ISSN : 2528-6757
2 Volume 1 2016
ANALISIS BANTUAN KEUANGAN BAGI PARTAI POLITIK: Urgensi dan Formulasi Besarannya
Jurnal Analisis Kebijakan Volume 1 Nomor 2 Tahun 2016
M. Sofyan Muslim
ANALISIS KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU Juli Panglima Saragih
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA: Kasus Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor Renny Savitri
PERBANDINGAN MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA, INDONESIA DAN SINGAPURA DALAM PERSPEKTIF PUBLIC SERVICE BARGAINS Muhammad Imam Alfie S
MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD Any Sundari dan Rusman Nurjaman
PENDAMPING DESA KONTEKSTUAL Tony Murdianto Hidayat
PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI TANTANGAN MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH. Suryanto
Analisis Kebijakan
Volume 1
Nomor 2
Halaman 123-239
2016
Diterbitkan Oleh: DEPUTI BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA Jl. Veteran no. 10 Jakarta 10110
ISSN : 2528-6757
Jurnal Analisis Kebijakan Vol. 1 No. 2 Tahun 2016 Redaksi : Pengarah
:
Dr. Muhammad Taufiq, DEA
Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi
:
Drs. Riyadi, M.Si
Dewan Redaksi
:
Drs. Riyadi, M.Si Ani Suprihartini, SE, MM Widhi Novianto, S.Sos, M.Si Dr. Edy Sutrisno, SE, M.Si Suryanto, S.Sos, M.Si
Mitra Bestari
:
Prof. Dr. Agus Pramusinto (Administrasi Publik) Dr. Leo Agustino (Politik Lokal dan Kebijakan Publik) Robert Na Endi Jaweng, SIP, M.Si (Desentralisasi & Otonomi Daerah) Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo (Administrasi Publik)
Redaktur Pelaksana
:
Tony Murdianto Hidayat, S.Si
Redaksi
:
Rico Hermawan, S.IP Rusman Nurjaman, S.Fil Maria Dika Puspita Sari, SIA Muhammad Syafiq S.IP
Desain Cover
:
Sulistio Satrio Firdaus S.Pd
Diterbitkan oleh: Deputi Bidang Kajian Kebijakan (Deputi Chairman For Policy Studies) Lembaga Administrasi Negara (National Institute Of Public Administration) Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110 Telp. (021) 3688201-05 Ext 114, 115, Fax (021) 3865102 Website : www.lan.go.id/web/dkk/ Email :
[email protected] 2016
UNDANGAN MENULIS: Redaksi menerima naskah hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis isu-isu dalam lingkup bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Reformasi Administrasi serta Analis Kebijakan. Naskah diketik dalam Ms Word menggunakan Bahasa Indonesia sepanjang 15-20 halaman, ukuran kertas A4, huruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Judul, Abstrak, dan kata kunci ditulis dalam dwi bahasa (Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia) masing-masing sepanjang 100-200 kata. Naskah bisa dikirim langsung ke Redaksi, melalu pos atau email, dan untuk naskah yang dicetak di atas kertas harus disertakan soft file copy. Redaksi berhak melakukan penilaian dan penyuntingan terhadap naskah yang masuk. Naskah yang lolos seleksi oleh Redaksi, akan direview oleh Mitra Bestari (Reviewer). Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imbalan yang menarik.
i
ISSN : 2528-6757
Daftar Isi Editorial
iii-iv
ANALISIS BANTUAN KEUANGAN BAGI PARTAI POLITIK: Urgensi dan Formulasi Besarannya
123-136
ANALISIS KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU
137-157
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA: Kasus Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor
159-173
PERBANDINGAN MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA, INDONESIA, DAN SINGAPURA DALAM PERSPEKTIF PUBLIC SERVICE BARGAINS
175-191
MENILIK PELUANG KIPRAH KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DESA : Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD
193-212
PENDAMPING DESA KONTEKSTUAL
213-225
PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI TANTANGAN MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH.
227-239
Petunjuk Penulisan
241-242
M. Sofyan Muslim
Juli Panglima Saragih
Renny Savitri
Muhammad Imam Alfie S
Any Sundari dan Rusman Nurjaman Tony Murdianto Hidayat
Suryanto
ii
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
Editorial Di penghujung tahun 2016 ini, Jurnal Analisis Kebijakan kembali hadir menyapa para pembaca. Beragam peristiwa politik dan kebijakan yang terjadi selama beberapa waktu belakangan ini telah membawa inspirasi bagi para penulis untuk bergulat dalam ide dan pikiran dan kemudian menuangkannya dalam artikel di jurnal ini. Dalam tulisan yang berjudul “Analisis Bantuan Keuangan Bagi Partai Politik: Urgensi dan Formulasi Besarannya“, M. Sofyan Muslim mencoba untuk mengkritisi rencana dana parpol 1 triliun yang diberikan oleh pemerintah kepada partai politik tiap tahun. Rencana pemerintah ini merupakan sebuah perbinca ngan lama. Kegagalan parpol dalam mengelola keuangannya selama ini memang telah berdampak pada pembentukan citra parpol yang cenderung negatif. Dari kuasa besar para pemilik modal hingga modus korupsi. Dalam artikelnya ini, Sofyan menilai bantuan kepada partai politik merupakan hal yang wajar asalkan penggunaannya dilakukan secara transparan dan akuntabel. Lebih lanjut Sofyan mengusulkan agar kenaikan bantuan tersebut dilakukan secara bertahap. Melalui tulisannya berjudul “Kapasitas Fiskal Tujuh Daerah Provinsi Baru dan Implikasinya”, Juli Panglima Saragih melihat lebih dalam bagaimana pengelolaan fiskal di tujuh daerah provinsi hasil pemekaran sejak otonomi daerah diberlakukan. Dari hasil pengukuran indeks kapasitas fiskal, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung; Papua Barat, Kepulauan Riau, dan Maluku Utara memiliki indeks kapasitas tinggi dan sangat tinggi. Sementara indeks sedang diperoleh Banten. Sedangkan Gorontalo dan Sulawesi Barat masuk dalam kategori rendah. Namun, menurut Juli, kapasitas fiskal yang baik dengan indeks tinggi/sangat tinggi tidak berpengaruh terhadap penurunan jumlah penduduk miskin di daerah seperti Papua Barat dan Kepulauan Riau yang penduduk miskinnya masih relatif besar. Ar tinya adalah, apakah desentralisasi fiskal yang berjalan selama ini tidak berkorelasi positif terhadap performa penguatan kemandirian daerah dan pembangunan daerah sehingga menekan angka kemiskinan. Artikel berikutnya membahas tentang implementasi Undang-undang Desa dengan mengambil kasus di Desa Banjarwaru, Ciawi Bogor. Dalam artikel bertajuk “Implementasi
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa: Kasus Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor“ Renny Savitri berargumen bahwa implementasi Undang-undang Desa di Desa Banjarwaru, Ciawi Bogor belum berjalan efektif. Menurutnya, ketidak efektifan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu komunikasi, sumber daya, sikap dan struktur organisasi. Muhammad Imam Alfie Syarien menulis artikel yang berjudul “Perbandingan Manajemen Jabatan Senior Birokrasi Di Australia, Indonesia dan Singapura dalam Perspektif Public Service Bargains“. Alfie mencoba membandingkan manajemen jabatan senior di birokrasi di tiga negara yang secara karakteristik mencerminkan sampel dengan most different systems. Meski ketiga negara memiliki akar kultural birokrasi yang berbeda serta perbandingan manajemen yang sangat berbeda, maju dan belum maju, ketiga nega ra itu memiliki tipe pengelolaan yang sama. Kombinasi dimensi-dimensi pembentuk public service bargains yaitu, kompetensi, kompensasi, dan loyalitas, di masing-masing negara turut memengaruhi kompatibilitas dan efektivitas dalam pelaksanaan manajemen jabatan senior birokrasi. Sementara itu, topik mengenai kepemim pinan perempuan dalam pemerintahan desa menjadi topik menarik yang belum banyak diulas selama ini terkait implementasi UU Desa. Any Sundari dan Rusman Nurjaman membahasnya dalam artikel berjudul “Menilik Peluang Kepemimpinan Perempuan dalam Bingkai Demokrasi Komunitarian Desa: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD“. Isu gender dalam pemerintahan desa memang menjadi isu yang sangat menarik apabila kita lihat kembali bagaimana konstruksi pemikiran politik desa yang selama ini masih lekat dengan kultur tradisional dan patriarki. Melalui artikel ini, kedua penulis mencoba mendeskripsikan bagaimana peluang, tantangan, dan strategi penguatan kiprah kepemimpinan perempuan dalam upaya penguatan demokratisasi desa, melalui keterwakilannnya dalam keanggotaan BPD, pasca implementasi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sementara itu, Tony M Hidayat mencoba mengulik implementasi UU Desa dari sisi manajemen pendampingan desa. Dalam tulisan yang berjudul “Pendamping Desa Kon-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
iii
tekstual”, Tony menawarkan sebuah gagasan pendamping desa kontekstual sebagai upaya penataan pendamping desa di masa depan. Menurutnya gagasan pendamping desa kontekstual bisa menjadi salah satu solusi proble matika implementasi pendamping desa. Suryanto membahas topik pengangkatan tenaga honorer. Dalam artikel yang berjudul “Pengangkatan Tenaga Honorer Sebagai Tantangan Manajemen Kepegawaian Daerah”, Suryanto berargumen bahwa pengangkatan tenaga honorer merupakan tantangan bagi manajemen kepegawaian daerah. Alasannya, pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS cenderung berlawanan dengan manajemen kepegawaian yang sesungguhnya. Dikatakan berlawanan karena pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS tidak mengikuti taha-
iv
pan perencanaan dan pengadaan pegawai sebagaimana mestinya. Redaksi menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan serta apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Mitra Bestari selaku reviewer yang memberikan masukan yang berharga atas seluruh naskah yang masuk. Tak lupa ucapan terima kasih juga ditujukan kepada semua penulis yang telah berupaya keras dan tidak putus asa telah melakukan revisi dan perbaikan naskahnya sesuai koreksi dan masukan dari mitra bestari. Kepada sidang pembaca budiman, kami haturkan selamat membaca. Komentar dan masukan dari pembaca mengenai isi, topik, dan pengembangan jurnal ke depan juga sangat kami nantikan. Semoga bermanfaat. **********
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
Artikel ANALISIS BANTUAN KEUANGAN BAGI PARTAI POLITIK: Urgensi dan Formulasi Besarannya
ANALYSIS OF FINANCIAL SUPPORT FOR POLITICAL PARTIES: The Urgency and Magnitude Formulation M. Sofyan Muslim Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) Kementerian Dalam Negeri Abstrak: Partai politik merupakan pilar utama penegak demokrasi politik yang efektif, karena partai politik dianggap paling memiliki kesempatan dalam melakukan perubahan. Partai menunjukkan kepada sekumpulan orang-orang yang menggabungkan diri dalam suatu kesatuan yang memiliki tujuan tertentu, untuk menyokong suatu prinsip atau kebijakan politik maupun kebijakan publik yang diusahakan melalui cara-cara yang sesuai dengan konstitusi. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa peranan partai politik adalah sebagai sarana untuk menghimpun aspirasi, artikulasi dan agregasi kepentingan yang dilakukan kepada masyarakat untuk mencapai tujuan yang diinginkan, yaitu mempengaruhi pembuatan kebijakan publik. Partai politik dalam perjalanannya sangat bergantung kepada sumber pembiayaannya untuk mengorganisir dirinya, termasuk membiayai kegiatan-kegiatan operasionalnya maupun dalam membiayai kampanye pemilihan umum. Sumber-sumber keuangan partai politik yang diperbolehkan menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik adalah: a. Iuran anggota; b. Sumbangan individu dan perusahaan yang sifatnya tidak mengikat; c. Usaha lain yang sah; dan d. Bantuan keuangan berupa subsidi oleh negara, baik melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan atau anggaran pendapatan dan belanja dae rah. Rencana negara memberikan bantuan keuangan kepada partai politik sebesar 1 trilyun mengemuka dan menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Walaupun sebenarnya selama ini negara pun telah memberikan alokasi bantuan keuangan bagi partai politik, namun hal ini kurang terekspos ke publik dan jumlahnya pun tidak sebesar seperti yang direncanakan sekarang ini. Untuk itulah, penulis merasa perlu melakukan kajian singkat terhadap urgensi dan formulasi besaran ideal dalam memberikan bantuan keuangan bagi partai politik. Kata kunci : Partai politik, Sumber pembiayaan, Bantuan Keuangan bagi partai politik
Abstract: Political Parties are the main pillars of effective enforcement of political democracy, as political parties considered the most have the opportunity to make changes. Party pointed to a group of people who joined in a union that has a specific purpose. To sustain a principle or political policies or public policies that try in ways that conform with the constitution. In other words it can be said that the role of political parties is as a means to raise aspirations, articulation and aggregation of interests committed to the community to achieve the desired goal, which influence the making of public policy. Political parties in the travel is dependent on the source of funding to organize it self, including financing of operational activities as well as to finance election campaigns. Given the financial resources of political parties are allowed in Law Number 2 of 2011 on Political Parties obtained through: a. membership JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
123
ANALISIS BANTUAN KEUANGAN BAGI PARTAI POLITIK: Urgensi dan Formulasi Besarannya M. Sofyan Muslim
dues; b. donations of individuals and companies that are not binding; c. another legitimate businesses; and d. financial assistance in the form of subsidies by the state, either through income and expenditure budget and the state or local government budgets. Plans countries provide financial aid to political parties by 1 trillion fore, and reap the pros and cons of the various parties. Despite the fact that during this time the country had already given the allocation of financial assistance for political parties, but it is less exposed to the public and the number was not as big as planned today. For this reason, the author felt the need to conduct a brief review of the urgency and magnitude of the formulation is ideal in providing financial support for political parties. Key words : Political Parties, Sources of financing, Financial assistance for politi cal parties.
A. PENDAHULUAN Partai politik sesungguhnya meru pakan pilar utama penegak demokrasi politik yang efektif, karena partai politik paling mempunyai kesempatan dalam melakukan perubahan. Kekuasaan politik Negara secara terorganisasi berada pada partai politik. Selain untuk mencapai tujuan tertentu dalam percaturan perpolitikan Indonesia partai politik juga memiliki fungsi dan tujuan yang lain. Hal ini, merupakan salah satu ciri kehidupan demokrasi pada masyarakat modern yang mengedepankan supremasi sipil. Akan tetapi, harapan yang dibangun untuk mene gakkan konsolidasi demokrasi sejak tercetusnya reformasi belum terwujud dengan baik. Bahkan pada kehidupan internal partai politik pun telah terjadi perubahan, ditandai antara lain tidak henti-hentinya terjadi pelanggaran asas-asas demokrasi yang diwarnai sikap otoriter para pemimpinnya, baik itu yang terjadi pada partai-partai besar maupun partai-partai kecil. Kata partai merujuk pada sekumpulan orang-orang, jadi menunjuk kepada perkumpulan sejumlah warga negara dari suatu negara yang menggabungkan diri dalam suatu kesatuan yang mempunyai tujuan tertentu, untuk menyokong suatu prinsip atau kebijakan politik maupun kebijakan publik yang diusahakan melalui caracara yang sesuai dengan konstitusi 124
atau undang-undang. Burke dalam Basri (2011:117), menyatakan “partai politik adalah lembaga yang terdiri atas orang-orang yang bersatu, untuk mempromosikan kepentingan nasional bersama-sama, berdasar pada prinsip-prinsip dan hal-hal yang mereka setujui. Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah memperoleh kekuasaan politik yang biasanya diperoleh dengan cara konstitusional. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Pasal 1) tentang partai politik menyatakan: “ Bahwa yang dimaksud dengan partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Keberadaan partai politik di Indonesia membawa pengaruh besar terhadap masyarakat Indonesia untuk melihat kongruensi janji politiknya yang memberikan penyaluran aspirasi kepada masyarakat. Selain itu, partai politik memiliki beberapa fungsi yai-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
ANALISIS BANTUAN KEUANGAN BAGI PARTAI POLITIK: Urgensi dan Formulasi Besarannya M. Sofyan Muslim
tu, sebagai sarana pendidikan politik, artikulasi politik, komunikasi politik, sosialisasi politik, agregasi politik, dan rekrutmen. Sehingga, partai politik mempengaruhi sistem politik untuk pencapaian negara yang demokratis dan warga negara masyarakat Indonesia akan memiliki kesadaran dalam kehidupan berpolitik. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa peranan partai politik adalah sebagai sarana untuk menghimpun aspirasi, artikulasi dan agregasi kepentingan yang dilakukan kepada masyarakat untuk mencapai tujuan yang diinginkan yaitu untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan publik. Selain memiliki fungsi, partai politik juga mempunyai tujuan, dimana tujuan partai politik adalah mewujudkan cita-cita bangsa, mengembangkan kehidupan demokrasi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dengan adanya partai politik ini masyarakat Indonesia semakin mengenal pendidikan politik yang diberikan partai politik kepada masyarakat. Adapun tujuan dari partai politik seperti yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008, tentang Partai Politik, Pasal 10 Ayat 1-3 dibagi 2 (dua) yaitu, tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum tujuan partai politik adalah: 1. Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Menjaga dan memelihara keutuh an Negara Kesatuan Republik Indonesia; 3. Mengembangkan kehidupan de mokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan 4. Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Secara khusus tujuan dari partai politik adalah: 1. Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan; 2. Memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan berma syarakat, berbangsa, dan berne gara; dan 3. Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan berma syarakat, berbangsa, dan berne gara. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa partai politik sebagai organisasi resmi penyalur aspirasi masyarakat yang memiliki kekuatan politik, ikut menentukan proses pembentukan kekuasaan pemerintah secara legal (diakui berkekuatan hukum), mempunyai hak beraktifitas merebut dan mempertahankan kekuasaan politik. Keterlibatan seseorang dalam kegiatan suatu partai politik merupakan suatu bentuk partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela dimana sese orang turut serta dalam proses pemilihan-pemilihan politik dan turut serta secara langsung ataupun dengan wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan itu, berkampanye dan mengha diri kelompok diskusi dan sebagainya. Dengan demikian partai politik memiliki peranan yang sangat penting dalam institusi (kelembagaan) sosial yang teorganisir. Keberadaan partai politik berusaha untuk memperoleh serta menggunakan dan memperta hankan kekuasaan politik dalam mendukung pelaksanaan pemerintahan. Sehingga, akan dapat tercapai ma syarakat yang adil, makmur dan sejahtera sesuai dengan cita-cita nasio nal bangsa Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa perjalanan kehidupan
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
125
ANALISIS BANTUAN KEUANGAN BAGI PARTAI POLITIK: Urgensi dan Formulasi Besarannya M. Sofyan Muslim
partai politik di Indonesia memberi gambaran bagaimana cara partai politik mengorganisir dirinya, termasuk didalamnya adalah bagaimana cara partai politik membiayai kegiatan-kegiatan operasionalnya maupun dalam membiayai kampanye pemilu. B. SUMBER DAN TUJUAN PEMBERIAN BANTUAN KEUANGAN BAGI PARTAI POLITIK Selama ini ada beberapa sumber pembiayaan yang didapat dan dipergunakan oleh partai politik untuk menjalankan kegiatan-kegiatan opera sionalnya maupun kampanye pemilu. Dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, khususnya Pasal 34 ayat (1) Menyatakan bahwa sumber keuangan partai politik berasal: • Iuran anggota; • Sumbangan individu dan perusahaan yang sifatnya tidak mengikat; • Usaha lain yang sah; • Bantuan keuangan berupa subsidi oleh negara, baik melalui APBN/ APBD. Ke 3 (tiga) sumber dana diatas, yang berasal dari iuran anggota dan sumbangan yang sah menurut hukum kurang berjalan dan tidak ada tranparansi. Dana partai politik dari sumber tersebut disinyalir diperoleh dari donatur para pemilik modal besar kroni partai politik dan dana-dana gelap yang digalang dari proses Pilpres/Pilkada maupun diminta dari para kader/petugas partai politik yang duduk di legislatif dan eksekutif, termasuk di BUMN. Ditambah lagi dengan maraknya kasus korupsi yang menimpa para kader/petugas partai politik yang duduk di eksekutif maupun di legislatif, dikarenakan beban yang harus dipenuhi untuk pembiayaan partai politik. Sehingga, secara obyektif partai politik membutuhkan dana besar 126
namun tidak memiliki sumber pendanaan yang memadai. Iuran anggota tidak bisa menjadi sumber dana partai politik karena sifat keanggotaan partai politik umumnya longgar dan massal. Identifikasi masyarakat terhadap partai politik (Party ID) relatif rendah, hanya sekitar 15% (survei LSI), sehi ngga hampir mustahil partai politik mengandalkan iuran anggota sebagai sumber pendanaan. Nilai nominal subsidi negara bagi partai politik sangat kecil, hanya mencukupi sekitar 1,3% dari total kebutuhan partai politik per tahun (Perludem, 2012). Partai politik tidak memiliki komitmen dan juga kapasitas mengelola keuangan secara transparan dan akuntabel. Akibatnya, partai politik sangat tergantung pada sumber dana ilegal (hasil korupsi) ketimbang dana legal. Berbagai kasus yang ditangani KPK mulai Hamba lang hingga impor daging sapi merefleksikan hal itu. Dampak berikutnya, partai politik lebih sibuk berburu rente (rent-seeking) ketimbang benar-benar berpihak dan memperjuangkan aspirasi publik. Mengingat sumber dana partai politik umumnya berasal dari “dana haram”, maka partai politik tidak pernah terbuka menginformasikan sumber keuangan karena berpotensi berasal dari korupsi. Sebagai akibatnya, krisis pembiayaan (dana) partai politik hingga saat ini masih terjadi dan menimbulkan kurangnya kemandirian partai politik. Padahal sejatinya, pemberian bantuan keuangan bagi partai politik ini bertujuan untuk membiayai partai politik sebagai sarana rekrutmen kepemimpinan nasional dalam negara demokratis. Kemudian, partai politik memerlukan dana untuk melakukan persiapan dan melaksanakan Pemilu serta melakukan pendidikan kaderisasi dan program operasional. Disamping itu, melalui pemberlakuan sistem pem-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
ANALISIS BANTUAN KEUANGAN BAGI PARTAI POLITIK: Urgensi dan Formulasi Besarannya M. Sofyan Muslim
biayaan ini diharapkan dapat memutus ketergantungan partai politik dari para donatur kaya raya sehingga anakanak muda yang idealis dapat muncul di pentas politik dan yang tak kalah pentingnya adalah partai politik dapat lebih meningkatkan sistem pengendalian internalnya sehingga dapat menghasilkan laporan keuangan yang jauh lebih tepat dan akurat Akan tetapi, yang menjadi perhatian dan fokus saat ini adalah bantuan keuangan berupa subsidi melalui APBN/APBD kepada partai politik yang diwacanakan 1 triliun/partai politik. Sesungguhnya, bantuan keuangan bagi partai politik dalam bentuk subsidi sudah berlangsung sejak lama dan bukanlah isu baru. Meskipun kecil, bantuan dana partai politik dari pemerintah tersebut terkesan ditutup-tutupi dan dilupakan. Sejumlah aturan yang mengatur tentang bantuan keuangan partai politik sudah ada, akan tetapi sejauhmana efektifitas pemberian bantuan keuangan ini menjamin kemandirian partai politik dalam memperjuangkan kepentingan rakyat? Menurut studi, partai politik belum benar-benar dapat mengimplementasikan pengelolaan bantuan dana partai politik melalui subsidi negara, hal ini tercermin dari: 1. Tidak adanya transparansi, akuntabilitasnya tidak berjalan, dan tidak ada sanksi yang tegas atau penegakkan hukum atas penyimpangan/pelanggaran terhadap pengeloaan dana tersebut. 2. Hasil audit BPK sama sekali tidak berfungsi. Temuan-temuan pelanggaran tidak ditindaklanjuti dalam wujud sanksi yang diberikan. Bahkan sanksi yang paling ringan pun, seperti tidak menyerahkan laporan tepat waktu tidak dijalankan secara konsisten
baik oleh Kemendagri maupun Pemerintah Daerah. 3. Secara teknis masih terdapat sejumlah masalah, yaitu tidak ada standar akuntasi keuangan untuk partai politik yang secara khusus dijadikan dasar penyusunan laporan keuangan. Selama ini paling maksimum menggunakan model PSAK 45-Pelaporan Keuangan Entitas Nirlaba. Padahal bangunan organisasi partai politik jauh berbeda dengan organisasi nirlaba. Akibatnya transaksi keuangan dibuat ala kadarnya dan laporan menjadi tidak informatif dan memadai. 4. Selain itu, soal perpajakan, hampir semua kegiatan partai politik, seperti mengadakan pendidikan politik tidak dibebani pajak, misal pajak penghasilan (PPh 21) untuk honorarium narasumber kegiatan pendidikan politik. C. URGENSI DAN KRITERIA PEMBERIAN BANTUAN KEUANGAN BAGI PARTAI POLITIK. Sebagai salah satu agen utama dalam sistem demokrasi dan satu-satu nya organisasi politik yang berhak ikut Pemilu, sebenarnya wajar saja jika partai politik memperoleh dana atau subsidi negara yang bersumber dari APBN dan APBD. Meskipun demikian, sebagian masyarakat cenderung skeptis terhadap gagasan peningkatan subsidi negara bagi partai politik karena masih rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik. Hasil survei Kompas mencatat, sekitar 72,8% responden menolak peningkatan bantuan bagi partai politik dari APBN. Seperti yang telah disinggung di atas tentang sumber-sumber keu angan bagi partai politik, maka bantuan keuangan dari APBN/APBD
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
127
ANALISIS BANTUAN KEUANGAN BAGI PARTAI POLITIK: Urgensi dan Formulasi Besarannya M. Sofyan Muslim
diberikan secara proporsional kepada partai politik yang mendapatkan kursi di DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang penghitungannya berdasarkan perolehan suara. Sehingga, pentingkah bantuan dana partai politik dari negara? Jawabannya adalah penting. Karena, mengingat partai politik adalah pilar demokrasi sistemik (yang mengutus kader-kadernya untuk duduk di lembaga legislatif, bahkan eksekutif); dan agar sedapat mungkin partai politik-partai politik yang masuk ke lembaga legislatif kian lama kian berkembang makin kuat dan modern; tidak sebaliknya bisa mati untuk kemudian berganti lagi dengan wajah baru. Undang-undang telah mengatur kriteria partai yang berhak mendapat bantuan, yaitu partai yang memiliki kursi DPR/DPRD. Mereka mendapatkan bantuan sesuai dengan perolehan suara masing-masing. Namun, dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 jo Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tidak menyebut berapa jumlah bantuan negara dan bagaimana metode penghitungannya. Pengaturan teknis soal ini diserahkan kepada Peraturan Pemerintah. Adapun bantuan keuangan ini diperuntukkan bagi: 1). Kegiatan-kegiatan yang telah diprogramkan partai politik ke depan (per semester, per tahun); namun peruntukannya bukan untuk biaya-biaya rutin kesekretariatan, personalia, pembelian barang, dan yang sejenisnya; 2). Kegiatan-kegiatan tersebut haruslah yang bersifat edukatif, informatif, sosialisasi, diseminasi bagi para kader dan masyarakat. Bentuknya bisa saja seminar, sarasehan, diskusi interaksi, dll (baik dalam bentuk bertatap muka langsung maupun melalui media); 3). Yang menjadi narasumber dalam kegiatan-kegiatan tersebut haruslah para pengurus partai politik, dan bisa juga diperkaya dengan narasumber dari 128
luar partai politik. Akan tetapi, jangan semuanya dari luar partai politik, karena itu sama saja dengan menjadikan partai politik sebagai event organizer atau fasilitator saja; 4). Bantuan dibe rikan kepada partai politik di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, sampai tingkat Desa. Selain itu, ada 3 (tiga) prinsip pen ting yang harus diperhatikan terkait pemberian bantuan dana dari negara kepada partai politik, dan pemanfaatan dana terebut oleh partai politik adalah sebagai berikut: 1. Tepat Sasaran: kegiatannya dan para pesertanya sesuai dengan yang direncanakan; 2. Transparansi: semua hal yang terkait kegiatan tersebut terbuka untuk dimonitor dan diperiksa; 3. Akuntabel: semua hal yang terkait kegiatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan. D. TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN KEUANGAN PARTAI POLITIK BERDASARKAN ATURAN YANG ADA Berdasarkan amanat Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik, maka Mendagri mengeluarkan Permendagri Nomor 24 Tahun 2009 yang Mengatur Tentang Pedoman Tata Cara Perhitungan Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik yang Mendapatkan Kursi di DPR, DPRD Provinsi dan DPR Kabupaten/Kota dari APBN/APBD. Pemberian bantuan ini diberikan secara proporsional yang perhitung annya berdasarkan jumlah perolehan suara. Ada 3 (tiga) macam pemberian bantuan keuangan kepada partai politik, yaitu: 1. Bantuan Keuangan yang bersumber dari APBN diberikan kepada partai politik di tingkat pusat bagi yang mendapatkan kursi di DPR.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
ANALISIS BANTUAN KEUANGAN BAGI PARTAI POLITIK: Urgensi dan Formulasi Besarannya M. Sofyan Muslim
2. Bantuan Keuangan yang bersumber dari APBD Provinsi diberikan kepada partai politik di tingkat Provinsi bagi yang mendapat kursi di DPRD Provinsi. 3. Bantuan Keuangan yang bersumber dari APBD Kabupaten/Kota diberikan kepada partai politik di tingkat Kabupaten/Kota bagi yang mendapat kursi di DPRD Kabupa ten/Kota. Untuk cara perhitungannya sebagai berikut: • Bantuan Tingkat Pusat Pertama, harus menentukan nilai bantuan per suara terlebih dahulu dengan cara: “Jumlah bantuan APBN Tahun Anggaran sebelumnya, dibagi dengan jumlah perolehan suara hasil Pemilu DPRD periode sebelumnya berdasarkan perhitungan suara secara nasional yang ditetapkan oleh KPU. Setelah itu, untuk mengetahui besaran bantuan keuangan yang dialokasikan APBN setiap tahun untuk partai politik dengan cara: “Jumlah perolehan suara hasil Pemilu 2009 dikalikan dengan nilai bantuan per suara. Adapun cara mengetahui besar an bantuan keuangan yang akan diterima oleh setiap partai politik, dengan cara: “Jumlah perolehan suara partai politik hasil pemilu 2009 dikalikan dengan nilai bantuan per suara”. Dengan kata lain, besaran bantuan per suara peraih kursi DPR ditentukan oleh besaran bantuan APBN periode sebelum nya dibagi perolehan suara partai politik yang memperoleh kursi DPR periode sebelumnya. • Bantuan di Tingkat Provinsi Besaran bantuan suara peraih kursi DPRD provinsi ditentukan oleh besaran bantuan APBD periode
•
sebelumnya dibagi perolehan suara partai politik yang memperoleh kursi DPRD provinsi periode sebelumnya. Bantuan di Tingkat Kabupaten/ Kota Besaran bantuan suara peraih kursi DPRD Kabupaten/Kota ditentukan oleh besaran bantuan APBD periode sebelumnya, dibagi perolehan suara partai politik yang meperoleh kursi DPRD Kabupa ten/Kota periode sebelumnya.
E. LAPORAN KEUANGAN PARTAI POLITIK Laporan Keuangan bagi partai politik sebagai konsekuensi pemberian bantuan keuangan yang disampaikan kepada pemerintah haruslah diaudit oleh BPK atau pihak auditor yang ditunjuk resmi oleh pemerintah. Laporan tersebut, dibuat secara rapi dan rinci (penjelasan tentang kegiatan, peserta kegiatan, narasumber; disertai bukti presensi, foto-foto, kalau perlu youtube), ditandatangani di atas materai, disampaikan dalam bentuk hard copy dan soft copy kepada pemerintah, juga diunggah di situs web resmi yang harus dimiliki oleh setiap partai politik. Sementara untuk laporan yang menyangkut jenis kegiatan juga harus diaudit oleh konsultan politik (atau akademisi politik) yang ditunjuk resmi oleh pemerintah F. REWARDS AND PUNISHMENT (PENGHARGAAN DAN SANKSI) Dalam konteks pemberian bantuan keuangan bagi partai politik oleh ne gara ini, maka ada kosekuensi berupa penghargaan maupun sanksi yang diberikan bagi setiap partai politik yang tertib ataupun partai politik yang terbukti melanggar peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan. Bentuk penghargaan yang dapat diberikan
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
129
ANALISIS BANTUAN KEUANGAN BAGI PARTAI POLITIK: Urgensi dan Formulasi Besarannya M. Sofyan Muslim
bisa saja dalam bentuk penambahan alokasi bantuan keuangan bagi partai politik yang tertib. Sementara, sanksi bisa dimulai dari teguran, peringatan sampai pada penghentian bantuan keuangan tersebut baik untuk sementara maupun permanen, sampai laporan keuangan diterima. Diharapkan dengan demikian setiap partai politik tidak bermain-main dalam hal ini, juga tidak menganggap bantuan dana tersebut sebagai hal yang “kecil”. Uang negara adalah uang rakyat. Menerima bantuan dari negara berarti juga menerima bantuan dari rakyat. Siapa yang patut menerima nya? Hanya mereka yang layak dipercaya. G. FORMULASI BESARAN NILAI BANTUAN KEUANGAN BAGI PARTAI POLITIK YANG IDEAL Selama ini, pengetahuan tentang berapa kebutuhan dana partai per tahun tidak pernah ada ataupun dibahas secara mendalam. Padahal masalah ini sangat penting agar negara bisa membuat kebijakan tepat untuk menentukan jumlah bantuan. Selama hal itu tidak diketahui, selama itu juga kebijakan penetapan jumlah bantuan hanya menebak-nebak sehingga berapa pun yang ditetapkan akan selalu dipersoalkan. Sebagai perbandingan, Selandia Baru sama sekali tidak memberi bantuan bagi partai; sebaliknya Usbekistan, negara menanggung semua pengeluaran partai. Inggris, Italia, dan Australia, negara membantu 30% kebutuhan partai; lalu Austria, Swedia, dan Meksiko, negara membantu 70% kebutuhan partai. Sedangkan Perancis, Denmark, dan Jepang, negara menyumbang 50% kebutuhan partai. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Partai Politik dan peruba hannya Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012 dirumuskan formula 130
untuk menentukan besaran bantuan, yaitu besaran bantuan dihitung secara proporsional berdasarkan perolehan suara per suara peraih kursi DPR/ DPRD yang ditentukan oleh besaran APBN/APBD periode sebelumnya dibagi perolehan suara partai politik yang memperoleh kursi DPR/DPRD periode sebelumnya. Atas dasar formula itu, 9 (sembilan) partai peraih kursi DPR hasil Pemilu 2009, mendapat bantuan Rp. 108 per suara; sedangkan nilai per suara partai peraih kursi DPRD berbeda-beda setiap daerah. Sehingga total uang yang diterima 9 (sembilan) partai peraih kursi DPR adalah Rp. 9,2 miliar. Bantuan Rp. 108 per suara itu jika dikonversikan ke 10 (sepuluh) partai peraih kursi DPR hasil Pemilu 2014 mencapai Rp. 13,2 miliar, yang diperuntukan kepada kegiatan pendidikan politik dan operasional sekretariat. Walaupun, menurut para pengurus partai bantuan sebesar itu sangat kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan partai. Akan tetapi, seberapa kecilnya bantuan itu, tidak pernah jelas. Karena, partai juga tidak pernah mempublikasikan laporan keuangan. Jika pun ada, angkanya diragukan karena laporan keuangan itu tak disertai bukti-bukti transaksi. Mengacu pada hasil penelitian Veri Junaidi dkk (Anomali Keuangan Partai Politik, Perludem dan Kemitraan, 2011), partai semisal PAN memerlukan dana sebasar Rp. 52,1 miliar per tahun. Dengan rincian: biaya operasional sekretariat Rp. 1,4 miliar, perjalanan dinas Rp. 8,2 miliar, konsolidasi organisasi Rp. 8,2 miliar, pendidikan politik dan kaderisasi Rp. 33,7 miliar, dan unjuk publik Rp. 6,7 miliar. Dengan perolehan 6.273.462 suara yang diraih pada Pemilu 2009, maka PAN menerima bantuan sebesar Rp. 677 juta per tahun. Jika dibandingkan, bantuan negara yang diterima PAN per tahun sesungguhnya hanya 1,32%
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
ANALISIS BANTUAN KEUANGAN BAGI PARTAI POLITIK: Urgensi dan Formulasi Besarannya M. Sofyan Muslim
dari total kebutuhan partai per tahun. Angka 1,32% tentu juga berlaku untuk partai lain. Sementara angka ini yang bisa dipegang, sebab tidak ada dokumen atau hasil penelitian lain yang menunjukkan total kebutuhan partai per tahun. Yang jelas, angka itu memang mengkonfirmasi keluhan para pengurus partai politik, bahwa bantuan negara selama ini memang sangat kecil. Peningkatan Bertahap Jika memang bantuan keuangan partai selama ini hanya 1,32% dari total kebutuhan partai per tahun, maka wacana untuk menaikkan jumlah bantuan memang merupakan sebuah tuntutan logis. Pertanyaannya adalah, sampai seberapa banyak negara akan membantu partai dari total dana yang dibutuhkan per tahun, dan bagaimana mencapainya? Sebagai kebijakan awal, saya usulkan agar bantuan ne gara ke partai politik ditetapkan maksimal 30% dari total kebutuhan partai. Angka ini bisa dievaluasi setiap lima tahun, bisa dinaikkan lagi, atau malah diturunkan, sesuai kinerja partai. Namun cara menaikkannya tidak bisa langsung 30%, akan tetapi bertahap: 2015 (5%), 2016 (10%), 2017 (15%), 2018 (20%), dan 2019 (30%). 10 (sepuluh) partai yang punya kursi di DPR hasil Pemilu 2014, mestinya menerima Rp. 13,2 miliar atau 1,32% kebutuhan partai, sebaik nya tahun 2015 ini dinaikkan menjadi Rp. 66 miliar. Selanjutnya, 2016 (Rp. 132 miliar), 2017 (Rp. 198 miliar), 208 (Rp. 264 miliar), dan 2019 (Rp. 398 miliar). Kenaikan harus dilakukan bertahap demi menunggu kesiapan partai dalam mengelola dana, sekaligus melatih para pengurus partai untuk disiplin membuat laporan penggunaan dana sesuai tuntutan audit. Jika bantuan langsung dinaikkan 30%, partai tak hanya kesulitan mengelola, tetapi
para pengurusnya juga bisa terjebak korupsi. Ubah Rumus Untuk bisa menaikkan bantuan keuangan partai politik secara bertahap, maka Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2009 jo Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012 haruslah diubah, karena Peraturan Pemerintah inilah yang membuat formula sehingga menghasilkan nilai Rp. 108 per suara. Formula yang terkesan sa ngat ‘matematis’ ini sebetulnya bermasalah, khususnya jika digunakan untuk menghitung bantuan partai dari APBD provinsi dan APBD Kabupaten/Kota. Selain nilainya tidak merata (tergantung besaran sumbangan periode sebelumnya), juga tidak sesuai dengan postur APBD masing-masing daerah. Penetapan harga per suara lebih baik dikaitkan dengan satuan-satuan perhitungan ekonomi yang sudah lazim. Di beberapa negara penetapan harga suara menggunakan upah minimal sebagai tolok ukur. Karena upah minimal itu bisa berubah setiap tahun dan berbeda di setiap daerah, maka harga suara juga bisa berubah setiap tahun dan berbeda di setiap daerah. Misal nya, ditetapkan harga suara adalah X% dari upah minimal di daerah yang bersangkutan. Kalau di suatu daerah upah minimalnya lebih tinggi daripada di daerah lain, biasanya anggaran daerah tersebut juga lebih besar dari pada anggaran daerah lain. Dengan demikian harga suara setiap daerah berbeda-beda sesuai dengan besaran upah minimal yang juga mencerminkan besaran anggaran daerah masing-masing. H. REKOMENDASI Menyikapi polemik pro dan kontra yang berkembang sehubungan dengan wacana pemberian bantuan keuangan bagi partai politik oleh negara sebesar 1 Trilyun rupiah, tentunya banyak as-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
131
ANALISIS BANTUAN KEUANGAN BAGI PARTAI POLITIK: Urgensi dan Formulasi Besarannya M. Sofyan Muslim
pek yang harus dilihat dan dipertimbangkan secara matang agar maksud maupun tujuan mulia negara memberikan bantuan keuangan bagi partai politik ini tidak terkesan mubazir dan menimbulkan ketergantungan partai politik terhadap pemerintah. Beberapa hal penting yang patut menjadi pertimbangan adalah: 1. Meluruskan kesalahan penafsiran konseptual dalam merumuskan pemberian subsidi dana parpol melalui APBN/APBD. Kesalahan konseptual tersebut, seperti: a. Metode dalam penetapan besaran atau jumlah bantuan keuangan melalui APBN/APBD yang diberikan kepada partai politik; b. Prinsip-prinsip dalam penggalangan sumber dana partai politik, penyusunan kebutuhan belanja partai politik dan kesalahan dalam pengelolaan dana partai politik, dll. 2. Memperbaiki kelemahan yang terjadi pada tataran legal support atau regulasi pendukung dalam pengaturan pemberian bantuan subsidi dana partai politik melalui APBN/APBD, seperti: a. Kekurang-tepatan dalam definisi dan rumusan pasal-pa sal tentang keuangan partai politik dan bantuan partai politik yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 jo Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 dan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 jo Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012. b. Kekurang-tepatan pengaturan peruntukan subsidi pembiayaan partai politik untuk belanja partai politik; c. Kesalahan dalam pengaturan sistem pertanggung-jawaban 132
pengelolaan dana partai politik; d. Kesalahan dan kekurang-tepatan dalam pengaturan sanksi dan pelanggaran pe ngelolaan dana partai politik, dll. 3. Perlu diatur secara tegas dalam regulasi terhadap hak dan kewajiban maupun larangan serta sanksi bagi partai politik yang menerima bantuan keuangan pemerintah; regulasi tersebut mengatur 3 (tiga) kebijakan sekaligus untuk mengatasi masalah pendanaan atau keuangan partai politik (walaupun dalam regulasi yang ada telah mengaturnya) yaitu: Pertama, memaksa partai politik untuk menegakkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan; Kedua, membatasi besaran sumbangan (pribadi dan perusahaan) ke partai politik; Ketiga, negara memberikan bantuan keuangan atau subsidi ke partai politik dari anggaran negara. 4. Secara obyektif bantuan keuangan negara yang diterima partai politik melalui APBN dan APBD terlampau kecil, sehingga memerlukan peningkatan secara signifikan. Akan tetapi, peningkatan bantuan keuangan ini secara signifikan harus dilakukan secara bertahap mengingat: a. Terbatasnya kemampuan keuangan negara; b. Pengelolaan keuangan partai politik dewasa ini yang tidak transparan dan tidak akuntabel. 5. Bantuan negara kepada partai politik yang memperoleh kursi di DPR dan DPRD tidak harus diartikan sebagai pemberian dana secara tunai. Bantuan negara dapat diberikan dalam bentuk fasilitasi kegiatan partai politik, baik dalam Pemilu dan Pilkada maupun pembiayaan kegiatan di luar Pemilu
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
ANALISIS BANTUAN KEUANGAN BAGI PARTAI POLITIK: Urgensi dan Formulasi Besarannya M. Sofyan Muslim
dan Pilkada. 6. Kegiatan lain yang bisa dibantu atau difasilitasi negara adalah pendidikan politik yang menjadi salah satu tugas sekaligus fungsi strategis parpol. Melalui kerjasama dengan pihak ketiga, negara bisa memfasilitasi kegiatan pendidikan politik, baik dalam bentuk penyediaan dan pembiayaan tenaga ahli dan pengajar beserta akomodasi serta fasilitas lain yang diperlukan. 7. Direkomendasikan agar semua isu strategis yang muncul dan terjadi dalam dinamika konstelasi peran dan kiprah partai politik dapat didesain ulang berdasarkan substansi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012 Tentang Partai Politik, bila akan direvisi pada waktunya. DAFTAR PUSTAKA Basri, Seta. 2012. Sistem Politik Indonesia. Indie Publishing. Jakarta. Haris, Syamsuddin. 2016. Demokrasi,
Subsidi Negara dan Pendanaan Parpol. Materi Paparan FGD. Lutfi, 2016. Urgensi Dana Parpol. Ditjen Polpum Kemendagri. Sudjatmiko, M.Sc, M.Phil. 2016. Pendanaan Partai Politik Melalui APBN. Materi Paparan FGD. Supriyanto, Didik. 2016. Bantuan Keuangan Partai Politik. Materi Paparan FGD. Silaen, Victor. 2016. Pembiayaan Partai Politik Melalui APBN/APBD. Materi Paparan FGD. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008. Partai Politik. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011. Partai Politik. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009. Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik. Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012. Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik. Permendagri Nomor 24 Tahun 2009. Pedoman Tata Cara Perhitungan Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik Yang Mendapatkan Kursi di DPR.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
133
ANALISIS BANTUAN KEUANGAN BAGI PARTAI POLITIK: Urgensi dan Formulasi Besarannya M. Sofyan Muslim
Tabel 1. Matriks Perbandingan Tata Cara Pengaturan Bantuan Keuangan Bagi Parpol Pada 4 Regulasi Utama Berupa Undang-Undang Issue
UU Nomor 2 Tahun 1999
UU Nomor 31 Tahun 2002
UU Nomor 2 Tahun 2008
UU Nomor 2 Tahun 2011
Sumber
Iuran anggota; sumbang an; usaha lain yang sah; bantuan negara
Iuran anggota; sumbangan; bantuan negara
Iuran anggota; sumbangan; bantuan negara
Iuran anggota; sumbangan; bantuan negara
Batasan sumbangan
Perseorangan maksimal Rp 15 juta; perusahaan maksimal Rp 150 juta
Perseorangan maksimal Rp 200 juta; perusahaan maksimal Rp 800 juta
Perseorangan bukan anggota maksimal Rp 1 miliar; perusahaan maksimal Rp 4 miliar
Perseorangan bukan anggota maksimal Rp 1 miliar; perusahaan maksimal Rp 7,5 miliar
Kriteria penerima
Partai politik yang memperoleh suara dalam Pemilu
Partai politik yang mempunyai kursi di DPR/DPRD
Partai politik yang mempunyai kursi di DPR/DPRD
Partai politik yang mempunyai kursi di DPR/DPRD
Metode penetapan jumlah
Tidak diatur
Secara proporsional berdasarkan jumlah kursi
Secara proporsional berdasarkan jumlah perolehan suara
Secara proporsional berdasarkan jumlah perolehan suara
Peruntukan
Tidak diatur
Tidak diatur
Pendidikan politik dan operasio nal sekretariat
Diprioritaskan untuk pendidikan politik
Laporan pertanggungjawaban
Tidak diatur
Tidak diatur
Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah setelah diperiksa BPK
Menyampaikan laporan pertanggungjwaban kepada BPK untuk diaudit
Sanksi Ketaatan Penyampaian Laporan pertanggungjawaban
Tidak diatur
Tidak diatur
Penghentian bantuan sampai laporan diterima pemerintah
Penghentian bantuan sampai laporan diterima pemerintah
Pengaturan pelaksanaan
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah
134
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
ANALISIS BANTUAN KEUANGAN BAGI PARTAI POLITIK: Urgensi dan Formulasi Besarannya M. Sofyan Muslim
Tabel 2. Matriks Perbandingan Tata Cara Pengaturan Bantuan Keuangan Bagi Parpol Pada 4 Regulasi Pendukung Berupa Peraturan Pemerintah Berupa Undang-Undang Issue
PP Nomor 51 Tahun 2001
PP Nomor 29 Tahun 2005
Pengertian
Bantuan keuangan adalah bantuan dalam bentuk uang yang diberikan oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah kepada partai politik
Bantuan keuangan adalah bantuan dalam bentuk uang yang diberikan oleh peme rintah dan atau pemerintah daerah kepada partai politik
Bantuan keuangan adalah bantuan dalam bentuk uang yang diberikan oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah kepada partai politik
Bantuan keuangan adalah bantuan keuangan yang bersumber dari APBN/APBD yang diberikan secara proporsional kepada parpol sesuai kursi di DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota
Kriteria penerima
Partai politik yang memperoleh suara dalam Pemilu
Partai politik yang mempunyai kursi di DPR, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/kota
Partai politik yang mempunyai kursi di DPR, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/kota
Tidak berubah
Penetapan besaran
Berdasarkan perolehan suara; besaran bantuan yang berasal dari APBN Rp 1.000 per suara
Berdasarkan perolehan kursi; besaran bantuan dari APBN Rp 21 juta per kursi DPR
Berdasarkan perolehan suara; besaran bantuan per suara peraih kursi DPR ditentukan oleh besaran bantuan APBN periode sebelumnya dibagi perolehan suara partai politik yang memperoleh kursi DPR periode sebelumnya;
Tidak berubah
Prosedur pengajuan
Pengajuan bantuan APBN disampaikan secara tertulis oleh Ketua Umum dan Sekjen partai politik nasional kepada Mendagri
Pengajuan bantuan APBN disampaikan secara tertulis oleh Ketua Umum dan Sekjen partai politik nasional kepada Mendagri
Pengajuan bantuan APBN disampaikan secara tertulis oleh Ketua Umum dan Sekjen partai politik nasional kepada Mendagri
Tidak berubah
Persyaratan administrasi pengajuan
Pengurus partai nasional menyerahkan dokumen perolehan suara yang disahkan oleh PPI
Pengurus partai nasional menyerahkan dokumen perolehan kursi yang disahkan oleh KPU
Pengurus partai nasional menye rahkan dokumen perolehan suara dan kursi yang disahkan oleh KPU
Tidak berubah
Prosedur penyerahan
Penyerahan bantuan keuangan partai politik
Peraturan Pemerintah Penyerahan bantuan keu-
Penyaluran bantuan keuangan ke rekening kas umum partai
Tidak berubah
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
PP Nomor 5 Tahun 2009
PP Nomor 83 Tahun 2012
135
ANALISIS BANTUAN KEUANGAN BAGI PARTAI POLITIK: Urgensi dan Formulasi Besarannya M. Sofyan Muslim
Issue
PP Nomor 29 Tahun 2005
PP Nomor 5 Tahun 2009
nasional disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada ketua umum dan bendahara umum partai politik nasional
angan partai politik nasional disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada ketua umum dan bendahara umum partai politik nasional
politik nasional dilakukan menteri keuangan atas permintaan Men teri Dalam Negeri
Peruntukan
Tidak diatur
Tidak diatur
Bantuan keuangan untuk penunjang kegiatan pendidikan politik dan operasional sekretariat; Kegiatan pendidikan politik berkaitan dg peningkatan kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, peningkatan partisipasi politik, peningkatan kemandirian, kedewasaan, dan pembangunan karakter bangsa; Kegiatan operasional sekretariat meliputi administrasi umum, berlangganan daya dan jasa, pemeliharaan data dan arsip, dan pemeliharaan peralatan kantor
Bantuan keuangan digunakan sebagai penunjang kegiatan pendidikan politik dan operasio nal sekretariat; Digunakan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota partai politik dan masy. Paling sedikit 60% (enam puluh persen); Kegiatan pendidikan politik berkaitan dg peningkatan kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, peningkatan partisipasi politik, peningkatan kemandirian, kedewasaan, dan pembangunan karakter bangsa
Laporan pertanggungjawaban
Tidak diatur
Laporan penggunaan bantuan keuangan partai politik nasional diserahkan ke Menteri Dalam Negeri setelah diaudit
Laporan penggunaan bantuan keuangan partai politik nasional diserahkan ke Menteri Dalam Negeri setelah diperiksa BPK
Partai politik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan yg bersumber dari dana bantuan APBN dan APBD secara berkala 1 (satu) tahun sekali kepada pemerintah setelah diperiksa BPK
Sanksi atas ketidaktaatan penyampaian laporan pertanggungjawaban
Tidak diatur
Tidak diatur
Penghentian bantuan keuang an dari APBN sampai laporan diterima dalam tahun anggaran berkenaan
Tidak berubah
Pengaturan teknis
Peraturan Menteri, Keputusan Menteri
Peraturan Menteri, Keputusan Menteri
Peraturan Menteri, Keputusan Menteri
Tidak berubah
136
PP Nomor 51 Tahun 2001
PP Nomor 83 Tahun 2012
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
Artikel KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU DAN IMPLIKASINYA
FISCAL CAPACITY OF SEVEN NEW PROVINCES AND ITS IMPLICATION Juli Panglima Saragih Peneliti Pusat Penelitian Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Abstrak: Kebijakan otonomi daerah yang diberlakukan sejak 2001 telah melahirkan 7 provinsi baru di Indonesia. Konsekeunsinya adalah ketujuh provinsi membutuhkan anggaran transfer pusat untuk membiayai tugas dan kewenangan yang dilimpahkan, dan program pembangunan di provinsi masing-masing. Sejak dibentuk sampai saat ini, kapasitas fiskal pada 7 provinsi kecuali Banten, masih belum mampu memenuhi peningkatan kebutuhan belanja daerah setiap tahun sehingga masih sangat bergantung pada transfer pusat karena sumber pendapatan daerah sendiri seperti PAD masih relatif rendah. Penelitian kualitatif ini menggunakan metode deskriptif-analisis dengan menganalisa data sekunder yang relevan dengan topik yang dibahas, serta menggunakan konsep kapasitas fiskal dalam kerangka teori desentralisasi fiskal. Hasil penelitian kualitatif ini menjelaskan bahwa indeks kapasitas fiskal (IKpF) yang tinggi dan sangat tinggi diperoleh 3 provinsi yakni Kepulauan Bangka Belitung; Papua Barat, Kepulauan Riau, dan Maluku Utara. Sedangkan indeks sedang diperoleh Banten. Indeks kapasitas fiskal rendah ada pada Gorontalo dan Sulawesi Barat. Namun kapasitas fiskal yang baik dengan indeks tinggi/sangat tinggi tidak menjamin penduduk miskin di daerah berkurang seperti Papua Barat dan Kepulauan Riau yang penduduk miskinnya masih relatif besar. Di samping itu, Banten dengan PAD yang sangat tinggi dibandingkan 6 provinsi lain, juga masih memiliki penduduk miskin yang besar dan terbanyak diantara 7 provinsi. Tetapi, secara kese luruhan transfer pusat diakui sangat membantu kapasitas fiskal pada 7 provinsi baru di atas. Kata kunci: daerah otonomi baru; kapasitas fiskal; indeks kapasitas fiskal; bela nja daerah.
