ISSN : 2528-6757
1 Volume 1 2016
Regionalisme dan Pengaruhnya Terhadap Kebijakan Domestik Negara Anggota: Bagaimana ASEAN Terhadap Indonesia?
Jurnal Analisis Kebijakan Volume 1 Nomor 1 Tahun 2016
Sayfa Auliya Achidsti
Kebijakan Pemekaran Daerah Dalam UU No. 23 Tahun 2014 Suryanto
Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES): BUMDES Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta Tony Murdianto Hidayat
Potret Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945 dan Penyelesaian Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara Frenky Kristian Saragi
Inovasi Pelayanan Publik: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah Harditya Bayu Kusuma
Moratorium Daerah Otonomi Baru: Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom Sabilla Ramadhiani Firdaus
Mendorong Inovasi Pelayanan Publik di Pemerintah Daerah P. Pieter Djoka
Analisis Kebijakan
Volume 1
Nomor 1
Halaman 1-122
2016
Diterbitkan Oleh: DEPUTI BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA Jl. Veteran no. 10 Jakarta 10110
ISSN : 2528-6757
Jurnal Analisis Kebijakan Vol. 1 No. 1 Tahun 2016 Redaksi : Pengarah
:
Sri Hadiati WK SH, MBA
Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi
:
Dr. Ridwan Rajab, M.Si
Dewan Redaksi
:
Dr. Ridwan Rajab, M.Si Ani Suprihartini, SE, MM Widhi Novianto, S.Sos, M.Si Dr. Edy Sutrisno, SE, M.Si Suryanto, S.Sos, M.Si
Mitra Bestari
:
Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo, MA (Kebijakan Publik) Dr. Mohammad Faisal (Ekonomi Kebijakan Publik) Moh. Ilham A. Hamudy, S.IP., M.Soc.Sc (Politik dan Pemerintahan) Imam Radianto ASP, ST, MM (Administrasi Publik)
Redaktur Pelaksana
:
Tony Murdianto Hidayat, S.Si
Redaksi
:
Muhamad Imam Alfie Syarien, S.Sos, MPA Rico Hermawan, SIP Rusman Nurjaman, S.Fil Maria Dika Puspita Sari, SIA Frenky Kristian Saragi, SH Muhammad Syafiq SIP
Desain Cover
:
Sulistio Satrio Firdaus S.Pd
Diterbitkan oleh: Deputi Bidang Kajian Kebijakan (Deputi Chairman For Policy Studies) Lembaga Administrasi Negara (National Institute Of Public Administration) Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110 Telp. (021) 3688201-05 Ext 114, 115, Fax (021) 3865102 Website : www.lan.go.id/web/dkk/ Email :
[email protected] 2016
UNDANGAN MENULIS: Redaksi menerima naskah hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis isu-isu dalam lingkup bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Reformasi Administrasi serta Analis Kebijakan. Naskah diketik dalam Ms Word menggunakan Bahasa Indonesia sepanjang 15-20 halaman, ukuran kertas A4, huruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Judul, Abstrak, dan kata kunci ditulis dalam dwi bahasa (Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia) masing-masing sepanjang 100-200 kata. Naskah bisa dikirim langsung ke Redaksi, melalu pos atau email, dan untuk naskah yang dicetak di atas kertas harus disertakan soft file copy. Redaksi berhak melakukan penilaian dan penyuntingan terhadap naskah yang masuk. Naskah yang lolos seleksi oleh Redaksi, akan direview oleh Mitra Bestari (Reviewer). Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imbalan yang menarik.
i
ISSN : 2528-6757
Daftar Isi Editorial
iii-iv
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?
1-15
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014
17-32
PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA: BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta
33-50
POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAI AN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA
51-67
INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah
69-88
Sayfa Auliya Achidsti
Suryanto
Tony Murdianto Hidayat
Frenky Kristian Saragi
Harditya Bayu Kusuma
MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU: Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektifitas Daerah Otonom
89-104
Sabilla Ramadhiani Firdaus
MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAH
105-122
Petunjuk Penulisan
123-124
P. Pieter Djoka
ii
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
Editorial Jurnal Analisis Kebijakan merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Deputi Bidang Kajian Kebijakan Lembaga Administrasi Negara RI. Jurnal ini menjadi wadah penyampaian ide, gagasan, pemikiran, dan analisis kebijakan, terutama di bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Reformasi Administrasi dan Analis Kebijakan. Edisi perdana Jurnal Analsis Kebijakan ini menyajikan sejumlah tulisan yang merefleksikan sejumlah gagasan sebagai respon atas dinamika yang berkembang dalam bidang sistem dan hukum administrasi nega ra, desentralisasi dan otonomi daerah, reformasi administrasi dan analisis kebijakan. Melalui tulisan berju dul “Regionalisme dan Pengaruhnya Terhadap Kebijakan Domestik Negara Anggota: Bagaimana ASEAN Terhadap Indonesia?”, Sayfa Auliya Achidsti meng angkat topik keikutsertaan Indonesia dalam kerjasama regional ASEAN. Menurutnya keikutsertaan Indonesia dalam forum kerjasama regional (ASEAN) belum mampu meningkatkan kepentingan domestik Indonesia ke ling kup Asia Tenggara. Dalam studi perbandingan regulasi me ngenai kebijakan pemekaran daerah, melalu artikelnya “Kebijakan Pemekaran Daerah dalam UU No. 23 Tahun 2014”, Suryanto menggarisbawahi bahwa aturan-aturan yang memperketat syarat melakukan pemekaran di UU pemda yang baru ini bisa menjadi jalan keluar untuk menekan laju derasnya permintaan pemekaran di daerah selama ini. Adanya syarat harus menjadi daerah persiapan terlebih dahulu selama 3 tahun merupakan salah satu langkah strategis sebelum memutuskan apakah daerah yang akan mekar tersebut layak untuk berdiri sendiri menjadi wilayah anyar yang mampu membawa kesejahteraan rakyat. Melalui pembahasannya mengenai pengelolaan badan usaha milik desa dengan studi kasus di Desa Karangrejek, Gunungkidul, Yog yakarta”, Tony Murdianto Hidayat melakukan identifikasi faktor-faktor kunci yang melandasi keberhasilan pengelolaan BUMDes di desa tersebut. Menurutnya ada 5 kunci keberha silan yaitu kearifan lokal; kuatnya dukungan masyarakat, pemerintah (pusat maupun daerah) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); kepemimpinan kepala desa; pemilihan usaha yang tepat berbasis potensi desa, dan;
pengelolaan usaha. Frenky Kristian Saragi membahas tentang Potret Kelembagaan Negara dan Penyelesai an Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara. Melalui artikel yang berjudul “Potret Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945 dan Penyelesaian Sengketa Kewenangan Antara Lembaga Negara”, penulis menyoroti perubahan sistem ketatanegaraan pasca amandemen UUD 1945. Selain itu, mayoritas perkara dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK karena permohonan perkara sengketa kewenangan lembaga negara tersebut tidak memenuhi kriteria objectum litis dan subjectum litis. Tulisan berikutnya mengambil tema inovasi pelayanan publik dan otonomi daerah. Dalam tulisan yang bertajuk “Inovasi Pelayanan Publik: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Da erah”, Harditya Bayu Kusuma mengungkapkan bahwa otonomi daerah memberikan ruang mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing. Inovasi yang telah dilakukan oleh beberapa daerah memberikan harapan menjanjikan adanya arah kecenderungan yang positif dalam peningkatan kualitas pelayanan publik. Artikel selanjutnya mengambil topik kebijakan moratorium Daerah Otonomi Baru (DOB). Melalui tulisannya yang berjudul “Moratorium Daerah Otonom Baru: Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektifitas Daerah Otonom”, Sabilla Ramadhiani Firdaus menekankan bahwa keberhasilan efektifitas DOB sangat bergantung pada komitmen seluruh stakeholders memenuhi indikator dan langkah strategis yang dirancang untuk membangun dan menciptakan penyelenggaran daerah yang dinamis. Tulisan terakhir, P. Pieter Djoka mengangkat topik inovasi pelayanan publik di pemerin tah daerah dengan mengambil studi kasus di Kota Kupang. Dalam tulisan yang berju dul “Mendoriong Inovasi Pelayanan Publik di Daerah”, ia menguraikan tiga hal yang bisa mendorong inovasi pelayanan publik di da erah, yaitu, perubahan mindset dan cultural set, optimalisasi Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), dan kerjasama Pemerintah Daerah dengan swasta.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
iii
Redaksi menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan serta apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Mitra Bestari selaku reviewer yang memberikan masukan yang berharga atas seluruh naskah yang masuk. Tak lupa ucapan terima kasih juga ditujukan kepada semua penulis yang telah berupaya keras dan tidak putus asa telah melakukan
iv
revisi dan perbaikan naskahnya sesuai koreksi dan masukan dari mitra bestari. Kepada sidang pembaca budiman, kami haturkan selamat membaca. Komentar dan masukan dari pembaca mengenai isi, topik, dan pengembangan jurnal ke depan juga sangat kami nantikan. Semoga bermanfaat. **********
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
Artikel REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?
REGIONALISM AND ITS INFLUENCE TO MEMBER COUNTRY’S DOMESTIC POLICIES: Study on ASEAN and Indonesia Sayfa Auliya Achidsti Alumnus Pasca sarjana Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gajah Mada Abstrak: Kajian berfokus pada pandangan bahwa kebijakan negara adalah bentuk “kepublikan” dari sebuah rezim pemerintahan. Kebijakan adalah produk hukum yang mengikat setiap tindakan masyarakat, dan negara itu sendiri, sebagai sebuah aturan. Namun, penguatan pasar me munculkan ketidakseimbangan dan kebutuhan pencapaian tujuan tertentu antarnegara. Hal ini menimbulkan kebutuhan untuk kerjasama antara negara-negara. Regionalisme merupakan fenomena yang mulai berkembang di dunia sebagai kesepakatan antara negara-negara berdasar kewilayahan. Kajian melakukan analisis dalam konteks regionalisme dan pengaruh nya terhadap kepublikan (kebijakan) negara, yang diwujudkan dalam kebijakan-kebijakannya. Kata Kunci: Kebijakan, Regionalisme, Kepublikan, Investasi, ASEAN.
Abstract: This paper focuses on state policy as a form of “publicness” of a particular regime. Policy is a legal product that binds public action, and the state itself. However, the growing market triggered imbalances and needs to attain shared objectives of countries within a region. It raises the needs to cooperate between countries. Regionalism, a phenomenon that is emer ging in the international relations, is an agreement between countries based on territory. In this paper, the author analyses regionalism and its influence to state publicness, which is manifested in its policies. Keywords: Policy, Regionalism, Publicness, Investment, ASEAN.
A. PENDAHULUAN Belakangan, perkumpulan para pemim pin negara di kawasan Asia Tenggara diadakan lebih sering untuk melakukan kesepakatan-kesepakatan multilateral antara pemerintahan. Dalam konteks regional Asia Tenggara, organisasi ASEAN menjadi lembaga yang menaungi dan bertindak sebagai semacam forum yang membicarakan persoalan di berbagai sektor, terutama ekonomi, sosial-politik, dan sebagai penengah dalam konflik baik yang mungkin terjadi maupun potensial. Agenda terakhir dari ASEAN, mi
salnya, adalah pencapaian ASEAN Economic Community (AEC) yang berkomitmen membentuk kawasan Asia Tenggara sebagai sebuah kesatuan pasar tunggal. Dalam tingkat tertentu, regionalisme ASEAN menampilkan bentuk lembaga supranasional, yang memiliki kekuatan mempengaruhi kebijakan domestik negara anggotanya. Pada tingkat paling sederhana, ASEAN sebagai lembaga supranasional me lakukan pengaruhnya paling tidak dalam tindakan komunikasi antarnegara, yang termapankan dalam bentuk hubungan diplomasi itu sendiri.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
1
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia? Sayfa Auliya Achidsti
B. ASEAN SEBAGAI REGIONALIS ME: Aspek Historis Non-Blok. Persoalan yang lebih penting sebenarnya adalah dalam hal pengaruh ASEAN sebagai lembaga luar negara yang dapat mempengaruhi nega ra anggotanya dalam dua konteks. Pertama, terkait dengan sifat negara sebagai lembaga tertinggi secara legal-formal terhadap penduduk dalam wilayahnya. Hal ini jelas berimplikasi pada konsep “tidak ada lembaga yang lebih tinggi di atas negara terhadap rakyat dalam batas-batas teritorial nya”. Di sisi lain, ASEAN sebagai sebuah lembaga selalu melakukan redefinisi mengenai posisinya terhadap negara-negara anggota melalui konferensi atau pertemuan-pertemuan yang dilakukan untuk membentuk kebijakan atau kesepakatan antarnegara. Kedua, posisi negara yang menempatkan diri sebagai anggota ASEAN yang menghasilkan kebijakan domestik dalam berbagai sektor. Dalam hal ini, artikel ini akan me ngesampingkan perbincangan menge nai bagaimana penerapan lapang an atas kebijakan-kebijakan tersebut; me lainkan akan lebih fokus secara konseptual, di mana negara anggota menerima posisi nya sebagai anggota dan menerima pengaruh lembaga supranasional tersebut dengan produk-produk kebijakannya dan tindakan politis berkaitan dengan diplomasinya. Association of South-East Asia Nations (ASEAN) didirikan pada 8 Agustus 1967 dengan anggota pertamanya Indonesia (diwakili Adam Malik), Malaysia (Tun Abdul Razak), Filipina (Narcisco Ramos), Singapura (S. Rajaratnam), dan Thailand (Thanat Koman). Pertemuan pertamanya melahirkan Deklarasi Bangkok, dengan tujuan peningkatan pertumbuhan ekonomi, sosial, kebudayaan, perdamaian, dan stabilitas negara anggota. Anggota 2
berikutnya adalah Brunei Darussalam (resmi terdaftar pada 7 Januari 1984), Vietnam (28 Juli 1995), Myanmar (23 Juli 1997), Laos (23 Juli 1997), dan Kamboja (16 Desember 1998) yang menyusul bergabung. Prinsip-prinsip utama ASEAN dalam pembentukannya mencakup beberapa hal, antara lain: Menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesamaan, integritas wilayah nasional, dan identitas nasional setiap negara; Hak untuk setiap negara untuk memimpin kehadiran nasional bebas daripada campur tangan, subversif atau koersi pihak luar; Tidak mencampuri urusan domestik sesama negara anggota; Penyelesaian perbedaan atau perdebatan dengan damai; Menolak penggunaan kekuatan yang mematikan; dan Kerjasama efektif antara anggota. Pembentukan ASEAN yang di atas kertas mencoba menjalankan fungsi koordinatif, bagaimanapun menjadi bentuk dari regionalisme dalam kawasan Asia Tenggara. Regionalisme di Asia Tenggara yang mendapatkan bentuknya melalui ASEAN pada 1967 berawal dari kekhawatiran ne gara-negara di kawasan ini mengenai isu stabilitas: ini adalah periode awal negara yang baru merdeka saat itu. Regionalisme ini juga —langsung maupun tidak langsung— dipengaruhi kondisi Perang Dingin yang sedang terjadi. Apa yang terjadi saat itu adalah adanya pengaruh bipolar dan adanya kepentingan Indonesia untuk tidak merapat kepada satu poros politik du nia (blok Barat dengan pasukan sekutu dan NATO, dan blok Komunis dengan Uni Soviet dan aliansinya). Perang Di ngin sendiri berlangsung sejak pasca Perang Dunia II (PD II) antara periode 1947-1991. Uni Soviet dengan negara-negara di kawasan Eropa Timur yang didudu
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia? Sayfa Auliya Achidsti
kinya membentuk Blok Timur. Di sisi lain, agenda pembangunan Amerika Serikat (AS) pasca PD II di kawasan Eropa Barat membawa Rencana Marshall (Marshall Plan); sedangkan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet membentuk agenda Council of Mutual Economic Assistance (Comecon) yang berkegiatan pada sekitaran periode Perang Dingin 1949-1991. Kubu AS membentuk aliansi militer NATO pada 1949 dan Uni Soviet membentuk Pakta Warsawa pada 1955. Beberapa negara lain yang memilih untuk tidak memihak kedua blok tersebut membentuk Gerakan Non-Blok. Perang Dingin berpengaruh terhadap adanya konsep regionalisme pada periode tersebut. Negara baru dan negara yang memilih tidak memihak, tidak bisa berdiri sendiri. Gerakan Non-Blok adalah cara me reka menempatkan diri (positioning) sekaligus pe ngamanan politik dan diplomasinya. Hal yang kurang-lebih sama terjadi pada sebab-sebab munculnya regionalisme Asia Tenggara ini. Isu konflik dan keamanan nega ra-negara berkembang muncul sebagai pertimbangan. Memang aliansi di bawah kedua blok tersebut bukan negara-negara yang memiliki pengalaman dalam aksi militer untuk perang lapangan. Namun, ketegangan muncul sebab masing-masing kubu memiliki senjata nuklir sebagai potensi perang dengan kehancuran yang besar. Periode selanjutnya pada saat Perang Dingin berlangsung menyebabkan adanya krisis di berbagai negara, misalnya konflik militer regional dalam Blokade Berlin (1948-1949), Perang Korea (1950-1953), Krisis Suez (1956), Krisis Berlin (1961), Krisis Rudal Kuba (1962), Perang Vietnam (1959-1975), Perang Yom Kippur (1973), Perang Afghanistan (1979-1989), dan peristiwa penembakan penerbangan Korean Air
007 oleh Soviet (pada 1983). Di lapangan, ketidakstabilan tidak hanya terjadi akibat adanya ketegang an antarblok. Ketidakstabilan dalam ne geri mengakibatkan pula jatuhnya banyak korban dan kerugian ekonomi negara. Penolakan terhadap peme rintahan berkuasa, aksi demonstrasi, hingga upaya-upaya menjatuhkan rezim menjadi rangkaian gerakan yang muncul pada periode ini.1 Kemunculan Perang Dingin itu sendiri ditandai dengan perubahan drastis dalam budaya politik di bebe rapa negara, tidak terkecuali negara besar seperti AS. Dalam politik luar negeri—yang begitu mempengaruhi perspektif masyarakat AS di dalam negeri—terlahir persepsi paranoid terhadap komunisme sebagai musuh yang kejam yang berniat untuk mendominasi dunia.2 Beberapa fenomena dalam negeri akibat Perang Dingin seperti suasana ancaman, proyek investigasi, tes kesetiaan, dan kebijakan anti-subversi muncul sebagai respon pemerintah negara-negara yang terlibat dalam ketegangan tersebut. Dengan adanya perubahan kons telasi politik internasional dan kondi1. Lihat Philip G. Altbach (Ed.), Politik dan Mahasiswa, terj. (Jakarta: PT Gramedia, 1995). Dalam buku ini terdapat beberapa tulisan mengenai gerakan mahasiswa dan sosial di beberapa negara yang melakukan tuntutan perubahan kebijakan pemerintahan hingga aksi radikal dalam penolakan pemerintahan. 2. Ori Landau, “Cold War Political Culture and the Return of the Systems Rationality”, dalam Human Relations 59.5 (May, 2006); G.M. Lyons, The Uneasy Partnership: Social Science and the Federal Government in the Twentieth Century (New York: Russell Sage Foundation, 1969); R. Polenberg, One Nation Divisible (Harmondsworth: Penguin, 1980); P. Boyer, By the Bomb’s Early Light (New York: Pantheon Books, 1985); J.P. Diggins, The Proud Decades (New York: W.W. Norton, 1988); S.J. Whitfield, The Culture of the Cold War (Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press, 1991).
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
3
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia? Sayfa Auliya Achidsti
si konflik tersebut, beberapa bentuk regi onalisme yang terbentuk ber awal dari sebab-sebab ketidakstabilan glo bal yang dikhawatirkan akan berpe ngaruh dalam kestabilan domestik. Paling tidak terdapat tiga faktor yang menjadi sebab terjadinya regionalisme di kawasan Asia Tenggara. Pertama, adanya kesamaan kondisi negara-negara di kawasan ini yang mayoritas adalah negara baru pasca-kolonialisme. Pada kurun waktu di sekitar PD II yang mengakibatkan banyak negara kolonial mengalami ketidakstabilan, banyak negara jajahan memerdekakan diri. Kedua, kesamaan bahwa negara-negara di kawasan ini bukan menjadi sentrum penyebar ideologi, melainkan lebih sebagai arena perebutan pengaruh ideologi. Secara umum, beberapa negara memilih menjauh dari blok komunis. Terutama Indonesia sebagai salah satu inisiator yang memiliki sejarah yang menempatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai pihak yang dikambinghitamkan pada Peristiwa G30S 1965. Paling tidak, lima negara pendiri ASEAN pertama merupakan negara yang menjauh dari blok komunis. Ketiga, persamaan kondisi bahwa negara-negara di kawasan Asia Tenggara relatif memiliki persamaan etnis. Walau demikian, alasan pertama dan terutama alasan kedualah yang menjadi sebab ide regionalisme ASEAN dilaksanakan di Asia Tenggara. C. POLITIK GLOBAL TERHADAP REGIONALISME Pada periode awal terbentuknya ASEAN, gagasan mengenai kestabilan di tengah kondisi Perang Dingin dan ide tentang persamaan etnisitas cukup kuat. Namun, dengan semakin berkurangnya ketegangan kondisi Perang Dingin dan rangkaian protes sosial di dalam negeri, isu kerjasama ekonomi 4
mulai dijadikan pertimbangan dalam regionalisme. Tahun 1980-an adalah masa di mana proyek regionalisme dipandang dengan kekurangpercayaan publik dengan fungsi hanya sebagai “penjaga keamanan” di satu wilayah kawasan. Doktrin Washington Consensus oleh Ronald Wilson Reagan (Presiden AS 1981-1989) dan Margaret Tatcher (PM Britania Raya 1979-1990) membuat konsep regionalisme lama ditinggalkan.3 Hal ini ditandai dengan hancur nya Pakta Warsawa dan melemah nya NATO. “Regionalisme lama” yang dilandasi pada keamanan regional pada kondisi Perang Dingin, beralih menjadi “regionalisme baru” yang le bih bertolak pada hubungan diplomasi dalam kepentingan ekonomi. Beralihnya “regionalisme lama” pa da “regionalisme baru” ini sendiri memiliki proses yang tidak sederhana. Di awal dekade 1980-an, banyak negara berkembang mengalami krisis ekonomi sebab faktor eksternal 3. Washington Consensus pertama kali diperkenalkan oleh John Williams pada 1989 yang menjelaskan mengenai kebijakan ekonomi yang perlu dijadikan standar reformasi di negara berkembang. Rekomendasi Washington Consensus tersebut antara lain adalah: 1) Disiplin anggaran pemerintah; 2) Pengarahan pengeluaran pemerintah dari subsidi ke belanja sektor publik, terutama di sektor pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan, sebagai penunjang pertumbuhan dan pelayanan masyarakat kelas menengah ke bawah; 3) Reformasi pajak, dengan memperluas basis pemungutan pajak; 4) Tingkat bunga yang ditentukan pasar dan harus dijaga positif secara riil; 5) Nilai tukar yang kompetitif; 6) Liberalisasi pasar dengan menghapus restriksi kuantitatif; 7) Penerapan perlakuan yang sama antara investasi asing dan investasi domestik sebagai insentif untuk menarik investasi asing langsung; 8) Privatisasi BUMN; 9) Deregulasi untuk menghilangkan hambatan bagi pelaku ekonomi baru dan mendorong pasar agar lebih kompetitif; dan 10) Keamanan legal bagi hak kepemilikan
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia? Sayfa Auliya Achidsti
(kondisi global) dan internal (kekurangan modal). Hal ini mengakibatkan adanya tren utang luar negeri yang meningkat pada negara-negara baru. Negara-negara di Amerika La tin, Asia, dan Afrika melakukan respon krisis dengan mengubah kebijakan domestik secara struktural: dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Dalam pengaruh wacana global, tren desentralisasi semacam ini dapat memiliki kaitan dengan konsep yang diusung Washington Consensus, misalnya pada kebijakan substitusi impor, pembukaan kran mekanisme pasar, dan liberalisasi aset negara. Berakhirnya Perang Dingin memun culkan berbagai bentuk regionalisme di berbagai kawasan. Penerimaan Vietnam, Kamboja, dan Laos sebagai anggota baru ASEAN meskipun nega ra-negara tersebut memiliki kedekatan dengan komunisme adalah bukti bahwa “regionalisme lama” ASEAN telah ditinggalkan, dan beralih pada kepentingan ekonomi. Pembentukan ASEAN Economic Community 2015 (yang kemudian direvisi targetnya menjadi tahun 2015 dalam AEC Blueprint 2025) yang bertumpu pada tiga konsep besar (keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya) menyisakan sektor ekonomi menjadi fokus riil dalam agenda-agendanya. Di awal terbentuknya ASEAN, fokus pembahasan berada dalam isu politik dan stabilitas keamanan dengan pendekatan “ASEAN Way”, membentuk identitas bersama sebagai dasar pemecahan masalah antarnegara ASEAN. Beberapa perjanjian yang kemudian muncul dan diterapkan seperti Zone of Peace, Freedom, and Neutrality (ZOPFAN) pada 1971, Treaty of Amity and Cooperation (TAC) yang dikenal sebagai Bali Concord I adalah bentuk kebijakan dari ide “regionalisme lama” ASEAN.
Deklarasi ZOPFAN ditandatangani pada 27 November 1971 sebagai ke se pakatan ASEAN sebagai kawasan damai dan netral menggagas adanya pembentukan Southeast Asia Nuclear Weapon Free Zone (SEANWFZ) untuk “mengamankan” wilayah ASEAN dari adanya nuklir. Pada 29 Juli 2007 akhirnya ASEAN bersepakat untuk mengadopsi gagasan SEANWFZ untuk pembentukan kawasan bebas nuklir. Protokol ini juga terbuka bagi pena ndatanganan oleh RRC, Perancis, Rusia, Inggris, dan AS. Walaupun kemudian alasan-alasan “regionalisme lama” ASEAN seperti kekhawatiran terhadap perang du nia dan rangkaian protes pada Perang Dingin telah usai, pada kenyataannya banyak kesepakatan yang dilakukan ASEAN merupakan pengaruh dari tuntutan tren negara maju. Terlebih persoalan ekonomi, reformasi kebijakan negara adalah salah satu fokus yang pada akhirnya menjadi perhatian dari perjanjian-perjanjian yang melibatkan negara-negara anggota ASEAN. Kontradiksinya adalah, ASEAN Way merupakan manifestasi dari regiona lisme gaya lama yang mencoba membuat demarkasi identitas dengan poros kekuatan global lain. Perjanjian yang telah disebut di atas pada kenyataannya lebih memunculkan perdebatan konseptual daripada menyelesaikan masalah lintasnegara ASEAN. Lebih jauh, ASEAN Way yang dibentuk sebagai penyadaran identitas bersama (collective identity recognition) tidak mampu memunculkan implikasi ekonomi-politik dalam dunia global. Perjanjian ekonomi dan investasi asing yang masuk ke kawasan ASEAN masih berupa aktivitas yang tidak membentuk industrialisasi dan perputaran modal dalam lingkup regional ini. Krisis ekonomi Asia pada 1997/1998 memberikan pengaruh langsung pada
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
5
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia? Sayfa Auliya Achidsti
ASEAN, dengan fokus kerjasama antara negara anggota pada peningkatan “competitiveness” kawasan untuk menarik investasi. Pada 1972, ASEAN membentuk Preferential Trade Agreement (PTA) yang mengalami kegagalan.4 Dengan adanya krisis ekonomi Asia tahun 1997/1998, peran organisasi internasional seperti International Monetary Fund (IMF) menguat dalam kaitannya dengan organisasi regional. ASEAN menarik IMF untuk percepatan perbaikan ekonomi, yang pada akhirnya berimplikasi pada perubahan model integrasi ASEAN. Pembentukan ASEAN plus 3 (APT) dan ASEAN Vision 2020 adalah reaksi atas krisis. Pelaksanaan berikutnya adalah penandatanganan Hanoi Plan of Action yang berjalan selama enam tahun sebagai rangkaian ASEAN Vision 2020 tersebut. Kegiatan ASEAN dikoordinasikan oleh Sekretariat ASEAN, yang berbasis di Jakarta, Indonesia. Pada perkembangannya, para pemimpin ASEAN mengatakan bahwa AEC berniat melakukan integrasi populasi lebih dari 566 juta penduduk dan produk domestik bruto lebih dari 1,1 triliun dolar AS. Landasan AEC adalah ASEAN di Area Perdagangan Bebas (ASEAN Free Trade Area/AFTA) yang merupakan skema tarif umum eksternal pre ferensial untuk mempromosikan aliran bebas barang dalam ASEAN.5 Un-
sur-unsur lain dari integrasi ekonomi, seperti arus bebas investasi dan jasa dan penghapusan hambatan non-tarif telah ditambahkan.6 Menarik untuk mencermati bagai ma na dampak lanjutan adanya AEC bagi negara-negara anggota ASEAN. Dalam tulisan Romprasert mengenai keberlanjutan ekonomi makro ne gara ASEAN, dikatakan bahwa ketika AEC diaktifkan, Thailand dan anggota ASEAN lainnya akan menghadapi perubahan besar dalam keuntungan dan kerugian. Thailand sendiri merupakan salah satu negara pengekspor besar di dunia. Dalam hal ini, ekspor dijadi kan ukuran untuk melihat pengaruh perubahan kondisi makro ekonomi di sebuah negara. Disebut bahwa kesepakatan AEC yang diturunkan dalam bentuk kebijakan ekonomi pemerintah Thailand menimbulkan peningkatan nilai pendapatan domestik bruto (PDB) dan ekspor. Di samping itu, laporan menunjukkan AEC memiliki pengaruh dalam penurunan tingkat pengangguran di Thailand.7 Hampir seperti European identity pada regionalisme Uni Eropa (UE), ASEAN Way menjadi semacam satu kode formal dalam mengarahkan kese pakatan-kesepakatan negara anggota ASEAN dalam kebijakan yang akan dilakukan. Dengan adanya latar belakang pembentukan ASEAN yang le bih pada landasan diplomasi tersebut,
4. Lihat Gerald Tan, ASEAN Economic Development and Cooperation (Singapore: Times Media Pvt., Ltd., 2003). 5. Kesepakatan AEC ditandatangani pada November 2007 dengan tujuan adanya sebuah pasar tunggal, tetapi hal ini terkendala persoalan ketiadaan eksekutif pusat yang kuat atau badan yang berkembang dengan hukum. Namun demikian, oleh Suppanunta Romprasert, hal ini disebutkan sebagai kegagalan untuk mengintegrasikan pasar ASEAN beragam berarti hilangnya investasi dan peluang ekonomi untuk pesaing regional, seperti China dan India. Sebagai dampak
dari pembentukan AEC telah meningkatkan ekspor, yang merupakan faktor yang paling penting yang berkontribusi terhadap PDB, dan kemudian dihubungkan bersama-sama dengan variabel ekonomi makro lainnya seperti tingkat pengangguran, nilai tukar riil. Lihat Suppanunta Romprasert, “Asian Economic Community with Selected Macroeconomic Variables for Exports Sustainability”, dalam International Journal of Economics and Financial Issues, Vol. 3, No. 3/2013. 6. ASEAN Annual Report 2008-2009 (2009). 7. Romprasert (2013).
6
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia? Sayfa Auliya Achidsti
kebijakan yang diadakan kurang berdasar pada kepentingan dasar negara anggota.8 Perbedaan antara UE de ngan ASEAN dalam regionalisme pada persoalan ini memang jelas. Seperti, bahwa UE menerapkan regionalisme institusional dan ASEAN lebih dalam bentuk yang cair. Sifat kebijakan ASEANsecara organisasional masih lebih cenderung sebagai reaksi atas kondisi global. UE secara kelembagaan memiliki pengaruh yang relatif mengikat dalam kebijakan di kawasan Eropa. Hal ini karena sifat dari lembaga, yang terutama bergerak dalam kepentingan ekonomi-politik. Beberapa hal dapat menjelaskan perbedaan model antara ASEAN dan UE. Pertama, UE memiliki negara de ngan kekuatan ekonomi yang dapat mempengaruhi ekonomi internasional, sedangkan ASEAN merupakan organi sasi dengan anggota negara-negara baru yang terpengaruh global. Kedua, pembentukan UE awalnya adalah motif ekonomi, yaitu kebutuhan adanya otoritas administrasi bersama untuk mengurus industri batu bara dan baja yang dimiliki Perancis dan Jerman. Pada perkembangan nya, negara yang bergabung adalah negara dengan kepentingan ekonomi yang relatif sama. Pada “peresmian” organisasi UE, negara-negara bergabung untuk kepentingan ekonomi di mana forum ekonomi yang telah ada sebelumnya semakin menguat dalam diplomasi. Sedangkan, ASEAN dibentuk dengan kepentingan taktis (jangka pendek dan reaktif) dengan adanya ketegangan dua blok negara besar saat itu. 8. Lihat tulisan Gillian Goh, “The ‘ASEAN Way’: Non Intervension and ASEAN’s Role in Conflict Management”, dalam Stanford Journal of East Asian Affairs, Vol. 3, No. 1 (2003).
Ketiga, hal yang sekaligus menjadi kelemahan ASEAN adalah adanya visi yang mengasumsikan bahwa ASEAN dapat bergerak dalam sektor kebudayaan dengan melihat persamaan relatif kebudayaan negara-negara anggota. Dalam hal ini mungkin persamaan akan dapat ditemukan secara parsial.9 Namun, dalam konteks regio nalisme, hal ini menjadi masalah karena kebudayaan yang dimiliki antarne gara berbeda. Belum lagi bahwa selain persoalan perbedaan kebudayaan,10 visi ASEAN sebagai organisasi regional yang mengusung tema kebudayaan akan sulit menemukan indikator pencapaian dalam kegiatan integrasi budaya ini. D. KEPUBLIKAN DIPLOMASI DA LAM KEBIJAKAN NASIONAL Seperti yang telah dijelaskan, dalam perkembangan ASEAN, perjanjian dan kesepakatan yang dilakukan dalam forum regional tersebut telah dapat mempengaruhi munculnya kebijakan domestik, bahkan beberapa telah mempengaruhi pola kebijakan domestik. Dalam konteks Indonesia sendiri, terdapat beberapa kebijakan menarik terkait dengan pengaruh diplomasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara—yang pada perkembangannya sangat mempengaruhi pembangunan Indonesia hingga hari ini. Salah satu contohnya adalah kebijakan yang melibatkan beberapa negara dalam program Revolusi Hijau. Program ini menggambarkan perubahan yang sangat fundamental dalam penggunaan teknologi pertanian yang dimulai pada 1950-an hingga 1980an. Program ini diterapkan di banyak 9. Oleh karena itu, saya menyebut dengan “persamaan relatif” (dalam tanda kutip). 10. Lihat Shaun Narine, Explaining ASEAN: Regionalism in Southeast Asia (London: Lynne Rienner Publishers Inc., 2002).
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
7
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia? Sayfa Auliya Achidsti
negara berkembang, terutama di Asia sebagai daerah dengan pertanian yang masih dilakukan sebagai pekerjaan mayoritas penduduk dengan cara tradisional. Target program ini adalah kecukupan bahan pangan di negara-negara yang mengalami kekurang an pangan, seperti di Bangladesh, Cina, Vietnam, India, Indonesia, dan beberapa negara lain. Revolusi Hijau sendiri pada akhirnya menjadi program paradigmatik, de ngan perubahan pola pikir dan pola kebijakan pemerintah terkait dengan pertanian melalui empat pilarnya, ya itu: sistem irigasi, penggunaan pupuk kimia, pestisida, dan varietas unggulan. Program ini diinisiasi oleh dua organisasi donor internasional, Ford dan Rockefeller Foundation. Kedua organi sasi ini pun telah mengembangkan gandum di Meksiko (pada 1950) dan padi di Filipina (1960). Istilah Revolusi Hijau digunakan pertama kali pada 1968 oleh mantan direktur USAID, William Gaud, yang menggunakan konsep ini sebagai instrumen kebijakan multinasional. Walaupun tidak secara langsung dilakukan kerjasama atas nama perjanjian institusional melalui ASEAN, pada kenyataannya Revolusi Hijau merupakan program yang diikuti Indonesia oleh karena pengaruh diplomasi dan kondisi ekonomi-politik yang mengharuskan pemerintah Indonesia mengikutinya. Hal yang menarik di sini adalah penerapan Revolusi Hijau yang mulai dilakukan pada pemerintahan Presiden Soeharto. Rezim Orde Lama ini mene rapkan konsep “Pembangunanisme” dalam sistem kebijakannya. Pada tahun 1984-1989, Indonesia mencapai swasembada beras. Namun, terdapat fakta bahwa Revolusi Hijau ini tidak kompatibel diterapkan sebagai kebijakan pertanian di Indonesia. Alihalih membawa dampak positif dan 8
berkelanjutan, Revolusi Hijau justru membawa pengaruh yang tidak menguntungkan secara jangka panjang. Adanya kedekatan pemerintahan Soeharto dengan Barat mengarahkan kebijakan ke arah akomodasi modal asing, berikut dengan beberapa kebijakan struktural yang turut berubah mengikuti adanya kekuatan modal tersebut.11 Hal ini menjadi persoalan yang lebih kompleks mengingat bahwa pada latar belakang sejarah ASEAN, Indonesia menempatkan diri pada posisi depan sebagai inisiator. Tercatat bahwa dampak negatif yang justru terjadi berkelanjutan dengan adanya Revolusi Hijau adalah: 1) penurunan produksi pangan protein, karena pengembang an pangan karbohidrat tidak diimbangi dengan penguatan pangan ternak; 2) berkurangnya keanekaragaman hayati dengan drastis dengan adanya keharusan penggunaaan bibit yang te lah disepakati; 3) ketidakseimbangan alam dengan pemakaian pupuk kimia; dan 4) munculnya hama jenis baru dengan pemakaian pestisida. Dampak lanjutan setelahnya, justru menjadi persoalan struktural dalam negeri yang rumit untuk dipecahkan. Dengan penerapan kebijakan paradigmatik adanya Revolusi Hijau ini, masa pemerintahan Presiden Soeharto lebih tampak sebagai penyeragaman bahan pangan pokok (beras) di seluruh Indonesia. Hasilnya, kebutuhan pangan pokok yang sebelumnya tidak menjadi masalah karena beragamnya tradisi terkait pertanian dan penyediaan pa ngan lokal, berubah menjadi kebutu11. Untuk lebih jelas melihat hubungan antara modal asing yang masuk dan pengaruhnya pada pola kebijakan dan aspek ekonomi-politik Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, lihat Jefrey A. Winters, Power in Motion: Capital Mobility and the Indonesian State (AS: Cornell University Press, 1996).
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia? Sayfa Auliya Achidsti
han akan satu jenis pangan meningkat. Ujungnya, pasca program pendampi ngan dan donasi Revolusi Hijau, terjadi kekurangan bahan pangan dan impor bahan pangan pokok di Indonesia. Dapat dilihat bahwa pola kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia lebih cenderung sebagai reaksi terhadap kepentingan-kepentingan negara lain yang diinstitusionalkan sebagai kesepakatan regional maupun kondisi global. Hal ini lebih terlihat pasca pemerintahan Presiden Soekarno berakhir dan digantikan dengan Presiden Soeharto yang memilih untuk mendekatkan diri pada blok Barat. Implikasinya, mekanisme pasar adalah pilihan kebijakan yang lebih banyak digunakan oleh pemerintah, termasuk dengan adanya regionalisme yang mulai menguat sebagai representasi kepentingan ekonomi melalui ASEAN. Dalam konteks program Revolusi Hijau, pola pembangunan dengan gaya pendampingan pada akhirnya berkembang hingga sekarang. Adanya beberapa program yang coba diterapkan belakangan ini merupakan model yang dilakukan sejak adanya keterbukaan pemerintah Indonesia pada lembaga donor yang mengajukan skema pendampingan tersebut. Masih terdapat beberapa kesepakatan yang melibatkan ASEAN secara institusional dalam kebijakan domestik secara langsung. Hal ini memang kemudian dapat dipahami dalam persoalan bagaimana menjalin hubung an antarnegara (diplomasi). Namun, diplomasi yang dibangun pemerintah Indonesia agaknya mengarah pada pengaruh eksternal (luar negeri) yang dibawa ke dalam. Menarik jika melihat tesis Rajesh Kumar bahwa diplomasi yang dilakukan Indonesia merupakan partisipasi aktif dan mandiri dari kepentingan nasional Indonesia yang
terwujud sebagai politik non-blok.12 Namun, hal yang lebih tampak pada akhirnya adalah pengaruh kepenti ngan dari negara-negara maju dengan paradigma yang disebarkan melalui ins trumen kebijakan pendampingan dan program penyesuaian strukturalnya. ASEAN sendiri, jika dilihat dalam struktur besar ekonomi-politik ini, me rupakan hasil dari konstelasi yang terbentuk dari kepentingan negara maju.13 Perubahan paradigma pembangu nan yang tampak pada pola kebijakan pemerintah Indonesia, dapat ditelusuri dengan pilihan konsep Pembangunanisme yang diterapkan pemerintahan Soeharto dengan melihat Barat sebagai model ideal tujuan pembangunan, yang secara mendasar terkait dengan aspek ekonomi. Dalam konteks ASEAN, hal ini membawa pe ngaruh langsung secara diplomasi dengan paradigma “good neighbourhood policy” (kebijakan yang mewajahkan negara tetangga yang baik). Melihat beberapa perjanjian melalui ASEAN, ZOPFAN dan SEANWFZ misalnya, lebih tampak sebagai bentuk dari model diplomasi good neighbourhood policy dengan tidak adanya program 12. Pendapat Kumar tentang diplomasi Indonesia ini dapat dilihat dalam bukunya, dalam Rajesh Kumar, Non-Alignment Policy of Indonesia (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1997). 13. Terdapat artikel mengenai kontestasi antara AS dan Cina dalam kawasan Asia Pasifik melalui adanya perdagangan bebas. Dalam artikel yang berfokus pada bagaimana AS dan Cina melakukan persaingan dalam mendapatkan pengaruh pada kerjasama perdangangan tersebut, dapat dilihat bahwa ASEAN merupakan satu bagian yang kurang memiliki pengaruh aktif dalam kontrol dan pengarahan perdagangan bebas antarnegara. Lihat Ling Ling He dan Razeen Sappideen, “Free Trade Agreements and the US-China-Australia Relationship in the Asia-Pacific Region”, dalam Asia Pacific Law Review 21.1 (2013).
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
9
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia? Sayfa Auliya Achidsti
lebih lanjut yang konkrit. Dalam konteks kebutuhan publik, ZOPFAN (dite rapkan ASEAN pada 1971) dan SEANWFZ (yang dikenalkan Indonesia pada 1983) bukan merupakan cerminan dari kebutuhan publik Indonesia saat itu. Situasi krisis ekonomi dengan tergesernya pembangunan ekonomi riil non-migas pada periode tersebut justru lebih mengharuskan Indonesia melakukan proteksi pada produk dalam negeri dan menerapkan proteksi pada produk luar negeri. Pembentukan AFTA, normalisasi hubungan Indonesia-Cina, dan aktivitas Indonesia dalam OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries) adalah beberapa kebijakan diplomatis paling penting pada masa Presiden Soeharto. Sedangkan, pasca Reformasi, kebijakan-kebijakan seperti Millenium Development Goals (MDG’s) dan Protokol Kyoto menjadi kesepakatan antarne gara yang sangat mempengaruhi kebijakan nasional Indonesia. Dalam hal ini, menarik dilihat bahwa konsep kepublikan yang masuk dari luar justru lebih mendominasi paradigma kebijakan nasional yang seharusnya lebih berdasarkan pada kepentingan dan kebutuhan nasional Indonesia. Secara konseptual, kepu blikan sendiri merupakan kajian yang terus berkembang. Dalam perdebatan akademis di lingkungan kampus, kepublikan masih menjadi hal yang belum disepakati pemaknaannya. Perta ma, apakah kepublikan merupakan konsep yang lebih terkait pada persoalan manajemen dan partisipasi warga.14 Atau, Kedua, persoalan aktor 14. Beberapa artikel mengenai kepublikan dalam perspektif manajemen diutarakan, misalnya pada Jocelyne Bourgon, “Responsive, Responsible, and Respected Government: Towards a New Public Administration Theory”, dalam International Review of Administrative Sciences 2007; 73; 7; Sanjay K. Pandey,
10
(apakah kepublikan berurusan dengan siapa aktornya, negara atau swasta).15 Namun, agaknya dua perspektif tersebut belum cukup kontekstual dalam menjelaskan kondisi Indonesia dalam hal kepentingan nasionalnya pada struktur besar ekonomi-politik dunia. Dalam pengaruh regionalisme, misalnya, “kepublikan nasional” belum dapat menemukan bentuknya. E. KOMPATIBILITAS STRUKTUR EKONOMI-POLITIK INDONESIA DALAM REGIONALISME ASEAN Secara normatif, AEC Blueprint 2025 menjadi komitmen terlembaga yang berawal dari KTT ASEAN ke-27 pada 22 November 2015 di Kuala Lumpur, Malaysia, memberikan arah yang luas melalui langkah-langkah strategis untuk AEC dari tahun 2016 ke tahun 2025. Melalui komitmen antarnegara ini, AEC Blueprint 2025 bertujuan untuk mencapai sistem yang integrasi dan terpadu, kompetitif, inovatif, dinamis, dan konektivitas kerjasama sektoral untuk visi persaingan global. AEC membayangkan bahwa melalui langkah deregulasi dan peniadaan kuota serta hambatan-hambatan perdagangan regional, maka anggotanya akan meningkat kapasitasnya dalam persaingan ekonomi global. Memang, “Cutback Management and the Paradox of Publicness”, dalam Public Administration Review (Jul/Aug, 2010); dan Udo Pesch, “Publicness of Pubic Administration”, dalam Administration & Society, Vol. 40,2 (2008). 15. 15 Lihat M. Shamsul Haque, “The Diminishing Publicness of Public Service under the Current Mode of Government”, dalam Public Administration Review (Jan/Feb, 2001); Jonathan G.S. Koppell, “Administration Without Borders”, dalam Public Administration Review (December 2010); dan Stephanie Moulton, “Putting Together the Publicness Puzzle a Framework for Realized Publicness”, dalam Public Administration Review (Sept/ Oct, 2009).
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia? Sayfa Auliya Achidsti
Tariffs Tariffed Tariffed goods amount
Non-tariff Measures Standards & Other regulations non-tariff measures **
Single window status
Trade Procedures Single Customs Trade window speed trade
Trade cost
Services restrictiveness
Services FDI restrictions
Labor mobility
Average
Lowest
Agriculturefisheries
91
88
57
70
71
75
57
Rubber
93
98
98
96
71
82
58
Wood
94
99
96
75
68
80
58
Textiles
96
99
99
73
81
82
58
Auto
94
94
94
39
81
77
39
Electronics
98
99
57
62
81
76
57
Consumer
94
99
60
56
81
76
56
Resources ***
84
93
79
89
61
78
58
70
58
61
85
94
Air travel
71
61
66
61
e-ASEAN ****
60
47
n/a****
54
47
Health care
33
83
10
42
10
Tourism
72
90
30
64
30
Logistics
46
94
70
46
Finance
59
64
62
59
Telecom
60
47
54
47
n/a****
93 96 80 70 70 58 61 85 94 57 72 20 69 20 Average Sumber: McKinsey Global Institute (2014) * Berdasar pada perhitungan pada Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Sedangkan Brunei Darussalam, Kamboja, Lao People’s Democratic Republic, dan Myanmar tidak termasuk. ** Termasuk biaya administratif, perijinan,. lisensi impor, quantity control, pajak internal, and pembatasan-pembatasan. *** Termasuk pertambangan dan migas. **** Kesiapan konektivitas digital, local content, e-commerce, pasar untuk ICT and layanannya, pengembangan skill, and e-governance. ***** Sektor-sektor yang tidak tercakup pada perjanjian atau kesepakatan.
