trigger?. Earth and Planetary Science Letters, v. 272, p. 627— 638. DOI: 10.1016/j.epsl.2008.05.029.
8.
Satyana, A.H. and Asnidar, 2008. Mud diapirs and mud volcanoes in depressions of Java to madura: origins, natures, and implication to petroleum system. Proceedings Indonesian Petroleum Association (IPA), 32nd annu. Conv.&exhib., IPA08-G-139.
9.
Abidin, H.Z., Davies, R.J., Kusuma, M.A., Andreas, H., Deguchi, T., 2008. Subsidence and uplift of Sidoarjo (East Java) due to the eruption of the Lusi mud volcano (2006—present). Environ Geol, v. 57, p. 833—844. DOI: 10.1007/s00254-008-1363-4.
10.
Mazzini, A., Nermoen, A., Krotkiewski, M., Podladchikov, Y., Planke, S., Svensen, H., 2009. Strike-slip faulting as a trigger mechanism for overpressure release by piercement structure. Implications for the Lusi mud volcano Indonesia, (Article in Press). Marine and Petroleum Geology. DOI: 10.1016/j.marpetgeo.2009.03.001.
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
11.
Istadi, B.P., Pramono, G.H, Sumintadireja, P., Alam, S., 2009. Modeling study of growth and potential geohazard for LUSI mud volcano: East Java, Indonesia (Article in Press). Marine and Petroleum Geology. DOI: 10.1016/j.marpetgeo.2009.03.006.
12.
Sawolo, N., Sutriono, E., Istadi, B.P., and Darmoyo, A, 2009. The LUSI Mud Volcano Controversy: Was it Caused by Drilling? (Article in Press). Marine and Petroleum Geology. DOI: 10.1016/j.marpetgeo.2009.04.002.
PERDEBATAN TENTANG PENYEBAB LUMPUR SIDOARJO
25
Menggapai Mimpi yang Terus Tertunda: Menelusuri Proses “Ganti Rugi” Terhadap Korban Lumpur Lapindo Paring Waluyo Utomo
Tiga tahun semburan lumpur Lapindo telah berlangsung. Dari hari ke hari, semburan lumpur Lapindo terus meluas, melumpuhkan saluran irigasi untuk sawah dan tambak, pun juga memampetkan saluran irigasi yang berada di sebelah barat tanggul. Enam belas desa dari tiga kecamatan (Kecamatan Porong, Tanggulangin dan Jabon) telah mengalami kerusakan lingkungan yang sangat parah. Desa Siring, Jatirejo, Kedung Bendo, dan Renokenongo adalah kawasan yang paling parah karena hampir semua bagian keempat Desa tersebut telah tenggelam oleh lumpur Lapindo. Pemerintah sendiri, sejak semburan lumpur yang pertama pada tanggal 29 Mei 2006 hingga kini tidak membuat kebijakan yang secara operasional menjamin hak-hak ekosob korban lumpur Lapindo. Kebijakan pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait kasus ini adalah Keputusan Presiden (Keppres) No. 13 tahun 2006 tentang pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (Timnas PLS) pada Bulan September 2006. Artinya, baru setelah empat bulan sejak kejadian, barulah pemerintah menetapkan kasus ini menjadi urusan nasional. Keppres No. 13 tahun 2006 memerintahkan kepada PT. Lapindo Brantas Inc. (PT. LBI)—pemilik sumur eksplorasi gas Banjar Panji-1—untuk membiayai segalanya, berupa upaya penghentian sembuaran lumpur, operasional Timnas PLS, hingga biaya-biaya kerusakan lingkungan yang terjadi. Anehnya, kebijakan ini tak berlaku lama karena tak lama berselang kebijakan ini otomatis berubah dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) No. 14 tahun 2007 tentang Badan Penanggulanagn Lumpur Sidoarjo (BPLS). Di dalam Perpres No. 14 tahun 2007 tersebut juga diatur mekanisme penyelesaian nasib hak-hak korban lumpur Lapindo. Anehnya, di dalam penyelesaian hak-hak korban lumpur Lapindo, pemerintah mengkerangkai alur penyelesaiannnya dengan sistem DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009, PP. 27-45
27
jual beli. Dalam Pasal 15 Perpres No. 14 tahun 2007 disebutkan bahwa PT. LBI “membeli tanah korban lumpur Lapindo yang berada dalam kawasan peta terdampak”. Mengenai kebijakan yang sudah dikeluarkan dan diambil oleh pemerintah yang disebutkan dalam tulisan ini sehubungan dengan peristiwa lumpur Lapindo tersaji pada Tabel 1. Tabel 1.
28
Produk hukum dan reaksi pemerintah pusat dan daerah sehubungan dengan peristiwa lumpur Lapindo
Kebijakan/ reaksi Keppres No. 13 tahun 2006
Waktu dikeluarkan September 2006
Perpres No. 14 tahun 2007
April 2007
Presiden SBY berkantor di Juanda
Juli 2007
- Sampai Bulan April SBY meminta PT. LBI 2009, masih terdapat menyediakan dana 100 sekitar 360-an berkas milyar rupiah per yang belum terbayar minggu untuk cadangan uang muka 20 %. pembayaran uang muka - Presiden SBY hanya ingin 20 %. menampilkan citra yang bagus, secara substansial kasus ini tak juga selesai.
Surat BPN Pusat kepada BPN Kabupaten Sidoarjo
Maret 2008
Petunjuk pelaksanaan penyelesaian jual beli antara PT. LBI dan korban lumpur Lapindo
Substansi - Pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (Timnas PLS) - Perintah kepada PT. LBI untuk membiayai segalanya
Kelemahan/ Komentar Respon pemerintah sangat lambat, Keppres ini dikeluarkan 4 bulan setelah semburan yang pertama
- Konsep area terdampak - Pembentukan Badan tidak sepenuhnya Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). menggambarkan area yang terkena dampak - Mengatur mekanisme lumpur Lapindo penyelesaian nasib hak- Menganulir Keppres No. hak korban lumpur 13 tahun 2006 Lapindo.
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
PT. MLJ menawarkan skema pembayaran 80 % dalam format lain dengan dalih pembayaran tetap bertentangan dengan UUPA.
Tabel 1.
(lanjutan)
Kebijakan/ reaksi SK Gubernur Jawa Timur Nomor 188/158/KP TS/013/
Waktu dikeluarkan Mei 2008
Perpres No. 48 tahun 2008.
Juli 2008
Substansi Membentuk tim survei yang berasal dari Institute Teknologi Sepuluh Nopermber, Surabaya (ITS)
Tiga desa (Besuki bagian barat, Pajarakan dan Kedung Cangkring) masuk wilayah peta area terdampak.
Kelemahan/ Komentar Ada banyak Desa yang mengalami dampak negatif lumpur Lapindo (Desa Siring Barat, Jatirejo Barat, Mindi, Gedang, Pamotan, Glagah Harum, Plumbon Gempolsari, dan Ketapang) Bagaimana dengan Desadesa yang lain? (Siring Barat, Jatirejo Barat, Mindi, Gedang, Pamotan, Glagah Harum, Plumbon Gempolsari, dan Ketapang)
Jika dikaji secara redaksional, kawasan peta terdampak mengindikasikan adanya gambaran suatu wilayah yang terkena dampak lumpur Lapindo. Namun konsep peta terdampak yang ditetapkan oleh pemerintah melalui lampiran Perpres No. 14 tahun 2007 tidak sepenuhnya menggambarkan luas area yang terkena dampak luapan lumpur Lapindo. Secara faktual, luasan daerah yang mengalami kerusakan melebih area dalam peta terdampak yang ditetapkan oleh pemerintah. Konsep peta area terdampak yang dirumuskan oleh pemerintah sejatinya hanya memberikan tanggungjawab terbatas kepada PT. LBI, karena kerusakan lingkungan yang terjadi diluar peta area terdampak menjadi tanggungjawab pemerintah (baca: negara). Aturan ini memang lucu—untuk tidak menyebutnya hanya sebagai kongkalingkon antara pemerintah dengan PT. LBI. Secara nalar, diakui atau tidak, pemerintah mengakui bahwa pemicu luapan lumpur Lapindo berasal dari kesalahan prosedur pengeboran dari sumur eksplorasi gas Banjar Panji-1. “Pengakuan pemerintah” tersebut tampak dari diwajibkannya PT. LBI untuk membeli tanah korban lumpur Lapindo yang berada di wilayah peta area terdampak. Secara sederhana logika di balik peraturan ini dapat dibaca secara terbalik: kalau memang pemerintah tidak mengakui kasus ini sebagai kesalahan PT. LBI, semestinya pemerintah tidak akan melibatkan perusahaan milik Grup Bakrie tersebut. Perpres No. 14 tahun 2007 menunjukkan secara tersurat bahwa PT. LBI ikut
MENGGAPAI MIMPI YANG TERUS TERTUNDA
29
“bertanggungjawab” dengan cara membeli tanah korban lumpur Lapindo. Ada yang ganjil dalam bentuk “pertanggungjawaban” PT. LBI ini. Keganjilan itu tertuang dalam bagian penyelesaian hak-hak korban lumpur Lapindo, dimana dinyatakan akan dilakukan dengan sistem jual beli antara PT. LBI dengan warga korban lumpur Lapindo (lihat; Perpres No. 14 tahun 2007, pasal 15, ayat 1). Pikiran waras semestinya menempatkan status hubungan korban lumpur Lapindo dengan PT. LBI dalam konteks ganti rugi, bukan jual beli. Secara normatif, jual beli tanah dengan suatu perseroan seperti PT. LBI jelas bertentangan dengan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960. Namun anjing menggonggong kafilah berlalu, begitulah sikap pemerintah dan PT. LBI kala itu. Tak peduli ada UUPA, Perpres No. 14 tahun 2007 terus dijalankan. Sementara itu, di pihak korban sendiri juga tidak ada pilihan yang menguntungkan nasibnya. Gugatan perbuatan melawan hukum (atas pengrusakan lingkungan) yang dilakukan PT. LBI, diajukan ke pengadilan oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dengan pemerintah dan PT. LBI sebagai pihak tergugat. Namun Gugatan ini dikalahkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Nasib serupa dialami oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang melakukan gugatan perbuatan melawan hukum atas Hak Ekosob korban lumpur Lapindo di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam situasi problematis dan didera kesulitan hidup yang semakin parah, mayoritas korban lumpur Lapindo yang berada dalam kawasan peta area terdampak menerima penyelesaian dengan skema Perpres No. 14 tahun 2007. Akan tetapi, ada juga sekelompok korban lumpur Lapindo yang tinggal di pengungsian Pasar Baru Porong dan beberapa individu tak terorganisir yang menolak skema pembayaran yang tertuang di dalam Perpres No. 14 tahun 2007 tersebut. Para pengungsi yang tinggal di Pasar Baru Porong ini membentuk wadah Paguyuban Rakyat Renokenongo Menolak Kontrak (Pagar Rekontrak). Pagar Rekontrak melakukan perlawanan dengan menolak pemberian uang kontrak rumah yang diberikan oleh PT. LBI. Alasannya, dengan menerima uang kontrak itu mereka akan hidup tercerai berai di pelbagai tempat. Dengan tercerai berai ini, maka konsolidasi kekuatan untuk melakukan perjuangan bersama akan semakin sulit. Selain itu, mereka merasa uang muka sebesar 20 % kurang untuk dapat menata hidup dengan lebih baik. Apalagi pembayaran 80 % sisanya dilakukan 23 bulan berikutnya sejak uang kontrak diberikan. Pagar Rekontrak menuntut pembayaran jual beli dilakukan secara tunai, tidak bertahap dengan sistem 20 % dan 80 %. Selain itu, pihak PT. LBI juga dituntut untuk memberikan tanah seluas 30 hektar sebagai bentuk ganti rugi immateriil. Dengan menuntut tanah 30 hektar, warga berharap dapat hidup dan berkumpul 30