Abstract: Regional autonomy policy that enacted since 2001 has resulted 7 new provinces in Indonesia. The consequence is those seven provinces require transfer budget from natioal government to finance the tasks and authorities assigned as well as development program in the respective provinces. Since it was formed to date, fiscal capacity in 7 provinces except Banten, are still not able to meet the increased needs of expenditure every year. It is still very dependent on the fiscal transfer as sources of income because of its own revenue such as PAD still low. This research uses descriptive method-analysis with secondary data analysis that are relevant to the topics discussed, and using the concept of fiscal capacity in the framework of the fiscal decentralization theory. The results of this qualitative research explained that the fiscal capacity index (Indeks Kapasitas Fiskal) is high retrieved in 4 provinces namely Bangka Belitung; West Papua, Riau Province and North Maluku. While the index is being retrieved low fiscal capacity index exists on the Gorontalo and West Sulawesi provinces. Good fiscal capacity with high index does not guarantee the poor population in the area is reduced, as West Papua and Riau populations that are still relatively lareg in number. In addition, Banten province with the PAD is very high compared to other provinces, still has a large population of the poor. But, overall the transfer fiscal from national government recognized very helpful the fiscal capacity of those new 7 provinces above. Keywords: regional autonomy, local government proliferation, heightened requirements, local governance system grand design. JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
137
KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU DAN IMPLIKASINYA Juli Panglima Saragih
A. PENDAHULUAN Pemberian otonomi daerah dan desentralisasi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah sejak era reformasi, merupakan 3 (tiga) langkah strategis dalam sejarah pemerintahan di Indonesia. Pertama, dalam perspektif politik, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia yang antara lain berupa adanya “ancaman” disintegrasi bangsa, masih tingginya tingkat kemiskinan, ketidak merataan (disparitas) pembangunan antar-wilayah, rendahnya kualitas hi dup masyarakat, dan masalah pembangunan sumber daya manusia (SDM). Kedua, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah (Mardiasmo, 2002: 59). Esensi dari pemberian otonomi tersebut adalah desentralisasi keuangan (fiskal) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (sub-national governments). Ketiga, dari aspek legal-formal, era otonomi daerah ditandai dengan keluarnya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kemudian UU No.22 Tahun 1999 direvisi/diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerin tah Daerah, dan UU No. 25 Tahun 1999 diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan berbagai peraturan pelaksana nya seperti PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan; serta PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. 138
Sejak lahirnya otonomi daerah 1999 sampai saat ini, pemerintah sudah melahirkan daerah otonomi baru, baik provinsi baru maupun kabupaten/kota baru. Daerah provinsi baru yang sudah terbentuk sejak 1999 adalah Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, Maluku Utara, Papua Barat, Sulawesi Barat, dan Kalimantan Utara. Banyak faktor yang mendorong lahirnya daerah provinsi baru di Indonesia. Salah satunya adalah faktor ekonomi dan politik. Kondisi politik domestik pada awal otonomi sangat mudah untuk melahirkan dae rah otonomi baru karena eforia politik masyarakat saat itu, di samping faktor non-politik seperti ekonomi, kemis kinan, dan lain-lain. Pemekaran atau pembentukan daerah otonomi baru, tentu membawa konsekuensi dari sisi finansial khususnya anggaran negara (APBN). Pada awal pembentukan daerah otonomi baru, anggaran daerah (APBD) dari wilayah induk tidak memadai untuk membiayai daerah otonomi baru. Oleh karena itu, lahirlah kebijakan transfer fiskal ke daerah, termasuk ke daerah otonomi baru setelah disahkan dalam undang-undang tentang pembentukan daerah otonomi baru masing-masing Secara riil, kemampuan keuangan daerah provinsi baru sangat tidak memadai untuk membiayai administrasi pemerintahan dan pembangunan di daerahnya. Hal inilah yang menimbulkan ketergantungan penuh kepada fiskal pemerintah pusat dalam APBN setiap tahun sampai saat ini. Salah satu tujuan dari transfer fiskal tersebut adalah pemerataan kemampuan fiskal masing-masing daerah. Memang terjadi peningkatan transfer fiskal pusat setiap tahun dalam APBN. Namun tetap belum dapat memenuhi tuntutan peningkatan kebutuhan belanja dae rah setiap tahun, baik provinsi maupun
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU DAN IMPLIKASINYA
Juli Panglima Saragih
kabupaten/kota. Dalam APBN-P Tahun 2010, misalnya, transfer fiskal ke dae rah berjumlah Rp. 344,613 triliun. Dalam APBN-P 2015, jumlah transfer fiskal ke daerah mencapai sebesar Rp. 643,8 triliun, sementara alokasi Dana Desa Rp. 20,7 triliun. Dari keseluruhan alokasi Transfer ke Daerah tahun 2015, besaran Dana Alokasi Umum (DAU) tetap mendominasi sebesar Rp. 352,8 triliun, disusul Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp. 110,0 triliun dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp. 58,8 triliun. Hampir semua daerah otonom, apalagi daerah otonomi baru memiliki ketergantungan fiskal sangat besar terhadap anggaran negara, kecuali DKI Jakarta yang sumber PAD-nya mampu membiayai sebagian besar pengeluarannya. Tetapi hal ini juga merupakan konsekuensi logis dari politik desentralisasi, yakni adanya penyerahan sebagian urusan peme rintahan dari pusat ke daerah provinsi/ kabupaten/kota. Artinya kemampuan fiskal daerah otonom untuk membiayai berbagai program dan kegiatan pembangunan daerah sejak otonomi diberlakukan, ternyata masih sulit untuk melepaskan ketergantungan transfer fiskal tersebut. Hal ini dikarenakan sumber pembiayaan asli daerah, seperti pendapatan asli daerah (PAD) masih belum mampu membiayai separuh kebutuhan fiskal (belanja daerah) dalam APBD. Padahal unsur PAD merupakan unsur paling penting dalam mengukur kapasitas fiskal (fiscal capacity) daerah termasuk daerah otonomi baru. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 37/PMK.07/2015 tentang Peta Kapasitas Fiskal Dae rah, yang dimaksud dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity) adalah gambaran kemampuan keuangan ma singmasing daerah yang dicerminkan
melalui penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus (DAK), dana darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) untuk membiayai tugas pemerintahan setelah dikurangi belanja pegawai, dan dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin. Inti dari kapasitas fiskal daerah adalah PAD, transfer fiskal yang bersifat umum, dan sumber pendapatan daerah lain yang sah. Apabila ketiga variabel ini terus meningkat setiap tahun, maka kecenderungan kapasitas fiskal daerah juga akan meningkat. Tetapi bagi daerah otonomi baru sa ngat sulit untuk meningkatkan ketiga sumber pendapatan daerah tersebut, khususnya PAD, karena sebagian besar daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota sangat sulit meningkatkan penerimaan PAD. Di samping itu, sebagian besar APBD terserap oleh porsi belanja pegawai yang setiap tahun meningkat, tak hanya belanja pegawai di peme rintah provinsi tetapi juga kabupaten/ kota. Peningkatan porsi belanja pegawai dalam APBD akan berpengaruh pada minimnya porsi belanja modal untuk pembangunan infrastruktur, dan berkurangnya alokasi untuk belanja barang dalam upaya meningkatkan aset daerah. Sedangkan unsur pengurang dari kapasitas fiskal adalah belanja pegawai dalam APBD. Apabila anggaran belanja pegawai semakin meningkat setiap tahun anggaran, maka kemampuan kapasitas fiskal juga akan berkurang. Sedangkan jumlah penduduk miskin merupakan elemen untuk mengindikasikan besaran indeks dari kapasitas fiskal (IKpF). Masuknya elemen jumlah penduduk miskin dalam mengukur IKpF adalah karena penduduk miskin
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
139
KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU DAN IMPLIKASINYA Juli Panglima Saragih
juga merupakan tanggung jawab setiap pemerintah daerah untuk me ngentaskannya, di samping tanggung jawab pemerintah pusat melalui program penanggulangan kemiskinan secara nasional. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui persoalan dan mencari solusi baik dalam aspek reformulasi kebijakan otonomi daerah, khususnya kebijakan desentralisasi fiskal pada 7 daerah provinsi baru pasca otonomi daerah. Tulisan ini juga ingin me ngetahui dan melihat seberapa besar kemampuan fiskal masing-masing provinsi baru dengan mengkaji sebera pa besar kemampuan menggali sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD) sehingga akan mengurangi ke tergantungan terhadap transfer fiskal dari pemerintah nasional (pusat). B. KERANGKA PEMIKIRAN Menurut Ahmad Yani, (2008;3943), bahwa hubungan keuangan pusat dan daerah dilakukan sejalan dengan prinsip perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dalam UU Nomor 33 Tahun 2004. Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah merupakan sub-sistim keuangan negara sebagai konsekuensi pembagian tugas dan urusan antara pusat dan daerah. Pemberian sumber keuangan negara kepada daerah dilakukan dalam pelaksanaan desentralisasi dengan memperhatikan stabilitas perekonomian nasional dan keseimbangan fiskal antara pusat dan daerah. Pemberian keuangan dalam pelaksanaan desentralisasi merupakan inti dari kebijakan desentralisasi fiskal. Menurut (Andres Rodriquex Pose dan Roberto Ezcurra; 2010), most of the theoretical literature on fiscal decentralization has tended to dwell on the supposedly positive impact of granting greater financial autonomy/ transferring resources to subnational 140
tiers of government for both allocative and production efficiency and, eventually, economic growth. The arguments behind this potential positive association between fiscal decentralization and economic performance, are based on a series of simple premises. An important, but often forgotten, initial premise is that fiscal decentralization implies a mobilization of resources. Subnational governments, by the simple fact of being granted greater autonomy and funds, are compelled into mobilizing the resources in their own territory, rather than wait for solutions or for the provision of public goods and services to come from a central government. This leads to a greater emphasis on economic efficiency across regions and localities within any given country and to tapping into what otherwise may have been untapped potential. Sedangkan menurut Joko Try Hari anto (2016), desentralisasi fiskal dari sisi belanja (expenditure) didefinisikan sebagai kewenangan untuk mengalokasikan belanja sesuai dengan diskresi seutuhnya masing-masing daerah. Fungsi dari Pemerintah Pusat hanyalah memberikan advice serta monitoring pelaksanaan. Sayangnya, justru dari pola inilah yang menjadikan pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia terasa semakin jauh dari apa yang dicita-citakan sebelumnya. Daerah justru semakin bergantung kepada Pemerintah Pusat, munculnya praktek dinasti penguasa di daerah serta maraknya perilaku korupsi para pejabat publik. Idiom yang muncul kemudian desentralisasi fiskal dan otonomi daerah tak lain hanya memindahkan eksternalitas negatif dari Pemerintah Pusat di era Orde Baru menuju Pemda di era reformasi ini. Awal pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia ditujukan un-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU DAN IMPLIKASINYA
Juli Panglima Saragih
tuk menciptakan aspek kemandirian di daerah. Sebagai konsekuensinya, daerah kemudian menerima pelimpahan kewenangan di segala bidang, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal serta keagamaan. Pelimpahan kewenangan tersebut juga diikuti dengan penyerahan sumber-sumber pendanaan berupa penyerahan basis-basis perpajakan maupun bantuan pendanaan melalui mekanisme Transfer ke Daerah sesuai asas money follows function. Masih adanya mekanisme Transfer ke Dae rah didasarkan kepada pertimbangan mengurangi ketimpangan fiskal yang mungkin terjadi baik antar daerah (horisontal imbalances) maupun antara pemerintah pusat dan daerah (vertical imbalances) serta untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah otonom. Meskipun dianggap terlalu terburu-buru, banyak pihak kemudian mengapresiasi pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia tersebut. Dengan segala keterbatasan dan kendala yang ada, pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia dapat dijadikan salah satu best practice terbaik di dunia, mengingat luasnya wilayah serta besarnya jumlah penduduk de ngan berbagai ragam karakteristiknya. Satu hal yang perlu diingat bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia adalah desentralisasi dari sisi belanja (expenditure) bukan dari sisi pendapatan (revenue), (Joko Try Harianto; 2016). Dalam konsep desentralisasi fiskal, yang dimaksud dengan kapasitas fiskal adalah gambaran kemampuan keua ngan masing-masing daerah provinsi/kabupaten/kota yang dicerminkan melalui penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, (tidak termasuk dana alokasi khusus (DAK), dana darurat, dana pinjaman
lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) untuk membiayai tugas pemerintahan, setelah dikurangi belanja pegawai dan dikaitkan (dibagi) dengan jumlah penduduk miskin di daerah yang bersangkutan, (Peraturan Menteri Keuangan; 2015). Surtikanti (2013;26) menjelaskan dalam praktiknya saat ini hampir tidak ada negara di dunia yang semua pemerintahannya diselenggarakan secara sentralistis atau sebaliknya diselenggarakan seluruhnya secara desentralistis. Oleh karena itu, dalam sistem negara federal maupun negara kesatuan selalu ada perimbangan antara kewenangan yang diselenggarakan secara sentralistis oleh peme rintah pusat dan kewenangan yang secara desentralistis diselenggarakan unit-unit pemerintahan daerah yang otonom. Hal ini pula yang melahirkan konsep local state government dan local self-government. Jika local state government melahirkan wilayah administrasi pemerintah pusat di dae rah yang direpresentasikan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan instansi vertikal di dae rah, local self-government melahirkan daerah atau wilayah otonom yang direpresentasikan keberadaan DPRD. Transfer fiskal ke daerah menunjukkan komitmen pemerintah pusat terhadap desentralisasi untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Lebih jauh Surtikanti menegaskan, formula besaran DAU yang diterima setiap daerah sudah jelas sehingga sulit dilakukan perubahan di luar formula yang ditetapkan. Namun, permasalahan desentralisasi fiskal tidak sesederhana itu. Selain pembagian wewenang (expenditure assignment), pembagian sumber pendapatan (revenue assignment) dan pinjaman daerah, maka sebenarnya pilar utama desentralisasi
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
141
KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU DAN IMPLIKASINYA Juli Panglima Saragih
fiskal adalah transfer dana dari pusat ke daerah (intergovernmental fiscal transfer). Penghitungan kapasitas fiskal, baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota didasarkan pada formula sebagai berikut:
Keterangan:
• KF=Kapasitas Fiskal • PAD= Pendapatan Asli Daerah • DBH=Dana Bagi Hasil SDA dan NonSDA • DAU=Dana Alokasi Umum • LPDS=Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah • BP=Belanja Pegawai • JPM=Jumlah Penduduk Miskin
Sedangkan peta kapasitas fiskal daerah adalah gambaran kapasitas fiskal masing-masing yang dikelompokkan berdasarkan indeks kapasitas fiskal daerah (IKpF). Pengelompokan berdasarkan indeks sangat penting untuk mengukur tidak hanya sumber-sumber pendapatan daerah, tetapi juga mengukur kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan belanja daerah dan upaya peme rintah daerah mengentaskan kemis kinan di daerahnya melalui kebijakan fiskal daerah dalam APBD. Sebab indeks kapasitas fiskal daerah sangat berkepentingan atau merupakan salah satu cermin dari gambaran kemiskinan daerah. Kebutuhan fiskal (fiscal need) daerah, dapat diartikan sebagai kebutuhan daerah untuk membiayai semua pengeluaran daerah dalam rangka menjalankan fungsi/kewena ngan daerah dalam penyediaan pelayanan publik dan pembangunan. Dalam konteks teori ekonomi makro, pengeluaran fiskal pemerintah (APBD) 142
merupakan salah satu faktor/variabel dalam pertumbuhan ekonomi (PDB). Semakin meningkat kapasitas fiskal daerah, maka semakin besar modal untuk membangun daerah yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Sedangkan dalam perhitungan dana alokasi umum (DAU), kebutuhan daerah tersebut dicerminkan dari variabel-variabel kebutuhan fiskal sebagai berikut: a) Jumlah Penduduk; b) Luas Wilayah; c) Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK); dan d) Indeks Kemiskinan Relatif (IKR). Sedangkan kapasitas fiskal daerah merupakan kemampuan pemerintah daerah untuk menghimpun pendapatan daerah berdasarkan potensi yang dimilikinya. Potensi penerimaan daerah merupakan penjumlahan dari potensi pendapatan asli daerah (PAD) dengan penerimaan dari dana bagi hasil (DBH Pajak dan DBH SDA) dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Saat ini kriteria kebutuhan fiskal sudah lebih luas, yakni dengan menambahkan beberapa indeks seperti Indeks PDRB, Indeks Pembangungan Manusia (IPM) dan total belanja rata-rata APBD, serta bobot indeks. Dalam Peraturan Menteri Keuangan, rumus Kebutuhan fiskal (fiscal needs) dapat dilihat dalam formula di bawah ini: dimana: • Kbf = kebutuhan fiskal • TBR =Total belanja rata-rata APBD • IP = Indeks Jumlah Penduduk • IW = Indeks Luas Wilayah • IPM =Indeks Pembangunan Manusia • IKK =Indeks Kemahalan Konstruksi • IPDRB/kap =Indeks PDRB per kapita • ∂ =Bobot dari indeks.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU DAN IMPLIKASINYA
Juli Panglima Saragih
Joko Tri Haryanto (2016), menjelaskan DAU merupakan salah satu komponen terbesar di dalam dana perimbangan di APBN yang pengalokasiannya didasarkan atas formula dengan konsep kesenjangan fiskal (fiscal gap) yang merupakan selisih antara kebutuhan fiskal (fiscal need) dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity). DAU bertujuan sebagai instrumen untuk mengatasi masalah horizontal imbalances yang dialokasikan de ngan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah di mana penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh daerah (block grants), (Peraturan Menteri keuangan; 2015). Sedangkan (Bintang Dwitya Cah yono; 2014:48), menjelaskan hal terpenting dari tujuan desentralisasi fiskal adalah untuk mendorong daerah agar lebih mandiri dalam pengelolaan keuangan daerah dan dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan sendiri dengan meningkatkan PAD. C. PEMBAHASAN MASALAH PAD YANG RENDAH Menurut (Masita Machmud,dkk; 2014:4), perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang ideal
adalah apabila setiap tingkat peme rintahan dapat independen di bidang keuangan untuk membiayai pelaksanaan tugas dan kewenangan ma sing-masing. Hal ini berarti subsidi dan bantuan pusat yang selama ini sumber utama penerimaan APBD mulai berkurang kontribusinya dan yang menjadi sumber utama pendapatan adalah dari daerah sendiri khususnya PAD. Namun sebagian besar daerah belum mampu meningkatkan sumber pendapatan daerah sendiri. PAD yang rendah di 6 provinsi baru pasca pemekaran kecuali provinsi Banten—sebagaimana digambarkan dalam Gambar 1, merupakan persoalan yang tidak sederhana. Persoalan rendahnya PAD tidak hanya disebabkan regulasi perpajakan daerah tetapi juga laju pertumbuhan ekonomi di 6 provinsi yang relatif lambat. Sumber utama PAD adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 menjelaskan bahwa pajak daerah provinsi terdiri dari: pajak kendaraan bermotor (PKB); Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB); Pajak Baban Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB); Pajak Air Permukaan (PAP); dan Pajak Rokok.
Gambar 1. Perbandingan PAD di 7 Provinsi Baru 2005-2015 (dalam ribuan)
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
143
KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU DAN IMPLIKASINYA Juli Panglima Saragih
Sekitar 80-90% PAD provinsi di Indonesia rata-rata disumbang oleh pajak daerah dan retribusi daerah. Sedangkan hasil keuntungan dari BUMD masih relatif minim. Saat ini pajak daerah dan retribusi daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota menganut prinsip closed list. Berbeda dengan regulasi pajak daerah sebe lumnya yang bersifat open-list dalam UU Nomor 34 tahun 2000). Artinya daerah dapat memungut pajak dae rah dan retribusi daerah baru di luar undang-undang melalui perda, sepanjang ada potensinya dan tidak harus mendapat persetujuan dari pusat. Dari gambar 1 di atas dapat dilihat bahwa kemampuan masing-masing provinsi untuk menggali penerimaan PAD berbeda-beda. Provinsi Banten, sebagai daerah otonomi baru pemekaran dari Jawa Barat mampu meningkatkan PAD dan jauh mengungguli 6 provinsi baru lainnya. Kemampuan provinsi Banten ini dinilai wajar dan logis karena letak geografis Banten berbatasan dengan Ibukota DKI Jakarta dan berada di Pulau Jawa yang merupakan penyumbang terbesar terhadap perekonomian nasional (PDB). Porsi PAD terhadap total pendapa-
Sumber : BPS
144
tan APBD Banten tahun 2005 mencapai 67%, sisanya transfer fiskal pusat dan pendapatan lain yang sah. Pada tahun 2010, kontribusinya mencapai 73,95% dan tahun 2015 kontribusinya mencapai 67,15%. Bandingkan dengan porsi PAD Sulawesi Barat tahun 2010 hanya 14,78% dari total pendapatan daerah dalam APBD. Sedangkan porsi transfer fiskal mencapai 74,76%. Sementara tahun 2015 porsi PAD masih relatif kecil yakni hanya 16,67% dan kontribusi transfer fiskal pusat mencapai 68,98%, (BPS; 2015:59). Provinsi Maluku Utara, Sulawesi Barat, Pa pua Barat, dan Gorontalo merupakan provinsi baru dengan PAD relatif kecil dibandingkan penerimaan dari transfer fiskal pusat. Sedangkan provinsi lain yang PAD-nya masih cukup tinggi adalah provinsi Bangka Belitung, Banten, dan Kepulauan Riau (lihat Gambar 1. di atas). Walaupun jumlah PAD provinsi Banten sangat tinggi dan meningkat setiap tahun, tetapi indeks kapasitas fiskalnya tidak pernah naik ke posisi tinggi atau sangat tinggi. Indeksnya tetap menempati posisi sedang sejak 2009-2015. Hal ini disebabkan antara lain jumlah penduduk miskin di Provin-
Gambar 2. Penduduk Miskin di 7 Provinsi Baru, September 2014, dan 2015.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU DAN IMPLIKASINYA
Juli Panglima Saragih
si Banten masih sangat tinggi dan beban belanja pegawai dalam APBD. Bahkan jumlah penduduk miskin pada September 2015 meningkat dari bulan September 2014 (lihat Gambar 2). Indeks kapasitas fiskal sedang yang diperoleh provinsi Banten menggambarkan kapasitas fiskalnya masih belum mampu mengurangi jumlah penduduk miskin. Belum termasuk beban belanja pegawai setiap tahun dalam APBD yang menguras pendapatan daerah. Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin Indonesia tahun 2015 sebanyak 28,5 juta jiwa, maka kontribusi penduduk miskin Banten mencapai 2,46%. Hal inilah yang menjadi paradoks dalam melihat struktur APBD dengan kapasitas fiskalnya. Artinya PAD Banten yang relatif besar tidak menjamin penduduk miskin berkurang di Banten Provinsi Sulawesi Barat dan Gorontalo juga merupakan dua provinsi baru dengan indeks kapasitas fiskal rendah sejak 2011-2015. Penyebabnya antara lain adalah: pertama, masih rendah nya kemampuan kedua daerah untuk
menggali sumber PAD. Kedua, alokasi belanja pegawai dalam APBD masih tinggi. Anggaran belanja pegawai Provinsi Gorontalo mencapai 20,60% dari total belanja daerah dalam APBD provinsi tahun 2015. Sebagai perban dingan, porsi belanja modal sebesar 24,78%. Dampaknya, kedua provinsi masih sangat bergantung kepada transfer fiskal pusat karena ketidakmampuan PAD. Kontribusi PAD Gorontalo 2010 sebesar 22,43%, sedangkan transfer fiskal pusat 73,88% terhadap total pendapatan daerah. Tahun 2015 mencapai 22,40%, sedangkan porsi transfer fiskal pusat 66%. Apabila pemda Gorontalo tidak dapat menahan laju peningkatan belanja pegawai dalam APBD, maka porsinya dapat mencapai 25% dari pendapatan dae rah. Hal ini menjadi beban dalam APBD ke depan. Padahal, pemda seharus nya menambah porsi belanja modal/ infrastruktur dalam APBD setiap tahun untuk mendukung pengentasan kemsikinan di daerah. Ketiga, jumlah penduduk miskin di Provinsi Gorontalo dan Sulawesi
Tabel 1. Indeks Kapasitas Fiskal Di 7 Daerah Provinsi Baru, 2009-2015
IKpF 2009 Sangat tinggi Kep.Riau Bangka Be(≥ 2) litung Tinggi Maluku (1 – 1,90)
Sedang (0,50 - 1) Rendah (0,09 – 0,49) Sangat Rendah
2010 Kep.Riau Papua Barat
2011 Kep.Riau
2012 Bangka Belitung
Bangka Belitung
Bangka Belitung Papua
Kep. Riau
Banten Goron- Maluku Maluku Utara talo Sulawesi Utara Banten Banten Barat Sulawesi Barat Gorontalo Sulawesi Barat Gorontalo -
-
-
2013 -
Maluku Utara Bangka Belitung Kep. Riau Papua Barat Maluku Utara Banten Banten Papua Barat
2014 Papua Barat
2015 Papua Barat
Bangka Belitung Kep. Riau Maluku Utara
Kep. Riau Bangka Belitung Maluku Utara
Banten
Banten
Sulawesi Sulawesi Sulawesi Barat Sulawesi Barat Barat Goron- Barat Goron- Gorontalo Gorontalo talo talo -
(< 0,10) Sumber: Lampiran Peraturan Menteri Keuangan RI Tahun 2009-2015.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
145
KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU DAN IMPLIKASINYA Juli Panglima Saragih
Barat masih cukup tinggi yakni di atas 150.000 orang, sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 2. Bahkan penduduk miskinnya meningkat pada September 2015 dari September 2014. Hal inilah yang menyebabkan indeks kapasitas fiskal provinsi Gorontalo dan Sulawesi Barat tetap dalam posisi rendah dalam 5 tahun terakhir (2011-2015). Padahal pada tahun 2009 dan 2010, indeksnya sempat mengalami sedang (lihat Tabel 1). Keempat, struktur APBD kedua provinsi juga lemah di mana jumlah PAD juga masih rendah dibandingkan provinsi lainnya seperti Banten, Kepulauan Riau, dan Bangka Belitung. Walupun sudah berdiri sejak Desember 2000 berdasarkan UU Nomor 38 Tahun 2000, kemampuan PAD-nya masih minim sejak 2005-2015 untuk mendukung pembiayaan pembangunan. Hal ini jelas membuat Gorontalo dan Sulawesi Barat masih tetap bergantung banyak pada transfer fiskal pusat. Menurut Robert A.Simanjuntak (2003:15), isu utama dari PAD dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah bahwa PAD merupakan pencerminan dari local taxing power yang seyogyanya cukup signifikan besarnya. Apalagi dengan bertambahnya tugas/fungsi pemerintah daerah di era otonomi. Namun pengalaman selama ini menunjukkan bahwa PAD provinsi maupun PAD kabupaten/kota secara umum hanya memiliki peran yang marjinal terhadap APBD. Dikeluarkannya UU No. 18 Tahun 1997 yang bersifat limitatif membatasi jumlah pungu tan yang boleh dikenakan daerah, ternyata malah mengurangi peran pajak dan retribusi daerah dalam APBD. Oleh karena itu banyak harapan yang muncul terhadap pelaksanaan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yakni penguatan kapasitas PAD. 146
MENGINTENSIFKAN LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH Lain-lain pendapatan daerah yang sah menjadi penting dalam konteks upaya pemda meningkatkan kapasitas fiskalnya. Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemerintah daerah. Setidaknya terdapat 13 jenis pendapatan dalam kategori lain-lain pendapatan daerah yang meliputi objek sebagai berikut: 1) Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan; 2) Jasa giro; 3) Pendapatan bunga; penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah; 4) Penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan, pengadaan barang dan jasa oleh daerah; 5) Penerimaan keuang an dari selisih kurs rupiah terhadap mata uang asing; 6) Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan; 7) Pendapatan denda pajak; 8) Pendapatan denda retribusi; 9) Pendapatan eksekusi atas jaminan; 10) Pendapatan dari pengembalian; 11) Pendapatan dari fasilitas sosial dan umum milik pemda; 12) Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; 13) Pendapatan dari anggaran/cicilan penjualan. BELANJA PEGAWAI: BEBAN FIS KAL DAERAH Salah satu isu krusial dan persoalan klasik dalam aspek belanja daerah adalah belanja pegawai. Sejak otonomi diberlakukan, pemda cenderung mudah untuk menambah pegawai sehingga menyebabkan terjadinya pe ningkatan porsi belanja pegawai setiap tahun dalam APBD, baik APBD provinsi maupun APBD kabupaten/kota. Secara rata-rata porsi belanja pegawai daerah mencapai 20-25% dari total belanja daerah. Hal inilah yang membuat beban bagi APBD. Porsi belanja pegawai di Papua Barat misalnya, tahun 2005 hanya
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU DAN IMPLIKASINYA
Juli Panglima Saragih
Tabel 2. Belanja Pegawai 7 Provinsi Baru Dalam APBD Tahun 2010-2016, (Rp Ribu) Provinsi Banten Bangka Belitung Gorontalo Kepulauan Riau Maluku Utara Papua Barat Sulawesi Barat
2010 280.475.124 151.693.153 165.232.594 162.989.135 163.837.449 109.575.055 77.197.534
2011 320.486.551 191.385.033 187.796.432 192.313.329 154.479.487 150.883.802 99.184.433
2012 2013 384.981.221 423.141.044 216.271.988 246.900.473 209.099.424 224.332.890 212.470.060 220.943.360. 200.362.804 215.957.878 171.578.191 172,542.175 127.058.283 200.211.221
2014 481.328.441 274.339.635 239.795.987 252.064.813 265.437.989 178.580.573 210.732.942
2015 593.556.884 329.023.180 302.669.797 300.000.000 339.277.975 322.629.605 241.369.985
Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Provinsi 2009-2012 dan 2012-2015, Penerbit BPS Jakarta
sebesar Rp. 31,3 Milyar, namun tahun 2010 meningkat menjadi Rp. 109,5 Milyar atau meningkat 250% dalam kurun waktu 5 tahun. Tahun 2015 alokasi belanja pegawai Papua Barat sudah mencapai Rp. 322,6 Milyar atau meningkat 195% dari 2010. Seperti disebutkan dalam formula, belanja pegawai merupakan pengurang dari kapasitas fiskal daerah. Semakin meningkat belanja pegawai semakin berkurang kapasitas fiskal daerah. Walaupun terjadi peningkatan peneri maan daerah seperti penerimaan transfer fiskal pusat, tetapi apabila terjadi peningkatan belanja pegawai maka akan mempengaruhi kapasitas fiskal setiap tahun. (Lihat Tabel 2). Dari Tabel 2 di atas, dapat dilihat besaran belanja pegawai di 7 provinsi baru meningkat setiap tahun. Bahkan provinsi Banten mencapai Rp. 500 Mil yar lebih di tahun 2015 atau meningkat 39% dari 2014. Dalam struktur belanja APBD di 7 provinsi, rata-rata porsi belanja pegawai menempati urutan ketiga terbesar setelah Belanja Bagi Hasil, dan Belanja Hibah. Hanya belanja pegawai di Sulawesi Barat yang relatif kecil setiap tahunnya dengan peningkatan yang relatif kecil dan tidak signifikan. Kebijakan belanja yang tidak proporsional terjadi di Gorontalo di mana porsi belanja pegawai lebih besar dibandingkan porsi belanja modal (capital expenditure) periode 20102014, (BPS;2012-2015). Berbeda de
ngan di 6 provinsi lain, karena porsi belanja pegawai-nya masih lebih kecil dibandingkan belanja modal. Sehingga hal ini menyulitkan bagi provinsi Gorontalo untuk membiayai kebutuhan daerah terutama membangun infrastruktur. Implikasi selanjutnya adalah kapasitas fiskal Gorontalo tidak mampu untuk membiayai pembangunan yang mengakibatkan indeksnya juga rendah. Peningkatan belanja pegawai di satu sisi positif dalam meningkatkan kesejahteraan aparatur sipil negara (ASN) di Gorontalo, namun di sisi lain berpengaruh negatif terhadap kemampuan pembiayaan pembangunan infrastruktur daerah. Semua provinsi mengalami pe ningkatan belanja pegawai yang cukup signifikan tahun 2015 dibandingkan tahun 2014. Hal ini salah satunya dipe ngaruhi oleh peningkatan transfer pusat ke 7 provinsi tersebut tahun 2015, terutama transfer DAU. Dari 7 provinsi, tahun 2015 Papua Barat memperoleh DAU terbesar yakni Rp. 1,284 triliun (0,36% dari total DAU); Maluku Utara sebesar Rp. 1,061 triliun (0,30% dari total DAU); Bangka Belitung sebesar Rp. 897,887 milyar (0,25% dari total DAU); Sulawesi Barat sebesar Rp. 895,580 milyar (0,25% dari total DAU); Gorontalo sebesar Rp. 845,395 milyar (0,24% dari total DAU); Kepulauan Riau sebesar Rp. 695,943 milyar (0,20% dari total DAU); dan Banten sebesar Rp. 640,981 milyar (0,18% dari total DAU), (Peraturan Presiden;
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
147
KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU DAN IMPLIKASINYA Juli Panglima Saragih
2015). Struktur belanja daerah selalu didasarkan kepada kebijakan umum belanja daerah dalam APBD. Kebijakan belanja daerah harus ditetapkan dan disesuaikan dengan kekuatan keuang an daerah. Dijelaskan bahwa, arah kebijakan belanja diutamakan untuk memenuhi Belanja Tidak Langsung yang meliputi belanja pegawai, hibah, bantuan sosial, dan belanja tidak terduga sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Pemda juga dapat melakukan efisiensi dalam pemakaian/pemanfaat listrik, telepon, air, serta belanja pemeliharaan gedung kantor/kendaraan dinas dan sebagai nya. Belanja juga dapat diarahkan pada kegiatan yang mendukung prioritas pembangunan. Pemda juga dapat mengoptimalkan belanja untuk dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Sedangkan Belanja Tidak Langsung seperti belanja hibah dapat ditentukan dan dikeluarkan kepada pihak-pihak yang berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan. Sementara itu Belanja Bantuan Sosial diarahkan antara lain untuk bedah rumah keluarga miskin, dan sebagainya, (Margono;2015). Kapasitas fiskal juga dapat dilihat dari perbandingan atau rasio belanja modal terhadap total belanja daerah dalam APBD setiap tahun. Semakin besar rasio belanja modal semakin baik kapasitas fiskal daerahnya. Oleh
karena itu pertumbuhan belanja modal harus lebih besar dari pertumbuhan belanja pegawai setiap tahun. Rasio belanja modal terhadap belanja daerah pada 7 provinsi baru dapat dilihat dalam Tabel 3 di bawah. Dari Tabel 3 disimpulkan bahwa Papua Barat dan Banten merupakan dua provinsi baru yang rasio belanja pegawainya terhadap belanja dae rah relatif kecil sejak 2012-2015. Sedangkan Gorontalo, Maluku Utara dan Sulawesi Barat merupakan provinsi dengan rasio belanja pegawai cukup besar. Bahkan Gorontalo dan Sulawesi Barat adalah provinsi dengan rata-rata anggaran belanja pegawai melampaui belanja modal kecuali tahun 2015. Walaupun belanja pegawai Maluku Utara cukup besar dalam APBD setiap tahun, namun alokasi belanja modal masih merupakan terbesar di antara seluruh provinsi berdasarkan rasio belanja modal terhadap APBD yang rata-rata 30% setiap tahun sejak 2011-2015. TINGGINYA ANGKA KEMISKIN AN: BEBAN FISKAL DAERAH Semua provinsi di Indonesia masih memiliki penduduk miskin. Walaupun sampai saat ini pemerintah pusat dan daerah terus berupaya memerangi dan mengurangi penduduk miskin di dae rah, tetapi jumlah total penduduk mis kin di Indonesia mencapai 28.513.570 orang per 30 September 2015. Jumlah ini belum termasuk penduduk hampir
Tabel 3. Rasio Belanja Pegawai (BP) dan Rasio Belanja Modal(BM) Terhadap Total Belanja Daerah Dalam APBD di 7 Provinsi Baru, Tahun 2011-2015 (%) Provinsi Banten Bangka Belitung Gorontalo Kepulauan Riau Maluku Utara Papua Barat Sulawesi Barat
2011 BP
2012 2013 BM BP BM BP BM 23,00 7,24 17,5 8,0 15,35 29,00 16,8 21,76 15,34 25,02 23,30 9,44 11,66 8,13 14,46 34,10 15,90 33,23 15,56 28,08 23,60 23,62 15,63 21,34 17,60 - 14,63 15,60 19,17 13,26 26,30 4,40 21,90 3,33 16,10
2014 BP BM 7,77 11,16 17,18 19,14 7,61 21,67 17,91 28,88 19,90 19,29 17,16 21,75 3,02 20,18
2015 BP BM 6,63 20,73 15,44 14,58 8,17 17,68 18,60 27,24 20,60 24,78 16,04 29,47 6,04 28,30
Sumber: Diolah dari Buku Statistik Keuangan Pemerintah Provinsi, 2012-2015, BPS Jakarta
148
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU DAN IMPLIKASINYA
Juli Panglima Saragih
miskin yang sangat rentan jatuh menjadi miskin apabila terjadi kenaikan beberapa kebutuhan pokok terutama harga pangan. Tingkat kemampuan atau kapasitas fiskal daerah sangat berkaitan dengan upaya mengurangi angka kemiskinan di tujuh provinsi baru. Provinsi Ban ten dan Bangka-Belitung merupakan provinsi baru yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak dari 7 provinsi yakni masing-masing 690.670 orang atau 2,42% dari total penduduk miskin seluruh Indonesia, dan 666.200 orang atau 2,33% dari total penduduk miskin di Indonesia. Papua Barat dan Gorontalo juga masih memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak ketiga dan keempat dengan porsi 0,80% dan 0,72% dari total penduduk miskin di Indonesia. Penduduk miskin yang masih besar di keempat provinsi baru tersebut, jelas merupakan beban baik secara langsung dan tidak langsung bagi anggaran dae rah. Hal ini juga mempengaruhi indeks kapasitas fiskal daerah (IKpF) di provinsi tersebut, seperti Gorontalo dengan indeks kapasitas fiskal yang rendah dan Banten dengan indeks kapasitas fiskal sedang. Dari Gambar 2 di atas, tampak hanya 2 provinsi yang jumlah penduduk miskinnya relatif sedikit yakni Maluku Utara dan Bangka Belitung. Oleh karena
itu wajar bila indeks kapasitas fiskalnya juga tinggi. Secara keseluruhan, tujuh daerah otonomi baru masih menghadapi tantangan bagaimana mengurangi jumlah penduduk miskin di daerahnya. Hal ini menjadi tanggungjawab bersama antara pusat dan daerah, salah satunya melalui kebijakan APBD. TRANSFER PUSAT: MEMBANTU KA PASITAS FISKAL DAERAH Diakui sejak otonomi diberlakukan tahun 2001, peran transfer fiskal pusat dalam APBD provinsi dan APBD kabupaten/kota sangat signifikan, tidak ha nya dalam konteks pembiayaan pelaksanaan desentralisasi pemerintahan tetapi juga mendorong pembangunan daerah melalui belanja daerah. Ketujuh provinsi baru mengalami peningkatan jumlah transfer fiskal pusat setiap tahun (lihat Gambar 3). Hal inilah yang membantu kemampuan fsikal daerah dalam membiayai kebutuhan fiskal daerah yang setiap tahun meningkat. Porsi terbesar adalah DAU. Karena bersifat transfer umum (block grant), maka diskresi pemerintah daerah dalam mengelola DAU sangat besar. Tetapi pada umumnya DAU dialokasikan sebagian besar untuk belanja aparatur (pegawai). Sampai saat ini sulit untuk mengalihkan dana DAU untuk belanja modal atau belanja barang/jasa karena kebutuhan
Gambar 3. Perkembangan Transfer Fiskal Pusat (Minus DAK & Dana Otsus) ke 7 Provinsi Baru 2010-2015 (Dalam Ribu Rupiah)
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
149
KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU DAN IMPLIKASINYA Juli Panglima Saragih
belanja aparatur meningkat setiap tahun. Hal inilah yang membuat hampir seluruh pemda “sulit” mengelola APBD karena sangat sedikit dialokasikan untuk belanja modal untuk pembiayaan infrastruktur. Selain DAU, dana bagi hasil juga me rupakan “penyelamat” anggaran daerah dari aspek sumber pendapatan. Bagi hasil SDA Papua Barat dan Kepulauan Riau merupakan 2 provinsi penghasil SDA migas sampai saat ini dengan jumlah relatif besar (lihat Gambar 3 di atas). Wajar apabila kapasitas fiskalnya relatif mampu untuk membiayai sebagian belanja daerahnya dalam APBD. Kemampuan fiskal Papua Barat dan Kepulauan Riau ini berpengaruh positif terhadap indeks kapasitas fiskal yang tinggi. Tetapi ironisnya penduduk miskin di Papua Barat masih tetap tinggi. Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi Pemda Papua Barat dalam mengelola keuangan daerah selama ini untuk mengurangi kemiskinan penduduknya. Artinya kebijakan Pemda Papua Barat belum berhasil mengurangi angka kemiskinan, padahal kapasitas fiskalnya cukup mampu dengan transfer fiskal pusat yang terus meningkat setiap tahun baik DAU maupun dana bagi hasil SDA migas. Dari Gambar 3 juga dapat dilihat bahwa terdapat 3 provinsi yakni Ban
ten, Kepulauan Riau, dan Papua Barat yang mendapatkan transfer fiskal pusat cukup besar di atas Rp. 1 triliun. Pe ningkatan ini sangat membantu kapasitas APBD ketiga provinsi. Sedangkan 4 provinsi lain—walaupun terjadi peningkatan transfer setiap tahun, namun secara total belum mencapai Rp. 1 triliun, kecuali Maluku Utara pada tahun 2015 sudah mencapai Rp. 1 triliun. Porsi transfer pusat ke Papua Barat, misalnya, mencapai 50% dari total APBD tahun 2015. Sedangkan porsi transfer pusat ke Maluku Utara mencapai 71,66% dari total APBD tahun 2015. Transfer pusat ke Sulawesi Barat mencapai 69% dari total APBD 2015. Gorontalo mencapai 66% dari total APBD tahun 2015. Banten mencapai 15% dari total APBD tahun 2015. Sedangkan Kepulauan Riau mencapai 57,94% dari total APBD tahun 2015 dan Bangka Belitung mencapai 60,30% dari total APBD tahun 2015. Walaupun jumlah transfer pusat ke Banten lebih rendah dari Papua Barat, tetapi ketergantungan fiskal Banten ke pusat sangat kecil yakni 15% pada tahun 2015. Sebagaimana dijelaskan di atas, hal ini disebabkan kemampuan PAD sudah cukup tinggi dalam membiayai APBD Banten yang sebagian besar disumbang dari pajak daerah dan
Matriks 1. Indeks Kapasitas Fiskal (TKpF) Rendah & Sedang di 3 Provinsi
Provinsi Banten Gorontalo Sulawesi Barat
Kapasitas PAD Sangat Besar Kecil Kecil