Tabel 1. Perkembangan Penerapan Integrasi Ekonomi di ASEAN menurut Sektor * JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
11
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia? Sayfa Auliya Achidsti
Commodities Agriculture, forestry, and fishing Mining and quarrying Manufacturing Electricity, gas, steam and air conditioning supply Water supply; sewerage and waste management Construction Wholesale and retail trade; repair of motor vehicles and cycles Transportation and storage Accomodation and food service activities Information and communication Financial and Insurance activities Real estate activities Professional, scientific and technical activities Administrative and support service activities Education Human health and social work activities Arts, entertainment and recreation Other services Other memorandum Total
2013
2014
2,346.0 8,042.2 33,342.1 1,156.8 602.2 825.0 13,946.6 2,802.5 260.4 2,196.5 28,263.7 9,821.5 711.8 294.9 66.5 127.7 218.8 9,010.3 3,692.0 117,687.1
4,492.6 7,295.1 22,215.4 460.4 98.2 1,187.9 17,055.2 2,612.8 158.0 2546.9 43,052.2 10,040.0 1,048.3 216.7 61.6 210.5 (47.4) 19,311.3 4,165.3 136,181.3
Tabel. 2 Total Arus Masuk FDI ASEAN 2013-2014 Berdasar Komoditas (juta USD)
secara tekstual, AEC Blueprint 2025 memiliki komitmen dalam membentuk integrasi “pasar tunggal” dan “basis produksi tunggal”.16 Namun, pada kenya taannya, hal yang disebut pertama lebih ditekankan dalam aktivitas AEC, belum pada pembentukan hal yang kedua. Fakta bahwa AEC Blueprint 2025 belum seluruhnya kompatibel dengan struktur ekonomi-politik negara-negara anggotanya, membuat fungsi dasar AEC mengalami ketimpangan. Pilar pertama AEC bertujuan untuk menciptakan pasar dan basis produksi tunggal dan terdiri dari lima unsur: 1) aliran bebas barang, 2) aliran bebas jasa, 3) aliran bebas investasi, 4) aliran bebas modal, dan 5) arus bebas tenaga kerja terampil. Pilar pertama tersebut dasarnya merupakan inti dari AEC, dan ada sejumlah prestasi yang patut dicatat di bawah pilar ini. Analisis
terbaru oleh McKinsey Global Institute (MGI, 2014) menunjukkan bahwa keberhasilan di lima unsur tersebut telah sangat tidak merata. Selain itu, survei yang dilakukan oleh MGI mengungkapkan bahwa 38 per sen dari perusahaan multinasio nal yang beroperasi di Asia Tenggara, prosedur kepabeanannya yang tidak seragam di seluruh wilayah. Sementara, lebih dari banyak yang tidak merasakan terciptanya kemajuan dalam perapian lintas peraturan yang menga tur komoditas (terutama jasa) yang diperdagangkan. Survei yang sama juga mengungkapkan 5 sektor yang dianggap memiliki tingkat terendah dari harmonisasi lintas batas ASEAN adalah: 1) media dan pemasaran, 2) properti dan konstruksi, 3) komoditas dan energi, 4) barang konsumsi, dan 5) perawatan kesehatan dan obatobatan.17
16 Lihat ASEAN Investment Report 2015; ASEAN Services Integration Report (2015); dan ASEAN Integration Report 2015
17. Jayan Menont & Anna Cassandra Mellendez, “Realizing in ASEAN Economic Community: Progress and Remaining Challenges”, se-
12
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia? Sayfa Auliya Achidsti
Location Sumatera Jawa Bali, NTT, NTB Kalimantan Sulawesi Maluku Papua
sumber: BPKM 2015
Quarter 1 Project Invest 417 979,2 2.155 3.340,8 136 184,8 214 1.205,5 147 506,8 30 32,5 44 313,9
Quarter 2 Project Invest 525 984,9 3.050 4.318,2 378 413,0 204 962,4 206 284,0 33 17,7 64 392,5
Quarter 3 Project Invest 461 860,8 2.858 3.781, 401 407,2 299 1.729,7 218 194,7 20 165,2 53 261,9
Tabel. 3 Realisasi FDI di Indonesia Berdasar Lokasi (Q3 2015)
AEC Blueprint 2025 berdiri dengan pondasi dalam dua fungsi utama, yaitu ekonomi ke luar (outwards economic) dan sekaligus ekonomi ke dalam (inwards economic). Keduanya tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, melainkan dua hal yang harus terkondisikan dalam satu paket. Regionalisme ASEAN dalam skema ekonomi AEC berada dalam kerangka penguatan ekonomi dan meminimalisir ketimpangan kapasitas ekonomi antaranggotanya (capacity levelling). Dengan adanya penguatan kapasitas, komitmen integrasi yang disepakati dalam visi AEC Blueprint 2025 adalah menyediakan ASEAN sebagai kesatuan pasar dan kesatuan basis produksi. Artinya, rantai ekonomi global dapat melakukan investasi di ne gara-negara ASEAN dalam satu kesatuan, serta dapat menerima hasil produksi dari ASEAN dalam satu kesatuan pula. Mulai pada 2010, ASEAN membukukan perolehan tertinggi input investasi dari luar (foreign direct investment/FDI) ASEAN dengan 75,8 milyar USD. Hal ini dalam disebabkan karena tiga faktor utama. Pertama, posisi geografis ASEAN yang berada pada jalur lintas per dagangan. Kedua, kondisi bahwa mayo ritas negara ASEAN merupakan negara berkembang. Ketiga, ASEAN mendapat kan keuntungan dari kondisi ekonomi global dan arah minat modal para investor. Dengan adanya faktor tersebut, arus intraregional ASEAN mencapai lebih dari 12 miliar USD untuk pertama kalinya sebagai ADB Economics Working Paper Series No. 432 (May 2015).
jak 1997. Di ASEAN, belum seluruhnya nega ra anggota mempersiapkan percepatan pembangunan infrastruktur ekonomi-politiknya dalam perubahan skema ekonomi regional ini. Menurut data Bank Dunia, Vietnam dan Myanmar adalah dua negara yang tergolong dapat beradaptasi dengan peluang ekonomi global dan perubahan skema ekonomi regional ini. Kedua negara tersebut mengubah kebijakan perekonomian dan investasinya sebagai bagian dari sistem global supply chain, dalam industri pelengkap komponen elektronik dan industri otomotif. Pada 2015, di Vietnam, 72 persen modal investasi langsungnya berada dalam sektor manufaktur dan pengolahan (ASEAN Investment Report, 2015). Dalam struktur regulasi, perundangan baru tentang investasi di Vietnam dibentuk pada 2014, yang mengatur tentang sektor-sektor yang dibuka dan didukung dalam investasi asing masuk ke dalam. Melihat dari jumlah terbesar investasi masuk ke ASEAN, terdapat tiga komoditas yang menarik jumlah investasi di atas 10 miliar USD, yaitu manufaktur, perbaikan alat industri, dan kredit/asuransi. Namun, jika dilihat, ketiganya bukan termasuk sebagai komoditas strategis Indonesia. Memang, dalam sistem ranking, Indonesia termasuk menempati posisi atas di ASEAN diukur dari besaran investasi asing langsung yang masuk. Namun, jika dicermati, target investasi masih berada dalam komoditas yang komposisinya timpang dan tidak menyebar. Pada sek-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
13
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia? Sayfa Auliya Achidsti
tor sekunder sebagai sektor yang proporsi FDI-nya terbesar, masih dalam ka tegori industri berat, di mana Indonesia dijadikan tempat investasi produksi yang menyasar pemasaran domestik di Indonesia. Sedangkan, sektor tersier yang paling beragam varian komoditasnya, masih terpusat pada investasi di bidang real estate dan properti pendukungnya. Bidang ini pun lebih pada konsumsi dari masyarakat domestik Indonesia. Pada sektor yang diharapkan mampu untuk tumbuh dan mendatangkan profit bagi Indonesia, masih terpusat pada pertambangan. Artinya, lebih pada industri ekstraktif yang hasilnya dibawa ke luar negeri dalam bentuk mentah dengan nilai ekonomi rendah. Distribusi penanaman investasi, sebagai salah satu ukuran paling jelas dalam melihat distribusi infrastruktur, di Indonesia masih mengalami pemusatan di Jawa. Hampir di seluruh aspek yang dijadi kan fokus pada AEC, Indonesia masih lemah. IMD World Talent Report 2015 menunjukkan kondisi SDM Indonesia anjlok dari ke peringkat ke-25 menjadi ke-41 (dari 61 negara), jauh di bawah Si ngapura, Malaysia, dan Thailand. Kondisi infrastruktur belum memenuhi standar bahkan dalam persaingan regional. Global Competitiveness Index 20142015 menempatkan kapasitas kompetisi Indonesia pada peringkat ke-34 (dari 144 negara) dengan peningkatan yang lambat. Dengan kondisi demikian, pemerintah Indonesia pada berbagai kesempatan justru merilis kebijakan yang memperlihatkan paradigma defensif dalam meres pon adanya AEC. Peniadaan hambatan perdagangan dalam skema regionalisme ini belum mampu disikapi dengan para digma ekspansif, sebagaimana yang dilakukan Vietnam dan Myanmar. F. PENUTUP Regionalisme dewasa ini merupakan agenda yang marak diterapkan dalam kompetisi global terkait sektor ekonomi dan tren global lain (seperti kemiskinan, iklim, gender, dan hal lain). ASEAN se14
bagai lembaga regional di kawasan Asia Tenggara muncul dengan latar belakang kondisi global Perang Dingin yang membagi dua blok besar. Indonesia yang secara geopolitik berada di tengah blok, sedang melakukan transisi pemerintahan dan konsekuensi sejarah pasca 1965. Namun, pada perkembangannya, ASEAN lebih tampak sebagai forum yang menjalankan agenda global, berikut dengan kesepakatan-kesepakatan di dalamnya yang merupakan hasil dari inisiatif lembaga internasional yang lebih besar secara modal dan pengaruh ekonomi-politiknya. Dalam konteks keberadaan regional isme bagi Indonesia, kecenderungan yang ada adalah bahwa ASEAN tidak menjadi wadah untuk menaikkan kepen tingan domestik Indonesia ke lingkup Asia Tenggara, melainkan sebaliknya. Skema yang dilakukan dalam komitmen AEC misalnya, masih belum menempatkan negara anggota dalam basis produksi yang berangkai. Selebihnya, memang masing-masing pemerintah negara anggota (termasuk Indonesia) belum memposisikan diri dalam peran sebagai stakeholder pada kegiatan ekonomi, terbatas pada kepentingan diplomasi regional. DAFTAR PUSTAKA Altbach, Philip G. (Ed.), 1995. Politik dan Mahasiswa, terj. Jakarta: PT Gramedia. ASEAN. 2015. ASEAN Annual Report 2008-2009 (2009). _____. 2015. ASEAN Integration Report 2015. _____. 2015. ASEAN Investment Report 2015. _____. 2015. ASEAN Services Integration Report (2015). Bourgon, Jocelyne. 2007. “Responsive, Responsible, and Respected Government: Towards a New Public Administration Theory”, dalam International Review of Administrative Sciences 2007; 73; 7. Boyer, P. 1985. By the Bomb’s Early Light. New York: Pantheon Books.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia? Sayfa Auliya Achidsti
Diggins, J.P. 1988. The Proud Decades. New York: W.W. Norton. Haque, M. Shamsul. 2001. “The Diminishing Publicness of Public Service under the Current Mode of Government”, dalam Public Administration Review (Jan/Feb, 2001). He, Ling Ling & SAPPIDEEN, Razeen. 2013. “Free Trade Agreements and the US-China-Australia Relationship in the Asia-Pacific Region”, dalam Asia Pacific Law Review 21.1 (2013). Koppell, Jonathan G.S. 2010. “Administration Without Borders”, dalam Public Administration Review (December 2010). Kumar, Rajesh. 1997. Non-Alignment Policy of Indonesia. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies. Landau, Ori. 2006. “Cold War Political Culture and the Return of the Systems Rationality”, dalam Human Relations 59.5 (May, 2006). Lee, Ashley. 2015. “Vietnam Builds Hopes on FDI Reforms”, dalam International Financial Law Review (Jul 14 2015). Lyons, G.M. 1969. The Uneasy Partnership: Social Science and the Federal Government in the Twentieth Century. New York: Russell Sage Foundation. Menont, Jayan & Mellendez, Anna Cassandra. 2015. “Realizing in ASEAN Economic Community: Progress and Remaining Challenges”, dalam ADB. 2015. ADB Economics Working Paper Series No. 432 (May 2015).Phillippiness: Asian Devel-
opment Bank. Moulton, Stephanie. 2009. “Putting Together the Publicness Puzzle a Framework for Realized Publicness”, dalam Public Administration Review (Sept/Oct, 2009). Narine, Shaun. 2002. Explaining ASEAN: Regionalism in Southeast Asia. London: Lynne Rienner Publishers Inc. Pandey, Sanjay K. 2010. “Cutback Management and the Paradox of Publicness”, dalam Public Administration Review (Jul/Aug, 2010). Pesch, Udo. 2008. “Publicness of Pubic Administration”, dalam Administration & Society, Vol. 40,2 (2008). Polenberg, R. 1980. One Nation Divisible. Harmondsworth: Penguin. Romprasert, Gillian. 2003. “The ‘ASEAN Way’: Non Intervension and ASEAN’s Role in Conflict Management”, dalam Stanford Journal of East Asian Affairs, Vol. 3, No. 1 (2003). Romprasert, Suppanunta. 2013. “Asian Economic Community with Selected Macroeconomic Variables for Exports Sustainability”, dalam International Journal of Economics and Financial Issues, Vol. 3, No. 3/2013. Tan, Gerald. 2003. ASEAN Economic Development and Cooperation. Singapore: Times Media Pvt., Ltd. Whitfield, S.J. 1991. The Culture of the Cold War. Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press. Winters, Jefrey A. 1996. Power in Motion: Capital Mobility and the Indonesian State. AS: Cornell University Press.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
15
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia? Sayfa Auliya Achidsti
16
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
Artikel KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014
LOCAL GOVERMENT PROLIFERATION UNDER THE LAW NUMBER 23/2014 Suryanto Staf Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara Abstrak: Hasil kajian dan evaluasi pemekaran daerah yang telah dilakukan menunjukkan bahwa tujuan pemekaran masih jauh dari harapan. Regulasi tentang pemekaran daerah selalu berupaya meningkatkan bobot persyaratan dari waktu ke waktu. Persyaratan pemekaran dalam PP No. 78/2007 lebih berat dibandingkan persyaratan pemekaran yang ada dalam PP No. 129/2000. Demikian pula, persyaratan yang tertuang dalam UU No. 23/2014 lebih berat ketimbang persyaratan yang ada dalam PP No. 78/2007. Pemekaran daerah hanya dilakukan melalui satu yakni pintu Pemerintah/eksekutif. Daerah yang diusulkan tidak serta merta menjadi daerah otonom baru, tetapi menjadi Daerah Persiapan yang ditetapkan dengan PP. Selanjutnya, apabila hasil penilaian setelah 3 tahun menjadi Daerah Persiapan dinyatakan layak barulah menjadi daerah otonom definitif/daerah baru dan apabila dinilai tidak layak maka akan digabungkan ke daerah induknya. Kata kunci: otonomi daerah, pemekaran daerah, perketat persyaratan, desain besar penataan daerah.
Abstract: Past studies on local government proliferation found that the results of local governments proliferations are far below expectation. Hence, the government tried to make the requisites for proliferation heavier, as shown by the Government Regulation Number 78/2007 that set up more difficult requirements for proliferation that the previous Regulation (Number 129/2000). Similarly, the new Local Government Law (Number 23/2014) has heavier provision than those listed on the Government Regulation Number 78/2007. The proliferation can only be done through the government/executive initiative. The proposed area does not necessarily become a new autonomous region but became the Preparatory Region, which stipulated through a government regulation. The region will then be evaluated after three years and the result will determine whether or not it is eligible to become an autonomous one. Keywords: regional autonomy, local government proliferation, heightened requirements, local governance system grand design.
A. PENDAHULUAN Fokus perhatian publik terhadap pengaturan dan implementasi pembentukan daerah (pemekaran dan penggabungan daerah) masih cukup mendominasi dalam kaitan pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Faktanya, sejumlah pimpinan daerah masih saja menyampaikan usul pemekaran da erah di wilayahnya. Saat ini terdapat
132 usul pemekaran daerah, dari jumlah tersebut sebanyak 88 usulan sedang dibahas Pemerintah dengan DPR RI (sindonews.com, 26/02/2016). Sejumlah alasan di sampaikan untuk memuluskan ja lan agar isu pemekaran dae rah dapat dikabulkan oleh Pemerintah dan DPR RI, salah satunya mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat daerah. Akan tetapi benarkah “mendekatkan pelayanan
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
17
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 Suryanto
publik” yang menjadi alasan daerah melakukan pemekaran daerah? Ataukah sesungguhnya terdapat alasan lain yang mendorong para tokoh di berbagai daerah untuk memekarkan daerahnya? Hasil kajian Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara (PKKOD LAN, 2006 – sejak tahun 2013 berganti nama menjadi Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah/PKDOD LAN) menyimpulkan sejumlah alasan yang mendasari pelaksanaan pemekaran daerah yaitu: 1) alasan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, ini menjadi alasan utama karena adanya kendala geografis, infrastruktur dan prasarana perhubungan yang minim (contoh: Provinsi Bangka Belitung dengan Provinsi Sulawesi Selatan), 2) alasan historis, pemekaran da erah dilakukan karena alasan sejarah yaitu bahwa daerah hasil pemekaran memiliki nilai historis tertentu (contoh: Provinsi Maluku Utara pernah menjadi ibukota Irian Barat), 3) alasan kultural (budaya) dimana pemekaran terjadi karena menganggap adanya perbedaan budaya antarda erah yang bersangkutan dengan daerah induk nya (contoh: pemekaran Provinsi Gorontalo dari Provinsi Sulawesi Utara, bahwa masyarakat Gorontalo merasa berbeda budaya/adat istiadat de ngan masyarakat Manado), 4) alasan ekonomi, pemekaran daerah diharap kan dapat mempercepat pembangunan di daerah (contoh: pemekaran Provinsi Papua Barat dari Provinsi Pa pua), 5) alasan anggaran, pemekaran daerah dilakukan untuk mendapatkan insentif anggaran dari pemerintah (contoh: seluruh daerah pemekaran), dan 6) alasan keadilan, pemekaran daerah diharapkan akan menciptakan keadilan dalam hal pengisian jabatan publik dan pemerataan pembangunan (contoh: pemekaran Provinsi Kepri dari 18
Provinsi Riau). Tulisan ini akan membahas euforia pemekaran daerah pada dasawarsa kedua terutama setelah terbitnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemekaran Daerah. Bagaimana potret animo publik dalam melakukan pemekaran daerah setelah terbitnya undang-undang tersebut, karena sesungguhnya persyaratan yang tercantum dalam undang-undang baru ini lebih berat dibandingkan persyaratan yang tertuang dalam peraturan perundangan sebelumnya, dalam hal ini PP No. 129 Tahun 2000 dan PP No. 78 Tahun 2007. Lalu, bagaimana sebaiknya agar desain besar penataan daerah (Desartada) disusun nantinya mampu menjadi semacam dashboard untuk memonitor penambahan jumlah daerah otonom di Indonesia ke depan? B. KONSEP OTONOMI DAERAH: Urgensi Kebijakan Otda di In donesia Otonomi daerah (atau sering dipertukarkan dengan desentralisasi) dapat diartikan dalam berbagai cara bergantung pada kepentingan-kepentingan dan perspektif dari masing-masing pengamat (Conyers, 1984:147, Smith, 1985:2-7, Smoke, 2003:8 dalam Said, 2005:5). Rondinelli dan Cheema (1983) mendefinisikan otonomi da erah sebagai “the transfer of planning, decisión making, or administratif authority from the central government to its field organizations, local administratif units, semi-autonomous and paras tatal organization, local government or non-governmental organization” (pelimpahan wewenang perencanaan, pengambilan keputusan atau peme rintahan dari pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi pelaksana, unitunit pelaksana di daerah, organisasi semi otonom dan parastatal, ataupun kepada pemerintah daerah atau organisasi non pemerintah).
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 Suryanto
Menurut Laporan Tahunan Bank Dunia (1999:107-124, ibid: 6), otonomi daerah didefinisikan sebagai “the transfer of authority and responsibility for public functions from the central government to subordínate or quasi-independent government organizations and or the prívate sector” (pelimpahan wewenang dan tanggung jawab untuk menjalankan fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi pemerintah yang menjadi bawahannya atau yang bersifat semi-independen dan/atau kepada sector swasta). Konsep otonomi daerah bukan me rupakan konsep yang baru, akan tetapi otonomi daerah dapat digunakan pada situasi modern dimana konsep tersebut sejalan dengan ketersediaan kerangka hukum pada badan-badan sosial dan kebebasan aktual yang dimilikinya. Konsep otonomi daerah juga mampu memberikan kontribusi kepada feoda lisme dengan esensi penekanan pada perjanjian dan norma, sejalan dengan pertumbuhan kapasitas legislatif dan administratif yang dapat menjamin asosiasi-asosiasi tersebut berhubung an secara damai dalam situasi yang lebih banyak atau lebih sedikit diatur oleh negara (Muttalib, 1982:234). Dengan kata lain, penerapan konsep otonomi daerah bagi sebuah ne gara modern masih tetap relevan. Saat ini berbagai negara di dunia telah dan sedang menerapkan kebijakan otonomi daerah, dengan berbagai pertimbangan (alasan) yang mendasarinya. Said (2005:78) menyatakan sejumlah alasan mendasar otonomi daerah di Indonesia yaitu: 1) alasan sejarah dan kesepakatan para pendiri bangsa (founding fathers), dan alasan ada nya hasil akhir dari perdebatan-perdebatan historis yang berlangsung sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI Tahun 1945, 2) alasan kondisi geogra
fis Indonesia yang terdiri dari daerah kepulauan yang sangat luas, 3) alasan pertimbangan politik yaitu hasrat memisahkan diri (separatisme), 4) alasan respons terhadap globalisasi, OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) mengungkapkan bahwa logika yang mendukung otonomi daerah sangat dekat dengan prinsip subsidiaries financial system (Dana Alokasi Umum) dalam konteks pemerintahan dan merupakan hasil dari proses globalisasi dan semakin meningkatnya internasionalisasi interaksi ekonomi, 5) alasan keperluan administrasi publik, pembangunan akan menghadapi semakin banyak tantang an saat negara semakin maju. Secara teoretis, sentralisme merendahkan posisi masyarakat daerah dalam arti bahwa pemerintah pusat andai pun bisa menghargai apa yang diinginkan pu blik secara umum, akan menghadapi kesulitan dalam melakukan pendekatan sesuai dengan “selera daerah” (local tastes). Otonomi daerah era reformasi yang telah disiapkan mulai tahun 1999-2001, dilaksanakan mulai tahun 2001-2003, konsolidasi mulai tahun 2003-2007, dan tahap penerapan mulai tahun 2007 ternyata tidak berjalan “mulus” sebagaimana yang diharapkan. Pada 2004 yang seharusnya me rupakan tahap konsolidasi pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 ternyata pada tahap tersebut justru terbit UU No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Kini, UU No. 32 Tahun 2004 juga tidak berlaku lagi karena Peme rintah dan DPR RI telah menerbitkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Peme rintahan Daerah. Berkaitan dengan implementasi otonomi daerah di Indonesia sebenarnya terbagi dalam dua perspektif yaitu perspektif positif dan perspektif
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
19
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 Suryanto
negatif. Perspektif positif meliputi: 1) bahwa otonomi daerah adalah sarana untuk demokratisasi, 2) bahwa otonomi daerah membantu meningkatkan kualitas dan efektivitas pemerintahan, 3) bahwa otonomi daerah dapat mendorong stabilitas dan kesatuan nasional, 4) bahwa otonomi daerah memajukan pembangunan daerah. Adapun perspektif yang negatif terdiri dari: 1) otonomi daerah lekat dengan perspektif fragmentasi dan keterpecahan, 2) otonomi daerah dan merosotnya kualitas pemerintahan, 3) otonomi daerah dan kesenjangan antardaerah, 4) otonomi daerah dan pengingkaran terhadap demokrasi (Ibid: 22). Terlepas dari besarnya dukungan terhadap konsep dan implementasi otonomi daerah, tentu perhatian lebih banyak diberikan kepada kondisi atau fenomena rendahnya dukungan ter hadap pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri. Penulis berasumsi bahwa euforia pemekaran daerah yang terjadi pada dasawarsa pertama (1996-2005), yang terus berlanjut pada dasawarsa kedua (2006-2015) pelaksanaan otonomi daerah di era reformasi, ternyata belum sesuai dengan tujuan dilakukannya pemekaran daerah. Hal ini dibuktikan dengan hasil kajian PKKOD LAN bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri, bahwa kebijakan pembentukan DOB belum memberikan dampak yang signifikan bagi perwujudan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik, dan daya saing daerah (Adi Suryanto, 2008:119). Hasil evaluasi Kemendagri dan Tim Pakar dari berbagai perguruan tinggi (2010) menyimpulkan bahwa sebanyak 80% daerah otonom baru hasil pemekaran (DOHP) berada dalam kondisi yang berkinerja rendah, artinya hanya 20% yang dinyatakan berkinerja cukup tinggi dan tinggi (Tim EDOHP, 2010). Dengan berpegang teguh dari data 20
dan fakta tersebut di atas, menurut pendapat penulis, kebijakan pemekaran daerah memang diperbolehkan dalam undang-undang tetapi pelaksanaannya harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan memperhatikan seluruh persyaratan yang diminta. Apabila pemekaran daerah memang menjadi satu-satunya strategi untuk mencapai tujuan otonomi daerah di wilayah itu dan secara regulasi juga memenuhi persyaratan-persyaratan, maka keputusan memekarkan daerah menjadi suatu kewajiban. Artinya, urgensi otonomi daerah yang dimaksud disini tidak harus dilakukan melalui pemekaran daerah. C. UPAYA MEMPERKETAT PER SYARATAN PEMEKARAN DA ERAH Guna melaksanakan prinsip kehatihatian dalam melakukan pe me karan daerah, Pemerintah me lalui regulasi terbaru telah menetapkan sejumlah klausul persyaratan yang dapat dikatakan”lebih ketat” daripada peratu ran sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk mengerem agar penambahan daerah otonom baru (DOB) tidak terlalu bertambah secara cepat seperti yang terjadi pada masa lalu. Penambahan jumlah daerah otonom baru (DOB) atau daerah otonom hasil pemekaran (DOHP) selama 19992014 sebanyak 223 DOB yang terdiri dari 8 provinsi, 182 kabupaten, dan 33 kota sehingga total Daerah Otonom menjadi 542 yaitu terdiri atas 34 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota (Kemendagri, 2015 dalam www.otda. kemendagri.go.id). Dengan kata lain, laju pemekaran daerah selama hampir dua dasawarsa terakhir sangat tinggi terutama penambahan kabupaten (dari 233 kabupaten menjadi 415 kabupaten atau sebesar 178%). Adapun untuk penambahan provinsi sebanyak 8 daerah yaitu dari 26 menjadi 34
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 Suryanto
provinsi (31%), sedangkan penambahan kota sebanyak 30 daerah yakni dari 60 menjadi 93 daerah (55%). Dari data tersebut timbul pertanyaan besar, mengapa penambahan jumlah DOB tersebut tetap berlanjut padahal regulasi telah memberikan rambu-rambu atau persyaratan yang cukup berat. Sebagai contoh, pada saat berlakunya UU No. 22/1999 mengga riskan bahwa pembentukan suatu daerah harus memenuhi minimal 6 syarat yaitu kemampuan ekonomi, potensi daerah, kesamaan sosial budaya, jumlah penduduk, luas daerah, keamanan dan rentang kendali da erah yang akan dimekarkan. Penjabaran tentang persyaratan pemekaran daerah diatur dalam PP No. 129/2000, yang dirinci di dalam 19 indikator dan 43 sub indikator. Euforia pemekaran daerah terus berlangsung di banyak daerah, meskipun Pemerintah telah mengeluarkan himbauan berupa pemberhentian sementara (moratorium) pada era pemerintahan SBY. Sebagai contoh, jumlah daerah provinsi bertambah dari 26 provinsi menjadi 34 provinsi atau bertambah 8 provinsi baru (31%). Kedelapan provinsi tersebut meliputi: 1. Provinsi Maluku Utara, provinsi dengan ibukota di Kota Sofifi ini terbentuk pada tanggal 4 Oktober 1999. Provinsi yang merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Maluku ini merupakan provinsi di Indonesia yang ke-27. 2. Provinsi Banten, provinsi dengan ibukota di Kota Serang ini terbentuk pada tanggal 17 Oktober 2000. Provinsi yang merupakan hasil pemekaran Provinsi Jawa Barat ini merupakan provinsi di Indonesia yang ke-28. 3. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, provinsi dengan ibukota di Kota Pangkal Pinang ini terbentuk
pada tanggal 4 Desember 2000. Provinsi ini dimekarkan dari Provinsi Sumatera Selatan dan menjadi provinsi ke-29. 4. Provinsi Gorontalo, provinsi dengan ibukota di Kota Gorontalo ini terbentuk pada tanggal 22 Desember 2000. Provinsi yang merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara ini adalah provinsi ke-30 Indonesia. 5. Provinsi Papua Barat, provinsi yang beribukota di Kota Manokwari ini terbentuk tanggal 21 November 2001. Provinsi yang merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Papua ini merupakan provinsi di Indonesia ke-31. 6. Provinsi Kepulauan Riau, provinsi dengan ibukota Tanjung Pinang itu terbentuk pada tanggal 25 Oktober 2002. Provinsi yang merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Riau ini menjadi provinsi yang ke-32 di Indonesia. 7. Provinsi Sulawesi Barat, provinsi yang ibukotanya di Kota Mamuju ini terbentuk tanggal 5 Oktober 2004. Provinsi yang terbentuk dari pemekaran Provinsi Sulawesi Selatan ini merupakan provinsi ke-33 Indonesia. 8. Provinsi Kalimatan Utara, pro vin si dengan ibukotanya Tanjung Selor ini terbentuk pada tanggal 25 Oktober 2012. Provinsi ini merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Kalimantan Timur dan menjadi provinsi ke-34 Indonesia. Dari 8 provinsi hasil pemekaran tersebut sebanyak 7 provinsi merupakan hasil pemekaran pada 10 tahun pertama, dan hanya 1 provinsi yang merupakan pemekaran pada 10 tahun kedua (otda.kemendagri.go.id). Fakta tersebut nampaknya relevan dengan persyaratan yang semakin berat sesuai peraturan perundangan. Secara lebih
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
21
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 Suryanto
rinci, perbandingan persyaratan pembentukan Daerah dapat dilihat pada tabel 1 di halaman berikut. Dari tabel tersebut dijelaskan bahwa pada saat berlaku PP 129/2000 dan PP 78/2007, usul pemekaran di sampaikan melalui dua pintu yaitu pintu Kementerian Dalam Negeri (peme rintah/eksekutif) daerah pintu DPR RI (legislatif). Pada kondisi tersebut dapat dibayangkan ‘suasana’ yang melingkupi usul pembentukan daerah otonom baru. Inisiatif pembentukan DOB bukan hanya datang dari pihak eksekutif tetapi juga dari legislatif, yang memiliki kewenangan setara dengan Pemerintah dalam perumusan dan penetapan undang-undang. Di dalam pengaturan UU No. 23/2014 hal seperti itu tidak terjadi. Usulan DOB dilakukan melalui satu pintu yakni Kementerian Dalam Negeri atas nama Presiden. Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh daerah pengusul meliputi persyaratan dasar dan persyaratan administratif. Persyaratan dasar terdiri dari persya ratan dasar kewilayahan dan persyaratan dasar kapasitas Daerah. Persyaratan dasar kewilayahan meliputi luas wilayah minimal, jumlah penduduk minimal, batas wilayah, ca kupan wilayah, dan batas usia minimal daerah provinsi, daerah kabupaten/ kota, dan kecamatan. Mengenai batas minimal usia da erah, hal ini penting guna menghi ndari terjadinya pemekaran daerah yang ”prematur” sebagaimana yang pernah terjadi pada saat berlakunya PP 129/2000 dan PP 78/2007, dimana suatu daerah yang baru dimekarkan kemudian mengalami pemekaran kembali. Kabupaten Boalemo di Provinsi Gorontalo misalnya, kabupaten ini belum genap berumur 3 tahun setelah dimekarkan dari Kabupaten Gorontalo. Daerah pemekaran Kabupaten Boale22
mo ini bernama Kabupaten Pohuwato, yang beribukota di Marisa. Dalam UU 23/2014 disebutkan batas usia minimal provinsi 10 tahun sejak pembentukan, batas usia minimal kabupaten/ kota 7 tahun sejak pembentukan, dan batas usia minimal kecamatan 5 tahun sejak pembentukan. Luas wilayah dan jumlah penduduk minimal ditentukan berdasarkan pe ngelompokan pulau dan kepulauan. Batas wilayah dibuktikan dengan titik koordinat pada peta dasar. Saat ini masih banyak permasalahan tapal batas antara daerah satu dengan daerah lain, karena pada saat pembentukan daerah penentuan batas tidak menggunakan titik koordinat pada peta dasar. Ke depan, bukti titik koordinat pada peta dasar – bukan hanya sket peta wilayah – ini akan mengeliminir terjadinya konflik perbatasan antardaerah yang selama ini terjadi. Persyaratan dasar kapasitas Da erah adalah kemampuan daerah untuk berkembang dalam mewujudkan kese jahteraan masyarakat. Persyaratan da sar kapasitas Daerah didasarkan pada parameter geografi, demografi, keamanan, sosial politik, adat, dan tradisi, potensi ekonomi, keuangan Daerah, dan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan. Persyaratan administratif disusun dengan tata urutan sebagai berikut: a) untuk Daerah provinsi meliputi persetujuan bersama DPRD kabupaten/ kota dengan bupati/wali kota yang akan menjadi Cakupan Wilayah Da erah Persiapan provinsi dan persetujuan bersama DPRD provinsi induk dengan gubernur Daerah provinsi induk, b) untuk Daerah kabupaten/kota meliputi keputusan musyawarah Desa yang akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah kabupaten/kota, c) persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota induk dengan bupati/wali kota Daerah
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 Suryanto
PP No. 129/2000 Kemampuan Daerah, diukur dengan Product Regional Domestic Bruto (PDRB) dan penerimaan daerah sendiri
PP No. 78/2007 Syarat administratif, Syarat administratif pembentukan Daerah provinsi terdiri dari: a. Keputusan masing-masing DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi berdasarkan hasil Rapat Paripurna, b. Keputusan bupati/walikota ditetapkan de ngan keputusan bersama bupati/walikota wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi, c. Keputusan DPRD provinsi induk tentang persetujuan pembentukan calon provinsi berdasarkan hasil Rapat Paripurna, d. Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon provinsi, dan e. Rekomendasi Menteri, dalam hal ini Men teri Dalam Negeri. Syarat administratif pembentukan daerah kabupaten/kota meliputi: a. Keputusan DPRD kabupaten/kota induk tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota, b. Keputusan bupati/walikota induk tentang persetujuan pembentukan calon kabupa ten/kota, c. Keputusan DPRD provinsi tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota, d. Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota, dan e. Rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
UU No. 23/2014 Persyaratan dasar dan persyaratan administratif. Persyaratan dasar terdiri dari persyaratan dasar kewilayahan dan persyaratan dasar kapasitas Daerah. Persyaratan dasar kewilayahan meliputi luas wilayah minimal, jumlah penduduk minimal, batas wilayah, cakupan wilayah, dan batas usia minimal daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, dan kecamatan. Persyaratan dasar kapasitas Daerah didasarkan pada parameter geografi, demografi, keamanan, sosial politik, adat, dan tradisi, potensi ekonomi, keuangan Daerah, dan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan.
Keterangan Pada waktu PP No. 129/2000 dan PP No/ 78/2007, pemekaran daerah dapat dilakukan melalui dua pintu, Kemenda gri (Pemerintah/Eksekutif) dan DPR RI. Menurut UU No. 23/2014 usulan pemekaran disampaikan hanya melalui Kemendagri (Pemerintah/Eksekutif) Dalam UU No. 23/2014 terdapat pengaturan batas usia minimal daerah dapat dimekarkan yaitu untuk provinsi minimal 10 tahun sejak pembentukan, kabupaten/kota minimal 7 tahun sejak pembentukan, dan kecamatan minimal 5 tahun sejak pembentukan. Batas usia minimal ini untuk meng hindari terjadinya pemekaran daerah yang ”prematur” sebagaimana yang pernah terjadi pada saat berlakunya PP 129/2000 dan PP 78/2007, dimana suatu daerah yang baru dimekarkan kemudian mengalami pemekaran kembali. Kabupaten Boalemo di Gorontalo misalnya, belum genap 3 tahun dimekarkan dari Kabupaten Gorontalo kemudian dimekarkan lagi dengan lahirnya Kabupaten Pohuwato (ibukota kabupaten di Marisa).
23
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 Suryanto
PP No. 129/2000
PP No. 78/2007
UU No. 23/2014
Potensi daerah diukur dari lembaga keuangan, sarana ekonomi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana transportasi dan komunikasi, sarana pariwisata, dan. ketenagakerjaan.
Syarat teknis pembentukan Daerah meliputi faktor yaitu kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah. Faktor-faktor tersebut dinilai berdasarkan hasil kajian daerah terhadap indikator sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah tentang pemekaran daerah yaitu PP No. 78/2007.
Parameter geografi meliputi lokasi ibu kota, hidrografi, dan kerawanan bencana. Parameter demografi meliputi kualitas sumber daya manusia dan distribusi penduduk. Parameter keamanan meliputi tindakan kriminal umum dan konflik sosial. Parameter sosial politik, adat, dan tradisi meliputi partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum, kohesivitas sosial, dan organisasi kemasyarakatan. Parameter potensi ekonomi meliputi pertumbuhan ekonomi dan potensi unggulan Daerah. Parameter keuangan Daerah meliputi kapasitas pendapatan asli Daerah induk, potensi pendapatan asli calon Daerah Persiapan, dan pengelolaan keuangan dan aset Daerah. Parameter kemampuan penyelenggaraan pemerintahan meliputi aksesibilitas pelayanan dasar pendidikan, aksesibilitas pelayanan dasar kesehatan, aksesibilitas pelayanan dasar infrastruktur, dan jumlah pegawai aparatur sipil negara di Daerah induk, dan rancangan rencana tata ruang wilayah Daerah Persiapan.
Sosial budaya diukur dari tempat peribadatan, tempat/ kegiatan institusi sosial dan budaya, dan sarana olah raga.
Syarat fisik kewilayahan meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan. • Cakupan wilayah untuk pembentukan provinsi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/ kota, pembentukan kabupaten paling sedikit 5 (lima) kecamatan, dan pembentukan kota paling sedikit 4 kecamatan.
Sosial politik diukur dari partisipasi masyarakat dalam berpolitik dan organisasi kemasyarakatan.