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
kembali, tidak tercerai- berai seperti seakarang yang menimbulkan beban hidup yang semakin berat. Atas latar belakang situasi seperti ini, maka Pagar Rekontrak memberikan kuasa kepada YLBHI untuk melakukan uji materiil terhadap Perpres No. 14 tahun 2007 ke Mahkamah Agung (MA). Belakangan, gugatan uji materiil ini juga ditolak oleh MA. Walau muncul gerakan penolakan terhadap Perpres No. 14 tahun 2007 ini, PT Minarak Lapindo Jaya (PT. MLJ)—sebuah perusahaan yang didirikan oleh PT. LBI untuk mengurusi pembayaran aset korban lumpur Lapindo— tampaknya tidak begitu menggubris. Berulangkali para petinggi PT. MLJ menyatakan agar warga taat pada mekanisme penyelesaian yang tertuang dalam Perpres No. 14 tahun 2007. Untuk memperbaiki citra perusahaannya, pihak PT. MLJ cukup royal beriklan di media massa tentang program penanganan lumpur Lapindo serta dampakdampak sosialnya. Bahkan tidak selesai sampai di situ, PT. MLJ kemudian membuat media sendiri dengan cara mengakuisisi kepemilikan Harian Surabaya Post dan membuat Buletin Solusi, yang pengelolaanya digawangi langsung oleh para “selebriti kampus” di Surabaya. Tak tanggung-tanggung, akademisi sekaliber Hariadi, M.A., dari FISIP Unair, dan Martono dari Ubaya menjadi arsitek Buletin Solusi. Sementara itu, warga yang setuju dengan Perpres No. 14 tahun 2007 belum juga medapatkan realisasi yang nyata. Meskipun telah dijamin oleh Perpres No. 14 tahun 2007, PT. LBI masih belum segera melakukan pembayaran uang muka 20 % dalam proses jual beli tersebut. Memang alasan PT. LBI waktu itu memang masuk akal juga, “Kami tidak mau membayar aset seseorang yang tidak jelas bukti kepemilikannya. Bisa saja, orang luar mengaku punya aset di kawasan peta area terdampak, padahal seseorang tersebut berbohong,” begitulah alasan PT. LBI. Untuk mengantisipasi hal ini pemalsuan kepemilikan aset tersebut maka pendataan segera dilakukan. Teridentifikasi sebanyak 12.886 pemilik berkas aset tinggal dalam kawasan peta area terdampak. Lebih jauh, pada tanggal 2 Mei 2007, para menteri yang menjadi petinggi BPLS, bersama perwakilan korban lumpur Lapindo dan PT. LBI membuat kesepakatan bersama yang menyatakan bahwa tanah-tanah warga yang tidak bersertifikat akan mendapatkan pengesahan dari pemerintah. Pengesahan ini sebagai bentuk jaminan hukum agar PT. LBI dapat melakukan pembayaran kepada warga. Akan tetapi PT. MLJ menuntut bukti kepemilikan tidak hanya cukup pengesahan dari BPLS, bangunan warga juga harus ada bukti ijin mendirikan bangunan (IMB)-nya. Karena mayoritas warga tak dapat memenuhi syarat ini, maka ada gagasan untuk menyumpah warga. Proses sumpah kepada warga ini dilakukan oleh Emha Ainun Najib dan Departemen Agama, Kabupaten Sidoarjo. “Kami bukan maling, kami sudah menjadi korban, kenapa MENGGAPAI MIMPI YANG TERUS TERTUNDA
31
kami disumpah-sumpah seperti maling,” begitulah gerutu kebanyakan korban waktu penyumpahan itu. Namun begitu, warga tetap saja taat untuk menjalani sumpah dengan kepentingan agar sesegera mungkin mendapatkan uang untuk menata kembali kehidupan mereka yang porak poranda. Pada Saat yang bersamaan, BPLS membentuk tim verifikasi yang diikuti oleh PT. LBI yang membentuk PT. MLJ untuk menangani pembayaran aset warga. Di internal PT. MLJ juga terdapat tim verifikasi. Setiap berkas warga berisi luasan tanah dan bangunan yang telah diverifikasi oleh tim verifikasi BPLS dilimpahkan ke PT. MLJ. Begitu berkas masuk ke PT. MLJ, dilakukan verifikasi ulang. Hasilnya sungguh sangat mengejutkan kita semua. Mayoritas luasan tanah atau bangunan warga mengalami pemotongan. Pemotongan dilakukan secara sepihak oleh PT. MLJ, besarnya sangat variatif. Bagi warga yang tidak mau asetnya dipotong, kebanyakan nasibnya menjadi kurang beruntung. Dengan enteng PT. MLJ menyatakan berkas warga yang tidak mau dipotong tersebut sebagai berkas yang bermasalah, dan tidak akan diproses lebih lanjut sebelum ada kesepakatan mengenai besaran potongan tersebut. Bagi warga yang bersedia asetnya dipotong, PT. MLJ menyiapkan notaris untuk memproses transaksi jual beli tersebut ke dalam Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB). Selain membuat PIJB, warga juga mendapatkan nomer rekening Bank Mandiri sebagai media pembayaran uang muka sebesar 20 %. Meskipun telah menandatangani PIJB dan mendapatkan nomor rekening, toh banyak kejadian kiriman uang pembayaran tak segera masuk ke rekening. Acapkali terlambat beberapa minggu atau bahkan bulan. Gejolak-gejolak dan protes warga atas tersendatnya pembayaran ini membuat Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) berkantor di Juanda pada Bulan Juli 2007. Apalagi pada Bulan April 2007, sekitar 300-an warga korban lumpur Lapindo hampir setengah bulan melakukan aksi di Jakarta. Kelompok korban lumpur Lapindo yang dipimpin oleh Sumitro ini berhasil menembus istana. Mereka diundang oleh SBY untuk menyampaikan aspirasinya. Melalui kesempatan itu dicapai kata sepakat bahwa pembayaran uang muka 20 % akan segera diselesaikan. Sementara sisa pembayaran yang sebesar 80 % dipercepat setahun kemudian. Dengan berkantor di Juanda, citra yang ingin ditonjolkan oleh SBY jelas, penyelesaian pembayaran uang muka 20 % sesegera mungkin, sehingga penanganan kasus lumpur Lapindo terlihat baik. Saat memberikan perintah dalam rapat Dewan Pengarah BPLS dan PT. LBI, SBY meminta PT. LBI menyediakan dana 100 milyar rupiah per minggu untuk cadangan pembayaran uang muka 20 %. Sehingga terhitung selama 10 minggu sejak perintah tersebut, pembayaran uang muka 20 32
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
% selesai dilakukan. Apa yang terjadi di lapangan? Alih-alih menyelesaikan pembayaran uang muka 20 % dengan cepat, toh sampai dua tahun berikutnya, tepatnya pada peringatan 3 tahun kasus Lapindo, pembayaran terhadap uang muka 20 % masih menyisakan masalah. Sampai Bulan April 2009, mengacu ke data yang ada di PT. MLJ, masih terdapat sekitar 360-an berkas yang belum terbayar uang muka 20 %- nya. Setiap kali ada gerakan protes warga ke pejabat publik seperti Bupati, DPRD, Gubernur, atau Menteri atas berlarut-larutnya pembayaran uang muka 20 % ini, pihak PT. MLJ sering mengajukan alasan yang standar dan aman. “Kami siap membayar, akan tetapi warga sering tidak cepat menyelesaikan persyaratan dari berkas kepemilikannya. Bahkan tak segera pula memenuhi undangan kami untuk mengajukan syarat pembayaran 20 %,” demikianlah seringkali “kamus baku” yang meluncur dari pihak PT. MLJ. Lantas bagaimana dengan pembayaran yang 80 %? Pembayaran yang 80 % seharusnya dilakukan sejak Bulan Juni tahun 2008. Dasarnya adalah pasal 15 Perpres No. 14 tahun 2007 dan PIJB yang menjelaskan bahwa “pembayaran 80 % dilakukan dalam jangka waktu satu bulan sebelum masa kontrak rumah warga habis.” Jika dihitung masa permulaan kontrak yang diberikan oleh pihak PT. MLJ mulai mulai Bulan Juni 2006, maka pembayaran yang 80 % seharusnya dilakukan pada Bulan Juni tahun 2008. Sekitar Bulan Februari 2008, PT. MLJ menyatakan bahwa pembayaran 80 % dapat dilakukan secara cash and carry pada tanah warga dengan bukti kepemilikan berupa sertifikat. Sementara untuk tanah yang bukti kepemilikannya non sertifikat (seperti letter c, pethok d, dan SK Gogol) tidak dapat dilakukan pembayaran secara tunai (cash and carry). PT. MLJ beralasan bahwa sebagaimana diatur dalam Pasal 15, Perpres No 14 tahun 2007 yang menyatakan bahwa proses jual beli aset korban lumpur dengan PT. LBI dilakukan dengan akte jual beli. Karena dasarnya jual beli, PT. MLJ beralasan hal itu terkendala oleh UUPA dan Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah. PT. MLJ juga melayangkan surat kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengenai persoalan ini. Pada Bulan Maret 2008, BPN mengeluarkan surat petunjuk pelaksanaan kepada BPN Kabupaten Sidoarjo tentang alur penyelesaian jual beli antara PT. LBI dengan korban lumpur Lapindo. Dalam suratnya, BPN sejatinya secara substantif tidak mempersoalkan bukti kepemilikan tanah warga yang tidak bersertifikat. Dijelaskan bahwa jika PT. LBI telah melakukan pembayaran 80 %, maka tanah tersebut akan beralih menjadi milik negara. Tahap selanjutnya, BPN sebagai wakil negara siap untuk mengeluarkan sertifikat kepada PT. LBI sesuai peruntukannya, artinya bukan MENGGAPAI MIMPI YANG TERUS TERTUNDA
33