Rata-rata Transfer Pusat Menengah Kecil Kecil Kecil
Alokasi Belanja Pegawai Besar Moderat Kecil
Jml Penduduk Miskin Besar Besar Kecil
Matriks 2. Indeks Kapasitas Fiskal (TKpF) Tinggi & Sangat Tinggi di 4 Provinsi Provinsi Bangka Belitung Kepulauan Riau Maluku Utara Papua Barat
150
Kapasitas PAD Kecil Besar Kecil Kecil
Rata-rata Transfer Pusat Menengah Besar Besar Sanagt Besar
Alokasi Belanja Pegawai Besar Moderat Besar Kecil
Jml Penduduk Miskin Kecil Besar Kecil Besar
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU DAN IMPLIKASINYA
Juli Panglima Saragih
retribusi daerah. Sedangkan 6 povinsi lain belum mampu menggali potensi penerimaan PAD. Sehingga tidak bisa diharapkan dalam membiayai pogram pembangunan di daerahnya. Demikian juga dengan Kepulauan Riau yang memperoleh trasfer pusat cukup besar, sehingga ketergantungannya pun sangat besar. Apalagi terhadap provinsi yang menerima transfer yang relatif kecil dari pusat ditambah dengan keterbatasan PAD dalam APBD (Gambar 3). Dapat disimpulkan bahwa Gorontalo dan Sulawesi Barat merupakan 2 provinsi baru yang memperoleh transfer fiskal paling sedikit. Hal ini mungkin sudah sesuai dengan kebijakan atau formula yang ditetapkan pusat, khususnya formula pengalokasian DAU sebagai bagian terbesar transfer pusat ke daerah. Namun kompleksitas dan kebutuhan fiskal bisa terus meningkat setiap tahun. Tetapi karena keterbatasan APBD “memaksa” pemda untuk membuat prioritas belanja sesuai potensi penerimaan dan kapasitas APBD. Dalam matriks I dapat disimpulkan bahwa Gorontalo dan Sulawesi barat memiliki persoalan pada pendapatan daerah yang rendah, baik PAD maupun transfer pusat. Oleh karena itu alokasi belanja juga kecil. Tetapi Sulawesi
Barat relatif memilki penduduk miskin sedikit, sehingga beban fiskal relatif kecil. Semua faktor di atas turut mempe ngaruhi kapasitas fiskal dan indeksnya. Berbeda dengan yang digambarkan dalam matriks II bahwa keempat provinsi memiliki permasalahan yang berbeda-beda, tetapi indeksnya tinggi. Kepulauan Riau juga menghadapi persoalan yang hampir sama dengan Banten sama-sama memiliki PAD besar tetapi penduduk miskin juga banyak. Papua Barat dengan PAD kecil tetapi transfer pusat besar juga menghadapi penduduk miskin yang masih banyak. Tujuan perlunya peningkatan kapasitas fiskal antara lain adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal—seperti sudah dijelaskan di atas. Semakin besar celah fiskal maka menggambarkan kapasitas fiskal masih rendah dalam menutupi kebutuhan fiskal daerah. Dengan keterbatasan kapasitas fiskal daerah di beberapa provinsi baru, maka perlu prioritas dalam kebijakan belanja daerah. Memang merupakan dilema di satu sisi pemerintah daerah provinsi terus berupaya meningkatkan kesejahteraan aparatur sipil daerah, tetapi di sisi lain peningkatan kebutuhan anggaran modal untuk pembangunan terus meningkat. Untuk itu pemerintah
Gambar 4. Pertumbuhan Ekonomi (PDB) di 7 Daerah Provinsi Baru 2011-2015, (Dalam %)
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
151
KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU DAN IMPLIKASINYA Juli Panglima Saragih
provinsi baru tetap perlu membuat perencanaan anggaran baik jangka menengah maupun jangka panjang sesuai dengan potensi ekonomi daerah ma sing-masing. IMPLIKASI TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH Tinggi-rendahnya kapasitas fiskal berimplikasi terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi daerah (PDRB), dan nasional (PDB). Sebab besaran alokasi belanja daerah (pengeluaran pemda) dalam APBD turut berkontribusi terha dap pertumbuhan ekonomi daerah. PDRB Kepulauan Riau dan Papua Barat atas dasar harga berlaku, pada tahun 2010 hanya berkontribusi masing-ma sing 1,62% dan 0,60% terhadap PDB nasional. Tahun 2014 PDRB kedua provinsi berkontribusi masing-masing 1,73% dan 0,55%, (BPS; 2015). Sedangkan Bangka Belitung berkontribusi 0,51% terhadap PDB Nasional tahun 2010 dan Maluku Utara berkontribusi 0,22% terhadap PDB nasional. Pada tahun 2014, Maluku Utara dan Bangka Belitung berkontribusi masingmasing 0,23% dan 0,53% terhadap PDB nasional, (BPS; 2015). Kepulauan Riau dan Banten merupakan dua provinsi baru yang memberikan kontribusi cu kup besar terhadap PDB nasional periode 2010-2014 dibandingkan dengan 5 provinsi baru lainnya. Ketujuh provinsi baru mengalami pertumbuhan ekonomi positif periode 2010-2014 tetapi dengan kontribusi yang tidak sama. Pada tahun 2014, kontribusi PDRB Banten terhadap PDB nasional mencapai 4,10% merupakan yang tertinggi dari 7 provinsi. Relatif besarnya kontribusi PDRB Banten terha dap PDB nasioal tersebut dipengaruhi oleh perkembangan perekonomian yang pesat di Jawa. Letak geografis Banten merupakan faktor pendorong perkembangan ekonomi di Banten. Data dari Bank Indonesia, menunjukkan pertumbuhan ekonomi Banten Triwulan 152
IV/2014 mencapai 8% (year on year), (BI; 2016). Adapun perkembangan PDRB 7 provinsi baru dapat dilihat dalam Gambar 4. Dari Gambar 4, dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi tertinggi dialami Banten dan Gorontalo rata-rata per tahun 12,37% dan 13,01% melebihi pertumbuhan ekonomi (PDB) nasional. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang tidak secara langsung berdampak positif terhadap fiskal daerah. Tetapi secara langsung dapat berpengaruh positif terhadap pajak daerah dan retribusi daerah dalam PAD. Sebaliknya belanja daerah secara total dalam APBD, baik provinsi maupun kabupaten/kota secara langsung akan berkontribusi terhadap PDB daerah dari sisi pengeluaran. Apabila belanja daerah tinggi maka berpe ngaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Provinsi Banten dan Gorontalo dengan porsi belanja dae rah yang cukup tinggi, termasuk bela nja aparatur dalam APBD berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi kedua provinsi sebagaimana dapat dilihat dari Gambar 4. Sedangkan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Maluku Utara adalah 3 provinsi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah rata-rata 5-6% per tahun periode 2011-2015. Hal ini berpengaruh terhadap pendapatan dari PAD yang relatif kecil sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1. Terkait upaya pemda 7 provinsi untuk mengurangi angka kemiskinan di dae rahnya maka porsi belanja non-pegawai harus diperbesar untuk menyediakan infrastruktur atau barang publik yang dibutuhkan masyarakat terutama ma syarakat miskin. Merupakan kewajiban pemerintah daerah melalui instrumen fiskal daerah masing-masing untuk menyediakan barang-barang publik seperti fasilitas kesehatan, jalan, jembatan, fasilitas pendidikan, pasar, listrik,
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU DAN IMPLIKASINYA
Juli Panglima Saragih
dan lain-lain. Oleh karena itu walaupun peningkatan belanja pegawai tidak terhindarkan dalam APBD tetapi peningkatan anggaran belanja non-pegawai seperti belanja modal juga mutlak ditambah. Kapasitas PAD provinsi Banten yang besar, misalnya, ternyata tidak berpe ngaruh signifikan terhadap pengurang an angka kemiskinan penduduk di Banten. Padahal anggaran daerah pada umumnya memilki 3 fungsi utama yakni: fungsi redistribusi pendapatan; fungsi distribusi sumber daya; dan fungsi alokasi. Kebijakan anggaran dalam konteks otonomi merupakan diskresi pejabat pemerintah daerah sepenuhnya. Arti nya pemekaran daerah yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat, tidak tercapai walaupun sebagian besar provinsi baru sudah berdiri sejak 15 tahun lalu kecuali Sulawesi Barat yang terbentuk belakangan. Fadzil dan Nyoto (2011), menganali sis hubungan di antara kapasitas fiskal daerah dan transfer antar-pemerintahan dengan realisasi anggaran. Hasil penelitian mengindikasikan adanya ketergantungan yang tinggi dari pemerintah daerah terhadap dana dari pemerintah pusat. Meskipun terdapat hubungan yang erat di antara kapasitas fiskal de ngan kinerja anggaran daerah, namun transfer fiskal antar-pemerintahan tidak sepenuhnya memediasi hubungan tersebut. Lebih jauh (Fadzil dan Nyoto; 2011) menjelaskan, public budget have an influence on economic activity. In terms of revenues, public budget can be used to build a conducive of business climate, and to invigorate of the economic sector grow. However, the consequences of local revenue may also be obstacles to business and economic climate. Public budgets have an influence on economic activity. In terms of revenues, public budget can be used to build a condu-
cive of business climate, and to invigorate of the economic sector to grow. From the expenditure side, spending for the provision of public goods, especially infrastructure will build a huge opportunity movement of people’s economic sectors. Public services such as facilitating, regulatory, and development of the business sector strongly supports the creation of good business climate. Artinya, anggaran (fiskal) daerah juga berpengaruh langsung terhadap aktivitas ekonomi dalam upaya mendorong pertumbuhan (PDB). Dari sisi pendapatan, anggaran daerah berfungsi untuk membangun iklim bisnis yang kondusif sehingga dapat meningkatkan pendapatan daerah/lokal. Sedangkan dari sisi pengeluaran, anggaran dae rah dapat menggerakan sektor-sektor ekonomi melalui belanja daerah untuk barang publik dan berbagai infrastruktur. D. KESIMPULAN Kebijakan otonomi daerah dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Peme rintahan Daerah merupakan salah satu fokus dalam penataan daerah otonom baru termasuk provinsi baru, menjadi salah satu isu penting yang sampai sekarang masih menjadi fokus pemerintah pusat. Penataan daerah otonomi baru, sampai saat ini masih identik dengan pemekaran wilayah. Padahal penataan daerah otonomi baru, sangat dimung kinkan untuk melakukan penghapusan dan/atau penggabungan daerah otonomi baru seperti diatur dalam PP Nomor 78 Tahun 2007 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembentukan, Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Mengingat salah satu tujuan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahte raan masyarakat, mendekatkan pela yanan umum, dan memperkuat daya saing daerah, maka dengan terbentuk nya 7 provinsi baru seharusnya dapat
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
153
KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU DAN IMPLIKASINYA Juli Panglima Saragih
mempercepat peningkatan kesejahtera an masyarakat dan pelayanan publik. Hasil evaluasi kinerja daerah otonomi baru yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri, menyebutkan hanya 58,71% berkinerja tinggi. Sisanya 34,19% berkinerja sedang, dan 4,16% berkinerja rendah. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melansir 80% daerah otonomi baru gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, (Fadzil, Faudziah Hanim, dan Harryanto Nyoto; 2011). Kesimpulan di atas juga dapat dilihat antara lain masih rendahnya kapasitas fiskal pada 7 daerah provinsi baru sebagaimana yang telah dibahas di atas. Pertumbuhan sumber pendapatan sendiri seperti PAD dan kinerja usaha BUMD yang lambat, merupakan salah satu gambaran masih besarnya ketergantungan daerah provinsi baru terhadap transfer pusat dalam struktur pendapatan daerah dalam APBD. Sangat sulit bagi provinsi baru untuk membiayai kebutuhan belanja daerah setiap tahun tanpa adanya transfer pusat. Provinsi Banten yang memiliki PAD cukup tinggi masih juga bergantung pada transfer pusat untuk menambah kapasitas fiskal daerahnya agar dapat membiayai pengeluaran daerah dalam APBDnya. Kapasitas fiskal lebih menggambarkan ruang yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk melakukan diskresi kebijakan. Tetapi kapasitas fiskal yang memadai tanpa kebijakan APBD khusus nya kebijakan belanja APBD yang efektif akan menyebabkan nilai tambah dari APBD terhadap perekonomian daerah menjadi tidak optimal. Merupakan suatu kesalahan kebijakan dalam APBD apabila pemda tidak memanfaatkan diskresi dan ruang yang besar dari kapasitas fiskal yang dimilki untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di daerahnya. Sebab sampai saat ini kebijakan belanja 154
APBD masih menjadi salah satu andalan utama daerah untuk membiayai pembangunan dan menggerakkan perekonomian terutama daerah otonomi baru yang memilki sumber PAD yang relatif tinggi dan sumber daya alam (SDA). Hal ini menjadi salah satu tantangan fiskal daerah saat ini. Di samping itu tantangan fiskal dae rah saat ini dan ke depan adalah permasalahan jumlah penduduk miskin yang masih banyak terutama di Provinsi Banten, Gorontalo, Papua Barat, dan Sulawesi Barat. Hal ini jelas menjadi beban dan tantangan fiskal ke depan. Rasio belanja pegawai yang tinggi diban dingkan dengan rasio belanja modal juga akan menurunkan kapasitas fiskal pada 7 provinsi baru. Perbandingan alokasi belanja pegawai dengan belanja modal merupakan dua faktor yang selalu mempengaruhi kinerja keuangan daerah dalam APBD setiap tahun. Rasio ini juga turut mempengaruhi tingkat keberhasilan pemerintah daerah dalam pembangunan infrastruktur. Merupakan dilema bagi pemerintah daerah, termasuk pemerintah daerah di 7 provinsi baru, di satu sisi kebijakan belanja pegawai penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi di sisi lain belanja modal juga dapat mendorong perekonomian daerah dengan pembangunan infrastruktur yang dibi ayai sepenuhnya oleh APBD terutama yang bersumber dari pendapatan sendiri. Indeks kapasitas fiskal yang tinggi dan sangat tinggi tidak otomatis dan tidak menjamin dapat mengurangi angka kemiskinan daerah secara signifikan. Pemerintah daerah di 7 provinsi baru perlu membuat prioritas program dan kebijakan pembanguan setiap tahun yang benar-benar secara langsung dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayahnya. Kebijakan fiskal yang pro-poor, dan merata akan
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU DAN IMPLIKASINYA
Juli Panglima Saragih
mendorong perekonomian daerah, termasuk usaha di sektor riil dan informal seperti usaha mikro, kecil dan mene ngah. Multiplier effect-nya antara lain adalah akan meningkatkan kesejahtera an masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Abeng, Tanri. 2006. Profesi Manajemen. Jakarta. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Andrés Rodríguez-Pose and Roberto Ezcurra; (2010); “Is fiscal decentralization harmful for e c o n o m i c growth? Evidence from the OECD countries”. Journal Of Economic Geography. Vol.11, Issue 4, Published by Oxford University Press, http://joeg.oxfordjournals.org/content/11/4/619.full. Azisy Qadri, A. 2007. Change Mana gement Dalam Reformasi Birokrasi. Jakarta. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Badan Pusat Statistik, 2012. Statistik Keuangan Pemerintah Provinsi 2009-2012. BPS DKI Jakarta. Jakarta. __________. 2015a. Statistik Keuangan Pemerintah Provinsi 2012-2015. BPS DKI Jakarta. Jakarta. __________. 2015b. Statistik Indonesia 2016. BPS DKI Jakarta. Jakarta. Bahl, Roy W., and Johanes, Linn. 1992. Urban Public Finance in Developing Countries. Oxford University Press. New York. Bank Indonesia. 2009. Statistik Ekonomi Keuangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. BI. Jakarta. Bintang Dwitya Cahyono. Identifikasi Derajat Kompetisi Fiskal Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan. Vol.22/No.1/2014. Penerbit Pusat Penelitian Ekonomi - LIPI Jakarta. hlm. 48.
Bird, Richard M, et all. 1995. Decentralization of the Socialist State: Inter-governmental Finance in Transition Economies. World Bank. Washington DC. Bratakusumah, Deddy Supriady dan Solihin, Dadang. 2001. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Davoodi, H., D. Xie and Heng-fu Zou, 1998. Fiscal Decentralization and Economics Growth: A Cross Country Study. Journal of Urban Economics. Number 43(2). Published by Academic Press, US. Dwirandra A. A, 2007. Efektifitas dan Kemandirian Keuangan Daerah Otonom Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2002-2006. Penerbit Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Udayana. Bali. Elmi, Bachrul. 2002. Keuangan Peme rintah Daerah Otonom di Indonesia. Penerbit UI-Press. Jakarta. Fadzil, Faudziah Hanim, dan Harryanto Nyoto. 2011. Fiscal Decentralization after Implementation of Local Government Autonomy in Indonesia. World Review of Business Research, Vol.1, No. 2, May, pp. 51-70. Kadir, Abdul. 2008. Pajak daerah dan Retribusi Daerah Dalam Perspektif Otonomi di Indonesia. Penerbit FISP USU Press. Medan. Kementerian Keuangan RI. 2007. Reformasi Sistim Penganggaran: Konsep dan Implementasi 2005-2007. Kemenkeu Jakarta Khusaim, Muh. 2006. Kajian Desentralisasi Fiskal, Pengaruhnya Terhadap Efesiensi Ekonomi Sektor Publik, Pertumbuhan Ekonomi Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat: Studi Pada Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Universitas Brawijaya. Malang Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
155
KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU DAN IMPLIKASINYA Juli Panglima Saragih
Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan Strategi dan Peluang. Penerbit PT.Erlangga. Jakarta. Mahmudi. 2010. Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit Erlangga. Jakarta. Makagansa, HR. 2008. Tantangan Pemekaran Daerah. Penerbit Fuspad. Yogyakarta. Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah: Seri Otonomi daerah. Penerbit Andi Yogyakarta. Yogyakarta. Martinez Vasques, Jorge. M and Mcnab, R. 1997. Fiscal Decentralization Economics Growth, and Democratic Governance. Working Paper. October. Masita Machmud,dkk. 2014. Analisis Kinerja Keuangan Daerah di Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2007-2012. Dalam Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi, Vol. 14, No. 2, Mei 2014. Penerbit FEB Universitas Sam Ratulangi. Manado-Sulawesi Utara. Muhammad, Fadel. 2008. Reinventing Local Government. Penerbit PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. Nasir, Mohammad. 1983. Metode Penelitian. Penerbit Graha Indonesia. Jakarta. Oates, W.E. 1993. Fiscal Decentralization and Economics Development.” National Tax Journal. Number 46 (Vol.3), Published by Economics Department of the Rice University, at Houston Texas, US. Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 33/PMK.07/2015. Peta Kapasitas Fiskal Daerah. Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2005. Dana Perimbangan. Peraturan Pemerintah RI Nomor 78 Tahun 2007. Persyaratan dan Tata Cara Pembentukan, Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Phillips, Kerk. L, and Woller. 1997. Does 156
Fiscal Decentralization Lead to Economics Growth?. Working Paper, Number 97. Vol. 7. September. Prayitno, Hadi. (Fitra). Pemekaran (Masalah) Daerah. http://info-anggaran. com/pemekaran-masalah-daerah. Prud’homme, Remy. 1999. Macroeconomics. 4th Edition. Worth Publisher. Madison Avenue, New York, US. Rosidin, Utang. 2010. Otonomi Daerah dan Desentralisasi. Penerbit CV. Pustaka Setia. Bandung. Sarundajang, SH. 2001. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Sidik, Mahfud. 1999. Otonomi dan Desentralisasi Fiskal. Penerbit BPFE-UGM. Yogyakarta. Sujamto. 1993. Perspektif Otonomi Daerah. Penerbit PT. Rineka Cipta. Jakarta. Surtikanti. 2013. “Permasalahan Otonomi Daerah Ditinjau Dari Aspek Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Jurnal Ilmiah Unikom. Vol.11 No.1/2013. Penerbit Universitas Komputer. Bandung. Syaukani, H. dkk. 2002. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2000. Pembentukan Provinsi Banten. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2002. Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2004. Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2000. Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004. Pemerintahan daerah sebagaiman telah diganti dengan UU Nomor 23 Tahun 2014.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU DAN IMPLIKASINYA
Juli Panglima Saragih
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 20114. Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2000. Pembentukan Provinsi Gorontalo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1999. Pembentukan Provinsi Papua Barat (dulu Irian Jaya Barat). Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 46 Tahun 1999. Pembentukan Provinsi Maluku Utara. Yowono, Sony, dkk. 2005. Penganggaran Sektor Publik. Penerbit Bayumedia Publishing Malang. Jawa Timur. __________. 2006. Solusi Jitu Membangun Daerah. Penerbit CV. Arena Seni Jakarta. __________. 2010. Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perpektif Desentralisasi Fiskal.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
157
KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU DAN IMPLIKASINYA Juli Panglima Saragih
158
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
Artikel IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA: Kasus Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor
IMPLEMENTATION THE ACT No. 6 of 2014 About VILLAGE ADMINISTRATION: Case Study in Banjarwaru Village, Ciawi, Bogor Renny Savitri Peneliti Pusat Inovasi Kelembagaan dan Sumberdaya Aparatur Lembaga Administrasi Negara Abstrak: Hampir 2 tahun UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa diberlakukan di Indonesia. Namun ternyata pelaksanaan kebijakan ini masih menemui beberapa masalah sehingga belum memberikan hasil yang menggembirakan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis implementasi UU No.6 tahun 2014 tentang Desa di Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kab. Bogor. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama ini implementasi UU Desa di Desa Banjarwaru belum berjalan secara efektif karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu komunikasi, sumber daya, sikap dan struktur organisasi. Kata Kunci: Implementasi Kebijakan, UU Desa
Abstract: Nearly in 2 years, The Act No. 6 of 2014 about village has been enacted in Indonesia. During its implementation, this policy still having some problems and showing not so delicate results. The purpose of this study is to analyze the implementation of The Act in Banjarwaru Village, Ciawi, Bogor. The study used the qualitative approach and descriptive type of research. The study showed that the implementation of this policy in the Banjarwaru Village was not so effective since it influenced by several factors such as communication, resources, attitudes and organizational structure. Keywords: Policy Implementation, Act about Village
A. PENDAHULUAN Desa sudah ada jauh sebelum NKRI ini terbentuk. Setiap desa memiliki keistimewaan yang ditandai dengan tradisi, adat istiadat, dan hukumnya sendiri. NKRI sejak dulu sudah menga kui keistimewaan kedudukan desa tersebut. Pengakuan tersebut muncul dari wacana dan pemikiran para pendiri bangsa (the founding fathers) dalam sidang BPUPKI tahun 1945 yang kemudian menghasilkan Pasal 18 UUD 1945. Dalam penjelasan pasal 18 (2) Undang-Undang Dasar Negara Repu blik Indonesia Tahun 1945 (sebelum amandemen) disebutkan bahwa: “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbes-
turendelandchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-dae rah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.” Berdasarkan penjelasan UUD 1945 tersebut, Negara menempatkan desa sebagai lembaga otonom yang diakui
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
159
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA: Kasus Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor Renny Savitri
status dan hak-haknya secara khusus di luar kerangka sub-sistem pemerintahan daerah. Otonomi desa ini berbeda dengan otonomi daerah (Provinsi/ Kab/Kota). Kalau dalam kasus Provinsi/Kab/Kota suatu otonomi hanya bisa dimiliki jika didahului proses desentralisasi kewenangan dari Pusat (otonomi pemberian). Sedangkan otonomi Desa seperti yang diungkapkan Widjaja (2003:165) merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan meru pakan pemberian dari pemerintah, sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan. Pendapat lain dari Suryaningrat (1979:150) menyampaikan bahwa otonomi desa adalah wewenang dan kewajiban desa untuk mengatur dan menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Jadi, desa berhak mengatur dirinya sendiri dalam hal apapun terkait jalannya roda pemerintahan di desa asalkan tidak mengganggu integritas NKRI dan Pemerintah harus menghargai dan mengakui itu. Namun pada kenyataannya sampai sekarang pengakuan atas otonomi desa masih dipertanyakan. Hal ini disebabkan karena konsep otonomi desa memang tidak mempunyai rujukan konsep dan batasan yang jelas sehingga pengakuan terhadap otonomi desa mengalami pasang surut. Selama ini pengakuan otonomi desa tersebut hanya bersifat formalitas dan belum bersifat subtantif yang terlihat dari substansi berbagai peraturan yang te 160
lah diterbitkan pemerintah terkait de ngan desa. Pertama UU No. 22 tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini menempatkan desa (kota kecil, nagari, negeri, marga, dan lain-lain) sebagai daerah otonom bawahan. Lalu dalam UU No. 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, desa dijadikan Daerah Tingkat ke-III sebagai daerah otonom, bukan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang diakui negara. Kemudian UU No. 19 tahun 1965 tentang Desa Praja. UU ini ditujukan sebagai UU transisi untuk membentuk Daerah Tingkat III sebagaimana dimaksud dalam UU No. 18 tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam UU No. 19 tahun 1965 ini desa dijadikan dae rah otonom tingkat tiga dengan asas desentralisasi (hak otonomi) dan asas tugas pembantuan (medebewind). Pergantian rezim dari orde lama ke orde baru pada tahun 1966 pun membawa pengaruh besar dalam kehidupan bernegara. UU No 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Dae rah dibatalkan dan diganti dengan UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang PokokPokok Pemerintahan di Daerah. UU ini menerapkan sistem sentralistis dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah mulai dari provinsi sampai ke desa. Kemudian orde baru mengeluarkan UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dalam UU No. 5 tahun 1979 ini pemerintah menye ragamkan susunan kelembagaan dan organisasi desa. Desa ditempatkan sebagai satuan wilayah pemerintahan di bawah kecamatan. Dengan kata lain UU ini mengingkari keragaman nilainilai lokal yang dimiliki oleh berbagai daerah, padahal Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri atas berba gai macam suku bangsa yang sangat majemuk. Parahnya lagi UU ini berta
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA: Kasus Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor Renny Savitri
han cukup lama sampai dengan tahun 1999. Setelah jaman reformasi lahirlah UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah yang sudah mulai mengedepankan isu keragaman. Dengan UU ini desa diberi kebebasan untuk menggunakan nomenklatur lamanya dan mengadopsi lembaga lamanya sesuai dengan asal-usul dan adat istiadatnya. Namun pemerintah masih menempatkan desa sebagai bagian dari peme rintah daerah (kab/kota) dan desa belum diatur secara rinci misalnya belum jelasnya kewenangan desa. Selanjutnya lahirlah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Dae rah yang dilengkapi dengan PP No. 72 tahun 2005 yang secara spesifik meng atur tentang Desa. UU ini tidak jauh berbeda dengan UU no. 22 tahun 1999 dimana UU ini mengakui dan menghormati kewenangan asli yang berasal dari hak asal-usul. Sehingga UU ini juga masih menuai kritik karena hanya melihat desa sebagai unit administratif sederhana di bawah Kab/Kota. Peran desa direduksi sebatas urusan perbantuan, misalnya pendataan penduduk. Sehingga banyak yang menganggap model ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan model pengaturan desa masa UU No. 5 tahun 1979. Dari berbagai aturan tentang desa yang telah diuraikan tersebut terlihat bahwa seolah Negara mengabaikan keberadaan desa sebagai self-governing community. Akibatnya implementasi dari berbagai peraturan tentang desa belum berhasil mengangkat kese jahteraan masyarakat desa. Menurut Kemendagri, implementasi UU No. 32 tahun 2004 dan PP No. 72 tahun 2005 masih jauh dari harapan. Penyebabnya bermacam-macam: pemahaman lokal yang terbatas, keengganan daerah untuk menjalankan, daerah merasa rugi, tarik-menarik antara kabupaten dan
Desa, dan lain-lain (Depdagri, 2007: 6). Berdasarkan penelitian Bachrein (2010:133-149), beberapa permasalahan mendasar dalam pembangunan perdesaan menunjukkan gambaran kondisi ketertinggalan desa dari kota hampir di semua bidang yaitu: 1. Penyelenggaraan pemerintah desa umumnya masih sangat sederhana atau tradisional, kental dengan nuansa patronize dan menempatkan kepala desa dalam posisi yang superior (Tohidin, 2009). Pembentukan lembaga desa, seperti BPD, LPM, PKK, Gapoktan, dan lain-lain tidak didasarkan kepada kebutuhan nyata masyarakat desa tetapi lebih didasarkan kepada pemenuhan ketentuan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. 2. Kualitas aparat desa umumnya tergolong rendah, meskipun dari segi kuantitas tergolong cukup karena sebagian besar sudah sesuai dengan pola organisasi yang telah ditetapkan pemerintah, yaitu minimal sebanyak tujuh orang dan maksimal sebanyak Sembilan orang (Tohidin, 2009). 3. Program dan kegiatan pemberdayaan masyarakat desa dilaksanakan secara parsial oleh ma sing-masing departemen atau satuan organisasi perangkat daerah (SOPD) dengan membentuk kelembagaan baru yang bersifat “Top Down” dalam kerangka model pengembangan tertentu, sehingga merusak tatanan kelembagaan yang ada dan umumnya keberlanjutan kelembagaan baru tersebut sangat rendah atau sirna setelah program tersebut selesai. Dalam kaitan ini, desa dan masyarakatnya lebih diposisikan sebagai obyek pembangunan dengan partisipasi yang sangat
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
161
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA: Kasus Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor Renny Savitri
rendah. Hal ini diduga menjadi penyebab tumbuhnya perasaan apatis masyarakat desa karena dianggap kurang berkompeten untuk mengelola desanya sendiri 4. Penghasilan aparat desa sangat tergantung kepada kemampuan keuangan desa yang berasal dari tanah kas desa yang dimilikinya. Hal ini menyebabkan adanya kesenjangan penghasilan antar desa dengan luas dan kesuburan tanah kas desa yang sangat beragam. Di sisi lain, berbagai sumber penghasilan desa yang berasal dari pasar, terminal, objek pariwisata, sumberdaya alam, dan lain-lain yang sebelumnya merupakan milik desa diambil alih pengelolaannya, baik oleh pemerintah daerah kabupaten/kota atau swasta. Akibatnya, kemampuan desa untuk menjalankan otonominya menjadi terhambat. Kompleksitas permasalahan tersebut akhirnya memunculkan tuntutan yang kuat dari berbagai pihak untuk melakukan perubahan yang revolusioner. Ujungnya pada tanggal 18 Desember 2013 lahirlah UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa. UU ini juga telah diperkuat dengan terbitnya PP No 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 6 Tahun 2014, dan PP
No. 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang juga telah dirubah menjadi PP No. 22 tahun 2015. Pengesahan UU tentang desa yang baru ini memberi implikasi perubahan terhadap berba gai aspek. Dalam tabel 1. terlihat perbedaan antara perspektif desa lama vs desa baru. Lahirnya UU No.6 Tahun 2014 ini diharapkan menjadi momentum untuk bisa mencapai misi desa yaitu kuat, maju, demokratis dan mandiri. Kalau sebelumnya ada istilah otonomi desa, maka UU No. 6 Tahun 2014 tidak me ngenal konsep otonomi desa, melainkan menegaskan kemandirian desa atau desa mandiri. Dengan semakin luasnya kewenangan dan semakin besarnya anggaran yang masuk ke desa maka desa harus benar-benar siap untuk mengimplementasikan kebijakan ini dengan baik. Sampai saat ini sudah hampir dua tahun UU No. 6 tahun 2014 tentang desa diimplementasikan di Indonesia. Namun ternyata pelaksanaan kebijakan ini masih menemui beberapa kendala sehingga belum memberikan hasil yang menggembirakan. Salah satu contohnya adalah sejumlah masalah yang terjadi dalam pelaksanaan UU Desa di Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. “Beberapa persoalan utama yang
Tabel 1. Perspektif Desa Lama vs Desa Baru
Payung Hukum
Desa Lama
UU No. 32/2004 dan PP No. 72 tahun 2005 Asas Utama Desentralisasi-residualitas Kedudukan Sebagai organisasi pemerintahan yang berada dalam system pemerintah kabupaten/kota (local state government) Posisi dan Peran Kabupaten/Kota mempunyai keKabupaten/Kota wenangan yang besar dan luas dalam mengatur dan mengurus desa.
162
Desa Baru
UU No. 6 tahun 2014
Rekognisi-subsidiaritas Sebagai pemerintahan Masyarakat, hybrid antara self governing community dan local self government Kabupaten/kota mempunyai kewenangan yang terbatas dan strategis dalam mengatur dan mengurus desa; termasuk mengatur dan mengurus bidang urusan desa yang tidak perlu ditangani langsung oleh pusat
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA: Kasus Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor Renny Savitri
Desa Lama
Desa Baru
Delivery kewenangan dan program Politik tempat
Target
Mandat
Lokasi : Desa sebagai lokasi proyek dari atas
Posisi dalam pembangunan Model Pemba ngunan
Objek
Arena: Desa sebagai arena bagi orang desa untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan dan kema syarakatan Subjek
Government driven development Village driven development atau community driven development Pendekatan dan Imposisi dan mutilasi sektoral Fasilitasi, emansipasi dan konsolidasi tindakan
Sumber : Sutoro Eko dkk, 2014
menjadi alasan masyarakat Banjarwaru, di antaranya terjadi banyak program fiktif, dugaan kuat tindak pidana penyunatan dana pemba ngunan rata-rata 50 persen, pemo tongan dana bantuan bencana, pemotongan dana Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) per Kepala Keluarga 2 juta, dan tidak direali sasikannya Dana Desa sebesar 396 juta padahal telah ditransfer oleh Pemerintah dua hari sebelum bulan puasa. Selain itu, hampir semua Ketua RT dan RW termasuk BPD tak dilibatkan dan diberitahu dalam urusan keuangan dan program pembangunan. Yang lebih parah lagi, stempel BPD diduga kuat dipalsukan oleh Kades” (hallobogor. com, 2016) Pengelolaan dana desa yang tidak sesuai dengan prosedur ini tentunya akan menodai proses implementasi kebijakan UU Desa dan menghambat pencapaian tujuan kebijakan tersebut. Berdasarkan observasi awal diketahui bahwa terhambatnya implementasi UU Desa di Desa Banjarwaru ini adalah karena faktor buruknya komunikasi antara Kepala Desa dengan berbagai pihak terkait pelaksanaan UU Desa. Salah satu tokoh masyarakat Desa Banjarwaru, Heri Falcon menyatakan:
“RT, RW, dan tokoh masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam pembangunan. Padahal pembangunan tersebut diperuntukan bagi masya rakat. Tidak pernah dilibatkannya masyarakat dalam pembangunan artinya perilaku koruptif semakin kuat dan itu terbukti. Maka saya sebagai tokoh pemuda meminta Kepala Desa ditangkap dan diadili karena kami mempunyai bukti konkrit Kepala Desa melakukan korupsi,” (hallobogor.com, 2016) Hal ini diperkuat dengan pendapat Tata (Ketua RW 07, Desa Banjarwaru), yang menyatakan bahwa komunikasi antara Kepala Desa dengan BPD dan ketua-ketua RW/RT dilingkungannya masih kurang. Dalam sebuah wawancara dengan penulis, beliau menyatakan: “Itu yang menjadi kendala, jadi pembangunan di wilayah ini dilakukan tanpa ada musyawarah sebe lumnya. Contohnya di beberapa RW, tanpa ada musyawarah dan pemberitahuan, tiba-tiba datang barang aja. Kami selaku masyarakat di wilayah menginginkan ada ke transparansian baik dalam hal dana, karena memang hal ini sensitif, bahkan ada beberapa masyarakat yang bertanya, tapi karena kami pun se-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
163
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA: Kasus Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor Renny Savitri
laku ketua RW tidak tahu dan tidak ada transparansi, maka kami tidak bisa menjawab. Kalau ada transpa ransi ke RW/RT mungkin kami bisa mensosialisasikan ke warga.” Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana Implementasi UU No. 6 tahun 2014 tentang desa dengan melihat kasus di Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. B. TEORI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK Suatu kebijakan publik akan melalui beberapa tahapan yaitu formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan yang tentunya membutuhkan keterlibatan banyak pihak. Dalam penelitian ini, penulis akan menyoroti tahapan implementasi kebijakan khususnya UU No. 6 tahun 2014 tentang desa. Secara sederhana implementasi kebijakan publik dapat diartikan sebagai proses pelaksanaan suatu kebijakan publik. Proses pelaksanaan ini bisa saja berhasil dengan baik sesuai de ngan yang diharapkan, namun tidak jarang proses pelaksaaan kebijakan ini mengalami kegagalan. Menurut Hogwood dan Gunn (1998), suatu kebijakan memiliki resiko untuk gagal karena disebabkan oleh faktor-faktor berikut: 1. pelaksanaan yang buruk (bad execution) 2. kebijakan sendiri memang buruk (bad policy), atau 3. kebijakan itu memang bernasib buruk (bad luck) Implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan karena di dalam proses ini terlaksananya manajemen pencapaian tujuan untuk memecahkan permasalahan praktis di lapangan. Menurut Meter dan Horn pengertian 164
implementasi kebijakan adalah: “Those actions by public individuals (or Groups) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions.”(Implementasi kebijakan sebagai tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang te lah digariskan dalam keputusan kebijakan) (Wahab, 2004:65) Menurut George C. Edwards III (1980), terdapat empat faktor atau variable utama yang dapat mempenga ruhi implementasi kebijakan yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi (sikap) dan struktur birokrasi. Menurut Edward III berbagai faktor tersebut secara aktual seringkali muncul secara simultan sehingga faktor-faktor tersebut dibahas secara bersamaan: 1. Faktor Komunikasi Edward III menyatakan bahwa: “For implementation to be effective, those whose responsibility it is to implement a decision must know they are suppose to do. Orders to implement policies must be transmitted to the appropriate personel, and they must be clear, accurate, and consistent.” (Agar implementasi kebijakan berjalan dengan efektif, maka pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas harus memahami secara baik hal-hal yang dilaksanakan. Perintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut harus ditransmisikan kepada pihak yang tepat, jelas, akurat dan konsisten.) Bila pesan yang disampaikan tidak spesifik dan tidak jelas maka dikhawatirkan akan terjadi kesalahpahaman mengenai apa yang harus dilaksanakan. Dengan kata lain
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA: Kasus Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor Renny Savitri
agar proses implementasi kebijakan berjalan sesuai dengan yang diharapkan maka hal penting yang harus diperhatikan pada aspek komunikasi adalah transmission, clarity, dan consistency. Ketiga aspek tersebut perlu untuk dihadirkan secara bersamaan, karena bila salah satu dari aspek tidak terpenuhi, maka sulit diharapkan akan tercapai komunikasi yang efektif. Hal ini pada akhirnya akan berpengaruh secara signifikan terhadap hasil implementasi. 2. Sumber Daya
Sumber kedua yang cukup pen ting untuk diperhatikan dalam mekanisme pelaksanaan kebijakan adalah informasi. Informasi ini terdiri dari dua bentuk yakni cara melaksanakan kebijakan tersebut dan data yang diperlukan. Dengan demikian agar pelaksanaan kebijakan efektif maka petugas pelaksana (implementor) harus memahami apa yang harus dikerjakan dan memiliki informasi mengenai kesesuaian antara peraturan yang ada dengan kegiatan yang dilaksanakan.
Sumber Daya merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi efektivitas implementasi kebijakan. Mengenai hal ini Edward III menyatakan bahwa:
Sumber daya ketiga yang juga perlu mendapat perhatian adalah kewenangan (authority) agar dapat melaksanakan kebijakan secara efektif diperlukan adanya kewena ngan yang memadai. Hal ini menjadi sangat krusial manakala untuk mekanisme pelaksanaan melibatkan berbagai unit pelaksana dan mungkin saja berasal dari berbagai tingkatan organisasi.
“No matter how clear and consistent implementation orders and no matter how accurately they are transmitted, if the personel responsible for carrying out policies lack the resources to do an effective job implementation will not be effective. Important resources include staff of the proper size and with the necessary expertise; relevant land dequate information on how to implement policies and on complience of others involved in implementation; the authority to ensure tahta policies are carried out as they are intended; and facilities buildings, equipment, land, and supplies) in which or with to provide services.” Aspek yang paling krusial dalam implementasi kebijakan adalah staf atau tenaga pelaksana. Dalam hal ini Edward III berpendapat beberapa komponen yang harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh yakni adalah jumlah tenaga pelaksana (size) dan keahlian/kemampuan (skill).