24
Persyaratan administratif disusun dengan tata urutan sebagai berikut: a. untuk Daerah provinsi meliputi persetujuan bersama DPRD
Keterangan
Syarat jumlah cakupan wilayah ini “lebih berat” dibandingkan pengaturan pada PP sebelumnya yang hanya mensyaratkan 3 kabupaten/kota untuk pemekaran provinsi, 3 kecamatan untuk pemekaran kabupaten, dan 3 kecamatan pula untuk pemekaran kota.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 Suryanto
PP No. 129/2000
Jumlah penduduk diukur dari jumlah tertentu penduduk suatu Daerah. Luas daerah diukur dari luas tertentu suatu Daerah. Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otda diukur dari keamanan dan ketertiban, ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan, rentang kendali, Provinsi yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) Kabupaten dan/atau Kota, Kabupaten yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) kecamatan, dan Kota yang akan dibentuk mini mal telah terdiri dari 3 (tiga) kecamatan
PP No. 78/2007
UU No. 23/2014
• Cakupan wilayah pembentukan provinsi digambarkan dalam peta wilayah calon provinsi. • Peta wilayah dilengkapi dengan daftar nama kabupaten/kota dan kecamatan yang menjadi cakupan calon provinsi serta garis batas wilayah calon provinsi dan nama wilayah kabupaten/kota di provinsi lain, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga yang ber-batasan langsung dengan calon provinsi. • Peta wilayah dibuat berdasarkan kaidah pemetaan yang difasilitasi oleh lembaga teknis dan dikoordinasikan oleh Menteri. • Cakupan wilayah pembentukan kabupaten/kota digambarkan dalam peta wilayah calon kabupaten/kota. • Peta daerah kabupaten/kota dilengkapi dengan daftar nama kecamatan dan desa/ kelurahan atau nama lain yang menjadi cakupan calon kabupaten/kota serta garis batas wilayah calon kabupaten/kota, nama wilayah kabupaten/ kota di provinsi lain, nama wilayah kecamatan di kabupaten/ kota di provinsi yang sama, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga, yang berbatasan langsung dengan calon kabupaten/kota. • Peta wilayah kabupaten/kota dibuat berdasarkan kaidah pemetaan yang difasilitasi oleh lembaga teknis dan dikoordinasikan oleh gubernur
kabupaten/kota dengan bupati/wali kota yang akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah Persiapan provinsi dan persetujuan bersama DPRD provinsi induk dengan gubernur Da erah provinsi induk, b. untuk Daerah kabupaten/kota meliputi keputusan musyawarah Desa yang akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah kabupaten/kota, c. persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota induk dengan bupati/wali kota Daerah induk, dan
Keterangan
Pembentukan Daerah dapat dilakukan dengan alasan kepentingan strategis nasional. Maksudnya, pembentukan Daerah ini dilakukan khusus untuk daerah perbatasan, pulau-pulau terluar, dan Daerah tertentu untuk menjaga kepentingan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber: PP No. 129/2000, PP No. 78/2007, dan UU No. 23/2014
Tabel 1. Perbandingan Persyaratan Pemekaran Daerah
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
25
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 Suryanto
induk, dan d) persetujuan bersama DPRD provinsi dengan gubernur dari Daerah provinsi yang mencakupi Da erah Persiapan kabupaten/kota yang akan dibentuk. Selain harus memenuhi berbagai persyaratan di atas, dalam UU No. 23/2014 disebutkan bahwa pembentukan Daerah dapat dilakukan de ngan alasan kepentingan strategis nasio nal. Maksudnya, pembentukan Daerah ini dilakukan khusus untuk da erah perbatasan, pulau-pulau terluar, dan Daerah tertentu untuk menjaga kepentingan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya memperketat persyaratan pembentukan daerah, sebagaimana telah disebutkan beberapa ulasan di atas, sebenarnya telah diawali pada saat berlakunya UU No. 32/2004 jo PP No. 78/2007. Di dalam PP No. 78/2007 disebutkan bahwa berdasarkan rekomendasi usulan pembentukan daerah, Menteri Dalam Negeri meminta tanggapan tertulis para Anggota DPOD pada sidang DPOD. Masalahnya memang, selama ini lembaga DPOD ini dianggap kurang memerankan dirinya secara optimal sehingga pada praktiknya kurang dapat memberikan “catatan kritis” terhadap keputusan menolak atau menerima usul pembentukan daerah otonom baru. Mengapa peran lembaga ini menjadi penting, karena saran dan pertimba ngan DPOD akan disampaikan kepada Presiden, dan jika Presiden menyetujui maka Pemerintah akan menyusun rancangan undang-undang (RUU) tentang pembentukan daerah, selanjut nya usul inisiatif ini akan disampaikan kepada DPR RI untuk dibahas dan disepakati menjadi undang-undang. Namun kelemahan utama pada saat berlakunya undang-undang ini, selain lemahnya lembaga DPOD itu sendiri juga terbukanya dua pintu pemekaran daerah dimaksud. 26
D. ARAH BARU: Pemberian Status Awal DOB Kebijakan melakukan pemekaran daerah semakin diperketat terutama dengan terbitnya UU No. 23/2014. Salah satunya adalah pemekaran da erah tidak dapat lagi dilakukan secara langsung menjadi daerah definitif sebagaimana pada saat sebelumnya ketika berlaku PP No. 129/2000 dan PP No. 78/2007. Penetapan suatu daerah menjadi daerah otonom yang definitif dilakukan setelah daerah tersebut dianggap layak menjalankan otonomi daerah secara mandiri. Penilaian sebagai daerah persiapan dilakukan selama 3 tahun. Di dalam UU No. 23/2014 mekanisme pembentukan daerah persiapan dilakukan melalui tahap sebagai berikut: a) Pembentukan Daerah Persiapan diusulkan oleh gubernur kepada Pemerintah Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, atau Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia setelah memenuhi persyaratan dasar kewilayahan dan persyaratan administratif, b) Berdasarkan usulan tersebut, Pemerintah Pusat melakukan penilaian terhadap pemenuhan persyaratan dasar kewilayahan dan persyaratan administratif, dan c) Hasil penilaian terhadap daerah persiapan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Repu blik Indonesia. Disini terlihat jelas bahwa mekanisme pembentukan daerah otonom baru dimulai dari Pemerintah yang artinya melalui satu pintu yakni pemerintah pusat (Kemendagri atas nama Presiden). Perubahan mekanisme usulan pemekaran daerah dari dua pintu menjadi satu pintu sebagaimana tersebut di atas, diharapkan akan memberikan nilai positif bagi penataan daerah ke depan. Maksud “satu pintu” disini bu-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 Suryanto
kan berarti mengabaikan posisi dan peran DPR RI dan DPD RI sebagai wakil rakyat, namun peran tersebut tetap dilakukan setelah urusan di ling kup eksekutif dianggap selesai. Setelah berkas usulan pemekaran masuk ke Pemerintah dan diproses sebagaimana mestinya, selanjutnya berkas tersebut diteruskan kepada DPR RI dan DPD RI untuk mendapatkan persetujuan. Hal tersebut dinyatakan dalam UU No. 23/2014 sebagai berikut: bahwa dalam hal usulan pembentukan Da erah Persiapan dinyatakan memenuhi persyaratan dasar kewilayahan dan persyaratan administratif, dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Pemerintah Pusat membentuk tim kajian independen. Tim kajian independen bertugas melakukan kajian terhadap persyaratan dasar kapasitas Daerah. Hasil kajian disampaikan oleh tim kajian independen kepada Pemerintah Pusat untuk selanjutnya dikonsultasikan kembali kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Hasil konsultasi menjadi pertimbangan Pemerintah Pusat dalam menetapkan kelayakan pembentukan Daerah Persiapan. Penetapan menjadi daerah persiapan dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP), bukan undang-undang (UU) sebagaimana yang telah terjadi selama ini. Selama masa penilaian, Daerah induk memiliki kewajiban terhadap Daerah Persiapan, yaitu: a) membantu penyiapan sarana dan prasarana pemerintahan, b) melakukan pendataan personil, pembiayaan, peralatan, dan dokumentasi, c) membuat pernyataan kesediaan untuk menyerahkan personil, pembiayaan, peralatan, dan dokumentasi apabila Daerah Persiapan ditetapkan menjadi Daerah
baru, dan d) menyiapkan dukungan dana. Sebaliknya, Daerah Persiapan memiliki kewajiban sebagai berikut: a) menyiapkan sarana dan prasarana pemerintahan, b) mengelola personil, peralatan, dan dokumentasi, c) membentuk perangkat Daerah Persiapan, d) melaksanakan pengisian jabatan aparatur sipil negara pada perangkat Daerah Persiapan, dan e) mengelola anggaran belanja Daerah Persiapan, dan f) menangani pengaduan ma syarakat. E. TUJUH FORMULASI DESAIN BESAR PENATAAN DAERAH (DESARTADA) Secara makro, penataan daerah didasarkan atau berpedoman pada desain besar penataan daerah (Desartada). Dokumen ini disusun oleh Pemerintah Pusat sebagai pedoman melaksanakan penataan Daerah. Desain Besar Penataan Daerah memuat perkiraan jumlah pemekaran Daerah pada periode tertentu. Dalam konteks pemekaran da erah, Negara Indonesia telah memiliki kebijakan penataan daerah yaitu Desartada 2010-2015. Namun dalam dokumen tersebut terdapat sejumlah kelemahan sebagai berikut: 1) Secara epistemologis desain kebijakan sangat kental dengan pola pikir yang inward looking, sehingga konsep penataan daerah semata-mata ditekankan pada pemekaran daerah atau pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB). Demikian juga dengan parameter-parameter yang ditetapkan sebagai syarat pembentukan daerah, baik persyaratan administratif, teknis maupun kewilayahan, 2) Masih bersifat parsial, di mana kepentingan daerah per daerah menjadi acuan utama. Hal ini tampak dari diterapkannya pendekatan bottom up planning dalam tata cara pembentukan daerah (Pasal 14 s/d Pasal 21 PP No. 78 Tahun 2007), 3) Implementasi
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
27
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 Suryanto
desain yang ada masih terfragmentasi secara sektoral, sehingga upaya penataan daerah tidak dapat dilakukan secara optimal sementara beban pemerintah semakin bertambah (Partnership, 2011). Menurut data yang dirilis Kemen dagri, sampai tahun 2015 terdapat sebanyak 132 usulan daerah otonom baru yang terdiri atas 22 usulan Provinsi, 96 usulan Kabupaten, dan 14 usulan Kota. Terkait hal tersebut, sesungguhnya berapa provinsi, kabupaten, dan kota yang perlu dibentuk dalam menjalankan pemerintahan Indonesia? Pada tahun 2011 yang lalu, Partnership mengusulkan tujuh formulasi penataan daerah yang mewakili tujuh sudut pandang berbeda yakni: 1) formulasi dari sudut pandang admi nistrasi publik, 2) formulasi dari sudut pandang manajemen pemerintahan, 3) formulasi dari sudut pandang manajemen keuangan, 4) formulasi dari sudut pandang demografi, 5) formulasi dari sudut pandang geografi, 6) formulasi dari sudut pandang pertahanan dan keamanan, dan 7) formulasi dari sudut pandang sosial ekonomi. Dari tabel 2 dapat dijelaskan bahwa pembentukan provinsi baru dapat didekati dengan 7 formulasi. Pada formula administrasi publik penambahan provinsi sampai tahun 2025 sebanyak 0-14 provinsi, sedang perkiraan jumlah provinsi antara 33-47 provinsi. Administrasi publik merupakan suatu fenomena pemerintahan modern. Dalam rangka penyediaan fungsi-fungsi pengaturan dan pelayanan bagi masyakat, administrasi publik adalah penggunaan teori dan proses manajerial, politik dan hukum untuk melaksanakan mandate pemerintahan di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Berdasarkan pandangan bah28
wa administrasi publik berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pe ng a turan dan pelayanan, maka keberadaan daerah otonomi dalam perspektif administrasi pu blik bertujuan untuk lebih menjamin bahwa fungsi pengaturan dan pelayanan tersebut berlangsung secara lebih efisien, efektif dan berkesinambungan. Pada formula manajemen pemerintahan penambahan provinsi sampai tahun 2025 sebanyak 2755 provinsi, sedang perkiraan jumlah provinsi antara 70-88 provinsi. Daerah otonom dibentuk dalam rangka desentralisasi. Desentra lisasi memiliki 3 tujuan yaitu tujuan politik, tujuan admi n istrasi, dan tujuan sosial ekonomi. Tujuan politik di antaranya untuk menciptakan suprastruktur dan infrastruktur politik yang demokratis berbasis pada kedaulatan rakyat. Diwujudkan dalam bentuk pemilihan kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD secara langsung oleh rakyat. Tujuan Administrasi yaitu agar pemerintahan daerah yang dipimpin oleh kepala daerah dan bermitra dengan DPRD dapat menjalankan fungsinya untuk memaksimalkan nilai-nilai 4E, yakni efektivitas, efisiensi, equity / kesetaraan, dan ekonomi. Tujuan sosial ekonomi adalah bagaimana modal masya r akat yang berwujud modal sosial, modal intelektual, dan mo d al finansial dapat didayagunakan untuk mewujudkan terciptanya kesejahteraan masyarakat secara luas. Gejala yang terlihat dalam pembentukan daerah otonom di Indonesia pasca reformasi lebih banyak didasarkan pada tujuan/pertimbangan politik. Sementara itu, kriteria dasar dari aspek manajemen pemerintahan penentuan ideal yang ditawar-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 Suryanto
kan untuk pembentukan daerah termasuk untuk pembentukan provinsi adalah mencakup 3 variabel utama, yaitu jumlah penduduk bersifat dinamis, luas wilayah bersifat statis, dan rentang kendali ( span of control ) pemerintahan. Pada formula manajemen keuangan penambahan provinsi sampai tahun 2025 sebanyak 2-6 provinsi, sedang perkiraan jumlah provinsi antara 31-39 provinsi. Indikator yang dapat digunakan sebagai indikator ukuran optimal pemerintahan daerah dari aspek keuangan daerah adalah hanya variabel jumlah penduduk. Kondisi dari indikator ini meningkat dari waktu ke waktu, sehingga ukuran dan jumlah pemerintahan daerah dimungkinkan selalu ersifat dinamis. Ukuran pemerintahan daerah kabupaten/kota dan provinsi juga berbeda antar wilayah di Indonesia. Jumlah penduduk yang berbeda antar wilayah juga berakibat pada jumlah pemerintahan daerah provinsi yang berbeda-beda antar wilayah. Jumlah provinsi yang ideal pada tahun 2025 diperkirakan berjumlah 39 provinsi. Pada formula demografi penambahan provinsi sampai tahun 2025 sebanyak 6-31 provinsi, sedang perkiraan jumlah provinsi antara 39-64 provinsi. Pada formula geografi penambahan provinsi sampai tahun 2025 sebanyak 15 Formulasi
provinsi, sedang perkiraan jumlah provinsi antara 48 provinsi. Penduduk Indonesia pada tahun 2005 berjumlah 219 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk setiap tahunnya sebesar 1,34. Hingga saat ini penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa Proses pemekaran daerah masih menghadapi berbagai kendala diantaranya, ketersediaan pelayanan umum yang sangat terbatas se perti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Distribusi pelayanan dikaitkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang besar menjadi salah satu alasan kecenderungan suatu kabupaten atau kota dimekarkan. Jumlah penduduk dan luas wilayah menjadi variabel ukuran kelayakan pemekaran wilayah karena secara langsung terkait dengan perma salahan penyediaan pelayanan publik. Dari sisi kependudukan tidak hanya jumlah penduduk namun juga faktor kepadatan penduduk, persebaran dan masalah etnis. Yang juga menjadi perhatian adalah berapa jumlah staf pemerintahan lokal yang optimal untuk bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada formula geografi, penambahan provinsi hingga 2025 sebanyak 15 provinsi. Faktor yang dominan di dalam aspek geografi dalam pembagian wilayah ada-
Penambahan Hingga 2025
Administrasi Publik Manajemen Pemerintahan Manajemen Keuangan Demografi Geografi Pertahanan Keamanan
0 - 14 Propinsi 27 - 55 Propinsi 2 - 6 Propinsi 6 - 31 Propinsi 15 Propinsi 9 Propinsi
Estimasi Jumlah Propinsi 2025 33 - 47 Propinsi 70 - 88 Propinsi 31 - 39 Propinsi 39 - 64 Propinsi 48 Propinsi 43 Propinsi
Sumber: Partnership Policy Paper No. 1/2011
Tabel 2. Estimasi Pertambahan Provinsi Berdasarkan Berbagai Formulasi
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
29
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 Suryanto
lah parameter berikut: hidrologi, perairan kepulauan, geo-ekonomi, topografi, ekologi dan geo-hazard, geo-sosbud, dan geopolitik. Parameter tersebut merupakan aspek geografi yang telah dipertimbangkan dalam rangka melakukan pengkajian berbasis data geo-spasial untuk memperoleh jumlah ideal pemekaran daerah otonom baru pada tingkat provinsi. Pada formula pertahanan ke ama n an penambahan provinsi sam p ai tahun 2025 sebanyak 9 provinsi, sedang perkiraan jumlah provinsi antara 43 provinsi. Adapun pada formula sosial ekonomi penambahan provinsi sampai tahun 2025 tidak tersedia data, demikian pula perkiraan jumlah provinsi tidak tersedia datanya. Hasil kajian Partnership tersebut dilaksanakan pada tahun 2011, setahun setelah dokumen Desartada 2010-2015 diterbitkan, jumlah penambahan provinsi (8 provinsi) telah sesuai dengan sudut pandang yang dikemukakan khususnya sudut pandang administrasi publik (0-14 provinsi), sudut pandang manajemen keuang a n (2-6), dan sudut pandang demografi (6-31). Penambahan pada sudut pandang geografis pun terwujud dengan pengesahan UU No. 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara. Pada bagian menimbang butir b disebutkan: “bahwa sehubungan de n gan hal tersebut di atas dan memperhatikan kondisi wilayah yang secara geogra f is berbatasan dengan negara lain baik di darat maupun di laut, dengan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain-
30
nya di Kabupaten Bulungan, Kota Tarakan, Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, dan Kabupaten Tana Tidung serta meningkatnya beban tugas dan volume kerja di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di Provinsi Kalimantan Timur, perlu dibentuk Provinsi Kalimantan Utara” (Klausul Menimbang, butir b UU No. 12 Tahun 2012).
Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit mengenai alasan pertahanan keamanan, namun dengan mengingat kondisi daerah perbatasan yang rawan terhadap perubahan pertahanan keama n an, maka pembentukan Provinsi Kaltara dapat dilihat dari sudut pandang pertahanan keamanan. Persoalannya kemudian setelah daerah tersebut menjadi daerah otonom, apakah mereka dapat memperjuangkan daerah nya agar menjadi daerah otonom yang mandiri dan sejahtera(?) Hal ini perlu menjadi renungan bersama antara Pemerintah dan DPR RI memutuskan – berdasarkan hasil penilaian – bahwa Daerah Persiapan XYZ layak untuk ditetapkan menjadi Daerah Otonom Definitif. F. PENUTUP Kehendak melakukan pemekaran daerah dilandasi berbagai alasan dan argumentasi, yang dibungkus dengan pemenuhan seluruh persyaratan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Terbitnya PP No. 129/2000, dan PP No. 78/2007 yang mengatur persyaratan penataan daerah (pemekaran dan penggabungan daerah) masih menjadi tanda tanya besar dalam konteks mewujudkan efektivitas penataan daerah di Indonesia. Fakta dan data telah mem-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 Suryanto
buktikan bahwa pembentukan DOB ternyata belum memberikan dampak signifikan terhadap pencapaian tujuan otonomi daerah yaitu kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik, dan daya saing daerah yang semakin baik. Bahkan, rilis evaluasi EDOHP oleh Kemendagri menyatakan hanya 20% DOB yang berkinerja cukup tinggi dan tinggi, selebihnya sebesar 80% DOB berkinerja buruk. Berbagai persyaratan yang sebenarnya sudah cukup berat selalu dapat dipenuhi oleh pihak pengusul, sehingga usul pemekaran daerah dikabulkan oleh Pemerintah dan DPR RI. Sampai tahun 2014, penambahan daerah pemekaran sebanyak 223 daerah, yang terdiri dari 8 provinsi, 182 kabupaten, dan 33 kota sehingga total Daerah Otonom menjadi 542, yang meliputi 34 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota (Kemendagri, 2015 dalam www.otda. kemendagri.go.id). Laju pemeka ran daerah selama hampir dua dasawarsa terakhir sangat tinggi terutama penambahan daerah kabupaten (dari 233 kabupaten menjadi 415 kabupaten atau sebesar 178%). Adapun untuk penambahan provinsi sebanyak 8 daerah yaitu dari 26 menjadi 34 provinsi (31%), sedangkan penambahan kota sebanyak 30 daerah yakni dari 60 menjadi 93 daerah (55%). Lalu, ini salah siapa? Sebenarnya tidak ada yang perlu disalahkan apabila daerah yang dimekarkan tadi memang memenuhi ‘janji-janji’ sesuai dengan alasan melakukan pemekaran daerah. Berdasarkan uraian tersebut, penulis mengusulkan hal-hal sebagai berikut: Pertama , perubahan mindset Pemerintah dan DPR
RI bahwa penataan daerah tidak lagi sekedar pemenuhan persya ratan formal, tetapi perlu dilihat pula persyaratan substansial apakah memang daerah yang diusulkan tersebut layak/tidak menjadi daerah persiapan. Perubahan mindset tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan bagi calon pimpinan (peserta Diklatpim) dan pimpinan puncak di lingkup Pemerintah, melakukan kunjungan ke DOB yang dianggap “sukses” dan “gagal”, dan semi nar/lokakarya/diskusi terbatas yang memberikan pembelajaran ba g i semua pihak akan sejumlah kerugian pemekaran yang cend e rung kontraproduktif. Selanjut nya, dengan perubahan pintu masuk ( entry point ) usul pemekaran daerah yaitu melalui satu pintu Pemerintah/eksekutif, maka Pemerintah dan DPR RI diharapkan saling “legowo” apabila terjadi penolakan terhadap penetapan suatu daerah menjadi daerah baru. Kedua , perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan yang lebih ketat lagi melalui pembinaan kepada wilayah-wilayah yang selama ini merasa terpinggirkan dari pusat pemerintahan, pengawasan terhadap self assessment oleh tim independen terkait penilaian kelayakan suatu daerah yang akan diusulkan, dan sebagainya guna menghindari terjadinya bias dalam pembuatan keputusan pemekaran daerah oleh Pemerintah dan DPR RI. Ketiga , pengetatan persyaratan pemekaran daerah menurut UU No. 23/2014 sudah cukup komprehensif, namun hendaknya dapat dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah-nya nanti. Sampai saat ini belum diterbitkan satu pun peraturan pelaksana UU No. 23/2014, semoga
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
31
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 Suryanto
dengan masih tersisa waktu kurang lebih 3 bulan ke depan, Tim perumus RPP Pemekaran Daerah dapat menyelesaikan pekerjaannya sehingga dapat menerbitkan PP pengganti PP No. 78/2007 tepat pada tanggal 2 Oktober 2016 sesuai amanat Pasal 410 UU No. 23/2014: “Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Keempat , mempercepat pembahasan RPP mengenai desain besar penataan daerah (Desartada) sebagai salah satu landasan dalam melakukan penataan daerah. Kelima , perlu konsistensi dalam melaksanakan penataan daerah, Pemerintah dan DPR RI tidak perlu takut melaksanakan penggabungan daerah apabila menurut hasil penilaian, DOB tersebut tidak layak menjadi daerah baru. Dampak penggabu ngan ini tidak hanya memenuhi aspek formal perundangan, namun sekaligus akan memberikan ‘pelajaran’ bagi daerah lain atau pengusul lain yang akan memekarkan daerahnya. DAFTAR PUSTAKA Djadijono, M., I Made Leo Wiratma, dan T.A. Legowo. 2006. Membangun Indonesia dari Daerah. Jakarta: CSIS. Kaho, Josef Riwu. 2002. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa. Said, M. Mas’ud. 2005. Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia. Malang: UMM Press. Suryanto, Adi dkk., 2008. Evaluasi Kinerja Daerah Otonom Baru. 32
Jakarta: PKKOD LAN. __________________., 2009. Evaluasi Pembentukan, Pemekaran, Penggabungan dan Penghapusan Daerah. Jakarta: PKKOD LAN. Kementerian Dalam Negeri dan Tim Pakar, 2010. Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP), Jakarta: Kemendagri. Kementerian Dalam Negeri, 2010. Desain Besar Penataan Daerah 2010-2015, Jakarta: Ditjen Otda Kemendagri. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. http://www.kemitraan.or.id/sites/ default/files/20110510101702. Policy%20Brief%20PSG%20 1-2011.pdf diunduh tanggal 14 Juni 2016. http://www.Republika.co.id/berita/dpd-ri/berita-dpd/16/02/26/ o35tp5219-dpd-ri-bahas-rppdesain-besar-penataan-daerahb ersama-d p r-d an-p emerintah diunduh tanggal 14 Juni 2016. http://otda.kemendagri.go.id/index.php/2014-10-27-09-15-39 diunduh tanggal 14 Juni 2016. http://nasional.sindonews.com/ read/1088640/12/dpr-pemerintah-sepakat-lanjutkan-pemekaran-88-daerah-1456494002 diunduh tanggal 16 Juni 2016.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
Artikel PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA: BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta.
MANAGING VILLAGE-OWNED ENTERPRISE (BUMDES): Study on BUMDES Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta Tony Murdianto Hidayat Peneliti Pertama Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara Abstrak: Maraknya pendirian BUMDes yang dilakukan pemerintah ternyata belum diimbangi dengan kualitas BUMDes yang terbentuk. Dari belasan ribu BUMDes hanya sedikit BUMDes yang dianggap sukses dan berhasil dalam pengelolaannya. Keberhasilan suatu BUMDes dalam menjalankan usahanya tentu bisa menjadi panutan desa lain untuk bisa mendapatkan hasil serupa. Salah satunya adalah BUMDes Desa Karangrejek. BUMDes tersebut mampu menjadi pilar pengembangan ekonomi, penopang berbagai kegiatan masyarakat serta berperan serta dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tulisan ini bertujuan mengidentifikasi faktor apa yang membuat BUMDes Karangrejek bisa berhasil mengembangkan usahanya dan bertahan hingga sekarang. Pendekatan studi yang digunakan adalah kualitatif, dengan metode yang digunakan adalah deskriptif. Data primer diperoleh dari wawancara dengan kepala desa dan direksi serta pengurus BUMDes Karangrejek sedangkan data sekunder terkait BUMDes Karangrejek diperoleh dari pengurus BUMDes dan penelusuran di internet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 5 faktor yang menjadi kunci keberhasilan BUMDes Karangrejek. Pertama, kearifan lokal; Kedua, kuatnya dukungan masyarakat, pemerintah (pusat maupun daerah) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); Ketiga, kepemimpinan kepala desa; Keempat, pemilihan usaha yang tepat berbasis potensi desa; Kelima, pengelolaan usaha. Kata Kunci: BUMDes, Karangrejek, Teladan
Abstract: The rise of Village-owned enterprises (BUMDes) apparently does not matched by the quality of BUMDES management. Out of tens of thousands BUMDeses, few deemed successful. A successful BUMDES will be looked up by other BUMDeses, as shown by the case of BUMDeses Karangrejek. The BUMDES is able to become a pillar of economic development, to support various community activities and to participate in improving the welfare of the community. This paper aims to identify what makes BUMDes Karangrejek successfully managed their business sustainability. The study used descriptive, qualitative study. The primary data obtained from interviews with village heads and directors and administrators BUMDes Karangrejek while secondary data obtained from the relevant BUMDes Karangrejek BUMDes board and other internet-based sources. The results showed that there are five factors that are key to the success story of BUMDes Karangrejek, namely local wisdom; strong support from the public, the government (central and local) and the Non Governmental Organizations (NGOs); the leadership of the village head; the selection of appropriate business line based on the potential of the village; and the management of the business. Keywords: BUMDes, Karangrejek, role model
A. PENDAHULUAN Salah satu program nawacita Presi den Jokowi adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan mem-
perkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Melalui program tersebut, pemerintah Jokowi ingin membangun Indonesia
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
33
PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA: BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta Tony Murdianto Hidayat
melalui pendekatan bottom up. Di satu sisi daerah akan menjadi pilar dalam pembangunan dan di sisi lain peme rintah pusat lebih banyak menjalani peran mengarahkan. Diharapkan de ngan penguatan daerah dan desa akan membuat Indonesia menjadi semakin kuat. Upaya tersebut selaras dengan program pengembangan ekonomi desa yang telah lama digulirkan pemerintah. Sudah cukup banyak kebijakan atau program pemerintah yang telah diimplementasikan untuk pemberdayaan dan kemandirian desa baik yang berkaitan dengan sosial, politik maupun ekonomi. Dahulu kita mengenal program Kredit Usaha Tani (KUT), Program Pengembangan Wilayah (PPW), Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT), Inpres Desa Tertinggal (IDT), Jaring Pengaman Sosial (JPS), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Program Pengembangan Infrastruktur Perdesaan (PPIP), Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), Kredit Usaha Rakyat (KUR), Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan Kecil ((P4K), Kelompok Usaha Bersama Ekonomi (KUBE), Kredit Koperasi dan Usaha Kecil menengah (UKM), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan sebagainya. Namun tampaknya pelaksanaan berbagai program tersebut belum memberikan hasil yang diharapkan. Kebijakan lain yang dicanangkan pemerintah dalam upaya mewujudkan kemandirian desa adalah Badan Usaha Miliki Desa (BUMDes). Ketentuan mengenai BUMDes mulai diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah. BUMDes merupakan wadah usaha desa yang memiliki semangat kemandirian, kebersamaan, dan kegotong-royongan 34
antara pemerintah desa dan masya rakat untuk mengembangkan asetaset lokal, memberikan pelayanan dan meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat dan desa. Sebelum kebijakan tersebut muncul beberapa desa sudah mendirikan BUMDes meskipun dengan nama yang berbeda-beda. Jenis usaha yang dilakukan pada umumnya adalah simpan-pinjam (keuang an mikro) meskipun ada juga yang menyelenggarakan usaha lain, mi salnya pelayanan air bersih bagi ma syarakat. Perkembangan jumlah BUMDes sangat pesat dalam dua tahun terakhir ini. Data Kementerian Desa, Pemba ngunan Daerah Tertinggal dan Transimigrasi (Desa dan PDT) mencatat pada tahun 2014 terdapat 1.022 BUMDes, naik menjadi 12.115 di tahun 2016. Menurut Menteri Desa dan PDT Marwan Jafar sebagaimana dikutip republika online tanggal 22 Mei 2016, perkembangan tersebut tidak terlepas dari kontribusi Dana Desa Tahun 2015. Ketentuan dalam pasal 9 Peraturan Menteri Desa PDT dan Transmigrasi Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015 menyebutkan bahwa salah satu prioritas dalam pemanfaatan dana desa adalah pendirian dan pengembangan BUMDes. Pada awalnya Kementerian Desa dan PDT hanya menargetkan pembentukan 5000 BUMDes, tapi seiring berjalannya waktu BUMDes yang terbentuk sudah melebihi target. Keberadaan BUMDes diharapkan akan memunculkan semangat masyarakat dalam memba ngun dan mengembangkan perekonomian desa. Selain itu BUMDes juga diyakini akan mampu menjadi sarana penyerapan tenaga kerja di desa, pe ningkatan kreatifitas masyarakat desa dan membuka peluang usaha ekonomi produktif di desa. Dengan demikian, BUMDes akan hadir menjadi tulang
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA: BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta Tony Murdianto Hidayat
punggung perekonomian desa dalam rangka mewujudkan kemandirian desa dan mencapai cita-cita pembangunan, yakni peningkatan kesejahteraan warganya. Semangat untuk mendirikan BUMDes yang dilakukan pemerintah tentu harus mendapat respon positif. Sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan kemandirian desa, BUMDes memang diharapkan menjadi salah satu pondasi pelaksanaan pembangunan di desa. Namun, upaya pendirian BUMDes secara masif tentu harus dicermati secara kritis. Jangan sampai karena dalih pencapaian target menjadikan pendirian BUMDes tanpa perhitungan yang matang. Bila demikian, alih-alih akan bermanfaat BUMDes tersebut justru akan menjadi beban bagi desa karena dana desa menjadi salah satu modal BUMDes. Hasil kunjungan lapangan tim Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah (PKDOD) ke Kabupaten Bantaeng di Propinsi Sulawesi Selatan beberapa waktu lalu mendapatkan informasi bahwa pendirian BUMDes secara masif yang diprakarsai oleh Bupati ternyata tidak memberikan hasil yang diharapkan. Meskipun telah ba nyak BUMDes di Kabupaten Bantaeng yang didirikan, tetapi hanya sedikit BUMDes yang bisa dikatakan tumbuh dan mampu menjaga keberlangsung an usahanya. Tampaknya pendirian BUMDes dengan pendekatan dari atas, cenderung seragam dan tidak banyak melibatkan masyarakat desa sehingga sulit untuk menghasilkan BUMDes yang berhasil dan berkelanjutan. Upaya pendirian BUMDes secara masif oleh pemerintah tentu harus dibarengi upaya pengembangan dan pengelolaan BUMDes agar dapat tercipta BUMDes-BUMDes yang mampu tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan. Di Yogyakarta, ada beberapa
BUMDes yang dinilai telah berhasil dalam pengelolaannya. Salah satunya adalah BUMDes Desa Karangrejek. BUMDes tersebut telah menjadi rujukan bagi desa lain yang ingin mendirikan dan mengembangkan BUMDes di desanya. BUMDes Karangrejek sudah cukup lama berdiri, dan hingga sekarang masih mampu bertahan bahkan semakin berkembang. Kontribusi BUMDes kepada desa dan pemerintah desa Karangrejek cukup besar, kontinyu dan stabil dari tahun ke tahun. Pada tahun 2012, Desa Karangrejek menjadi juara 2 nasional dalam lomba antar desa yang diadakan pemerintah pusat. Salah satu penyebab berhasilnya Desa Karangrejek menjadi juara adalah karena keberadaan BUMDes Karangrejek. BUMDes Karangrejek dipandang mampu mewujudkan kemandirian Desa Karangrejek dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. BUMDes Karangrejek menjadi salah satu pilot project pengembangan BUMDes di Kabupaten Gunung Kidul. Tulisan ini bertujuan mengidentifikasi faktor kunci keberhasilan BUMDes Desa Karangrejek dalam mengembangkan usahanya secara berkelanjutan. Pendekatan yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Data pri mer diperoleh dalam kegiatan diskusi dengan kepala desa, direksi BUMDes dan pengelola unit usaha Pengelola Air Bersih (PAB) BUMDes Karangrejek. Data sekunder digunakan untuk melengkapi uraian dan analisis bersumber dari kebijakan Pemerintah Daerah dan berbagai sumber di internet. Data yang diperoleh kemudian diklasifikasi, dikelompokkan dan ditabulasi menurut jenisnya. Data yang telah diperoleh kemudian digunakan dalam analisis. B. KONSEP DAN KEBIJAKAN BUMDES Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
35
PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA: BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakara Tony Murdianto Hidayat
adalah lembaga usaha desa yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintahan desa dalam upaya memperkuat perekonomian desa dan dibentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa. BUMDes diharapkan menjadi pilar dalam menggerakkan perekonomian desa sekaligus sebagai salah satu kontributor peningkatan Pendapat Asli Desa (PADesa). Berbeda dengan lembaga ekonomi pada umumnya, ada dua peran yang dimiliki BUMDes yaitu sebagai lembaga sosial dan lembaga komersil. Sebagai lembaga sosial, keberadaan BUMDes ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat desa. Oleh karena itu, jenis usaha BUMDes biasanya terkait langsung dengan kebutuhan masyarakat desa. Sebagai lembaga komersil, BUMDes didirikan untuk mencari keuntungan guna meningkatkan kesejahteraan masya rakat desa. Terdapat 10 (sepuluh) ciri utama yang membedakan BUMDes dengan lembaga ekonomi komersial pada umumnya yaitu: 1. Badan usaha ini dimiliki oleh desa dan dikelola secara bersama; 2. Modal usaha bersumber dari desa (51%) dan dari masyarakat (49%) melalui penyertaan modal (saham atau andil); 3. Dijalankan dengan berdasarkan asas kekeluargaan dan kego tongroyongan serta berakar dari tata nilai yang berkembang dan hidup dimasyarakat (local wisdom); 4. Bidang usaha yang dijalankan didasarkan pada pengemba ng an potensi desa secara umum dan hasil informasi pasar yang menopang kehidupan ekonomi masyarakat; 5. Tenaga kerja yang diberdayakan dalam BUMDes merupakan tenaga kerja potensial yang ada di desa; 36
6. Keuntungan yang diperoleh ditujukan untuk meningkatkan kese jahteraan masyarakat desa dan atau penyerta modal; 7. Pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah dilakukan melalui musyawarah desa; 8. Peraturan-peraturan BUMDes dijalankan sebagai kebijakan desa (village policy); 9. Difasilitasi oleh Pemerintah, Pemprov, Pemkab, dan Pemdes; 10. Pelaksanaan kegiatan BUMDes diawasi secara bersama (Pemdes, BPD, anggota). Pengelolaan BUMDes didasarkan pada semangat gotong royong dan kebersamaan. Dengan demikian partisipatif dan inisiatif masyarakat desa sangat diharapkan karena merekalah yang mengetahui secara pasti dan detil tentang semua potensi desa dan sumber daya desa. Maryunani (2008) mengemukakan ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembentukan BUMDes yaitu: a. Logika pembentukan BUMDesa didasarkan pada kebutuhan, potensi, dan kapasitas desa, sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di desa. b. Perencanaan dan pembentukan BUMDesa adalah atas prakarsa (inisiasi) masyarakat desa, serta mendasarkan pada prinsip-prinsip ko-operatif, partisipatif & emansipatif (user-owned, user-benefited, and user-controlled) dengan mekanisme member-based dan selfhelp. c. Pengelolaan BUMDesa harus dilakukan secara profesional, ko-operatif, dan mandiri. d. Bangun BUMDesa dapat beragam di setiap desa di Indonesia. Maksud pembentukan BUMDes adalah: (1) Menumbuhkembangkan
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA: BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta Tony Murdianto Hidayat
per ekonomian desa; (2) Meningkatkan Sumber Pendapatan Asli Desa; (3) Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan jasa bagi peruntukan hajat hidup masyarakat desa; (4) Sebagai perintis bagi kegiatan usaha di desa. Sedangkan tujuan pembentukan BUMDes antara lain: (1) Meningkatkan peranan masyarakat desa dalam mengelola sumber-sumber pendapatan lain yang sah; (2) Menumbuhkembangkan kegiatan ekonomi masyarakat desa, dalam unit-unit usa ha desa; (3) Menumbuhkembangkan usaha sektor informal untuk dapat menyerap tenaga kerja masyarakat di desa; (4) Meningkatkan kreatifitas berwira usaha masyarakat desa yang berpenghasilan rendah. Prinsip kebersamaan menjadi kekuatan tersendiri dalam mengelola BUMDes. Dengan berusaha secara bersama-sama diharapkan akan membangkitkan kemandirian dalam diri masyarakat, sehingga tidak mengharapkan lagi jenis-jenis bantuan dari pemerintah baik yang bersifat hibah ataupun pinjaman. Maryunani (2008) mengatakan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan BUMDes yaitu: 1. Sebagai pengelola adalah semua masyarakat desa yang memiliki orientasi melakukan usaha bersama dibantu aparat pemerintah desa sebagai fasilitator dan pe nyambung komunikasi dengan pemerintah daerah. 2. Bentuk kegiatan harus bersifat kemitraan dan memiliki kontrak. 3. Pembinaan bisa langsung dari pemerintah daerah atau dari lembaga-lembaga non profit, seperti LSM, perguruan tinggi, organisasi masyarakat, dan lain-lain. 4. Wilayah cakupan tidak harus satu desa. Jika beberapa desa memiliki orientasi yang sama maka dapat
melakukan usaha secara bersama-sama dalam satu wadah BUMDes (kluster). Apalagi jika bahan mentah dan produk disebarkan di beberapa desa. 5. Bentuk badan usaha harus bersifat kebersamaan dan mandiri. 6. Bentuk usaha bisa berbentuk pembiyaan seperti usaha simpan pinjam, ataupun berbentuk riil seperti usaha kerajinan, pertanian, peternakan, pasar, wisata dan lain-lain. 7. Keanggotaan adalah semua masyarakat desa yang memiliki kepentingan yang sama dalam ber usaha, selain itu aparat pemerintah desa juga akan memfasilitasi, dan bisa juga pihak ketiga (investor) yang menanamkan modalnya untuk dikembangkan dan menjadi usaha bersama. Kebijakan tentang BUMDes dimulai pada tahun 2004 dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam undang-undang tersebut pa sal 213 ayat 1 disebutkan bahwa desa dapat mendirikan badan usaha sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Pengaturan lebih lengkap mengenai BUMDes diberikan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Dalam kebijakan tersebut, yaitu Bagian Kelima, pasal 78-81 diatur tentang ketentuan mengenai pendirian BUMDes, kewajiban BUMDes untuk memiliki dasar hukum, pemodal an, ketentuan tentang kepengurusan BUMDes, hak BUMDes untuk melakukan pinjaman dan amanat bagi Pemda untuk menerbitkan Perda tentang Tata Cara Pembentukan dan Pengelolaan BUMDes. Ketentuan yang lebih khusus me ngenai BUMDes dituangkan dalam Permendagri No. 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa. Dalam
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
37
PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA: BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakara Tony Murdianto Hidayat
Gambar 1. Berbagai kebijakan pemerintah yang terkait dengan BUMDes
Sumber: Data diolah
38
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA: BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta Tony Murdianto Hidayat
peraturan tersebut diatur tentang digunakannya Peraturan Desa sebagai dasar hukum pembentukan BUMDes. Selain itu, dalam pasal 5 dijelaskan syarat dan mekanisme pembentukan BUMDes. Ketentuan mengenai organisasi pengelolaan BUMDes dijelaskan pada pasal 6-11, sedangkan jenis usaha dan permodalan BUMDes diatur dalam pasal 12-16. Kebijakan mengenai BUMDes yang terbaru dituangkan Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, pada Bab X pasal 87-90. Ada beberapa hal yang diatur dalam kebijakan tersebut yaitu ketentuan bahwa pendirian BUMDes harus disepakati melalui Musdes. Selain itu undang-undang tersebut mengatur alokasi pendapatan usaha BUMDes. Pemerintah baik pusat, propinsi dan kabupaten berkewajiban mendorong pengembangan BUMDes dengan memberi akses modal, pendampingan teknis dan akses pasar serta memprioritaskan BUMDes dalam pengelolaan sumber daya alam di desa. Untuk operasionalisasi implementasi Undang-undang No. 6 Tahun 2014 Pemerintah mengeluarkan PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. PP tersebut pada dasarnya melengkapi dan merinci ber bagai ketentuan tentang BUMDes yang telah ada sebelumnya. Beberapa hal yang diatur dalam PP tersebut adalah mekanisme pendirian dan pengelola organisasi pengelola (Pasal 132), mo dal dan kekayaan desa, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, pengembangan usaha dan termasuk mekanisme pendirian BUMDes bersama. Saat ini landasan hukum mengenai keberadaan dan tata kelola BUMDes semakin diperjelas oleh pemerintah dengan ditetapkannya Peraturan Men-
teri Desa dan PDT (Permendes) No. 4 Tahun 2015 tentang BUMDes. Meskipun sebelumnya Menteri Dalam Negeri juga mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 113 Tahun 2014 tentang pengelolaan Keuangan desa, namun Permendagri tersebut tidak menyinggung mengenai BUMDes. Permendes No. 4 Tahun 2015 menjelaskan secara lebih terperinci mengenai proses pendirian BUMDes, siapa saja yang berhak mengelola BUMDes, permodalan BUMDes, jenis usaha yang diperbolehkan, sampai dengan pelaporan dan pertang gungjawaban pelaporan BUMDes di atur dalam Permen ini. Ketentuan ini menjadi panduan bagi desa-desa yang akan mendirikan dan mengelola serta mengembangkan BUMDes. C. BERKAH BUMDES BAGI MASYARAKAT DESA KARANGREJEK BUMDes Karangrejek sudah terbentuk pada tahun 2009 dan bernama BUMDes Tirta Kencana, dengan dasar hukum pembentukannya adalah Peraturan Desa Karangrejek No. 5 Tahun 2009 tanggal 1 Juli 2009. Seiring berjalannya waktu, BUMDes Tirta Kencana mengalami berbagai pembahasan dan perubahan termasuk dalam hal pembahasan Anggaran Dasar BUMDes. Pada tahun 2010 terbit Peraturan Desa Karangrejek No. 6 Tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Desa No 5 Tahun 2009 tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Desa. Berdasarkan ketentuan ini BUMDes Tirta Kencana berubah nama menjadi BUMDes Karangrejek. Hal ini untuk menindak lanjuti Peraturan Daerah Kabupaten Gunung Kidul No. 5 tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Gunung Kidul No. 5 tahun 2008 tentang BUMDes. Pada tahun 2014 terbitlah Peraturan Desa Karangrejek No. 6 Tahun 2014 sebagai penyempurnaan dari Peraturan Desa
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
39
PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA: BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakara Tony Murdianto Hidayat
Karangrejek No. 10 Tahun 2010. Maksud pembentukan BUMDes Karangrejek adalah untuk menampung dan mendorong seluruh kegiatan ekonomi masyarakat, baik yang tumbuh dan berkembang menurut adat istiadat, budaya setempat maupun kegiatan perekonomian yang diserahkan untuk dikelola oleh masyarakat melalui program Pemerintah, Peme rintah Provinsi, Pemerintah Daerah, dan Pemerintahan Desa. Sedangkan tujuan pembentukannya adalah: 1). mendorong perkembangan perekonomian masyarakat desa; 2). meningkatkan kreatifitas dan peluang usaha ekonomi produktif masyarakat desa; 3). mendorong tumbuh dan berkembangnya usaha mikro sektor informal; 4). meningkatkan pendapatan dan ke sejahteraan masyarakat desa; dan 5). meningkatkan pendapatan asli desa. Saat ini BUMDes Desa Karangrejek memiliki beberapa unit usaha yang telah berjalan yaitu jasa pelayanan air bersih dengan nama Pengelolaan Air Bersih Tirta Kencana (PAB TK), jasa simpan pinjam dengan nama Unit Kredit Mikro (UKM) Tirta Kencana, dan UKMA Amrih Ngrembaka (pertanian). Kepengurusan BUMDes terdiri dari unsur Pemerintah Desa, BPD, LPMD, dan/atau tokoh masyarakat dengan masa bakti selama-lamanya 4 tahun. BUMDes Desa Karangrejek telah berjalan dengan cukup baik dan mampu memberikan kontribusi keuntungan kepada pemerintah Desa Karangrejek sebesar 20 % dari sisa hasil usaha. Pengembangan BUMDes Karang re jek melibatkan peran serta masya rakatnya. Pemerintah desa berusaha melibatkan masyarakat untuk berpe ran aktif dalam pembangunan di desanya. Keterlibatan masyarakat ini di mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengelolaan dan evalu asi. Pengambilan keputusan dalam 40
perencanaan pembangunan dilakukan dengan melibatkan stakeholder dalam masyarakat. Kepala dusun dan tokoh masyarakat memegang peran penting untuk mendistribusikan ide, gagasan, manfaat pembangunan ini kepada warga sehingga muncul komitmen seluruh warga untuk terlibat dalam gotong royong pembangunan sarana dan prasarananya. Partisipasi masya rakat saat pelaksanaan pembangunan infrastruktur sarana dan prasarana air bersih dilakukan dengan bergotong royong di lingkungan RT mereka. Bentuk partisipasi masyarakat setelah air mengalir adalah dengan turut serta menjadi konsumen PAB TK. Kondisi masyarakat Desa Karangrejek sebelum berdirinya BUMDes jauh dari sejahtera dan termasuk dalam kategori desa miskin. Pendapatan Asli Desa (PADes) juga masih tergolong rendah. Selain rendahnya pengetahuan, kendala lain adalah kurang memadainya sarana dan prasarana umum, perkantoran, transportasi dan pertanian. Kondisi demikian menjadi kan Desa Karangrejek termasuk dalam kategori sebagai desa tertinggal dan masuk dalam program Inpres Desa Tertinggal. Permasalahan lain yang dihadapi Desa Karangrejek adalah sulitnya air bersih. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat mengandalkan air sungai untuk dijadikan air minum, mandi, cuci dan bahkan untuk mandi hewan ternak. Untuk mencapai belik atau kubangan yang berada di sisi sungai, masyarakat harus rela menempuh jarak sekitar 1,5-3 km. Bagi mereka yang mampu, tersedia layananan air bersih dari mobil tanki swasta dengan harga Rp. 20.000,00/m3. Selain pasokan dari mobil tanki, pasokan air bisa diperoleh dari pembuatan sumur bor dengan kedalaman 25 m, yang bisa bertambah dalam hingga 40 m bila musim ke-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA: BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta Tony Murdianto Hidayat
marau tiba. Pelayanan air bersih yang dikelola PDAM Kabupaten Gunung Kidul masih kurang optimal, aliran air ke warga sering terhambat dan belum meratanya distribusi air ke warga. Kehadiran BUMDes perlahan namun pasti mulai mengubah kondisi yang ada. Masyarakat yang sebelumnya selalu mengalami kekeringan dan kekurangan air bersih sehingga menyebabkan gangguan kesehatan, sekarang mampu tercukupi kebutuhan air. Tidak ada lagi masyarakat yang rela berjalan kaki jauh untuk mendapatkan air. Pada musim kemarau panjang pun, masya rakat tetap masih bisa mendapatkan air. Air tetap mengalir di rumah mere ka. Kebutuhan untuk minum, memasak, mandi pun sudah tercukupi. Hewan ternak pun telah tercukupi kebutuhan air dan makanannya. Berkembangnya BUMDes Karangrejek juga turut menggerakkan ekonomi desa. Keberadaan BUMDes tersebut telah membuka peluang usaha bagi masyarakat. Industri rumah tangga (home industry) seperti tahu, tempe, toge, dan usaha perikanan mulai berdiri. Kehadiran industri tersebut telah membuka lapangan kerja bagi masya rakat Desa Karangrejek. Tercatat lebih dari 800 warga masyarakat Karangrejek yang bekerja pada home industry tersebut. Angka pengangguran di Desa Karangrejek berkurang, ekonomi tumbuh dan kesejahteraan masyarakat pun mengalami peningkatan. Selain untuk air minum, PAB BUMDes karangrejek juga memberikan pelayanan air bersih untuk pertanian dalam bentuk penyediaan air irigasi yang dikelola kelompok tani. Musim kemarau pun tetap tersedia air untuk menanam tanaman. Ketersediaan dan pasokan air yang cukup telah menumbuhkan peluang usaha berbasis air. Masyarakat desa Karangrejek memanfaatkan ketersediaan air dengan mem-
buka usaha berbasis air seperti laundry, cucian motor dan mobil, budi daya lele dan budidaya sayur mayur dengan memanfaatkan lahan di pekarangan. Jumlah pelanggan air bersih BUMDes Karangrejek mencapai sekitar 1200 Kepala Keluarga (KK). Kapasitas pipa terpasang saat ini mampu melayani pelanggan sebanyak 1500 KK. Oleh karena itu BUMDes Karangrejek membuka pelayanan air bersih bagi masyarakat desa lain di sekitar Desa Karangrejek. Tercatat dua desa lain yang saat ini juga menikmati layanan air bersih BUMDes Karangrejek yaitu Desa Baleharjo dan Sirawan. Selain memberikan pendapatan bagi pemerintah Desa Karangrejek, BUMDes Karangrejek juga mengalokasikan sebagian pendapatannya kepada peme rintah desa sekitar Karangrejek yang warganya menjadi pelanggan air bersih BUMDes Karangrejek. Besarnya alokasi ditentukan berdasarkan persentase pelanggan di desa tersebut. Secara tidak langsung, masyarakat telah merasakan dampak dari pembangunan lingkungan pemukiman di pedesaan yang berasal dari dana BUMDes yang 20% dari keuntungannya dialokasikan kepada pendapatan desa. Melalui dana inilah sarana dan prasarana di pedesaan bisa dibangun, seperti pembangunan pengaspalan jalan desa, drainase, pagar pekarangan, gapura pintu masuk, gardu ronda, sanitasi, pembangunan jaringan air bersih, pembangunan balai padukuhan dan balai desa. Selain itu, untuk berbagai kegiatan sosial desa seperti penyelenggaraan acara budaya, menyumbang masjid disisihkan juga dana dari pendapatan BUMDes. Kegiatan lain yang juga terlaksana berkat dana BUMDes adalah kegiatan bersih desa, kegiatan 17-an, kesehatan masyarakat, syawalan dan pembangunan masjid. Masyarakat kurang
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
41
PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA: BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakara Tony Murdianto Hidayat
mampu pun masih bisa menikmati layanan air bersih. Adanya penurunan tarif untuk pemakaian air 0-10 m3 turut meringankan beban masyarakat kurang mampu karena pada umumnya mereka pengguna air bersih kurang dari 10 m3 per bulan. BUMDes sangat berarti bagi desa karena selain memberikan kontribusi juga menjadi motor penggerak kegiatan lainnya. Penggunaan dana BUMDes yang lain adalah untuk pendidikan. Pengelola menyisihkan 2,5 % dari pendapatan BUMDes untuk membantu warga masyarakat yang kurang mampu dalam bentuk beasiswa, memberikan alat tulis (tas, buku, bolpoin dan sebagainya). Perhatian yang sama juga diberikan kepada karyawan BUMDes yang ingin meningkatkan kapasitas nya. Karyawan yang ingin meningkatkan ketrampilannya dalam mengope rasikan komputer, dikirim pengelola BUMDes untuk mengikuti kursus komputer. Biaya kursus tersebut ditang gung oleh BUMDes yang bersumber dari pendapatan BUMDes. D. TELADAN DARI BUMDES KARANGREJEK Pendapatan BUMDes Karangrejek memang tidak sebanyak dibandingkan dengan BUMDes desa lain, mi salnya BUMDes Desa Ponggok yang pendapatannya di tahun 2015 mencapai Rp. 4 Milyar. Namun demikian, BUMDes Karangrejek memiliki fondasi No. Tahun 1. 2. 3. 4. 5. 6.