sertifikat hak milik. Tampaknya surat BPN ini untuk menjembatani problem legal formal dari implementasi pasal 15 Perpres No. 14 tahun 2007, yang bertentangan dengan UUPA. Terobosan serta jaminan hukum yang dibuat oleh BPN tampaknya masih belum menjadi jalan bagi pembayaran 80 % secara cash and carry, khususnya bagi tanah warga yang bukti kepemilikannya letter c, pethok d dan SK Gogol. Dengan dalih tetap bertentangan dengan UUPA, PT. MLJ menawarkan skema pembayaran 80 % dalam format lain. Ada dua model pembayaran yang ditawarkan oleh PT. MLJ, pertama; resettlement to Kahuripan Nirwana Villages (KNV) atau secara sederhana yang oleh warga disebut dengan relokasi susuk. Dalam skema pembayaran ini PT. MLJ menyediakan suatu kawasan perumahan di daerah Jati, sebuah kawasan di pinggiran Kota Sidoarjo. Kompleks perumahan ini berlabel seperti pemilik PT. LBI, yakni Kahuripan Nirwana Villages. Dalam menjalankan transaksinya dengan korban Lapindo, model relokasi susuk, PT. MLJ menyediakan banyak tipe perumahan di KNV. Bagi warga yang berminat dengan skema ini, tinggal dikomparasikan antara nilai aset 80 % warga, dengan harga tipe rumah di KNV yang dipilih oleh warga. Jika nilai nominal aset 80 % warga lebih besar dari harga rumah tipe KNV yang dipilih oleh warga tersebut, maka yang bersangkutan akan mendapatkan uang kembalian (susuk), dan sebaliknya. Kabarnya, ada sekitar 2000-an warga yang memilih jalur pembayaran 80 % dengan skema relokasi susuk ini. PT. MLJ menjanjikan bahwa pada awal tahun 2009 warga akan mendapatkan kunci rumah sebagai bukti penyerahan rumah di KNV. Kebanyakan warga memiliki skema ini karena mereka beranggapan bahwa relokasi susuk adalah program PT. MLJ. Asumsinya, karena ini program dari PT. MLJ, maka akan menjadikannya sebagai prioritas utama penyelesaian ketimbang skema lainnya. Akan tetapi, alih-alih mendapatkan rumah dengan segera dan uang susuk yang dijanjikan PT. MLJ akan dibayar tunai, faktanya, uang susuk tak segera dibayarkan dengan cepat. Bahkan sejak Bulan Maret 2009, uang susuk dibayar dengan cara diangsur sebesar 15 juta rupiah per bulan. Kini warga menghadapi kecemasan, akankah uang susuk itu dibayarkan sampai tuntas? Sedangkan rumah yang seharusnya diberikan kepada warga, ternyata hanya tersedia sekitar 400-an unit rumah (kurang sangat banyak). Karena keadaan yang serba menyulitkan ini, sebagian warga yang mengikuti program relokasi susuk melakukan aksi protes hingga kini. Mereka memblokade satu jalur pintu masuk menuju KNV. Warga yang tergabung dalam Laskar Bonek Korban Lumpur (Lasbon Kpur) ini mendirikan tenda keprihatinan di depan KNV. Mereka berharap rumah segera diberikan oleh pihak PT. MLJ. 34
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
Jika diamati, para peminat program relokasi susuk ini memang kebanyakan adalah warga perumahan di Tanggulangi Anggun Sejahtera. Bagi orang yang telah terbiasa hidup di perumahan, tak begitu susah untuk segera menyesuaikan diri dengan lingkungan. Namun bagi warga desa, hal ini menjadi kendala tersendiri. Hal inilah yang membuat banyak warga desa yang menjadi korban lumpur Lapindo menolak program ini. Dalam suatu kesempatan pada pertengahan tahun 2008, Joko Kirmanto, Menteri Pekerjaan Umum yang juga menjadi Ketua Dewan Pengarah BPLS menelpon saya, Beliau menanyakan kenapa banyak warga yang tidak mengikuti program perumahan yang disediakan oleh PT. MLJ, “bukankah perumahan yang disediakan oleh PT. MLJ sangat layak dan bagus sekali?” demikian Pak Menteri. Pertanyaan seperti ini pantas muncul dari Pak Menteri, karena dalam beberapa kesempatan beliau sering diperlihatkan kawasan KNV oleh PT. MLJ. Tentu ini adalah informasi yang asimetris, kebanyakan dari pihak PT. MLJ. Saya katakan kepada beliau, “Pak Menteri juga perlu melihat dari sisi sosiologis dan psikologis warga susuk. Ada banyak alasan mengapa banyak warga yang menolak program relokasi susuk.” Alasan itu antara lain, pertama; warga desa selama ini hidup dengan basis produksi dari tanah, hidup di kawasan perumahan seperti KNV tidak memungkinkan bagi warga untuk mencari pekerjaan sambilan, seperti berkebun, beternak ayam, kambing atau sapi. Otomatis, jika tak ada pemasukan sambilan, biaya hidup akan lebih mahal. Kedua; harga tanah dan bangunan di KNV per meternya lebih mahal jika dibandingkan dengan harga tanah dan bangunan di sebuah kawasan desa lain yang sekiranya akan mereka pilih sebagai tempat penghidupan baru. Dengan harga tanah dan bangunan yang lebih murah, sisa uangnya yang didapatkan dari PT. MLJ itu dapat mereka gunakan untuk modal usaha, ataupun membayar hutang. Ketiga; pola hubungan dan kekerabatan dalam lingkungan perumahan coraknya sangat berbeda dengan kehidupan di kampung atau pedesaan. Suasana kehidupan di kampung dan pedesaan memiliki solidaritas sosial yang lebih tinggi. Kenyataan ini menjadi modal penting bagi warga desa untuk ikut bahu-membahu agar memudahkan dalam hidup mereka. Selain itu, biaya hidup di kampung juga jauh lebih murah. Sebaliknya dengan hidup dalam kawasan perumahan, tingkat individualitas relatif lebih tinggi dan biaya hidup jauh lebih mahal. Sekedar ilustrasi saja; kalau selama ini warga desa hidup di kampung, kalau mandi berasal dari air sumur, mereka tak tertuntu membayar listrik atau air. Tentu, kenyataan ini tidak mereka dapatkan jika hidup di kawasan perumahan. Keempat; banyak di antara aset korban lumpur Lapindo yang dibayar oleh PT. MLJ itu memiliki status sebagai harta warisan. Akan lebih rumit mengaturnya MENGGAPAI MIMPI YANG TERUS TERTUNDA
35
bagi warga korban lumpur Lapindo untuk membagi harta warisan ini dengan sesama saudaranya. Berbeda sekali jika pembayaran itu dilakukan dalam bentuk uang, sebagaimana yang tertuang dalam PIJB, pembagian dan rasa keadialan yang didapat akan lebih muda direalisasikan. Model pembayaran 80 % lainnya dengan skema cash and resettlement (C n R). Secara historis, program ini ditujukan kepada kelompok korban lumpur Lapindo yang tergabung dalam Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL). Melalui pembayaran C n R, PT. MLJ hanya akan melakukan pembayara cash terhadap bangunan warga yang tenggelam. Sementara tanahnya, karena tak bersertifikat, maka PT. MLJ berjanji membayarnya dalam bentuk tukar guling satu banding satu. Pemberian tanah akan dilakukan setahun sejak pembayaran tunai terhadap bangunan. Dan satu tahun berikutnya, jika tanah yang diberikan kepada warga hendak dijual, maka PT. MLJ sanggup untuk membelinya kembali. Di atas kertas program ini cukup menggiurkan. Apalagi pembayaran uang muka 20 % dihitung sebagai dana hibah oleh PT. MLJ. Para pemimpin GKLL yang sedari awal cukup memiliki hubungan harmonis dengan petinggi PT. MLJ kontan saja menyetujui program ini. Akibat persetujuan ini, timbullah perpecahan di tubuh GKLL. Setidaknya muncul dua kelompok baru dari tubuh GKLL, yakni Tim 16 dari Perumtas1, dan Gerakan Korban Lapindo Pendukung Peraturan Presiden No 14 tahun 2007 (Geppres). Meskipun terpecah, program C n R tetap jalan. Terdaftar hampir 4000-an anggota GKLL yang mengikutinya. Waktu terus bergulir, skema pembayaran C n R juga mengalami kemacetan. Bangunan yang dijanjikan dibayar dengan tunai, ternyata dibayar dengan cara diangsur. Proses angsuran berjalan secara variatif pada masing-masing warga. Sampai pada Bulan Februari 2009 diputuskan bahwa angsuran disepakati dilakukan 15 juta per bulan. Sementara pemberian tanah tak kunjung ada. Bahkan hingga kini banyak warga yang tidak mengetahui secara persis dimana lokasi tanah yang dijanjikan oleh PT. MLJ. Keadaan ini menimbulkan kekhawatiran sendiri di benak warga. Mereka khawatir jika lokasi tanah yang dijanjikan oleh PT. MLJ hanya fiktif belaka. Andaikata tanah itupun ada, tidak dengan serta-merta warga cocok dengan lokasi tanahnya. Kalaupun dijual kembali kepada PT. MLJ tentu harganya jauh lebih murah, jika dibandingkan dengan kewajiban PT. MLJ membeli tanah korban lumpur Lapindo yang tenggelam dengan harga 1 juta rupiah per meter persegi. Secara logis, memang tidak mudah untuk membebaskan lahan bagi 4000-an kepala keluarga. Apalagi kebanyakan warga yang mengikuti program ini adalah warga desa, dimana aset kepemilikan tanahnya rata-rata cukup luas, termasuk diantaranya tanah sawah. Dugaan saya, PT. MLJ tetap ngotot menjalankan pro36
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
gram ini tampaknya tidak semata-mata alasan hukum. Yang paling logis adalah prinsip berdagang. Dengan membayar tanah melalui sistem tukar guling, PT MLJ tidak banyak mengeluarkan uang, jika dibandingkan dengan pembayaran tanah dalam bentuk uang kepada warga. Lalau bagaimana dengan warga yang menunut pembayaran cash and carry? Geppres dan tim 16 Perumtas berulangkali melakukan aksi massa. Juli 2008, massa Geppres melakukan aksi blokade tanggul lumpur Lapindo. Sebulan kemudian, dengan dimediasi oleh Komnas HAM, perwakilan Geppres serta korban lumpur di luar peta area terdampak duduk dalam meja perundingan dengan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Pekerjaan Umum (PU), utusan Mensos, Sekretaris Utama BPN, dan BPLS; turut hadir perwakilan dari pihak PT. LBI dan PT. MLJ. Kehadiran pihak PT. LBI dan PT. MLJ dalam perundingan itu karena diajak oleh Menteri PU, sebab pemicu awal warga masuk dalam proses perundingan karena pemerintah dianggap gagal memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi hak-hak korban Lapindo. Perundingan itu menghasilkan beberapa kesepakatan, pertama; menegaskan kembali implementasi Perpres No. 14 tahun 2007, bahwa pembayaran 80 % dilakukan secara tunai dan dibayarkan dalam tempo secepatcepatnya, khususnya bagi warga yang jatuh temponya telah terlampaui. Kedua; pemerintah menjamin kesetaraan hukum tanah-tanah warga yang bersertifikat maupun yang non-sertifikat, sehingga tidak ada kendala bagi warga yang bukti kepemilikan tanahnya letter c dan pethok d untuk mendapatkan pembayaran tunai. Ketiga: bagi warga luar peta area terdampak, pemerintah akan bertanggungjawab untuk memberikan pelayanan tanggap darurat, seperti air bersih, perbaikan sarana kesehatan dan sekolah, perbaikan jalan, dll. Indah memang hasil perjanjian itu. Namun siapa sangka jika perjanjian itu hanya menjadi macan kertas. Sepulang dari perjanjian, warga tak kunjung mendapatkan hasil yang nyata. Jengkel bercampur duka terjadi pada saat Badan Pelaksana (Bapel) BPLS di lapangan tak segera mengurus proses realisasi perjanjian itu. Bahkan para petinggi Bapel BPLS yang dicari-cari oleh warga selalu menghindar terus-menerus. Merasa dikibuli, delegasi Geppres kembali mendatangi Menteri PU bersama Komnas HAM. Tentu saja bukan pejabat Indonesia namanya kalau tidak mahir bersiat lidah. Saat kami menagih realisasi dari perjanjian tersebut, pemerintah yang diwakili Menteri PU tidak memberikan kepastian akan realisasi dari isi perjanjian. Sungguh tersayat hati kami di saat pejabat publik yang kami harapkan perlindungannya menyatakan, “Sesuai dengan perintah lisan Bapak Presiden dulu di Juanda, kalau ada cara lain yang lebih cepat untuk menuntaskan hak-hak korban Lapindo, hal itu bisa ditempuh.” MENGGAPAI MIMPI YANG TERUS TERTUNDA