Sumber daya selanjutnya yang diperlukan adalah fasilitas fisik (prasarana) tersedianya fasilitas fisik yang memadai juga merupakan sumber daya yang penting. Seorang implementor mungkin saja memiliki tenaga yang cukup, memahami hal-hal yang seharusnya dilaksanakan, memiliki kewenang an yang memadai tetapi bila tanpa dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang cukup, maka implementasi kebijakan yang efektif ada relative sulit untuk dicapai. 3. Disposisi (Sikap) Edward III menyampaikan:
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
“The dispositions or attitudes of implementers is the third critical factor in our approach to the study of public policy implementation. If implementation is to proceed ef165
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA: Kasus Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor Renny Savitri
fectively,not only must implementors know what to do and have the capability to do it, but they must also desire to carry out a policy. Most implementers can exercise considerable discretion in the implementation of policies.” Jadi untuk dapat melaksanakan suatu kebijakan tidak cukup hanya dengan pemahaman dan kemampuan saja, melainkan juga memerlukan adanya kemauan untuk melaksanakannya. Dalam hal ini diperlukan adanya kesesuaian sikap dan persepsi antara pembuat kebijakan dengan aparat pelaksana. Bila sikap dan persepsi tenaga pelaksana/implementor berbeda dengan sikap dan persepsi pembuat keputusan/decision maker, maka proses implementasi akan menjadi tidak efektif karena implementor umumnya memiliki diskresi, maka sikap terhadap kebijakan yang ada seringkali menjadi hambatan yang cukup mengganggu. Implementor dapat mempergunakan hak diskresi ini karena bebe rapa alasan ketidak-tergantungan dari pihak formulator kebijakan dan adanya kompleksitas dari kebijakan itu sendiri. 4. Struktur Birokrasi Terkait hal ini, Edward III menyatakan: “Organizational fragmentation may hinder the coordination necessary to implement successfully a complex policy requiring the cooperation of many people, and it may also waste scarce resource, inhibit change, create confusion, lead to policies working at cross-purposes, and result in important functions being overlooked. As organizational units administer policies they develop standard operating 166
procedures (SOPs) to handle the routine situations with which they regularly deal.” Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi yang baik. Dua karakteristik, menurut Edward III, yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi ke arah yang le bih baik adalah: melakukan Standar Operating Procedures (SOP) dan melaksanakan Fragmentasi. SOP adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai (atau pelaksana kebijakan/administrator/ birokrat) untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya pada tiap harinya sesuai dengan standar yang ditetapkan. Sedangkan pelaksanaan fragmentasi adalah upaya penyebaran tanggung jawab kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas pegawai diantara beberapa unit kerja. (Agustino, 2006) C. METODE PENELITIAN Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang bertujuan memberikan deskripsi, gambaran tentang suatu fenomena sosial tertentu. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menerapkan beberapa teknik antara lain: a. Data Primer • Metode In-depth Interview/ wa wancara mendalam • Pengamatan /Observation b. Data Sekunder • Studi Kepustakaan Setelah data terkumpul, maka data tersebut akan diolah dan dianalisis. Untuk data hasil wawancara mendalam, pengolahan data dilakukan de ngan mentranskrip hasil wawancara
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA: Kasus Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor Renny Savitri
untuk kemudian dianalisis, sedangkan untuk data yang berasal dari studi pustaka, penulis menyalin/mengutip sebagian isi dari dokumen yang bersangkutan dengan menyertakan sumber secara lengkap. D. IMPLEMENTASI UU NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA DI DESA BANJARWARU, KECAMATAN CIAWI, KABUPATEN BOGOR Bagian pembahasan ini akan menguraikan perkembangan implementasi UU Desa di Desa Banjarwaru berdasarkan 4 faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan menurut teori George Edward III. 1. Komunikasi Implementasi suatu kebijakan pu blik akan efektif apabila para pelaksana suatu kebijakan sudah mengetahui apa yang harus dikerjakan. Oleh karena itu suatu kebijakan harus disosialisasikan dengan baik kepada para pihak terkait. Begitu juga dalam UU Desa, komunikasi memegang peranan penting karena dalam pelaksanaannya melibatkan banyak pihak terkait. Menurut Edward III, terdapat 3 indikator yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan komunikasi dalam implementasi kebijakan, yaitu, transmisi, kejelasan dan konsistensi. Apabila transmisi atau penyaluran komunikasinya baik maka suatu kebijakan juga bisa diimplementasikan dengan baik. Selain itu informasi yang diterima oleh berbagai pihak yang terkait dengan kebijakan tersebut harus jelas dan konsisten. Jangan sampai informasi yang disampaikan memiliki makna ambigu sehingga membi ngungkan para pelaksana. Dalam implementasi UU Desa, sosialisasi telah dilakukan secara bertingkat, baik dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten, maupun oleh tingkat kecamatan terhadap desa. Namun sampai
di tingkat Desa Banjarwaru, penyalu ran komunikasi menjadi terhambat dimana pemerintah desa Banjarwaru sangat jarang melakukan sosialisasi atau pertemuan dengan pihak RT/RW ataupun masyarakat desa itu sendiri terkait pelaksanaan UU Desa. Selama ini Pemerintah Desa Banjarwaru hanya menjadwalkan kegiatan pembinaan RT/RW setiap 3 bulan sekali (4 kali/ tahun) dalam rangka membina RT/RW terkait pelaksanaan tugas, fungsi dan kewajibannya. Begitu juga dengan kegiatan musrenbangdes yang seharusnya juga bisa dijadikan sebagai salah satu saluran komunikasi formal di desa belum dimanfaatkan secara maksimal oleh Pemerintah Desa Banjarwaru, ini terlihat dari wawancara dengan Tata (Ketua RW 07) yang menyatakan bahwa sampai bulan Mei 2016 belum ada musrenbangdes di Desa Banjarwaru. Selain itu, saluran komunikasi informal dalam implementasi UU Desa di Desa Banjarwaru juga belum berjalan dengan optimal. Kepala Desa Banjarwaru sangat jarang turun ke RT/RW di wilayahnya untuk melihat perkemba ngan pembangunan atau hanya sekedar bersilaturrahmi dengan Ketua RT/ RW terkait berbagai permasalahan di wilayahnya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Tata (Ketua RW 07) sebagai berikut: “Ga ada, selama ini hanya sebatas kalau ada acara dan tidak setiap wilayah yang dikunjungi. Misalnya ada acara maulid nabi, rajab, dll. Kalau untuk sengaja turun mengontrol perkembangan pembangunan atau permasalahan di wilayahnya selama ini belum ada.” Berikutnya adalah dari segi kejelasan informasi yang diterima. Setiap pelaksana kebijakan harus bisa memahami informasi terkait suatu kebijakan. Oleh karena itu, informasi terkait suatu kebijakan itu harus jelas.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
167
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA: Kasus Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor Renny Savitri
UU No.6 tahun 2014 tentang Desa telah diturunkan ke dalam berbagai peraturan di bawahnya, mulai dari PP, Permendagri, Permendes PDTT, Perda Kab. Bogor, maupun Perbup Bogor. Menurut penulis, aturan yang ada dalam berbagai peraturan tersebut sebagian besar sudah cukup jelas, namun memang ada beberapa bagian yang masih membingungkan. Menurut Kasi Pemerintahan Kecamatan Ciawi (Tri Subiyati), pemahaman para perangkat kecamatan maupun desa masih kurang, karena UU ini juga masih terbilang baru, sehingga masih sangat diperlukan berbagai pelatihan/bimtek seputar implementasi UU Desa. Selanjutnya dari segi konsistensi, informasi dalam suatu kebijakan itu harus konsisten dan tidak sering ber ubah-ubah. Apabila informasi dalam suatu kebijakan sering berubah-ubah maka implementasi suatu kebijakan juga tidak akan berjalan secara efektif. UU No.6 tahun 2014 tentang Desa ini memang tergolong baru. Ini meru pakan perubahan besar terhadap aturan desa yang selama ini berlaku yang berpedoman pada UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan dae rah. Perubahan pedoman ini tentunya membawa perbedaan pengaturan baik dari segi kelembagaan, kewenangan maupun dari sistem penyelenggaraan pemerintahan desa itu sendiri. Adanya perubahan ini maka para perangkat Desa Banjarwaru pun sekarang masih dalam tahap menyesuaikan diri de ngan aturan baru karena aturan-aturan dalam berbagai peraturan pelaksanaan UU Desa ini kadang masih berubah-ubah. Misalnya aturan terkait pencairan Dana Desa, dimana pada tahun 2015 dilakukan secara 3 tahap (40%: 40%: 20%), namun pada tahun 2016 ini hanya dilakukan dengan 2 tahap (60%: 40%). Berdasarkan data yang diperoleh 168
tersebut, maka dapat dikatakan komunikasi dalam implementasi UU Desa di Desa Banjarwaru belum efektif, baik dari segi transmisi belum dimanfaatkan secara optimal, maupun dari segi kejelasan dan segi konsistensi juga masih kurang. 2. Sumber Daya SDM merupakan sumber daya utama dalam suatu organisasi. Implementasi kebijakan UU Desa ini tidak akan berhasil tanpa dukungan para pelaksana yang mengerti isi kebijakan. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 84 tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa, perangkat desa yang membantu kepala desa adalah terdiri atas: a. Sekretariat Desa, yang dipimpin oleh sekretaris desa dan dibantu oleh staf sekretariat. Sekretariat Desa paling banyak terdiri atas 3 (tiga) urusan yaitu urusan tata usaha dan umum, urusan keuangan, dan urusan perencanaan, dan paling sedikit 2 (dua) urusan yaitu urusan umum dan perencanaan, dan urusan keuangan. b. Pelaksana Kewilayahan Pelaksana Kewilayahan dilaksana kan oleh kepala dusun atau sebutan lain yang ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Bupati/Walikota dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. c. Pelaksana Teknis Pelaksana Teknis paling banyak terdiri atas 3 (tiga) seksi yaitu seksi pemerintahan, seksi kesejahteraan dan seksi pelayanan, paling sedikit 2 (dua) seksi yaitu seksi pemerintahan, serta seksi kesejahteraan dan pelayanan. Saat ini Pemerintah Desa Banjarwaru didukung oleh 8 orang personil de ngan rincian seperti pada tabel 2.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA: Kasus Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor Renny Savitri
Tabel 2. Perangkat Desa Banjarwaru 2014-2020
No. Nama 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Iip Syaripudin Wahidi Heni Nuryani S.Sos Oman Abdurahman Darwis Arifin Sugandi Empi Rumampi, AMd Neneng Arahman Rosadi
Jenis Kelamin L P L L L P P L
Jabatan Kepala Desa Sekdes Kasi Pemerintahan Kasi Pembangunan Kasi Kesra Kaur Keuangan Bendahara Staf Kaur Umum/OB
Selain itu, perangkat desa ini juga dibantu oleh para pelaksana kewilayahan yaitu 3 kepala dusun, 10 ketua RW, dan 35 ketua RT. Berdasarkan data tersebut maka dapat dilihat bahwa Pemerintah Desa Banjarwaru masih kekurangan SDM dalam mendukung implementasi UU Desa. Hanya terdapat 1 Kaur Keuangan yang membantu Sekdes Banjarwaru. Padahal dalam aturannya, paling sedikit ada 2 kaur yaitu kaur umum dan perencanaan dan kaur keuangan. Selanjutnya dari segi kualitas, SDM dipengaruhi oleh pendidikan formal dan pengalaman kerja, serta pendidikan dan pelatihan yang pernah diterimanya. Dari segi latar belakang pendidikan formal, perangkat desa Banjarwaru bisa dikatakan telah memenuhi syarat dimana sebagian besar adalah lulusan SMA, bahkan ada juga yang lulusan S-1 dan D-3. Sedangkan kalau dari pengalaman kerja, sebagian besar perangkat Desa Banjarwaru ini adalah orang baru dalam urusan pemerintahan yang merupakan orang bawaan dari Kepala Desa. Hal ini di nyatakan oleh Kepala Desa Banjarwaru (Iip Syaripudin W) dalam wawancara dengan penulis sebagai berikut: “Biasanya sudah tidak aneh ya, setiap pergantian kepala desa, stafstaf nya juga ganti. Tapi kalau saya sih ga, masih ada staf yang lama. Ditambal sulam dengan yang baru. Kalau yang baru ya dari tim sukses
Umur 55 48 46 48 44 38 46 56
thn thn thn thn thn thn thn thn
Pendidikan SLTA S-1 SLTA SLTA SLTA D3 SLTA SD
saya. Karena kalau tidak dibersihkan suka jadi hambatan. Tapi kalau saya lillahi ta’ala ya, dipadukan yang senior dan junior. Tapi ada yang lama itu mengundurkan diri nya sendiri, karena mungkin rasa malu atau kenapa saya ga tau.” Begitu juga dengan Kepala Desa Banjarwaru itu sendiri, beliau adalah orang baru dalam dunia pemerintahan. Sebelumnya beliau memiliki latar belakang pekerjaan di bidang peternakan sapi. Sehingga beliau belum memiliki banyak pengalaman dalam dunia pemerintahan. Selanjutnya dari segi pendidikan dan pelatihan yang pernah diikuti. Sejak diberlakukannya UU No.6 tahun 2014 ini sebenarnya baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sudah banyak melakukan kegiatan-kegiatan berupa sosialisasi, pelatihan, bimbing an teknis dan sejenisnya untuk para perangkat desa. Namun berdasarkan wawancara dengan Kasi Pemerintahan Kecamatan Ciawi (Tri Subiyati), pelatihan/bimtek selama ini belum cukup dan saat ini masih sangat dibutuhkan berbagai pelatihan/bimtek baik untuk para perangat desa maupun pemerin tah kecamatan. Dari fakta tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dari segi kuantitas maupun kualitas, SDM di Desa Banjarwaru masih kurang untuk mengimplementasikan UU Desa. Sumber daya selanjutnya adalah wewenang. Dengan adanya
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
169
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA: Kasus Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor Renny Savitri
wewenang yang jelas maka para pelaksana memiliki otoritas untuk melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan. Sebagaimana kita ketahui bahwa UU No.6 tahun 2014 memberi desa kewenangan yang lebih luas dari pada aturan sebelumnya. Dengan luasnya kewenangan desa saat ini maka memberi keleluasaan bagi para pelaksana untuk mengimplementasikan UU Desa. Dalam Pasal 19, UU No. 6 tahun 2014 disebutkan bahwa kewenangan desa meliputi: a. Kewenangan berdasarkan hak asal-usul. b. Kewenangan lokal berskala desa c. Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota d. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan per undang-undangan Ketersediaan dana dan fasilitas berupa sarana dan prasarana juga meru pakan sumber daya yang turut serta menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Saat ini Pemerintah Desa Banjarwaru telah memiliki kantor desa yang cukup memadai. Begitu juga dengan dana, dengan diberlakukannya UU Desa, saat ini Desa Banjarwaru telah memiliki sumber pendapatan yang cukup besar yang bersumber dari PADes, Dana Desa, Alokasi Dana Desa, Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah Kab/Kota, Bantuan Keuangan dari Provinsi dan Kab/Kota, dan juga hibah. Dari berbagai sumber tersebut, pada tahun 2015 Desa Banjarwaru memperoleh pendapatan sebesar Rp. 1.502.051.877,-. Jumlah tersebut sudah cukup memadai untuk membiayai biaya operasional dan juga pembangunan desa selama setahun. 170
3. Disposisi/Sikap Sikap para pelaksana akan sangat mempengaruhi pelaksanaan suatu kebijakan. Apabila para pelaksana memiliki sikap positif atau mendukung kebijakan, maka tingkat keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan akan semakin tinggi. Begitu juga sebaliknya, apabila para pelaksana tidak mendukung suatu kebijakan, maka pelaksanaan suatu kebijakan juga akan menjadi terkendala. Sikap para pelaksana tersebut terlihat dari tingkat kepatuhan dalam mengikuti aturan atau prosedur yang telah ditetapkan. Dari hasil penga matan penulis diketahui bahwa peme rintah Desa Banjarwaru mendukung dan berusaha mengikuti berbagai atu ran dan prosedur yang telah ditetapkan dalam berbagai kebijakan terkait desa. Namun kepatuhan tersebut hanya sebatas pada hal-hal yang memberikan keuntungan. Misalnya dalam penyaluran dana desa, ada persyaratan membuat berbagai peraturan desa. Selama ini para perangkat desa hanya meng anggap perdes perdes tersebut sebagai formalitas sebagai syarat admi nistratif pencairan anggaran, sehingga mereka tidak memperhatikan sama sekali kualitas perdes yang dihasilkan. Hal ini bisa dilihat dari kualitas perdes yang dihasilkan oleh Pemerintah Desa Banjarwaru yang dapat dikatakan masih kurang layak, dimana penulis masih menemukan banyak kesalahan dari segi tata naskah diantaranya salah ketik (typo), data yang tidak akurat dan tidak konsisten, dll. Salah satu cara mempengaruhi agar para pelaksana suatu kebijakan memiliki sikap positif adalah dengan memberikan insentif yang cukup. Dalam tabel berikut ini akan disajikan perkiraan jumlah insentif yang diterima setiap bulannya oleh para perangkat desa Banjarwaru pada tahun 2015.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA: Kasus Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor Renny Savitri
Tabel 3. Penghasilan Perangkat Desa Banjarwaru 2015
No Jabatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kepala Desa Sekretaris Desa Kepala Urusan Bendahara Operator Staf Kaur /OB Kepala Dusun
Penghasilan Tetap 4.500.000 3.150.000 2.250.000 1.500.000 1.500.000 1.000.000 100.000
Tambahan Penghasilan 500.000 350.000 300.000 250.000 250.000 75.000 -
Jumlah
5.000.000 3.500.000 2.550.000 1.750.000 1.750.000 1.075.000 100.000
Sumber : RKPDes Banjarwaru Tahun 2015
Berdasarkan pengamatan penulis, jumlah insentif yang diterima oleh para perangkat Desa Banjarwaru saat ini sudah cukup layak dibandingkan dengan penghasilan perangkat desa sebelum ada UU Desa. Namun ternyata pemberian insentif yang cukup besar ini belum secara signifikan berpengaruh positif terhadap sikap para perangkat Desa Banjarwaru untuk memberikan kinerja yang lebih baik. Tingkat kepatuhan dan dedikasi para perangkat Desa Banjarwaru dalam mengimplementasikan UU Desa masih kurang. Terlihat dari beberapa hasil pekerjaannya yang terkesan “asal jadi” dan kurang memperhatikan kualitas. 4. Struktur/Birokrasi Lahirnya UU No.6 tahun 2014 tentang desa ini menyebabkan perubahan besar dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan desa. Di dalamnya terdapat berbagai aturan atau prosedurprosedur (SOP) yang harus diterapkan di desa. Selain itu kebijakan ini cu kup kompleks sehingga UU Desa juga menuntut keterlibatan banyak pihak. Ketika terdapat aturan yang rumit dan hubungan yang tidak baik dalam struktur birokrasi tersebut, maka implementasi kebijakan juga akan terhambat. Menurut pengamatan penulis, ber bagai prosedur yang ditetapkan dalam UU Desa dan berbagai peraturan pelaksanaannya masih terbilang cu kup rumit. Contohnya dalam prosedur
pengelolaan dana desa. Mulai dari perencanaan, penyaluran sampai dengan pertanggungjawaban banyak sekali prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh Desa. Selain itu sistem akuntansi yang digunakan juga tidak sederhana sehingga cukup menyulitkan SDM di Desa. Hal ini senada dengan pernyataan yang disampaikan oleh Kepala Desa Banjarwaru (Iip Syaripudin) dalam wawancara dengan penulis sebagai berikut: “Seharusnya laporan SPJ nya dipersimple saja. Kemarin juga sudah ngomong ke inspektorat, mereka juga mengakui. Jadi nanti SPJSPJ dipertangggungjawabkan oleh desa. Tapi aturannya banyak, jadi kita juga takut terjebak.” Selain ketersediaan standar operasional prosedur, fragmentasi organisasi juga mempengaruhi struktur birokrasi. Tanggungjawab dalam mengimplementasikan suatu kebijakan sering tersebar pada beberapa unit kerja. Begitu juga dalam implementasi UU Desa khususnya di Desa Banjarwaru. Misalnya dalam hal pengelolaan keuangan desa dimana banyak pihak terlibat di dalamnya diantaranya Desa, Camat, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD), Dinas Pengelolaan Keuangan dan Barang Daerah (DPKBD), dll. Masing-masing pihak memiliki peran dan fungsi tertentu sehingga dibutuhkan koordinasi yang baik antar beberapa unit kerja
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
171
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA: Kasus Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor Renny Savitri
yang terlibat. Ketidakharmonisan hubungan antara beberapa unit kerja dalam suatu struktur birokrasi akan menghambat implementasi suatu kebijakan. Misal nya pada tahun 2015 lalu, di Kecamatan Ciawi sempat terjadi sebuah kesalahpahaman antara Camat dan para kepala desa, termasuk dengan Kepala Desa Banjarwaru. Kesalahpahaman ini dipicu oleh rekomendasi pengajuan alokasi dana desa (ADD) tak kunjung ditandatangani oleh camat. Tindakan camat ini dianggap sangat menghambat proses pembangunan di desa-desa. (radar bogor, 2015). Akibat hubu ngan yang tidak harmonis tersebut maka implementasi kebijakan UU Desa pun menjadi terhambat. E. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi UU No.6 tahun 2014 tentang Desa di Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor belum berjalan secara efektif karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: 1. Komunikasi yang belum efektif, baik dari segi transmisi belum dimanfaatkan secara optimal, maupun dari segi kejelasan dan segi konsistensi juga masih kurang. 2. Kurangnya jumlah dan kualitas sumber daya manusia 3. Sikap para perangkat Desa Banjarwaru yang kurang memperhatikan kualitas pekerjaan 4. Prosedur administrasi keuangan desa yang cukup rumit dan melibatkan banyak pihak 2. Saran 1. Kepala Desa Banjarwaru harus sering melakukan pertemuan baik secara formal maupun informal dengan para pelaksana di wilayahnya (RT/RW) untuk me 172
2.
3.
4.
5.
ngontrol perkembangan pembangunan maupun pemberdayaan masyarakat agar lebih bisa memahami permasalahan yang dihadapi dalam rangka implementasi UU Desa. Pemerintah Desa Banjarwaru perlu menambah jumlah SDM khususnya untuk menjadi Kepala Urusan Umum dan Perencanaan dengan memperhatikan kapasitas dan kompetensinya dalam perekrutan. Pemerintah Kabupaten Bogor dan Kecamatan Ciawi perlu meningkatkan pembinaan/pelatihan/ bimbingan teknis kepada para perangkat desa terkait berbagai peraturan pelaksanaan UU Desa guna menambah kompetensi dan pemahaman mereka. Pemerintah supra desa harus meningkatkan dukungan baik secara moril maupun materil agar bisa meningkatkan kesadaran dan motivasi para perangkat Desa Banjarwaru untuk patuh dan memiliki dedikasi tinggi dalam bekerja. Pemerintah Pusat perlu melakukan penyederhanaan rentang birokrasi dalam UU Desa sehingga implementasinya bisa berjalan lebih efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA: Agustino, Leo. 2006. Dasar – Dasar Kebijakan Publik. CV. Alfabeta. Bandung. Bachrein, Saeful. Pendekatan Desa Membangun Di Jawa Barat: Strategi dan Kebijakan Pembangunan Perdesaan. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 8 No. 2, Juni 2010: 133-149. Bappeda Jabar. Bandung Departemen Dalam Negeri. 2007. Naskah Akademik RUU Desa. Departemen Dalam Negeri. Jakarta. Edward III, George C. 1980. Imple-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA: Kasus Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor Renny Savitri
menting Public Policy. Congressional Quarterly Press. Washington DC. Eko, Sutoro, dkk. 2014. Desa Membangun Indonesia. Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD). Yogyakarta. Hogwood, Brian W. and Lewis A. Gunn. 1984. Policy Analysis for the Real World. Oxford University Press. New York. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 84 tahun 2015. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014. Peraturan Pelaksanaan UU No 6 Tahun 2014. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015. Perubahan atas PP No. 60 tahun 2014. Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2014. Dana Desa. Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005. Desa. Suryaningrat, Bayu. 1979. Desa dan Kelurahan. Rineka Cipta. Jakarta. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965. Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965. Desa Praja. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979. Pemerintahan Desa. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Desa. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Pokok Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Pokok-Pokok Pemerintahan di Dae rah. Wahab, Solihin Abdul. 2004. Analisis Kebijaksanaan: dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Widjaja, H.A.W. 2003. Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat dan Utuh. Raja Grafindo Persada. Jakarta. __________. 13 Kades Minta Camat Ciawi Dimutasi. Harian Radar Bogor. Rabu, 3 Juni 2015. __________. Warga Banjarwaru: Kades Rampok Uang Rakyat. hallobogor.com. 17 Juli 2016.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
173
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA: Kasus Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor Renny Savitri
174
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
Artikel PERBANDINGAN MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA, INDONESIA, DAN SINGAPURA DALAM PERSPEKTIF PUBLIC SERVICE BARGAINS
COMPARATIVE STUDY OF SENIOR EXECUTIVE SERVICE PRACTICES IN AUSTRALIA, INDONESIA, AND SINGAPORE: A PUBLIC SERVICE BARGAINS PERSPECTIVE Muhamad Imam Alfie Syarien Analis Kebijakan Lembaga Administrasi Negara
Abstrak: Reformasi manajemen sumber daya manusia aparatur telah menjadi agenda utama dalam reformasi sektor publik di banyak negara. Salah satu aspek yang menjadi kunci reformasi ini adalah jabatan senior birokrasi, sekelompok jabatan tinggi dalam birokrasi pemerintahan yang memiliki perbedaan nyata dibandingkan dengan pengelolaan pegawai negeri pada umumnya. Tulisan ini membandingkan manajemen jabatan senior birokrasi di tiga negara Asia-Pasifik, yaitu Australia, Indonesia, dan Singapura yang secara karakteristik mencermin kan sampel dengan most different systems. Menggunakan lensa teori Public Service Bargains, tulisan ini menemukan bahwa ketiga negara memiliki tipe pengelolaan yang sama. Kombinasi dimensi-dimensi pembentuk public service bargains: kompetensi, kompensasi, dan loyalitas, di masing-masing negara turut memengaruhi kompatibilitas dan efektivitas dalam pelaksanaan manajemen jabatan senior birokrasi. Kata Kunci: Jabatan senior birokrasi, public service bargains, loyalitas
Abstract: Civil service reform has been a major agenda in public sector reform in many countries. One of the key aspects in this reform is the senior executive, defined as a group of high-level position within the government bureaucracy that is managed differently with other groups in the civil service. This article tried to compare the management of senior executives in three Asia-Pacific countries, namely Australia, Indonesia, and Singapore based on the logical framework of most different systems.Using the public service bargains theory as the main lens, the author found that the three countries share same type of bargain as their way of managing senior executive. Combination between three dimensions of public service bargains: competency, reward, and loyalty shapes compatibility and effectiveness of the senior executive management in each sample country Keywords: senior executive service, public service bargains, loyalty
A. PENDAHULUAN Reformasi manajemen sumber daya manusia aparatur telah menjadi salah satu agenda utama dalam reformasi sektor publik di banyak negara, terutama sejak gelombang New Public Mana gement (NPM) menguat pada dekade 1980-an. Paradigma NPM bertujuan menanamkan semangat pengelolaan sektor privat dan memperkenalkan nilai-nilai seperti orientasi pelanggan, inovasi, dan kinerja ke dalam sektor publik. Untuk dapat menjalankan pe-
rubahan paradigma ini secara efektif, dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dan memiliki motivasi untuk bekerja secara profesional. Secara historis, birokrasi pemerintah lebih akrab dengan pendekatan sentralistis, meminta arahan atasan, dan kontrol pimpinan kepada pegawai (Argyriades 2010). Lebih lanjut, Argyriades menyatakan bahwa ciri ini dapat ditemukan secara umum di ba nyak konteks, termasuk di Eropa dan
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
175
PERBANDINGAN MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA, INDONESIA, DAN SINGAPURA DALAM PERSPEKTIF PUBLIC SERVICE BARGAINS Muhammad Imam Alfie S
Asia, karena merefleksikan nilai-nilai kepatuhan yang berkembang di orga nisasi-organisasi sosial yang berkembang di wilayah tersebut seperti ke luarga, organisasi berbasis agama, institusi pendidikan, dan masyarakat pada umumnya. Oleh sebab itu, dalam birokrasi, pejabat senior memiliki pe ran yang sangat vital karena tidak hanya sebagai pemberi perintah namun juga sebagai pembentuk nilai dalam birokrasi. Peran yang strategis dari pejabat senior birokrasi ini menjadikan perubahan manajemen jabatan senior birokrasi menjadi salah satu instrumen utama yang dikembangkan dalam reformasi manajemen SDM aparatur. Di negara-negara berkembang, kebijakan pembentukan jabatan senior birokrasi umumnya ditempuh sebagai solusi atas kesulitan (atau kegagalan) mereka dalam mereformasi sektor publik (World Bank 2012). Narasi yang dibangun dalam perubahan manajemen jabatan senior birokrasi pada umumnya diadaptasi dari praktik-praktik di sektor privat. Para pejabat senior (chief executives) di sektor privat pada umumnya bertanggung jawab mendorong inovasi di bidangnya masing-masing. Dalam menjalankan tanggung jawab tersebut, mereka tidak mudah untuk diintervensi oleh para pemegang saham, sehingga memiliki sejumlah otonomi. Selain itu, mereka juga diberikan insentif berupa remunerasi yang besar karena tanggung jawab yang juga besar itu. Tiga aspek ini: tanggung jawab, independensi, dan remunerasi, jugalah yang menjadi kanal-kanal utama reformasi manajemen jabatan senior birokrasi (Choi 2012). Kajian ini dilakukan untuk membandingkan manajemen pejabat senior birokrasi di tiga negara Asia dan Pasifik, yaitu Australia, Indonesia, dan Singapura. Ketiganya memiliki kedekatan secara geografis, namun 176
perbedaan diantara ketiga negara ini yang membentuk sistem administrasi publiknya jauh lebih terlihat. Indonesia dan Singapura adalah nega ra kesatuan, sedangkan Australia adalah negara federal. Akan tetapi, Australia dan Singapura adalah anggota negara-negara persemakmuran (commonwealth) dan tidak demikian dengan Indonesia. Budaya adminis trasi juga adalah aspek yang perlu diperhatikan dalam perbandingan administrasi negara karena tradisi administrasi membantu memahami ketergantungan sejarah (path dependency) suatu negara dalam melaksanakan reformasi (Painter & Peters 2010). Singapura, meskipun merupakan anggota persemakmuran Inggris, sangat erat dengan tradisi Asia Timur yang berangkat dari nilai-nilai Konfusianisme. Sementara itu, Indonesia yang penduduknya mayoritas beraga ma Islam tidak serta-merta memiliki pemerintahan bercorak Islam, tetapi lebih merupakan perpaduan sejumlah corak pemerintahan karena Indonesia memiliki sejarah panjang dengan kolonialisme, mulai dari Portugis, Belanda, Perancis, Inggris, hingga Jepang yang masing-masingnya turut memengaruhi sistem administrasi negara Indonesia. Australia sendiri sebagai negara Anglo phone secara tradisi sangat kental sistem administrasi negara Westminster. Dalam hal reformasi administrasi, sebagaimana dinyatakan oleh Haque (2013), Singapura dan Australia termasuk negara yang progresif, sedangkan Indonesia digolongkan sebagai negara yang berhati-hati. Lensa yang digunakan dalam kajian komparatif ini adalah teori Public Service Bargains (PSBs) sebagaimana dikemukakan oleh Hood dan Lodge (2006). Melalui teori ini, dapat diketahui pola hubungan yang dibangun antara jabatan senior birokrasi dengan pejabat politik dan sistem politik yang
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
PERBANDINGAN MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA, INDONESIA, DAN SINGAPURA DALAM PERSPEKTIF PUBLIC SERVICE BARGAINS
Muhammad Imam Alfie S
melingkupinya melalui model kompetensi, remunerasi, dan loyalitas yang dipertukarkan antarpihak. Tulisan ini berangkat dari kajian perbandingan dengan jumlah subjek kecil (small-n) yang menggunakan pendekatan Most Different Systems Design (MDSD). Anckar (2008) menyatakan bahwa kajian MDSD haruslah memiliki variabel utama yang konstan antarsubjek kajian. Dalam tulisan ini, Australia, Indonesia, dan Singapura menjadi subjek kajian berdasarkan perbedaan-perbedaan sebagaimana disampaikan di atas. Hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini adalah bahwa meskipun subjek-subjek perbandingan memiliki perbedaan yang kontras dalam variabel-variabel utama pembentuk sistem administrasi, ketiganya memiliki kemiripan dalam pola hubungan jabatan senior birokrasi dan sistem politik dalam kerangka PSBs. B. JABATAN SENIOR BIROKRASI Manajemen jabatan senior birokrasi (senior executive service) adalah pengelolaan kelompok jabatan tinggi dalam birokrasi pemerintahan yang memiliki perbedaan kasat mata dibandingkan dengan pengelolaan pegawai negeri pada umumnya, termasuk dalam hal rekrutmen, hubung an industrial, pelatihan dan pengembangan, dan remunerasi (Lafuente et al. 2012). Di Amerika Serikat, Senior Executive Service (SES) telah dibentuk sejak 1953 melalui laporan Hoover’s Commission yang menyatakan bahwa SES berfungsi menyediakan kajian kebijakan, merumuskan kertas kebijakan, dan memberikan nasihat kebijakan kepada pembuat kebijakan (White 1955). Jabatan senior birokrasi dilihat sebagai jembatan penghubung antara proses pembuatan kebijakan dan implementasi kebijakan publik (World Bank 2012), atau, sejalan dengan perdebatan klasik dalam ilmu administrasi
publik, antara politik dan administrasi publik. Pejabat politik yang baru dilantik sebagai pimpinan birokrasi pada um umnya tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang organisasi yang akan dipimpinnya, termasuk sektor-sektor yang akan ditanganinya. Mereka juga pada umumnya memiliki komitmen bercabang, yaitu kepada kepala pemerintahan dan kepada partai politiknya. Padahal, dalam kesehariannya, para pejabat politik ini lebih banyak berinteraksi dengan birokrat dibandingkan dengan politisi lainnya. Para birokrat ini, bagaimanapun, berpotensi menimbulkan frustrasi bagi pejabat politik, akibat inkompetensi dan/ atau keengganan mereka mengimplementasikan arah kebijakan para pejabat politik (Davies 1998). Dengan demikian, mengelola hubungan antara politisi dan pejabat senior birokrasi merupakan salah satu argumen utama dalam pengembangan manajemen jabatan senior birokrasi. Pentingnya peran pejabat senior birokrasi dalam pemerintahan memiliki justifikasi yang cukup kuat. Hal ini berlaku bukan hanya pada negara-negara dengan corak pemerintahan Westminster dan/atau corak sistem politik keras (adversarial), tetapi juga pada negara-negara dengan budaya birokrasi dan statis (etatism) seper ti Indonesia. Pada negara-negara Westminster dan/atau memiliki sistem politik keras, keberadaan pejabat senior birokrasi adalah sebagai penasihat kebijakan utama (mandarin) yang memiliki kompetensi teknis, berbeda dengan staf khusus menteri yang pada umumnya tidak dibekali pendidikan dan pelatihan teknis atau pengalaman profesional. Dengan demikian, pejabat senior birokrasi cenderung menjaga komunikasi ke atas (upward communication) berjalan baik sehingga politisi
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
177
PERBANDINGAN MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA, INDONESIA, DAN SINGAPURA DALAM PERSPEKTIF PUBLIC SERVICE BARGAINS Muhammad Imam Alfie S
memperoleh informasi yang komprehensif. Sementara itu, di negara-nega ra bercorak birokratis dan/atau statis, pejabat senior birokrasi berperan sebagai pembentuk nilai sekaligus agen perubahan bagi instansinya karena dalam negara-negara seperti ini, hierarki dan corak budaya kekuasaan (power culture) terbentuk dengan sangat kuat. Dengan demikian, pejabat senior birokrasi cenderung berfungsi menjaga komunikasi ke bawah (downward communication) agar birokrasi dapat menjalankan program-program pemerintah dengan baik, termasuk dalam hal reformasi birokrasi. Pada tahun 2010, lebih dari tiga perempat negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), yang notabene adalah negara-negara maju, menyatakan bahwa mereka telah memiliki pengaturan tersendiri untuk jabatan senior birokrasinya (Lafuente et al. 2012). Layaknya reformasi sektor publik pada umumnya, reformasi jabatan senior birokrasi juga dimulai di negaranegara maju sebelum kemudian dieks por ke negara-negara berkembang. Negara-negara di Asia dan Pasifik merupakan objek yang layak dikaji dalam kaitan dengan reformasi jabatan senior birokrasi, mengingat di negara-negara ini pada umumnya pegawai negeri memiliki prestise yang tinggi di mata masyarakat. Negara-negara ini juga memiliki kesamaan karakteris tik berupa adanya kerangka hukum yang spesifik dan instansi pemerintah yang khusus mengelola SDM aparatur (Moon & Hwang 2013). Namun demikian, negara-negara tersebut juga memiliki perbedaan yang sangat mencolok karena beragamnya budaya, bahasa, serta bentuk negara dan bentuk pemerintahan yang dibangun di negara-negara tersebut. C. PUBLIC SERVICE BARGAINS 178
Teori PSBs menjelaskan tentang pertukaran yang dilakukan antara birokrasi dengan pemangku kepenting annya, terutama sistem politik. Setiap pejabat politik tentu berharap mendapatkan birokrat yang kompeten dan loyal kepada mereka, sedangkan birokrat pada umumnya berharap mendapatkan jaminan posisi di birokrasi, tanggung jawab/peran yang lebih besar, atau kompensasi yang memadai (Hood & Lodge 2006). Dengan demikian, PSBs pada dasarnya menjelaskan hal yang sangat mendasar dalam politik sebuah negara, karena keputusan yang dihasilkan dari sebuah PSBs akan menentukan siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana. Teori ini menawarkan perspektif yang mengkombinasikan analisis sistem politik secara historis-komparatif de ngan perspektif pragmatis dalam hal pembentukan, pemeliharaan, dan terminasi hubungan antara birokrat dan politisi. Dari analisis ini, dapat dilihat pola-pola PSBs dan bagaimana ma sing-masing pihak menyepakati kompetensi yang harus dimiliki birokrat, kompensasi yang akan diterima birokrat, dan loyalitas yang harus ditunjukkan oleh birokrat. Kategorisasi PSBs dilakukan berdasarkan independensi birokrasi atas politisi. Oleh sebab itu, model dasar PSBs terdiri atas trustee dan agency. Dalam model trustee, hubungan antara birokrat dan politisi dilihat layak nya hubungan antara pengurus dan penerima manfaat dalam sebuah yayasan. Pengurus yayasan tidak bertanggung jawab secara langsung kepada penerima manfaat, tetapi bertanggung jawab kepada tugas-tugas yang diamanatkan kepadanya secara hukum. Sementar itu, model agency menempatkan birokrat sebagai agen dan politisi sebagai pimpinan (principal), sehingga birokrat bertanggung jawab langsung kepada politisi. Dari
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
PERBANDINGAN MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA, INDONESIA, DAN SINGAPURA DALAM PERSPEKTIF PUBLIC SERVICE BARGAINS
Muhammad Imam Alfie S
Sumber: Hood dan Lodge (2006)
Gambar 1. Tipologi Public Service Bargains
dua model dasar ini, Hood dan Lodge mengembangkan delapan varian PSBs sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Model trustee dapat diklasifikasi lebih lanjut menjadi representational dan tutelary. Representational berarti birokrat menjalankan fungsi representasi sosial, sedangkan tutelary berarti birorkat berperan sebagai kelompok elite di masyarakat yang memiliki keteladanan tertentu. Lebih lanjut, representational terbagi atas dua tipe, ya
itu consociational dan selective. Tipe consociational menunjukkan birokrat sebagai cerminan kelompok-kelompok utama di masyarakat, sehingga komposisi birokrat juga merefleksikan komposisi sosial. Sementara itu, tipe selective menunjukkan birokrasi yang didominasi oleh satu atau beberapa kelompok tertentu. Birokrasi di Malaysia yang mengedepankan bumiputra dalam rekrutmennya merupakan salah satu contoh. Sementara itu, model tutelary dapat diturunkan menjadi tipe
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
179
PERBANDINGAN MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA, INDONESIA, DAN SINGAPURA DALAM PERSPEKTIF PUBLIC SERVICE BARGAINS Muhammad Imam Alfie S
moralistic (birokrasi sebagai teladan moral) dan tipe legal/technocratic (birokrasi sebagai pakar di bidang hukum atau teknis tertentu). Model agency diklasifikasi lebih lanjut menjadi delegated dan directed. Delegated berarti birokrat didele gasikan sejumlah kewenangan oleh politisi untuk menjalankan suatu fungsi, sedangkan directed berarti birokrat bekerja sepenuhnya berdasarkan pe rintah politisi. Sub-model delegated menghasilkan tipe PSB complex dan simple. Tipe complex menunjukkan birokrasi yang bertanggung jawab kepada lebih dari satu principal, berkebalikan dengan simple yang dicirikan oleh birokrasi yang bertanggung jawab hanya kepada satu principal. Sementara itu, sub-model directed menghasilkan tipe serial loyalist, yaitu birokrasi yang melayani rezim pemerintahan yang berbeda dan tipe personal loyalist, yaitu birokrasi yang melayani seorang pejabat politik atau rezim tertentu saja. Sebagian jabatan senior birokrasi di Amerika Serikat memiliki karakteristik personal loyalist ini. Tipologi PSBs sebagaimana disampaikan oleh Hood dan Lodge di atas tidaklah bersifat exhaustive. Dimung kinkan adanya kombinasi tipe yang belum tergambarkan dalam tipologi di atas. Hal ini terutama jika melihat dimensi-dimensi utama dalam analisis PSBs, yaitu kompensasi (reward), kompetensi, dan loyalitas. Berdasarkan kompensasi yang diterima oleh birokrat, Hood dan Lodge menginisiasi empat tipologi, yaitu pyramids and escalators, noblesse oblige, turkey races, dan lotteries of life. Tipe pertama memiliki karakteristik kompensasi yang memiliki pola terstruktur dengan progresi remunerasi yang jelas. Tipe noblesse oblige ditunjukkan oleh struktur kompensasi yang tidak berimbang dengan besaran re180
munerasi jabatan senior birokrasi tidak lebih menarik dibandingkan dengan jabatan di bawahnya. Sementara itu, tipe turkey races menunjukkan pemberian kompensasi kepada pejabat senior birokrasi berdasarkan variabel tertentu (misal: kinerja) yang nilainya berbeda-beda pada setiap individu tergantung pada capaian pada variabel tersebut. Tipe lotteries of life ditunjukkan dengan mekanisme kompensasi yang besarannya tidak jelas karena terlalu banyak variabel yang dinamis dalam kompensasi tersebut, misalnya honorarium, imbal jasa (royalti), dan sebagainya. Kompetensi yang harus dimiliki oleh birokrat merupakan salah satu aspek yang dibutuhkan oleh pejabat politik. Berdasarkan kompetensi ini, teori PSBs melihat terdapat empat tipe utama kompetensi dalam konstelasi hubung an birokrasi dan politik, yaitu sage, deliverer, wonk, dan go-between. Tipe sage muncul apabila birokrat diharap kan memiliki keunggulan dalam hal moralitas dan kebijaksanaan, sedangkan wonk dicirikan oleh kebutuhan akan birokrat yang memiliki kompetensi teknis yang mumpuni. Dalam tipe deliverer, birokrat diharapkan mampu mengeksekusi kebijakan secara kreatif dan pragmatis. Sementara itu, go-bet ween dicirikan oleh kebutuhan akan birokrat yang multi-kompetensi, mampu mengerjakan tugas-tugas yang beragam. Konstelasi hubungan birokrat dan pejabat politik juga perlu memerhatikan aspek loyalitas yang diharapkan oleh pejabat politik dan dapat diberi kan oleh birokrat. Terkait hal ini, Hood dan Lodge (2006) membuat empat tipologi loyalitas, yaitu jester, judge, executive, dan partner. Tipe jester menunjukkan hubungan yang membutuhkan birokrat sebagai pemberi masukan yang objektif kepada peja-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