2010 2011 2012 2013 2014 2015 Jumlah
pengelolaan yang solid guna keberlanjutan usaha. Selama 5 tahun tera khir kontribusi yang diberikan BUMDes Karangrejek kepada Pemerintah Desa Karangrejek cenderung meningkat seperti terlihat pada tabel di bawah. Sejak tahun berdirinya di tahun 2009 hingga sekarang, BUMDes Karangrejek telah mengalami pergantian pengurus dan kepala desa. Pergantian tersebut ternyata tidak mempengaruhi keberlanjutan usaha BUMDes Karangrejek. BUMDes Karangrejek hingga kini masih eksis dan tetap menjalankan usa hanya. Pengembangan usaha juga tengah dilakukan pengelola BUMDes Karangrejek dengan membentuk unit usaha baru. Unit usaha yang akan dibentuk BUMDes Karangrejek adalah desa budaya. Desa budaya merupakan desa yang menyediakan tempat pertunjukan seni budaya. Pernak-pernik kampung seperti joglo juga turut didirikan di beberapa tempat di desa. Acara yang mulai rutin diadakan adalah bersih dusun, sebuah agenda tahunan yang biasa digelar Bulan September. Dalam acara tersebut juga digelar ki rab dengan mengambil rute seputar Desa Karangrejek. Keberadaan infrastruktur desa budaya tersebut tidak terlepas dari bantuan Ibu Tirto Utomo, istri pendiri Aqua. Salah satu wujud bantuannya adalah membangun tempat pertunjukan untuk penyelenggaran acara budaya. Jumlah Kontribusi (Rp) 29.067.535 36.841.808 44.839.162 55.735.490 68.947.258 64.651.095 300.082.348
Sumber: Data diolah
Tabel 1. Kontribusi BUMDes Karangrejek kepada Desa Karangrejek 42
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA: BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta Tony Murdianto Hidayat
Kondisi alam Desa Karangrejek menjadi penyebab mengapa warga Desa Karangrejek selalu mengalami kesulitan air. Namun sekarang kebutuhan air warga masayarakat Desa Karengarejek mampu tercukupi melalui PAB Tirta Kencana BUMDes Karangrejek. Kontribusi yang diberikan BUMDes Karangrejek kepada Desa Karangrejek juga cenderung makin meningkat. Apa yang telah dilakukan BUMDes Karangrejek tentu merupakan suatu prestasi yang patut menjadi teladan desa lain yang akan mendirikan dan mengembangkan BUMDes. Apa saja teladan yang bisa diambil dari pengelolaan BUMDes Karangrejek? Uraian di bawah ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut. 1. Kearifan Lokal Semboyan Desa Karangrejek adalah guyup rukun, bandol ngrompol, golong gilig, maju bareng dan bangun desa, yang bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti rukun dan damai, bersatu padu, dalam tekad yang bulat, maju bersama dan membangun desa. Sebagaimana masyarakat desa pada umum nya, rasa kebersamaan masyarakat Desa Karangrejek juga cukup tinggi. Masyarakat Desa Karang rejek sudah terbiasa melakukan gotong royong dalam melakukan kegiatan untuk kepentingan warga desa Karangrejek. Tidak hanya tenaga, masyarakat Desa Karangrejek juga menyediakan material yang dibutuhkan dalam pembangunan infrastruktur tersebut. Kebiasaan lain juga dimiliki warga desa adalah penggalangan dana dalam bentuk jimpitan. Jimpitan biasanya dalam bentuk beras, yang nantinya setelah terkumpul, beras yang diperoleh dijual untuk mendapatkan uang. Kebiasaan masyarakat untuk menggalang
dana dalam bentuk mempermudah BUMDes dalam menarik biaya layanan air bersih BUMDes Karang rejek. Cara BUMDes dalam mena rik iuran kepada pengguna layanan mengadopsi sistem jimpitan. Warga diperkenankan untuk mengangsur dalam membayar tunggakan biaya layanan air bersih BUMDes. Salah satu karakteristik yang dimiliki masyarakat desa Karang rejek adalah gotong royong. Hal ini pula yang dilakukan warga desa Karangrejek pada saat awal pembangunan infrastruktur penge lolaan air bersih. Masyarakat bahu-membahu melakukan kerja bakti untuk memasang pipa-pipa air yang kelak akan digunakan untuk mengalirkan air dari sumber air ke rumah-rumah warga. Kepedulian warga Desa Karangrejek yang me rantau (sudah tidak berdomisili di Desa Karangrejek) masih sangat tinggi yang ditandai dengan ada nya paguyupan-paguyupan seperti Sekarwoghan (Sedulur Karangrejek Wonosari Gunungkidul) yang rutin menyisihkan penghasilan untuk disumbangkan bagi kemajuan Desa Karangrejek. BUMDes Karangrejek dalam menjalankan dan mengembangkan usahanya sangat memperhatikan kearifan lokal. Dengan kearifan lokal, BUMDes mampu menghemat biaya pengembangan infrastruktur pengelolaan air bersih. Di sisi lain, masyarakat merasa dilibatkan dalam pengembangan BUMDes Karangrejek. Dengan demikian lama kelamaan tumbuh rasa memiliki BUMDes Karangrejek di kalangan masyarakat Desa Karangrejek. Rasa memiliki ini akan membuat masyarakat turut menjaga dan memelihara aset BUMDes Karangrejek demi keberlangsungan usaha BUM-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
43
PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA: BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakara Tony Murdianto Hidayat
Des Karangrejek. 2. Dukungan Pemda, Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Pemda Kabupaten Gunung Ki dul sangat mendukung keberadaan BUMDes di desa-desa. Tidak ha nya pada saat pendirian desa akan mendapat pendampingan, dalam proses pengembangan usaha BUMDes pun Pemda tetap mengawal. Pemda memberikan pelatihan bagi pengelola BUMDes untuk mengembangkan usaha BUMDes. Selain itu, pelatihan jiwa kewirausahaan juga diberikan kepada calon pengelola BUMDes agar mereka memiliki mental yang tangguh dan kesungguhan dalam mengelola BUMDes. Dukungan dalam bentuk dana juga diberikan Pemda Kabupaten Gunung Kidul bagi desa yang akan mendirikan BUMDes. Dana sebesar Rp. 25 juta dimaksudkan sebagai pemicu bagi desa untuk segera mendirikan BUMDes. Dana tersebut akan diberikan secara bertahap selama 2 tahun bagi desa terpilih yang akan mendirikan BUMDes. Besarnya dukungan Pemda juga diakui oleh Marjana Kepala Desa Karang rejek saat ini. Meskipun BUMDes Karangrejek sudah relatif maju, namun pendampingan dari Pemda tak pernah berhenti. Pemda selalu siap memberikan fasilitasi bagi BUMDes Karangrejek. Tidak hanya dari Pemda Kabupaten, Pemerintah Propinsi DI Yogyakarta juga memberikan dukungan. Bentuknya adalah me ngadakan pelatihan bagi desa yang akan mendirikan BUMDes dan untuk pengelola BUMDes. Selain itu Pemerintah Propinsi juga menyediakan narasumber bagi pelatihan sejenis yang diadakan instansi lain. Jenis pelatihan yang diberi44
kan adalah pembukuan, pengelolaan keuangan dan pelatihan untuk pengembangan usaha BUMDes. Warga Desa Karangrejek juga sangat mendukung keberadaan BUMDes Karangrejek. Secara berkala pengurus BUMDes melakukan tilik warga secara berkala yang antara lain membahas permasalahan-permasalahan yang dihadapi BUMDes, termasuk adanya tunggakan pembayaran iuran air oleh beberapa warga. Dalam kesempatan tersebut warga juga turut menyuarakan aspirasinya dalam pemilihan pengurus BUMDes dan ikut meng u sulkan mekanisme pemilihan pe ngurus BUMDes. Bentuk partisipasi warga yang lain adalah melaporkan permasalahan seputar air bersih seperti ada nya pipa bocor kepada pengurus BUMDes. Adanya laporan tersebut membuat BUMDes bisa menangani permasalahan yang timbul secara dini dan mengurangi kerugian yang muncul akibat lambatnya penanganan masalah yang timbul seperti kehilangan air karena kebocoran pipa. Warga juga melaporkan kepada pengurus bilamana terdapat kesalahan pengurus dalam menentukan beban biaya pemakaian air warga. Komitmen masyarakat untuk kegiatan desa sangat tinggi. Warga juga secara sukarela mengumpulkan dana bagi kegiatan desa Karangrejek seperti pembuatan balai desa Karangrejek. Menurut Marjana, dana swadaya masyarakat karangrejek termasuk tinggi, pernah mencapai Rp. 3 Milyar. Pembuatan tugu Desa juga murni swadaya masyarakat, baik dana, material maupun tenaga kerja. Pemerintah desa Karangrejek juga sangat mendukung pengem-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA: BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta Tony Murdianto Hidayat
bangan BUMDes Karangrejek. Kepala desa Karangrejek tak segan-segan turun tangan membantu mengatasi permasalahan BUMDes yang melibatkan warga. Pemerintah desa juga menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan BUMDes dalam kegiatan sehari-hari. Kantor BUMDes Karangrejek me nempati salah satu ruangan di kantor pemerintah desa Karangrejek. Ruangan tersebut adalah milik pemerintahan desa Karangrejek yang digunakan BUMDes untuk aktivitas pelayanan BUMDes kepada masya rakat desa Karangrejek. Tak hanya dari dukungan dari masyarakat dan pemerintah daerah, dukungan lain juga diberikan oleh Institut for Research and Empowerment (IRE), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengkhususkan diri pada pemberdayaan desa. IRE terlibat aktif melakukan pendampingan terhadap BUMDes dalam pengelolaan dan pengembangan usaha. Pengurus BUMDes melakukan konsultasi tentang ber bagai permasalahan dalam pengelolaan BUMDes dan mendiskusikan solusi apa yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut dengan IRE. Selain itu IRE juga menyediakan narasumber dalam kegiatan pelatihan yang diadakan dalam rangka peningkatan kapasitas perangkat desa maupun pengelola BUMDes Karangrejek. Dukungan berbagai pihak se perti masyarakat, LSM, pemerintah daerah (kabupaten, propinsi) maupun pemerintah pusat (Balai PMD Yogyakarta), tidak hanya diberikan pada awal pendirian dan pengembangan BUMDes, namun terus berlanjut hingga kini. Pemerintah daerah maupun pemerintah pusat tidak memberikan intervensi kepa-
da BUMDes dalam pengelolaan dan pengembangan usahanya namun BUMDes diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuannya sendiri. Sinergitas yang berhasil diba ngun antar berbagai pihak tersebut membuat BUMDes Karangrejek mampu mandiri dan mengembangkan usahanya secara berkelanjutan hingga mencapai keberhasilan seperti sekarang ini. 3. Kepemimpinan Kepala Desa Keberhasilan BUMDes Karang rejek tidak terlepas dari kepemim pinan Kepala Desa Karangrejek. Hal ini diungkapkan oleh Edi Siswadi, Kepala Balai PMD Yogyakarta dalam diskusi dengan LAN. Menurutnya, pada awal pengembangan BUMDes Karangerjek, Kasdi, kepala desa Karangrejek saat itu itu sangat bersemangat dalam mengembangkan BUMDes Karangrejek. Semangat itu pula yang diteruskan oleh Marjana, kepala desa pengganti Kasdi. Perlahan namun pasti, BUMDes Karangrejek mulai tumbuh dan berkembang. Senada dengan penjelasan tersebut, menurut Sujoko, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perem puan dan Keluarga Berencana Kabupaten Gunung Kidul, inisiatif kepala desa juga sangat berpenga ruh dalam keberhasilan BUMDes Karangrejek. Gaya kepemimpinan kepala desa membawa hal positif dalam pengembangan BUMDes Karangrejek. Kepemimpinan kepala desa dalam hal pengembangan BUMDes Karangrejek sudah tercermin dalam visi dan misi yang di sampaikan dalam masa kampanye pemilihan kepala desa. Salah satu visi yang disampaikan Marjana dalam kampanye saat pencalonan dirinya sebagai kepala
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
45
PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA: BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakara Tony Murdianto Hidayat
desa adalah menghapus rangkap jabatan pengurus BUMDes. Sudah menjadi hal yang lazim, jabatan dalam kepengurusan BUMDes diisi oleh perangkat desa maupun dari lembaga desa. Menurut Marjana, kebijakan tersebut diambil agar pengurus dapat berkonsentrasi penuh dan mencurahkan perhatiannya seluruhnya bagi pengembangan BUMDes. Lebih lanjut ditambahkan Marjana, dihapusnya rangkap jabatan dimaksudkan agar terjadi pemberdayaan terhadap masyarakat desa dan sekaligus pemerataan. Marjana juga memiliki perhatian yang sangat besar terhadap masa lah yang dihadapi BUMDes. Kades tidak segan-segan turun lapangan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Menurut Sigit, Direksi BUMDes Karangrejek, Kades mendampingi langsung petugas BUMDes yang akan memutus aliran air bagi pelanggan yang menunggak. Marjana juga menjadi anggota tim percepatan penyelesaian tunggakan warga terhadap BUMDes Karangrejek. Keberhasilan BUMDes Karang rejek juga tidak terlepas dari gaya kepemimpinan kepala desa (kades) Karangrejek. Kades Karangrejek sangat peduli dan memberikan perhatian yang besar terhadap perkembangan BUMDes. Kades siap turun tangan untuk membantu menyelesaikan permasalahan BUMDes terutama yang berkaitan dengan warganya. Kades bersedia turut menjadi anggota tim percepatan pelunasan tunggakan air bersih. Gaya kepemimpinan kades dan kemampuannya dalam membangun sinergi antara pemerintah desa dengan BUMDes turut menjadi faktor penting keberhasilan dan 46
berlangsungan usaha BUMDes Karangrejek. 4. Pemilihan Usaha yang Tepat Berbasis Potensi Desa Keberhasilan BUMDes Karang rejek tidak terlepas dari pemilihan usaha yang tepat dengan memanfaatkan potensi desa. Desa Karangrejek sejatinya adalah salah satu desa yang selalu mengalami kekurangan air. Namun sebagai daerah yang berbukit-bukit, desa Karangrejek menyimpan potensi air permukaan yang tidak sedikit. Dengan bantuan dari Pemerintah pusat berupa mesin pompa untuk mengambil air permukaan, BUMDes mengembangkan unit usaha layanan air bersih bagi warga Desa Karangrejek. Keberadaan BUMDes juga tidak mengusik berbagai usaha yang sebelumnya telah tumbuh di Desa Karangrejek. Bidang usaha yang dikelola unit usaha BUMDes sifatnya lebih mengarah pada kebutuhan masyarakat banyak (basic need), sehingga menjadikan BUMDes tidak mengalami pergesekan dengan pengusaha di sana. Bahkan keberadaan BUMDes turut menopang usaha yang dilakukan warga desa seperti budidaya perikanan. Pemilihan usaha yang tepat berbasis potensi desa menjadi salah satu faktor penting yang membuat BUMDes Karangrejek bisa maju dan berkembang seperti sekarang. Pa ling tidak ada dua hal yang menjadi alasannya. Pertama, ketersediaan bahan baku melimpah dan mudah diperoleh dengan harga yang relatif murah. Potensi Desa Karangrejek adalah ketersediaan air permukaan yang melimpah. Dengan mendirikan usaha berbasiskan air permukaan, BUMDes tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan baku
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA: BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta Tony Murdianto Hidayat
air. Kedua, produk yang dihasilkan sangat dibutuhkan masyarakat. Dengan demikian pasar bagi produk BUMDes sudah tersedia, BUMDes tidak perlu kesulitan menjual produknya. Layanan air bersih me rupakan salah satu layanan yang sangat dibutuhkan masyarakat Desa Karangrejek mengingat Desa Karangrejek sudah lama mengalami kesulitan air bersih. 5. Pengelolaan Usaha Pengurus BUMDes Karangrejek berasal dari perwakilan warga dusun yang berada di desa Karang rejek. Proses pemilihan pengurus tersebut melibatkan partisipasi warga. Pemerintah desa Karangrejek meminta warga dusun untuk memilih wakil mereka duduk dalam kepengurusan BUMDes. Model seleksi tersebut mampu menjaring calon yang berintegritas karena warga dusun tidak mau mengirimkan calon pengurus yang dianggap bermasalah baik dalam hal perilaku maupun kejujuran. Calon yang diusulkan dusun masih harus menjalani seleksi di tingkat desa. Dari para calon nantinya dipilih orang yang mampu bekerja sama dengan kepala desa dan perangkat desa. Menurut Marjana, hal itu dilakukan supaya tidak terjadi perselisihan yang mungkin timbul antara pengurus BUMDes dengan pemerintah desa dan agar tercipta sinergi antara BUMDes dan peme rintah desa. Untuk meningkatkan pelayanan dan pengelolaan BUMDes Karang rejek, pengurus BUMDes memiliki program peningkatan kualitas SDM. Dana dari hasil pe ngelolaan BUMDes sebagian dialokasikan untuk meningkatkan kapasitas SDM BUMDes. Pengurus bersama dengan pemerintah desa melakukan pem-
bekalan bagi calon pengurus BUMDes sebelum mereka mulai bertugas. Untuk peningkatan kompetensi teknis pengurus BUMDes, diadakan pelatihan bagi para pengurus de ngan mendatangkan pengajar dari perguruan tinggi. Pelatihan jiwa kewirausahaan juga diberikan kepada pengurus untuk membina mental dan semangat usaha para pengurus dalam mengembangkan BUMDes. Sebagai lembaga yang tidak hanya mementingkan sisi komersial, BUMDes Karangrejek juga mengemban misi sosial. Oleh karena itu, pelayanan menjadi satu hal yang dikedepankan. Salah satu bentuknya adalah penurunan tarif untuk 10 m3 pertama dari Rp. 3.000 menjadi Rp.2.500. Meskipun ini ber imbas pendapatan yang nantinya diperoleh, hal itu tidak menjadi masalah. Menurut Marjana, memang ada sedikit penurunan pendapatan namun pendapatan dari sisi lain mampu menutupi defisit tersebut. Penurunan tarif dilakukan untuk meringankan beban warga yang kurang mampu, yang pemakaian air bersihnya tidak melebihi dari 10 m3 per bulan. Dalam mengatasi masalah tunggakan air oleh warga, BUMDes melakukan pendekatan secara kekeluargaan. Bagi mereka yang tidak mampu, BUMDes memberikan keringanan kepada warga untuk mencicil tunggakan. Besar dan lamanya waktu cicilan disesuaikan dengan kemampuan warga. Meskipun BUMDes juga merupakan lembaga yang komersial, namun BUMDes juga merupakan lembaga sosial. Cara BUMDes menangani masalah tunggakan tidak menimbulkan gejolak di masyarakat dan tidak membuat masyarakat antipati terhadap BUMDes.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
47
PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA: BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakara Tony Murdianto Hidayat
Kualitas air bersih BUMDes juga menjadi salah satu perhatian pengurus dalam memberikan pelayanan air kepada masyarakat. Untuk menjaga kualitas air bersih yang dihasilkan, BUMDes selalu mengadakan pembersihan tempat penampungan air setiap bulan. Selain itu, BUMDes mengirimkan sampel air ke laboratorium Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada (UGM) setiap 6 bulan sekali untuk dilakukan pengujian terhadap kuali tas air. Hasilnya, kualitas air bersih BUMDes Karangrejek memenuhi ketentuan standar mutu baku air, bahkan air bersih BUMDes Karang rejek dapat langsung dikonsumsi. Untuk mendukung pengelolaan BUMDes, pengelola BUMDes juga telah menggunakan komputer dan memanfaatkan aplikasi teknologi informasi. Salah satu keunggulan aplikasi yang dimiliki BUMDes adalah aplikasi tersebut bisa langsung membuat laporan neraca keuangan setiap bulanan. BUMDes menggandeng pihak ketiga dalam pengadaan aplikasi sistem informasi. Menurut Direksi BUMDes bila ada masalah maupun gangguan terhadap sistem tersebut, pihak rekanan akan datang untuk memperbaiki. De ngan demikian, penggunaan sistem informasi di BUMDes Karang rejek tetap bisa berjalan optimal. Pengeloaan BUMDes Karang rejek merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan pengembangan usaha BUMDes Karangrejek. Minimal ada tiga hal yang menjadi alasannya. Pertama, Sumber Daya Manusia (SDM) pe ngelola memiliki kompetensi dan jiwa wirausaha yang tinggi. Pengembangan usaha BUMDes jelas memerlukan pengelola yang kompeten, memiliki mental tang48
guh dan jiwa wirausaha yang kuat. Kompetensi pengelola yang tinggi turut membawa BUMDes Karangrejek bisa mengembangkan usahanya seperti sekarang ini. SDM pengelola yang memiliki mental tangguh dan jiwa wirausaha yang kuat mampu menjadi pilar dalam keberlanjutan dan kelangsungan usaha BUMDes. Kedua, pendekatan BUMDes terhadap masyarakat yang fleksibel dan tidak kaku. Dalam mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dengan warga, pengelola BUMDes melakukan pendekatan secara kekeluargaan. BUMDes tidak hanya dilihat sebagai lembaga usaha yang hanya mencari keuntungan, tetapi juga lembaga sosial yang berfungsi memberi pelayanan. Antara BUMDes dan masyarakat tumbuh hubungan timbal balik yang saling membutuhkan dan menguntungkan. BUMDes memerlukan masya rakat desa Karangrejek, demikian pula masyarakat desa Karangrejek membutuhkan pelayanan BUMDes. Kondisi ini melapangkan jalan bagi kelangsungan dan keberlanjutan usaha BUMDes Karangrejek. Ketiga, penggunaan aplikasi berbasis teknologi informasi. Teknologi informasi saat ini sudah menjadi bagian yang tak bisa terpisahkan di kehidupan sehari-hari. Implementasi aplikasi berbasis teknologi informasi membuat pembukuan dan pengelolaan keuangan BUMDes menjadi lebih lancar dan lebih rapi. Neraca keuangan BUMDes bisa dibuat de ngan cepat sehingga pengurus bisa memantau kesehatan keuangan BUMDes dengan lebih dini. Kondisi ini berperan penting dalam keberlanjutan usaha BUMDes Desa Karangrejek. F. PENUTUP Keberhasilan BUMDes Karangrejek
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA: BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakarta Tony Murdianto Hidayat
menjadi pembuka jalan bagi pengembangan ekonomi desa dan terwujud nya kemandirian desa. Kehadiran BUMDes Karangrejek tidak hanya menjadi berkah bagi masyarakat desa Karangrejek, tetapi juga masyarakat sekitar desa Karangrejek. Melalui u sa ha pelayanan air bersih, BUMDes menjadi pemantik pengembangan ekonomi masyarakat Karangrejek. Berbagai usaha yang berbasis air se perti cuci motor dan mobil, laundry dan usaha budidaya perikanan tawar mulai dikembangkan masyarakat Desa Karangrejek untuk memanfaatkan ke tersediaan air. Kontribusi pendapatan yang diberikan BUMDes Karangrejek mampu menjadi penopang berbagai kegiatan kemasyarakatan warga Desa Karangrejek. BUMDes Karangrejek menjadi salah satu pilar dan lokomotif penggerak roda pembangunan Desa Karangrejek. Semangat kemandirian tampak jelas terwujud dalam pengembangan BUMDes Karangrejek. Kelangsungan usaha BUMDes Karangrejek sepenuh nya ditopang sumber daya yang dimiliki oleh Karangrejek, seperti kearifan lokal dan potensi sumber daya alam serta dukungan masyarakat. Peran kepala desa Karangrejek lebih banyak sebagai penggerak dan pembangun sinergi sumber daya yang dimiliki Desa Karangrejek dalam pengembangan u saha BUMDes. Dukungan maupun kebijakan dari Pemerintah baik pusat maupun daerah tentang pengembangan BUMDes turut memperkuat pengembangan BUMDes Karangrejek. Apa yang dilakukan Desa Karang rejek dalam mengembangkan BUMDesnya sebenarnya tidak mustahil dilakukan desa lain. Pada umumnya, struktur dan kondisi masyarakat desa di tanah air tidak jauh berbeda. Potensi yang dimiliki desa untuk dikembangkan menjadi usaha BUMDes maupun
kearifan lokal sebagai salah satu sendi kehidupan bermasyarakat di desa tentu juga dimiliki desa lain meskipun dalam ragam dan bentuk yang berbeda. Semua hal tersebut bisa menjadi mo dal dalam keberhasilan pengembang an usaha BUMDes. Bila sumber daya tersebut dikelola dan dikembangkan dengan baik, tentu diharapkan akan muncul BUMDes yang bisa sukses dan berhasil seperti BUMDes Karangrejek. DAFTAR PUSTAKA: Maryunani. 2008. Pembangunan Bumdes dan Pemberdayaan Pemerintah Desa. Bandung: CV Pustaka Setia. Raharja, Pratama. 2008. Teori Ekonomi Makro Suatu Pengantar. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Purnomo. 2004. Pembangunan Bumdes dan Pemerdayaan Masyarakat Desa, Makalah, BPMPD, Lombok Timur. Badrudin, Rudy. 2012. Ekonomika Otonomi Daerah. Yogyakarta: UPP STM YKPN. Seyadi. 2003. Bumdes sebagai Alternatif Lembaga Keuangan Desa. Yogyakarta: UPP STM YKPN. Suparmoko. 2000. Pokok - Pokok Ekonomika. Yogyakarta: BPFE-YOGYAKARTA. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Petunjuk Pelak-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
49
PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA: BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul Yogyakara Tony Murdianto Hidayat
sana Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa. Permendagri Nomor 39 Tahun 2010 tentang BUMDes. Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Keuangan Desa. Permendesa Nomor 4 Tahun 2015 tentang BUMDes www.keuangandesa.com/2015/09/ peran-pemerintah-kabupaten-dan-pemerintah-desa-dalam-pengelolaan-bumdes/ www.ensiklo.com/2015/02/inilah-undang-undang-desa-nomor-6-tahun-
50
2014/#Badan_Usaha_Milik_Desa_8211BUMDes www.karangrejek.net/bumdes/ dan http://karangrejek.net/bumdes/ www.forumdesa.org/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=11 www.academia.edu/10212509/membangun_ekonomi_pedesaan_ melalui_strategi_konvensional www.desamembangun.or.id/2014/04/ s t ra t e g i - p e n g e m b a n g a n - b u mdes-sebagai-pilar-ekonomi-desa/ h t t p : / / n a s i o n a l . r e p u b l i k a . c o. i d / berita/nasional/desa-membangun/16/05/22/o7l4km368-jumlahbumdes-naik-12-kali-lipat.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
Artikel POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANG AN ANTAR LEMBAGA NEGARA
THE PORTRAIT OF STATE INSTITUTIONS POST AMANDEMENT OF 1945 CONSTITUTION AND RESOLUTION OF AUTHORITY DISPUTE BETWEEN STATE INSTITUTIONS Frenky Kristian Saragi Peneliti Pertama Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara Abstrak: Perubahan atau amandemen atas Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah pondasi penting penataan sistem ketatanegaraan dan administrasi negara Indonesia. Format kelembagaan negara mengalami redesain struktural sebagai akibat ada nya perubahan fungsi dan wewenang lembaga negara yang lama dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru. Di bawah UUD 1945 pasca-perubahan, semua lembaga negara yang disebut di dalamnya memiliki kedudukan yang sederajat dan setara dalam bingkai checks and balances. Mahkamah Konstitusi bertugas dan berwenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang ditunjuk oleh UUD 1945 pasca-perubahan. Mayoritas perkara dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK karena permohonan perkara sengketa kewenangan lembaga negara tersebut tidak memenuhi kriteria objectum litis dan subjectum litis. Kata Kunci: Amandemen UUD 1945, redesain struktur kelembagaan, sengketa kewenangan
Abstract: Changes or amendments to the Constitution of 1945 is an important foundation of the arrangement of Indonesia’s constitutional system and public administration. State agencies experienced structural redesign as a result of changes in the functions and authority of the old state agencies and the establishment of the new state agencies. Under the amended 1945 Constitution, all state agencies have equal position to ensure the principles of checks and balances. Constitutional Court has the duty and authority to decide authority dispute between state agencies as stipulated by the amended 1945 Constitution. Nevertheless, the majority of cases cannot be accepted by the Constitutional Court because the court petition of authority dispute of state agenciess did not fulfill objectum litis and subjectum litis criteria. Keywords: Amendment of the 1945 Constitution, redesigning institutional structures, authority dispute
A. PENDAHULUAN Era Reformasi yang muncul sejak tahun 1998 mendorong dinamisasi cukup pesat perjalanan sejarah Ne gara Kesatuan Republik Indonesia. Era Reformasi telah membuka jalan berbagai perubahan penting dalam sistem ketatanegaraan dan adminis trasi negara Indonesia sesuai dengan semangat zaman (zeitgeist) yang menghendaki reformasi sistem ketatanegaraan dan administrasi negara. Penataan sistem ketatanegaraan dan
administrasi negara hingga kini belum tuntas, namun reformasi sistem ketatanegaraan dan administrasi negara harus diakui telah mencapai kemajuan signifikan. Perkembangan dan permasalahan baru yang senantiasa muncul mendorong munculnya kebutuhan baru untuk terus meningkatkan pembaruan sistem ketatanegaraan dan administrasi negara tersebut. Fondasi penting penataan sistem ketatanegaraan dan administrasi ne gara Indonesia adalah perubahan
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
51
POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA Frenky Kristian Saragi
atau amandemen atas UUD 1945. Sejak Era Reformasi bergulir, Indonesia telah melakukan perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali secara berturut-turut dari tahun 1999 hingga tahun 2002. Akibatnya, terjadi pembaruan secara fundamental terhadap sistem ketatanegaraan dan adminstrasi negara Indonesia. Dari aspek caku pan substansi isinya, perubahan UUD 1945 telah menyentuh hal yang sa ngat luas dan mendasar. Sebagaimana dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie1, perubahan UUD 1945 meliputi lebih dari 300% jika dibandingkan dengan UUD 1945 sebelum perubahan. Butirbutir ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 versi Proklamasi (sebelum perubahan) berjumlah sebanyak 71 butir ketentuan dalam 37 pasal. Setelah perubahan pertama hingga perubahan keempat UUD 1945, ha nya 25 butir saja butir-butir ketentuan asli yang tidak diubah, 46 butir ketentuan lainnya telah diubah dan ditambah dengan ketentuan-ketentuan baru sehingga kini jumlah totalnya menjadi 199 butir ketentuan. Artinya, kini terdapat sebanyak 174 butir ketentuan baru dalam UUD 1945. Sasaran perubahan pertama UUD 1945 pada tahun 1999 yaitu mengurangi kekuasaan Presiden. Sasaran perubahan kedua UUD 1945 pada tahun 2000 yaitu mewujudkan penyelenggaraan negara yang demokratis, transparan, dan menjunjung hak asasi manusia. Sasaran perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun 2001 yaitu meliputi: (1) pelaksanaan kedaulatan rakyat oleh rakyat; (2) pemilihan Presiden dan Wakil Pre siden secara langsung oleh rakyat; (3) proses pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden dan Wakil Presiden; (4) pembentukan Dewan Perwakilan 1. Jimly Asshiddiqie, 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer
52
Daerah; (5) pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Sasaran dalam perubahan keempat UUD 1945 adalah menghapus Pasal 2 ayat (2) tentang masa sidang MPR dan Pasal 2 ayat (3) tentang cara pengambilan putusan MPR, serta Pasal 16 UUD 1945 tentang Dewan Pertimbangan Agung.2 Menurut Bagir Manan,3 semua Perubahan UUD 1945 yang dilakukan dalam empat tahap itu dapat dikategorikan sebagai berikut: (1) perubahan terhadap isi (substansi) ketentuan yang sudah ada; (2) penambahan ketentuan yang sudah ada; (3) pengembangan materi muatan yang sudah ada menjadi bab baru; (4) penambahan sama sekali baru; (5) penghapusan ketentuan yang sudah ada; (6) memasukkan dan memindahkan beberapa isi Penjelasan ke dalam Batang Tubuh UUD 1945; (7) perubahan struktur UUD 1945 dan menghapus Penjelasan UUD 1945 sebagai bagian dari UUD 1945. Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu sendiri, sebagaimana dielaborasi secara kritis oleh Bagir Manan,4 masih menyisakan kekurangsempurnaan baik dalam substansi butir ketentuan maupun teknis bahasa perundang-undangan. Meskipun demikian, reformasi konstitusi tersebut merupakan tonggak sejarah penting bagi perubahan struktural ketatanega raan dan administrasi negara Indonesia. UUD 1945 pasca-amandemen mulai memperkuat bangunan demokrasi konstitusional Indonesia karena telah memperjelas pembatasan dan pemi2. Mochamad Isnaeni Ramdhan, dalam R. Sri Soemantri M., 2006. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni: edisi kedua, cetakan pertama 3. Jimly Asshiddiqie, 2005. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. Yogyakarta: FH UII Press, cetakan kedua 4. Jimly Asshiddiqie, 2007. Pokok-Pokok... Op. Cit.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA Frenky Kristian Saragi
sahan kekuasaan lembaga-lembaga negara, mempertegas mekanisme mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) antara lembaga-lembaga negara, dan memperluas cakupan jaminan hak-hak konstitusional. Ini secara prinsipil yang membedakan substansi isi UUD 1945 pra-Perubahan dan UUD 1945 pasca-Perubahan. Perubahan UUD 1945 yang cu kup drastis itu menciptakan format kelembagaan negara yang baru dalam sistem ketatanegaraan dan administrasi negara Indonesia. Format kelembagaan negara mengalami redesain struktural sebagai akibat adanya perubahan fungsi dan wewenang lembaga negara yang lama dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru.5 Perkembangan ketatanegaraan dan administrasi negara di Indonesia juga ditandai oleh bermunculan banyak lembaga negara baru yang biasa disebut sebagai state auxiliary organs atau independent agencies yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berbeda.6 Ada lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD 1945, Undang-Undang, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan lain-lain. Beberapa lembaga negara ini ada yang memiliki lingkup wewenang yang sama atau mirip dengan lembaga negara lainnya sehingga tampak meng alami tumpang-tindih kewenangan. Menurut Jimly Asshiddiqie,7 yang perlu dilakukan saat ini adalah konsolidasi dan penataan kelembagaan negara secara menyeluruh mulai dari tingkat paling tinggi hingga ke tingkat paling rendah agar menjadi lebih efek5. Jimly Asshiddiqie, 2005. Format... Op. Cit.
6. Ni’matul Huda, 2007. Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi. Yogyakarta: UII Press;
7. Jimly Asshiddiqie, 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan NKRI
tif, efisien, dan fungsional. Format kelembagaan negara yang baru itu menciptakan pola hubungan antarlembaga negara yang baru pula. Saat ini sistem ketatanegaraan Indonesia tidak lagi mengenal pembedaan lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Kedudukan MPR kini sederajat dengan lembaga tinggi ne gara lain seperti DPR, DPD, Presiden, MA, MK, dan BPK. Sebagai akibatnya, ini potensial menimbulkan sengketa antarlembaga negara karena masingmasing lembaga negara merasa memiliki kedudukan sederajat. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengantisipasi ini dengan membentuk lembaga negara bernama Mahkamah Konstitusi yang salah satu wewenang nya adalah memutus sengketa antarlembaga negara yang keberadaan dan wewenangnya disebut oleh UUD 1945. Artinya, subyek hukum yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan sengketa kewenangan konstitusional antarlembaga negara adalah hanya lembaga-lembaga negara yang eksistensi dan wewenangnya disebut dalam UUD 1945.8 Kajian ini mencoba mencari jawaban atas permasalahan: a. bagaimana perkembangan lembaga negara di Indonesia pasca amandemen UUD 1945? b. bagaimana penyelesaian seng keta kewenangan antarlembaga negara pasca amandemen UUD 1945? Tujuan kajian ini yaitu: a. memaparkan perkembangan lembaga negara di Indonesia pasca amandemen UUD 1945. b. memaparkan penyelesaian sengke ta kewenangan antarlembaga ne 8. Jimly Asshiddiqie, 2005. Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Jakarta: Konstitusi Press
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
53
POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA Frenky Kristian Saragi
gara pasca amandemen UUD 1945. B. METODOLOGI PENELITIAN Kajian ini pada dasarnya bersifat policy oriented dengan menggunakan pendekatan yuridis. Metode kajian ini adalah kualitatif, yang memaparkan, menganalisis, dan menafsirkan permasalahan kajian secara deskriptif. Kajian deskriptif berupaya mencari deksripsi yang tepat dan cukup terkait dengan objek kajian.9 Dalam pengertian yang luas, kajian kualitatif adalah kajian yang menghasilkan data deskriptif dengan melihat dari berbagai perspektif dan menekankan validitas.10 Kajian ini juga menggunakan metode deskriptif analitis karena kajian ini tidak hanya terbatas pada deskripsi mengenai objek kajian, tetapi juga menganalisisnya. Karena kajian ini bersinggungan dengan aspek normatif-yuridis, maka kajian ini juga menggunakan ba han-bahan hukum yang bersumber dari bahan hukum primer dan bahan sekunder. Bahan hukum primer dipero leh dari UUD 1945 hasil amandemen dan peraturan perundang-undangan yang relevan, sedangkan bahan hukum sekunder diperoleh dari bahan bacaan berupa buku, artikel, laporan, dan lain-lain yang relevan.11 C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Lembaga Negara Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen Berdasarkan UUD 1945 pasca-Perubahan, struktur kelembagaan nega ra Indonesia memiliki delapan organ 9. Sulistyo-Basuki, 2010. Metode Penelitian. Jakarta: Penaku, cetakan kedua. 10. Steven J. Taylor dan Robert Bogdan, 1984. Introduction to Qualitative Research Methods: The Search for Meanings, Second Edition. New York: John Wiley & Sons. hal. 5-7. 11. Zainuddin Ali, 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. hal. 105-106.
54
lembaga tinggi negara yang masingma sing mempunyai kedudukan yang se de rajat dan menerima kewenang an konstitusional langsung dari UUD 1945. Lembaga-lembaga tinggi ne gara tersebut yaitu: Majelis Permusya waratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Khusus menyangkut lembaga-lembaga negara yang telah ada di dalam UUD 1945 pra-Perubahan (MPR, DPR, Pre si den, BPK, dan MA), kini telah mengalami pergeseran kekuasaan sebagai akibat hasil dari Perubahan UUD 1945. a. Majelis Permusyawaratan Rak yat (MPR) UUD 1945 pra-Perubahan me nganut prinsip supremasi MPR sebagai lembaga negara tertinggi. UUD 1945 pasca-Perubahan telah menghilangkan prinsip supremasi MPR. Kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi sebagai lembaga tinggi nega ra yang berkedudukan sederajat dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Dengan adanya perubahan ketentuan ini, supremasi MPR telah digantikan oleh supremasi konstitusi, dan MPR tidak lagi memonopoli sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat. Semua lembaga tinggi negara dapat disebut sebagai pelaku kedaulatan rakyat sesuai dengan bidang tugas dan wewenangnya masing-masing.12 Se lain itu, Perubahan UUD 1945 juga telah mengubah wewenang yang dimiliki MPR. MPR tidak lagi membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) karena sudah ditiadakan di dalam UUD 1945 pasca-Pe12. Jimly Asshiddiqie, 2005. Format... Op. Cit
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA Frenky Kristian Saragi
rubahan. MPR tidak lagi memilih Presiden dan Wakil Presiden karena kini telah dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Kewenangan MPR antara lain:13 1. memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden jika kedua jabatan ini mengalami kekosongan 2. memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden menurut UUD, yaitu berdasarkan usulan dari DPR dan setelah mempero leh pendapat dari Mahkamah Konstitusi melalui putusannya 3. mengubah dan menetapkan UUD 4. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, meskipun sifatnya ha nya seremonial. b. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Perubahan UUD 1945 telah menggeser kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden kepada DPR. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 Perubahan Pertama menegaskan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Namun, Presiden masih tetap terlibat dalam urusan legislasi, yaitu berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR (Pasal 5 UUD 1945), memberi persetujuan bersama dengan DPR atas rancangan undang-undang (Pasal 20 ayat 2 UUD 1945), dan Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama. Untuk mencegah agar jangan sampai terjadi undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden kemudian tidak disahkan oleh Presiden, maka dibuat ketentuan jika Presiden tidak mengesahkan rancangan undang-undang dalam waktu 30 hari 13 Ibid.