37
Lalu apa artinya perjanjian tanggal 29 Agustus 2008 di Kantor Komnas HAM? Akankah perjanjian itu tidak bermakna hukum, moral dan etis bagi pihak-pihak yang ikut menandatangani? Warga pulang dengan tangan yang hampa. Adigang, adigung, adiguna, Asu Gedhe Menang Kerahe, begitulah gambaran yang tepat untuk menunjukkan kedigdayaan PT. LBI. Setelah warga Geppres mendapati kekecewaan, kini giliran Tim 16 Perumtas yang mengalaminya. Pada tanggal 3 Desember 2008, Tim 16 Perumtas mendatangkan massa sekitar 1.200 orang di depan istana. Pada aksi hari kedua, delegasi mereka diterima oleh Presiden di Istana Merdeka. Namun sebelum diterima oleh Presiden, sembilan orang delegasi Tim 16 berunding dengan empat orang menteri,yakni Menteri ESDM, PU, Sosial, dan Sekretaris Negara. Para pembantu presiden itu menawarkan kepada delegasi Tim 16 pembayaran 80 % dengan bentuk cicilan 30 juta rupiah per bulan. Para petinggi itu menyatakan setelah terjadi kesepakatan perundingan ini barulah bersama sama menghadap Presiden. Mendapatkan tawaran yang tak terduga seperti ini, delegasi menjadi gamang. Akhirnya mereka meminta waktu sebentar untuk berunding secara internal. Sempat terjadi polemik internal dalam delegasi. Namun akhirnya dicapai kata sepakat bahwa pembayaran 80 % dilakukan secara angsuran sebesar 30 juta rupiah per bulan. Atas dasar kesepakatan ini, akhirnya delegasi Tim 16 bersama keempat menteri bersama-sama menghadap Presiden SBY. Bahkan pihak pemilik PT. LBI yang diwakili oleh Nirwan Bakrie juga diundang langsung dalam pertemuan dengan SBY tersebut. Pertemuan yang sempat disorot oleh media massa itu menampilkan SBY yang memarahi Nirwan Bakrie. Karena menyetujui cicilan 30 juta rupiah per bulan, Tim 16 sempat bersitegang dengan warga desa, khususnya yang tergabung dalam Geppres. Dengan cicilan 30 juta rupiah per bulan, pembayaran 80 % tak akan segera tuntas, sebab kebanyakan warga desa asetnya jauh lebih besar daripada warga Perumtas. Respon penolakan ini diwujudkan oleh warga Geppres dengan aksi massa memblokade Jalan Raya Porong. Lalu bagaimana dengan Tim 16? Seperti sebait lagu, “janji tinggalah janji...” saat warga Tim 16 kembali ke Sidoarjo mereka kembali mendapatkan janji yang tak sebagaimana mestinya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Koes Soelaksono, Koordinator Tim 16, dari 3000-an anggota Tim 16, pada Bulan Januari 2009 hanya ditransfer pembayaran kepada anggota Tim 16 kurang lebih 300-an orang. Jumlah transferan yang dikirimkan oleh PT. MLJ rata-rata di bawah 30 juta rupiah. Bosan degan janji- janji manis semata, semua kelompok korban Lapindo sepakat untuk menemui Bupati Sidoarjo. Delegasi semua kelompok warga sepakat agar pemerintah memberikan dana talangan, atau mengambil alih semua proses 38
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
tanggungjawab yang semestinya dilakukan oleh PT. MLJ. Sayangnya, pertemuan itu hanya dihadiri oleh perwakilan PT. MLJ setingkat “kacung”, sehingga tidak menghasilkan poin-poin keputusan yang produktif. Hanya sedikit hal yang menguntungkan warga, yaitu Bupati Sidoarjo menyanggupi untuk menyampaikan permintaan warga itu kepada Dewan Pengarah BPLS baik secara lisan maupun tertulis. Sambil menunggu upaya yang dilakukan oleh Bupati, berbagai kelompok warga sepakat untuk membentuk koalisi korban Lapindo. Koalisi korban Lapindo juga diikuti oleh Pengungsi di Pasar Baru Porong, yang telah mengubah namanya dari Pagar Rekontrak menjadi Pagare Korlap (Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo)2. Awal Februari 2009, koalisi korban Lapindo melakukan aksi besar-besaran ke Kantor Gubernur Jatim. Delegasi koalisi korban Lapindo diterima langsung oleh Gubernur beserta jajarannya. Soekarwo, sebagai Gubernur Jatim yang baru berjanji akan memperjuangkan dana talangan sebagaimana yang diinginkan warga ke Jakarta. Di pihak lain, pemerintah pusat, Kapolri bersama dengan PT. LBI dan PT. MLJ mengundang semua kelompok korban lumpur Lapindo ke Jakarta. Dugaan saya, tampak sekali bahwa pertemuan tersebut tersetting dengan bagus untuk memberikan “karpet merah” bagi PT. LBI, dalam melakukan pembayaran 80 % dari semua skema dengan jalan yang ringan. Awalnya PT. LBI menyanggupi pembayaran 80 % sebesar 3 juta rupiah per bulan. Tawaran ini menimbulkan protes keras dari delegasi Tim 16. Bahkan mereka sempat melakukan aksi walk out. Namun oleh jajaran intelkam mabes Polri, mereka bisa dilobi kembali untuk mengikuti pertemuan. PT. LBI menaikkan tawaran menjadi 15 juta3 rupiah per bulan. Angka ini menurut Menteri PU dianggap sebagai jalan keluar yang solutif. Mengingat Bakrie Grup sedang mengalami krisis finansial akibat resesi ekonomi global. Kalau pemerintah benar-benar memikirkan cash flow-nya PT LBI yang menurun, apakah cash flow-nya korban Lapindo yang super defisit tak dipikirkan oleh pemerintah? Pertemuan ini berakhir dengan mengambang. GKLL dengan apa adanya menerima keputusan cicilan 15 juta itu, demikian juga Tim 16 Perumtas. Sementara itu, koalisi korban Lapindo yang terdiri dari Geppres, Pagar Rekorlap, Tim 7 Desa Renokenongo, dan Lasbon Kpur menolak program cicilan tersebut. Pada bulan Maret 2009, koalisi korban Lapindo berencana akan melakukan aksi massa besar-besaran di Jakarta. Persiapan telah dilakukan dengan cukup matang. Teridentifikasi bahwa ada sekitar 1.557 warga yang siap berangkat ke Jakarta. Sebelum warga diberangkatkan ke Jakarta, para delegasi terlebih dahulu MENGGAPAI MIMPI YANG TERUS TERTUNDA
39
berangkat ke Jakarta. Delegasi terdiri dari Suwito, Hari Suwandi (dari Geppres), Sunarto, Bambang Wuryanto (Pagar Rekorlap), Agus Banteng (Las Bon Kpur), serta Subakri, selaku Pelaksana Tugas Harian Kepala Desa Renokenongo yang mewakili Tim 7. Niat awal delegasi berangkat ke Jakarta terlebih dahulu adalah untuk mengurus pemberitahuan ke Mabes Polri, serta mencari tempat yang layak untuk tinggal warga selama aksi di Jakarta. Selidik punya selidik, rupanya delegasi yang berangkat ke Jakarta juga membangun komunikasi intensif dengan Nugroho Jayusman (mantan Kapolda DKI). Menurut Zulkiflie4, yang menjadi penghubung delegasi korban Lapindo dengan Nugroho Jayusman, delegasi akan ditemukan langsung dengan Kapolri dan Presiden, bahkan kalau perlu Nirwan Bakrie sendiri. Tampaknya semua itu janji manis, delegasi rupanya tidak bisa bertemu siapapun, jangankan Presiden, Kapolri dan Nirwan Bakrie saja tidak berhasil ditemui. Bahkan yang lebih menyedihkan, surat tanda terima unjuk rasa yang seharusnya dikeluarkan oleh mabes Polri, tidak diturunkan. Delegasi kembali ke Sidoarjo, tidak saja dengan tangan hampa, malahan mengajak beberapa perwira menengah dari Direktorat Intelkam Mabes Polri. Padahal, kedatangan delegasi telah dinantikan oleh segenap warga koalisi di pengungsian Pasar Baru Porong. Dalam penyampaiannya kepada warga, delegasi menghendaki agar unjuk rasa ditunda. Padahal pada pada hari yang sama sebagian warga yang dikoordinir oleh koordinator lapangan telah membeli tiket kereta api. Penyampaian para delegasi yang menghendaki agar aksi ditunda kontan saja menyulut kemarahan warga. Apalagi, kedatangan delegasi disertai para perwira polisi dari Jakarta. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar di benak sebagian warga. Perang mulut antara delegasi dengan warga, khususnya warga Geppres tak terhindarkan lagi. Inilah titik kritis, dan berakhirnya koalisi korban Lapindo5. Entah disengaja atau tidak, kekuatan besar yang hendak melakukan aksi di Jakarta berhasil dipadamkan. Pagar Rekorlap, atas perintah pengurusnya, urung berangkat ke Jakarta, demikian juga Tim 7 dan Lasbon Kpur. Sementara warga Geppres tetap bersikukuh berangkat ke Jakarta. Akhirnya sebanyak 400 orang dengan dipimpin oleh K.H. Abdul Fatah dan Suharto berangkat ke Jakarta. Selama dua puluh hari lebih warga bertahan di Jakarta. Mereka melakukan aksi di depan Istana Merdeka. Dalam beberapa kali aksinya berlangsung hingga larut malam. Selain aksi di depan istana, mereka juga menggalang dukungan dari berbagai tokoh organisasi, sepeti Muhammadiyah, NU, MUI, dll. Walau begitu, pihak istana tetap tidak memberikan tanggapan yang menyenangkan. SBY sibuk berkampanye untuk memburu kekuasaan, demikian juga wakil rakyat yang lain. Lalu bagaimana akhir dari tuntutan warga korban Lapindo yang masih menuntut 40
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