PERBANDINGAN MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA, INDONESIA, DAN SINGAPURA DALAM PERSPEKTIF PUBLIC SERVICE BARGAINS
Muhammad Imam Alfie S
bat politik. Sementara itu, dalam tipe judge, birokrat berperan sebagai aktor yang semi-otonom, bertanggung jawab kepada entitas yang lebih tinggi daripada pejabat politik yang mengepalai instansi, sehingga tidak harus selalu mengikuti perintah pejabat politik. Sebaliknya, dalam tipe executive, birokrat diharapkan memiliki loyalitas penuh untuk bertindak sesuai arahan pejabat politik. Tipe partner menjadikan birokrat sebagai orang kepercayaan sekaligus rekan kerja dari pejabat politik, sehingga memiliki hak untuk menyampaikan saran kepada pejabat politik. Dalam diskursus manajemen sektor publik, sulit menemukan literatur yang mengkritisi konsep PSBs. Hal ini terutama karena konsep PSBs sebagaimana dilahirkan Hood menjadi sentral dan titik tolak utama perdebatan mengenai hubungan antara birokrasi dan politik. Hondeghem dan Van Dorpe (2011), misalnya, tidak mengkritisi secara filosofis argumen Hood dan Lodge mengenai PSBs, tetapi hanya mengusulkan penajaman atas PSBs yang bercirikan managerial, yaitu yang berorientasi pada sistem manajemen kinerja dan kontrak. Dengan demikian, konsep PBSs pada dasarnya sangat berguna untuk digunakan dalam berbagai topik keilmuan dan praktik manajemen sektor publik, termasuk dalam topik yang didiskusikan dalam tulisan ini. D. MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA Australia mulai membentuk jabatan senior birokrasi (SES) pada tahun 1984, seiring dengan terbitnya Public Service Reform Act pada tahun tersebut. Berdasarkan data Australian Public Service Commission dalam Australian Public Service Statistical Bulletin 2016, hingga Juni 2016, terdapat 2.642 pegawai pemerintah (Austra-
lian Public Service/APS) yang memiliki klasifikasi SES. Dari jumlah tersebut, 2.544 orang adalah pegawai tetap (ongoing APS) dan 98 orang adalah pegawai tidak tetap (non-ongoing APS). Terdapat tiga tingkatan SES, yaitu SES 1, 2, dan 3 dengan SES 3 merupakan tingkat paling tinggi yang berada langsung di bawah permanent secretary. Berdasarkan Public Service Act 1999, setiap SES menjalankan empat fungsi: 1. Menyediakan kepemimpinan strategis yang berkualitas untuk seluruh APS; 2. Menyediakan keahlian profesional, saran kebijakan, dan manajemen pemerintahan; 3. Mendorong kerja sama antarins tansi dalam rangka mewujudkan outcome bersama; dan 4. Mendorong nilai-nilai APS dan prinsip kepegawaian APS melalui keteladanan. Penjenjangan jabatan senior birokrasi di Australia dilakukan berdasarkan penghitungan berdasarkan pengukuran beban kerja jabatan de ngan indikator kepemimpinan, cakup an tanggung jawab, hubungan de ngan pemangku kepentingan, kondisi lingkungan kerja, dan kebutuhan otonomi dalam pembuatan kebijakan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, jabatan di birokrasi Australia akan dipertimbangkan apakah layak masuk dalam kategori SES atau tidak. Jabatan SES memiliki kerangka kompetensi yang secara nasional dirumuskan dalam Senior Executive Leadership Capability Framework (SELCF), yaitu kriteria yang juga digunakan untuk menilai kepemimpinan setiap pejabat SES. Kerangka ini menjadi instrumen dasar yang digunakan dalam merekrut calon pejabat SES, merencanakan pendidikan dan pelatihan, penilaian kinerja, perencanaan jangka pendek
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
181
PERBANDINGAN MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA, INDONESIA, DAN SINGAPURA DALAM PERSPEKTIF PUBLIC SERVICE BARGAINS Muhammad Imam Alfie S
dan jangka panjang atas jabatan SES di setiap instansi, dan untuk pengembangan organisasi secara umum. Terdapat lima dimensi kapabilitas, yaitu pemikiran strategis, pencapaian hasil, pembangunan hubungan kerja yang produktif, keteladanan dan integritas, dan komunikasi. Masing-masing dimensi tersebut memiliki indikator yang berlaku nasional. Namun demikian, setiap instansi dapat menambahkan dimensi atau indikator tambahan apabila dibutuhkan. Kerangka dasar kapabilitas SES mengindikasikan bahwa SES dapat dikategorikan ke dalam tipe sage dalam teori PSBs berdarkan dimensi kompetensi. Terdapat tiga jenis SES berdasarkan jenis hubungan ketenagakerjaannya, yaitu SES yang berasal dari ongoing APS; non-ongoing SES dengan masa kerja hingga lima tahun; dan non-ongoing SES dengan penugasan tertentu (ad hoc). Akan tetapi, pada umumnya mekanisme yang digunakan adalah yang pertama, sebagaimana terlihat dari mayoritas SES (96,3 persen) yang termasuk dalam kelompok ini. Rekrutmen SES dilakukan secara terbuka dengan lowongan yang harus dipublikasikan lewat laman resmi. Calon pejabat SES dinilai berdasarkan dimensi dan indikator dalam SELCF. Instansi yang membuka lowongan dapat menambahkan satu dimensi dalam penilaian. Apabila instansi ingin menambahkan jumlah dimensi penilaian, maka harus mendapatkan persetujuan APSC. Instansi dapat menggunakan jasa lembaga rekrutmen swasta dengan persetujuan APSC dan sejauh proses rekrutmen sesuai dengan standard yang telah telah ditetapkan. Dalam setiap rekrutmen SES, APSC memiliki keterlibatan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Komisioner APSC (hanya ada satu komisioner) dapat menugaskan satu 182
orang untuk mewakilinya sebagai ang gota penuh dalam komite pengarah seleksi pejabat SES. Orang tersebut haruslah berasal dari luar instansi yang mengadakan rekrutmen dan memiliki jenjang SES 2 atau 3. Khusus untuk rekrutmen SES 3, komisioner APSC harus terlibat langsung dalam komite pengarah seleksi. Apabila komisioner berhalangan, maka dapat diwakili oleh seorang SES 3 atau permanent secre tary. Representasi komisioner atau komisioner sendiri tidak ikut memberi kan penilaian kepada peserta seleksi, tetapi memberikan penilaian atas objektivitas dan kesesuaian proses seleksi. Dalam bekerja, seorang SES juga dijamin untuk menyampaikan hasil kerja secara profesional sesuai dengan prinsip frank and fearless (kejujuran dan keberanian) yang menjadi salah satu nilai birokrasi Westminster. Dengan demikian, proses seleksi pada dasarnya berjalan secara independen dari kepentingan pejabat politik dan loyalitas pejabat senior birokrasi juga tidak terikat pada pejabat politik melainkan kepada profesionalitasnya. Sehingga, dalam perspektif PSBs, loyalitas SES dapat digolongkan ke dalam tipe jester. Remunerasi untuk SES diatur dalam APS Executive Remuneration Management Policy (ERMP). Pada prinsipnya, setiap instansi dapat memberikan tunjangan kepada SES sebagai komponen remunerasinya. Kebijakan ERMP ini disusun untuk mengatur agar pemberian insentif tambahan oleh instansi kepada pejabat SES-nya tidak berlebihan. Patokan yang digunakan adalah insentif yang diperoleh oleh Secretary, karena insentif Secretary sudah ditentukan oleh APSC. Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan tidak terjadi kesenjangan yang terlalu besar antar instansi sehingga transfer pegawai antarinstansi masih mungkin dilakukan tanpa perbedaan kesejahteraan yang
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
PERBANDINGAN MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA, INDONESIA, DAN SINGAPURA DALAM PERSPEKTIF PUBLIC SERVICE BARGAINS
Muhammad Imam Alfie S
terlalu signifikan. Setiap instansi mengajukan kelas jabatan dan nilai tunjangan kepada APSC yang didasarkan pada faktor jabatan dan kondisi pasar (pasar riil dan pasar tenaga kerja-red). Komisioner APSC berwenang memutuskan apakah usulan tersebut dapat diterima atau tidak, terutama pada kasus di mana instansi mengajukan nilai yang berada di atas ambang batas perkiraan yang diberikan oleh APSC. Setiap pengajuan instansi harus memperoleh jawaban dari APSC paling lama 5 hari kerja setelah diterima oleh APSC. Jawaban tersebut dapat berupa persetujuan, penolakan, atau permohonan informasi lebih lanjut. Secara detail, total remunerasi yang diterima oleh setiap SES terdiri dari komponen sebagai berikut. 1. Gaji 2. Lump sum 3. Benefits; yaitu manfaat non-tunai yang diterima oleh pejabat SES (misal: mobil dinas yang dapat dibeli oleh pejabat yang bersangkutan dan biaya parkirnya) 4. Bonus; yaitu tunjangan kinerja dan tunjangan lain. Nilai yang tertera pada kontrak setiap SES adalah nilai maksimal yang dapat diperolehnya. 5. Superannuation; kontribusi pemerintah pada biaya pensiun pejabat SES. 6. Fasilitas pendukung; segala fasilitas yang mendukung pelaksanaan pekerjaan seperti komunikasi, peranti elektronik, atau keanggotaan premium maskapai penerbangan. 7. Biaya relokasi; yaitu biaya yang dibutuhkan apabila seorang SES pindah domisili dari suatu tempat ke tempat lain karena alasan dinas. Komponen yang diperhitungkan
dalam nilai total remunerasi adalah nomor 1 s.d. 5. Formula umum yang digunakan oleh Australia dalam menentukan total remunerasi ini adalah 65% dari nilai terendah dari remunerasi untuk seorang permanent secretary. Sebagaimana dikatakan di atas, instansi dapat mengajukan nilai yang lebih tinggi dari itu, namun harus memperoleh persetujuan dari APSC. Besaran remunerasi yang diterima oleh SES jauh lebih tinggi dibanding kan rerata penghasilan tahunan tenaga kerja di Australia. Berdasarkan laporan remunerasi APSC (2015), pada tahun 2014, nilai tengah remunerasi seorang SES 1 adalah $178.617, SES 2 ($230.000), dan SES 3 (302.000). Nilai ini jauh melebihi rerata gaji tahunan pekerja di Australia pada tahun yang 2016 yaitu $75.504 (ABS 2016). Besar gaji seorang SES 1 lebih besar 33% dibandingkan gaji pegawai satu tingkat di bawahnya (Executive Level 2). Di Australia, besaran gaji sudah ditentukan secara rapi, termasuk kenaikan bertahap (increment) dan variabilitas berdasarkan kinerja. Dua orang pejabat yang berada pada tingkat sama (misalnya SES 2) dapat memiliki penghasilan yang berbeda apabila menunjukkan peran dan kinerja yang berbeda. Dengan demikian, meskipun dibangun berdasarkan tipe pyramids and escalators, pengelolaan remune rasi jabatan senior birokrasi dapat digolongkan sebagai turkey races. E. MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI INDONESIA Jabatan senior birokrasi, atau yang disebut secara resmi sebagai Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) mulai diperkenalkan pada tahun 2014 seiring de ngan terbitnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Meskipun merupakan produk inisiatif Dewan Perwakilan
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
183
PERBANDINGAN MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA, INDONESIA, DAN SINGAPURA DALAM PERSPEKTIF PUBLIC SERVICE BARGAINS Muhammad Imam Alfie S
Rakyat (DPR), terbitnya UU ASN adalah bagian dari peta jalan (road map) dan Sembilan Program Percepatan Reformasi Birokrasi. Bahkan, dalam Program Percepatan Reformasi Birokrasi, pengisian JPT melalui seleksi terbuka menjadi program tersendiri. Tidak dapat dipungkiri, hal ini terjadi karena pejabat senior birokrasi merupakan komponen strategis yang menggerakkan administrasi negara dan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang panjang, melebihi pejabat politik yang menjadi pemimpinnya (Holidin 2016). Jabatan Pimpinan Tinggi adalah sekumpulan jabatan yang dalam Undang-undang terdahulu (UU 8/1974 jo 43/1999) disebut sebagai eselon I dan eselon II, baik yang berada di instansi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga tahun 2014 terdapat 14.612 JPT di seluruh Indonesia. Terdapat tiga tingkatan JPT, yaitu JPT Pratama, JPT Madya, dan JPT Utama. Tingkat pertama adalah jabatan setingkat direktur atau kepala dinas atau yang sebelumnya dikenal sebagai eselon II. Tingkat kedua (JPT Madya) adalah jabatan setingkat direktur jenderal atau sekretaris daerah provinsi atau yang sebelumnya dikenal sebagai eselon I. Tingkat tertinggi (JPT Utama) adalah jabatan kepala lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK). Fungsi yang diemban oleh JPT berdasarkan UU ASN adalah memim pin dan memotivasi setiap pegawai ASN pada instansi pemerintah melalui kepeloporan dalam bidang keahlian profesional, analisis dan rekomendasi kebijakan, dan kepemimpinan manajemen; pengembangan kerja sama dengan instansi lain; dan ketelada nan dalam mengamalkan nilai dasar ASN dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku ASN. Pada umumnya, semakin tinggi sebuah jabatan, akan 184
semakin rendah kebutuhan komprehensivitas kompetensi teknisnya dibandingkan dengan kompetensi manajerialnya. Namun demikian, dalam sistem manajemen SDM aparatur di Indonesia, setiap jabatan memiliki standar kompetensi teknis, manajerial, dan sosial kultural. Demikian pula dengan JPT. Artinya, setiap pemangku JPT tetap diharapkan memiliki penge tahuan, keterampilan, dan keahlian dalam aspek teknis pekerjaan yang diembannya. Hal ini juga terlihat dalam proses seleksi JPT yang mensyaratkan kesesuaian latar belakang pendidikan, pengetahuan, dan pengalaman terkait bidang tugas yang akan diduduki (Permenpan 13/2014). Dengan demikian, berdasarkan tipologi kompetensi dalam PSBs, JPT diharapkan merupakan aktor yang bersifat go-between atau menguasai berbagai keahlian sekaligus. Rekrutmen JPT dilakukan secara terbuka secara lintas instansi. Bagi JPT di instansi pemerintah pusat, seleksi bersifat terbuka secara nasional, sedangkan bagi JPT di pemerintah daerah, seleksinya dibedakan atas jenis JPT. Untuk JPT Pratama di pemerintah daerah, rekrutmen dilakukan secara terbuka untuk pegawai negeri sipil (PNS) yang berada dalam satu provinsi. Sementara itu, JPT Madya di pemerintah daerah (hanya sekretaris daerah provinsi) diisi lewat seleksi terbuka untuk PNS secara nasional. Jabatan-jabatan Pimpinan Tinggi Madya dan Utama tertentu dapat diisi oleh non-PNS atau yang disebut sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) atas dasar persetujuan Presiden. Proses rekrutmen dilakukan oleh panitia seleksi (pansel) yang dibentuk oleh instansi dengan jumlah anggota ganjil paling sedikit lima orang dan pa ling banyak 9 orang. Komposisi anggo-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
PERBANDINGAN MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA, INDONESIA, DAN SINGAPURA DALAM PERSPEKTIF PUBLIC SERVICE BARGAINS
Muhammad Imam Alfie S
ta pansel lebih banyak diisi oleh pihak eksternal instansi yang mengadakan rekrutmen, dengan proporsi maksimal anggota pansel yang berasal dari internal adalah 45 persen. Dalam pro ses seleksi, pansel dapat dibantu oleh asesor independen yang berpengalaman dalam rekrutmen pegawai pemerintah. Penetapan hasil rekrutmen JPT Madya dan Utama dilakukan oleh Presiden, sedangkan penetapan hasil rekrutmen JPT Pratama dilakukan oleh pejabat politik pimpinan instansi sebagai pejabat pembina kepegawaian. Keseluruhan proses ini diawasi oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang berkedudukan di Jakarta. Berdasarkan undang-undang, pejabat politik tidak dapat memberhentikan atau memindahkan seorang pejabat JPT sebelum yang bersangkutan menduduki jabatan tersebut selama setidak-tidaknya dua tahun. Setiap lima tahun, sebuah JPT dapat dievaluasi kembali dan dibuka lowo ngannya. Kerangka peraturan perundang-undangan tidak mengatur perihal pergeseran dalam jabatan di luar kedua hal tersebut, sehingga dalam praktiknya setiap pejabat pembina kepegawaian menginterpretasikan dengan cara masing-masing. Hal ini, misalnya, terlihat dalam rotasi antar-JPT, ketiadaan mekanisme evaluasi bagi pejabat JPT yang telah menduduki jabatan lima tahun atau lebih, dan pemberhentian pejabat dari JPT setelah dua tahun menduduki jabatan tersebut. Dengan demikian, JPT tidak memiliki tingkat independensi sebesar SES dan secara tidak langsung didesain untuk memiliki loyalitas yang lebih tinggi kepada pejabat politik meskipun secara legal tidak demikian. Dalam perspektif PSBs, konstelasi loyalitas JPT dapat dikategorikan ke dalam tipe executive. Remunerasi dalam sistem manaje-
men SDM aparatur di Indonesia pada umumnya terdiri dari gaji pokok beserta tunjangan-tunjangan yang melekat pada pejabat dan tunjangan kinerja. Pada komponen pertama, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pegawai non-JPT dengan JPT karena ukuran yang digunakan adalah golongan dan masa kerja. Sebagai perbandingan, pada tahun 2016, gaji pokok seorang JPT Madya yang telah bekerja lebih dari 30 tahun hanya lah 2,3 kali lipat dari gaji pokok PNS baru yang berpendidikan sarjana (PP 30/2015). Faktor pembeda JPT de ngan non-JPT secara remunerasi pada umumnya hanya terlihat dalam komponen tunjangan kinerja yang besar annya ditentukan berdasarkan informasi faktor jabatan serta kinerja yang diukur masing-masing instansi. Sebagai contoh, di Kementerian Keuang an, seorang JPT Madya dengan kelas jabatan 26 dapat memperoleh tunjangan kinerja lebih dari 10 kali lipat dari pegawai yang berada di kelas jabatan 8 (Perpres 156/2014). Rasio ini bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata rasio antara SES 3 dengan APS 1 (pegawai level terendah di APS) yang hanya 1:5. Meskipun Kementerian Keuangan dapat dianggap penge cualian (outliers) karena telah lebih dulu menjalankan sistem tunjangan kinerja, akan tetapi rasio yang tidak jauh berbeda juga ditunjukkan oleh instansi lain, terutama pada tingkat pemerintah pusat. Hal ini menunjukkan kemiripan model remunerasi Indonesia dengan Australia, yaitu berangkat dari pola pyramids and escalators namun cenderung menunjukkan karakteristik tipe turkey races. F. MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI SINGA PURA Singapura sebagai negara persemakmuran memiliki kecenderungan
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
185
PERBANDINGAN MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA, INDONESIA, DAN SINGAPURA DALAM PERSPEKTIF PUBLIC SERVICE BARGAINS Muhammad Imam Alfie S
sistem administrasi ala Westminster. Namun demikian, seperti halnya ba nyak negara Asia lainnya, pegawai negeri di Singapura memainkan pe ran yang sangat penting. Hal ini terutama karena model pemerintahan aristokratis yang dibangun Singapura sejak rezim Lee Kuan Yew. Di Singa pura, jabatan senior birokrasi disebut sebagai Administrative Service (AS) dan pejabatnya disebut sebagai Administrative Service Officers (ASO). Dengan konteks aristokratis tersebut, ASO menjadi sekelompok elite dalam kelompok elite di masyarakat Singapura. Mereka memiliki tanggung jawab kepemimpinan tingkat tinggi meliputi pembuatan kebijakan, perencanaan ekonomi, perencanaan program, dan manajemen sumber daya pemerintahan (Jones 2009). Manajemen AS dilakukan oleh Public Service Commission (PSC). Sebelum tahun 1994, semua pegawai negeri di Singapura dikelola oleh PSC atau Public Service Department. Dalam pidatonya di tahun 1994, Perdana Menteri Goh Chok Tong menginisiasi sebuah reformasi yang berupaya memisahkan manajemen AS dengan pegawai negeri pada umumnya. Sejak saat itulah sistem jabatan senior birokrasi dimulai di Singapura (Quah 2010). Setelah PSC dibubarkan, manajemen AS dilakukan oleh Public Service Division yang berkedudukan di Kantor Perdana Menteri Singapura. Administrative Service dibangun dengan tujuan mengembangkan pemimpin-pemimpin yang memiliki perspektif dan kemampuan yang bersifat holistik dengan pendekatan whole-of-government serta untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan publik yang mampu meningkatkan kualitas hidup penduduk Singapura. Untuk itu, seorang ASO harus melalui serangkaian pendidikan dan pelatihan bahkan sebelum direkrut sebagai ASO (Lafuen186
te et al. 2012). Setelah bergabung dengan AS, seorang ASO akan secara periodik diberikan pelatihan dan rotasi jabatan lintas instansi agar pegawai tersebut memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas serta mampu membuat kebijakan dengan pertimbangan yang komprehensif. Bahkan, ASO juga akan diikutsertakan dalam Community Attachment Programme (CAP) dengan bekerja pada dan de ngan organisasi-organisasi sosial dan bisnis (non-pemerintah). Sebagian besar pengembangan SDM ini berori entasi pada kapabilitas manajerial. Dengan demikian, dilihat dari dimensi kompetensi, AS dapat dikategorikan dalam tipe sage. Rekrutmen AS dapat dilakukan lewat salah satu dari empat skema yang ada, yaitu dual career scheme, management associates program, management executive scheme, dan mid-career entry scheme (Jones 2009). Rekrutmen ini menekankan pada aspek kompetensi. Tidak jarang, rekrutmen untuk AS jauh lebih sulit dibandingkan rekrutmen untuk jabatan serupa di sektor privat. Akan tetapi, orientasi pada kompetensi ini tidak menjadikan jabatan senior birokrasi memiliki independensi yang lebih besar. Dalam sebuah pernyataannya di tahun 2000, Perdana Menteri Lee Kuan Yew menyatakan bahwa ‘pemerintah dipimpin oleh para menteri, bukan pegawai negeri’ (Jones 2009). Hal ini menunjukkan bahwa relasi yang dibangun antara pejabat politik dan birokrat adalah subordinasi. Akan tetapi, dalam pidato yang disampaikan di depan para ASO pada April 2016, Perdana Menteri Lee Hsien Loong menyatakan ‘pejabat politik bertanggung jawab atas politik, sedangkan AS bertanggung jawab atas kebijakan. Akan tetapi keduanya harus sa ling bekerja sama’. Lebih lanjut, Hsien Loong menyatakan bahwa para ASO
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
PERBANDINGAN MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA, INDONESIA, DAN SINGAPURA DALAM PERSPEKTIF PUBLIC SERVICE BARGAINS
Muhammad Imam Alfie S
harus mampu menemukan keseimbangan antara netralitas birokrasi dan sensitivitas politik (Public Service Division 2016). Hal ini mengindikasikan bahwa dalam hal loyalitas, ASO dapat dikategorikan sebagai tipe partner. Singapura merupakan satu dari sedikit contoh berhasil penerapan remunerasi tinggi bagi birokrasi di seluruh dunia. Sejak 1989, Singapura telah mengadopsi model penilaian kinerja yang terinspirasi oleh sistem yang dikembangkan oleh Shell. Setiap pegawai memperoleh kompensasi berdasarkan kompetensi yang dimiliki dan kinerja yang dicapainya. Pejabat administrative service di Singapura memperoleh remunerasi yang sangat baik dan dapat diperbandingkan dengan penghasilan chief executives di sektor privat. Ini tidak terlepas dari kebijakan perbandingan penghasilan terikat (pegged salary) antara pegawai sektor publik dan sektor privat yang berada pada level yang sama (Quah 2010). Secara singkat, model yang dibangun di Singapura identik dengan tipe turkey races dalam kerangka PSBs. G. TIPOLOGI PUBLIC SERVICE BARGAINS DAN KOMPATIBI LITASNYA Australia, Indonesia, dan Singapura memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam dimensi PSBs sebagaimana dijabarkan di atas. Akan tetapi, secara umum, karakteristik umum yang dimiliki ketiga subjek perbandingan ini cenderung sama, yaitu menunjukkan pola jabatan senior birokrasi dalam model agency. Meskipun Australia dan Singapura memiliki karakter pemerintahan Westminster, kedua negara ini tidak dapat dipungkiri belum berhasil sepenuhnya menempatkan birokrasi sebagai entitas otonom dari sistem politik. Australia masih belum dapat menandingi netralitas birokrasi Selandia Baru karena masih rentannya poli-
tisasi karier birokrat (Halligan 2013). Sementara itu, Singapura cenderung memiliki karakter model agency karena secara historis, birokrasi Singapura dibangun sebagai subordinat dari pejabat politik dan apapun kebijakan yang diambil oleh birokrat tidak boleh bertentangan dengan keputusan politik yang diambil oleh Perdana Menteri dan para menteri. Menurut Hood dan Lodge (2006), model agency cenderung muncul pada lokus dengan spektrum demokrasi yang berkebalikan, yaitu yang memiliki suksesi rezim yang sangat lambat atau yang memiliki suksesi rezim yang sangat cepat dan/atau sulit ditebak. Situasi politik di Singapura menunjukkan konteks yang pertama, dimana People’s Action Party (PAP) selalu menguasai parlemen dan pemerintahan. Dalam konteks tersebut, model trustee tidak dibutuhkan karena birokrasi menjadi identik dengan pemerintah (baca: politik). Sebalik nya, Indonesia dan Australia jatuh pada titik ekstrem lainnya. Suksesi pemerintahan di Australia dalam satu dekade terakhir menunjukkan perubahan rezim yang signifikan dalam waktu relatif singkat, dari pemerintahan John Howard (didukung koalisi Liberal), Kevin Rudd (Buruh), Julia Gillard (Buruh), Kevin Rudd (Buruh; mengu ndurkan diri), Tony Abbott (Koalisi Liberal; mengundurkan diri), hingga Malcolm Turnbull (Koalisi Liberal). Sementara itu, di Indonesia, ketidakpastian rezim terjadi karena peta koalisi dalam suksesi pemerintahan sangat cair dan sulit ditebak. Partai yang dalam suatu periode pemerintahan sa ling beroposisi dapat menjadi koalisi pada pemerintahan selanjutnya dan sebaliknya. Bahkan, partai yang saling berseberangan dalam masa kampanye dapat menjalin koalisi dalam periode pemerintahan berjalan. Kedua konteks ini membutuhkan model agency dalam
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
187
PERBANDINGAN MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA, INDONESIA, DAN SINGAPURA DALAM PERSPEKTIF PUBLIC SERVICE BARGAINS Muhammad Imam Alfie S
PSBs karena menempatkan jabatan senior birokrasi sebagai entitas otonom hanya akan menambah oposisi potensial, sehingga sebaiknya jabatan senior birokrasi tetap berada dalam pengawasan langsung pejabat politik berkuasa. Menempatkan para pejabat senior birokrasi dalam kerangka agency akan meningkatkan stabilitas yang sulit diperoleh pemerintah berkuasa dalam konstelasi politik. Ketiga negara juga menunjukkan kecenderungan pola yang sama, yaitu pada kerangka kelembagaan, kecen derungan pola yang dibangun adalah delegated agency, namun dalam aras praktik, PSB yang dibangun justru menunjukkan kecenderungan directed agency karena pejabat senior birokrasi relatif tidak dapat menunjukkan sikap berlawanan di hadapan pejabat politiknya (Halligan 2013; Jones 2009). Namun demikian, karena para pejabat senior birokrasi di tiga negara ini umumnya memiliki perikatan dinas yang permanen, mereka akan melayani siapapun pemerintah yang berkuasa. Hal ini berarti ketiga negara identik dengan tipe serial loyalist dalam tipologi PSB Hood dan Lodge, sekaligus me ngonfirmasi hipotesis yang dibangun di awal tulisan ini. Relasi antara pejabat senior birokrasi dengan pejabat politik tidak selalu berjalan mulus. Hood dan Lodge (2006) telah mengidentifikasi bahwa setiap tipe PSB memiliki celah kecurangan yang mungkin dilakukan baik oleh birokrasi maupun oleh politisi. Dalam tipe serial loyalist, contoh kecurangan yang mungkin dilakukan oleh birokrat adalah bias loyalitas kepada partai politik oposisi, sementara kecurangan yang mungkin dilakukan oleh pejabat politik adalah bias politik dalam pengisian jabatan. Pola-pola ini juga terjadi sejak lama di Australia, Singapura, maupun Indonesia. Di Aus188
tralia, para personel APS cenderung memiliki afiliasi dengan Partai Buruh (Mulgan 1998). Sementara itu, dengan model satu partai dominan seperti di Singapura, tidak dapat dimungkiri bahwa pejabat senior akan berusaha mendekatkan diri kepada PAP untuk mempertahankan atau meningkatkan jabatannya. Di Indonesia, dalam pengisian jabatan pejabat senior birokrasi, ditengarai terdapat pula bias politik dari pejabat politik yang berwenang (Tempo 2016). Dalam teori PSBs, sebuah tipe PSB akan cenderung membutuhkan dukungan dimensi-dimensi yang tepat agar dapat berjalan efektif. Hood dan Lodge (2006) memberikan propo sisi mereka bahwa tipe serial loyalist cenderung sesuai untuk pendekatan terhadap kompensasi yang bertipe pyramids and escalators dan noblesse oblige. Apabila pendekatan turkey races atau lottery of life diberlakukan secara ekstrem, maka berpotensi membahayakan loyalitas berkelanjutan yang diharapkan dari serial loya list. Tipe serial loyalist tidak memiliki masalah berarti dalam pendekatan kompetensi yang digunakan, karena kompetensi pejabat senior birokrasi akan sangat bergantung pada agenda pemerintah berkuasa. Sementara itu, dalam dimensi loyalitas, tipe serial loyalist akan lebih kompatibel dengan pendekatan partnership atau jester dibandingkan dengan judge atau exe cutive. Tipe loyalitas judge cenderung akan mendorong oposisi pada peme rintah berkuasa yang tentunya dapat melemahkan stabilitas, sedangkan tipe executive akan menyulitkan dalam memastikan hubungan yang berjalan lancar (smooth) apabila terjadi suksesi pemerintahan. Kombinasi dimensi ideal dan hasil identifikasi ketiga negara subjek perbandingan dapat dilihat pada Tabel 1.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
PERBANDINGAN MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA, INDONESIA, DAN SINGAPURA DALAM PERSPEKTIF PUBLIC SERVICE BARGAINS
Muhammad Imam Alfie S
Tabel 1. Perbandingan Kombinasi Dimensi PSBs Tiga Negara dan Dimensi Ideal
Dimensi Kompensasi
Kompetensi Loyalitas
Tipe Ideal Hood Australia dan Lodge Pyramids and Noblesse oblige atau pyramids and escalators dengan escalators tambahan turkey races Semua tipe Sage Partnership atau Jester jester
Dari Tabel 1, dapat dilihat bahwa dalam dimensi loyalitas, hubungan antara pejabat senior birokrasi di Indonesia kurang kompatibel dengan tipe umum PSB yang ingin dibangun, yaitu serial loyalist. Tidak dapat dimungkiri, pejabat politik tentu lebih memilih birokrat yang mau menjalankan apapun yang menjadi keinginan mereka. Dalam konstelasi loyalitas demikian, pejabat politik akan mengklaim keberhasilan suatu program sebagai keberhasilan mereka dalam memimpin birokrasi sementara kegagalan suatu program sebagai kegagalan para birokrat dalam menerjemahkan perintah. Sebaliknya, para pejabat senior birokrasi akan ber usaha melindungi diri dari akuntabilitas saat kegagalan terjadi dengan cara melempar kesalahan kepada pejabat politik dan mengakui keberhasilan sebagai kerja keras mereka (Hood & Lodge 2006). Akibatnya, akuntabilitas publik pun melemah dan keseluruhan sistem juga akan terganggu. Refleksi terkait ini dapat dilihat dalam praktik administrasi publik di Australia yang memiliki konteks dinamika politik yang mirip dengan Indonesia. Meskipun pemerintahan datang silih berganti dan stereotip “afiliasi dengan Partai Buruh” belum lepas dari APS (termasuk SES), namun peran SES sebagai mandarin (penasihat utama) bagi pejabat politik tetap signifikan. H. PENUTUP Teori public service bargains membantu dalam membandingkan sistem
Indonesia
Singapura
Pyramids and escalators dengan tambahan turkey races Sage Executive
Pyramids and escalators dengan tambahan turkey races Sage Partnership
manajemen jabatan senior birokrasi. Dengan menggunakan kerangka yang dibangun dari teori ini, tulisan ini menemukan bahwa Australia, Indonesia, dan Singapura memiliki tipe dominan yang sama, yaitu serial loyalist-directed-agency bargains meskipun ketiga nya memiliki latar variabel yang saling berbeda satu sama lain, baik dari sisi budaya administrasi, sistem pemerintahan, maupun budaya sosial kema syarakatan. Faktor penjelas sementara yang dapat dikemukakan dari fenomena ini adalah dinamika politik ekstrem yang dihadapi oleh ketiga negara, yaitu politik multipartai semu Singapura dan multipartai kompleks-dinamis Indonesia dan Australia. Politik multipartai semu lazimnya mendorong personal loyalist, bukan serial loyalist, tetapi dalam konsensus aristokrasi dan sistem merit di Singapura, pejabat senior birokrasi dituntut untuk mampu menjadi serial loyalist. Sementara itu, sistem multipartai kompleks-dinamis seperti dimiliki Indonesia dan Australia cende rung menghasilkan PSB berkarakter serial loyalist. Apabila dilihat dari dimensi-dimensi pembentuk tipe serial loyalist-directed-agency bargains, Indonesia memiliki kecenderungan inkompatibilitas dalam dimensi loyalitas karena pendekatan yang dikedepankan adalah executive loyalty. Untuk itu, dibu tuhkan kerangka hukum yang lebih kuat untuk menjamin peran pejabat senior birokrasi (pejabat JPT) agar
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
189
PERBANDINGAN MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA, INDONESIA, DAN SINGAPURA DALAM PERSPEKTIF PUBLIC SERVICE BARGAINS Muhammad Imam Alfie S
mampu menjadi jester atau partner yang loyal kepada siapapun pemerintah yang berkuasa. Namun demikian, sebagaimana disampaikan para penggagas teori PSBs, tipe atau konstelasi PSBs yang dibangun akan selalu ditentukan oleh ketergantungan sejarah (path-dependency) dan kebutuhan pragmatis suatu negara. Oleh sebab itu, ke depannya, kajian mengenai path dependency dan kebutuhan Indonesia hingga beberapa tahun ke depan untuk mendesain PSB yang tepat akan menjadi sangat vital. DAFTAR PUSTAKA Anckar, Carsten. 2008. On the Applicability of the Most Similar Systems Design and Most Different Sys-tems Design in Comparative Research. International Journal of Social Research Methodology. Vol. 11, No. 5. pp. 389-401. Argyriades, Demetrios. 2010. “From Bureaucracy to Debureaucratization?”. Public Organization Re-view. Vol. 10, No. 3. pp. 275-297. Arvian, Yandhrie. 2015. Kawan Menteri di Posisi Kunci. Tempo. edisi 22-28 Juni 2015. Australian Bureau of Statistics. 2016. Private and Public Sector Earnings. http://www.abs.gov.au/ausstats/
[email protected]/Latestproducts/6302. 0Main%20Features3May%20 2016?opendocument&tabname=Summary&prodno=6302.0&issue=May%202016&num=&view=. 6 Oktober 2016. Australian Public Service Commission. 2015. APS Remuneration Report 2015. http://www.apsc.gov.au/publications-and-media/current-publications/remuneration-surveys/aps-remuneration-report-2015. 6 Oktober 2016. Badan Pusat Statistik. 2016. Jumlah 190
Pegawai Negeri Sipil Menurut Jabatan dan Jenis Kelamin. http://bps. go.id/linkTabelStatis/view/id/1174. 6 Oktober 2016. Choi, Soonyoung. 2012. Comparison of Civil Service Reform in the United States and Korea: Central Personnel Agencies and Senior Civil Service Systems. The Korean Journal of Policy Studies. Vol. 27, No. 3. pp. 101123. Davies, MR. 1998. Civil Servants, Managerialism and Democracy. International Review of Administra-tive Sciences. Vol. 64, No. 1. pp. 119-129. Halligan, John. 2013. The Evolution of Public Service Bargains of Australian Senior Public Servants. International Review of Administrative Sciences. Vol. 79, No. 1. pp. 111-129. Haque, M. Shamsul. 2013. Globalization, State Formation, and Reinvention in Public Governance: Ex-ploring the Linkages and Patterns in Southeast Asia. Public Organization Review. Vol. 13, No. 4. pp. 381-396. Holidin, Defny. 2016. Perkembangan Aktual Reformasi Birokrasi. Dalam Defny Holidin, Desy Hariyati, dan Eka Sri Sunarti. Reformasi Birokrasi dalam Transisi. Prenadamedia Group. Jakarta Hondeghem, Annie dan Karolien Van Dorpe. 2011. Do All Roads Lead to A Managerial Public Service Bargain? Performance Management Systems for Senior Civil Servants. Makalah. ECPR General Conference, Rijkjavik, 25-27 Agustus 2011. https://lirias.kuleuven.be/ bitstream/123456789/314177/1/ Van+Dorpe-Hondeghem_2011_ Do+all+roa. 2 Desember 2016. Hood, Christopher dan Martin Lodge. 2006. The Politics of Public Service Bargains: Reward, Competen-cy, Loyalty – and Blame. Oxford University Press. Oxford.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
PERBANDINGAN MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA, INDONESIA, DAN SINGAPURA DALAM PERSPEKTIF PUBLIC SERVICE BARGAINS
Muhammad Imam Alfie S
Jones, David Seth. 2009. Recent Reforms in Singapore’s Administrative Elite: Responding to the Chal-lenges of a Rapidly Changing Economy and Society. Asian Journal of Political Science. Vol. 10, No. 2. pp. 70-93. Lafuente, Mariano, Nick Manning, dan Joanna Watkins. 2012. International Experiences with Senior Ex-ecutive Service Cadres. World Bank Global Expert Team Note April 2012. http://siteresources.worldbank.org/EXTGOVANTICORR/Resources/3035863-1285601351606/ GET_Note_Recently_Asked_Questions_Senior_Executive_Services.pdf. 5 Oktober 2016. Moon, M. Jae & Changho Hwang. 2013. The State of Civil Service Systems in the Asia-Pacific Region: A Comparative Perspective. Review of Public Personnel Administration. Vol. 33, No. 2. pp. 121-139. Mulgan, Richard. 1998. Politicising the Australian Public Service?. Research Paper No. 3 1998-1999. Information and Research Service. ACT: Department of the Parliamentary Library. Painter, Martin dan B. Guy Peters. 2010. The Analysis of Administrative Traditions. Dalam Martin Painter dan B. Guy Peters (eds). Tradition and Public Administration. Palgrave Macmillan. pp. 3-16. Hampshire. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 13 Tahun 2014. Tata Cara Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi secara Terbuka di
Lingkungan Instansi Pemerintah. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2015. Perubahan Ketujuh Belas atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Presiden Nomor 156 Tahun 2014. Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Keuangan. Public Service Division. Administrative Service. http://www.psd.gov. sg/what-we-do/developing-leadership-in-the-service/administrative-service. 6 Oktober 2016. Quah, Jon S.T. 2010. Public Administration Singapore Style. Emerald. Bingley. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Aparatur Sipil Negara. White, Leonard D. 1955. The senior civil service. Public Administration Review. Vol. 15, No. 4. pp. 237-243. World Bank. 2012. Senior Public Service: High Performing Managers of Government. http://www1.worldbank.org/publicsector/civilservice/ epublishdocs/SPS%20note%201216. pdf. 5 Oktober 2016. __________. 2016a. APS Statistical Bulletin 2015-16. http://www.apsc.gov. au/publications-and-media/parliamentary/aps-statistical-bulletin/statisticalbulletin1516. 6 Oktober 2016. __________. 2016b. Senior Executive Service. http://www.apsc.gov.au/ managing-in-the-aps/ses. 5 Oktober 2016.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
191
PERBANDINGAN MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA, INDONESIA, DAN SINGAPURA DALAM PERSPEKTIF PUBLIC SERVICE BARGAINS Muhammad Imam Alfie S
192
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
Artikel MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD
WOMEN’S LEADERSHIP IN VILLAGE COMMUNITARIAN DEMOCRACY PERSPECTIVE: Women Representation in the Village Consultative Body (BPD) Any Sundari dan Rusman Nurjaman Departemen Sosiologi UGM dan Peneliti Pusat Desentralisasi dan Otonomi Daerah Abstrak: UU No. 6/2014 tentang Desa membuka kesempatan bagi proses pendalaman demokrasi komunitarian desa, termasuk peluang kiprah kepemimpinan perempuan di ranah desa. Dengan berpijak pada prinsip “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, arah reposisi peran publik perempuan di desa semakin terbuka lebar. Mekanisme yang dipakai adalah dengan mempergunakan demokratis baik melalui pemilihan atau musyawarah. Proses ini mengandaikan bahwa demokrasi memberi ruang-ruang partisipasi bagi seluruh elemen yang ada di masya rakat, termasuk di dalamnya adalah perempuan. Artinya, posisi perempuan yang selama ini terpinggirkan dapat diperoleh kembali. Dalam konteks membangun nilai kesetaraan di desa, tentunya wajib mempertimbangkan representasi perempuan, dan UU Desa mengakomodir hal tersebut. Representasi perempuan dapat dilakukan dengan mencontoh kebijakan afirmasi di lembaga legislasi/parlemen, baik di level nasional maupun daerah, yakni dengan memberikan aturan kuota 30% perempuan dalam Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang posisinya menyerupai “parlemen desa”. Representasi perempuan di dalam pemerintahan desa melalui BPD penting untuk memberikan ruang demokrasi bagi perempuan. Melalui ruang ini perempuan dapat mengasah kemampuan berorganisasi, mengeluarkan aspirasi dan mengontrol setiap kebijakan, program, kegiatan dalam penyelengaraan pemerintahan desa agar memiliki perspektif gender. Selain itu, representasi ini dapat menjadi salah satu upaya untuk membentuk kembali ruang-ruang politik dan munculnya kepemimpinan politik perempuan di level desa (grassroot). Kepemimpinan yang dimaksudkan di sini adalah kemampuan perempuan untuk menggunakan pengaruhnya pada suatu kelompok dalam mencapai tujuan tertentu. Tulisan ini mendeskripsikan peluang, tantangan, dan strategi penguatan kiprah kepemimpinan perempuan di ranah desa, melalui keterwakilannnya dalam keanggotaan BPD, pasca implementasi UU No. 6/2014 tentang Desa. Kata Kunci: demokrasi desa, representasi perempuan, kepemimpinan perempuan, Badan Permusyawaratan Desa.
Abstract: ULaw No. 6/2014 on Villages enhance opportunities for deepening the communitarian democracy process in the village, including in terms of women’s leadership. The principle “of the people, by the people, and for the people” have encouraged the repositioning of women’s public role in the village level by using democratic mechanism, either through elections or consencus. These processes assume that democracy provide a room for participation from all elements within the community, including women. Hence, women’s public role that have been marginalized can be recovered. In the context of building the value of equality in the village, it is inevitable that the representation of women has become one of the major consideration, as it has been accomodated by the Law on Villages. Women’s representation can be pursued by following the example of affirmative policies in the parliament, both at national and local levels, by providing rules of 30% women’s quota in the Village Consultative Board (BPD) whose position resembles a “village parliament”. Representation of women in the village government through BPD is important to give a democratic space for women in which women sharpen JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
193
MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD Any Sundari dan Rusman Nurjaman
organizational skills, canalise aspiration, and incorporate gender perspective into each policy, program, and activity within the village administration. Moreover, this representations can be considered as one of the efforts to reshape the political spaces and to encourage the emergence of women’s political leadership at the village level (grassroots). Leadership refers to women’s ability to use their influence in a group to achieve certain goals. This paper describes the opportunities, challenges, and strategies to strengthen women’s leadership in the village level, through women’s representation in BPD upon the implementation of Law No. 6/2014 on Villages. Keywords: village communitarian democracy, women’s representation, women’s leadership, Village Consultative Board (BPD).