maka rancangan undang-undang itu sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan (Pasal 20 ayat 5 UUD 1945). Perubahan UUD 1945 telah memperkuat kedudukan dan wewenang DPR. Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 secara eksplisit menyebut fungsi DPR sebagai lembaga legislatif, ya itu memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Untuk melaksanakan fungsinya itu, DPR secara tegas dijamin hak-haknya oleh UUD 1945, yaitu mempunyai hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat (Pasal 20A ayat 2 UUD 1945), hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas (Pasal 20 ayat 3 UUD 1945). Lebih jauh, Pasal 20A ayat (4) UUD 1945 menentukan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang hak DPR dan hak anggota DPR diatur dalam Undang-Undang. Perubahan UUD 1945 juga telah memperluas kekuasaan DPR, khususnya yang berhubungan dengan kekuasaan Presiden. Kewenangan DPR antara lain: 1. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain (Pasal 11 ayat 1 UUD 1945) 2. memberikan persetujuan kepada Presiden dalam membuat perjanjian internasional dengan negara lain yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang (Pasal 11 ayat 2 UUD 1945) 3. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam memberi am-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
55
POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA Frenky Kristian Saragi
nesti dan abolisi (Pasal 14 ayat 2 UUD 1945) 4. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam mengangkat duta dan konsul dan menerima penempatan duta negara lain (Pasal 13 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945) 5. memberikan persetujuan ranca ngan anggaran pendapatan dan belanja negara (ABPN) (Pasal 23 UUD 1945) 6. memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD Pasal 23F ayat 1 UUD 1945) 7. memberikan persetujuan atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial oleh Presiden (Pasal 24B ayat 3 UUD 1945) 8. mengajukan tiga anggota hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat 3 UUD 1945). 9. Dengan kekuasaan lebih besar yang kini dimiliki oleh DPR di bawah UUD 1945, dapat dikatakan bahwa bandul kekuasaan kini bergeser dari executive heavy menjadi legislative heavy. c. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ketentuan UUD 1945 menyebutkan bahwa DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum (Pasal 22C ayat 1 UUD 1945). Wewenang DPD yaitu “dapat meng a jukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabung an daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah” (Pasal 22D ayat 1 UUD 1945). Selain itu, “DPD ikut 56
membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama” (Pasal 22D ayat 2 UUD 1945). Di samping itu, “DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang me nge nai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabu ngan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama serta me nyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti” (Pasal 22D ayat 3 UUD 1945). d. Presiden / Wakil Presiden Perubahan UUD 1945 telah menggeser pola perimbangan antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Lembaga eksekutif tidak lagi menjadi primus inter pares dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Dalam hubungannya de ngan lembaga legislatif, lembaga eksekutif harus mendengar pertimbangan dan mendapat persetujuan dari DPR dalam memutus hal-hal tertentu yang sudah digariskan oleh UUD 1945. Artinya, Presiden tidak dapat lagi bertindak sepihak dengan alasan hak prerogatif Presi den tanpa perlu mengindahkan
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA Frenky Kristian Saragi
DPR. Dalam hubungannya dengan lembaga yudisial atau yudikatif, Presiden juga harus memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung dalam memberi grasi dan rehabilitasi. Selain itu, periode kekuasaan Presiden telah dibatasi secara tegas, yaitu hanya boleh menjabat selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan (Pasal 7 UUD 1945). Berdasarkan Perubahan UUD 1945 pula kedudukan Presiden semakin diperjelas dan diperkuat dalam bingkai sistem presidensiil atau presidensial. Presiden dan Wakil Presiden kini tidak lagi dipilih oleh MPR, tetapi dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Dengan demikian, Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih memiliki derajat legitimasi politik yang semakin kuat. Presiden tidak lagi berkedudukan sebagai mandataris MPR. Selain itu, alasan untuk memberhentikan (impeachment) Presi den dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya tidak dapat lagi didasarkan semata-mata pertimbangan politik seperti pada masa sebelumnya, tetapi harus didasarkan pada alasan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Oleh karena itu, prosedur pemberhentian atau pemakzulan menyertakan lembaga yudisial, dalam hal ini yaitu Mahkamah Konstitusi. e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Dalam UUD 1945 pra-Perubahan, ketentuan mengenai lembaga BPK hanya dimasukkan dalam satu bab tentang keuangan (Bab VIII Hal Keuangan). Ketentuan tentang BPK ini sangat singkat dan sumir. Namun, setelah Perubahan UUD
1945, kini ada satu bab khusus tentang lembaga BPK, yaitu Bab VIIIA Badan Pemeriksa Keuangan. Pasal 23E ayat (1) menyebutkan bahwa “Untuk memeriksa pengelolaaan dan tanggung jawab tentang keu angan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”. Selanjutnya juga disebutkan bahwa “Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah se suai dengan kewenangannya” (Pasal 23E ayat 2 UUD 1945). Juga disebutkan bahwa “Hasil pemeriksaan tersebut ditindalanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan se suai dengan undang-undang” (Pasal 23E ayat 3 UUD 1945). Secara konstitusional, ada penegasan tentang lembaga BPK yang bersifat bebas dan mandiri untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab mengenai keuangan negara. Ini merupakan dasar bagi penguatan kedudukan dan kewenangan BPK. Lingkup kewenangan BPK se ma kin luas karena berdasarkan ketentu an Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang dimaksud dengan keu angan negara adalah seluruh unsur keuangan negara. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK menyebutkan bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh: Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan ne gara.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
57
POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA Frenky Kristian Saragi
f. Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY) UUD 1945 pra-Perubahan hanya mengenal satu pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA) beserta peradilan yang berada dalam lingkungan di bawahnya. Pembentukan MA dimaksudkan sebagai wujud pelaksanaan negara hukum, dan karena itu MA diakui sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan. Prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak terdapat di dalam Batang Tubuh UUD 1945 pra-Perubahan, tetapi terdapat di dalam Penjelasan UUD 1945 pra-Perubahan. Setelah dilakukan Perubahan UUD 1945, prinsip negara hukum dan kemerdekaan kehakiman kemudian dimasukkan ke dalam Batang Tubuh UUD 1945. Sebagaimana halnya telah dilakukan penguatan dan penegasan atas kekuasaan lembaga legislatif dan eksekutif sebagai akibat dianutnya sistem pemisahan kekuasaan oleh UUD 1945 pasca-Perubahan, kekuasaan lembaga yudisial/yudikatif juga diperkuat dan dipertegas. Hubung an kelembagaan negara berdasarkan mekanisme checks and bal ances antara lembaga yudikatif dengan lembaga-lembaga negara lain juga mengalami pergeseran sebagaimana terjadi pergeseran hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif. Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman saat ini, baik dari segi substansi maupun administrasinya, telah ditetapkan bersifat mandiri dan terpadu di bawah pembinaan Mahkamah Agung, namun pada saat bersamaan DPR berperan mengontrol MA dalam hal rekrutmen hakim agung dan Komisi Yudisial (KY) berperan mengawasi perilaku para hakim. 58
Dalam hubungannya dengan Presi den, MA berwenang memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam memberikan grasi dan rehabilitasi. Ini menunjukkan berlaku mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) antara MA, DPR, dan Presiden. Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga negara baru produk Perubahan Ketiga UUD 1945 yang melakukan kekuasaan kehakiman bersama Mahkamah Agung dengan kewenangan ma sing-masing yang berbeda. MA dapat disebut sebagai court of justice, yaitu mewujudkan keadilan bagi setiap warga negara Indonesia dan badan-badan hukum dalam sistem hukum Indonesia, sedangkan MK sebagai court of law, yaitu menjaga konstitusionalitas semua produk hukum yang mengikat umum. Dasar pembentukan MK yaitu Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. MK berwenang mengadili dan memutus perkara-perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, pembubaran partai politik, dan perselisihan hasil pemilihan umum. Selain itu, MK juga diberi kewajiban memutus atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Peradilan di MK adalah peradilan pada tingkat pertama dan terakhir. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi kemudian dipertegas bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Pembentukan MK dapat dikatakan merupakan kebutuhan yang muncul sebagai akibat dianutnya supremasi konstitusi dalam UUD 1945. Dalam
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA Frenky Kristian Saragi
konteks ini, MK berperan sebagai pengawal UUD 1945 (the guardian of the Constitution). KY merupakan lembaga negara baru yang dibentuk khusus untuk menjadi pengawas dan pengimbang kekuasaan kehakiman. Meskipun KY tidak melakukan kekuasaan kehakiman, keberadaannya diatur dalam UUD 1945 Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, sehingga keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Pasal 24B UUD 1945 menyebutkan bahwa “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan mene gakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Meskipun terdapat kata “komisi” dalam nama lembaga Komisi Yudisial, status kedudukan KY tidak sama dengan komisi-komisi lain, misalnya Komisi Pemilihan Umum, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Penyiaran Indonesia, dan lain-lain. KY merupakan lembaga tinggi negara yang berkedudukan sejajar dan sederajat dengan lembaga-lembaga tinggi negara lain seperti Presiden, DPR, DPD, MPR, MA, MK, dan BPK. 2. Pembahasan Perubahan/amandemen UUD 1945 yang dilakukan sebanyak empat kali dari tahun 1999 hingga tahun 2002 masih belum memperjelas pengertian tentang lembaga negara. Nomenklatur lama tentang lembaga negara yang terdapat dalam ketetapan MPR pada masa Orde Baru masih berpengaruh kuat dalam penggunaan sehari-hari sebagaimana tercermin dari penyebutan istilah lembaga tinggi negara untuk menyebut organ-organ negara yang terdapat di dalam UUD 1945. Sebagai
akibat ketidakjelasan dan inkonsistensi ketentuan dalam UUD 1945 mengenai lembaga negara dan bermunculannya beragam lembaga negara baru pada Era Reformasi, maka konsep tentang lembaga negara menjadi bias dan muncul banyak penafsiran tentang lembaga negara tersebut. Ini menjadi semakin rumit karena tidak ada standar dan kriteria baku mengenai peng aturan lembaga negara dapat masuk dan tidak dapat masuk dalam konstitusi. Berdasarkan UUD 1945, ada lembaga-lembaga negara yang disebut secara jelas lembaga dan wewenang nya, ada yang disebut secara jelas wewenangnya namun tidak disebut secara jelas nama lembaganya, dan ada yang sama sekali tidak disebut nama lembaga dan wewenanganya. Selain itu, ada juga lembaga negara yang namanya disebut dengan huruf besar dan huruf kecil. Ini semua semakin menambah kompleksitas pengertian tentang lembaga negara.14 Untuk memperjelas pengertian tentang lembaga negara tersebut bebera pa pakar hukum tata negara mengemukakan beberapa penafsiran. Ada yang menafsirkan dengan membagi pengertian lembaga negara menjadi lembaga negara utama (main state’s organ) dan lembaga negara bantu (auxiliary state’s organ). Yang disebut sebagai lembaga negara utama adalah yang masuk dalam ajaran Trias Politika yang memisahkan kekuasaan lembaga negara menjadi tiga, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Melalui pe ngertian ini, maka yang disebut sebagai lembaga negara utama di bawah UUD 1945 adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, dan MK. Sementara lembaga-lembaga negara lain merupa14. Firmansyah Arifin, dkk, 2005. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
59
POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA Frenky Kristian Saragi
kan lembaga negara bantu. Penafsiran lain, yaitu dikemukakan oleh Sri Soemantri,15 mengartikan lembaga negara dengan membagi fungsinya, yaitu fungsi perundang-undangan, fungsi pengawasan, dan fungsi pengangkatan hakim agung. Dalam pengertian ini, maka lembaga negara di bawah UUD 1945 yaitu terdiri dari MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, MA, MK, dan KY. Selain itu, untuk memahami lebih jauh tentang kelembagaan negara di bawah UUD 1945, menarik mencermati teori yang digagas oleh Jimly Asshiddiqie,16 yaitu disebutnya sebagai “teori tentang norma sumber legitimasi”. Menurut teori ini, “apa bentuk norma hukum yang menjadi sumber atau yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara itu berkait dengan siapa yang merupakan sumber atau pemberi kewenangan terhadap lembaga negara yang bersangkutan”. Dalam bingkai teori ini, ada empat tingkatan kelembagaan negara di tingkat pusat, yaitu: (1) lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar, (2) lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang, (3) lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah, (4) lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri. Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie17 mengemukakan, di dalam UUD 1945 ada lembaga negara yang disebut secara tegas namanya, bentuk dan susunan organisasinya, dan sekaligus kewenangannya. Misalnya, lembaga negara Presiden, DPR, DPD, MA, MK, dan BPK. Namun, ada juga lembaga negara yang tidak disebut secara eks plisit namanya tetapi hanya disebut 15 Ibid. 16. Jimly Asshiddiqie, 2006. Perkembangan... Op. Cit. 17 Ibid
60
kewenangannya, kendati tidak begitu detail. Misalnya, komisi pemilihan umum (Pasal 22E ayat [5] UUD 1945). Jika dicermati secara saksama, ada lebih dari 34 organ, jabatan, atau lembaga yang disebut di dalam UUD 1945. Dari 34 lembaga negara ini, ada 28 lembaga negara yang kewenangannya ditentukan baik secara umum maupun secara rinci oleh UUD 1945. Dapat dikatakan bahwa 28 lembaga negara inilah yang merupakan lembaga nega ra yang mendapat kewenangan kons titusional secara eksplisit dari UUD 1945. Ke-28 lembaga negara ini yaitu: 1. Majelis Permusyawaratan Rakyat 2. Presiden 3. Wakil Presiden 4. Menteri atau Kementerian Negara 5. Menteri Luar Negeri selaku Men teri Triumvirat 6. Menteri Dalam Negeri selaku Menteri Triumvirat 7. Menteri Pertahanan selaku Men teri Triumvirat 8. Dewan pertimbangan presiden 9. Pemerintahan Daerah Provinsi 10. Gubernur/Kepala Pemerintahan daerah provinsi 11. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi 12. Pemerintahan Daerah Kota 13. Walikota/Kepala Pemerintahan Daerah Kota 14. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota 15. Pemerintahan Daerah Kabupaten 16. Bupati/Kepala Pemerintahan daerah kabupaten 17. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten 18. Satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa 19. Dewan Perwakilan Rakyat 20. Dewan Perwakilan Daerah
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA Frenky Kristian Saragi
21. Komisi pemilihan umum 22. Badan Pemeriksa Keuangan 23. Mahkamah Agung 24. Mahkamah Konstitusi 25. Komisi Yudisial 26. Bank Sentral 27. Tentara Nasional Indonesia 28. Kepolisian Negara Republik Indonesia Penentuan atau penafsiran tentang lembaga negara mana saja yang kewenangannya disebut oleh UUD 1945 akan menentukan lembaga negara mana saja yang dapat berperkara sengketa kewenangan lembaga negara. Maka persoalan tentang sengketa kewenangan lembaga negara harus dilihat secara berkaitan dengan kewenangaan lembaga negara menurut UUD 1945. Sengketa kewenangan lembaga negara merupakan sesuatu yang relatif baru dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, dan karena itu sebetulnya belum ada pengalaman awal yang te lah dimiliki sebelumnya. Diadakannya mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara ini meru pakan resultan dari tidak dikenalnya lagi pembedaan lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Dalam UUD 1945, di bawah UUD 1945 pasca-perubahan, semua lembaga negara yang disebut di dalamnya memiliki kedudukan yang sederajat dan setara dalam bingkai checks and balances. Maka tidak ada lagi lembaga negara yang lebih berkuasa dan dominan terhadap lembaga-lembaga negara lainnya. Keadaan seperti ini potensial menimbulkan sengketa antarlembaga negara, terutama me nyangkut kewenangan. Karena itulah kemudian pengubah UUD 1945 sepakat menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara sebagai upaya antisipatifnya.
Pasal 24C UUD 1945, hasil Perubahan Ketiga UUD 1945, secara eksplisit mencantumkan ketentuan tentang lembaga negara yang berwenang untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara tersebut. Lembaga negara yang diberikan tugas dan wewenang tersebut yaitu Mahkamah Konstitusi. Mengingat Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung, diberikannya kewenangan ini kepada Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa pengubah UUD 1945 menghendaki agar sengketa kewenangan lembaga negara diselesaikan secara hukum oleh lembaga yudisial. Diberikannnya kewenangan tersebut kepada MK, dan bukan kepada lembaga negara lain, adalah selaras dengan fungsi yang diemban oleh MK sebagai pengawal konstitusi/UUD 1945 (the guardian of the constitution), sedangkan sifat sengketa kewenangan lembaga negara menurut UUD 1945 yaitu sengketa kewenangan lembaga negara yang wewenangnya diberikan oleh UUD 1945. Sebagai akibat begitu banyaknya lembaga-lembaga negara yang dibentuk sejak Era Reformasi, muncul beragam penafsiran mengenai lembaga negara yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk berperka ra sengketa kewenangan lembaga negara di MK. Ini selanjutnya mengakibatkan kekaburan tentang lembaga mana saja yang dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan di MK. Munculnya penafsiran yang beragam ini bertolak dari dua pertanyaan pen ting, yaitu apa sebetulnya yang dapat dikategorikan sebagai lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
61
POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA Frenky Kristian Saragi
UUD 1945.18 Menurut Harjono,19 prinsip utama yang harus dipegang adalah tidak mendekati persoalan sengketa kewenangan lembaga negara di MK dari pengertian tentang lembaga ne gara, tetapi terlebih dahulu didekati melalui kewenangan lembaga negara tersebut karena yang menjadi objek sengketa di MK adalah masalah kewenangan lembaga negara, bukan lembaga negara apa yang bersengketa. Artinya, batu ujian perdananya adalah kewenangan lembaga negara tersebut, menurut UUD 1945, bukan lembaga negaranya. Ketentuan lebih lanjut tentang sengketa kewenangan konstitusio nal lembaga negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Ketentuan-ketentuan ini secara khusus terdapat pada Bagian Kesembilan berjudul Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar dalam UU No. 24 Tahun 2003 itu. Pasal 61 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 secara eksplisit menyebutkan bahwa “Pemo hon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesai tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan”. Selanjutnya Pasal 61 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 menyebutkan pula bahwa “Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya dan menguraikan kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi termohon”. Di samping ini, yang menarik adalah terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak 18. Firmansyah Arifin, dkk, 2005. Lembaga Negara... Op. Cit. 19 Ibid
62
dalam sengketa kewenangan lembaga negara (Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003). Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, ada tiga kriteria untuk dapat mengajukan permohonan sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara ke Mahkamah Konstitusi. Pertama, terkait dengan sengketa kewe nangan, bukan sengketa yang lain. Kedua, pihak yang dapat berperkara adalah lembaga negara yang kewena ngannya diberikan oleh UUD 1945. Ketiga, lembaga negara tersebut mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.20 Maka yang pertama-tama harus dipastikan terlebih dahulu adalah mengenai “sengketa kewenangan” atau ‘apa yang disengketakan”, dan bukan me ngenai “siapa yang bersengketa”. Penentuan subjectum litis dan objectum litis dalam perkara sengketa kewena ngan lembaga negara di MK adalah didasarkan pada kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, setelah itu barulah penentuan lembaga negara apa yang memiliki kewenangan-kewenangan tersebut.21 Dengan demikian, yang penting adalah membuktikan secara jelas apakah lembaga negara pemohon memang memiliki kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, dan kemudian apakah kewenangan konstitusionalnya itu memang dirugikan oleh keputusan tertentu dari lembaga negara termohon.22 Dalam sejumlah putusannya, MK telah berupaya memperjelas pengertian dan status lembaga negara dan menentukan lembaga negara apa 20 Ibid. 21. Luthfi Widagdo Eddyono, 2010. Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 3, hal. 36-38. 22 Jimly Asshiddiqie, 2005. Sengketa... Op. Cit.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA Frenky Kristian Saragi
yang memiliki legal standing untuk menjadi pihak dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara di MK. Penafsiran yang dikemukakan oleh MK dalam putusan-putusan tersebut sebetulnya telah cukup memberi kejelasan pemahaman tentang lembaga negara, meskipun di kalangan Hakim Konstitusi masih terdapat perbedaan pendapat tentang itu sebagaimana dapat diketahui dari perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam putusan-putusan tersebut. Melalui Putusan Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 tentang perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap UUD 1945 yang dimohonkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia, MK mencoba secara sekilas memperjelas tentang status lembaga negara. Pertimbangan Putusan itu menyebutkan bahwa makna tentang lembaga negara dalam UUD 1945 dibedakan menjadi dua, yaitu penyebutan lembaga negara yang memaki huruf kecil (“l” dan “n”) dan huruf kapital (“L” dan “N”). Karena adanya pembedaan penyebutan ini, maka status dan konsekuensi “lembaga negara” dan “Lembaga Negara” menjadi berbeda. Menurut MK, dalam sistem ketatane garaan Indonesia saat ini, istilah lembaga negara tidak harus selalu diartikan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan oleh UUD 1945, namun juga termasuk lembaga nega ra yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi, misalnya undang-undang dan sampai keputusan presiden. Lebih lanjut MK mengemukakan, atas dasar prinsip pembatasan kekuasaan dan prinsip checks and balances, lembaga negara manapun tidak boleh melaksanakan secara bersamaan fungsi le
gislatif, eksekutif, dan yudisial.23 Dalam Putusan Nomor 004/SKLN-IV/2006, pertimbangan hukum MK menyebutkan bahwa “yang pertama-tama harus diperhatikan adalah apakah ada kewenangan-kewenangan tertentu dalam Undang-Undang Dasar (objectum litis) dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangan-kewenangan tersebut diberikan (subjectum litis)”.24 Ini menjadi kriteria bagi MK untuk menentukan kesahan kedudukan hukum (legal standing) pihak-pihak yang berperkara sengketa kewenangan lembaga negara di MK. Kriteria tersebut diterapkan pula pada putusan-putusan MK dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara berikutnya. Atas dasar kriteria ini, sangat sedikit perkara sengketa kewenangan lembaga negara di MK yang dikabulkan oleh majelis Hakim Konstitusi. Beberapa perkara tersebut ditolak. Bahkan, umumnya perkara tersebut dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvangkelijk verklaard). Artinya, umumnya perkara sengketa kewena ngan lembaga negara di MK kandas di tengah jalan karena dinilai tidak memiliki legal standing yang memenuhi kriteria objectum litis dan subjectum litis. Dengan kata lain, pihak terkait dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara tersebut bukanlah pihak yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 sehingga majelis Hakim Konstitusi tidak menerima permohonan tersebut dan karena itu tidak memeriksa lebih lanjut pokok perkara yang dimohonkan. Jumlah permohonan perkara yang diterima oleh MK dari tahun 2003 hingga tahun 2015 yaitu hanya 36 perkara. Jumlah ini jauh le bih sedikit dibandingkan 23. Firmansyah Arifin, dkk, 2005. Lembaga Negara... Op. Cit. 24. Luthfi Widagdo Eddyono, 2010. Penyelesaian... Op. Cit.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
63
POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA Frenky Kristian Saragi
permohonan perkara pengujian undang-undang dan perselisihan hasil pemilihan umum yang diterima oleh MK selama periode waktu tersebut. Ini dapat dimengerti karena segmentasi yang dapat mengajukan perkara sengketa kewenangan lembaga nega ra memang sangat spesifik dan terbatas. Tidak seperti perkara pengujian undang-undang yang memungkinkan setiap warga negara dapat mengajukan permohonan perkara, yang dapat mengajukan permohonan perkara sengketa kewenangan lembaga negara hanya lembaga nega ra yang jumlahnya terbatas. Tidak mudah perkara sengketa kewenangan lembaga nega ra dapat dikabulkan oleh MK. Seba nyak 25 putusan perkara sengketa kewenangan lembaga negara yang telah diputus oleh MK selama periode 2003 sampai 2015, hanya 1 perkara yang dikabulkan. Selebihnya, sebanyak 3 perkara ditolak, 17 perkara tidak diteri ma, dan 4 perkara ditarik kembali. Melihat begitu banyak nya perkara yang dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK, ini menunjukkan bahwa pemohon tidak sepenuhnya berangkat dengan keyakinan kuat bahwa ia memiliki legal standing yang memenuhi objectum litis dan subjectum litis untuk berperkara sengketa kewenangan lembaga negara. Rekapitulasi perkara sengketa kewenangan lembaga negara dapat kita lihat pada tabel 1. di halaman berikut.25 Berikut ini adalah beberapa contoh putusan perkara sengketa kewenang an lembaga negara yang telah dijatuhkan oleh MK yang amar putusannya menyatakan perkara tersebut tidak dapat diterima (niet ontvangkelijk verklaard). 25. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapSKLN&menu=5 di akses 20 Juni 2016
64
1. Putusan Perkara Nomor 002/SKLN-IV/2006 tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara tentang Permohonan Peninjauan Kembali oleh KPUD Kota Depok ke Mahkamah Agung terhadap Keputusan pengadilan Tinggi Negeri Bandung Nomor 01/pilkada/2005/ pt.bdg yang dimohonkan oleh Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad dengan Termohon Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok. 2. Putusan Perkara Nomor 004/SKLN-IV/2006 tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Antara Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bekasi dengan Presiden RI, Menteri Dalam Negeri, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 3. Perkara Nomor 027/SKLN-IV/2006 tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara Ketua dan Wakil Ketua DPRD Poso Provinsi Sulawesi Tengah terhadap Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah. 4. Putusan Perkara Nomor 030/SKLN-IV/2006 tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terhadap Presiden RI c.q. Menteri Komunikasi dan Informatika. 5. Putusan Perkara Nomor 26/SKLN-V/2007 tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara Komisi Independen Pemilihan (KIP) Tingkat Kabupaten Aceh Tenggara, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Tenggara terhadap Komisi Independen Pemilihan Tingkat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan Presiden Republik Indonesia c.q. Menteri Dalam Negeri. 6. Putusan Perkara Nomor 1/SK-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA Frenky Kristian Saragi
Tahun
Dalam Proses Yang lalu
Terima
Jumlah
Amar Putusan
Jumlah Putusan
Dalam Proses Tahun Ini
2003
0
0
0
Kabul: 0 Tolak: 0 Tidak diterima: 0 Tarik kembali: 0
0
0
2004
0
1
1
Kabul: 0 Tolak: 1 Tidak diterima: 0 Tarik kembali: 0
1
0
2005
0
1
1
Kabul: 0 Tolak: 0 Tidak diterima: 0 Tarik kembali: 0
0
1
2006
1
4
5
Kabul: 0 Tolak: 0 Tidak diterima: 2 Tarik kembali: 1
3
2
2007
2
2
4
Kabul: 0 Tolak: 1 Tidak diterima: 1 Tarik kembali: 0
2
2
2008
2
3
5
Kabul: 0 Tolak: 0 Tidak diterima: 2 Tarik kembali: 2
4
1
2009
1
0
1
Kabul: 0 Tolak: 0 Tidak diterima: 1 Tarik kembali: 0
1
0
2010
0
1
1
Kabul: 0 Tolak: 0 Tidak diterima: 0 Tarik kembali: 0
0
1
2011
1
6
7
Kabul: 0 Tolak: 0 Tidak diterima: 4 Tarik kembali: 0
4
3
2012
3
3
6
Kabul: 1 Tolak: 1 Tidak diterima: 3 Tarik kembali: 1
6
0
2013
0
3
3
Kabul: 0 Tolak: 0 Tidak diterima: 2 Tarik kembali: 0
2
1
2014
1
0
1
Kabul: 0 Tolak: 0 Tidak diterima: 1 Tarik kembali: 0
1
0
2015
0
1
1
Kabul: 0 Tolak: 0 Tidak diterima: 1 Tarik kembali: 0
1
0
Jumlah
11
25
36
Kabul: 1 Tolak: 3 Tidak diterima: 17 Tarik kembali: 4
25
-
Tabel 1. Rekapitulasi Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
65
POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA Frenky Kristian Saragi
LN-VI/2008 tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Morowali terhadap Komisi Pemilihan Umum Kabupa ten Morowali. 7. Putusan Nomor 27/SKLN-VI/2008 tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara Komisi Pemilihan Umum Provinsi Maluku Utara terhadap Presiden Republik Indonesia. Melalui Putusan-Putusan itu, MK menyatakan bahwa KPUD, kewenang an Bupati, KPI, KIP provinsi/kabupa ten/kota, Panwaslih, tidak dapat dikualifikasi sebagai lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Oleh karena itu, tidak memiliki legal standing yang memenuhi objectum litis dan subjectum litis dalam perkara sengketa kewena ngan lembaga negara. Berdasarkan Putusan-Putusan MK tersebut, dapat dikatakan bahwa MK melalui penafsirannya telah memperjelas tentang pengertian dan status lembaga negara serta kedudukan hukum lembaga ne gara yang dapat mengajukan permohonan perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Sepanjang MK tetap konsisten dengan penafsirannnya itu, maka tidak ada peluang bagi lembaga negara yang tidak mampu menunjukkan kewenangannya memang disebut oleh UUD 1945 untuk dapat diterima perkaranya di MK. Dengan demikian, tercipta kekosongan hukum atas mekanisme sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya tidak disebut di dalam UUD 1945. Sebab sengketa kewenangan lembaga ne gara seperti ini tidak dapat dibawa ke MK. D. KESIMPULAN Penyebutan istilah “lembaga nega ra” secara resmi baru mulai dikenal 66
setelah adanya perubahan/amandemen UUD 1945. Namun, ini masih bersifat sumir dan menyulut munculnya beragam penafsiran tentang “lembaga negara”. Format kelembagaan negara mengalami redesain struktural sebagai akibat adanya perubahan fungsi dan wewenang lembaga negara yang lama dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru. Format kelembagaan negara yang baru itu menciptakan pola hubungan antarlembaga negara yang baru dalam bingkai Check and Balances. Selain itu, mulai juga dikenal istilah dan ketentuan tentang “sengketa kewenangan lembaga negara”. Mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara harus ditempuh secara yuridis melalui MK yang diberi wewenang oleh UUD 1945 untuk memutus perkara sengketa kewenangan lembaga negara. UUD 1945 secara eksplisit dan limitatif menyebut bahwa sengketa kewenangan lembaga negara yang dapat dimohonkan kepada MK hanyalah sengketa kewenangan lembaga negara yang wewenang nya diberikan oleh UUD 1945. Dengan demikian, tidak semua sengketa kewenangan lembaga negara memiliki legal standing yang memenuhi kriteria objectum litis dan subjectum litis untuk dapat dibawa ke MK penyelesaiannya. Sejauh ini, mayoritas perkara di nyatakan tidak dapat diterima oleh MK karena permohonan perkara sengketa kewenangan lembaga negara tersebut tidak memenuhi kriteria objectum litis dan subjectum litis. DAFTAR PUSTAKA Ali Zainuddin, 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Arifin Firmansyah, dkk, 2005. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasi-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA Frenky Kristian Saragi
onal. Asshiddiqie Jimly, 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. ---------------, 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan NKRI. ---------------, 2005. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. Yogyakarta: FH UII Press, cetakan kedua. ---------------, 2005. Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Jakarta: Konstitusi Press. Eddyono Luthfi Widagdo, 2010. Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 3. Huda Ni’matul, 2007. Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi. Yogyakarta: UII Press;
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di akses 20 Juni 2016, http:// www.mahkamahkonstitusi.go.id/ index.php?page=web.RekapSKLN&menu=5 Mahfud MD Moh., 2009. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta: Rajawali Pers. Ramdhan Mochamad Isnaeni, dalam R. Sri Soemantri M., 2006. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni: edisi kedua, cetakan pertama. Sulistyo-Basuki, 2010. Metode Penelitian. Jakarta: Penaku, cetakan kedua. Steven J. Taylor dan Robert Bogdan, 1984. Introduction to Qualitative Research Methods: The Search for Meanings, Second Edition. New York: John Wiley & Sons. Tauda Gunawan A., 2012. Komisi Negara Independen. Eksistensi Independent Agencies sebagai Cabang Kekuasaan Baru dalam Sistem Ketatanegaraan. Yogyakarta: Genta Press.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
67
POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA Frenky Kristian Saragi
68
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
Artikel INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
PUBLIC SERVICE INNOVATION: The Practice of Regional Autonomy Harditya Bayu Kusuma Peneliti Pertama Pusat Inovasi Pelayanan Publik Lembaga Administrasi Negara Abstrak: Otonomi Daerah mempunyai tujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan ma syarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Otonomi daerah dapat mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menciptakan demokrasi lokal. Otonomi daerah memberikan peluang bagi daerah untuk berkompetisi menciptakan ide-ide secara inovatif dan kreatif dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Tulisan ini mempunyai tujuan untuk mendeskripsikan kondisi inovasi pelayanan publik sebagai salah satu praktik terbaik dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Inovasi pelayanan publik adalah ide atau gagasan baru yang memberikan manfaat dalam pembaharuan dan perbaikan pelayanan kebutuhan masyarakat yang sesuai dengan peraturan. Inovasi yang telah dilakukan oleh beberapa daerah memberikan harapan bahwa otonomi daerah menjanjikan adanya arah kecenderungan yang positif dalam peningkatan kualitas pelayanan publik. Prasyarat dalam melakukan inovasi pelayanan publik antara lain: kepemimpinan yang inovatif, perubahan mindset aparatur pemerintah dan masyarakat, mobilisasi sumber daya, orientasi hasil dan manfaat, dan dukungan pemangku kepentingan. Kata Kunci: Pelayanan Publik, Inovasi Pelayanan Publik, Otonomi Daerah
Abstract: Regional autonomy has the objective to accelerate the realization of public welfare through the improvement of service, empowerment, and community participation, as well as increased regional competitiveness. Regional autonomy can bring public service closer to the community, improve the welfare of the people and create local democracy. Regional autonomy provides an opportunity for the region to compete creating innovative ideas and creative in improving services to the public. This paper has the objective to describe the condition of public service innovation as one of the best practices in the implementation of regional autonomy. Innovation is the idea of public service or new ideas that provide benefits in the renewal and improvement of the service needs of the community in accordance with the regulations. Innovations that have been made by some areas provide hope that regional autonomy promises a positive trend in the direction of improving the quality of public services. Prerequisites in the innovation of public services, among others: innovative leadership, mindset change apparatus and society, mobilization of resources, results orientation and benefits, and the support of stakeholders. Keywords: Public Service, Public Service Innovation, Regional Autonomy
A. PENDAHULUAN Otonomi daerah dalam kerangka regulasi yang termuat di Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memiliki pengertian sebagai suatu hak, wewenang,
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Urusan Pemerintahan yang
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
69
INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah Harditya Bayu Kusuma
diatur dan diurus sendiri oleh peme rintah daerah terkait upaya untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. Budiardjo (2008) menjelaskan bahwa penerapan prinsip otonomi dalam ne gara kesatuan adalah kekuasaan tetap terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke daerah berasal dari kekuasaan peme rintahan yang ada di tangan Presiden. Meskipun Urusan Pemerintahan telah diserahkan ke daerah berdasarkan hak otonom, tetapi kekuasaan tertinggi tetap berada di pemerintah pusat. Lay (dalam Karim, 2011) menya takan bahwa pemberian otonomi kepada daerah merupakan jalan terbaik untuk memecahkan persoalan ketegangan hubungan antar pusat dan daerah, pemberian kekuasan ekonomi dan politik kepada daerah harus diparalelkan dengan pengembangan demokrasi di tingkat lokal. Pendapat tersebut memperlihatkan bahwa kebijakan otonomi daerah cenderung hanya mengarah pada pemekaran da erah dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, karena sejak era otonomi daerah semakin marak pemekaran daerah dan terjadi pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati beserta wakilnya secara langsung. Penerapan otonomi daerah ternyata bukan hanya sebatas pengembangan demokrasi lokal di tingkat da erah, melainkan juga diarahkan untuk pe ningkatan kualitas pelayanan publik untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut selaras de ngan pendapat Chalid (2005) yang menyatakan bahwa pelaksanaan de sentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia akan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memupuk 70
demokrasi tingkat lokal. Kondisi tersebut akan menciptakan peluang bagi setiap daerah untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dan berkompetisi positif untuk mewujudkan pelayanan publik yang terbaik demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Sumarsono (2016) dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mempunyai pemikiran yang sama bahwa tujuan otonomi daerah selaras dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masya rakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem NKRI. Secara umum pelaksanaan otonomi daerah yang telah berlangsung selama lebih dari 1 (satu) dasawarsa telah menunjukkan berbagai perkembangan baik dari sisi positif maupun negatif. Utomo (2016) melihat sisi positif dan negatif tersebut dari sudut pandang optimisme dan pesimisme dalam pelaksanaan otonomi daerah. Optimisme teridentifikasi dari semakin bermunculan praktik-praktik dan tokoh inovasi di daerah dalam beberapa tahun terakhir. Tetapi pesimisme juga terlihat dari semakin merebaknya kasus-kasus yang menjerat para kepala daerah baik dari kasus korupsi, wanita maupun narkoba. Praktik-praktik inovasi pelayanan publik sebagai bagian optimisme di era otonomi daerah mulai menunjukkan gejala positif. Berbagai program dan kegiatan juga telah digiatkan sebagai upaya untuk menyebarluaskan kesadaran berinovasi bagi instansi pemerintah. Kementerian PAN dan RB menerapkan kebijakan One Agency One Innovation dimana setiap Kemen-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah Harditya Bayu Kusuma
terian/Lembaga dan Pemerintah Da erah diwajibkan menciptakan minimal 1 (satu) inovasi pelayanan publik tiap tahun yang sejalan dengan kewajiban memunculkan Quick Wins sebagai persyaratan pelaksanaan reformasi birokrasi. Lembaga Administrasi Negara juga mulai mengembangkan inovasi di daerah dengan program Laboratorium Inovasi. Pada tahun 2015 telah dilaksanakan kegiatan tersebut di Kota Yog yakarta, Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Majalengka. Inovasi pelayanan publik yang dilakukan oleh daerah juga telah mendapatkan pengakuan dari du nia internasional. 2 (dua) inovasi pelayanan publik telah memenangkan United Nations Public Service Awards (UNPSA) Tahun 2015 yang diadakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Sragen. Kabupaten Aceh Sing kil meraih juara II (dua) dalam kategori 1 (satu) untuk wilayah Asia dan Pasifik, dengan inovasi “Mengembangkan Kemitraan Dukun dan Bidan untuk Mengurangi Angka Kematian Anak dan Ibu Melahirkan”. Sedangkan, Kabupaten Sragen meraih juara II (dua) dalam kategori kategori 3 (tiga) untuk Wilayah Asia dan Pasifik. Program inovasi dari Kabupaten Sragen adalah “Unit Pelayanan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (UPT.PK) - Model Jawaban Problematika Kemiskinan” Berbagai hal tersebut menggambarkan bahwa inovasi pelayanan pu blik di era otonomi daerah saat ini sedang menunjukkan peningkatan dan dapat bersaing di kancah internasional dengan negara lain. Otonomi da erah memberikan peluang bagi daerah untuk berkompetisi menciptakan ideide secara inovatif dan kreatif dalam meningkatkan pelayanan kepada ma syarakat. UU No.23 Tahun 2014 juga mendukung dan lebih mengedepan
kan pelayanan publik bagi masyarakat. Di dalam UU tersebut, daerah dapat melakukan penyederhanaan jenis dan prosedur pelayanan publik untuk meningkatkan mutu pelayanan dan daya saing daerah. Selain itu, peme rintah daerah juga diarahkan untuk dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Berdasarkan latar belakang di atas dan maka tulisan ini mempunyai tujuan untuk mendeskripsikan kondisi inovasi pelayanan publik sebagai salah satu praktik terbaik dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pelayanan publik saat ini dibalik kekurangan yang ada telah menunjukkan sisi positif dengan semakin meningkatnya inovasi yang dilakukan di daerah. Keharusan pemerintah daerah untuk meningkatkan kinerja dan melakukan pembaharuan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara telah memunculkan inovasi di daerah. Pendekatan dalam tulisan ini adalah dengan deskriptif, yaitu menggambarkan kondisi inovasi pelayanan publik di era otonomi daerah berdasarkan data dan informasi yang didapat. Berbagai teori yang terkait akan dipergunakan sebagai landasan berpikir mengenai fenomena yang ditemukan melalui literatur dan sumber data sekunder lainnya. Tujuan yang ingin dicapai adalah mengetahui prayarat inovasi pelayanan publik dan tantangan yang akan dihadapi ke depan sehingga menjadi referensi dalam menumbuhkembangkan inovasi pelayanan publik di era otonomi daerah. B. KONSEP INOVASI PELAYA NAN PUBLIK Sebelum membahas lebih lanjut mengenai inovasi pelayanan publik, terlebih dahulu harus memahami me ngenai inovasi dan pelayanan publik itu sendiri. Kedua konsep yang mem-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
71
INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah Harditya Bayu Kusuma
punyai pemahaman yang berbeda tetapi disatukan agar mempunyai makna yang lebih mendalam dalam peningkatan kualitas pelayanan publik. PermenPAN dan RB No. 31 Tahun 2014 tentang Pedoman Inovasi Pelayanan Publik menyebutkan bahwa inovasi adalah proses kreatif penciptaan pengetahuan dalam melakukan penemuan baru yang berbeda dan/ atau modifikasi dari yang sudah ada. Sedangkan Dwiyanto (dalam LAN, 2014) menyatakan inovasi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan gagasan dan pengetahuan baru dan transformasinya ke dalam hasil (outcome) yang kemudian dapat menciptakan nilai tambah pada praktik dan proses, barang dan jasa, adopsi teknik dan pendekatan baru dalam pengelolaan satu organisasi. Lebih lanjut inovasi dalam bidang administrasi publik dapat diartikan sebagai suatu bentuk transformasi gagasan dan pengetahu an baru yang dapat menciptakan nilai tambah dalam satu atau lebih aspek dan atau proses administrasi publik. Perumusan definisi mengenai pe la yanan publik diungkapkan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang menyebutkan bahwa pelayanan pu blik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/ atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Ruang lingkup pelayanan publik yang diatur meliputi pelayanan barang pu blik dan jasa publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam peratu ran perundangan-undangan. Mahmudi (2015) mengemukakan bahwa pelayanan publik adalah segala urusan yang berhubungan dengan 72
kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan publik dan melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan. Aparatur pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik bertanggung jawab memberikan pelayanan yang terbaik dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik dari pemerintah karena telah membayar pajak, retribusi, dan berbagai pungutan lainnya. Lebih lanjut Mahmudi menjelaskan bahwa dalam memberikan pelayanan publik, instansi penyedia pelayanan publik harus memperhatikan asas pelayanan publik, yaitu: 1. Transparansi, pelayanan publik disampaikan kepada masyarakat secara terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan pelayanan; 2. Akuntabilitas, pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan per undang-undangan yang berlaku; 3. Kondisional, pelayanan publik harus diberikan sesuai dengan kondisi dan kemampuan penyelenggara pelayanan dan masyarakat pene rima pelayanan secara efektif dan efisiensi; 4. Partisipatif, pelayanan publik harus dapat mendorong peran aktif masyarakat dengan selalu memperhatikan dan mengakomodasi aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat; 5. Tidak diskriminatif, pemberian pelayanan publik tidak boleh membedakan suku, ras, agama, golo ngan, gender, status sosial dan ekonomi; dan 6. Keseimbangan Hak dan Kewajiban, penyelenggara pelayanan
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah Harditya Bayu Kusuma
dan masyarakat penerima pelayanan publik harus selalu memperhatikan dan memenuhi hak dan kewajiban masing-masing. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka dapat diambil suatu pengertian bahwa inovasi pelayanan publik adalah ide atau gagasan baru yang memberikan manfaat dalam pembaharuan dan perbaikan pelayanan berdasarkan kebutuhan masyarakat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam PermenPAN dan RB No. 31 Tahun 2014 tentang Pedoman Inovasi Pelayanan Pu blik lebih luas disebutkan bahwa inovasi pelayanan publik adalah terobosan jenis pelayanan baik yang merupakan gagasan/ide kreatif orisinal dan/atau adaptasi/modifikasi yang memberikan manfaat bagi ma syarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan kata lain, inovasi pelayanan publik sendiri tidak mengharuskan suatu penemuan baru, tetapi dapat berupa inovasi hasil dari peengembangan maupun peningkatan kualitas pada inovasi yang ada. Inovasi pelayanan publik merupakan hal nyata yang harus dilakukan dalam rangka mewujudkan sistem penyelenggaraan negara yang baik, dengan adanya sistem pembaharuan dan perbaikan pelayanan publik maka pondasi penyelenggaraan negara akan kuat. Dwiyanto (2014) melihat hal yang sama, bahwa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai good governance di Indonesia. Pertama, pelayanan publik menjadi ranah dimana Negara yang diwakili oleh pemerintah berinteraksi dengan lembaga-lembaga non-pemerintah. Dalam pelayanan publik terjadi interaksi yang sangat intensif antara pemerintah de ngan warganya sehingga ketika terjadi perubahan yang signifikan pada ranah pelayanan publik maka manfaatnya
secara langsung akan dirasakan oleh masyarakat secara luas. Kedua, berba gai aspek good governance dapat diartikulasikan secara lebih mudah di ranah pelayanan publik. Mewujudkan nilai-nilai praktik good governance dapat dengan mudah dikembangkan parameternya di dalam ranah pelayanan publik. Ketiga, pelayanan pu blik melibatkan kepentingan semua unsur governance. Pemerintah sebagai representasi Negara, masyarakat si pil, dan mekanisme pasar memiliki kepentingan dan keterlibatan dalam pelayanan publik ini. Sumarto (2009) menyatakan bahwa kunci sukses melakukan perubahan dalam proses governance ditentukan oleh penciptaan dan pemeliharaan perubahan. Kalau semua pihak terlibat, komit dan siap melakukan adaptasi perubahan, maka kondisi yang diha rapkan akan lebih mudah tercapai. Kalau tidak, maka akan bisa menghambat perubahan itu sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi ketika awal mulanya inovasi pelayanan publik digalakkan. Instansi pemerintah melihat perlu ada perubahan dan perbaikan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat di saat stigma pelayanan publik memburuk. Tetapi di awal-awal langkah ini dilakukan ba nyak terjadi resistensi di antara aparatur negara yang menolak adanya perubahan karena akan mengganggu zona nyaman mereka dalam bekerja maka diperlukan ketegasan dan panutan pimpinan dalam penerapan inovasi. Sejalan dengan pendapat Sumarto terkait proses penciptaan dalam perubahan governance, Imanuddin (2016) menilai bahwa inovasi pelayanan pu blik dapat dikatakan sebagai inisiatif terobosan dari instansi/lembaga publik dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik. Inisiatif terobosan dari instansi/lembaga pu blik tersebut
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
73
INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah Harditya Bayu Kusuma
terletak pada kebaruan yang ada. Kebaruan yang dimaksud merupakan proses pengembangan dari inovasi pelayanan publik yang telah ada, karena inovasi pelayanan publik harus terus diperbaharui dan dikembangkan bahkan ditiru dengan cara melakukan re plikasi inovasi. Ada beberapa kunci yang terkan dung dalam pengertian inovasi pelayanan publik di atas, bahwa inovasi pelayanan publik harus memiliki bebe rapa unsur antara lain; pertama, inovasi pelayanan publik yang diciptakan merupakan sesuatu hal yang baru atau merupakan suatu hasil modifikasi dari inovasi yang sudah ada; kedua, memberikan manfaat yang terukur baik bagi masyarakat maupun instansi pemerintah terkait; ketiga, inovasi tersebut dilaksanakan secara berkelanjutan dan sudah dimasukkan dalam keputusan formal; keempat, dapat direplikasi di instansi lainnya serta dapat dikembangkan lebih lanjut; dan kelima, kompatibilitas yaitu selaras dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. C. OTONOMI DAERAH DAN PRAKTIK INOVASI PELAYANAN PUBLIK Tingkat kesadaran masyarakat di era otonomi daerah terhadap perbaikan kualitas pelayanan publik yang diberikan semakin tinggi, karena ma syarakat merasa belum mendapatkan pelayanan publik yang sesuai dengan harapan. Akibatnya bisa dilihat dari semakin meningkatnya tuntutan dan aspirasi masyarakat akan perbaikan kualitas pelayanan publik. Masyarakat semakin mengharapkan pelayanan yang cepat, mudah, murah dan berkualitas dari setiap jenis pelayanan yang diberikan. Di sisi lain sudah menjadi rahasia umum bahwa tingkat pelayanan yang diberikan masih rendah. Hal ini dikarenakan kompetensi aparat yang tidak 74
memadai, rendahnya komitmen jajaran aparatur pelayanan publik, uraian tugas kerja yang kurang jelas dan terbatasnya sarana dan prasarana. Melihat kondisi dan isu yang berkembang tersebut maka diperlukan langkah akselerasi berupa inovasi dalam pelayanan publik yang konsisten dan berkelanjutan. Setiap instansi peme rintah harus mendorong pengembang an inovasi agar kinerja dan kualitas pelayanan yang diberikan semakin meningkat demi kesejahteraan ma syarakat. Otonomi daerah sangat memberi kan peluang yang terbuka bagi terwujudnya inovasi pelayanan publik. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga memberikan amanah bagi setiap da erah untuk melakukan inovasi. Sumarsono (2016) menyatakan bahwa UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diterbitkan untuk memperbaiki kelemahan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sudah ada sebelumnya yaitu memperjelas konsep desentralisasi dalam NKRI dan pengaturan dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini lebih memuat peng a turan baru sesuai dengan dinamika masyarakat dan tuntutan pelaksanaan desentralisasi, antara lain pengaturan tentang hak warga untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, adanya jaminan terselenggaranya pelayanan publik dan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Praktik-praktik inovasi pelayanan publik di era otonomi daerah semakin meningkat beberapa waktu ini, contohnya bisa dilihat dari peningkatan peserta kompetisi inovasi pelayanan publik yang diselenggarakan Kemente
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah Harditya Bayu Kusuma
Uraian Terdaftar
Tahun 2014
2015
2016
515
1.189
2.476
Desk Evaluation
99
99
99
Presentasi/ Wawancara
33
40
71
9
25
35
Mistery Shopping
Sumber: KemenPAN dan RB, 2016
Tabel 1. Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2014 – 2016
rian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB) dari tahun ke tahun. Kompetisi inovasi pelayanan publik pada tahun 2014 hanya diikuti hanya oleh 515 inovasi dari berbagai instansi pemerintah. Pada tahun 2015 diikuti oleh 1.189 inovasi, berarti terjadi kenaikan sebesar 130,87 % dari tahun sebelumnya. Sedangkan tahun 2016 terjadi peningkatan signifikan de ngan diikuti oleh 2.476 inovasi, berarti terjadi peningkatan 108,24% bila dibandingkan dengan tahun 2015 atau 480,77 % atau hampir 5 (lima) kali lipat bila dibandingkan dengan Tahun 2014. Data di atas menunjukkan bahwa inovasi yang didaftarkan untuk mengikuti kompetisi inovasi pelayanan publik yang diselenggarakan oleh KemenPAN dan RB dari tahun ke tahun selalu meng alami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa innovation awareness dari penyelenggara pelayananan publik mulai menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik. Ke sadaran berinovasi ditunjukkan dengan menciptakan ide dan gagasan baru dalam memberikan pelayanan yang cepat, mudah dan akuntabel. Selain itu, peningkatan jumlah inovasi yang didaftarkan dalam kompetisi inovasi pelayanan publik juga didasari
Jumlah Inovasi
Masuk Top 99
No
Instansi
1.
Kementerian
180
11
2.
Lembaga
352
5
3.
Provinsi
4.
Kabupaten
5.
Kota
6.