pembayaran secara tunai, sebagaimana yang tertuang dalam Perpres No. 14 tahun 2007? Tentu, sejarah yang akan membuktikannya. Nasib Warga di Luar Peta Area Terdampak Nasib warga yang berada di kawasan luar peta area terdampak tak kalah terkatungkatungnya. Walau desa mereka juga mengalami dampak semburan lumpur Lapindo, namun PT. LBI tidak bertanggungjawab atas nasib yang mereka alami. Sesuai Perpres No 14 tahun 2007, kawasan yang berada di luar peta area terdampak menjadi tanggungjawab pemerintah. Setidaknya ada 11 desa yang berada dalam kawasan luar peta area terdampak yang mengalami kerusakan, yaitu: Siring Barat, Jatirejo Barat, Gedang, Pamotan, Mindi, Pajarakan, Besuki, Kedung Cangkring, Glagah Harum, Gempolsari dan Ketapang. Nasib sedikit beruntung dialami oleh warga Desa Besuki bagian barat, Pajarakan dan Kedung Cangkring. Setelah berjuang selama dua tahun, kelompok yang dipimpin oleh Rochim6 ini sedikit bernafas lega. Akhirnya pada Bulan Juli tahun 2008, Presiden SBY menetapkan Perpres No. 48 tahun 2008. Melalui aturan ini, pemerintah menetapkan ketiga desa di atas ke dalam wilayah peta area terdampak. Meskipun masuk peta area terdampak, tanggungjawabnya tetap menjadi beban pemerintah. Skema pengaturan untuk tiga desa ini sama persis dengan Pepres No. 14 tahun 2007, dimana pemerintah membeli tanah warga. Harga pembelian tanah dan bangunan juga senilai yang dilakukan oleh PT. LBI terhadap warga korban Lapindo. Pemerintah beralasan, memasukkan ketiga desa ini sebagai persiapan lahan untuk proses pembuangan lumpur Lapindo ke Sungai Porong. Penetapan Perpres No. 48 tahun 2008 ini sempat mengundang protes dari warga Desa Besuki, yang terletak di sebelah timur jalan tol. Sebab, kawasan mereka tidak ikut dimasukkan ke dalam kawasan peta area terdampak yang baru. Padahal kerusakan wilayah yang mereka alami sama, bedanya, mereka cuma dipisahkan oleh bekas jalan tol porong-gempol. Sejak Perpres No. 48 tahun 2008 ditetapkan, pemerintah telah membayarkan uang muka 20 %7 kepada ketiga warga desa tersebut. Proses pembayarannya tidak terjadi kerumitan, sebagaimana jika dibandingkan dengan proses pembayaran yang dilakukan oleh PT. LBI terhadap warga desa yang masuk peta area terdampak versi 22 Maret 2007. Kini, warga di ketiga desa tinggal menunggu sisa pembayaran 80 %. Pembayaran bagi warga Besuki, Pajaran, dan Kedung Cangkring akan menjadi
MENGGAPAI MIMPI YANG TERUS TERTUNDA
41
masalah jika pembayaran 80 % yang dilakukan oleh PT. LBI terhadap warga terdampak pertama belum tuntas. Sebab di dalam Perpres No. 48 tahun 2008 diatur pasal demikian. Lalu bagaimana dengan warga desa luar peta lainnya? Pada Bulan Mei 2008, Gubernur Imam Utomo membentuk tim survei yang berasal dari Institute Teknologi Sepuluh Nopermber (ITS), Surabaya. Surat Keputusan tersebut tertuang dalam SK Gubernur Jawa Timur Nomor 188/158/KPTS/013/2008. Tim ITS tersebut melakukan kajian, antara lain; Jumlah semburan/bubble lumpur, air, gas serta kualitas emisinya, Kondisi lingkungan meliputi pencemaran udara, air serta dampaknya terhadap kesehatan, penurunan tanah dan kerusakan bangunan yang diakibatkan, kerusakan aset, rumah, fasilitas umum, keluhan, ketakutan dan kondisi psikis/keresahan masyarakat. Survei dilakukan terhadap Desa Siring Barat, Jatirejo Barat, Mindi, Gedang, Pamotan, Glagah Harum, Plumbon Gempolsari, dan Ketapang. Hasilnya sungguh mencengangkan, khususnya kerusakan yang terjadi di Siring Barat, Jatirejo Barat dan Mindi. Di ketiga desa tersebut muncul 77 semburan bubble, gas tersebut keluar kebanyakan bercampur antara tanah dan air. Jika terkena percikan api, mudah sekali terbakar, atau bahkan meledak. Ancaman juga muncul dari struktur tanah yang mengalami amblesan (subsidence). Dari ketiga desa ini muncul amblesan tanah berkisar 10-100 cm. Akibatnya banyak rumah rumah warga yang mengalami kerusakan dinding, bahkan beberapa diantaranya telah roboh. Kerusakan rumah yang terjadi di kesembilan Desa di atas mencapai 1.254 rumah. Sedangkan bahaya yang muncul dari udara berasal dari pencemaran gas hidrokarbon. Gas hidrokarbon di ketiga desa tersebut melampaui standar baku mutu. Pencemaran gas hidrokarbon (hc) dalam standar standar baku mutu tak boleh lebih dari 0,24 part per million (ppm). Namun di kawasan Siring Barat, konsentrasi hc ini mencapai 2128-55.000 ppm, di Jatirejo Barat mencapai 590— 11.350 ppm, sedangkan di Mindi mencapai 22.000 ppm. Apa sebenarnya dampak pencemaran hc ini? Mengacu ke NATIONAL INSTITUTE FOR OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH (NIOSH), kandungan hidrokarbon dapat mengakibatkan hal-hal di bawah ini: 1. HC maks 1000 ppm aman untuk maks 8 jam. 2. HC 50.000 ppm atau lebih, EXPLOSIVE (rawan meledak). 3. HC 500.000 ppm mengakibatkan ASPHYXIA (tercekik). Pada tubuh manusia, hidrokarbon dalam bentuk methane, pada tingkat akut mengakibatkan rasa sesak nafas seperti tercekik, terjadi iritasi pada saluran nafas, serta menimbulkan batuk-batuk. Jika sampai menekan syaraf pusat, maka akan 42
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
menimbulkan dampak berantai seperti; sakit kepala, pingsan, disorientasi, atau bahkan lebih jauh berupa kematian. Efek pada kulit, akan mengalami iritasi, sehingga berwarna merah dan gatal. Methane juga akan menimbulkan penyakit neuritis, dan parasthesia. Pada kategori akut, hidrokarbon dalam bentuk methan akan merusak homopoitik yang mengantarkan seseorang pada peyakit leukemia. Pendek kata, ancaman tak hanya di udara dan darat, air pun mengalami ancaman jika dikonsumsi oleh warga. Di kesembilan desa di atas, rata-rata terdapat kandungan logam berat pada air bawah tanah. Maka logam berat itu masuk ke sumur-sumur warga. Kandungan logam beratnya antara lain: Zat, Pdt, Fe, Mn, Cl, Cr, Cd, Pb, KmnO4>BM. Jika dilihat kasat mata, kandungan sumber mata airnya berwarnah keruh, kekuning-kuningan dan, baunya sangat menyengat. Di lapangan, situasi bahaya ini mulai menunjukkan bukti. Data medis yang ada di Puskemas Porong pada tahun 2005—2007 memperlihatkan tensi peningkatan penyakit ISPA, Neuritis, Gastritis dan infeksi kulit. Penderita ISPA tahun 2005—2006 meningkat 4000 orang, yakni dari 23.000 orang menjadi 27.000 orang. Lonjakan terjadi pada tahun 2006—2007, penderita ISPA meningkat dari 27.000 orang menjadi 45 ribu orang. Semua data kerusakan itu didapatkan pada Bulan Mei 2008, atau lebih dari setahun yang lalu. Artinya, jumlah dan eskalasi kerusakan sekarang tentu akan semakin banyak. Sayangnya, pemerintah tidak segera bertindak cepat untuk memberikan reaksi tanggap darurat sebagai pertolongan pertama. Jika pertolongan tanggap darurat saja tidak maksimal, konon lagi proses ganti rugi, tak ubahnya bagaikan kata pribahasa “jauh panggang dari api”. Akankah pemerintah menunggu sampai mereka benar benar “sekarat” dari sisi apapun? Semua pihak yang memiliki atensi atas persoalan ini ada baiknya ikut mendesak pemerintah untuk segera menuntaskan persoalan warga desa di luar peta ini, dengan berpijak pada rasa keadilan korban.
CATATAN AKHIR 1.
Disebut dengan Tim 16 karena mencakup perwakilan dari 16 RW di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtara, yang berlokasi di Desa Kedung Bendo, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo. Keanggotaan Tim 16 mencapai 3000-an kepala keluarga.
2.
Pagar Rekontrak mengalami eskalasi penurunan tuntutan. Dari yang awalnya minta pembayaran 100 % tunai dan lahan 30 hektar, sebulan kemudian menurun menjadi 50 % dan lahan 30 hektar. Bulan Mei 2008 MENGGAPAI MIMPI YANG TERUS TERTUNDA
43
menjadi titik krusial bagi warga Pagar Rekorlap, sebab per 1 Mei 2008, PT. MLJ tidak lagi memberikan pasokan jatah makan di pengungsian. Walau sempat melakukan aksi massa, ditambah dengan tekanan dari bebagai pihak, tampaknya pemerintah tak mampu memerintahkan PT. MLJ untuk tetap memberikan jatah makan bagi pengungsi. Bahkan Lembaga Bantuan Hukum Fakultas Hukum Unair (LBH FH UNAIR) sempat memberikan tawaran bantuan sebagai kuasa hukum bagi Pagar Rekorlap untuk melakukan upaya-upaya hukum terhadap PT. MLJ dan Pemerintah, namun Soenarto sebagai Ketua Pagar Rekorlap tak bersedia menerima tawaran itu. Seoenarto hanya berani memberikan kuasa itu untuk urusan penghentian jatah makan, sementara upaya hukum lainnya tidak diberikan. Kondisi ini membuat posisi tawar Pagar Rekontrak menjadi semakin lemah. Pada Bulan Juli 2008 mereka melakukan perundingan dengan PT. MLJ dan Bupati Sidoarjo. Hasil perundingan itu sungguh mengagetkan banyak pihak. Pengurus Pagar Rekontrak menyetujui pembayaran uang muka 20 %, sementara sisa 80 % disetujui dibayar dengan skema C n R. Bahkan dalam implementasinya, saat menerima uang muka 20 %, warga Pagar Rekorlap sebanyak 400-an KK ditarik uang sebesar 1 % dari nilai 20 % tersebut oleh pengurus Pagar Rekorlap. Menurut warga yang bersangkutan uang 1 % tersebut untuk dana perjuangan dan komisi para pengurus.
44
3.
Pembayaran 15 juta per bulan berjalan untuk semua skema pembayaran sisa 80 %. Relokasi susuk, cicilan 15 juta per bulan dari PT. MLJ berlaku untuk cicilan susuknya. Untuk program C n R, cicilan 15 juta rupiah per bulan berlaku bagi pembayaran rumah warga yang tenggelam lumpur, sementara untuk program cash and carry juga berlaku cicilan 15 juta per bulan, sehingga tidak ada pembayaran secara tunai.
4.
Zuklfili awalnya seorang aktivis yang memiliki solidaritas untuk ikut membela dan menyuarakan hak-hak korban Lapindo. Dia seorang alumnus Fakultas Kedokteran Unair. Umurnya sekitar 40-an tahun. Ia bergabung dengan tokoh lainnya seperti Dr. Tjuk Sukiadi, KH Sholahudin Wahid, Letjen. Purnawirawan Suharto, dan Prof. Syafii Maarif, mereka membentuk Gerakan Menutup Semburan Lumpur Lapindo (GMLL). Dari sinilah permulaanya saya kenal dengan Zulkiflie. Sebab saya juga menjadi bagian dari GMLL. Namun, belakangan ia merapat ke Nugroho Jayusman, entah dengan motivasi apa. Dugaan saya adalah demi akses ke penguasa dan materi. Sekali lagi, ini masih dugaan, bisa benar juga bisa salah.