A. PENDAHULUAN Di dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) Pasal 3, pengaturan desa diatur dalam beberapa asas, yakni (a) rekognisi; (b) subsidiaritas; (c) keberagaman; (d) kebersamaan; (e) kegotongroyongan; (f) kekeluargaan; (g) musyawarah; (h) demokrasi; (i) kemandirian; (j) partisipasi; (k) kesetaraan; (l) pemberdayaan; dan (m) keberlanjutan. Proses-proses demokratisasi di desa dengan UU No 6 Tahun 2014 masih harus menempuh upaya panjang untuk mencapai demokrasi yang subs tansial. Semangat UU Desa yang ingin mengembalikan kewenangan desa untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan masyarakatnya se suai dengan prakarsa masyarakat serta pengakuan atas hak asal usul merupakan capaian baik. Mengapa? Karena desa memiliki sejarah panjang dalam cengkeraman bayang-bayang otorite risme Orde Baru yang dampaknya masih mengakar hingga hari ini. Pada masa Orde Baru, desa sama sekali tidak memiliki kaki-kaki kemerdekaan untuk berorganisasi selain organisasi yang disponsori oleh pemerintah. Tak terkecuali kondisi yang dialami oleh perempuan-perempuan yang hidup di desa. Orde Baru merupakan sistem pemerintahan yang dibangun dengan gaya karakter kepemimpinan militeristik. Gaya kepemimpinan di bawah Soeharto mengandaikan satu garis komando. Seluruh organisasi yang 194
ada di bawah pemerintahannya harus mengikuti gaya aturan terpusat. Di level desa, setelah runtuhnya pemerintahan Soekarno, hampir tidak pernah ditemukan lagi organisasi-organisasi progresif, semuanya adalah organisasi yang disponsori pemerintah. Dalam relasinya dengan perempuan, Orde Baru membangun legitimasi pemerintahannya terhadap perempuan dengan menjalankan politik seksual. Ia memulai dengan menghancurkan Gerwani, sebuah gerakan perempuan progresif pada masa Soekarno (Wieri nga, 2010). Gerwani sebuah gerakan perempuan pada masa Soekarno ialah organisasi yang membangun sebuah basis gerakan yang sangat kuat di level desa maupun nasional. Satu hal yang membedakan gerakan perempuan lain pada masa itu ialah Gerwani menuntut hak-hak perempuan untuk berpolitik. Sesuatu yang mengancam struktur besar patriarkhi yang dibangun dalam bayang-bayang kekuasaan politik laki-laki. Pada masa itu, Gerwani meng organisir perempuan-perempuan untuk menghapuskan buta huruf di desa, mereka menolak poligami, memperjuangkan UU Perkawinan yang memberikan perlindungan terhadap perem puan dalam perkawinan, dan satu yang dianggap cukup berbahaya adalah karena Gerwani berpolitik, mereka mulai merambah ke parlemen untuk membuat kebijakan-kebijakan yang pro perempuan (Lestariningsih, 2011) Dengan tipikal progresif dan berafiliasi dengan Partai Komunis Indo-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD Any Sundari dan Rusman Nurjaman
nesia, organisasi perempuan progresif ini akhirnya ditumpas oleh Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto. Orde Baru, dengan menggunakan tangan militer, membangun imajinasi kolektif bahwa perempuan yang mengikuti organisasi Gerwani adalah sosok sundal yang tidak memiliki etika dan melakukan penyiletan kepada jend ral-jendral yang terbunuh di Lubang Buaya. Imajinasi tentang sosok sundal ini terus-menerus dikonstruksi dengan berbagai cara seperti menggunakan film Gestok, kurikulum buku pelajaran dan mengaburkan sejarah. Bagi perempuan yang terlibat Gerwani, mereka banyak yang ditangkap, dan mengalami penyiksaan di penjara (Lestariningsih, 2011). Banyak di antara mereka yang kemudian menutup identitas, yang lain harus menjalani wajib lapor hingga harus meminta izin kepada militer kala mereka berpergian keluar kota. Hari-hari para perempuan itu, mereka diawasi oleh Orde Baru. Dengan menjalankan politik seksual, Orde Baru kemudian melakukan serangkaian normalisasi atas berba gai kehidupan perempuan termasuk kehidupan perempuan desa. Sebagai ganti wadah organisasi bagi perempuan di kota maupun desa, pemerin tah membentuk Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Organisasi ini merupakan organisasi yang ditunjuk oleh negara sebagai saluran untuk menghubungkan antara perempuan dan negara. Soeharto dalam pidato pada tahun 1981 mengatakan ; “Pemerintah mendukung PKK yang diharapkan menjadi anak panah bagi pembangunan masyarakat dari bawah, yang akan dimotori oleh wanita. Saya minta agar berbagai kegiatan yang diprogramkan di tingkat nasional untuk kaum wani ta dapat disalurkan melalui PKK. Namun, jangan dilupakan, bahwa
program itu akhirnya harus ditujukan oleh kaum wanita sendiri di desa-desa atau di kampung-kampung, atau di daerah perkotaan. Jika terlalu banyak organisasi, maka kaum wanita perdesaan itu akan menjadi bingung, dan tidak sesuai dengan pemikiran dan keinginan mereka yang masih sederhana”. (Sumber: Pidato Presiden pada Rakernas Peningkatan Peran Wanita-Keluarga Sehat Sejahtera, 2 Maret 1981) Dengan kondisi demikian, perempuan tidak memiliki alternatif untuk bergerak di organisasi yang lain kecuali PKK. PKK menggunakan jalur sasaran terakhirnya pada keluarga. Keluarga dianggap sebagai satuan ekonomi, yaitu tempat reproduksi dan konsumsi; sebagai satuan biososial yakni tempat seseorang mendapatkan konstruksi dan makna sosial; terakhir sebagai sarana untuk pembentukan ideologis-keyakinan, agama, konservatisme maupun nilai mulai sejak anak-anak (Suryakusuma, 2011). Sehingga pada masa ini, praktis perempuan tertarik kembali ke jalur domestik. Program-program PKK dirancang untuk menjauhkan perempuan untuk bergerak dalam ranah politik, memiliki kesadaran untuk menuntut hak-haknya sebagai perempuan dan warga negara serta menghilangkan kesadaran kritis perempuan dengan menjadikannya semata sebagai agen untuk mensukseskan pembangunan negara. Praktis, sepanjang periode domestifikasi yang dialami oleh perempuan pada masa Orde Baru, hampir sangat jarang bisa ditemukan kepemimpinan politik perempuan di dalam kehidupan negara. Kondisi minimnya representasi pe rempuan dalam ranah politik pun dirasa tidak cukup banyak perubahan pasca runtuhnya Orde Baru. Hal paling sederhana tercermin dari data minimn-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
195
MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD Any Sundari dan Rusman Nurjaman
ya kepemimpinan perempuan di dalam politik praktis. Berdasarkan data yang diperoleh dari Komisi Pemilihan Umum, Women Research Institute, dan Puskapol UI, di dalam 3 periode Pemilu angka representasi perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat RI tahun 19992004 hanya 9%, tahun 2004-2009 sebanyak 11,09%, dan tahun 20092014 sebantak 18%. (Adriana, dkk., 2012). Dorongan perempuan untuk terjun memimpin, dengan munculnya kebijakan afirmasi 30% perempuan di Parlemen dalam UU Partai Politik No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam UU tersebut ada aturan khusus tentang kuota 30% bagi perempuan, sebagai sebuah upaya mendorong keterwakilan dan kepemimpinan perempuan di ja lur politik formal. Prinsip kuota 30% perempuan di parlemen memiliki misi untuk membentuk praktek politik yang setara dan berkeadilan. Namun, UU ini sayangnya kemudian dianulir oleh putusan Mahkamah Konstitusi dengan Keputusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang membatalkan pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e. Dalam putusan ini dianulir pengggunaan nomor urut untuk memilih daftar calon anggota terpilih, sebagai gantinya sistem pemilihan berdasarkan suara terbanyak. Sebagai akibatnya, zipper system yang diha rapkan bisa menentukan posisi perem puan tidak berjalan (Tholib, 2014). Kondisi demikian membuat perempuan harus bertarung di medan politik formal dengan amunisi yang sama dengan laki-laki, sementara konstruksi sosial budaya lebih banyak melemahkan perempuan ketika ia berada di panggung politik formal. Namun dalam konteks mikro, terbitnya UU Desa membuka babak baru bagi 196
proses pendalaman demokrasi desa, termasuk peluang kiprah kepemim pinan perempuan di aras desa. De ngan berpijak pada prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, arah reposisi peran publik perempuan di desa memang semakin terbuka lebar. Mekanisme yang dipakai adalah dengan mempergunakan caracara pemilihan umum atau musyawa rah untuk mufakat. Proses ini meng andaikan bahwa demokrasi memberi ruang-ruang partisipasi bagi seluruh elemen yang ada di masyarakat, termasuk di dalamnya adalah perempuan. Dalam proses demokrasi, posisi perempuan yang selama ini terpinggirkan dapat diperoleh kembali. Melalui sistem demokrasi, perempuan dapat merebut ruang-ruang politik, akses dan kontrol yang selama ini lebih ba nyak dipegang oleh laki-laki. (Subekti, 2015). Demikian pula ketika berbicara demokrasi di level desa. Dengan ada nya UU Desa, proses-proses demokrasi semestinya bisa dirasakan penuh oleh warga. UU Desa memberikan otonomi yang begitu besar kepada desa untuk memaksimalkan potensi sumber daya desa. Sumber daya yang dimaksud di sini bukan hanya soal sumber daya alam tetapi juga potensi sumber daya manusia untuk membangun desa. Tak bisa dipungkiri bahwa semua tunas kepemimpinan di negeri ini justru diperoleh dari desa. Tokoh-tokoh pemimpin bangsa, seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, ataupun Sjahrir, tidak dilahirkan di kota besar. Mereka hidup di daerah pedesaan yang jauh dari hingar bingar keramaian kota. Desa sesungguhnya menjadi gudang dari stok pemimpin yang berkualitas. Orang-orang desa paham benar bagaimana menjalankan kepemimpin an, karena yang dihadapi oleh kepala desa adalah soal-soal rill yang dihadapi oleh masyarakat. Kontrol yang diberi kan oleh masyarakat bukan hanya
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD Any Sundari dan Rusman Nurjaman
soal-soal administratif birokrasi, tetapi para pemimpin di desa juga dikontrol oleh etika publik yang ketat. Dalam arti, kepemimpinan di desa juga me nyangkut relasi kultural yang dibangun antara pemimpin desa dengan warganya. Dan, UU Desa sesungguh bisa menjadi instrumen kebijakan strategis untuk memastikan mendapatkan calon pemimpin yang berkualitas sehingga menghadirkan demokrasi substansial di desa. Demokrasi substansial yang dihadirkan melalui UU Desa diharapkan dapat memunculkan makna mendalam seperti penghargaan terhadap perbedaan (toleransi), kemanusiaan, penghargaan atas hak asasi manusia, dan tentu kesetaraan (Alfan, 2009). Dalam konteks membangun nilai kesetaraan pada demokrasi di desa, tentunya wajib mempertimbangkan representasi perempuan, dan UU Desa sebenarnya bisa mengakomodir hal tersebut. Re presentasi perempuan dapat dilakukan dengan mencontoh kebijakan afirmasi di parlemen, baik di level nasional maupun daerah, yakni dengan memberikan aturan kuota 30% di Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang posisinya menyerupai “parlemen de sa”. Representasi perempuan di dalam pemerintahan desa melalui BPD sebenarnya penting untuk memberikan ruang demokrasi bagi perempuan. Melalui ruang ini perempuan dapat mengasah kemampuan berorganisasi, mengeluarkan aspirasi dan me ngontrol kebijakan-kebijakan dana di desa agar pro pada program-program perempuan di level desa. Selain itu, representasi ini dapat menjadi salah satu upaya untuk membentuk kembali ruang-ruang politik dan munculnya kepemimpinan politik perempuan di level desa (grassroot). Dalam tulisan ini, penulis secara khusus ingin melihat tentang peluang
diskursus kepemimpinan perempuan di level desa. Pertama, bagaimana peluang munculnya representasi 30% perempuan di BPD pasca implementasi UU No. 6 Tahun 2014? Secara umum, isi UU Desa memang masih netral gender. Di dalamnya tidak menyebutkan secara khusus tentang representasi perempuan di level kepemimpinan desa, seperti representasi 30% kuota perempuan di BPD. Kedua, bagaimana representasi 30% perempuan di BPD ini dapat menjadi strategi untuk membentuk aksi kolektif perempuan yang bermanfaat bagi perempuan-perempuan desa? Serta apa sajakah tantang an yang muncul ketika strategi 30% perempuan di BPD kiranya dimunculkan di level desa? B. METODE Kajian yang disajikan dalam tulisan ini menggunakan metode kualitatif dengan varian studi kasus terhadap peluang representasi perempuan dalam keanggotaan Badan Permusya waratan Desa (BPD). Kajian ini meng ambil di Kabupaten Minahasa Selatan di Provinsi Sulawesi Utara. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan yang relevan, pemetaan kebijakan, dan wawancara mendalam, serta observasi yang dilakukan dalam rentang waktu antara bulan September-Oktober 2016. C. PENCARIAN KERANGKA KONSEPTUAL Sebagai bagian dari pencarian kerangka konseptual kajian ini, bagian berikut ini akan memaparkan bebera pa konsep kunci. Beberapa konsep seperti demokrasi komunitarian, dan domestikasi perempuan (state ibuism), merupakan konsep kunci yang menjadi kerangka penjelas dalam tulisan ini. Demokrasi komunitarian Sutoro Eko, seorang pakar tentang desa, selalu mengutip ungkapan seo-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
197
MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD Any Sundari dan Rusman Nurjaman
rang pendiri Republik Indonesia, Mohammad Hatta, berikut ketika berbica ra tentang desa. “Di desa-desa sistem yang demokratis masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian adat-istiadat yang hakiki, dasarnya adalah pemilikan tanah yang komunal yaitu setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan keputusan bersama, sewaktu menyelenggarakan kegiatan ekonomi” (dalam Sutoro Eko, 2005:64-65 dan 2015:178). Lebih lanjut, menurut Sutoro, Hatta juga menegaskan bahwa struktur demokrasi yang hidup dalam diri bangsa Indonesia harus berdasarkan pada tradisi demokrasi asli yang berlaku di desa. Lalu apakah sesungguhnya demokrasi desa itu? Dari ungkapan Hatta tampak bahwa demokrasi desa tentunya berbeda dengan demokrasi modern yang diterapkan di era sekarang. Tradisi demokrasi yang selama ini hidup di desa atau demokrasi desa berakar pada demokrasi komunitarian. Menurut Sutoro Eko, demokrasi komunitarian desa tersebut pada prinsipnya bertumpu pada tiga substansi: 1) demokrasi politik dalam bentuk pengambilan keputusan bersama melalui musyawarah; 2) demokrasi sosial dalam wujud solidaritas bersama melalui gotong royong, dan; 3) demokrasi ekonomi dalam wujud kepemilikan tanah secara komunal. Apakah sesungguhnya demokrasi komunitarian itu? Apa yang membedakan demokrasi komunitarian dengan demokrasi liberal yang kini banyak dipraktikkan? Mengapa demokrasi komunitarian lebih kompatibel dalam menjelaskan berbagai fenomena demokrasi di ranah lokal termasuk di level desa? Beberapa pertanyaan tersebut menjadi penting untuk dikemukakan ketika hendak berbicara tentang demokrasi desa. Hal ini karena demokrasi desa itu sendiri hanya vari198
an dari demokrasi komunitarian. Demokrasi komunitarian bukanlah demokrasi nasional yang kemudian dijiplak di ranah komunitas. Menurut Sutoro Eko (2005:78), demokrasi komunitarian adalah demokrasi yang berorientasi pada masyarakat dan lokalistik. Demokrasi, dalam hal ini, dipahami sebagai seni atau cara “pergaulan hi dup” untuk meraih kebahagiaan bersama. Para penganut demokrasi komunitarian menolak pandangan bahwa demokrasi adalah kebebasan individu. Alih-alih menekankan pada kebebasan individu, demokrasi komunitarian justru berorientasi pada komunitas atau masyarakat. Uniknya, demokrasi komunitarian justru berkembang sebagai kritik terhadap model demokrasi liberal yang berbasis pada kebebasan individu dan kini banyak diadopsi oleh banyak negara. Di Indonesia, demokrasi di kancah nasional yang dibingkai de ngan demokrasi liberal tersebut, ditandai dengan beberapa ciri. Pertama, keberadaan parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat yang dibentuk dengan kompetisi aktor-aktor politik, termasuk partai politik, melalui mekanisme elektoral (Pemilu). Kedua, presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung melalui pemilu. Ketiga, demokrasi elektoral untuk membentuk parlemen (legislatif) maupun eksekutif dengan prinsip one person one vote. Keempat, pelembagaan pembagian kekuasaan maupun mekanisme kontrol dan keseimbangan (check and balance) antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kelima, konstitusi memberikan jaminan kebebasan politik bagi warga untuk berbicara, berkumpul, berserikat, berorganisasi maupun memperoleh informasi dari pers yang bebas. Dalam aras prosedural, demokrasi liberal diukur melalui bekerjanya tiga
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD Any Sundari dan Rusman Nurjaman
indikator penting: kontestasi (kompetisi, pertarungan), liberalisasi, dan partisipasi. Ketiga elemen ini berbasis pada individualisme dan semangat kebebasan individu. Secara prosedural ketiga elemen itu kemudian dilembagakan dalam pemilihan dan lembaga perwakilan yang memberi ruang pada setiap individu untuk berkompetisi memperebutkan jabatan-jabatan pu blik, baik eksekutif maupun legislatif, melalui proses pemilihan. Setiap individu bebas berpartisipasi dalam pemilihan umum, atau menggunakan hak suaranya secara bebas, tanpa tekanan, ancaman, dan mobilisasi. Dengan kata lain, prinsip one man one vote sangat dipegang teguh oleh pandangan libe ral. Oleh karena itu, diperlukan jaminan hukum untuk melindungi penggunaan hak-hak politik setiap individu untuk berkompetisi dan berpartisipasi. Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ha nya di negara-negara maju lah model demokrasi liberal mampu menciptakan stabilitas politik yang kokoh. Sedangkan di negara-negara berkembang yang masih tergopoh-gopoh belajar berdemokrasi seperti Indonesia, mo del ini belum mampu menciptakan fondasi yang kokoh bagi institusiona lisasi dan konsolidasi demokrasi nasional. Sebaliknya, demokrasi liberal yang direduksi dalam demokrasi dalam bentuk demokrasi elektoral mengalami krisis legitimasi yang serius, baik dari sisi institusi (parlemen dan partai politik) maupun proses (pemilihan umum). Selain itu, demokrasi elektoral tidak mampu mendorong transformasi politik melainkan hanya menciptakan mobilisasi politik dan terjebak dalam proseduralisme, yang hanya membentuk lembaga-lembaga formal yang dikuasai oleh segelintir elite (oligarki) minus partisipasi warga. Oleh karena itulah demokrasi
komunitarian lahir untuk mengkoreksi demokrasi liberal. Demokrasi liberal dinilai menjadi hegemoni universal yang menyeragamkan praktik demokrasi di seluruh dunia. Pandangan umum mengatakan bahwa demokrasi adalah kebebasan individu, pemilihan, dan partisipasi. Jarang sekali muncul pandangan bahwa demokrasi adalah metode untuk mencapai kebersamaan secara kolektif. Sementara tradisi komunitarian menaruh perhatian pada masalah ini. Dalam tradisi komunitarian memaknai demokrasi secara partikularistik dan historis, dengan memperhatikan keragaman dan karakteristik budaya, struktur sosial, sistem ekonomi dan sejarah setiap negara (Eko, 2005: 80). Penganut tradisi komunitarian meyakini bahwa rakyat selalu dalam ikatan komunal ketimbang individualistik. Model demokrasi perwakilan cenderung menyebabkan setiap partisipasi publik terpisah dari persoalan nyata keseharian alih-alih mampu memenuhi kebutuhan dasar publik. Namun demikian, kaum komunitarian juga mengakui adanya otonomi individu seperti halnya kamu libe ral. Hanya saja, yang ditonjolkan oleh kaum komunitarian bukan kebebasan individu melainkan penghargaan atas otonomi individu serta pemberian kesempatan pada setiap individu untuk memaksimalkan aktualisasi diri dalam ikatan kolektif (Eko, 2005: 81). Dengan latar belakang teoritik demikian, konsep demokrasi komunitari an sangat relevan diterapkan pada level komunitas yang lebih kecil seperti desa. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa demokrasi komunitarian, sebagai pilar self-governing community, hendak mendorong partisipasi publik dalam urusan publik, pemerintahan, dan pembangunan di level komunitas. Tidak hanya itu, demokrasi komunitarian juga merekomendasikan pentingnya perluasan ruang publik,
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
199
MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD Any Sundari dan Rusman Nurjaman
pengaktifan peran-peran kelompok sosial, forum warga, serta jaringan antar kelompok, yang tidak hanya berorientasi untuk membantu pemenuhan kebutuhan warga itu sendiri, tetapi juga sebagai wahana penyadaran warga, civic engagement dan partisipasi dalam urusan pemerintahan di tingkat komunitas (desa). Elemen-elemen komunitarian inilah, menurut Sutoro Eko, yang memungkinkan penyelenggaraan pemerintahan (governance) dan pembuatan keputusan berbasis komunitas (bukan segelintir elite) secara partisipatif serta memungkinkan penggalian potensi dan kreativitas dalam ikatan kolektif. Soetardjo Kartohadikoesoemo (19 83), mengemukakan bahwa demokrasi komunitarian desa dibingkai dengan tiga tata yang berbasis pada “kontrak sosial” masyarakat setempat. Pertama, tata krama (fatsoen) dan, kedua, tata susila (etika), sebagai bentuk budaya demokrasi yang mengajarkan toleransi, penghormatan terhadap sesama, kesantunan, kebersamaan, dan lainlain. Ketiga, tata cara atau aturan main sebagai mekanisme untuk mengelola pemerintahan, hukum waris, perkawi nan, pertanian, pengairan, pembagian tanah, dan lain-lain. Adapun dalam konteks pemerintahan, sejak zaman dulu desa sesungguhnya sudah mene rapkan pembagian kekuasaan yang sejalan dengan konsep Montesqiue tentang Trias Politica: eksekutif yang diperankan oleh pemerintah desa, legislatif dalam bentuk rembug desa, dan yudikatif dalam bentuk dewan morokaki. Namun demikian, sebagaimana dikemukakan oleh Yumiko M. Prijono dan Prijono Tjiptoherijanto (Sutoro Eko 2005: 67 dan; Eko, 2015: 181), demokrasi desa pernah mengalami kemunduran. Menurut mereka, go tong-royong dan musyawarah, dua 200
kata kunci dalam demokrasi tradisio nal desa yang dulu pernah hidup, kini makin surut. Kemunduran demokrasi komunitarian desa, menurut mereka, disebabkan oleh perubahan sosial-ekonomi dan kepemimpinan kepala desa. Setidaknya terdapat empat bukti kemunduran demokrasi desa di era modern yang mereka catat. Pertama, lurah (kepala desa) tidak lagi menggunakan cara demokrasi, tidak lagi menjadi “bapak” bagi rakyatnya; Kades lebih cenderung menjadi admi nistrator ketimbang menjadi pemim pin. Kedua, tidak ada lagi pemerataan dan kepemilikan tanah secara komunal di desa karena karena keterbatasan lahan akibat pertumbuhan penduduk yang begitu pesat. Ketiga, berubahnya struktur kekuasaan desa yang dipicu oleh masuknya partai-partai politik ke ranah desa. Keempat, timbulnya pola risasi masyarakat desa yang disebabkan oleh dinamika sosial, politik, dan ekonomi pasca kemerdekaan, konflik land reform, dan meluasnya pemba ngunan pedesaan, yang menyebabkan berubahnya fungsi ekonomi kepala desa dan keterlibatan masyarakat dalam proses politik dan pembangunan desa. Menyusutnya praktik demokrasi desa terutama terjadi pada masa Orde Baru. Kuatnya nuansa korporatis dalam UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa telah secara masif menghilangkan demokrasi desa. Meskipun ada Pilkades namun demokrasi desa pada masa ini bersifat artifisial belaka karena setiap proses elektoral selalu mendapat intervensi dari pemerintah supradesa. Dalam Pilkades, pihak kabupaten hanya akan meloloskan kandidat yang telah terbukti loyal kepada pembangunan dan partai penguasa maupun mereka yang benar-benar dinyatakan “patuh” kepada pemerintah. Kuatnya intervensi pemerintah supradesa juga mendominasi lemba-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD Any Sundari dan Rusman Nurjaman
ga musyawarah desa (LMD). Walhasil, dalam praktiknya, lembaga ini hanya menjustifikasi kebijakan dari atas yang dikendalikan kades, serta bekerja tanpa berbasis pada aspirasi lokal dan tantangan nyata yang di desa (Sutoro Eko: 2005, 66-67). Setelah mengalami kemunduran, kini orang cenderung romantis ketika berbicara tentang demokrasi komunitarian desa. Demokrasi desa merupakan benteng terakhir demokrasi ketika demokrasi nasional telah mati. Orang Minangkabau, misalnya, selalu membanggakan bahwa sejak lama nagari selalu merawat tradisi demokrasi komunitarian melalui musyawarah dalam pengambilan keputusan kolektif. Begitu pula dengan keyakinan sebagian besar orang bahwa mereka masih meyakini adanya sisa-sisa demokrasi yang masih terpelihara di desa-desa di Jawa. Beberapa indikatornya antara lain: pemilihan langsung kepala desa, tradisi forum-forum RT sampai rembug desa sebagai arena pembuatan keputusan kolektif yang demokrasi, terjaganya solidaritas komunal antar warga dalam bentuk gotong-royong, dan kini telah terbentuk badan permusya waratan desa yang anggotanya dipilih secara demokratis. Bahkan, khusus terkait keanggotaan BPD, kini UU No. 6/2014 tentang Desa mengharuskan adanya keterwakilan perempuan dalam “parlemen desa” tersebut. Domestikasi kaum perempuan (State ibuism) Domestikasi perempuan merupakan konsep yang merujuk pada bagaimana konstruksi sosial peran publik perempuan didefinisikan sehingga berimplikasi pada penjinakan, segregasi, dan depolitisasi kaum perempuan itu sendiri. Konsep ini dikembangkan oleh sosiolog feminis Julia Suryakusuma ketika melakukan investigasi mengenai implikasi pembentukan organisasi-or-
ganisasi korporatis, seperti Pembinaan Kesejahteraan Keluarga dan Dharma Wanita, terhadap kaum perempuan di era Orde Baru. Menurut Julia (2011: 1-9), konsep domestikasi ini berkaitan dengan wilayah ekonomi, politik, dan budaya, yang mempengaruhi konstruksi keperempuanan Indonesia, yakni bagaimana perempuan didefinisikan perannya di dalam masyarakat. Domestikasi tercermin dalam program pemerintah untuk kaum perempuan pada umumnya, dan secara khusus, di dalam PKK dan Dharma Wanita. Lebih jauh, menurut Julia Suryakusuma, proses domestikasi tidak lepas dari upaya negara dalam mendefinisikan suatu ideologi gender yang diorientasikan untuk kepentingannya sendiri. Ideologi gender yang dimaksud di sini adalah apa yang disebut oleh Julia sebagai “ibuisme negara” (Suryakusuma, 2011: 10). Ideologi gender ini menciptakan stereotipe kaku dan sangat membatasi kaum perempuan dengan tujuan untuk mengontrol dan menciptakan suatu tatanan hirarkis. Kecenderungan seperti ini sesungguhnya dapat kita runut ke belakang. Sepanjang sejarah, demikian Julia, negara lazim memanipulasi secara bergantian paham perempuan sebagai istri atau ibu, atau keduanya, sesu ai dengan “kebutuhan” negara atau bangsa. Di era Orde Baru, tampaknya pemerintah menemukan cara yang paling baik untuk membendung dan memanipulasi kekuatan kaum perempuan—baik secara sosial, politik, dan ekonomi—adalah dengan mendefinisikan perempuan dalam kategori utama sebagai istri, sesuatu yang pada gilirannya menciptakan budaya “ikut suami” sebagaimana tercermin dalam organisasi isteri pegawai negeri sipil, yang tak lain adalah “Dharma Wanita” (Suyakusuma, 2011: 10).
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
201
MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD Any Sundari dan Rusman Nurjaman
Melalui domestikasi, negara meng ambil konstruksi keperempuanan dari aspek-aspek yang paling opresif dari ideologi gender. Perempuan disegre gasikan ke dalam program-program yang khusus untuk perempuan. Melalui Dharma Wanita dan PKK, ne ga ra sesungguhnya sedang menciptakan organisasi istri yang wajib diikuti, meniru hirarki suami. Hal tersebut, menurut Julia, mencerminkan gagasan bahwa perempuan didefinisikan untuk melayani suami, keluarga, dan nega ra. Dalam paham “ibuisme”, kaum perempuan harus melayani suami, anak-anak, keluarga, masyarakat, dan negara. Evolusi Kelembagaan Badan Permusyaratan Desa Kehadiran BPD dalam tata pemerin tahan desa bukanlah hal baru. Kita dapat merunut embrio keberadaan BPD hingga jauh ke belakang. Sebelum era Ordes Baru, dalam konteks tata kelola pemerintahan, desa-desa zaman dulu sudah memiliki mekanisme pembagian kekuasaan ala Trias Politica: eksekutif (pemerintah desa), legislatif (rembug desa), dan yudikatif (dewan morokaki). Rembug desa terdiri dari seluruh kepala keluarga di desa yang secara politik sebagai pemegang kedaulatan rakyat di desa (Sutoro Eko dalam Bahagijo, dkk., 2005: 65). Di era Orde Baru, nama BPD memang belum dikenal, namun di tingkat desa sudah ada lembaga kemasyarakatan desa yang menjalankan fungsi sebagai wadah permusyawaratan/pemufakatan warga desa, yaitu Lembaga Musya warah Desa (LMD). LMD lahir dari rahim UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang antara lain mengatur tentang keberadaan lembaga tersebut. Pada Pasal 17 (1) UU No. 5/1979 menyebutkan bahwa anggota LMD terdiri dari kepala-kepala dusun, pimpinan lembaga-lembaga kemasya 202
rakatan, dan pemuka masyarakat di desa yang bersangkutan. Meski tumbuh dalam konteks sistem politik yang otoritarian dan situasi masa mengambang era Ordes Baru, LMD inilah yang kemudian dapat disebut sebagai cikal bakal BPD, seperti yang dikenal dalam struktur pemerintahan desa saat ini (Riawan Tjandra dan Ninik Handayani, 2014:1). Fungsi LMD adalah membina kelancaran hubungan yang berkembang dalam masyarakat desa dan menyalurkannya dalam rapat-rapat LMD. Sedangkan komposisi pengurus LMD didominasi oleh elite-elite birokrasi desa. Hal ini tampak jelas dari posisi ketua yang dipegang oleh kepala desa dan sekretaris dijabat sekretaris desa. Pembentukan BPD (Badan Perwakilan Desa) diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut Sutoro Eko (dalam Bahagijo, dkk, 2005: 84), kemun culan BPD tidak bisa lepas dari arus demokratisasi desa yang berlangsung seiring dengan euforia rakyat me nyambut gelombang reformasi tahun 1998. Arus demokratisasi desa terjadi dalam 2 (dua) fase. Runtuhnya banyak kepala desa bermasalah karena desakan rakyat di jalanan menandai arus demokratisasi desa paling awal. Arus demokratisasi desa ditandai dengan hadirnya BPD sebagai arena baru bagi kekuasaan dan demokrasi di ranah desa. Kelahiran BPD sendiri merupakan bentuk kritik terhadap LMD. Meski BPD hanya mampu menghadirkan partisipasi masyarakat secara terbatas, namun kehadirannya dipandang menjanjikan arena bagi demokrasi perwakilan yang lebih baik ketimbang LMD. Beberapa hal mencolok yang membedakan antara BPD dengan LMD terletak dari keanggotaan dan kedudukan kepala desa. Keanggotaan LMD ditunjuk oleh kepala desa, sedangkan keanggotaan BPD dipilih oleh masyarakat. Jika dulu LMD menempat-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD Any Sundari dan Rusman Nurjaman
kan kepala desa sebagai ketua ex-officio sehingga perannya dominan, kini kepala desa murni menjadi eksekutif sedangkan BPD sebagai legislatif yang terpisah dari kepala desa. Pimpinan BPD (ketua, wakil ketua, dan sekretaris BPD) dipilih dari anggota BPD, bukan dari perangkat desa. Berdasarkan UU No. 22/1999, fungsi BPD adalah mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, dan melakukan penyelenggaraan pemerintah desa. Pada kenyataannya di lapangan, sebutan nama BPD bukan nomenklatur yang bersifat baku. Tidak semua desa menggunakan nama BPD, dan bisa menyebutnya dengan nama lain sesuai dengan kesepakatan masyarakat desa/ wilayah yang bersangkutan. Sebagai contoh, di Aceh masyarakat setempat pada umumnya menamai lembaga serupa BPD dengan sebutan Tuha Peuet Gampong, sedangkan khusus di Aceh Tamiang bernama Mejelis Duduk Setikar. Namun di desa-desa yang meru pakan basis penduduk transmigran, masyarakat setempat tetap memakai nama BPD. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa, kemudian meng ubah BPD menjadi Badan Permusya waratan Desa. Berdasarkan UU ini, BPD merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Oleh karena itu, BPD berwenang dan ikut mengatur dan mengurus desa. Fungsi BPD adalah menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, menetapkan kepala desa melalui kepala desa, dan melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Desa. Ketika UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa terbit, terjadi lagi perubahan (kedudukan) dan fungsi BPD. UU Desa
mendefinisikan BPD sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. BPD kini tidak lagi mempunyai kewenangan menetapkan peraturan desa bersama kepala desa. Fungsi BPD kini adalah membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama kepala desa. Selain itu, yang membedakan BPD saat ini dengan sebelumnya adalah pada fungsinya melakukan pengawasan kinerja kepala desa. Menurut Sutoro Eko (2015: 188), hal tersebut berarti pelemahan fungsi hukum (legislasi) BPD digantikan dengan penguatan fungsi politiknya melalui representasi, kontrol, dan deliberasi. Secara sederhana, Tabel 1 menggambarkan bagaimana berkembangan BPD sejak berlakunya UU No. 5/1979 hingga lahirnya UU No. 6/2014 tentang Desa. Jumlah anggota BPD mengalami perubahan dari masa ke masa. Di masa lalu, jumlah anggota BPD ditetapkan dengan jumlah ganjil, antara 5 (lima) hingga 11 orang, dengan memperhatikan sejumlah indikator, yaitu: luas wilayah, jumlah penduduk, kemampuan keuangan desa, dan ke terwakilan perempuan minimal 30 % dari jumlah anggota BPD. Sementara itu, UU No. 6/2014 mengatur keanggotaan BPD tidak jauh berbeda. Hanya saja dalam ketentuan yang terakhir ini, jumlah anggota BPD paling banyak 9 (sembilan) orang, dengan tetap memperhatikan luas wilayah, keterwakilan perempuan, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan desa. Posisi Perempuan dalam Evolusi Kelembagaan Desa UU Desa lahir dari sebuah periode panjang pergulatan hubungan antara pemerintahan pusat dengan desa.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
203
MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD Any Sundari dan Rusman Nurjaman
Tabel 1. Evolusi Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Substansi
UU No. 5/1979
Nomenklatur LMD (Lembaga Musyawarah Desa) Keanggotaan Kepala-kepala dusun, pimpinan lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan pemuka masyarakat
Jabatan
Ketua dipegang kepala desa dan sekretaris dijabat sekretaris desa
Fungsi
Membina kelancaran hubungan yang berkembang dalam masyarakat dan menyalurkan aspirasinya dalam rapat-rapat LMD
UU No. 22/1999
BPD (Badan Perwakilan Desa)
UU No. 32/2004 UU No. 6/2014 tentang Desa
BPD (Badan Permusyawaratan Desa) Wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan melalui musyawarah dan mufakat
BPD (Badan Permusyawaratan Desa) Dipilih dari dan Dipilih dari oleh penduduk penduduk desa desa yang berdasarkan keter memenuhi per wakilan wilayah syaratan yang pengisiannya dilakukan secara demokratis (musyawarah dan mufakat). Pimpinan BPD Pimpinan BPD Pimpinan BPD (meliputi ketua, terdiri dari 1 (satu) (meliputi ketua, wakil ketua, dan wakil ketua, dan orang ketua, 1(satu) orang sekretaris BPD) sekretaris BPD) dipilih dari anggo- dipilih dari anggota wakil ketua, dan ta BPD dan bukan BPD dan bukan dari 1 (satu) orang dari perangkat perangkat desa sekretaris. Dipilih dari dan oleh ang desa gota BPD dalam rapat BPD yang diadakan secara khusus Mengayomi adat Tiga pilar fungsi 1) Membahas dan istiadat, membuat BPD: 1) menammenyepakati Ranperaturan desa, pung dan menya cangan Peraturan menampung dan lurkan aspirasi Desa bersama menyalurkan asmasyarakat, 3) Kepala Desa; 2) pirasi masyarakat, menetapkan peramenampung dan melakukan peng turan desa bersama menyalurkan asawasan terhadap kepala desa, dan 3) pirasi masyarakat pemerintahan melakukan peng desa; dan 3) desa awasan terhadap melakukan peng kebijakan pemerin- awasan kinerja tah desa. kepala desa.
Diolah dari berbagai sumber.
Sebelum Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, desa sudah memiliki eksistensinya di Nusantara. Desa bahkan sudah termaktub dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, di mana NKRI memberikan penghormatan atas kebinekaan yang dimiliki oleh desa. Desa-desa pada masa tersebut adalah entitas yang otonom dan memiliki hak asal usul. Sehingga NKRI yang baru merdeka pun juga memberikan pengakuan atas desa di luar dari 204
kerangka sub-sistem pemerintahan daerah. Namun hubungan baik antara negara dengan desa mengalami pasang surut, masa-masa kelam itu terjadi pada masa Orde Baru. Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1979. Di dalam UU tersebut, pemerintah pusat melakukan penyeragaman organisasi dan kelembagaan desa. Unit desa berada dibawah kecamatan. Usia dari UU ini cukup panjang hingga ia akhir
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD Any Sundari dan Rusman Nurjaman
nya dihapus pada tahun 1999 karena posisinya bertentangan dengan UUD 1945.1 Pasca reformasi hubungan pemerintahan dengan pusat mengalami perubahan dengan munculnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan berubah lagi dengan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam bingkai pemerintahan daerah, desa dianggap sebagai bagian pemerintah daerah. Namun demikian, jangkuan UU 32 Tahun 2004 ini ternyata tidak berhasil memberikan manfaat penuh bagi desa. Karena nyatanya jangkauan keadilan distribusi dan pemerataan pembangunan tidak pernah sampai pada desa. Desa masih menjadi obyek dari pembangunan dari keinginan pusat maupun pemerintah daerah. Lahirnya UU Desa, sejatinya berusaha merombak kembali tatanan pengaturan tentang desa. Kini desa memiliki kewenangan untuk mengatur pemerintahan dan masyarakatnya sendiri, termasuk adat yang ia miliki, yaitu kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa, yang diturunkan dari asas rekognisi dan subsidiaritas. Dengan demikian, desa memiliki kontrol penuh atas sumber daya yang dimiliki dan mempergunakan seluruh akses sumber daya tersebut untuk kemakmuran dan kesejahteraan warga desa. Dalam proses evolusi kelembagaan di desa, perempuan adalah entitas yang tidak pernah bisa dipisahkan di dalamnya. Tahun 1972, dibawah Orde Baru, diperkenalkanlah Pembinaan Kesejahteraan Keluarga bagi perem puan di desa-desa.2 Organisasi ini 1. http://desamembangun.or.id/2014/04/ tata-kelola-desa-dalam-uu-desa/ diunduh 15 Oktober 2016 2. Dewi, Kurniawati H. “Demokrasi dan Dekonstruksi Ideologi Gender Orde Baru”. Demokrasi Mati Suri. Jurnal Penelitian Poli-
menarik kembali peran-peran publik perempuan dan menjadikan perempuan bergerak pada ranah domestik (keluarga/rumah tangga). Dalam konteks ini, ada yang disebut Panca Dharma PKK yang mengatur tugas seorang perempuan sebagai istri adalah mengurus suami, mengurus rumah tangga, menjadi pendidik anak, mencari nafkah tambahan bagi keluarga dan sebagai warga masyarakat (Wolf, 1992). PKK merupakan sebuah organi sasi terstruktur dari tingkatan provinsi hingga ke level desa. Dan yang menjabat sebagai ketua PKK di setiap wilayah dari pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan hingga desa merupakan istri dari pemimpin di setiap level pemerin tahan. Misalkan, seorang gubernur, maka istri gubernur adalah ketua tim penggerak PKK. Begitu pula di tingkatan kabupaten dibawah bupati, di kecamatan dipimpin oleh istri camat, dan tentu di desa ketua tim penggerak PKK adalah istri kepala desa. Program PKK biasa disebut 10 program pokok PKK yakni meliputi: penghayatan dan pengamalan Pancasila; gotong royong, pangan, sandang, perumahan dan tata laksana rumah tangga; pendidikan dan keterampilan; kesehatan; pengembangan kehidupan berkoperasi; kelestarian lingkungan hidup dan perencanaan sehat. Sepu luh program pokok PKK dikerjakan melalui 4 kelompok kerja. Nama PKK sendiri sempat mengalami perubahan dari tahun 1972. Awalnya bernama Pendidikan Kesejahteraan Keluarga menjadi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga melalui surat kawat No. Sus 3/6/12 kepada seluruh gubernur kepala daerah Tk. I Jawa Tengah dengan tembusan gubernur seluruh Indonesia. Pada masa reformasi, namanya pun berubah menjadi Pemberdayaan tik Vol 4 No.1 2007.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
205
MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD Any Sundari dan Rusman Nurjaman
dan Kesejahteraan Keluarga berdasar pada Keputusan Menteri Dalam Nege ri dan Otonomi Daerah No. 53 Tahun 2000. Perubahan singkatan nama dari PKK sejatinya tidak pernah mengubah ruh ideologi dari organisasi tersebut. PKK tetap menjadi organisasi di bawah komando dari pusat sehingga desa tidak bisa serta merta mengubah garis kebijakan PKK. Panca Dharma PKK yang memposisikan perempuan kembali pada ranah domestik, membuat perempuan tidak memiliki akses yang luas untuk menjangkau persoalan-persoalan publik, misalkan dalam pengambilan keputusan di ranah desa. Kondisi demikian membuat perempuan-perempuan PKK di bawah Orde Baru mewariskan sebuah tradisi domestifikasi kepada anak-anak perempuan. Bahwa perempuan yang ideal merupakan perempuan yang dikonstruksikan seperti yang ada di dalam Panca Dharma PKK. Perempuan harus menjadi pendamping istri dan bergerak pada kodratnya dalam ranah domestik. Akibatnya, peluang perempuan untuk menjadi pemimpinpemimpin di level desa atau komunitasnya amat terbatas. Peluang Representasi Perempuan dalam BPD Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Kondisi represif semasa 32 tahun Orde Baru berkuasa, membuat posisi perempuan di desa makin terpinggirkan. Organisasi-organisasi perempuan di luar dari PKK, dianggap organisasi yang berlawanan dengan pemerintah. Tak jarang organisasi perempuan yang tidak sesuai dengan komando dari pemerintah dianggap sebagai organisasi subversif. Di pedesaan PKK dianggap menjadi representasi dari suara perem puan. Padahal acapkali suara perempuan di PKK tidak selalu merepresentasikan kepemimpinan perempuan, 206
mengingat PKK merupakan wadah dan program yang terstruktur. Di banyak desa yang pernah dikunjungi penulis, kegiatan PKK hanya terbatas pada arisan, baik hanya undian arisan maupun arisan simpan pinjam. Selebihnya, PKK hanya menerima sosialisasi dari berba gai instansi dari pemerintah, seperti penyuluhan kesehatan dari Dinas Ke sehatan, penyuluhan kesehatan reproduksi dari BKKBN, maupun instansi lain dari pemerintah. Bahkan, sering pula PKK dijadikan “wahana” promosi penjualan barang oleh agen-agen distribusi barang. Adanya UU Desa sebenarnya dapat menjadi peluang untuk mengubah keadaan perempuan di desa. Dalam banyak kasus, mereka yang menjadi bagian dari PKK, baik yang menjadi pengurus dan anggota, sebenarnya memiliki kemampuan dan kapasitas yang mumpuni untuk menggerakkan perempuan desa. Praktik baik dari daerah, yang memiliki organisasi masyarakat si pil (OMS) aktif, dalam menggerakan kelompok-kelompok perempuan desa untuk keluar dari cara berpikir Orde Baru yang sangat patriarkhi dalam memandang perempuan sebenar nya sudah banyak berkembang. Salah satu kasus keberhasilan perempuan berorganisasi di tingkat desa muncul pada kelompok perempuan di Desa Arakan, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara. Desa ini merupakan salah satu basis komunitas dari orga nisasi perempuan Swara Perempuan di Manado. Swara Perempuan meru pakan sebuah organisasi masyarakat sipil yang muncul didekade 90an. Pada dekade ini Swara Perempuan banyak melakukan pendampingan bagi pe rempuan di sekitar Pantai Bunaken. Pendampingan ini dilakukan kepada 17 desa di sekitar teluk Bunaken. Fokus isu dalam pengorganisasian adalah mengorganisir perempuan dan lingkungan. Teluk Bunaken pada
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD Any Sundari dan Rusman Nurjaman
masa itu terancam karena maraknya penggunaan bom untuk mendapatkan ikan. Sebagai akibatnya lingkungan laut seperti terumbu karang menjadi rusak. Kondisi ini mendorong Swara Perempuan untuk menjadikan perempuan sebagai entitas penting dalam menjaga kelestarian alam. Mereka menjadi salah satu ujung tombak untuk melakukan penjagaan lingkungan pantai, sosialisasi bahaya bom ikan hingga menanam bakau guna mencegah abrasi di sekitar pantai Bunaken. Berjalannya waktu, proses pendampingan bagi perempuan yang dilakukan oleh Swara Perempuan kemudian tidak hanya sebatas menge nai isu lingkungan tetapi juga isu kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan tehadap perempuan dianggap biasa bagi warga di Desa Arakan. Desa Arakan sendiri adalah sebuah desa nelayan yang mayoritas beragama muslim dan berasal dari suku Bajo. Berdasarkan cerita dari salah satu pendamping lapangan Swara Perempuan yakni Bapak Ismail yang juga tinggal di desa Arakan, kekerasan dalam rumah tangga adalah hal yang sangat wajar. Menurutnya, dahulu di Desa Arakan, tidak ada satu pun warga yang berani mencampuri urusan perkelahian suami istri, sekalipun si perempuan sudah babak belur dipukuli. Kekerasan terha dap perempuan didalam konteks rumah tangga dianggap sebagai urusan privat. Kondisi perempuan yang rentan terhadap kekerasan di Desa Arakan ini membuat perempuan yang sudah diorganisir Swara Perempuan dalam penanganan lingkungan akhirnya juga belajar untuk menangani kasus KDRT. Mereka diajak untuk mempelajari kembali relasi-relasi gender, jenis-jenis kekerasan, mekanisme penanganan kasus kekerasan dan penyelesaian kasus kekerasan rumah tangga dalam ling
kup komunitas atau di level desa. Pro ses pembelajaran tentang kekerasan terhadap perempuan mengajarkan kepada perempuan untuk berorganisasi dan saling bantu untuk menolong sesama perempuan. Mereka bersama dengan Pak Ismail selaku pendamping lapangan di Desa Arakan, belajar mengorganisir dirinya dengan membentuk posko pengaduan KDRT pada tahun 2015. Proses pendampingan panjang mulai dari isu lingkungan diawal 90-an hingga munculnya posko pengaduan KDRT di level desa pada tahun 2015, pada akhinya berhasil memunculkan perempuan-perempuan pemimpin di desa. Mereka banyak dipercaya oleh warga desa untuk menangani perso alan-persoalan yang ada di desa. Termasuk keberhasilan yang nyata ialah dari jumlah 7 orang di BPD di Desa Arakan, 3 perempuan berhasil menjadi anggota BPD, satu di antara 3 perempuan tersebut adalah anggota posko pengaduan KDRT yang diorganisir oleh para perempuan di Desa Arakan dengan Swara Perempuan. Belajar dari kasus keberhasilan pengorganisasian perempuan di Desa Arakan, memang tidak dipungkiri biasanya keberhasilan itu diperoleh karena proses pengorganisasian yang panjang oleh organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam ranah isu perempuan. Pengorganisasian ini membutuhkan waktu yang panjang disebabkan represi dan domestifikasi terjadi hampir selama tiga dekade di masa Orde Baru. Di kasus-kasus yang lain, keberdayaan perempuan untuk memimpin juga muncul karena mereka memiliki akses sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga memiliki daya tawar di level desa dalam menggerakan dirinya. Sekarang ini, dengan munculnya UU Desa, sebenarnya mulai muncul insiatif untuk juga mempraktekan representasi 30% perempuan di parlemen desa atau
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
207
MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD Any Sundari dan Rusman Nurjaman
BPD, seperti halnya di tingkatan nasional, provinsi, maupun kabupaten/ kota. Berdasarkan Pasal 57 dan Pasal 58 UU Desa, anggota BPD merupakan wakil penduduk desa yang ditetapkan melalui musyawarah mufakat dengan mengakomodasi keterwakilan perempuan di dalamnya. Konstruksi pengaturan tentang BPD demikian jelas memungkinkan perencanaan desa yang responsif gender dapat diwujudkan.3 Berdasarkan berbagai studi terungkap bahwa persentase perempuan di dalam Musyawarah Perencanaan dan Pengembangan Desa (Musrenbangdes) nyatanya tidak pernah lebih dari 20%.4 Dengan asumsi tersebut, maka perempuan harus diberikan kebijakan afirmasi, misalkan dengan dorongan munculnya peraturan representasi 30% perempuan aturan peraturan daerah (Perda) maupun nantinya dalam peraturan desa (Perdes). Di dalamnya, baik Perda dan Perdes, ada kebijakan tertulis yang mengatur re presentasi perempuan dalam parlemen desa atau BPD. Sebagai contoh, Pemerintah Daerah Kabupaten Pati menerbitkan Peraturan Daerah tentang Badan Permusyawatan Desa (BPD) yang secara khusus memuat ketentuan mengenai mekanisme pengisian keanggotaan BPD dengan mensyarakan 30% kuota perempuan dalam pengisiannya.5 Dengan adanya kuota 30% perempuan di BPD, harapannya dapat melakukan fungsi peng awasan dan dapat menampung aspi3. http://www.kalyanamitra.or.id/2014/03/ kesetaraan-gender-dalam-uu-desa-perlu-diperhatikan/ diunduh 16 Oktober 2016 4. h t t p : / / p a t t i r o . o r g / 2 0 1 4 / 0 3 / k e s e t a ra a n - g e n d e r- d a l a m - u u - d e s a - p e rlu-diperhatikan/ diunduh 16 oktober 2016 5. h t t p : / / p a s f m p a t i . c o m / ra d i o / i n d e x . php/1313-perda-bpd-syaratkan-kuota-perempuan-30 diunduh 11 oktober 2016
208
rasi kebijakan pro perempuan di desa. Namun, apakah dengan memunculkan aturan representasi 30% perempuan di BPD, akankah kepentingan perempuan terakomodasi? Pengalaman panjang sejak tahun 1998, dorongan afirmasi tidak serta merta bisa memberikan manfaat bagi perempuan. Banyak kasus perempuan pemimpin justru terjebak dalam pragmatisme dan oligarki politik parleman. Di level legislatif, banyak perempuan yang terjebak dalam pusaran kasus korupsi. Ironisnya perempuan adalah pihak pertama yang dikorbankan melindungi kepentingan politik yang lebih besar, yang berpotensi menjerat pemain utama dalam kasus megakorupsi.6 Hal ini dapat dilihat dalam kasus yang melibatkan perempuan pemim pin di parlemen seperti Angelina Sondakh dan Wa Ode Nurhayati. Maka seandainya representasi pun diadopsi dilevel desa, perlu proses yang cukup panjang untuk memastikan proses ini berjalan alamiah dan natural bagi pe rempuan dan desa. Memberikan landasan aturan di tingkat Perda ataupun Perdes, itu hal yang wajib dilakukan untuk menjamin keterwakilan. Namun, ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam proses ini. Pertama, desa memiliki sejarah panjang terkait bagaimana prosesproses kehidupan masyarakat desa berjalan. Sejarah desa wajib menjadi acuan untuk proses masuknya perempuan di dalam elemen sistem pemerintahan desa seperti BPD. Maka, dalam proses ini relasi gender di desa perlu dianalisis dari masa ke masa. Sulitnya perempuan masuk dalam arena politik desa disebabkan desa tidak memiliki pengalaman atau sudah lama tidak 6. h t t p : / / n a s i o n a l . k o m p a s . c o m / read/2012/10/22/10070590/Perempuan. dan.Korupsi diunduh 16 oktober 2016
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD Any Sundari dan Rusman Nurjaman
mengikutsertakan perempuan dalam proses perumusan kebijakan desa. Dengan demikian, membutuhkan analisis gender yang mendalam terkait strategi pengarusutamaan gender berdasar pada kasus-kasus perempuan di desa. Kedua, memasukan unsur perempuan dalam keanggotaan BPD tidak akan efektif jika hanya berbasis pada aturan semata. Keterwakilan perempuan dalam BPD tidak serta merta mendorong aspirasi kebijakan yang pro perempuan dapat tersalurkan. Oleh karena itu, kelompok perempuan harus melakukan pengorganisasian kolektif untuk menggalang kekuatan mempengaruhi kebijakan dan dana yang ada desa. Desa Arakan menjadi salah satu contoh keberhasilan pengorgansiasian kolektif untuk mendorong munculnya perempuan pe mimpin di desa. Ditempat lain, sebenarnya hal ini juga dapat diduplikasi. Caranya bisa dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok tandingan PKK ataupun mengakusisi PKK dengan mendiskusikan hal-hal lain di luar soalsoal PKK. Mengapa demikian? Potensi kader perempuan pemimpin di desa sebenarnya sangat melimpah dan me reka rela bekerja secara sukarela. Namun, acapkali pertemuan perempuan di organisasi tidak berbicara soal-soal kepentingan perempuan. Pembicaraan kepentingan perempuan bisa dilakukan dengan pendampingan oleh para pendamping desa. Dengan syarat, pendamping desa tersebut memahami isu dan kebutuhan-kebutuhan perempuan desa untuk menjadi pemimpin. Namun, persoalannya menjadi pelik ketika pendamping desa tidak memiliki kapasitas itu. Jika pun organisasi perempuan harus turun, mereka tidak serta merta memiliki energi terus-menerus untuk mendampingi. Ketiga, untuk membuat nafas
panjang agar muncul kepemimpinan perempuan di BPD, maka kelompok perempuan harus didekati dari persoalan riil yang mereka hadapi dengan pengorganisasian berbasis komunitas. Pengorganisasian ini sebaiknya dilakukan oleh orang-orang asli desa. Hal ini terkait dengan keberlanjutan peng organisasian daam jangka panjang. Organisasi perempuan di luar peme rintah harus menabung dan menginvestasikan orang-orang potensial yang berasal dari desa, khususnya mereka yang berjenis kelamin perempuan untuk melakukan pengorganisasian. Mereka wajib memastikan beberapa aspek muncul di dalam kelompok yang didampingi; (1) perempuan harus mampu belajar berbicara di depan sesama perempuan maupun di depan umum. Kemampuan berbicara dan mengartikulasikan suara perempuan adalah khas cara perempuan. Berbeda dengan laki-laki, pengalaman perempuan adalah pengalaman soal tubuh, cara berpikir dan bertindak yang hanya mampu dirasakan oleh perempuan. Sehingga suaranya tidak bisa diwakilkan oleh laki-laki; (2) perempuan pemimpin bisa muncul ketika mereka menguasai informasi dan potensi pengetahuan pada dirinya, lingkung an dan masyarakatnya. Perempuan memiliki pengalaman menjadi manusia yang dinomorduakan posisinya, maka ia akan tahu betul mana saja hal-hal yang akan merugikan maupun masa depan dirinya, terutama masa depan keluarganya; (3) Jika penguasaan pengetahuan di level desa sudah diketahui oleh perempuan, maka ia tentu memiliki kemampuan yang meningkat dari berbagai aspek. Pada proses ini perempuan bisa mempelajari hal-hal teknis untuk melakukan lobby, advokasi, pembacaan ang garan, hingga melakukan kritik jika dirasa ada yang tidak benar. (4) Jika kemudian akses sumber daya sudah
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
209
MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD Any Sundari dan Rusman Nurjaman
dimiliki perempuan, maka nilai tawar perempuan yang terhimpun secara kolektif akan dilihat oleh desa. Mereka memiliki kekuatan pengetahuan dan jumlah massa. Pada posisi ini, mereka harus bisa berstrategi mengakses dana yang ada di desa, sekaligus bertarung memperebutkan posisi BPD pada periode pemilihan. Proses penyiapan pe rempuan pemimpin bukan hal yang mudah. Pengalaman di desa Arakan, yang didampingi Swara Perempuan di Minahasa Selatan, membutuhkan proses bertahun-tahun hingga berhasil memasukan perempuan di BPD de ngan kapasitas yang mumpuni. Jika demikian, jawaban atas tantangan yang muncul dalam proses inisasi kepemimpinan perempuan di BPD maupun program-program pro perempuan di level desa bukanlah hal yang dapat diraih dalam satu malam. Selain penguatan kapasitas perempuan sebagai individu dan kelompok, dibutuhkan kemampuan jejaring dan strategi yang baik untuk meraih simpati warga dan kerjasama dari tokoh-tokoh yang ada di desa. Resistensi dari pemerintah desa, tokoh masyarakat atau pun tokoh agama dilevel desa harus diminimalisir. Strategi yang digunakan pe rempuan harus dirundingkan betul di level kelompok, agar gerak pengorganisasian komunitas sejalan, baik secara individu maupun organisasi. Strateginya tergantung bagaimana konteks dan dinamika kontestasi di desa. Dalam banyak kasus, resistensi dari kelompok laki-laki juga kerap muncul karena mereka merasa kepentingan dan kekuasaannya terganggu. Munculnya perempuan dalam arena publik desa kerapkali juga dianggap menjadi ancaman bagi eksistensi laki-laki. D. PENUTUP Berdasarkan uraian dari tulisan di atas, UU Desa membuka peluang 210
bagi perempuan untuk meraih kembali ruang-ruang keterwakilannya di level desa melalui BPD. Keterwakilan perempuan memberikan kesempatan bagi perempuan yang duduk di kursi BPD untuk menyepakati peraturan desa, melakukan pengawasan dan monitoring terhadap program-program pembangunan desa dan pelaksanaan pemerintahan desa sekaligus menja ring aspirasi dari masyarakat. Namun demikian, perjuangan untuk mewujudkan kuota 30% wakil perempuan di BPD tidak akan berjalan dengan baik manakala tidak didukung dengan regu lasi, semisal melalui peraturan daerah (Perda), yang merinci secara khusus mengatur keterwakilan perempuan di dalam parlemen desa. Sehingga, upa ya advokasi keterwakilan perempuan sebaiknya dilakukan terlebih dahulu dengan memastikan produk turunan UU Desa dilevel daerah (Perda) agar mendukung representasi perempuan. Sebab, peraturan ini akan menjadi rujukan bagi desa untuk menentukan siapa saja yang berhak duduk di BPD dan bagaimana mekanisme pemenuhan kuota 30% wakil perempuan di dalamnya. Namun demikian, adanya peraturan daerah tentang memberikan repre sentasi perempuan di BPD tidaklah cukup. Sejarah panjang peminggiran dan domestifikasi perempuan di desa, membuat banyak perempuan didesa cenderung menjauhi kontestasi kepemimpinan di level desa. Untuk menghasilkan perempuan pemimpin di desa bukanlah hal yang mudah. Perem puan desa sejatinya merupakan pe rempuan-perempuan yang cerdas, namun program-program perempuan di PKK jarang memberikan peluang bagi munculnya pemimpin. Memunculkan perempuan pemimpin di desa membutuhkan sebuah investasi panjang. Belajar dari keterwakilan perempuan di parlemen nasional maupun daerah,
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD Any Sundari dan Rusman Nurjaman
cara instant dengan memanfaatkan kebijakan perempuan masuk di parlemen justru menjadi blunder. Banyak perempuan justru terjebak dalam politik yang pragmatis dan oligarkis. Untuk menghindari hal tersebut, proses masuknya perempuan di BPD harus dilakukan secara matang dan baik. Perempuan harus kembali lagi untuk membuat akar kepemimpinan menancap secara individu dan kelompok. Pengalaman khas perempuan harus diceritakan dalam kelompok sebagai sebuah pengetahuan perempuan. Dengan perempuan mengetahui akses informasi dan pengetahuan yang bisa menjadi bekal memimpin, ia akan tahu bagaimana bergerak dan bekerja sesuai dengan kepentingan dari perempuan. Gerak mereka terikat, karena berbasis pada kebutuhan bersama seluruh perempuan di desa dan dorongan jumlah masa pemilih yang loyal dan kuat. Namun demikian perempuan juga harus melihat faktor eksternal dengan melihat konstelasi politik dilevel desa untuk mendapatkan legitimasi dari tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh dan mendukung perempuan. Selain itu perempuan perlu meneguhkan kembali posisinya dengan memastikan benar ia juga bisa dipercaya oleh masyarakat agar bisa terjun kembali dalam arena representasi politik perempuan di desa. DAFTAR PUSTAKA Adriana dkk. 2012. Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif Perempuan di Tingkat Lokal. PT. Gading Inti Prima. Jakarta. Alfan, M Alfian. 2009. Menjadi Pemim pin Politik : Perbincangan Kepemim pinan dan Kekuasaan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Dewi, Kurniawati H. “Demokrasi dan Dekonstruksi Ideologi Gender Orde
Baru”. Demokrasi Mati Suri. Jurnal Penelitian Politik Vol 4 No. 1 2007. Lestariningsih, A.D., 2011. Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. N. Riawan Tjandra dan Ninik Handayani. 2014. Badan Permusya waratan Desa dalam Demokrasi Desa. Forum Pengembangan dan Pembaharuan Desa. Yogyakarta. Pambudi, Agus. Perda BPD Syaratkan Kuota Perempuan 30%. http://pasfmpati.com/radio/index.php/1313-perda-bpd-syaratkan-kuota-perempuan-30 11 oktober 2016 Soetjipto, Ani. Perempuan dan Korupsi. http://nasional.kompas.com/ read/2012/10/22/10070590/Perempuan.dan.Korupsi 16 oktober 2016. Subekti, V.S., 2015. Dinamika Konsoli dasi Demokrasi: Dari Ide Pembaruan Sistem Politik hingga ke Praktik Pemerintah Demokrasi. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta. Suryakusuma, Julia, 2011. Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru. Komunitas Bambu. Depok Sutoro Eko, “Memperdalam Demokrasi Desa” dalam Sugeng Bahagijo dan Rusdi Tagaroa (Ed.). 2005. Orde Partisipasi: Bunga Rampai Partisipasi dan Politik Anggaran. Jakarta: Perkumpulan Prakarsa. Sutoro Eko. 2015. Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU Desa. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Jakarta. Wieringa, S.E., 2010. Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI. Penerbit Galang Press. Yogyakarta. Wolf, D.L., 1992. Factory Daughters:
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
211
MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD Any Sundari dan Rusman Nurjaman
Gender, Household Dynamics, and Rural Industrialization in Java. University of California Press. California. Tholib, Nur Asikin. 2014. HAK POLITIK PEREMPUAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (Uji materiil pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008) Jurnal Cita Hukum, Vol. I No. 2 Desember hal 234. http://journal. uinjkt.ac.id/index.php/citahukum/ article/download/1466/1245. 10 Oktober 2016. __________. Tata Kelola Desa dalam UU Desa. http://desamembangun. or.id/2014/04/tata-kelola-desa-dalam-uu-desa/. 15 Oktober 2016.