BUMN Jumlah
400
25
1.077
40
426
13
41
5
2.476
99
Sumber: KemenPAN dan RB, 2016
Tabel 2. Rincian Peserta Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2016
adanya semangat untuk memperbaiki perspektif negatif dari masyarakat mengenai aparatur negara yang se ringkali dipandang berkinerja rendah. Aparatur negara ingin membuktikan diri bahwa saat ini ada suatu perubahan menuju kinerja yang kreatif dan inovatif. Semakin banyaknya inovasi yang diciptakan maka diharapkan perspektif masyarakat dapat berubah. Data kompetisi inovasi pelayanan publik tahun 2016 juga menunjukkan bahwa praktik-praktik inovasi yang ber asal dari Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) jumlahnya cu kup banyak yaitu 1.903 inovasi, atau melebihi keseluruhan jumlah inovasi yang didaftarkan pada Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik tahun 2015 sejumlah 1.189 inovasi. Data tersebut memperlihatkan bahwa era otonomi daerah terbukti bisa membuka peluang bagi daerah untuk menciptakan inovasi pelayanan publik, walaupun tidak bisa dipungkiri salah satu penyebab munculnya inovasi pelayanan publik tidak lepas dari lambatnya proses peningkatan kualitas pelayanan publik. Pada kompetisi inovasi pelayanan publik tahun 2016 yang diselenggarakan oleh KemenPAN dan RB, inovasi yang didaftarkan oleh pemerintah daerah sejumlah 1.903 inovasi atau mencapai 76,86% dari jum-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
75
INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah Harditya Bayu Kusuma
lah inovasi yang didaftarkan (2.476 inovasi). Hal ini membuktikan bahwa gelora melakukan inovasi pelayanan publik di era otonomi daerah saat ini semakin hari semakin meningkat. Pemerintah daerah berkompetisi melakukan inovasi untuk membuktikan bahwa pelayanan mereka yang terbaik bagi masyarakat. Pemerintah daerah tidak mau kalah dengan pemerintah pusat untuk bersaing menciptakan ide-ide baru dalam membangun budaya kinerja inovatif demi kesejahteraan rakyat. Dampak positif bagi masyarakat tentunya terletak pada perbaikan berba gai kualitas dan pilihan pelayanan pu blik yang semakin beragam. Otonomi daerah juga telah melahirkan pemimpin-pemimpin inovatif yang berasal dari daerah, dengan le bih mengenal karakteristik dan potensi daerahnya maka mereka berhasil mengembangkan inovasi pelayanan publik. Pemimpin daerah inovatif ini secara tidak langsung juga lahir dari proses demokrasi lokal yang berkem-
bang dengan adanya pilkada langsung. Rakyat bisa memilih pemimpinnya sendiri yang dianggap dapat memim pin birokrasi dan melayani rakyat. Bahkan Presiden Jokowi juga seorang pemimpin inovatif yang lahir dari da erah berkat pilkada langsung, dimulai dari Kota Surakarta, kemudian Provinsi DKI Jakarta dan puncaknya terpilih oleh seluruh rakyat untuk memimpin Bangsa Indonesia. Contoh lain pemimpin inovatif yang lahir dari daerah antara lain: Haryadi Suyuti (Kota Yogyakarta), Tri Rismaharini (Kota Surabaya), Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng), F.X. Hadi Rudyatmo (Kota Surakarta), Abdullah Azwar Anas (Kabupaten Banyuwa ngi), Suyoto (Kabupaten Bojonegoro), Ridwan Kamil (Kota Bandung), Yoyok Riyo Sudibyo (Kabupaten Batang), Sutarmidji (Walikota Pontianak), Illiza Sa’aduddin Djamal (Walikota Banda Aceh), I.B. Rai Dharmawijaya (Walikota Denpasar) dan masih banyak lagi pemimpin daerah inovatif lainnya. Ino-
Gambar 1. Perubahan Pola Governance untuk Inovasi
Sumber: Eko Prasojo 2016
76
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah Harditya Bayu Kusuma
vasi pelayanan publik yang berkembang di era otonomi daerah tidak bisa dihindari karena adanya peran dan komitmen yang kuat dari pemimpin daerah. Dukungan yang penuh dan keinginan adanya perubahan ke arah yang lebih baik dari pemimpin daerah menjadi modal utama terciptanya inovasi pelayanan publik. Inovasi pelayanan publik di era otonomi daerah yang banyak diinisiasi oleh pemimpin inovatif dari berbagai daerah telah membawa berbagai perubahan dalam pola penyelenggaraan negara oleh Pemerintah. Beberapa perubahan tersebut dapat dilihat dalam gambar 1. Prasojo (2016) melihat bahwa ada suatu pola governance yang berubah pada saat penerapan inovasi dalam pelayanan publik kepada masyarakat. Dimulai dari adanya pelimpahan kewenangan yang sebelumnya selalu berjenjang dari atas ke bawah sudah berubah ke arah keterbukaan dan ke terlibatan bagi semua pihak. Pe ran tunggal seorang pemimpin yang berkuasa menuju ke arah peran pemim pin yang terbuka dan mendengar aspirasi masyarakat. Kemudian pola sentralistik ke arah pola desentralistik. Pembiayaan seluruh penyelenggaraan kebutuhan masyarakat yang selama ini disediakan oleh negara berubah kepada pola partnership terutama kerjasama dengan pihak swasta dan lembaga donor. Ego sektoral dari setiap kepenti ngan pelan-pelan sudah mengarah kepada sinergitas dan kolaborasi yang melihat kepentingan rakyat sebagai suatu prioritas. Orientasi pelaksanaan program dan kegiatan yang selama ini berkutat pada proses sudah mulai diarahkan kepada penciptaan outcome yang nyata dan bisa dirasakan manfaatnya bagi masyarakat. Dan penggunaan berbagai sarana prasarana yang masih manual dan tradisional sudah
siap digantikan dengan penggunaan teknologi informasi yang modern se hingga mendukung kemudahan dalam berbagi data secara cepat dan mudah. D. PRAKTIK TERBAIK INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH Sejak diberlakukannya otonomi daerah, banyak sekali pemerintah daerah yang telah berhasil melakukan berbagai pembaruan dan perbaikan dalam kualitas pelayanan publik. Pemerintah daerah mulai menyadari bahwa pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya pemekaran daerah dan pelaksanaan pilkada langsung, tetapi bagaimana mampu berkompetisi dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik demi kesejahteraan masya rakat. Pramusinto (2016) juga melihat bahwa banyak daerah yang sudah mempunyai kesadaran bahwa pelaksanaan otonomi daerah juga tidak semata-mata hanya terkait peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), melainkan bagaimana caranya untuk menarik investor agar mau menanamkan modalnya ke daerah. Kota Surakarta merupakan salah satu daerah yang mulai melakukan inovasi pelayanan publik di era otonomi daerah, dimulai dari era kepemim pinan Jokowi pada Tahun 2005 sampai kepemimpinan F.X. Hadi Rudyatmo sampai saat ini. Pemerintah Kota Surakarta selalu menerapkan asas kebersamaan dan gotong royong dalam menyelesaikan berbagai permasalahan publik, polanya dengan menga rahkan seluruh SKPD untuk saling si nergi dan kolaborasi dalam mencapai tujuan bersama bagi rakyat Surakarta. Pemerintah Kota Surakarta seringkali memperoleh penghargaan atas kiner janya, pada tahun 2015 menerima 3 (tiga) penghargaan dari Kementerian Dalam Negeri atas kinerjanya dalam penataan kota. Kota Surakarta
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
77
INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah Harditya Bayu Kusuma
mendapatkan penghargaan pada kate gori pemanfaatan ruang, penataan kawasan kumuh dan penataan pasar tradisional. Di kategori pemanfaatan ruang, Kota Surakarta dinobatkan di peringkat pertama. Sedangkan untuk penataan kawasan kumuh di peringkat kedua dan penataan pasar tradisional di peringkat ketiga. Salah satu inovasi yang cukup menarik yang dilakukan oleh Peme rintah Kota Surakarta adalah penataan dan pengelolaan Pedagang Kaki Lima (PKL). Penataan PKL di Kota Surakarta merupakan salah satu contoh penataan pedagang yang dilakukan dengan cukup unik, damai dan disesuaikan dengan karakteristik PKL. Penataan No
Nama Inovasi
1.
Pelayanan KTP 1 Jam Kota Surakarta
2.
Akte Kelahiran Jemput Bola Kota Surakarta
3.
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Kota Surakarta
4.
Pelayanan Perijinan Satu Pintu Kota Surakarta
5.
Penanganan Pengemis dan Pengamen dengan pendekatan Kemanusiaan Kota Surakarta
6.
ini dilakukan karena melihat kondisi lingkungan PKL yang “semrawut” dan tersebar di berbagai tempat sehingga mengganggu kebersihan dan ketertiban umum. Penataan PKL di Kota Surakarta dilakukan dengan tujuan untuk mengelola dan memberdayakan PKL secara humanis sesuai budaya lokal. Inovasi yang dilakukan adalah de ngan melakukan relokasi PKL melalui pendekatan humanis, yaitu dengan strategi sebagai berikut: 1. “Nguwongke uwong” atau memanusiakan manusia, maksudnya adalah menempatkan PKL sebagai manusia sesuai harkat dan martabatnya; 2. Kemitraan, yaitu penataan PKL Penggagas
Tahun Implementasi
Joko Widodo
2005
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
2012
Joko Widodo
2008
Imam Sutopo dan direvisi kembali oleh Joko Widodo
2005
Sutardjo (Kasatpol PP)
2013
Penanganan Gelandangan dan Orang Gila dengan pendekatan Kemanusiaan Kota Surakarta
Kasatpol PP
2014
7.
Penanganan dan Pencegahan Permasalahan Siswa Kota Surakarta
Sutardjo (Kasatpol PP)
2013
8.
Program Penataan dan Pengelolaan Pedagang Kaki Lima (PKL) Kota Surakarta
Joko Widodo
2006
9.
Puskemas Ramah Anak Kota Surakarta
Muspida Kota Surakarta
2009
10.
Night Market Ngarsopuro Kota Surakarta
Joko Widodo
2010
11.
Perpustakaan Kampung dan Taman Cerdas Kota Surakarta
Bapermas PP, PA dan KB Kota Surakarta
2008
12.
Pengembangan Cadangan Pangan Daerah Kota Surakarta
Joko Widodo
2013
13.
Kartu Insentif Anak Kota Surakarta
14.
Kota Layak Anak Kota Surakarta
15.
Digital Arsip Kependudukan Kota Surakarta
Sumber: KemenPAN dan RB, 2016
78
Joko Widodo
2009
Kemen PP dan PA
2009
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
2008
Tabel 3. Inovasi di Kota Surakarta JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah Harditya Bayu Kusuma
melibatkan masyarakat, pemerintah dan PKL itu sendiri; 3. Hati nurani, bahwa ada rasa saling mengisi antara satu pihak dengan pihak yang lain, dalam hal ini antara PKL, masyarakat dan peme rintah; 4. Saling menghormati, yaitu adanya keseimbangan antara PKL, masya rakat dan pemerintah. Program ini dapat berjalan berkat strategi yang disebut manajemen “Go tong Royong”. Strategi ini dite rapkan dengan cara tiap SKPD saling bekerjasama dengan meng alokasikan kegiatan yang mendukung program penataan PKL tersebut (LAN,2014). Beberapa inovasi lainnya yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota Surakarta yang didokumentasikan di Epitome Direktori Inovasi Administrasi Negara LAN RI (2014), antara lain seperti pada tabel 3. Contoh lain adalah Kabupaten Banyuwangi yang mempunyai slogan Sunrise of Java. Di bawah kepemimpinan Abdullah Azwar Anas sejak tahun 2010 telah berhasil melakukan berbagai langkah terobosan dalam penyelenggaraan pemerintahan da erah. Sejak terpilih kembali menjadi Bupati Banyuwangi periode Tahun 2016-2021, beliau memiliki visi “Terwujudnya masyarakat Banyuwangi yang semakin sejahtera, mandiri, dan berakhlak mulia melalui peningkatan perekonomian dan kualitas sumber daya manusia”. Kabupaten Banyuwa ngi merupakan daerah yang berada di ujung timur pulau Jawa dengan jumlah Penduduk 1.588.082 jiwa. Kabupaten Banyuwangi mempunyai kebutuhan infrastruktur paling luas se-Jawa Timur karena memiliki 24 Kecamatan, 189 Desa, dan 28 Kelurahan. Bupati Abdullah Azwar Anas mempunyai prinsip merubah sebuah tanta-
ngan menjadi suatu peluang. Langkah yang dilakukan adalah dengan memahami isu strategis sehingga dapat merumuskan rencana pembangunan daerah, isu strategis tersebut antara lain: penyediaan lapangan pekerjaan bagi penduduk, peningkatan stabilitas keamanan publik, disparitas wilayah ketimpangan pertumbuhan ekonomi, pelanggaran tata ruang publik dan image Banyuwangi sebelumnya yang terkenal sebagai Kota Santet. Melihat kondisi tersebut, Bupati Abdullah Azwar Anas melakukan berbagai strategi menghadapi tantangan dan persaing an seperti: 1. Inovasi, birokrasi harus selalu berinovasi dan tidak boleh statis dalam bekerja. Program yang dilaksanakan harus inovatif, tanpa inovasi program tersebut akan dihapus pada tahun berikutnya; 2. Terobosan, melakukan berbagai ide dan gagasan baru sehingga salah satunya Kabupaten Banyuwangi berhasil mendapatkan golden share sebesar 10 persen tanpa delusi dari tambang tumpang pitu; dan 3. Networking, Pengembangan jaringan kerja dengan semua elemen untuk kemajuan Kabupaten Banyuwangi (Anas, 2016). Salah satu inovasi yang dijalankan oleh Kabupaten Banyuwangi dan berhasil masuk Top 99 Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2016 yang diselenggarakan KemenPAN dan RB adalah PUJASERA (Pergunakan Jamban Sehat Rakyat Aman). PUJASERA merupakan salah satu inovasi yang digalakkan di Kabupaten Banyuwa ngi terutama melihat kondisi kesehatan secara umum bahwa kepemilikan jamban masih 12,85% dari total KK. Secara keluruhan akses penduduk terhadap jamban juga masih rendah. Dan berdampak pada angka kesakitan
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
79
INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah Harditya Bayu Kusuma
akibat sanitasi yang jelek mencapai 35%. Setelah berhasil dilaksanakan, program PUJASERA telah mencapai beberapa hal dalam mengatasi permasalahan kesehatan seperti: pertama, terwujudnya 2 (dua) desa ODF (Open Defecation Free) dan adanya klinik sanitasi di Puskesmas Tampo; kedua, meningkatnya kepemilikan jamban sehat (meningkat 386% dari 1.034 KK di tahun 2013 menjadi 5.025 KK di tahun 2015); ketiga, meningkatnya akses terhadap jamban dari 960 KK di tahun 2013 menjadi 5600 KK di tahun 2015, meningkat 483%; dan keempat, menurunnya angka kesakitan yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan buruk dari 35% di tahun 2013 menjadi 18% di Tahun 2015 dan adanya Peraturan Desa tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Manfaat program PUJASERA yang telah dirasakan oleh masyarakat antara lain: 1. Terjadinya perubahan perilaku masyarakat. Kebiasan masyarakat yang mulanya sering membuang BAB di sungai sudah beralih kesa daran dengan memiliki dan memakai jamban di rumahnya; 2. Meningkatnya kesehatan masya rakat. Kebiasaan membuang BAB di jamban akan berkorelasi positif dengan tingkat kesehatan karena kebiasaan lama yang membuang BAB di sungai akan menimbulkan beraneka macam dampak penyakit; 3. Masyarakat miskin dapat lebih mudah memiliki jamban. Arisan jamban dalam program PUJASERA akan mempermudah warga miskin memiliki jamban, terutama de ngan iuran perbulan yang ringan; 4. Pelayanan kesehatan di Puskesmas lebih optimal. Dengan tingkat kesehatan yang semakin meningkat maka pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Puskesmas 80
akan lebih optimal; 5. Terjalinnya koordinasi dan sinkro nisasi dari seluruh pemangku kepentingan yang terlibat. Program ini berhasil karena kerjasama dengan berbagai pihak, misal dengan PNPM Mandiri Pedesaan dan Toko Bangunan. Selain itu kegiatan gotong royong dalam membangun jamban milik warga miskin menjadi nilai positif tersendiri dalam program ini; dan 6. Terciptanya lingkungan sehat dan bersih. Sungai yang bersih dari limbah BAB akan menciptakan lingkungan yang terjaga dari sisi kesehatan. (Anas:2016). Beberapa inovasi lain dari Kabupaten Banyuwangi yang telah berhasil masuk Top 99 kompetisi inovasi pelayanan publik diselenggarakan KemenPAN dan RB pada tahun 2014 – 2016 antara lain seperti pada tabel 4. Berikutnya adalah Kabupaten Bantaeng, yang bisa menjadi referensi daerah inovatif lainnya yang ber asal dari luar Pulau Jawa. Kabupaten Bantaeng merupakan daerah yang berada di Pulau Sulawesi dengan luas kurang lebih 395,83 Km2 dengan jumlah penduduk 192.000 jiwa serta terbagi menjadi 8 Kecamatan, 46 Desa dan 21 Kelurahan. Sejak tahun 2008 sampai sekarang, Kabupaten Bantaeng dipimpin oleh Nurdin Abdullah. Beliau terpilih karena adanya aspirasi dari bawah oleh masyarakat yang menginginkan dipimpin olehnya. Awal mula Kabupaten Bantaeng pada tahun 2008 adalah sebuah kabupaten yang tidak dikenal dan merupakan salah satu daerah yang tertinggal di Indonesia. Pada saat itu, Kabupaten Bantaeng memiliki berbagai perma salahan, misalnya: infrastruktur terbatas, produktivitas rendah, kemiskinan, penggangguran dan progress Indek Pembangunan Manusia (IPM) yang
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah Harditya Bayu Kusuma
No
Kegiatan
1.
Top 99 Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2014
Transparansi Pengelolaan Anggaran Daerah Kab. Banyuwangi
Top 99 Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2015
Gebrakan SUSI Turunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), Kab. Banyuwangi
2
Judul Inovasi Gerakan Masyarakat Mencintai Lingkungan (Gemilang) wilayah kerja Puskesmas Kertosari, Kab. Banyuwangi
Lahir Procot Pulang Bawa Akte, Kab. Banyuwangi SAKINA (Stop Angka Kematian Ibu dan Anak), Banyuwangi Payment Point Drive Thru PBB-P2, Kab. Banyuwangi 3
Top 99 Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2016
PUJASERA (Pergunakan Jamban Sehat, Rakyat Aman) UPTD. Puskesmas Tampo Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi SIRAMI GIZI (Aksi Ramah Peduli dan Pemulihan terhadap Gizi) UPTD. Puskesmas Singotrunan Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi
Tabel 4. Inovasi Pelayanan Publik di Kabupaten Banyuwangi Sumber: KemenPAN dan RB, 2016
rendah. Selain itu ditambah fenomena alam yaitu musibah banjir di setiap musim hujan yang melanda kawasan perkotaan, pusat layanan publik, pa sar, dan lahan pertanian. Di sisi lain akses jalan dan kawasan produksi di Kabupaten Bantaeng juga masih buruk (Abdullah, 2016). Melihat kondisi Kabupaten yang mengalami berbagai keterbatasan, yaitu salah satunya APBD yang sa ngat minim sehingga perlu dilakukan percepatan inovasi dan terobosan dalam segala bidang dalam memimpin masyarakat Bantaeng. Perbaikan pelayanan langsung kepada masyarakat menjadi prioritas utama karena sebagai pelanggan utama pelayanan oleh Pemerintah Kabupaten Bantaeng. Aparatur pemerintah juga mengalami perubahan mindset agar bisa menjadi pelayan masyarakat yang produktif, terukur dan akuntabel. Sebagai Bupati yang menguasai ilmu pertanian, Nurdin Abdullah selalu pu nya inovasi ataupun ide dan terobosan baru dalam rangka mengembangkan potensi pertanian di wilayah Kabupa ten Bantaeng. Beberapa langkah yang dilakukan dengan melakukan kerjasa-
ma dengan BPPT dalam membangun Pabrik Pupuk Lepas Lambat. Kemudian juga mengembangkan penggunaan pupuk SRF (sekali pemupukan sampai panen), pengolahan pupuk organik padat dan pemasarannya, pabrik pupuk hayati dengan bakteri mikorisa untuk pelarut phospat, pola tanam legowo 2 : 1 dengan memperbanyak jumlah populasi tanaman melalui pengaturan jarak tanaman, pengembangan tanaman padi gogo pada lahan termarginalisasi yang ditumpangsari dengan tanaman jangka panjang, benih berbasis teknologi, pengembangan benih padi kurang dari 100 hari bekerjasama dengan BATAN, persilangan jagung manis Jepang dengan jagung ma nis Bantaeng, budidaya talas safira, pengembangan benih bawang merah, pengembangan agrowisata yang fokus pada buah strawberry, durian, manggis, duku, lengkeng dan buah naga (Abdullah:2016). Selain pengembangan inovasi di bidang pertanian, Nurdin Abdullah juga meningkatkan perekonomian Kabupaten Bantaeng dengan inovasi di berbagai sektor lain, seperti terlihat dalam tabel 5 pada halaman berikut ini.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
81
INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah Harditya Bayu Kusuma
No
Bidang Inovasi
1.
Bidang Kesehatan
Program/Kegiatan Emergency Rescue (call center 113) Armada Brigade Siaga Bencana (BSB) Pembangunan RSUD Bantaeng
2
Bidang Infrastruktur
Pembangunan Cekdam Pengendali Banjir Pembangunan Waduk Tunggu untuk Pengendali Banjir dan Cadangan Air Perbaikan jalan desa dan jalan poros Bantaeng-Bulukumba Apartemen Pegawai Negeri Sipil Pembangunan Rusunawa untuk penduduk kawasan pesisir Perumahan Khusus Nelayan Pelabuhan Perikanan Bantaeng
3
Bidang Pariwisata
Pengembangan Kawasan Pantai Seruni Penataan Pantai Marina Korong Batu Pembangunan Kr. Pawiloi Swimming Pool
4
Bidang Industri
Sumber: Abdullah, 2016
Bantaeng Industrial Park
Tabel 5. Contoh Inovasi di Kabupaten Bantaeng
E. PRASYARAT INOVASI PELAYA NAN PUBLIK Otonomi daerah di Indonesia telah dilaksanakan sejak digulirkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, bahkan beberapa kali peraturan tentang pemerintahan da erah diganti tetapi kondisi pelayanan publik yang ideal sesuai harapan belum tercapai. Permasalahan dalam pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat masih sering terjadi dikarenakan masih rendahnya kuali tas pelayanan, prosedur pelayanan yang tidak jelas, penyalahgunaan wewenang dan kurangnya sumber daya penyelenggara pelayanan. Berbagai permasalahan pelayanan publik tersebut memerlukan upaya percepatan perbaikan sebagai solusi terbaik agar muara untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Utomo (2016) mengemukakan perlunya disusun suatu model inovasi pelayanan publik sebagai solusi terha dap permasalahan pelayanan publik yang terjadi. Model inovasi pelayanan 82
publik yang disusun mempunyai kriteria, yaitu: (1) Integrasi jenis layanan, berbagai jenis pelayanan yang diberikan oleh pemerintah perlu digabungkan sehingga tidak banyak jumlah nya seperti kondisi saat ini; (2) Public engagement, masyarakat dilibatkan dalam pelaksanaan inovasi pelayanan publik sehingga partisipasi tersebut dapat menjamin proses keberlanjutan; (3) Perluasan public choice, masya rakat mempunyai banyak pilihan dalam pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah; (4) Simplifikasi/ otomatisasi, melakukan penyederhanaan proses-proses pelayanan terutama dalam bidang perizinan; (5) Percepatan prosedur, lambatnya proses pelayanan merupakan keluhan utama masyarakat sehingga perlu dipercepat; dan (6) Peningkatan efektivitas dan efisiensi sumber daya, otonomi daerah mengakibatkan penggunaan seluas-luasnya sumber daya yang dimiliki oleh daerah sehingga perlu diatur secara efektif dan efisien melalui inovasi. Selain adanya model inovasi pe-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah Harditya Bayu Kusuma
layanan publik yang dikemukakan di atas dengan berbagai kriteria di dalamnya. Ada beberapa hal yang dapat menjadi prasyarat dalam mendorong dan menumbuhkembangkan inovasi pelayanan publik di era otonomi da erah saat ini. Beberapa prasyarat yang harus dipenuhi dalam menciptakan inovasi pelayanan publik, seperti: kepemimpinan yang inovatif, perubahan mindset aparatur pemerintah dan masyarakat, mobilisasi sumber daya, orientasi hasil dan manfaat, dan dukungan pemangku kepentingan. Pertama, kepemimpinan yang ino vatif. Widodo (2016) menerangkan bahwa kepemimpinan daerah yang inovatif memiliki kriteria sebagai berikut: (1) memiliki visi yang jelas dan kuat tentang masa depan pembangu nan daerah; (2) percaya diri yang tinggi untuk melakukan berbagai perubahan dan menjadi role model dalam perubahan tersebut; (3) karakter dan orientasi yang kuat untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, de ngan tidak memiliki kepentingan yang lain selain bagi kepentingan rakyat; (4) terbuka dan antusias memba ngun kolaborasi dan hubungan de ngan stakeholder; dan (5) kesadaran penuh untuk memanfaatkan teknologi dan media sosial demi pengembangan inovasi. Apabila semua hal di atas bisa terpenuhi dalam figur seorang pemim pin maka inovasi pelayanan publik dapat diciptakan bagi kepentingan masyarakat. Pemimpin itu harus inovatif, F.X. Hadi Rudyatmo (Kota Surakarta), Abdullah Azwar Anas (Kabupaten Banyuwangi) dan Nurdin Abdullah (Kabupaten Bantaeng) merupakan beberapa contoh kecil pemimpin daerah yang menerapkan pola kepemimpinan inovatif dalam mendorong perubahan di daerahnya. Visi yang dibangun juga jelas untuk melakukan perubahan demi masa depan pembangunan da erah. Ketiga pemimpin daerah terse-
but selalu menempatkan masyarakat sebagai pelanggan utama dan prioritas dalam pelayanan publik, program yang dicanangkan selalu menempatkan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan utama. Selain itu, ketiga tokoh tersebut juga membangun kolaborasi dengan stakeholder dari berbagai pihak baik dari internal maupun eksternal daerah guna membangun jejaring kerja yang luas dan kuat demi kemajuan daerahnya. Kedua, perubahan mindset aparatur pemerintah dan masyarakat. Dalam mewujudkan aparatur pemerintah yang berintegritas dan profesional perlu ditumbuhkan kesadaran akan pen tingnya inovasi dalam melaksanakan tugas dan fungsi melayani masyarakat, bekerja bukan hanya sebagai business as usual melainkan mencoba hal-hal baru bagi kemanfaatan masyarakat. Nurdin Abdullah dari Kabupaten Bantaeng juga melakukan hal yang sama ketika akan melakukan perubahan di daerahnya yaitu merubah mindset aparatur pemerintah agar bisa menjadi pelayan masyarakat yang produktif, terukur dan akuntabel. Tetapi perubahan mindset akan pentingnya inovasi bukan hanya terletak dalam lingkup birokrasi, masyarakat juga harus mulai menyadarinya. Masyarakat harus selalu mendukung, berpartisipasi bahkan menawarkan berbagai inovasi yang bisa dilakukan dalam bidang pelayanan publik. Kebersamaan perubahan mindset antara aparatur peme rintah dan masyarakat akan menjamin keberlanjutan suatu inovasi. Hal itu sejalan dengan pemikiran Sumarto (2009) bahwa semua pihak harus siap, komitmen dan terlibat dalam penciptaan inovasi menuju perubahan dalam proses governance. Pemerintah tidak dapat berjalan sendiri melakukan perubahan tanpa didukung oleh ma syarakat, begitupun sebaliknya. Sehingga diperlukan perubahan mind-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
83
INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah Harditya Bayu Kusuma
set an tara aparatur pemerintah dan masyarakat demi terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan. Ketiga, mobilisasi sumber daya. Inovasi merupakan hal yang sederha na bahkan bisa dimulai dengan tanpa adanya sumber daya, tetapi jika didukung sumber daya maka bisa tercipta inovasi yang luar biasa. Ketika inovasi yang diciptakan didukung oleh sumber daya maka diperlukan mobilisasi yang tepat guna seperti dalam implementasi teknologi, struktur, manusia dan proses. Mobilisasi kolabo rasi yang tepat guna dalam penggunaan sumber daya itu akan dapat mendukung pelaksanaan inovasi pelayanan publik. Kota Surakarta juga melakukan mobilisasi sumber daya yang dimiliki ketika melakukan penataan PKL. Seluruh SKPD menyusun berbagai program dan kegiatan untuk mendukung penataan PKL tersebut sehingga program ini dapat dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab bersama. Mobilisasi sumber daya akan lebih menjamin keberhasilan dari penerapan inovasi karena mobilisasi sumber daya merupakan salah bentuk bentuk dukungan dalam pelaksanaan inovasi. Keempat, orientasi hasil dan manfaat. Salah satu permasalahan yang dihadapi instansi pemerintah selama ini adalah hanya melihat program dan kegiatan yang dilakukan dalam kacamata segi proses sehingga belum terlihat hasil dan manfaat yang nyata dan bisa dirasakan oleh masyarakat. Padahal Dwiyanto (2014) menyatakan bahwa perubahan yang signifikan dalam pelayanan publik akan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat secara luas. Masyarakat seharusnya dapat merasakan secara langsung hasil dan manfaat yang telah dicapai dengan adanya perubahan tersebut. Oleh karena itu, inovasi pelayanan publik harus dapat memberikan gambaran 84
bahwa program dan kegiatan harus diubah orientasi menjadi fokus pada hasil dan manfaat terutama bagi pe ningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Misalnya program inovasi PUJASERA di Kabupaten Banyuwangi. Program tersebut tidak hanya berori entasi pada proses bagaimana inovasi tersebut dilakukan tetapi sudah terlihat hasil dan manfaat yang nyata dan langsung bagi masyarakat, seper ti: perubahan perilaku masyarakat, kesehatan masya rakat meningkat, masyarakat miskin mudah memiliki jamban, pelayanan Puskesmas lebih optimal, terjalinnya koordinasi antar stakeholder dan terciptanya lingkung an bersih dan sehat. Kelima, dukungan pemangku kepentingan. Dwiyanto (2014) menya takan bahwa pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur go vernance sehingga ketika melakukan inovasi pelayanan publik seyogyanya harus mendapatkan dukungan dari pemangku kepentingan yang merupakan representasi negara, masyarakat dan swasta. Peran pemangku kepenti ngan sangat penting dalam memberikan dukungan bagi pelaksanaan suatu inovasi pelayanan publik. Mendapat kan dukungan yang kuat dari stakeholder dapat membantu mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan suatu inovasi. Tanpa adanya dukungan stakehol der maka inovasi yang diciptakan bisa salah arah, muncul potensi konflik dan penggunaan sumber daya yang siasia. F. TANTANGAN INOVASI PELAYANAN PUBLIK KE DEPAN Kondisi inovasi pelayanan publik di era otonomi daerah saat ini sudah menunjukkan perkembangan yang signifikan, tetapi di sisi yang lain akan semakin banyak tantangan yang dihadapi terutama dalam mengawal pelak-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah Harditya Bayu Kusuma
sanaan otonomi daerah. Tantangan inovasi pelayanan publik harus bisa dimanfaatkan secara sinergis agar bisa diarahkan pada penciptaan peluang di era otonomi daerah. Tantangan yang ada harus dikelola secara lebih efektif sehingga bisa menjadi stimulan positif dalam memproduksi inovasi pelayanan publik dalam penyelenggaraan peme rintah. Tantangan yang akan dihadapi tersebut antara lain: Pertama, kebijakan inovasi. Inovasi pelayanan publik hadir karena adanya suatu gap atau permasalahan yang muncul dari kondisi pelayanan saat ini dengan kondisi pelayanan yang ideal. Melihat adanya gap atau permasalahan tersebut maka diperlukan suatu ide, gagasan ataupun terobosan baru untuk mengatasinya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa inovasi berasal dari kesadaran untuk memecahkan permasalahan pelayanan publik. Ketika inovasi itu akan diatur dalam suatu kebijakan seyogyanya tidak mengurangi semangat untuk berinovasi itu sendiri. Kebijakan apapun mengenai inovasi harus diarahkan sebagai upaya dukungan menumbuhkembangkan inovasi. Kebijakan mengenai inovasi harus lebih difokuskan pada upaya untuk melindungi pemimpin daerah/ inovator dari jeratan hukum ketika berinovasi di daerah. Banyak kalang an masih ragu melakukan inovasi di daerah karena takut akan melanggar aturan padahal inovasi dan pelanggaran hukum adalah dua hal yang berbeda. Inovasi pelayanan publik apa pun bentuknya ketika dilakukan harus selaras dan sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, sinergitas dan kolaborasi antar instansi pemerintah baik di pusat maupun daerah. Inovasi pelayanan publik yang kini hadir di era otonomi daerah memang telah dirasakan dampak positifnya tapi jika ditelaah
lebih lanjut berbagai inovasi tersebut masih parsial dan berdiri sendiri. Setiap instansi pemerintah baik di pusat dan daerah belum mempunyai konsep inovasi yang komprehensif yang bisa diarahkan untuk menuju satu tujuan bagi pembangunan Bangsa Indonesia. Oleh karena itu perlu suatu hubungan sinergitas dan kolaborasi antar instansi pemerintah pusat dengan pusat, pusat dengan daerah dan daerah dengan daerah menuju suatu inovasi yang bermuara bagi kepentingan nasional Bangsa Indonesia. Ketiga, pemerataaan inovasi bagi setiap daerah. Saat ini inovasi menjadi suatu euforia bagi daerah yang terus menerus mengembangkan inovasi, misalnya: Kota Surakarta, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Bantaeng dan daerah lainnya. Tetapi masih banyak daerah lain di Indonesia yang masih sedikit bahkan belum melakukan inovasi apapun. Jangan sampai inovasi hanya dilakukan di beberapa daerah saja tetapi daerah lain miskin inovasi. Di sini dibutuhkan peran bersama untuk melakukan replikasi bagi daerah lain untuk berinovasi. Replikasi akan membantu daerah lain dalam melakukan inovasi sehingga inovasi tidak berpusat pada beberapa daerah saja melainkan merata di seluruh Bangsa Indonesia. Keempat, jaminan keberlanjutan inovasi. Pekerjaan rumah bersama bagi semua pihak untuk menjamin suatu inovasi terus berjalan. Di satu sisi, lumbung inovasi terus menciptakan inovasi-inovasi baru tetapi di sisi lain inovasi-inovasi yang telah diciptakan sebelumnya belum terpelihara keberlanjutannya. Inovasi jangan hanya dilihat dari segi kuantitas saja melainkan juga dari segi kualitas, kualitas bisa dilihat dari kemampuan inovasi untuk bertahan dalam keberlanjutannya. Adanya kompetisi dan lomba ino-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
85
INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah Harditya Bayu Kusuma
vasi jangan hanya menjadi semangat di awal dalam penciptaannya tetapi tetap harus dijaga keberlanjutan inovasi tersebut. Kelima, partisipasi masyarakat dalam keikutsertaan pelaksanaan inovasi. Pada masa pelaksanaan otonomi daerah seperti sekarang ini, partisipasi masyarakat dalam inovasi pelayanan publik merupakan sebuah tuntutan yang harus diwujudkan. Masyarakat jangan hanya terlibat tetapi berperan aktif dalam penciptaan dan pelaksanaan inovasi yang dilakukan oleh pemerintah. Masyarakat juga harus selalu memberikan kritik dan masukan berupa suatu pengaduan pada inovasi pelayanan publik yang dilakukan agar instansi pemerintah selalu mengembangkan inovasi tersebut ke arah keberlanjutan yang lebih baik. G. PENUTUP Inovasi pelayanan publik merupakan salah satu bentuk keberhasilan dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Otonomi daerah telah memberikan banyak kesempatan bagi pemerintah daerah untuk melakukan perubahan dalam bentuk inovasi pelayanan publik. Pembaruan yang telah dilakukan oleh beberapa daerah cukup memberikan harapan bahwa otonomi daerah menjanjikan adanya arah kecenderungan yang positif dalam pe ningkatan kualitas pelayanan publik. Melalui otonomi daerah, pemerintah daerah tidak hanya mampu merespon kebutuhan-kebutuhan warga, tetapi juga mampu mendorong warga untuk memiliki kemauan untuk berpartisipasi dalam mewujudkan inovasi pelayanan publik yang sesuai dengan keinginan mereka. Inovasi pelayanan publik di era otonomi daerah juga telah memperlihatkan perubahan dalam penyelenggaraan negara menjadi lebih partisipatif, terbuka dan kolaboratif. Banyak praktik-praktik dari inovasi 86
pelayanan publik dari setiap daerah yang bisa dijadikan contoh terbaik dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik, misalnya dari Kota Surakarta, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Bantaeng dan daerah lainnya. Bebe rapa daerah tersebut telah mampu mengembangkan inovasi dengan memaksimalkan sumber daya yang dimiliki demi kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan penerapan inovasi di daerah tersebut juga karena didukung oleh pemimpin yang inovatif. Di era otonomi daerah banyak melahirkan pemimpin daerah inovatif yang bisa menjadi tauladan dan panutan bagi masyarakat. Pemimpin yang inovatif merupakan modal utama bagi daerah dalam mengembangkan inovasi pelayanan publik. Selain kepemimpinan yang inova tif, juga diperlukan perubahan mindset aparatur pemerintah dan masyarakat dalam mengembangkan inovasi pelayanan publik. Perubahan mindset aparatur pemerintah agar bisa menjadi pelayan masyarakat yang profesional, berkinerja dan akuntabel. Sedangkan perubahan mindset masyarakat akan mendukung penerapan dan keberlanjutan inovasi. Selain itu, prasyarat lain dalam mewujudkan inovasi pelayanan publik adalah: mobilisasi sumber daya secara tepat guna dalam pelaksanaan inovasi pelayanan publik, orientasi pada hasil dan manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat bagi peningkatan kualitas pelayanan, dan dukungan pemangku kepenting an sebagai penunjang keberhasilan inovasi. Ke depan, inovasi pelayanan publik juga akan menghadapi berba gai tantangan yang dapat diarahkan pada penciptaan peluang di era otonomi daerah. Tantangan tersebut antara lain: kebijakan inovasi yang dapat menjamin dan melindungi inovator ketika berinovasi di daerah, sinergitas dan kolaborasi inovasi antar instansi
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah Harditya Bayu Kusuma
pemerintah pusat dan daerah demi tujuan pembangunan bersama Bangsa Indonesia, pemerataan inovasi melalui replikasi bagi setiap daerah, jaminan keberlanjutan melalui peningkatan kualitas inovasi pelayanan publik, dan partisipasi masyarakat yang selalu aktif mendukung dan memberikan masukan dalam pengembangan inovasi di daerah. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Nurdin, 2016, Membangun Indonesia dari Daerah “Best Practice Otonomi Daerah di Kab. Bantaeng”, Disampaikan pada Seminar Nasional Memperingati 20 Tahun Otonomi Daerah dengan Tema “Memperkuat Otonomi Daerah: Membangun Indonesia dari Daerah”, oleh LAN RI, Jakarta, Pada tanggal 19 April 2016. Anas, Abdullah Azwar, 2016, Pujasera, Disampaikan pada Simposium dan Gelar Inovasi Pelayanan Publik Nasional Tahun 2016, Surabaya, Pada tanggal 2 April 2016. Budiardjo, Miriam, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Chalid, Pheni, 2005, Otonomi Daerah Masalah, Pemberdayaan dan Konflik, Jakarta: Kemitraan. Dwiyanto, Agus, 2014, Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanna Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Imanuddin, Muhammad, 2016, Inovasi Pelayanan Publik: Percepatan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Diakses dari http://sinovik.menpan. go.id/index.php/site/article/223, pada tanggal 28 April 2016. Imanuddin, Muhammad, 2016, Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik, Disampaikan pada Workshop Peranan Inovator dan Regulator dalam Menumbuhkembangkan Inovasi Pe-
layanan Publik, Jakarta, Pada tanggal 5 April 2016. Karim, Abdul Gaffar, 2011, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lembaga Administrasi Negara, 2014, Epitome Direktori Inovasi Administrasi Negara, Jakarta: LAN RI. Lembaga Administrasi Negara, 2014, Laporan Akhir Direktori Inovasi Administrasi Negara, Jakarta: LAN RI. Mahmudi, 2015, Manajemen Kinerja Sektor Publik, Jakarta: UPP STIM YKPN. Pramusinto, Agus, 2006, Inovasi-Inovasi Pelayanan Publik untuk Pengembangan Ekonomi Lokal: Pengalaman Beberapa Daerah, Makalah disampaikan dalam Semiloknas “Perda dalam Pencapaian Tujuan Otonomi Daerah: Meningkatkan Akses dan Partisipasi Publik dalam Menelaah Perda untuk Menjamin Transparansi dan Akuntabilitas Pengimplementasian Perda”, Jakarta, pada tanggal 26-27 Juli 2006. Prasojo, Eko, 2016, Membangun dan Mempertahankan Inovasi Pelayanan Publik, Disampaikan pada Simposium dan Gelar Inovasi Pelayanan Publik Nasional Tahun 2016, Surabaya, Pada tanggal 2 April 2016. Setiajit, 2016, Berbagi Pengalaman Menumbuhkembangkan Inovasi Pelayanan Sektor Publik, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Disampaikan pada Workshop Peranan Inovator dan Regulator dalam Menumbuhkembangkan Inovasi Pelayanan Publik, Jakarta, Pada tanggal 5 April 2016. Sumarsono, 2016, Dimensi Nawa cita dalam Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Disampaikan pada Acara Seminar Na-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
87
INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah Harditya Bayu Kusuma
sional 20 Tahun Penyelenggaraan Otda, Jakarta, Pada tanggal 19 April 2016. Sumarto, Hetifah Sj., 2009, Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Utomo, Tri WidodoW., 2016, Laboratorium Inovasi sebagai Scaling-Up Reformasi Sektor Publik, Disampaikan pada Workshop Peranan Inovator dan Regulator dalam Menumbuhkembangkan Inovasi Pelayanan Publik, Jakarta, Pada tanggal 5 April 2016. Utomo, Tri Widodo W., 2016, Membangun Indonesia dari Daerah Melalui Kepemimpinan Inovatif, Disampaikan pada Seminar Nasional Memperingati 20 Tahun Otonomi Daerah dengan Tema “Memperkuat Otonomi Daerah: Membangun Indonesia dari Daerah”, oleh Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Deputi Kajian Kebijakan LAN – RI, Jakarta, Pada tanggal 19 April 2016. Halaman situs: (https://m.tempo.co/read/news/2015/ 07/10/ 285682930/inovasi-pub-
88
l i k- i n d o n e s i a - ra i h - p e n g h a r gaan-pbb). (http://www.beritasatu.com/nasional/256439-solo-raih-tiga-penghargaan-manajemen-perkotaan-kemdagri.html). https://m.tempo.co/read/ news/2015/07/10/285682930/inovasi-publik-indonesia-raih-penghargaan-pbb, diakses pada tanggal 26 April 2016. http://www.beritasatu.com/nasional/256439-solo-raih-tiga-penghargaan-manajemen-perkotaan-kemdagri.html, diakses pada tanggal 26 April 2016. h t t p : / / w w w. m e n p a n . g o . i d / b e r ita-terkini/4516-kementerian-panrb-tetapkan-top-99-inov a s i - p e l a y a n a n - p u b l i k- 2 0 1 6 , diakses pada tanggal 27 April 2016. Peraturan Perundangan: Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah PermenPAN dan RB No. 31 Tahun 2014 tentang Pedoman Inovasi Pelayanan Publik
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
Artikel MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU: Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom
New Autonomous Region (DOB) Moratorium: A Necessary Intervention to Ensure Regional Autonomy Effectiveness Sabilla Ramadhiani Firdaus Staf Bagian Hukum dan Organisasi Lembaga Administrasi Negara Abstrak: Kebijakan moratorium Daerah Otonomi Baru (DOB) muncul sebagai upaya yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi tantangan otonomi daerah dewasa ini: kebijakan persiapan pembentukan DOB dari hasil evaluasi problematika di lapangan dan sejauh mana efektifitas pelaksanaan kebijakan pembentukan DOB di Indonesia serta seperti apa langkah yang diambil pemerintah dalam upaya peningkatan kualitas penataan daerah. Metode kajian yang digunakan adalah metode kajian pustaka dan telaah peraturan perundang-undangan. Kebijakan moratorium pembentukan DOB menjadi tepat sebagai langkah menghentikan laju pertumbuhan kegagalan pembentukan DOB. Dari hasil kajian ini dapat disimpulkan bahwa keberhasilan efektifitas DOB kedepannya dapat diperoleh jika dalam impelementasinya, seluruh stakeholders berkomitmen memenuhi indikator dan langkah strategis yang dirancang untuk membangun dan menciptakan penyelenggaran daerah yang dinamis, dalam hal ini khusus pada pelaksanaan pembentukan DOB. Kata kunci: Daerah Otonomi Baru, pembentukan DOB, efektivitas
Abstract: The policy of New Autonomous Region (DOB) moratorium emerged as the government’s efforts to face the challenges of today’s regional autonomy: preparation of DOB establishment’s policy based on evaluation results and the effectivity of DOB establishment policies in Indonesia and what steps are taken by the government in efforts to improve the quality of regional arrangement. Research methods used on this study are literature studies and content analysis of relevant legislations. The policy of moratorium of DOB establishment becomes a proper intervention to stop the growth rate of failed DOB. This study concludes that the effectiveness of DOB establishment can be obtain if all of the stakeholders committed to meet the designated indicators and strategic steps for the establishment of the dynamic DOB governance. Keywords: New Autonomous Region, DOB establishment, effectiveness
A. PENDAHULUAN Pembentukan daerah merupakan fenomena yang mengiringi penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia yang memiliki tujuan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam rangka pertumbuhan kehidupan demokrasi. Dalam kurun waktu sejak 2009 sampai dengan saat ini, terdapat 87 Rancangan Undang-Undang Pembentukan Daerah Otonomi Baru yang dibahas di DPR RI dan jumlah
usulan baru lainnya terdapat sekitar 128 daerah.1 Namun di dalam proses usulan pembentukan daerah baru ini memiliki banyak sekali hambatan dari mulai proses pembahasan awal pembentukan Daerah Otonomi Baru (untuk selanjutnya disingkat DOB) seperti terkait masalah anggaran hingga pada 1. Diakses pada tanggal 9 Juni 2016 pada halaman web http://bisniskeuangan.kompas. com/read/2016 /02/26/205645626/Anggaran. Terbatas.Pemerintah.Berlakukan.Moratorium. Pembentukan.Daerah.Otonomi.Baru
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
89
MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU: Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom Sabilla Ramadhiani Firdaus
waktu daerah yang baru dibentuk sulit untuk mengembangkan daerahnya disebabkan oleh pendapatan asli da erah (PAD) yang masih belum mencukupi untuk kebutuhannya sendiri hingga pada permasalahan prinsipal lainnya. Semangat monitoring dan evaluasi atas dasar permasalahan tersebut di atas yang sedang gencar-gencar nya dilakukan, sebanding pula dengan masih banyaknya usulan pembentukan DOB. Banyaknya usulan pemekaran daerah yang terjadi di Indonesia selama ini memiliki beberapa motif tersebunyi diantaranya:2 1. Penataan daerah menjadi isu penting dalam kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. 2. Fragmentasi dan konsolidasida erah yang berpengaruh terhadap sistem pemerintahandan adminis trasi publik. 3. Dari perspektif ilmu politik dan pemerintahan, pembentukan DOB seringkali didasarkan pada argumentasi untuk membuat jarak fisik dan kejiwaan antara warga dengan pemerintahnya menjadi semakin dekat (reciproxity). 4. Dari sisi kejiwaan, kedekatan warga dengan pemerintah dan para pejabatnya akan membuat hubungan emosional antara pemerintah dengan warganya akan menjadi semakin mudah dibangun. 5. Fragmentasi daerah sering juga dijadikan alasan untuk memperbaiki akses warga terhadap pelayanan publik. 6. Pembentukan daerah baru sering juga didorong oleh pertimbangan 2. Disusun oleh Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri dalam Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP) tahun 2011
90
keadilan sosial. 7. Dalam arah yang berbeda, muncul beberapa pemikiran yang mendorong terjadinya integrasi wilayah, seperti yang terkandung dalam teori-teori new regionalism, new functionalism, hak properti (property right), dan biaya transaksi. 8. Perspektif new regionalism menjelaskan bagaimana integrasi wilayah dapat memperkuat identitas wilayah, mendorong mereka untuk fokus pada masalah bersama, dan mengatasi berbagai masalah yang muncul karena saling ketergantungan yang terjadi pada wilayah itu. Tujuan awal adanya pembentukan DOB adalah meningkatnya kualitas pelayanan publik yang berimbas pada peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat. Sejatinya, apabila tinggi nya usulan permohonan pembentukan DOB berjalan lancar, ataupun dapat mengatasi permasalahan-permasalahan di daerah, tentu berbagai stigma negatif dari berbagai pihak tidak akan mengalir deras. Tajamnya kritik yang diberikan berdasar pada fenomena riil yang dihadapi oleh calon DOB ataupun daerah yang baru dibentuk yang justru menuai persoalan-persoalan baru, yang dapat mempengaruhi stabilitas nasional, daerah induk, dan terutama kelancaran daerah itu sendiri. Atas dasar itulah maka berbagai upaya pengendalian dilakukan oleh pemerintah. Salah satu isu yang berkembang dan menjadi sorotan publik adalah mengenai isu moratorium pembentukan daerah. Pro dan kontra muncul tatkala menanggapi isu yang hangat berkembang mengenai kebijakan mo ratorium pembentukan DOB, namun setelah dilakukan konfirmasi mengenai isu ini, pihak Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU: Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom Sabilla Ramadhiani Firdaus
Negeri meluruskan isu tersebut dan menyatakan bahwa tidak ada moratorium pembentukan DOB, yang ada hanyalah tidak ada RUU DOB yang dibahas dan disahkan, yang ada hanyalah pembahasan dan penerbitan Rancang an Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Daerah Persiapan (seperti yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan adanya ketentuan mengenai daerah persiapan selama 3 (tiga) tahun sebelum suatu daerah benar-benar mekar atau menjadi da erah baru) yang mana dalam pembentukannya lebih diperhatikan mengenai persyaratan dan kesiapan daerah calon DOB.3 Kajian dan evaluasi yang dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan pembentukan daerah terus diupayakan pemerintah. Poin besar dari eva luasi tersebut adalah mengenai kesiapan dari calon DOB itu sendiri untuk mampu bertahan dan berkembang ditengah penyelenggaraan kegiatan daerah yang akan memiliki hambatan dan rintangan. Berdasarkan hal tersebut, kajian ini akan membahas mengenai arah kebijakan pemerintah melalui hukum positif yang berlaku di Indonesia dalam hal kesiapan calon DOB dan efektivitas dari pelaksanaan pembentukan daerah, guna makin memperjelas arah dan posisi pemerintah dalam langkah moratorium yang akan ditempuh. Seperti apa ketentuan mengenai persiapan pembentukan daerah di Indonesia sebagai suatu bahan evaluasi atas keadaan yang terjadi, sejauhma3. Klarifikasi mengenai kebenaran isu moratorium disampaikan oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Dr. Soni Sumarsono dalam Rapat Konsultasi pembahasan RPP Desain Besar Penataan Daerah (Desartada) dan RPP Penataan Daerah (pengganti PP 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah) yang diakses pada tanggal 9 Juni 2016 pada halaman web http://otonomiindonesia.com/2016/02/29/161/
na efektivitas dari pelaksanaan kebijakan pembentukan daerah, bagaimana bentuk ideal dari kebijakan pembentukan DOB dan seperti apa langkah yang diambil pemerintah melalui kebijakan yang akan menjadi alat untuk memperbaiki sistem penataan daerah di era otonom ini. B. METODE KAJIAN Data dan analisis yang menjadi bagian dari hasil kajian ini berdasarkan metode kajian pustaka (literally studies) dan telaah peraturan perundang-undangan. Kajian pustaka dilakukan melalui pendekatan isu yang berkembang dengan melakukan analisis dengan teori dan kebijakan peraturan perundang-undangan yang secara legal formal mengikat dan menjadi acuan dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan yang relevan, diskusi serta analisis komparasi peraturan perundang-undangan. Pendekatan studi kepustakaan dalam kajian ini berdasar pada konsep pembentukan DOB, konsep kebijakan moratorium pembentukan DOB, konsep persiapan pembentukan DOB dan teori efektivitas yang dihadapkan dengan problematika yang muncul di daerah. Analisis dilakukan terhadap materi muatan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (ius constitutum) dan bagaimana harapan dari kebijakan di masa mendatang (ius constituendum). C. KONSEP PEMBENTUKAN DA ERAH Konsep pembentukan daerah menurut Gabrielle Ferrazzi dapat dilihat sebagai bagian dari proses penataan daerah atau territorial reform atau administrative reform, yaitu “management of the size, shape and hierarchy of local government units for the purpose of achieving political and admin-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
91
MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU: Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom Sabilla Ramadhiani Firdaus
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
No
Materi Muatan
1.