5.
Akibat perselisihan ini, warga Geppres tak menganggap lagi delegasi mereka, yakni Hari Suwandi dan Suwito sebagai pimpinan mereka. Geppres membentuk kepemimpinan baru di bawah koordinasi K.H. Abdul Fatah.
6.
Rokhim adalah pengajar di Fakultas Hukum Universitas Islam Malang. Ia menjadi menantu Kiyai Amin, seorang Ulama yang disegani di kawasan
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
Besuki dan sekitarnya. 7.
Saat pembayaran 20 % dilakukan, warga dari ketiga desa tersebut juga dikenakan tarif 1 % oleh pengurus Gempur 3 Desa yang dipimpin oleh Rokhim. Menurut warga, uang 0.5 % tersebut untuk dana perjuangan dan uang terima kasih kepada para pengurus.
MENGGAPAI MIMPI YANG TERUS TERTUNDA
45
Resiko Bencana Industrial dalam Privatisasi Sumber Air Si-Gedhang—Klaten Erwin Endaryanta
Dalam satu dekade terakhir ini muncul satu isu radikal tentang tata kuasa dan tata kelola sumber daya air yang mampu mengubah secara fundamental cara pandang, tatanan kebijakan, dan berpotensi memunculkan bencana industrial yang kompeks. Isu ini mulai menggeliat sejak 9 tahun lalu melalui World Water Forum pada bulan Maret tahun 2000. Forum yang dihadiri oleh 140 wakil pemerintah setingkat menteri atau pejabat senior pemerintahan telah mendeklarasikan “Air sebagai kebutuhan”1 serta merekomendasikan desain baru pengeloaan sumber air ini. Desain ini memisahkan antara pengelolaan air sebagai bagian tersendiri dari tanah dan kepemilikan kolektif. Kalau sebelumnya air tanah dianggap sebagai bagian dari tanah, dan dengan demikian maka kepemilikannya sesuai dengan kepemilikan tanah. Pengelolaan baru ini mengasumsikan bahwa air tanah sebagai hal yang terpisah kepemilikannya dari tanah. Konsekuensinya, dalam konteks sumber air akan dikelola secara terpisah. Melalui cara ini, penyediaan ‘kebutuhan air’ menempatkan perusahaan dapat memiliki hak dalam memproduksi dan mendistribusikan air bagi pencukupan kebutuhan. Deklarasi ini merupakan respon ancaman krisis air di masa mendatang. Suatu negara dikatakan mengalami krisis air jika ketersediaan air bagi masing-masing penduduk telah menyentuh level di bawah 1000 m3 air dalam satu tahunnya2. Kemudian, forum yang diselenggarakan oleh Bank Dunia dan diikuti oleh perwakilan pemerintah, PBB dan perusahaan multinasional dalam pertemuan world forum ke-III di Kyoto telah menyepakati beberapa prinsip pengeloaan sumber daya air, di antaranya (1) air haruslah dipertimbangkan sebagai sumber daya ekonomi. Air dapat dijual, dibeli maupun dijadikan alat pertukaran seperti halnya minyak atau jagung; (2) air bagi makhluk hidup merupakan kebutuhan dan bukan
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009, PP. 47-56
47
sekedar hak, manusia hanyalah sebagai pengguna barang atau jasa (air) yang seharusnya dapat dijangkau dengan mekanisme pasar; (3) air haruslah diperlakukan sebagai barang yang berharga “ the blue gold”, yang mana ketersediaannya semakin berkurang sehingga membutuhkan langkah-langkah penting untuk menyikapinya. Pesan prinsipil ini mendorong setiap negara untuk menerapkan orientasi kebijakan politik mendukung privatisasi, yang meliputi; pertama bahwa pengelolaan air harus berdasarkan kerja sama swasta dan umum. Kedua, pemberian prioritas pengelolaan kepada swasta, ketiga, pembebasan, deregulasi maupun privatisasi sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah disyaratkan World Bank dan IMF dan, keempat adalah tindakan atas pemanfaatan sumber air yang belum dieksploitasi (Endaryanta, 2007). Bagi Indonesia secara khusus, dan kawasan Asia-Pasifik secara umum, keputusan global untuk privatisasi air bukanlah hal yang pertama dalam mendorong pelepasan aset publik untuk dikonversi dalam sektor private3. Dengan begitu, keputusan global yang telah diambil pada dasarnya telah memiliki model implementasi secara struktural yang kuat. Latar belakang kebijakan ini cukup sederhana tetapi berdampak kompleks, yakni keterjebakan hutang Indonesia khususnya di sektor air yang mencapai hampir AS$ 1.943,6 Juta selama Orde Baru4, dan desain kebijakan pasca reformasi 1998 baik nasional maupun lokal yang cenderung bersifat predatoris5. Pergeseran otoritas dalam rezim ini berkontribusi terhadap resiko penjarahan aset publik dalam corak collective goods6 oleh sektor swasta yang kuat, semisal TNC/MNC. Sehingga corak industrialisasi atau desain pembangunan yang dijanjikan sulit mewujudkan kesejahteraan publik itu sendiri. Di sini desain industrialisasi dengan privatisasi sumber daya air memunculkan konflik pengelolaan sumber daya air7 dan berujung pada bencana industrial. Kehirauan terhadap pemetaan bencana dewasa ini telah menjadi perhatian utama. Lokus utama dalam studi ini bukan hanya mengukur seberapa besar dampak kerusakan yang ditimbulkan semisal korban jiwa, kerusakan lingkungan, atau meningkatnya angka kesengsaraan hidup, melainkan juga mulai memetakan pengelolaan resiko yang feasible. Menemukan dan mengelola bentuk resiko diharapkan akan memberikan sumbangan bagi kebijakan alternatif untuk meletakkan aspek interpretasi atas dampak yang ditimbulkan oleh kejadian yang sudah terjadi atau yang mungkin akan terjadi (levels of probability of events).8 Tulisan ini secara substantif menganalisis bencana industrial dan resiko yang muncul dari proses privatisasi sumber air oleh industri pengelolaan sumber air tanah Si-Gedhang–Klaten, Jawa Tengah, menjadi Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), Aqua-Danone9.
48
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
Relasi Kuasa Sumber Air Si-Gedhang Ribuan petani telah melakukan protes seiring dengan kebijakan lokal pemerintah desa di Ponggok dan Wangen yang memutuskan menerima investasi eksplorasi sumber air si-Gedhang—Klaten. Petani khawatir gagal panen karena kekurangan pasokan air. Kabupaten Klaten dikenal sebagai lumbung pertanian propinsi Jawa Tengah sekaligus sebagai daerah yang kaya dengan sumber mata air tanah. Jumlah Penduduk Klaten yang mencapai hampir 1 juta penduduk ditopang dengan luas lahan pertanian di Klaten yang mencapai 33 ribu hektar (Bappeda, Klaten 2004) berikut dengan 137 sumber air tanah (groundwater) dan 80 sungai dengan berbagai kualifikasinya (Eko dan Ratri, 2005), secara normatif seharusnya tidak akan mengalami kelangkaan pasokan air. Bahkan penelitian geologi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa daerah ini menyimpan potensi sumber air terbesar untuk kawasan Asia Tenggara. Beberapa mata air diantaranya adalah Cokro Tulung dan Si-Gedhang (lebih lengkap tentang sumber air tanah di Kabupaten Klaten tersaji dalam Tabel 1). Tabel 1. No 1
Potensi sumber air di Klaten
Lokasi Sumber Air Nopen-Teras
Jumlah Sumber 2
Debit Air (liter/detik) >200
Kegunaan Irigasi persawahan dan PDAM
2
Janti – Polanharjo
3
>200
Irigasi dan PDAM
3
Nilo – Polanharjo
2
>100
Irigasi dan pusat rekreasi
4
Cokro – Tulung
1
>1500
PDAM dan pusat rekreasi
5
Si-Gedhang–Polanharjo
1
>200
Irigasi dan Aqua – Danone
6
Ponggok – Polanharjo
1
>200
Irigasi
7
Jatinom – Karanganom
1
>100
Irigasi
Sumber:
Tim Survei Geologi, Laboratorium Fisika Bumi – ITB dan PT TIA Danone, Oktober 2000
Data geologi bawah permukaan tersebut menunjukkan bahwa lokasi dan kapasitas sumber air Si-Gedhang secara ekonomis potensial untuk dieksplorasi oleh Aqua—Danone. Lapisan aquifer (batuan sarang yang merupakan wadah
RESIKO BENCANA INDUSTRIAL DALAM PRIVATISASI...