212
__________. Kesetaraan Gender dalam UU Desa Perlu Diperhatikan. http://www.kalyanamitra. or.id/2014/03/kesetaraan-gender-dalam-uu-desa-perlu-diperhatikan/. 16 Oktober 2016. __________. Kesetaraan Gender dalam UU Desa Perlu Diperhatikan. http://pattiro.org/2014/03/kesetaraan-gender-dalam-uu-desa-perlu-diperhatikan/ diunduh 16 oktober 2016 __________. Pidato Presiden pada Rakernas Peningkatan Peran Wanita-Keluarga Sehat Sejahtera. 2 Maret 1981.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
Artikel PENDAMPING DESA KONTEKSTUAL
CONTEXTUAL VILLAGE ASSISTANCE Tony Murdianto Hidayat Peneliti Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara Abstrak: Pendampingan desa merupakan salah satu agenda pemerintah dalam implementasi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Melalui pendampingan desa, desa diharap kan mampu mencapai kemandiriannya. Dalam implementasinya, pendampingan desa meng alami berbagai masalah seperti rekrutmen, kualitas dan kompetensi tenaga pendamping, hingga ketidakjelasan konsep pendampingan desa. Tulisan ini mengangkat problematika implementasi pendamping desa dan menawarkan gagasan pendampingan kontekstual sebagai upaya penataan pendampingan desa di masa depan. Pendekatan tulisan adalah kualitatif, sedangkan metode yang digunakan adalah deskriptif. Data primer diperoleh dalam diskusi dengan beberapa informan di lokus, sedangkan data sekunder diperoleh dari penelusuran dari berbagai sumber di internet. Pengolahan data dilakukan sesuai dengan tahapan Miles dan Huberman, yaitu reduksi data, penyajian dan penarikan kesimpulan. Kata kunci: pendamping desa, kontekstual, problematika
Abstract: Village assistance program is one of the government agendas in the implementation of Act No. 6 of 2014 about the village. Through this program, the village is expected to achieve independence. In the implementation, village assistance has various problems such as recruitment, quality and competence of assistants, to the obscurity of the concept of mentoring village. This paper raised the problematic implementation of village assistant and offering ideas contextual village assistance as an effort to organize the village assistance in the future. This article uses a qualitative approach, whereas the method used is descriptive. The primary data obtained in discussions with several informants in the loci, while secondary data obtained from the internet. Data processing is performed in accordance with the stages of Miles and Huberman, namely data reduction, presentation and conclusion. Keywords: village assistance, contextual, problems
A. PENDAHULUAN Lahirnya Undang-undang 6 Tahun 2014 tentang Desa membawa warna baru bagi desa. Dengan kewenangan yang dimiliki, Desa kini berperan sebagai subyek dalam pelaksanaan pembangunan di desa. Desa berwenang untuk menentukan arah maupun kebijakan pembangunan desanya sepanjang tidak bertentangan dengan kebijakan pemerintah supra desa. Desa tidak lagi sekedar pelaksana kebijakan pembangunan yang telah digariskan pemerintah supra desa. Untuk mendukung pelaksanaan
pembangunan oleh pemerintah desa, pemerintah menganggarkan dana baik yang berasal dari APBN, APBD maupun sumber lain yang sah. Adanya pengucuran dana tersebut menimbulkan kekhawatiran terhadap kesiapan desa dalam pengelolaannya, apakah desa mampu mengelola sesuai dengan standar pengelolaan keuangan negara? Pengelolaan keuangan nega ra diatur secara ketat dan ada konsekuensi hukumnya bila terdapat penyimpangan. Oleh karena itu, pada awal-awal rencana digulirkannya dana pembangunan desa, banyak kepala
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
213
PENDAMPING DESA KONTEKSTUAL Tony Murdianto Hidayat
desa yang merasa ditakut-takuti akan terkena masalah hukum terkait de ngan pengelolaan dana tersebut. Hal ini diakui oleh Kepala Desa Kepek, saat diskusi dengan LAN di Bulan Mei 2016 lalu. Menurutnya dana desa belum turun, tetapi kepala desa sudah diintimidasi dengan ancaman pidana. Lebih lanjut ditegaskan bahwa hal tersebut justru akan membuat desa menjadi antipati terhadap dana desa. Kekhawatiran sejumlah pihak terhadap pengelolaan dana desa oleh pemerintah desa memang cukup beralasan. Data Indeks Desa Membangun (IDM) yang dikeluarkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menyebutkan bahwa dari sekitar 74 ribu desa, 18,25% diantaranya merupakan desa sangat tertinggal dan 45,57% desa tertinggal. IDM merupakan indeks yang dibu at Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. IDM membagi tipologi desa ke dalam 5 tingkatan yaitu desa mandiri, desa maju, desa berkembang, desa tertinggal dan desa sangat tertinggal. Dasar klasifikasinya adalah aspek ketahanan sosial, ekonomi dan ekologi (lingku ngan). Desa Mandiri, atau bisa disebut sebagai Desa Sembada adalah Desa Maju yang memiliki kemampuan melaksanakan pembangunan Desa untuk peningkatan kualitas hidup dan kehidupan sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa dengan ketahanan sosial, ketahanan ekonomi,
dan ketahanan ekologi secara berkelanjutan. Desa Maju, atau bisa disebut sebagai Desa Pra Sembada adalah Desa yang memiliki potensi sumber daya sosial, ekonomi dan ekologi, serta kemampuan mengelolanya untuk peningkatan kesejahteraan masya rakat Desa, kualitas hidup manusia, dan menanggulangi kemiskinan. Desa Berkembang, atau bisa disebut sebagai Desa Madya adalah Desa potensial menjadi Desa Maju, yang memiliki potensi sumber daya sosial, ekonomi, dan ekologi tetapi belum mengelolanya secara optimal untuk peningkatan kesejahteraan masya rakat Desa, kualitas hidup manusia dan menanggulangi kemiskinan. Desa Tertinggal, atau bisa disebut sebagai Desa Pra-Madya adalah Desa yang memiliki potensi sumber daya sosial, ekonomi, dan ekologi tetapi belum, atau kurang mengelolanya dalam upa ya peningkatan kesejahteraan masya rakat Desa, kualitas hidup manusia serta mengalami kemiskinan dalam berbagai bentuknya. Desa Sangat Tertinggal, atau bisa disebut sebagai Desa Pratama, atau dapat disebut sebagai Desa Pratama, adalah Desa yang mengalami kerentanan karena masalah bencana alam, goncangan ekonomi, dan konflik sosial sehingga tidak berkemampuan mengelola potensi sumber daya sosial, ekonomi, dan ekologi, serta mengalami kemiskinan dalam berbagai bentuknya. Dari tabel 1 terlihat bahwa lebih
Tabel 1. Evolusi Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
No.
Kategori desa
1.
Desa Sangat Tertinggal
2. 3. 4. 5.
Desa Desa Desa Desa
Tertinggal Berkembang Maju Mandiri
Jumlah Desa (Persentase) 13.453 Desa (18,25%)
33.592 Desa (45,57 %) 22.882 Desa (31,04%) 3.608 Desa (4,89%) 174 Desa (0,24%)
Ssumber : : Indeks Desa Membangun 2015
214
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
PENDAMPING DESA KONTEKSTUAL Tony Murdianto Hidayat
dari 50% desa berada dalam kategori desa tertinggal dan sangat tertinggal. Selama ini desa memang seolah terpi nggirkan dalam pelaksanaan pembangunan. Pusat pertumbuhan ekonomi lebih banyak berada di daerah perkotaan. Hal ini menyebabkan arus urbani sasi dari desa ke kota meningkat, yang turut membawa sumber daya manusia desa yang potensial membangun desa menuju ke kota. Berangkat dari kondisi desa tersebut, pemerintah memiliki gagasan untuk melakukan pendampingan bagi desa dalam melaksanakan pemba ngunan. Pendampingan desa dimaksudkan untuk membantu desa dalam mewujudkan kemandirian melalui program pemberdayaan. Pada hakekat nya mereka hanya mengakselerasi desa menuju kemandiriannya, oleh karena itu tugas mereka diharapkan tidak berlangsung lama. Pemerintah mengikat mereka dalam kontrak kerja selama jangka waktu tertentu sesuai kebutuhan. Belum genap 2 tahun implementasi pendampingan desa, di berbagai media muncul pemberitaan tentang pendamping desa. Salah satu isu yang diangkat adalah politisasi pendam ping desa, yaitu mobilisasi pendukung partai politik tertentu untuk menjadi pendamping desa. Masalah lain yang cukup krusial adalah kualitas pendamping desa dan adanya dikotomi pendamping desa yaitu pendamping hasil rekrutmen dan eks fasilitator PNPM. Tulisan ini ingin mengangkat problematika pendamping desa dan menawarkan gagasan pendamping desa kontekstual sebagai arah penataan pendamping desa di masa depan. B. KONSEP DAN KEBIJAKAN PENDAMPINGAN DESA Istilah pendampingan desa terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang Pelak-
sanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. PP tersebut juga mengamanatkan menteri terkait untuk menyusun peraturan teknis pendampingan desa. Sebagai pelaksanaan amanat PP tersebut, Kemendesa PDT dan Transmigrasi menyusun peraturan Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pendampingan Desa. Dalam Permen tersebut, Pendampingan Desa didefinisikan sebagai kegiatan untuk melakukan tindakan pemberdayaan masyarakat melalui asistensi, pengorganisasian, pengarahan dan fasilitasi Desa. Pendampingan desa dilakukan secara berjenjang untuk memberdayakan dan memperkuat desa. Selain itu, proses pendampingan juga dilakukan sesuai dengan kebutuhan desa, yang didasarkan pada kondisi geografis wilayah, nilai APB Desa dan cakupan kegiatan yang didampingi. Tujuan pendampingan Desa adalah: 1. Meningkatkan kapasitas, efektivitas dan akuntabilitas pemerintahan desa dan pembangunan Desa; 2. Meningkatkan prakarsa, kesadaran dan partisipasi masyarakat Desa dalam pembangunan desa yang partisipatif; 3. Meningkatkan sinergi program pembangunan Desa antarsektor; dan 4. Mengoptimalkan aset lokal Desa secara emansipatoris. Pendampingan desa dilaksanakan oleh pendamping yang terdiri dari tenaga pendamping profesional, kader pemberdayaan masyarakat desa dan pihak ketiga. Tenaga pendamping profesional terdiri dari pendamping desa yang berkedudukan di kecamatan, pendamping teknis yang berkedudukan di kabupaten dan tenaga ahli pemberdayaan masyarakat yang berkedudukan di provinsi dan pusat. Pemerintah juga melibatkan lembaga
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
215
PENDAMPING DESA KONTEKSTUAL Tony Murdianto Hidayat
swadaya masyarakat, perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan maupun perusahaan untuk turut serta melakukan pemberdayaan masyakarakat. Pendamping Desa bertugas mendampingi Desa dalam penyelenggaraan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa. Tugas Pendamping Desa dalam mendampi ngi Desa, meliputi: 1. mendampingi Desa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan terhadap pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa; 2. mendampingi Desa dalam melaksanakan pengelolaan pelayanan sosial dasar, pengembangan usaha ekonomi Desa, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna, pembangunan sarana prasarana Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; 3. melakukan peningkatan kapasitas bagi Pemerintahan Desa, lembaga kemasyarakatan Desa dalam hal pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa; 4. melakukan pengorganisasian di dalam kelompok-kelompok ma syarakat Desa; 5. melakukan peningkatan kapasitas bagi Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa dan mendorong terciptanya kader-kader pemba ngunan Desa yang baru; 6. mendampingi Desa dalam pembangunan kawasan perdesaan secara partisipatif; dan 7. melakukan koordinasi pendam pingan di tingkat kecamatan dan memfasilitasi laporan pelaksanaan pendampingan oleh Camat kepada Pemerintah Daerah Kabupa ten/Kota. Sedangkan dalam pelaksanaan program dan kegiatan sektoral, tugas 216
Pendamping Teknis meliputi: 1. Membantu Pemerintah Daerah dalam hal sinergitas perencanaan Pembangunan Desa. 2. Mendampingi Pemerintah Daerah melakukan koordinasi perencanaan pembangunan daerah yang terkait dengan Desa. 3. Melakukan fasilitasi kerja sama Desa dan pihak ketiga terkait pembangunan Desa. Pendamping desa diharapkan dapat membuka akses masyarakat desa terhadap sumber daya yang merupakan potensi desa dan membuka jalan agar mereka mampu mengelola dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan masyarakat desa. Pendampingan desa dilakukan melalui proses pembelajaran sosial, yaitu pendamping desa membaur dalam kegiatan warga desa, memberikan pelatihan dan meningkatkan kesadaran warga masyarakat desa. Dengan model pendampingan tersebut, pendamping desa diharapkan mampu menjadi bagian integral dalam pengembangan kapasitas desa. Konsep pendampingan desa dalam Peraturan Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi agak berbeda dengan peraturan dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Menurut Undang-undang Desa, pendampingan masyarakat dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan pemberdayaan masyarakat Desa dengan pendampingan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan untuk pendampingan Desa secara teknis dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah kabupaten/ kota dan dapat dibantu oleh tenaga pendamping profesional, kader pemberdayaan masyarakat Desa, dan/atau pihak ketiga. Penggunaan frase dapat dibantu mengandung pengertian bahwa peran pendampingan desa lebih dititikberatkan pada pemerintah baik
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
PENDAMPING DESA KONTEKSTUAL Tony Murdianto Hidayat
pusat maupun daerah. Konsep pemberdayaan masyarakat desa tidak bisa dilepaskan dari konsep pendampingan desa. Pemberdayaan masyarakat merupakan wahana pendamping desa mencapai tujuan pelaksanaan pendampingan desa. Definisi pemberdayaan masyarakat desa adalah upaya untuk mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa. Pemberdayaan masyarakat juga menjadi tugas pemerintah, pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota, sebagaimana amanat Undang-undang Nomor 6 Tentang Desa maupun Permendesa Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pendampingan Desa. Tugas tersebut merupakan bagian pelaksanaan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan pemerintah supra desa terhadap pemerintah desa. Bentuk pemberdayaan masyarakat yang dilakukan pemerintah supra desa meliputi: 1. Penerapan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna dan temuan baru untuk kemajuan ekonomi dan pertanian desa 2. Peningkatan kualitas pemerintahan dan masyarakat desa melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan 3. Pengakuan dan pemfungsikan lembaga asli yang sudah ada di masyarakat desa Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa Pemberdayaan masyarakat Desa bertujuan
memampukan Desa dalam melakukan aksi bersama sebagai suatu kesatuan tata kelola Pemerintahan Desa, kesatu an tata kelola lembaga kemasyarakatan Desa dan lembaga adat, serta kesatuan tata ekonomi dan lingkungan. Pemberdayaan masyarakat Desa dilaksanakan oleh Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, forum musya warah Desa, lembaga kemasyarakatan Desa, lembaga adat Desa, BUM Desa, badan kerja sama antar-Desa, forum kerja sama Desa, dan kelompok kegiatan masyarakat lain yang dibentuk untuk mendukung kegiatan pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Pemberdayaan masyarakat desa dilakukan dengan: 1. Mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pembangunan Desa yang dilaksanakan secara swakelola oleh Desa; 2. mengembangkan program dan kegiatan pembangunan Desa secara berkelanjutan dengan mendayagunakan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada di Desa; 3. menyusun perencanaan pemba ngunan Desa sesuai dengan prio ritas, potensi, dan nilai kearifan lokal; 4. menyusun perencanaan dan peng anggaran yang berpihak kepada kepentingan warga miskin, warga disabilitas, perempuan, anak, dan kelompok marginal; 5. mengembangkan sistem transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan pembangunan Desa; 6. mendayagunakan lembaga kemasyarakatan Desa dan lembaga adat; 7. mendorong partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan Desa yang dilakukan melalui musyawa rah Desa;
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
217
PENDAMPING DESA KONTEKSTUAL Tony Murdianto Hidayat
8. menyelenggarakan peningkatan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia masyarakat Desa; 9. melakukan Pendampingan Desa yang berkelanjutan; dan 10. melakukan pengawasan dan pemantauan penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan pembangunan Desa yang dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat Desa. C. METODE Pendekatan yang digunakan dalam penulisan adalah kualitatif de ngan metode deskriptif. Metode ini digunakan untuk menggambarkan problematika pendamping desa dan menawarkan gagasan pendamping an kontekstual dalam penataan pendamping di masa depan. Penulis melakukan diskusi dengan informan di dua lokus yaitu Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Banten. Informan terdiri dari kepala desa, Camat dan pejabat di Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Balai Pemberdayaan Masyarakat Desa. Data sekunder diperoleh dari penelusuran berbagai dokumen terkait pendampingan desa di internet. Peng olahan data dilakukan sesuai dengan tahapan Miles dan Huberman, yaitu reduksi data, penyajian dan penarikan kesimpulan. D. DINAMIKA PENDAMPING DE SA DI LAPANGAN (KASUS DI PROVINSI DI YOGYAKARTA DAN PROVINSI BANTEN) Menurut informan di kedua lokus, secara umum masalah yang dijumpai terkait pendamping desa di daerah Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Banten adalah pemahaman yang keliru terhadap maksud dan tujuan kebijakan pendamping desa yang digulirkan pemerintah. Pada hakekatnya, pendamping desa merupakan akselerator bagi desa dalam mencapai kemandiriannya. Namun fakta di lapangan 218
berbicara lain. Pendamping desa lebih banyak dimaknai sebagai pengawal bagi desa dalam mengelola dana yang diterima desa. Mereka diterjunkan ke desa untuk membantu desa mengelola keuangan berdasarkan ketentuan pengelolaan keuangan negara untuk menghindari kemungkinan tersangkutnya kepala desa dalam masalah pidana. Oleh karena itu, tenaga pendamping desa lebih banyak terlibat dalam kegiatan administrasi pengelolaan keuangan, seperti pembuatan RAPBDes. Bahkan di Provinsi Banten dijumpai pendamping desa bertindak seperti layaknya seorang konsultan penyusunan APBDes. Mereka membuatkan APBDes desa tertentu dan mendapatkan upah atas pekerjaannya. Dalam proses rekrutmen dan pe nempatan pendamping desa, informan dari kedua daerah tersebut juga mengemukakan permasalahan. Kebijakan rekrutmen pendamping desa bersifat sentralistik dan tanpa melibatkan pemerintah daerah kabupaten/ kota dan desa yang memiliki ruang dan akses untuk ikut menentukan pendamping desa. Di satu sisi pemerintah menempatkan tenaga pendamping di desa-desa, sementara di sisi lain, desa hanya menjadi pengguna tenaga pendamping dan hanya bisa menerima tenaga pendamping yang ditentukan pemerintah. Padahal desa adalah pihak yang lebih memahami kondisi desa dan mengerti apa yang dibutuhkan untuk pemberdayaan desa. Masa lah lain yang terkait dengan rekrutmen adalah adanya politisasi tenaga pendamping desa. Informan di Provinsi DI Yogyakarta menyebutkan bahwa ada kesan yang kuat terjadinya mobilisasi dari partai politik tertentu untuk menjadi tenaga pendamping desa. Hal ini menurutnya dilakukan dalam rangka persiapan menuju pemilihan umum 2019.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
PENDAMPING DESA KONTEKSTUAL Tony Murdianto Hidayat
Persoalan lain yang banyak dikeluhkan informan di kedua lokus adalah kualitas dan kapasitas tenaga pendamping desa. Di Provinsi DI Yogyakarta, informan mengatakan bahwa kualifikasi minimal tenaga pendamping desa adalah lulusan SMP. Ini tentu tidak sepadan dengan tingkat pendidikan kepala desa. Banyak kepala desa di Yogyakarta yang lulusan sarjana, bahkan ada yang pasca sarjana seperti di desa Panggung Harjo. Adanya gap kualifikasi pendidikan ini dikhawatirkan menimbulkan miskomunikasi di antara mereka sehingga peran pendamping desa menjadi tidak optimal. Informasi dari salah seorang kepala desa di Yogyakarta menyebutkan bahwa kapasitas tenaga pendamping rendah. Mereka bahkan tidak memahami tugas dan tujuan mereka ditempatkan di desa. Dalam diskusi dengan penulis, kepala desa tersebut mengatakan bahwa pendamping desa yang ada di desa nya tidak memahami apa itu RPJMDes dan bagaimana cara menyusunnya. Kehadiran mereka bahkan terkesan merecoki desa. Dengan kemampuan minim, kehadiran tenaga pendamping desa tidak banyak membantu, malah justru menjadi beban. Dalam diskusi dengan pemerintah Kabupaten Pandeglang di Banten, seorang informan mengatakan bahwa pembekalan terhadap pendamping desa dirasa sangat kurang. Mereka hanya diberi pelatihan dua hari sebelum bertugas. Tenaga pendamping desa juga tidak dibekali dengan pemahaman terhadap budaya dan adat istiadat desa yang akan menjadi lokasi penempatan. Pemahaman terhadap budaya dirasakan penting karena tenaga pendamping yang bertugas seharusnya membaur dengan masya rakat. Tanpa mengenal adat dan istiadat setempat membuat komunikasi pendamping dengan masyarakat setempat berpotensi menimbulkan ma-
salah dan timbul antipati masyarakat desa terhadap tenaga pendamping desa. Dalam bahasa lain, Kepala Desa di DI Yogyakarta mengatakan bahwa tenaga pendamping desa memahami desa dengan dunia lain, dunia yang tidak bersentuhan dengan desa. Masalah lain terkait dengan pendamping desa adalah adanya dikotomi pendamping desa hasil rekrutan dengan fasilitator eks PNPM. Seiring berakhirnya program PNPM sejak Desember 2014, pemerintah menjadikan sebagian fasilitator eks PNPM sebagai tenaga pendamping. Entah mengapa, masa kontrak antara dua jenis pendamping desa tersebut dibedakan oleh pemerintah. Tenaga pendamping hasil rekrutan dikontrak selama 9 bulan, sedangkan pendamping yang berasal dari fasilitator PNPM dikontrak 2 bulan. Hal ini tentu menimbulkan kecemburuan di lapangan. Dalam hal kualitas tenaga pendamping eks PNPM dinilai lebih kompeten dari pada tenaga pendamping hasil rekrutan. Menurut informan, pendamping eks PNPM lebih berpengalaman dalam melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat desa. Pendam ping eks PNPM dinilai lebih memahami medan karena umumnya pendamping eks PNPM merupakan kader yang berasal dari desa setempat. Mereka paham apa yang diharapkan oleh desa, mampu membaur dan menyatu dengan masyarakat desa. Pendamping eks PNPM lebih banyak dirindukan masyarakat desa dibanding dengan pendamping hasil rekrutan. Menurut informan di Yogya, bebe rapa desa ada yang menolak pendamping desa. Hal ini berbeda dengan pada saat program PNPM masih bergulir. Tidak ada desa yang menolak fasilitator PNPM. Dilihat dari proses nya, pola rekrutmen dan pelatihan fasilitator dilakukan secara berjen-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
219
PENDAMPING DESA KONTEKSTUAL Tony Murdianto Hidayat
jang. Lebih lanjut ditambahkan oleh informan bahwa APDESI Jawa Timur menolak pendamping desa karena pola rekrutmennya agak “aneh”, hanya wawancara. Persyaratan pengalaman minimal juga banyak yang tidak dipenuhi oleh tenaga pendamping rekrutan. Sementara di Sleman, ada yang protes atas kualitas pengadaan tenaga pendamping. Masalah lain yang dikemukakan informan adalah output tugas pendampingan. Secara konsep, output tugas pendampingan ini sangat ideal. Namun demikian, hal tersebut justru dikhawatirkan dapat menyebabkan tenaga pendamping desa kesulitan dalam mencapai output tugas pendampingan. Sebagai salah satu provinsi yang sudah tergolong maju, diakui oleh informan bahwa pendamping desa di Yogyakarta saja banyak yang belum mampu menghasilkan semua output tugas pendampingan yang diharapkan. Permasalahan lain yang dikemukakan informan di Yogyakarta tentang rekrutmen pendamping desa. Berita tentang adanya rekrutmen pendam ping desa telah muncul terlebih dahulu di koran, sementara pemerintah daerah provinsi atau kabupaten baru mendapat surat surat pemberitahuan baru beberapa hari kemudian. Ini menunjukkan bahwa koordinasi antara pemerintah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota belum berjalan secara optimal. Selain itu, ada perbedaan dalam hal persyaratan antara yang diterima Pemerintah Daerah (ada 7) dengan yang tercantum di koran (hanya 4). Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan dari calon pendamping desa. Di lapangan, tugas dan hak-hak pendamping desa tidak dirinci, pendamping banyak beban tapi haknya terbatas. Dalam kebijakan pemerintah juga tidak tercantum secara jelas rin220
cian tugas pendamping desa. Dalam hal perilaku, pendamping hasil seleksi terutama pendamping lokal desa cenderung sulit diatur dan tidak bisa berkoordinasi dengan SKPD (BPMPD). Berbagai permasalahan di atas juga sejalan dengan temuan IRE dalam penelitian yang dilakukan di beberapa kabupaten yaitu Ambon, Buton Selatan, Lombok Timur, Kulonprogo DIY, Sambas Kalbar, Musirawas Sumatera Selatan dan Timor Tengah Selatan-NTT. Penelitian tersebut menemukan bahwa proses dan hasil rekrutmen pendamping desa mengandung berbagai masalah, diantaranya menyangkut kapasitas para pendamping desa yang banyak tidak memahami tupoksinya, sebagaimana yang sudah digariskan oleh Kemendesa, tidak adanya kekompakan antara sesama tenaga ahli, dan tenaga ahli dengan pendamping desa (PD) di tingkat kecamatan dan pendamping lokal desa (PLD) terkait de ngan tupoksinya. Tidak adanya koordinasi yang saling bersinergi antara para pendamping desa dengan SKPD terkait (BPMPD-Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa) (IRE 2016). Masalah lain yang menurut penulis perlu mendapat perhatian adalah kurang jelasnya konsep pendam pingan desa oleh pemerintah. Dalam Peraturan Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi disebutkan bahwa pendampingan desa dilakukan secara berjenjang sesuai kebutuhan. Namun tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan frase secara berjenjang sesuai kebutuhan. Selain itu, tidak ada pentahapan (milestone) dalam proses pendampingan. Tanpa adanya pentahapan menyebabkan tidak adanya data atau informasi yang menyatakan apakah suatu desa masih memerlukan pendamping atau tidak. E. PENDAMPING
DESA
KON
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
PENDAMPING DESA KONTEKSTUAL Tony Murdianto Hidayat
TEKSTUAL: PENATAAN PEN DAMPING DESA DI MASA DATANG Implementasi pendampingan desa tampaknya masih belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Masih banyak pekerjaan rumah pemerintah untuk membenahi permasalahan yang muncul di lapangan. Pemerintah perlu melakukan evaluasi implementasi pendamping desa dan mencoba mencari solusi untuk perbaikan implementasi pendamping desa. Memang bukan tugas yang ringan karena menyangkut berbagai hal. Selain itu koordinasi dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota juga harus diperkuat dalam rangka menciptakan sinergi pendampingan desa. Kebijakan untuk melakukan rekrutmen dan penempatan pendampingan desa sudah saatnya diberikan kepada pemerintah daerah kabupaten/ kota dan pemerintah desa. Sebagai pihak yang dekat dan bersentuhan langsung dengan masyarakat desa, tentu mereka lebih memahami kondisi masing-masing desa. Pemerintah pusat lebih berperan dalam menyiapkan materi pelatihan bagi pendamping desa. Materi yang sifatnya muatan lokal seperti pemahaman budaya dan adat istiadat masyarakat setempat bisa disediakan oleh pemerintah dae rah kabupaten/kota. Adanya materi muatan lokal bagi pendamping tentu bermanfaat manakala mereka terjun langsung ke masyarakat untuk mengu rangi gap budaya dan mempercepat proses adaptasi pendamping desa dalam melaksanakan tugasnya. IRE (IRE:2016) telah melakukan penelitian pendamping desa di 7 dae rah. Dari hasil penelitian, IRE mena warkan gagasan pendampingan desa asimetris. Hal yang mendasarinya adalah keragaman daerah dan desa yang ada di Indonesia, sehingga kebutuhan
masing-masing daerah atau desa berbeda-beda. IRE berargumen bahwa pendekatan asimetris dimaknai sebagai model pendampingan yang sensitif pada konteks masalah, tantangan, dan keberagaman kapasitas desa. Pendekatan ini dinilai lebih sesuai dengan misi desa membangun dan diharapkan mampu menjawab tantang an dan problem lokalitas melalui pola sinergi, konsolidasi, dan kemitraan antar kelembagaan pusat, daerah, desa, serta masyarakat sipil dalam proses pendampingan. IRE menawarkan 9 jenis tipologi desa berdasarkan kapasitas masya rakat desa dan kapasitas pemerintah desa. Kapasitas masyarakat desa dilihat dari unsur SDM, kelembagaan dan aset desa, sedangkan kapasitas pemerintahan desa dilihat dari unsur transparansi, partisipasi, akuntabilitas, demokrasi, responsivitas dan kemajuan pembangunan. Dari kedua hal tersebut dilihat kriteria lemah, sedang dan kuat. Berdasarkan tipologi tersebut disusun karakter pendampingan desa, durasi, intensitas, fasilitasi serta jenis-jenis program. Penulis sepakat dengan gagasan IRE tentang pendamping desa asimetris. Keragaman desa baik dilihat dari geografis maupun kapasitas desa tentu menjadi pertimbangan dalam menentukan jenis pendamping desa yang sesuai. Pendampingan yang tepat sesuai dengan kebutuhan desa akan mempercepat perwujudan tujuan dan makna pendampingan desa, sehingga desa dapat mencapai kemandirian. Namun beban berat pendampingan desa asimetris adalah membuat pemetaan tipologi desa. Dengan jumlah desa yang mencapai lebih dari 74.000, tentu dibutuhkan upaya yang besar untuk membuat pemetaan tersebut. Selain itu, tidak adanya batas yang jelas antara jenis pendamping satu
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
221
PENDAMPING DESA KONTEKSTUAL Tony Murdianto Hidayat
Tabel 2. Tipologi Desa
No. 1.
2.
3.
4.
5.
Jenis desa
Karakteristik
Sangat Tertinggal mengalami kerentanan karena masalah bencana alam, goncangan ekonomi, dan konflik sosial sehingga tidak berkemampuan mengelola potensi sumber daya sosial, ekonomi, dan ekologi, serta mengalami kemiskinan dalam berbagai bentuknya Tertinggal memiliki potensi sumber daya sosial, ekonomi, dan ekologi tetapi belum, atau kurang mengelolanya dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa, kualitas hidup manusia serta mengalami kemiskinan dalam berbagai bentuknya Berkembang memiliki potensi sumber daya sosial, ekonomi, dan ekologi tetapi belum mengelolanya secara optimal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa, kualitas hidup manusia dan menanggulangi kemiskinan Maju memiliki potensi sumber daya sosial, ekonomi dan ekologi, serta kemampuan mengelolanya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa, kualitas hidup manusia, dan menanggulangi kemiskinan. Mandiri memiliki kemampuan melaksanakan pembangunan Desa untuk peningkatan kualitas hidup dan kehidupan sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa dengan ketahanan sosial, ketahanan ekonomi, dan ketahanan ekologi secara berkelanjutan
dengan pendamping lainnya berpotensi terjadinya tumpang tindih dalam proses pendampingan. Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis menawarkan gagasan pendampingan desa konteks tual. Pendampingan kontekstual ini tetap memandang keragaman desa sebagai salah satu pijakannya. Keraga man desa yang dimaksud di sini adalah keragaman jenis desa berdasarkan tipologi desa berdasarkan data Indeks Desa Membangun yang telah disusun oleh Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi yaitu desa sangat terti nggal, desa tertinggal, desa berkembang, desa maju dan desa mandiri. Paling tidak ada 3 hal yang menjadi dasar gagasan pendampingan kontekstual. Pertama keragaman desa. Keragaman desa menjadi hal penting karena setiap desa tentu memiliki karakteristik sendiri. Tidak bisa jenis pendampingan diberlakukan secara seragam untuk semua jenis desa. Potensi sumber daya desa dan letak geografis tentu menentukan jenis pendampingan apa yang tepat dilaksanakan di desa tersebut. Pendampi 222
ngan sesuai dengan permasalahan dan kondisi desa diharapkan dapat mewujudkan pendampingan yang efektif dan efisien. Kedua, batasan yang jelas antara pendampingan untuk setiap jenis desa. Pendamping desa kontekstual membedakan jenis pendamping untuk setiap jenis desa. Adanya pembedaan pendampingan desa yang jelas antar jenis desa meminimalkan kemung kinan terjadinya tumpang tindih antar jenis pendampingan. Dengan demikian, pendampingan desa kontekstual diharapkan lebih efektif dan dapat memenuhi target tujuan pendampingan. Ketiga, adanya kesinambungan program pendampingan desa. Pendam pingan desa kontekstual memiliki tahapan yang jelas, dan berwujud seperti siklus. Tahap pendampingan desa untuk jenjang berikutnya bisa dilakukan bila pendampingan desa untuk kondisi saat ini telah dilakukan. Tahap pendampingan desa untuk kondisi saat ini juga memberi landasan bagi pendampingan desa untuk tahap
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
PENDAMPING DESA KONTEKSTUAL Tony Murdianto Hidayat
selanjutnya. Perwujudan desa mandiri dilakukan secara bertahap, sesuai dengan tipologi desa seperti yang tercantum dalam indeks desa membangun (IDM) Kemendesa, PDT dan Transmigrasi. Dengan demikian proses suatu desa sangat tertinggal menuju desa mandiri akan melalui tahap desa tertinggal, desa berkembang dan desa maju. Tahap pencapaian tersebut menjadi dasar dalam penentuan jenis pendamping desa. Artinya, pendamping desa sangat tertinggal akan sangat berbeda dengan pendamping desa tertinggal. Begitu pula pendamping untuk dengan desa berkembang, desa maju dan desa mandiri. Kemampuan pendamping untuk setiap tipe desa akan berbeda-beda. Pendamping desa kontekstual dimaknai sebagai pendamping untuk setiap jenis desa. Pendampingan desa akan terbagi dalam lima tahap, yang setiap tahapnya mencerminkan kondisi desa.
Pendamping tahap 1 diperuntukan desa dengan kategori sangat tertinggal, pendamping desa tahap 2 untuk desa dengan kategori tertinggal, tahap 3 untuk desa dengan kategori berkembang, tahap 4 untuk desa dengan ka tegori maju dan tahap 5 untuk desa dengan kategori mandiri. Pendampingan konteksual memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Untuk desa sangat tertinggal, arah pendampingan adalah pemulihan dari berbagai masalah yang dihadapi desa akibat kerentanan desa. 2. Untuk desa tertinggal, arah pendampingan adalah penanaman kesadaran kepada masyarakat desa akan potensi sumber daya desa yang bisa dikelola dan dikembangkan 3. Untuk desa berkembang, arah pendampingan adalah penguatan partisipasi masyarakat untuk menggali dan mengelola potensi sumber daya desa
Tabel 3. Tipologi Pendampingan Kontekstual
No. 1.
2.
3.
Jenis desa
Karakteristik
Sangat Tertinggal Pendampingan desa diarahkan pada aspek pemulihan dari masalah yang dihadapi desa seperti bencana alam, goncangan ekonomi dan konflik sosial. Desa sangat tertinggal sangat rentan dengan masalah tersebut. Pendamping diharapkan memiliki kemampuan problem soving dalam rangka menghadapi permasalahan mendasar yang dihadapi desa. Pendamping lebih banyak memberikan edukasi kepada masyarakat desa dan pemerintah desa untuk mulai sadar akan potensi sumber daya yang dimiliki desa. Tertinggal Pendamping desa diarahkan pada penanaman kesadaran kepada masyarakat desa untuk menggali potensi sumber daya yang bisa dikembangkan dan dikelolan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Masyarakat desa mulai dikenalkan berbagai jenis usaha yang bisa dikembangkan di desa berdasarkan potensi desa. Pendamping memberi edukasi pentingnya pendidikan, menjaga kebersihan lingkungan serta memperkenalkan gaya hidup sehat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Berkembang Pendampingan diarahkan kepada perwujudan partisipasi masyarakat desa dalam menggali dan mengelola potensi desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Masyarakat diedukasi manajemen produksi secara sederhana, bagaimana mengolah bahan baku mengemas dan memasarkannya. Pendamping desa mendorong pemerintah desa untuk mulai mengangkat isu peningkatan kualitas hidup masyarakat desa dalam program pembangunan.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
223
PENDAMPING DESA KONTEKSTUAL Tony Murdianto Hidayat
No.
Jenis desa
4.
Maju
5.
Mandiri
Karakteristik
Pendampingan desa diarahkan untuk pengembangan pengelolaan potensi sumber daya desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Masyarakat diedukasi pengelolaan usaha secara modern. Pendamping desa memberikan pelatihan tentang manajemen produksi, manajemen keuangan, menajemen pemasaran. Masyarakat diedukasi untuk terlibat dalam kegiatan pemerintahan desa dan menyuarakan aspirasi kepada pemerintah desa agar tujuan pelaksanaan pembangunan desa ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan menanggulangi kemiskinan. Pendampingan desa diarahkan pada pengelolaan potensi desa secara berkelanjutan. Masyarakat diedukasi untuk menggali potensi desa yang bisa dikembangkan lebih lanjut selain produk yang sudah dikelola dan dikembangkan di desa. pendamping desa mengedukasi warga desa untuk melakukan kerjasama dengan pihak di luar desa dalam rangka pengembangan lebih lanjut pengelolaan potensi ekonomi desa. Pendamping mengawal masyarakat desa untuk turut mengawasi jalannya pemerintahan desa. Masyarakat didorong untuk sadar akan hak politiknya. Pendamping desa mendorong pemerintah desa untuk memprioritaskan program pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat.
4. Untuk desa maju, arah pendam pingan adalah pengembangan pengelolaan potensi desa 5. Untuk desa mandiri arah pendampingan adalah pengelolaan potensi desa secara berkelanjutan Peran pendamping dalam setiap tahap tentu berbeda-beda, tergantung arah pendampingan desa. Semakin tinggi posisi desa dalam tipologi desa menurut IDM, semakin sedikit peran pendampingan yang dilakukan, demikian sebaliknya. Demikian pula dalam proses pendampingannya. Semakin tinggi posisi desa dalam tipologi desa, semakin sadar masyarakat desa akan hak-haknya, semakin tinggi partisipasi masyarakat desa. Pendampingan kontekstual akan membuat pelaksanaan pendampingan desa lebih terukur sehingga menghindari potensi adanya tumpang tindih dalam pendampingan desa. Selain itu, adanya keterkaitan antara jenis pendampingan desa satu sama lain memungkinkan adanya kesi nambungan program pendampingan desa. Adanya tahapan dalam proses pendampingan akan memudahkan 224
pemerintah dalam menilai apakah suatu pendamping desa telah berhasil melaksanakan tugasnya dalam mendampingi. Bila suatu pendamping telah berhasil mencapai tujuan dalam mendampingi desa, maka desa tersebut telah bisa naik kelas menuju jenis desa yang lebih tinggi. Proses ini te rus dilakukan hingga suatu desa telah mencapai desa mandiri. F. PENUTUP Pendampingan desa yang menjadi gagasan pemerintah masih mengha dapi kendala dalam implementasinya. Dari aspek teknis, rekrutmen pendampingan desa tidak melibatkan pemerintah daerah. Pemerintah desa hanya menerima penempatan pendamping di desanya tanpa memiliki kewenangan untuk ikut menentukan jenis pendamping seperti apa yang tepat bagi desa tersebut. Dalam hal kapasitas pendamping desa, sejumlah informan di Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Banten mengeluhkan kualitas pendamping hasil rekrutmen baru. Tidak hanya faktor teknis, faktor politik turut menjadi masalah pendampingan desa. Ada sinyalemen bahwa pen-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
PENDAMPING DESA KONTEKSTUAL Tony Murdianto Hidayat
damping desa digunakan sebagaimobilisasi dari partai politik tertentu. Melihat berbagai permasalahan tersebut, Pemerintah tentu perlu melakukan perbaikan-perbaikan agar tujuan pendampingan desa dapat terwujud. Konsep pendampingan desa yang digagas pemerintah menurut penulis kurang jelas. Dalam Peraturan Permendesa, PDT dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pendamping Desa disebutkan bahwa pendamping an desa dilakukan secara berjenjang, namun tidak dijelaskan maksud dari frase kata secara berjenjang. Konsep pendampingan desa menurut pemerintah cenderung melakukan penyeragaman dalam pendampingan desa, dan mengabaikan keberagaman desa dan daerah. Padahal adanya keberagaman itu tentu mengakibatkan permasalahan yang dihadapi desa berbeda dan pendamping an yang dibu tuhkan setiap desa juga berbeda. Artikel ini menawarkan gagasan pendampingan desa kontekstual sebagai bagian upaya penataan pendampingan di masa depan. Diilhami oleh pendampingan desa asimetris pluralis usulan IRE, pendampingan kontekstual merupakan pendamping an berbasis jenis desa, sebagaimana tipologi jenis desa menurut indeks desa membangun yang meliputi desa sangat tertinggal, desa tertinggal, desa berkembang, desa maju dan desa mandiri. Artinya untuk setiap jenis desa, terdapat satu jenis pendamping desa sesuai dengan kebutuhan desa. Pendampingan desa kontekstual memastikan adanya kesi nambungan program pendampingan desa untuk mewujudkan desa mandiri. Sudah saatnya pendampingan dengan mengedepankan keberagaman untuk menjadi bahan pertimbangan peme rintah dalam implementasi pendam pingan desa.