Amanat dasar pembentukan daerah
Pembentukan daerah dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan kepentingan strategis nasional.
2.
Pembentukan daerah
Pembentukan daerah dapat berupa: a. pemekaran daerah; dan b. penggabungan daerah
3.
Ketentuan pemekaran daerah
Pemekaran daerah dilakukan melalui tahapan Daerah Persiapan provinsi atau Daerah Persiapan kabupaten/kota.
4.
Persyaratan pembentukan daerah
Pembentukan Daerah Persiapan harus memenuhi: a. persyaratan dasar: 1. persyaratan dasar kewilayahan meliputi: a. luas wilayah minimal; b. jumlah penduduk minimal; c. batas wilayah; d. cakupan wilayah; dan e. batas usia minimal daerah provinsi, daerah kabupaten/ kota, dan kecamatan. 2. persyaratan dasar kapasitas daerah merupakan kemampuan daerah untuk berkembang dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang didasarkan pada parameter: a. geografi; b. demografi; c. keamanan; d. sosial politik, adat, dan tradisi; e. potensi ekonomi; f. keuangan Daerah; dan g. kemampuan penyelenggaraan pemerintahan. b. persyaratan administratif Persyaratan administratif disusun dengan tata urutan sebagai berikut: 1. untuk daerah provinsi meliputi: a. persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota dengan bupati/ walikota yang akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah Persiapan Provinsi; dan; b. persetujuan bersama DPRD provinsi induk dengan gubernur daerah provinsi induk; 2. untuk daerah kabupaten/kota meliputi: a. keputusan musyawarah Desa yang akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah kabupaten/kota; b. persetujuanbersama DPRD kabupaten/kota induk dengan bupati/wali kota Daerah induk; dan c. persetujuan bersama DPRD provinsi dengan gubernur dari Daerah provinsi yang mencakupi Daerah Persiapan kabupaten/ kota yang akan dibentuk.
5.
Ketentuan mengenai penggabungan daerah
Penggabungan daerah dilakukan dalam hal daerah atau beberapa daerah tidak mampu menyelenggarakan Otonomi Daerah yang mana penilaiannya akan dilakukan oleh pemerintah pusat. Penggabungan daerah berupa: a. penggabungan dua daerah kabupaten/kota atau lebih yang bersanding dalam satu daerah provinsi menjadi daerah kabupaten/kota baru; dan b. penggabungan dua daerah provinsi atau lebih yang bersanding menjadi daerah provinsi baru.
6.
Proses penggabungan daerah
Penggabungan daerah dilakukan berdasarkan: a. kesepakatan daerah yang bersangkutan; atau b. hasil evaluasi Pemerintah Pusat. Keterangan: a. Penggabungan daerah melalui kesepakatan daerah yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan dasar kapasitas daerah b. Ketentuan mengenai tahapan penggabungan daerah: 1. Penggabungandaerah kabupaten/kota yang dilakukan berdasarkan kesepakatan daerah yang bersangkutan diusulkan oleh gubernur kepada Pemerintah Pusat, DPR atau DPD setelah memenuhi
92
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU: Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom Sabilla Ramadhiani Firdaus
No
Materi Muatan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah persyaratan administratif. 2. Penggabungan daerah provinsi yang dilakukan berdasarkan kesepakatan daerah yang bersangkutan diusulkan secara bersama oleh gubernur yang Daerahnya akan digabungkan kepada Pemerintah Pusat, DPR atau DPD setelah memenuhi persyaratan administratif. 3. Berdasarkan usulan, Pemerintah Pusat melakukan penilaian terhadap pemenuhan persyaratan administratif. 4. Hasil penilaian disampaikan kepada DPR dan DPD. 5. Dalam hal usulan penggabungan Daerah dinyatakan memenuhi persyaratan administratif, Pemerintah Pusat dengan persetujuan DPR dan DPD membentuk tim kajian independen. 6. Tim kajian independen bertugas melakukan kajian terhadap persyaratan kapasitas daerah. 7. Hasil kajian disampaikan oleh tim kajian independen kepada Pemerintah Pusat untuk selanjutnya dikonsultasikan kepada DPR dan DPD. 8. Hasil konsultasi menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Pusat, DPR atau DPD dalam pembentukan undang-undang mengenai penggabungan daerah. 9. Dalam hal penggabungan daerah dinyatakan tidak layak, Pemerintah Pusat, DPR atau DPD menyampaikan penolakan secara tertulis dengan disertai alasan penolakan kepada gubernur.
Tabel 1. Materi muatan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Peme rintah Daerah berkaitan dengan substansi pembentukan daerah. Sumber: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, diolah
istrative goals”.4 Ferrazzi berpendapat bahwa grand strategy otonomi daerah yang optimal tidak berhenti pada menentukan berapa jumlah daerah otonom yang ideal di suatu negara, namun lebih dari itu, harus mampu menjawab pertanyaan apa sebenarnya hakekat otonomi daerah di negara bersangkutan. Baru setelah itu mencari ‘jawaban’ untuk tujuan apa sebenarnya pembentukan atau pemekaran daerah (dalam konteks territorial reform) tersebut.5 Konteks pembentukan daerah sebagaimana dimaksud di atas, tidak bisa terlepas dari tujuan awal pembentukan daerah untuk mencapai kesejahteraan rakyat, upaya pembentukan pola ideal penyelenggaraan otonomi daerah dan sebagai alat untuk memecahkan per4. DRSP-USAID. 2006. Stock Taking On Indonesia’s Recent Decentralization Reforms, Jakarta: DRSP-USAID, Agustus. Hlm. 19; 5. Gabriele Ferrazzi. 2007. International Experiences in Territorial Reform - Implications for Indonesia, Jakarta: USAID-DRSP, Januari. Hlm.19
masalahan daerah. Dalam kerangka regulasi, pengaturan mengenai pembentukan DOB tidak terlepas dari arah dan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu sendiri, sehingga hal ini menunjukan bahwa pembentukan DOB merupakan salah satu jalan bagi pencapaian otonomi daerah secara umum yakni perbaikan layanan pu blik dan peningkatan daya saing da erah yang secara bersama-sama akan memberikan sumbangsih terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat. Secara legal formal mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pembentukan daerah adalah penetapan status Daerah pada wilayah tertentu. Materi muatan yang diatur didalam undang-undang ini memiliki lingkup dan sifat yang lebih ketat dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Peme rintah Daerah. Ringkasan mengenai substansi pembentukan daerah yang
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
93
MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU: Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom Sabilla Ramadhiani Firdaus
diatur dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia adalah seperti pada tabel 1. Pembentukan DOB diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, yang mana dijelaskan bahwa pembentukan daerah dapat berupa pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih, atau penggabungan bagian daerah yang bersandingan, atau penggabungan beberapa daerah. Proses pembentukan daerah didasari pada 3 (tiga) persyaratan, yakni administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. 1. Persyaratan administratif didasarkan atas aspirasi sebagian besar masyarakat setempat untuk ditin-
daklanjuti oleh pemerintah daerah dengan melakukan kajian daerah terhadap rencana pembentukan daerah. 2. Persyaratan secara teknis didasarkan pada faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Adapun faktor lain tersebut meliputi pertimbang an kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan. 3. Persyaratan fisik kewilayahan dalam pembentukan daerah meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibu-
Faktor
Indikator
1. Kependudukan
1. Jumlah Penduduk 2. Kepadatan Penduduk
2. Kemampuan ekonomi
1. PDRB non migas per kapita 2. Pertumbuhan ekonomi 3. Kontribusi PDRB non migas
3. Potensi daerah
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
4. Kemampuan keuangan
1. Jumlah PDS 2. Rasio PDS terhadap jumlah penduduk 3. Rasio PDS terhadap PDRB non migas
5. Sosial Budaya
1. Jumlah PDS 2. Rasio PDS terhadap jumlah penduduk 3. Rasio PDS terhadap PDRB non migas
6. Kependudukan
1. Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif penduduk yang mempunyai hak pilih 2. Jumlah organisasi kemasyarakatan
7. Kemampuan ekonomi
1. Luas wilayah keseluruhan
94
Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per 10.000 penduduk Rasio kelompok pertokoan per 10.000 penduduk Rasio pasar per 10.000 penduduk Rasio sekolah SD per penduduk usia SD Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau perahu atau kapal motor 10. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga 11. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor 12. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap penduduk usia 18 tahun ke atas 13. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1 terhadap penduduk usia 25 tahun ke atas 14. Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU: Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom Sabilla Ramadhiani Firdaus
Faktor
Indikator 2. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan
8. Pertahanan
1. Rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas wilayah 2. Karakteristik wilayah dilihat dari sudut pandang pertahanan
9. Keamanan
Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah penduduk
10. Tingkat kesejahteraan masyarakat
Indeks Pembangunan Manusia
11. Rentang kendali
1. Rata-rata jarak kabupaten atau kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten) 2. Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten atau kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten)
Tabel 2. Faktor dan Indikator Pembentukan Daerah Otonom Baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah
Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, diolah.
kota, sarana, dan prasarana pemerintahan. Berikut adalah Faktor dan Indikator Pembentukan Daerah Otonom Baru yang menjadi dasar pembentukan DOB seperti pada tabel 2. Berdasarkan teori dan kebijakan pembentukan daerah yang tertuang dalam regulasi tersebut di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya pembentukan daerah erat kaitan nya dengan penambahan ruang politik lokal bagi tumbuhnya partisipasi politik dan demokratisasi di tingkat lokal demi tercapainya cita-cita otonomi daerah. Namun, kebijakan ini juga harus mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi yang lahir atas pengaturan hal tersebut yang hingga saat ini masih belum jelas atau bahkan belum diatur, diantaranya: 1. Kejelasan dan persepsi mengenai sudut pandang pembentukan DOB berdasarkan urgensi pertimbangan kepentingan strategis nasional. 2. Pembaharuan regulasi sebagai akibat dari munculnya undang-undang terbaru mengenai pemerintahan daerah. Peraturan pelaksana yang sekarang masih mengacu pada undang-undang pemerintahan daerah yang lama dan ada beberapa materi
muatan yang belum diatur dengan peraturan perundang-undangan se perti apa yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan yang baru, seperti: a. Daerah persiapan (konsep, mekanisme, hasil evaluasi dan tindak lanjut) b. Penataan daerah (konsep, grand design, dan sebagainya) 3. Didalam hal pembentukan DOB, harus lebih dijelaskan mengenai tim pemrakarsa pembentukan DOB beserta struktur timnya, lebih lanjut dapat dijelaskan pula mengenai bagaimana cara konsensus pembentukan DOB tersebut diperoleh. Hal ini menjadi penting sebab dalam prosesnya, tim inilah yang akan mengawal proses pembentukan DOB dari mulai usulan pembentukan hingga pada penetapan DOB apabila memenuhi semua persya ratan yang telah ditetapkan. 1. Permasalahan DOB Hasil evaluasi yang dilakukan oleh Bappenas, UNDP, LAN, dan Kemen dagri menyatakan bahwa lebih dari 80%6 daerah hasil pemekaran belum 6. Diakses pada tanggal 9 Juni 2016 pada halaman web http://www.kemenkeu.go.id/sites/de-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
95
MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU: Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom Sabilla Ramadhiani Firdaus
dapat memperlihatkan peningkatan pembangunan daerah setempat sehi ngga pelaksanaan pemekaran da erah belum mencapai tujuan otonomi daerah. Studi Bappenas tahun 2008 mengungkapkan bahwa DOB yang menjadi sampel studi menunjukkan bahwa pada awalnya kondisi daerah hasil pemekaran seperti perekonomian daerah, keuangan daerah, pelayanan masyarakat dan aparatur pemerintah daerah masih lebih buruk dibandingkan daerah induk pemekaran. Seiring berjalannya waktu sampai dengan 5 (lima) tahun setelah pemekaran, secara umum kinerja indikator yang telah disebutkan sebelumnya masih di bawah kinerja daerah pemekaran. Daerah hasil pemekaran belum mampu memanfaatkan masa transisi untuk meningkatkan kinerjanya. Hal ini terlihat dari lambatnya pertumbuhan ekonomi di DOB, potensi ekonomi masih bergantung kepada sektor pertanian, jumlah penduduk miskin masih terkonsentrasi di DOB dan akhirnya belum mampu mengejar ketertinggalan dari daerah induk pemekaran. Terbatasnya Sumber Daya Alam (SDA) juga menambah persoalan daerah hasil pemekaran. Hampir semua daerah induk keberatan daerah yang kaya dengan SDA masuk ke DOB. Kondisi ini menyebabkan terjadinya berbagai konflik horizontal yang tidak hanya mengganggu stabilitas kehidupan bermasyarakat, tetapi juga mengancam integrasi nasional. Daerah yang mengalami kegagalan dalam pemekaran wilayah, dipetakan permasalahan-permasalahan yang munc ul berdasarkan bidang Politik, Ekonomi, dan Sosial Budaya ditampilkan pada tabel 3. Berdasarkan pada kondisi-kondisi di fault/files/2013_kajian_pkapbn_Mengurai_Regulasi_Pemekaran_APS.pdf
96
atas, fenomena pembentukan daerah tidak sesuai dengan pendapat J. Kaloh yang menyatakan bahwa: dalam konteks pemekaran daerah/wilayah tersebut yang lebih dikenal dengan pembentukan DOB, bahwa daerah otonom tersebut diharapkan mampu memanfaatkan peluang yang lebih besar dalam mengurus dirinya sendiri, terutama berkaitan dengan pengelolaan sumber – sumber pendapatan asli daerah, sumber daya alam, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat setempat yang lebih baik.7 Dalam hal peningkatan mutu pelayanan publik, pembentukan daerah pada dasarnya juga dimaksudkan guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masya rakat di samping sebagai sarana pendidikan politik lokal.8 Perkembangan daerah dengan adanya otonomi menunjukkan semakin banyak daerah yang terlihat lebih maju dan berkembang sejak diberikan otonomi yang lebih besar terutama daerah yang memiliki sumber daya alam cukup besar. Otonomi ternyata memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan da erahnya sesuai dengan kondisi sosial ekonomi, budaya, dan adat masing – masing daerah untuk menunjukkan kebhinekaan. Akan tetapi, perlu disadari pula daerah yang kurang berkembang setelah diberikan otonomi. Hasil penelitian menunjukkan terdapat daerah yang terlihat stagnan perkembangannya atau bahkan terdapat daerah yang kesulitan memenuhi kebutuhannya sebagai daerah otonom.9 7. J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm.194. 8. H.A.W. Widjaja, “Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm 134-135. 9. Hamdi Muchlis, Naskah Akademik Tentang Pembentukan dan Penghapusan Daerah, BPHN DEPKUMHAM RI, Jakarta,2008, hlm 1.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU: Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom Sabilla Ramadhiani Firdaus
Bidang
Sebelum Pemekaran
Setelah Pemekaran
Politik
a. Sentralisasi kekuasaan oleh Pemerintah Pusat. b. Konstitusi dan Regulasi yang longgar. c. Dukungan politisi-politisi di DPR/DPD dengan mengatasnamakan ’aspirasi rakyat’, ’demokrasi’ d. Presiden, Depdagri dan DPOD yang lemah. e. ’Gap’ pembangunan Jawa-Luar Jawa. f. Marginalisasi kelompok/suku/ agama tertentu. g. Gerrymandering (pembelahan daerah berdasar partai). h. hasrat elit lokal untuk pemberdayaan daerah pasca Soeharto.
Positif: • terserapnya putra daerah sebagai tenaga kerja/pegawai pemda sehingga memberikan cukup kepuasan pada psikologi lokal. • adanya kebanggaan lokal bahwa putra-putri daerah dapat memerintah dan membangun daerahnya sendiri. • adanya rasa relatif kebebasan dari Pusat. Negatif: • Terjadinya konglomerasi kekuasaan/ oligarki di tangan Bupati/Walikota dan politisi-politisi yang beraliansi dengan pengusaha. • Birokrasi pemda yang ‘gemuk’ dijadikan sumber dukungan kekuasaan pemda/ elit-elit lokal. • Maraknya KKN dalam rekrutmen pegawai daerah; tidak terjadi ’the right men in the right place’.
Ekonomi
a. Kemiskinan, ketertinggalan pembangunan b. jarak yang jauh dari ibukota provinsi/ kabupaten/kota c. hasrat mendapat DAU d. rent-seeking motives
Positif: • munculnya kegiatan-kegiatan ekonomi/pusat-pusat ekonomi baru • kemajuan pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan, gedung-gedung pemerintah, sekolah-sekolah, puskesmas, dll.) • mendekatkan jarak ibukota daerah dengan masyarakat, efisiensi pengurusan administrasi. Negatif: • Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang karena nafsu elit local (termasuk pengusaha) untuk memaksimalisasi keuntungan ekonomi dengan segala cara karena control masyarakat yang rendah. • Pembangunan rumah/kantor bupati/ mobil dinas yang menguras banyak uang rakyat • Munculnya perda-perda bermasalah dengan alasan meningkatkan PAD.
Sosial budaya
a. b. c. d.
Positif: • Adanya rasa bebas masyarakat dalam mengembangkan adat-istiadat/budaya setempat. • Terjadinya revitalisasi peran elit-elit tradisional di masyarakat dan pemerintahan lokal Negatif: • Egoisme primordial yang kebablasan di tengah-tengah era globalisasi
Identitas lokal, adat-isiadat daerah bekas kerajaan bahasa lokal perbedaan asal-usul (pantai-gunung; kepulauan-daratan).
Tabel 3. Komparasi Permasalahan Pada Berbagai Bidang Sebelum dan Setelah Pemekaran
Sumber: Sumber: Tri Ratnawati (editor), P2P LIPI, 2009
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
97
MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU: Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom Sabilla Ramadhiani Firdaus
Oleh karena itu, pembentukan suatu daerah harus memperhatikan berba gai aspek pendukung pengembangan daerah terutama aspek sumber daya manusia dan sumber daya alam serta sumber ekonomi suatu daerah. Apabila salah satu aspek tersebut tidak dimiliki akan menghambat tujuan utama pembentukan daerah yaitu peningkatan kesejahteraan dan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakatnya. Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan terjadinya kehendak untuk pembentukan daerah baru (khususnya melalui pemekaran). Kecenderungan tersebut seringkali kurang memperhatikan berbagai aspek yang diperlukan untuk kepentingan pembentukan daerah sekaligus dan kemungkinan perkembangan di kemudian hari.10 Terkait aspek-aspek yang mempengaruhi keberhasilan DOB seperti aspek sumber daya manusia dan sumber daya alam serta sumber ekonomi, sudah dirujuk oleh peraturan perundang-undangan sebagai indikator atau syarat yang harus dipenuhi oleh calon DOB untuk dilakukan persiapan dan pemantapan. Sebagai contoh, dalam hal sumber daya manusia yang diidentifikasi dan ditelaah terlebih dahulu jumlah kependudukan, potensi daerah dalam hal latar belakang pendidikan dan hal-hal yang berkaitan dengan potensi sumber daya manusia. Sama halnya dengan aspek sumber daya alam atau bisa juga disebut sebagai potensi daerah yang akan menunjang pemasukan daerah, diidentifikasi terlebih dahulu bagaimana kemampuan ekonomi dan potensi yang ada di da erah tersebut. Setelah dilakukan identifikasi, apabila sudah memenuhi persyaratan tentu akan dilakukan proses persiapan selanjutnya sebagaimana dimaksud 10 Ibid, hlm 3.
98
dalam proses daerah persiapan yang hingga saat ini rancangannya masih dalam pembahasan. Namun apabila dari hasil identifikasi ditemukan hasil belum memenuhi kelayakan minimal persyaratan, maka akan dilakukan evaluasi dan kebijakan untuk tidak diproses ke tahapan selanjutnya. De ngan ketatnya persyaratan yang dilihat dari berbagai aspek inilah yang akan menjadi modal awal untuk proses pemenuhan bentuk ideal daerah yang akan dibentuk. 2. Kebijakan Moratorium Pembentukan DOB Kebijakan publik merupakan suatu keputusan yang diambil untuk meng hadapi situasi atau permasalahan, mengandung nilai-nilai tertentu, memuat ketentuan tentang tujuan, cara dan sarana untuk mencapainya.11 Suatu kebijakan dalam penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi da erah mengenai penghentian sementara pembentukan DOB dimulai sejak tahun 2009 yang masih hangat untuk dibahas dan terus disempurnakan hingga saat ini. Kebijakan penghentian sementara pembentukan DOB atau yang sering disebut sebagai kebijakan moratorium pembentukan daerah, menurut Kementerian Dalam Negeri memiliki konsep penundaan pembentukan DOB dengan adanya suatu proses baru yaitu pembentukan da erah persiapan menuju DOB. Titik poin dari kebijakan tersebut adalah adanya pembentukan daerah persiapan yang memiliki kebijakan bahwa pembentukan DOB didahului dengan masa persiapan selama 3 (tiga) tahun dengan tujuan untuk penyiapan daerah tersebut menjadi DOB dengan pematang an seluruh instrumen pembentukan dengan baik. Apabila setelah 3 (tiga) 11. Pusat Kajian Manajemen Kebijakan Lembaga Administrasi Negara, Pedoman Perumusan Kebijakan, Jakarta: PKMK-LAN, 2010.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU: Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom Sabilla Ramadhiani Firdaus
tahun hasil evaluasi menunjukkan da erah persiapan tersebut tidak memenuhi syarat untuk menjadi daerah, statusnya dikembalikan ke Daerah induknya. Apabila daerah persiapan setelah melalui masa pembinaan selama tiga tahun memenuhi syarat untuk menjadi DOB, maka daerah persiapan tersebut dibentuk melalui undang-undang menjadi DOB. Dengan bergulirnya wacana atas perlunya moratorium pembentukan DOB, memberikan pesan bahwa, permasalahan pemekaran wilayah harus disikapi dengan bijak dimulai dari aspek persiapan, pelaksanaan hingga perlunya evaluasi secara berkala demi tercapainya efektivitas pembentukan DOB. Menurut I Made Suwandi, dalam membentuk DOB setidaknya ada persyaratan yang sifatnya mutlak atau wajib dipenuhi sebelum suatu da erah dapat dimekarkan.12 Persyaratan tersebut tertuang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan me nge nai pembentukan daerah di Indonesia. Setiap persyaratan harus dipahami betul-betul oleh calon DOB dalam memahami tujuan, persiapan dasar hingga persiapan administratif yang harus dipenuhi. Kebijakan moratorium pembentukan DOB ini dinilai tepat ketika langkah ini diambil untuk menghadapi situasi ketidaksiapan usulan calon DOB, ketidaksiapan anggaran dalam rangka pembentukan DOB tersebut, hingga untuk memberikan jeda waktu dan evaluasi bersama dalam rangka menuju daerah yang benar-benar mandiri dan sejahtera. Selektifnya kebijakan pemerintah dalam hal penetapan persyaratan untuk memenuhi kesiapan 12. Suwandi, I Made. 2009. Perubahan Instrumen Pembentukan Daerah Otonom. Dalam Bakry& Andy Ramses. Pemerintahan Daerah di Indonesia. Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia. hlm164.
daerah menjadi DOB diharapkan dapat membentuk daerah dapat tumbuh, berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan publik yang optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan dalam memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Efektivitas Pembentukan DOB pada dasar nya bertujuan untuk peningkatan pelayanan (service delivery) Pemerintah Daerah (local government) kepada masyarakat, agar lebih efisien dan efektif terhadap potensi, kebutuhan maupun karakteristik di masing-ma sing daerah. Dengan demikian ada nya DOB seharusnya akan membuat suatu daerah menjadi semakin terbuka, jalur pengembangannya lebih luas, tersebar ke seluruh wilayah.13 Hasil evaluasi mengenai DOB sebagaimana telah disebutkan di awal menunjukkan bahwa 80 persen DOB berkinerja buruk, bahkan beberapa di antaranya dianggap gagal. Menurut hasil evaluasi tersebut, kegagalan disebabkan oleh tidak siapnya daerah pada awal masa transisi, terutama di tiga tahun pertama. Kegagalan tersebut tentu menjadi tanda tanya besar. Tentu yang menjadi pertanyaan dan bahan evaluasi adalah perencanaan pemerintah mengenai kuantitas dan kualitas calon DOB hingga pelaksanaan penyelenggaraan tahap awal suatu DOB. Pada estimasi jumlah maksimal daerah otonom di Indonesia dan penambahannya melalui pembentukan daerah otonom baru, yang diperhitungkan hingga tahun 2025 (11 Provinsi dan 54 Kabupaten/kota). Dalam konteks ini bukan estimasi jumlah daerah otonom yang 13. Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pemekaran Wilayah BPHN. hlm 2.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
99
MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU: Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom Sabilla Ramadhiani Firdaus
menjadi pedoman/acuan pembentukan daerah otonom, akan tetapi lebih kepada bagaimana persyaratan idealnya suatu daerah otonom. Adapun strategi dasar dalam penataan daerah otonom kedepan harus berpijak pada suatu grand design dengan beberapa evaluasi sebagai berikut: 1. Menempatkan prioritas mengutamakan pembentukan daerah otonom provinsi terutama di wilayah perbatasan antar negara dan da erah-daerah yang secara geografis-wilayahnya sangat luas atau rentang kendali tergolong besar (>30 kabupaten/kota); 2. Menetapkan estimasi jumlah maksimum daerah otonom provinsi dan jumlah maksimum daerah otonom kabupaten/ kota hingga tahun 2025 berdasarkan pendekatan kombinasi yang rasional (dengan parame ter geografis, demografis, dan kesisteman) dan realistis (dengan mempertimbangkan aspirasi yang sedang berkembang); 3. Membuat Estimasi Jumlah Maksimum Daerah Otonom Provinsi, Kabupaten/Kota Tahun 2010 – 2025. Efektivitas adalah ”Komunikasi yang prosesnya mencapai tujuan yang direncanakan sesuai dengan biaya yang dianggarkan, waktu yang ditetapkan dan jumlah personil yang ditentukan”. Pengertian diatas mengartikan bahwa indikator efektivitas dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya merupakan sebuah pengukuran dimana suatu target telah tercapai sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Berkaitan dengan efektivitas kebijakan pembentukan DOB, bahwa yang dimaksud dengan efektivitas kebijakan pembentukan DOB adalah ukuran pencapaian tujuan yang ditentukan pengaturannya dalam peraturan dan dapat tercapai sesuai dengan apa yang ditentukan di awal. 100
Pembentukan DOB merupakan bagian dari desentralisasi, otonomi, dan demokratisasi pengelolaan pemerintahan negara dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial dimaksud. Efektivitas implementasi kebijakan pembentukan daerah yang dewasa ini diberlakukan terletak pada 3 (tiga) kunci strategis, yaitu: 1. kemampuan dan kesiapan calon DOB dalam menyusun data me ngenai potensi dan fakta di da erahnya sebagai langkah persiapan matang identifikasi potensi dan informasi daerah; 2. penguatan regulasi dan juga kemampuan dalam memahami dan melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai pembentukan DOB; dan 3. komitmen pemerintah pusat, pemerintah daerah, tim pemrakarsa pembentukan DOB, instansi yang bersinggungan dengan proses pembentukan DOB, elite politik daerah dan masyarakat dalam rangka ikut berpartisipasi pada penyelenggaraan daerahnya. Kunci strategis tersebut harus dituangkan dan memberi semangat sebagai dasar dan kunci substansi dalam peraturan pelaksana yang akan menjadi acuan dan pedoman dalam menga wal proses pembentukan daerah. Dalam rancangan peraturan pelaksana yang akan ditetapkan kemudian setidak-tidaknya mengindahkan mengenai: 1. waktu penetapan rancangan peraturan pelaksana yang tidak terlambat dan tepat waktu sesuai dengan amanat 2 (dua) tahun batas maksimal pembentukan peraturan pelaksana dimaksud; 2. kualitas materi muatan kebijakan yang memuat konsep ideal pembentukan daerah, kesesuaian dan
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU: Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom Sabilla Ramadhiani Firdaus
masukan yang membangun dari stakeholders); dan 3. sosialisasi peraturan pelakana sebagaimana dimaksud harus memiliki jeda waktu yang cukup dengan waktu penetapan peraturan dan penjelasan yang komprehensif mengenai substansi materi yang diatur. Apabila komitmen bersama tersebut terwujud, maka upaya pembentukan DOB yang dilakukan melalui prosedur sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, sangat dimungkinkan akan berimplikasi positif terhadap tujuan yang memang ingin dicapai dalam pembentukan DOB yaitu untuk meningkatkan pelayanan pu blik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal. D. PENUTUP Pengetatan pembentukan DOB seiring dengan kondisi beberapa DOB yang dewasa ini mengalami beberapa permasalahan teknis maupun finansial ketika baru dibentuk, terus diupayakan oleh pemerintah demi tercapainya tujuan pembentukan DOB sesuai de ngan tujuan awal kebijakan tersebut ditetapkan. Penetapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang) merupakan salah satu langkah kon krit yang dilakukan pemerintah dalam rangka ‘menyelamatkan’ DOB yang dinilai kurang berhasil. Berbagai subs tansi pengaturan yang ditetapkan harus didukung dengan komitmen bersama dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang baik, agar tujuan
kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Kesiapan calon DOB merupakan kunci penting keberhasilan pembentukan DOB yang berhasil sejalalan dengan komitmen pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa. Konsep teoritis pemekaran daerah dan kerangka peraturan perundang-undangan idealnya mengawal dan menjadi pedoman yang baik untuk terselenggaranya implementasi kebijakan pembentukan DOB. Namun ketika dibenturkan dengan realita, ditemukan keadaan yang belum sesuai dengan harapan akibat belum maksimalnya efektivitas pelaksanaan pembentukan DOB. Belum tercapainya efektivitas DOB diakibatkan oleh belum siapnya daerah dan banyaknya permasalahan yang ada, membuahkan suatu konsep rekomendasi dan masukan untuk pembenahan sistem yang ada. Pembenahan tersebut dimulai dengan pe nguatan dan pembenahan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pijakan pelaksanaan pembentukan daerah. Komitmen bersama dari seluruh stakeholder juga sangat berpengaruh terhadap kesuksesan DOB. Untuk itulah, komitmen dan langkah nyata berbagai pihak sangat memiliki peran dan menjadi kunci keberhasilan untuk menuju DOB yang berhasil membentuk, mengembangkan dan mensejahterakan masyarakatnya. Rekomendasi 1. Penyusunan grand design Perlu adanya kebijakan yang dituangkan dalam suatu undang-undang mengenai grand design penataan daerah yang salah didalamnya tercantum pula kebijakan pemerintah mengenai grand design pemekaran daerah sebagai bagian dari langkah penataan daerah. Arah dan tujuan sebagai urgensi dari per-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
101
MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU: Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom Sabilla Ramadhiani Firdaus
timbangan strategi nasional dalam kurun waktu jangka pendek dan jangka panjang yang akan ditempuh (termasuk kebijakan mengenai berapa lama moratorium pembentukan DOB akan dilaksanakan), sebagai pondasi mengenai poin yang akan diinternalisasi pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga masyarakat yang terus mengawal perkembangan isu-isu daerah. 2. Pemantauan dan penegakan monitoring dan evaluasi Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan transparan atas pelaksanaan pembentukan DOB sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini law enforcement harus menjadi tolak ukur keberhasilan suatu kebijakan peraturan perundang-undangan. Suatu kebijakan harus memiliki penegakkan implementasi muatan didalamnya. Peran serta stakeholder’s dalam rangka mengawal penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia juga merupakan hal yang sangat penting untuk diingat. Sebaik-baiknya peraturan dibuat apabila tidak dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya tidak akan mencapai hasil yang diharapkan. 3. Pembaharuan regulasi Dalam hal ini penyusunan peratu ran pelaksana dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang). Berdasarkan de ngan amanah yang tertuang dalam 102
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tersebut bahwa peraturan pelaksanaan harus terbentuk dalam jangka waktu 2 tahun sejak diundangkannya peraturan tersebut, yakni pada tahun ini, bulan September 2016 sesuai dengan subs tansi dari undang-undang tersebut maupun hukum positif lainnya dan juga harus memperhatikan hasil monitoring dan evaluasi mengenai implementasi kebijakan pembentukan DOB demi tercapainya daerah yang baru dibentuk dapat tumbuh, berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan publik yang optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan dalam memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Buku, Jurnal dan Artikel Asshiddiqie, Jimly. 2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: PT. Buana Indah Populer. Cita Febrianty, Laura. 2013. Disfungsi Otonomi Daerah: Diskursus Pemekaran Wilayah Jawa Timur. Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri. 2011. Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP). DRSP-USAID. 2006. Stock Taking On Indonesia’s Recent Decentralization Reforms. Jakarta: DRSP-USAID. Effendi, Onong Uchjana. 1989. Kamus Komunikasi. Bandung: CV. Mandar Maju. Ferrazzi, Gabriele. 2007. International Experiences in Territorial Reform – Implications for Indonesia. Jakarta: USAID-DRSP. J.Kaloh. 2007. Mencari Bentuk Oto-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU: Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom Sabilla Ramadhiani Firdaus
nomi Daerah. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Muchlis, Hamdi. 2008. Naskah Akademik Tentang Pembentukan dan Penghapusan Daerah, Jakarta: BPHN DEPKUMHAM RI. Pratikno. 2008. Usulan Perubahan Kebijakan Penataaan Daerah: Pemekaran dan Penggabungan Daerah. Paper USAID. Pusat Kajian Manajemen Kebijakan Lembaga Administrasi Negara. 2010. Pedoman Perumusan Kebijakan. Jakarta: PKMK-LAN. Ratnawati, Tri. 2009. Pemekaran Daerah: Politik Lokal dan Beberapa Isu Terseleksi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratnawati, Tri. 2010. Satu Dasa Warsa Pemekaran Daerah Era Reformasi: Kegagalan Otonomi Daerah?. Jakarta: Jurnal Ilmu Politik AIPI. Rita Helbra Tenrini. 2013. Pemekaran Daerah: Kebutuhan Atau Euforia Demokrasi? Menyibak Kegagalan Pemekaran. Suwandi, I Made. 2009. Perubahan Instrumen Pembentukan Daerah Otonom. Dalam Bakry& Andy Ramses. Pemerintahan Daerah di Indonesia. Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia. Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pemekaran Wilayah BPHN Widjaja, H.A.W. Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4791) Halaman Website Diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pada halaman web http://otda.kemendagri.go.id/ Diakses pada tanggal 8 Juni 2016 pada halaman web http://www.republika. co.id/berita/koran/kesra/16/03/01/ o3cjca-pemerintah-moratorium-pembentukan-daerah-baru Diakses pada tanggal 9 Juni 2016 pada halaman web http://otonomiindonesia.com/2016/02/29/161/ Diakses pada tanggal 9 Juni 2016 pada halaman web http:// b i s n i s ke u a n g a n . ko m p a s . c o m / read/2016/02/26/205645626/Anggaran.Terbatas.Pemerintah.Ber-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
103
MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU: Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efektivitas Daerah Otonom Sabilla Ramadhiani Firdaus
lakukan.Moratorium.Pembentukan. Daerah.Otonomi.Baru Diakses pada tanggal 9 Juni 2016 pada
104
halaman web http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/2013_ kajian_pkapbn_Mengurai_Regulasi_Pemekaran_APS.pdf
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
Artikel MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAH
ENCOURAGING PUBLIC SERVICES INNOVATION IN LOCAL GOVERNMENT P. Pieter Djoka Widyaiswara Madya Badan Diklat Propinsi Nusa Tenggara Timur Abstrak: Inovasi dan kreatifitas merupakan dua konsep penting dalam pelayanan publik untuk meningkatkan kualitas pelayanan (pelayanan prima). Secara legal, ketentuan pelayanan publik di nyatakan dalam berbagai kebijakan, termasuk Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan berbagai kebijakan pemerintah sebagai turunan dari Undang-undang Pelayanan Publik dan Pemerintah Daerah. Namun dalam kenyataannya, pelayanan publik yang diberikan jauh dari kata memuaskan. Untuk itu, kita perlu mendorong munculnya inovasi pelayanan publik khususnya di daerah melalui perubahan mindset dan culture set, optimalisasi Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan kerjasama Pemerintah Daerah dengan swasta. Kata kunci: desentralisasi, pelayanan publik, inovasi, pemerintah daerah
Abstract: Creativity and innovation are two important concepts in the context of public services in order to improve the quality of service (excellent service). Legally, arrangements regarding public service has been stated in various laws either include Law 25 of 2009 on Public Service, Law 23 Year 2014 on Regional Government, as well as some of the government regulations as a public service law is derived and Local Government Act. But it is unfortunate, because in reality the quality of public services performed by service providers organizations is far from satisfactory. For that, we need a number of efforts to encourage the emergence of innovative public services, especially in Local Government, through a change in the mindset and the culture set, optimization of “Pelayanan Terpadu Satu Pintu”, and local government partnerships with the private sector. Keywords: decentralization, public services, innovation, local government.