49
penyimpanan air tanah) Si-Gedhang terdapat dalam Formasi lahar pada kedalaman 41-62 m dan lapisan aquifer tertekan pada kedalaman 83-120 m. Aliran bawah permukaan menunjukkan bahwa sumber air ini berasal dari daerah tangkapan (recharge area) yang sama dengan mata air Cokro Tulung, yaitu dari Gunung Merapi. Oleh karena itu daerah titik sumur bor tidak harus tepat diatas mata air melainkan ada empat titik rekomendasi yang bagus untuk pengeboran yaitu: (1) daerah sekitar mata air Si-Gedhang; (2) daerah sekitar mata air Cokro Tulung; (3) daerah 100 m dan; (4) 300 m di sebelah utara sumber mata air Si-Gedhang10. Secara matematis, sumber air ini mampu memproduksi air per tahun lebih dari enam milyar liter (6.307.200.000 liter/tahun). Debit air yang begitu besar selama ini dimanfaatan secara tradisional oleh penduduk sekitar untuk pemandian umum, irigasi persawahan dan kegiatan konsumsi setiap hari. Selain itu, pemanfaatan secara ekonomis sumber air mulai dirintis secara pelan tapi pasti11. Perubahan mulai terjadi seiring dengan munculnya industri AMDK oleh Aqua— Danone sebagai pemasok AMDK bagi kebutuhan pasar baik di level lokal, nasional maupun global. Bersamaan dengan itu, arah perubahan mulai dikendalikan oleh perusahaan multinasional atau industri skala transnational dan mulai menuju pada eksploitasi besar-besaran sumber air si-Gedhang yang terletak di Desa Ponggok. Eksploitasi ini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, eksploitasi fisikal. Koridor regulasi yang dibangun melalui kesepakatan Pemda Klaten dengan Aqua—Danone memperbolehkan eksploitasi sumber air maksimum sebesar 23 liter per/detik12. Belum genap berusia 2 tahun, jumlah air yang dieksploitasi memunculkan perdebatan dan sempat mengundang inspeksi mendadak dari Dirjen Sumber Daya Air pada bulan Februari 2004 karena eksploitasi air tanah yang mencapai 86 liter/ detik. Inspeksi tersebut dibenarkan oleh pihak Aqua—Danone, dan mengurangi debit air tanah sampai 65 liter/detik13. Overflow ini bertentangan dengan data yang dilansir oleh Aqua—Danone bahwa eksploitasi sumber air Si-Gedhang berkisar antara 13,51 liter/detik dan maksimal 21,23 liter/detik14. Walaupun belum ada penelitian komprehensif tentang dampak fisikal ini, tetapi trend menurunnya candangan air mulai nampak di Sukabumi15, maupun daerah ekploitasi Aqua— Danone yang lain. Penurunan ini mendorong Aqua—Danone untuk mencari daerah baru di luar Kabupaten Sukabumi. Pun demikian, perusahaan ini memunculkan konflik. Kedua, eksploitasi sosial. Dalam konteks ini, eksploitasi sumber air si-Gedhang telah memunculkan beberapa segi eksploitatif yang krusial. Pertama adalah krisis air di Klaten. Krisis air ini beriringan dengan berkurangnya cadangan air. Bagi penduduk sekitar Sumber air Si-Gedhang—Klaten krisis ini terasa kuat disaat musim 50
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
kemarau datang. Dalam kondisi ini banyak lahan persawahan yang kering dan mendorong gejolak sosial. Kedua adanya sistem buruh kontrak. Sistem ini lazim dipakai oleh Aqua—Danone dengan menetapkan karyawan sebagai buruh tetap dan buruh kontrak. Secara keseluruhan, Aqua—Danone tercatat memiliki buruh tetap sebanyak 9000 orang dan sekitar 60.000 adalah tenaga tidak kontrak yang merupakan kepanjangan tangan perusahaan di pasar dan sumber air yang paling dekat dengan konsumen16. Khusus dalam konteks di Klaten, sistem ini dilegalisasi dan dilegitimasi dalam kontrak kesepakatan antar dua pihak. Dan, ketiga adalah keberlanjutan beban sosial ekonomi petani Klaten. Beban ini mulai terasa semenjak tahun kedua, 2004, sejak eksploitasi berlangsung petani Klaten memiliki beban ganda dengan mengeluarkan 30 ribu rupiah per hari di musim kemarau untuk menyewa pompa air dan membeli bahan bakar guna mengairi sawah17. Dalam konteks eksploitasi ini privatisasi diperkenalkan sebagai instrumen sosial (Endaryanta, 2007). Instrument sosial ini dapat dilacak dari proses privatisasi yang melibatkan perilaku elit predatoris di level lokal dalam menjarah sumber – sumber air untuk kepentingan finansial dan regulasi baik di level nasional maupun lokal yang mendukung ke arah liberalisasi sumber air18. Pondasi sosial ke arah privatisasi ini sudah diperkenalkan melalui UU No. 11 tahun 1974 yang memberikan justifikasi hukum bahwa air mulai dilepaskan dari aspek keterikatan dengan tanah yang berarti pula keluar dari ruang pengaturan UUPA. Kemudian, agenda ini berjalan pasca reformasi melalui keppres No. 96 dan keppres No. 118 tahun 2000 yang membuka kesempatan bagi praktek modal asing dan UU No. 7 Tahun 2004. Dalam proses privatisasi di ranah lokal, pendatanganan Memorandum of Understanding (MoU) tanggal 20 Maret 2002 menjadi acuan dasar dalam momentum peletakan pondasi privatisasi. Pemerintah daerah Klaten sepakat dengan perusahaan untuk memulai eksplorasi dan menguasakan sepenuhnya sumber air Si-Gedhang untuk dikelola PT TIA-D. Pola penguasaan ini diserahkan dengan penjualan aset sumber air yang sebelumnya merupakan tanah kas desa seluas 1,25 Ha ditambah dengan tanah kepemilikan pribadi kepala desa seluas 2, 75 Ha. Tanah kas tersebut kemudian oleh PT TIA-D dihutankan dan dinyatakan terlarang bagi umum dengan didirikan pagar jeruji besi. Sedangkan lokasi pabrik didirikan di desa Wangen, dengan mengkonversi tanah seluas 10,5 Ha19. Tabel 2 di bawah ini menggambarkan bagaimana model penguasaan modal dan pendalaman terhadap pola penguasaan sumber air diterapkan. Pusparagam aktor maupun kebijakan menunjukkan langkah-langkah sistemik yang diambil mengandung banyak kealpaan, baik yang sudah terjadi maupun yang sedang dalam proses. Kealpaan ini adalah kegagalan para pengambil kebijakan baik di level lokal maupun nasional dalam memahami aset publik dan watak collective sumber air. RESIKO BENCANA INDUSTRIAL DALAM PRIVATISASI...
51
Tabel 2. Sejarah dominasi Aqua – Danone
2002 – sekarang
2000
1998
Th
Tahapan Pembelian saham 15% PT Aqua Golden Missisippi (PT AGM), Dan Penambahan pemilikan saham sampai 74% ditahun 2001
Proses Proses pembelian saham ini di lakukan oleh feddian Pte Ltd. Sebuah perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum singapura kepemilikan Danone Asia Ltd Singapura. Perusahaan ini juga merupakan satelit dari Compaigne Gravis of Paris, Perancis, dengan tujuan memperluas ekspansi.
Regulasi Negara Penjualan ini disetujui oleh pemerintah Indonesia melalui Menteri Negara Investasi/Kepala BKKPM dengan keputusan surat No. 333/U/PMA/1998. Keppres No. 96 tahun 2000 dan Keppres no. 118 tahun 2000, yang memberikan porsi kepemilikan saham perusahaan asing kepada perusahaan lokal di dalam lapangan usaha terbuka untuk PMA seperti air mencapai 95 %.
Pemetaan potensi sumber air
Bekerjasama dengan tenaga ahli di Laboratorium Fisika Bumi— ITB
—
MoU dengan PemKab Klaten, desa Ponggok dan desa Wangen.
Pabrik ini mulai beroperasi Oktober 2002 dengan sertifikasi penuh luas lahan sumber air (tanah kas Desa) 4 ha di Desa Ponggok dan luas pabrik 10,5 ha di Desa Wangen. Tenaga kerja kontrak yang butuhkan sebanyak 366 orang, rata-rata diambil dari penduduk sekitar dua desa dan peralihan tenaga kerja dari titik eksplorasi Aqua di Wonosobo—Jawa Tengah.
Level Kabupaten: Perda No. 12 tahun 1991
Proses produksi
Level desa: Dalih penerapan UU Otonomi Desa
Diolah dari pelbagai sumber: Endaryanta, E., 2007.
Memetakan Potensi Bencana Industri Lebih dari 5 tahun perjalanan Industri Aqua—Danone memunculkan perubahan wajah kebijakan dan implikasi bagi tatanan sosial pedesaan sebagai dampak dari adanya industrialisasi berupa AMDK. Di level masyarakat, kehirauan untuk mulai tanggap terhadap resiko dimulai dengan membaca potensi–potensi kerusakan yang muncul. Pemetaan bencana industrial secara fisikal tidak cukup dengan hanya 52
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
melihat jumlah korban jiwa yang meninggal maupun kerusakan lingkungan yang parah, tetapi juga perlu melihat potensi kerusakan akut dengan level yang kompleks. Kehirauan terhadap resiko menuntun refleksi mendalam tentang siapa atau sistem mana yang mengalami kerentanan. Sehingga, dampak yang ditimbulkan oleh serangkaian kejadian atau kemungkinan kejadian memiliki daya yang bisa dikelola dan tidak mengarah pada bentuk yang catastrophic. Konteks kerentanan di Klaten memiliki tiga dimensi reflektif yang perlu diperhatikan. Pertama, kerentanan adalah bagian dari sistem dimana potensial gejolak sosial justru direproduksi oleh sistem regulasi lokal Klaten. Dengan demikian, kerentanan muncul dalam kerangka yang diciptakan oleh rancangan pembangunan yang belum mengantisipasi bencana industrial yang lahir. Desain ini jelas merupakan kelalaian sistemik yang berujung pada efek berantai maupun efek pembangunan sistem yang eksploitatif. Semisal, dalam 6 tahun eksploitasi ini (2002—2008) beragam tuntutan mulai dari penataan ruang fisik sumber air di Klaten dalam mengantisipasi krisis air sampai pada proses transparansi dan akuntabilitas perusahaan terus bergulir. Kerugian yang diterima baik oleh Pemkab Klaten maupun masyarakat petani khususnya, mulai jelas terlihat20. Terang bahwa, keseluruhan proses, substansi dan konteks privatisasi ini membawa bencana industrial yang akut sekaligus resiko yang semakin besar untuk menjadi tantangan di masa depan dalam distingsi antara kenyataan dan kemungkinan-kemungkinan yang muncul (Evers and Nowotny, 1987; Markowitz, 1991). Dalam fenomena bencana industrial, yang perlu dicermati adalah bagaimana bentuk, karakter dan dampak yang ditimbulkan oleh proses industrialisasi itu sendiri. Ada dua dampak yang perlu dianalisis secara mendalam dalam konteks melihat potensi resiko industrial dalam fenomena eksploitasi sumber air Si-Gedhang, yaitu: efek berantai dan efek pembangunan sistem. Efek berantai dimulai dari pergeseran signifikan dalam “legitimatisasi dan legalisasi” komodifikasi sumber air. Kedalaman dalam delegitimasi aset publik ini cukup mengkhawatirkan memberikan kontribusi bagi pergeseran nilai sebagai intangible aspek dalam kehidupan masyarakat dalam memahami kembali fungsi sumber air. Disamping itu, aspek tangible dari keterbatasan akses atas aset publik ini, baik dalam segi kuantitas, harga maupun kualitas, akan menjadikan petani dan penduduk sekitar yang bergantung dengan ketersediaan sumber air di sekitar sumber air Si-Gedhang rentan mengalami krisis air. Sumber air yang memiliki jalurjalur distribusi air dalam tanah dan terhubung dengan sumber–sumber air lainnya, khususnya yang berdekatan dengan sumber air Si-Gedhang, yakni sumber air kapilaler dan sumber air Cokro, membuka perseteruan berkelanjutan antar pihak, khususnya pihak petani dan PDAM Solo. RESIKO BENCANA INDUSTRIAL DALAM PRIVATISASI...
53
Peralihan fungsi air yang semula diperuntukkan bagi irigasi belasan kecamatan di Klaten menjadi AMDK telah memunculkan tuntutan pengendalian perusahaan dalam batasan-batasan eksploitasi. Apabila ambang batas pemanfaatan AMDK sekitar 23 liter/detik dipatuhi, diyakini tidak akan mengganggu distribusi air, terutama bagi irigasi petani. Faktor teknis eksploitasi beresiko secara sosial dan politik, terutama dalam masalah transparansi. Hampir-hampir tidak ada penjelasan yang cukup transparan tentang sistem eksploitasi apakah dengan cara memompa atau cukup mengandalkan energi potensial dorongan air tanah yang keluar dari sumber melalui pipa-pipa Aqua—Danone. Cara dengan memompa akan mengakibatkan sumber air di sekitar si-Gedhang mengalami penurunan debit air. Kalau ini yang dilakukan, maka sumber air Cokro Tulung yang dimanfaatkan oleh PDAM Solo untuk kebutuhan domestik air bersih di kota Surakarta akan terganggu. Demikian juga dengan sumber air kapilaler yang berjarak hanya beberapa meter dengan si-Gedhang. Efek berantai yang lain berbasis pada protes sosial yang muncul dari kalangan petani yang bergantung dari sumber air kapilaler yang mengeluhkan tentang turunnya muka air tanah pada daerah mata air ini21. Bagi petani, efek eksploitasi ini menambah pengeluaran yang harus mereka tanggung. Munculnya alat pemompa air dan kekeringan di persawahan menjadi situasi yang kontradiktif. Fenomena ini dalam pengamatan penulis22 terjadi di banyak titik, antara lain Kecamatan Delanggu, Ceper, Trucuk, Kwarasan, Pedan. Daerah-daerah ini sebelum kehadiran Aqua adalah daerah yang mengakses suply air dari sumber air kapilaler. Di masa kemarau misalnya, pengeluaran mereka hampir 1,6 juta rupiah untuk mendapatkan distribusi air ke kecamatan Trucuk—Klaten guna membayar sumur pompa dalam setiap kali panen (Endaryanta, 2007). Efek pembangunan sistem terutama pada aspek fundamental hubungan industri dengan kebijakan publik dalam pengelolaan sumber daya air. Hubungan industrial dengan model buruh kontrak memiliki kerentanan–kerentanan sistemis yang akut. Buruh kontrak hampir-hampir tidak memiliki payung hukum negara untuk mendapatkan proteksi hak–hak dasar mereka. Selain itu, pola rekruitmen dengan rekomendasi pola patronase maupun konversi kepemilikan aset melalui sertifikasi telah memberikan ruang kuasa bagi perusahaan tanpa sistem kontrol yang jelas. Ruang ini juga menunjukkan bahwa arena kebijakan publik dengan dominasi rezim pengelolaan yang predatoris sangatlah beresiko tinggi dan merusak bagi publik.