DAFTAR PUSTAKA Hamidi, Hanibal dkk. 2015. Indeks Desa Membangun 2015. Kemente rian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Jakarta. Institute for Research and Empowerment (IRE). 2016. Policy Paper. Mengembangkan Model Pendampingan Desa Asimetris di Indonesia. https://www.ireyogya.org/policy-paper-mengembangkan-model-pendampingan-desa-asimetris-di-indonesia/. 7 Oktober 2016 Milles, M.B. and Huberman, M.A. 1984. Qualitative Data Analysis. Sage Publication. London. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 2 Tahun 2016. Indeks Desa Membangun. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2016. Pendamping Desa Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014. Desa __________. Diskriminatif, BNPD Tolak Keputusan Kemendes Soal Pendamping Desa. http://www. sindopos.com/2016/04/barisan-nasional-pendamping-desa.html. 10 Oktober 2016. __________. DPR Berang Menteri Marwan Monopoli Rekrutan Pendamping Desa. http://www.sindopos. com/2016/04/komisi-v-dpr-r-pertanyakan.html. 10 Oktober 2016.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
225
PENDAMPING DESA KONTEKSTUAL Tony Murdianto Hidayat
226
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
Artikel PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI TANTANG AN MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH
STAFFING FOR THE SECOND CATEGORY OF HONORARY EMPLOYEES AS REGIONAL HUMAN RESOURCES MANAGEMENT CHALLENGES Suryanto Peneliti Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara
Abstrak: Fakta akan minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan dan tingginya angka pemutusan hubungan kerja serta kehidupan pegawai negeri sipil (PNS) yang lebih menjanjikan diban ding karyawan swasta semakin mendorong angkatan kerja masuk menjadi PNS. Oleh karena tidak lolos menjadi PNS, mereka kemudian berubah haluan menjadi tenaga honorer pada instansi pemerintah, walaupun dengan honorarium yang terbilang sangat kecil. Harapannya hanya satu, bahwa suatu saat kelak yang bersangkutan akan diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan maksimal dua tahun kemudian diangkat menjadi PNS. Persoalannya, sesuai peraturan perundangan di antaranya PP No. 48 Tahun 2005 yang diubah dengan PP No. 43 Tahun 2007, dan terakhir diubah lagi dengan PP No. 56 Tahun 2012 bahwa tidak seluruh tenaga honorer dapat diangkat menjadi CPNS, kecuali bagi mereka yang memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan. Dilihat dari manajemen kepegawaian, peng angkatan tenaga honorer menjadi CPNS merupakan tantangan karena proses tersebut cenderung berlawanan dengan manajemen kepegawaian yang sesungguhnya. Dikatakan berlawanan karena pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS tidak mengikuti tahapan perencanaan dan pengadaan pegawai sebagaimana mestinya. Kata Kunci: Manajemen SDM Aparatur, tenaga honorer, PNS
Abstract: The evidence for the lack of job creation and the high rate of termination of employment as well as the lives of civil servants (PNS) are more promising compared to private sector employees increasingly encouraging labor force entry into civil servants. Therefore, do not qualify as civil servants, they then changed course to temporary employees in government agencies, albeit with fairly small honorarium. The hope is only one, that one day He or She will be appointed to civil service candidates (CPNS) and a maximum of two years later was appointed as civil servants. The problem, according regulation among Government Regulation (GR) No. 48/2005 as amended by GR No. 43/2007, and last modified again with the GR No. 56/2012 that all the honorary employees to be appointed as civil servant, except for those who meet the requirements specified. Judging from the personnel management, appointment of honorary employees became civil servant is a challenge because the process tends to contrast with the actual personnel management. Said to be the opposite for the appointment of honorary employees became civil servant does not follow the stages of planning and procurement employees as appropriate. Keywords: HRM, honorary employees, civil servants.
A. PENDAHULUAN Menurut Badan Pusat Statistik (2016), jumlah pengangguran di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun
2015, jumlah pengangguran tercatat sebanyak 320 ribu jiwa dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) seba nyak 7,56 juta jiwa atau 6,18 % atau naik sebesar 5,94 % atau 7,24 juta
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
227
PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI TANTANGAN MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH. Suryanto
jiwa pada periode yang sama tahun 2014. Angka pengangguran ini ternyata lebih besar dibandingkan angka pengangguran pada tahun 1992, yang hanya sebesar 2,7 % berdasarkan Survey Angkatan Kerja Nasional atau SAKERNAS (Latief, 1993). Naiknya angka pengangguran pada tahun 2014 antara lain disebabkan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pelambatan ekonomi (Rizal, 2016). Tingginya angka penga ngguran dan minimnya lapangan kerja yang tersedia mendorong angkatan kerja menjatuhkan pilihan profesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS). De ngan menjadi PNS, mereka menganggap bahwa pekerjaan ini relatif aman dari ancaman PHK, dibandingkan de ngan pekerjaan di sektor swasta. Besarnya animo masyarakat menjadi PNS sebenarnya bukan hanya disebabkan dari meningkatnya pengangguran sebagaimana tersebut di atas. Sejak dahulu, pekerjaan sebagai PNS bahkan menjadi idaman para orang tua sehingga mereka cenderung meng arahkan agar anak-anaknya dapat diterima menjadi pegawai pemerintah (ambtenaar). Ambtenaar sendiri oleh Sosiolog Clifford Geertz, dalam bukunya yang terkenal ”The Religion of Java”, dimasukkan ke dalam kategori priyayi, yaitu kelompok masyarakat terhormat sejajar dengan kaum bangsawan dengan gelar-gelar tertentu. Bahkan karena terhormatnya kedudukan mereka, para pegawai pemerintah dianugerahi gelar-gelar sesuai dengan jabatan dan kepangkatannya. Geertz berasumsi bahwa kaum priyayi adalah kaum yang menekankan aspek-aspek Hindu dan diasosiasikan dengan unsur birokrasi, serta melukiskannya sebagai satu pegawai birokrasi yang menurut tempat tinggal mereka merupakan penduduk kota (Widiatiaga, 2008). 228
Sebagai pegawai pemerintah, ambtenaar atau birokrat dianggap lebih terjamin dibandingkan hanya menjadi pedagang, petani dan atau pekerjaan lainnya. Secara sosial, pegawai peme rintah akan mendapat penghargaan tinggi dari masyarakat karena kedudukannya sebagai bagian dari organisasi negara, sedangkan jaminan ekonomi akan mendapatkan penghidupan yang lebih baik dan lebih pasti karena mereka mendapatkan jaminan di masa tua. Karim (2005) mengidentifikasi ber bagai motivasi menjadi PNS, baik alasan yang bersifat teknis maupun non teknis. Motivasi seseorang ingin menjadi PNS, secara teknis meliputi tujuan-tujuan berikut: 1) Untuk mendapatkan jaminan kemanan sosial (social security) di tengah kondisi perekonomian Indonesia yang masih belum meyakinkan bila bekerja di swasta, 2) Tidak terlalu memerlukan etos kerja tinggi dan lebih sedikit tantangan dibandingkan dengan di swasta, karena peran PNS lebih sebagai pengelola dari kebijakan atau kegiatan yang dilakukan oleh dunia usaha dan masyarakat, dan 3) PNS tidak akan dipecat, kecuali berbuat kriminal, sebagaimana banyak kejadian yang disaksikan masyarakat, sanksi terbanyak berupa mutasi. Alasan menjadi PNS secara nonteknis meliputi: 1) Terbuka peluang untuk mendapatkan fasilitas seperti kendaraan dan rumah dinas sehingga permasalahan yang mendasar ini lebih cepat terselesaikan, 2) Menjadi kebanggaan yang bersangkutan dan keluarganya karena mempunyai status yang mudah dikenal masyarakat se perti guru, dosen, kepala kantor, dan berbagai jabatan/profesi yang memerlukan keahlian lainya, dan 3) Mempunyai status sosial favorit mengikuti pandangan konservatif, khususnya golongan tua. Profesi PNS cukup ter-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI TANTANGAN MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH. Suryanto
pandang dalam tatanan sosial karena ada penghasilan pasti dan masih pu nya gaji setelah pensiun. Loso (2008) telah melakukan penelitian tentang “Kecenderungan Sarjana menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang Berdampak Rendahnya Minat Berwirausaha di Eks Karesidenan Pekalongan”. Hasilnya? Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi pilihan para sarjana (S-1 khususnya) untuk menjadi PNS. Pertama, alasan kesejahteraan, bahwasannya dengan menjadi PNS akan memperoleh gaji setiap bulan, kehidupan yang lebih baik di masyarakat, dan pensiun. Kedua, alasan status sosial, bahwa PNS memiliki prestise yang tinggi dalam masya rakat. Ketiga, menjadi PNS karena alasan keturunan, bahwa orang tua yang bekerja sebagai PNS akan meng arahkan anaknya menjadi PNS. Keempat, faktor lainnya seperti menjadi PNS karena kebetulan, pekerjaan PNS dianggap santai, tidak ada pekerjaan yang lain, dan sulitnya berwirausaha. Fakta akan minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan dan tingginya angka pemutusan hubungan kerja/ PHK di daerah serta “iming-iming” kehidupan PNS yang relatif stabil diban ding karyawan swasta mendorong angkatan kerja masuk menjadi PNS. Karena tidak lolos menjadi PNS, maka kemudian mereka berubah haluan dengan menjadi tenaga honorer de ngan honorarium yang terbilang sa ngat kecil untuk memenuhi kebutuhan minimal. Sumber pembiayaan untuk pembayaran honorarium tenaga hono rer dapat berasal dari APBN/APBD dan atau bersumber dari dana Non APBN/ APBD, misalnya dari Komite Sekolah. Perjalanan “karir” tenaga honorer ini pada awalnya berjalan normal walaupun kondisinya cukup mempriha tinkan. Namun seiring pemberlakuan PP No. 48 Tahun 2005 dan PP peng-
gantinya, tenaga honorer di seluruh Indonesia dibuai harapan untuk diangkat sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS). Masalahnya adalah tidak seluruh tenaga honorer tersebut memenuhi persyaratan yang diminta oleh peraturan perundangan. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel ilmiah ini adalah metode/pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data nya berupa studi pustaka. Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk mengulas permasalahan seputar pengangkatan tenaga honorer – khususnya tenaga honorer kategori 2 (K2) – dan memberikan rekomendasi terhadap penataan tenaga honorer di daerah ke depan. B. KONSEP MANAJEMEN SDM Manajemen sumber daya manusia (MSDM) sering juga disebut manajemen kepegawaian atau manajemen personalia (personnel management). Menurut Hasibuan (2011: 10), manajemen sumber daya manusia adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masya rakat. Sementara Flippo (dalam Sulistiyani & Rosidah, 2003: 13) menyebutkan lima fungsi MSDM yakni fungsi penga daan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian, dan pemeliharaan dan pelepasan SDM. Adapun Tulus (ibid) pun menyebutkan lima fungsi MSDM meliputi pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian, dan pemeliharaan & pemutusan hubungan kerja. Salah satu fungsi MSDM yang paling dianggap krusial dalam pengembang an pegawai adalah pengadaan. Terkait pengadaan/rekrutmen, Ambar dan Rosidah (2003:101) menyatakan bahwa rekrutmen adalah proses mencari dan menarik para pelamar
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
229
PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI TANTANGAN MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH. Suryanto
untuk menjadi pegawai pada dan oleh organisasi tertentu. Selanjutnya rekrutmen juga dapat didefinisikan sebagai serangkaian aktivitas mencari dan memikat pelamar kerja dengan motivasi, kemampuan, keahlian dan pengetahuan yang diperlukan guna menutupi kekurangan yang teridentifikasi dalam perencanaan kepegawaian. Selanjutnya, Dessler (2008:126) memberikan definisi rekrutmen sebagai upaya mencari dan atau mena rik pelamar untuk mengisi posisi yang terbuka (Employee recruiting means finding and or attracting applicants for the employer’s open positions). Rekrutmen dimaksudkan untuk mencari pelamar agar ditempatkan pada posisi yang dibutuhkan. Pelamar-pelamar menghendaki informasi yang akurat mengenai pekerjaan di dalam organisasi bersangkutan. Organisasi menginginkan informasi yang akurat tentang seperti apakah pelamar-pelamar tersebut jika kelak mereka diangkat sebagai pegawai. Berdasarkan definisi rekrutmen tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa rekrutmen merupakan proses mencari, memengaruhi, menemukan, dan menarik sebanyak mungkin calon pegawai yang memenuhi syarat untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja saat ini dan masa mendatang. C. TENAGA HONORER DALAM KONTEKS MANAJEMEN KEPEGAWAIAN Tenaga honorer adalah seseorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Tenaga 230
Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)). Pejabat Pembina Kepegawaian adalah pejabat yang berwenang mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan Pegawai Negeri Sipil di lingkungannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Pa sal 1 angka 2). Pejabat lain yang dimaksudkan dalam konteks pengangkatan menjadi tenaga honorer adalah sekreta ris jenderal, sekretaris daerah, kepala dinas, kepala BKD, dan pimpinan unit organisasi pemerintah yang diberi wewenang otorisasi dalam mengelola APBN/APBD. Penghasilan tenaga ho norer dari APBN/APBD adalah penghasilan pokok yang secara tegas tercantum dalam alokasi belanja/upah pada APBN/APBD. Pertanyaannya adalah, sejumlah tenaga honorer yang diangkat oleh ketua komite sekolah (honorer bidang pendidikan), apakah guru-guru yang diangkat menjadi tenaga honorer di satuan-satuan pendidikan – SD, SLTP, dan SLTA – dapat diangkat menjadi CPNS? Tentu hal ini akan sangat menarik terutama jika dikaitkan de ngan janji Pemerintah untuk meng angkat seluruh tenaga honorer yang memenuhi persyaratan. Pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS diprioritaskan bagi pemenuhan kebutuhan SDM tertentu seperti tenaga guru, tenaga kesehatan dan unit pelayanan kesehatan, tenaga penyuluh bidang pertanian, perikanan dan peternakan, dan tenaga teknis lainnya yang sangat dibutuhkan oleh pemerintah. Namun pengangkatan tersebut tidak dilakukan serta merta, artinya harus mempertimbangkan persyaratan-persyaratan tertentu. Pengangkatan tenaga kerja hono rer menjadi CPNS didasarkan pada usia dan masa kerja, yaitu: 1) Tenaga honorer yang berusia paling tinggi 46
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI TANTANGAN MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH. Suryanto
(empat puluh enam) tahun dan mempunyai masa kerja 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara terus menerus. 2) Tenaga honorer yang berusia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun dan mempunyai masa kerja 10 (sepuluh) tahun atau lebih sampai dengan kurang dari 20 (dua puluh) tahun secara terus menerus. 3) Tenaga honorer yang berusia paling tinggi 40 (empat puluh) tahun dan mempunyai masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih sampai dengan kurang dari 10 (sepuluh) tahun secara terus menerus, dan 4) Tenaga honorer yang berusia paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun dan mempunyai masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih sampai dengan kurang dari 5 (lima) tahun secara terus menerus. Selain batas usia dan masa kerja, pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS (guru) juga harus mengikuti dan lulus seleksi administrasi, disiplin, integritas, kesehatan, dan kompetensi. Sedangkan untuk tenaga honorer tenaga kesehatan, penyuluh dan tenaga honorer teknis lainnya, selain harus mengikuti dan lulus seleksi administrasi, integritas, kesehatan, dan kompetensi – juga wajib mengisi/menjawab daftar pertanyaan mengenai pengetahuan tata pemerintahan/kepemerintahan yang baik, dan pelaksanaannya terpisah dari pelamar umum. Persyaratan tersebut – mungkin – terlalu berat sehingga tidak mampu memenuhi harapan semua pihak, karena terbukti sampai akhir 2009 belum semua tenaga honorer dapat diangkat menjadi CPNS. Untuk meng antisipasi kondisi tersebut, Pemerintah kemudian menerbitkan PP No. 43 Tahun 2007 perihal perubahan PP No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS. Yang menarik adalah tenaga honorer dokter, mereka yang telah selesai atau sedang menjalani tugas sebagai dokter PTT
(pegawai tidak tetap) atau sebagai tenaga honorer pada unit pelayanan kesehatan dapat diangkat menjadi CPNS – setelah melalui seleksi – tanpa memperhatikan masa kerja sebagai tenaga honorer dengan ketentuan: 1) usia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun, dan 2) bersedia bekerja pada unit pelayanan kesehatan di daerah terpencil sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun. Definisi “daerah terpencil” ditentukan oleh Bupati/Walikota yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan perundangan. Persyaratan batas usia dan masa kerja yang diberikan PP 48/2005 diperbaharui melalui PP No. 43/2007. Pada PP 43/2007 persyaratan batas usia dan masa kerja diubah menjadi usia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun dan paling rendah 19 (sembilan belas) tahun dan masa kerja sebagai tenaga honorer paling sedikit 1 (satu) tahun secara terus menerus. De ngan perubahan persyaratan tersebut ternyata belum semua tenaga honorer dapat diangkat menjadi CPNS, meski telah memenuhi persyaratan yang diamanatkan dalam PP. Tabel 1 merupakan deskripsi langkah-langkah tenaga honorer diangkat menjadi CPNS. Dari tabel 1. dapat dijelaskan bahwa terdapat 7 (tujuh) langkah yang harus dilalui oleh tenaga honorer agar dapat diangkat menjadi CPNS. Salah satu langkah tersebut adalah bahwa tenaga honorer yang akan diangkat sebagai CPNS harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a) Bekerja di instansi pemerintah, b) Diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), atau Pejabat lain yang mempunyai otoritas, c) Usia minimal 19 tahun dan maksimal 46 tahun, d) Sumber pembiayaan upah, gaji, penghasilan bersumber dari APBN/APBD (untuk K1), dan e) Memiliki masa kerja minimal satu tahun dan masih bekerja terus-menerus
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
231
PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI TANTANGAN MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH. Suryanto
Tabel 1. Tujuh Langkah Pengangkatan Honorer Menjadi CPNS
No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
232
Langkah
Tenaga honorer yang dapat diangkat menjadi CPNS meru pakan tenaga honorer yang memenuhi syarat kumulatif sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 48 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan PP No.43 Tahun 2007 dan terakhir diubah dengan PP No. 56 Tahun 2012. Pada 28 Juni 2010, Kementerian PAN dan RB mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor: 05 TAHUN 2010 tentang Pendataan Tenaga Honorer yang Bekerja di Lingkungan Instansi Pemerintah yang tercecer atau tertinggal pada pendataan 2005 sepanjang masih memenuhi kriteria PP tersebut di atas. Dalam SE 05 Tahun 2010 pendataan tenaga honorer ini terbagi dalam Kategori I (K1) dan Kategori II (K2). Pendataan dilakukan oleh masing-ma sing instansi pengelola kepegawaian dengan batas akhir penyerahan data ke BKN untuk K1 pada 31 Agustus 2010 sedangkan K2 pada 31 Desember 2010. Yang membedakan antara K1 dengan K2, yakni K1 merupakan tenaga honorer yang penghasilan/ upah/ gajinya dibiayai dari APBN/ APBD sedangkan K2 dibiayai dari Non-APBN/Non-APBD (BP3, dana Komite Sekolah, dll). Tenaga honorer untuk dapat diangkat menjadi CPNS harus memenuhi kriteria, yakni: a. Bekerja di instansi pemerintah. b. Diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), atau Pejabat lain yang mempunyai otoritas. c. Usia minimal 19 tahun dan maksimal 46 tahun. d. Sumber pembiayaan upah, gaji, penghasilan bersumber dari APBN/APBD (untuk K1). e. Memiliki masa kerja minimal satu tahun dan masih bekerja terus-menerus dengan tidak terputus sampai saat ini. Semua kriteria tersebut merupakan persyaratan kumulatif, maksudnya apabila tidak terpenuhi salah satu persyaratan yang dimaksud, maka tenaga honorer tidak bisa diangkat menjadi CPNS. Terhadap data Kl sudah dilakukan proses Verifikasi dan Validasi oleh Tim Nasional dengan sebutan Memenuhi Kriteria (MK) dan Tidak Memenuhi Kriteria (TMK). Hasil Verifikasi dan Validasi akan diumumkan setelah ditetapkannya PP terkait TH sebagai dasar pengangkatan menjadi CPNS oleh Pemerintah. Terhadap data K2 yang sudah diterima BKN; belum ada kebijakan yang diambil karena menunggu regulasi lebih lanjut. Apabila PP tentang tenaga honorer telah ditetapkan, bagi yang dinyatakan MK (Memenuhi Kriteria) untuk dapat diangkat menjadi CPNS masih ada persyaratan lain yang harus dipenuhi seperti Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), Surat Keterangan Sehat dari Dokter, Surat Keterangan Bebas Narkoba, dan Iain-lain. Untuk mengetahui perkembangan lebih lanjut tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS dapat dilihat di website MENPAN-RB (www.menpan. go.id) dan BKN (www.bkn.go.id dan www.sesmabkn.com)
Keterangan
Pengangkatan tenaga hono rer berdasar pada peraturan perundang-undangan. Terdata dalam pendataan tenaga honorer.
Kriteria untuk diangkat menjadi CPNS bersifat kumulatif, harus memenuhi seluruh syarat yang ditentukan.
Verifikasi dan validasi TH K1 sudah selesai, sebutan MK dan TMK. Bagi TH K2 baru selesai pendataan dan sudah diterima BKN, menunggu regulasi lebih lanjut. Penambahan persyaratan bagi TH K1 yang Memenuhi Syarat setelah PP diterbitkan.
Website untuk konformasi: www.menpan.go.id www.bkn.go.id www.sesmabkn.com
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI TANTANGAN MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH. Suryanto
No. 7.
Langkah
Himbauan kepada seluruh masyarakat untuk mewaspadai segala bentuk penipuan yang terkait pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Apabila ada informasi yang meragukan terkait tenaga honorer, untuk konfirmasi dapat menghubungi Humas BKN telp/fax. 021-80882815.
Keterangan
Waspadai bentuk penipuan pengangkatan TH menjadi CPNS.
Ssumber : : Indeks Desa Membangun 2015
dengan tidak terputus sampai saat ini. Syarat tersebut bersifat kumulatif, artinya satu persyaratan saja tidak terpenuhi, maka yang bersangkutan tidak dapat diangkat sebagai CPNS. Langkah penting yang harus mendapatkan perhatian adalah terkait pendataan tenaga honorer. Untuk tenaga honorer K1 pendataan, verifikasi, dan validasi sudah selesai dilakukan, sementara untuk pendataan tenaga honorer K2 pun sudah selesai dan datanya sudah masuk ke file BKN. Pengangkatan tenaga honorer K2 masih menunggu regulasi lebih lanjut. Untuk mengangkat seluruh tenaga honorer, Kementerian PAN dan RB te lah menerbitkan Surat Edaran Nomor 05 Tahun 2010 tanggal 28 Juni 2010 tentang Pendataan Tenaga Honorer yang bekerja di lingkungan instansi pemerintah yang ditujukan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah sebagai dasar untuk melakukan pendataan tenaga honorer yang bekerja di lingkungan instansi pemerintah. Tenaga honorer itu sendiri terdiri dari tenaga honorer K1, yakni Tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan kriteria diangkat oleh pejabat yang berwenang bekerja di instansi pem+erintah, masa kerja paling sedikit 1 (satu) tahun pada tanggal 31 Desember 2005 dan sampai saat ini masih bekerja secara terus menerus; berusia paling rendah 19 (sembilan belas) tahun dan ti-
dak boleh lebih dari 46 (empat puluh enam) tahun pada tanggal 1 Januari 2006. Adapun tenaga honorer K2, yaitu tenaga honorer yang penghasil annya dibiayai bukan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan kriteria, diangkat oleh pejabat yang berwenang, bekerja di instansi pemerintah, masa kerja paling sedikit 1 (satu) tahun pada tanggal 31 Desember 2005 dan sampai saat ini masih bekerja secara terus menerus, berusia paling rendah 19 (sembilan belas) tahun dan tidak boleh lebih dari 46 (empat puluh enam) tahun pada tanggal 1 Januari 2006. Hasil pendataan tenaga honorer disimpan di file BKN untuk selanjut nya dilakukan pengangkatan menjadi CPNS. Sampai tahun 2009, telah diangkat sebanyak 900.000 orang tenaga honorer. Permasalahannya hingga saat ini masih tersisa sejumlah tenaga honorer yang belum diangkat menjadi CPNS, tepatnya sebanyak 439.056 orang. Tidak diangkatnya tenaga ho norer K2 disebabkan karena minimnya anggaran pemerintah, khusus nya untuk pengangkatan pada tahun 2016, maupun karena mereka sendiri yang lebih mengharapkan diangkat tanpa tes, padahal saat ini sudah tidak mungkin masuk menjadi pegawai negeri tanpa melalui tes. Dari berbagai studi yang telah dilakukan dan juga pemberitaan yang gencar di berbagai media massa, pada dasarnya terdapat dua kendala terkait pengangkatan tenaga honorer K2
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
233
PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI TANTANGAN MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH. Suryanto
menjadi CPNS yakni masalah payung hukum dan anggaran. Pertama, payung hukum pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS telah berakhir tahun 2014, yaitu PP Nomor 56 Tahun 2012. Ini berarti, sejak tahun 2015 tidak tersedia dasar hokum pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS. Faktor kedua adalah ketersediaan anggaran (: APBN) untuk mengangkat mereka menjadi CPNS. Secara politik, Komisi II DPR RI pun telah mendesak Pemerintah agar menyediakan anggaran untuk membiayai pengangkatan tenaga honorer K2. Sejauh ini, Pemerintah c.q. Kementerian Keuangan telah memberikan lampu hijau bagi pendanaan kebijakan pengangkatan tenaga honorer K2 ini. Guna memperoleh pegawai Aparatur Sipil Negara yang profesional maka diperlukan manajemen ASN yang andal. Dalam konteks teoretis, manajemen ASN disebut sebagai manajemen sumber daya manusia (MSDM), manajemen personalia, manajemen sumber daya insan, manajemen kepegawaian, manajemen perburuhan, manajemen tenaga kerja, administrasi personalia (kepegawaian) dan hubungan industrial (Amstrong, 2003 dalam Triyono, 2012: 13). Khusus untuk artikel ini penulis menggunakan istilah manajemen kepegawaian. Per definisi, manajemen kepegawai an merupakan perencanaan, pengor ganisasian, pengkoordinasian, pelak sanaan, dan pengawasan terhadap pengadaan, pengembangan, pemberian balas jasa, pengintegrasian, pemeliharaan, dan pemisahan tenaga kerja dalam rangka mencapai tujuan organisasi (Mangkunegara, 2007: 2). Dalam konteks pembahasan pengangkatan tenaga honorer (K1 dan K2) menjadi CPNS maka hal ini masuk dalam fungsi pengadaan pegawai. Dalam kondisi normal, pengadaan 234
pegawai diawali dengan perencanaan pegawai yaitu suatu proses penentuan kebutuhan pegawai dalam suatu organisasi atau perusahaan. Perencanaan pegawai atau perencanaan sumber daya manusia adalah suatu proses menentukan kebutuhan akan tenaga kerja berdasarkan peramalan, pengembangan, pengimplementasian, dan pengontrolan kebutuhan tersebut yang berintegrasi dengan rencana organisasi agar tercipta jumlah pegawai, penempatan pegawai secara tepat dan bermanfaat secara ekonomis (Ibid: 4). Dengan kata lain, melakukan pe rencanaan SDM secara matang meru pakan bagian penting dalam menciptakan manajemen SDM yang baik. Persoalannya, pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS merupakan kebijakan ‘politis’ untuk menghargai pengabdian mereka terhadap peme rintah. Oleh karena itu, pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS – terutama pada periode 2006-2009 - terkesan ‘lebih mudah’ dibandingkan de ngan pelamar umum. Jika dirunut lebih jauh kondisi ini memang bukan sepenuhnya kesalahan para tenaga honorer di satu sisi, karena di sisi lain pemerintah tidak menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai bagi warganya, khususnya para pemuda pemudi. Sebagai perbandingan, pada masa Orba Pemerintah menetapkan kebijakan Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional (TKPMP). Mandiri adalah suatu ciri atau sikap mental untuk ingin selalu memiliki harapan sukses dalam suatu kehidupan, dengan melakukan sesuatu sebaik mungkin melalui kegiatan-kegiatan yang produktif, dengan berani mengambil resiko yang rasional dan telah diperhitungkan. Pemuda mandiri adalah pemuda Indonesia yang berumur 15-35 tahun, yang mempunyai idealisme dan integritas kepribadian
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI TANTANGAN MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH. Suryanto
yang tinggi, tanpa tergantung kepada orang lain dan mampu menghasikan karya nyata dalam bentuk usaha yang produktif dan bermanfaat bagi masya rakat luas. Profesional dalam konteks ini diartikan suatu kemampuan yang dimiliki oleh seseorang sesuai dengan bakat dan minat yang diwujudkan dalam suatu hasil karya nyata baik berupa barang maupun jasa yang dapat memberikan pengahsilan bagi diri sendiri dan memberikan kepuasan pada orang lain (Latief, 1993: 103104). D. TENAGA HONORER DAN PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA (PPPK) Sesuai dengan amanat UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, istilah tenaga honorer tidak digunakan lagi dalam manajemen kepegawaian karena dalam konteks kepegawaian hanya terdapat pegawai pemerintah de ngan perjanjian kerja (PPPK). Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Pada Pasal 93 UU No. 5 Tahun 2014 disebutkan bahwa manajemen PPPK meliputi: a) penetapan kebutuhan, b) pengadaan, c) penilaian kiner ja, d) penggajian dan tunjangan, e) pengembangan kompetensi, f) pemberian penghargaan, g) disiplin, h) pemutusan hubungan perjanjian kerja, dan i) perlindungan. Sampai saat ini Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang PPPK masih dalam pembahasan Tim Kemenpan dan RB. Berdasarkan RPP PPPK, penyusunan kebutuhan PPPK harus didasarkan pada analisis jabatan dan analisis beban kerja setiap instansi pemerintah. Penyusunan kebutuhan dan jenis ja-
batan PPPK dilakukan 5 tahunan dan dijabarkan untuk kebutuhan tahunan berdasarkan prioritas kebutuhan. Kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PPPK meliputi jabatan fungsional dan jabatan pimpinan tinggi utama (JPT Utama) dan Madya tertentu. Melihat konten tersebut, tenaga honorer yang ada saat ini hanya mungkin dimanfaatkan untuk mengisi jabatan fungsional (jabatan fungsional tertentu/ JFT). Setelah kebutuhan jumlah dan jenis PPPK dilakukan, kemudian dilaksanakan penetapan kebutuhan oleh Menpan dan RB berdasar usul Pejabat Pembina Kepegawaian/PPK Instansi Pusat dan PPK Instansi Daerah. Selanjutnya, pengadaan PPPK dilaksanakan berdasarkan penetapan kebutuhannya. Pengisian jabatan PPPK dilakukan melalui seleksi JF keahlian dan JF keterampilan serta seleksi terbuka (lelang jabatan) untuk JPT Utama dan JPT Madya tertentu. Untuk JF PPPK yang ditawarkan oleh RPP mencakup: a) JF Keahlian Utama, b) JF Keahlian Madya, c) JF Keahlian Muda, d) JF Keahlian Pertama, e) JF Keterampilan Penyelia, f) JF Keteram pilan Mahir, g) JF Keterampilan Terampil, dan h) JF Keterampilan Pemula. Kedelapan jenis jabatan fungsional tersebut bukan merupakan penjenja ngan, sehingga pelamar yang diterima menjadi pejabat fungsional keterampilan pemula misalnya, maka yang bersangkutan tidak akan meningkat menjadi pejabat fungsional keterampilan terampil. Permasalahannya, apakah tenaga-tenaga honorer yang ada di berba gai daerah khususnya honorer K2 – yang sampai saat ini masih belum diangkat – dapat diterima sebagai PPPK? Berikut persyaratan untuk pelamar PPPK, sebagaimana tertuang dalam RPP PPPK. 1. Setiap warga negara Indonesia
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
235
PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI TANTANGAN MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH. Suryanto
mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PPPK dengan memenuhi persya ratan sebagai berikut: a. usia paling rendah 20 (dua puluh) tahun dan paling tinggi 5 (lima) tahun sebelum BUP jabatan yang akan dilamar; b. tidak pernah dipidana dengan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara 2 (dua) tahun atau lebih; c. tidak pernah diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat sebagai PNS, PPPK, Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Republik Indonesia, atau diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai swasta; d. tidak berkedudukan sebagai CPNS/PNS atau PPPK di unit lain; e. tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik atau terlibat politik praktis; f. memiliki kualifikasi pendidikan atau sertifikasi keahlian tertentu sesuai dengan persya ratan jabatan; g. pengalaman sesuai dengan jabatan; h. sehat jasmani dan rohani sesuai dengan persyaratan jabatan yang dilamar; i. persyaratan lain sesuai kebutuhan jabatan yang ditetapkan oleh PPK. Seleksi pengadaan PPPK meliputi seleksi administrasi, seleksi kompetensi dasar, dan seleksi kompetensi bidang. Berdasarkan persyaratan sebagaimana tersebut di atas dan tahap 236
seleksi yang ketat, apakah tenaga ho norer K2 dapat lolos dan diangkat menjadi CPNS? Ini merupakan pertanyaan yang sangat penting dalam mengatasi persoalan manajemen kepegawaian kita beberapa tahun terakhir. Bagaikan makan buah simalakama, masuk menjadi CPNS melalui jalur tenaga honorer (K2) sulit, tetapi masuk melalui jalur PPPK juga tidak mudah. Dalam perkembangan terkini, Badan Legisatif DPR telah menginisiasi revisi UU ASN. Beberapa poin penting inisiatif tersebut meliputi: 1) Penambahan substansi Pasal 56 terkait dengan penetapan kebutuhan PNS yang harus disertai dengan jadwal pengadaan, jumlah dan jenis jabatan yang dibutuhkan, serta kriteria dari masing-masing jabatan, 2) Penambah an substansi Pasal 87 ayat (5) terkait dengan pensiun dini PNS secara masal hanya dapat dilakukan oleh Pemerin tah setelah berkonsultasi dengan DPR dan didasarkan pada perencanaan dan evaluasi pegawai, 3) Penghapusan substansi Pasal 99 terkait dengan larangan untuk mengangkat PPPK secara otomatis menjadi PNS, 4) Penambahan substansi Pasal 105 ayat (5) mengenai pemberhentian PPPK secara masal hanya dapat dilaksanakan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR, 6) Pasal 135 A terkait jangka waktu pengangkatan tenaga honorer, pegawai tidak tetap, pegawai tetap non PNS dan tenaga kontrak menjadi PNS dimulai enam bulan dan paling lama tiga tahun setelah UU (revisi) diterbitkan, 7) Dalam ketentuan itu diatur pula tentang pelarangan pemerintah untuk tidak lagi melakukan pengadaan tenaga honorer, pegawai tidak tetap, pegawai tetap non PNS dan tenaga kontrak, dan seterusnya. Pro-kontra terhadap revisi UU ASN tersebut masih berlangsung hangat di media massa. Dalam diskusi media
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI TANTANGAN MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH. Suryanto
yang dilaksanakan LAN (2016) disimpulkan bahwa revisi terhadap peraturan perundangan seyogyanya tidak dilakukan secara sporadis tetapi terlebih dahulu dilakukan kajian sehingga hasil revisi akan lebih komprehensif. Terlepas dari pro dan kontra usulan revisi dimaksud, kasus pengangkatan tenaga honorer K2 menjadi CPNS ini memerlukan perhatian semua pihak. UU ASN yang baru berlaku selama 2 tahun terakhir memang memberikan ruang bagi pemenuhan SDM selain PNS, yakni adanya tenaga kontrak yang diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap kegelisahan para tenaga honorer di seluruh Indonesia. E. PENUTUP Tingginya animo publik untuk menjadi CPNS – yang akhirnya diangkat sebagai PNS – ternyata bukan ha nya merupakan kecenderungan masa kini. Di masa lalu, minat yang tinggi untuk menjadi pegawai pemerintah (ambtenaar) pun telah terjadi, terbukti dengan hasil kajian sosiolog Clifford Geertz yang menyebutnya sebagai kaum priyayi. Ambtenaar merupakan bagian dari golongan priyayi, setara/ sederajat dengan para bangsawan pada waktu itu. Gagal menjadi CPNS melalui rekrutmen formal, banyak pelamar kemudian rela menjadi tenaga honorer, yang di daerah dikenal dengan tenaga hono rer daerah (honda). Penantian para honda berakhir ketika Pemerintah menerbitkan dan memberlakukan PP No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS di era kepemimpinan Presiden RI ke-5 SBY. Mereka yang diangkat pasca pemberlakuan PP 48/2005 adalah tenaga honorer yang gaji/upahnya dibayarkan dari APBN/APBD (honorer K1). Sedangkan tenaga honorer yang gaji/ upahnya dibayarkan dari Non APBN/ Non APBD dikategorikan sebagai tena-
ga honorer kategori 2 (K2) dan belum dapat diangkat sebagai CPNS. Tuntutan forum tenaga honorer Indonesia melalui demo besar-besaran yang terjadi beberapa waktu lalu menandai puncak kekecewaan para tenaga honorer Kategori 2 (K2) karena mereka tidak diangkat menjadi CPNS. Dalam hal ini tedapat dua kendala yang dihadapi oleh Pemerintah, pertama kendala payung hukum/regulasi dan kedua, kendala anggaran. Terha dap kedua kendala tersebut, Komisi II DPR RI telah mendesak Pemerin tah untuk segera menyelesaikan nya. Pemerintah melalui Kemenpan & RB dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) telah mengambil langkah-langkah penyelesaian masalah, sambil menunggu terbitnya payung regulasi dan tersedianya anggaran. BKN sendiri menyatakan bahwa pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS akan dilakukan secara bertahap mulai tahun 2016 dengan persyaratan sebagai berikut: masa kerja minimal 1 tahun terhitung Janu ari 2015, mengabdi di instansi negeri dam tidak pernah terputus, dan harus pernah mengikuti tes CPNS pada 3 November 2013. Nilai hasil tes seleksi CPNS tahun 2013 sekaligus membuktikan bahwa yang bersangkutan belum mengundurkan diri dan untuk menentukan rangking passing grade. Terkait dengan RPP PPPK yang di dalamnya mengatur tentang “tenaga kontrak” muncul rencana untuk meng angkat tenaga honorer K2 menjadi PPPK. Namun rencana atau keinginan tersebut nampaknya akan sulit terea lisasi karena tenaga honorer K2 dan PPPK memiliki ‘nature’ yang sangat berbeda. Tenaga honorer K2 masuk menjadi tenaga kontrak tanpa melalui seleksi yang ketat, sedangkan PPPK dipersyaratkan memiliki keahlian dan keterampilan spesifik (untuk jabatan
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
237
PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI TANTANGAN MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH. Suryanto
fungsional) dan memiliki kompetensi manajerial yang sangat andal (untuk JPT Utama dan Madya tertentu). Seiring dengan itu, Pemerintah diharapkan dapat mengalihkan ‘minat masyarakat’ yang demikian besar untuk menjadi PNS. Masyarakat terutama para pemuda seyogyanya diberi kesempatan untuk memilih profesi lain, selain menjadi PNS dan/atau menjadi tenaga honorer dengan harapan kelak dapat diangkat menjadi PNS. Beberapa langkah yang dapat ditempuh Peme rintah misalnya dengan memberikan bimbingan usaha mandiri melalui kerjasama dengan perguruan tinggi, unit pengembangan usaha kecil, bimbingan pemuda pekerja keluarga, kelompok usaha bersama – koperasi, dan pusat pengembangan usaha mandiri (sistem inkubator). Selain itu, pun Pemerintah dalam melakukan kegiatan penunjang berupa bantuan modal, kemitraan, dan jaringan informasi sebagai dukungan pengembangan usaha. DAFTAR PUSTAKA Dessler, Gary. 2008. Human Resource Management, eleventh edition. Pearson Education Inc. NewJersey. Edukasi, Genius. Agar Honorer Diangkat Menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) http://www.geniusedukasi. com/agar-honorer-diangkat-menjadi-pns-pegawai-negeri-sipil/. 13 Mei 2016. Feizal, Karim. Kenapa Orang Berebut jadi PNS. http://www.kompasiana.com/efki/kenapa-orang-berebut-jadi-pns_5528cf7ef17e61e70b8b4569. 13 Mei 2016. Hasibuan, Malayu SP., 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Kasim, Muhamad. 2014. Efektivitas Seleksi Penerimaan Calon Bintara TNI AD dalam Menyiapkan Sumber 238
Daya Manusia Pertahanan (Studi di Ajen Komando Daerah Militer Jayakarta), Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Latief, Abdul. 1993. Membangun SDM yang Mandiri dan Profesional. Departemen Tenaga Kerja RI. Jakarta. Loso, 2008. Kecenderungan Sarjana Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang Berdampak Rendahnya Minat Berwirausaha di Eks Karesidenan Pekalongan, J. Pena Justisia, Vol. VII, 13: 13-17. Mangkunegara, Anwar Prabu. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Rowley, Chris dan Keith Jackson. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia: The Key Concepts. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sulistiyani, Ambar Teguh dan Rosidah. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia: Konsep, Teori dan Pengembangan dalam Konteks Organisasi Publik. CV. Graha Ilmu. Yogyakarta. Triyono, Ayon. 2012. Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia. Oryza. Jakarta. __________. RUU Aparatur Sipil Negara (ASN) disetujui menjadi inisiatif DPR. http://www.infopppk. com/2016/12/ruu-aparatur-sipil-negara-asn-disetujui.html. 9 Desember 2016. __________. BPS Umumkan Angka Pengangguran Meningkat, Total 7,56 Juta Orang. http://bataranews. com/2016/01/27/bps-umumkan-angka-pengangguran-meningkat-total-756-juta-orang/. 12 Mei 2016. __________. Ini Penyebab Tenaga Honorer Belum Diangkat CPNS. http ://cp ns. w eb. id /ini-p enyebab-tenaga-honorer-belum-diang-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI TANTANGAN MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH. Suryanto
kat-cpns/. 24 Mei 2016. __________. Pengangguran di Indonesia. http://www.indonesia-investments.com/id/keuangan/angka-ekonomi-makro/pengangguran/ item255. 27 Mei 2016.
239
__________. Resume Buku Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa Karya Clifford Geertz. https:// www.academia.edu/10335800/Resume_Buku_Abangan_Santri_Priyayi_dalam_Masyarakat_Jawa_ Karya_Clifford_Geertz. 21 Juni 2016.
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
240
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
Petunjuk Penulisan
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Deputi Bidang Kajian Kebijakan-Lembaga Administrasi Negara dengan Kode ISSN 2528-6757. Untuk memperkaya isi jurnal, redaksi mengundang para peneliti, dosen, pakar dan praktisi pemerintah atau peng amat untuk menyumbangkan hasil penelitian dan atau hasil pemikiran kritis di lingkup bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Reformasi Administrasi serta Analis Kebijakan. Topik jurnal Analisis Kebijakan mencakup berbagai isu dan permasalahan dalam lingkup bidang tersebut, dengan substansi berupa perkembangan konsepsi dan praktiknya. Ketentuan umum penulisan naskah Jurnal Analisis Kebijakan adalah sebagai berikut: 1. Naskah merupakan hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis terhadap isuisu di bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Reformasi Administrasi serta Analis Kebijakan, yang meliputi perkembangan konsepsi dan praktiknya; 2. Naskah diketik dalam Bahasa Indonesia (untuk abstrak/intisari dan keyword/kata kunci diketik dalam dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), menggunakan kertas ukuran kuarto sepanjang 15-20 halaman (termasuk gambar, tabel dan daftar pustaka). Menggunakan huruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Batas tepi kanan 2,5 cm, batas tepi kiri 3 cm, batas atas 3 cm dan batas bawah 3 cm. 3. Setiap tabel dan gambar diberi judul. Posisi judul tabel berada di atas tabel, sedangkan posisi judul gambar berada di bawah gambar. 4. Format tulisan sekurang-kurangnya terdiri atas: a. Judul tulisan ditulis dalam dua bahasa, yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris; b. Nama penulis, apabila penulis lebih dari satu orang, maka penulis yang ditulis pertama adalah penulis utama; c. Jabatan dan institusi tempat penulis bekerja, apabila memungkinkan disertakan nomor telepon dan alamat email penulis; d. Abstrak/intisari ditulis dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris masing-masing sepanjang 100-200 kata disertakan keyword/kata kunci; e. Pendahuluan, sebagai pembukaan memuat aspek-aspek atau hal-hal yang membuat tema tulisan tersebut menarik dan mengundang rasa keingintahuan. Penulis dapat mengemukakan fenomena-fenomena menarik terkait dengan topik tulisan dengan disertai data-data pendukung. Dan pada akhir bagian ini perlu diberikan tujuan penulisan tema yang ditulis; f. Metode penelitian, apabila naskah tersebut merupakan hasil penelitian maka perlu dituliskan metode penelitian yang digunakan; g. Bagian analisis dan pembahasan atau bisa menggunakan nama lain yang relevan dengan topik tulisan berisi temuan-temuan, analisis dan pembahasan serta interpretasi terhadap data; h. Penutup, bisa berisi kesimpulan dan saran atau rekomendasi berkaitan dengan tujuan penulisan yang dikemukakan pada bagian pendahuluan; JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
241
i. Daftar pustaka, disusun berdasar abjad, ditulis pada bagian akhir tulisan dengan susunan dimulai dari nama (diawali dengan nama belakang dan dipisahkan de ngan tanda titik), tahun penerbitan, judul tulisan, nama penerbit dan kota pe nerbit. Untuk sumber yang diperoleh dari internet harus disertakan tanggal sumber tersebut diakses/diunduh. Beberapa contoh penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut: Doherty, Tony L. dan Terry Horne. 2002. Managing Public Services, Implementing Changes: a Thoughtful Approach to The Practice of Management. Routledge. New York. Nasution, Nur. 2004. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management). Ghalia Indonesia. Jakarta. 5. Catatan kaki (footnote) dapat digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap bagian isi naskah atau sebagai acuan berkaitan dengan sumber data yang dikutip; 6. Setiap data yang berupa kutipan baik dalam bentuk kalimat langsung maupun tidak langsung, gambar, serta tabel yang diambil dari sumber lain harus dicantumkan sumbernya, ditulis dalam daftar pustaka; 7. Naskah dapat dikirimkan langsung atau melalui email ke redaksi Jurnal Analisis Kebijakan dengan alamat: Redaksi Jurnal Analisis Kebijakan Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Gedung B Lantai 3 Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat 10110 Telp. (021) 3868201-07 Ext. 114, 115 Email :
[email protected] Setiap naskah yang masuk ke Redaksi setelah lolos seleksi oleh Redaksi, akan di-review oleh Mitra Bestari, dan terhadap setiap naskah yang dimuat akan diberikan cetak lepas (off-print) dan imbalan yang layak kepada penulis.***
242
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016
INTEGRITAS
PROFESIONAL
INOVATIF
PEDULI