A. PENDAHULUAN Keberadaan negara/pemerintah dan pemerintah daerah beserta aparaturnya selain menjaga keamanan dan ketertiban adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan kata lain, fungsi negara modern pada saat ini tidak hanya menjadi “watchdog”, atau penjaga keamanan tetapi menjadi “pelayan” bagi warganya dalam rangka menciptakan kesejahtera an mereka. Oleh karena itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tugas
utama atau hakiki dari sosok aparatur sebagai bagian dari Negara/pemerintah adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat (pelayanan publik), dengan pelayanan yang terbaik. Ruang lingkup pelayanan pu blik (public services) meliputi aspek kehidupan masyarakat yang sangat luas, meliputi pelayanan barang, jasa, dan administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Secara spesifik, ruang lingkup pelayanan pu blik meliputi pendidikan, penga-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
105
MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAH P. Pieter Djoka
jaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, e nergi, perbankan, perhubu ngan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya (Pasal 5 ayat 1 dan 2 UU No. 25 Tahun 2009). Pelayanan public juga sering digambarkan memiliki lingkup yang sangat luas, sejak lahir sampai meninggal dunia. Amanat UU No. 25/2009 sangat jelas bahwa setiap organisasi penyelenggara pelayanan – bersama-sama dengan pembina dan penanggung jawab pelayanan – bertanggung jawab atas ketidakmampuan, pelanggaran, dan kegagalan pelayanan publik. Arti nya, seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan pelayanan pu blik berupaya untuk mengatasi ketidakmampuan (kelembagaan, SDM, anggaran), mengurangi pelanggaran yang terjadi, dan mengatasi kegagalan pelayanan yang selama ini terjadi di lapangan. Pertanyaannya adalah mengapa pelayanan publik tersebut bisa gagal? Lalu sebenarnya pelayanan seperti apa yang dikatakan berhasil? Pelayanan publik gagal disebabkan: 1) tidak adanya kebebasan manajemen, serta campur tangan politik yang berlebihan dalam pengelolaan pelayanan publik (2) peran ganda dalam pelayanan pu blik yakni antara tujuan komersial dan sosial serta (3) tenaga pelaksana yang kurang cakap dan tidak professional di bidang pelayanan (Saleh, 2004). Adapun pelayanan publik dikatakan berhasil apabila memenuhi ciri-ciri sebagai berikut: responsifitas, responsibilitas, akuntabilitas, produktivitas, dan kepuasan pelanggan. Responsifi tas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan pro106
gram-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi ma syarakat. Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organi sasi publik itu dilakukan sesuai de ngan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit. Konsep akuntabilitas publik digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Konsep produktifitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Kepuasan pelanggan terkait apakah kehadiran organisasi publik dapat memenuhi kebutuhan dan melindungi kepentingan publik (Sitompul, 2010). Tuntutan akan pelayanan publik yang semakin baik menjadi ciri ma syarakat yang makin berkembang. Kondisi perubahan lingkungan strategis yang diikuti pergeseran nilai perlu disikapi secara bijak melalui langkah kegiatan yang terus-menerus dan berkesinambungan dalam berbagai aspek pembangunan untuk memba ngun kepercayaan masyarakat (trust). Organisasi penyelenggara pelayanan publik di daerah perlu melakukan inovasi dalam pemberian pelayanan yang lebih cepat, lebih mudah, dan lebih murah, sembari membenahi kelengkapan organisasinya seperti standar pelayanan, maklumat pelayanan, mekanisme pengaduan dan sebagainya. Tulisan singkat ini ditujukan untuk memberikan gambaran pelaksanaan pelayanan publik khususnya me nyangkut inovasi yang telah dilakukan dalam pemberian pelayanan publik di peme rintah daerah. Dengan demikian, penulis dapat memberikan rekomendasi langkah-langkah yang perlu dilakukan ke depan dalam upaya mendorong pemberian pelayanan
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAH P. Pieter Djoka
publik yang makin berkualitas di masa depan. Tulisan ini merupakan hasil pemikiran penulis terhadap kondisi aktual pelayanan di daerah khususnya di Kota Kupang. Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah studi pustaka atau studi dokumen dengan melakukan telaah bahan-bahan yang relevan. Kajian Terdahulu 1. Hasil Penelitian tentang Inovasi Pelayanan Perizinan dalam Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Kota Makassar oleh Dewi Puspita Sari Darman (2015). Penelitian dilakukan di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kota Makassar. Tujuan Penelitian meliputi: a) mendeskripsikan dan menganalisis bentuk inovasi pelayanan perizinan di Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal Kota Makassar, b) mendeskripsikan dan menganali sis faktor-faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaan inovasi pelayanan perizinan di Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal Kota Makassar, dan c) Untuk menggambarkan model inovasi pelayanan perizinan dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal Kota Makassar. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Informan kunci (key informan) adalah Kepala Badan dan Sekretaris Pendapatan Daerah, Kepala Badan dan Sekreta ris Pelayanan Perizinan, costumer service perizinan Pemerintah Kota Makassar, masyarakat berkepenti ngan dan pelaku usaha. Berdasarkan penelitian tersebut disimpul-
kan: a. Sejak Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal dibentuk Tahun 2014, Kepala BPTPM Kota Makassar telah melakukan inovasi kelembagaan yang mendukung terwujudnya sistem pelayanan satu pintu. Ada bebera pa hal yang telah dipersiapkan untuk mewujudkan sistem pelayanan satu pintu antara lain: penataan ruangan kerja dan ruangan loket pelayanan, optimalisasi pendayagunaan pegawai dan standar operasional prosedur (SOP). Namun, untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi perizinan, ada beberapa inovasi yang harus dilakukan antara lain: Inovasi Prosedur Pelayanan, Inovasi Loket dan tunggu Pelayanan, Inovasi Fasilitas Pendukung, Perilaku dan Sikap Petugas Pelayanan, Pelayanan Berbasis Elektronik. b. Faktor-faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaan inovasi pelayanan perizinan di Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal Kota Makassar, adalah sebagai berikut: Faktor Pendukung inovasi pelayanan perizinan di Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal Kota Makassar: 1). Penataan kelembagaan pemerintah daerah agar lebih proporsional berdasarkan kebutuhan nyata daerah. Berhubungan BPTPM Kota Makassar disahkan bulan Mei 2014, sejak itu dilakukan renovasi gedung, desain tata ruang kerja admi nistratif, penataan loket dan ruang tunggu pelayanan. 2) Keter sediaan aparatur pemerintah da erah yang berkualitas secara
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
107
MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAH P. Pieter Djoka
proporsional sesuai bidang tugasnya. Langkah strategis yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kota Makassar adalah melakukan penataan ulang Sumber Daya Manusia BPTPM berdasarkan kompetensi yang dimilikinya. 3) Peningkatan kapasitas keuangan pemerintah daerah, termasuk pengelolaan keuangan. Selain itu diperlukan insentif khusus bagi petugas pelayanan di loket maupun tim kajian teknis di lapangan. d. Penataan kelembagaan masyarakat sebagai mitra pemerintah pada semua jenjang pemerintahan. Tugas pelayanan bukan hanya pemerintah tetapi lembaga masyarakat turut menentukan terwujudnya kebutuhan masyarakat. Faktor Penghambat pelaksanaan inovasi dan kualitas Pelayanan Perizinan, antara lain: 1) Masih terbatas nya dan rendahnya kapasitas aparatur pemerintah daerah, 2) Pelaksanaan otonomi daerah belum sesuai dengan tujuannya, yaitu kesejahteraan masyarakat, 3) Penataan kelembagaan Pemerintahan belum didukung dengan penataan kelembagaan masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu inti penyelenggaraan otonomi daerah, 4) Pelayanan melalui SMS masih dalam tahap pengkajian perlu tidaknya menggunakan pelayanan melalui SMS, 5) Pelayanan dengan menggunakan mobil keliling (mobile service) dalam tahap pengkajian untuk lebih detail dapat diketahui secara teknis terkait pelaksanaannya. c. Untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kota Makassar membutuhkan regulasi yang mendorong penguatan Model 108
Inovasi berbasis pada kepuasan pelanggan (masyarakat pengguna). Disamping itu percepatan pelayanan dengan dukungan pelayanan berbaisis elektronik dan akses secara online melalui website resmi (sistem informasi pelayanan perizinan) Kota Makassar yang didukung oleh SMS Gate Way, Mobile Service, Pembayaran Biaya Pengurusan melalui Bank dan SMS Banking. Selain itu dapat dikembangkan pula beberapa model inovasi, yakni: a. Model Inovasi Penataan Administrasi Kependudukan Hubungannya dengan Berbagai Jenis Pelayanan Publik. b. Inovasi Pelayanan Perizinan Berbasis Elektronik c. Program Penatausahaan Perizinan d. Program Peningkatan Pelayanan di Kecamatan dan Kelurahan Untuk mewujudkan target Pemerintah Kota Makassar terhadap peneri maan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2015 sebesar 1 Triliun, maka disarankan hal-hal berikut: a. Diperlukan inovasi pelayanan yang mendorong peningkatan penerimaan dari semua jenis penerimaan daerah berupa pajak, non pajak, dan pendapatan sah lainnya yaitu: 1) Inovasi penyederhanaan prosedur pela ya nan, 2) Kepastian waktu, 3) Kepastian biaya dan, 4) Empati pegawai. Jika keempat prinsip pelayanan dilakukan akan dapat mengembalikan kepercayaan dan kesadaran masyarakat dan pelaku usaha mengurus izin sehingga iklim usaha semakin baik yang berdampak pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan kesejahteraan masya rakat. b. Ada beberapa kebijakan yang
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAH P. Pieter Djoka
per lu diterapkan oleh Kepala Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM), antara lain: 1) Penerapan pelayanan sistem online dan pelayanan mobil keliling (mobile service), optimalisasi pembayaran di Bank dan SMS Banking, serta optimalisasi SMS Gate Way, 2) Pendayagunaan sumber daya aparatur yang kompeten di bidang tugasnya, 3) Peningkatan sarana dan prasana yang mendorong peningkatan kinerja petugas pelayanan, 4) Penerapan Standar Operasional Prosedur (SOP) Pelayanan Perizinan secara konsisten, dan 5) Program diklat teknis dan fungsional terkait tugas pelayanan perizinan. 2. Hasil Penelitian Inovasi Pelayanan Publik di Kecamatan Sungai Kunjang Kota Samarinda oleh Dayang Erawati Djamrut (2015) Pemerintah dibentuk bukan untuk melayani dirinya sendiri tetapi untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat di wilayah/daerah yang bersangkutan. Penelitian dilakukan di Kecamatan Sungai Kunjang Kota Samarinda. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal mengenai Inovasi Pelayanan Publik di Kecamatan Sungai Kunjang maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Rehabilitasi Ruang Publik Bertambahnya loket membuat urusan masyarakat jadi mudah dalam mendapatkan pelayanan. Area Kecamatan juga dibuat dengan tema hijau, bersih dan sehat ada area merokok dan juga ada area taman. Tanggapan masyarakat sangat positif terhadap rehabilitasi ruang publik tidak ada masalah karena sudah
jelas dan tidak memberikan ke sulitan kepada masyarakat. b. Mempercepat Pelayanan Publik Kecamatan sudah memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat dan penyampaian informasi tersebut juga dilakukan melalui buku pintar (panduan SOP), SMS, telepon dan facebook bahwa pihak Kecamatan sudah memberikan informasi mengenai prosedur pelayanan publik. Tanggapan masyarakat terhadap pelayanan yang diberi kan oleh Kecamatan Sungai Kunjang sudah baik dan sudah paham ketika berkasnya lengkap maka cepat diselesaikan. c. Area Permainan Dengan adanya area permainan agar menumbuh kembangkan pola pikir anak. Saat orang tua nya disibukkan dengan urusan, anak bisa bermain di pojok anak untuk bermain serta tidak jenuh atau bosan selama orang tuanya mendapatkan pelayanan dari Kecamatan. Pihak Kecamatan juga memperhatikan kebersihan di sekitar area permainan agar anak-anak sehat. Respon masya rakat sangat baik terhadap fasilitas area permainan di Kecamatan Sungai Kunjang karena memberikan nuansa yang berbeda, bagi kita mungkin hanya biasa namun bagi anak akan terasa menyenangkan. d. Jejaring Sosial Menyampaikan Pelayanan Melalui jejaring sosial masyarakat dapat memperoleh berbagai informasi secara mandiri dan gratis tanpa harus antri untuk bertemu petugas loket, serta menjadi media bagi masyarakat atau pengguna layanan untuk menyampaikan pengaduan. Masyarakat men-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
109
MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAH P. Pieter Djoka
dukung Jejaring Sosial (melalui: Facebook, SMS, dan Telepon) sebagai jalur menyampaikan pelayanan agar memudahkan masyarakat mendapatkan informasi meskipun tidak semua masyarakat menggunakan facebook. e. Faktor yang mempengaruhi Inovasi Kecamatan Sungai Kunjang, adalah adanya bangunan gedung yang letaknya strategis berada di pemukiman masyarakat. Selain itu juga bertambahnya unit Inovasi Pelayanan Publik di Kecamatan Sungai Kunjang Kota Samarinda pelayanan agar mempermudah masyarakat dalam kelancaran berurusan di Kecamatan Sungai Kunjang. Beberapa saran atau rekomendasi yang perlu dilakukan berdasarkan penelitian dimaksud, meliputi: a. Perlu memindahkan papan alur prosedur pelayanan di dekat loket pelayanan agar dapat dilihat banyak masyarakat. b. Diharapkan adanya keamanan pelayanan yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan. c. Perlu adanya perhatian kepada salah satu permainan tersebut agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. d. Diharapkan adanya kelengkapan data/informasi pada aplikasi online agar masyarakat mendapat kemudahan dalam mengakses informasi. B. TINJAUAN KONSEP DAN KEBI110
JAKAN 1. Konsep Pelayanan Publik Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa “pelayanan adalah: 1) perihal atau cara melayani, 2) usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh imbalan (uang), dan 3) kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual-beli barang atau jasa (kamusbahasaindonesia. org). Sedangkan pengertian service dalam Oxford (2000) didefinisikan sebagai “a system that provides something that the publik needs, organized by the government or a private company”. Dari pengertian tersebut, maka pelayanan berfungsi sebagai sebuah sistem yang menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Selanjutnya Nurcholis (2005) secara rinci membagi fungsi pelayanan publik ke dalam bidang-bidang sebagai berikut: a) Pendidikan, b) Kesehatan, c) Keagamaan, d) Lingkungan: tata kota, kebersihan, sampah, penerangan, e) Rekreasi: taman, teater, musium, tu risme, f) Sosial, g) Perumahan, h) Pemakaman/krematorium, i) Registrasi penduduk: kelahiran, kematian, j) Air minum, dan k) Legalitas (hukum), se perti KTP, paspor, sertifikat, dll. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan diperlukan standar pelayanan publik, yang menjadi tolok ukur pelayanan yang diberikan. Penetapan standar pelayanan publik merupakan fenomena yang berlaku di berbagai negara, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di Amerika Serikat, misalnya, ditandai dengan dikeluarkannya Executive Order 12863 pada era pemerintahan Clinton, yang mengharuskan semua instansi peme rintah untuk menetapkan standar pelayanan konsumen (setting customer service standard). Isi dari executive order tersebut adalah sebagai berikut: “Identify customer who are, or
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAH P. Pieter Djoka
should be, served by the agency, survey the customers to determine the kind and quality of service they want and their level of satisfaction with existing service, post service standards and measure result against the best bussiness, provide the customers with choice in both sources of services, and complaint system easily accesible, and provide means to adress customer complaints.” (Aswin, e-Journal, 2015). Di Inggris lebih dahulu dikenal Citizen’s Charter. Namun dalam perkembangannya (terutama di negara-nega ra persemakmuran) seringkali jadi salah kaprah, maka dimunculkan istilah lainnya yaitu service first. Di Indonesia sendiri, Citizen’s Charter kurang lebih diterjemahkan sebagai Kontrak Pelayanan. Ada lima unsur pokok yang tercantum di dalam Kontrak Pelayanan, yaitu: 1. Visi dan misi pelayanan; memuat rumusan tentang sejauhmana organisasi pelayanan publik telah merujuk pada prinsip-prinsip kepastian pelayanan. Harus diingat bahwa visi dan misi pelayanan tidak hanya difahami sebagai slogan atau motto, tetapi harus diaktualisasikan ke dalam tindakan konkret. Visi dan misi harus menjadi bagian dari budaya pelayanan yang tercermin di dalam cara pemberian layanan. 2. Standar pelayanan; berisi penjelasan tentang apa, mengapa dan bagaimana upaya yang diperlukan untuk memperbaiki kualitas pelayanan. Standar pelayanan memuat norma-norma pelayanan yang akan diterima oleh pengguna layanan. Dalam hal ini standar pelayanan harus memuat standar perlakuan terhadap pengguna, standar kualitas produk (output) yang diperoleh masyarakat dan standar informasi yang dapat
diakses oleh pengguna layanan. 3. Alur pelayanan; memuat penjelasan tentang unit/bagian yang harus dilalui bila akan mengurus sesuatu atau menghendaki pelayanan dari organisasi publik tertentu. Alur pelayanan harus menjelaskan berba gai fungsi dan tugas unit-unit dalam kantor pelayanan sehingga kesalahpahaman antara penyedia dan pengguna jasa pelayanan dapat dikurangi. Bagan dari alur pelayanan perlu ditempatkan di tempat strategis agar mudah dilihat pengguna layanan. Alangkah baiknya kalau bagan itu didesain secara menarik de ngan bahasa yang sederhana dan gambar-gambar yang memudahkan pemahaman pengguna pelayanan. 4. Unit atau bagian pengaduan ma syarakat; yaitu satuan, unit atau bagian yang berfungsi menerima segala bentuk pengaduan ma syarakat. Satuan ini wajib meres pons dengan baik semua bentuk pengaduan, menjamin adanya keseriusan dari penyedia layanan untuk menanggapi keluhan dan masukan. Ia juga berperan untuk mengevaluasi sistem pelayanan yang ada. Salah satu peran pen ting dari unit pengaduan masya rakat ialah dalam riset dan pengembangan sistem pelayanan. 5. Survei pengguna layanan; survey ini kebanyakan masih terbatas dilakukan oleh perusahaan swasta dalam bentuk survei pelanggan (customer survey). Kontrak Pelayanan mengharuskan dilakukannya survei pengguna layanan bagi organisasi publik. Tujuannya adalah untuk mengetahui aspirasi, harapan, kebutuhan dan per masalahan yang dihadapi masya rakat. Hasil survei digunakan untuk memperbaiki sistem penye-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
111
MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAH P. Pieter Djoka
lenggaraan pelayanan publik di masa mendatang sesuai harapan masyarakat. Yang diharapkan dari adanya survei pengguna layanan itu adalah adanya hubungan baik dan tingkat kepercayaan pengguna terhadap penyedia layanan (Kumorotomo, 2007). 2. Inovasi Pelayanan Publik Istilah inovasi dan kreatifitas ke rap diidentikkan satu sama lain. Kedua istilah tersebut memang secara konteks mempunyai hubungan kausal sebab-akibat. Sebuah inovasi biasanya dihasilkan oleh sebuah daya kreatifi tas. Tanpa kreatifitas, inovasi akan sulit hadir dan diciptakan. Namun demikian, dalam kenyataannya, kehadi ran inovasi juga tidak mutlak mensya ratkan adanya kreatifitas (Suwarno, 2008). Jadi secara konsep, inovasi berbeda dengan kreatifitas. Schumpeter (Halvorsen, 2005) yang membatasi pengertian inovasi yaitu “restricted themselves to no vel products and processes finding a commercial application in the private sector”. Dalam pembatasan ini Schumpeter menekankan 2 (dua) hal penting dari inovasi, yaitu: 1) Sifat kebaruan (novelty) dari sebuah produk. Dengan kata lain inovasi hanya berhubungan dengan produk-produk yang bersifat baru, dan 2) Bahwa inovasi berhubu ngan dengan proses pencarian aplikasi komersial di sektor bisnis. Secara sederhana Albury (2003) mendefinisikan inovasi sebagai new ideas that work. Artinya, inovasi berhubungan erat dengan ide-ide baru yang bermanfaat atau dengan kata lain inovasi dengan sifat kebaruannya harus mempunyai nilai manfaat. Sifat baru dari inovasi tidak akan berarti apaapa apabila tidak diikuti dengan nilai kemanfaatan dari kehadirannya. Secara rinci, Albury menjelaskan bahwa “successful innovation is the creation 112
and implementation of new processes, products, services, and methods of delivery which result in significant improvements in outcomes efficiency, effectiveness, or quality”. Hal ini berarti bahwa ciri dari inovasi yang berhasil adalah adanya bentuk penciptaan dan pemanfaatan proses baru, produk baru, jasa baru dan metode penyampaian yang baru, yang menghasilkan perbaikan yang signifikan dalam hal efisiensi, efektivitas maupun kualitas. Menurut Robbins (2007), inovasi merupakan gagasan baru yang dite rapkan untuk memprakarsai atau memperbaiki suatu produk atau pro ses, atau layanan. Inovasi melibatkan perubahan, tetapi tidak semua perubahan mesti melibatkan gagasan baru atau mengarah ke perbaikan yang signifikan. Inovasi dalam organisasi dapat berkisar dari perubahan kecil, bertahap hingga terobosan yang sifat nya radikal. Definisi inovasi menurut Robbins lebih memfokuskan pada tiga hal utama yaitu: 1) gagasan baru, ya itu adanya gagasan baru (new ideas) dari suatu olah pikir dalam mengamati suatu fenomena yang sedang terjadi. Gagasan baru ini bisa berupa penemuan (invention) dari suatu gagasan pemikiran, ide, sistem, sampai pada kemungkinan gagasan yang mengkristal, 2) Produk dan jasa, ya itu hasil langkah lanjutan dari ada nya gagasan baru yang ditindaklanjuti dengan berbagai aktivitas, kajian, penelitian, dan percobaan sehingga melahirkan konsep yang lebih konkrit, dalam bentuk produk dan atau jasa yang siap dikembangkan dan diimplementasikan, dan 3) Upaya perbaikan, adalah usaha sistematis untuk melakukan penyempurnaan dan melakukan perbaikan (improvement) yang terus menerus sehingga buah inovasi itu bisa dirasakan manfaatnya.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAH P. Pieter Djoka
3. Kebijakan Pelayanan Menurut Thomas R. Dye (1992) sebagaimana dikutip Dwijowijoto (2004) kebijakan publik adalah apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan (“Public policy is whatever governments choose to do or not to do”). Secara lengkap, kebijakan melalui serangkaian proses analisis mulai dari perumusan sampai dengan evaluasi. Menurut William N. Dunn (1994) dalam Mustopadidjaja (2002), proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktifitas dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktifitas politis tersebut diartikan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling tergantung, yaitu (a) penyusunan agenda, (b) formulasi kebijakan, (c) adopsi kebijakan, (d) implementasi kebijakan, dan (e) penilaian kebijakan. Setelah melalui proses perumusan dan adopsi kebijakan, saatnya melaksanakan atau mengimplementasikan kebijakan yang telah disusun. Implementasi kebijakan, menurut Dwijowi joto (op.cit), pada prinsipnya adalah cara yang dilakukan agar dapat mencapai tujuan yang dinginkan. Implementasi merupakan prinsip dalam sebuah tindakan atau cara yang dilakukan oleh individu atau kelompok orang untuk pencapaian tujuan yang telah dirumuskan. Keputusan Menteri Negara Pendaya gunaan Aparatur Negara (MenegPAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik merupakan regulasi terlait reformasi pelayanan jauh sebelum gelombang reformasi birokrasi diperkenalkan dan dilaksanakan di Indonesia. Kebijakan ini menjadi milestone pemberian pelayanan publik di Indonesia, dengan sejumlah inovasi yang dilakukan. Di dalam Kepmen-
pan ini, pelayanan publik secara garis besar dikelompokkan menjadi: 1) Pelayanan administratif, 2) Pelayanan barang, dan 3) Pelayanan jasa, dimana tulisan ini hanya akan memfokuskan pada pelayanan jasa, khususnya pelayanan sektor kesehatan. Selanjutnya, setelah satu dasa warsa reformasi berjalan, lahirlah UU Pelayanan Publik. Dalam Pasal 15 dan Bab V UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik disebutkan bahwa Penyelenggara Pelayanan Publik wajib memenuhi 10 (sepuluh) unsur menge nai penyelenggaraan pelayanan pu blik, yang meliputi: a. Standar Pelayanan Standar pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelaya nan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masya rakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur. b. Maklumat Pelayanan Maklumat pelayanan adalah pernyataan tertulis yang berisi kese luruhan rincian kewajiban dan janji yang terdapat dalam standar pelayanan. Maklumat pelayanan wajib dipublikasikan secara jelas dan luas. Penyelenggara wajib menyu sun maklumat pelayanan sesuai dengan sifat, jenis, dan karakte ristik layanan yang diselenggarakan dan dipublikasikan secara jelas (Pasal 18). c. Sistem Informasi Pelayanan Publik Sistem informasi pelayanan publik adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyimpanan dan pengelolaan informasi serta mekanisme penyampaian informasi dari penyelenggara pelayanan publik kepada masyarakat dan sebaliknya dalam bentuk lisan, tulisan latin, tulisan
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
113
MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAH P. Pieter Djoka
dalam huruf braile, bahasa gambar, dan/atau bahasa lokal, serta disajikan secara manual ataupun elektronik. Sistem informasi pelayanan publik berisi semua informasi pelayanan publik yang berasal dari penyelenggara pelayananan publik pada setiap tingkatan dan sekurang-kurangnya memuat informasi yang meliputi: profil penyelenggara, profil pelaksana, standar pelayanan, maklumat pelayanan, pengelolaan pengaduan, dan peni laian kinerja. d. Pengelolaan Sarana, Prasarana dan/atau Fasilitas Pelayanan Publik Penyelenggara pelayanan publik wajib mengelola sarana, prasarana, dan fasilitas pelayanan publik secara efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan berkesinambungan serta bertanggung jawab terhadap pemeliharaan dan penggantian sarana, prasarana,dan fasilitas pelayanan publik. Penyelenggara pelayanan publik melakukan analisis dan menyusun daftar kebutuhan sarana, prasarana, dan fasilitas pelayanan publik dan melakukan pengadaan sesuai dengan peratu ran perundang-undangan dengan mempertimbangkan prinsip efektifitas, efisiensi, transparansi, akunta bilitas, dan berkesinambungan. e. Pelayanan Khusus Penyelenggara pelayanan pu blik berkewajiban memberikan pela ya nan dengan perlakuan khusus kepada anggota masyarakat tertentu antara lain penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil, anak-anak, korban bencana alam, dan korban bencana sosial sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan diberikan tanpa tambahan biaya. f. Biaya/Tarif Pelayanan Publik Biaya/tarif pelayanan publik pada dasarnya merupakan tanggung ja 114
wab negara dan/atau masyarakat. Pe nentuan biaya/tarif pelayanan publik ditetapkan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, De wan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan berdasarkan peraturan perundang-undangan. g. Perilaku Pelaksana dalam Pelayanan Pelaksana pelayanan publik dalam menyelenggarakan pelayanan pu blik harus berperilaku sesuai paradigma umum yang berlaku di ma syarakat yang diantaranya: adil dan tidak diskriminatif, cermat, santun dan ramah, tegas, andal dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut, profesional, tidak mempersulit, patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar, menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara, tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, terbuka dan me ngambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan, tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik, tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan in formasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat, tidak menyalahgunakan informasi, jabatan dan kewenangan yang dimiliki, sesuai dengan kepantasan dan tidak menyimpang dari prosedur. h. Pengawasan Penyelenggaraan Pe layanan Pengawasan penyelenggaraan pela yanan publik dilakukan oleh pengawas internal dan pengawas eksternal. Pengawasan internal dilakukan oleh atasan langsung pelaksana pelayanan publik dan oleh pengawas
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAH P. Pieter Djoka
fungsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengawasan eksternal penyelenggara pelayanan publik dilakukan oleh masyarakat (berupa laporan/ pengaduan ma sya rakat), oleh Lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik (Ombudsman RI), dan oleh DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. i. Pengelolaan Pengaduan Penyelenggara berkewajiban me nye diakan sarana pengaduan dan menugaskan pelaksana yang kompeten dalam pengelolaan pengadu an serta berkewajiban menyusun mekanisme pengelolaan pengadu an dari penerima pelayanan dengan mengedepankan asas penyelesaian yang cepat dan tuntas. Juga penyelenggara berkewajiban menge lola pengaduan yang berasal dari pene rima layanan, rekomendasi Ombudsman RI, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam batas waktu tertentu, serta berkewajiban menindaklanjuti hasil pe ngelolaan pengaduan tersebut. Pe nyelenggara pelayanan publik juga berkewajiban mengumumkan nama dan alamat penanggung jawab pe ngelola pengaduan serta sarana pe ngaduan yang disediakan. j. Penilaian Kinerja Penyelenggara pelayanan publik berkewajiban melakukan penilaian kinerja penyelenggaraan pelayanan publik secara berkala dengan menggunakan indikator kinerja berdasarkan standar pelayanan. Terkait standar pelayanan, Pemerintah telah menerbitkan PP No. 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan. Setiap penyelenggara pelayanan publik wajib menyusun, mene tapkan, dan menerapkan Standar Pelayanan serta menetapkan Maklumat Pelayanan dengan memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan
masyarakat, dan kondisi lingkungan. Komponen standar pelayanan menurut PP No. 15 Tahun 2014 dibedakan menjadi dua bagian: a. Komponen Standar Pelayanan yang terkait dengan proses penyampaian pelayanan (service delivery), meliputi: persyaratan, sistem, mekanisme dan prosedur, jangka waktu pelayanan, biaya/tarif, produk pelayanan, penanganan pengadu an, dan saran & masukan. b. Komponen Standar Pelayanan yang terkait dengan proses pengelolaan pelayanan di internal organisasi (manufacturing), meliputi: dasar hukum, sarana dan prasarana dan/ atau fasilitas, kompetensi pelaksana, pengawasan internal, jumlah pelaksana, jaminan pelayanan, jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan, dan evaluasi kinerja pelaksana. C. GAMBARAN PELAYANAN PU BLIK DI KOTA KUPANG 1. Sekilas Pemerintah Kota Kupang Kota Kupang merupakan bagian dari wilayah Negara Indonesia, terletak di Pulau Timor dan juga merupakan Ibukota dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kota ini memiliki luas wilayah daratan 47.349,9 km2 atau 2,49% luas Indonesia dan luas wilayah perairan ± 200.000 km2 di luar perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) NTT, jumlah penduduk Kota Kupang pada 2013 sebanyak 378.425 jiwa, yang terbagi atas 192.966 jiwa laki-laki dan 185.429 perempuan. Secara geografis, Kota Kupang terletak antara 10°36’14”-10°39’58” LS dan 123°32’23”–123°37’01”BT; Luas wilayah 260,127 Km2, terdiri dari matra darat seluas 165,337 km2 dan matra laut seluas 94,790 km2. Kota Kupang
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
115
MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAH P. Pieter Djoka
memiliki batas-batas wilayah administrasi sebagai berikut: • Sebelah utara berbatasan dengan Teluk Kupang • Sebelah Selatan berbatasan de ngan Kecamatan Nekamese dan Kecamatan Taebenu Kabupaten Kupang • Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang • Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang. Secara administratif pemerintahan, Kota Kupang terbagi dalam 6 wilayah kecamatan yang meliputi 53 kelurahan. Secara sosiologis, Kota Kupang adalah kota yang multi etnis dari suku Timor, Rote, Sabu, Flores, Alor, Lembata, Tionghoa sebagian kecil suku pendatang dari Ambon dan beberapa suku bangsa lainnya seperti Bugis, Jawa dan Bali. Tetapi terlepas dari keragaman suku bangsa yang ada, penduduk Kota Kupang akan menyebut diri mereka sebagai “Beta orang Kupang”. Visi Kota Kupang adalah “Terwujudnya Kota Kupang sebagai Kota Berbudaya, Modern, Produktif dan Nyaman yang Berkelanjutan”. Adapun misinya meliputi: 1) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan ma syarakat, 2) Mewujudkan SDM dan masyarakat Kota Kupang yang berkualitas, 3) Meningkatkan mutu pelayanan publik dan penegakan supremasi hukum, 4) Mewujudkan tata ruang wilayah dan infrastruktur perkotaan yang berkelanjutan, dan 5) Meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat (RPJMD Kota Kupang 2013-2017). 2. Kinerja Pelayanan Publik Kota Kupang 116
Kinerja Kota Kupang dapat dilihat dari dua sisi, baik dari sisi internal maupun eksternal. Dari sisi internal, kinerja suatu daerah salah satunya dapat dilihat dalam hal pengelolaan keuangan daerah. Menurut Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP-BPK RI) Perwakilan Nusa Tenggara Timur terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kota Kupang pada tahun 2015, pengelolaan keuangan Kota Kupang memperoleh predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Opini WDP ber arti masih terdapat berbagai kekura ngan secara administrasi sehngga memerlukan pembenahan. Capaian kinerja internal juga dapat dilihat dari sisi dokumen Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKIP) Kota Kupang dari tahun ke tahun. LKIP Kota Kupang tahun anggaran 2013 dan 2014 menunjukkan kinerja yang MEMUASKAN, karena seluruh kegiatan yang direncanakan dapat dilaksanakan dengan baik. Seluruh sasaran strategis dapat terlaksana sesuai yang direncanakan. Selanjutnya, hasil Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Da erah (EKPPD) Tahun 2014 menempatkan Kota Kupang pada peringkat 65 dari 91 kota yang dinilai oleh Tim Nasional EKPPD yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Kemendagri No. 120251 Tahun 2014 tentang Penetapan Peringkat dan Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Tahun 2012. Kota Kupang berada pada peringkat ke-65 dengan skor 2.1003 (Tinggi). Status kinerja “Tinggi” Kota Kupang tersebut bersama-sama 70 Kota lainnya di Indonesia. Meskipun sama-sama berkinerja “Tinggi”, peringkat ini lebih baik dibanding Kota Dumai (2.0986), Kota Padangsidempuan (2.0499), Kota Gorontalo (2.0471), Kota Palu (2.0021), dan
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAH P. Pieter Djoka
Kota Jambi (2.0018) dengan rentang penilaian 0-4, dimana semakin besar semakin baik. Sementara itu, sebanyak 21 Kota berada pada status kinerja “Sedang”, antara lain Kota Sorong, Kota Ambon, Kota Bukittinggi, Kota Sibolga, Kota Singkawang, Kota Baubau, Kota Lhokseumawe, Kota Bengkulu, Kota Sabang, Kota Tual, Kota Tomohon, Kota Pekanbaru, Kota Tidore Kepulauan, Kota Langsa, Kota Kotamobagu, Kota Kendari, Kota Bima, Kota Palangkaraya, Kota Subulussalam, dan Kota Metro. Adapun 10 kota peringkat teratas meliputi Kota Semarang (3.2950), Kota Madiun (3.2157), Kota Surakarta (3.1805), Kota Probolinggo, Kota Tangerang, Kota Mojokerto, Kota Tegal, Kota Depok, dan Kota Salatiga. 3. Inovasi Pelayanan Pu blik Bidang Kesehatan yang Di lakukan Kota Kupang Praktik inovasi pelayanan publik di Kota Kupang terjadi di berbagai sektor, salah satunya sektor kesehatan. Inovasi yang pertama adalah apa yang disebut sebagai Brigade Kupang Sehat (BKS). BKS merupakan program terobosan Pemerintah Kota Kupang berupa “Layanan Jemput Bola” dimana selama ini pasien datang ke Puskesmas, sedangkan dalam BKS petugas langsung datang dan melayani masyarakat yang
membutuhkan pelayanan medis. Program BKS melayani pasien 1 X 24 jam terbagi dalam 3 shift yaitu shift pagi, shift siang, dan shift malam. Kelengkapan pelayanan masyarakat dalam satu tim terdiri dari satu buah mobil BKS terdiri dari 1 dokter dan 2 perawat. Bagi pasien yang harus dirujuk ke Rumah Sakit Daerah di Kota Kupang, BKS membuat surat rujukan. Pelayanan ini gratis, namun apabila pasien dirujuk ke RSUD dan harus rawat inap/opname, maka pasien yang bersangkutan dikenakan biaya rumah sakit. Kedua, Dinas Kesehatan Kota Kupang bekerjasama dengan Peme rintah Australia yang disebut Australia Indonesia Partnership for Maternal and Neonatal Health/AIPMNH atau Kemitraan Indonsia dan Australia untuk Kesehatan Ibu dan Bayi, telah melakukan inovasi di antaranya Pojok Ramah Anak. Pojok Ramah Anak tersebut berada di Puskesmas dalam rangka mendukung Program Kota Layak Anak di Kota Kupang. Bentuk inovasinya adalah dengan menyediakan karpet dan alat permainan anak yang digunakan sambil menunggu mendapat giliran pelayanan Puskesmas. Penataan pojok ruang ramah anak dilengkapi dengan poster dan pajangan yang membuat anak-anak kerasan untuk bermain di
Gambar 1. Inovasi “Brigade Kupang Sehat/BKS”
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
117
MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAH P. Pieter Djoka
Gambar 2. Inovasi “Pojok Ramah Anak” Puskesmas Pasir Panjang-Kota Kupang
tempat tersebut. Setelah selesai bermain, staf Puskesmas yang bertugas merapikan ruangan akan dengan sigap membantu. Di tempat lain sedang dipersiapkan untuk menuju Puskesmas Ramah Remaja, yakni di Puskesmas Kecamatan Bakunase. Puskesmas Ramah Anak/Pojok Ramah Anak berlokasi di Kecamatan Pasir Panjang. Adapun di Puskesmas Alak terdapat inovasi untuk menyediakan Klinik Khusus Laki – Laki sehingga Puskesmas ini lebih responsif gender, akses lansia juga dipermudah dalam pelayanan di Puskesmas Alak dimana mereka tidak harus antri di loket tapi bisa langsung dilayani di ruangan khusus bagi lansia. Beberapa dukungan kebijakan dari Pemerintah Kota untuk pelaksanaan program ini, di antaranya adalah: 1) Adanya RPJMD Kota Kupang 2013 – 2017 yang berperspektif Gender & Perlindungan Anak, 2) Juknis BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) 2013 memasukkan kegiatan Reformasi Puskesmas sebagai paket kegia118
tan, 3) Komitmen Pemko untuk mendorong dimulainya proses reformasi puskesmas di Sepuluh Puskesmas di Kota Kupang pada tahun 2014, dan 4) Rencana Pendekatan Pelayanan Kesehatan Kepada Masyarakat Melalui Call Center (0380 82 7777). Puskesmas reformasi merupakan kegiatan penyelenggaraan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas yang berorientasi pada kualitas pelayanan dan kepuasan pengguna layanan dengan melibatkan para pihak dalam proses pengembangannya. Perbaikan pelayanan dilakukan secara komprehensif di internal Puskesmas maupun melalui pemberdayaan masyarakat di wilayah pelayanan Puskesmas melalui pendekatan multi pihak. Reformasi dilakukan terhadap pola pikir, budaya kerja dan sistem manajemen sehingga bermuara pada terwujudnya pelayanan prima di Puskesmas guna mendukung 3 misi RPJMD Kota Kupang periode 2013-2017 yaitu: 1) Misi 2 Mewujudkan Sumber Daya Manusia dan Masyarakat Kota Kupang
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAH P. Pieter Djoka
yang Berkualitas, dengan sasaran pada Peningkatan kualitas SDM yang memiliki tingkat pendidikan dan dera jat kesehatan yang tinggi serta berbudaya, 2) Misi 3 Meningkatkan Mutu Pelayanan Publik & Penegakan Supremasi Hukum, penyelenggaraan pemerintah yang baik & bersih sehingga mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat disertai dengan penegakan supremasi hukum dan hak asasi manusia, dan 3) Misi 5 Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Masyarakat, pe ningkatan kesejahteraan masyarakat yang memiliki kehidupan layak, terpenuhinya kebutuhan dasar de ngan titik berat pada penanggula ngan ke mis kinan, penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial, peng arusutamaan gender, perlindungan anak serta mitigasi bencana. D. URGENSI MENDORONG INOVASI Gambaran pelayanan publik di Kota Kupang menunjukkan level capaian kinerja pelayanan yang masih rela tif rendah. Namun demikian, penulis menyadari bahwa pemerintah da erah Kota Kupang sesungguhnya te lah bekerja keras untuk mencapai kinerja pelayanan yang makin baik, sebagaimana telah diuraikan pada bagian di atas. Ke depan, Kota Kupang masih memerlukan inovasi-inovasi yang terencana dan terlembaga serta berlangsung terus-menerus menyangkut: 1. Perubahan mindset dan culture set Perubahan mindset dan culture set menjadi prasyarat utama dalam melakukan inovasi pelayanan pu blik. Mindset dan culture set meru pakan salah satu area perubahan dari 8 (delapan) area perubahan reformasi birokrasi sebagaimana diatur dalam Perpres No. 81 Tahun 2010. Demikian pentingnya peruba-
han mindset dan culture sehingga menjadi concern pemerintahan Jokowi melalui ‘revolusi mental’-nya. Mindset sering dimaknai sebagai pola pikir seseorang, yang akan berpengaruh pada pola kerja dan pola tindakan seseorang. Sedangkan culture set diartikan sebagai pola budaya, dalam hal ini budaya masyarakat dan aparatur pemerintah yang akan mempengaruhi kua litas pelayanan publik. Perubahan pola pikir ini bukan hanya diwajibkan bagi pejabat dan petugas pemberi layanan, namun juga bagi ma syarakat/penerima layanan publik. Pada tahap awal, perubahan pola pikir dan budaya kerja dapat dipaksakan kepada target groups, dengan memberikan ganjaran dan hukuman (reward and punishment). Namun melalui internalisasi yang terus-menerus, sifat paksaan tersebut lambat-laun tidak akan dirasakan karena berganti dengan munculnya kesadaran dari target groups itu sendiri untuk melayani pelanggannya dengan lebih baik. Senada dengan itu, institusi Pemda pun dapat melakukan perubahan mindset and cultur set atau ‘revolusi mental’ tersebut melalui pendidikan dan pelatihan kepemimpinan (Diklatpim), diklat teknis, maupun diklat fungsional bagi aparatur sipil Negara (ASN) di lingkungannya. Dalam konteks kediklatan, perubahan mindset dapat disampaikan dalam satu mata diklat tersendiri maupun dapat pula ‘disisipkan’ dalam mata diklat lain yang sesuai. 2. Optimalisasi unit PTSP (kelem bagaan) dan SDM Di berbagai daerah sudah membentuk unit organisasi (SKPD) yang menangani pelayanan terpadu satu pintu, termasuk di Kota Kupang. Namun harus diakui, kebijakan ini
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
119
MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAH P. Pieter Djoka
banyak dihadapkan pada tantangan di antaranya: kurangnya tenaga ker ja terdidik, infrastruktur yang buruk, dan kerangka kerja kebijakan yang berbelit-belit (World Bank, 2012 dalam Marsono, 2014). Oleh karena itu, upaya mengoptimalkan peran kelembagaan daerah dalam memberikan pelayanan publik menjadi tugas penting bagi pemerintah daerah. Penataan organisasi perangkat daerah diharapkan akan menghasilkan organisasi yang ramping, pada gilirannya memberikan dampak nya ta bagi kemajuan penanaman modal di Kota Kupang ke depan. Se bagai contoh, minimnya faktor-faktor yang mendukung keberhasilan pelayanan kesehatan di Kota Kupang, memerlukan dukung an penanaman modal seperti penyediaan air bersih, sanitasi, dan sebagainya. Tidak kalah penting, penambahan dokter dan perawat pada RSUD dan Puskesmas di Kota Kupang. Kritik dari anggota DPRD terhadap kiner ja Program BKS yang selama ini masih dinilai belum optimal dapat menjadi cambuk bagi Pemerintah Kota Kupang untuk berbenah diri dalam upaya meningatkan jumlah dan kualitas tenaga medis dan paramedis guna mendukung semua program yang menjadi inovasi Kota Kupang. 3. Kemitraan pemerintah da erah dengan pihak lain Kerjasama kemitraan Pemda de ngan pihak lain dapat diwujudkan dengan sesama pemko, pemko de ngan pemprov, maupun pemko de ngan kalangan sektor swasta atau private sector. Terkait kerjasama kemitraan dengan sektor swasta, pemko dapat menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga swasta di 120
dalam maupun di luar negeri sesu ai prosedur yang telah ditetapkan. Sebagai contoh, apabila akan menjalin kerjsama kemitraan dengan pihak luar negeri, maka pemko harus mengurus perizinan ke Pemerintah agar kerjasama yang dilakukan tidak dinilai “liar” dan tidak melanggar aturan. Beberapa pemerintah daerah telah berhasil menjalin kerjasama dimaksud, misanya Kabupaten Bantaeng di Sulawesi Selatan telah berhasil mendapatkan bantuan berupa mobil ambulans multifungsi dari Jepang. E. PENUTUP Organisasi sektor bisnis telah me nyadari pentingnya inovasi jauh sebelum sektor publik menjadikan inovasi sebagai milestone-nya dalam mencapai keberhasilan. Mereka menjadikan perubahan dan dinamika lingkungan strategis sebagai faktor “peluang organisasi” bukan sebagai “hambatan organisasi” untuk bertarung pada level kompetisi yang semakin berat. Kebutuhan akan daya inovasi dalam organisasi menciptakan apa yang dikenal dengan “intrapreneurship”, yaitu melalui devolving power, membuat unit “pabrik ide” yang bertugas mencari ide-ide baru, serta mencari dan merekrut pegawai-pegawai yang inovatif. Pada ranah lain, organisasi sektor publik – termasuk Kota Kupang Provinsi NTT – berupaya menerapkan kreati fitas dan inovasi dalam melaksanakan tugasnya, yang terkait erat dengan pelayanan publik. Namun demikian, inovasi kebijakan dan pelayanan yang dilakukan di sektor publik sering diha dapkan pada persoalan pelik karena intervensi kebiasaan birokrasi yang cenderung negatif. Berbagai tantangan pemberian layanan publik – khususnya pelayanan jasa – sering dihadapkan pada minim-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAH P. Pieter Djoka
nya jumlah dan kualitas pelayan publik (SDM), kurangnya sarana-prasarana, dan peraturan yang kurang mendukung. Untuk itu, perlu dilakukan perubahan pola pikir & budaya kerja, peningkatan jumlah dan kualitas SDM, penambahan sarpras, penyusunan peraturan perundangan dan membangun kemitraan pemerintah daerah dengan swasta untuk mendukung implementasi pelayanan publik yang semakin baik. Ke depan perlu dilakukan berba gai upaya menyangkut: 1) perubahan mindset and culture set, 2) optimalisasi unit pelayanan publik satu pintu, dan 3) membangun kemitraan pemerintah daerah dalam hal ini Kota Kupang dengan pihak swasta. Program reformasi birokrasi yang sedang digencarkan bagi instansi pemerintah pusat, cepat atau lambat pasti dan harus diikuti oleh pemerintah daerah, melalui area perubahan yang pertama dan utama yakni mengubah mental model dan budaya yang kurang mendukung kinerja pelayanan publik yang makin berkualitas. DAFTAR PUSTAKA AR. Mustopadidjaya. 2002. Manajemen Proses Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi Kinerja, Jakarta: LAN Aswin, Akbar, 2015. Studi Tentang Strategi Pelayanan Publik Pada Kantor UPTD Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Kalimantan Timur di Samarinda. E-Journal Magister Ilmu Administrasi Negara. Albury, David. 2003. Innovation in the Publik Sector. Discussion paper. The Mall. London. Darman, Dewi Puspita Sari. 2015. Inovasi Pelayanan Perizinan dalam Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Kota Makassar.
Skripsi-Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Hasanuddin. Djamrut, Dayang Erawati. 2015. Inovasi Pelayanan Publik di Kecamatan Sungai Kunjang Kota Samarinda. eJournal IlmuPemerintahan Unmul, 3 (3): 1472-1486. Dwijowijoto, Riant Nugroho. 2004. Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. Jakarta: PT Gramedia. Fitriana, Nur Diah. 2014. Inovasi Pelayanan Publik BUMN (Studi Deskriptif tentang Inovasi Boarding Pass System dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Kereta Api PT KAI di Stasiun Gubeng Surabaya. J. Kebijakan dan Manajemen Publik, 2 (1): 1-10. Halvorsen, Thomas, et al. 2005. On the Differences between Publik and Private Sector Innovations. Publin Report. Oslo. Kumorotomo, Wahyudi. 2007. Citizen Charter (Kontrak Pelayanan): Pola Kemitraan Strategis Untuk Mewujudkan Good Governance dalam Pelayanan Publik. Makalah. Yogyakarta: MAP UGM. Marsono, 2014. Tantangan Inovasi Pelayanan Publik di Indonesia. LAN: Jakarta. Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Grasindo: Jakarta. Publik Interest Resarch and Advocacy Centre (PIRAC). 2014. Studi Efektifitas dan Responsivitas Pelayanan Pengaduan (complaint mechanism) Masyarakat Berbasis IT pada LAPOR!. www.lapor.ukp.go.id. Robbins, Stephen P. 2007. Organizational Behavior, 12th edition, Prentice Hall: New Jersey. Saleh, Syafiuddin. 2004. Pelayanan Yang Buruk dan Upaya Perbaikan Pelayanan dan Moral Pegawai/Pe-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
121
MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAH P. Pieter Djoka
jabat. Bogor: Makalah Perorangan Semester Ganjil-Sekolah Pasca Sarjana IPB. Sitompul, Lamsari. 2010. Konsep Pelayanan Prima dalam Pelayanan Publik. Suwarno, Yogi. 2008. Inovasi di Sektor Publik. Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara Press: Jakarta. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112. Peraturan Menteri Pendayagunaan
122
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 38 Tahun 2012 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 66 Tahun 2012 tentang Penilaian Kinerja Kementerian/ Lembaga, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M. PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
Petunjuk Penulisan
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Deputi Bidang Kajian Kebijakan-Lembaga Administrasi Negara dengan Kode ISSN 1412-3568. Untuk memperkaya isi jurnal, redaksi mengundang para peneliti, dosen, pakar dan praktisi pemerintah atau peng amat untuk menyumbangkan hasil penelitian dan atau hasil pemikiran kritis di lingkup bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Reformasi Administrasi serta Analis Kebijakan. Topik jurnal Analisis Kebijakan mencakup berbagai isu dan permasalahan dalam lingkup bidang tersebut, dengan substansi berupa perkembangan konsepsi dan praktiknya. Ketentuan umum penulisan naskah Jurnal Analisis Kebijakan adalah sebagai berikut: 1. Naskah merupakan hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis terhadap isuisu di bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Reformasi Administrasi serta Analis Kebijakan, yang meliputi perkembangan konsepsi dan praktiknya; 2. Naskah diketik dalam Bahasa Indonesia (untuk abstrak/intisari dan keyword/kata kunci diketik dalam dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), menggunakan kertas ukuran kuarto sepanjang 15-20 halaman (termasuk gambar, tabel dan daftar pustaka). Menggunakan huruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Batas tepi kanan 2,5 cm, batas tepi kiri 3 cm, batas atas 3 cm dan batas bawah 3 cm. 3. Setiap tabel dan gambar diberi judul. Posisi judul tabel berada di bawah tabel, sedangkan posisi judul gambar berada di atas gambar. 4. Format tulisan sekurang-kurangnya terdiri atas: a. Judul tulisan; b. Nama penulis, apabila penulis lebih dari satu orang, maka penulis yang ditulis pertama adalah penulis utama; c. Institusi dan alamat tempat penulis bekerja, apabila memungkinkan disertakan nomor telepon dan alamat email penulis; d. Abstrak/intisari ditulis dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris masing-masing sepanjang 100-200 kata disertakan keyword/kata kunci; e. Pendahuluan, sebagai pembukaan memuat aspek-aspek atau hal-hal yang membuat tema tulisan tersebut menarik dan mengundang rasa keingintahuan. Penulis dapat mengemukakan fenomena-fenomena menarik terkait dengan topik tulisan dengan disertai data-data pendukung. Dan pada akhir bagian ini perlu diberikan tujuan penulisan tema yang ditulis; f. Metode penelitian, apabila naskah tersebut merupakan hasil penelitian maka perlu dituliskan metode penelitian yang digunakan; g. Bagian analisis dan pembahasan atau bisa menggunakan nama lain yang relevan dengan topik tulisan berisi temuan-temuan, analisis dan pembahasan serta interpretasi terhadap data; h. Penutup, bisa berisi kesimpulan dan saran atau rekomendasi berkaitan dengan tujuan penulisan yang dikemukakan pada bagian pendahuluan; i. Daftar pustaka, disusun berdasar abjad, ditulis pada bagian akhir tulisan dengan JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
123
susunan dimulai dari nama (diawali dengan nama belakang dan dipisahkan de ngan tanda koma), tahun penerbitan, judul tulisan, kota penerbit dan nama pe nerbit. Untuk sumber yang diperoleh dari internet harus disertakan tanggal sumber tersebut diakses/diunduh. Beberapa contoh penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut: Doherty, Tony L., dan Terry Horne, 2002, Managing Public Services, Implementing Changes: a Thoughtful Approach to The Practice of Management, New York: Routledge. Nasution, Nur, 2004, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), Jakarta: Ghalia Indonesia. 5. Catatan kaki (footnote) dapat digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap bagian isi naskah atau sebagai acuan berkaitan dengan sumber data yang dikutip; 6. Setiap data yang berupa kutipan baik dalam bentuk kalimat langsung maupun tidak langsung, gambar, serta tabel yang diambil dari sumber lain harus dicantumkan sumbernya, ditulis dalam daftar pustaka; 7. Naskah dapat dikirimkan langsung atau melalui email ke redaksi Jurnal Analisis Kebijakan dengan alamat: Redaksi Jurnal Analisis Kebijakan Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Gedung B Lantai 3 Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat 10110 Telp. (021) 3868201-07 Ext. 114, 115 Email :
[email protected] Setiap naskah yang masuk ke Redaksi setelah lolos seleksi oleh Redaksi, akan di-review oleh Mitra Bestari, dan terhadap setiap naskah yang dimuat akan diberikan cetak lepas (off-print) dan imbalan yang layak kepada penulis.***
124
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
INTEGRITAS
PROFESIONAL
INOVATIF
PEDULI