54
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
CATATAN AKHIR 1.
Barlow, M. and Clarke, T., 2002. Blue Gold: the fight to stop the corporate. New Delhi, hlm. 82-83.
2.
Shiva, V., 2002. Water Wars: Privatisasi, Provit dan Polusi. Insist dan Walhi, hal. 2.
3.
Penelusuran ini dapat diunduh pada: —, —. Kebijakan World Bank dan ADB dalam Privatisasi Air di Asia. www.kau.org. Diakses tanggal 12 Agustus 2004, Jam 16.30 WIB.
4.
—, 2005. Water Policy. Mitra Tani, Yogyakarta.
5.
Catatan terhadap rezim predatoris kali pertama muncul dalam typology yang dibuat oleh Matinussen, J., 1997. Society, State and Market: A Guide to Competing Theories of Development. Zed Books Ltd, London and New Jerrey, hal. 238. Beberapa peneliti kemudian bisa menjadi alat validasi terhadap bentuk buruk sistem ini. Penelusuran yang dilakukan oleh Sally Sargeson dkk. (2002), menunjukkan proses ini berjalan selama Orde Baru: Collective Goods, Collective Futures in Asia. London and New York, Routledge, lihat chapter Waren, C., and McCarty, J., Beeson, M., hal 2639. Demikian juga yang ditemukan oleh Richard Robison dkk, dalam Robinson, R. and Hadiz, V. R., 2004. Reorganizing Power in Indonesia. The Politics of Oligarchy in Age of Markets. Roultledge Curzon, London and NewYork, hal. 19-42.
6.
Collective Goods dalam perkembangan di setiap negara memiliki tipologi pengelolaan yang berbeda. Sumber daya yang memuat dimensi - dimensi sosial ekonomi secara luas, tidak dapat diperdagangkan, dan diatur dalam satuan teritorial terutama hukum adat. Konsep kepemilikan individu—tidak seperti di Barat—tidak mendominasi dalam proses pengelolaan barang publik. Fenomena ini berjalan sebelum kekuasaan pemerintah yang tidak diharapkan menjarah kedaulatan kolektif yang sudah terbangun. Sargeson, S., 2002. Introduction, dalam Sally S., (ed), 2002. Collective Goods, Collective Futures in Asia. London and New York, Routledge, hal. 26-39.
7.
Sumarjono. 2003. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Air. Kasus Sumber Air “Pemandian Mangli” di Kelurahan Kejiwan, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Wonosobo. S2 Sosiologi UGM, Yogyakarta. (Thesis, tidak dipublikasikan).
8.
Anggoro, K. 2008. Risk Assessment. Paper serial CIRiS, Yogyakarta.
9.
Tulisan ini berdasarkan pada ide dasar penelitian yang telah dilakukan oleh penulis dalam kepentingan akademis dan aktivitas keberpihakan sosial terhadap petani Klaten pada bulan September — Oktober tahun 2004. Hasil RESIKO BENCANA INDUSTRIAL DALAM PRIVATISASI...
55
dari pencapaian akademik telah dipublikasikan dalam Endaryanta, E., 2007. Politik Air, Studi Politik Privatisasi Air dalam Relasi Ekonomi Politik Negara dan Trans National Corporations (TNC). Studi Kasus Pemetaan Kuasa dan Eksploitasi Sumber Air Si-Gedhang—Klaten oleh PT TIA-D (Aqua—Danone). Laboratorium Fisipol UGM. Untuk kepentingan artikel ini, tulisan diperkaya dengan data yang relevan dengan kajian ini.
56
10.
—, 2000. Eksplorasi Air Tanah dengan Metoda Geofisika di daerah Si Gedhang, Klaten, Jawa Tengah. Laboratiorium Fisika Bumi ITB – Bandung, (tidak dipublikasikan).
11.
Perintisan ini dimulai dengan memanfaatkan sumber air Cokro Tulung, sumber air yang berseberangan dengan sumber air Si Gedhang, dengan kapasitas debit air mencapai 1500 liter/detik, yang dikelola oleh pihak pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1928 sebagai sentra pemasok air bagi Kasunanan Surakarta melalui pipa-pipa Perusahaan Air Negara. Keterangan ini diperoleh dari Abimanyu, Direktur Utama PDAM Solo pada tahun 2005. Model ini mulai diterapkan juga oleh pemerintah Kabupaten Klaten untuk memasok kebutuhan air rumah tangga melalui sistem yang sama ke rumah-rumah penduduk.
12.
Paparan resmi Aqua Danone, 12 Februari 2004
13.
FGD di Bappeda Klaten 2 maret 2004
14.
Paparan Aqua – Danone di Pemkab Klaten, 12 Februari 2004
15.
Lihat Gatra Nomor 18, Kamis 12 Maret 2009.
16.
Gideon Direktur marketing PT TIA-D, lihat Bernas – Jogja , tanggal 2 Agustus 2003
17.
www.greenradio.fm, 30 Desember 2008, diunduh tanggal 12 Maret 2009
18.
Lihat tabel 2
19.
Paparan PT. TIA-D di DPRD Klaten, tanggal 12 Februari 2004.
20.
Tuntutan sekarang di tahun 2009 ini digulirkan oleh anggota Tindak DPD Jawa Tengah terkait dengan kalkulasi kerugian masyarakat Klaten yang mencapai 12 milyar tiap tahun dan kalkulasi kerugian Pemkab Klaten mencapai 1,3 milyar per tahun akibat dari penggelapan pajak. Kalkulasi kasar kerugian negara dilansir mencapai sekitar 15 milyar per tahun. www.kapanlagi.com, diunduh 14 Maret 2009.
21.
Bappeda Klaten, Juni 2005. Laporan Akhir Studi Pemetaan Sumber Air di Kabupaten Klaten. hal 83.
22.
Survey dilakukan pada bulan September – Oktober tahun 2004 dan live in bulan September 2004.
DISASTRUM VOL.1 NO.1 TH. 2009
TENTANG PENULIS
Bosman Batubara; masuk Jurusan Teknik Geologi FT-UGM pada tahun 2000 dan lulus pada tahun 2005. Sempat bekerja sebagai exploration geologist pada PT. Kaltim Prima Coal, dan sekarang bekerja sebagai Editor Pelaksana pada Disastrum Journal. Semasa mahasiswa terlibat aktif dalam pelbagai organisasi mahasiswa seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Teknik Geologi (HMTG) FT-UGM dan Forum Himpunan Mahasiswa Geologi Indonesia (FORHIMAGI). Dapat dihubungi di:
[email protected]. Erwin Endaryanta; lahir di Sleman, 27 Juni 1981. Masuk studi sebagai mahasiswa di Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM tahun 1999 dan menyelesaikan studinya tahun 2005. Menyelesaikan program magister studi pertahanan (Defense Management and Security Analysis) di Institut Teknologi Bandung (ITB) kerjasama dengan Cranfield University-UK. Disamping itu, penulis merupakan peneliti di Magister Ilmu Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM, Centre for Indonesia Risk Studies (CIRiS) Yogyakarta-Jakarta, aktif sebagai redaktur tamu Jurnal Lembaga Ombudsman Daerah (LOD) Yogyakarta dan Koordinator Divisi Advokasi dan Pendidikan Politik, Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat (Syarikat) Indonesia. Keterlibatan dalam gerakan sosial dibangun semenjak penulis aktif di Kepengurusan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) DIY periode 2001—2003, Presidium GMNI periode 2003—2006 dan Gerakan Reforma Agraria (AGRA), DIY 2003—2006. Dapat dihubungi:
[email protected]. Paring Waluyo Utomo; Alumnus Jurusan Administrasi Negara, Universitas Brawijaya, Malang. Pendamping Korban lumpur Lapindo. Selama satu tahun lebih hidup di pengungsian Pasar Baru Porong. Sampai kini masih mendampingi korban Lapindo yang dieksploitasi berbagai pihak. Dapat dihubungi di:
[email protected]
TENTANG PENULIS
57
comming on july H.M. MAKSUM ZUBER
TITANIC MADE BY LAPINDO
The Lapindo mudflow gradually disturbed the peace of Jatirejo. Nights grew longer as we slept less and less. In the day we busily talked about the boiling mud, but the more we talked about it, the murkier we became. Discussions about the mudflow did not progress, they spun in circles. People became annoyed and irritated. Sometimes just talking about mudflow and what it has done would incite us to pointless arguing. Every one of us felt like an expert on the mudflow. Bit by bit, we grew more emotional and quicker to flare. So much has happened. The unfolding chain of events has disrupted the social harmony between villagers and their villages. Can you imagine? In the beginning, we were all very close, but problems raised by the levees and our options for resettlement have torn us apart. The bonds of unity have been cut, and now even the slightest things trigger the passions of love and hate simmering between us. The conditions make us apprehensive—tender are the hearts of people that have fallen victim to the mud, in Jatirejo and elsewhere. Does anyone pay attention to us? Who cares if husbands and wives quarrel, while also fighting with in-laws? Those of us that lived on this land steeped in disaster are left to either count the compensation owed, or fight tooth and nail to keep the land of our ancestors. Some people argue that our entire legacy, what is left beneath the mud, must be sold as soon as possible because Jatirejo will never be a village again—not in the near or distant future.
LAFADL PUSTAKA
TFD
THE TRUE WISDOMS ARE FOUND IN HOLY BOOKS ON T-SHIRTS especially on pingsoet.
T E M A E D I S I B E R I K U T N YA VOLUME 1 NOMOR 2 TAHUN 2010
MIGRASI DAN BENCANA Bagi anda yang berminat menulis tentang tema ini, silakan kontak redaksi untuk mendiskusikannya.
Sampaikan kritik dan saran anda ke: Redaksi Disastrum Journal Jl. Dayu Baru no 1-A, Sinduharjo, Sleman, Yogyakarta 55581, Indonesia. Telp. +62 (0) 274 888 726 E-mail.
[email protected]
Jl. Dayu Baru no 1-A, Sinduharjo, Sleman, Yogyakarta 55581, Indonesia. Telp. +62 (0) 274 888 726 E-mail.
[email protected] Website. www.lafadl.org/disastrum